Senin, 08 Mei 2017

Cersil 14 Jodoh Si NAga Langit Tamat Kho Ping Hoo Pdf Download

Cersil 14 Jodoh Si NAga Langit Tamat Kho Ping Hoo Pdf Download Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 14 Jodoh Si NAga Langit Tamat Kho Ping Hoo Pdf Download
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 14 Jodoh Si NAga Langit Tamat Kho Ping Hoo Pdf Download
Puteri Moguhai cepat membalikkan tubuhnya dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum ketika ia mengenal siapa penunggang kuda itu.
“Siang In......!”
Thio Siang In menghentikan kudanya dan melompat turun.
Mereka saling berpegang tangan dengan gembira. “Wah, beruntung sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini, Pek Hong.”
“Engkau mencari aku? Dari manakah engkau, Siang In?”
“Aku dari kota raja, mengunjungi Ibu kita.”
“Ah, engkau sudah bertemu dengan Ibu?”
Siang In mengangguk. “Aku mendengar dari Ibu bahwa engkau sedang keluar meninggalkan kota raja, katanya engkau hendak mencari dua orang murid Suhu Ouw Kan yang membunuh Han Si Tiong. Aku sudah mendengar semua dari Ibu! Aku lalu mencari ke sini.”
“Mari kita bicara di rumah saja. Aku Sementara ini tinggal di rumah bekas...... gurumu itu, Siang In.”
Siang In tersenyum mendengar Pek Hong agak ragu menyebut Ouw Kan sebagai gurunya. Ia menepuk pundak saudara kembarnya itu dan berkata, “Mari kita bicara di sana, lebih leluasa.”
Wanita setengah tua yang menjaga rumah itu, terbelalak melihat kedatangan mereka berdua. Tadinya ia memang sudah merasa heran melihat persamaan wajah Puteri Moguhai dengan wajah Nona Thio, akan
tetapi sekarang persamaan itu lebih menyolok lagi walaupun tatanan rambut dan dandanan pakaian mereka berdua itu saling berbeda. Akan tetapi ia segera mengenal Siang In.
“Ah, Thio-siocia! Sudah lama Siocia tidak datang ke sini. Guru Siocia telah……”
“Cukup, Bibi Alun, aku sudah mengetahui semua. Engkau yakin benar bahwa engkau tidak mengetahui di mana adanya suheng (kakak seperguruan pria) Bouw Kiang dan suci (kakak seperguruan wanita) Bong Siu Lan? Kalau engkau tahu, katakanlah kepadaku.”
Nenek itu mengerutkan alis sambil memandang kepada Pek Hong. “Semua yang saya ketahui telah saya ceritakan kepada Tuan Puteri Moguhai, Nona, akan tetapi baru tadi saya teringat bahwa dulu sekali pernah datang seorang Hwesio yang sudah tua, tubuhnya gemuk sekali seperti arca Ji-lai-hud, suara tawanya menggelegar dan mengagetkan. Karena suaranya nyaring, dari dapur saya dapat mendengar ketika dia mengatakan bahwa Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Bong-siocia (Nona Bong) diharapkan kehadirannya di Puncak Pelangi. Nah, hanya itulah yang saya lupa menceritakannya kepada Sang Puteri.”
“Aih! Justru itu amat penting, Bibi!” teriak Pek Hong dan Siang In berbareng. Tentu saja kedua orang gadis ini terkejut karena yang disebut Puncak Pelangi adalah tempat pertapaan ayah kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin!
“Tidak salah lagi, mereka pasti pergi ke sana!” kata Pek Hong.
“Kalau begitu, kita harus kejar mereka, sekarang juga!” 'kata Siang In. Kedua orang gadis itu lalu berangkat meninggalkan kota Ceng-goan menuju ke barat.
Karena jalan menurun bukit itu cukup terjal dan berbatu-batu, maka keduanya menjalankan kudanya dengan santai sambil bercakap-cakap.
“Pek Hong, dulu telah kuceritakan kepadamu bahwa biarpun aku pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun aku sama sekali tidak setuju dengan wataknya. Seringkali aku bahkan mencelanya sehingga dia merasa tidak suka kepadaku dan aku selalu akan menentang setiap perbuatan jahat, oleh siapa pun perbuatan itu dilakukan. Maka, engkau tidak perlu merasa rikuh menentang dua orang murid Suhu Ouw Kan itu. Aku akan membantumu!”
“Ah, aku senang sekali mendengar kata-katamu ini, Siang In. Engkau tidak mengecewakan menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin dan aku bangga mempunyai saudara kembar sepertimu.”
“Aku lebih bangga lagi kepadamu, Pek Hong. Biarpun engkau sejak kecil hidup dalam istana, akan tetapi engkau tetap menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin, menjadi seorang pendekar wanita yang gagah dan gigih menentang kejahatan. Bahkan namamu terkenal karena engkau telah membela Kerajaan Kin dan juga Kerajaan Sung Selatan dari para pemberontak.”
“Ah, jasaku tidak banyak. Souw Thian Liong yang sungguh berjasa dalam menantang para pemberontak di dua kerajaan itu. Dialah yang sepatutnya menerima pahala, akan tetapi dia seorang yang sungguh rendah hati, tidak tergoda kemilaunya harta dan kedudukan, dan bijaksana sekali.”
Siang In menghela napas panjang. Ia tahu bahwa saudara kembarnya ini bergaul akrab dengan Souw Thian Liong. Ia sendiri juga sudah mengenal baik pemuda itu dan diam-diam merasa kagum juga kepadanya.
“Pek Hong, engkau...... cinta padanya, bukan?”
“Eh? Mengapa engkau bertanya demikian?”
“Pek Hong, Ibu telah menceritakan semuanya kepadaku. Menurut cerita Beliau, engkau dimarahi Kaisar karena engkau menolak semua pinangan dari para pangeran dan putera bangsawan, dan Kaisar melarang engkau berjodoh dengan Souw Thian Liong karena Beliau menghendaki engkau menikah dengan seorang bangsa Yu-cen. Nah, katakan padaku, Pek Hong, apakah engkau benar-benar mencinta Souw Thian Liong?”
Pek Hong Niocu menghela napas panjang. “Entahlah, Siang In. Aku sendiri tidak tahu, aku memang kagum sekali kepadanya.”
“Kagum bukan berarti cinta, Pek Hong.”
“Aku tidak tahu. Bagaimana sih rasanya hati yang jatuh cinta?”
“Ah, aku sendiri pun tidak tahu, Pek Hong. Aku belum pernah jatuh cinta.”
“Hemm, bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Cin Han? Apakah engkau tidak cinta padanya?”
“Aku juga tidak tahu, Pek Hong. Aku hanya kagum dan suka padanya karena dia seorang pemuda yang berbudi halus dan sopan, bijaksana sekali.”
“Dan tampan......!” Pek Hong melanjutkan.
“Ah, soal tampan atau tidak itu tergantung dari hati kita, Pek Hong. Kalau kita menyukai seseorang dia akan tampak tampan, kalau sebaliknya kita membenci seseorang, dia akan kelihatan buruk seperti setan!”
Dua orang gadis itu tertawa geli.
“Eh, Siang In. Aku tahu benar bahwa Cin Han itu amat mencintamu. Kalau tidak salah dia pernah meminangmu akan tetapi engkau menolak pinangan itu karena ketika engkau dipinang, engkau belum pernah bertemu dengan dia. Sekarang, setelah engkau berkenalan dengan dia, bagaimana perasaan hatimu?”
Wajah Siang In berubah kemerahan dan ia tersenyum. “Dia memang seorang pemuda yang baik sekali, Pek Hong. Memang terus terang saja aku merasa tertarik dan suka kepadanya, akan tetapi sayang…... dia seorang siucai (sasterawan) yang lemah. Aku ragu apakah aku dapat hidup bahagia dan cocok dengan dia mengingat pendidikan antara kami yang amat berbeda. Dia ahli sastra sedangkan aku ahli silat.”
“Wah, keadaan kita sungguh senasib dan sama, Siang In. Aku pun tertarik kepada seorang pemuda bangsawan bangsa Yucen, akan tetapi seperti juga Cin Han, pemuda itu adalah seorang yang mendapat pendidikan bun (sastra). Sebetulnya keadaannya sebagai seorang putera pangeran bangsa Yucen cocok dengan keinginan Kaisar, dan aku pun mengenal baik ayahnya dan aku tahu bahwa ayahnya seorang yang gagah perkasa, baik budi dan setia kepada Kaisar. Akan tetapi...... ya itu tadi, sayang dia seorang pemuda lemah.”
Dua orang gadis itu kini termenung. Siang In membayangkan wajah Cin Han, sedangkan Pek Hong membayangkan wajah Pangeran Kuang Lin.
“Siang In, mari kita percepat perjalanan kita ke tempat pertapaan Ayah, selain untuk menjaganya kalau-kalau dia terancam orang-orang sesat, juga kita dapat minta nasihatnya tentang masalah perjodohan kita.”
“Baik, Pek Hong. Aku kira hanya Ayah yang akan dapat menunjukkan jalan terbaik bagi kita.”
Dua orang gadis itu lalu membalapkan kuda mereka menuju ke Pegunungan Go-bi.
Pondok itu berdiri di puncak sebuah bukit. Dari puncak itu tampak pemandangan alam yang teramat indah. Terutama di waktu matahari terbit atau di waktu matahari tenggelam, pemandangan itu sungguh membuat orang terpesona, seolah melihat taman sorga terbentang di depannya. Pemandangan yang dibentuk oleh awan dan sinar matahari sukar digambarkan keindahannya. Apalagi kalau tampak pelangi yang mengandung semua warna itu melengkung di depan, membuat orang lupa bahwa dia berada di dunia, bukan di alam lain. Pondok kayu yang kokoh itu berada di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak banyak perbukitan di Pegunungan Gobi.
Matahari pagi sudah agak tinggi sehingga sinarnya yang hangat terasa nyaman sekali menembus kedinginan puncak itu. Sejuk dan segar.
Kakek itu duduk bersila di atas sebuah bangku batu yang bundar dan rata, bersih dan halus permukaannya. Dia seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Wajahnya bersih tanpa jenggot maupun kumis, wajah yang berbentuk bulat dengan dagu meruncing. Sepasang matanya lembut dan bersinar-sinar cerah seperti mata orang yang merasa lega den puas, mata orang berbahagia. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu diikat dengan pita kuning. Pakaiannya hanya terdiri dari kain yang dilibat-libatkan di tubuhnya, di bagian pinggang diikat sabuk sutera putih. Sepatunya dari kain tebal dengan lapisan besi. Mata yang tajam, hidung mancung dan mulut yang bentuknya indah itu membuat wajahnya tampak tampan.
Dia adalah Tiong Lee Cin-jin yang dikenal banyak tokoh besar dunia persilatan sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa) dan nama aselinya adalah Sie Tiong Lee.
Beberapa ekor burung gereja bercicitan dan terbang turun dari atas pohon. Tanpa takut sedikit pun mereka beterbangan dekat tempat Tiong Lee Cin-jin duduk. Bahkan ada yang hinggap di atas batu tepat di kakinya dan ada pula yang demikian beraninya hinggap di atas pundaknya. Agaknya burung-burung kecil itu sudah terbiasa berbuat seperti itu dan sudah yakin benar bahwa mereka aman dan tidak akan diganggu. Bahkan lebih dari itu, mereka seolah menagih! Tiong Lee Cin-jin tersenyum, merasa bahwa burung-burung itu memang menagih. Dia lalu mengambil sekepal butiran gandum dan menyebarkannya di atas tanah depan batu yang didudukinya. Ramailah burung-burung itu berloncatan dan mulai
mematuki biji-biji gandum sambil mengeluarkan bunyi hiruk pikuk. Tiong Lee Cin-jin tersenyum bahagia sambil memandang ke kawanan burung gereja yang setiap pagi pasti menemaninya di situ.
Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengangkat muka memandang ke arah bawah puncak sebelah timur. Dia melihat dua titik hitam yang bergerak mendaki bukit dan sebentar saja dua titik hitam itu mulai berbentuk dua tubuh manusia yang dengan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki bukit menuju puncak. Mulut kakek itu tersenyum lebar dan matanya bersinar, wajahnya berseri.
Bayangan dua orang itu semakin jelas dan mereka itu adalah Souw Thian Liong dan Han Bi Lan yang menyamar pria dan menggunakan nama Han.
Seperti kita ketahui, pemuda dan gadis itu melakukan perjalanan bersama dan bersepakat untuk saling membantu. Han Bi Lan berusaha mencari dua orang murid mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang telah membunuh ayahnya, sedangkan Souw Thian Liong hendak mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin untuk mengabarkan bahwa Empat Datuk Besar mengancam gurunya itu dan dia akan membantu gurunya. Dalam perjalanan mereka, kedua orang muda ini mendengar bahwa dua orang murid Ouw Kan yang dicari Bi Lan itu agaknya bergabung dengan Empat Datuk Besar dan mungkin akan membantu Empat Datuk Besar menyerang Tiong Lee Cin-jin di Puncak Pelangi. Maka, mereka berdua lalu cepat melakukan perjalanan menuju Puncak Pelangi.
Setelah tiba di depan kakek itu, mereka berdua segera berlutut memberi hormat.
“Suhu, teecu datang menghadap,” kata Thian Liong.
“Lo-cianpwe, maafkan kalau saya mengganggu,” kata Han Bi Lan.
Tiong Lee Cin-jin tertawa dan mengangguk-angguk sambil memandang kepada dua orang muda itu.
“Thian Liong, siapakah nona yang ikut datang berkunjung bersamamu ini?”
Bi Lan kagum. Kakek ini sekali pandang saja sudah mengetahui bahwa ia seorang wanita, padahal penyamarannya itu bagus sekali dan di sepanjang perjalanan, tidak ada orang yang mengetahui rahasianya.
Sebelum Thian Liong menjawab, Bi Lan sudah mendahuluinya. “Maaf kalau saya terpaksa menyamar sebagai pria agar leluasa dalam perjalanan, Lo-cianpwe. Nama saya adalah Han Bi Lan dan saya melakukan perjalanan bersama Souw Thian Liong untuk saling bantu menghadapi orang-orang jahat yang lihai.”
“Heh-heh, menarik sekali. Seorang gadis dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, siapakah yang akan berani mengganggumu, Nona? Kalian duduklah di batu depan itu agar lebih enak kita bicara.”
Thian Liong dan Bi Lan mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu datar, berhadapan dengan kakek itu. Bi Lan semakin kagum. Sekali pandang saja kakek itu mengetahui bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi!
“Suhu, teecu mengharap keadaan Suhu baik-baik dan sehat saja,” kata Thian Liong.
“Keadaanku baik-baik saja, Thian Liong. Terima kasih dan puji sukur kepada Thian yang senantiasa melimpahkan berkatnya kepada tubuh yang tua ini. Sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang ke sini.”
Thian Liong lalu menceritakan tentang pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis telaga See-ouw yang telah mendidik seorang murid sehingga lihai sekali dengan niat khusus agar murid itu membalaskan sakit hati Empat Datuk Besar kepada Tiong Lee Cin-jin.
Tiong Lee Cin-jin mendengarkan cerita Thian Liong dengan sikap tenang seolah tidak ada apa-apa yang perlu khawatirkan. Bukannya dia meremehkan orang-orang yang mengancamnya, akan tetapi bagi Tiong Lee Cin-jin, gangguan dari golongan sesat sudah sejak dulu dia alami dan hal itu merupakan hal yang wajar saja baginya. Kekuasaan Setan tidak akan pernah berhenti untuk menyeret manusia ke dalam kesesatan dan selalu golongan sesat memusuhi golongan yang hidup sebagai pengabdi kebenaran dan keadilan.
“Kalau itu yang mereka kehendaki, biarlah, Thian Liong. Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Aku akan selalu melindungi diriku ini sedapat mungkin dan selanjutnya terserah kepada keputusan Thian. Yang harus terjadi terjadilah seperti yang sudah ditentukan oleh Thian. Tidak perlu khawatir.”
“Akan tetapi, maaf, Suhu. Teecu menduga bahwa mereka itu akan mengerahkan semua tenaga golongan sesat untuk menyerang Suhu. Tentu saja teecu tidak dapat berdiam diri, Suhu. Maka teecu lalu sengaja datang berkunjung dan menghadap Suhu untuk memberitahu akan ancaman itu agar Suhu dapat bersiap-siap, dan teecu dapat membantu Suhu kalau mereka datang menyerbu.”
“Baiklah kalau engkau mengkhawatirkan diriku, Thian Liong. Akan tetapi, bagaimana dengan Nona ini?”
“Suhu pernah melihat Bi Lan ketika dulu teecu hendak dihukum para pimpinan Siauw-lim dan Kun-lun karena fitnah dan Nona ini juga membelaku menghadapi serangan mereka. Han Bi Lan ini adalah puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang dulu bersama teecu dipenjara di istana Kerajaan Sung karena menentang Menteri Chin Kui, Suhu.”
Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk, memandang kepada Bi Lan.
“Ya, aku ingat. Bukankah ayahmu Han Si Tiong itu bersama ibumu memimpin Pasukan Halilintar di bawah pimpinan Mendiang Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu, Bi Lan?”
“Benar sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi sebagai akibat dari perang itu, Ayah saya dibunuh orang.”
“Siancai......! Bagaimana ceritanya?”
“Dalam perang itu Ayah saya merobohkan seorang pangeran Kerajaan Kin sehingga menimbulkan dendam dan Kaisar kerajaan itu mengutus Toat-beng Coa-ong Ouw Kan untuk membunuh Ayah Ibuku. Biarpun usahanya gagal dan Kaisar Kerajaan Kin sudah mencabut perintahnya, Ouw Kan masih penasaran dan pada suatu hari, dia mengutus dua orang muridnya untuk membunuh Ayah dan ibu saya. Usaha itu berhasil, Ayah saya mereka bunuh. Karena itu, saya lalu mencari Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan saya berhasil membalas dendam, saya telah membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu.”
Kakek itu meagangguk-angguk.
“Hemm, aku tidak heran kalau engkau mampu mengalahkan Ouw Kan. Bi Lan, siapa gurumu?”
“Guru saya adalah Jit Kong Lhama......”
“Hemm, aneh sekali. Biarpun tingkat kepandaian Jit Kong Lhama lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun tidak banyak selisihnya dan kalau engkau hanya menerima ilmu dari Jit Kong Lhama, kiranya akan sukar bagimu untuk mengalahkannya. Dan aku melihat ada tenaga aneh dalam dirimu, Bi Lan, yang mungkin sekali bahkan lebih kuat dari tenaga yang dimiliki Jit Kong Lhama!” Sambil berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin memandang wajah Bi Lan dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Kembali Bi Lan merasa kagum, bahkan terkejut. Penglihatan kakek itu sungguh tajam seolah menembus dirinya sehingga terhadap Tiong Lee Cin-jin kiranya tak mungkin ia menyembunyikan sesuatu tentang dirinya. Ia memandang ke arah Thian Liong yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya. Dari pandang mata Thian Liong gadis itu seolah dapat membaca suara hatinya bahwa guru pemuda itu mengetahui segalanya dan lebih baik berterus terang saja!
“Sesungguhnya, Lo-cianpwe, saya telah menerima gemblengan dari seorang guru lain selama satu tahun.”
“Ah, gurumu itu tentu seorang manusia luar biasa yang memiliki kesaktian yang tinggi, Bi Lan.”
“Guru saya itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan), Lo-cianpwe.”
“Siancai......! Jadi benar dia itu masih hidup? Heh-heh, dulu aku sudah merasa sangsi mendengar kabar bahwa dia tewas dikeroyok para datuk. Ternyata dia masih hidup! Bukan main, hebat sekali tingkat kepandaiannya, tidak akan mungkin dapat dikuasai sembarang orang!”
“Ada yang aneh sekali tentang datuk itu, Suhu. Menurut cerita Bi Lan, Si Mayat Hidup itu sebelum menerimanya sebagai murid selama setahun, Bi Lan harus berjanji bahwa setelah belajar setahun, Bi Lan harus menguburnya hidup-hidup! Akan tetapi Bi Lan tidak mau melakukan hal itu dan ia kabur meninggalkan orang aneh itu.
“Siancai......! Mengapa engkau mengeluarkan janji seperti itu, Bi Lan? Berjanji harus ditepati! Baik sekali engkau tidak melaksanakan penguburan hidup-hidup terhadap orang yang telah memberimu ilmu-ilmu selama setahun. Akan tetapi, berjanji itulah yang salah! Dan manusia seperti Si Mayat Hidup itu pasti akan terus mencarimu untuk menuntut engkau melaksanakan apa yang telah kau janjikan itu.”
“Aduh, Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk. Ketika itu, memang saya sedang dalam keadaan bingung dan ingin memperdalam ilmu sehingga mau saja disuruh berjanji seperti itu.”
“Ya, aku tahu. Bahkan sekarang pun engkau masih dalam keadaan kacau, batinmu mengalami guncangan dan tekanan berat. Apakah sebetulnya yang menjadi ganjalan hatimu, Bi Lan? Siapa tahu aku akan dapat memberi petunjuk untuk membebaskanmu dari tekanan batin itu.”
“Suhu sesungguhnya teecu yang membuat Bi Lan tertekan batinnya. Karena dulu ia pernah meminjam kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya teecu berikan kepada Kun-lun-pai seperti yang
Suhu perintahkan, maka teecu lalu menghukumnya dengan menampar tubuh belakangnya seperti menghajar anak kecil. Bi Lan sakit hati dan berusaha memperdalam ilmu silatnya untuk membalas perbuatan teecu yang ia anggap penghinaan itu. Akan tetapi ia telah membalasnya, Suhu, dan teecu yakin ia sudah tidak mendendam lagi sekarang.”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar. “He-heh, kalian ini orang-orang muda sungguh lucu. Terkadang melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perasaan hati sendiri. Benarkah engkau tidak mendendam lagi kepada muridku ini, Bi Lan?”
Bi Lan menggeleng kepala sambil mengerling ke arah pemuda itu.
“Tidak Lo-cianpwe, urusan saya dengan Thian Liong sudah beres dan tidak ada ganjalan lagi.”
“Bagus! Akan tetapi aku tetap melihat betapa engkau menyimpan kedukaan dalam hatimu, Bi Lan. Mengapa demikian? Atau, kalau urusan itu tidak dapat kauberitahukan orang lain, tidak perlu kauceritakan. Hanya aku ingin memperingatkan bahwa tidak baik membiarkan hatimu digerogoti gundah gaulana dan duka nestapa. Seperti juga dendam kebencian, perasaan itu akan melemahkan jantung dan meracuni darahmu kalau dibiarkan berlarut-larut.
“Maafkan saya, Lo-cianpwe. Saya tidak dapat menceritakan apa yang saya derita, biarlah hal itu menjadi rahasia saya sendiri. Agaknya sudah nasib saya, sudah kodratnya saya harus hidup menderita batin seperti ini.”
Ucapan Bi Lan terdengar agak gemetar sehingga Thian Liong sendiri merasa heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, apa gerangan yang menyebabkan gadis itu menderita batin seperti itu. Apakah karena kematian ayahnya? Akan tetapi kematian ayahnya sudah dibalas dengan kematian Ouw Kan dan kini mereka sedang menantikan munculnya dua orang murid Ouw Kan yang membunuh Han Si Tiong. Jadi, kalau urusan itu, semestinya Bi Lan tidak menderita batin.
“O-ho, anak baik. Jangan sekali-kali menyalahkan kodrat! Kodrat adalah terjadinya rencana Thian, yang tidak dapat diubah oleh siapapun juga. Akan tetapi, Thian tidak pernah merencanakan penderitaan bagi manusia. Segala macam penderitaan adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Kalau kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, misalnya kalau kita menjadi orang yang amat miskin hidupnya, hal itu bukan kodrat semata. Keadaan itu merupakan tantangan dan kita sebagai manusia berkewajiban untuk berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita untuk mengubah keadaan itu! Penderitaan batin bukan timbul karena keadaan itu sendiri, melainkan karena kita tidak mampu menerima kenyataan seperti apa adanya. Yang terpenting dalam kehidupan adalah ikhtiar, usaha, bekerja karena hidup ini berarti gerak, dan gerakan yang tepat adalah bekerja, berikhtiar. Kita berikhtiar sekuat tenaga melalui jalan yang tidak melanggar hukum Thian, ikhtiar yang tidak melalui tindak kejahatan. Dan sebagai landasan adalah berserah diri kepada Thian karena pada akhirnya Thian yang menentukan. Memang harus diakui bahwa ikhtiar saja belum tentu dapat mengatasi keadaan, akan tetapi kalau kita sudah berusaha sekuat mungkin, berarti kita sudah memenuhi tugas hidup. Kemudian selanjutnya, apa pun yang terjadi setelah kita berusaha sekuat mungkin terserah kepada keputusan Thian. Kehendak Thian selalu terjadi, di mana pun dan bilamana pun. Perasaan kita dalam menerima kenyataan ini tidak masuk hitungan. Kenyataan ini bisa saja oleh umum disebut enak atau tidak enak, menyenangkan atau menyusahkan Namun seorang bijaksana tidak akan menuruti keinginannya sendiri.”
“Terima kasih, Lo-cianpwe. Lalu, kalau ada sesuatu yang terasa amat pahit dan menimbulkan perasaan kecewa, penasaran, marah dan terutama sekali sedih, apa yang harus saya lakukan?”
Kakek itu tersenyum. “Pertanyaan yang baik sekali, Bi Lan. Apa yang ha-rus kita lakukan kalau ada semua perasaan yang tidak enak itu? Nah, jangan lakukan apa-apa, Bi Lan. Yang penting, mengertilah dengan sepenuhnya lahir batin bahwa yang menimbulkan perasaan tidak enak itu adalah si-aku yang berulah dalam pikiran. Aku dirugikan, apa yang terjadi tidak cocok dengan keinginanku, aku dipermalukan, aku dibegini, dibegitukan maka bermunculanlah semua perasaan itu. Ini hanya permainan pikiran belaka, Bi Lan. Kalau kita tidur dan pikiran tidak bekerja, ke mana perginya semua perasaan tidak enak yang kausebut tadi? Semua perasaan itu tentu menghilang bersama dengan berhentinya pikiran. Apa pun yang terjadi adalah suatu kenyataan! Sudah terjadi dan tidak akan dapat diubah oleh kita, bahkan kalau muncul semua perasaan itu, tidak akan menolong keadaan bahkan membuatnya semakin parah. Kalau terjadi sesuatu yang terasa pahit dan menyedihkan seperti kaukatakan tadi, kewajiban kita yang utama adalah berusaha sekuat tenaga untuk mengubah keadaan itu. Kalau semua ikhtiar sepenuhnya dari kita tidak berhasil mengubahnya, maka hadapilah peristiwa itu sebagai suatu kenyataan! Sebagai suatu keadaan apa adanya dan sudah dikehendaki Thian, dengan penyerahan lahir batin. Kalau kita menyerah sepenuhnya, maka Kekuasaan Thian yang akan bekerja sehingga kita dapat menghadapi semua itu tanpa penderitaan. Penyerahan ini mendatangkan kekuatan yang ampuh, Bi Lan, karena kalau kita sudah benar-benar menyerah, kekuasaan Thian akan berkarya dengan ajaib.”
Bi Lan menarik napas panjang. Pikirannya menjadi terang. Memang selama ini, semenjak ia mengetahui akan kehidupan ibunya di masa lalu sebagai seorang pelacur, ia merasa kecewa, penasaran, dan malu sekali. Timbul perasaan iba diri yang berlebihan. Semua perasaan yang mengganggu itu timbul dari bayang-bayang pemikiran. Bagaimana kalau semua orang mengetahui bahwa ia anak seorang bekas pelacur? Ke mana harga dirinya? Dan Thian Liong! Kalau dia tahu......! Dapatkah ia menerima kenyataan tentang ibunya itu, menerima dengan ikhlas? Alangkah berat rasa hatinya! Bagaimana kalau Thian Liong mengetahui kenyataan itu? Apakah dia tidak akan memandang rendah padanya? Ke mana harga dirinya? Bi Lan semakin pusing.
“Lo-cianpwe, saya dapat memahami petunjuk Lo-cianpwe. Persoalannya sekarang terserah kepada diri saya sendiri dan saya akan mencoba untuk mengatasi gejolak hati ini.”
“Siancai! Kesadaran akan mendatangkan penerangan. Semoga kekuasaan Thian Yang Maha Kasih akan membantumu, Bi Lan. Sekarang kalian bersihkan badan dan tukar pakaianmu yang penuh debu. Lalu kita makan bersama. Di dapur telah tersedia makan pagi, tinggal menghangatkan saja.”
“Lo-cianpwe, biarlah saya yang akan menyiapkan semua itu,” kata Bi Lan.
“Baiklah. Aku akan menanti di sini.”
Thian Liong dan Bi Lan memasuki pondok dan Thian Liong yang pernah tinggal di situ selama sepuluh tahun ketika dia digembleng ilmu oleh Tiong Lee Cin-jin, memberi petunjuk kepada Bi Lan di mana adanya tempat mandi dari sebuah mata air di belakang pondok, di mana adanya dapur dan lain-lain. Mereka mandi bergantian dan ketika selesai mandi, Thian Liong melihat Bi Lan muncul dalam pakaian wanita! Alangkah cantik jelitanya! Thian Liong sampai terpesona dan memandang gadis itu dengan mulut melongo!
“Ih, Thian Liong! Engkau ini mengapa sih?” Bi Lan menegur dan tersipu, karena ia dapat melihat betapa mata pemuda itu memandang penuh kagum dan hal sekecil ini saja sudah mendatangkan perasaan yang amat menyenangkan hatinya. Ah, betapa ia ingin Thian Liong kagum kepadanya, kagum akan segala-galanya dan menghargainya. Akan tetapi ibunya......!
“Ah, aku...... aku...... hanya kaget karena tidak menyangka engkau akan berganti pakaian wanita. Engkau...... engkau...... cantik sekali, Bi Lan!”
Bi Lan tersenyum, kulit kedua pipinya menjadi merah dan matanya bersinar-sinar. “Sudahlah, cepat mandi dan tukar pakaian sana! Aku mau mempersiapkan makanan untuk Lo-cianpwe.”
Thian Liong pergi ke belakang dan Bi Lan memasuki dapur. Agaknya kakek yang hidup seorang diri itu pagi tadi telah memasak air dan bubur, akan tetapi dibiarkan dingin. Bi Lan cepat menyalakan api dan menghangatkan makanan dan minuman air teh.
Tak lama kemudian, Thian Liong yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, bersama Bi Lan keluar dan mempersilakan Tiong Lee Cin-jin untuk makan. Tiong Lee Cin-jin juga tersenyum lebar ketika melihat Bi Lan yang kini telah berubah menjadi seorang gadis cantik.
“Aih, engkau cantik sekali, Bi Lan!” katanya.
Gadis itu tersipu dan diam-diam merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut kakek itu sama benar dengan pujian Thian Liong tadi. Apakah Thian Liong juga mempelajari cara memuji seorang gadis dari kakek itu pula?
“Ah, Lo-cianpwe terlalu memuji......!” katanya tersipu.
Mereka lalu makan bubur yang hanya dimasak dengan lobak dan sayur hijau, akan tetapi cukup lezat karena tubuh mereka lelah dan perut mereka lapar.
Baru saja mereka selesai makan dan Bi Lan, dibantu Thian Liong, menyingkirkan mangkok sumpit ke dapur, tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin berkata sambil menghela napas panjang.
“Wah, mereka sudah datang!”
Thian Liong dan Bi Lan terkejut. Mereka tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi Thian Liong merasa yakin akan kebenaran ucapan gurunya, maka dia pun bergegas keluar dari pondok, diikuti oleh Bi Lan. Setelah tiba di luar pondok, baru mereka melihat serombongan orang berlari cepat mendaki puncak itu! Orang-orang itu berlari dan berlompatan dengan cepat, tidak menimbulkan suara gaduh. Bagaimana mungkin Tiong Lee Cin-jin yang berada di dalam pondok dapat mengetahui akan kedatangan mereka?
Akan tetapi, mereka tidak memusingkan hal itu karena keduanya yakin akan kesaktian Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya mereka menanti di depan pondok sambil mencoba untuk mengenal orang-orang yang mendaki puncak itu. Ternyata mereka semua berjumlah sepuluh orang!
Yang berada paling depan adalah seorang pemuda tampan berkulit putih, wajahnya bulat, matanya mencorong dan mulutnya tersenyum mengejek, sebatang pedang tergantung di punggung. Di
sebelahnya adalah seorang kakek kurus pucat berpakaian tambal-tambalan dan di punggungnya juga tergantung sebatang pedang.
“Hemm, itu adalah Can Kok dan Lam-kai (Pengemis Selatan)!” kata Thian Liong.
Di belakang mereka tampak seorang kakek berpakaian seperti seorang tosu (Pendeta Agama To), tinggi kurus rambutnya sudah putih semua dan dia memegang sebatang tongkat hitam berkepala ular. Di sebelah kirinya berjalan seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang tinggi kurus dan berkumis tebal.
“Dan itu tentu Pak-sian (Dewa Utara) dan muridnya, Jui To yang dulu se-cara curang menyerangmu sehingga engkau terluka,” kata Bi Lan.
Ternyata mereka berjalan sepasang-sepasang. Urutan ketiga adalah seorang kakek berpakaian hwesio (Pendeta Buddha) yang tubuhnya pendek gendut dan di punggungnya terselip Sebatang hud-tim (kebutan dewa). Di sebelahnya berjalan seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bermuka bopeng dengan kulit hitam. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa dia tentu seorang berbangsa Mongol.
“Wah, itu Golam murid Goat Kong Lhama!” kata Bi Lan menuding ke arah orang Mongol itu.
“Dan hwesio gendut itu adalah See-ong (Raja Barat),” kata Thian Liong. “Pasangan di samping mereka itu adalah Tung-sai (Singa Timur) dan di dekatnya itu...... hemm...... aku tidak mengenalnya. Mungkin belum pernah aku bertemu dengan dia atau aku lupa lagi......” Pemuda yang berjalan di dekat See-ong itu berusia sekitar duapuluh delapan tahun, mukanya memanjang ke depan seperti muka kuda, tubuhnya jangkung kurus dan kumisnya tebal.
“Melihat pakaiannya yang biarpun bersih dan baru namun dihias tambal-tambalan itu, dia tentu murid Lam-kai (Pengemis Selatan),” kata Bi Lan. “Dan pasangan terakhir itu, lihat......! Tak dapat diragukan lagi, pemuda dan gadis itu pastilah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan dua orang murid Ouw Kan yang telah menyerang Ayah Ibuku dan mengakibatkan Ayah tewas!”
Dugaan Bi Lan memang benar. Pemuda berpakaian tambal-tambalan itu adalah Kui Tung, murid Lam-kai, sedangkan pasangan kelima itu adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!
Tiba-tiba Thian Liong berkata dengan seruan tertahan. “Lihat, Bi Lan! Lihat jauh di belakang mereka itu!”
Bi Lan memandang dan benar saja, jauh di belakang rombongan sepuluh orang yang mendaki puncak dengan ilmu berlari cepat mereka tampak sekitar tigapuluh orang yang tertinggal karena agaknya ilmu kepandaian mereka tidak setinggi sepuluh orang itu. “Ah, jahanam-jahanam itu membawa puluhan orang anak buah! Mari kita amuk dan gempur mereka sebelum tiba di sini, Thian Liong!”
Sebelum Thian Liong menjawab, terdengar suara lembut Tiong Lee Cin-jin dari dalam pondok. “Jangan turun tangan. Orang bijaksana mempergunakan ilmunya untuk membela diri, bukan untuk menyerang orang lain. Tunggu sampai mereka datang, aku akan menemui mereka.”
Mendengar suara kakek itu, Thian Liong dan Bi Lan berdiri tenang saja, memandang ke arah sepuluh orang yang diikuti sekitar tigapuluh orang mendaki puncak. Akhirnya, sepuluh orang itu sudah tiba di pekarangan yang luas dan mereka berhenti.
Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bergabung dengan rombongan Empat Datuk Besar ketika mereka diajak oleh Jiu To murid Pak-sian. Jiu To ini bersama dua orang sutenya yang terbunuh oleh Bi Lan terkenal sebagai Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) dan menjadi sahabat baik mendiang Ouw Kan, maka dia mengenal pula Bouw Kiang dan Bong Siu Lan.
Sepuluh orang itu berhenti di pekarangan dan mereka melihat Thian Liong dan Han Bi Lan berdiri tegak di depan pondok dengan sikap tenang namun sama sekali tidak gentar. Empat Datuk Besar tidak heran melihat Souw Thian Liong di situ karena mereka sudah mendengar bahwa Souw Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi mereka heran melihat Han Bi Lan. Akan tetapi Jiu To berkata kepada gurunya dengan suara lantang.
“Suhu, gadis itulah yang telah membunuh Sute Kai Ek dan Lee Song!”
“Keparat, kalau begitu ia yang telah membunuh Suhu pula!” teriak Bong Siu Lan marah. Ia dan Bouw Kiang sudah mendengar tentang gadis ini yang berpakaian serba merah dan berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) dan yang telah membunuh guru mereka selagi mereka tidak berada di sana. Mereka mengenal Han Bi Lan dari cerita Jiu To tentang gadis baju merah itu.
Mendengar ini, Bi Lan menahan kemarahannya dan suara menggetar karena marah ketika ia berbisik kepada Thian Liong sambil mengepal tinju. “Tidak salah, Thian Liong, mereka tentulah pembunuh Ayahku!”
“Tenang, Bi Lan, tunggu sampai Suhu keluar.”
Bi Lan yang amat menghormati Tiong Lee Cin-jin, tidak berani membantah dan mereka berdua hanya memandang ke arah sepuluh orang itu yang kini melangkah mendekati pondok. Tigapuluh orang anak buah mereka itu pun sudah tiba di luar pekarangan, agaknya siap menanti komando.
Dalam jarak sekitar tujuh tombak di mana Thian Liong dan Bi Lan berdiri, mereka berhenti melangkah dan Tung-sai yang agaknya diserahi pimpinan atau wakil pembicara, mengeluarkan gerengan seperti auman singa lalu berkata dengan suara yang menggetarkan jantung karena mengandung tenaga sakti yang kuat.
“Tiong Lee Cin-jin! Keluarlah engkau untuk menerima kematianmu!”
Dari dalam pondok terdengar suara tawa. Lembut dan lirih saja akan tetapi anehnya, dapat terdengar jelas oleh mereka semua, bahkan juga oleh gerombolan yang berada di luar pekarangan! Lalu muncul Tiong Lee Cin-jin dengan pakaian bersih, wajahnya cerah mengembangkan senyum, melangkah perlahan keluar dari pondok lalu berdiri di depan Thian Liong dan Bi Lan, menghadapi rombongan Empat Datuk Besar itu. Sejenak matanya yang lembut memandang ke arah empat orang itu satu demi satu lalu dia berkata lembut.
“Ah, kiranya Empat Datuk Besar yang datang bertamu! Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, Tung-sai Kui Tong dan Lam-kai Gui Lin! Selamat datang, semoga kalian berempat sehat-sehat saja!”
“Tiong Lee Cin-jin kami datang bukan untuk bertamu, melainkan untuk menebus kekalahan kami dahulu! Hayo, majulah melawan kami. Hari ini saatnya engkau menerima kematianmu!”
“Siancai-siancai-siancai......! (Damai-damai-damai)!” kata Tiong Lee Cin-jin tenang. “Tung-sai dan Saudara sekalian. Sejak dahulu aku siap menerima saat kematianku yang pasti akan tiba padaku pada saat Tuhan menghendaki. Kematian takkan dapat dihindarkan manusia, siapapun juga adanya dia! Kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun dia bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan datang menjemput! Sebaliknya kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang mati, biarpun iblis menyerang kalang kabut, semua itu pasti akan luput! Aku hanya berserah diri kepada Kekuasaan Tuhan, dan tidak akan menyerah kepada kalian, walau kalian membawa seribu orang kawan sekalipun!”
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke pekarangan pondok itu dan terjadi keributan ketika para anak buah Empat Datuk Besar hendak menghalangi, mereka dibuat jatuh berpelantingan oleh dua orang gadis cantik yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka dan kini lari memasuki pekarangan.
“Ayah......!!” Mereka berseru dengan suara berbareng dan semua orang yang datang di tempat itu, termasuk Bi Lan, tentu saja terkecuali Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong, terbelalak heran memandang kepada dua gadis yang kini dirangkul kedua tangan Tiong Lee Cin-jin itu. Mereka itu begitu persis satu sama lain. Hanya pakaian dan bentuk rambut saja yang berbeda. Yang seorang berpakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya digelung seperti kebiasaan wanita bangsawan. Adapun gadis yang kedua, yang wajah dan tubuhnya tiada bedanya dengan gadis baju putih, berpakaian serba hijau dan terdapat bunga mawar merah di rambutnya yang disanggul seperti wanita Han biasa.
“Pek Hong! Siang In! Kalian datang juga? Mengapa begini kebetulan?” Tiong Lee Cin-jin bertanya sambil tersenyum dan memandang ke arah mereka yang datang menyerbu itu.
“Ayah, aku dan Siang In mendengar akan adanya orang-orang jahat yang hendak membunuh Ayah, maka kami segera pergi ke sini,” kata Pek Hong.
“Benar, Ayah. Mari kita basmi orang-orang sesat yang busuk itu!” kata Siang In.
“Tenang dan sabarlah, anak-anakku sayang. Biarkan aku bicara dengan mereka.” dengan lembut Tiong Lee Cin-jin memberi isyarat kepada dua orang puterinya untuk berdiri di belakangnya.
Dua orang gadis itu tersenyum kepada Souw Thian Liong yang menyambut mereka dengan hati gembira pula. “Syukur kalian datang!” katanya lirih.
“Kami juga gembira sekali melihatmu di sini, Thian Liong. Dan ini…... ah, engkau Han Bi Lan, bukan? Bagus kulihat kalian sudah berbaikan!” kata Pek Hong atau Puteri Moguhai.
Pada saat itu, kembali Tung-sai mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu.
“Wah, ada singa mengaum!” kata Siang In dengan senyum mengejek.
“Singa apa? Masa singa kakinya dua! Itu tentu sebangsa monyet!” kata Puteri Moguhai, tentu saja dengan suara mengejek.
Melihat sikap dua orang gadis kembar itu, sejak tadi Han Bi Lan merasa geli dan timbul rasa suka dalam hatinya terhadap mereka. Keduanya cantik jelita, keduanya anak-anak orang terhormat. Puteri Moguhai puteri Kaisar, Ang Hwa Sian-li Thio Siang In puteri seorang pedagang kaya! Alangkah jauh bedanya dengan dirinya sendiri! Ia tahu akan mereka berdua dari cerita Thian Liong. Dan kini, ia melihat dan mendengar sendiri dua orang gadis itu menyebut ayah kepada Tiong Lee Cin-jin! Mereka begitu cantik, begitu anggun, begitu kaya dan terhormat, Sedangkan ia? Ibunya saja seorang bekas pelacur! Dan mereka tampak begitu akrab dengan Thian Liong! Di balik kegembiraannya bertemu dua orang gadis kembar ini, ada sesuatu yang membuat hatinya tidak enak, membuat ia rasanya ingin menangis!
“Tiong Lee Cin-jin, majulah dan lawan kami!” terdengar Tung-sai membentak, menyambung gerengannya tadi.
“Tung-sai, sejak dahulu sudah kuberitahu kepadamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga.”
“Akan tetapi kami ingin berkelahi denganmu! Kami ingin membunuhmu untuk menebus kekalahan-kekalahan kami dahulu!”
“Siancai......! Alangkah bodohnya. Kalian semua renungkan baik-baik, apa gunanya semua permusuhan ini? Kalau kalian kalah, kalian rugi apakah? Kalau kalian menang, keuntungan apa yang kalian dapat?”
“Sudah, jangan cerewet, Tiong Lee Cin-jin! Kalau engkau tidak berani bertanding melawan kami, hayo engkau berlutut dan mohon maaf kepada kami, baru kami akan melepaskan dan membiarkan engkau hidup!”
“Aku tidak bersalah apa pun kepada kalian, untuk apa minta ampun. Pula, andaikata aku melakukan dosa, aku hanya minta ampun kepada Tuhan. Tung-sai, apakah engkau akan mengajukan puluhan orang ini untuk mengeroyok aku?”
“Hemm, kami lihat engkau pun sudah mengumpulkan orang-orang yang akan membelamu. Kita boleh mengadu kesaktian, tidak perlu keroyokan. Kami mengajukan seorang atau dua orang jago untuk ditandingi jagoanmu.”
Lam-kai memberi isyarat kepada Kui Tung, muridnya yang paling dibanggakan. Kui Tung mengangguk dan dia maju ke depan.
“Aku, Kui Tung yang maju mewakili rombongan kami. Hayo, siapa di antara kalian yang berani melawan aku?”
Han Bi Lan hendak maju, akan tetapi ia didahului Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang menyentuh lengannya dan berbisik.
“Biar aku yang menghadapinya.” Lalu gadis ini memandang kepada Tiong Lee Cin-jin untuk minta persetujuannya. Kakek itu mengangguk dan berkata sambil tersenyum.
“Majulah akan tetapi ingat, aku tidak menghendaki pembunuhan di sini.”
“Baik, Ayah,” kata Siang In dan ia sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke depan Kui Tung. Ia tersenyum mengejek.
“Aih, Muka Kuda, engkau belum jera juga melakukan kejahatan? Dahulu itu sebagai kepala perampok engkau masih dapat lolos dari tanganku. Sekarang, mari kita teruskan perkelahian itu!”
Diam-diam Kui Tung merasa gentar karena dahulu, dia dan Can Kok bertanding melawan Siang In dan Puteri Moguhai dan dia terdesak oleh gadis yang kini berdiri di depannya itu. Kalau ketika itu tidak ada Can Kok yang dapat mendesak Puteri Moguhai, tentu dia kalah oleh gadis berbaju hijau ini. Akan tetapi, saat ini, dia memiliki banyak kawan yang tangguh. Etnpat Datuk Besar berada di situ, masih ada lagi Can Kok yang amat lihai, ada lagi Jiu To murid Pak-sian, Golam orang Mongol murid Gwat Kong Lhama, dan dua orang murid Ouw Kan, yaitu Bouw Kiang dan Bong Siu Lan yang lihai. Selain itu di belakang ada tigapuluh orang lebih anak buah Tung-sai yang sengaja dibawa dari Pulau Udang dan rata-rata memiliki ketangguhan lebih dari orang biasa. Hal ini membuat hatinya tabah dan berani.
“Sratt!” Dia mencabut sebatang tongkat yang terselip di pinggangnya. “Ang Hwa Sian-li, sekarang tiba saat pembalasanku. Engkau akan mampus di tanganku!” setelah berkata demikian, cepat sekali tongkatnya sudah meluncur dan menusuk ke arah dada gadis itu.
Ang Hwa Sian-li Thio Siang In sudah pernah bertanding dengan pemuda muka kuda ini dan ia tahu bahwa tongkat di tangan lawannya itu bukan sembarang tongkat, melainkan tongkat yang di dalamnya tersembunyi sebatang pedang. Maka ia sudah mencabut sepasang pedangnya dan menangkis.
“Tranggg......!” Bunga api berpijar dan gadis itu lalu mainkan ilmu pedangnya, yaitu Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) yang gerakannya dahsyat. Terjadilah perkelahian mati-matian dan kedua pihak mengeluarkan semua kepandaian mereka. Akan tetapi ada bedanya. Kalau Kui Tung mengerahkan seluruh tenaga dan semua serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Siang In membatasi tenaganya agar serangan sepasang pedangnya tidak sampai mematikan lawan, sesuai dengan pesan ayahnya yang tidak berani ia langgar.
Empat Datuk Besar itu selain tinggi dan lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik dan curang. Melihat betapa Tiong Lee Cin-jin ditemani empat orang muda, mereka hendak mempergunakan kelebihan jumlah mereka untuk mendapatkan kemenangan tanpa harus main keroyokan beramai-ramai. Maka dia memberi isyarat kepada Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid mendiang Ouw Kan itu dan mereka yang sebelumnya memang sudah mengatur rencana, maju bersama.
Bouw Kian memegang tongkat hitamnya dan Bong Siu Lan mencabut sepasang pedangnya. Bouw Kiang berseru, “Hayo, siapa berani menandingi kami kakak beradik seperguruan?”
Bi Lan menghadap Tiong Lee Cin-jin minta persetujuan tanpa mengeluarkan kata-kata. Kakek itu tersenyum, mengangguk dan memesan pula, “Majulah akan tetapi ingat, tidak boleh membunuh.”
Bi Lan mengangguk, lalu ia melangkah maju menghadapi dua orang itu. Gadis berusia duapuluh tahun ini tampak cantik dan gagah bukan main. Pakaiannya serba merah muda, menempel ketat mencetak tubuhnya yang padat ramping dengan lekuk lengkung tubuh yang indah menggairahkan. Wajahnya bulat
telur, rambutnya hitam panjang ditata menjadi kepang dua, di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang melingkar-lingkar. Dahinya berkulit putih dan halus, alis matanya hitam, kecil namun tebal dengan bentuk melengkung seperti dilukis. Sepasang matanya begitu jeli dan bening seperti bintang, tajam dan biarpun agak redup seperti tertutup awan tipis, namun berwibawa. Hidungnya kecil mancung dan lucu, mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat dengan bibir yang merah basah tanpa gincu dan di kanan kiri mulutnya terhias lesung pipit yang membuat mulut itu tampak menarik dan menggairahkan. Dagunya meruncing manis dan kulitnya putih mulus. Namun di balik semua kejelitaannya itu tersembunyi sesuatu yang gagah berwibawa.
Bi Lan memandang dua orang itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu mukanya seperti muka kuda, walaupun dapat dikatakan tampan. Sepasang matanya tampak lincah dan cerdik curang, juga jelas membayangkan watak yang cabul mata keranjang. Adapun gadis berusia sekitar duapuluh tahun itu juga cantik, namun mulutnya agak lebar dan matanya liar.
“Kalian yang bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan?” tanya Bi Lan.
Dun orang saudara seperguruan itu mengangguk. Tadi mereka sudah mendapat bisikan dari Kui Tung bahwa gadis baju merah ini adalah Han Bi Lan, maka mereka memandang penuh kebencian.
“Dan engkau ini tentu Si Jahat Han Bi Lan yang telah membunuh guru kami Ouw Kan!” teriak Bong Siu Lan marah.
“Tidak keliru! Aku membunuh Ouw Kan karena dia mengutus kalian berdua untuk menyerang Ayah Ibuku!”
“Dan sekarang kami akan membunuhmu untuk membalaskan kematian suhu!” bentak Bouw Kiang dan mereka berdua segera menerjang tanpa memberi peringatan lagi. Tongkat hitam yang mengandung racun itu digerakkan Bouw Kiang menyambar ke arah kepala Bi Lan, sedangkan Bong Siu Lan menggerakkan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting ke arah leher dan pinggangnya.
Bi Lan sekarang berbeda dengan Bi Lan dahulu. Ketika dahulu ia menerima gemblengan dari gurunya yang pertama, yaitu Jit Kong Lhama, ia sudah mendapatkan ilmu silat yang lihai. Kemudian ia mempelajari ilmu rahasia simpanan Kun-lun-pai dari kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang membuat kepandaiannya bertambah hebat Akan tetapi yang membuat ia seperti sekarang, seorang gadis yang sakti, adalah ketika ia bertemu gurunya yang terakhir, Heng-si Ciauw-jiok (Si Mayat Hidup Berjalan) yang hanya mengajarkan tigabelas jurus silat Sin-ciang Tin-thian dan memperdalam serta memperkuat tenaga sinkangnya.
Biarpun dia dikeroyok dua orang murid Ouw Kan yang lihai itu, namun Bi Lan dengan mudah saja berkelebatan menghindarkan diri. Sejak menjadi murid Si Mayat Hidup, ia tidak lagi memerlukan bantuan senjata karena benda apa pun dapat ia jadikan senjata ampuh! Sambaran sepasang pedang dan tongkat hitam itu dihindarkannya dengan cara mengelak, menangkis dengan kedua tangan kosong, bahkan sekali-kali ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang dikepang dua itu dapat ia pergunakan untuk menangkis pedang atau tongkat dan sedikitpun tidak ada rambut yang putus, sebaliknya pedang dan tongkat yang tertangkis tergetar hebat dan terpental!
Mereka saling serang dan seperti yang terjadi dengan pertandingan pertama di mana Siang In membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh lawan, juga Bi Lan membatasi tenaganya. Ia
memang membenci dua orang yang mengakibatkan kematian ayahnya ini. Kalau saja ia tidak segan kepada Tiong Lee Cin-jin yang ia tidak ingin bantah pesannya, tentu dua orang itu sudah diserangnya dengan hebat dan dibunuhnya dalam waktu singkat!
Kembali Tung-sai memberi isyarat, sekali ini kepada pasangan ketiga, yaitu Jiu To murid Pak-sian dan Golam murid Gwat Kong Lhama. Dia memperhitungkan bahwa dua orang ini akan dilawan oleh. Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong sehingga di pihak musuh tinggal Tiong Lee Cin-jin yang akan dihadapi Empat Datuk Besar dan Can Kok sehingga dia memperhitungkan akan dapat membunuh Tiong Lee Cin-jin yang juga dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa atau Dewa Obat) itu.
Jiu To dan Golam, seperti juga Kui Tung, berbesar hati karena merasa kuat dengan adanya banyak kawan, maka mereka melangkah maju dengan sikap gagah, Jiu To sudah menghunus pedangnya dan Golam melolos rantai baja yang tadi dililitkan di pinggangnya.
Tiong Lee Cin-jin mengangguk ketika Moguhai minta persetujuannya untuk menghadapi dua orang ini. Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai yang dikenal dengan julukan Pek Hong Niocu, melompat ke depan dua orang itu sambil mencabut pedang bengkoknya. Tanpa banyak cakap lagi, Jiu To dan Golam sudah menggerakkan senjata mereka menyerang Moguhai. Puteri Tiong Lee Cin-jin itu mengelebatkan pedang bengkoknya.
“Trangg...... cringgg......!” Bunga api berpijar dan berhamburan ketika pedang bengkok itu menangkis pedang di tangan Jiu To dan rantai baja yang digerakkan Golam menyambar ke arah kepala gadis itu. Seperti juga Siang In, setelah mendapat gemblengan dari ayah kandung mereka, Puteri Moguhai kini juga memperoleh kemajuan hebat. Tenaga sakti yang mengalir di tubuhnya demikian kuat sehingga bukan saja tenaganya mampu menandingi tenaga dua orang pengeroyoknya, namun ia memiliki kecepatan gerakan yang membuat dua orang pengeroyoknya bingung seolah menghadapi lawan bayangan. Namun, dua orang ini telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, ditambah lagi Puteri Moguhai tidak mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ingin membunuh mereka seperti yang dikehendaki Tiong Lee Cin-jin, maka pertandingan itu juga berlangsung seru bukan main.
Setelah tiga orang gadis pendekar itu menghadapi lawannya masing-masing, kini tinggal Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong yang tersisa di pihak Yok-sian. Tung-sai lalu menyuruh Can Kok maju.
Begitu Can Kok melangkah maju dengan bibir tersenyum mengejek dan sikap congkak sekali, Thian Liong mendapat perkenan gurunya untuk menghadapi pemuda sombong yang sinar matanya aneh tanda ada kelainan dalam pikirannya. Setelah melihat Thian Liong maju mengha-dapinya, Can Kok membentak sombong.
“Kamu minggirlah! Aku datang untuk membunuh Tiong Lee Cin-jin, bukan bertanding melawan bocah yang tiada artinya macam kamu!”
Thian Liong tidak dapat disulut kesabarannya oleh ucapan yang sombong dan memandang remeh itu. Dia tersenyum dan berkata dengan tenang.
“Can Kok, engkau perlu belajar seratus tahun lagi untuk pantas menjadi lawan Suhu. Suhu bukan lawanmu. Akulah lawanmu dan engkau boleh mengeluarkan segala kemampuanmu untuk mengalahkan aku.”
Can Kok marah sekali dan seperti kebiasaan anehnya kalau dia marah, dia mengeluarkan suara mengguguk seperti orang menangis! Suara ini sesungguhnya mengandung getaran tenaga dalam yang amat kuat. Bahkan Thian Liong yang diserang langsung oleh suara itu merasa betapa jantungnya tergetar! Akan tetapi dengan pengerahan tenaga sakti dia mampu melindungi tubuhnya sehingga getaran suara itu lewat begitu saja tanpa mengganggunya.
Tiba-tiba tanpa memberi peringatan apa pun tubuh Can Kok sudah membuat lompatan seperti terbang menerjang ke arah Thian Liong seperti seekor burung rajawali menyerang kelinci! Kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya membentuk cakar menyerang ke arah kepala dan leher Thian Liong!
Thian Liong maklum akan kelihaian lawannya yang digembleng secara khusus oleh Empat Datuk Besar ini. Dia mengenal serangan dahsyat yang berbahaya, maka dia pun mengerahkan tenaganya menyambut. Kedua tangannya memapaki serangan Can Kok dan dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat, bertemu di udara.
“Blaarrr…...!” Ketika dua pasang tangan bertemu, terasa getaran mengguncang sekelilingnya sehingga mereka yang sedang bertanding di pekarangan itu pun merasakan getaran itu. Akibat pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu, Thian Liong yang menangkis sambil berdiri di atas tanah, tertekan dan kedua kakinya ambles ke dalam tanah sampai ke mata kakinya. Akan tetapi tubuh Can Kok yang menyerang dari atas tadi, terpental sampai jauh dan setelah membuat pok-sai (salto) lima kali baru dia turun ke atas tanah dengan wajah agak pucat.
Sambil mengeluarkan teriakan melengking, Can Kok sudah menyerbu lagi dan mengirim serangan-serangan maut. Akan tetapi Thian Liong tetap tenang dan menyambut semua serangan itu dengan kokoh sehingga semua rangkaian serangan itu dapat dia hindarkan dengan elakan atau tangkisan. Mereka lalu bertanding dengan amat serunya dan keduanya mengeluarkan semua jurus simpanan masing-masing karena tahu bahwa lawannya memiliki kesaktian.
Setelah melihat semua pembantunya maju menghadapi lawan mereka masing-masing, Tung-sai dan tiga orang datuk lainnya menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, Tiong Lee Cin-jin, sekarang hadapilah kami berempat! Sudah bertahun-tahun kami mencari kesempatan ini dan sekali ini, kami akan berhasil membunuhmu!”
“Siancai, hidup satu kali di dunia maya ini, tidak mencari kedamaian malah menimbulkan kekacauan dan permusuhan, membiarkan nafsu setan merajalela menguasai hati kalian. Ingatlah bahwa setiap orang akan memetik dan makan buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Sebelum terlambat, aku minta kepada kalian untuk menghentikan semua permusuhan dan perkelahian ini dan pergilah dengan damai.”
Akan tetapi, ucapan Yok-sian itu bukannya menyadarkan mereka, bahkan bagaikan minyak menyiram api, semakin mengobarkan kemarahan mereka. Mereka berempat mengeluarkan teriakan masing-masing yang khas, lalu bergerak cepat sekali, mengambil posisi mengepung Tiong Lee Cin-jin dari empat jurusan. Pak-sian dan See-ong berada di kanan kiri Yok-sian, Lam-kai di belakangnya dan Tung-sai di depannya! Dikepung Empat Datuk Besar itu, Yok-sian Tiong Lee Cin-jin masih bersikap tenang saja. Namun kewaspadaannya menyatu dan tidak ada gerakan empat orang itu, sedikitpun juga, yang tidak tertangkap panca indranya.
Pak-sian sudah memegang senjatanya yang berupa sebatang tongkat hitam berkepala ular. Tongkat ini selain kuat sekali, mampu beradu dengan senjata logam yang kuat dan ampuh, juga mengandung racun yang berbahaya. Dia berdiri di sebelah kiri Tiong Lee Cin-jin.
See-ong yang berdiri di sebelah kanan pertapa itu, sambil menyeringai lebar seperti kebiasaannya, memegang sebatang hud-tim (kebutan dewa) yang berbulu putih panjang. Biarpun bulu kebutan itu tampak lemas, namun See-ong dapat membuatnya menjadi kaku seperti bulu-bulu baja.
Lam-kai yang berdiri di belakang, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Pedang ini sebetulnya berwarna putih seperti perak, akan tetapi karena tangan Lam-kai mengandung tenaga sakti dari Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), maka tenaga yang mengandung warna merah itu menjalar ke dalam pedang sehingga pe-dangnya mengeluarkan sinar kemerahan. Tentu saja pedang itu ampuh bukan main.
Yang paling hebat adalah Tung-sai. Orang pertama dari Empat Datuk Besar ini memegang sebatang tombak yang terkenal sebagai tombak maut sehingga Tung-sai juga disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding).
Sebagai isyarat kepada tiga orang rekannya, Tung-sai mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah, itulah Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat menggetarkan jantung dan melumpuhkan lawan. Setelah mengeluarkan auman itu dia langsung menyerang dengan tombaknya. Serangannya amat dahsyat sehingga tombak itu menembus udara mengeluarkan suara berdesing seperti melesatnya anak panah, menusuk ke arah dada Tiong Lee Cin-jin. Pada detik-detik berikutnya, tiga senjata di tangan para datuk yang lain juga sudah datang menyerang.
Namun, tubuh Tiong Lee Cin-jin berkelebatan di antara sinar empat senjata yang menyambarnya itu. Serangan bertubi-tubi itu dapat dihindarkan Tiong Lee Cin-jin dengan elakan atau tangkisan kedua tangannya. Dengan tangan kosong pertapa ini berani menangkis senjata-senjata ampuh para pengeroyoknya! Hal ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat hebat, apa lagi ketika setiap tangkisan itu membuat para datuk itu merasa tangan mereka yang memegang senjata tergetar.
Pertempuran yang terjadi di pekarangan luas itu amat serunya. Akan te-tapi setelah berlangsung puluhan jurus, ternyata pihak Tiong Lee Cin-jin dapat mendesak lawan-lawannya, Ang Hwa Sian-Li Thio Siang In dapat membuat Kui Tung kewalahan dan main mundur. Juga Pek Hong Niocu, Puteri Moguhai yang dikeroyok Jiu To dan Golam membuat dua orang itu terus mundur dan repot menghindarkan diri dari sambaran pedang bengkok puteri itu. Bi Lan juga membuat Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bingung dan kewalahan dengan gerakannya yang aneh ketika gadis ini mainkan ilmu silat Sin-ciang Tin-thian yang ia pelajari dari Si Mayat Hidup!
Pertandingan antara Thian Liong dan Can Kok juga amat seru. Sekali ini dua orang muda itu dapat bertanding dengan bebas dan masing-masing mengerahkan seluruh kepandaiannya. Karena Thian Liong tidak ingin membunuh lawan, maka tentu saja daya serangannya kurang kuat dan tidak sepenuhnya. Hal ini membuat keadaan mereka seimbang dan per-tandingan itu menjadi seru bukan main.
Tiong Lee Cin-jin maklum bahwa kalau pertempuran itu tidak segera diakhiri, dia khawatir empat orang muda yang membantunya itu tidak akan dapat menahan diri lagi dan melakukan pembunuhan. Maka, dia mengeluarkan bentakan halus dan tiba-tiba empat orang pengeroyoknya itu berteriak kaget karena ada kekuatan dahsyat yang tak dapat mereka tahan sehingga senjata mereka itu terpental dan terlepas
dari pegangan mereka! Ketika mereka terbelalak memandang, mereka melihat Tiong Lee Cin-jin berdiri tegak di tengah antara mereka, dengan kedua lengan bersedakap (bersilang) dan kedua matanya terpejam!
Tung-sai memberi isyarat kepada tiga orang kawannya, lalu mereka berempat menggerak-gerakkan tangan menghimpun tenaga sakti dalam kedua lengan mereka. Suara mengiuk dan mendesis ketika empat orang itu menghimpun tenaga sakti dapat ditangkap oleh Tiong Lee Cin-jin. Kakek ini lalu mengangkat kedua tangannya dalam bentuk sembah ke atas kepala. Dengan begini, maka tubuhnya menjadi terbuka dan tidak terlindung.
Empat Datuk Besar itu menerjang ke depan dengan lompatan dan dalam saat yang bersamaan, mereka sudah melancarkan pukulan. Kedua tangan Tung-sai dengan jari terbuka menghantam dada Tiong Lee Cin-jin sehingga kedua telapak tangannya menempel pada dada pertapa itu. Pada saat yang hampir bersamaan, tiga orang datuk lainnya juga me-mukul dengan pengerahan sin-kang. Lam-kai memukulkan kedua telapak tangannya ke punggung, Pak-sian dan See-ong memukulkan telapak tangannya ke lambung kiri dan kanan. Empat pasang telapak tangan itu memukul dengan kuat sekali.
“Plak-Plak-plak-Plak!” Tangan-tangan yang mengandung tenaga sin-kang itu menempel pada tubuh Tiong Lee Cin-jin dan melekat di situ! Wajah Tiong Lee Cin-jin agak menyeringai seperti menahan sakit. Sejenak lima orang itu diam tak bergerak, akan tetapi empat orang Datuk Besar itu mengerahkan tenaga saktinya untuk menembus hawa yang melindungi tubuh Tiong Lee Cin-jin. Terjadi adu tenaga sin-kang yang hebat sekali. Kalau dilihat dari luar, mereka itu seperti telah berubah menjadi arca, diam tak bergerak, akan tetapi dari ubun-ubun kepala mereka mengepul uap tebal!
Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua tangannya yang tadinya dirangkap menyembah ke atas itu.
“Blaarrr......!” Tubuh Empat Datuk Besar itu terlempar ke belakang dan terbanting roboh tak bergerak lagi!
Tiong Lee Cin-jin membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah pucat lalu dia pun duduk terkulai lemas, bersila di atas tanah.
Robohnya empat orang pemimpin itu seolah menjadi isyarat karena tigapuluh orang lebih anak buah Pulau Udang itu berteriak-teriak dan mereka menyerbu masuk sambil mengamangkan senjata, lalu mengeroyok empat oraug muda yang masih bertanding dan mulai mendesak lawan-lawannya itu! Terjadilah pertempuran kacau balau karena Thian Liong, Bi Lan, Moguhai dan Siang In kini dikeroyok sekitar empatpuluh orang!
Sungguh sulit bagi empat orang itu. Sesungguhnya kalau mereka mau mengamuk, dengan kesaktian mereka, masih ada kemungkinan mereka mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, untuk dapat mengalahkan mereka yang banyak itu, empat orang ini harus mengamuk dan membu-nuh. Padahal, mereka tidak berani melanggar larangan Tiong Lee Cin-jin yang tidak menghendaki terjadinya pembunuhan di situ. Hal ini membuat mereka berempat kini dikeroyok ketat seperti empat ekor harimau dikeroyok serombongan anjing yang banyak jumlahnya.
Pada saat yang gawat itu, terdengar sorak sorai dan limapuluh lebih orang perajurit Kin menyerbu masuk pekarangan itu, dipimpin dua orang pemuda tampan, yang menggerakkan pedang mereka.
Menghadapi penyerbuan perajurit yang lebih banyak jumlahnya, pihak anak buah Empat Datuk Besar terkejut dan kewalahan. Banyak di antara mereka roboh dan pekarangan itu mulai banjir darah mereka yang terluka dan tewas.
Siang In tiba-tiba terbelalak ketika melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang siucai (sastrawan) datang membantunya. Pemuda itu menggerakan pedangnya dan ternyata ilmu silat pedangnya juga cukup hebat. Yang membuat Siang In terbelalak adalah ketika ia mengenal siapa pemuda itu.
“Han-ko (Kakak Han)......!” serunya ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Cin Han putera Pangeran Cin Boan yang tinggal di kota Kang-cun yang tadinya ia kenal sebagai seorang sastrawan yang dianggapnya seorang kutu buku yang lemah!
“In-moi, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!” kata Cin Han sambil membabat roboh seorang anak buah gerombolan itu.
“Han-ko, jangan bunuh orang......!” Siang In berseru, gembira, heran dan juga terharu.
Sementara itu, Moguhai juga terkejut bukan main ketika Kuang Lin, saudara sepupunya muncul membantunya dan mengamuk dengan pedangnya. Hampir ia tidak percaya bahwa itu adalah benar-benar Pangeran Kuang Lin. Ia baru yakin ketika pemuda itu berseru.
“Dinda Moguhai, mari kita hancurkan gerombolan, jahat ini!”
Seperti juga Siang In, Moguhai berseru. “Kanda Kuang Lin, benar engkaukah ini?” Ketika melihat betapa pangeran itu mengamuk dan merobohkan dua orang pengeroyok, Moguhai berseru, “Kanda, jangan bunuh orang!”
Keadaan kini menjadi terbalik sama sekali. Pasukan perajurit itu tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa mereka dilarang membunuh, maka anak buah Empat Datuk Besar itu berpelantingan. Melihat keadaan pihaknya terancam bahaya, Can Kok memberi aba-aba nyaring. “Hayo kita lari!”
Can Kok dan kawan-kawannya segera melarikan diri menuruni puncak itu, diikuti sisa anak buah mereka yang belum roboh, meninggalkan kawan-kawan yang tewas dan terluka parah. Mereka semakin gentar ketika mendapat kenyataan bahwa Empat Datuk Besar juga telah tewas!
Para perajurit hendak melakukan pengejaran, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lembut penuh wibawa.
“Berhenti semua! Jangan mengejar!”
Semua orang terkejut dan berhenti.
“Suhu......!” Teriakan ini keluar dari mulut Thian Liong yang sudah lari menghampiri Tiong Lee Cin-jin. Puteri Moguhai dan Siang In juga lari menghampiri. Mereka melihat Tiong Lee Cin-jin bangkit berdiri dengan wajah pucat sekali dan kedua matanya basah, bahkan ada beberapa titik air mata keluar dari sepasang matanya.
Dua orang gadis itu merangkul dari kanan kiri, tidak berani memanggil ayah, karena di situ terdapat banyak orang. Ayah kandungnya ini sudah pesan wanti-wanti (dengan sungguh-sungguh) agar mereka berdua tidak membuka rahasia mereka di depan umum karena hal itu akan mendatangkan akibat yang yang hebat dalam kehidupan mereka berdua. Kini, dua orang gadis itu hanya merasa khawatir sekali.
Thian Liong berlutut di depan kaki gurunya.
“Suhu......, apakah yang menyebabkan Suhu berduka? Suhu...... tidak...... terluka bukan?”
Tiong Lee Cin-jin memandang ke sekeliling, ke arah orang-orang yang tewas dan terluka, terutama kepada jenazah Empat Datuk Besar. Kemudian dia berkata lirih.
“Aku telah menyebabkan kematian mereka. Tempat ini telah menjadi tempat terkutuk di mana terjadi pembunuhan-pembunuhan antara manusia.” Suaranya terdengar menggetar sedih.
“Akan tetapi, teecu (murid) tadi melihatnya. Empat Datuk Besar itu tewas bukan Suhu bunuh, melainkan salah mereka sendiri. Mereka terpukul tenaga serangan mereka sendiri yang membalik,” bantah Thian Liong yang membela gurunya.
“Sama saja, aku yang menjadi penyebab kematian mereka. Dan semua pertempuran ini, bunuh-membunuh ini, terjadi karena aku pula. Ah, Thian, hamba telah menanam karma yang tidak baik...... hamba siap memetik buahnya......”
“Suhu......!” Thian Liong berseru dan dua orang gadis itu mulai menangis di kedua pundak ayah kandungnya.
Thian Liong memandang wajah gurunya yang tampak berduka dan dia menjadi terharu sekali. Tiong Lee Cin-jin tersenyum mengelus kepala dua orang gadis itu, meletakkan telapak kedua tangannya di atas kepala mereka dan berkata lembut.
“Pek Hong......, Siang In......, pulanglah kalian dan jadilah manusia yang baik seutuhnya, menjadi anak yang baik, isteri yang baik, ibu yang baik, warga negara yang baik, manusia yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Kelak, kalau kalian menikah, aku akan usahakan agar aku dapat menghadirinya.”
Dua orang gadis itu hanya dapat merangkul dan menangis.
“Thian Liong, bersihkan tempat ini dari semua bekas perkelahian dan pembunuhan ini. Kemudian, turun dari sini laksanakan kewajibanmu sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan. Jangan lagi mencari aku di sini karena aku tidak akan berada di tempat terkutuk ini.”
Kemudian dia menoleh kepada Bi Lan. “Han Bi Lan, engkau anak baik, kupujikan semoga engkau hidup berbahagia, akan tetapi berhati-hatilah terhadap Si Mayat Hidup karena dia pasti akan menagih janji.”
Pada saat itu, kedua orang putera pangeran itu, Cin Han dan Kuang Lin, yang sejak tadi hanya berdiri mendengarkan, menghampiri Tiong Lee Cin-jin.
“Lo-cianpwe, saya Cin Han, murid Kui Sim Tosu, menghaturkan hormat. Saya telah banyak mendengar akan nama besar Lo-cianpwe dari Suhu.”
Tiong Lee Cin-jin memandang Cin Han dan mengangguk-angguk.
“Bagus, Kui Sim Tosu adalah seorang yang bijaksana dan engkau muridnya yang baik.”
“Lo-cianpwe, saya Kuang Lin, sute (adik seperguruan) dari Suheng Cin Han. Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami kalau kedatangan kami membawa pasukan ini tidak berkenan di hati Lo-cianpwe.”
Kembali Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. “Sungguh baik nasib Kui Sim Tosu, memiliki dua orang murid yang baik budi bahasanya, juga lumayan ilmu silatnya. Melihat kalian dua orang pemuda yang bersikap lemah lembut dan berpakaian sebagai siucai (sastrawan), aku dapat mengatakan bahwa kalian berdua, Cin Han dan Kuang Lin, tentulah bun-bu-coan-jai (ahli sastra dan silat).”
Dua orang pemuda bangsawan Kin itu memberi hormat. “Kami masih mengharapkan banyak petunjuk Lo-cianpwe yang mulia.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu melihat lagi ke arah mayat dan yang terluka bergelimpangan, menghela napas panjang dan berkata. “Sudah, aku tidak tahan berada di sini lebih lama lagi. Pek Hong, Siang In, Thian Liong, aku pergi!” Setelah berkata demikian Tiong Lee Cin-jin berkelebat sedemikian cepatnya sehingga dia seolah menghilang dari situ. Pek Hong atau Moguhai dan Siang In saling rangkul dan menangis.
Thian Liong berkata kepada Cin Han dan Kuang Lin, “Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan ji-wi (kalian berdua).”
Cin Han dan Kuang Lin membalas penghormatan Thian Liong dan Cin Han berkata, “Saudara Souw Thian Liong, biarpun baru sekali ini aku berjumpa denganmu, namun nama besarmu sudah lama kudengar. Kerajaan Kin menganggap engkau sebagai pendekar dan jasamu besar sekali terhadap Kerajaan Kin. Perkenalkan, aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan dan tinggal di kota Kang-cun. Ini suteku bernama Kuang Lin, putera Pangeran Kuang dan tinggal di kota raja.”
“Senang sekali aku dapat berkenalan dengan putera-putera pangeran. Sekarang, menaati perintah Suhu tadi, aku ingin membersihkan tempat ini,” kata Thian Liong.
“Jangan khawatir, kami akan memerintahkan pasukan untuk membersihkan tempat ini, mengubur yang tewas dan mengurus yang terluka. Mereka merupakan tawanan pasukan kami,” kata Cin Han.
“Terima kasih, Pangeran.”
“Jangan sebut aku Pangeran, cukup Cin Han saja,” kata Cin Han dan dia lalu menghampiri Thio Siang In yang sudah menghentikan tangisnya karena sepasang saudara kembar ini merasa malu kalau membiarkan tangis menguasai dirinya, tidak pantas bagi orang-orang gagah perkasa seperti mereka.
“Han-ko, sungguh aku tidak pernah bermimpi bahwa engkau ternyata bukan hanya merupakan seorang siu-cai (satrawan) akan tetapi juga seorang bu-hiap (pendekar silat)!”
“Ah, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan ilmu silatmu, In-moi!”
“Bagaimana engkau dapat datang ke sini membawa pasukan?” tanya Siang In, jantungnya berdebar karena kagum dan juga girang karena ternyata pemuda yang mencintanya ini bukan seorang pemuda lemah, melainkan seorang gagah pula.
“Nanti saja kita bicara, In-moi. Sekarang aku hendak mengatur pembersihan tempat ini.” Cin Han tersenyum dan meninggalkan Siang In.
Pangeran Kuang Lin juga menghampiri Moguhai dan keduanya saling pandang. “Kanda Kuang Lin, selama ini engkau membodohi aku!” kata Moguhai cemberut.
“Eh? membodohi bagaimana, Dinda Moguhai?”
“Habis, engkau berlagak seorang siucai yang lemah, kiranya engkau murid Kui Sim Tosu yang sudah kudengar namanya sebagai seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya.”
“Ah, aku tidak sengaja berbohong, Dinda. Aku hanya malu untuk mengaku bahwa aku pernah belajar silat, malu kepadamu karena aku tahu bahwa engkau seorang pendekar wanita yang amat lihai.”
“Akan tetapi bagaimana engkau dan Pangeran Cin Han dapat tiba-tiba muncul membawa pasukan?”
“Nanti saja, Dinda Moguhai. Aku harus membantu Suheng Cin Han mengatur pembersihan tempat ini.” Setelah berkata demikian, Kuang Lin pergi menyusul Cin Han yang mulai membagi-bagi tugas kepada pasukan kerajaan.
Thian Liong diam-diam girang sekali melihat betapa Siang In mengenal baik Pangeran Cin Han dan Moguhai mengenal baik Pangeran Kuang Lin. Biarpun baru satu kali bertemu, dia merasa kagum dan suka kepada dua orang pangeran itu. Mereka tampan, gagah dan ramah, tidak angkuh seperti para muda bangsawan kebanyakan. Diam-diam dia mengharapkan dua orang pangeran itu akan dapat menjadi jodoh gadis kembar itu.
Thian Liong menghampiri dua orang gadis kembar itu yang kini sudah tampak gembira lagi.
“Wah, kita masih beruntung dua orang pangeran itu datang membawa pasukan sehingga pertempuran dapat segera dihentikan. Akan tetapi, tadi aku melihat bahwa kalian sudah akrab dengan mereka!”
Moguhai tersenyum. “Ketahuilah, Thian Liong. Pangeran Cin Han itu adalah calon suami Siang In!”
“Ih, jangan ngawur!” kata Siang In sambil mencubit lengan Moguhai. “Liong-ko, jangan percaya obrolannya!”
“Wih, siapa yang membuat obrolan kosong? Thian Liong, ia bahkan sudah dilamar oleh Pangeran Cin Han!” kata Moguhai dan terkekeh-kekeh ketika Siang In hendak mencubitnya.
“Liong-ko, engkau tahu? Pangeran Kuang Lin itu adalah pilihan hati Pek Hong! Hayo, mau sangkal? Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa engkau tertarik dan kagum kepada Pangeran Kuang Lin, hanya engkau sayangkan dia lemah seperti persangkaanmu. Dan sekarang ternyata dia gagah perkasa. Hemm...... kemana lagi?”
Kini Moguhai yang pura-pura marah.
“Sudahlah, kalian harus bersikap jujur dan terbuka,” kata Thian Liong. “Kalau memang kalian saling mencinta dengan dua orang pangeran itu, apa salahnya? Aku pun suka dan kagum kepada mereka, dan aku ikut bahagia kalau kalian dapat menjadi isteri mereka yang hidup bahagia, ha-ha-ha!” Sekarang Thian Liong tertawa-tawa, menertawakan kedua orang gadis yang tersipu-sipu malu dengan muka kemerahan.
“Eh, Thian Liong! Itu Han Bi Lan, ia lari dari sini!” Moguhai tiba-tiba ber-seru.
Thian Liong terkejut, menengok dan benar saja, dia melihat Bi Lan pergi menuruni puncak itu.
“Lan-moi……!!” Thian Liong memanggil dan dia pun mengejar gadis baju merah itu.
Kini Moguhai dan Siang In yang tertawa-tawa menertawakan Thian Liong yang berlari-larian, mengejar Bi Lan sambil memanggil nama gadis itu. Tawa mereka semakin geli ketika mereka melihat
Bi Lan menoleh lalu gadis itu berlari cepat. Thian Liong tetap mengejarnya dan sebentar saja dua bayangan mereka sudah tidak tampak lagi.
Dua orang gadis kembar itu masih tertawa-tawa ketika Cin Han dan Kuang Lin menghampiri mereka. “Eh, ada apa sih kalian tertawa-tawa?” tanya Cin Han.
“Dinda Moguhai, apa sih yang lucu?” tanya pula Kuang Lin kepada Moguhai.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Moguhai. “Hanya kami geli melihat Thian Liong dan Bi Lan berkejar-kejaran menuruni puncak.”
Dua orang pemuda itu menengok ke bawah, akan tetapi mereka tidak melihat lagi Thian Liong dan Bi Lan. “Biar aku cari dia, untuk berpamit,” kata Cin Han.
“Tidak perlu, Han-ko, biarkan mereka berdua,” kata Siang In. Jawaban ini sudah cukup membuat dua orang pemuda itu mengerti.
“Kalau begitu, mari kita meninggalkan puncak ini. Para perajurit sudah kami perintahkan untuk mengurus semua mayat dan yang luka, membersihkan tempat ini seperti yang dipesan Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin tadi!' kata Cin Han.
“Benar, mari kita tinggalkan puncak ini. Kami sudah mempersiapkan kuda untuk kita berempat,” kata pula Kuang Lin.
Dua orang gadis itu tidak membantah dan tak lama kemudan mereka berempat sudah menunggang kuda, sepasang-sepasang. Kuda mereka menuruni puncak perlahan-lahan dan Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan Pangeran Kuang Lin, sedangkan di depan mereka Thio Siang In berjejer dengan Cin Han juga asyik bercakap-cakap perlahan. Wajah mereka berempat berseri-seri penuh senyum. Mereka melakukan perjalanan satu jurusan, yaitu ke kota raja, walaupun Siang In dan Cin Han akan berhenti di kota Kang-cun yang tidak jauh letaknya dari kota raja.
“Bi Lan tunggu…..!!” Souw Thian Liong berseru memanggil gadis yang berlari cepat sekali di depannya itu. Jarak di antara mereka cukup jauh, akan tetapi seruan Thian Liong yang didorong tenaga sin-kang itu dapat terdengar oleh Bi Lan. Gadis itu sama sekali tidak berhenti, bahkan menoleh pun tidak, melainkan berlari semakin cepat! Semenjak menerima gemblengan Si Mayat Hidup, kepandaian Bi Lan meningkat pesat sehingga kini larinya seperti terbang cepatnya.
Thian Liong merasa heran dan penasaran sekali. Selama melakukan perjalanan bersama, ketika Bi Lan menyamar sebagai seorang pemuda bernama Han, sikap gadis itu amat baik kepadanya. Amat ramah dan terkadang sinar mata gadis itu jelas membayangkan bahwa hatinya senang sekali. Malah dia mulai merasa yakin bahwa Bi Lan juga suka atau cinta kepadanya seperti juga dia yang telah lama jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi mengapa kini Bi Lan berlari demikian cepat seolah tidak mau lagi bertemu dan bicara dengannya?
Timbul bermacam dugaan dalam hatinya dan dia teringat bahwa tadi, dua orang murid Ouw Kan yang dimusuhi gadis itu karena mereka menyebabkan kematian ayahnya, dapat meloloskan diri dan tidak terbunuh. Dan hal itu terjadi karena Tiong Lee Cin-jin melarang dilakukannya pembunuhan di situ. Apakah Bi Lan marah karena kecewa tidak diberi kesempatan membunuh dua orang musuhnya itu?
“Bi Lan tunggu! Aku mau bicara!” teriaknya lagi.
Akan tetapi gadis itu malah berlari semakin cepat. Kalau dia kehendaki, tentu saja Thian Liong sejak tadi mampu menyusul Bi Lan. Betapa pun lihainya gadis itu, dalam hal tenaga sakti ia masih belum mampu menandingi Thian Liong. Akan tetapi Thian Liong tidak mau melakukan hal itu, khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati Bi Lan. Kini, karena gadis itu tidak mau berhenti dan tidak mau menjawab, dia berteriak lagi.
“Bi Lan! Berhentilah atau jawablah mengapa engkau melarikan diri dariku! Kalau engkau diam saja dan tetap berlari, aku akan menyusulmu!”
Bi Lan tetap tidak menjawab dan tidak berhenti, maka Thian Liong lalu berlari cepat sekali untuk mengejar gadis itu. Setelah tiba dekat, dengan kaget dan heran dia mendengar gadis itu berlari sambil menangis!
Dia melompat jauh ke depan dan turun di depan Bi Lan sehingga terpaksa gadis itu berhenti.
“Pergi! Pergilah engkau beramah tamah akrab dengan dua orang gadis cantik itu! Aku memang orang yang tidak berharga......! Tinggalkan aku……!” Bi Lan menangis tersedu-sedu, tubuhnya lemas sehingga ia jatuh berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Tubuhnya terguncang ketika ia menangis sampai mengguguk.
Dengan bingung dan khawatir, Thian Liong berlutut dekat Bi Lan dan berkata dengan lembut dan hati-hati. “Lan-moi (Adik Lan)......, engkau marah kepadaku? Apakah kesalahanku padamu, Lan-moi? Kalau aku bersalah, hukumlah aku, aku akan rela menerimanya. Akan tetapi kalau penyebab kemarahanmu karena Siang In dan Moguhai, engkau salah sangka. Mereka itu adalah saudara-saudara seperguruanku, murid Suhu Tiong Lee Cin-jin. Tidak ada hubungan apa pun antara kami bertiga selain saudara seperguruan.”
Gadis itu masih menangis, tangisnya membayangkan betapa ia berada dalam keadaan yang berduka sekali. Thian Liong merasa iba dan juga khawatir.
“Aih, Bi Lan, bicaralah padaku, aku mohon padamu, jangan membuat aku bingung. Katakanlah, mengapa engkau menangis begini sedih? Apakah...... apakah engkau merasa kecewa kepada Suhu Tiong Lee Cin-jin karena engkau tidak boleh membunuh dua orang murid Ouw Kan itu?”
Bi Lan tak dapat menjawab karena terisak-isak, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, dia menggeleng-geleng kepalanya. Thian Liong merasa lega, dan dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, Bi Lan tidak akan mampu bicara. Maka dia pun lalu mendiamkan saja, memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menumpahkan segala ganjalan hati dan pikirannya melalui tangisnya.
Akhirnya, gadis itu dapat menguasai dirinya dan tangisnya mereda, lalu berhenti, hanya terisak-isak sesekali. Thian Liong lalu berkata lagi dengan lembut.
“Lan-moi, selama melakukan perjalanan bersama, hatiku gembira sekali karena kita bergaul dengan akrab. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba engkau menjauhkan diri dan menangis? Apa yang menjadi sebabnya kalau tadi engkau menyangkal bahwa engkau kecewa kepada Suhu?”
Bi Lan menyusut mata dan hidungnya dengan saputangan dan kini ia sudah tenang kembali. Akan tetapi suaranya masih gemetar ketika ia berkata.
“Mengapa engkau mengejarku? Mengapa engkau meninggalkan Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Niocu? Mereka tentu menantimu. Kembalilah kepada mereka dan jangan hiraukan aku yang bodoh dan hina-dina ini.”
Thian Liong menyangka bahwa Bi Lan ini agaknya merasa cemburu kepada dua orang gadis itu, maka dia cepat berkata, “Mereka tidak akan menanti aku, Lan-moi. Mereka berdua sudah mempunyai teman yang dekat sekali, mungkin menjadi calon suami-suami mereka, yaitu Pangeran Cin Han dan Pangeran Kuang Lin.”
Keterangan ini semakin menenangkan hati Bi Lan. Harus ia akui bahwa tadi, melihat Thian Liong tertawa-tawa ketika bicara dengan dua orang gadis itu, ia merasa iri. Bukan cemburu, melainkan iri karena ia teringat akan keadaan dirinya yang anak bekas pelacur, sedangkan dua orang gadis itu adalah anak-anak orang yang terhormat dan makmur, terutama sekali Puteri Moguhai. Hal ini membuat ia merasa rendah diri dan sedih sekali.
Jelas dan tidak aneh kalau Thian Liong lebih tertarik kepada mereka. Akan tetapi setelah mendengar keterangan Thian Liong bahwa dua orang gadis itu telah memiliki calon suami, ia menjadi lebih tenang, sungguhpun ingatan akan keadaan dirinya masih membuat ia sedih dan batinnya tertekan sekali.
“Mengapa engkau mengejarku?” Ia bertanya dan sepasang matanya yang kemerahan dan agak membengkak karena tangisnya tadi kini menatap tajam wajah Thian Liong.
Pemuda itu meragu. Apakah dia harus berterus terang menyatakan isi hatinya? Bagaimana kalau pernyataannya itu salah alamat dan membuat Bi Lan semakin marah dan benci kepadanya? Sejak pertemuan mereka yang pertama kali, terjadi ketegangan di antara mereka dan gadis ini pernah sakit
hati dan mendendam kepadanya. Akan tetapi teringat kepada Siang In dan Moguhai yang agaknya juga telah mendapatkan pilihan hati masing-masing, dia nekat memberanikan diri.
“Aku mengejarmu karena aku tidak mau kautinggalkan begitu saja, karena aku ikut susah melihat engkau bersedih dan...... karena...... aku cinta padamu, Bi Lan!”
Pernyataan cinta Thian Liong itu tidak mengejutkan hati Bi Lan karena sudah lama perasaan wanitanya dapat menangkap cinta kasih pemuda itu kepadanya melalui sinar mata dan sikap serta ucapannya. Mendengar pernyataan ini, ia tidak menjadi marah seperti yang di khawatirkan Thian Liong, sebaliknya ia malah mulai menangis lagi!
“Tidak...... tidak......, aku...... aku tidak berharga...... aku seorang hina dina......!”
Thian Liong memegang kedua pundak gadis itu dan mengguncangnya perlahan. “Bi Lan, mengapa engkau berkata begitu? Dalam pandanganku, engkau adalah gadis yang paling mulia di dunia ini! Siapa yang berani mengatakan bahwa engkau seorang yang tidak berharga dan hina? Akan kuhajar mulut kotor orang yang mengatakan itu!”
“Liong-ko, aku tidak berharga menjadi...... menjadi......”
“Siapa bilang tidak berharga, Lan-moi? Sekarang juga, kalau engkau sudi, aku meminangmu untuk menjadi isteriku!”
“Tidak Liong-ko, tidak! Engkau akan diejek dan dicemooh semua orang. Aku tidak pantas menjadi isterimu......, namamu akan ikut tercemar......”
“Lan-moi, apa sih maksud ucapanmu itu? Engkau adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan baik budi, penegak kebenaran dan keadilan. Lebih dari itu, engkau puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami isteri yang terhormat dan dikagumi, dihormati banyak orang! Engkau adalah gadis paling mulia yang pernah kujumpai! Kalau mau bicara tentang tidak berharga, sesungguhnya akulah yang tidak berharga menjadi pendamping hidupmu. Kalau memang itu masalahnya, katakan saja, Lan-moi. Aku memang hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa......”
“Cukup! Liong-ko! Jangan merendahkan diri seperti itu. Aku amat menghormatimu, amat mengagumimu. Akan tetapi sungguh, aku sama sekali tidak berbohong kalau aku mengatakan bahwa aku tidak berharga untuk menjadi isterimu! Ah, engkau tidak tahu......!” Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi pucat.
Thian Liong kembali menangkap kedua pundak Bi Lan dan berkata dengan suara tegas. “Bi Lan, di mana kegagahanmu? Tidak pantas puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami isteri pemimpin Pasukan Halilintar yang gagah perkasa kalau engkau menjadi begini penakut untuk bicara terus terang! Katakanlah kepadaku apa yang mengganjal di hatimu. Percayalah, aku akan menerima hal yang paling buruk sekalipun dengan tabah!”
“Benarkah itu? Apakah engkau masih dapat...... mencintaku kalau engkau mengetahui bahwa namaku tercemar, kotor dan hina?”
“Moi-moi, aku cinta padamu! Bukan pada namamu! Ceritakanlah dan bersikaplah jujur, terbuka dan tabah sebagai mana layaknya seorang pendekar!”
Mendengar ini, timbul semangat Bi Lan dan muncul keberaniannya. Ia bangkit dan duduk di atas sebuah batu dan Thian Liong segera duduk di atas batu lain di depannya.
“Baiklah Liong-ko, aku akan bercerita sejujurnya. Terserah kepadamu nanti bagaimana tanggapanmu. Dengarlah baik-baik. Liong-ko, aku adalah anak seorang pelacur! Ibu kandungku, Liang Hong Yi, adalah seorang bekas pelacur!”
Sepasang mata Thian Liong terbelalak, mukanya berubah merah sekali, alisnya berkerut dan dia menatap wajah Bi Lan dengan tajam. Suaranya mengandung penuh teguran ketika dia berkata, “Bi Lan! Jangan menjadi anak durhaka! Bibi Liang Hong Yi adalah seorang pendekar wanita, mengapa engkau begitu tega untuk memberi keterangan seperti itu? Siapa pun tidak akan percaya!”
“Liong-ko, apa kaukira aku senang mendapatkan kenyataan ini? Hatiku hancur lebur, dunia seperti kiamat bagiku, hidup seolah tidak ada gunanya lagi. Aku malu, Liong-ko, terutama malu kepadamu! Akan tetapi yang kuceritakan adalah sesungguhnya. Tadinya aku juga tidak percaya, akan tetapi setelah kutanyakan langsung kepada Ibuku ia...... ia mengaku terus terang bahwa memang benar dahulu sebelum menikah dengan Ayah, ia adalah seorang pelacur!” Kembali gadis itu terisak, akan tetapi dengan air mata menuruni kedua pipinya, ia menatap wajah Thian Liong. “Nah, sekarang kalau engkau hendak memaki, menghina aku, lakukanlah!”
Kini tiba giliran Thian Liong yang bungkam. Dia berdiam diri seperti orang linglung, hanya memandang gadis itu dengan mata tidak percaya, terkejut, dan terheran. Bagaimana mungkin wanita setengah tua yang gagah perkasa itu, dahulu pernah menjadi seorang pelacur? Bagaimana seorang pendekar gagah perkasa seperti mendiang Han Si Tiong dapat menikah dengan seorang pelacur?
Melihat pemuda itu hanya bengong, Bi Lan menyusut air matanya dan suaranya tergetar dan terputus-putus ketika ia bertanya, “Kau...... kau jijik dan benci padaku sekarang......?” Setelah berkata demikian, gadis itu melompat jauh dan lari sekuatnya.
“Bi Lan......!” Thian Liong juga melompat dan mengejar. Setelah dapat menyusul, dari belakang dia menubruk dan memeluk tubuh gadis itu sehingga mereka berdua jatuh bergulingan di atas rumput. Bi Lan bangkit berdiri, akan tetapi sebelum ia sempat lari, Thian Liong telah merangkulnya.
“Lepaskan aku! Engkau nanti ikut kotor kalau berdekatan dengan aku!”
“Bi Lan jangan bersikap begitu. Aku cinta padamu, Lan-moi.”
“Hemm, bagaimana engkau dapat mencinta aku setelah engkau tahu bahwa aku ini anak pelacur?”
Tanpa melepaskan gadis itu dari rangkulannya Thian Liong berkata, “Bi Lan, dengarlah. Aku mencinta engkau! Mengerti? Aku cinta engkau, siapapun juga namamu! Aku cinta engkau, anak siapa pun engkau, baik raja maupun anak pengemis, anak pendeta maupun anak penjahat! Aku cinta engkau, Bi Lan, tidak cukupkah itu?”
“Tapi...... tapi Ibuku......”
“Hushh, jangan lanjutkan. Ibumu tetap Ibumu, apa pun dan bagaimana pun keadaannya. Engkau wajib menghormatinya, menyayangnya, berbakti kepadanya! Ibumu seorang pendekar wanita, seorang isteri setia, seorang ibu yang baik, seorang wanita terhormat. Setiap orang manusia sudah pasti pernah melakukan dosa, pernah sesat jalan. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Akan tetapi, kalau manusia yang melakukan dosa mohon pengampunan kepada Thian dan bertaubat, tidak mengulang lagi dosa yang telah dilakukan, maka Tuhan itu Maha Murah, Maha Kasih, dan Maha Adil! Mungkin di waktu mudanya ibumu pernah sesat jalan, akan tetapi setelah menjadi isteri Paman Han Si Tiong, ia telah bertaubat dan meninggalkan kesesatannya.”
Bi Lan memandang wajah Thian Liong dan kini dia tidak meronta lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan wajahnya pucat, agaknya ia telah mengalami guncangan-guncangan batin yang hebat.
“Benarkah semua omonganmu, Liong-ko? Engkau tidak menganggap rendah, kotor dan hina kepada Ibuku?”
Thian Liong menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Tidak, Lan-moi. Pekerjaan melacur memang tidak baik dan. merendahkan martabat kaum wanita. Akan tetapi pelacur bukan penjahat. Laki-laki yang datang melacur lebih rendah, kotor dan hina, jahat pula. Terutama para pria yang sudah mempunyai pacar, tunangan atau isteri karena perbuatannya itu berarti mengkhianati pacar, tunangan, atau isterinya. Walaupun pelacur itu tidak baik dan patut dicegah, namun pelacur bukan penjahat dan tidak mengkhianati siapa-siapa. Dalam pandanganku, Bibi Liang Hong Yi tetap sebagai wanita terhormat dan mulia.”
Kini Bi Lan menangis sambil merapatkan mukanya di dada Thian Liong sehingga air matanya menembus baju Thian Liong membasahi dadanya. Thian Liong merasa seolah-olah air mata itu menembus kulit dagingnya dan menyiram jantungnya, mendatangkan perasaan nyaman dan bahagia.
“Liong-ko......, tadinya aku takut sekali...... takut engkau membenciku, meninggalkan aku...... padahal, hanya engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kupandang, kuhormati dan kukagumi, satu-satunya orang yang kucinta......”
Thian Liong mendekap kepala itu dan mengelus rambut Bi Lan.
“Lan-moi sayang, di sana masih ada seorang yang kaucinta, yang juga kucinta dan kuhormati, yaitu Ibumu! Mari kita menghadap Ibumu untuk minta doa restunya.”
“Ibu...... entah di mana, Liong-ko!”
“Ehh......?? Mengapa begitu?”
Tanpa melepaskan diri dari pelukan Thian Liong, Bi Lan menceritakan semua yang ia alami bersama ibunya sejak ayahnya tewas. Bagaimana ia lalu meninggalkan ibunya karena menyesal, kecewa, malu dan berduka mendengar pengakuan ibunya bahwa ibunya dahulu adalah seorang pelacur.
“Aku pergi meninggalkannya dan aku tidak tahu ia sekarang berada di mana, Liong-ko.”
“Mari kita mencarinya, Lan-moi. Kita pergi ke kota raja dan mencarinya sampai dapat kita temukan.”
Bi Lan hanya mengangguk dan terisak. Sampai lama mereka saling berpelukan sampai akhirnya Bi Lan berhenti menangis. Kemudian, kedua orang itu menuruni bukit itu sambil bergandengan tangan, dengan sinar mata penuh gairah hidup, dengan semangat baru, menyongsong kehidupan yang cerah, penuh kasih sayang, penuh harapan.
Sampai di sini berakhirlah Kisah Si Naga Langit ini, harapan pengarang mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembacanya.
TAMAT
Lereng Lawu, medio September 1991.
Alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1394
8 November 2013 jam 3:42pm
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru