Cersil 14 Hina Kelana Cerita Silat China Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil 14 Hina Kelana Cerita Silat China
- Cersil 12 Hina Kelana Cerita Silat Mandarin Top
- Cersil 11 Hina Kelana Cerita Silat Kisah Pendekar ...
- Cersil 10 Hina Kelana Cerita Silat Pendekar Lengho...
- Cersil 9 Hina Kelana Cerita Silat MAri Menertawaka...
- Cersil 8 Hina Kelana Cerita Silat Smiling Proud Wa...
- Cersil 7 Hina Kelana (Syair Mari Menertawakan Duni...
- Cersil 6 Cerita Silat Hina Kelana (Smiling Proud W...
- Cersil Langka Hina Kelana 5 Cerita Silat Mantab
- Cersil Mandarin Hina Kelana 4 Cersil Jinyong Pilih...
- Cersil Indo Hina Kelana 3 (Smiling Proud Wonder)
- Cersil Pdf Hina Kelana 2 ( Mentertawakan Dunia Per...
- Cersil Jin Yong Terbaik 1 Hina Kelana
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Bab 124. Gak Leng-sian Mati di Ujung Pedang Suami Sendiri
Begitulah dengan gemas Lo Tek-nau berkata pula, “Rupanya aku menyelundup ke dalam Hoa-san-pay sejak
awal sudah diketahui oleh Gak Put-kun, hanya dia pura-pura tidak tahu dan berbalik mengawasi tingkah
lakuku, dia sengaja membiarkan kiam-boh palsu dicuri olehku sehingga ilmu pedang yang diyakinkan guruku
jadinya tidak lengkap. Kemudian pada pertarungan yang menentukan itu dia memancing guruku memainkan
ilmu pedang itu untuk menghadapi ilmu pedang palsu yang tidak sempurna, dengan sendirinya dia pasti
menang. Kalau tidak, jabatan ketua Ngo-gak-pay mana bisa jatuh ke tangannya.”
“Ya, Gak Put-kun benar-benar culas dan licik, kita sama-sama telah terjeblos ke dalam perangkapnya,” kata
Peng-ci dengan menghela napas.
“Tapi guruku adalah seorang yang bijaksana, meski aku telah bikin runyam urusannya, namun tiada satu patah
kata pun dia tegur diriku,” tutur Tek-nau. “Namun sebagai murid dengan sendirinya hatiku tidak tenteram,
biarpun masuk lautan api atau naik gunung pisau juga aku akan berusaha membinasakan keparat Gak Put-kun
untuk membalas sakit hati Insu.”
Ucapan terakhir itu dilontarkan dengan tegas dan gemas, nyata sekali tidak kepalang rasa dendam kesumatnya
terhadap Gak Put-kun.
Peng-ci tidak menanggapi, ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang.
Maka Lo Tek-nau berkata pula, “Kedua mata Insu telah rusak, saat ini beliau tinggal menyepi di puncak barat
Ko-san bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Gak Put-kun dan Lenghou Tiong.
Bila Lim-siauhiap mau ikut aku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Pi-sia-kiam-bun dari Hokciu tentu Insu
akan menyambutmu dengan segala kehormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak
dapat, tinggal saja di sana bersama Insu untuk sama-sama memikirkan cara-cara menuntut balas sakit hati
kita yang mahabesar ini, bukankah jalan ini paling baik?”
Tertarik juga hati Lim Peng-ci, ia pikir kedua matanya tentu sukar untuk bisa disembuhkan, tapi kalau bisa
berkumpul dengan orang-orang yang senasib yang sama-sama buta matanya tukar pikiran cara menuntut
balas, jalan ini memang paling baik. Cuma ia pun kenal pribadi Co Leng-tan, bila tiada maksud tujuan tertentu
mustahil mendadak begitu baik hati padanya. Maka ia lantas menjawab, “Maksud baik Co-ciangbun sungguh
aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Lo-heng dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap.”
Maksudnya bila pihak Lo Tek-nau ada tujuan apa-apa, hendaknya buka harga secara terus terang dan kalau
perlu boleh tawar-menawar.
Lo Tek-nau bergelak tertawa, katanya, “Lim-siauhiap ternyata orang yang suka berpikir secara terbuka, agar
kelak kita dapat bekerja sama lebih erat tentu akan kujelaskan secara terus terang. Soalnya aku mendapatkan
kiam-boh yang tidak sempurna dari Hoa-san, kami guru dan murid tertipu dengan sendirinya kami tidak rela.
Sepanjang jalan telah kusaksikan Lim-siauhiap memperlihatkan kesaktian ilmu pedang yang hebat untuk
membunuh Bok Ko-hong, Ih Jong-hay, dan begundalnya sehingga musuh-musuhmu lari terbirit-birit, nyata
sekali engkau sudah memperoleh ajaran asli dari Pi-sia-kiam-hoat itu. Sungguh aku sangat kagum dan juga...
dan juga sangat mengiler....”
Peng-ci dapat menangkap maksud orang. Jawabnya kemudian, “Apakah maksud Lo-heng hendak minta aku
memperlihatkan kiam-boh asli kepada kalian?”
“Sebenarnya orang luar tidaklah pantas mengincar milik keluargamu itu,” kata Tek-nau. “Tapi hendaklah Limsiauhiap
maklum, dalam keadaan seperti Insu dan Lim-siauhiap sekarang terang tiada mampu membunuh
keparat Gak Put-kun itu kecuali kalau Insu dan aku dapat mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang asli.”
Sesungguhnya Peng-ci memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan mata buta itu.
Apalagi sekarang kalau dirinya menolak tentu Lo Tek-nau akan gunakan kekerasan untuk membunuhnya dan
Leng-sian, dan kiam-boh akhirnya tetap akan terampas.
Tiba-tiba ia mendapat akal, segera berkata, “Co-ciangbun sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa
mendapat kehormatan besar. Sebabnya keluarga Lim kami hancur dan aku sampai menjadi cacat adalah garagara
perbuatan Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, tapi tipu muslihat yang dirancangkan Gak Put-kun terhitung pula
sebab-sebab pokok, maka keinginanku membunuh Gak Put-kun tiada ubahnya seperti kalian guru dan murid.
Maka kalau kita berserikat sudah tentu Pi-sia-kiam-hoat akan kuperlihatkan kepada kalian.”
Lo Tek-nau sangat senang, katanya, “Lim-siauhiap ternyata sangat berbaik hati, sungguh kami sangat
berterima kasih bila dapat melihat keaslian Pi-sia-kiam-boh, selanjutnya Lim-hengte akan menjadi kawan akrab
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sebagai saudara sendiri.”
“Terima kasih,” kata Peng-ci. “Sesudah kita sampai di Ko-san, segera Pi-sia-kiam-boh yang asli itu akan
kuuraikan seluruhnya di luar kepala.”
“Menguraikan di luar kepala?” Lo Tek-nau menegas.
“Ya,” jawab Peng-ci. “Hendaknya Lo-heng maklum bahwa kiam-boh asli itu oleh leluhurku telah ditulis pada
sebuah kasa. Kasa itu telah diserobot oleh Gak Put-kun, dari situ dapatlah dia mencuri ilmu pedang keluargaku.
Tapi kemudian secara kebetulan sekali kasa itu jatuh kembali ke tanganku. Karena kukhawatir diketahui oleh
Gak Put-kun, maka aku telah menghafalkan isi kiam-boh itu di luar kepala, lalu kasa itu kumusnahkan. Bila
kusimpan kasa itu, sedangkan aku selalu didampingi seorang istri setia begini, apakah mungkin aku dapat
hidup sampai sekarang?”
Sejak tadi Gak Leng-sian hanya mendengarkan saja tanpa bicara, kini mendengar sindiran itu, kembali ia
menangis sedih, katanya dengan terguguk, “Kau... kau kenapa....”
Namun ia tidak sanggup melanjutkan pula.
Karena Lo Tek-nau tadi sembunyi di dalam kereta, maka ia mendengar semua percakapan Lim Peng-ci dan Gak
Leng-sian, ia percaya apa yang dikatakan Peng-ci itu memang bukan olok-olok belaka, segera ia berkata,
“Baiklah, apakah sekarang juga kita lantas berangkat ke Ko-san?”
Tanpa pikir lagi Peng-ci mengiakan.
“Kita harus membuang kereta dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil,” kata Lo Tek-nau. “Sebab
kita bukan tandingannya.”
Lalu ia berpaling kepada Gak Leng-sian dan bertanya, “Siausumoay, kau akan membantu ayah atau membantu
suami?”
“Aku tidak membantu siapa pun juga!” sahut Leng-sian tegas. “Aku... aku memang bernasib buruk, besok juga
aku akan cukur rambut dan meninggalkan rumah, apakah dia ayah atau dia suami, selanjutnya aku takkan
berjumpa lagi dengan mereka.”
“Jika kau menjadi nikoh ke Hing-san, di situ memang tepat tempatnya bagimu,” kata Peng-ci.
“Lim Peng-ci!” teriak Leng-sian dengan gusar. “Apakah kau sudah lupa? Dahulu kau hampir mampus, kalau
tidak ditolong Ayah tentu jiwamu sudah melayang di tangan Bok Ko-hong, mana kau dapat hidup sampai saat
ini? Seumpama ayahku berbuat sesuatu kesalahan, aku Gak Leng-sian toh tidak berbuat sesuatu yang tidak
betul padamu? Apakah artinya kau berkata demikian itu?”
“Apa artinya? Aku cuma ingin membuktikan tekadku kepada Co-ciangbun,” sahut Peng-ci suaranya bengis
buas.
Menyusul itu, sekonyong-konyong terdengar Leng-sian menjerit ngeri, agaknya telah mengalami kecelakaan.
Tanpa pikir Lenghou Tiong dan Ing-ing melompat keluar dari tempat sembunyinya. Berbareng Lenghou Tiong
berteriak, “Lim Peng-ci, jangan mencelakai Siausumoay!”
Dalam keadaan menyamar, di tengah malam pula, sebenarnya Lo Tek-nau mengenalnya. Keruan kagetnya
setengah mati, hampir-hampir sukmanya meninggalkan raganya.
Saat ini yang paling ditakuti Lo Tek-nau hanya Gak Put-kun dan Lenghou Tiong berdua. Maka tanpa pikir lagi
segera ia cengkeram bahu Lim Peng-ci terus mencemplak seekor kuda tinggalan orang Jing-sia-pay tadi dan
segera dilarikan sekencang-kencangnya.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Gak Leng-sian, Lenghou Tiong tidak sempat berpikir untuk mengejar
musuh. Dilihatnya Leng-sian menggeletak di tempat kusir di atas kereta, dadanya tertancap sebatang pedang,
ketika diperiksa pernapasannya keadaannya sudah payah, lemah sekali denyut nadinya.
“Siausumoay! Siausumoay!” Lenghou Tiong berseru.
“Apakah... apakah Toasuko?” jawab Leng-sian lemah.
“Ya... ya, aku!” seru Lenghou Tiong kegirangan.
Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Leng-sian itu, tapi Ing-ing keburu
mencegahnya. Hampir separuh mata pedang itu masuk dalam tubuh Leng-sian, kalau pedang dicabut pasti
akan mempercepat kematiannya, terang Leng-sian sukar diselamatkan lagi, Lenghou Tiong menjadi berduka,
serunya sambil menangis, “Siau... Siausumoay!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Toasuko, engkau berada di sampingku, sungguh baik sekali,” kata Leng-sian dengan suara lemah. “Adik Peng,
apakah... apakah dia sudah pergi?”
“Jangan khawatir, aku pasti membunuh dia untuk membalas sakit hatimu,” kata Lenghou Tiong dengan
geregetan.
“Tidak, jangan!” kata Leng-sian. “Matanya sudah buta, hendak kau bunuh dia, tentu dia tidak sanggup
melawan. Aku... aku ingin kembali ke tempat Ibu.”
“Baik, akan kubawa kau menemui Sunio,” kata Lenghou Tiong.
Melihat keadaan Leng-sian yang semakin payah itu, terang jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa
terasa Ing-ing juga mengucurkan air mata.
“Toasuko,” kata Leng-sian pula dengan lemah, “engkau selalu sangat baik padaku, tapi aku... aku bersalah
padamu. Aku... akan meninggal dengan segera. Aku ingin mohon se... sesuatu padamu, hendaknya kau
dapat... dapat meluluskan permintaanku ini.”
“Kau takkan meninggal, aku akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Lenghou Tiong. “Silakan bicara, aku pasti
akan memenuhi permintaanmu.”
“Tetapi... tapi engkau tentu tak dapat menerima, hal ini akan membikin engkau pen... penasaran....” suaranya
makin lirih, napasnya juga makin lemah.
“Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja,” jawab Lenghou Tiong.
“Toasuko, suamiku... Adik Peng, dia... dia sudah buta, kas... kasihan dia,” kata Leng-sian dengan terputusputus.
“Dia sebatang kara di dunia ini, semua... semua orang me... memusuhi dia. Toasuko... sesudah aku
mati, harap... harap engkau menjaga baik-baik dia, jangan... jangan sampai dia dianiaya orang lagi....”
Lenghou Tiong melengak, sama sekali tak terduga bahwa Gak Leng-sian yang sudah dekat ajalnya itu tetap
tidak melupakan cintanya terhadap Lim Peng-ci, suami yang tega membunuh istri sendiri itu. Padahal kalau
bisa Lenghou Tiong ingin membekuk Peng-ci pada saat itu juga untuk mencencangnya hingga hancur luluh,
kelak tidak mungkin pula dia mau mengampuni jiwa manusia rendah itu, mana dia mau menerima permintaan
Leng-sian itu agar menjaganya malah?
Maka dengan gusar Lenghou Tiong menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak
berbudi itu, mengapa... mengapa kau masih memikirkan dia?”
“Toasuko,” kata Leng-sian, “dia... dia tidak sengaja hendak membunuh aku, hanya... karena takut pada Ayah,
dia terpaksa... terpaksa memihak Co Leng-tan dan aku... aku ditusuknya sekali... Toasuko, aku mohon...
mohon padamu... agar men... menjaga dia dengan baik....”
Di bawah cahaya rembulan, wajah Leng-sian tampak rada pucat, sinar matanya guram, namun penuh
memperlihatkan rasa memohon. Padahal sejak kecil permintaan apa pun juga dari Leng-sian belum pernah
ditolak oleh Lenghou Tiong, apalagi permintaan Leng-sian sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang
ajalnya, permintaan yang terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.
Sesaat itu darah dalam rongga dada Lenghou Tiong menjadi bergolak. Ia tahu sekali terima permintaan Lengsian
itu, maka selanjutnya pasti akan banyak akibatnya dan mungkin akan banyak pula memaksa dirinya
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.
Tapi menghadapi wajah dan suara Leng-sian yang penuh rasa memohon itu, Lenghou Tiong tidak tega untuk
menolak, segera ia mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu, jangan khawatir!”
Mendengar itu, tanpa terasa Ing-ing mencela, “Mana... mana boleh kau menerimanya!”
Dengan kencang Leng-sian menggenggam tangan Lenghou Tiong, katanya, “Toasuko, banyak... banyak terima
kasih... aku tak perlu... tak perlu khawatir lagi....”
Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum penuh tanda merasa puas.
Lenghou Tiong juga merasa puas melihat kegembiraan Leng-sian itu, ia merasa cukup berharga biarpun kelak
harus menghadapi kesulitan-kesulitan mahabesar.
Tapi mendadak terdengar Leng-sian berdendang perlahan. Seketika dada Lenghou Tiong seperti digodam,
sebab didengarnya lagu yang dinyanyikan Leng-sian itu kiranya adalah lagu rakyat daerah Hokkian, jelas lagu
ajaran Lim Peng-ci yang berasal dari Hokkian itu.
Dahulu ketika Lenghou Tiong dihukum kurung di puncak Hoa-san, perasaannya sangat pedih ketika mendengar
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Leng-sian menyanyikan lagu daerah itu. Kini kembali Leng-sian menyanyi pula, terang sedang mengenangkan
masa percintaannya dengan Peng-ci di Hoa-san dahulu. Suara Leng-sian melemah, tangannya yang
menggenggam tangan Lenghou Tiong juga makin kendur dan akhirnya terbuka, mata perlahan terpejam,
nyanyian berhenti napasnya juga lantas putus.
Hati Lenghou Tiong serasa mendelong, seketika dunia seakan-akan runtuh saat itu, ia ingin menangis keraskeras,
tapi tak dapat bersuara. Ia peluk tubuh Leng-sian yang sudah tak bernyawa itu dan bergumam perlahan,
“Siausumoay, jangan khawatir, Siausumoay! Akan kubawa kau ke tempat ibumu, pasti tiada seorang pun yang
berani memusuhimu.”
Ing-ing melihat punggung Lenghou Tiong basah kuyup dengan darah, terang lukanya kambuh lagi, tapi dalam
keadaan demikian ia tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.
Sambil memondong jenazah Leng-sian, dengan sempoyongan Lenghou Tiong melangkah ke depan sembari
menggumam, “Jangan khawatir Siausumoay, akan kubawa kau kepada ibumu!”
Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan terguling lalu tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara nyaring kecapi yang membikin
pikirannya menjadi segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang, kedengaran lagunya sudah dikenalnya
dan enak sekali rasanya. Seluruh tubuh terasa tak bertenaga sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk
membukanya, ia berharap akan senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi itu tanpa berhenti.
Dan suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Selang tak lama, sayup-sayup
Lenghou Tiong kembali terpulas lagi.
Ketika untuk kedua kalinya ia mendusin, telinganya tetap mendengar suara nyaring kecapi yang merdu,
malahan hidung mengendus bau harum bunga yang semerbak. Waktu ia membuka mata, di depannya penuh
bunga beraneka warna, Ing-ing sedang menabuh kecapi membawakan lagu “Penenang Jiwa”, agaknya dirinya
terbaring dalam sebuah gua.
Segera ia bermaksud bangun duduk, tapi Ing-ing keburu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira
penuh rasa kasih sayang. Sesaat itu Lenghou Tiong merasa sangat bahagia, ia tahu Ing-ing yang membawanya
ke gua ini ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian siausumoaynya yang mengenaskan itu. Kembali
hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ing-ing yang lembut mesra itu ia merasa terhibur, kedua
orang saling pandang tanpa bicara sampai sekian lamanya.
Perlahan Lenghou Tiong mengelus tangan Ing-ing, tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu terendus pula bau
sedap daging panggang. Ing-ing lantas angkat setangkai kayu, di atas tangkai itu tersunduk beberapa ekor
kodok panggang.
“Kembali hangus!” katanya dengan tersenyum.
Lenghou Tiong bergelak tertawa teringat kepada kejadian dahulu ketika mereka juga makan kodok panggang di
tepi sungai. Makan kodok dua kali, tapi dalam waktu sekian lama itu telah banyak mengalami macam-macam
kejadian, namun mereka berdua masih tetap berkumpul menjadi satu.
Sejenak kemudian Lenghou Tiong menjadi berduka pula teringat kepada Gak Leng-sian. Ing-ing memayangnya
bangun, katanya sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua, “Di situlah Nona Sian beristirahat untuk
selamanya.”
“Banyak... banyak terima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong dengan menahan air mata. Dalam hati ia pun
merasa rikuh, lalu sambungnya pula, “Ing-ing, aku terkenang kepada Siausumoay, hendaklah engkau jangan
marah.”
“Sudah tentu aku takkan marah, masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan punya suka-duka
pula,” jawab Ing-ing.
Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, “Dahulu ketika aku mula-mula jatuh hati padamu justru disebabkan
uraianmu tentang cintamu terhadap siausumoaymu. Bila engkau seorang pemuda yang beriman tipis dan tak
berbudi, tentu aku takkan menghargai dirimu. Sebenarnya... sebenarnya Nona Sian adalah seorang nona yang
baik, cuma saja dia tidak... tidak ada jodoh denganmu. Jika engkau tidak dibesarkan bersama dia sedari kecil,
besar kemungkinan sekali lihat dia akan suka padamu.”
“Tak mungkin,” sahut Lenghou Tiong setelah merenung sejenak. “Siausumoay paling kagum terhadap Suhu,
lelaki yang dia suka harus pendiam dan kereng seperti ayahnya itu. Aku hanya bermain baginya, selamanya dia
tidak... tidak menghargai diriku.”
“Mungkin kau benar. Lim Peng-ci justru mirip gurumu, tampaknya prihatin, tapi jiwanya justru begitu kotor.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi pada saat terakhir Siausumoay tetap tidak percaya Lim Peng-ci benar-benar mau membunuhnya, dia
masih tetap mencintai Peng-ci sepenuh hati. Tapi juga ada... ada baiknya, dia tidak meninggal dalam
kedukaan. Ya, aku ingin melihat kuburannya.”
Segera Ing-ing memayangnya keluar gua. Tertampak kuburan itu bagian atas ditumpuki batu dengan rajin,
suatu tanda Ing-ing tidak sembarangan menguburkan Gak Leng-sian. Diam-diam Lenghou Tiong sangat
berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipapas
tangkai dan daunnya, pada kulit dahan pohon terukir tulisan, “Tempat istirahat Hoa-san-lihiap, Nona Gak Lengsian.”
Kembali Lenghou Tiong mencucurkan air mata, katanya sedih, “Mungkin Siausumoay lebih suka dipanggil
Nyonya Lim.”
“Manusia tak berbudi seperti Lim Peng-ci itu, kalau Nona Gak tahu di alam baka pasti takkan sudi menjadi
nyonyanya,” ujar Ing-ing. Dalam hati ia membatin, “Sayang engkau tidak tahu bahwa dia dan Lim Peng-ci
hanya resminya saja suami-istri, tapi praktiknya tidak.”
Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah
dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi, suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu
tempat yang sangat permai.
“Biarlah kita tinggal sementara di sini, sambil menyembuhkan lukamu, dapat pula kita menemani kuburan
Nona Gak,” kata Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan dengan senang.
Begitulah mereka lantas tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Lenghou
Tiong hanya terluka luar saja, hanya belasan hari saja lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya. Setiap hari
Ing-ing mengajarkan dia menabuh kecapi, dasarnya Lenghou Tiong memang pintar, ia belajar dengan tekun
pula, maka kemajuannya cukup pesat.
Beberapa hari pula, satu pagi ketika Lenghou Tiong bangun, dilihatnya kuburan Gak Leng-sian telah tumbuh
tunas rumput yang hijau. Hati Lenghou Tiong kembali berduka menghadapi kuburan siausumoaynya itu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seruling yang merdu, cepat ia menoleh, dilihatnya Ing-ing sedang meniup
seruling dengan duduk di atas batu padas. Lagu yang dibawakannya adalah “Penenang Jiwa” yang sering
dibunyikannya sejak dahulu. Ia coba mendekati si nona, dilihatnya seruling itu terbikin dari bambu yang masih
baru, terang baru saja Ing-ing membuatnya.
Segera ia pun memangku kecapi dan mulai menabuhnya mengikuti irama seruling Ing-ing. Selesai
membawakan satu lagi, semangat terasa banyak lebih segar. Kedua orang saling pandang dengan tertawa.
“Bagaimana kalau kita berlatih lagi ‘Hina Kelana’ mulai sekarang?” kata Ing-ing.
“Lagu ini sangat sukar, entah kapan aku baru dapat menyamaimu,” ujar Lenghou Tiong. “Dahulu aku pernah
mendengar lagu ini dibawakan oleh Lau-susiok dari Heng-san-pay dan Kik-tianglo dari Tiau-yang-sin-kau
kalian, yang satu meniup seruling dan yang lain menabuh kecapi, paduan suara seruling dan kecapi sungguh
sangat enak didengar. Menurut Lau-susiok, lagu ‘Hina Kelana’ memang digubah dengan paduan suara seruling
dan kecapi.”
“Ya, engkau menabuh kecapi dan aku meniup seruling, kita mulai berlatih secara perlahan, latihan dua orang
bersama tentu akan lebih cepat maju daripada latihan sendirian,” kata Ing-ing.
Begitulah belasan hari selanjutnya mereka lantas tekun berlatih menabuh kecapi dan meniup seruling di tengah
lembah indah itu, untuk sementara mereka terlupa kepada sinar pedang dan bayangan darah di dunia Kangouw.
Kedua orang sama-sama merasa kalau dapat hidup berdampingan di lembah itu hingga hari tua, maka
rasanya tak kecewalah hidup mereka ini.
Akan tetapi kejadian di dunia ini memang sering bertentangan dengan harapan manusia.
Suatu hari lewat tengah hari, setelah Lenghou Tiong berlatih sekian lamanya dengan Ing-ing, tiba-tiba ia
merasa pikiran kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya salah petik.
“Tentu engkau lelah, silakan mengaso saja dulu,” ujar Ing-ing.
“Lelah sih tidak, entah mengapa, pikiran tidak tenteram,” kata Lenghou Tiong. “Biar kupergi petik buah tho,
petang nanti kita berlatih lagi.”
“Baiklah cuma jangan terlalu jauh,” kata Ing-ing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong tahu di sebelah timur lembah itu banyak tumbuh pepohonan tho, waktu itu adalah musimnya,
segera ia menuju ke sana. Kira-kira sepuluhan li jauhnya, benarlah di depan terbentang hutan tho yang lebat
dengan buahnya yang sudah merah.
Tanpa pikir lagi ia terus memetik buah-buah itu sampai ratusan. Pikirnya, “Kalau biji buah tho ini kelak tumbuh
pula menjadi pohon, tentu lembah ini akan penuh pohon tho dan jadilah sebuah tho-kok (lembah tho), dan aku
dan Ing-ing bukankah akan berubah menjadi Tho-kok-ji-sian? Kelak kalau Ing-ing juga melahirkan enam anak
laki-laki, kan mereka akan menjadi Tho-kok-lak-sian cilik?”
Teringat kepada Tho-kok-lak-sian, ia menjadi tertawa geli sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara keresak-keresek, suara orang berjalan. Ia terkejut
dan cepat mendekam ke bawah. Pikirnya, “Aneh, di lembah sunyi ini kenapa ada orang? Jangan-jangan yang
dituju adalah aku dan Ing-ing?”
Selang sejenak, sayup-sayup didengarnya suara seorang sedang berkata, “Apakah kau tidak keliru? Apakah
benar keparat Gak Put-kun itu menuju ke sini?”
Lalu terdengar suara seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Su-hiangcu, katanya putri Gak Put-kun
mendadak menghilang di sekitar sini, di tempat lain sama sekali tidak tampak jejak anak dara itu, maka dapat
dipastikan anak dara itu bersembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya. Dapat diduga pula siang atau
malam Gak Put-kun pasti akan mencarinya ke sini.”
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa orang-orang itu sedang mengincar jejak Gak Put-kun. Ia menjadi
berduka pula. Pikirnya, “Kiranya mereka mengetahui Siausumoay terluka, tapi tidak tahu bahwa dia sudah
meninggal. Selama sebulan ini aku dan Ing-ing hidup tenteram di sini, sebaliknya Siausumoay tentu sedang
dicari orang banyak, terutama Suhu dan Sunio.”
Lalu terdengar suara orang tua pertama tadi berkata pula, “Jika dugaanmu tidak salah dan Gak Put-kun benarbenar
akan datang, maka kita perlu pasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”
Orang kedua yang bersuara rada serak menjawab, “Seumpama Gak Put-kun tidak segera datang, setelah kita
atur seperlunya tentu juga akan dapat memancing kedatangannya.”
“Akalmu sungguh hebat Sik-hengte, bila usaha kita berhasil, tentu akan kulaporkan Kaucu dan kau akan segera
naik pangkat,” kata orang tua yang pertama.
“Terima kasih, Kat-tianglo, segala sesuatu masih diharapkan bantuanmu,” jawab orang kedua.
Tahulah Lenghou Tiong sekarang, kiranya orang-orang itu adalah anggota Tiau-yang-sin-kau dan berarti anak
buah Ing-ing pula. Pikirnya, “Betapa pun tinggi kepandaian mereka mana dapat melawan kepandaian Suhu
sekarang? Paling baik kalau mereka saling hantam asalkan tidak mengganggu ketenteraman kami.”
Segera terpikir pula olehnya, “Suhu adalah orang mahacerdik, masakah orang-orang macam kalian ini juga
mampu menjebak suhuku? Sungguh terlalu tidak tahu diri.”
Pada saat lain, tiba-tiba dari jauh ada suara tepukan tangan tiga kali. Orang she Sik lantas berkata, “Tohtianglo
dan lain-lain sudah tiba pula.”
Segera orang yang dipanggil Kat-tianglo tadi membalas tiga kali tepukan tangan. Lalu terdengar suara langkah
kaki yang ramai, empat orang berlari datang dengan cepat. Dua orang di antaranya rada ketinggalan, agaknya
ginkang mereka lebih rendah. Tapi sesudah dekat, Lenghou Tiong lantas dapat mendengar bahwa kedua orang
yang rada ketinggalan itu disebabkan mereka menggotong sesuatu benda berat.
Dengan girang Kat-tianglo lantas berseru, “He, Toh-laute berhasil menangkap anak dara keluarga Gak itu
kiranya? Sungguh tidak kecil jasamu ini!”
Lalu terdengar seorang bersuara lantang menjawab, “Orang keluarga Gak sih memang benar, cuma bukan
anak daranya melainkan babonnya, biangnya!”
“He!” terdengar Kat-tianglo bersuara kejut-kejut girang. “Jadi bininya Gak Put-kun yang kena kau tangkap?”
Bab 125. Kelicikan Gak Put-kun yang Memalukan
Mendengar orang yang ditawan gembong-gembong Mo-kau itu adalah ibu gurunya, sungguh kejut Lenghou
Tiong tak terkatakan, segera ia bermaksud menerjang ke luar untuk menolongnya. Tapi segera ia ingat dirinya
tidak membawa pedang, tanpa pedang kepandaiannya sukar menandingi tokoh-tokoh sebagai Kat-tianglo dan
kawan-kawannya itu. Karena itu ia menjadi cemas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kemudian terdengar Kat-tianglo bertanya pula, “Ilmu pedang Nyonya Gak itu cukup lihai, cara bagaimana
Saudara Toh menangkapnya? Ah, tahulah aku, pakai obat, bukan?”
Toh-tianglo tertawa, jawabnya, “Perempuan ini masuk sebuah hotel dalam keadaan seperti orang linglung,
tanpa pikir ia terus makan minum. Orang suka memuji betapa hebat bininya Gak Put-kun, nyatanya juga orang
ceroboh begini.”
Diam-diam Lenghou Tiong sangat gusar karena ibu gurunya dihina, ia pikir sebentar akan kubinasakan semua.
Cuma saja tidak membawa senjata, kalau dapat merampas sebatang pedang segala urusan tentu akan dapat
dibereskan.
Terdengar pula Kat-tianglo berkata, “Setelah bini Gak Put-kun kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah
diselesaikan. Saudara Toh, persoalan sekarang adalah cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini.”
“Lalu bagaimana bila dia sudah terpancing kemari?” tanya Toh-tianglo.
Kat-tianglo merenung sejenak, lalu menjawab, “Kita gunakan bininya sebagai sandera dan paksa dia
menyerah. Suami-istri Gak Put-kun terkenal sangat rukun dan baik, tentu dia tak berani membangkang.”
“Benar juga Saudara Kat,” kata Toh-tianglo. “Khawatirnya kalau Gak Put-kun itu berhati kejam, cintanya
kepada sang istri tidak mendalam, tidak setia pula, maka bagi kita menjadi rada runyam.”
“Ya, ini memang... memang... Eh, eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Sih?” tanya Kat-tianglo tiba-tiba.
“Di hadapan kedua Tianglo, Cayhe merasa tidak hak bicara dan terserah saja,” sahut orang she Sih.
Sampai di sini, tiba-tiba dari arah barat sana ada suara orang bertepuk tangan tiga kali, dari suara tepukan
tangan yang berkumandang hingga jauh itu dapat dipastikan lwekang orang itu pasti tidak rendah.
“Ah, Pau-tianglo sudah datang,” ujar Toh-tianglo.
Dalam sekejap saja tertampak dua orang berlari datang dari jurusan barat sana dengan cepat luar biasa.
“Eh, Bok-tianglo juga ikut datang,” kata Kat-tianglo.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. Tampaknya kedua orang yang baru datang ini berkepandaian lebih tinggi
daripada Kat dan Toh-tianglo. Kalau bersenjata tentulah tidak perlu gentar, tapi bertangan kosong, inilah yang
susah.
Dalam pada itu terdengar Kat-tianglo sedang menyambut kedatangan kedua kawannya, “Selamat datang Pau,
Bok-tianglo. Saudara Toh telah berjasa besar, dia berhasil membekuk istri Gak Put-kun.”
“Wah, bagus! Selamat! Selamat!” kata seorang tua di antaranya dengan girang.
Lenghou Tiong merasa suara satu-dua gembong Mo-kau itu seperti sudah dikenalnya, ia pikir barangkali
dikenal ketika di Hek-bok-keh dahulu.
Dengan lwekang Lenghou Tiong yang tinggi ia dapat mendengar jelas suara percakapan orang-orang itu, cuma
dia tidak berani melongok untuk mengintip. Ia tahu orang-orang itu adalah gembong-gembong Mo-kau yang
lihai, sedikit bersuara saja pasti akan ketahuan.
Sementara itu Kat-tianglo lagi berkata, “Pau dan Bok-tianglo, kami di sini sedang berunding cara bagaimana
memancing Gak Put-kun ke sini agar kita dapat menawannya.”
“Lalu bagaimana rencana kalian?” tanya seorang tianglo yang baru datang itu. Dari suaranya yang berwibawa
itu dapat diduga tentu Pau-tianglo adanya. Suara Pau-tianglo inilah yang dirasakan sudah dikenal baik oleh
Lenghou Tiong.
“Seketika kami masih belum mendapatkan akal yang bagus,” ujar Kat-tianglo. “Tapi dengan tibanya Pau dan
Bok-tianglo, tentu akan diperoleh akal baik. Kabarnya dia telah membutakan kedua mata Co Leng-tan dengan
ilmu pedangnya yang hebat sehingga menjagoi kalangan pertandingan di Ko-san tempo hari. Konon dia telah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memperoleh Pi-sia-kiam-hoat asli dari keluarga Lim, maka jangan kita memandang enteng padanya. Sebaiknya
kita mencari suatu jalan yang sempurna untuk menghadapinya.”
“Ya, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu akan kalah, tapi juga belum tentu dapat menang,”
ujar Toh-tianglo.
“Kukira Pau-tianglo tentu sudah punya perhitungan, silakan katakan saja,” ujar Bok-tianglo.
“Mesti aku sudah memperoleh suatu akal, tapi hanya akal biasa saja, mungkin akan ditertawai kalian,” kata
Pau-tianglo.
“Pau-tianglo terkenal sebagai gudang akal Tiau-yang-sin-kau kita, buah pikiranmu pasti sangat baik,” seru Bok,
Kat, dan Toh-tianglo berbareng.
“Akalku ini sebenarnya suatu cara yang bodoh,” ujar Pau-tianglo. “Kita gali saja suatu liang yang dalam, di
atasnya ditutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak kelihatan sesuatu tanda apa-apa, lalu kita
tutuk hiat-to penting perempuan ini dan menaruhnya di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Gak
Put-kun. Bila dilihatnya sang bini menggeletak di situ, tentu dia akan berlari-lari datang menolongnya dan...
blong... auuuh....” sambil bicara ia pun bergaya seperti orang kejeblos ke dalam lubang, maka tertawalah
ketiga tianglo tadi dan lain-lain.
“Akal Pau-tianglo sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat sembunyi di tepi liang jebakan itu, begitu Gak
Put-kun kejeblos, serentak empat senjata kita menutup rapat mulut lubang sehingga tiada memberi
kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Bok-tianglo dengan tertawa.
“Ya, namun dalam hal ini masih ada kesukaran juga,” ujar Pau-tianglo.
“Kesukaran?” Bok-tianglo menegas. “Ah, benar, tentu Pau-heng khawatir ilmu pedang Gak Put-kun itu terlalu
aneh, sesudah kejeblos ke dalam lubang masih sukar bagi kita untuk membekuk dia?”
“Dugaan Bok-heng memang tepat,” kata Pau-tianglo. “Sekali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Kaucu
adalah menghadapi tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang baru bergabung itu, mati atau hidup kita sukar
diperhitungkan. Bila kita dapat gugur bagi tugas adalah sesuatu yang gemilang, hanya saja nama baik dan
kewibawaan Kaucu yang akan kita rugikan. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya
kita masih perlu menambahkan sedikit apa-apa.”
“Aha, ucapan Pau-tianglo benar-benar sangat cocok dengan seleraku,” seru Toh-tianglo. “Aku membawa ‘Pekhoa-
siau-hun-san’ (Bubuk Penghilang Ingatan) dalam jumlah cukup, boleh kita tebarkan bubuk ini di antara
daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Gak Put-kun kejeblos, tentu dia akan menarik
napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas, akan tetapi... hahaha....” sampai di sini kembali
mereka bergelak tertawa bersama.
“Nah, urusan jangan ditunda, silakan lekas atur seperlunya,” kata Pau-tianglo. “Di mana sebaiknya lubang
jebakan itu digali?”
“Dari sini ke barat, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan kecil yang berbahaya, sebelahnya jurang yang
curam, sebelah lain adalah dinding tebing yang tinggi. Bila Gak Put-kun benar-benar datang kemari, tak bisa
tidak dia harus melalui jalan itu.”
“Bagus, marilah kita meninjau ke sana,” ajak Pau-tianglo sambil mendahului melangkah pergi, segera orangorang
lain mengikut di belakangnya.
Lenghou Tiong pikir untuk menggali lubang jebakan tentu takkan dapat diselesaikan mereka dalam waktu
singkat, sebaiknya aku lekas pergi memberitahukan Ing-ing, setelah ambil pedang akan kukembali ke sini
untuk menolong Sunio.
Begitulah setelah gembong-gembong Mo-kau itu sudah pergi jauh, segera ia memutar balik ke arah datangnya
tadi. Beberapa li jauhnya, tiba-tiba didengarnya suara keletak-keletuk, suara menggali tanah. “Kiranya di
sinilah lubang jebakan yang akan mereka gali itu,” demikian ia membatin.
Segera Lenghou Tiong sembunyi di balik pohon, ia coba mengintip ke sana. Benarlah empat anggota Mo-kau
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sedang sibuk menggali tanah. Kini jaraknya sudah dekat, seorang dapat dilihatnya dari arah samping, ia
menjadi terkejut. Kiranya orang ini adalah Pau Tay-coh yang pernah dikenalnya di Bwe-cheng di tepi Se-ouw,
Hangciu, dahulu. Pantas mereka memanggilnya Pau-tianglo, kiranya adalah Pau Tay-coh.
Dahulu Lenghou Tiong telah menyaksikan Pau Tay-coh membereskan Ui Ciong-kong dengan sekali hantam
saja, ilmu silatnya sangat tinggi. Memang Pau Tay-coh merupakan tandingan yang kuat bagi Gak Put-kun,
sungguh pilihan yang tepat cara Yim Ngo-heng mengirimkan jagonya.
Cara orang-orang Mo-kau itu menggali tanah juga rada aneh. Mereka tidak membawa pacul atau sekop dan
sebagainya, maka senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya lantas digunakan sebagai
penggali. Lebih dulu mereka mendongkel tanah, lalu dengan tangan mereka mengorek tanah yang sudah
gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu, tapi dasar ilmu silat mereka tinggi, tenaga mereka kuat,
maka hasil galian mereka pun cukup cepat.
Lantaran jalan yang harus dilaluinya terhalang oleh galian tanah orang-orang Mo-kau itu, terpaksa Lenghou
Tiong tak dapat lewat ke sana untuk mengambil pedang dan mencari Ing-ing. Ia heran, sudah jelas mereka
mengatakan akan menggali lubang di tepi tebing yang curam sana, mengapa sekarang ganti tempat? Tapi
segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya jalan di pinggir tebing itu batu-batu padas belaka, dengan
sendirinya sukar menggali lubang di sana. Rupanya Kat-tianglo itu tidak punya otak dan cuma sembarangan
omong saja.
Dalam pada itu didengarnya suara Kat-tianglo sedang berkata dengan tertawa, “Usia Gak Put-kun itu sudah
lanjut, tapi bininya ternyata masih begini muda dan cantik pula.”
“Muda kau bilang? Kutaksir sudah lebih 40,” Toh-tianglo menanggapi dengan cengar-cengir. “Eh, kalau Katheng
ada minat, nanti bila Gak Put-kun sudah kita bekuk, biarlah kita laporkan Kaucu dan boleh kau ambil
perempuannya?”
“Mengambilnya sih tidak perlu, untuk main-main saja kukira masih boleh juga,” kata Kat-tianglo dengan
tertawa.
Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, ia pikir kawanan anjing yang berani menghina ibu guru ini nanti pasti
akan kubinasakan satu per satu.
Lantaran suara tertawa Kat-tianglo itu kedengaran sangat menjijikkan, tanpa terasa Lenghou Tiong melongok
untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata Kat-tianglo itu sedang mencubit sekali di pipi Gak-hujin.
Rupanya Gak-hujin tidak mampu bergerak berhubung hiat-to tertutuk, maka orang-orang Mo-kau itu serentak
tertawa gembira.
“Wah, tampaknya, Kat-heng sudah tidak sabar lagi, apakah kau berani ‘bereskan’ perempuan ini di sini juga?”
kata Toh-tianglo dengan tertawa.
Dengan murka seketika Lenghou Tiong bermaksud menerjang keluar tanpa peduli diri sendiri tak bersenjata.
Tapi lantas terdengar Kat-tianglo menjawab, “Kenapa tidak berani? Soalnya aku khawatir menggagalkan tugas
yang dibebankan Kaucu kepada kita.”
“Ya, memang,” ujar Pau Tay-coh dengan nada dingin. “Sekarang Kat-tianglo dan Toh-tianglo silakan pergi
memancing kedatangan Gak Put-kun, diperkirakan satu jam lagi segala sesuatu di sini sudah selesai diatur.”
Berbareng Kat-tianglo dan Toh-tianglo mengiakan. Lalu mereka berlari ke jurusan utara.
Kepergian kedua orang itu membikin suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi, yang terdengar hanya
suara tanah digali saja, terkadang suara Bok-tianglo yang memberi petunjuk ini dan itu.
Lenghou Tiong tidak berani bergerak di tempat sembunyinya di tengah semak-semak rumput. Ia pikir Ing-ing
tentu akan khawatir bila sampai sekian lamanya dirinya tidak kembali. Kalau Ing-ing menyusul kemari, tentu
dia dapat menyelamatkan Sunio, sebab orang-orang Mo-kau ini tentu akan tunduk kepada perintah tuan putri
mereka. Dengan demikian dirinya juga terhindar dari pertarungan dengan gembong-gembong Mo-kau. Berpikir
sampai di sini, ia merasa makin lama tertahan di situ menjadi lebih baik malah.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tidak lama, didengarnya orang-orang Mo-kau itu sudah selesai menggali, di atas lubang galian mulai dipasangi
ranting kayu dan rumput, ditaburi pula bubuk racun, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Pau
Tay-coh berenam lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan
kedatangan Gak Put-kun.
Lenghou Tiong mengincar baik-baik sepotong batu di sebelahnya dan telah ambil keputusan tetap bila nanti
sang suhu tampaknya akan kejeblos lubang jebakan, segera ia akan melemparkan batu besar itu ke lubang itu,
dengan demikian gurunya tentu takkan masuk perangkap musuh.
Begitulah, dalam suasana sunyi baik Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan begundalnya sama pasang
kuping untuk mendengarkan kalau ada suara lari Gak Put-kun yang sedang mengejar Kat dan Toh-tianglo
berdua.
Agak lama kemudian, di tempat jauh tiba-tiba terdengar suara jeritan orang satu kali, tapi bukan suara orang
lelaki melainkan suara orang perempuan, jelas Lenghou Tiong mengenali itulah suaranya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjadi serbabingung, entah jeritan Ing-ing itu disebabkan kepergok Gak Put-kun atau kaget
bertemu dengan Kat-tianglo berdua?
Tidak lama lantas terdengar suara orang berlari mendatangi, satu di depan dan seorang lagi di belakang.
Terdengar suara Ing-ing sedang berteriak, “Engkoh Tiong, gurumu hendak membunuh kau, jangan kau keluar!”
Lenghou Tiong terkejut, ia tidak paham mengapa gurunya hendak membunuhnya?
Dalam pada itu Ing-ing lagi berteriak-teriak pula, “Engkoh Tiong, lekas lari kau, gurumu hendak membunuh
kau!”
Lalu muncullah nona itu dalam keadaan rambut kusut masai, tangan menghunus pedang, tapi berlari-lari
ketakutan dikejar Gak Put-kun dari belakang.
Tampaknya belasan langkah lagi Ing-ing akan kejeblos ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang
Mo-kau tadi, keruan Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan lain-lain sama kelabakan dan bingung.
Sekonyong-konyong Gak Put-kun melompat ke depan, sekali cengkeram dapatlah ia pegang punggung si Inging,
kedua tangan nona itu terus ditelikung ke belakang. Seketika Ing-ing tak bisa berkutik lagi, pedangnya
jatuh ke tanah.
Gerak Gak Put-kun itu sungguh cepat luar biasa. Lenghou Tiong dan Pau Tay-coh sama sekali tidak sempat
memberi pertolongan. Ilmu silat Ing-ing sendiri sebenarnya juga sangat tinggi, tapi ternyata tidak mampu
melawan, sekali dipegang lantas kena.
Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, hampir-hampir ia berteriak. Namun si Ing-ing masih berseru
padanya, “Engkoh Tiong, lekas lari, gurumu hendak membunuh kau!”
Air mata memenuhi kelopak mata Lenghou Tiong saking terharunya, ternyata Ing-ing hanya memikirkan
keselamatannya tanpa menghiraukan bahaya sendiri.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah menutuk beberapa kali hiat-to bagian punggung Ing-ing sehingga nona itu
terkapar tak berkutik. Pada saat itulah Gak Put-kun melihat istrinya juga menggeletak di sebelah sana tanpa
bergerak.
Ternyata Gak Put-kun tidak menjadi gelisah, dengan tenang ia periksa keadaan sekitarnya dan ternyata tiada
sesuatu yang mencurigakan. Dasarnya Gak Put-kun memang sangat cerdik, melihat sang istri menggeletak di
situ, terang di sekitarnya penuh tersembunyi bahaya yang mengancam, bahkan ia tidak berusaha mendekati
dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, keparat
Lenghou Tiong itu membunuh putri kesayanganku, tentunya kau pun ambil bagian atas perbuatan itu bukan?”
Kembali Lenghou Tiong terkejut, ia tidak habis paham mengapa gurunya menuduhnya membunuh
siausumoaynya?
Maka terdengar Ing-ing sedang menjawab, “Lim Peng-ci yang membunuh putrimu, apa sangkut pautnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dengan Lenghou Tiong? Kau terus menuduh Lenghou Tiong yang membunuh putrimu, sungguh fitnahan
belaka.”
Gak Put-kun bergelak tertawa, katanya, “Lim Peng-ci adalah menantuku, masakah kau tidak tahu? Mereka
adalah pengantin baru, alangkah cinta kasih mereka, mana bisa suami membunuh istrinya sendiri?”
“Lim Peng-ci telah menggabungkan diri kepada Ko-san-pay, demi memperoleh kepercayaan Co Leng-tan untuk
membuktikan tekadnya bermusuhan dengan kau, maka dia sengaja membunuh anak perempuanmu,” tutur
Ing-ing.
“Hahaha, omong kosong belaka!” kembali Gak Put-kun mengakak. “Kau bilang Ko-san-pay? Hah, di dunia ini
mana ada Ko-san-pay lagi? Ko-san-pay susah terlebur ke dalam Ngo-gak-pay, di dunia persilatan kini nama
Ko-san-pay sudah hapus, mana bisa Lim Peng-ci menggabungkan diri kepada Ko-san-pay? Pula Co Leng-tan
sekarang terhitung bawahanku, hal ini cukup diketahui Peng-ci, buat apa dia meninggalkan bapak mertuanya
yang menjadi ketua Ngo-gak-pay, sebaliknya malah mengekor kepada seorang buta, seorang Co Leng-tan yang
sukar membela dirinya sendiri. Biarpun orang yang paling goblok di dunia ini rasanya juga takkan berbuat
demikian.”
“Masa bodoh jika kau tidak percaya, boleh kau cari Lim Peng-ci dan tanya sendiri padanya,” kata Ing-ing.
Mendadak suara Gak Put-kun berubah bengis, katanya, “Yang kucari saat ini bukanlah Lim Peng-ci, tapi
Lenghou Tiong. Setiap orang Kang-ouw kini sama mengatakan Lenghou Tiong telah memerkosa anak
perempuanku, lantaran anak perempuanku melawan sekuatnya dan akhirnya dibunuh olehnya. Sekarang kau
mengarang cerita untuk menutupi dosa Lenghou Tiong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik.”
Ing-ing hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Lalu Gak Put-kun berkata pula, “Yim-toasiocia, ayahmu adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, pantasnya aku takkan
membikin susah padamu. Tapi demi untuk memaksa munculnya Lenghou Tiong, bisa jadi aku terpaksa
menggunakan sedikit hukuman atas dirimu. Aku akan memotong dulu telapak tangan kirimu, lalu telapak
tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan habis itu kaki kanan. Dalam keadaan demikian bila Lenghou
Tiong mempunyai perasaan tentu dia akan muncul.”
“Hm, masakah kau berani?” jengek Ing-ing dengan suara keras. “Kau berani mengganggu seujung rambutku,
Ayah pasti akan membikin bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”
“Aku tidak berani katamu?” sahut Gak Put-kun dengan tertawa. “Sret,” ia terus lolos pedangnya yang
tergantung di pinggang.
Lenghou Tiong tidak tahan lagi, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan berseru, “Suhu,
Lenghou Tiong berada di sini!”
Ing-ing menjerit kaget dan cepat berseru pula, “Lekas lari, lekas! Dia tak berani mencelakai diriku!”
Namun Lenghou Tiong menggeleng sambil maju pula, katanya, “Suhu....”
“Bangsat kecil, kau masih ada muka buat memanggil suhu padaku?” bentak Gak Put-kun dengan suara bengis.
Dengan menahan air mata mendadak Lenghou Tiong berlutut dan berkata, “Tuhan sebagai saksi, selamanya
Lenghou Tiong sangat menghormati Nona Gak, pasti tidak berani berlaku kasar sedikit pun. Lenghou Tiong
merasa utang budi kepada suami-istri kalian yang telah membesarkan diriku, jika kau hendak membunuh aku,
silakan lakukan saja.”
Ing-ing menjadi khawatir, serunya, “Engkoh Tiong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan, dia sudah
kehilangan sifat manusia, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”
Air muka Gak Put-kun mendadak beringas, ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, “Apa arti ucapanmu tadi?”
“Demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kau sendiri telah... telah membikin dirimu menjadi... menjadi tidak
keruan seperti setan iblis,” sahut Ing-ing. “Engkoh Tiong, apakah kau masih ingat tentang Tonghong Put-pay?
Mereka sudah gila semua, jangan kau anggap mereka orang normal.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Yang dipikirkan Ing-ing hanyalah semoga Lenghou Tiong lekas lari, meski ia insaf ucapannya itu pasti akan
membangkitkan kemurkaan Gak Put-kun kepadanya, namun hal ini tak dipedulikan lagi.
Dengan nada dingin Gak Put-kun bertanya pula, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar berasal dari mana?”
“Lim Peng-ci sendiri yang bilang begitu,” jawab Ing-ing. “Kau telah mencuri Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim,
memangnya kau sangka dia tidak tahu? Waktu kau melempar kasa yang bertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu, saat
mana Peng-ci bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkap kasa itu, sebab itulah dia... dia
juga telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kalau tidak mana bisa dia membunuh Ih Jong-hay dan Bok
Ko-hong? Cara bagaimana dia meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya ia pun tahu cara bagaimana
kau meyakinkannya pula. Nah, Engkoh Tiong, apakah kau tidak dengar suara Gak Put-kun yang mirip
perempuan ini. Dia... dia sama saja dengan Tonghong Put-pay sudah... sudah abnormal.”
Ing-ing sendiri mendengar dengan jelas percakapan antara Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian di dalam keretanya,
sedangkan Lenghou Tiong tidak dengar, sebab itulah Ing-ing berusaha menyadarkan Lenghou Tiong agar
mengetahui orang yang dihadapinya sekarang bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan
seorang aneh yang sudah abnormal, seorang gila yang tidak mungkin diajak bicara tentang budi kebaikan
segala.
Benar juga, sorot mata Gak Put-kun mendadak tambah beringas, katanya, “Yim-siocia, sebenarnya aku hendak
mengampuni jiwamu, tapi karena ucapanmu yang tidak keruan macam itu, terpaksa aku bereskan nyawamu.
Maka janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau akan mampus.”
“Lekas pergi, Engkoh Tiong, lekas!” Ing-ing berteriak-teriak pula.
Sementara itu tertampak Gak Put-kun sudah mulai angkat pedangnya. Lenghou Tiong kenal kelihaian sang
guru, sekali pedangnya bergerak, jiwa Ing-ing tentu akan melayang. Maka cepat ia berteriak, “Kalau mau
bunuh orang bunuhlah aku, jangan mencelakai dia!”
Tiba-tiba Gak Put-kun menoleh ke arah Lenghou Tiong dan menjengek, “Hm, kau cuma mempelajari beberapa
jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia Kang-ouw? Hm, pegang pedangmu,
akan kuhajar kau, biar kau mati dengan rela.”
“Sekali... sekali-kali tidak berani bergebrak dengan Su... dengan kau!” jawab Lenghou Tiong.
“Dalam keadaan demikian kau masih coba berlagak dungu apa?” bentak Put-kun dengan gusar. “Dahulu, ketika
di atas kapal di Hongho, ketika di Ngo-pah-kang pula, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk
membikin malu padaku, tatkala mana sudah timbul niatku hendak membunuh kau, tapi kutahan sampai
sekarang, boleh dikata untung bagimu. Waktu di Hokciu kau pun jatuh di tanganku, kalau bukan istriku juga
berada di sana tentu sudah lama kutamatkan riwayatmu. Lantaran salah hitung dahulu itu sehingga akibatnya
malah mengorbankan anak perempuanku di tangan bangsat macam kau.”
“Aku tidak... tidak....” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap.
“Siapkan pedangmu!” bentak Put-kun dengan murka. “Jika kau mampu mengalahkan pedangku, seketika kau
akan dapat membunuh aku, kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni kau. Perempuan siluman Mo-kau
ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.”
Habis berkata pedangnya terus menebas ke leher Ing-ing.
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir Lenghou Tiong menjemput sepotong batu terus disambitkan ke
dada Gak Put-kun, berbareng itu ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, pedang Ing-ing
yang jatuh di tanah itu disambarnya, menyusul ia terus menusuk ke iga kanan Gak Put-kun.
Jika serangan Gak Put-kun tadi diarahkan kepada Lenghou Tiong, maka pemuda itu pasti tidak menangkis dan
rela terbunuh oleh sang guru. Tapi karena Gak Put-kun terlalu gemas terhadap Ing-ing yang telah membongkar
rahasianya, tanpa pikir serangannya ditujukan kepada nona itu lebih dulu. Melihat hal demikian sudah tentu
betapa pun Lenghou Tiong tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya di bawah ketiak kanan Gak Put-kun adalah
tempat yang terbuka, maka Lenghou Tiong lantas menyerang tempat itu untuk memaksa lawan menarik
kembali serangannya bila ingin menyelamatkan diri lebih dulu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Benar juga, cepat Gak Put-kun menarik pedangnya untuk menangkis. Tapi susul-menyusul Lenghou Tiong
lantas menyerang pula tiga kali, terpaksa Gak Put-kun melangkah mundur dua-tiga tindak dengan rasa kejut
dan heran.
Maklumlah, sejak Lenghou Tiong berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, ditambah lagi himpunan tenaga dalam
beberapa tokoh silat kelas wahid yang diperolehnya secara kebetulan, yaitu yang disedotnya dengan Gip-singtay-
hoat, kini tenaga-tenaga dalam itu dipancarkan melalui permainan pedangnya, keruan lengan Gak Put-kun
tergetar hingga kesemutan.
Bab 126. Korban Seorang Istri bagi Suami Pengecut
Begitu lawan didesak mundur, segera Lenghou Tiong membalik sebelah tangannya hendak membuka hiat-to
Ing-ing yang tertutuk.
“Jangan urus diriku, awas!” seru Ing-ing. Berbareng sinar putih mengilat, pedang Gak Put-kun sudah menusuk
tiba.
Lenghou Tiong sudah kenal ilmu pedang yang dimainkan Tonghong Put-pay, Gak Put-kun, dan Lim Peng-ci
bertiga. Ia tahu sekali pedang lawan menusuk, meski di tengah serangan itu ada lubang kelemahannya, tapi
lantaran cepat luar biasa seperti bayangan setan, kalau bermaksud balas menyerang ke arah titik lemah musuh
itu tentu diri sendiri sudah terkena pedang lebih dulu. Sebab itulah tanpa pikir Lenghou Tiong lantas
menyungkitkan pedangnya ke atas, berbareng ia menusuk perut Gak Put-kun secepat kilat.
Agar tidak mati konyol, terpaksa Gak Put-kun melompat mundur sambil memaki, “Keji amat bangsat kecil!”
Padahal sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil seharusnya Gak Put-kun
kenal watak pemuda itu. Bila dia tidak ambil pusing akan serangan balasan Lenghou Tiong itu dan melainkan
meneruskan serangannya, tentu jiwa Lenghou Tiong sudah dibikin melayang olehnya.
Soalnya, biarpun yang digunakan Lenghou Tiong adalah siasat hancur bersama atau gugur bersama musuh,
sesungguhnya dalam hati ia tidak pernah melupakan budi kebaikan sang guru, sekali-kali dia tidak menusuk
sungguh-sungguh perut gurunya itu. Jadi dalam hal ini Gak Put-kun yang licik dan kotor itu telah salah hitung,
mengukur orang lain atas diri sendiri, sehingga dia kehilangan suatu kesempatan bagus untuk membinasakan
Lenghou Tiong.
Permainan pedang Gak Put-kun tambah gencar setelah beberapa jurus tak bisa mengalahkan lawan. Dengan
tangkas Lenghou Tiong juga menghadapi dengan penuh semangat. Semula dia pikir kalau kalah paling-paling
dirinya akan terbunuh di tangan guru sendiri, tapi lantas teringat Ing-ing yang telah melukai hati Gak Put-kun
dengan ucapan tadi, sebelum nona itu juga terbunuh tentu akan disiksa lebih dulu. Sebab itulah Lenghou Tiong
pantang menyerah lagi dan bertempur sekuat tenaga.
Setelah beberapa puluh jurus, jurus-jurus serangan Gak Put-kun tambah ruwet, Lenghou Tiong menghadapi
dengan memusatkan perhatiannya, lambat laun pikirannya menjadi “plong”, menjadi paham. Yang ditatap
sekarang hanyalah titik ujung pedang lawan saja.
Hendaklah maklum bahwa inti Tokko-kiu-kiam itu adalah “makin kuat pihak musuh makin kuat pula pihak
sendiri.” Dahulu waktu bertanding dengan Yim Ngo-heng di penjara dasar Danau Se-ouw, tak peduli bagaimana
Yim Ngo-heng menyerang dengan macam-macam perubahan selalu Lenghou Tiong dapat melayaninya dengan
jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal ilmu silat Yim Ngo-heng boleh dikata jarang ada bandingannya,
tapi dia harus mengakui kehebatan ilmu pedang Lenghou Tiong.
Kini Lenghou Tiong sudah berhasil pula meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, betapa hebat tenaga saktinya sukar
diukur lagi. Sebaliknya Pi-sia-kiam-hoat meski aneh, tapi belum lama dipelajari oleh Gak Put-kun, dia belum
hafal sebagaimana Lenghou Tiong meyakinkan Tokko-kiu-kiam. Karena itu, setelah lebih ratusan jurus, cara
Lenghou Tiong melayani lawannya sudah tak perlu pikir lagi. Betapa pun aneh perubahan jurus serangan Pi-siakiam-
hoat selalu disambut dengan jurus serangan yang sama anehnya.
Dalam pandangan Gak Put-kun sekarang betapa ruwet perubahan ilmu pedang Lenghou Tiong dirasakan jauh
lebih ruwet daripada dirinya, rasanya biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan tetap lahir jurus-jurus
serangan baru.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terpikir demikian, timbul rasa jerinya seketika. Pikirnya pula, “Perempuan siluman Mo-kau ini telah
membongkar rahasia caraku meyakinkan ilmu pedang, bila hari ini aku tak dapat membereskan mereka, kelak
cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan Kang-ouw, lalu apakah aku ada muka buat menjabat
ketua Ngo-gak-pay lagi? Agaknya segala rencana yang kurancang sejak dahulu akan buyar seluruhnya.”
Karena pikiran gelisah, serangan-serangannya menjadi tambah ganas.
Akan tetapi pertandingan di antara jago kelas tinggi paling mengutamakan ketenangan dan kesabaran. Begitu
pikirannya kacau, seketika permainan pedangnya menjadi rada terganggu. Padahal Pi-sia-kiam-hoat unggul
dalam hal kecepatan, setelah ratusan jurus tak bisa mengalahkan musuh, dengan sendirinya dia mulai patah
semangat, ditambah lagi perhatiannya terpencar karena hati gelisah, daya tekanan pedangnya menjadi banyak
berkurang.
Begitulah sedikit kelemahan Gak Put-kun itu segera dapat dilihat oleh Lenghou Tiong. Memang asas utama
Tokko-kiu-kiam adalah mengincar baik-baik titik kelemahan ilmu silat lawan, lalu titik kelemahan itu dimasuki,
sekali hantam memperoleh kemenangan.
Kini pertarungan mereka sudah berlangsung mendekati dua ratusan jurus. Ciri dari ilmu pedang aliran mana
pun juga di dunia ini adalah pada suatu ketika jurus ilmu pedang masing-masing pasti akan berakhir dan kalau
belum dapat mengalahkan musuh, terpaksa harus mengulangi permainannya dari awal. Dan di sinilah titik
kelemahan Gak Put-kun itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, yaitu pada tiap-tiap kali dia menebas, selalu
bagian ketiak kanan memperlihatkan titik kelemahan yang tak terjaga. Melihat ada kesempatan buat menang,
diam-diam Lenghou Tiong bergirang.
Melihat ujung mulut Lenghou Tiong sekilas mengulum senyum, Gak Put-kun menjadi terkejut malah. Pikirnya,
“Mengapa bangsat cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah mendapatkan jalan untuk mengalahkan diriku?”
Diam-diam ia lantas mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba ia mendesak maju dan mendadak melompat mundur
lagi, lalu mengelilingi Lenghou Tiong dengan cepat, serangannya tambah gencar secara membadai.
Begitu cepat Gak Put-kun berputar sehingga Ing-ing yang menggeletak di tanah itu tidak dapat melihat jelas ke
mana serangan Gak Put-kun itu ditujukan, akhirnya dia merasa kepala pusing dan muak laksana orang mabuk
kapal.
Setelah belasan jurus lagi, tertampak jari tangan kiri Gak Put-kun menuding ke depan, pedang di tangan kanan
ditarik. Lenghou Tiong tahu serangan lawan segera akan diulangi lagi. Sementara Lenghou Tiong sudah merasa
lelah setelah bertempur sekian lamanya, maklum dia baru sembuh dari luka parah. Namun ia sadar bahwa
keadaan sangat gawat, di bawah serangan Gak Put-kun yang gencar dan cepat itu, sedikit lengah saja jiwa
sendiri pasti akan melayang, bahkan Ing-ing akan ikut menjadi korban. Sebab itulah ketika melihat serangan
lawan akan diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan lawan, tempat yang diarah tepat
merupakan titik kelemahan jurus serangan Gak Put-kun itu.
Rupanya gerakan demikian inilah yang diketemukan Lenghou Tiong, yaitu menyerang titik kelemahan musuh
sebelum serangan musuh dilancarkan. Karena didahului, sebelum Gak Put-kun sempat mengganti jurus lain,
tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Keruan Gak Put-kun menjerit kaget, suaranya penuh
rasa kejut, gusar pula dan putus asa pula.
Saat itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah berada di bawah ketiak lawan, bila pedang didorong ke depan,
tentu tubuh Gak Put-kun akan tertembus. Tapi mendadak ia mendengar jeritan tajam Gak Put-kun itu, seketika
ia terkejut sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa, dia kan guruku, mana boleh aku mencelakai dia?”
Segera ia tahan pedangnya dan berkata, “Kalah-menang sudah jelas, bagaimana kalau kita sudahi
pertandingan ini, paling perlu men... nolong Sunio lebih dulu!”
“Baiklah!” dengan muka pucat sebagai mayat Gak Put-kun menjawab.
Tanpa pikir Lenghou Tiong terus membuang pedangnya dan menoleh untuk melihat Ing-ing. Di luar dugaan,
sekonyong-konyong Gak Put-kun menggertak sekali, pedangnya menyambar secepat kilat mengarah pinggang
kiri Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tempat yang diarah itu sangat berbahaya. Dalam kejutnya cepat Lenghou Tiong bermaksud menjemput
kembali pedangnya, namun sudah terlambat, “bles”, pedang lawan telah menancap di belakang pinggangnya.
Gak Put-kun kegirangan, ia cabut pedangnya dan kembali menebas ke bawah. Lekas-lekas Lenghou Tiong
menjatuhkan diri dan menggelinding pergi. Tapi Gak Put-kun lantas mengejar dan kembali membacok. Untung
Lenghou Tiong sempat mengelak pula. “Trang”, bacokan Gak Put-kun itu mengenai tanah, hanya beberapa
senti jaraknya dari kepala Lenghou Tiong.
Sambil menyeringai Gak Put-kun angkat pedangnya pula, kembali ia melangkah maju, sekali bacok ia pikir
kepala Lenghou Tiong pasti akan dipenggalnya sekarang.
Tak terduga, mendadak sebelah kakinya menginjak tempat lunak, “blong,” tubuhnya terus kejeblos ke bawah.
Ia bermaksud menggenjot ke atas dengan ginkang yang tinggi, namun sesaat itu dirasakan langit dan bumi
seakan-akan berputar, lalu tak sadarkan diri lagi, ia terbanting ke dalam lubang perangkap itu.
Lenghou Tiong benar-benar lolos dari lubang jarum, hampir-hampir mati konyol. Ia coba merangkak bangun
sambil mendekap luka di pinggang belakang.
Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak sana, “Toasiocia! Seng-koh!”
Lalu beberapa orang tampak berlari-lari mendatangi, mereka adalah Pau Tay-coh, Bok-tianglo, dan lain-lain.
Sedapat mungkin Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan bertanya, “Dia... dia menutuk hiat-to bagian mana?”
“Apakah kau tidak... tidak apa-apa?” tanya Ing-ing khawatir.
“Jangan khawatir, aku takkan mati,” sahut Lenghou Tiong.
“Binasakan bangsat keparat itu!” mendadak Ing-ing berteriak. Yang dimaksudkan ialah Gak Put-kun.
Cepat Pau Tay-coh mengiakan.
Namun Lenghou Tiong lantas mencegahnya, “Jang... jangan!”
Melihat kecemasan Lenghou Tiong itu, Ing-ing berkata pula, “Baiklah, boleh tangkap saja dia.”
Ia tidak tahu bahwa di dalam lubang perangkap itu sudah ditaburi pula obat bius, ia khawatir Gak Put-kun akan
melompat kembali ke atas dan tentu akan sukar dilawan.
Maka terdengar Pau Tay-coh mengiakan pula. Ia tidak berani menjelaskan bahwa lubang perangkap itu adalah
hasil kerjanya, sebab sejak tadi ia menyaksikan tuan putri mereka diuber-uber dan ditawan oleh Gak Put-kun,
tapi mereka takut mati dan tidak berani keluar menolong, dosa mereka ini kalau diusut tentu bisa dihukum
mati.
Begitulah Pau Tay-coh lantas melompat ke dalam lubang, ia ketok kepada Gak Put-kun dengan gagang
goloknya, seumpama Gak Put-kun tidak pingsan oleh obat bius tentu juga akan semaput oleh ketokannya yang
cukup keras itu. Kemudian Pau Tay-coh menyeret Gak Put-kun ke atas, dengan cekatan sekali ia tutuk pula
beberapa hiat-to penting di tubuh ketua Ngo-gak-pay itu, lalu diringkus pula kaki dan tangannya dengan
tambang. Sudah kena bius, diketok pula kepalanya, lalu hiat-to ditutuk, diringkus lagi dengan tambang,
biarpun kepandaian Gak Put-kun setinggi langit juga tak bisa lolos.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, kedua orang merasa baru sadar dari impian buruk. Selang agak
lama barulah Ing-ing menangis. Lenghou Tiong mendekatinya dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit ini,
mereka merasakan hidup ini belum pernah seindah sekarang. Perlahan-lahan Lenghou Tiong membukakan
hiat-to Ing-ing yang tertutuk tadi.
Ketika tiba-tiba ia melihat sang sunio masih menggeletak di sana, barulah ia ingat dan berteriak kaget, cepat ia
mendekati Gak-hujin dan membukakan hiat-to yang tertutuk sambil minta maaf.
Apa yang terjadi tadi seluruhnya telah disaksikan oleh Gak-hujin, ia cukup kenal pribadi Lenghou Tiong yang
sangat menghormat dan sayang kepada Gak Leng-sian, ia yakin pemuda itu pasti tidak berani mengganggu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
seujung rambut pun atas diri gadisnya itu, maka tuduhan Lenghou Tiong memerkosa dan membunuh Leng-sian
benar-benar omong kosong dan fitnah belaka. Apalagi ia menyaksikan pula betapa cinta dan setia Lenghou
Tiong terhadap Ing-ing, mana mungkin pemuda itu melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
Gak-hujin juga menyaksikan suaminya telah dikalahkan Lenghou Tiong, tapi pemuda itu tidak tega menyerang
lebih lanjut, sebaliknya sang suami malah mendadak menyerangnya dari belakang secara keji, perbuatan
pengecut demikian biarpun orang dari kalangan hek-to juga tidak sudi melakukannya, tapi seorang ketua Ngogak-
pay yang terhormat ternyata tega berbuat begitu, sungguh pengecut, sungguh memalukan. Sesaat itu
Gak-hujin menjadi putus asa dan merasa tiada artinya lagi hidup ini. Dengan hambar ia coba tanya Lenghou
Tiong, “Anak Tiong, apakah benar Anak Sian dibunuh oleh Peng-ci?”
Hati Lenghou Tiong menjadi sedih, air matanya bercucuran, sahutnya dengan terguguk-guguk, “Tecu... aku...
aku....”
“Dia tidak anggap tecu padamu, aku masih tetap mengakui kau sebagai tecu (murid),” ujar Gak-hujin. “Jika
kau sudi, aku pun tetap ibu gurumu.”
Lenghou Tiong sangat terharu, ia menyembah sambil berseru, “Sunio! Sunio!”
Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut Lenghou Tiong sambil mengalirkan air mata. Katanya dengan lirih,
“Jadi tidak salah tentunya apa yang dikatakan Yim-siocia ini bahwa Peng-ci telah berhasil meyakinkan Pi-siakiam-
hoat dan kini telah menggabungkan diri pada Co Leng-tan, sebab itulah dia membunuh Anak Sian.”
“Ya, begitulah,” sahut Lenghou Tiong.
“Coba kau balik ke sana, kuperiksa lukamu,” kata Gak-hujin pula.
Lenghou Tiong mengiakan sambil memutar tubuhnya. Lalu Gak-hujin menyobek baju bagian punggung pemuda
itu, ditutuknya hiat-to sekitar tempat luka itu, lalu bertanya, “Obat luka Hing-san-pay tentunya kau bawa,
bukan?”
“Ya, ada,” jawab Lenghou Tiong. Segera Ing-ing mengambilkan obat yang dimaksud dari baju Lenghou Tiong
dan diserahkan kepada Gak-hujin.
Lebih dulu Gak-hujin membersihkan darah di tempat luka, lalu dibubuhi obat, dikeluarkannya saputangan
sendiri yang putih bersih untuk menutup luka itu, lalu gaun sendiri dirobek sepotong sebagai pembalut.
Biasanya Lenghou Tiong menganggap Gak-hujin sebagai ibu sendiri, hatinya sangat terhibur melihat dirinya
diperlakukan sedemikian baik, rasa sakit lukanya sampai terlupa meski sebenarnya cukup parah.
“Kelak tugas membunuh Lim Peng-ci untuk menuntut balas bagi Anak Sian dengan sendirinya harus diserahkan
padamu,” kata Gak-hujin kemudian.
“Tapi Siau... Siausumoay telah pesan sebelum meninggal agar aku melindungi Lim Peng-ci, hal ini telah
kusanggupi, maka urusan ini... sungguh serbasusah bagiku,” kata Lenghou Tiong.
“Ai, dasar karma, karma!” ujar Gak-hujin sambil menghela napas panjang. Lalu sambungnya pula, “Anak Tiong,
selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu baik hati!”
Lenghou Tiong mengiakan. Mendadak tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti tertetes barang cairan.
Waktu ia menoleh, dilihatnya muka Gak-hujin putih pucat. Ia terkejut dan menjerit, “Sunio!”
Waktu ia berbangkit dan memegangi Gak-hujin, ternyata di dada nyonya itu sudah menancap sebilah belati,
tepat menancap di bagian jantung, seketika juga nyonya itu sudah binasa.
Tidak kepalang kejut Lenghou Tiong hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ing-ing juga terperanjat
sekali, cuma dia tiada hubungan kekeluargaan apa-apa dengan Gak-hujin, walaupun kejut dan menyesalkan
kejadian itu, namun tidak terlalu berduka, segera ia pun memayang Lenghou Tiong yang tampak lemas itu.
Selang sejenak barulah Lenghou Tiong dapat bersuara tangis.
Melihat kejadian sedih yang menimpa kedua muda-mudi itu, Pau Tay-coh pikir tentu banyak kata-kata mesra
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
akan diucapkan mereka, ia tidak berani mengganggu di situ, segera ia mengangkat Gak Put-kun dan
mengundurkan diri agak jauh ke sana bersama Bok-tianglo dan lain-lain.
“Untuk apa mereka me... menangkap suhuku?” kata Lenghou Tiong.
“Kau masih panggil suhu padanya?” ujar Ing-ing.
“Sudah biasa,” sahut Lenghou Tiong. “Kenapa Sunio membunuh diri? Mengapa... mengapa beliau membunuh
diri?”
“Sudah tentu disebabkan durjana Gak Put-kun itu,” kata Ing-ing dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai
suami pengecut dan tidak malu seperti dia itu, kalau tidak membunuhnya, ya terpaksa membunuh diri. Kita
harus lekas binasakan Gak Put-kun untuk membalas sakit hati ibu gurumu.”
Tapi Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu pula, katanya, “Kau bilang dia harus dibunuh? Betapa pun dia kan
pernah menjadi guruku?”
“Meski dia pernah gurumu, pernah membesarkan kau, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakai kau,
antara budi dan sakit hati sudah klop dan hapus, sebaliknya budi kebaikan ibu gurumu belum lagi kau balas.
Coba pikir, apakah kematian ibu gurumu bukan disebabkan perbuatannya?”
Lenghou Tiong menghela napas, katanya dengan pilu, “Budi Sunio rasanya sukar kubalas selama hidup ini.
Seumpama aku tidak utang budi lagi kepada Gak Put-kun, betapa pun aku tidak dapat membunuh dia.”
“Tidak perlu kau yang turun tangan,” ujar Ing-ing. Mendadak ia berseru, “Pau Tay-coh!”
“Ya, Toasiocia!” sahut Pau Tay-coh. Segera ia bersama Bok-tianglo mendekati tuan putrinya.
“Apakah Ayah yang menugaskan kalian ke sini?” tanya Ing-ing.
“Benar,” sahut Pau Tay-coh dengan penuh hormat. “Atas titah Kaucu, hamba bersama Kat, Toh, dan Boktianglo
bertiga bersama sepuluh saudara lain ditugaskan menangkap Gak Put-kun dengan cara apa pun juga.”
“Di mana Kat dan Toh-tianglo?” tanya Ing-ing pula.
“Tadi mereka pergi memancing kedatangan Gak Put-kun dan sampai sekarang belum kembali, mungkin...
mungkin mereka....”
“Coba kau geledah badan Gak Put-kun,” kata Ing-ing.
Pau Tay-coh mengiakan dan segera mulai menggeledah. Hasilnya dari baju Gak Put-kun dikeluarkannya sebuah
panji sutra kecil, itulah panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay. Selain itu ada pula sejilid buku tipis, belasan tahil
emas perak, dan dua potong medali tembaga.
Dengan suara gemas Pau Tay-coh lantas berkata, “Lapor Toasiocia, Kat-tianglo dan Toh-tianglo memang benar
telah dicelakai oleh keparat ini, dalam bajunya diketemukan dua medali kebesaran kedua tianglo kita itu.”
Habis berkata ia terus ayun kakinya menendang, “krak”, kontan sebuah tulang iga Gak Put-kun tertendang
patah.
“Jangan aniaya dia!” seru Lenghou Tiong.
“Ambil air dingin, siram dia biar siuman,” perintah Ing-ing pula.
Orang she Sih tadi lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya, air dingin terus disiramkan ke
muka Gak Put-kun.
Sejenak kemudian, sambil bersuara kesakitan Gak Put-kun membuka matanya, ia tak bisa berkutik, terpaksa
hanya melotot saja.
“Orang she Gak, apakah kau yang membunuh kedua tianglo kami?” tanya Ing-ing. Sedang Pau Tay-coh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
melempar-lempar kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.
Melihat dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tak bisa terhindar dari kematian, dengan gusar Gak
Put-kun lantas memaki, “Memang aku yang membunuh mereka. Anggota Mo-kau yang jahat setiap orang
berhak membunuhnya.”
Segera Pau Tay-coh bermaksud menendang pula, tapi lantas teringat kata-kata Lenghou Tiong tadi yang
melarangnya menganiaya tawanan itu, ia tahu hubungan Lenghou Tiong dengan sang kaucu sangat baik, juga
calon suami sang toasiocia, maka ia tidak berani menentang kata-kata Lenghou Tiong tadi.
“Hm,” Ing-ing lantas menjengek, “kau menganggap dirimu adalah ketua golongan beng-bun-cing-pay segala,
akan tetapi perbuatanmu entah berapa kali lebih kotor dan rendah daripada anak buah Tiau-yang-sin-kau
kami, tapi kau secara tidak tahu malu berani memaki kami sebagai orang jahat. Malahan istrimu sendiri merasa
malu atas perbuatanmu, ia lebih suka membunuh diri daripada menjadi istrimu, apakah kau masih punya muka
buat hidup terus di dunia ini.”
“Perempuan siluman sembarangan omong, sudah jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan dia
membunuh diri,” damprat Gak Put-kun.
“Coba dengarkan, Engkoh Tiong, betapa tidak tahu malu ucapannya,” kata Ing-ing.
“Ing-ing, aku ingin mohon sesuatu padamu,” kata Lenghou Tiong.
“Aku tahu kau hendak minta agar kulepaskan dia, hendaklah tahu bahwa ringkus harimau lebih gampang
daripada melepaskan harimau,” sahut Ing-ing. “Orang ini berhati keji dan berjiwa culas, ilmu silatnya tinggi
pula, kelak kalau kau kepergok dia mungkin takkan gampang membekuk dia lagi.”
“Sekali ini hubunganku sebagai murid dan guru dengan dia sudah putus,” kata Lenghou Tiong. “Ilmu
pedangnya aku pun sudah paham seluruhnya, jika dia berani mencari aku lagi, maka aku pun tidak kenal
ampun lagi padanya.”
Ing-ing tahu pasti Lenghou Tiong tidak mengizinkan dia membunuh Gak Put-kun, asalkan selanjutnya Lenghou
Tiong benar-benar putuskan segala hubungan baik dengan Gak Put-kun, maka bila ketemu lagi kelak juga tidak
perlu gentar. Segera ia menjawab, “Baiklah, hari ini boleh kita mengampuni jiwanya. Nah, Pau-tianglo, Boktianglo,
dan para saudara dalam agama, selanjutnya kalian boleh siarkan di kalangan Kang-ouw bahwa Gak
Put-kun telah kita bekuk, lalu kita ampuni dia. Siarkan pula bahwa Gak Put-kun telah rela membikin cacat
dirinya sendiri demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, sekarang dia sudah setengah gila, laki-laki bukan
perempuan tidak, supaya hal ini dimaklumi oleh para kesatria di seluruh jagat.”
Serentak Pau-tianglo dan lain-lain mengiakan bersama. Sedangkan air muka Gak Put-kun tampak pucat pasi,
kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar mata yang penuh kebencian dan dendam.
“Hm, kau dendam padaku, memangnya aku tidak tahu?” jengek Ing-ing sambil ayun pedangnya untuk
memotong tambang yang mengikat badan Gak Put-kun itu, ia mendekati tawanan itu dan membuka sebuah
hiat-to di bagian punggung. Lalu tangan kanan menahan di mulut ketua Ngo-gak-pay itu, tangan kiri menepuk
perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Gak Put-kun membuka mulut dan tahu-tahu di dalam mulut
sudah bertambah satu biji obat, berbareng itu terasa hidungnya menjadi buntu, tak bisa bernapas. Rupanya
tangan Ing-ing telah memencet lubang hidungnya. Keruan Gak Put-kun terpaksa harus membuka mulut untuk
bernapas, tanpa ayal lagi Ing-ing lantas kerahkan tenaga dalam sehingga pil di dalam mulut Gak Put-kun itu
terdorong ke dalam perutnya.
Dengan suara perlahan Ing-ing lalu membisiki dia, “Awas, jangan sekali-kali kau muntahkan, jika
membangkang segera kuputuskan seluruh urat nadimu dengan Siau-tiong-jiu-hoat.”
Pada waktu Ing-ing memutuskan tali ringkusan Gak Put-kun dan membuka hiat-to tadi dia sengaja berdiri
membelakangi Lenghou Tiong sehingga pil yang dijejalkan ke dalam mulut Gak Put-kun itu tak dilihat oleh
pemuda itu. Dan sesudah telan pil itu, Gak Put-kun menjadi ketakutan sebab ia tahu pil itu adalah obat
pembusuk badan yang paling terkenal dari Toan-ngo-ciat, yakni hari yang biasa disebut Peh-cun, tanggal 5
bulan 5 hitungan Imlek, diharuskan minum obat penawar untuk menangguhkan bekerjanya kuman racun obat
itu. Kalau tidak, maka kuman racun akan menyusup ke dalam otak sehingga sakitnya tak terperikan, bahkan
terus menggila melebihi anjing gila.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Selain itu Gak Put-kun juga tahu ilmu Siau-tiong-jiu-hoat dari Mo-kau, yaitu semacam ilmu tiam-hiat yang
dapat menutuk putus urat-urat nadi terpenting sehingga sang korban akan lemas lunglai seperti tak bertulang
lagi, tapi justru tidak sampai mati, maka dapat dibayangkan derita yang harus dirasakan.
Dalam keadaan tak berkutik, betapa pun cerdik pandai dan licik culasnya Gak Put-kun, pucat juga wajahnya
dan keringat dingin membasahi dahinya.
Begitulah kemudian Ing-ing berpaling, dan berkata kepada Lenghou Tiong, “Engkoh Tiong, tutukan Pau-tianglo
tadi rada berat, kini sudah kubuka kembali hiat-to yang tertutuk itu, sebentar lagi dia baru dapat berjalan lagi.”
“Banyak terima kasih padamu,” sahut Lenghou Tiong.
Dalam hati Ing-ing merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Gak Putkun,
tapi betapa pun juga apa yang dilakukan itu adalah demi kebaikan sang kekasih.
Selang sejenak, Ing-ing yakin pil tadi sudah hancur di dalam perut Gak Put-kun dan tidak mungkin
ditumpahkan keluar, habis itu barulah dia melancarkan kembali hiat-to Gak Put-kun yang lain sambil
membisikinya, “Setiap hari Toan-ngo tiap tahun boleh kau datang ke Hek-bok-keh, aku akan memberi obat
penawarnya padamu.”
Bisikan itu lebih meyakinkan Gak Put-kun lagi bahwa obat yang ditelannya tadi memang betul “pil pembusuk
tubuh” dari Mo-kau, tanpa kuasa badannya menjadi gemetar, katanya, “Jadi pil ini adalah... adalah....”
“Benar, kau harus diberi selamat,” kata Ing-ing. “Obat mujarabku itu tidak mudah membuatnya, dalam agama
kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi
syarat untuk minum obat dewa itu. Betul tidak, Pau-tianglo?”
“Betul,” sahut Pau Tay-coh. “Atas anugerah Kaucu pernah juga Siokhe minum obat dewa itu, maka selamanya
Siokhe sangat setia dan tunduk, malahan Kaucu juga menaruh kepercayaan penuh kepada Siokhe, sungguh
tiada terkatakan manfaat daripada obat dewa tersebut.”
Lenghou Tiong terkejut juga, katanya, “He, kau memberikan obat....”
“Ah, mungkin saking kelaparan sehingga dia makan barang apa saja yang dilihatnya,” kata Ing-ing dengan
tersenyum. “Nah, Gak Put-kun, selanjutnya kau harus berusaha membela kepentingan Engkoh Tiong dan aku,
hal ini akan berfaedah bagimu.”
Tidak kepalang benci Gak Put-kun, pikirnya, “Jika perempuan siluman cilik ini kebetulan mengalami sesuatu
atau dibunuh orang, maka yang akan konyol tentulah diriku. Bahkan dia tidak sampai mampus, tapi terluka
parah umpamanya sehingga tidak dapat pulang ke Hek-bok-keh pada hari Toan-ngo, lalu ke mana aku dapat
mencari dia?”
Berpikir demikian, kembali ia menjadi khawatir dan gemetar pula.
Lenghou Tiong menghela napas, ia pikir dasar Ing-ing berasal dari Mo-kau sehingga tingkah lakunya juga radarada
berbau “jahat”. Tapi apa yang diperbuatnya sesungguhnya demi kepentingannya sehingga tak dapat pula
menyalahkan dia.
“Pau-tianglo,” kata Ing-ing kemudian, “kau pulang ke Hek-bok-keh dan lapor kepada Kaucu, katakan ketua
Ngo-gak-pay yang dihormati, Gak Put-kun, Gak-siansing, kini telah menggabungkan diri ke dalam agama kita
dengan setulus hati, obat dewa Kaucu sudah diminumnya sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi.”
Sebenarnya Pau Tay-coh sedang sedih sebab bingung entah cara bagaimana harus memberi pertanggungan
jawab kepada sang kaucu atas tugas yang diberikan padanya, yaitu tugas menangkap Gak Put-kun. Kini
melihat Gak Put-kun telah dicekoki pil sakti oleh Ing-ing, ia menjadi girang dan yakin sang kaucu pasti akan
bergirang bila diberi laporan apa yang terjadi itu. Begitulah ia lantas mengiakan atas perintah Ing-ing tadi.
Lalu Ing-ing berkata pula, “Karena Gak-siansing sudah masuk anggota kita, mengenai hal-hal yang merugikan
nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di luaran. Tentang pil dewa yang telah dimakannya lebih-lebih
jangan dibocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan amat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dalam segala hal, kelak Kaucu tentu akan memanfaatkan tenaganya.”
Kembali Pau Tay-coh mengiakan pesan Ing-ing itu.
Melihat keadaan Gak Put-kun yang serbakonyol itu, Lenghou Tiong ikut merasa menyesal, meski dirinya tadi
hendak dibinasakan oleh Gak Put-kun, tapi mengingat budi kebaikan selama likuran tahun, selama itu
hubungan mereka seperti ayah dan anak, kini mendadak berubah menjadi musuh, sungguh ia merasa sedih.
Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Gak Put-kun, tapi tenggorokan
serasa terkancing dan sukar bicara.
“Pau-tianglo,” kata Ing-ing pula, “bila kalian pulang ke Hek-bok-keh, sampaikanlah hormat baktiku kepada
ayah dan juga kepada Hiang-sioksiok, katakan kepada beliau-beliau itu bahwa nanti kalau... kalau dia... dia
Lenghou-kongcu sudah sembuh lukanya barulah kami akan pulang ke sana.”
Bab 127. Muslihat Keji Gak Put-kun
Terhadap nona lain tentu Pau Tay-coh akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji sebagaimana lazimnya
terhadap muda-mudi yang sedang dirundung asmara, tapi terhadap Ing-ing mana dia berani bicara begitu,
maka memandang saja tidak berani melainkan membungkuk memberi hormat dan mengiakan belaka dengan
sikap sungguh-sungguh. Ia tahu tuan putrinya itu pemalu, khawatir orang menertawai dia jatuh cinta kepada
Lenghou Tiong sehingga banyak orang Kang-ouw pernah menjadi korban perasaan si nona yang aneh itu.
Begitulah Pau Tay-coh lantas mohon diri dan berangkat pergi bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya
terhadap Lenghou Tiong bahkan melebihi hormatnya kepada Ing-ing. Ia tahu semakin hormat kepada Lenghou
Tiong tentu akan semakin menambah kegirangan hati Ing-ing. Sebagai kawakan Kang-ouw dan sudah kenyang
pengalaman hidup, sudah tentu Pau Tay-coh dapat menyelami jiwa anak gadis pada umumnya.
Terakhir tinggal Gak Put-kun yang masih berdiri mematung di situ, Ing-ing lantas berkata, “Gak-siansing, kau
pun boleh pergi saja. Tentang jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Hoa-san untuk dikebumikan di
sana?”
Gak Put-kun menggeleng, sahutnya, “Mohon tolong kalian berdua, boleh dikubur saja di sini.”
Habis berkata, tanpa memandang lagi kepada Lenghou Tiong maupun Ing-ing, segera ia melangkah pergi
dengan cepat, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik semak-semak pohon sana.
Setelah mengalami malapetaka yang hampir merenggut nyawa Lenghou Tiong dan Ing-ing tadi, cinta kasih di
antara mereka telah bertambah lebih kekal lagi. Kedua orang saling pandang, lalu saling berpelukan dengan
mesra.
Menjelang magrib, selesailah mereka mengubur Gak-hujin di sebelah kuburan Gak Leng-sian. Kembali Lenghou
Tiong menangis dengan sedih.
Esok paginya, Ing-ing tanya keadaan luka Lenghou Tiong.
“Sekali ini tidak terlalu parah, tak perlu khawatir,” kata pemuda itu.
“Baiklah kalau begitu, tempat kita ini sudah diketahui orang, kupikir dua-tiga hari lagi kita harus pindah
tempat,” ujar Ing-ing.
“Benar juga,” kata Lenghou Tiong. “Siausumoay sudah ditemani ibunya, tentu dia takkan kesepian lagi.”
Lalu Ing-ing mengeluarkan sejilid buku tipis, itulah benda yang diketemukan Pau Tay-coh ketika menggeledah
badan Gak Put-kun. Katanya kemudian, “Ini adalah Pi-sia-kiam-boh yang mengakibatkan Hoa-san-pay kalian
kocar-kacir, sungguh suatu bibit bencana.”
Habis berkata ia terus robek-robek buku itu hingga hancur, lalu dibakar di depan makam Gak-hujin.
“Pada dasarnya Suhu adalah orang baik, tapi demi untuk meyakinkan ilmu pedang sesat ini, akhirnya sifatnya
berubah lain sama sekali,” kata Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Memang tidak salah ucapanmu,” kata Ing-ing. “Kalau kiam-boh ini tetap beredar di dunia Kang-ouw, sungguh
akan menimbulkan malapetaka yang tak terhingga. Kita sudah membakar sejilid kiam-boh ini, tapi Lim Peng-ci
masih memegang kiam-boh yang asli. Cuma kukira dia takkan seluruhnya diuraikan kepada Co Leng-tan dan
Lo Tek-nau. Anak she Lim itu pun bukan orang bodoh, mana dia mau memberikan kiam-boh berharga itu
kepada orang lain?”
“Mata Co Leng-tan dan Lim Peng-ci sudah buta semua, bila benar Lim Peng-ci mau mengajarkan ilmu pedang
itu, paling-paling hanya bisa mengajar dengan uraian mulut saja, tidak mungkin kiam-boh itu ditulis kembali.
Tapi Lo Tek-nau tidak buta, dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiga orang itu adalah manusia-manusia
licik dan licin, mereka berkumpul menjadi satu, tentu juga tidak terhindar dari pertarungan tipu-menipu,
akhirnya entah bagaimana jadinya. Cuma dua lawan satu, mungkin Lim Peng-ci akan kecundang.”
“Apakah kau benar-benar akan berusaha membela Lim Peng-ci?” tanya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjawab sambil memandang kuburan Leng-sian, “Tidak seharusnya aku menyanggupi kepada
Siausumoay akan membela Lim Peng-ci. Orang ini lebih kejam daripada binatang, pantasnya kucincang
tubuhnya hingga hancur luluh, mana aku akan membantu dia pula? Hanya saja aku sudah berjanji kepada
Siausumoay, bila aku ingkar janji, di alam baka tentu dia takkan tenteram.”
“Ketika masih hidup dia tidak tahu siapakah yang benar-benar baik padanya, sesudah di alam baka seharusnya
dia tahu,” kata Ing-ing. “Maka dia tentu pula tidak menginginkan kau melindungi Lim Peng-ci.”
“Sukar dipastikan,” ujar Lenghou Tiong. “Cinta Siausumoay terhadap Peng-ci sudah terlalu mendalam, biarpun
tahu ia sendiri dibunuh oleh suaminya itu toh tidak tega membiarkan hidup suaminya merana dalam keadaan
buta.”
Diam-diam Ing-ing membatin, “Tidak salah juga ucapanmu ini, seumpama aku, tidak peduli bagaimana
sikapmu terhadap diriku toh aku akan tetap mencintai kau dengan segenap jiwa ragaku.”
Begitulah setelah istirahat beberapa hari lagi, luka baru Lenghou Tiong itu sudah hampir sembuh seluruhnya.
Setelah memberi hormat di depan makam Gak-hujin dan Leng-sian, lalu berangkatlah mereka.
Mereka masih berada dalam wilayah Holam, agar tidak dikenali orang, mereka tetap menyamar, yang satu
menyamar sebagai pak tani, yang lain sebagai gadis tani.
Lenghou Tiong mengkhawatirkan para anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua, ia
menyatakan harus menuju ke Hing-san dahulu, setelah menyerahkan jabatan ketua kepada Gi-jing barulah dia
akan berkelana ke mana pun juga bersama Ing-ing atau kemudian memilih suatu tempat menetap yang abadi.
“Lalu urusan Lim Peng-ci itu cara bagaimana kau akan bertanggung jawab terhadap mendiang siausumoaymu?”
tanya Ing-ing.
“Ya, urusan ini memang paling memusingkan kepalaku,” kata Lenghou Tiong sambil garuk-garuk kepala yang
tidak gatal. “Tapi sebaiknya jangan kau singgung-singgung dahulu, biarlah kulakukan menurut keadaan saja.”
Ing-ing tersenyum dan tidak membicarakannya lagi.
Begitulah mereka lantas menyewa sebuah kereta terus menuju ke utara. Suatu hari sampailah mereka di
wilayah Soasay, kira-kira tujuh atau delapan hari lagi baru dapat sampai di Hing-san. Malam itu mereka
menginap di Kota Seng-peng-tin.
Sepanjang jalan selalu Ing-ing minta tinggal berpisah dengan Lenghou Tiong pada hotel yang lain. Lenghou
Tiong tahu nona itu pemalu, khawatir kepergok kenalan dan menimbulkan cerita iseng. Padahal mereka sudah
tinggal bersama selama belasan hari di pegunungan sunyi, kalau orang mau omong iseng tentu juga sudah
ramai disiarkan. Apalagi kelak kau dan aku sudah jelas bakal menjadi suami istri, peduli apa terhadap omongan
iseng orang lain? Demikian pikir Lenghou Tiong. Namun dia pun tidak mau membantah keinginan Ing-ing itu
dan menuruti saja. Untungnya Seng-peng-tin cukup ramai dan ada beberapa buah hotel, maka di sini pun
mereka tetap tinggal terpisah pada dua hotel.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar suara beberapa orang sedang berdebat dengan
suara tertahan. Bahwasanya orang bertengkar dalam hotel di tengah malam adalah kejadian biasa, akan tetapi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang menarik perhatian Lenghou Tiong adalah suara seorang yang kasar berulang-ulang menyebut “Hing-sanpay”.
Mestinya Lenghou Tiong sudah hampir pulas, ketika mendengar “Hing-san-pay” disinggung, seketika ia
terjaga dan segera pasang kuping.
Orang-orang yang sedang bicara itu tinggal di kamar seberang halaman sana, semuanya bicara dengan suara
tertahan, tapi bagi Lenghou Tiong yang kini telah memiliki lwekang tinggi dapat didengarnya cukup jelas.
Terdengar suara seorang perempuan sedang berkata, “Kita telah tinggal sekian lamanya di Hing-san, maka
dapat dikatakan kita pernah menjadi orang Hing-san-pay pula. Sekarang kita harus kembali ke sana untuk
menggempur Hing-san-pay, cara bagaimana kita akan bicara bila ketemu Lenghou-kongcu?”
Lenghou Tiong terkejut dan heran, mereka pernah tinggal di Hing-san, tapi sekarang akan menyerang Hingsan-
pay, apa sebabnya?
Maka terdengar orang yang bersuara kasar tadi menanggapi, “Thio-hujin, kau orang perempuan memang suka
ragu-ragu. Meski kita pernah tinggal di paviliun Hing-san, tapi kita kan bukan nikoh, mana dapat dikatakan
orang Hing-san-pay? Lenghou-kongcu selamanya tiada hubungan apa-apa dengan kita, sebabnya kita mau
menjunjung dia adalah karena terdorong oleh hormat kita kepada Seng-koh. Padahal sekarang kabarnya Sengkoh
sudah marah dan putus hubungan dengan dia lantaran Lenghou Tiong memerkosa serta membunuh Nona
Gak dari Hoa-san-pay itu.”
Mendengar nama “Thio-hujin”, segera Lenghou Tiong ingat bahwa kelompok ini mula-mula dijumpainya di
Lembah Hongho, kelompok mereka seluruhnya ada tujuh orang, selain Thio-hujin masih ada Tong-pek-siang-ki
(Dua Aneh Tong dan Pek), Tiang-hoat-thau-to Siu Siong-lian, seorang hwesio piara rambut, lalu Giok-leng
Tojin, Say-po Hwesio, serta Siang-coa-ok-gik Giam Sam-seng Si Pengemis Galak Berular Dua. Ketujuh orang
ini pun pernah mengincar Pi-sia-kiam-boh dan pernah mengerubuti ketua Jing-sia-pay, yaitu Ih Jong-hay,
kemudian kelompok ini pun pernah ikut menyerbu Siau-lim-si dan tinggal di Hing-san. Orang yang bersuara
kasar tadi adalah Siu Siong-lian, thauto berambut.
Terdengar Thio-hujin berkata pula, “Kabar di kalangan Kang-ouw kebanyakan adalah omong kosong belaka.
Buktinya Hing-san-pay banyak anak murid yang muda lagi cantik, sedikit pun Lenghou Tiong tidak pernah
bertingkah buruk, masakah dia malah memerkosa Nona Gak? Apalagi Seng-koh berpuluh kali lebih cantik
daripada Nona Gak, sedemikian mendalam Seng-koh jatuh cinta padanya. Maka berita bohong itu
sesungguhnya cuma bikin kotor telinga saja.”
“Kaum wanita kalian memang tidak paham akan hati lelaki,” ujar Siu Siong-lian dengan tertawa. “Watak kaum
lelaki, kalau punya satu ingin punya dua, punya dua ingin punya empat. Biarpun Seng-koh secantik bidadari
juga sukar menjamin takkan timbul minat Lenghou Tiong terhadap perempuan lain.”
“Tak peduli apa katamu, yang jelas suruh aku membunuhi anak buah Lenghou Tiong, aku pasti tidak mau,”
sahut Thio-hujin.
“Kau tidak mau, sukar juga orang memaksa kau,” kata Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua, “Cuma
kau jangan lupa, Gak-siansing memegang Hek-bok-leng (medali kayu hitam) tanda perintah Yim-kaucu,
resminya dia ketua Ngo-gak-pay, tapi diam-diam dia sudah masuk Tiau-yang-sin-kau, dia memberi tugas
kepada kita justru karena mendapat perintah dari Yim-kaucu.”
“Ia pun berjanji akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita bilamana tugas kita sudah selesai,” Siu Sionglian
menambahkan. “Gak-siansing terkenal dengan julukan Kun-cu-kiam, kukira tidak mungkin dia ingkar janji.
Masakah dia tidak sayang kepada julukannya yang diperolehnya dengan susah payah selama berpuluh tahun?”
Thio-hujin merenung sejenak, kemudian berkata, “Jika begitu, baiklah kita ada rezeki dibagi rata, ada
kesukaran dipikul bersama.”
Serentak keenam orang yang lain bersorak gembira.
“Baik sekali jika Thio-hujin sudah setuju,” kata Giok-leng Tojin. “Tentang Lenghou Tiong, tak peduli apakah dia
benar memerkosa dan membunuh Nona Gak atau tidak, sekalipun Seng-koh suka padanya, betapa pun dia
adalah orang Tiau-yang-sin-kau juga, masakah dia berani membangkang terhadap Hek-bok-leng sang kaucu?
Kalau kita sudah tumpas Hing-san-pay, andaikan dia tidak terima, boleh dia bicara dengan Yim-kaucu dan Gaksiansing.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Menurut Gak-siansing, katanya orang-orang yang dikirim ke Hing-san telah diteliti dan dipilih dengan baik, jadi
tidak setiap teman kita yang pernah tinggal di Hing-san mendapatkan tugas ini,” kata Siu Siong-lian. “Saat ini,
rombongan-rombongan yang berangkat lebih dulu agaknya sudah sampai di Hing-san.”
“Memang,” kata Say-po Hwesio. “Jika setiap orang dikirim ke sana dan setiap orang diberi ajaran Pi-sia-kiamhoat,
maka ilmu pedang ini tentu tidak menarik lagi.”
“Ya, memang tidak begitu. Menurut Gak-siansing, setelah usaha kita berhasil, Pi-sia-kiam-hoat itu hanya
diajarkan kepada kita bertujuh serta Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Selain kedelapan orang ini tiada seorang pun
yang mendapat bagian lagi. Maka kita diharuskan menutup mulut supaya orang lain tidak iri,” kata Giok-leng
Tojin.
“Aneh, Hoat-put-liu-jiu Yu Siok yang sok itu, mengapa Gak-siansing justru penujui dia?” ujar Thio-hujin.
“Hal ini sukar dijelaskan,” kata Giok-leng. “Bisa jadi Yu Siok itu pintar bicara yang manis-manis sehingga Gaksiansing
tertarik, bisa pula lantaran dia pernah berjasa sesuatu bagi Gak-siansing.”
Untuk seterusnya apa yang dibicarakan ketujuh orang itu adalah hal-hal yang tidak penting, tapi rupanya
semakin mengobrol semakin senang mereka, katanya kelak bila mereka sudah berhasil meyakinkan Pi-siakiam-
hoat, maka mereka bertujuh pasti akan malang melintang di dunia Kang-ouw. Seorang Gak Put-kun yang
mahir Pi-sia-kiam-hoat saja sudah sehebat itu, apalagi tujuh orang sekaligus. Sampai akhir obrolan mereka,
dengan suara keras mereka lantas memanggil pelayan agar membawakan arak dan daharan, agaknya mereka
ingin bikin pesta semalam suntuk.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Mereka mengatakan guruku memegang Hek-bok-leng dan menugaskan
mereka membasmi Hing-san-pay. Apakah mungkin dalam beberapa hari ini Suhu telah menggabung kepada
Tiau-yang-sin-kau. Ah, rasanya tidak mungkin. O ya, Pau Tay-coh itu membawa Hek-bok-leng, tampaknya di
tengah jalan dia telah dibunuh oleh Suhu sehingga Hek-bok-leng itu terampas. Karena tertawan dan mendapat
siksaan di lembah itu tempo hari, sudah tentu Suhu sangat dendam, maka untuk melampiaskan dendam dan
untuk melenyapkan saksi, begitu meninggalkan lembah pegunungan itu Suhu lantas membinasakan Pau Taycoh
dan kawan-kawannya. Bila aku sendiri yang menghadapi keadaan demikian tentu juga akan berbuat cara
sama dengan membunuh mereka.”
Lalu terpikir lagi olehnya, “Lantas sebab apa Suhu hendak menumpas Hing-san-pay? Ya, mungkin dia dendam
padaku, tapi tidak mampu melawan aku, pada saat aku belum sembuh dari luka parah, sekaligus ia hendak
menghancurkan Hing-san-pay untuk menjatuhkan pula namaku. Dia telah dicekoki pil maut oleh Ing-ing,
selama hidup selanjutnya berarti berada di bawah cengkeraman seorang nona cilik, lalu apa artinya menjadi
manusia demikian? Mungkin ia menjadi nekat karena dia sekarang tinggal sebatang kara, daripada hidup
tersiksa ada lebih baik membunuh diri saja, tapi, sebelumnya dia ingin menghancurkan Hing-san-pay lebih dulu
sekadar pelampias dendam.”
Ia berpikir sebagai Gak Put-kun, ia merasa apa yang akan dilakukannya itu memang tiada salahnya, maka
tanpa terasa timbul juga solidaritasnya kepada Gak Put-kun. Terpikir pula, “Jika kuberi tahukan hal ini kepada
Ing-ing, tentu dia akan gusar dan takkan memberi obat penawar kepada Suhu. Jalan yang paling baik adalah
mengenyahkan dulu kawanan penyusup ini dari Hing-san, habis itu baru mencari akal untuk melayani Suhu.”
Teringat olehnya kata-kata Siu Siong-lian bahwa penyusup-penyusup itu dikirim secara berombongan, tentunya
mereka baru turun tangan bilamana semua rombongan sudah lengkap berada di Hing-san, jadi sementara ini
Hing-san belum gawat, biarlah kubicarakan besok saja dengan Ing-ing. Setelah ambil ketetapan demikian, ia
tidak mengikuti lagi pembicaraan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya itu melainkan terus berbaring dan tidur.
Besoknya pagi-pagi ia sudah mendatangi hotel Ing-ing dan sarapan bersama si nona. Ia pikir demi keselamatan
Suhu, sebaiknya apa yang didengarnya semalam jangan diberitahukan dulu kepada Ing-ing. Maka sambil
makan ia pun berkelakar dengan mengada-ada, “Kau dan aku masih belum melakukan upacara nikah....”
Baru sekian ucapannya, seketika wajah Ing-ing merah jengah dan mengomel, “Cis, siapa yang mau main
upacara nikah padamu?”
“Kelak toh mesti jadi, bukan?” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. “Jika kau tidak mau, aku akan tangkap
dan paksa kau.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Pagi-pagi kau sudah bicara angin-anginan begini,” kata Ing-ing dengan tersenyum.
“Ini urusan mahapenting, menyangkut kehidupan selamanya,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Eh, Inging,
ketika di lembah gunung tempo hari tiba-tiba kupikir kelak bila kita sudah kawin, paling baik kita punya
berapa orang anak? Menghadapi tho-kok (lembah tho) di sana itu aku menjadi terbayang bilamana kelak lahir
enam Tho-kok-lak-sian kecil, kan sangat menarik?”
Ing-ing melototi Lenghou Tiong sambil mengikik geli, namun dalam hati merasa manis sekali.
Lenghou Tiong berkata pula, “Kita bersama-sama menuju ke Hing-san, orang-orang yang berpikiran kotor
jangan-jangan akan mengira kita sudah kawin sehingga sembarangan omong, hal ini tentu akan membikin
marah padamu.”
Ucapan ini kena benar di lubuk hati Ing-ing, sahutnya, “Benar. Syukur kita sekarang sudah menyamar begini,
orang lain tentu tak dapat mengenali kita lagi.”
“Kau terlalu cantik, betapa pun menyamar juga tetap menarik perhatian orang,” ujar Lenghou Tiong. “Menurut
pendapatku, setiba di Hing-san sebaiknya aku tidak muncul dulu, tapi menyaru seorang yang tidak menarik
untuk menyelidiki keadaan di sana. Jika keadaan Hing-san aman sentosa, maka aku akan perlihatkan diri dan
menyerahkan kedudukan ketua kepada orang lain, habis itu, kita bertemu lagi di suatu tempat yang
dirahasiakan untuk kemudian pergi dari sana tanpa diketahui siapa pun.”
Ing-ing tahu sebabnya Lenghou Tiong bicara begitu adalah untuk menyesuaikan dengan wataknya yang
pemalu, sungguh hatinya sangat senang, segera ia menjawab, “Baiklah. Cuma untuk menemui para suthay di
Hing-san sana, agar tidak mencolok paling baik kalau kau pun cukur rambut dan menyaru menjadi suthay,
tanggung orang takkan curiga. Eh, tampaknya kau akan sangat cantik juga bila menyamar sebagai nikoh cilik.
Hayolah Engkoh Tiong, coba kudandani kau.”
Lenghou Tiong tertawa dan goyang-goyang tangannya, katanya, “Jangan, jangan! Setiap kali melihat nikoh,
setiap kali pula kalah judi. Bila aku menyamar sebagai nikoh tentu akan sial selamanya, aku tidak mau. Cuma
untuk menghindarkan perhatian, memang perlu aku menyaru sebagai orang perempuan. Tapi sekali aku
membuka suara tentu pula akan ketahuan. Maka paling baik aku menyamar seorang bisu tuli. Apakah kau
masih ingat kepada seorang yang tinggal di Sian-kong-si, itu biara yang dibangun terapung di antara dua
puncak di belakang Kian-seng-hong di Hing-san itu?”
“Aha, bagus sekali, memang di Sian-kong-si itu ada seorang babu tua, bisu lagi tuli, kita pernah bertempur
sengit di sana, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak dengar. Kita tanya padanya, dia juga cuma melongo
saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”
“Benar,” sahut Lenghou Tiong.
“Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian, segera aku mendandani kau,” kata Ing-ing.
Dengan dua tahil perak Ing-ing berhasil membeli seikat cemara, disisirnya dengan baik, lalu dipasang di atas
kepala Lenghou Tiong, pakaian bekas yang baru dibeli lantas ditukarkan pakaian petani yang dipakai itu, maka
berubahlah dia menjadi seorang perempuan. Kemudian mukanya diberi pupur yang kekuning-kuningan, di
sana-sini ditutul lagi beberapa tahi lalat, kulit mukanya sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempel dengan
sepotong koyok sehingga alis kanan ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga rada merot. Waktu
Lenghou Tiong bercermin, sampai dia pun hampir-hampir tidak mengenal dirinya sendiri.
“Nah, luarnya sudah berubah, hanya tingkah lakumu masih perlu dilatih, kau harus berlagak bodoh, berlagak
tolol, macam orang linglung. Yang paling penting, bila ada orang mendadak menggertak di belakangmu, jangan
sekali-kali kau melonjak terkejut sehingga rahasia penyamaranmu terbongkar.”
“Berlagak tolol bagiku adalah hal paling gampang, pura-pura bodoh memangnya adalah keahlianku,” ujar
Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sepanjang jalan Lenghou Tiong lantas menyamar sebagai babu tua yang bisu dan tuli sebagai latihan
pendahuluan dan agar tidak ketahuan bila ketemu orang lain. Kedua orang tidak bermalam di hotel lagi, tapi
mencari kelenteng rusak atau biara bobrok untuk bermalam. Terkadang Ing-ing sengaja menggertak di
belakang Lenghou Tiong, namun pemuda itu ternyata tidak kaget dan anggap tidak dengar.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tidak seberapa hari sampailah mereka di kaki Hing-san, mereka berjanji akan bertemu kembali di sekitar Siankong-
si tujuh hari kemudian. Lalu Lenghou Tiong menuju ke Kian-seng-hong dan Ing-ing pesiar dan mencari
kesenangan sendiri di sekitar pegunungan indah itu.
Setiba di Kian-seng-hong, hari sudah petang. Lenghou Tiong pikir bila langsung menuju ke biara tempat
kediaman Gi-jing dan lain-lain tentu penyamarannya itu akan dicurigai. Ia pikir paling baik menyelidiki secara
tersembunyi saja.
Segera ia mencari suatu gua sepi untuk tidur. Waktu mendusin sang dewi malam sudah menghias di tengah
cakrawala, segera ia menuju ke Bu-sik-am, biara induk di puncak Kian-seng-hong.
Setiba di pinggir pagar tembok, ia melihat di balik sebuah jendela masih ada cahaya lampu, ia mendekatinya
dengan hati-hati, ia menggunakan air ludah untuk membasahi kertas perapat jendela itu, melalui lubang kertas
yang menjadi basah itu dia mengintip ke dalam. Kiranya di dalam adalah sebuah kamar yang sunyi, rupanya
kamar mendiang Ting-sian Suthay di kala melakukan tirakatan. Di atas meja di dalam kamar itu ternyala
sebuah pelita minyak, tampak jelas di atas meja ada tiga tempat abu, itulah tempat pemujaan bagi arwah
Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay. Melihat keadaan yang sunyi dan hampa di dalam kamar itu, pilu juga
rasa hati Lenghou Tiong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara nyaring benturan senjata. Tergerak hati Lenghou Tiong, “Musuh
sudah datang, apakah Siu Siong-lian dan rombongannya sudah mulai bergerak?”
Ia meraba pedang pendek yang terselip di pinggangnya, cepat ia berlari menuju ke arah datangnya suara
benturan senjata.
Kiranya suara itu datang dari sebuah ruangan kira-kira belasan meter di sebelah Bu-sik-am, dari balik jendela
ruangan itu pun tampak sinar lampu yang cukup terang.
Ketika sampai di pinggir ruangan itu, terdengar suara benturan senjata tambah nyaring dan kerap. Waktu
Lenghou Tiong mengintip pula, seketika ia merasa lega. Rupanya Gi-ho dan Gi-lim berdua sedang berlatih ilmu
pedang, Gi-jing dan The Oh berdua tampak berdiri di pinggir mengikuti latihan itu.
Yang dilatih Gi-ho dan Gi-lim itu adalah ajaran Lenghou Tiong tempo hari, yaitu Hing-san-kiam-hoat yang
ditemukan di dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu. Tampaknya permainan kedua orang itu sudah rada
matang. Pedang Gi-ho diputar semakin cepat, suatu kali ketika Gi-lim rada lena, tahu-tahu ujung pedang Gi-ho
sudah menusuk sampai di depan dadanya, untuk menangkis terang tidak keburu lagi, Gi-lim menjerit lesu.
“Kembali kau kalah lagi, Sumoay,” kata Gi-ho sambil mengacungkan ujung pedang di depan dada Gi-lim.
Gi-lim menunduk malu, jawabnya, “Siaumoay sudah berlatih sekian lamanya, tapi masih tiada kemajuan.”
“Sudah lebih maju daripada latihan yang lalu,” kata Gi-ho. “Marilah kita coba-coba lagi.”
Akan tetapi tiba-tiba Gi-jing menyela, “Siausumoay mungkin sudah lelah, silakan pergi tidur saja bersama Thesumoay,
besok boleh berlatih pula.”
Gi-lim mengiakan sambil menyimpan kembali pedangnya, lalu memberi hormat kepada Gi-jing dan Gi-ho,
kemudian bersama The Oh keluar dari ruangan latihan itu.
Waktu Gi-lim membalik tubuh, Lenghou Tiong dapat melihat wajahnya yang kurus dan pucat, ia pikir,
“Siausumoay ini selalu berhati murung saja.”
Kemudian tampak Gi-ho merapatkan pintu ruangan latihan itu dan saling geleng-geleng kepala dengan Gi-jing.
Sesudah suara tindakan Gi-lim dan The Oh terdengar menjauh barulah Gi-ho berkata, “Kulihat hati Siausumoay
selalu tak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi orang beribadat
seperti kita ini. Entah cara bagaimana kita harus menasihatkan dia.”
“Memang sukar untuk menasihatkan dia,” kata Gi-jing. “Paling penting kalau ada kesadaran diri sendiri.”
“Aku tahu apa sebabnya hati Siausumoay tak bisa tenang, yang senantiasa terkenang olehnya adalah....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Di tempat suci ini hendaklah Suci jangan bicara hal-hal demikian,” kata Gi-jing sebelum ucapan Gi-ho lebih
lanjut. “Sebenarnya tiada halangannya membiarkan Siausumoay insaf sendiri bilamana kita tidak buru-buru
ingin menuntut balas sakit hati Suhu.”
“Dahulu Suhu sering mengatakan bahwa segala apa di dunia ini sudah suratan takdir, harus mengikuti menurut
apa adanya, sedikit pun tak boleh dipaksakan. Kulihat Siausumoay adalah orang yang berperasaan, sebenarnya
dia tidak cocok memasuki dunia agama seperti kita ini.”
Gi-jing menghela napas, jawabnya, “Aku pun pernah memikirkan soal ini. Cuma saja Hing-san-pay pada
akhirnya harus ada seorang dari kalangan agama kita sendiri untuk memegang jabatan ketua. Lenghou-suheng
sudah berulang-ulang menyatakan bahwa dia hanya sementara saja menjabat ciangbunjin kita. Tapi yang
terpenting adalah keparat Gak Put-kun itu telah mencelakai Suhu dan Susiok....”
Mendengar sampai di sini, tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, ia heran mengapa Gi-jing secara tegas
mengatakan Gak Put-kun yang mencelakai guru mereka?
Terdengar Gi-jing menyambung kata-katanya tadi, “Kalau sakit hati mahabesar ini tidak lekas kita balas, kita
sebagai anak murid beliau-beliau itu tentu tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”
“Tidak cuma kau saja yang tidak sabar, mungkin aku lebih gelisah daripada kau tentang pembalasan sakit hati
guru kita,” kata Gi-ho. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan pergiat latihannya.”
“Tapi juga jangan terlalu dipaksakan,” kata Gi-jing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Siausumoay
rada mundur.”
Gi-ho mengiakan. Lalu kedua orang membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita, kemudian kembali
ke kamar masing-masing untuk tidur. Rupanya Gi-jing meski terhitung sumoay, tapi pintar dan bisa berpikir,
maka setiap urusan penting Gi-ho suka mengajaknya berunding.
Di tempatnya mengintai, Lenghou Tiong menjadi heran mengapa mereka menuduh Gak Put-kun mencelakai
guru dan paman gurunya, dan mengapa pula demi untuk menuntut balas, demi untuk menerima penyerahan
jabatan ketua Hing-san-pay, maka siausumoay mereka mesti disuruh giat berlatih ilmu pedang?
Ia coba merenungkan hal itu, tapi tidak juga paham. Perlahan-lahan ia meninggalkan tempat itu sambil berpikir
cara bagaimana besok harus minta keterangan kepada Gi-lim akan persoalan aneh itu.
Mendadak terkilas suatu pikiran dalam benaknya, hampir-hampir ia berteriak, katanya di dalam hati, “Ah, aku
seharusnya memikirkan hal ini sejak dulu-dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya hal
ini tak pernah kupikirkan?”
Ia menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, ia berdiri mepet dinding agar bayangannya tidak
kepergok orang, habis itu barulah ia memikirkan pula hal itu dengan cermat. Ia coba mengenangkan kembali
keadaan kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay di Siau-lim-si dahulu itu. Menurut penglihatannya waktu itu,
tiada sesuatu luka yang ditemukan di tubuh kedua suthay tua itu, pula tidak terluka dalam atau mati
keracunan, jadi kematiannya sungguh sangat aneh.
Kemudian setelah meninggalkan Siau-lim-si, di dalam gua waktu berteduh dari hujan salju pernah Ing-ing
memberitahukan padanya bahwa ketika di Siau-lim-si dia telah membuka baju kedua suthay itu untuk
memeriksa lukanya, dilihatnya pada ulu hatinya ada satu titik merah bekas tusukan jarum, terang itulah luka
yang mengakibatkan kematian kedua suthay, hanya saja tusukan pada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada
menceng sedikit, makanya seketika Ting-sian belum putus napasnya waktu itu.
Menurut perkiraan, kalau jarum itu ditusukkan ke dalam ulu hati, maka serangan itu terang dilakukan secara
berhadapan, jadi orang yang mencelakai kedua suthay itu jelas adalah tokoh kelas wahid.
Teringat hal itu, tanpa terasa kedua tangan Lenghou Tiong menahan dinding dengan badan rada gemetar,
pikirnya, “Tatkala mana Tonghong Put-pay sudah mati, orang yang mampu membinasakan kedua Suthay
dengan sebatang jarum kecil hanya orang yang telah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiamhoat.
Sedangkan Pi-sia-kiam-hoat yang diyakinkan Co Leng-tan itu adalah palsu, tidak sempurna, selain itu
hanya guruku dan Lim Peng-ci saja berdua. Sedangkan waktu itu Lim Peng-ci baru saja memperoleh Pi-siaDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kiam-hoat, belum lagi berhasil meyakinkannya, ini terbukti waktu bertemu dengan Lim Peng-ci sesudah
meninggalkan Siau-lim-si dahulu suara Peng-ci belum lagi banci.”
Terpikir sampai di sini, tanpa terasa jidatnya berkeringat dingin. Ia tahu tatkala itu yang mampu menggunakan
sebatang jarum kecil dan membinasakan kedua suthay utama Hing-san-pay dari depan tiada orang lain lagi
kecuali Gak Put-kun. Teringat pula cara bagaimana Gak Put-kun berusaha secara berencana agar dapat
menjadi ketua Ngo-gak-pay dan sengaja membiarkan Lo Tek-nau menyelundup ke dalam perguruannya selama
belasan tahun tanpa membuka kepalsuannya, akhirnya sengaja membiarkan Lo Tek-nau membawa lari sejilid
kiam-boh palsu untuk menjebak Co Leng-tan, akibatnya dengan mudah kedua mata Co Leng-tan kena
dibutakan olehnya. Lantaran Ting-sian dan kawan-kawannya berkeras menentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay
menjadi satu, maka Gak Put-kun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya sehingga mengurangi pihak
penentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay yang dirancangnya itu.
Bab 128. Intrik Gak Put-kun Terhadap Hing-san-pay
Lenghou Tiong merenungkan kembali percakapannya dengan Ing-ing di gua itu tentang pengalamannya di
Siau-lim-si, di mana dia telah kena ditendang dengan keras oleh Gak Put-kun, ia tidak terluka, sebaliknya
tulang kaki Gak Put-kun sendiri patah malah. Hal ini sangat mengherankan Ing-ing, katanya ayahnya (Yim
Ngo-heng) juga tidak habis paham atas kejadian itu. Sebab seperti diketahuinya di dalam tubuh Lenghou Tiong
sudah banyak bertambah dengan lwekang yang disedotnya dari beberapa tokoh silat kelas tinggi, namun untuk
bisa menggunakan campuran lwekang itu buat menyerang lawan diperlukan latihan yang cukup, padahal waktu
itu Lenghou Tiong belum mencapai taraf demikian. Kini kalau dipikir, jelas Gak Put-kun sengaja pura-pura,
sengaja diperlihatkan kepada Co Leng-tan agar saingannya itu menilai rendah kepandaiannya dan lengah.
Dan benar juga usaha Co Leng-tan dengan susah payah untuk menggabungkan Ngo-gak-kiam-pay akhirnya
cuma sia-sia saja, orang lain yang menarik keuntungannya.
Setelah memahami apa yang terjadi itu, kemudian ia membatin, “Betapa pun Suhu bermaksud mencelakai aku
tetap takkan kulupakan budi kebaikannya selama mendidik aku 20-an tahun. Dengan sendirinya aku sendiri tak
dapat membunuhnya, namun anak murid Hing-san-pay yang berhasrat menuntut balas juga tak dapat
kurintangi. Hanya saja ilmu silat Suhu sekarang sudah lain daripada dahulu, betapa pun Gi-jing dan lain-lain
berlatih rasanya selama hidup mereka ini juga tak mampu mengalahkan suhuku. Beberapa jurus ilmu pedang
yang kuajarkan kepada mereka itu pun terang bukan tandingan Pi-sia-kiam-hoat.”
Ia pikir Gi-lim sekarang tentu sudah tidur, biarlah aku pergi ke paviliun di seberang sana untuk melihat apakah
rombongan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya sudah datang belum.
Paviliun yang dahulu ditunjuk sebagai tempat penampungan orang-orang Kang-ouw yang ikut Lenghou Tiong
ke Hing-san itu terletak di Thong-goan-kok, suatu lembah di lereng Hing-san dan jauhnya ada belasan li juga.
Dengan berlari-lari enteng Lenghou Tiong terus menuju ke sana, ketika sampai di lembah itu hari pun sudah
terang tanah. Lebih dahulu ia mengaca dirinya di tepi sebuah sungai kecil, memeriksa keadaan pakaian,
sesudah tiada tanda-tanda yang mencurigakan barulah ia menuju paviliun itu.
Ia mengitari pintu depan, baru saja hendak masuk melalui pintu samping, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut
di dalam.
Dahulu orang-orang Kang-ouw campuran itu ditampung oleh Lenghou Tiong di situ, setiap hari Lenghou Tiong
mengobrol, main judi dan minum arak bersama mereka, meski tengah malam juga selalu ramai suasana di
situ. Kemudian Yim Ngo-heng memberi perintah agar orang-orang itu pergi dari situ, maka sepilah keadaan
lembah itu.
Kini mendengar kembali suara ramai itu, Lenghou Tiong tidak menjadi senang, sebaliknya malah khawatir. Dari
apa yang didengarnya dari percakapan Thio-hujin dan kawan-kawannya itu, jelas mereka bermaksud buruk
terhadap Hing-san-pay, kalau mereka tidak mau disuruh pergi secara halus terpaksa harus main kekerasan,
dan dari kawan tentu akan menjadi lawan. Bila Lenghou Tiong harus mencelakai bekas teman-teman itu,
rasanya serbasusah.
Dalam pada itu terdengar orang banyak sedang berteriak-teriak di dalam rumah, “Sungguh aneh! Keparat!
Perbuatan siapa ini?”
“Ya, bangsat benar! Kapan dilakukannya hal ini? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Eh, mereka ini kan bukan jago lemah, mengapa kena diselomoti orang tanpa menjengek sedikit pun?”
Dari suara ribut-ribut itu Lenghou Tiong dapat menduga di situ tentu terjadi sesuatu yang luar biasa. Segera ia
menyelinap masuk, dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sana penuh berdiri orang, semuanya
menengadah, memandang ke pucuk pohon yang amat tinggi di tengah halaman itu.
Waktu Lenghou Tiong juga mendongak ke atas, seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pucuk pohon yang
tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang, yaitu Siu Siong-lian dan Thio-hujin bertujuh ditambah
lagi seorang yang berpakaian perlente dan dikenalnya sebagai Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Hiat-to kedelapan orang
ini tertutuk, kaki dan tangan ditelikung ke belakang dan diikat, lalu digantungkan di atas pohon sehingga
kontal-kantil ke sana kemari.
Bahkan tertampak pula ada dua ekor ular sepanjang dua meteran sedang merambat di atas badan kedelapan
orang itu. Terang itulah “hewan” piaraan Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua.
Tidaklah menjadi soal bila ular-ular itu merambati badan Giam Sam-seng yang menjadi majikannya, tapi ketika
ular-ular itu menggerayangi badan Siu Siong-lian dan lain-lain, mereka menjadi ketakutan dan jijik pula,
celakanya mereka tak bisa bicara dan berkutik.
Tiba-tiba seorang meloncat ke atas, yaitu Keh Bu-si, dengan sebilah belati ia memotong tali yang menggantung
Tong-pek-siang-ki. Kontan kedua orang itu anjlok ke bawah, syukur seorang yang pendek gemuk lantas
menangkap tubuh mereka. Penyelamat ini adalah Lo Thau-cu. Dalam sekejap saja Keh Bu-si sudah berhasil
menolong kedelapan orang itu ke bawah dan membuka hiat-to mereka yang tertutuk.
Begitu bebas, kontan Siu Siong-lian mencaci maki dari kakek moyang tujuh belas keturunan dan kata-kata
yang paling kotor. Tapi mendadak kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu, ada yang kaget,
ada yang tertawa, ada yang geli.
Waktu Coh Jian-jiu memeriksa mereka, kiranya di dahi mereka masing-masing tertulis satu huruf. Coh Jian-jiu
coba menerapkan huruf-huruf itu, hasilnya adalah dua kalimat yang artinya, “Muslihat keji sudah ketahuan,
awas jiwa anjing kalian.”
Sebagai orang licin dan berpengalaman, Yu Siok dan lain-lain sudah paham apa artinya kalimat-kalimat itu.
Hanya Say-po Hwesio yang kasar itu terus mencaci maki, “Muslihat keji ketahuan apa? Memangnya mengawasi
jiwa anjing siapa?”
Lekas Giok-leng Tojin mencegah ucapan kawannya itu lebih lanjut, lalu menghapus huruf di jidat sendiri
dengan air ludah.
Lenghou Tiong tidak habis heran menyaksikan itu, pikirnya, “Kiranya secara diam-diam sudah ada orang kosen
yang telah membongkar muslihat mereka. Alangkah baiknya jika sekiranya aku tidak perlu turun tangan
sendiri.”
Terdengar Coh Jian-jiu lagi bertanya, “Yu-heng, entah cara bagaimana kalian berdelapan kena diselomoti
orang, dapatkah kau menceritakan?”
Yu Siok tersenyum, jawabnya, “Sungguh memalukan bila dikatakan. Semalam Cayhe tidur dengan sangat
nyenyak, entah mengapa tahu-tahu hiat-to sudah tertutuk orang dan tergantung tinggi di atas pohon ini,
bangsat yang menyelomoti kami itu besar kemungkinan memakai obat bius dan sebagainya, kalau tidak, diriku
yang tidak becus sih lumrah, tapi tokoh-tokoh yang serbacerdas tangkas sebagai Giok-leng Tojin, Thio-hujin,
dan lain-lain ini masakah juga kena diselomoti orang?”
Thio-hujin hanya mendengus saja. Ia tidak suka banyak bicara, segera ditinggal ke dalam untuk mencuci muka
dan disusul oleh Giok-leng Tojin dan kawan-kawannya.
Begitulah orang banyak itu masih ramai membicarakan kejadian aneh itu, mereka anggap penuturan Yu Siok
tadi tidak lengkap dan tidak sejujurnya. Sebab kalau benar dibius, mustahil berpuluh orang yang tidur di
ruangan itu hanya beberapa orang tertentu saja yang kena pengaruh obat bius dan yang lain tidak. Selain itu
mereka pun tidak paham apa arti kalimat “muslihat keji sudah ketahuan”, entah muslihat keji apa yang
dimaksudkan. Macam-macam pendapat dan dugaan timbul di antara orang banyak itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendengar itu, hati Lenghou Tiong sangat terhibur. Ia pikir kalau orang-orang itu ikut dalam komplotan Siu
Siong-lian itu tentunya mereka mengetahui muslihat keji apa yang akan dikerjakan. Tampaknya orang yang
ditugaskan Gak Put-kun ke sini hanya sebagian kecil di antara mereka. Hanya entah siapakah orang kosen
yang telah menggantung kedelapan orang di pucuk pohon itu?
Dalam pada itu terdengar seorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Untung sekali hari ini Tho-kok-lakkoay
tidak berada di sini, kalau mereka di sini tentu urusan akan tambah ramai.”
“Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini? Keenam orang itu suka gila-gilaan, bukan mustahil apa yang
terjadi ini adalah perbuatan mereka,” kata seorang lagi.
“Tidak, pasti bukan perbuatan mereka,” ujar Coh Jian-jiu.
“Bagaimana Coh-heng mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.
“Meski ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, namun isi perut mereka sangat terbatas,” kata Coh Jian-jiu.
“Jangankan mereka tidak mampu menulis kalimat-kalimat itu, untuk menulis dua huruf ‘muslihat keji’ saja
kutanggung mereka tidak bisa.”
Semua orang sama mengakak dan menyatakan ucapan Coh Jian-jiu itu memang tidak salah. Mereka terus
mengobrol tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tiada seorang pun yang memerhatikan babu tua dungu
samaran Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala
menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik orang-orang itu.
Dari para kesatria yang tinggal di situ hampir seluruhnya dikenal oleh Lenghou Tiong, orang yang dasarnya
pendiam memang sukar untuk diketahui isi hatinya, tapi bagi orang yang pembawaannya kasar dan suka
omong, bila sekarang mendadak berubah menjadi pendiam atau sengaja main sembunyi-sembunyi, maka
orang itu perlu dicurigai.
Begitulah ia coba mengingat-ingat gerak-gerik setiap orang itu. Ia pikir kalau orang-orang yang ikut serta
dalam muslihat keji itu cuma sebagian kecil, maka sebagian besar lainnya akan cukup kuat untuk
mengatasinya bilamana terjadi serangan mendadak sehingga anak murid Hing-san-pay tidak perlu
dikhawatirkan keselamatannya. Malahan yang pasti akan menjadi korban mungkin adalah sebagian temanteman
yang berada di paviliun ini. Tapi dengan kejadian digantungnya kedelapan orang di pucuk pohon adalah
suatu peringatan yang baik bagi semua orang agar waspada menghadapi segala kemungkinan.
Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar perang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Lekas kemari,
coba lihat apa lagi itu?”
Serentak orang banyak itu berlari-lari keluar. Lenghou Tiong juga ikut dari belakang, dilihatnya beberapa li di
sebelah sana ada beberapa puluh orang sedang mengerumuni sesuatu. Waktu Lenghou Tiong sampai di sana,
dilihatnya orang banyak sedang ramai memperbincangkan kejadian itu. Kiranya ada belasan orang berduduk
tak bergerak di kaki gunung situ, jelas hiat-to mereka tertutuk semua. Pada dinding batu-batu padas
tertampak beberapa tulisan yang artinya kembali seperti apa yang tertulis di jidat Siu Siong-lian berdelapan.
Tulisan itu dicoret dengan air tanah liat, tampaknya belum kering, tentunya belum lama ditulis.
Para kesatria menjadi ragu-ragu apakah mesti membuka hiat-to orang-orang itu atau tidak. Segera ada orang
menggeser belasan orang itu untuk mengenali siapa-siapa mereka itu. Ternyata di antara mereka yang tertutuk
tak berkutik itu termasuk Boh-pak-siang-him, kedua beruang dari utara yang doyan makan daging manusia.
Selain itu ada lagi dua orang gembong Mo-kau, mereka adalah Pau Tay-coh dan Bok-tianglo.
Lenghou Tiong rada terkejut melihat mereka, kalau kedua gembong Mo-kau itu belum mati, maka Hek-bokleng
yang diperoleh Gak Put-kun itu terang bukan berasal dari Pau Tay-coh dan Bok-tianglo berdua.
Keh Bu-si tampak tampil ke muka dan mengurut beberapa kali di punggung Boh-pak-siang-him untuk
membuka ah-hiat (hiat-to yang bikin bisu) mereka, tapi hiat-to lain tidak dijamahnya dan tetap membiarkan
mereka tak bisa bergerak. Lalu Keh Bu-si bertanya, “Ada sesuatu yang membingungkan, maka Cayhe ingin
minta keterangan kepada kalian. Coba terangkan, sesungguhnya kalian berdua telah ikut serta dalam muslihat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
rahasia apa, hal inilah yang ingin diketahui oleh para kawan kita.”
“Benar, benar! Muslihat apa yang kalian kerjakan, coba jelaskan!” seru orang banyak secara serentak.
“Muslihat kakek moyangnya tujuh belas turunan, muslihat maknya anak kura-kura!” kontan si Oh-him, Si
Beruang Hitam, mencaci maki.
“Habis kalian ditutuk oleh siapa-siapa? Tentu boleh kau jelaskan urusan?” tanya Coh Jian-jiu pula.
“Kalau aku tahu sih mendingan,” sahut Pek-him, Si Beruang Putih. “Tadi kami sedang jalan-jalan di sini, tahutahu
punggung ditutuk orang, lalu tak bisa berkutik. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi
dari depan, main sergap, hm, macam kesatria apa? Bangsat!”
“Jika kalian tidak mau bicara terus terang, ya sudahlah,” kata Coh Jian-jiu. “Cuma urusan ini sudah terbongkar,
kukira akan gagal dikerjakan. Bagi kita semua hendaklah berlaku waspada saja.”
“Coh-heng,” seorang berseru, “mereka tidak mau mengaku terus terang, biarkan mereka tinggal di sini saja,
biarkan lapar tiga-hari tiga-malam supaya tahu rasa.”
“Benar,” seorang lagi menanggapi. “Jika kau membebaskan mereka, jangan-jangan orang kosen itu akan
marah padamu dan kau sendiri yang akan digantung di atas pohon, kan bisa runyam.”
“Memang tidak salah,” kata Keh Bu-si. “Eh, Saudara-saudara, bukan Cayhe tidak mau menolong kalian,
soalnya Cayhe sendiri juga merasa takut.”
Oh-him dan Pek-him saling pandang, lalu sama mencaci maki, cuma yang dimaki tiada keruan juntrungannya,
mereka tidak berani memaki Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya secara terang-terangan, sebab kalau sampai
membikin marah pihak lawan tentu mereka sendiri yang bakal celaka berhubung tak bisa berkutik sama sekali.
Begitulah Keh Bu-si lantas tinggal pergi. Sesudah berkerumun sejenak sambil omong ini-itu sebentar, orangorang
lain juga ikut bubar. Di antara orang-orang itu tentu pula ada begundalnya Boh-pak-siang-him, hanya
saja mereka tidak berani memberi pertolongan dalam keadaan demikian bilamana mereka tidak mau ketahuan
siapa diri mereka.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong sudah berjalan kembali ke paviliun tadi. Baru sampai di luar halaman, terdengar
di dalam ada suara orang tertawa geli. Ketika Lenghou Tiong melongok ke dalam, ternyata semua orang
sedang memandang ke atas. Waktu ia ikut mendongak, ternyata di atas pohon kembali bergantungan dua
orang. Waktu diperhatikan, kiranya kedua orang sial itu adalah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio.
Keruan Lenghou Tiong sangat heran. Put-kay adalah ayah Gi-lim Sumoay, Dian Pek-kong juga diakui sebagai
murid Gi-lim. Betapa pun mereka berdua pasti tidak punya niat mencelakai pihak Hing-san-pay. Sebaliknya
kalau Hing-san-pay ada kesulitan tentu mereka akan membantu malah. Tapi mengapa mereka pun digantung
orang di atas pohon, hal ini benar-benar membikin Lenghou Tiong tidak habis paham. Gambaran yang telah
digagas Lenghou Tiong semula kini menjadi buyar sama sekali setelah melihat Put-kay dan Dian Pek-kong juga
mengalami nasib yang sama seperti Siu Siong-lian berdelapan. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam
benaknya, “Put-kay Taysu bersifat lucu dan lugu, biasanya tiada sengketa apa-apa pada lain orang, mengapa
dia pun digantung orang di atas pohon? Tentu ada orang sengaja main gila padanya. Untuk menangkap Putkay
rasanya tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja. Besar kemungkinan adalah Tho-kok-lak-sian.”
Tapi lantas terpikir pula dari apa yang dikatakan Coh Jian-jiu tadi, memang tidak salah bahwa Tho-kok-lak-sian
tidak mampu menulis kalimat-kalimat sebagus itu.
Begitulah dengan penuh tanda tanya ia melangkah ke dalam halaman. Di tengah suara tertawa riuh orang
banyak, dilihatnya di atas tubuh Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong terjulur seutas pita kuning yang bertulisan.
Tertampak pita di atas tubuh Put-kay itu tertulis: “Manusia yang paling doyan perempuan, laki-laki berhati
palsu nomor satu di dunia ini.”
Kemudian dilihatnya pita di atas tubuh Dian Pek-kong bertuliskan: “Manusia yang tidak becus bekerja, orang
yang paling sembrono nomor satu di dunia ini.”
Pikiran pertama yang timbul dalam benak Lenghou Tiong sesudah membaca tulisan kedua pita itu adalah,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Cara pasang kedua pita itu keliru tempat. Mestinya kedua pita itu harus tukar tempat antara Put-kay Hwesio
dan Dian Pek-kong. Mana bisa Put-kay Hwesio dikatakan ‘manusia yang paling doyan perempuan’? Orang yang
paling doyan perempuan harus dialamatkan kepada Dian Pek-kong. Sedangkan sebutan ‘orang paling
sembrono’ masih boleh juga diberikan kepada Put-kay. Dia tidak pantang membunuh, tidak pantang makan
dan minum, segala apa pun dia gegares. Sesudah menjadi hwesio juga berani cari nikoh sebagai istri,
perbuatannya memang sembrono. Cuma sebutan ‘tidak becus bekerja’ rasanya rada janggal dan entah apa
maksudnya?”
Kalau melihat kedua pita itu masing-masing terikat di leher kedua orang itu agaknya bukan dipasang dalam
keadaan tergesa-gesa, maka tidak keliru tempat tentunya.
Para kesatria menjadi gempar pula menyaksikan keadaan Put-kay berdua itu, banyak di antaranya juga merasa
heran melihat tulisan kedua pita. Mereka berpendapat bahwa manusia yang paling doyan perempuan di dunia
ini selain Dian Pek-kong rasanya tiada orang lain lagi, mengapa hwesio gede ini bisa melebihi Dian Pek-kong?
Keh Bu-si dan Coh Jian-jiu berunding sejenak dengan suara perlahan, mereka pun merasa kejadian itu radarada
luar biasa. Mereka pun tahu Put-kay Hwesio adalah teman baik Lenghou Tiong, mereka pikir Put-kay
harus ditolong turun lebih dulu.
Segera Keh Bu-si melompat ke atas pohon, ia mengiris putus tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan
Siu Siong-lian dan Boh-pak-siang-him yang terus mencaci maki, ternyata Put-kay dan Dian Pek-kong bungkam
saja dengan lesu.
“Mengapa Taysu juga tertimpa nasib malang ini?” dengan suara perlahan Keh Bu-si bertanya.
Put-kay tidak menjawab melainkan cuma geleng-geleng kepala saja. Ia coba melepaskan pita di lehernya itu,
dipandangnya sekian lama tulisan di atas pita itu, kemudian mendadak ia menangis keras sambil membantingbanting
kaki.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Seketika suara orang banyak menjadi lenyap dan sama
memandangi Put-kay dengan melongo heran. Put-kay masih terus menangis sambil memukul-mukul dada
sendiri, makin menangis makin berduka.
“Thaysuhu, janganlah kau menyesal,” Dian Pek-kong coba membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan, kita
harus menemukan keparat itu dan mencincang dia....”
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tangan Put-pay menampar ke belakang, “plok”, kontan Dian Pekkong
terpental beberapa meter jauhnya dan hampir-hampir roboh terjungkal, tapi sebelah pipinya seketika
merah bengep.
“Bajingan!” Put-kay memaki. “Kita digantung di sini adalah sebagai ganjaran atas dosa kita, kau... kau berani
sekali, masakah kau hendak membunuh orang.”
Karena tidak tahu seluk-beluknya, tapi dari ucapan thaysuhunya itu Dian Pek-kong dapat menduga orang yang
menggantung mereka di atas pohon itu tentulah orang tokoh luar biasa sehingga thaysuhu itu sendiri merasa
segan padanya. Terpaksa Dian Pek-kong hanya menunduk dan berulang mengiakan.
Untuk sejenak Put-kay termenung di tempatnya, habis itu kembali ia menangis lagi sambil menghantam dada
sendiri. Kemudian mendadak tangannya menggampar lagi ke belakang, kembali Dian Pek-kong hendak dihajar.
Untung gerak tubuh Dian Pek-kong sangat cepat, ia keburu menghindarkan gamparan itu, teriaknya,
“Thaysuhu!”
Sekali menggampar tidak kena, Put-kay juga tidak mengudak lagi, tapi tangannya terus diputar balik, “plak”,
dengan keras menghantam di atas sebuah meja batu di tengah halaman itu. Kontan batu kerikil bercipratan.
Kedua telapak tangan Put-kay segera menghantam pula secara bergantian disertai jerit tangis, makin
menghantam makin keras, dalam sekejap saja meja batu yang keras itu telah hancur menjadi beberapa potong
kecil.
Melihat betapa dahsyat tenaga pukulannya, semua orang sama terkejut, tiada seorang pun yang berani
mencuit, sebab khawatir bila Put-kay lantas mengamuk padanya, sekali kepala kena dihantam tentu akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hancur luluh. Memangnya kepala siapa yang bisa lebih keras daripada meja batu itu.
Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan Keh Bu-si hanya saling pandang dengan bingung.
Melihat gelagat kurang baik itu, segera Dian Pek-kong berkata, “Harap kalian jaga thaysuhuku, aku akan pergi
mengundang Suhu.”
Mendengar itu, Lenghou Tiong pikir jangan sampai dirinya dicurigai Gi-lim bilamana siausumoay itu nanti
datang. Ia sudah pernah menyamar sebagai perwira tentara, sudah pernah menyaru sebagai petani, tapi
semuanya kaum lelaki, sekarang dia menyaru sebagai babu tua, seorang perempuan, rasanya sangat kikuk dan
canggung, ia sendiri pun tidak yakin akan penyamarannya itu dan khawatir rahasianya terbongkar.
Segera ia sembunyi dulu di dalam kamar penimbun kayu bakar di belakang. Ia pikir Boh-pak-siang-him dan
lain-lain masih mematung di sana, dapat diduga Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya ada niat pergi
mendengarkan percakapan mereka malam nanti. Maka sesudah kenyang tidur sebentar aku pun coba-coba
mendengarkan ke sana.
Memangnya Lenghou Tiong sudah sangat mengantuk karena semalam tidak pernah tidur, sambil layap-layap
terpulas ia dengar suara tangis Put-kay Hwesio yang aneh dan lucu itu.
Waktu bangun hari sudah gelap, ia mencari sedikit makanan di dapur, ternyata tiada seorang pun yang
pedulikan dia. Setelah menunggu lagi agak lama, ketika suasana sudah sunyi, lalu ia memutar ke belakang
gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat ditutuknya Boh-pak-siang-him dan komplotannya itu. Sesudah
dekat, ia berjongkok di seberang sebuah kali kecil, di situlah ia pasang telinga mendengarkan.
Tidak lama kemudian lantas terdengar suara pernapasan orang banyak di sebelah depan sana, sedikitnya ada
belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli bahwa bukan cuma Keh Busi
dan kawan-kawannya saja yang timbul pikiran buat mencuri dengar percakapan Boh-pak-siang-him, bahkan
orang lain juga punya pikiran demikian, nyata orang cerdik di dunia ini tidaklah sedikit. Diam-diam Lenghou
Tiong juga mengakui kecerdikan Keh Bu-si, dia hanya membuka hiat-to bisu kedua orang pemakan daging
manusia itu, tapi sengaja tidak membuka hiat-to Pau Tay-coh dan lain-lain, kalau tidak tentu Pau Tay-coh yang
pintar itu akan melarang Boh-pak-siang-him bicara bila mereka membuka mulut.
Benar juga, terdengar Pek-him sedang marah-marah dan memaki, “Nenek moyangnya, begini banyak
nyamuknya, bisa-bisa darahku akan terisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas
keturunan nenek moyangmu!”
“Aneh,” Oh-him menanggapi dengan tertawa, “nyamuk kok cuma menggigit kau dan tidak menggigit diriku,
entah apa sebabnya.”
“Sebabnya karena darahmu berbau, nyamuk tidak doyan darahmu,” sahut Pek-him mendongkol.
“Ya, aku lebih suka darahku berbau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar Oh-him.
Kembali Pek-him mencaci maki kalang kabut.
Diam-diam Lenghou Tiong membayangkan bagaimana rasanya orang digigit beratus-ratus, bahkan beribu-ribu
nyamuk sekaligus, tapi badan tak bisa berkutik, memang rasanya tidak dapat dikatakan enak.
Sesudah puas mengumpat ke kanan dan ke kiri, kemudian Pek-him berkata, “Bila aku dapat bergerak dengan
bebas lagi, orang pertama yang akan kucari untuk bikin perhitungan adalah Keh Bu-si si bangsat itu, akan
kututuk juga hiat-tonya, lalu kugigit pahanya, akan kumakan daging pahanya itu sedikit demi sedikit.”
“Kalau aku lebih suka makan daging para nikoh cilik itu, kulitnya halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat
dan gurih,” ujar Oh-him.
“Tapi Gak-siansing telah menyatakan para nikoh itu tidak boleh dimakan, harus ditangkap ke Hoa-san,” kata
Pek-him.
“Jumlah nikoh cilik itu ada beratus-ratus, kalau kita makan dua-tiga orang di antaranya masakah bisa
ketahuan?” ujar Oh-him.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendadak Pek-him mencaci maki lagi dengan suara keras, “Bangsat! Anak jadah!”
“Kau tidak mau makan nikoh boleh terserah, mengapa memaki orang?” jawab Oh-him dengan gusar.
“Aku tidak memaki kau, aku memaki nyamuk,” sahut Pek-him.
Selagi Lenghou Tiong merasa geli mendengarkan dagelan yang lucu itu, tiba-tiba ada suara keresek-keresek
perlahan di belakangnya, ada orang perlahan-lahan mendekatinya. Pendatang ternyata langsung menuju ke
arahnya, sesudah berada di belakangnya, orang itu pun berjongkok dan perlahan-lahan menarik lengan
bajunya.
Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, “Siapakah dia ini? Jangan-jangan penyamaranku diketahui olehnya?”
Ia coba menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tiba-tiba tertampak sebuah wajah yang cantik,
kiranya Gi-lim adanya.
Kembali Lenghou Tiong terkejut dan bergirang pula, ia menduga tentu jejaknya telah diketahui oleh Gi-lim.
Dilihatnya Gi-lim menggerakkan dagunya ke samping, mulutnya yang kecil dimoncongkan untuk memberi
tanda ke arah sana, lalu lengan baju Lenghou Tiong ditarik-tarik lagi sebagai tanda ingin bicara dengan dia ke
tempat yang agak jauhan di sebelah sana.
Lenghou Tiong rada bingung, tapi dilihatnya Gi-lim sudah mendahului berjalan ke sana, terpaksa ia pun
mengikut di belakangnya.
Bab 129. Rahasia Put-kay Hwesio yang Aneh
Begitulah Lenghou Tiong mengikuti ajakan Gi-lim. Keduanya terus berjalan ke jurusan sana tanpa buka
suara sedikit pun.
Setelah menyusuri sebuah jalanan sempit, akhirnya mereka keluar dari lembah itu, tiba-tiba terdengar
Gi-lim berkata, “Kau sendiri tidak dapat mendengar pembicaraan orang, buat apa kau berada di sana?”
Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepadanya melainkan cuma menggumam sendiri saja.
Namun Lenghou Tiong merasa tercengang, katanya di dalam hati, “Apa artinya dia bilang aku tidak dapat
mendengar percakapan orang? Dia bicara dibalik atau benar-benar tak mengenali penyamaranku?” Tapi
mengingat Gi-lim biasanya tidak pernah bergurau padanya, besar kemungkinan memang belum tahu
samarannya itu.
Gi-lim terus berjalan menikung ke utara, setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka sampai di
tepi sebuah sungai kecil.
Dengan suara perlahan Gi-lim berkata pula, “Biasanya kita suka bicara di sini, apakah kau sudah bosan
pada kata-kataku?” Menyusul ia lantas tertawa, katanya, “Selamanya kau tak bisa mendengar ucapanku,
tentu aku takkan bicara padamu.”
Melihat nada Gi-lim yang sungguh-sungguh itu, yakinlah Lenghou Tiong bahwa dirinya memang disangka
benar-benar sebagai si nenek tua penunggu Sian-kong-si itu. Tiba-tiba timbul pikirannya yang jail, ia
menjadi ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh Gi-lim.
Setiba di bawah pohon, Gi-lim mengajaknya duduk di atas sepotong batu panjang, Lenghou Tiong
sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tertampak jelas.
Gi-lim termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir-hampir
Lenghou Tiong bertanya urusan apakah yang membikin risau hati Gi-lim yang masih muda belia itu?
Syukur dia keburu menahan perasaannya.
Terdengar Gi-lim membuka suara perlahan, “Nenek bisu, engkau sangat baik, aku sering mengajak kau
ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu, selamanya kau tidak merasa jemu, selalu menunggu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
uraianku dengan sabar. Sebenarnya tidak pantas aku membikin repot padamu, tapi engkau memang
sangat baik padaku, mirip benar ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu, jika punya, apakah kiranya
aku berani bicara padanya seperti kubicarakan padamu ini?”
Mendengar sumoay cilik itu hendak membeber isi hatinya, Lenghou Tiong merasa tidak pantas
mendengarkan rahasia orang dengan cara menipunya, segera ia berbangkit dan bermaksud melangkah
pergi.
Namun Gi-lim lantas menarik lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?”
Suaranya penuh nada kecewa.
Lenghou Tiong memandang sekejap padanya, tertampak wajahnya yang sayu, sinar matanya penuh rasa
memohon, tanpa kuasa hatinya menjadi lemas, pikirnya, “Air mukanya tampak kurus, isi hatinya bila tak
terbeberkan bisa jadi akan mengakibatkan jatuh sakit. Biarkan kudengarkan apa yang akan diceritakan,
asalkan dia tetap tak mengenali samaranku tentu dia takkan malu.” Karena itu perlahan-lahan ia duduk
kembali.
“Nenek bisu, engkau baik sekali,” kata Gi-lim perlahan sambil merangkul pundaknya, “hendaklah kau
menemani aku duduk sebentar di sini, engkau tidak tahu betapa kesalnya hatiku.”
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, rupanya sudah suratan takdir bahwa hidupnya ini tidak terlepas
dari “nasib nenek”. Dahulu ia keliru sangka Ing-ing sebagai nenek, sekarang dirinya juga disangka
sebagai nenek oleh Gi-lim. Dahulu ia memanggil entah berapa ratus kali nenek kepada Ing-ing, sekarang
Gi-lim membayarnya dengan panggilan nenek pula. Ini namanya ada ubi ada talas.
Dasar watak Lenghou Tiong memang suka ugal-ugalan, urusan apa pun terkadang tak dianggap sesuatu
yang penting olehnya. Padahal Gi-lim sedang bicara padanya dengan penuh perasaan, sebaliknya diamdiam
ia merasa geli dan hampir-hampir bergelak tertawa.
Sudah tentu Gi-lim tidak tahu apa yang dipikirkan si “nenek”, ia berbicara terus, “Pagi tadi ayahku
hampir-hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah
oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula plakat yang menyatakan Ayah sebagai manusia tak
berperasaan nomor satu di dunia ini, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal selama hidup
ayahku hanya memikirkan ibuku seorang saja, entah apa dasarnya tuduhan pada ayahku bahwa dia
paling doyan perempuan. Tentu orang menempel plakat itu secara ngawur telah salah tempel plakat
yang mestinya ditempel pada badan Ayah. Padahal seumpama salah tempel, robeklah plakat itu dan
buang saja habis perkara, kan tidak perlu gantung diri segala.”
Lenghou Tiong terkejut dan merasa geli pula. Ia heran mengapa Put-kay Taysu hendak bunuh diri? Gi-lim
mengatakan ayahnya hampir mati gantung diri, jadi Put-kay pasti masih hidup.
Lalu Gi-lim menyambung pula, “Ketika Dian Pek-kong berlari-lari ke Kian-seng-hong untuk mencari
diriku, kebetulan dia kepergok oleh Gi-ho Suci, Dian Pek-kong dianggap melanggar peraturan berani
sembarangan datang ke Kian-seng-hong, tanpa banyak bicara Gi-ho Suci terus lolos pedang dan
menyerangnya, hampir-hampir saja jiwa Dian Pek-kong melayang, sungguh berbahaya sekali.”
Lenghou Tiong masih ingat perintahnya yang melarang kaum lelaki yang tinggal di paviliun di puncak
seberang naik ke Kian-seng-hong tanpa izinnya, apalagi nama Dian Pek-kong terkenal busuk, sedangkan
Gi-ho terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu kepergok terus main senjata. Cuma ilmu silat
Dian Pek-kong jauh lebih tinggi daripada anak murid Hing-san, jelas Gi-ho tidak mampu membunuhnya.
Selagi ia hendak mengangguk tanda membenarkan ucapan Gi-lim tadi, syukur ia lantas menyadari akan
penyamarannya. Pikirnya, “Tak peduli apa yang dia katakan, apakah benar atau tidak, sama sekali aku
tidak boleh menggeleng atau mengangguk sebab si nenek bisu-tuli pasti takkan mendengar apa pun
yang dia ucapkan.”
Begitulah Gi-lim lantas menyambung lagi, “Ketika Dian Pek-kong sempat menerangkan maksud
kedatangannya, sementara itu Gi-ho Suci sudah menyerangnya belasan kali, untung tidak terjadi cedera
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
apa-apa. Begitu menerima berita segera aku pun memburu ke lembah sini, tapi Ayah sudah tidak
kelihatan. Waktu kutanya orang di sini, katanya Ayah sedang menangis dan mengamuk pula di
kamarnya, siapa pun tidak berani bicara dengan dia, habis itu Ayah lantas menghilang entah ke mana.
“Aku mencarinya di sekitar lembah ini, akhirnya kutemukan dia di belakang gunung sana, kulihat beliau
tergantung tinggi-tinggi di atas pohon. Aku menjadi khawatir, cepat aku melompat ke atas pohon, kulihat
seutas tali menjerat di lehernya, agaknya napasnya sudah hampir putus, syukur berkat Buddha dapatlah
aku datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan sadarlah beliau, kami lantas saling rangkul dan
menangis.
“Kulihat di leher Ayah masih tetap tergantung secarik kain yang tertulis: ‘Manusia tak berperasaan nomor
satu di dunia ini’ segala. Kukatakan kepada Ayah, ‘Orang itu sungguh jahat, berulang dia menggantung
engkau. Salah tempel kain tertulis ini juga tidak dibetulkan.’
“Sambil menangis Ayah berkata, ‘Bukan digantung orang, tapi aku sendiri yang menggantung diri. Aku...
aku tidak ingin hidup lagi,’ Aku menghiburnya, ‘Ayah, tentunya engkau diserang mendadak oleh orang
itu, karena kurang waspada engkau kecundang, tapi juga tidak perlu sedih. Biarlah kita mencari dia
untuk tanya dia, kalau tak bisa memberi alasan yang tepat, kita juga pegang dia dan gantung dia, lalu
kain juga kita gantung pada lehernya.’
“Tapi Ayah menjawab, ‘Plakat ini ditujukan padaku, mana boleh digantung pada orang lain. Manusia tak
berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan memang betul adalah diriku,
Put-kay Hwesio, mana ada orang lain yang melebihi aku? Anak kecil, jangan sembarang omong kalau
tidak tahu.’
“Coba, Nenek bisu, bukankah aneh sekali ucapan Ayah itu? Maka aku lantas tanya beliau, ‘Ayah, kau
bilang kain plakat ini tidak keliru pasang?’ – ‘Sudah tentu tidak,’ jawab Ayah. ‘Aku... aku berdosa
terhadap ibumu, maka aku ingin segera mati saja, kau jangan urus diriku, aku benar-benar tidak ingin
hidup lagi.’.”
Lenghou Tiong masih ingat cerita Put-kay Hwesio, katanya dia mencintai ibunya Gi-lim, tapi lantaran si
dia adalah seorang nikoh, maka Put-kay lantas meninggalkan rumah menjadi hwesio. Menurut jalan
pikiran Put-kay, hanya hwesio yang layak beristrikan nikoh.
Padahal peristiwa demikian benar-benar aneh dan ajaib tiada taranya. Perjodohan yang janggal ini
akhirnya tentu terjadi perubahan, katanya kemudian Put-kay merasa berdosa kepada ibunya Gi-lim, bisa
jadi karena kemudian dia yang punya kekasih lain, maka dia mengaku sebagai “manusia tak
berperasaan, orang paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini, Lenghou Tiong merasa sudah rada
jelas duduknya perkara tentang diri Put-kay.
Didengarnya Gi-lim sedang bertutur pula, “Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku ikutikutan
menangis. Sebaliknya Ayah lantas menghibur aku malah, katanya, ‘Anak manis, jangan menangis,
jangan menangis! Kalau Ayah mati nanti, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang
akan menjaga dirimu?’
“Kata-katanya itu membikin tangisku semakin keras. Kemudian Ayah berkata pula, ‘Baiklah, aku tidak
jadi mati saja. Cuma, rasanya menjadi tidak enak terhadap mendiang ibumu?’ Aku coba bertanya,
‘Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?’
“Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih, ‘Sebagaimana sudah kau ketahui, tadinya ibumu
adalah nikoh, sekali melihat ibumu aku lantas tergila-gila, betapa pun aku harus memperistrikan dia.
Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi nikoh, khawatir dicerca oleh sang Buddha.’
“Kukatakan aku yang akan tanggung akibatnya, kalau sang Buddha marah biarlah aku yang dikutuk.
Ibumu menjawab bahwa orang partikelir seperti diriku adalah pantas kawin dan punya anak, tapi ibumu
sudah menyucikan diri, bila punya pikiran menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.
“Kupikir ucapannya cukup beralasan juga, tapi aku sudah bertekad akan mengawini ibumu, untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menghindarkan derita ibumu bila dihukum masuk neraka kelak, biarlah aku menjadi hwesio, kalau mau
marah biarlah sang Buddha marah padaku, seumpama masuk neraka juga kami suami-istri akan masuk
bersama.”
Baru sekarang Lenghou Tiong mengerti sebabnya Put-kay Hwesio, kiranya dia ingin memikul beban bakal
istrinya. Jika demikian mengapa kemudian dia menyeleweng lagi? Demikian timbul pertanyaan lagi dalam
hatinya.
Terdengar Gi-lim melanjutkan, “Aku lantas tanya Ayah, ‘Kemudian engkau menikahi Ibu tidak?’ – ‘Sudah
tentu menikah, kalau tidak dari mana kau dilahirkan?’ sahut Ayah. ‘Cuma memang salahku, pada waktu
kau berumur tiga bulan, aku memondongmu berjemur sinar matahari di depan pintu....’ – ‘Berjemur
sinar matahari apa salahnya?’ tanyaku. – ‘Ya, soalnya juga kebetulan saja,’ tutur ayahku. ‘Waktu itu ada
seorang perempuan muda jelita lewat di depan rumah kita dengan menunggang kuda, ketika lihat
seorang hwesio besar macamku membopong orok, ia memandang heran kepada kita sambil memuji,
‘Mungil benar orok ini!’ Sudah tentu yang dipuji adalah dirimu. Aku jadi senang dan menjawab, ‘Ini
adalah anakku sendiri.’
“Alis perempuan muda itu melototi aku sambil bertanya, ‘Kutanya dengan baik, kenapa berulang kau
menggoda aku, apakah kau sudah bosan hidup?’ Aku menjawab, ‘Menggoda bagaimana, memangnya
hwesio bukan manusia, makanya tidak boleh punya anak? Kalau kau tidak percaya akan kubuktikan
padamu.’ Tak terduga perempuan itu tambah marah, segera ia lolos pedang terus melompat turun dan
menyerang diriku, bukankah perbuatannya itu keterlaluan?”
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, ia pikir Put-kay tidak pantang bicara apa saja yang ingin dia
ucapkan, tapi bagi pendengaran orang lain kata-katanya itu dirasakan sebagai kata-kata kurang ajar.
Seorang hwesio memondong anak bayi memang sudah janggal. Kalau kawin dan punya anak, kenapa
tidak piara rambut saja?
Dalam pada itu Gi-lim masih terus bercerita, “Kukatakan pada Ayah, ‘Ya, nyonya cantik itu memang rada
galak. Sudah jelas aku adalah anakmu, ini kan tidak bohong, kenapa dia lolos senjata menyerang
padamu?’ Jawab Ayah, ‘Maka cepat aku berkelit menghindarkan serangannya, kataku, ‘He, kenapa kau
menyerang orang tanpa sebab? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’ Ternyata ucapanku
ini membikin perempuan itu tambah murka, berulang ia menusuk. Dari ilmu pedangnya kulihat dia orang
dari Hoa-san-pay.’.”
Lenghou Tiong terperanjat, ia merasa heran mengapa orang perempuan yang dikatakan itu adalah orang
Hoa-san-pay?
Gi-lim meneruskan pula, “Bahwasanya perempuan itu orang Hoa-san-pay, maka lantas timbul
perkiraanku tentulah Nona Gak, itu siausumoay Lenghou-toako, Nona Gak itu memang punya perangai
berangasan. Akan tetapi segera aku tahu dugaanku keliru, sebab usia Nona Gak sebaya dengan diriku.
Waktu itu aku baru berumur tiga bulan, tentunya Nona Gak juga masih bayi.”
“Ayah berkata pula, ‘Setelah serangannya tak bisa mengenai diriku, dia menyerang lebih gencar. Sudah
tentu aku tidak gentar padanya, aku cuma khawatir dia melukaimu. Ketika dia menusuk untuk kedelapan
kalinya, mendadak kutendang dia hingga terjungkal.’
‘Dia merangkak bangun terus mencaci maki hwesio jahat yang tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka
goda perempuan! Pada saat itulah ibumu pulang dari cuci pakaian di tepi sungai, dia mendengar caci
maki itu. Setelah memaki, perempuan itu terus pergi dengan naik kudanya. Ketika aku ajak bicara
ibumu, dia ternyata tidak menjawab, melainkan terus menangis. Kutanya dia apa sebabnya menangis,
dia tidak menggubris padaku.’
‘Besok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja tertinggal secarik kertas yang bertuliskan kalimat:
‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku membawamu dan mencari ibumu ke segenap
penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi.’
“Aku bilang, ‘Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu dan menyangka engkau benar-benar
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
telah menggoda perempuan itu.’ Ayah menjawab, ‘Ya, bukankah tuduhan yang tak berdasar? Tapi
kemudian setelah kupikir-pikir lagi rasanya tuduhan itu pun ada dasarnya, sebab pada waktu kulihat
perempuan itu, lantas timbul pikiranku bahwa perempuan itu cantik, coba pikir, kalau aku sudah punya
istri seperti ibumu dalam hatiku sebaliknya memuji kecantikan wanita lain, bahkan mulutku sampai
mengucap demikian tidakkah ini bukti aku memang tak berperasaan, suka kepada setiap perempuan?’”
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa ibu Gi-lim ternyata sangat cemburuan, sudah tentu di dalam
peristiwa ini telah terjadi salah paham, mestinya kalau dia mau tanya persoalannya lebih dulu segala
urusan akan menjadi jelas.
Terdengar Gi-lim berkata pula, “Aku lantas tanya Ayah, ‘Kemudian engkau menemukan Ibu tidak?’ Ayah
menjawab, ‘Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tak bisa menemukannya. Kupikir ibumu adalah
nikoh, tentu dia masuk kembali ke biara, maka setiap biara selalu kudatangi. Ketika kutemui gurumu,
Ting-yat Suthay, beliau sangat tertarik akan kemungilanmu, tatkala itu kau sedang sakit lagi, maka
beliau lantas minta aku menitipkan dirimu di biaranya agar kau tidak ikut menderita kubawa kiankemari.’.”
Menyinggung Ting-yat Suthay, kembali Gi-lim merasa sedih dan mencucurkan air mata, katanya, “Sejak
kecil aku ditinggalkan Ibu, berkat Suhu yang telah membesarkan aku, akan tetapi sekarang Suhu
meninggal pula dicelakai orang, orang yang mencelakainya adalah guru Lenghou-toako, bukankah hal ini
membikin aku menjadi serbasusah? Seperti diriku, sejak kecil Lenghou-toako juga sudah tidak punya ibu,
ia pun dibesarkan oleh gurunya. Cuma dia lebih menderita daripada diriku, selain tak punya ibu, bahkan
ayah juga tidak punya. Dengan sendirinya dia sangat menghormati gurunya, kalau aku membalas
dendam Suhu dengan membunuh guru Lenghou-toako itu, entah akan betapa sedihnya Lenghou-toako.
Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di biara Suhu, kemudian Ayah mencari pula setiap biara di
dunia ini, sampai-sampai tempat-tempat terpencil di daerah Mongol, Tibet, dan lain-lain juga telah
didatangi, namun tetap tak memperoleh sedikit pun kabar Ibu.
“Maka dapat ditarik kesimpulan bisa jadi ibuku sudah membunuh diri lantaran menyesal pada kelakuan
Ayah. O, Nenek bisu, tentunya ibuku adalah wanita yang berjiwa sangat keras, dia telah berkorban bagi
Ayah dengan menanggung noda karena mau dikawin oleh Ayah, tapi baru melahirkan aku, lantas melihat
Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai orang yang rendah dan tak tahu malu, sudah
tentu Ibu tambah marah dan putus asa mempunyai suami begitu, makanya beliau lantas ambil
keputusan pendek dengan membunuh diri.”
Lenghou Tiong baru tahu bahwa di balik kejadian itu kiranya masih ada persoalan-persoalan begitu.
Gi-lim bertutur pula, “Kemudian aku tanya Ayah siapakah perempuan Hoa-san-pay yang bikin celaka
orang lain itu? Ayah menjawab, ‘Perempuan itu cukup terkenal juga, ialah bininya Gak Put-kun, kutahu
hal ini dari pedang yang dia tinggalkan di atas tanah itu, pada pedang itu ada ukiran namanya. Karena
tidak dapat menemukan ibumu, saking gemasnya aku lantas pergi ke Hoa-san untuk mencari Gak-hujin,
maksudku hendak membunuhnya untuk melampiaskan dongkolku. Setiba di Hoa-san, kulihat dia sedang
memondong bayi perempuan yang kelihatan sangat mungil, aku menjadi teringat pada dirimu, sehingga
tidak tega turun tangan, maka kuampuni dia.’ Ketahuilah Nenek bisu, bayi perempuan itu adalah Nona
Gak, sumoay cilik Lenghou-toako. Mengingat Lenghou-toako sedemikian menyukai siausumoaynya,
sudah tentu dia adalah bayi yang sangat menarik.”
Teringat kepada Gak-hujin dan Gak Leng-sian yang kini telah berbaring untuk selamanya di lembah
pegunungan sunyi itu, hati Lenghou Tiong menjadi berduka.
Terdengar Gi-lim bicara lagi, “Setelah Ayah menjelaskan, barulah aku tahu mengapa Ayah begitu sedih
melihat plakat yang bertuliskan: ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling
doyan perempuan’. Kutanya Ayah, ‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu sering kau
perlihatkan kepada orang lain? Kalau tidak mengapa ada orang lain yang mengetahui tulisan itu?’
“Ayah berkata, ‘Sudah tentu tidak, aku pun tidak bercerita kepada siapa pun. Memang aneh, selama ini
dia hendak menuntut balas padaku, kalau tidak mengapa dia tidak tulis kata-kata lain tapi justru menulis
kata-kata seperti pernah ibumu tulis? Kutahu ibumu hendak menagih jiwa padaku, baiklah, biar aku ikut
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pergi bersama dia. Memangnya aku sudah mencari dia, kalau bisa bertemu dengan dia di akhirat adalah
kebetulan malah bagiku. Cuma badanku terlalu berat, waktu aku gantung diri, hanya sebentar saja tali
gantungan lantas putus, untuk kedua kalinya aku hendak menggorok leher sendiri, tapi pisau yang
biasanya kubawa itu mendadak hilang. Ai, benar-benar runyam, ingin mati pun tidak mudah.’
“Kemudian aku berkata, ‘Engkau keliru, Ayah, justru sang Buddha memberkati agar tidak membunuh
diri, makanya tali putus sendiri dan pisau hilang mendadak. Kalau tidak, saat ini tentu aku tidak bisa
berhadapan lagi dengan engkau.’ Ayah bilang betul juga ucapanku, besar kemungkinan sang Buddha
ingin menghukumnya lebih lama menderita di dunia fana ini. Lalu aku berkata pula, ‘Semula kukira kain
plakat yang tergantung di leher Dian Pek-kong itu kukira tertukar denganmu, makanya aku sedemikian
marah.’ Ayah menjawab, ‘Mana bisa keliru? Dahulu Dian Pek-kong pernah berlaku kurang ajar padamu,
bukankah itu tepat dengan tulisan plakatnya? Kusuruh dia menjadi perantara agar bocah Lenghou Tiong
itu menikahimu, tapi dia selalu ogah-ogahan dan tak bisa melaksanakan tugasnya, bukankah ini berarti
‘tidak becus bekerja’ seperti tulisan plakat itu? Jadi apa yang tertulis di plakat baginya itu memang
sangat cocok dan tepat.’ Aku berkata, ‘Ayah, aku akan marah bilamana kau suruh Dian Pek-kong
melakukan hal-hal yang tidak layak itu. Hendaknya diketahui, mula-mula Lenghou-toako menyukai
siausumoaynya, kemudian dia suka kepada Yim-toasiocia dari Mo-kau. Meski dia juga sangat baik
padaku, tapi selamanya tidak pernah menaruh perhatian padaku.’.”
Ucapan terakhir ini membikin Lenghou Tiong rada menyesal, memang semula ia tidak merasakan cinta
Gi-lim kepada dirinya, kemudian lambat laun ia pun mengetahui hal itu, namun dirinya memang benarbenar
sebagaimana dikatakan Gi-lim sekarang, mula-mula menyukai Siausumoay, kemudian cintanya
dicurahkan kepada Ing-ing, selama itu berkelana kian-kemari, jarang sekali teringat kepada Gi-lim.
Begitulah terdengar Gi-lim berkata pula, “Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ayah menjadi gusar, dia
mencaci maki Lenghou-toako, katanya, ‘Bocah Lenghou Tiong itu memang buta-melek, ada biji mata tapi
tak bisa melihat, sungguh lebih goblok daripada Dian Pek-kong. Jelek-jelek Dian Pek-kong masih tahu
akan kecantikan putriku, tapi Lenghou Tiong justru tidak mau tahu, benar-benar orang paling goblok di
dunia ini.’
“Masih banyak kata-kata kotor yang dia lontarkan ke Lenghou-toako, sukar bagiku untuk menirukannya.
Dia mengatakan pula, ‘Hm, kau kira siapa orang paling buta di dunia ini? Dia bukan Co Leng-tan,
melainkan Lenghou Tiong! Biar mata Co Leng-tan dibutakan orang, tapi Lenghou Tiong jauh lebih buta
daripada dia.’
“Coba, Nenek bisu, kan tidak betul ucapan Ayah itu, mana boleh dia mencaci maki Lenghou-toako cara
begitu? Aku lantas berkata, ‘Ayah, Nona Gak dan Nona Yim entah berapa ratus kali lebih cantik daripada
anakmu ini, pula Anak sudah meninggalkan rumah, Anak telah pasrahkan diri kepada sang Buddha. Anak
cuma berterima kasih atas budi pertolongannya serta kebaikannya terhadap Suhu, sebab itulah Anak
senantiasa terkenang padanya!’
“Ayah berkata pula, ‘Kalau sudah masuk agama mengapa tidak boleh kawin! Jika semua orang
perempuan di dunia ini memeluk agama dan tidak kawin serta punya anak, kan di dunia ini takkan ada
manusia lagi. Buktinya ibumu adalah nikoh, tidakkah dia kawin dengan hwesio semacam aku serta
melahirkan engkau?’ Aku menjawab, ‘Ayah, jangan lagi kita bicara urusan ini, bagiku akan lebih... lebih
suka tak dilahirkan saja oleh Ibu.’.”
Sampai di sini, suara Gi-lim menjadi rada sesenggukan. Selang sejenak, baru ia menyambung pula, “Lalu
aku menyatakan pada Ayah bila dia menyatakan hal itu kepada Lenghou-toako, maka selamanya aku
takkan bicara lagi dengan Ayah, bahkan tak mau bertemu pula. Bila Dian Pek-kong menyampaikan hal ini
kepada Lenghou-toako, maka akan kuminta Gi-ho dan Gi-jing Suci agar melarang dia datang ke Hingsan.
Ayah kenal watakku yang teguh, melihat tekadku sudah bulat begitu beliau termangu-mangu
sejenak lalu menghela napas dan pergi.
“O, Nenek, kepergian Ayah sekali ini entah bila baru akan datang menjenguk diriku lagi? Entah pula
beliau akan membunuh diri lagi atau tidak? Sungguh aku menjadi khawatir. Syukur kemudian aku dengar
Ayah baik-baik saja. Selesai itu, tiba-tiba kulihat beberapa orang ini menuju ke lembah sini secara
mencurigakan, mereka sembunyi di tengah semak-semak rumput, entah apa yang diperbuat mereka.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Diam-diam aku menguntit ke sini untuk mengintai, tapi malah kutemukan engkau. Nenek bisu, engkau
tak mahir ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang, bila kau kepergok orang kan
sangat berbahaya. Selanjutnya jangan coba-coba lagi main sembunyi di semak rumput begitu.
Memangnya kau kira sedang main sembunyi-sembunyi seperti anak kecil?”
Mendengar sampai di sini, hampir-hampir saja Lenghou Tiong bergelak tertawa. Ia pikir siausumoay ini
benar-benar masih kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga masih kanak-kanak saja.
“Akhir-akhir ini Gi-ho dan Gi-jing Suci selalu menyuruh aku giat belajar pedang,” kata Gi-lim pula.
“Menurut cerita Cin Koan Sumoay dia pernah mendengar Gi-ho dan Gi-jing Suci berunding dengan
beberapa suci yang lain, mereka menyatakan Lenghou-toako tentu tak mau menjadi ketua Hing-san-pay
untuk selamanya, sedangkan Gak Put-kun adalah musuh pembunuh guru dan susiok kita, dengan
sendirinya Hing-san-pay kita tidak sudi dilebur ke dalam Ngo-gak-pay, sebab itulah mereka ingin aku
menjadi ciangbunjin. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya cerita Cin Koan Sumoay itu.
Tapi Cin-sumoay berani bersumpah bahwa apa yang diceritakan itu tidak dusta. Katanya, menurut
pertimbangan para suci yang berunding itu, dalam angkatan murid Hing-san-pay yang pakai nama Gi,
diriku paling baik dengan Lenghou-toako, kalau aku yang menjadi ketua, tentu paling cocok dengan
kehendak Lenghou-toako.
“Jadi mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Lenghou-toako. Mereka berharap aku
meyakinkan ilmu pedang dengan baik dan membunuh Gak Put-kun, dengan demikian tentu tiada
seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Hing-san-pay. Dengan penjelasan ini,
barulah aku percaya. Cuma jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biar kulatih
sepuluh tahun lagi juga tak bisa melebihi Gi-ho dan Gi-jing Suci, untuk membunuh Gak Put-kun lebihlebih
tidak mungkin, memangnya pikiranku sedang kusut, terpikir urusan ini hatiku tambah bingung.
Coba, Nenek bisu, apa yang mesti kulakukan sekarang?”
Bab 130. Gi-lim Membeberkan Isi Hatinya
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu duduknya perkara, pantas Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain begitu giat
mengawasi latihan Gi-lim sebagaimana pernah dilihatnya itu, kiranya mereka berharap kelak Gi-lim yang akan
mewarisi jabatan ketua Hing-san-pay. Sungguh jerih payah mereka itu harus dipuji dan juga suatu tanda
penghormatan mereka terhadap diriku. Demikian pikirnya.
Dengan perasaan hambar Gi-lim lalu berkata pula, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku
senantiasa terkenang kepada Lenghou-toako, siang terkenang, malam terkenang, mimpi juga selalu
mengimpikan dia. Teringat olehku waktu dia menolong diriku tanpa menghiraukan bahaya akan jiwa sendiri.
Sesudah dia terluka, kupondong dia melarikan diri. Teringat olehku dia minta aku mendongeng baginya, lebihlebih
sering teringat olehku ketika aku dan dia ti... tidur bersama di suatu ranjang di rumah apa itu di Kota
Heng-san, satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, kutahu engkau tak bisa mendengar, maka aku takkan
malu mengatakan hal-hal itu padamu. Jika tak kukatakan, rasanya aku bisa gila. Kubicara denganmu,
kupanggil nama Lenghou-toako, maka untuk beberapa hari hatiku akan merasa tenteram.”
Ia merandek sejenak, lalu dengan perlahan memanggil, “Lenghou-toako!”
Suara panggilan itu sedemikian halus, lembut mesra, sungguh penuh rasa rindu yang meresap, tanpa terasa
tubuh Lenghou Tiong bergetar. Ia tahu sumoay itu ternyata bersembunyi rasa cinta yang sedemikian
menggetarkan sukma.
Pikirnya, “Bila aku belum punya Ing-ing, rasanya tidak dapat lagi aku mengingkari dia dan pasti akan menikahi
siausumoay ini. Dia sedemikian mendalam mencintai aku, selama hidupku ini cara bagaimana harus
kubalasnya?”
Begitulah perlahan Gi-lim menghela napas, lalu berkata pula, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku,
Gi-ho, Gi-jing, dan suci lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Lenghou-toako hanya karena aku tak
bisa melupakan dia. Aku pun tahu bahwa pikiranku ini tidak pantas, sebagai nikoh mana boleh aku memikirkan
seorang lelaki, apalagi dia adalah ciangbunjin dari perguruan sendiri? Setiap hari aku selalu berdoa agar sang
Buddha menolong diriku, membantu agar aku melupakan Lenghou-toako.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala apa di dunia fana ini sebagai
khayal belaka, biarpun cantik jelita, gagah cakap, akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya
kemewahan dan kesenangan, orang hidup tiada ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab sudah tentu
betul, akan tetapi... akan tetapi... apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga
Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Lenghou-toako selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan
Yim-siocia, hidup bahagia sampai tua, selama hidup riang gembira. Jika selama hidup Lenghou-toako selalu
gembira, maka semuanya akan baik pula.”
Ucapannya sungguh-sungguh dan penuh ketulusan hati, dengan segenap jiwa raga mengharapkan hidup
Lenghou Tiong selalu selamat bahagia sambil memegangi lengan baju si “nenek bisu”, lalu ia memandang ke
langit, katanya kemudian, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang, hendaklah kau pun pulang saja.”
Berbareng ia mengeluarkan dua potong kue dan ditangselkan ke tangan Lenghou Tiong sambil menyambung
pula, “Nenek bisu, mengapa hari ini engkau tidak memandang diriku, apakah badanmu kurang sehat?”
Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, kemudian Gi-lim bergumam sendiri, “Memangnya
engkau tak bisa mendengar, tapi aku tanya padamu, sungguh bodoh aku ini.”
Perlahan lalu ia berbangkit dan melangkah pergi.
Lenghou Tiong masih duduk dan menyaksikan bayangan Gi-lim menghilang dalam kegelapan malam. Ia coba
mengingat kembali apa yang diucapkan Gi-lim tadi, kata Gi-lim yang meresap itu sungguh sangat menggetar
kalbunya, tanpa terasa ia termangu-mangu sendirian.
Entah sudah berapa lama lagi, ketika ia berpaling dan memandang air sungai, ia menjadi kaget ketika melihat
dalam air ada dua bayangan, dua bayangan orang yang sama sedang duduk berendeng di atas batu. Ia
mengira pandangan sendiri kabur, ia kucek-kucek mata sendiri dan memandang pula, tetap dua bayangan
orang yang dilihatnya. Seketika ia berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.
Dilihatnya bayangan dalam air itu jelas berada di belakangnya tepat, asal sekali tangan bergerak seketika
dirinya akan dibereskan, dalam keadaan demikian ia benar-benar terkesima saking kagetnya sehingga tidak
berpikir harus berusaha melompat ke depan.
Orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tiada tanpa tiada suara, sedikit pun dirinya tidak terasa, maka
dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang. Seketika timbul pikiran dalam benaknya, “Setan tentunya!”
Berpikir tentang setan, seketika terasa ngeri pula. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru
memandang lagi ke dalam air sungai.
Air sungai yang mengalir perlahan tenang membikin bayangan remang-remang itu tidak jelas tertampak, tapi
kedua bayangan terang satu rupa, sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar, kundai di atas
kepala juga sama, terang dua bayangan yang kembar.
Makin dirasakan makin ngeri Lenghou Tiong, jantung berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga
dadanya. Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya keberanian, mendadak ia menoleh sehingga tepat
muka berhadapan muka dengan setan itu.
Setelah melihat jelas, tanpa terasa ia menarik napas panjang, dilihatnya orang di hadapannya ini adalah
seorang wanita setengah umur, lamat-lamat dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Siankong-
si itu. Tapi cara bagaimana perempuan ini sampai di belakangnya tanpa disadarinya sedikit pun, hal ini
sungguh membuatnya heran tidak kepalang.
Rasa ngeri dan takut Lenghou Tiong lenyap segera, tapi rasa heran sedikit pun tidak berkurang, segera ia
berkata, “O, Nenek bisu, kiranya engkau, sungguh bikin kaget padaku.”
Ia dengar suara sendiri rada gemetar, biarpun dikatakan tidak takut, tapi agaknya masih diliputi juga rasa
takut.
Dilihatnya gelung nenek bisu-tuli itu dihias sebuah tusuk kundai, bajunya berwarna abu-abu pucat, jelas serupa
dengan dandanan sendiri, segera ia berkata pula, “Nenek bisu, harap maaf. Daya ingat Ing-ing sungguh hebat,
dia masih ingat dandananmu, maka dia telah menyamarkan diriku sehingga mirip saudara kembarmu.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dilihatnya air muka si nenek bisu kaku dingin tidak mengunjuk rasa gusar juga tidak ada rasa senang, entah
apa yang terpikir dalam benaknya. Diam-diam Lenghou Tiong membatin. “Orang ini sungguh aneh, aku
menyamar sebagai dia dan kepergok olehnya, rasanya aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.”
Segera ia berbangkit, ia memberi hormat kepada nenek itu dan berkata, “Sudah larut malam aku mohon diri
dulu.” Ia lantas putar tubuh dan melangkah ke arah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa langkah saja mendadak di depannya sudah berdiri satu orang yang merintangi jalannya.
Siapa lagi kalau bukan si nenek bisu-tuli itu. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu sudah berada di
depannya.
Keruan kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, ia tahu malam ini benar-benar ketemu seorang kosen, celaka
dirinya justru menyamar seperti si nenek, sudah tentu hal ini menimbulkan kemarahannya.
Maka Lenghou Tiong lantas memberi hormat pula dan berkata, “Maaf, Nenek, Cayhe berbuat salah, biarlah
kuganti pakaian, nanti kudatang lagi ke Sian-kong-si untuk minta maaf.”
Nenek itu tetap kaku tidak berperasaan tidak mengunjuk sikapnya atau tidak.
“Ah, ya, engkau tentunya tidak mendengar ucapanku,” kata Lenghou Tiong. Lalu ia berjongkok dan menulis di
atas tanah dengan jari: “Maaf, lain kali tidak berani lagi.”
Waktu ia tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa
yang dituliskannya.
Sambil menunjuk tulisan-tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Lenghou Tiong berseru, “Maaf, lain kali
tidak berani lagi!”
Tapi nenek itu tetap tidak bergerak, sungguh mirip patung belaka.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Wah, celaka, mungkin dia buta huruf!” Berulang-ulang ia lantas
membungkuk-bungkuk badan, tangannya memberi isyarat-isyarat dan berlagak melepas pakaian dan
menanggalkan kundai, lalu memberi hormat pula sebagai tanda minta dimaafkan.
Namun nenek itu tetap diam saja, sedikit pun tidak bergerak, entah tidak paham maksudnya atau memang
sengaja tidak menggubrisnya.
Lenghou Tiong kehabisan akal, ia garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal. Sambil miringkan tubuh segera
ia menyelusup lewat di samping si nenek.
Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu pun menggeliat dan tahu-tahu sudah mengadang pula di
depannya. Lenghou Tiong terkesiap, katanya pula, “Maaf!” Berbareng ia melangkah ke kanan, tapi menyusul ia
terus meloncat lewat ke sebelah kiri. Baru saja kakinya menancap tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri di
depan lagi dan merintangi jalannya.
Tentu saja Lenghou Tiong tidak terima. Berulang-ulang ia melompat beberapa kali, makin lama makin cepat,
namun selangkah pun si nenek tidak mau ketinggalan, selalu dapat mencegat jalan perginya.
Lenghou Tiong menjadi tidak sabar, melihat nenek itu masih merintangi jalannya, tangan kiri segera
mendorong pundak orang. Tapi baru saja jarinya hendak menempel tempat sasaran, mendadak tangan si
nenek yang kurus kering memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.
Lekas Lenghou Tiong menarik tangan, walaupun begitu cepat ia menarik tangan tidak urung punggung tangan
juga keserempet oleh jari kecil si nenek, rasanya sakit laksana disayat pisau.
Lantaran merasa bersalah, Lenghou Tiong tidak berani menempur si nenek, yang dia harapkan hanya lekas
tinggal pergi saja. Cepat ia menunduk dan bermaksud menyelinap lewat di sisi orang. Tapi baru saja tubuhnya
bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar, nenek itu telah menghantamnya dengan telapak tangan.
Cepat Lenghou Tiong mengegos, tapi serangan itu teramat cepat, “plak”, pundak kena terpukul. Sebaliknya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nenek itu pun tergeliat. Kiranya pada saat hantaman si nenek kena sasarannya, berbareng “Gip-sing-tay-hoat”
dalam tubuh Lenghou Tiong memberi reaksi sehingga tenaga pukulan lawan tersedot.
Sekonyong-konyong tangan lain si nenek mengulur tiba pula, kini jarinya yang lentik kurus bagai cakar ayam
itu menusuk kedua matanya.
Dengan terperanjat lekas Lenghou Tiong mendak ke bawah untuk menghindar, dengan demikian punggungnya
menjadi tidak terjaga, kalau kena digebuk lagi tentu celaka. Untung nenek itu rupanya juga sudah kapok
terhadap “Gip-sing-tay-hoat”, nyatanya tidak berani menyerang pada kesempatan yang ada itu, sebaliknya
tangan kanan lantas mencukil balik ke atas malah untuk tetap menyerang kedua mata Lenghou Tiong. Jelas si
nenek sudah ambil ketetapan akan terus menyerang biji mata lawan yang lemah, betapa pun lihainya Gip-singtay-
hoat tentu tak bisa dikerahkan melalui biji mata, asal biji mata kena dicolok pasti akan buta.
Terpaksa Lenghou Tiong angkat tangan buat menangkis, tapi nenek itu lantas putar tangannya, jarinya lantas
mencakar mata kirinya. Waktu Lenghou Tiong menangkis pula, mendadak jari kanan si nenek mencolok
telinganya.
Beberapa kali serangan nenek itu dilakukan dengan cepat luar biasa, setiap serangan caranya lucu, lebih mirip
cara berkelahi perempuan bawel kampungan, cuma tempat yang diarah justru berbahaya, caranya cepat pula,
hanya beberapa jurus saja Lenghou Tiong sudah terdesak mundur terus.
Memangnya Lenghou Tiong tidak mahir main pukulan dan tendangan, coba kalau si nenek tidak gentar
terhadap Gip-sing-tay-hoat sehingga tidak berani mengadu tangan dengan dia, dapat dipastikan Lenghou Tiong
sudah kenyang digebuk sejak tadi.
Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, Lenghou Tiong tahu dalam hal permainan tangan dan kaki masih selisih
jauh dengan lawan, kalau tidak lolos pedang pasti sukar meloloskan diri. Segera ia bermaksud mencabut
gagang pedang pandak yang terselip di pinggangnya. Tapi baru saja tangan menyentuh gagang pedang, nenek
itu seakan-akan sudah tahu maksudnya, dengan cepat luar biasa segera ia melancarkan serangan beberapa
kali, terpaksa Lenghou Tiong berkelit ke sana dan mengegos ke sini sehingga tidak sempat melolos pedangnya.
Melihat tipu serangan si nenek makin lama semakin keji, padahal selamanya tiada permusuhan apa-apa,
namun orang tidak segan-segan membutakan matanya, Lenghou Tiong merasa keadaannya sangat berbahaya,
mau tak mau ia harus selamatkan diri. Mendadak ia menggertak keras, dengan tangan kiri mengaling-alingi
kedua mata sendiri, tangan kanan segera meraba pinggang buat mencabut pedang, ia pikir biar kena dipukul
atau ditendang lawan asalkan pedang sendiri dapat dilolos keluar.
Tak tersangka, pada saat demikian itu, sekonyong-konyong kepala terasa kencang, rambut kena dijambak
orang, menyusul kedua kaki lantas meninggalkan tanah, tubuh terapung, terang telah diangkat oleh si nenek.
Habis itu lantas terasa langit berputar dan bumi terbalik, tubuh berputar cepat di udara, rupanya si nenek telah
menjambak rambutnya terus diangkat dan diayun sekuatnya, makin lama makin cepat.
“He, he, apa yang kau lakukan?” Lenghou Tiong berkaok-kaok, kedua tangan mencakar dan memukul
serabutan, pikirnya hendak mencengkeram lengan si nenek. Tapi mendadak iga kanan-kiri terasa pegal,
rupanya hiat-to bagian tersebut tertutuk, menyusul hiat-to bagian punggung, pinggang, dada, dan leher kena
ditutuk, kontan sekujur badan Lenghou Tiong terasa lemas dan tak bisa berkutik lagi.
Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti, tubuhnya dianggap sebagai bandulan saja, masih
diayun terus dan diputar dengan cepat.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Selama hidupku, sudah banyak menemui hal-hal yang aneh, tapi
pengalaman sial seperti sekarang dijadikan kitiran oleh orang boleh dikata baru pertama kali ini terjadi.”
Nenek itu terus memutarnya sehingga Lenghou Tiong kepala pusing dan mata berkunang-kunang dan hampir
pingsan, habis itu barulah puas. “Bluk”, dengan keras ia banting Lenghou Tiong ke tanah.
Sebenarnya Lenghou Tiong tidak punya rasa permusuhan dengan si nenek, tapi sekarang dia kena dikerjai
hingga setengah mati, dengan sendirinya dia sangat gusar. Segera ia mencaci maki, “Perempuan busuk,
perempuan keparat, coba kau sejak mula kutusuk beberapa lubang.”
Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin, air mukanya tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Berkelahi terang kalah, kalau aku tidak membalas dengan mencaci maki rasanya akan terlalu rugi,” demikian
pikir Lenghou Tiong. “Tapi kini aku tidak bisa berkutik, jika dia tahu aku memakinya, tentu aku akan disiksa
lebih hebat.”
Segera ia mendapat suatu cara yang baik, ia memaki tapi mukanya tertawa-tawa, “Perempuan bangsat,
perempuan busuk, sadar memang jahat, makanya Thian menciptakanmu menjadi bisu dan tuli, tidak bisa
tertawa, tidak bisa menangis, mirip orang gila, sekalipun binatang juga lebih beruntung daripadamu.”
Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula tertawanya. Sebenarnya ia cuma purapura
tertawa, maksudnya supaya si nenek tuli itu tidak mencurigai dia sedang memakinya. Tapi kemudian demi
melihat si nenek sama sekali tidak memberi reaksi, akalnya membawa hasil, ia menjadi senang sehingga
tertawa terbahak-bahak.
Perlahan nenek itu mendekati dia, mendadak sebelah tangannya menjambak pula rambutnya terus diseret ke
depan sana. Jalannya makin lama makin cepat. Karena hiat-to tertutuk, tapi daya rasa Lenghou Tiong tidak
menjadi hilang, ia merasa kesakitan karena badan tergosok-gosok di atas tanah. Dengan gemas ia mencaci
maki pula tanpa berhenti, namun sekarang dia tak bisa tertawa lagi.
Nenek itu menyeretnya ke atas gunung, dari keadaan setempat Lenghou Tiong melihat tempat yang dituju
adalah Sian-kong-si. Kini Lenghou Tiong sudah tahu dengan pasti bahwa orang yang mengerjai Put-kay
Hwesio, Dian Pek-kong, Boh-pak-siang-him, Pau Tay-coh, Siu Siong-lian, dan lain-lain tentu juga nenek bisutuli
ini. Padahal dahulu dirinya pernah datang ke Sian-kong-si dan melihat nenek ini, namun sedikit pun tidak
tahu orang memiliki kepandaian sedemikian hebat, boleh dikatakan terlalu goblok. Sampai-sampai kaum ahli
seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang juga tidak mencurigai dia, maka harus dipuji kepandaian si nenek
ini mengelabui orang.
Lantas terpikir pula oleh Lenghou Tiong, “Jika si nenek ini juga menggantung aku di atas pohon seperti Put-kay
Taysu dan lain-lain, lalu menempel plakat pula di atas tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia yang paling
cabul dan sebagainya, padahal sebagai ketua Hing-san-pay, sekarang aku berdandan begini pula, wah, tentu
akan malu besar. Untung dia menyeret aku ke Sian-kong-si, biarlah dia menggantung aku di sana dan dihajar,
asal tidak malu di depan umum masih mendingan.”
Dasar watak Lenghou Tiong memang terbuka, ia anggap biar sial toh tidak sampai kehilangan muka habishabisan,
masih boleh dibilang mendingan, tapi lantas terpikir olehnya, “Entah dia sudah mengetahui asal usul
diriku atau tidak? Jangan-jangan dia tahu aku adalah ketua Hing-san-pay maka sengaja memberi layanan
istimewa daripada yang lain.”
Sepanjang jalan ia diseret, keruan badannya babak belur tergosok-gosok oleh batu pegunungan, untung
mukanya menghadap ke atas sehingga tidak cacat.
Setiba di Sian-kong-si, nenek itu menyeretnya ke dalam ruangan tengah, pintu kuil ditutup, lalu diseret pula ke
atas loteng apung di puncak kuil, yaitu tempat yang dahulu pernah digunakan berunding dengan Hong-ting
Taysu dan Tiong-hi Totiang.
“Wah, celaka,” diam-diam Lenghou Tiong mengeluh, soalnya Leng-kui-kok, nama loteng di atas itu adalah
tempat terapung di atas jurang yang tak terhitung dalamnya, di luar ada sebuah jembatan gantung dan
mungkin di sinilah si nenek akan menggantung dirinya. Padahal Sian-kong-si itu jarang didatangi manusia,
kalau dirinya digantung di sana sehingga mati kelaparan, wah, rasanya boleh dibayangkan.
Setiba di Leng-kui-kok, nenek itu terus banting dia di situ, lalu tinggal pergi. Sambil menggeletak di lantai
Lenghou Tiong coba-coba menerka sebenarnya macam apakah si nenek itu, tapi sukar ditebak, ia hanya
menduga bisa jadi seorang tokoh angkatan tua Hing-san-pay, mungkin adalah pelayan guru Ting-cing atau
Ting-yat Suthay masa dahulu. Tapi entah cara bagaimana nenek itu mendapat tahu tipu muslihat Siu Siong-lian
dan lain-lain sehingga membekuk mereka dan dikerek di atas pohon.
Berpikir sampai di sini hati Lenghou Tiong rada lega, pikirnya pula, “Sebagai ketua Hing-san-pay tentu dia akan
mengingat orang sendiri dan takkan membikin susah padaku.”
Tapi lantas terpikir lagi, “Dalam penyamaranku seperti ini jangan-jangan dia tak mengenali diriku. Jika dia
sangka aku orang jahat segolongan dengan Thio-hujin dan lain-lain yang sengaja menyamar seperti dia untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menjadi mata-mata di sini dengan muslihat yang akan merugikan Hing-san-pay, wah, bisa jadi ia akan
memberi ‘layanan istimewa’ padaku, bisa runyam bila aku disiksa nanti.”
Ia dengar suara tindakan yang mendaki tangga loteng, ternyata nenek itu telah naik ke atas lagi dengan
tangan membawa seutas tambang, segera Lenghou Tiong ditelikung kaki dan tangannya, lalu diikat kencangkencang,
dikeluarkannya pula sepotong kain kuning dan digantungkan di leher Lenghou Tiong.
Sudah tentu Lenghou Tiong sangat tertarik untuk mengetahui apa yang tertulis pada kain plakat itu. Akan
tetapi pada saat itu juga pandangannya menjadi gelap, kedua matanya telah ditutup oleh si nenek dengan
sepotong kain hitam.
“Cerdik benar nenek ini,” demikian pikir Lenghou Tiong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis
di atas kain, tapi sengaja membikin aku tak bisa melihatnya. Kecerdasan nenek ini sungguh jauh melebihi
orang biasa. Tapi, hah, Lenghou Tiong sudah terkenal sebagai pemuda yang bangor, tentu apa yang tertulis di
atas kain ini tiada kata-kata yang baik bagiku, buat apa aku membacanya?”
Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang terikat ditelikung itu tertarik kencang, tubuh lantas terapung ke
atas, ternyata sudah dikerek tinggi-tinggi di atas belandar. Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, segera ia
mencaci maki pula.
Meski dia suka ugal-ugalan, tapi pikirannya juga cukup cermat, pikirnya, “Kalau aku hanya mencaci maki
serabutan, tetap tidak dapat menolong diriku. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga perlahan untuk
melancarkan hiat-to yang tertutuk, bila aku sudah pegang senjata tentu akan dapat mengatasi nenek itu, aku
pun akan gantung dia di tempat yang tinggi, akan kugantung pula kain kuning pada lehernya, lalu apa yang
harus kutulis pada plakat itu? Nenek jahat nomor satu di dunia ini? Ah, kurang tepat menyebut dia sebagai
nomor satu di dunia, bisa jadi dia malah akan girang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor ke-17 di dunia
ini’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa lagi ke-16 nenek jahat lain yang lebih tinggi derajatnya daripada
dia sendiri.”
Ia coba pasang telinga, tak terdengar lagi suara orang bernapas, agaknya nenek itu sudah pergi.
Setelah digantung terkatung-katung di situ selama beberapa jam, perut Lenghou Tiong mulai keroncongan,
ketika ia coba mengerahkan tenaga, eh, terasa hiat-to sudah mulai lancar. Selagi bergirang di dalam hati
sekonyong-konyong tubuhnya terguncang, “bluk”, dengan keras ia terbanting di atas loteng, ternyata si nenek
telah melepaskan tambang kerekan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Lenghou Tiong tidak
mendengar.
Nenek itu lantas lepaskan kain hitam penutup matanya, hiat-to bagian lehernya belum lancar sehingga sukar
menunduk untuk membaca tulisan plakat, hanya pada huruf paling bawah sekilas terlihat adalah huruf “nio”
yang berarti perempuan.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh pula, ia percaya dengan huruf itu tentu si nenek benar-benar menyangka
dia sebagai perempuan. Kalau dia menuliskan kata-kata yang anggap dia sebagai pemuda porno, bajingan
tengik, atau manusia rendah segala adalah tidak menjadi soal baginya, tapi menganggapnya sebagai
perempuan, wah, ini benar-benar runyam, konyol.
Dilihatnya si nenek mengambil sebuah mangkuk, ia pikir barangkali si nenek memberi minum teh atau arak
padanya. Paling baik dia menyuguhkan arak padaku, demikian ia membatin.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong kepala terasa panas tersiram air mendidih, ia menjerit kesakitan. Ternyata
isi mangkuk itu adalah air mendidih dan oleh si nenek disiramkan begitu saja pada kepalanya.
Dengan murka Lenghou Tiong memaki, “Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?”
Tapi lantas terlihat si nenek mengeluarkan pula sebilah pisau cukur.
Keruan Lenghou Tiong terperanjat, segera terdengar suara “krik-krik”, kulit kepalanya serasa sakit perih,
ternyata si nenek sedang mencukur rambutnya.
Kejut dan gusar pula Lenghou Tiong, ia tidak tahu apa maksud tujuan nenek gila itu. Tapi hanya sebentar saja,
kepalanya terasa sudah gundul kelimis, rambut telah dicukur bersih oleh si nenek.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bagus, hari ini Lenghou Tiong benar-benar telah menjadi hwesio. Ah, tidak tepat, aku memakai baju
perempuan, harus disebut menjadi nikoh,” demikian ia berpikir.
Tapi hatinya terasa ngeri juga ketika teringat olehnya Ing-ing pernah berkelakar menyuruh dia menyamar
sebagai nikoh saja, ternyata ucapannya itu menjadi kenyataan. Bukan mustahil nenek jahat ini telah
mengetahui siapa diriku dan anggap seorang lelaki tidak pantas menjadi ketua Hing-san-pay, maka tidak cuma
mencukur rambutku saja, bahkan akan... akan kebiri aku punya alat vital, supaya aku tidak bisa membikin
kotor tempat suci ini. Wah, nenek gila ini rupanya dapat berbuat apa pun juga. Sungguh nahas, agaknya hari
ini aku Lenghou Tiong harus terima nasib, tapi jangan sekali-kali aku meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat.
Selesai mencukur kepala Lenghou Tiong, nenek itu sapu bersih pula rambut yang berserakan di lantai itu.
Lenghou Tiong merasa keadaan sudah gawat, cepat ia mengerahkan tenaga dalam sekuatnya, ia coba bobol
hiat-to yang tertutuk itu.
Selagi merasa beberapa hiat-to yang tertutuk itu mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung dan bahunya
kesemutan pula, hiat-to bagian tersebut kembali ditutuk si nenek pula.
Seketika Lenghou Tiong seperti balon gembos, ia menghela napas panjang, rasanya lemas, sampai-sampai caci
maki juga sungkan dilontarkan lagi.
Si nenek lantas menanggalkan kain plakat yang bergantungan di leher Lenghou Tiong itu dan ditaruh di
samping sana.
Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas apa yang tertulis di kain itu, yakni: “Si buta nomor satu di
dunia ini, perempuan jahat yang bukan lelaki dan bukan perempuan.”
Serentak Lenghou Tiong mengeluh pula, “Wah, celaka! Kiranya nenek gila ini cuma pura-pura bisu dan dapat
bicara, kalau tidak, dari mana dia mengetahui makian Put-kay Taysu padaku sebagai orang buta nomor satu di
dunia ini? Hanya ada dua kemungkinan, dia mencuri dengar ketika Put-kay Taysu bicara dengan Gi-lim atau dia
mencuri dengar ketika Gi-lim bicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua kali dia mencuri dengar semua.”
Berpikir sampai di sini, segera ia berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan pura-pura lagi, kau
bukan orang tuli.”
Tapi nenek itu tetap tidak peduli, sebaliknya terus menggerayangi tubuh Lenghou Tiong hendak membuka
pakaiannya.
“He, hei! Apa yang hendak kau lakukan?” Lenghou Tiong berkaok-kaok dengan khawatir. Ia tidak tahu apakah
si nenek benar-benar tidak dapat mendengar atau sengaja pura-pura tidak mendengar. Yang jelas segera
terdengar suara “brat-bret”, bajunya telah ditarik begitu saja oleh si nenek itu hingga robek menjadi dua belah
dan terlepas dari tubuhnya.
“He, jika kau mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucencang tubuhmu hingga hancur luluh,” teriak
Lenghou Tiong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Bukan saja seujung rambut, bahkan dia sudah mencukur
habis seluruh rambutku.”
Tertampak si nenek mengambil sepotong batu asah pisau, diteteskan beberapa tetes air di atas batu asah itu,
lalu dipakai mengasah pisau cukur. Sejenak kemudian pisau cukur itu ditaruhnya di samping, dari saku
dikeluarkannya sebuah botol porselen kecil, rupanya isi botol itu adalah obat luka paling mustajab bikinan Hingsan-
pay yang juga telah dikenal dengan baik oleh Lenghou Tiong sendiri.
Kemudian si nenek menyiapkan pula beberapa potong kain putih, yakni guna pembalut luka. Padahal Lenghou
Tiong tidak merasa punya luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, jelas akan
melakukan sesuatu operasi apa-apa pada tubuhnya.
Selesai menyiapkan semua itu, kedua mata si nenek menatap tajam Lenghou Tiong. Selang sejenak, ia angkat
tubuh Lenghou Tiong dan diletakkan di atas meja, lalu memandangnya pula dengan sikap kaku tak
berperasaan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun, sekalipun terluka parah dan
terkepung musuh, belum pernah ia merasa jeri dan gentar, tapi kini menghadapi seorang nenek demikian,
dalam hati timbul rasa takut yang tak terkatakan.
Perlahan si nenek angkat pisau cukurnya, di bawah cahaya lilin yang berkelip-kelip, pisau cukur yang tajam itu
gemilapan, butir keringat dingin penuh menghias dahi Lenghou Tiong, alangkah ngerinya bila dia
membayangkan sebentar lagi “anunya” akan dikebiri oleh si nenek.
Sekonyong-konyong terkilas satu pikiran dalam benaknya, tanpa pikir lagi ia berteriak, “Engkau... adalah
bininya Put-kay Hwesio!”
Tubuh nenek itu tampak tergetar dan mundur selangkah, katanya kemudian, “Da... dari mana... kau tahu?”
Suaranya parau kering, ucapannya sekata demi sekata dan kaku, mirip benar dengan anak kecil yang baru
belajar omong.
Bab 131. Rahasia Gi-lim dan Kekonyolan Put-kay Hwesio
Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Lenghou Tiong memang tidak pernah berpikir panjang, setelah ditanya
balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa diri sendiri bisa menarik kesimpulan demikian?
Tapi ia lantas menjengek, “Hm, sudah tentu aku tahu, sudah sejak tadi aku tahu.”
Namun dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Ya, dari mana aku mendapat tahu hal
itu? O, ya, tentu disebabkan plakat yang dia gantungkan di leher Put-kay Taysu itu. Pada plakat itu tertulis
tuduhan kepada Put-kay sebagai manusia paling tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan, soal
ini, selain Put-kay sendiri di dunia ini hanya istrinya saja yang tahu, lain tidak.”
Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru pula, “Hm, justru kau sendiri masih selalu terkenang
kepada manusia yang tidak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan sebagai Put-kay, kalau tidak,
waktu dia gantung diri hendak cari mampus, kenapa kau potong tali gantungannya? Dia mau menggorok leher
sendiri, kenapa kau sembunyikan pisaunya? Huh, manusia yang tak berperasaan, orang yang paling suka main
perempuan begitu, biarkan dia mampus saja, buat apa kau urus lagi?”
“Hm, kalau dia mampus secara begitu cepat dan enak, kan terlalu mudah bagi dia,” jengek si nenek.
“Ya, aku tahu, dia harus diperas dulu tenaga dan pikirannya, biarkan dia kelabakan setengah mati mencari dari
ujung sini ke pojok sana, dari utara mencari ke selatan, selama berpuluh tahun dia mencarimu, tapi engkau
sengaja sembunyi di sini dengan hidup tenang, dengan demikian barulah engkau merasa puas!”
“Memangnya, dengan begitu baru setimpal dengan dosanya,” ujar si nenek. “Dia sudah menikahi aku, kenapa
dia menggoda perempuan lain pula?”
“Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?” tanya Lenghou Tiong. “Orang cuma memandang dan
memuji putrimu lalu Put-kay juga memandang dan memuji orang, ini kan lumrah, kenapa dianggap berdosa?”
“Seorang laki-laki kalau sudah beristri, jika dia memandang, mengincar perempuan lain lagi, hal ini dilarang
keras,” kata si nenek.
Lenghou Tiong merasa nenek ini benar-benar terlalu aneh, masakah orang pandang-memandang saja
menimbulkan rasa cemburunya yang begini hebat. Segera ia berdebat, “Dan kau sendiri sudah menjadi istri
orang, mengapa kau pandang laki-laki juga?”
Nenek itu menjadi gusar, sahutnya, “Bilakah aku memandang laki-laki? Ngaco-belo!”
“Bukankah sekarang juga engkau sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki tulen?” kata
Lenghou Tiong. “Padahal Put-kay hanya memandang orang beberapa kejap saja, sebaliknya engkau malah
sudah menjambak rambutku, sudah meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci itu. Untung
engkau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak meraba wajahku, kalau tidak, pasti engkau akan dihukum
berat oleh sang Buddha Koan-im.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ia pikir nenek ini jarang bergaul dengan umum, tentu pengetahuannya kurang-kurang, maka perlu digertak
supaya dia tidak sembarangan menganiaya diriku, apalagi kalau dia benar-benar memotong barangku yang
tidak bisa dicari gantinya ini.
Tapi lantas terdengar nenek itu menjawab, “Hm, untuk memotong kepalamu juga aku tidak perlu menyentuh
badanmu.”
“Kalau mau memotong kepalaku, boleh silakan saja lekas!” sahut Lenghou Tiong.
“Hm, ingin kubunuhmu, tidak boleh secepat begini,” ujar si nenek. “Sekarang ada dua jalan bagimu, kau boleh
pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas mengawini Gi-lim sebagai istrimu, jangan bikin dia hidup merana dan
akhirnya mati sengsara. Sebaliknya kalau kau tetap berlagak tak mau menurut, segera aku kebiri dirimu, biar
kau berubah menjadi siluman yang serbakonyol, lelaki bukan, perempuan tidak alias banci. Nah, jika kau tidak
mengawini Gi-lim, maka kau takkan mampu kawin dengan perempuan busuk lain yang tidak tahu malu.”
“Gi-lim memang benar seorang nona baik, tapi di dunia ini selain dia masakah semua nona adalah perempuan
busuk yang tidak tahu malu?” jawab Lenghou Tiong.
“Kukira begitulah, andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek, “Nah, kau mau terima syaratku atau tidak, lekas
katakan!”
Sudah belasan tahun si nenek pura-pura tuli dan berlagak bisu, sudah sekian lama tidak pernah bicara
sehingga lidahnya sudah rada kaku, kini setelah bicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.
Begitulah Lenghou Tiong lantas menjawab, “Gi-lim Sumoay adalah teman baikku, jika dia tahu engkau
memperlakukan aku cara begini tentu dia akan marah.”
“Asal kau menikahi dia sebagai istri, dia tentu akan girang dan segala kemarahan tentu pula akan lenyap,” kata
si nenek.
“Dia adalah orang beragama yang saleh, sudah bersumpah takkan menikah, bila sampai pikirannya
menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.”
“Bila kau menjadi hwesio, tentu tidak cuma dia sendiri saja yang akan dimarahi sang Buddha. Aku telah
mencukur rambutmu, memangnya kau kira tiada gunanya?”
Lenghou Tiong terbahak-bahak saking gelinya, katanya, “O, kiranya engkau mencukur rambutku adalah ingin
aku menjadi hwesio, lalu mengawini si nikoh cilik. Lakimu dulu berbuat begitu, jadi sekarang kau pun minta
aku menjiplak caranya itu? Apakah ini tidak melanggar hak cipta lakimu?”
“Ya, begitulah maksudku, melanggar hak cipta orang atau tidak adalah tanggung jawabku,” sahut si nenek.
“Tapi di dunia ini teramat banyak orang yang berkepala gundul, kepala gundul tidak berarti pasti hwesio,
bukan?”
“Soal ini gampang saja, akan kuselomot kepalamu dengan api dupa sehingga terdapat sembilan bekas
selomotan api. Kepala gundul memang tidak selalu adalah hwesio, tapi kepala gundul ditambah dengan bekas
selomotan api dupa adalah tanda pengenal kaum hwesio, bukan?” Habis berkata segera si nenek hendak mulai
“bekerja”.
“Eh, nanti dulu, sebentar lagi,” lekas-lekas Lenghou Tiong mencegah. “Suruh orang menjadi hwesio harus
secara sukarela, masa ada cara paksa begini?”
“Hanya ada dua pilihan, menjadi hwesio atau menjadi thaykam (orang kebiri, dayang istana raja),” kata nenek.
Lenghou Tiong menjadi khawatir, kelakuan nenek ini angin-anginan, segala apa mungkin diperbuatnya, paling
perlu sekarang harus cari akal untuk mengulur waktu. Maka ia lantas menjawab, “Bila aku dijadikan thaykam,
jangan-jangan pada suatu saat mendadak pikiranku berubah dan kepingin mengawini Gi-lim Sumoay, lalu
bagaimana? Kan bisa runyam? Hidup kami berdua bukankah akan tersiksa?”
“Orang persilatan seperti kita ini harus blakblakan terhadap sesuatu, bicara tegas, berbuat cepat, mana boleh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ragu-ragu dan mencla-mencle. Mau jadi thaykam ya jadi thaykam dan ingin jadi hwesio ya jadi hwesio, seorang
laki-laki sejati kenapa harus plinplan seperti kau?”
“Tapi kalau jadi thaykam tak dapat dikatakan lagi sebagai laki-laki sejati,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Persetan!” omel si nenek. “Kita sedang bicara urusan penting, bukan lagi bergurau, tahu?”
Lenghou Tiong menyengir. Pikirnya, “Gi-lim Sumoay cantik molek, cintanya juga mendalam terhadapku, bila
dia jadi istriku adalah suatu kebahagiaan bagiku. Tapi hatiku sudah lama terisi oleh Ing-ing, mana boleh aku
mengingkari dia? Nenek gila ini memaksa aku secara kasar, seorang jantan biarpun mati juga pantang
menyerah.”
Karena pikiran demikian segera ia menjawab, “Nenek, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki
yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, orang begini baik tidak?”
“Masakah perlu tanya lagi? Orang demikian sudah tentu lebih kotor daripada babi dan anjing, percuma saja
menjadi manusia,” jawab si nenek.
“Nah, itu dia,” kata Lenghou Tiong. “Gi-lim Sumoay adalah nona cantik, sangat baik pula padaku, kenapa aku
tidak ingin memperistrikan dia? Soalnya sudah lama aku mempunyai ikatan jodoh dengan seorang nona lain.
Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku, seumpama diriku kau cencang hingga hancur luluh juga
tidak mungkin aku mengingkari dia. Sebab kalau aku mengingkari dia, bukankah aku akan berubah menjadi
manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor
satu yang diperoleh Put-kay Taysu itu akan kurebut?”
“Nona yang kau maksudkan itu tentunya Yim-toasiocia dari Mo-kau, yaitu nona yang pernah menolongmu
waktu kau dikepung anggota Mo-kau dahulu itu, betul bukan?” tanya si nenek.
“Benar, memang dia adanya, engkau sendiri pun sudah melihatnya,” kata Lenghou Tiong.
“Gampang urusannya jika begitu,” ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Yim itu membuang dirimu, anggap saja
dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”
“Dia pasti takkan mengingkari diriku, dia sudah sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan diri
sendiri, maka aku pun bersedia berkorban baginya. Aku pasti takkan mengingkari dia dan dia pun pasti takkan
mengkhianati aku.”
“Kalau urusan sudah mendesak, kukira ia pun tak bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek lagi. “Di paviliun Hingsan
sana banyak sekali laki-laki busuk, boleh dicari salah seorang untuk menjadi suaminya.”
“Ngaco-belo!” damprat Lenghou Tiong dengan gusar.
“Apa kau sangka aku tak bisa melaksanakan hal itu?” tanya si nenek. Segera ia melangkah keluar, terdengar
pintu kamar sebelah dibuka, lalu si nenek kembali lagi dengan membawa seorang anak perempuan dengan
kaki-tangan terikat telikung, siapa lagi kalau bukan Ing-ing.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Ing-ing juga jatuh dalam cengkeraman
si nenek. Tapi ia pun merasa lega ketika melihat keadaan Ing-ing baik-baik saja tanpa terluka apa-apa. “Kau
pun berada di sini, Ing-ing!” serunya.
“Ya, aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian,” sahut Ing-ing dengan tersenyum. “Engkau menyatakan
takkan mengingkari diriku, sungguh aku sangat senang.”
“Di hadapanku tak boleh omong hal-hal yang tidak tahu malu begitu,” bentak si nenek. “Nona cilik, katakan
saja terus terang, kau inginkan hwesio atau jadi....”
Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya, “Huh, omonganmu ini benar-benar tidak tahu malu.”
“Ya, aku sudah memikirkan secara cermat, kupercaya bocah Lenghou Tiong ini sukar meninggalkanmu untuk
disuruh mengawini Gi-lim,” kata si nenek.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bagus! Sejak kau mulai buka mulut, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Lenghou Tiong.
“Baiklah, biar aku pun berbuat sesuatu yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, tapi
bikin enak bocah Lenghou Tiong ini. Biarlah dia mengawini kalian berdua sekaligus. Jadi cuma ada dua
kemungkinan, dia boleh jadi hwesio saja dan punya dua istri atau menjadi thaykam tanpa istri. Hanya saja
sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian dua istri sama-sama derajat,
tiada istri pertama atau istri kedua. Namun Gi-lim boleh memanggil cici padamu mengingat usiamu memang
lebih tua beberapa tahun.”
“Tapi aku....” baru saja Lenghou Tiong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menutuk hiat-to yang
membuatnya menjadi bisu.
Menyusul si nenek menekan hiat-to Ing-ing, lalu berkata, “Sekali aku sudah ambil keputusan, maka kalian
tiada hak bicara lagi. Hm, masakah kau tidak senang, sekaligus mendapat dua istri yang cantik molek? Coba,
bangsat gundul Put-kay itu sungguh tidak becus, anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan
kelabakan saja tanpa berdaya. Sebaliknya aku cuma turun tangan sedikit saja segala urusan lantas beres.”
Habis berkata, segera ia melangkah pergi pula.
Lenghou Tiong dan Ing-ing hanya saling pandang dengan menyengir saja, bicara tidak dapat, hendak memberi
isyarat juga tak bisa bergerak.
Sementara itu sang surya baru saja menongol di ufuk timur, sinarnya yang terang memancar masuk melalui
jendela. Lenghou Tiong menatap wajah Ing-ing yang cantik menggiurkan itu. Dilihatnya sinar mata si nona
sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang tertaruh di atas
bangku, air mukanya berseri-seri, jelas menandakan nona itu sedang menertawai Lenghou Tiong yang hampirhampir
saja dikebiri.
Tapi segera sorot mata si nona beralih dan menunduk kepala dengan wajah bersemu merah, agaknya ia
merasa malu karena urusan begitu tidak pantas diucapkan, bahkan juga tidak pantas dipikirkan.
Melihat wajah si nona yang kikuk malu itu, tanpa terasa hati Lenghou Tiong berguncang, terbayang olehnya,
“Coba kalau saat ini tubuhnya dapat bebas bergerak, sebaliknya dia tak bisa berkutik, sungguh aku ingin
mendekatinya, memeluk dan menciumnya. Betapa pun dia akan merasa malu toh tak bisa mengelak.”
Dilihatnya sinar mata Ing-ing perlahan menggeser ke arahnya, ketika sinar mata kedua orang kebentrok, cepat
Ing-ing berpaling, pipi yang bersemu merah tadi sebenarnya sudah hilang tapi sekarang mendadak timbul lagi.
“Cintaku terhadap Ing-ing adalah suci dan teguh, selamanya takkan berubah,” pikir Lenghou Tiong. “Tapi kalau
nenek gila itu memaksa aku menikahi Gi-lim, demi mencari selamat, terpaksa aku menurut untuk sementara,
bila dia sudah melepaskan hiat-to dan aku sudah pegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya.
Betapa pun hebat kepandaian nenek jahat ini kalau dibandingkan Co Leng-tan, Yim-kaucu, dan lain-lain tentu
masih selisih jauh. Lebih-lebih dalam hal ilmu pedang, tentu tak mampu menandingi aku. Dia unggul dalam hal
kegesitan pergi-datang tanpa suara dan melakukan sergapan mendadak. Tapi kalau berkelahi sungguhsungguh,
kuyakin Ing-ing akan dapat mengalahkan dia, bahkan Put-kay Hwesio juga lebih kuat daripada dia.”
Ia termenung-menung sendiri, sekilas dilihatnya Ing-ing juga sedang memandangnya lagi. Cuma sekarang si
nona tidak merasa malu-malu lagi, agaknya sudah tidak memikirkan hal thaykam segala. Sorot mata si nona
dari wajah Lenghou Tiong beralih ke atas dengan tersenyum simpul, terang Ing-ing sedang menertawai
kepalanya yang gundul itu. Jadi tidak berpikir soal thaykam, tapi sekarang menertawakan hwesio.
Lenghou Tiong sendiri ingin tertawa, cuma mulutnya saja entah mengap dan tak dapat mengeluarkan suara.
Dilihatnya Ing-ing tambah senang tertawanya, tiba-tiba biji mata si nona tampak mengerling aneh,
memperlihatkan air muka yang nakal, berwajah mengejek lalu memicingkan sebelah matanya menyusul
memicing sekali lagi.
Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu apa maksud si nona itu, dilihatnya si nona kembali main mata lagi dua
kali. Mau tak mau terpikir olehnya. “Dia mengedip dua kali, apa artinya? Ah tahulah aku, tentu dia sedang
mengejek aku yang dipaksa mengawini dua istri.”
Segera ia pun balas main mata dengan memicingkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
serius, Maksudnya hendak mengatakan. “Aku cuma kawin denganmu seorang saja, pasti tidak akan ambil istri
kedua.”
Tapi Ing-ing tampak menggeleng kepala perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Ia bermaksud
menggeleng kepala sedikit keras untuk menunjukkan tekadnya, cuma seluruh tubuh tertutuk terlalu banyak,
sukar mengeluarkan tenaga, terpaksa memperlihatkan sikap dan air muka yang sungguh-sungguh dan
setulusnya.
Ing-ing kelihatan mengangguk perlahan, sorot matanya beralih pula ke tempat pisau cukur, lalu perlahan
menggeleng lagi. Mungkin maksudnya hendak mengatakan, “Aku tahu tekadmu, tapi harus ingat, janganjangan
kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu.”
Lenghou Tiong tidak memberi reaksi lagi, ia cuma menatap tajam kepada si nona, sinar mata Ing-ing kemudian
juga menggeser dan saling pandang dengan dia.
Jarak kedua muda-mudi itu ada dua-tiga meter jauhnya, namun dari pandangan empat mata itu, tiba-tiba
pikiran satu sama lain seakan-akan terbaca masing-masing, mereka merasa bicara atau tidak adalah sama
saja, yang penting kedua pihak sama-sama memahami perasaan masing-masing, maka mereka tiada sangsi
sedikit pun, bukan saja mereka tidak pikirkan lagi apakah Gi-lim harus dikawin atau tidak, bahkan juga tidak
penting bagi mereka apakah akan menjadi hwesio atau jadi thaykam, malahan baik hidup atau mati bagi
mereka berdua juga tidak menjadi soal, yang pasti mereka berdua sudah bersatu hati, satu perasaan, hal ini
sudah puas bagi mereka, saat yang mereka hadapi ini dirasakan seperti sudah kekal, abadi, sekalipun langit
runtuh dan bumi ambruk juga takkan merampas saat bahagia demikian ini.
Begitulah kedua orang saling pandang dengan penuh rasa mesra, entah sudah lewat berapa lama lagi tiba-tiba
terdengar suara tangga loteng berbunyi, ada orang naik lagi ke atas loteng barulah rasa mesra kedua orang
yang tak terperikan itu mulai buyar dan mendusin dari alam bahagia yang tak terbatas itu.
Terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku ke sini?”
Terang itulah suara Gi-lim.
Lalu terdengar dua orang memasuki kamar sebelah dan duduk, lalu si nenek berkata dengan perlahan, “Jangan
lagi kau memanggil aku nenek bisu, aku sama sekali tidak bisu.”
“Hahh, jadi... jadi... engkau tidak... tidak bisu? Engkau sudah sembuh?” seru Gi-lim dengan terkejut.
“Memangnya aku bukan orang bisu,” sahut si nenek.
“Jika begitu kau pun... kau pun tidak tuli, kau... kau dapat mendengar... mendengar ucapanku?” Gi-lim
menegas pula, nadanya memperlihatkan rasa kejut dan heran tak terhingga.
“Kenapa kau takut, Nak!” kata si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu kan lebih baik?”
Untuk pertama kalinya Lenghou Tiong mendengar nada ucapan si nenek itu penuh mengandung rasa kasih
sayang, hal ini menandakan hati orang tua itu bukanlah batu, nyatanya di depan putri kandung sendiri akhirnya
mengalir juga perasaan kasih sayang seorang ibu.
Namun Gi-lim rupanya masih sangat terperanjat, dengan suara rada gemetar ia menjawab, “Ti... tidak, aku...
aku akan pergi saja!”
“Nanti dulu, duduklah sebentar lagi,” kata si nenek. “Aku ingin bicara sesuatu hal penting padamu.”
“Tidak, aku... aku tidak mau dengar,” jawab Gi-lim. “Engkau... engkau telah menipu aku, selama ini kusangka
engkau tak dapat mendengar, maka.... maka aku bicara macam-macam padamu. Ternyata... ternyata engkau
menipu aku.”
Suaranya parau dan terputus-putus, tampaknya hampir menangis.
Perlahan si nenek menepuk bahu Gi-lim, katanya dengan suara halus, “Anak baik, anak manis, jangan
khawatir, aku tidak sengaja menipumu, aku hanya khawatir kau jatuh sakit menahan perasaanmu, maka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membiarkan kau bicara agar hatimu lebih lapang. Selama aku berada di Hing-san sini selalu menyamar sebagai
orang bisu dan tuli, hal ini tidak diketahui oleh siapa pun maka bukan maksudku menipumu saja.”
Gi-lim menangis dengan tersedu-sedu. Dengan suara halus kembali si nenek berkata, “Aku hendak bicara
sesuatu urusan bagus padamu, setelah mendengar tentu kau akan girang?”
“Apakah urusan ayahku?” tanya Gi-lim.
“Tentang ayahmu? Huh, peduli dia akan mampus atau hidup,” jengek si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah
urusan Lenghou-toakomu.”
“Tidak engkau jang... jangan singgung-singgung dia lagi, aku... aku takkan menyinggung dia lagi untuk
selanjutnya,” kata Gi-lim dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku akan pulang untuk sembahyang.”
“Jangan, tunggu dulu, dengarkan uraianku,” kata si nenek. “Lenghou-toakomu bilang padaku bahwa
sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu, jauh lebih suka padamu daripada Yim-siocia dari Mo-kau,
boleh dikata berpuluh kali lipat lebih suka padamu daripada terhadap nona Mo-kau itu.”
Lenghou Tiong memandang sekejap pada Ing-ing, dalam hati ia memaki, “Perempuan tua bangka, pembohong
paling besar di dunia ini!”
Dalam pada itu terdengar Gi-lim sedang menghela napas lalu berkata, “Engkau tidak perlu dusta padaku.
Ketika mula-mula aku kenal dia, Lenghou-toako hanya menyukai dia punya siausumoay seorang, kemudian
sesudah siausumoaynya meninggalkan dia dan kawin dengan orang lain, lalu dia melulu menyukai Yim-siocia
saja, cintanya juga kelewat-lewat, dalam lubuk hatinya juga melulu Yim-siocia saja seorang.”
Kembali sinar mata Lenghou Tiong kontak dengan sinar mata Ing-ing, dalam hati kedua orang sama-sama
merasakan nikmat dan bahagia sekali.
Terdengar si nenek lagi berkata, “Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu, hanya saja kau adalah
seorang cut-keh-lang, dia adalah ketua Hing-san-pay pula, maka dia tidak dapat mengutarakan isi hatinya.
Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menggantungkan cita-cita, sudah bertekad akan
mengawinimu, sebab itulah dia sudah cukur rambut dulu dan menjadi hwesio.”
“Hahhh!” kembali Gi-lim menjerit kaget. “Tidak... tidak bisa jadi! Tidak... tidak boleh jadi! Harap kau suruh...
suruh dia jangan menjadi hwesio.”
“Sudah terlambat,” sahut si nenek dengan gegetun. “Kini dia sudah menjadi hwesio. Katanya betapa pun dia
harus memperistrikan kau. Kalau gagal, dia akan bunuh diri atau akan menjadi thaykam saja.”
“Menjadi thaykam?” Gi-lim menegas. “Apa thaykam itu?”
Nenek itu menjadi sulit juga untuk menerangkan arti thaykam, ia hanya mendengus, lalu berkata, “Thaykam
adalah dayang yang melayani kaisar dan keluarganya, kaum hamba yang tidak terhormat.”
“Tapi Lenghou-toako adalah orang yang tinggi hati, orang yang suka kebebasan, mana dia sudi menjadi
pelayan kaisar segala?” ujar Gi-lim. “Kukira menjadi kaisar sekalipun dia tidak mau, jangankan lagi melayani
sang kaisar. Maka pasti dia tidak mungkin menjadi thaykam.”
“Menjadi thaykam juga tidak sungguh-sungguh harus melayani kaisar segala, itu cuma perumpamaan saja,”
kata si nenek. “Orang yang sudah menjadi thaykam selama hidupnya tak bisa punya anak lagi.”
“Ah, masakah begitu? Aku tidak percaya,” kata Gi-lim. “Kelak bila Lenghou-toako kawin dengan Yim-toasiocia,
dengan sendirinya mereka akan punya beberapa anak yang mungil. Mereka berdua sama-sama cakap, putraputri
mereka tentu juga bagus dan menyenangkan.”
Lenghou Tiong coba melirik Ing-ing, dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah, di antara rasa
malunya terlihat rasa senang yang tak terhingga.
Dalam pada itu agaknya si nenek menjadi gusar, katanya dengan suara keras, “Sekali kukatakan dia tak bisa
punya anak, maka pasti dia takkan punya anak. Jangankan anak, beristri juga tidak dapat. Dia sudah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bersumpah berat, mau tak mau dia harus mengawini dirimu.”
“Tapi aku tahu dalam hatinya cuma terisi oleh Yim-siocia seorang,” kata Gi-lim.
“Dia sudah mengawini Yim-siocia dan juga mengawinimu, paham tidak?” kata si nenek. “Jadi seluruhnya dia
punya dua istri. Lelaki di dunia ini banyak yang punya tiga istri dan beberapa gundik, jangankan cuma dua istri
saja.”
“Ah, tidak, tidak bisa,” kata Gi-lim. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan
juga cuma orang itu melulu, pagi dipikir malam terkenang, waktu makan terkenang tatkala tidur juga
terkenang, mana bisa dia memikirkan lagi orang kedua. Seperti halnya Ayah, sejak Ibu meninggalkan dia,
maka beliau telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini untuk mencari Ibu. Di dunia ini masih banyak wanita
lain, kalau seorang boleh punya dua istri mengapa Ayah tidak kawin lagi dengan perempuan lain?”
Seketika nenek itu terdiam, agaknya kata-kata Gi-lim itu dirasakan ada benarnya juga. Dia menghela napas,
lalu berkata, “Semula ayahmu berbuat salah, mungkin kemudian dia... dia merasa menyesal.”
“Sudahlah, aku akan pulang saja,” kata Gi-lim. “Nenek, bila engkau bicara pada orang lain tentang Lenghoutoako
ingin mengawini aku segala, bisa jadi aku tidak... tidak mau hidup lagi.”
“Apa sebabnya? Dia memang ingin mengawinimu, masakah kau tidak suka malah?” tanya si nenek.
“Tidak, tidak!” jawab Gi-lim. “Hatiku senantiasa memikirkan dia, aku selalu berdoa agar dia diberkati hidup
bahagia dan gembira, semoga dia bebas dari kesukaran dan lepas dari bencana, biar terkabul cita-citanya
menjadi suami-istri dengan Yim-toasiocia. Mungkin engkau tidak paham hatiku, Nenek, yang kuharapkan
asalkan hati Lenghou-toako merasa senang, mereka bahagia, maka aku pun akan merasa senang dan
bahagia.”
“Jika dia tidak berhasil mengawinimu, maka dia pasti takkan senang dan tidak bahagia, menjadi manusia
mungkin juga tiada artinya,” ujar si nenek.
“Ai, semuanya memang salahku, kukira engkau tidak dapat mendengar, maka banyak kuceritakan hal-hal
mengenai Lenghou-toako,” kata Gi-lim. “Dia adalah pahlawan besar pada zaman kini, seorang kesatria pujaan,
sebaliknya aku cuma seorang nikoh cilik yang tak berarti. Dia pernah bilang padaku bahwa setiap kali ketemu
nikoh, bila judi pasti kalah. Melihat aku saja membuatnya sial, mana bisa dia mengawini aku malah? Aku sudah
pasrahkan diriku ke dalam agama Buddha, aku harus menghilangkan segala pikiran keduniawian, aku tak dapat
memikirkan hal-hal begitu lagi. Nenek, selanjutnya engkau jangan menyinggung-nyinggung lagi, seterusnya
aku pun takkan... takkan menemuimu pula.”
Agaknya si nenek menjadi kelabakan, katanya, “Kau budak cilik ini memang aneh dan membingungkan.
Lenghou Tiong sudah menjadi hwesio demi dirimu, dia sudah menyatakan harus mengawinimu, bila Buddha
marah biarlah dia yang dimarahi.”
Gi-lim menghela napas, sahutnya, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tentu tidak. Ibuku
cantik dan cerdik, perangainya halus orangnya ramah, boleh dikata wanita yang paling baik di dunia ini.
Ayahku menjadi hwesio demi ibuku adalah pantas tapi aku... aku sedikit pun tak bisa memadai diri ibuku.”
Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, pikirnya, “Ibumu cantik cerdik, rasanya kurang tepat, perangainya
halus, lebih-lebih tidak sesuai. Dibandingkan dirimu, harus dikatakan sedikit pun ibumu tak bisa memadaimu.”
Dalam pada itu terdengar si nenek lagi bertanya. “Dari mana kau dapat tahu?”
“Tentu saja tahu,” sahut Gi-lim. “Setiap kali Ayah bertemu dengan aku, beliau selalu bercerita tentang kebaikan
Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus, selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang, selama hidup
Ibu tak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tak pernah terinjak olehnya. Katanya biarpun
seluruh wanita baik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tak bisa membandingi ibuku seorang.”
“Be... betulkah dia berkata demikian? Ah... mungkin... mungkin pura-pura saja,” kata si nenek dengan suara
rada gemetar, suatu tanda perasaannya rada terguncang.
“Sudah tentu betul,” sahut Gi-lim. “Aku adalah anak perempuannya, masakah Ayah mendustai diriku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Seketika suasana di Leng-kui-kok itu menjadi sunyi senyap, agaknya nenek itu tenggelam dalam lamunannya.
“Nenek, aku akan pulang,” kata Gi-lim kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Lenghou-toako lagi, hanya
setiap hari aku berdoa semoga Dewi Koan-im suka memberkahi dia.”
Lalu terdengar suara tindakan perlahan turun ke bawah.
Agak lama berselang barulah si nenek seperti tersadar dari impian, terdengar ia bergumam perlahan, “Masakah
dia mengatakan aku adalah wanita paling baik di dunia ini? Dia telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini
untuk mencari aku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan orang yang doyan
perempuan?”
Sekonyong-konyong ia berseru keras-keras, “Gi-lim, Gi-lim! Di mana kau?”
Namun Gi-lim sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, segera ia
berlari-lari ke bawah loteng.
Dia lari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara tindakannya tetap perlahan sekali, hampir-hampir tak
terdengar, suatu tanda ginkangnya memang luar biasa.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, seketika macam-macam pikiran berkecamuk dalam benak
mereka. Sinar sang surya memancar tiba melalui jendela, pisau cukur yang tajam itu berkelip-kelip kemilauan.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa bersyukur bahwa bencana yang mengancamnya tadi ternyata telah terhindar
secara begitu saja.
Bab 132. Antara Mati dan Hidup
Tiba-tiba terdengar di bawah Sian-kong-si itu ada suara orang bicara, cuma jaraknya jauh maka tak jelas
terdengar. Selang sejenak, terdengar ada orang mendekati kuil itu.
“Ada orang datang!” seru Lenghou Tiong. Karena seruan ini barulah ia tahu hiat-to bisu yang tertutuk si nenek
tadi kiranya sudah terlepas.
Di antara berbagai hiat-to di tubuh manusia, “ah-hiat” atau hiat-to bisu adalah hiat-to yang paling cetek, dasar
tenaga dalamnya jauh lebih kuat daripada Ing-ing, maka dia dapat melepaskan diri lebih dulu dari tutukan itu.
Tertampak Ing-ing mengangguk perlahan. Segera Lenghou Tiong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki,
tapi ternyata belum dapat berkutik. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, “Mungkin musuh, kita harus
lekas melepaskan hiat-to yang tertutuk.”
Kembali Ing-ing mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu agaknya
ada tujuh atau delapan orang yang telah memasuki Sian-kong-si.
Lenghou Tiong pikir, “Semoga mereka naik ke Sin-coa-kok sebelah sana saja, semakin lama semakin ada
harapan aku akan dapat membuka hiat-to sendiri.”
Akan tetapi harapan ternyata bertentangan dengan kenyataan, beberapa orang itu justru menaiki tangga yang
menuju ke atas Leng-kui-kok.
Terdengar seorang di antaranya yang bersuara kasar sedang berkata, “Setan saja tidak ada di Sian-kong-si ini,
apanya yang mesti dicari?”
Terang itulah suara Siu Siong-lian.
Keruan Lenghou Tiong terkejut dan heran, “Dia? Untuk apa dia mencari ke sini? Masakah gerakan mereka
sudah berhasil?”
Menyusul terdengar Say-po Hwesio sedang berkata, “Perintah dari atasan, lebih baik kita menurut saja.”
Sembari bicara beberapa orang itu lantas naik ke tingkat kedua.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekuatnya Lenghou Tiong mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang hiat-to yang tertutuk, akan tetapi
tenaga dalamnya yang utama asalnya diperoleh dari orang lain, meski tenaga dalamnya sangat kuat, namun
tidak lama dan tidak dapat digunakan secara leluasa, semakin terburu-buru, semakin macet.
Dalam pada itu terdengar Giam Sam-seng lagi berkata, “Gak-siansing mengatakan bila kita sudah berhasil,
beliau akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita, kulihat ucapannya ini sukar dipercaya. Coba pikir,
orang yang berjuang ke Hing-san sini tak terhitung banyaknya, kita juga belum berjasa apa-apa, mengapa
Gak-siansing melulu berjanji akan menurunkan kiam-hoat itu kepada kita?”
Tengah bicara beberapa orang di antaranya sudah sampai di tingkat ketiga, begitu pintu didorong, segera
tertampak Lenghou Tiong dan Ing-ing dikerek di atas belandar dengan kaki tangan tertelikung. Berbareng
mereka menjerit kaget tercampur heran.
“He, mengapa Yim-toasiocia berada di sini?” kata si licin Yu Siok. “O, ada lagi seorang hwesio.”
“Siapakah yang berani kurang ajar begini terhadap Yim-toasiocia?” seru Thio-hujin. Segera ia mendekati Inging
dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.
“Jangan, tunggu dulu, Thio-hujin!” seru Yu Siok.
“Tunggu apa lagi?” tanya Thio-hujin.
“Biar kupikirkan dulu dengan lebih masak,” sahut Yu Siok. “Melihat gelagatnya, tampaknya Yim-siocia diringkus
orang sehingga tak bisa berkutik, ini benar-benar aneh bin ajaib.”
“He, ini bukan hwesio, tapi dia adalah... adalah... Lenghou-ciangbun, Lenghou Tiong, Lenghou-kongcu adanya!”
tiba-tiba Giok-leng Tojin berseru kaget.
Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Lenghou Tiong, maka dia lantas dikenali seketika. Biasanya
kedelapan orang itu sangat hormat dan segan terhadap Ing-ing, terhadap Lenghou Tiong juga sangat jeri,
maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, tiada seorang pun berani mengemukakan
pendapat.
Sejenak lagi, mendadak Giam Sam-seng dan Siu Siong-lian bicara berbareng, “Ini dia, kita benar-benar berjasa
besar!”
“Benar!” sambung Giok-leng Tojin. “Mereka hanya dapat membekuk beberapa orang nikoh cilik, buat apa?
Dapat membekuk ketua Hing-san-pay barulah benar suatu jasa mahabesar.”
Thio-hujin yang telanjur mengulurkan tangan hendak membuka tali ringkusan Ing-ing tadi tidak lantas ditarik
kembali tangannya, ia tanya, “Lantas bagaimana?”
Di bawah pengaruh wibawa Ing-ing, kedelapan orang itu merasa segan juga untuk tidak menolong melihat Inging
dalam keadaan begitu. Tapi mereka sama-sama mempunyai suatu pikiran pula, “Jika Yim-toasiocia
dilepaskan, jangankan Lenghou Tiong tak bisa ditawan, bahkan jiwa kita ini akan segera melayang, lantas
bagaimana baiknya?
Dengan cengar-cengir kemudian Yu Siok membuka suara, “Kata peribahasa, hati kecil bukan jantan, tidak
kejam bukan laki-laki. Bukan jantan masih boleh juga, tidak menjadi laki-laki rasanya sayang, terlalu sayang!”
“Apakah kau maksudkan kesempatan ini harus kita gunakan untuk bereskan mereka, bunuh orang buat tutup
mulut?” tanya Giok-leng Tojin.
“Bukan aku yang mengatakan, kaulah yang berkata demikian,” jawab Yu Siok.
Mendadak dengan suara bengis Thio-hujin menghardik, “Kita semua utang budi kepada Seng-koh, siapa yang
berani kurang ajar terhadap beliau, akulah orang pertama yang tidak terima.”
“Bila kau lepaskan dia sekarang, apakah kau sangka dia mau terima kebaikanmu?” kata Siu Siong-lian. “Selain
itu apakah dia mau membiarkan kita membekuk Lenghou Tiong?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Jelek-jelek kita juga pernah menggabungkan diri ke dalam Hing-san-pay, sekarang kita melawan dan
memberontak kepada ketua sendiri, ini namanya khianat!” seru Thio-hujin, berbareng tangannya menjulur lagi
hendak membuka ringkusan Ing-ing.
“Tunggu dulu!” bentak Siu Siong-lian dengan suara bengis.
“Kau bicara dengan membentak, memangnya kau hendak menggertak orang?” jawab Thio-hujin dengan gusar.
“Sret”, dengan cepat Siu Siong-lian mengeluarkan goloknya.
Namun gerakan Thio-hujin juga sangat sengit, tahu-tahu dia sudah melolos keluar belatinya, “sret-sret”, tali
yang mengikat kaki dan tangan Ing-ing kena dipotong putus. Ia pikir ilmu silat Ing-ing sangat tinggi, semua
orang yang berada sekarang ini bukan tandingannya, asalkan tali ringkusannya dilepaskan, biarpun ketujuh
orang itu mengerubutnya sekaligus juga tidak perlu gentar.
Dalam pada itu Siu Siong-lian juga tidak tinggal diam, segera goloknya membacok ke arah Thio-hujin. Namun
Thio-hujin juga tidak kurang cepatnya, “sret-sret” tiga kali, kontan ia desak Siu Siong-lian melangkah mundur
lagi.
Melihat Ing-ing sudah terlepas dari ringkusan tali, orang-orang lain menjadi jeri dan sama mundur ke pinggir,
segera mereka bermaksud melarikan diri. Tapi ketika melihat Ing-ing yang menggeletak itu tak bisa berkutik,
tidak terus melompat bangun, barulah mereka tahu bahwa hiat-to nona masih tertutuk, serentak mereka
melangkah maju lagi.
“Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik, buat apa mesti main senjata segala, kan cuma bikin susah
kedua pihak saja?” kata Yu Siok dengan cengar-cengir.
“Kalau hiat-to Nona Yim sudah terbuka, apakah jiwa kita dapat dipertahankan?” teriak Siong-lian. Habis
berkata kembali ia menerjang Thio-hujin lagi.
Jangan dikira tubuh Siu Siong-lian itu tinggi besar, senjatanya juga berat, tapi di bawah serangan Thio-hujin
dari jarak dekat thauto itu sedikit pun tidak lebih unggul dan berulang-ulang bahkan terdesak mundur.
“E-eh, jangan berkelahi, jangan berkelahi, ada urusan dibicarakan saja dengan baik-baik,” kata Yu Siok sambil
tertawa dan mendekati kalangan dengan mengebas-ngebas kipasnya.
“Minggir sana! Jangan mengganggu orang!” bentak Siu Siong-lian.
“Baik, baik!” sahut Yu Siok dengan tetap tertawa, ia putar kembali, tapi sekonyong-konyong kipasnya bekerja,
terdengar Thio-hujin menjerit ngeri, tahu-tahu kipas Yu Siok yang gagangnya terbuat dari baja itu telah
menancap di tenggorokan nyonya malang itu.
“Ai, ai, sudah kukatakan kita semua adalah kawan sendiri dan buat apa main senjata, tapi kau tetap tidak
menurut, bukankah terlalu mementingkan diri sendiri?” kata Yu Siok sambil menarik kipasnya, kontan darah
segar menyembur keluar dari leher Thio-hujin.
Apa yang terjadi ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, Siu Siong-lian melompat mundur dengan
terkejut sambil memaki, “Sontoloyo, kiranya anak kura-kura ini membantu aku.”
“Tidak bantu dirimu, apakah mesti bantu orang lain?” sahut Yu Siok dengan tertawa. Ia berpaling dan berkata
kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, engkau adalah putri kesayangan Yim-kaucu. Kita semua segan padamu
lantaran menghormati ayahmu. Tapi keseganan kita lebih banyak disebabkan kau memegang obat penawar pil
maut yang pernah kami makan. Kalau obat pemunah itu diberikan kepada kami, maka Seng-koh macam dirimu
menjadi tiada artinya lagi.”
“Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam orang lain beramai-ramai.
“Tapi kita harus bersumpah dahulu barang siapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia akan mati membusuk
oleh ratusan racun pil maut yang telah dimakannya,” kata Giok-leng Tojin.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Beberapa orang itu sudah tiada pilihan lain kecuali membunuh Ing-ing, cuma mereka memang sangat takut
kepada Yim Ngo-heng, bila peristiwa ini diketahui ketua Mo-kau itu, betapa pun luasnya dunia ini rasanya akan
sukar mendapatkan tempat sembunyi bagi mereka. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi mereka lantas mengangkat
sumpah.
Lenghou Tiong tahu bila sumpah mereka itu selesai, tentu Ing-ing akan segera dibunuh mereka. Cepat ia
mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang beberapa tempat hiat-to yang tertutuk, tapi ternyata tiada
sesuatu tanda hiat-to bersangkutan akan lancar kembali. Keruan ia menjadi gelisah.
Ia coba memandang Ing-ing, dilihatnya si nona juga sedang memandangnya dengan penuh rasa mesra, sedikit
pun tiada mengunjuk rasa khawatir dan gentar.
Legalah hati Lenghou Tiong, pikirnya, “Biarpun kami berdua akan mati, bahagia juga rasanya jika kami berdua
dapat mati bersama pada saat dan tempat yang sama pula.”
“Ayolah, lekas turun tangan,” seru Siu Siong-lian kepada Yu Siok.
“Kukira lebih baik Siu-heng saja yang turun tangan, biasanya Siu-heng terkenal sigap dan tegas menghadapi
setiap urusan, maka silakan engkau saja yang turun tangan,” kata Yu Siok.
“Bangsat, kau tidak turun tangan segera kubunuh kau,” damprat Siu Siong-lian.
“Kalau Siu-heng tidak berani, biar kita minta Giam-heng saja yang turun tangan,” ujar Yu Siok dengan tertawa.
“Nenekmu,” Siu Siong-lian memaki pula. “Mengapa aku tidak berani? Soalnya hari ini orang she Siu tidak ingin
membunuh orang.”
“Sebenarnya siapa pun yang turun tangan adalah sama saja, kan tidak bakal ada orang yang membocorkan
kejadian ini,” kata Giok-leng Tojin.
“Jika begitu, bagaimana kalau Giok-leng Toheng saja yang turun tangan?” ujar Say-po Hwesio.
“Ai, kenapa mesti ogah-ogahan begitu? Jika siapa pun tidak percaya kepada orang lain, marilah kita samasama
lolos senjata dan berbareng kerjakan senjata kita pada tubuh Yim-toasiocia saja,” seru Giam Sam-seng.
Orang-orang ini adalah manusia jahat dan kejam, tapi juga pengecut. Pada saat menentukan untung-rugi bagi
diri sendiri sedapat mungkin mereka ingin mengelakkan tanggung jawab kepada orang lain.
“Nanti dulu,” Yu Siok menyesal pula. “Biar kuambil dulu obat penawarnya.”
“Kenapa kau yang mengambilnya?” kata Siu Siong-lian. “Setelah kau ambil tentu kau akan menggunakan obat
pemunah itu sebagai alat pemerasan terhadap teman-teman lain. Biar aku saja yang ambil.”
“Kau yang ambil? Lalu siapa yang percaya kau takkan memeras teman lain?” sahut Yu Siok tak terima.
“Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!” seru Giok-leng Tojin. “Bila terlalu lama, jangan-jangan dia punya
hiat-to terbuka sendiri, kan urusan bisa runyam. Paling perlu binasakan dia dahulu baru nanti membagi obat
penawarnya.”
“Sret”, segera Giok-leng mendahului lolos pedang, yang lain beramai-ramai juga lantas siapkan senjata
masing-masing dan merubung di sekitar Ing-ing.
Melihat ajal sudah tiba, dengan mata tanpa berkedip Ing-ing memandang Lenghou Tiong, teringat saat-saat
bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, tersembul senyuman mesra pada wajahnya.
“Sekarang aku akan menyebut satu-dua-tiga lalu kita turun tangan bersama!” seru Giam Sam-seng. “Nah,
mulai! Satu... dua... tiga!”
Begitu kata-kata tiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata menyambar ke arah tubuh Ing-ing sekaligus.
Siapa duga, di tengah gemerlapnya sinar pedang dan golok, ketujuh senjata itu tanpa komando serentak
berhenti di depan badan Ing-ing dalam jarak kira-kira belasan senti.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Pengecut!” omel Siu Siong-lian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, selalu ingin orang lain yang membunuh agar
diri sendiri tidak menanggung dosanya.”
“Dan kau sendiri juga kenapa begitu?” jawab Say-po Hwesio. “Golokmu juga berhenti setengah jalan, kenapa
tidak hinggap di tubuh Yim-siocia jika kau memang pemberani?”
Kiranya ketujuh orang itu sama-sama punya pikiran busuk, berjiwa licik. Setiap orang mengharapkan orang
lain yang membunuh Ing-ing agar senjata sendiri tidak perlu bernoda darah. Soalnya memang tidaklah mudah
bila mendadak mereka disuruh membunuh seorang yang selama ini sangat dihormat dan ditakuti seperti Inging.
“Baiklah, kita ulangi kembali!” seru Siu Siong-lian. “Sekali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia
adalah bangsat anak lonte, anjing, babi! Nah, aku yang memberi komando. Satu... dua... tiga....”
Belum lagi kata “tiga” disebut, mendadak Lenghou Tiong berseru, “Pi-sia-kiam-hoat!”
Serentak ketujuh orang itu menoleh demi mendengar istilah itu. Ada empat di antaranya lantas tanya
berbareng, “Kau bilang apa?”
Memang maksud tujuan kedatangan mereka ini yang diharap tiada lain adalah Pi-sia-kiam-boh, kitab rahasia
pelajaran Pi-sia-kiam-hoat.
Bahwasanya Gak Put-kun membutakan Co Leng-tan dengan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini telah menggemparkan
dunia persilatan, hal ini pula membikin ketujuh orang ini kagum tak terhingga. Maka demi mendengar nama
ilmu pedang itu, serentak mereka melenggong.
“Pi-sia-kiam-hoat, ilmu pedang mahaagung. Latih dulu kiam-khi, lalu latih kiam-sin. Khi dan sin sudah kuat,
ilmu pedangnya akan sempurna dengan sendirinya. Cara bagaimana menimbulkan kiam-khi (kekuatan
pedang), cara bagaimana melahirkan kiam-sin (kesaktian pedang)? Rahasia keajaibannya boleh dicari di dalam
kitab ini,” demikian Lenghou Tiong bergumam sendiri pula.
Setiap ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu menggeser langkah ke arahnya, selesai dia
menyebut enam-tujuh kalimat, tahu-tahu ketujuh orang itu sudah meninggalkan Ing-ing dan kini sudah
mengitari Lenghou Tiong malah.
“Apakah ini... ini yang terdapat di dalam Pi-sia-kiam-boh?” tanya Siu Siong-lian ketika Lenghou Tiong tidak
melanjutkan lagi uraiannya.
“Bukan Pi-sia-kiam-boh, memangnya kau kira Sia-pi-kiam-boh?” sahut Lenghou Tiong.
“Coba uraikan lanjutannya,” pinta Siu Siong-lian.
Lenghou Tiong juga tidak menolak, segera ia menyebut lagi dua-tiga kalimat, tapi lantas berhenti.
“Ayo teruskan, teruskan!” desak Say-po Hwesio. Sedangkan Giok-leng Tojin tampak komat-kamit mengulangi
kalimat yang disebut Lenghou Tiong itu, agaknya dia sedang menghafalkannya di luar kepala.
Padahal Lenghou Tiong belum pernah membaca isi Pi-sia-kiam-hoat, apa yang dia uraikan itu sama sekali
bukan Pi-sia-kiam-hoat segala, melainkan beberapa kalimat kata pengantar Hoa-san-kiam-hoat, hanya saja dia
sengaja mengubah beberapa kata-kata di antaranya. Tapi Siu Siong-lian dan lain-lain tidak pernah kenal Hoasan-
kiam-hoat, pula mereka memang sudah keranjingan Pi-sia-kiam-hoat, maka demi mendengar uraian
Lenghou Tiong itu, seketika mereka tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak.
Dengan sengaja Lenghou Tiong menjual murah kembali, ia menyebut lagi beberapa kalimat, sampai di sini ia
mulai tahan harga. Ia pura-pura lupa, lalu berlagak mengingat-ingat, tapi tetap tak dapat menutur lebih lanjut.
“Di mana kiam-bohnya?” dengan tidak sabar Say-po Hwesio dan lain bertanya.
“Kiam-bohnya... yang pasti tidak berada padaku,” sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura melirik sebagian
perut sendiri. Keruan hal ini menimbulkan curiga orang banyak. Serentak dua buah tangan menggerayangi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bajunya, yang satu adalah tangan Say-po Hwesio dan yang lain adalah tangan Siu Siong-lian.
Tapi sekonyong-konyong terdengar Say-po Hwesio dan Siu Siong-lian menjerit ngeri, kepala Say-po Hwesio
yang gundul itu hancur luluh, otaknya muncrat, sedangkan punggung Siu Siong-lian tertembus pedang,
ternyata mereka masing-masing telah kena dibereskan oleh Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin.
“Hm, dengan susah payah kita telah mencari kiam-bohnya, akhirnya diketemukan di sini, tapi kedua anak
kura-kura ini bermaksud mengangkanginya, masa di dunia ini ada urusan begini enak?” kata Giam Sam-seng
dengan tertawa dingin. Menyusul “blang-blang” dua kali, kontan ia tendang kedua sosok mayat itu hingga
mencelat ke pinggir.
Tujuan Lenghou Tiong pura-pura menyebut Pi-sia-kiam-boh tadi adalah karena melihat Ing-ing dalam keadaan
bahaya, sedapat mungkin ia mencari akal buat membelokkan perhatian orang-orang itu, dengan demikian dia
berharap dapat mengulur waktu, syukur dalam pada itu hiat-to sendiri atau Ing-ing dapat dilancarkan kembali.
Tak tersangka akalnya ternyata sangat manjur, bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan
Ing-ing, bahkan mereka dipermainkan hingga saling membunuh, tujuh orang ini tinggal lima orang saja, tentu
saja Lenghou Tiong sangat senang di dalam hati.
“Sabar dulu,” tiba-tiba Yu Siok menyela lagi. “Apakah kiam-boh ini benar berada pada Lenghou Tiong atau
tidak belum tahu dengan pasti, sebab tiada seorang pun di antara kita yang melihatnya, tapi kita sendiri sudah
saling ingin membunuh, bukankah akan merugikan....”
Belum habis ucapannya dia sudah dipelototi, Giam Sam-seng menegurnya pula, “Hm, kau anggap kami tidak
sabar, kau merasa tidak senang, bukan? Barangkali kau ingin mengangkangi sendiri kiam-boh ini?”
“Mengangkangi sendiri sih tidak berani, siapa yang ingin meniru hwesio gundul yang kepalanya hancur ini,
memangnya enak kalau begini?” sahut Yu Siok. “Soalnya kita mempunyai tujuan bersama, kiam-boh yang
terkenal di seluruh jagat ini setiap orang tentu ingin melihatnya. Maka apa salahnya kalau kita miliki bersama?”
“Benar,” ujar Tong-pek-siang-ki. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi, biarlah kita membacanya bersama
nanti.”
Padahal di dalam hati setiap orang sama timbul hasrat untuk mengangkangi sendiri kiam-boh yang termasyhur
itu. Soalnya keadaan tidak mengizinkan, asal seorang ingin mengangkangi, empat orang yang lain tentu akan
mengerubutnya bersama, maka dapat diramalkan nasibnya pasti akan menuju ke akhirat.
Di antara kelima orang ini, Yu Siok dan Giok-leng Tojin termasuk orang yang lebih cerdik dan dapat berpikir,
kedua orang ini mempunyai pikiran yang sama, yakni, “Biarlah aku tidak ikut turun tangan dan cuma tinggal
menonton saja, paling baik kalau di antara mereka saling cekcok dan bunuh-membunuh, paling akhir barulah
aku turun tangan, dengan demikian aku dapat mengeduk hasilnya dengan mudah.”
Tapi Giam Sam-seng ternyata tidak bodoh, katanya kepada Yu Siok, “Baiklah, biar kau saja yang mengambil
kiam-boh itu dari baju orang she Lenghou.”
Namun Yu Siok menggeleng dengan tersenyum, “Tidak usah ya! Aku sekali-kali tidak punya niat mengangkangi
sendiri kiam-boh itu, bahkan juga tidak punya hasrat akan membacanya paling dulu. Biar Giam-heng saja
mengambilnya, nanti aku cuma numpang baca sedikit saja, rasanya sudah puas bagiku.”
“Jika begitu, kau saja yang mengambilnya,” kata Giam Sam-seng kepada Giok-leng.
“Kukira lebih baik Giam-heng sendiri saja,” jawab Giok-leng Tojin.
Ketika Giam Sam-seng memandang Tong-pek-siang-ki, ternyata kedua orang itu pun menggeleng kepala,
suatu tanda mereka pun enggan.
Nyata kelima orang itu cukup menyadari siapa saja yang mengulur tangan ke dalam baju Lenghou Tiong hal ini
berarti punggungnya tak terjaga, bila keempat orang lain serentak menyergapnya pasti sukar menyelamatkan
diri.
Begitulah dengan suara gusar Giam Sam-seng lantas mengomel, “Hm, apa pikiran kalian berempat anak kurakura
ini memangnya aku tidak tahu? Kalian ingin aku mengambil kiam-bohnya, lalu kalian akan menyergap
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
diriku. Hm, orang she Giam sekali-kali tidak sudi ditipu mentah-mentah. Orang she Yu, kau saja yang
mengambilnya.”
Yu Siok mundur dua langkah, katanya dengan tertawa seraya kebas-kebas kipasnya, “Hehe, tidak usah ya...!”
Kelima orang sama tidak mau tertipu, satu sama lain tidak yakin akan dapat menang bila menggunakan
kekerasan, maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, keadaan menjadi buntu.
Lenghou Tiong khawatir perhatian kelima orang itu beralih pula kepada Ing-ing, maka ia coba membuka suara,
“Eh, kalian tidak perlu terburu-buru, biar aku mengingat-ingatnya lagi. O, ya, kalau tidak keliru, beginilah
kalimat selanjutnya: Pedang Pi-sia muncul, bunuh bersih habis-habisan, tidak habis makan sendiri... eh, keliru,
tidak habis... tidak habis jual lagi... eh, keliru pula. Wah, konyol, isi kiam-boh ini memang terlalu dalam
maknanya sehingga sukar dipahami.”
Padahal Lenghou Tiong sengaja mengoceh tak keruan, sebaliknya yang dipikir kelima orang itu hanya
mendapatkan kiam-boh melulu, mereka tidak perhatikan ocehan Lenghou Tiong yang ngawur itu, sebaliknya
mereka makin getol mendapatkan kitab yang diidam-idamkan itu.
Dengan tak sabar segera Giam Sam-seng mengangkat goloknya, lalu berseru, “Baiklah, biar aku yang
mengambil kiam-boh itu dari baju bocah she Lenghou itu. Tapi untuk itu kalian berempat harus menyingkir
keluar pintu sebagai jaminan keselamatanku.”
Tong-pek-siang-ki tanpa bicara terus mengundurkan diri keluar. Dengan cengar-cengir Yu Siok juga ikut jejak
kedua kawannya itu. Hanya Giok-leng Tojin saja yang merasa sangsi dan cuma mundur dua-tiga langkah.
“Kau pun enyah keluar sana!” bentak Giam Sam-seng.
“Apa-apaan main bentak-bentakan? Memangnya aku gentar padamu? Mau keluar atau tidak kan bergantung
padaku, dengan hak apa kau memerintah aku?” jawab Giok-leng dengan gusar. Tapi tidak urung ia pun
mengundurkan diri ke luar pintu.
Begitulah dengan mata tanpa berkedip keempat orang itu terus mengawasi gerak-gerik Giam Sam-seng,
mereka yakin berada di dalam Leng-kui-kok yang setengah terapung di udara itu tiada jalan lain untuk
meloloskan diri kecuali melalui tangga yang menurun ke bawah itu, maka mereka tidak khawatir Giam Samseng
akan kabur dengan menggondol kiam-boh yang diperolehnya.
Segera Giam Sam-seng berdiri mungkur, membelakangi Lenghou Tiong dan mengawasi keempat orang di luar
pintu itu seakan-akan khawatir keempat teman itu serentak menyergapnya berbarengan. Dengan tangan kiri
Giam Sam-seng menjulur ke belakang untuk menggagap saku baju Lenghou Tiong.
Akan tetapi meski sudah menggagap sini dan meraba sana, nyatanya tiada sesuatu benda apa pun yang
disentuhnya. Ia masih penasaran, ia gunakan mulut untuk menggigit golok, tangan kiri digunakan
mencengkeram dada Lenghou Tiong, tangan kanan terus menggagap pula saku pemuda itu.
Di luar dugaan, sedikit tangan kirinya mengeluarkan tenaga, seketika ia merasa tenaga dalam sendiri mengalir
keluar melalui tangan kiri sendiri.
Ia terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun tangan itu seperti kena lem saja,
melekat di tubuh Lenghou Tiong, betapa pun dibetot sukar lagi ditarik kembali.
Keruan ia tambah khawatir dan buru-buru mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menarik diri. Tapi lebih
celaka lagi baginya, semakin kuat dia mengerahkan tenaga, semakin cepat dan deras pula tenaga dalamnya
bocor keluar. Semakin dia meronta dengan mati-matian, semakin membanjir keluar tenaga dalamnya laksana
air bah yang sukar dibendung.
Ketika Lenghou Tiong terkurung dalam penjara di bawah danau di Hangciu dahulu, tanpa sengaja dia pernah
menyedot tenaga dalam Hek-pek-cu dengan Gip-sing-tay-hoat yang baru saja diyakinkannya. Kini pada detik
yang berbahaya, kembali disaluri pula oleh tenaga dalam musuh, keruan ia sangat girang. Tapi dia sengaja
berkata, “He, kenapa kau pencet nadi dadaku? Lekas lepaskan, biar kuuraikan kunci ilmu pedang itu padamu.”
Lalu ia pura-pura menggerakkan bibir seperti orang sedang bicara.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Melihat demikian, Giok-leng berempat yang siap di luar pintu itu mengira Lenghou Tiong benar-benar sedang
menguraikan isi kiam-boh kepada Giam Sam-seng, mereka merasa akan rugi jika tidak ikut mendengarkan.
Maka serentak mereka lari ke hadapan Lenghou Tiong.
“Ya, ya, buku itulah kiam-boh yang kau cari, keluarkan saja, biar dibaca orang banyak!” seru Lenghou Tiong
sengaja. Padahal tangan Giam Sam-seng sudah melekat pada tubuhnya, mana bisa ditarik keluar.
Namun Giok-leng Tojin menyangka Giam Sam-seng benar-benar telah menemukan kiam-boh yang digagap
dalam baju Lenghou Tiong. Disangkanya pula Giam Sam-seng tidak mau mengeluarkan kiam-boh yang
ditemukan, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam, segera ia pun menjulurkan
tangan ke dalam baju Lenghou Tiong, kontan tangannya juga lengket, tenaga dalamnya juga mengocor keluar
dengan derasnya.
“He, he, kalian berdua jangan berebut, nanti kiam-boh bisa robek dan tak bisa dibaca lagi!” demikian Lenghou
Tiong sengaja memberi isyarat, menyusul sinar kuning berkelebat, dua batang tongkat tembaga mengemplang
dari atas. Tanpa ampun lagi, kepala Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin pecah berantakan, otak pun
berceceran.
Begitu kedua orang itu mati, tenaga dalam mereka pun buyar, kedua tangan mereka yang lekat di tubuh
Lenghou Tiong juga lantas terlepas, tergeletaklah mayat mereka berdua.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong mendapatkan saluran tenaga dalam orang, maka hiat-to yang tadinya
tertutuk itu kena diterjang hingga tertembus dan lancar kembali seketika.
Betapa hebat tenaga dalam Lenghou Tiong yang sudah ada, sedikit menggunakan tenaga kontan tali yang
mengikat tangannya lantas putus sendiri, segera ia pegang gagang pedangnya seraya berkata, “Ini kiambohnya
berada di sini, siapakah yang mau ambil?”
Rupanya otak Tong-pek-siang-ki kurang cepat kerjanya, mereka belum mengetahui bahwa kedua tangan
Lenghou Tiong sudah terlepas dari ringkusan, mereka menjadi girang malah ketika mendengar Lenghou Tiong
menawarkan kiam-boh, tanpa pikir mereka terus mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya.
Tapi mendadak sinar perak menyambar, bukannya kiam-boh yang diserahkan, sebaliknya terdengar suara
“crat-cret” dua kali, tangan kanan masing-masing telah tertebas buntung sebatas pergelangan dan jatuh ke
lantai. Keruan Tong-pek-siang-ki menjerit ngeri sambil melompat mundur.
Lenghou Tiong lantas mengerahkan tenaga pada kakinya sehingga tali pengikat kaki juga diputuskan, menyusul
ia lantas melompat ke depan Ing-ing lalu berkata kepada Yu Siok, “Sekali ilmu pedang sudah manjur, serentak
bunuh bersih habis-habisan! Nah, Yu-heng, itulah kalimat kunci Pi-sia-kiam-hoat, kau ingin membaca kiambohnya
tidak?”
Bab 133. Ketololan Tho-kok-lak-sian dan Kedogolan Put-kay Hwesio
Betapa pun licik dan licin Yu Siok, tidak urung mukanya menjadi pucat seperti mayat, dengan suara gemetar ia
menjawab, “Ter... terima kasih, aku tidak... tidak ingin membacanya!”
“Ah, jangan sungkan-sungkan, baca saja kan tidak apa-apa toh?” ujar Lenghou Tiong dengar tertawa.
Berbareng ia tepuk-tepuk dan urut-urut punggung serta pinggang Ing-ing untuk membuka hiat-to si nona yang
tertutuk.
Dengan badan gemetar Yu Siok berkata, “Lenghou... Lenghou-kongcu, Leng... Lenghou-tayhiap, engkau...
engkau... engkau...” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, lalu melanjutkan, “Siaujin (hamba) memang
pantas dihukum mati, asalkan Seng... Seng-koh dan Ciangbunjin ada perintah, biarpun ke lautan api atau
terjun air mendidih juga... juga hamba takkan menolak.”
“Kabarnya Tiau-yang-sin-kau ada obat yang enak sekali, setiap orang yang sudah makan obat itu akan selalu
ketagihan,” dengan tertawa Lenghou Tiong meledek.
Berulang-ulang Yu Siok menjura, katanya, “Seng-koh dan Ciangbunjin mahabijaksana, Siaujin mohon ampun
dan izinkan Siaujin menebus dosa dengan mengabdi segenap jiwa raga....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba Ing-ing melihat Tong-pek-siang-ki masih berdiri sejajar di situ, meski masing-masing orang sudah
terkutung sebelah tangannya dan darah masih mengucur, namun tiada sedikit pun rasa gentar tertampak pada
wajah mereka.
Ing-ing lantas bertanya, “Apakah kalian suami-istri?”
Tong-pek-siang-ki itu memang terdiri dari laki-perempuan, yang lelaki bernama Ciu Koh-tong, yang perempuan
bernama Go Pek-eng, meski kedua orang resminya bukan suami-istri, tapi selama 20-an tahun mereka hidup
bersama di dunia Kang-ouw, praktiknya adalah suami-istri.
Maka dengan ketus Ciu Koh-tong menjawab, “Kami telah jatuh di tanganmu, mau dibunuh atau hendak
disembelih boleh silakan saja, buat apa banyak bertanya segala?”
Ing-ing sangat suka kepada sifatnya yang angkuh itu, dengan dingin ia berkata pula, “Aku tanya kalian apakah
suami-istri bukan?”
“Kami bukan suami-istri nikah, tapi selama 20-an tahun kami hidup lebih bahagia daripada suami-istri resmi,”
sahut Go Pek-eng.
“Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang jiwanya dapat diampuni,” kata Ing-ing. “Kalian masingmasing
sudah cacat sebelah tangan dan akan...” teringat kepada ayah sendiri juga buta sebelah, ia tidak
melanjutkan lagi, setelah merandek sejenak barulah menyambung, “Nah, bolehlah kalian turun tangan
membunuh salah seorang, sisa seorang lagi boleh pergi dengan bebas.”
“Baik,” seru Tong-pek-siang-ki berbareng, tongkat mereka bergerak, masing-masing mengemplang batok
kepala sendiri.
“Nanti dulu!” seru Ing-ing sambil putar pedangnya, “trang-trang” dua kali, tongkat kedua orang kena ditangkis.
“Biar aku membunuh diri saja, Seng-koh sudah menyatakan akan membebaskan kau, kenapa kau tidak mau?”
seru Ciu Koh-tong kepada kawannya.
“Aku saja yang mati dan biar kau yang hidup, kenapa mesti berebutan?” sahut Go Pek-eng.
“Bagus, cinta kalian memang teguh sejati, sungguh aku sangat menghargai kalian,” kata Ing-ing. “Nah, kalian
tiada satu pun kubunuh, lekas kalian membalut tangan kalian yang buntung itu.”
Girang sekali Tong-pek-siang-ki, cepat mereka membuang tongkat masing-masing dan berusaha membalut
tangan pihak lain.
“Tapi ada sesuatu, kalian harus melaksanakannya dengan taat,” kata Ing-ing pula.
Berbareng Tong-pek-siang-ki mengiakan.
“Begini,” kata Ing-ing, “setelah pergi dari sini, kalian harus segera mengadakan upacara nikah secara resmi.
Kalian sudah hidup bersama, kalau tidak menikah secara resmi kan....” mestinya ia hendak mengatakan “kan
tidak pantas”, tapi lantas teringat dirinya juga sudah sekian lamanya bergaul dengan Lenghou Tiong dan juga
belum menikah secara resmi, maka wajahnya menjadi merah jengah.
Tong-pek-siang-ki saling pandang sekejap, lalu keduanya memberi hormat dan mengucapkan terima kasih.
“Dengan budi luhur Seng-koh kalian telah diampuni, bahkan mengingatkan kepentingan kehidupan kalian,”
timbrung Yu Siok yang sok itu. “Sungguh rezeki kalian tidak kecil, memangnya aku sudah tahu Seng-koh
sangat baik hati terhadap bawahannya.”
“Kedatangan kalian ke Hing-san ini sebenarnya atas perintah siapa dan ada rencana muslihat apa?” tanya Inging.
“Hamba telah tertipu oleh si keparat anjing Gak Put-kun,” tutur Yu Siok. “Katanya dia mendapat titah Hek-bokleng
dari Yim-kaucu yang menugaskan dia menangkap segenap nikoh Hing-san-pay untuk digiring ke Hek-bokDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
keh.”
“Katanya usaha kalian berhasil?” tanya Ing-ing. “Sebenarnya bagaimana persoalannya?”
“Ada orang menaruh racun di dalam beberapa buah sumur di atas gunung sini sehingga tidak sedikit nikoh
Hing-san-pay yang terbius itu,” tutur Yu Siok. “Banyak juga di antara anggota yang tinggal di paviliun ikut
jatuh terbius. Saat ini sudah sebagian digiring menuju ke Hek-bok-keh.”
“Adakah orang-orang yang terbunuh?” tanya Lenghou Tiong.
“Beberapa anggota yang tinggal di paviliun sana telah menjadi korban, tapi... tapi mereka bukan teman
Lenghou-tayhiap,” tutur Yu Siok.
Lenghou Tiong manggut-manggut merasa lega.
“Marilah kita turun dari sini,” ajak Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan sambil menjemput pedang tinggalan Say-po Hwesio tadi, katanya dengan tertawa,
“Bila ketemu perempuan galak itu harus coba-coba mengukur tenaganya.”
“Banyak terima kasih atas pengampunan Seng-koh dan Lenghou-tayhiap,” kata Yu Siok yang mengira dirinya
tak dipersoalkan lagi.
“Ah, jangan rendah hati,” ujar Ing-ing, sekonyong-konyong pedang pendek di tangan kiri disambitkan “crat”,
kontan menancap di dada Yu Siok, manusia yang selama hidupnya suka sok itu seketika melayang jiwanya.
Lenghou Tiong dan Ing-ing lalu turun dari loteng itu, suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terdengar
suara burung berkicau. Ing-ing mengikik tawa setelah melirik sekejap ke arah Lenghou Tiong.
“Mulai hari ini Lenghou Tiong sudah cukur rambut dan menjadi hwesio, sejak kini sudah meninggalkan khalayak
ramai, maka di sinilah kita berpisah,” kata Lenghou Tiong sambil menghela napas.
Ing-ing tahu pemuda itu hanya bergurau saja, tapi karena cintanya yang mendalam, tanpa merasa hatinya
tergetar khawatir, katanya, “Engkoh Tiong, janganlah kau bergurau se... secara begini, aku... aku....”
Lenghou Tiong menjadi terharu, ia pura-pura keplak kepala gundul sendiri dan berkata pula, “Tapi karena ada
seorang istri cantik jelita demikian, si hwesio terpaksa kembali ke dunia ramai lagi.”
“Cis, marilah kita bicara hal yang penting saja,” omel Ing-ing dengan tertawa. “Menurut Yu Siok tadi, sebagian
anak murid Hing-san-pay sudah digiring pergi, bila sampai di Hek-bok-keh tentu sukar untuk menolongnya,
bahkan akan merusak hubungan baik antara aku dan Ayah....”
“Ya, bahkan lebih merusak hubungan baik antara aku sebagai menantu dengan bapak mertua,” sambung
Lenghou Tiong.
Ing-ing melirik si pemuda, namun hatinya terasa manis sekali.
“Urusan jangan terlambat, marilah kita lekas menyusul ke sana untuk menolong para kawan,” ajak Lenghou
Tiong.
“Ya, sapu bersih seluruhnya, jangan diberi sisa agar Ayah tidak tahu,” kata Ing-ing. Sejenak kemudian tiba-tiba
ia menghela napas.
Lenghou Tiong dapat memahami perasaannya, sebab urusan sepenting ini tentu tidaklah gampang mengelabui
mata telinga Yim Ngo-heng, namun diri sendiri menjabat ketua Hing-san-pay, kini anak buahnya ditawan
orang, masakan boleh tinggal diam tanpa menolongnya? Si nona memang sudah bertekad membela pihaknya,
sekalipun melawan perintah ayah juga siap sedia.
Mengingat urusannya sudah lanjut begini, segala sesuatu harus ada suatu ketegasan juga, Lenghou Tiong
lantas ulur tangan kiri untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ing-ing. Semula si nona hendak meronta,
tapi melihat sekitarnya sepi tiada seorang lain pun, akhirnya diam saja membiarkan tangannya dipegang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong.
“Ing-ing, aku paham perasaanmu,” kata Lenghou Tiong. “Urusan ini tentu akan membikin kalian anak dan ayah
berselisih paham, sungguh aku merasa tidak enak di hati.”
“Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan turun tangan terhadap Hing-san-pay,” kata Ing-ing sambil
menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, caranya menghadapi kau agaknya tiada bermaksud buruk.”
Seketika Lenghou Tiong dapat menangkap maksud ucapan Ing-ing itu, katanya, “Ya, agaknya ayahmu sengaja
menangkap anak buahku sebagai alat pemeras agar aku masuk Tiau-yang-sin-kau.”
“Benar,” ujar Ing-ing. “Sesungguhnya Ayah sangat suka padamu, apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris
ilmu saktinya.”
“Aku sudah pasti tidak sudi masuk Sin-kau,” kata Lenghou Tiong. “Aku menjadi muak dan ngeri bila mendengar
sanjung puji anggota Sin-kau kalian terhadap ayahmu.”
“Ya, aku tahu, makanya aku pun tak pernah membujuk kau masuk menjadi anggota,” kata Ing-ing. “Bila kau
masuk Sin-kau, kelak engkau diangkat menjadi kaucu, siang-malam kau akan selalu mendengar ucapan
sanjung puji yang membikin risi dirimu itu, maka sifatmu pasti juga akan berubah dan takkan seperti sekarang
ini. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Hek-bok-keh, pribadinya sudah berubah dengan cepat.”
“Tapi kita pun tak boleh membikin marah pada ayahmu,” ujar Lenghou Tiong, berbareng ia genggam pula
tangan kiri si nona, lalu menyambung, “Ing-ing, setelah kita bebaskan anak buah Hing-san-pay, segera kita
melangsungkan pernikahan, kita tidak perlu gubris tentang keputusan orang tua, tentang perantara comblang
segala. Biarlah kita berdua mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup mengasingkan diri takkan ikut
campur urusan luar, yang kita utamakan melulu bikin anak saja.”
Semula Ing-ing mendengarkan dengan termangu, air mukanya bersemu merah, hatinya girang tak terkatakan.
Tapi demi mendengar kata-kata terakhir, ia terkejut, sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya
yang dipegang Lenghou Tiong itu.
“Setelah menjadi suami istri kan mesti punya anak?” dengan tertawa Lenghou Tiong menjelaskan.
“Jika engkau sembarang omong lagi, tiga hari aku takkan bicara dengan kau,” ancam Ing-ing.
Lenghou Tiong cukup kenal watak si nona yang berani berkata berani berbuat, maka terpaksa ia menjawab
dengan menyengir, “Baiklah, urusan penting harus kita selesaikan dulu. Marilah kita coba menjenguk ke Kianseng-
hong sana.”
Dengan ginkang yang tinggi mereka lantas mendaki puncak gunung itu. Setiba di sana, ternyata kuil induk
tiada seorang pun, tempat tinggal para anak murid juga kosong melompong, isi rumah berserakan di sana-sini,
pedang golok juga tercecer tak keruan. Syukur tiada terdapat noda darah, agaknya tidak sampai jatuh korban.
Mereka coba ke paviliun di Thong-hoa-kok, di situ juga tiada seorang pun. Hanya di atas meja masih penuh
macam-macam daharan dan arak. Seketika Lenghou Tiong ketagihan minum, tapi mana dia berani minum
seceguk sisa arak itu? Katanya, “Perut sudah lapar, marilah kita tangsel perut dulu ke bawah gunung.”
Setiba di bawah gunung hari sudah jauh lewat tengah hari, di suatu rumah makan kecil mereka tangsel perut
sekenyangnya. Ing-ing merobek sepotong kain baju Lenghou Tiong untuk membungkus kepalanya yang kelimis
itu.
“Ya, harus begini, kalau tidak, wah, jangan-jangan disangka seorang hwesio menculik anak gadis orang,” kata
Lenghou Tiong dengan tertawa.
Begitulah mereka lantas berangkat ke arah Hek-bok-keh dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba
terdengar di balik gunung sana sayup-sayup ada suara orang membentak dan memaki, waktu mereka berhenti
dan mendengarkan dengan cermat, kedengarannya adalah suara Tho-kok-lak-sian.
Cepat mereka menyusul ke arah suara itu, lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, memang betul
adalah suara Tho-kok-lak-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Entah keenam mestika hidup ini sedang cekcok dengan siapa?” kata Ing-ing dengan suara tertahan.
Setelah membelok suatu tanah tanjakan, mereka lantas sembunyi di balik pohon, terdengar Tho-kok-lak-sian
masih membentak-bentak sambil mengepung satu orang sedang bertempur dengan sengit. Orang itu bergerak
dengan cepat luar biasa, hanya tertampak sesosok bayangan menyelinap kian-kemari di antara keenam
lawannya. Ketika diperhatikan, kiranya adalah ibu Gi-lim, yaitu si nenek penjaga Sian-kong-si yang pura-pura
bisu-tuli itu.
Sejenak kemudian, terdengar suara “plak-plok” beberapa kali, Tho-kin-sian dan Tho-sit-sian lantas berkaokkaok,
nyata masing-masing telah kena ditampar oleh si nenek.
Melihat si nenek, Lenghou Tiong menjadi girang, bisiknya kepada Ing-ing, “Ini namanya bayar kontan keras!
Biarlah aku pun cukur bersih rambutnya,”
Segera ia bersiap-siap, bilamana Tho-kok-lak-sian kewalahan ia akan melompat keluar untuk membantu.
Dalam pada itu terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, keenam saudara dogol itu berturut-turut kena
digampar oleh nenek itu. Tho-kok-lak-sian sangat murka, maksud mereka hendak memegang kaki dan tangan
lawan agar dapat membesetnya menjadi empat potong.
Tapi gerakan si nenek memang cepat sekali laksana bayangan setan, beberapa kali tampaknya Tho-kok-laksian
hampir berhasil pegang kaki atau tangannya, tapi selalu terpaut satu-dua senti dan si nenek keburu lolos.
Habis itu kembali mereka kena tempelengan lagi.
Rupanya si nenek juga sadar akan kelihaian keenam lawannya, ia pun khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya
bisa tertangkap oleh lawannya.
Tidak lama kemudian, nenek itu merasa sukar memperoleh kemenangan, cepat ia membuka serangan pula
“plak-plok-plak-plok”, berturut-turut ia gampar lagi muka empat lawannya, habis itu mendadak ia melompat ke
belakang terus melarikan diri.
Gerak larinya benar-benar secepat kilat, hanya dalam sekejap saja sudah berada berpuluh meter jauhnya,
biarpun Tho-kok-lak-sian membentak-bentak dan berkaok-kaok, namun sukar untuk menyusulnya.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil melintangkan pedang
dan membentak, “Lari ke mana?”
Sinar putih berkelebat, segera ujung pedang mengarah leher si nenek.
Karena serangan yang mengarah tempat mematikan itu, si nenek terkejut, dengan sebelah tangan ia coba
mencengkeram pedang lawan. Namun Lenghou Tiong lantas miringkan pedangnya ke samping untuk menusuk
bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.
Tapi Lenghou Tiong lantas menusuk maju pula sehingga nenek itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan
pedang di tangan, jelas si nenek tak mampu menandinginya. “Sret-sret-sret”, kembali Lenghou Tiong
mendesak mundur si nenek beberapa langkah. Kalau dia mau habiskan jiwanya, dengan gampang saja riwayat
si nenek bisa ditamatkan.
Melihat itu, Tho-kok-lak-sian bersorak gembira, sementara itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah menuding di
depan dada si nenek dan membuatnya tak berani bergerak lagi. Pada saat itulah Tho-kok-lak-sian terus
memburu maju, empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan si nenek terus
diangkat ke atas.
“Jangan mencelakai jiwanya!” bentak Lenghou Tiong.
Tapi Tho-hoa-sian masih penasaran, ia tampar sekali muka si nenek.
“Kerek saja dia!” seru Lenghou Tiong.
“Ya, benar, mana talinya?” seru Tho-kin-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tho-kok-lak-sian tidak satu pun membekal tali, di tengah hutan belukar juga sukar mencari tali, Tho-hoa-sian
dan Tho-kan-sian berusaha mencari di sekitar situ, ketika mendadak pegangan mereka rada kendur, segera si
nenek meronta melepaskan diri, ia menggelundung di atas tanah terus memberosot pergi.
Baru saja si nenek bermaksud melarikan diri sekencangnya, sekonyong-konyong punggung terasa tertusuk
sesuatu yang tajam, terdengar Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, “Berhenti!”
Nyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.
Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Lenghou Tiong bisa sedemikian hebat, ia menjadi gentar
dan terpaksa tidak berani bergerak.
Segera Tho-kok-lak-sian memburu maju, enam jari bekerja bersama, masing-masing menutuk satu tempat
hiat-to di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang bengep kena gambaran si nenek tadi segera Tho-kan-sian
bermaksud balas menampar.
Lenghou Tiong merasa tidak enak hati bila ibu Gi-lim sampai teraniaya, cepat ia berseru, “Nanti dulu, biarlah
kita kerek dia saja di atas pohon.”
Mendengar itu, Tho-kok-lak-sian sangat senang, tanpa disuruh lagi segera mereka mengelotoki kulit batang
pohon untuk dipintal menjadi tali. Lalu Lenghou Tiong coba tanya mereka sebab musababnya mereka berkelahi
dengan si nenek.
“Kami berenam sedang berak di sini, selagi menguras perut dengan senangnya, tiba-tiba perempuan ini berlari
ke sini,” demikian Tho-ki-sian menutur. “Datang-datang perempuan ini terus bertanya, ‘Hai, apakah kalian
melihat seorang nikoh cilik?’ – Bicaranya kasar, pula mengganggu isi perut kami yang hampir terkuras
bersih....”
Mendengar penuturannya yang menjijikkan itu, Ing-ing mengerut kening dan berjalan menyingkir ke sana.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, “Ya, perempuan ini memang tidak kenal sopan santun
pergaulan.”
“Sudah tentu kami tidak gubris padanya dan suruh dia lekas enyah,” Tho-ki-sian melanjutkan. “Tapi
perempuan ini terus main pukul dan beginilah kami lantas berhantam dengan dia. Coba kalau Lenghou-hengte
tidak lekas datang tentu dia sudah lolos.”
“Juga belum tentu mampu lolos dia,” sanggah Tho-hoa-sian. “Kita kan sengaja membiarkan dia lari beberapa
langkah, lalu menyusulnya, supaya dia gembira sia-sia.”
“Ya, di bawah tangan Tho-kok-lak-sian tidak pernah terjadi musuh dapat lolos, kami pasti dapat membekuk dia
kembali,” sambung Tho-sit-sian.
“Cara kami ini namanya kucing mempermainkan tikus,” Tho-kin-sian menambahkan.
Lenghou Tiong kenal watak mereka yang tidak mau kalah, betapa pun ingin menjaga gengsi. Maka ia pun tidak
heran dan malah memuji akan kehebatan mereka.
Dalam pada itu tali sudah selesai dipintal dari kulit pohon, segera kaki dan tangan si nenek ditelikung dan diikat
kencang, lalu dikerek di atas pohon.
Dengan pedangnya yang tajam Lenghou Tiong menebang dari atas batang pohon sehingga terpapas sepanjang
dua-tiga meter, lalu dengan pedang ia gores beberapa huruf yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di
dunia ini.”
“Lenghou-hengte, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia? Apakah kepandaiannya
minum cuka sangat hebat?” tanya Tho-kin-sian. “Ah, aku tidak percaya, boleh coba kita lepaskan dia, aku ingin
berlomba dengan dia.”
“Minum cuka adalah kata olok-olok,” Lenghou Tiong menerangkan. “Kalian Tho-kok-lak-sian adalah pahlawan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang tiada bandingannya, perempuan itu mana sanggup menandingi kalian, buat apa berlomba apa segala.”
Dasar Tho-kok-lak-sian memang suka dipuji, keruan mereka menjadi senang, dengan tertawa gembira mereka
mengiakan.
“Sekarang aku ingin tanya keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong pula. “Sebenarnya kalian melihat Gi-lim
Sumoay atau tidak?”
“Apakah kau maksudkan nikoh cilik jelita dari Hing-san-pay itu?” sahut Tho-ki-sian. “Nikoh cilik itu sih kami
tidak lihat, tapi hwesio besar ada dua yang kami lihat.”
“Seorang adalah ayah si nikoh cilik dan satu lagi adalah muridnya,” sambung Tho-kok-lak-sian.
“Di mana mereka sekarang?” tanya Lenghou Tiong.
“Mereka sudah lewat ke sana kira-kira sejam yang lalu,” tutur Tho-yap-sian. “Mereka mengajak kami minum
arak di kota depan sana, kami bilang habis berak segera menyusul. Siapa tahu perempuan ini keburu datang
dan merecoki kami.”
Tiba-tiba hati Lenghou Tiong tergerak, katanya, “Baiklah, kalian boleh menyusul nanti, biar aku pergi ke sana
dahulu.”
Ia tahu Ing-ing suka kepada kebersihan dan tidak ingin berada bersama keenam orang dogol itu, maka cepat ia
mengajak Ing-ing berangkat.
“Kau tidak cukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat diri Gi-lim Sumoaymu,” kata Ing-ing
dengan tertawa. “Dan balas dendammu jadinya cuma terbalas tiga bagian saja.”
Setelah berjalan belasan li jauhnya, tibalah mereka di suatu kota yang cukup ramai, pada rumah makan kedua
dapatlah diketemukan Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong sedang duduk menyanding daharan dan minuman.
Melihat Lenghou Tiong dan Ing-ing, kedua orang itu berseru girang, cepat Put-kay menyuruh pelayan
menambahkan daharan dan arak.
Ketika Lenghou Tiong tanya mereka ada kejadian apa, Dian Pek-kong lantas menutur, “Karena kejadian yang
memalukan di Hing-san itu, aku minta Thaysuhu lekas-lekas pergi saja dari sana.”
Dari uraian Dian Pek-kong itu Lenghou Tiong menarik kesimpulan mereka berdua belum tahu tentang
diculiknya anak murid Hing-san-pay. Untuk menyelamatkan anak murid Hing-san-pay tanpa diketahui oleh Yim
Ngo-heng, Lenghou Tiong pikir paling baik dirinya turun tangan secara diam-diam bersama Ing-ing, semakin
sedikit diketahui orang luar semakin baik.
Maka ia lantas berkata kepada Put-kay, “Taysu, aku ingin minta bantuanmu untuk menyelesaikan sesuatu
urusan, apakah kau mau?”
“Mau saja, lekas katakan,” sahut Put-kay.
“Tapi urusan ini perlu dirahasiakan, cucu-muridmu ini sekali-kali tidak boleh ikut campur,” kata Lenghou Tiong.
“Apa susahnya? Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan dilarang mengganggu urusanku, kan beres
segalanya?” ujar Put-kay.
“Baiklah. Sekarang dengarkan, dari sini ke timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang
tinggi ada seorang teringkus dan dikerek tinggi di atas....”
“Keparat, kembali perbuatan bangsat piaraan biang anjing lagi,” kontan Put-kay memaki dengan gusar.
Lenghou Tiong meringis tanpa bisa berbuat apa, katanya dalam hati, “Buset, jadi di hadapanku kau memaki
aku terang-terangan.”
Tapi ia lantas berkata pula kepada Put-kay, “Orang yang dikerek tinggi di atas pohon itu adalah temanku, aku
minta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Apa susahnya untuk berbuat demikian?” ujar Put-kay. “Tapi mengapa kau sendiri tidak menolongnya?”
“Terus terang, temanku itu adalah seorang perempuan,” kata Lenghou Tiong dengan sengaja menahan suara
sambil mengerotkan mulutnya ke arah Ing-ing, “Aku merasa tidak leluasa karena berada bersama Yim-siocia.”
“Hahahaha!” Put-kay bergelak tertawa. “Ya, ya, tahulah aku! Tentunya kau takut kalau-kalau Yim-toasiocia
minum cuka (maksudnya cemburu).”
Ing-ing melotot sekejap kepada mereka berdua. Tapi dengan tertawa Lenghou Tiong berkata pula kepada Putkay,
“Justru perempuan itulah suka cemburuan. Dahulu suaminya cuma memandang sekejap saja kepada
seorang nyonya dan memujinya sepatah tentang kecantikan nyonya itu, tapi perempuan itu lantas minggat
tanpa pamit, akibatnya membikin susah suaminya mencari ke seluruh pelosok selama belasan tahun dan tetap
tidak ketemu.”
Mendengar kata-kata Lenghou Tiong itu, makin melotot pula biji mata Put-kay, napasnya juga memburu,
katanya dengan terputus-putus, “Apakah dia... dia... dia....” tapi tak sanggup dilanjutkannya.
“Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencarinya dan tetap belum bertemu,” sambung Lenghou
Tiong.
Sampai di sini, tertampak Tho-kok-lak-sian naik ke atas loteng rumah makan itu dengan bersenda gurau. Tapi
Put-kay seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka, kedua tangannya memegang erat-erat lengan Lenghou
Tiong dan menegas, “Apakah ben... benar katamu ini?”
“Dia sendiri yang berkata padaku,” sahut Lenghou Tiong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia,
biarpun berlutut dan menyembah padanya juga dia tak mau berkumpul kembali dengan sang suami. Sebab
itulah bila kau melepaskan dia, segera dia akan kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat, hanya
sekejap mata saja dia sudah lenyap.”
“Aku pasti takkan... takkan mengedip mata, pasti tidak,” ujar Put-kay.