Senin, 08 Mei 2017

Cersil 8 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Klasik Mandarin

Cersil 8 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Klasik Mandarin Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 8 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Klasik Mandarin
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 8 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Klasik Mandarin
Jodoh Si Naga Langit (Serial 02 - Kisah Si Naga Langit)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Pemuda itu menuruni puncak bukit di mana dia semalam tinggal melewatkan malam yang dingin. Akan tetapi pagi ini udara cerah dan hangat. Dia melangkah perlahan dari puncak, lenggangnya kokoh dan mantap seperti langkah seekor harimau, dada dan perutnya menggembung dan mengempis karena tarikan napas yang dalam dan panjang. Hawa udara demikian bersihnya, segar memasuki rongga dada dan perut mendatangkan rasa nikmat dan nyaman.
Usianya sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang, kulitnya putih dan wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak buruk. Wajah yang lebih tepat disebut ganteng dan gagah, dengan rambut hitam, alisnya berbentuk golok seolah melindungi sepasang mata yang mencorong namun lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu menyungging senyum sehingga wajah yang agak bulat dengan dagu runcing itu tampak penuh pengertian dan ramah. Pakaiannya sederhana saja seperti seorang pemuda dusun atau juga seorang pemuda kota yang miskin. Dia menggendong sebuah bungkusan kain kuning yang terisi beberapa potong pakaian.
Dilihat keadaannya yang sederhana, sikapnya yang lembut, dan tanpa adanya sepotong pun senjata pada dirinya, tidak akan ada orang yang menyangka bahwa dia seorang ahli silat. Padahal sesungguhnya pemuda itu adalah Souw Thian Liong, seorang pendekar yang pernah menggegerkan kedua kerajaan. Di Kerajaan Kin di utara, dia membantu kerajaan itu membasmi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Hiu Kit Bong. Kemudian, di Kerajaan Sung Selatan dia memegang peranan penting dalam menghancurkan kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui yang terkenal dalam sejarah sebagai seorang pembesar yang korup, lalim dan jahat, yang sudah menguasai kaisar.
Souw Thian Liong memiliki ilmu silat yang tinggi berkat bimbingan gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin yang berjuluk Yok-sian (Tabib Dewa) dan yang terkenal di seluruh negara, baik di Kerajaan Kin di utara maupun di Kerajaan Sung di selatan.
Selama beberapa bulan ini, Souw Thian Liong melakukan perantauan tanpa tujuan tertentu, menurut saja ke mana kedua kaki dan perasaan hatinya membawanya. Dia tertarik oleh keindahan alam di bukit itu, maka kemarin dia mendaki bukit, melewatkan malam di puncak dan pagi hari ini dia menuruni puncak bukit dengan santai.
Ketika dia tiba di lereng pertama dekat puncak dan melihat tempat itu terbuka, tidak terhalang apa pun sehingga dia dapat menyaksikan tamasya alam yang berada di bawahnya, dia berhenti, terpesona akan keindahan alam di bawah sana. Hamparan yang amat luas, dengan warna-warni bagaikan sebuah lukisan yang amat indahnya. Sawah ladang dengan warna hijau dan kuning, bukit-bukit di belakang sana yang tampak kebiruan, sungai yang tampak bagaikan naga yang meliuk-liuk, rumah-rumah di sana-sini dengan gentengnya yang kemerahan. Dan di sebelah kiri terdapat sekelompok ternak kerbau yang digembala seorang anak remaja. Para petani yang berangkat ke sawah memanggul cangkul.
Bukan hanya penglihatannya yang berpesta menikmati semua pemandangan indah itu. Juga sepasang telinganya menikmati bunyi-bunyian yang membuat pagi hari itu semakin cerah dan riang. Kicau burung di pohon-pohon, kokok ayam jantan di kejauhan, diseling suara kerbau menguak dan kambing mengembik, salak anjing dan teriakan penggembala yang menghalau ternak kerbau agar jangan makan padi-padian yang tumbuh di sawah ladang.
Penciumannya juga menikmati keharuman rumput, daun dan bunga yang tumbuh di sekitar lereng itu, dan bau tanah dibasahi embun menghangatkan perasaannya. Sinar matahari pagi seolah menggugah segala yang berada di permukaan bumi, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan mencuci semuanya itu dengan sinarnya yang keemasan dan hangat.
Thian Liong duduk di atas batu besar, seolah menelan semua keindahan itu, dan dalam keadaan seperti, di mana hati akal pikiran tidak disibukkan oleh urusan tentang diri pribadinya, sesungguhnya dia sedang berada dalam keadaan yang disebut bahagia tanpa disadarinya. Dalam keadaan seperti itu dia bersatu dengan alam, terangkum dalam kekuasaan Tuhan, sumber segala keindahan, pusat segala kebahagiaan. Tidak ada “si-aku” yang susah atau senang, kecewa atau puas, si-aku yang bukan lain hanyalah ciptaan hati akal pikiran, yang amat lemah terhadap godaan iblis yang menunggangi nafsu sehingga manusia semakin menjauhi Tuhan dan mulailah dia menjadi permainan suka duka buatan nafsu yang diperalat iblis.
Keadaan penuh kebahagiaan yang menyelimuti diri Thian Liong itupun tidak lama berlalu, lewat bagaikan hembusan angin pagi itu. Begitu pikirannya disibukkan oleh kenangan masa lalu, dia pun mulai menghela napas panjang, bukan lagi helaan napas kebahagiaan, melainkan helaan napas sedih dan haru, mengingat betapa hidupnya kesepian.
Keheningan lahir batin yang mendatangkan kebahagiaan tadi kini mulai terganggu kesibukan pikiran Thian Liong yang mengenang masa lalunya. Kesunyian di sekelilingnya membuat lamunannya berlarut-larut.
Terbayang dalam ingatannya ketika ayah dan ibunya meninggal dunia terserang penyakit perut yang melanda dusunnya ketika dia berusia lima tahun. Kini sukar baginya untuk mengingat bagaimana wajah ayah dan ibunya. Yang teringat olehnya hanyalah adegan ketika dia menangis di depan peti kedua orang tuanya, dipangku dan dihibur neneknya, Nenek Souw, ibu dari ayahnya. Kemudian Neneknya yang sudah tua itu bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lurah Coa Lun, dan dia juga bekerja sebagai penggembala kerbau.
Ketika tadi dia melihat penggembala kerbau di bawah itu, maka mulailah tergugah kenangannya yang membuat kini pikirannya sibuk mengenang masa lalunya. Dia bekerja pada Lurah Coa selama lima tahun. Dalam usia sepuluh tahun itu, dia bertemu dengan Tiong Lee Cin-jin atau Yok-sian yang kemudian menjadi gurunya. Dia meninggalkan dusun di lereng Mou-mou-san setelah neneknya meninggal dunia, menjadi murid Tiong Lee Cin-jin. Ketika itu dia berusia sepuluh tahun dan diajak oleh gurunya itu ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi.
Thian Liong memandang ke atas. Langit cerah, matahari pagi mulai meninggi dan sinarnya yang tadi lembut mulai mengeras, panas menyengat kulit. Dia melihat segumpal awan memanjang dan jantungnya berdebar. Awan itu, dalam pandangannya, membentuk seekor naga. Thian Liong (Naga Langit), itulah namanya. Awan putih berbentuk naga itu bergerak terbawa angin, maju perlahan, seorang diri saja karena tidak tampak awan lain di langit yang biru. Persis seperti dirinya, seorang diri, sebatang kara mengembara di dunia ini tanpa tujuan tertentu!
Thian Liong menghela napas panjang, teringat dia akan semua pengalaman dalam perantauannya selama dua tahun ini. Banyak sudah dia terlibat dalam urusan dunia, urusan dua kerajaan. Urusan yang membuat dia bertemu dengan beberapa orang gadis yang sampai kini tidak mudah dia lupakan, bahkan wajah-wajah mereka kini terbayang dan tersenyum manis kepadanya.
Mula-mula yang tampak adalah wajah Han Bi Lan, gadis berusia sekitar sembilanbelas yang selalu berpakaian merah muda itu, seorang dara cantik manis yang lincah, galak dan nakal. Namun cerdiknya bukan main. Wajahnya yang bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan sinom (anak rambut) menghias dahi dan pelipis, dahinya berkulit halus, alisnya hitam kecil, matanya seperti bintang sinarnya tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat, hidungnya mancung, bibirnya menggairahkan dan lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dagunya yang meruncing, membuat wajah itu tampak manis bukan main. Kulitnya putih kemerahan, tubuhnya padat ramping penuh daya pikat.
Bagaimana dia dapat melupakan gadis yang satu ini? Gadis yang pernah mencuri kitab yang harus dia serahkan kepada perguruan Kun-lun-pai, gadis yang kemudian membantu dia ketika dia difitnah, dan gadis itu pula yang dia tangkap, dia telungkupkan di atas kedua pahanya dan dia hukum dengan tamparan pada pinggulnya sebanyak sepuluh kali untuk menghukum perbuatannya mencuri kitab!
Peristiwa ini akhirnya membuat dia menyesal karena kemudian baru dia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami isteri di dusun Kian-cung dekat Telaga Barat yang dia hormati itu! Dia merasa menyesal karena Han Bi Lan juga mengancam akan membalas dendam karena perbuatannya itu, dan gadis itu meninggalkannya dengan pandang mata penuh kebencian dan dendam.
Thian Liong menghela napas panjang dan berusaha menghilangkan kenangan akan Han Bi Lan itu dengan membayangkan wajah gadis lain. Yang pertama tampak menggantikan bayangan Bi Lan adalah bayangan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Gadis lihai yang berpakaian serba hijau dan memakai bunga mawar merah di rambutnya ini juga cantik jelita dan cerdik sekali, cerdik dan jenaka. Wajahnya bulat dan dia memiliki kerling mata dan senyum bibir yang menggairahkan. Tahi lalat kecil di pipi kiri dekat ujung bibir, menambah manisnya. Tubuhnya ramping dan gadis berusia sekitar duapuluh tahun ini bagaikan setangkai bunga sedang mekar indah.
Siang In bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi ia juga seorang ahli racun dan senjata rahasianya Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun) amat berbahaya bagi lawannya. Pergaulannya dengan gadis ini, walaupun tidak lama, cukup erat dan gadis ini pun telah membantu dia ketika dia difitnah dan dimusuhi oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai.
Setelah bayangan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In menghilang, muncul bayangan seorang gadis lain, yaitu Pek Hong Niocu yang nama aselinya adalah Moguhai. Ia puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi sesungguhnya ia lebih pantas disebut gadis kang-ouw dari pada seorang puteri istana yang biasanya hanya dipingit (tak boleh keluar) di istana.
Puteri Moguhai ini biasanya mengenakan pakaian sutera putih, rambut yang hitam panjang digelung rapi itu dihias dengan burung Hong dari perak atau terkadang dikuncir tebal dengan pita merah. Pakaiannya yang serba putih itu berpotongan pakaian puteri Kin, dengan leher baju dari bulu indah. Senjatanya sebatang pedang bengkok dengan ukiran naga emas, menjadi tanda bahwa puteri ini memiliki kekuasaan karena pedang itu pemberian Kaisar Kin.
Gadis puteri kaisar Kin ini memiliki wajah yang sama benar dengan wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, hanya pakaian dan sanggul rambutnya saja yang berbeda. Memang luar biasa sekali, dan hal ini masih membuat dia heran dan bingung bagaimana ada dua orang gadis yang demikian persis sama. Akan tetapi dia tahu perbedaan antara mereka.
Kalau Puteri Moguhai yang usianya juga sama dengan Thio Siang In itu mempunyai tahi lalat kecil di sebelah kanan mulutnya, sebaliknya Thio Siang In mempunyai tahi lalat di sebelah kiri mulutnya. Dia tersenyum mengingat betapa dua orang gadis itu pernah menggoda dan mengujinya dengan berpakaian dan bersanggul persis sama. Tentu saja dia dapat membedakan mereka dari tahi lalat mereka, akan tetapi dia sengaja menebak salah untuk menyenangkan hati mereka dan untuk menyimpan dalam hati bahwa sesungguhnya dia tahu akan “rahasia” perbedaan antara mereka itu, yaitu pada letak tahi lalat kecil itu.
Thian Liong menghela napas panjang. Pengalamannya dengan Puteri Moguhai dalam suka duka membasmi pemberontakan di Kerajaan Kin, maupun dalam membasmi pemberontakan di Kerajaan Sung yang dipimpin Menteri Chin Kui, membuat mereka bergaul dengan akrab sekali. Dia amat kagum kepada Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu. Akan tetapi dia tahu diri. Pek Hong Niocu adalah seorang puteri kaisar, bangsawan tinggi dan dimuliakan orang. Sedangkan dia, seorang pemuda yatim piatu yang sebatangkara dan tidak mempunyai apa-apa. Bahkan rumah tempat tinggal pun dia tidak punya!
Dalam lamunannya, bermunculan wajah gadis murid Kun-lun-pai yang bernama Kim Lan itu, gadis yang karena peraturan gurunya hendak memaksa dia menjadi suaminya! Gadis yang galak, cantik dan angkuh. Bukan hanya ingin memaksa dia menjadi suaminya karena dia sudah mengalahkannya, bahkan kemudian menuduh dia memperkosa Kim Lan dan sumoinya, Ai Yin! Sehingga akibat dari tuduhan itu, dia dimusuhi para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!
Untung ada gurunya, Tiong Lee Cin-jin membelanya sehingga terbongkar rahasia Cia Song yang melakukan perkosaan dan membantu semua pemberontakan itu, menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui. Cia Song yang tersesat itu akhirnya tewas setelah roboh tak berdaya akibat mengadu tenaga sakti dengannya, dihujani bacokan pedang oleh tiga orang gadis yang pernah diperkosanya, yaitu Kim Lan, Ai Yin, dua orang murid Kun-lun-pai itu, dan Kwee Bi Hwa, puteri guru silat Kwee Bun To yang lihai.
Kembali Thian Liong menghela napas panjang, menghentikan lamunannya yang berakhir dengan munculnya bayangan Han Bi Lan lagi. Entah mengapa, bayangan Han Bi Lan selalu mengikutinya dan teringat akan gadis yang menangis ketika dia tampari pinggulnya dan mengancam akan, membalas dendam itu, dia merasa menyesal bukan main.
Setelah menghentikan lamunannya, dia menepuk dahi sendiri sambil berkata, “Hemm, cengeng!” Dia mencela diri sendiri lalu bangkit dari batu yang didudukinya, menerawang jauh ke bawah, sampai ke kaki langit yang samar-samar dilatar belakangi bukit-bukit.
“Benar, aku harus menghadap Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Aku harus jelaskan duduk perkaranya sampai aku menampari pinggul Bi Lan seperti menghukum anak kecil sehingga mereka tidak akan salah paham, menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar terhadap puteri mereka.”
Setelah hatinya mengambil keputusan ini, wajahnya yang tadi agak suram tenggelam ke dalam lamunan tentang masa lalu, menjadi cerah kembali. Pemandangan indah di bawah kakinya yang tadi lenyap, sama sekali tidak tampak olehnya ketika dia melamun, kini tampak lagi dengan indahnya.
Dengan hati terasa ringan dan nyaman, dan pikiran terasa jernih, Thian Liong menghirup udara pegunungan yang sejuk nyaman itu, disiram sinar matahari yang sudah mulai menyengat kulit, Thian Liong menuruni bukit itu dengan langkah ringan dan mantap. Kini perjalanannya mempunyai tujuan tertentu, yaitu menuju Telaga Barat untuk mengunjungi kediaman Han Si Tiong dan Liang Hong Yi.
Kita mendahului perjalanan Thian Liong dan menjenguk keadaan Han Si Tiong dan Lian Hong Yi. Semenjak suami isteri pendekar ini bersama Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu membantu para pejabat menggulingkan kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui di depan Kaisar Kao Tsung dari Kerajaan Sung Selatan, suami isteri ini kembali ke rumah mereka di dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat) yang luas dan indah pemandangannya. Hati mereka kini gembira kembali dan penuh harapan karena mereka mendengar dari Panglima Kwee Gi di kota raja bahwa anak mereka, Han Bi Lan, yang hilang diculik orang ketika berusia tujuh tahun, kini ternyata masih hidup bahkan pernah mengunjungi Kwee-ciangkun. Dari Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) mereka mendengar bahwa puteri mereka kini telah menjadi seorang gadis yang berkepandaian tinggi.
Memang ada suatu hal yang membuat mereka kecewa dan khawatir, yaitu bahwa Bi Lan belum mengetahui di mana mereka berada. Mereka tidak pernah memberi kabar kepada siapapun juga bahwa mereka mengasingkan diri di dekat telaga itu. Karena itu, Panglima Kwee Gi juga tidak dapat memberi tahu Bi Lan di mana mereka berada. Akan tetapi mereka yakin bahwa Bi Lan yang kini menjadi gadis yang lihai itu tentu akhirnya akan dapat menemukan mereka.
Namun, lebih dari setahun mereka menanti-nanti dengan sia-sia. Biarpun mereka merasa yakin bahwa puteri mereka masih hidup, namun kesedihan meliputi hati mereka karena sampai setahun lebih belum juga mereka dapat melihat anak mereka. Pada suatu sore, mereka duduk di serambi depan rumah mereka setelah pulang dari ladang, mandi dan makan. Seperti biasa setiap sore mereka duduk di serambi itu menghadapi minuman air teh dan makanan kecil yang dihidangkan oleh seorang wanita setengah tua yang menjadi pelayan mereka.
Han Si Tiong kini telah menjadi laki-laki berusia sekitar empatpuluh empat tahun. Wajahnya tetap gagah dan jantan, dengan kumis dan jenggot pendek. Pakaiannya sederhana saja, seperti seorang petani biasa namun sikapnya yang tegap dan tegak membayangkan bahwa dia bukan seorang petani biasa yang lemah dan rendah diri.
Isterinya Liang Hong Yi, kini sudah berusia sekitar tigapuluh tujuh tahun. Masih tampak cantik manis dan tubuhnya juga masih padat langsing walaupun pandang matanya sayu dan wajahnya diliputi mendung sehingga tampak muram. Ia pun berpakaian sederhana. Suami isteri ini kehilangan kegembiraan mereka lagi setelah dari setahun menanti belum juga anak tunggal mereka muncul. Akan tetapi yang amat menderita adalah Liang Hong Yi yang merasa amat rindu kepada puterinya.
Melihat kehidupan suami isteri yang seperti petani sederhana itu, takkan ada orang mengira bahwa suami isteri ini pernah menjadi perwira-perwira andalan mendiang Jenderal Gak Hui, memimpin pasukan berani mati yang terkenal dengan sebutan Pasukan Halilintar!
Suami isteri ini memang bukan orang-orang lemah. Han Si Tiong adalah seorang pendekar yang waktu mudanya mempelajari berbagai ilmu silat dari beberapa aliran. Akan tetapi yang paling menonjol adalah ilmu silat aliran Siauw-lim-pai utara yang sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Ada pun Liang Hong Yi juga bukan wanita lemah. Ia pernah menjadi murid Bian Hui Nikouw dan yang paling hebat adalah ilmu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat ia dapat bergerak amat cepat dan lincah.
“Tiong-ko, kita sudah menanti setahun lebih sejak kita mendengar dari Kwee-ciangkun bahwa anak kita masih hidup. Akan tetapi sampai sekarang mengapa ia belum muncul juga? Jangan jangan ia tidak bisa
mencari tempat tinggal kita. Apakah sebaiknya kita pergi ke kota raja saja? Siapa tahu ia akan mendatangi rumah Kwee-ciangkun lagi,” kata Liang Hong Yi dengan suara sedih.
Han Si Tiong menggeleng kepalanya. “Kurasa kurang tepat kalau kita pergi ke kota raja, Yi-moi. Bagaimana kalau kita pergi lalu Bi Lan datang dan melihat kita tidak berada di rumah? Hal itu akan membuat ia kecewa dan bingung. Kalau ia tidak kita temukan di kota raja, lalu kita harus mencari ke mana? Kita tidak tahu ia berada di mana, Yi-moi. Andaikata ia datang kepada Kwee-ciangkun, tentu Kwee-ciangkun akan memberi tahu kepadanya di mana tempat tinggal kita karena kita sudah memberi tahu Kwee-ciangkun bahwa kita tinggal di dusun ini.”
Liang Hong Yi menghela napas lalu mengangguk. “Engkau benar, Tiong-ko. Baiklah, aku akan menunggu di sini dengan sabar, akan tetapi sampai kapan? Sudah duabelas tahun aku menunggu dan mengharapkan bertemu kembali dengan anakku.” Suara wanita itu gemetar dan ia menggigit bibirnya menahan tangis.
“Sudahlah, Yi-moi, kita tidak boleh terlalu bersedih, tidak boleh putus asa. Kita harus rajin berdoa semoga Thian (Tuhan) melindungi anak kita dan menuntunnya agar dapat datang bertemu dengan kita di sini.”
Liang Hong Yi mengangguk-angguk membenarkan pendapat suaminya walaupun ia tidak dapat bicara lagi karena hatinya merasa terharu.
Tiba-tiba, ketika memandang keluar serambi, Liang Hong Yi terbelalak dan ia memegang tangan suaminya sambil bangkit berdiri.
“Tiong-ko, anak kita......?”
Han Si Tiong memandang keluar dan ia melihat seorang gadis dan seorang pemuda berjalan perlahan memasuki pekarangan rumah mereka! Gadis itu cantik dan pemuda itu tampan. Memang gadis itu sebaya dengan puteri mereka yang kini berusia kurang lebih sembilanbelas tahun. Akan tetapi tentu saja Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak dapat memastikan apakah gadis itu anak mereka atau bukan.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi sudah bangkit dan cepat menuruni serambi, menjemput gadis dan pemuda itu di pekarangan. Jatung mereka berdebar penuh ketegangan dan harapan. Liang Hong Yi menahan diri untuk tidak berseru memanggil nama anaknya karena ia masih ragu apakah benar gadis ini Han Bi Lan, anaknya yang ia nanti-nantikan kedatangannya.
Pemuda dan gadis itu kini berhenti melangkah. Mereka saling berhadapan dengan suami isteri itu. Suami isteri itu semakin bimbang ragu karena melihat betapa gadis itu tidak segera lari menghampiri mereka. Kalau gadis itu Han Bi Lan, tentu akan segera berlari dan merangkul ibunya! Tidak mungkin anak mereka lupa kepada mereka. Akan tetapi gadis ini hanya berdiri memandang dengan mulut tersenyum seperti orang mengejek! Han Si Tiong dan Liang Hong Yi memandang penuh perhatian.
Gadis itu memang cantik, wajahnya bulat telur dan kulitnya putih mulus. Sepasang matanya lebar dan kerlingnya tajam, hidung mancung dan mulutnya agak lebar namun menggairahkan dengan bibir yang merah. Rambutnya digelung seperti sanggul wanita bangsawan dan dihias dengan perhiasan emas permata, tubuhnya yang padat langsing itupun mengenakan pakaian yang mewah. Di punggungnya tergantung sepasang pedang beronce merah.
Pemuda itu berusia sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Wajahnya dapat dibilang tampan, namun mukanya hitam, demikian pula kulit pada leher dan kedua tangannya. Sepasang matanya mencorong dan tampaknya pemuda ini cerdik. Di pinggangnya tergantung sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya selengan. Juga pemuda ini mengenakan pakaian indah dan mewah.
“Anda berdua siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke rumah kami?” tanya Han Si Tiong sambil menahan perasaannya yang terguncang agar suaranya tidak gemetar. Pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah gadis itu. Demikian pula dengan isterinya, memandang gadis itu dengan penuh perhatian dan penuh harapan yang mulai meragu.
Gadis itu hanya tersenyum manis akan tetapi senyumnya mengandung ejekan. Pemuda tinggi besar muka hitam itulah yang menjawab dengan sikap angkuh, tidak memberi hormat kepada suami isteri itu sebagai layaknya sikap tamu terhadap tuan rumah.
“Aku bernama Bouw Kiang dan sumoiku ini bernama Bong Siu Lan. Apakah kami berhadapan dengan Han Si Tiong dan isterinya, bekas perwira yang memimpin Pasukan Halilintar dan yang dulu dalam pertempuran telah membunuh Pangeran Cu Si dari Kerajaan Kin?” Pertanyaan yang langsung ini diajukan dengan suara yang membayangkan kesombongan.
Dari pertanyaan itu saja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dapat menduga bahwa kedatangan pemuda dan gadis ini pasti tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang berwatak pendekar. Maka dengan tegas Han Si Tiong menjawab.
“Benar, aku adalah Han Si Tiong dan ini isteriku Liang Hong Yi. Ada keperluan apakah kalian mengunjungi kami?” tanya Han Si Tiong.
“Kami berdua adalah murid-murid suhu Ouw Kan dan kami mendapat tugas untuk membunuh kalian sebagai pembalasan atas kematian Pangeran Cu Si. Nah, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bersiaplah kalian untuk mati di tangan kami!” Setelah berkata demikian, Bouw Kiang mengambil tongkat hitam dari gantungan pada pinggangnya dan Bong Siu Lan menghunus sepasang pedangnya.
Melihat ini, dengan tenang Han Si Tiong berkata. “Apakah kalian akan menyerang kami yang bertangan kosong?”
Bong Siu Lan tertawa mengejek. “Hemm, kami bukan pengecut. Ambil dan keluarkan semua senjata kalian. Kami tidak tergesa-gesa karena kalian tidak akan dapat lolos dari kematian!”
“Biar aku mengambil senjata-senjata kami!” kata Liang Hong Yi. Wanita ini berlari cepat memasuki rumah, langsung ke dalam kamar dan mengambil pedangnya dan pedang suaminya. Akan tetapi selain mengambil dua batang pedang itu, ia pun tidak lupa mengambil sehelai kain putih yang ada tulisannya, menyelipkan kain putih itu di ikat pinggangnya dan cepat berlari keluar. Ia menyerahkan pedang suaminya itu kepada Han Si Tiong dan keduanya sudah siap menghadapi lawan.
Liang Hong Yi mengambil kain putih bertulis itu dan berkata kepada suaminya. “Kita perlihatkan ini kepada mereka?”
Han Si Tiong mengambil kain putih itu dan menyelipkan ke ikat pinggangnya. “Tidak perlu. Kita berani mempertanggung-jawabkan perbuatan kita dan tidak takut mati!”
Pendekar ini memang gagah dan jantan, jujur namun keras dan kasar. Malu baginya untuk berlindung di belakang surat di atas kertas putih pemberian Puteri Moguhai dari Kerajaan Kin itu.
Dahulu, ketika Ouw Kan sendiri datang dan hendak membunuh mereka, datang Puteri Moguhai bersama Souw Thian Liong menolong mereka dan mengusir Ouw Kan yang tidak kuat menandingi mereka dan melarikan diri. Kemudian, setelah berkenalan, Puteri Moguhai menulis di atas kain putih itu dan mengatakan bahwa kalau Ouw Kan berani datang mengganggu, agar surat di atas kain putih itu diperlihatkan kepada Ouw Kan. Akan tetapi melihat bahwa yang mengancam mereka hanya dua orang muda yang mengaku murid-murid Ouw Kan, Han Si Tiong tidak mau memperlihatkan surat Puteri Moguhai yang ditujukan kepada Ouw Kan itu. Kalau dua orang muda itu menolak dan tidak menaati surat itu, dia akan merasa malu sekali, disangka bersembunyi di balik surat karena takut!
“Kami sudah siap!” kata Han Si Tiong sambil melintangkan pedangnya depan dada. Liang Hong Yi terpaksa memasang kuda-kuda karena suaminya tidak mau memperlihatkan surat itu kepada dua orang muda yang mengancam mereka.
“Lihat serangan!” pemuda bernama Bouw Kiang itu menerjang dengan pedangnya. Seperti kilat menyambar pedang itu menusuk ke arah leher Han Si Tiong. Pendekar ini menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Tranggg......!” Bunga api berpijar dan Han Si Tiong terpental mundur tiga langkah. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, Namun dia tidak gentar dan cepat mengirim serangan balasan. Mereka segera saling menyerang dengan serunya.
Sementara itu, melihat suaminya sudah diserang, Liang Hong Yi tidak tinggal diam dan ialah yang mendahului menyerang gadis bernama Bong Siu Lan itu.
“Sing...... trang......!” Juga Liang Hong Yi terhuyung ke belakang ketika pedangnya ditangkis gadis itu. ia pun tahu bahwa lawannya ini tangguh bukan main. Akan tetapi semenjak membantu suaminya memimpin Pasukan Halilintar berperang dan setiap saat terancam maut, kini Liang Hong Yi telah menjadi seorang wanita yang amat berani. Biarpun maklum bahwa ia kalah kuat, ia melawan mati-matian sehingga dua orang wanita ini pun saling serang dengan seru.
Akan tetapi, biarpun suami isteri itu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga mereka, segera ternyata bahwa mereka berdua sama sekali bukan lawan seimbang bagi dua orang muda murid Ouw Kan itu. Baru lewat tigapuluh jurus saja, di mana suami isteri itu kebanyakan hanya mampu menangkis dan mengelak, Liang Hong Yi roboh dengan pundak terluka pedang Bong Siu Lan!
Melihat ini, Han Si Tiong cepat melompat untuk melindungi isterinya, akan tetapi dia sendiri menerima tusukan pedang Bouw Kiang yang menembus dadanya sehingga dia tergulling roboh dan di atas tubuh isterinya. Darah bercucuran dari dadanya membasahi pakaian Liang Hong Yi yang sudah berlepotan darahnya sendiri yang keluar dari luka di pundaknya!
Bong Siu Lan hendak mengirim tusukan maut kepada Liang Hong Yi yang sudah terluka pundaknya, akan tetapi Bouw Kiang memegang lengannya. “Tahan dulu, sumoi (adik seperguruan)!”
Bong Siu Lan memandang heran dan Bouw Kiang membungkuk dan mencabut sehelai kain putih yang terselip di ikat pinggang Han Si Tiong. Dia tertarik karena tadi Liang Hong Yi hendak memperlihatkan surat itu kepada mereka akan tetapi Han Si Tiong mencegahnya. Bong Siu Lan ikut membaca tulisan kain putih yang dipegang suheng (kakak seperguruan) itu.
Setelah membaca sedikit tulisan di atas kain putih itu, wajah kedua orang itu berubah pucat. Kedua orang itu saling pandang dan mata mereka terbelalak, jelas bahwa mereka tampak ketakutan.
“Celaka......!!” kata ini hampir berbareng keluar dari mulut mereka dan keduanya lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat sambil membawa kain putih tulisan Puteri Moguhai itu.
Setelah mereka pergi, Liang Hong Yi keluar dari tindihan tubuh suaminya dan melihat suaminya terluka dengan napas terengah itu, ia menjerit dan menangis, lalu dengan susah payah ia hendak mengangkat tubuh suaminya yang mandi darah untuk dibawa ke dalam. Ia sendiri terluka cukup berat di pundak kirinya, maka sukarlah ia dapat mengangkat tubuh suaminya. Ia lalu berseru memanggil pelayannya. Wanita yang usianya sudah limapuluh tahun itu, yang tadi bersembunyi dalam rumah ketakutan, tergopoh keluar mendengar panggilan majikan wanitanya. Melihat suami isteri itu mandi darah, ia pun menangis.
“Bantu aku mengangkat ke dalam......” kata Liang Hong Yi.
Pelayan itu membantunya, akan tetapi tetap saja mereka sukar dapat mengangkat tubuh Han Si Tiong yang berat. Pada saat itu tampak bayangan merah muda berkelebat dan seorang gadis berpakaian serba merah muda sudah memasuki pekarangan. Ia memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang wanita yang sedang mencoba mengangkat tubuh Han Si Tiong yang berlumuran darah.
“Ibuuuu...... Ayah......! gadis itu menjerit sambil lari menghampiri.
Liang Hong Yi menengok, matanya terbelalak. Biarpun anaknya kini sudah menjadi gadis dewasa, namun ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah puterinya. Pandang matanya saja sudah membuat ia yakin.
“Bi Lan...... anakku......!” Setelah berkata demikian, ia pun lemas terkulai dan tentu akan roboh kalau Bi Lan tidak segera menangkap tubuhnya.
“Ayah......, kalian kenapa......?” katanya, akan tetapi ia tidak mau tenggelam ke dalam kekagetan dan keharuannya, melainkan dengan sigap ia memondong tubuh ayah ibunya itu dengan kedua tangan, disampirkan ke kedua pundaknya dan ia membawa keduanya melangkah masuk rumah, diikuti pelayan itu yang merasa lega bahwa ada orang yang menolongnya. Pelayan itu sudah lima tahun menjadi pembantu rumah tangga suami isteri itu dan ia sudah mendengar dari kedua majikannya bahwa puteri mereka hilang ketika berusia tujuh tahun.
Dengan cekatan Han Bi Lan merebahkan tubuh ayah dan ibunya di atas pembaringan, lalu ia menotok jalan darah di tubuh ayahnya untuk menghentikan keluarnya darah, juga pada tubuh ibunya sehingga darah berhenti mengalir keluar.
Liang Hong Yi siuman lebih dulu. Begitu bangkit ia memandang puterinya, lalu memandang suaminya yang masih belum sadar dan Bi Lan sedang duduk mencoba untuk memperkuat keadaan tubuh ayahnya yang terluka parah sekali itu.
“Tiong-ko......! Tiang-ko......, suamiku...... sadarlah, Tiong-ko. Ini anak kita, Han Bi Lan, sudah pulang......!” Ia mengguncang tubuh suaminya dan pendekar itu mengeluh lirih, dan membuka kedua matanya.
“Ayah...... ini aku, Bi Lan. Ayah......!” Bi Lan tak dapat menahan runtuhnya air mata karena ia tahu benar bahwa ayahnya terluka amat parah dan agaknya tidak mungkin dapat diobati lagi.
Han Si Tiong membuka kedua matanya lalu pertama-tama memandang isterinya, lalu memandang wajah Bi Lan dan dia tersenyum! Pendekar yang telah berada di ambang kematian itu tersenyum dan senyumnya jelas membayangkan kegirangan hatinya.
“Terima kasih kepada Thian! Engkau selamat Yi-moi, dan...... engkau sudah pulang, Bi Lan. Jaga ibumu baik-baik, anakku...... Yi-moi...... aku tidak kuat lagi...... selamat tinggal......” Kepala itu terkulai dan Han Si Tiong menghembuskan napas terakhir. Pedang tadi telah menusuk dan mengenai jantungnya. Sudah luar biasa sekali kalau dia mampu bertahan sampai dapat siuman dan bicara kepada isteri dan puterinya.
“Tiong-ko......!” Liang Hong Yi kembali jatuh pingsan, tubuh atasnya menindih tubuh suaminya.
“Ayah......!” Bi Lan juga menangis, akan tetapi ia lalu sibuk mengangkat tubuh ibunya dan merebahkan di pembaringan lain.
Pelayan wanita itu sambil menangis lalu memberi tahu para tetangga dan sebentar saja para tetangga berdatangan melayat karena suami isteri itu dihormati para tetangga yang banyak menerima bantuan mereka.
Masih baik bahwa Bi Lan sudah kembali kepada ibunya. Kalau tidak, belum tentu Liang Hong Yi akan kuat menahan kedukaannya. Ia amat mencinta suaminya. Suaminya itulah yang mengangkatnya dari kehidupan yang gelap dan hitam. Suaminya yang membuat ia dapat melepaskan diri dari dunia sesat di mana ia terpaksa menjadi wanita panggilan bagi para bangsawan dan hartawan. Biarpun ketika itu derajatnya tidak serendah para pelacur biasa karena ia hanya melayani orang-orang bangsawan, tetap saja ia adalah seorang pelacur.
Pertemuannya dengan Han Si Tiong membebaskannya dari kehidupan itu dengan suaminya itu ia mengalami suka dukanya. Ia amat mencinta dan dicinta suaminya dan kini suaminya telah pergi meninggalkannya. Karena itu, kehadiran Bi Lan merupakan hiburan besar dan mengembalikan gairahnya untuk melanjutkan kehidupan yang lebih banyak dukanya daripada sukanya itu.
Han Bi Lan menahan diri untuk tidak banyak bertanya selama perkabungan. Setelah jenazah ayahnya diurus pemakamannya dengan baik, barulah ia mengajak ibunya bercakap-cakap di malam hari setelah pemakaman itu.
Mula-mula ia mengobati luka di pundak ibunya. Setelah luka itu dibalut, mereka duduk di tepi pembaringan, saling pandang dan tiba-tiba Liang Hong Yi merangkul puterinya dan menangis tersedu-sedu. Bi Lan tak dapat menahan keharuannya. Ia merasa iba sekali kepada ibunya dan balas merangkul.
Mereka bertangisan sampai beberapa lamanya. Bi Lan lalu melepaskan rangkulannya dan sambil memegangi kedua lengan ibunya ia berkata dengan suara lembut.
“Sudah, Ibu. Tidak baik kalau kita membenamkan diri terus ke dalam kedukaan. Ayah tentu tidak akan senang melihat kita berduka terus. Jangan sampai kedukaan itu menggerogoti hati Ibu dan bisa mendatangkan penyakit. Marilah kita bicara, Ibu. Sejak aku pulang, kita baru sekarang sempat bicara.”
Ibunya mengangguk-angguk, lalu menyusut air matanya, menghentikan tangisnya. Lalu ia memandang puterinya sampai lama, seolah sedang menilai sebuah batu permata, lalu dirangkulnya puterinya itu dan diciumnya kedua pipi Bi Lan.
“Aih, Bi Lan, betapa selama belasan tahun ini aku dan Ayahmu setiap hari mengharapkan pertemuan ini. Setahun yang lalu kami mendengar dari Panglima Kwee Gi di kota raja bahwa engkau masih hidup dan telah berkunjung ke sana, engkau membunuh Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya sehingga menggegerkan kota raja. Kami bangga dan gembira sekali mendengar keterangan Panglima Kwee Gi itu, anakku. Akan tetapi selama setahun lebih kami setiap hari menunggu-nunggu, belum juga engkau datang. Dan begitu engkau datang terlambat, anakku, Ayahmu terluka parah......”
“Itulah yang sejak aku datang mengganggu hatiku. Aku menunda pertanyaan ini sampai pemakaman selesai. Ibu, sebetulnya, apakah yang telah terjadi sehingga Ibu dan Ayah sampai terluka? Siapakah yang melakukan itu, Ibu?” Gadis itu bertanya dengan suara lembut, akan tetapi suara itu mengandung ancaman terhadap orang-orang yang telah melukai ibunya dan membunuh ayahnya.
“Bi Lan anakku, pengalaman Ayah dan Ibumu hanya akan mendatangkan kenangan sedih bagiku, maka sebaiknya engkaulah yang lebih dulu menceritakan tentang dirimu. Apa saja yang kau alami selama engkau diculik orang dan Lu-ma dibunuh. Aku dan Ayahmu sudah mendengar sedikit tentang dirimu, yaitu bahwa engkau diculik oleh datuk Bangsa Uigur bernama Ouw Kan, kemudian engkau dirampas oleh pendeta Tibet yang bernama Jit Kong Lhama dan menjadi muridnya dan yang terakhir engkau menjadi murid Kun-lun-pai. Nah, yang kudengar hanya sampai kunjunganmu di kota raja, membunuh Jenderal Ciang dan puteranya sehingga menggegerkan kota raja, kemudian engkau diselundupkan oleh Panglima Kwee keluar kota raja dengan selamat. Lalu selanjutnya bagaimana, anakku? Bagaimana pula engkau dapat mengetahui bahwa kami tinggal di sini?”
“Benar seperti yang telah Ibu dengar dari Panglima Kwee itu. Setelah tamat belajar ilmu silat dari Suhu Jit Kong Lhama, aku lalu pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah. Akan tetapi rumah kita telah ditempati Jenderal Ciang Sun Bo dan anaknya, Ciang Ban. Mereka pura-pura menyambut aku dengan baik dan mengaku sebagai sahabat baik ayah, akan tetapi dia hendak mencelakai aku. Maka aku membunuh mereka dan untung dapat ditolong Panglima Kwee dan diselundupkan keluar kota raja. Aku lalu merantau untuk mencari Ayah dan Ibu karena Panglima Kwee sendiri tidak tahu di mana Ibu dan Ayah tinggal. Akan tetapi usahaku tidak berhasil.”
“Dan engkau menjadi murid Kun-lun-pai ?”
“Benar, Ibu. Ketika itu aku belum meninggalkan Suhu Jit Kong Lhama. Aku meminjam kitab Kun-lun-pai, mempelajarinya di bawah bimbingan Suhu, kemudian kitab kukembalikan dan aku diakui sebagai murid Kun-lun-pai oleh para ketua Kun-lun-pai.”
“Setelah itu, lalu bagaimana? Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami tinggal di sini?” tanya Liang Hong Yi.
Bi Lan tidak ingin menceritakan pengalamannya dengan Thian Liong, apalagi ia tidak mau menceritakan bahwa ia telah ditampari oleh pemuda itu, ditampari pinggulnya!
“Aku bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong, dialah yang memberitahu kepadaku di mana Ibu dan Ayah tinggal dan aku segera langsung saja pergi mencari ke sini.”
“Souw Thian Liong? Ah, pemuda yang amat lihai dan baik budi itu! Dia adalah seorang pendekar sejati, dan dialah yang berjasa besar menyelamatkan Sri Baginda Kaisar dan membongkar rahasia kejahatan Perdana Menteri Chin Kui! Pemuda yang gagah perkasa dan pantas sekali dia mendapatkan jodoh seperti Puteri Moguhai itu! Mereka sungguh merupakan pasangan yang amat tepat, prianya tampan dan lihai, wanitanya amat cantik dan juga tidak kalah lihainya!”
“Puteri Moguhai, ibu? Siapa ia?”
“Engkau sudah mengenal Souw Thian Liong dan tidak mengenal Puteri Moguhai? Ah, namanya di dunia kang-ouw adalah Pek Hong Niocu, ia adalah sahabat baik Souw Thian Liong!”
“Oh, gadis cantik yang memakai perhiasan rambut Burung Hong perak itu? Hemm, ia itu seorang puteri? Aku pernah melihatnya, akan tetapi aku tidak tahu bahwa ia seorang puteri.”
“Ia puteri Raja Kin, anakku. Akan tetapi hatinya baik, bahkan ia membantu Sri Baginda Kaisar Kerajaan Sung ketika Perdana Menteri Chin Kui memberontak. Ia akrab sekali dengan Souw Thian Liong itu.”
Ada sesuatu tidak enak terasa dalam hati Bi Lan dan entah mengapa, mendengar Thian Liong akrab dengan puteri Kerajaan Kin, hatinya menjadi semakin marah dan benci kepada pemuda itu!
“Sekarang ceritakanlah Ibu, apa yang telah terjadi dan siapa yang melukai Ayah dan Ibu sampai Ayah tewas karena lukanya?”
Liang Hong Yi menghela napas panjang, teringat lagi akan kematian suaminya. Namun kehadiran Bi Lan menguatkan hatinya dan ia mulai bercerita.
“Mungkin engkau sudah ingat waktu itu engkau berusia tujuh tahun ketika Ayahmu dan aku pergi memenuhi tugas memimpin pasukan berperang membantu barisan Jenderal Gak Hui melawan pasukan Kerajaan Kin di utara.”
“Aku masih ingat, Ibu. Bahkan kalau tidak salah aku memesan kepada Ayah agar aku dibawakan sebuah pedang bengkok seperti yang biasa dipergunakan orang-orang utara.”
“Benar, Bi 'Lan. Tunggu sebentar!” Liang Hong Yi meninggalkan anaknya, memasuki kamarnya dan ia kembali sambil membawa sebatang pedang bengkok yang indah sekali, terbalut emas dan terukir indah. “Nah, inilah pedang yang kaupesan itu. Ayahmu sengaja membawa ini untukmu. Diambilnya pedang ini dari Pangeran Cu Si, seorang pangeran dari Kerajaan Kin yang tewas di tangan Ayahmu dalam perang itu. Akan tetapi ketika kami kembali ke rumah kita di kota raja, engkau telah hilang diculik orang dan Lu-ma telah terbunuh!”
“Hemm, yang melakukan ini adalah Ouw Kan. Dia membunuh Lu-ma, dan untuk itu aku akan mencarinya dan membalas kematian Lu-ma!” kata Bi Lan.
“Ya, kami segera mendapat keterangan dari Perwira Kwee dan kami sudah menduga bahwa yang membunuh Lu-ma, melukai tukang kebun dan menculikmu adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Kami mengembalikan kedudukan kami kepada Kaisar, lalu pergi merantau ke utara untuk mencari Ouw Kan, akan tetapi setelah dua tahun merantau kami tidak berhasil menemukan Ouw Kan atau menemukan engkau. Kami menjadi putus asa dan akhirnya kami tinggal di sini, tidak ingin kembali ke kota raja. Kami hidup tenteram di tempat ini walaupun siang malam kami mengharapkan kedatanganmu. Kemudian, kurang lebih dua tahun yang lalu, pada suatu hari muncul Ouw Kan di sini dan dia menyerang kami, katanya untuk membalaskan kematian Pangeran Cu Si di tangan kami ketika terjadi perang. Kami berdua tidak dapat menandinginya, bahkan aku telah terluka pada pahaku. Kami berdua nyaris tewas di tangan Ouw Kan. Untung ketika itu tiba-tiba muncul Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai itu yang menolong kami dan Ouw Kan melarikan diri karena tidak kuat menandingi mereka berdua. Kalau Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu tidak datang menolong, tentu sekarang Ayah dan Ibumu sudah tewas pada waktu itu.”
Bi Lan termenung. Jadi, orang tuanya berhutang budi, bahkan nyawa kepada Thian Liong! Hal ini membuat hatinya penuh kebimbangan. Kalau ia ingat akan perbuatan Thian Liong, menghajarnya seperti anak kecil, menelungkupkan tubuhnya di atas kedua pahanya dan menampari pinggulnya sampai sepuluh kali, timbul amarah dan bencinya kepada pemuda itu! Ia akan memperdalam ilmunya, kemudian membalas dendam itu.
Akan tetapi Thian Liong yang telah memberitahu kepadanya akan tempat tinggal orang tuanya dan Thian Liong bahkan telah menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya! Pembalasan apa yang pantas ia lakukan terhadap pemuda itu? Tidak mungkin ia membunuh atau melukai berat, mengingat akan budi pemuda itu! Ah, ia akan membalas tamparan itu. Bukan pada pinggulnya, akan keenakan dia kalau ditampari pinggulnya. Ia akan menampari kedua pipi pemuda itu sebagai pembalasan!
“Bi Lan, mengapa engkau termenung?”
Bi Lan terkejut. “Ah, aku hanya merasa penasaran kepada Ouw Kan itu dan pasti aku akan membalas dendam ini.”
“Bukan itu saja yang dia lakukan, Bi Lan. Baik kulanjutkan ceritaku agar engkau menjadi jelas. Thian Liong bercerita kepada kami bahwa karena dia telah membantu Kaisar Kin membasmi pemberontakan di Kerajaan Kin, maka hal itu dijadikan alasan oleh Perdana Menteri Chin Kui untuk menjatuhkan fitnah kepadanya. Chin Kui melapor kepada Kaisar bahwa Thian Liong menjadi pengkhianat dan menjadi antek Kerajaan Kin. Karena itu, Thian Liong menjadi orang buruan pemerintah. Mendengar itu, Ayahmu dan aku lalu pergi ke kota raja hendak membela Thian Liong, kalau perlu kami mau menjadi saksi kepada pengadilan atau Sri Baginda Kaisar bahwa fitnah itu tidak benar. Ketika tiba di kota raja, kami berdua diserang orang-orangnya Chin Kui, dan kembali muncul Thian Liong dan Pek Hong Niocu menolong kami. Kami berempat lalu bersembunyi di rumah Panglima Kwee Gi. Nah, pada saat itulah aku mendengar dari Kwee-ciangkun bahwa engkau telah datang ke kota raja sehingga harapan kami yang sudah hampir padam itu bernyala kembali.”
“Paman Kwee Gi memang seorang yang baik hati, Ibu. Kalau tidak dia yang menolong menyelundupkan aku keluar kota raja, akupun tidak tahu bagaimana aku dapat meloloskan diri dari pencarian para perajurit karena aku membunuh Jenderal Ciang dan puteranya.”
“Ya, dia memang baik hati,” kata Liang Hong Yi yang teringat akan niat Panglima Kwee Gi untuk menjodohkan puteranya, Kwee Cun Ki, dengan Bi Lan dan ia bersama suaminya telah menyetujui niat itu. Akan tetapi sekarang belum waktunya memberitahu puterinya.
”Kemudian dengan bantuan Panglima Kwee, Ayah dan Ibumu, bersama Pek Hong Niocu dan Souw Thian Liong, dihadapkan Kaisar dan kami berbantahan dengan Perdana Menteri Chin Kui. Kami sempat ditahan, akan tetapi kemudian rencana pemberontakan Chin Kui terbongkar dan dia dapat dijatuhkan, ditangkap dan dihukum. Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai mendapat pujian dari Sri Baginda Kaisar. Kami berdua segera pulang ke sini karena kami harapkan engkau sewaktu-waktu akan dapat mencari kami.”
“Hemm, akupun mencari-cari sampai lama tanpa hasil, Ibu. Baru setelah mendengar dari Thian Liong, aku segera datang ke sini. Akan tetapi ternyata terlambat, engkau dan Ayah juga terluka parah. Siapa pelakunya, Ibu?”
“Siapa lagi kalau bukan orang yang memusuhi orang tuamu karena telah membunuh Pangeran Kin itu!”
“Si jahanam Ouw Kan?”
“Sekali ini bukan dia sendiri, melainkan dua orang muridnya, seorang pemuda bernama Bouw Kiang yang melukai Ayahmu dan seorang gadis bernama Bong Siu Lan yang melukai aku. Mereka terlalu lihai bagi kami, Bi Lan.”
“Akan tetapi mereka membunuh Ayah, mengapa Ibu dapat lolos?”
“Begini, ketika dahulu Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu menolong kami dari serangan Ouw Kan, setelah Ouw Kan melarikan diri, Pek Hong Niocu memberi sepotong kain putih yang ditulisi dan ia berpesan bahwa apabila Ouw Kan berani mengganggu lagi, agar tulisan itu diperlihatkan. Nah, ketika dua orang murid Ouw Kan itu datang mengatakan bahwa mereka hendak membunuh kami, aku hendak memperlihatkan surat Puteri Moguhai itu. Akan tetapi Ayahmu yang keras hati melarang. Aku tahu bahwa Ayahmu adalah seorang yang menjunjung tinggi kehormatannya. Dia malu kalau memperlihatkan surat Puteri Moguhai itu, malu kalau disangka takut dan berlindung di balik surat itu. Nah, setelah Ayahmu tertusuk dadanya dan aku terluka di pundak, pemuda itu mengambil kain putih bersurat itu dari ikat pinggang Ayahmu. Mereka membaca tulisan Puteri Moguhai dan mereka menjadi pucat, lalu mereka melarikan diri tanpa mengganggu aku lagi. Aku berteriak memanggil pelayan untuk mengangkat Ayahmu, dan engkau muncul.”
Bi Lan mengepal tinju dan dengan muka berubah merah karena marah ia berkata, “Si keparat Ouw Kan dan dua orang muridnya! Juga keparat Raja Kin, karena tentu dia yang menyuruh Ouw Kan untuk membalas kematian Pangeran Cu Si kepada Ayah dan Ibu. Jangan khawatir, Ibu. Aku pasti akan membalaskan kematian Ayah. Akan kucari mereka itu dan akan kubunuh mereka satu demi sa-tu!”
Liang Hong Yi merangkul puterinya. “Tenanglah, anakku. Apakah engkau hendak pergi lagi mencari mereka? Bi Lan, aku tidak mau berpisah lagi darimu, aku tidak mau kautinggalkan seorang diri di sini!”
Bi Lan mencium ibunya. “Tidak sekarang, Ibu. Aku pun harus memperdalam ilmu-ilmuku karena banyak, orang yang harus kulawan dan kukalahkan, selain orang-orang dari Kerajaan Kin itu!” Bi Lan membayangkan wajah Thian Liong karena ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir tadi, wajah pemuda itu yang diingatnya!
Akan tetapi Liang Hong Yi pada saat itu berpikir dan membayangkan hal lain lagi. Kini ia hanya hidup berdua dengan puterinya dan melihat betapa puterinya kini telah menjadi seorang gadis berusia sembilanbelas tahun, sudah lebih dari dewasa pada jaman itu, maka tentu saja timbul pikiran tentang perjodohan puterinya. Ia teringat akan niat Panglima Kwee untuk menjodohkan puteranya, Kwee Cun Ki, dengan Bi Lan. Kwee Cun Ki seorang pemuda yang tampan dan gagah. Orang tuanya juga seorang panglima yang bijaksana dan baik hati, bahkan sahabat yang setia dan baik dari mendiang suaminya. Bi Lan akan bahagia menjadi isteri Kwee Cun Ki dan ia sendiri akan merasa terhormat dan menjadi besan Panglima Kwee dan isterinya yang manis budi dan lemah lembut.
Sebaiknya kalau perjodohan itu dipercepat, pikirnya. Akan tetapi, biarpun baru berkumpul selama beberapa hari dengan Bi Lan, ia tahu bahwa puterinya itu memiliki watak yang keras hati seperti mendiang suaminya. Tidak baik kalau ia menceritakan tentang rencana perjodohan itu kepada Bi Lan sekarang.
“Bi Lan, andaikata engkau hendak memperdalam ilmu silatmu pun jangan berpisah dariku. Aku tidak mau kautinggalkan, anakku. Aku tidak tahan hidup seorang diri. Bahkan aku mempunyai keinginan untuk mengajakmu pergi ke kota raja.”
“Ke kota raja, Ibu? Mau apa kita ke kota raja?”
“Sekarang tidak perlu khawatir lagi akan pembunuhan yang kaulakukan terhadap Jenderal Ciang dan puteranya. Mereka itu pun merupakan antek Chin Kui dan Sri Baginda Kaisar tidak akan menganggapmu sebagai pembunuh yang harus ditangkap.”
“Aku tidak khawatir, Ibu. Akan tetapi mengapa kita harus pergi ke kota raja?
“Bi Lan, Ibumu rasanya tidak betah berada di sini. Aku akan selalu teringat kepada Ayahmu dan akan tenggelam terus ke dalam kesedihan. Karena itu, ajaklah aku ke kota raja. Kita kunjungi keluarga Panglima Kwee dan kita lihat-lihat pemandangan di kota raja. Aku sudah rindu kepada kota raja di mana aku tinggal bersama Ayahmu sampai engkau lahir dan berusia tujuh tahun. Bi Lan, aku membutuhkan hiburan dan kurasa di sanalah aku akan mendapatkan hiburan, mengunjungi bekas sahabat-sahabat Ayahmu.”
Dalam suara itu Bi Lan dapat mendengar permohonan ibunya maka tentu saja ia merasa tidak enak dan tidak tega untuk menolaknya.
“Baiklah, Ibu, kalau Ibu menghendaki ke kota raja, mari kita ke sana. Kapan kita berangkat, Ibu?”
Liang Hong Yi tersenyum. Puterinya ini mirip benar dengan ayahnya, begitu mengambil keputusan langsung saja hendak dilaksanakan.
“Nanti dulu, Bi Lan. Sebaiknya kita tunggu sampai perkabungan sedikitnya satu bulan, lalu kita harus menyerahkan rumah kita agar ada yang menjaganya. Kita siapkan segalanya, baru kita berangkat.”
“Terserah kepada Ibu. Aku setuju dan hanya menurut saja.”
“Engkau anak yang baik!” Liang Hong Yi merangkul anaknya dengan penuh kasih sayang sehingga gadis itu merasa terharu sekali. Baru sekarang ia merasakan cinta kasih yang begitu besar, yang menggetarkan hatinya.
Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) duduk di ruangan dalam bersama isteri dan puteranya. Mereka membicarakan Han Bi Lan, karena sudah hampir dua tahun sejak gadis itu berada di rumah mereka, tak pernah ada kabar berita tentang gadis itu.
Semula Nyonya Kwee yang menegur puteranya. “Cun Ki, tahun ini umurmu sudah duapuluh empat tahun. Orang lain seusiamu ini tentu sudah mempunyai sedikitnya dua orang anak. Akan tetapi engkau masih belum menikah. Mau tunggu sampai kapan, Cun Ki? Ayah Ibumu sudah semakin tua dan kami amat mengharapkan seorang cucu. Pilihlah gadis mana yang kau inginkan dan kami akan mengajukan pinangan!”
Cun Ki memandang kepada ayah dan ibunya. “Ibu, apakah Ibu dan Ayah sudah lupa akan pembicaraan Ayah kepada Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi itu?”
“Pembicaraan tentang apa?” tanya Panglima Kwee Gi.
“Ah, benarkah Ayah telah lupa? Bukankah ketika itu Ayah mengajukan usul kepada mereka untuk menjodohkan aku dengan Han Bi Lan, puteri mereka? Dan mereka menyetujuinya!”
“O, itu? Kwee-ciangkun menghela napas panjang dan memandang isterinya, lalu berkata kepada puteranya dengan suara tegas. “Dengar, Cun Ki. Setelah Han Si Tiong dan isterinya meninggalkan kota raja, Ibumu dan aku membicarakan tentang usulku yang kulakukan dengan tergesa-gesa itu. Ibumu menyatakan ketidaksetujuannya dengan rencana perjodohan itu dan aku menganggap alasan Ibumu memang tepat sekali.”
Cun Ki mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang kepada ibunya. “Ibu, mengapa Ibu tidak setuju? Apa alasannya?” Suaranya mengandung rasa penasaran.
“Begini, anakku. Ayahmu dan aku tidak menyangkal bahwa Han Bi Lan adalah seorang gadis yang baik dan gagah perkasa. Akan tetapi Ibu membayangkan betapa akan sukarnya bagiku untuk menyesuaikan diri dengan seorang mantu yang terbiasa bersikap kasar, bahkan yang tidak segan membunuh orang. Ibu tahu, yang dibunuhnya adalah orang-orang jahat, namun tetap saja ia seorang pembunuh. Dan Ibu harus mempunyai mantu seperti itu? Sejak dulu Ibu membayangkan seorang mantu yang lemah lembut, pandai dengan semua pekerjaan wanita, pandai melayani aku sebagai ibu mertuanya, terampil dalam pekerjaan mengatur rumah, menjahit, memasak, dan sebagainya. Kita tidak mungkin mengharapkan Bi Lan akan dapat melakukan segala pekerjaan yang membutuhkan kelembutan itu. Anakku hanya engkau seorang, dan mantuku hanya seorang. Kalau yang seorang itu kelak hanya akan membuat Ibumu merasa kecewa dan menyesal, bukankah hal itu akan membikin Ibumu hidup sengsara? Kalau Bi Lan menjadi mantuku dan tinggal serumah, aku tentu harus menurut semua katanya, tidak berani membantah takut
kalau......” Nyonya Kwee tidak melanjutkan kata-katanya dan tampak bingung karena ia merasa telah kelepasan bicara.
“Takut apa, Ibu?”
Tentu saja Nyonya Kwee tidak mengatakan bahwa ia takut dibunuh dan menjawab sekenanya. “Takut...... ya takut padanya.”
“Akan tetapi alasan itu tidak masuk akal, Ibu! Aku, yakin bahwa Bi Lan bukan seorang gadis yang kasar dan kejam. Pembunuhan seperti itu dilakukan siapa saja yang merasa dirinya menjadi pendekar, membela kebenaran dan keadilan dan menentang kelaliman! Aku yakin bahwa Bi Lan dapat belajar menjadi seorang mantu perempuan yang baik dan tahu kewajiban!”
“Cun Ki!” Suara Panglima Kwee tegas. “Engkau adalah anak kami satu-satunya, apakah engkau tidak ingin membalas lbumu dengan menyenangkan hatinya? Ibumu menginginkan seorang mantu perempuan yang Iemah lembut, bukan seorang pendekar yang pandai bermain pedang namun tidak pandai memegang pisau dapur. Menuruti keinginan Ibumu dan menyenangkan hatinya merupakan balas jasa seorang anak yang u-hou (berbakti). Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hou (tidak berbakti)?”
Cun Ki menundukkan kepalanya. Dia tahu bahwa dalam setiap perbedaan pendapat antara seorang anak dengan orang tuanya, orang tua selalu menggunakan senjata ampuh itu, yaitu mengatakan bahwa kalau si anak tidak menurut dia itu tidak berbakti alias murtad! Dia tidak berani membantah lagi. Akan tetapi dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Han Bi Lan, dan ia menggunakan senjata terakhir.
“Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku menerima saja keputusan Ayah dan Ibu untuk tidak berjodoh dengan Han Bi Lan, akan tetapi......”
“Nah, engkau anak Ibu yang u-hou dan baik sekali, Cun Ki!” ibunya berseru girang.
“Akan tetapi apa, Cun Ki?” tanya Sang Ayah sambil memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik.
Sambil menundukkan muka Cun Ki berkata, suaranya berat.
“Kalau aku tidak boleh berjodoh dengan Han Bi Lan, selama hidup aku tidak ingin menikah!” Setelah berkata demikian, dia bangkit dan berkata, “Maaf, Ayah dan Ibu, aku ingin beristirahat dalam kamarku.” Pemuda itu lalu melangkah pergi memasuki kamarnya dan menutup pintu kamar.
Panglima Kwee dan isterinya saling pandang. Sejenak mereka tertegun mendengar ucapan Cun Ki, anak tunggal mereka tadi. Kwee-ciangkun menghela napas panjang.
“Tidak kusangka anak itu agaknya sudah jatuh cinta betul kepada Han Bi Lan.”
Sementara itu, Nyonya Kwee yang amat menyayang puteranya, menjadi pucat wajahnya. “Ah, kalau dipikir, betul juga omongan Cun Ki. Bi Lan anak orang baik-baik, tentu ia bisa dididik agar menjadi mantu yang baik. Kalau dia kukuh tidak mau menikah, celakalah kita. Siapa yang akan menyambung keturunan
kita? Dia anak kita satu-satunya. Biar kubujuk dia dan aku setuju dia berjodoh dengan Han Bi Lan!” Setelah berkata demikian, Nyonya Kwee bangkit dan bergegas menuju ke kamar puteranya.
Panglima Kwee hanya menggeleng-geleng kepala dan tersenyum kecil. Dia sendiri memang tidak keberatan mempunyai mantu Bi Lan. Yang tidak setuju adalah isterinya. Dan sekarang setelah Cun Ki ngambek dan mengancam tidak akan menikah, ibunya itu menjadi khawatir sendiri dan tentu sekarang sedang membujuk-bujuk anaknya yang ngambek itu!
Nyonya Kwee memasuki kamar Cun Ki yang tidak terkunci. Ia melihat puteranya rebah telentang dengan muka merah dan dia tidak perduli mendengar ibunya masuk, seolah tidak melihatnya. Nyonya Kwee lalu duduk di tepi pembaringan.
“Cun Ki anakku, jangan engkau lalu marah begini. Tegakah engkau menyakiti hati Ibumu dengan marah-marah?”
“Ibu sendiri tega menolak permintaanku, padahal aku sudah jatuh cinta kepada Han Bi Lan!”
“Kalau ada persoalan, dapat kita rundingkan dulu, anakku. Kalau memang sudah tidak dapat diubah lagi pilihanmu, baiklah, Ibumu mau mengalah, demi kebahagiaanmu, akan tetapi dengan syarat bahwa kelak engkau harus mampu mendidik Bi Lan agar menjadi mantu yang dapat menyenangkan hatiku dengan pelayanan yang lembut sebagaimana lajimnya seorang mantu perempuan terhadap mertua perempuannya.”
Bagaikan mendapat semangat baru, Cun Ki serentak bangkit duduk dan merangkul ibunya. “Terima kasih, Ibu. Tentu saja, aku akan membimbing Bi Lan agar dapat menjadi mantu yang menyenangkan hati Ibu!”
Panglima Kwee dan isterinya lalu merencanakan mengirim seorang comblang (perantara pernikahan) ke dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka memilih-milih comblang mana yang pantas mewakili mereka dan yang pandai bicara. Mereka tidak mau mengirim seorang comblang biasa saja karena mereka ingin membuat Han Si Tiong merasa terhormat menerima comblang yang pandai bicara dan tentu saja yang akan membawa berbagai hadiah.
Pada suatu pagi, seorang wanita yang berpakaian bangsawan berkunjung ke rumah Panglima Kwee dengan naik sebuah kereta yang indah. Ketika pengawal memberi tahu ke dalam bahwa Nyonya Ciang Kui datang berkunjung, Nyonya Kwee bergegas keluar menyambut tamunya.
Tamu itu seorang wanita yang usianya sebaya dengan nyonya Kwee, sekitar empatpuluh lima tahun, berpakaian bangsawan indah, dan wajahnya juga cantik. Ia adalah isteri dari Ciang-taijin (Pembesar Ciang) yang menjabat pegawai tinggi bagian perpajakan dan sudah lama menjadi kenalan baik Nyonya Kwee. Antara suami mereka juga ada hubungan antara pejabat tinggi walaupun Panglima Kwee adalah seorang tentara dan Pembesar Ciang seorang pegawai sipil.
“Aih, Nyonya Ciang! Selamat datang, angin apa yang meniup Anda ke sini?” sambut Nyonya Kwee dan segera mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu yang luas dan indah.
“Baik, Nyonya Kwee, keadaan kami baik semua. Suamiku sehat dan pekerjaannya pun lancar, anak tunggalku Bi Hiang juga baik-baik saja, setiap hari rajin menyulam dan mengatur para pelayan menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Eh, bagaimana kabarnya dengan puteramu, Kwee-kongcu?”
“Kami semua juga baik-baik saja. Juga Cun Ki dalam keadaan sehat dan baik, Nyonya Ciang. Apakah ada keperluan khusus yang membawamu datang berkunjung?”
“Ah, aku datang hanya untuk melepas rindu. Sudah lama kita tidak saling berjumpa. Padahal, sudah lama kita bersahabat, juga suamiku adalah sahabat baik suamimu. Apakah kedatanganku ini mengganggu kesibukanmu?”
“Sama sekali tidak! Aku malah senang sekali menerima kedatanganmu, Nyonya Ciang! Memang sudah lama kita tidak bercakap-cakap.”
Pelayan datang menghidangkan minuman dan makanan kecil. Kedua orang nyonya bangsawan itu mengobrol, dengan asyiknya karena Nyonya Ciang adalah seorang wanita yang pandai dan banyak bicara, dapat menceritakan semua kabar tentang apa saja yang terjadi di antara para bangsawan, terutama isteri-isteri mereka. Ia suka sekali menceritakan kabar burung tentang hal-hal rahasia yang terjadi dalam rumah tangga para bangsawan, tentang percekcokan antara suami isteri bangsawan anu, tentang bangsawan ini mengambil selir baru, tentang isteri bangsawan itu yang dicurigai ada main dengan seorang pemuda pegawai suaminya, dan lain-lain. Nyonya Kwee hanya mendengarkan saja dan seperti lajimnya para wanita, biarpun ia tidak menanggapi, namun berita-berita macam itu amat menarik hatinya, seolah mendengarkan bunyi nyanyian merdu!
Sebetulnya kunjungan Nyonya Ciang ini mempunyai maksud tertentu. Sudah lama ia mencari-cari seorang pemuda yang kiranya pantas untuk menjadi jodoh puterinya, yaitu Ciang Bi Hiang yang sudah berusia sembilanbelas tahun, dan pilihannya jatuh kepada Kwee Cun Ki. Ia sudah merundingkan niatnya itu dengan suaminya, Pembesar Ciang Kui yang juga menyetujui, karena Panglima Kwee terkenal sebagai pembesar militer yang terhormat, setia kepada Kaisar, dan disuka para pembesar lainnya. Akan tetapi, sebelum Nyonya Ciang sempat membicarakan hal ini kepada nyonya Kwee yang telah lama dikenalnya dengan baik, pada suatu hari ia mendengar berita yang mengejutkan.
Nyonya Ciang mempunyai banyak kaki tangan yang suka mencari berita yang aneh-aneh untuk menjadi bahan percakapan dan pergunjingan. Ia mendengar dari seorang pembantunya bahwa keluarga Kwee sedang mencari-cari seorang comblang yang baik untuk mengajukan pinangan kepada Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang tinggal di Telaga Barat, untuk dijodohkan dengan Kwee Cun Ki! Tentu saja ia terkejut dan khawatir, lalu cepat ia merundingkan hal ini dengan suaminya.
Pembesar Ciang Kui juga terkejut dan heran mendengar bahwa Kwee-ciangkun hendak melamar Han Bi Lan puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi untuk puteranya. Dia lalu bercerita kepada isterinya bahwa Han Bi Lan itulah yang telah membunuh saudara sepupunya, yaitu Ciang-goanswe (Jenderal Ciang) dan puteranya, Ciang Ban. Juga dia menceritakan bahwa Liang Hong Yi dahulu adalah seorang pelacur kelas tinggi di kota Cin-koan, bahkan dialah yang ketika itu masih tinggal di Cin-koan dan belum menjadi pimpinan yang kini tinggal di kota raja, pernah memberi surat kepada Liang Hong Yi untuk diserahkan kepada Jenderal Ciang Sun Bo agar Liang Hong Yi yang baru menikah dengan Han Si Tiong diberi pekerjaan.
Demikianlah dengan bekal keterangan ini, Nyonya Ciang bergegas naik kereta mengunjungi Nyonya Kwee.
“Nyonya Kwee, kalau aku boleh bertanya, berapa sih usia puteramu sekarang?”
“Ah, kau maksudkan Cun Ki? Tahun ini dia berusia duapuluh empat tahun.”
“Puteriku Bi Hiang sudah berusia sembilanbelas tahun. Ah, Nyonya Kwee, apakah kaupikir usia sebegitu belum cukup untuk menikah? Kalau saja puteramu dapat dijodohkan dengan puteriku, alangkah baiknya. Hubungan kita yang tadinya sahabat dapat dipererat menjadi keluarga! Bukankah hal itu baik sekali?”
Wajah Nyonya Kwee yang tadinya cerah karena gembira bercakap-cakap dengan Nyonya Ciang yang pandai mengobrol itu, tiba-tiba berubah keruh mendengar usul ini. Tentu saja ia akan menyambut baik uluran tangan ini, kalau saja Cun Ki tidak rewel dan berkeras ingin menikah dengan Han Bi Lan! Tentu seratus kali ia akan memilih Ciang Bi Hiang, seorang gadis bangsawan aseli, pandai dan halus budi, seorang mantu yang pasti akan memuaskan hatinya dibandingkan dengan Han Bi Lan yang pandai bermain pedang dan suka membunuh orang! Akan tetapi ia tidak dapat mengubah keinginan puteranya itu.
“Ah, sayang sekali, Nyonya Ciang. Walaupun aku setuju sekali dengan usulmu itu, namun keinginan kita tidak mungkin terlaksana karena kami telah mendapatkan seorang jodoh untuk Cun Ki, bahkan kini kami sedang mencari seorang comblang yang baik untuk mengajukan pinangan kepada orang tua gadis itu.”
“Aduh-aduh......, sungguh kami tidak beruntung karena terlambat. Akan tetapi tidak mengapalah, Nyonya Kwee, kalau memang keluargamu sudah menentukan pilihan. Barangkali memang puteramu bukan jodoh puteriku. Bolehkah aku mengetanui, siapakah gadis yang beruntung akan menjadi mantu perempuanmu itu? Ia puteri bangsawan manakah? Tentu ia cantik sekali. Siapa namanya?”
Wajah Nyonya Kwee berubah agak kemerahan. “Ayahnya dahulu bekas seorang perwira kerajaan, akan tetapi sekarang telah mengundurkan diri dan tinggal di dekat Telaga Barat. Gadis pilihan puteraku itu bernama Han Bi Lan.”
“Gadis she (bermarga) Han......? Han Bi Lan...... rasanya aku sudah mendengar nama itu! Oh, ya...... ya......, bukankah Han Bi Lan itu yang dulu menjadi buruan pemerintah karena ia dengan kejam telah membunuh Jenderal Ciang Sun Bo yang masih kakak sepupu suamiku? Juga puteranya, Ciang Ban, telah dibunuhnya! Gadis itukah yang kaumaksudkan, Nyonya Kwee?”
Nyonya Kwee tersipu, akan tetapi demi puteranya, ia harus membela apa yang telah diperbuat Han Bi Lan itu. “Memang ialah gadis itu, Nyonya Ciang. Akan tetapi kini ia bukan lagi seorang buruan pemerintah dan perbuatannya itu tidak disalahkan karena selain Jenderal Ciang dan puteranya itu berniat mencelakakannya, juga akhirnya diketahui bahwa Jenderal Ciang itu adalah seorang di antara sekutu pemberontak Chin Kui.”
Nyonya Ciang mengangguk-angguk. “Aku juga mengerti akan hal itu, Nyonya Kwee, akan tetapi kiranya engkau tidak dapat menyangkal bahwa gadis itu adalah seorang pembunuh berdarah dingin! Hih, ngeri aku membayangkan hidup dekat seorang gadis liar seperti itu!”
“Nyonya Ciang, engkau tidak boleh menghina gadis yang akan menjadi mantuku. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah pilihan puteraku!” kata Nyonya Kwee agak tersinggung.
“Baiklah, baiklah, harap engkau bersabar! Akan tetapi, apakah engkau sudah mengenal orang tuanya?”
“Tentu saja! Ayahnya adalah Han Si Tiong dan siapa tidak mengenal namanya? Dia pernah menjadi pemimpin Pasukan Halilintar yang tersohor itu!”
“Maksudku, ibunya, Nyonya Kwee.”
“Ibunya juga seorang wanita gagah yang membantu suaminya dalam perang. Ia adalah Liang Hong Yi.”
“Apakah engkau mengenal baik siapakah Liang Hong Yi itu, Nyonya Kwee?”
“Tentu saja! Ia seorang wanita yang gagah perkasa, baik budi dan terhormat!”
“Terhormat? Aku sangsikan hal itu, Nyonya Kwee!”
“Apa maksudmu?”
“Aku mendengar dari suamiku bahwa Liang Hong Yi itu sebelum menjadi isteri Han Si Tiong adalah seorang gadis yang tinggal di kota Cin-koan, ikut bibinya, yaitu Lu-ma yang menjadi mucikari, mendirikan rumah pelesir Bunga Seruni dan Liang Hong Yi merupakan seorang kembangnya yang paling terkenal di antara para pelacur itu......”
“Nyonya Ciang!” Nyonya Kwee berseru memotong ucapan tamunya dan bangkit berdiri dengan marah, mukanya berubah merah.
“Aku tidak berbohong, Nyonya Kwee. Suamiku dulu adalah seorang di antara para langganan Liang Hong Yi.”
“Fitnah yang keji! Pergilah dari sini, Nyonya Ciang, sebelum kuusir seperti anjing!”
Nyonya Ciang bangkit berdiri dan tersenyum mengejek. “Kawinkan saja puteramu dengan puteri pelacur itu dan seluruh kota raja akan membicarakannya sambil tertawa geli!” Setelah berkata demikian, Nyonya Ciang cepat keluar dari ruangan tamu itu, terus keluar dan cepat memasuki kereta yang dijalankan pulang oleh kusirnya.
Nyonya Kwee terkulai lemas di atas kursinya, wajahnya sebentar merah sebentar pucat. ia marah sekali, akan tetapi juga gelisah bukan main. Bagaimana kalau cerita nyonya bawel tadi ternyata benar? Puteranya, anak satu-satunya, akan menjadi mantu seorang pelacur? Ya ampun......, Nyonya Kwee tidak dapat menahan air matanya dan sambil menangis ia memasuki ruangan di mana suaminya sedang duduk melaksanakan pekerjaannya mencatat dalam bukunya.
Nyonya Kwee memasuki kamar kerja suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Tentu saja Panglima Kwee terkejut bukan main. Dia bangkit dan menyambut isterinya, merangkulnya karena tubuh isterinya terhuyung seperti akan roboh, dan membawanya duduk di atas kursi.
“Tenanglah, isteriku. Mengapa engkau menangis seperti ini? Bukankah tadi engkau menerima tamu, kalau tidak salah Nyonya Ciang? Di mana ia sekarang?”
Sampai lama Nyonya Kwee tidak mampu bicara, hanya menangis. Setelah tangisnya reda, ia bicara dengan suara gemetar. “Ia sudah pergi...... ah, ia menceritakan hal yang amat mengejutkan, yang membuat hatiku hancur......” Ia sesenggukan lagi.
“Ada apakah? Apa yang ia ceritakan?”
“Kalau ia mengatakan bahwa Han Bi Lan adalah seorang yang telah membunuh Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya, hal itu masih dapat kuterima karena memang kenyataannya demikian, akan tetapi ia bilang...... ia bilang......”
“Ia bilang apa?”
“Ia mengatakan bahwa dahulu di kota Cin-koan, di rumah pelesir Bunga Seruni yang dikelola oleh Lu-ma, Liang Hong Yi sebagai keponakan Lu-ma adalah seorang pelacur!”
“Fitnah keji!!” Panglima Kwee berseru marah.
“Katanya, suaminya dulu adalah langganan Liang Hong Yi.”
“Jahanam, aku tidak bisa menerima begitu saja penghinaan ini. Ini fitnah keji! Kalau Ciang Kui dan isterinya tidak dapat membuktikan fitnah itu, mereka akan kutuntut di depan pengadilan!”
“Nanti dulu, suamiku. Engkau sebagai seorang laki-laki, tentu tahu apakah benar di Cin-koan ada rumah pelesir itu dan apakah benar Liang Hong Yi......”
“Kau tahu bahwa aku seorang pria yang tidak suka keluyuran ke rumah pelacuran seperti Ciang Kui! Akan kucari dia!”
“Jangan keburu nafsu dulu, suamiku. Carilah dulu keterangan apakah kata-katanya itu benar, baru bertindak kalau itu hanya fitnah kosong.”
“Baik, akan kuurus sekarang juga. Aku tidak terima! Selain kita berniat mengambil Han Bi Lan sebagai mantu, juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah sahabat baikku. Aku pergi dulu!”
Panglima Kwee Gi keluar dari rumahnya dengan muka merah. Belum lama dia keluar, Kwee Cun Ki memasuki kamar kerja ayahnya itu dan mendapatkan ibunya menangis di situ.
“Ibu, apakah yang telah terjadi? Aku melihat Ayah keluar dan tampaknya marah sekali.”
Nyonya Kwee merangkul puteranya. “Aduh, Cun Ki, sekali ini celaka kita. Nama keluarga kita akan hancur!”
“Eh? Ada apakah, Ibu?”
“Tadi Nyonya Ciang Kui datang bertamu dan ia menceritakan hal yang memalukan sekali, yang kalau terdengar orang akan mencemarkan nama baik dan kehormatan kita!”
“Hal apa yang ia ceritakan, Ibu?”
“Bahwa ibu Han Bi Lan, calon ibu mertuamu Liang Hong Yi itu, dahulu di waktu gadisnya adalah seorang...... pelacur terkenal di kota Cin-koan.”
“Itu fitnah keji sekali, Ibu! Nyonya Ciang yang mengatakan begitu?”
“Ia mendengar dari suaminya, Pembesar Ciang Kui yang katanya dulu adalah seorang di antara langganan Liang Hong Yi.”
“Keparat busuk! Dan tadi Ibu mengatakannya kepada Ayah?”
“Ya, ayahmu sekarang hendak mencari Pembesar Ciang untuk minta penjelasan.”
“Baik, aku akan menyusul ke sana. Ciang Kui itu harus mempertanggung-jawabkan fitnah keji itu!” Setelah berkata demikian, Cun Ki berlari keluar.
Dengan langkah lebar Panglima Kwee memasuki pekarangan gedung pembesar Ciang Kui. Para pengawal sudah mengenalnya dan memberi hormat kepada panglima ini.
“Katakan kepada Pembesar Ciang bahwa aku, Panglima Kwee, minta bertemu sekarang juga. Cepat laksanakan!” Perintahnya kepada kepala regu penjaga.
Pengawal itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi menemui Panglima Kwee. “Ciang-taijin mempersilakan Ciang-kun masuk, ditunggu di kamar tamu.”
Tiba-tiba terdengar seruan dari luar. “Ayah, tunggu!” Panglima Kwee menoleh dan melihat Cun Ki datang berlari-lari.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Panglima Kwee ketus karena kalau saja puteranya itu tidak rewel minta dijodohkan dengan Bi Lan, berita tentang Liang Hong Yi tentu tidak menimbulkan geger dalam keluarganya seperti ini.
“Ayah, aku sudah mendengar dari ibu. Ciang-taijin harus mempertanggung-jawabkan fitnahnya itu! Aku ikut menemuinya, Ayah!”
Panglima Kwee dapat memaklumi betapa remuk hati puteranya mendengar berita itu, maka dia mengangguk dan mengajak puteranya masuk.
“Di depan Ciang-taijin nanti jangan bicara apa-apa. Biar aku saja yang bicara dengannya.”
Cun Ki mengangguk.
Pembesar Ciang sudah mendengar dari isterinya bahwa isterinya telah membongkar rahasia Liang Hong Yi itu kepada Nyonya Kwee, maka kedatangan Panglima Kwee dan puteranya itu tidak mengejutkan hatinya. Dia bangkit dan tersenyum ramah ketika Panglima Kwee dan Cun Ki memasuki ruangan tamu.
“Ah, Kwee-ciangkun dan Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee)! Silakan duduk.” Dia mempersilakan.
Dua orang tamu itu sambil menahan kesabaran mereka duduk berhadapan dengan tuan rumah.
“Ciang-taijin, kami tidak berpanjang kata. Kedatangan kami ini ingin minta pertanggungan-jawabmu atas apa yang diceritakan isteri Anda kepada isteriku!”
Ciang Kui tersenyum dan meraba kumisnya yang tipis. Dia adalah seorang pria yang dalam usianya yang sudah limapuluh tahun itu masih tampak tampan.
“Tenanglah, Kwee-ciangkun. Cerita isteriku yang manakah yang kauminta pertanggungan-jawabku?”
“Cerita tentang Liang Hong Yi, bahwa ia dahulu adalah seorang pelacur di Cin-koan dan Anda adalah seorang di antara para langganannya!” kata Kwee-ciangkun dengan muka merah dan nada suaranya marah.
“Oh, itu? Aih, mulut wanita memang jauh jangkauannya. Berita itu hanya membuat aku malu saja, Kwee-ciangkun. Akan tetapi mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Kalau aku yang mengatakan, mungkin engkau tidak akan percaya dan menuduh aku menyebar fitnah. Mengapa engkau dan puteramu tidak langsung saja pergi ke Cin-koan dan mencari keterangan di sana betul tidak dahulu ada Rumah Pelesir Bunga Seruni yang diasuh oleh Lu-ma dan bahwa Liang Hong Yi adalah kembangnya rumah pelesir itu? Kalau engkau sudah menyelidiki di sana dan ternyata bahwa omonganku bohong, barulah engkau ke sini minta pertanggungan-jawabku. Bukankah itu adil, daripada belum apa-apa engkau sudah marah-marah?”
Kwee-ciangkun bangkit berdiri, diikuti oleh Cun Ki. Dia mengangguk dan menjawab. “Baik, dan kalau ternyata Anda bohong, aku pasti akan menuntutmu, Ciang-taijin!”
“Aku siap dituntut kalau omonganku, tidak benar, Kwee-ciangkun.”
Panglima Kwee dan Cun Ki segera pulang. Nyonya Kwee menyambut mereka dengan wajah masih gelisah dan kedua pipi masih basah air mata.
“Bagaimana……?” tanyanya.
“Kami pulang untuk mengambil kuda, Ibu. Ayah dan aku akan menyelidiki apakah itu fitnah ataukah benar di kota Cin-koan!” kata Cun Ki kepada ibunya.
“Yang celaka sekali kalau berita itu benar adalah……“ kata Kwee-ciangkun.
“Ada apa, suamiku?”
“Aku sudah mendapatkan seorang comblang dan kemarin dia sudah kusuruh berangkat ke dusun Kian-cung di dekat Telaga Barat mengajukan pinangan itu!”
“Wah, celaka……!” kata Nyonya Kwee.
“Jangan khawatir. Andaikata mereka menerima, masih belum terlambat untuk membatalkan ikatan perjodohan yang belum resmi itu!” kata Kwee-ciangkun sambil menoleh kepada puteranya. “Tentu engkau setuju, bukan?”
Cun Ki menunduk. “Aku menurut bagaimana keputusan Ayah saja.”
Pikirannya sendiri sedang kalut. Kalau benar Ibu Bi Lan dahulunya seorang pelacur, ke mana dia harus menyembunyikan mukanya kalau semua orang mencemoohkannya bahwa ibu mertuanya seorang bekas pelacur? Maka dia tidak dapat mengambil keputusan dan menyerahkan saja kepada orang tuanya.
Panglima Kwee dan puteranya segera membalapkan kuda menuju ke kota Cin-koan.
Nyonya Kwee menanti dengan hati berdebar-debar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa marah, malu, gelisah, akan tetapi di balik semua perasaan tidak enak ini, sembunyi rasa senang yang penuh harapan.
Memang pada dasarnya ia tidak senang mempunyai menantu seorang gadis liar pendekar pedang seperti Bi Lan, dan ia hanya mengalah karena tidak ingin melihat puteranya mogok tidak mau menikah. Kini timbul harapan baru di hatinya. Kalau berita itu benar, sudah pasti Cun Ki tidak akan sudi memperisteri anak seorang bekas pelacur! Akan tetapi diam-diam ia pun merasa kasihan juga kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang telah dikenalnya. dengan baik sejak mereka berdua masih tinggal di kota raja. Ia merasa sulit membayangkan apakah ia dan suaminya dapat menjadi sahabat baik suami isteri itu kalau mendengar akan masa lalu Liang Hong Yi.
Maka, terjadi kebimbangan dalam hati Nyonya Kwee. Kalau berita itu tidak benar, maka tentu suaminya akan menuntut Pembesar Ciang dan terjadi permusuhan atau setidaknya perasaan tidak enak di antara kedua keluarga itu. Padahal, ia akan merasa senang sekali kalau Cun Ki dapat menjadi suami Ciang Bi Hiang yang sudah dikenalnya sebagai seorang gadis yang cantik dan lemah lembut.
Baru menjelang sore Panglima Kwee dan Cun Ki pulang. Pelayan menyambut dan mengurus kuda mereka dan keduanya lalu memasuki gedung, disambut oleh Nyonya Kwee di pendapa karena sejak tadi nyonya ini sudah menanti dengan tidak sabar. Ia melihat suami dan puteranya tampak lesu.
“Bagaimana……?” tanya Nyonya Kwee kepada suami dan puteranya.
“Kita bicara di dalam!” kata Panglima Kwee dengan ketus, tanda bahwa dia dalam keadaan marah.
Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan keluarga di mana para pelayan tidak ada yang berani masuk kalau tidak dipanggil. Mereka duduk mengelilingi meja setelah Cun Ki menutup daun pintu dan jendela.
“Nah, ceritakan, bagaimana hasilnya?” tanya Nyonya Kwee.
Panglima Kwee menghela napas panjang. “Sungguh tidak pernah kusangka……! Siapa yang mengira, siapa yang dapat percaya bahwa seorang wanita yang begitu gagah perkasa, setia kepada suami dan kepada negara, yang begitu pandai membawa diri……?”
“Jadi benarkah apa yang dikatakan Nyonya Ciang itu?” tanya isterinya.
Panglima Kwee mengangguk. “Sudah kami selidiki di kota Cin-koan dan hampir semua penduduk kota itu yang usianya sudah empatpuluh tahun ke atas, tahu belaka akan kenyataan itu. Memang benar Lu-ma mempunyai sebuah rumah pelesir yang disebut Bunga Seruni dan Liang Hong Yi adalah keponakannya dan dan biarpun ia hanya mau menerima langganan para bangsawan dari Cin-koan atau kota raja, namun jelas bahwa ia di waktu gadis menjadi seorang....... pelacur. Setelah ia menikah dengan Han Si Tiong, mereka berdua lalu meninggalkan Cin-koan……“
“Ahhh! Kalau begitu, tidak mungkin Cun Ki menjadi calon Han Bi Lan! Mana mungkin kita berbesan dengan seorang bekas pelacur? Dan alangkah rendah dan hinanya dalam pandangan semua orang kalau Cun Ki menjadi mantu pelacur. Bukankah begitu, Cun Ki?” kata Nyonya Kwee sambil menatap wajah puteranya.
Cun Ki menundukkan mukanya dan menghela napas berulang kali.
“Ibu, pikiranku kalut dan bingung, hatiku tertekan dan terpukul hebat oleh kenyataan pahit ini, maka tentang perjodohan terserah saja kepada Ayah dan Ibu. Aku menurut saja……, aku bingung, aku ingin tidur……!” Cun Ki lalu meninggalkan orang tuanya dan memasuki kamar, terus merebahkan diri tidur!
Suami isteri itu masih duduk berhadapan dan saling pandang dengan alis berkerut. “Hemm, bagaimana sekarang? Mungkin comblang yang kusuruh itu sudah tiba di sana sekarang, mengajukan pinangannya.”
Isterinya mengerutkan alis. “Mengapa engkau begitu tergesa-gesa dan tidak membicarakannya dulu dengan aku dan langsung mengirim comblang ke sana?” Suara Nyonya Kwee mengandung teguran.
“Sudahlah, hal itu sudah terlanjur, tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang membicarakan hal yang akan datang. Aku sudah mengirim comblang untuk menyampaikan pinangan secara resmi. Masih baik kalau pinangan itu ditolak……“
“Huh, pinangan kita ditolak? Tidak mungkin sama sekali! Dulu pun ketika mereka berdua berada di sini, mereka menyatakan setuju kalau puteri mereka menjadi mantu kita. Aku yakin mereka berdua pasti menerima pinangan kita itu dengan hati senang dan bangga, merasa terangkat derajatnya. Huh!”
“Mungkin Han Si Tiong dan isterinya menerima dan menyetujui, akan tetapi bisa juga Han Bi Lan yang menolak lamaran itu.”
“Gadis itu berani menolak pinangan kita untuk dijodohkan dengan anak kita? Hemm, memangnya siapa ia? Anak siapa? Mana mungkin menolak untuk menjadi isteri putera kita!” kata Nyonya Kwee, gemas.
“Jangan begitu. Bagaimanapun juga, yang pernah melakukan kesalahan adalah ibunya. Gadis itu sama sekali tidak berdosa.”
“Tidak berdosa? Ia anak pelacur, dan ia seorang pembunuh kejam!”
“Sudahlah, tak baik membiarkan kebencian seperti itu. Mereka kan tidak pernah mengganggu atau merugikan kita, kenapa engkau menjadi begitu benci?”
“Mereka merupakan ancaman untuk nama baik dan kehormatan keluarga kita,” Nyonya Kwee berseru marah.
“Sekarang kita bicarakan hal yang lebih penting. Tadi kukatakan andaikata pinangan itu ditolak, maka tidak ada masalah lagi. Yang kupikirkan, bagaimana kalau mereka menerima pinangan kita itu? Apa yang harus kukatakan kepada Han Si Tiong untuk membatalkannya? Kita baru saja meminang, masa dibatalkan begitu saja?”
“Katakan saja terus terang bahwa kita tidak sudi berbesan dengan seorang bekas pelacur, habis perkara! Mereka harus tahu diri, dong! Masa bekas pelacur mau berbesan dengan keluarga Panglima?”
“Hushh, jangan begitu. Rendam saja kemarahanmu dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Biarpun bagaimana juga, kita sudah terlanjur meminang! Dan ini harus kita pertanggung-jawabkan. Bagaimana mungkin kita lalu tidak mengacuhkan mereka?”
“Kenapa pusing-pusing? Batalkan saja!”
“Kalau Han Si Tiong dan isterinya bertanya mengapa kita yang meminang lalu kita pula yang membatalkan? Apa alasan kita?”
“Bilang saja terus terang bahwa kita telah mendengar akan masa lalunya Liang Hong Yi dan kita tidak mau berbesan dengan seorang bekas pelacur!”
“Itu bukan pemecahan yang baik! Alasan seperti itu hanya memancing permusuhan. Ingat, Han Si Tiong adalah orang yang sudah berjasa terhadap kerajaan. Biarpun dia tidak mau memangku jabatan, namun Sribaginda sendiri tentu akan marah kalau mendengar dia diperlakukan sewenang-wenang. Dan kalau suami isteri itu marah, apalagi dibantu anak mereka yang amat lihai, sungguh keselamatan kita akan terancam. Kita harus mencari jalan yang baik agar urusan ini dapat diselesaikan dengan damai dan baik.”
Suami isteri itu lalu berdiam diri, agaknya memutar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan itu. Nyonya Kwee mencari jalan terbaik, bukan saja yang terbaik bagi ia dan suaminya, akan tetapi terutama sekali untuk puteranya karena tadi ia melihat bahwa biarpun puteranya menyerahkan keputusannya kepada mereka berdua, tetap saja ia mengetahui bahwa puteranya itu mengalami patah hati dan menjadi sedih sekali.
Tiba-tiba wajahnya yang tadinya muram dan alisnya berkerut karena merasa bingung dan khawatir menghadapi urusan itu, kini menjadi cerah. Bibirnya tersenyum merekah dan sepasang matanya berbinar-binar.
“Hai, aku sudah mendapat akal! Akal yang baik sekali, suamiku!” serunya gembira.
Kwee-ciangkun memandang isterinya, alisnya masih berkerut karena dia tidak mengerti apa yang membuat isterinya bergembira menghadapi keadaan yang serba sulit itu.
“Hemm, akal bagaimanakah yang kau dapatkan?”
“Kita bukan saja harus mengatasi semua persoalan ini tanpa mendatangkan akibat buruk kepada kita, akan tetapi juga menjaga agar anak kita tidak mengalami patah hati dan bersedih karena tampaknya dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada Han Bi Lan.”
“Engkau benar, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan selain menjodohkannya dengan gadis itu?”
“Ingat, suamiku yang baik. Sudah menjadi pendapat umum bahwa seorang laki-laki bangsawan dapat mengambil selir dari golongan apa pun juga. Lihat para pangeran itu. Ada di antara mereka yang mempunyai selir bekas pelacur! Nah, masih baik dan terhormat bagi Cun Ki kalau mengambil Han Bi Lan sebagai selirnya! Tidak akan ada orang mencela dan meremehkan nama dan kehormatan kita. Han Si Tiong dan isterinya juga tidak merasa ditolak atau dibatalkan ikatan perjodohan antara puterinya dan anak kita. Dan, yang penting sekali, anak kita tidak akan putus cinta, tidak akan patah hati karena dia bisa mendapatkan Han Bi Lan, biarpun hanya sebagai selirnya. Bagaimana pendapatmu?”
Wajah Kwee-ciangkun kini juga berseri dan dia memandang isterinya dengan kagum. Timbul kembali harapannya. “Wah, engkau hebat, isteriku! Akalmu itu benar-benar cerdik dan sekaligus dapat membereskan semua persoalan! Benar sekali itu! Mari kita beritahu anak kita. Panggil dia ke sini!”
Nyionya Kwee segera pergi ke kamar puteranya. Ia mendapatkan pemuda itu tidur pulas. “Ih, anak ini! Orang tuanya pusing mencari jalan keluar yang baik, dia malah ngorok! Hei, Cun Ki, bangun, Ayahmu ingin bicara denganmu!” Nyonya Kwee mengguncang pundak Cun Ki dan pemuda itu terbangun.
“Ada apakah, Ibu?”
“Mari ikut, Ayahmu menantimu, ingin bicara soal penting padamu.”
Cun Ki mengikuti ibunya ke ruangan di mana ayahnya menunggu. Setelah puteranya duduki Panglima Kwee lalu berkata, “Cun Ki, Ayah dan Ibu telah menemukan cara yang tepat dan terbaik untuk mengatasi urusan perjodohanmu dengan Han Bi Lan.”
Pemuda itu memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh selidik. “Dengan Han Bi Lan, Ayah? Apa yang Ayah maksudkan?”
“Begini, Cun Ki. Engkau tentu mengerti dengan jelas bahwa tidak mungkin engkau melanjutkan perjodohanmu dengan Bi Lan setelah engkau mendengar sendiri kenyataan tentang riwayat Ibunya.”
Cun Ki mengerutkan alisnya: “Aku mengerti, Ayah dan kiranya tidak ada gunanya lagi membicarakan itu lebih lanjut, hanya akan mendatangkan kekecewaan saja.”
“Akan tetapi kami telah menemukan jalan terbaik, Cun Ki. Engkau masih dapat menikah dengan Bi Lan, maksudku bukan menikah secara resmi, akan tetapi engkau dapat hidup bersama Bi Lan sebagai suami isteri.”
“Maksud Ayah?”
“Begini, Cun Ki. Pinangan terhadap Bi Lan telah kita lakukan, dan kita tidak akan mencabut kembali pinangan itu, hanya saja pelaksanaannya yang diubah.”
“Diubah bagaimana, Ayah?”
“Diubah agar Bi Lan tetap menjadi isterimu akan tetapi nama dan kehormatan keluarga kami tidak sampai tercemar karenanya. Yaitu, Bi Lan akan menjadi selirmu. Jadi tetap ia menjadi isterimu, akan tetapi bukan isteri yang sah atau isteri pertama. Karena itu, tidak perlu dirayakan dengan pernikahan. Kelak engkau akan kami pilihkan seorang gadis dari keluarga terhormat untuk menjadi isterimu, dan Bi Lan tetap menjadi selirmu. Nah, bukankah itu bagus sekali? Pertama, kita tidak perlu membatalkan pinangan kita sehingga tidak akan menyinggung perasaan Han Si Tiong, kedua, engkau akan tetap memiliki Bi Lan yang kaucinta, dan ketiga, perjodohanmu itu tidak akan mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kita. Banyak pangeran dan bangsawan tinggi yang mengambil selir dari wanita golongan apapun juga, bahkan ada yang menjadikan seorang pelacur sebagai selirnya. Dan Bi Lan hanya anak bekas pelacur. Jadi segalanya dapat diatasi tanpa ada kekecewaan, kemarahan, permusuhan atau kedukaan. Bagaimana pendapatmu?”
Wajah pemuda itu juga berseri mendengar ucapan ayahnya. “Wah, itu baik sekali, Ayah! Akan tetapi, bagaimana kalau Bi Lan tidak mau dijadikan selir?”
“Kalau ia menolak, berarti bahwa penolakan datang dari pihak mereka sehingga mereka tidak akan merasa ditolak dan tidak tersinggung. Siasat ini memang baik sekali, hasil pemikiran Ibumu. Jadi atau tidaknya engkau berjodoh dengan Han Bi Lan, tidak akan ada yang tersinggung. Mengertikah engkau maksud kami, Cun Ki?”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Akan tetapi, untuk menyampaikan kepada mereka bahwa perjodohan ini berarti bahwa Bi Lan akan menjadi selirku, walaupun pertama kali aku kawin, kuserahkan kepada Ayah dan Ibu. Aku sendiri tidak berani menyampaikan.”
“Serahkan saja kepadaku, Cun Ki! Aku yang akan bicara baik-baik kepada mereka, dan kalau mereka itu bijaksana, tentu mereka akan dapat menerima dengan senang hati,” kata Nyonya Kwee.
Demikianlah, keputusan itu membuat keluarga Kwee menjadi tenang kembali dan mereka kini hanya menanti kembalinya comblang yang diutus Kwee-ciangkun melamar Han Bi Lan ke dusun Kian-cung di Telaga Barat.
Akan tetapi pada keesokan harinya, Keluarga Kwee mendapat kejutan besar. Mereka menanti-nanti kembalinya comblang yang diutus meminang Han Bi Lan akan tetapi pada siang hari keesokan harinya itu yang muncul bukan si comblang, melainkan Liang Hong Yi dan Han Bi Lan!
Tergopoh-gopoh Panglima Kwee, Nyonya Kwee, dan Kwee Cun Ki keluar menyambut dua orang tamu itu.
“Eh, kalian datang?” seru Nyonya Kwee dengan heran karena tidak menyangka sama sekali ibu dan anak itu datang, padahal si comblang belum kembali.
“Mana Adik Han Si Tiong? Mengapa tidak ikut datang?” tanya Panglima Kwee. Sedangkan Cun Ki hanya memandang saja kepada Bi Lan dan menurut penglihatannya, gadis itu semakin cantik menarik saja! Akan tetapi Bi Lan tidak memperhatikan pemuda itu karena ia sibuk merangkul ibunya yang sudah langsung menangis tersedu-sedu ketika Panglima Kwee menanyakan suaminya.
“Aih, mengapa engkau menangis? Apakah yang telah terjadi, Adik Liang Hong Yi?” tanya Nyonya Kwee.
Akan tetapi tangis Liang Hong Yi semakin mengguguk sehingga Panglima Kwee dan isterinya saling pandang dengan heran.
Cun Ki segera bertanya kepada Bi Lan.
“Lan-moi, ceritakanlah kepada kami, apa yang terjadi sehingga Ibumu menangis seperti ini?”
Bi Lan masih merangkul ibunya yang duduk di atas kursi dan mendengar itu, ia menjawab. “Ayah telah tewas dibunuh orang.”
Tentu saja keluarga Kwee terkejut sekali mendengar berita ini. Akan tetapi di balik kekagetan dan rasa iba ini terselip sedikit kelegaan hati Kwee-ciangkun, isteri dan puteranya karena dengan matinya Han Si Tiong, maka urusan yang mereka hadapi akan lebih ringan dan tidak lagi menyinggung perasaan Han Si Tiong yang menjadi sahabat baik Kwee-ciangkun.
“Ah, bagaimana hal itu dapat terjadi? Apakah pembunuhnya demikian saktinya sehingga engkau tidak mampu mencegahnya, Lan-moi?” tanya Cun Ki.
Setelah ibunya berhenti menangis, Bi Lan bercerita dengan singkat. “Ketika aku datang, pembunuh-pembunuh itu telah pergi. Aku datang terlambat.”
Kini Liang Hong Yi yang menjawab. “Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan yang diutus oleh guru mereka Ouw Kan untuk membunuh kami. Suamiku tewas dan aku terluka di pundak.”
“Jahanam Ouw Kan!” Panglima Kwee Gi mengumpat karena dia mengetahui bahwa yang dulu menculik Bi Lan adalah Ouw Kan juga.
“Paman Kwee berdua dan Kakak Cun Ki, aku harus mencari para pembunuh ayahku dan jahanam Ouw Kan itu, akan kubasmi mereka untuk membalas kematian ayah. Karena itu, aku mohon kepada Kalian agar Ibu untuk sementara tinggal di sini agar ia tidak sendirian,” kata Bi Lan.
“Akan tetapi...... hal itu......”
“Ah, boleh saja ibumu untuk sementara tinggal di sini, Bi Lan!” Panglima Kwee memotong kata-kata isterinya tadi.
“Kwee-ciangkun dan Kwee-hujin (Nyonya Kwee), perkara itu dapat dibicarakan nanti. Sekarang yang terpenting, yang mendorong aku pergi ke kota raja ini, selain untuk menghibur diri, juga sengaja kami berkunjung ke sini untuk menentukan ikatan perjodohan anak-anak kita seperti yang ciang-kun berdua usulkan dahulu ketika aku dan suamiku berada di sini.”
Kwee-ciangkun dan isterinya saling pandang. Ah, tentu pinangan itu sudah mereka terima, pikir mereka. Seperti sudah dijanjikan, yang hendak menyampaikan usul baru itu Nyonya Kwee, maka Kwee-ciangkun memberi isyarat kepada isterinya. Nyonya Kwee yang biasanya bersikap lembut, kini demi menjaga nama dan kehormatan keluarganya, memberanikan diri berkata dengan suara tegas.
“Adik Liang Hong Yi, kita sudah menyetujui akan perjodohan itu, akan tetapi terpaksa kami harus berterus terang bahwa kita tidak dapat merayakan pernikahan secara sah karena anakmu itu kami terima bukan sebagai isteri yang sah dari anak kami, melainkan sebagai seorang selir......”
“Ohhh……!” Liang Hong Yi terkejut sekali mendengar ini.
Sementara itu, Bi Lan yang sejak tadi mendengarkan dengan heran dan bingung, kini tidak dapat menahan lagi gejolak hatinya. “Ibu, apa artinya semua ini? Siapa yang akan dijodohkan?!”
“Kwee-hujin mengapa begini?” teriak Liang Hong Yi tanpa menjawab pertanyaan anaknya karena hatinya sudah panas oleh ucapan Nyonya Kwee bahwa puterinya hanya akan dijadikan selir!
“Dengarlah dulu dengan hati tenang, Adik Liang Hong Yi,” kata Nyonya Kwee dan Bi Lan terpaksa menahan gejolak hatinya dan ikut mendengarkan dengan hati penasaran. “Memang ada sedikit kesalahan ketika kami mengirim comblang, yaitu kami tidak menjelaskam sifat perjodohan itu. Yang kami kehendaki adalah melamar Bi Lan untuk menjadi selir anak kami, bukan sebagai isteri yang sah.”
“Gila! Ibu, apa-apaan ini?” Kembali Bi Lan berseru. Akan tetapi ibunya memandang kepadanya dengan muka merah karena Liang Hong Yi juga sudah menjadi marah dan penasaran.
“Tunggu dulu, Bi Lan!” katanya kepada puterinya, lalu ia menghadap Panglima Kwee dan isterinya dan suaranya terdengar lantang dan ketus. “Kwee-ciangkun, dan Hujin, apa artinya penghinaan ini? Jelaskan mengapa memandang kami serendah itu!”
“Adik, Liang Hong Yi, tenanglah. Kami sama sekali tidak memandang rendah, akan tetapi ketentuan ini adalah demi kebaikan kita bersama. Terus terang saja, kami sudah mendengar tentang riwayat masa lalumu di Cin-koan, di rumah pelesir Bunga Seruni......”
“Ahhh......!” Wajah Liang Hong Yi menjadi pucat sekali dan ia terkulai, agaknya akan terjatuh dari kursinya kalau saja Bi Lan tidak segera merangkulnya.
“Maafkan kami, Adik Liang Hong Yi. Dengan adanya kenyataan itu, tentu engkau maklum bahwa tidak mungkin putera kami menjadi mantu yang sah darimu. Kita tidak mungkin berbesan. Akan tetapi kalau puterimu menjadi selir anak kami, hal itu lain lagi, tidak akan mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami dan anak kita tetap dapat hidup bersama......”
Tiba-tiba Liang Hong Yi menangis tersedu-sedu.
Bi Lan tak dapat menahan kemarahannya. “Aku baru tahu sekarang! Paman Kwee dan Bibi maksudkan bahwa kalian melamar aku untuk dijadikan selir Kakak Kwee Cun Ki? Dan kalian berani menghina ibu seperti itu? Keparat! Apa dikira aku sudi menjadi selirnya? Menjadi isterinya pun aku tidak sudi! Dan belum apa-apa kalian telah menghina ibuku. Kalian sekeluarga tidak pantas menjadi sahabat baik, patutnya menjadi musuh-musuh kami! Hayo kalian cepat minta maaf kepada ibuku atau aku harus menggunakan kekerasan?”
Bi Lan menjulurkan tangannya dan sekali tangannya memegang kursi dan meremasnya, terdengar suara berdetakan dan kursi itu patah-patah, kini ia memegang sebatang kaki kursi untuk dijadikan senjata, matanya berapi-api penuh ancaman!
Kwee-ciangkun dan Kwee Cun Ki sudah bangkit dan mereka mencabut pedang untuk membela diri kalau Bi Lan menyerang.
“Bi Lan, jangan......!” Tiba-tiba Liang Hong Yi menjerit dan menubruk puterinya.
“Akan tetapi, Ibu! Mereka ini keterlaluan sekali menghina Ibu! Merendahkan kita seperti itu. Mereka harus minta maaf kepada Ibu, atau kalau tidak aku akan mengamuk!”
“Jangan......! Jangan, anakku...... mereka ...... mereka itu benar, aku...... aku...... memang tidak pantas berbesan dengan mereka. Bi Lan anakku, mari kita pergi, marilah, anakku......!” Liang Hong Yi menarik-narik tangan puterinya.
Dengan hati penuh kemarahan dan penasaran, Bi Lan terpaksa menaati ibunya. Ia melontarkan kaki kursi itu ke arah dinding dan dengan suara nyaring kaki kursi dari kayu itu menancap pada dinding seperti sebatang anak panah! Lalu ia membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ibunya keluar dari gedung itu.
Setelah ibu dan anak itu pergi, Panglima Kwee, isteri dan puteranya duduk tertegun. Wajah mereka agak pucat karena tadi mereka merasa khawatir sekali. Tidak mereka sangka akan begini akibatnya.
Panglima Kwee menghela napas panjang. “Aduh, aku merasa menyesal sekali bahwa persahabatanku, dengan Han Si Tiong akan menjadi putus seperti ini. Aku merasa menyesal sekali mendengar berita tentang masa lalunya Liang Hong Yi yang memaksa kita mengambil keputusan seperti ini......”
“Aku pun menyesal, suamiku. Akan tetapi bukan berita itu yang patut kita sesalkan, melainkan masa lalu Liang Hong Yi itu sendiri. Bagaimanapun juga sakit dan tidak enaknya, sekarang kita telah bebas dari ikatan perjodohan yang tidak kita sukai itu.”
“Cun Ki, kami harap engkau tidak akan menjadi kecewa dan bersedih dengan terputusnya ikatan perjodohan ini,” kata Panglima Kwee sambil menatap wajah puteranya yang masih agak pucat.
Kwee Cun Ki menghela napas panjang. “Ayah dan Ibu, tidak dapat kusangkal bahwa aku tadinya amat kagum dan mencinta Han Bi Lan. Akan tetapi melihat sikapnya tadi, baru aku melihat betapa betul kata-kata Ibu bahwa ia tidak pantas menjadi mantu Ibu karena ia begitu kasar dan liar. Selain itu, aku sudah mendengar sendiri bahwa ia tidak sudi menikah denganku, maka aku tidak kecewa dan tidak bersedih. Di dunia ini bukan ia satu-satunya wanita.”
Dalam hatinya, pemuda ini merasa mendongkol dan sakit juga mendengar betapa tadi Bi Lan menyatakan bahwa ia tidak sudi menjadi isterinya, apalagi selirnya.
Nyonya Kwee kini dapat tersenyum. “Jangan khawatir, anakku. Aku akan mencarikan gadis yang lebih cantik, lebih terpelajar dan lebih lembut, lebih menghormat orang tua dan lebih dapat mencintamu, daripada gadis-gadis binal itu.” Dalam benak Nyonya Kwee terbayang wajah Ciang Bi Hiang, puteri Pembesar Ciang Kui!
Demikianlah, biarpun Panglima Kwee merasa menyesal sekali karena terpaksa dia harus memutuskan hubungan yang tadinya erat sekali dengan keluarga mendiang Han Si Tiong, namun bagaimana juga dia merasa lega bahwa urusan perjodohan yang ruwet itu kini sudah lewat.
Liang Hong Yi menangis terisak-isak di dalam kamar losmen itu, duduk di tepi pembaringan, dirangkul oleh Bi Lan yang mencoba untuk menghiburnya. Nyonya itu merasa hancur hatinya dan kedukaan hatinya karena kehilangan suaminya masih belum reda, kini ia ditimpa lagi kedukaan yang lebih menghancurkan hatinya karena ia melihat betapa kebahagiaan puterinya hilang terkena kecemaran namanya. Baru sekarang ia merasa menyesal setengah mati bahwa dulu, ketika masih gadis, ia telah begitu rendah untuk mau menjual tubuhnya kepada para pemuda bangsawan demi membalas budi Lu-ma! Ah, ia menyesal sekali!
Di dunia ini, hanya Han Si Tiong seorang yang tidak memandang rendah dirinya yang pernah menjadi pelacur! Dan satu-satunya orang itu kini telah tiada! Semua orang tentu tidak akan jauh bedanya dari sikap keluarga Kwee memandang dirinya. Seorang bekas pelacur! Seorang sampah masyarakat, wanita yang sehina-hinanya! Dan bukan ia seorang yang harus memetik buah pahit sebagai akibatnya, melainkan kini puterinya, anak satu-satunya yang tersayang, harus pula merasakan buah akibat yang amat pahit itu!
“Aduh...... Thian...... sudikah Engkau mengampuni hambamu yang hina ini......?” Ia merintih dalam tangisnya.
“Ibu......, Ibu......! Mengapa Ibu menangis seperti ini? Ibu, apakah artinya semua ini? Tuduhan Nyonya Kwee tadi, masa lalu Ibu di kota Cin-koan, apa artinya itu? Bagaimana sih masa lalu Ibu ketika tinggal di Cin-koan sehingga mereka berani menghina Ibu seperti itu? Semestinya Ibu tidak mencegah aku membasmi orang-orang yang berani menghina lbu seperti itu!”
“Aih, jangan...... anakku. Mereka tidak bersalah...... mereka adalah orang-orang terhormat, orang-orang baik, sedangkan aku...... Ibumu ini...... ah, seorang wanita hina yang sudah cemar namanya......”
“Ibu, ceritakanlah semua ini! Ibu membuat aku menjadi penasaran!”
Liang Hong Yi menyusut air matanya. Dengan sepasang mata merah dan wajah agak pucat, jantungnya berdebar tegang membayangkan bagaimana nanti sikap anak tunggalnya kalau mendengar riwayatnya yang hitam, lalu berkata lirih, lambat-lambat, sambil memegangi kedua tangan anaknya, takut kalau ditinggal.
“Baiklah anakku. Dengarlah baik-baik, Ibumu akan menceritakan. Dahulu kurang lebih duapuluh tahun yang lalu, ada seorang gadis berusia delapan belas tahun yang tinggal bersama bibinya. Gadis itu adalah seorang anak yatim-piatu sejak kecil sekali. Ia tentu sudah terlantar dan mungkin mati kelaparan kalau saja ketika baru berusia tiga tahun itu ia tidak diambil dan dirawat bibinya sehingga menjadi dewasa. Bibinya amat sayang kepadanya, ia diajar segala macam kepandaian yang patut dipelajari seorang anak perempuan. Gadis itu berhutang budi besar sekali kepada bibinya. Akan tetapi bibinya itu seorang janda dan untuk membiayai hidupnya dan keponakannya, ia mempunyai pekerjaan yang tidak terhormat, yaitu membuka sebuah rumah pelesir yang menampung beberapa orang pelacur. Gadis itu sejak anak-anak sudah hidup di lingkungan para pelacur. Setelah ia berusia tujuhbelas tahun, para tamu banyak yang menginginkan dirinya. Akan tetapi bibinya mempertahankan. Setelah para pemuda bangsawan
tinggi yang menginginkannya, bibinya itu membujuknya agar mau melayani pemuda bangsawan karena bibinya mulai diperas pembesar pemungut pajak sehingga kekurangan uang. Gadis itu merasa berhutang budi kepada bibinya dan tidak tahu cara lain untuk dapat membalas budinya. Maka ia lalu menyerah, menuruti keinginan bibinya, mulailah melayani para tamu bangsawan yang menginginkannya dengan harga tinggi. Ia menjadi pelacur tingkat tinggi dan para langganannya hanya pemuda-pemuda bangsawan pilihan bibinya yang sebetulnya amat sayang kepada keponakannya itu. Setelah setahun lamanya, menjadi pelacur, gadis itu bertemu dengan seorang pemuda dan saling jatuh cinta. Pemuda itu walaupun mengetahui bahwa gadis itu menjadi pelacur, tetap mau mengawininya. Mereka menikah dan pindah ke kota raja di mana mereka mendapatkan pekerjaan yang cukup terhormat. Kemudian, gadis yang menjadi isteri pemuda itu, melahirkan seorang anak. Engkaulah anak itu, Bi Lan. Gadis yang pernah menjadi pelacur di Cin-koan itu adalah...... aku, Ibumu ini......” Liang Hong Yi menundukkan mukanya, tidak berani memandang wajah anaknya.
Bi Lan merasa seolah disambar petir dan tubuhnya seperti kemasukan hawa panas dan dingin silih berganti, membuat wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Kemudian meledaklah perasaan hatinya yang ditahan-tahan.
“Keparat! Jahanam Bibi yang menjerumuskan Ibu itu! Akan kubunuh ia!” Suaranya gemetar saking marahnya.
“Bibiku itu telah tewas terbunuh, Bi Lan. Ia adalah Lu-ma yang mengasuhmu sejak engkau lahir……”
Seketika lemas tubuh Bi Lan dan air matanya jatuh berderai, mulutnya merintih, “Ayah......!”
“Ayahmu seorang budiman. Dialah satu-satunya manusia yang tidak memandang hina padaku...... dan kuharap, kumohon...... engkau menjadi orang kedua yang tidak memandang hina......”
Akan tetapi Bi Lan sudah melompat dari tempat tidur, cepat ia membongkar buntalan pakaian, memisahkan dari pakaian ibunya, lalu mengambil pula sekantung uang bekal perjalanan mereka, meninggalkan pakaian ibunya dan bekal uang itu di atas meja, lalu membungkus pakaiannya sendiri. Wajahnya pucat sekali dan alisnya berkerut-kerut, kedua matanya basah, bibir bawahnya digigitnya sendiri.
Liang Hong Yi memandang dengan mata terbelalak, tubuhnya terasa lemah lunglai dan suaranya lirih gemetar, “Apa...... apa...... yang hendak...... kaulakukan,...... anakku......?”
“Aku tidak memandang hina kepada Ibu, akan tetapi aku tidak dapat tinggal bersama Ibu, aku harus pergi membalas kematian Ayah. Ibu, aku pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh Han Bi Lan berkelebat keluar dari kamar losmen itu.
“Bi Lan...... anakku...... Bi Lan...... oohhhh......!” Liang Hong Yi berdiri, hendak mengejar, akan tetapi tubuhnya terkulai lemas dan ia roboh pingsan di atas lantai!
Akan tetapi Bi Lan tidak tahu apa yang terjadi dengan ibunya. Ia berlari cepat meninggalkan losmen itu dengan air mata bercucuran. Telinganya seolah mendengar ejekan dan cemooh dengan suara menertawakan. “Engkau anak pelacur...... anak pelacur...... anak pelacur......!” Bi Lan mencoba menutupi kedua telinganya, namun suara itu masih terdengar terus, mengejar ke mana pun ia pergi. Ia menujukan langkahnya ke arah kota Cin-koan!
Sampai cukup lama Liang Hong Yi rebah telentang di atas lantai kamar losmen itu. Seorang pelayan wanita setengah tua membawa poci air teh dan cangkirnya memasuki kamar itu tanpa mengetuk karena ia mendapatkan daun pintu kamar itu sudah terbuka. Ketika ia melihat tubuh wanita yang menggeletak di atas lantai, ia terkejut sekali. Cepat ia menaruh poci dan cangkir ke atas meja lalu membungkuk dan mengguncang pundak Liang Hong Yi yang seperti tertidur itu.
“Toanio (Nyonya)......, Toanio......, bangunlah......! Aih, mengapa engkau tidur di bawah?”
Pelayan itu terus mengguncang pundak Liang Hong Yi, mengira bahwa tamu itu ketiduran di bawah! Ia memang belum pernah melihat orang pingsan sehingga tidak dapat membedakan antara orang pingsan dan orang tidur! Akan tetapi karena Liang Hong Yi memang sudah cukup lama jatuh pingsan dan memang sudah waktunya siuman, maka ketika pundaknya diguncang-guncang, ia membuka matanya. Ia segera teringat kepada puterinya, akan tetapi ketika membuka mata melihat wanita setengah tua, pelayan losmen itu, ia mengeluh lalu bangkit duduk. Baru ia menyadari bahwa tadi ia rebah di atas lantai.
“Aih, Toanio, mengapa Toanio tertidur di atas lantai?” pelayan itu bertanya sambil menyeringai, merasa lucu dan terheran.
Liang Hong Yi mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi tidak melihat Bi Lan dan teringatlah ia betapa puterinya itu telah melarikan diri, meninggalkannya. Ia memandang ke arah meja dan di situ terdapat tumpukan pakaiannya dan kantung uang.
“Enci pelayan, apakah engkau tadi melihat puteriku pergi dari sini?” tanyanya kepada pelayan itu walaupun ia sudah tahu bahwa anaknya pergi meninggalkannya.
“Ya, saya melihatnya, Toanio. Bukankah puteri Toanio gadis cantik berpakaian serba merah muda? Tadi saya melihat ia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan losmen.”
“Enci, saya juga mau pergi. Berapa saya harus membayar sewa kamarnya?”
Pelayan itu memandangnya dengan bengong. “Toanio tidak jadi menginap di sini?”
“Tidak, aku ada urusan penting dan harus pergi sekarang juga,” kata Liang Hong Yi sambil membungkus pakaian dan kantung uang itu.
“Karena Toanio belum bermalam dan hendak pergi sekarang, maka tidak usah Toanio membayar sewanya. Nanti akan saya laporkan kepada pengurus losmen.”
Liang Hong Yi mengambil beberapa potong uang dan memberikannya kepada pelayan itu. “Ambillah uang ini untuk membayar kerugian losmen dan selebihnya untukmu.”
“Terima kasih, Toanio, terima kasih,” pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk senang karena uang itu lebih dari cukup untuk membayar sewa kamar satu malam dan kalau pengurus membolehkan tamu ini tidak membayar apa-apa karena belum menginap, berarti semua uang itu untuknya!
Liang Hong Yi membawa buntalan pakaiannya dan keluar dari losmen itu. Setelah keluar dari losmen, barulah ka membiarkan air matanya turun berderai membasahi pipinya. Ia tidak perduli kepada orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan raya memandangnya dengan heran. Ia juga tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia tidak mampu memikirkan apa-apa lagi. Puterinya telah pergi meninggalkannya! Suaminya sudah lebih dulu meninggalkannya. Tiba-tiba terasa betapa amat sangat ia merindukan suaaminya. Ia seperti orang meraba-raba dalam kegelapan, ditinggalkan, kesepian, sendirian, hampa dan perasaan hatinya terasa pedih dan hancur.
“Kanda Han Si Tiong……, Tiong-ko suamiku…… kenapa engkau meninggalkan aku.......? Bawalah aku serta, suamiku......!” Ia tersedu dan melangkah tersaruk-saruk keluar dari kota raja. Para perajurit penjaga pintu gerbang kota raja juga merasa heran melihat ia menangis sambil melangkah terhuyung-huyung, akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Hatinya perih, tubuhnya lunglai dan pikirannya kosong. Liang Hong Yi berjalan terus di bawah sinar matahari sampai menjelang senja. Kedua kakinya sudah lemas. Air matanya sudah kering. Mata yang membengkak dan merah karena tangis itu memandang ke depan dengan kosong, seperti mayat hidup karena mukanya pucat. Ia tidak memperdulikan lagi perutnya yang perih dan lapar, kerongkongannya yang haus dan kering. Ia hanya tahu bahwa ia harus berjalan, entah ke mana. Ia seperti sudah mati walaupun anggauta tubuhnya masih bergerak. Bibirnya yang kering itu tiada hentinya menyebut nama suaminya.
“Tiong-ko…… Tiong-ko…… Tiong-ko......!”
Tanpa ia sadari, ketika senja tiba, ia telah mendaki sebuah bukit dan tertatih-tatih melangkah sampai ke depan sebuah kuil. Pandang matanya kabur dan ia hanya samar-samar melihat kuil itu, lalu tubuhnya terguling roboh di atas tanah depan kuil. Pingsan!
Ketika Liang Hong Yi siuman dari pingsannya, pertama-tama hidungnya mencium bau sedap. Biasanya obat-obatan yang terdiri dari akar-akar, daun-daunan, dan rempa-rempa yang mengeluarkan bau sedap yang khas ini. Lalu ia membuka matanya. Segera ia bangkit duduk ketika melihat bahwa ia tadi rebah di atas sebuah dipan sederhana, dalam sebuah kamar yang kecil dan sederhana pula. Ia melihat buntalan pakaiannya di sudut kamar itu. Kamar itu gundul tanpa hiasan apa pun. Tubuhnya terasa ringan dan hangat, juga perutnya terasa hangat. Mulutnya juga merasakan kepahitan jamu yang mungkin telah diminumkan orang selagi ia pingsan.
Ia teringat bahwa tadi ia berada di depan sebuah kuil ketika tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Ia dapat menduga bahwa ia tadi tentu jatuh pingsan dan entah siapa yang telah menolongnya. Lalu teringatlah ia akan keadaan dirinya. Suami mati dan anak, meninggalkannya! Datang lagi kesedihan menyelimuti hatinya. Ah, mengapa ia ditolong orang? Mengapa tidak dibiarkannya saja ia mati menyusul suaminya? Betapa akan berbahagianya mati bertemu dan bersatu kembali dengan suaminya tercinta!
Langkah kaki lembut membuat ia menengok ke arah pintu. Seorang nikouw (Pendeta wanita Buddhis) memasuki kamar. Usianya sekitar enampuluh tahun, namun wajahnya masih tampak belum ada keriput dan sinar matanya lembut, mulutnya tersenyum penuh kesabaran. Sepotong wajah yang cerah, sabar dan penuh pengertian. Jubahnya kuning dan sederhana sekali. Kepalanya yang gundul ditutupi sebuah topi kain berwarna kuning pula.
Melihat nikouw itu, Liang Hong Yi lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, lalu meratap. “Mengapa saya ditolong? Mengapa saya tidak dibiarkan mati saja? Saya ingin mati, saya ingin berkumpul kembali dengan suami saya yang tercinta……!”
“Omitohud! Anak yang baik, lahir dan mati tidak dapat ditentukan oleh keinginan kita! Kalau engkau dalam kehidupan ini merasa sengsara, apakah kaukira setelah mati akan terlepas daripada sengsara? Kalau suamimu sudah meninggal dunia lalu engkau menyusul mati, apakah kaukira kalian akan dapat berkumpul seperti ketika di dunia? Anak yang baik, mengapa engkau menjadi putus asa seperti ini? Tidak ada di dalam kehidupan ini kesusahan yang tidak dapat diatasi. Kesusahan dan kesenangan hanya permainan sementara saja dalam kehidupan manusia.”
“Akan tetapi tidak ada gunanya lagi saya hidup! Suami dibunuh orang, anak satu-satunya meninggalkan saya karena marah mendengar bahwa ibunya, saya ini, adalah seorang bekas pelacur. Hidup saya hanya akan mencemarkan nama baik anak saya dan tidak ada orang yang sudi mengambil anak pelacur menjadi mantunya. Ah, dosa saya yang saya lakukan di waktu muda dulu kini akibatnya ditanggung oleh anak saya! Hanya suami saya seorang yang menghargai saya, tidak memandang rendah saya yang bekas pelacur. Maka saya ingin ikut dia, saya......”
“Omitohud! Tidak ada manusia sempurna tanpa dosa di dunia ini. Berbahagialah manusia yang menyadari akan dosa-dosanya, bertaubat lahir batin tidak akan mengulang kesalahannya. Akan tetapi sebaliknya celakalah orang yang merasa dirinya suci sendiri, angkuh dan pongah, karena sewaktu-waktu dia dapat terjeblos ke dalam jurang dosa yang lebih parah lagi.” Kemudian nikouw itu berkata dengan suara penuh wibawa. “Liang Hong Yi, angkat mukamu dan lihat, siapa pin-ni (aku)?”
Liang Hong Yi terkejut dari heran mendengar nikouw itu menyebut namanya. Ia mengangkat muka mengamati wajah wanita itu dan matanya terbelalak melihat wajah yang tersenyum itu, ingatannya melayang kembali keduapuluh lima tahun yang lalu ketika ia bertemu dengan seorang nikouw yang kemudian mengajar ilmu silat kepadanya.
“Subo (Ibu Guru)!” ia lalu merangkul kedua kaki nikouw itu dan menangis.
“Subo, ……teecu (murid) mohon ampun, Subo……!”
“Omitohud! Hong Yi, orang yang mengakui dosanya dan mau bertaubat, sudah pasti diberi ampun oleh Yang Maha Pengampun. Semua yang terjadi menimpa dirimu bersumber kepada dirimu sendiri, muridku. Karena itu, kalau benar engkau mengakui dosa dan mohon ampun dari Yang Maha Kuasa, terimalah segala yang terjadi padamu dengan hati ikhlas. Anggaplah sebagai penebus dosamu yang dijatuhkan Yang Maha Adil kepadamu. Tahukah engkau, bahwa keinginanmu untuk mati itu pun merupakan sebuah dosa baru yang tidak kalah buruknya?”
“Aduh, Subo....... teecu tidak berani lagi, teecu mohon agar Subo memenuhi sebuah permohonan terakhir dari teecu…...”
“Ahh, seorang guru sama dengan ayah ibu sendiri. Permohonan murid pasti akan dipenuhi asalkan permohonan itu masuk akal, pantas dan tidak melanggar kebenaran.”
“Subo, teecu ingin menjadi biarawati. Biarlah teecu menebus dosa dan mendekatkan hati kepada Yang Maha Suci agar kelak teecu dapat membantu memberi petunjuk dan penerangan kepada orang-orang yang berada dalam kegelapan seperti yang teecu alami sekarang ini.”
“Bangkit dan duduklah. Untuk menerimamu menjadi nikouw, pinni harus mengetahui dulu keadaanmu, keluargamu dan apa yang mendorongmu ingin menjadi nikouw. Duduklah dan ceritakan keadaanmu.”
Liang Hong Yi bangkit dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi Bian Hui Nikouw yang sudah duduk bersila di atas pembaringan. Dulu, ketika ia dilatih ilmu silat oleh Bian Hui Nikouw, pendeta wanita itu baru berusia hampir empatpuluh tahun. Kini sudah berusia enampuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar seperti dulu, hanya ada garis-garis ketuaannya.
Setelah hatinya tenang terpengaruh oleh sikap gurunya yang tenang penuh damai itu, Liang Hong Yi lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dari ketika ia terpaksa menjadi pelacur untuk membalas budi kepada bibinya sampai akhirnya ia menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah dewasa. Ia menceritakan tentang perjuangannya ikut suaminya membantu mendiang Jenderal Gak Hui, tentang kehidupannya sebagai suami isteri terhormat. Lalu ia menceritakan tentang Bi Lan yang diculik orang, sampai akhirnya anak yang hilang dalam usia tujuh tahun itu kembali setelah berusia sembilanbelas tahun. Akan tetapi kembalinya terlambat karena suaminya dan ia terluka oleh dua orang murid Ouw Kan yang membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si dari Kerajaan Kin dalam perang.
“Demikianlah, Subo. Karena teecu amat berduka kematian suami, maka teecu mengajak Bi Lan pergi ke kota raja untuk menemui keluarga Panglima Kwee Gi yang dulu menjanjikan akan menjodohkan putera mereka dengan Bi Lan. Akan tetapi setibanya di rumah mereka…… keluarga Kwee telah mengetahui akan masa lalu teecu sebagai seorang pelacur di kota Cin-koan dan mereka tidak mau mengambil Bi Lan sebagai mantu yang sah, hanya mau menerima Bi Lan untuk menjadi selir putera mereka. Teecu merasa malu sekali, Subo dan terpaksa teecu mengaku kepada Bi Lan, menceritakan semua itu kepada Bi Lan. Anak teecu itu menjadi marah sekali dan tadinya hendak mengamuk kepada keluarga Kwee akan tetapi teecu melarangnya. Ia lalu pergi meninggalkan teecu, katanya hendak membalas dendam kematian ayahnya. Teecu ditinggal seorang diri, suami dan anak telah pergi, teecu merasa kehilangan, kesepian dan putus asa. Teecu berjalan terus tanpa tujuan dan akhirnya, tidak kuat lagi dan roboh di depan kuil. Begitulah riwayat teecu, Subo.”
“Omitohud! Semoga saja penderitaanmu sebagai hukuman ketika masih hidup ini akan meringankan perjalananmu, pulang kelak, Hong Yi. Ternyata sampai sekarang, Toat-beng Coa-ong Ouw Kan datuk utara itu masih belum sadar dari jalan sesat yang ditempuhnya. Karena engkau kini hidup sebatang kara, dan niatmu menjadi nikouw didasari keinginan untuk menebus dosa, baiklah pinni menerima permintaanmu.”
Liang Hong Yi menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih, Subo. Subo telah membuka jalan ke arah kehidupan baru bagi teecu.”
“Duduklah, Hong Yi dan sekarang ketahuilah bahwa pinni secara kebetulan memang memimpin para nikouw yang berada di biara (kuil) Kwan-im-bio (Kuil Dewi Kwan Im) ini. Sudah lima tahun pinni tinggal di kuil ini dan menghentikan perantauan pinni. Agaknya memang kita sudah berjodoh, Hong Yi sehingga kebetulan pula engkau jatuh pingsan di luar kuil dan dibawa masuk oleh para nikouw.”
Demikianlah, mulai hari itu, Liang Hong Yi diberi pelajaran tentang keagamaan, mempelajari kitab suci dan setelah pengetahuannya tentang agama dirasa cukup, iapun menjalani upacara cukur rambut sampai menjadi gundul dan menjadi nikouw dan diberi nama biarawati Tiong Ceng Nikouw (Biarawati Lurus Bersih), tinggal bersama limabelas orang nikouw yang berusia dari tujuhbelas sampai limapuluh tahun, dipimpin Bian Hui Nikouw. Karena Bian Hui Nikouw melihat bahwa Liang Hong Yi atau yang sekarang bernama Tiong Ceng Nikouw memiliki bakat besar dalam ilmu silat, maka ia menambahkan pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi sehingga murid itu dapat memperdalam ilmu silatnya. Liang Hong Yi seolah sebuah perahu yang tadinya diombang-ambingkan badai lautan dan hampir tenggelam, kini telah menemukan pelabuhan yang aman dan tenteram. Kwan-im-bio itu berdiri di lereng Bukit Awan, tak jauh dari kota raja.
Han Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali menuju kota Cin-koan. Selama dalam perjalanan itu, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya dihimpit berbagai perasaan yang mendatangkan perasaan marah besar, malu dan juga kecewa. Seperti terngiang di kedua telinganya suara orang-orang di sepanjang perjalanan itu meneriakinya.
“Anak pelacur! Anak pelacur! Anak pelacur hina!”
“Keparat! Jahanam! Setan busuk!” Ia memaki lalu berlari kencang sekali bagaikan seekor kijang muda, melompat-lompat sehingga mereka yang kebetulan lewat itu terbelalak keheranan bercampur takjub melihat seorang gadis cantik berpakaian merah lari seperti angin cepatnya!
Begitu memasuki kota Cin-koan yang cukup ramai, di mana terdapat banyak toko penuh barang kebutuhan sehari-hari, toko pakaian dan sebagainya. Juga terdapat rumah makan dan losmen-losmen, gedung-gedung besar milik para hartawan dan bangsawan. Ketika Bi Lan berjalan-jalan sepanjang jalan raya yang ramai, dalam hatinya diam-diam merasa terharu karena kota inilah tempat tinggal ibunya di waktu kecil sampai dewasa, ia memperhatikan kanan kiri dan akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Sebuah rumah yang cukup besar, dicat merah dan tampaknya terpelihara, bahkan pekarangannya bersih dan rapi, terdapat pot-pot tanaman bunga. Di depan rumah itu ada tulisan yang membuat ia berhenti melangkah dan memperhatikan.
“Rumah Hiburan Bunga Merah” demikian bunyi tulisan itu. Inilah yang dicarinya, pikir Bi Lan. Sebuah rumah hiburan, tentu rumah seperti ini yang dimaksudkan sebagai rumah pelesir di mana para pelacur menjajakan tubuhnya. Ia melihat banyak kuda yang bagus ditambatkan di kebun samping rumah. Tentu itu kuda tunggangan para tamu. Melihat kuda-kuda yang besar dan bagus itu, Bi Lan dapat menduga bahwa pemiliknya tentu golongan hartawan atau bangsawan. Tanpa ragu-ragu ia memasuki pekarangan yang cukup luas itu.
Tiga orang tukang pukul penjaga rumah hiburan itu, tiga orang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh tahun, segera menyambut kedatangan Bi Lan. Melihat yang datang seorang gadis yang cantik jelita, tiga orang jagoan itu menjadi heran. Apakah ini seorang “bunga” baru? Belum pernah mereka melihatnya dan sebagai jagoan penjaga rumah hiburan di mana terdapat banyak wanita cantik, mereka tidak biasa menggoda wanita karena hal itu dilarang oleh pemilik rumah hiburan. Akan tetapi mereka curiga kalau-kalau yang datang ini isteri seorang “tamu” yang berada di rumah hiburan. Kalau benar demikian, maka wanita ini dapat menimbulkan keributan di dalam.
“Tunggu dulu, Nona,” kata seorang di antara mereka. “Siapakah engkau dan ada keperluan apakah Nona masuk ke tempat ini? Kami tidak biasa menerima tamu wanita, hanya menerima tamu pria.”
Biarpun hatinya sedang gundah, namun karena ia datang untuk mencari keterangan tentang ibunya, Han Bi Lan menahan kesabaran dan menjawab singkat.
“Aku datang untuk bertemu dengan pemilik rumah hiburan ini. Harap antarkan aku kepadanya atau laporkan kepadanya aku ingin bertemu dengannya.”
Tiga orang jagoan itu tersenyum. Hemm, agaknya seorang calon “bunga” baru, pikir mereka. Hebat juga gadis ini. Kalau menjadi bunga di situ, pasti dapat mengalahkan semua bunga yang berada di situ!
“Baik, tunggu sebentar, akan kulaporkan kepada Ciu-ma,” kata jagoan yang hidungnya pesek itu dan dia bergegas masuk ke dalam.
Dua jagoan yang menanti di luar bersama Bi Lan, memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang matanya agak juling bertanya, “Nona, siapakah namamu?”
“Aku hanya akan memperkenalkan namaku kepada pemilik rumah ini,” jawab Bi Lan dengan suara datar dan sambil lalu, sama sekali tidak memandang orang itu.
“Hei, Nona engkau cantik sekali. Kalau engkau menjadi bunga di sini, aku akan mencarikan seorang kongcu (tuan muda) yang kaya raya. Akan tetapi jangan lupa memberi uang jasa kepadaku.”
Bi Lan tidak mengerti jelas maksud kata-kata itu, akan tetapi ia dapat mengira-ngira dan wajahnya sudah berubah merah. Baiknya sebelum ia naik darah, penjaga pertama tadi muncul dengan wajah menyeringai lebar.
“Nona dipanggil ke dalam. Ciu-ma menanti di serambi sebelah kiri sana.” Dia menuding ke samping bangunan di mana terdapat serambi kecil. Ia mengangguk lalu berjalan menuju ke tempat itu.
Begitu ia memasuki serambi, seorang wanita berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian mewah, berhiaskan emas permata dan wajahnya berbedak dan bergincu tebal, keluar dari dalam. Begitu melihat Bi Lan, matanya terbelalak, wajahnya berseri dan senyumnya melebar dan ia tidak menyembunyikan kekagumannya. Pandang matanya yang berpengalaman itu mengamati wajah dan bentuk tubuh Bi Lan seperti seorang saudagar kuda meneliti seekor kuda yang akan dipilihnya. Dalam hati ia mencatat bahwa dalam diri gadis yang kini berdiri di depannya itu terdapat sumber uang yang deras mengalirkan uang memasuki koceknya! Maka, dengan ramah ia lalu menyambut gadis itu.
“Ah, selamat datang, Nona. Silakan duduk, mari-mari......!”
Bi Lan duduk berhadapan dengan wanita yang tubuhnya gembrot dan sikapnya genit itu, yang kalau bicara mengangkat-angkat sepasang alisnya yang dicukur kelimis lalu digambari garis hitam kecil melengkung.
“Nona, siapakah engkau dan bantuan apakah yang dapat kuberikan kepadamu?” Manis sekali ucapan itu, belum apa-apa sudah menawarkan bantuan!
“Namaku Han Bi Lan. Apakah Bibi ini yang dipanggil Ciu-ma dan pemilik rumah hiburan ini?”
“Betul, Nona. Akulah yang. dipanggil Ciu-ma, dan engkau pun mulai sekarang boleh menyebut aku Ciu-ma. Nah, katakan, apa yang engkau inginkan?”
“Sudah lamakah engkau mengusahakan rumah hiburan ini, Ciu-ma?”
“Eh? Mengapa engkau bertanya begitu, Nona jelita?”
“Aku hanya ingin tahu saja.”
“Tentu saja sudah lama. Semenjak aku tidak menjadi gadis penghibur lagi, aku lalu menjadi penguasa rumah hiburan, sudah lebih dari duapuluh tahun.”
Girang rasa hati Bi Lan. Tentu orang ini akan mengetahui dengan jelas keadaan dunia pelacuran pada duapuluh tahun yang lalu.
“Ciu-ma, aku ingin bertanya kepadamu. Apakah kurang Iebih duapuluh tahun yang lalu di kota ini terdapat seorang...... pelacur yang bernama Liang Hong Yi?”
“Duapuluh tahun yang lalu? Liang Hong Yi......, Hemm, kaumaksudkan Liang Hong Yi yang kabarnya kini menjadi isteri panglima perang di kota raja itu? Tentu saja aku tahu! Siapa yang tidak mengenal Liang Hong Yi pada waktu itu? Ia adalah ratunya bunga hiburan di kota Cin-koan ini! Langganannya hanya terdiri dari para bangsawan dan hartawan! Ia yang menjadi bintang di rumah hiburan Bunga Seruni yang dipimpin Lu-ma, yang kabarnya sekarang ikut keponakannya, Liang Hong Yi itu, tinggal di kota raja. Kenapa engkau menanyakan ia, Nona manis? Ia memang pelacur pilihan, cantik jelita dan jikalau seorang gadis seperti Nona ini suka, aku akan dapat membuatmu menjadi bintang seperti Liang Hong Yi itu!”
Hati Bi Lan mulai panas, akan tetapi ia tahu bahwa wanita ini tidak mempunyai kesalahan apapun, juga tidak ada sangkut pautnya dengan ibunya. Hatinya panas karena kini ia yakin bahwa ibunya benar-benar dahulu seorang pelacur tersohor di kota ini! Melihat Bi Lan terdiam dan hanya menundukkan mukanya, Ciu-ma mengira bahwa gadis itu mulai tertarik dengan tawarannya.
“Nona Han Bi Lan, engkau ingin melihat-lihat keadaan di dalam, silakan. Kehidupan di rumah ini penuh dengan kegembiraan, bergelimang kemewahan dan seorang gadis penghibur yang cantik dapat berenang di lautan uang. Mari ikut aku!”
Dalam keadaan hati tertekan oleh kenyataan pahit itu, Bi Lan menurut saja diajak masuk ke dalam oleh Ciu-ma. Ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas sekali di mana terdapat banyak meja seperti di restoran besar, dan ada bangku-bangku panjang terhias kain beraneka warna, lantainya juga ditutupi permadani, perabot-perabotnya serba indah, terdapat banyak orang. Bi Lan menyapu ruangan itu dengan pandang matanya dan ia bergidik.
Ada belasan orang gadis di situ, rata-rata cantik dan pesolek, sikap mereka genit, dan mereka melayani belasan orang laki-laki yang kesemuanya berpakaian indah. Ada yang masih muda, ada pula yang setengah tua, akan tetapi kesemuanya jelas menunjukkan bahwa mereka itu orang kaya atau bangsawan.
Suasana di dalam ruangan itu ramai dan meriah. Setiap orang memiliki pasangan. Ada dua pasang sedang makan minum di sebuah meja, tampaknya dua orang laki-laki muda itu sudah mulai mabok dan tertawa-tawa, sedangkan dua orang pasangannya dengan genit merayu mereka. Ada pula yang duduk berpasang di atas bangku panjang sambil berpelukan dan saling berbisik mesra. Ada pula empat pasangan yang sedang bermain kartu di sebuah meja lain. Malah ada yang bercumbu di bangku yang terletak di sudut. Ada beberapa yang memasuki kamar yang banyak berderet di bagian belakang sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Melihat semua ini, Bi Lan menjadi muak.
“Hei, Ciu-ma! Barang barukah itu? Cantik nian!” Seru seorang pria sambil menyeringai memandang Bi Lan. Semua orang menoleh dan memandang Bi Lan yang melangkah masuk dituntun Ciu-ma yang menyeringai lebar.
“Eh, Ciu-ma! Be!um pernah tersentuhkah ia? Kalau belum pernah, berikan kepadaku. Aku mau membayar berapa saja yang kauminta!”' seru seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang bertubuh gendut sekali sehingga kelihatan pendek. Tentu dia itu seorang yang kaya raya, melihat jari tangannya penuh cincin emas dengan batu-batu permata indah dan mahal. Dia sedang duduk dan memangku seorang gadis yang usianya belum ada duapuluh tahun.
Tiba-tiba Bi Lan merasa kepalanya pening. Ia memandang kepada gadis yang dipangku laki-laki gendut itu. Ia menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan akan tetapi tetap saja yang dilihat dipangku dan dicumbu laki-laki gen-dut itu adalah ibunya, Liang Hong Yi!
Tiba-tiba ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ibunya dipangku dan dicumbu laki-laki gendut itu! Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah berkelebat, tahu-tahu sudah berada di depan Si Gendut itu.
“Jahanam! Kamu sampah masyarakat!” Tangannya menampar.
“Prokkk......!” Tubuh laki-laki gendut itu terpelanting dan gadis yang dipangkunya juga terpental. Laki-laki itu mengaduh-aduh sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan darah berlepotan di kedua tangannya karena bukit hidungnya telah remuk kena ditampar Bi Lan sehingga darahnya bercucuran. Bi Lan mendengar suara para gadis menjerit dan ketika ia memutar tubuh memandang ke sekeliling, ia semakin marah karena wajah para gadis itu berubah menjadi wajah ibunya. Ibunya dipeluk, dicumbu, dipangku dan diajak bersenang-senang oleh para pria di ruangan itu. Bi Lan mengeluarkan pekik melengking berulang-ulang.
“Jahanam semua! Kalian ini laki-laki yang mengotori dunia! Sudah sepatutnya laki-laki macam kalian ini dihajar!” Dan gadis itu bergerak cepat sekali, tubuhnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar suara laki-laki mengaduh dan darah pun muncrat.
Ada yang bukit hidungnya hancur, ada yang daun telinganya tercabut putus ada yang sebelah matanya buta karena biji matanya tercokel keluar oleh jari tangan Bi Lan. Dalam waktu beberapa detik saja, tigabelas orang laki-laki yang kesemuanya adalah para bangsawan dan hartawan hidung belang yang menjadi langganan rumah pelesir itu, tidak seorang pun terluput dari hajaran Bi Lan. Muka mereka dibikin cacad dan dibiarkan tidak ada yang dibunuh, namun mereka menjadi orang-orang yang cacad mukanya untuk selama hidup. Para gadis pelacur itu tidak diganggu oleh Bi Lan. Mereka menjerit-jerit ngeri, bahkan Ciu-ma roboh pingsan.
Setelah pria terakhir dihajarnya dan Bi Lan yang kedua tangannya ternoda darah hendak melompat keluar, tiga orang jagoan yang berada di pekarangan tadi, tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu karena mendengar jerit ketakutan para gadis pelacur.
Begitu memasuki ruangan dan melihat para tamu sudah roboh malang-melintang sambil merintih-rintih dan muka mereka berdarah, para jagoan itu terkejut bukan main. Melihat Bi Lan di situ dan kedua tangan gadis itu berlepotan darah, tiga orang jagoan ini segera dapat menduga apa yang terjadi. Gadis itu telah membuat kekacauan dan menyerang para tamu pria! Tiga orang jagoan cepat mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka bertiga lalu maju menerjang Bi Lan dengan bacokan golok mereka. Akan tetapi dengan sigap Bi Lan berkelebat lenyap. Selagi tiga orang itu kebingungan, tahu-tahu seorang dari mereka berteriak karena tiba-tiba tangan kanannya lumpuh dan goloknya telah dirampas Bi Lan. Dua orang yang lain cepat membalik dan menyerang.
“Trang-trang......!” Golok dua orang jagoan itu terpental dan terlepas dari pegangan mereka saking kuatnya Bi Lan menangkis dengan golok rampasannya.
“Hemm, kalian suka bertindak sewenang-wenang dengan tangan kanan kalian, maka tidak patut kalian mempunyai tangan kanan lagi!” Tiga kali sinar golok berkelebat disusul teriakan tiga orang itu dan ternyata lengan kanan mereka telah buntung sebatas siku! Bi Lan membuang golok ke atas lantai lalu sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari rumah itu.
Tentu saja rumah hiburan Bunga Merah itu menjadi gempar. Ketika berita tentang peristiwa mengerikan yang terjadi di rumah hiburan Bunga Merah itu tersiar keluar, pada saat itu terdengar pula berita bahwa di Rumah Hiburan Bunga Mawar dan Rumah Hiburan Teratai juga terjadi keributan dan peristiwa yang sama. Semua tamu pria dari kedua rumah hiburan itu, yang masing-masing jumlahnya belasan orang, terdiri dari laki-laki bangsawan dan hartawan, telah dirusak mukanya sehingga cacad oleh seorang gadis cantik jelita yang mengamuk seperti orang gila tanpa alasan apapun!
Tentu saja seluruh kota Cin-koan menjadi gempar. Para perwira keamanan juga geger dan mereka cepat mengerahkan pasukan keamanan untuk melakukan pengejaran hendak menangkap gadis pengacau itu. Akan tetapi Bi Lan sudah jauh meninggalkan kota Cin-koan. Berita ini mengejutkan sampai terdengar di kota raja karena banyak laki-laki bangsawan yang menjadi korban.
Ketika berita itu sampai ke rumah keluarga Panglima Kwee Gi, mereka menjadi terkejut sekali. Panglima Kwee Gi duduk terhenyak di atas kursi, berhadapan dengan isteri dan puteranya. Kwee-ciangkun menghela napas berulang-ulang, lalu berkata, “Ah, tidak salah lagi. Berita itu menyebutkan bahwa gadis cantik yang mengamuk itu berpakaian serba merah muda. Siapa lagi kalau bukan Han Bi Lan? Agaknya ia pergi ke Cin-koan dan setelah mendapat berita tentang ibunya, ia marah kepada semua laki-laki yang berkunjung ke rumah pelacuran dan menghajar mereka dengan membikin cacad wajah mereka! Tigapuluh orang lebih, hampir empatpuluh orang bangsawan dan hartawan ia hajar. Betapa mengerikan!”
“Aih jangan-jangan ia akan mengamuk di sini!” kata Nyonya Kwee dengan suara gemetar.
“Tidak mungkin ia mau melakukan itu karena ia tahu bahwa kita tidak menuduh palsu, tahu bahwa kita tidak bersalah. Kasihan gadis itu. Aku dapat merasakan betapa hancur hatinya, mengetahui bahwa ia anak bekas pelacur. Maka ia mendendam kepada semua pria yang berkunjung ke rumah pelacuran. Aih,
kalau tahu akan begini jadinya, pasti kularang engkau membuka rahasia tentang Liang Hong Yi sehingga rahasia itu akan tetap tertutup dan tidak diketahui Bi Lan.”
Kwee Cun Ki diam saja, hanya menundukkan mukanya. Karena dengan tegas Bi Lan sudah mengatakan bahwa gadis itu tidak sudi menjadi selir atau isterinya yang sah sekalipun, maka dia telah melepaskan perasaan cintanya terhadap gadis itu. Malah diam-diam dia bersyukur bahwa ikatan perjodohan itu tidak jadi karena biarpun dia sendiri seorang yang berjiwa pendekar, mempertahankan keadilan dan kebenaran, namun hatinya merasa ngeri juga mendengar sepak-terjang Bi Lan yang dianggap terlalu sadis!
Sementara itu, Bi Lan melarikan diri dari kota Cin-koan. Ia berhenti di tepi hutan dan mencuci tangan yang ternoda darah dengan air anak sungai. Di dalam hatinya terdapat kepuasan telah menghajar para pria hidung belang itu.
“Akan kuhajar semua laki-laki di dunia yang menyebabkan ibuku menjadi pelacur!” bisiknya kepada diri sendiri.
Kemudian, ia merasa lelah sekali, lelah karena tadi telah mengumbar nafsu amarahnya. Lelah, lapar dan haus. Ia duduk melamun di tepi anak sungai. Ia kini benar-benar sebatang kara, kehilangan ayah dan kehilangan ibu. Ayahnya dibunuh orang dan ibunya...... ah, ia tidak mau kembali kepada ibunya! Ia anggap ibunya sudah mati, bersama ayahnya! Sejak kecil Bi Lan dididik oleh Jit Kong Lhama, seorang pendeta Lhama dari Tibet yang memasuki dunia sesat. Karena itu, Bi Lan tumbuh menjadi dewasa dengan watak yang keras liar dan pemberani. Namun, karena pada dasarnya ia bukan seorang yang berhati jahat, tidak mau menuruti tarikan nafsu, apalagi setelah ia diaku sebagai murid Kun-lun-pai, ia menyesuaikan dirinya dan meniru tindakan para pendekar.
Bi Lan mengepal tinju. Ia akan membalas dendam kematian ayahnya. Akan dicarinya Ouw Kan dan kedua orang muridnya yang bernama Bong Siu Lan dan Bouw Kiang itu dan ia akan membunuh mereka bertiga. Ia akan membalas dendam ibunya yang ia anggap sudah mati. Ibunya dirusak dan “dibunuh” oleh para lelaki hidung belang. Ia akan memberi hajaran kepada semua lelaki hidung belang. Ia anggap bahwa para lelaki hidung belang itulah biang keladi pelacuran, karenanya semua harus dihajar dan dibikin cacad mukanya!
Ia juga masih mempunyai musuh yang harus dihajarnya, yaitu Souw Thian Liong! Kalau teringat betapa pemuda yang semula dikaguminya dan yang menarik hatinya itu telah menghinanya dan memukuli pinggulnya seperti seorang yang menghukum anaknya yang nakal, hatinya menjadi panas sekali. Akan tetapi untuk dapat membalas pemuda itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya karena Thian Liong merupakan lawan yang amat tangguh!
Ia hanya mempunyai sebungkus pakaian, tidak mempunyai uang sedikit pun untuk membeli makanan dan minuman. Mudah, pikirnya. Gurunya, Jit Kong Lhama, selalu mengatakan bahwa kalau ia membutuhkan uang, ia boleh mencuri uang para pembesar atau hartawan. Para pembesar itu mengumpulkan uang dengan cara korupsi atau memeras rakyat. Adapun para hartawan itu lupa bahwa di kanan kirinya banyak orang demikian miskinnya sehingga untuk makan setiap hari saja tidak mempunyai cukup uang! Mereka itu kebanyakan pelit, lupa bahwa keuntungan banyak yang diperolehnya itu asalnya juga dari uang rakyat! Apalagi sekarang, para bangsawan dan hartawan itu yang lebih senang menghambur uang di rumah pelacuran daripada menolong rakyat yang kelaparan.
Sudah sepatutnya kalau sebagian hartanya dikurangi, diambil untuk keperluan biaya perjalanan hidupnya!
Demikianlah, mulai peristiwa yang terjadi di kota Cin-koan dan yang menggegerkan itu, di dunia kang-ouw muncul seorang tokoh baru dengan sebutan Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah). Han Bi Lan disebut demikian karena ia dianggap sadis dan kejam seperti iblis betina yang selalu merusak muka pria yang melacur dan karena ia selalu berpakaian serba merah muda.
Sejak nama ini muncul, rumah-rumah pelacuran di kota-kota besar menjadi sepi. Para kongcu (tuan muda) hidung belang merasa ngeri kalau-kalau Ang I Mo-li muncul sewaktu mereka sedang berpelesir di rumah pelacuran. Adapun para hartawan yang kecurian uangnya, tidak begitu acuh karena yang dicuri hanya tidak seberapa baginya, walaupun bagi Bi Lan uang yang diambilnya dari kamar seorang hartawan cukup untuk biaya hidup selama tiga bulan!
Mereka bertiga duduk di luar pondok yang berdiri di puncak bukit itu. Pondok kayu, yang kokoh dan cukup besar, dengan pekarangan yang cukup luas mengelilingi pondok. Di pekarangan kanan kiri pondok ditanami pohon-pohon buah, dan di pekarangan depan ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai untuk pengobatan dan ada pula bunga-bunga beraneka warna. Nyaman sekali duduk di depan pondok di waktu pagi itu. Matahari tersenyum cerah, sinarnya menyengat, hanya mendatangkan kehangatan yang membangkitkan semangat. Pemandangan dari puncak Bukit Pelangi itu amat indah. Sebuah di antara ratusan bukit yang terdapat di Pegunungan Gobi. Orang menamakannya Bukit Pelangi karena seringkali tampak pelangi di bukit. itu.
Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh dua tahun. Wajahnya masih tampak segar dan jauh lebih muda dari usianya. Rambutnya, sudah dihias uban namun terawat bersih seperti juga tampak pada wajah, kaki tangan, dan pakaiannya yang tampak terawat dan bersih. Sepasang alisnya hitam agak tipis, sepasang matanya tajam berwibawa namun sinarnya lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu menyungging senyuman penuh pengertian. Wajah yang agak bulat itu tampak masih tampan. Tubuhnya sedang namun berisi dan tegak sehingga dia tampak gagah.
Wajah itu bersih tanpa kumis dan jenggot. Pakaiannya yang bersih itu sederhana sekali, hanya kain kuning yang melibat-libat tubuhnya seperti yang biasa dipakai para pertapa. Sepatunya dari kain yang bawahnya berlapis besi. Rambutnya yang dihias uban panjang dan diikat ke atas dengan pita kain kuning pula.
Dia amat dikenal oleh penduduk pedusunan di sekitar bukit karena dia selalu mengulurkan tangan memberi pengobatan kepada mereka yang sedang sakit. Obatnya yang dari daun-daun dan rempa-rempa amat manjur sehingga dia dikenal sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Di dunia kang-ouw dia terkenal dengan nama Tiong Lee Cin-jin. Namanya dihormati dan disegani semua tokoh dan aliran silat di dunia kang-ouw karena selain dia ahli pengobatan dan ahli silat yang sakti, juga dia terkenal baik dan bersikap adil dan bersahabat kepada semua golongan.
Bahkan belasan tahun yang lalu dia pernah merantau jauh ke dunia barat, melalui Pegunungan Himalaya, melalui Tibet untuk memperdalam ilmu-ilmunya. Ketika dia merantau itulah dia bisa mendapatkan kembali beberapa buah kitab milik perguruan-perguruan silat terkenal seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Bu-tong-pai yang puluhan tahun lalu dicuri orang, dan dia mengembalikan semua kitab-kitab ilmu silat itu kepada mereka yang berhak.
Dua orang gadis yang duduk berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin itu berusia duapuluh tahun dan orang-orang tentu merasa terpesona karena kagum dan juga heran apabila melihat mereka bersama. Dua orang gadis itu cantik jelita dan mereka itu persis sama, baik wajah maupun bentuk tubuh mereka. Wajah mereka berbentuk bulat dengan dagu meruncing, kulitnya putih mulus dan kulit wajah mereka itu dihias warna merah pada kedua pipi bawah mata. Warna merah alami, bukan dengan alat kecantikan sehingga tampak segar dan manis sekali seperti bunga mawar yang sedang mekar. Mata mereka bersinar seperti bintang, hidung mancung dan bibir mereka merah membasah tanpa gincu. Bibir yang penuh berkulit tipis itu hidup, dapat bergerak-gerak dengan lincah dan manis bukan main. Mata dan mulut mereka itulah mengandung daya tarik yang amat kuat, terutama bagi mata pria yang memandangnya.
Tak mungkin ada orang dapat membedakan di antara mereka kalau saja mereka memakai pakaian dan menyanggul rambut dengan bentuk yang sama. Akan tetapi mereka memang sengaja tidak memakai pakaian yang sama, bahkan tatanan rambut mereka berbeda. Mereka sebetulnya adalah dua orang gadis kembar!
Yang seorang adalah Puteri Moguhai, puteri dari Raja Kin beribu seorang wanita pribumi Han yang bernama Tan Siang Lin dan menjadi selir Raja Kin (bangsa Nuchen). Sejak kecil ia belajar silat dan memiliki kepandaian tinggi sehingga di dunia persilatan ia dikenal sebagai Pek Hong Niocu (Nona Burung Hong Putih). Julukan ini ia dapatkan karena puteri ini selalu mengenakan hiasan rambut seekor burung Hong dari perak di rambutnya. Juga pakaiannya terbuat dari sutera serba putih. Sabuknya dari sutera merah itu juga menjadi senjata yang ampuh. Jubahnya dihias dengan, bulu indah di bagian lehernya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir tebal dengan ikatan pita merah sehingga tampak lucu dan di atas kepalanya terhias burung Hong perak itu. Di pinggangnya tampak sebatang pedang bengkok dengan gagang dan sarung pedang terukir indah, ukiran naga emas sebagai tanda Kerajaan Kin.
Adapun gadis yang kedua, yang lahir terakhir, adalah Thio Siang In. Ia pun terkenal sebagai pendekar wanita yang lihai. Ayahnya bernama Thio Ki dan ibunya adalah seorang puteri kepala suku Uigur yang bernama Miyana. Karena sepak-terjangnya gadis ini juga amat gagah perkasa dan ilmu silatnya juga lihai karena sesungguhnya ia adalah murid datuk Suku Uigur yang terkenal, yaitu Ouw Kan, maka namanya dikenal di dunia persilatan sebagai Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah). Nama julukan ini karena selain ia cantik seperti dewi, juga ia selalu memakai setangkai bunga merah di rambutnya.
Kecantikannya sama persis dengan Puteri Moguhai, akan tetapi sanggul rambutnya seperti sanggul wanita Han. Mungkin karena ayahnya seorang pribumi Han, maka gadis ini juga berpakaian seperti seorang gadis Han, hanya pakaiannya serba hijau. Sebagai murid Ouw Kan, selain ilmu silat tinggi, juga Ang Hwa Sian-li Thio Siang In menguasai ilmu tentang racun. Karena gurunya Ouw Kan, tingkat kepandaiannya masih di bawah tingkat Paman Sie guru Puteri Moguhai, maka kepandaian Siang In juga masih sedikit kalah tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Puteri Moguhai, yaitu sebelum mereka berdua selama satu tahun digembleng oleh Tiong Lee Cin-jin di Puncak Pelangi itu. Kini, tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya kalau Puteri Moguhai memiliki ilmu silat yang bersih, karena sejak dulu ia mempelajari ilmu-ilmu dari kitab pemberian Tiong Lee Cin-jin.
Sebetulnya, dua orang gadis ini adalah saudara kembar dan ayah kandung mereka bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin sendiri. Di waktu mudanya, Tiong Lee Cin-jin yang bernama Sie Tiong Lee saling mencinta dengan Tan Siang Lin. Akan tetapi karena dia seorang pemuda miskin, orang tua Tan Siang Lin tidak mau menerimanya sebagai mantu, bahkan menyerahkan Siang Lin menjadi selir Raja Kin!
Siang Lin tidak berdaya menolak kehendak orang tuanya, akan tetapi karena ia sudah jatuh cinta benar kepada Sie Tiong Lee, maka ia lalu menyerahkan diri kepada pemuda itu. Sie Tiong Lee mula-mula menolak, akan tetapi karena Siang Lin mengancam akan membunuh diri kalau kekasihnya menolak, terpaksa Sie Tiong Lee menanggapi. Dari hubungan inilah, Siang Lin mengandung ketika ia diboyong ke istana Raja Kin. Ketika ia melahirkan, maka yang terlahir adalah sepasang anak perempuan kembar. Itulah Puteri Moguhai dan Thio Siang In.
Tentu saja Tan Siang Lin menjadi panik karena menurut kepercayaan Raja Kin, anak kembar berarti akan mendatangkan malapetaka dan mungkin kedua anak kembar itu akan dibinasakan, maka Tan Siang Lin lalu menyerahkan seorang di antara anak kembar itu kepada sahabat baiknya, yaitu puteri kepala Suku Uigur bernama Miyana yang telah menjadi janda muda tanpa anak. Miyana menerima dengan senang lalu melarikan anak kembar kedua, setelah secara diam-diam ia menyuruh bunuh bidan yang menolong kelahiran itu agar rahasia itu tersimpan rapat. Miyana lalu membawa anak itu pergi dan ia kemudian menikah dengan seorang Han bernama Thio Ki yang dapat menerima anak itu sebagai anak tirinya dan disayang seperti anak kandung. Anak itu lalu diberi nama Thio Siang In, sedangkan anak kembar yang pertama menjadi puteri Raja Kin dan diberi nama Puteri Moguhai!
Rahasia itu baru diketahui sepasang anak kembar itu setelah Tiong Lee Cin-jin menceritakan kepada mereka. Kemudian Tiong Lee Cin-jin membawa mereka berdua, yaitu puteri kembarnya, ke Puncak Pelangi untuk digembleng dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi, setelah dia memberi kabar kepada Raja Kin dan kepada Thio Ki bahwa dia ingin mengajarkan ilmunya kepada dua orang gadis itu. Raja Kin mau pun Thio Ki rela saja mendengar bahwa tokoh besar yang terkenal sakti dan dihormati semua orang itu menjadi guru anak mereka.
Demikianlah, selama setahun Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu-ilmunya kepada dua orang puterinya. Dia pun memberi nama alias kepada Puteri Moguhai, yaitu Sie Pek Hong, sedangkan Thio Siang In menjadi Sie Siang In. Akan tetapi nama--nama ini hanya menjadi rahasia mereka karena di luar mereka masih bernama Puteri Moguhai dan Thio Siang In, atau lebih terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li. Setelah digembleng selama satu tahun, kini kedua orang gadis kembar itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dan pada pagi hari itu, ayah dan dua orang puterinya itu bercakap-cakap di depan pondok.
“Nah, kuulangi sekali lagi, Pek Hong dan Siang In. Kalian berdua sudah selama satu tahun berada di sini memperdalam ilmu. Sekarang tiba saatnya bagi kalian untuk kembali kepada orang tua kalian masing-masing.”
“Akan tetapi, Ayah. Berilah kami waktu untuk melayani Ayah di hari tua Ayah sekarang ini!” kata Pek Hong Niocu.
“Hemm, Pek Hong, kau lihat sendiri, Ayahmu ini masih kuat untuk mengurus diri sendiri, belum jompo, maka tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku.”
“Ayah adalah Ayah kandung kami dan budi kebaikan Ayah sudah banyak sekali Ayah berikan kepada kami. Kalau tidak sekarang kami diberi kesempatan untuk sedikit membalas budi kebaikan Ayah dengan pelayanan kami, lalu kapan? Kami tidak ingin menjadi anak-anak yang tidak berbakti, Ayah!” bantah pula Ang Hwa Sian-li.
Mendengar bantahan adik kembarnya ini, Pek Hong Niocu mengangguk-angguk membenarkan.
Tiong Lee Cin-jin tertawa. “Heh-he-he! Anak-anakku, ketahuilah bahwa berbakti berarti menyenangkan hati orang tua, dan menyenangkan hati orang tua berarti menaati semua perintah dan petunjuknya. Aku menghendaki kalian berdua kembali ke rumah orang tua kalian masing-masing, kalau kalian tidak menaati, berarti tidak membikin senang hatiku. Juga, orang tua kalian masing-masing yang menyayang kalian akan menjadi susah hatinya. Selama setahun di sini kalian sudah memperdalam ilmu silat, juga telah memperluas wawasan dan pandangan kalian tentang kehidupan. Nah, sekarang untuk yang penghabisan kalinya, aku memberi kesempatan kepada kalian untuk bertanya kepadaku apa yang kalian belum mengerti tentang kehidupan ini.”
“Ayah, mengapa dalam kehidupan manusia di dunia ini begitu banyak terdapat kejahatan? Kalau Tuhan membenci kejahatan, mengapa Tuhan dengan kekuasaanNya tidak membasmi saja segala bentuk kejahatan itu?” tanya Pek Hong Niocu.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. “Sian-cai (damai)......! Jangan menggunakan akal pikiran kita yang terbatas dan sempit, Pek Hong. Ketahuilah, segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan dan memang sudah menjadi kehendaknya bahwa segala sesuatu itu ada dua sifat yang saling bertentangan namun saling menunjang keberadaan masing-masing. Bahkan perkembangan keadaan hasil ciptaan itu diadakan karena kedua sifat itu bertemu dan bersatu. Semua digerakkan oleh kekuasaan Tuhan yang disebut Im dan Yang (Positive dan Negative). Karena itu, terdapatlah kebaikan dan kejahatan, karena tanpa adanya yang satu, tidak akan ada pula yang lain. Keadaan mereka saling menunjang walaupun sifat keduanya saling bertentangan.
“Ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada pria ada wanita, dan selanjutnya. Kepada manusia telah dikaruniai hati akal pikiran dan kebebasan untuk menyesuaikan diri dan memilih, karena itu manusia diberi pengetahuan baik dan buruk untuk dapat menentukan pilihannya ini. Kalau malam gelap, kita mempergunakan akal pikiran untuk mengatasi kegelapan, kalau siang terang dan panas kita pun harus berupaya untuk mengatasinya dengan menjaga agar jangan langsung menatap matahari, kalau kepanasan kita berlindung kalau kehujanan kita berteduh.
“Demikian pula dengan adanya kejahatan. Kejahatan harus ada kalau ada kebaikan, karena kalau tidak ada yang jahat, mana mungkin ada yang baik? Kalau tidak ada perasaan susah, mana bisa merasakan senang? Nah, kita diberi kebebasan untuk memilih. Kalau kita melihat kejahatan dan kebaikan, mana yang kita pilih? Engkau tentu tahu, Pek Hong, bahwa engkau memilih kebaikan karena itu menentang kejahatan. Karena itu, kejahatan itu bagi kita ada manfaatnya juga, yaitu kejahatanlah yang membawa manusia berusaha untuk menjadi baik.”
“Lalu bagaimana agar semua orang bersikap baik kepada kita, Ayah?” tanya pula Pek Hong Niocu.
“Sebabnya keluar dari kita dan akibatnya akan kembali kepada kita, Anakku. Menghormati, mengasihi, bersikap baik kepada orang lain berarti menanam sesuatu yang baik dan buahnya pasti baik pula dan menjadi bagian kita, karena orang lain tentu akan menghormati, mengasihi dan bersikap baik juga kepada kita. Kalau kita bersikap buruk kepada orang lain, tentu saja akibatnya orang lain pun akan bersikap buruk kepada kita. Melempar batu ke atas akan jatuh kembali kepada kita juga, menanam pohon kita mendapatkan buahnya sebaliknya menanam semak belukar kita mendapatkan durinya.”
“Ayah,” kini Ang Hwa Sian-li berkata. “Saya melihat betapa kehidupan dalam dunia ini amat tidak adil. Ada orang-orang yang kaya raya ada pula yang miskin, ada pula pembesar yang berkuasa, ada pula rakyat kecil yang tak berdaya. Di mana adanya keadilan itu, Ayah?”
'Siang In, justeru keadaan itu menandakan adanya dua sifat Im dan Yang tadi. Justeru adanya perbedaan yang bertentangan itulah segalanya dapat berjalan baik. Coba bayangkan bagaimana kalau semua rakyat ini kaya raya? Kita semua akan kelaparan karena tidak ada yang mau bertani, tidak ada yang mau bekerja, tidak ada yang berjualan bahan makanan. Kalau semua orang kaya raya, maka kalau seseorang ingin makan dia harus menanam padi sendiri, lalu menumbuknya sendiri, memasaknya sendiri dan selanjutnya. Dapatkah kehidupan berlangsung seperti itu? Sebaliknya kalau semua rakyat miskin, kita semua akan menderita kekurangan dan kelaparan, karena tidak ada uang sama sekali untuk membeli dan mendatangkan segala keperluan hidup dari daerah lain.
“Si kaya membutuhkan si miskin dan si miskin membutuhkan si kaya. Si kaya sebagai pemilik modal memberi lapangan kerja bagi mereka yang miskin, sebaliknya si miskin sebagai tenaga kerja untuk melaksanakan terputarnya roda perusahaan si kaya. Mereka saling membutuhkan karena itu harus dapat bekerja sama yang baik karena kedua pihak saling menolong. Siapa yang lebih seyogianya menolong yang kurang, atau tepatnya, yang mendapat berkah yang berlebihan itu memang diadakan untuk menyalurkan berkah dari Tuhan itu kepada mereka yang membutuhkan. Tuhan yang menolong dan memberi kepada mereka yang membutuhkan itu, dan si kaya hanya menjadi perantara atau pembagi rejeki yang kesemuanya datang dari Tuhan.
“Adanya pembesar berkuasa atau kita sebut saja Raja yang berkuasa dan rakyat jelata yang lemah, itu pun sudah semestinya karena keduanya ada bukan untuk bertentangan, melainkan untuk saling menunjang demi kebaikan semuanya. Apa artinya Raja kalau tidak ada rakyatnya? Sebaliknya bagaimana jadinya dengan rakyat kalau tidak ada yang memimpin? Keduanya saling membutuhkan.”
“Akan tetapi, Ayah. Saya melihat betapa banyaknya pembesar melakukan kecurangan dan korupsi untuk memperkaya diri sendiri, hampir semua pejabat kerajaan melakukan hal buruk itu, dari yang tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah. Bagaimana caranya untuk mengatasi hal ini dan untuk memberantas hal ini agar kerajaan menjadi kuat tidak digerogoti para punggawanya sendiri sehingga kehidupan rakyat menjadi makmur?”
“Siang In, keadaan seperti itu memang selalu menjadi kelemahan kerajaan ini,” Tiong Lee Cin-jin menarik napas panjang teringat akan mendiang Perdana Menteri Chin Kui dan seluruh bawahannya yang melakukan korupsi besar-besaran. “Sebetulnya mudah saja. Pertama sekali, yang berada paling atas, yaitu Kaisar, haruslah membersihkan dirinya. Kalau Kaisar bersih tidak korup, tentu dia berani menegur dan menghukum para menterinya yang bertindak korup. Kemudian, Sang Menteri yang sudah bersih juga menindak bawahannya yang korup. Demikian seterusnya menurun ke bawah. Sang Atasan yang bersih pasti berani menindak bawahan yang kotor sampai kepada pejabat yang paling rendah kedudukannya. Kalau semua pejabat dan pemimpin sudah benar-benar bersih, maka akan mudah mengatur rakyatnya agar tertib dan makmur. Sebaliknya kalau atasan kotor, bagaimana mungkin dapat menindak bawahan yang kotor? Manusia membutuhkan tauladan, dan tauladan harus dimulai dari yang paling atas, terus menurun ke bawah.”
“Akan tetapi yang paling atas itu menaulad siapa?” Pek Hong Niocu bertanya.
“Tentu saja menaulad Yang Paling Atas yang telah memberi petunjukNya melalui wahyuNya yang terdapat dalam kitab suci agama-agama di dunia. Setiap orang manusia telah diberi pengertian tentang perbuatan baik dan perbuatan jahat. Perbuatan baik adalah perbuatan yang bermanfaat dan membahagiakan orang-orang lain tanpa pamrih demi keuntungan diri sendiri. Sebaliknya perbuatan jahat bersumber kepada keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dengan mencelakakan dan menyusahkan orang-orang lain.
“Sesungguhnya, anak-anakku, perbuatan baik atau jahat itu hanyalah penyaluran dari keadaan dalam hati kita. Kalau kita menyadari bahwa Tuhan menciptakan kita hidup di dunia ini mempunyai kewajiban yang harus kita laksanakan, yaitu berguna bagi manusia dan dunia, maka perbuatan baik itu hanyalah pelaksanaan kewajiban itu, sedangkan perbuatan jahat adalah pengingkaran diri dari kewajiban itu. Melakukan kebaikan kepada orang lain berarti melaksanakan kewajiban manusia hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Pengingkaran terhadap kewajiban manusia hidup timbul dari kelemahan kita sendiri yang menghambakan diri kepada nafsu-nafsu kita sendiri yang dipergunakan Iblis untuk membujuk dan menjerat kita.
“Terserah kepada kita yang diberi kebebasan oleh Tuhan, hendak menjadi alat Tuhan ataukah menjadi alat iblis! Kalau menjadi alat Tuhan berarti dalam hati ini penuh rasa kasih sayang kepada sesama hidup dan buah daripada kasih sayang itu pasti perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna bagi sesama kita. Sebaliknya, menjadi alat Iblis berarti dalam hati ini penuh dengan rasa cinta kepada diri sendiri, keinginan untuk menyenangkan diri sendiri terlalu besar sehingga terkadang tega mengorbankan dan mencelakai orang lain demi tercapainya kesenangan yang diinginkannya.”
“Ayah, ada satu hal lagi yang ingin saya ketahui. Sering sekali saya mendengar orang berkata bahwa Thian (Tuhan) itu Maha Adil. Akan tetapi kenapa saya melihat banyak orang yang jahat keadaan hidupnya penuh kebahagiaan, kaya raya, terhormat dan tidak pernah kekurangan sesuatu, sebaliknya lebih banyak lagi orang yang dalam hidupnya menjadi orang baik-baik, tidak pernah melakukan kejahatan, akan tetapi hidupnya selalu sengsara, miskin dan serba kekurangan, banyak menderita kesusahan? Bukankah keadaan ini amat tidak adil, Ayah?”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. “Pek Hong, mungkin pertanyaanmu ini menjadi pertanyaan jutaan orang manusia yang hidup di dunia ini dan yang merasa hidupnya serba kekurangan. Camkan baik-baik, Pek Hong, dan engkau juga, Siang In. Sudah menjadi anggapan umum yang salah bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan hidup manusia ini dinilai dari kekayaan dan kemiskinan. Kita menganggap bahwa orang yang kaya itulah yang di berkahi Tuhan, sedangkan orang miskin tidak! Benarkah bahwa berkah dari Tuhan itu yang terpenting adalah harta kekayaan? Sehingga manusia mengukur berkah Tuhan itu dari kaya dan miskinnya seseorang?
“Anggapan itu sungguh picik dan bodoh sekali, anak-anakku. Berkah Tuhan itu berlimpahan kepada semua orang, bahkan semua mahluk yang hidup, bergerak maupun tak bergerak, semua itu sudah, sedang dan akan menerima berkah Tuhan, Sumber Abadi segala berkah! Berlimpah dan bermacam-macam, tak terhitung banyaknya! Dan ketahuilah, sadarlah bahwa harta kekayaan itu hanya menjadi sebagian saja dari berkah yang tak terhitung banyaknya.
“Kita menganggap hanya orang kaya saja yang mendapat berkah dan hidup senang karena hati kita sudah dibuat buta oleh kemilaunya harta benda! Bagaimana kalau orang kaya itu pendek umur? Tentu dia tidak mau karena di samping harta dia membutuhkan umur panjang. Bagaimana kalau si kaya menderita sakit berat? Hartanya tidak dapat menolong, berarti di samping harta benda dia
membutuhkan pula kesehatan! Bukan hanya kesehatan dirinya, melainkan kesehatan seluruh keluarganya karena seorang saja di antara mereka sakit atau mati, kesenangannya karena memiliki harta benda takkan terasa lagi. Apakah hanya harta benda, sehat walafiat dan panjang umur saja yang bisa dianggap berkah. Apakah kalau orang sudah memiliki ketiganya itu dapat hidup bahagia? Juga tidak!
“Di samping kaya, sehat dan panjang umur, masih ada kebutuhan lain. Misalnya kerukunan rumah tangga, kerukunan antar manusia. Apa artinya kaya raya dan sehat kalau setiap hari suami cekcok dengan isterinya? Rumah gedung akan terasa seperti neraka! Harta banyak hanya akan memusingkan saja! Orang kaya raya akan rela mengorbankan seluruh kekayaannya asalkan dia sembuh dari penyakit yang berat dan mengancam nyawanya. Orang sehat berani mengorbankan kesehatannya untuk mengejar sesuatu yang dikehendakinya. Karena itu, keliru kalau dianggap bahwa kaya raya berarti berkah istimewa dari Tuhan sehingga kalau ada orang jahat kaya dan orang baik-baik miskin lalu dianggap bahwa Tuhan tidak adil! Keliru sama sekali. Tuhan Maha Adil, akan tetapi keadilanNya tidak dapat diukur, apalagi diukur dengan keadilan bagi manusia karena setiap orang manusia mengukur keadilan dari kepentingan diri sendiri. Kalau menguntungkan aku, namanya adil dan baik, kalau merugikan aku, adalah tidak adil dan buruk!”
“Wah, kalau direnungkan, kebenaran yang Ayah ungkapkan itu tidak dapat dibantah lagi!” kata Siang In. “Kalau begitu, kekayaan itu berkah, akan tetapi kesehatan juga berkah yang tidak kalah nilainya! Akan tetapi, Ayah, mengapa pada umumnya orang kaya menganggap orang miskin sengsara, sebaliknya orang miskin menganggap orang kaya bahagia? Siapa yang benar dalam anggapan ini?”
“Anggapan itu sama salahnya. Anggapan itu muncul karena hati mereka telah dikuasai nafsu kebendaan sehingga kedua-duanya mengagung-agungkan harta benda saja, atau kesehatan saja, atau kerukunan saja. Ada yang mengagungkan kepandaian saja, atau kedudukan saja, dan sebagainya. Padahal kesemuanya itu hanya merupakan sebagian saja dari berkah Tuhan, hanya manusia yang menerima segala macam keadaan sebagai berkahNya dan bersyukur kepadaNya lalu menyalurkan segala berkah itu kepada sesamanya, dialah yang berhak merasakan apa sesungguhnya hidup tenteram, damai dan berbahagia itu.”
“Menyalurkan segala berkah kepada sesama? Bagaimana maksud Ayah?”
“Segala berkah itu datang dari Thian, berarti segala sesuatu itu milik Thian. Kita hidup sebagai manusia mempunyai kewajiban, yaitu membawa kesejahteraan dalam dunia, khususnya terhadap sesama manusia dan umumnya kepada segala mahluk dan lingkungan. Kalau berkah harta yang dilimpahkan kepada kita, kita sepatutnya bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka yang benar-benar amat membutuhkan sehingga yang kaya menolong yang miskin. Kalau berkah itu berupa kepandaian yang berlebihan, sudah sepatutnya kita bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka yang memerlukannya sehingga yang pintar menolong yang bodoh. Kalau berkah itu berupa kekuatan, sudah sepatutnya kita menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin, yang pintar menolong yang bodoh, yang kuat menolong yang lemah. Demikianlah keadilan yang kiranya sesuai dengan kehendak Thian.
“Kami mengerti, Ayah,” kata Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu sambil memegang tangan kiri ayahnya dengan sikap manja dan tatapan mata penuh hormat dan kasih sayang. “Akan tetapi, Ayah pernah mengatakan bahwa manusia hidup harus saling tolong, saling memberi. Lalu bagaimana dengan dia yang miskin, bodoh dan lemah. Apakah dia itu hanya tahunya minta saja tanpa
mampu memberi apa pun? Apa yang dapat dia berikan kepada sesama manusia kalau dia miskin, bodoh dan lemah?”
“Pertanyaan yang bagus! Dan jawabnya semoga dapat menghilangkan rasa rendah diri dan rasa tiada guna bagi mereka yang merasa miskin, bodoh dan lemah. Mereka ini pun dapat memberi, bahkan memberi yang tidak kalah besar nilainya dibandingkan pemberian yang lain tadi. Yaitu, mereka dapat memberi kejujuran, kesetiaan, dan terutama sekali memberi sikap ramah, manis budi bahasa, senyum yang tulus, yang keluar dari hati penuh kasih kepada sesama manusia.
“Justeru pemberian ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan semua orang, kaya miskin, pintar bodoh, kuat lemah tanpa kecuali. Andaikata engkau diberi harta kepandaian dan tenaga akan tetapi semua itu diberikan oleh orang dengan muka cemberut, dengan sikap menghina dan membenci, apakah engkau dapat menerimanya dengan senang? Bukankah lebih senang menerima tegur sapa yang ramah dan hormat, disertai senyum yang tulus dari seorang yang tidak mampu memberi harta dan sebagainya itu? Jadi, hati yang penuh kasih yang membuahkan ketulusan, kejujuran, kesetiaan dan keramahan itu bahkan jauh lebih tinggi nilainya daripada harta benda dan lain-lain yang hanya menyenangkan badan namun tidak mendatangkan kenyamanan di hati.”
Dua orang gadis itu mendengarkan penuh perhatian sambil memegang tangan ayah mereka. Pek Hong Niocu memegang tangan kiri dan Ang Hwa Sian-li memegang tangan kanan.
“Ayah, saya ingin tinggal di sini, bersama Ayah saja!” kata Ang Hwa Sian-li Thio Siang In atau sesungguhnya Sie Siang In dengan suara gemetar karena ia terharu.
“Saya juga, Ayah! Rasanya hanya dekat Ayah saya dapat merasa tenteram, penuh damai dan kehidupan terasa nyaman, nikmat dan penuh kebahagiaan,” kata pula Pek Hong Niocu Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai, juga ia merasa terharu dan rasanya ingin menangis karena harus berpisah dari ayah kandung yang mendatangkan kasih sayang amat mendalam di hatinya, setelah selama setahun tinggal bersama ayahnya di tempat sunyi itu.
“Aih, marilah kita belajar jangan terlalu menurutkan keinginan hati, akan tetapi harus menggunakan pertimbangan demi kebaikan semua pihak. Kalian merasa senang di sini, juga aku akan merasa senang kalau berdekatan dengan kalian kedua anak-anakku. Akan tetapi kesenangan kita itu menyusahkan hati kedua orang tua kalian! Aku sudah terbiasa merantau seorang diri, maka jangan mengkhawatirkan tentang diriku. Juga jangan lupa kalian sejak kecil telah bersusah payah mempelajari ilmu silat. Apa artinya menguasai ilmu kalau tidak dipergunakan dalam kehidupan? Maka, kalian harus kembali ke dunia ramai dan mengamalkan kepandaian kalian, tentu saja jangan lupa, mengamalkan demi kebaikan, membebaskan orang dari penindasan, membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat. Nah, sekarang kalian pergilah, aku sendiri pun sudah terlalu lama di sini dan ingin merantau lagi.”
Akan tetapi dua orang gadis itu masih memegangi kedua tangan ayah mereka, enggan melepaskannya.
“Ayah, saya belum ingin berpisah darimu!” kata Pek Hong Niocu.
“Kalau kita berpisah, kapan kita dapat saling bertemu kembali, Ayah?” kata Ang Hwa Sian-li.
Tiong Lee Cin-jin tertawa. Hati ayah mana yang tidak merasa senang melihat anak-anaknya demikian sayang kepadanya? “Ha-ha-ha, kalian tidak boleh cengeng begini! Ada waktu bertemu, ada waktu
berkumpul, tentu akan diakhiri dengan waktu berpisah! Akan tetapi, setelah berpisah, bukan hal yang mustahil untuk bertemu kembali. Kita harus percaya bahwa ada saatnya kita akan dapat saling bertemu kembali, anak-anakku. Nah, sekarang berkemaslah. Kumpulkan pakaian kalian dan bersiaplah untuk berangkat!”
Kini dua orang gadis itu menyadari betul bahwa mereka berdua harus pergi meninggalkan ayah atau guru mereka, maka dengan patuh mereka lalu memasuki pondok dan berkemas dalam kamar mereka. Mereka membungkus pakaian mereka dengan kain lalu menggendong bungkusan masing-masing dan keluar dari pondok.
Setibanya di beranda, mereka melihat ayah mereka sedang duduk bersamadhi dan mereka berdua tahu bahwa dalam keadaan seperti itu ayah mereka tidak bisa diganggu karena apa pun yang mereka lakukan tidak akan mampu mem-buat ayah mereka terbangun! Mereka tahu bahwa ayah mereka tidak ingin terpengaruh oleh perasaan sendiri karena perpisahan dengan dua orang anaknya yang terkasih, maka sebelum mereka berangkat dia sudah tenggelam ke dalam samadhi. Pek Hong Niocu menahan isak, lalu merangkul leher ayahnya dan mencium kedua pipi ayahnya, baru melepaskannya. Perbuatan ini ditiru oleh Ang Hwa Sian-li.
“Selamat tinggal, Ayah.” Mereka berkata hampir berbareng, lalu mereka melompat dari atas lantai beranda dan keluar. Demikian cepat gerakan mereka sehingga mereka seolah pandai menghilang! Kedua orang gadis ini ingin cepat meninggalkan ayah mereka karena kalau berlama-lama, mereka tentu tidak akan tega meninggalkan orang tua yang mereka kasihi itu.
Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti berlari dan memutar tubuh, memandang ke arah Puncak Pelangi dan keduanya menghela napas panjang.
“Kasihan Ayah, di sana seorang diri, kesepian,” Ang Hwa Sian-li mengeluh.
“Ya, akan tetapi sudahlah. Kita tahu betapa bijaksana Ayah. Dia benar, kita tidak mungkin tinggal di sana terus. Orang tua kita pasti sudah amat menanti-nanti kita. Siang In, sekarang engkau hendak ke mana?”
“Tentu saja pulang, Pek Hong. Orang tuaku tinggal di kota Kang-cun, di lembah Sungai Kuning. Dan engkau?”
“Aku juga akan pulang ke kota raja. Kalau begitu, kita sama-sama menuju ke timur. Kita dapat melakukan perjalanan bersama sampai ke kota Kang-cun, di mana engkau akan berhenti dan aku melanjutkan perjalanan ke kota raja.”
“Wah, bagus sekali. Kalau begitu, engkau harus singgah dulu di rumah kami dan engkau akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku.”
“Ah, senang sekali!” kata Pek Hong Niocu. “Aku pun ingin sekali bertemu dengan Ibumu. Bibi Miyana itu adalah sahabat baik Ibuku, dan ialah yang menolong Ibu, bahkan menolong kita karena kalau tidak ada ia yang memisahkan kita, mungkin kita berdua sudah dibunuh oleh Kaisar Kin yang mempunyai kepercayaan aneh tentang orang kembar!”
“Aku pun kelak akan mengunjungimu, Pek Hong. Aku juga ingin dan rindu sekali untuk bertemu dengan ibumu...... eh, ibu kandungku juga!”
“Ya, datanglah, Siang In! Pertemuan itu pasti akan membahagiakan kita semua!”
Dua orang gadis itu sebentar saja sudah pulih lagi dalam sifat mereka yang memang biasanya selalu cerah ceria, cerdik dan lincah. Keharuan yang agak menyedihkan hati mereka karena harus berpisah dari ayah mereka, hanya sebentar saja menjadi mendung. Akan tetapi hanya mendung tipis yang mudah ditiup pergi angin lalu.
Souw Thian Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Akan tetapi sebelum ia memasuki dusun itu, dia melihat puluhan penduduk dusun, laki-laki dan perempuan, berbondong keluar dari dusun menuju ke bukit yang berada tidak jauh dari dusun itu, hanya sekitar dua lie (mil) jaraknya. Yang amat menarik hati Thian Liong adalah ketika dia melihat dua orang gadis muda, berusia sekitar enambelas tahun, berjalan di depan rombongan itu sambil menangis.
Dua orang gadis remaja itu mengenakan pakaian dari sutera merah dan wajah mereka cukup cantik. Rambut mereka diberi hiasan yang indah, mengingatkan Thian Liong akan pakaian pengantin wanita. Apakah dua orang gadis itu pengantin-pengantin yang sedang diantar rombongan itu menuju ke rumah calon suami mereka di dusun lain? Akan tetapi tidak mungkin kalau mereka itu hendak menikah karena selain dua orang gadis itu di sepanjang perjalanan menangis sedih, juga wajah rombongan yang terdiri dari sekitar empatpuluh orang itu semua tampak muram dan murung. Bahkan ada beberapa orang wanita dalam rombongan itu juga menangis! Rombongan itu lebih pantas sedang mengiringkan jenazah yang akan dimakamkan daripada mengiringkan pengantin wanita!
Tentu saja Thian Liong merasa tertarik sekali. Agaknya bukan rombongan pengiring pengantin, pikirnya. Atau, kalau benar mengiringkan pengantin, agaknya dua orang pengantin wanita itu dipaksa menjadi pengantin dan para penduduk itu tidak berani membantah. Apakah ada hartawan atau orang berpangkat yang memaksa gadis-gadis itu agar diantarkan ke rumahnya, mungkin di dusun atau kota lain, untuk dijadikan selir-selirnya? Dan para penduduk dusun ini tidak berani menolak paksaannya? Diam-diam Thian Liong membayangi, siap menolong kalau dua orang gadis itu benar-benar dipaksa orang untuk menikah di luar kehendak mereka. Siap pula untuk menentang orang yang menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada para penduduk dusun!
Rombongan itu ternyata menuju ke bukit, lalu mendaki bukit itu perlahan-lahan seolah merasa ragu atau takut. Dua orang gadis remaja tetap menangis sambil melangkah perlahan-lahan.
Ketika rombongan itu tiba di lereng bukit, mereka berhenti di depan sebuah kuil tua. Kuil itu agaknya kuil kuno yang tidak terpelihara. Temboknya ditumbuhi lumut dan sebagian ada yang retak, dan gentingnya juga banyak yang pecah. Thian Liong yang membayangi dari belakang mengintai dari balik sebatang pohon besar. Dia merasa semakin heran melihat betapa rombongan itu semua berhenti di depan kuil, di pekarangan kuil yang luas dan penuh daun kering. Dua orang gadis berpakaian merah itu tidak menangis lagi, akan tetapi dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti dua ekor domba yang dibawa ke depan tempat penjagalan mereka memandang ke arah pintu kuil yang besar. Daun pintu kuil itu, dari kayu tebal yang pinggirnya sudah lapuk, tertutup.
Thian Liong juga memandang ke arah daun pintu yang tertutup itu dengan hati tegang. Dia belum dapat menduga apa yang akan dilakukan rombongan orang dusun itu dan mereka semua tampak begitu ketakutan. Apa yang sudah, sedang dan akan terjadi? Dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh, Thian Liong menyelinap dari pohon ke pohon dan mendekati mereka sehingga dia tidak hanya
dapat melihat mereka, akan tetapi juga akan dapat mendengarkan percakapan mereka. Akan tetapi semua orang itu berdiam diri, tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan agaknya kebanyakan dari mereka menahan napas!
Bunyi berderit pada daun pintu mengejutkan semua orang yang segera memandang ke arah pintu. Daun pintu dibuka dari dalam dan kini pintunya ternganga lebar. Thian Liong juga memandang ke arah pintu dengan penuh perhatian. Tampak remang-remang sebuah meja sembahyang besar dengan hidangan sembahyang sebagai korban terdiri dari buah-buahan. Di belakang meja itu terdapat sehelai kain putih yang digambari seekor ular hitam besar dengan mata seolah bernyala mencorong dan moncongnya terbuka mengeluarkan api! Akan tetapi semua itu hanya tampak remang-remang karena ruangan itu dipenuhi asap yang mengepul keluar dari banyak hio (dupa) yang dibakar. Baunya harum-harum memusingkan, tercium sampai di tempat di mana Thian Liong mengintai.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru