Rabu, 10 Mei 2017

Cersil 15 Tamat Hina Kelana

Cersil 15 Tamat Hina Kelana Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 15 Tamat Hina Kelana
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 15 Tamat Hina Kelana
Bab 134. Menyusuri Jejak Musuh
“Kutanya dia pula mengapa tidak mau bertemu dengan suaminya, dia bilang suaminya adalah manusia paling
tidak berperasaan di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan, biarpun bertemu kembali juga tiada
gunanya.”
Mendadak Put-kay berteriak satu kali, segera ia putar tubuh hendak lari pergi. Namun Lenghou Tiong keburu
menariknya dan membisikinya, “Akan kuajarkan suatu akal bagus padamu, tanggung dia takkan dapat
melarikan diri.”
Put-kay terkejut dan bergirang, ia tertegun sejenak, mendadak ia berlutut dan menyembah beberapa kali
kepada Lenghou Tiong sambil berkata, “Lenghou-hengte, o, tidak, Lenghou-ciangbun, Lenghou-kongkong,
Lenghou-suhu, kumohon engkau lekas mengajarkan akal bagus itu kepadaku, biarlah aku meng... mengangkat
kau sebagai guruku.”
“Ah, mana aku berani, lekas bangun!” sahut Lenghou Tiong dengan menahan geli. Lalu ia menarik bangun Putkay
sambil berbisik di tepi telinganya, “Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali
kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka hiat-to yang tertutuk, tapi kau pondong dia ke suatu
hotel, sewa satu kamar di situ. Nah, coba kau pikirkan sendiri, dengan cara bagaimana supaya seorang
perempuan tidak berani lari keluar hotel?”
Put-kay menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala sendiri yang gundul, katanya, “Aku... aku tidak tahu.”
“Gampang saja,” kata Lenghou Tiong. “Belejeti pakaiannya. Dalam keadaan telanjang bulat masakah dia berani
lari keluar?”
Put-kay menjadi girang, ia bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Akal bagus! Suhu, budi kebaikanmu....” tidak
sampai habis ucapannya, terus saja ia melompat keluar melalui jendela dan lenyaplah dalam sekejap.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Eh, sungguh aneh kelakuan hwesio gede itu? Mau apa dia pergi secara begitu terburu-buru?” kata Tho-kinsian.
“Tentu dia kebelet berak, makanya terburu-buru,” kata Tho-kin-sian.
“Tapi kenapa dia menyembah kepada Lenghou-hengte dan memanggil suhu, padanya?” ujar Tho-hoa-sian.
“Sudah tua begitu masakah berak saja perlu diajar oleh orang lain?”
“Berak ada sangkut paut apa dengan tua-mudanya usia?” bantah Tho-yap-sian. “Apakah anak umur tiga tahun
bisa berak sendiri tanpa diajarkan orang tua?”
Ing-ing tahu pembicaraan keenam orang dogol itu makin lama tentu semakin tak keruan, maka ia lantas
memberi isyarat kepada Lenghou Tiong dan meninggalkan rumah makan itu.
“Keenam Tho-heng,” seru Lenghou Tiong sebelum pergi, “biasanya kalian terkenal ahli minum arak tanpa ada
tandingan, maka silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini, aku sendiri tidak sanggup minum banyakbanyak,
terpaksa berangkat lebih dulu.”
Karena dipuji sebagai ahli minum arak, Tho-kok-lak-sian menjadi senang, dalam anggapan mereka bila tidak
minum habis beberapa guci rasanya akan berdosa kepada Lenghou Tiong yang telah memujinya. Maka
beramai-ramai mereka menjawab, “Ya, kesanggupanmu minum arak tentu saja selisih jauh dengan kami.
Baiklah, boleh kau berangkat dahulu, setelah kami kenyang minum segera kami menyusul.”
Lalu seorang lagi berteriak, “Hai, pelayan! Lekas bawakan enam guci arak enak!”
Begitulah, cukup Lenghou Tiong mengucapkan satu kalimat saja sudah dapat menghindarkan diri dari recokan
keenam manusia dungu itu.
Setiba di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, “Kau telah
memulihkan hubungan suami istri orang, jasamu sungguh tak terbatas. Hanya saja cara yang kau ajarkan dia
rasanya agak... agak....” sampai di sini mendadak wajahnya menjadi merah dan menunduk jengah.
Lenghou Tiong hanya memandangi si nona dengan tertawa tanpa buka suara.
Setelah keluar kota, sudah sekian jauhnya Lenghou Tiong masih tetap tersenyum saja sambil memandangi Inging.
“Melihat apa? Apakah tidak kenal lagi padaku?” omel si nona.
“Aku lagi berpikir, perempuan itu pernah mengerek aku di atas pohon, maka satu dibalas satu, aku pun
mengerek dia di atas pohon,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Dia mencukur rambutku, aku balas dia
dengan menyuruh suaminya membelejeti dia hingga telanjang bulat, inilah satu lawan satu namanya.”
“Satu lawan satu katamu?” si nona menegas dengan melirik dan tersenyum.
“Ya, semoga Put-kay Taysu tidak sembrono dan tidak main kasar, semoga mereka suami-istri dapat berkumpul
kembali dengan bahagia,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Tapi, awas, lain kali bila ketemu lagi dengan perempuan itu tentu kau boleh rasakan pembalasannya.”
“Aku membantu mereka suami-istri berkumpul kembali, dia justru harus berterima kasih padaku,” sahut
Lenghou Tiong. Lalu ia pandang beberapa kejap lagi kepada Ing-ing sambil cengar-cengir, sikapnya sangat
aneh.
“Apa yang kau tertawakan lagi?” tanya si nona.
“Aku pikir entah apa yang akan dikatakan Put-kay Taysu di dalam kamar hotel nanti,” sahut Lenghou Tiong.
“Tapi mengapa kau memandangi aku saja?” omel Ing-ing. Tiba-tiba ia dapat menangkap maksud Lenghou
Tiong. Rupanya pemuda “bergajul” ini sedang membayangkan betapa suasana di kamar hotel di kala Put-kay
Hwesio membelejeti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya melayang ke kamar hotel, tapi yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dipandang adalah dirinya, maka dapat dibayangkan apa yang terpikir di dalam benak pemuda itu. Seketika
wajah Ing-ing menjadi merah, segera ia hendak memukul Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong mengegos, katanya dengan tertawa, “E-eh, bini pukul suami, ini namanya perempuan
jahat!”
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan, Ing-ing kenal itu adalah
suara suitan penghubung antara sesama anggota Tiau-yang-sin-kau.
Ing-ing memberi tanda kepada Lenghou Tiong dengan beberapa gerak tangan, lalu mengajaknya berlari ke
arah datangnya suara suitan tadi.
Tidak jauh, tertampaklah seorang yang berdandan sebagai pelayan restoran berlari datang dari jurusan barat
sana. Tempat sekitar situ cukup lapang, tiada tempat baik untuk bersembunyi. Orang itu rada tercengang
ketika mendadak kepergok dengan Ing-ing.
Terpaksa orang itu memberi hormat kepada Ing-ing sambil menyapa, “Hu-hiangcu Ih Tiong dari Thian-hongtong
di dalam agama menyampaikan salam hormat kepada Seng-koh. Hidup Kaucu sepanjang masa, merajai
Kang-ouw sampai akhir zaman!”
Ing-ing mengangguk. Menyusul tertampak dari arah timur sana muncul pula seorang tua yang pendek kecil,
berbaju warna cokelat tua, dandanannya mirip hartawan kampungan. Dengan langkah cepat ia mendekati Inging
dan memberi hormat, katanya, “Cin Peng-hui menyampaikan sembah bakti kepada Seng-koh, semoga
Seng-koh hidup bahagia.”
“Engkau juga berada di sini, Cin-tianglo?” tanya Ing-ing, ia kenal baik Cin Peng-hui sebagai satu di antara
kesepuluh tianglo di dalam agama.
Dengan hormat Cin Peng-hui menjawab, “Hamba ditugaskan Kaucu mencari berita di sekitar sini. Ih-hiangcu,
adakah sesuatu berita yang kau peroleh?”
“Lapor Seng-koh dan Cin-tianglo,” tutur Ih Tiong, “pagi ini hamba ketemu dengan rombongan Ko-san-pay yang
berjumlah ratusan orang di bawah pimpinan putra Co Leng-tan yang bernama Co Hui-eng, katanya mereka
menuju ke Hoa-san.”
“Jadi benar-benar mereka menuju ke Hoa-san?” Cin Peng-hui menegas.
“Ada urusan apa orang-orang Ko-san-pay pergi ke Hoa-san?” sela Ing-ing.
“Menurut berita yang diperoleh Kaucu, kabarnya sejak Gak Put-kun menjabat ketua Ngo-gak-pay lantas ada
maksud memusuhi agama kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang sibuk menghimpun anak murid dari Ngo-gakkiam-
pay untuk berkumpul di Hoa-san. Melihat gelagatnya ada kemungkinan mereka bermaksud menyerang
Hek-bok-keh kita secara besar-besaran,” tutur Cin Peng-hui.
“Betulkah demikian?” ujar Ing-ing, ia merasa sangsi jangan-jangan Cin Peng-hui yang tua dan kecil-kecil licin
ini sengaja mengelakkan tanggung jawab, padahal mungkin dia yang memimpin penangkapan anak murid
Hing-san-pay. Hanya apa yang dikatakan Ih Tiong tampaknya bukan pura-pura, agaknya di dalam persoalan ini
memang ada sesuatu persoalan. Segera Ing-ing berkata pula, “Lenghou-kongcu sendiri adalah ketua Hing-sanpay,
mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi, sungguh aneh.”
“Hamba mendapat keterangan bahwa anak murid Thay-san dan Heng-san-pay sudah menuju ke Hoa-san,
hanya pihak Hing-san-pay saja yang belum tampak bergerak,” tutur Cin Peng-hui. “Menurut perintah yang
kuterima dari Hiang-cosu kemarin, katanya Pau-tianglo dengan anak buahnya sudah menyusup ke paviliun
Hing-san untuk menyelidiki keadaan di sana, hamba diperintahnya menghubunginya di sekitar sini. Kini hamba
sedang menunggu berita dari Pau-tianglo.”
Ing-ing saling pandang sekejap dengan Lenghou Tiong dengan rada sangsi, bahwasanya Pau-tianglo menyusup
ke Hing-san memang tidak salah, Cin Peng-hui jelas tidak bohong dalam hal ini, lantas apa yang dia katakan
tadi apa memang betul semua?
Cin Peng-hui lantas memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan minta maaf, “Hamba hanya melaksanakan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tugas saja, dari itu mohon Lenghou-ciangbun jangan marah.”
Lenghou Tiong membalas hormat dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Yim-siocia akan menikah....”
Mendengar itu, dengan muka merah Ing-ing sampai berseru kaget, ia tidak menyangka Lenghou Tiong akan
mengumumkan hal demikian di depan orang lain, tapi ia pun tidak membantahnya.
Maka Lenghou Tiong lantas melanjutkan, “Karena itu, sebagai orang muda sudah tentu kami ikut bertanggung
jawab terhadap perintah bapak mertua sebagaimana sedang dilaksanakan oleh Cin-tianglo sekarang.”
Dengan wajah gembira Cin Peng-hui dan Ih Tiong lantas mengucapkan selamat kepada Ing-ing dan Lenghou
Tiong berdua. Dengan jengah Ing-ing berjalan menyingkir ke sana.
Lalu Cin Peng-hui menutur pula, “Sering Hiang-cosu memberi pesan kepada hamba dan Pau-tianglo agar
jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap anak murid Hing-san-pay, hanya boleh mencari berita saja, dilarang
main kekerasan, maka hamba pasti akan menurut perintah dengan taat.”
Sekonyong-konyong di belakang sana suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang
Lenghou-kongcu tiada tandingannya di dunia ini, bahwa Hiang-cosu suruh kalian jangan main kekerasan
sebenarnya adalah demi keselamatan kalian sendiri.”
Waktu Lenghou Tiong memandang ke sana, dari semak-semak pohon sana muncul seorang perempuan,
kiranya adalah Na Hong-hong, itu ketua Ngo-tok-kau yang cantik. “Eh, kiranya kau, Na-kaucu!” sapanya.
“Engkau baik-baik, Lenghou-kongcu,” Na Hong-hong juga menyampaikan salam kepada Lenghou Tiong. Habis
itu mendadak ia berpaling kepada Cin Peng-hui dan menegur, “Jika kau ingin menyapa padaku lekas silakan,
mengapa mesti pakai mengerut kening segala.”
“Ah, mana aku berani,” sahut Peng-hui. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh benda berbisa, lebih baik
jangan direcoki. Segera ia mendekat Ing-ing dan berkata, “Cara bagaimana hamba harus bertindak selanjutnya
terhadap urusan di sini, mohon Seng-koh memberi petunjuk.”
“Lakukan saja sesuai perintah Kaucu,” sahut Ing-ing.
Cin Peng-hui mengiakan dengan hormat. Bersama Ih Tiong mereka lantas mohon diri.
Setelah ketua orang itu pergi, Na Hong-hong berkata kepada Lenghou Tiong, “Para nikoh Hing-san-pay telah
dibekuk orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”
“Kami baru saja menyusul dari Hing-san, sepanjang jalan tidak tampak jejak musuh,” kata Lenghou Tiong.
“Jalan ini bukan jurusan ke Hoa-san, kalian telah kesasar,” ujar Na Hong-hong.
“Ke Hoa-san?” Lenghou Tiong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Hoa-san? Kau sendiri melihatnya?”
“Di paviliun Hing-san kemarin aku merasa air teh yang kuminum rada aneh, aku pun diam saja tanpa
membongkar rasa curigaku itu, setelah orang-orang lain sama roboh aku pun pura-pura roboh tak sadarkan
diri,” tutur Na Hong-hong.
“Ya, memangnya, main racun terhadap Na-kaucu dari Ngo-sian-kau sama saja main kapak dengan tukang
kayu,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
Na Hong-hong tertawa senang, katanya, “Keparat-keparat itu memang rada-rada tidak tahu adat bukan?”
“Dan tidak kau balas mereka dengan beberapa cekokan racun pula?” tanya Lenghou Tiong.
“Masakah aku sungkan-sungkan kepada mereka? Tentu saja aku balas mereka secara kontan,” sahut Na Honghong.
“Eh, ada dua bangsat malah mengira aku benar-benar jatuh pingsan, mereka mendekati aku dan
bermaksud main gila dan menggerayangi tubuhku, kontan mereka kubinasakan dengan racun. Sisanya menjadi
ketakutan dan tidak berani mendekat, katanya aku sudah mati toh masih penuh racun.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Habis berkata ia pun tertawa geli.
“Kemudian bagaimana?” tanya Lenghou Tiong.
“Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” tutur
Na Hong-hong. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Kian-seng-hong dengan menculik satu rombongan
nikoh cilik, kulihat yang mengepalai kawanan bangsat ini adalah suhumu, Gak-siansing. Lenghou-toako,
tampaknya gurumu itu rada-rada tidak beres. Tempo hari waktu engkau menyelamatkan jiwaku di depan Siaulim-
si, jelas gurumu itu berhasrat membunuh kau. Kini engkau menjabat ketua Hing-san-pay, tapi dia malah
memimpin anak buahnya datang ke sini dan sekaligus menangkap sekian banyak nikoh bawahanmu, caranya
ini bukankah sengaja hendak memusuhi kau?”
Lenghou Tiong tidak menanggapinya, ia tahu Na Hong-hong adalah wanita suku Miau yang pada umumnya
berwatak polos, lugu, apa yang ingin dikatakannya segera diucapkan tanpa pikir.
“Melihat perbuatannya itu sungguh aku sangat gemas,” tutur Na Hong-hong pula. “Pada waktu itu juga aku
bermaksud meracun dia biar mampus. Tapi kemudian kupikir entah bagaimana pikiranmu terhadap gurumu itu,
andaikan perlu mampuskan dia rasanya juga tidak perlu terburu-buru, setiap saat dapat kulaksanakan.”
“Kau selalu mengingat akan diriku, aku harus berterima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong.
“Ah, biasa,” ujar Na Hong-hong. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa mumpung engkau tiada di atas
Hing-san, maka mereka harus lekas-lekas pergi agar tidak kepergok olehmu bila engkau pulang. Tapi ada lagi
yang berkata bahwa sayang engkau tiada di Hing-san, kalau ada dan sekaligus engkau ditawan pula, maka
bereslah segala urusan. Huh, enak saja mereka bicara!”
“Aku selalu didampingi oleh adikmu ini, rasanya tidaklah gampang jika mereka hendak menangkap diriku,” kata
Lenghou Tiong.
Na Hong-hong sangat senang, katanya dengan tertawa, “Boleh dikata beruntung bagi mereka, coba mereka
berani mengganggu seujung rambutmu, hm, sedikitnya akan kuracun mampus mereka seratus orang.”
Lalu ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, “Yim-toasiocia, janganlah engkau minum cuka (maksudnya
jangan cemburu), aku anggap Lenghou-toako seperti saudara sendiri saja.”
Wajah Ing-ing menjadi merah, ia pun tahu watak Na Hong-hong yang polos itu, dengan tersenyum ia
menjawab, “Lenghou-kongcu sendiri sering bicara padaku tentang dirimu, katanya engkau sangat baik
padanya.”
“Bagus sekali kalau begitu!” seru Na Hong-hong kegirangan. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak
berani menyebut namaku di hadapanmu.”
“Katanya kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka?” tanya Ing-ing.
“Lantaran takut kepada tubuhku yang beracun mereka tiada seorang pun yang berani menyentuh diriku,” tutur
Na Hong-hong pula. “Ada di antaranya menyarankan agar aku dibacok mati saja dengan golok, ada pula yang
mengusulkan membunuh aku dengan senjata rahasia, akan tetapi di mulut mereka bicara demikian, namun
tiada seorang pun yang berani turun tangan, lalu beramai-ramai mereka kabur. Aku telah mengikuti jejak
rombongan mereka, setelah yakin mereka menuju ke jurusan Hoa-san, segera aku berusaha mencari Lenghoutoako
untuk menyampaikan berita penting ini.”
“Sungguh aku harus berterima kasih padamu, kalau tidak ketemu kau, tentu kami akan kecelik menuju ke Hekbok-
keh,” kata Lenghou Tiong. “Sekarang urusan tidak boleh ditunda-tunda lagi, marilah kita lekas menyusul
ke Hoa-san.”
Begitulah mereka bertiga lantas membelok ke barat dan melanjutkan perjalanan kilat, tapi sepanjang jalan
ternyata tiada menampak sesuatu tanda yang mencurigakan.
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama ragu-ragu dan heran, sepantasnya rombongan yang berjumlah ratusan orang
sepanjang jalan tentu meninggalkan jejak, mustahil tiada orang yang melihatnya kecuali kalau jalan yang
ditempuh bukanlah jalan ini.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Pada hari ketiga, di suatu rumah makan kecil diketemukan empat orang Heng-san-pay, yaitu murid angkatan
kedua yang belum pernah ikut hadir dalam pertemuan di Ko-san, maka mereka tidak kenal Lenghou Tiong dan
lain-lain, sebaliknya melihat dandanan mereka segera Lenghou Tiong kenal asal-usul mereka dan ternyata
tujuan mereka memang pergi ke Hoa-san. Diam-diam Lenghou Tiong mengikuti percakapan mereka. Bahkan
melihat kegembiraan mereka itu, agaknya di Hoa-san terdapat banyak harta karun yang sedang menunggu
kedatangan mereka untuk mengambilnya.
Terdengar seorang di antaranya berkata, “Syukur Wi-suheng sangat baik hati dan sudi mengirim kabar kepada
kita, untung juga kita berada di Holam sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sedangkan para suheng dan
sute yang berada di Heng-san tentu tidak beruntung seperti kita.”
“Tapi kita juga jangan gembira lebih dahulu, paling penting kita harus menyusul selekasnya ke sana,” demikian
seorang lagi menanggapi. “Urusan demikian ini kukira setiap saat bisa terjadi perubahan.”
Lenghou Tiong menjadi sangat ingin tahu ada urusan apa yang begitu menarik sehingga keempat orang itu
begitu berhasrat menuju ke Hoa-san secara terburu-buru, tapi keempat orang itu sama sekali tidak
menyinggung soal yang dimaksudkan mereka itu.
“Apakah perlu robohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?” tanya Na Hong-hong kepada
Lenghou Tiong.
Tapi mengingat kebaikan Bok-taysiansing, Lenghou Tiong merasa tidak pantas membikin susah anak muridnya,
maka jawabnya, “Kukira kita tidak perlu ganggu mereka, asalkan kita lekas berangkat ke Hoa-san dan tentu
akan mengetahui persoalannya.”
Na Hong-hong mengiakan, segera mereka melanjutkan perjalanan mendahului keempat murid Heng-san-pay
itu.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kaki gunung Hoa-san. Saat itu hari sudah magrib, namun
Lenghou Tiong yang dibesarkan di pegunungan itu sudah tentu sangat hafal keadaan setempat, katanya,
“Marilah kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu takkan ketemu orang lain.”
Hoa-san terkenal paling curam di antara kelima gunung (ngo-gak), jalan kecil di belakang gunung lebih-lebih
terjal dan sukar didaki. Syukur ilmu silat ketiga orang sama-sama tinggi, tebing yang terjal bukan rintangan
bagi mereka, walaupun begitu ketika mereka mencapai puncak Hoa-san tertinggi sementara itu pun sudah
lewat tengah malam.
Lenghou Tiong membawa kedua temannya langsung menuju ke ruangan besar, keadaan di situ ternyata gelap
gulita, mereka coba pasang kuping, keadaan pun sunyi senyap. Waktu mendatangi tempat tinggal para murid
Hoa-san-pay, di situ juga kosong melompong. Ketika Lenghou Tiong menyalakan geretan api, kamar yang
kosong itu penuh debu, beberapa kamar yang diperiksa semuanya serupa, hal ini menandakan anak murid
Hoa-san-pay sudah lama tidak pulang ke Hoa-san.
Na Hong-hong menjadi kikuk karena tidak sesuai dengan laporannya, katanya, “Apa barangkali aku tertipu oleh
kawanan bangsat itu? Mereka bilang datang ke Hoa-san sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”
Lenghou Tiong juga merasa sangsi dan khawatir, teringat olehnya kejadian menyerbu Siau-lim-si dahulu, waktu
itu mereka pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya, jangan-jangan Gak Put-kun kembali
menggunakan tipu muslihat lama itu? Tapi sekarang mereka hanya bertiga, umpama masuk perangkap juga
gampang untuk meloloskan diri, yang dikhawatirkan adalah para anak murid Hing-san-pay itu, jangan-jangan
mereka dikurung di suatu tempat yang dirahasiakan dan sukar lagi diketemukan mengingat sudah sekian hari
mereka digiring kemari.
“Coba kita memencarkan diri untuk mencarinya, satu jam lagi kita berkumpul kembali di sini,” kata Na Honghong.
Lenghou Tiong setuju akan usul itu, ia pikir kepandaian menggunakan racun Na Hong-hong teramat lihai, tentu
tiada seorang pun yang sanggup menghadapi dia, tapi ditambahkan pesan pula, “Orang lain tidak kau takuti,
tapi bila ketemu guruku hendaklah kau hati-hati terhadap gerak pedangnya yang cepat luar biasa.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Na Hong-hong menjadi terharu mendengar pesan yang penuh simpatik itu, jawabnya, “Baiklah Toako, aku
tahu.”
Lalu ia keluar dari ruangan itu dan memisahkan diri.
Lenghou Tiong bersama Ing-ing memeriksa lagi ke beberapa tempat lain, sampai-sampai tempat tinggal pribadi
Gak Put-kun di Thian-kim-kiap juga diselidiki, namun tetap tiada seorang pun diketemukan.
“Keadaan ini sungguh mengherankan,” kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing, “biasanya kalau orang-orang Hoasan-
pay kami turun gunung, sedikitnya tertinggal beberapa orang sebagai penjaga rumah, mengapa sekarang
tiada seorang pun yang tinggal di sini?”
Paling akhir mereka mendatangi tempat tinggal Gak Leng-sian yang terletak di sebelah Thian-kim-kiap, jadi
berdampingan tidak jauh dari tempat tinggal Gak Put-kun.
Sampai di depan pintu, Lenghou Tiong menjadi terharu dan mencucurkan air mata mengenangkan masa
kecilnya yang selalu bermain bersama sumoay cilik itu, namun sekarang sang sumoay sudah meninggal untuk
selamanya.
Ia coba mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ing-ing lantas melompati pagar dan membuka palang
pintu. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan
kamar itu pun kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot yang pantas di kamar anak perempuan
juga tiada terdapat satu pun. Padahal Siausumoay belum lama menikah dengan Lim-sute, apa barangkali
mereka mempunyai kamar pengantin baru lain dan tidak tinggal lagi di sini? Demikian pikir Lenghou Tiong.
Ia coba periksa laci meja, di dalam laci banyak tersimpan mainan anak-anak sebangsa boneka, binatangbinatang
kecil dari kayu, gundu, dan lain-lain, itulah mainan yang pernah mereka gunakan dahulu di waktu
kecil, semuanya masih tersimpan baik-baik di situ. Lenghou Tiong menjadi pedih teringat kepada masa lalu dan
masa kini, siausumoaynya kini sudah berada di alam baka, tanpa terasa ia mencucurkan air mata pula.
Agar Lenghou Tiong tidak lebih berduka, Ing-ing memadamkan api lilin dan mengajaknya keluar. Katanya
kemudian, “Engkoh Tiong, di atas Hoa-san ini ada suatu tempat yang besar kepentingannya dalam hidupmu,
maukah kau membawa aku ke sana?”
“O, yang kau maksudkan adalah Su-ko-keh (karang dosa),” kata Lenghou Tiong. “Baiklah, marilah kita ke
sana.”
Segera ia mendahului jalan di depan dan menuju ke puncak karang, di mana dahulu ia pernah dihukum
menyendiri oleh gurunya. Karena jalanan sudah hafal, meski letak puncak itu di belakang gunung dan jaraknya
tidak dekat, namun tiada seberapa lama sampailah mereka di situ.
Setiba di atas puncak itu, sambil gandeng tangan Ing-ing berkatalah Lenghou Tiong, “Aku pernah tinggal di gua
ini....” baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara “creng-creng” dua kali, dari dalam gua
mengumandangkan suara benturan senjata yang nyaring.
Keruan mereka terkejut, cepat mereka memburu ke depan gua, menyusul lantas terdengar jeritan orang,
agaknya terluka, mereka kenal suara itu seperti suara Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.
“Seperti suara Bok-supek, marilah kita lekas masuk melihatnya,” kata Lenghou Tiong.
Segera mereka melolos senjata dan berlari masuk ke dalam gua. Bagian depan gua tiada terdapat orang, tapi
lorong yang menembus ke dalam gua sana tertampak ada cahaya api.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Bok-taysiansing, tanpa pikir Lenghou Tiong terus melompat ke dalam
sana, tapi ia menjadi tertegun dan hati tergetar, tertampak di dalam gua itu terang benderang oleh berpuluhpuluh
obor, sedikitnya ada ratusan orang sedang asyik memandangi gerak ilmu silat yang terukir di dinding gua
itu. Karena asyik benar perhatian semua orang itu kepada ukiran di dinding sehingga suasana menjadi sunyi
senyap.
Ketika mendengar jeritan ngeri Bok-taysiansing tadi, Lenghou Tiong dan Ing-ing membayangkan bila mereka
menerjang ke dalam gua, keadaan di dalam gua yang akan mereka saksikan kalau tidak gelap gulita tentu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
adalah pertarungan mati-matian dan banjir darah. Siapa tahu sekarang keadaan di dalam gua ternyata terang
benderang, bahkan penuh berdiri orang dan sedang memandangi ukiran dinding dengan asyiknya.
Bagian belakang gua itu agak luas, meski berdiri ratusan orang masih kelihatan ada tempat luang, hanya saja
orang sebanyak itu berdiri bungkam sebagai mayat hidup, tampaknya menjadi seram.
Ing-ing coba berdiri merapat Lenghou Tiong. Melihat air muka si nona rada pucat dan menunjuk rasa takut,
perlahan-lahan Lenghou Tiong merangkul pinggangnya.
Dari dandanan ratusan orang yang berbeda-beda itu, sedikit diperhatikan segera dapat diketahui mereka terdiri
dari anak murid Ko-san-pay, Thay-san-pay, dan Heng-san-pay. Di antaranya adalah orang tua yang sudah
beruban, ada pula orang muda yang masih gagah perkasa. Jelas banyak tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga
aliran itu pun ikut hadir di sini, hanya anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay tidak tampak berada di situ.
Sedikit memikir Lenghou Tiong lantas paham persoalannya. Orang-orang ketiga aliran itu sama-sama sedang
memandangi ukiran dinding, tapi mereka berkelompok di antara golongannya sendiri-sendiri, tidak bercampur
aduk. Orang Ko-san-pay memandangi gerak ilmu pedang Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding, begitu pula
orang-orang Thay-san-pay dan Heng-san-pay juga asyik mengikuti gerak tipu ilmu silat golongan masingmasing
yang terukir itu.
Tiba-tiba Lenghou Tiong ingat kepada percakapan keempat murid Heng-san-pay yang diketemukan di rumah
makan kecil dalam perjalanan itu, katanya mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Hoasan
sini, yang mereka maksudkan tentunya adalah berita tentang diketemukannya ilmu pedang mukjizat yang
terukir di dinding gua Hoa-san ini.
Lenghou Tiong coba pandang sekeliling situ, ternyata tiada tampak Bok-taysiansing, di dalam gua juga tiada
tanda-tanda baru terjadi pertarungan, akan tetapi suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi sekali-kali
bukan salah dengar, jangan-jangan Bok-taysiansing dicelakai di bagian belakang gua sana?
Untuk mencapai jalan belakang gua harus menyusuri orang banyak itu, di antara orang-orang itu hanya orangorang
Heng-san-pay tidak bermusuhan dengan Lenghou Tiong, sedangkan orang-orang Thay-san-pay dan Kosan-
pay besar kemungkinan akan mempersulit padanya. Apalagi kalau Ing-ing dikenali mereka, tentu akan
menimbulkan persoalan. Segera ia berkata kepada Ing-ing dengan suara tertahan, “Kau tunggu saja di sini,
biar kumasuk ke sana untuk melihatnya.”
Ing-ing mengangguk. Meski suara Lenghou Tiong sangat perlahan, namun dalam suasana yang sunyi senyap
itu suaranya tetap terdengar oleh orang lain, serentak beberapa orang menoleh dan melotot padanya. Namun
orang-orang itu segera berpaling kembali untuk mengikuti ukiran di dinding pula, agaknya ajaran ilmu silat
yang terukir itu besar sekali daya tariknya.
Dengan langkah perlahan Lenghou Tiong menyelinap di tengah orang banyak itu, semula ia pun kebat-kebit,
khawatir timbul keonaran, tapi demi teringat bahwa ilmu silat yang terukir itu cukup dipahaminya, betapa pun
juga bukan tandingan Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkannya dengan masak, segera semangatnya
terbangkit, hatinya menjadi mantap dan melangkah maju dengan tabah.
Sekonyong-konyong terdengar seorang di belakangnya membentak, “Kau bukan murid Ko-san-pay, mengapa
kau mengikuti ukiran dinding ini?”
Bab 135. Pergulatan Antara Mati dan Hidup di Dalam Gua
Waktu Lenghou Tiong berpaling, dilihatnya seorang tua berbaju kuning sedang melotot kepada seorang laki-laki
jangkung pertengahan umur, bahkan sambil mengacungkan ujung pedangnya ke dada si jangkung.
Tapi si jangkung telah menjawab dengan tertawa, “Bilakah aku memandangi ukiran yang kau katakan itu?”
“Kau berani menyangkal?” damprat orang tua itu. “Mendingan jika kau cuma ingin mencuri ilmu pedang Kosan-
pay kami, tapi mengapa kau memandangi gerak tipu silat yang khusus digunakan untuk membobol ilmu
pedang Ko-san-pay kami?”
Lenghou Tiong tahu dinding gua itu terukir macam-macam ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay yang hebat, selain itu
juga terukir cara mematahkan ilmu silat kelima aliran itu, yaitu ukiran yang sengaja dibuat oleh kesepuluh MoDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kau-tianglo (tokoh-tokoh tua Mo-kau), semuanya merupakan ilmu silat yang khas untuk mengalahkan ilmu
pedang Ngo-gak-kiam-pay itu. Jadi kalau ada orang sengaja mengikuti ilmu silat yang khas untuk mengalahkan
ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay itu, dengan sendirinya orang-orang kelima aliran itu tak bisa terima, termasuk
di antaranya orang-orang Ko-san-pay.
Begitulah, karena bentakan orang tua itu, serentak beberapa orang Ko-san-pay yang lain mengepung si
jangkung di tengah dengan senjata terhunus.
“Sama sekali aku tidak paham akan ilmu pedang kalian, andaikan aku memandang ukiran cara mengalahkan
ilmu pedang kalian juga tiada gunanya,” demikian si jangkung berusaha membela diri.
“Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding ini tentu pula kau tidak punya niat baik,” kata kakek dengan
bengis.
“Tapi ketua Ngo-gak-pay, Gak-siansing, telah sudi mengundang kita ke sini untuk memandang berbagai ilmu
pedang yang terukir di dinding ini, beliau tidak pernah menetapkan bagian mana yang boleh dilihat dan bagian
mana dilarang melihat,” sahut si jangkung dengan siap siaga.
“Jelas kau tidak punya maksud baik terhadap Ko-san-pay kami dan hal ini tak dapat kami biarkan,” kata si
kakek.
“Ngo-gak-kiam-pay telah dilebur menjadi satu, yang ada kini hanya Ngo-gak-pay, mana ada Ko-san-pay pula?”
sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Ngo-gak-kiam-pay tidak terlebur menjadi satu masakah Gak-siansing
mengizinkan kita semua ini terobosan di dalam gua Hoa-san sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang yang
terukir ini.”
Jawaban ini membikin si kakek menjadi bungkam. Mendadak seorang murid Ko-san-pay mendorong keras
pundak belakang si jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara ya?”
Sekonyong-konyong tangan si jangkung membalik sehingga pergelangan murid Ko-san-pay itu kena digaet
terus disengkelit, kontan murid Ko-san-pay itu terbanting jatuh.
Pada saat itulah terdengar di tengah orang-orang Thay-san-pay juga ada orang membentak, “Siapa kau?
Berani kau memakai serangan Thay-san-pay kami dan mencampurkan diri di sini untuk mencuri lihat Thay-sankiam-
hoat yang terukir di dinding ini?”
Menyusul itu tertampak seorang muda berbaju seragam Thay-san-pay berlari cepat keluar, namun segera ia
diadang oleh seorang sambil membentak, “Berhenti! Siapa kau, berani kau mengacau di sini?”
Anak muda itu tidak menjawab, tapi pedangnya terus menusuk sambil menerjang ke depan. Tapi si pengadang
mengegos sambil mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si
pengadang lantas memburu maju, kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata lawan.
Lantaran diserang dari dekat, pedang si anak muda sukar digunakan menangkis, terpaksa ia melompat mundur
lagi. Segera si pengadang menyapu dengan sebelah kakinya, untung si anak muda keburu meloncat ke atas.
Tapi tidak urung dadanya terkena pukulan, “bluk”, kontan ia terguling dan muntah darah. Dari belakang dua
murid Thay-san-pay telah memburu maju dan membekuknya.
Sementara itu di sebelah sana si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Ko-san-pay dan
sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung tampaknya sangat lihai, tapi jelas bukan orang dari
Ngo-gak-kiam-pay.
Serentak beberapa orang Ko-san-pay yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Ngo-gakkiam-
pay kita, tapi mata-mata musuh yang ikut menyusup ke sini.”
Karena terjadi pertempuran dua kelompok, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap, berubah
menjadi kacau-balau.
Dalam keadaan ribut itu Lenghou Tiong pikir adalah kesempatan baik baginya untuk mencari Bok-taysiansing.
Segera ia menyelinap maju lagi ke lorong sana, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh
yang keras laksana gugur gunung dahsyatnya. Banyak orang sama menjerit kaget dan takut.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia putar balik, dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua itu, ia tidak pikirkan
buat mencari Bok-taysiansing lagi, tapi yang perlu segera didampingi adalah Ing-ing. Akan tetapi suasananya
telah berubah menjadi kacau, orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, yang
kelihatan hanya debu pasir belaka, di mana Ing-ing waktu itu tak kelihatan lagi.
Sekuatnya Lenghou Tiong berdesak-desakan di tengah orang banyak, beberapa kali ia harus berkelit dan
menghindari serangan senjata yang entah datang dari mana. Ketika ia dapat mencapai mulut gua, maka
mengeluhlah dia, mulut gua itu sudah merapat tertutup oleh sepotong batu yang beratnya entah berapa puluh
ribu kati, jadi pintu gua itu telah tersumbat menjadi buntu, sekilas itu ia tidak melihat sesuatu lubang keluarmasuk
pada mulut gua tadi.
“Ing-ing! Ing-ing! Di mana kau?” seru Lenghou Tiong.
Sayup-sayup ia seperti mendengar Ing-ing menyahutnya satu kali di kejauhan, suaranya seperti datang dari
ujung masuk lorong tadi, hanya saja sukar dibedakan dengan jelas karena terganggu oleh suara ribut beratusratus
orang itu.
Ia merasa heran mengapa Ing-ing bisa berada di ujung lorong sana? Tapi setelah dipikir lagi segera ia pun
paham duduknya perkara, tentunya waktu batu raksasa penyumbat gua itu dijatuhkan ke bawah, Ing-ing yang
mestinya dapat melarikan diri tidak mau meninggalkan diriku. Ketika aku menerjang balik untuk mencarinya,
dia juga menerjang ke sana untuk mencari aku.
Karena itu, segera Lenghou Tiong putar balik lagi ke mulut lorong belakang gua tadi.
Dalam keadaan kacau-balau karena jalan keluar tersumbat oleh batu raksasa, beberapa puluh obor yang
berada di dalam gua tadi ada sebagian besar dibuang oleh yang memegang dan sebagian pula menjadi padam,
ditambah lagi debu pasir memenuhi gua itu, pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.
“Gua tersumbat! Gua tersumbat!” demikian orang-orang itu berteriak khawatir beramai-ramai.
“Tentu tipu muslihat si keparat Gak Put-kun itu!” teriak pula seorang dengan murka.
“Benar!” seorang lagi menanggapi dengan mengertak gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat
ilmu pedang neneknya....”
Begitulah beberapa puluh orang beramai-ramai hendak mendorong batu raksasa itu, tapi batu itu laksana
sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski beberapa puluh orang itu mendorong sepenuh tenaga dan
terkentut-kentut.
“Lekas! Lekas keluar melalui lorong belakang sana!” terdengar orang berteriak pula.
Sebelumnya memang sudah ada orang lain berpikir demikian, likuran orang sudah berbondong-bondong lari ke
sana dan berjubel-jubel memenuhi ujung lorong bawah tanah itu. Padahal lorong yang digali oleh kapak salah
seorang gembong Mo-kau yang terkurung di gua itu hanya tiba cukup dilalui satu orang saja, kini likuran orang
berjubelan di situ dan berebut dulu, tentu saja sukar dimasuki lubang sekecil itu. Dan karena keributan itu,
kembali belasan obor menjadi padam lagi.
Di tengah orang banyak itu ada dua laki-laki kekar telah mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan
orang-orang lain, mereka terus menyusup maju ke mulut lorong. Tapi mulut lorong itu sangat sempit, lantaran
kedua orang juga berebut duluan, “blang”, keduanya sama-sama benjut terbentur dinding, tiada seorang pun
yang mampu masuk lubang lorong itu.
Tiba-tiba laki-laki sebelah kanan ayun tangannya, kontan laki-laki sebelah kiri menjerit ngeri, dadanya
tertancap oleh sebilah belati, menyusul laki-laki sebelah kanan mendorongnya minggir, dengan cepat ia sendiri
lantas menerobos ke dalam lubang itu disusul oleh yang lain-lain secara dorong-mendorong dan tarik-menarik,
masing-masing sama berebut menyelamatkan diri lebih dulu.
Maklumlah, jalan keluar gua itu sudah tersumbat buntu, kini tinggal sebuah lubang penyelamat saja dan tiada
jalan keluar lain, dengan sendirinya setiap orang ingin berusaha keluar lebih dulu dari gua maut itu. Biarpun di
dinding gua itu terukir berbagai ilmu pedang yang bagus, tapi kalau mati konyol di dalam gua, betapa pun
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bagusnya ilmu silat itu juga tiada gunanya.
Tiba-tiba ada orang menjerit kaget, “Tulang orang mati! Tulang orang mati!”
Menyusul tangan seorang mengacungkan sekerat tulang paha orang mati, dalam keadaan remang-remang
tampaknya menjadi seram dan mendirikan bulu roma.
Karena kehilangan Ing-ing, Lenghou Tiong sedang cemas dan khawatir, ketika mendengar teriakan orang itu, ia
tahu tulang itu adalah kerangka tulang gembong-gembong Mo-kau yang mati di dalam gua itu. Terkilas suatu
pikiran dalam benaknya, “Kesepuluh tokoh Mo-kau itu sia-sia saja memiliki ilmu silat setinggi langit, nyatanya
mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini, jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa
diriku dan Ing-ing sekarang? Bila kejadian ini memang sengaja diatur oleh suhuku, maka jadinya benar-benar
sangat berbahaya.”
Dilihatnya orang banyak sedang berdesakan di mulut lorong, saking gelisahnya mendadak timbul pikiran
membunuh dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya, “Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja, mereka
harus dibinasakan semua barulah aku dan Ing-ing dapat lolos dengan selamat.”
Segera ia pegang pedang dan bermaksud membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya, tiba-tiba
dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan muka pucat,
tampaknya ketakutan setengah mati, seketika timbul pula rasa kasihan dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya,
“Aku dan dia adalah kawan senasib yang terjebak oleh perangkap musuh, seharusnya aku bahu-membahu
bersama dia untuk mencari jalan keluar, mana boleh aku membunuh dia untuk mencari selamat sendiri?”
Karena itu pedang yang sudah dilolos setengah itu segera dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Dalam pada itu terdengar orang-orang itu sedang berteriak-teriak, “Hayo, lekas masuk ke sana, lekas!”
“He, kenapa diam saja, lekas merangkak ke depan!”
Lalu beberapa orang yang tidak sabar lantas mencaci maki, “Keparat, kenapa diam saja, apa kau sudah
mampus di situ?”
“Tarik saja, tarik kembali saja!”
Ternyata laki-laki kekar tadi belum lagi menerobos masuk lubang lorong sejak tadi, kedua kakinya masih
ketinggalan di sebelah kiri, agaknya dia juga menghadapi jalan buntu di sebelah sana, hanya saja tidak mau
mundur kembali.
Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi, mereka masing-masing membetot sebelah
kaki laki-laki itu terus ditarik sekuatnya. Mendadak berpuluh orang menjerit berbareng, yang terbetot kembali
ternyata sesosok tubuh yang sudah tak berkepala lagi, pada leher tubuh tak berkepala itu masih
menyemburkan darah segar, kepala laki-laki kekar itu ternyata sudah dipenggal orang di dalam lorong sana.
Pada saat itulah Lenghou Tiong melihat di sudut gua sana berduduk satu orang, di bawah cahaya obor yang
remang-remang samar-samar seperti Ing-ing adanya. Saking girangnya ia terus berlari ke sana, tapi baru
beberapa langkah ia lantas tertumbuk pada gerombolan orang banyak. Sekuatnya Lenghou Tiong mendesak
dan menghalau, namun keadaan orang-orang itu sudah panik dan kacau, mereka sudah kehilangan pikiran
sehat, seperti orang kalap saja mereka menerjang kian-kemari tak menentu, ada yang putar senjatanya
menyerang serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang bergumul tak mau lepas, ada
yang merangkak-rangkak di atas tanah sambil mengerang-erang.
Baru saja Lenghou Tiong melangkah dua-tiga tindak lagi segera kedua kakinya kena dirangkul orang. Ia tabok
satu kali di atas kepala orang itu, kontan orang itu menjerit kesakitan, tapi bukannya lepaskan rangkulannya,
bahkan memeluk terlebih kencang.
“Lepaskan, kalau tidak segera kubunuh kau!” bentak Lenghou Tiong.
Tapi mendadak betisnya terasa sakit, rupanya digigit orang itu. Terkejut dan gusar pula Lenghou Tiong,
dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah seperti gila semua, obor di dalam gua semakin sedikit, kini tinggal
dua batang obor saja yang masih menyala, malahan tidak dipegang orang, tapi jatuh di tanah.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!” seru Lenghou Tiong.
Namun seorang tojin gemuk terbahak-bahak sambil angkat sebelah kakinya, kontan sebatang obor itu
diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Lenghou Tiong lolos pedangnya, sekali tebas ia bikin tubuh orang
yang merangkul kedua kakinya itu kutung menjadi dua. Sekonyong-konyong pandangannya menjadi gelap,
segala apa tidak tertampak lagi. Rupanya api obor yang terakhir kini pun sudah padam.
Begitu obor padam seluruhnya, suasana dalam gua seketika menjadi sunyi pula, semuanya kebingungan oleh
perubahan yang mendadak ini, sekejap kemudian, kembali keributan terjadi, orang-orang itu berteriak-teriak
dan menjerit-jerit laksana orang gila semua.
“Keadaan demikian jelas tiada harapan bisa keluar dengan hidup, syukurlah aku dapat mati bersama Ing-ing,”
terpikir demikian, daripada takut, sebaliknya Lenghou Tiong menjadi senang malah, ia coba menggeremet maju
menuju ke tempat Ing-ing tadi.
Tapi baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menumbuknya dengan keras.
Rupanya tenaga dalam orang itu sangat kuat, tumbukannya keras pula sehingga Lenghou Tiong keseruduk
mundur dan hampir jatuh terduduk. Syukur ia masih keburu menahan tubuhnya dan memutar kembali, segera
ia merembet lagi ke tempat Ing-ing berduduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan
bentakan melulu disertai suara nyaring benturan berpuluh senjata.
Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah, hampir semuanya sudah setengah gila
ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Ada yang bisa berpikir panjang dan berhati sabar, tapi menghadapi
sambaran senjata orang lain yang setiap saat bisa mampir di atas tubuhnya, maka terpaksa ia pun putar
senjata untuk menjaga diri, jalan lain tidak ada kalau ingin selamat.
Dari itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang riuh dan jerit teriak ngeri tak terputus-putus,
menyusul ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, terang banyak di antaranya telah terluka oleh
serangan ngawur dari kawan sendiri.
Menghadapi keadaan begitu, biarpun ilmu pedang Lenghou Tiong lebih tinggi lagi juga tak berdaya, setiap saat
ia pun dapat terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya.
Tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia pun lolos pedang dan diputarnya dengan kencang untuk melindungi
badan bagian atas, selangkah demi selangkah ia menggeser ke dinding gua, asalkan dinding gua bisa teraba,
dengan jalan mepet dinding tentu akan banyak terhindar bahaya-bahaya yang mengancam. Orang yang
dilihatnya seperti Ing-ing tadi berduduk di sudut sana, bila merembet dinding ke sana akhirnya tentu dapat
bergabung lagi dengan si nona.
Dari tempat berdiri Lenghou Tiong itu ke dinding gua sebenarnya cuma belasan meter saja jaraknya, akan
tetapi terhalang oleh lautan senjata itu terpaksa ia harus hati-hati kalau tidak mau lekas masuk kubur.
“Jika mati di bawah pedang seorang tokoh persilatan akan terasa rela dan berharga bagiku, tapi keadaan
sekarang dapat mati secara mendadak tanpa diketahui siapa dan bagaimana caranya menyerang, bisa jadi
yang membinasakan aku hanyalah seorang keroco kelas kambing dunia persilatan, sungguh, menghadapi
keadaan demikian, sekalipun Tokko-tayhiap hidup kembali pasti juga akan mati kutu dan tak berdaya,”
demikian pikir Lenghou Tiong.
Teringat kepada Tokko Kiu-pay, itu tokoh yang menciptakan Tokko-kiu-kiam, sembilan gerak tipu ilmu pedang
yang mukjizat, seketika pikirannya menjadi terang, “Ya, keadaan sekarang hanya ada dua pilihan, aku
terbunuh secara tak jelas siapa pembunuhnya atau aku juga membunuh orang lain secara ngawur. Lebih
banyak seorang yang kubunuh berarti mengurangi bahaya yang mengancam jiwaku sendiri.”
Segera ia putar pedangnya, ia mainkan gerak tipu “Boh-ci-sik” (cara mematahkan serangan senjata rahasia)
dari Tokko-kiu-kiam, berturut-turut ia menyabet ke kanan-kiri dan muka-belakang.
Gerak pedang “Boh-ci-sik” ini sedemikian tepat dan rapatnya, sekalipun terjadi hujan senjata rahasia juga
sukar untuk mengenai tubuhnya.
Begitulah, sekali pedangnya bergerak, kontan beberapa orang di dekatnya menjerit, menyusul pedangnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terasa menusuk tubuh seorang pula, dari suara jeritannya yang tertahan kedengaran adalah suara orang
perempuan.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari cekalan.
“Jangan-jangan dia Ing-ing, apa barangkali aku telah membunuh Ing-ing!” demikian hatinya menjadi tidak
tenteram. Segera ia berteriak, “Ing-ing, Ing-ing! Apakah kau ini?”
Akan tetapi perempuan itu sudah tak bersuara lagi. Sebenarnya Lenghou Tiong sangat hafal suaranya Ing-ing,
apakah jeritan tertahan tadi suara Ing-ing atau bukan mestinya sangat gampang dibedakan. Tapi lantaran
suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, keadaan hiruk-pikuk dan riuh gemuruh, jeritan perempuan tadi
juga sangat perlahan, saking cemasnya ia menjadi rada linglung dan merasa suara itu seperti suaranya Inging.
Ia coba memanggil lagi beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban, ia coba berjongkok untuk meraba
lantai. Tak terduga, entah dari mana datangnya, sekonyong-konyong pantatnya kena ditendang orang. Kontan
Lenghou Tiong mencelat ke sana, selagi tubuhnya terapung di udara, paha kiri terasa kesakitan pula, kembali
kena disabet oleh ruyung seorang.
Dengan sebelah tangan mendekap kepalanya, “bluk”, tahu-tahu kepala membentur dinding batu, untung
sebelumnya kepalanya telah dilindungi tangan, kalau tidak kepalanya bisa pecah. Walaupun begitu, baik kepala
maupun tangan, paha dan pantat, semuanya kesakitan, tulang serasa retak.
Setelah tenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, “Ing-ing! Ing-ing!”
Namun tiada sesuatu jawaban, sebaliknya suara sendiri kedengaran sudah serak seakan-akan suara orang
merintih dan menangis tak berair mata.
Tak terkatakan rasa cemas dan sedihnya, mendadak ia berteriak, “Aku telah membunuh Ing-ing! Akulah yang
membunuh Ing-ing!”
Dengan kalap ia putar pedangnya dan menerjang maju, kontan beberapa orang terguling menjadi korban.
Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara “creng-creng” dua kali, suara kecapi yang nyaring.
Meski suara kecapi itu sangat lirih, tapi dalam pendengaran Lenghou Tiong benar-benar menggetar sukma
laksana halilintar menggelegar.
“Ing-ing! Ing-ing!” ia berteriak saking girangnya, karena dorongan hati itu, seketika ia bermaksud menerjang
ke arah suara kecapi itu. Tapi segera ia menginsafi bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya cukup jauh, untuk
mendekati tempat yang berjarak belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana beriburibu
li di dunia Kang-ouw.
Suara kecapi itu terang dipetik oleh Ing-ing. Kalau dia masih selamat, aku sendiri mana boleh menempuh
bahaya dan mati konyol, bila kami berdua tak dapat mati bersama secara tangan bergandeng tangan, maka
akan menyesal tak terhingga biarpun di akhirat nanti.
Segera Lenghou Tiong mundur dua tindak agar punggung mepet dinding, ia anggap tempat demikian jauh lebih
aman daripada berdiri di tempat terbuka. Tiba-tiba terasa angin menyambar, ada orang putar senjata
menerjang tiba. Tanpa pikir Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya, tapi baru pedangnya bergerak, ia
merasa tindakannya itu keliru.
Maklumlah, letak intisari kelihaian Tokko-kiu-kiam dalam hal mengincar titik kelemahan silat musuh, di situ ada
lubang segera dimasuki dan sekaligus mengalahkan lawan. Tapi kini dalam keadaan gelap gulita, tampang
musuh saja tidak kelihatan, apalagi gerak serangannya, lebih-lebih mengenai titik kelemahannya, maka Tokkokiu-
kiam menjadi tiada gunanya dalam keadaan demikian.
Untung Lenghou Tiong dapat menyadari keadaan itu dengan cepat, begitu pedang bergerak segera ia
mengegos pula ke samping. Benar juga, segera terdengar suara “krak” yang keras, menyusul terdengar suara
benturan dan jeritan. Dapat diduga senjata penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, senjata patah dan
menancap di tubuh sendiri, lalu jatuh tersungkur.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tiada mengeluarkan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
suara lagi. Pikirnya, “Dalam keadaan gelap gulita, betapa pun tinggi ilmu silatku juga tiada bedanya seperti
jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar untuk menunggu kesempatan bergabung dengan Inging.”
Sementara itu, suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang, tentunya dalam
waktu singkat itu telah jatuh korban yang tidak sedikit. Ia coba putar pedang di depan untuk menjaga diri
kalau-kalau mendadak diserang orang. Dalam pada itu suara kecapi tadi kedengaran timbul lagi lalu lenyap
pula tanpa irama, kembali Lenghou Tiong merasa khawatir, jangan-jangan Ing-ing terluka atau pemetik kecapi
itu bukan si nona?
Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda, hanya di atas lantai tidak sedikit orang
yang merintih-rintih dan mencaci maki, terkadang juga masih ada suara benturan senjata dan suara bentakan,
semuanya timbul dari tempat yang mepet dinding. Agaknya banyak pula yang berdiri mepet dinding sehingga
dapat menyelamatkan diri, tentu orang-orang itu termasuk yang berilmu silat tinggi dan berotak cerdik.
“Ing-ing, di mana kau?” seru Lenghou Tiong.
Terdengar kecapi berbunyi di depan sana seperti memberi jawaban. Tanpa pikir Lenghou Tiong lantas
melompat ke sana, ketika kaki kiri menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak, nyata tubuh
seorang telah diinjaknya. Kontan angin tajam menyambar, senjata seorang telah menyerangnya.
Syukur tenaga dalam Lenghou Tiong sangat tinggi, meski tak tampak gaya serangan lawan, tapi dapat
diketahui tepat pada waktunya sehingga dia keburu melompat kembali ke tempat semula. Pikirnya, “Di atas
lantai penuh berbaring orang, ada yang sudah mati dan ada yang terluka parah, sukar untuk dilintasi begitu
saja.”
Terdengar suara angin menyambar kian-kemari, rupanya orang-orang yang berdiri mepet dinding juga sedang
memutar senjatanya untuk menjaga diri, dalam sekejap itu kembali ada beberapa orang menggeletak pula mati
atau terluka.
Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita
terjebak oleh tipu muslihat Gak Put-kun, menghadapi bahaya ini kita harus bersatu untuk mencari selamat,
tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh sendiri!”
Serentak beberapa orang menanggapi, “Benar! Benar!”
Dari suara-suara itu Lenghou Tiong dapat mendengar orang-orang itu berdiri mepet dinding semua. Rupanya
mereka bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang secara ngawur lagi.
“Aku adalah Giok-ciong-cu dari Thay-san-pay,” demikian suara orang tua tadi berseru pula. “Sekarang diharap
kawan-kawan simpan kembali senjata masing-masing, sekalipun tertubruk orang dalam kegelapan juga jangan
main menyerang. Apakah kawan-kawan dapat memenuhi permintaanku ini?”
Serentak orang banyak menjawab, “Ya, dapat! Memang begitulah seharusnya!”
Lalu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata, menyusul terdengar suara senjata masing-masing
dimasukkan ke sarungnya. Sejenak kemudian keadaan menjadi sunyi.
“Sekarang hendaklah kawan-kawan bersumpah bahwa kita takkan saling mencelakai di dalam gua ini, siapa
yang melanggar sumpah tentu akan terkubur di sini,” seru Giok-ciong-cu pula. “Sebagai pelopor, aku Giokciong-
cu dari Thay-san-pay mendahului bersumpah demikian.”
Segera orang-orang lain ikut bersumpah seperti Giok-ciong-cu. Pikir mereka, “Giok-ciong-cu ini sungguh pintar.
Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan buat lolos dari sini, kalau tidak, tentu semuanya akan
mati konyol di sini.”
Begitulah kemudian Giok-ciong-cu berseru pula, “Bagus dan terima kasih, kawan! Sekarang silakan
memberitahukan nama masing-masing.”
“Aku si anu dari Heng-san-pay!” demikian seorang mendahului berteriak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Cayhe si itu dari Thay-san-pay!”
“Dan aku si ini dari Ko-san-pay!” begitulah masing-masing sama menyebut namanya sendiri-sendiri, ternyata
semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga aliran besar itu.
Sesudah semua orang memperkenalkan diri, paling akhir Lenghou Tiong juga berseru, “Cayhe Lenghou Tiong
dari Hing-san-pay!”
“Hah, kiranya ketua Hing-san-pay Lenghou-tayhiap juga berada di sini, sungguh baik sekali!” seru para kesatria
itu dengan nada gembira dan terhibur.
Dalam kegelapan Lenghou Tiong hanya menyengir saja, pikirnya, “Aku sendiri ikut konyol, apanya yang baik
sekali?”
Tapi ia pun paham bahwa para kesatria itu sangat kagum kepada ilmu silatnya yang tinggi, dengan ikut
sertanya dia terkurung di situ akan berarti harapan untuk lolos menjadi lebih banyak.
Tiba-tiba Giok-ciong-cu bertanya, “Mohon tanya Lenghou-ciangbun, mengapa Hing-san-pay kalian hanya
engkau sendiri yang datang ke sini?”
Rupanya ia menyangsikan Lenghou Tiong akan berbuat apa-apa yang merugikan mereka mengingat Lenghou
Tiong berasal dari Hoa-san-pay dan bekas murid kesayangan Gak Put-kun. Apalagi ratusan orang yang
terkurung di situ tiada anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay kecuali Lenghou Tiong seorang, hal ini mau
tak mau menimbulkan curiga.
“Cayhe ada seorang teman...” sampai di sini ia berseru pula, “Ing....” tapi baru satu kata saja segera teringat
olehnya bahwa Ing-ing adalah putri kesayangan Yim-kaucu dari Mo-kau yang selama ini dimusuhi oleh
golongan lain yang menamakan dirinya cing-pay, maka sebaiknya sekarang jangan menimbulkan gara-gara
lagi dalam persoalan ini.
“Adakah di antara kawan-kawan membawa geretan api? Harap nyalakan dulu obor!” seru Giok-ciong-cu.
“Betul, betul!” sorak orang banyak dengan gembira. “Ya, ya, mengapa kita menjadi pikun dan tidak pikirkan hal
ini sejak tadi? Hayo lekas nyalakan obor!”
Padahal dalam kekacauan tadi yang terpikir oleh mereka hanya menyelamatkan diri sendiri, siapa yang punya
kesempatan untuk menyalakan obor? Sebab begitu meleng tentu akan terbunuh oleh orang lain.
Segera terdengar suara “tek-tik-tek-tik” beberapa kali, ada orang sedang membuat api dengan batu, begitu api
menyala, semua orang lantas bersorak gembira.
Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat dinding gua itu penuh berdiri orang, semuanya berlepotan darah, ada
sebagian masih menghunus senjata, rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada ambil risiko
dibunuh orang, biarpun semua orang sudah bersumpah, tapi lebih baik menjaga segala kemungkinan.
Lenghou Tiong melangkah ke dinding sebelah depan sana dengan maksud hendak mencari Ing-ing. Pada saat
itulah di tengah orang banyak itu mendadak ada orang membentak, “Mulai!”
Berbareng itu beberapa orang berpedang lantas menyerbu dari lorong gua sana.
“Hai, siapa itu?” teriak para kesatria sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa gebrak saja
keadaan kembali gelap gulita, api yang menyala tadi telah padam lagi.
Dengan suatu lompatan kilat Lenghou Tiong melayang ke dinding di depan sana, terasa dari sebelah kanan ada
senjata menyerang tiba. Dalam kegelapan sukar untuk menangkis, terpaksa ia mendekam ke bawah. “Trang”,
golok membacok di dinding.
Ia pikir penyerang itu belum tentu akan menyerangnya dengan sungguh-sungguh, tapi mungkin hanya untuk
menjaga diri saja karena dia sendiri mendadak melompat tiba. Maka untuk sejenak ia mendekam di bawah
tanpa bergerak. Setelah membacok beberapa kali tidak kena sasarannya, lalu orang itu pun berhenti.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba terdengar pula seorang berseru memberi aba-aba, “Mampuskan semua kawanan anjing itu, satu pun
jangan diberi hidup!”
Menyusul belasan suara mengiakan.
Bab 136. Matinya Co Leng-tan dan Lim Peng-ci
Menyusul pula beberapa orang berteriak, “He, itu suara Co Leng-tan! Ya, dia Co Leng-tan!”
“Suhu! Suhu! Tecu berada di sini!” demikian ada orang berseru, rupanya dia dari Ko-san-pay, anak-murid Co
Leng-tan sendiri.
Dari suara orang yang memberi perintah tadi memang Lenghou Tiong juga dapat mengenalnya sebagai
suaranya Co Leng-tan. Ia menjadi heran mengapa ketua Ko-san-pay yang sudah buta itu juga berada di dalam
gua ini? Jika demikian, agaknya dialah yang memasang perangkap ini dan bukan guruku.
Demikianlah, meski beberapa kali Gak Put-kun bermaksud membunuhnya, tapi selama 20-an tahun ini
hubungan guru dan murid yang menyerupai ayah dan anak kandung sendiri sudah mendarah daging dan
terukir dalam-dalam di lubuk hatinya sehingga benar-benar sukar dihapuskan. Maka begitu terpikir bahwa tipu
muslihat ini bukan dibuat oleh Gak Put-kun, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi senang dan terhibur, ia
merasa kalau mesti mati di tangan Co Leng-tan akan beratus kali lebih menyenangkan daripada mati di tangan
guru sendiri.
Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan sedang menjawab dengan suara dingin, “Hm, kalian masih ada muka
buat panggil suhu padaku? Tanpa permisi padaku kalian lantas datang ke Hoa-san sini, perbuatan kalian yang
durhaka dan khianat ini mana dapat kuampuni, dalam perguruanku mana boleh ada murid murtad macam
kalian?”
Seorang yang bersuara lantang lantas menjawab, “Suhu, ketika di tengah jalan Tecu mendengar kabar bahwa
di gua Hoa-san ini ada ukiran jurus ilmu silat mukjizat dari golongan kita, Tecu khawatir bila pulang ke Ko-san
dan lapor dahulu kepada Suhu tentu akan makan waktu terlalu banyak dan mungkin ukiran di dinding akan
telanjur dihapus orang, sebab itulah Tecu cepat-cepat memburu ke sini. Maksud Tecu bila sudah melihat ilmu
pedang yang terukir ini, dengan sendirinya akan segera pulang untuk melaporkan semuanya kepada Suhu.”
“Hm, kau anggap aku sudah buta, bila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus apakah kau masih mau
mengaku diriku sebagai gurumu?” jengek Co Leng-tan. “Kalian harus bersumpah setia kepada Gak Put-kun,
habis itu baru kalian diizinkan melihat ukiran ilmu silat di sini, betul tidak?”
“Be... betul, Tecu memang pantas mati, hanya saja kami terpaksa harus tunduk kepada perintahnya sebagai
ketua Ngo-gak-pay, Tecu tidak menyangka jahanam itu akan menjebak kami secara keji,” sahut murid Ko-sanpay
itu.
“Suhu,” sambung seorang lain, “mohon engkau membebaskan kami, pimpinlah kami untuk mencari keparat
Gak Put-kun dan bikin perhitungan kepadanya.”
“Hm, enak saja cara berpikirmu,” jengek Co Leng-tan. Setelah merandek sejenak, tiba-tiba ia berkata pula,
“Lenghou Tiong, jadi kau pun berada di sini? Sesungguhnya untuk apa kau datang ke sini?”
“Tempat ini adalah bekas tempat tinggalku, datang ke sini atau tidak adalah hakku sendiri, peduli apa dengan
kau?” jawab Lenghou Tiong.
“Huh, kematianmu sudah di depan mata, kau masih kepala batu dan begini kasar terhadap orang tua,” jengek
Co Leng-tan.
“Kau memakai tipu muslihat keji dan mencelakai para kesatria jujur, perbuatanmu ini pantas dibinasakan oleh
siapa saja, mana kau ada harganya mengaku orang tua segala?” balas Lenghou Tiong.
“Peng-ci, pergilah kau membinasakan dia!” kata Co Leng-tan.
Dalam kegelapan terdengar seorang mengiakan, jelas suaranya Lim Peng-ci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, “Kiranya Lim Peng-ci juga berada di sini. Dia dan Co Leng-tan sudah buta
semua, selama ini mereka tentu sudah biasa berlatih memainkan pedang secara buta, menggunakan telinga
sebagai pengganti mata, kepandaian mereka dalam hal ketajaman telinga pasti sangat hebat. Dalam kegelapan
seperti sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku menjadi seperti orang buta, sebaliknya mereka malah
seperti orang melek, cara bagaimana aku dapat menandingi mereka?”
Seketika ia berkeringat dingin dan terpaksa tidak berani bersuara, yang diharap semoga mereka tidak tahu
tempat di mana dia berdiri.
Terdengar Lim Peng-ci berseru, “Lenghou Tiong, selama ini kau merajalela di dunia Kang-ouw, tidak kepalang
wibawamu, tapi hari ini kau toh mati di tanganku, haha, haha!”
Seram dan mendirikan bulu roma suara tawanya itu sambil selangkah demi selangkah mendekati tempat
Lenghou Tiong.
Rupanya dalam tanya-jawab Lenghou Tiong dengan Co Leng-tan tadi, tempat berdirinya telah dapat didengar
dengan jelas oleh Lim Peng-ci. Seketika suasana di dalam gua itu sunyi senyap, yang terdengar hanya suara
tindakan kaki Lim Peng-ci, setiap dia melangkah satu tindak, setiap kali pula Lenghou Tiong menyadari jiwanya
satu tindak lebih dekat dengan pintu akhirat.
“Nanti dulu!” sekonyong-konyong ada orang berteriak. “Keparat Lenghou Tiong itu yang membutakan kedua
mataku sehingga aku cacat untuk selamanya, biarlah aku... aku yang membinasakan bangsat ini.”
Menyusul belasan orang lain menyatakan persetujuan seruan orang pertama itu, lalu mereka juga melangkah
maju beramai-ramai.
Tergetar hati Lenghou Tiong, ia tahu orang-orang ini adalah korban tusukan pedangnya ketika terjadi
pertarungan di kelenteng kuno tengah malam buta itu.
Tempo hari di tengah jalan lereng gunung Ko-san belasan orang ini juga sudah pernah dipergokinya, tapi telah
dibikin kocar-kacir oleh Put-kay Hwesio. Orang-orang ini sudah lama buta, ketajaman telinga mereka tentu luar
biasa. Seorang Lim Peng-ci saja sukar dilawan apalagi bertambah pula belasan orang buta ini, tentu lebih-lebih
susah dilawan.
Terdengar suara tindakan mereka semakin mendekat, dengan menahan napas diam-diam Lenghou Tiong
menggeser beberapa langkah ke samping. Segera terdengar suara “trang-trang” beberapa kali, beberapa
pedang orang-orang itu telah kena menusuk dinding tempat berdirinya tadi. Untung belasan orang itu
menyerang bersama, suara tindakan mereka bercampur aduk sehingga suara geseran Lenghou Tiong tak
terdengar, tiada satu pun yang tahu ke mana dia berpindah tempat.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berjongkok, dirabanya sebatang pedang di atas lantai, segera ia lemparkan ke
depan. Maka terdengarlah suara jeritan, seorang telah roboh terkena lemparan pedang itu. Serentak belasan
orang itu menerjang maju, di tengah benturan senjata yang ramai, terjadilah pertempuran sengit antara
mereka dengan orang banyak. Berulang-ulang terdengar bentakan dan jeritan, dalam sekejap saja ada
beberapa orang roboh binasa. Sebenarnya kepandaian orang-orang di situ tidaklah lemah, tapi dalam
kegelapan mereka menjadi bukan tandingan kawanan orang buta itu.
Di tengah suasana ribut itu Lenghou Tiong lantas menggeser lagi beberapa langkah ke kiri, ia meraba dinding
di sekitar situ tiada orang lalu berjongkok. Pikirnya, “Co Leng-tan membawa Peng-ci dan kawanan orang buta
itu ke sini, terang dia sengaja memasang perangkap ini untuk membinasakan semua orang yang ada di sini
dalam keadaan gelap gulita ini. Hanya saja dari mana dia dapat mengetahui letak gua ini?”
Tapi ia lantas paham duduknya perkara. Tempo hari siausumoaynya telah mengalahkan tokoh-tokoh Thay-sanpay
dan Heng-san-pay dengan ilmu pedang mukjizat yang terukir di dinding gua ini. Kalau siausumoaynya
sudah datang ke gua ini, dengan sendirinya Lim Peng-ci tahu pula akan gua ini.
“Lenghou Tiong, kenapa kau tidak berani perlihatkan dirimu? Huh, main sembunyi-sembunyi, macam orang
gagah apakah kau ini?” demikian Peng-ci berteriak mengolok-olok.
Keruan Lenghou Tiong naik pitam, segera ia bermaksud melabrak musuh, tapi cepat ia dapat menahan diri,
pikirnya, “Sebelum aku ketemukan Ing-ing buat apa aku mengadu jiwa dengan dia? Apalagi aku sudah berjanji
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kepada Siausumoay akan menjaga baik-baik orang she Lim ini, bila aku bertempur dengan dia dan terbunuh
tentu penasaran, sebaliknya kalau kubunuh dia juga salah bagiku.”
“Bunuh semua pengkhianat di dalam gua ini, habis itu Lenghou Tiong tentu pula tak dapat mengelakkan diri,”
seru Co Leng-tan.
Dalam sekejap segera ramai pula suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini. Lenghou Tiong tetap
berjongkok sehingga tiada orang yang dapat menyerangnya. Ia coba pasang kuping untuk mendengarkan
kalau-kalau ada suaranya Ing-ing. Ia pikir si nona biasanya sangat cerdik, dalam keadaan terancam bahaya
begini tentu takkan membunyikan suara kecapi, semoga perempuan yang kutusuk tadi bukanlah dia.
Begitulah ia terus mendengarkan dengan cermat, ternyata pertarungan para kesatria dengan kawanan orang
buta itu telah terjadi dengan amat sengit, sambil bertempur riuh ramai pula suara bentakan dari makian,
berulang-ulang ia dengar suara orang memaki dengan istilah “persetan nenekmu”.
Makian “persetan nenekmu” itu kedengarannya lain daripada yang lain. Pada umumnya orang memaki suka
bilang “persetan emakmu” atau “persetan maknya”, jarang orang menggunakan istilah “persetan nenekmu”. Ia
heran apakah orang yang memaki itu berasal dari suatu daerah yang biasa menggunakan istilah makian
demikian?
Tapi setelah didengarkan lagi, akhirnya Lenghou Tiong menemukan sesuatu yang janggal, makian “persetan
nenekmu” itu selalu dilontarkan oleh dua orang berbareng, bahkan setelah mengucapkan makian itu, adu
senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya kalau yang memaki cuma satu orang, maka pertarungan
itu pun terus berlangsung.
Setelah dipikir lagi, pahamlah Lenghou Tiong akhirnya. “Rupanya makian ini adalah kode rahasia di antara
orang-orang buta itu untuk membedakan kawan atau lawan.”
Didengarnya suara makian “persetan nenekmu” itu makin lama makin ramai, sebaliknya suara benturan
senjata dan suara bentakan tambah mereda, terang orang-orang Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Ko-sanpay
telah habis terbunuh semua. Tapi selama itu ia tetap tidak mendengar sesuatu suara Ing-ing, ia menjadi
khawatir kalau-kalau Ing-ing benar-benar telah terbunuh olehnya sendiri, tapi juga bersyukur si nona tidak
menjadi korban keganasan kawanan orang buta itu.
Selang tak lama, suara pertempuran mulai berhenti. Terdengar Co Leng-tan berseru, “Beramai-ramai
membunuh lagi satu keliling gua ini!”
Orang-orang buta itu mengiakan. Lalu terdengar suara sambaran pedang yang menderu-deru di sana-sini. Ada
dua kali pedang orang-orang buta itu mampir ke tubuh Lenghou Tiong, tapi keburu ditangkisnya sambil tekan
suara dan ikut memaki, “Persetan nenekmu!”
Ternyata suara tiruannya itu tak diketahui musuh dan amanlah dia, suara sambaran pedang dan makian orangorang
buta itu berlangsung terus sampai sekian lamanya, suara lain sama sekali tidak terdengar.
Lenghou Tiong benar-benar sangat cemas dan hampir-hampir menangis akan keselamatan Ing-ing, sungguh
ingin sekali ia berteriak memanggil si nona.
“Berhenti!” Co Leng-tan memberi aba-aba pula. Orang-orang buta itu serentak berhenti di tempat masingmasing.
Dengan terbahak-bahak Co Leng-tan lalu berkata pula, “Para murid khianat ini kini sudah tertumpas
semua. Orang-orang ini sungguh tidak tahu malu, lantaran ingin belajar ilmu pedang mereka rela bersumpah
setia kepada keparat Gak Put-kun itu. Kini bangsat cilik Lenghou Tiong tentu juga sudah mampus di bawah
pedang kalian. Hahahaha! Wahai Lenghou Tiong, di mana kau? Kau sudah mampus, bukan?”
Lenghou Tiong diam-diam saja dengan menahan napas.
Co Leng-tan berkata pula, “Peng-ci, orang yang paling kau benci sekarang sudah mampus, tentu kau merasa
puas bukan?”
“Ya, semuanya berkat perhitungan masak Co-heng, dengan cara pengaturan perangkap yang sempurna,” sahut
Peng-ci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Baru sekarang Lenghou Tiong mengetahui Lim Peng-ci telah bersaudara dengan Co Leng-tan. Rupanya demi
mendapatkan Pi-sia-kiam-boh, maka Co Leng-tan bersikap sebaik ini kepada pemuda itu.
“Tapi kalau jalan rahasia masuk gua ini tidak kau beri tahukan padaku, tentu sukar pula membalas dendam
bagi kita,” kata Co Leng-tan.
“Sungguh sayang dalam kekacauan ini aku tak dapat membinasakan bangsat Lenghou Tiong dengan tanganku
sendiri,” kata Peng-ci.
“Tak peduli siapa yang membunuh dia toh sama saja,” ujar Co Leng-tan dengan suara tertahan. “Marilah kita
lekas keluar, mungkin saat ini keparat Gak Put-kun itu sedang berada di luar gua, mumpung hari belum terang
kita beramai-ramai mengerubutnya, dalam kegelapan tentu sangat menguntungkan kita.”
Terdengar Peng-ci mengiakan, lalu ramailah suara tindakan orang, rombongan mereka masuk ke lorong
belakang sana dan makin lama makin menjauh, sebentar saja tiada suara apa-apa lagi.
“Ing-ing, di manakah kau?” seru Lenghou Tiong dengan suara tertahan.
“Sssst, jangan keras-keras aku berada di sini,” tiba-tiba di atas kepalanya ada orang mendesis.
Saking girangnya seketika kedua kaki Lenghou Tiong terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai.
Ketika kawanan orang buta tadi mengamuk dengan serangan mereka yang ganas, tempat yang paling aman
memang tiada lain daripada sembunyi di tempat ketinggian sehingga pedang musuh sukar mencapainya, hal ini
sebenarnya gampang saja diketahui setiap orang, cuma pada saat gawat, pikiran semua orang menjadi
bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal demikian.
Begitulah Ing-ing lantas melompat turun, segera Lenghou Tiong memburu maju dan memeluknya erat-erat.
Saking girangnya kedua orang sama mencucurkan air mata. Perlahan-lahan Lenghou Tiong mencium pipi si
nona dan mendesis, “Tadi aku benar-benar sangat khawatir bagimu.”
Dalam kegelapan Ing-ing tidak mengelakkan ciuman Lenghou Tiong itu, jawabnya dengan perlahan, “Ketika
kau memaki orang ‘persetan nenekmu’, aku lantas kenal suaramu.”
Lenghou Tiong tertawa geli, tanyanya kemudian, “Kau tidak terluka apa-apa, bukan?”
“Tidak,” jawab Ing-ing.
“Semula aku tidak merasa khawatir ketika mendengar suara kecapi. Tapi setelah suara kecapi berhenti, aku
menusuk roboh pula seorang perempuan, aku jadi kelabakan dan khawatir sekali bagimu.”
“Sama sekali kau tak dapat membedakan suaraku dengan suara orang lain, begitu kau suka bilang senantiasa
memikirkan diriku.”
“Ya, ya, memang aku pantas dipukul,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa sambil pegang tangan si nona untuk
menampar pipinya.
“Sebenarnya sejak tadi-tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu, tapi khawatir diketahui orang, tak dapat
pula bersuara memanggil kau, terpaksa aku menyambitkan sebuah mata uang tembaga untuk menimpuk
kecapiku yang ketinggalan di lantai dengan harapan kau akan mengetahui keadaanku.”
“O, kiranya demikian. Ai, engkau mendapatkan calon suami yang polos, sungguh Yim-toasiocia yang sial,”
kelakar Lenghou Tiong dengan tertawa. “Makanya tadi aku merasa heran kecapi yang kau bunyikan itu
mengapa tanpa irama, kenapa tidak membawakan lagu ‘Hina Kelana’? Dan kemudian mengapa kau tidak
membunyikan kecapi lagi?”
“Aku terlalu miskin, hanya beberapa duit saja yang berada di saku dan beberapa sambitan habislah duitku,”
tutur Ing-ing dengan tertawa.
Sampai di sini, sekonyong-konyong di mulut lorong sana ada suara orang mendengus. Keruan Lenghou Tiong
dan Ing-ing sama berteriak kaget, dengan sebelah tangan merangkul si nona dan tangan yang lain memegang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pedang segera Lenghou Tiong membentak, “Siapa itu?”
“Aku, Lenghou-tayhiap!” sahut orang itu dengan suara dingin, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci adanya.
Menyusul lantas terdengar suara tindakan orang banyak di jalan lorong itu, terang kawanan orang buta tadi kini
telah kembali lagi.
Diam-diam Lenghou Tiong memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, seharusnya terpikir olehnya kelicikan
Co Leng-tan, mana dia mau pergi begitu saja, tentu dia pura-pura berangkat bersama begundalnya, tapi diamdiam
sembunyi di ujung sana untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul
kembali dengan Ing-ing setelah menghadapi detik-detik berbahaya tadi, saking girangnya mereka menjadi lupa
daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin akan muncul kembali.
“Naik ke atas!” tiba-tiba Ing-ing membisiki Lenghou Tiong sambil tarik lengannya. Berbareng kedua orang
lantas meloncat ke atas.
Tadi Ing-ing sembunyi di atas batu karang yang mencuat di dinding gua itu, maka ia tahu di mana letak batu
karang itu dalam kegelapan, ia masih dapat hinggap dengan tepat di atas batu itu. Tapi Lenghou Tiong, telah
menginjak tempat kosong, tubuhnya jatuh kembali ke bawah. Syukur Ing-ing keburu menarik sebelah
tangannya dan diseret ke atas.
Batu karang yang menonjol di dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter, kedua orang berjubel di situ
boleh dikata kurang leluasa. Diam-diam Lenghou Tiong merasa syukur si nona dapat bertindak dengan cepat,
dengan berdiri di atas tentu tidak gampang dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang buta itu.
“Kedua setan cilik itu meloncat ke atas,” terdengar Co Leng-tan berkata.
“Ya, di depan sana!” sahut Peng-ci.
“Lenghou Tiong, apakah kau akan sembunyi di atas situ untuk selamanya?” seru Co Leng-tan.
Tapi Lenghou Tiong diam-diam saja tanpa menjawab, ia insaf bila bersuara tentu tempat berpijaknya akan
diketahui musuh. Dengan tangan kanan menghunus pedang, tangan kiri merangkul pinggang Ing-ing yang
ramping. Ing-ing sendiri tangan kiri memegang pedang pendek, tangan kanan juga digunakan merangkul
pinggang Lenghou Tiong. Kedua orang merasa sangat puas dan terhibur, mereka dapat berkumpul bersama,
sekalipun nanti mesti mati juga takkan menyesal.
Sekonyong-konyong terdengar Co Leng-tan membentak dengan suara keras, “Biji mata kalian dibutakan oleh
siapa, masakah kalian sudah lupa?”
Serentak belasan orang buta itu menjadi murka, mereka menggerung terus melompat ke atas sambil ayun
pedang mereka menusuk dan menebas secara ngawur.
Lenghou Tiong dan Ing-ing diam saja, serangan orang-orang buta itu menjadi sia-sia tak menemukan sasaran.
Ketika orang-orang buta itu melompat lagi untuk kedua kalinya, salah seorang sudah menubruk maju, hanya
satu meteran di depan batu karang yang menonjol itu. Dari suara angin loncatan orang buta itu, segera
Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya dan tepat mengenai dada musuh. Kontan orang buta itu menjerit
dan terbanting ke bawah.
Dengan demikian tempat sembunyi Lenghou Tiong berdua lantas ketahuan, serentak beberapa orang melompat
ke atas dan menyerang berbareng.
Dalam kegelapan meski Lenghou Tiong dan Ing-ing tak dapat melihat gerakan musuh, tapi batu karang yang
menonjol itu tingginya tiga-empat meter dari permukaan tanah, orang yang melompat ke atas tentu membawa
desingan angin yang mudah dibedakan, maka Lenghou Tiong berdua memapak serangan musuh-musuh itu dan
kontan membinasakan dua orang lagi.
Untuk sementara orang-orang buta itu menjadi jeri dan kapok, mereka sama menengadah ke atas sambil
mencaci maki, tapi tak berani menyerang lagi.
Setelah saling tarik urat sejenak, mendadak angin santer menyambar tiba, dua orang melompat tiba dari
kanan-kiri, cepat Lenghou Tiong dan Ing-ing menusuk dengan pedang masing-masing, “trang-trang”, empat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pedang beradu dengan keras. Lengan Lenghou Tiong terasa pegal, pedang hampir-hampir terlepas dari
cekalan. Maka tahulah dia penyerang itu ternyata Co Leng-tan adanya.
Di sebelah lain Ing-ing juga menjerit, pundaknya terkena pedang musuh sehingga si nona hampir-hampir
terperosot jatuh ke bawah, untung Lenghou Tiong keburu merangkulnya lebih kencang. Dalam pada itu kedua
orang itu telah melompat lagi ke atas dan kembali melancarkan serangan. Cepat pedang Lenghou Tiong
menusuk orang yang menyerang Ing-ing itu, ketika kedua pedang kebentur, mendadak orang itu mengubah
gerakan pedangnya dengan cepat, yaitu pedangnya terus memotong ke bawah menggesek batang Lenghou
Tiong.
Tahulah Lenghou Tiong bahwa lawannya itu tentu Lim Peng-ci adanya, cepat ia menarik tubuh untuk mengelak,
terasa angin tajam menyambar lewat pedang Peng-ci itu terus menebas ke arah Ing-ing.
Dalam keadaan tubuh terapung, sekali lompat ternyata Peng-ci sanggup melancarkan tiga kali serangan secara
berturut-turut, sungguh tidak kepalang lihainya Pi-sia-kiam-hoat yang termasyhur itu.
Khawatir Ing-ing terluka, tanpa pikir Lenghou Tiong melompat turun bersama Ing-ing, dengan punggung mepet
dinding ia putar pedangnya dengan kencang agar musuh tidak berani mendekat.
Tiba-tiba terdengar Co Leng-tan tertawa panjang sambil menusuk dengan pedangnya, “trang”, kembali kedua
pedang beradu. Kontan tubuh Lenghou Tiong tergetar, terasa suatu arus tenaga dalam menyalur tiba melalui
batang pedangnya, tanpa terasa ia menggigil dingin. Seketika teringat olehnya pertarungan sengit antara Yim
Ngo-heng dengan Co Leng-tan di Siau-lim-si dahulu, waktu itu Yim Ngo-heng telah menyedot tenaga dalam Co
Leng-tan dengan “Gip-sing-tay-hoat” yang ampuh, tak terduga tenaga dalam Co Leng-tan yang mahadingin itu
lihai luar biasa, hampir-hampir saja Yim Ngo-heng mati beku oleh tenaga dalam mahadingin yang disedotnya
dari tubuh Co Leng-tan itu.
Sekarang kembali Co Leng-tan melakukan hal yang sama, sudah tentu Lenghou Tiong tidak mau masuk
perangkap, cepat ia mengerahkan tenaga menolak keluar, saking keras membanjir keluarnya tenaga dalam,
tanpa kuasa jari tangannya menjadi kendur, pedang terlepas dari cekalannya.
Padahal segenap kepandaian Lenghou Tiong terletak pada pedangnya itu, tanpa senjata di tangan boleh dikata
kepandaiannya tiada artinya lagi. Maka cepat ia berjongkok dan meraba-raba di lantai, ia pikir di dalam gua itu
menggeletak ratusan mayat, di atas lantai tentu juga banyak terserak senjata, asalkan dapat menjemput
sesuatu senjata, baik golok maupun pedang tentu akan dapat dipakai menahan serangan musuh untuk
sementara.
Tak terduga apa yang teraba oleh tangannya adalah muka seorang mati yang sudah kaku dan dingin,
tangannya menjadi berlepotan darah pula. Cepat ia merangkul Ing-ing dan menggeser ke pinggir dua tindak,
“cring-cring”, pedang Ing-ing yang pendek itu dapat menangkis serangan dua musuh. Tapi segera terdengar
pula suara “trang” yang lebih keras, pedang pendek itu juga terbentur dengan senjata musuh yang lain dan
mencelat lepas.
Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, buru-buru ia meraba-raba lantai lagi, kini ada sesuatu yang teraba
tangannya, rasanya seperti sepotong toya pendek. Dalam keadaan bahaya itu ia pun tidak sempat memeriksa
benda itu, ketika terasa angin keras menyambar tiba, pedang musuh menebas datang lagi, segera ia
menangkisnya dengan toya pendek itu. “Krek”, toya pendek itu tertebas putus satu bagian.
Pada waktu ia menaikkan kepala untuk mengegos, mendadak di depan mata meletik beberapa titik sinar.
Beberapa titik cahaya itu meski sangat lemah namun di dalam gua yang gelap gulita itu percikan cahaya itu
laksana sebuah bintang kejora terang di atas langit. Samar-samar bentuk tubuh dan sinar pedang musuh dapat
dibedakan.
Tanpa terasa Lenghou Tiong dan Ing-ing bersorak gembira, dalam pada itu tertampak pedang Co Leng-tan
menusuk tiba pula, segera Lenghou Tiong angkat toya pendek itu menonjok leher lawan. Tempat yang diarah
memang merupakan titik kelemahan serangan musuh.
Tak tersangka, biarpun mata Co Leng-tan sudah buta namun dia masih sanggup menghadapi serangan lihai itu
secara gesit, cepat ia melompat mundur sambil mencaci maki dengan rasa penasaran.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Ing-ing untuk menjemput sebatang pedang, lalu ia serahkan pedang itu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kepada Lenghou Tiong dan ganti mengambil toya pendek itu, segera ia putar toya pendek itu dengan kencang
sehingga titik-titik cahaya putih hijau gemerdep tak terputus-putus.
Serentak semangat Lenghou Tiong terbangkit, menghadapi pilihan antara mati dan hidup itu, ia tidak mau
kenal ampun lagi, pedangnya bekerja cepat, mulutnya juga memaki, “Persetan nenekmu!” dan kontan seorang
buta kena ditusuknya mampus.
Ternyata kerja pedangnya jauh lebih cepat daripada makiannya, baru enam kali dia memaki “persetan
nenekmu”, ternyata tiga belas orang buta yang tersisa itu sudah dibinasakan seluruhnya. Beberapa orang buta
itu rupanya otaknya agak bebal, ketika mendengar Lenghou Tiong memaki “persetan nenekmu”, ia mengira
kawan sendiri, buat apa bertempur lagi. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih banyak lagi tahu-tahu lehernya
sudah tertusuk pedang Lenghou Tiong, seketika dia “persetan ke akhirat untuk menemui neneknya”.
Rupanya Co Leng-tan dan Lim Peng-ci menjadi bingung, mereka saling tanya berbareng, “Ada apa? Apakah ada
api?”
“Benar!” bentak Lenghou Tiong, berbareng ia serang Co Leng-tan tiga kali.
Cara mendengarkan angin membedakan serangan musuh Co Leng-tan benar-benar hebat sekali, berturut-turut
ia tangkis ketiga kali serangan Lenghou Tiong itu. Sebaliknya Lenghou Tiong merasa lengannya sakit pegal,
kembali suatu arus hawa dingin menyalur tiba melalui batang pedang. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, cepat
ia berdiri tegak dan tahan senjata, sedikit pun ia tidak bergerak lagi, diam saja.
Karena tidak mendengar sesuatu gerak-gerik lawan, Co Leng-tan menjadi kelabakan, dengan gelisah ia putar
pedangnya dengan kencang untuk melindungi segenap hiat-to tubuhnya.
Sementara itu Ing-ing masih terus putar toya pendek tadi dengan santer, dari percikan lelatu yang timbul dari
toya itu Lenghou Tiong dapat membedakan musuh dengan cukup jelas, perlahan-lahan ia putar pedangnya ke
arah lengan kanan Lim Peng-ci, sedikit demi sedikit ia julurkan senjatanya ke depan.
Lim Peng-ci coba pasang kuping untuk mendengarkan arah datangnya serangan lawan, akan tetapi pedang
Lenghou Tiong itu dijulurkan dengan sangat perlahan dan sedikit demi sedikit, mana ada suara yang dapat
terdengar?
Tampaknya ujung pedang sudah tinggal belasan senti saja dari sasarannya, mendadak Lenghou Tiong
mendorong secepatnya ke depan, “cret”, kontan otot tulang tangan kanan Peng-ci putus semua.
Peng-ci menjerit keras-keras, pedang terlepas dari cekalan, dengan kalap ia terus menubruk maju. Tapi pedang
Lenghou Tiong lantas bekerja, lagi, “sret-sret” dua kali, kaki kanan-kiri Lim Peng-ci tertusuk pula. Dibarengi
dengan caci maki yang penuh dendam tanpa ampun lagi Peng-ci roboh terguling.
Waktu Lenghou Tiong berpaling ke arah Co Leng-tan, di bawah cahaya percikan lelatu yang remang-remang
tertampak gembong Ko-san-pay yang sudah buta itu sedang mengertak gigi, mukanya beringas menakutkan.
“Orang ini adalah biang keladi dari huru-hara dunia persilatan yang terjadi selama ini, dosanya tidak dapat
diampuni!” demikian pikir Lenghou Tiong. Sekonyong-konyong ia bersuit nyaring, pedangnya bekerja cepat.
Betapa pun lihainya Co Leng-tan, di bawah serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai boleh dikata mati kutunya.
Sekaligus bagian dahi, leher, dan dada terkena tiga tusukan pedang Lenghou Tiong.
Habis itu Lenghou Tiong lantas melompat mundur sambil gandeng tangan Ing-ing, dilihatnya Co Leng-tan
berdiri mematung sejenak, lalu roboh ke depan, pedangnya ternyata sudah terputar balik dan menembus perut
sendiri.
Setelah tenangkan diri, Lenghou Tiong coba memandang toya pendek di tangan Ing-ing yang memercikkan titik
cahaya itu, namun cahaya lelatu yang terpantul terlalu lemah sehingga tak jelas benda apakah sebenarnya
“toya” itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Bab 137. Binasanya Gak Put-kun
Khawatir kalau Lim Peng-ci melakukan serangan kalap lagi, segera Lenghou Tiong menendang sekali di
pinggangnya dan menutuk hiat-to bagian itu, kemudian barulah ia menggeledahi badan orang mati untuk
mencari batu api. Berturut-turut tiga orang telah digerayanginya, tapi semuanya bersaku kosong. Tiba-tiba
teringat olehnya, kontan ia memaki, “Keparat, orang buta sudah tentu takkan membawa batu ketikan api
segala.”
Pada mayat berikutnya barulah, ia menemukan batu api dan akhirnya dapat membikin api. Tapi sesudah
terang, kedua orang lantas menjerit berbareng. Ternyata benda yang dipegang oleh Ing-ing itu adalah sekerat
tulang yang sebagian sudah terlepas. Segera Ing-ing melemparkan tulang itu.
Maka pahamlah Lenghou Tiong akan sebab musababnya, katanya, “Ing-ing jiwa kita telah diselamatkan oleh
Locianpwe dari Sin-kau ini.”
“Locianpwe dari Sin-kau apa maksudmu?” tanya Ing-ing.
“Dahulu sepuluh orang tianglo dari Sin-kau kalian pernah menyerbu ke Hoa-san sini, tapi mereka terjebak dan
terkurung di dalam gua ini untuk selamanya sehingga tertinggal kesepuluh jerangkong di sini. Tulang yang kau
pegang tadi adalah tulang paha, entah tulang tianglo yang mana. Tanpa sengaja telah kujemput tadi, untung
juga, sebagian kena dipapas oleh pedang Co Leng-tan, dari tulang orang mati itulah tepercik api fosfor yang
biasanya dianggap sebagai api setan, jadi api setan itulah yang telah menolong kita.”
Ing-ing menghela napas lega, ia lantas memberi hormat ke arah tulang tadi dan berkata, “Kiranya Locianpwe
dari agama sendiri, maaf!”
Lalu Lenghou Tiong mencari dua obor dan disulut, kemudian ia mengajak Ing-ing lekas keluar dari situ. Dengan
menyeret Lim Peng-ci, segera ia mendahului berjalan melalui lorong gua itu.
Ing-ing masih ingat Lenghou Tiong pernah berjanji kepada Gak Leng-sian akan menjaga keselamatan Lim
Peng-ci, seorang pendekar sejati harus bisa pegang janji, maka ia pun dapat mengerti bilamana Lenghou Tiong
harus memenuhi permintaan Gak Leng-sian pada waktu ajalnya tempo hari. Begitulah ia pun tidak bicara apaapa,
sambil membawa kecapi yang sudah rusak ia pun ikut di belakang Lenghou Tiong.
Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba tertampak sesosok tubuh tak bernyawa menggeletak di
situ, kiranya ialah Bok-taysiansing dari Heng-san-pay dengan sebelah tangan memegang rebab dan tangan lain
memegang pedang pula. Pada kening, muka, dada, dan perut Bok-taysiansing penuh dengan luka, mungkin di
jalan lorong yang sempit itulah Bok-taysiansing telah mati dikerubut oleh kawanan orang buta.
Teringat akan budi kebaikan Bok-taysiansing kepada dirinya, kini orang tua itu mati secara mengerikan di situ,
hati Lenghou Tiong menjadi pilu, segera ia menyisihkan mayat Bok-taysiansing ke pinggir, lalu memberi hormat
dan berkata, “Bok-supek, setelah Wanpwe keluar dari gua ini dengan selamat, kelak pasti akan kembali ke sini
untuk menguburkan jenazah engkau.”
Mereka terus menyusuri lorong yang sempit itu, dengan penuh kewaspadaan Lenghou Tiong siapkan pedang, ia
pikir Co Leng-tan yang licin itu tentu menyuruh orang berjaga di jalanan itu. Di luar dugaan, sampai ujung
lorong itu tetap tiada seorang yang terlihat.
Lorong gua itu dahulu sering didatangi oleh Lenghou Tiong, keadaan di situ sudah sangat hafal baginya.
Perlahan-lahan ia mendorong balok batu yang menutup lubang keluar lorong gua itu. Seketika matanya
menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya mereka bertempur sekian lamanya di dalam gua, tanpa terasa hari
sudah terang sejak tadi.
Ternyata di luar lorong itu tiada seorang pun, segera Lenghou Tiong menarik Peng-ci dan melompat keluar,
segera disusul pula oleh Ing-ing. Alangkah segar rasa mereka setelah menghirup udara segar, mereka merasa
kini benar-benar sudah berada di tempat yang aman.
“Dahulu kau dihukum kurung oleh gurumu, apakah di gua inilah kau tinggal?” tanya Ing-ing.
“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Di situ pula aku mendapatkan ajaran ilmu pedang dari Hong-thaysusiokco.
Entah beliau masih tinggal di sekitar sini atau tidak? Entah keadaan beliau juga sehat walafiat atau tidak?
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Marilah kita coba mencarinya, ada beberapa segi ilmu pedang yang kuingin minta petunjuk dari beliau.”
“Menurut ayahku, katanya di dunia ini hanya ilmu pedang Hong-thaysusiokcomu saja yang dapat lebih tinggi
dari beliau, maka terhadap moyang-gurumu itu Ayah menyatakan sangat kagum. Marilah kita lekas pergi
mencarinya,” sahut Ing-ing.
Segera Lenghou Tiong simpan kembali pedangnya, ia lepaskan Lim Peng-ci, lalu bersama Ing-ing mereka
keluar dari gua itu.
Akan tetapi baru saja melangkah keluar mulut gua, sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat di atas
kepala mereka, rasanya seperti ada benda apa-apa yang menimpa turun. Cepat mereka melompat untuk
menghindar. Namun sudah terlambat, ternyata sebuah jala ikan yang besar telah menelungkup rapat seluruh
badan mereka.
Keruan mereka terkejut, cepat mereka melolos pedang untuk memotong jala ikan itu, tapi aneh, jala itu entah
terbuat dari apa, ternyata tidak mempan dipotong oleh pedang.
Pada saat lain kembali sebuah jala menyambar lagi dari atas sehingga tubuh mereka terbungkus lebih rapat.
Menyusul dari atas gua melompat turun seorang sambil menarik sekuatnya tali jala ikan itu, maka dalam
sekejap saja jala itu sudah mengencang.
“He, Suhu!” seru Lenghou Tiong kaget.
Kiranya orang itu tak lain tak bukan adalah Gak Put-kun.
Setelah Gak Put-kun menarik kencang tali jala, maka Lenghou Tiong dan Ing-ing menjadi mirip dua ekor ikan
besar yang masuk jaring. Semula mereka masih meronta-ronta, tapi akhirnya menjadi tak bisa berkutik.
Kaget dan bingung pula Ing-ing sehingga tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Tiba-tiba dilihatnya wajah
Lenghou Tiong tersenyum simpul, sikapnya sangat senang. Diam-diam Ing-ing heran. “Jangan-jangan dia ada
akal buat meloloskan diri?” pikirnya.
Dalam pada itu terdengar Gak Put-kun berkata dengan menyeringai, “Bangsat cilik, dengan riang gembira kau
keluar dari gua situ, tentunya kau tidak mengira akan tertimpa bencana bukan?”
“Itu pun bukan sesuatu bencana segala,” sahut Lenghou Tiong tak acuh. “Manusia akhirnya harus mati. Kini
aku dapat mati bersama dengan istriku tercinta, maka hatiku merasa sangat senang.”
Baru sekarang Ing-ing tahu, kiranya tersenyum simpul di wajah Lenghou Tiong adalah karena merasa bahagia
dapat mati bersama dia.
“Bangsat cilik,” Gak Put-kun memaki pula, “kematianmu sudah di depan mata, mulutmu masih bisa saja
mengoceh.”
Habis berkata, dengan tali jala ia ikat tubuh kedua orang dengan lebih kencang.
“Kau benar-benar sangat baik hati padaku,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Sudah tahu kami berdua
takkan berpisah untuk selamanya, maka kau sengaja mengikat kami suami-istri sedemikian kencangnya.
Memang orang yang paling tahu akan isi hatiku di dunia ini hanyalah engkau Gak-siansing seorang, maklumlah,
memang engkaulah yang membesarkan aku sedari kecil.”
Dia sengaja omong macam-macam dengan maksud mengulur waktu, siapa tahu akan mendapat akal untuk
membebaskan diri. Selain itu ia pun berharap Hong Jing-yang dapat muncul mendadak untuk menolongnya.
Tentu saja Gak Put-kun sangat gemas, dampratnya pula, “Bangsat cilik, sejak kecil kau memang suka membual
tak keruan, watak maling ini ternyata tidak berubah hingga kini. Biarlah kupotong dulu lidahmu agar nanti
kalau kau sudah mati tidak perlu masuk neraka.”
Mendadak sebelah kakinya melayang ke pinggang Lenghou Tiong, seketika hiat-to bisu tertutuk sehingga
Lenghou Tiong tak bisa bersuara pula. Lalu Gak Put-kun berkata kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, kau ingin aku
membunuh dia lebih dulu atau bunuh kau lebih dulu.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kau suka bunuh siapa lebih dulu boleh silakan, apa bedanya bagiku?” sahut Ing-ing. “Yang pasti obat
pemunah pil sakti yang pernah kuberikan padamu itu hanya ada tiga biji padaku.”
Mendengar “pil sakti” itu, seketika air muka Gak Put-kun berubah pucat. Menurut rencananya mestinya ia
hendak membunuh dulu Lenghou Tiong dan Ing-ing, habis itu baru menggeledah tubuh Ing-ing untuk mencari
obat penawar pil racun yang pernah ditelannya dahulu itu.
Maklumlah Gak Put-kun sangat jeri terhadap kedua muda-mudi ini. Lenghou Tiong mahir Gip-sing-tay-hoat, hal
ini lebih-lebih membuatnya ketakutan. Mesti dia telah menggunakan kesempatan bagus pada waktu kedua
orang itu keluar gua dan mendadak menjebaknya dengan jala ikan yang terbuat dari benang emas, tapi selama
kedua orang itu belum mati, setiap saat ada kemungkinan mereka akan terlepas dan melakukan serangan
balasan padanya. Kini mendengar Ing-ing menyatakan padanya hanya terdapat tiga biji obat penawar, itu
berarti kalau dia membunuh kedua muda-mudi itu, ia sendiri pun hanya dapat hidup lagi selama tiga tahun,
sesudah tiga tahun, bilamana racun obat mulai bekerja, racun itu akan menyerang otak, dia akan menjadi gila,
kematiannya akan tersiksa lebih dulu, hal inilah yang membuatnya kepala pusing memikirkannya selama ini.
Begitulah, betapa pun dia dapat menahan perasaannya, tidak urung tubuhnya rada gemetar juga oleh ucapan
Ing-ing tadi, katanya kemudian, “Baiklah, marilah kita mengadakan suatu jual-beli. Aku akan mengampuni
kematian kalian asalkan kau mengatakan padaku caranya membuat obat penawar.”
“Haha, biarpun usiaku masih muda dan pengalamanku cetek, tapi aku cukup kenal pribadi Gak-siansing dari
Hoa-san-pay yang termasyhur,” jawab Ing-ing dengan tak acuh. “Bilamana ucapanmu dapat dipercaya,
tentunya kau takkan berjuluk sebagai Kun-cu-kiam.”
“Hm, selama kau bergaul dengar Lenghou Tiong, rupanya hasilnya adalah cara menirukan mengoceh tak
keruan,” jengek Gak Put-kun. “Jadi tegasnya kau tak mau mengatakan caranya meracik obat penawar itu?”
“Sudah tentu takkan kukatakan,” jawab Ing-ing tegas. “Biarlah tiga tahun lagi kami akan menyambut
kedatanganmu di pintu gerbang akhirat sana. Cuma waktu itu wajahmu tentu sudah berlainan dengan
sekarang, entah anggota badanmu akan tetap utuh seperti kini atau tidak, jangan-jangan aku akan pangling
padamu.”
Merinding juga Gak Put-kun oleh kata-kata itu, ia tahu apa yang dimaksudkan si nona adalah kelak bilamana
racun di dalam tubuhnya mulai bekerja, maka sekujur badannya akan membusuk atau dalam keadaan gila ia
akan merobek muka sendiri hingga hancur luluh.
Dari ngeri dan takut ia menjadi kalap, serunya dengan gusar, “Seumpama badanku kelak akan hancur, paling
tidak kau sudah tiga tahun celaka lebih dulu daripadaku. Kini aku pun takkan membunuh kau, aku cuma
potong saja kuping dan hidungmu, akan kusayat-sayat wajahmu yang cantik molek itu, akan kulihat apakah
kekasihmu yang tercinta ini masih tetap menyukai siluman seperti kau atau tidak.”
Habis berkata, “sret”, ia terus melolos pedangnya.
Ing-ing sampai menjerit kaget. Mati tidaklah menakutkan baginya, tapi kalau benar mukanya disayat-sayat
sehingga rusak, lalu terlihat oleh Lenghou Tiong, hal ini sungguh akan menjadi penyesalan bagi hidupnya.
Walaupun hiat-to bisu Lenghou Tiong tertutuk sehingga tak bisa bicara, tapi tangan dan kakinya, masih dapat
bergerak. Ia pun paham isi hati Ing-ing, dengan sikunya ia senggol si nona, lalu dua jarinya ia bergerak
mencolok kedua mata sendiri.
Kembali Ing-ing menjerit, serunya khawatir, “Jangan, Engkoh Tiong!”
Sebenarnya Gak Put-kun tidak sungguh-sungguh hendak merusak wajah Ing-ing yang cantik itu, hal ini cuma
digunakan sebagai alat pemeras saja agar si nona mau mengaku resep pembuatan obat penawar. Kalau
Lenghou Tiong sampai membutakan kedua mata sendiri, maka langkahnya yang jitu itu menjadi tak berguna
lagi.
Maka dengan cepat luar biasa sebelah tangannya lantas menjulur, dari luar jala ikan itu ia pegang pergelangan
tangan Lenghou Tiong sambil membentak, “Berhenti!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitu anggota badan kedua orang tersentuh segera Gak Put-kun merasa tenaga dalam sendiri bocor keluar
dari tubuhnya. Ia menjerit kaget dan cepat meronta dengan tujuan melepaskan tangannya. Akan tetapi sudah
terlambat, tangan sendiri seperti melengket di pergelangan tangan Lenghou Tiong.
Tanpa ayal lagi Lenghou Tiong lantas membalik tangannya, kini berbalik ia berhasil mencengkeram tangan Gak
Put-kun, menyusul ia lantas kerahkan Gip-sing-tay-hoat, berangsur-angsur ia sedot tenaga dalam Gak Put-kun
ke tubuhnya sendiri.
Saking gugupnya Gak Put-kun terus ayun pedang di tangan lain untuk menebas tubuh Lenghou Tiong. Akan
tetapi Lenghou Tiong keburu membetot sehingga tubuh Gak Put-kun terseret maju, tebasan pedangnya kena di
atas tanah.
Tenaga dalam Gak Put-kun masih terus membanjir keluar, ketika ia bermaksud membacok lagi dengan
pedangnya, namun rasanya sudah lemas lunglai, lengan saja hampir-hampir tak kuat diangkat. Sebisanya ia
coba angkat pedangnya, dengan ujung pedang ia arahkan kening Lenghou Tiong, lengan dan pedang gemetar
hebat, perlahan-lahan ditusukkan ke depan.
Ing-ing menjadi khawatir, ia bermaksud menggunakan jari untuk menyelentik batang pedang Gak Put-kun,
namun kedua lengannya tertindih oleh badan Lenghou Tiong, jala ikan itu terikat dengan kencang pula, meski
dia sudah berusaha meronta sekuatnya tetap sukar menarik keluar tangannya yang tertindih itu.
Tangan kiri Lenghou Tiong sendiri juga terjepit oleh Ing-ing dan tak dapat bergeser. Dalam keadaan kepepet
tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia mengerahkan Gip-sing-tay-hoat pada bagian kening, ia berharap
bilamana ujung pedang lawan menyentuh kening sendiri, melalui pedang lawan itulah ia akan menyedot tenaga
dalam Gak Put-kun, dengan demikian tusukan pedang lawan akan gagal pula. Tapi tujuannya akan berhasil
atau tidak sukar dipastikan, soalnya dalam keadaan terpaksa, berusaha sedapat mungkin daripada mati konyol
tak berdaya.
Tertampak ujung pedang lawan sudah makin mendekat keningnya, tiba-tiba teringat olehnya, “Aku telah
membunuh Co Leng-tan dengan gerakan pedang yang lambat, begitu pula caraku melukai Lim Peng-ci, kini
Suhu juga membunuh aku dengan cara yang sama, sungguh cepat amat datangnya pembalasan.”
Gak Put-kun sendiri merasakan tenaga dalamnya dengan cepat terkuras keluar, ujung pedangnya juga tinggal
beberapa senti saja di muka kening Lenghou Tiong, ia menjadi cemas dan bergirang pula. Ia berharap tusukan
pedangnya dapat membinasakan Lenghou Tiong, sekalipun tenaga dalamnya yang hilang sukar ditarik kembali
lagi, sedikitnya ada sebagian yang masih rapat dipertahankan dan tentu masih dapat berlatih lagi dari awal.
Pada saat genting itulah, sekonyong-konyong dari belakang seorang gadis menjerit dengan suara tajam, “He,
apa yang kau lakukan? Lekas lepaskan pedangmu!”
Berbareng itu terdengar suara orang berlari-lari datang.
Melihat ujung pedangnya tinggal dua-tiga senti saja sudah dapat membinasakan Lenghou Tiong, mati-hidup
sendiri kini juga tergantung kepada hasil tusukannya itu, sudah tentu ia tidak mau mengurungkan
serangannya. Sekuat sisa tenaga ia coba dorong pedangnya ke depan, rasanya ujung pedang sudah
menyentuh kening sasarannya. Tapi pada saat itu juga punggungnya terasa dingin, sebilah pedang telah
menusuk punggungnya hingga menembus ke dada.
“Lenghou-toako, engkau tak apa, bukan?” terdengar suara gadis itu berseru pula. Kiranya Gi-lim adanya.
Lenghou Tiong tak dapat membuka suara, maka Ing-ing yang menjawabnya, “Siausumoay, Lenghou-toako
tidak apa-apa.”
“Syukurlah kalau begitu,” seru Gi-lim bergirang. Tiba-tiba ia tercengang dan berkata pula dengan melongo,
“He, dia Gak-siansing! Aku... aku telah membunuh dia!”
“Benar,” kata Ing-ing. “Selamatlah, kau telah berhasil menuntut balas atas orang yang membunuh gurumu.
Harap kau melepaskan tali pengikat jala ini untuk membebaskan kami.”
“O, ya, ya!” sahut Gi-lim. “Jadi aku... aku telah mem... membunuh dia?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Biarpun orang persilatan, tapi dasar hatinya kecil, melihat Gak Put-kun menggeletak di sini dengan berlumuran
darah, ia menjadi takut hingga lemas badannya, ia pegang tali jala dan bermaksud membukanya, namun
kedua tangan terasa gemetar dan tak bertenaga, beberapa kali ia coba membuka ikatan tali jala, tapi sukar
membukanya.
Pada saat itulah dari sebelah sana tiba-tiba ada orang membentak, “Nikoh cilik, kau berani membunuh orang
tua, kau harus terima hukuman yang setimpal!”
Berbareng seorang tua berbaju kuning lantas berlari tiba dengan pedang terhunus, kiranya adalah Lo Tek-nau.
“Celaka! Siausumoay bukan tandingan jahanam ini!” keluh Lenghou Tiong di dalam hati.
Cepat Ing-ing berseru, “Siausumoay, lekas lolos pedang dan melawannya!”
Mula-mula Gi-lim tertegun, tapi segera ia cabut pedang di tubuh Gak Put-kun, sementara itu Lo Tek-nau sudah
lantas melancarkan serangan tiga kali berturut-turut. Gi-lim dapat menangkis serangan itu, tapi serangan
ketiga telah menyerempet bahu kirinya sehingga terluka.
Tertampak serangan-serangan Lo Tek-nau semakin cepat, beberapa jurus serangannya lapat-lapat mirip
dengan Pi-sia-kiam-hoat, hanya saja latihannya belum sempurna, cuma gayanya saja sama, tapi kecepatannya
berbeda jauh sekali bilamana dibandingkan Lim Peng-ci.
Namun kepandaian Lo Tek-nau memang cukup tinggi, pengalaman banyak, ilmu pedangnya mencakup Ko-sankiam-
hoat dan Hoa-san-kiam-hoat, ditambah lagi akhir-akhir ini berhasil mempelajari sedikit Pi-sia-kiam-hoat,
tentu saja Gi-lim bukan tandingannya. Untunglah akhir-akhir ini Gi-lim juga giat meyakinkan Hing-san-kiamhoat,
kemajuannya juga cukup pesat, maka untuk sementara dia masih dapat menandingi lawannya.
Mula-mula ia rada gugup oleh serangan lawan yang cepat itu sehingga bahunya terluka, tapi demi teringat bila
dirinya kalah, maka nasib Lenghou Tiong dan Ing-ing tentu celaka. Ia pikir musuh hendak membunuh Lenghoutoako,
biarlah dia harus melangkahi dulu mayatku.
Dengan tekad akan membela Lenghou Tiong sekalipun dirinya harus mati, maka caranya bertempur menjadi
nekat juga tanpa pikirkan risiko lagi.
Menghadapi pertarungan sengit secara mati-matian ini, seketika Lo Tek-nau menjadi sukar mengalahkan Gilim,
terpaksa ia mencaci maki kalang kabut, “Nikoh cilik, keparat kau! Maknya, berani mati ya kau!”
Melihat cara bertempur Gi-lim yang nekat itu, meski untuk sementara dapat bertahan, tapi sesudah lama tentu
akan kalah juga. Segera Ing-ing berusaha membebaskan diri, ia coba menggeser tubuhnya sehingga tangan
kiri dapat digunakan membuka hiat-to Lenghou Tiong yang tertutuk itu, lalu ia merogoh pedang pendeknya
yang terselip di pinggang.
“He, Lo Tek-nau, barang apakah di belakangmu itu?” seru Lenghou Tiong.
Namun Lo Tek-nau cukup berpengalaman, di kala bertempur mati-matian begitu tentu saja dia tidak mau
menoleh begitu saja oleh karena seruan Lenghou Tiong itu. Ia tidak ambil pusing terhadap kata-kata Lenghou
Tiong, sebaliknya pergencar serangan-serangannya.
Dengan memegang pedangnya Ing-ing bermaksud menyambitkan senjata itu dari dalam jala, namun Gi-lim
berdiri membelakanginya dan menempur Lo Tek-nau dari jarak dekat, kalau sambitannya sedikit menceng
tentu akan mengenai Gi-lim malah.
Tiba-tiba terdengar Gi-lim menjerit lagi, rupanya bahunya terkena pula senjata musuh. Kalau luka pertama tadi
hanya ringan saja, maka luka kedua ini rada parah sehingga darah bercucuran.
“Eh, ada monyet!” Lenghou Tiong berseru pula. “Ah, monyet itu kukenal, itulah monyet piaraan Laksute
dahulu. He, monyet yang baik, lekas menubruk keparat itu, gigit mampus dia! Itulah bangsat pembunuh
majikanmu!”
Seperti diketahui, demi untuk mencuri kitab pusaka Ci-he-sin-kang milik Gak Put-kun, memang Lo Tek-nau
telah membunuh Liok Tay-yu, murid keenam Hoa-san-pay. Liok Tay-yu itu biasanya memang suka piara kera,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ke mana pun pergi selalu membawa seekor kera kecil yang hinggap di atas pundaknya. Sesudah Liok Tay-yu
mati, kera kecil itu pun entah menghilang ke mana.
Kini mendengar Lenghou Tiong berseru tentang monyet, seketika Lo Tek-nau mengirik bulu kuduknya. Pikirnya,
“Bila binatang itu benar-benar menubruk ke tubuhku dan menggigit diriku, repot juga bagiku untuk
mengusirnya.”
Maka tanpa pikir lagi pedangnya terus membacok ke belakang. Tiba-tiba tertampak di samping tebing sana ada
beberapa ekor kera sedang meloncat kian-kemari, jaraknya cukup jauh dari tempatnya, entah di antara kerakera
itu apakah betul terdapat kera piaraan Liok Tay-yu dahulu itu?
Pada saat itulah segera Ing-ing menyambitkan pedang pandaknya, “serrr,” pedang itu menyambar ke tengkuk
Lo Tek-nau secepat kilat.
Cepat juga cara Lo Tek-nau mengelak, sedikit mendak ke bawah, pedang Ing-ing menyambar lewat di atas
kepalanya. Tapi mendadak pergelangan kaki kirinya terasa kencang terlibat oleh seutas tali, bahkan tali itu
lantas terbetot sehingga tubuhnya sukar dikuasai, ia jatuh terjerembap.
Kiranya dalam keadaan gawat itu, Lenghou Tiong tidak sia-siakan waktu Lo Tek-nau mendekam ke bawah buat
menghindarkan pedang tadi, ia tidak sempat membuka jala ikan lagi, tapi tali jala yang cukup panjang itu terus
diayunkan untuk melibat kaki lawan dan menariknya hingga jatuh.
Habis itu, berbareng Lenghou Tiong dan Ing-ing berseru, “Lekas bunuh dia, lekas!”
Gi-lim lantas angkat pedangnya hendak memenggal kepala Lo Tek-nau. Tapi dasar wataknya memang welas
asih, hatinya kecil pula, waktu membunuh Gak Put-kun tadi hanya terdorong oleh hasratnya ingin menolong
Lenghou Tiong, tanpa pikir ia terus menusuk. Tapi sekarang ketika pedangnya hampir mengenai Lo Tek-nau,
tiba-tiba perasaannya tak tega, bacokannya menjadi menceng, “crat”, pundak kanan Lo Tek-nau yang
terbacok.
Tulang pundak Lo Tek-nau seketika terbacok putus, pedang terlepas dari cekalan. Khawatir Gi-lim menyerang
lagi, dengan menahan sakit Lo Tek-nau lantas melompat bangun, setelah meronta dan terlepas dari libatan tali
jala tadi, secepat terbang ia terus kabur ke bawah karang.
Sekonyong-konyong dari sebelah karang sana muncul dua orang, seorang perempuan yang jalan di depan
lantas membentak, “He, kau yang memaki anak perempuanku tadi, ya?”
Ternyata perempuan itu adalah ibu Gi-lim, si nenek yang berlagak bisu-tuli di Sian-kong-si itu.
Tanpa menjawab Lo Tek-nau lantas angkat kaki hendak menendang, namun gerak tubuh nenek itu sukar
dilukiskan cepatnya, hanya sedikit berkelit, “plok”, tahu-tahu Lo Tek-nau malah kena ditempeleng satu kali.
“Kurang ajar!” damprat si nenek. “Tadi kau memaki ‘maknya’ padanya, aku inilah emaknya, jadi makianmu itu
sama dengan memaki aku!”
“Cegat dia, tahan dia! Jangan lepaskan dia!” seru Lenghou Tiong.
Sebenarnya si nenek sudah angkat tangannya hendak menabok kepala Lo Tek-nau, bila pukulannya dijatuhkan,
pasti jiwa Lo Tek-nau akan melayang. Tapi demi mendengar seruan Lenghou Tiong itu, si nenek berbalik naik
pitam dan menjerit, “Setan alas kecil, aku justru sengaja lepaskan dia!”
Berbareng ia terus memberi jalan kepada Lo Tek-nau sambil mendepak pantatnya satu kali.
Seperti lolos dari neraka saja, Lo Tek-nau terus lari sipat kuping turun dari puncak gunung itu.
Orang yang ikut di belakang si nenek bukan lain daripada Put-kay Hwesio, dengan tertawa ia mendekati
Lenghou Tiong, katanya, “He, masih banyak tempat bermain yang baik, mengapa kalian suka main sembunyisembunyi
di dalam jala?”
“Lekas membuka jala ikan itu, Ayah, lepaskan Toako dan Cici,” seru Gi-lim.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tapi si nenek menyela dengan muka bersungut, “Aku masih harus bikin perhitungan dengan setan cilik itu,
jangan lepaskan dia!”
“Hahahahaha!” Lenghou Tiong bergelak tertawa. “Suami-istri naik tempat tidur, sang comblang ikut syur!
Kalian suami-istri telah berkumpul kembali mengapa tidak mengucapkan terima kasih kepadaku yang menjadi
comblangnya ini?”
Namun nenek itu malah menendang sekali di tubuh Lenghou Tiong, rupanya ia merasa gemas karena telah
dipermainkan oleh Lenghou Tiong, ia memaki, “Aku berterima kasih dengan sekali tendangan padamu!”
“Hai, Tho-kok-lak-sian, lekas kemari menolong aku!” tiba-tiba Lenghou Tiong berteriak dengan tertawa.
Nenek itu paling sirik terhadap Tho-kok-lak-sian, mendengar seruan Lenghou Tiong itu, ia terkejut dan
menoleh. Sementara itu Lenghou Tiong lantas mengeluarkan tangannya dari dalam jala untuk membuka
talipati yang mengikat jala dan membiarkan Ing-ing merangkak keluar. Ketika ia sendiri juga mau keluar
mendadak si nenek membentaknya, “Tidak boleh keluar!”
Bab 138. Kepandaian Dian Pek-kong yang Khas Endus Bau Wanita
“Tidak boleh juga, tidak apa-apa, di dalam jala ikan ada duniaku sendiri. Biarlah aku tidur nyenyak di sini.
Seorang laki-laki sejati sanggup mengkeret dan dapat menonjol, kalau mengkeret masuk jala, bila menonjol
akan keluar jala. Apa artinya bagiku soal-soal begini, aku Lenghou....” baru Lenghou Tiong mau mengoceh lagi
sekilas dilihatnya mayat Gak Put-kun menggeletak di situ. Meski bekas gurunya itu berkali-kali hendak
mencelakainya, tapi mengingat selama likuran tahun dirinya dibesarkan olehnya, betapa pun budi kebaikan itu
sukar dinilai. Coba kalau tidak disebabkan kitab Pi-sia-kiam-hoat, mungkin di antara guru dan murid tak
sampai terjadi permusuhan begini. Teringat sampai di sini, wajahnya yang tertawa tadi seketika berubah,
hatinya tertekan, sekonyong-konyong air mata berlinang-linang dan mengucur tak tertahan lagi.
Agaknya si nenek belum dapat memahami perasaan Lenghou Tiong, ia masih marah-marah dan memaki,
“Bangsat cilik, kalau tidak kuhajar kau, rasanya tak terlampias benciku padamu!”
Habis berkata segera ia angkat tangan hendak menampar muka Lenghou Tiong, syukurlah Gi-lim lantas
berseru mencegah, “Mak, jangan....”
Sementara itu tangan Lenghou Tiong sudah bertambah sebilah pedang, kiranya Ing-ing yang menyodorkan
kepadanya ketika dia termangu-mangu memandangi mayat Gak Put-kun tadi.
Begitu pedangnya menuding, segera ia menusuk ke hiat-to penting di pundak kanan si nenek, terpaksa orang
tua itu mundur selangkah.
Melihat Lenghou Tiong berani melawannya bahkan balas menyerang, nenek itu tambah marah, gerak tubuhnya
secepat angin, tangan menghantam dan kaki menendang, berulang-ulang ia melancarkan tujuh atau delapan
kali serangan.
Namun Lenghou Tiong dapat melawannya dengan tidak kalah cepatnya, meski masih di dalam jala, tapi
pedangnya selalu mengancam tempat-tempat bahaya di tubuh si nenek, hanya saja setiap kali ujung pedang
hampir mengenai sasarannya segera tarik kembali.
Begitu Tokko-kiu-kiam dimainkan boleh dikata tiada tandingannya di dunia ini, kalau saja Lenghou Tiong tidak
memberi kelonggaran, tentu si nenek sudah mati beberapa kali sejak tadi.
Setelah bergerak beberapa jurus lagi, akhirnya nenek itu menghela napas panjang, ia menyadari ilmu silat
sendiri masih selisih jauh dengan Lenghou Tiong, ia berhenti menyerang dengan air muka bersungut.
Cepat Put-kay Hwesio melerainya, “Niocu (istriku), kita semua adalah teman sendiri, buat apa cekcok.”
“Peduli apa dengan kau?” bentak si nenek dengan gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan dongkolnya
kepada Put-kay.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah membuang pedangnya dan menerobos keluar dari jala ikan, katanya
dengan tertawa, “Jika kau ingin memukul aku untuk melampiaskan marahmu, boleh silakan pukul saja.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tanpa permisi nenek itu benar-benar menempeleng sekali di muka Lenghou Tiong, tapi pemuda itu hanya
tertawa saja tanpa menghindar.
“Kenapa kau tidak menghindar?” omel si nenek dengan gusar.
“Aku tidak mampu menghindarinya, apa mau dikata?” sahut Lenghou Tiong tertawa.
Nenek itu mendengus, segera sebelah tangan diangkat lagi, tapi tidak jadi dipukulkan.
Sementara itu Ing-ing sedang menarik tangan Gi-lim dan berkata padanya, “Siausumoay, syukur engkau
datang tepat pada waktunya untuk menolong kami. Cara bagaimana kau dapat sampai di sini?”
“Aku dan para suci telah kena ditawan oleh orang-orangnya,” sahut Gi-lim sambil menuding mayat Gak Putkun.
“Aku dan ketiga suci dikurung di suatu gua, tadi Ayah dan Ibu telah menolong keluar kami. Kemudian
kami, Ayah, Ibu, aku, dan Si Tidak Boleh Tidak Pantang (maksudnya Dian Pek-kong) serta ketiga suci,
beramai-ramai menolong keluar pula para suci dari berbagai tempat kurungan mereka. Ketika aku sampai di
bawah tebing sini kudengar ada orang bicara di atas dan kedengaran seperti suaranya Lenghou-toako, maka
aku lantas naik ke sini untuk melihatnya.”
“Kami telah mencari ke berbagai tempat dan tiada menemukan seorang pun, tak tahunya kalian dikurung di
dalam gua,” kata Ing-ing.
“Si bangsat tua baju kuning tadi adalah orang yang paling jahat, sungguh tidak rela hatiku bilamana dia sampai
lolos,” kata Lenghou Tiong sambil menjemput kembali pedangnya, lalu menambahkan, “marilah kita lekas
mengejarnya.”
Mereka berlima lantas turun dari puncak karang itu, tidak lama kemudian terlihatlah Dian Pek-kong dan tujuh
murid Hing-san-pay sedang memanjat ke atas dari lembah sana, di antaranya terdapat juga Gi-jing. Setiap
orang merasa gembira setelah dapat berkumpul kembali dengan selamat.
Dalam hati Lenghou Tiong tidak habis heran mengapa Dian Pek-kong malah mengetahui bahwa di lembah
gunung itu ada sebuah gua, padahal sekeliling Hoa-san boleh dikata dikenal dengan hafal sekali olehnya, tapi
belum pernah diketahuinya tentang adanya gua di bawah sana. Karena itu Lenghou Tiong sengaja menjawil
Dian Pek-kong agar jalan perlahan dan ketinggalan di belakang oleh rombongan orang banyak. Lalu Lenghou
Tiong bertanya, “Dian-heng, aku sendiri tidak mengetahui bahwa di lembah pegunungan Hoa-san ini ada gua
rahasia lain, tapi kau malah mengetahuinya, sungguh aku merasa tidak habis mengerti dan kagum sekali
padamu.”
“Sebenarnya juga tidak perlu dibuat heran,” ujar Dian Pek-kong dengan tersenyum.
“O, tentu kau menangkap salah seorang murid Hoa-san-pay, lalu paksa dia mengaku gua rahasia itu?” kata
Lenghou Tiong.
“Bukan begitu halnya,” sahut Dian Pek-kong.
“Habis dari mana kau mendapat tahu gua itu, coba memberi petunjuk padaku,” pinta Lenghou Tiong.
Tiba-tiba sikap Dian Pek-kong kelihatan kikuk dan rikuh, sahutnya kemudian dengan tersenyum, “Kurang
pantas bila kuterangkan hal ini, maka lebih baik tak kukatakan saja.”
“Kita berdua sama-sama petualang Kang-ouw yang suka bangor, apanya yang sopan?” ujar Lenghou Tiong.
“Sudahlah, lekas kau terangkan saja.”
“Jika kukatakan, hendaklah Lenghou-ciangbun jangan marah,” kata Dian Pek-kong.
“Aku harus berterima kasih padamu karena kau telah menyelamatkan orang-orang Hing-san-pay kami, mana
bisa aku marah padamu malah?” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
Maka dengan suara tertahan Dian Pek-kong berkata, “Terus terang, sebagaimana Lenghou-ciangbun sudah
tahu bahwa aku mempunyai sifat yang buruk. Tapi sejak kepalaku digunduli oleh Thaysuhu dan aku diberi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nama agama ‘Put-ko-put-kay’ (Tidak Boleh Tidak Pantang), maka dengan sendirinya pantangan main
perempuan tak dapat kulanggar lagi....”
Teringat kepada nama aneh pemberian Put-kay Hwesio kepada Dian Pek-kong itu, tanpa terasa Lenghou Tiong
tersenyum geli.
Dian Pek-kong tahu apa yang sedang dipikir oleh Lenghou Tiong, mukanya menjadi merah, katanya pula, “Tapi
kepandaian yang telah kuyakinkan sedari dulu tidak menjadi terlupa. Betapa pun jauhnya, asal di situ ada
perempuan berkumpul, tentu Cayhe dapat... dapat merasakannya.”
Lenghou Tiong terheran-heran. “Bagaimana kau bisa? Bagaimana caranya?” tanyanya.
“Aku pun tidak tahu bagaimana caranya, rasanya seperti dapat mengendus bau yang timbul dari badan
perempuan, bau yang berbeda daripada kaum lelaki,” kata Pek-kong.
“Hahahaha! Dian-heng benar-benar seorang genius!” puji Lenghou Tiong dengan bergelak tertawa.
“Ah, mana, mana!” sahut Dian Pek-kong.
“Kepandaian Dian-heng itu adalah karena banyak berbuat hal-hal yang buruk, dikumpulkan dari pengalaman
dan gemblengan, tidak nyana kini dapat digunakan untuk menolong anak murid Hing-san-pay kami,” kata
Lenghou Tiong pula dengan tertawa.
Waktu itulah Ing-ing menoleh ke belakang, mestinya ia hendak bertanya apa yang dibicarakan dan membuat
Lenghou Tiong tertawa, tapi demi tampak sikap Dian Pek-kong yang kikuk dan aneh itu, ia menduga tentu
bukan membicarakan hal-hal yang baik, maka urunglah ia bertanya.
Sekonyong-konyong Dian Pek-kong berhenti di situ dan berkata, “He, di sekitar sini rasanya seperti ada
anggota Hing-san-pay kalian.”
Habis itu, ia mengendus-endus dengan kuat beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah
lereng sana sambil munduk-munduk mencari sesuatu, perbuatannya itu mengingatkan orang pada anjing
pemburu yang mencari jejak buruannya.
Selang tak lama, mendadak ia bersorak gembira dan berseru, “Ini dia, di sini!”
Tempat yang dia tuding adalah tumpukan belasan potong batu besar, setiap potong batu itu beratnya dua-tiga
ratus kati sedikitnya, segera ia bekerja keras, sepotong batu besar itu lantas disingkirkan dari tempatnya.
Cepat Put-kay Hwesio dan Lenghou Tiong ikut membantu, sebentar saja belasan potong batu besar itu telah
disingkirkan, di bawahnya ternyata ada sepotong balok batu. Ketika mereka mengangkat balok batu itu,
tertampaklah sebuah lubang gua, di dalam gua terbaring beberapa nikoh, jelas mereka adalah murid Hing-sanpay
seluruhnya.
Lekas Gi-jing dan dua orang sumoaynya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudarasaudara
seperguruannya itu. Sudah lima-enam orang digotong keluar, di dalam gua ternyata masih ada yang
lain, semuanya dalam keadaan payah. Cepat mereka menyeret keluar semua murid Hing-san-pay yang
terkurung itu, di antaranya terdapat Gi-ho, The Oh, Cin Koan, dan lain-lain, gua sesempit itu ternyata
terkurung 30-an orang, coba lewat semalam lagi, bukan mustahil semuanya sudah menjadi bangkai di situ.
Teringat kepada betapa kejamnya sang suhu, mau tak mau Lenghou Tiong merasa ngeri juga. Segera ia
memuji Dian Pek-kong, “Dian-heng, kepandaianmu sungguh lain daripada yang lain, para suci dan sumoay ini
tersembunyi di bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya, sungguh aku sangat kagum padamu.”
“Sebenarnya juga tidak perlu heran,” kata Dian Pek-kong. “Untunglah di antara mereka ada susiok dan supek
dari kalangan preman....”
“Susiok dan supek siapa?” tanya Lenghou Tiong. Tapi segera ia pun tahu apa artinya itu, katanya pula, “O ya,
kau adalah murid Gi-lim Sumoay, hampir aku lupa.”
“Bila yang terkurung di dalam gua melulu terdiri dari para susiok dan supek nikoh, maka sukarlah bagiku untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menemukannya,” tutur Dian Pek-kong.
“O, rupanya ada perbedaan besar antara orang preman dan orang agama,” kata Lenghou Tiong.
“Sudah tentu banyak bedanya,” ujar Dian Pek-kong. “Perempuan dari keluarga preman tubuhnya ada bau gincu
dan pupur yang wangi.”
Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Kiranya yang diendus-endus dengan keras oleh
hidung Dian Pek-kong adalah bau gincu dan pupur wangi kaum wanita itu.
Begitulah beramai-ramai Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain lantas sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya
yang payah itu, setelah diberi minum air jernih, akhirnya semuanya sadar kembali.
“Yang kita selamatkan ini belum ada sepertiga dari saudara-saudara kita,” kata Lenghou Tiong. “Maka dari itu,
Dian-heng, harap engkau pertunjukkan kesaktianmu, marilah kita mencari lagi saudara-saudara yang lain.”
Dalam pada itu si nenek sedang melirik kepada Dian Pek-kong dengan penuh rasa curiga, tiba-tiba ia bertanya,
“Cara bagaimana kau mengetahui orang-orang ini terkurung di sini? Besar kemungkinan kau berada di sekitar
sini ketika mereka disekap di sini, bukan?”
“Tidak, tidak,” cepat Dian Pek-kong membantah. “Aku senantiasa ikut Thaysuhu ke mana pun beliau pergi, tak
pernah meninggalkan selangkah pun dari sisi beliau.”
“Kau senantiasa ikut di sisinya?” si nenek menegas dengan muka cemberut.
Diam-diam Dian Pek-kong mengeluh karena ucapannya yang keseleo itu. Pikirnya, mereka suami-istri tua baru
saja berkumpul kembali, sepanjang jalan banyak menimbulkan hal-hal yang lucu, ya menangis ya tertawa, ya
bertengkar, ya mesra, semuanya itu telah dilihat dan didengar olehnya sendiri. Kini kalau si nenek guru ini
sampai marah lantaran malunya, tentu diriku bisa celaka. Maka cepat ia menjawab, “O, bukan begitu
maksudku. Selama setengahan tahun ini Tecu selalu mendampingi Thaysuhu, tapi kira-kira puluhan hari yang
lalu Tecu telah berpisah dengan beliau dan baru hari ini kita bersua kembali di sini.”
Sudah tentu si nenek setengah percaya setengah sangsi, tanyanya pula, “Lalu cara bagaimana pula kau
mengetahui para nikoh ini terkurung di dalam gua sini?”
“Tentang ini... ini....” seketika Dian Pek-kong menjadi sukar memberi jawaban.
Pada saat itulah tiba-tiba di lereng gunung sana bergema suara trompet yang ramai, menyusul suara
genderang bergemuruh laksana beribu-ribu prajurit berderap di medan perang. Seketika semua orang menjadi
tercengang.
“Ayahku datang!” demikian Ing-ing membisiki Lenghou Tiong.
“O....” mestinya ia hendak mengatakan “kiranya bapak mertuaku yang datang!” tapi tiba-tiba ia merasa tidak
enak berkata demikian dan urung diucapkan.
Setelah genderang berderu, sejenak kemudian trompet berbunyi pula dengan nyaring. Habis itu mendadak
suara genderang dan trompet itu berhenti serentak, suara belasan orang sama berteriak, “Paduka Yang Mulia
Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau tiba!”
Tenaga dalam belasan orang itu sangat kuat, suara teriakan mereka seketika menggema angkasa lembah
pegunungan hingga menimbulkan suara kumandang yang gemuruh.
Belum lenyap kumandang suara pertama itu, menyusul terdengar pula suara orang banyak berteriak-serentak,
“Hidup Yim-kaucu!”
Dari suara gemuruh yang menggetar bumi itu, jumlah orang yang berteriak serentak itu sedikitnya ada
beberapa ribu orang.
Selang sebentar, kumandang suara itu mulai mereda, lalu ada seorang berseru dengan lantang, “Tiau-yangsin-
kau Yim-kaucu mahabijaksana dan juru penyelamat ada perintah: Hendaklah para ciangbunjin dari NgoDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
gak-kiam-pay beserta para anak muridnya menaati perintah supaya berangkat dan berkumpul di Tiau-yanghong!”
Setelah orang itu mengulangi tiga kali titah sang kaucu itu, selang sejenak, lalu ia menyambung lagi, “Para
Hiangcu dan wakilnya hendaklah memimpin anak buah masing-masing mengadakan pemeriksaan di segenap
puncak gunung, jaga keras jalan keluar-masuk, orang tak berkepentingan dilarang jalan mondar-mandir. Yang
melanggar perintah boleh bunuh saja tanpa perkara.”
Segera ada dua-tiga puluh orang mengiakan perintah itu, tentu mereka adalah ke-12 hiangcu dari Tiau-yangsin-
kau beserta wakil-wakilnya.
Lenghou Tiong saling pandang sekejap dengan Ing-ing, ia paham apa artinya perintah Yim-kaucu itu, hal mana
berarti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay diharuskan pergi ke Tiau-yang-hong untuk menghadap kepada sang
kaucu. Ia pikir Yim-kaucu adalah ayah Ing-ing, bila nanti aku menikah dengan Ing-ing toh mesti pergi
menemuinya.
Karena itu ia lantas berkata kepada Gi-ho dan lain-lain, “Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung,
hendaklah Dian-heng ini menjadi penunjuk jalan, marilah kita lekas menolong keluar mereka. Yim-kaucu
adalah ayah Yim-siocia, rasanya beliau takkan bikin susah kita. Aku dan Yim-siocia akan pergi dulu ke puncak
timur sana, setelah saudara-saudara kita sudah berkumpul semua, hendaklah beramai-ramai bergabung di
puncak timur sana.”
Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain sama mengiakan, mereka ikut Dian Pek-kong pergi mencari teman-teman
lain yang masih terkurung di berbagai tempat.
Tiba-tiba si nenek mengomel, “Aku justru tak sudi pergi menghadap dia, ingin kulihat cara bagaimana orang
she Yim itu membunuh diriku tanpa perkara!”
Lenghou Tiong tahu wataknya si nenek yang sukar diajak bicara, seumpama dia mau pergi menemui Yim Ngoheng,
bukan mustahil nanti akan menimbulkan gara-gara malah, maka ia pun tidak merintanginya, segera ia
memberi hormat kepada Put-kay Hwesio dan si nenek, bersama Ing-ing lantas menuju ke puncak timur.
Ada tiga puncak paling tinggi di pegunungan Hoa-san, masing-masing terdiri dari puncak timur, puncak
selatan, dan puncak barat. Puncak timur mempunyai nama resmi sebagai Tiau-yang-hong (Puncak
Menyongsong Surya). Sebabnya Yim Ngo-heng memilih Tiau-yang-hong sebagai tempat pertemuan dengan
para kesatria dari Ngo-gak-kiam-pay sudah tentu mempunyai arti yang mendalam.
Sambil jalan berendeng dengan Ing-ing, berkatalah Lenghou Tiong, “Ayahmu menyuruh orang-orang Ngo-gakkiam-
pay berkumpul di Tiau-yang-hong, apakah mungkin orang-orang dari berbagai aliran itu sekarang berada
di Hoa-san sini?”
“Di antara pemimpin-pemimpin Ngo-gak-kiam-pay itu, dalam sehari saja tadi telah mati tiga orang, yaitu Gaksiansing,
Co Leng-tan, dan Bok-taysupek,” kata Ing-ing. “Thay-san-pay belum diketahui ada pengangkatan
ketua baru, maka di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat ketua.”
“Ya, di antara tulang punggung Ngo-gak-kiam-pay, kecuali Hing-san-pay, selebihnya sudah hampir tewas
semua di gua belakang Su-ko-keh itu, sedangkan anak murid Hing-san-pay sendiri juga baru terkurung dalam
keadaan payah, maka aku menjadi khawatir....”
“Kau khawatir ayahku menumpas habis Ngo-gak-kiam-pay kalian pada kesempatan baik sekarang ini?” Ing-ing
menegas.
Lenghou Tiong mengangguk sambil menghela napas, katanya, “Sebenarnya beliau tidak perlu turun tangan
juga orang-orang Ngo-gak-kiam-pay sudah tiada artinya lagi baginya.”
“Perhitungan ayahku sekali ini benar-benar sangat jitu,” kata Ing-ing. “Gak-siansing telah memancing berbagai
tokoh inti dari Ngo-gak-kiam-pay untuk masuk ke gua di Hoa-san sini untuk melihat ilmu pedang yang terukir
di dinding, tujuannya hendak menumpas tokoh-tokoh terkuat dari aliran-aliran lain agar dia dapat menjabat
ketua Ngo-gak-pay dengan aman, dengan demikian tiada tokoh dari aliran lain yang mampu mendampingi dia.
Tak terduga kesempatan itu telah digunakan juga oleh Co Leng-tan dengan mengajak segerombolan orang
buta dan bermaksud membinasakan Gak Put-kun di gua yang gelap itu.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kau bilang Co Leng-tan bermaksud membunuh guruku dan bukan diriku yang diincar?” Lenghou Tiong
menegas.
“Dia tidak menduga akan kedatanganmu ke sini,” sahut Ing-ing. “Sebab ilmu pedangmu sudah mahahebat,
sudah lama kau melebur jurus-jurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu, dugaan sendirinya kau takkan
tertarik oleh umpan yang dia pasang itu. Bahwasanya kita masuk juga ke gua itu hanya karena kebetulan
saja.”
“Memang benar. Padahal Co Leng-tan juga tiada bermusuhan apa-apa dengan aku, sebaliknya Suhu telah
membutakan kedua matanya, telah merebut pula kedudukan ketua Ngo-gak-pay, hal-hal inilah menjadi
dendam kesumat baginya.”
“Rasanya terlebih dahulu Co Leng-tan pasti sudah mengatur tipu daya apa-apa untuk memancing Gak-siansing
masuk ke gua itu, habis itu baru membunuhnya dalam keadaan gelap gulita. Tapi entah apa sebabnya agaknya
tipu muslihatnya ketahuan oleh Gak-siansing sehingga berbalik menanti di mulut gua, lalu menangkap
tawanannya dengan jala ikan. Kini Co Leng-tan dan gurumu sudah meninggal semua, seluk-beluk urusan ini
secara terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu.”
Lenghou Tiong manggut-manggut dengan rasa pilu.
Lalu Ing-ing berkata pula, “Agaknya, sudah lama sekali Gak-siansing merencanakan tipu muslihatnya untuk
memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Ngo-gak-kiam-pay ke dalam gua itu. Tempo hari, waktu pertandingan
di puncak Ko-san, kau punya siausumoay, Gak-siocia itu sekaligus telah mengalahkan jago-jago Thay-san-pay,
Heng-san-pay, Ko-san-pay, dan Hing-san-pay dengan menggunakan ilmu pedang dari golongan-golongan itu
sendiri, sudah tentu kepandaiannya yang tak terduga itu sangat menarik perhatian orang. Hanya anak murid
Hing-san-pay saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Gak-siocia itu, sebab kau sudah mengajarkan ilmu
pedang Hing-san-pay yang kau peroleh dari ukiran di dinding gua itu kepada mereka, sedangkan orang-orang
Heng-san-pay, Ko-san-pay, dan Thay-san-pay dengan sendirinya berusaha mencari tahu dari mana Gak-siocia
dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu. Di situlah Gak-siansing sengaja membocorkan sedikit
rahasianya, lalu menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua belakang di puncak Hoa-san itu. Tentu
saja jago dari ketiga aliran itu lantas membanjir ke sana dan berebut mendahului masuk ke gua itu.”
“Ya, orang persilatan seperti kita ini memang paling tertarik kepada ilmu silat, begitu mendengar di mana ada
ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi bahaya besar juga ingin lihat sampai di mana kehebatan ilmu
silat tersebut, apalagi menyangkut ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai
ketemu. Sebab itulah tokoh-tokoh semacam Bok-taysupek yang biasanya acuh tak acuh akhirnya juga menjadi
korban tipu muslihat suhuku.”
“Agaknya Gak-siansing sudah menduga Hing-san-pay kalian takkan datang ke sini, sebab itu dia mengatur tipu
daya lain, dengan obat tidur kalian dibius, lalu ditawan ke Hoa-san sini.”
“Ya, aku menjadi tidak paham, mengapa Suhu mengeluarkan tenaga sebanyak itu untuk menawan orang-orang
kami ke sini, padahal perjalanan cukup jauh, di tengah jalan juga mudah terjadi sesuatu, kalau dia membunuh
anak buah Hing-san-pay kami di tempat itu juga kan semuanya akan menjadi beres?” setelah merandek
sejenak, lalu Lenghou Tiong menyambung, “Ah, pahamlah aku, kalau anak murid Hing-san-pay dibunuh habis,
hal ini berarti Ngo-gak-pay akan menjadi pincang tanpa Hing-san-pay. Sedangkan Suhu ingin menjadi ketua
Ngo-gak-pay, tanpa Hing-san-pay berarti jabatannya itu tidak sempurna, tidak sesuai dengan namanya.”
“Sudah tentu, apa yang kau katakan itu adalah satu faktor, tapi kukira masih ada satu faktor lain yang lebih
besar,” ujar Ing-ing.
“Apa itu?” tanya Lenghou Tiong.
“Paling baik kalau kau dapat ditangkap, dengan begitu akan dapat dipakai menukar sesuatu padaku,” tutur Inging.
“Kalau tidak begitu, dengan menawan seluruh anak buah Hing-san-pay kalian ke sini sebagai alat pemeras
padamu, tentu saja aku takkan tinggal diam dan terpaksa akan memberikan barang yang dia minta.”
“O ya, tahulah aku!” seru Lenghou Tiong sambil menepuk paha. “Yang diinginkan guruku adalah obat penawar
pil pembusuk tubuh yang kau cekokkan padanya itu.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Setelah Gak-siansing telan obat itu, dengan sendirinya dia tidak tenteram siang dan malam, betapa pun
berusaha hendak memunahkan racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu
barulah obat penawar dapat diperoleh.”
“Ya, sebab aku adalah jantung hatimu, hanya diriku saja yang dapat ditukarkan dengan obat penawar darimu.”
Ing-ing menyemprotnya, “Cis, tak malu, puji-puji diri sendiri!”
Begitulah kedua orang terus melanjutkan perjalanan sambil bicara, mereka telah berada di suatu jalanan
sempit yang menanjak ke atas, karena sempitnya dan curamnya jalan, kedua orang tak dapat jalan berendeng.
“Kau jalan di muka,” kata Ing-ing.
“Lebih baik kau saja jalan di depan, bila kau jatuh terperosot akan kupeluk kau,” ujar Lenghou Tiong.
“Tidak, kau saja jalan dahulu, pula tak boleh menoleh ke belakang, apa yang Nenek katakan, kau harus
menurut!” kata Ing-ing dengan tertawa.
“Baiklah, aku akan jalan lebih dulu. Tapi kalau aku jatuh terperosot kau mesti peluk diriku.”
“Tidak, tidak!” cepat Ing-ing berseru, rupanya ia khawatir Lenghou Tiong pura-pura jatuh dan sengaja main
gila padanya, segera ia mendahului jalan ke atas.
Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Giok-li-hong, Lenghou Tiong lantas
menunjuk tempat-tempat yang indah di “Puncak Gadis Ayu” itu. Ing-ing tahu tempat-tempat indah itu dahulu
tentu sering menjadi tempat bermain antara Lenghou Tiong dengan Gak Leng-sian, maka sekali pandang saja
ia lantas meninggalkan tempat yang disebutkan itu tanpa tanya-tanya lagi.
Turun dari Giok-li-hong atau Puncak Gadis Ayu itu, setelah memutar sebuah belokan lagi, jalan menanjak ke
atas adalah sebuah jalan kecil yang menuju Tiau-yang-hong. Tertampak di lereng atas sana penuh berdiri pospos
penjagaan, seragam anggota Tiau-yang-sin-kau terdiri dari tujuh warna dan mengikuti panji komando
dalam warna masing-masing, disiplinnya tertampak sangat keras, jauh lebih tertib dan angker dibandingkan
keadaan di Hek-bok-keh dahulu.
Diam-diam Lenghou Tiong harus mengakui kepemimpinan Yim-kaucu yang hebat itu, beribu-ribu anak-buahnya
itu ternyata dapat melakukan tugasnya dengan sangat tertib, beda jauh sekali daripada dahulu waktu dirinya
memimpin beberapa ribu orang menyerbu Siau-lim-si yang kacau-balau itu.
Melihat kedatangan Ing-ing, anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau sama membungkuk tubuh sebagai tanda
hormat, terhadap Lenghou Tiong mereka pun memberi hormat yang sama. Panji komando setingkat demi
setingkat dikibarkan dari bawah puncak hingga atas puncak untuk memberi lapor kepada Yim Ngo-heng.
Melihat setiap tempat yang strategis di sekitar Tiau-yang-hong itu terjaga oleh anggota Tiau-yang-sin-kau yang
beribu-ribu jumlahnya, jelas Yim Ngo-heng telah mengerahkan segenap kekuatannya, seumpama para ketua
Ngo-gak-kiam-pay tidak mati, jago-jago kelima aliran itu pun kumpul di Hoa-san sini, tapi kini harus
menghadapi lawan yang begini kuat, mungkin juga sukar membendung serbuan musuh, apalagi sekarang
keadaan sudah morat-marit, betapa pun tidak ada harapan akan mampu melawannya. Melihat gelagatnya jelas
Ngo-gak-kiam-pay sudah mendekati ambang kebangkrutan, terpaksa segalanya terserah kepada takdir dan
terima nasib, bila Yim Ngo-heng hendak membunuh habis orang-orang Ngo-gak-kiam-pay, dirinya tidak nanti
menyelamatkan diri sendiri, terpaksa angkat senjata melakukan perlawanan mati-matian, biarlah gugur
bersama anak murid Hing-san-pay di puncak Hoa-san ini. Demikian pikir Lenghou Tiong.
Meski Lenghou Tiong cukup pintar dan cerdik, tapi dia tidak biasa main tipu daya, tidak berbakat memimpin
pekerjaan besar dan menghadapi kejadian hebat, kini menghadapi kehancuran Hing-san-pay secara total, ia
merasa tidak punya akal untuk menyelamatkannya, biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah
kepada nasib.
Terpikir olehnya Ing-ing mempunyai hubungan darah dengan Yim-kaucu, paling-paling si nona tidak membela
pihak mana pun, tentunya tak dapat membantu dirinya dan memusuhi ayahnya sendiri. Maka ia lantas
tenangkan pikiran, terhadap anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau yang siaga di sepanjang jalan itu dianggap
sepi saja, ia tetap berkelakar dengan Ing-ing atau membicarakan keindahan alam pegunungan Hoa-san yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mereka lalui itu.
Berbeda dengan Lenghou Tiong, pikiran Ing-ing menjadi kusut dan sedih, ia tidak dapat bersikap tak acuh
seperti Lenghou Tiong, sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal untuk membantu bakal suami itu.
Ia menduga kedatangan ayahnya pasti tidak menguntungkan Hing-san-pay, terpaksa harus tunggu dan lihat
serta berbuat menurut keadaan nanti, mungkin saja ada jalan baik bagi kedua pihak.
Begitulah mereka terus mendaki puncak itu, setiba di atas, mendadak trompet berbunyi disertai suara petasan,
menyusul bergema pula suara genderang dan tetabuhan lain sebagaimana layaknya bunyi musik di kala
menyambut tamu agung.
“Hehe, bapak mertua menyambut kedatangan sang menantu sayang!” kata Lenghou Tiong dengan suara
perlahan sambil tertawa.
Ing-ing melotot padanya, dalam hati ia merasa sedih di samping mendongkol terhadap sikap Lenghou Tiong
yang tak acuh itu, pada saat demikian masih sempat berkelakar segala.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa seorang, lalu serunya dengan lantang, “Toasiocia, Lenghou-hiante, kalian
sudah ditunggu sekian lamanya oleh Kaucu.”
Berbareng itu seorang tua jangkung berjubah ungu lantas memapak maju dengan wajah berseri-seri, siapa lagi
dia kalau bukan Hiang Bun-thian.
“He, Hiang-toako, baik-baikkah engkau? Sungguh aku sangat rindu padamu,” kata Lenghou Tiong dengan
gembira.
“Di Hek-bok-keh sering aku mendengar berita baik tentang dirimu yang malang melintang di dunia persilatan,
aku pun ikut gembira bagimu dengan mengeringkan isi cawanku sebagai pujianku padamu, selama ini entah
sudah berapa guci arak yang kuhabiskan bagi kebahagiaanmu,” kata Hiang Bun-thian dengan tertawa.
“Hayolah, kita lekas menghadap Kaucu!”
Bab 139. Jiwa Kesatria Hing-san-pay yang Tak Tertaklukkan
Habis berkata, segera ia gandeng tangan Lenghou Tiong dan diajak menuju ke suatu panggung batu yang
menjulang tinggi di atas puncak itu. Di sebelah timur panggung batu itu terdapat lima tiang batu yang berjajar
dalam bentuk seperti telapak tangan, tinggi seluruhnya beberapa puluh meter tingginya, pada jari tengah yang
paling tinggi itu, di pucuk jari batu itu tertaruh sebuah kursi besar, seorang duduk di atas kursi itu, dia Yim
Ngo-heng adanya.
Ing-ing mendekati telapak tangan batu raksasa itu, sambil menengadah ia pun menyapa, “Ayah!”
Dengan memberi hormat, Lenghou Tiong juga lantas berkata, “Wanpwe Lenghou Tiong menyampaikan sembah
hormat kepada Kaucu!”
Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, “Bagus sekali kedatanganmu ini, kita adalah orang sekeluarga, tidak
perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria seluruh jagat, bicara dulu urusan dinas,
kemudian baru bicara urusan keluarga. Hian... Hiante silakan duduk di situ.”
Mula-mula Lenghou Tiong menyangka Yim Ngo-heng hendak memanggil “hiansay” (menantu sayang) padanya,
tapi rupanya belum resmi, maka mendadak memanggilnya “hiante” (saudara) saja, melihat gelagatnya, terang
Yim Ngo-heng sangat setuju mengenai perjodohan dirinya dengan Ing-ing, apalagi ucapannya tadi memakai
“kita adalah orang sekeluarga” dan “bicara urusan dinas dulu baru bicara urusan keluarga” segala, jelas dirinya
telah dipandang sebagai anggota keluarga sendiri oleh kaucu itu.
Tentu saja hati Lenghou Tiong sangat girang, ia berdiri tegak kembali. Tapi mendadak dalam perut timbul suatu
arus hawa dingin terus menerjang ke atas, seluruh badan menjadi menggigil seperti kejeblos ke dalam sungai
es.
Ing-ing terkejut, cepat ia memburu maju dan bertanya, “Kenapa kau?”
“Aku... aku....” ternyata sukar bagi Lenghou Tiong untuk membuka suara.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Meski duduk begitu tinggi, jaraknya berpuluh meter, tapi pandangan Yim Ngo-heng sungguh amat tajam,
segera ia bertanya, “Apakah kau telah bergebrak dengan Co Leng-tan?”
Lenghou Tiong mengangguk.
“Tidak menjadi soal,” ujar Yim Ngo-heng. “Kau telah menyedot hawa dingin beracun dari dia, sebentar kalau
hawa dingin itu buyar tentu kau akan sehat kembali. Mengapa Co Leng-tan belum tiba?”
“Co Leng-tan memasang perangkap keji hendak membikin susah Lenghou-toako dan aku, akhirnya dia telah
dibinasakan oleh Lenghou-toako,” tutur Ing-ing.
“Ooo!” Yim Ngo-heng rada melongo, meski air mukanya tak tertampak jelas karena tempat duduknya yang
tinggi, tapi dari suaranya itu jelas penuh rasa kecewa yang tak terhingga.
Ing-ing tahu akan perasaan sang ayah. Hari ini secara besar-besaran sang ayah mengerahkan kekuatannya ke
sini dengan tujuan hendak menaklukkan Ngo-gak-kiam-pay secara total. Co Leng-tan merupakan musuh
bebuyutan ayahnya selama ini, kini tak dapat menyaksikan musuh besar itu bertekuk lutut mengaku kalah
padanya, dengan sendirinya merasa menyesal.
Segera Ing-ing menggenggam tangan kanan Lenghou Tiong, disalurkan tenaga dalam sendiri untuk membantu
pemuda itu menolak hawa dingin berbisa. Tangan Lenghou Tiong yang lain dipegang oleh Hiang Bun-thian.
Kedua orang mengerahkan tenaga sekaligus, segera Lenghou Tiong merasa hawa dingin dalam tubuhnya
membuyar lambat laun.
Ketika bertempur di Siau-lim-si dahulu, hawa dingin berbisa Co Leng-tan itu juga tersedot tidak sedikit oleh
Yim Ngo-heng, akibatnya di tanah bersalju Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing ikut
terbeku menjadi manusia salju.
Bedanya sekarang Lenghou Tiong hanya menyedot sedikit hawa dingin berbisa Co Leng-tan itu melalui
persentuhan pedang, waktunya sangat singkat, hawa dingin yang tersedot itu juga terbatas, maka cuma
sebentar saja ia tidak menggigil lagi.
“Sudah baik, terima kasih,” katanya kemudian kepada Hiang Bun-thian dan Ing-ing.
“Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, segera kau naik ke sini, sungguh bagus sekali kau!” kata Yim Ngoheng.
Lalu ia berpaling kepada Hiang Bun-thian dan berkata pula, “Mengapa orang-orang keempat pay yang
lain hingga kini masih belum datang?”
“Coba hamba mendesaknya lagi!” jawab Hiang Bun-thian. Lalu ia memberi tanda dengan angkat sebelah
tangannya, segera ada delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak gunung itu dan
berteriak bersama, “Yim-kaucu mahabijaksana dari Tiau-yang-sin-kau memberi perintah agar semua orang
Thay-san-pay, Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Hoa-san-pay segera menghadap ke puncak ini. Para Hiangcu
diharuskan mendesak mereka selekasnya, jangan lengah!”
Kedelapan orang tua itu sama memiliki tenaga dalam yang kuat, suara mereka serentak berkumandang hingga
jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Maka terdengarlah dari berbagai penjuru suara
berpuluh orang menjawab berbareng, “Turut perintah! Semoga Kaucu panjang umur, memerintah Kang-ouw
selamanya!”
Suara sahutan itu terang berasal dari para hiangcu yang dimaksudkan.
Lalu Yim Ngo-heng berkata pula dengan tersenyum, “Lenghou-ciangbun, silakan duduk di sebelah sana.”
Lenghou Tiong melihat sebelah barat telapak tangan batu yang menegak itu berbaris lima buah kursi, setiap
kursi dilandasi dengan kain sutra yang terdiri dari pancawarna dan setiap kain sutra itu bersulaman sebuah
puncak gunung.
Di antara Ngo-gak-kiam-pay sebenarnya Ko-san-pay adalah kepalanya, Hing-san-pay terhitung paling buncit
menurut urut-urutannya, tapi kini tempat duduk Hing-san-pay justru diputar balik menjadi tempat duduk
utama, habis itu baru Hoa-san-pay, sedangkan Ko-san-pay malah diberi tempat duduk paling akhir. Terang Yim
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ngo-heng sengaja mengangkat tinggi diriku dan sengaja pula hendak menghina Co Leng-tan. Demikian pikir
Lenghou Tiong.
Memangnya Co Leng-tan, Gak Put-kun, dan Bok-taysiansing bertiga sudah mati semua, maka Lenghou Tiong
juga tidak perlu sungkan-sungkan lagi, ia membungkuk tubuh dan mengiakan, lalu berduduk di atas kursi
berlandaskan kain sutra hitam dengan sulaman puncak gunung Kian-seng-hong di Hing-san.
Suasana di atas Tiau-yang-hong menjadi sunyi senyap, semua orang menunggu dengan tenang.
Selang agak lama Hiang Bun-thian memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi, tapi
tetap tiada orang naik ke atas situ.
“Orang-orang itu benar-benar tidak tahu diri, sekian lamanya mereka masih belum datang memberi sembah
kepada Kaucu, suruhlah orang kita sendiri naik dulu ke sini!” seru Hiang Bun-thian kemudian.
Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau, guagua,
gunung-gunung, dan berbagai organisasi sungai dan laut disilakan naik ke atas Tiau-yang-hong sini untuk
menghadap Kaucu!”
Baru saja kata “kaucu” habis diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung situ bergema suara jawaban,
“Taat!”
Begitu hebat suara ramai itu hingga gemuruh laksana bunyi geluduk yang menggetar lembah gunung.
Lenghou Tiong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu, dari suara gemuruh itu dapat ditaksir
sedikitnya diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya lembah gunung sekitar situ sunyi
senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak itu, terang sebelumnya telah sengaja disembunyikan oleh
Yim Ngo-heng dengan tujuan hendak membikin keder pihak Ngo-gak-kiam-pay supaya tidak berani melakukan
perlawanan.
Begitulah dalam sekejap saja orang-orang membanjir menuju Tiau-yang-hong dari berbagai penjuru. Meski
jumlah orang itu sangat banyak, tapi sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di
tempat masing-masing secara rajin, tampaknya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya.
Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, semuanya tergolong punya kedudukan sebangsa
pangcu, cecu, tongcu, tocu, dan sebagainya, sedang anak buahnya dengan sendirinya menunggu di lereng
gunung sana.
Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat sebagian besar di antara orang-orang itu adalah jago-jago Kang-ouw
yang dahulu pernah di bawah komandonya ikut menyerbu ke Siau-lim-si, dilihatnya Na Hong-hong, Coh Jianjiu,
Lo Thau-cu, Keh Bu-si, dan lain-lain juga berada di antara orang banyak itu. Tapi orang-orang itu hanya
adu pandang saja dengan Lenghou Tiong, semuanya cuma bersenyum saja sebagai tanda memberi salam, tapi
tiada seorang pun yang berani bersuara menyapa.
Ketika Hiang Bun-thian angkat sebelah tangannya, lalu memberi tanda suatu lingkaran ke depan, beribu-ribu
orang itu serentak berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Kaucu
penyelamat dan mahabijaksana. Semoga Kaucu panjang umur dan memerintah Kang-ouw selamanya!”
Teriakan beribu orang yang memiliki kepandaian tinggi itu disusul dengan semua orang yang berada di lereng
gunung sana, keruan suara mereka benar-benar menggetar langit dan mengguncangkan bumi.
Yim Ngo-heng duduk diam-diam saja di tempatnya, sehabis orang-orang itu berteriak memujanya barulah ia
mengangkat tangannya sebagai tanda menerima sanjung puji anak buahnya itu, katanya, “Saudara-saudara
tentu lelah, silakan bangun!”
“Terima kasih, Maha-kaucu!” seru beribu-ribu orang itu berbareng sambil berbangkit.
Melihat sanjung puji anggota Tiau-yang-sin-kau yang lebih memuakkan daripada dahulu mereka menyanjung
Tonghong Put-pay, bahkan sekarang mereka menambahkan sebutan “maha-kaucu” kepada Yim Ngo-heng,
Lenghou Tiong merasa merinding oleh sanjung puji yang berlebih-lebihan itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekonyong-konyong ia merasa perutnya kesakitan, pandangan menjadi gelap dan hampir-hampir jatuh
pingsan, lekas-lekas ia pegang tepian kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah karena
menahan rasa sakit luar biasa itu. Ia tahu sejak mempelajari Gip-sing-tay-hoat, meski dia sudah bersumpah
takkan menggunakan ilmu itu, tapi di dalam gua yang gelap itu dan ketika mendadak terjaring oleh jala Gak
Put-kun, dalam keadaan gawat pilihan antara hidup dan mati itu, terpaksa ia menggunakan ilmu jahat itu,
akibatnya badan sendiri ikut menderita.
Sekuatnya ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai bersuara merintih, karena itu keningnya lantas
penuh butir-butir keringat, sekujur badan gemetar, otot daging wajahnya berkerut-kerut, suatu tanda betapa
penderitaan yang dia rasakan, hal ini segera dapat diketahui bagi setiap orang yang melihatnya. Begitu pula
Coh Jian-jiu dan lain-lain juga sedang memandang padanya penuh perhatian dan khawatir.
Ing-ing mendekatinya dan berkata padanya dengan suara tertahan, “Engkoh Tiong, aku berada di sisimu!”
Andaikan di tempat yang sepi tentu dia sudah pegang tangan pemuda itu untuk menghiburnya, tapi di bawah
beribu-ribu pasang mata itu, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata itu saja.
Lenghou Tiong lantas menoleh dan memandang Ing-ing sekejap, perasaannya terasa terhibur sedikit. Teringat
olehnya apa yang pernah dikatakan Yim Ngo-heng di Hangciu dahulu, katanya setelah Lenghou Tiong
mempelajari “Gip-sing-tay-hoat” dan berhasil mengumpulkan macam-macam tenaga murni dari orang lain ke
dalam tubuh sendiri, pada suatu hari kelak himpunan tenaga-tenaga murni yang bermacam-macam itu pasti
akan bergolak dan setiap kali bergolak akan semakin lihai daripada sebelumnya dan hal ini berarti badan
sendiri akan tersiksa.
Dahulu sebabnya Yim Ngo-heng menyerahkan kedudukan kaucu kepada Tonghong Put-pay juga lantaran waktu
itu ia tersiksa oleh macam-macam tenaga murni yang berkumpul dalam tubuhnya itu, ia harus berusaha
mencari jalan keluar untuk memunahkannya, karena itu terpaksa ia harus mengesampingkan segala urusan,
akhirnya dia malah kena dipecat dan dikurung oleh Tonghong Put-pay di bawah danau di Hangciu.
Selama terkurung di bawah danau barat di Hangciu itulah, akhirnya Yim Ngo-heng berhasil meyakinkan cara
memunahkan hawa murni yang mengamuk di dalam tubuhnya itu. Maka dengan syarat Lenghou Tiong harus
masuk ke dalam Tiau-yang-sin-kau barulah ia mau mengajarkan ilmu sakti padanya. Tapi ketika itu Lenghou
Tiong tegas-tegas menolak kehendak Yim Ngo-heng itu, soalnya sejak kecil ia telah dididik membenci Mo-kau
dan tidak mungkin bergaul dengan agama sesat itu.
Tapi akhir-akhir ini setelah menyaksikan perbuatan-perbuatan Co Leng-tan dan guru sendiri yang pernah
menamakan diri mereka sebagai guru besar dari aliran-aliran suci, namun apa yang dilakukan mereka ternyata
jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang Mo-kau. Apalagi setelah mengikat janji dengan Ing-ing,
perbedaan tentang cing-pay dan sia-pay baginya sudah menjadi hambar. Terkadang juga timbul pikirannya,
umpama Yim-kaucu mengharuskannya lagi masuk agama, baru mengizinkan Ing-ing menikah padanya, maka
tanpa banyak cincong ia pun menerima syarat itu.
Dasar wataknya memang suka apa adanya, segala unsur tak pernah dianggapnya sungguh-sungguh, apakah
harus masuk agama atau tidak sebenarnya juga tidak menjadi soal. Tapi tempo hari ketika menyaksikan cara
anggota Mo-kau menjilat-jilat dan memuja Tonghong Put-pay serta Yim Ngo-heng secara memuakkan, hal
inilah yang menimbulkan antipatinya, ia merasa tidak sudi diperbudak dan menjadi penjilat serendah itu.
Kini melihat pula cara Yim Ngo-heng menggunakan dirinya, lagaknya jauh lebih hebat daripada maharaja mana
pun, padahal betapa konyolnya Yim Ngo-heng waktu terkurung di dasar danau dahulu, kini kaum kesatria
Kang-ouw ternyata diperlakukan sedemikian hina, sungguh terlalu.
Begitulah segala pikiran Lenghou Tiong bergejolak sendiri, tiba-tiba terdengar seruan seorang, “Lapor Mahakaucu,
anak murid Hing-san-pay telah tiba!”
Maka tertampaklah Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan murid-murid Hing-san-pay yang lain bahu-membahu naik ke atas
puncak situ. Put-kay Hwesio dan istrinya serta Dian Pek-kong juga ikut di belakang.
Segera seorang tertua Tiau-yang-sin-kau berseru, “Para kawan silakan memberi sembah kepada Maha-kaucu!”
Melihat Lenghou Tiong juga berduduk di samping situ, Gi-jing tahu Yim Ngo-heng adalah bakal mertua sang
ketua, ia pikir antara cing-pay dan sia-pay mestinya tak mungkin hidup bersama, tapi mengingat Lenghou
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiong, biarlah aku memberi hormat sebagai kaum yang lebih muda.
Lalu ia mendekati telapak tangan batu raksasa itu, ia memberi hormat dengan membungkuk tubuh dan
berkata, “Wanpwe dari Hing-san-pay memberi salam hormat kepada Yim-kaucu!”
“Berlutut dan menyembah!” bentak tianglo tadi.
“Cut-keh-lang seperti kami ini hanya menyembah kepada Buddha, menyembah kepada Suhu, tapi tidak
menyembah kepada orang biasa,” sahut Gi-jing dengan lantang.
“Maha-kaucu bukan orang biasa, beliau adalah nabi, adalah dewa, adalah Buddha!” seru pula tianglo itu.
Gi-jing lantas berpaling ke arah Lenghou Tiong, tertampak pemuda itu menggeleng kepala, segera Gi-jing
berkata pula, “Mau bunuh boleh bunuh, yang pasti anak murid Hing-san-pay tidak menyembah kepada orang
biasa!”
Mendadak Put-kay Hwesio terbahak-bahak, serunya, “Ucapan tepat, ucapan bagus!”
“Kau berasal dari perguruan dan aliran mana? Mau apa datang ke sini!” tanya Hiang Bun-thian dengan gusar.
Dilihatnya anak murid Hing-san-pay tidak mau menyembah kepada Yim Ngo-heng sehingga keadaan menjadi
tegang, kalau orang-orang Hing-san-pay itu diperlakukan kasar, rasanya tidak enak terhadap Lenghou Tiong,
sebab itulah dia sengaja bicara keras kepada Put-kay Hwesio untuk mengalihkan perhatian Yim Ngo-heng
tentang pembangkangan anak murid Hing-san-pay.
Maka terdengar Put-kay menjawab dengan tertawa, “Hwesio gede sudah biasa berkeliaran ke mana-mana,
tidak masuk perguruan dan juga tidak beraliran, aku datang ke sini karena ingin melihat ramai-ramai.”
“Pertemuan sekarang ini hanya dihadiri oleh orang-orang Ngo-gak-kiam-pay dengan Tiau-yang-sin-kau, orang
luar tidak boleh ikut mengacau di sini, kau lekas pergi saja dari sini,” kata Hiang Bun-thian. Ucapannya ini
boleh dikata sangat halus mengingat kedatangan Put-kay bersama orang-orang Hing-san-pay, sedikit-banyak
tentu ada hubungan baik di antara mereka, maka Hiang Bun-thian tidak ingin membikin malu padanya.
Tak terduga Put-kay lantas menjawab, “Hoa-san ini bukan milik Mo-kau kalian, aku ingin datang ke sini, peduli
apa dengan kalian, kecuali orang-orang Hing-san-pay, tiada seorang yang berhak mengusir aku.”
Istilah “Mo-kau” merupakan kata pantangan bagi Tiau-yang-sin-kau, orang dunia persilatan umumnya hanya di
belakang saja berani mengucapkan kata “Mo-kau”, kalau berhadapan tiada seorang pun yang berani
mengucapkan istilah itu kecuali pihak yang tegas-tegas sudah bermusuhan.
Dasar watak Put-kay Hwesio memang tidak kenal apa artinya pantangan, apa yang dia pikir, itulah yang dia
ucapkan. Apalagi ia menjadi mendongkol ketika Hiang Bun-thian mengusirnya, tanpa pikir ia terus membantah
tanpa menghiraukan siapa lawan, sedikit pun ia tidak gentar.
Dengan menahan gusar Hiang Bun-thian berpaling kepada Lenghou Tiong dan bertanya, “Lenghou-hiante,
siapakah hwesio gila ini, ada hubungan apa dengan pay kalian?”
Lenghou Tiong sendiri sedang merasakan kesakitan perutnya yang seperti disayat-sayat, dengan suara
terputus-putus ia menjawab, “Put-kay... Put-kay Taysu ini....”
Dalam pada itu Yim Ngo-heng juga sangat gusar ketika mendengar Put-kay berani menyebut “Mo-kau”, ia
khawatir Lenghou Tiong akan mengatakan hwesio gede itu ada hubungan baik dengan Hing-san-pay, jika
demikian halnya tentu sukar untuk membunuhnya, maka sebelum Lenghou Tiong selesai menjawab, segera ia
membentak, “Binasakan saja hwesio gila itu!”
Serentak delapan orang tua berseragam kuning mengiakan, sekaligus mereka menubruk maju dan
mengerubuti Put-kay.
“He, kalian hendak main keroyok ya?” Put-kay berkaok-kaok sambil menghadapi kedelapan lawannya.
“Tidak malu!” maki si nenek, istri Put-kay alias ibu Gi-lim. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dengan Put-kay, dengan punggung menempel punggung mereka layani seorang musuh.
Kedelapan tianglo itu adalah jago kelas satu di dalam Tiau-yang-sin-kau, ilmu silat mereka tidak di bawah Putkay
dan si nenek, dengan delapan lawan dua, hanya beberapa kali gebrak saja mereka sudah berada di atas
angin.
Melihat itu, Dian Pek-kong tak bisa tinggal diam, segera ia lolos goloknya dan ikut menerjang ke dalam
kalangan pertempuran. Begitu pula Gi-lim, segera ia pun membantu ayah-ibunya. Tapi ilmu silat mereka
berdua masih jauh di bawah musuh-musuhnya, dua di antara kedelapan tianglo itu memisahkan diri untuk
melayani mereka. Dengan ilmu goloknya yang cepat masih mendingan bagi Dian Pek-kong, tapi Gi-lim menjadi
kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar.
“Nan... nanti dulu!” seru Lenghou Tiong sambil memegang perutnya yang kesakitan, sebelah tangan lantas
melolos pedang pula.
Begitu pedangnya bergerak, sekaligus delapan gerakan dilontarkan, kontan kedelapan tianglo itu dipaksa
mundur. Gerak ilmu pedang Tokko-kiu-kiam yang lihai itu selalu mengarah tempat mematikan di tubuh lawan,
betapa pun kedelapan tianglo itu tidak sanggup menangkisnya sehingga terpaksa melompat mundur.
Sambil setengah berjongkok, dengan suara terputus-putus Lenghou Tiong berkata kepada Yim Ngo-heng,
“Yim... Yim-kaucu, sudilah memandang diriku dan membiarkan mereka....” saking menahan sakit perutnya,
kata “pergi” tidak sanggup diucapkannya lagi.
Melihat keadaannya, Yim Ngo-heng tahu macam-macam hawa murni dalam tubuh pemuda itu telah bergolak
lagi. Ia tahu pemuda itu adalah pemuda idam-idaman putrinya, tidak mendapatkan Lenghou Tiong pasti
putrinya tidak mau menikah, dirinya sebenarnya juga sayang dan suka kepada pemuda cakap dan berbakat ini,
apalagi dirinya tidak punya anak laki-laki, kelak malah diharapkan Lenghou Tiong akan mewariskan kedudukan
kaucu darinya.
Karena itu, ia lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Lenghou-ciangbun yang mintakan ampun bagi
kalian, biarlah aku memberi kelonggaran.”
Segera Hiang Bun-thian melompat maju, kedua tangan bekerja cepat, berturut-turut ia tutuk hiat-to Put-kay
Hwesio dan istrinya serta Dian Pek-kong dan Gi-lim berempat. Betapa cepat cara dia bergerak boleh dikata luar
biasa dan sukar dibayangkan, meski gerak tubuh si nenek biasanya mahacepat toh juga tidak dapat meloloskan
diri dari tutukan Hiang Bun-thian itu.
Semula Lenghou Tiong terkejut dan berseru, “Hiang... Hiang....”
“Jangan khawatir,” cepat Hiang Bun-thian menjawabnya dengan tertawa, “Kaucu sudah menyatakan memberi
ampun kepada mereka.”
Lalu ia berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Maju sini delapan orang!”
Serentak delapan orang lelaki berseragam hijau mengiakan dan maju ke depan menunggu perintah lebih
lanjut.
“Empat lelaki dan empat perempuan!” kata Hiang Bun-thian.
Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan menggantikan maju
ke depan.
“Keempat orang ini bicara tidak pantas, dosa mereka seharusnya dihukum mati,” kata Hiang Bun-thian. “Tapi
Maha-kaucu cukup bijaksana dan bermurah hati, mengingat permintaan Lenghou-ciangbun, mereka tidak diberi
hukuman. Maka gendong saja mereka ke bawah gunung, lepaskan hiat-to mereka dan bebaskan di sana.”
Kedelapan orang itu mengiakan sambil memberi hormat.
Hiang Bun-thian lantas menambahkan dengan suara tertahan, “Mereka adalah sobat baik Lenghou-ciangbun,
jangan berbuat kasar kepada mereka.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kembali kedelapan orang itu mengiakan. Dua orang menggotong seorang segera mereka membawa pergi Putkay
berempat.
Melihat Put-kay berempat terhindari dari kematian, Lenghou Tiong dan Ing-ing merasa lega. Segera Lenghou
Tiong mengucapkan terima kasih, saking sakit perutnya ia terjongkok di tempatnya dan tidak sanggup berdiri.
Maklumlah, dalam sekejap saja ia telah melontarkan Tokko-kiu-kiam yang hebat itu, tenaganya menjadi
banyak terbuang sehingga rasa sakit perutnya bertambah hebat.
Diam-diam Hiang Bun-thian merasa khawatir, tapi lahirnya dia tidak menunjukkan sesuatu tanda apa-apa,
katanya dengan tertawa, “Apakah Lenghou-hiante merasa kurang enak badan?”
Sejak Lenghou Tiong membantunya menempur berbagai kesatria dari Kang-ouw dahulu itu, dia telah mengikat
persaudaraan dengan pemuda itu, meski kedua orang jarang berkumpul, namun hubungan mereka tetap abadi,
segera ia pegang tangan Lenghou Tiong dan memayangnya duduk di atas kursi tadi. Diam-diam ia
mengerahkan tenaga murni sendiri untuk membantu Lenghou Tiong menolak pergolakan hawa murni di dalam
tubuh.
Padahal Lenghou Tiong memiliki ilmu Gip-sing-tay-hoat, dengan perbuatan Hiang Bun-thian itu sama artinya
membiarkan tenaga murninya disedot, maka cepat Lenghou Tiong mengebaskan tangan Hiang Bun-thian dari
berkata, “Jangan Hiang-toako! Aku... aku sudah sembuh!”
Dalam pada itu Yim Ngo-heng sedang tanya anak buahnya, “Di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya Hing-san-pay
saja yang hadir dalam pertemuan ini, anggota-anggota keempat pay yang lain ternyata berani membangkang
dan tidak hadir, maka kita tak bisa sungkan-sungkan lagi kepada mereka!”
Pada saat itulah, tiba-tiba seorang tua berseragam kuning berlari ke atas puncak situ, setiba di depan telapak
tangan batu raksasa itu ia lantas menyembah dan melapor, “Lapor Maha-kaucu, di dalam gua Su-ko-keh
diketemukan beberapa ratus mayat. Di antaranya terdapat ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan, ketua Heng-sanpay,
Bok-taysiansing, selain itu banyak pula jago-jago Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Thay-san-pay,
tampaknya mereka mati karena saling membunuh.”
“O, Bok-taysiansing dari Heng-san-pay juga mati di sana, tidak salah lihat?” kata Yim Ngo-heng.
“Hamba memeriksa sendiri, pasti tidak salah lihat,” jawab tianglo itu. “Malahan Giok-seng-cu, Giok-ciong-cu
dan jago-jago Thay-san-pay yang lain juga terdapat di antara mayat-mayat itu.”
Yim Ngo-heng merasa kurang senang, katanya, “Bagaimana bisa terjadi begitu?”
“Bahkan di luar gua itu ditemukan pula sesosok mayat,” tianglo itu menambahkan.
“Mayat siapa?” tanya Yim Ngo-heng dengan cepat.
“Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti mayat itu adalah ketua Hoa-sanpay,
yaitu Gak Put-kun, Gak-siansing, yang baru-baru ini memenangkan kedudukan ketua Ngo-gak-kiam-pay
itu.”
Agaknya tianglo itu mengetahui kelak Lenghou Tiong akan menduduki tempat penting di dalam agama sendiri,
sedangkan Gak Put-kun adalah gurunya, maka di waktu menyebut Gak Put-kun dia tidak berani pakai katakata
kasar.
Sama halnya dengan kedelapan tianglo tadi, selain ilmu pedang Lenghou Tiong memang hebat, tapi
sebenarnya juga disebabkan para tianglo itu merasa sungkan melawannya, kalau tidak, dengan kepandaian
kedelapan tianglo yang lihai itu tidak mungkin terdesak mundur hanya oleh sekali gebrak saja dari Lenghou
Tiong.
Begitulah Yim Ngo-heng menjadi lesu dan seakan-akan kehilangan sesuatu demi mendengar Gak Put-kun
sudah mati, ia coba tanya lagi, “Kiranya dia... siapakah yang membunuh dia?”
Tianglo tadi menjawab, “Ketika hamba memeriksa keadaan gua Su-ko-keh tadi, kemudian mendengar di gua
belakang itu adalah suara orang bertempur, segera hamba melihatnya ke sana, ternyata ada serombongan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
anak murid Hoa-san-pay sedang bertempur mati-matian dengan sekawanan tojin dari Thay-san-pay, dari caci
maki kedua pihak itu terdengar masing-masing pihak menuduh pihak lain membunuh guru pihak sendiri. Kedua
pihak bertempur dengan sengit dan sama-sama jatuh korban tidak sedikit. Akhirnya mereka hampir mati
semua, sisanya tinggal beberapa orang saja, lalu hamba tawan, kini mereka menunggu di bawah puncak untuk
menantikan keputusan Kaucu.”
“Jadi Gak Put-kun dibunuh oleh pihak Thay-san-pay?” kata Yim Ngo-heng. “Di dalam Thay-san-pay mana ada
jago selihai itu yang mampu membunuh Gak Put-kun?”
Tiba-tiba di antara anak murid Hing-san-pay seorang berseru, “Tidak! Gak Put-kun dibunuh oleh seorang
sumoay dari Hing-san-pay kami!”
Pembicara ini ternyata Gi-jing adanya.
“Siapa sumoaymu itu?” tanya Yim Ngo-heng.
“Dia tidak berada di sini lagi,” sahut Gi-jing. “Gak Put-kun telah membikin celaka ciangbunjin, guru, dan susiok
kami, setiap anak murid Hing-san-pay kami membencinya sampai tulang sumsum. Syukurlah, berkat lindungan
Buddha, melalui tangan seorang sumoay kami hari ini biang keladi daripada segala kejahatan itu telah dapat
dibinasakan sehingga terbalaslah sakit hati kami.”
“O, kiranya begitu!” kata Yim Ngo-heng. “Ya, boleh dikata dosa tak berampun, utang harus bayar.”
Nada ucapannya ternyata sangat hambar dan kecewa.
Hiang Bun-thian dan para tianglo sejawatnya juga saling pandang dengan perasaan kurang gembira.
Maklum, kedatangan pihak Tiau-yang-sin-kau ke Hoa-san kali ini, sebelumnya memang telah direncanakan
dengan sangat rapi, semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buahnya serta organisasi dari
berbagai tempat yang dibawahinya dikerahkan seluruhnya, tujuannya sekaligus Ngo-gak-kiam-pay harus
ditaklukkan, seumpama Ngo-gak-kiam-pay tidak mau menyerah dan berani melawan, maka mereka harus
ditumpas dan dimusnahkan oleh pihak Tiau-yang-sin-kau. Dengan begitu Yim Ngo-heng dan agama yang
dipimpinnya akan termasyhur dan menggetarkan dunia. Habis itu akan ditumpas pula Siau-lim-pay dan Butong-
pay, maka tiada satu golongan atau aliran mana pun dari pihak cing-pay yang dapat melawannya lagi,
sejak itu Tiau-yang-sin-kau akan memerintah Kang-ouw untuk selamanya, dasar yang kuat itu dengan
demikian akan terpupuk di puncak Tiau-yang-hong di atas Hoa-san ini.
Siapa duga tiga tokoh-tokoh terkemuka Ngo-gak-pay seperti Co Leng-tan, Gak Put-kun, Bok-taysiansing, serta
tokoh-tokoh inti dari Thay-san-pay kini ternyata sudah mati semua dengan saling membunuh, malahan anak
murid keempat pay itu kini hanya bersisa sedikit pula. Hal ini berarti rencana rapi yang telah diatur oleh Yim
Ngo-heng akhirnya menemukan kegagalan.
Karena itulah, makin dipikir makin gusarlah Yim Ngo-heng, mendadak ia berteriak, “Coba giring ke sini semua
itu kawanan anjing Ngo-gak-kiam-pay yang belum mampus itu!”
Tianglo yang melapor tadi cepat mengiakan, lalu berlari-lari ke bawah puncak untuk menyampaikan perintah
sang kaucu.
Sementara itu pergolakan perut Lenghou Tiong yang menyiksa tadi sudah mulai mereda. Ketika mendengar
Yim Ngo-heng berteriak agar “kawanan anjing Ngo-gak-pay yang belum mampus” itu supaya digiring ke sini,
meski maksud Yim Ngo-heng bukan hendak memakinya, tapi apa pun juga Hing-san-pay termaksud di dalam
Ngo-gak-pay, dengan sendirinya ia merasa tidak enak oleh kata-kata itu.
Bab 140. Lenghou Tiong Tetap Menolak Masuk Mo-kau
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara bentakan dan makian, dua-tiga tianglo tampak memimpin anak
buahnya menggiring beberapa puluh anak murid Ko-san, Hoa-san, Heng-san, dan Thay-san-pay naik ke atas
situ.
Anak murid Hoa-san-pay memangnya tidak banyak, sedangkan sebagian besar jago-jago Ko-san-pay, HengDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
san-pay, dan Thay-san-pay sudah mati terbunuh tadi, maka jumlah sisa mereka ternyata tinggal tujuh likur
saja alias 27 orang, bahkan semuanya tergolong “bu-beng-siau-cut”, jago-jago yang kurang terkenal, malahan
hampir semuanya terluka.
Keruan Yim Ngo-heng merasa sebal, sebelum rombongan mereka mendekat, dengan gusar ia lantas
membentak, “Buat apa kawanan anjing tak berguna itu? Bawa turun sana, lekas!”
Cepat tianglo-tianglo itu mengiakan pula dan lekas-lekas menggiring tawanannya turun ke bawah puncak.
Yim Ngo-heng mencaci maki lagi beberapa kata, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, “Ngo-gak-kiam-pay
ini boleh dikata kualat dan harus mampus, tanpa susah-susah, tidak perlu keluar tenaga, sedikit pun kita tak
usah turun tangan, tahu-tahu mereka sudah bunuh-membunuh dan mampus semua, sejak kini di dunia Kangouw
takkan terdapat nama mereka lagi.”
Serentak para tertua Tiau-yang-sin-kau membungkuk tubuh dan berseru, “Ya, berkat perbawa Maha-kaucu
yang agung, kawanan tikus celurut itu ternyata musnah dengan sendirinya.”
Lalu Hiang Bun-thian berkata pula, “Di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya Hing-san-pay saja yang paling
menonjol yang lain daripada yang lain, semua itu berkat pimpinan Lenghou-ciangbun yang bijaksana.
Selanjutnya Hing-san-pay dan Sin-kau kita adalah orang sendiri, setubuh dan senapas, merasakan
kebahagiaan bersama. Selamat kepada Kaucu karena mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada
bandingannya sebagai pembantu utama.”
Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, “Ya, benar, ucapan Hiang-cosu memang tidak salah. Nah, saudara
cilik Lenghou, mulai hari ini Hing-san-pay kalian boleh dibubarkan saja. Para suthay dari golonganmu itu boleh
dipilih secara bebas, mau ikut Hek-bok-keh tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka atau kalau ingin
tetap tinggal di Hing-san sini juga tidak menjadi soal. Orang yang pernah tinggal di paviliun Hing-san ini boleh
dianggap sebagai pasukan pribadi Hu-kaucu bagimu, bagus bukan? Hahahahaha!”
Begitulah ia lantas terbahak-bahak dengan suara keras hingga menggetar lembah gunung dan menimbulkan
kumandang suara yang tak berhenti-henti.
Mendengar istilah “hu-kaucu” (wakil kaucu), semua orang sama melengak, tapi sejenak kemudian lantas
terdengar suara sorak-sorai yang gemuruh, dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, “Lenghou-tayhiap
menjadi Hu-kaucu Sin-kau kita, sungguh bagus sekali!”
“Selamatlah Maha-kaucu mendapatkan seorang pembantu yang tepat!”
“Selamat Maha-kaucu! Selamat Hu-kaucu!”
“Hidup Maha-kaucu, hidup Hu-kaucu!”
Para anggota Tiau-yang-sin-kau itu mengetahui Lenghou Tiong adalah bakal menantu sang kaucu, kini secara
terang-terangan telah disebut pula sebagai calon hu-kaucu, maka kelak orang yang pasti akan menggantikan
Yim Ngo-heng tiada lain lagi kecuali Lenghou Tiong pula, apalagi mereka pun tahu watak Lenghou Tiong yang
ramah dan mudah diajak bicara, kelak bila dia naik takhta menjadi kaucu tentu semua anak buahnya akan
lebih aman daripada sekarang yang setiap saat selalu khawatir ada kemungkinan difitnah orang atau takut
bikin marah sang kaucu dan dihukum mati.
Selain golongan pertama itu, sebagian di antara mereka adalah jago-jago Kang-ouw yang dahulu pernah ikut
Lenghou Tiong menyerbu Siau-lim-si, mereka sudah pernah berjuang bersama pemuda itu, banyak di
antaranya merasa utang budi pula padanya, sebab itulah boleh dikata tiada seorang pun yang tidak gembira
demi mendengar keputusan Yim Ngo-heng tadi.
Begitulah Hiang Bun-thian juga lantas mengucapkan selamat kepada Lenghou Tiong, katanya, “Selamatlah Hukaucu,
marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas kehadiranmu ke dalam Sin-kau
kita, habis itu kita akan minum lagi arak bahagia perkawinanmu dengan Yim-toasiocia, ini namanya urusan
baik jadi berlipat, rezeki datang berganda.”
Akan tetapi perasaan Lenghou Tiong sendiri ternyata sedang bingung, dalam hati kecilnya ia cukup sadar
bahwa urusan ini sekali-kali tidak boleh jadi, tapi tidak tahu cara bagaimana harus menolaknya, terpikir
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
olehnya bilamana dirinya menolak kehendak Yim Ngo-heng, hal itu berarti perjodohannya dengan Ing-ing akan
gagal dan putus pula. Dalam gusarnya bukan mustahil Yim Ngo-heng akan membunuhnya malah.
Bahwasanya kematian dirinya tidak menjadi soal, tapi anak murid Hing-san-pay yang lain mungkin juga akan
binasa semua di sini. Hal inilah yang membuatnya ragu-ragu. Harus tegas-tegas menolaknya sekarang atau
menerimanya untuk sementara ini sampai anak murid Hing-san-pay sudah terhindar dari bahaya?
Ia coba berpaling ke arah anak murid Hing-san-pay, dilihatnya macam-macam sikap mereka, ada yang
berwajah gusar, ada yang lesu tak bersemangat, ada yang bingung kehilangan akal.
Tiba-tiba terdengar salah seorang tianglo seragam kuning berseru, “Di bawah pimpinan Maha-kaucu kita
dengan Hu-kaucu baru yang bijaksana, kita pasti dapat menumpas Siau-lim-pay, memusnahkan Bu-tong-pay,
tanpa diserang Kun-lun-pay dan Go-bi-pay juga pasti akan runtuh dengan sendirinya, sedang Jing-sia-pay,
Kong-tong-pay, dan sebangsanya lebih-lebih tiada artinya lagi, tak perlu disentuh juga akan jatuh sendiri.
Hidup Maha-kaucu, panjang umur seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya! Hidup Hu-kaucu,
bahagialah untuk selamanya!”
Sebenarnya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut dan sukar menemukan pilihannya. Tapi demi mendengar
sanjung puji tianglo itu, ia merasa bila dirinya terima kehendak Yim Ngo-heng itu, maka setiap hari dirinya juga
akan mendengar istilah sanjung puji yang lucu itu. Karena itu, tanpa terasa tertawa sendiri.
Suara tertawanya itu jelas mengandung nada sinis, nada mengolok-olok, nada menghina, hal ini dapat
ditangkap oleh setiap orang yang punya pikiran jernih. Keruan seketika suasana di puncak Tiau-yang-hong itu
menjadi sunyi.
“Lenghou-ciangbun,” Hiang Bun-thian membuka suara, “Kaucu telah mengangkat kau sebagai hu-kaucu, itu
berarti kedudukanmu di dunia persilatan hanya di bawah seorang saja dan di atas beratus ribu orang, atas
kemurahan hati Kaucu itu lekas kau mengucapkan terima kasih kepada beliau.”
Sekonyong-konyong hati Lenghou Tiong jadi terbuka, pikirannya menjadi terang, tanpa ragu-ragu lagi ia terus
berbangkit, serunya lantang menghadap ke atas, “Yim-kaucu, Wanpwe ada dua persoalan ingin diutarakan
kepada Kaucu.”
“Silakan bicara saja,” sahut Yim Ngo-heng dengan tersenyum.
“Pertama Wanpwe pernah menerima tugas berat dari ketua Hing-san-pay yang dahulu, yaitu Ting-sian Suthay,
Wanpwe diharuskan menjabat ketua Hing-san-pay, selama ini Wanpwe merasa tidak dapat membawa
kemajuan apa-apa bagi Hing-san-pay, tapi juga pasti takkan membawa Hing-san-pay ke dalam Tiau-yang-sinkau,
kalau sampai Wanpwe berbuat demikian, kelak apakah Wanpwe ada muka buat bertemu dengan Ting-sian
Suthay di alam baka? Inilah soal pertama. Soal kedua adalah urusan pribadi, aku mohon Kaucu sudi
menjodohkan putri kesayanganmu sebagai istriku.”
Waktu mendengarkan Lenghou Tiong menguraikan persoalan pertama tadi, semua orang merasa khawatir Yim
Ngo-heng akan marah mendadak dan urusan bisa menjadi runyam. Tapi demi mendengar persoalan kedua
yang dikemukakan itu, seketika semua orang saling pandang dengan tertawa.
Yim Ngo-heng terbahak-bahak, katanya, “Soal pertama mudah saja diselesaikan, kau boleh menyerahkan
kedudukan ketua Hing-san-pay kepada salah seorang suthay. Kau sendiri masuk Sin-kau, soal Hing-san-pay
akan ikut masuk atau tidak, boleh dirundingkan lagi. Tentang urusan kedua, bahwasanya kau dan Ing-ing
sudah cocok satu sama lain, siapakah yang tidak tahu akan hubungan kalian yang akrab ini? Ya, sudah tentu
aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi lagi. Hahahahaha!”
Serentak orang-orang Tiau-yang-sin-kau sama mengikuti suara sang kaucu dan sama bergelak tertawa
gembira.
Lenghou Tiong berpaling ke arah Ing-ing, dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah, rasa girangnya
tertampak jelas sekali. Sesudah semua orang tertawa gembira, kemudian Lenghou Tiong berkata dengan suara
lantang, “Banyak terima kasih atas maksud baik Kaucu yang telah mengajak Wanpwe masuk ke dalam agama
kalian, bahkan memberi kedudukan sedemikian tinggi dan terhormat, tapi Wanpwe sudah biasa hidup bebas,
seorang yang tidak dapat taat kepada peraturan, kalau masuk agama kalian tentu pula akan membikin runyam
urusan penting Kaucu. Maka setelah kupikirkan masak-masak kukira lebih baik Kaucu menarik kembali
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
keputusan Kaucu tadi.”
Tidak kepalang gusarnya Yim Ngo-heng, dengan ketus ia berkata, “O, jadi kau sudah pasti tak mau masuk Sinkau?”
“Ya, begitulah!” sahut Lenghou Tiong dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Keruan semua orang ikut tercengang mendengar jawaban itu.
Segera Yim Ngo-heng berkata pula, “Dalam tubuhmu pernah terhimpun macam-macam hawa murni orang lain,
baru saja penyakitmu sudah kumat, maka untuk selanjutnya setiap tiga bulan atau setengah tahun satu kali
tentu akan kumat pula, bahkan sekali makin hebat daripada kali yang lain dan untuk dapat memunahkan hawa
murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu di seluruh dunia ini hanya aku seorang saja yang tahu
caranya.”
“Tentang hal ini memang dahulu Kaucu sudah menyinggungnya ketika berada di Bwe-cheng di Hangciu
dahulu,” sahut Lenghou Tiong. “Wanpwe tadi sudah merasakan bagaimana akibat bergolaknya macam-macam
hawa murni dalam tubuh itu, rasanya memang benar-benar sangat tersiksa dan lebih baik mati saja daripada
menderita. Tapi seorang laki-laki pengelana Kang-ouw, soal mati-hidup, senang dan susah adalah soal biasa,
seharusnya tidak perlu banyak dipersoalkan lagi.”
“Hm, keras juga mulutmu,” jengek Yim Ngo-heng. “Hari ini segenap Hing-san-pay kalian sudah berada dalam
genggamanku, umpama seorang pun takkan kulepaskan atau satu pun tidak boleh turun dari gunung ini
dengan hidup, kukira hal ini semudah aku membalik telapak tanganku sendiri.”
“Dengan kepandaian Kaucu yang mahasakti, Wanpwe percaya apa yang Kaucu katakan memang mudah
terlaksana,” sahut Lenghou Tiong dengan tegas. “Tapi biarpun Hing-san-pay terdiri dari kaum wanita semua,
menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Kaucu hendak membunuh kami,
biarlah kita berhadapan dahulu, sampai mati pun Hing-san-pay pantang mundur.”
Segera Gi-jing angkat tangannya memberi tanda, serentak anak murid Hing-san-pay sama berdiri di belakang
Lenghou Tiong.
“Kita semua hanya tahu menaati perintah Ciangbunjin, mati pun tidak gentar,” seru Gi-jing.
“Benar, mati pun pantang mundur!” sahut para murid Hing-san-pay berbareng.
The Oh berseru juga, “Betapa pun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita hanya sedikit, pula kita sudah
masuk perangkap, bilamana orang-orang Kang-ouw mengetahui cara bagaimana Hing-san-pay menghadapi
musuh tanpa gentar, biarpun nanti kita harus mati juga akan meninggalkan nama yang harum.”
Yim Ngo-heng menjadi gusar, ia berbalik terbahak-bahak sambil menengadah, lalu serunya, “Jika sekarang aku
membunuh kalian, tentu aku akan dituduh telah menjebak kalian dan membikin susah kalian secara licik. Nah,
Lenghou Tiong, boleh kau pimpin anak buahmu pulang ke Hing-san, dalam waktu sebulan aku sendiri pasti
akan mendatangi kalian. Tatkala mana bila di atas Hing-san masih bisa tersisa seekor anjing atau seekor ayam
yang hitam, anggaplah aku orang she Yim ini yang tidak becus!”
“Hidup Maha-kaucu! Panjang umur seribu tahun memerintah Kang-ouw selamanya! Bunuh habis orang Hingsan-
pay, anjing ayam pun tak terkecuali!” demikian orang-orang Tiau-yang-sin-kau serentak bersorak
gemuruh.
Dengan kekuatan dan pengaruh Tiau-yang-sin-kau sekarang, apakah pihak Hing-san-pay akan dimusnahkan di
Hing-san sendiri atau sekarang juga dibunuh habis, selisihnya hanya soal waktu saja dalam perjalanan ke Hingsan.
Tak peduli pihak Hing-san-pay akan pulang ke Hing-san untuk mengatur penjagaan pertahanan toh pihak
Tiau-yang-sin-kau pasti mampu membunuhnya hingga habis bersih.
Dahulu Ngo-gak-kiam-pay bermusuhan dengan Tiau-yang-sin-kau yang disebut Mo-kau oleh mereka, kelima
aliran bahu-membahu dan bantu-membantu, aliran mana ada kesulitan, empat aliran yang lain segera
memberi bantuan, meski begitu, selama berpuluh tahun paling-paling juga cuma dapat bertahan saja.
Walaupun di antara kelima pay itu berturut-turut timbul juga tunas-tunas baru dan pimpinan baik, ada juga
rencana akan memusnahkan Tiau-yang-sin-kau sekaligus, tapi selama ini belum pernah berhasil, bahkan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengalahkannya pun tidak. Apalagi sekarang Ngo-gak-kiam-pay hanya tinggal Hing-san-pay, dengan
sendirinya tidak mampu melawan kebesaran Tiau-yang-sin-kau. Tentang ini orang-orang Hing-san-pay cukup
tahu diri, begitu pula orang-orang Tiau-yang-sin-kau juga tahu. Ucapan Yim Ngo-heng akan membabat orangorang
Hing-san-pay secara habis-habisan, bahkan seekor anjing dan seekor ayam juga takkan dibiarkan hidup,
ancaman ini sesungguhnya bukan omong besar belaka.
Padahal di dalam hati Yim Ngo-heng kini sudah ada perhitungan tertentu, ia pikir meski ilmu pedang Lenghou
Tiong sangat lihai, tapi seorang diri betapa pun kekuatannya terbatas, Hing-san-pay boleh dikata tiada artinya
lagi baginya. Yang justru menjadi pertimbangan Yim Ngo-heng sebenarnya adalah Siau-lim-pay dan Bu-tongpay.
Menurut perhitungan Yim Ngo-heng, setelah Lenghou Tiong pulang ke Hing-san, tentu dia akan minta bantuan
kepada Siau-lim dan Bu-tong, dan kedua pay besar ini tentu juga akan mengirim jago-jago pilihan untuk
membantunya. Dalam keadaan demikian ia justru tidak menyerang ke Hing-san, sebaliknya secara mendadak
ia akan menyerbu Bu-tong-san, ia akan memasang tiga perangkap pula di antara jalanan Siau-sit-san
(pegunungan tempat Siau-lim-si berdiri) ke Bu-tong-san.
Jarak Bu-tong-san dan Siau-lim-si hanya beberapa ratus li saja, kalau Bu-tong-pay ada kesukaran, tentu Siaulim-
pay yang berdekatan itu yang akan dimintai bantuan. Sedangkan pada saat itu sebagian jago pilihan Siaulim-
si telah dikirim ke Hing-san, sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Bu-tong-pay. Dalam
keadaan demikian pihak Tiau-yang-sin-kau sekaligus akan membobol dulu pangkalan kuat Siau-lim-pay, Siaulim-
si akan dibakar, habis itu perangkap yang telah dipasang serentak berbangkit memotong barisan musuh,
digempur dari muka dan belakang, tentu para padri Siau-lim-si yang hendak menolong Bu-tong-pay itu akan
terbasmi seluruhnya. Habis itu barulah Bu-tong-san akan dikepung, tapi tidak lantas melancarkan serangan.
Dia sengaja menunggu bila jago-jago Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay yang pergi membantu Hing-san-pay itu
menerima berita buruk dan bergegas-gegas kembali ke Bu-tong-san, dalam keadaan pihak mereka lelah dan
pihak sendiri penuh tenaga itulah akan dilakukan sergapan di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat
memuaskan. Habis itu soal menyerang Bu-tong-san dan menumpas Hing-san boleh dikata akan terlaksana
dengan sangat mudah.
Betapa tajam otak Yim Ngo-heng dan lihai tipu dayanya sungguh jarang terdapat di dunia persilatan selama
beratus-ratus tahun ini, dalam sekejap saja dia sudah menentukan tipu apa yang bakal digunakan untuk
menumpas Bu-tong dan Siau-lim-pay, dua aliran persilatan yang terbesar dan musuh yang terbesar. Menurut
perhitungannya, siasatnya ini sembilan dari sepuluh bagian pasti akan berhasil. Jadi penolakan Lenghou Tiong
akan masuk agamanya meski membikin malu padanya di hadapan anak buah sendiri, tapi lantaran itu juga
tujuan Tiau-yang-sin-kau akan mencaplok aliran-aliran persilatan lain dan memerintah Kang-ouw untuk
selamanya akan menjadi terkabul, maka betapa rasa girang Yim Ngo-heng sungguh sukar dilukiskan.
Air mata Ing-ing sudah sejak tadi berlinang-linang di kelopak matanya, kini tak tertahan lagi lantas bercucuran.
“Jika aku ikut kau ke Hing-san berarti aku tidak berbakti kepada orang tua,” kata Ing-ing dengan terisak-isak.
“Kalau aku mengingkari kau, berarti pula aku tidak setia. Bakti dan setia sukar tercapai bersama. Engkoh
Tiong, O, Engkoh Tiong, sejak kini janganlah kau memikirkan diriku, sebab....”
“Kenapa?” tanya Lenghou Tiong.
“Sebab jiwamu toh takkan lama lagi dan aku pun pasti takkan hidup lebih lama sehari pun daripadamu,” kata
Ing-ing.
“Ayahmu sudah berjanji sendiri akan menjodohkan kau kepadaku, beliau adalah Kaucu mahabijaksana, mana
boleh tidak pegang teguh akan janjinya sendiri? Biarlah sekarang juga aku menikahi kau di sini, saat ini juga
kita akan terikat menjadi suami-istri.”
Ing-ing menjadi melengak. Meski dia sudah kenal Lenghou Tiong sebagai pemuda petualang yang berani
berkata berani berbuat, tapi tidak pernah menduga akan bicara blakblakan demikian di hadapan orang banyak.
Keruan ia menjadi kikuk, air mukanya menjadi merah, sahutnya, “Mana... mana boleh jadi begini?”
Lenghou Tiong terbahak-bahak, katanya, “Jika begitu biarlah kita berpisah saja sekarang.”
Ia pun cukup kenal pikiran Ing-ing, pada waktu Yim Ngo-heng menggempur Hing-san nanti dan dirinya
terbunuh maka si nona juga pasti akan membunuh diri untuk mengikutnya di alam baka, hal ini sudah pasti
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
akan terjadi dengan sendirinya, betapa pun sukar dicegah. Tapi kalau sekarang si nona mau meninggalkan
pandangan kolot umumnya dan bersedia menikah padanya di atas Tiau-yang-hong ini juga, dengan demikian
kedua orang akan sama-sama masuk Hing-san-pay, cukup beberapa hari saja mereka menikmati kebahagiaan
sebagai pengantin baru, habis itu kedua orang akan mati bersama dan mereka pun tidak perlu menyesal lagi
akan hidup mereka.
Namun hal ini sesungguhnya memang terlalu luar biasa dan menyimpang daripada adat istiadat umum,
tidaklah menjadi soal bagi petualang seperti diriku ini, tapi pasti takkan diperbuat oleh Yim-toasiocia yang
masih taat kepada adat ini, apalagi jika jadi demikian tentu si nona akan menanggung nama jelek sebagai putri
yang membangkang dan tidak berbakti kepada orang tua.
Karena pikiran itulah Lenghou Tiong lantas bergelak tertawa pula, ia lantas memberi hormat kepada Yim Ngoheng,
lalu memberi salam pula kepada Hiang Bun-thian dan para tianglo sekeliling situ, serunya, “Lenghou
Tiong akan menantikan kunjungan kalian di Kian-seng-hong!”
Habis berkata ia terus putar tubuh dan melangkah pergi.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru. “Ambilkan arak! Lenghou-hiante, hari ini kita harus minum
sepuas-puasnya, mungkin kelak tiada kesempatan lagi.”
“Bagus, bagus! Hiang-toako memang benar-benar kawan sepaham akan kegemaranku!” sahut Lenghou Tiong
dengan tertawa.
Kedatangan Tiau-yang-sin-kau ke Hoa-san ini segalanya telah diatur dengan rapi, termasuk pula segala macam
perbekalan yang perlu. Maka begitu Hiang Bun-thian minta arak, segera anak buahnya membawa beberapa
guci arak ke hadapannya, tutup guci dibuka dan arak lantas dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak omong
Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong lantas adu mangkuk dan sama-sama menghabiskan isi satu mangkuk.
Tiba-tiba di antara orang banyak tampil seorang tua pendek gemuk, ternyata Lo Thau-cu adanya, serunya,
“Lenghou-kongcu, budi pertolonganmu dahulu tak pernah kulupakan untuk selamanya, biarlah sekarang aku
pun menyuguhkan satu mangkuk padamu.”
Habis berkata ia pun adu mangkuk dan minum bersama Lenghou Tiong.
Padahal Lo Thau-cu hanya seorang Kang-ouw yang hidup bebas, kedudukannya sudah tentu tak bisa
disejajarkan dengan Hiang Bun-thian, kini Lenghou Tiong tegas-tegas menolak masuk Tiau-yang-sin-kau,
secara terang-terangan ia telah memusuhi Yim Ngo-heng pula, tapi orang Kang-ouw yang tiada ternama
sebagai Lo Thau-cu juga berani menyuguh arak kepada Lenghou Tiong, hal ini berarti pula dia berani melawan
kehendak Yim Ngo-heng, bukan mustahil sebentar lagi jiwanya akan melayang. Tapi dia ternyata lebih berat
kepada rasa setia kawan daripada jiwa sendiri, terang ia tidak memikirkan mati atau hidupnya sendiri lagi.
Begitulah para kesatria menjadi kagum juga melihat keberanian Lo Thau-cu itu. Maka menyusul Coh Jian-jiu,
Keh Bu-si, Na Hong-hong, dan kawan-kawannya satu per satu juga tampil ke depan untuk mengadu mangkuk
arak dengan Lenghou Tiong.
Sama sekali Lenghou Tiong tidak menolak suguhan mereka, setiap mangkuk ia minum habis sehingga berpuluh
mangkuk arak telah ditenggaknya dan nyatanya kawan-kawan yang ingin minum bersama dia masih terus
antre tak terputus-putus. Alangkah besar hati Lenghou Tiong melihat betapa cara teman-teman itu menghargai
dirinya, ia merasa hidup ini tidaklah sia-sia, segera ia angkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang,
“Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian, sayang kekuatanku minum terbatas, hari ini aku tidak
sanggup minum lagi lebih banyak. Biarlah lain hari bila kawan-kawan ikut menyerbu ke Hing-san, aku akan
menunggu kalian di kaki Hing-san dengan arak-arak enak, di situlah kita boleh minum sepuas-puasnya, habis
itu baru kita bertempur!”
Sembari berkata, isi mangkuknya lantas ditenggaknya pula.
“Lenghou-ciangbun sungguh seorang yang suka bicara blakblakan!” seru para kesatria berbareng.
“Ya, kalau sudah kenyang minum dan mabuk barulah kita bertempur serabutan, menarik juga tentunya!”
demikian ada yang menambahkan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu Lenghou Tiong membuang mangkuknya, dengan berjalan sempoyongan ia lantas turun ke bawah gunung
diikuti oleh Gi-ho, Gi-jing, dan anak murid Hing-san-pay yang lain.
Di waktu para kesatria sedang minum arak bersama Lenghou Tiong, Yim Ngo-heng ternyata tersenyumsenyum
saja, tapi di dalam hati ia sedang membikin rekaan secara terperinci akan siasatnya menggempur
Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay nanti. Terutama cara bagaimana harus pura-pura menyerang Hing-san untuk
memancing bantuan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, ia pikir rencananya itu harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan curiga pihak lawan yang terkenal tidak kalah cerdiknya itu. Dan ketika Lenghou
Tiong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, maka rencana dalam batinnya juga sudah selesai dibentuk,
hanya tinggal pelaksanaannya saja.
Selain itu juga terpikir olehnya, “Kawanan bangsat ini berani menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong di
hadapanku, perbuatan mereka harus diberi hukuman secara setimpal, biarlah utang mereka ini kucatat dahulu,
kini aku masih memerlukan tenaga mereka, nanti kalau Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, dan Hing-san-pay sudah
kutumpas seluruhnya, maka orang-orang yang menyuguh arak kepada Lenghou Tiong ini pasti akan menerima
ganjarannya.”
Tiba-tiba terdengar Hiang Bun-thian berseru, “Dengarkan, kawan-kawan! Bahwasanya Maha-kaucu sudah tahu
kebandelan Lenghou Tiong dan tidak tahu maksud baik orang, tapi Kaucu masih coba membujuknya dengan
ramah tamah, semua ini jelas disebabkan kebesaran jiwa Kaucu, suka kepada orang berbakat. Tapi sebenarnya
masih ada suatu maksud yang mendalam yang tak bisa dipahami oleh orang kasar sebagai Lenghou Tiong itu.
Kini tanpa susah-susah kita telah dapat menumpas Ko-san, Thay-san, Hoa-san, dan Heng-san-pay, seterusnya
Tiau-yang-sin-kau pasti akan lebih termasyhur, lebih terhormat, lebih disegani!”
“Benar! Hidup Maha-kaucu! Semoga panjang umur dan memerintah Kang-ouw selamanya!” teriak orang
banyak dengan bergemuruh.
Setelah suara teriakan orang-orang itu mereda, kemudian Hiang Bun-thian melanjutkan, “Di dunia persilatan
sekarang tinggal Siau-lim dan Bu-tong-pay, kedua pay yang masih tetap merupakan ancaman bagi kau kita.
Untuk ini Kaucu sengaja atur siasat bagus, pilihannya jatuh pada diri Lenghou Tiong, melalui bocah itu kita
akan dapat sapu bersih Siau-lim-pay dan menumpas Bu-tong-pay. Perhitungan Kaucu mahajitu, rencananya
sangat rapi. Beliau sudah menduga pasti Lenghou Tiong tak mau masuk kau kita dan kini ternyata benar,
bocah itu menolak bujukan Kaucu. Bahwasanya kita menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong, hal ini pun
merupakan salah satu siasat Kaucu.”
“O, kiranya begitu!” seru orang banyak. Lalu beramai-ramai mereka berteriak lagi. “Hidup Maha-kaucu kita,
panjanglah umur beliau seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya!”
Hiang Bun-thian yang sudah bergaul berpuluh tahun dengan Yim Ngo-heng, maka ia cukup kenal pribadi sang
kaucu, bahwasanya tadi terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir dirinya menyuguhkan arak perpisahan
kepada Lenghou Tiong, hal ini tentu tidak disukai oleh Yim Ngo-heng. Bagi dirinya masih tidak menjadi soal,
mengingat hubungan baik sang kaucu padanya, tapi orang-orang lain seperti Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan
sebagainya juga ikut-ikutan menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong, perbuatan itu bukan mustahil akan
mendatangkan bencana bagi jiwa mereka. Apalagi dilihatnya air muka Yim Ngo-heng sebentar terang sebentar
guram tak tentu, maka ia lantas sengaja mengarang suatu rentetan kata-kata sanjung puji untuk menutupi
kejadian tadi, harapannya dengan ucapannya itu dapatlah menolong Lo Thau-cu dan lain-lain dari kematian.
Sebab dengan ucapan-ucapan Hiang Bun-thian tadi, bukan saja sama sekali tidak mengurangi wibawa Yim
Ngo-heng, bahkan menjunjung tinggi kepemimpinannya yang hebat.
Dan ternyata Yim Ngo-heng menjadi senang sekali mendengar kata-kata Hiang Bun-thian itu, diam-diam ia
mengakui betapa pun Hiang Bun-thian tidak sia-sia sebagai tangan kirinya, pembantu utama yang tepercaya
dan nyatanya dia pula yang paling dapat memahami isi hatinya. Tapi meski dia tahu aku ingin menyapu bersih
Siau-lim-pay dan menumpas Bu-tong-pay, bagaimana caranya dan siasat yang telah kuatur terang ia tak dapat
menerkanya. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, sebelum dilaksanakan, Hiang-cosu
sekalipun takkan kuberi tahu secara terperinci. Demikianlah pikir Yim Ngo-heng.
Dalam pada itu seorang tianglo berseru pula, “Dengan kepemimpinan Maha-kaucu, segala urusan besar di
dunia sudah lama berada dalam perhitungan beliau, apa yang beliau katakan tentu tidak salah, apa yang beliau
perintahkan segera kita kerjakan juga, pasti takkan keliru.”
“Ya, asalkan sebuah jari Maha-kaucu bergerak segera kita lakukan apa pun perintahnya, ke lautan api atau ke
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dalam minyak mendidih juga kita takkan menolak,” sambung seorang lagi.
“Kaucu mahabijaksana, baik kepintarannya maupun ketangkasannya tiada bandingannya baik oleh kaum cerdik
pandai dan nabi sekalipun dari zaman dahulu kala sampai sekarang,” teriak seorang tianglo yang lain.
Dan begitulah keadaan menjadi riuh ramai oleh teriakan semboyan dan sanjung puji yang tak terputus-putus
diselang-seling dengan sorakan, “Hidup Kaucu! Panjang umur seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya!
Hancurkan Siau-lim-si, sapu bersih Bu-tong-pay!”
Menghadapi sorak-sorai anak buahnya itu, walaupun Yim Ngo-heng tahu juga bahwa sanjung puji itu terkadang
berlebih-lebihan dan tidak masuk di akal, akan tetapi di dalam hati kecilnya ia merasa puas, merasa syur.
Dengan wajah berseri-seri ia lantas berbangkit dari tempat duduknya. Melihat sang kaucu berdiri, semua orang
serentak mendekam ke bawah memberi sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Tiau-yang-hong berubah
menjadi sunyi senyap.
Yim Ngo-heng terbahak-bahak, katanya, “Semoga keadaan abadi seperti ha....” sampai di sini tiba-tiba
suaranya berubah serak. Ia coba mengerahkan tenaga dan mengatur napas, ia hendak mengucapkan “hari ini”
yang belum sempat tercetus dari mulutnya itu, tapi dada terasa kejang, betapa pun kata-kata itu sukar
diucapkan. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke tengah
kerongkongannya, terasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang silau oleh cahaya matahari.
Bab 141. Yim Ngo-heng Mati, Pertikaian pun Berhenti
Ketika para anggota Tiau-yang-sin-kau mendengar ucapan sang kaucu mendadak berhenti setengah-setengah,
suaranya juga kedengaran serak, semua orang menjadi kaget dan sama mendongak, maka terlihatlah kulit
muka sang kaucu berkerut-kerut, tampaknya sangat kesakitan, menyusul tubuh sang kaucu menggeliat terus
roboh terjungkal.
“Kaucu!” Hiang Bun-thian berseru kaget.
“Ayah!” Ing-ing pun berseru khawatir. Keduanya sama-sama memburu maju dan sempat menahan tubuh Yim
Ngo-heng yang roboh itu.
Tapi tubuh Yim Ngo-heng hanya berkelojotan beberapa kali saja, lalu berhenti bernapas.
Itulah nasib manusia pada umumnya, apakah dia seorang pahlawan atau nabi sekalipun, baik seorang penjahat
besar maupun orang alim, akhirnya toh meninggal dunia juga.
Sementara itu Lenghou Tiong yang turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk, sampai lewat tengah
malam barulah dia sadar kembali. Sesudah sadar, baru diketahui dirinya sudah berada di tengah ladang luas,
para murid Hing-san-pay sama berduduk di kejauhan untuk menjaganya. Teringat seterusnya mungkin tiada
harapan buat berjumpa kembali dengan Ing-ing, berdukalah hati Lenghou Tiong.
Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai Kian-seng-hong di Hing-san dengan selamat, segenap anak
murid Hing-san-pay lantas mengadakan sembahyangan terhadap abu Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay
berhubung terbalasnya sakit hati mereka.
Mengingat dalam waktu singkat Hing-san pasti akan diserbu oleh Tiau-yang-sin-kau, habis pertempuran itu
Hing-san-pay tentu akan musnah. Karena kekalahan sudah diketahui sebelumnya, maka setiap orang menjadi
tidak perlu khawatir malah.
Sementara, itu Put-kay Hwesio dan istrinya serta Gi-lim dan Dian Pek-kong juga sudah menggabungkan diri
dengan rombongan besar di kaki gunung Hoa-san. Lenghou Tiong menduga Put-kay dan istrinya tentu takkan
meninggalkan anak perempuannya untuk menyelamatkan diri sendiri, maka ia pun membiarkan mereka tetap
tinggal di Hing-san.
Karena menganggap tiada gunanya berlatih lagi, sebab toh tiada gunanya dan takkan terhindar kematian,
maka anak murid Hing-san-pay itu menjadi malas untuk berlatih ilmu pedang seperti biasanya, hanya sebagian
yang tetap taat kepada agama dan setiap hari tetap menjalankan ibadat dengan baik, sedang lain-lainnya yang
iseng lantas pesiar ke seluruh pegunungan indah itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Selang beberapa hari, Kian-seng-hong tiba-tiba kedatangan sepuluh orang hwesio, yang mengepalai adalah
ketua Siau-lim-si, Hong-ting Taysu. Saat itu Lenghou Tiong sedang menenggak arak sendirian di biara induk,
ketika mendapat laporan kedatangan Hong-ting Taysu itu, ia terkejut dan bergirang pula, lekas-lekas ia keluar
menyambut.
Dilihatnya Hong-sing Taysu juga ikut datang, sedang kedelapan hwesio yang lain semuanya sudah berusia
lanjut, setelah diperkenalkan, ternyata semuanya adalah hwesio angkatan “Hong”, hwesio angkatan tua
setingkatan dengan Hong-ting Taysu.
Lenghou Tiong menyambut para hwesio itu ke dalam biara induk dan berduduk di atas kasuran semadi. Biara
induk itu sebenarnya adalah tempat tirakat Ting-sian Suthay, biasanya terawat dengan baik dan bersih, tapi
sejak Lenghou Tiong tinggal di situ, dalam rumah penuh guci arak, cawan arak banyak yang berserakan.
Dengan wajah merah jengah Lenghou Tiong meminta maaf atas keadaan tempatnya yang kotor itu. Tapi
dengan tersenyum Hong-ting berkata, “Kedatangan kami hari ini adalah untuk urusan penting, maka Lenghouciangbun
tak perlu sungkan-sungkan. Kabarnya Lenghou-ciangbun demi membela Hing-san-pay telah menolak
kedudukan wakil kaucu Tiau-yang-sin-kau, bahkan tidak memikirkan keselamatan sendiri dan rela memisahkan
diri dengan Yim-toasiocia yang diketahui adalah kekasih sehidup-semati Lenghou-ciangbun, dalam hal ini para
kawan bu-lim sungguh sangat kagum terhadap sikap Lenghou-ciangbun.”
Seketika Lenghou Tiong tercengang. Padahal persoalan penolakan kedudukan wakil kaucu segala itu telah
dipesan kepada para murid Hing-san-pay agar tidak disiarkan keluar, tapi Hong-ting Taysu ternyata
mengetahui juga kejadian itu. Segera ia menjawab, “Ah, Taysu suka memuji, aku menjadi malu. Tentang
hubungan diri Wanpwe dengan pribadi Yim-kaucu memang banyak suka-dukanya dan sukar dijelaskan,
Wanpwe juga terpaksa mesti mengingkari kebaikan Yim-toasiocia, Taysu tidak mencela akan tindakan Wanpwe
ini, sebaliknya memuji malah, sungguh Wanpwe tak berani menerimanya.”
“Menurut kabar, Yim-kaucu telah menyiarkan berita di luar bahwa dalam waktu singkat dia akan pimpin anak
buahnya menyerbu ke Hing-san sini. Kini Ngo-gak-pay hanya tinggal Hing-san-pay saja, bala bantuan dari luar
tidak ada lagi, tapi Lenghou-ciangbun ternyata tidak mau mengirim berita kepada kami, jangan-jangan
menganggap Siau-lim-pay kami adalah orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setia kawan
terhadap sesama kawan bu-lim?”
“Sama sekali Wanpwe tidak mempunyai anggapan demikian,” cepat Lenghou Tiong minta maaf. “Soalnya
Wanpwe merasa segala urusan yang timbul sekarang ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah
bergaul dengan gembong-gembong Mo-kau, Wanpwe pikir seorang yang berbuat biarlah seorang saja yang
bertanggung jawab, bikin susah segenap anggota Hing-san-pay saja sudah tidak enak bagiku, mana Wanpwe
berani membikin susah pula kepada Taysu dan Tiong-hi Totiang.”
“Ucapan Lenghou-ciangbun ini kurang tepat,” ujar Hong-ting dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun
yang lalu pihak Mo-kau mempunyai tujuan hendak menumpas Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay serta Ngo-gakkiam-
pay, tatkala itu Lolap sendiri belum lahir, lalu apa sangkut pautnya urusan ini dengan Lenghou-ciangbun
sekarang?”
“Ya, mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya cing dan sia tak mungkin hidup bersama. Mokau
dan cing-pay kita sudah bermusuhan sekian lamanya, selama ini selalu terjadi pertempuran sengit.
Menurut pengetahuan Wanpwe yang cetek, kukira kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu
permusuhan dapat dihapus, tak tahunya biarpun hubungan Yim-kaucu dengan Wanpwe sedemikian baiknya,
akhirnya tetap harus bertemu di medan perang.”
“Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan akan dapat dihapus, hal ini sebenarnya betul
juga,” kata Hong-ting. “Pertarungan antara golongan cing-pay kita dengan Tiau-yang-sin-kau sebenarnya juga
tiada dasar yang kuat, soalnya cuma pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai bu-lim, masing-masing
ingin menumpas pihak lawan. Tempo hari Lolap dan Tiong-hi Totiang serta Lenghou-ciangbun bertiga telah
bicara di Sian-kong-si, waktu itu Lolap sudah menyatakan khawatir akan maksud Co-ciangbun dari Ko-san yang
hendak melalap Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay saja, yang kukhawatirkan justru adalah ambisinya
yang ingin merajai dunia persilatan itu.”
Sampai di sini ia berhenti sejenak dan menghela napas panjang, lalu menyambung pula, “Konon Tiau-yang-sinkau
ada semboyan yang menyatakan, ‘Hidup seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya’, kalau YimDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kaucu sudah punya niat begitu, maka dunia persilatan takkan pernah tenteram lagi. Kalau Yim-kaucu sudah
menyatakan di dalam sebulan akan menyapu bersih seluruh penghuni Hing-san, sekali dia berani berkata,
tentu juga akan dia laksanakan. Maka sekarang jago-jago dari Siau-lim, Bu-tong, Kun-lun, Go-bi, Kong-tong,
dan lain-lain sudah berkumpul semua di kaki gunung ini.”
“Hah, begitukah?” seru Lenghou Tiong sambil melonjak terkejut. “Para cianpwe dari berbagai aliran telah
datang membantu, Wanpwe sedikit pun tidak tahu, sungguh harus dicela. Tapi entah dari mana pula Taysu
mendapat kabar tentang akan diserbunya Hing-san oleh pihak Tiau-yang-sin-kau?”
“Lolap mendapat tahu dari berita surat seorang cianpwe,” jawab Hong-ting.
“Cianpwe?” Lenghou Tiong menegas. Padahal ia tahu kedudukan Hong-ting Taysu di dunia persilatan sudah
sangat tinggi, mana ada orang yang tingkatannya lebih tua daripada dia?
Dengan tersenyum Hong-ting lantas berkata pula, “Cianpwe itu adalah tokoh terkenal dari Hoa-san-pay, orang
yang pernah mengajarkan ilmu pedang kepada Lenghou-ciangbun.”
“Ah, kiranya Hong-thaysusiok!” seru Lenghou Tiong dengan girang.
“Benar, memang Hong-cianpwe adanya,” kata Hong-ting. “Hong-cianpwe itu telah mengirim enam orang sobat
ke Siau-lim-si untuk memberitahukan tentang apa yang dilakukan oleh Lenghou-ciangbun di Tiau-yang-hong
tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu rada bertele-tele dan tidak keruan, tapi setelah mendengarkan
dengan sabar, akhirnya Lolap dapat memahaminya dengan jelas.”
“O, Tho-kok-lak-sian, bukan?” tanya Lenghou Tiong.
“Benar, memang Tho-kok-lak-sian,” sahut Hong-ting.
“Ketika di Hoa-san, sebenarnya aku ingin menghadap Hong-thaysusiok, tapi karena macam-macam urusan,
sampai meninggalkan gunung itu tetap tidak sempat berkunjung kepada beliau. Tak terduga bahwa segala apa
telah diketahui seluruhnya oleh beliau.”
“Hong-cianpwe itu memang tidak suka menonjolkan diri, tapi segala perbuatan pihak Tiau-yang-sin-kau di Hoasan
cukup diketahui oleh beliau, sudah tentu beliau tak bisa tinggal diam. Seperti Tho-kok-lak-sian yang suka
gila-gilaan itu, mereka telah ditawan oleh Hong-cianpwe dan dikerangkeng selama beberapa hari, kemudian
merekalah yang disuruh mengirimkan berita ke Siau-lim-si.”
“Entah Hong-thaysusiok menghendaki apa yang harus kita lakukan?” tanya Lenghou Tiong.
“Dalam surat Hong-locianpwe itu, beliau menulis dengan sangat rendah hati, katanya beliau mendengar akan
maksud Tiau-yang-sin-kau itu, maka sengaja mengirim kabar kepada Lolap, katanya Lenghou-ciangbun adalah
murid kesayangannya, tindakan Lenghou-ciangbun yang tegas-tegas menolak ajakan pihak Mo-kau itu sangat
menyenangkan Hong-locianpwe, maka beliau menyuruh Lolap suka menjaga dirimu. Padahal ilmu silat
Lenghou-ciangbun sepuluh kali lebih hebat daripada Lolap, mana Lolap berani menerima permintaan ‘menjaga’
dirimu segala.”
“Tapi Taysu menjaga diri Wanpwe sudah bukan cuma sekali dua kali saja,” ujar Lenghou Tiong dengan sangat
berterima kasih.
“Ah, mana,” sahut Hong-ting. “Setelah mengetahui urusan ini, jangankan ada perintah dari Hong-locianpwe,
melulu hubungan baik kedua pay kita saja dan persahabatan Lolap dengan Lenghou-ciangbun, tak mungkin
Lolap tinggal diam. Apalagi persoalan ini menyangkut mati atau hidup berbagai golongan cing-pay, bila Hingsan-
pay benar-benar dimusnahkan oleh Tiau-yang-sin-kau, masakah Siau-lim dan Bu-tong-pay takkan
mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami lantas menyebarkan pemberitahuan pada berbagai golongan
dan aliran agar berkumpul di Hing-san untuk bertempur mati-matian menghadapi Tiau-yang-sin-kau.”
Sebenarnya Lenghou Tiong sudah putus asa sejak kembali dari Hoa-san, sebab melihat kehebatan Tiau-yangsin-
kau itu, betapa pun Hing-san-pay tidak mampu melawannya, ia hanya dapat menunggu kedatangan Yim
Ngo-heng saja untuk kemudian bersama segenap anak buah Hing-san-pay melawan mati-matian hingga titik
darah penghabisan. Pernah juga ada anak murid Hing-san yang mengusulkan agar minta bantuan kepada Siaulim-
pay dan Bu-tong-pay, akan tapi Lenghou Tiong anggap tiada gunanya, sebab kekuatan Siau-lim dan BuDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tong-pay juga terbatas, biarpun datang membantu juga sukar menahan serbuan Mo-kau secara besar-besaran
itu. Kalau sudah jelas demikian halnya, lalu apa gunanya ikut mengorbankan orang-orang Siau-lim-pay dan Butong-
pay? Begitulah jalan pikiran Lenghou Tiong.
Dalam hati kecilnya sebenarnya dia tidak ingin bertempur dengan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, tapi
setelah harapan perjodohan dengan Ing-ing sudah putus, tanpa terasa timbul pikirannya yang apatis, dirasakan
hidup ini tiada artinya lagi, bahkan lebih baik mati saja selekasnya. Tapi melihat kedatangan Hong-ting adalah
atas permintaan Hong Jing-yang, seketika semangatnya terbangkit. Tapi untuk benar-benar bertempur matimatian
dengan pihak Tiau-yang-sin-kau baginya tetap tiada hasrat.
“Lenghou-ciangbun,” demikian Hong-ting berkata pula, “sesungguhnya Lolap juga bukan orang yang suka main
kekerasan, kalau urusan ini dapat didamaikan tentu saja sangat baik, tetapi kalau kita sudah mengalah satu
langkah, sebaliknya Yim-kaucu lantas maju satu langkah maka persoalan sekarang bukan lagi kita tak mau
mengalah, tapi Yim-kaucu yang bertekad akan membasmi kita secara habis-habisan, kecuali kalau kita mau
menyembah padanya dan meneriakkan semboyan ‘hidup Maha-kaucu dan memerintah Kang-ouw selamanya’
segala!”
Lenghou Tiong merasa geli juga mendengar cara Hong-ting menirukan cara orang-orang Mo-kau menyerukan
semboyan yang berlebih-lebihan itu, jawabnya kemudian dengan tertawa, “Ya, memang betul ucapan
Hongtiang Taysu. Wanpwe sendiri bila mendengar seruan semboyan itu seketika lantas berdiri bulu romaku.”
“Tempo hari agaknya Hong-locianpwe telah melihat keadaan Lenghou-ciangbun waktu menahan rasa sakit
perut, maka beliau sengaja suruh Tho-kok-lak-sian menyampaikan sejenis kunci ajaran lwekang yang tinggi
dan suruh Lolap mewakilkan beliau mengajarkannya kepada Lenghou-ciangbun. Untuk ini harap Lenghouciangbun
bersama Lolap masuk ke dalam agar Lolap dapat menyampaikan kalimah kunci rahasia lwekang
tersebut.”
Dengan sangat hormat Lenghou Tiong lantas membawa Hong-ting Taysu ke sebuah kamar yang sunyi. Karena
Hong-ting mengajarkan kalimah kunci ilmu lwekang itu atas nama Hong Jing-yang, maka sama saya seperti
menghadapi moyang guru, segera Lenghou Tiong berlutut dan menyembah kepada Hong-ting.
Hong-ting juga tidak sungkan-sungkan menerima penghormatan itu, lalu berkata, “Hong-locianpwe menaruh
harapan besar terhadap Lenghou-ciangbun, maka hendaklah kau dapat meyakinkan lwekang ini dengan baik
sesuai kalimah rahasia yang kusampaikan ini.”
Lenghou Tiong mengiakan dan berjanji akan patuh terhadap pesan itu.
Lalu Hong-ting mulai menguraikan kalimah-kalimah kunci lwekang yang tidak terlalu panjang itu, seluruhnya
cuma terdiri dari ratusan huruf saja hingga dengan gampang dapat dihafalkan Lenghou Tiong di luar kepala
sesudah Hong-ting mengulangi beberapa kali uraiannya.
Meski kalimah-kalimah ajaran lwekang itu cuma terdiri dari ratusan huruf saja, tapi isinya teramat luas dan
dalam, lain daripada yang lain.
“Ilmu pedang Lenghou-ciangbun memang sangat tinggi, tapi dalam hal lwekang agaknya kurang sempurna,”
kata Hong-ting pula. “Meski inti lwekang ajaran Hong-cianpwe ini agak berbeda daripada ilmu lwekang Siaulim-
pay, namun ilmu silat di dunia ini boleh dikata “Bhineka Tunggal Eka” berbeda-beda tapi berasal dari satu,
dasarnya tidak banyak berlainan. Maka dari itu, bila Lenghou-ciangbun tidak menolak, bolehlah Lolap
menambahkan penjelasan-penjelasan seperlunya atas inti ajaran Hong-locianpwe ini.”
Lenghou Tiong tahu Hong-ting adalah tokoh kosen terkemuka di dunia persilatan, kalau mendapat petunjuknya
sama saja seperti mendapatkan ajaran langsung dari Hong Jing-yang, kalau Hong-thaysusiok minta Hong-ting
mewakilkan dia, dengan sendirinya karena hwesio agung Siau-lim-si ini memang memiliki lwekang yang
mahatinggi. Sebab itulah tanpa ragu-ragu Lenghou Tiong lantas mengiakan dan menerima dengan baik
tawaran Hong-ting.
Begitulah Hong-ting lantas memberi penjelasan kalimat demi kalimat daripada inti lwekang yang diuraikannya
tadi, lalu memberi petunjuk pula caranya mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga serta cara-cara
semadi dan sebagainya.
Semula Lenghou Tiong hanya menghafalkan kalimah rahasia lwekang tadi di luar kepala secara mati tanpa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memahami maknanya. Tapi setelah mendapat penjelasan dan pemecahan dari Hong-ting barulah ia
mengetahui bahwa setiap kalimah kunci lwekang itu mengandung macam-macam filsafat yang mahaluas.
Sebenarnya bakat Lenghou Tiong sangat tinggi, tapi inti lwekang itu ternyata cukup membuatnya memeras
otak setengah hari. Untunglah Hong-ting Taysu dengan sabar suka memberi penjelasan secara terperinci
sehingga membuat Lenghou Tiong dapat menemukan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah dicapainya.
Sambil menghela napas gegetun, berkatalah Lenghou Tiong, “Hongtiang Taysu, perbuatan Wanpwe di Kangouw
selama ini sesungguhnya terlalu gegabah, sama sekali Wanpwe tidak sadar akan kepicikan sendiri, kalau
dipikir sungguh Wanpwe merasa malu. Hari ini Wanpwe benar-benar seperti si buta yang baru melek, biarpun
hidup Wanpwe ini takkan tahan lama karena dalam waktu singkat pasti akan musnah di tangan Yim-kaucu, tapi
Wanpwe tetap merasa senang menerima ajaran lwekang dari Hong-thaysusiok ini.”
“Berbagai golongan cing-pay kita kini sudah berkumpul di dekat Hing-san sini, bila Tiau-yang-sin-kau benarbenar
menyerbu kemari, beramai-ramai kita menghadapinya, rasanya belum pasti akan kalah,” demikian ujar
Hong-ting. “Maka dari itu janganlah Lenghou-ciangbun patah semangat. Lwekang tinggi ini takkan terlatih
dengan sempurna dalam waktu beberapa tahun, namun sehari akan bertambah baik sehari bilamana berlatih
secara teratur. Dalam waktu singkat ini kita toh tiada urusan apa-apa, maka silakan Lenghou-ciangbun mulai
berlatih saja. Mumpung Lolap mengganggu di tempatmu ini, marilah kita tukar pikiran bersama.”
“Kebaikan Taysu sungguh Wanpwe sangat berterima kasih,” kata Lenghou Tiong.
“Saat ini mungkin Tiong-hi Toheng juga sudah datang, marilah kita coba keluar melihatnya!” ajak Hong-ting.
“O, kiranya Tiong-hi Totiang juga akan tiba, memang kita harus menyambutnya,” kata Lenghou Tiong.
Begitulah mereka lantas keluar kembali ke ruangan luar, ternyata ruangan sembahyang itu sudah dipasang api
lilin. Kiranya tidak kurang dari empat jam mereka berdua berada di dalam kamar semadi itu untuk pengajaran
lwekang tadi, kini hari sudah gelap.
Tertampak pula di ruangan situ berduduk tiga orang tosu tua dan sedang bicara dengan Hong-sing Taysu.
Seorang di antaranya bukan lain Tiong-hi Tojin adanya.
Melihat Hong-ting dan Lenghou Tiong keluar, cepat Tiong-hi Tojin berbangkit dan memberi hormat.
Segera Lenghou Tiong menjura dan berkata, “Jauh-jauh Totiang datang membantu kesulitan yang dihadapi
Hing-san-pay, sungguh Wanpwe dan segenap bawahan sangat berterima kasih dan entah cara bagaimana
harus membalas budi kebaikan Totiang ini.”
Lekas-lekas Tiong-hi membangunkan Lenghou Tiong, katanya dengan tertawa, “Sudah ada sekian lamanya aku
berada di sini, ketika mengetahui Hongtiang Taysu sedang mempelajari lwekang mukjizat di ruangan dalam
bersama Saudara cilik, maka kami tidak berani mengganggu padamu. Lwekang hebat yang Saudara cilik
pelajari itu boleh dibeli secara kontan dan dijual kontan pula, bila Yim Ngo-heng datang, coba saja lwekang itu
atas dirinya, biar dia kaget setengah mati.”
“Lwekang ini terlalu luas dan dalam, dalam waktu singkat Wanpwe mana sanggup memahaminya dengan
baik?” jawab Lenghou Tiong. “Kabarnya para locianpwe dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Khong-tong-pay, dan lainlain
juga sudah datang, mereka harus diundang pula ke atas sini untuk berunding cara bagaimana harus
menghadapi musuh, entah bagaimana pendapat para cianpwe atas usulku ini?”
“Mereka memang sudah datang, tapi mereka sengaja sembunyi di tempat yang dirahasiakan agar tidak
diketahui oleh mata-mata yang dipasang oleh iblis tua she Yim itu,” kata Tiong-hi. “Kalau mereka beramairamai
diundang ke sini, mungkin jejak mereka akan diketahui musuh. Waktu kami datang ke sini juga dalam
penyamaran semua, sebelumnya bukankah kalian pun tidak tahu akan kedatangan kami?”
Lenghou Tiong menjadi teringat kepada pertemuannya yang pertama kali dengan Tiong-hi Tojin, waktu itu ia
pun menyaru sebagai seorang kakek penunggang keledai, di sampingnya mengikut dua orang laki-laki yang
sebenarnya juga tokoh-tokoh pilihan Bu-tong-pay, akan tetapi waktu itu dia sama sekali tidak kenal mereka.
Kini setelah dipandang secara teliti, maka dapatlah dikenali kedua tosu tua yang lain adalah juga kedua lakilaki
yang mendampingi Tiong-hi Tojin dahulu itu.
Maka cepat Lenghou Tiong memberi hormat dan menyapa, “Kepandaian menyamar kedua Totiang sungguh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sangat mahir, kalau Tiong-hi Totiang tidak menyinggung tentang penyamaran, tentu Wanpwe tetap pangling
terhadap kedua Totiang.”
Kedua tosu tua itu dahulu yang seorang menyamar sebagai petani dan yang lain menyaru sebagai tukang kayu,
tapi samar-samar wajah mereka masih dapat dikenali oleh Lenghou Tiong.
Segera Tiong-hi menunjuk si tosu yang dahulu menyamar sebagai tukang kayu dan memperkenalkan, “Ini
adalah Jing-hi Sute dan yang itu adalah murid keponakanku dengan nama agama Seng-ko.”
Maka tertawalah keempat orang teringat kepada kejadian dahulu itu. “Sungguh amat lihai ilmu pedang
Lenghou-ciangbun!” demikian Jing-hi dan Seng-ko memuji.
Tiong-hi lantas berkata pula, “Sute dan sutitku ini dahulu pernah merantau selama belasan tahun di benua
barat, di sana mereka masing-masing berhasil mempelajari semacam kepandaian istimewa, yang satu mahir
memasang pesawat rahasia dan yang lain ahli pembuatan obat peledak.”
“Wah, itulah kepandaian yang jarang terdapat di dunia ini,” ujar Lenghou Tiong.
“Lenghou-ciangbun,” kata, Tiong-hi pula, “kubawa mereka ke sini sesungguhnya ada sesuatu maksud tujuan
lain, yaitu mengharap mereka berdua dapat mengerjakan sesuatu urusan penting bagi kita.”
Lenghou Tiong merasa tidak paham ia menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting bagi kita?”
“Ya, secara gegabah aku membawa sesuatu barang ke sini, harap Saudara cilik memeriksanya,” kata Tiong-hi.
Dengan penuh tanda tanya Lenghou Tiong ingin tahu barang apakah yang akan dikeluarkan dari saku baju tosu
tua itu.
Tapi ternyata tiada sesuatu yang dikeluarkan oleh Tiong-hi, sebaliknya tosu tua itu berkata pula dengan
tertawa, “Barang yang kumaksudkan sungguh bukan benda kecil sehingga tak muat di dalam saku bajuku.
Nah, Jing-hi Sute, boleh kau suruh mereka membawa masuk ke sini.”
Jing-hi Tojin mengiakan terus berjalan keluar. Tidak lama dia masuk kembali dengan membawa empat orang
yang berdandan sebagai petani desa, semuanya berkaki telanjang dan membawa satu pikulan sayur.
Tiong-hi Tojin suruh keempat orang itu memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan Hong-ting Taysu, Lenghou
Tiong tahu keempat orang itu pasti jago-jago pilihan dari Bu-tong-pay, maka dengan rendah hati ia pun balas
menghormat.
“Keluarkan dan pasanglah!” demikian Jing-hi memberi perintah.
Segera keempat orang itu membongkar sayuran dalam pikulan mereka itu, di bawah tumpukan sayuran
ternyata ada beberapa bungkusan, setelah bungkusan itu dibuka, isinya ada benda-benda kecil sebangsa murbaut,
pegas, dan potongan kayu yang kecil-kecil.
Cara bekerja keempat orang itu sangat cekatan, benda-benda kecil itu lantas dipasang satu sama lain, dalam
waktu singkat saja jadilah sebuah kursi malas yang besar.
Lenghou Tiong menjadi terheran-heran, ia tidak tahu apa gunanya kursi malas yang terpasang macam-macam
pesawat pegas itu, memangnya untuk berduduk di waktu berlatih lwekang? Demikian tanyanya di dalam hati.
Selesai kursi malas itu dipasang, dari dua bungkusan lain keempat orang itu mengeluarkan pula bantal dan
sarung kursi, lalu dipasang pada sandaran kursi itu. Seketika kamar itu menjadi gemilang oleh cahaya yang
menyilaukan mata, ternyata sarung kursi itu terbuat dari sutra kuning yang indah dan disulam dengan
sembilan ekor naga emas, di tengah sembilan ekor naga yang berlingkar-lingkar itu sedang menyongsong
terbitnya bola matahari yang merah membara di ujung samudra sana. Di kedua tepi sarung kursi itu tersulam
pula tulisan-tulisan yang sama artinya seperti semboyan-semboyan yang sering diteriakkan oleh anggota Tiauyang-
sin-kau untuk memuji kebesaran kaucu mereka.
Kesembilan ekor naga emas itu tersulam dengan bagus sekali laksana hidup, tulisan-tulisan di tepinya juga
sangat indah, di sekitar huruf-huruf itu dihiasi pula macam-macam mutiara dan batu permata yang berwarnaDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
warni. Ruangan biara itu biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana, tapi sekarang mendadak cerlangcemerlang
oleh cahaya benda-benda berharga itu.
Lenghou Tiong bersorak memuji, teringat olehnya penuturan Tiong-hi tadi bahwa Jing-hi pernah belajar ilmu
pesawat di benua barat, maka ia pun tahu apa artinya kursi malas yang berhias itu, Katanya segera, “Bila
melihat kursi kebesaran ini, Yim-kaucu pasti ingin mendudukinya dan sekali pegas di dalam kursi bekerja,
seketika jiwanya akan melayang.”
Dengan suara perlahan Tiong-hi lantas menjawab, “Tapi Yim Ngo-heng sangat pintar dan cerdik, tindakannya
sangat cepat, meski di dalam kursi terpasang pesawat rahasia, asal dia merasakan tempat duduknya kurang
enak dan segera melompat bangun, maka sukar juga untuk membinasakan dia. Yang penting di kaki kursi ini
terpasang pula sumbu obat yang menghubungkan seonggok obat peledak di suatu tempat.”
Bab 142. Menantikan Musuh dengan Perangkap
Mendengar keterangan itu, serentak air muka Lenghou Tiong dan para padri Siau-lim-si berubah. Hong-ting
Taysu lantas menyebut, “Omitohud!”
Lalu Tiong-hi berkata pula, “Kebaikan pesawat rahasia di dalam kursi itu adalah tidak seketika bekerja, bila
diduduki begitu saja takkan terjadi apa-apa, tapi mesti diduduki kira-kira seminuman teh baru sumbu obat
peledak itu akan bekerja. Yim Ngo-heng itu seorang cerdik dan suka curiga, bila mendadak tampak ada sebuah
kursi bagus di sini tentu dia takkan berduduk begitu saja, dia pasti akan suruh bawahannya mencoba-coba
berduduk di situ lebih dulu, habis itu barulah dia berani berduduk. Di atas kursi ini tersulam naga menyongsong
matahari, tertulis pula semboyan-semboyan yang memuja sang kaucu, tentu anak buah Mo-kau tak berani
duduk lama-lama, sedangkan sekali Yim Ngo-heng sudah berduduk di situ tentu enggan meninggalkan kursi
kebesaran ini.”
“Cara pemikiran Totiang sungguh sangat rapi,” puji Lenghou Tiong.
“Selain itu Jing-hi Sute juga telah mengatur perangkap lain,” kata Tiong-hi. “Kalau Yim Ngo-heng ternyata tidak
mau berduduk di atas kursi ini dan suruh orang membongkarnya untuk diperiksa, asalkan sesuatu onderdil
kursi itu dicopot, seketika juga akan menimbulkan bekerjanya pesawat sumbu obat peledak. Sekali ini Seng-ko
Sutit membawa 20 ribu kati obat peledak ke sini, bila betul-betul diledakkan, rasanya pegunungan indah kalian
ini tak terhindar dari kehancuran.”
Lenghou Tiong menjadi ngeri membayangkan akibatnya. Pikirnya, “Obat peledak sebanyak 20 ribu kati, sekali
meledak tentu segalanya akan hancur lebur, Yim-kaucu jelas pasti akan hancur, Ing-ing dan Hiang-toako juga
sukar terhindar dari maut.”
Melihat air muka Lenghou Tiong rada berubah, Tiong-hi lantas berkata, “Mo-kau telah menyatakan dengan
tegas akan membasmi Hing-san-pay kalian secara habis-habisan, habis itu mereka tentu akan menyerang
Siau-lim dan Bu-tong kami, korban besar pasti akan jatuh, bencana tentu sukar terhindar. Kalau sekarang kita
menggunakan akal ini untuk menghadapi Yim Ngo-heng, meski caranya rada keji, tapi tujuan kita adalah untuk
membinasakan gembong Mo-kau itu demi jiwa berpuluh ribu orang bu-lim umumnya.”
“Omitohud!” Hong-ting Taysu bersabda. “Memang begitulah jalan yang welas asih, korbankan seorang untuk
menolong beratus ribu orang.”
Lenghou Tiong merasa ucapan itu memang masuk di akal, sedangkan Tiau-yang-sin-kau sudah menyatakan
akan membunuh habis segenap penghuni Hing-san, jika sekarang pihak cing-pay menggunakan perangkap dan
meledakkan musuh, hal ini adalah pantas, tiada seorang pun yang dapat menyangkalnya. Hanya saja kalau Yim
Ngo-heng harus dibunuh, dalam hati Lenghou Tiong merasa enggan, apalagi membunuh Hiang Bun-thian,
baginya lebih baik dirinya sendiri mati lebih dulu. Mengenai mati-hidup Ing-ing malah tidak menjadikan
pikirannya, sebab sudah jelas, kedua muda-mudi mereka toh akan sehidup dan semati, makanya tidak perlu
dirisaukan.
Begitulah ketika melihat sorot mata semua orang diarahkan kepadanya, setelah memikir sejenak, kemudian
Lenghou Tiong berkata, “Urusan sudah begini, Tiau-yang-sin-kau telah mendesak kita hingga menghadapi jalan
buntu, kukira tipu yang diatur Tiong-hi Totiang ini adalah cara yang paling sedikit jatuhnya korban.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ucapan Adik Lenghou memang tidak salah,” kata Tiong-hi. “Paling sedikit jatuh korban justru adalah hal yang
kita harapan.”
“Usia Wanpwe terlalu muda dan pengalaman cetek, maka urusan hari ini biarlah kuserahkan kepada Hong-ting
Taysu dan Tiong-hi Totiang untuk memimpinnya,” kata Lenghou Tiong kemudian. “Yang pasti Wanpwe akan
memimpin anak murid Hing-san-pay untuk bersama-sama menghadapi musuh.”
“Ah, mana boleh begitu,” ujar Tiong-hi tertawa. “Kau adalah tuan rumah, aku dan Hongtiang Taysu adalah
tamu, mana boleh tamu menggeserkan tempat tuan rumah.”
“Dalam hal ini bukan Wanpwe sengaja rendah hati, tapi benar-benar mohon kedua Cianpwe sudi
memimpinnya,” kata Lenghou Tiong dengan sungguh-sungguh.
“Jika tekad Lenghou-ciangbun sudah tegas begitu, maka Toheng juga tidak perlu sungkan dan menolaknya,”
ujar Hong-ting Taysu. “Biarlah urusan besar sekarang diputuskan oleh kita bertiga bersama, tapi Toheng yang
akan memberikan perintah pelaksanaannya.”
Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, akhirnya Tiong-hi menerima juga usul itu, katanya kemudian,
“Jalan yang menuju ke Hing-san sini sudah kita beri penjagaan, maka setiap waktu pihak Mo-kau menyerbu
datang, sebelumnya kita pasti akan mendapat kabar. Dahulu waktu Adik Lenghou memimpin orang banyak
menyerbu Siau-lim-si, kami tunduk di bawah pimpinan Co Leng-tan dan memasang perangkap ‘Khong-sia-keh’
(Tipu Kota Kosong)....”
“Dahulu Wanpwe benar-benar sembrono, mohon maaf,” sela Lenghou Tiong.
“Sungguh tidak nyana, yang dulu menjadi musuh sekarang malah menjadi kawan,” kata Tiong-hi pula dengan
tertawa. “Kalau sekarang kita memasang perangkap Khong-sia-keh lagi tentu tak bisa berhasil, sebab pasti
akan menimbulkan curiga Yim Ngo-heng. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Hing-san-pay
bertahan di atas gunung sini, Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay kami masing-masing memilih beberapa orang
untuk ikut membantu. Sebab kalau pihak Siau-lim dan Bu-tong tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan
menimbulkan curiga Yim Ngo-heng.”
Hong-ting dan Lenghou Tiong sama menyatakan setuju atas jalan pikiran tosu itu.
Lalu Tiong-hi melanjutkan, “Sedang kawan-kawan dari Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Khong-tong-pay, dan lain-lain
boleh sembunyi saja di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Kalau Mo-kau sudah menyerbu tiba, orangorang
Hing-san, Siau-lim, dan Bu-tong akan melawannya dengan sepenuh tenaga, cara bertempur kita harus
sungguh-sungguh, jago-jago yang kita tonjolkan adalah tokoh-tokoh kelas satu, semakin banyak membunuh
lawan semakin baik, sedang pihak sendiri sedapat mungkin menghindarkan jatuhnya korban.”
Tiba-tiba Hong-ting menghela napas, katanya, “Jago-jago di pihak Tiau-yang-sin-kau tidak terhitung
banyaknya, kedatangan mereka sekali ini telah direncanakan, maka pertempuran ini sukar menghindarkan
korban banyak di kedua pihak.”
“Begini,” tutur Tiong-hi pula, “kita boleh mencari suatu tebing jurang yang terjal, kita pasang tali panjang di
situ, bila melihat gelagat pertempuran tidak menguntungkan kita, satu per satu kita lantas melorot ke bawah
jurang dengan tali panjang sehingga musuh tak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar, Yim
Ngo-heng tentu akan kegirangan dan lupa daratan, bila melihat kursi kebesaran ini, tentu akan terus
didudukinya dan sekali sumbu obat peledak bekerja, maka hancurlah tubuh iblis she Yim itu biarpun dia
memiliki kepandaian setinggi langit. Menyusul itu delapan jalan yang menuju ke atas Hing-san sini juga akan
meledak sehingga orang-orang Mo-kau betapa pun tak dapat turun lagi ke bawah.”
“Jalan-jalan yang menuju ke atas sini akan diledakkan?” Lenghou Tiong menegas.
“Ya,” jawab Tiong-hi. “Mulai besok pagi Seng-ko Sutit akan menanam dinamit di jalan-jalan itu. Sekali dinamit
itu meledak, seketika jalan-jalan itu akan terputus. Betapa pun banyak anggota Mo-kau yang menyerbu ke atas
sini tentu akan mati kelaparan semua di sini. Yang kita tiru adalah tipu Co Leng-tan dahulu, cuma sekali ini
musuh pasti tiada kesempatan meloloskan diri melalui jalan di bawah tanah.”
“Ya, sungguh sangat kebetulan saja dahulu kami dapat lolos dari Siau-lim-si,” kata Lenghou Tiong. “Tapi....”
tiba-tiba ia ingat sesuatu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Apakah Adik Lenghou merasa tipu yang kita atur ini ada sesuatu yang kurang sempurna?” tanya Tiong-hi.
“Wanpwe pikir nanti Yim-kaucu tentu akan merasa senang bila melihat kursi mestika ini, tapi dia tentu juga
akan heran mengapa Hing-san sengaja membuatkan kursi demikian ini. Bila hal ini tidak dibikin terang,
rasanya Yim-kaucu tak mau tertipu.”
“Soal ini memang juga sudah kupikirkan,” kata Tiong-hi. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini
atau tidak bukan soal bagi kita, sebab kita sudah memasang sumbu obat lain yang juga dapat diledakkan.”
“Susiok,” tiba-tiba Seng-ko menyela, “Tecu punya suatu usul, entah dapat dijalankan atau tidak?”
“Coba katakan, biar minta pertimbangan Hongtiang Taysu dan Lenghou-ciangbun,” sahut Tiong-hi dengan
tertawa.
“Kabarnya Lenghou-ciangbun ada ikatan perjodohan dengan putri Yim-kaucu,” kata Seng-ko. “Berhubung
perbedaan aliran cing dan sia, maka timbul halangan. Kalau sekarang Lenghou-ciangbun mengutus dua murid
Hing-san-pay untuk menemui Yim-kaucu dan menyatakan bahwa mengingat diri Yim-siocia, maka Lenghouciangbun
telah sengaja mengundang ahli membuatkan sebuah kursi mestika untuk dipersembahkan kepada
Yim-kaucu dengan harapan kedua pihak akan terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan
demikian, apakah Yim-kaucu mau menerima usul Lenghou-ciangbun atau tidak bukan soal bagi kita, yang pasti
kalau dia sudah naik ke sini dan melihat kursi tentu dia takkan curiga lagi.”
“Sungguh akal yang bagus,” seru Tiong-hi. “Dengan demikian....”
“Jangan!” mendadak Lenghou Tiong menggeleng kepala.
Tiong-hi tercengang, tanyanya kemudian, “Adakah pendapat Lenghou-ciangbun yang lebih baik?”
“Bahwasanya Yim-kaucu ingin membunuh segenap anggota Hing-san-pay kami, maka aku akan melawannya
sepenuh tenaga, boleh melawannya dengan akal atau melawannya dengan kekerasan. Misalnya dia benarbenar
datang hendak membunuh kita, maka kita lantas meledakkan dia. Akan tetapi aku sekali-kali tak mau
membohongi dia.”
Ucapan Lenghou Tiong tegas dan pasti tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Mau tak mau Tiong-hi harus memujinya, “Bagus! Adik Lenghou benar-benar seorang laki-laki sejati yang jujur,
sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula, apakah nanti iblis Mo-kau itu akan
curiga atau tidak terserah padanya, yang pasti bila dia datang ke sini hendak mencelakai kita, tentu dia akan
tahu rasa sendiri.
Begitulah mereka lantas berunding lagi tentang cara-cara menghadapi musuh, cara bagaimana harus
melakukan perlawanan dan cara bagaimana melindungi anak-buah supaya tidak banyak jatuh korban serta
cara bagaimana mengundurkan diri ke belakang gunung, lalu cara bagaimana harus memasang sumbu dinamit
agar meledak.
Tiong-hi benar-benar seorang tua yang cermat, dia khawatir di waktu menghadapi musuh mungkin orang yang
ditugaskan memasang sumbu obat peledak mengalami nasib malang, maka dia sengaja menambahkan dua
orang pembantu buat tugas penting itu.
Malam itu Hong-ting, Tiong-hi dan rombongannya lantas bermalam di Kian-seng-hong situ. Besok paginya
Lenghou Tiong mengajak mereka berkeliling memeriksa keadaan pegunungan itu. Jing-hi dan Seng-ko berdua
dapat memilih tempat-tempat strategis untuk menanam dinamit serta memasang sumbu obat peledak, begitu
pula tempat-tempat penjagaan yang penting. Selain itu dipilih pula empat tempat yang curam sebagai jalan
mengundurkan diri jika musuh sudah menyerbu secara besar-besaran. Keempat tempat itu akan dijaga oleh
Hong-ting, Tiong-hi, Hong-sing dan Lenghou Tiong sendiri, musuh harus ditahan supaya tidak dapat mendekat,
bila semua orang sudah turun ke bawah jurang melalui tali panjang yang dipasang di tempat-tempat curam itu,
kemudian barulah keempat tokoh utama mereka akan turun ke bawah. Habis itu tali panjang akan diputuskan
supaya musuh tidak mampu mengejar ke bawah.
Petang harinya kembali ada berpuluh orang Bu-tong-pay naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
petani, tukang kayu dan sebagainya, di bawah pimpinan Jing-hi dan Seng-ko beramai-ramai mereka mulai
mengatur penanaman dinamit. Pada tempat-tempat yang menuju ke atas gunung telah dijaga ketat oleh anak
murid Hing-san-pay, orang yang tidak berkepentingan tidak boleh lewat, satu sama lain tidak boleh
sembarangan bicara untuk menjaga agar pihak Tiau-yang-sin-kau tidak dapat mengirimkan mata-mata untuk
mencari tahu rahasia pertahanan mereka.
Setelah sibuk tiga hari berturut-turut, segala sesuatu telah diatur dengan beres, mereka tinggal menunggu
datangnya pihak Tiau-yang-sin-kau. Sementara itu waktunya sudah dekat sebulan sejak pertemuan dengan
Yim Ngo-heng, biasanya apa yang dikatakan gembong Mo-kau pasti ditepati, maka pada waktunya tentu dia
akan datang.
Dalam beberapa hari Tiong-hi dan kawan-kawannya itu sangat sibuk, sebaliknya Lenghou Tiong malah
menganggur. Setiap hari ia selalu menghafalkan kalimah-kalimah lwekang yang diajarkan Hong-ting Taysu itu
dan meyakinkannya menurut cara yang diberikan, bila ada bagian-bagian yang tidak paham ia lantas minta
petunjuk kepada Hong-ting.
Sore hari itu, Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh, Cin Koan, dan lain-lain sedang berlatih ilmu pedang di ruangan
latihan, Lenghou Tiong mengawasi dan memberi petunjuk-petunjuk kepada anak murid Hing-san-pay itu.
Di antara anak murid itu usia Cin Koan paling muda, tapi daya terimanya paling cepat terhadap inti ilmu
pedang yang diajarkan.
“Cin-sumoay sungguh pintar,” demikian Lenghou Tiong memuji. “Latihanmu kini sudah banyak maju,
selanjutnya....”
Sampai di sini, sekonyong-konyong perutnya terasa sangat kesakitan, seketika langit seperti ambruk dan bumi
berputar, kontan ia roboh tak sadarkan diri.
Keruan Gi-ho dan lain-lain terkejut, beramai-ramai mereka memburu maju untuk membangunkannya dan
sama bertanya apa yang terjadi.
Lenghou Tiong tahu macam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak lagi, celakanya mulut
sukar dibuka, susah menerangkan.
Selagi anak murid Hing-san-pay itu gelisah, tiba-tiba terdengar suara angin berkesiur, tertampak dua ekor
burung merpati putih terbang masuk ruangan itu.
“Wah!” seru Gi-ho dan kawan-kawannya.
Kiranya, Hing-san-pay banyak memiara merpati pos, dahulu waktu Ting-sian Suthay terkepung musuh di
Hokkian, pernah juga dia menggunakan merpati pos untuk minta bala bantuan.
Sekarang kedua ekor merpati yang terbang datang ini adalah lepasan anak murid Hing-san-pay yang berjaga di
bawah gunung, di punggung merpati-merpati itu diberi berwarna merah. Maka begitu lihat lantas tahu pihak
musuh telah datang.
Sejak orang-orang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay tiba, para murid Hing-san-pay sama merasa lega karena
datangnya bala bantuan yang kuat itu. Siapa tahu pada saat genting sekarang ini mendadak penyakit Lenghou
Tiong kumat dan jatuh pingsan, hal ini sungguh di luar dugaan.
“Gi-bun Sumoay, lekas laporkan kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang,” seru Gi-jing. Cepat Gi-bun
mengiakan dan segera berangkat.
Lalu Gi-jing berkata pula, “Gi-ho Suci, harap engkau membunyikan genta.”
Gi-ho mengangguk terus berlari keluar menuju ke menara genta. Tak lama kemudian, terdengarlah suara
genta bertalu-talu menggema angkasa, menyusul itu genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah
itu pun dibunyikan.
Sebelumnya oleh Tiong-hi Tojin memang telah ditetapkan bunyi genta sebagai tanda bahaya datangnya musuh,
segala sesuatu telah diatur dengan rapi. Maka sekarang mereka pun tidak menjadi kacau, segera tokoh-tokoh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hing-san, Siau-lim dan Bu-tong-pay yang telah mendapat pembagian tugas lantas melakukan tugasnya dan
menuju ke tempat masing-masing siap menghadapi musuh.
Menurut rencana, untuk mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting sejak pinggang gunung hingga
puncak Kian-seng-hong, sama sekali tidak diberi penjagaan, bahkan sengaja memberi keleluasaan agar pihak
musuh dapat menyerbu ke atas dengan lancar, sesudah di atas puncak gunung barulah musuh akan dilabrak.
Maka setelah bunyi genta berhenti, pegunungan Hing-san serentak juga berubah menjadi sunyi senyap hingga
menambahkan tegangnya suasana.
Para jago-jago pilihan dari Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Khong-tong-pay dan lain-lain juga sudah siap sembunyi di
tempat-tempat yang dirahasiakan, dengan berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Tiau-yang-sin-kau
menyerbu ke atas, dan begitu ada tanda perintah, serentak mereka akan menyerbu keluar untuk memotong
jalan mundur pihak musuh.
Tiong-hi sengaja tidak memberitahukan kepada orang-orang Kun-lun-pay dan lain-lain itu tentang perangkap
yang telah diaturnya dengan obat peledak itu. Maklumlah, ia harus menjaga segala kemungkinan. Pihak Tiauyang-
sin-kau sangat lihai, jangan-jangan di antara anak murid Kun-lun-pay ada agen rahasianya juga bukan
sesuatu yang aneh.
Lenghou Tiong mendengar bunyi genta yang bertalu-talu itu, ia tahu Tiau-yang-sin-kau sudah mulai menyerbu,
tapi perutnya sendiri justru kesakitan sekali seperti disayat-sayat oleh beratus-ratus pisau tajam. Saking
sakitnya ia pegangi perut sendiri dan berguling-guling di atas tanah.
Melihat itu, Gi-lim dan Cin Koan menjadi khawatir hingga muka mereka pucat, mereka menjadi bingung pula
dan tak berdaya.
“Marilah kita membawa Ciangbunjin ke biara induk, coba minta nasihat Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang
bagaimana kita harus bertindak,” ujar Gi-jing.
Segera Ih-soh dan seorang nikoh tua menyangga kedua ketiak Lenghou Tiong, dengan setengah memayang
dan setengah diseret mereka membawanya ke dalam Bu-sik-am, biara induk tersebut.
Baru sampai di pintu biara itu, terdengarlah suara dentuman meriam disusul dengan bunyi trompet dan suara
tambur, nyata secara terang-terangan pihak Tiau-yang-sin-kau sudah mulai menyerbu ke atas gunung.
Hong-ting dan Tiong-hi telah menerima laporan tentang kumatnya penyakit Lenghou Tiong, mereka pun sudah
berlari keluar dari biara itu.
“Lenghou-ciangbun, kau jangan khawatir,” kata Tiong-hi. “Aku sudah suruh Jing-hi Sute mewakilkan aku untuk
memimpin orang-orang Bu-tong-pay kami, untuk tugas membela Hing-san-pay kalian bolehlah kuwakilkan
dirimu.”
“Jang... jangan, mana... mana boleh!” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap. “Ambilkan... ambilkan
pedangku!”
Hong-ting juga menasihatkan agar Lenghou Tiong mau terima usul Tiong-hi itu, tapi Lenghou Tiong berkeras
tidak mau. Betapa pun dia adalah tuan rumahnya, orang lain tidak dapat memaksanya untuk menurut.
Dalam pada itu suara trompet dan tambur tadi mendadak berhenti, lalu terdengarlah suara sorak-sorai orangorang
Tiau-yang-sin-kau yang riuh ramai, “Hidup Maha-kaucu! Hidup!”
Dari riuhnya suara itu dapat ditaksir sedikitnya ada beberapa ribu orang banyaknya.
Hong-ting, Tiong-hi dan Lenghou Tiong bertiga saling pandang dengan tertawa, mereka yakin rencana dan
perangkap yang mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh.
Sementara itu Gi-cit telah menyodorkan pedang yang diminta Lenghou Tiong, maksud Lenghou Tiong hendak
menerima pedang itu, tapi tangannya ternyata gemetar hebat dan sukar memegang kencang pedangnya.
Ketika Gi-cit baru saja menggantung pedang itu di ikat pinggang Lenghou Tiong, tiba-tiba terdengar pula suara
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tetabuhan bergema, lagu yang dibunyikan kedengaran sangat menarik, sama sekali bukan lagu perang.
Lalu beberapa orang berseru bersama, “Maha-kaucu Tiau-yang-sin-kau hendak naik ke atas Kian-seng-hong
untuk bertemu dengan Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay!”
Hong-ting berkata kepada kawan-kawannya, “Rupanya Tiau-yang-sin-kau memakai cara halus lebih dulu baru
kemudian menggunakan kekerasan. Kita juga jangan sampai dipandang rendah. Lenghou-ciangbun, biarkan
mereka naik saja ke sini!”
Lenghou Tiong mengangguk setuju. Pada saat itu juga kembali perutnya kesakitan seperti di-iris-iris. Dalam
keadaan terpaksa, ia coba mengerahkan lwekang ajaran Hong Jing-yang.
Akan tetapi latihan permulaan bagi lwekang itu adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke
perut. Padahal waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak macam-macam hawa murni yang aneh-aneh dan
berlainan, saling gontok dan saling terjang tak keruan, ditambah lagi kini dia mengerahkan lwekang sendiri
untuk mengantarkan tenaganya itu, maka tiada ubahnya seperti bunuh diri saja, keruan sakitnya makin
bertambah.
Dasar Lenghou Tiong memang berwatak nekat, ia pikir toh sudah kesakitan, paling-paling juga cuma mati
kesakitan saja. Maka tanpa pikir akibatnya ia terus mengerahkan lwekang ajaran Hong Jing-yang itu secara
teratur agar menyalur ke jalan yang tepat.
Benar juga, pergolakan dan pertarungan macam-macam hawa murni di dalam perutnya tambah hebat dari
sukar ditahan, tapi setelah berputar-putar lagi, kemudian berbagai hawa murni itu dapat diantar ke jalan yang
benar, samar-samar seperti memasuki relnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar, meski tetap kesakitan,
tapi sudah tidak saling terjang lagi.
Dalam pada itu terdengar Hong-ting Taysu sedang berkata dengan perlahan menjawab seruan orang-orang Mokau
tadi, “Ketua Hing-san-pay, Lenghou Tiong, ketua Bu-tong-pay, Tiong-hi Tojin dan ketua Siau-lim-pay
Hong-ting, bersama-sama menantikan kunjungan Yim-kaucu yang terhormat dari Tiau-yang-sin-kau!”
Suara Hong-ting kedengaran perlahan saja, tapi berkumandang jauh hingga mencapai di bawah gunung.
Padahal suara belasan gembong Mo-kau tadi harus berteriak sekerasnya baru suara mereka dapat
berkumandang ke atas gunung. Maka benar-benar sangat mencolok sekali kehebatan tenaga dalam Hong-ting
Taysu.
Lenghou Tiong sendiri lantas duduk bersila dan mengerahkan lwekangnya secara lebih tekun, ia memusatkan
pikiran dan mengatur pernapasan, dengan menurutkan petunjuk Hong-ting Taysu itu, berlatihlah dia secara
lebih mendalam.
Padahal lwekang itu baru dia latih beberapa hari saja, meski setiap hari Hong-ting Taysu juga memberi
petunjuk-petunjuk, namun memang latihannya belum sempurna, untunglah sesudah latihan lwekang itu,
berbagai hawa murni yang bergolak di dalam tubuh itu lambat-laun dapat ditenangkan dan disalurkan ke jalan
yang benar.
Lenghou Tiong tidak berani ayal, ia menjalankan lwekangnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula ia
mendengar suara tetabuhan, tapi akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, ia telah memusatkan segenap
pancaindranya ke dalam latihannya itu.
Melihat ketekunan Lenghou Tiong itu, Hong-ting Taysu tersenyum senang.
Sementara itu suara tetabuhan tadi semakin ramai, terdengar orang-orang Tiau-yang-sin-kau sama berteriak
menyorakkan semboyan sanjung puji terhadap kaucu mereka, suara teriakan itu semakin gemuruh dan nyata
rombongan Yim-kaucu itu sedang naik ke atas.
Jalan pegunungan yang menuju ke Kian-seng-hong itu cukup panjang, meski suara anggota-anggota Tiauyang-
sin-kau itu berteriak-teriak sekian lamanya toh masih belum mencapai puncak gunung. Diam-diam para
jagoan yang sembunyi di tempat masing-masing itu menggerutu akan lagak pihak Mo-kau yang tengik itu,
sudah sorak-sorak memuji sang kaucu secara berlebih-lebihan pakai tetabuhan musik apa segala, memangnya
mau main sandiwara? Demikian pikir mereka.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tapi bagi mereka yang siap-siap menghadapi musuh itu pun merasa berdebar-debar, menurut perkiraan
mereka, begitu pihak Mo-kau menyerbu ke atas gunung, serentak mereka akan melompat keluar dari tempat
sembunyi untuk melabrak musuh, bila jumlah musuh makin membanjir dan sukar ditahan, maka segera
mereka akan mengundurkan diri dan turun ke bawah jurang di belakang gunung melalui kerekan tali. Tak
terduga kedatangan Yim Ngo-heng itu ternyata pakai lagak tuan besar, bahkan seperti maharaja saja dengan
segala kebesarannya, keruan orang-orang yang menunggu bertempur itu berbalik tambah tegang malah.
Selang sekian lamanya, Lenghou Tiong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapatlah diatasi,
rasa sakitnya mulai berkurang. Tiba-tiba ia ingat kepada apa yang sedang terjadi, ia pikir sudah waktunya Yimkaucu
akan tiba sekarang, seketika ia pun melonjak bangun.
“Sudah baik sedikit?” tanya Hong-ting dengan tertawa.
“Apakah sudah mulai bergebrak?” tanya Lenghou Tiong.
“Belum, malah pihak sana belum datang,” sahut Hong-ting.
“Bagus!” seru Lenghou Tiong sambil melolos pedangnya. Tapi dilihatnya Hong-ting, Tiong-hi dan lain-lain
ternyata tidak memegang senjata. Gi-ho, Gi-jing dan anak murid Hing-san yang lain berbaris di depan sana
dalam formasi barisan pedang, tapi senjata mereka pun belum terhunus. Barulah Lenghou Tiong ingat bahwa
musuh belum lagi datang, sikap diri sendirilah yang terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan simpan kembali
pedangnya.
Dalam pada itu terdengar suara alat tetabuhan tadi mendadak berhenti, sebagai gantinya bergemalah suara
seruling dan kecapi yang halus. Dalam hati Lenghou Tiong anggap Yim-kaucu terlalu banyak tingkah polah.
Setelah suara musik yang halus itu tentu sang kaucu sendiri akan muncul.
Benar juga, di tengah suara bunyi guling dan kecapi yang merdu, dua barisan anggota Tiau-yang-sin-kau
tampak muncul di atas puncak Kian-seng-hong. Pandangan semua orang mendadak terbeliak, ternyata tiaptiap
anggota Tiau-yang-sin-kau itu memakai jubah hijau sulaman yang baru gres, pakai ikat pinggang putih.
Empat puluh orang dari barisan itu membawa nampan dengan lapisan kain sutra, entah barang apa yang
tertaruh di atas nampan mereka itu.
Ke-40 orang itu ternyata tidak membawa senjata, bahkan sesudah naik ke atas puncak mereka lantas berdiri
tegak di kejauhan. Menyusul mana muncul pula di belakang ke-40 orang berjubah sulaman itu salah satu
barisan yang terdiri dari 200 orang peniup seruling dan pemetik kecapi, semuanya juga berseragam jubah
sulaman, sambil berjalan mereka terus membunyikan alat musik mereka.
Habis itu yang muncul adalah tukang-tukang pukul tambur, peniup trompet, penabuh gembreng dan alat-alat
musik berat lainnya.
Lenghou Tiong menjadi tertarik oleh macam-macam peralatan musik itu, pikirnya, “Sebentar kalau mulai
bertempur, kalau diiringi dengan suara alat musik berat itu, bukanlah mirip pertempuran di panggung
sandiwara saja?”
Di tengah suara bunyi musik itu, barisan-barisan anggota Tiau-yang-sin-kau masih terus naik ke atas. Barisanbarisan
itu agaknya diatur menurut kode masing-masing dengan warna pakaian yang berbeda-beda pula, ada
yang berseragam hijau, kuning, biru, hitam, putih, semuanya serbabaru. Persamaan antara barisan-barisan itu
hanya ikat pinggang mereka, yaitu sama-sama menggunakan ikat pinggang warna putih. Jumlah yang naik ke
atas Kian-seng-hong diperkirakan ada tiga sampai empat ribu orang.
Dalam hati Tiong-hi berpikir, kalau mendadak pihaknya menyerbu maju di waktu kedudukan musuh belum
teratur, tentu pihak sendiri ada harapan mengocar-ngacirkan pihak Mo-kau. Tapi sekarang pihak lawan sengaja
berlagak, ingin cara halus dulu baru kemudian pakai kekerasan. Kalau pihak sendiri lantas bergerak begitu saja
tentu akan dianggap kurang kesatria. Sedangkan Lenghou Tiong kelihatan tertawa-tawa saja dan anggap
tingkah laku pihak Mo-kau itu seperti permainan anak kecil, Hong-ting juga tenang-tenang dan anggap
perbuatan pihak musuh itu seperti sesuatu yang biasa. Terpaksa Tiong-hi menahan perasaannya dan mengikuti
perubahan suasana selanjutnya.
Sesudah barisan-barisan Tiau-yang-sin-kau tadi mengambil tempat masing-masing, menyusul yang muncul
adalah sepuluh tianglo, mereka lantas membagi diri dalam dua kelompok, setiap kelompok lima orang dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berdiri di kanan-kiri.
Ketika bunyi musik mendadak berhenti, kesepuluh tianglo itu lantas berteriak bersama, “Tiau-yang-sin-kau
mahabijaksana, Maha-kaucu bijaksana juru penyelamat umat manusia, Tiau-yang-kaucu tiba!”
Bab 143. Diplomasi Tiau-yang-kau yang Berhasil
Maka tertampaklah sebuah tandu besar beratapkan kain beledu biru digotong ke atas Kian-seng-hong. Tandu
besar itu digotong oleh 16 orang, bergeraknya tampak sangat cepat lagi anteng. Suatu tanda ke-16 pemikul
tandu itu adalah jago-jago silat pilihan semua.
Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati para pemikul tandu itu, ternyata di antaranya terdapat Coh Jian-jiu, Ui
Pek-liu, Keh Bu-si dan lain-lain. Coba kalau badan Lo Thau-cu tidak terlalu pendek, tentu pula dia akan dipaksa
menjadi tukang pikul tandu itu.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa penasaran bagi tukang-tukang pikul tandu itu, ia pikir jelek-jelek Coh Jianjiu
dan kawan-kawannya itu pun tokoh persilatan terkemuka, masakah sekarang Yim-kaucu memperbudak
mereka menjadi tukang pikul tandu, sungguh tidak pantas.
Yang mengiringi tandu besar itu ternyata adalah dua orang, di sebelah kiri ialah Hiang Bun-thian dan yang
sebelah kanan adalah seorang tua yang tampaknya seperti sudah dikenalnya. Untuk sejenak Lenghou Tiong
tercengang, tiba-tiba teringat olehnya bahwa orang tua itu adalah Lik-tiok-ong, si kakek bambu hijau yang
pernah mengajarkan cara memetik kecapi di kota Lokyang dahulu. Si kakek selalu memanggil Ing-ing sebagai
Kokoh atau bibi, lantaran itu Lenghou Tiong menjadi salah sangka Ing-ing adalah seorang nenek yang sudah
tua. Sejak berpisah di Lokyang belum pernah berjumpa pula dengan kakek itu, tak terduga hari ini dia malah
ikut Yim Ngo-heng ke atas Hing-san.
Hati Lenghou Tiong menjadi berdebar-debar, pikirnya, “Mengapa tidak tampak Ing-ing?”
Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, jelas setiap anggota Tiau-yang-sin-kau itu memakai ikat pinggang putih
seperti orang yang sedang berkabung, apakah barangkali Ing-ing telah membunuh diri karena sukar mencegah
maksud ayahnya yang hendak menyerbu dan membasmi Hing-san-pay?
Tanpa terasa, Lenghou Tiong lantas berlari maju dan menegur Hiang Bun-thian, “Hiang-toako, mana Nona
Yim?”
“O, Lenghou-hiante, baik-baikkah kau?” sahut Hiang Bun-thian sambil mengangguk tanpa menjawab
pertanyaan Lenghou Tiong.
Terpaksa Lenghou Tiong mengulangi lagi, “Hiang-toako, mengapa Nona Yim tidak ikut datang?”
“Sebentar tentu kau akan tahu sendiri,” jawab Hiang Bun-thian.
Terpaksa Lenghou Tiong mundur kembali ke tempatnya semula.
Saat itu suasana di atas Kian-seng-hong ternyata sunyi senyap meski berkumpul di situ beberapa ribu orang
banyaknya. Ketika tandu besar tadi ditaruh di atas tanah, pandangan semua orang seketika terpusat ke arah
kerai tandu untuk menantikan keluarnya Yim Ngo-heng.
Pada saat itu gula tiba-tiba dari dalam Bu-sik-am yaitu biara induk Hing-san-pay, terdengar suara tertawa riuh
ramai, seorang berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas! Bergantian dong! Sekarang giliranku
yang coba-coba duduk di situ!”
“Sabar, sabar dulu!” demikian seorang lagi menanggapi. “Bergiliran satu per satu, jangan berebut! Setiap
orang pasti akan mencicipi rasanya berduduk di atas kursi sembilan naga ini!”
Nyata itulah suaranya Tho-hoa-sian dan Tho-ki-sian di dalam biara sana. Keruan air muka Hong-ting, Tiong-hi
dan Lenghou Tiong seketika berubah. Mereka tahu apa artinya yang sedang diributkan Tho-kok-lak-sian itu.
Entah sejak kapan keenam orang sinting itu telah menerobos ke dalam Bu-sik-am dan kini rupanya sedang
berebut duduk di atas kursi mestika bersulaman sembilan ekor naga emas itu. Kalau terlalu lama diduduki
mereka, bukan mustahil sumbu obat peledak akan bekerja dan tentu akan runyam urusannya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Maka cepat Tiong-hi Totiang berlari ke dalam biara itu dan membentak, “Hayo, lekas bangun, lekas bangun!
Kursi mestika ini khusus disediakan bagi Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau, kalian tidak boleh duduk di situ!”
“Mengapa tidak boleh duduk? Aku justru ingin duduk di sini!” demikian terdengar suara Tho-kok-lak-sian yang
ramai.
“Nah, kau sudah merasakan, sekarang giliranku!”
“Wah, empuk benar kursi ini dan mentul-mentul, sama halnya kalau berduduk di atas perut seorang gendut!”
“Hah, apakah kau pernah duduk di perut orang gendut?” begitulah terdengar ribut-ribut pula di antara keenam
orang sinting itu.
Lenghou Tiong menjadi khawatir kursi yang diributkan Tho-kok-lak-sian itu benar-benar meledak sebelum
waktunya, hal mana berarti seluruhnya akan hancur lebur bersama.
Semula Lenghou Tiong bermaksud memburu ke dalam biara itu untuk mengatasi keributan Tho-kok-lak-sian,
tapi entah mengapa, dalam hati kecilnya berbalik seakan-akan mengharapkan obat peledak itu benar-benar
meledak selekasnya, toh Ing-ing sudah mati, buat apa dirinya sendiri hidup lebih lama lagi, biarlah semuanya
gugur bersama saja dan habis perkara.
Sekilas itu tiba-tiba dilihatnya sepasang mata jeli Gi-lim sedang menatap ke arahnya, tapi begitu kebentrok
dengan sinar matanya, segera Gi-lim berpaling ke arah lain.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berpikir, “Usia Gi-lim Sumoay masih begini muda belia, tapi dia juga harus ikut hancur
oleh ledakan dahsyat itu, bukankah kasihan nasibnya? Akan tetapi setiap manusia akhirnya toh mesti mati
juga, seumpama hari ini semua orang yang berada di sini tidak kurang sesuatu apa pun, setelah seratus tahun
lagi setiap orang yang hadir di sini sekarang ini toh akan menjadi onggokan tulang belaka.”
Dalam pada itu terdengar suara ribut Tho-kok-lak-sian masih belum mereda, bahkan tambah ramai. Seorang
berseru, “He, kau sudah duduk dua kali, sebaliknya aku belum satu kali pun!”
Lalu yang lain menanggapi, “Pertama kali tadi aku belum duduk dengan baik sudah lantas ditarik turun, maka
tidak boleh dihitung dan sekarang aku harus diberi kesempatan lagi.... He, apa-apaan ini?”
Rupanya sebelum dia duduk dengan baik kembali dia sudah diseret turun lagi dari atas kursi.
“He, aku ada suatu usul. Begini saja, kita berenam saudara boleh sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini,
coba muat atau tidak?” demikian tiba-tiba seorang di antaranya mengusulkan.
“Bagus, usul yang bagus! Hayolah kita duduk bersama, hahaha!”
“Kau duduk dulu, aku duduk bagian atas saja!”
“Tidak, kau saja duduk di bawah dan aku di atas!”
Begitulah mereka tambah ribut dan tambah edan-edanan.
Hong-ting menjadi tidak sabar melihat detik bahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Tho-kok-lak-sian
yang gila itu, untuk berseru mencegahnya khawatir rahasia obat pasang itu diketahui musuh. Terpaksa ia pun
berlari ke dalam biara itu dan membentaknya, “Di luar ada tamu agung kalian jangan bertengkar dan jangan
ribut!”
Kata-kata “jangan ribut” itu sengaja diserukan dengan ilmu lwekang “Say-cu-ho” (auman singa) yang
mahahebat, serangkum tenaga dalam disemburkan ke arah Tho-kok-lak-sian. Tiong-hi Tojin yang berada di
situ juga merasakan kepala pusing dan hampir-hampir roboh, keruan saja Tho-kok-lak-sian tidak tahan, kontan
mereka menggeletak tak sadarkan diri.
Dengan girang Tiong-hi segera memburu maju, cepat ia menyingkirkan keenam orang itu dari kursi wasiat
yang dia pasang itu serta menutuk hiat-to keenam orang, lalu didorong masuk ke bawah kolong meja
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sembahyang yang besar itu. Waktu ia pasang telinga mendengarkan di tepi kursi, ternyata tiada sesuatu suara
aneh apa-apa, untunglah sumbu obat peledak belum tersentuh rupanya. Tiong-hi merasa bersyukur, tapi ia
pun merasa cemas, coba Hong-ting tidak lantas datang, kalau sumbu obat peledak mulai bekerja, maka
hancurlah segalanya.
Begitulah bersama Hong-ting segera mereka keluar lagi dan berseru, “Silakan Yim-kaucu masuk ke dalam!”
Akan tetapi tandu hias itu diam-diam saja, orang di dalam tandu tidak memberi jawaban apa.
Tiong-hi menjadi gusar, pikirnya, “Iblis tua ini sungguh terlalu kepala besar, padahal aku dan Hong-ting Taysu
serta Lenghou-ciangbun adalah tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan sekarang, kami berdiri menyambut
padamu ternyata tidak kau gubris sama sekali.”
Coba kalau tidak mengingat perangkap yang telah diaturnya pada kursi wasiatnya itu, mungkin Tiong-hi sudah
lantas menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Yim Ngo-heng. Maka dengan menahan perasaannya
Tiong-hi mengulangi lagi undangannya tadi dan di dalam tandu tetap tiada suara orang menjawab.
Tertampak Liang Bun-thian menempelkan telinganya ke dinding tandu, rupanya sedang mendengarkan
petunjuk-petunjuk orang di dalam tandu itu, hal ini terbukti Hiang Bun-thian berulang-ulang menganggukangguk.
Habis itu ia pun berdiri tegak kembali dan berseru, “Yim-kaucu menyatakan terima kasih atas
penyambutan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-san, Yim-kaucu kelak tentu
akan berkunjung sendiri ke Siau-lim dan Bu-tong untuk minta maaf.”
Hong-ting dan Tiong-hi sama mendengus, mereka tahu apa yang dimaksudkan Yim Ngo-heng tentu terbalik,
dia bilang akan berkunjung ke Siau-lim dan Bu-tong untuk minta maaf, maksud yang sebenarnya adalah kelak
gembong Mo-kau itu pasti akan menyapu bersih Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.
Lalu Hiang Bun-thian bicara pula, “Yim-kaucu bilang bahwa kedatangan beliau ke sini sekarang ini adalah untuk
mengadakan pertemuan dengan Lenghou-ciangbun, maka diharap Lenghou-ciangbun suka menemui beliau
sendirian di dalam biara.”
Habis itu Hiang Bun-thian lantas memberi tanda bergerak, ke-16 tukang pikul lantas menggotong tandu itu ke
dalam biara dan ditaruh di latar sembahyangan. Hiang Bun-thian sendiri dan Lik-tiok-ong juga ikut masuk, tapi
kemudian keluar kembali bersama para tukang pikul sehingga di dalam biara hanya tertinggal tandu hias tadi
saja.
Diam-diam Tiong-hi merasa sangsi entah apa isi tandu itu, jangan-jangan merupakan perangkap musuh pula.
Maka ia coba pandang Hong-ting dan Lenghou Tiong.
Jiwa Hong-ting Taysu memang jujur dan polos, ia pun tidak biasa menghadapi macam-macam kelicikan
manusia itu, maka dengan wajah bingung ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Segera Lenghou Tiong berkata, “Kalau Yim-kaucu hanya ingin bicara dengan Wanpwe sendirian, harap kedua
Cianpwe tunggu sebentar saja di sini.”
“Kau harus waspada,” pesan Tiong-hi dengan suara tertahan.
Lenghou Tiong mengangguk, lalu masuk ke biara dengan langkah lebar.
Biara Bu-sik-am itu sebenarnya cuma sebuah rumah kecil saja, kalau di ruangan sembahyang itu ada orang
bicara dengan suara keras pasti akan terdengar dengan jelas dari luar. Begitulah maka Hong-ting dan lain-lain
mendengar suara Lenghou Tiong sedang berkata, “Wanpwe Lenghou Tiong menyampaikan salam hormat
kepada Yim-kaucu.”
Tapi tidak terdengar suara jawaban Yim Ngo-heng, sebaliknya sejenak kemudian lantas terdengar Lenghou
Tiong berseru kaget.
Keruan Tiong-hi dan Hong-ting terkejut dan mengkhawatirkan keselamatan Lenghou Tiong, segera Tiong-hi
hendak menerjang ke dalam biara untuk membantunya, tapi lantas terpikir olehnya, “Betapa hebat ilmu
pedang adik Lenghou boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ditundukkan iblis tua
Mo-kau itu hanya sekali gebrak saja. Andaikan betul adik Lenghou mengalami nasib malang biarpun aku lari
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
masuk ke sana juga sudah terlambat untuk menolongnya. Paling baik kalau iblis tua she Yim itu tidak
mencelakai adik Lenghou, lalu biarkan dia sendiri tinggal di dalam dan dia pasti ingin mencoba duduk di atas
kursi mewah itu, maka kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan berbalik akan membikin runyam urusan.”
Tapi segera ia sendiri merasa tidak tenteram, terpikir olehnya kalau benar Yim Ngo-heng sudah berduduk di
atas kursi itu, sebentar lagi sumbu obat peledak tentu akan mulai bekerja dan Kian-seng-hong ini pasti akan
hancur lebur, termasuk semua orang yang berada di situ. Kalau aku sendiri sekarang lantas menyingkir tentu
akan kelihatan pengecut, bila menimbulkan curiga Hiang Bun-thian dan begundalnya, lalu memberi peringatan
kepada kawannya untuk mengundurkan diri, maka hal ini berarti rencana yang telah kuatur akan gagal total.
Sebaliknya kalau peledakan terjadi dan tidak sempat menghindar, lalu bagaimana akibatnya nanti?
Sebenarnya sudah direncanakan secara matang cara bagaimana akan menghadapi pertempuran sengit dengan
musuh bila Tiau-yang-sin-kau menyerbu ke atas gunung, lalu cara bagaimana harus mundur teratur
diperhitungkan pula, di waktu Yim Ngo-heng berduduk di atas kursi naga sembilan, tentu orang-orang Siaulim-
pay, Bu-tong-pay dan Hing-san-pay sudah menyingkir seluruhnya ke dalam jurang. Tak terduga
kedatangan pihak Tiau-yang-sin-kau itu ternyata tidak lantas main kekerasan, sebaliknya datang secara sopan,
malahan Yim Ngo-heng minta bertemu secara muka berhadapan muka dengan Lenghou Tiong di dalam biara,
semuanya ini sudah di luar perhitungan Tiong-hi semula. Dalam keadaan demikian, biarpun dia banyak tipu
akalnya seketika menjadi serbasusah juga.
Hong-ting Taysu juga menyadari gentingnya keadaan, ia pun mengkhawatirkan keselamatan Lenghou Tiong,
cuma dia lebih sabar, dadanya juga lebih lapang, baginya mati atau hidup, kalah atau menang, semuanya
bukan sesuatu yang luar biasa. Manusia berusaha, tapi Thian yang menentukan. Bagaimana akhirnya sesuatu
urusan sering kali sudah ditakdirkan oleh Thian, siapa pun tak bisa memaksakan kehendaknya.
Sebab itulah meski dalam hati Hong-ting juga merasa khawatir, tapi sikapnya tetap tenang saja, baginya bila
benar-benar obat pasang meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka itulah jalan menuju
kesempurnaan, kenapa mesti ditakuti?
Tentang di bawah di kursi naga sembilan itu terpasang obat peledak, hal itu dilakukan dengan sangat rahasia,
selain Hong-ting Taysu, Tiong-hi dan Lenghou Tiong, serta Jing-hi dan Seng-ko dengan pembantupembantunya
yang melakukan pemasangan pesawat rahasianya, orang lain boleh dikata tiada yang tahu. Kini
Jing-hi, Seng-ko dan pembantu-pembantunya itu sedang menunggu di pinggang gunung, asal terjadi ledakan
di atas puncak, segera mereka pun akan menarik sumbu dinamit yang sudah ditanam.
Begitu pula orang-orang Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan anak murid Hing-san-pay juga sedang menunggu hasil
pembicaraan antara Lenghou Tiong dengan Yim Ngo-heng, bilamana tiada persesuaian paham dalam
pembicaraan itu, serentak mereka pun akan mulai menghadapi orang-orang Tiau-yang-sin-kau dengan
kekerasan.
Tapi sesudah ditunggu sekian lamanya ternyata tiada sesuatu suara apa-apa di dalam biara itu, Tiong-hi
menjadi sangsi, ia coba kerahkan lwekangnya yang tinggi untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup
didengarnya suara Lenghou Tiong yang sangat lirih seperti sedang berbicara apa-apa. Maka legalah hati Tionghi,
ternyata Lenghou Tiong tidak kurang suatu apa pun di dalam biara.
Karena sedikit pemusatan pikirannya terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Maka ia menjadi raguragu
terhadap suara tadi apakah benar-benar suaranya Lenghou Tiong atau bukan? Jangan-jangan salah
dengar atau khayalan sendiri saja.
Syukurlah tidak lama kemudian lantas terdengar seruan Lenghou Tiong di dalam biara, “Hiang-toako, silakan
kau masuk untuk mengiringi Yim-kaucu ke luar biara!”
Hiang Bun-thian mengiakan, cepat ia bersama Lik-tiok-ong dan ke-16 tukang pikul tandu tadi berlari masuk ke
dalam biara, sejenak kemudian tandu besar itu telah digotong keluar lagi. Serentak segera anggota Tiau-yangsin-
kau yang berada di luar situ sama memberi hormat dan bersorak memuji akan kebesaran sang kaucu.
Setiba di tempat permulaan tadi, para tukang pikul itu lantas berhenti dan menaruh tandu besar itu ke bawah.
“Bawakan hadiah Maha-kaucu untuk Hongtiang Siau-lim-si!” tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru.
Segera ada dua orang anggota Tiau-yang-sin-kau masing-masing mengaturkan sebuah nampan ke hadapan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hong-ting Taysu dengan sikap sangat menghormat.
Hong-ting melihat di tengah sebuah nampan itu tertaruh serenceng biji tasbih, sedang nampan yang lain berisi
sebuah kitab kuno, di atas sampul kitab itu tertulis huruf Hindu kuno yang dikenalnya sebagai kitab “Hoat-hoakeng”.
Sungguh tak terkatakan girang hati Hong-ting Taysu. Selama hidupnya banyak mempelajari kitab agama
Buddha, lebih-lebih mengenai isi Hoat-hoa-keng, cuma yang biasa dia baca adalah kitab terjemahan dalam
bahasa Tionghoa, ada bagian-bagian isi kitab itu yang sukar dipecahkan, maka sudah lama dia ingin mencari
kitab Hoat-hoa-keng yang asli dalam bahasa Hindu kuno itu sebagai perbandingan. Kini melihat kitab asli yang
menjadi idam-idamannya itu, sudah tentu ia kegirangan, cepat ia memberi hormat dan mengucapkan terima
kasih.
“Banyak terima kasih atas hadiah besar Yim-kaucu ini, entah cara bagaimana Lolap harus membalasnya,” kita
Hong-ting sambil mengambil kitab pusaka itu dengan sikap penuh hormat.
Hiang Bun-thian lantas menjawab, “Kaucu kami mengatakan bahwa Tiau-yang-sin-kau kami telah banyak
berbuat kasar terhadap para kesatria, asalkan Hong-tiang Taysu tidak marah dan menegur, maka Tiau-yangsin-
kau kami merasa sangat bersyukur dan terima kasih.”
Habis itu ia berpaling pula kepada anak-buahnya dan berseru, “Aturkan hadiah Maha-kaucu untuk ketua Butong-
pay!”
Kembali dua anggota Tiau-yang-sin-kau mengiakan terus tampil ke muka dengan mengangkat nampan
masing-masing dan diaturkan ke hadapan Tiong-hi Tojin.
Sebelum kedua orang itu mendekat, dari jauh Tiong-hi sudah lihat di atas salah sebuah nampan itu tertaruh
sebatang pedang. Sesudah kedua orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga hijau
loreng, jelas adalah sebatang pedang kuno, di atas sarung pedang terukir dua huruf Hindu kuno yang berbunyi
“Cin-bu”.
Tanpa terasa Tiong-hi berseru kaget melihat pedang pusaka itu. Ia tahu cikal bakal Bu-tong-pay sendiri, yaitu
Thio Sam-hong Cosu, pernah menggunakan sebatang pedang yang diberi nama Cin-bu-kiam, pedang itu
selamanya dipandang sebagai pedang pusaka Bu-tong-pay. Kira-kira pada 80 tahun yang lalu Bu-tong-san
pernah disatroni beberapa gembong Mo-kau yang berkepandaian tinggi, pedang pusaka itu bersama sejilid
kitab “Thay-kek-kun-keng”, kitab ilmu pukulan Thay-kek-kun, semuanya tercuri dan digondol lari.
Dalam pertarungan sengit pada waktu itu, pihak Bu-tong-pay jatuh korban tiga tokoh terkemuka, walaupun
pihak Tiau-yang-sin-kau juga meninggalkan lima orang tokohnya, tapi pedang dan kitab pusaka Bu-tong-pay
sendiri tak berhasil direbut kembali. Peristiwa itu benar-benar merupakan noda yang memalukan bagi Bu-tongpay,
selama berpuluh tahun ini, setiap pejabat ketua dari tiap-tiap angkatan selalu meninggalkan pesan agar
pedang dan kitab pusaka itu harus dicari dan ditemukan kembali.
Akan tetapi Hek-bok-keh, yaitu sarang Tiau-yang-sin-kau itu selalu dijaga keras dan sukar dicapai, beberapa
puluh tahun terakhir ini pengaruhnya juga teramat besar, beberapa kali Bu-tong-pay telah berusaha secara
terang-terangan maupun secara gelap-gelapan untuk merebut kembali benda pusaka mereka itu, tapi selalu
gagal, bahkan setiap kali mesti meninggalkan korban di atas Hek-bok-keh. Sungguh tidak nyana bahwa pedang
pusaka itu kini bisa muncul di Kian-seng-hong sini.
Waktu Tiong-hi melirik, dilihatnya di atas nampan yang lain jelas tertaruh pula sejilid kitab kuno yang
warnanya sudah agak luntur, di atas sampul kitab tertulis “Thay-kek-kun-keng”. Kitab pusaka itu adalah tulisan
tangan asli dari cikal bakal Bu-tong-pay mereka, di atas Bu-tong-san masih banyak tulisan-tulisan tinggalan
Thio Sam-hong, maka begitu melihat Thay-kek-kun-keng itu segera Tiong-hi rapat mengenali kitab itu adalah
Thay-kek-kun-keng yang tulen.
Dengan tangan gemetar Tiong-hi lantas pegang gagang pedang pusaka itu, perlahan-lahan dilolosnya sebagian,
maka terasalah hawa dingin yang menusuk. Ia tahu Sam-hong Cosu di waktu usia sudah lanjut, ilmu
pedangnya telah mencapai tingkatan yang tiada taranya, maka jarang sekali cikal bakal itu memakai senjata,
seumpama terpaksa harus menggunakan pedang, maka yang digunakan tentu adalah pedang biasa atau
pedang kayu saja, Cin-bu-kiam ini adalah senjata yang dipakai Sam-hong Cosu pada waktu muda, sedang
pusaka ini sangat tajam dan disegani lawan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiong-hi masih khawatir tertipu aneh Yim Ngo-heng maka ia coba membalik-balik kitab “Thay-kek-kun-keng”
itu, dilihatnya tulisan-tulisan di dalam halaman kitab itu memang betul adalah tulisan asli Thio Sam-hong maka
dengan cepat ia berlutut dan menyembah kepada pedang dan kitab pusaka itu, habis itu barulah ia berdiri
kembali dan berkata, “Banyak terima kasih atas kemurahan hati Yim-kaucu sehingga benda pusaka tinggalan
Cosuya kami dapat pulang kandang, biarpun hancur lebur badanku juga sukar membalas budi kebaikan ini.”
Habis berkata barulah ia terima pedang dan kitab pusaka itu, saking terharunya hingga kedua tangannya
gemetar tiada hentinya.
“Kaucu kami bilang, dahulu Tiau-yang-sin-kau kami telah banyak mengganggu Bu-tong-pay, sungguh malu
kalau dipikir, maka hari ini benda-benda pusaka ini biarlah kembali kandang asalnya, harap pihak Bu-tong-pay
sudi memberi maaf,” demikian Hiang Bun-thian berkata.
“Ah, Yim-kaucu terlalu rendah hati,” sahut Tiong-hi.
Lalu Hiang Bun-thian berseru pula, “Sekarang aturkan hadiah Maha-kaucu untuk Lenghou-ciangbun dari Hingsan-
pay!”
Dalam hati Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin sama berpikir entah benda mestika apakah yang dihadiahkan
Yim Ngo-heng kepada Lenghou Tiong itu mengingat hadiah untuk mereka adalah benda-benda pusaka yang tak
ternilai itu.
Tak tahunya sekali ini ternyata tiada sesuatu yang luar biasa, yang maju sekaligus ada 20 orang, semuanya
membawa sebuah nampan dan serentak mendekati Lenghou Tiong.
Maka tertampak dengan jelas isi nampan itu tidak lebih hanya sebangsa baju, kopiah, sepatu, poci arak dan
cawannya serta alat-alat keperluan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu pun terbuat dengan sangat
indah, tapi tiada sesuatu yang luar biasa. Hanya pada sebuah nampan tampak tertaruh sebuah seruling dan
sebuah nampan lain berisi sebuah kecapi kuno, kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga daripada yang
lain, tapi kalau dibandingkan hadiah yang diterima oleh Hong-ting dan Tiong-hi juga masih jauh berbeda.
Begitulah Lenghou Tiong lantas mengucapkan terima kasih dan suruh anak murid Hing-san-pay menerima
hadiah-hadiah itu.
Kemudian Hiang Bun-thian bicara lagi, “Kaucu kami bilang, kedatangan kami ke Hing-san sekali ini telah
banyak mengganggu dan tidak pantas. Sebagai hiburan, kami menghadiahkan para Suthay dari Hing-san-pay
tiap-tiap orang sepasang baju baru dan pedang sebatang, sedang untuk para Suci dan Sumoay keluarga
preman dihadiahi masing-masing perhiasan sebentuk dan pedang sebatang. Selain itu Tiau-yang-sin-kau kami
telah memberi tiga ribu hektare sawah di kaki gunung Hing-san ini dan diberikan kepada Bu-sik-am sebagai
milik biara ini. Dan sekarang juga bolehlah kami mohon diri.”
Habis berkata ia lantas memberi hormat kepada Hong-ting, Tiong-hi dan Lenghou Tiong bertiga, lalu putar
tubuh dan melangkah pergi.
“Hiang-singsing!” tiba-tiba Tiong-hi Tojin memanggilnya.
Hiang Bun-thian berpaling kembali, sahutnya dengan tertawa, “Apakah Totiang ada pesan apa-apa?”
Tiong-hi menjawab, “Tanpa berjasa menerima hadiah besar dari Yim-kaucu, sungguh hati kami merasa tidak
enak. Entah... entah....” sampai di sini ia tak dapat meneruskan lagi. Mestinya ia ingin tanya, “Entah apakah
artinya pemberian hadiah ini”, tapi pertanyaan ini ternyata tidak sanggup diucapkan.
Hiang Bun-thian hanya tertawa saja, ia memberi hormat pula dan berkata, “Benda pusaka kembali asalnya, hal
ini adalah jauh daripada pantas, kenapa Totiang mesti merasa tidak enak hati?”
Lalu ia putar tubuh kembali dan berseru, “Kaucu perintahkan berangkat?”
Serentak suara alat tetabuhan berbunyi gemuruh pula, ke-10 tianglo berjalan di depan sebagai pembuka jalan,
ke-16 tukang pikul tandu lantas angkat lagi tandu besar itu dan turun ke bawah gunung dengan iringan
barisan-barisan penabuh musik serta barisan-barisan yang berseragam beraneka warna itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sesudah keadaan di Kian-seng-hong sunyi kembali, Hong-ting dan Tiong-hi sama menatap Lenghou Tiong
tanpa berkata, dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, “Mengapa Yim-kaucu tidak jadi menyatroni
Hing-san-pay, seluk-beluk hal ini hanya kau saja yang tahu.”
Tapi dari air muka Lenghou Tiong sedikit pun tak tampak sesuatu perubahan yang dapat memberi jawaban bagi
pertanyaan mereka itu. Hanya tertampak wajah Lenghou Tiong ya rada senang dan juga rada berduka.
Sementara, itu orang-orang Tiau-yang-sin-kau sudah pergi jauh, suara tetabuhan yang gemuruh tadi sudah tak
terdengar, teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap, datangnya gagah perkasa penuh wibawa, tapi
tahu-tahu pergi begitu saja tanpa terjadi apa-apa.
Tiong-hi tidak tahan, segera ia bertanya, “Lenghou-ciangbun, tiba-tiba Yim-kaucu sedemikian murah hati,
tentunya karena dia menghargai dirimu, Entah tadi... tadi....” mestinya ia ingin tanya “entah tadi apa yang dia
bicarakan dengan kau”. Tapi lantas teringat olehnya bahwa hal itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah
diceritakan oleh Lenghou Tiong, sebaliknya kalau tidak boleh diceritakan, pertanyaannya menjadi tidak pantas
malah. Karena itulah dia urung meneruskan pertanyaannya itu.
Tapi Lenghou Tiong dapat memahami pikiran Tiong-hi, segera ia berkata, “Harap kedua Cianpwe sudi
memaafkan, soalnya tadi Wanpwe sudah berjanji kepada Yim-kaucu, maka seluk-beluk urusan ini sementara
tak dapat kukatakan. Namun dalam urusan sesungguhnya juga tiada sesuatu rahasia penting, tidak lama lagi
tentu juga kedua Cianpwe akan mendapat tahu.”
Hong-ting bergelak tertawa, katanya, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap seluruhnya, sungguh
beruntung bagi dunia persilatan umumnya. Melihat gerak-gerik Yim-kaucu tadi, tampaknya tiada tanda-tanda
permusuhannya dengan pihak cing-pay kita, maka kita benar-benar harus bersyukur dan bergirang karena
malapetaka yang hampir menimbulkan banjir darah ini dapat dihapus dengan cara begini saja.”
Hati Tiong-hi seperti dikitik-kitik karena tetap tak tahu teka-teki apa yang tersembunyi di balik kejadian tadi,
tetapi ia pun merasa apa yang dikatakan Hong-ting itu juga benar, maka kemudian ia pun berkata, “Bukan
maksudku mengkhawatirkan hal-hal yang takkan terjadi, cuma biasanya Tiau-yang-sin-kau memang licik dan
banyak tipu akalnya, betapa pun kita harus waspada. Sebab bukan mustahil Yim-kaucu telah mengetahui
kesiapsiagaan kita, bisa jadi dia takut akan obat peledak yang telah kita pasang, sebab itulah hari ini dia
sengaja membaiki kita, tapi lain hari kalau kita lengah, mungkin dia akan menyergap kita secara mendadak.
Mungkinkah terjadi demikian jika menurut pendapat kalian berdua?”
“Ya, memang... memang hati manusia sukar diukur, segala apa, ada lebih baik waspada,” ujar Hong-ting.
Sedang Lenghou Tiong tampak menggeleng dan berkata dengan tegas, “Tidak, pasti takkan terjadi begitu.”
“Jika Lenghou Tiong yakin takkan terjadi begitu, maka segala sesuatu tentu akan menjadi baik,” kata Tiong-hi.
Selang tak lama, laporan dari bawah gunung menyatakan bahwa pasukan Tiau-yang-sin-kau sudah
mengundurkan diri ke bawah gunung, lantaran tidak diberi perintah, maka penjaga di situ tidak mencegatnya
dan melabrak musuh, juga dinamit yang terpendam itu tidak diledakkan.
Bab 144. Yang Jahat Pasti Terima Ganjarannya [TAMAT]
Segera Tiong-hi Tojin mengirim orang untuk memberitahukan kepada Jing-hi dan Seng-ko agar kursi wasiat
serta sumbu-sumbu dinamit yang telah dipasang itu segera dihapus.
Lalu Lenghou Tiong mengundang Hong-ting dan Tiong-hi masuk kembali ke Bu-sik-am untuk mengaso di
ruangan sembahyang itu.
Hong-ting Taysu membalik-balik halaman kitab Hoat-hoa-keng dalam bahasa Hindu Kuno asli itu. Sedang
Tiong-hi Tojin sebentar-sebentar meraba pedang pusakanya Cin-bu-kiam, lain saat membaca pula kitab
pelajaran ilmu pukulan Thay-kek-kun-hoat. Girang mereka sungguh sukar dilukiskan sehingga rasa khawatir
mereka tadi pun terlupa.
Sedang keadaan serbasunyi, tiba-tiba di bawah kolong meja sembahyang ada orang berkata, “Ahhh, kiranya
kau, Ing-ing!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu seorang menjawab, “Ya, Engkoh Tiong, engkau ... engkau....”
Itulah suaranya Tho-kok-lak-sian.
Keruan Lenghou Tiong berseru kaget dan melonjak bangun dari tempat duduknya.
Terdengar pula suara percakapan di bawah kolong meja itu masih terus berlangsung, “Engkoh Tiong, ayahku,
beliau ... beliau sudah meninggal dunia.”
“Mengapa beliau meninggal dunia, bukankah waktu berpisah beliau sehat-sehat saja?”
“Ketika engkau meninggalkan Hoa-san tempo hari, tidak lama sesudah engkau pergi, mendadak ayah jatuh
pingsan dari tempat duduknya, lekas-lekas aku dan Hiang-sioksiok menahan tubuh beliau, tapi hanya sebentar
saja beliau lantas mengembuskan napas penghabisan.”
“Apa ... apakah ada musuh yang mencelakai beliau?”
“Tidak, menurut Hiang-sioksiok, usia ayah sudah lanjut, pernah menderita sekian tahun di dalam kerangkeng di
bawah danau itu, belakangan ini ayah sengaja menggunakan lwekang yang paling dahsyat untuk
menghapuskan macam-macam hawa murni di dalam tubuh sendiri secara paksa, hal ini dengan sendirinya
sangat mengganggu kesehatannya. Jadi beliau meninggal karena memang sudah tua.”
“Sungguh tidak tersangka!”
“Engkoh Tiong, di atas puncak Hoa-san tempo hari Hiang-sioksiok lantas berunding dengan para tianglo dalam
agama, dengan suara bulat mereka telah mengangkat diriku sebagai Kaucu baru Tiau-yang-sin-kau.”
“O, jadi sang kaucu adalah Yim-toasiocia dan bukan lagi Yim-losiansing.”
Terkejut dan bergirang pula Hong-ting dan Tiong-hi mendengar percakapan itu, mereka cukup paham apa
artinya percakapan Tho-kok-lak-sian itu.
Sebagaimana diketahui, tadi waktu Tho-kok-lak-sian bikin ribut ingin berduduk di atas kursi naga sembilan
yang disediakan bagi Yim Ngo-heng itu, untuk mengakhiri keributan itu agar rahasia perangkap mereka tidak
bocor, maka Hong-ting Taysu telah menggunakan ilmu “Auman Singa” untuk menggetar pingsan keenam orang
dogol itu, lalu Tiong-hi Tojin menutuk hiat-to mereka dan didorong ke kolong meja.
Sungguh harus diakui bahwa lwekang keenam orang dogol itu juga cukup hebat, tidak lama kemudian mereka
sudah siuman kembali, hanya saja tak bisa bergerak karena hiat-to mereka tertutuk Tapi dengan demikian
mereka menjadi seperti sengaja sembunyi di kolong meja sehingga semua percakapan Lenghou Tiong dengan
“Yim-kaucu” yang berada di dalam tandu itu didengar mereka seluruhnya dan kini dengan nada yang sama dan
satu kalimat pun tidak berkurang telah mereka ulangi kembali.
Demi mendengar Yim Ngo-heng sudah meninggal dan sekarang Ing-ing yang menjabat Kaucu Tiau-yang-sinkau,
maka macam-macam persoalan lain dengan sendirinya juga dapat mereka pahami. Sebabnya Ing-ing
menghadiahkan benda mestika kepada Hong-ting dan Tiong-hi, sebaliknya hadiah yang diberikan kepada
Lenghou Tiong cuma terdiri dari barang-barang keperluan sehari-hari saja, hal mana juga dapat dimengerti,
sebab ia pun merupakan kado sebagai tanda bertunangan mereka berdua.
Dalam pada itu terdengar Tho-kok-lak-sian masih terus mengoceh tak berhenti-henti, seorang sedang berkata,
“Engkoh Tiong, hari ini aku sengaja datang ke sini untuk menjenguk kau, bila diketahui orang luar, tentu akan
ditertawai.”
Lalu seorang menjawab, “Ah, peduli apa kepada orang lain? Kau ini memang suka malu-malu.”
“Tidak, soalnya aku tidak ingin diketahui orang luar.”
“Baiklah, aku berjanji takkan bercerita kepada siapa pun.”
“Pula, tentang Tiau-yang-sin-kau dari lawan berubah menjadi kawan Hing-san-pay, Siau-lim-pay dan Bu-tongDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pay, hal ini pun jangan sampai diketahui orang luar sebagai keputusanku. Sebab orang-orang Kang-ouw tentu
akan anggap diselesaikannya persoalan ini secara damai adalah karena aku, karena hubunganku dengan kau.
Kalau hal ini sampai tersiar tentu akan membikin kikuk kita.”
“Haha, aku sendiri sih tidak takut dibuat cerita.”
“Mukamu tebal, tentu saja kau tidak takut. Tentang meninggalnya ayah sengaja sangat dirahasiakan oleh Tiauyang-
sin-kau, orang luar tentu akan mengira ayahku sendiri yang berkunjung ke sini serta berbicara dengan
kau, lalu persoalannya dapat didamaikan. Hal ini sebenarnya juga ada faedahnya bagi nama baik ayah. Maka
sesudah aku pulang kembali ke Hek-bok-keh barulah tentang meninggalnya ayah akan kusiarkan.”
“Sebagai anak menantu, tentu aku akan datang ke sana untuk melayat.”
“Sudah tentu baik sekali bila kau dapat hadir. Ketika di Hoa-san tempo hari, ayah sendiri sudah mengizinkan
pernikahan kita, cuma, cuma urusan ini harus tunggu setelah ... setelah aku berkabung....”
Mendengar ocehan Tho-kok-lak-sian itu mulai akan membeberkan rahasia cintanya dengan Ing-ing, Lenghou
Tiong merasa kikuk kalau-kalau urusan pribadinya itu sampai diketahui oleh Hong-ting dan Tiong-hi, maka
cepat ia membentak, “Tho-kok-lak-sian, lekas keluar! Jika tidak lekas keluar dan masih mengoceh tak keruan,
awas, sebentar kubeset kulit kalian!”
Akan tetapi masih terdengar Tho-kan-sian membuka suara dengan menirukan nada Ing-ing yang halus, “Ai,
yang kukhawatirkan adalah kesehatanmu. Ayah tidak jadi mengajarkan cara memunahkan macam-macam
hawa murni yang mengeram di dalam badanmu. Sebenarnya, biarpun beliau mengajarkan padamu juga tak
berguna. Buktinya ayah sendiri, ai!”
Tho-kan-sian menirukan suara Ing-ing yang penuh rasa sedih dan duka itu sehingga Hong-ting, Tiong-hi dan
Lenghou Tiong bertiga ikut merasakan terharu juga. Memang, tokoh aneh sebagai Yim Ngo-heng yang
hidupnya malang melintang, tapi akhirnya meninggal juga.
Tiong-hi pikir kalau ocehan Tho-kok-lak-sian itu diteruskan, tentu akan membikin Lenghou Tiong lebih kikuk,
segera ia menyeret keluar Tho-kok-lak-sian, dengan tertawa ia pun berkata, “Keenam Tho-heng, maaf aku tadi
harus menutuk hiat-to kalian. Sekarang ocehan kalian rasanya sudah cukup, sebaiknya kalian tutup mulut saja,
jangan-jangan nanti kalian membikin marah Lenghou-ciangbun dan ‘hiat-to bisu abadi’ kalian ditutuk, nah,
baru tahu rasa kalian!”
Tho-kok-lak-sian menjadi khawatir, cepat mereka bertanya, “Apa itu ‘hiat-to bisu abadi’?”
“Jika ‘hiat-to bisu abadi’ kalian tertutuk, maka selama hidup kalian akan menjadi bisu, makan minum sih dapat,
tapi mulut kalian tak bisa mengoceh lagi,” kata Tiong-hi dengan tertawa.
“Wah, susah!” seru Tho-kok-lak-sian berbareng. “Bicara nomor satu, makan minum sih nomor dua.”
“Jika begitu, maka apa yang kalian katakan tadi jangan sekali-kali diucapkan lagi kepada siapa pun juga,” ujar
Tiong-hi. “Nah, Lenghou-ciangbun, biarlah aku mintakan ampun bagi mereka, janganlah kau menutuk ‘hiat-to
bisu abadi’ mereka. Aku dan Taysu menjamin bahwa selanjutnya mereka berenam pasti takkan membocorkan
sepatah kata pun dari apa yang mereka dengar dari percakapanmu dengan Yim-siocia tadi.”
“Ah, salah, salah! Keliru, keliru! Bukan kami sendiri yang sembunyi di kolong meja, kau yang memasukkan
kami ke situ!” seru Tho-hoa-sian.
“Memangnya juga kami bukan sengaja mencuri dengar percakapan orang, tapi suara mereka yang masuk
sendiri ke dalam telinga kami, apa daya kami untuk menolaknya?” sambung Tho-sit-sian.
“Ya, kalau ada ‘hiat-to bisu abadi’ yang harus ditutuk, tentu kepunyaanmu yang mesti ditutuk!” Tho-ki-sian
menambahkan.
“Sudahlah,” ujar Tiong-hi. “Kalian sudah dengar biarkanlah, yang penting kalian tidak boleh sembarangan
mengoceh dari apa yang kalian dengar itu, tahu?”
“Baik, baik! Kami takkan mengoceh lagi!” seru Tho-kok-lak-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi semboyan anggota Tiau-yang-sin-kau bagi kaucu mereka kini sudah berubah, boleh kami katakan atau
tidak?” Tho-kin-sian bertanya.
“Tidak, tidak boleh!” cepat Lenghou Tiong membentak.
“Tidak boleh ya sudah! Kau sendiri boleh omong begitu kepada Yim-siocia, tapi kami dilarang,” demikian Thoki-
sian menggerutu.
Tiong-hi menjadi heran, timbul pertanyaannya di dalam hati perubahan semboyan apakah yang dimaksudkan
Tho-kok-lak-sian itu. Seperti diketahui, senggakan orang-orang Tiau-yang-sin-kau bagi sang kaucu antara lain
meliputi “Hidup sepanjang masa, merajai Kang-ouw selamanya”. Apakah barangkali setelah Yim-siocia menjadi
kaucu, lalu dia tidak mau merajai dunia Kang-ouw lagi seperti ayahnya? Lalu apa semboyannya yang baru?
*****
Tiga tahun kemudian, di perkampungan Bwe-cheng di lembah Se-ouw di kota Hangciu suasana tampak
semarak, itulah hari bahagia perkawinan Lenghou Tiong dan Ing-ing.
Sementara itu Lenghou Tiong sudah menyerahkan jabatan ketua Hing-san-pay kepada Gi-jing. Sebenarnya Gijing
tidak mau dan dengan keras ia minta Gi-lim yang menjadi ketua dengan dasar Gi-lim sendiri yang
membunuh musuh sehingga sakit hati suhu mereka terbalas. Namun Gi-lim tetap menolak, begitu keras
tekadnya hingga dia menangis.
Akhirnya tetap menuruti usul Lenghou Tiong agar Gi-jing yang menjabat ketua Hing-san-pay.
Ing-ing sendiri juga sudah meninggalkan jabatan Kaucu Tiau-yang-sin-kau dan menyerahkan kedudukan itu
kepada Hiang Bun-thian. Meski Hiang Bun-thian juga seorang tokoh persilatan yang sukar dikendalikan, tapi dia
tidak mempunyai ambisi mencaplok golongan-golongan atau aliran-aliran lain, maka selama beberapa tahun itu
keadaan Kang-ouw pada umumnya cukup aman tenteram.
Pada hari itu kota Hangciu menjadi penuh sesak oleh para tamu Kang-ouw yang datang menghadiri pesta
pernikahan Lenghou Tiong itu.
Selesai upacara nikah, habis pesta, dan meramaikan kamar pengantin baru, lalu para tamu minta sepasang
mempelai suka memainkan ilmu pedang mereka.
Setiap orang persilatan sama mengetahui bahwa ilmu pedang Lenghou Tiong tiada bandingannya di dunia ini,
tapi tidak setiap orang pernah menyaksikan ilmu pedang mahasakti tersebut.
Dengan tertawa Lenghou Tiong menanggapi permintaan para tamu, katanya, “Hari baik begini rasanya kurang
layak kalau main senjata segala, biarlah Cayhe dan mempelai perempuan bersama memainkan sebuah lagu,
apakah hadirin setuju?”
Para tamu bersorak menyatakan akur.
Lenghou Tiong mengeluarkan kecapi dan seruling serta memberikan seruling itu kepada Ing-ing.
Ing-ing juga tidak menolak, ia terima seruling itu dan mulai mengatur nadanya, lalu mulai meniupnya bersama
petikan kecapi Lenghou Tiong.
Yang mereka bawakan adalah lagu “Hina Kelana”.
Teringat oleh Lenghou Tiong untuk pertama kalinya mendengar lagu itu adalah ketika di luar kota Heng-san
dahulu, lagu itu dibawakan oleh Lau Cing-hong, itu tokoh Heng-san-pay dan Kik Yang, gembong Tiau-yang-sinkau.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kedua tokoh itu berasal dari aliran yang bertentangan, tapi keduanya bersahabat kental sehingga menimbulkan
perselisihan di antara teman-teman sendiri dan akhirnya Lau Cing-hong dan Kik Yang tewas bersama dan
meninggalkan lagu “Hina Kelana” gubahan mereka bersama itu.
Para tamu itu hampir seluruhnya tidak paham seni musik, akan tetapi setiap orang kiranya dapat merasakan
musik yang baik, oleh karena itu lagu “Hina Kelana” yang menggetar sukma itu benar-benar mengharukan hati
setiap hadirin.
Selesai itu, bersoraklah para tamunya mengucapkan terima kasih, lalu beramai-ramai mohon diri meninggalkan
sepasang mempelai di kamar pengantin baru.
Setelah menutup pintu, perlahan-perlahan Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan membuka kerudung sutra
tipis yang menutup wajah yang cantik itu sambil berkata dengan tertawa, “Ing-ing, tidak nyana....”
Di bawah cahaya lilin wajah Ing-ing yang cantik menggiurkan itu tampak tersenyum, tapi sebelum ucapan
Lenghou Tiong tadi dilanjutkan, mendadak Ing-ing membentak, “Keluar!”
Keruan Lenghou Tiong melengak, masakah baru saja jadi pengantin sudah lantas disuruh keluar kamar?
Demikian pikirnya.
“Hayo keluar! Apa minta kusiram dengan air?” Ing-ing membentak pula dengan tertawa.
Selagi Lenghou Tiong merasa bingung, tertampaklah dari kolong ranjang menerobos keluar enam orang, siapa
lagi mereka kalau bukan Tho-kok-lak-sian.
Rupanya keenam orang dogol itu sengaja sembunyi di kolong ranjang dengan tujuan ingin mendengarkan
percakapan antara sepasang pengantin baru, habis itu akan mereka gunakan sebagai bahan percakapan untuk
dipamerkan kepada para tamu.
Tadi Lenghou Tiong sedang mabuk melihat kecantikan sang istri sehingga tidak menaruh perhatian. Berbeda
dengan Ing-ing yang teliti, ia mendengar suara orang bernapas yang sangat halus di bawah tempat tidur, maka
segera ia tahu ada orang sembunyi di situ.
Begitulah dengan bergelak tertawa Lenghou Tiong berkata, “Hahaha, keenam Tho-heng, hampir saja aku kena
diselomoti kalian!”
Dengan tertawa pula Tho-kok-lak-sian lantas meninggalkan kamar pengantin itu, setiba di ruangan depan
tempat perjamuan segera mereka berteriak-teriak, “Hidup sepanjang masa, menjadi suami-istri selamanya!
Hidup sepanjang masa, menjadi suami-istri selamanya!”
Saat itu Tiong-hi Tojin sedang mengobrol dengan Hong-ting Taysu di ruangan perjamuan, ketika mendengar
teriakan Tho-kok-lak-sian itu, tersenyumlah dia. Teka-teki yang terpendam selama tiga tahun baru sekarang
terjawab. Kiranya ucapan itu adalah sumpah setia antara Lenghou Tiong dan Yim Ing-ing di ruangan
sembahyang di Hing-san dahulu, tapi Tho-kok-lak-sian menyangka itu sebagai perubahan semboyan anggota
Tiau-yang-sin-kau.
Empat bulan kemudian, di kala musim semi mendekati akhirnya, dua sejoli pengantin baru Lenghou Tiong dan
Yim Ing-ing bersama berangkat ke Hoa-san. Maksud Lenghou Tiong bersama istrinya hendak menemui moyang
gurunya, yaitu Hong Jing-yang, untuk mengucapkan terima kasihnya atas budi kebaikan mengajarkan ilmu
pedang sakti padanya.
Akan tetapi meski mereka sudah menjelajahi seluruh pegunungan Hoa-san, tetap tiada menemukan jejak Hong
Jing-yang, Lenghou Tiong menjadi kesal.
Ing-ing berusaha menghibur sang suami, katanya, “Thaysusiokco adalah orang kosen yang suka hidup
menyendiri, bisa jadi saat ini beliau telah mengembara ke lain tempat.”
“Thaysusiokco tidak melulu mahasakti dalam ilmu pedangnya, bahkan lwekang beliau juga tiada bandingannya
di dunia ini,” ujar Lenghou Tiong dengan gegetun. “Selama tiga tahun lebih ini aku berlatih lwekang ajaran
beliau, maka hampir seluruh hawa murni yang bergolak di dalam tubuhku dapat dipunahkan semua.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Untuk ini kita harus berterima kasih kepada Hong-ting Taysu,” kata Ing-ing. “Karena Hong-susiokco tak dapat
kita temukan, biarlah besok juga kita pergi ke Siau-lim-si saja untuk mengaturkan terima kasir kepada Hongting
Taysu.”
“Ya, Hong-ting Taysu telah menyampaikan ajaran lwekang ini kepadaku, kita memang harus mengaturkan
terima kasih padanya,” kata, Lenghou Tiong.
“Engkoh Tiong, masakah sampai saat ini kau masih belum tahu bahwa apa yang kau pelajari itu adalah
lwekang Siau-lim-pay yang terkenal sebagai ‘Ih-kin-keng’ itu,” kata Ing-ing dengan tertawa.
“Hah?” Lenghou Tiong melonjak kaget. “Jadi lwekang yang kuyakinkan ini adalah ‘Ih-kin-keng’? Dari mana kau
mendapat tahu?”
“Dahulu waktu kau bercerita padaku bahwa lwekang ini oleh Hong-susiokco disampaikan kepada Hong-ting
Taysu melalui Tho-kok-lak-sian, aku menjadi curiga, sebab untuk meyakinkan lwekang ini, sedikit keliru saja
orang yang berlatih bisa menjadi lumpuh dan kalau berat mungkin jiwa pun melayang, mana boleh lwekang
hebat ini disampaikan begitu saja melalui orang lain seperti Tho-kok-lak-sian yang dogol itu? Maka pada suatu
kesempatan kami sengaja menanyai keenam orang dogol itu, mula-mula mereka bilang benar sebagaimana
dikatakan Hong-ting Taysu, tapi waktu aku suruh mereka coba menyebut beberapa kalimat daripada ajaran
lwekang itu, mereka menjawab secara simpang-siur, ada yang mengaku sudah lupa, ada lagi yang pakai alasan
tidak dikatakan kepada orang lain kecuali Hong-ting Taysu saja. Setelah kudesak lagi, akhirnya mereka
terpaksa mengaku bahwa demi untuk menyelamatkan jiwamu, Hong-ting Taysu sengaja menggunakan
namanya Hong-susiokco agar kau mau menerima ajarannya. Tho-kok-lak-sian dipesan agar merahasiakan hal
bila ditanya olehmu.”
Lenghou Tiong sampai melongo mendengar hal itu, sungguh sama sekali tak terduga olehnya akan maksud
tujuan Hong-ting Taysu itu.
“Bahwasanya Hong-susiokco menyuruh Tho-kok-lak-sian menyampaikan berita kepada Hong-ting Taysu
memang betul. Cuma yang harus mereka sampaikan itu adalah berita tentang akan diserbunya Hing-san-pay
oleh Tiau-yang-sin-kau, maka Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay diharap memberi bantuan seperlunya kepada
Hing-san-pay.”
“Kau juga keterlaluan,” omel Lenghou Tiong. “Sudah tahu sejak dulu-dulu dan baru sekarang dikatakan
padaku.”
“Dahulu di Siau-lim-si secara bandel kau pernah menolak tawaran Hong-ting Taysu agar kau masuk menjadi
murid Siau-lim-pay dan kau akan diajarkan Ih-kin-keng untuk menyembuhkan dirimu. Maka Hong-ting Taysu
tidak berani bicara terang-terangan lagi tentang Ih-kin-keng, sebab khawatir kebandelanmu kumat kembali,
lebih suka jiwa melayang daripada belajar ilmu orang lain. Makanya beliau sengaja menggunakan namanya
Hong-susiokco, biar kau mengira apa yang diajarkan itu adalah lwekang dari Hoa-san-pay sendiri dan kau pasti
akan mempelajarinya dengan baik.”
“Ya, sebabnya kau merahasiakan hal ini tentu juga khawatir kalau-kalau kebandelanku tiba-tiba kumat dan
mendadak tidak mau berlatih pula. Tapi sekarang setelah tahu macam-macam hawa murni dalam tubuhku
sudah punah, barulah kau jelaskan duduknya perkara.”
Kembali Ing-ing tertawa, katanya, “Ya, kebandelanmu itu cukup terkenal, maka sebaiknya dihindari.”
Lenghou Tiong menghela napas terharu, tangan Ing-ing digenggamnya erat-erat, lalu berkata, “Ing-ing, dahulu
kau rela mengorbankan jiwamu di Siau-lim-si demi untuk meyakinkan Hong-ting Taysu agar mau mengajarkan
Ih-kin-keng padaku. Meski kau tidak jadi berkorban jiwa, namun Hong-ting Taysu anggap apa yang beliau
pernah sanggupkan kepadamu itu belum terpenuhi. Beliau adalah angkatan tua dunia persilatan yang paling
terhormat dan harus pegang janji, maka akhirnya beliau tetap mengajarkan juga ilmu lwekang sakti ini padaku.
Ilmu ini kudapatkan melalui pengorbananmu, seumpama aku tidak pikirkan keselamatanku tentunya juga
memikirkan jerih payah dan maksud baikmu, masakah aku terus berkeras tak mau melatihnya lagi?”
“Ya mestinya aku pun berpikir begitu, cuma, cuma dalam hatiku tetap khawatir,” kata Ing-ing.
“Baiklah, besok juga kita lantas berangkat ke Siau-lim-si, aku sudah meyakinkan Ih-kin-keng, terpaksa harus
masuk Siau-lim-si dan menjadi hwesio,” ujar Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ing-ing tahu dia cuma berkelakar saja, maka ia pun menanggapi, “Hwesio liar macam kau masakah mau
diterima oleh Siau-lim-si dan punya disiplin keras itu.”
Begitulah kedua orang berjalan sambil bergandengan tangan seraya mengobrol. Tertampak Ing-ing berulangulang
memandang ke sini dan melongok ke sana seperti ada sesuatu yang hendak dicarinya.
“Apa yang kau cari?” tanya Lenghou Tiong.
“Takkan kukatakan padamu, bila sudah ketemu tentu kau akan tahu sendiri,” sahut Ing-ing. “Kita tidak berhasil
menemukan Hong-susiokco, hal ini harus disesalkan, tapi kalau tak dapat menemukan orang itu rasanya juga
sangat sayang.”
“Jadi kita masih mencari seorang lain lagi, siapakah dia?”
Ing-ing hanya tersenyum dan tidak menjawabnya, katanya kemudian, “Kau telah mengurung Lim Peng-ci di
dalam penjara di bawah tanah Bwe-cheng sana, caramu mengatur ini memang pintar. Kau pernah
menyanggupi Siausumoay untuk menjaga kehidupan Peng-ci, maka kau mengurungnya di sana, diberi makan,
diberi baju, jiwanya juga terjamin, kau benar-benar telah menjaga kehidupannya sesuai janjimu. Tapi terhadap
seorang bekas temanmu yang lain aku telah mengatur suatu cara lain untuk menjamin kehidupannya.”
Lenghou Tiong tambah heran, siapakah gerangan bekas temanku yang dimaksudkannya itu? Tapi ia tahu
tindak tanduk sang istri memang sering-sering luar biasa, tiada gunanya bertanya kalau dia tak mau
menjelaskan sekarang.
Malamnya kedua orang duduk-duduk minum di tempat tinggal Lenghou Tiong yang lama, meski menghadapi
istri cantik, tapi demi terkenang kepada masa lampau, timbul juga rasa duka dalam hatinya, maka berulangulang
ia menghabiskan belasan cawan arak.
Sekonyong-konyong Ing-ing memasang telinga mendengarkan sesuatu, lalu katanya dengan suara tertahan,
“Itu dia, marilah kita pergi melihatnya.”
Lenghou Tiong juga mendengar di atas gunung ada suara monyet, tapi entah siapa “si dia” yang dimaksudkan
Ing-ing itu. Tanpa tanya ia pun ikut istrinya itu keluar.
Ing-ing terus menuju ke arah datangnya suara monyet tadi, dengan cepat ia berlari ke lereng bukit di depan
sana. Di bawah sinar bulan yang cukup terang tertampaklah ada belasan ekor monyet bertengger di atas batu
karang. Kawanan monyet di Hoa-san cukup banyak dan tidak mengherankan Lenghou Tiong. Tapi tiba-tiba
dilihatnya di tengah gerombolan monyet itu ada seorang manusia. Waktu diperhatikan, ternyata Lo Tek-nau
adanya.
Dengan gusar tercampur girang segera Lenghou Tiong hendak mendekati musuh besar itu. Tapi Ing-ing keburu
menariknya dan berkata, “Sabar dulu, lihatlah yang jelas dirinya!”
Setelah mereka maju lebih dekat lagi, tertampak Lo Tek-nau diapit oleh dua ekor monyet besar dan diseret ke
kanan dan ke kiri tanpa kuasa. Meski ilmu silat Lo Tek-nau cukup tinggi, ternyata tidak berdaya melawan kedua
ekor monyet.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Lenghou Tiong heran.
“Lihatlah lebih jelas, sebentar tentu kau akan tahu sendiri,” kata Ing-ing.
Sifat monyet pada umumnya adalah berangasan dan suka bergerak, karena itu Lo Tek-nau tampak ditarik ke
sana dan diseret ke sini oleh kedua ekor monyet besar itu, terkadang ia pun mengeluarkan suara geraman, tapi
monyet-monyet itu terus mencakar mukanya.
Kini Lenghou Tiong dapat melihat jelas bahwa tangan kanan Lo Tek-nau bergandengan dengan tangan kiri
monyet sebelah kanan, tangan kirinya juga bergandengan dengan tangan kanan monyet yang lain, jelas antara
tangan manusia dan tangan monyet itu diikat oleh benda-benda sebangsa borgol.
Maka sekarang Lenghou Tiong mulai paham duduknya perkara, tanyanya, “Tentu perbuatanmu bukan? Apakah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kau telah memunahkan ilmu silatnya?”
“Tidak, tapi dia sendiri yang menerima ganjarannya yang setimpal,” sahut Ing-ing.
Mendengar suara manusia, gerombolan monyet itu lantas berteriak-teriak melarikan diri dengan menggondol
Lo Tek-nau ke balik bukit sana.
Mestinya Lenghou Tiong ingin membunuh Lo Tek-nau untuk membalas sakit hati Liok Tay-yu, tapi melihat
penderitaan Lo Tek-nau sekarang lebih celaka daripada dibunuh, maka ia pun tidak menggubrisnya lagi, terasa
puas karena penjahat telah mendapatkan ganjarannya. Katanya kemudian, “Selama beberapa hari ini kiranya
orang yang kau maksudkan adalah Lo Tek-nau.”
“Ya,” sahut Ing-ing. “Tempo hari keparat ini juga telah datang ke Tiau-yang-hong untuk menemui ayah,
katanya dia mendapatkan kitab pusaka Pi-sia-kiam-boh dan bermaksud dipersembahkan kepada ayah dengan
harapan mendapat kedudukan yang pantas di bawah ayah. Namun ayah tidak sempat bicara dengan dia dan
segera memerintahkan orang menahan dia. Kemudian ayah meninggal dunia, semua orang menjadi sibuk dan
tidak sempat mengurusnya, akhirnya dia pun ikut terbawa pulang ke Hek-bok-keh. Lewat belasan hari barulah
aku ingat soal ini, segera kuhadapkan dia untuk ditanyai. Kiranya dia sendiri telah berusaha melatih Pi-siakiam-
hoat, tapi keliru dan tersesat sehingga ilmu silat sendiri ikut punah. Orang ini adalah pembunuh
Laksutemu, sedang Laksutemu paling suka piara monyet, sebab itulah aku lantas suruh orang mencarikan dua
ekor monyet besar, kuborgol dia bersama kedua ekor monyet itu, lalu kulepaskan di Hoa-san sini.”
Habis berkata, ia mengulur tangannya untuk memegangi pergelangan tangan Lenghou Tiong. “Ai, sungguh tak
terduga bahwa selama hidupku ini juga mesti terikat bersama seekor monyet besar seperti ini dan takkan
berpisah lagi,” katanya dengan tersenyum manis, senyuman yang lembut dan menggiurkan.
.: TAMAT :.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru