Selasa, 09 Mei 2017

Cersil Mandarin Hina Kelana 4 Cersil Jinyong Pilihan

Cersil Mandarin Hina Kelana 4 Cersil Jinyong Pilihan Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Mandarin Hina Kelana 4 Cersil Jinyong Pilihan
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Mandarin Hina Kelana 4 Cersil Jinyong Pilihan
Bab 24. Ketua Heng-san-pay, Bok-taysiansing
Namun keadaan Lau Cing-hong sendiri sudah sangat payah, dia telah terluka dalam karena getaran pukulan
Tay-ko-yang-jiu dari tiga tokoh Ko-san-pay sekaligus, ditambah lagi tenaganya telah dicurahkan seluruhnya
untuk melagukan "Hina Kelana" tadi, dia benar-benar telah lemas sehingga tangan yang digunakan untuk
menarik lengan Fifi itu sedikit pun tidak bertenaga lagi.
Maka dengan enteng saja Fifi dapat meronta lepas dari cekalan Lau Cing-hong dan malah melangkah maju pula
setindak. Tapi pada saat itulah mendadak sinar hijau berkelebat, pedang Hui Pin tahu-tahu sudah menusuk
sampai di depan mukanya.
Cepat Fifi menangkis dengan pedang kiri, pedang di tangan kanan menyusul lantas balas menusuk.
Hui Pin mengekek tawa, berbareng pedangnya memutar ke atas terus menyampuk ke bawah sehingga pedang
Fifi terpukul. Seketika lengan Fifi tergetar sehingga kesakitan, kontan pedangnya terlepas dari cekalan.
Waktu Hui Pin memutar dan menyungkit pula dengan pedangnya, "plak", kembali pedang Fifi yang lain
tersampuk mencelat hingga beberapa meter jauhnya. Menyusul ujung pedang Hui Pin sudah mengancam di
tenggorokannya.
"Kik-tianglo," kata Hui Pin dengan tertawa kepada Kik Yang, "aku akan membutakan dulu mata cucu
perempuanmu ini kemudian memotong hidungnya, lalu mengiris daun telinganya pula ...."
Mendadak Fifi menjerit sekali sambil menubruk maju, ia sodorkan tenggorokan sendiri ke ujung pedang Hui Pin.
Rupanya ia menjadi nekat, daripada tersiksa lebih baik lekas mati saja.
Namun Hui Pin sangat gesit, pedang sempat ditarik mundur sehingga tubuh Fifi menumbuk ke arahnya. Cepat
ia gunakan tangan kiri untuk menutuk Hiat-to di bahu kanan dara itu sehingga Fifi roboh terjungkal dan tak
bisa berkutik lagi.
"Hahaha! Kaum iblis Mo-kau sudah kelewat takaran berbuat kejahatan, ingin mati juga tidak boleh segampang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ini," demikian Hui Pin terbahak-bahak. "Sekarang terimalah ganjaranmu. Biar kubutakan dulu mata kirimu ini!"
Habis berkata segera pedangnya terangkat dan hendak menusuk ke mata kiri Fifi.
"Nanti dulu!" mendadak terdengar suara bentakan orang dari belakang.
Keruan Hui Pin terkejut. Pikirnya, "Sungguh celaka! Mengapa orang sembunyi di belakangku, tapi sedikit pun
aku tidak tahu?"
Dia tidak tahu bahwa Lenghou Tiong dan Gi-lim memang sudah berada di balik batu itu sejak tadi. Kalau tidak
tentu sudah ketahuan bilamana ada orang yang baru datang.
Cepat ia berpaling sambil memutar pedang, siap untuk bertempur. Di bawah sinar bulan yang cukup terang,
tertampak seorang pemuda telah berdiri di situ dengan kedua tangan bertolak pinggang, tapi mukanya pucat
sebagai mayat.
"Siapa kau?" bentak Hui Pin.
"Siautit Lenghou Tiong dari Hoa-san menyampaikan salam hormat kepada Hui-susiok," sahut Lenghou Tiong
sambil membungkukkan tubuh. Tapi rupanya dia masih lemas, maka sedikit bergerak saja sudah
sempoyongan.
"Ya, sudahlah," sahut Hui Pin mengangguk. "Kiranya adalah murid pertama Gak-suheng. Apa yang kau
kerjakan di sini?"
"Siautit dilukai orang Jing-sia-pay dan terpaksa merawat luka di sini sehingga terlambat memberi hormat
kepada Hui-susiok, harap maaf," kata Lenghou Tiong.
"Hm, kedatanganmu ini sangat kebetulan," jengek Hui Pin. "Anak dara ini adalah iblis cilik dari Mo-kau yang
harus kita tumpas habis-habisan. Jika aku yang turun tangan, rasanya kurang pantas karena angkatan tua
beraninya terhadap anak kecil. Maka bolehlah kau saja yang membunuhnya."
Sambil bicara ia lantas menuding ke arah Kik Fi-yan.
Namun Lenghou Tiong telah menggeleng, jawabnya, "Kakek anak dara itu adalah sahabat karib Lau-susiok,
kalau diurutkan dia juga lebih muda satu angkatan daripadaku. Jika Siautit membunuhnya tentu orang
Kangouw juga akan menuduh aku orang tua menganiaya anak kecil, kalau tersiar, tentu akan merusak nama
baikku. Pula, membikin susah anak kecil sesungguhnya juga bukan perbuatan kaum kesatria gagah. Perbuatan
demikian sekali-kali tidak mungkin dilakukan oleh Hoa-san-pay kami."
Di balik kata-katanya itu jelas sekali Lenghou Tiong seakan-akan hendak menyatakan bahwa apa yang tidak
mau diperbuat oleh Hoa-san-pay, jika hal itu toh dilakukan oleh Ko-san-pay, maka teranglah Ko-san-pay
adalah golongan yang tak dapat dipuji.
Keruan kedua alis Hui Pin menegak, sorot matanya memancarkan sinar bengis, serunya, "Aha, kiranya diamdiam
kau pun bersekongkol dengan iblis Mo-kau. Ya, benar, tadi Lau Cing-hong mengatakan iblis she Kik ini
pernah menolong jiwamu. Sungguh tidak nyana bahwa anak murid Hoa-san-pay yang terhormat sebagai kau
ini sekarang pun sudah mengekor kepada Mo-kau."
Berbareng pedangnya tampak bergerak-gerak, ujung pedang memantulkan sinar gemerdep seakan-akan
segera akan menusuk ke arah Lenghou Tiong.
"Lenghou-hiantit," seru Lau Cing-hong, "urusan ini sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan kau,
janganlah kau ikut campur, lekas kau pergi saja agar tidak membikin sulit gurumu kelak."
Lenghou Tiong bergelak tertawa, jawabnya, "Lau-susiok, kita mengaku sebagai kaum pendekar, selamanya kita
tidak dapat hidup berdampingan dengan kaum iblis pengganas, kalau sekarang perbuatan kita tidak ubahnya
seperti kaum iblis, beraninya cuma dengan orang dalam keadaan payah, apakah perbuatan demikian dapat
dikatakan sebagai pendekar? Hendak membunuh anak kecil yang tak berdosa, apakah perbuatan ini perbuatan
seorang kesatria?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Perbuatan demikian juga tidak dilakukan oleh orang dari Mo-kau kami," sela Kik Yang. "Saudara Lenghou,
sudahlah silakan engkau meninggalkan tempat ini saja. Ko-san-pay suka melakukan hal-hal begini boleh
terserah padanya saja."
"Tidak, aku justru tak mau pergi, ingin kulihat tokoh terkemuka, kesatria besar, jago Ko-yang-jiu dari Ko-sanpay
ini sampai di mana perbuatannya, apakah sesuai dengan namanya atau tidak," sahut Lenghou Tiong
dengan tertawa.
Hui Pin menjadi murka, nafsu membunuhnya seketika timbul. Jengeknya dengan tertawa iblis, "Hm, kau kira
dengan kata-katamu ini lantas dapat memaksa aku mengampuni ketiga iblis jahanam ini? Hehe, janganlah kau
mimpi. Bagi orang she Hui membunuh tiga orang atau empat orang adalah sama saja."
Habis berkata ia lantas melangkah maju beberapa tindak.
Walaupun Lenghou Tiong tampak sempoyongan, berdirinya tidak tegak, tapi murid Hoa-san-pay itu terkenal
sebagai murid kesayangan Kun-cu-kiam Gak Put-kun, ilmu silatnya sangat tinggi. Namun urusan sekarang
menyangkut nama baik Ko-san-pay, jika Lenghou Tiong sampai lolos, bukan saja namanya sendiri nanti akan
runtuh habis-habisan, bahkan di antara Hoa-san-pay dan Ko-san-pay juga pasti akan terjadi pertengkaran
besar. Maka jalan satu-satunya sekarang harus membunuh Lenghou Tiong agar tidak menimbulkan bencana di
kemudian hari. Demikian pikir Hui Pin.
Lenghou Tiong juga terkejut demi tampak sikap Hui Pin yang beringas itu. Diam-diam ia pun memikirkan tipu
untuk melepaskan diri dari bahaya ini. Namun lahirnya dia tenang-tenang saja. Katanya, "Hui-susiok, apakah
engkau bermaksud membunuh aku juga untuk melenyapkan saksi perbuatanmu yang kotor itu?"
"Haha, kau memang pintar sekali, ucapanmu ini memang tidak salah," sahut Hui Pin sambil mendesak maju
pula.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari balik batu sana berkumandang suara seorang Nikoh jelita, "Huisusiok,
laut derita tidak ada ujungnya, berpaling kembali ada tepinya. Sekarang kau baru bermaksud
melakukan kejahatan, tapi perbuatan yang nyata masih belum lagi kau laksanakan. Hendaklah kau dapat
mengekang diri di tepi jurang, untuk mana masih belum terlambat."
Itulah suaranya Gi-lim. Sebenarnya Lenghou Tiong telah pesan dia sembunyi di belakang batu gunung itu
supaya tidak dilihat orang. Tapi demi tampak keadaan Lenghou Tiong terancam bahaya, tanpa pikir lagi ia terus
tampil ke muka dengan maksud memberi nasihat kepada Hui Pin untuk mengurungkan niatnya yang jahat.
Rupanya Hui pin juga terkejut ketika mendadak muncul lagi seorang. Tegurnya, "Apakah kau orang Hing-sanpay?
Mengapa kau pun main sembunyi-sembunyi di situ?"
Wajah Gi-lim menjadi merah, sahutnya dengan tergagap-gagap, "Aku ... aku ...."
Waktu itu Fifi menggeletak tak bisa berkutik karena tertutuk Hiat-tonya, tapi dia masih dapat bersuara. Segera
ia berseru, "Enci Gi-lim, aku memang sudah menduga engkau pasti berada bersama Lenghou-toako. Ternyata
kau sudah menyembuhkan lukanya. Cuma sayang ... sayang kita sudah akan mati semua."
"Tidak bisa jadi," ujar Gi-lim sambil geleng kepala. "Hui-susiok adalah seorang pendekar, seorang kesatria
ternama di dunia persilatan, mana bisa beliau membikin susah nona cilik seperti dirimu dan orang-orang
terluka seperti Lau-susiok?"
"Hehe, apakah betul-betul dia adalah pendekar dan kesatria?" jengek Fifi.
"Ko-san-pay adalah Bengcu (ketua perserikatan) dari Ngo-gak-kiam-pay, pimpinan kaum pendekar di dunia
Kangouw, segala apa yang diperbuatnya sudah tentu harus mengutamakan keadilan dan kebenaran," ujar Gilim.
Apa yang diucapkan Gi-lim itu adalah timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Maklumlah, dia sama sekali tidak
kenal kehidupan manusia, segala apa selalu berpikir dari sudut yang baik bagi orang lain.
Akan tetapi sekarang bagi pendengaran Hui Pin kata-katanya itu terasakan seperti sindiran belaka. Pikirnya,
"Sekali mau berbuat harus jangan kepalang tanggung lagi. Hari ini bila ada seorang yang lolos dari sini dengan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hidup, untuk seterusnya namaku pasti akan tercemar. Sekalipun yang kubunuh adalah iblis-iblis dari Mo-kau,
tapi caraku membunuh mereka bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati, tentu aku akan dipandang hina
oleh orang Kangouw."
Setelah ambil keputusan demikian, segera ia acungkan pedangnya ke arah Gi-lim, katanya, "Dan kau sendiri
kan tidak terluka, juga bukan nona cilik yang tak mahir ilmu silat, rasanya tidaklah salah bila aku pun
membunuh kau."
Keruan Gi-lim terperanjat. Serunya, "Hah, ak ... aku? Meng ... mengapa engkau ingin membunuh aku?"
"Kau telah bersekongkol dengan iblis Mo-kau, saling sebut sebagai Cici-adik segala, terang kau pun sudah
sepaham dengan kaum iblis ini, sudah tentu aku tak boleh mengampuni kau," sahut Hui Pin sambil mendesak
maju, pedangnya terus menusuk.
Cepat Lenghou Tiong melompat maju mengadang di depan Gi-lim, serunya, "Lekas pergi, Sumoay, pergilah
mengundang Suhumu agar datang kemari menolong kita!"
Padahal keadaan tempat itu sangat terpencil, tidaklah mungkin dalam waktu singkat dapat meminta bala
bantuan, apalagi Ting-yat Suthay juga tidak diketahui berada di mana saat itu. Kata-katanya itu hanya dipakai
sebagai alasan agar Gi-lim mau lekas pergi dari situ supaya jiwanya dapat diselamatkan.
Namun Hui Pin sudah lantas mulai melancarkan serangan, "sret-sret-sret", berulang-ulang ia menusuk dan
menebas tiga kali sehingga Lenghou Tiong terdesak kelabakan.
Melihat itu segera Gi-lim lantas melolos pedangnya yang terkutung sebagian itu terus menyerang Hui Pin
sambil berseru, "Lenghou-toako, engkau masih belum sembuh, lekas mundur saja!"
"Hahaha! Rupanya Nikoh cilik sudah penujui pemuda ganteng ini sehingga jiwanya sendiri pun tak terpikir lagi!"
goda Hui Pin dengan tertawa. Mendadak pedangnya menebas ke depan. "Trang", Gi-lim menangkis. Kedua
pedang beradu, tapi kontan pedang kutung Gi-lim itu terlepas dari cekalan dan mencelat jatuh. Tanpa berhenti
di situ, Hui Pin lantas acungkan pedangnya ke depan, dada Gi-lim segera hendak ditusuknya.
Gerakan serangan yang sangat cepat lagi jitu ini termasuk salah satu kepandaian Ko-san-pay yang lihai.
Maklumlah Hui Pin harus menghadapi lima orang lawan, meski hanya Gi-lim saja yang segar bugar dan yang
lain-lain dalam keadaan payah, tapi ada lebih baik mengambil jalan yang selamat saja, siapa tahu kalau-kalau
Nikoh jelita itu sampai lolos, tentu kelak akan menimbulkan banyak kesukaran. Sebab itulah sekali menyerang
segera Hui Pin tidak kenal ampun kepada Gi-lim.
Segera Gi-lim bermaksud menghindar sambil menjerit kaget. Namun ujung pedang musuh tahu-tahu sudah
menyambar ke depan ulu hatinya. Syukurlah pada saat itu Lenghou Tiong telah menubruk maju, jari kirinya
terus mencolok mata Hui Pin.
Dalam keadaan begitu, bila pedang Hui Pin tetap menusuk ke depan, walaupun seketika Gi-lim dapat
dibinasakan, tapi kedua biji matanya sendiri tentu juga akan menjadi korban. Terpaksa Hui Pin melompat
mundur, berbareng itu pedangnya juga terus menyabet ke samping sehingga lengan kiri Lenghou Tiong
tergores satu luka panjang.
Setelah berhasil menyelamatkan Gi-lim dengan pertaruhan jiwanya sendiri, napas Lenghou Tiong juga sudah
tersengal-sengal, tubuhnya terhuyung-huyung lemas. Lekas-lekas Gi-lim memayangnya, katanya dengan suara
cemas, "Biarlah dia membunuh kita bersama saja."
"Kau ... kau lekas lari ...." seru Lenghou Tiong dengan terengah-engah.
"Tolol, sampai sekarang masakah masih belum tahu akan isi hati orang?" kata Fifi dengan tertawa. "Dia ingin
mati bersama dengan kau."
Belum habis ucapannya, dengan menyeringai buas Hui Pin telah mendesak maju pula dengan pedang terhunus.
Lenghou Tiong sendiri tidak habis mengerti mengapa Gi-lim ingin mati bersama dia, walaupun dirinya pernah
menolong Nikoh jelita itu, tapi ia pun sudah balas menyelamatkan jiwanya. Hubungan mereka hanya sesama
orang Ngo-gak-kiam-pay saja, walaupun mesti saling membantu sebagai orang Kangouw, tapi juga tidak perlu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membela secara mati-matian. Sungguh Ting-yat Suthay adalah seorang tokoh yang hebat dan guru yang luhur.
Dalam pada itu Hui Pin sudah mendesak maju selangkah lagi, sinar pedangnya yang gemerdepan menyilaukan
mata. Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang pohon Siong sana berkumandang beberapa kali suara rebab yang
halus dan berirama mengibakan hati.
Seketika hati Hui Pin tergetar, "Wah, Siau-siang-ya-uh Bok-taysiansing telah tiba!"
Suara rebab itu makin lama makin perlahan, nadanya semakin sedih. Tapi Bok-taysiansing, itu ketua Hengsan-
pay, Suhengnya Lau Cing-hong, tetap tidak muncul.
"Apakah Bok-taysiansing itu? Mengapa tidak keluar saja untuk bertemu?" seru Hui Pin.
Mendadak suara rebab berhenti. Dari belakang pohon menyelinap keluar sesosok bayangan orang yang agak
kurus.
Sudah lama juga Lenghou Tiong mendengar nama "Siau-siang-ya-uh" Bok-taysiansing yang termasyhur, tapi
belum pernah bertemu muka. Sekarang di bawah sinar bulan dapatlah terlihat dengan jelas, ketua Heng-sanpay
itu ternyata kurus kering seperti orang berpenyakit TBC yang sudah parah. Sungguh tak terduga olehnya
bahwa tokoh persilatan yang terkenal itu ternyata mempunyai potongan tubuh seburuk itu.
Sambil membawa alat musiknya, yaitu rebab, Bok-taysiansing telah memberi hormat kepada Hui Pin dan
menyapa, "Hui-suheng, baik-baikkah Co-bengcu?"
Melihat sikap Bok-taysiansing cukup ramah tamah, pula diketahui hubungannya dengan Lau Cing-hong
biasanya kurang baik, segera Hui Pin menjawab, "Banyak terima kasih atas perhatian Bok-taysiansing, Suko
kami baik-baik saja. Tokoh golongan kalian yang bernama Lau Cing-hong ini bergaul dengan iblis dari Mo-kau
dan ada rencana busuk terhadap Ngo-gak-kiam-pay kita. Untuk itu menurut pendapat Bok-taysiansing cara
bagaimana seharusnya diselesaikan?"
Dengan sikap dingin-dingin saja Bok-taysiansing mendekati Lau Cing-hong setindak sambil menjawab, "Harus
dibunuh!"
Begitu selesai ucapannya itu, sekonyong-konyong sinar dingin berkelebat, tahu-tahu tangannya sudah
memegang sebatang pedang yang tipis dan agak sempit, di mana sinar pedangnya menyambar, kontan ia terus
menusuk dada Hui Pin.
Serangan kilat yang tak terduga-duga ini keruan membikin Hui Pin sangat terperanjat. Lekas-lekas ia melompat
mundur, namun tidak urung dadanya juga sudah tergores luka sehingga bajunya ikut robek.
Dengan kejut dan gusar pula segera Hui Pin balas menyerang. Namun karena sudah didahului oleh Boktaysiansing
sehingga dia tetap di pihak terserang. Pedang ketua Heng-san-pay itu susul-menyusul menyambar
pula ke arahnya sehingga dia berulang-ulang terpaksa harus menghindar mundur.
Kik Yang, Lau Cing-hong dan Lenghou Tiong adalah ahli pedang semua. Mereka menyaksikan ilmu pedang yang
dimainkan Bok-taysiansing itu sedemikian hebat perubahannya dan sukar diraba. Sebagai saudara seperguruan
yang sama-sama belajar selama puluhan tahun juga Lau Cing-hong tidak menduga ilmu pedang sang Suheng
ternyata sedemikian saktinya.
Hanya dalam sekejap saja tertampaklah titik-titik darah bercipratan keluar melalui celah-celah sinar pedang.
Hui Pin tampak berkelit ke sana dan menghindar kemari, sekuatnya menangkis dan bertahan, tapi selalu sukar
melepaskan diri dari taburan sinar pedang Bok-taysiansing yang rapat itu. Titik-titik darahnya akhirnya berubah
menjadi suatu lingkaran di sekeliling orang itu.
Sekonyong-konyong terdengar Hui Pin menjerit sekali sambil meloncat ke atas. Bok-taysiansing tampak
menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur, pedang dimasukkan kembali ke dalam rebabnya, lalu
putar tubuh dan bertindak pergi. Lagu "Siau-siang-ya-uh" lantas bergema pula dengan iramanya yang
menyayatkan hati, akhirnya lenyaplah ketua Heng-san-pay itu di tengah pepohonan Siong yang lebat.
Setelah meloncat ke atas, kemudian Hui Pin lantas jatuh terbanting ke atas tanah. Darah tampak menyembur
keluar dari dadanya sebagai air mancur.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kiranya dalam pertempuran tadi Hui Pin telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk bertahan. Ketika
dadanya tertusuk pedang Bok-taysiansing, lantaran tenaga dalamnya masih bekerja dengan kuat sehingga
darahnya terdesak menyemprot keluar melalui luka di dadanya itu.
Melihat keadaan yang mengerikan itu, Gi-lim sampai memegangi tangan Lenghou Tiong dengan hati berdebardebar.
Meski dia sudah lama belajar silat, tapi belum pernah dia menyaksikan orang terbunuh secara
mengerikan demikian.
Dengan menggeletak bermandi darah, sedikit pun Hui Pin tidak dapat bergerak lagi, agaknya sudah binasa. Kik
Yang berkata dengan menghela napas, "Lau-hiante, kau pernah mengatakan kalian bersaudara seperguruan
tidak cocok satu sama lain, sungguh tak terduga pada saat kau terancam bahaya, Suhengmu itu telah sudi
turun tangan menolong engkau."
"Ya, tingkah laku Suko memang sangat aneh dan sukar diduga orang," sahut Lau Cing-hong. "Pertentangan
kami bukanlah lantaran karena aku kaya dan dia miskin, tapi watak kami masing-masing yang tidak cocok satu
sama lain."
"Ilmu pedangnya begitu hebat, tapi irama rebabnya selalu bernada sedih memilukan, sungguh tidak sesuai
sebagai seorang kesatria penegak keadilan," ujar Kik Yang.
"Benar, bila kudengar suara rebabnya, selalu aku ingin menjauhi dia," kata Lau Cing-hong. "Tapi bicara tentang
ilmu pedang, harus diakui sedikit pun aku tidak bisa membandingi dia. Biasanya aku kurang menghormati dia,
kalau dipikir-pikir sekarang sungguh aku merasa menyesal sekali."
Tiba-tiba Fifi berseru, "Kakek, tolong membukakan Hiat-toku, sudah waktunya kita pergi saja dari sini."
Kik Yang coba hendak berbangkit, tapi baru sedikit menegakkan tubuhnya kembali dia jatuh terduduk kembali.
"Aku tidak sanggup!" katanya dengan lesu. Lalu ia berpaling kepada Lenghou Tiong. "Adik cilik, ada sesuatu
permintaanku padamu, entah kau sudi menyanggupi atau tidak?"
"Dengan senang hati Wanpwe akan mengerjakan kehendak Locianpwe," sahut Lenghou Tiong.
Kik Yang memandang sekejap kepada Lau Cing-hong. Katanya kemudian, "Aku dan Lau-hiante telah
keranjingan seni musik, dengan tenaga kami selama puluhan tahun, kami telah dapat menggubah sebuah lagu
'Hina Kelana' yang kami yakin belum pernah ada sejak dahulu kala hingga sekarang."
Sampai di sini ia berhenti sejenak, dari sakunya dikeluarkan sejilid buku kecil, lalu sambungnya, "Buku ini
berisi catatan not kecapi dari lagu 'Hina Kelana', Lau-hiante sendiri mempunyai buku catatan not seruling.
Maksudku ingin mohon adik cilik suka mengingat jerih payah kami selama ini dapatlah menyimpan buku-buku
not kecapi dan seruling kami ini untuk mencari ahli waris yang tepat di kemudian hari."
Segera Lau Cing-hong juga mengeluarkan sejilid buku kecil yang serupa, katanya dengan tertawa, "Apabila
lagu 'Hina Kelana' ini dapat berkembang di kemudian hari, maka mati pun kami akan merasa tenteram."
Dengan hormat Lenghou Tiong menerima kedua jilid buku itu dari kedua orang. Sahutnya, "Harap kalian
jangan khawatir, Wanpwe tentu akan berusaha melaksanakan cita-cita kalian dengan sepenuh tenaga."
Semula Lenghou Tiong mengira Kik Yang ingin minta bantuannya mengerjakan sesuatu urusan yang sukar, tak
tahunya hanya minta dia mencari orang yang gemar memetik kecapi dan meniup seruling, hal ini boleh dikata
sangatlah gampang.
"Adik cilik, kau adalah murid dari golongan yang terpuji dan terhormat, mestinya aku tidak boleh membikin
susah padamu, cuma soalnya sudah mendesak, terpaksa kami minta bantuanmu harap maafkan," kata Kik
Yang. Lalu ia berpaling kepada Lau Cing-hong. "Saudaraku, kini bolehlah kita berangkat dengan lega."
"Benar," sahut Lau Cing-hong sambil menjulurkan tangannya.
Sambil tangan berpegangan tangan, kedua orang sama-sama bergelak tertawa, lalu menutup mata untuk
selama-lamanya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong terkejut, serunya, "Cianpwe, Locianpwe! Lau-susiok!"
Waktu ia periksa pernapasan mereka, ternyata kedua orang tua itu sudah wafat.
Melihat air muka Lenghou Tiong itu, segera Fifi tahu juga apa yang sudah terjadi, ia berteriak-teriak sambil
menangis, "Kakek! Kakek! Apakah Kakek sudah meninggal?"
Gi-lim memeluknya dan coba hendak membuka Hiat-to si Fifi yang tertutuk itu. Tapi tenaga jago Ko-san-pay
itu sangat hebat, kepandaian Gi-lim sendiri terbatas, maka seketika sukar juga untuk melancarkan jalan
darahnya.
Lenghou Tiong jauh lebih berpengalaman dalam dunia Kangouw, segera ia berkata, "Sumoay cilik, marilah kita
lekas mengubur jenazah mereka bertiga agar tidak terjadi hal-hal lain bila sebentar lagi ada orang mencari
kemari. Tentang terbunuhnya Hui Pin oleh Bok-taysiansing janganlah sekali-kali sampai diketahui oleh orang
lain."
Sampai di sini ia lantas tahan suaranya dan melanjutkan, "Bilamana kejadian ini sampai bocor, tentu Boktaysiansing
akan menuduh kita bertiga yang menyiarkannya dan itu berarti bencana bagi kita."
"Benar," kata Gi-lim. "Tapi kalau aku ditanya oleh Suhu, aku harus menerangkan atau tidak?"
"Siapa pun tidak boleh kau beri tahu," kata Lenghou Tiong. "Bila kau ceritakan, tentu akan celaka kalau Boktaysiansing
mencari gara-gara kepada gurumu."
Gi-lim sendiri menyaksikan betapa lihainya ilmu pedang Bok-taysiansing, tanpa merasa ia merinding. "Baiklah,
takkan kukatakan kepada siapa pun juga," katanya kemudian.
Lenghou Tiong menjemput pedang tinggalan Hui Pin, segera ia menusuk mayat jago Ko-san-pay itu sehingga
bertambah belasan lubang besar.
Gi-lim merasa tidak sampai hati, katanya, "Toako, dia ... dia ... dia kan sudah mati, kenapa kau sedemikian
benci padanya dan merusak jenazahnya?"
"Kau telah menyaksikan pedang Bok-taysiansing sangat tipis lagi sempit, seorang ahli sekali melihat luka Huisusiok
saja akan segera mengetahui siapa yang membunuhnya. Maksudku bukan hendak merusak jenazahnya,
tapi adalah untuk mengacaukan tanda luka di tubuhnya ini supaya tidak dapat dikenali orang," demikian tutur
Lenghou Tiong.
"Ai, urusan-urusan dunia Kangouw ini sungguh sukar untuk dibayangkan," demikian Gi-lim membatin. Ketika
dilihatnya Lenghou Tiong mulai mengumpulkan batu-batu untuk menutupi jenazah Hui Pin, cepat ia berkata,
"Sudahlah, engkau mengaso saja dahulu, biar aku yang mengerjakan."
Segera ia mengangkuti batu-batu itu dan diuruk perlahan-lahan ke atas tubuh Hui Pin yang sudah tak
bernyawa itu.
Lenghou Tiong memang juga sudah lelah, lukanya terasa sakit pula. Ia lantas duduk bersandar batu sambil
membalik-balik buku not kecapi pemberian Kik Yang tadi. Dilihatnya beberapa halaman bagian depan adalah
catatan petunjuk-petunjuk tentang orang bersemadi dengan beberapa gambar badan manusia yang penuh
garis-garis urat nadi, selanjutnya adalah petunjuk-petunjuk ilmu pukulan dan tutukan. Belasan halaman berikut
barulah terdapat catatan mengenai pelajaran memetik kecapi. Sebagian belakang buku kecil itu adalah hurufhuruf
aneh yang tidak dikenalnya.
Dalam hal kesusastraan memangnya pengetahuan Lenghou Tiong terbatas, ia tidak tahu bahwa not cara
memetik kecapi itu memangnya terdiri dari huruf-huruf yang aneh bentuknya, maka disangkanya huruf-huruf
itu adalah tulisan zaman purbakala yang sukar dipahami, tanpa pikir ia lantas masukkan kedua jilid buku kecil
itu ke dalam bajunya.
"Sumoay cilik, bolehlah kau mengaso dahulu, sebentar lagi harap kau kubur pula jenazah Kik-tianglo dan Laususiok
itu," katanya kemudian.
Gi-lim mengiakan. Sedangkan Fifi kembali menangis demi mendengar tentang jenazah sang kakek.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Melihat anak dara itu menangis dengan sedih, Gi-lim menjadi ikut-ikut meneteskan air mata.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Untuk persahabatan, sampai-sampai Lau-susiok dan segenap anggota
keluarganya ikut menjadi korban, walaupun sahabatnya adalah dari Mo-kau, tapi jiwa mereka yang luhur itu
harus dipuji."
Baru berpikir sampai sini, tiba-tiba dilihatnya di arah barat laut sana ada berkelebatnya sinar hijau yang
tampaknya sudah dikenalnya. Terang ada jago dari golongannya sendiri yang sedang bertempur dengan orang.
Keruan ia terkesiap. "Sumoay cilik, harap kau dan Fifi menunggu di sini, aku akan ke sana sebentar dan segera
akan kembali," katanya kepada Gi-lim.
Gi-lim tidak melihat berkelebatnya sinar hijau tadi, disangkanya Lenghou Tiong hendak pergi buang air atau
keperluan lain, maka ia lantas mengangguk.
Lenghou Tiong menyelipkan pedang tinggalan Hui Pin tadi ke tali pinggangnya, dengan bantuan ranting kayu
sebagai tongkat, segera ia menuju ke arah berkelebatnya sinar hijau tadi dengan langkah cepat.
Tidak lama kemudian, sayup-sayup terdengarlah suara benturan senjata yang nyaring dan gencar, nyata
pertempuran sedang berlangsung dengan sengit.
Diam-diam Lenghou Tiong heran, entah siapakah tokoh perguruannya sendiri yang sedang bertempur sehingga
berlangsung sekian lamanya, terang sekali pihak lawan juga bukan jago sembarangan.
Sesudah dekat, perlahan-lahan ia merunduk ke depan, ia sembunyi di belakang sebatang pohon besar, lalu
mengintip. Di bawah sinar bulan yang terang tertampaklah seorang terpelajar dengan bersenjatakan pedang
sedang berdiri tenang di tengah lapangan. Itulah Gak Put-kun, guru Lenghou Tiong sendiri.
Dilihatnya pula ada seorang Tojin berbadan pendek kecil sedang berlari secepat terbang mengelilingi sang
guru, pedang imam kerdil itu berulang-ulang menusuk dengan cepat, setiap lingkaran sedikitnya dia
melancarkan belasan kali serangan. Ternyata imam kerdil itu adalah Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay.
Mendadak dapat menyaksikan sang guru sedang bertempur dengan orang dan lawannya adalah ketua Jing-siapay,
seketika Lenghou Tiong sangat tertarik dan bersemangat.
Kelihatan gurunya bersikap sangat tenang dan lamban, setiap kali pedang Ih Jong-hay menusuk tiba, selalu
gurunya hanya menangkis seenaknya saja. Waktu Ih Jong-hay memutar ke belakangnya, sang guru tidak ikut
memutar tubuh, tapi cuma mengayun pedang ke belakang untuk melindungi punggung sendiri. Semakin lama
serangan Ih Jong-hay bertambah gencar, tapi Gak Put-kun tetap hanya bertahan saja tanpa balas menyerang.
Sungguh kagum Lenghou Tiong tak terkatakan. "Orang Bu-lim memberikan julukan 'Kun-cu-kiam' (pedang
jantan) kepada Suhu, nyatanya beliau memang sangat halus dan sopan, biarpun sedang bertempur juga beliau
bersikap tenang-tenang saja," demikian pikirnya.
Gak Put-kun memang jarang sekali bertanding dengan orang. Biasanya Lenghou Tiong hanya menyaksikan
gurunya berlatih dengan ibu guru untuk memberi petunjuk kepada para muridnya, sudah tentu latihan
demikian tak bisa dibandingkan dengan pertarungan sengit seperti apa yang terjadi sekarang.
Dilihatnya pula setiap serangan Ih Jong-hay, dari ujung pedangnya selalu menerbitkan suara mencicit, suatu
tanda betapa hebat tenaganya. Diam-diam Lenghou Tiong terkesiap, "Selama ini aku suka memandang rendah
ilmu silat Jing-sia-pay, siapa tahu imam kerdil ini ternyata begini lihai, biarpun aku dalam keadaan sehat juga
sekali-kali bukan tandingannya. Lain kali kalau kepergok dia haruslah hati-hati atau sedapat mungkin harus
menghindari kebentrok dengan dia."
Setelah mengikuti pula pertarungan sengit itu, tertampak Ih Jong-hay berputar semakin cepat sehingga
akhirnya berubah menjadi segulungan bayangan hijau yang berkeliling di sekitar Gak Put-kun. Saking gencar
pula beradunya kedua batang pedang sehingga suaranya tidak "trang-tring" lagi kedengarannya, tapi berubah
menjadi suara mendering nyaring mengilukan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin bilamana serangan-serangan Ih Jong-hay itu diarahkan kepadanya, maka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
jangankan hendak melawan, satu kali saja mungkin dirinya tidak mampu menangkis dan bukan mustahil
tubuhnya sendiri akan berwujud belasan lubang kena tusukan pedangnya yang gencar itu.
Ketika dilihatnya sang guru masih tetap bertahan dan tidak melancarkan serangan balasan, akhirnya Lenghou
Tiong merasa khawatir juga, jangan-jangan sedikit lengah saja nanti gurunya akan kecundang di bawah
pedang imam kerdil itu.
Sejenak kemudian, mendadak terdengar suara mendering yang panjang, Ih Jong-hay tampak mencelat ke
belakang sampai beberapa meter jauhnya, tapi lantas berdiri tegak di tempatnya. Entah sejak kapan
pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarungnya, dia berdiri diam saja seperti patung.
Lenghou Tiong terkejut. Waktu dia memandang sang guru, kelihatan Gak Put-kun juga sudah menyimpan
kembali pedangnya dan juga berdiri di tempatnya tanpa membuka suara. Walaupun mata Lenghou Tiong cukup
tajam, tapi ia pun tidak dapat membedakan siapakah yang menang dan kalah di dalam pertarungan sengit itu,
juga tidak diketahuinya apakah salah seorang di antara mereka itu ada yang terluka atau tidak.
"Suhu!" tanpa merasa Lenghou Tiong berseru.
Belum lagi Gak Put-kun menjawab, terdengarlah Ih Jong-hay telah membuka suara, "Ilmu pedang Gak-heng
benar-benar sakti, Siaute mengaku kalah. Baiklah, akan kuberi tahukan, Lim Cin-lam dan istrinya itu sekarang
berada di Tho-te-bio (kelenteng Toapekong) di sebelah kiri gunung sana. Sampai berjumpa pula, Gak-heng!"
Habis berkata segera ia putar tubuh dan melangkah pergi.
Gak Put-kun berpaling kepada Lenghou Tiong, katanya, "Tiong-ji, lekas kau pergi ke kelenteng yang disebut itu
untuk menjaga Lim Cin-lam, sebentar lagi aku akan menyusul ke sana."
Sembari bicara tokoh Hoa-san-pay itu pun lantas angkat kaki menguber ke arah Ih Jong-hay tadi.
Melihat gurunya sudah pergi jauh, Lenghou Tiong lantas kembali ke tempat sembunyinya tadi. Dilihatnya Gi-lim
sudah selesai mengubur Kik Yang dan Lau Cing-hong, Nikoh jelita itu sedang asyik bicara dengan Fifi di bawah
pohon. Melihat datangnya Lenghou Tiong, segera Gi-lim berbangkit.
"Sumoay cilik, Suhu barusan berada di sana, beliau menyuruh aku mengerjakan sesuatu. Maka bolehlah kau
membawa Fifi pergi mencari Suhumu di kota Heng-san saja," kata Lenghou Tiong.
Gi-lim menjadi gugup juga demi mendengar datangnya Gak Put-kun, cepat ia menjawab, "Baiklah, Lenghoutoako.
Harap engkau menjaga diri dengan baik-baik."
Lalu dengan rasa berat ia berangkat dengan menggandeng Fifi.
Setelah Gi-lim dan Fifi pergi, dengan bantuan tongkat Lenghou Tiong lantas berangkat ke sebelah kiri gunung
sana. Tidak lama kemudian, benar juga tertampak sebuah kelenteng Toapekong. Khawatir kalau di dalam
kelenteng itu ada musuh yang menjaga, segera Lenghou Tiong merunduk ke depan dengan perlahan. Sampai
di pinggir kelenteng tiba-tiba terdengar di dalam ada suara orang.
Segera Lenghou Tiong berhenti. Terdengar di dalam kelenteng ada suara seorang tua sedang bicara, "Asalkan
kau mengaku di mana adanya Pi-sia-kiam-boh itu, maka aku akan membantu kau untuk menuntut balas, akan
kutumpas habis semua orang Jing-sia-pay."
Suara orang tua ini sudah dikenal oleh Lenghou Tiong ketika dia sembunyi di kamar rumah pelacuran "Kungiok-
ih" tempo hari, yaitu si bungkuk Bok Ko-hong.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. "Wah, ternyata aku telah didahului oleh Bok Ko-hong sehingga urusan ini
akan tambah sulit dikerjakan. Sekali Lim Cin-lam dan istrinya jatuh ke dalam cengkeramannya tentu akan
banyak menimbulkan kesukaran."
Lalu terdengar suara seorang laki-laki sedang menjawab, "Aku tidak tahu tentang Pi-sia-kiam-boh apa segala.
Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami turun-temurun hanya diajarkan secara lisan saja, selamanya tidak pakai
Kiam-boh."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Yang bicara itu dengan sendirinya adalah Lim Cin-lam, sang Congpiauthau dari Hok-wi-piaukiok. Sesudah
merandek sejenak terdengar ia menyambung pula, "Kesediaan Cianpwe untuk membalaskan sakit hatiku sudah
tentu aku merasa sangat berterima kasih. Cuma perbuatan Ih Jong-hay dari Jing-sia-pay yang jahat itu kelak
pasti akan menerima ganjarannya, seumpama tidak dibunuh oleh Cianpwe, tentu juga akan binasa di tangan
kesatria yang lain."
"Dengan demikian, jadi kau tetap tidak mau mengaku tentang Pi-sia-kiam-boh?" Bok Ko-hong menegas.
"Apakah kau belum pernah dengar akan nama 'Say-pek-beng-tho' selama ini?"
Bab 25. Tewasnya Lin Cin-lam dan Istri
"Nama Bok-cianpwe telah mengguncangkan Kangouw, siapa yang tidak tahu, siapa yang tidak dengar?" sahut
Lim Cin-lam.
"Bagus, bagus, bagus!" berulang-ulang Bok Ko-hong menyebut "bagus", lalu ia bergelak tertawa, katanya,
"Haha, namaku mengguncangkan Kangouw, rasanya belumlah sehebat itu. Cuma cara turun tangan orang she
Bok ini biasanya cukup ganas, selamanya aku tidak kenal belas kasihan, untuk ini tentunya kau pun sudah
tahu."
Dengan angkuh Lim Cin-lam menjawab, "Bahwa Bok-cianpwe akan menggunakan kekerasan terhadap diriku,
hal ini pun sudah kuduga sebelumnya. Jangankan keluarga Lim kami memang tidak ada Pi-sia-kiam-boh apa
segala, andaikan ada juga takkan kukatakan lantaran digertak dan dipancing oleh siapa pun. Sesudah ditawan
oleh orang Jing-sia-pay, setiap hari kami sudah kenyang disiksa. Biarpun ilmu silat kami rendah, tapi beberapa
kerat tulangku ini masih cukup keras."
"Ya, ya, ya," kata Bok Ko-hong sambil manggut-manggut. "Kau menganggap tulangmu cukup keras, tahan
disiksa, kuat dianiaya, itu berarti keluarga Lim kalian memang benar ada sejilid Pi-sia-kiam-boh yang betapa
pun takkan kau katakan biarpun dipaksa cara bagaimana juga oleh imam kerdil dari Jing-sia-pay itu. Hm,
kukira kau ini terlalu bodoh, Lim-congpiauthau, mengapa kau tidak mau menyerahkan Pi-sia-kiam-boh padaku?
Padahal Kiam-boh itu tiada gunanya sedikit pun bagimu. Menurut perkiraanku ilmu pedang yang tertera di
dalam Kiam-boh itu pun tiada artinya apabila kita menilai ilmu silatmu sendiri, sedangkan beberapa murid Jingsia-
pay saja kau tak mampu menandingi. Maka sebaiknya ilmu pedang keluargamu itu tak perlu dirahasiakan
lagi segala."
"Memang betul," sahut Lim Cin-lam. "Jangankan memangnya aku tidak punya Pi-sia-kiam-boh apa segala,
andaikan ada, mengapa Kiam-boh yang isinya cuma sedikit kepandaian yang tiada nilainya itu dapat menarik
perhatian Bok-cianpwe? Sungguh aneh!"
"Aku kan cuma merasa heran dan ingin tahu saja," ujar Bok Ko-hong dengan tertawa. "Kulihat imam kerdil dari
Jing-sia-pay itu sedemikian bernafsu mencari Kiam-boh itu dengan mengerahkan segenap begundal dari
sarangnya, tampaknya di dalam hal ini tentu ada sesuatu yang menarik. Ya, boleh jadi makna ilmu pedang
yang tercatat di dalam Kiam-boh itu terlalu tinggi, lantaran bakatmu kurang, otakmu bebal sehingga tidak
mampu menyelaminya. Jika demikian bukankah sangat sayang karena nama baik leluhurmu telah ikut kau
kubur begitu saja? Bukan mustahil sesudah kau perlihatkan Kiam-boh itu padaku, lalu akan kuberi petunjuk di
mana letak intisari pelajaran ilmu pedangnya dan kelak namamu akan berkumandang harum pula di dunia
Kangouw, bukankah ini akan sangat menguntungkan kau pula?"
"Maksud baik Bok-cianpwe itu biarlah kuterima di dalam hati saja," sahut Cin-lam dengan tersenyum getir.
"Jika tidak percaya, boleh silakan kau menggeledah badanku, aku benar-benar tidak mempunyai Pi-sia-kiamboh
apa segala."
"Geledah sih tidak perlu, andaikan bisa ketemu di badanmu tentunya juga Kiam-boh itu sudah diambil oleh
orang Jing-sia-pay yang telah menawan kau selama ini," kata Bok Ko-hong. "Lim-congpiauthau, aku merasa
kau ini sangat bodoh, kau paham atau tidak?"
"Ya, Cayhe memang amat bodoh, tidak perlu diberi tahu Bok-cianpwe juga Cayhe sudah cukup paham akan
dirinya sendiri," sahut Cin-lam.
Tapi Bok Ko-hong menggeleng-geleng malah, katanya, "Tidak, salah! Kau belum paham!" Tiba-tiba ia berpaling
kepada nyonya Lim dan menyambung pula, "Boleh jadi Lim-hujin yang dapat memahami. Cinta kasih seorang
ibu kepada putra kesayangannya biasanya melebihi sang ayah."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Apa katamu? Kau maksudkan anakku si Peng-ci? Apa sangkut pautnya dengan urusan ini? Di ... di mana dia
sekarang?" jerit Lim-hujin.
"Anak itu sangat pintar dan cerdik, begitu melihat dia aku lantas merasa suka," kata Bok Ko-hong. "Bocah itu
ternyata bisa melihat gelagat juga, rupanya dia tahu kepandaianku cukup lihai, maka dia lantas minta menjadi
muridku."
Apa yang diucapkan Bok Ko-hong itu dapat didengar dengan jelas oleh Lenghou Tiong di luar kelenteng, diamdiam
ia mencaci maki tua bangka bungkuk yang tidak tahu malu itu, sudah memaksa dengan kekerasan dan
tidak berhasil, sekarang mengoceh tak keruan untuk menipu Lim Cin-lam suami istri.
Namun sebagai seorang ayah yang cukup kenal watak putranya, Lim Cin-lam tahu sifat Peng-ci yang keras dan
tentu tidak mau tekuk lutut di bawah ocehan si bungkuk, betapa pun tinggi kepandaian si bungkuk tidak nanti
putranya itu sudi mengangkatnya sebagai guru. Tapi ia pura-pura menjawab, "O, kiranya anakku telah
mengangkat Bok-cianpwe sebagai guru. Wah, jika begitu bocah itu benar-benar sangat besar rezekinya. Kami
suami istri telah banyak dianiaya dan terluka parah, jiwa kami tinggal menanti ajal saja. Diharap Bok-cianpwe
sukalah memanggilkan anak kami ke sini agar kami dapat bertemu untuk penghabisan kalinya sebelum kami
mengembuskan napas terakhir."
"Kalian ingin didampingi anak di saat terakhir, hal ini adalah soal lumrah dan tidak sulit untuk dipenuhi," sahut
Bok Ko-hong.
"Di manakah anak Peng kami?" tanya Lim-hujin. "Bok-cianpwe, kumohon dengan sangat, sudilah kau
memanggilnya kemari. Budi kebaikanmu tentu takkan kami lupakan."
"Baik, segera aku akan pergi memanggilnya," sahut Bok Ko-hong. "Tapi selamanya orang she Bok tidak sudi
disuruh orang secara percuma. Untuk memanggil putramu kemari adalah sangat mudah. Tapi kalian harus
memberitahukan dulu di mana tersimpannya Pi-sia-kiam-boh itu."
Sebagai seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia Kangouw, sebagai seorang pemimpin Piaukiok
termasyhur, sudah tentu Lim Cin-lam tahu si bungkuk tua itu hanya dusta belaka.
Maka dengan menghela napas ia berkata, "Rupanya Bok-cianpwe tetap tidak percaya kepada keteranganku.
Padahal kalau betul-betul kami mempunyai Kiam-boh segala, tentu juga kami akan mohon Locianpwe
menyampaikannya kepada putraku itu mengingat jiwa kami hanya tinggal sekejap lagi. Agaknya harapan kami
untuk bisa bertemu muka dengan putra kami sukar untuk terkabul."
"Benar juga, makanya aku bilang kau ini sangat bodoh," ujar Bok Ko-hong. "Sebab apakah mati pun kau tidak
mau mengatakan di mana Kiam-boh itu disimpan? Tentu karena kau ingin mempertahankan ilmu leluhur kalian
itu. Akan tetapi kau lupa, bila kau sudah mati, keluarga Lim kalian hanya tinggal Peng-ci seorang saja. Bila dia
juga mati, di dunia ini menjadi sia-sia terdapat sejilid Kiam-boh yang tiada gunanya lagi."
"Bagaimana dengan putraku? Dia ... dia baik-baik bukan?" seru Lim-hujin khawatir.
"Saat ini sudah tentu masih baik-baik," sahut Bok Ko-hong. "Asalkan kalian mengatakan di mana beradanya
Kiam-boh itu, sesudah kuperoleh lantas kuserahkan kepada putramu. Bila dia kurang paham akan isinya, aku
yang akan memberi petunjuk padanya agar tidak seperti Lim-congpiauthau sendiri yang tidak becus apa-apa
meski memiliki sejilid Kiam-boh bagus."
Habis berkata, mendadak ia menghantam ke arah patung Toapekong yang terletak beberapa meter jauhnya.
"Brak", kontan patung itu roboh terkena angin pukulannya yang dahsyat.
Lim-hujin tambah khawatir, serunya, "Kau ... kau telah mengapakan putraku?"
"Hahaha!" Bok Ko-hong tertawa. "Peng-ci adalah muridku, mati atau hidupnya sekarang tergantung padaku.
Bila aku ingin membinasakan dia, sekali hantam saja kontan dia akan mampus."
Sembari bicara kembali ia menebas pula dengan telapak tangannya sehingga ujung meja sempal sebagian.
Selagi Lim-hujin hendak bertanya pula, cepat Cin-lam menyela, "Jangan banyak bicara lagi, istriku. Putra kita
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pasti tidak berada padanya. Kalau tidak, mustahil dia takkan menyeretnya ke sini untuk mengancam kita."
"Hahaha! Kubilang kau ini bodoh, nyatanya memang kelewat tolol!" seru Bok Ko-hong dengan tertawa.
"Katakan saja putramu itu memang tidak berada padaku, tapi bila si bungkuk berniat membinasakan anakmu
itu, apa sih susahnya bagiku? Sahabatku penuh tersebar di seluruh jagat, untuk membekuk putramu itu boleh
dikata terlalu mudah."
Habis berkata, kembali ia menghantam pula sehingga sebuah meja hancur berkeping-keping.
Melihat begitu hebat tenaga pukulan si bungkuk, Lim-hujin tambah khawatir.
Namun Cin-lam sudah lantas bergelak tertawa, katanya, "Istriku, seumpama kita mengaku tentang Pi-siakiam-
boh, maka hal pertama yang akan dilakukan bungkuk ini adalah mengambil Kiam-boh itu, hal kedua yang
akan diperbuatnya adalah membunuh putra kita. Tapi kalau kita tidak mengaku apa-apa, demi untuk
memperoleh Kiam-boh tentu si bungkuk ini akan tetap mempertahankan keselamatan anak Peng."
Karena dia sudah bertekad takkan menggubris tekanan Bok Ko-hong, maka secara terang-terangan ia
menyebutnya sebagai si bungkuk tanpa sungkan-sungkan lagi.
Seketika Lim-hujin sadar juga, katanya, "Benar. Hai, bungkuk, bila perlu boleh kau membunuh kami saja."
Lenghou Tiong dapat membayangkan saat itu Bok Ko-hong pasti sudah sangat murka, kalau tidak lekas-lekas
mencari akal untuk mengenyahkan dia, tentu jiwa Lim Cin-lam dan istrinya bisa celaka. Tanpa pikir lagi segera
ia berseru, "Bok-cianpwe, murid Hoa-san-pay bernama Lenghou Tiong diperintahkan oleh Suhu untuk
mengundang Bok-cianpwe agar suka keluar sebentar, ada urusan penting yang perlu dirundingkan."
Saat itu Bok Ko-hong memang sudah angkat sebelah tangannya dan siap menghantam Lim Cin-lam. Ia menjadi
kaget ketika mendadak suara Lenghou Tiong bergema di luar kelenteng. Selama hidupnya jarang sekali Bok
Ko-hong mengalah kepada orang lain. Tapi terhadap Gak Put-kun, ketua Hoa-san-pay, biasanya dia memang
rada jeri, lebih-lebih sesudah merasakan betapa lihainya Gak Put-kun ketika kebentrok di luar rumah pelacuran
Kun-giok-ih tempo hari, ia tambah gentar terhadap ketua Hoa-san-pay yang tampaknya lemah gemulai, tapi
sesungguhnya memiliki Lwekang yang tak terkirakan dalamnya.
Perbuatannya menggertak dan mengancam Lim Cin-lam suami istri ini justru paling dibenci oleh Beng-buncing-
pay, golongan baik seperti Hoa-san-pay dan lain-lain. Ia menduga besar kemungkinan sudah sejak tadi
Gak Put-kun dan muridnya telah mengintip dan mendengarkan di luar kelenteng. Resminya Gak Put-kun minta
dia keluar untuk berunding sesuatu, tapi sebenarnya adalah menyindir secara halus. Ia pikir daripada nanti
telan pil pahit, adalah lebih baik angkat langkah seribu saja paling selamat. Maka ia lantas berseru, "Orang she
Bok sendiri ada urusan penting dan tidak sempat memenuhi undangan gurumu. Harap kau sampaikan semoga
gurumu kelak sudi pesiar ke daerah utara dan mampir di rumah orang she Bok!"
Habis berkata demikian, sekali loncat ia melayang ke pelataran tengah, lalu dengan perlahan ia melompat ke
atas wuwungan, menyusul terus melayang ke belakang kelenteng. Ia khawatir kalau dicegat oleh Gak Put-kun,
maka buru-buru melarikan diri.
Lenghou Tiong sangat girang mendengar si bungkuk sudah pergi. Pikirnya, "Kiranya bungkuk tua itu demikian
takut kepada guruku. Padahal kalau dia benar-benar keluar dan main kekerasan padaku, tentu aku akan
celaka."
Perlahan-lahan ia masuk ke dalam kelenteng yang gelap gulita itu. Samar-samar dilihatnya ada dua bayangan
orang duduk saling bersandar di pojok sana. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Siautit adalah murid
Hoa-san-pay, Lenghou Tiong. Sekarang kami sudah ada hubungan saudara seperguruan dengan Peng-ci Sute,
maka terimalah hormatku, Paman dan Bibi Lim."
"Tak perlu banyak adat, anak muda," sahut Cin-lam dengan girang. "Kami terluka parah dan tak dapat
membalas hormat, harap maaf. Apakah anak Peng kami itu benar-benar telah diterima sebagai murid di bawah
pimpinan Gak-tayhiap?"
Hendaklah maklum bahwa nama Gak Put-kun di dunia persilatan jauh lebih kumandang daripada Ih Jong-hay.
Padahal Lim Cin-lam sendiri demi untuk mengikat persahabatan dengan Ih Jong-hay dari Jing-sia-pay setiap
tahun mesti mengirim orang mengantar oleh-oleh dan menyampaikan salam hormat segala. Sebaliknya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terhadap orang-orang Ngo-gak-kiam-pay seperti Gak Put-kun dan lain-lain, karena merasa tidak sesuai untuk
bersahabat dengan mereka, maka Lim Cin-lam tidak berani coba-coba mengirim sumbangan dan oleh-oleh.
Sekarang disaksikannya pula Bok Ko-hong yang bengis dan garang itu, demi mendengar namanya Gak Putkun,
tanpa bicara lagi terus angkat langkah seribu alias kabur. Dengan sendirinya Cin-lam merasa sangat
senang dan beruntung karena putranya dapat diterima sebagai murid Gak Put-kun.
Begitulah Lenghou Tiong telah menjawab, "Benar, Peng-ci Sute memang sudah diterima sebagai murid Suhuku.
Semula si bungkuk Bok Ko-hong itu bermaksud memaksa putra paman itu agar mengangkat guru padanya,
tapi Peng-ci Sute berkeras tidak mau. Ketika si bungkuk hendak membikin susah padanya, kebetulan Suhuku
lewat di situ dan telah berhasil menolongnya. Dengan sangat putramu lantas mohon Suhu menerimanya
sebagai murid. Melihat kesungguhan hatinya, pula memang berbakat baik, maka Suhu lantas menerimanya.
Tadi Suhu baru saja bertanding dengan Ih Jong-hay dan telah menghajarnya sehingga mengaku kalah. Imam
kerdil itu terpaksa mengaku tentang keadaan Paman dan Bibi yang tinggal di sini. Suhu memerintahkan Siautit
datang kemari lebih dahulu, sebentar lagi Suhu dan Peng-ci Sute tentu dapat menyusul kemari."
Mendengar bahwa sebentar lagi akan dapat berjumpa dengan putranya, sungguh girang Lim-hujin tak
terkatakan. Lim Cin-lam lantas berkata, "Semoga ... semoga anak Peng dapat segera datang, kalau tidak ...
mungkin ... mungkin sudah tidak keburu lagi."
Melihat suara Lim Cin-lam sangat lemah, terang keadaannya sangat payah. Mestinya Lenghou Tiong dapat
membantunya dengan menyalurkan tenaga murni untuk bertahan sampai datangnya sang guru. Tapi Lenghou
Tiong sendiri juga terluka sehingga terpaksa tak berdaya apa-apa.
"Paman Lim," kata Lenghou Tiong, "hendaklah engkau jangan bicara. Sebentar lagi Suhu tentu dapat datang
kemari. Beliau tentu dapat menyembuhkan kalian."
Lim Cin-lam tersenyum getir. Ia pejamkan mata sejenak. Kemudian berkata lagi dengan suara lemah,
"Lenghou-hiantit, aku ... aku tidak ... tidak tahan lagi. Sung ... sungguh aku sangat girang karena anak ... anak
Peng bisa menjadi murid Hoa-san-pay. Kumohon selanjutnya engkau ... engkau suka banyak memberi ...
memberi petunjuk padanya."
"Hendaklah paman jangan khawatir," sahut Lenghou Tiong. "Sebagai saudara seperguruan, sudah tentu akan
kupandang dia sebagai saudara sekandung sendiri. Apalagi sekarang Paman memberi pesan pula, sudah tentu
akan lebih kuperhatikan diri Peng-ci Sute."
"Budi kebaikan Lenghou-siauhiap ini sungguh kami ... kami suami istri takkan melupakannya biarpun berada di
alam baka nanti," sela Lim-hujin.
"Harap Paman dan Bibi mengaso saja dengan tenang, jangan bicara lagi," kata Lenghou Tiong.
Napas Lim Cin-lam sangat lemah dan memburu, katanya pula dengan terputus-putus, "Harap kau
memberitahukan kepada putraku bahwa ... bahwa benda yang terdapat di ... di kamar bawah tanah di rumah
Hokciu itu adalah ... adalah benda pusaka warisan leluhur keluarga Lim kita, maka ... maka benda itu harus ...
harus dijaga sebaik-baiknya. Tapi ... menurut pesan leluhur kita bahwa setiap ... setiap anak cucu sendiri
janganlah membuka dan memeriksa benda ... benda itu, kalau ... kalau melanggar pesan ini tentu akan ...
akan mendatangkan bencana. Untuk ini diharap dia ... suka mengingatnya dengan baik."
"Baiklah, tentu akan kuteruskan pesan ini kepada Peng-ci Sute," kata Lenghou Tiong.
"Terima ... terima ...." belum lagi kata-kata "kasih" terucapkan ternyata napas Lim Cin-lam sudah berhenti dan
meninggal dunia.
"Lenghou-siauhiap, harap engkau menyampaikan kepada putraku agar jangan melupakan sakit hati ayahbundanya,"
seru Lim-hujin. Mendadak ia tumbukkan kepalanya ke pilar batu di dekatnya. Memangnya dia pun
terluka parah, karena benturan kepalanya itu, seketika ia pun lantas binasa.
Lenghou Tiong menghela napas menyaksikan kejadian sedih itu. Pikirnya, "Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong telah
memaksa dia mengaku di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh, tapi biarpun mati dia tetap tidak mau mengaku.
Sampai saat ajalnya terpaksa ia minta aku menyampaikan pesannya itu kepada putranya. Tapi rupanya dia
khawatir aku menggelapkan Kiam-boh yang merupakan pusaka keluarga Lim mereka, maka bicara tentang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
'dilarang membuka dan memeriksa benda itu supaya tidak mendatangkan bencana' segala. Hehe, memangnya
kau sangka Lenghou Tiong ini manusia apa sehingga mau mengincar benda milik keluarga Lim kalian?
Sedangkan kepandaian Hoa-san-pay sendiri tidak dapat kupelajari seluruhnya selama hidup ini, masakah ada
maksud untuk mengurus ilmu silat dari golongan lain? Lagi pula jika memang betul ilmu pedang keluarga Lim
kalian ada sesuatu yang luar biasa, mengapa suami istri kalian mengalami nasib celaka begini?"
Begitulah ia lantas berduduk bersandar dinding untuk mengaso sendiri.
Selang tidak lama, terdengarlah suara Gak Put-kun berseru di luar kelenteng, "Anak Tiong, apakah kau berada
di dalam?"
Cepat Lenghou Tiong bangkit dan berseru mengiakan. Tampak fajar sudah mulai menyingsing, Gak Put-kun
sedang melangkah masuk ke dalam kelenteng.
"Mati?" tanya Gak Put-kun demi tampak jenazah Lim Cin-lam dan istrinya menggeletak tak berkutik.
"Ya," sahut Lenghou Tiong. Lalu ia pun menceritakan apa yang telah terjadi dan cara bagaimana dirinya telah
menggertak lari Bok Ko-hong dengan nama sang guru serta pesan tinggalan Lim Cin-lam sebelum
mengembuskan napas penghabisan.
"Dengan kematian Lim Cin-lam ini, nyata usaha Ih Jong-hay hendak mencari Pi-sia-kiam-boh telah mengalami
kegagalan dan sia-sia belaka, sebaliknya dosa yang telah dia lakukan tidaklah kecil," ujar Gak Put-kun setelah
merenung sejenak.
"Suhu, apakah si kerdil itu telah minta maaf padamu?" tanya Lenghou Tiong.
"Kepandaian lari Ih-koancu benar-benar sangat cepat, aku telah mengubernya sampai sekian lamanya, tapi tak
dapat menyusulnya," sahut Gak Put-kun. "Nyata, dalam hal Ginkang memang Jing-sia-pay mereka lebih unggul
daripada Hoa-san-pay kita."
Sebagai seorang kesatria sejati, kalau menang ya menang, kalau kalah ia pun mengaku kalah secara terangterangan.
Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kepandaian Jing-sia-pay mereka yang mahir lari dengan pantat menghadap
ke belakang memang jauh lebih tinggi daripada golongan lain."
Tiba-tiba Gak Put-kun menarik muka, semprotnya, "Tiong-ji, mulutmu selalu bicara tak genah, mana boleh
menjadi teladan para Sute dan Sumoaymu?"
Seketika Lenghou Tiong kuncup. Sambil mengiakan ia berpaling dan meleletkan lidahnya.
"Hm, kau suka usilan dan senang cari gara-gara, sekali ini tentu kau sudah kenyang menderita, biar tahu rasa!"
omel Gak Put-kun pula.
Lenghou Tiong menyengir dan tidak berani menjawab lagi.
Gak Put-kun lantas mengeluarkan sebuah mercon roket. Ia menuju ke pelataran kelenteng dan menyalakan
mercon itu dan dilepaskan ke udara. Dengan suara yang mendesis-desis, mercon itu menjulang tinggi ke
angkasa untuk kemudian meletus di udara. Api mercon berubah menjadi sebentuk pedang berwarna putih
perak, sejenak kemudian kembang api bentuk pedang itu barulah perlahan-lahan jatuh ke bawah untuk
kemudian berubah menjadi titik terang yang bertaburan di angkasa.
Kiranya kembang api ini adalah tanda pengenal ketua Hoa-san-pay, pedang perak itu melukiskan julukan Gak
Put-kun sebagai "Kun-cu-kiam", si pedang jantan.
Tidak terlalu lama kemudian dari jauh lantas terdengar ada suara tindakan orang sedang datang menuju ke
arah kelenteng sini.
"Ini adalah Kin-beng, langkahnya enteng, tapi kurang kuat," kata Gak Put-kun. "Di antara kalian kecepatan
larinya terhitung paling tinggi, tapi tidak tahan jauh."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Benar juga, tidak lama kemudian tertampak Ko Kin-beng telah mendekat dengan membawa Swipoanya yang
berbunyi keletak-keletik. Setiba di depan kelenteng ia lantas berseru, "Suhu, apakah engkau berada di dalam?"
"Ya, aku berada di sini!" sahut Put-kun.
Sesudah masuk ke dalam kelenteng, segera Ko Kin-beng memberi hormat sambil menyapa, "Suhu!"
Dan ketika melihat Lenghou Tiong juga berada di situ, ia menjadi girang dan berseru, "Toasuko, kiranya
engkau baik-baik saja. Sungguh kami sangat mengkhawatirkan dirimu."
Lenghou Tiong terharu juga melihat rasa senang dan perhatian sang Sute terhadap dirinya. Sahutnya dengan
tersenyum, "Ya, aku baik-baik saja. Berkat lindungan Thian, sekali ini aku tidak jadi mati."
Tengah bicara, sayup-sayup terdengar pula dari jauh ada suara orang mendatangi. Sekali ini ada dua orang.
"Siapakah mereka?" tanya Gak Put-kun.
"Yang satu langkahnya kuat, yang lain gesit, tentu adalah Jisute dan Laksute," ujar Lenghou Tiong.
Gak Put-kun mengangguk senang, katanya, "Tiong-ji, kau memang cerdik, sekali diberi petunjuk lantas tahu.
Kapan-kapan bila kau sudah sesabar Tek-nau tentu aku pun akan dapat merasa puas."
Kedua orang yang datang itu memang betul adalah Lo Tek-nau dan Liok Tay-yu. Sebelum mereka masuk
kelenteng, menyusul suara tindakan murid ketiga Nio Hoat dan murid keempat, Si Tay-cu juga sudah
kedengaran. Selang sejenak kembali murid ketujuh To Kun, putri kesayangan Gak Put-kun sendiri, yaitu Gak
Leng-sian, serta muridnya yang baru, Lim Peng-ci, juga sudah tiba semua.
Begitu melihat mayat ayah-bundanya, Peng-ci lantas menubruk dan mendekap di atas sosok tubuh tak
bernyawa itu sambil menangis.
Melihat Peng-ci menangis dengan sedih, para saudara seperguruannya ikut merasa pilu.
Gak Leng-sian sendiri merasa sangat senang demi tampak Lenghou Tiong dalam keadaan sehat walafiat.
Perlahan-lahan ia mendekatinya, ia menjawil lengan Toasuheng itu dan bertanya, "Kiranya engkau baik-baik
saja, engkau tidak mati!"
"Ya, aku memang tidak mati!" sahut Lenghou Tiong.
"Ah, kiranya Nikoh cilik dari Hing-san-pay yang berdusta, saking khawatirnya sampai aku ... aku ...." mestinya
ia hendak mengatakan "sampai aku pun tidak ingin hidup lagi". Tapi demi mengingat ayah dan para Suhengnya
juga berada di situ, maka kata-kata yang mencerminkan isi hatinya saking khawatirnya itu urung
diucapkannya. Bila teringat selama beberapa hari terakhirnya ini ia benar-benar sangat khawatir dan sedih,
tanpa merasa air matanya lantas menetes.
Lenghou Tiong lantas berkata, "Sumoay dari Hing-san-pay itu sebenarnya tidak sengaja berdusta, tatkala itu
dia memang menyangka aku benar-benar sudah mati."
Leng-sian menengadah dan memandang Lenghou Tiong dengan sorot matanya yang sayu basah. Dilihatnya
wajah sang Suko putih pucat, diam-diam ia merasa kasihan. Katanya, "Toasuko, lukamu sekali ini tentu ...
tentu tidak ringan. Engkau harus pulang ke gunung untuk mengaso."
Melihat Peng-ci masih terus menangis, Gak Put-kun berkata, "Anak Peng, janganlah menangis lagi, urus dulu
layon ayah-bundamu lebih penting."
Peng-ci mengiakan sambil berbangkit. Tapi demi tampak wajah kedua orang tua yang penuh menunjukkan rasa
derita itu, tanpa merasa air matanya bercucuran lagi. Katanya dengan parau, "O, Ayah dan Ibu, untuk
penghabisan kalinya saja kita tidak sempat berjumpa pula, sampai tiada sepatah kata pun pesan kalian yang
dapat kudengarkan."
"Lim-sute," tiba-tiba Lenghou Tiong menyela, "sebelum ayah-bundamu wafat, akulah yang menunggunya di
sini. Beliau berdua telah minta aku menjaga dirimu, hal ini memang menjadi tugas kewajibanku. Selain itu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ayahmu meninggalkan sesuatu pesan pula agar kusampaikan padamu."
"O, Toasuko, jadi ... jadi engkaulah yang telah mendampingi ayah-bundaku ketika mereka meninggal. Sungguh
Siaute merasa terima kasih tak terhingga," kata Peng-ci dengan terharu.
"Rupanya Paman dan Bibi Lim tidak mau mengaku di mana disimpannya Pi-sia-kiam-boh sehingga para keparat
dari Jing-sia-pay itu telah melakukan siksaan badan kepada mereka," kata Lenghou Tiong. "Sebagai seorang
pemimpin suatu cabang persilatan ternyata sedemikian rendah perbuatan Ih Jong-hay, tentu dia akan
dipandang hina oleh setiap kesatria di dunia ini."
"Sakit hati ini tak kubalas, maka Lim Peng-ci bukan manusia lagi," seru Peng-ci dengan mengertak gigi.
Mendadak ia mengepal tinju terus menghantam pilar di sebelahnya.
Biarpun ilmu silat Peng-ci masih rendah, tapi saking bergolaknya perasaannya sehingga hantamannya itu cukup
keras, debu pasir seketika berhamburan dari atap kelenteng tua itu.
"Lim-sute," Leng-sian ikut bicara, "urusan ini adalah gara-garaku, bila kau menuntut balas kelak, sebagai
Sucimu tentu aku takkan tinggal diam."
"Banyak terima kasih, Suci," sahut Peng-ci.
Diam-diam Gak Put-kun menghela napas, pikirnya, "Hoa-san-pay selamanya memegang teguh pendirian:
orang tidak mengganggu aku, aku pun tidak mengganggu orang. Maka dari itu biasanya Hoa-san-pay tidak
punya permusuhan dengan berbagai golongan dunia persilatan. Tapi sejak kini orang-orang Hoa-san-pay tidak
dapat hidup tenang lagi. Ai, sekali sudah ikut berkecimpung di dunia Kangouw, sukarlah untuk menjauhi
persengketaan satu sama lain."
Seperti Lau Cing-hong, maksud tujuannya hendak mengundurkan diri dari Bu-lim, tapi akhirnya toh cita-citanya
itu tidak terkabul, bahkan jiwanya malah melayang. Bila teringat kepada tokoh she Lau itu, tanpa merasa Gak
Put-kun menjadi masygul.
"Siausumoay, Lim-sute," sela Lo Tek-nau, "urusan ini bukan salahnya siapa-siapa, tapi biang keladinya adalah
Ih Jong-hay sendiri karena dia memang mengincar Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim-sute. Tokoh angkatan
tua Jing-sia-pay yang bernama Tiang-jing-cu dahulu pernah dikalahkan oleh leluhurnya Lim-sute dengan Pi-siakiam-
hoat, dari situlah mulainya bibit bencana yang terjadi hari ini."
"Ya, benar," kata Gak Put-kun. "Orang Bu-lim biasanya memang sukar terhindar dari keinginan berebut
menang dan unggul. Bila mendengar di mana ada kitab rahasia ilmu silat, tak peduli apakah berita itu benar
atau tidak, tentu setiap orang berusaha mati-matian untuk mendapatkannya. Padahal tokoh-tokoh semacam
Ih-koancu dan Bok Ko-hong mestinya tidak perlu mengincar Kiam-boh dari keluarga Lim kalian."
"Suhu, sesungguhnya di rumahku tiada Pi-sia-kiam-boh apa segala, ke-72 jurus ilmu pedang Pi-sia-kiam-hoat
adalah ajaran dari ayah secara lisan. Seumpama betul ada Kiam-boh yang dimaksudkan, mustahil ayah tidak
memberitahukan kepadaku yang merupakan putranya yang tunggal," demikian kata Peng-ci.
Gak Put-kun mengangguk. Katanya, "Ya, memangnya aku pun tidak percaya ada Pi-sia-kiam-boh apa segala,
kalau ada, tentu Ih Jong-hay bukanlah tandingan ayahmu. Bukti ini bukankah sudah cukup menjelaskan
segalanya?"
Lenghou Tiong lantas teringat kepada pesan peninggalan Lim Cin-lam, ia pikir Kiam-boh yang dimaksud itu
pastilah ada. Segera ia berkata, "Lim-sute, menurut pesan ayahmu, katanya di rumah Hokciu ...."
Mendadak Gak Put-kun menyela, "Pesan ayahnya itu boleh kau beri tahukan kepada anak Peng di bawah empat
mata saja, orang lain tidak perlu ikut mendengarkan."
Lenghou Tiong mengiakan.
Lalu Put-kun berkata pula, "Tek-nau dan Kin-beng, kalian berdua boleh ke kota untuk membeli dua buah peti
mati."
Begitulah, jenazah Lim Cin-lam dan istrinya itu baru dapat diselesaikan sampai petang harinya. Tek-nau telah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengupah beberapa orang kuli untuk menggotong peti-peti mati itu ke tepi sungai, rombongan mereka telah
menyewa sebuah kapal terus berlayar ke hulu di arah barat.
Tidak seberapa hari sampailah mereka di bawah Giok-li-hong, puncak bidadari, pegunungan Hoa-san. Ko Kinbeng
dan Liok Tay-yu mendahului pulang ke atas gunung untuk menyampaikan berita.
Hanya sebentar saja segenap murid-murid Hoa-san-pay yang lain berjumlah lebih 20 orang sudah sama
menyambut ke bawah gunung. Di antara murid-murid Hoa-san-pay itu ada yang baru berusia 12-13 tahun,
mereka lantas tanya ini dan itu begitu melihat Gak Leng-sian sudah pulang.
Satu per satu Lo Tek-nau memperkenalkan Peng-ci kepada mereka. Sesuai dengan peraturan Hoa-san-pay
yang mengutamakan siapa lebih dulu masuk perguruan, maka biarpun murid terkecil yang bernama Su Ki yang
baru berusia 12 tahun juga terhitung Suhengnya Peng-ci. Hanya Gak Leng-sian yang dikecualikan dari
peraturan itu. Karena dia adalah putrinya Gak Put-kun dan tidak dapat diatur menurut baru atau lamanya
menjadi murid Hoa-san-pay, terpaksa dibedakan menurut umur masing-masing. Yang lebih tua adalah
Suhengnya dan yang lebih muda menjadi Sutenya.
Sebenarnya Leng-sian juga lebih muda daripada Peng-ci, tapi sekali ini dia berkeras ingin menjadi Suci. Karena
Gak Put-kun tidak melarang keinginannya itu, maka Peng-ci lantas menyebutnya sebagai Suci.
Sesudah rombongan besar mereka sampai di atas puncak gunung, tertampaklah pepohonan rindang
menghijau, suara burung berkicau. Bangunan-bangunan yang megah berderet-deret tersebar menurut tinggi
rendahnya tanah pegunungan. Di tengah-tengah adalah sebuah gedung yang besar dengan dinding terkapur
putih bersih. Seorang wanita cantik setengah umur tampak muncul. Secepat terbang Gak Leng-sian lantas
berlari dan menubruk ke dalam pangkuan wanita itu sambil berseru, "Ibu, aku telah bertambah lagi seorang
Sute!"
Sebelumnya Peng-ci sudah mendengar cerita dari para Suhengnya bahwa ibu-gurunya yang bernama Ling
Tiong-cik sebenarnya adalah Sumoay sang guru sendiri. Ilmu pedangnya juga tidak di bawah sang suami. Maka
cepat ia melangkah maju dan memberi hormat, "Terimalah hormat murid baru Lim Peng-ci, Sunio!"
Bab 26. Ilmu Pedang Tunggal Keluarga Ling yang Tiada
Bandingannya
"Sudahlah, tidak perlu banyak adat lagi," kata Gak-hujin. Lalu ia berpaling kepada sang suami dengan
tersenyum, "Setiap kali turun gunung tentu kau membawa pulang beberapa orang. Kali ini aku menduga
sedikitnya kau akan terima tiga atau empat murid baru. Kenapa cuma satu orang saja?"
"Kau sering mengatakan satu yang baik lebih berguna daripada sepuluh yang jelek," sahut Gak Put-kun dengan
tertawa. "Dan yang ini bagaimana menurut pandanganmu?"
"Kukira mukanya terlalu tampan, tidak pantas sebagai orang persilatan. Ada lebih tepat kalau dia belajar Su-singo-
keng (empat buku dan lima kitab) padamu saja, boleh jadi kelak dia akan lulus menjadi Conggoan (gelar
kesusastraan)," demikian kata Gak-hujin dengan tertawa.
Wajah Peng-ci menjadi merah. Pikirnya, "Agaknya badanku yang lemah ini dipandang rendah oleh ibu-guru.
Selanjutnya aku harus giat belajar agar tidak ketinggalan dari para Suheng."
Tiba-tiba Gak-hujin melirik Lenghou Tiong sekejap dan menegur, "Hm, kembali berkelahi lagi dengan orang ya?
Tentu terluka bukan? Mengapa air mukamu begitu pucat?"
Selama dalam perjalanan luka Lenghou Tiong sebenarnya sudah sembuh, hanya air mukanya memang masih
pucat. Sejak kecil ia dibesarkan oleh Gak-hujin, maka nyonya Gak itu menganggapnya seperti putranya sendiri,
meski nadanya seperti mengomeli, tapi sebenarnya penuh perhatian.
Lenghou Tiong tersenyum dan menjawab, "Kesehatanku sudah hampir pulih kembali. Sekali ini memang
hampir-hampir saja tidak dapat bertemu lagi dengan Sunio."
"Ya, supaya kau tahu di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Apakah
kau kalah dengan penasaran?" ujar Gak-hujin sambil melototi pula sekali.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Golok Dian Pek-kong itu benar-benar sangat cepat sehingga murid tidak mampu menangkisnya, untuk mana
justru ingin minta petunjuk kepada Sunio," kata Lenghou Tiong.
Nama Dian Pek-kong yang jahat memang sudah lama terkenal. Setiap orang tahu dia adalah maling cabul.
Sekarang Gak-hujin mendengar Lenghou Tiong terluka karena bertempur dengan Dian Pek-kong, seketika air
mukanya berubah ramah kembali. Katanya sambil mengangguk, "Kiranya kau bertempur dengan keparat
seperti Dian Pek-kong, itulah sangat bagus. Kusangka kau telah cari gara-gara dan bikin onar lagi. Bagaimana
ilmu goloknya yang cepat itu? Coba terangkan, biar kita mempelajarinya dengan baik supaya lain kali dapat
melabraknya lagi."
Meski lemah lembut tampaknya nyonya Gak ini, tapi bila mendengar soal berkelahi seketika timbul lagi
semangat kesatrianya di masa dahulu.
Gak Put-kun hanya tersenyum saja tanpa ikut bicara. Dalam perjalanan pulang memang beberapa kali Lenghou
Tiong telah tanya padanya tentang cara bagaimana mematahkan ilmu golok Dian Pek-kong yang cepat itu.
Namun Gak Put-kun sengaja tak mau mengatakan, biar sesudah tiba di rumah boleh Lenghou Tiong minta
petunjuk kepada istrinya. Dan benar juga, begitu mendengar tentang ilmu golok yang cepat itu, seketika Gakhujin
sangat tertarik.
Sesudah masuk ke ruangan dalam, ramailah para murid Hoa-san-pay itu saling menanyakan keadaan masingmasing.
Keenam murid wanita merasa sangat tertarik oleh cerita Gak Leng-sian tentang apa yang dilihatnya di
kota Hokciu dan Heng-san. Sedangkan Liok Tay-yu asyik mengobrol kepada para Sutenya tentang pertarungan
sengit antara Toasuko mereka melawan Dian Pek-kong, tentang terbunuhnya Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay.
Sudah tentu apa yang terjadi itu sengaja dibumbu-bumbui oleh Liok Tay-yu sehingga seakan-akan bukan
Toasuko mereka yang dikalahkan Dian Pek-kong, sebaliknya sepertinya Dian Pek-kong yang dihajar oleh
Lenghou Tiong.
Gak-hujin sendiri duduk pada sebuah kursi di sudut sana dan sedang memerhatikan Lenghou Tiong memainkan
ilmu golok kilat dari Dian Pek-kong itu. Rupanya ilmu golok itu memang sangat hebat dan sukar dibayangkan
sebelumnya, diam-diam nyonya Gak kaget dan sangat heran.
Ketika Lenghou Tiong menggunakan tangan kanan dengan gaya membacok kian kemari sampai tiga belas kali,
lalu menarik diri dan berhenti main, perlahan-lahan Gak-hujin menghela napas longgar. "Sungguh lihai!"
pujinya sambil menggeleng kepala.
Sesudah merenung sejenak, kemudian nyonya Gak itu bertanya, "Ilmu golok Dian Pek-kong yang menyerang
13 kali secara berantai ini cara bagaimana dapat kau patahkan?"
"Dia punya ilmu golok ini memang mahasakti, pandangan Tecu sendiri sampai berkunang-kunang dan bingung,
masakah mampu mematahkannya?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Benar," kata Gak-hujin. "Kukira biarpun tokoh kelas satu dari dunia persilatan zaman ini yang mampu
menyelamatkan jiwa di bawah serangan kilat 13 kali ini, mungkin jumlahnya dapat dihitung dengan jari,
apalagi bocah ingusan semacam kau. Tentu kau telah main licik dan dengan akal bulus dapat mengelabui
keparat Dian Pek-kong itu."
Sejak kecil Lenghou Tiong sudah ikut keluarga Gak, maka wataknya dan kepandaiannya sudah tentu cukup
dikenal oleh Gak-hujin.
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, sahutnya dengan tersenyum, "Tecu memang mengeluh dan kelabakan
ketika dia baru saja memainkan dua-tiga jurus ilmu goloknya itu. Tapi Tecu lantas bergelak tertawa. Untuk ini
Dian Pek-kong menjadi melongo heran. Ia tanya, 'Apa yang kau tertawakan? Apakah kau kira mampu
menangkis 13 kali serangan golokku ini?' Dengan tertawa Tecu telah menjawab, 'Kiranya Dian Pek-kong yang
namanya termasyhur asalnya adalah murid buangan Hoa-san-pay kami. Sungguh tidak nyana, sungguh tak
terduga. Ya, ya, tentulah disebabkan tingkah lakumu yang buruk, makanya kau telah diusir keluar dari
golongan kami.'
"Dian Pek-kong menjadi marah-marah, katanya, 'Murid buangan Hoa-san-pay apa segala, kau ngaco-belo
belaka. Ilmu silatku mempunyai gayanya sendiri, ada sangkut paut apa dengan Hoa-san-pay kalian?' Dengan
tertawa Tecu menjawab, 'Kau punya ilmu golok ini meliputi 13 gerakan bukan? Aku sendiri pernah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyaksikan permainan ilmu golok ini dari ibu-guruku. Beliau telah menciptakan ilmu golok yang lemah
gemulai ini di kala beliau lagi menyulam. Sungguh tidak nyana seorang laki-laki seperti dirimu juga dapat
menirukan gayanya kaum wanita ....'" belum habis ucapannya, Leng-sian dan para Sumoaynya sudah lantas
mengikik geli.
Gak Put-kun juga tersenyum sambil mengomel, "Ngaco! Ngaco belaka!"
Sedangkan Gak-hujin juga lantas menyemprotnya, "Kau sembarangan mengoceh tak keruan. Segala apa boleh
kau katakan, mengapa ibu-gurumu ikut-ikut kau sebut?"
"Hendaklah Sunio maklum, Dian Pek-kong itu sangat sombong. Bila dia mendengar ilmu goloknya yang lihai itu
kukatakan berasal dari ciptaan Sunio serta mempersamakan dia dengan kaum wanita, maka dia pasti akan
membantah dan pasti tak jadi membunuh Tecu pada waktu itu. Dan benar juga, dia lantas memainkan pula
ilmu goloknya dengan perlahan, setiap jurus selalu ia tanya, 'Apakah betul ini ciptaan ibu-gurumu?' Tecu
sengaja diam saja untuk makin membikin panas hatinya, berbareng Tecu lantas ingat baik-baik setiap jurus
permainannya itu. Akhirnya barulah Tecu berkata, 'Maaf, Dian-heng, boleh jadi Siaute salah sangka.
Tampaknya ilmu golok Dian-heng ini mirip dengan ilmu pedang ciptaan ibu-guruku, tapi di dalamnya ternyata
ada perbedaan-perbedaannya. Agaknya Dian-heng tidaklah mencuri belajar dari perguruanku.' Rupanya dia
mengetahui maksud Tecu, dengan gusar ia berkata, 'Hm, karena kau tidak mampu melawan ilmu golokku ini,
lantas kau mengoceh tak keruan untuk mengulur tempo, memangnya kau sangka aku bodoh dan tidak tahu
tujuanmu? Pendek kata, Lenghou Tiong, kau sudah mengatakan Hoa-san-pay kalian juga punya ilmu golok
yang sama, maka kau harus coba memainkan sekarang biar aku bertambah pengalaman juga.'
"Tecu lantas menjawab, 'Hoa-san-pay kami hanya menggunakan pedang dan tidak main golok. Ilmu pedang
ciptaan ibu-guruku itu hanya diajarkan kepada murid wanita. Kita sebagai kaum laki-laki masakah ikut-ikut
megal-megol memainkan ilmu pedang yang menertawakan itu?' Dengan gusar Dian Pek-kong berkata,
'Menertawakan atau tidak, pendek kata kau harus mengaku terus terang bahwa Hoa-san-pay sesungguhnya
tak ada ilmu silat seperti ilmu golokku ini. Lenghou-heng, sebenarnya orang she Dian kagum kepada jiwa
kesatriamu, seharusnya kau tidak ... tidak pantas sembarangan mengoceh mempermainkan aku.'"
"Siapa sudi dikagumi oleh manusia rendah macam dia itu?" sela Gak Leng-sian. "Memang seharusnya Toasuko
mempermainkan dia biar kapok."
"Tapi waktu itu kurasa mau tidak mau aku harus memainkan beberapa jurus yang telah kukatakan itu," ujar
Lenghou Tiong.
"Dan apakah kau benar-benar megal-megol menirukan gaya kaum wanita?" tanya Leng-sian dengan tertawa.
"Biasanya aku sudah sering melihat kau berlatih sehingga untuk menirukan megal-megol kaum wanita adalah
tidak sukar bagiku," sahut Lenghou Tiong.
"Ha, jadi kau menganggap aku suka megal-megol? Awas, nanti kujewer kupingmu!" omel Leng-sian dengan
manja.
Sejak tadi Gak-hujin diam saja, baru sekarang ia membuka suara, "Anak Sian, coba kau berikan pedangmu
kepada Toasuko."
Leng-sian menurut, ia melolos pedangnya dan diberikan kepada Lenghou Tiong. Katanya, "Nah, ibu ingin
melihat cara kau memainkan pedang dengan gaya megal-megol!"
"Hus!" sentak Gak-hujin. "Jangan kau gubris dia, anak Tiong. Coba kau pertunjukkan permainanmu waktu itu."
Lenghou Tiong maklum bahwa ibu-gurunya ingin tahu ilmu silat andalan Dian Pek-kong. Segera ia memberi
hormat lebih dulu, katanya, "Baiklah, Tecu akan coba mainkan ilmu golok Dian Pek-kong itu, Sunio dan Suhu!"
Menurut peraturan Hoa-san-pay, bila kaum muda hendak "main" di depan kaum tua, maka harus permisi lebih
dulu.
Sesudah Gak Put-kun mengangguk, mulailah Lenghou Tiong mengacungkan pedangnya. Sekonyong-konyong,
tanpa ada suatu tanda lebih dulu, tahu-tahu pedangnya membacok beruntun-runtun tiga kali dengan secepat
kilat sehingga mengeluarkan suara mendengung-dengung.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Para murid Hoa-san-pay sampai terkejut, beberapa murid wanita bahkan sampai menjerit kaget.
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah memainkan pedangnya sedemikian cepatnya, tampaknya seperti kacau tak
teratur, tapi dalam pandangan tokoh-tokoh seperti Gak Put-kun dan istrinya, setiap bacokan atau tebasan
Lenghou Tiong itu dapat dilihat dengan jelas, serangan-serangannya jitu lagi ganas. Hanya sekejap saja
Lenghou Tiong sudah lantas menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak, lalu memberi hormat pula kepada
guru dan ibu-gurunya.
Leng-sian rada kecewa, tanyanya, "Hanya begini saja sudah selesai?"
"Lebih cepat justru lebih bagus," ujar Gak-hujin. "Ke-13 jurus golok kilat ini setiap jurusnya membawa tigaempat
gerakan perubahan sehingga dalam sekejap ini dapat bermain lebih dari 40 gerakan, ilmu golok kilat ini
benar-benar jarang ada bandingannya di dunia ini."
"Bila dimainkan oleh keparat Dian Pek-kong sendiri, kecepatannya dua-tiga kali lebih cepat lagi daripada Tecu,"
ujar Lenghou Tiong.
Gak-hujin saling pandang sekejap dengan Gak Put-kun, keduanya sama-sama merasa gegetun dan kagum
akan ilmu golok kilat itu.
Tiba-tiba Gak-hujin melolos sebatang pedang dari pinggang seorang murid wanita dan berseru kepada Lenghou
Tiong, "Gunakan golok kilat!"
Lenghou Tiong mengiakan dan "sret", ia gunakan pedang sebagai golok terus membacok ke arah Gak-hujin.
Tempat yang diarah oleh serangan ini aneh luar biasa. Kelihatannya pedang itu sudah meleset melampaui
badan Gak-hujin, tapi mendadak ujung pedang bisa melengkung balik ke pinggang nyonya Gak itu.
Keruan Leng-sian terkejut, dia sampai menjerit, "Awas, Ibu!"
Namun dengan cepat Gak-hujin telah meloncat maju, tanpa peduli tusukan dari belakang itu, dia lantas balas
menusuk dada Lenghou Tiong dengan tidak kalah cepatnya.
Kembali Leng-sian menjerit, "Awas, Toasuko!"
Lenghou Tiong ternyata juga tidak menangkis, sebaliknya ia balas membacok pula satu kali sambil berseru,
"Dian Pek-kong jauh lebih cepat daripada ini, Sunio!"
"Sret-sret-sret", kembali Gak-hujin menusuk tiga kali pula dan Lenghou Tiong juga balas menyerang tiga kali.
Makin lama makin cepat serang-menyerang kedua orang, yang digunakan selalu serangan berbahaya, tapi
tiada seorang pun yang main menangkis, hanya menggunakan cara mengelak dan menyerang.
Dalam sekejap saja kedua orang sudah bergebrak 20 jurus lebih. Peng-ci sampai kesima menyaksikan
pertarungan hebat itu. Pikirnya, "Tingkah laku Toasuko tampaknya angin-anginan, tapi ilmu silatnya
sesungguhnya sedemikian lihai. Untuk selanjutnya aku harus giat berlatih supaya kelak tidak dipandang hina
oleh orang lain."
Pada saat itulah sekonyong-konyong pedang Gak-hujin menusuk ke depan pula, sekali ini tepat mengancam di
depan tenggorokan Lenghou Tiong sehingga tak sempat mengelak lagi.
Tapi Lenghou Tiong telah berkata, "Percuma, dia dapat menangkisnya."
"Baik!" seru Gak-hujin sambil tarik kembali pedangnya untuk mengulangi serangan-serangan lain pula.
Beberapa jurus kemudian, "sret", kembali ujung pedang nyonya Gak itu mengancam di depan tenggorokan
Lenghou Tiong.
Namun pemuda itu tetap berkata, "Dia dapat menangkisnya!"
Dengan ucapan ini Lenghou Tiong hendak mengatakan bahwa dirinya memang tidak mampu mengelakkan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
serangan sang ibu-guru, tapi ilmu golok Dian Pek-kong yang jauh lebih cepat itu dapat menangkis seranganserangan
ibu-gurunya itu.
Segera kedua orang mengulangi pula, makin lama makin cepat. Sampai akhirnya Lenghou Tiong tidak sempat
mengatakan "dia dapat menangkis" lagi, sebagai gantinya dia hanya menggeleng saja bila dia terancam oleh
setiap gerakan Gak-hujin, dengan begitu maksudnya hendak mengatakan serangan ibu-gurunya itu tetap
belum dapat mengalahkan Dian Pek-kong.
Permainan Gak-hujin bertambah semangat, mendadak ia membentak nyaring, sinar pedangnya gemerdep
menyilaukan, sekeliling tubuh Lenghou Tiong seakan-akan berbungkuskan sinar perak.
Sekonyong-konyong nyonya Gak menusuk ke depan, tahu-tahu ulu hati Lenghou Tiong terancam, cepatnya
benar-benar secepat kilat. Bahkan tertampak Gak-hujin terus sorong pedangnya ke depan sehingga tubuh
Lenghou Tiong benar-benar kelihatan tertembus sebab gagang pedang Gak-hujin sampai mepet di dada anak
muridnya itu.
"Ibu!" Leng-sian menjerit khawatir.
Tapi lantas terdengarlah suara "trang-tring" berulang-ulang, beberapa potong pedang kutung sepanjang
beberapa senti telah jatuh semua di samping kaki Lenghou Tiong. Gak-hujin bergelak tertawa dan menarik
kembali tangannya, ternyata pedangnya yang panjang tadi kini hanya tertinggal bagian gagang saja.
"Sumoay, sedemikian hebat tenaga dalammu, sampai aku pun tidak mengetahuinya," ujar Gak Put-kun dengan
tertawa.
Meski mereka adalah suami istri, tapi asalnya mereka memang saudara seperguruan, maka panggilan yang
sudah biasa itu tetap digunakan meski mereka sudah menikah dan sekarang pun sudah tua.
Maka dengan tersenyum Gak-hujin menjawab, "Ah, Suko terlalu memuji saja. Hanya sedikit kepandaian tak
berarti saja kenapa mesti dipersoalkan."
Alangkah kejutnya Lenghou Tiong ketika melihat potongan-potongan pedang kutung yang berserakan itu. Baru
sekarang dia tahu bahwa waktu ibu-gurunya menusukkan pedangnya tadi benar-benar telah mengerahkan
segenap tenaga dalamnya. Akan tetapi begitu ujung pedang menyentuh bajunya, seketika ia memutar kembali
tenaga dalam yang mahadahsyat itu, dari tenaga yang mendampar lurus ke depan itu berubah menjadi putaran
kembali, maka seketika pedangnya tergetar patah menjadi beberapa potong. Sudah tentu cara menguasai
Lwekangnya itu benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Keruan tidak kepalang kagumnya Lenghou Tiong. Katanya dengan gegetun, "Dengan kepandaian Sunio ini,
betapa pun cepat ilmu golok Dian Pek-kong itu juga tidak mampu menghindarkan diri dari serangan Sunio ini."
Melihat baju sang Toasuko itu penuh lubang di muka dan di belakang, seluruhnya adalah bekas tusukan pedang
Gak-hujin, diam-diam Peng-ci membatin, "Di dunia ini ternyata ada ilmu pedang sehebat ini. Asal aku dapat
mempelajari beberapa bagiannya saja sudah cukup untuk membalas sakit hati ayah-bundaku."
Lalu terpikir pula, "Jing-sia-pay dan Bok Ko-hong sama-sama mengincar Pi-sia-kiam-boh keluargaku, padahal
Pi-sia-kiam-hoat kami itu kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Sunio barusan ini bedanya seperti langit dan
bumi."
Dalam pada itu Gak-hujin tampak sangat puas, katanya, "Anak Tiong, kau bilang seranganku yang terakhir tadi
dapat membinasakan Dian Pek-kong. Maka hendaklah kau berlatih yang giat, biar kuajarkan jurus ilmu pedang
tadi padamu."
"Banyak terima kasih, Sunio," sahut Lenghou Tiong.
"Aku juga ingin belajar, Ibu!" seru Leng-sian.
Gak-hujin menggeleng, katanya, "Lwekangmu belum cukup sempurna, jurus serangan tadi tak dapat kau
pelajari dengan baik."
"Lwekang Toasuko juga selisih tidak jauh dengan Lwekangku, kalau dia dapat mengapa aku tidak?" ujar LengDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sian dengan penasaran.
Gak-hujin tersenyum tanpa bicara lagi.
Dengan manja Leng-sian lantas menarik tangan sang ayah dan berkata, "Ayah, harap engkau mengajarkan
padaku sejurus ilmu pedang yang dapat mematahkan serangan itu, agar kelak aku tidak selalu dihina oleh
Toasuheng."
"Ilmu pedang ibumu itu bernama 'pedang tunggal keluarga Ling tiada bandingan', di dunia ini tiada
tandingannya, dari mana aku mampu menciptakan cara untuk mematahkannya?" ujar Gak Put-kun sambil
menggeleng kepala dan tertawa.
"Kau membual apa?" omel Gak-hujin dengan tersenyum, "bila ucapanmu itu tersiar, bukankah akan ditertawai
oleh sesama kawan Bu-lim?"
Jurus ilmu pedang tadi memang diciptakan oleh Gak-hujin secara mendadak dan menurut keadaan, di
dalamnya mengandung intisari Lwekang dan ilmu pedang Hoa-san-pay yang paling murni, ditambah lagi
kecekatan berpikir Gak-hujin yang tajam, maka jurus serangannya tadi memang amat lihai. Dan dengan
sendirinya ilmu pedang baru itu belum ada sesuatu nama sebutan. Gak Put-kun cukup kenal watak sang istri
yang tinggi hati, biarpun sudah menikah juga lebih suka orang memanggilnya sebagai "Ling-lihiap" (pendekar
Ling) daripada disebut Gak-hujin (nyonya Gak). Artinya menghormati kepandaian yang sejati dan bukan karena
mengandalkan nama suaminya yang termasyhur itu.
Walaupun mulutnya mengomeli sang suami, tapi sebenarnya dia merasa suka dengan nama ilmu pedangnya
yang diberikan Gak Put-kun tadi.
Begitulah Gak Leng-sian lantas mengusik lagi, "Ayah, kapan-kapan engkau juga boleh ciptakan sepuluh jurus
ilmu pedang keluarga Gak yang tiada tandingannya di kolong langit ini, lalu ajarkan padaku agar aku dapat
melabrak Toasuko."
"Tidak bisa, kecerdikan ayahmu kalah jauh daripada ibumu, aku tidak mampu menciptakan apa-apa," sahut
Put-kun dengan tertawa.
Tapi Leng-sian yang nakal itu lantas membisiki sang ayah, "Bukannya engkau tak mampu menciptakan,
soalnya engkau takut bini, tidak berani menciptakan."
"Hus, ngaco-belo!" omel Put-kun dengan terbahak-bahak sambil mencubit perlahan pipi putrinya itu.
"Sudahlah, anak Sian, jangan usilan lagi," kata Gak-hujin. "Coba Tek-nau, aturlah meja sembahyangan agar
Lim-sutemu dapat melakukan upacara sembahyang kepada para leluhur perguruan kita."
Tek-nau mengiakan terus pergi melaksanakan tugasnya. Tidak lama kemudian segala sesuatu sudah disiapkan
dengan baik.
Gak Put-kun mendahului menuju ke ruangan sembahyang dengan diikuti Gak-hujin dan para muridnya
termasuk Lim Peng-ci.
Setiba di ruangan itu, Peng-ci melihat suasana ruangan itu cukup angker, kedua sisi dinding masing-masing
tergantung sebatang pedang kuno. Mungkin pedang-pedang itu adalah milik tokoh-tokoh angkatan tua di masa
lampau. Diam-diam Peng-ci berpikir, "Nama Hoa-san-pay sedemikian termasyhur sekarang, dapat diduga
pedang-pedang tinggalan para leluhur Hoa-san-pay itu entah sudah berapa banyak membinasakan kawanan
penjahat."
Sementara itu Gak Put-kun sudah tekuk lutut lebih dulu di depan meja sembahyang dan menjura beberapa
kali, lalu berdoa, "Tecu Gak Put-kun hari ini telah menerima Lim Peng-ci dari Hokciu sebagai murid, semoga
arwah para Cosu (leluhur) suka memberi berkah, supaya Lim Peng-ci giat belajar, menjaga kehormatan diri
sendiri, taat kepada tata tertib perguruan dan takkan meruntuhkan nama baik Hoa-san-pay kita."
Mendengar begitu, segera Peng-ci ikut berlutut dan menjura dengan khidmat.
Gak Put-kun lantas berdiri, lalu katanya dengan tegas, "Lim Peng-ci, hari ini kau telah diterima menjadi murid
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hoa-san-pay, kau harus patuh kepada peraturan perguruan, bila melanggar tentu akan mendapat hukuman
sesuai dengan perbuatanmu. Perguruan kita sudah terkenal selama beberapa ratus tahun, maka setiap murid
wajib menjaga nama baik perguruan, kesemuanya hendaklah kau ingat-ingat betul."
"Ya, Tecu akan ingat dan taat kepada ajaran Suhu," sahut Peng-ci.
"Lenghou Tiong!" tiba-tiba Gak Put-kun berkata lagi, "coba kau uraikan tata tertib perguruan kita agar
diketahui oleh Lim Peng-ci."
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu berseru, "Lim-sute, hendaklah engkau dengarkan dengan baik. Pertama,
dilarang mengkhianati perguruan dan mendurhakai orang tua. Kedua, dilarang menindas kaum lemah. Ketiga,
dilarang main perempuan dan menggoda wanita baik-baik. Keempat, dilarang saling iri dengan sesama saudara
seperguruan dan bunuh-membunuh. Kelima, dilarang mencuri dan tamak harta benda. Keenam, dilarang
sombong dan menyalahi sesama kaum persilatan. Ketujuh, dilarang bergaul dengan kaum penjahat dan
bersekongkol dengan kawanan iblis. Inilah tujuh larangan Hoa-san-pay kita yang harus ditaati bersama oleh
segenap anak murid kita."
"Baik, Siaute akan patuh kepada ketujuh larangan perguruan tersebut dan tidak berani melanggarnya," sahut
Peng-ci.
"Bagus, hanya sekian saja peraturan dari perguruan kita," ujar Gak Put-kun dengan tersenyum. "Hendaklah
kau taat kepada ketujuh larangan itu, setiap saat harus ingat mengutamakan budi kebajikan, jadilah seorang
kesatria sejati, dengan demikian dapatlah guru dan ibu-gurumu merasa senang."
Peng-ci mengiakan dan memberi hormat kepada guru dan ibu-guru serta para Suheng.
"Anak Peng, sekarang bolehlah kau urus penguburan layon kedua orang tuamu untuk memenuhi kewajibanmu
sebagai putra orang, habis itu barulah nanti mulai belajar dasar-dasar ilmu silat perguruan kita," kata Gak Putkun.
Dengan air mata bercucuran Peng-ci mengucapkan terima kasih.
Kemudian Gak Put-kun berpaling dan mengamat-amati Lenghou Tiong sejenak, lalu berkata, "Anak Tiong,
kepergianmu kali ini telah melanggar berapa banyak dari tujuh larangan perguruan kita?"
Lenghou Tiong terkesiap. Ia tahu biasanya sang guru sangat sayang kepada anak muridnya, tapi bila ada yang
melanggar undang-undang perguruan, maka pasti dihukum tanpa pandang bulu. Segera ia berlutut dan
menjawab, "Tecu tahu sudah bersalah, karena tidak patuh kepada ajaran guru dan ibu-guru, maka telah
melanggar larangan keenam. Di Cui-sian-lau Tecu telah membunuh Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay."
Gak Put-kun mendengus dengan wajah kereng.
"Ayah," tiba-tiba Leng-sian menimbrung, "kejadian itu adalah salahnya Lo Jin-kiat karena dia hendak
menganiaya Toasuko pada saat dia sudah terluka parah sehabis bertempur mati-matian dengan Dian Pekkong."
"Tidak perlu kau ikut campur urusan orang lain," kata Put-kun. "Peristiwa itu diawali ketika anak Tiong
menendang jatuh kedua murid terkemuka dari Jing-sia-pay, kalau tidak ada percekcokan itu tentu Lo Jin-kiat
takkan mengganggu anak Tiong di saat dia terluka parah."
"Tentang Toasuko menendang murid Jing-sia-pay itu, bukankah ayah sudah menghukum rangket kepada
Toasuko, kesalahan yang sudah diberi hukuman mana boleh diperhitungkan kembali?" demikian kembali Lengsian
menyela lagi. "Apalagi Toasuko masih belum sembuh dari lukanya yang parah, janganlah ayah
merangketnya lagi."
Gak Put-kun melotot sekali kepada putrinya itu, katanya dengan bengis, "Saat ini harus bicara tentang tata
tertib perguruan kita. Kau juga murid Hoa-san-pay, kau dilarang sembarangan ikut bicara!"
Jarang Leng-sian diperlakukan oleh ayahnya dengan sikap begitu bengis. Keruan ia merasa penasaran dan
hendak menangis.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam keadaan biasa seumpama Gak Put-kun tidak ambil pusing padanya juga ibunya tentu akan
menghiburnya dengan kata-kata membujuk. Tapi sekarang Gak Put-kun bertindak sebagai Ciangbunjin serta
mengusut tentang pelanggaran undang-undang perguruan sendiri, maka segera ia bicara lagi kepada Lenghou
Tiong, "Lo Jin-kiat telah menganiaya kau pada saat kau dalam keadaan payah, tapi kau pantang menyerah, ini
adalah sikap seorang laki-laki sejati. Akan tetapi mengapa kau mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh
sehingga menyinggung nama baik Hing-san-pay, mengapa kau bilang 'asal melihat Nikoh pasti kalah judi'
segala, katanya aku juga takut menjumpai Nikoh?"
Tiba-tiba Leng-sian tertawa geli. Tapi ia lantas diam lagi setelah dipelototi oleh sang ayah.
Maka terdengarlah Lenghou Tiong telah menjawab, "Tatkala itu yang dipikirkan Tecu adalah menyelamatkan
Sumoay dari Hing-san-pay itu. Karena Tecu sadar bukan tandingan Dian Pek-kong dan tidak mampu menolong
Sumoay dari Hing-san-pay itu, namun Sumoay itu malah tidak mau melarikan diri dan mau membela diriku.
Untuk menyingkirkan dia dari tempat bahaya terpaksa Tecu sembarangan mengoceh, kata-kata demikian itu
memang sangat menyinggung nama baik para Supek dan Susiok dari Hing-san-pay."
"Maksudmu hendak menyingkirkan Gi-lim Sutit dari tempat berbahaya, hal ini memang tidak salah, tapi segala
apa boleh kau katakan, mengapa justru menggunakan ucapan yang tidak senonoh itu? Sekarang urusan ini
sudah diketahui semua oleh Ngo-gak-kiam-pay, mereka tentu akan mengatakan kau bukan orang baik-baik
dan anggap aku tak bisa mengajar murid."
Lenghou Tiong mengiakan dengan membungkuk dan mengaku salah.
Lalu Gak Put-kun meneruskan, "Kau mengeram di rumah pelacuran untuk merawat lukamu boleh dikata karena
terpaksa. Tapi kau telah menyembunyikan Gi-lim Sutit dan iblis cilik dari Mo-kau itu di dalam selimut, lalu
mengatakan kepada Ih-koancu dari Jing-sia-pay bahwa mereka adalah perempuan pelacur, hal ini membawa
bahaya yang amat besar bilamana akalmu itu terbongkar, bukan saja nama baik Hoa-san-pay kita akan runtuh,
bahkan nama baik Hing-san-pay yang bersejarah ratusan tahun itu pun akan ikut tercemar."
Lenghou Tiong sampai berkeringat dingin mendengarkan omelan sang guru, katanya dengan suara gemetar,
"Kejadian itu memang mendebarkan hati bila Tecu pikirkan kembali. Kiranya Suhu sendiri pun telah
mengetahui."
"Tentang kau dikirim ke Kun-giok-ih untuk merawat lukamu oleh gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang itu
baru kuketahui kemudian, tapi waktu kau suruh kedua anak dara itu sembunyi di kolong selimut, saat itu aku
sudah berada di luar jendela," kata Put-kun.
"Untung Suhu telah mengetahui bahwa Tecu bukanlah orang yang berkelakuan tak senonoh," ujar Lenghou
Tiong.
"Hm, jika benar-benar kau main gila di rumah pelacuran itu, tentu sudah lama kupenggal kepalamu, masakah
kau dapat hidup sampai hari ini?" kata Gak Put-kun dengan kereng.
Lenghou Tiong mengiakan dengan kikuk-kikuk.
Air muka Gak Put-kun semakin kereng, selang sejenak baru dia menyambung pula, "Kau sudah tahu bahwa
anak dara she Kik itu adalah orang Mo-kau, mengapa kau tidak lantas membunuhnya saja? Biarpun kakeknya
telah menolong jiwamu, tapi cara demikian adalah akal licik biasa dari orang Mo-kau yang hendak memecah
belah Ngo-gak-kiam-pay kita. Kau toh bukan orang tolol, masakah tidak tahu? Orang sengaja menolong
jiwamu, tapi sebenarnya mengandung tipu muslihat yang mendalam. Coba lihat saja, betapa cerdik pandainya
Lau Cing-hong, akhirnya dia juga masuk perangkap musuh sehingga dirinya sendiri binasa dan keluarganya
hancur berantakan. Tipu muslihat Mo-kau yang keji itu telah kau saksikan sendiri. Namun sedari Oulam kita
pulang ke Hoa-san sini, sepanjang jalan belum pernah kudengar kau mengeluarkan sepatah kata pun yang
namanya mencela perbuatan Mo-kau. Anak Tiong, agaknya sesudah jiwamu ditolong orang, lalu dalam hal baik
dan buruk kau pun mulai kabur membedakannya. Persoalan ini menyangkut kepentingan hari depanmu sendiri,
hendaklah kau mempunyai pendirian yang tegas."
Lenghou Tiong menjadi terkenang kembali kepada paduan suara kecapi dan seruling yang dibunyikan Kik Yang
dan Lau Cing-hong pada malam di pegunungan sunyi itu. Jika Kik Yang dikatakan mempunyai tipu muslihat
tertentu dan sengaja membikin celaka, rasanya hal ini tidaklah mungkin.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Melihat air muka muridnya mengunjuk rasa sangsi, segera Gak Put-kun bertanya pula, "Anak Tiong, urusan ini
bukan saja menyangkut kepentingan dirimu, bahkan juga menyangkut jaya runtuhnya Hoa-san-pay kita. Maka
dari itu janganlah kau menyembunyikan sesuatu rahasia padaku. Aku hanya ingin tanya padamu, bila kau
bertemu dengan orang Mo-kau, apakah kau akan memandangnya sebagai musuh dan membunuhnya tanpa
ampun?"
Seketika Lenghou Tiong sukar menjawab, ia hanya memandangi sang guru dengan termangu-mangu. Dalam
benaknya tiada henti-hentinya berputar suatu pikiran, "Kelak bila aku ketemu dengan orang Mo-kau, apakah
tanpa tanya benar atau salah lantas kubunuh begitu saja?"
Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab pertanyaan gurunya itu.
Gak Put-kun menatap sang murid sampai sekian lamanya dan tetap tidak mendapat jawaban, akhirnya ia
menghela napas panjang dan berkata, "Rasanya percuma juga bila saat ini kau dipaksa menjawab
pertanyaanku ini. Kepergianmu kali ini telah banyak merosotkan nama baik Hoa-san-pay kita, maka aku
menghukum kau semadi menghadap tembok selama satu tahun, hendaklah kau memikirkan dan merenungkan
kembali kejadian ini dari awal sampai akhir."
"Ya, Tecu menerima hukuman Suhu ini," sahut Lenghou Tiong sambil memberi hormat.
"Hah, menghadap tembok selama setahun?" Leng-sian menegas. "Lalu selama setahun ini setiap hari mesti
menghadap tembok selama berapa jam?"
"Berapa jam apa? Harus setiap saat, dari pagi sampai malam, kecuali makan dan tidur, setiap waktu harus
duduk menghadap tembok," sahut Put-kun.
"Wah, mana boleh jadi demikian? Apakah Toasuko takkan kesal setiap hari harus menghadapi tembok melulu?"
ujar Leng-sian.
"Kesal apa?" omel Gak Put-kun. "Dahulu kakek-gurumu pernah bersalah dan dihukum menghadap tembok
selama tiga setengah tahun di puncak Giok-li-hong ini tanpa boleh turun selangkah pun dari situ."
"O, kalau demikian hukuman Toasuko ini masih terhitung ringan?" kata Leng-sian sambil meleletkan lidah.
"Padahal Toasuko mengatakan 'asal ketemu Nikoh pasti kalah judi' hanya timbul dari maksud baiknya hendak
menyelamatkan orang dan bukan sengaja hendak memaki orang Hing-san-pay."
"Justru karena dia bermaksud baik, maka hukumannya cuma satu tahun," kata Put-kun. "Coba kalau
maksudnya jahat, mustahil aku tidak cabut semua giginya dan potong lidahnya."
"Sudahlah, anak Sian, jangan ceriwis lagi," sela Gak-hujin. "Toasuko harus menghadapi tembok di puncak
Giok-li-hong, untuk itu kau jangan pergi ke sana untuk mengganggunya. Kalau tidak, tentu maksud baik
ayahmu agar Toasuko merenung kesalahannya akan sia-sia belaka."
"Tapi Toasuko kan kesepian bila aku dilarang menjenguknya dan mengajak mengobrol padanya," ujar Lengsian.
"Pula, selama setahun ini siapa lagi yang dapat mengiringi latihanku?"
"Jika kau mengajaknya mengobrol, lalu apa lagi artinya dia merenung kesalahannya dengan menghadapi
tembok?" kata Gak-hujin. "Untuk latihanmu setiap Suhengmu dapat mengawani kau."
Begitulah, petangnya Lenghou Tiong lantas mohon diri kepada guru dan ibu-gurunya, dengan membawa
pedang, dia lantas berangkat ke puncak tertinggi dari Giok-li-hong. Di puncak yang curam itu terdapat sebuah
gua yang biasanya digunakan oleh pimpinan Hoa-san-pay untuk menghukum kurungan kepada muridmuridnya
yang berdosa.
Di puncak tertinggi itu hanya batu-batu karang yang tandus, tiada sesuatu tumbuhan apa-apa, hanya sebuah
gua melulu, lain tidak ada. Gua ini merupakan suatu tempat istimewa sebab pada umumnya pemandangan
Hoa-san itu senantiasa menghijau permai.
Waktu Lenghou Tiong melangkah ke dalam gua, terlihat sepotong batu besar di dalam gua itu halus licin,
rupanya batu itulah yang biasa digunakan sebagai tempat duduk bagi orang yang diharuskan menghadapi
tembok dan merenungkan dosanya itu. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Selama berapa ratus tahun
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
entah betapa banyak tokoh Hoa-san-pay yang telah mencicipi rasanya hidup sendirian di dalam gua dan duduk
di atas batu ini sehingga batu ini sampai kelimis licin. Sekarang Lenghou Tiong adalah murid yang paling ugalugalan
dari Hoa-san-pay, adalah lebih daripada pantas bila aku pun diberi kesempatan untuk duduk di atas
batu halus ini."
Lalu ia tepuk-tepuk batu besar itu sambil berkata, "Wahai batu, kau sudah kesepian sekian tahun, hari ini
Lenghou Tiong akan menjadi kawanmu."
Hendaklah maklum bahwa perangai Gak Put-kun itu sangat ramah, sehingga jarang sekali ia mendamprat dan
menghajar muridnya, bila muridnya berbuat suatu kesalahan paling-paling hanya diomeli atau dihukum rangket
bokong. Tapi dihukum kurung seperti Lenghou Tiong sekarang hanya baru terjadi pertama kali ini.
Dengan duduk di atas batu besar itu, pandangan Lenghou Tiong hanya berjarak kira-kira setengah meter saja
dari dinding batu gua. Bila matanya terpentang lantas terasa seakan-akan dinding batu itu hendak menindih ke
arahnya. Segera ia pejamkan mata dan merenung petuah sang guru, "Kelak bilamana bertemu dengan orang
Mo-kau, apakah tanpa tanya salah atau tidak salah lantas kulolos pedang dan membunuh mereka? Apakah di
dalam Mo-kau benar-benar ada seorang baik? Tapi kalau dia memang orang baik-baik, mengapa dia masuk
menjadi anggota Mo-kau? Andaikan karena tersesat, seharusnya dapat juga lantas keluar lagi. Dan kalau tidak
mau keluar dari Mo-kau, itu berarti rela berkawan dengan kaum jahat dan membikin celaka manusia
umumnya."
Bab 27. Menghadap Dinding Merenung Dosa
Seketika itu dalam benaknya timbul macam-macam adegan yang mengerikan dari apa yang pernah diceritakan
oleh guru dan ibu-gurunya tentang kekejaman-kekejaman Mo-kau. Seperti terbunuhnya 23 anggota keluarga
Uh-lokunsu di daerah Kangsay, mula-mula keluarga Uh-lokunsu dipantek hidup-hidup di batang pohon muka
rumahnya dan akhirnya mati tak terurus. Ketua Liong-hong-to di Celam, Tio Ting, tatkala itu sedang
merayakan perkawinan putranya, tapi mendadak diserbu orang-orang Mo-kau, kedua mempelai telah dipenggal
kepalanya dan ditaruh di atas meja sembahyang, katanya adalah kado pemberian mereka.
Lalu teringat pula olehnya kejadian dua tahun yang lalu, dalam perjalanan ke Theciu, dia sendiri telah bertemu
dengan seorang Sun-susiok dari Ko-san-pay yang kedua kaki dan kedua tangannya telah dikutungi semua oleh
orang Mo-kau, bahkan kedua biji matanya juga dicukil keluar. Dalam keadaan sekarat itu Sun-susiok masih
terus berteriak-teriak, "Mo-kau jahanam yang membinasakan aku, harus menuntut balas, harus menuntut
balas!"
Walaupun waktu itu ada tokoh Ko-san-pay lain yang datang menolongnya, tapi keadaan Sun-susiok yang
sedemikian parahnya itu sudah tentu sukar dihidupkan kembali.
Bila teringat kepada kedua mata Sun-susiok dari Ko-san-pay yang berlubang dan mengucurkan darah dengan
derasnya itu, tanpa merasa Lenghou Tiong merinding ngeri. Pikirnya, "Sedemikian jahatnya perbuatan orang
Mo-kau, sekarang Kik Yang telah menyelamatkan jiwaku, tentu dia pun tidak bermaksud baik. Suhu telah tanya
padaku bila kelak bertemu dengan orang Mo-kau apakah akan membunuhnya tanpa ampun atau tidak.
Pertanyaan ini masakah masih perlu diragukan lagi? Sudah tentu lolos pedang dan bunuh saja!"
Karena persoalan itu dapat dipecahkan, seketika pikirannya menjadi lapang. Ia bersiul panjang nyaring terus
melompat mundur keluar gua. Waktu masih terapung di udara tubuhnya telah berputar satu kali untuk
kemudian baru turun ke atas tanah. Sesudah itu barulah ia membuka matanya. Ternyata tempat di mana
kakinya berpijak tepat di tepi jurang yang amat curam itu. Coba kalau lompatannya tadi sedikit lebih keras,
tentu sekarang dia sudah terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu dan tubuhnya tentu
akan hancur lebur.
Pada saat itulah mendadak di belakangnya ada orang bertepuk tangan dan bersorak, "Toasuko, hebat benar!"
Itulah suaranya Gak Leng-sian.
Keruan Lenghou Tiong sangat girang, cepat ia berpaling. Tampak Leng-sian dengan menjinjing sebuah
keranjang sedang berdiri di situ dengan tertawa dan menyapa, "Toasuko, aku mengantarkan nasi untukmu."
Segera ia masuk ke dalam gua untuk meletakkan keranjang berisi daharan yang dibawanya itu, lalu duduklah
dia di atas batu dan berkata, "Lompatanmu yang membalik dengan mata tertutup tadi sangat indah, biarlah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
aku pun coba-coba."
Sudah tentu Lenghou Tiong tahu permainan lompat demikian sangat berbahaya, dirinya tadi juga tanpa
sengaja melakukan lompatan bahaya itu. Apalagi ilmu silat Leng-sian jauh lebih rendah, bila kurang tepat cara
menguasai imbangan badan tentu akan terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu. Namun
ia pun kenal watak si nona, bilamana sesuatu sudah menjadi keinginannya, maka sukarlah untuk
mencegahnya. Maka ia pun tidak bicara apa-apa, hanya berdiri di tepi jurang untuk menjaga segala
kemungkinan.
Sifat Leng-sian itu memang ingin menang, maka diam-diam ia mengumpulkan segenap tenaganya, kedua kaki
memancal sekuatnya, tubuhnya lantas melayang mundur ke belakang dengan mata tertutup. Ia pun memutar
tubuh di udara dengan enteng sekali, menyusul terus melayang turun ke depan.
Karena dia memang ingin lompatannya itu lebih jauh daripada sang Toasuko, maka tenaga yang dikerahkan
juga cukup hebat. Ketika tubuhnya mulai menurun, tiba-tiba ia merasa takut dan cepat membuka mata.
Keruan ia lantas menjerit demi di bawahnya tertampak jurang yang luar biasa dalamnya.
Namun Lenghou Tiong telah mengulurkan sebelah tangannya untuk memegangi tangan sang nona. Waktu
turun kembali ke bawah, Leng-sian melihat dirinya berdiri hanya kira-kira belasan senti di tepi jurang. Ternyata
tempat di mana ia berpijak itu memang lebih maju ke depan daripada Lenghou Tiong tadi.
"Toasuko, lihatlah, lompatanku lebih jauh daripadamu," seru Leng-sian sesudah tenang kembali dari rasa
takutnya tadi.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong menepuk bahu sang Sumoay, katanya dengan tertawa, "Permainan berbahaya
begini lain kali jangan dilakukan lagi. Bila diketahui guru dan ibu-guru, tentu kau akan diomeli, bukan mustahil
kau juga akan dihukum kurung menghadapi tembok selama satu tahun, tentu kau bisa runyam."
"Jika aku dihukum kurung di sini, maka kita berdua menjadi ada temannya dan boleh bermain sesukanya," ujar
Leng-sian dengan tertawa.
Tergerak juga perasaan Lenghou Tiong mendengar kata-kata itu. Pikirnya, "Jika benar aku dapat tinggal
selama setahun di gua terpencil ini bersama Siausumoay, maka hidupku tentu akan bahagia seperti hidup di
kahyangan. Akan tetapi, ai, mana bisa jadi?"
Segera ia berkata, "Tapi kalau kau dikurung setahun di rumah saja, selangkah pun tidak boleh keluar, jika
demikian tentu selama setahun juga kita tak bisa bertemu."
"Itu kan tidak adil," ujar Leng-sian. "Kau boleh dikurung di sini dan bebas bergerak, mengapa aku harus
dikurung di rumah?"
Ketika terpikir bahwa ayah-ibunya pasti akan melarang dirinya siang-malam mengawani sang Suko di puncak
terpencil ini, maka ia lantas membelokkan pokok pembicaraan, "Toasuko, sebenarnya ibu telah menugaskan
Lak-kau-ji yang mengantarkan ransum padamu setiap hari. Tapi aku telah berkata kepada Lak-kau-ji, 'Laksuko,
setiap hari kau harus merangkak naik-turun puncak setinggi itu, biarpun kau adalah monyet toh akan
kepayahan juga. Kalau aku saja yang menggantikan tugasmu itu, dengan apa kau akan berterima kasih
padaku?'
"Lak-kau-ji menjawab, 'Tugas yang diberikan ibu-guru padaku itu sebenarnya adalah untuk menggembleng
diriku pula, maka sekali-kali aku tidak berani malas. Pula selamanya Toasuko sangat baik padaku, bila aku
dapat mengantar ransum padanya sehingga setiap hari aku dapat bertemu dengan dia, maka aku akan merasa
senang dan bukan merasa payah.'
"Coba, Toasuko, bukankah Lak-kau-ji itu sengaja main gila aku?"
"Tidak, apa yang dia katakan memang sesungguhnya," sahut Lenghou Tiong.
"Malahan Lak-kau-ji menganggap biasanya aku suka mengganggu dia bila dia sedang minta petunjuk ilmu silat
padamu. Padahal bilakah aku pernah mengganggu dia, benar-benar ngaco-belo belaka si monyet itu," demikian
sambung Leng-sian. "Dia mengatakan pula, 'Untuk selanjutnya selama setahun hanya aku saja yang dapat
bertemu Toasuko dan kau tidak dapat bertemu dengan dia. Tentu aku akan menggunakan kesempatan baik ini
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
untuk minta belajar pada Toasuko.'
"Iming-iming ini membikin aku mendongkol, tapi dia lantas tidak ambil pusing lagi padaku. Akhirnya ...
akhirnya ...."
"Akhirnya kau melolos pedang dan mengancamnya bukan?" sela Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tidak, akhirnya aku telah menangis. Karena itulah barulah Lak-kau-ji mendekati aku dan mengalah
membiarkan aku yang mengantar nasi untukmu," sambung Leng-sian.
Lenghou Tiong coba mengamat-amati wajah si nona, kedua matanya memang kelihatan agak merah bendul
bekas menangis. Mau tak mau Lenghou Tiong merasa sangat terharu. Pikirnya, "Kiranya dia sedemikian baik
padaku. Andaikan aku harus mati seratus atau seribu kali baginya juga aku rela."
Leng-sian lantas membuka keranjang yang dibawa datang tadi. Ia mengeluarkan dua piring sayuran, lalu
mengeluarkan pula dua pasang mangkuk dan sumpit. Semuanya itu ditaruh di atas batu sekadar sebagai meja
makan.
"Kenapa dua pasang sumpit dan mangkuk?" tanya Lenghou Tiong.
"Aku akan mengiringi kau makan," sahut Leng-sian dengan tertawa. "Lihatlah, apa ini?"
Lalu dari dalam keranjang dikeluarkannya sebuah botol arak kecil.
Kegemaran Lenghou Tiong memangnya adalah minum arak. Maka ia menjadi girang demi melihat nona itu
membawakan arak baginya. Segera ia berbangkit dan memberi hormat, "Banyak terima kasih kepada Sumoay.
Memangnya aku sedang berkhawatir selama setahun ini aku takkan dapat minum arak lagi."
Leng-sian lantas membuka tutup botol arak dan mengangsurkannya kepada Lenghou Tiong. Katanya dengan
tertawa, "Tapi kau tidak boleh minum terlalu banyak, setiap hari aku hanya dapat menyelundupkan sebotol
kecil ini saja, kalau lebih banyak tentu akan diketahui ibu."
Dengan perlahan Lenghou Tiong telah habiskan arak sebotol kecil itu. Habis itu baru makan nasi.
Menurut peraturan Hoa-san-pay, setiap murid yang dihukum kurungan di puncak "perenung dosa" itu dilarang
makan barang berjiwa, maka petugas dapur yang menyediakan makanan bagi Lenghou Tiong itu juga cuma
memberikan semangkuk sayur dan semangkuk tahu.
Walaupun makanan itu sangat sederhana, tapi mengingat dirinya sedang dahar bersama Toasuko, maka Lengsian
dapat makan dengan penuh rasa lezat.
Sesudah makan, untuk sekian lamanya Leng-sian mengajak mengobrol pula ke timur dan ke barat. Tampaknya
hari sudah mulai gelap barulah dia berbenah dan pulang.
Sejak itu, setiap hari di waktu dekat magrib Leng-sian selalu mengantar nasi untuk Lenghou Tiong. Karena itu,
walaupun hidup sendirian di puncak terpencil dan tandus itu, Lenghou Tiong tak merasakan kesepian.
Setiap pagi bangun tidur dia lantas duduk bersemadi dan berlatih Lwekang, lalu mengulangi ilmu silat, ilmu
pedang ajaran gurunya, bahkan dia pun merenungkan kembali ilmu golok kilat andalan Dian Pek-kong itu
dengan membandingkan jurus tunggal ajaran ibu-gurunya yang disebut "ilmu pedang tunggal keluarga Ling
yang tiada bandingannya".
"Ling-si-it-kiam" atau ilmu pedang tunggal keluarga Ling meski cuma satu jurus saja, tapi jurus serangan itu
merupakan intisari dari Lwekang dan ilmu pedang Hoa-san-pay yang paling murni.
Lenghou Tiong merasa taraf Lwekang dan ilmu pedangnya sendiri belum mencapai tingkatan setinggi ibugurunya,
kalau memaksakan diri untuk melatihnya bukan mustahil akan membikin celaka dirinya sendiri malah.
Sebab itulah setiap hari dia tambah giat berlatih ilmu silat perguruannya.
Dengan demikian, meski resminya dia dihukum kurung menghadapi tembok untuk merenungkan kesalahannya,
tapi sebenarnya dia tidak pernah menghadap tembok, juga tidak merenungkan kesalahan. Kecuali menemani
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Leng-sian mengobrol bila nona itu datang di waktu magrib, waktu selebihnya dia gunakan meyakinkan ilmu
silat melulu.
Begitulah sang tempo lalu dengan amat cepat, tanpa merasa tiga bulan sudah lewat. Hawa di puncak Hoa-san
itu makin hari makin dingin. Pagi hari itu begitu bangun tidur Lenghou Tiong sudah disambut dengan tiupan
angin yang keras, sampai siangnya bahkan lantas turun salju.
Melihat hujan salju yang cukup deras dan agaknya takkan reda dalam waktu dekat, Lenghou Tiong pikir jalanan
di pegunungan itu tentu sangat licin dan sukar dilalui, rasanya Siausumoay tidak boleh mengantarkan nasi lagi
dengan menghadapi bahaya. Namun dirinya berada di puncak yang terpencil itu, sudah tentu tidak dapat
menyampaikan berita tentang cuaca yang buruk itu.
Karena itu perasaannya sangat gelisah. Ia berharap Suhu atau ibu-gurunya dapat mengetahui keadaan cuaca
itu dan mencegah keberangkatan Sumoay cilik itu. Pikirnya, "Tentang Siausumoay setiap hari mengantar nasi
untukku, mustahil guru dan ibu-guru tidak mengetahui, hanya saja mereka pura-pura tidak tahu dan
membiarkannya. Tapi hari ini kalau dia naik ke sini lagi, khawatirnya dia kurang hati-hati dan terjerumus di
tengah jalan, tentu akan sangat membahayakan jiwanya. Semoga ibu-guru akan melarang Siausumoay
berangkat ke sini."
Begitulah dengan perasaan cemas ia menunggu sampai magrib, pandangannya senantiasa tertuju ke bawah
puncak karang yang curam itu. Tertampak hari sudah mulai gelap, terang Leng-sian takkan datang. Diam-diam
ia merasa lega, pikirnya, "Besok pagi tentu Laksute akan membawa ransum bagiku, biarlah aku harus menahan
lapar semalaman, asalkan Siausumoay tidak sampai mengalami sesuatu apa."
Di luar dugaan, baru saja ia hendak masuk ke dalam gua untuk mengaso, tiba-tiba dari jalanan sana
terdengarlah suara seruan Leng-sian, "Toasuko! Toasuko!"
Terkejut dan bergirang pula Lenghou Tiong. Cepat ia memburu ke tepi karang. Di bawah bunga salju yang
bertaburan itu terlihat Leng-sian sedang mendatangi dengan langkah yang berat dan terpeleset ke kanan dan
ke kiri lantaran jalanan yang licin.
Karena terikat oleh perintah sang guru, satu langkah pun Lenghou Tiong dilarang turun dari puncak karang itu.
Maka terpaksa ia hanya menjulurkan tangan untuk menyambut kedatangan sang Sumoay. Ketika sebelah
tangan Leng-sian sudah menyentuh tangannya itu barulah Lenghou Tiong menariknya ke atas.
Seluruh tubuh nona itu tertampak penuh salju, sampai rambutnya juga berubah putih semua tertutup bunga
salju. Bahkan jidat sebelah kirinya kelihatan merah benjut dan sedikit lecet. "O, kau ... kau ...." kata Lenghou
Tiong dengan khawatir.
Leng-sian tampak mewek-mewek seperti ingin menangis, katanya, "Aku jatuh terpeleset sehingga keranjang
nasi yang kubawa jatuh ke dalam jurang. Malam ... malam ini terpaksa kau harus kelaparan."
Terima kasih dan terharu pula Lenghou Tiong. Ia gunakan lengan bajunya untuk mengusap luka di jidat si nona
dan berkata, "Siausumoay, jalanan begini licin, seharusnya kau jangan datang kemari."
"Aku khawatir kau kelaparan, pula ... pula aku ingin melihat kau," sahut Leng-sian.
"Tapi kalau lantaran itu kau terjerumus ke dalam jurang, cara bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada
guru dan ibu-guru?" ujar Lenghou Tiong.
"Ai, mengapa kau begini cemas, bukankah aku baik-baik saja," kata Leng-sian dengan tersenyum. "Cuma
sayang, aku memang tidak becus. Sudah hampir sampai di atas puncak barulah aku terpeleset sehingga bekal
nasi dan botol arak ikut terjatuh semua ke dalam jurang."
"Asalkan kau selamat, biarpun sepuluh hari aku tidak makan juga tidak menjadi soal," kata Lenghou Tiong.
"Siausumoay, hendaklah kau berjanji, untuk selanjutnya janganlah sekali-kali kau mengambil risiko sebesar ini
bagiku. Jika kau sampai jatuh ke dalam jurang, tentu aku pun tak bisa tinggal hidup sendirian pula."
Kedua mata Leng-sian memancarkan sinar kebahagiaan yang tak terhingga. Katanya, "Toasuko, sebenarnya
tidak perlu kau berbuat demikian, aku jatuh lantaran mengantar nasi untukmu, hal ini adalah karena aku
sendiri yang kurang hati-hati, mengapa engkau merasa tidak enak hati?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Bukan begitu soalnya. Jikalau yang mengantar nasi ini adalah Laksute dan lantaran itu dia mengalami
kecelakaan dan terjatuh ke dalam jurang, tentu aku tidak perlu mengiringi kematiannya itu."
"Bilamana aku yang mati, maka kau pasti takkan hidup sendirian?" Leng-sian menegas.
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Siausumoay, soalnya bukan karena kau mengantarkan nasi bagiku. Andaikan
kau mengantar nasi bagi orang lain dan mengalami kecelakaan, maka aku pun pasti tidak ingin hidup pula."
Dengan erat Leng-sian memegangi kedua tangan sang Toasuko dengan perasaan bahagia tak terkatakan.
Dengan suara lirih ia memanggil, "Toasuko."
Sungguh ingin sekali Lenghou Tiong akan peluk si nona. Tapi tidak berani. Kedua pasang mata saling tatap,
kedua orang hanya saling pandang belaka tanpa bergerak.
Salju masih bertebaran dengan derasnya, lambat laun dan tanpa merasa sepasang muda-mudi itu telah
terbungkus menjadi dua manusia salju.
Selang agak lama barulah Lenghou Tiong membuka suara, "Malam ini seorang diri kau tak boleh turun lagi ke
bawah. Apakah guru dan ibu-guru mengetahui kau naik ke sini? Paling baik kalau beliau-beliau itu dapat
mengirim orang untuk memapak engkau."
"Pagi tadi mendadak ayah menerima surat undangan Co-bengcu dari Ko-san, katanya ada urusan penting yang
perlu dirundingkan, maka bersama ibu buru-buru mereka telah berangkat," tutur Leng-sian.
"Jika demikian, apakah tiada orang lain yang tahu kau naik ke sini?"
"Tidak, tidak ada. Jisuko, Samsuko, Sisuko dan Lak-kau-ji telah ikut berangkat bersama ayah-ibu, maka tiada
orang lain yang tahu aku akan datang ke sini untuk menemui engkau. O, ya, hanya Lim Peng-ci si bocah itu
saja yang melihat aku berangkat ke sini. Tapi aku sudah memperingatkan dia agar jangan banyak bicara, kalau
tidak, besok juga akan kutempeleng dia."
"Waduh! Alangkah garangnya sebagai Suci!" goda Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Sudah barang tentu!" sahut Leng-sian dengan tertawa. "Mumpung ada orang memanggil Suci padaku, kalau
aku tidak kereng sedikit kan rugi? Tidak seperti kau, semua orang memanggil kau Toasuko, apanya yang
diharapkan lagi?"
"Jika demikian, malam ini terang kau tidak bisa pulang. Terpaksa bermalam saja di sini, besok pagi-pagi baru
turun ke bawah."
Segera ia gandeng anak dara itu ke dalam gua. Gua itu sangat sempit, hanya tiba cukup untuk meringkuk dua
orang saja dan tiada banyak sisa tempat lagi. Kedua orang duduk berhadapan dan mengobrol sampai jauh
malam. Sampai akhirnya mata Leng-sian terasa sangat sepat dan tanpa merasa tertidurlah dia.
Khawatir kalau anak dara itu masuk angin, Lenghou Tiong menanggalkan baju luar sendiri dan diselimutkan di
atas badan Leng-sian. Pantulan cahaya salju yang putih kemilau itu remang-remang wajah si nona yang cantik
itu dapatlah kelihatan. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Sedemikian mendalam perhatian Sumoay
kepadaku, sejak kini biarpun aku akan hancur lebur baginya juga aku rela."
Ia termenung-menung sendiri. Teringat dirinya sendiri yang yatim piatu sejak kecil, berkat perlindungan guru
dan ibu-gurunya dapatlah dia dibesarkan, selama ini dirinya dianggap seperti putranya sendiri oleh guru dan
ibu-gurunya itu. Sekarang dirinya adalah murid pertama Hoa-san-pay, bukan saja masuknya ke dalam
perguruan memang paling dulu, bahkan dalam hal ilmu silat juga paling tinggi di antara sesama saudara
seperguruan. Kelak dirinya sendiri pasti akan menerima waris dari gurunya dan mengetuai Hoa-san-pay.
Sekarang Siausumoay sedemikian baik pula padaku, sungguh budi perguruan ini sukar untuk dibalas. Cuma
saja sifatnya sendiri terlalu nakal dan sering membuat marah guru dan ibu-gurunya, untuk ini selanjutnya
harus diperbaiki supaya tidak mengecewakan harapan guru dan ibu-guru, begitu pula kebaikan Siausumoay.
Sambil termangu-mangu memandangi rambut si nona yang indah, tiba-tiba terdengar nona itu berseru
perlahan, "Bocah she Lim, kau tidak menurut pada pesanku ya? Sini, biar kuhajar kau!"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong melengak. Dilihatnya kedua mata si nona terpejam rapat, napasnya teratur, terang ucapan itu
adalah igauan belaka. Ia merasa geli. Pikirnya, "Rupanya sesudah dipanggil Suci lalu dia suka berlagak garang.
Selama ini Lim-sute pasti sudah kenyang disuruh ke sana dan diperintah ke sini. Makanya dalam mimpi ia pun
tidak lupa mendamprat Lim-sute."
Dengan tenang Lenghou Tiong terus menjaga di samping si nona sehingga pagi, semalam suntuk ia sendiri
tidak tidur.
Rupanya saking lelahnya, maka sampai hari sudah terang benderang barulah Leng-sian mendusin. Ketika
melihat Lenghou Tiong sedang memandangi dirinya dengan tersenyum, si nona balas tersenyum sambil
menguap. Katanya, "Toasuko pagi-pagi sekali sudah mendusin."
Lenghou Tiong tidak mengatakan semalaman tidak tidur, jawabnya dengan tertawa, "Apakah yang kau
mimpikan semalam? Apakah Lim-sute telah dihajar olehmu?"
Untuk sejenak Leng-sian mengingat-ingat kembali. Lalu berkata dengan tertawa, "Tentu kau telah mendengar
aku mengigau bukan? Lim Peng-ci si bocah itu memang kepala batu, selalu tidak mau tunduk kepada katakataku.
Karena itu sampai-sampai di waktu tidur aku pun suka mendamprat dia."
"Apakah dia telah berbuat sesuatu kesalahan padamu?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Dalam mimpi aku telah suruh dia mengiringi aku berlatih pedang di tengah air terjun itu, tapi dia menolak
dengan macam-macam alasan. Aku lantas menipu dia mendekati tepi air terjun, lalu kudorong dia hingga
kecebur ke bawah."
"Wah, mana boleh begitu. Kalau terjadi apa-apa kan bisa celaka?" ujar Lenghou Tiong.
"Itu kan dalam mimpi dan bukan sungguh-sungguh, kenapa mesti khawatir?" kata Leng-sian. "Memangnya kau
kira aku benar-benar begitu kejam dan membunuh orang?"
"Apa yang terpikir di siang hari bisa terjadi di dalam mimpi. Tentu di waktu siang kau teringat kepada Lim-sute,
lalu di waktu malam kau pun mengimpikan dia."
"Ah, bocah itu benar-benar tidak becus," ujar Leng-sian. "Sejurus pengantar ilmu pedang perguruan kita saja
belum selesai dilatih di dalam tiga bulan. Tapi kelihatannya begitu giat berlatih, siang berlatih, malam juga
berlatih, sampai orang lain merasa dongkol melihat kelakuannya itu. Jika aku hendak membunuh dia masakah
perlu berpikir segala? Sekali lolos pedang saja sudah dapat membereskan dia."
"Wah, alangkah garangnya?" goda Lenghou Tiong. "Selaku Suci, bila latihan sang Sute ada bagian-bagian yang
salah, seharusnya kau mesti memberi petunjuk padanya, mana boleh sembarangan hendak membunuhnya
malah? Selanjutnya kalau Suhu menerima murid lagi akan terhitung sebagai Sutemu pula. Kalau Suhu
menerima seratus murid, lalu dalam waktu singkat saja kena dibunuh 99 orang olehmu, kan bisa runyam?"
Leng-sian terkikih-kikih geli sambil bersandar di dinding tembok. Katanya, "Benar juga, aku hanya boleh
membunuh 99 orang saja, paling sedikit harus ada sisa seorang. Kalau tidak, siapa lagi yang akan memanggil
Suci padaku?"
"Tapi kalau kau membunuh 99 orang Sutemu, sisanya yang satu orang itu pun pasti akan melarikan diri dan
kau tetap tidak berhasil menjadi Suci," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Bila demikian halnya, maka ... maka kau yang akan kupaksa memanggil Suci padaku," kata Leng-sian sambil
tertawa.
"Panggil Suci saja tidak menjadi soal, celakanya kalau aku pun akan kau bunuh, kan bisa runyam."
"Asal menurut kata-kataku tentu takkan kubunuh, jika bandel sudah pasti kubunuh," ujar Leng-sian.
"Baiklah, aku minta ampun, Siausumoay!" sahut Lenghou Tiong terbahak-bahak.
Dalam pada itu salju sudah berhenti. Khawatir kalau para Sute yang lain mengetahui menghilangnya Leng-sian
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dan mungkin timbul pendapat-pendapat yang tidak pantas, maka segera ia mendesak agar Leng-sian lekas
pulang saja.
"Biarlah aku bermain di sini sampai petang nanti. Ayah-ibu tidak di rumah, aku benar-benar sangat kesepian,"
ujar Leng-sian dengan rasa berat.
"Sumoay yang baik, selama beberapa hari ini aku telah mendapatkan beberapa jurus Tiong-leng-kiam-hoat
yang baru, biarlah nanti kalau aku sudah pulang akan kuajak kau berlatih di tengah air terjun itu," demikian
Lenghou Tiong membujuk. Sesudah dibujuk lagi sekian lamanya barulah si nona mau turun dari puncak itu.
Petangnya yang mengantarkan nasi adalah Ko Kin-beng. Dia memberi tahu bahwa Leng-sian rupanya masuk
angin atau demam sehingga terpaksa merebah di pembaringan. Tapi senantiasa nona itu terkenang kepada
Toasuko, waktu Ko Kin-beng hendak berangkat nona itu telah pesan jangan lupa membawakan arak.
Lenghou Tiong terkejut mendengar berita itu. Ia tahu sakitnya si nona tentu disebabkan jatuhnya semalam.
Sungguh kalau bisa ia ingin terbang pulang untuk menjenguk sang Sumoay.
Meski dia sudah lapar semalam sehari, tapi mangkuk yang berisi nasi itu hanya dipeganginya dengan
termangu-mangu, satu suap saja sukar menelan rasanya.
Ko Kin-beng tahu Toasuko dan Siausumoaynya saling mencintai, bila mendengar nona itu jatuh sakit, sudah
tentu Toasuko merasa cemas dan khawatir. Segera ia menghiburnya, "Toasuko, hendaklah jangan khawatir.
Mungkin karena hujan salju kemarin, maka Siausumoay telah masuk angin. Kita adalah orang yang berlatih
Lwekang, hanya penyakit ringan saja tentu tidak menjadi soal. Asal mengaso sehari dua hari tentu akan
sembuh kembali."
Siapa duga penyakit Leng-sian itu telah membikin nona lincah itu terpaksa merebah di pembaringan selama
belasan hari. Sampai Gak Put-kun dan istrinya sudah pulang dari Ko-san barulah nona itu disembuhkan dengan
bantuan Lwekang sang ayah yang tinggi. Ketika nona itu naik lagi ke puncak untuk menjenguk Lenghou Tiong,
sementara itu sudah lebih 20 hari berselang.
Berpisah selama itu, sudah tentu kedua muda-mudi itu merasa terharu dan bergirang.
Sesudah termangu-mangu saling pandang, tiba-tiba Leng-sian berseru kejut, "Toasuko, apakah engkau juga
sakit? Mengapa engkau menjadi begini kurus?"
"Tidak, aku tidak sakit," sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng. "Aku ... aku ...."
Mendadak Leng-sian paham duduknya perkara. Tak tertahan lagi ia menangis dan berkata dengan terputusputus,
"Ya, tentu ... tentu engkau khawatirkan diriku sehingga berubah begini kurus. O, Toasuko, sekarang aku
sudah sehat kembali."
Sambil menggenggam tangan si nona Lenghou Tiong berkata dengan suara perlahan, "Selama ini siang dan
malam aku selalu memandang ke arah jalanan, yang kuharapkan adalah saat-saat seperti sekarang ini. Berkat
Thian Yang Mahakasih, akhirnya engkau datang juga."
"Tapi aku malah sering melihat dirimu," kata Leng-sian.
"Melihat aku? Aneh, di mana?" tanya Lenghou Tiong dengan heran.
"Ya, aku sering melihat engkau," sahut si nona. "Waktu sakit, asal kututup mataku, segera aku melihat engkau.
Suatu hari badanku panas tak terkatakan, ibu mengatakan bahwa waktu itu aku terus mengigau dan terus
bicara dengan kau. Toasuko, ibu sudah mengetahui beradanya diriku di sini pada malam itu."
Wajah Lenghou Tiong menjadi merah. "Dan apakah ibu-guru marah?" tanyanya dengan rada khawatir.
"Ibu tidak marah, hanya ... hanya ...." sampai di sini wajah si nona menjadi merah jengah dan tidak dapat
meneruskan.
"Hanya apa?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Ah, aku tak mau menerangkan."
Melihat sikap si nona yang kikuk-kikuk malu itu, perasaan Lenghou Tiong terguncang, lekas-lekas ia tenangkan
diri lalu berkata, "Siausumoay, kau baru saja sembuh, seharusnya kau jangan naik ke sini pagi-pagi begini.
Tentang keadaanmu yang mulai sembuh, setiap hari bila Gosute dan Laksute mengirim ransum padaku juga
selalu mereka beri tahukan padaku."
"Jika demikian mengapa engkau menjadi kurus juga?" ujar Leng-sian.
Lenghou Tiong tertawa, sahutnya, "Sesudah kau sembuh segera aku pun akan gemuk kembali."
Sampai di sini mendadak angin dingin meniup tiba sehingga Leng-sian menggigil. Tatkala itu adalah permulaan
musim dingin, di puncak yang tinggi itu tiada tetumbuhan yang dapat menahan angin, tentu saja suhu di
puncak gunung itu sangat dingin. Cepat Lenghou Tiong berkata pula, "Siausumoay, badanmu belum kuat,
penyakitmu tidak boleh kambuh lagi, sebaiknya kau lekas pulang saja. Lain hari bila hari cerah dan sang surya
bersinar dengan gemilangnya barulah kau datang lagi untuk menjenguk aku."
"Tidak, aku tidak dingin," sahut Leng-sian. "Sekarang sudah musim dingin, kalau tidak turun salju, tentu angin
bertiup dengan keras. Entah mesti tunggu sampai kapan baru hari akan cerah dan matahari keluar."
Lenghou Tiong menjadi cemas, katanya, "Tapi kalau kau sampai jatuh sakit lagi, tentu aku ... aku ...."
Melihat air muka Lenghou Tiong yang pucat kurus itu, diam-diam Leng-sian membatin, "Jika aku benar-benar
sakit lagi, tentu dia akan ikut jatuh sakit juga. Bila demikian halnya tentu akan membikin kapiran dia di atas
puncak terpencil ini."
Maka katanya kemudian, "Baiklah, aku akan lantas pulang. Hendaklah kau menjaga diri baik-baik, jangan
banyak minum arak, makanlah sekenyangnya. Akan kukatakan kepada ayah bahwa badanmu lemah dan perlu
diberi makanan yang lebih baik."
"Ah, tidak perlu," ujar Lenghou Tiong. "Selang beberapa hari lagi juga aku akan gemuk kembali. Adik yang
baik, bolehlah kau pulang saja."
Dengan wajah bersemu merah dan rasa penuh arti si nona memandangi wajah sang Toasuko. Tanyanya
kemudian, "Kau ... kau memanggil apa padaku?"
Lenghou Tiong menjadi rikuh, sahutnya, "O, aku memanggil tanpa pikir, harap Siausumoay jangan marah."
"Mengapa aku mesti marah? Aku justru senang jika kau memanggil demikian padaku," kata Leng-sian.
Perasaan Lenghou Tiong menjadi hangat, sungguh ia ingin terus memeluk si nona. Tapi lantas terpikir bahwa
sang Sumoay adalah nona yang agung laksana dewi, mana boleh memperlakukannya secara kasar. Katanya
dengan suara halus, "Siausumoay, kalau turun ke bawah nanti hendaklah berjalan dengan perlahan-lahan dan
hati-hati, jangan nakal seperti biasanya. Bila lelah harus berhenti dan mengaso dulu."
Leng-sian mengiakan. Perlahan-lahan ia berjalan ke tepi puncak karang itu.
Mendengar langkah si nona mulai menjauh, mendadak Lenghou Tiong berpaling, terlihat Leng-sian masih
berdiri di tepi karang dan sedang memandang kepadanya dengan termangu-mangu. Seketika sinar dua pasang
mata saling menatap sampai agak lama barulah Lenghou Tiong membuka suara, "Berangkatlah, Siausumoay!
Hati-hatilah di tengah jalan."
Si nona mengiakan, baru sekarang ia benar-benar turun dari puncak itu.
Seharian itu Lenghou Tiong merasakan hatinya sangat senang, rasa senang yang sebelumnya tak pernah
dialaminya. Sambil duduk di atas batu besar itu, tanpa merasa tertawa riang. Mendadak ia bersiul panjang
nyaring, suaranya menggema di angkasa dan berkumandang di lembah pegunungan itu.
Besok paginya kembali hujan salju lagi. Benar juga Leng-sian tidak datang lagi. Yang mengantarkan ransum
bagi Lenghou Tiong adalah Lak-kau-ji. Dari sang Sute ini Lenghou Tiong mendapat tahu bahwa Leng-sian baikbaik
saja, bahkan kesehatannya kian hari kian bertambah kuat. Sudah tentu Lenghou Tiong sangat girang.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Selang belasan hari lagi, datanglah Leng-sian dengan membawa sekeranjang bacang. Sesudah berhadapan si
nona mengamat-amati sang Suko sejenak, lalu berkata dengan tersenyum, "Memang betul, kau benar-benar
telah banyak lebih gemuk."
"Dan kau pun sudah pulih seluruhnya, Siausumoay," kata Lenghou Tiong demi tampak cahaya muka si nona
yang kemerah-merahan itu. "Melihat keadaanmu ini, sungguh aku merasa sangat senang."
"Toasuko, sudah sekian lamanya aku tidak datang menjenguk engkau, apakah kau marah padaku?" tanya
Leng-sian.
Lenghou Tiong hanya tertawa sambil menggeleng.
"Setiap hari sebenarnya aku merecoki ibu agar aku diperbolehkan mengantar nasi untukmu, akan tetapi ibu
selalu melarang, katanya hawa sangat dingin, seakan-akan kalau aku naik ke sini tentu jiwaku akan terancam,"
kata Leng-sian. "Kujawab Toasuko siang dan malam tinggal di puncak setinggi itu, mengapa dia tidak apa-apa.
Ibu bilang Lwekang Toasuko cukup tinggi, aku tak bisa dibandingkan dengan kau. Toasuko, ibu telah memuji
Lwekangmu, apakah kau merasa senang?"
Lenghou Tiong mengangguk dengan tertawa. Katanya, "Aku sudah sangat merindukan guru dan ibu-guru,
diharap selekasnya aku dapat bertemu dengan beliau-beliau itu."
"Kemarin seharian aku membantu ibu membungkus bacang, diam-diam aku berpikir alangkah baiknya kalau
aku dapat membawa beberapa buah bacang untukmu. Tak terduga hari ini sebelum aku membuka mulut, tibatiba
ibu sudah menyuruh aku membawakan sekeranjang bacang ini untukmu."
"O, ibu-guru benar-benar sangat baik terhadapku," kata Lenghou Tiong terharu.
"Bacang ini baru saja diangkat dari dapur, masih hangat-hangat, biarlah aku membuka dua buah untuk kau
makan," kata Leng-sian sambil menjinjing keranjang bacang ke dalam gua. Lalu mulai membuka dua buah
bacang yang terbungkus daun bambu itu.
Segera Lenghou Tiong mengendus bau sedap yang menimbulkan selera makan. Ketika si nona dengan
tersenyum simpul mengangsurkan sebuah bacang padanya, tanpa bicara lagi segera ia mencaploknya sekali.
Ternyata bacang itu tidak dibuat dari daging, tapi isinya adalah campuran jamur, kacang, tahu dan lain-lain
sehingga rasanya tetap sangat lezat.
"Jamur itu adalah hasil petikanku, kemarin dulu aku dan Siau-lim-cu (si Lim cilik) pergi mencarinya ...."
"Siau-lim-cu?" Lenghou Tiong menegas.
"Ya," sahut Leng-sian dengan tertawa. "Ialah Lim-sute. Akhir-akhir ini aku selalu memanggil dia Siau-lim-cu.
Setengah harian aku dan Siau-lim-cu memetik jamur itu, tapi hasilnya hanya setengah panci saja. Namun
rasanya lumayan juga bukan?"
"Ya, memang enak sekali, sampai-sampai lidahku hampir-hampir ikut terkunyah," sahut Lenghou Tiong dengan
tertawa. "Eh, Siausumoay, sekarang kau tidak maki-maki Lim-sute lagi?"
"Mengapa tidak?" sahut Leng-sian. "Asal dia tidak menurut kata-kataku tentu juga kudamprat dia. Cuma paling
akhir ini dia sudah lebih baik, lebih penurut. Aku pun suka memuji dia, misalnya bila latihan pedangnya benar,
aku lantas memujinya."
"O, kau yang mengajar ilmu pedang padanya?"
"Ya, karena logat Hokkiannya kurang dipahami para Suheng, sedangkan aku pernah berkunjung ke Hokkian,
maka ayah lantas suruh aku memberi petunjuk-petunjuk padanya bila senggang," tutur Leng-sian. "Toasuko,
karena aku dilarang naik ke sini untuk menjenguk kau, saking kesalnya dan iseng aku lantas mengajar
beberapa jurus padanya. Baiknya Siau-lim-cu juga tidak terlalu bodoh, kemajuannya cukup pesat."
"Aha, kiranya Siausumoay telah merangkap menjadi guru, sudah tentu dia tidak berani membangkang pada
perintahmu," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Bab 28. Rahasia di Dalam Gua
"Juga tidak seluruhnya dia menurut padaku," ujar Leng-sian. "Misalnya kemarin aku suruh dia mengawani aku
pergi menangkap ayam hutan, tapi dia menolak. Katanya dia masih harus berlatih lebih giat kedua jurus 'Pekhong-
koan-jit' dan 'Thian-jwan-to-kwa' yang masih belum masak terlatih."
Lenghou Tiong rada heran. Katanya, "Baru beberapa bulan dia berada di Hoa-san dan sekarang dia sudah
berlatih sampai jurus-jurus 'Pek-hong-koan-jit' dan 'Thian-jwan-to-kwa' itu? Siausumoay, ilmu pedang Hoasan-
pay kita harus dipelajari menurut urut-urutannya dan tidak boleh terburu-buru ingin cepat."
"Kau jangan khawatir, masakah aku sembarangan mengajar padanya?" ujar Leng-sian. "Watak Siau-lim-cu
memang kepala batu, siang berlatih, malam juga berlatih. Untuk bicara dengan dia saja selalu dia tidak betah,
bicara sedikit saja sudah membelok kepada soal ilmu pedang lagi. Karena ketekunannya itu, ilmu pedang yang
harus dilatih tiga tahun oleh orang lain baginya hanya setengah tahun saja sudah dikuasainya. Terkadang aku
suruh dia mengiringi aku pergi bermain, selalu dia enggan-enggan kelihatannya."
Lenghou Tiong terdiam. Sekonyong-konyong ia merasa kesal tak terkatakan, bacang yang baru digigitnya dua
kali itu hanya dipegang saja di tangannya.
"Toasuko," Leng-sian menegur sambil menarik lengan bajunya, "apakah kau keselak, kenapa tidak bicara?"
Lenghou Tiong terkesiap, cepat-cepat ia jejalkan sisa bacang itu ke dalam mulut. Penganan yang tadinya
dirasakan sangat lezat itu mendadak sukar ditelannya.
Leng-sian tertawa terkikih-kikih, katanya sambil menuding sang Suko, "Jangan buru-buru, nanti gigimu ikut
tertelan."
Dengan senyum getir sebisanya Lenghou Tiong telan sisa bacang itu ke dalam perut. Pikirnya, "Mengapa aku
begini bodoh? Siausumoay memang suka bergerak, aku sendiri tidak dapat turun dari puncak ini, adalah jamak
kalau Siausumoay lantas minta Lim-sute mengawani dia. Mengapa pikiranku begini sempit dan
mengkhawatirkan urusan ini?"
Karena berpikir demikian, segera ia tenang kembali. Katanya dengan tertawa, "Rupanya bacang buatanmu ini
jauh lebih lezat daripada bacang lain, maka gigi dan lidahku hampir-hampir ikut kumakan sendiri ke dalam
perut."
Leng-sian terbahak-bahak tawa. Selang sejenak, ia berkata pula, "O, Toasuko yang harus dikasihani, sudah
sekian lamanya kau hidup sendirian di puncak karang ini, pantas kau menjadi rakus terhadap makanan yang
lezat."
Sesudah Leng-sian turun dari puncak situ, selang belasan hari pula baru nona itu naik lagi ke atas puncak.
Sekali ini dia membawa sebuah keranjang kecil berisi buah kering, kacang dan lain sebagainya.
Selama belasan hari itu, Lenghou Tiong benar-benar sangat rindu kepada si nona. Selama itu yang
mengantarkan ransum baginya adalah Liok Tay-yu. Bila Lenghou Tiong menanyakan tentang Siausumoaynya,
selalu air muka Liok Tay-yu kelihatan aneh dan serbasusah menerangkan. Tentu saja Lenghou Tiong merasa
curiga. Ia coba menanya dengan teliti, tapi tiada sesuatu keterangan memuaskan yang diperolehnya. Bilamana
pertanyaan berbelit-belit, maka terpaksa Liok Tay-yu menjawab, "Keadaan Siausumoay sangat baik, mungkin
Suhu melarang dia naik ke sini agar tidak mengganggu Toasuko."
Sekarang Siausumoay yang dirindukannya siang dan malam itu telah datang pula, sudah tentu Lenghou Tiong
sangat girang. Dilihatnya wajah si nona merah bercahaya, jauh lebih cantik daripada sebelum jatuh sakit. Tibatiba
timbul suatu pertanyaan dalam benak Lenghou Tiong, "Dia sudah segar bugar, mengapa selang sekian
lamanya baru naik lagi ke atas puncak ini? Apakah benar-benar dilarang oleh guru atau ibu-guru?"
Waktu berhadapan dengan Lenghou Tiong, mendadak wajah Leng-sian menjadi merah. Katanya, "Toasuko,
telah sekian lamanya aku tidak datang menjenguk engkau, apakah kau marah padaku?"
"Masakah aku marah padamu?" sahut Lenghou Tiong. "Tentu Suhu atau ibumu melarang kau naik ke sini,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bukan?"
"Ya. Ayah mendesak aku berlatih sejurus ilmu pedang yang baru. Katanya perubahan ilmu pedang ini sangat
ruwet. Bilamana aku datang ke sini tentu perhatianku akan terpecah."
"Ilmu pedang apakah itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Coba kau terka."
"Apakah 'It-ji-hui-kiam'?"
Leng-sian menggeleng. "Bukan," sahutnya.
"Apakah 'Beng-beng-kiam-hoat'?"
"Salah, coba terka lagi."
"Ya, tentu adalah Siok-li-kiam-hoat, bukan?"
"Wah, itu kan ilmu pedang andalan ibu, aku tidak memenuhi syarat untuk melatihnya," kata Leng-sian sambil
menjulurkan lidah. "Biarlah aku beri tahukan, yang kulatih adalah 19 jurus Giok-li-kiam-hoat!"
Lenghou Tiong rada terkejut, katanya, "Kau sudah mulai berlatih 19 jurus Giok-li-kiam? Ya, itu memang ilmu
pedang yang sangat ruwet."
Giok-li-kiam-hoat yang disebut itu meski hanya 19 jurus saja, tapi perubahannya sangat ruwet, kalau tidak
ingat dengan jelas setiap jurusnya, sukarlah untuk memainkannya dengan sempurna. Berdasarkan kemampuan
Leng-sian sekarang rasanya toh masih belum sesuai untuk berlatih Giok-li-kiam-hoat itu.
Dahulu Lenghou Tiong dan Leng-sian serta para Sutenya yang lain juga pernah menyaksikan guru dan ibu-guru
mereka saling gebrak dengan menggunakan ilmu pedang itu. Guru mereka telah menerjang dengan
menggunakan 19 jurus Giok-li-kiam-hoat saja untuk melayani, dan ternyata tidak kalah tangguhnya biarpun
harus menandingi belasan macam ilmu pedang dari aliran lain.
Tatkala itu mereka benar-benar takjub tak terhingga menyaksikan permainan ibu-gurunya itu. Segera Lengsian
merengek-rengek minta ibunya mengajarkan ilmu pedang itu. Tapi Gak-hujin berkata, "Usiamu masih
terlalu muda, pertama, Lwekangmu belum kuat, kedua, ilmu pedang itu terlalu ruwet. Sedikitnya usiamu sudah
lebih dari 20 tahun baru boleh melatih ilmu pedang ini. Pula Giok-li-kiam-hoat ini khusus digunakan untuk
mematahkan setiap ilmu pedang dari golongan lain, kalau melulu para Suhengmu sendiri yang bergebrak
dengan kau, akhirnya Giok-li-kiam ini akan berubah seakan-akan khusus ditujukan untuk mengalahkan Hoasan-
kiam-hoat saja. Jadi untuk melatihnya harus diiringi dengan ilmu pedang dari golongan lain. Untuk mana
pengetahuan umum anak Tiong adalah sangat luas, dia paham berbagai ilmu pedang golongan lain, kelak bila
dia ada waktu senggang dan kau pun sudah cukup umur, barulah kalian boleh sama-sama berlatih."
Kejadian itu sudah dua tahun yang lalu, selama itu hal mana tidak pernah disebut-sebut lagi. Tak terduga
sekarang Leng-sian sudah mulai berlatih.
"Syukurlah kalau Suhu mempunyai hasrat untuk melatih kau setiap hari," ujar Lenghou Tiong kemudian.
Maklum, di antara tokoh-tokoh Hoa-san-pay sekarang kecuali Lenghou Tiong yang pengetahuan umum sangat
luas dengan ilmu pedang dari berbagai golongan lain, hanya Gak Put-kun saja yang dapat melebihi muridnya
ini. Maka kalau Leng-sian sudah mulai berlatih Giok-li-kiam, tentulah Gak Put-kun sendiri yang melatihnya.
Tapi wajah Leng-sian kembali merah, katanya, "Mana ayah ada tempo buat melatih diriku. Adalah Siau-lim-cu
yang mengiringi latihanku setiap hari."
"O, Lim-sute maksudmu?" Lenghou Tiong menegas dengan heran. "Apakah dia juga paham sedemikian banyak
ilmu pedang dari golongan lain?"
"Tidak, dia hanya paham semacam ilmu pedang dari keluarga Lim mereka sendiri yaitu Pi-sia-kiam-hoat," sahut
Leng-sian dengan tertawa. "Kata ayah, meski daya serangan Pi-sia-kiam-hoat itu kurang kuat, tapi gerak
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
perubahannya sangat aneh dan dapat dibuat bermain ilmu pedang lain. Maka untuk melatih Giok-li-kiam-hoat
itu aku diperbolehkan memulai dengan iringan Pi-sia-kiam-hoat."
"O, kiranya demikian," kata Lenghou Tiong.
"Toasuko, apakah kau merasa kurang senang?" tanya Leng-sian tiba-tiba.
"Ah, tidak! Mengapa aku merasa kurang senang? Kau dapat meyakinkan ilmu pedang yang paling hebat dari
perguruan kita, untuk ini aku justru merasa girang bagimu, masakah aku tidak senang malah?"
"Akan tetapi kulihat air mukamu mengunjuk rasa kurang senang."
Lenghou Tiong paksakan tertawa, katanya, "Ah, mana bisa! Eh, sudah sampai jurus keberapa kau meyakinkan
Giok-li-kiam itu?"
Leng-sian tidak menjawab, selang agak lama baru berkata, "Eh, Toasuko, mestinya ibu akan menyuruh kau
latihan bersama aku. Sekarang Siau-lim-cu yang mewakilkan kau, makanya kau tidak suka, bukan? Namun,
Toasuko, lantaran kau belum boleh turun dari puncak ini, sedangkan aku tidak sabar menunggu dan ingin
lekas-lekas berlatih ilmu pedang hebat itu, makanya aku tidak menunggu kau lagi."
"Hahaha, kembali kau bicara seperti anak kecil lagi," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Kita adalah saudara
seperguruan, siapa saja yang latihan bersama kau juga sama saja."
Setelah merandek sejenak, lalu katanya pula dengan tertawa, "Tapi aku tahu kau lebih suka latihan bersama
Lim-sute daripada bersama aku."
Kembali air muka Leng-sian merah jengah, katanya, "Ngaco-belo! Kepandaian Siau-lim-cu kalau dibandingkan
kau masih ketinggalan jauh, apa untungnya bila aku latihan bersama dia?"
Lenghou Tiong tertawa, pikirnya, "Ya, Lim-sute baru beberapa bulan saja masuk perguruan, betapa pun cerdik
pandainya juga terbatas kemajuan yang diperolehnya."
Karena pikiran demikian, segera buyarlah rasa kesalnya tadi. Katanya pula dengan tertawa, "Mumpung kita
berada di sini, biarlah aku menjajal beberapa jurus, ingin kulihat sampai berapa majunya latihanmu ke-19
jurus Giok-li-kiam itu?"
"Bagus!" Leng-sian berseru girang. "Kedatanganku hari ini justru ... justru ...."
"O, justru ingin memamerkan ilmu pedangmu yang baru kau latih ini bukan?" sela Lenghou Tiong dengan
tertawa. "Baiklah, silakan mulai."
"Toasuko," kata Leng-sian sambil melolos pedang, "dalam hal ilmu pedang selamanya kau lebih kuat
daripadaku, tapi bila aku sudah sempurna meyakinkan Giok-li-kiam, tentu kau takkan dapat mengalahkan lagi.
Hayo, kenapa kau belum melolos pedang?"
"Tidak perlu buru-buru," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa sambil tangan kiri bergerak ke samping, menyusul
tangan kanan dengan cepat menusuk ke depan. Katanya, "Ini adalah Siong-hong-kiam-hoat dari Jing-sia-pay,
jurus ini disebut Siong-to-ji-lui (daun Siong rontok bergemuruh)."
Telapak tangan kanan itu ternyata digunakan sebagai pedang terus menusuk bahu Leng-sian.
Cepat si nona miringkan tubuh seraya melangkah mundur, pedang segera ditangkiskan ke telapak tangan
Lenghou Tiong sambil berseru, "Awas!"
"Jangan khawatir," ujar Lenghou Tiong. "Bila aku tak sanggup menangkis tentu aku akan melolos pedang."
"Kau berani melawan 19 jurus Giok-li-kiam dengan bertangan kosong saja?" tegur Leng-sian.
"Latihanmu sekarang belum sempurna, bilamana kelak kau sudah sempurna meyakinkannya tentu aku tidak
berani lagi melawan dengan tangan kosong."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dasar sifat Leng-sian memang suka menang, selama belasan hari ini telah tekun berlatih Giok-li-kiam dan
dirasakannya sudah maju pesat, andaikan digunakan melawan jago Kangouw nomor satu rasanya juga takkan
kalah. Siapa duga sekarang sang Toasuko berani memandang enteng padanya dan akan melawan ilmu
pedangnya yang baru dan lihai itu dengan tangan kosong saja. Keruan si nona kurang senang. Katanya dengan
muka bersungut, "Bila pedangku melukai kau, jangan kau marah padaku dan juga tak boleh lapor pada ayahibu
lho!"
"Sudah tentu," sahut Lenghou Tiong. "Boleh kau serang menurut kemampuanmu, bila kau sungkan-sungkan
malah akan kurang tampak kepandaianmu yang sejati."
Habis berkata, mendadak telapak tangan kiri terus membacok ke depan sambil berseru, "Awas!"
Leng-sian terkejut. "He, jadi tangan ... tangan kirimu juga digunakan sebagai pedang?" tegurnya.
Apabila serangan Lenghou Tiong barusan ini dilontarkan sungguh-sungguh, tentu Leng-sian sudah terluka. Tapi
dia telah menahan tenaga serangannya, katanya dengan tertawa, "Di dalam Siong-hong-kiam-hoat dari Jingsia-
pay ini adalah suatu jurus yang disebut Hoan-jiu-kiam (ilmu pedang bertukar tangan), pedang yang
digunakan terkadang di tangan kanan dan lain saat bisa berpindah ke tangan kiri sehingga musuh sukar
menduganya."
Leng-sian terkesiap. "Hah, aneh benar ilmu pedang itu? Lihat seranganku!" bentaknya sambil balas menusuk.
Dari gaya serangan si nona yang luwes itu Lenghou Tiong dapat melihat jurus serangan itu adalah satu gerakan
bagus dari Giok-li-kiam-hoat. Pujinya, "Hebat sekali serangan ini. Hanya kurang cepat!"
"Kurang cepat katamu? Bila lebih cepat lagi tentu sebelah bahumu sudah terpapas," omel Leng-sian.
"Boleh coba kau memapasnya!" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. Tangan kanannya tergenggam seperti
pedang terus memotong ke lengan kiri si nona.
Diam-diam Leng-sian mendongkol karena dipandang enteng oleh Toasukonya. Ia putar pedangnya dengan
kencang, ke-19 jurus Giok-li-kiam yang baru dilatihnya semua belasan hari itu telah dikeluarkan seluruhnya.
Tapi di antara ke-19 jurus itu yang betul-betul dapat diingat olehnya hanya sembilan jurus saja dan dari
sembilan jurus ini yang benar-benar dapat digunakan dengan lancar juga cuma enam jurus saja. Namun melulu
enam jurus saja sudah membawa daya tekanan yang mahadahsyat, di mana ujung pedangnya mengarah selalu
memaksa Lenghou Tiong menjauhkan diri.
Terpaksa Lenghou Tiong mengitari si nona. Setiap kali menyerobot maju untuk menyerang, selalu dia terdesak
mundur lagi oleh ilmu pedang si nona yang lihai itu. Suatu kali ketika dia buru-buru melompat mundur, tak
terduga punggungnya telah tertumbuk pada suatu batu dinding yang menonjol sehingga terasa kesakitan.
Leng-sian sangat senang karena berada di atas angin. "Apakah kau belum mau melolos pedang?" tegurnya
dengan tertawa.
"Belum, sebentar lagi!" sahut Lenghou Tiong. Ia pancing agar si nona mengeluarkan seluruh Giok-li-kiam-hoat
sejurus demi sejurus.
Akan tetapi sesudah sekian lamanya, dilihatnya bolak-balik yang dimainkan Leng-sian melulu enam jurus saja.
Maka pahamlah Lenghou Tiong apa sebabnya. Mendadak ia melangkah maju setindak, telapak tangannya
lantas menebas sebagai pedang sambil membentak, "Awas, serangan maut ketiga dari Siong-hong-kiam-hoat!"
Melihat serangan dahsyat itu, lekas-lekas Leng-sian mengangkat pedang menangkis ke atas. Justru gerakan si
nona ini memang sudah dalam perhitungan Lenghou Tiong, segera tangan yang lain menjulur ke depan dan
jarinya menyelentik, "trang", dengan tepat batang pedang si nona kena diselentik.
Seketika genggaman tangan Leng-sian kesakitan sehingga tidak kuat memegang pedangnya, kontan
senjatanya mencelat ke atas terus menyelonong jatuh ke dalam jurang.
Wajah Leng-sian pucat pasi dan memandangi Lenghou Tiong dengan terkesima, hanya bibir bawah tertampak
digigit kencang-kencang.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hati Lenghou Tiong berdebur-debur juga, pikirnya, "Wah, kenapa aku ini? Sudah belasan tahun aku mengiringi
latihan Siausumoay, selamanya aku berlaku sungkan dan mengalah padanya, mengapa sekarang aku berbuat
demikian, makin lama makin tak genah perbuatanku ini."
Tiba-tiba Leng-sian berpaling ke arah jurang dan berseru, "Pedang ... pedang itu!"
Kembali Lenghou Tiong terkesiap. Ia tahu pedang yang digunakan Siausumoaynya itu adalah pedang mestika
yang disebut "Pik-cui-kiam" yang dihadiahkan sang Suhu padanya tatkala nona itu berulang tahun ke-18,
sekarang pedang itu terjatuh ke dalam jurang yang sukar dijajaki dalamnya, terang sukar diketemukan
kembali. Sekali ini dirinya benar-benar telah berbuat suatu kesalahan besar.
Melihat Lenghou Tiong berdiri dengan agak linglung, mendadak Leng-sian membanting kaki terus putar tubuh
dan tinggal pergi.
"Siausumoay!" seru Lenghou Tiong.
Namun Leng-sian tidak menggubrisnya lagi, langsung ia turun dari puncak gunung itu. Lenghou Tiong
memburu sampai tepi puncak dan bermaksud hendak mencegahnya, tapi sebelum tangan menyentuh lengan si
nona, ia urungkan maksudnya itu. Dilihatnya si nona sudah lantas turun ke bawah tanpa menoleh.
Diam-diam Lenghou Tiong sangat masygul. Biasanya ia suka mengalah pada Sumoay cilik itu, mengapa tadi
sekali selentik telah membuat pedangnya mencelat? Jangan-jangan ... jangan-jangan lantaran dia telah diajari
Giok-li-kiam oleh ibu-guru, lalu aku merasa iri? Tapi, ah, tidak, tidak mungkin iri. Giok-li-kiam adalah ilmu
pedang yang dipelajari oleh murid wanita Hoa-san-pay, bila kepandaiannya tambah tinggi, sudah tentu aku ikut
girang. Ai, boleh jadi sudah terlalu lama aku dikurung sendirian di puncak terpencil ini sehingga watakku
berubah keras. Semoga sedikit hari lagi Siausumoay akan naik lagi ke sini, biarlah aku akan memberi
penjelasan dan minta maaf padanya.
Akan tetapi hari kedua, ketiga, dan keempat tetap tidak kelihatan bayangan si nona. Selama tiga malam
Lenghou Tiong tidak bisa tidur nyenyak. Perasaannya bergolak, pikirannya kusut. Sudah dikarangnya banyak
perkataan yang akan diutarakan kepada Siausumoaynya, namun si nona tetap tidak naik lagi ke atas puncak.
Selang 18 hari pula, akhirnya datang juga Leng-sian, tapi tidak sendirian, melainkan bersama Liok Tay-yu.
Mestinya banyak sekali yang hendak dibicarakan Lenghou Tiong kepada Siausumoaynya, tapi lantaran ada Liok
Tay-yu, maka sukar untuk diucapkan.
Sesudah makan, Liok Tay-yu dapat memahami perasaan Lenghou Tiong. Katanya, "Toasuko, Siausumoay,
sudah lama kalian tidak bertemu, biarlah kalian mengobrol lebih lama, aku akan pulang saja lebih dulu."
"Eh, Lak-kau-ji, kau akan melarikan diri ya? Tidak bisa, datang bersama harus pergi bersama juga!" kata Lengsian
dengan tertawa sambil berbangkit.
"Siausumoay, aku memang ingin bicara dengan kau," kata Lenghou Tiong.
"Baiklah, Toasuko ingin bicara, Lak-kau-ji juga harus berdiri di situ, dengarkan petuah Toasuko!" kata si nona
dengan tertawa.
"Tidak, aku bukan memberi petuah, tapi kau punya pedang itu ...."
"Hal itu sudah kukatakan kepada ibu bahwa tanpa sengaja pedangku telah jatuh ke dalam jurang dan sukar
diketemukan, ibu tidak marah padaku, sebaliknya beliau menghibur dan berjanji akan memberikan pedang lain
yang lebih bagus," ujar Leng-sian. "Sudahlah, Toasuko, kejadian yang sudah lalu itu buat apa dibicarakan lagi?"
Semakin si nona anggap soal sepele pada kejadian itu, semakin tidak enak bagi Lenghou Tiong. Katanya
kemudian, "Sesudah aku lepas dari kurungan di sini, kelak pasti akan kucarikan sebatang pedang bagus
untukmu."
"Sesama saudara seperguruan, apa artinya sebatang pedang saja?" kata Leng-sian dengan tersenyum. "Apalagi
pedang itu akulah yang kurang hati-hati dan jatuh ke dalam jurang. Adalah salahku sendiri karena tidak becus,
masakah aku menyalahkan orang lain. Biarlah kita menerima nasibnya sendiri-sendiri seperti sering dikatakan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Siau-lim-cu padaku."
Kembali Lenghou Tiong merasa getir demi mendengar nama Siau-lim-cu disebut pula. Mendadak teringat
olehnya. "Tempo hari waktu aku menjajal Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan Siausumoay, mengapa aku
menggunakan Siong-hong-kiam-hoat dari Jing-sia-pay untuk menandingi dia? Jangan-jangan timbul maksudku
sengaja hendak merendahkan Pi-sia-kiam-hoat Lim-sute karena segenap anggota keluarganya telah diubrakabrik
dan menjadi korban keganasan orang-orang Jing-sia-pay? Jadi aku sengaja hendak mengolok-olok Limsute?
Sebab apakah jiwaku menjadi begitu sempit?"
Segera terpikir pula olehnya, "Tempo hari waktu jiwaku terancam di bawah pukulan Ih Jong-hay, adalah berkat
bantuan Lim-sute yang tidak kenal bahaya, dia telah menyindir Ih Jong-hay sehingga jago Jing-sia-pay itu
urung membinasakan aku. Jadi sesungguhnya aku telah utang budi padanya. Mengapa sekarang aku malah
mengolok-olok dia?"
Berpikir demikian, ia merasa malu sendiri. Katanya pula sambil menghela napas, "Pembawaan Lim-sute adalah
sangat pintar, juga sangat giat, selama berapa bulan ini mendapat petunjuk dari Siausumoay, tentu
kemajuannya sangat pesat. Cuma sayang untuk setahun lamanya aku tidak boleh turun dari sini, kalau tidak,
tentu aku akan membantu latihannya sekadar membalas utang budiku padanya."
Leng-sian mengerut kening, tanyanya, "Siau-lim-cu itu berbudi padamu? Selamanya aku belum pernah
mendengar hal ini."
"Sudah tentu dia sendiri takkan berkata kepada orang lain," ujar Lenghou Tiong. Lalu ia pun menceritakan
kejadian dahulu itu.
"Pantas ayah suka memuji dia mempunyai jiwa kesatria sejati, kiranya dia pernah menolong kau dari ancaman
bahaya," kata Leng-sian. Sampai di sini tiba-tiba ia tertawa dan menyambung pula, "Sebenarnya sukar untuk
dipercaya bahwa hanya dengan sedikit kepandaiannya saja dia mampu menyelamatkan Toasuko dari Hoa-sanpay
serta membela putri ketua Hoa-san-pay dan membunuh putra kesayangan ketua Jing-sia-pay. Sungguh
siapa pun takkan menduga bahwa 'pendekar besar' yang suka membela keadilan itu ternyata hanya sekian saja
kepandaiannya."
"Soal kepandaian dapatlah dilatih, tapi jiwanya yang luhur adalah pembawaan, di sinilah perbedaan antara
orang baik dan jahat," kata Lenghou Tiong.
"Sering aku pun mendengar ayah dan ibu berkata demikian tentang diri Siau-lim-cu," kata Leng-sian dengan
tersenyum. "Toasuko, ada suatu sifat yang sama di antara kau dan Siau-lim-cu."
"Sifat apa?" tanya Lenghou Tiong.
"Sifat angkuh, kalian berdua sama-sama angkuhnya," kata si nona dengan tertawa.
Mendadak Liok Tay-yu menyela, "Toasuko adalah pemimpin di antara para Suheng dan Sute, sudah
sepantasnya mesti angkuh sedikit. Tapi bocah she Lim itu kutu macam apa? Berdasarkan apa dia main angkuhangkuhan
segala?"
Dari nadanya terang sekali dia sangat tidak suka kepada Lim Peng-ci.
Keruan Lenghou Tiong melengak. Tanyanya, "Lak-kau-ji, bilakah Lim-sute telah berbuat kesalahan padamu?"
"Dia sih tidak pernah bersalah apa-apa padaku, hanya saja para Suheng dan Sute tidak biasa melihat tingkah
lakunya itu," kata Liok Tay-yu dengan marah-marah.
"He, ada apakah Laksuko ini? Kenapa kau selalu memusuhi Siau-lim-cu?" kata Leng-sian. "Dia adalah Sute,
sebagai Suko mestinya kau tidak perlu bercekcok dengan dia."
"Asalkan dia berkelakuan baik-baik saja takkan menjadi soal, kalau tidak, orang she Liok inilah yang pertamatama
takkan mengampuni dia," kata Liok Tay-yu dengan menjengek.
"Sebenarnya kelakuannya apa yang kurang baik?" tanya Leng-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Dia ... dia ...." namun Lak-kau-ji tidak melanjutkan lagi.
"Sebenarnya apakah urusannya? Mengapa kau enggan menerangkan?" desak Leng-sian.
"Sudahlah, mudah-mudahan Lak-kau-ji yang salah mata dan keliru sangka," kata Liok Tay-yu.
Tiba-tiba muka Leng-sian bersemu merah dan tidak menanya lagi. Ia coba mengobrol urusan lain dengan
Lenghou Tiong. Ketika Liok Tay-yu menyatakan hendak pulang, segera si nona ikut berangkat bersama.
Lenghou Tiong termenung-menung di tepi puncak menyaksikan menghilangnya kedua bayangan orang itu di
balik bukit sana. Tiba-tiba dari arah lereng bukit berkumandang suara nyanyian Leng-sian yang nyaring merdu.
Karena sejak kecil dibesarkan bersama, maka sudah sering Lenghou Tiong mendengar Leng-sian bernyanyi.
Tapi lagu yang dinyanyikannya sekarang ternyata belum pernah didengarnya. Biasanya yang dinyanyikan Lengsian
adalah lagu-lagu rakyat berpantun dari daerah Siamsay, tapi sekarang lagu itu kedengarannya sangat
aneh, suaranya terdengar jelas, tapi entah apa artinya?
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Entah sejak kapan Siausumoay telah mempelajari lagu baru yang sangat
merdu ini, lain kali bila dia naik lagi ke sini akan kuminta dia menyanyi pula."
Namun mendadak dadanya serasa digodam sekali dengan keras, tiba-tiba ia sadar, "Ah, itu adalah lagu rakyat
daerah Hokkian. Pasti Lim-sute yang mengajarkan dia."
Malam itu perasaan Lenghou Tiong bergolak dengan hebat, betapa pun sukar pulas. Telinganya selalu
mendenging-denging suara nyanyian Leng-sian yang halus merdu dengan lagunya yang tak dikenal itu.
Beberapa kali Lenghou Tiong mencela dirinya sendiri percuma saja sebagai seorang laki-laki sejati, hanya
disebabkan sebuah lagu saja sudah kelabakan demikian. Walaupun tahu tak perlu memusingkan diri, tapi suara
nyanyian si nona masih terus menggoda pikirannya. Saking pedihnya, mendadak ia angkat pedang dan
membacok serabutan ke arah dinding batu. Mendadak suatu arus tenaga dahsyat membanjir keluar dari dalam
perut, pedangnya menusuk cepat ke depan, gayanya dan kekuatannya ternyata adalah "pedang tunggal tiada
bandingannya dari keluarga Ling" yang pernah diciptakan Gak-hujin itu. Terdengarlah suara "crat" sekali, tahutahu
pedangnya menancap ke dalam dinding batu.
Lenghou Tiong sampai kaget sendiri. Ia merasa betapa pun kemajuan yang dicapainya selama beberapa bulan
ini juga tidak mungkin mampu menusuk dinding batu sampai pedangnya menancap hingga dekat gagang.
Untuk ini diperlukan tenaga dalam yang kuat, sekalipun guru dan ibu-gurunya juga belum tentu mampu.
Untuk sejenak Lenghou Tiong sampai kesima sendiri, waktu ia tarik kembali pedangnya, tiba-tiba tangannya
merasakan bahwa dinding batu itu sesungguhnya sangat tipis, hanya beberapa senti tebalnya, di balik dinding
batu sana adalah tempat luang.
Lenghou Tiong sangat heran, ia coba menusuk lagi dengan pedangnya, "pletak", tahu-tahu pedangnya patah
menjadi dua. Kiranya tenaga yang digunakan sekali ini kurang kuat sehingga dinding yang beberapa senti
tebalnya itu sukar ditembus lagi.
Segera ia keluar gua dan mengambil sepotong batu besar, sekuatnya ia hantamkan batu itu ke dinding.
Sesudah dikepruk beberapa kali, bubuk batu rontok bertebaran. Dari suara benturan batu itu, sayup-sayup
terdengar di balik dinding itu ada suara kumandang yang membalik, terang di belakang dinding itu ada tempat
yang cukup luas.
Sekuatnya ia angkat batu dan mengepruk lagi beberapa kali. "Blang", mendadak dinding batu itu ambruk
sebuah lubang, batu besar itu sampai jatuh di lantai sebelah dengan mengeluarkan suara gemuruh yang
berkumandang tak berhenti. Bahkan batu itu masih terus menggelinding ke bawah. Kiranya di balik dinding
sebelah sana adalah tanah yang miring menurun.
Sebenarnya perasaan Lenghou Tiong tadi sedang masygul, demi diketahui di balik gua itu ada "dunia lain",
seketika segala pikirannya yang menyebalkan itu terbang ke awang-awang. Segera ia pergi mengambil batu
untuk memukul dinding pula. Hanya menghantam beberapa kali lagi, sekarang lubang itu sudah sebesar
kepala. Sesudah mengepruk lebih lebar sedikit, segera ia menyalakan obor dan menerobos lewat lubang itu.
Ternyata di balik sana adalah sebuah lorong yang sempit. Waktu ia mengawasi bagian bawah, mendadak ia
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
merinding. Ternyata tepat di sebelah kakinya sendiri menggeletak suatu rangka tengkorak.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa di situ akan terdapat tengkorak yang menakutkan itu. Ia pikir janganjangan
tempat ini adalah kuburan. Tapi mengapa tengkorak ini tidak berbaring sebagaimana mestinya,
sebaliknya menggeletak dengan tengkurap. Melihat gelagatnya lorong yang sempit itu toh bukan jalan kuburan.
Waktu ia periksa tengkorak itu, pakaian yang terpakai itu sudah hancur menjadi debu, di samping tengkorak
ada sepasang kapak besar yang mengilap tersorot oleh cahaya api obor. Ia coba angkat sebuah kapak itu,
rasanya sangat berat, sedikitnya ada 40 kati lebih. Sekenanya ia coba ayun kapak itu ke arah dinding, "crat",
tahu-tahu sepotong batu terkapak jatuh.
Kembali Lenghou Tiong terperanjat. Tak terduga kapak itu ternyata tajam luar biasa, ia pikir tentu senjata
tinggalan seorang tokoh dunia persilatan angkatan tua. Ketika diperiksanya tempat bekas bacokan kapak itu
ternyata sangat licin seperti pisau memotong tahu saja. Bahkan dilihatnya pula di sebelah lain juga penuh
bekas-bekas bacokan kapak. Setelah merenung sejenak, mau tak mau ia terkesima.
Ia coba memeriksa ke bawah dengan penerangan obor, ternyata dinding sekitar lorong itu penuh bekas
bacokan kapak. Keruan kejutnya tak terkirakan. Kiranya lorong itu adalah buatan orang yang kini telah menjadi
tengkorak dengan bantuan kapaknya yang tajam itu. Ya, tentu karena suatu sebab orang itu telah terkurung di
dalam perut gunung, terpaksa ia menggunakan kapak tajam itu untuk membuat jalan keluar. Akan tetapi
sayang, ketika jaraknya dengan tempat gua hanya tinggal beberapa senti saja orang itu sudah kehabisan
tenaga dan binasa. Ai, sungguh malang nasib orang itu. Demikian pikir Lenghou Tiong.
Setelah menyusur lorong itu sekian lamanya, ternyata masih belum mencapai ujung lorong. Mau tak mau
Lenghou Tiong sangat kagum terhadap keuletan serta kesaktian orang yang membuat lorong dengan kapak itu.
Sesudah beberapa jauhnya lagi, tiba-tiba tertampak di bawah tanah ada dua rangka tengkorak lagi. Sebuah
duduk bersandar dinding, sebuah lagi jatuh meringkuk. Melihat keadaan itu, Lenghou Tiong pikir orang yang
terkurung di dalam perut gunung itu ternyata lebih dari satu orang. Ia merasa heran pula, sebab tempat itu
adalah wilayah kekuasaan Hoa-san-pay, orang luar tidaklah mudah datang ke situ. Apa barangkali tengkoraktengkorak
itu adalah para tokoh angkatan tua dari Hoa-san-pay sendiri yang telah melanggar undang-undang
perguruan sehingga dihukum kurung di situ?
Ia coba maju ke depan lagi. Mendadak dari sebelah kiri tertampak ada cahaya. Segera ia membelok ke kiri
mengikuti jalanan lorong itu. Tiba-tiba di depannya kelihatan sebuah gua batu yang amat luas, sedikitnya
cukup untuk berkumpul ribuan orang. Di ujung kiri atas gua itu ada sebuah lubang, dari situlah cahaya
menembus masuk dari luar.
Sementara itu hari sudah pagi, walaupun sinar matahari belum keras, tapi keadaan di dalam gua itu sudah
cukup jelas terlihat. Ternyata di tengah gua itu ada tujuh kerangka tengkorak, ada yang duduk, ada yang
berbaring, di samping masing-masing tengkorak itu terdapat senjata-senjata. Di samping lima tengkorak
adalah pedang, dua lainnya adalah senjata-senjata yang aneh bentuknya, yang sebuah seperti godam dan
yang lain adalah gada segitiga dan penuh bergigi tajam.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Orang-orang yang menggunakan kedua macam senjata aneh dan kapak
tadi pasti bukan anak murid Hoa-san-pay, hanya kelima orang yang memakai pedang itulah adalah tokoh
angkatan tua golongannya sendiri."
Ia coba ambil sebatang pedang. Ternyata lebih pendek daripada pedang biasa, namun badannya lebih lebar
hampir sekali lipat, bobotnya juga sangat berat. Katanya di dalam hati, "Ini adalah pedang Thay-san-pay,
kiranya pemakai senjata ini adalah Locianpwe dari Thay-san-pay."
Waktu diperiksanya lagi keempat pedang yang lain, yang sebatang lemas dan enteng, yaitu senjata dari Hingsan-
pay. Sebatang pedang lagi bentuknya berlengkung-lengkung seperti keris, yakni satu di antara pedang
yang biasa dipakai orang Heng-san-pay. Pedang yang lain lagi tampaknya tidak tajam, hanya ujungnya yang
mengilap, itulah senjata yang suka digunakan tokoh Ko-san-pay. Pedang terakhir baik bentuknya maupun
bobotnya terang adalah senjata yang biasa dipakai Hoa-san-pay sendiri.
Lenghou Tiong tambah heran, jadi kelima tokoh angkatan tua itu adalah dari Ngo-gak-kiam-pay, tapi mengapa
bisa mati bersama di situ? Apa barangkali mereka bertempur dengan lima orang musuh dan akhirnya telah
gugur bersama seluruhnya?
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ia coba memeriksa dinding-dinding gua itu dengan bantuan obor, maka tertampaklah di dinding sebelah kiri
sana ada terukir enam belas huruf besar yang berbunyi: "Ngo-gak-kiam-pay rendah dan tidak tahu malu,
bertanding kalah, mencelakai lawan secara pengecut." Huruf-huruf itu terang diukir dengan senjata yang
sangat tajam sehingga dalamnya sampai dua-tiga senti di dinding batu itu. Selain itu masih ada huruf-huruf
kecil yang lebih banyak, isinya semuanya mencaci maki dan mencemoohkan Ngo-gak-kiam-pay.
Diam-diam Lenghou Tiong mendongkol setelah membaca tulisan-tulisan itu, pikirnya, "Kiranya orang-orang ini
telah ditawan dan dikurung di sini oleh Ngo-gak-kiam-pay kami. Saking gemasnya karena tak bisa berbuat
apa-apa, mereka lantas mengukir tulisan di sini untuk memaki lawan. Perbuatan demikian inilah yang rendah
dan pengecut."
Tapi lantas terpikir lagi, "Entah siapakah orang-orang ini? Bila mereka sudah bermusuhan dengan Ngo-gakkiam-
pay tentulah bukan manusia baik-baik. Cuma aneh, entah mengapa mereka masing-masing telah mati
dengan diiringi seorang Cianpwe dari Ngo-gak-kiam-pay kami."
Ia coba memeriksa dinding itu pula, dilihatnya pula ada sebaris huruf yang berbunyi: "Hoan Siong dan Tio Ho
mematahkan Hing-san-kiam-hoat di sini." Di sebelah tulisan ini adalah ukiran-ukiran orang-orangan yang
sangat banyak, setiap dua orang-orangan menjadi satu kelompok, yang satu pakai pedang dan yang lain
menggunakan kapak. Dari gaya ukiran orang-orangan itu teranglah orang yang berkapak itu sedang menghajar
orang yang berpedang.
Waktu ia periksa lagi tulisan di sebelahnya, tiba-tiba ia menjadi gusar. Ternyata tulisan itu berbunyi: "Thio
Seng-hong dan Thio Seng-in menghancurkan Hoa-san-kiam-hoat di sini."
Lenghou Tiong tidak rela ilmu pedang perguruannya dicemoohkan orang. Di dunia ini tokoh yang mampu
melawan Hoa-san-kiam-hoat saja dapat dihitung dengan jari, apalagi hendak mengalahkannya, lebih-lebih
mengatakan "telah menghancurkan Hoa-san-kiam-hoat", sungguh besar amat mulut si pembual itu.
Bab 29. Lelaki Sejati Tidak Sudi Minta Belas Kasihan Orang Lain
Dengan gusar ia lantas menggunakan pedang Thay-san-pay yang dijemputnya tadi dan membacok sekuatnya
pada barisan huruf itu. "Trang", terdengar suara nyaring dengan percikan lelatu api. Sebuah huruf ukiran itu
sampai terpapas sebagian. Dari bacokan itu pula segera dapat diketahui bahwa batu dinding itu keras luar
biasa, untuk mengukir tulisan di atas dinding itu terang tidaklah mudah, tapi toh sudah dilakukan oleh
Cianpwe-cianpwe almarhum itu, ini menandakan betapa hebat tenaga tokoh-tokoh angkatan tua itu.
Tiba-tiba dilihatnya pula di samping tulisan-tulisan itu adalah ukiran orang-orangan berpedang yang hanya
terdiri dari beberapa goresan saja, namun dari gayanya jelas kelihatan adalah sejurus ilmu pedang Hoa-sanpay
sendiri yang disebut "Yu-hong-lay-gi" (burung Hong datang menyembah). Di depannya adalah sebuah ukirukiran
orang-orangan yang menggunakan sejenis senjata yang lurus seperti tombak atau toya. Ujung senjata
itu lurus mengacung kepada ujung pedang lawannya, caranya sangat bodoh dan lucu.
Diam-diam Lenghou Tiong mencemoohkan. Masakah jurus serangan "Yu-hong-lay-gi" yang lihai dengan
berbagai perubahan ikutan itu akan ditangkis dengan cara sebodoh itu.
Akan tetapi ketika dia teliti lebih jauh, terlihat gaya tubuh ukiran orang-orangan yang bersenjata seperti toya
yang diacung lurus ke ujung pedang lawan itu agaknya siap dengan macam-macam perubahan yang aneh dan
sukar diduga.
Sambil mengikuti lukisan yang hanya terdiri dari beberapa goresan itu, makin lama Lenghou Tiong makin
heran. Ia tidak habis mengerti bahwa jurus "Yu-hong-lay-gi" yang mempunyai daya tekanan ikutan yang lihai
itu dapat dipatahkan begitu saja hanya dengan sekali acungkan toya lawan. Pikir punya pikir, dari heran ia
menjadi kagum dan akhirnya merasa khawatir pula.
Saking asyiknya ia termenung memandangi ukiran-ukiran itu sehingga lupa waktu, mendadak tangannya
terasa sakit dan panas, kiranya api obor sudah menyala sampai pangkalnya dan tangannya terselomot. Cepat
ia lemparkan sisa obor itu.
Sementara itu di dalam gua sudah sangat terang. Ia coba mengamat-amati ukiran bagian lain. Ternyata orangorangan
itu sekarang sedang memainkan sejurus "Jong-siong-eng-khik" (cemara tua menyambut tamu).
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Semangatnya seketika terbangkit. Jurus inilah yang dahulu telah dilatihnya berulang-ulang sampai sebulan
lamanya sehingga akhirnya merupakan salah satu jurus serangan yang paling diandalkannya. Ada tiga kali ia
menggunakan jurus itu dan setiap kali musuhnya selalu keok.
Ia coba melihat ukiran orang-orangan yang menggunakan toya itu. Ternyata toya yang dipegangnya ada lima
batang yang mengarah lima tempat berbahaya lawannya. Keruan ia heran, mengapa satu orang menggunakan
lima batang toya?
Tapi sesudah diperhatikan lebih jauh, tahulah dia bahwa sebenarnya yang digunakan hanya sebatang toya
saja. Empat batang lain hanya gambaran bayangan toyanya yang digerakkan dengan cepat sekaligus
mengarah lima tempat bahaya di tubuh lawannya. Ia terperanjat. Serangan yang sekaligus mengarah lima
tempat ini cara bagaimana harus dilayani dengan jurus Jong-siong-eng-khik yang juga mengutamakan
kecepatan itu, terang jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang lihai ini kembali dikalahkan lagi oleh permainan toya
itu.
Begitulah, makin melihat gambar-gambar ukiran itu, makin cemas Lenghou Tiong. Ternyata semua jurus ilmu
pedang perguruan yang paling lihai seluruhnya terlukis di situ. Celakanya setiap jurus serangan itu selalu kena
dipatahkan oleh setiap gerakan toya lawan secara aneh, bahkan ukiran orang-orangan yang main toya itu
tampaknya sangat kaku dan bodoh menggelikan, namun titik arah toya lawan itu benar-benar sukar diduga
dan susah dielak.
Seketika itu kepercayaan Lenghou Tiong kepada ilmu silat Hoa-san-pay sendiri serasa lenyap semua. Ia merasa
biarpun akhirnya berhasil mewariskan seluruh kepandaian gurunya, bila ketemu dengan orang yang
memainkan toya seperti gambar ini, maka terang tiada jalan lain kecuali menyerah kalah. Jika demikian
halnya, lalu apa gunanya belajar ilmu pedang lagi? Masakah Hoa-san-kiam-hoat benar-benar begini tak becus?
Kalau melihat kerangka-kerangka tengkorak di dalam gua itu sedikitnya orang-orang itu sudah meninggal
berapa puluh tahun yang lalu, mengapa selama itu Ngo-gak-kiam-pay toh masih tetap menjagoi dunia
Kangouw dan belum pernah terdengar ilmu pedang salah satu golongan itu kena dikalahkan orang?
Sampai sekian lamanya Lenghou Tiong termenung-menung seperti patung di dalam gua itu, sampai akhirnya
tiba-tiba terdengar suara orang berseru di luar sana, "Toasuko! Toasuko! Di manakah kau?"
Lenghou Tiong terkejut dan cepat-cepat menerobos kembali ke dalam gua sendiri. Didengarnya suara Liok Tayyu
sedang berteriak-teriak di tepi jurang sana. Segera ia melompat keluar dan memutar ke belakang sepotong
batu cadas di sebelah samping sana, lalu menjawab, "Aku ada di sini! Ada urusan apakah, Laksute?"
Liok Tay-yu mendekatinya menurutkan arah suara, katanya girang, "Kiranya Toasuko lagi duduk di sini. Aku
mengantarkan daharan untukmu. Aku menjadi khawatir ketika tidak tampak kau berada di dalam gua."
Kiranya sehari suntuk Lenghou Tiong terpesona oleh ukiran ilmu silat di dalam gua rahasia itu sehingga lupa
daratan dan tahu-tahu sekarang sudah petang. Gua tempat Lenghou Tiong merenungkan dosanya itu
sebenarnya tidak dalam, tapi Liok Tay-yu tidak berani sembarangan masuk, ia hanya melongok dari luar, ketika
tidak tampak sang Suheng, ia lantas mencarinya di luar sehingga tentang lubang di dinding gua yang
menembus lorong di bawah tanah itu tidak diketahui olehnya.
"Aku harus selalu di atas puncak sini, masakah boleh pergi ke mana-mana?" ujar Lenghou Tiong. Tiba-tiba ia
berseru heran, "He, kenapakah mukamu itu?"
Kiranya di atas jidat sebelah kanan Lak-kau-ji itu ditempel koyok, bahkan darah tampak merembes keluar,
terang baru saja terluka.
Maka Liok Tay-yu menjawab, "Ah, tak apa-apa. Pagi tadi dalam latihan aku kurang hati-hati sehingga tergores
pedang."
Namun dari sikapnya yang dongkol dan penasaran itu, Lenghou Tiong menduga tentu ada persoalan lain. Ia
coba menanya lagi, "Laksute, sebenarnya sebab apa terluka? Masakah aku pun hendak kau bohongi?"
"Toasuko," sahut Tay-yu dengan marah-marah, "bukanlah aku bohong padamu, aku hanya khawatir kau ikut
marah, maka lebih baik tak kuceritakan."
"Siapakah yang melukai jidatmu itu?" tanya pula Lenghou Tiong lagi. Ia heran, sebab sesama saudara
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
seperguruannya biasanya sangat akur satu sama lain, selamanya tak pernah terjadi perkelahian.
"Tadi pagi aku berlatih dengan Lim-sute," tutur Tay-yu. "Dia baru saja berhasil mempelajari jurus Yu-hong-laygi,
karena sedikit lena sehingga jidatku dilukai olehnya."
"Ah, adalah soal biasa bila terjadi sedikit cedera di kala sesama Suheng dan Sute berlatih," ujar Lenghou Tiong.
"Dan kenapa kau mesti marah? Mungkin Lim-sute belum matang latihannya sehingga tak dapat menguasai
pedangnya, hendaklah kau memakluminya. Cuma kau sendiri pun agak gegabah. Jurus Yu-hong-lay-gi itu
memang sangat hebat, mestinya kau harus melayani dia dengan hati-hati."
"Itu pun sudah kumaklumi, hanya saja aku tidak menyangka bahwa bo ... bocah she Lim itu baru beberapa
bulan masuk perguruan sudah lantas dapat memainkan jurus Yu-hong-lay-gi itu. Padahal dulu sampai lima
tahun aku belajar barulah Suhu mengajarkan jurus serangan itu padaku."
Lenghou Tiong melengak juga mendengar ucapan Liok Tay-yu yang penasaran itu. Memang betul, Lim Peng-ci
baru beberapa bulan belajar dan tahu-tahu sudah mahir menggunakan jurus Yu-hong-lay-gi, kemajuan ini
benar-benar teramat pesat. Padahal kalau tidak mempunyai bakat yang baik dan latihan dasar yang kuat,
kemajuan yang terlalu pesat itu kelak malah akan membikin celaka dia sendiri. Entah mengapa sebegitu cepat
Suhu mengajarkan jurus serangan lihai itu padanya?
Terdengar Liok Tay-yu sedang bercerita pula, "Waktu itu aku agak terkejut, sedikit lena saja lantas kena dilukai
olehnya. Siapa tahu Siausumoay malah bertepuk tangan menyoraki, serunya, 'Nah, Lak-kau-ji, muridku saja
kau tak bisa menang, selanjutnya kau jangan berlagak pahlawan lagi di hadapanku!'
"Sementara itu bocah she Lim itu merasa bersalah karena melukai aku, dia telah mendekati aku hendak
membalut lukaku, tapi telah kutendang hingga terjungkal. Siausumoay lantas marah padaku, omelnya, 'Lakkau-
ji, dengan maksud baik orang hendak membalut lukamu, kenapa kau malah menendangnya. Kalau kalah
jangan lantas marah!'
"Coba, Toasuko, kiranya jurus serangan itu adalah Siausumoay yang diam-diam mengajarkan kepada bocah
she Lim itu."
Sesaat itu perasaan Lenghou Tiong terasa getir tak terkatakan. Ia tahu jurus Yu-hong-lay-gi itu sangat sukar
dilatih, sekarang Siausumoay berhasil mengajarkannya kepada Lim-sute, terang tidak sedikit jerih payah yang
dicurahkannya. Pantas sudah sekian lamanya nona itu tidak datang menjenguknya, kiranya setiap hari dia
berada bersama Lim-sute.
Ia cukup kenal sifat Gak Leng-sian yang suka bergerak dan tidak sabaran mengerjakan hal-hal yang rumit.
Gadis itu pun suka menang, maka untuk kepentingan sendiri dia masih mau tekun belajar ilmu pedang.
Sebaliknya kalau suruh dia mengajar orang lain, terang dia pasti tidak sabaran. Tapi sekarang dia ternyata
sudah mengajarkan jurus Yu-hong-lay-gi yang ruwet itu kepada Lim Peng-ci, maka dapat dibayangkan betapa
suka dan besar perhatiannya kepada Sute itu.
Sejenak kemudian, sesudah perasaannya tenang kembali, barulah ia berkata pula, "Mengapa kau bisa berlatih
pedang dengan Lim-sute?"
"Rupanya apa yang kukatakan padamu kemarin itu membikin Siausumoay kurang senang, waktu pulang,
sepanjang jalan dia terus mengomel," tutur Tay-yu. "Pagi-pagi tadi aku lantas diseret olehnya agar latihan
bersama. Sedikit pun aku tidak punya prasangka apa-apa, apa sih halangannya latihan bersama? Siapa duga
diam-diam Siausumoay sudah mengajarkan beberapa jurus lihai kepada bocah she Lim itu, lantaran itulah aku
telah kecundang."
Makin jelaslah bagi Lenghou Tiong persoalannya. Tentu hari-hari terakhir ini hubungan Gak Leng-sian dengan
Lim Peng-ci semakin akrab, maka tidaklah heran bila Liok Tay-yu yang lebih akrab dengan dirinya telah
membelanya dan suka menyindir dan mencari perkara kepada Lim Peng-ci.
"Tentunya kau sering mengomeli Lim-sute, bukan?" ia coba tanya.
"Pemuda yang hina dina begitu apakah tidak pantas dimaki?" sahut Tay-yu dengan mendongkol. "Dia juga
takut padaku, bila aku mendamprat dia, selamanya dia tidak berani membalas. Bila bertemu dengan aku juga
lekas menyingkir pergi. Sungguh tidak sangka bocah itu ternyata ... ternyata begitu keji. Hm, padahal betapa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sih kepandaiannya? Kalau dia tidak dijagoi Siausumoay masakah dia mampu melukai aku?"
Perasaan Lenghou Tiong juga sangat gemas. Tiba-tiba teringat olehnya jurus serangan aneh yang khusus
digunakan untuk mengalahkan Yu-hong-lay-gi itu, segera ia jemput sebatang ranting kayu dan bermaksud
mengajarkan jurus itu kepada Liok Tay-yu. Tapi lantas terpikir lagi olehnya, "Agaknya Laksute sudah terlalu
benci kepada Lim-sute, bila jurus serangan ini sampai digunakan olehnya, sedikitnya Lim-sute pasti akan
terluka parah. Dan kalau Suhu dan Sunio mengusut perkara ini, tentu kami berdua akan menerima hukuman
berat."
Maka urunglah dia mengajarkan jurus aneh itu kepada Liok Tay-yu, katanya kemudian, "Ya, apa mau dikata
lagi, anggaplah kekalahanmu itu sebagai suatu pengalaman. Lain kali jangan ceroboh lagi. Urusan di antara
sesama saudara seperguruan tak perlu dipikirkan lagi."
"Toasuko," seru Liok Tay-yu sambil menatap tajam kepada Lenghou Tiong, "aku sih tidak menjadi soal, tapi
masakah kau anggap sepele urusan ini?"
Lenghou Tiong tahu yang dia maksudkan adalah urusan Gak Leng-sian. Pedih rasa hatinya sehingga air
mukanya berubah seketika.
Tay-yu merasa menyesal atas ucapannya yang menusuk perasaan Toasuko itu, cepat ia menambahkan, "Ya,
aku ... aku yang salah omong."
"Kau tidak salah omong," kata Lenghou Tiong sambil memegang tangan sang sute. "Masakah aku tidak
memerhatikan persoalannya? Hanya saja .... Ah, Laksute, untuk selanjutnya kita tak perlu membicarakan
urusan ini lagi."
"Baik," sahut Tay-yu. "Toasuko, jurus Yu-hong-lay-gi itu pun dahulu kau pernah mengajarkan padaku. Untuk
selanjutnya tentu akan kulatih lebih baik agar bocah she Lim itu mengetahui ajaran Toasuko lebih hebat atau
ajaran Siausumoay yang lebih bagus."
Lenghou Tiong tersenyum pedih, katanya, "Sebenarnya, sebenarnya jurus itu pun tiada sesuatu yang luar
biasa."
Melihat sikap sang Suheng yang lesu itu, Tay-yu menyangka tentu Toasuheng itu merasa patah hati lantaran
dijauhi oleh Siausumoaynya, maka ia pun tidak berani tanya lagi.
Sesudah Liok Tay-yu pergi, Lenghou Tiong pejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga. Kemudian ia
menyalakan obor kayu cemara yang berminyak itu dan pergi memeriksa pula ukiran-ukiran di dinding gua
belakang.
Mula-mula ia selalu teringat kepada cara bagaimana Gak Leng-sian mengajar ilmu pedang kepada Lim Peng-ci,
sampai lama sekali ia tak bisa memusatkan perhatiannya. Goresan-goresan ukiran di dinding itu seakan-akan
berubah menjadi bayangan Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci, yang satu sedang mengajar dan yang lain sedang
belajar dengan mesranya. Yang terbayang-bayang selalu tampang Lim Peng-ci yang cakap itu. Tanpa merasa ia
menghela napas, pikirnya, "Tampang Lim-sute berpuluh kali lebih bagus daripadaku, usianya juga jauh lebih
muda, hanya satu-dua tahun lebih tua daripada Siausumoay, sudah tentu mereka berdua dapat bergaul lebih
rapat."
Mendadak dilihatnya ukiran orang-orangan yang menggunakan pedang sedang menusuk ke depan, caranya
dan gayanya mirip sekali dengan "jurus serangan tunggal keluarga Ling" yang pernah dimainkan Gak-hujin
tempo hari. Lenghou Tiong terkejut. Pikirnya, "Jurus serangan itu terang adalah ciptaan ibu-guru sendiri,
mengapa bisa terukir lebih dulu di dinding gua ini? Sungguh sangat aneh."
Waktu ia perhatikan lebih teliti ukiran itu, barulah diketahui bahwa jurus serangan ukiran itu ada perbedaan
cukup mencolok dengan jurus serangan ciptaan Gak-hujin. Serangan menurut ukiran itu lebih kuat dan lebih
sederhana, sebaliknya serangan Gak-hujin itu mempunyai gerakan ikutan yang banyak dan sukar diduga, maka
juga lebih lihai.
Diam-diam Lenghou Tiong manggut. Kiranya serangan ciptaan ibu-gurunya itu sesuai dengan gaya tokoh
angkatan lama, pantas terlihat ada persamaannya. Jika demikian, jangan-jangan berbagai jurus ilmu pedang
yang terukir di sini ini banyak yang belum diketahui oleh guru dan ibu-guru. Apakah mungkin Suhu sendiri
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
belum lagi komplet mempelajari ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri yang teramat tinggi dan sukar dijajaki itu?
Kemudian dia memerhatikan pula gaya serangan toya lawan dalam ukiran itu. Toya itu tetap mengacung lurus
ke depan, ujung toya tepat mengarah ujung pedang. Pedang dan toya terukir menjadi satu garis lurus.
"Celaka!" diam-diam Lenghou Tiong berseru demi melihat garis lurus antara toya dan pedang itu. Tanpa
merasa timbul lagi rasa khawatirnya yang sukar diuraikan. Ujung pedang dan toya saling beradu, toya lebih
keras dan pedang agak lemas, jika kedua pihak sama-sama mengerahkan tenaga, maka pedang pasti akan
patah, sedang toya tentu akan terus mengarah ke depan dan sukar untuk dielakkan. Jalan satu-satunya ialah
lepaskan senjata dan bertekuk lutut minta ampun.
Semalam suntuk itu entah berapa ratus kali dia mondar-mandir di dalam gua belakang itu, selama hidupnya
belum pernah merasakan pukulan batin begitu hebat. Pikirnya, "Ngo-gak-kiam-pay kami, terutama Hoa-sanpay,
selamanya diakui sebagai golongan terkemuka di dunia persilatan, siapa duga ilmu silat yang dianutnya
sebenarnya begini jelek dan tidak tahan sekali gempur. Menurut jurus serangan dalam ukiran dinding itu, ada
sebagian besar sampai-sampai guru dan ibu-guru juga tidak mengetahui, tapi biarpun dapat meyakinkan ilmu
pedang perguruan sendiri secara sempurna dan melebihi Suhu juga tiada gunanya. Asalnya pihak lawan tahu
cara mematahkannya, tidak urung jago terpandai dari golongan sendiri juga terpaksa tekuk lutut minta ampun,
jika tidak mau minta ampun terpaksa harus korbankan jiwa."
Begitulah dengan lesu ia berjalan kian kemari di dalam gua sehingga tanpa merasa hari sudah pagi. Ia coba
memeriksa lagi ukiran-ukiran lain. Dilihatnya jurus-jurus ilmu pedang Heng-san-pay, Thay-san-pay, Ko-sanpay
dan Hing-san-pay juga mengalami nasib yang sama dengan Hoa-san-pay, semuanya kena dikalahkan
lawan secara total sehingga jalan satu-satunya yang terakhir adalah tekuk lutut dan minta ampun jika tidak
mau mati.
Lenghou Tiong adalah orang cerdas, pengalamannya luas, banyak ilmu pedang dari golongan lain sudah pernah
dilihatnya. Tapi anehnya setiap jurus serangan yang lihai dari ilmu pedang itu selalu kena ditundukkan oleh
lawan.
Dia tidak habis mengerti macam orang apakah orang-orang yang bernama Hoan Siong, Tio Ho, Thio Seng-hong
dan Thio Seng-in itu? Mengapa begitu besar hasrat mereka mengukirkan jurus-jurus serangan yang dapat
menghancurkan ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay kami, sebaliknya nama kebesaran mereka malah sama
sekali tak terkenal di dunia persilatan, bahkan Ngo-gak-kiam-pay masih tetap tersohor selama ini?
Tiba-tiba timbul suatu pikirannya, "Mengapa aku tidak menghapus ukiran-ukiran ini dengan kapak tajam itu?
Dengan demikian kehormatan Ngo-gak-kiam-pay akan tetap dipertahankan dan anggaplah aku tidak pernah
menemukan gua rahasia ini."
Segera ia jemput sebuah kapak dan diangkat tinggi-tinggi. Namun ia tertegun lagi ketika melihat macammacam
jurus serangan yang aneh dan hebat itu. Sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berseru sendiri,
"Seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan, kenapa mesti menipu orang dan menipu dirinya
sendiri?"
Ia tidak jadi melenyapkan ukiran itu. Ia keluar lagi ke depan gua, sesudah berpikir sampai lama, kemudian ia
datang lagi ke gua belakang untuk memeriksa ukiran-ukiran di dinding itu. Begitulah ia sebentar masuk dan
sebentar keluar, entah sudah berapa kali dia mondar-mandir, tanpa terasa hari sudah petang lagi. Tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang, kiranya Leng-sian yang mengantar daharan untuknya.
Dengan girang Lenghou Tiong memapak ke tepi tebing dan berseru, "Siausumoay!"
Saking terharunya sampai suaranya rada gemetar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjawab. Sesudah naik
ke atas, ia taruh keranjang nasi itu di atas meja batu, lalu putar tubuh dan tinggal pergi, sekejap saja ia tidak
pandang Lenghou Tiong.
Keruan Lenghou Tiong menjadi gugup, cepat ia berseru pula, "Siausumoay, kenapakah kau?"
Tapi Leng-sian hanya mendengus saja dan segera melompat turun ke bawah tebing. Biarpun berulang-ulang
Lenghou Tiong memanggilnya lagi tetap dia tidak menjawab dan tidak menoleh.
Saking terguncang perasaannya sehingga Lenghou Tiong tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia coba
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membuka tutup keranjang daharan, isinya tetap satu bakul nasi, dua mangkuk sayuran seperti biasanya. Untuk
sekian lamanya ia memandangi daharan itu dengan termangu-mangu seperti orang linglung.
Beberapa kali ia ingin makan, tapi hanya satu-dua suap saja sudah terasa kering mulutnya dan sukar
mengunyah, akhirnya dia tidak jadi makan lagi. Pikirnya, "Jika Siausumoay marah padaku, mengapa dia sendiri
masih mengantar daharan untukku? Jika tidak marah padaku, kenapa satu patah kata saja tidak bicara padaku,
bahkan melirik sekejap juga tidak. Jangan-jangan Laksute jatuh sakit, maka Siausumoay yang menggantikan
dia mengantar nasi. Tapi kan masih ada Gosute, Jitsute dan lain-lain yang dapat mewakilkan dia, buat apa
mesti Siausumoay sendiri yang mengantar?"
Pikirannya bergolak memikirkan diri Gak Leng-sian sehingga tentang ilmu silat yang terukir di dinding gua
belakang itu terlupa olehnya.
Petang esoknya, kembali Leng-sian mengantarkan nasi lagi. Akan tetapi tetap tidak memandang dan tidak
bicara apa-apa, malahan waktu turun dari puncak gunung itu dia telah menyanyikan lagu rakyat daerah
Hokkian dengan merdunya.
Keruan hati Lenghou Tiong semakin pedih seperti disayat, pikirnya, "Kiranya dia sengaja hendak menusuk
perasaanku."
Petang hari ketiga, tetap Gak Leng-sian yang mengantarkan daharan bagi Lenghou Tiong. Seperti sebelumnya,
dia taruh keranjang nasi di atas meja batu, lalu putar tubuh hendak pergi.
Lenghou Tiong benar-benar tidak tahan lagi, cepat ia berteriak, "Nanti dulu, Siausumoay, aku ingin bicara
padamu!"
Leng-sian berpaling dan menjawab, "Ada apa? Silakan bicara."
Melihat sikap si nona yang dingin sebagai es itu, Lenghou Tiong menjadi gelagapan, "Kau ... kau ...."
"Aku kenapa?" tanya si nona.
Padahal biasanya Lenghou Tiong sangat lincah, mulutnya juga tajam, tapi sekarang menghadapi sang Sumoay
yang dicintainya itu ternyata tidak sanggup mengucapkan apa-apa.
"Kau tidak mau bicara, biarlah aku pergi saja," ujar Leng-sian sambil melangkah pergi lagi.
Keruan Lenghou Tiong tambah gelisah. Ia tahu sekali sudah pergi, paling cepat baru besok petangnya nona itu
dapat datang lagi. Jika urusannya tidak dibicarakan sekarang juga, apakah dirinya dapat tahan siksaan batin
semalam suntuk ini? Apalagi kalau melihat sikap si nona yang dingin itu, bisa jadi besok dia tidak akan datang
lagi, bahkan seminggu atau sebulan juga tidak datang, kan bisa runyam?
Saking gugupnya, tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menarik lengan baju si nona sambil berseru, "Siausumoay!"
"Lepaskan!" mendadak Leng-sian membentak dengan gusar sambil mengibaskan tangannya. Tak tersangka
terdengarlah "bret", lengan bajunya terobek satu potong sehingga kelihatan lengannya yang putih bersih itu.
Leng-sian tersipu-sipu malu, dengan gusar ia membentak, "Kau ... kau berani!"
"O, maaf Siausumoay!" cepat Lenghou Tiong memberi penjelasan. "Aku ... aku tidak sengaja."
Cepat Leng-sian menutupi lengan yang terbuka itu dengan lengan baju sebelah lain. Lalu menegur dengan
suara tak sabar, "Sebenarnya apa maksudmu?"
"Siausumoay," sahut Lenghou Tiong, "aku merasa tidak mengerti sebab apakah kau bersikap demikian padaku?
Bila memang benar aku bersalah padamu, biarpun kau menusuk sepuluh atau dua puluh kali di tubuhku
dengan pedangmu juga aku takkan ... takkan menyesal biar mati sekalipun."
"Huh, kau adalah Toasuheng, masakah kami berani padamu?" jengek Leng-sian. "Jangankan bilang menusuknusuk
tubuhmu, asalkan kau tidak menusuk-nusuk orang saja sudah cukup dibuat terima kasih."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Sudah kurenungkan, tapi aku benar-benar tidak tahu bilakah aku pernah bersalah kepadamu?" ujar Lenghou
Tiong.
"Kau tidak tahu? Kau suruh Lak-kau-ji mengadu biru kepada ayah dan ibu, apakah sekarang kau masih belum
tahu?"
"Aku suruh Lak-kau-ji mengadu biru kepada guru dan ibu-guru?" Lenghou Tiong menegas dengan heran.
"Mengadu tentang apa? Mengadu ... mengadu dirimu?"
"Ya, kau tahu bahwa ayah dan ibu sayang padaku, biarpun mengadu diriku juga takkan berguna, maka kau
sengaja ... sengaja mengadu ... hm, kau masih berlagak pilon, apa kau benar-benar tidak tahu?"
Tiba-tiba Lenghou Tiong paham duduknya perkara, perasaannya bertambah pedih. Katanya kemudian, "Apakah
karena Laksute terluka ketika berlatih dengan Lim-sute, hal ini telah diketahui guru dan ibu-guru, lalu Lim-sute
telah didamprat, bukan?"
"Latihan di antara sesama saudara seperguruan, jika sedikit lengah saja kan bukan sengaja hendak melukai
orang? Tapi ayah justru mengeloni Lak-kau-ji dan telah mendamprat Siau-lim-cu, katanya pula, kekuatan Siaulim-
cu belum waktunya untuk melatih jurus Yu-hong-lay-gi, maka aku dilarang mengajar dia lagi. Nah baiklah,
anggaplah kau yang menang! Akan tetapi aku ... aku pun takkan gubris padamu lagi, takkan menggubris kau
untuk selamanya."
Dahulu, sebelum Lim Peng-ci masuk perguruan Hoa-san-pay, bila Leng-sian marah kepada Lenghou Tiong,
sering nona itu pun mengatakan "aku takkan menggubris padamu lagi". Akan tetapi ucapan itu selalu disertai
dengan senyum dikulum, sedikit pun tiada maksud "tidak menggubris" secara sungguh-sungguh. Tapi sekali ini
sikap nona itu benar-benar garang dan nadanya dingin tegas.
Dengan rasa cemas Lenghou Tiong melangkah maju setindak, katanya, "Siausumoay, aku ...." sebenarnya ia
hendak membantah bahwa dirinya tidak pernah suruh Lak-kau-ji mengadu biru kepada sang guru, tapi lantas
terpikir olehnya, "Asalkan aku merasa tidak berdosa dan tidak pernah melakukan hal seperti itu, buat apa aku
mesti minta belas kasihan padanya?"
Karena itu ia tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
"Kau kenapa?" tanya Leng-sian.
"Aku ... aku tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong. "Kupikir seumpama Suhu benar-benar melarang kau
mengajar Lim-sute, hal ini toh bukan sesuatu yang luar biasa, kenapa kau sedemikian marah padaku?"
Muka Leng-sian menjadi merah, katanya, "Aku justru marah padamu, aku justru marah padamu! Hm, diamdiam
kau mengandung maksud jelek, kau sangka bila aku tidak mengajar ilmu pedang kepada Lim-sute, lalu
aku akan setiap hari datang ke sini untuk mengawani kau. Hm, aku justru takkan gubris lagi padamu."
Habis berkata, ia membanting sebelah kakinya di atas tanah, lalu putar tubuh dan tinggal pergi.
Kali ini Lenghou Tiong tidak berani menariknya lagi. Dengan rasa mendongkol dan penasaran kembali ia
mendengar nyanyian si nona yang nyaring merdu di bawah puncak. Ia coba melongok ke bawah gunung,
terlihatlah bayangan si nona yang ramping sedang menghilang di balik lereng sana. Tiba-tiba ia merasa
khawatir, "Aku telah menarik robek lengan bajunya, entah dia akan mengadukan kejadian ini kepada Suhu
tidak? Jika beliau menganggap perbuatanku ini tidak sopan, lantas ... lantas bagaimana baiknya? Bila sampai
tersiar, tentu aku akan dipandang hina oleh para Sute dan Sumoay yang lain."
Tapi lantas terpikir pula, "Ah, aku toh tidak sengaja berlaku kasar padanya. Seorang laki-laki sejati asalkan
merasa perbuatannya sendiri dapat dipertanggungjawabkan secara benar, peduli apa dengan pendapat orang
lain?"
Walaupun soal robeknya lengan baju Leng-sian tak dikhawatirkan lagi, tapi bila teringat kepada sikap si nona
yang begitu benci kepada dirinya hanya karena dilarang mengajar kepada Lim Peng-ci, sungguh perasaan
Lenghou Tiong menjadi pedih. Semula ia masih menghibur dirinya sendiri, mungkin Siausumoay yang masih
terlalu muda belia itu merasa kesepian, maka dicarinya seorang teman bermain yang usianya sebaya seperti
Lim-sute itu, maksud lain tidak ada. Namun bila dipikir bahwa Lim Peng-ci itu baru beberapa bulan berada di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hoa-san, tapi dia sudah dapat merebut hati si nona daripada dirinya yang dibesarkan bersama sejak kecil.
Teringat ini, kembali dia merasa pedih dan penasaran pula.
Malam itu, entah berapa ratus kali ia keluar-masuk gua dengan pikiran yang kusut. Besok paginya dia masih
terus mondar-mandir tanpa mengaso. Sampai petangnya, kali ini yang mengantarkan daharan ternyata Liok
Tay-yu adanya.
Sesudah menaruh keranjang daharan dan mengisikan nasi di dalam mangkuk, lalu ia berkata, "Toasuko,
silakan dahar!"
Lenghou Tiong mengiakan dan menerima mangkuk dan sumpitnya. Tapi hanya dua kali ia menyuap nasi ke
dalam mulut, lalu sukar untuk menelan lagi. Ia memandang sekejap ke bawah puncak dan perlahan-lahan
menaruh mangkuk sumpitnya.
"Toasuko, air mukamu tampak pucat, apakah badanmu kurang sehat?" tanya Tay-yu.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
"Jamur ini adalah aku yang petik untukmu, cobalah kau mencicipi rasanya," bujuk Tay-yu.
Karena tidak mau mengecewakan maksud baik sang Sute, Lenghou Tiong menyumpit dua potong jamur dan
dimakan, lalu memuji rasanya yang lezat. Padahal sedikit pun ia tidak dapat merasakan lezatnya makanan itu.
"Toasuko," tiba-tiba Tay-yu berkata dengan berseri-seri, "hendak kusampaikan suatu kabar baik. Sejak
kemarin guru dan ibu-guru telah melarang Siausumoay berlatih dengan Lim-sute."
"Kau dikalahkan Lim-sute, lalu mengadu kepada Suhu bukan?" tanya Lenghou Tiong dengan dingin.
Liok Tay-yu melonjak dan menyahut, "Siapa bilang aku dikalahkan dia? Aku ... aku kan demi ...." sampai di sini
mendadak ia tidak meneruskan lagi.
Sebenarnya Lenghou Tiong cukup paham terlukanya Liok Tay-yu hanya karena sedikit lena saja, kalau bicara
kepandaian sejati terang Lim Peng-ci bukan tandingannya. Sebabnya dia mengadu kepada Suhu sesungguhnya
demi untuk kepentingan dirinya, kiranya para Sute sama kasihan padaku karena mengetahui Siausumoay telah
menjauhi aku. Lebih-lebih Laksute yang paling akrab dengan aku, maka dia telah berusaha membela diriku.
Hm, seorang laki-laki sejati masakah mesti minta dikasihani orang lain? Demikian pikir Lenghou Tiong.
Sekonyong-konyong ia naik darah seperti orang gila, ia angkat mangkuk piring dan dilempar ke dalam jurang
semua sambil berteriak, "Siapa ingin kau ikut campur urusan!"
Keruan Tay-yu terkejut. Selamanya ia sangat menghormat dan mengindahkan Toasuko, siapa duga sekali ini
telah membuatnya sedemikian murka. Dengan takut ia melangkah mundur sambil berkata, "Toa ... Toasuko!
Jika aku bersalah, silakan kau menghajar aku saja."
Bab 30. Gak-hujin Menguji Ilmu Pedang Lenghou Tiong
Setelah melemparkan semua mangkuk piring ke dalam jurang, saat itu Lenghou Tiong telah angkat sepotong
batu dan hendak dilemparkan pula. Tapi demi mendengar ucapan Liok Tay-yu itu, mendadak ia menghela
napas panjang sambil membuang batu itu. Ia pegang kedua tangan Tay-yu dan berkata, "Maaf, Laksute,
perasaanku sendiri yang merasa kesal dan tiada sangkut paut dengan dirimu."
Tay-yu merasa lega. Katanya, "Biarlah kupulang untuk mengambilkan daharan lagi."
"Tidak, tidak perlu," kata Lenghou Tiong. "Selama beberapa hari ini aku memang tidak nafsu makan."
Tay-yu melihat daharan kemarin masih utuh, sedikit pun belum termakan. Ia menjadi khawatir. Katanya,
"Toasuko, kemarin kau pun tidak makan apa-apa?"
"Ya, tak apa-apa, memang beberapa hari ini aku tidak nafsu makan," sahut Lenghou Tiong sambil memaksakan
tertawa.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tay-yu tidak berani banyak omong lagi. Kemudian ia mohon diri buat pulang.
Besoknya sebelum matahari terbenam dia sudah datang membawakan daharan. Pikirnya, "Hari ini telah
kubawakan satu poci arak dan menambahi dua macam sayuran enak, betapa pun aku harus membujuk
Toasuko supaya makan sedikit banyak."
Setiba di dalam gua, dilihatnya Lenghou Tiong berbaring di atas batu besar itu dengan muka pucat dan kurus.
Agak terkejut ia. Segera katanya, "Toasuko, coba lihatlah apakah ini?"
Berbareng ia terus angkat botol arak dan membuka sumbatnya. Maka keluarlah bau arak yang harum.
Kegemaran Lenghou Tiong memang adalah minum arak, cepat ia terima botol arak itu terus ditenggaknya
sekaligus hingga setengah botol. "Ehmm, tidak jeleklah arak ini!" pujinya.
Tay-yu sangat senang. Segera ia ambil mangkuk dan berkata, "Biar kuisikan nasi untukmu."
"Tidak, tidak perlu! Aku tidak ingin makan," kata Lenghou Tiong sambil goyang tangan.
"Semangkuk saja," ujar Tay-yu, lalu mangkuk itu diisi nasi dengan penuh.
Melihat maksud baiknya itu terpaksa Lenghou Tiong menjawab, "Baiklah, habis minum arak barulah kumakan
nasinya."
Namun semangkuk nasi itu sampai akhirnya tetap tak dimakan oleh Lenghou Tiong. Ketika besoknya Tay-yu
datang lagi, ia melihat semangkuk nasi itu masih tetap tertaruh di atas meja batu, sedangkan sang Toasuko
masih tidur.
Dilihatnya kedua pipi Lenghou Tiong rada merah. Ia coba meraba dahinya, rasanya panas seperti dibakar. "He,
Toasuko, kau sakit?" tanyanya khawatir.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berseru, "Arak, arak, mana arak! Aku mau minum arak!"
Walaupun Liok Tay-yu telah membawakan arak lagi, tapi ia tidak berani memberinya, ia hanya menuangkan
semangkuk air dan disodorkan padanya.
Sekaligus Lenghou Tiong menghabiskan semangkuk air itu lalu berseru, "Arak bagus, arak enak!"
Habis itu lalu ia menjatuhkan diri pula di atas batu sambil terus menggumam, "Arak bagus, arak bagus!"
Melihat sakitnya tidak enteng, Tay-yu menjadi khawatir. Celakanya pagi tadi guru dan ibu-gurunya kebetulan
turun gunung karena ada urusan penting. Cepat ia berlari pulang untuk menyampaikan hal itu kepada Lo Teknau
dan saudara-saudara seperguruan yang lain.
Walaupun Gak Put-kun telah melarang para muridnya naik ke atas puncak kecuali orang yang ditugaskan
mengantar ransum untuk Lenghou Tiong, tapi sekarang sang Toasuko dalam keadaan sakit, kalau cuma pergi
menjenguknya rasanya juga tidak melanggar larangan itu. Namun demikian, para murid Hoa-san-pay itu pun
tidak berani naik ke atas puncak semua, lebih dulu Lo Tek-nau dan Nio Hoat, besoknya Si Tay-cu dan Ko Kinbeng
dan kemudian bergilir pula yang lain.
Pada hari pertama itu juga Liok Tay-yu telah memberitahukan hal sakitnya Toasuko kepada Gak Leng-sian
serta para saudara seperguruan akan pergi menjenguknya secara berkelompok-kelompok.
Rupanya waktu itu rasa dongkol Gak Leng-sian masih belum hilang, ia berkata, "Lwekang Toasuko sangat
tinggi, mana bisa dia jatuh sakit. Huh, aku tidak mau ditipu."
Penyakit Lenghou Tiong itu benar-benar rada berat, berturut-turut empat hari empat malam ia terus tak
sadarkan diri. Berulang-ulang Liok Tay-yu memohon dengan sangat kepada Leng-sian agar sudi naik ke atas
puncak untuk menjenguk sang Toasuko, untuk mana hampir-hampir saja ia berlutut kepada si nona.
Melihat kesungguhan Liok Tay-yu, akhirnya Leng-sian menjadi khawatir juga, segera ia naik ke atas bersama
Tay-yu. Dilihatnya muka Lenghou Tiong kurus celung, janggutnya tak terawat, sedikit pun tidak ganteng
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
seperti biasanya.
Leng-sian merasa menyesal, ia mendekati Lenghou Tiong dan memanggilnya dengan suara halus, "Toasuko,
aku datang menjenguk kau, hendaklah kau jangan marah lagi ya?"
Tapi Lenghou Tiong seperti orang linglung, matanya terbelalak lebar dan seperti bingung memandangi si nona,
seakan-akan sudah tidak kenal lagi padanya.
"Toasuko, aku inilah! Mengapa kau tidak gubris padaku?" seru Leng-sian pula.
Namun Lenghou Tiong tetap termangu-mangu saja, lewat agak lama akhirnya ia tertidur, sampai kemudian
Tay-yu dan Leng-sian pulang dia masih tetap belum mendusin.
Sakit Lenghou Tiong itu terus berlangsung hingga lebih sebulan, akhirnya sembuh juga dengan perlahan-lahan.
Selama lebih sebulan itu Leng-sian telah datang menjenguknya tiga kali. Waktu datang untuk kedua kalinya,
pikiran Lenghou Tiong sudah sadar dan merasa sangat senang demi melihat si nona.
Ketika datang untuk ketiga kalinya, Leng-sian telah membawakan beberapa potong penganan kesukaan sang
Toasuko. Waktu itu Lenghou Tiong sudah kuat berduduk, dia telah makan penganan yang dibawakan itu. Tapi
habis itu untuk seterusnya Leng-sian tidak pernah datang lagi.
Sesudah bisa berbangkit dan kuat berjalan, setiap hari Lenghou Tiong suka menantikan kedatangan sang
Sumoay di tepi tebing. Akan tetapi setiap kali yang terdengar bukanlah suara tindakan Siausumoaynya yang
lincah itu, sebaliknya yang muncul adalah Liok Tay-yu dengan langkahnya yang cepat.
Petang itu kembali Lenghou Tiong duduk termenung di tepi tebing dan memandang ke bawah. Tiba-tiba
dilihatnya dua sosok bayangan orang sedang mendatangi dengan cepat luar biasa. Yang berjalan di depan
adalah seorang wanita. Sesudah dekat, kiranya adalah guru dan ibu-gurunya. Saking girangnya ia sampai
berjingkrak dan berseru, "Suhu! Sunio!"
Hanya sekejap saja Gak Put-kun dan istrinya sudah melompat ke atas tebing puncak tertinggi itu. Tangan Gakhujin
menjinjing sebuah keranjang nasi.
Menurut peraturan Hoa-san-pay yang sudah turun-temurun, setiap murid yang dihukum kurung merenungkan
dosanya di atas puncak gunung itu, murid-murid yang lain dilarang naik ke situ untuk bicara padanya. Siapa
duga sekarang Gak Put-kun dan istrinya malah datang sendiri untuk menjenguknya.
Sudah tentu girang Lenghou Tiong tak terhingga, cepat ia berlutut dan menyembah, serunya sambil merangkul
kedua kaki sang guru, "O, Suhu, Sunio, sungguh murid sangat rindu kepada kalian!"
Gak Put-kun cukup kenal watak muridnya yang berperasaan lembut. Sebelum datang dia sudah mencari tahu
apa sebabnya Lenghou Tiong jatuh sakit. Walaupun murid-muridnya tidak ada yang mengaku terus terang, tapi
dari kata-kata mereka telah dapat diduga pangkal penyakitnya adalah karena Leng-sian. Waktu dia tanya
putrinya itu, dari jawabannya yang tergagap-gagap dan mencurigakan itu ia menjadi lebih jelas duduknya
perkara.
Sekarang dilihatnya luapan perasaan Lenghou Tiong seperti anak kecil itu, meski sudah tinggal setengah tahun
di puncak terpencil itu toh wataknya masih belum berubah, maka dengan kurang senang ia telah mendengus.
Gak-hujin yang segera membangunkan Lenghou Tiong, dipandangnya sejenak anak murid kesayangan itu, ia
menjadi terharu dan kasihan demi melihat air muka Lenghou Tiong yang pucat dan kurus itu. Tanyanya dengan
suara halus, "Anak Tiong, aku dan Suhu baru saja pulang dari Kwan-gwa. Katanya kau telah sakit, apakah
sekarang sudah baik?"
Dada Lenghou Tiong terasa panas dan air mata hampir-hampir mengucur keluar, sahutnya, "Sekarang sudah
baik. Suhu dan Sunio tentu sangat capek dari perjalanan jauh dan baru pulang sudah lantas datang men ...
menjenguk murid."
Sampai di sini tak tertahankan lagi guncangan perasaannya, bicaranya menjadi parau dan tergagap. Cepat ia
berpaling untuk mengusap air matanya yang akan menetes.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dari dalam keranjang nasi Gak-hujin mengeluarkan semangkuk kuah Jinsom yang masih hangat-hangat,
katanya, "Ini adalah kuah Jinsom yang kubawa dari Kwan-gwa, akan bermanfaat bagi kesehatanmu, lekas kau
minum."
Sungguh terharu dan sangat berterima kasih bila Lenghou Tiong ingat bahwa sepulangnya dari perjalanan jauh,
pertama-tama sang guru dan ibu-guru sudah lantas menjenguknya dengan membawakan kuah Jinsom. Dengan
tangan rada gemetar ia terima mangkuk itu.
Melihat tangan murid kesayangan itu gemetar, Gak-hujin bermaksud menyuapnya. Tapi Lenghou Tiong sudah
lantas menyeruput habis kuah Jinsom itu, lalu mengucapkan terima kasih.
Gak Put-kun coba pegang nadi tangan Lenghou Tiong. Setelah diperiksa sejenak, dalam hal Lwekang ia merasa
muridnya itu malahan mundur daripada dahulu. Ia semakin kurang senang. Katanya, "Sakitnya sudah sembuh.
Hanya saja ... Tiong-ji, selama beberapa bulan tinggal di sini sebenarnya apa yang kau kerjakan? Mengapa
Lwekangmu tidak maju, sebaliknya malah mundur?"
"Ya, mohon Suhu dan Sunio mengampuni," sahut Lenghou Tiong sambil menyembah.
"Anak Tiong baru saja sakit dan kesehatannya belum lagi pulih, dengan sendirinya tenaga dalamnya tentu lebih
lemah daripada dulu. Memangnya kau mengharapkan dia semakin sakit semakin kuat Lwekangnya?" ujar Gakhujin
dengan tersenyum.
"Yang kuperiksa adalah Lwekangnya dan bukan lemah dan kuat badannya," kata Gak Put-kun. "Lwekang
golongan kita berbeda dengan golongan lain, asal giat berlatih, sekalipun di waktu tidur juga terus maju tiada
hentinya. Tiong-ji sudah belasan tahun belajar Lwekang, jika badannya tidak terluka, seharusnya tidak sampai
jatuh sakit. Pendek kata adalah karena dia tak dapat menguasai perasaan dan nafsu, makanya Lwekangnya
tiada kemajuan."
Gak-hujin tahu apa yang dikatakan sang suami memang tidak salah. Segera ia berkata kepada Lenghou Tiong,
"Anak Tiong, Suhumu sering memperingatkan padamu agar kau giat belajar, kau dikurung di atas puncak sini
untuk berlatih sendiri sebenarnya bukanlah dihukum benar-benar, tapi maksudnya agar supaya kau tidak
diganggu oleh urusan-urusan lain, agar di dalam setahun ini baik Lwekang maupun ilmu pedangmu dapat maju
dengan pesat. Tak tersangka ... tak tersangka, ai ...."
Lenghou Tiong sangat malu dan gugup, cepat ia menjawab, "Ya, murid sudah insaf akan kesalahannya, sejak
kini tentu akan belajar dengan sungguh-sungguh."
Lalu Gak Put-kun berkata pula, "Banyak sekali perubahan dan pergolakan di dunia persilatan. Akhir-akhir ini
aku dan ibu-gurumu telah menjelajahi berbagai tempat dan melihat banyak sekali bibit-bibit bencana yang
sukar dibasmi, lekas tentu akan mendatangkan malapetaka hebat. Sungguh hatiku merasa tidak tenteram
sekali. Kau adalah muridku yang pertama, aku dan ibu-gurumu menaruh harapan sebesar-besarnya atas
dirimu, semoga kelak kau dapat membagi beban kesukaran kami demi perkembangan dan kejayaan Hoa-sanpay
kita. Tapi kau lebih suka terlibat dalam urusan muda-mudi, tidak pikirkan kemajuan, sungguh membikin
kami sangat kecewa."
Melihat wajah sang guru yang murung itu, Lenghou Tiong tambah gugup, lekas-lekas ia menyembah pula dan
minta ampun. "Ya, murid benar-benar bersalah besar sehingga mengecewakan harapan Suhu dan Sunio."
Gak Put-kun membangunkannya, katanya dengan tersenyum, "Jika kau sudah insaf akan kesalahanmu, maka
legalah hatiku. Biarlah setengah bulan lagi aku akan datang pula untuk menguji ilmu pedangmu."
Habis berkata segera ia putar tubuh hendak pulang.
"Suhu, ada suatu hal ...." seru Lenghou Tiong. Ia bermaksud melaporkan tentang ukiran di dinding gua
belakang yang dilihatnya itu.
Namun Gak Put-kun telah mengebaskan tangannya terus turun ke bawah.
"Dalam setengah bulan ini kau harus giat belajar," demikian Gak-hujin memberi pesan. "Hal ini menyangkut
kepentingan hidupmu di masa depan, janganlah sekali-kali kau lalai."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Baik, Sunio ...." mestinya dia hendak melaporkan pula tentang ukiran di dinding itu, tapi Gak-hujin sudah
lantas menuding-nuding Gak Put-kun, lalu menggoyang-goyangkan tangannya dengan tersenyum. Habis itu ia
lantas menyusul ke arah sang suami.
Sesudah berada sendirian, diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Mengapa ibu-guru bilang berhasil tidaknya
latihanku akan menyangkut kepentingan hidupku di masa depan? Sebab apa pula ibu-guru memberi pesannya
itu padaku di belakang Suhu? Jangan-jangan ... jangan-jangan ...."
Tiba-tiba hatinya berdebar-debar dan mukanya merah, ia tidak berani memikir lebih mendalam lagi hal ini.
Dalam hati kecilnya timbul suatu harapan, "Jangan-jangan Suhu dan Sunio mengetahui sakitku ini adalah
lantaran Siausumoay, maka mereka akan menjodohkan Siausumoay kepadaku? Cuma mulai sekarang aku
harus giat belajar, baik Lwekang maupun ilmu pedang, semuanya aku harus dapat mewariskan ajaran Suhu.
Agaknya Suhu tidak enak bicara terang-terangan padaku, tapi Sunio anggap aku sebagai anak kandung, diamdiam
beliau telah memberi pesan padaku. Kalau tidak, urusan apakah yang menyangkut kepentingan hidupku
di masa depan?"
Berpikir sampai di sini, seketika semangatnya terbangkit, ia angkat pedang terus memainkan beberapa kali
ilmu pedang yang paling tinggi ajaran Suhunya. Akan tetapi ukiran-ukiran di dinding gua belakang itu sudah
melekat dalam pada benaknya, tak peduli dia memainkan jurus apa, dengan sendirinya dalam benaknya lantas
timbul macam-macam cara untuk mengalahkannya itu.
Ia berhenti bermain, pikirnya, "Tentang ukiran-ukiran itu aku belum sempat bicara kepada guru dan ibu-guru,
setengah bulan lagi bila beliau-beliau datang pula, setelah diperiksa tentu macam-macam tanda tanya akan
terpecahkan."
Begitulah, walaupun kata-kata Gak-hujin itu telah membangkitkan semangatnya, tapi seharian itu latihannya
ternyata tiada banyak kemajuan, sebaliknya perasaannya bergolak malah dan berpikir, "Guru dan ibu-guru
hendak menjodohkan Siausumoay padaku, entah dia sendiri sukarela atau tidak? Jika aku benar-benar bisa
menjadi suami-istri dengan dia, entah dia dapat melupakan Lim-sute tidak? Padahal Lim-sute yang baru masuk
perguruan dan minta petunjuk ilmu pedangnya padanya, suka mengawani dia sekadar menghilangkan rasa
kesal, kedua orang toh tidak saling mencintai sungguh, mana dia dapat dibandingkan dengan diriku yang sudah
belasan tahun dibesarkan bersama Siausumoay. Tempo hari aku hampir-hampir dibunuh oleh Ih Jong-hay,
berkat Lim-sute yang bersuara sehingga aku tertolong, kejadian ini tak boleh kulupakan selama hidup ini, kelak
aku harus membalas kebaikannya. Jika dia menghadapi bahaya, biarpun mengorbankan jiwa sendiri juga aku
harus menolong dia sekuat tenaga."
Sang tempo lewat dengan cepat, sekejap saja setengah bulan sudah lalu. Petang hari itu Gak Put-kun dan
istrinya telah datang lagi. Yang ikut datang adalah Lo Tek-nau, Liok Tay-yu dan Gak Leng-sian.
Melihat Siausumoay juga ikut datang, sewaktu menyapa Suhu dan Sunio suaranya sampai-sampai rada
gemetar.
Melihat air muka sang murid sudah jauh lebih segar dan penuh semangat, Gak-hujin mengangguk-angguk dan
berkata, "Anak Sian, coba ambilkan nasi untuk Toasuko, biarkan dia makan yang kenyang agar nanti dapat
berlatih pedang dengan baik."
Leng-sian mengiakan. Lalu membuka keranjang nasi dan mengeluarkan mangkuk dan sumpit. Ia isi semangkuk
nasi dan berkata dengan tertawa, "Silakan makan, Toasuko!"
"Teri ... terima kasih," sahut Lenghou Tiong.
"He, apakah engkau masih demam? Mengapa suaramu gemetar lagi?" tanya Leng-sian dengan tertawa.
"Ti ... tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong. Tapi diam-diam berkata di dalam hati, "Bila selanjutnya siang dan
malam di waktu makan kau senantiasa mendampingi aku, maka tiada permohonan lain lagi selama hidupku
ini."
Semangkuk nasi itu segera dimakannya, hanya beberapa kali sapu dengan sumpitnya sudah dihabiskan.
"Kutambahkan nasi lagi," ujar Leng-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Terima kasih, sudah cukup," sahut Lenghou Tiong. "Suhu dan Sunio sedang menunggu."
Lalu dia keluar gua, dilihatnya Gak Put-kun dan istri duduk berjajar di atas batu. Lenghou Tiong melangkah
maju dan memberi hormat. Rasanya ingin bicara apa-apa tapi mulutnya seperti terkancing dan sukar membuka
suara. Waktu ia berpaling, dilihatnya Liok Tay-yu sedang memicingkan sebelah mata padanya dengan wajah
berseri-seri. Diam-diam Lenghou Tiong heran, pikirnya, "Apakah Laksute memperoleh berita apa-apa sehingga
ikut bergirang bagiku?"
Gak Put-kun memandang tajam kepada Lenghou Tiong, sejenak kemudian baru berkata, "Kemarin Kin-beng
baru pulang dari Tiang-an, katanya Dian Pek-kong telah melakukan beberapa perkara di kota itu."
"Dian Pek-kong berada di Tiang-an?" Lenghou Tiong menegas. "Yang dia lakukan tentu bukan perkara baik."
"Sudah tentu, masakah masih perlu tanya?" ujar Gak Put-kun. "Ho-keh-ceng di kota Tiang-an, tentu kau kenal
bukan?"
"Ya, murid kenal," sahut Lenghou Tiong. "Ho-cengcu adalah sahabat baik Suhu. Beliau tersohor di dunia
Kangouw karena ruyung baja dan tameng besinya. Apakah ... apakah mungkin Dian Pek-kong berani
menyatroni Ho-keh-ceng?"
Gak Put-kun menengadah memandang awan yang melayang lewat di langit. Lalu katanya dengan perlahan,
"Ya, Jisiocia (putri kedua) Ho-cengcu baru saja gantung diri kemarin."
Lenghou Tiong juga sudah menduga perkara yang dilakukan Dian Pek-kong tentulah soal pemerkosaan, tapi
tak menduga bahwa dia begitu berani menyatroni Ho-cengcu yang termasyhur itu.
Ho-cengcu itu lengkapnya bernama Ho Koan. Usianya antara 50-an, mahir bersenjata tameng dan ruyung baja,
ilmu silatnya sangat hebat dan disegani di dunia Kangouw.
Tadi Gak Put-kun hanya mengatakan putri Ho-cengcu itu mati gantung diri, sebabnya sudah tentu karena telah
diperkosa oleh Dian Pek-kong. Hanya saja tidak diceritakan terus terang karena di situ juga hadir Gak-hujin
dan Leng-sian.
Namun Lenghou Tiong sudah lantas tahu duduknya perkara, serunya dengan gusar, "Keparat Dian Pek-kong itu
benar-benar sudah kelewat takaran berbuat kejahatan dan pantas dibunuh. Suhu, kita ...." sampai di sini ia
tidak dapat meneruskan lagi.
"Kita kenapa?" tanya Put-kun.
"Keparat itu berani main gila di kota Tiang-an, terang dia memandang enteng kepada Hoa-san-pay kita," kata
Lenghou Tiong. "Cuma Suhu dan Sunio yang berkedudukan tinggi dan terhormat memang tidak perlu
mengotorkan pedang untuk membinasakan jahanam itu. Sayang kepandaian murid belum cukup sempurna dan
bukan tandingan jahanam itu, apalagi murid adalah orang berdosa dan tak dapat turun dari puncak sini. Namun
kalau jahanam itu dibiarkan malang melintang di kaki gunung Hoa-san kita, hal ini sungguh harus disesalkan."
"Jika kau benar-benar ada kemungkinan membinasakan jahanam itu untuk membalas sakit hati Ho-cengcu,
sudah tentu aku dapat mengizinkan kau turun dari puncak sini," kata Put-kun. "Coba sekarang kau
pertunjukkan ilmu pedang tunggal keluarga Ling ajaran ibu-gurumu itu. Selama setengah tahun ini tentunya
kau pun sudah hampir memahami seluruhnya, ditambah lagi dengan petunjuk-petunjuk ibu-gurumu nanti,
rasanya sudah cukup untuk menandingi keparat she Dian itu."
Lenghou Tiong melengak. Ia merasa ibu-gurunya tidak pernah mengajarkan jurus ilmu pedang padanya. Tapi
setelah dipikir segera ia paham persoalannya. Sesudah percobaan tempo hari, meski ibu-gurunya secara resmi
tidak mengajarkan jurus serangan itu, tapi dengan tingkat pelajarannya atas ilmu silat perguruannya sendiri
seharusnya dirinya paham di mana letak kekuatan jurus serangan itu. Maka sang guru menduga selama
setengah tahun ini dia sudah dapat menyelami dan meyakinkan jurus serangan itu dengan lebih sempurna.
Teringat akan jurus serangan ilmu pedang ibu-guru itu, tanpa merasa jidatnya lantas berkeringat, alangkah
gugupnya dia. Maklum, waktu mula-mula dia naik ke atas puncak itu memang dia sering memikirkan dan
mengulangi permainan jurus ilmu pedang yang hebat itu. Tapi sejak dia menemukan ukiran dinding di gua
belakang dan melihat ilmu pedang Hoa-san-pay semuanya kena dipatahkan orang, malahan jurus serangan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
lihai ajaran ibu-guru itu pun kalah habis-habisan, mau tak mau dia telah kehilangan kepercayaan atas jurus
serangan itu dan sejak itu tak pernah memikirkannya lagi.
Siapa duga sekarang sang guru telah minta dia mempertunjukkan jurus serangan tunggal itu, katanya jurus itu
akan digunakan untuk membunuh Dian Pek-kong. Sesungguhnya dia ingin mengatakan jurus itu tak berguna,
percuma saja, sebab akan dapat dikalahkan orang. Tapi di depan Lo Tek-nau dan Liok Tay-yu tidaklah pantas
menilai rendah jurus serangan ciptaan ibu-guru yang sangat dibanggakan beliau itu.
Melihat sikap Lenghou Tiong yang ragu-ragu itu, segera Put-kun bertanya, "Apakah jurus tunggal itu belum kau
latih dengan baik? Itulah tidak mengapa. Jurus serangan itu adalah intisari dari ilmu silat Hoa-san-pay kita,
mungkin Lwekangmu belum cukup kuat sehingga sukar meyakinkannya. Tapi lambat laun tentu kau dapat
mengatasinya."
"Tiong-ji," tiba-tiba Gak-hujin berkata dengan tertawa. "Kenapa tidak lekas mengucapkan terima kasih kepada
Suhu? Beliau telah siap mengajarkan 'Ci-he-sin-kang' padamu."
Lenghou Tiong terkesiap. Tapi cepat ia pun berkata, "Ya, terima kasih, Suhu."
Dan baru dia hendak berlutut menyembah, cepat Put-kun menahannya, katanya dengan tertawa, "Ci-he-sinkang
adalah inti tertinggi dari Lwekang perguruan kita, sebabnya aku tidak mau sembarangan mengajarkan
kepada para murid bukanlah karena kepelitanku. Soalnya bila sudah berlatih Lwekang ini, maka pemusatan
pikiran harus kuat, latihan harus giat, sedikit pun tidak boleh ayal di tengah jalan, kalau tidak tentu akan
membahayakan yang melatihnya malah. Dari itu, anak Tiong, aku ingin melihat dulu kemajuan ilmu silat yang
kau capai selama ini, habis itu barulah aku dapat ambil keputusan boleh mengajarkan Ci-he-sin-kang padamu
atau tidak."
Mendengar Toasuko mereka akan mendapat ajaran "Ci-he-sin-kang", sungguh kagum Lo Tek-nau, Liok Tay-yu
dan Gak Leng-sian tak terkatakan. Mereka tahu Ci-he-sin-kang itu adalah ilmu Lwekang yang mahahebat,
termasuk satu di antara ilmu kebanggaan Hoa-san-pay. Mereka tahu di antara sesama saudara seperguruan
memang tiada seorang pun yang lebih pandai daripada Lenghou Tiong, bahwasanya kelak dia yang akan
menjadi ahli waris sang guru adalah tidak perlu disangsikan lagi. Mereka hanya tidak nyana bahwa begini cepat
guru mereka sudah mengajarkan ilmu sakti itu kepada Toasuhengnya.
Segera Liok Tay-yu berkata, "Toasuko selalu belajar dengan giat. Setiap hari bila aku mengantar daharan ke
sini, selalu melihat dia sedang belajar, kalau tidak duduk semadi tentu sedang berlatih pedang."
Leng-sian meliriknya sambil mencibir, dalam hatinya menggerutu, "Hm, kau si monyet ini berani bohong, kau
memang selalu mengeloni Toasuko saja."
Sementara itu Gak-hujin telah berkata, "Boleh lolos pedangmu, anak Tiong. Kalau kita guru dan murid bertiga
pergi melabrak Dian Pek-kong, kukira masih boleh juga."
"Engkau maksudkan kita bertiga mengerubut Dian Pek-kong seorang, Sunio?" tanya Lenghou Tiong.
"Ya, terangnya kau yang menantang dia, tapi diam-diam aku dan gurumu membantu dari samping," ujar Gakhujin
dengan tertawa. "Tak peduli siapa yang membunuh dia, kita akan tetap mengatakan kau yang
membunuhnya agar aku dan gurumu tidak diolok-olok oleh sesama orang Kangouw."
"Bagus sekali," seru Leng-sian. "Jika ayah dan ibu diam-diam membantu, biarpun anak juga berani
melabraknya."
"Hm, enak saja kau bicara," omel Gak-hujin dengan tertawa. "Toasukomu pernah bergebrak dengan Dian Pekkong
sampai ratusan jurus, dia yang cukup kenal di mana letak kelihaian lawan. Sebaliknya dengan sedikit
kepandaianmu itu dapat berbuat apa? Pula sebagai seorang anak perempuan, nama jahanam itu saja jangan
disebut, jangankan lagi hendak bertemu dan bergebrak dengan dia."
Habis berkata, "sret", mendadak pedangnya terus menusuk ke dada Lenghou Tiong.
Namun sambutan Lenghou Tiong ternyata tidak kalah cepatnya, "trang", pedangnya segera menangkis, tapi
sebelah kakinya juga melangkah mundur setindak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Sret-sret-sret ...." berturut-turut Gak-hujin melancarkan serangan pula sampai enam kali, hampir berbareng
juga terdengar suara "trang-tring-trang ...." enam kali, setiap serangan ibu-gurunya ternyata dapat ditangkis
oleh Lenghou Tiong.
"Balas menyerang!" bentak Gak-hujin mendadak. Ilmu pedangnya lantas berubah, dia membacok dan
menebas, yang dimainkan bukan lagi ilmu pedang Hoa-san-pay.
Segera Lenghou Tiong tahu ibu-gurunya telah memainkan golok kilat Dian Pek-kong agar dirinya dapat
menyelami ilmu golok itu dan memperoleh cara mematahkannya.
Serangan Gak-hujin semakin cepat, di tengah serangan-serangannya itu sudah sukar dicari lubang lagi.
"Ayah, jurus serangan ibu itu memang sangat cepat, tapi yang dimainkan adalah ilmu golok dan bukan ilmu
pedang, mungkin golok kilat Dian Pek-kong itu pun tidak secepat ini."
"Betapa hebat kepandaian Dian Pek-kong itu, masakah begitu gampang untuk menyerang menurut ilmu
goloknya?" ujar Put-kun dengan tersenyum. "Sebenarnya ibumu juga tidak sungguh-sungguh menirukan ilmu
goloknya, hanya dia benar-benar telah mengeluarkan segenap kecepatannya untuk mengalahkan ilmu golok
Dian Pek-kong yang memang teramat cepat itu. Coba kau lihat, bagus jurus 'Yu-hong-lay-gi'!"
Kiranya saat itu Lenghou Tiong sedang melancarkan jurus serangan itu secara tepat, saking senangnya tanpa
merasa Gak Put-kun sampai berseru memuji. Tak terduga baru saja dia memuji, di sebelah sana serangan
Lenghou Tiong macet setengah jalan, arahnya menceng, tenaganya kurang sehingga tak dapat menembus
jaringan sinar pedang Gak-hujin yang rapat itu.
"Wah, salah besar jurus itu," demikian pikir Gak Put-kun sambil menghela napas.
Dalam pada itu, sedikit pun Gak-hujin tidak memberi kelonggaran, "sret-sret-sret" tiga kali, kembali ia cecar
Lenghou Tiong sehingga pemuda itu kerepotan menangkisnya.
Melihat permainan Lenghou Tiong itu makin lama makin kacau dan tak keruan, di waktu terpaksa harus
menangkis yang digunakan sebagian besar juga bukan jurus ilmu pedang perguruannya sendiri, keruan Gak
Put-kun mengerut kening dan kurang senang.
Hanya saja meski permainan pedang Lenghou Tong itu tampaknya kacau tak keruan, tapi dia masih tetap
dapat menangkis setiap serangan Gak-hujin. Ketika mundur sampai di dinding gunung, untuk mundur lagi
sudah buntu, lambat laun ia mulai melancarkan serangan balasan. Sekonyong-konyong ia mendapat
kesempatan, "sret", ia gunakan jurus "Jong-siong-eng-khik", pedangnya terus menyambar ke pelipis Gak-hujin.
Namun dengan cekatan Gak-hujin dapat menangkisnya, menyusul pedang diputar kencang untuk menjaga diri.
Ia tahu jurus Jong-siong-eng-khik itu mempunyai beberapa serangan ikutan lain yang lihai, terpaksa dari
menyerang ia berubah menjadi bertahan saja.
Tak tersangka kembali Lenghou Tiong telah memperlihatkan kelemahannya, pedangnya sudah menyelonong ke
depan, tapi gerakannya lambat, tenaganya lemah, sedikit pun tidak membawa daya tekanan terhadap lawan.
Gak-hujin membentak, "Tiong-ji, seranglah dengan sepenuh hati, pikiranmu melayang ke mana dan
memikirkan apa?"
Berbareng ia terus balas membacok tiga kali.
Lekas-lekas Lenghou Tiong mengiakan sambil berlompatan menghindar. Wajahnya kelihatan merasa malu,
cepat ia balas menyerang lagi.
Dari samping, Lo Tek-nau dan Liok Tay-yu dapat melihat air muka sang guru makin lama makin bersungut.
Diam-diam mereka ikut merasa takut.
Mendadak angin berkesiur, Gak-hujin berputar cepat kian kemari dengan sinar pedang yang gemerlapan
sehingga sukar dibedakan lagi jurus serangan apa yang sedang dilancarkan. Sebaliknya pikiran Lenghou Tiong
terasa kacau, bilamana dia diserang, selalu timbul pula jurus serangan untuk mengalahkannya seperti apa yang
dilihatnya dalam ukiran di dinding gua itu. Karena pengaruh pikiran itu, serangan-serangan yang dilakukannya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
selalu gagal setengah jalan karena dianggapnya toh percuma saja.
Sebabnya Gak-hujin menggunakan serangan kilat maksudnya hendak memancing supaya Lenghou Tiong
mengeluarkan jurus tunggal keluarga Ling yang tiada bandingannya itu. Siapa duga Lenghou Tiong hanya
menyambut serangan-serangan itu sekenanya saja, bukan saja pemusatan pikirannya terpencar, bahkan
kelihatan jeri dan takut-takut. Padahal biasanya dia kenal watak Lenghou Tiong adalah pemberani, sejak kecil
sudah tidak takut kepada apa pun juga, cara bertempurnya yang takut-takut sekarang benar-benar tak pernah
terjadi sebelumnya. Keruan Gak-hujin sangat gusar. Bentaknya, "Masih tidak keluarkan jurus serangan tunggal
itu?"
Lenghou Tiong mengiakan, pedangnya terus menusuk ke depan, gayanya dan tenaga yang dipakai seketika
memang tepat seperti "jurus tunggal keluarga Ling" ciptaan Gak-hujin itu.
"Bagus!" seru Gak-hujin. Ia tahu serangan itu sangat lihai, cepat ia mengegos ke samping, pedangnya
menangkis sekuatnya dari bawah ke atas.
Saat itu Lenghou Tiong sebaliknya berpikir, "Ah, jurus ini pun tiada gunanya, percuma saja, tentu juga kalah
habis-habisan!"
Pada saat itulah tangannya lantas tergetar, pedang terlepas dari cekalan karena sampukan pedang Gak-hujin
dan mencelat tinggi ke udara. Keruan ia terkejut sehingga menjerit kaget.
Sesudah menggunakan tenaga dalamnya untuk menyampuk mencelat pedang sang murid, menyusul ujung
pedang Gak-hujin sudah lantas menusuk pula dengan jurus tunggal ciptaan sendiri itu. Sudah tentu serangan
sekarang jauh lebih hebat daripada dahulu, sebab jurus tunggal ini adalah kebanggaannya dan telah
diselaminya lebih mendalam selama ini, baik kecepatan dan kekuatannya diutamakan untuk sekali gempur
mematikan musuh.
Rupanya Gak-hujin menjadi gemas demi melihat jurus serangan yang dilontarkan Lenghou Tiong tadi ternyata
sangat lemah, tampaknya seperti jurus ciptaannya itu, tapi sebenarnya sangat berbeda. Dalam gusarnya,
tanpa pikir ia terus balas menyerang dengan jurus mahalihai itu.
Walaupun dia tidak berniat membinasakan muridnya sendiri, serangan Gak-hujin itu benar-benar sangat hebat,
belum tiba ujung pedangnya tahu-tahu Lenghou Tiong sudah terkurung oleh sinar pedangnya.
"Celaka!" diam-diam Gak Put-kun berseru. Cepat ia lolos pedangnya Leng-sian dan melangkah maju. Ia
khawatir kalau sang istri tak sempat menahan diri sehingga Lenghou Tiong dilukai.
Saat itu keadaan sudah sangat berbahaya, asal ujung pedang Gak-hujin mendesak maju beberapa senti lagi,
segera Gak Put-kun sudah siap-siap akan menangkisnya. Namun begitu ia pun tidak yakin tangkisannya dapat
menyelamatkan sang murid karena dia tahu kepandaian sang istri selisih tidak banyak dengan dirinya. Yang dia
harap adalah asalkan luka Lenghou Tiong bisa diperingan saja.
Pada saat sekejapan itulah sekonyong-konyong Lenghou Tiong juga sudah berusaha membela diri, sekenanya
ia ambil sarung pedang yang masih tergantung di pinggangnya, ia mendak sedikit ke bawah dan berjongkok
miring ke samping, mulut sarung pedangnya lantas diacungkan ke depan, tepat memapak ujung pedang Gakhujin
yang sedang menusuk tiba itu.
Gerakan yang digunakan Lenghou Tiong ini adalah menurut ukiran di dinding gua belakang yang dilihatnya itu.
Ukiran itu menggambarkan pemain toya mengacungkan ujung toya untuk memapak ujung pedang sehingga
saling adu senjata, toya keras dan pedang lemas, bila saling mengadu Lwekang, maka pedang pasti akan
patah.
Lantaran pedangnya telah mencelat, menyusul dilihatnya serangan ibu-gurunya sudah menyambar tiba lagi,
dalam keadaan pikiran kacau dan terpengaruh oleh macam-macam jurus serangan aneh seperti apa yang
dilihatnya di dinding gua itu, untuk menyelamatkan diri sendiri, tanpa pikir lagi dan dengan sendirinya ia terus
mengeluarkan jurus serangan toya menurut ukiran dinding itu. Tapi waktu itu dia tak bersenjata, apalagi
hendak mencari toya, sudah tentu tidak ada kesempatan. Maka sekenanya dia lantas pegang sarung pedang
sendiri dan diacungkan ke ujung pedang Gak-hujin sehingga kedua senjata menjadi satu garis lurus.
Sekali dia menggunakan jurus serangan toya itu, dengan sendirinya timbul juga tenaga dalamnya. Maka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terdengarlah suara "cret" sekali, pedang Gak-hujin telah menyusup masuk ke dalam sarung pedang.
Kiranya dalam keadaan gugup tadi Lenghou Tiong tidak sempat putar sarung pedangnya, yang dia acungkan ke
depan adalah bagian mulut sarung pedang, maka pedang Gak-hujin tidak sampai tergetar patah, sebaliknya
lantas menyusup masuk malah seperti pedang itu sengaja disarungkan kembali.
Gak-hujin sampai terkejut, tangannya tergetar sakit, pedang lantas terlepas dari cekalan. Ternyata pedangnya
sudah kena dirampas oleh Lenghou Tiong dengan sarung pedangnya.
Serangan Lenghou Tiong itu masih mencakup beberapa gerakan iringan, waktu itu dia sudah tak bisa
menguasai diri lagi, sarung pedangnya masih terus mengacung ke depan ke arah tenggorokan Gak-hujin.
Cuma yang mengancam tenggorokan itu adalah gagang pedang Gak-hujin sendiri.
Kejut dan gusar luar biasa Gak Put-kun, pedangnya terus menyampuk, "plak", sarung pedang Lenghou Tiong
terpukul. Sampukan Gak Put-kun itu telah digunakan Ci-he-sin-kang yang mahadahsyat, seketika dada
Lenghou Tiong terasa sesak, dia tergetar mundur beberapa tindak dan akhirnya jatuh terduduk. Sedangkan
sarung pedang itu bersama pedang di dalamnya telah patah menjadi beberapa potong dan jatuh berserakan.
Pada saat itulah sinar putih berkelebat dari udara, pedang Lenghou Tiong yang mencelat tadi sekarang pun
jatuh ke bawah dan menancap ke dalam tanah hampir sebatas gagang.
Bab 31. Munculnya Dian Pek-kong di Puncak Hoa-san
Apa yang terjadi sedari pedang Lenghou Tiong dicukit mencelat ke udara, Gak-hujin menyerang dan disambut
dengan sarung pedang oleh Lenghou Tiong, lalu Gak Put-kun mematahkan pedang bersama sarung pedang itu,
kemudian pedang yang mencelat ke udara tadi jatuh kembali, semuanya itu hanya terjadi dalam beberapa
detik saja. Sudah tentu Lo Tek-nau, Liok Tay-yu dan Gak Leng-sian sampai terkesima menyaksikan kejadiankejadian
itu.
Habis itu, Gak Put-kun lantas melompat maju ke depan Lenghou Tiong, "plak-plak-plak", beruntun-runtun ia
persen beberapa kali tamparan pada muka murid itu sambil membentak gusar, "Binatang, apa-apaan
perbuatanmu ini?"
Kepala Lenghou Tiong terasa pusing dan badan sempoyongan, cepat ia berlutut dan berkata, "Suhu, Sunio,
murid memang ... memang harus dihukum mati."
Dengan murka Put-kun membentak pula, "Selama setengah tahun ini dosa apa yang kau renungkan dan ilmu
silat apa yang kau latih di sini?"
"Murid tidak ... tidak berlatih ilmu silat apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
"Jurus seranganmu kepada ibu-gurumu barusan, cara bagaimana datangnya ilhammu itu?" bentak pula Gak
Put-kun dengan bengis.
"Sama sekali murid tidak punya pikiran apa-apa, ketika terancam bahaya sekenanya murid lantas memainkan
jurus tadi," sahut Lenghou Tiong dengan takut.
"Ya, aku pun menduga tanpa pikir kau lantas mengeluarkan jurus demikian, makanya aku merasa gusar," ujar
Gak Put-kun sambil menghela napas. "Apakah kau sadar sudah mengarah ke jalan yang sesat dan sukar
melepaskan diri?"
"Mohon ... mohon Suhu memberi petunjuk," sahut Lenghou Tiong sambil menyembah.
Sementara itu Gak-hujin sudah tenang kembali dari kejadian tadi. Dilihatnya sang suami telah menampar
Lenghou Tiong sehingga pipi pemuda itu merah bengkak, timbul seketika rasa kasih sayangnya. Cepat ia
berkata, "Sudahlah, lekas kau bangun saja. Kunci persoalan ini memang kau belum tahu."
Lalu ia berpaling pada sang suami, "Suko, bakat anak Tiong teramat cerdas, selama setengah tahun ini kita
tidak mendampingi dia dan membiarkan dia berlatih sendiri dan nyatanya sudah lantas sesat ke jalan yang
tidak benar."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Put-kun termangu-mangu, katanya kepada Lenghou Tiong, "Bangunlah!"
Lenghou Tiong lantas merangkak bangun. Ia merasa heran dan bingung sebab apa guru dan ibu-gurunya
mengatakan latihannya tersesat ke jalan yang jahat.
"Coba kalian kemari!" tiba-tiba Put-kun memanggil Lo Tek-nau bertiga.
Berbareng Tek-nau, Tay-yu dan Leng-sian mengiakan dan mendekati orang tua itu.
Perlahan-lahan Put-kun duduk di atas batu, lalu mulai berkata, "Empat puluh tahun yang lalu, ilmu silat Hoasan-
pay pernah terbagi menjadi dua golongan, yaitu antara yang baik dan yang jahat, antara yang benar dan
yang salah ...."
Lenghou Tiong dan lain-lain sama heran, pikir mereka, "Ilmu silat Hoa-san-pay tetap ilmu silat Hoa-san-pay,
mengapa bisa terbagi menjadi dua golongan antara yang baik dan yang jahat? Mengapa selama ini belum
pernah terdengar Suhu menceritakan soal ini?"
Leng-sian yang usilan segera bertanya, "Ayah, yang kita latih adalah ilmu silat yang baik dan asli, bukan?"
"Sudah tentu," sahut Put-kun. "Tapi golongan yang sesat itu justru mengaku pihak mereka adalah golongan
yang baik dan tulen, pihak kita yang dituduh golongan yang sesat. Namun lama-kelamaan antara yang baik
dan jahat dengan sendirinya tersisihkan, golongan yang sesat itu akhirnya buyar lenyap dengan sendirinya.
Selama 40 tahun ini golongan mereka sudah tidak terdapat lagi di dunia ini."
"Pantas selama ini aku belum pernah mendengar tentang hal ini," kata Leng-sian. "Ayah, jika golongan yang
sesat itu sekarang sudah lenyap, maka kita pun tak perlu mengurusnya lagi."
"Kau tahu apa?" omel Put-kun. "Apa yang dikatakan golongan sesat itu juga bukan golongan jahat betul-betul,
mereka tetap orang kita sendiri. Hanya saja titik pokok berlatih masing-masing pihak berbeda. Coba katakan,
bagian mana yang pertama aku mengajarkan kepada kalian?"
Sembari bertanya sorot matanya menatap ke arah Lenghou Tiong.
Maka pemuda itu cepat menjawab, "Yang diajarkan lebih dulu adalah pengantar cara mengatur napas, dimulai
dengan berlatih Lwekang lebih dulu."
"Benar," kata Put-kun. "Titik pokok ilmu silat Hoa-san-pay terletak pada hal latihan Lwekang, bila Lwekang
sudah jadi, maka lancarlah dalam cabang-cabang ilmu silat lainnya dan ini adalah cara tulen dari perguruan
kita. Tapi di antara tokoh-tokoh angkatan tua perguruan kita dahulu ada suatu golongan yang menganggap
letak inti ilmu silat kita berada pada ilmu pedang, jika ilmu pedang sudah sempurna, biarpun Lwekang kurang
mendalam juga cukup untuk mengalahkan musuh. Dan di sinilah perbedaan paham antara golongan yang
benar dan yang sesat."
"Ayah, meskipun Lwekang sangat penting, tapi ilmu pedang juga tidak boleh diabaikan bukan?" demikian tibatiba
Leng-sian menimbrung. "Jika hanya Lwekang saja juga takkan memperlihatkan betapa hebat ilmu silat
Hoa-san pay kita bila tidak disertai dengan ilmu pedang yang lihai. Ya, sudah tentu kalau mungkin dua-duanya
harus sempurna semuanya."
"Hm, ucapanmu ini kalau kau katakan pada 40 tahun yang lalu, mungkin kepalamu bisa segera berpisah
dengan tubuhmu," jengek Gak Put-kun.
"Hah, hanya omong saja bisa mengakibatkan kepala berpisah dengan tubuh?" seru Leng-sian sambil melelet
lidahnya. "Sungguh terlalu!"
"Waktu aku masih muda, pertengkaran antara kedua golongan masih belum menentu," kata Put-kun. "Jika
berani mengucapkan kata-katamu tadi, bukan saja golongan yang mengutamakan Lwekang yang membunuh
kau, bahkan golongan yang mengutamakan ilmu pedang juga akan membunuh kau. Sebab di antaranya kedua
aliran itu tidak dapat disejajarkan, kau anggap pedang juga penting, itu berarti meninggikan derajat golongan
pro pedang, ini dipandang sebagai durhaka yang tak terampunkan."
"Sebenarnya buat apa dipertengkarkan, asalkan kedua pihak bertanding, bukankah segala sesuatu menjadi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
jelas," ujar Leng-sian.
Put-kun menghela napas, lalu bercerita, "Pada waktu itu golongan pro Lwekang kita berjumlah lebih sedikit,
sebaliknya para paman guru dari golongan pro pedang berjumlah banyak. Ditambah lagi pelajaran ilmu pedang
memang lebih cepat, bila sama-sama berlatih sepuluh tahun, tentu pihak pro pedang yang lebih unggul, kalau
berlatih 20 tahun, masih tetap sama kuatnya, baru sesudah lebih dari 20 tahun barulah latihan Lwekang akan
bertambah kuat, bila sudah 30 tahun, maka kemenangan pastilah di pihak kaum Lwekang. Akan tetapi selama
20 tahun lebih itu sudah tentu kedua pihak akan terus bertengkar tak habis-habisnya."
"Tapi akhirnya kaum pedang toh mengaku salah dan kalah bukan?" tanya Leng-sian.
Put-kun menggeleng kepala tanpa bicara. Selang sejenak barulah membuka suara, "Mereka tetap kepala batu
dan ngotot tak mau mengaku kalah. Walaupun mereka telah kalah habis-habisan ketika diadakan pertandingan
menentukan di Giok-li-hong sini, tapi mereka lebih suka membunuh diri seluruhnya."
Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian sama berseru kaget mendengar keterangan itu. Kata Leng-sian, "Hanya
pertandingan di antara sesama saudara seperguruan, apa artinya kalah atau menang, mengapa mesti
menempuh jalan nekat begitu?"
"Soalnya tidak begitu sederhana," ujar Put-kun. "Dahulu waktu perebutan Bengcu (ketua serikat) dari Ngo-gakkiam-
pay, kalau bicara tentang jumlah jago dan tingginya kepandaian, mesti Hoa-san-pay kita yang menduduki
tempat utama. Tapi karena bagian dalam golongan kita bertengkar sendiri, pertarungan di Giok-li-hong telah
jatuh korban belasan tokoh-tokoh angkatan tua, maka kedudukan Bengcu akhirnya kena direbut oleh Ko-sanpay.
Kalau dipikirkan pangkal pokok kesalahan kita adalah karena pertengkaran di antara golongan sendiri itu.
Bila teringat kepada bunuh-membunuh secara kejam di antara sesama saudara seperguruan dahulu, sungguh
kasihan dan mengerikan."
Melihat air muka gurunya berkerut-kerut, mungkin teringat kepada kejadian-kejadian mengerikan di masa
lampau, tanpa merasa Lenghou Tiong ikut ngeri.
Perlahan-lahan Put-kun membuka bajunya sehingga kelihatan dadanya. Mendadak Leng-sian menjerit, "Aduh!
Ayah, kau ... kau ...."
Kiranya di dada Gak Put-kun itu terdapat satu jalur panjang bekas luka yang dari atas ke bawah. Melihat bekas
luka itu dapatlah dibayangkan betapa parah lukanya waktu itu, boleh jadi jiwanya hampir saja melayang.
Sejak kecil Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian hidup bersama Gak Put-kun, tapi baru sekarang mereka tahu di
atas badan orang tua itu terdapat bekas luka parah itu.
Sesudah menutup kembali bajunya, lalu Put-kun berkata, "Waktu pertarungan di atas Giok-li-hong dahulu, aku
telah kena ditebas sekali oleh seorang Susiok sehingga jatuh pingsan. Dia mengira aku sudah mati, maka tidak
menambahi serangannya. Coba kalau pedangnya menyambar lagi, hehe, tentu jiwaku sudah melayang!"
"Kalau ayah tidak ada, tentu aku pun entah berada di mana," sela Leng-sian dengan tertawa.
Put-kun tersenyum. Tapi dengan kereng ia lantas berkata pula, "Ceritaku ini adalah rahasia besar Hoa-san-pay
kita, siapa pun dilarang membocorkan. Orang-orang golongan lain cuma mengetahui bahwa dalam sehari saja
Hoa-san-pay kita telah kehilangan belasan tokoh terkemuka, tapi tiada seorang pun yang tahu apa sebabnya.
Seluk-beluk kejadian ini terpaksa kuceritakan sekarang, sebab persoalannya sesungguhnya memang sangat
penting. Jika anak Tiong meneruskan arah yang diambilnya sekarang, tidak sampai tiga tahun saja tentu dia
akan lebih mengutamakan pedang daripada Lwekang, inilah terlalu berbahaya bagi kehancuran dirimu sendiri,
bahkan jerih payah dengan pengorbanan para Cianpwe Hoa-san-pay kita juga akan hancur seluruhnya."
Lenghou Tiong sampai berkeringat dingin mendengarkan cerita itu, kembali ia mohon ampun akan
kekurangmengertiannya itu.
"Tiong-ji, cara kau merebut pedangku dengan sarung pedang tadi dari mana kau mendapatkan ilhamnya?"
tiba-tiba Gak-hujin bertanya.
"Seketika itu yang murid pikirkan adalah menangkis serangan ibu-guru yang mahalihai, sama sekali tak
mengira bahwa ... bahwa ...."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Ya, soalnya sekarang kau tentu sudah paham," ujar Gak-hujin. "Walaupun jurusmu tadi sangat bagus, tapi
begitu kebentur dengan Lwekang Suhumu yang mahatinggi, betapa bagus jurus seranganmu juga tak berguna
lagi. Dahulu ketika pertandingan di atas Giok-li-hong ini, entah betapa hebat ilmu pedang pihak yang
mengutamakan permainan pedang itu, tapi berkat Ci-he-sin-kang yang telah diyakinkan oleh kakek-gurumu,
belasan jago dari pihak pro pedang itu semuanya dikalahkan olehnya. Maka mulai sekarang hendak kalian
camkan petuah gurumu tadi. Inti ilmu silat golongan kita terletak pada Lwekang, ilmu pedang hanya sebagai
ikutan saja. Jika latihan Lwekang gagal, betapa pun tinggi ilmu pedangmu juga tiada gunanya."
Lenghou Tiong, Lo Tek-nau dan lain-lain sama membungkuk tubuh menerima petuah itu.
Lalu Gak Put-kun bicara lagi, "Tiong-ji, mestinya hari ini aku akan mengajarkan pengantar Ci-he-sin-kang
padamu, habis itu akan membawa kau turun gunung untuk membunuh jahanam Dian Pek-kong. Tapi urusan ini
sekarang harus ditunda dahulu, selama dua bulan hendaknya kau mengulangi pelajaran Lwekang yang pernah
kuajarkan sebelumnya, buanglah segala ilmu pedang yang aneh-aneh dan menyesatkan itu, kemudian aku
akan menguji kau lagi, ingin kulihat ada kemajuan atau tidak."
Sampai di sini mendadak nadanya berubah bengis, "Tapi jika kau tetap tak mau insaf dan masih terus
mengarah ke jalan yang sesat, maka, hehe, janganlah kau menyesal bila mesti terima akibatnya."
"Ya, murid pasti tidak berani lagi," sahut Lenghou Tiong.
"Dan kau, anak Sian dan Tay-yu, watak kalian juga kurang sabar, apa yang kukatakan tadi kalian juga harus
ingat baik-baik," demikian seru Gak Put-kun pula.
Liok Tay-yu mengiakan dengan hormat. Sebaliknya Leng-sian menjawab, "Meski aku dan Laksuko berwatak
tidak sabaran, tapi kami tidak secerdas Toasuko, mana mampu menciptakan ilmu pedang apa segala?"
"Hm, tidak mampu? Bukankah kau dan Tiong-ji pernah ingin menciptakan Tiong-leng-kiam-hoat segala?"
jengek Put-kun.
Muka Lenghou Tiong dan Leng-sian sama berubah merah. Cepat Lenghou Tiong minta ampun pula. Sedangkan
Leng-sian berkata lagi, "Itu adalah kejadian yang sudah sangat lama, tatkala mana kami hanya main-main
saja. Dari mana ayah mendapat tahu?"
"Sebagai Ciangbunjin, kalau gerak-gerik anak muridnya saja tidak tahu, lalu apa jadinya Hoa-san-pay kita?"
dengus Put-kun.
Melihat nada dan sikap sang guru itu sungguh-sungguh dan kereng, kembali Lenghou Tiong terkesiap pula.
"Tentang ilmu silat golongan kita, asal sudah mencapai tingkatan sempurna, setiap gerakan ringan saja sudah
cukup untuk merobohkan orang," kata Put-kun pula sambil berbangkit. "Orang luar mengira Hoa-san-pay kita
terkenal dengan ilmu pedang saja, sebenarnya pandangan demikian terlalu menilai rendah kita."
Habis berkata mendadak lengan baju kirinya mengebas sekali, di mana tenaganya tiba, sekonyong-konyong
pedang yang tergantung di pinggang Liok Tay-yu meloncat keluar dari sarungnya. Ketika lengan baju kanan
Gak Put-kun mengebas pula ke batang pedang itu, terdengarlah "krak-krek" beberapa kali, kontan pedang itu
patah menjadi beberapa bagian.
Keruan kejut Lenghou Tiong dan lain-lain tak terkatakan. Gak-hujin yang siang malam berdampingan dengan
sang suami juga tidak tahu tingkatan Lwekang suaminya itu ternyata sudah sedemikian tingginya. Sungguh ia
pun kagum luar biasa.
"Marilah berangkat!" kata Put-kun. Bersama istrinya segera mereka turun dari puncak itu diikuti oleh Lo Teknau
dan lain-lain.
Sambil memandangi kedua batang pedang yang sudah patah-patah itu, kejut dan girang pula hati Lenghou
Tiong. Pikirnya, "Kiranya ilmu silat Hoa-san-pay sendiri sedemikian lihainya, setiap jurus serangan yang
dilontarkan Suhu rasanya tiada seorang pun yang mampu menangkisnya. Ukiran-ukiran di dinding gua
belakang itu mengatakan seluruh ilmu silat dari Ngo-gak-kiam-pay telah kena dipatahkan dan dihancurkan
orang, namun nama kebesaran Ngo-gak-kiam-pay buktinya tetap harum sampai sekarang dan menjagoi dunia
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
persilatan. Kiranya masing-masing golongan memiliki dasar Khikang (Lwekang) yang hebat sehingga orang lain
tidaklah gampang hendak mengalahkannya. Teori ini sebenarnya mudah dimengerti, tapi aku sendirilah yang
telah keblinger. Sama-sama sejurus 'Yu-hong-lay-gi', tentu saja sangat berbeda dalam permainan Lim-sute dan
Suhu. Serangan toya menurut ukiran dinding itu dapat mematahkan serangan jurus Yu-hong-lay-gi, tapi tidak
mungkin dapat menangkis serangan Suhu dalam jurus yang sama."
Setelah memecahkan soal ini, rasa kesalnya selama beberapa bulan ini seketika tersapu bersih. Walaupun tadi
gurunya tidak jadi mengajarkan Ci-he-sin-kang dan juga tidak menjodohkan Leng-sian kepadanya, namun
sekarang Lenghou Tiong tidak merasa lesu lagi, sebaliknya kepercayaannya terhadap ilmu silat perguruan
sendiri telah pulih kembali, semangat terbangkit seketika. Walaupun kedua pipi yang ditampar oleh gurunya
tadi masih terasa sakit, tapi diam-diam ia merasa bersyukur sang guru keburu menyadarkan dia sehingga tidak
sampai dia tersesat dan menjadi orang berdosa bagi perguruan sendiri. Segera ia membuang segala pikiran
yang tidak-tidak dan duduk bersimpuh memusatkan pikiran.
Petang besoknya Liok Tay-yu mengantarkan daharan padanya, dia memberi tahu bahwa pagi tadi sang guru
dan ibu-guru telah berangkat ke Siamsay Utara.
Lenghou Tiong rada heran. Ia tanya mengapa kedua orang tua itu ke sana?
"Dian Pek-kong telah pindah tempat dan berbuat kejahatan pula di Yen-an," tutur Tay-yu.
Maka tahulah Lenghou Tiong. Ia pikir bila guru dan ibu-gurunya sudah tampil ke muka, tentu Dian Pek-kong
sukar lolos dari ajalnya. Tiba-tiba ia merasa sayang juga. Ia merasa Dian Pek-kong itu memang pantas binasa
sesuai ganjaran atas kejahatannya, tapi ilmu silatnya sesungguhnya juga amat tinggi, sifatnya juga cukup
jantan seperti apa yang telah dialaminya di Cui-sian-lau tempo hari. Cuma sayang apa yang diperbuatnya
selalu hal-hal yang jahat sehingga menjadi musuh bersama kaum persilatan.
Dua hari selanjutnya Lenghou Tiong giat belajar Lwekang, dia telah menyumbat kembali lubang yang
menembus ke gua belakang itu. Jangankan pergi melihat ukiran-ukiran dinding itu, bahkan berpikir saja tidak
berani lagi.
Petang hari itu, sesudah bersantap, dia duduk bersemadi untuk beberapa lamanya. Ketika dia akan tidur, tibatiba
terdengar ada suara orang naik ke atas puncak itu. Dari suara tindakannya yang cepat gesit, terang ilmu
silat pendatang itu sangat tinggi. Keruan ia terkejut. Ia tahu pendatang itu bukan orangnya sendiri, untuk
maksud apa kedatangannya? Cepat ia siapkan pedang di pinggangnya.
Dalam pada itu, pendatang itu sudah sampai di atas puncak dan sedang berseru, "Lenghou Tiong, sahabat
lama yang datang ini!"
Lenghou Tiong terperanjat. Ternyata pendatang itu bukan lain adalah "Ban-li-tok-heng" Dian Pek-kong! Padahal
guru dan ibu-gurunya sedang pergi mencarinya, tapi sekarang dia malah datang ke Hoa-san.
Segera Lenghou Tiong memapak keluar dan menjawab dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana atas kunjungan
Dian-heng ini!"
Dian Pek-kong membawa sebuah pikulan. Dari kedua keranjang bambu pikulannya telah dikeluarkannya dua
guci arak. Katanya dengan tertawa, "Kabarnya Lenghou-heng sedang meringkuk dalam penjara di puncak Hoasan
sini, tentu mulutmu sudah ketagihan, maka dari Tiang-an aku sengaja mengambilkan dua guci arak
simpanan 130 tahun lamanya untuk dinikmati bersama Lenghou-heng."
Lenghou Tiong coba mendekati, di bawah sinar bulan dapat dilihatnya di luar kedua guci itu memang ada
kertas etiket "Ti-sian-lau", yaitu nama sebuah restoran terbesar di kota Tiang-an. Dari kertas etiket itu serta
lak yang membungkus rapat mulut guci dapatlah diketahui memang barang simpanan lama sekali. Dasar
kegemarannya memang minum arak, keruan ia bergirang, katanya dengan tertawa, "Kau telah sengaja
memikul 100 kati arak ini ke puncak Hoa-san sini, kebaikanmu ini benar-benar harus dipuji. Mari, mari, boleh
segera kita minum arak."
Ia berlari ke dalam gua dan mengambil dua buah mangkuk besar. Sementara itu Dian Pek-kong sudah
membuka tutup guci sehingga terendus bau harum arak yang semerbak. Belum lagi arak itu masuk perutnya,
baunya saja sudah memabukkan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Segera Dian Pek-kong menuangkan semangkuk penuh, katanya, "Coba kau mencicipi dulu, bagaimana
rasanya?"
Tanpa menolak lagi segera Lenghou Tiong menenggaknya sekaligus hingga habis, lalu serunya memuji,
"Ehmmm, benar-benar arak bagus yang jarang ada bandingannya di dunia ini."
Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, "Menurut kaum ahli, katanya arak ternama hanya terdapat di Hunyang
dan di Siauhin. Arak Hunyang tempatnya adalah di kota Tiang-an dan yang nomor satu adalah buatan 'Ti-sianlau'.
Maka di zaman ini arak dari restoran yang termasyhur itu hanya dua guci ini saja dan tidak lebih."
Lenghou Tiong menjadi heran. "Masakah gudang Ti-sian-lau itu hanya bersisa dua guci ini saja?" tanyanya.
"Simpanan di gudang Ti-sian-lau sih sangat banyak, ada ratusan guci sedikitnya," sahut Dian Pek-kong dengan
tertawa. "Tapi kupikir arak bagus ini kalau dapat dicicipi oleh setiap orang asal berduit, dari mana dapat
menunjukkan kehebatan dan kekhususan Lenghou-tayhiap dari Hoa-san pay? Maka dari itu segera kukerjakan,
hanya sebentar saja guci-guci di gudang restoran itu sudah hancur berantakan dan terjadi banjir arak."
Lenghou Tiong terkejut dan geli, tanyanya cepat, "He, jadi Dian-heng telah menghancurkan seluruh isi
gudangnya?"
"Ya, makanya di dunia sekarang ini hanya tinggal dua guci ini saja, dengan demikian barulah kelihatan oleholeh
ini ada harganya bukan? Hahahaha!"
"Terima kasih, terima kasih!" kata Lenghou Tiong sambil menuang semangkuk dan menenggaknya habis.
"Padahal Dian-heng telah sudi memikul kedua guci arak ini ke puncak Hoa-san sini, jerih payah ini saja sudah
pantas untuk dihargai setinggi-tingginya. Jangankan yang dibawa ini adalah arak nomor satu di dunia,
sekalipun cuma air tawar juga membuat Lenghou Tiong sangat berterima kasih."
"Bagus, laki-laki sejati, jantan tulen!" seru Dian Pek-kong sambil mengacungkan jari jempol.
"Mengapa Dian-heng memuji?" tanya Lenghou Tiong.
"Kau tahu orang she Dian ini adalah maling cabul yang dapat berbuat kejahatan apa pun juga, setiap orang
Hoa-san-pay semuanya ingin membunuh diriku juga. Tapi sekarang kubawa arak untukmu dan Lenghou-heng
telah minum tanpa curiga apakah arak ini berbisa atau tidak, maka aku bilang hanya laki-laki sejati yang
berjiwa besar saja yang ada nilainya untuk minum arak nomor satu ini."
"Ah, Dian-heng terlalu memuji saja. Kita sudah dua kali bergebrak, aku sudah tahu perbuatan Dian-heng
memang tidak senonoh, namun kuyakin perbuatan pengecut pastilah tidak sudi dilakukan oleh Dian-heng.
Padahal ilmu silat Dian-heng jauh lebih tinggi daripadaku, bila benar-benar ingin mencabut nyawaku dapatlah
dilakukan dengan mudah, buat apa mesti pakai racun apa segala!"
"Hahaha, benar juga ucapanmu," seru Dian Pek-kong sambil terbahak. "Tapi apakah kau mengetahui bahwa
kedua guci arak ini tidak kubawa langsung dari Tiang-an, tapi lebih dulu aku telah mampir ke daerah Siamsay
untuk melakukan beberapa perkara, habis itu baru naik ke Hoa-san sini?"
Lenghou Tiong terkesiap, ia tidak mengerti apa arti ucapan Dian Pek-kong itu. Tapi setelah direnung sejenak
segera ia paham duduknya perkara. Katanya, "O, kiranya Dian-heng sengaja membikin beberapa perkara
untuk memancing keberangkatan guru dan ibu-guruku, lalu kau dengan bebas dapat datang kemari. Dian-heng
sengaja menggunakan tipu pancingan ini, entah apa maksud tujuanmu?"
"Boleh Lenghou-heng coba menerkanya," sahut Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Baik," kata Lenghou Tiong. Lalu ia menuang semangkuk arak pula dan menyambung, "Dian-heng, kau adalah
tamu, di gunung sunyi ini tidak ada sesuatu yang dapat kusuguhkan, biarlah kupinjam arakmu ini untuk
menyuguhkan kau semangkuk."
"Terima kasih," sahut Dian Pek-kong. Lalu mereka bersama-sama menghabiskan semangkuk arak. Mereka
sama tertawa, saling memperlihatkan mangkuk masing-masing yang sudah kosong.
Setelah menaruh kembali mangkuknya, mendadak sebelah kaki Lenghou Tiong melayang ke depan, kontan dua
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
guci arak itu ditendang mencelat dan jatuh ke dalam jurang.
Dian Pek-kong terkejut. "Heh, sebab apakah Lenghou-heng menendang kedua guci arak itu?"
"Jalan kita berbeda, pikiran kita berlainan," sahut Lenghou Tiong. "Dian Pek-kong, kejahatanmu sudah kelewat
takaran, setiap orang persilatan siapa yang tidak ingin membinasakan kau. Lenghou Tiong menghormati kau
karena sifatmu yang tidak terlalu pengecut, makanya sudi minum tiga mangkuk arak bersama kau.
Persahabatan kita sampai di sini juga sudah berakhir, jangankan cuma dua guci arak, biarpun segala benda
mestika di dunia ini kau taruh di depanku juga tak dapat membeli persahabatanku kepadamu."
"Sret", mendadak ia lolos pedang dan berseru pula, "Dian Pek-kong, biarlah sekarang aku belajar kenal pula
dengan ilmu golokmu yang hebat itu."
Namun Dian Pek-kong tidak melolos goloknya, dia tersenyum sambil menggeleng, katanya, "Lenghou-heng,
ilmu pedang Hoa-san-pay kalian memang hebat, cuma usiamu masih muda, pelajaranmu belum sempurna. Jika
kita mesti main senjata, betapa pun kau bukan tandinganku."
Teringat kepada kejadian dahulu, Lenghou Tiong sadar dirinya memang bukan tandingan maling cabul ini,
kalau dahulu tidak menggunakan tipu akal mungkin jiwanya sudah melayang di tangannya. Segera ia
mengangguk, katanya, "Ucapan Dian-heng memang betul. Dalam sepuluh tahun ini aku memang tidak mampu
membinasakan Dian-heng."
Habis berkata, "krek", ia kembalikan pedang ke dalam sarungnya.
"Hahaha! Orang yang tahu gelagat adalah jantan sejati!" seru Dian Pek-kong.
"Lenghou Tiong adalah kaum keroco saja, dengan susah payah Dian-heng datang kemari, mungkin tujuanmu
bukan hendak mengambil buah kepalaku ini. Tapi hendaklah maklum bahwa kita adalah lawan dan bukan
kawan, apa pun kehendak Dian-heng sama sekali takkan kuterima."
"Belum lagi aku bicara sudah lebih dulu kau tolak," kata Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Betul," sahut Lenghou Tiong. "Tak peduli apa kehendakmu pasti bertolak belakang seluruhnya. Aku memang
bukan tandinganmu, terpaksa harus kabur saja. Selamat tinggal!"
Habis berkata segera ia berlari ke belakang tebing sana.
Namun Dian Pek-kong terkenal dengan Ginkang yang tinggi dan jarang ada bandingannya, oleh karena itulah
selama ini dia dapat bergerak bebas meski sering digerebek oleh jago-jago persilatan dari berbagai aliran.
Maka begitu Lenghou Tiong memutar tubuh, gerakan Dian Pek-kong ternyata lebih cepat pula, tahu-tahu dia
sudah mengadang di depannya. Meskipun Lenghou Tiong beberapa kali putar haluan, tapi selalu dia kena
dihalangi.
"Tidak dapat lari, terpaksa berkelahi," seru Lenghou Tiong sambil lolos pedang. "Marilah kita coba-coba lagi,
Dian-heng, tapi aku pun akan berteriak minta bala bantuan."
"Jika gurumu datang kemari, terpaksa akulah yang akan kabur," ujar Pek-kong dengan tertawa. "Namun Gaksiansing
dan Gak-hujin sekarang berada beberapa ratus li jauhnya, terang mereka tidak keburu datang
menolong kau. Sedangkan para Sutemu itu walau berjumlah banyak toh takkan berguna meski kau panggil ke
sini, yang lelaki jiwanya akan melayang percuma, yang wanita, hehe ... malahan kebetulan bagiku ...."
Mendengar ucapan terakhir itu, Lenghou Tiong terkesiap. Ia pikir apa yang dikatakan maling cabul itu memang
betul, para Sutenya terang bukan tandingan Dian Pek-kong, sebaliknya Siausumoaynya yang cantik itu bila
dilihat Dian Pek-kong tentu akan menjadi korban keganasannya pula.
Dasarnya Lenghou Tiong memang cerdik dan banyak tipu akalnya, segera ia mengambil keputusan, paling baik
sekarang harus main pokrol saja untuk mengulur waktu, tak bisa menang dengan kekerasan, terpaksa harus
mengalahkannya dengan akal. Asalkan diulur dan ditunda sampai guru dan ibu-gurunya sudah pulang nanti
tentu keadaan akan dapat diselamatkan.
Maka katanya kemudian sambil angkat bahu, "Baiklah, memangnya berkelahi aku pun tak bisa memang, lari
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
juga tak dapat, panggil bala bantuan juga gagal, ya, apa mau dikata lagi."
"Lenghou-heng," kata Dian Pek-kong dengan tertawa, "harap kau jangan salah sangka bahwa aku akan
membikin susah padamu, padahal kedatanganku ini sangat berguna bagimu, aku percaya kelak kau tentu akan
merasa terima kasih padaku."
"Dian-heng adalah maling cabul yang buruk nama, tak peduli urusan ini akan berfaedah bagiku atau tidak,
pendek kata aku takkan sudi menjadi begundalmu," sahut Lenghou Tiong.
"Memang betul aku adalah maling cabul yang mahajahat, sebaliknya Lenghou-heng adalah kesatria muda
terpuji dari Hoa-san-pay, sudah tentu kita tak bisa bergaul bersama. Tapi kalau tahu begini kenapa dahulu
dilakoni?"
"Apa artinya dahulu dilakoni?" tanya Lenghou Tiong.
"Habis, ketika di Cui-sian-lau dahulu kita malah minum bersama semeja dengan akrab sekali."
"Hanya minum bersama saja apa artinya, dalam sejarah juga tidak kurang kaum pahlawan minum bersama
musuh, misalnya Lau Pi dan Co Cho di zaman Sam-kok."
"Dan malahan di rumah pelacuran Kun-giok-ih kita juga pernah main perempuan bersama," demikian Pek-kong
menambahkan.
"Cis," jengek Lenghou Tiong, "tatkala itu aku dalam keadaan terluka parah, mana bisa dikatakan main
perempuan segala?"
"Akan tetapi di rumah pelacuran itulah Lenghou-heng telah tidur satu ranjang bersama kedua nona yang cantik
jelita itu."
Hati Lenghou Tiong tergetar. Teriaknya, "Dian Pek-kong, hendaklah mulutmu dijaga bersih sedikit. Lenghou
Tiong selamanya menjaga harga diri, kedua nona itu lebih-lebih suci bersih. Jika kau sembarangan omong
secara kotor lagi, terpaksa aku tidak sungkan-sungkan pula."
"Apa gunanya kau tidak sungkan padaku sekarang? Jika kau ingin menjaga nama baik Hoa-san-pay, tatkala itu
seharusnya kau berlaku sungkan dan menghormati kedua nona itu. Tapi mengapa secara terang-terangan di
hadapan tokoh-tokoh Jing-sia-pay dan Heng-san-pay kau tidur satu ranjang dan main gila dengan kedua nona
itu? Hahahaha!"
Keruan Lenghou Tiong sangat gusar, kontan ia menghantam ke depan. Namun dengan tertawa Dian Pek-kong
telah mengelak. Katanya, "Apa yang terjadi itu tak mungkin disangkal olehmu, bukti menjadi saksi. Kalau
tempo hari tidak main gila terhadap mereka, mengapa sekarang mereka rindu padamu?"
Diam-diam Lenghou Tiong pikir tiada gunanya bertengkar mulut dengan bajingan yang hina ini, kalau bicara
terus bukan mustahil segala kata-kata kotor juga dapat diucapkan olehnya. Waktu di Cui-sian-lau tempo dulu
dia telah tertipu, kejadian itu merupakan suatu penghinaan yang memalukan baginya, hanya dengan kejadian
itulah baru dapat menyumbat mulutnya. Maka mendadak ia tertawa malah dan berkata, "Aha, kukira ada
keperluan apa Dian-heng datang ke sini, tak tahunya adalah perintah gurumu si Nikoh cilik Gi-lim yang
mengirimkan dua guci arak padaku untuk membalas budiku karena aku telah mencarikan seorang murid baik
baginya. Hahaha!"
Sekilas muka Dian Pek-kong berubah merah. Sahutnya kemudian, "Kedua guci arak itu adalah oleh-olehku
sendiri. Hanya saja kedatanganku ke Hoa-san sini memang benar ada hubungannya dengan Gi-lim Siausuhu."
"Kalau panggil Suhu ya Suhu saja, mengapa pakai Siau (cilik) segala? Seorang laki-laki sejati sekali sudah
omong harus pegang janji. Memangnya kau hendak menyangkal? Gi-lim Sumoay adalah murid Hing-san-pay
yang ternama, adalah beruntung sekali jika kau dapat mengangkat seorang guru seperti dia. Hahaha!"
Sekarang Dian Pek-kong yang murka, segera ia hendak mencabut golok, tapi dapatlah ia menahan
perasaannya, katanya dengan dingin, "Lenghou-heng, kepandaian silatmu kurang sempurna, tapi kepandaian
mulutmu benar-benar lihai."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Ya, main hantam tidak dapat menandingi Dian-heng, terpaksa mencari jalan melalui mulut," sahut Lenghou
Tiong dengan tertawa.
"Adu mulut aku terima mengaku kalah saja. Sekarang silakan Lenghou-heng ikut berangkat padaku."
"Tidak, tidak mau! Biarpun aku dibunuh juga tidak mau!"
"Apakah kau tahu ke mana aku hendak membawa kau?" tanya Dian Pek-kong.
"Tidak tahu!" sahut Lenghou Tiong. "Pendek kata, apakah kau akan bawa aku naik ke langit atau masuk ke
bumi, tetap aku tidak sudi ikut pergi."
"Sesungguhnya aku hendak mengundang Lenghou-heng pergi menjumpai Gi-lim Siausuhu," kata Dian Pekkong
akhirnya.
Lenghou Tiong terkejut. "Hee, kiranya Gi-lim Sumoay kembali jatuh ke dalam cengkeramanmu lagi?" serunya.
"Sungguh kurang ajar sekali kau, berani berlaku tidak senonoh kepada gurunya sendiri?"
Dian Pek-kong menjadi gusar. Jawabnya, "Guruku ada orangnya tersendiri, bila kuterangkan tentu kau akan
kaget setengah mati. Untuk selanjutnya hendaklah kau jangan mencampuradukkan hal ini dengan Gi-lim
Siausuhu."
Sesudah sikapnya agak ramah, lalu katanya pula, "Sesungguhnya siang dan malam Gi-lim Siausuhu senantiasa
terkenang padamu. Aku telah anggap kau sebagai sahabat, sejak itu aku tidak berani bersikap kurang hormat
sedikit pun padanya. Untuk ini bolehlah kau percaya padaku. Nah, marilah kita berangkat saja."
"Tidak, tidak mau! Sekali tidak mau, tetap tidak mau!" sahut Lenghou Tiong.
Dian Pek-kong tertawa dan tidak bersuara pula.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Lenghou Tiong. "Ilmu silatmu lebih unggul, lalu kau hendak pakai kekerasan
untuk menawan aku bukan?"
"Sama sekali aku tiada punya rasa permusuhan kepadamu, sesungguhnya aku tidak ingin membikin susah
padamu. Tapi jauh-jauh aku sudah datang kemari, mana boleh pulang dengan tangan hampa?"
"Dian Pek-kong, dengan ilmu golokmu yang hebat itu memang tidak sukar untuk membunuh diriku. Tetapi
Lenghou Tiong lebih suka mati daripada dihina, paling-paling jiwaku ini saja yang akan melayang, jika kau ingin
menawan aku hidup-hidup, huh, jangan harap."
Untuk sejenak Dian Pek-kong menatap tajam ke arah Lenghou Tiong. Dari kejadian-kejadian dahulu memang
diketahuinya murid Hoa-san-pay ini sangat gagah perwira, wataknya suka nekat dan tak gentar terhadap apa
pun juga. Jika dia benar-benar sudah nekat, untuk membunuhnya memang gampang, tapi hendak
menawannya benar-benar sukar.
Akhirnya Dian Pek-kong berkata, "Lenghou-heng, aku hanya diminta orang untuk mengundang kau supaya
menemui Gi-lim Siausuthay, maksud lain tidak ada. Buat apa kau mesti nekat dan mengadu jiwa?"
"Kalau sesuatu aku sudah tidak mau, jangankan kau, sekalipun guruku, ibu-guru, Ngo-gak-bengcu atau si
kakek raja juga tak bisa memaksa aku. Pendek kata sekali aku tidak mau pergi, tetap aku tidak mau pergi."
"Jika begini kukuh tekadmu, terpaksa aku berlaku kasar padamu," kata Dian Pek-kong sambil melolos golok.
"Kau bermaksud menawan aku, itu sudah perbuatan yang kasar padaku. Biarlah hari ini puncak ini sebagai
tempat istirahatku yang abadi," seru Lenghou Tiong dengan gusar. "Sret", ia pun mengacungkan pedangnya
sambil bersuit panjang.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru