Rabu, 10 Mei 2017

Cersil 11 Hina Kelana Cerita Silat Kisah Pendekar Pedang Hoasanpay

Cersil 11 Hina Kelana Cerita Silat Kisah Pendekar Pedang Hoasanpay Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 11 Hina Kelana Cerita Silat Kisah Pendekar Pedang Hoasanpay
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 11 Hina Kelana Cerita Silat Kisah Pendekar Pedang Hoasanpay
Bab 93. Setia Kawan Sejati
“Nanti dulu!” cepat Lenghou Tiong mencegah. “Panah musuh terlalu lihai, kita harus mencari jalan yang baik
untuk menghadapi mereka agar tidak jatuh korban cuma-cuma.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Cayhe ada suatu usul,” sela Keh Bu-si. “Di dalam kuil ini tiada terdapat benda apa-apa, tapi poh-toan (bantal
bundar untuk duduk semadi) ada beberapa ribu biji, kita kan dapat manfaatkan benda ini?”
Kata-kata ini menyadarkan orang banyak, serentak mereka berseru, “Benar dapat kita gunakan sebagai
perisai, memang sangat tepat dijadikan tameng.”
Seketika ada beberapa ratus orang menerobos ke dalam Siau-lim-si dan mengusung keluar bantal-bantal itu.
“Gunakan bantal ini sebagai tameng, marilah kita menerjang ke bawah,” seru Lenghou Tiong.
“Bengcu, sesudah itu di mana lagi kita harus berkumpul dan bagaimana tindakan kita selanjutnya, terutama
cara bagaimana harus berdaya menolong Seng-koh, untuk itu sekarang juga mesti diatur lebih dulu,” kata Keh
Bu-si.
“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Aku memang bodoh, segala urusan tak bisa mengatur, mana aku bisa menjadi
bengcu. Kupikir sesudah menerjang ke luar kepungan musuh, untuk sementara kita pencarkan diri saja ke
tempat masing-masing dan berusaha sendiri-sendiri mencari tahu di mana beradanya Seng-koh, lalu saling
memberi kabar, kemudian dapat kita atur tindakan selanjutnya.”
“Baiklah, terpaksa harus demikian,” kata Keh Bu-si. Segera ia meneruskan garis besar keputusan Lenghou
Tiong itu.
“Dan cara bagaimana kita harus menyerbu ke bawah, silakan Keh-heng mengatur sekalian,” kata Lenghou
Tiong lebih jauh.
Melihat Lenghou Tiong benar-benar tidak punya bakat pimpinan, terutama pada saat gawat menghadapi musuh
demikian, maka Keh Bu-si juga tidak sungkan-sungkan lagi, segera ia berseru lantang, “Dengarkan para
kawan, Bengcu memerintahkan agar kawan-kawan membagi diri dalam delapan jurusan dan menerjang ke
bawah serentak. Yang kita harapkan hanya menerjang ke luar kepungan musuh dan tidak perlu banyak
membunuh.”
Begitulah pembagian-pembagian kelompok ke delapan jurusan itu lantas dilakukan, sesudah ditentukan pula
jurusan masing-masing yang terdiri hampir ribuan orang, lalu Lenghou Tiong berkata, “Jurusan selatan adalah
jalan besar, tentu pula paling banyak dan paling kuat dijaga oleh musuh. Marilah Coh-heng, Lo-heng, Kehheng,
kita mendahului menerjang dari jalan utama ini untuk memengaruhi perhatian musuh, dengan demikian
kawan-kawan yang lain akan lebih leluasa menyerbu ke jurusan lain.”
Setelah mengatur seperlunya, segera Lenghou Tiong menghunus pedang, tanpa membawa tameng apa-apa ia
terus bertindak ke bawah gunung dengan langkah lebar. Rombongannya diikuti oleh Keh Bu-si, Na Hong-hong,
dan lain-lain.
Melihat sang bengcu mendahului menerjang ke bawah, semua orang menjadi berani, mereka berteriak-teriak
dan beramai-ramai menerjang ke bawah dari delapan jurusan. Sudah tentu pegunungan itu tiada delapan jalur
jalan, ketika menyerbu maju mula-mula mereka terbagi dalam delapan barisan, tapi setelah bergerak seluruh
gunung menjadi penuh dengan orang tanpa teratur lagi.
Lenghou Tiong berlari satu-dua li ke bawah lantas disambut dengan serangan. Mula-mula terdengar suara
gembreng berbunyi, menyusul dari hutan di depan berhamburan anak panah bagai hujan. Namun ia sudah siap
siaga, ia mainkan “Boh-gi-sik” dari Tokko-kiu-kiam yang lihai, yaitu cara memunahkan serangan senjata
rahasia, pedangnya berputar cepat, semua anak panah yang menyambar tiba kena disampuk atau ditangkis
jatuh, kakinya tidak pernah berhenti, ia terus menerjang ke depan.
Sekonyong-konyong terdengar seorang menjerit di belakangnya, rupanya kaki kiri dan dada kanan Na Honghong
berbareng terkena panah dan roboh. Lekas-lekas Lenghou Tiong putar balik dan memayangnya bangun,
katanya, “Kulindungi kau ke bawah!”
“Jangan kau urus diriku, kau sen ... diri menerjang ke bawah saja!” sahut Na Hong-hong. Sementara hujan
panah masih terus berlangsung, tapi semuanya dapat ditangkis oleh pedang Lenghou Tiong.
Dengan tangan kiri merangkul pinggang Na Hong-hong segera Lenghou Tiong membawanya lari ke bawah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
gunung pula. Mendadak terdengar bentakan orang, berbareng macam-macam senjata menyerang dari kanan
dan kiri.
Tanpa pikir Lenghou Tiong putar pedangnya, terdengar suara mendering nyaring berulang-ulang, tiga macam
senjata musuh jatuh ke tanah, berbareng Lenghou Tiong telah menerjang belasan meter jauhnya ke bawah.
Pada saat itulah terdengar sambaran angin, tiga tombak musuh menusuk lagi dari belakang dan samping.
Karena sebelah tangan merangkul tubuh Na Hong-hong, gerak-gerik Lenghou Tiong menjadi kurang leluasa,
terpaksa ia menangkis lagi dengan pedang. Tiba-tiba terdengar seruan Lo Thau-cu di belakang, agaknya seperti
terluka. Waktu Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya Keh Bu-si, Coh Jian-jiu sedang membalik ke atas untuk
menolong Lo Thau-cu tentunya.
Seketika Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu apakah terus menerjang ke bawah atau kembali ke atas membantu
teman-temannya itu. Saat itulah mendadak suara seorang perempuan membentaknya, “Lenghou Tiong, makin
lama kelakuanmu makin tidak genah!”
Lenghou Tiong terkejut mengenali suara perempuan itu, cepat ia berpaling kembali dan benarlah, yang
bersuara itu memang betul siausumoaynya, Gak Leng-sian. Wajah sumoay itu tampak membesi, di sebelahnya
berdiri seorang pemuda cakap, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, segera tercetus dari mulutnya, “Siausumoay, kau sehat-sehat saja
bukan? Lim-sute ternyata juga sudah baik.”
“Hm, siapa sudi menjadi sute dan sumoaymu?” jengek Gak Leng-sian. “Kau memimpin pasukan siluman ini
menyerbu Siau-lim-si yang suci, apakah kau ini terhitung manusia?”
Dada Lenghou Tiong serasa digodam oleh cercaan Leng-sian itu, ia pikir urusan hari ini terang sukar dijelaskan,
sebenarnya juga tidak perlu penjelasan, sebab dalam pandangan orang-orang Hoa-san-pay sekarang setiap
perbuatannya sudah dianggap pasti salah.
Dalam pada itu Gak Leng-sian telah membentak lagi sambil mengacungkan pedangnya, “Lenghou Tiong, hari
ini kawan-kawan dari aliran-aliran cing-pay sudah mengadakan pengepungan rapat terhadap Siau-sit-san ini,
kalian kaum siluman ini satu pun jangan harap bisa lolos dengan hidup. Kau sendiri kalau ingin lari, lalui dulu
rintanganku ini.”
Ketika Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya pengikut-pengikut di belakangnya hanya 50-60 orang saja, seluruh
gunung bergemuruh dengan suara-suara pertempuran sengit, pihak lawan berombongan atau berkelompok
dalam seragam tertentu, ada warna biru atau warna kuning, ada yang pakai tanda kain merah terbalut di
lengan, barisan mereka teratur. Sebaliknya anak buah pihak sendiri adalah gabungan dari macam-macam
gerombolan yang tidak kompak, masing-masing bertempur sendiri-sendiri, menerjang ke sana kemari
semaunya, tidak perlu dipikir juga jelas terbayang pihak mana yang bakal menang atau kalah.
Sekilas terpikir dalam benak Lenghou Tiong, “Ternyata Siau-lim-si sudah menyiapkan pertahanan yang kuat
dengan menghimpun tenaga dari berbagai golongan dan aliran, tujuannya tentu hendak mengurung dan
menumpas kami di atas Siau-sit-san ini. Jika memang nasib sudah ditakdirkan demikian, biarlah aku mati
bersama para kawan saja.”
Tapi lantas teringat olehnya, “Matiku tidak menjadi soal, tapi Ing-ing belum lagi diselamatkan, betapa pun aku
harus berusaha menyelamatkan dulu Ing-ing yang belum diketahui di mana beradanya itu.”
Dalam pada itu suara pertempuran, suara menderingnya senjata, suara teriakan dan jeritan ngeri terdengar di
mana-mana. Sambil mengertak gigi akhirnya Lenghou Tiong berkata, “Nona Gak, jika kau tetap merintangi aku
terpaksa aku tidak sungkan-sungkan lagi.”
“Apakah kau benar-benar mau bergebrak dengan aku?” tanya Leng-sian dengan gusar.
“Aku hanya mau turun ke bawah dan tidak ingin bergebrak dengan kau,” sahut Lenghou Tiong.
“Tokoh-tokoh terkemuka Ko-san, Thay-san, Heng-san, dan Hoa-san-pay sudah datang semua, ditambah lagi
jago-jago undangan Siau-lim-pay, sukarlah bagimu untuk lolos,” kata Leng-sian. “Lebih baik kau menyerah
saja, nanti akan kumintakan ampun kepada ayah ....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Pada saat itulah tiba-tiba di belakang Leng-sian sana muncul seorang dan membentak dengan suara bengis,
“Lenghou Tiong, tidak lekas buang senjatamu dan menyerah?”
Siapa lagi dia kalau bukan ketua Hoa-san-pay, Kun-cu-kiam Gak Put-kun.
Tergetar hati Lenghou Tiong melihat sang guru yang berwibawa itu, ia tidak berani bicara lagi. Sembari tetap
merangkul tubuh Na Hong-hong segera ia putar tubuh bermaksud naik ke atas gunung lagi.
Mendadak Gak Put-kun menusuk dengan pedangnya ke punggung Lenghou Tiong. Tapi pemuda itu keburu
mengerahkan tenaga dalam yang kuat dan melompat ke atas. Berulang-ulang Gak Put-kun menusuk tiga kali,
ujung pedangnya selalu berjarak dua-tiga senti di punggung Lenghou Tiong.
Meski sebelah tangannya membawa Na Hong-hong, tapi tenaga dalam Lenghou Tiong sangat kuat sehingga
Gak Put-kun tidak mampu mencandaknya.
Keruan Gak Put-kun menjadi gusar, ia menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan Ci-he-sin-kang,
tubuhnya mengapung ke atas, pedangnya sebagai kelebatan sinar kilat terus menusuk pula ke punggung
Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong tidak ingin menangkis dengan pedang, ia pun mengerahkan tenaga murni dan meloncat tinggi
ke atas, dirasakannya angin dingin sudah menyambar tiba di belakangnya, terkilas pikirannya, “Entah dapat
lolos dari tusukan ini atau tidak? Jika memang harus mati, biarlah mati di bawah pedang suhu daripada
dibunuh oleh orang lain.”
Pada saat itulah sebelah kakinya telah menginjak tanah, berbareng terdengar suara “trang” yang nyaring di
belakangnya. Tanpa menoleh Lenghou Tiong juga lantas mengetahui bahwa Na Hong-hong yang berada di
kempitannya itulah yang telah menangkiskan tusukan sang guru itu. Segera Lenghou Tiong menggenjot tubuh
dan meloncat belasan meter lagi ke atas depan, habis itu barulah berpaling.
Tapi Gak Put-kun benar-benar seperti bayangan yang melekat tubuh saja, tahu-tahu sudah menyusul tiba,
ujung pedang tinggal sejengkal lagi di depan dada Lenghou Tiong. Tapi kembali Na Hong-hong memutar
senjatanya yang berbentuk bundar seperti roda dengan bulatan tengah 20-an senti, entah senjata apa
namanya. “Trang”, pedang Gak Put-kun tertangkis lagi.
Waktu Gak Put-kun bermaksud mengejar dan menggempur lagi, tahu-tahu seorang telah mengejeknya di
belakang, “Taruh saja pedangmu!”
Menyusul punggung Put-kun terasa sakit sedikit, ia insaf punggungnya telah terancam di bawah senjata lawan,
keruan ia terkejut dan menyesalnya tak terkatakan.
Hendaklah maklum bahwa tindak tanduk Gak Put-kun selamanya sangat hati-hati, tidak pernah ia berlaku
ceroboh, maka selama hidupnya belum pernah ia dijebak musuh. Sekarang lantaran saking gemasnya
menyaksikan murid didiknya yang pernah disayang itu ternyata berkomplot dengan kaum sia-pay, malahan
sebelah tangannya merangkul seorang perempuan, maka dengan penuh kebencian sekali tusuk ia ingin
membinasakan murid yang dianggapnya murtad itu.
Menurut teori seharusnya tusukan-tusukan pedangnya tadi tak bisa meleset, ia tidak tahu bahwa tenaga dalam
Lenghou Tiong sekarang sudah sukar dibayangkan hebatnya, serangannya selalu berselisih beberapa senti saja
dari sasarannya, betapa pun sukar mengenainya. Karena terburu nafsu itulah ia terus mengejar dan akibatnya
terjebak di tengah kepungan musuh tanpa sadar. Waktu ia mengangkat kepalanya, tertampaklah papan kuil
Siau-lim-si yang terpampang di depan pintu. Baru sekarang ia mengetahui telah berada di depan kuil agung
yang termasyhur itu.
Selagi ia melenggong itulah di sekitarnya sudah mengepung tujuh-delapan orang, semuanya bersenjata, asal
dirinya sedikit bergerak saja bukan mustahil akan dicincang oleh mereka. Terpaksa ia lepas tangan, pedang
dibuangnya ke tanah.
Orang yang mengancamkan senjata di punggung Gak Put-kun itu bukan lain dari “Si Kucing Malam” Keh Bu-si.
Segera ia berseru, “Bengcu, kita tidak mampu menerjang lagi ke bawah, korban kita sudah banyak, lebih baik
suruh kawan-kawan mundur dahulu!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekilas pandang Lenghou Tiong juga mengetahui gelagat pertempuran yang tidak menguntungkan itu, kalau
pihak lawan sempat menyerbu ke atas gunung tentu akan lebih runyam lagi. Maka cepat ia berseru lantang,
“Semuanya mundur kembali ke Siau-lim-si!”
Karena tenaga dalamnya yang mahakuat, beberapa kali teriakannya itu dapat didengar oleh beribu-ribu orang
yang sedang bertempur sengit itu. Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, dan lain-lain juga berteriak-teriak, “Bengcu ada
perintah, hendaklah semua kawan mundur kembali ke Siau-lim-si!”
Kemudian Lenghou Tiong mendekati Gak Put-kun, katanya, “Maaf Suhu, banyak mengganggu. Silakan kembali
ke bawah saja!”
Tiba-tiba terdengar suara orang menjerit ngeri, dua-tiga orang tampak roboh terluka. Ternyata dua tojin Thaysan-
pay telah menerjang naik. Cepat Lenghou Tiong memburu ke sana, sinar pedang berkelebat, hampir
berbareng pergelangan kedua tojin itu kena pedang dan senjata terlepas dari cekalan. Keruan kedua tojin itu
ketakutan dan lari kembali ke bawah.
Sementara itu karena seruan mundur tadi, beramai-ramai para jago sudah berlari kembali, orang-orang pihak
cing-pay ada yang berusaha mengejar ke atas, tapi mereka menjadi celaka sendiri, tidak dilabrak oleh Lenghou
Tiong tentu dikerubut oleh jago-jago lain.
Tidak lama kemudian terdengar pula suara gembreng di bawah gunung, pihak cing-pay juga membunyikan
tanda mundur dan mencegah anak buah mengejar ke atas gunung.
Di depan Siau-lim-si tidak menjadi sunyi, sebaliknya masih ramai dengan suara caci maki diseling suara
merintih sakit, di mana-mana berceceran darah. Keh Bu-si memberi perintah 800 orang yang tidak terluka
untuk menjaga delapan jurusan agar tidak disergap pihak musuh.
“Bengcu,” kata Keh Bu-si kepada Lenghou Tiong, “sekali ini walaupun kita gagal menerjang ke bawah, untung
telah berhasil menawan ketua Hoa-san-pay, sedikitnya kita sudah punya sandera ....”
“Apa katamu?” seru Lenghou Tiong kaget. “Suhuku masih belum pergi?”
Ketika ia mendatangi tempat tadi, ternyata Gak Put-kun malah sedang duduk di atas tanah dengan lemas,
agaknya hiat-to tertutuk orang. Cepat Lenghou Tiong berkata, “Keh-toako, harap kau membuka hiat-to guruku
yang tertutuk.”
Dengan suara perlahan Keh Bu-si mengisiki Lenghou Tiong, “Bengcu, keadaan kita sangat berbahaya, padahal
Bengcu sekarang bukan lagi murid Hoa-san-pay, kukira tidak perlu memikirkan urusan guru dan murid segala.”
Mendadak Lenghou Tiong berseru, “Satu hari menjadi guru, selama hidup seperti ayah. Harap Keh-toako
mengingat diriku, janganlah membikin susah kepada guruku.”
“Cis, kalau mau bunuh lekas bunuh, mau gantung boleh lekas gantung, siapa lagi yang sudi menjadi guru
manusia cabul semacam kau?” jengek Gak Put-kun penuh menghina.
“Coba dengarkan?” kata Keh Bu-si. “Dia tidak sudi mengaku kau sebagai murid, buat apa lagi kau mengakui dia
sebagai guru?”
Namun Lenghou Tiong menggeleng, ia menjemput pedang yang terbuang di tanah tadi, dimasukkannya ke
sarung pedang yang tergantung di pinggang Gak Put-kun, lalu berkata, “Dosa murid mahabesar, mohon maaf.”
Rasa gusar dan gemas Gak Put-kun sungguh tak terkatakan, sekali tusuk ia ingin menembusi ulu hati Lenghou
Tiong. Tapi ia tahu kepandaian Lenghou Tiong sekarang teramat lihai, serangannya belum tentu bisa
membinasakan lawan, andaikan bisa membunuhnya tentu dirinya sendiri juga sukar meloloskan diri dari
kepungan musuh yang sedemikian banyak. Maka dengan mata melotot ia menatap Lenghou Tiong, wajahnya
penuh rasa murka.
Melihat sikap sang suhu yang penuh kebencian, jauh lebih benci daripada ketika mereka bertemu di pinggang
gunung tadi, mendadak perasaan Lenghou Tiong terguncang, katanya dengan perlahan, “Suhu, jika engkau
mau membunuh aku silakan laksanakan sekarang, sama sekali aku takkan menghindar.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Namun Gak Put-kun lantas mendengus, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.
“Lenghou-kongcu,” kata Coh-Jian-jiu sambil geleng kepala, “engkau berbudi padanya, sebaliknya dia tidak tahu
kebaikanmu. Kulihat dia bertekad akan membunuh kau, kelak bila bertemu lagi engkau harus waspada.”
Lenghou Tiong hanya menghela napas, katanya kemudian, “Marilah kita menolong dulu saudara-saudara yang
terluka.”
Dalam kesibukan memberi obat kepada teman-teman yang luka itu, terpikir oleh Lenghou Tiong, “Sayang anak
murid perempuan Hing-san-pay tidak berada di sini sehingga kurang obat luka yang mujarab. Tapi kalau
orang-orang Hing-san-pay itu berada di sini, apakah mereka akan membantu aku atau membela pihak cing-pay
mereka? Hal ini sukar untuk dipastikan.”
Menghadapi kegaduhan orang banyak, mau tak mau bingung juga pikiran Lenghou Tiong. Kalau dia sendirian
tentu sejak tadi sudah menerjang ke bawah, apakah akibatnya akan mati atau tetap hidup bukan soal lagi
baginya. Beratnya sekarang dia telah diangkat menjadi pemimpin orang-orang Kangouw ini, jiwa beribu-ribu
orang ini tergantung kepada setiap keputusannya, hal inilah yang membuatnya serbasusah.
Sementara itu subuh sudah tiba, mendadak di bawah bergema suara tambur yang bergemuruh disertai suara
teriakan-teriakan gegap gempita. Cepat Lenghou Tiong melolos pedang dan memburu ke ujung jalan. Para jago
juga siap dengan senjatanya untuk bertempur mati-matian dengan musuh. Suara tambur itu makin lama makin
keras dan gencar, tapi musuh ternyata tidak menyerbu ke atas.
Selang sejenak, mendadak suara tambur berhenti serentak. Maka timbul macam-macam pendapat. Ada yang
mengatakan, “Suara tambur sudah berhenti, tentu mereka mulai menyerbu!”
Yang lain menanggapi, “Kebetulan jika mereka berani menyerbu ke sini, kita akan labrak mereka hingga kocarkacir
daripada tetap bercokol di sini.”
“Kurang ajar! Rupanya kawanan kura-kura itu hendak membikin kita mati kehausan dan kelaparan di sini.
Andaikan mereka tidak menyerbu ke sini juga kita akan menerjang ke bawah!” demikian seru yang lain lagi.
Dengan perlahan Keh Bu-si berkata kepada Lenghou Tiong, “Tampaknya musuh memang sengaja pakai tipu
muslihat hendak mengepung kita di sini sehingga mati kutu sendiri. Kalau malam ini kita tidak bisa lolos, bila
kelaparan lagi sehari semalam tentu kita tidak kuat bertempur.”
“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Marilah kita memilih dua-tiga ratus teman yang berkepandaian tinggi sebagai
pembuka jalan, mumpung malam gelap gulita kita serbu ke bawah untuk membikin kacau penjagaan musuh,
kemudian kawan-kawan yang lain lantas ikut menerjang ke bawah.”
“Ya, terpaksa harus demikian,” ujar Keh Bu-si.
Pada saat itu juga suara tambur di bawah gunung mendadak berbunyi lagi, menyusul ada ratusan orang
menyerbu ke atas. Cepat para jago menyambut serbuan itu sambil membentak-bentak. Tapi serbuan itu
ternyata tidak sungguh-sungguh, hanya beberapa kali gebrak saja mereka lantas saling memberi tanda dan
mengundurkan diri ke bawah.
Baru saja para jagoan menaruh senjata, belum ada lima menit mengaso, kembali suara tambur bergema,
kembali suatu rombongan musuh pakai ikat kepala menyerbu ke atas lagi, setelah bertempur sebentar kembali
mereka mundur.
“Bengcu, rupanya musuh sengaja menggunakan ‘Bing-peng-ci-keh’ (tipu melelahkan lawan) untuk
mengganggu kita sehingga tidak bisa istirahat,” kata Keh Bu-si.
“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Silakan Keh-toako mengatur tipu perlawanan.”
Keh Bu-si lantas memberikan perintah bilamana musuh menyerbu lagi ke atas, cukup dilayani saja oleh
barisan-barisan penjaga, yang lain-lain boleh tetap mengaso tanpa gubris.
Coh Jian-jiu mengajukan usul, “Cayhe punya akal begini, dua-tiga ratus orang yang telah kita pilih nanti ikut
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyerbu ke bawah apabila musuh datang lagi di tengah malam buta.”
“Bagus,” ujar Lenghou Tiong. “Silakan Coh-heng pergi memilih kawan-kawan yang dapat diandalkan. Pesan
pula kawan-kawan lain, bila nanti pertahanan musuh sudah kacau lantas ikut menyerbu serentak.”
Lenghou Tiong coba mengadakan pemeriksaan keliling gunung, dilihatnya pula keadaan luka teman-temannya.
Luka panah Lo Thau-cu dan Na Hong-hong ternyata tidak ringan, untung tidak membahayakan jiwa.
Tidak lama kemudian Coh Jian-jiu kembali lapor bahwa 300 orang pilihan sudah siap, semuanya terdiri dari
jagoan kelas wahid. Dengan tenaga pilihan ini, sekalipun barisan musuh cukup kuat juga tidak sanggup
menahan terjangan hebat 300 ekor harimau lapar.
Semangat Lenghou Tiong terbangkit, ia suruh pasukan penyerbu itu mengaso dulu tunggu perintah untuk
bertempur.
Sementara itu salju turun dengan lebatnya, bunga salju bertebaran laksana kapas, di atas tanah sudah
tertimbun suatu lapis tipis salju. Pakaian dan kepala semua orang juga sudah penuh berhias bunga salju.
Karena seharian tidak minum satu tetes air pun, semua orang menjejal salju ke mulut sekadar penawar
dahaga.
Cuaca makin gelap, lambat laun tambah gelap gulita, sampai dua orang berhadapan saja tak bisa jelas lagi. Di
tengah kegelapan terdengar Coh Jian-jiu berkata, “Untung hujan salju malam ini, kalau tidak, malam tanggal
15 ini tentu terang benderang oleh cahaya rembulan.”
Sekonyong-konyong suasana menjadi sunyi senyap. Di atas gunung, di luar, maupun dalam Siau-lim-si
berkumpul beberapa ribu orang, di pinggang gunung pihak cing-pay sedikitnya juga ada lebih dari lima ribu
orang, tapi kebetulan kedua pihak sama-sama tidak mengeluarkan suara. Hanya terkadang kadang terdengar
suara keresekan perlahan yang aneh, mungkin suara daun pohon atau semak rumput yang kejatuhan bunga
salju.
“Saat ini entah apa yang sedang dilakukan oleh siausumoay?” demikian Lenghou Tiong teringat kepada Gak
Leng-sian.
Tiba-tiba dari pinggang gunung berkumandang suara tiupan trompet, menyusul dari segenap penjuru
bergemuruh dengan suara teriakan serbu. Sekali ini rupanya musuh hendak menyerbu sungguh-sungguh di
tengah malam gelap.
“Kita pun serbu ke bawah!” kata Lenghou Tiong dengan suara tertahan sambil acungkan pedangnya. Segera ia
mendahului lari ke bawah melalui jalanan yang paling terjal di sebelah barat. Segera 300 jago pilihan yang
telah siap itu ikut menerjang ke bawah di belakang Lenghou Tiong.
Sejauh serbuan Lenghou Tiong dan pasukannya ternyata tidak mendapat rintangan. Kira-kira satu-dua li
jauhnya, Coh Jian-jiu menyulut hwe-ci-bau (mercon roket), dengan semburan cahaya api hwe-ci-bau itu
melayang tinggi ke udara, lalu meletus. Inilah kode kepada jago-jago yang masih menunggu di atas gunung
agar segera ikut menerjang ke bawah.
Selagi lari, tiba-tiba Lenghou Tiong merasa tapak kakinya kesakitan, seperti menginjak benda tajam sebangsa
paku. Ia tahu gelagat jelek, cepat ia meloncat ke atas dan hinggap di atas pohon. Pada saat yang sama
terdengar Coh Jian-jiu dan lain-lain juga berteriak kesakitan, tapak kaki mereka juga menginjak paku lancip,
bahkan ada yang tapak kakinya tertembus, keruan sakitnya bukan buatan.
Beberapa puluh orang lagi berusaha menerjang ke bawah dengan gagah berani, tapi mendadak mereka pun
menjerit, semuanya kejeblos ke dalam lubang jebakan, dari semak-semak pohon di samping lantas menjulur
keluar belasan tombak dan menusuk ke dalam liang jebakan itu. Seketika bergemalah jerit ngeri memenuhi
pegunungan itu.
“Lekas Bengcu memberi perintah agar semuanya mundur kembali ke atas!” seru Keh Bu-si.
Melihat gelagat jelek, terang pihak cing-pay telah mengatur penjagaan rapi di bawah gunung, kalau
sembarangan menerjang ke bawah pasti akan kalah habis-habisan, cepat Lenghou Tiong berseru lantang,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Semua orang mundur kembali ke Siau-lim-si!”
Berbareng itu Lenghou Tiong melompat dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mendekati lubang
perangkap, dari atas ia menubruk ke bawah sambil putar pedangnya, kontan ia robohkan tiga orang
bertombak. Ia menancapkan kaki di tempat bekas lawan, ia yakin di situ pasti tiada dipasang paku-paku yang
lancip itu. Menyusul pedangnya bekerja lagi, dalam sekejap belasan orang telah dirobohkan pula. Keruan yang
lain-lain menjadi takut, sambil berteriak-teriak mereka lantas kabur.
Beberapa puluh orang yang kejeblos ke dalam liang itu satu per satu lantas melompat keluar, namun belasan
orang sudah tewas.
Dalam keadaan gelap gulita tiada seorang pun yang mengetahui di mana terpasang lubang perangkap lagi,
maka mereka tidak berani menerjang pula ke bawah, terpaksa mereka kembali ke atas gunung dengan kaki
pincang. Untung musuh tidak mengejar.
Setiba kembali di Siau-lim-si, di bawah cahaya lampu mereka coba memeriksa luka masing-masing, ternyata
sebagian besar tapak kaki berdarah dan ada yang tembus tercocok paku tajam itu. Banyak yang mencaci maki.
Nyata suara-suara tambur yang dibunyikan serta serbuan-serbuan pancingan tadi hanya untuk menutupi suara
galian lubang perangkap serta pemasangan paku di pinggang gunung itu. Paku-paku itu panjangnya belasan
senti, dua pertiga ditanam dan satu pertiga menonjol di permukaan tanah, tajamnya bukan main, kalau seluruh
gunung dipasangi paku demikian, sukarlah untuk lolos. Jelas paku-paku tajam itu sebelumnya sudah disiapkan.
Hal ini membayangkan betapa cermat cara pengaturan pihak musuh.
Bab 94. Lolos dari Lubang Bumi
Keh Bu-si menarik Lenghou Tiong ke samping dan berkata lirih padanya, “Lenghou-kongcu, betapa pun kita
sukar untuk menerjang keluar kepungan. Adapun cita-cita kita yang diharapkan siang dan malam, yaitu
menyelamatkan Seng-koh, tugas mahabesar ini terpaksa mohon Lenghou-kongcu memikulnya sendirian kelak.”
“Ap ... apa maksud ... maksudmu ini?” Lenghou Tiong menegas.
“Kutahu Kongcu sangat berbudi dan punya jiwa setia kawan sejati, betapa pun engkau tidak sudi
menyelamatkan diri sendiri dengan meninggalkan kawan-kawan di sini,” kata Keh Bu-si. “Tapi kalau semuanya
gugur di sini, lalu kelak siapa yang akan menuntut balas bagi kita? Siapa pula yang bertugas menyelamatkan
Seng-koh dari kurungan musuh?”
“Hehe, kiranya Keh-heng suruh aku melarikan diri sendiri,” Lenghou Tiong tertawa ewa. “Sudahlah, soal ini
jangan kau sebut-sebut lagi. Kalau mau mati biarlah kita mati bersama saja. Manusia mana yang takkan mati?
Sekarang kita mati semua, nanti Seng-koh juga akan mati di penjara musuh. Orang-orang cing-pay yang
mendapat kemenangan sekarang, kelak entah setahun entah sepuluh tahun lagi toh satu per satu juga akan
mati? Soal kalah atau menang paling-paling juga cuma soal mati sekarang atau mati kelak saja.”
Melihat sukar membujuknya, Keh Bu-si merasa tiada gunanya banyak omong lagi. Tapi kalau malam gelap ini
tidak berusaha lari, besok pagi bila musuh mulai menyerang secara besar-besaran tentu tidak sempat lolos
lagi. Terpikir demikian, ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa beberapa orang, makin lama makin gembira suara tawa mereka itu.
Padahal setelah mengalami kekalahan dan terkurung di dalam Siau-lim-si, setiap orang boleh dikata sedang
membayangkan bagaimana mereka akan menerima ajal. Tapi ternyata ada orang sempat tertawa sedemikian
gembira.
Dari suara mereka itu segera Lenghou Tiong dan Keh Bu-si mengenali mereka adalah Tho-kok-lak-sian, pikir
mereka, “Ya, hanya makhluk-makhluk dogol semacam mereka inilah masih bisa tertawa meski kematian sudah
di depan mata.”
Sementara itu gelak tawa Tho-kok-lak-sian bertambah menjadi, rupanya mereka merasa geli melihat orangorang
yang terluka itu. Terdengar Tho-ki-sian berkata, “Hahaha, di dunia ini ternyata ada orang bodoh seperti
kalian ini! Masakah kaki sendiri diinjakkan pada paku. Hahahaha, sungguh menggelikan!”
“Huhuuh! Mungkin kalian kaum tolol ini sengaja mau coba tapak kaki kalian lebih keras daripada paku
barangkali? Hahaha! Enak ya rasanya tapak kaki ditembus paku?” demikian Tho-yap-sian menambahkan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kalau mau merasakan enaknya paku, kan lebih baik kalian memukul pakunya dengan palu dari atas tapak kaki
saja? Hehehe, benar-benar geli, hahaaah!” Tho-hoa-sian ikut menggoda.
Begitulah keenam bersaudara itu terus tertawa geli dengan macam-macam ocehan yang mencemoohkan,
seakan-akan tiada sesuatu yang lebih jenaka daripada apa yang mereka lihat sekarang.
Padahal orang-orang yang terluka itu sedang merintih kesakitan, sebaliknya Tho-kok-lak-sian malah
mencemoohkan. Keruan mereka menjadi gusar dan mencaci maki, bahkan ada beberapa orang lantas melolos
senjata hendak melabrak Tho-kok-lak-sian.
Lenghou Tiong khawatir urusan bisa runyam, mendadak ia berteriak, “He, he! Apa, itu? Hahaah, sungguh lucu!
Sungguh aneh!”
Mendengar teriakan itu, Tho-kok-lak-sian ketarik, beramai-ramai mereka lari mendekat dan bertanya, “Apa
yang lucu?”
“Apa yang aneh?”
“Itu dia! Kulihat enam ekor tikus menyeret seekor kucing dan lari ke sana!” sahut Lenghou Tiong.
Tho-kok-lak-sian menjadi senang, seru mereka, “Aha, tikus makan kucing, inilah luar biasa! Ke mana larinya?”
“Ke sana!” kata Lenghou Tiong sambil menuding sekenanya.
“Ayo! Mari kita melihatnya ke sana!” seru Tho-kin-sian sambil menarik tangan Lenghou Tiong.
Semua orang tahu bahwa apa yang dikatakan Lenghou Tiong itu secara tidak langsung hendak mendamprat
Tho-kok-lak-sian sebagai enam ekor tikus, tapi dasar orang dogol, sedikit pun mereka tidak tahu, bahkan
percaya penuh. Keruan semua orang terbahak-bahak geli.
Sebaliknya Tho-kok-lak-sian tetap menyeret Lenghou Tiong berlari ke arah yang ditunjuk tadi untuk melihat
“tikus makan kucing”.
Setiba di ruang belakang, Lenghou Tiong berseru pula dengan tertawa, “Nah, nah! Itu dia!”
“Di mana, di mana? Kenapa aku tidak lihat?” Tho-sit-sian berkaok penasaran.
Lenghou Tiong sengaja hendak memancing Tho-kok-lak-sian berpisah sejauh mungkin dengan orang lain agar
tidak menimbulkan cekcok, maka dia sengaja menuding ke sana ke sini, maka makin jauhlah mereka ke
belakang.
Mendadak Tho-kan-sian menolak sebuah pintu ruangan samping, di dalamnya ternyata gelap gulita. Segera
Lenghou Tiong berseru dengan tertawa, “Itu dia! Kucing itu telah diseret tikus-tikus itu ke dalam liang!”
“Mana ada liang? Kau jangan mengapusi orang!” ujar Tho-kin-sian. Ia lantas menyalakan geretan api, ternyata
di kamar itu kosong melompong, hanya sebuah patung Buddha tampak bersila menghadap dinding.
Tho-kin-sian menyulut pelita minyak yang menempel di dinding, katanya kemudian, “Mana ada liang? Hayolah
kita gebah tikusnya biar keluar!”
Dengan lampu itu ia coba periksa sekeliling kamar, tapi tiada sebuah liang dinding yang diketemukan.
“Mungkin di belakang patung sana?” ujar Tho-ki-sian.
“Di belakang patung adalah kita bertujuh, memangnya kita ini tikus?” kata Tho-kan-sian.
“Patung menghadapi dinding, belakang patung adalah depannya sana,” sahut Tho-kin-sian tak mau menyerah.
“Sudah salah omong masih ngotot! Masakah belakang sama dengan depan?” bantah Tho-kan-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Peduli depan atau belakang, yang penting kita singkirkan patung ini dan periksa saja sebelah sana,” kata Thohoa-
sian.
“Benar!” seru Tho-yap-sian dan Tho-sit-sian berbareng. Segera mereka bertiga memegang patung itu terus
ditarik.
“He, jangan! Itulah patung Tat-mo Loco!” seru Lenghou Tiong.
Tat-mo Loco (Buddhatama) adalah cikal bakal Siau-lim-si, juga cikal bakal ilmu silat aliran yang termasyhur itu.
Tat-mo Loco dahulu pernah bersemadi menghadap dinding selama sembilan tahun dan mencapai
kesempurnaan, makanya patung yang dipuja di dalam kuil agung itu pun menghadapi dinding.
Namun sekali Tho-hoa-sian bertiga sudah bertindak sukar lagi dikendalikan, seruan Lenghou Tiong tidak
digubris, mereka masih terus menarik sekuatnya. Maka terdengarlah suara keriang-keriut yang mengilukan,
patung Buddha itu telah ditarik berputar. Sekonyong-konyong mereka berteriak kaget. Ternyata sepotong
papan besi di depan mereka perlahan-lahan menggeser ke atas dan berwujud sebuah liang lebar.
“Haha, benar ada liang di sini!” seru Tho-ki-sian senang.
“Akan kutangkap tikus-tikus itu!” kata Tho-kin-sian, segera ia mendahului menerobos ke dalam lubang itu.
Tentu saja Tho-kan-sian berlima juga tidak mau ketinggalan, berturut-turut mereka pun menyusup ke dalam.
Rupanya liang itu sangat luas di dalam, masuknya enam orang itu sekejap lantas lenyap, hanya terdengar
suara langkah mereka terus ke depan. Tapi mendadak mereka berkaok-kaok dan berlari keluar lagi.
“Di dalam teramat gelap, dalamnya sukar dijajaki,” kata Tho-ki-sian.
“Katanya gelap, dari mana kau mengetahui dalamnya sukar dijajaki?” bantah Tho-yap-sian. “Bisa jadi beberapa
langkah lagi akan mencapai ujungnya.”
“Jika kau tahu hampir capai ujungnya, kenapa kau tidak melangkah terus tadi?” sahut Tho-ki-sian.
“Aku kan cuma bilang ‘bisa jadi’ dan tidak mengatakan ‘pasti’, bisa jadi dan pasti banyak bedanya,” jawab Thoyap-
sian.
“Jika cuma main-main terka ‘bisa jadi’ saja buat apa banyak omong?” omel Tho-ki-sian.
“Sudahlah, tak perlu ribut. Lekas menyalakan obor dan coba periksa lagi ke dalam,” kata Tho-kin-sian.
Begitulah mereka suka usilan, tapi kerjanya juga cepat. Beramai-ramai mereka lantas mematahkan empat kaki
meja dan dinyalakan sebagai obor. Seperti anak kecil saja mereka berebut obor yang cuma empat itu, lalu
menyusup lagi ke dalam liang tadi.
Lenghou Tiong pikir lubang itu tentulah sebuah jalan rahasia Siau-lim-si seperti dahulu dia juga mengalami hal
yang sama ketika terkurung di Bwe-cheng di tepi danau di Hangciu dahulu. Agaknya di dalam situlah Ing-ing
disekap. Terpikir demikian hatinya lantas berdebar-debar dan cepat ia pun ikut menyusup ke dalam.
Ternyata jalan di bagian dalam lubang itu sangat luas dan tidak lembap, hanya bau apak di dalam gua sangat
menyesak napas dan memuakkan. Dengan langkah lebar sekejap saja ia sudah dapat menyusul Tho-kok-laksian.
Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Kenapa tikus-tikus itu tidak tampak? Mungkin tidak lari ke lubang
ini.”
“Jika begitu marilah kita keluar saja dan mencari ke lain tempat,” tukas Tho-ki-sian.
“Kembali nanti saja bila sudah mencapai ujung sana,” ujar Tho-kan-sian.
Mereka melanjutkan pula ke depan, sekonyong-konyong sebuah siantheng (tongkat) mengemplang dari atas.
Tho-hoa-sian berjalan paling depan, untung dia sempat melompat mundur sehingga kemplangan tongkat tadi
meleset. Namun begitu ia telah menumbuk Tho-sit-sian yang jalan di belakangnya. Dilihatnya seorang hwesio
dengan memegang tongkat cepat menghilang ke dinding di sebelah kanan sana.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan gusar ia memaki, “Bangsat gundul, kau berani sembunyi di sini dan menyergap tuanmu?”
Berbareng ia terus menubruk maju dan mencengkeram ke dinding itu.
Tapi mendadak dari dinding sebelah kiri kembali sebuah tongkat mengemplang lagi. Serangan ini telah
menutup rapat jalan mundur Tho-hoa-sian. Karena tidak bisa menghindar, terpaksa ia melompat maju. Tapi
baru sebelah kakinya menginjak tanah, lagi-lagi sebuah tongkat menyambar dari sisi kanan.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah melihat jelas bahwa hwesio yang memainkan tongkat itu bukanlah
manusia tulen, tapi adalah orang-orangan yang digerakkan dengan pesawat rahasia. Rupanya cara
pemasangannya sangat bagus, asal pesawat yang terpasang di lantai tersentuh orang segera sebuah tongkat
memukul, bahkan maju dan mundur bisa bergiliran secara rapi, setiap serangan tongkat adalah gerakan yang
sangat lihai.
Begitulah Tho-hoa-sian terpaksa mencabut golok untuk menangkis, terdengar suara “trang” yang keras,
goloknya menjadi bengkok, kiranya bobot tongkat itu sangat berat, daya kemplangannya lebih-lebih hebat
pula. Keruan Tho-hoa-sian mati kutu, ia menjerit dan menjatuhkan diri ke lantai terus menggelinding minggir.
Tapi sebuah tongkat lain kembali menghantam pula.
Cepat Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian melolos senjata dan melompat maju untuk menolong saudaranya, dengan
tenaga tangkisan mereka berdua, pula daya kemplang tongkat waktu itu sudah rada kendur, maka dapatlah
mereka menahannya sehingga Tho-hoa-sian tidak sampai remuk kepalanya.
Tapi satu kemplangan selesai kembali kemplangan tongkat yang lain tiba pula. Tho-kan-sian, Tho-yap-sian,
dan Tho-sit-sian tidak bisa tinggal diam lagi, mereka pun memburu maju untuk membantu. Dengan lima golok
mereka menandingi serangan-serangan tongkat dari dinding kanan-kiri itu.
Meski hwesio-hwesio besi yang memainkan tongkat itu adalah benda mati, tapi penciptanya ternyata adalah
ahli teknik yang mahapintar. Agaknya kalau bukan ahli itu sendiri mahir ilmu silat Siau-lim-si tentu juga ada
hwesio agung Siau-lim-si yang memberi petunjuk-petunjuk waktu orang-orangan besi itu dipasang, makanya
setiap gerakan tongkat adalah jurus-jurus serangan yang sangat lihai. Masih ada lagi sesuatu yang luar biasa,
yaitu lengan dan tongkat yang digunakan patung besi itu semuanya terbuat dari baja murni, benda seberat
beberapa ratus kati digerakkan dengan pesawat, keruan daya kemplangannya menjadi jauh lebih kuat daripada
manusia.
Walaupun ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, tapi golok mereka sama sekali tidak berdaya bila kebentur
tongkat baja, bahkan terus bengkok. Keruan mereka mengeluh dan gelisah, pikirnya hendak mundur, namun di
belakang mereka sudah tertutup oleh bayangan tongkat yang terus menghantam silih berganti. Sebaliknya
setiap melangkah maju juga mengakibatkan tambahan serangan beberapa hwesio besi yang tadinya belum
bergerak.
Melihat keadaan yang gawat itu, cepat Lenghou Tiong bertindak. Dari jurus-jurus serangan patung-patung besi
itu ia sudah melihat adanya titik-titik kelemahan setiap jurus mereka. Segera pedangnya bekerja, “sret-sret”
dua kali, pergelangan kedua patung ditusuknya. Terdengarlah suara nyaring dua kali, pergelangan patungpatung
yang diincar itu kena dengan tepat dan meletakkan lelatu api, tapi pedangnya sendiri berbalik terpental
balik.
Pada saat itulah mendadak terdengar jeritan Tho-sit-sian dan roboh terkena pukulan tongkat. Memangnya
Lenghou Tiong sudah gelisah, sekarang tambah cemas. Pedangnya bergerak lagi, kembali dua patung tertusuk,
tapi patung-patung besi itu tetap bergeming, sebaliknya sebuah tongkat tahu-tahu menyambar dari atas.
Dengan khawatir, cepat Lenghou Tiong menghindari sambil melangkah maju, tapi kembali sebuah tongkat
mengemplang pula.
Mendadak pandangan menjadi gelap, lalu tidak tampak apa-apa lagi. Kiranya obor-obor yang dibawa Tho-koklak-
sian tadi terpaksa dibuang ke lantai karena harus bertempur melawan robot-robot bertongkat, sekarang
obor-obor itu telah padam semua. Padahal keistimewaan Lenghou Tiong adalah mematahkan setiap serangan
lawan melalui titik kelemahan yang dilihatnya, sekarang keadaan gelap gulita, keruan ia menjadi mati kutu dan
kelabakan. Menyusul bahu kiri terasa sakit, tubuhnya jatuh terjerembap ke depan. Berbareng itu terdengar
pula suara jeritan dan keluhan berulang-ulang, terang Tho-kok-lak-sian juga telah dihantam roboh satu per
satu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sambil mendekam di lantai Lenghou Tiong mendengar suara angin menderu-deru menyambar lewat di atasnya,
seketika ia merasa dirinya seperti di alam mimpi buruk, tubuh tak bisa berkutik, hatinya merasa ngeri, tapi tak
bisa berbuat apa-apa.
Sambaran tongkat yang membawa deruan angin keras itu lambat laun mulai mereda, lalu terdengar suara
keriang-keriut ramai, agaknya hwesio-hwesio robot tadi telah kembali ke tempatnya semula dan tidak bergerak
lagi.
Tiba-tiba pandangan terbeliak, menyusul ada orang berseru, “Lenghou-kongcu, apakah engkau di sini?”
Lenghou Tiong sangat girang, sahutnya, “Aku ... aku di sini ....” ia merasa suaranya sendiri teramat lemah,
hampir-hampir ia tidak percaya atas telinga sendiri.
Ia tetap mendekam tak berani bergerak. Terdengar suara langkah beberapa orang memasuki gua itu, lalu
terdengar Keh Bu-si berseru kaget dan heran.
“Jang ... jangan maju, pe ... pesawat rahasianya sangat ... sangat lihai,” seru Lenghou Tiong.
Rupanya Keh Bu-si dan lain-lain menjadi tidak sabar terlalu lama menunggu Lenghou Tiong dan Tho-kok-laksian,
kemudian mereka menyusul ke belakang dan di ruang Tat-mo-tong itu menemukan lubang gua di bawah
tanah, cepat mereka mencari ke dalam dan menemukan Lenghou Tiong dan Tho-kok-lak-sian menggeletak di
situ dalam keadaan berlumuran darah, mereka menjadi kaget dan khawatir.
“Bagaimana kau, Lenghou-kongcu?” tanya Coh Jian-jiu.
“Tak apa-apa. Diam saja di situ, jangan maju, nanti menggerakkan pesawat rahasia lagi,” seru Lenghou Tiong.
“Baiklah,” sahut Coh Jian-jiu. “Bagaimana kalau aku menyeret keluar kau dengan cambuk panjang.”
“Ya, bagus,” kata Lenghou Tiong.
Segera Coh Jian-jiu menggunakan cambuk, lebih dulu kaki kiri Tho-hoa-sian dibelitnya dengan ujung cambuk
dan diseret keluar. Maklumlah Tho-hoa-sian menggeletak paling ujung luar, maka habis itu barulah Coh Jian-jiu
menyeret keluar Lenghou Tiong dengan cara yang sama. Berturut-turut Tho-kok-ngo-sian dapat pula ditarik
keluar tanpa menyentuh pesawat rahasia.
Dengan cepat Lenghou Tiong lantas berbangkit, ia coba periksa keadaan Tho-kok-lak-sian. Ternyata pundak
keenam orang itu sama terluka kena hantaman tongkat baja, untung mereka punya kulit tebal dan kuat tenaga
dalamnya, meski lukanya tidak ringan, namun tidak membahayakan jiwanya. Tidak lama kemudian satu per
satu lantas siuman kembali.
Begitu membuka mata dan tidak tampak hwesio robot lagi, segera Tho-kin-sian mengoceh, “Lihai amat hwesio
besi tadi, tapi toh semuanya dihancurkan oleh Tho-kok-lak-sian.”
Rupanya Tho-hoa-sian lebih tahu diri, katanya, “Lenghou-kongcu juga berjasa, cuma jasa kami berenam
saudara lebih besar.”
Dengan menahan rasa sakit bahunya Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, “Sudah tentu, siapa mampu
menandingi Tho-kok-lak-sian.”
“Sebenarnya apa yang terjadi, Lenghou-kongcu?” tanya Coh Jian-jiu.
Dengan ringkas Lenghou Tiong menuturkan pengalamannya tadi, lalu sambungnya, “Besar kemungkinan Sengkoh
terkurung di dalam situ, kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan hwesio robot penjaga ini.”
Coh Jian-jiu melirik sekejap ke arah Tho-kok-lak-sian, katanya, “Kiranya hwesio-hwesio robot itu belum
dihancurkan.”
“Apa sulitnya untuk menghancurkan hwesio-hwesio mati itu? Hanya sementara ini kami tidak mau,” sahut Thokan-
sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Entah bagaimana cara bekerja hwesio-hwesio robot itu, harap Tho-kok-lak-sian maju lagi untuk memancing
serangannya, biar kita sama menyaksikan,” kata Keh Bu-si.
Tapi Tho-kok-lak-sian rupanya sudah kapok, mana mau lagi mereka disuruh rasakan kemplangan tongkat baja.
Tho-kan-sian lantas berkata, “He, kucing makan tikus adalah biasa, tapi tikus makan kucing adakah yang
pernah lihat?”
“Baru saja kami bertujuh telah menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!” sambung Tho-yap-sian.
Ternyata Tho-kok-lak-sian masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu bila kepepet dan tak bisa
menjawab, lalu mereka menyimpangkan pokok pembicaraan ke hal-hal lain.
Lenghou Tiong lantas berkata, “Siapakah salah seorang kawan ambilkan beberapa potong batu besar?”
Segera dua-tiga orang berlari keluar dan membawakan tiga potong batu besar, masing-masing sedikitnya ada
100 kati beratnya.
Segera Lenghou Tiong angkat sepotong batu besar itu terus digelindingkan ke sana. Terdengarlah suara
gemuruh, batu besar itu telah menyentuh pesawat dan terdengar suara keriang-keriut, hwesio-hwesio robot
yang sembunyi di lekukan dinding lantas bergerak, tongkat baja bersambaran dengan kencang. Agak lama
kemudian barulah hwesio-hwesio robot itu menyelinap kembali ke dalam dinding.
Semua orang sama melongo kesima menyaksikan peristiwa ajaib itu.
“Lenghou-kongcu,” kata Keh Bu-si, “hwesio-hwesio robot itu digerakkan oleh pesawat rahasia. Menurut
pendapatku, tenaga pesawat itu adakalanya akan habis, untuk bisa bergerak lagi harus memutar kencang
pegasnya. Maka bila kita pancing dengan beberapa potong batu berulang-ulang, kalau tenaga pegas sekarang
sudah habis, tentu hwesio-hwesio robot itu takkan bergerak lagi.”
Tapi Lenghou Tiong ingin selekasnya menolong Ing-ing, katanya. “Kulihat gerak tongkat robot-robot ini sedikit
pun tidak menjadi kendur, kalau mesti menunggu mungkin bisa sampai besok pagi. Adakah di antara Saudarasaudara
yang membawa senjata pusaka, coba pinjamkan sebentar.”
Segera ada seorang tampil ke muka dan melolos golok, katanya, “Bengcu, senjata Cayhe ini rada tajam.”
Lenghou Tiong mengangguk dan menyatakan terima kasih, lalu melangkah ke depan.
“Hati-hati!” seru Tho-kok-lak-sian.
Ketika Lenghou Tiong melangkah lagi dua-tiga tindak, mendadak sebuah tongkat mengemplang dari atas. Jurus
serangan ini sudah beberapa kali dilihatnya sejak tadi, maka tanpa pikir ia mengayun golok, “trang”, kontan
pergelangan tangan robot itu tertebas kutung bersama tongkatnya jatuh ke tanah.
“Golok bagus!” puji Lenghou Tiong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam, sekarang hasilnya
ternyata luar biasa, benar-benar sebuah golok mestika, seketika semangatnya terbangkit, “sret-sret” dua kali,
kembali ia mengutungi pergelangan tangan dua hwesio robot yang menyerang lagi.
Ia gunakan golok sebagai pedang, yang dimainkan adalah jurus serangan Tokko-kiu-kiam. Dari kedua sisi
dinding hwesio-hwesio robot itu berturut-turut menyerang lagi, tapi lantaran pergelangan tangan putus,
tongkat jatuh, dengan sendirinya kedua tangannya yang bergerak naik-turun dan tidak membahayakan.
Lenghou Tiong terus maju ke depan, dilihatnya jurus serangan hwesio-hwesio robot itu bertambah lihai, diamdiam
ia sangat kagum, namun satu per satu kena dipatahkan semua.
Semua orang mengikuti Lenghou Tiong dengan membawa obor, setelah ratusan tangan besi terkutung,
dinding-dinding batu itu tidak muncul lagi robot yang lain. Ada orang menghitungnya, ternyata hwesio-hwesio
robot itu seluruhnya ada 108. Maka bersorak gembiralah para jago di jalanan gua itu.
Karena ingin lekas-lekas menemukan Ing-ing, Lenghou Tiong lantas minta sebuah obor dan mendahului jalan
pula ke depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah makin lama makin rendah, namun tiada terdapat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
perangkap-perangkap lagi walaupun ia berlaku sangat hati-hati. Panjang jalan di bawah tanah itu ada beberapa
li dan menembus beberapa gua alam. Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Lenghou Tiong
percepat langkahnya, ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ternyata sudah berada di atas
lapisan salju, berbareng itu hawa dingin terasa merasuk, hawa dingin yang segar. Nyata dia sudah berada di
tempat yang terbuka.
Ia coba memandang sekelilingnya, suasana sunyi di tengah malam gelap, bunga salju masih berhamburan,
terdengar pula suara gemerciknya air, kiranya tempat itu terletak di tepi sebuah kali. Sekejapan itu Lenghou
Tiong sangat kecewa karena jalan di bawah tanah itu tidak menembus ke tempat tahanan Ing-ing.
Tiba-tiba terdengar Keh Bu-si berkata di belakangnya, “Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar jangan
bersuara, besar kemungkinan kita sudah berada di bawah gunung.”
“Apakah mungkin kita sudah lolos dari kepungan musuh?” pikir Lenghou Tiong.
Dalam pada itu Keh Bu-si sedang berkata padanya, “Kongcu, di musim dingin di atas gunung tidak mungkin
ada aliran air. Tampaknya melalui jalan di bawah tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung.”
“Benar,” tukas Coh Jian-jiu. “Secara tidak sengaja kita telah menemukan jalan rahasia Siau-lim-si yang
menembus ke sini.”
“Jika demikian lekas suruh semua kawan keluar dari jalanan rahasia ini,” kata Lenghou Tiong.
Keh Bu-si meneruskan perintah itu. Ia suruh beberapa orang menyelidiki lagi jalan di sekitar situ, beberapa
puluh orang diperintahkan menjaga ujung jalan rahasia itu agar tidak diserang musuh sehingga jalan keluar
tersumbat.
Tidak lama kemudian datanglah laporan bahwa tempat itu memang betul kaki gunung Siau-sit-san bagian
belakang, kalau mendongak dapat tampak bangunan kuil agung di atas gunung. Karena banyak teman-teman
belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras. Sementara itu orang-orang yang keluar dari
jalan rahasia itu makin banyak, menyusul yang luka dan yang mati juga sudah digotong keluar. Bisa lolos dari
ancaman elmaut, meski tidak bersorak gembira, namun ramai juga mereka berbisik-bisik dengan penuh
kegirangan.
“Bengcu,” kata Si Beruang Hitam, satu di antara Boh-pak-siang-him yang gemar makan daging manusia itu,
“tentu kawanan kura-kura itu mengira kita masih terkurung di atas sana. Hayolah kita gempur mereka dari
belakang, putuskan ekor kawanan anjing itu untuk melampiaskan rasa dongkol kita.”
Akan tetapi Lenghou Tiong tidak setuju, katanya, “Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong Seng-koh, maka
tidak perlu saling bunuh lebih banyak. Harap Saudara-saudara meneruskan perintah agar kita memencarkan
diri saja, bila ketemukan orang cing-pay sebaiknya menghindari pertarungan. Bilamana ada yang mendapat
kabar tentang Seng-koh harus disiarkan secara cepat dan luas. Selama aku masih bernapas, betapa pun sukar
dan bahaya juga akan kuselamatkan Seng-koh. Apakah semua teman sudah keluar sekarang?”
Keh Bu-si coba mendekati ujung jalan rahasia itu dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tiada
jawaban seorang pun. Ia memberi lapor bahwa semua kawan sudah keluar.
Tiba-tiba timbul pikiran Lenghou Tiong yang kekanak-kanakan, katanya, “Ayo kita berteriak tiga kali biar
orang-orang cing-pay di atas itu kaget.”
“Bagus!” seru Coh Jian-jiu tertawa. “Marilah kita beramai-ramai ikut Bengcu berteriak.”
Segera Lenghou Tiong mulai, “Hai dengarkan, kami sudah berada di bawah gunung!”
Beberapa ribu orang serentak ikut berteriak, “Hai dengarkan, kami sudah berada di bawah gunung!”
Lalu Lenghou Tiong berteriak pula, “Silakan kalian makan angin di atas gunung!”
Beribu-ribu orang menirukan pula teriakan itu.
Akhirnya Lenghou Tiong berteriak, “Selamat tinggal, sampai berjumpa!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Marilah kita pergi,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Tapi mendadak ada seorang menggembor sekeras-kerasnya, “Kalian kawanan anjing, anak kura-kura, persetan
dengan nenek moyang delapan belas keturunanmu!”
Serentak beribu-ribu orang itu menirukan teriakan itu. Kata-kata makian yang kasar itu diteriakkan oleh orang
sebanyak itu, keruan suaranya menggema ke angkasa dan menggetar lembah.
“Sudahlah, tak perlu berteriak lagi, marilah kita pergi saja,” seru Lenghou Tiong.
Setelah berteriak-teriak, dari atas gunung ternyata tiada reaksi apa-apa. Sementara itu subuh tiba, tapi salju
masih turun dengan lebatnya. Ada beberapa kelompok sudah mulai berangkat pergi.
Lenghou Tiong pikir urusan paling penting sekarang adalah menemukan tempatnya Ing-ing, selanjutnya
menyelidiki siapakah yang membunuh Ting-sian dan Ting-yat Suthay. Untuk menunaikan kedua tugas ini ke
mana harus dituju?
Tiba-tiba terkilas suatu pikiran dalam benaknya, “Bila hwesio-hwesio Siau-lim-pay dan orang-orang cing-pay itu
mengetahui kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke Siau-lim-si. Bisa jadi Ing-ing dibawa di tengah
mereka. Untuk menyelesaikan dua soal tadi rasanya aku harus kembali ke Siau-lim-si. Untuk ke sana
sebaiknya kulakukan sendirian saja.”
Begitulah ia lantas mengembalikan golok mestika kepada pemiliknya. Lalu katanya kepada Keh Bu-si dan lainlain,
“Marilah kita berusaha mencari Seng-koh menurut kemampuan masing-masing, selekasnya kalau Sengkoh
sudah diketemukan barulah kita berkumpul untuk merayakannya.”
“Engkau sendiri hendak ke mana, Lenghou-kongcu?” tanya Keh Bu-si.
“Maafkan sekarang tak bisa kukatakan, kelak tentu akan kuberi tahu,” sahut Lenghou Tiong.
Semua orang tidak berani banyak tanya lagi, terpaksa mereka memberi hormat dan mohon diri. Lenghou Tiong
sendiri lantas menggunakan ginkangnya yang tinggi menyusup ke tengah hutan terus meloncat ke atas pohon
agar tidak meninggalkan jejak di tanah bersalju. Ia sembunyi di situ sekian lamanya, didengarnya suara berisik
orang banyak tadi makin berkurang dan akhirnya sunyi senyap. Ia menduga semua orang tentu sudah pergi,
lalu perlahan-lahan ia kembali ke ujung jalan rahasia di bawah tanah itu. Memang sudah tiada seorang pun
yang tertinggal di situ.
Ujung jalan itu teraling-aling oleh dua potong batu besar dan tertutup oleh tumbuhan rumput yang tinggi, kalau
tidak tahu seluk-beluknya biarpun berada di depannya juga tidak mengetahui adanya jalan rahasia itu. Karena
tak bersenjata lagi, Lenghou Tiong menjemput sepotong ranting kayu sepanjang satu meteran, lalu ia
memasuki lagi jalan di bawah tanah itu.
Dengan jalan cepat ia kembali ke ruangan patung Buddhatama tadi, ia coba pasang kuping, sayup-sayup di
ruang depan sudah ada suara orang. Sekuatnya Lenghou Tiong mendorong patung itu menggeser kembali ke
tempatnya semula, dalam hati ia menimbang-nimbang, “Aku harus sembunyi di mana agar bisa mendengarkan
pembicaraan-pembicaraan para pemimpin cing-pay itu? Tapi tak terhitungnya ruangan dan kamar di dalam
Siau-lim-si ini, dari mana bisa mengetahui tempat yang akan mereka gunakan untuk bicara?”
Tiba-tiba teringat olehnya kamar semadi Hong-ting Taysu ketika dahulu ia diajak menemuinya oleh Hong-sing
Taysu, samar-samar ia masih ingat letak kamar itu. Segera ia lari ke luar terus menuju ke belakang.
Akan tetapi sudah berlari ke sana ke sini, ruangan dan kamar di Siau-lim-si itu terlalu luas dan banyak, kamar
pribadi ketua Siau-lim-pay tak bisa ditemukan. Dalam pada itu terdengar suara tindakan orang banyak sedang
mendatangi. Waktu itu Lenghou Tiong berada di suatu ruangan samping, di atas ruangan luas itu tergantung
sebuah pigura besar. Karena tiada tempat sembunyi yang cocok, terpaksa ia melompat ke atas dan mendekam
di balik pigura itu.
Suara tindakan orang banyak itu terdengar semakin mendekat, lalu masuklah tujuh atau delapan orang.
Seorang di antaranya sedang berkata, “Kawanan sia-pay itu pun lihai benar, kita telah kepung pegunungan ini
dengan rapat, tapi mereka toh masih bisa lolos.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Bab 95. Cara Yim Ngo-heng Menilai Kawan dan Lawan
Seorang lagi menanggapi, “Agaknya di Siau-sit-san ini ada jalan rahasia yang menembus ke bawah gunung,
kalau tidak masakan mereka mampu lari?”
“Kukira tiada sesuatu jalan rahasia apa-apa,” ujar seorang lagi. “Sudah berpuluh tahun aku tirakat di sini, tapi
belum pernah kudengar tentang jalan rahasia segala yang menembus ke bawah gunung.”
“Namanya jalan rahasia, dengan sendirinya tak dapat diketahui oleh setiap orang,” kata orang yang pertama
tadi.
Dari percakapan mereka itu Lenghou Tiong dapat menduga satu di antaranya tentu hwesio Siau-lim-si dan
selebihnya adalah jago-jago yang diundang membantu. Terdengar hwesio Siau-lim tadi berkata pula,
“Seumpama aku tidak tahu masakah hongtiang kami juga tidak tahu? Bilamana ada jalan rahasia demikian
tentu sebelumnya hongtiang kami memberitahukan kepada semua kawan untuk menjaga jalan keluarnya.”
Pada saat itulah sekonyong-konyong di antaranya membentak, “Siapa itu? Keluar sini!”
Keruan Lenghou Tiong terkejut karena mengira tempat sembunyinya telah diketahui. Baru saja ia bermaksud
melompat keluar, tiba-tiba di balik pigura di sebelah sana berkumandang suara gelak tertawa seorang dan
berkata, “Haha, sedikit aku menghela napas dan membikin jatuh beberapa titik debu, ternyata lantas dilihat
kalian, tajam juga mata kalian ya!”
Dari suaranya yang lantang itu segera Lenghou Tiong mengenalnya sebagai suaranya Hiang Bun-thian. Keruan
ia terkejut dan bergirang, katanya di dalam hati, “Kiranya sejak tadi Hiang-toako sudah sembunyi di sini,
caranya menahan napas sungguh hebat, sekian lamanya aku mendekam di sini toh tidak mengetahuinya. Kalau
tiada debu yang jatuh tentu orang-orang di bawah itu pun takkan tahu ....”
Belum rampung pikirnya tiba-tiba terdengar suara berdetak di balik pigura-pigura sebelah kanan dan kiri,
menyusul melompat turunlah dua orang. Berbareng orang-orang di bawah itu lantas membentak-bentak.
Namun belum lagi mereka sempat bersuara lebih banyak, mendadak mereka bungkam lagi.
Tanpa terasa Lenghou Tiong melongok ke bawah, terlihatlah dua sosok bayangan sedang beterbangan kiankemari,
seorang jelas adalah Hiang Bun-thian, seorang lagi bertubuh tinggi besar, ternyata Yim Ngo-heng
adanya.
Gerak serangan kedua orang hampir-hampir tak bersuara, tapi setiap pukulan mereka tentu menimbulkan
seorang korban yang roboh. Hanya sekejap saja di ruangan itu sudah menggeletak delapan orang. Lima orang
di antaranya terkapar tengkurap, yang tiga lagi telentang dengan mata melotot menyeramkan. Nyata
semuanya telah dihantam mati oleh Hiang Bun-thian dan Yim Ngo-heng.
Dengan tersenyum tampak Yim Ngo-heng berkata, “Anak Ing, turunlah sini!”
Dari pigura sebelah kiri lantas melayang turun dengan gaya yang lemah gemulai, siapa lagi kalau bukan Inging
yang sedang dicari Lenghou Tiong itu.
Terguncanglah hati Lenghou Tiong, dilihatnya Ing-ing memakai baju kain kasar, wajahnya rada pucat. Baru
saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui si nona, tiba-tiba Yim Ngo-heng berpaling ke arahnya dan
menggoyangkan tangan.
Lenghou Tiong tidak tahu maksudnya, pikirnya, “Mereka sembunyi di sini lebih dulu, sudah tentu kedatanganku
dilihat jelas oleh mereka. Apa maksudnya Yim-losiansing suruh aku jangan keluar?”
Tapi sekejap saja ia lantas paham apa maksud tujuan Yim Ngo-heng itu, ternyata dari depan sana telah berlari
masuk beberapa orang. Sekilas dilihatnya sang guru dan ibu-guru, yaitu Gak Put-kun dan istrinya beserta
ketua Siau-lim-pay, Hong-ting Taysu, selain itu masih ada lagi tokoh-tokoh terkemuka.
Ia tidak berani mengintip, cepat ia sembunyi kembali di tempatnya dengan hati berdebar. Pikirnya, “Ing-ing
bertiga berada di dalam kepungan musuh, betapa pun aku ... akan menyelamatkan dia sekalipun aku yang
harus binasa.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu terdengar Hong-ting Taysu sedang berkata, “Omitohud! Lihai amat ilmu pukulan ketiga Sicu.
Eh, Lisicu (nona budiman) sudah pergi kenapa kembali lagi?”
“Aku justru ingin minta penjelasan kepada Hongtiang Taysu sebabnya aku sudah pergi kok kembali lagi,” sahut
Ing-ing.
“Sungguh Lolap tidak paham ucapan ini,” kata Hong-ting Taysu. “Kedua Sicu ini tentulah tokoh dari Hek-bokkeh.
Maafkan Lolap tidak sempat berkenalan. Namun setiap orang yang datang ke Siau-lim-si adalah tamuku,
silakan duduk buat bicara.”
Diam-diam Lenghou Tiong sangat mengagumi kepribadian Hong-ting Taysu, pikirnya, “Benar-benar seorang
padri saleh, walaupun melihat anak muridnya menggeletak tak bernyawa lagi toh sedikit pun tidak terpengaruh
dan masih tetap sopan santun terhadap pihak lawan.”
Maka terdengar Hiang Bun-thian menjawab, “Ini adalah Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau. Cayhe sendiri Hiang
Bun-thian.”
Nama mereka berdua di dunia persilatan sungguh gilang-gemilang, cuma mereka sudah lama mengasingkan
diri, maka tidak dikenal oleh Hong-ting Taysu, Gak Put-kun, dan lain-lain. Mereka sama tergetar juga setelah
mengetahui siapa-siapa yang berhadapan dengan mereka itu, namun lahirnya mereka berlaku tenang sedapat
mungkin.
“Kiranya Yim-kaucu dan Hiang-cosu sudi berkunjung kemari, sungguh Lolap merasa sangat bahagia,” kata
Hong-ting Taysu. “Entah adakah sesuatu petunjuk yang hendak kalian kemukakan?”
“Sudah terlalu lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, maka banyak tokoh-tokoh angkatan baru tak
kukenal, entah siapa-siapa para sobat-sobat cilik ini?” kata Yim Ngo-heng dengan lagak orang tua.
“Jika demikian baiklah Lolap memperkenalkan kalian,” ujar Hong-ting Taysu. “Yang ini adakah ketua Bu-tongpay,
Tiong-hi Totiang adanya.”
Maka terdengar suara seorang tua serak berkata, “Bicara tentang umur bisa jadi aku lebih tua sedikit daripada
Yim-siansing, tapi waktu mengetuai Bu-tong-pay memang terjadi sesudah Yim-siansing mengasingkan diri.
Angkatan baru memang betul juga bagiku, cuma istilah ‘tokoh’ tak berani kuterima. Haha!”
Lenghou Tiong merasa suara ketua Bu-tong-pay itu seperti sudah dikenalnya. Tiba-tiba tergerak pikirannya,
“Ai, kiranya si kakek penunggang keledai bersama si tukang kayu dan tukang sayur yang kutemukan di kaki
Gunung Bu-tong-san itulah ketua Bu-tong-pay.”
Seketika timbul rasa bangga dan besar hatinya. Maklumlah nama Bu-tong-pay sejajar dengan Siau-lim-pay.
Betapa pun termasyhur Ngo-gak-kiam-pay tetap kalah setingkat kalau dibandingkan Siau-lim dan Bu-tong.
Sebabnya Co Leng-tan, itu ketua Ko-san-pay dengan segala tipu dayanya ingin melebur Ngo-gak-kiam-pay
menjadi satu aliran besar, tujuannya tak-lain tak-bukan ialah ingin menandingi Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.
Kini setelah mengetahui dirinya pernah mengalahkan Tiong-hi Totiang yang ilmu pedangnya tiada
bandingannya itu, sungguh rasa senang Lenghou Tiong tak terperikan.
Sementara itu Yim Ngo-heng lagi berkata, “Co-tayciangbun ini dahulu kita kan sudah pernah bertemu. Akhirakhir
ini kau punya ilmu pukulan ‘Tay-ko-yang-jiu’ tentu banyak maju bukan, Co-ciangbun?”
Kembali Lenghou Tiong terkesiap, “Kiranya Co-supek, ketua Ko-san-pay juga hadir.”
Maka terdengar suara seorang yang halus sedang menjawab, “Kabarnya Yim-siansing terkurung oleh anak
buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Kini muncul kembali sungguh harus diberi selamat.
Tentang ‘Tay-ko-yang-jiu’ sudah belasan tahun tidak terpakai, mungkin sebagian besar sudah terlupa.”
“Wah, jika begitu dunia Kangouw tentu menjadi sepi,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. “Begitu aku
menghilang lantas tiada orang yang dapat mengukur tenaga dengan Co-heng, sungguh sayang, sungguh
gegetun.”
“Orang yang sanggup bertanding dengan Yim-siansing sesungguhnya juga tidak sedikit, cuma orang-orang alim
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
seperti Hong-ting Taysu atau Tiong-hi Totiang tentunya tidak sudi sembarangan mengajar Cayhe tanpa
alasan,” jawab Co Leng-tan.
“Baiklah, kapan-kapan kalau sempat tentu akan kucoba lagi kau punya kepandaian baru,” kata Yim Ngo-heng.
“Setiap saat akan kulayani,” sahut Co Leng-tan.
Dari tanya-jawab mereka itu jelas dahulu mereka pernah saling gebrak, cuma siapa yang menang dan siapa
yang kalah tak bisa dibedakan dari pembicaraan mereka tadi.
Lalu Hong-ting Taysu melanjutkan, “Yang ini adalah Thian-bun Totiang, ketua Thay-san-pay dan yang itu Gaksiansing,
ciangbunjin dari Hoa-san-pay, di sebelahnya adalah Gak-hujin, Ling-lihiap yang termasyhur di masa
lampau tentu pula pernah didengar Yim-losiansing.”
“Ya, Ling-lihiap sih aku tahu, tapi Gak-siansing apa segala tidak pernah kudengar,” sahut Yim Ngo-heng
tertawa.
Lenghou Tiong menjadi kurang senang, pikirnya, “Nama suhuku menonjol lebih dulu daripada ibu-guruku, jika
dia sama sekali tidak kenal keduanya sih dapat dimengerti, sekarang dia mengatakan cuma tahu Ling-lihiap,
tapi tidak tahu Gak-siansing, hal ini tidaklah masuk di akal. Jelas dia sengaja hendak mengolok-olok suhuku.”
Gak Put-kun ternyata acuh tak acuh, katanya, “Namaku yang rendah memangnya tidak ada nilainya untuk
dikenal Yim-siansing.”
“Eh, Gak-siansing, aku ingin mencari tahu kabar seseorang, entah kau mengetahui jejaknya tidak?” tiba-tiba
Yim Ngo-heng bertanya kepada Gak Put-kun.
“Entah siapa yang ingin ditanyakan Yim-losiansing?” jawab Put-kun.
“Orang ini sangat berbudi, cerdik dan pandai lagi, orangnya juga cakap,” kata Yim Ngo-heng. “Tapi ada
manusia-manusia buta yang iri padanya dan ingin memencilkan dia, maka banyak dilontarkan fitnah-fitnah keji
kepadanya. Aku orang she Yim ini justru sangat cocok dengan dia, sudah kuputuskan akan kujodohkan anak
perempuanku ini kepadanya ....”
Mendengar sampai di sini, seketika jantung Lenghou Tiong berdetak keras. Lapat-lapat ia merasa timbulnya
sesuatu soal yang serbasulit.
Terdengar Yim Ngo-heng sedang melanjutkan, “Pemuda itu baik hati lagi berbudi, ketika dia dengar anak
perempuanku ini dikurung di dalam Siau-lim-si, ia lantas membawa beribu-ribu kesatria ke sini hendak
memapak bakal istrinya ini. Tapi dalam sekejap saja dia entah menghilang ke mana, calon mertua seperti aku
ini menjadi gelisah dan kelabakan mencarinya, makanya aku ingin tanya jejaknya padamu.”
“Hahaha!” Gak Put-kun menengadah dan terbahak. “Kepandaian Yim-losiansing mahasakti, kenapa bakal
mantu sendiri sampai lenyap? Kemarin di kaki gunung aku memang memergoki seorang muda dengan sebelah
tangan memegang pedang, tangan yang lain mengempit seorang perempuan cantik, kabarnya ialah Na-kaucu
dari apa yang disebut Ngo-tok-kau segala. Nah, Yim-losiansing, kukira kau harus hati-hati, janganlah calon
mantumu itu sampai dibawa lari oleh perempuan lain.”
Lenghou Tiong merasa bingung apa sebabnya sang guru bicara demikian? Padahal dia mengetahui Na Honghong
terluka kena panah, sebabnya dia mengempit nona Na itu adalah karena ingin menyelamatkan jiwanya,
mengapa aku dituduh berbuat tidak baik? Ya, tentu disebabkan suhu teramat benci kepada Mo-kau, beliau
sengaja berkata demikian agar aku batal dipungut menantu oleh ketua Mo-kau ini.
Sebaliknya Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing sudah tentu tidak percaya kepada cerita Gak Put-kun
tadi karena mereka melihat sendiri Lenghou Tiong datang sendiri dan sekarang sembunyi di balik pigura di atas
sana.
Maka dengan gelak tertawa Yim Ngo-heng telah menjawab, “Pemuda ini memang sangat romantis dan gemar
main cinta, di mana-mana dia mempunyai kekasih. Sungguh kacang tidak meninggalkan lanjarannya, benarbenar
sudah memperoleh ajaran seluruhnya dari sang guru.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tanpa terasa Gak Put-kun melirik ke arah sang istri. Tapi Gak-hujin cukup kenal pribadi sang suami yang
prihatin dan alim, terhadap anak murid perempuan sendiri saja biasanya juga tidak banyak memandang tanpa
perlu, sudah tentu apa yang dikatakan Yim Ngo-heng sekarang hanya ocehan bualan belaka. Maka ia hanya
ganda tersenyum saja terhadap lirikan sang suami.
Gak Put-kun lantas menjawab, “Apakah pemuda yang dimaksudkan Yim-losiansing adalah si bangsat cilik
Lenghou Tiong, murid buangan dari Hoa-san-pay kami itu?”
“Haha, jelas dia adalah emas murni, tapi kau justru anggap loyang, pandanganmu sungguh teramat picik,” kata
Yim Ngo-heng. “Ya, pemuda yang kukatakan memang betul Lenghou Tiong adanya. Hehe, kau memaki dia
sebagai bangsat cilik, bukankah berarti kau memaki aku sebagai bangsat tua?”
Gak Put-kun menjawab, “Bangsat cilik itu tergila-gila kepada seorang perempuan, sampai-sampai
mengerahkan sedemikian banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia Kangouw untuk mengubrak-abrik
Siau-lim-si yang merupakan sumbernya ilmu silat sejagat. Coba kalau Co-suheng tidak mengatur tipu daya
yang jitu, tentu kuil agung bersejarah ini sudah dihanguskan menjadi puing oleh mereka dan bukankah
dosanya tak terampunkan biarpun seribu kali dihukum mati.”
“Ucapan Gak-siansing ini kurang tepat,” sela Hiang Bun-thian. “Jangankan tujuan Lenghou-kongcu ke sini
hanya ingin memapak nona Yim dan tiada maksud hendak merusak. Seumpama para kawan Kangouw yang dia
pimpin kemari ini hendak berbuat sesuatu yang melanggar aturan, masakah jago-jago Siau-lim-pay yang
beribu-ribu banyaknya tak mampu membela tempat sendiri? Sekarang boleh kau periksa, selama sehari
semalam para kawan tinggal di Siau-lim-si sini adakah suatu genting atau satu piring yang dirusak, bahkan
satu butir beras dan setetes air juga tidak mereka makan.”
“Ya, memang! Dengan datangnya para kawan Siau-lim-si berbalik bertambah banyak benda karun,” demikian
tiba-tiba seorang menimbrung.
“Kiranya dia juga hadir!” dari suaranya yang melengking tajam segera Lenghou Tiong mengenali pembicara itu
adalah Ih Jong-hay, itu ketua Jing-sia-pay.
“Coba Ih-koancu jelaskan, benda karun apa yang bertambah?” tanya Hiang Bun-thian.
“Itu, banyak emas kuning dan air raksa berserakan di sembarang tempat,” kata Ih Jong-hay. Maka tertawalah
beberapa orang yang merasa geli.
Mendengar itu, hati Lenghou Tiong rada menyesal. Pikirnya, “Ya, aku memang telah melarang semua kawan
merusak setiap benda di kuil ini, tapi lupa melarang mereka membuang hajat besar-kecil di sembarang tempat.
Dasar mereka itu orang-orang kasar, kalau sudah kebelet, setiap tempat bisa buka celana dan buang hajat,
bikin kotor saja tempat suci ini.”
“Tadinya Lolap memang khawatir menyaksikan kuil bersejarah kami ini terbakar menjadi puing oleh kawankawan
yang dipimpin Lenghou-kongcu, tapi sekarang ternyata tiada suatu benda pun yang berkurang, hal ini
benar-benar berkat jasa pimpinan Lenghou-kongcu yang bijaksana, sungguh kami merasa sangat berterima
kasih. Kelak bila bertemu dengan Lenghou-kongcu, Lolap tentu akan mengaturkan terima kasih padanya.
Tentang kata-kata kelakar Ih-koancu tadi harap Hiang-siansing jangan anggap sungguh-sungguh.”
“Betapa pun padri saleh memang berbeda jauh daripada jiwa kerdil manusia-manusia palsu,” kata Hiang Bunthian.
Hong-ting lantas berkata pula, “Ada suatu hal yang Lolap merasa tidak paham, yakni mengapa kedua suthay
dari Hing-san-pay bisa wafat di dalam kuil kami ini?”
“Hah? Ap ... apa katamu?” seru Ing-ing kaget. “Ting-sian dan Ting-yat Suthay telah ... telah meninggal?”
“Ya,” sahut Hong-ting Taysu. “Jenazah mereka ditemukan di dalam kuil sini, ditaksir waktu meninggalnya
bersamaan dengan waktu masuknya para kawan Kangouw ke sini. Apa barangkali Lenghou-kongcu tidak
keburu mencegah bawahannya sehingga kedua suthay tewas dikerubut mereka?”
“Ini ... ini sungguh aneh,” kata Ing-ing. “Tempo hari waktu aku bertemu di ruangan belakang dengan kedua
suthay, atas kemurahan hati Hongtiang berkat permohonan kedua suthay itu, maka aku telah dilepaskan ....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terima kasih dan terharu pula Lenghou Tiong mendengar itu, katanya di dalam hati, “Kiranya atas permohonan
kedua suthay itu Hongtiang Taysu benar-benar telah membebaskan Ing-ing. Sebaliknya beliau-beliau itu malah
tewas di sini sebagai korban kepentinganku dan Ing-ing. Sebenarnya siapakah pembunuh mereka? Aku ... aku
harus menuntut balas bagi mereka.”
Dalam pada itu terdengar Ing-ing lagi berkata, “Sesudah kedua suthay membawa aku meninggalkan
pegunungan ini, hari ketiga di tengah jalan lantas mendapat berita bahwa Lenghou ... Lenghou-kongcu
memimpin para kawan Kangouw hendak memapak diriku ke Siau-lim-si. Ting-sian Suthay mengajak lekas
mencegat Lenghou-kongcu dengan rombongannya agar tidak menimbulkan keonaran lagi terhadap Siau-limpay.
Tapi malamnya kami ketemu lagi seorang teman Kangouw, katanya para kawan Kangouw terbagi dalam
beberapa jurusan dan menentukan tanggal 15 bulan 12 berkumpul di tempat sasaran. Kedua suthay menjadi
khawatir Siau-lim-si telanjur diserang, hal ini berarti mengingkari kebaikan Hongtiang Taysu yang telah
membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Ting-sian Suthay lantas suruh aku berangkat sendiri untuk menemui
... menemui Lenghou-kongcu dan membubarkan rombongannya, kedua suthay lantas balik kembali ke Siaulim-
si untuk bantu menjaga segala kemungkinan dikacaunya tempat suci itu.”
Perasaan Lenghou Tiong terguncang lagi mendengarkan cerita Ing-ing yang mengharukan dan terkadang rada
malu-malu bila menyebut dirinya.
Hong-ting Taysu lantas berkata pula, “Omitohud! Lolap sangat berterima kasih atas maksud baik kedua suthay.
Memang banyak kawan-kawan dari berbagai golongan dan aliran, baik kenal maupun tidak, mereka
berbondong-bondong datang kemari hendak membantu, sungguh Lolap tidak tahu cara bagaimana harus
membalas budi mereka. Untung berkat lindungan Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguhsungguh
sehingga terhindarlah malapetaka banjir darah. Ai, dengan wafatnya kedua suthay, selanjutnya Hingsan-
pay menjadi kehilangan dua pemimpin yang bijaksana dan dunia persilatan juga berkurang dengan dua
tokoh ternama. Sungguh sayang dan menyesalkan.”
Lalu Ing-ing berkata pula, “Setelah berpisah dengan kedua suthay, malamnya aku lantas kepergok musuh, di
bawah kerubutan musuh yang banyak aku telah tertawan selama beberapa hari, ketika aku diselamatkan ayah
dan Hiang-sioksiok, sementara itu para kawan Kangouw sudah masuk Siau-lim-si. Kami bertiga masuk ke sini
belum ada setengah jam, maka kami tidak mengetahui cara bagaimana kawan-kawan Kangouw itu lolos dari
sini, pula tidak tahu meninggalnya kedua suthay.”
“Jika demikian, jadi kedua suthay bukan tewas di tangan Yim-siansing dan Hiang-cosu?” Hong-ting menegas.
“Kedua suthay telah menyelamatkan diriku, sudah seharusnya aku membalas budi mereka, mana bisa aku
tinggal diam apabila ayah dan Hiang-sioksiok bergebrak dengan kedua suthay?” ujar Ing-ing.
“Benar juga ucapanmu,” kata Hong-ting.
Tiba-tiba Ih Jong-hay menimbrung lagi, “Tapi kelakuan orang Mo-kau sering kali terbalik daripada orang biasa,
jika umumnya membalas budi dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat itu justru membalas air susu dengan
air tuba!”
“He, aneh, sungguh aneh! Sejak kapankah Ih-koancu masuk Tiau-yang-sin-kau kami?” tanya Hiang Bun-thian.
“Apa? Ngaco-belo! Siapa yang mengatakan aku masuk Mo-kau?” sahut Ih Jong-hay dengan gusar.
“Habis kau bilang orang Sin-kau kami suka membalas air susu dengan air tuba, padahal Ih-koancu sendiri
termasyhur karena ahli membalas susu dengan air tuba. Bukankah Ih-koancu telah menjadi kawan anggota
kami? Bagus, bagus sekali. Kusambut dengan segala senang hati.”
“Huh, ngaco-belo! Kentut busuk!” teriak Ih Jong-hay dengan gusar.
“Nah! Betul tidak kataku? Ucapanku bermaksud baik, sebaliknya Ih-koancu memaki aku, bukankah ini
membalas susu dengan air tuba? Ya, dasar memang wataknya demikian, baik kelakuan maupun pada tutur
katanya juga kelihatan akan wataknya yang suka membalas susu dengan tuba.”
Supaya kedua orang tidak bertengkar soal yang tidak penting, cepat Hong-ting Taysu menyela, “Sebenarnya
siapa yang membunuh kedua suthay, kelak kita tentu akan mengetahui setelah tanya kepada Lenghou-kongcu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tapi sekarang begitu kalian datang, sekaligus lantas membinasakan delapan orang cing-pay kami, coba
katakan apa sebabnya?”
Yim Ngo-heng menjawab, “Sudah biasa aku pergi-datang sendiri di dunia Kangouw tanpa seorang pun yang
berani kurang ajar padaku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak padaku dan suruh aku keluar
dari tempat sembunyi, bukankah dosa mereka ini pantas dihukum mati?”
“Omitohud!” kata Hong-ting. “Mereka hanya membentak beberapa kali, Yim-siansing lantas ambil tindakan
sekeji ini, apakah caramu ini tidak keterlaluan?”
“Hahaha! Jika Hongtiang Taysu anggap keterlaluan ya bolehlah katakan demikian,” sahut Yim Ngo-heng. “Kau
tidak bikin susah anak perempuanku, aku terima kebaikanmu. Maka sekali ini aku tidak ingin banyak berdebat
dengan kau, kedua pihak anggap selesai sudah.”
“Kau ... kau ....” tiba-tiba Ih Jong-hay hendak menyela lagi, tapi demi melihat sorot mata Yim Ngo-heng yang
tajam itu, teringatlah kelihaian tokoh Mo-kau di masa lampau itu, seketika timbul rasa jerinya dan urung
meneruskan kata-katanya.
Hong-ting lantas menyambung, “Jika Yim-siansing anggap sudah beres ya bereslah sudah. Cuma kedelapan
orang yang kalian bunuh ini cara bagaimana menyelesaikannya?”
“Penyelesaian apa lagi?” sahut Yim Ngo-heng. “Anggota Tiau-yang-sin-kau kami teramat banyak, jika kalian
mampu boleh silakan bunuh delapan orang di antara mereka sebagai imbalannya sudah.”
“Omitohud! Sembarangan membunuh orang kan cuma menambah dosa saja,” kata Hong-ting. “Eh, Co-sicu,
dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah anak murid kalian, menurut kau cara bagaimana
penyelesaiannya?”
Belum sempat Co Leng-tan menanggapi, cepat Yim Ngo-heng mendahului, “Akulah yang membunuh mereka,
kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain? Kenapa tidak tanya saja padaku? Dari nadamu ini
rupanya kalian hendak main kerubut terhadap kami bertiga bukan?”
“Bukan begitu maksudku,” kata Hong-ting. “Cuma Yim-siansing sekarang muncul kembali, dunia Kangouw
selanjutnya tentu akan banyak urusan, mungkin banyak orang yang akan dibinasakan oleh Sicu, maka Lolap
ada maksud minta kalian sudi tinggal di kuil ini untuk sembahyang dan baca kitab, dengan demikian barulah
dunia Kangouw akan aman sentosa. Entah bagaimana pendapat kalian?”
“Bagus, bagus! Usul ini sangat menarik,” seru Yim Ngo-heng sambil bergelak tertawa.
Hong-ting menyambung lagi, “Ketika putrimu tinggal di belakang gunung ini, setiap anak murid Siau-lim-si
sama menghormat padanya, segala pelayanan tidak pernah kurang. Sebabnya Lolap menahan putrimu di sini
bukanlah bermaksud menuntut balas bagi anak murid kami yang menjadi korban keganasan putrimu, ai,
mungkin kematian anak murid kami itu adalah karma atas perbuatan mereka di jelmaan hidup yang lalu.
Sebenarnya balas-membalas tanpa akhir juga bukan kehendak murid Buddha kami. Cuma kemudian persoalan
ini telah menimbulkan huru-hara di dunia Kangouw, hal ini adalah di luar dugaanku. Lagi pula dahulu ketika
putrimu datang ke sini minta pertolongan bagi Lenghou-kongcu, dengan tegas dikatakan bahwa asalkan Lolap
sudi menyelamatkan jiwa Lenghou-kongcu, maka putrimu ini rela mengganti jiwa bagi anak murid kami yang
dibunuh olehnya. Lolap menjawab ganti jiwa sih tidak perlu, tetapi dia harus tinggal tirakat di atas Siau-sit-san
sini, tanpa izin Lolap tidak boleh sembarangan meninggalkan gunung ini. Dia terus mengiakan tanpa ragu-ragu.
Betul tidak kataku ini, Yim-siocia?”
Wajah Ing-ing tampak bersemu merah, sahutnya perlahan, “Ya, benar.”
“Hehe, setia dan berbudi juga,” jengek Ih Jong-hay. “Cuma sayang kelakuan Lenghou Tiong itu tidak senonoh,
dahulu pernah kupergoki olehku ketika dia bermalam di rumah pelacuran di Kota Heng-san. Kukira cinta Yimsiocia
akan disia-siakan olehnya.”
“Ih-koancu sendiri memergoki dia di rumah pelacuran, kau melihatnya dengan mata kepala sendiri? Tidak
keliru?” Hiang Bun-thian menegas.
“Ya, mana bisa aku salah lihat?” sahut Ih Jong-hay.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba Hiang Bun-thian dengan suara setengah tertahan, “He, Ih-koancu, kiranya kau juga suka cari cewek,
kau adalah kawan sepahamku. Eh, siapakah anak dara kegemaranmu di rumah ‘P’ itu? Cantik tentunya?”
Keruan muka Ih Jong-hay merah padam dan belingsatan, ia mencaci-maki habis-habisan saking gusar.
Sebaliknya Hiang Bun-thian bergelak tertawa puas.
Dasar pribadi Ih Jong-hay memang tidak disukai oleh kebanyakan orang-orang cing-pay, maka banyak di
antaranya ikut tertawa geli dan merasa syukur dia diolok-olok oleh pihak Mo-kau yang tidak pantang omong
dalam segala hal.
Lenghou Tiong yang sembunyi di balik pigura itu menjadi sangat berterima kasih kepada Ing-ing setelah
mendengar penuturan Hong-ting Taysu tentang kejadian dahulu itu.
Terdengar Hong-ting berkata pula, “Yim-siansing, silakan kalian tirakat saja di Siau-sit-san sini, selanjutnya
kita mengubah lawan menjadi kawan, asalkan kalian bertiga tidak meninggalkan pegunungan ini, Lolap berani
tanggung takkan ada orang yang berani mencari perkara kepada kalian bertiga. Seterusnya kita akan samasama
hidup tenteram sejahtera, semuanya kan sama bahagia.”
Melihat Hong-ting Taysu bicara dengan sungguh-sungguh dan setulus hati, diam-diam Co Leng-tan, Gak Putkun,
dan lain-lain merasa padri agung ini terlalu naif cara berpikirnya. Masakan tiga gembong iblis Mo-kau yang
biasanya membunuh orang tanpa kenal ampun mau dikurung begitu saja secara sukarela?
Maka dengan tersenyum Yim Ngo-heng telah menjawab, “Maksud baik Hong-ting Taysu benar-benar harus
dipuji, sebenarnya Cayhe seharusnya menurut.”
“Jadi Sicu sudah mau tinggal di Siau-sit-san sini?” Hong-ting menegas dengan girang.
“Benar,” sahut Yim Ngo-heng. “Cuma paling lama aku hanya akan tinggal dua jam saja di sini, lebih lama lagi
aku tidak sanggup.”
Hong-ting tampak sangat kecewa, katanya, “Hanya tiga jam saja? Apa gunanya waktu sesingkat ini?”
“Memangnya Cayhe ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa bercengkerama dengan para sobat di sini,
cuma sayang nama Cayhe sudah telanjur kurang baik, ya, apa boleh buat?”
“Lolap menjadi tidak paham,” kata Hong-ting bingung. “Apa hubungannya dengan nama Sicu yang terhormat?”
“Ya, she Cayhe kurang baik, namaku juga kurang baik,” sahut Yim Ngo-heng. “Aku she Yim pakai nama Ngoheng
pula (yim-ngo-heng berbuat semaunya). Tahu begini tentu sejak mula aku akan mencari nama yang lebih
bagus. Sekarang sudah telanjur pakai nama begini, ya apa boleh buat, terpaksa aku berbuat sesukaku, ke
mana aku ingin pergi, di situlah aku tiba.”
“O, kiranya Yim-siansing sengaja permainkan Lolap,” kata Hong-ting kurang senang.
“Mana aku berani,” sahut Yim Ngo-heng. “Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini yang kukagumi
boleh dikata sangat terbatas, paling-paling cuma tiga setengah saja. Taysu termasuk satu di antaranya. Selain
itu masih ada tiga setengah orang yang tidak kusukai.”
Ucapan Yim Ngo-heng itu sangat sungguh-sungguh, sedikit pun tiada nada mengolok-olok. Maka dengan
merangkap kedua tangan Hong-ting berkata, “Omitohud! Banyak terima kasih atas pujianmu.”
Semua orang, termasuk Lenghou Tiong yang sembunyi di balik pigura, merasa heran dan ingin tahu siapasiapa
tiga setengah orang tokoh zaman ini yang dikatakan dikagumi oleh gembong Mo-kau ini dan siapa-siapa
lagi tiga setengah orang yang tak disukainya itu?
Tiba-tiba seorang yang bersuara nyaring berseru, “Yim-siansing, siapa-siapa lagi yang kau kagumi?”
“Maaf, Saudara tidak termasuk di antaranya,” sahut Yim Ngo-heng dengan tertawa.
“Cayhe mana berani disejajarkan dengan Hong-ting Taysu,” kata orang itu. “Sudah tentu aku adalah orang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang tak disukai Yim-siansing.”
“Kau pun tidak termasuk di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai,” kata Yim Ngo-heng. “Kau boleh
berlatih 30 tahun lagi, mungkin kelak akan membikin aku menjadi tidak suka.”
Orang itu menjadi bungkam. Semua orang pun berpikir, “Kiranya juga tidak mudah untuk menjadi orang yang
tidak kau sukai.”
“Apa yang dikatakan Yim-siansing benar-benar sesuatu yang serbamenarik,” kata Hong-ting.
“Hwesio besar, apakah kau ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak
kusukai?” tanya Yim Ngo-heng.
“Memang ingin minta penjelasan Sicu,” sahut Hong-ting.
“Hwesio besar, seperti kukatakan tadi, padri saleh macam kau adalah tokoh utama yang kukagumi. Adapun
orang kedua yang kukagumi adalah Tonghong Put-pay, orang yang telah merebut kedudukan kaucu dari
tanganku itu.”
Semua orang sama bersuara heran karena hal ini sama sekali di luar dugaan. Semua orang mengetahui Yim
Ngo-heng kena dijebak oleh Tonghong Put-pay dan dikerangkeng sekian lamanya, tentu dia akan sangat benci
dan dendam kepada seterunya itu. Siapa tahu Tonghong Put-pay malah termasuk seorang yang dikaguminya.
“Kekagumanku kepada Tonghong Put-pay bukannya tidak beralasan,” sambung lagi Yim Ngo-heng. “Selamanya
aku merasa tiada tandingannya di dunia ini baik dalam hal ketinggian ilmu silat maupun dalam hal kecerdasan.
Tak terduga, aku bisa masuk perangkapnya Tonghong Put-pay dan hampir-hampir terkubur selamanya di dasar
danau. Tokoh selihai Tonghong Put-pay masakah tidak pantas dikagumi?”
Bab 96. Yim Ngo-heng Menang dengan Akal Licik
“Betul juga pembahasanmu,” ujar Hong-ting sambil mengangguk.
“Dan orang ketiga yang kukagumi adalah tokoh puncak dari Hoa-san-pay pada masa kini,” kata lagi Yim Ngoheng.
Kembali semua orang merasa di luar dugaan. Padahal tadi dia sengaja mengolok-olok Gak Put-kun, siapa tahu
di dalam hati dia mengagumi ketua Hoa-san-pay itu.
Mendadak Gak-hujin buka suara, “Kau tidak perlu pakai kata-kata demikian untuk menyindir orang.”
“Haha, Gak-hujin, apakah kau mengira suamimu yang kumaksudkan?” Yim Ngo-heng tertawa. “Huh, dia ... dia
masih selisih terlalu jauh. Yang kukagumi adalah Hong Jing-yang Hong-losiansing, ilmu pedangnya mahasakti
dan jauh lebih mahir daripadaku. Maka aku mengagumi dia setulus hati tiada tara.”
“Apakah Hong-losiansing masih hidup di dunia ini?” tanya Hong-ting sambil memandang Yim Ngo-heng, lalu
berpaling pula ke arah Gak Put-kun dan istrinya.
“Hong-susiok sudah mengasingkan diri pada beberapa puluh tahun yang lalu, selama ini tiada pernah ada kabar
beritanya,” kata Gak Put-kun. “Adalah beruntung sekali bagi Hoa-san-pay kami bilamana beliau masih hidup.”
“Hm, Hong-losiansing adalah orang Kiam-cong dan kau sendiri orang pihak Khi-cong, kedua sekte Hoa-san-pay
kalian biasanya saling bermusuhan, keuntungan apa bagimu jika Hong-losiansing benar-benar masih hidup?”
jengek Yim Ngo-heng.
Wajah Gak Put-kun sebentar pucat sebentar merah karena olok-olok itu, hatinya menjadi kebat-kebit pula,
pikirnya, “Iblis ini meski terkenal jahat, tapi kabarnya sangat menilai tinggi dirinya dan tidak mau omong
kosong. Jangan-jangan Hong Jing-yang memang benar masih hidup di dunia ini?”
Biasanya dia sangat sabar dan tenang menghadapi segala soal, tapi sekarang urusannya menyangkut
kepentingan Hoa-san-pay sendiri, perasaannya yang bergolak menjadi sukar ditutupi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Maka dengan tertawa Yim Ngo-heng berkata pula, “Kau jangan khawatir. Hong-losiansing adalah tokoh dunia
luar, masakah kau menyangka beliau mengincar kedudukan ciangbunmu ini?”
Dengan tegas Gak Put-kun berkata, “Cayhe tidak punya kepandaian apa-apa, bila Hong-susiok sudi
menggantikan diriku sungguh suatu hal yang menggirangkan. Apakah Yim-siansing dapat memberi tahu
tempat kediaman Hong-susiok agar Cayhe dapat mengunjungi beliau. Untuk mana segenap orang Hoa-san-pay
akan sangat berterima kasih padamu.”
“Pertama aku tidak tahu di mana beradanya Hong-losiansing,” jawab Yim Ngo-heng sambil goyang kepala.
“Kedua, seumpama tahu juga takkan kukatakan padamu. Tusukan tombak dari depan mudah dielakkan,
serangan senjata rahasia dari belakang sukar dijaga. Gampang sekali menghadapi pengecut tulen, tapi laki-laki
palsu benar-benar membikin kepala pusing.”
Gak Put-kun terdiam atas olok-olok itu. Sebagai seorang kesatria yang ramah tamah sudah tentu ia tidak dapat
bertengkar hanya urusan kata-kata saja.
Kemudian Yim Ngo-heng berpaling kepada ketua Bu-tong-pay, yaitu Tiong-hi Totiang, katanya, “Orang
keempat yang kukagumi adalah tosu tua kau ini. Thay-kek-kiam-hoat Bu-tong-pay kalian mempunyai
keistimewaan tersendiri, kau imam tua ini bisa pula menjaga kepribadian sendiri dan tidak suka banyak ikut
campur urusan Kangouw. Cuma kau tidak mahir mendidik murid, di antara anak murid Bu-tong-pay tiada
sesuatu bibit muda yang menonjol, nanti kalau kau tua bangka ini sudah pulang ke dunia nirwana, mungkin
Thay-kek-kiam-hoat kalian akan ikut lenyap. Lagi pula meski kau punya ilmu pedang cukup tinggi, namun
belum tentu mampu menangkan diriku. Maka dari itu aku hanya kagum padamu setengah saja, tidak satu
penuh.”
“Haha, bisa mendapat setengah kagum dari Yim-siansing sudah cukup menaikkan harga diriku, terima kasih
ya,” seru Tiong-hi Tojin dengan tertawa.
“Tidak perlu sungkan,” sahut Yim Ngo-heng. Lalu ia berpaling kepada Co Leng-tan dan berkata pula, “Cotayciangbun,
kau tidak perlu tertawa di muka, tapi marah di dalam perut. Meski kau tidak termasuk di dalam
orang-orang yang kukagumi, tapi di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai justru kau menduduki
tempat pertama.”
“Haha, aku benar-benar kaget tercampur girang,” sahut Co Leng-tan.
“Ilmu silatmu hebat, jalan pikiranmu juga mendalam, sangat cocok dengan seleraku,” kata Yim Ngo-heng. “Kau
bermaksud melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu aliran besar untuk mengimbangi Siau-lim dan Bu-tongpay,
cita-citamu setinggi langit, sungguh harus dipuji. Cuma kau suka main selundap-selundup dengan macammacam
tipu keji, hal ini bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan tidak bisa dikagumi.”
“Hm, di antara tiga setengah tokoh di zaman ini yang tidak kusukai, kau justru cuma masuk yang setengah
saja,” jengek Co Leng-tan.
“Hah, bisanya meniru saja, sama sekali tidak punya pendirian sendiri, makanya kau tak bisa dikagumi, lebihlebih
tidak kusukai,” kata Yim-Ngo-heng sambil menggeleng.
“Kau sengaja mengobrol ke timur dan ke barat, apakah kau ingin mengulur waktu atau lagi menunggu bala
bantuan?” jengek Co Leng-tan lagi.
“Apakah kau bermaksud mengerubut kami bertiga dengan jumlah kalian yang jauh lebih banyak?” ejek Yim
Ngo-heng.
“Kau datang ke Siau-lim-si sini dan main membunuh sesukamu, lalu mau pergi secara aman, memangnya kau
anggap kami ini patung semua?” kata Co Leng-tan. “Pendeknya, apa kau akan menuduh kami main kerubut
atau bilang kami tidak mengutamakan tata tertib bu-lim, yang pasti kau telah membunuh anak murid Ko-sanpay
kami, sekarang aku Co Leng-tan berada di sini, betapa pun aku ingin minta petunjuk beberapa jurus
padamu.”
Tiba-tiba Yim Ngo-heng berkata kepada Hong-ting Taysu, “Hongtiang Taysu, di sini ini Siau-lim-si atau cabang
Ko-san-pay?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ai, Sicu ini sudah tahu sengaja tanya, sudah tentu di sini adalah Siau-lim-si,” sahut Hong-ting.
“Jika demikian, urusan di sini diputuskan oleh ketua Siau-lim-pay atau ketua Ko-san-pay?” tanya Yim Ngoheng.
“Meski Lolap yang menjadi tuan rumah, tapi kalau para kawan ada saran-saran juga akan kuterima,” kata
Hong-ting.
“Hahaha, memang benar ada saran yang bagus,” seru Yim Ngo-heng sambil terbahak. “Sudah tahu kalau
bertempur satu lawan satu pasti akan kalah, maka sekarang ingin main kerubut. Eh, orang she Co, hari ini
kalau kau mampu merintangi kepergianku, tidak perlu turun tangan segera aku akan menggorok leher sendiri
di depanmu.”
“Sekarang kami bersepuluh orang di sini, untuk merintangi kau mungkin tidak sanggup, tapi untuk membunuh
anak perempuanmu kukira tidaklah sukar,” sahut Co Leng-tan.
“Omitohud! Janganlah main bunuh-membunuh!” sela Hong-ting.
Hati Lenghou Tiong juga ikut berdebar. Ia tahu apa yang dikatakan Co Leng-tan itu memang bukan gertakan
belaka. Di antara kesepuluh orang yang dikatakan itu kalau bukan ketua sesuatu aliran persilatan ternama
tentulah jago kelas wahid. Betapa pun tinggi ilmu silat Yim Ngo-heng paling-paling hanya bisa menyelamatkan
diri sendiri saja. Dapatkah Hiang Bun-thian menyelamatkan diri sudah sukar dikatakan, apalagi Ing-ing, terang
tiada harapan.
Tapi Yim Ngo-heng ternyata tidak kurang akal, jawabnya kontan, “Pikiran Co-tayciangbun memang cerdik. Tapi
Co-tayciangbun sendiri punya anak laki-laki, Gak-siansing punya seorang anak perempuan. Ih-koancu seperti
punya beberapa gundik kesayangan. Thian-bun Totiang tidak punya anak, tapi banyak murid yang dicintainya.
Bok-taysiansing masih punya ayah-bunda di rumah. Kian-kun-it-kiam Cin San-cu dari Kun-lun-pay punya
seorang cucu tunggal. Ada pula Kay-taypangcu dari Kay-pang ini, eh, Hiang-cosu, adakah orang kesayangan
Kay-pangcu di rumahnya?”
“Kudengar Jing-lian Sucia dan Pek-lian Sucia yang terkenal dari Kay-pang itu sebenarnya adalah anak haram
Kay-pangcu,” sahut Hiang Bun-thian.
“Apakah kau tidak keliru, janganlah kita salah membunuh orang baik-baik,” ujar Yim Ngo-heng.
“Tidak bisa salah, hamba sudah menyelidikinya dengan jelas,” sahut Hiang Bun-thian.
“Ya, apa mau dikata, andaikan salah membunuh juga tak bisa dihindarkan,” kata Yim Ngo-heng. “Terpaksa kita
bunuh saja beberapa puluh orang Kay-pang, paling tidak dua orang di antaranya adalah sasaran yang tepat.”
“Pendapat Kaucu memang benar,” ujar Hiang Bun-thian.
Setiap kali Yim Ngo-heng menyebut sanak keluarga masing-masing, baik Co Leng-tan maupun yang lain-lain
sama merasa ngeri. Mereka tahu setiap kata gembong Mo-kau itu bukan bualan belaka, selamanya dia berani
berkata dan berani berbuat. Jika benar-benar anak perempuannya dibunuh, maka dia pasti akan membalas
dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka. Kalau dipikir sungguh mendirikan bulu roma
orang. Maka seketika suasana ruangan menjadi sunyi, wajah semua orang berubah pucat.
Selang sejenak barulah Hong-ting berkata, “Balas-membalas tentu tiada akhirnya. Yim-sicu, kami takkan
mengganggu Yim-siocia, cuma kalian bertiga diminta tinggal di sini selama sepuluh tahun saja.”
“Tidak bisa, nafsu membunuhku sudah tergerak, sekali mulai ingin kubunuh keempat gundik cantik kesayangan
Ih-koancu itu,” kata Yim Ngo-heng. “Begitu pula anak perempuan Gak-siansing tidak boleh dibiarkan hidup di
dunia ini.”
Keruan Lenghou Tiong terperanjat di tempat sembunyinya, ia tidak tahu ucapan Yim Ngo-heng itu hanya untuk
menakut-nakuti saja atau benar-benar akan mengadakan penyembelihan secara besar-besaran.
“Eh, Yim-siansing, bagaimana kalau kita mengadakan taruhan?” tiba-tiba Tiong-hi Tojin berkata.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tidak, dalam hal taruhan aku lagi sial, tidak punya angin. Tapi membunuh orang aku yakin akan berhasil,”
kata Ngo-heng. “Membunuh jago-jago kelas tinggi mungkin juga gagal, tapi membunuh anak istri atau ayah
ibu tokoh bersangkutan aku cukup yakin akan terlaksana.”
“Membunuh orang-orang yang tidak tahu ilmu silat bukan perbuatan seorang gagah,” kata Tiong-hi.
“Biarpun tidak gagah, sedikitnya akan membikin lawanku yang menyesal selama hidup dan aku sendirilah yang
senang,” kata Ngo-heng.
“Kau pun akan kehilangan anak perempuan, apanya yang menyenangkan?” ujar Tiong-hi Tojin. “Kehilangan
anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentunya akan dipungut menantu oleh
orang lain, untuk mana rasanya kau pun tidak mendapat pamor apa-apa.”
“Ya, apa boleh buat,” kata Yim Ngo-heng. “Terpaksa aku pun membunuh mereka seluruhnya. Habis siapa suruh
bakal menantuku itu tidak setia kepada anak perempuanku?”
“Begini saja, kami takkan main kerubut dan kau pun jangan sembarangan membunuh,” kata Tiong-hi. “Kita
boleh bertanding secara adil. Kalian bertiga boleh bertanding tiga babak dengan tiga orang di antara kami.
Dua-satu adalah pihak yang menang.”
“Benar, usul Tiong-hi Totiang memang lain daripada yang lain,” cepat Hong-ting menyetujui. “Kita boleh
bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa.”
“Jika kami bertiga kalah, maka diharuskan tinggal sepuluh tahun lamanya di sini, bukan?” tanya Yim Ngo-heng.
“Benar,” jawab Tiong-hi Tojin. “Bila kalian bertiga menangkan dua dari tiga babak, dengan sendirinya kami
mengaku kalah dan kalian bebas buat pergi. Kematian kedelapan murid kami ini pun anggap saja sia-sia.”
“Aku memang setengah kagum padamu, maka aku pun merasa kata-katamu ada setengahnya masuk di akal,”
kata Ngo-heng. “Siapa di antara kalian yang akan maju tiga orang? Bolehkah aku yang memilih?”
“Hong-ting Taysu adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun kalangan,” sela Co Leng-tan. “Kepandaianku
sudah terlena belasan tahun, maka sekarang aku pun ingin coba-coba tenagaku. Mengenai babak ketiga,
karena usul ini dikemukakan oleh Tiong-hi Totiang, kan aneh jika dia hanya berpeluk tangan menonton saja,
mau tak mau dia harus perlihatkan, juga kelihaian Thay-kek-kiam-hoatnya.”
Di antara sepuluh orang di pihak mereka itu memang Co Leng-tan sendiri dan Hong-ting Taysu serta Tiong-hi
Tojin merupakan tiga jago paling tinggi, sekaligus dia menonjolkan mereka bertiga boleh dikata pasti akan
menang. Yang jelas Ing-ing yang kepandaiannya masih terbatas itu pasti akan kalah menghadapi salah satu di
antara mereka. Sedangkan Hong-ting, Tiong-hi, dan Co Leng-tan adalah tiga tokoh puncak tertinggi di pihak
cing-pay, kepandaian mereka masing-masing rasanya tidak di bawah Yim Ngo-heng, dibandingkan Hiang Bunthian
mungkin lebih tinggi sedikit, jadi untuk menangkan dua dari tiga babak terang 80% sudah dipegang
mereka. Bahkan tiga babak dimenangkan seluruhnya juga ada harapan. Yang dikhawatirkan pihak cing-pay
hanyalah kalau Yim Ngo-heng sampai lolos, maka bukan mustahil segala tipu muslihat keji akan dipakai
olehnya untuk mencelakai sanak keluarga mereka.
Ternyata Yim Ngo-heng tak bisa menerima usul Tiong-hi tadi, ia menggeleng dan berkata, “Pertandingan tiga
babak kurasa tidak baik, marilah kita hanya bertanding satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang jago, pihak
kami juga tampilkan satu orang, dengan demikian urusan menjadi sederhana.”
“Yim-heng, hari ini kalian bertiga sudah terpencil di tengah kami, jangankan kami bersepuluh ini sudah tiga kali
lebih kuat daripada pihakmu, asalkan Hongtiang Taysu mengeluarkan perintah, melulu jago Siau-lim-si saja
seketika akan muncul beberapa puluh orang, belum lagi jago-jago pilihan dari golongan lain.”
“Makanya kalian ingin menang dengan mengerubut bukan?” jengek Yim Ngo-heng.
“Memang,” sahut Co Leng-tan.
“Huh, tidak tahu malu,” Yim Ngo-heng mengolok-olok lagi.
“Membunuh orang tanpa alasan itulah perbuatan yang tidak tahu malu,” balas Co Leng-tan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Apakah membunuh orang harus pakai alasan? Coba jawab Co-tayciangbun, alasan apa yang kau pakai untuk
membunuh orang-orang yang telah menjadi korban keganasanmu selama ini?”
“Kenapa Yim-heng melantur tak keruan, apakah kau sengaja mengulur waktu dan tidak berani bertempur?”
jengek Co Leng-tan.
Mendadak Yim Ngo-heng bersuit panjang, suaranya menggetar dinding, api beberapa lilin besar yang
menerangi ruangan itu sampai guram, setelah suara suitannya reda barulah cahaya lilin menyala kembali. Hati
semua orang pun berdebar-debar terpengaruh oleh suaranya itu, air muka mereka sama berubah.
“Baiklah,” kata Yim Ngo-heng kemudian, “marilah kita mulai bertanding, orang she Co.”
“Seorang laki-laki sejati sekali bicara harus pegang janji,” sahut Co Leng-tan. “Jika dua di antara kalian bertiga
kalah, maka kalian harus tinggal sepuluh tahun di Siau-sit-san sini.”
“Baik,” sahut Yim Ngo-heng. “Marilah kita mulai, aku lawan kau, nanti Hiang-cosu melawan si cebol she Ih,
anak perempuanku mencari lawan perempuan pula, bolehlah dia melayani Gak-hujin, Ling-lihiap.”
“Tidak bisa,” sahut Co Leng-tan. “Siapa-siapa di pihak kami yang harus maju adalah kami sendiri yang pilih,
mana boleh kau main tunjuk sesukanya.”
“Jago masing-masing harus dipilih pihak sendiri, pihak lain tidak boleh pilih?” tanya Yim Ngo-heng.
“Ya,” jawab Leng-tan. “Pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua Siau-lim dan Bu-tong ditambah lagi
Cayhe.”
“Dengan kedudukan dan namamu masakah dapat disejajarkan dengan ketua-ketua Siau-lim-pay dan Bu-tongpay?”
kembali Yim Ngo-heng mengolok-olok.
Muka Co Leng-tan menjadi merah, kata-kata Yim Ngo-heng ini memang tepat mengenai boroknya. Terpaksa ia
menjawab, “Sudah tentu Cayhe tidak berani disejajarkan dengan ketua-ketua Siau-lim dan Bu-tong, tapi untuk
melayani kau rasanya masih sanggup.”
“Hahaha! Bila aku minta belajar kenal dengan ilmu pukulan Siau-lim-pay kalian boleh tidak, Hong-ting Taysu?”
kata Yim Ngo-heng terhadap Hong-ting.
“Omitohud! Sudah lama Lolap tidak latihan, terang bukan tandingan Yim-sicu,” sahut Hong-ting. “Cuma Lolap
berharap dapat menahan Yim-sicu di sini, terpaksa beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini kusiapkan
buat menerima pukulanmu.”
Meski Co Leng-tan menantang Yim Ngo-heng, tapi sesungguhnya ia tidak yakin akan dapat menang, ia cukup
kenal “Gip-sing-tay-hoat” musuh yang lihai, meski sekarang dia sudah meyakinkan ilmu yang khusus dipakai
melawan ilmu musuh itu, kalau tidak terpaksa ia pun tidak berani sembarangan mencobanya. Sekarang Yim
Ngo-heng mengalihkan tantangannya kepada Hong-ting Taysu, sikap ini terang sengaja memandang hina
padanya, namun di dalam hati Co Leng-tan berbalik senang. Pikirnya, “Memangnya aku khawatir jika kau
terima tantanganku, lalu kau ajukan Hiang Bun-thian untuk menghadapi Tiong-hi Totiang, sedangkan anak
perempuanmu kau suruh menempur Hong-ting Taysu. Dalam keadaan demikian bila Tiong-hi Totiang
mengalami apa-apa, lalu aku tak bisa menangkan kau pula, tentu urusan bisa menjadi runyam.”
Hendaklah maklum bahwa tokoh-tokoh puncak seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin hanya diketahui
sangat hebat kepandaian masing-masing, tapi selama ini kebanyakan orang belum pernah menyaksikan sendiri
sampai di mana lihainya mereka. Sebaliknya dahulu Hiang Bun-thian sudah pernah melabrak orang cing-pay
serta anak buah Mo-kau, banyak jago-jago Ko-san-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain menjadi korban
keganasannya waktu itu, yang berhasil lari kembali sama melaporkan peristiwa itu kepada perguruan masingmasing
dengan gambaran yang menakutkan, maka Co Leng-tan rada kenal kelihaian Hiang Bun-thian.
Bilamana Yim Ngo-heng menggunakan tipu “prajurit diadu dengan jenderal”, dia sengaja suruh putrinya
melawan Hong-ting Taysu dan menyerah kalah, kemudian kalau Tiong-hi Tojin yang sudah tua itu juga
dikalahkan Hiang Bun-thian yang lebih muda dan tangkas, maka pertarungan antara Co Leng-tan sendiri
melawan Yim Ngo-heng menjadi sukar dipastikan. Sebab itulah Co Leng-tan merasa kebetulan ketika Hong-ting
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Taysu ditantang oleh Yim Ngo-heng, tanpa bicara lagi ia lantas melangkah ke pinggir.
“Silakan Hongtiang,” kata Yim Ngo-heng kemudian sambil soja sebagai tanda pembukaan.
“Yim-sicu silakan buka serangan lebih dulu,” sahut Hong-ting sambil rangkap tangan membalas hormat.
“Yang Cayhe mainkan adalah kepandaian ajaran murni Tiau-yang-sin-kau, sebaliknya yang akan Taysu
mainkan adalah ilmu silat murni Siau-lim-pay. Babak pertandingan kita ini menjadi murni melawan murni,”
kata Yim Ngo-heng.
“Huh, ajaran murni apa? Tidak tahu malu!” mendadak Ih Jong-hay mengejek.
“Hongtiang Taysu, harap kau tunggu dulu, akan kubunuh dulu si cebol itu, kita bertempur sebentar lagi,” kata
Yim Ngo-heng kepada Hong-ting.
“Jangan! Terimalah pukulanku ini, Yim-sicu!” cepat Hong-ting berseru sambil melancarkan serangan pertama.
Ia tahu watak Yim Ngo-heng yang berani berkata dan berani berbuat, bukan mustahil secepat kilat Ih Jong-hay
akan terus dibunuh olehnya. Maka segera ia mendahului membuka serangan.
Pukulan Hong-ting tampaknya sangat enteng dan biasa, tapi sampai di tengah jalan mendadak pukulannya
bergerak-gerak, satu tapak tangan berubah menjadi dua bayangan tangan, dua berubah menjadi empat dan
berubah lagi menjadi delapan.
“Jian-jiu-ji-lay-ciang!” teriak Yim Ngo-heng mengenali ilmu pukulan “Buddha Seribu Tangan” itu. Ia tahu bila
terlambat sekejap saja delapan tangan musuh akan terus berubah menjadi 16 tangan, lalu 32 tangan dan 64
tangan, dan begitu seterusnya. Maka cepat ia pun balas memukul ke bahu kanan Hong-ting.
Segera Hong-ting menarik kembali pukulannya, tangan lain bergantian menyerang dengan cara yang sama,
bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Yim Ngo-heng lantas
melompat ke atas, berturut-turut ia pun balas pukul dua kali.
Dari atas Lenghou Tiong mengikuti pertarungan itu, dilihatnya pukulan Hong-ting sukar diduga perubahannya
setiap kali, belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh ilmu pukulan mahaaneh yang
belum pernah dilihatnya.
Sebaliknya ilmu pukulan Yim Ngo-heng sangat sederhana, tangannya hanya menjulur dan ditarik kembali
secara biasa, tampaknya rada kaku. Tapi biarpun Hong-ting Taysu melancarkan pukulan-pukulan yang sukar
dijajaki itu, namun setiap kali Yim Ngo-heng menyambut serangannya itu, tentu Hong-ting cepat ganti
serangan lain. Tampaknya kedua orang sama kuat dan sama lihainya.
Dalam hal ilmu pukulan dan sebagainya Lenghou Tiong tidak begitu mahir, maka ia menjadi bingung
menyaksikan ilmu pukulan kedua tokoh puncak dari dunia persilatan sekarang ini. Yang dia perhatikan
hanyalah kalah menang kedua orang itu, maka ia terus mengikutinya dengan asyiknya.
Selang sebentar, tertampak Yim Ngo-heng menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan
Hong-ting Taysu terdesak mundur dua-tiga tindak berturut-turut. Lenghou Tiong terkesiap, hatinya menjerit,
“Wah, celaka, tampaknya Hong-ting Taysu bisa kalah.”
Tapi segera kelihatan padri tua itu memukulkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah,
menyusul Yim Ngo-heng berbalik mundur selangkah dan mundur lagi.
Dalam hati Lenghou Tiong merasa bersyukur dan menghela napas lega. Tiba-tiba ia berpikir, “Aneh, kenapa
aku menjadi khawatir ketika melihat Hong-ting Taysu mau kalah, sebaliknya merasa senang setelah dia bisa
merebut kembali posisinya. Ya, betapa pun Hong-ting Taysu adalah padri saleh, sedangkan Yim-kaucu adalah
gembong Mo-kau, hati nuraniku tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.”
Tapi lantas terpikir lagi, “Namun bila Yim-kaucu kalah, Ing-ing tentu akan terkurung lagi selama sepuluh tahun
di Siau-sit-san sini, hal ini pun bukan keinginanku.”
Seketika ia menjadi bingung. Hanya dalam hati kecilnya terasa serbasusah. Karena tidak paham intisari ilmu
pukulan Hong-ting Taysu dan Yim Ngo-heng yang luar biasa itu, perlahan-lahan ia alihkan pandangannya ke
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
arah lain. Dilihatnya Ing-ing berdiri bersandar di sebuah tiang, tampaknya lemah gemulai, alisnya yang lentik
rada terkerut seperti sedang sedih mengenai sesuatu urusan.
Serentak rasa kasihan Lenghou Tiong berkobar, ia pikir gadis selemah itu mana boleh terkurung lagi sepuluh
tahun di sini, dia mana sanggup menerima penderitaan demikian? Padahal dia pernah berusaha menolong aku
tanpa menghiraukan jiwanya sendiri.
Watak Lenghou Tiong memang penuh perasaan, teringat akan pengorbanan si nona untuk dirinya itu,
jangankan Ing-ing hanya putri seorang kaucu dari Mo-kau, sekalipun dia adalah perempuan jahat yang
terkutuk juga dirinya tak bisa mengingkari budi kebaikannya.
Dalam pada itu pandangan belasan orang di tengah ruangan itu sama terpusatkan ke tengah kalangan
pertempuran yang hebat itu. Co Leng-tan merasa bersyukur Yim Ngo-heng telah memilih lawan Hong-ting
Taysu, kalau babak pertama dirinya yang dipilih rasanya sukar menghadapi ilmu pukulan aneh gembong Mokau
itu.
Sebaliknya Hiang Bun-thian juga sedang berpikir, “Ilmu silat Siau-lim-pay yang tersohor selama beratus-ratus
tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku harus menghadapi jago Siau-lim-pay, terpaksa
aku harus mengadu tenaga dalam dengan dia, untuk bertanding ilmu pukulan terang aku tak bisa menang.”
Di sebelah lain diam-diam Gak Put-kun, Thian-bun Tojin, dan lain-lain juga sama menilai ilmu pukulan kedua
jago yang sedang bertempur itu dengan mengukur kepandaian sendiri-sendiri.
Sesudah sekian lamanya pertempuran sengit itu berlangsung, lambat laun Yim Ngo-heng merasa ilmu pukulan
Hong-ting Taysu mulai kendur, diam-diam ia bergirang, pikirnya.
Segera ia pergencar serangannya, setelah beberapa kali memukul lagi, mendadak waktu menarik tangan kanan
dirasakan nadi pergelangan rada kaku, tenaga dalam rada macet jalannya, sungguh kejutnya bukan buatan. Ia
tahu itulah gangguan pada tenaga dalamnya sendiri yang disebabkan oleh lwekang lawan. Sungguh tak
terduga olehnya bahwa Ih-kin-keng hwesio tua itu ternyata begini lihai, meski tenaga pukulan masing-masing
tidak pernah beradu secara keras lawan keras, tapi tenaga dalam sendiri sudah terkekang olehnya.
Yim Ngo-heng sadar bilamana pertarungan diteruskan, bilamana tenaga dalam lawan mulai dikerahkan dengan
hebat tentu dirinya akan kewalahan. Saat itu pukulan kiri Hong-ting sudah tiba, tanpa pikir Yim Ngo-heng
menggertak sambil memapak dengan sebelah tangan pula, “plak”, kedua tangan beradu, kedua orang samasama
mundur setindak.
Terasa tenaga dalam hwesio tua itu sangat lunak, tapi luar biasa kuatnya. Meski Yim Ngo-heng sudah
mengeluarkan “Gip-sing-tay-hoat” toh sedikit pun tak bisa menyedot tenaga lawan, keruan ia tambah kaget.
“Siancay, Siancay!” Hong-ting menyebut Buddha, menyusul tangan kanan menghantam lagi. Kembali Yim Ngoheng
memapak pukulan lawan.
Kedua tangan beradu lagi dan tubuh masing-masing sama tergeliat. Yim Ngo-heng merasa darah seluruh
badan seakan-akan tersirap. Cepat ia melangkah mundur dua tindak, mendadak ia putar tubuh sambil
mencengkeram dengan tangan kanan, tahu-tahu dada Ih Jong-hay kena terpegang, tangan kiri terus menabok
ke batok kepala ketua Jing-sia-pay itu.
Serangan kilat yang amat aneh dan cepat luar biasa ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Sudah jelas
Yim Ngo-heng kewalahan menghadapi pukulan-pukulan Hong-ting Taysu tadi, siapa duga mendadak ia ganti
sasaran dan menyerang Ih Jong-hay.
Jelek-jelek Ih Jong-hay sebenarnya juga seorang tokoh silat, kalau terang-terangan berhadapan dengan Yim
Ngo-heng, sekalipun dia pasti kalah, tapi tidak mungkin hanya satu gebrak saja lantas keok, apalagi tertangkap
mentah-mentah.
Begitulah di tengah jerit kaget orang banyak, mendadak Hong-ting Taysu melompat tiba pula, sebagai burung
terbang saja ia menubruk sambil memukul belakang kepala Yim Ngo-heng dengan kekuatan dua tangan. Ini
adalah tipu “serang sini buat tolong sana” yang terkenal dalam ilmu silat, serangan lihai yang memaksa lawan
harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Melihat serangan Hong-ting Taysu yang dilancarkan secara kilat itu, semua orang tergerak hatinya dan amat
kagum pada tindakannya yang cepat itu. Mereka tidak sempat bersorak memuji, tapi mereka tahu jiwa Ih
Jong-hay dapatlah diselamatkan.
Dan memang betul juga Yim Ngo-heng terpaksa harus urungkan tabokannya ke atas kepala Ih Jong-hay tadi,
tapi tidak digunakan menangkis serangan Hong-ting, sebaliknya ia mencengkeram “tan-tiong-hiat” di dada
Hong-ting, menyusul tangan kanan ikut bekerja pula, dengan tepat ulu hati hwesio tua itu kena tertutuk.
Tanpa ampun lagi tubuh Hong-ting Taysu menjadi lemas dan roboh terkulai. Keruan semua orang terperanjat,
beramai-ramai mereka lantas menerjang maju.
Segera Co Leng-tan mendahului menghantam ke punggung Yim Ngo-heng. Tapi Yim Ngo-heng sempat
menangkis. Bentaknya, “Bagus, anggaplah ini babak kedua.”
Co Leng-tan melancarkan serangan kilat, kadang-kadang menjotos, lain saat pakai telapak tangan, tiba-tiba
menutuk dengan jari, mendadak mencengkeram pula, dalam sekejap saja ia sudah menggunakan belasan
macam gelak tipu yang lihai.
Karena serangan kilat lawan ini, seketika Yim Ngo-heng hanya bisa bertahan saja dan tak mampu balas
menyerang. Kiranya beberapa jurus serangannya yang terakhir sehingga dapat mengakali Hong-ting Taysu dan
merobohkan padri itu, namun untuk mana terpaksa ia harus mengerahkan segenap tenaganya, kalau tidak
masakah ketua Siau-lim-pay yang memiliki lwekang setinggi itu begitu gampang lantas kena dicengkeram “tantiong-
hiat” di dada dan tertutuk roboh? Serangan-serangan ini boleh dikata merupakan taruhan terakhir bagi
Yim Ngo-heng.
Betapa tajam pandangan Co Leng-tan, apa yang dilakukan Yim Ngo-heng itu ternyata tidak terluput dari
penglihatannya, ia pikir inilah kesempatan yang susah dicari, maka tanpa pedulikan nanti akan dituduh sebagai
pengecut yang menyerang orang secara bergiliran, cepat ia menerjang Yim Ngo-heng.
Hendaklah maklum bahwa kemenangan Yim Ngo-heng atas Hong-ting Taysu itu semata-mata juga karena akal
licik saja. Ia sudah tahu benar bahwa lawannya berhati welas asih, maka ia memperhitungkan jika dirinya
mendadak hendak membinasakan Ih Jong-hay, pertama orang-orang lain tidak keburu menolong ketua Jingsia-
pay itu karena jarak mereka agak jauh, kedua, mereka itu sama tidak menyukai pribadi Ih Jong-hay, tentu
mereka tak mau ambil risiko buat menolong orang yang tidak disukai. Dalam keadaan demikian ia yakin hanya
Hong-ting Taysu-lah yang akan menolong Ih Jong-hay.
Yim Ngo-heng juga sudah memperhitungkan cara ketua Siau-lim-pay itu menolong Ih Jong-hay tentulah akan
menyerang dia, tapi dia justru tidak menangkis serangan Hong-ting itu, tapi berbalik mencengkeram dan
menutuk hiat-to penting hwesio tua itu.
Bab 97. Pertarungan Tiga Babak
Cara Yim Ngo-heng ini sesungguhnya teramat berbahaya. Sebab kedua tangan Hong-ting yang menghantam
belakang kepalanya itu tidak perlu kena dengan tepat, cukup angin pukulannya saja sudah bisa membikin
otaknya menjadi kopyor. Namun di waktu Yim Ngo-heng menangkap Ih Jong-hay secara mendadak memang
sudah mempertaruhkan jiwanya sendiri sebagai taruhan terakhir, yang dia pertaruhkan adalah hati welas asih
padri saleh itu, jika pukulannya yang bisa bikin kepalanya pecah itu ternyata tidak ditangkis tentu dia akan
menarik kembali tenaga pukulannya secara mendadak. Sebaliknya di kala itu tubuh Hong-ting tentu masih
terapung di udara, pada saat menarik kembali tenaga pukulannya sebisa mungkin tentu bagian dada dan perut
tak terjaga, maka sekali cengkeram dan sekali tusuk Yim Ngo-heng benar-benar berhasil merobohkan Hongting
Taysu.
Namun demikian betapa dahsyatnya tenaga pukulan Hong-ting yang mendadak ditarik kembali itu toh masih
kena menyambar batok kepala Yim Ngo-heng, seketika Yim Ngo-heng merasa kepalanya sakit seakan-akan
pecah, napas terasa sesak dan mata berkunang-kunang pula....
Bahwa Yim Ngo-heng menang dengan cara licik telah dapat dilihat dengan jelas oleh orang-orang yang
menyaksikan di luar gelanggang. Cepat Tiong-hi Tojin membangunkan Hong-ting Taysu dan membuka hiat-to
yang tertutuk, katanya dengan gegetun, “Pikiran Hongtiang Suheng yang baik malah kena diakali oleh lawan
secara licik.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Omitohud!” ujar Hong-ting. “Pikiran Yim-sicu memang cerdik, adu akal dan tidak adu tenaga, sungguh Lolap
sangat kagum dan mengaku kalah.”
“Yim-kaucu memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang, caranya bukan perbuatan seorang laki-laki
sejati,” seru Gak Put-kun.
“Memangnya orang Tiau-yang-sin-kau kami ada laki-laki sejati?” sahut Hiang Bun-thian dengan tertawa. “Jika
Yim-kaucu adalah laki-laki sejati tentunya sedari dulu sudah berkomplot dengan kau, buat apa pakai
bertanding lagi sekarang?”
Gak Put-kun menjadi bungkam oleh debatan Hiang Bun-thian.
Dalam pada itu Yim Ngo-heng sedang melancarkan pukulannya dengan perlahan sambil bersandar pada tiang
kayu di belakangnya, ia dapat menangkis setiap serangan Co Leng-tan.
Sebagai kepala perserikatan Ngo-gak-kiam-pay, biasanya Co Leng-tan sangat angkuh. Di waktu biasa tentu dia
tidak mau menempur Yim Ngo-heng di kala lawannya itu baru saja bertempur melawan tokoh nomor satu dari
Siau-lim-pay, sebab cara demikian tentu akan dianggap licik dan pengecut serta diejek orang. Tapi tadi caranya
Yim Ngo-heng merobohkan Hong-ting Taysu juga memakai cara licik dan membikin marah tokoh-tokoh yang
menyaksikan. Sekarang Co Leng-tan mendadak maju melabrak Yim Ngo-heng, hal ini malahan menimbulkan
pujian orang karena setia kawannya.
Begitulah ketika Hiang Bun-thian melihat gerak-gerik Yim Ngo-heng rada lamban dan sukar mengganti napas di
bawah berondongan serangan Co Leng-tan, cepat ia mendekati sang kaucu, katanya, “Co-tayciangbun, kau
tahu malu tidak, masakan melawan orang yang habis bertempur? Biarlah aku saja yang melayani kau!”
“Sesudah kurobohkan orang she Yim baru kutempur kau, masakan aku takut padamu bertempur secara
bergiliran?” sahut Co Leng-tan. Berbareng sebelah tangannya menghantam pula ke arah Yim Ngo-heng.
Sambil menangkis, hati Yim Ngo-heng menjadi panas juga oleh kata-kata Co Leng-tan itu. Katanya dengan
nada dingin, “Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini saja bisa merobohkan Yim Ngo-heng? Kau minggir saja,
Hiang-hiante!”
Hiang Bun-thian kenal watak sang kaucu yang tinggi hati dan suka menang, ia tidak berani membangkang,
terpaksa berkata, “Baiklah, biarlah aku menyingkir sementara. Tapi orang she Co ini terlalu pengecut dan tidak
kenal malu, akan kutendang sekali pantatnya!”
Berbareng ia angkat sebelah kakinya buat menendang bokong Co Leng-tan.
“Apa kau akan main kerubut?” teriak Co Leng-tan dengan gusar sambil mengelak ke samping.
Tak terduga gerak kaki Hiang Bun-thian itu ternyata cuma pura-pura saja. Melihat Co Leng-tan tertipu, Hiang
Bun-thian terbahak-bahak geli dan menjawab, “Hm, hanya anak haram yang sudi main kerubut!”
Lalu ia melompat mundur dan berdiri di sebelah Ing-ing.
Lantaran diledek oleh Hiang Bun-thian, serangan Co Leng-tan menjadi terhalang satu jurus. Kesempatan ini
segera digunakan oleh Yim Ngo-heng untuk menarik napas panjang-panjang, seketika semangatnya terbangkit
kembali. Kontan ia lantas balas menghantam tiga kali berturut-turut.
Sekuatnya Co Leng-tan mematahkan serangan Yim Ngo-heng itu, diam-diam ia terkesiap atas tenaga seteru
lama yang jauh lebih hebat daripada dulu ini.
Pertarungan Co Leng-tan dan Yim Ngo-heng ini adalah ulangan dari pertandingan di masa dahulu. Yang satu
adalah tokoh terkemuka dari golongan cing-pay, yang lain adalah gembong Mo-kau yang tiada bandingannya.
Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang ini benar-benar pertarungan yang
menentukan. Karena itu mereka sangat mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda daripada
pertandingan Yim Ngo-heng melawan Hong-ting Taysu tadi yang dilangsungkan dengan ramah tamah.
Sekarang keduanya sama-sama melancarkan serangan maut tanpa kenal ampun.
Makin lama semakin cepat pertarungan kedua orang itu, Lenghou Tiong sampai sukar membedakan siapa di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
antara mereka. Ia coba melirik ke arah Ing-ing, muka si nona yang putih bersih itu tiada menunjukkan sesuatu
perasaan cemas atau khawatir, seakan-akan dia sangat yakin atas kemenangan sang ayah.
Rada lega hati Lenghou Tiong melihat sikap tenang Ing-ing itu. Ia coba memandang Hiang Bun-thian, tampak
air mukanya sebentar lagi kelihatan dongkol dan kesal, seakan-akan jauh lebih gawat daripada dia sendiri yang
bertempur.
“Pengalaman dan pengetahuan Hiang-toako dengan sendirinya jauh lebih luas daripada Ing-ing, melihat
ketegangannya ini, mungkin sekali pertarungan Yim-siansing ini sukar mendapat kemenangan,” demikian pikir
Lenghou Tiong.
Waktu pandangannya beralih lagi ke sebelah sana, tertampak sang guru berdiri sejajar dengan ibu-gurunya, di
sebelahnya adalah Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin.
Di belakang mereka berdiri ketua Thay-san-pay Thian-bun Tojin dan ketua Heng-san-pay Bok-taysiansing.
Sejak datang tadi sama sekali Bok-taysiansing tidak membuka suara sehingga Lenghou Tiong tidak tahu bahwa
tokoh utama Heng-san-pay itu pun berada di Siau-lim-si.
Di sebelah lain tampak ketua Jing-sia-pay Ih Jong-hay berdiri sendirian di pojokan dengan memegang gagang
pedang dan tampak merasa gusar sekali.
Orang yang berdiri di sebelah lain lagi adalah seorang pengemis tua, tentunya ketua Kay-pang yang bernama
Kay Hong. Di sebelahnya ada pula seorang dengan perawakan yang gagah, tentunya dia adalah ketua Kun-lunpay
Cin-san-cu. Ketua Kun-lun-pay ini berjuluk “Kian-kun-it-kiam” atau Si Pedang Tunggal, tapi di
punggungnya memanggul dua batang pedang.
Diam-diam Lenghou Tiong juga merasa tidak sopan dengan sembunyi di situ mendengarkan pembicaraan
tokoh-tokoh terhormat itu. Kalau sampai ketahuan sungguh dirinya akan malu besar. Maka dia mengharap
selekasnya Yim Ngo-heng akan menang satu babak lagi, dengan demikian dapatlah mereka bertiga pergi
dengan bebas. Dan nanti kalau Hong-ting Taysu dan lain-lain sudah mengundurkan diri dari ruangan belakang
itu segera dia akan lekas menyusul dan menemui Ing-ing.
Terpikir akan bicara berhadapan dengan Ing-ing, seketika dadanya terasa hangat. Pikirnya, “Apakah benarbenar
seterusnya aku akan menjadi suami istri dengan Ing-ing? Bahwa dia sangat setia dan cinta padaku sudah
tidak perlu disangsikan lagi. Akan tetapi aku... aku....”
Lapat-lapat ia merasa selama ini bilamana dia teringat kepada Ing-ing, maka yang terpikir adalah ingin
membalas kebaikannya, akan membantunya lolos dari kurungan Siau-lim-pay, akan menyiarkan di dunia
Kangouw bahwa dirinya yang jatuh hati kepada si nona dan bukan sebaliknya agar orang-orang Kangouw tidak
mencemoohkan Ing-ing dan membuatnya malu. Anehnya setiap bayangan Ing-ing yang cantik itu timbul dalam
benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan dan kemesraan, hal ini sama sekali berbeda bilamana dia
terkenang kepada siausumoaynya, yaitu Gak Leng-sian, yang sangat dicintainya itu. Terhadap Ing-ing pada
lubuk hatinya yang dalam seakan-akan ada rasa rada-rada takut.
Ketika dia bertemu dengan Ing-ing semula, senantiasa dia menyangkanya sebagai seorang nenek tua. Maka
yang timbul dalam hatinya adalah rasa hormat. Kemudian dilihatnya cara si nona yang gapah tangan,
membunuh orang dengan gampang, memerintah orang secara tegas, maka dari rasa hormatnya telah meresap
pula tiga bagian rasa muak dan tiga bagian pula rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar
sesudah mengetahui si nona jatuh hati padanya.
Kemudian diketahui si nona mengorbankan diri dan terkurung di Siau-lim-si, maka timbul rasa terima kasih
Lenghou Tiong yang tak terhingga. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak menimbulkan pikiran ingin
berhubungan lebih akrab, yang diharapkan hanya membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika
mendengar Yim Ngo-heng mengatakan dia adalah calon menantunya, entah mengapa perasaannya menjadi
serbasusah, sedikit pun tidak membuatnya merasa senang. Padahal bicara soal kecantikan sungguh Ing-ing
jauh melebihi Gak Leng-sian, tapi semakin melihat kecantikan Ing-ing itu, semakin dirasakan jarak yang jauh
di antara mereka berdua.
Hanya sekejap saja Lenghou Tiong memandang Ing-ing dan tidak berani memandangnya lagi, dilihatnya kedua
tangan Hiang Bun-thian mengepal, kedua matanya melotot besar. Ketika Lenghou Tiong memandang ke sana
lagi, ternyata Co Leng-tan sudah terpojok, sebaliknya Yim Ngo-heng masih terus melancarkan pukulan demi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pukulan dengan dahsyat.
Tampaknya Co Leng-tan sudah kewalahan, tangkisannya lemah, serangannya selalu gagal, jelas lebih banyak
bertahan daripada menyerang.
Sekonyong-konyong terdengar Yim Ngo-heng membentak, kedua tangannya menyodok sekaligus ke dada
lawan. Lekas-lekas Co Leng-tan menyambut, empat tangan beradu, “blang”, Co Leng-tan terdesak mundur
dengan punggung menumbuk tembok sehingga debu pasir jatuh bertebaran dari atap.
Lenghou Tiong merasa badannya ikut terguncang, pigura besar yang dibuat sembunyi olehnya seakan-akan
rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, “Sekali ini Co-supek tentu celaka. Mereka mengadu tenaga dalam,
Yim-siansing menggunakan ‘Gip-sing-tay-hoat’ untuk menyedot tenaga Co-supek, lama-kelamaan tentu beliau
akan kalah.”
Tapi lantas dilihatnya Co Leng-tan menarik kembali tangan kanan, hanya dengan sebelah tangan saja ia
menahan kekuatan musuh, menyusul menggunakan dua jari tangan kanan menusuk ke arah Yim Ngo-heng.
Mendadak Yim Ngo-heng menjerit aneh dan lekas-lekas menghindar dengan melompat mundur. Segera Co
Leng-tan menutuk lagi dengan jari tangan lain, berturut-turut ia menutuk tiga kali dan Yim Ngo-heng pun
terdesak mundur tiga langkah.
Menyaksikan tiga kali serangan Co Leng-tan itu, Lenghou Tiong merasa heran, “Beberapa jurus serangan Cosupek
ini sungguh aneh, entah ilmu pukulan apa?”
Tiba-tiba terdengar Hiang Bun-thian berseru lantang, “Bagus! Kiranya Pi-sia-kiam-boh telah jatuh di tangan Kosan-
pay.”
Lenghou Tiong semakin heran, “Aneh, apakah yang digunakan Co-supek adalah Pi-sia-kiam-hoat? Padahal dia
toh tidak pakai pedang?”
Setelah ditunjukkan oleh Hiang Bun-thian, segera Lenghou Tiong dapat mengikuti gerak serangan Co Leng-tan
itu memang benar adalah jurus-jurus serangan ilmu pedang. Hanya saja caranya sama sekali berbeda daripada
ilmu pedang umumnya, sebab tangan orang dapat bergerak sesukanya, bisa lempeng, bisa melengkung,
karena itu serangannya mirip tusukan pedang, tapi mendadak bisa berubah menjadi pukulan dan sukar diraba.
Sebagai seorang ahli silat, begitu serangan lawan dilontarkan, segera Yim Ngo-heng sudah melihat letak
keanehan ilmu silat lawan itu. Cuma dalam keadaan terdesak seketika sukar baginya untuk menemukan cara
mematahkannya. Bilamana lawan terdiri dari dua orang yang memakai pedang dan yang seorang menyerang
dengan tangan kosong akan lebih gampang dilayani, tapi sekarang tangan Co Leng-tan dimanfaatkan secara
dwiguna, dipakai menusuk sebagai pedang, digunakan memukul dan menghantam sebagai tangan biasa
menurut keinginannya.
Gabungan ilmu silat antara pedang dan pukulan seperti Co Leng-tan sekarang ini, sekalipun Hong-ting Taysu
dan Tiong-hi Totiang yang merupakan tokoh top persilatan juga merasa terheran-heran karena selamanya
tidak pernah menyaksikan hal demikian. Mereka terkesiap, padahal Yim Ngo-heng terkenal dengan Gip-singtay-
hoat yang mampu menyedot tenaga lawan, kenapa ketika empat tangan beradu tadi tampaknya Co Lengtan
tidak berkurang suatu apa pun. Apa mungkin lwekang pihak Ko-san-pay sudah kebal dan tidak takut
kepada Gip-sing-tay-hoat? Demikian mereka tidak habis heran.
Jika para penonton terkesiap heran, sesungguhnya yang paling heran dan terkejut ialah Yim Ngo-heng.
Teringat olehnya ketika bertarung dengan Co Leng-tan pada belasan tahun yang lalu, sebelum dirinya sempat
menggunakan Gip-sing-tay-hoat pihak lawan sudah terdesak di bawah angin. Waktu itu ia sungkan
menggunakan Gip-sing-tay-hoat sebab tanpa memakai ilmu itu pun musuh sudah kewalahan, pula pemakaian
ilmu itu berarti sangat merugikan tenaga dalam sendiri yang terbuang, maka sedapat mungkin ia menghindari
pemakaian Gip-sing-tay-hoat. Tapi ketika ratusan jurus kemudian dan tampaknya Co Leng-tan segera bisa
dirobohkan, mendadak jantung sendiri terasa sakit dan tenaga sukar dikerahkan. Ia terkejut, ia tahu hal itu
adalah akibat latihan Gip-sing-tay-hoat yang belum sempurna. Jika di waktu biasa tentu dia bisa lekas duduk
semadi dan perlahan-lahan memunahkan rasa sakit itu. Tapi saat mana sedang menghadapi lawan tangguh,
dari mana dia ada kesempatan merawat jantung yang sakit?
Selagi merasa cemas, tiba-tiba dilihatnya di belakang Co Leng-tan muncul dua orang, yang satu adalah sute Co
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Leng-tan sendiri, seorang lagi ialah ketua Thay-san-pay Thian-bun Tojin. Dengan cerdik Yim Ngo-heng lantas
melompat keluar kalangan dan berseru dengan tertawa, “Haha, katanya kita satu lawan satu, tapi secara licik
kau menyembunyikan pembantu. Hm, seorang laki-laki tidak sudi diakali, biarlah kita bertemu lagi lain kali,
sekarang kakekmu tidak mau meladeni kau.”
Sebaliknya Co Leng-tan juga sadar akan kepastian kekalahannya, sekarang pihak lawan mendadak mau
menyudahi pertandingan, tentu saja hal ini sangat kebetulan. Maka ia pun tidak berani mengejek dengan katakata
yang bisa menimbulkan marah lawan dan memancing pertarungan lebih jauh, ia hanya menjawab,
“Salahmu sendiri, kenapa kau pun tidak membawa beberapa orang begundalmu?”
Yim Ngo-heng mendengus, lalu putar tubuh dan tinggal pergi. Begitulah pertarungan di masa dahulu itu telah
diakhiri tanpa ada yang kalah atau menang, tapi dalam batin masing-masing sudah cukup menginsafi
kelemahan ilmu silatnya sendiri-sendiri. Sejak itulah mereka sama-sama meyakinkan ilmu masing-masing
dengan lebih tekun.
Lebih-lebih Yim Ngo-heng yang mengetahui penyakit Gip-sing-tay-hoat yang dilatihnya itu, dengan Gip-singtay-
hoat dia dapat menyedot tenaga lawan, tapi tenaga lawan yang disedot itu berbeda-beda golongan dan
tidak sama pula kekuatannya. Campuran macam-macam tenaga itu kalau tidak segera dipunahkan pada saat
yang tepat, akibatnya tentu akan timbul pada saat-saat yang tak terduga dan akan melawan tenaga dalam
yang dimilikinya sendiri. Dengan lwekang Yim Ngo-heng yang tinggi dengan gampang ia dapat mengatasi
pengacauan tenaga dalam dari orang lain itu. Tapi adalah sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak
mengacau pada saat dia sedang menghadapi lawan tangguh sebagaimana waktu dia bertempur melawan Co
Leng-tan itu.
Sebabnya dia terjebak oleh Tonghong Put-pay dahulu, pokok utamanya juga lantaran dia terlalu asyik berlatih
untuk menemukan sesuatu cara mengatasi pengacauan lwekang liar yang sering bergolak di dalam tubuhnya
itu, pada saat memusatkan pikiran itulah, seorang tokoh mahacerdik sebagai dia sampai lengah terhadap
perangkap yang diatur oleh Tonghong Put-pay. Akibatnya dia harus mendekam selama sepuluh tahun di dasar
Se-ouw. Tapi di situ pula dia berhasil menemukan cara memunahkan lwekang liar yang bergolak di dalam
tubuh itu sehingga Gip-sing-tay-hoat takkan menimbulkan penyakit “senjata makan tuan” lagi.
Sekarang dia ketemu lagi dengan Co Leng-tan, pihak lawan menggunakan tangan sebagai pedang dan
melancarkan ilmu silat aneh, ketika dengar teriakan Hiang Bun-thian, ternyata gerak ilmu pedang yang
dimainkan Co Leng-tan adalah Pi-sia-kiam-hoat yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan, maka sadarlah
Yim Ngo-heng sukar mematahkan ilmu silat lawan itu. Segera ia mengeluarkan Gip-sing-tay-hoat dan mengadu
pukulan dengan lawan, tak terduga begitu ia bekerja untuk menyedot tenaga lawan ternyata pihak lawan tidak
punya kekuatan apa-apa, sedikit pun tak bertenaga. Keruan kejutnya tak terkatakan, hal ini benar-benar tak
pernah dijumpainya, bahkan tak pernah terpikir olehnya.
Setelah beberapa kali menggunakan Gip-sing-tay-hoat dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, ia tidak
berani menggunakan ilmu itu lagi, segera ia gunakan pukulan silat untuk menghujani pukulan-pukulan dahsyat
kepada lawan. Terpaksa Co Leng-tan ganti siasat dengan bertahan saja.
Setelah berlangsung beberapa puluh jurus lagi, ketika Yim Ngo-heng melancarkan suatu pukulan tapak tangan,
cepat Co Leng-tan menangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan bergaya sebagai pedang terus
menusuk ke iga kiri lawan.
Melihat gerak tusukan lawan sangat ganas, Yim Ngo-heng menimbang-nimbang dalam hati, apa mungkin
seranganmu ini tidak bertenaga pula? Maka ia hanya sedikit miringkan tubuh, seperti menghindar, tapi
sebenarnya sengaja memberi peluang agar tusukan lawan itu kena sasarannya.
Dengan demikian Yim Ngo-heng sengaja berikan peluang di bagian dadanya, tapi Gip-sing-tay-hoat sudah
dikerahkan pada bagian itu dengan perhitungan, “Bila tusukan jarimu ini tak bertenaga, kan percuma saja
seranganmu ini, sebaliknya kalau mengerahkan tenaga, maka sekaligus tenagamu pasti akan kusedot habis.”
Pertarungan di antara dua tokoh silat hanya ditentukan dalam gerak sekilas saja, sedikit dadanya memberi
peluang, “cret”, kontan tusukan tapak tangan Co Leng-tan sudah mencapai sasarannya, dua jarinya telah tepat
menikam pada thian-ti-hiat di bagian dada Yim Ngo-heng itu.
Para penonton sama berseru kaget. Terlihat jari Co Leng-tan rada merandek di atas dada Yim Ngo-heng yang
tertutuk itu. Tanpa ayal Yim Ngo-heng telah mengerahkan Gip-sing-tay-hoat. Benar juga tenaga dalam Co
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Leng-tan lantas bocor, hanya sejenak saja tenaga dalam itu sudah membanjir bagai tanggul yang bobol terus
tersedot oleh Yim Ngo-heng melalui thian-ti-hiat.
Dalam keadaan demikian ternyata Co Leng-tan tidak menjadi kaget atau khawatir, sebaliknya ia girang di
dalam hati, bahkan ia kerahkan tenaganya.
Begitu pula Yim Ngo-heng merasa girang, ia menyedot semakin kuat, terasa tenaga dalam lawan makin
membanjir, tapi mendadak badan Yim Ngo-heng tergeliat, dari pusarnya tiba-tiba suatu arus hawa dingin
menerjang ke atas, seketika kaki dan tangan tak bisa berkutik, seluruh urat nadi serasa mogok dan tak bekerja
lagi.
Pada saat itulah perlahan-lahan Co Leng-tan menarik kembali tangannya dan selangkah demi selangkah
menyingkir ke pinggir sambil menatap Yim Ngo-heng tanpa bicara.
Waktu semua orang memandang Yim Ngo-heng, tertampak badannya rada gemetar, tangan dan kakinya kaku
tak bergerak, keadaannya mirip orang yang tertutuk hiat-to tertentu.
“Ayah!” teriak Ing-ing sambil menubruk maju dan memegang badan sang ayah, terasa lengan ayahnya dingin
luar biasa, cepat ia menoleh dan memanggil, “Hiang-sioksiok!”
Segera Hiang Bun-thian memburu maju, ia urut-urut beberapa kali di bagian dada Yim Ngo-heng, habis itu
barulah Yim Ngo-heng bisa bersuara dan lancar kembali pernapasannya.
“Hm, bagus, bagus!” kata Yim Ngo-heng dengan muka merah padam. “Tak terpikir olehku akan langkahmu ini.
Marilah kita ulangi lagi!”
Tapi Co Leng-tan tidak menjawab, dia hanya menggeleng perlahan saja.
“Kalah-menang sudah jelas, mau ulangi apa lagi?” ujar Gak Put-kun. “Bukankah thian-ti-hiat Yim-siansing tadi
sudah tertutuk oleh Co-ciangbun?”
“Cis!” jengek Yim Ngo-heng dengan gusar. “Ya, memang benar. Aku sendiri yang tertipu, baiklah babak ini
anggap aku yang kalah.”
Kiranya tipu serangan Co Leng-tan tadi benar-benar sangat berbahaya dan dilakukan dengan untung-untungan.
Ia telah mengerahkan seluruh “Han-giok-cin-gi” (Hawa Murni Mahadingin) yang dilatihnya selama belasan
tahun ini dan sengaja dibiarkan disedot oleh Yim Ngo-heng, bahkan sengaja lawan menguras seluruh tenaga
mahadingin itu ke dalam hiat-to. Memangnya lwekang kedua ini selisih tidak terlalu jauh, ketika mendadak
tenaga sebanyak itu meresap ke dalam tubuh Yim Ngo-heng, pula tenaga itu mahadingin, maka dalam sekejap
sekujur badan Yim Ngo-heng menjadi kaku terbeku. Pada detik Gip-sing-tay-hoat lawan itu mogok itulah Co
Leng-tan lantas kerahkan tenaga dalamnya lagi dan menutup hiat-to lawan. Namun demikian lwekang Co Lengtan
sendiri juga sudah terkuras habis, untuk memulihkan kekuatannya sedikitnya juga perlu waktu dua-tiga
bulan lagi.
Segera Hiang Bun-thian dapat melihat kelemahan Co Leng-tan itu, katanya, “Tadi Co-ciangbun sudah
menyatakan akan melayani aku bila mengalahkan Yim-kaucu. Sekarang silakan mulai saja.”
Keadaan Co Leng-tan yang payah itu sudah tentu diketahui pula oleh Hong-ting Taysu, Tiong-hi Tojin, dan lainlain,
mereka tahu bila kedua orang benar-benar bertarung lagi, maka pasti Co Leng-tan akan kalah, bahkan
cukup beberapa gebrakan saja Hiang Bun-thian dapat membinasakan Co Leng-tan. Tapi tadi Co Leng-tan
memang pernah mengatakan demikian, kan berarti dia pengecut bila tidak terima tantangan Hiang Bun-thian
itu.
Selagi semua orang serbaingin-tahu, tiba-tiba Gak Put-kun menyela, “Sejak mula kita sudah sepakat
mengadakan tiga babak pertandingan, siapa jago-jago yang akan diajukan tergantung kepada pilihan pihak
masing-masing dan tidak boleh main tunjuk oleh pihak lawan. Hal ini Yim-kaucu sendiri sudah setuju bukan?
Bila Yim-kaucu benar seorang kesatria sejati, apakah mau mengingkari persetujuan ini?”
“Gak-siansing memang pintar bicara dan pandai berdebat, sungguh aku sangat kagum,” kata Hiang Bun-thian.
“Tapi kau masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai ‘laki-laki sejati’. Caramu mendebat seperti pokrol
bambu lebih mirip seorang pengecut yang tidak pegang janji.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Laki-laki sejati atau pengecut kan tergantung kepada orangnya,” sahut Gak Put-kun. “Di mata kaum laki-laki
sejati tentunya berbeda cara penilaiannya daripada pandangan kaum pengecut.”
Di sini mereka berdebat, tapi di sebelah sana Co Leng-tan bersandar pada tiang dalam keadaan lemah, untuk
berdiri saja sukar, jangankan bertempur lagi.
Ketua Bu-tong-pay Tiong-hi Tojin lantas tampil ke muka, katanya, “Sudah lama Hiang-cosu terkenal dengan
julukan ‘Thian-ong-lo-cu’ (Datuk Maharaja), tentunya mempunyai kemahiran yang lain daripada yang lain.
Sebelum aku mengasingkan diri pada waktu tidak lama lagi bisa lebih dulu menjadi lawan ‘Thian-ong-lo-cu’,
sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku.”
Sebagai ketua Bu-tong-pay yang termasyhur, dengan ucapannya terhadap Hiang Bun-thian ini benar-benar dia
telah menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap lawannya itu.
Karena itu menjadi sukar bagi Hiang Bun-thian untuk menolak tantangan halus itu. Katanya, “Hormat lebih baik
menurut. Sudah lama kukagumi ‘Thay-kek-kiam-hoat’ Bu-tong-pay, terpaksa aku harus mengiringi Tiong-hi
Totiang untuk beberapa gebrak.”
Habis berkata ia terus mengangkat kepalan sebagai tanda hormat sambil melangkah mundur beberapa tindak.
Tiong-hi Totiang membalas hormat. Kedua orang berdiri berhadapan dan saling menatap dengan tajam, tapi
kedua orang tidak lantas melolos senjata.
Tiba-tiba Yim Ngo-heng berseru, “Nanti dulu! Silakan mundur dulu, Hiang-hiante!”
Habis itu ia lantas mengeluarkan pedangnya sendiri.
Keruan semua orang terperanjat melihat Yim Ngo-heng menghunus pedangnya. Mereka sangsi apakah benar
Yim Ngo-heng berani menempur Tiong-hi Tojin lagi, padahal dia sudah bertanding dua babak sebelumnya.
Co Leng-tan lebih-lebih terkejut, tadi thian-ti-hiat lawan telah dibanjiri hawa dingin yang dilatihnya selama
belasan tahun, untuk itu sekalipun dewa sakti juga perlu waktu beberapa hari baru bisa memulihkan
tenaganya. Tapi mengapa hanya sebentar saja Yim Ngo-heng sudah kuat dan siap bertempur lagi?
Padahal saat itu di dalam perut Yim Ngo-heng terasa sakit seperti ditusuk-tusuk oleh berpuluh-puluh pisau,
untuk bicara saja sangat dipaksakan jangankan lagi bertempur.
Tiong-hi Tojin berkata dengan tersenyum, “Apakah Yim-kaucu bermaksud memberi petunjuk padaku? Cuma,
kurasa terlalu tidak adil dan sangat menguntungkan aku jika Yim-kaucu lagi yang maju pada babak ketiga ini.”
“Cayhe telah bertempur dua babak, jika bergebrak lagi dengan Totiang kan berarti terlalu memandang rendah
kepada ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur, betapa pun takabur Cayhe juga tidak sedemikian rupa,”
kata Yim Ngo-heng. “Soalnya Tiong-hi Totiang adalah tenaga baru dari pihak kalian, maka di pihak kami juga
perlu diajukan seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Lenghou Tiong, silakan turun kemari!”
Kata-kata ini benar-benar membikin kaget semua orang dan serentak ikut memandang ke arah yang dituju
oleh sinar mata Yim Ngo-heng.
Lenghou Tiong terkejut juga dan serbasusah seketika. Ia pikir toh tidak bisa menyembunyikan diri lagi,
terpaksa ia melompat ke bawah. Lebih dulu ia menyembah kepada Hong-ting Taysu dan berkata, “Secara
sembrono aku telah menyusup ke kuil agung ini, mohon Taysu memberi maaf.”
“Hahahaha, kiranya kau,” kata Hong-ting sambil tertawa. “Kudengar pernapasanmu sangat perlahan dan
merata, benar-benar ilmu pernapasan yang hebat, memangnya aku sedang heran tokoh kosen manakah yang
telah berkunjung ke sini, tak tahunya adalah kau. Silakan bangun, jangan memakai peradatan setinggi ini.”
“Kiranya dia sudah mengetahui aku bersembunyi di balik pigura itu,” pikir Lenghou Tiong.
“Lenghou Tiong,” tiba-tiba ketua Kay-pang, Kay Hong berseru, “coba lihat tulisan apakah ini?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong berbangkit dan memandang kepada tiang yang ditunjuk, ternyata di atas tiang kayu itu terukir
tiga baris tulisan, baris pertama tertulis: “Di balik pigura ada orang”. Lalu baris kedua tertulis: “Akan kuseret
dia keluar”. Baris ketiga tertulis: “Nanti dulu. Lwekang orang ini seperti cing juga seperti sia, entah lawan atau
lawan”.
Setiap huruf itu melekuk cukup dalam dan tampaknya masih baru, terang diukir dengan tenaga jari oleh Hongting
Taysu dan Kay Hong.
Kagum dan kejut Lenghou Tiong, pikirnya, “Dari pernapasanku yang perlahan saja Hong-ting Taysu sudah
mampu membedakan asal usul ilmu lwekangku, sungguh seorang tokoh sakti.”
Bab 98. Ketua Hoa-san-pay yang Tidak Tahu Malu
Segera ia pun bicara lagi, “Mohon para Cianpwe sudi memberi maaf bilamana aku tidak sejak tadi turun
memberi hormat, sebab merasa berdosa.”
“Kau merasa berdosa, hendak mencuri apakah kau datang ke Siau-lim-si sini?” tanya Kay Hong.
“Lantaran kudengar Yim-siocia ditahan di sini, maka maksudku hendak memapaknya pulang,” sahut Lenghou
Tiong.
“Haha, kiranya kedatanganmu ini hendak mencuri bini,” kata Kay Hong dengan tertawa.
“Aku sudah utang budi kepada Yim-siocia, biarpun hancur lebur badanku juga rela baginya,” ujar Lenghou
Tiong.
“Sayang, sungguh sayang,” kata Kay Hong dengan menghela napas. “Seorang muda baik-baik dan punya hari
depan gemilang ternyata menjadi korban wanita. Bila kau tidak terjerumus, kelak jabatan ketua Hoa-san-pay
masakah bisa lari dari tanganmu?”
“Hm, hanya ketua Hoa-san-pay saja kenapa mesti diherankan?” tiba-tiba Yim Ngo-heng menyela. “Kelak kalau
aku sudah pulang ke dunia nirwana, jabatan ketua Tiau-yang-sin-kau kami ini masakah bisa lari dari tangan
menantu kesayanganku ini?”
Lenghou Tiong terkejut katanya dengan suara gemetar, “O, ti... tidak... ti....”
“Sudahlah, tidak perlu banyak bicara lagi,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. “Nah, Anak Tiong, boleh kau
coba belajar kenal ilmu pedang sakti ketua Bu-tong-pay ini. Hendaklah kau hati-hati.”
Dia menyebut Lenghou Tiong sebagai “Anak Tiong”, tampaknya dia benar-benar sudah menganggapnya
sebagai menantu. Keruan Lenghou Tiong serbakikuk.
Lenghou Tiong coba menimbang suasana sekitarnya, masing-masing pihak sementara itu sudah menang satu
babak, jadi babak ketiga inilah yang menentukan Ing-ing bisa diselamatkan atau tidak. Ia sudah pernah
bertanding pedang dengan Tiong-hi Totiang dan dapat mengalahkannya, maka untuk menolong Ing-ing mau
tak mau dirinya harus maju.
Segera ia putar ke arah Tiong-hi Tojin dan menyembah beberapa kali padanya. Tiong-hi terkejut dan cepat
membangunkannya dan berkata, “Kenapa Adik cilik memakai kehormatan setinggi ini?”
“Hatiku tidak tenteram karena harus minta pengajaran kepada Totiang yang sangat kuhormati,” sahut Lenghou
Tiong.
“Ah, kau ini terlalu banyak adat,” ujar Tiong-hi sambil tertawa.
Waktu Lenghou Tiong berbangkit, Yim Ngo-heng lantas menyodorkan pedang kepadanya. Lenghou Tiong
menerima pedang itu, lalu siap berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah.
Tiong-hi Totiang memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa luar dan termenungmenung
sambil menimbang-nimbang akan ilmu pedang Lenghou Tiong yang telah dikenalnya tempo hari.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Melihat Tiong-hi termenung-menung dan tidak siap bertanding, semua orang menjadi heran, tadi tiada seorang
pun yang berani menegur.
Agak lama kemudian, tiba-tiba Tiong-hi menghela napas panjang, lalu berkata, “Pertandingan babak ini tidak
perlu dilangsungkan, kalian berempat boleh turun gunung saja.”
Keruan semua orang terperanjat mendengar ucapannya ini. “Apa artinya ucapanmu ini, Totiang?” tanya Kay
Hong.
“Aku tidak menemukan cara mematahkan ilmu pedangnya, maka babak ini aku mengaku kalah saja,” sahut
Tiong-hi.
“Tapi kalian kan belum bertanding?” ujar Kay Hong terheran-heran.
“Setengah bulan yang lalu di kaki Bu-tong-san sudah pernah kucoba lebih tiga ratus jurus dengannya, waktu
itu aku kalah. Maka kalau bertanding lagi sekarang tetap aku tak bisa menang.”
“Benarkah telah terjadi demikian?” tanya Hong-ting dan lain-lain.
“Ya, adik cilik Lenghou Tiong sudah mendapat ajaran ilmu pedang Hong Jing-yang, Hong-locianpwe, maka
sekali-kali aku bukan tandingannya,” sahut Tiong-hi, lalu ia pun mengundurkan diri ke pinggir.
“Jiwa kesatria Tiong-hi Totiang sungguh membikin aku sangat kagum. Mestinya aku cuma kagum separuh saja
kepadamu, tapi sekarang telah bertambah menjadi kagum tiga per empat,” kata Yim Ngo-heng. Lalu ia
memberi hormat kepada Hong-ting dan menyambung, “Hongtiang Taysu sampai berjumpa pula lain kali.”
Lenghou Tiong mendekati Gak Put-kun dan istrinya, ia berlutut dan menyembah.
“Aku tak berani terima,” kata Gak Put-kun dengan sikap dingin. Sebaliknya Gak-hujin menjadi pilu, air matanya
berlinang-linang.
“Marilah kita pergi,” kata Yim Ngo-heng sembari sebelah tangan menggandeng Ing-ing sebelah tangan lain
menggandeng Lenghou Tiong.
Kay Hong, Thian-bun Tojin, dan lain-lain menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada Tiong-hi
Tojin, kalau Tiong-hi saja mengaku bukan tandingan Lenghou Tiong, sudah tentu mereka tidak berani mencari
penyakit walaupun merasa sangsi.
Saat itu Yim Ngo-heng sudah mau melangkah keluar, tiba-tiba Gak Put-kun membentak, “Nanti dulu!”
“Ada apa?” tanpa Yim Ngo-heng sambil menoleh.
“Tiong-hi Totiang tidak sudi berurusan dengan manusia rendah, maka babak ketiga toh belum pernah terjadi,”
kata Gak Put-kun. “Nah, majulah Lenghou Tiong, biar aku yang melayani kau.”
Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan sehingga badannya gemetar, sahutnya dengan tergagap-gagap,
“Suhu, aku... aku....”
Namun sikap Gak Put-kun biasa saja, katanya, “Katanya kau mendapat ajaran tokoh angkatan tua perguruan
sendiri, Hong-susiok, ilmu pedangmu sudah mencapai intisari Hoa-san-pay yang tiada taranya, tampaknya aku
bukan lagi tandinganmu. Meski kau sudah dipecat dari perguruan, tapi petualanganmu di dunia Kangouw masih
tetap menggunakan ilmu pedang perguruan kita. Memangnya aku yang salah mengajar sehingga para sahabat
dari cing-pay ikut kepala pusing bagi murid murtad seperti kau ini. Maka kalau sekarang aku tidak turun
tangan, masakah mesti minta orang lain yang menanggung tugas berat ini? Pendek kata, bila hari ini aku tidak
membinasakan kau, biar kau saja yang membunuh diriku.”
Ucapan Gak Put-kun itu makin lama makin bengis, akhirnya ia terus lolos pedang dan membentak, “Nah, kau
dan aku sudah putus hubungan sebagai murid dan guru. Lekas keluarkan pedangmu!”
“Tecu tidak berani!” sahut Lenghou Tiong sambil mundur selangkah.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Sret”, Gak Put-kun terus mendahului menusuk lurus ke depan, itulah jurus “Jong-siong-ging-khik”, itulah salah
satu jurus Hoa-san-kiam-hoat yang lihai.
Cepat Lenghou Tiong mengelak ke samping dan tetap tidak mengeluarkan pedangnya. Berturut-turut Gak Putkun
menusuk lagi dua kali dan tetap dihindarkan oleh Lenghou Tiong.
“Kau sudah mengalah tiga jurus padaku dan boleh dianggap sebagai menghormati aku sebagai bekas gurumu,
sekarang lekas lolos pedangmu!” kata Put-kun.
Yim Ngo-heng juga berseru, “Tiong-ji, jika kau tidak balas menyerang, apakah jiwamu sengaja kau korbankan
di sini?”
“Baik,” sahut Lenghou Tiong sambil melolos pedangnya.
Dengan senjata di tangan pikiran Lenghou Tiong menjadi lebih mantap. Ia tahu kalau melulu mengandalkan
ilmu pedangnya saja sekali-kali sang suhu tidak mampu membunuhnya, sebaliknya dirinya juga tidak nanti
mengganggu seujung rambut pun gurunya itu. Tapi pertandingan ini harus dimenangkan oleh sang suhu saja
atau mesti mengalahkan dia? Bila dirinya mengalah, maka akibatnya Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Inging
harus menderita terkurung sepuluh tahun di Siau-sit-san sini. Sebaliknya kalau tidak mengalah akan berarti
membikin malu gurunya itu di hadapan orang banyak, padahal budi kebaikan sang guru dan ibu-gurunya yang
telah mendidik dan membesarkannya selama ini belum pernah dibalasnya.
Persoalan mahasulit ini benar-benar membuatnya bingung dan sukar memilih. Dalam keadaan bimbang itulah
ia sudah diserang beberapa jurus lagi oleh Gak Put-kun. Tapi Lenghou Tiong hanya menangkis dengan ilmu
pedang ajaran sang guru dahulu. Maklumlah “Tokko-kiu-kiam” tidak boleh dibuat main-main, setiap jurusnya
selalu mengincar tempat mematikan musuh, sebab itu ia tidak berani sembarangan menggunakan. Sejak dia
meyakinkan Tokko-kiu-kiam, pengetahuannya boleh dikata mencapai puncaknya, biarpun cuma Hoa-san-kiamhoat
yang dimainkan, namun tenaga yang timbul dari pedangnya sudah tentu lain daripada dahulu. Meski
berulang-ulang Gak Put-kun menyerang dengan segala kemahirannya masih tetap tak bisa menembus
penjagaan Lenghou Tiong.
Para penonton itu tergolong jago kelas wahid semua, melihat cara bertempur Lenghou Tiong itu mereka lantas
tahu anak muda itu sengaja mengalah dan tidak menempur Gak Put-kun dengan sesungguh hati.
Yim Ngo-heng saling pandang dengan Hiang Bun-thian dan sorot matanya memancarkan rasa khawatir. Sebab
mereka sama-sama teringat kepada kejadian di Bwe-cheng di tepi danau Hangciu tempo dulu. Waktu itu Yim
Ngo-heng mengajak Lenghou Tiong masuk Tiau-yang-sin-kau dan menjadikan kedudukan Kong-beng-yusu
baginya, kedudukan itu berarti ahli waris kaucu di kemudian hari. Juga disanggupi akan mengajarkan ilmu
caranya memunahkan tenaga balik yang timbul dari Gip-sing-tay-hoat. Namun semua janji itu ternyata tidak
mengguncangkan iman anak muda itu, ini memperlihatkan betapa setianya kepada perguruannya sendiri.
Sekarang dilihatnya lagi betapa sikap menghormat anak muda itu kepada bekas gurunya, hakikatnya biar
tertusuk mati oleh bekas sang guru itu pun takkan membuatnya menyesal, apalagi melancarkan serangan
balasan, terang tiada harapan buat menang.
Sesungguhnya Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian adalah tokoh-tokoh yang cerdik pandai, tapi melihat situasi
yang berbahaya itu ternyata mati kutu juga dan tak berdaya. Soalnya sekarang bukan kepandaian Lenghou
Tiong lebih rendah daripada lawannya, lagi urusan itu menyangkut kekeluargaan. Kalau berdasarkan watak
Lenghou Tiong pasti dia tak mau mengalahkan sang guru, lebih-lebih tidak mau membikin malu sang guru di
hadapan orang lain. Begitu Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian kembali saling pandang dengan bingung. Sorot
mata mereka hanya saling bertanya, “Apa daya?”
Tiba-tiba Yim Ngo-heng berpaling dan membisiki Ing-ing, “Coba kau berdiri di sebelah depan sana.”
Ing-ing tahu maksud sang ayah yang mengkhawatirkan Lenghou Tiong lebih berat kepada budi perguruan dan
sengaja mengalah kepada Gak Put-kun, dirinya disuruh berdiri di depan sana maksudnya agar Lenghou Tiong
dapat melihatnya, sehingga teringat kepada kebaikannya, lalu bertempur dengan sungguh-sungguh dan
mencapai kemenangan.
Maka Ing-ing hanya mengiakan perlahan, tapi tidak melangkah.
Sebentar kemudian Yim Ngo-heng melihat Lenghou Tiong terus main mundur dan tetap tidak mau balas
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyerang, keruan ia tambah gelisah dan kembali membisiki Ing-ing, “Lekas ke depan sana!”
Tapi Ing-ing tetap tidak melangkah ke sana, bahkan menjawab saja tidak. Menurut jalan pikiran si nona,
“Bagaimana perasaanku kepadamu (Lenghou Tiong) tentunya sudah kau (Lenghou Tiong) ketahui. Bila hatimu
memberatkan diriku dan bertekad menyelamatkan aku, tentu kau akan mengalahkan lawanmu. Tapi kalau kau
lebih berat pada pihak gurumu, sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas
kasihanmu juga tak berguna. Maka buat apa aku mesti berdiri di depanmu sana untuk mengingatkan kau?”
Sifat Ing-ing juga angkuh, tinggi hati, ia merasa tak berharga sama sekali bila untuk menyelamatkan dirinya
mesti meminta-minta dan mengingatkan kebaikannya kepada Lenghou Tiong.
Dalam pada itu Lenghou Tiong masih terus menangkis setiap serangan gurunya. Kalau ia mau balas menyerang
sejak tadi Gak Put-kun sudah pasti keok. Sudah tentu Gak Put-kun juga tahu Lenghou Tiong sengaja tidak mau
balas menyerang, maka ia pun tidak perlu pikir buat menjaga diri, sebaliknya terus melancarkan seranganserangan
maut.
Melihat serangan-serangan lihai Gak Put-kun itu tetap tak bisa mengenai sasarannya, sebaliknya Lenghou
Tiong hanya menangkis dengan seenaknya saja, setiap serangan lawan selalu dipatahkan secara gampang,
makin lama makin kagum semua orang terhadap anak muda itu.
Lama-lama Gak Put-kun menjadi kelabakan sendiri. Mendadak ia sadar bila pertempuran yang bertele-tele itu
diteruskan, nanti yang mendapat nama baik justru adalah bangsat cilik ini, sebab penonton-penonton yang
merupakan tokoh-tokoh kelas wahid ini tentu sudah melihat bahwa bangsat cilik ini sengaja mengalah padaku,
sebaliknya aku masih terus menyerang dengan ngotot, ketua Hoa-san-pay macam apakah ini? Jelas bangsat
cilik ini sengaja hendak membikin aku kewalahan sendiri dan terpaksa menyerah kalah. Berpikir sampai di sini
Gak Put-kun menjadi nekat. Ia kumpulkan segenap tenaganya, Ci-he-sin-kang dikerahkan kepada pedangnya,
sekuatnya ia terus menebas kepala Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong mengegos ke samping sehingga tebasan Gak Put-kun itu meleset, tapi segera Gak Putkun
putar balik pedangnya terus menyabet ke pinggang lawan. Sekali loncat dapatlah Lenghou Tiong
melangkahi pedang yang menyambar tiba itu. Mendadak Gak Put-kun putar lagi pedangnya, secepat kilat ia
tusuk punggung Lenghou Tiong, perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh
anak muda itu, apalagi dia masih terapung di atas.
Semua orang sampai menjerit khawatir. Memang untuk menghindar atau menangkis pun tidak keburu lagi.
Tapi sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga menempel batang tiang di
depannya sana, dengan tenaga loncatan ini dapatlah dia melayang ke belakang tiang sana. “Cret”, tusukan Gak
Put-kun menjadi mengenai tiang kayu itu sampai tembus. Ujung pedang hanya selisih beberapa senti saja
dengan badan Lenghou Tiong.
Kembali semua orang berteriak riuh. Teriakan ini bernada merasa syukur dan kagum terhadap Lenghou Tiong,
kagum atas kepandaiannya dan bersyukur karena dia terhindar dari serangan maut itu. Bahkan Gak-hujin,
Thian-bun Tojin, dan lain-lain juga punya perasaan demikian.
Betapa dongkol dan gusarnya Gak Put-kun tak terkatakan, berturut-turut ia melancarkan “Tiga Jurus Ilmu
Pedang Pencabut Nyawa” yang merupakan ilmu pedang sekte Kiam-cong Hoa-san-pay mereka, tapi Lenghou
Tiong, sebaliknya para penonton malahan bersimpati pula kepada anak muda itu.
Dahulu setelah perang saudara antara Khi-cong (sekte lwekang) dan Kiam-cong (sekte pedang) dalam Hoasan-
pay mereka berakhir dengan pihak Kiam-cong ditumpas oleh pihak Khi-cong, kemudian Gak Put-kun dan
tokoh-tokoh Hoa-san-pay yang lain sama menimbang kembali ilmu pedang sakti yang diyakinkan pihak Kiamcong,
di antaranya adalah “Tiga Jurus Pencabut Nyawa” itu.
Maka Gak-hujin menjadi terkejut melihat sang suami mendadak mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang maut itu.
Pikirnya, “Dia adalah murid pihak Khi-cong, mengapa mendadak menggunakan ilmu pedang pihak Kiam-cong?
Kalau hal ini diketahui orang luar tentu akan dihina dan diejek. Ai, sebabnya dia menggunakan tiga jurus itu
tentunya juga lantaran terpaksa. Padahal sudah jelas dia bukanlah tandingan Tiong-ji, buat apa mesti ngotot
terus?”
Sebenarnya ada maksud Gak-hujin hendak maju memisah, tapi urusannya sekarang tidak sederhana, bukan
melulu menyangkut kepentingan Hoa-san-pay sendiri, maka ia menjadi serbasusah dan sedih.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ketika itu Gak Put-kun telah mencabut kembali pedangnya yang menancap tiang tadi. Tapi Lenghou Tiong
tetap berdiri di balik tiang dan tidak putar keluar. Gak Put-kun berharap anak muda itu akan terus sembunyi di
balik tiang dan tidak menempurnya lagi sebagai tanda takut padanya, dengan demikian kehormatannya dapat
ditegakkan.
Begitulah kedua orang saling memandang berhadapan, dengan rendah hati Lenghou Tiong berkata, “Suhu,
Tecu bukan tandinganmu. Kita tak usah meneruskan pertandingan ini.”
Gak Put-kun hanya mendengus dan tidak menjawab.
Yim Ngo-heng juga lantas bicara, “Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan kalah.
Bahwasanya Lenghou Tiong sengaja mengalah kepada gurunya, setiap orang asalkan bukan orang buta tentu
dapat melihatnya. Nah, Hongtiang Taysu, maukah pertandingan tiga babak ini kita anggap seri saja. Lohu
bersedia minta maaf kepadamu, lalu kita menyudahi pertikaian ini dan kami akan angkat kaki.”
Mendengar ucapan Yim Ngo-heng ini, diam-diam Gak-hujin merasa senang dan lega. Padahal sudah jelas
mereka berada di pihak pemenang, namun ucapan Yim-kaucu itu dapat dianggap mau mengalah, cara
menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik. Demikian pikir Gak-hujin.
“Omitohud!” kata Hong-ting Taysu. “Usul Yim-kaucu yang bijaksana itu sudah tentu aku sependa....”
Belum selesai kata-kata “sependapat” diucapkan, tiba-tiba Co Leng-tan menyela, “Lalu keempat orang ini apa
mesti kita biarkan mereka pergi begitu saja? Dan selanjutnya Gak-suheng masih terhitung ketua Hoa-san-pay
tidak?”
“Hal ini....” belum lanjut kata-kata Hong-ting, tiba-tiba “sret”, Gak Put-kun memutar ke belakang tiang dan
mulai menyerang pula.
Dengan gesit Lenghou Tiong mengegos. Maka beberapa gebrakan saja kembali mereka sudah berada di tengah
kalangan lagi. Segera Gak Put-kun melancarkan serangan-serangan kilat, tapi selalu dapat dihindar atau
ditangkis oleh Lenghou Tiong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele kembali berlangsung pula.
Diam-diam Yim Ngo-heng sangat mendongkol. Pikirnya, “Jika tua bangka she Gak ini tetap bermuka tebal dan
terus ngotot secara demikian, maka jelas dia takkan kalah, sebaliknya kalau Tiong-ji sedikit meleng saja tentu
akan celaka. Kalau pertempuran diteruskan tentu menguntungkan orang she Gak. Maka aku harus mengolokoloknya
dengan kata-kata menusuk, supaya dia tahu malu.”
Segera ia berkata kepada Hiang Bun-thian, “Eh, Hiang-hiante, kedatangan kita ke Siau-lim-si ini benar-benar
banyak bertambah pengalaman.”
“Benar,” jawab Hiang Bun-thian. “Di sini telah berkumpul tokoh-tokoh bu-lim dari tingkat puncak....”
“Satu di antaranya benar-benar tokoh mahahebat,” sambung Yim Ngo-heng.
“Siapakah beliau?” tanya Hiang Bun-thian.
“Orang ini telah berhasil meyakinkan sejenis ilmu sakti yang luar biasa,” kata Ngo-heng.
“Ilmu sakti apakah itu?” tanya Bun-thian.
“Ilmu sakti orang ini disebut Kim-bian-tok, Tiat-bin-bwe-sin-kang (kulit muka besi)!” jawab Ngo-heng.
“Wah, sungguh hebat!” ujar Bun-thian. “Selamanya hamba cuma dengar adanya ilmu kebal Kim-ciong-tok dan
Tiat-poh-sam, tapi tidak pernah dengar tentang Kim-bian-tok dan Tiat-bin-bwe segala. Entah ilmu sakti
demikian ini berasal dari aliran mana?”
“Kim-ciong-tok dan Tiat-poh-sam adalah ilmu kebal yang tidak mempan senjata pada seluruh badan, tapi ilmu
sakti Tiat-bin-bwe orang ini khusus kebal pada kulit muka karena memang kulit mukanya setebal badak,” kata
Yim Ngo-heng. “Tentang asal usul ilmu sakti ini sungguh luar biasa, dia adalah ciptaan Gak Put-kun, Gaksiansing,
itu ketua Hoa-san-pay yang termasyhur di dunia Kangouw pada masa ini.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Wah, jika demikian, sejak kini Gak-siansing pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat,
namanya akan tetap terkumandang abadi sepanjang masa,” kata Bun-thian.
“Itu sudah tentu,” sambung Yim Ngo-heng. “Hidup Gak-siansing! Hidup Hoa-san-pay!”
Begitulah seperti dagelan saja mereka terus tanya-jawab untuk mengolok-olok Gak Put-kun. Keruan muka
Gak-hujin merah padam. Sebaliknya Gak Put-kun seperti tidak tahu dan tidak dengar saja, ia masih terus
melancarkan serangan kepada Lenghou Tiong.
Tiba-tiba Gak Put-kun menusuk, ketika Lenghou Tiong mengelak ke kiri, mendadak Gak Put-kun menoleh
sambil memutar balik ujung pedangnya terus menusuk pula. Inilah suatu jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang
terkenal dengan nama “Long-cu-hwe-tau” (Si Anak Hilang Berpaling Kembali).
Waktu Lenghou Tiong menangkis, cepat Gak Put-kun putar pedangnya lagi dan menebas dari atas ke bawah,
yaitu jurus “Jong-siong-ging-khik” (Pohon Siong Tua Menyambut Tamu). Jurus ini sudah pernah dilihat Lenghou
Tiong pada macam-macam jurus serangan dari berbagai aliran yang terukir di dinding gua di puncak Hoa-san
dahulu. Maka dengan gampang saja pedangnya bergerak, ia menangkis sesuai dengan gaya ukiran di dinding
gua itu.
Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sama bersuara heran dari mana anak muda itu pun paham menggunakan
jurus demikian?
Tiba-tiba Gak Put-kun ganti diurus serangan, “sret-sret” dua tusukan telah membikin Lenghou Tiong terkesiap
dan terpaksa mundur dua tindak dengan wajah merah jengah dan berseru, “Suhu!”
Gak Put-kun mendengus dan kembali menusuk lagi. Kembali Lenghou Tiong mundur satu tindak.
Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang kikuk dan serbasusah, semua orang menjadi heran, “Serangan-serangan
gurunya itu hanya biasa saja, kenapa pemuda itu berbalik merasa jeri dan tidak mampu menangkis?”
Mereka tidak tahu bahwa ketiga jurus serangan Gak Put-kun terakhir itu adalah ilmu pedang ciptaan Lenghou
Tiong dan Gak Leng-sian di waktu latihan bersama dahulu, yaitu yang diberi nama “Tiong-leng-kiam-hoat”,
singkatan dari nama kedua muda-mudi itu.
Terciptanya ilmu pedang gabungan itu sebenarnya cuma terdorong oleh hubungan baik mereka berdua yang
masih kekanak-kanakan, mereka pikir Tiong-leng-kiam-hoat itu kelak hanya mereka berdua saja yang mampu
memainkan, maka di kala menggunakan ilmu pedang itu dalam lubuk hati mereka selalu timbul rasa bahagia
yang tak terkatakan. Sudah tentu mereka tidak berani menceritakan rahasia kepada para saudara
seperguruan, lebih-lebih tidak berani dikatakan kepada Gak Put-kun.
Siapa duga mendadak Gak Put-kun telah memainkan tiga jurus ilmu pedang itu pada saat demikian, keruan
Lenghou Tiong menjadi serbarunyam, merasa malu dan berduka pula. Padahal hubungannya dengan sumoay
sudah putus, sekarang sang guru sengaja mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang itu agar dia tersinggung
perasaannya dan berduka sehingga pikirannya menjadi kacau. “Ya, kalau mau bunuh aku biarlah kau bunuh
saja!” demikian katanya di dalam hati.
Sesaat itu Lenghou Tiong merasa daripada hidup merana di dunia ini ada lebih baik mati saja dan habis
perkara.
Menyusul Gak Put-kun menusuk lagi dengan satu jurus Hoa-san-kiam-hoat yang disebut “Long-giok-ji-siau”
(Long-giok Meniup Seruling), habis itu satu jurus lagi “Siau-su-seng-liong” (Siau-su Menunggang Naga).
Kedua jurus itu mengungkap suatu dongeng kuno tentang percintaan antara si gadis Long-giok dan jejaka
Siau-su. Si gadis sangat gemar meniup seruling, si jejaka sangat mahir meniup seruling, dia datang dengan
menunggang naga dan mengajar seni musik itu kepada si gadis, akhirnya dia dipungut mantu oleh orang tua si
gadis dan keduanya sama-sama naik surga.
Kini Gak Put-kun mengeluarkan lagi jurus serangan itu sehingga pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau. Ia
menangkis sebisanya sambil berpikir, “Kenapa suhu menggunakan jurus ini? Apakah dia sengaja hendak
membikin kacau pikiranku, kemudian membunuh aku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dilihatnya Gak Put-kun lantas menyerang lagi dengan tiga jurus Tiong-leng-kiam-hoat, lalu sejurus “Long-cuhwe-
tau” dan sejurus “Jong-siong-ging-khik”, kemudian tiga jurus Tiong-leng-kiam-hoat lagi, menyusul jurusjurus
“Long-giok-ji-siau” dan “Siau-su-seng-liong”, dan begitu seterusnya diselang-seling dan berulang
kembali.
Semula Lenghou Tiong merasa bingung, tapi kemudian ia menjadi paham, rupanya sang guru sengaja
menyadarkan dia dengan ilmu pedangnya itu, maksudnya supaya dia berpaling kembali ke jalan yang benar,
maka dia masih akan disambut dengan baik ke dalam Hoa-san-pay. Bahkan dengan Tiong-leng-kiam-hoat itu
jelas sang guru memberi isyarat bahwa beliau akan menjadikan siausumoay sebagai istrinya.
Masuk kembali ke Hoa-san-pay dan memperistrikan siausumoaynya adalah cita-cita yang selalu diharapkannya.
Merasa paham akan maksud yang terkandung dalam jurus-jurus serangan sang guru itu, seketika hati Lenghou
Tiong kegirangan dan dengan sendirinya wajahnya lantas berseri-seri.
Tapi kembali Gak Put-kun menyerang lagi dengan jurus-jurus tadi dengan lebih gencar. Mendadak Lenghou
Tiong sadar, “Suhu suruh aku berpaling kembali ke jalan yang benar, sudah tentu maksudnya suruh aku
membuang senjata dan mengaku kalah, dengan demikian aku baru bisa diterima kembali ke dalam Hoa-sanpay.
Apa yang kuharapkan lagi bilamana aku bisa kembali ke Hoa-san-pay dan menikah dengan siausumoay?
Akan tetapi, lantas bagaimana dengan Ing-ing, Yim-kaucu, dan Hiang-toako? Bila pertandingan ini aku kalah,
mereka bertiga harus tinggal di Siau-sit-san sini, bukan mustahil jiwa mereka pun akan melayang. Yang kupikir
hanya kesenangan dan kebahagiaanku sendiri dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbudi baik
kepadaku, apakah perbuatanku ini pantas?”
Terpikir sampai di sini, tanpa terasa keringat dingin membasahi punggungnya, pandangannya terasa kabur
juga, sekilas hanya kelihatan pedang Gak Put-kun berkelebat dan kembali menyerangnya pula dengan jurus “Si
Gadis Long-giok Meniup Seruling”.
Hati Lenghou Tiong terkutik lagi, pikirnya, “Waktu mula-mula kenal Ing-ing maksudku hendak belajar memetik
kecapi padanya. Dia sangat menyukai lagu ‘Hina Kelana’ yang dibawakan dengan seruling dan kecapi.
Kemudian dia mengajarkan aku lagu ‘Jing-sim-ciu’. Bila kelak aku sudah mahir memetik kecapi, lalu bersama
dia membawakan lagi ‘Hina Kelana’, bukankah dia yang akan meniup serulingnya? Padahal siausumoay tidak
pernah memikirkan diriku, sebaliknya aku selalu terkenang padanya, malahan terhadap Ing-ing yang rela
berkorban bagiku justru aku tidak memikirkannya, manusia tak berperasaan di dunia ini rasanya tiada yang
lebih rendah daripada diriku.”
Begitulah seketika yang terpikir olehnya adalah, “Betapa pun juga aku tidak boleh mengingkari kebaikan Inging.”
Dalam keadaan samar-samar itu mendadak terdengar “creng” satu kali, sebatang pedang telah jatuh ke tanah,
terdengar pula teriakan orang banyak di samping.
Tubuh Lenghou Tiong terhuyung ke belakang, ketika dia pentang mata, dilihatnya Gak Put-kun juga sedang
melompat mundur dengan wajah gusar, pergelangan kanannya tampak mengucurkan darah. Waktu Lenghou
Tiong memeriksa pedangnya sendiri, ujung pedang itu memang berlepotan darah segar.
Keruan ia terkejut. Baru sekarang ia menyadari ketika pikirannya kacau tadi dan menangkis serangan Gak Putkun
sekenanya, tanpa terasa ia telah mengeluarkan “Tokko-kiam-hoat” sehingga pergelangan tangan Gak Putkun
tertusuk.
Cepat Lenghou Tiong membuang senjatanya, ia mendekat dan berlutut di depan Gak Put-kun, katanya, “Suhu,
dosa Tecu pantas dihukum mati.”
Mendadak Gak Put-kun angkat sebelah kakinya, dengan tepat dada Lenghou Tiong kena ditendang. Betapa
hebat tenaga tendangan itu, kontan tubuh Lenghou Tiong mencelat ke atas dengan darah segar menyembur
keluar dari mulutnya. Seketika pandangan Lenghou Tiong menjadi gelap, dengan kaku ia terbanting ke bawah.
Namun ia sudah tidak tahu sakit lagi, ia sudah tidak sadar.
Entah lewat berapa lamanya, ketika merasa badannya rada dingin, perlahan-lahan Lenghou Tiong membuka
mata, terasa sinar api menyilaukan, kembali ia pejamkan mata lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terdengar Ing-ing berseru gembira, “Ayah, dia... dia sudah siuman.”
Tapi tidak terdengar suara jawaban Yim Ngo-heng.
Ketika Lenghou Tiong membuka mata lagi, dilihatnya sepasang mata Ing-ing yang jeli sedang menatap kesima
kepadanya, wajahnya penuh rasa girang dan bersyukur. Segera Lenghou Tiong bermaksud bangun, tapi Inging
telah mencegahnya dan berkata, “Jangan bangun, mengasolah sebentar lagi.”
Lenghou Tiong memandang sekitarnya, ternyata dirinya berada di dalam sebuah gua, di luar gua menyala
suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat pertandingannya dengan sang guru dan tertendang satu
kali. Segera ia tanya, “Di manakah suhu dan sunioku?”
“Masakah kau masih memanggil suhu padanya?” ujar Ing-ing. “Di dunia ini mungkin cuma ada seorang suhu
yang tidak tahu malu seperti dia. Kau terus mengalah padanya, tapi dia tetap tidak tahu diri sehingga akhirnya
sukar diselesaikan, malahan dia masih tega menendang kau. Syukur juga tulang kakinya tergetar patah.”
“Hah, tulang kaki suhuku patah?” seru Lenghou Tiong kaget.
“Masih untung dia tidak tergetar mati,” sahut Ing-ing tertawa. “Kata ayah, lantaran kau belum bisa
menggunakan Gip-sing-tay-hoat, bila tidak tentu kau takkan terluka.”
“Jadi aku telah melukai pergelangan suhu, lalu menggetar patah tulang kakinya, ai, aku ini....” demikian
Lenghou Tiong menggumam.
“Apakah kau menyesal?” tanya Ing-ing.
“Perbuatanku benar-benar tidak pantas,” sahut Lenghou Tiong. “Dahulu kalau suhu dan sunio tidak merawat
dan membesarkan aku, bukan mustahil aku sudah mati sejak dulu. Aku telah membalas budi dengan badi,
sungguh lebih rendah daripada binatang.”
“Berulang kali dia bermaksud membunuh kau, masakah kau tidak tahu? Kau telah mengalah padanya
sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang macam kau ke mana pun takkan
mati. Seumpama keluarga Gak tidak memiara kau, biarpun kau menjadi pengemis juga takkan mati kelaparan.
Dia sudah mengusir kau dari Hoa-san-pay, hubungan antara guru dan murid sudah lama putus, buat apa lagi
kau memikirkan dia?”
Sampai di sini Ing-ing menahan suaranya dan menyambung lagi, “Engkoh Tiong, demi diriku kau terpaksa
berlawanan dengan suhu dan suniomu, sungguh hatiku merasa....” tiba-tiba ia tidak meneruskan melainkan
terus tertunduk dengan kedua pipi bersemu merah jengah.
Sejak kenal Ing-ing, yang timbul dalam hati Lenghou Tiong melulu rasa hormat dan takut pada wibawa si nona.
Kini melihat Ing-ing menunjukkan sikap kikuk dan malu-malu kucing sebagaimana anak gadis umumnya, wajah
si nona yang tersorot oleh sinar api unggun menjadi tambah cantik luar biasa. Seketika perasaan Lenghou
Tiong terguncang, ia mengulur tangan untuk memegangi tangan kiri si nona, tapi sampai sekian lamanya ia
hanya bisa menghela napas saja, ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
“Kenapa kau menghela napas?” tanya Ing-ing dengan suara halus. “Apakah kau menyesal karena berkenalan
dengan aku?”
“Tidak, tidak!” sahut Lenghou Tiong cepat. “Mana bisa aku menyesal? Demi diriku kau rela mengorbankan
jiwamu di Siau-lim-si, selanjutnya biarpun badanku han... hancur lebur juga tidak cukup untuk membalas
budimu.”
“Kenapa kau bicara begini?” kata Ing-ing sambil menatap tajam. “Jadi sampai detik ini dalam hatimu masih
tetap anggap aku sebagai orang luar.”
Terasa malu juga dalam hati kecil Lenghou Tiong, memang selama ini dia merasa masih terpisah oleh sesuatu
dengan Ing-ing. Segera ia berkata, “Ya, akulah yang salah omong. Sejak kini aku akan berbaik kepadamu
dengan sesungguh hati.”
Sorot mata Ing-ing memancarkan rasa bahagia, katanya, “Engkoh Tiong, apakah ucapanmu ini sungguhDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sungguh atau cuma buat bohongi aku?”
“Jika aku membohongi kau, biarlah aku mati disambar geledek,” sahut Lenghou Tiong.
Perlahan-lahan Ing-ing menggenggam tangan Lenghou Tiong dengan kencang, ia merasa sejak lahir sampai
sekarang detik inilah paling berharga. Sekujur badan terasa hangat, ia berharap keadaan demikian akan kekal
abadi sepanjang masa.
Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Orang persilatan seperti kita mungkin ditakdirkan akan mati
dengan cara kurang baik. Kelak kalau kau ingkar janji padaku, aku pun tidak menginginkan kau mati disambar
geledek, tapi aku lebih suka... lebih suka menusuk mati kau dengan pedangku sendiri.”
Bab 99. Empat Manusia Salju
Tergetar hati Lenghou Tiong, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nona akan bicara demikian, ia
tercengang sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, “Memangnya jiwaku ini diselamatkan oleh kau dan
sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka setiap saat bila kau mau ambil boleh kau laksanakan saja.”
“Semua orang mengatakan kau adalah pemuda bangor, nyatanya kata-katamu memang nakal. Entah
mengapa, aku justru menyukai pemuda bangor seperti kau.”
“Bilakah aku pernah berbuat bangor padamu? Karena kau berkata demikian, aku menjadi mau berbuat bangor
padamu.”
Mendadak Ing-ing meloncat mundur, katanya dengan muka cemberut, “Aku menyukai kau, tapi kita harus
pakai aturan. Jika kau anggap aku sebagai perempuan murahan, maka salahlah pandanganmu.”
“Mana aku berani anggap kau sebagai perempuan murahan?” sahut Lenghou Tiong. “Kau adalah seorang nenek
agung yang melarang aku berpaling memandang padamu.”
Ing-ing tertawa, ia teringat pada permulaan berkenalan dengar Lenghou Tiong memang pemuda itu selalu
memanggil “nenek” padanya dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli ia lantas duduk kembali dalam jarak
rada jauh.
“Kau melarang aku nakal padamu, biarlah selanjutnya aku tetap memanggil nenek saja padamu,” kata Lenghou
Tiong dengan tertawa.
“Baik, cucu manis,” sahut Ing-ing tertawa geli.
“Nenek, aku....”
“Sudahlah, jangan panggil nenek lagi, nanti saja kalau 60 tahun lagi baru boleh panggil demikian.”
“Jika dipanggil mulai sekarang sampai 60 tahun lagi, maka tidak sia-sia hidupku ini,” ujar Lenghou Tiong.
Terguncang juga perasaan Ing-ing. Ia pikir kalau betul bisa hidup bersanding pemuda itu selama 60 tahun,
maka bahagialah hidupnya.
Dari sebelah samping Lenghou Tiong melihat hidung si nona yang mancung, alisnya panjang, mukanya sangat
halus. Pikirnya, “Nona secantik ini kenapa ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh Kangouw yang kasar-kasar
itu, pula rela berbuat apa pun baginya?”
Mestinya ia bermaksud tanya si nona, tapi urung.
“Kau ingin bicara apa, silakan berkata saja,” ujar Ing-ing.
“Selama ini aku tidak habis heran, mengapa Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain sedemikian takut kepadamu?”
“Ya, aku tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan tentu hatimu tetap tidak tenteram. Mungkin dalam batinmu
akan mengira aku adalah jin atau siluman.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tidak, tidak, aku anggap kau sebagai malaikat dewata yang berilmu mahasakti.”
“Dasar mulutmu memang suka omong tak keruan, pantas orang mengatakan kau pemuda nakal.”
“Jika kau anggap mulutku nakal, biarlah selamanya kau menanak nasi dan masak sayur yang enak-enak untuk
menyumbat mulutku saja.”
“Aku tidak pintar masak, panggang kodok saja sampai hangus.”
Lenghou Tiong menjadi teringat kepada waktu memanggang kodok di tepi kali tempo dahulu. Ia merasa saat
ini seakan-akan kembali pada suasana masa lampau itu.
Begitulah kedua muda-mudi itu saling pandang penuh arti, sampai agak lama mereka terdiam. Sejenak pula
barulah Ing-ing bicara lagi, “Ayahku sebenarnya adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, hal ini sudah diketahui
olehmu. Kemudian ayah telah masuk perangkap Tonghong Put-pay yang licik itu dan disekap di tempat yang
dirahasiakan. Tonghong Put-pay berdusta, katanya ayah meninggal di tempat yang jauh dan meninggalkan
pesan agar dia menjabat kaucu baru.
“Waktu itu usiaku masih terlalu muda, Tonghong Put-pay juga teramat cerdik dan licin, apa yang dia lakukan
sama sekali tidak mencurigakan aku. Untuk mengelabui orang luar, Tonghong Put-pay sengaja memperlakukan
aku dengan sangat baik, apa yang kukatakan selalu dia laksanakan. Sebab itulah kedudukanku di dalam agama
kami sangat diagungkan.”
“Apakah orang-orang Kangouw itu semuanya anggota Tiau-yang-sin-kau kalian?” tanya Lenghou Tiong.
“Tidak seluruhnya menjadi anggota, hanya mereka selamanya di bawah pengaruh kami, sebagian besar
pimpinan mereka pun sudah makan Sam-si-nau-sin-tan (Pil Pengganggu Saraf) kami.”
Lenghou Tiong mendengus mendengar nama obat itu.
“Sesudah makan obat itu,” sambung Ing-ing, “setiap tahun satu kali mereka harus makan obat penawarnya,
kalau tidak mereka tentu akan mati konyol bila racun yang terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Tonghong
Put-pay memperlakukan orang-orang Kangouw itu secara sangat bengis, sedikit tidak menyenangkan dia lantas
tidak diberinya obat penawar. Selalu aku yang mesti mintakan ampun bagi mereka dan memintakan obat
penawarnya.”
“O, kiranya demikian, jadi kau adalah penyelamat jiwa mereka,” ujar Lenghou Tiong.
“Sebenarnya juga bukan penyelamat apa-apa, soalnya mereka menyembah-nyembah dan minta-minta padaku,
terpaksa aku tidak tega dan tak bisa tinggal diam. Lama-lama aku menjadi bosan karena selalu meminta
pengampunan kepada Tonghong Put-pay, musim semi tahun lalu aku suruh keponakan Lik-tiok-ong mengiringi
aku keluar pesiar, tak terduga aku malah menemui kejadian aneh. Tak peduli ke mana aku pergi selalu jejakku
diketahui orang, selalu masih ada orang yang datang minta pertolongan padaku untuk mohon obat penawar.
Semula aku sangat heran, sebab ke mana aku pergi tak kukatakan kepada siapa-siapa melainkan Tonghong
Put-pay saja yang tahu. Maka, pastilah Tonghong Put-pay sendiri yang telah membocorkan jejakku yang
sangat dirahasiakan. Rupanya itu pun akalnya yang licin, dia sengaja membiarkan orang luar mendapat kesan
seakan-akan dia sangat menghormati aku dan segan padaku. Dengan demikian tentu tiada seorang pun yang
menyangsikan kedudukannya itu adalah hasil ‘kudeta’ secara keji.
“Sudah tentu beribu orang yang datang ke Siau-lim-si ini tidak semua pernah minum obat penawar yang
kumintakan. Tapi bila salah seorang pimpinan mereka pernah terima bantuanku, tentu anak buahnya merasa
utang budi juga padaku. Pula kedatangan mereka ke Siau-sit-san ini juga belum tentu demi diriku, besar
kemungkinan mereka datang atas panggilan Lenghou-tayhiap, mereka tidak berani mangkir.”
“Wah, baru setengah hari kau bergaul dengan aku sudah mahir putar lidah,” kata Lenghou Tiong.
Ing-ing mengikik tawa riang. Selama hidupnya di dalam Tiau-yang-sin-kau hanya menghadapi puji sanjung
belaka, siapa pun tidak berani membangkang perintahnya, lebih-lebih tiada seorang pun yang berani bergurau
padanya. Sekarang Lenghou Tiong bisa membanyol padanya, tentu saja sangat menggembirakan hatinya.
Selang sejenak Ing-ing berkata lagi dengan tersenyum, “Kau pimpin orang sebanyak itu datang ke sini
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memapak aku, sudah tentu aku sangat senang. Tadinya orang-orang Kangouw itu suka merasani diriku,
katanya aku jatuh hati padamu, sebaliknya kau adalah pemuda romantis yang suka main cinta di sembarang
tempat, hakikatnya tidak menaruh perhatian padaku...” sampai di sini suaranya menjadi perlahan, katanya
pula dengan perasaan hampa, “tapi setelah geger-geger ini, sedikitnya kau telah mengembalikan
kehormatanku bagi pandangan mereka itu. Seumpama aku mati juga takkan... takkan menanggung sangkaan
jelek lagi.”
“Kau yang membawa aku ke Siau-lim-si dan minta pengobatan bagiku, waktu itu aku benar-benar tidak
mengetahui sama sekali. Kemudian aku terkurung di bawah Danau Se-ouw, setelah lepas dan mengetahui
duduknya perkara, lalu datang memapak dikau, namun engkau sudah cukup banyak menderita.”
“Sebenarnya aku pun tidak menderita kesukaran apa-apa selama dikurung di belakang gunung Siau-lim-si. Aku
disekap sendirian di suatu rumah batu, setiap sepuluh hari tentu datang seorang hwesio tua mengantarkan
perbekalan bagiku. Selain itu aku tidak pernah melihat siapa-siapa lagi. Sampai akhirnya Ting-sian dan Tingyat
Suthay datang ke Siau-lim-si, aku telah dikeluarkan untuk menemui mereka, di situ aku baru mengetahui
ketua Siau-lim-si itu hakikatnya tidak pernah mengajarkan Ih-kin-keng padamu, juga tidak pernah mengobati
penyakitmu. Aku menjadi marah demi mengetahui aku tertipu, aku mencaci maki hwesio tua Siau-lim-si itu.
Ting-sian Suthay lantas menghibur aku, katanya kau sehat walafiat, katanya pula engkau yang suruh kedua
suthay itu datang ke Siau-lim-si buat memintakan pembebasanku.”
“Sesudah mendengar demikian barulah kau tidak mencaci maki dia lagi?” tanya Lenghou Tiong.
“Ketua Siau-lim-si itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dia. Katanya, ‘Lisicu, waktu itu
Lolap berjanji akan mengajarkan Ih-kin-keng kepada Lenghou-siauhiap untuk memunahkan macam-macam
hawa murni yang mengacau di dalam tubuhnya itu, apabila Lenghou-siauhiap mau masuk Siau-lim-si dan dapat
kuterima sebagai muridku. Namun Lenghou-siauhiap menolak anjuranku itu, maka aku pun tidak dapat
memaksa dia. Pula waktu kau memanggul dia ke sini, tatkala itu keadaannya sangat payah, tapi ketika dia
meninggalkan pegunungan ini, biarpun penyakitnya belum sembuh, namun sudah bisa berjalan seperti biasa,
untuk mana sedikit-banyak Siau-lim-si juga berjasa baginya.’
“Kupikir ucapannya juga benar, aku lantas berkata, ‘Habis kenapa kau menahan aku di sini? Bukankah kau
sengaja menipu aku?’”
“Ya, memangnya dia tidak pantas mendustai kau,” ujar Lenghou Tiong.
“Tapi ada juga alasannya yang masuk akal. Hwesio tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di Siau-lim-si justru
dia berharap akan dapat melenyapkan rasa congkakku. Huh, benar-benar ngaco-belo belaka,” Aku lantas
menjawab, ‘Kau sudah begini tua, tapi suka mengakali anak kecil seperti kami, kau tahu malu tidak?’
“Hwesio tua itu tertawa dan berkata, ‘Waktu itu kau sendiri yang rela berkorban bagi keselamatan Lenghousiauhiap.
Meski kami tidak jadi menyembuhkan Lenghou-siauhiap, tapi jiwamu juga tidak kami ganggu.
Sekarang mengingat kehormatan Ting-sian dan Ting-yat Suthay, bolehlah kau pergi dari sini.’
“Begitulah aku lantas dibebaskan dan turun gunung bersama kedua tokoh Hing-san-pay itu. Di bawah gunung
kami ketemu Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong, dia memberi tahu bahwa kau sedang dalam perjalanan bersama
ribuan orang akan memapak aku ke Siau-lim-si.
“Kedua suthay menjadi khawatir dan tak bisa tinggal diam, segera mereka menyusul lagi ke atas gunung
dengan maksud mencari kau untuk menghindarkan pertumpahan darah kedua pihak. Tak terduga maksud
luhur kedua suthay yang berkepandaian tinggi itu justru bisa tewas di dalam Siau-lim-si.”
Habis berkata Ing-ing menghela napas panjang penuh penyesalan.
“Ya, entah siapakah yang menurunkan tangan keji kepada beliau-beliau itu,” kata Lenghou Tiong gegetun.
“Pada tubuh kedua suthay itu tiada tanda-tanda luka, cara bagaimana tewasnya juga tidak diketahui.”
“Tanda luka jelas ada, siapa yang bilang tidak ada?” sahut Ing-ing. “Ketika ayah, Hiang-sioksiok, dan aku
melihat jenazah kedua suthay itu menggeletak di dalam Siau-lim-si, aku telah coba membuka baju mereka dan
memeriksa badannya, kulihat bagian ulu hati masing-masing ada suatu titik merah bekas tusukan jarum. Jelas
mereka tewas tertusuk oleh jarum berbisa.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Hahhh!” Lenghou Tiong melonjak kaget. “Jarum berbisa? Di dunia persilatan sekarang siapakah yang memakai
jarum berbisa?”
“Ayah dan Hiang-sioksiok yang berpengalaman luas juga tidak tahu. Menurut ayah, katanya itu bukan jarum
berbisa, tapi adalah sejenis senjata yang ditusukkan kepada bagian fatal sehingga korbannya mati seketika.
Cuma tusukan kepada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada menceng sedikit.”
“Benar. Waktu aku menemukan Ting-sian Suthay, beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah
ulu hati, maka jelas bukan serangan gelap, tapi pertarungan berhadapan. Tentunya pembunuh kedua suthay
itu pasti orang kosen yang mahalihai.”
“Ya, ayahku pun berkata demikian. Dengan sedikit data-data itu rasanya takkan sulit menemukan
pembunuhnya kelak.”
Mendadak Lenghou Tiong menggaplok dinding gua, katanya, “Ing-ing, selama kita masih bernapas, kita harus
menuntut balas bagi kedua suthay yang baik hati itu.”
“Benar,” sahut Ing-ing mantap.
Sambil duduk bersandar dinding gua, Lenghou Tiong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa, dada
juga tidak merasa sakit, ia menjadi heran, katanya, “Aneh, aku telah ditendang begitu keras oleh suhuku,
kenapa seperti tidak terluka apa-apa dadaku.”
“Kata ayah kau telah mempelajari Gip-sing-tay-hoat-nya, dalam badanmu sudah tidak sedikit menyedot tenaga
dalam orang lain. Maka kekuatan lwekangmu sesungguhnya sudah beberapa kali lebih kuat daripada gurumu.
Tatkala itu kau sampai muntah darah, soalnya kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan
gurumu. Namun lwekangmu yang mahakuat itu telah melindungi tubuhnya sehingga lukamu teramat ringan.
Setelah ayah mengurut-urut tubuhmu, sementara ini kesehatanmu sudah pulih kembali. Cuma patahnya tulang
kaki gurumu itu sebaliknya adalah kejadian aneh. Sudah setengah hari ayah memikirkan hal itu dan tetap tidak
tahu sebab musababnya.”
“Kekuatan lwekangku yang menggetar kembali tendangan suhu itu sehingga mematahkan tulang kakinya,
kenapa hal ini mesti diherankan?” ujar Lenghou Tiong.
“Bukan begitu halnya,” sahut Ing-ing. “Kata ayah, tenaga dalam berasal dari orang lain itu harus bisa
digunakan dengan lancar barulah bisa dipakai menyerang lawan. Tapi tetap kalah setingkat bila dibandingkan
lwekang yang berhasil diyakinkan oleh dirimu sendiri.”
“Kiranya demikian,” kata Lenghou Tiong. Karena tidak paham persoalannya, maka ia pun tidak mau banyak
pikir lagi. Ia hanya merasa tidak enak karena telah membikin patah tulang kaki sang guru. Pikirnya, “Lantaran
diriku siausumoay sampai dilukai oleh Gi-ho Sumoay. Sekarang bukan saja suhu juga terluka, bahkan aku telah
membuatnya malu di depan orang banyak. Dosaku ini betapa pun sukar ditebus lagi.”
Untuk sekian lamanya mereka terdiam, suasana sunyi, hanya terkadang terdengar suara letikan kayu api yang
terbakar di luar gua itu. Tertampak salju bertebaran dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan salju di
atas Siau-sit-san kemarin.
Dalam keadaan sunyi senyap itu, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar di sebelah barat gua sana ada suara
orang bernapas dengan berat. Segera ia pasang telinga buat mendengarkan lebih cermat.
Lwekang Ing-ing tidak setinggi Lenghou Tiong, ia tidak dapat mendengar suara itu, tapi melihat gerak-gerik
pemuda itu ia lantas tanya, “Kau mendengar suara apa?”
“Seperti orang bernapas, entah siapa yang datang,” sahut Lenghou Tiong. “Di mana ayahmu?”
“Ayah dan Hiang-sioksiok bilang mau jalan-jalan keluar,” kata Ing-ing dengan wajah merah. Ia tahu maksud
ayahnya mengatakan begitu adalah sengaja memberi kesempatan padanya agar bisa bicara lebih asyik dan
mesra melipur perasaan rindu selama berpisah ini.
Sementara itu Lenghou Tiong mendengar lagi suara orang bernapas, katanya segera, “Marilah kita keluar
melihatnya.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mereka keluar gua, terlihat bekas kaki Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sudah hampir lenyap tertutup oleh
salju.
“Dari situlah datangnya suara napas orang itu,” kata Lenghou Tiong sambil menunjuk ke arah bekas-bekas
kaki. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li jauhnya, setelah membelok suatu lintasan
bukit, mendadak di tanah salju sana kelihatan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian berdiri sejajar tanpa
bergerak.
Mereka terkejut dan cepat memburu ke sana. “Ayah!” seru Ing-ing, segera ia pegang sebelah tangan Yim Ngoheng.
Tak terduga, begitu menempel tangan sang ayah, seketika seluruh badan Ing-ing tergetar, terasa suatu arus
hawa mahadingin menyalur tiba dari tangan ayahnya sehingga dia kedinginan.
“Ayah, kau... kau kenapa....” belum habis ucapannya badan sudah gemetar, gigi berkertukan. Tapi ia lantas
paham duduknya perkara, tentu keadaan ayahnya itu adalah akibat tutukan maut Co Leng-tan dan sekarang
Hiang Bun-thian sedang membantu sang ayah melawan serangan hawa dingin dengan segenap lwekangnya.
Mula-mula Lenghou Tiong juga tidak paham, dilihatnya wajah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sangat
prihatin, menyusul Yim Ngo-heng bernapas lagi beberapa kali dengan berat, baru sekarang ia tahu suara napas
yang didengarnya tadi kiranya berasal dari Yim Ngo-heng.
Ketika dilihatnya badan Ing-ing juga menggigil kedinginan, tanpa pikir ia lantas pegang tangan si nona.
Sekejap saja hawa dingin itu pun menyusup ke dalam tubuhnya. Seketika pahamlah Lenghou Tiong bahwa Yim
Ngo-heng telah terserang oleh hawa dingin musuh dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk
membuyarkan hawa dingin itu. Segera ia menggunakan cara yang pernah dipelajari dari ilmu yang terukir di
atas papan besi di penjara bawah Se-ouw dahulu itu, perlahan-lahan ia membuyarkan hawa dingin yang
menyusup ke dalam tubuhnya.
Mendapat bantuan Lenghou Tiong itu, seketika hati Yim Ngo-heng merasa lega. Maklumlah, biarpun lwekang
Hiang Bun-thian dan Ing-ing cukup tinggi, tapi tidaklah sama dengan lwekang yang diyakinkan Yim Ngo-heng,
mereka hanya bisa membantu lawan hawa dingin dengan lwekang, tapi tak bisa membuyarkan hawa dinginnya.
Dengan bantuan Lenghou Tiong yang tepat itu, sedikit demi sedikit Lenghou Tiong menarik “Han-giok-cin-gi”
yang dicurahkan Co Leng-tan ke tubuh Yim Ngo-heng itu, lalu dibuyarkan keluar sehingga racun dingin yang
mengeram di tubuh Yim Ngo-heng semakin berkurang.
Begitulah mereka berempat tangan bergandengan tangan berdiri kaku di tanah salju itu seperti patung, bunga
salju masih terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun dari kepala sampai kaki mereka tertutup semua
oleh salju.
Sambil mengerahkan tenaga Lenghou Tiong merasa heran pula kenapa bunga salju yang menimpa mukanya
tidak mencair? Sebaliknya malah terus menempel dan membeku dan makin tebal.
Ia tidak tahu bahwa “Han-giok-cin-gi” yang diyakinkan Co Leng-tan itu sangat lihai, hawa dingin yang
dipancarkan itu jauh lebih dingin daripada salju. Kini kulit badan mereka berempat sudah sedingin es, hanya
dalam badan saja yang masih hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa mereka tidak mencair,
sebaliknya makin tertimbun dan makin keras.
Selang agak lama, cuaca mulai terang, tapi salju masih turun dengan lebatnya. Lenghou Tiong khawatir badan
Ing-ing yang lemah itu tidak tahan serangan hawa dingin dalam waktu lama, tapi ia merasa racun dingin di
tubuh Yim Ngo-heng itu belum terkuras bersih, meski suara napasnya yang berat sudah tidak terdengar lagi,
entah boleh berhenti tidak pertolongannya itu, kalau berhenti apakah akan terjadi akibat lain tidak?
Karena ragu-ragu, terpaksa ia meneruskan bantuan lwekangnya kepada Yim Ngo-heng. Syukurlah dari tapak
tangan Ing-ing yang digenggamnya itu dapat dirasakan badan si nona sudah tidak menggigil lagi, dapat pula
dirasakan denyut nadi di tapak si nona.
Dalam keadaan terbungkus oleh salju yang tebal, bagian mata juga terlapis salju beberapa senti tebalnya,
lapat-lapat Lenghou Tiong cuma bisa merasakan cuaca sudah terang, tapi tak bisa melihat apa-apa.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tanpa menghiraukan urusan lain Lenghou Tiong terus mengerahkan tenaganya, ia berharap selekasnya racun
dingin di tubuh Yim Ngo-heng akan dapat dipunahkan seluruhnya.
Entah berapa lama lagi, tiba-tiba dari jurusan timur laut yang jauh sana terdengar suara derapan kaki kuda dan
makin lama makin mendekat. Kemudian terdengar jelas yang datang ada dua penunggang kuda, yang satu di
depan dan yang lain di belakang. Menyusul lantas terdengar seruan seorang, “Sumoay, Sumoay, dengarkan
aku dulu!”
Meski kedua telinga juga tertutup oleh salju tebal, tapi dapat didengarnya dengan jelas bahwa suara itu bukan
lain adalah suara bekas gurunya, yaitu Gak Put-kun.
Terdengar suara berdetak-detak kaki kuda yang tidak berhenti, lalu suara Gak Put-kun berseru lagi, “Kau tidak
paham seluk-beluknya lantas uring-uringan, hendaklah kau dengarkan ceritaku dulu.”
Lalu terdengar Gak-hujin berseru, “Aku merasa kesal sendiri, peduli apa dengan urusanmu? Apa lagi yang perlu
diceritakan?”
Dari suara seruan mereka serta suara kaki kuda, terang Gak-hujin berada di depan dan disusul oleh Gak Putkun
dari belakang.
Lenghou Tiong menjadi heran, pikirnya, “Perangai sunio biasanya sangat halus dan tidak pernah ribut mulut
dengan suhu, entah apa sebabnya sekali ini suhu telah membikin marah padanya?”
Terdengar kuda tunggangan Gak-hujin semakin mendekat, mendadak terdengar dia bersuara heran, menyusul
kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak dia menahan tali kendali sehingga kudanya berhenti
mendadak dengan kedua kaki depan terangkat.
Selang sejenak Gak Put-kun telah menyusul tiba, katanya, “Di tanah pegunungan ini ternyata ada orang
menimbun empat orang-orangan salju. Sumoay, bagus dan mirip sekali orang-orang salju itu, bukan?”
Gak-hujin hanya mendengus saja tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda, tapi jelas ia pun
sangat tertarik oleh empat orang-orangan salju yang dikatakan itu.
Baru saja Lenghou Tiong merasa heran dari manakah di tanah pegunungan luas ini ada empat orang-orangan
salju, tapi segera ia menjadi paham, “Ya, kami berempat tertimbun salju sedemikian tebalnya sehingga suhu
dan sunio menyangka kami sebagai orang-orangan salju.”
Lalu terdengar Gak Put-kun berkata, “Di sini tiada tanda-tanda bekas kaki, kukira orang-orangan salju ini
sudah dibuat beberapa hari yang lalu. Sumoay, bukankah tiga di antaranya seperti lelaki dan satu perempuan?”
“Tampaknya hampir sama saja, masakah ada perbedaannya?” ujar Gak-hujin, lalu ia membentak kudanya
hendak dilarikan.
Cepat Gak Put-kun menahan tali kendali kuda istrinya dan berkata, “Sumoay, kenapa kau terburu-buru? Di sini
tiada orang lain, marilah kita berunding secara panjang.”
“Terburu-buru apa, aku hanya mau pulang ke Hoa-san, kau suka mengekor kepada Co Leng-tan boleh pergi
sendiri saja ke Ko-san,” sahut Gak-hujin.
“Siapa bilang aku mau mengekor Co Leng-tan? Sebagai ketua Hoa-san-pay yang terhormat buat apa aku mesti
tunduk kepada Ko-san-pay?”
“Itulah, justru aku tidak paham mengapa sebagai ketua Hoa-san-pay kau justru mau tunduk kepada Co Lengtan
dan terima perintahnya? Sekalipun dia adalah bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay, tapi juga tidak boleh
mencampuri urusan dalam Hoa-san-pay kita. Bila kelima golongan dilebur menjadi satu, lalu nama Hoa-sanpay
dapatkah dipertahankan lagi di dunia persilatan? Dahulu waktu suhu menyerahkan jabatan ciangbun
kepadamu, pesan apa saja yang beliau tinggalkan kepadamu?!”
“Suhu menghendaki aku mengembangkan kejayaan Hoa-san-pay,” sahut Gak Put-kun.
“Nah, itu dia. Sekarang bila kau menggabungkan Hoa-san-pay ke dalam Ko-san-pay, cara bagaimana kau akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bertanggung jawab kepada mendiang guru kita? Biarpun kecil Hoa-san-pay harus berdiri sendiri daripada
bersandar kepada orang lain.”
Gak Put-kun menghela napas, katanya, “Sumoay, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Ting-sian dan
Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay jika dibandingkan kita?”
“Tidak pernah bertanding, tapi kukira juga sembabat. Buat apa kau tanya soal ini?”
“Aku pun berpendapat demikian. Kedua suthay itu tewas di Siau-lim-si, jelas Co Leng-tan yang membunuh
mereka,” kata Put-kun.
Mendengar sampai di sini, hati Lenghou Tiong tergetar. Memangnya ia pun mencurigai Co Leng-tan yang
membunuh pimpinan-pimpinan Hing-san-pay itu, orang lain rasanya juga tidak memiliki kepandaian setinggi
itu.
“Lantas bagaimana jika itu perbuatan Co Leng-tan? Bila kau ada bukti nyata, seharusnya kau undang seluruh
kesatria sejagat dan sama-sama mendatangi Co Leng-tan untuk membalas sakit hati kedua suthay.”
Kembali Gak Put-kun menghela napas, katanya, “Pertama memang tidak ada bukti. Kedua, kekuatan kita tak
bisa melawannya.”
“Mengapa tidak bisa melawannya? Kita dapat menampilkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si dan Tiong-hi dari
Bu-tong-pay, apakah Co Leng-tan berani?”
“Tapi sebelum beliau-beliau itu dapat kita undang, kukhawatir kita suami istri sudah mengalami nasib seperti
kedua suthay itu,” ujar Put-kun menghela napas.
“Kau maksudkan kita akan dibunuh juga oleh Co Leng-tan? Hm, sebagai orang persilatan masakah kita harus
takut menghadapi risiko demikian? Kalau takut ini dan takut itu, cara bagaimana kau akan berkecimpung di
dunia Kangouw?”
Alangkah kagumnya Lenghou Tiong terhadap sang ibu-guru itu. Pikirnya, “Biarpun kaum wanita, tapi jiwa
kesatria sunio harus dipuji.”
“Kita tidak takut mati, tapi apa faedahnya pengorbanan kita?” ujar Put-kun. “Kalau Co Leng-tan membunuh
kita secara menggelap, kita mati dengan tidak terang seluk-beluknya, akhirnya dia toh tetap mendirikan Ngogak-
kiam-pay-nya, bukan mustahil dia malah akan menjatuhkan sesuatu fitnah keji atas diri kita.”
Gak-hujin terdiam.
Gak Put-kun lantas menyambung pula, “Bila kita mati, maka anak murid Hoa-san-pay tentu juga akan menjadi
mangsa empuk Co Leng-tan, masakah mereka sanggup melawannya? Pendek kata, betapa pun kita harus
memikirkan diri Leng-sian.”
Gak-hujin berdehem perlahan, agaknya hatinya terpengaruh juga oleh kata-kata sang suami. Selang sejenak
baru berkata, “Seumpama sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu muslihat Co Leng-tan, tapi kenapa
kau malah memberikan Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Peng-ci kepada orang she Co itu? Bukankah itu berarti
membantu kejahatannya sehingga mirip harimau tumbuh sayap?”
“Itu pun merupakan rencanaku dalam jangka panjang,” kata Gak Put-kun. “Jika aku tidak memberikan kitab
pusaka yang menjadi impian setiap orang bu-lim, tentu sukar membikin dia percaya akan kesungguhan hatiku
untuk bekerja sama dengan dia. Semakin dia tidak menaruh curiga padaku, semakin bebaslah tindak tanduk
kita. Nanti kalau waktunya sudah masak barulah kita membongkar kedoknya dan bersama para kesatria
seluruh jagat membinasakan dia.”
Pada saat itulah mendadak Lenghou Tiong merasa kepalanya tergetar seperti ditabok oleh tangan orang,
keruan ia terkejut, “Wah, celaka, mungkin penyamaran kami ini ketahuan mereka. Selagi racun dingin Yimkaucu
belum punah sama sekali, apa yang harus kulakukan jika suhu dan sunio menyerang aku?”
Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ing-ing juga tergetar beberapa kali, diduganya tentu
perasaan Yim Ngo-heng juga tidak tenteram. Tapi sesudah kepalanya ditabok orang, lalu tiada sesuatu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kejadian lagi.
Terdengar Gak-hujin bicara pula, “Kemarin waktu kau bertanding dengan Tiong-ji, berulang-ulang kau telah
memainkan jurus-jurus Long-cu-hwe-tau, Jong-siong-ging-khik, dan sebagainya, apa artinya itu?”
“Hehe, meski kelakuan bangsat cilik itu tidak senonoh, betapa pun dia adalah anak yang kita piara sejak kecil,
rasanya sayang jika melihat dia sampai tersesat, maka bila dia mau berpaling kembali ke jalan yang benar, aku
pun bersedia menerima dia kembali ke dalam Hoa-san-pay.”
“Bahkan maksudmu akan menjodohkan Anak Sian kepadanya, bukan?” tanya Gak-hujin.
“Ya, memang,” sahut Gak Put-kun.
“Isyarat yang kau berikan waktu itu hanya sebagai siasat saja atau memang benar-benar berniat begitu?”
tanya pula Gak-hujin.
Gak Put-kun terdiam. Segera Lenghou Tiong merasa kepalanya diketok-ketok perlahan lagi oleh orang. Maka
tahulah dia pasti sembari berpikir Gak Put-kun menggunakan tangannya menabok-nabok perlahan di atas
kepala orang-orangan salju, jadi penyamaran Lenghou Tiong berempat belum lagi diketahui olehnya.
Sejenak baru terdengar Gak Put-kun menjawab, “Seorang laki-laki harus pegang janji, sekali aku sudah
menyanggupi dia tentu tidak boleh ingkar janji.”
“Dia sangat kesengsem kepada perempuan siluman Mo-kau itu, masakah kau tidak tahu?” ujar Gak-hujin.
“Tidak, terhadap perempuan siluman Mo-kau itu dia hanya segan dan takut, kesengsem sih belum tentu,” ujar
Put-kun. “Masakah kau tidak dapat membedakan bagaimana sikap biasanya terhadap Anak Sian daripada
terhadap perempuan siluman itu?”
“Sudah tentu aku dapat melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum melupakan Anak Sian?”
“Bukan saja tidak lupa, bahkan boleh dikata sangat rindu,” kata Gak Put-kun. “Tidakkah kau menyaksikan
betapa senangnya dia waktu mengetahui arti dari jurus-jurus seranganku itu?”
“Justru karena itu, maka kau telah menggunakan Anak Sian sebagai umpan untuk memancing dia agar sengaja
mengalah padamu, bukan?”
Meski kupingnya tertutup oleh salju, tapi dapat pula Lenghou Tiong mendengar kata-kata sang sunio yang
bernada marah dan menyindir itu. Padahal nada demikian selamanya tak pernah diucapkan oleh sang sunio
terhadap suaminya. Betapa pun ibu guru itu selalu menghormati kedudukan sang suami sebagai ketua suatu
aliran persilatan yang disegani. Tapi sekarang dia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir, hal ini
menandakan betapa tidak senang hatinya terhadap sang suami.
Terdengar Gak Put-kun menghela napas panjang, katanya, “Sampai kau pun tidak paham maksud tujuanku,
apalagi orang luar. Padahal bukan untuk kepentingan diriku pribadi, tapi adalah demi kehormatan Hoa-san-pay
kita. Jika aku dapat menyadarkan Lenghou Tiong sehingga dia masuk kembali Hoa-san-pay, maka ini berarti
satu usaha empat keuntungan, suatu kejadian yang sangat bagus.”
“Satu usaha empat keuntungan apa?” tanya Gak-hujin.
“Seperti kau mengetahui, entah dari mana mendadak Lenghou Tiong mendapat ajaran ilmu pedang ajaib dari
Hong-susiok. Jika dia kembali ke dalam Hoa-san-pay, itu berarti wibawa Hoa-san-pay kita akan tambah
cemerlang, ini adalah keuntungan pertama. Dengan demikian tipu muslihat Co Leng-tan akan mencaplok Hoasan-
pay tentu sukar terlaksana, bahkan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay juga bisa
diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia masuk kembali Hoa-san-pay, itu berarti pihak cing-pay
kita bertambah suatu jago kelas wahid, sebaliknya pihak sia-pay akan menjadi lemah kehilangan seorang
pembantu yang diandalkan, ini adalah keuntungan ketiga. Betul tidak, Sumoay?”
Agaknya Gak-hujin merasa tertarik juga oleh uraian sang suami itu, lalu ia bertanya, “Dan keuntungan yang
keempat?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Keuntungan keempat ini lebih meyakinkan lagi. Tiong-ji adalah kita yang membesarkan, kita sendiri tidak
punya putra, selama ini kita anggap dia sebagai putra kandung kira sendiri. Bahwa dia tersesat ke jalan yang
tidak baik sesungguhnya aku pun sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa artinya nama kosong bagiku di dunia
fana ini? Asalkan dia bisa kembali ke jalan yang baik, sekeluarga kita dapat berkumpul kembali dengan
bahagia, bukankah ini suatu peristiwa yang menggembirakan?”
Mendengar sampai di sini, alangkah terharunya Lenghou Tiong sehingga air matanya berlinang-linang di
kelopak matanya, hampir-hampir ia berteriak, “Suhu, Sunio!”
Syukur terasa olehnya tangan Ing-ing yang digenggamnya itu rada tergetar sehingga seruannya itu urung
dikeluarkan.
“Peng-ci dan Anak Sian berdua sangat cocok satu sama lain, masakah kau tega memisahkan mereka dan
membikin Anak Sian menyesal selama hidup?” tanya Gak-hujin.
“Apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikan Anak Sian pula,” sahut Put-kun.
Bab 100. Isi Hati Ketua Hoa-san-pay
“Demi kebaikan Anak Sian? Padahal Peng-ci adalah yang baik dan sopan, apanya yang kurang baik?”
“Meski Peng-ci sangat giat belajar, tapi kalau dibandingkan Lenghou Tiong adalah seperti langit dan bumi,
biarpun dia naik kuda selama hidup ini juga sukar menyusulnya.”
“Apakah ilmu silatnya tinggi mesti suami yang baik? Aku sih mengharapkan Tiong-ji bisa kembali ke jalan yang
baik dan masuk kembali ke perguruan kita. Tapi dia suka yang baru dan bosan yang lama, dia gemar minum
(arak) dan tingkah lakunya kurang baik, betapa pun kebahagiaan Anak Sian tidak boleh dikorbankan.”
Mendengar ucapan sang ibu-guru itu, seketika Lenghou Tiong berkeringat dingin. Pikirnya, “Penilaian Sunio
atas diriku memang tepat. Tapi... tapi bila aku dapat memperistrikan siausumoay, masakah aku bisa
mengecewakan dia? Tidak, sekali-kali tidak.”
Terdengar Gak Put-kun menghela napas dan berkata pula, “Tapi usahaku toh percuma saja, bangsat cilik itu
sudah kejeblos terlalu mendalam dan sukar menginsafkan dia, apa yang kita bicarakan ini hanya sia-sia belaka.
Sumoay, apakah kau masih marah padaku?”
Gak-hujin tidak menjawab. Selang sebentar kemudian baru berkata, “Apakah kakimu kesakitan?”
“Hanya luka luar saja, sebulan dua bulan saja tentu akan sembuh,” sahut Gak Put-kun. “Aku dikalahkan
bangsat cilik itu, aku tidak punya muka buat bertemu dengan orang lagi. Marilah kita berangkat pulang ke Hoasan
saja.”
Terdengar Gak-hujin menghela napas, lalu suara derapan kaki kuda yang makin lama makin menjauh.
Seketika itu pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau, ia merenungkan kembali percakapan kedua orang tua tadi
sehingga lupa mengerahkan tenaga. Sekonyong-konyong arus hawa dingin menerjang tiba dari telapak tangan
sehingga membuatnya menggigil, seluruh badan terasa kedinginan sampai merasuk tulang, lekas-lekas ia
mengerahkan tenaga untuk menahan serangan hawa dingin itu. Saking tergesa-gesanya, tiba-tiba saluran
tenaga di bagian bahu kiri terasa macet, terhalang dan tak bisa lancar. Ia menjadi gelisah dan mengerahkan
tenaga terlebih kuat.
Ia tidak tahu bahwa jalannya tenaga dalam itu harus mengutamakan kewajaran, dia meyakinkan Gip-sing-tayhoat
berdasarkan apa yang terukir di papan besi itu, jadi belajar tanpa guru, tapi titik-titik penting yang
terperinci sama sekali tidak mendapat petunjuk dari seorang guru yang mahir, maka caranya menjadi ngawur,
semakin dia mengerahkan tenaga, semakin kaku dan macet. Mula-mula lengan kiri ikut kaku perlahan-lahan,
menyusul rasa kaku menurun ke iga kiri, pinggang kiri, terus menurun lagi hingga paha kiri juga terasa kaku.
Keruan dia sangat cemas, segera ia bermaksud berteriak, “Tolong!”
Tapi begitu bermaksud pentang mulut, terasalah bibirnya juga sudah kaku dan sukar bergerak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Pada saat itulah terdengar pula suara derapan kaki kuda, kembali ada dua penunggang kuda mendatangi.
Terdengar suara seorang berkata, “Di sini banyak terdapat bekas-bekas tapak kuda, tentu ayah dan ibu tadi
berhenti di sini.”
Itulah suaranya Gak Leng-sian. Keruan kejut dan girang pula hati Lenghou Tiong. Katanya di dalam hati,
“Kenapa siausumoay datang juga ke sini?”
Lalu terdengar seorang lagi berkata, “Kaki Suhu terluka, jangan sampai beliau mengalami apa-apa lagi, lekas
kita menyusul ke sana mengikuti jejak kuda.”
Jelas ini suaranya Lim Peng-ci.
Tiba-tiba Gak Leng-sian berseru, “He, Siau-lim-cu, coba lihat, bagus sekali keempat orang-orangan salju ini,
satu sama lain bergandengan tangan.”
“Sekitar sini seperti tiada penduduk, kenapa ada orang main tumpuk orang-orangan salju di sini?” ujar Lim
Peng-ci.
“Eh, maukah kita pun membangun dua orang-orangan salju?” ajak Leng-sian dengan tertawa.
“Bagus, kita membikin satu laki dan satu perempuan, keduanya juga tangan bergandeng tangan,” sahut Pengci.
Segera Leng-sian melompat turun dari kudanya, lalu mulai mengeruk salju dan ditimbun.
Tapi Peng-ci berkata pula, “Lebih baik kita menyusul Suhu dan Sunio saja. Nanti kalau sudah bertemu beliaubeliau
barulah kita main orang-orangan salju.”
“Kau selalu melenyapkan kesenangan orang,” sahut Leng-sian. “Meski kaki ayah terluka, tapi dia menunggang
kuda, apalagi didampingi ibu, masakah khawatir diganggu orang? Tatkala beliau berdua malang melintang di
dunia Kangouw dahulu kau sendiri belum lahir.”
“Tapi sebelum kita ketemu Suhu dan Sunio, rasanya tidak tenteram untuk main-main di sini,” kata Peng-ci.
“Baiklah, aku menurut kau. Tapi sesudah bertemu ayah dan ibu nanti kau harus menemani aku membikin dua
orang-orangan salju yang bagus.”
“Sudah tentu,” sahut Peng-ci.
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui ketulusan dan kepolosan hati Lim Peng-ci dengan jawaban yang bersahaja
itu. Coba kalau dirinya tentu akan menjawab, “Baiklah, akan kita bikin orang-orangan salju secantik kau.”
Terpikir pula olehnya jika dirinya yang diminta menemani sang sumoay untuk membikin orang-orangan salju,
tentu tanpa menghiraukan urusan lain akan disetujuinya. Tapi siausumoay justru menuruti kemauan Lim-sute,
sedikit pun tidak main manja, sama sekali berbeda seperti sikapnya padaku. Agaknya kesehatan Lim-sute
sekarang sudah baik, entah siapakah yang telah melukainya tempo hari, tapi siausumoay telah menuduh
diriku. Demikian pikirnya.
Lantaran memusatkan pikiran mendengarkan percakapan Leng-sian dan Peng-ci sehingga melupakan badan
sendiri yang kaku tadi. Siapa tahu dengan demikian justru cocok dengan ajaran Gip-sing-tay-hoat yang
mengharuskan pikiran tenang dan tidak gelisah. Dengan demikian rasa kaku kaki dan pinggangnya lambat laun
menjadi berkurang.
Tiba-tiba terdengar Gak Leng-sian berseru, “Baiklah, tidak jadi membikin orang-orangan salju, tapi aku mau
menulis beberapa huruf di atas orang salju ini.”
“Sret”, ia terus lolos pedangnya.
Kembali Lenghou Tiong terkejut dan khawatir, apa jadinya jika pedangnya menusuk dan menebas serabutan di
atas badan kami berempat? Tapi sebelum dia sempat berpikir lagi, mendadak terdengar suara “srat-sret”
berulang-ulang, Leng-sian telah mengukir beberapa tulisan di atas tubuh Hiang Bun-thian yang berlapis salju
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tebal itu. Ujung pedangnya masih terus menggeser dan akhirnya sampai di atas badan Lenghou Tiong. Untung
ukirannya tidak terlalu dalam sehingga tidak sampai tembus dan melukai mereka.
“Entah tulisan apa yang dia ukir di atas badan kami?” demikian Lenghou Tiong membatin.
“Cobalah kau pun menulis beberapa huruf,” kata Leng-sian dengan suara lembut.
“Baik,” jawab Peng-ci. Ia sambut pedang si nona, lalu ikut mengukir beberapa huruf di atas keempat orangorang
salju. Ia pun mengukir dari kanan ke kiri, mulai dari badan Hiang Bun-thian dan berakhir pada badan
Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong tambah heran, “Entah tulisan apa lagi yang diukir Lim-sute?”
Dalam pada itu terdengar Leng-sian sedang berkata, “Betul, kita berdua harus demikian adanya.”
Lalu mereka terdiam sampai agak lama.
Tentu saja Lenghou Tiong semakin heran, “Harus demikian apa? Biarlah nanti bila mereka sudah pergi dan
racun dingin di tubuh Yim-kaucu sudah bersih dipunahkan baru aku dapat meronta keluar dari timbunan salju
untuk melihat tulisan apa yang mereka ukir tadi. Tapi, ah tak bisa jadi. Begitu aku bergerak tentu timbunan
salju akan rontok dan tak terlihatlah tulisan apa yang mereka ukir. Lebih-lebih kalau kami berempat bergerak
sekaligus, tentu satu huruf pun tak bisa tahu lagi.”
Selang sejenak pula, terdengar dari jauh ada suara derapan kaki kuda yang ramai, meski jaraknya masih jauh,
tapi jelas menuju ke sebelah sini. Rupanya Peng-ci dan Leng-sian masih belum dengar. Lenghou Tiong dapat
menaksir dari derapan kaki kuda itu sedikitnya adalah belasan orang. Ia pikir besar kemungkinan adalah anak
murid Hoa-san-pay yang menyusul tiba.
Makin mendekatlah suara lari kuda-kuda itu. Tapi Peng-ci dan Leng-sian agaknya masih tidak menaruh
perhatian.
Lenghou Tiong mendengar belasan penunggang kuda itu datang dari arah timur laut, dari jarak satu-dua li
mereka lantas memencarkan diri, ada sebagian menuju ke jurusan barat, kemudian membelok dan sama-sama
menuju ke sini, jelas mereka telah mengurung jalan lari Peng-ci dan Leng-sian.
Mendadak terdengar Leng-sian berseru kaget, “He, ada orang datang!”
Menyusul terdengar suara mendesingnya dua anak panah, lalu suara kuda meringkik ngeri dan roboh.
Dalam hati Lenghou Tiong menduga ilmu silat pendatang-pendatang itu tidak lemah, tujuan mereka juga keji.
Dari jauh lebih dulu mereka memanah mati kuda-kuda siausumoay dan Lim-sute agar mereka tak bisa lari
jauh. Sejenak kemudian belasan orang itu sudah mendekat sambil bergelak tertawa.
Terdengar Leng-sian berseru khawatir sambil mundur selangkah. Lalu terdengar seorang di antara pendatangpendatang
itu bertanya, “Hehe, seorang adik cilik dan seorang genduk, kalian ini murid siapa dan dari aliran
mana?”
“Cayhe murid Hoa-san-pay bernama Lim Peng-ci, suciku ini she Gak,” sahut Peng-ci dengan suara lantang.
“Selamanya kita tidak saling kenal, mengapa tanpa sebab kuda kami dipanah mati?”
“Murid Hoa-san-pay?” orang itu menegas dengan tertawa. “Jadi guru kalian adalah Gak-siansing dengan
julukan ‘Kun-cu-kiam’ segala dan telah kalah bertanding dengan bekas muridnya itu?”
Peng-ci lantas menjawab, “Kelakuan Lenghou Tiong tidak baik, berulang-ulang dia melanggar peraturan, maka
setahun yang lalu dia sudah dipecat.”
Dia ingin mengatakan bahwa kekalahan bertanding sang guru kepada Lenghou Tiong itu dapat dianggap kalah
kepada orang luar dan bukan muridnya lagi.
“Genduk cilik ini she Gak, pernah apanya Gak-tayciangbun?” tanya orang itu pula.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Peduli apa dengan aku?” damprat Leng-sian dengan gusar. “Kau telah memanah mati kudaku, lekas ganti.”
“Wah, melihat kegalakannya ini, besar kemungkinan dia adalah gundik Gak Put-kun,” kata orang itu sambil
cengar-cengir. Serentak belasan orang kawannya ikut tertawa gemuruh.
Mendengar kata-kata orang yang kasar itu, Lenghou Tiong membatin orang-orang itu pasti bukan dari kaum
cing-pay dan mungkin sekali akan membahayakan siausumoay.
Dalam pada itu Peng-ci telah berkata, “Tuan adalah locianpwe dari Kangouw, kenapa bicara sekotor itu?
Hendaklah tahu bahwa suciku adalah putri kesayangan guruku.”
“O, kiranya adalah putri Gak Put-kun, haha, sama sekali tidak cocok dengan kenyataannya,” ujar orang tadi
dengan tertawa.
Seorang temannya lantas tanya, “Loh-toako, kenapa tidak cocok dengan kenyataan?”
“Pernah kudengar orang bercerita, katanya putri Gak Put-kun sangat cantik, terhitung nona paling ayu di
antara angkatan muda, tapi nyatanya sekarang cuma begini saja,” sahut Loh-toako tadi.
“Wajah genduk ini memang biasa saja, tapi kulitnya putih, dagingnya halus. Kalau ditelanjangi mungkin boleh
juga. Hahahahaha!” begitu belasan orang serentak tertawa riuh pula penuh maksud kotor.
Baik Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci maupun Lenghou Tiong menjadi gusar mendengar ucapan-ucapan tidak
sopan itu. Peng-ci lantas cabut pedangnya dan berkata, “Jika kalian mengeluarkan kata-kata tidak senonoh
lagi, biarpun mati juga akan kulayani kalian.”
“He, coba kalian lihat, dua sejoli cabul yang main patgulipat ini telah menulis apa di atas orang salju ini?” tibatiba
seorang berseru.
Dikatakan “cabul”, Peng-ci tidak tahan lagi “sret”, pedangnya lantas menusuk. Maka terdengarlah suara ramai,
ada dua orang telah melompat turun dari kudanya untuk melawan Peng-ci. Menyusul Leng-sian juga ikut
menerjang maju. Berbareng beberapa laki-laki itu lantas berseru, “Biar aku yang melayani genduk ini!”
“Jangan ribut, jangan berebut, semuanya akan mendapat gilirannya,” ujar seorang dengan tertawa.
Lalu terdengar suara beradunya senjata, Leng-sian juga telah bertempur dengan musuh. Mendadak seorang
laki-laki menggerung gusar karena rasa sakit, agaknya terluka oleh pedang Leng-sian.
Seorang laki-laki lain lantas berkata, “Ganas juga genduk ayu ini. Su-losam, akan kubalaskan sakit hatimu.”
Di tengah suara nyaring beradunya senjata terdengar Gak Leng-sian berseru, “Awas!”
Lalu terdengar suara “trang” yang keras disusul oleh suara Peng-ci yang tertahan. “Siau-lim-cu!” Leng-sian
berseru pula, mungkin Peng-ci terluka.
Kemudian pemimpin rombongan pendatang itu berseru, “Jangan membunuh dia, tangkap saja hidup-hidup.
Kalau putri dan menantu Gak Put-kun sudah kita bekuk masakah jantan palsu she Gak itu takkan tunduk
kepada kita?”
Lenghou Tiong coba mendengarkan lagi dengan lebih cermat, terdengar suara menderu sambaran senjata,
agaknya Gak Leng-sian memutar pedangnya dengan kencang. Mendadak terdengar suara “trang”, lalu suara
“plak” lagi sekali. Seorang laki-laki lantas mencaci maki, “Kurang ajar, lonte cilik!”
Mendadak Lenghou Tiong merasa badannya disandari orang, lalu terdengar napas Gak Leng-sian yang
tersengal-sengal, nyata nona itulah yang bersandar pada “orang salju”-nya itu. Setelah suara senjata beradu
lagi beberapa kali, seorang laki-laki di antaranya lantas berseru girang, “Masakah kau tak bisa kubekuk!”
Terdengar Leng-sian berseru khawatir, lalu tidak terdengar lagi suara beradunya senjata, sebaliknya orangorang
itu sama bergelak tertawa.
Lenghou Tiong merasa Leng-sian yang bersandar pada tubuhnya itu diseret pergi dan terdengar nona itu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berteriak, “Lepaskan aku, lepaskan!”
Seorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Bun-lotoa, tadi kau bilang dia berkulit putih dan berdaging
halus, aku justru tidak percaya. Marilah kita belejeti pakaiannya, coba lihat betul tidak dugaanmu.”
Semua orang lantas bersorak gembira setuju. Peng-ci memaki dengan gusar, “Kawanan bangsat....” mendadak
“plak”, ia telah ditendang sekali, lalu terdengar suara “bret” suara kain robek.
Dengan jelas Lenghou Tiong mendengar siausumoaynya hendak ditelanjangi orang, mana dia bisa tahan lagi.
Tanpa hiraukan keadaan Yim Ngo-heng, segera ia melepaskan tangan Ing-ing yang dipegangnya itu terus
melompat keluar dari timbunan salju. Tangan kanan dipakai mencabut pedang, tangan kiri lantas digunakan
mengupas salju yang masih menutupi matanya.
Tak terduga tangan kiri itu ternyata tidak mau menurut perintah, sukar bergerak. Di tengah suara teriak kaget
rombongan orang tadi, Lenghou Tiong sempat menggunakan pangkal lengan kanan untuk mengusap mukanya,
pandangannya menjadi terang, pedang lantas menusuk ke depan, sekaligus tiga laki-laki itu kena dirobohkan.
Cepat Lenghou Tiong memutar tubuh, “sret-sret” dua kali, kembali dua orang dibinasakan lagi. Dilihatnya
seorang laki-laki sedang menelikung kedua tangan Gak Leng-sian, seorang lagi dengan golok terhunus siap
melawannya. Ia menerjang maju, pedang menusuk iga laki-laki bergolok itu hingga tembus, sekali depak ia
singkirkan mayat lawan sambil mencabut pedang dari mayat itu. Dalam pada itu ada suara orang
menyergapnya dari belakang. Tanpa menoleh pedangnya menyabet ke belakang, kontan dua orang jatuh
terkapar. Tanpa berhenti ia terus menubruk maju, pedang berkelebat, kontan tenggorokan orang yang
menelikung tangan Gak Leng-sian itu tertembus.
Pegangan orang itu atas Leng-sian menjadi kendur dan terkapar di atas pundak nona itu, darah segar
membanjir keluar dari lehernya. Keruan seluruh badan Leng-sian basah kuyup oleh darah.
Sekaligus Lenghou Tiong membunuh sembilan orang dalam waktu sekejap, sisanya masih delapan orang
menjadi kesima ketakutan. Mendadak pemimpin rombongan itu menjerit terus mendahului menerjang maju
sambil memutar senjatanya berbentuk perisai dan mengepruk ke atas kepala Lenghou Tiong.
Tapi cepat luar biasanya Lenghou Tiong mendahului menusuk sehingga tepat mengenai muka orang itu. Kontan
orang itu menjerit dan roboh terguling. Tidak berhenti sampai di situ saja, kembali Lenghou Tiong menebas dan
menusuk berulang-ulang, tiga orang kena dibunuh lagi.
Sisa empat orang yang lain menjadi ketakutan setengah mati, mereka menjerit dan lari terpencar.
“Kalian berani kurang ajar terhadap siausumoayku, satu pun tidak boleh diampuni,” seru Lenghou Tiong sambil
memburu maju. “Sret-sret” dua kali, kembali dua orang tertebas putus kepalanya.
Tinggal dua orang lagi lari ke dua jurusan, Lenghou Tiong mengincar satu di antaranya, sekuatnya ia
menimpukkan pedangnya, satu jalur sinar perak meluncur secepat kilat dan tepat menembus punggung orang
sedang lari itu sehingga terpantek di atas tanah. Habis itu Lenghou Tiong lantas mengejar ke jurusan lain, kirakira
puluhan meter jauhnya orang terakhir itu pun sudah tersusul.
Rupanya orang itu menjadi nekat, mendadak ia memutar tubuh terus membacok dengan goloknya. Baru
sekarang Lenghou Tiong ingat dia sudah tidak bersenjata lagi. Cepat melompat mundur. Orang itu menubruk
maju dan membabat dengan goloknya, kembali Lenghou Tiong mengelak dan melompat mundur lagi dan
begitu seterusnya orang itu menyerang terlebih kalap dan berulang-ulang Lenghou Tiong terdesak mundur.
Tiba-tiba Gak Leng-sian berseru di belakangnya, “Pakailah pedangku ini, Toasuko!”
Waktu Lenghou Tiong menoleh, Leng-sian sudah melemparkan pedang ke arahnya, cepat Lenghou Tiong
menangkap senjata itu terus memutar balik sambil bergelak tertawa. Saat itu lawannya sedang angkat
goloknya hendak membacok, tapi ia menjadi kesima ketika sinar pedang Lenghou Tiong berkelebat, seketika ia
terpaku ketakutan malah.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong melangkah maju, laki-laki menjadi gemetar, memegang senjata saja tidak kuat
lagi, goloknya jatuh ke tanah. Tanpa terasa ia pun berlutut.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kau harus mampus untuk menebus dosamu,” kata Lenghou Tiong sambil menyodorkan ujung pedang ke leher
orang. Tiba-tiba pikirannya tergerak, tanyanya perlahan, “Tulisan apa yang terdapat di atas orang-orang salju
tadi?”
“Tulisannya berbunyi, ‘Laut kering gunung runtuh, cinta kita tetap teguh’,” tutur orang itu dengan suara
gemetar.
“O, begitu bunyinya?” Lenghou Tiong menggumam kesima. Akhirnya ia dorong juga ujung pedangnya
menembus tenggorokan orang itu.
Waktu ia berpaling kembali, dilihatnya Gak Leng-sian sedang membangunkan Lim Peng-ci. Badan kedua mudamudi
itu sama-sama mandi darah.
Setelah berdiri Peng-ci lantas memberi soja kepada Lenghou Tiong, katanya, “Banyak terima kasih atas
pertolongan Lenghou-heng.”
“Tidak jadi soal,” sahut Lenghou Tiong. “Apa lukamu parah?”
“Tidak apa-apa,” sahut Peng-ci.
“Suhu dan Sunio menuju ke sana,” kata Lenghou Tiong sambil menunjuk bekas tapak kuda.
Sementara itu Leng-sian telah mendapatkan dua ekor kuda milik orang-orang tadi, ia mendahului mencemplak
ke atas kuda dan berkata, “Marilah kita menyusul ayah dan ibu.”
Dengan susah payah Peng-ci menaiki kudanya. Ketika Leng-sian melarikan kudanya lewat samping Lenghou
Tiong, tiba-tiba ia menahan kudanya dan memandang ke mukanya.
Perlahan Lenghou Tiong mengangkat kepalanya, melihat si nona menatap, ia pun balas memandang.
“Aku... aku ber....” Leng-sian tidak dapat melanjutkan kata-katanya, segera ia berpaling kembali dan melarikan
kudanya ke jurusan Gak Put-kun tadi.
Termangu-mangu Lenghou Tiong mengikuti kepergian Peng-ci dan Leng-sian, sampai bayangan mereka sudah
menghilang di balik rimba sana barulah ia menoleh ke arah Yim Ngo-heng bertiga, dilihatnya mereka sudah
membersihkan salju yang menempel di atas badan dan sedang memandang tajam arahnya.
“He, Yim-kaucu, aku... aku tidak bikin susah padamu?” seru Lenghou Tiong girang.
“Kau tidak bikin susah padaku, tapi kau sendiri yang konyol. Bagaimana lengan kirimu?” sahut Yim Ngo-heng.
“Untuk sementara terasa kaku, agaknya jalan darah kurang lancar sehingga tangan tidak mau menurut
perintah,” kata Lenghou Tiong.
“Urusan ini rada sulit, biarlah kita mencari akal nanti,” ujar Yim Ngo-heng. “Barusan kau telah menyelamatkan
putri Gak Put-kun, maka anggaplah kau telah membalas budi kebaikan perguruanmu, selanjutnya siapa pun
tidak utang budi lagi. Eh, Hiang-hiante, mengapa Loh-losam makin lama makin tidak senonoh, sampai-sampai
perbuatan kotor begini juga dilakukannya?”
“Dari nadanya dapat kuduga mereka seperti ingin membekuk kedua muda-mudi itu,” kata Hiang Bun-thian.
“Apa mungkin mereka melaksanakan perintah Tonghong Put-pay? Ada urusan apa lagi dia dan Gak Put-kun?”
ujar Ngo-heng.
“Apakah orang-orang ini adalah anak buah Tonghong Put-pay?” tanya Lenghou Tiong sambil menunjuk mayatmayat
yang bergelimpangan di sekitar situ.
“Anak buahku,” sahut Yim Ngo-heng.
Lenghou Tiong manggut-manggut dan membatin, “Ya, kedudukan Tonghong Put-pay sebagai ketua Tiau-yangsin-
kau adalah direbutnya dari Yim-kaucu, sudah tentu orang-orang ini tak bisa dianggap anak buahnya.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu Ing-ing telah bertanya, “Bagaimana dengan lengannya, Ayah?”
“Jangan khawatir anak manis,” sahut Yim Ngo-heng. “Anak mantu telah bantu mertua memunahkan racun
dinginnya, sudah tentu bapak mertua akan berdaya menyembuhkan lengannya.”
Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.
“Lenghou-hiante,” kata Hiang Bun-thian, “keadaan tadi sungguh sangat berbahaya, kalau kau tidak datang
menolong tepat waktunya tentu akibatnya akan runyam.”
Yim Ngo-heng telah menatap tajam Lenghou Tiong sehingga pemuda itu merasa kikuk.
“Jangan kau bicara begitu, Ayah,” tiba-tiba Ing-ing berkata. “Engkoh Tiong dibesarkan bersama Gak-siocia dari
Hoa-san-pay itu, masakah engkau tidak melihat bagaimana sikap Engkoh Tiong terhadap Gak-siocia tadi?”
“Hm, manusia apa Gak Put-kun itu? Masakah anak perempuannya dapat dibandingkan dengan putriku?” ujar
Yim Ngo-heng dengan tertawa. “Lagi pula nona Gak itu pun sudah punya tunangan, perempuan yang gampang
berubah hatinya seperti dia masakah bisa dipercaya, selanjutnya Tiong-ji tentu akan melupakan dia.”
“Demi diriku Engkoh Tiong telah mengacaukan Siau-lim yang termasyhur di seluruh jagat, demi diriku pula dia
tidak mau kembali lagi ke dalam Hoa-san-pay, melulu kedua hal ini saja sudah membikin hatiku senang dan
puas. Tentang urusan lain tidak perlu lagi diungkat.”
Yim Ngo-heng kenal watak putrinya yang angkuh dan suka menang. Jika Lenghou Tiong tidak mengajukan
lamaran, maka putrinya itu pun tidak mau memaksa. Ia pikir urusan perjodohan ini hanya soal waktu saja,
kelak Hiang Bun-thian dapat disuruh menjadi comblang, lalu secara resmi dirundingkan.
Maka dengan bergelak tertawa ia berkata, “Bagus, bagus. Memang urusan mahapenting yang menyangkut
kebahagiaan selama hidupmu boleh dibicarakan nanti. Eh, Anak Tiong, biarlah aku mengajarkan kau dulu
tentang melancarkan urat nadi di bagian lengan kiri itu.”
Lalu ia tarik Lenghou Tiong ke pinggir sana dan menguraikan cara bagaimana mengerahkan tenaga dan
melancarkan jalan darah. Setelah Lenghou Tiong hafal ajarannya, lalu katanya pula, “Kau telah bantu aku
memunahkan racun dingin, sekarang aku mengajarkan kau cara melancarkan jalan darahmu, kita masingmasing
tidak saling utang. Untuk menyembuhkan seluruhnya lenganmu yang kaku itu diperlukan waktu tujuh
hari, harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu.”
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Yim Ngo-heng memanggil Hiang Bun-thian dan Ing-ing, setelah empat orang
berkumpul Ngo-heng berkata pula, “Tiong-ji, ketika di Bwe-cheng tempo hari aku pernah mengajak kau masuk
Tiau-yang-sin-kau kami, waktu itu dengan tegas kau menolak. Sekarang keadaan sudah berubah, aku
mengulangi lagi persoalan lama, sekali ini tentunya kau takkan menolak bukan?”
Selagi Lenghou Tiong ragu-ragu dan belum menjawab, Yim Ngo-heng telah menyambung pula, “Kau telah
meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, kelak akan banyak mendatangkan kesukaran, bila macam-macam hawa murni
yang berlainan di dalam tubuhmu itu bekerja, maka tak terkatakan derita yang akan kau rasakan. Apa yang
telah kukatakan pasti takkan kutarik kembali, kalau kau tidak masuk agama kita, biarpun Ing-ing menjadi
istrimu juga aku tak mau mengajarkan cara memunahkan tenaga-tenaga liar di dalam tubuhmu itu. Andaikan
putriku akan menyesali aku juga akan kujawab demikian. Nah, urusan penting sekarang ini ialah menuntut
balas kepada Tonghong Put-pay, apakah kau akan ikut pergi bersama kami?”
“Maaf Yim-kaucu, selama hidup ini Wanpwe sudah pasti takkan masuk Tiau-yang-sin-kau,” sahut Lenghou
Tiong tegas tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
Keruan Yim Ngo-heng bertiga seketika berubah air mukanya, Hiang Bun-thian bertanya, “Apa sebabnya? Jadi
kau memandang hina kepada Tiau-yang-sin-kau?”
“Di dalam Tiau-yang-sin-kau penuh orang-orang macam begini, sejelek-jeleknya Wanpwe juga malu berkumpul
dengan mereka,” sahut Lenghou Tiong sambil tuding belasan mayat yang menggeletak, di sekitar situ. “Lagi
pula Wanpwe sudah berjanji kepada Ting-sian Suthay untuk menjabat ketua Hing-san-pay mereka.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba air muka Yim Ngo-heng bertiga berubah penuh keheranan. Bahwa Lenghou Tiong menolak masuk
agama mereka tidaklah mengherankan, tapi ucapan yang terakhir itulah benar-benar luar biasa sampai-sampai
mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri-sendiri.
Sambil menuding muka Lenghou Tiong, Yim Ngo-heng mendadak terbahak-bahak geli. Sejenak kemudian baru
berkata, “Jadi kau... kau ingin jadi nikoh? Akan menjadi ciangbunjin kawanan nikoh itu?”
“Bukan menjadi nikoh, hanya akan menjadi Ciangbunjin Hing-san-pay saja,” sahut Lenghou Tiong. “Sebelum
mengembuskan napas penghabisan Ting-sian Suthay telah mohon dengan sangat kepadaku, jika Wanpwe tidak
menyanggupi, maka mati pun losuthay itu takkan tenteram. Apalagi kematian Ting-sian Suthay adalah karena
diriku, Wanpwe juga tahu peristiwa ini pasti akan menggemparkan, tapi tak bisa menolak permintaan losuthay
itu.”
Tapi Yim Ngo-heng masih terus tertawa geli.
“Ting-sian Suthay mati bagi keselamatan anak,” kata Ing-ing.
Lenghou Tiong melihat sorot mata si nona penuh mengandung rasa terima kasih yang tak terhingga.
Perlahan-lahan Yim Ngo-heng berhenti tertawa, lalu berkata, “Jadi kau telah menerima pesan orang dan harus
dikerjakan secara setia?”
“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Kematian Ting-sian Suthay juga lantaran mau memenuhi janjinya padaku.”
“Bagus juga,” kata Ngo-heng sambil manggut. “Aku adalah Lo-koay (si tua aneh) dan kau adalah Siau-koay (si
kecil aneh). Kalau tidak membikin sesuatu yang menggemparkan masakan bisa menjadi tokoh yang
menggegerkan jagat ini. Baiklah, bolehlah kau pergi menjadi ciangbunjin kaum nikoh itu. Sekarang juga kau
akan berangkat ke Hing-san?”
“Tidak, Wanpwe akan pergi lagi ke Siau-lim-si,” sahut Lenghou Tiong.
Yim Ngo-heng rada heran, tapi lantas paham, katanya, “Ya, tentunya kau ingin mengusung kedua jenazah
nikoh tua itu kembali ke Hing-san.”
Lalu ia menoleh kepada Ing-ing dan tanya, “Apakah kau akan ikut Tiong-ji pergi ke Siau-lim-si?”
“Tidak, aku ikut Ayah,” sahut Ing-ing.
“Betul, masakah kau juga akan ikut dia ke Hing-san-pay dan menjadi nikoh di sana?” ujar Ngo-heng sambil
bergelak tertawa, cuma suara tawanya penuh rasa getir.
Lenghou Tiong lantas memberi hormat dan berkata, “Yim-kaucu, Hiang-toako, Ing-ing, sampai bertemu pula.”
Lalu ia putar tubuh dan melangkah pergi. Baru belasan tindak mendadak ia berpaling kembali dan tanya, “Yimkaucu,
bilakah kalian akan pergi ke Hek-bok-keh?”
“Ini adalah urusan dalam agama kami, tidak perlu orang luar ikut campur,” sahut Yim Ngo-heng. Ia tahu
Lenghou Tiong bermaksud membantu menghadapi Tonghong Put-pay bila tiba waktunya, maka dengan tegas
ditolaknya.
Lenghou Tiong manggut-manggut saja, ia jemput sebuah pedang yang berserakan di atas salju,
digantungkannya di pinggang, lalu melangkah pergi lagi.
Bab 101. Lenghou Tiong Mengetuai Kaum Nikoh
Setelah membedakan arah, Lenghou Tiong terus menuju ke Siau-lim-si lagi. Menjelang magrib tibalah di
tempat tujuan. Ia menyatakan maksud kedatangannya kepada hwesio penyambut tamu dan mohon dibolehkan
mengusung jenazah Ting-sian dan Ting-yat Suthay pulang ke Hing-san.
Setelah dilaporkan, kemudian hwesio penyambut tamu memberitahukan, “Menurut Hongtiang, jenazah kedua
suthay sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan sembahyangan oleh segenap penghuni biara ini.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tentang abu jenazah kedua suthay selekasnya akan kami antar ke Hing-san.”
Lenghou Tiong anggap keterangan itu memang beralasan, ia minta diperbolehkan memberi hormat kepada abu
kedua suthay, habis itu baru mohon diri karena Hong-ting Taysu toh tidak mau menemuinya.
Sampai di bawah gunung salju masih belum juga reda, malamnya ia mengendon pada rumah seorang petani.
Besoknya ia terus menuju ke utara. Di suatu kota kecil ia membeli seekor kuda, sementara itu cuaca sudah
terang.
Karena lengan kiri masih terasa kaku, maka perjalanannya rada terganggu, setiap hari hanya ditempuh
beberapa puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. Ia menurutkan ajaran Yim Ngo-heng untuk
melancarkan jalan darah lengannya. Sepuluh hari kemudian urat nadi lengannya telah lancar kembali.
Beberapa hari lagi, siangnya ia mampir di suatu restoran untuk minum arak. Tatkala mana sudah dekat tahun
baru, suasana tampak ramai, orang berlalu-lalang berbelanja untuk persiapan perayaan tahun baru. Sambil
minum arak sendirian di atas loteng restoran itu, Lenghou Tiong terkenang kepada masa lampau, bila dekat
tahun baru, biasanya ia dan saudara-saudara seperguruan suka membantu ibu-gurunya untuk membersihkan
pekarangan, memajang ruangan, dan sebagainya, semuanya dalam suasana riang gembira. Tapi sekarang
seorang diri ia minum arak kesepian di rantau orang.
Selagi kesal, tiba-tiba terdengar suara tangga berbunyi, ada orang banyak sedang naik ke atas. Malahan
seorang sedang berkata, “Haus benar, marilah kita minum dulu di sini.”
“Seumpama tidak haus kan juga boleh minum?” ujar yang lain.
“Haus dan minum kan bersangkutpautan satu sama lain, kenapa dipotong-potong,” sahut seorang lagi.
Mendengar percakapan yang bertele-tele itu segera Lenghou Tiong tahu siapa yang datang, cepat ia berseru,
“Keenam Tho-heng, lekas kemari minum bersama aku!”
Serentak terdengarlah suara gedubrakan, Tho-kok-lak-sian telah melompat ke atas bersama dan mengelilingi
Lenghou Tiong, ada yang pegang tangannya, ada yang pegang bahunya, ada pula yang pegang bajunya.
Beramai-ramai mereka berteriak, “Aku yang ketemukan dia!”
“Aku yang pegang dia paling dulu!”
“Suaraku yang pertama didengar Lenghou-kongcu, maka aku yang ketemukan dia lebih dulu!”
“He, apa-apaan kalian ini?” tanya Lenghou Tiong dengan tertawa heran.
Tiba-tiba Tho-hoa-sian berlari ke pinggir jendela dan berseru, “Hei, Nikoh cilik, Nikoh tua, dan dara jelita! Aku
telah ketemukan Lenghou-kongcu, lekas serahkan seribu tahil perak!”
Tho-ki-sian ikut lari ke tepi jendela dan berteriak, “Bukan dia, tapi aku yang pertama memegang Lenghoukongcu!
Lekas serahkan seribu tahil yang kalian janjikan!”
Dalam pada itu Tho-kan-sian dan Tho-sit-sian juga tidak mau kalah, sambil masih memegangi Lenghou Tiong
mereka berteriak-teriak, “Tidak, aku yang lihat dia paling dulu!”
“Aku yang ketemukan dia!”
Maka terdengarlah suara seorang wanita berseru di luar restoran, “Benarkah kalian telah menemukan Lenghoutayhiap?”
“Benar! Aku yang menemukan dia! Lekas serahkan uang! Ada uang ada barang!” demikian Tho-kok-lak-sian
berkaok-kaok.
Di tengah ramai-ramai itu terdengarlah suara orang menaiki tangga loteng, orang pertama yang muncul adalah
murid Hing-san-pay, Gi-ho, di belakangnya ikut pula empat nikoh dan dua nona muda, mereka adalah The Oh
dan Cin Koan. Melihat Lenghou Tiong benar-benar berada di situ, ketujuh orang itu sangat girang, ada yang
memanggil “Lenghou-tayhiap”, ada yang memanggil “Lenghou-toako”, ada pula yang memanggil “LenghouDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kongcu”.
Tho-kan-sian tiba-tiba mengadang di tengah-tengah mereka dan berkata, “Mana uangnya? Ada uang ada
barang! Tanpa seribu tahil perak takkan kuserahkan orangnya.”
“Keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa, “sebenarnya bagaimana ada soal seribu tahil perak
apa segala?”
“Di tengah jalan tadi mereka bertemu dengan kami,” tutur Tho-ki-sian. “Mereka tanya kepada kami apa melihat
kau. Kukatakan sementara tidak. Tidak lama lagi tentu akan ketemu.”
“Paman ini bohong!” tiba-tiba Cin Koan menyela. “Tadi dia menjawab, ‘Lenghou Tiong punya kaki sendiri, saat
ini mungkin dia berada di ujung langit, ke mana kami bisa menemukan dia?’”
“Tidak, tidak! Kami bisa meramalkan apa pun yang bakal terjadi, sebelumnya kami sudah tahu akan
menemukan Lenghou-kongcu di sini!” bantah Tho-hoa-sian.
“Sudahlah, aku dapat menerka, tentunya para sumoay ini memang sedang mencari aku dan mereka minta
kalian bantu mencarikan, lalu kalian membuka harga dengan upah seribu tahil perak, betul tidak?” sela
Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Salah mereka sendiri tidak pandai tawar-menawar,” ujar Tho-kan-sian. “Mereka begitu royal, dimintai upah
seribu tahil perak, tanpa menawar mereka terus terima baik asalkan Lenghou-tayhiap dapat diketemukan. Janji
ini kan telah kalian terima?”
“Benar, memang kami telah berjanji akan menghadiahkan seribu tahil perak asalkan kalian dapat menemukan
Lenghou-toako,” kata Gi-ho.
“Nah, sekarang bayar,” kata Tho-kok-lak-sian bersama sambil menjulurkan sebelah tangan masing-masing.
“Orang beragama seperti kami mana bisa membawa sekian banyak,” kata Gi-ho. “Silakan kalian berenam ikut
ke Hing-san untuk menerimanya nanti.”
Sebenarnya Gi-ho menyangka keenam orang dogol itu mungkin sungkan ikut ke Hing-san yang jauh itu, tak
terduga Tho-kok-lak-sian lantas menjawab, “Baik, kami akan ikut ke Hing-san untuk menerima pembayaran,
jangan kalian utang lho!”
“Wah, selamatlah kalian telah tertimpa rezeki nomplok,” kata Lenghou Tiong.
“Ah, lumayanlah, terima kasih!” sahut Tho-kok-lak-sian.
Mendadak Gi-ho bertujuh sama menyembah kepada Lenghou Tiong dengan wajah sedih.
“He, kenapa kalian berbuat demikian?” tanya Lenghou Tiong terkejut dan membalas hormat.
“Tecu Gi-ho dan para sumoay menyampaikan sembah bakti kepada Ciangbunjin,” kata Gi-ho.
“O, jadi kalian sudah tahu? Silakan bangun untuk bicara,” kata Lenghou Tiong.
“Benar, bicara sambil berlutut begitu tentu tidak leluasa,” Tho-kin-sian menimbrung.
“Keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong, “sekarang aku sudah termasuk orang Hing-san-pay, kami ada urusan
yang mesti dirundingkan, maka kalian silakan minum arak di sebelah sana, kalian tidak boleh mengganggu jika
kalian tidak mau kehilangan seribu tahil perak.”
Sebenarnya Tho-kok-lak-sian bermaksud mengoceh lagi, tapi demi mendengar kata-kata terakhir itu, mereka
lantas bungkam dan terpaksa menyingkir ke meja di pojok sana buat makan-minum sendiri.
Setelah Gi-ho bertujuh bangun, demi teringat kepada kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay, kembali mereka
menangis sedih.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Eh, aneh, bicara baik-baik begitu kenapa mendadak menangis?” tiba-tiba Tho-hoa-sian mengoceh.
Tapi ketika Lenghou Tiong mendelik padanya, Tho-hoa-sian menjadi ketakutan dan lekas-lekas mendekap
mulutnya sendiri.
“Tempo hari waktu Lenghou-toako... O, Ciangbunjin, mendarat dan tidak kembali ke kapal lagi, kemudian
datang Bok-susiok dari Heng-san-pay memberi tahu kepada kami bahwa Ciangbunjin telah pergi ke Siau-lim-si
untuk mencari Ting-sian dan Ting-yat Susiok. Setelah berunding, kami bermaksud ikut menyusul ke sana. Tak
terduga di tengah jalan kami sudah ketemu belasan tokoh Kangouw yang membicarakan cara engkau
menyerbu Siau-lim-si bersama para kesatria dan menduduki biara agung itu.
“Seorang tua pendek gemuk di antaranya mengaku she Lo, katanya Ting-sian Susiok berdua telah tewas di
Siau-lim-si, sebelum wafat katanya Ciangbun-susiok telah minta engkau mewarisi kedudukan ciangbun kaum
kita dan engkau sudah menerimanya dengan baik. Pesan demikian itu katanya telah didengar oleh orang
banyak....” sampai di sini suara Gi-ho menjadi terputus-putus oleh karena tangisnya yang memilukan. Keenam
sumoaynya juga ikut menangis sedih.
“Ya, waktu itu Ting-sian Suthay memang telah minta aku memikul tugas berat ini,” kata Lenghou Tiong. “Tapi
mengingat aku adalah seorang lelaki, namaku juga tidak baik, semua orang tahu aku adalah pemuda
berandalan, mana pantas untuk menjadi ketua Hing-san-pay? Cuma keadaan pada waktu itu memang sangat
mendesak, jika aku tidak menerima, tentu mati pun Ting-sian Suthay tidak tenteram hatinya. Ai, aku menjadi
serbasusah.”
“Tapi... tapi kami semuanya sangat mengharapkan engkau mengetuai Hing-san-pay kita,” kata Gi-ho.
“Ciangbun-suheng,” sela The Oh, “engkau pernah memimpin kami dalam pertempuran, tidak cuma satu kali
saja engkau telah menyelamatkan kami. Setiap murid Hing-san-pay cukup kenal engkau sebagai seorang
kesatria dan laki-laki sejati. Meski engkau adalah orang lelaki, tapi di dalam peraturan perguruan kita toh tidak
pernah melarang diketuai oleh kaum lelaki.”
Gi-bun, seorang nikoh setengah tua juga ikut bicara, “Kami menjadi sangat sedih ketika mendengar wafatnya
kedua susiok, tapi demi mengetahui engkau yang bakal menjabat ciangbunjin kita sehingga Hing-san-pay tidak
sampai musnah begitu saja, hati kami menjadi lega dan sangat terhibur.”
“Suhuku telah dicelakai orang, kedua susiok juga telah tewas di tangan musuh,” demikian Gi-ho menyambung,
“dalam waktu beberapa bulan saja tiga tokoh utama Hing-san-pay dari angkatan ‘Ting’ telah wafat susulmenyusul,
tapi siapa pembunuhnya sama sekali tidak diketahui. Ciangbun-suheng, sungguh sangat tepat jika
engkau menjabat ciangbunjin kita, selain engkau rasanya sukarlah untuk menuntut balas bagi ketiga orang tua
kita.”
“Benar,” sahut Lenghou Tiong sambil mengangguk. “Tugas berat menuntut balas bagi ketiga losuthay adalah di
atas bahuku.”
Lalu The Oh bicara lagi, “Setelah mendengar berita duka wafatnya kedua susiok, segera kami menuju Siau-limsi.
Tapi di tengah jalan ketemu Bok-taysusiok lagi, katanya engkau sudah meninggalkan Siau-sit-san, kami
dianjurkan lekas mencari jejakmu.”
“Bok-taysusiok mengatakan makin cepat menemukan engkau akan makin baik,” sambung Cin Koan. “Kata
beliau, terlambat sedikit menemukan engkau mungkin sekali engkau sudah dibujuk orang masuk Mo-kau.
Padahal antara cing-pay dan sia-pay jelas tidak bisa hidup berdampingan, Hing-san-pay akan kehilangan
seorang ciangbunjin pula.”
“Cin-sumoay memang suka bicara tanpa pikir, masakah Ciangbun-suheng sudi masuk Mo-kau secara begitu
mudah?” ujar The Oh.
“Ya, tapi memang begitulah kata Bok-taysusiok,” sahut Cin Koan.
Dalam hati Lenghou Tiong mengakui akan kebenaran perhitungan Bok-susiok itu, apa yang sudah terjadi
memang benar hampir saja ia masuk Tiau-yang-sin-kau. Waktu itu kalau Yim-kaucu tidak memancingnya
dengan alasan akan mengajarkan kunci lwekang padanya, tapi membujuknya dengan hati tulus, karena merasa
utang budi dan juga mengingat kebaikan Ing-ing, bukan mustahil dirinya akan terima dengan baik ajakannya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dan akan masuk ke Mo-kau bila urusan Hing-san-pay sudah diselesaikan.
“O, dengan demikian maka kalian lantas menyediakan seribu tahil perak sebagai upah kepada siapa saja yang
bisa membekuk Lenghou Tiong?” katanya kemudian.
“Membekuk Lenghou Tiong? Masakah kami berani berbuat demikian?” kata Cin Koan dengan tertawa meski air
matanya masih meleleh di pipinya.
“Setelah mendengar pesan Bok-taysusiok waktu itu kami lantas membagi setiap tujuh orang menjadi satu
kelompok untuk mencari Ciangbun-suheng,” sambung The Oh. “Untunglah tadi kami telah bertemu dengan
Tho-kok-lak-sian, mereka membuka harga seribu tahil perak bagi dirimu. Padahal jangankan cuma seribu tahil,
sekalipun sepuluh ribu tahil perak juga akan kami beri asalkan Ciangbun-suheng dapat diketemukan.”
“Sebagai ketua kalian, rasanya aku tidak bisa memberi manfaat apa-apa bagi kalian, hanya tentang minta
sedekah kepada golongan hartawan kikir dan pembesar korup rasanya banyak yang bisa kuajarkan kepada
kalian,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.
Ketujuh murid Hing-san-pay menjadi tersenyum geli karena teringat kepada kejadian di Hokkian tempo hari, di
sana mereka telah diajari cara bagaimana minta sedekah kepada Pek-pak-bwe, itu hartawan kikir yang
terkenal.
Lalu Lenghou Tiong berkata pula, “Baiklah, kalian jangan khawatir lagi. Sekali Lenghou Tiong sudah berjanji
kepada Ting-sian Suthay pasti takkan mungkir janji. Ketua Hing-san-pay sudah pasti akan kujabat. Setelah kita
makan kenyang segera kita berangkat ke Hing-san.”
Di waktu makan Lenghou Tiong bersatu meja bersama Tho-kok-lak-sian. Ia pun tanya keenam orang itu guna
apa seribu tahil perak yang mereka minta itu.
“Soalnya Ya-niau-cu (Si Kucing Malam) Keh Bu-si terlalu miskin dan akan bangkrut, dia telah bertaruh seribu
tahil perak dengan kami....”
Belum habis Tho-kan-sian bicara, Tho-hoa-sian lantas memotong, “Mana bisa Si Kucing Malam itu menang
taruhan dengan kami.”
Dalam hati Lenghou Tiong pikir yang kalah tentunya kalian maka ia pun bertanya, “Taruhan tentang apa?”
“Yang dipertaruhkan ada sangkut pautnya dengan dirimu,” tutur Tho-kin-sian. “Kami menduga kau pasti tidak
mau menjadi ketua Hing-san-pay, tapi....”
“Si Kucing Malam yang menduga kau tidak sudi menjadi ketua Hing-san-pay,” sela Tho-sit-sian, “sebaliknya
kami bilang seorang laki-laki harus bisa pegang janji. Kau telah berjanji kepada nikoh tua itu untuk menjadi
ketua Hing-san-pay, hal ini telah didengar setiap kesatria di jagat ini, mana bisa lagi orang mungkir janji.”
“Menurut Si Kucing Malam, katanya engkau sudah biasa bertualang, tidak lama lagi tentu akan kawin dengan
Seng-koh dari Mo-kau, mana mau kasak-kusuk dengan kaum nikoh lagi,” sambung Tho-ki-sian.
Lenghou Tiong tahu Keh Bu-si sangat hormat kepada Ing-ing, tidak mungkin dia berani menyebut “Mo-kau”
segala, tentu Tho-kok-lak-sian telah memutar balik persoalannya. Maka ia tanya pula, “Dan kalian lantas
bertaruh seribu tahil perak?”
“Benar,” sahut Tho-kin-sian. “Dan pada pagi tadi kami lantas ketemu nikoh-nikoh yang sedang mencari engkau
itu, katanya engkau akan dipapak untuk menjabat ketua Hing-san-pay mereka maka jelaslah kami akan
menangkan taruhan seribu tahil perak.”
“Dan kalian kasihan kepada Si Kucing Malam yang miskin itu, maka kalian berusaha mendapatkan seribu tahil
perak untuk dia agar dia bisa bayar kekalahannya kepadamu?” kata Lenghou Tiong.
“Tepat, dugaanmu benar-benar sangat tepat,” seru Tho-hoa-sian.
“Sama pandainya seperti aku menduga sesuatu,” sambung Tho-sit-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong tidak menggubrisnya lagi. Habis makan rombongan mereka lantas berangkat ke Hing-san.
Suatu hari sampailah mereka di kaki Hing-san. Rupanya anak murid Hing-san-pay sudah menerima berita lebih
dulu dan beramai-ramai sudah memapak kedatangan mereka. Begitu melihat Lenghou Tiong, segera berlutut
memberi hormat dan cepat dibalas oleh Lenghou Tiong. Semuanya merasa berduka ketika bicara tentang
wafatnya Ting-sian dan Ting-yat Suthay.
Lenghou Tiong melihat Gi-lim berada di antara para murid itu dengan wajah pucat dan agak kurus daripada
dulu. Segera ia bertanya, “Gi-lim Sumoay, apakah akhir-akhir ini kau kurang sehat?”
“Ya, baik-baik saja,” sahut Gi-lim dengan mata basah.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas menuju ke atas Hing-san.
Kediaman kaum Hing-san-pay itu ternyata sangat sederhana. Induk biaranya cuma sebuah biara kecil saja dan
disebut Bu-sik-am, di sekeliling biara itu ada 20-30 buah rumah genting yang merupakan tempat tinggal para
murid. Seperti si cebol ketemu raksasa bila Bu-sik-am ini dibandingkan dengan Siau-lim-si yang megah itu.
Masuk ke dalam biara itu, Lenghou Tiong melihat yang dipuja adalah Dewi Koan-im berjubah putih, ruangan
terawat sangat bersih dengan serbasederhana. Lebih dulu Lenghou Tiong sembahyang di depan patung Dewi
Koan-im, lalu Ih-soh bertindak sebagai penunjuk membawanya ke kamar yang biasa dipakai Ting-sian Suthay
untuk semadi, keadaan kamar itu pun bersih tanpa sesuatu pajangan, hanya sebuah kasuran bundar kecil
terletak di lantai, di sisinya sebuah bok-hi (kentungan kecil berbentuk ikan) yang sudah tua, selain itu tiada
benda lain lagi.
Watak Lenghou Tiong suka bergerak dan biasa hidup di tempat ramai, dia gemar minum arak pula, mana bisa
disuruh hidup di tempat sesunyi ini? Katanya kemudian kepada Ih-soh, “Meski aku menjabat ketua di sini, tapi
aku tidak menjadi nikoh, juga para suci dan sumoay di sini adalah kaum wanita semua, hanya aku saja seorang
lelaki, tentu aku menjadi rikuh. Maka sebaiknya kau sediakan sebuah rumah yang agak berjauhan dari sini,
biarlah aku tinggal di sana bersama Tho-kok-lak-sian.”
Ih-soh mengiakan, katanya, “Di sebelah barat sana ada empat buah rumah yang biasa digunakan sebagai
tempat tamu. Kalau Ciangbunjin setuju bolehlah sementara tinggal di sana saja. Lain hari kita dapat
membangun rumah kediaman baru bagi Ciangbunjin.”
“Bagus sekali tempat itu, buat apa bangun rumah baru segala?” ujar Lenghou Tiong. Ia pikir memangnya aku
mau menjadi ciangbunjin di sini selama hidup? Asalkan nanti sudah ada calon ketua yang tepat kan dapat
kuserahkan kedudukan ini kepadanya dan aku akan kembali hidup berkelana secara bebas gembira di dunia
Kangouw.
Rumah tamu yang dimaksud itu ternyata tiada ubahnya seperti rumah kaum petani kaya dengan perlengkapan
meja kursi, tempat tidur dengan kasur, walaupun kasar juga, tapi sudah lebih mendingan daripada kamar
kediaman Ting-sian Suthay yang kosong itu.
“Eh, ke mana perginya Tho-kok-lak-sian?” tanya Lenghou Tiong.
“Sedang minum arak di rumah belakang,” sahut Ih-soh.
“He, di sini tersedia arak?” tanya Lenghou Tiong dengan girang.
“Tidak cuma arak saja, bahkan arak pilihan,” ujar Ih-soh. “Ketika Gi-lim Sumoay mengetahui Ciangbunjin akan
tiba, dia bilang padaku kalau tiada disediakan arak enak, mungkin jabatan ketuamu ini takkan lama dipangku,
maka malam-malam kami kirim orang turun gunung untuk membeli belasan guci arak enak sebagai
persediaan.”
Lenghou Tiong merasa tidak enak, katanya, “Ai, hidup kaum kita biasanya sangat sederhana, tapi untuk diriku
seorang mesti membuang biaya sebanyak ini, sebenarnya tidak perlu.”
“Ciangbunjin jangan khawatir,” sela Gi-jing. “Uang sedekah yang diperoleh dari Pek-pak-bwe dahulu masih sisa
cukup banyak, untuk uang minum Ciangbunjin rasanya masih cukup untuk sepuluh tahun lamanya.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah malamnya Lenghou Tiong lantas minum sepuas-puasnya bersama Tho-kok-lak-sian. Besok paginya
dia berunding dengan Gi-jing, Ih-soh, dan lain-lain tentang cara bagaimana memulangkan abu tulang Ting-sian
dan Ting-yat Suthay serta cara menuntut balas bagi kematian ketiga suthay tua itu.
Gi-jing berkata, “Ciangbun-suheng menjadi ketua baru, hal ini harus diumumkan kepada sesama teman dunia
persilatan, juga mesti kirim utusan untuk memberitahukan Co-supek selaku Bengcu Ngo-gak-kiam-pay.”
“Huh, justru keparat-keparat Ko-san-pay itulah yang mencelakai suhu dan susiok kita, buat apa kita
memberitahukan mereka apa segala?” dengus Gi-ho dengan gusar.
“Kita tak boleh mengabaikan adat istiadat,” ujar Gi-jing. “Bila kelak kita sudah selidiki dengan jelas, kalau
memang betul ketiga guru kita dicelakai oleh pihak Ko-san-pay, tatkala mana beramai-ramai kita di bawah
Ciangbun-suheng pasti akan membikin perhitungan dengan mereka.”
“Ucapan Gi-jing Suci memang benar,” kata Lenghou Tiong. “Cuma jabatan ketua ini, terang sudah jadi kujabat,
buat apa pakai tata adat segala?”
Ia masih ingat ketika dahulu gurunya menjabat ketua Hoa-san-pay, upacara yang diselenggarakan sungguh
sangat ramai, kawan-kawan bu-lim yang datang memberi selamat juga tak terhitung banyaknya. Ia pun
teringat kepada peristiwa Lau Cing-hong dari Heng-san-pay ketika mengadakan upacara mengundurkan diri,
waktu itu Kota Heng-san juga berjubel dengan orang-orang bu-lim. Sekarang dirinya diangkat menjadi ketua
Hing-san-pay, kalau yang datang memberi selamat hanya sedikit akan berarti kehilangan muka, sebaliknya
kalau pengunjung teramat banyak, tentunya akan menertawakan pula melihat seorang laki-laki diangkat
menjadi ketua kaum nikoh.
Rupanya Gi-jing paham perasaan Lenghou Tiong, katanya kemudian, “Kalau Ciangbun-suheng sungkan
mengundang teman-teman dunia persilatan, maka tidak perlu kita mengundang para peninjau upacara. Namun
kita harus juga menetapkan suatu hari resmi pengangkatanmu sebagai ciangbunjin dan dipermaklumkan
kepada semua pihak.”
Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay, kalau upacara pengangkatan ketua
baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan merugikan pamor Hing-san-pay sendiri maka ia
terima baik saran Gi-jing itu. Hanya dia minta agar Gi-jing memilih suatu hari baik dalam waktu tidak lama lagi.
Gi-jing mengambil buku primbon untuk memilih hari baik, setelah diteliti, akhirnya ia mengajukan hari tanggal
16 bulan dua. Lenghou Tiong pikir makin singkat waktunya tentu makin sedikit pengunjung-pengunjung yang
sempat datang. Maka ia terima baik penetapan hari itu. Segera beberapa murid ditugaskan pergi ke Siau-lim-si
untuk menjemput abu tulang kedua suthay, berbareng menyampaikan surat edaran.
Kepada murid-murid yang diutus itu dia beri pesan agar tidak menyiarkan urusannya secara berlebihan, kepada
para ciangbunjin dari berbagai golongan dan aliran yang diberi tahu itu agar dikatakan bahwa sakit hati
tewasnya kedua suthay belum terbalas, dalam keadaan berkabung, maka pengangkatan ketua baru tidak
dilakukan upacara apa-apa, maka para ciangbunjin itu tidak perlu mengirim peninjau dan sebagainya.
Setelah mengirimkan para murid itu, Lenghou Tiong berpikir pula, “Sebagai ketua Hing-san-pay, seharusnya
aku memahami ilmu pedang Hing-san-pay dengan lebih baik.”
Maka anak murid Hing-san-pay lantas dikumpulkan dan suruh setiap orang memainkan ilmu pedang yang telah
dipelajari mereka. Dari ilmu pedang anak murid itu Lenghou Tiong dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu
pedang Hing-san-pay memang bagus, tapi lebih mengutamakan bertahan hanya pada saat-saat tak terduga
mendadak melancarkan serangan maut.
Sejak mempelajari Tokko-kiu-kiam, Lenghou Tiong dapat mengetahui titik kelemahan pada jurus serangan
musuh mana pun juga. Maka menurut pandangannya Hing-san-kiam-hoat boleh dikata ilmu pedang yang
mempunyai kelemahan yang sangat sedikit. Kalau bicara kekuatan bertahan hanya di bawah Thay-kek-kiamhoat
Bu-tong-pay saja, pada serangan maut pada waktu tertentu secara mendadak sebaliknya lebih bagus
daripada Thay-kek-kiam-hoat.
Teringat olehnya pada dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu ada sejurus Hing-san-kiam-hoat yang sangat
bagus dan jauh lebih lihai daripada ilmu pedang yang diperlihatkan Gi-jing dan kawan-kawannya sekarang.
Walaupun begitu toh Hing-san-kiam-hoat bagus itu telah dibobolkan juga oleh lawan menurut ukiran di dinding
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
gua itu. Maka untuk perkembangan Hing-san-pay di masa mendatang rasanya perlu perbaikan dasar-dasar
ilmu pedangnya yang lebih kuat.
Ia jadi teringat lagi kepada ilmu pedang yang pernah dilihatnya dari Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay
yang jauh lebih bagus dari Gi-jing dan lain-lain, tampaknya kepandaian ketiga suthay tua itu masih ada
sebagian besar belum diajarkan kepada anak muridnya. Sekarang ketiga suthay itu telah tewas berturut-turut
dalam waktu beberapa bulan saja, terang macam-macam ilmu silatnya yang bagus itu akan lenyap juga.
Melihat Lenghou Tiong termenung-menung tak bicara, berkatalah Gi-ho, “Ciangbun-suheng, kepandaian kami
tentu saja masih sangat hijau, maka diharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga.”
“Ada suatu jurus Hing-san-kiam-hoat, entah ketiga suthay tua pernah mengajarkan kepada kalian atau
belum?” kata Lenghou Tiong. Lalu ia pinjam pedang Gi-ho serta memainkan ilmu pedang Hing-san-pay yang
pernah dilihatnya pada dinding gua dahulu itu.
Ia mainkan pedangnya dengan sangat lambat agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Hanya beberapa
gerakan saja para murid itu sudah sama bersorak memuji. Ternyata setiap gerakannya selalu meliputi inti
kekuatan ilmu pedang yang hebat dengan perubahan-perubahan yang aneh, entah betapa lebih hebat daripada
ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang yang baru dan hebat ini membikin semangat
mereka terbangkit dan merasa bangga. Selesai Lenghou Tiong memainkan ilmu pedangnya, serentak para
murid menyembah ke hadapannya dengan penuh kekaguman.
Gi-ho berkata, “Ciangbun-suheng, jelas ilmu pedang ini adalah Hing-san-kiam-hoat kita, mengapa selamanya
kami belum pernah melihatnya, entah dari mana engkau mempelajarinya?”
“Aku melihatnya pada ukiran yang berada di suatu gua,” sahut Lenghou Tiong. “Jika kalian ingin belajar
bolehlah kuajarkan kepada kalian.”
Para murid sangat girang, beramai mereka mengucapkan terima kasih.
Seharian itu Lenghou Tiong lantas mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan di
mana letak kehebatan ketiga jurus itu, lalu para murid disuruh berlatih sendiri.
Meski cuma 3 jurus permulaan ilmu pedang itu, namun cukup luas dan dalam untuk dipahami, sekalipun muridmurid
terpandai seperti Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain juga memakan waktu lima-enam hari untuk memahaminya,
apalagi murid-murid muda seperti The Oh, Cin Koan, dan lain-lain, mereka perlu beberapa hari lebih lama.
Sampai hari kesepuluh, kembali Lenghou Tiong mengajarkan dua jurus pula. Begitulah meski ilmu pedang itu
hanya terdiri dari beberapa jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah anak murid Hing-san-pay
itu dapat mempelajarinya dengan baik.
Selama sebulan itu utusan-utusan yang dikirim pergi itu berturut-turut sudah pulang, semuanya
memperlihatkan muka yang suram, waktu lapor kepada Lenghou Tiong juga tergagap-gagap bicaranya. Namun
Lenghou Tiong juga tidak tanya secara mendalam. Ia tahu anak murid itu tentu telah banyak mendapat
cemooh dan ejekan, misalnya mengolok-olok kaum nikoh muda sekarang mengangkat seorang laki-laki muda
sebagai ketua dan macam-macam lagi. Tapi Lenghou Tiong telah menghibur mereka dengan kata-kata halus
dan suruh mereka belajar ilmu pedang baru kepada teman-teman yang lain, kalau kurang jelas boleh tanya
langsung padanya.
Utusan yang dikirim ke Hoa-san adalah Ih-soh dan Gi-bun yang cukup berpengalaman. Jarak Hoa-san dan
Hing-san tidak terlalu jauh, seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan yang lain, tapi
sekarang utusan-utusan lain sudah pulang, sebaliknya Ih-soh dan Gi-bun malah belum kembali. Sementara itu
tanggal 16 bulan dua sudah makin mendekat dan Ih-soh serta Gi-bun tetap tidak tampak pulang, Lenghou
Tiong lantas kirim lagi dua murid yang lain, Gi-kong dan Gi-beng, untuk menyusul ke Hoa-san.
Bab 102. Lenghou Tiong Dilarang Menjabat Ciangbunjin Hing-sanpay
oleh Co Leng-tan
Karena menduga takkan kedatangan tamu, maka para murid juga tidak menyiapkan tempat pondokan dan
makanan bagi tetamu. Mereka cuma sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, dan bikin pembersihan di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mana perlu. Masing-masing anak murid itu pun membuat baju dan sepatu baru. The Oh dan lain-lain juga
membuatkan suatu setel jubah hijau bagi Lenghou Tiong untuk dipakai pada hari upacara nanti.
Pagi-pagi hari tanggal 16 bulan dua, waktu Lenghou Tiong bangun, dilihatnya suasana puncak Kian-seng-hong
di Hing-san itu benar-benar meriah. Anak murid Hing-san-pay itu ternyata sangat rajin mengatur perayaan
yang akan dilangsungkan itu. Lenghou Tiong merasa terharu, “Lantaran diriku sehingga kedua suthay tua
mengalami nasib malang, tapi anak muridnya tidak menyalahkan aku, sebaliknya malah menghargai diriku
sedemikian rupa. Maka kalau tidak dapat membalaskan sakit hati kematian ketiga suthay tua, percumalah aku
menjadi manusia.”
Selagi melamun sambil memandangi salju yang menyelimuti puncak gunung di kejauhan, tiba-tiba di jalanan
yang menuju ke atas itu terdengar hiruk-pikuk serombongan orang. Padahal Kian-seng-hong biasanya tenang
dan sunyi, selamanya tak pernah terdengar suara ribut demikian. Biarpun Tho-kok-lak-sian yang suka geger itu
pun tidak sampai gembar-gembor seramai itu, apalagi kedengarannya jumlahnya jauh lebih banyak daripada
enam orang.
Tengah heran, terdengarlah suara langkah orang banyak, beberapa ratus orang telah membanjir ke atas
puncak situ. Seorang paling depan terus berseru, “Terimalah ucapan selamat kami, Lenghou-kongcu!
Bahagialah engkau hari ini!”
Orang itu pendek lagi gemuk, siapa lagi kalau bukan Lo Thau-cu. Di belakangnya tampak ikut Keh Bu-si, Coh
Jian-jiu, Ui Pek-liu, dan lain-lain.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, cepat ia memapak maju sambil berkata, “Aku menerima pesan terakhir
Ting-sian Suthay dan terpaksa mengetuai Hing-san-pay, sesungguhnya aku tidak berani bikin repot para
kawan. Mengapa kalian malah datang semua ke sini?”
Lo Thau-cu dan rombongannya ini pernah ikut Lenghou Tiong menggempur Siau-lim-si, setelah mengalami
pertarungan mati-matian itu di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. Maka beramai-ramai
mereka lantas merubung maju sambil mengelu-elukan Lenghou Tiong dengan mesranya.
“Setelah mendengar kabar bahwa Lenghou-kongcu telah berhasil menyelamatkan Seng-koh, semua orang
menjadi sangat girang,” demikian Lo Thau-cu berkata. “Tentang Kongcu akan menjabat ketua Hing-san-pay,
hal ini sudah tersiar dengan menggemparkan Kangouw, maka siapa pun sudah mengetahuinya. Dari sebab
itulah kami datang mengucapkan selamat padamu.”
“Kami adalah tamu-tamu yang tidak diundang, maka Hing-san-pay tentu tidak menyediakan ransum bagi
orang-orang kasar seperti kami ini, maka soal makanan dan arak kami telah bawa sendiri dan sebentar juga
akan tiba,” sambung Ui Pek-liu.
“Wah, bagus sekali!” kata Lenghou Tiong dengan girang. Ia pikir suasana demikian menjadi mirip sekali dengan
pertemuan besar di Ngo-pah-kang dahulu.
Tengah bicara kembali ada beberapa ratus orang membanjir ke atas lagi.
“Lenghou-kongcu,” kata Keh Bu-si dengan tertawa, “kita adalah orang sendiri, maka anak murid perempuanmu
yang lemah lembut itu tidak perlu meladeni orang-orang kasar seperti kami ini. Biarlah kita pakai acara bebas,
kami akan melayani kami sendiri.”
Sementara itu suasana di atas Kian-seng-hong sudah ramai sekali, murid Hing-san-pay sama sekali tak
menduga akan kedatangan tamu sedemikian banyak, banyak di antara mereka ikut gembira. Tapi beberapa di
antaranya yang lebih tua dan berpengalaman merasa tamu-tamu itu dikenalnya sebagai tokoh-tokoh kalangan
sia-pay yang biasanya tidak kenal-mengenal dengan pihak Hing-san-pay, tak terduga hari ini berbondongbondong
telah sama datang, apalagi ciangbunjin baru itu kelihatan sangat akrab menyambut kedatangan
mereka, mau tak mau anak murid Hing-san-pay yang lebih tua itu merasa serbabingung.
Siangnya muncul pula beberapa laki-laki yang membawa ayam, itik, kambing, dan kerbau, sayur-mayur dan
beras tepung, rupanya itulah perbekalan rombongan Lo Thau-cu yang dikatakan tadi.
Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay memuja Dewi Koan-im, sekarang dirinya baru saja menjabat ketua sudah
lantas sembelih kambing dan potong kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur HingDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
san-pay. Segera ia perintahkan rombongan tukang masak itu memindahkan “dapur umum” ke pinggang
gunung yang agak jauh. Walaupun begitu asap dan bau masakan daging itu toh teruar juga ke atas puncak.
Keruan para nikoh sama mengerut kening.
Setelah makan siang, para tamu sama duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Lenghou Tiong sendiri
duduk di ujung barat, para murid Hing-san-pay sama berdiri di belakangnya menurut urut-urutan usia dan
tingkatan masing-masing.
Selagi upacara akan dimulai, tiba-tiba terdengar suara seruling, serombongan orang muncul pula ke atas
puncak mengiringi dua orang tua berbaju hitam. Seorang tua yang berada paling depan itu berseru,
“Tonghong-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau mengutus kedua Kong-beng-sucia untuk memberi selamat kepada
Lenghou-tayhiap yang diangkat menjadi ketua Hing-san-pay. Semoga Hing-san-pay berkembang lebih jaya dan
wibawa Lenghou-tayhiap lebih gemilang di dunia persilatan.”
Mendengar ucapan itu, semua orang sama berseru gempar. Sedikit-banyak orang-orang Kangouw seperti Lo
Thau-cu dan lain-lain itu ada hubungannya dengan Mo-kau, malahan banyak di antaranya telah minum “Samsi-
nau-sin-tan” yang diberi Tonghong Put-pay, yaitu obat racun yang bekerja secara berkala. Maka begitu
mendengar “Tonghong-kaucu” disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.
Kebanyakan di antara mereka pun kenal kedua kakek utusan Tonghong Put-pay itu, yang di sebelah kiri, yaitu
yang bicara tadi, bernama Kah Po, bergelar “Wi-bin-cun-cia”, Si Duta Agung Muka Kuning. Sedangkan kakek
sebelah kanan bernama Siangkoan In, berjuluk “Tiau-hiap”, Si Pendekar Rajawali.
Kah Po dan Siangkoan In adalah pembantu utama dan merupakan tangan kanan-kiri Tonghong Put-pay, tinggi
ilmu silat mereka jauh di atas tokoh-tokoh sebangsa pangcu atau congthocu umumnya. Si Muka Kuning Kah Po
asalnya adalah Pangcu Wi-soa-pang di Lembah Hongho, selama berpuluh tahun malang melintang di wilayah
kekuasaannya entah sudah jatuhkan betapa banyak kaum kesatria dan jago persilatan. Kemudian dia
ditaklukkan oleh Tonghong Put-pay, lalu masuk Mo-kau dan menjadilah pembantu utama ketua Mo-kau itu.
Sekarang Tonghong Put-pay mengutus kedua pembantu utamanya datang ke Hing-san, hal ini boleh dikata
suatu penghargaan tertinggi bagi Lenghou Tiong. Maka semua orang lantas berdiri demi tampak datangnya Kah
Po dan Siangkoan In.
Lenghou Tiong juga lantas memapak ke depan, katanya, “Selamanya Cayhe belum kenal Tonghong-kaucu,
banyak terima kasih atas kunjungan Tuan-tuan berdua.”
Ia melihat muka Kah Po kuning seperti malam, kedua pelipisnya menonjol. Sedangkan sinar mata Siangkoan In
tampak berkilat tajam, nyata sekali lwekang kedua orang sangatlah tinggi.
Begitulah Kah Po lantas bicara pula, “Hari bahagia Lenghou-tayhiap ini mestinya Tonghong-kaucu bermaksud
datang sendiri buat memberi selamat, cuma beliau sedang sibuk menghadapi macam-macam pekerjaan
sehingga sukar membagi waktu, untuk ini mohon Lenghou-tayhiap sudi memberi maaf.”
“Ah, mana aku berani,” sahut Lenghou Tiong. Dalam hati ia pikir kalau melihat lagak utusan Tonghong Put-pay
ini, agaknya Yim-kaucu belum berhasil merebut kembali kedudukan kaucunya. Dan entah bagaimana keadaan
Yim-kaucu itu bersama Hiang-toako serta Ing-ing.
Dalam pada itu Kah Po tampak miringkan tubuhnya dan mengacungkan sebelah tangan ke belakang sambil
berkata, “Sedikit oleh-oleh ini adalah tanda mata dari Tonghong-kaucu, mohon Lenghou-ciangbun sudi
menerimanya.”
Dan di tengah suara tetabuhan dan tiupan seruling terlihatlah ratusan orang menggotong empat puluh buah
peti besar ke depan. Setiap peti itu digotong oleh empat laki-laki kekar, melihat tindakan penggotongpenggotong
yang berat itu dapat dibayangkan isi peti tentu juga tidak ringan.
Cepat Lenghou Tiong berkata, “Ah, kunjungan Tuan-tuan berdua saja bagi Lenghou Tiong sudah merupakan
suatu kehormatan besar, masakah Cayhe berani pula menerima hadiah sebesar ini. Harap disampaikan kepada
Tonghong-kaucu bahwa Cayhe mengucapkan banyak terima kasih. Pada umumnya anak murid Hing-san-pay
hidup secara sederhana sehingga tidak memerlukan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”
“Jika Lenghou-ciangbun tidak sudi menerima, maka Cayhe dan Siangkoan-heng yang menjadi serbasusah,”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ujar Kah Po. Lalu ia berpaling kepada Siangkoan In dan bertanya, “Betul tidak, Saudaraku?”
“Betul!” kata Siangkoan In. Sungguh di luar dugaan, begitu keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga
orang-orang lain serasa tergetar. Mungkin dia sendiri pun tahu suaranya teramat keras, maka biasanya dia
tidak banyak bicara, sejak datangnya tadi juga baru sekarang ia mengucapkan sebuah kata “betul” itu.
Lenghou Tiong menjadi serbaberat menghadapi persoalan ini. Hing-san-pay adalah golongan cing-pay yang
tidak bisa hidup bersama Mo-kau. Apalagi Yim-kaucu dan Ing-ing selekasnya juga akan meluruk dan bikin
perhitungan kepada Tonghong Put-pay, mana boleh aku menerima sumbanganmu pula? Demikian ia
menimbang-nimbang.
Kemudian ia berkata pula, “Harap Kah-heng berdua suka sampaikan kepada Tonghong-siansing bahwa
sumbangannya ini sekali-kali tak berani kuterima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang
sumbangan ini, terpaksa Cayhe menyuruh orang mengantar ke sana.”
Kah Po tersenyum, jawabnya, “Apakah Lenghou-ciangbun mengetahui apa isi ke-40 peti ini?”
“Sudah tentu tidak tahu,” sahut Lenghou Tiong.
“Bila Lenghou-ciangbun sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Kah Po dengan tertawa.
“Sesungguhnya isi ke-40 peti itu juga tidak seluruhnya adalah sumbangan Tonghong-kaucu, tapi sebagian
harus diserahkan kepada Lenghou-ciangbun sendiri, antaran kami ini boleh dikata mengembalikan barangnya
kepada pemiliknya saja.”
Lenghou Tiong menjadi heran. “Apa, kau bilang barangku? Barang apakah itu?” tanyanya bingung.
Kah Po maju selangkah dan bicara dengan suara tertahan, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian,
perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Yim-siocia di Hek-bok-keh, sekarang
Tonghong-kaucu menyuruh kami antar ke sini agar bisa dipakai oleh Yim-siocia. Sebagian pula di antaranya
adalah sumbangan Kaucu kepada Lenghou-ciangbun dan Yim-siocia, oleh karena itu harap Lenghou-ciangbun
jangan sungkan-sungkan lagi dan sudi menerimanya. Haha!”
Watak Lenghou Tiong memang suka blakblakan dan tidak suka pelungkar-pelungker, melihat maksud
sumbangan Tonghong Put-pay itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang itu adalah milik
Ing-ing, maka ia pun tidak menolak lagi, sambil bergelak tertawa ia berkata, “Haha, baiklah kuterima. Banyak
terima kasih.”
Pada saat itulah seorang murid perempuan tampak mendekati dan melapor, “Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay
datang sendiri untuk memberi selamat.”
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia memburu ke sana untuk menyambut. Dilihatnya Tiong-hi Tojin bersama
delapan muridnya sedang naik ke atas. Lenghou Tiong membungkukkan tubuh memberi hormat dan menyapa,
“Atas kunjungan Totiang ini, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat berterima kasih.”
“Lenghou-laute dengan bahagia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay, berita ini sungguh sangat
menggirangkan Pinto,” sahut Tiong-hi Tojin. “Kabarnya Hong-ting dan Hong-sing Taysu dari Siau-lim juga akan
datang memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba belum?”
Keruan Lenghou Tiong tambah tercengang, sahutnya, “Wah, ini... ini....”
Pada saat itulah jalan pegunungan itu tampak muncul pula serombongan hwesio, dua orang paling depan jelas
adalah Hong-ting dan Hong-sing Taysu.
“Tiong-hi Toheng, cepat amat langkahmu sehingga mendahului kami,” seru Hong-ting Taysu dari jauh.
Cepat Lenghou Tiong memapak ke depan dan berseru, “Kunjungan kedua Taysu sungguh suatu kehormatan
besar bagi Lenghou Tiong.”
Dengan tertawa Hong-sing Taysu menjawab, “Lenghou-siauhiap, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke
Siau-lim-si, sekarang kami balas berkunjung satu kali ke Hing-san sini kan cuma sekadar kunjungan timbal
balik saja.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah Lenghou Tiong menyongsong rombongan-rombongan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay itu ke atas.
Melihat ketua-ketua dari Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sendiri yang datang, hal ini sungguh membikin para
jagoan Kangouw sama terperanjat. Kah Po dan Siangkoan In saling pandang sekejap, mereka anggap tidak
tahu saja kedatangan Tiong-hi Tojin, Hong-ting Taysu, dan rombongannya.
Lalu Lenghou Tiong menyilakan Hong-ting dan lain-lain ke tempat duduk yang paling terhormat. Dalam hati ia
tidak habis pikir kunjungan tetamunya yang luar biasa itu. Ia ingat dahulu waktu suhunya menjabat ketua Hoasan-
pay, pihak Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay hanya kirim utusan untuk mengucapkan selamat. Sekarang
ketua-ketua kedua aliran teragung di dunia persilatan ini ternyata sudi berkunjung sendiri padanya, apakah
mereka benar-benar datang memberi selamat atau masih ada maksud tujuan lain?
Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan masih tidak terputus-putus, kebanyakan adalah jago-jago yang
pernah ikut menggempur Siau-lim-si tempo hari. Menyusul utusan-utusan Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay, Go-bipay,
Kong-tong-pay, Kay-pang, dan lain-lain juga tiba dengan membawa sumbangan-sumbangan dan kartu
ucapan selamat dari ketua masing-masing.
Begitu banyak tamu-tamu yang datang itu ternyata tiada terdapat utusan-utusan dari Ko-san-pay, Hoa-sanpay,
dan Thay-san-pay.
Dalam pada itu terdengarlah suara petasan yang ramai, rupanya sudah tiba waktunya upacara dilangsungkan.
Lenghou Tiong berbangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan sepatah dua kata
pengantar. Di tengah suara tetabuhan kecer dan keleningan, anak murid Hing-san-pay mulai berbaris ke
tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Gi-ho, Gi-jing, Gi-cin, dan Gi-cit. Keempat
murid tertua itu menghadap ke depan Lenghou Tiong dan memberi hormat. Gi-ho berkata, “Keempat alat
keagamaan ini adalah pusaka warisan dari cikal bakal Hing-san-pay Hiau-hong Suthay, biasanya berada di
bawah penguasaan ciangbunjin, maka ciangbunjin baru sekarang, Lenghou-suheng, diharap sudi
menerimanya.”
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka
bawa itu kepada Lenghou Tiong. Yaitu sejilid kitab, sebuah bok-hi (kentung kecil berbentuk ikan dari kayu),
serenceng tasbih, dan sebatang pedang pendek.
Rada kikuk juga Lenghou Tiong diharuskan menerima bok-hi dan tasbih segala, soalnya dia toh tidak pernah
sembahyang dan baca kitab. Tapi terpaksa diterimanya sambil menunduk.
Lalu Gi-jing membuka sebuah kitab dan berseru, “Empat pantangan besar Hing-san-pay. Pertama, pantang
membunuh yang tak berdosa. Kedua, pantang membikin onar dan melakukan kejahatan. Ketiga, dilarang
membangkang atasan dan berkhianat. Keempat, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan penjahat. Untuk
mana hendaklah Ciangbun-suheng memberi teladan dan memimpin para Tecu dengan bijaksana.”
Kembali Lenghou Tiong mengiakan. Tapi dalam hati ia pikir larangan keempat tentang tidak boleh bergaul
dengan golongan sesat dan orang jahat segala rasanya sukar dijalankan. Yang jelas tetamu yang hadir
sekarang ada sebagian besar terdiri dari golongan sia-pay.
Kemudian Gi-cin berkata, “Sekarang silakan Ciangbun-suheng masuk biara untuk sembahyang kepada arwah
para leluhur Hing-san-pay kita.”
Lenghou Tiong mengiakan lagi. Tapi sebelum dia melangkah, tiba-tiba dari jalan sana ada orang berteriak,
“Perintah dari Co-bengcu Ngo-gak-kiam-pay bahwa Lenghou Tiong tidak boleh menyerobot kedudukan ketua
Hing-san-pay.”
Lenyap suara itu, muncul secepat terbang lima orang, di belakangnya menyusul pula beberapa puluh orang.
Kelima orang di depan itu masing-masing membawa sebuah panji sulam. Itulah panji persekutuan Ngo-gakkiam-
pay.
Kira-kira beberapa meter di depan Lenghou Tiong, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri di
tengah adalah seorang pendek gemuk, berwajah kekuning-kuningan dan berusia 50-an.
Segera Lenghou Tiong mengenal orang itu sebagai Lim Ho yang berjuluk “Tay-im-yang-jiu”, yaitu salah
seorang tokoh terkemuka Ko-san-pay. Waktu bertarung di daerah Holam tempo hari kedua tangan Lim Ho
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pernah ditembus oleh tusukan pedang Lenghou Tiong. Jadi di antara mereka sudah terikat permusuhan.
“O, kiranya Lim-heng adanya,” demikian Lenghou Tiong menyapa.
Lim Ho mengebaskan panji yang dipegangnya itu, katanya, “Hing-san-pay adalah anggota Ngo-gak-kiam-pay,
maka harus tunduk kepada perintah Co-bengcu.”
“Tapi setelah aku menjabat ketua Hing-san-pay, apakah selanjutnya masih menjadi anggota Ngo-gak-kiam-pay
atau tidak masih harus kupikirkan dulu,” sahut Lenghou Tiong dengan tersenyum.
Sementara itu, beberapa puluh orang di belakang tadi juga sudah merubung tiba. Kiranya terdiri dari anak
murid Ko-san-pay, Heng-san-pay, Hoa-san-pay, dan Thay-san-pay. Delapan orang Hoa-san-pay adalah para
sute Lenghou Tiong, orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain juga sebagian besar sudah dikenalnya. Beberapa
puluh orang itu berbaris menjadi empat kelompok, semuanya siap siaga dan tidak buka suara.
Lim Ho lantas bicara pula, “Selamanya Hing-san-pay diketuai oleh kaum nikoh. Sebagai orang lelaki mana
boleh Lenghou Tiong melanggar peraturan Hing-san-pay yang sudah turun-temurun ratusan tahun ini?”
“Peraturan dibuat oleh manusia dan tentu pula dapat diubah oleh manusia, hal ini adalah urusan dalam Hingsan-
pay kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Lenghou Tiong.
Serentak pula terdengar caci maki Lo Thau-cu dan kawan-kawannya kepada Lim Ho, “Huh, urusan Hing-sanpay
sendiri, peduli apa dengan Ko-san-pay kalian?”
“Hm, bengcu apa segala? Bengcu kentut anjing!”
“Hayolah lekas enyah dari sini saja!”
“Orang-orang yang bermulut kotor ini kerja apakah di sini?” tanya Lim Ho kepada Lenghou Tiong.
“Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir mengikuti upacara,” sahut Lenghou Tiong.
“Itu dia,” kata Lim Ho. “Coba katakan padaku, apa larangan keempat dari peraturan Hing-san-pay kalian?”
“Larangan keempat itu menyatakan dilarang bergaul dengan orang jahat,” sahut Lenghou Tiong sengaja.
“Memang, manusia semacam Lim-heng sudah tentu takkan digauli oleh Lenghou Tiong.”
Maka gemuruhlah suara tawa orang ramai, banyak di antaranya berteriak-teriak, “Nah, lekas enyah dari sini
manusia jahat!”
Lim Ho terpaksa berpaling dan bicara kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, “Kedua Tayciangbun adalah
tokoh yang diagungkan pada dunia persilatan zaman ini, sekarang mohon memberi penilaian yang adil. Dengan
mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Lenghou Tiong sudah melanggar peraturan Hing-san-pay
yang melarang bergaul dengan kaum penjahat. Tampaknya Hing-san-pay yang punya nama baik selama
beratus-ratus tahun ini akan runtuh begitu saja, masakah Locianpwe berdua dapat tinggal diam?”
“Tentang ini... ini....” kata Hong-ting Taysu sambil berdehem, ia pikir ucapan orang she Lim ini memang
beralasan, sebagian besar yang hadir ini memang tergolong orang sia-pay, masakah Lenghou Tiong harus
disuruh mengusir orang-orang sebanyak itu?
Pada saat itulah tiba-tiba dari jalanan sana berkumandang suara seorang perempuan, “Yim-siocia dari Tiauyang-
sin-kau tiba!”
Terkejut dan girang Lenghou Tiong tak terkira, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, “He, Ing-ing juga datang!”
Cepat ia menyongsong ke ujung jalan sana, dilihatnya dua lelaki kekar menggotong sebuah tandu sedang
mendaki ke atas secepat terbang. Di belakang tandu mengikuti empat dayang berbaju hijau.
“Lihatlah, sampai tokoh terkemuka Mo-kau juga datang, bukankah sudah jelas bergaul dengan kaum jahat?”
ejek Lim Ho dengan suara keras.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sementara itu demi mendengar kedatangan Ing-ing, sebagian besar jago-jago yang hadir itu pun sama
menyongsong ke jalanan sana sambil bersorak gemuruh.
Diam-diam orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama kebat-kebit melihat kekuatan lawan yang jauh lebih
besar itu, kalau sampai terjadi pertempuran tentu sukar dibayangkan bagaimana jadinya.
Dalam pada itu tandu kecil telah sampai di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah, di mana tirai terbuka,
keluarlah seorang gadis jelita berbaju hijau muda. Siapa lagi dia kalau bukan Ing-ing.
“Seng-koh! Hidup Seng-koh!” serentak para jago bersorak sembari membungkukkan tubuh. Jelas mereka
sangat hormat dan segan kepada Ing-ing, tapi rasa girang mereka pun timbul dari lubuk hati yang setulusnya.
“Kau pun datang, Ing-ing?” Lenghou Tiong menyapa sambil mendekati dengan tersenyum.
“Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” sahut Ing-ing dengan senyuman manis.
Pandangannya menyoroti sekelilingnya melintasi muka setiap hadirin, lalu ia sedikit membungkuk tubuh
kepada Hong-ting dan Tiong-hi berdua dan berseru, “Hongtiang Taysu, Ciangbun Totiang, terimalah salamku!”
Hong-ting dan Tiong-hi sama membalas hormat sambil berpikir, “Betapa pun akrabnya dengan Lenghou Tiong
mestinya jangan datang kemari, sekarang Lenghou Tiong benar-benar dibuatnya serbasusah.”
Tiba-tiba Lim Ho berseru pula, “Nona ini adalah tokoh penting dari Hek-bok-keh, betul tidak, Lenghou Tiong?”
“Benar, mau apa?” sahut Lenghou Tiong.
“Larangan keempat Hing-san-pay menetapkan ‘dilarang bergaul dengan kaum jahat’. Bila kau tidak putuskan
hubungan dengan manusia-manusia sesat dan jahat ini tidak boleh kau menjadi ketua Hing-san-pay,” kata Lim
Ho.
“Tidak boleh ya tidak boleh, memangnya kenapa?” jawab Lenghou Tiong.
Alangkah mesranya perasaan Ing-ing mendengar ucapan itu. Tanyanya kemudian, “Dari manakah kawan ini?
Berdasarkan apa dia mencampuri urusan Hing-san-pay kalian?”
“Dia mengaku diutus oleh Co-ciangbun dari Ko-san-pay, panji yang dia pegang itu adalah panji kebesaran Cobengcu,”
kata Lenghou Tiong. “Hm, janganlah cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Co-ciangbun datang
sendiri juga tidak berhak mencampuri urusan Hing-san-pay kami.”
“Tepat,” kata Ing-ing sambil mengangguk. Ia menjadi gemas juga bila teringat kelicikan Co Leng-tan ketika
pertandingan di Siau-lim-si tempo hari sehingga membikin ayahnya terluka dan hampir-hampir celaka. Ia
berkata pula, “Siapa bilang itu panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay? Dia penipu....” belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong tubuhnya melesat ke sana, tahu-tahu sebelah tangannya sudah bertambah sebilah pedang
pendek, secepat kilat terus menikam ke dada Lim Ho.
Sama sekali Lim Ho tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian gapah, tanpa sesuatu petunjuk apa-apa
tahu-tahu lantas menerjangnya. Untuk menangkis terang tidak sempat lagi, terpaksa Lim Ho mengegos ke
samping. Ia tidak menduga serangan Ing-ing itu cuma serangan pancingan belaka, baru saja tubuhnya
menggeser, tahu-tahu pegangannya terasa kendur, panji yang terpegang di tangan kanannya dirampas oleh si
nona.
Gerak tubuh Ing-ing tidak lantas berhenti, berturut-turut pedangnya menikam lima kali dan sekaligus lima
buah panji sulam sudah dirampasnya. Gerakan yang dia gunakan sama, lima kali serangan selalu sama, namun
cepat luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji mereka sudah
berpindah tangan. Lalu Ing-ing memutar ke belakang Lenghou Tiong, katanya, “Engkoh Tiong, panji-panji ini
semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Ngo-gak-kiam-pay, ini kan Ngo-tok-ki (Panji Pancabisa) milik Ngosian-
kau.”
Waktu dia membentang kelima panji sulam yang dipegangnya itu, tertampak dengan jelas panji-panji itu
masing-masing tersulam gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak yang berbisa. Jadi sama
sekali bukan panji Ngo-gak-kiam-pay.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lim Ho dan kawan-kawannya melongo, terkejut dan tak bisa bicara. Sebaliknya Lo Thau-cu dan kawankawannya
lantas bersorak memuji. Mereka tahu begitu merampas panji-panji lawan segera Ing-ing
menukarnya dengan Ngo-tok-ki. Cuma bekerja Ing-ing itu teramat cepat sehingga tiada seorang pun melihat
cara bagaimana dia bisa menukar panji-panji yang berlainan itu.
“Na-kaucu!” seru Ing-ing.
Segera seorang wanita cantik berdandan suku bangsa Miau tampil ke depan dan menjawab, “Adakah Seng-koh
memberi perintah?”
Dia bukan lain adalah Na Hong-hong, ketua Ngo-tok-kau yang terkenal.
“Ngo-tok-ki agamamu ini mengapa bisa jatuh di tangan orang Ko-san-pay?” tanya Ing-ing.
“Anak murid Ko-san-pay ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku, mungkin mereka telah pakai
kata-kata manis dan membujuknya sehingga Ngo-tok-ki agama kami ini tertipu olehnya,” jawab Na Hong-hong
dengan tertawa.
“O, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu,” kata Ing-ing sambil melemparkan kelima buah panji itu.
“Terima kasih Seng-koh,” sahut Na Hong-hong sembari menyambuti panji-panji itu.
“Perempuan siluman, di depanku juga berani pakai permainan gila begitu, lekas kembalikan panji-panji kami,”
Lim Ho mendamprat.
“Kau ingin Ngo-tok-ki, kenapa tidak minta kepada Na-kaucu saja?” ujar Ing-ing.
Dengan mendongkol terpaksa Lim Ho berpaling kepada Hong-ting dan Tiong-hi, katanya, “Hongtiang Taysu dan
Tiong-hi Totiang, hendaklah kalian berdua tokoh agung sudi memberi keadilan.”
“Tentang peraturan Hing-san-pay memang... memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan orang
jahat,” kata Hong-ting. “Cuma... cuma hari ini banyak kawan Kangouw yang hadir mengikuti upacara sehingga
terpaksa Lenghou-ciangbun tak bisa menutup pintu dan membikin malu tamunya....”
“Apakah orang seperti... seperti dia itu juga kawan Lenghou Tiong?” seru Lim Ho sambil menuding seorang di
tengah orang banyak.
Ternyata orang yang ditunjuk itu adalah “Ban-li-tok-heng” Dian Pek-kong yang terkenal sebagai maling cabul
yang jahat.
“Dian Pek-kong, kau mau apa datang ke Hing-san sini?” tanya Lim Ho dengan bengis.
“Cayhe datang ke sini untuk berguru,” jawab Dian Pek-kong.
“Berguru?” Lim Ho menegas.
“Betul,” sahut Pek-kong. Tiba-tiba ia mendekati Gi-lim, lalu berlutut dan menyembah, “Suhu, terimalah hormat
muridmu, Dian Pek-kong.”
Keruan wajah Gi-lim merah malu. “Kau... kau....” dengan tergagap ia mengegos ke samping untuk menghindari
hormat orang.
Semua orang menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki tinggi besar sebagai Dian Pek-kong itu kok
memanggil suhu kepada Gi-lim yang muda jelita itu. Seluk-beluk ini hanya diketahui oleh Lenghou Tiong saja
karena pertaruhan kata-kata yang pernah diucapkan di masa dahulu, sungguh tidak nyana Dian Pek-kong
benar-benar telah menyembah dan mengangkat Gi-lim sebagai suhu.
“Ya, kalau Dian-siansing benar-benar mau insaf dan kembali ke jalan yang benar, apa salahnya? Betul tidak,
Hong-ting Taysu?” ujar Ing-ing. “Bukankah sang Buddha mengatakan, siapa pun yang mau menyadari
kesalahannya akan diberi jalan pembaruan. Betul tidak?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Benar,” sahut Hong-ting. “Secara sadar Dian-siansing mengabdikan diri ke dalam Hing-san-pay, ini benarbenar
suatu keuntungan bagi dunia persilatan.”
“Nah, dengarkan, kawan-kawan. Kedatangan kita hari ini adalah untuk mengabdi ke dalam Hing-san-pay,
asalkan Lenghou-ciangbun sudi menerima, maka kita lantas terhitung anak buah Hing-san-pay. Dan kalau
sudah menjadi anak buah Hing-san-pay apakah dapat dianggap sebagai kaum jahat?” seru Ing-ing.
Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya kedatangan Ing-ing dan orang banyak itu memang berencana
untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anak buah kaum laki-laki itu, sebab dia
memang lagi serbaragu-ragu karena mesti mengetuai kaum nikoh itu. Dengan suara lantang ia lantas tanya,
“Gi-ho Suci, apakah dalam peraturan pay kita adalah larangan menerima anggota lelaki?”
“Larangan menerima anggota lelaki sih memang tidak ada, cuma... cuma....” rada bingung juga Gi-ho, ia
merasa tidak enak juga karena Hing-san-pay mendadak harus bertambah anggota lelaki sebanyak itu.
Bab 103. Seksi Istimewa Hing-san-pay
Lenghou Tiong lantas menyambung, “Jika kalian mau menjadi anggota Hing-san-pay, ya boleh juga. Cuma
kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup dianggap sudah menjadi anggota. Untuk selanjutnya Hingsan-
pay boleh mengadakan suatu... eeh suatu... suatu ‘seksi istimewa’. Kukira Thong-goan-kok di sebelah sana
adalah suatu tempat tinggal yang baik bagi kalian.”
Thong-goan-kok adalah suatu lembah tidak jauh di sebelah Kian-seng-hong, puncak Hing-san tertinggi di mana
biara induk Hing-san-pay berada. Meski jarak lembah itu tidak jauh, tapi untuk menuju ke puncak Kian-senghong
harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah
terpencil itu maksud Lenghou Tiong ialah untuk memisahkan mereka dari para nikoh.
Mendengar keputusan Lenghou Tiong itu, Hong-ting Taysu manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara
mengatur ini. Dengan masuknya para sobat ini ke dalam Hing-san-pay dan terikat pula oleh tata tertib Hingsan-
pay, hal ini benar-benar suatu peristiwa menyenangkan bagi dunia persilatan.”
Karena tokoh seperti Hong-ting Taysu juga berkata demikian, mau tak mau Lim Ho tidak berani merintangi
lagi, terpaksa ia mengemukakan perintah kedua dari Co Leng-tan, katanya, “Bengcu Ngo-gak-kiam-pay ada
perintah pula agar pada pagi hari tanggal 15 bulan tiga nanti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay hendaknya
berkumpul di Ko-san untuk memilih ciangbunjin dari Ngo-gak-pay. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan datang
tepat pada waktunya.”
“Ngo-gak-pay? Jadi gabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah ditetapkan? Siapakah yang mengambil prakarsa
peleburan ini?” tanya Lenghou Tiong.
“Yang jelas Ko-san, Heng-san, Thay-san, dan Hoa-san-pay sudah setuju,” sahut Lim Ho. “Jika Hing-san-pay
kalian punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat pay yang lain dan berarti
pula kau mencari penyakit sendiri.”
Lalu ia menoleh dan tanya kepada orang Thay-san-pay yang ikut datang bersamanya itu, “Betul tidak?”
“Betul!” serentak berpuluh orang yang berdiri di belakangnya menjawab.
Lim Ho mendengus dan tidak bicara pula, ia putar tubuh terus melangkah pergi.
“Eh, Lim-losu, kau kehilangan panji, cara bagaimana kau akan menjawab bila ditanya oleh Co-bengcu?” tibatiba
Na Hong-hong berseru sambil tertawa. “Ini, kukembalikan saja panjimu!”
Berbareng itu sebuah panji bersulam terus dilemparkan ke arah Lim Ho.
Memangnya Lim Ho lagi kesal karena kehilangan leng-ki (panji mandat) tadi, ketika tiba-tiba Na Hong-hong
melemparkan sehelai panji kecil ke arahnya, ia pikir ini tentu kau punya Ngo-tok-ki, buat apa aku
mengambilnya? Namun saat itu panji kecil itu sudah menyambar ke mukanya, tanpa pikir ia terus
menangkapnya. Tapi mendadak ia menjerit sendiri sambil melemparkan pula panji kecil itu. Terasa telapak
tangannya panas seperti terbakar. Waktu diperiksa, ternyata telapak tangan telah berubah hitam biru, jelas
panji itu berbisa. Jadi dia telah kena dikibuli Ngo-tok-kau. Keruan ia terkejut dan murka, terus saja ia memaki,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bedebah! Perempuan hina....”
Dengan tertawa Na Hong-hong menyela, “Lekas kau panggil ‘Lenghou-ciangbun’ dan minta belas kasihannya,
habis itu segera kuberi obat penawarnya bila kau tidak ingin kehilangan sebelah tanganmu yang akan
membusuk dalam waktu singkat.”
Lim Ho cukup kenal betapa lihainya cara Ngo-tok-kau menggunakan racun, hanya ragu-ragu sejenak saja
telapak tangan sudah terasa kaku dan mulai kehilangan daya rasa. Ia pikir segenap kepandaianku adalah
terletak pada kedua tangan, bila kehilangan tangan itu berarti cacat untuk selamanya. Karena cemasnya itu,
terpaksa ia berseru, “Lenghou-ciangbun, kau... kau....”
“Apakah begitu caranya mohon ampun?” ejek Na Hong-hong dengan tertawa.
“Lenghou-ciangbun, Cayhe telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon... mohon engkau sudi
memberikan obat... obat penawarnya,” pinta Lim Ho dengan terputus-putus.
Lenghou Tiong tersenyum, katanya kemudian, “Nona Na, kasihan padanya, boleh berikan obat penawarnya!”
Dengan tertawa Na Hong-hong lantas memberi isyarat kepada seorang pengiring perempuan, segera pengiring
itu mengeluarkan sebungkus kecil dan dilemparkan kepada Lim Ho. Dengan tersipu-sipu Lim Ho menangkap
bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tertawa mengejek orang banyak.
“Para kawan, kalau kalian sudah mau tinggal di Thong-goan-kok, maka kalian harus taat kepada tata tertib pay
kita,” seru Lenghou Tiong dengan lantang. “Sekarang kalian adalah orang Hing-san-pay, sudah tentu kalian
bukan lagi orang-orang sia-pay, tapi selanjutnya kalian harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang luar.”
Serentak rombongan Lo Thau-cu dan lain-lain mengiakan dengan bergemuruh.
Lalu Lenghou Tiong menyambung, “Bila kalian ingin minum arak dan makan daging sih boleh-oleh saja, cuma
orang-orang yang tidak pantang makan untuk selanjutnya dilarang naik ke Kian-seng-hong sini, termasuk aku
sendiri, semua peraturan harus dipatuhi.”
“Siancay! Memang tempat Buddha yang suci ini janganlah dikotori,” ujar Hong-ting Taysu sambil menyebut
Buddha.
“Baiklah, sekarang telah selesai aku diangkat menjadi ciangbunjin,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Tentunya semua orang sudah lapar, lekas siapkan daharan, hari ini kita semua ciacay (makanan sayursayuran),
besok barulah kita makan minum lagi di Thong-goan-kok.”
Selesai dahar, Hong-ting Taysu berkata, “Lenghou-ciangbun, Lolap dan Tiong-hi Toheng ingin berunding sedikit
dengan engkau.”
Lenghou Tiong mengiakan. Ia pikir apa yang akan dibicarakan kedua tokoh terkemuka itu tentulah urusan
penting. Padahal di puncak Kian-seng-hong ini terlalu banyak orang dan bukan suatu tempat bicara yang baik.
Segera ia perintahkan Gi-ho dan lain-lain melayani tetamu, lalu ia berkata kepada Hong-ting dan Tiong-hi, “Di
sebelah puncak ini ada sebuah gunung bernama Cui-peng-san, tebing pegunungan itu sangat terjal dan licin, di
atas gunung ada kuil bernama Sian-kong-si, tempat ini termasuk salah satu pemandangan alam yang indah di
Hing-san. Bilamana kedua Cianpwe ada minat, bagaimana kalau kita pesiar ke sana.”
Dengan rendah hati Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin menerima baik undangan itu dan menyatakan sudah
lama mengagumi tempat termasyhur dengan pemandangan alamnya yang indah itu.
Begitulah Lenghou Tiong lantas membawa kedua tamunya menuruni Kian-seng-hong, sampai di bawah Cuipeng-
san, ketika mendongak ke atas, tertampak di puncak gunung dua buah rumah mencuat di angkasa
seakan-akan terapung di udara, sesuai benar dengan namanya “Sian-kong-si”, Kuil Mengapung di Udara.
Dengan ginkang yang tinggi ketiga orang lantas mendaki ke atas dan tibalah di kuil itu. Sian-kong-si itu terdiri
dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga, jarak kedua bangunan itu ada belasan meter dan di
antara kedua bangunan itu dihubungkan dengan jembatan gantung.
Kuil itu ditunggui seorang perempuan tua. Melihat kedatangan Lenghou Tiong bertiga, perempuan tua itu hanya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
melongo saja, tidak menyapa juga tidak memberi hormat.
Belasan hari yang lalu Lenghou Tiong sudah pernah berkunjung ke tempat ini bersama Gi-ho dan lain-lain dan
diketahui penjaga perempuan ini tuli dan bisu. Maka ia pun tidak menggubrisnya, tapi bersama Hong-ting dan
Tiong-hi mengelilingi bangunan indah itu, kemudian menuju ke jembatan gantung.
Jembatan itu cuma selebar satu meteran, kalau orang-orang biasa berdiri di tengah jembatan itu tentu akan
merasa seakan-akan berdiri di tengah udara, mungkin seketika kaki lantas lemas dan tak berani bergerak. Tapi
mereka bertiga adalah jago silat kelas wahid, berada di atas jembatan yang luar biasa itu mereka malah
merasa bebas lepas, pikiran lapang menggembirakan.
Setelah menikmati pemandangan alam yang menakjubkan itu, kemudian berkatalah Hong-ting Taysu,
“Lenghou-ciangbun, apa maksud tujuan kedatangan Lim-losu dari Ko-san-pay tadi?”
“Menyampaikan perintah Co-bengcu, Wanpwe dilarang menjabat ketua Hing-san-pay,” jawab Lenghou Tiong.
“Apa sebabnya Co-bengcu melarang kau menjadi ketua Hing-san-pay?” tanya Hong-ting.
“Mungkin karena Wanpwe pernah bersikap kasar padanya ketika di kuil agung Siau-lim-si tempo hari, maka
Co-bengcu menjadi benci dan dendam kepadaku,” kata Lenghou Tiong. “Apalagi Wanpwe pernah merintangi
rencananya dalam usaha melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi suatu pay yang besar.”
“Mengapa kau merintangi rencananya itu?” tanya Hong-ting pula.
Lenghou Tiong melengak, seketika merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa mengulangi,
“Mengapa aku merintangi rencananya?”
Maka Hong-ting bertanya lagi, “Apakah kau merasa usahanya melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu adalah
rencana yang tidak baik.”
“Tatkala itu Wanpwe tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak baik, hanya saja untuk
maksud tujuannya itu Ko-san-pay telah mengancam Hing-san-pay agar menerimanya, bahkan menyaru
sebagai anggota Mo-kau untuk menculik anak murid Hing-san-pay, Ting-cing Suthay dikerubut pula secara keji,
secara kebetulan Wanpwe memergoki perbuatan mereka itu, Wanpwe merasa penasaran dan memberi bantuan
kepada Hing-san-pay. Kupikir kalau peleburan Ngo-gak-kiam-pay adalah suatu usaha yang baik, mengapa Kosan-
pay tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin Ngo-gak-kiam-pay yang lain, tapi
pakai cara-cara licik dan keji?”
“Pandanganmu memang betul,” ujar Tiong-hi Tojin sambil manggut-manggut. “Co Leng-tan memang punya
ambisi besar dan ingin menjadi tokoh bu-lim nomor satu. Tapi ia sadar pribadinya sukar mengatasi orang
banyak, maka terpaksa ia gunakan tipu muslihat licik.”
Hong-ting menghela napas, lalu menyambung, “Co-bengcu sebenarnya seorang serbapintar dan merupakan
tokoh bu-lim yang sukar dicari bandingannya. Cuma ambisinya terlalu besar dan bernafsu hendak menjatuhkan
nama Siau-lim dan Bu-tong-pay, untuk maksud tujuan ini terpaksa ia menggunakan macam-macam jalan.”
“Bahwasanya Siau-lim-pay adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratusratus
tahun,” kata Tiong-hi. “Di bawah Siau-lim-pay bolehlah dihitung Bu-tong-pay, selanjutnya adalah Kunlun-
pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, dan lain-lain. Lenghou-hiante, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan
golongan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing aliran itu, ilmu silat yang diciptakan
adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun dari sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Ngogak-
kiam-pay adalah kejadian 60-70 tahun terakhir ini, walaupun cepat perkembangannya, namun dasarnya
tetap di bawah Kun-lun-pay, Go-bi-pay, dan lain-lain, lebih-lebih tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat
Siau-lim-pay yang termasyhur.”
Lenghou Tiong mengangguk dan membenarkan.
Lalu Tiong-hi meneruskan, “Di antara berbagai aliran dan golongan itu terkadang memang muncul juga satudua
cerdik pandai dan menjagoi pada zamannya. Tapi melulu tenaga seorang dua saja toh tetap sukar
mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai golongan dan aliran itu. Ketika Co Leng-tan mula-mula menjabat
ketua Ngo-gak-kiam-pay, waktu itu juga Hong-ting Taysu sudah meramalkan dunia persilatan selanjutnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tentu akan banyak urusan. Dan dari tingkah laku Co Leng-tan beberapa tahun terakhir ini, nyata benar ramalan
Hong-ting Taysu memang tidak meleset.”
“Omitohud!” Hong-ting menyebut Buddha sambil merangkap kedua tangannya.
Lalu Tiong-hi menyambung pula, “Menjadi bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay adalah langkah pertama usaha Co
Leng-tan. Langkah kedua adalah melebur kelima aliran menjadi satu dan tetap diketuai olehnya. Sesudah Ngogak-
kiam-pay terlebur menjadi satu, dengan sendirinya kekuatan tambah besar dan secara tidak resmi sudah
dapat berjajar dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Kemudian dia tentu akan maju selangkah lagi dengan
mencaplok Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, Jing-sia-pay, dan lain-lain sehingga ikut terlebur semua.
Lebih jauh dia tentu akan mencari perkara kepada Tiau-yang-sin-kau, bersama Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay
sekaligus Tiau-yang-sin-kau akan ditumpasnya.”
Dalam lubuk hati Lenghou Tiong yang dalam timbul semacam rasa khawatir, katanya kemudian, “Sungguh
sukar dilakukan usaha-usaha sebesar itu, buat apa dia mesti bersusah payah untuk mencapai maksudnya itu?”
“Hati manusia sukar diukur, segala apa di dunia ini, betapa sukarnya tentu juga ada orang yang ingin
mencobanya,” ujar Tiong-hi. “Soalnya kalau Co Leng-tan dapat menumpas Tiau-yang-sin-kau, maka saat itu
boleh dikata dia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Untuk selanjutnya tentunya
tidak sukar baginya buat mencaplok pula Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.”
“O, kiranya Co Leng-tan ingin dipuja dan memimpin seluruh dunia persilatan,” kata Lenghou Tiong.
“Itulah dia!” sahut Tiong-hi dengan tertawa. “Tatkala mana mungkin dia ingin menjadi raja pula dan sesudah
menjadi raja mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Inilah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak
kenal puas, sedari dahulu kala memang demikianlah manusia yang berkuasa dan banyak pula yang hancur
karenanya.”
Lenghou Tiong terdiam sejenak, katanya kemudian, “Orang hidup paling-paling beberapa puluh tahun saja,
buat apa mesti bersusah payah begitu? Co Leng-tan ingin menumpas Tiau-yang-sin-kau dan ingin mencaplok
Siau-lim serta Bu-tong-pay, untuk mana entah betapa banyak korban akan timbul?”
“Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat, kita harus mencegah agar maksud Co Leng-tan itu tidak
terlaksana untuk menghindarkan banjir darah di dunia Kangouw,” seru Tiong-hi.
“Wah, mana Wanpwe dapat disejajarkan dengan kedua Cianpwe, pengetahuan Wanpwe teramat cetek dan
terima di bawah pimpinan kedua Cianpwe saja,” kata Lenghou Tiong.
“Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Siau-lim-si untuk memapak Yim-siocia, nyatanya tiada satu benda
pun yang kalian ganggu di Siau-lim-si, untuk itu Hongtiang Taysu merasa utang budi kebaikanmu,” kata Tionghi
pula.
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, jawabnya, “Wanpwe tempo hari memang sembrono, mohon dimaafkan.”
“Sesudah rombongan kalian pergi, Co Leng-tan dan lain-lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa
hari di Siau-lim-si dan mengadakan pembicaraan panjang dengan Hongtiang Taysu dan sama-sama
mengkhawatirkan ambisi Co Leng-tan yang tak kenal batas itu,” kata Tiong-hi. “Kemudian kami masing-masing
menerima berita tentang dirimu diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, maka kami berkeputusan akan datang
kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua juga untuk berunding soal-soal ini.”
“Kedua Cianpwe teramat menghargai Wanpwe, sungguh Wanpwe sangat berterima kasih,” ujar Lenghou Tiong.
“Lim Ho itu menyampaikan perintah Co Leng-tan, katanya pagi hari tanggal 15 bulan tiga segenap anggota
Ngo-gak-kiam-pay harus berkumpul di puncak Ko-san untuk memilih ketua Ngo-gak-pay, sebenarnya hal ini
sudah dalam dugaan Hongtiang Taysu,” kata Tiong-hi lebih lanjut. “Cuma saja kita tidak menduga sedemikian
cepat hal itu akan dilakukan oleh Co Leng-tan. Dia menyatakan hendak memilih ketua Ngo-gak-pay, seakanakan
peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu sudah terjadi dengan pasti. Sebenarnya menurut perkiraan
kami, dengan watak Bok-taysiansing yang aneh itu, tokoh Heng-san-pay itu pasti tak mau mengekor kepada
Co Leng-tan. Watak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay juga sangat keras, tentu dia pun tidak sudi di bawah
perintah Co Leng-tan. Gurumu Gak-siansing selamanya juga sangat mementingkan sejarah perkembangan
Hoa-san-pay, betapa pun terhapusnya Hoa-san-pay tentu bukan keinginannya. Hanya Hing-san-pay saja,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sayang ketiga tokoh utamanya, ketiga suthay tua berturut-turut telah wafat, anak muridnya tentu tidak mampu
melawan Co Leng-tan, bisa jadi Hing-san-pay akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak terduga sebelum wafat
Ting-sian Suthay sudah mempunyai pendirian tegas, dia telah menyerahkan jabatan ketua kepada Lenghoulaute.
Sekarang asalkan Hoa-san, Heng-san, Thay-san, dan Hing-san-pay bersatu padu dan tidak mau dilebur
menjadi Ngo-gak-pay segala, maka muslihat Co Leng-tan tentu akan gagal total.”
“Tapi kalau melihat sikap Lim Ho menyampaikan perintah Co Leng-tan tadi, agaknya Thay-san, Heng-san, dan
Hoa-san-pay sudah berada di bawah pengaruh Ko-san-pay Co Leng-tan,” ujar Lenghou Tiong.
“Benar,” kata Tiong-hi sambil mengangguk. “Memang tindakan gurumu Gak-siansing juga membuat kami
merasa bingung. Kabarnya keluarga Lim dari Hokciu ada seorang muda yang menjadi murid gurumu, entah
betul tidak?”
“Ya, Lim-sute itu bernama Lim Peng-ci,” tutur Lenghou Tiong.
“Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab Pi-sia-kiam-boh yang telah lama tersiar di dunia Kangouw,
katanya ilmu pedang yang tercantum dalam kitab pusaka itu sangat hebat, tentunya Lenghou-laute juga
pernah mendengar hal ini?” tanya Tiong-hi.
Lenghou Tiong mengiakan, lalu ia menceritakan pengalamannya tempo hari, cara bagaimana ia menemukan
sebuah jubah di kediaman lama keluarga Lim di Hokciu, lalu dikerubut oleh orang-orang Ko-san-pay sehingga
dirinya terluka dan jatuh pingsan, dan seterusnya.
Tiong-hi Tojin termenung sejenak, kemudian berkata pula, “Menurut aturan, setelah gurumu menemukan jubah
itu tentunya akan dikembalikan kepada Lim-sute-mu.”
“Akan tetapi kemudian sumoayku toh minta lagi Pi-sia-kiam-boh padaku,” kata Lenghou Tiong. “Tempo hari
waktu di Siau-lim-si, ketika Co Leng-tan bertanding melawan Yim-kaucu, Co Leng-tan telah menggunakan
jarinya sebagai pedang, menurut Hiang-toako, Hiang Bun-thian, katanya yang dimainkan itu adalah Pi-siakiam-
hoat. Pengetahuan Wanpwe teramat cetek, entah apa yang dimainkan Co Leng-tan itu betul Pi-sia-kiamhoat
atau bukan, untuk mana mohon kedua Cianpwe sudi memberi petunjuk.”
Tiong-hi memandang sekejap ke arah Hong-ting Taysu, katanya, “Seluk-beluk persoalan ini silakan Taysu
menjelaskannya untuk Lenghou-laute.”
Hong-ting mengangguk, katanya, “Lenghou-ciangbun, pernahkah kau mendengar nama ‘Kui-hoa-po-tian’?”
“Pernah kudengar cerita guruku, katanya ‘Kui-hoa-po-tian’ adalah kitab pusaka yang paling berharga dalam
ilmu silat,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma sayang katanya kitab itu sudah lama lenyap di dunia persilatan dan
entah berada di mana. Kemudian Wanpwe pernah mendengar pula dari Yim-kaucu, katanya beliau pernah
menyerahkan ‘Kui-hoa-po-tian’ kepada Tonghong Put-pay. Jika demikian, maka kitab pusaka itu sekarang
tentunya berada pada Tiau-yang-sin-kau.”
“Ya, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap,” kata Hong-ting.
Lenghou Tiong mengiakan, ia pikir sebentar lagi tentu suatu peristiwa besar dunia persilatan di masa lampau
pasti akan terurai dari mulut Hong-ting Taysu.
Terlihat Hong-ting memandang jauh ke depan, lalu berkata pula, “Hoa-san-pay pernah terbagi dengan Khi-cong
dan Kiam-cong, apakah kau sendiri mengetahui apa sebabnya perguruanmu itu sampai terpecah menjadi dua
sekte?”
Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, “Wanpwe tidak tahu, mohon penjelasan Cianpwe.”
“Bahwasanya tokoh-tokoh angkatan tua Hoa-san-pay pernah saling bunuh-membunuh lantaran terpecahnya
menjadi Khi-cong dan Kiam-cong, hal ini tentunya kau mengetahui, bukan?”
“Benar, cuma suhu tak pernah menerangkan secara jelas,” sahut Lenghou Tiong.
“Pertarungan di antara saudara seperguruan sendiri tentunya bukan suatu peristiwa yang baik, sebab itulah
mungkin Gak-siansing tidak suka banyak bercerita,” ujar Hong-ting. “Tentang pecahnya Hoa-san-pay menjadi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dua sekte, kabarnya juga disebabkan oleh Kui-hoa-po-tian. Menurut cerita yang tersiar, katanya Kui-hoa-potian
itu dikarang bersama oleh sepasang suami istri. Adapun nama kedua orang kosen itu sudah tak bisa
diketahui lagi, ada yang bilang nama sang suami itu mungkin ada sebuah huruf ‘kui’ dan sang istri pakai nama
‘hoa’, maka hasil karya mereka bersama itu diberi nama ‘Kui-hoa-po-tian’, tapi semuanya itu cuma dugaan
saja. Yang jelas diketahui hanya suami istri itu semula sangat baik dan saling cinta-mencintai, tapi kemudian
entah sebab apa keduanya telah berselisih paham. Waktu mereka menciptakan ‘Kui-hoa-po-tian’ itu usia
mereka diperkirakan baru empat puluhan, ilmu silat mereka sedang berkembang dengan pesat. Sesudah
cekcok, sejak itu keduanya menghindari untuk bertemu satu sama lain, karena itu pula sejilid kitab pusaka
yang hebat itu pun terbagi menjadi dua. Selama ini kitab yang dikarang oleh sang suami disebut ‘Kian-keng’
(Kitab Langit) dan ciptaan sang istri disebut ‘Kun-keng’ (Kitab Bumi).”
“Kiranya Kui-hoa-po-tian itu terbagi lagi menjadi kitab Kian dan Kun, baru sekarang Wanpwe mendengar untuk
pertama kalinya,” ujar Lenghou Tiong.
“Tentang nama kitab itu sebenarnya cuma pemberian orang-orang bu-lim saja,” kata Hong-ting. “Selama dua
ratusan tahun ini, agaknya sangat kebetulan juga, selama itu belum pernah ada seorang dapat membaca isi
kedua kitab itu sehingga meleburnya menjadi satu. Bahwa menyimpan kedua kitab itu sekaligus sudah pernah
terjadi. Ratusan tahun yang lalu ketua Siau-lim-si di Poh-thian Hokkian, Ang-yap Siansu namanya, pernah
sekaligus memegang kedua kitab tersebut. Ang-yap Siansu pada zamannya terhitung seorang tokoh yang
mahapintar dan cerdik, menurut tingkat ilmu silat dan kecerdasannya, seharusnya tidak susah baginya untuk
melebur ilmu silat dari kedua kitab Kian dan Kun itu. Tapi menurut cerita murid beliau, katanya Ang-yap Siansu
belum pernah memahami seluruh isi kitab-kitab itu.”
“Agaknya isi kitab itu sangat dalam sehingga tokoh mahacerdas seperti Ang-yap Siansu juga tidak mampu
memahaminya,” kata Lenghou Tiong.
“Ya,” Hong-ting mengangguk. “Lolap dan Tiong-hi Toheng tidak punya rezeki sehingga tak pernah melihat kitab
pusaka itu. Alangkah baiknya bila dapat melihat sekadar membaca isinya saja walaupun kami tidak mampu
memahami ajarannya.”
“Wah, rupanya Taysu menjadi kemaruk kepada urusan duniawi lagi,” kata Tiong-hi dengan tersenyum. “Orang
yang belajar silat seperti kita orang bila melihat kitab pusaka demikian tentu akan lupa makan dan lupa tidur,
tapi kepingin sekali untuk menyelaminya. Akibatnya bukan saja mengganggu, bahkan mendatangkan
kesukaran-kesukaran hidup kita. Maka adalah lebih baik kalau kita tidak sempat membaca kitab pusaka itu.”
Hong-ting terbahak, katanya, “Ucapan Toheng memang benar. Tentang ilmu silat yang tertera di dalam kedua
kitab Kian dan Kun itu mempunyai pengantar dasar yang berbeda, bahkan terbalik menurut cerita. Konon ada
dua saudara seperguruan Hoa-san-pay pernah sempat mengunjungi Siau-lim-si di Hokkian, entah cara
bagaimana mereka telah dapat membaca kitab Kui-hoa-po-tian itu.”
Dalam hati Lenghou Tiong membatin mana mungkin kitab pusaka demikian itu diperlihatkan kepada tetamu
oleh pihak Siau-lim-si, tentunya kedua tokoh Hoa-san-pay itu mencuri baca. Hanya Hong-ting Taysu sengaja
bicara dengan istilah halus sehingga tidak memakai kata-kata “mencuri lihat”.
Dalam pada itu Hong-ting menyambung pula, “Mungkin waktunya terburu-buru, maka kedua orang Hoa-sanpay
itu tidak sempat membaca seluruh isi kitab sekaligus, tapi mereka berdua membagi tugas, masing-masing
membaca setengah bagian. Kemudian sesudah pulang ke Hoa-san, lalu mereka saling menguraikan oleh-oleh
masing-masing dan tukar pikiran. Tak terduga apa yang mereka kemukakan, satu sama lain ternyata tiada
yang cocok, makin dipaparkan makin jauh bedanya. Sebaliknya kedua orang sama-sama yakin akan kebenaran
apa yang telah dibacanya sendiri dan anggap pihak lain yang salah baca atau sengaja tidak mau dikemukakan
terus terang. Akhirnya kedua orang lantas berlatih secara sendiri-sendiri, dengan demikian Hoa-san-pay
menjadi terpecah menjadi dua sekte, yaitu Khi-cong dan Kiam-cong. Kedua suheng dan sute yang tadinya
sangat akrab itu akhirnya berubah menjadi musuh malah.”
“Kedua Locianpwe kami itu tentunya adalah Lin Siau dan Cu Hong beberapa angkatan yang lalu itu,” kata
Lenghou Tiong.
Kiranya Lin Siau adalah cikal bakal sekte Khi-cong dari Hoa-san-pay dan Cu Hong adalah cikal bakal Kiamcong,
yaitu kedua tokoh Hoa-san-pay yang mencuri baca Kui-hoa-po-tian di Siau-lim-si Hokkian sebagaimana
diceritakan Hong-ting. Pecahnya Hoa-san-pay itu terjadi pada puluhan tahun yang lalu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Begitulah, maka kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga akan bocornya Kui-hoa-po-tian itu,” tutur Hongting
lebih lanjut. “Beliau tahu isi kitab pusaka itu terlalu luas dan dalamnya sukar dijajaki, ia sendiri tidak
berhasil meyakinkan ilmunya meski sudah berpuluh tahun menyelaminya. Tapi sekarang Lin Siau dan Cu Hong
hanya membacanya secara kilat, yang dipahami hanya samar-samar saja, akibatnya tentu malah celaka.
Karena itu ia lantas mengutus murid kesayangannya yang bernama To-goan Siansu ke Hoa-san untuk
menasihatkan Lin Siau dan Cu Hong agar jangan meyakinkan ilmu silat dari kitab yang mereka baca itu.”
“Tentunya kedua Locianpwe dari Hoa-san itu tidak mau menurut,” kata Lenghou Tiong.
“Hal ini juga tak bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Hong-ting. “Coba pikir, orang persilatan seperti kaum
kita, sekali mengetahui rahasia sesuatu ilmu silat yang hebat tentu saja ingin sekali meyakinkannya. Tak
terduga, kepergian To-goan Siansu ke Hoa-san itu telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang.”
“Apakah Lin dan Cu berdua cianpwe itu telah berlaku tidak baik kepada beliau?” tanya Lenghou Tiong.
“Bukan begitu, malahan Lin dan Cu berdua sangat menghormat kedatangan To-goan Siansu,” kata Hong-ting.
“Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kui-hoa-po-tian dan minta maaf, tapi di samping itu mereka
pun minta petunjuk kepada To-goan tentang ilmu silat yang terbaca dari kitab pusaka itu. Mereka tidak tahu
bahwa To-goan sendiri sama sekali tidak tahu ilmu silat yang tertulis dalam kitab itu meski To-goan adalah
murid kesayangan Ang-yap Siansu. Namun To-goan juga tidak mengatakan hal itu, dia mendengarkan uraian
mereka dari isi kitab yang dibacanya di Siau-lim-si itu, sebisanya ia memberi penjelasan, tapi diam-diam ia
mengingat di luar kepala dari apa yang diuraikan Lin dan Cu itu.”
“Dengan demikian To-goan Siansu malahan memperoleh isi kitab pusaka itu dari Lin dan Cu berdua cianpwe?”
kata Lenghou Tiong.
“Benar,” jawab Hong-ting sambil mengangguk. “Cuma apa yang diingat oleh Lin dan Cu dari apa yang mereka
baca itu memangnya tidak banyak, sekarang harus menguraikan pula, tentu saja mengalami potongan lagi.
Konon To-goan Siansu tinggal delapan hari di Hoa-san barulah mohon diri. Tapi sejak itu ia pun tidak pulang ke
Siau-lim-si lagi di Hokkian.”
Lenghou Tiong menjadi heran, “Dia tidak pulang ke Siau-lim-si, lalu pergi ke mana!”
“Inilah tiada orang yang tahu,” jawab Hong-ting. “Cuma tidak lama kemudian Ang-yap Siansu lantas menerima
sepucuk surat dari To-goan Siansu yang memberitahukan bahwa dia takkan pulang ke Siau-lim-si lagi karena
timbul hasratnya untuk hidup kembali di masyarakat ramai.”
Sungguh tak terkatakan heran Lenghou Tiong, ia anggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun
juga.
“Berhubung dengan peristiwa itu, terjadilah selisih paham di antara Ang-yap Siansu dengan pihak Hoa-san-pay,
tentang perbuatan murid Hoa-san-pay mencuri baca Kui-hoa-po-tian juga lantas tersiar di dunia Kangouw,”
tutur pula Hong-ting. “Selang berapa puluh tahun kemudian terjadi juga sepuluh tianglo dari Mo-kau menyerbu
ke Hoa-san.”
“Sepuluh tianglo Mo-kau menyerbu Hoa-san? Hal ini belum pernah kudengar,” kata Lenghou Tiong.
“Kalau dihitung, waktu kejadian itu gurumu sendiri belum lagi lahir,” ujar Hong-ting. “Sepuluh gembong Mokau
menyerbu Hoa-san, tujuannya adalah Kui-hoa-po-tian itu. Tatkala itu kekuatan Hoa-san-pay lemah dan
tidak mampu melawan gembong-gembong Mo-kau itu. Terpaksa Hoa-san berserikat dengan Thay-san, Hengsan,
Ko-san, dan Hing-san-pay sehingga lahir nama Ngo-gak-kiam-pay. Pertama kali terjadilah pertempuran
sengit di kaki gunung Hoa-san, hasilnya gembong-gembong Mo-kau itu mengalami kekalahan besar. Tapi lima
tahun kemudian, kesepuluh gembong Mo-kau itu berhasil meyakinkan inti ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay dan
meluruk kembali ke Hoa-san....”
Mendengar sampai di sini, teringatlah Lenghou Tiong kepada tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di dalam gua
di puncak tertinggi Hoa-san tempo hari, begitu pula ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu. Tanpa terasa
ia bersuara kejut.
Hong-ting melanjutkan pula, “Sekali ini kedatangan kesepuluh gembong Mo-kau itu memang sudah disiapkan,
mereka sudah punya cara-cara untuk mematahkan setiap ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Maka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pertempuran kedua ini sangat merugikan Ngo-gak-kiam-pay sehingga sejilid salinan Kui-hoa-po-tian jatuh ke
tangan orang Mo-kau. Hanya saja kesepuluh gembong Mo-kau itu pun tidak dapat meninggalkan Hoa-san
dengan hidup, dapat dibayangkan pertarungan yang terjadi itu tentu sangat dahsyat.”
Cerita Hong-ting ini mengingatkan kembali pada Lenghou Tiong akan tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di
dalam gua Hoa-san itu. Pikirnya, “Apakah tengkorak-tengkorak itu adalah gembong-gembong Mo-kau? Kalau
tidak, mengapa mereka mengukir tulisan di dinding gua dan mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay?”
Melihat Lenghou Tiong termangu-mangu, Hong-ting bertanya, “Apakah kau mendengar cerita ini dari gurumu?”
“Tidak pernah,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma Wanpwe pernah menemukan sebuah gua di puncak Hoa-san, di
sana terdapat beberapa rangka tulang belulang serta beberapa tulisan yang terukir di dinding.”
“Hah, ada hal demikian? Apa arti tulisan itu?” tanya Hong-ting.
“Arti tulisan itu mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay, terutama Hoa-san-pay,” jawab Lenghou Tiong.
“Masakah Hoa-san-pay dapat membiarkan tulisan-tulisan demikian tanpa menghapusnya?” ujar Hong-ting.
“Gua itu kutemukan secara tidak sengaja, orang lain tiada yang tahu,” tutur Lenghou Tiong. Lalu ia pun
menceritakan pengalamannya dahulu serta apa yang dilihatnya di dalam gua, yaitu seorang telah
menggunakan kapak untuk menggali gua sampai sedalam beberapa ratus kaki, akhirnya mati kehabisan tenaga
meski tinggal beberapa kaki lagi gua itu sudah bisa ditembus keluar.
“Orang memakai kapak? Apa barangkali Hoan Siong, itu gembong Mo-kau yang berjuluk ‘Tay-lik-sin-mo’ (Iblis
Sakti Bertenaga Raksasa),” kata Hong-ting.
“Benar, benar!” kata Lenghou Tiong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut
juga nama Hoan Siong dan Tio Ho, katanya mereka yang mematahkan Hing-san-kiam-hoat di situ.”
“Tio Ho? Dia adalah ‘Hui-thian-sin-mo’ (Iblis Sakti Juru Terbang) di antara kesepuluh gembong Mo-kau itu!”
seru Hong-ting. “Bukankah dia memakai senjata lui-cin-tang (semacam palu)?”
“Hal ini kurang jelas,” sahut Lenghou Tiong. “Cuma di lantai gua sana memang ada sebuah lui-cin-tang. Aku
masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua itu, katanya yang mematahkan Hoa-san-kiam-hoat adalah dua
orang she Thio yang bernama Thio Seng-hong dan Thio Seng-in.”
“Memang benar,” kata Hong-ting. “Thio Seng-hong dan Thio Seng-in adalah dua bersaudara, masing-masing
berjuluk ‘Kim-kau-sin-mo’ (Iblis Sakti Si Kera Emas) dan Pek-goan-sin-mo (Iblis Sakti Orang Hutan Putih).
Konon senjata mereka adalah toya.”
“Benar,” kata Lenghou Tiong. “Menurut ukiran di dinding, memang di situ dilukiskan Hoa-san-kiam-hoat
dikalahkan oleh toya mereka.”
Bab 104. Asal Usul Pi-sia-kiam-hoat
“Kalau dipikir menurut ceritamu, agaknya kesepuluh gembong Mo-kau itu masuk perangkap Ngo-gak-kiampay,
mereka terpancing ke dalam gua sehingga tidak mampu lolos,” kata Hong-ting.
“Ya, Wanpwe juga berpikir demikian,” jawab Lenghou Tiong. “Dari sebab itu gembong-gembong Mo-kau itu
merasa penasaran, lalu mereka mengukir tulisan untuk mencaci maki Ngo-gak-kiam-pay serta melukiskan
jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-hoat agar diketahui
angkatan yang akan datang, supaya angkatan berikutnya mengetahui kematian mereka itu bukan kalah
tanding, tapi terjebak oleh tipu muslihat musuh. Hanya saja di samping beberapa tulang itu terdapat pula
beberapa batang pedang yang jelas adalah senjata dari pihak Ngo-gak-kiam-pay.”
Hong-ting merenung sejenak, katanya kemudian, “Itulah sukar diketahui seluk-beluknya, bisa jadi gembonggembong
Mo-kau itu merampasnya dari orang-orang Ngo-gak-kiam-pay. Tentu apa yang kau temukan di gua
itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?”
“Tidak pernah,” jawab Lenghou Tiong. “Bahkan kepada suhu dan sunio juga belum sempat kuberi tahu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berhubung macam-macam kejadian selanjutnya.”
“Ilmu pedangmu yang hebat itu apakah juga hasil pelajaranmu dari lukisan-lukisan di dinding gua itu?” tanya
Hong-ting.
“Bukan. Tentang ilmu pedang Wanpwe, selain ajaran suhu kupelajari pula dari Hong-thaysiokco.”
Hong-ting manggut-manggut. Sekian lamanya mereka bicara, sementara itu sang surya sudah hampir
terbenam di ufuk barat yang merah membara.
“Kesepuluh gembong Mo-kau itu akhirnya tewas semua di Hoa-san, tapi Kui-hoa-po-tian yang ditulis oleh Lin
Siau dan Cu Hong juga kena digondol oleh orang Mo-kau,” kata Hong-ting pula. “Maka kitab yang diberikan
Yim-kaucu kepada Tonghong Put-pay itu tentulah catatan tokoh-tokoh Hoa-san itu. Memangnya catatan
mereka itu tidak lengkap, mungkin yang mereka catat itu masih kalah luas daripada apa yang diselami oleh Lim
Wan-tho.”
“Lim Wan-tho?” Lenghou Tiong menegas.
“Ya, dia adalah moyang Lim-sute-mu, pendiri Hok-wi-piaukiok yang terkenal dengan ke-72 jurus Pi-sia-kiamhoat
itu,” kata Hong-ting.
“Apakah Lim-cianpwe ini pun pernah membaca Kui-hoa-po-tian itu?” tanya Lenghou Tiong.
“Dia... dia adalah To-goan Siansu, itu murid kesayangan Ang-yap Siansu,” Hong-ting menerangkan.
Hati Lenghou Tiong tergetar, katanya, “O, kiranya demikian. Ini benar-benar... rada....”
“Aslinya To-goan Siansu memang she Lim sesudah kembali preman, dia lantas memakai she asalnya,” kata
Hong-ting.
“Kiranya moyang Lim-sute yang terkenal dan disegani karena ke-72 jurus Pi-sia-kiam-hoat itu adalah To-goan
Siansu, hal ini sungguh tak... tak terduga sama sekali,” ujar Lenghou Tiong. Seketika adegan-adegan ketika
Lim Cin-lam hampir meninggal dunia di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san dahulu itu terbayang-bayang
pula di dalam benaknya.
“To-goan dan Wan-tho, kedua nama ini hanya terputar balik saja dengan ucapan yang hampir sama, jadi
sesudah To-goan Siansu kembali preman, dia lantas menggunakan she aslinya dengan nama yang dibalik dari
nama agamanya, kemudian ia pun menikah dan punya anak serta mendirikan piaukiok, namanya juga telah
menggegerkan dunia Kangouw. Pendirian Lim-cianpwe itu sangat lurus, meski dia mengusahakan piaukiok, tapi
dia suka membela keadilan dan suka menolong sesamanya tiada ubahnya ketika dia masih menjadi hwesio.
Sudah tentu tidak lama kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga bahwa Lim-piauthau itu adalah bekas
muridnya, tapi kabarnya di antara guru dan murid itu selanjutnya toh tiada saling berhubungan.”
“Lim-cianpwe itu memperoleh intisari Kui-hoa-po-tian dari uraian Lin dan Cu berdua cianpwe Hoa-san-pay, lalu
dari mana pula asal usulnya Pi-sia-kiam-hoat yang terkenal itu?” tanya Lenghou Tiong. “Padahal Pi-sia-kiamhoat
yang dia turunkan kepada anak-cucunya toh tiada sesuatu yang bisa dipuji.”
“Toheng,” tiba-tiba Hong-ting berkata kepada Tiong-hi, “tentang ilmu pedang kau adalah ahlinya dan jauh lebih
paham daripadaku. Tentang seluk-beluk ini hendaklah kau yang bercerita saja.”
“Ucapanmu ini bisa membikin marah padaku bila kita bukan sobat lama,” ujar Tiong-hi dengan tertawa.
“Masakah kau mengolok-olok aku dalam hal ilmu pedang, padahal soal ilmu pedang pada zaman ini siapakah
yang bisa melebihi Lenghou-siauhiap?”
“Meski ilmu pedang Lenghou-siauhiap sangat hebat, tapi pengetahuan tentang ilmu ini toh jauh untuk memadai
dirimu,” ujar Hong-ting. “Kita adalah orang sendiri dan bicara secara blakblakan, buat apa pakai sungkansungkan
segala.”
“Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir,” kata Tiong-hi. “Tentang Pisia-
kiam-hoat keluarga Lim sekarang yang rendah dibanding dengan Pi-sia-kiam-hoat Lim Wan-tho yang
pernah menggetarkan Kangouw, memang mencolok sekali bedanya. Dahulu ketua Jing-sia-pay yang disegani di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
daerah Siamsay pernah dikalahkan oleh Lim Wan-tho, tapi sekarang ilmu pedang Jing-sia-pay malah jauh lebih
kuat daripada ilmu pedang keluarga Lim, di balik hal ini tentu ada sebab-sebab tertentu. Soal ini sudah lama
kurenungkan, malahan pasti juga telah menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia
persilatan.”
“Sebabnya keluarga Lim-sute hancur dan berantakan, ayah-bundanya tewas secara mengenaskan semua itu
juga disebabkan belum terpecahkannya tanda tanya ini,” kata Lenghou Tiong.
“Benar,” jawab Tiong-hi. “Nama Pi-sia-kiam-hoat terlalu hebat, namun kepandaian Lim Cin-lam toh sangat
rendah, perbedaan mencolok ini mau tak mau menimbulkan pemikiran orang bahwa dalam hal ini pastilah Lim
Cin-lam yang terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang lihai itu. Lebih jauh orang
tentu berpikir bila Pi-sia-kiam-boh itu jatuh di tanganku tentu akan dapat menyelami ilmu pedang Lim Wan-tho
yang gilang-gemilang di masa lampau itu. Lenghou-laute, selama ratusan tahun ini tokoh yang terkenal dengan
ilmu pedang memangnya tidak melulu Lim Wan-tho seorang saja, tapi Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay,
Kun-lun-pay, dan lain-lain semuanya mempunyai ahli waris sendiri-sendiri, orang luar tentu tidak sudi
mengincar ilmu pedang keluarga Lim, soalnya kepandaian Lim Cin-lam terlalu rendah seumpama anak kecil
yang membawa emas dan berkeliaran di tengah pasar, tentu saja menarik perhatian setiap orang untuk
mengincar emasnya itu.”
“Lim-cianpwe itu toh murid kesayangan Ang-yap Siansu, maka dia tentu sudah memiliki pula ilmu silat Siaulim-
pay yang hebat, tentang Pi-sia-kiam-hoat apa segala, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja dia
berikan, tapi sesungguhnya adalah ilmu silat Siau-lim-pay yang dia ubah sedikit di sana-sini.”
“Memang banyak orang juga berpikir demikian,” kata Tiong-hi. “Tapi Pi-sia-kiam-hoat memang sama sekali
berbeda daripada ilmu silat Siau-lim-pay, setiap orang yang mengerti ilmu pedang dengan segera akan tahu
bila melihatnya. Hah, orang yang mengincar kiam-boh keluarga Lim itu walaupun banyak, tapi akhirnya toh si
katai dari Jing-sia-pay adalah orang paling berengsek, dialah yang turun tangan paling dulu. Cuma meski si
katai she Ih itu cukup cekatan, namun otaknya rada bebal, mana bisa dibandingkan gurumu Gak-siansing yang
pendiam, tapi tinggal menarik keuntungannya.”
“Ap... apa yang kau maksudkan, Totiang?” tanya Lenghou Tiong, air mukanya rada berubah.
Tiong-hi tersenyum, jawabnya, “Setelah Lim Peng-ci itu masuk perguruan Hoa-san, dengan sendirinya Pi-siakiam-
boh itu pun dibawanya serta ke situ. Kabarnya Gak-siansing punya seorang putri tunggal yang juga akan
dijodohkan kepada Lim-sute-mu itu, betul tidak? Hah, sungguh suatu muslihat jangka panjang yang
sempurna.”
Semula Lenghou Tiong kurang senang karena Tiong-hi menyinggung nama baik Gak Put-kun, tapi kemudian
mendengar Tiong-hi mengatakan suhunya itu bermuslihat jangka panjang, tiba-tiba ia teringat kepada kejadian
dahulu, waktu itu sang guru telah mengutus Lo Tek-nau menyamar menjadi seorang kakek dan bersama
siausumoaynya membuka sebuah kedai arak di luar Kota Hokciu, tatkala itu ia tidak tahu apa maksud
tujuannya, tapi sekarang demi dipikir jelas tujuannya adalah untuk mengawasi Hok-wi-piaukiok. Padahal
kepandaian Lim Cin-lam sudah diketahui sangat rendah, lalu buat apa usaha gurunya itu kalau bukan
mengincar Pi-sia-kiam-boh. Hanya saja cara gurunya itu adalah pakai akal, tidak pakai kekerasan seperti Ih
Jong-hay dan Bok Ko-hong.
Lalu Lenghou Tiong berpikir pula, “Siausumoay adalah anak gadis muda belia, mengapa suhu membiarkan dia
menonjolkan diri di muka umum dan tinggal di kedai arak itu dalam waktu cukup lama?”
Berpikir sampai di sini merindinglah perasaannya, mendadak ia mengerti duduknya perkara, “Kiranya jauh
sebelum Lim-sute kenal siausumoay memang suhu telah sengaja mengatur dan menghendaki siausumoay
dijodohkan kepada Lim-sute.”
Melihat air muka Lenghou Tiong berubah-ubah masam, Hong-ting dan Tiong-hi tahu pemuda itu biasanya
sangat menghormati sang guru, tentu kata-katanya tadi rada menyinggung perasaannya. Maka Hong-ting
berkata pula, “Apa yang kukatakan tadi hanya obrolanku dengan Tiong-hi Toheng saja dan cuma dugaan pula.
Padahal gurumu itu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria yang alim, mungkin kami yang telah salah
raba dan tidak tepat menilainya.”
Tiong-hi Tojin hanya tersenyum saja. Sebaliknya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut, ia berharap apa yang
dikatakan Hong-ting tadi tidaklah betul, tapi dalam lubuk hatinya yang dalam toh merasa setiap kata padri
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sakti itu memang benar. Selang sejenak barulah ia bertanya, “Tempo hari ketika di Siau-lim-si, Co-bengcu
telah menempur Yim-kaucu dan menggunakan jari sebagai pedang, menurut Hiang-toako, katanya yang dia
mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat. Tentang hal ini mohon Totiang sudi memberi penjelasan pula.”
“Hal ini aku sendiri pun tidak habis paham,” sahut Tiong-hi. “Bisa jadi Co Leng-tan telah memengaruhi gurumu
dan telah merampas kiam-boh pusakanya, atau mungkin pula gurumu yang mengajak menyelami bersama
ilmu pedang sakti itu dengan Co Leng-tan, sebab kepandaian Co Leng-tan dan kecerdasannya lebih tinggi
daripada gurumu, bila dipelajari dua orang bersama tentu akan bermanfaat pula bagi gurumu. Lagi pula cara
Co Leng-tan memainkan jarinya sebagai pedang itu apakah benar Pi-sia-kiam-hoat adanya juga sukar
dipastikan.”
“Pi-sia-kiam-hoat dari keluarga Lim-sute boleh dikata sudah kami kenal,” ujar Lenghou Tiong. “Apa yang
dimainkan Co-bengcu tempo hari itu memang ada beberapa jurus rada-rada mirip, tapi beberapa jurus di
antaranya sama sekali berlainan.”
Lalu teringat pula apa yang dikatakan Lim Cin-lam di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san ketika mendekati
ajalnya dahulu, maka berkata pula Lenghou Tiong, “Paman Lim ayah Lim-sute itu rupanya juga berpikiran
sempit. Dia minta aku menyampaikan pesan terakhirnya, tapi khawatir pula kalau-kalau aku mencuri baca
kiam-boh pusaka keluarganya.
“Paman Lim telah disiksa oleh orang Jing-sia-pay, kemudian dianiaya pula oleh Bok Ko-hong, dipaksa mengaku
tentang kitab pusakanya itu, ketika Tecu menemukan dia, Paman Lim sudah dalam keadaan payah. Dia minta
Tecu menyampaikan pesan kepada Lim-sute, katanya ada benda-benda yang tertanam di rumah kediaman
lama di Hokciu adalah benda pusaka leluhurnya, Lim-sute disuruh menjaganya dengan baik. Benda yang
dimaksudkan itu adalah jubah yang terdapat Pi-sia-kiam-boh... Ah, benar, aku menjadi ingat bahwa Limcianpwe
itu asalnya adalah hwesio, makanya, di rumah kediamannya yang lama itu ada sebuah ruangan
Buddha dan kiam-boh yang dia tinggalkan tertulis pula pada jubahnya.”
“Ya, kalau dipikir, tentunya apa-apa yang dia dengar dari uraian Lin Siau dan Cu Hong dari Hoa-san-pay itu
kemudian dia catat di atas jubahnya, memang waktu itu dia masih menjadi hwesio,” kata Tiong-hi.
“Sungguh menertawakan pula, ketika memberi pesan, Paman Lim itu menambahkan lagi peringatan, katanya
leluhurnya itu meninggalkan petunjuk bahwa orang yang bukan anak-cucunya tidak boleh membuka dan
melihat isi pusakanya, kalau melanggar pesan ini tentu akan mendatangkan malapetaka. Dengan peringatan ini
nyata Paman Lim itu khawatir aku mengangkangi benda pusaka mereka itu, maka lebih dulu aku telah ditakuttakuti.”
“Pesannya itu apakah kemudian kau teruskan kepada Lim-sute-mu?” tanya Tiong-hi.
“Aku sudah berjanji, sudah tentu kulaksanakan,” jawab Lenghou Tiong.
“Sampai sekarang rahasia ilmu silat yang tercantum di dalam Kui-hoa-po-tian itu sudah terbagi-bagi, di tangan
Mo-kau ada sebagian, di tangan Gak-siansing ada sebagian pula, dan agaknya Co-bengcu dari Ko-san-pay juga
memiliki sebagian,” kata Hong-ting. “Yang dikhawatirkan adalah ambisi Co Leng-tan yang tidak kenal batas,
kalau dia mengetahui bahwa apa yang dia miliki tidaklah lengkap, tentu dia berniat membasmi Mo-kau dan
mencaplok Hoa-san-pay pula agar Kui-hoa-po-tian dapat dimilikinya secara lengkap. Dan dunia persilatan
selanjutnya tentu takkan aman lagi.”
“Kedua Locianpwe tentu mempunyai pandangan luas, kalau menurut kejadian di Siau-lim-si tempo hari, apakah
jelas di antara ilmu silat yang diperlihatkan Co Leng-tan itu terdapat unsur-unsur ilmu silat dari Kui-hoa-potian?”
tanya Lenghou Tiong.
Hong-ting berpikir sejenak, kemudian berkata kepada Tiong-hi, “Bagaimana pendapat Toheng?”
“Kita berdua sama-sama belum pernah melihat Kui-hoa-po-tian itu,” jawab Tiong-hi. “Tapi menurut jalan
pikiran yang sehat, rasanya Ko-san-kiam-hoat tak mungkin melahirkan jurus ilmu pedang demikian, bahkan Co
Leng-tan sendiri betapa pun tidak dapat menciptakannya.”
“Benar,” ujar Hong-ting. “Cuma Co Leng-tan sekalipun sudah melihat Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiam-boh,
yang dapat dia pahami tentu juga terbatas, sebab itulah ia pun bukan tandingan Yim-kaucu. Tanggal 15 bulan
depan dia telah mengundang semua anggota Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul di Ko-san untuk memilih
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pemimpin Ngo-gak-pay, entah bagaimana pendapat Lenghou-siauhiap atas soal ini.”
“Apanya yang perlu dipilih? Jabatan ketua tentunya bukan orang lain kecuali Co Leng-tan sendiri,” ujar Lenghou
Tiong dengan tersenyum.
“Apakah Lenghou-siauhiap juga setuju?” tanya Hong-ting.
“Mereka Ko-san-pay, Heng-san-pay, Thay-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah ada persepakatan lebih dulu,
andaikan Hing-san-pay tidak setuju tiada gunanya,” jawab Lenghou Tiong.
“Menurut pendapatku, begitu datang hendaklah Lenghou-siauhiap terus menentang penggabungan Ngo-gakkiam-
pay itu, kukira tidak semua orang menyetujui pendirian Ko-san-pay mereka,” kata Hong-ting.
“Seumpama penggabungan itu sudah tidak dapat ditarik kembali, maka soal ciangbunjin harus ditentukan
dengan bertanding ilmu silat. Bila Lenghou-siauhiap mau berusaha sepenuh tenaga, dalam hal ilmu pedang
tentu kau dapat mengalahkan Co Leng-tan dan biar sekalian kau duduki jabatan ciangbunjin itu.”
“Tapi aku... aku....” Lenghou Tiong melengak bingung.
“Aku pun sependapat dengan Hongtiang Taysu,” sela Tiong-hi Tojin. “Namun kami pun sudah pernah tukar
pikiran tentang dirimu yang terkenal tidak menaruh minat dalam hal kedudukan segala. Bila kau menjabat
ketua Ngo-gak-pay, bicara terus terang, tentu tata tertib Ngo-gak-pay akan menjadi kendur, para anggota
tentu lebih bebas bertindak dan hal ini pun bukan sesuatu yang baik bagi dunia persilatan....”
“Hahaha, ucapan Totiang memang tepat,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Aku Lenghou Tiong memang
benar seorang petualang yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”
“Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak
mencelakakan orang,” ujar Tiong-hi. “Bila Lenghou-laute menjadi ketua Ngo-gak-pay, pertama, tentu takkan
menggunakan kekerasan untuk menumpas Mo-kau, kedua, juga takkan mencaplok Siau-lim dan Bu-tong-pay
kami. Ketiga, besar kemungkinan kau pun tak berminat untuk melebur golongan-golongan lain seperti Go-bipay,
Kun-lun-pay, dan lain-lain. Bicara terus terang, kunjungan kami ke Hing-san ini di samping memberi
selamat kepadamu sesungguhnya juga demi kebaikan beribu-ribu kawan persilatan baik dari sia-pay maupun
dari cing-pay.”
“Omitohud! Semoga bencana besar dapat dihindarkan demi keselamatan sesama kita,” kata Hong-ting.
Lenghou Tiong merenung sejenak, lalu berkata, “Jika demikian pesan kedua Cianpwe, sudah tentu Lenghou
Tiong tidak berani menolak, tapi hendaklah kedua Cianpwe maklum pula bahwa Wanpwe masih terlalu hijau
dalam segala hal, menjabat ketua Hing-san-pay saja sudah terlalu, apalagi menjadi ketua Ngo-gak-pay,
mungkin akan lebih ditertawai oleh kesatria di seluruh jagat. Sebab itulah Wanpwe sekali-kali tidak
menginginkan menjadi ketua Ngo-gak-pay, cuma pada tanggal 15 bulan tiga nanti Wanpwe pasti akan hadir ke
Ko-san untuk mengubrak-abriknya, betapa pun niat Co Leng-tan untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay harus
digagalkan. Biasanya Lenghou Tiong tidak mahir berbuat sesuatu yang baik, tapi disuruh membikin onar
tanggung beres.”
“Melulu membikin onar saja juga kurang baik, dalam keadaan terpaksa, kukira kau pun jangan menolak untuk
diangkat menjadi ciangbunjinnya,” kata Tiong-hi.
Namun Lenghou Tiong terus geleng-geleng kepala.
“Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Co Leng-tan, akhirnya tentu dia yang diangkat sehingga
jadilah Ngo-gak-kiam-pay terlebur menjadi satu dan orang pertama yang pasti akan dibereskan oleh Co Lengtan
tentulah kau sendiri,” ujar Tiong-hi.
Lenghou Tiong terdiam. Katanya kemudian sambil menghela napas, “Bila demikian jadinya, ya, apa mau dikata
lagi.”
“Seumpama kau dapat menghindarkan diri, tapi apakah anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja?
Bagaimana kalau Co Leng-tan menyembelihi anak murid tinggalan Ting-sian Suthay yang kau pimpin sekarang
ini, apakah kau juga akan tinggal diam?” tanya Tiong-hi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tidak bisa!” seru Lenghou Tiong sambil gebrak langkan di sampingnya.
“Selain itu, rasanya gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Hoa-san-pay itu tentu juga takkan
terhindar dari akal licik Co Leng-tan dalam waktu tidak lama, satu per satu mereka tentu juga akan menjadi
korban keganasan Co Leng-tan, apakah hal ini kau juga akan tinggal diam?”
Hati Lenghou Tiong tergetar, jawabnya dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk
kedua Cianpwe, Wanpwe pasti akan berbuat sebisanya.”
“Tanggal 15 bulan tiga nanti Lolap dan Tiong-hi Toheng tentu juga akan berkunjung ke Ko-san sekadar ikut
membantu Lenghou-siauhiap,” kata Hong-ting.
“Bila kedua Cianpwe juga hadir, betapa pun Co Leng-tan tak berani berbuat sewenang-wenang,” kata Lenghou
Tiong.
Selesai berunding legalah hati mereka. Dengan tertawa akhirnya Tiong-hi berkata, “Marilah kita kembali saja,
ciangbunjin baru menghilang sekian lamanya, tentu mereka sedang bingung menantikan kau.”
Dari tengah jembatan gantung itu mereka lantas putar balik, tapi baru beberapa langkah, sekonyong-konyong
mereka sama berhenti lagi. Lenghou Tiong lantas membentak, “Siapa itu?”
Rupanya tiba-tiba ia mendengar di ujung jembatan sana terdengar pernapasan orang banyak, terang di dalam
Leng-kui-kok (Loteng Kura-kura Sakti) pada Sian-kong-si di sebelah kiri itu tersembunyi orang.
Baru saja Lenghou Tiong membentak, serentak terdengar suara gedubrakan, beberapa daun jendela Leng-kuikok
tampak didobrak orang, berbareng menongol keluar jendela belasan batang ujung panah yang diarahkan
kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Sin-coa-kok (Loteng Ular Sakti) di belakang mereka
juga terjadi hal yang serupa, daun jendela juga didobrak dan belasan ujung panah sama mengincar ke arah
mereka.
Hong-ting, Tiong-hi, dan Lenghou Tiong adalah tiga tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini, biarpun
berpuluh panah itu diarahkan kepada mereka, pemanahnya juga tentu bukan sembarangan orang, namun
keadaan demikian toh tak bisa mengapa-apakan mereka. Soalnya sekarang mereka berada di tengah jembatan
gantung, di bawahnya adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, luas jembatan itu juga cuma beberapa kaki
saja, ditambah lagi mereka tidak membawa senjata sama sekali, menghadapi keadaan yang luar biasa secara
mendadak ini, mau tak mau terkejut juga mereka.
Sebagai tuan rumah, dengan cepat Lenghou Tiong lantas mengadang ke depan, bentaknya pula, “Kaum celurut
dari mana, mengapa tidak tampakkan diri?”
Terdengarlah suara bentakan seorang, “Panah!”
Cepat Lenghou Tiong bertiga mengayunkan lengan baju masing-masing dengan kencang. Tapi yang terbidik
dari jendela itu ternyata bukan anak panah, tapi adalah belasan jalur panah air, air itu menyembur keluar dari
ujung panah tadi dan diarahkan ke atas udara. Warna air kehitam-hitaman. Menyusul terendus bau busuk yang
aneh, seperti bau bangkai yang sudah membusuk dan menyerupai pula bau udang atau ikan busuk, bau yang
memuakkan itu hampir-hampir saja membikin Lenghou Tiong tumpah-tumpah walaupun lwekang mereka
sangat tinggi.
Sesudah air hitam tadi disemburkan ke udara, kemudian titik-titik air itu bertaburan ke bawah seperti hujan.
Ada beberapa tetes jatuh di atas langkan (pagar kayu) jembatan, dalam sekejap saja langkan itu tampak
membusuk dan membekas lubang-lubang kecil, nyata lihai luar biasa air busuk itu.
Meski Hong-ting dan Tiong-hi sudah berpengalaman, tapi air berbisa sehebat itu belum pernah mereka lihat.
Kalau anak panah atau senjata rahasia biasa rasanya sukar mengenai diri mereka biarpun mereka tak
bersenjata, tapi menghadapi air racun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata
mereka mati kutu, sebab asal tubuh mereka kecipratan setitik saja mungkin kulit daging mereka akan terus
membusuk sampai ke tulang.
Kedua tokoh itu saling pandang sekejap, kelihatan air muka masing-masing berubah hebat, dari sorot mata
mereka tampak timbul rasa jeri mereka. Padahal biasanya hendak membuat jeri kedua tokoh besar ini boleh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dikata mahasulit.
Setelah air racun tadi disemburkan, lalu di balik jendela sana seorang berseru lantang, “Air berbisa ini hanya
disemburkan ke udara, kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, lalu bagaimana akibatnya?”
Lalu belasan ujung panah tadi kelihatan mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Lenghou
Tiong bertiga.
Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok di
kanan-kiri, sekarang di dalam kedua loteng itu sama terpasang pesawat semprot air berbisa, bila pesawatpesawat
itu dikerjakan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga mereka bertiga sukar
menyelamatkan diri.
Mendengar suara orang tadi, sedikit memikir saja Lenghou Tiong lantas ingat siapa dia, cepat ia berseru, “Hah,
katanya Tonghong-kaucu mengirim utusan untuk mengantar kado padaku, kado yang dia kirim ini sungguh luar
biasa!”
Kiranya orang yang bicara di Leng-kui-kok tadi memang betul adalah Kah Po, itu utusan Tonghong Put-pay.
Karena suaranya telah dikenali Lenghou Tiong, dengan bergelak tertawa ia pun berkata, “Pintar sekali Lenghoukongcu,
dalam sekejap saja dapat mengenali suara Cayhe. Orang pintar tentu tidak mau telan pil pahit, jelas
sekarang Cayhe sudah berada di atas angin dengan sedikit tipu muslihat licik kami, maka sementara ini
maukah Lenghou-kongcu menyerah kalah saja?”
Wi-bin-cun-cia Kah Po, Si Muka Kuning dari Mo-kau ini sengaja bicara di muka dan mengakui dirinya memakai
tipu muslihat licik, dengan demikian ia tidak perlu takut didamprat oleh Lenghou Tiong akan akal busuknya itu.
Dengan tarikan lwekang yang hebat, Lenghou Tiong bergelak tertawa, suaranya menggetar angkasa
pegunungan dan berkumandang, katanya, “Aku dan kedua cianpwe dari Siau-lim dan Bu-tong-pay mengobrol
iseng di sini, kukira yang ada di sini adalah teman baik semua sehingga tiada mengadakan penjagaan apa-apa
sehingga kena diselomoti oleh Kah-heng, sekarang apa mau dikata, tidak mengaku kalah juga tak bisa lagi.”
“Baik sekali jika begitu,” kata Kah Po. “Selamanya Tonghong-kaucu sangat menghormati tokoh angkatan tua
dunia persilatan, beliau juga sangat menghargai tunas angkatan muda. Apalagi Yim-siocia sejak kecil tinggal
bersama Tonghong-kaucu, melulu mengingat pada Yim-siocia saja masakah kami berani berlaku kasar kepada
Lenghou-kongcu.”
Lenghou Tiong mendengus dan tidak menanggapi. Sebaliknya Hong-ting dan Tiong-hi telah memeriksa keadaan
sekitarnya ketika Lenghou Tiong bertanya-jawab dengan Kah Po. Mereka melihat belasan bedil air sama
diacungkan ke arah mereka, bila mereka turun tangan berbareng umpamanya, andaikan sebagian musuh dapat
dirobohkan, tapi sukar rasanya untuk membersihkan musuh yang tak diketahui berapa banyaknya. Asal salah
satu bedil air racun itu sempat menyemburkan airnya, jiwa ketiga orang tentu melayang seketika. Karena itu
mereka hanya saling pandang belaka, dari sorot mata mereka mempunyai suatu pendapat yang sama: tidak
boleh bertindak secara gegabah.
Dalam pada itu terdengar Kah Po bicara pula, “Jika Lenghou-kongcu sudah mau mengaku kalah, maka segala
persoalan menjadi beres. Ketika berangkat aku dan Siangkoan-hiante telah dipesan oleh Tonghong-kaucu agar
mengundang Lenghou-kongcu beserta Hongtiang Taysu dari Siau-lim dan Ciangbun Totiang dari Bu-tong sudi
mampir ke Hek-bok-keh untuk tinggal barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini
semua, maka kalau sekarang juga kita berangkat bersama, bagaimana pendapat kalian?”
Kembali Lenghou Tiong mendengus, ia pikir di dunia ini masakah ada urusan seenak ini, asalkan pihaknya
bertiga diberi kesempatan meninggalkan jembatan gantung itu, untuk mengatasi Kah Po dan begundalnya
boleh dikata pekerjaan yang tidak sulit.
Benar juga, segera terdengar Kah Po menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi, bila di
tengah jalan kalian ganti pikiran dan tidak mau menuju ke Hek-bok-keh, maka sukarlah bagi kami untuk
menunaikan tugas, tanggung jawab yang berat ini terpaksa menyuruh aku meminjam tiga belah tangan kanan
kepada kalian.”
“Pinjam tiga belah tangan kanan?” Lenghou Tiong menegas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Benar,” jawab Kah Po. “Silakan kalian bertiga menebas tangan kanan sendiri-sendiri, dengan demikian legalah
hati kami.”
“Hahahahaha! Kiranya demikian keinginanmu,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tonghong Put-pay
rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, maka sengaja memasang perangkap ini untuk memaksa kami
menebas tangan kanan sendiri, jika kehilangan tangan kanan dengan sendirinya kami tidak mampu main
pedang lagi dan dia boleh tidur dengan nyenyak tanpa khawatir lagi.”
“Tidur nyenyak tanpa khawatir sih mungkin juga tidak,” kata Kah Po. “Yang jelas Yim Ngo-heng akan
kehilangan bala bantuan yang kuat sebagai Lenghou-kongcu, maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih
lemah.”
“Hm, kata-katamu benar-benar blakblakan tanpa tedeng aling-aling,” ujar Lenghou Tiong.
“Cayhe seorang pengecut tulen,” jawab Kah Po. Lalu ia lantangkan suaranya, “Hong-ting Taysu dan Tiong-hi
Totiang, kalian lebih suka mengorbankan sebelah tangan atau lebih ingin jiwa melayang di sini?”
“Baiklah,” jawab Tiong-hi. “Tonghong Put-pay ingin pinjam tangan, biarlah kita pinjamkan padanya. Cuma kami
tidak membawa sesuatu senjata, untuk menebas lengan menjadi sukar.”
Baru habis ucapannya, tiba-tiba sinar putih gemerdep, sebuah gelang baja terlempar dari jendela sana. Bulat
tengah gelang baja itu mendekati satu kaki (antara 30 senti) dengan pinggiran yang tajam. Di tengah gelang
ada satu palangan yang digunakan pegangan tangan, bentuk gelang demikian adalah sejenis senjata yang
tidak terdaftar dalam senjata umum, biasanya dipakai sepasang gelang baja semacam ini dan disebut “kiankun-
goan”.
Karena Lenghou Tiong berdiri paling depan, maka cepat ia tangkap gelang baja itu.
Ia meringis melihat senjata itu dan mengakui kelicikan Kah Po. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali
bergerak saja sebelah lengan pasti akan tertebas kutung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil,
betapa pun sukar menahan air yang disemprotkan.
“Jika kalian sudah setuju, nah, lekas kerjakan!” bentak Kah Po dengan suara bengis, “Jangan kalian mengulurulur
waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung dari satu sampai tiga! Jika kalian
tidak lekas mengutungi lengan sendiri, serentak air racun akan disemburkan! Satu....”
Di bawah ancaman Kah Po itu, terpaksa Lenghou Tiong mencari jalan keluar, katanya dengan suara lirih kepada
kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap kedua Cianpwe ikut di belakangku!”
“Jangan!” kata Tiong-hi.
Dalam pada itu Kah Po telah berseru pula, “Dua!”
Lenghou Tiong angkat gelang baja tadi, ia pikir Hong-ting dan Tiong-hi adalah tamu, betapa pun tak boleh
membikin susah kedua orang itu. Kalau musuh mengucapkan “tiga” nanti segera kusambitkan gelang baja ini,
lalu kuterjang sambil putar lengan baju, asalkan air berbisa itu semua tersemprot ke tubuhku, maka kedua
locianpwe itu tentu ada kesempatan untuk lolos.
Sementara itu Kah Po telah berseru pula, “Semuanya siap, hitungan terakhir ‘tiga’!”
Pada saat yang sama itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan di dalam Leng-kui-kok itu,
“Nanti dulu!” menyusul sesosok bayangan hijau melayang tiba dan mengadang di depan Lenghou Tiong.
Ternyata Ing-ing adanya.
Sebelah tangan Ing-ing tampak goyang-goyang di belakang tubuhnya, lalu serunya menghadap ke sana, “Kahsioksiok,
betapa cemerlangnya nama Wi-bin-cun-cia di dunia Kangouw, mengapa sekarang melakukan
perbuatan rendah seperti ini?”
“Urusan ini... Toasiocia, harap engkau menyingkir dulu, janganlah ikut campur!” jawab Kah Po.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ing-ing pula. “Tonghong-sioksiok suruh kau bersama Siangkoan-sioksiok
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengantar kado untukku, mengapa kau kena disogok oleh Co Leng-tan dan berbalik memusuhi ketua Hingsan-
pay?”
“Siapa bilang aku terima sogok dari Co Leng-tan?” Kah Po menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia
Tonghong-kaucu agar menangkap Lenghou Tiong.”
Bab 105. Lolos dari Lubang Jarum
“Jangan kau mengaco-belo tak keruan,” bentak Ing-ing. “Ini, Tiat-bok-leng (kayu besi tanda pengenal) Kaucu
berada padaku. Menurut perintah Kaucu, Kah Po telah mengadakan persekutuan jahat, hendaklah setiap
anggota segera menangkap dan membunuhnya bila melihatnya, untuk mana hadiah disediakan.”
Habis berkata ia terus acungkan tangannya tinggi-tinggi, benar juga sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai
Tiat-bok-leng memang betul dia pegang.
Kah Po menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, “Lepas panah!”
“Kau berani?” Ing-ing balas membentak. “Apakah Tonghong-kaucu suruh kau membunuh aku?”
“Kau membangkang perintah Kaucu....”
Tapi Ing-ing lantas menyela, “Siangkoan-sioksiok, tangkap dulu pengkhianat Kah Po itu dan kau segera naik
pangkat menjadi Kong-beng-cosu.”
Kedudukan Kah Po memang lebih tinggi setingkat daripada Siangkoan In, padahal kepandaian Siangkoan In
lebih tinggi, hal ini memangnya sudah membuatnya sirik, sekarang ada seruan Ing-ing, mau tak mau ia
menjadi tergerak hatinya dan ragu-ragu pula. Sudah tentu ia pun mengetahui Ing-ing adalah putri Yim-kaucu
yang dahulu, biasanya Tonghong-kaucu sangat menghargainya, walaupun akhir-akhir ini tersiar kabar Yimkaucu
tampil lagi di dunia Kangouw dan bermaksud merebut kembali kedudukan kaucu, ia menduga di antara
Tonghong-kaucu dan Yim-siocia tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau sekarang disuruh
memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air berbisa kepada Ing-ing, hal ini pun tak bisa dilakukan
olehnya.
Dalam pada itu Kah Po memberi aba-aba pula, “Panah!”
Namun anak buahnya itu selama ini memandang Ing-ing sebagai malaikat dewata yang dipuja, apalagi terlihat
padanya memegang Tiat-bok-leng, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak padanya.
Di tengah suara yang tegang itu, sekonyong-konyong di bawah loteng Leng-kui-kok itu ada orang berseru,
“Api! Api! Kebakaran!”
Menyusul terlihatlah sinar api menganga disertai mengepulnya asap dari bawah.
“Keji benar kau, Kah Po!” seru Ing-ing. “Mengapa kau menyalakan api untuk membakar anak buahmu sendiri?”
“Ngaco-be....” namun belum habis Kah Po membantah, cepat Ing-ing menyela pula, “Lekas padamkan api
dahulu!”
Berbareng ia terus mendahului menerjang ke sana, kesempatan baik ini segera diikuti oleh Lenghou Tiong,
Hong-ting, dan Tiong-hi bertiga untuk berlari ke depan. Serentak mereka membobol jendela dan menerjang ke
dalam.
Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, maka lumpuhlah seluruh alat pesawat panah air berbisa tadi.
Lenghou Tiong menerjang ke arah altar terus menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam, sekali ia
entakkan tatakan lilin, sepotong lilin yang masih menancap di situ terus mencelat dan merobohkan seorang
anak buah Kah Po. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula, hanya sekejap saja enam-tujuh orang telah
dibinasakan pula. Di sebelah sana Hong-ting dan Tiong-hi juga sedang melabrak musuh, dengan cepat mereka
pun telah membereskan tujuh-delapan orang.
Kedatangan Kah Po dan Siangkoan In kali ini seluruhnya membawa 40 buah peti, setiap petinya digotong dua
orang sehingga semuanya ada 80 pengikut. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan TiauDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang-sin-kau, walaupun bukan jago kelas satu, namun cukup tangguh ilmu silat masing-masing. Empat puluh
orang di antaranya tersebar di sekeliling Sian-kong-si, 40 orang lagi bertugas memasang panah air yang
terbagi di dua loteng Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok.
Begitulah dalam sekejap saja Lenghou Tiong bertiga sudah membereskan ke-20 anak buah Kah Po, pesawat
panah air berbisa itu berantakan tersebar memenuhi lantai. Dengan bersenjatakan sepasang boan-koan-pit
tampak Kah Po sedang menempur Ing-ing dengan sengitnya. Senjata yang dipakai Ing-ing adalah sepasang
pedang, pedang yang satu panjang dan yang lain pendek.
Selama Lenghou Tiong berkenalan dengan Ing-ing baru sekarang ia menyaksikan dengan jelas kepandaian si
nona, cara menyerangnya sangat cepat, tempat yang diarah selalu yang berbahaya. Sebaliknya boan-koan-pit
yang digunakan Kah Po tampak tidak kurang lihainya, agaknya bobotnya tidak ringan, terbukti dari sambaran
angin yang terjangkit ketika senjatanya bergerak.
Ing-ing selalu menghindari senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat dan
tempat yang mematikan.
“Binatang, tidak lekas menyerah saja!” bentak Hong-ting kepada Kah Po.
Tapi Kah Po sudah kalap, mendadak kedua boan-koan-pit-nya menikam ke leher Ing-ing, Keruan Lenghou
Tiong kaget, khawatir Ing-ing tidak sanggup menghindarkan serangan maut itu, tanpa pikir tatakan lilin yang
berujung tajam itu pun ditusukkan ke depan. “Cret”, dengan cepat luar biasa pergelangan tangan Kah Po
tertusuk sekaligus.
Karena itu boan-koan-pit Kah Po terlepas dari cekalan, namun dia memang sangat tangkas, segera ia
menubruk ke arah Lenghou Tiong sambil menghantam dengan kedua telapak tangan. Tapi Hong-ting keburu
menyela dari samping, sekali pegang kedua tangan Kah Po itu kena dicengkeram olehnya.
Sekuatnya Kah Po meronta, tapi aneh, betapa pun sukar melepaskan diri dari pegangan Hong-ting itu, segera
ia angkat sebelah kakinya, terus menendang ke selangkangan Hong-ting.
Serangan ini benar-benar sangat keji, Hong-ting menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua
tangannya ke depan. Kah Po tidak mampu berdiri tegak lagi, ia terlempar ke luar dan menerobos pintu terus
terjerumus ke bawah. Terdengarlah suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin jauh
sampai akhirnya lenyap di dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.
“Untung kau datang menolong tepat pada waktunya!” kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing.
“Ya, memang untung kedatanganku tidak terlambat,” jawab Ing-ing dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula,
“Padamkan api!”
Terdengar ada orang mengiakan di bawah loteng. Kiranya api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan
untuk mengacaukan perhatian Kah Po, api itu cuma pembakaran rumput kering ditabur dengan bahan bakar
lain saja, jadi bukan kebakaran sungguh-sungguh.
Ing-ing mendekati jendela dan berseru ke Sin-coa-kok di depan sana, “Siangkoan-sioksiok, Kah Po
membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjarannya yang setimpal, kau sendiri bolehlah kemari
bersama anak buahmu, aku takkan membikin susah padamu.”
“Toasiocia, ucapanmu harus dapat dipercaya,” jawab Siangkoan In.
“Aku bersumpah asalkan Siangkoan-sioksiok mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membikin
susah padanya, kalau melanggar sumpah ini biarlah aku mati membusuk dimakan ulat,” dengan sumpah Inging
yang paling berat menurut kebiasaan di dalam Tiau-yang-sin-kau maka legalah hati Siangkoan In, segera ia
pimpin 20 anak buahnya keluar dari tempat sembunyinya.
Ketika Lenghou Tiong berempat turun ke bawah Leng-kui-kok, tertampak Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lainlain
sudah menanti di situ.
“Dari mana kau mendapat tahu Kah Po akan menyergap kami?” tanya Lenghou Tiong kepada Ing-ing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kupikir masakah Tonghong Put-pay begitu baik hati mau mengirim kado untukmu?” tutur Ing-ing. “Semula
kusangka di dalam peti-peti antarannya mungkin tersembunyi sesuatu akal keji, kemudian kulihat tingkah laku
Kah Po rada mencurigakan, malahan membawa pengikutnya menuju ke sini. Aku tambah curiga dan coba
menjenguk ke sini bersama Lo-siansing dan lain-lain. Ternyata beberapa penjaga di bawah sana melarang kami
naik ke sini, keruan rahasia mereka lantas ketahuan.”
Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain sama bergelak tertawa. Sebaliknya Siangkoan In menunduk malu.
“Siangkoan-sioksiok, selanjutnya kau ikut padaku atau tetap ikut Tonghong Put-pay?” tanya Ing-ing.
Air muka Siangkoan In berubah hebat, sesaat itu ia merasa sulit kalau dia disuruh mengkhianati Tonghong Putpay.
Dengan lantang Ing-ing berkata pula, “Di antara kesepuluh tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kita sudah ada enam
tianglo yang makan pil Sam-si-nau-sin-tan dari ayahku. Sebiji pil ini akan kau makan atau tidak?”
Habis berkata ia terus menjulurkan tangannya, satu biji pil merah tampak berputar-putar di tengah telapak
tangannya.
“Apakah betul enam di antara ke... kesepuluh tianglo kita sudah... sudah....”
“Betul,” sela Ing-ing. “Selamanya kau belum pernah bekerja bagi ayahku, akhir-akhir ini kau ikut Tonghong
Put-pay, tapi tidak berarti mengkhianati ayahku. Asalkan kau mau meninggalkan yang gelap dan kembali ke
jalan yang terang, sudah tentu aku akan menghargai kau, ayah juga pasti akan memberi penilaian lain
padamu.”
Siangkoan In pikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang, keadaan memaksa, mau tak mau ia
ambil pil merah di tangan Ing-ing itu terus ditelan. Katanya, “Selanjutnya Siangkoan In terima di bawah
perintah Toasiocia.”
Berbareng ia pun memberi hormat.
“Selanjutnya kita adalah orang sendiri, tidak perlu kau banyak adat,” kata Ing-ing. “Para anak buahmu ini
dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”
Siangkoan In memandang kepada ke-20 pengikutnya. Melihat pemimpinnya sudah menyerah, tanpa diperintah
lagi serentak orang-orang itu lantas menyembah kepada Ing-ing dan berseru, “Kami tunduk semua di bawah
perintah Seng-koh!”
Sementara itu para kesatria sudah memadamkan api, mereka pun ikut bersyukur dan gembira bahwa Ing-ing
telah berhasil menundukkan Siangkoan In. Maklumlah ilmu silat Siangkoan In cukup tinggi, kedudukannya juga
penting di dalam Tiau-yang-sin-kau, kalau dia juga takluk kepada Ing-ing, maka bagi usaha Yim Ngo-heng
untuk merebut kembali kedudukan kaucu tentu akan besar bantuannya.
Melihat urusan sudah beres, Hong-ting dan Tiong-hi lantas mohon diri. Lenghou Tiong mengantar
keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ambil perpisahan.
Ketika menuju kembali ke Kian-seng-hong, Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, “Toako, kau sendiri sudah
menyaksikan betapa keji dan licinnya Tonghong Put-pay dengan segala akal busuknya. Saat ini ayah dan
Hiang-sioksiok sedang menjumpai dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di
dalam agama agar mereka mau mendukung pimpinan lama. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan
ayah itu tentunya tidak menjadi soal, tapi kalau ada yang menentang, satu per satu lantas dibereskan sekalian
untuk mengurangi kekuatan Tonghong Put-pay. Sementara ini Tonghong Put-pay juga telah mengadakan
serangan balasan, seperti kejadian ini, dia mengirim Kah Po dan Siangkoan In untuk menjebak kau, ini benarbenar
suatu langkah yang sangat lihai. Soalnya ayah dan Hiang-sioksiok sukar dicari jejaknya sehingga
Tonghong Put-pay tidak mampu menemukan mereka, sebaliknya kalau kau sampai kena dicelakai, sungguh
aku... aku....” sampai di sini air mukanya menjadi merah, cepat ia berpaling.
Angin malam meniup sepoi-sepoi, rambut Ing-ing yang halus itu tersiah ke atas sehingga tampak lehernya
yang jenjang dan putih bersih, hati Lenghou Tiong terguncang, pikirnya, “Bahwasanya dia mencintai aku, hal
ini telah diketahui umum, sampai-sampai Tonghong Put-pay juga ingin menangkap aku sebagai sandera untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memaksakan kehendaknya padanya dan selanjutnya untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung di
Sian-kong-si tadi, sudah jelas mengetahui betapa lihainya air berbisa, tapi dia rela mengadang di depanku.
Punya istri sesetia ini, apa lagi yang kuharapkan lagi?”
Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.
Ing-ing mengikik tawa, sedikit mengegos, tempat kosonglah yang dipeluk oleh Lenghou Tiong. Kata Ing-ing
dengan tertawa, “Masakah begini kelakuan seorang ciangbunjin yang terhormat?”
“Memangnya di seluruh dunia ini hanya ciangbunjin dari Hing-san-pay yang paling istimewa,” jawab Lenghou
Tiong dengan menyengir.
“Mengapa kau berkata demikian, Toako?” ujar Ing-ing dengan sungguh-sungguh. “Bahkan ketua-ketua Siaulim
dan Bu-tong juga menghargai dirimu, siapa lagi yang berani memandang rendah padamu? Biarpun gurumu
mengusir kau dari Hoa-san-pay, tapi jangan kau senantiasa memikirkan soal ini sehingga selalu merasa rendah
diri.”
Kata-kata Ing-ing ini benar-benar kena di lubuk hati Lenghou Tiong, memang soal dipecatnya dari perguruan
selama ini tetap mengganjal di dalam hatinya. Maka ia tidak menjawab, ia hanya menghela napas dan
menunduk.
“Toako,” kata Ing-ing pula sambil pegang tangan Lenghou Tiong, “sebagai ketua Hing-san-pay, kau telah
menonjol di depan para kesatria sejagat. Hing-san dan Hoa-san selalu pada tingkatan yang sama, memangnya
sebagai ketua Hing-san-pay kau rasakan tidak lebih terhormat daripada seorang anak murid Hoa-san-pay?”
“Banyak terima kasih atas bujukanmu,” jawab Lenghou Tiong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai
pemimpin kawanan nikoh rada-rada lucu dan serbarunyam.”
“Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang minta menjadi anggota Hing-san-pay, bicara tentang pengaruh
dan kekuatan boleh dikata hanya Ko-san-pay saja yang masih mampu menandingi kau, selain itu masakah
Hoa-san-pay dan lain-lain dapat memadai kau?”
“Dalam urusan ini aku masih harus berterima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong.
“Terima kasih apa?” katanya Ing-ing tertawa.
“Kau khawatir aku merasa kurang gemilang menjadi pemimpin kaum nikoh, maka sengaja mengirim anak
buahmu sebanyak ini untuk memasuki Hing-san-pay. Kalau bukan perintah Seng-koh masakah kawanan
berandalan sebanyak itu mau datang padaku untuk menerima perintah begitu saja?”
“Juga belum tentu benar seluruhnya,” ujar Ing-ing. “Tatkala kau menyerbu Siau-lim-si bukankah mereka pun
tunduk semua di bawah perintahmu?”
Sambil bicara, tanpa terasa sudah dekat dengan biara induk, sayup-sayup sudah terdengar suara berisik orang
banyak. Ing-ing lantas berhenti dan berkata, “Toako, sementara ini kita berpisah dulu, bila urusan penting ayah
sudah beres tentu aku akan datang menjenguk kau.”
Terdorong oleh perasaan hangat hatinya, Lenghou Tiong berkata, “Apakah kau akan berangkat ke Hek-bokkeh?”
Ing-ing mengiakan.
“Aku ikut!” kata Lenghou Tiong.
Seketika biji mata Ing-ing memancarkan sinar yang penuh gembira, tapi perlahan-lahan ia menggeleng malah.
“Kau tidak ingin aku ikut ke sana?” Lenghou Tiong menegas.
“Baru saja kau menjadi ketua Hing-san-pay, rasanya kurang pantas bila sekarang kau ikut campur urusan Tiauyang-
sin-kau kami,” kata Ing-ing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi menghadapi Tonghong Put-pay adalah pekerjaan yang amat berbahaya, masakah aku harus tinggal diam
membiarkan kau menghadapi bahaya?” ujar Lenghou Tiong.
“Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu, siapa berani mengatasi mereka jika ada yang
mengganggu nona-nona jelita Hing-san-pay kalian?” kata Ing-ing.
“Asalkan kau memberikan perintah tegas, betapa pun kukira mereka tak berani main gila.”
“Baiklah, atas kesediaanmu ikut ke Hek-bok-keh, atas nama ayah kusampaikan terima kasih.”
“Buat apa kita saling terima kasih kian-kemari seperti orang luar saja.”
“Baik, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ing-ing dengan tertawa.
Setelah kedua orang kembali di Kian-seng-hong, mereka lalu memberi pesan kepada anak buah masingmasing.
Lenghou Tiong menyuruh para murid Hing-san-pay giat belajar. Ing-ing memberi perintah kepada para
kesatria agar hidup prihatin, selanjutnya mereka dilarang naik ke Kian-seng-hong tanpa dipanggil, siapa yang
melanggar akan dihukum potong kaki.
Besok paginya berangkatlah Lenghou Tiong, Ing-ing, Siangkoan In, dan ke-20 anak buahnya yang tersisa.
Hek-bok-keh itu terletak di wilayah Hopak, dari Hing-san mereka menuju ke timur. Suatu hari sampailah
mereka di Pengting. Sepanjang jalan Lenghou Tiong dan Ing-ing menumpang di dalam kereta dengan tirai
tertutup untuk menghindari mata-mata Tonghong Put-pay. Malam itu mereka cari penginapan di Pengting.
Kota itu sudah tidak jauh lagi dengan markas besar Tiau-yang-sin-kau, di dalam kota banyak berseliweran
anggota-anggota Mo-kau itu. Siangkoan In menugaskan empat anak buahnya menjaga di sekitar hotel, orang
yang tak berkepentingan dilarang keras mendekat.
Waktu makan malam, Ing-ing mengiringi Lenghou Tiong minum arak. Cahaya api lilin yang berkedip-kedip
makin menambah kemolekan Ing-ing.
Setelah menenggak tiga mangkuk arak, berkatalah Lenghou Tiong, “Ing-ing, ketika di Siau-lim-si tempo hari
ayahmu mengatakan beliau hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, di antaranya
Tonghong Put-pay adalah orang utama yang dikaguminya. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan kaucu
dari tangan ayahmu, sudah tentu ia adalah seorang mahapintar menurut cerita orang Kangouw, katanya ilmu
silatnya Tonghong Put-pay nomor satu di dunia ini, entah betul tidak berita demikian ini?”
“Bahwa Tonghong Put-pay ini seorang yang mahacerdik dan banyak tipu akalnya memang tidak perlu
disangsikan lagi,” jawab Ing-ing. “Tentang sampai di mana tinggi ilmu silatnya, tidaklah begitu jelas bagiku,
soalnya beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang menjumpai dia.”
“Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Kota Lokyang sehingga jarang menjumpai dia,” ujar Lenghou Tiong.
“Bukan begitu. Meski aku tinggal di Lokyang, tapi setiap tahun aku tentu pulang ke Hek-bok-keh satu atau dua
kali, tapi meski pulang ke sana toh jarang pula bertemu dengan Tonghong Put-pay. Menurut cerita para tianglo
di sana akhir-akhir ini makin sukar untuk bertemu dengan sang kaucu.”
“Mungkin orang yang berkedudukan tinggi sering kali sengaja tahan harga agar lebih diagungkan orang,” kata
Lenghou Tiong.
“Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentunya dia sedang giat meyakinkan ilmu dalam Kui-hoapo-
tian sehingga tak ingin pemusatan pikirannya terganggu.”
“Ayahmu pernah bercerita padaku, katanya dahulu dia terlalu asyik meyakinkan cara-cara memunahkan
bergolaknya hawa murni yang disedot oleh Gip-sing-tay-hoat sehingga urusan pekerjaan sehari-hari tak
dihiraukan, kesempatan ini telah digunakan Tonghong Put-pay untuk merebut kekuasaan, apakah mungkin
sekarang Tonghong Put-pay mengulangi lagi jejak ayahmu itu?”
“Sejak Tonghong Put-pay tidak banyak memegang pekerjaan agama, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh
dikata hampir jatuh ke tangan bocah she Nyo itu. Bocah itu takkan merampas kedudukan Tonghong Put-pay,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
maka tentang terulangnya peristiwa dahulu boleh tidak perlu dikhawatirkan.”
“Bocah she Nyo katamu? Siapakah dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?”
Tiba-tiba wajah Ing-ing tampak perasaan rikuh, katanya dengan tersenyum, “Kalau bicara tentang dia hanya
bikin kotor mulut saja. Orang di dalam agama yang tahu seluk-beluknya tidak ada yang sudi
membicarakannya, orang luar agama tiada yang tahu, dengan sendirinya kau pun tidak pernah dengar tentang
dia.”
Tambah tertarik rasa ingin tahu Lenghou Tiong, pintanya, “Adik yang manis, coba ceritakanlah padaku.”
“Bocah she Nyo itu lengkapnya bernama Nyo Lian-ting usianya belum ada 30, ilmu silatnya rendah, tidak
mampu bekerja pula. Tapi akhir-akhir ini Tonghong Put-pay justru sangat sayang dan percaya padanya,
sungguh sukar dimengerti.”
Sampai di sini wajah Ing-ing kembali bersemu merah, mulutnya mencibir dengan sikap yang menghina.
“Ah, barangkali kau maksudkan bocah she Nyo itu adalah ‘gendak’ Tonghong Put-pay? Sungguh tidak nyana,
seorang kesatria seperti dia ternyata juga suka... suka main begituan.”
“Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi, aku pun tidak tahu apa yang dikehendaki Tonghong Put-pay. Yang jelas
segala urusan hampir dia serahkan kepada Nyo Lian-ting sehingga banyak kawan-kawan dalam agama yang
menjadi korban keculasan orang she Nyo itu, sungguh dia pantas dibinasakan.”
Sampai di sini, sekonyong-konyong di luar jendela ada orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu salah,
sebaliknya kita harus berterima kasih kepada bocah she Nyo itu.”
“Ayah!” seru Ing-ing dengan girang, cepat ia membukakan pintu.
Tertampaklah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian melangkah masuk, keduanya sama-sama berdandan sebagai
orang kampung dengan baju kasar, memakai kopiah buntut. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar
mengenalnya. Segera Lenghou Tiong memberi hormat dan suruh pelayan menambah makanan.
“Akhir-akhir ini aku dan Hiang-hiante mengadakan hubungan kenalan-kenalan lama di dalam agama, hasilnya
ternyata sangat memuaskan,” tutur Yim Ngo-heng. “Sebagian besar di antara mereka menyambut kembaliku
dengan girang, katanya akhir-akhir ini Tonghong Put-pay sudah mendekati kebangkrutan karena dijauhi oleh
pengikut-pengikutnya. Terutama bocah she Nyo itu, asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa memelet
Tonghong Put-pay sehingga memegang kekuasaan, lalu banyak lagak, tidak sedikit tokoh-tokoh ternama dan
berjasa di dalam agama yang telah menjadi korbannya. Cara perbuatan bocah she Nyo itu bukankah berbalik
membantu usaha kita, bukankah kita harus berterima kasih padanya malah?”
Ing-ing mengiakan, lalu ia tanya, “Dari mana kalian mengetahui kedatangan kami, Ayah?”
“Hiang-hiante sudah berkelahi dulu dengan Siangkoan In, kemudian baru diketahui dia telah tunduk padamu,”
kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.
“Hiang-sioksiok tidak melukai dia, bukan?” tanya Ing-ing.
“Tidaklah gampang untuk melukai Siangkoan In,” ujar Hiang Bun-thian dengan tersenyum.
Bicara sampai di sini, terdengar di luar riuh ramai dengan suara suitan yang tajam melengking mendirikan bulu
roma di malam sunyi.
“Apakah Tonghong Put-pay mengetahui kedatangan kita?” kata Ing-ing. Lalu ia berpaling dan menjelaskan
kepada Lenghou Tiong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda penggerebekan musuh atau menangkap kaum
pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota dalam agama harus siap siaga.”
Selang tidak lama, terdengar empat ekor kuda dilarikan dengan cepat sekali lewat di depan hotel, ada
penunggang kuda itu berseru, “Atas titah Kaucu, tianglo penguasa Hong-lui-tong, Tong Pek-him, bersekongkol
dengan musuh dan bermaksud memberontak, diperintahkan segenap anggota bantu menangkapnya segera,
bila melawan boleh dibunuh tanpa perkara.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tong-pepek yang dimaksudkan? Mana bisa?” ujar Ing-ing tidak percaya.
“Tajam juga sumber berita Tonghong Put-pay, kemarin dulu kami baru saja bicara dengan Kakek Tong dan kini
hal ini sudah diketahui olehnya,” kata Yim Ngo-heng.
Ing-ing merasa lega, tanyanya, “Jadi Tong-pepek juga menyanggupi membantu kita?”
“Mana dia mau mengkhianati Tonghong Put-pay,” jawab Yim Ngo-heng. “Lama sekali aku dan Hiang-hiante
bicara dengan dia, namun tetap sukar mengubah pendiriannya, akhirnya dia berkata, ‘Hubunganku dengan
Tonghong-kaucu boleh dikata sehidup-semati, hal ini cukup diketahui kalian, tapi sekarang kalian sengaja
membujuk aku, jelas kalian memandang hina padaku dan anggap aku sebagai pengecut yang suka menjual
kawan. Memang akhir-akhir ini Tonghong-kaucu tidak sedikit berbuat kesalahan-kesalahan lantaran
dipengaruhi oleh orang busuk, tapi biarpun nanti Tonghong-kaucu akan hancur lebur juga aku orang she Tong
takkan berbuat sesuatu apa pun yang tidak baik padanya. Aku mengaku bukan tandingan kalian berdua, jika
mau bunuh bolehlah kalian bunuh saja diriku.’
“Kakek Tong itu memang tua-tua keladi, makin tua makin berapi.”
“Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan baik,” ujar Lenghou Tiong.
“Jika dia sudah menolak bujukan ayah, mengapa sekarang Tonghong Put-pay hendak menangkap dia malah?”
tanya Ing-ing.
“Ini namanya dunianya sudah berbalik,” ujar Hiang Bun-thian. “Umur Tonghong Put-pay belum terlalu tua, tapi
tindak tanduknya sudah tidak keruan. Kawan karib yang setia seperti Tong Pek-him itu hendak dia cari lagi di
mana?”
“Tapi dengan bentrokan Tonghong Put-pay dengan Tong Pek-him, itu berarti menguntungkan malah usaha
kita,” kata Yim Ngo-heng tertawa. “Marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan.”
Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda selamat dan bersyukur.
Lalu Ing-ing menjelaskan kepada Lenghou Tiong, katanya, “Tong-pepek itu adalah seorang tokoh angkatan tua
agama kami, dahulu dia telah banyak berbuat jasa sehingga dia sangat dihormati. Biasanya dia tidak begitu
cocok dengan ayah, tapi sangat karib dengan Tonghong Put-pay. Sepantasnya betapa pun dia berbuat
kesalahan seharusnya Tonghong Put-pay akan dapat mengampuni dia.”
“Tonghong Put-pay hendak menangkap Tong Pek-him, sudah tentu Hek-bok-keh sekarang sedang kacau, ini
adalah kesempatan yang paling bagus bagi kita untuk naik ke sana,” kata Yim Ngo-heng.
“Bagaimana kalau kita undang Siangkoan In untuk diajak berunding?” tanya Bun-thian.
“Bagus,” jawab Yim Ngo-heng.
Setelah Hiang Bun-thian keluar, tidak lama dia masuk lagi bersama Siangkoan In. Begitu melihat Yim Ngoheng,
segera Siangkoan In memberi sembah hormat, “Hamba Siangkoan In menyampaikan hormat kepada
Kaucu, semoga Kaucu panjang umur dan merajai Kangouw.”
Dengan tertawa Yim Ngo-heng menjawab, “Siangkoan-hengte, kudengar kau adalah seorang laki-laki yang
keras, mengapa pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan kata-kata demikian?”
Siangkoan In melengak bingung, jawabnya kemudian, “Hamba tidak paham, mohon Kaucu memberi
penjelasan.”
Ing-ing lantas menyela, “Ayah, apa barangkali engkau merasa heran terhadap istilah-istilah yang diucapkan
Siangkoan-sioksiok?”
“Ya, aku merasa seperti menjadi raja dengan istilah-istilah sanjung puji yang luar biasa itu,” kata Yim Ngoheng.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Istilah-istilah itu sengaja ditetapkan oleh Tonghong Put-pay agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung
puji demikian bila berhadapan padanya,” tutur Ing-ing. “Rupanya Siangkoan-sioksiok sudah biasa pakai istilahistilah
itu sehingga kepada ayah juga digunakan kata-kata yang sama.”
“O, kiranya demikian,” kata Yim Ngo-heng. “Siangkoan-hengte, kabarnya Tonghong Put-pay ada perintah
menangkap Tong Pek-him, kukira saat demikian suasana di Hek-bok-keh tentu kacau-balau, bagaimana kalau
malam ini juga kita lantas naik ke atas sana?”
Siangkoan In mengiakan dengan macam-macam istilah sanjung puji pula yang lebih “seram”. Keruan Yim Ngoheng
mengerut kening. Padahal Siangkoan In terkenal ilmu silatnya tinggi, wataknya juga terkenal keras dan
tulus, mengapa sekarang juga pandai menjilat dengan macam-macam perkataan yang menjijikkan.
“Ayah,” Ing-ing lantas menyela, “untuk menyusup ke Hek-bok-keh sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak
dikenal musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus hafal kode-kode yang sedang populer di Hek-bok-keh,
yaitu istilah-istilah sanjung puji sebagaimana diucapkan Siangkoan-sioksiok tadi. Istilah-istilah demikian
sebenarnya adalah bikinan Nyo Lian-ting yang sengaja digunakan untuk menjilat Tonghong Put-pay. Rupanya
Tonghong Put-pay juga sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu, kalau bawahannya tidak
mengucapkan kata-kata pujian seperti itu lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan
dibinasakan.”
“Kalau ketemu Tonghong Put-pay, kau sendiri juga gunakan istilah-istilah begitu?” tanya Yim Ngo-heng.
“Tinggalnya di Hek-bok-keh, apa mau dikata terpaksa harus mengikuti peraturan mereka,” jawab Ing-ing.
“Sebabnya Anak lebih sering tinggal di Lokyang justru untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku
mereka.”
“Siangkoan-hengte, selanjutnya kita tidak perlu pakai cara-cara demikian,” kata Yim Ngo-heng kemudian.
“Baik,” jawab Siangkoan In, akan tetapi toh masih ditambahkannya pula, “kebijaksanaan Kaucu yang mahaadil
tentu akan hamba patuhi, semoga Kaucu panjang umur hidup abadi.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru