Minggu, 21 Mei 2017

Cersil KPH Cinta Bernoda Darah 1 Lanjutan Suling Emas

Cersil KPH Cinta Bernoda Darah 1 Lanjutan Suling Emas Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil KPH Cinta Bernoda Darah 1 Lanjutan Suling Emas
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil KPH Cinta Bernoda Darah 1 Lanjutan Suling Emas
dunia-kangouw.blogspot.com
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
E-book : dunia-kangouw.blogspot.com
Puncak Gunung Thai-san yang menjulang tinggi di angkasa tertutup awan putih tebal yang bergumpalgumpal
mengelilingi puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada musim panas,
sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu tampak dari bawah. Keadaan inilah yang
menimbulkan dongeng di kalangan penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san
merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia setengah dewa saja
yang dapat mendatangi puncak Thai-san.
Dongeng atau kepercayaan tentang hal kedua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat bahwa penduduk
pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan bumi.
Harus diingat pula akan keadaan puncak itu sendiri. Terlalu tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak,
terlalu dingin sehingga manusia biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak
bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah yang
mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam badan.
Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa,
yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat menghadapi
semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan. Betapa pun juga, puncak Thai-san tetap jarang
sekali dikunjungi orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan yang
amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak tampak berkilauan seperti perak
digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias ujungujung
daun dengan mutiara-mutiara air embun berkilauan seperti hiasan anting-anting pada telinga dara
jelita. Burung-burung berkicau menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan
bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana gembira dan indah ini?
Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang
tepat sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru! Buang yang
lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya,
demikianlah harapan dan renungan setiap insan pada setiap tahun baru.
Semenjak pagi hari para penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung sudah sibuk berpesta, bergembira ria
merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpanan dikeluarkan dari peti pakaian, ‘setahun sekali’
menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling
memaafkan, gembira tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya
hidup.
Serombongan orang bergerak cepat mendaki puncak Thai-san, amat cepat gerak-geriknya, amat ringan
langkah kakinya. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyaksikan gerak-gerik
lima orang yang bagaikan serombongan kera besar melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara batubatu
besar dan pohon-pohon mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa inilah
serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang mendaki puncak itu untuk bertahun baru di sana!
Rombongan itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan tiga di Kun-lunpai,
maka tidaklah mengherankan apa bila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san. Tibatiba
pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika lima orang itu
berhenti, diam tak bergerak seperti patung-patung dewa penghias gunung. Mereka semua telah
mendengar suara yang halus itu.
Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan menyelinap di antara desir angin
mempermainkan daun dan dendang anak sungai di dasar jurang. Namun kata-katanya
jelas dapat
tertangkap pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.
Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat dari pada pikiran sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaan seperti roda
kereta mengikuti jejak sapi penariknya.
Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan seperti
bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.
Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan perjalanan mereka. Di wajah-wajah tua
itu timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara beliau...?” tanya tosu termuda, usianya
belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung hidung.
“...ssssttttt...!” Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam.
Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil mempergunakan ginkang
(ilmu meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput
Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan ginkang mereka
begitu hebat sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya
kaki yang bergerak! Sementara itu suara nyanyian terdengar terus, halus lembut menusuk anak telinga.
Dia menyiksaku, dia memukulku, dia mengalahkan aku, dia merampokku!
Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.
Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian,
karena benci takkan hapus oleh benci pula,
melainkan musnah oleh kasih!
Ang Kun Tojin mengerutkan keningnya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang dalam
pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang kedua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun
mempelajari filsafat agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama
Buddha, merupakan bait-bait pertama dari pada pelajaran dalam kitab Dhammapada. Ia pernah
mendengar bahwa ‘beliau’ adalah seorang yang menganut Agama To, mengapa sekarang menyanyikan
pelajaran berupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu? Seorang hwesio
(pendeta Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih
baik dan menimbulkan harapan apa bila beliau itu seorang yang beragama To.
Di pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah.
Awan putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-puncak gunung lain
tersembul ke luar seperti pulau-pulau runcing atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main,
mendatangkan rasa seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan
makhluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bahwa mereka makin dekat dengan
Tuhan. Memang, siapa dapat merasakan ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat
dengan Tuhan!
Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak ditilami
rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu
putih berjajar seperti menara, di tanah datar yang halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua
rombongan orang telah berada di situ mendahului mereka!
“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu
kata peribahasa,
Ang Kun Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam puluhan,
berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi caping lebar. Di belakang si gendut ini
berdiri enam orang petani lain, kesemuanya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana
seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.
“Siancai... siancai...,” Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkapkan kedua tangan di depan
dada memberi hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya. “Tidak dinyana sahabat Kok Bin Cu
dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu (Orang Gagah).”
“Ha-ha-ha, selamat... selamat, Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur
makmur dan kokoh kuat.” Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala Hoa-san-pai itu
balas memberi hormat, diturut oleh enam orang adik seperguruannya.
“Juga pinto (saya) bersaudara menghaturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tongdunia-
kangouw.blogspot.com
pai,” kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan kedua yang di sebelah kiri.
Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan dingin.
Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan
kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna kuning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi orang
kedua dari Bu-tong-pai. Selain ilmu silatnya amat tinggi, juga pengetahuannya tentang Agama Buddha
amat mendalam.
“Omitohud...,” Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga
orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga dilimpahi berkah
oleh Sang Buddha....”
Murid kepala Hoa-san-pai yang bertubuh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira sikapnya,
suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Berbeda dengan
rombongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan pendiam sehingga keadaan di situ
menjadi kaku dan dingin. Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta
sehingga mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pendeta, yaitu alim dan suci!
Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah tosu, bukan
pendeta agama ini, melainkan penganut biasa dan hidup mereka sehari-hari adalah sebagai petani.
Melihat keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata. “Wah, tiga rombongan wakil
partai persilatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah berkumpul di sini. Kiranya dengan maksud yang
sama pula, yaitu hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun
Toyu dan Leng Lo Suhu?”
“Pinceng (saya) bersaudara memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas
kasihannya,” jawab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio tidak
malu-malu untuk minta-minta.
“Karena beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mohon diberi penerangan,”
jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab Dhammapada,
bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan kami?”
bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang berat dan lambat.
Mendengar ini diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian
itu terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang
berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main! Penggunaan tenaga mukjijat khikang yang
disalurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka khawatir
karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi
mereka untuk bersaing dengan para hwesio itu.
“Ha-ha-ha, ji-wi Locianpwe (Dua Pendekar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu pada
golongan masing-masing. Biar pun saya sendiri, seperti juga sahabat semua, selama hidup belum pernah
bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya mendengar tentang orang tua sakti itu.
Beliau mengakui semua agama, seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu.
Tentu beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang pertama di
tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”
Ang Kun Tojin melangkah maju dan membantah, “Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orangorang
yang mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai petani-petani yang bahagia.
Ilmu silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor di kolong langit. Untuk apa pula mohon petunjuk Siansu? Tentu
bukan untuk urusan kebatinan. Akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat, untuk apakah
pula? Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”
“Ucapan Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio. “Bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para tosu Kunlun,
tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang kebatinan dari Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang
Gagah) dari Hoa-san tak mungkin hendak minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau mereka hendak minta
petunjuk tentang ilmu silat, pinceng (saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk jika melihat bahwa ilmu
silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ucapan ini biar pun terdengar membela namun mengandung sindiran yang memandang rendah tingkat
Ilmu Silat Hoa-san-pai. Memang hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini berwatak keras dan kaku, juga tidak
biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.
“Leng Lo Suhu benar-benar memandang rendah kami dari Hoa-san-pai!” tiba-tiba orang kelima dari Hoasan-
pai membentak sambil melompat maju. Dia adalah Kok Ceng Cu, seorang yang bertubuh tinggi tegap,
berwajah tampan dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar, usianya sekitar tiga puluh tahun.
“Sama sekali tidak memandang rendah,” bantah Leng Lo Hwesio. “Hanya pinceng sering kali mendengar
bahwa Hoa-san-pai mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan dalam ilmu silat, tidak begitu
mementingkan kekuatan dalam. Padahal Bu Kek Siansu adalah seorang ahli kebatinan dan tentu saja
petunjuknya akan berhubungan erat dengan kebatinan, maka tidak akan cocok dengan Sicu sekalian.”
“Tidak memandang rendah akan tetapi sama sekali tidak menghargai kepandaian lain orang. Sama saja!
Leng Lo Suhu, kami dari Hoa-san-pai memang masih rendah pengetahuan, tidak ada sesuatu yang patut
dibanggakan apa lagi disombongkan. Akan tetapi, saya akan merasa takluk kalau seorang di antara para
Losuhu
dari Bu-tong-pai dapat melebihi apa yang akan saya perlihatkan!”
Kok Ceng Cu yang masih berdarah panas dan tidak tahan mendengar partainya dipandang ringan segera
melangkah lebar mendekati sebuah batu gunung yang berwarna putih. Batu ini sebesar perut kerbau,
beratnya tidak kurang dari lima ratus kati. Seperempat bagian dari batu ini terpendam dalam tanah, kokoh
kuat dan untuk mencabutnya ke luar kiranya dibutuhkan sedikitnya tenaga seribu kati.
Kok Ceng Cu memasang kuda-kuda di dekat batu, kedua tangannya merangkul dari kanan kiri, lalu dengan
sebuah teriakan keras ia mengerahkan tenaga menjebol dan... batu itu terangkat ke atas terus diangkat ke
atas kepalanya. Otot-otot kedua lengannya tersembul ke luar, lehernya mendadak menjadi besar, namun
wajahnya yang tampan itu tidak berubah, tetap tenang dan tersenyum.
Pihak Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai memandang kagum. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi mereka
maklum bahwa bukanlah hal yang mudah dilakukan untuk mengangkat batu seberat itu hanya dengan
mengandalkan tenaga luar. Selain membutuhkan latihan tekun dan lama, juga harus memiliki bakat alam,
yaitu tenaga yang besar dan hal ini hanya dapat dimiliki oleh seorang laki-laki yang selama hidup tetap
membujang. Melihat keadaan wajah Kok Ceng Cu, terang bahwa jago Hoa-san-pai ini biar pun usianya
sudah tiga puluh tahun lebih, ternyata dia masih bujang, jejaka tulen!
“Tenaga gwakang (tenaga luar) Sicu hebat sekali, pinceng kagum!” kata Leng Lo Suhu dengan sejujurnya.
Akan tetapi hal ini memanaskan perut Leng Hi Hwesio, murid keempat dari Bu-tong-pai. Biar pun usianya
sudah enam puluh tahun, hwesio keempat dari Bu-tong-pai ini wataknya keras dan tidak mau kalah. Ia
segera melompat maju mendekati Kok Ceng Cu dan berkata nyaring. “Main-main dengan batu mati ini apa
sih anehnya? Sicu, kalau kau sudah lelah dan bosan, boleh operkan batu itu pada pinceng!”
Tadinya Kok Ceng Cu merasa bangga akan pujian murid tertua Bu-tong-pai, akan tetapi melihat dan
mendengar sikap dan kata-kata hwesio keempat ini, diam-diam ia merasa penasaran juga kaget. Apakah
hwesio yang kurus kering ini dapat mempergunakan tenaga seperti dia? Ia berseru keras dan kedua
lengannya bergerak ke bawah lalu ke atas, melontarkan batu besar itu kepada Leng Hi Hwesio sambil
berseru. “Lo-suhu terimalah!”
Batu berat itu meluncur ke arah hwesio Bu-tong-pai, kalau menimpa kepala tentu akan remuk. Namun
dengan tenang hwesio ini menggerakkan kedua tangannya, menerima batu itu dengan gerakan indah.
Kiranya ia telah menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Begitu kedua telapak tangannya
menempel pada batu, ia meminjam tenaga lontaran tadi, dan terus mengayun batu ke bawah, ke atas lagi,
dan melontarkannya ke atas, diterima lagi, diayun dan dilontarkan lagi ke atas sampai lima kali. Ketika
untuk kelima kalinya batu itu menimpa turun, ia menggunakan gerakan menyabet dengan kedua tangan
miring. Batu itu melenceng ke samping, terbanting ke atas tanah sampai amblas hampir setengahnya.
Inilah gerak pukulan Pukul Roboh Gunung Hitam, sebuah jurus ilmu Silat Bu-tong-pai yang lihai.
Terdengar tepuk tangan memuji dari para tosu Kun-lun-pai.
“Siancai, siancai, ilmu pukulan Bu-tong-pai benar-benar hebat!” seru Ang Kun Tojin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Pek Sin Tojin, murid kelima Kun-lun-pai yang bertahi lalat pada ujung hidungnya menjadi
penasaran melihat betapa dua orang dari rombongan Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai seakan-akan
mendemonstrasikan kepandaian. Kalau dari pihak Kun-lun-pai tidak ada yang bergerak, jangan-jangan
pihaknya akan dipandang rendah.
Ia melangkah maju mendekati batu itu, lalu berkata, “Siancai, batu terbanting keras jangan-jangan banyak
cacing yang akan tertimpa remuk.” Kaki kanannya bergerak mencongkel dan... batu itu menggelinding ke
luar dari dalam tanah, sampai lima kaki lebih jauhnya. Gerakan ini saja membuktikan betapa lihainya para
tosu Kun-lun-pai.
Yang paling berangasan di antara semua orang adalah Kok Ceng Cu. Ia mengeluarkan suara ejekan dari
hidungnya, “Hemmm, semua memamerkan tenaga dalam yang mengandalkan tenaga pinjaman, bukan
tenaga asli dari otot dan urat. Biar pun kami dari Hoa-san-pai hanya melatih otot untuk memperkuat tubuh,
namun permainan lweekang (tenaga dalam) seperti itu juga bukan hal aneh.” Ia tidak melakukan
tantangan, namun kata-katanya ini jelas mengangkat golongan sendiri dan tidak memandang tinggi dua
rombongan lain. Juga ia berdiri dengan dada terangkat, kedua kakinya memasang kuda-kuda dengan
sikap seolah-olah ia siap menghadapi siapa saja yang berani melawannya!
Tentu saja sikap ini memanaskan hati pihak Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai, apa lagi pihak Bu-tong-pai. Kalau
saja Ang Kun Tojin dan Leng Lo Hwesio tidak memberi isyarat dengan pandang mata, tentu ada tosu Kunlun
dan hwesio Bu-tong yang melompat maju untuk menghadapi Kok Ceng Cu.
Pada saat itu terdengar suara tertawa nyaring dan merdu. Semua orang menjadi kaget, memandang ke
kanan kiri, namun tidak tampak seorang pun manusia. Padahal jelas sekali tadi terdengar suara ketawa
seorang wanita, terdengar dekat sekali, bahkan suara pernapasan di antara kekeh tawa itu dapat mereka
dengar.
“Omitohud!” Leng Lo Hwesio mengeluarkan suara sambil merangkapkan kedua telapak tangan di depan
dada. “Sicu mengeluarkan sikap menantang, membikin marah dewi penjaga gunung!”
“Kita datang untuk mohon pelajaran kebatinan kepada Bu Kek Siansu, sedangkan saudara-saudara dari
Hoa-san-pai memperlihatkan kekerasan, sungguh lucu sehingga ditertawakan oleh segala makhluk halus,”
kata pula Ang Kun Tojin, namun diam-diam ia merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa yang
mengeluarkan suara ketawa itu sudah pasti seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Terang bukan Bu
Kek Siansu, juga bukan yang bernyanyi tadi, karena suara ketawa ini adalah suara wanita.
“Kami orang-orang Hoa-san-pai tidak takut terhadap segala siluman!” Kok Ceng Cu berkata keras sambil
melirik ke kanan kiri.
“Sute, jangan bicara begitu...,” Kok Bin Cu mencela adik seperguruan yang berangasan itu.
Akan tetapi suaranya terhenti ketika tiba-tiba pada saat itu terdengar lagi suara ketawa dan kini tahu-tahu
di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang amat cantik. Dia datang begitu saja seperti muncul dari
dalam bumi, tidak tampak datangnya, tahu-tahu sudah berdiri di depan Kok Ceng Cu sambil tertawa
terkekeh-kekeh, bibirnya yang merah dan lembut itu terbuka, tampak dua deretan gigi yang putih seperti
mutiara berbaris.
Empat belas orang itu memandang dengan mata terbelalak. Sungguh seorang wanita yang amat cantik,
dilihat dari wajahnya yang segar berseri itu agaknya belum dua puluh lima tahun usianya, namun sikap dan
gerak-geriknya membayangkan kepribadian yang kuat dan berwibawa, tenang dan tabah, sikap masak
seorang tokoh besar.
Pakaiannya dari sutera tipis berwarna putih sehingga terbayang baju dalam yang berwarna merah muda.
Sepasang kakinya tertutup sepatu kulit mengkilap berwarna hitam. Yang menarik hati dan mengerikan
adalah rambutnya. Rambut hitam gemuk, panjang sampai hampir menyentuh tanah di belakangnya,
sebagian lagi terurai ke depan dari kanan kiri lehernya. Tubuhnya padat berisi, kulit leher, tangan dan
mukanya halus dan putih seperti salju. Wanita yang cantik jelita, bersinar mata bengis, dengan mulut yang
tampaknya selalu mengejek dan diselubungi sesuatu yang aneh mengerikan. Begitu ia muncul, tercium
bau harum seperti taman bunga.
“Hi-hi-hik, kiranya jejaka tampan yang mengeluarkan tantangan. Wah, untungku hari ini! Orang muda yang
penuh tenaga dan hawa murni, kau dari golongan mana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kok Ceng Cu biar pun sudah berusia tiga puluh tahun lebih, namun tak pernah berdekatan dengan wanita.
Memang ia tidak suka akan wanita dan sudah bersumpah akan tetap membujang seumur hidup. Kini ia
menjadi marah sekali menghadapi wanita cantik aneh yang sikapnya sombong, ketawanya terbuka tanpa
mengenal sopan dan susila ini. “Wanita tak bersopan! Aku tidak suka bicara denganmu, akan tetapi kalau
kau ingin tahu, aku Kok Ceng Cu murid kelima dari Hoa-san-pai. Sudahlah, pergi jangan menambah muak
dengan ketawa-ketawa seperti siluman!”
“Hi-hi-hik, jejaka murni, nyalinya kuat. Bagus, bagus, kebetulan sekali. Eh, Kok Ceng Cu, kulihat tadi kau
mengangkat batu kecil ini, entah apa kau kuat menerima lemparan dariku?”
Tanpa menanti jawaban, wanita ini menggerakkan kepalanya dan... rambutnya yang indah dan panjang itu
bergerak seperti hidup ke arah batu gunung putih di dekatnya yang tadi dipakai main-main oleh orangorang
sakti itu. Begitu cepat gerakannya dan tahu-tahu batu itu telah terlempar ke arah Kok Ceng Cu.
Benar-benar membuat semua orang bengong terlongong. Bagaimana rambut indah panjang itu dapat
dipergunakan untuk mengangkat dan melempar batu yang beratnya lima ratus kati lebih?
Akan tetapi Kok Ceng Cu tidak sempat berheran. Melihat datangnya batu ke arah kepalanya, ia cepat
menggerakkan kedua lengan, menangkap batu itu dan mengerahkan tenaganya, melemparkan batu itu
kembali kepada wanita tadi sambil berseru membentak, “Siluman jahat, terimalah kembali!”
Lemparan Kok Ceng Cu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, akan hebat sekali akibatnya
kalau wanita itu tertimpa. Agaknya wanita aneh ini tidak mempedulikan datangnya batu, ia hanya
mengangkat lengan kiri menangkis. Terdengar suara keras dan batu itu terlempar ke kiri, pecah menjadi
dua!
Kejadian ini benar-benar membuat semua orang terkejut, dan sekaligus maklumlah mereka bahwa wanita
ini ternyata memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Juga Kok Ceng Cu sadar akan hal ini, namun
penyesalannya terlambat. Sambil terkikik-kikik ketawa wanita itu kembali menggerakkan kepalanya dan kini
rambutnya terurai meluncur ke depan dan di lain saat kedua pergelangan lengan dan leher Kok Ceng Cu
sudah terlibat rambut. Betapa pun murid kelima dari Hoa-san-pai ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk
melepaskan diri, usahanya
sia-sia seakan-akan seekor lalat yang berusaha melepaskan diri dari sarang
laba-laba, meronta-ronta tanpa hasil, malah rambut-rambut itu makin erat mengikat tangan dan mencekik
leher.
“Hi-hi-hik, berontaklah, makin keras makin baik agar darahmu berjalan lebih kencang!” Sambil terkekeh
wanita itu kembali menggerakkan kepalanya.
Tubuh Kok Ceng Cu tersentak ke depan, berputar dan tak dapat dicegah lagi mendekati wanita itu. Tibatiba
wajah wanita cantik itu menjadi beringas, matanya bersinar-sinar, mulutnya terbuka dan... cepat sekali
mulutnya mendekati tengkuk leher Kok Ceng Cu lalu menggigitnya, terus menghisap! Kok Ceng Cu
mengeluarkan jerit mengerikan, mukanya menjadi pucat kehijauan dan beberapa detik kemudian
nyawanya telah melayang meninggalkan badannya!
“Siluman keji...!”
Kok Bin Cu dan tiga orang adik seperguruannya bergerak maju menerjang wanita itu. Akan tetapi mereka
terhuyung mundur dan tubuh Kok Ceng Cu yang sudah dingin terlempar ke arah mereka, diiringi suara
ketawa wanita itu. Melihat keadaan Kok Ceng Cu yang sudah menjadi mayat, Kok Bin Cu cepat
menyambar dan memeluk adik termuda ini dengan penuh kesedihan. Ada pun tiga orang adik
seperguruannya yang lain berdiri dengan sikap siap, namun ragu-ragu untuk menerjang tanpa perintah Kok
Bin Cu. Mereka maklum akan kelihaian wanita siluman ini dan menjadi gentar juga.
“Cuh! Cuhhhhh!” terdengar suara orang meludah dan Leng Hi, murid keempat Bu-tong-pai menyumpahnyumpah
karena mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui dari mana datangnya.
“Ho-ho-hah, Siang-mou Sin-ni jangan berpesta seorang diri!” Suara laki-laki seperti tambur bobrok ini
terdengar dan sekaligus tampak orangnya.
Seorang berpakaian pengemis, sudah tua dan bongkok, mukanya pucat seperti mayat. Rambutnya
panjang sampai ke pundak, awut-awutan dan riap-riapan kotor. Mata kirinya buta, mata kanannya lebar
membelalak. Pakaiannya kotor dan penuh tambalan, hanya sepasang sepatunya masih baru. Ia
dunia-kangouw.blogspot.com
memegang sebatang tongkat butut, berdiri di situ dengan punggung agak bongkok.
Dilihat sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja, malah seorang pengemis yang tidak
normal, setengah gila. Hal itu tampak pada mukanya yang mengerikan, apa lagi mulutnya yang lebar dan
selalu sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang hanya satu-satunya dalam mulut tua.
Kembali ia meludah, “Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.
Melihat ini, Leng Li Hwesio marah, “Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng tadi?”
“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing korengan dan kucing kudisan. Lebih
suka lagi meludahi keledai gundul, cuh-cuh!” Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah ke bawah.
Akan tetapi anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio yang berada di sebelah kanannya
dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran ludah kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya.
Entah bagaimana ludah itu bisa terbang menyeleweng dan miring.
Kakek pengemis itu berjingkrak kegirangan, bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa. “Ha-ho-hoh! Bagus
sekali. Keledai Bu-tong memang baik menjadi tempolong ludah!”
“Jahanam hina!” Leng Hi Hwesio mana dapat menahan kesabarannya? Dengan kemarahan meluap-luap ia
sudah mencabut pedangnya dan menerjang pengemis itu.
“Ho-ho-ha-hah, untung besar hari ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!”
Tiba-tiba terdengar suara keras dan pedang di tangan Leng Hi Hwesio sudah terlempar jauh, menimpa
batu gunung dan patah menjadi dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali meludah,
Leng Hi Hwesio berseru kesakitan. Hujan ludah itu mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak hanya membikin
kotor seperti tadi, kini terasa seperti pukulan-pukulan keras yang tepat mengenai jalan darah di tubuhnya.
Tiap kali kakek itu meludah dan mengenai tubuhnya, ia berteriak mengaduh, kemudian ia menggulingkan
tubuh untuk menghindarkan diri. Namun kakek itu terus meludah, bahkan agaknya makin keras karena kini
tubuh Leng Hi Hwesio bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga dan hidungnya
keluar darah segar!
“Pengemis keji, lepaskan Sute kami!” Leng Lo Hwesio dan dua orang adik seperguruannya cepat
mencabut pedang dan menerjang pengemis itu.
Akan tetapi pengemis itu mengangkat tongkatnya, sekaligus tiga batang pedang itu tertangkis dan
terpental. Sungguh pun tiga orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang masing-masing,
namun mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan panas. Terkejutlah mereka. Bu-tong-pai
terkenal dengan ilmu pedang yang digerakkan dengan tenaga lweekang, kuat bukan main. Akan tetapi
sekarang sekali tangkis saja kakek ini dapat membuat pedang mereka terpental. Padahal mereka adalah
orang-orang yang menduduki tingkat dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di bawah suhu
(guru) mereka!
Sementara itu, kakek itu terus meludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat bersambat atau
bergerak lagi. Hebatnya, kepala yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari situ keluar darah bercampur
otak. Hwesio keempat ini sudah tewas!
“Mana orang Kun-lun! Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar suara dan kali ini suara itu
terdengar dari... bawah!
Terlalu hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai masih tercengang dan
ngeri menyaksikan kematian seorang anggota rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai.
Sekarang mendengar bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan cepat
memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke bawah, karena dari situlah
munculnya suara.
“Hi-hi-hik, It-gan Kai-ong! Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal ramai sekarang!”
Wanita rambut panjang tadi kini tertawa.
Si Pengemis Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan kiri. “Bagus, dan kebetulan orang-orang Kundunia-
kangouw.blogspot.com
lun berada di sini. Baik sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat
banyak orang Kun-lun-pai?”
Mendengar disebutnya Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu dengan
Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut sebagai seorang tokoh hitam
yang amat keji dan jahat, malah ada bibit permusuhan dengan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari mendiang
kakek guru Ang Kun Tojin.
Terdengar suara menggereng seperti harimau dari dalam tanah. Tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan
terbang dan tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang meluncur cahaya seperti kilat
yang terbang ke arah lima orang tosu Kun-lun-pai.
Para tosu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat mereka seperti juga orang-orang Hoasan-
pai dan Bu-tong-pai itu, sudah mencapai taraf tinggi sekali. Sekali pandang saja mereka maklum
bahwa yang menyambar ini adalah sebuah senjata yang amat tajam dan runcing, yang disusul melesatnya
bayangan hitam. Cepat mereka berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan menangkis.
“Trang-trang-trang...!” terdengar bunyi nyaring.
Bunga api berhamburan disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang di antara lima pedang
yang bertemu dengan senjata berkilauan itu. Kemudian terdengar jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu
yang bertahi lalat pada hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher sampai ke perutnya terdapat luka
goresan yang panjang, luka kulit saja akan tetapi amat mengerikan. Apa lagi kalau mereka melihat lawan
mereka yang kini sudah berdiri di depan mereka, benar-benar mendirikan bulu roma.
Dia seorang yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh badan terbungkus pakaian serba
hitam, kecuali sepasang tangan yang kecil kurus. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang putih
mengerikan dengan dua lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi runcing hitam, kedua kakinya
memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak
melengkung.
Senjata sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali berkelebat tentu kulit tubuh tosu itu
teriris robek. Pek Sin Tojin menggeliat-geliat bergulingan, darah memenuhi tubuh dan mukanya, namun
sabit itu terus bergerak, makin lama makin cepat. Empat orang tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua
orang termasuk Ang Kun Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya terlempar,
menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si tengkorak ini hanya menggerak-gerakkan tangan
kirinya dan semua serangan itu tertangkis oleh ujung lengan bajunya. Ada pun sabit di tangan kanannya
terus bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.
Kekejaman yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang lagi, tubuhnya berkelojotan,
lalu diam. Gerakan sabit juga berhenti dan kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat orang Kun-lun-pai
yang mengeroyoknya.
Sementara itu orang-orang Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang melayani tiga
orang kosen Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki. Di lain pihak, empat orang Hoa-sanpai
juga mengeroyok si wanita rambut panjang yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit.
Sungguh pertempuran yang amat seru namun tidak seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor harimau buas
dikeroyok serombongan kelinci saja. Sabit di tengan tengkorak hidup itu menyambar seperti halilintar dan
sebentar saja dua orang tosu Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh terbacok hampir putus
menjadi dua potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya sudah luka-luka pula.
Juga wanita mengerikan yang bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan dua
orang Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri tegak, kepalanya
digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di sekitar tubuhnya, menangkis senjata dan
menghantam lawan. Jangan dipandang rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut halus
dan berbau harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja yang amat kuat.
It-gan Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu), meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya membikin buta
seorang lawan yang terus kepalanya ditusuk tongkat sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio
mengerahkan seluruh ilmu pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama sekali tak berdaya menghadapi sinar
tongkat kakek itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka semua maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada yang
memberi komando, Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi meninggalkan para
sutenya yang sudah tewas. Mereka pun menderita luka-luka berat.
“Ha-ha-ho-ho! Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk memberi tahu kepada partai
masing-masing!”
“Tak usah kau ngoceh, pengemis picak!” Siang-mou Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah sambil
mengebut-ngebutkan rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau, apa kaukira
tua bangka
Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”
“Ho-ho-hah! Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang tokoh Kun-lun?”
Pengemis itu berpaling kepada si Tengkorak.
“Aku datang ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo si Tengkorak Hidup menjawab pendek.
“Hi-hik, untuk apa lagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak
kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis seperti pengemis picak ini?” Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi
Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.
“Ho-hah, setan cilik, lidahmu benar-benar lemas. Bibirmu halus mengandung madu, tapi ludahmu seperti
brotowali dan merica! Kau sendiri datang pada permulaan musim semi, apakah akan memberi selamat
panjang umur kepada setan gunung? Ho-ho, kau sendiri juga akan mengemis ilmu, bukan?”
“Cih, mulutmu bau busuk, pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek Siansu akan muncul di dunia.
Aku hendak melihat apakah dia dapat menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau mengangkatnya
sebagai guru, bukan mengemis seperti kau!”
“Ha-ha, silat lidah! Menjadi murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing segala, cuh!” It-gan
Kai-ong meludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya berlubang oleh ludah itu! “Bukankah
begitu, Hekgiam-
lo?”
Si Tengkorak hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng hanya mengeluarkan suara,
“Huhhh!”
“Ihhh, menyebalkan si Tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu? Apakah ingin menyembunyikan
suara seperti bertahun-tahun ia menyembunyikan mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut lepas
kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau laki-laki tampan atau buruk, muda
atau tua!”
“Hemmm...,” Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni dan senjata
sabitnya yang mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.
It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus...! Aku pun
mempunyai keinginan yang amat sangat, yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu. Alangkah akan
ramainya, entah siapa yang hanya bernama kosong belaka. Siang-mou Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo,
mulailah!”
Sejenak Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hendak menggerakkan
rambutnya menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah pengemis tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa
terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik, pengemis tua busuk, kau hendak akali kami berdua, ya? Kau mengadu kami,
biar keduanya mampus atau payah, baru kau turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu
Kek Siansu. Begitukah? Akal bulus!”
“Kalian mau saling gempur atau saling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?”
Kakek itu merengut kesal.
“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dialah yang berhak menemui Bu Kek Siansu. Yang
kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”
“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong. “Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo. Yang ditanya hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
mengangguk, tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua
orang di depannya itu.
Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian.
Mereka seakan-akan tiga ekor harimau yang siap menanti datangnya terjangan lawan, tegang sampai ke
bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak lebih dahulu karena maklum bahwa lawan
amatlah hebat, siapa terlena dia akan sirna.
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke
arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik selisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang
menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang menggunakan sabit
menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus tiga orang itu telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka
mendengus nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi membentuk
segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan senjata mereka yang menyambar tadi
masih terdengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat situ.
Amat tegang seluruh urat syaraf ketiga orang itu, mereka sudah bersiap untuk melakukan terjangan atau
menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka bergerak dan perhatian mereka tertarik oleh
bunyi suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari
menyongsong munculnya sang matahari, akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar
menyambar-nyambar membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari tertawa
merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati suaminya.
“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.
“Kita lihat siapa yang datang,” sambung Siang-mou Sin-ni mengangguk.
Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar makin
nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan mendekati tempat itu. Tiga orang sakti ini menjadi
tegang hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kangouw
sudah banyak kali mereka dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya.
Apakah kakek sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar, berjalan dengan tenang perlahan
menuju ke puncak sambil meniup suling yang dipegang dengan kedua tangannya. Suling itu berkilauan
tertimpa matahari dan mudah diduga bahwa benda ini terbuat dari pada emas murni. Peniupnya seorang
laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti pakaian
seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali penutup kepala melambai panjang. Pakaian orang ini
hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya
hitam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah yang berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang
hitam itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.
“Iihhh... gantengnya...!” Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandang penuh gairah kepada wajah yang
tampan itu.
“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas...?” It-gan Kai-ong berkata perlahan seperti pada diri
sendiri. Ada pun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus marah.
Sementara itu laki-laki muda bersuling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga adanya
mayat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat
pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis
yang tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Keji sekali...!” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.
“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong menantang.
Pemuda itu tersenyum, menoleh kepada pengemis mata satu dan berkata dengan suara tenang
berwibawa, “Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan
urusanku. Akan tetapi andai kata tadi aku berada di sini, jangan harap kalian mengumbar kekejaman
sesuka hati.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, memandang sejenak dan berkata. “Kau
Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang.
Orang muda itu tertawa mengejek. “Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali
mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat tinggi, kiranya ia hanya
mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku
ini dari emas, jauh lebih berharga dari pada sabitmu, baik harganya mau pun kegunaannya. Kalau kau
takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku ini.”
Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya?
Senjata yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka
tengkoraknya.
Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam. “Terimalah
ini!” serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar menyambar ke arah
leher kiri Hek-giam-lo. Serangan ini cepat bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat
dari depan seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka ke mana akan
mencari sasaran.
Tiba-tiba Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir menempel ulu hatinya. Namun ia memang lihai
sekali. Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan kirinya menyambar dari samping
menangkap suling itu dan mendorong ke kanan agar meleset dari pada ulu hatinya, bagian yang
berbahaya itu. Alangkah herannya ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut,
malah agaknya dilepaskan oleh pemiliknya.
Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu datang tenaga yang amat
keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan tangan kanan, namun tiba-tiba
suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan
perhatian dan tenaganya ke tangan kiri yang mencengkeram suling, berusaha merampas suling untuk
menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri dari ancaman suling, baru kemudian berusaha
merampas kembali senjatanya.
Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya. “Hek-giam-lo,
terima kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan
kukembalikan.”
Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia
meloncat ke kiri, sekali loncatan tubuhnya melayang lebih sepuluh meter jauhnya. Kiranya ia memilih tanah
yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika
dengan cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.
“Heh, kau tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!”
terdengar suara serak si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”
Suling Emas tidak menjawab, melainkan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar saja di
depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.
Sinar hitam yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari Hek-giamlo
yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam). Begitu
hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan
awan yang membungkusnya ketika benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.
Melihat Hek-giam-lo mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong
terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang Suling Emas yang
ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari belakang dan pemuda itu asyik bekerja
menggali tanah, mana dapat ia menyelamatkan diri?
Suling Emas menggali dengan gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit
saja yang bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan mentertawakannya karena
cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang
dunia-kangouw.blogspot.com
dan terhuyung-huyung. Akan tetapi kalau melihat hasil galian di depannya, orang akan bengong
terlongong. Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekali pun belum tentu
akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian cepatnya.
Sekarang tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh Suling Emas masih tetap bekerja dan
ketika gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan berpencar
mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia masih saja bergerak-gerak menggali lobang. Namun kini
di antara berkelebatnya sinar sabit yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang
mengeluarkan angin keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo
mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi, si Muka Tengkorak berdiri
setengah berjongkok, kedua tangannya dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sinkang-nya
untuk memberi dorongan kepada senjata rahasianya.
Suling Emas menunda gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya terdapat
sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia mengipaskan benda itu ke depan sambil berseru. “Hekgiam-
lo, aku terima tantanganmu, akan tetapi tunggulah sebentar sampai selesai pekerjaanku.” Ia
mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hitam yang sudah mendesak maju itu terpental mundur
sampai lima kaki jauhnya.
Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu, Suling Emas
berloncatan ke sana ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang
masuk ke dalam lobang besar yang digalinya tadi. Pemandangan yang amat mengerikan. Mayat-mayat itu
seakan-akan hidup kembali dan terbang seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya
menggunakan ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja sebelas buah
mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas lalu menguruk lubang dengan tanah galian.
Begitu cepat ia melakukan pekerjaan ini sehingga waktu untuk menggali dan ‘mengubur’ ini tidak lebih dari
pada sepuluh menit saja!
“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak
tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa mengejek.
“It-gan Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang
raja, sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.
“Tampan sekali! Ganteng... dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya...” Suara Siangmou
Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling matanya menyambar. Pemuda biasa
saja kiranya akan runtuh kalbunya dan bobol pertahanannya kalau menghadapi senyum dan kerling yang
memabukkan ini. Memang Siang-mou Sin-ni memiliki kecantikan yang luar biasa, keharuman rambut yang
memabukkan, dan ada sesuatu yang mukjijat, hawa kekuatan yang tidak sewajarnya keluar dari tubuhnya.
Suling Emas menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat.
“Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat di antara mayat-mayat itu terdapat seorang muda yang sudah kau
sedot habis isi tulang belakangnya, apakah kau masih juga belum kenyang?”
Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Ada pun It-gan Kai-ong lalu menegur, “Kimsiauw
(Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani lancang menyebut nama kami?
Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”
Suling Emas tertawa. “Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka memakai pakaian tambalan,
hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja pengemis yang terkenal, memang ada beberapa orang di
antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”
Siang-mou Sin-ni makin keras kekeh tawanya, bahkan si Muka Tengkorak yang pendiam juga terbatukbatuk
menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya. “Bocah sombong, berani kau
mempermainkan aku? Hayo ke sinilah, boleh kita adu kepandaian.”
“Nanti dulu, Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi rambutku, tak
perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni melangkah maju.
Akan tetapi Suling Emas tidak mempedulikan mereka berdua. Langsung ia menghampiri Hek-giam-lo,
menyerahkan senjata sabit. “Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima kasih.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-giam-lo mengulur tangan kiri menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak
melepaskannya. Sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang masih
dipegang oleh Hek-giam-lo, kemudian menyambar suling itu. Keduanya kini berdiri berhadapan dengan
kedua tangan memegang kedua macam senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan,
ragu-ragu berada di pihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada suling.
Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain saat kedua orang itu sudah saling
bertukar senjata.
Hek-giam-lo yang masih marah dan penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia
kalah dulu oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah melompat ke depan Suling Emas dan sambil terkekeh wanita
ini menggerakkan rambutnya yang mengeluarkan bunyi bercuitan seperti seratus cambuk menerjang
Suling Emas. Bau yang harum semerbak memabukkan menusuk hidung.
Suling Emas cepat mengerahkan sinkang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke depan
dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika suling emas itu bertemu dengan gumpalan
rambut yang paling tebal, sedangkan kipas yang bergerak kuat itu meniup balik rambut panjang yang tadi
menerjang maju seperti hidup.
Baik Suling Emas mau pun Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling
pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda
ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya sampai terasa pedas dan panas karena akar
rambutnya terguncang keras. Di lain pihak Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar
biasa seperti yang sudah lama ia dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada
dua senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.
“Siang-mou Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku, akulah yang berhak menantangnya.
Eh, Suling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah melangkah maju
lagi, tangan kirinya merogoh saku.
Suling Emas melintangkan suling di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala. Ia tersenyum
tenang. “Aku mendaki puncak Thai-san dengan perasaan aman dan damai, dengan pikiran gembira dan
bersih dari pada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak menghendaki permusuhan di tempat yang
indah dan sejuk ini. Akan tetapi kalau ada yang menantangku, biar pun aku ogah melayani, namun suling
dan kipasku harus menjaga nama dan kehormatan.”
“Jadi!” Hek-giam-lo berseru keras.
Tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga belas batang pedang pendek yang
seperti disulap keluar dari jubah hitamnya itu telah menancap di atas tanah, membentuk lingkaran.
Lingkaran itu terdiri dari sepuluh batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap
tiga batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh Hek-giam-lo melayang ke
tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang. Pedang
itu kecil saja, dapat dibayangkan betapa tinggi ginkang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk
dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo tetap tegak tak
bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.
“Bagus, boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo!” seru Suling Emas dan seperti seekor burung
garuda melayang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak
gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh menyeramkan, sabitnya
bergerak dan menyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, lawannya
bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah lewat di atas kepala dan sekali
menggerakkan kedua tangan, kipas di tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak
sedangkan suling disodokkan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan
gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar diduga ke mana arah dan
sasarannya.
“Huhhhhh...!” Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung
menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain yang merupakan pagar.
“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”
“Cerewet!” Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan bertubi-tubi
menyerang dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk sabitnya, berubah menjadi segulung
sinar putih menyilaukan mata.
Suling Emas terpaksa melayani desakan yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini.
Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya membalas
dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan menyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo
kini yang harus berloncatan mengelilingi patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha
keras untuk memaksa ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya yang
menginjak gagang pedang.
“Tengkorak busuk, serahkan si Ganteng kepadaku!” Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita ini pun sudah
meloncat ke atas gagang pedang. Dari belakang rambutnya menyambar ke arah leher Suling Emas untuk
mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka tampan yang hendak dijadikan
korbannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang amat lihai.
Namun Suling Emas biar pun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut
Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo
dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.
“Ihhhh... kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku?
Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?”
“Kalau perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,” jawab Suling Emas sambil
menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah, sungguh memalukan sekali. Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai
enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak dapat mengalahkan seorang
bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa tercemar nama besar Thian-te Liok-koai!”
It-gan Kai-ong si Raja Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan
pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa ginkang yang dimilikinya amat
tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biar pun tidak
berani ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik dari pada kalau
bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik
mungkin, menutup diri dengan pertahanan sekokoh benteng baja, dan mencari kesempatan merobohkan
lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan tiga orang tokoh yang selama hidupnya
baru kali ini ia lihat. Belum dua puluh jurus ia sudah terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar suara keras. Tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan ke luar dari lingkaran
patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang
melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah,
merobohkan patok-patok pedang tanpa dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan
berpoksai (bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tempat
itu.
Suling Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang pendek
itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru, “Iblis Hitam, bawa pergi
pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu
besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya
ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu
tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa seram karena
tak mungkin ada orang, betapa pun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali.
Helaan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali
tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini pandai menghilang?
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambargambar
para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung
kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih,
terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata
sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah.
Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat dari pada
anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim.
Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa
saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang mungkin terlalu besar
bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
berkata, “Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek
Siansu?”
Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua
baris gigi yang masih utuh dan rapi. “Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang
Maha Murah akan melimpahkan berkah kepadamu....”
Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada
Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini. “Locianpwe, maafkan kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu
menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu, kau rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kau kira
kalau sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia? Ha-ha-ha!”
“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”
“Sulingmu tadi mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu
mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?”
Suling Emas terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi.
“Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan
terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan beliaulah yang
dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk
menjumpai Locianpwe dan mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang amat baik.
Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu dari pada aku? Ha-ha, aku berani mengatakan
bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah Hopeh,
Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat mencegah
terjadinya hal itu,” suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya
sudah terlalu masak dan mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.
“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah membantu Cao Kuang Yin dalam usahanya mendirikan
Wangsa Sung. Sampai Cao Kuang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantunya
dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat,
hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya hidup makmur. Betapa pun juga, segala sesuatu sudah
direncanakan dan akan diatur pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”
“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain
lagi.”
“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat
mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau tidak
kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau
tersesat, buktinya kau masih mau mengubur jenazah-jenazah itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biar pun teecu sengaja
meninggalkan hidup yang lewat untuk... untuk....”
“Melupakan kepahitan yang mematahkan hatimu?”
Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon petunjuk.”
“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo perdengarkan suara sulingmu, dan kita
coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu lalu
duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mempunyai tujuh buah kawat itu.
Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja
ia maklum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu berarti berlatih atau menguji
kepandaian lweekang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup
sulingnya.
Bu Kek Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring
itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi
rendah.
Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara
sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya,
memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sinkang di dalam tubuhnya, mengatur pernapasan
sepanjang mungkin sampai memenuhi pusarnya, dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan
melalui suara sulingnya yang kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebat. Suara nyaring tinggi rendah dari kawatkawat
itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat dari pada tusukan-tusukan pedang pusaka,
lebih hebat dari pada gempuran tangan sakti. Kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan
makin lama makin kuat seperti ombak samudera.
Keadaan Suling Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata, keningnya
berkerut dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sinkang bekerja di tubuhnya. Ia
berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan,
akan tetapi usahanya itu seperti seorang pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan
taufan mengamuk di lautan.
Ia sebentar tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dan terhanyut kemudian dibanting ke atas
setinggi gunung, lalu dihempaskan ke bawah seperti dilempar ke neraka. Beberapa kali ia hampir pingsan,
namun semangatnya yang pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan
tekun ia memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam otaknya inti sari
jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan ajaib.
Di samping menuntun dan memberi petunjuk, agaknya Bu Kek Siansu juga hendak menguji kekuatannya.
Suara khim itu makin mendesak, menekan, dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak kuat lagi.
Kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil dan peluhnya sebesar kacang
kedelai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba, berbareng dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin
melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang
menindih kepalanya diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya kembali
dalam keadaan normal.
“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas membuka kedua matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang
amat berharga.”
“Orang muda, bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu mengangkatmu sebagai murid.
Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk mengabdi
kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu kalau tak mampu mempergunakan
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagaimana mestinya? Apa pula artinya puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak
dibawa mati? Karena inilah maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku selalu mencari jodoh untuk
menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu denganku pada hari pertama
musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan
masing-masing.”
Melihat kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan
dan dipermainkan perasaan, berkata, “Teecu sudah mendengar akan hal itu, sudah pula teecu dengar
betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari
Locianpwe. Harap Locianpwe terangkan, mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu?”
Kakek itu tertawa lebar, giginya berkilauan tertimpa sinar matahari. “Aku sudah melepaskan diri dari pada
ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci, tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku. Betapa
pun juga, aku seorang manusia yang masih dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan
bertemu denganku, siapa pun dia, pasti akan menerima warisan ilmu sesuai dengan watak dan bakatnya.”
Suling Emas biar pun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah banyak
melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti seperti ini. Ia tidak mau
berdebat, dan tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya, “Teecu sudah menerima petunjuk dengan suara
tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe
mengajarkannya?”
“Orang muda, selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak
pernah dapat diterima orang, biar pun setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang pertama
adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama Kim-kang Sin-im (Tenaga Emas
dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani aku sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali.
Berarti kau sudah dapat menangkap inti sarinya, tinggal kau kembangkan saja, tergantung kepada
ketekunan dan bakatmu. Yang kedua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat dimengerti orang, yaitu
Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik
pakaianmu, kiranya kau tidak asing akan sastra, bukan?”
“Teecu masih bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bunhoat
itu, Locianpwe.”
Bu Kek Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan mencurahkan seluruh
perhatiannya. Dengan tenaga sinkang-nya ia dapat membuka mata tanpa berkedip berjam-jam lamanya.
“Lihat dan ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar Bu Kek Siansu berkata.
Mulailah kakek itu menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak ke depan,
mencorat-coret ke atas dan ke bawah. Kedua kakinya selalu bergerak, juga geserannya berupa corat-coret
membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan kedua tangannya.
Suling Emas girang sekali bahwa dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra,
sehingga ia hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan oleh kakek itu
merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat
karena ternyata setelah kakek itu melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam
pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi: THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah
Tuhan Adalah Watak asli).
Tentu saja ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab Tiong Yong ini, maka ia tidak perlu lagi untuk mengingatingat
susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini menguntungkan
Suling Emas karena perhatiannya tidak terpecah, dan setelah menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah
dapat menyelami inti sarinya sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain dibentuk
dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biar pun kini Bu Kek Siansu bersilat dengan luar biasa
cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan baik bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam
pembentukan huruf-huruf suci itu.
Saking tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan
otomatis ia juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan ia melanjutkan huruf-huruf
yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak dalam ayat-ayat kitab Tiong Yong.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cukup, tidak sia-sia kali ini aku berlelah-lelah,” Bu Kek Siansu tertawa gembira. “Dan saat pertemuan ini
pun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang juga.”
Suling Emas menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata, “Budi Locianpwe terlalu
besar terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan penting ini sedemikian singkat?
Teecu mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal
kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat menikmati berkah Tuhan. Orang
muda, kiranya dengan kepandaian yang kau miliki ini, kau berada di persimpangan jalan yang dapat
membawa kau ke jurang kejahatan, juga dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar
dari golongan hitam dan putih saja yang sejajar dengan tingkat kepandaianmu.”
“Maaf akan kebodohan dan kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah
pengetahuan dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha, mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka
mulai menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan hitam amat banyak
tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai
(Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah mengenal siapa mereka, bukan?”
“Teecu pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”
“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi
adalah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun), dan Cuibeng-
kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah terhadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan
memiliki kepandaian tinggi sekali.”
“Terima kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Ada pun tokoh-tokoh golongan putih juga banyak, akan tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri, suka
bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci Roda
Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar biasa yang sukar dipegang ekornya
ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak kalau kau mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat
menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak menyeleweng dari pada
kebenaran.”
Suling Emas memberi hormat, kemudian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang tingkat
kepandaiannya sudah tinggi, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah menuruni Thai-san.
Setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk
mengagumi puncak Thai-san yang kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih sudah tinggi, masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding dengan langit,
puncak Thai-san masih terlalu rendah,” bibirnya membisikkan sebagian dari pada sajak kuno yang pada
saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar sambil
termenung mengingat kembali Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek
Siansu.
********************
Bu Kek Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Suling Emas, kemudian ia
berbisik kepada diri sendiri, “Manusia akan bertemu dengan penderitaan hidup kalau ia mengharapkan
kesenangan hidup. Dia dapat menahan derita hidup dengan tenang tanpa penyesalan, benar-benar
seorang muda yang kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin.
Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?”
Bu Kek Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan membacanya sambil berdiri. Pada
saat itu tiga bayangan orang muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan menggantungkannya
di punggung. Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum ramah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukankah kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum
lebar.
“Kebetulan sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim semi, kau
akan muncul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi, ilmu apakah yang
dapat kau berikan kepadaku?”
Bu Kek Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
“Aku pun menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk minta diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu
Kek Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.
“Yang datang menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan
suaranya yang dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa. “Jangan khawatir, aku si tua tidaklah
kikir dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan cocok dengan
pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat diterima oleh orang yang menjauhkan
diri dari pada rasa dengki, iri, murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu yang
kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan tubuh sendiri. Nah, ilmu
apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah sifat yang aneh apa lagi
pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang.
Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam, karena siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai
kelemahan dan hal ini amat memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan
seperti itu.
“Bu Kek Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci dengan
kasih. Apakah kau termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan Tuhan menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar
kasih-Nya.”
“Jadi kau tidak membenci golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
“Kalau begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi kau turunkan dua macam ilmu kepada
Suling Emas. Nah, kami pun minta kau turunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”
“Betul, aku menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo menyambung.
“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang bermata tajam, tidak percuma menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai!
Memang tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan
Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu itu dan menyukainya, tergantung
kepada kalian sendiri. Bagaimana?”
Mereka bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas, padahal
tanpa mereka ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek Siansu
yang ingin mencegah terjadinya pertempuran berlarut antara orang-orang sakti itu. Maka tentu saja mereka
merasa iri hati dan ingin mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu banyak cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong yang memang
selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar sikapnya makin baik, gagah dan
berwibawa!
“Kalian juga setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou Sin-ni
dan Hek-giam-lo.
dunia-kangouw.blogspot.com
Keduanya meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena tidak ada pilihan lain. Seperti juga Itgan
Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang rendah kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh
curiga kalau-kalau kakek tua renta ini akan menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik... baik, kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara
Sakti) dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat musik khim dari punggungnya, duduk
bersila di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim, dimulai dengan “cring-cring” yang nyaring bening.
Mula-mula tiga orang sakti itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi
khim, akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak gelisah sekali. Terutama Siang-mou Sin-ni, sebagai
seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh oleh suara khim itu. Wanita sakti ini mula-mula
merasa jantungnya berdebar, kemudian setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa seakan-akan
jantungnya ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan
sinkang di dalam tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk bersila dengan mata meram dan muka
pucat. Ia masih berusaha
untuk menyelami bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan
langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga
dalam tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai dua orang sakti, mereka
pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu mengandung hawa penyerangan yang luar biasa
dahsyatnya, oleh karena itu sambil menutup kelemahan diri dengan sinkang mereka pun memperhatikan
dan berusaha menangkap inti sari dari pada Kim-kong Sin-im.
Baru seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali. Wajah mereka pucat dan saking
kerasnya mereka mengerahkan sinkang, kepala mereka sampai mengepulkan uap putih. Namun pelajaran
itu masih juga belum dapat mereka tangkap inti sarinya. Atau ada juga yang dapat mereka tangkap, namun
hanya menurut perkiraan mereka masing-masing. Ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara
berbeda, sesuai dengan watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja menyeleweng dari pada inti
sari yang sebenarnya.
Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih rendah kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam
tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi,
seperti dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, lagi pula ilmu
ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara.
Suling Emas dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan
suara sulingnya sehingga seakan-akan ia ‘bertempur’ dengan ilmu ini. Karenanya ia lebih mudah untuk
mengenal sifat-sifat menyerang dan bertahan dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan
lebih mengenal keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau
hanya mendengar saja.
Bu Kek Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain di
depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila dengan kedua mata
meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di
atas punggungnya, kemudian ia bangkit berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam
telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih sepuluh menit, baru
mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu kecewa, akan tetapi karena masingmasing
merasa bahwa mereka dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya
memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.
Bu Kek Siansu menyimpan kitab kecilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah
kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling
Emas tadi?”
“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kau turunkan kepada
kami,” kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan kumainkan.
Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapa pun juga
mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im tadi?
Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan
diturunkan kali ini adalah gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian
mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega,
mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.
Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambatlambat,
kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain yang ia
mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui,
kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur.
Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya
berbunyi demikian:
THIAN BENG CI WI SENG
SUT SENG CI WI TO
SIU TO CE WI KAUW
Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama mempunyai arti yang amat dalam.
Kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini:
Anugerah Tuhan adalah watak asli
Selaras dengan watak asli adalah To
Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama)
Jelas bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia
menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali mendekati dan mentaati
kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang
merupakan manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala
macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan?
Sebagai orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti
gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap kulitnya atau luarnya
belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat ini
rahasianya tidak terletak pada macam huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam,
yaitu lebih mendekati arti dari pada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini disebut Hong-in
(Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang
dapat terasa tak dapat terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak mengherankan apa bila tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus
menggerakkan kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua? Apa
gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.
Agar jangan dianggap berat sebelah, Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama
ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga orang itu yang sebaliknya
memandangnya dengan mata marah.
“Nah, puaskah kalian?”
“Puas apa? Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan
kepada kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.
“Jangan-jangan kakek ini hanya menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan
memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou Sin-ni sambil
tersenyum masam.
Ada pun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling
pandang. Dalam pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju, menyerang Bu
Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan siapa yang
dunia-kangouw.blogspot.com
datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar, rambut Siangmou
Sin-ni menghantam sembilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hekgiam-
lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua penyerangan itu
dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh!
Serentak tiga orang itu menubruk. Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan
Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu tadi, masing-masing
mendapat separuh bagian karena kitab kecil itu telah terobek menjadi dua bagian ketika mereka saling
berebut.
Sambil tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk
mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang dihantam sabit tajam
itu pun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka. Namun jelas bahwa kakek itu
tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti,
nadinya tidak berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,”
kata It-gan Kai-ong.
“Seorang penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya. “Aku benci
ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam, lalu menggunakan kakinya menendang.
Tubuh kakek itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan
Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga
terhuyung-huyung dan hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang
mereka dari arah jurang tadi.
“Celaka..., rohnya mengamuk...!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat jauh
dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak Thaisan.
Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang ke luar dari dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi
sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali. “Tuhan menghendaki demikian. Akan geger di
dunia persilatan... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.
********************
Pada masa itu keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada peralihan
kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kuang Yin yang tadinya merupakan
panglima tertinggi dari pada wangsa kelima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang
memecah-mecah negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas
jasa Cao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.
Daerah-daerah yang tadinya semasa Kerajaan Tang telah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat
ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti
bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kembali, sama sekali bukan. Kerajaan
Sung yang baru ini tidak mampu menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai
daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria Selatan berada di
dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue,
dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan
kecil dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung sudah
merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu membangun negara setelah persatuan
dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itu pun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan
baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang mengikuti aliran Sungai Han
yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut Kuning. Air sungai ini
agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dikuasai oleh tiga kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!
Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka
jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang berpakaian
sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang memegang dayung tampak kuat berotot
yang timbul oleh tugasnya sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman terbakar matahari.
Tiga orang yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda,
kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam bersungguhsungguh,
mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar, pakaiannya sederhana tapi bersih, di
punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang kedua adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas, sebagian
rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya bersorot terang, wajahnya
yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi, bibirnya selalu tersenyum membayangkan
keramahan. Juga gadis ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ketiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis
pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya cantik jelita,
rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan puteraputeri
dari seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal Kam)
adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur
Propinsi Shan-si yang dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang.
Kam-goanswe yang namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan
lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil.
Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini diserang oleh suku bangsa Khitan,
Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan daerah Shan-si. Semenjak bentrokan itu, Kamgoanswe
melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki Gunung
Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang
bernama Kam Bun Sin. Anak kedua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Ada pun gadis
yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya
bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut.
Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam
menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita yang
tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya.
Jenderal Kam amat kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu,
mengambilnya sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu sendiri,
karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil menyebut “Lin Lin”.
Lin Lin tahu bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak angkat. Selama
hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anakanak
lain. Ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena
inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia memang seratus prosen anggota keluarga Kam, tidak mau ingat lagi
akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas menjadi
korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bundanya, juga tidak dapat memberi tahu di mana
tempat tinggal mereka karena menurut jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek
menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu
mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan
ilmu lweekang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali
keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu ginkang.
Keluarga Kam hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Mereka hidup sederhana sebagai petani. Kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah ladang membuat
mereka selalu sehat dan gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang langgeng. Alam dan
isinya selalu berubah, demikian pula kehidupan manusia. Selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia
akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu mengalami pasang surut,
selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk
taufan. Hanya manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi mabuk dan sombong
di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di waktu sengsara.
Kalau orang selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang, semua itu
adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti menguasai kehidupan, ia akan selalu bersikap
waspada, tidak mabuk oleh kemenangan, tidak putus asa oleh kekalahan, waspada akan tindakan pribadi
agar tidak menyeleweng dari pada kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa mengatur
kesemuanya itu, bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di samudera, tak kuasa melepaskan
diri dari pada gelombang kalau belum KELUAR dari dalam samudera.
Hari itu menjelang senja. Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan
belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah
cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah mereka sendiri. Mereka bertiga kini
sedang mainkan pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil
bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang berpakaian
merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya, diamdiam
Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah ini... kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu
keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang
mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di atas
tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini,
Kam Si Ek terkejut sekali dan wajahnya berubah.
“Giam Sui Lok, mau apa kau datang ke sini?”
Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih berjongkok di atas tembok. Matanya yang
besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar. “Kam-goanswe...”
“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”
Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah. “Orang she Giam, aku
sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak. “Boleh, boleh..., aku tidak khawatir kau akan dapat
lari, ha-ha!” tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.
“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.
“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas
pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini tampak
marah.
“Lin Lin, kembali kau...!” Kam Si Ek berseru cemas.
Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali dan berlari
mendekati ayahnya. “Heran, ke mana ia sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang macam itu
dunia-kangouw.blogspot.com
mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat
khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan
kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orangorang
jahat dan berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara
dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau anakanaknya
terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.
“Dia itu bekas teman lama. Ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kau
ajak kedua orang adikmu pergi ke kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kau sampaikan
hormatku kepada Kui Lan Suci (kakak seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian
bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya
sepuluh tahun yang lalu.”
“Tapi, Ayah, orang tadi...,” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang
membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya
terancam bahaya.
Kam Si Ek tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa?
Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”
Biar pun hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya,
apa lagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari
rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki puncak gunung
Cin-ling-san yang tinggi itu sambil membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka
belum tiba di puncak.
Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng pendeta-pendeta wanita
yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah
Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering
kali bermain-main ke puncak, malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula
memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan
ilmu lari cepat. Biar pun cekatan gerakan mereka, perjalanan itu agak lambat juga karena hanya diterangi
oleh obor di tangan.
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya masih segar dan gerakangerakannya
masih gesit. Wanita itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid keponakannya di
waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?” tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat
wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang menyuruh teecu (murid) bertiga,
Sukouw. Pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon kepada
Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang
sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah
payah ke sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu
lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin
Lin, kalian bantu Sukouw-mu, hayo ke dapur!” Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali dan amat
disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin
menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang, jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami
dunia-kangouw.blogspot.com
pergi ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang
mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya. Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar,
mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia
tampak termenung. “Giam Sui Lok...? Ah, akhirnya dia datang juga....”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang
ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah... Wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga.
Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam
itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya, dan
ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu
kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu
termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi
agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara
Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan... eh, urusan... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah...
eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu hingga terjadi persaingan. Ayahmu
menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini
entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang
ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh dan
tolol... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni
(aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak,
maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she
Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu
mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia
rasakan terhadap seorang
laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan
cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapa pun juga, tengah malam hampir tiba ketika
mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam. Dapat dibayangkan betapa
gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat
mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah...!” Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak
memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,”
kata Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada, berjalan
masuk ke dalam rumah diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya. Ruangan depan sunyi dan
kosong. Pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan
lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak
pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam
itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncangguncang
dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt!” pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang
menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi
gurunya, ia menangis dan memprotes, “Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di
sini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya
sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi dengan penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke sini.
Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam. Dan
kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah.
Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya? Juga terpental dan tidak ada tanda
darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu mau pun golok dia itu tidak
menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh... nanti dulu! Ibumu belum mati... biar kutolong dia....”
Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar
saja dugaannya, nyonya ini biar pun terluka hebat, tetapi masih belum tewas. Setelah ditotok dan diurut
beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan
semua ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang
anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu
mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh... takut... takut... setan...!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau
tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kau takuti?” kembali nikouw itu membujuk dan
mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan, “Setan... dalam peti mati...
suaranya... suling... suling maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan
menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan roh-roh
ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu
menjadi korban seorang penjahat yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian
Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat
disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apa lagi orang she Giam itu juga
menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.
Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia
temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia
dunia-kangouw.blogspot.com
membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di
depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu
urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami
harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi
menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam
hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas
dengan huruf Bu Song. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik Bu Song. Harta pusaka itu diberikan kepada
empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua
orang. Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana
ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan kepada
mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam
kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sute-mu,
KAM SI EK
Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak ini pun
terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.
“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum
Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah
seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada
waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena
kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh
melebihi Ayahmu, sayangnya... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang
gadis dari golongan hitam. Wataknya keras, dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu
menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan ke mana perginya... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia
pun putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan
yang kedua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah
dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu diam-diam minggat pada malam hari dan
sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”
Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya
Sian Eng.
“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja
sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya
she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu Song...,” kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia
merasa tertarik
dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia
teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
“Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang
Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi
mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”
“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu.
Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Teecu juga!” kata Sian Eng.
“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi teecu juga akan cari sampai dapat dia itu... eh,
Kakak Bu Song.”
Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apa lagi
kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan
mengira akan mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa
suling. Hemmm, apa lagi melihat kepandaian orang itu, andai kata kalian dapat menemukannya, agaknya
belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari
kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apa bila kalian sudah bisa bertemu
dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada
pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andai kata tidak mampu, pinni masih dapat
minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak
sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak
beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran
Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
--- dunia-kanguw.blogspot.com ---
Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan
yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar
dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah
menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya
hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat
melakukan perjalanan melalui darat.”
Mendengar ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang. “Bagus sekali! Aku sudah bosan duduk dan
tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu,
masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”
“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat
mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan
membayar sewanya kepadamu di sana?”
“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan
tetapi saya tidak berani melakukannya.”
“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.
“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang,
paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar
membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”
“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak
dengan rasa penasaran.
“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri,
mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar,
pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak
liar. Apa lagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran
banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar
pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan mau pun hasil
menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.
“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin
bertanya penasaran.
Tukang perahu menggelengkan kepalanya. “Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua
pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian
Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun
di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta
sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”
Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung
bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”
“Tapi....”
“Kalau perlu pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani membantah lagi. Dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran tukang
perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, perahu sudah tiba
di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam sungai
Huang-ho dan di tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu
pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka, Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya...,” bisik tukang
perahu.
Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari
telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada yang
menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas
tanah bermalas-malasan. Apakah pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu?
Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.
“Lopek, kau maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”
“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras...,” tukang perahu makin pucat.
“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka
itu....”
“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir,
kalau mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.
Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah
perahu. Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari
tempat duduknya di atas tanah.
“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”
Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab
dengan sikap hormat, “Kami datang dari daerah Propinsi Shan-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”
Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar
menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan
berdiri memandang dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya
banyak. Berapa kau terima?”
“...hanya... hanya dua puluh tail... itu pun belum saya terima...,” jawab si tukang perahu ketakutan.
“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong? Setidaknya harus lima
puluh tail!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Si tukang perahu makin takut. “Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua
Nona ini membagi makan dengan saya dan....”
Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya
yang runcing menuding muka pengemis itu. “Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok?
Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang perahu?”
Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak. “Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam ini. Nona
cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencingkencing!”
Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.
“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang
berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu yang bengkok
dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal
watak Lin Lin tidak mau mencegah, apa lagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para
pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin.
“Bocah liar, kau perlu dihajar!” Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka,
agaknya hendak menangkap Lin Lin.
Gadis ini tentu saja tidak sudi membiarkan
pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat
sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan....
“Prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.
Si pengemis itu terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran
keluar dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya yang kanan menjadi
hitam dan tak dapat dibuka lagi.
“Setan cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin.
Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikit pun juga. Bu Sin dan Sian Eng
tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak dikeroyok.
“Jembel-jembel jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi
seorang pengemis.
Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis kedua. Ada pun pengemis
yang memaki tadi sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau mempergunakan
pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa saja yang mengandalkan ilmu silat
pasaran dan hanya pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa,
mempermainkannya dengan kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal
angin kosong belaka.
Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian
yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatan tiga
orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun
berani menentang mereka. Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan
pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong datang menonton.
Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita ini bergegas datang untuk menonton.
Akan tetapi banyak di antara mereka terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai,
pertempuran itu sudah selesai.
Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan
sebuah tendangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya
menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan lawannya semenit kemudian. Pukulannya
dengan tangan miring yang ‘memasuki’ lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekannekan
perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun
kembali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Stoppp!” Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi
lawannya.
Pengemis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan
memasang kuda-kuda dan memandang heran.
“Stop dulu sebentar, ya?” Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini
mendekam di atas tanah itu. Kakinya bergerak dan... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam sungai
menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri
memasang kuda-kuda, lalu berkata manis, “Nah, sekarang boleh teruskan!”
Sikap gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa dari para penonton. Memang sudah terlalu
lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang ditahan-tahan. Sekarang
ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega dan puas. Biar pun biasanya mereka takut
terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan
jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.
Lawan Lin Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama
mendapatkan hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya yang
remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu
sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan menyerang dengan tongkat di tangan.
“Wah, baunya yang tidak tahan!” Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya
menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja.
Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biar pun diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak
pernah dapat menyentuh ujung bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah
berhasil memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai
mengeluarkan suara berkeplok dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton terkekehkekeh
geli dan ada yang memegangi perut saking menahan tawa.
“Lin-moi, lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.
“Sudah beres, Sin-ko!” jawab Lin Lin.
Dan tanpa pengemis itu dapat mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan kanan gadis itu
dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya
sendiri. Lin Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur
itu terjengkang masuk ke dalam sungai!
Karena takut dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka hanyut
oleh air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari tempat itu. Ada pun Bu Sin segera
membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah
dua kali, si tukang perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak
begitu kuat.
Bu Sin maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang
adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan kini
memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran sambil membicarakan peristiwa tadi.
Karena malam telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan di waktu
malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya bermalam
pada sebuah rumah penginapan yang berada di
sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang sederhana, namun cukup bersih. Di sepanjang
perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu
Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka akan menemui
kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.
“Wah, cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan,” kata Lin Lin. “Katanya di sini berkeliaran banyak
pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”
“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian
Eng setengah menggoda.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.
“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kau kira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi, kau lalu
menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu,
bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di
bawah pohon yang berada di depan rumah penginapan.
Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut
bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya
riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekali, kedua matanya meram dan dari pinggir
matanya keluar kotoran bertumpuk. Bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan,
namun juga menimbulkan kasihan.
Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah
aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis pun
hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat
keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku
bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi
kakek pengemis itu masih saja tidur.
Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang
aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal
ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal di jalan! Masa memberi
sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi,
mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar.
Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.
Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang
pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar.
Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.
Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan
duduk di ruangan depan mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita
membawa lampu ke luar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua
itulah yang berteriak-teriak, “Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”
Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke
atas dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting,
tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan
itu kaget sekali. Siapa yang takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan
seperti itu? Beberapa orang tamu berlari ke luar dan sebentar saja banyak orang melihat kakek itu.
Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas ke luar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan
terkejut. Itulah pertunjukan ginkang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti
terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya
berada di pangkuan kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah
pantat si kakek jembel!
“Nyamuk keparat!” kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti
orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat, uang perak membatalkan niatku membunuh
tiga ekor nyamuk!”
Setelah berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh
mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan
pergi terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.
Orang-orang tertawa. “Kakek itu gila, rupanya...”
Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang
sakti yang luar biasa. Apa lagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih
ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih jelas, uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.
Pucat wajah Bu Sin. “Celaka...!” pikirnya. “Tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah
kita bertiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar,
membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!
“Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.
“Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,” jawab
Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.
“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata
terbelalak.
“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan
ilmu ginkang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak
salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan
perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya
membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga. Agaknya dia
tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak,
ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya!”
Lin Lin membanting kaki. “Kakek keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah
menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang
kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu
sombong?”
“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.
“Aku tidak takut!” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.
Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaannya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin.
Pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, kedua, karena ia merasa tidak enak
kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biar pun
masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang baik sekali.
“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko
menjadi bingung dan marah saja!” Sian Eng menegur Lin Lin.
Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin. “Sin-ko, apakah kau
marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”
Mau tak mau Bu Sin tertawa juga. “Kau memang nakal.”
“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini Sian
Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari
memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong... Enci galak mau bunuh aku...!”
“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang
saja dibunuh.” Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang nakal ini.
Karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tanpa terasa tiga orang muda ini sudah keluar dari
kota Wu-han melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat gelap karena langit
hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di malam gelap, apa lagi kalau orang
tidak mengenal jalan. Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya
kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”
“Kita sudah keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat?
Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh dari
dusun.” kata Bu Sin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat...!” Lin Lin tiba-tiba berkata.
Mereka melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu
tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri
rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang
sudah tua dan tidak terpakai lagi.
“Kita istirahat di sini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega. Biar pun hanya sebuah kelenteng
tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik dari pada bermalam di tengah jalan, di udara
terbuka.
Baru saja mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan
kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga orang muda itu memandang dan
terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis!
“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.
Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena hanya dia
seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata, “Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah
merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil Sam-wi
menghadap.”
Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat dari
pada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan
tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi mendongkol juga. Biar pun
pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil
mereka menghadap seperti sikap pembesar saja?
“Lopek (Paman Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak
melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak mempunyai
urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan
dengan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,” jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.
Kakek pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang
anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak burung yang baru
belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil
kalian menghadap dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai kesabaran ini. Jangan
sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”
Seakan meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat
maju dan membentak, “Pengemis tua bangka sombong, kau kira kami takut kepadamu? Biar pangcumu
datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?”
“Ho-ho, benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari
wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”
“Memang kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah),
apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului kakaknya yang
masih diam saja.
Bu Sin maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak
akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek
pendek itu.
“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di sini, sama
sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan orangorangmu
karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya berhenti di sini untuk melewatkan
malam, besok kami sudah pergi meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”
“Kalian hendak kemana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”
“Bagus! Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut
dengan kami menghadapi pangcu kami.”
Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biar pun di situ ada belasan orang
pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?
“Kami tidak akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin.
Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka
siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa takut!
“Wah-wah, benar gagah!” kakek itu berkata, lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap
mereka!”
Bu Sin memutar pedangnya, mengancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”
Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat
mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang. Pertempuran
hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat
bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah
roboh sambil memekik kesakitan.
Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu
mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.
“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan kirinya sudah
merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang).
Tangan kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua orang pemegang
obor. Tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang jatuh, kemudian padam. Lin Lin dan
Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum
halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam.
Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi isyarat kepada kedua orang
adiknya. Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah,
tentu mereka akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan ginkang mereka, memutar
pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian mereka sudah pergi dari
tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah
hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi langit di atas
mereka.
“Wah, memalukan benar!” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar
harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini, merasa sebal dan penasaran.
Bu Sin dan Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah, berbahaya benar,”
kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek pengemis tadi, seperti katak
dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan
mereka menghujankan anak panah, apa kau kira masih akan dapat bernapas saat ini?”
“Belum tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andai kata akhirnya kita mati dikeroyok,
sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa
musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benarbenar
baru disebut penasaran besar!”
Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia
merasa khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena keadaan amat
gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu naik ke atas pohon dan terpaksa
bermalam di situ seperti tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena
mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah di situ ramai
oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Lin Lin dan Sian Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda
dengan telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara, lalu menuding ke bawah. Mereka
memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka
bersembunyi, tampak seorang kakek jembel berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang bongkok,
rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di depan
rumah penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu sampai penyok!
Dan di depan kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang mengeroyok
mereka semalam. Mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek pengemis bongkok itu
terdengar marah-marah.
“Kalian anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah.
“Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa artinya punya banyak
anak buah melebihi anjing gobloknya?”
Semua pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek
itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka pucat.
Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis yang amat berpengaruh!
“Mana anggota Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”
Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek
itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang pengemis yang
mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!
“Cih, yang begini mengaku anggota pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuhcuh!”
Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh, tak bergerak lagi
setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!
“Biar ini sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua anggota
Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hekliong-
kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”
Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu. “Perhatikan
sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku
membutuhkan tempat persembunyian Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku. Kalau
mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian kitab kecil.”
“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh kawan di kai-pang (perkumpulan pengemis),” jawab
mereka berbareng dengan suara amat merendah.
“Sudah, pergi sekarang. Muak perutku melihat kalian!” kakek bongkok itu mengomel, dan bagaikan anjinganjing
diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang pengemis anggota
Pek-ho-kai-pang itu.
Bu Sin dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah kini tampak pucat.
Namun di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu yang dianggapnya
sombong dan kejam sekali.
“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.
“Ssttt...!” Bu Sin mencegah, namun terlambat.
Kakek itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana mereka bertiga
berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang
muda pernah kuhargai seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua
tangannya mendorong dan....
“Kraaakkk!” batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.
Bu Sin dan dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut
bukan main. Cepat mereka mengerahkan ginkang dan melompat turun sebelum mereka ikut roboh
dunia-kangouw.blogspot.com
bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah
mencabut pedang dan siap menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi
ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.
“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri... tak tahu diri...!” Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang, bagaikan
seekor
ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat
mengangkat pedang membacok.
“Tranggggg!” Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan
mereka, sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok yang tertawa
berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”
Bu Sin dan dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan sehingga mereka diam tak
bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan maut. Pada saat itu
terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan
dua orang gadis itu tak kuasa mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka
menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga. Biar pun demikian, masih
saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.
Kakek itu kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak
menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga orang muda itu. Suara suling
berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.
“It-gan Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek
Siansu dan merampas kitab dan alat khim. Biar pun Bu Kek Siansu tidak peduli dan mengampuni kalian,
namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan nyawamu!”
Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya punggungnya
saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling dan berjalan perlahan.
“Dia bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng
sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jarum.
Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar senjatasenjata
rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw dan tujuh batang
jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa
menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar
kemudian ia lenyap di balik pepohonan.
“Mari kejar...!” Bu Sin berkata.
“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.
Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening. “Lin-moi, kenapa kau
tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”
“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa
memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”
Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah
mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia
berilmu tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang
perlu, kita harus dapat membalas dendam!”
Lin Lin menarik napas panjang. “Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku
untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar
saja kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek pengemis
iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan
fitnah terhadap orang baik-baik, bukankah lebih celaka lagi?”
“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau memang dia musuh kita, kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari
tempat ini!” kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi.
Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.
********************
Enam orang laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah pemburupemburu
binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di dalam hutan
besar dengan membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil bercakap-cakap.
Tiba-tiba mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak
panjang. Mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara mencurigakan.
Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian mereka merunduk dan menyelinap di balik pohon,
menghampiri tempat itu dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan binatang
buruan yang kemalaman di situ.
Akan tetapi mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh
tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api unggun. Seorang
tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para pemburu yang berjenggot pendek dan menjadi
pemimpin rombongan pemburu enam orang ini tertawa, dan disusul oleh teman-temannya.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin terkejut. Cepat mereka menengok menghadapi enam orang yang muncul
dari kegelapan itu, sambil tangan meraba gagang pedang.
“Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu binatang
biasa, bukan perampok,” kata pemimpin rombongan pemburu.
“Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin setengah menengur.
“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana, lalu mendengar suara Sam-wi (Tuan
Bertiga) yang kami kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini
berada di hutan liar?”
“Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan kalau
kami mengganggu Cu-wi sekalian.”
“Ha-ha, tidak mengapa... tidak mengapa... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Samwi
yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan tetapi melihat pedang
Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita membuat api unggun di sini saja.”
Mereka membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kau lanjutkan dongengmu
tentang Suling Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain.
Laki-laki berjenggot pendek itu berkata sungguh-sungguh, “Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku
sendiri pernah ditolongnya. Sungguh pun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau
dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya.”
“Ceritakan... ceritakan...!” teman-temannya mendesak.
Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam
orang yang mengaku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas,
mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhatian. Bukankah musuh besar
mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan,
sungguh pun mereka memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap
waspada menjaga segala kemungkinan.
“Terjadinya di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam), kurang lebih tiga bulan yang lalu,” pemburu she Tan itu
mulai bercerita. “Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku memang hendak berburu ular,
mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di
kota Wu-han.”
“Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang temannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua
hari saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ketiga, ketika
aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau yang langsung
menyerangku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak
dan melawan, akan tetapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus?
Agaknya mereka berlomba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha seekor harimau,
akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan
menerkam pundak kiriku. Aku melepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat
menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, harimau kedua sudah menggigit pangkal lengan kananku
sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi....”
Lima orang pendengarnya menahan napas. “Twako, kukira apa yang dapat kau lakukan hanya berteriak
minta tolong,” kata seorang. Kata-kata ini kalau diucapkan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu
terdengar lucu.
“Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai
seorang pemburu!” bantah pemburu she Tan dengan suara gagah. “Akan tetapi agaknya belum tiba
saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan, pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba
terdengar suara suling yang melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri
merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam
keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar
matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat dari pada benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar
suara gaduh ketika empat ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu
bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti pandangan mata,
kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi....”
“Lalu bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu
mendengarkan penuh perhatian.
“Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor
harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku
sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu,
kiranya empat ekor harimau itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat
daging harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar kulit harimau yang utuh dan
indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian besar.”
“Jadi yang menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun
belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”
“Agaknya begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak
kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan si Suling Emas?”
Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. “Twako,
siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong orang?
Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin bertanya.
Pemburu she Tan itu tersenyum. “Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib seperti dia itu
tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh. Pernah aku
mendengar betapa gerombolan perampok di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih
semua terbunuh olehnya.”
“Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai.
Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua orang hwesio
alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata seorang pemburu yang berhidung besar.
“Juga ketika terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong mutiara milik permaisuri, orang-orang
mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah tua sekali, seorang
kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya,
orang macam apa yang kau lihat?”
“Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti pelajar. Yang
sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya. Tentu dia seorang pelajar.”
“Dan pandai bersuling.”
“Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri...”
Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin
bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir.
Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang muncul dengan sulingnya,
yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian
pelajar, tapi berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu
membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.
“Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Tidak baik kita
membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang bulu tengkukku.
Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan
tetapi kalau marah....” Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua
lengannya dekat api. “Betapa pun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran
karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”
Sebentar kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar
sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar kesemuanya tidur? Tidak berjaga
secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di
situ ada tiga orang muda yang agaknya tidak nampak lelah.
Mendongkol hati Bu Sin. Ia tidak sudi kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai penjaga
keselamatan mereka. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun
sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.
Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit
pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun amatlah hebat. Mulailah mereka
berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan malah mereka
secara tidak sengaja telah terjun ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang
dikepalai atau dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama ini takkan
mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis
itu. Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol
ke luar dari tanah.
Tak baik melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biar pun mereka berdua memiliki
kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak mendatangkan dan memancing
keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan kakaknya, Kam Bu Song di kota raja dan besar harapannya
pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua dari padanya itu telah mendapatkan
kedudukan yang cukup baik. Ia harus menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia
akan melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.
Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.”
Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun, mengulet dan menguap.
“Biarlah aku yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin yang kasihan
melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan kedua adik
perempuannya itu tidur melepaskan lelah.
“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah
aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga
keadaan menjadi hangat.
“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana
kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”
“Sin-ko, jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andai kata tidak ada di
sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah Kam-goanswe,
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang
mengenalnya di kota raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”
Bu Sin tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya
memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang
sudah dihadapi sekali pun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan tenang dan
waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.
“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu merebahkan
tubuhnya, miring menghadapi api unggun.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri
dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar mengiangngiang
ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik
ketakutan, atau mungkin pekik kesakitan, betapa pun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan.
Akhirnya tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking itu. Dengan kedua
tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila,
menutupkan kedua telapak tangan ke telinga, meramkan mata dan bersemedhi, mengerahkan lweekang
untuk menjaga isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu. Dapat dibayangkan hebatnya suara itu
karena biar pun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lweekang masih saja suara itu
menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan tetapi berkat lweekang mereka, tiga
orang muda itu dapat mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.
Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka
menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mufakat bahwa yang
bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk
telinga mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah
mengerikan.
Sampai pagi tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga,
siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan untuk mempertahankan diri mati-matian
biar pun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian
yang mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan
suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada
kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”
Biasanya dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau
sungai untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali
ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.
“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”
Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada
yang telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam.
“Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.
“Mari kita lihat, agak aneh sikap mereka,” kata Bu Sin.
Ketiganya berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan
bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua
telah bolong sehingga tampak otaknya! Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam
tadi adalah mereka ini, jerit ketakutan dan kengerian.
“Ahhhhh...!” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat
merangkulnya.
“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.
“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobekrobek
binatang buas.”
“Habis kau mau apa?”
“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong,
terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat tak
terurus harus menguburnya?”
Seketika wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah
karena ngeri dan seram. Mari!”
Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang
mereka untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian
Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun tangan dan mengangkat
mayat-mayat itu seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam kuburan secara bertumpuk, lalu mereka
bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.
Hari telah siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat
hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka tidak menemui
gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan melalui dusun-dusun.
********************
Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang
adiknya sudah amat lapar. Maklum, semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang
melayang ke luar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan
lapar lagi.
Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan
meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun
usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja kedua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga
puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami mau pun si isteri. Mereka duduk berhadapan,
makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung
mereka tergantung gagang dua buah senjata.
Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam
(pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama.
Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena
pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang laki-laki
yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu.
Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang),
orang ketiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang
keempat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda
dengan tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni
nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu
sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?” Keduanya lalu makan terus dengan
tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok.
Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah.
Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi
rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang
sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari
Kerajaan Hou-han yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan
meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung
mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak,
dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.
“Bagus!” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut,
menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya
itu. Matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil
menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu
melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat, dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua
tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan
memegang golok. Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi, siap
dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri
berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari
belakang.
Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si
pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan
yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabutan ke luar sambil berteriak-teriak
ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat
orang itu cukup tinggi, apa lagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya,
suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya
kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari
seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.
Pertempuran itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu ratarata
lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan
ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di
dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati
orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang
kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya
menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk
dari lawannya kedua telah melayang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil
runcing itu ke arah lehernya!
“Roboh dia...!” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat
kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan
senjata mau pun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi
pertempuran itu, hatinya tidak berpihak ke mana-mana. Betapa pun juga, melihat ujung cambuk yang
seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan... seperti seekor
ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat ujung
cambuk. Terjadi saling libat dan tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak
kaku.
Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah
mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira
bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur
tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata, “Tidak ramai kalau begini!”
Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas. Kelihatan tangan kirinya tadi
bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk
terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat ke luar dari tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut
campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat
betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang
dikeroyok.
“Mari, ikuti dia...!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat
meloncat ke luar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di luar rumah
makan.
“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng
sudah melompat ke luar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.
Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan
seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si
jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang
dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan setelah masuk kota laki-laki itu kembali berjalan biasa.
Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apa lagi letaknya
tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar
milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang
di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah
mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”
Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk
mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot
tadi?”
“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biar pun aku
kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang
menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”
Bu Sin menghela napas. “Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan
terpaksa berpihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita.
Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berpihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah
melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
Bu Sin tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan
pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan
tetapi sedikitnya tentu berpihak kepada wilayah sendiri, bukan?”
“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang
pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.
Lin Lin tidak marah, malah tertawa. “Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong
kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin.
“Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar. Ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa lagi? Suami isteri itu!”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu
ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu
dari mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,”
kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”
“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung.
Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan
mereka bertiga lalu pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah
pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia
pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhentikan dari jabatannya. Akan
tetapi mengingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan dari
tugas.
Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai
bangsawan ‘pensiunan’ yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas.
Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena
ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau
mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Namun tidak demikian dengan puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang
lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah si Raja Pengemis Itgan
Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di
selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue,
maka dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam mengadakan
persekutuan untuk bersama-sama mencari kesempatan baik dan kalau tiba waktunya menggulingkan
pemerintahan Kerajaan Sung.
Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia terkenal
jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir
yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap
orang wanita cantik yang menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda mau pun masih
menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang berani menentangnya. Di Ansui
ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw ia juga
seorang yang cukup dikenal pula dengan julukannya yang amat takabur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)!
Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma
Ceng, berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan kini
tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum betapa jauh bedanya watak Suma Ceng
yang sudah pindah ikut suaminya di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang
halus tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para
pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan dengan Suma
Boan.
Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma terdengar suara ketawa gembira.
Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan
minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang
menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
“Ciok-twako, kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan secawan arak!”
terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.
Si jenggot panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil
berkata, “Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat itu,
bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati
Ongya
yang telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan saya
dunia-kangouw.blogspot.com
kembalikan kepada Kongcu dan terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke
arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.
“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan
agaknya kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita minum
sepuasnya!”
Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di
antara para selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini,
mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.
“Jangan khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan
Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih
sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan
Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul
mereka. Bukankah begitu, Suhu?”
“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada
lawan yang tak sanggup kau hadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”
“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih dulu.
Bukankah begitu, Ciok-twako?”
“Betul-betul, kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita
yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.
Sementara itu, tiga bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini bukan
lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan ginkang, dengan hati-hati sekali mereka
berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil
tertawa.
“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cici-mu mengintai,” kata Bu Sin.
Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa
mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok
genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng,
memandang kagum kepada dua orang kakaknya itu. Ada pun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan
bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela, bayangan tiga orang laki-laki yang duduk
sambil minum arak dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang perak,
sudah lama mereka menjadi bangkai.”
Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan
mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati penggebuk!
“Suhu dan Ciok-twako, duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak
boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”
“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak
butuh hal itu lagi. Pergilah!”
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat ke luar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu.
Akan tetapi sia-sia, Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas genteng lagi.
Bukan main heran dan khawatirnya ketika mereka tidak melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas
genteng. Ke mana adik mereka itu?
Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada saat itu, bayangan
laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan
berhidung panjang. Muka yang tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum
mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar
dunia-kangouw.blogspot.com
ketika ia memandang wajah Sian Eng dan senyumannya melebar.
“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk
menemaniku semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar kata-kata yang amat menghina ini.
Akan tetapi karena berada di atas rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia
mempertahankan kesabarannya dan berkata. “Harap kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih
baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami
mengikuti seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan
rumah, maafkan kami dan kembalikan adikku.”
Mendengar disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap main-main Suma
Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus
ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali.
Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi pada
saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus mendorong
mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang
mendorongkan tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua
orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena dorongan angin
pukulan, dapat dibayangkan betapa saktinya raja pengemis itu.
Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan main. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka terlempar ke bawah
genteng, dan biar pun mereka dapat mempergunakan ginkang untuk mengatur keseimbangan badan dan
mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang
menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang, kiranya yang menolong mereka itu adalah suami
isteri yang dikeroyok di rumah makan pagi tadi!
“Adikku masih di atas...,” Sian Eng berkata.
“Sssttt...!” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam
gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika
pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?
Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan kedua, bayangan
makhluk yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian
hitam! Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar kacau itu benarbenar
amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi
bintang-bintang di langit.
Agaknya Suma Boan juga kaget melihat makhluk ini. Terdengar ia berseru keras, “Suhu... Hek-giam-lo di
sini!”
Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap
dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan
It-gan Kai-ong.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”
Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya
dan dengan suara marah ia berseru. “Celaka...! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya...!”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi...?” kini bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya.
Ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa, tapi aku
didorong roboh. Ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi
di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau
bukan Hek-giam-lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat merampasnya kembali?”
“Belum tentu... belum tentu...!” Suma Boan menggeleng kepalanya. “Dia lihai sekali. Heran aku, siapakah
dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun dan masuk ke dalam
gedung, diikuti oleh si jenggot panjang Ciok Kam. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan
menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas genteng.
Akan tetapi Suma Boan membentak, “Tidak ada apa-apa, mundur semua!” Pelayan-pelayan itu, kecuali
selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat
bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas
pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan
urusan kami. Biar pun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari
wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di sini.”
“Nanti dulu...!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini?
Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau
takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh.
Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami...
hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Houhan.
Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Berbahaya!” Setelah berkata demikian,
suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap.
Bu Sin dan Sian Eng saling pandang. Mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi
mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh dari pada cukup untuk dapat mencari Lin Lin yang
katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda
jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apa lagi It-gan Kai-ong ada di situ!
Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari ke luar
menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan
tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas
berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia
sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua
kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh
Lin Lin ‘kakek gundul’ itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia
tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek
itu akan ‘ketemu batunya’ kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang
mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu kakek gundul itu akan
menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, itu baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil
dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apa lagi sekarang bersama seorang
sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia
mempunyai banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota Ansui
menuju ke kota raja.
********************
Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita
ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan
kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil melihat kedua saudaranya itu.
Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke
bawah genteng.
Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan oleh
It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah
kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya
yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang
melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan
tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki
tangannya dan ia ‘terbang’ dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan
mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.
Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan
tubuhnya. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak
tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis
yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali
ini membuat ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia
dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apa lagi kau
bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauwwi
(Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan ginkang-nya.
Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan, apa lagi orangnya!
Suara itu masih terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan
siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucingkucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biar pun
seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian
pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk
membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat
bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan
dan kirinya!
“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing yang berputaran hendak menggigit buntut sendiri. Heh-heh...
lucu... lucu... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar...!”
Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia
menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini,
aku tidak butuh setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.
“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biar pun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya,
dunia-kangouw.blogspot.com
kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui kejahatannya,
sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor dari pada setan
sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya
dan... tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku di sini, lihat baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang...
tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan.
Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya.
Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi
alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang
melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga arca Ji-lai-hud dihiasi sepasang
anting-anting perak. Anehnya, melihat orang seperti itu Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran yang
harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki
supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa
menghilang? Aku sudah belajar ilmu ginkang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam
dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi
lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan
akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu ginkang? Hoheh-
hoh, lucu amat!”
Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa,
memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya. “Dan pedang itu...
heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk
menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itu pun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh,
kau takut tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya. “Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong...!”
Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat! Giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin
sendiri. “Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi
siapa lebih putih, lebih mengkilap!”
Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis ini pun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah
menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia
tertawa juga. “Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”
Kakek itu kelabakan. “Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau
bohong...!”
Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahutahu
gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak
telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga
perak pada tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya
dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian
cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang
hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!
“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
akhirnya dia bertanya.
Kakek itu mengomel, “Gigiku putih... tidak kuning...!”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa
lagi. “Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang!”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti... seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya
bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak,
ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak
merasakannya! Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?”
“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya dari pada tugas di panggung
wayang. Dia tidak main lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi. Karena itu
aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada
orang berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan,
tidak salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biar pun kedua
matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apa
lagi memandang giginya! Betapa pun juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya
berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa
pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena ini pula
ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu
Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan,
biar pun ia tidak bisa percaya dan tidak mau percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling
menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat
membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar dari pada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
“Sayang, aku sendiri tidak tahu, Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya
dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar
itu bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak
memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi. “Suling Emas?
Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek...”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga
bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. “Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas....”
Jantung Lin Lin berdegupan. “Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia?
Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”
Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil
memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa.
Lin Lin marah. “Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu
kuning...!”
Seketika kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti... seperti...”
“...seperti kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”
“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis kepandaianmu, belum
tentu kau bisa menang.”
“Tidak peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau
aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”
“Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu kau. Awas dia kalau berani ganggu kau!”
Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, dan jalan satu-satunya untuk membalas budi,
hanyalah membalaskan dendam keluarga itu.
“Tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan
mencariku ke mana-mana.”
“Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repotrepot?”
“Ih, jangan gitu, Kek. Biar pun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik
kandung sendiri.”
“Baiklah, mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”
Lin Lin maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan.
Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan di saat berikutnya
ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang seperti terbang
cepatnya!
Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama
kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan
tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah
tertinggal.
“Kalau merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu bersungut-sungut.
“Kau maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”
“Di mana lagi? Bukankah kita mencari
dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk
menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya
menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat dari pada biasanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menjelang pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi
hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan membiarkan seribu satu
macam bunga berkembang amat indahnya.
“Heh-heh, bagus di sini. Kita main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi
tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas sepotong kayu yang diikat
dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.
Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek, katanya hendak
mengajar ilmu kepadaku?”
“Aku sedang mengajarmu sekarang. Kau lihat baik-baik!”
Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini selalu main-main. Masa ia akan diajari main ayunan?
Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari seperti terbang,
memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya
bahwa kakek ini seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja dan
hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak bersepatu, pakai antinganting
seperti perempuan, dan wataknya seperti anak kecil.
“Kek, kau ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”
“Heh-heh, aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama,
kan?”
Lin Lin tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu. “Kek, namaku Lin, sheku tentu
saja...” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya.
“...tidak ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin.
Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.”
Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang
bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki. Agaknya
sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak
roda itu sudah lenyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.
“Namaku Roda Emas, memang hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah
kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”
Lin Lin terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil ‘A-lin’. Gerakan kakek itu amat cepat ketika mengeluarkan
sepasang roda atau gelang tadi. Akan tetapi apakah benda-benda itu merupakan senjata? Andai kata
dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang
memberi pelajaran?
“Pelajaran yang mana, Kek?”
“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang
kota! Lihat baik-baik!”
Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun
sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai mengayun, akan
tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorong. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu
terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun ke belakang mau pun sedang terayun ke depan. Dengan
duduk di ayunan mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.
“Nah, kau sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin
(Awan Kosong Selaksa Kati). Biar pun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biar pun berat dan
kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut
sesukamu, dan lari terbang bukan menjadi lamunan kosong lagi.”
Mulailah Lin Lin menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang
dunia-kangouw.blogspot.com
jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari perkara. Orangnya aneh,
selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan
tetapi selalu meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw. Biar pun tidak ada orang yang
dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam
pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main.
Bahkan Thian-te Liok-koai, Si Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap
Kim-lun Seng-jin.
Pada masa itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te Liok-koai dan para ketua partai persilatan besar
sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang
termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar
memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain,
yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal dengan sebutan Empek
Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga
kerena belum pernah terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya dari pada kakek ini.
Lin Lin boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini
selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu
meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan lweekang yang luar
biasa. Di samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan
Kosong Mengurung Gunung).
Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang. Ia membawa Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan
hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini,
seorang gadis remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek
itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta
terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali
mengambil hati kakek itu dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal
pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Ternyata Kim-lun Seng-jin amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh,
malah ia mengenal pula ayah Lin Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat
Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.
“Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang prajurit sejati yang jujur dan
setia. Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah yang membuat ia dipandang orang,
kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia
dahulu berhasil mencuri hati Liu Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik
Beracun).”
“Lalu bagaimana, Kek?” tanya Lin Lin yang dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah
ibu Bu Song yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam dan telah bercerai dari ayah
angkatnya.
“Entah bagaimana selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan.
Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti, seorang berpengaruh
besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan,
seorang sakti ini, tidak setuju puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian
amat keras hati dan nekat, orang tua itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kudengar hubungan
antara ayah dan puterinya ini menjadi putus. Selanjutnya entah.”
Lin Lin tahu selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu Song dan
yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah angkatnya.
“Di mana sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”
“Heh, mana aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”
“Bukan. Dia sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi pula entah ke
mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di mana dia sekarang?”
“Mana aku tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya
dunia-kangouw.blogspot.com
lagi. Pula aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia orang... hemmm, orang
golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam juga kalau berhubungan dengannya.”
Daging itu sudah matang. Kim-lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging
paha kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.
“Wah, kau hebat! Heran aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih?
Tanganmu memang luar biasa!” katanya sambil menikmati daging panas.
Lin Lin tersenyum. Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan garam
dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan di hutan itu, yang ia pergunakan
sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu
masak.
“Aku sudah masak seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?”
“Ihhh, bukankah aku setiap hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”
“Segala Ilmu Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai
menghadapi musuh besarku, si Suling Emas?”
Kakek itu mencak-mencak, tapi masih menggerogoti daging, “Kau pandang rendah sekali, ya? Hendak
kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan kedua mataku! Jangan kau
main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan
mampu mengejarmu, tahu?”
“Jadi, aku hanya akan mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri
kalau bertemu orang sakti?”
“Heh, apa kau kira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa
artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan Khong-in-liu-san
itu, jangan kau pandang ringan. Dengan mempelajari ini, sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi
sepuluh kali dari pada yang sudah-sudah, kau tahu?”
Tentu saja Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga. “Apa kau kira sekarang
aku sudah dapat melawan Suling Emas?”
Kim-lun Seng-jin membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat. “Enak saja bicara! Melawan segala
macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kau kira orang macam apa Suling Emas itu?”
“Orang apa sih dia? Bagaimana kepandaiannya?”
“Dia sih orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia orang yang seperti
juga aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku
sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia
sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama
tujuh delapan tahun ini.”
“Kenapa kau mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”
“Orang macam dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andai kata
mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh ketua Kun-lun-pai.
Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu dibunuhnya karena ada kesalahan
terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa
bisa tahu?”
“Kek apakah dia benar-benar lihai?”
“Dia hebat.”
“Kau takut terhadap Suling Emas?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu mencak-mencak lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot
sumsumnya.
“Takut apa? Kim-lun Seng-jin tidak pernah mengenal takut.”
“Kalau begitu kau berani melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?”
Kakek itu duduk kembali, menarik napas. “Jangan kau kira bisa mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu
saja kalau dia mengganggumu, aku akan turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku
akan menang. Betapa pun juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya.”
Girang hati Lin lin. “Kalau begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di
sana, bukan?”
“Kira-kira begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja nanti,
di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih lagi ilmu pukulan itu.”
Demikianlah, sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu silat oleh Kimlun
Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin meningkat dengan cepat. Gadis ini sama
sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan
hutan-hutan sehingga waktu yang mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih
panjang, perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat demikian karena ia ingin
melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat
terjaga. Sering kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah Lin Lin
sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar...
serupa benar...”
********************
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok
keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja
untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu
Song.
Dua orang ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan
mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah keduanya agak muram
wajahnya, karena biar pun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun mereka amat mengasihinya.
Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya.
Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Lin Lin. Sekarang
gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia
yang bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song, mau
pun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang ditinggalkan Lin Lin
di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kimlun
Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi agak lega.
Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan
saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di
Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas Jenderal Kam sering kali
mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang
dahulu, Jenderal Kam Si Ek biar pun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah
Kerajaan Sung karena pada masa itu Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih
termasuk wilayah Sung.
Oleh karena pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja Bu Sin dan adiknya
merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru pertama
kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka berdua mencari rumah penginapan,
kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari tentang diri seorang
pemuda bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru mereka
betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.
Orang pertama yang mereka tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon
pengikut ujian, seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin selalu
berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai
dunia-kangouw.blogspot.com
keterangan tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru
sastra yang sudah tua.
Akan tetapi guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh menyesal aku tidak
ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas
tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”
Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia
ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari
seorang kakak belum dapat ditemukan,
sekarang malah kehilangan seorang adik. Mendengar jawaban
guru tua ini, agaknya memang tak mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi
penempuh ujian pada empat belas tahun yang lalu!
Pada saat mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih ada satu jalan
untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah
Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan
mohon pertolongannya, karena kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan
siapa tahu beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”
Wajah kakak beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di
An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah
terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini
membuat mereka merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang. “Apakah kita harus pergi ke
rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang berada di sana, terutama Itgan
Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki goa naga dan harimau?”
“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya
yang dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu
mengerti di mana adanya
Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak
dapat menolong kita, apa lagi orang lain?”
“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan
Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”
“Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat
jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”
Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong
kepada Pangeran Suma Kong. Apa pun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban
kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke Ansui.”
Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke
An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang, mereka berdua
langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman
rumah yang luas. Hati mereka berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk
melaporkan kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan
yang besar.
Akhirnya pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang
pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok bermata tajam
seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan!
Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakanakan
hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum.
Di belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga
bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi
isyarat dan belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas
penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah
sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena
semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperluan
Ji-wi datang menghadap Ayah?”
Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma mau pun puteranya asal dapat memberi keterangan
tentang kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat. “Maafkan kalau kami mengganggu waktu yang
berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud
mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”
Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia
memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu. “Heran
sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang dapat kami lakukan?”
“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat
belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang
menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami, apakah beliau mengetahui
di mana adanya pelajar itu sekarang.”
“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku
catatan tentang pelajar.”
“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song...”
“Bu Song...?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya
terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.
Bu Sin dan Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang
menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya, “Dia adalah kakak kami...”
“Bagus!” Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah mengirim
dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu, adik perempuan hemmm...
cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!” Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang
pengawal muncul dengan cepat sekali. “Tangkap mereka!”
Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa
menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun gerakan Suma
Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan
Sian Eng, kedua tangannya bergerak melakukan serangan.
Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan ini
cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian
Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng
cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah
mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma
Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.
“Lepaskan adikku!” Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah
Suma Boan. Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan
terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.
Pada saat itu para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong
adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang
pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biar pun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu
Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga.
Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat.
Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut
ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil membentak.
“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”
Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan
mereka yang terluka. Ada pun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya yang ia lihat masih
rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.
“Orang jahat she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”
“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”
“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”
Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah
bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin
dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat tangan kosong) yang amat lihat,
mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan
putera pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah beberapa tingkat!
Tidaklah mengherankan apa bila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena
disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat
menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal.
Beberapa orang pengawal yang marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka,
menghujankan pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik orangorangnya.
“Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian
memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.
Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si
cantik manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak lagi,
lenyap dari tempat itu tanpa bekas!
“Keparat, di mana dia...?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang
matanya melotot. Mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti
gadis cantik itu. Benda yang menancap pada dipan ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu
hitam, benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang
memegang sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!
“Hek-giam-lo...!” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi. “Lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu,
keparat...!”
Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya.
Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang!”
Para pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke
belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyilang,
kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.
Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang
pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang
berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.
“Orang she Suma!” Kata Bu Sin dengan suara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak ada
permusuhan, akan tetapi kau katakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai
adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku
akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia rendah.”
“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan. Sekali merogoh saku, ia
telah mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”
“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam
kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu untuk
apa aku mati.”
“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus,
dunia-kangouw.blogspot.com
kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai pembantu
pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani
main gila dengan adik perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan
seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin
juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan
hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan
kubalas impas. Hemmm... kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”
“Di mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan
menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku. Dia wanita, tidak bertanggung jawab
akan perbuatan kakakku.”
“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus
dibayar sampai habis, berikut bunganya.”
Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk
orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apa pun yang akan dialami
oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan
setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor
itu.
“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.
Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin.
Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah, pemuda perkasa ini
berkedip pun tidak.
“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati,
dia harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam ini. Aku
tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap
tergantung di sini.”
“Baik, Kongcu. Hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak para
pengawal menjawab sambil memberi hormat.
Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan
kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua
lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki
tangan dan pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada
yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak
kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak
mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan,
benar-benar menyakitkan hati sekali.
Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu.
Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran
ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera
pangeran ini yang memiliki lweekang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.
“Jaga baik-baik! Awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak
buahnya. Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka.
Setelah kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok
bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan
mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan
sewaktu-waktu.
Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang.
Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga.
Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak
dapat ditemukan ayahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian kakaknya
agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami
sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa
dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga
dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?
Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun
tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang
tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang tak bergerak lagi, entah mati entah masih
hidup. Dan tahu-tahu, seperti main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan
kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu tercabut. Darah
bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di bawah
sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak
seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah
luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri
lagi. Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera dipungutnya. Ketika
memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah yang dicoret-
coret merupakan hurufhuruf.
ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU BERUSAHA MENGEJARNYA.
Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat
ia siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan
orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan
Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia
merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara bersembunyi sehingga ia sama
sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika
mendapat kenyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo.
Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang
dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga bersembunyi di
dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian
terdengar suara melengking tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang
yang mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siangmou
Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah membawa lari Sian
Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis
Maut Hitam!
Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang
bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia
ketahui bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya
mendengar nasibnya yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Dengan pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup
hutan karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di tangannya
berarti akan hilang nyawanya.....
********************
Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat
bergerak terbaring di atas dipan? Gadis ini biar pun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-huhiat
tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya masih berjalan baik dan panca
inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lweekang untuk
membebaskan diri dari totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah bukan main melihat
kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu.
Demikian cepatnya gerakan bayangan hitam yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang
ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong masih dalam keadaan tertotok, karena itu ia tidak dapat
menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia
dunia-kangouw.blogspot.com
mengingat-ingat.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang
hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga
adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang
tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu
dibawa ke jurusan mana, tapi larinya cepat sekali seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di
lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas dari
totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biar pun ia menengok dan memutar
leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya
berada di punggung orang itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya,
ia terkejut dan merasa ngeri.
Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang
besar, karena selain luas juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di sana, di
dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke
batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi
ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan.
Terowongan yang gelap sekali.
Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap,
agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang,
akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau
penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak
lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar
memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya
berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi
bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya
muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang
amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah kuburan bertemu
dengan makhluk seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian makhluk yang berdiri tak bergerak seperti patung itu, mengeluarkan suaranya yang terdengar
bergema namun seperti datang dari jauh, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup, “Nona
datang dari Ting-chun di kaki gunung Cin-ling-san, puteri Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan
sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar. Beberapa kali ia menelan ludah untuk membasahi
kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Makhluk itu, yang kini dapat diduganya
tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan
bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri!
“Aduhai Sang Puteri... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri,
bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak
Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi... ah, siapa duga hamba dapat bertemu
dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai di sini si
kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia
menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok
iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan
lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula menangis!
Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, “Wahai,
Paduka Puteri junjungan hamba..., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita setelah
bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan sang matahari muncul
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan
membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka....”
Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh
gilanya, maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang melengking
tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama
Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus,
“Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak
dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila
yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk, dan agar
orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih, “Pergilah...”
Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng
menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa
yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya si kedok tadi bukan manusia, jangan-jangan memang benar
tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang
rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan
mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus.
Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus, mata jeli
dan bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang
matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou
Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang
melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memakimaki
dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau
tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah
kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu
nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan
lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat makhluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di
depan batu nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut
munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan
kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan Itgan
Kai-ong si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat ke luar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni
dengan marah. “Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak
bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku.
Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota
calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat
hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela
bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu
adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau
harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan
kembali kepada yang berhak, yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biar pun
untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun!”
“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai
seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan
negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo
kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah
bergoyang-goyang.
Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di
dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam, panjang, halus dan harum itu akan
menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou
Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa
berapa banyak orang!
“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu
saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.” Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah
mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma
Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang
menggetarkan kalbu. Rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat, sedangkan
sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan
pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!
“Uhhh!” Hek-giam-lo membentak. Surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah
menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung
dengan sinar sabitnya.
Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas
sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu
mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di
atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan
berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi,
melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi
mereka untuk mencari lubang dan memasukkan serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah
kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu-dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek
Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya. “Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula?
Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”
“Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini
mereka bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus
mematikan.
Sementara itu, keberanian Sian Eng segera timbul ketika melihat dirinya ditinggalkan sendirian oleh Hekgiam-
lo. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku panjang,
menyambar pedangnya yang agaknya tadi dibawa pula oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong
di bawah tanah yang gelap.
Beberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan.
Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah
lubang. Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari
sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan ginkang dan melompat ke luar dari lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari
tempat gelap ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang
dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ berkelebatan dua orang
yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo yang mempergunakan
sebuah sabit yang mengerikan. Orang kedua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara
bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk
dunia-kangouw.blogspot.com
hitam sebagai senjata!
Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya
seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak
tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap dirinya. Ada pun wanita cantik
yang bertempur melawan Hek-giam-lo itu pun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan
Hek-giam-lo. Oleh karena ini Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan
baik ini ia segera melarikan diri.
Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak
tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari
lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.
“Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”
“Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu!”
Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni
mengelak dan membalas dengan sambaran rambutnya.
“Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan
dihentikan.
“Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kau serahkan kepadaku, jangan harap kau bisa
mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat
ini. “Nah, kau makanlah suratmu!” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke
arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng.
Ada pun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh
girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao
dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya,
kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia
membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada
di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus
buatannya, seperti manusia hidup saja.
“Ih, tampan juga kau!” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan
daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.” Siang-mou Sin-ni
menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher patung.
“Plakkk!” rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak.
Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu
hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini
setengah rambutnya semua menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.
“Plakkk!” kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar
sehingga ketika terpental, terasa lebih hebat pula olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang
berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih! Siang-mou Sin-ni
merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang
terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis.
Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut
pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya,
benar-benar melewati batas ketabahannya.
Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerakgerak,
tentu ia tidak akan lari, malah patung itu akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut
panjang itu pergi, ‘patung’ itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas! Seperti
juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah
perginya Hek-giam-lo.
Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya
terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini
memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan tetapi dapat dibayangkannya
betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya
berdiri... Hek-giam-lo!
“Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka
jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo berkata
dengan suaranya yang menyeramkan.
“Tidak... tidak... biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia
hendak lari.
Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan
pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan
terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang cepatnya tanpa dapat
meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
********************
Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil yang permintaannya tidak dituruti. “Kek, kau
membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah
sepekan kita berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis
seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”
Kim-lun Seng-jin, kakek gundul pelontos itu duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang
sudah retak-retak dan tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api
unggun yang dibuatnya sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang
buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun
Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar
dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek.” Lin Lin kembali timbul marahnya dan
membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya berguna dan ada manfaatnya asal saja kita tahu bagaimana
mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik.
Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam?
Aku selalu singgah di istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh,
sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu
juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari kita ke sana, Kek. Ada masakan apa saja di
sana? Aduh perutku lapar sekali!”
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh
dari gadis remaja itu. “Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar....”
“Serupa siapa, Kek?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin. Kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan
dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak
penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak takut!”
“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi
pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang
rendah. Disebutnya ‘serba kosong’, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biar pun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih
sampai matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang sore malam kau suruh aku
berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau
bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka,
dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh,
bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah
rajin berlatih. Benar-benar pintar memutar-balikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras
selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir Khongin-
ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil
mengerahkan tenaga dan ginkang. Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan
besar, pesta-pora tanpa bayar!”
Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke
tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sinkang dan....
“Krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong!
Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang
gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan
bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya
merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus...! Kau lihat sendiri, cucuku. Dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu
patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan
sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita,
juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu, kemudian
merangkul pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”
Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak
membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan
memasuki dapur istana. Memang kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apa lagi masakanmasakan
lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal
betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras
penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi ‘langganan’ tempat
terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu
gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula
yang meronda di pagar tembok, membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang
dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya
dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu
saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.
Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri.
Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang terkena sambitan batu itu,
tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi
tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang
meronda.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin. Ia memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat
dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan tembok, baru
kemudian ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat ke arah tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan
bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu
Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana.
“Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunanbangunan
besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi...,” kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di mana pun
juga.”
“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini,
ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kangouw.
Aku... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari!”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa
mengeluarkan suara, seperti dua ekor kucing saja kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng.
Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu
penyangga genteng, lalu menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit
dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang
sudah lama terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.
Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging,
pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu
menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya...!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin
Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah dipanaskan
lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih dari pada kamar
tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari
batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan
mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci
dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tanda bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk
membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading
yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani
mulutnya yang melahap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit
sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya
menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan
di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah
makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguh pun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main
karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak mengenal masakanmasakan
itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini... wah, ini panggang ikan
lele!” Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh
kakek itu memang benar nikmat dan lezat.
Saking gembiranya, Lin Lin juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di
perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti
selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan.
Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk
mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar,
Lin Lin!”
Kakek itu pun tak mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke
leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai,
bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaikan maling konangan (ketahuan
orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu
mengikutinya sambil terkekeh dan seraya mengintai dari atas ia berbisik, “Ihhh, kenapa kau begini
penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri
makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia
melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka
masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar
sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana itu. Melihat pakaian mereka, kiranya hanyalah tukang-tukang dapur
saja. Begitu memasuki dapur ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata
terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin
berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana?”
“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu. “Lekas laporkan kepada penjaga, eh... ke komandan jaga saja, biar
dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau yang makan masakan-masakan ini tidak
tertangkap, celakalah kita, tentu mendapat hukuman dari Sri Baginda!”
Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat
Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan
tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut
perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan
jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung dan menambah darah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini. Saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah
lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di
bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.
“Wah, kucingnya di atas sana!” seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak, “He! Siapa di atas
sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri!” kata temannya.
“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang ke arah Lin Lin sambil
berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau
kucing, jawablah!”
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar.
Mendengar pertanyaan ini otomatis mulutnya menjawab, “Kucing... eh, meeooonggg...!” Ia gugup sekali
sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka... setan...!” Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan
di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas
genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok
sih, Kek!”
“Mari kita ke gudang pusaka!”
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga siang malam karena di dalamnya terdapat
simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana. “Kau yang masuk, biar aku
merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih
pedang yang kau sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima
orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang
berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira bahwa
mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak
menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh
tertotok tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu
yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung
itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin
secara tekun sehingga ginkang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada dahulu, sudah lipat entah berapa kali.
Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi. Dengan gerakan gesit ia telah
melompat maju di antara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri
itu meluncur lewat di belakang punggungnya!
Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata yang
dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombaktombaknya,
ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata
pilihan, kuno dan terbuat dari pada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri.
Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya dari kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah.
Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur
tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi
begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur
cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak
sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis
dan... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai
tenaga Khong-in-ban-kin! Saking kagetnya karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik,
Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.
“Kek, aku pilih pedang ini...” katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang Besi Kuning,
pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak
tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”
Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita pergi!” Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana ke luar, maka ia
tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari
secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang ke luar. Kiranya di luar
sudah berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu
menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap. Beberapa
menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali.
Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan
mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata
pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.
“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang bahwa aku
mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau katakan dahulu berasal dari bangsa
Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal
pedang ini?”
Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung,
menyerahkannya kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik jubahmu.
Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu
merantau karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah
bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan
tetapi sayang, betapa pun juga masih saja nafsu setan menguasai hati dan timbullah perebutan
kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku.
Tayami, ah, dia anak baik, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu
puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain, memimpin
suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi,
dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut
kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku
akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah
kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin
kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di
sini kakek itu menarik napas panjang.
“Lalu bagaimana, Kek?”
“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku,
merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku
mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara
para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar
terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga
dunia-kangouw.blogspot.com
puterinya, Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang prajurit pilihan Khitan yang
gagah juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong
puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku
mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang
mata tajam penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada apa, Kek?”
“Kau...! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku.
Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”
Lin Lin meloncat berdiri. “Tak mungkin, Kek!”
“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justru
Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan
mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam
gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu
sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu
serupa dia. Juga pedang itu... bukanlah terlalu kebetulan kalau di antara sekian banyaknya pusaka, kau
justru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai
sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu, mendiang raja Kulukan.”
“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”
Kim-lun Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena
kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung pilihan
mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri. Lin Lin, kau dicari oleh mereka yang tidak suka
kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa,
yaitu pamanmu, Kubakan, Raja Khitan yang sekarang.”
“Apa...?” Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak
percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun bahasa Khitan
tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh... satu-satunya
orang yang akan dapat memberi keterangan tentu dia!”
“Dia siapa?”
“Putera sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau bantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak
saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya
dia akan dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”
Lin Lin lalu menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk.
“Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi Lin Lin, jangan kau kira bahwa andai kata kau
benar Puteri Khitan seperti persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan
memerangi pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini, menikmati
kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah di antara
saudara dan bangsa sendiri.”
“Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas
tahta Kerajaan Khitan, Kek!”
Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan
tetapi Lin Lin segera tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku orang biasa. Setelah
mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya
kedua orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.”
Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari ke luar kota raja. Berbahaya
di sini!”
Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan yang amat
gesit, lalu terdengar bentakan, “Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang
berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?
“Kek, kita lawan saja...!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru