Senin, 08 Mei 2017

Cersil 9 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Untuk Indonesia

Cersil 9 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Untuk Indonesia Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 9 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Untuk Indonesia
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 9 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Untuk Indonesia
Kemudian muncullah tiga orang dari dalam kuil dan mereka berdiri di depan pintu. Mereka adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar tigapuluh tahun. Rambut mereka semua diikat ke atas dengan pita putih, akan tetapi pakaian mereka serba hitam. Di bagian dada terdapat lingkaran besar dengan dasar putih dan di tengah lingkaran terdapat gambar ular seperti yang dipasang di belakang meja sembahyang. Sepatu mereka juga hitam dan di punggung tiga orang itu tergantung sebatang pedang. Tubuh mereka tinggi besar dan kokoh. Wajah mereka tampak kaku menyeramkan, akan tetapi tampak serius seperti seorang yang agaknya tidak acuh lagi terhadap urusan dunia!
Seorang laki-laki berusia enampuluh tahun yang menjadi wakil penduduk karena dia adalah kepala dusun, melangkah maju dan segera memberi hormat kepada tiga orang berpakaian, hitam itu sambil membungkuk dalam.
“Sam-wi To-tiang (Bapak Pendeta Bertiga), kami datang untuk memenuhi perintah yang mulia Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam), menyerahkan dua orang gadis kami untuk menjadi pengantin Dewa Penjaga Bukit,” kata kepala dusun dengan suara gemetar.
Seorang di antara tiga orang berpakaian hitam-hitam yang disebut bapak pendeta itu berkata, suaranya tegas dan lantang. “Pimpin dua calon pengantin untuk sembahyang, baru kita akan mendengar sendiri dari Kauw-cu (ketua agama) Hek-coa-kauw (Perkumpulan Agama Ular Hitam) apakah persembahan ini dapat diterima oleh Hek-coa-sian ataukah tidak!”
“Baik, To-tiang. Mari, anak-anak, kita bersembahyang.”
Kepala dusun itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis remaja yang wajahnya menjadi pucat sekali, dituntunnya memasuki pintu lebar setelah tiga orang pendeta perkumpulan Ular Hitam itu mundur memasuki ruangan sembahyang kuil itu. Para penduduk hanya melihat dari luar. Karena pintu itu memang lebar sekali, maka mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di ruangan sembahyang. Bahkan Thian Liong yang bersembunyi dan mengintai, juga dapat melihat ke dalam ruangan asap itu.
Dua orang gadis itu lalu disuruh bersembahyang, mengacungkan hio-swa (dupa biting) yang ujungnya membara, kemudian setelah dupa biting itu ditancapkan di hio-lou (tempat abu dupa), mereka berdua disuruh berlutut dan pai-kwi (menyembah dengan dahi menyentuh lantai) sampai delapan kali.
Setelah upacara sembahyang selesai, dua orang gadis itu dan si kepala dusun diminta agar keluar kembali dan berdiri di depan pintu seperti tadi.
“Kalian tunggu di sini. Kami akan mengundang Ketua kami yang akan memutuskan apakah Hek-coa-sian berkenan menerima dua orang gadis korban ini atau tidak.” Setelah berkata demikian, tiga orang pendeta itu bersembahyang di depan meja sembahyang dan membakar banyak dupa sehingga di ruangan itu kini tertutup asap yang mengepul tebal. Terdengar seruan mereka.
“Kami mengundang, yang mulia Kauw-cu (Kepala Agama) untuk datang dan memberi penjelasan dan perintah!”
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan dan tampak asap hitam mengepul di tengah asap putih. Lalu dari asap hitam itu muncul seorang laki-laki yang tubuhnya seperti raksasa, matanya lebar mencorong. Tiga orang pendeta itu tampak kecil dibandingkan raksasa ini. Mukanya hitam menakutkan dan dia pun mengenakan pakaian hitam dengan tanda gambar ular hitam seperti tiga orang anak buahnya. Akan tetapi ada seekor ular hitam sebesar lengannya mengalungi leher dan tangan kirinya memegang leher ular itu dan kepala ular itu menjulur ke depan, moncongnya dan matanya kemerahan, lidahnya yang bercabang itu keluar masuk moncong. Semua orang merasa ngeri dan hampir tidak berani memandang raksasa hitam yang disebut sebagai kauw-cu (kepala agama) dari Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam) itu.
Kemudian terdengar raksasa hitam itu bicara. Suaranya parau dan besar, dengan logat asing. “Hek-coa-sian dapat menerima korban dua orang gadis ini dan mau mengampuni semua penduduk. Akan tetapi Hek-coa-sian minta agar mereka menjalani dulu pembersihan diri dan berganti pakaian yang sudah disediakan, baru kita semua akan mengantar mereka ke puncak bukit. Kami minta dua orang wanita untuk memandikan mereka. Air kembang sudah tersedia di dalam, dan setelah dimandikan bersih, mereka harus diasapi dupa harum agar layak berdekatan dengan Dewa Ular Hitam!”
Seorang wanita setengah tua disuruh maju oleh kepala dusun. Dengan gemetar wanita itu menghampiri dua orang gadis. Akan tetapi dua orang gadis itu tiba-tiba menjerit dan menangis sehingga para penduduk menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka takut kalau-kalau kerewelan dua orang gadis yang hendak dikorbankan itu akan membuat sang dewa marah dan mereka semua akan ditumpas binasa seperti yang telah diancamkan kepada mereka.
“Ah, diamlah kalian!” bentak kepala dusun, lalu dia memberi hormat kepada Hek-coa-kauwcu. “Kauwcu, maafkan kami......”
Laki-laki bertubuh raksasa dengan muka hitam itu tertawa dan menghampiri dua orang gadis yang menangis tersedu-sedu. Kepala ular itu terjulur mendekati dua orang gadis, moncongnya agak terbuka dan lidahnya menjilat-jilat. Dua orang gadis ketakutan. Kepala ular mulai bergerak terayun ke kanan kiri. Dua orang gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mereka berhenti menangis. Hanya air mata mereka saja yang masih berlinang.
“Heh, dua orang Nona pengantin! Kalian taat dan akan melakukan segala perintah kami dengan senang hati. Mengerti?”
Aneh! Dua orang gadis itu mengangguk dan mereka tampak begitu penurut ketika wanita setengah tua itu, atas petunjuk seorang di antara tiga orang pendeta tadi menuntun mereka masuk. Mereka berdua dimandikan dengan air kembang kemudian diasapi dupa harum dan mereka taat dan sama sekali tidak
membantah, juga tidak menangis lagi! Setelah mandi dan diasapi sehingga seluruh tubuh mereka selain bersih juga berbau harum bunga dan dupa, mereka lalu disuruh mengenakan pakaian dari sutera putih yang halus dan tembus pandang. Ketika mereka dituntun keluar, semua orang memandang dengan heran dan kagum. Dua orang gadis remaja itu tampak seolah dewi dari kahyangan, dengan pakaian sutera putih tipis itu.
Ketua agama Hek-coa-kauw itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis, di kanan kirinya, lalu mengajak mereka berdua berjalan keluar dari kuil dan mendaki ke puncak bukit. Para penduduk dusun diperbolehkan ikut untuk menyaksikan bahwa benar-benar dua orang gadis itu dikorbankan kepada Dewa Ular Hitam penjaga bukit. Berbondong-bondong semua orang mengikuti Hek-coa-kauwcu yang menggandeng dua orang gadis “pengantin” itu dengan kagum dan heran karena kini dua orang gadis itu sama sekali tidak sedih dan takut, tidak menangis lagi bahkan ada senyum berkembang di bibir mereka! Tiga orang pendeta atau anggauta Hek-coa-kauwcu tadi tidak ikut mendaki bukit. Semua orang mengira bahwa mereka bertiga bertugas di kuil dan tidak ikut naik ke puncak.
Karena letak kuil itu memang sudah dekat puncak, maka sebentar saja mereka sudah tiba di puncak. Semua orang memandang ngeri ke sebuah lubang besar seperti sumur yang dikelilingi batu-batu hitam. Itulah lubang yang oleh Hek-coa-kauwcu dinamakan pintu istana Dewa Ular Hitam! Sudah beberapa kali selama tiga bulan ini mereka menyaksikan korban dijatuhkan ke dalam lubang yang lebar itu. Bahkan kerbau pun dapat dimasukkan lubang itu!
Setelah Hek-coa-kauwcu dan dua orang gadis berdiri di tepi lubang dan dua orang gadis itu sama sekali tidak tampak takut, Hek-coa-kauwcu lalu mengadakan upacara sembahyang singkat. Dia membakar dupa sembahyang memberi hormat ke arah lubang dan berseru lantang sekali. “Oh, Dewa Ular Hitam yang mulia! Terimalah korban persembahan penduduk dusun ini dan berkahi mereka semua!”
Setelah bersembahyang, raksasa muka hitam itu lalu menggunakan kedua tangannya yang besar, menangkap dua orang gadis itu dan...... melempar kedua orang gadis itu dalam lubang! Terdengar suara menggelegar dari bawah, suara yang bergema seperti guntur.
“Kami terima persembahan!”
Semua orang menundukkan muka. Ada yang berkemak-kemik sembahyang.
Hek-coa-kauwcu lalu melangkah menuruni puncak, diikuti oleh semua penduduk yang merasa ngeri dan tidak berani berlama-lama berada di puncak itu yang menjadi “istana” Dewa Ular hitam!
Akan tetapi kalau semua orang terburu-buru mengikuti Hek-coa-kauwcu menuruni puncak, ada dua orang wanita setengah tua turun tertatih-tatih lemas sambil menangis mereka tertinggal jauh sekali oleh orang-orang lain.
Tiba-tiba mereka berhenti melangkah dan terbelalak memandang seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Pemuda ini adalah Thian Liong. Dia menyaksikan semua yang terjadi. Sejak munculnya tiga orang pendeta tadi, dia sudah merasa curiga sekali. Apalagi setelah muncul Hek-coa-kauwcu yang menggunakan asap hitam tebal untuk muncul secara ajaib, lalu melihat betapa Hek-coa-kauwcu menggunakan sihir untuk membuat dua orang gadis itu menjadi penurut, hatinya sudah menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat yang berkedok agama sesat. Akan tetapi dia tidak segera turun tangan karena ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ketika dia melihat dua orang gadis itu benar-benar dilempar ke dalam sumur, dia terkejut. Tadinya dia mengira bahwa penjahat-penjahat itu akan mengambil dua orang gadis itu untuk mereka sendiri. Tidak tahunya mereka dilempar ke dalam sumur yang dinamakan “Pintu Istana Dewa Ular Hitam”! Dia menjadi ragu-ragu dan melihat dua orang wanita setengah tua itu pergi dengan lemas sambil menangis, dia cepat menghadang mereka.
“Jangan takut, Bibi!” katanya lembut melihat dua orang wanita itu memandang kepadanya dengan wajah ketakutan. “Aku bukan penduduk sini, akan tetapi aku berniat menolong. Ceritakanlah mengapa kalian menangis?”
Melihat penampilan dan mendengar suara lembut Thian Liong, dua orang wanita itu tidak takut dan ragu-ragu lagi. “Kami sedih karena dua orang gadis yang dikorbankan itu adalah puteri kami.”
“Hemm, mengapa puteri kalian yang dikorbankan?”
“Karena anak-anak kami berdua itu termasuk cantik, dan juga karena kami sudah janda, maka kepala dusun dapat memaksa kami dua orang janda yang tidak berdaya untuk merelakan anak kami dijadikan korban.”
“Akan tetapi apa yang terjadi? Siapakah Hek-coa-kauwcu itu dan mengapa para penduduk dusun menyerahkan anak gadis kalian sebakal korban kepada Dewa Ular Hitam? Siapa pula dewa itu?”
Secara bergantian, saling bantu dan saling melengkapi, dua orang janda itu bercerita. Dimulainya pada tiga bulan yang lalu. Tiga orang pendeta berpakaian hitam dengan gambar ular hitam di dada itu memasuki dusun dan memperkenalkan agama baru yang mereka namakan Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam) kepada mereka. Para pendeta itu mengatakan bahwa mereka menggunakan kuil tua di lereng bukit sebagai kuil mereka dan mereka mengundang para penduduk untuk bersembahyang ke kuil untuk mendapatkan bantuan berupa apa saja! Penyembuhan orang sakit, memperbanyak rejeki, mempermudah datangnya jodoh, meramal nasib dan sebagainya.
Para penduduk percaya, apa lagi setelah kabarnya banyak penduduk terkabul keinginan mereka. Dan yang lebih mengesankan, mereka melihat kemunculan ketua agama, yaitu Hek-coa-kauwcu secara gaib, melihat pula betapa ketua itu sakti dan pandai, semua orang semakin percaya dan tunduk. Kemudian mulailah Hek-coa-kauwcu, melalui tiga orang anak buahnya, mengajukan permintaan yang bukan-bukan.
“Mula-mula mereka minta agar korban berupa emas dan perak dihaturkan kepada Dewa Ular yang berdiam di puncak sebagai penjaga bukit. Kemudian mereka minta korban berupa ternak kerbau, kambing atau ayam, yang katanya perintah itu datangnya dari Dewa Ular Hitam.
“Kami percaya karena semua korban itu dilempar ke dalam sumur mengerikan itu!”
“Mengapa penduduk dusun menurut saja dan tidak menolak?” tanya Thian Liong heran.
“Mula-mula kami menolak, akan tetapi setiap kali ada satu permintaan tidak dipenuhi, pasti ada seorang penduduk yang tewas secara aneh, tanpa luka sedikit pun dan para pendeta itu mengatakan bahwa itu adalah kutuk dari Dewa Ular Hitam! Setelah ada lima orang yang tewas akibat penolakan kami, semua orang tidak berani lagi menolak. Bahkan ketika ada permintaan agar dikorbankan gadis-gadis cantik,
tidak ada yang berani menolak. Sudah empat orang gadis dikorbankan, enam orang termasuk anak kami tadi.” Dua orang janda itu menangis 1agi.
Thian Liong menekan hatinya agar jangan meledak kemarahannya. Sungguh jahat para penjahat yang menggunakan kedok agama baru itu! Harta benda dan hewan ternak para penduduk dusun yang hidupnya tak dapat dibilang berlebihan itu mereka minta dengan paksaan, bahkan enam orang gadis para penduduk dusun itu mereka ambil. Juga ada beberapa orang mereka bunuh untuk membuat para penduduk menjadi takut dan mulai menaati segala perintah para penjahat itu, memenuhi segala tuntutannya.
“Pulanglah, Bibi. Aku akan membebaskan anak-anak kalian dan membawa mereka pulang ke dusun kalian.”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh Thian Liong sudah lenyap dari depan dua orang janda itu. Mereka terbelalak, saling pandang, lalu menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih kepada Thian karena mereka merasa yakin bahwa Tuhan yang mengutus seorang dewa penolong untuk menyelamatkan dua orang anak mereka dan seluruh penduduk dusun!
Kemudian, setelah menghaturkan terima kasih, kedua orang janda ini berlari secepatnya pulang ke dusun mereka dan menceritakan kepada semua orang tentang pertemuan mereka dengan seorang dewa yang berjanji akan menolong dan memulangkan dua orang anak gadis mereka. Mendengar cerita ini, kepala dusun, lalu beramai-ramai melakukan sembahyang, menghaturkan terima kasih kepada Thian dan mendoakan semoga “pemuda dewa” yang akan menolong mereka itu akan berhasil membasmi Hek-coa-kauw yang jahat itu sehingga dusun mereka akan terbebas dari ancaman dan pemerasan pendeta itu.
Sementara itu, Thian Liong berlari cepat mendaki puncak itu dan setelah tiba di puncak, dia menghampiri lubang yang disebut sebagai pintu istana Dewa Ular Hitam! Dia melihat ke bawah. Gelap dan tidak tampak sesuatu karena bayangan batu-batu menutupi lubang itu sehingga gelap. Tadi, ketika dua orang gadis itu dilempar ke dalam sumur ini, tidak terdengar bunyi benda jatuh karena saat itu terdengar suara yang menggelegar dari bawah sehingga tentu saja suara itu menutupi semua suara lain yang keluar dari sumur itu.
Thian Liong mengambil sepotong batu dan melempar ke dalam sumur sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Pendengarannya sangat peka dan terlatih. Dalam waktu pendek dia mendengar suara, bukan berdebuknya suara batu jatuh di tanah, akan tetapi suara batu itu jatuh di tempat yang lunak karena yang tertangkap pendengarannya hanya suara “wutt!” yang lemah.
Mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, dia melayang ke dalam sumur sambil mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Terbang) untuk menjaga kalau kalau ada serangan menyambutnya. Akan tetapi serangan itu tidak ada, dan kakinya menyentuh tali temali. Cuaca di dasar sumur itu ternyata tidak terlalu gelap dan remang-remang dia dapat melihat bahwa dia hinggap di dalam kantung dari jala atau jaring terbuat dari tali yang kuat! Ah, kedua orang gadis itu tadi tentu tidak terluka dan terjatuh ke dalam jaring ini, pikirnya. Hemm, tidak salah dugaannya. Pelemparan korban ke dalam sumur itu hanya tipuan saja untuk mengelabuhi para penduduk dusun agar mereka percaya bahwa yang minta disediakan korban-korban itu benar-benar Dewa Ular Hitam penunggu bukit!
Akan tetapi Thian Liong mendengar langkah kaki mendatangi tempat itu. Ah, jaring ini pasti dihubungkan dengan suatu alat yang menggerakkan sesuatu yang menimbulkan suara atau tanda bahwa ada yang terjatuh ke dalam jaring. Dia mendengarkan dan tahu bahwa yang datang ada tiga orang. Dari langkah mereka itu dia dapat mengukur ilmu meringankan tubuh mereka. Memang lebih dari orang biasa, namun tidak berapa mengkhawatirkan bagi dia. Cepat dia menyarungkan pedangnya lalu menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, diselipkan di balik baju di ikat pinggangnya. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan penjahat-penjahat itu.
Bersama dengan datangnya tiga orang itu, tampak sinar menerangi tempat itu. Ternyata seorang di antara mereka bertiga membawa sebatang obor yang bernyala terang. Thian Liong segera mengenal tiga wajah pendeta-pendeta yang tadi menyambut orang-orang dusun yang mengantar dua orang gadis ke kuil. Tiga orang tinggi besar yang memakai pakaian serba hitam dengan gambar ular hitam pada latar belakang lingkaran putih di dada.
Melihat bahwa yang terjatuh ke dalam jaring adalah seorang pemuda yang tidak mereka kenal, tiga orang itu mengerutkan alis dan dengan wajah beringas mereka mendekati Thian Liong yang seperti seekor ikan besar dalam jaring itu.
“Hei, siapa engkau?” seorang dari mereka membentak.
“Aku......?” Thian Liong bersikap ketakutan. “Saya...... saya dimasukkan pintu istana Dewa Ular Hitam oleh penduduk dusun, dijadikan korban untuk menyenangkan hati Dewa yang mulia. Barang kali Dewa Ular Hitam membutuhkan seorang laki-laki sebagai pelayan.”
“Hemm, boleh juga. Kita memang membutuhkan pelayan untuk disuruh-suruh,” kata seorang dari mereka yang hidungnya besar seperti disengat tawon sehingga membengkak, kepada dua orang kawannya.
“Aaahh! Lebih baik kita bunuh saja orang lancang ini! Dia dapat membocorkan rahasia kita!” kata orang kedua yang kepalanya botak sehingga licin mengkilap ketika ditimpa sinar obor.
“Eh, kalian jangan tergesa-gesa mengambil keputusan seenaknya sendiri. Yang berhak mengambil keputusan adalah Gu-twako...... eh, Kauwcu. Mari kita bawa tawanan ini kepada Kauwcu, terserah kepadanya mau diapakan bocah ini. Mau di jadikan pelayan, atau dibunuh, kita tinggal melaksanakan. Kalau kita mendahului mengambil keputusan di luar tahunya, dia akan marah dan celakalah kita.”
Dua orang yang lain membenarkan ucapan orang ketiga yang memakai jenggot pendek kaku seperti kawat dan matanya lebar. Mereka lalu melepaskan ikatan jaring sehingga Thian Liong terlepas dari jaring yang tergantung sekitar lima kaki (1,5 meter) dari tanah itu. Thian Liong membiarkan dirinya lemas sehingga dia jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat betapa pemuda itu seorang lemah, maka tiga orang pendeta atau anak buah Hek-coa-kauw itu tidak merasa perlu untuk meringkus atau membelenggunya.
“Hayo jalan kau!” bentak Si Hidung Bengkak yang memegang obor sambil mendorong Thian Liong dengan tangan kiri. Tenaga dorongan itu cukup kuat dan tentu saja bagi Thian Liong tidak ada artinya. Akan tetapi dia pura-pura huyung, lalu dia melangkah maju memasuki terowongan yang jalannya menurun.
Diam-diam Thian Liong memperhitungkan. Terowongan itu cukup jauh, merupakan terowongan yang tingginya sekitar dua meter, lebarnya satu setengah meter. Hemm, kalau tidak salah perkiraannya, terowongan itu terus menurun menuju ke arah kuil! Setelah cukup jauh mereka berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas dan Si Hidung Bengkak memadamkan obornya karena ruangan itu terang, selain mendapat cahaya matahari yang datang dari bagian atas yang berlubang-lubang dan berbatu, juga di situ terdapat penerangan lampu-lampu gantung yang cukup banyak.
Memasuki ruangan yang luas itu, segera Thian Liong mendengar isak tertahan dari sebelah kiri. Dia menoleh dan melihat sebuah kamar yang pintunya berterali (memakai kisi-kisi) sehingga dia dapat melihat keadaan dalam kamar itu. Tampak ada empat orang gadis muda duduk di atas sebuah pembaringan dan keempatnya menangis tanpa suara, hanya terisak-isak. Wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan mereka kelihatan ketakutan dan berduka. Thian Liong teringat akan cerita dua orang janda bahwa selain dua orang gadis anak mereka, lebih dulu sudah ada empat orang gadis yang dijadikan korban dilempar ke dalam pintu istana Dewa Ular Hitam itu. Tentu inilah empat orang gadis yang dijadikan korban itu.
“Hayo jalan terus, jangan berhenti dan memandang ke mana-mana!” bentak Pendeta yang kepalanya botak sambil mendorong punggung Thian Liong sehingga pemuda itu terhuyung ke depan.
Setelah melewati ruangan itu, mereka tiba di sebuah ruangan lain dan dalam ruangan itu terdapat sebuah meja besar, empat buah kursi dan sebuah pembaringan besar. Di sudut terdapat dua buah bangku dan panaslah hati Thian Liong melihat betapa di setiap bangku rebah telentang seorang gadis yang kaki dan tangannya terikat pada bangku. Itulah dua orang gadis remaja yang tadi dilempar ke dalam sumur! Dua orang gadis itu juga menangis tanpa suara, tampak ketakutan dan tidak berdaya.
Thian Liong merasa lega karena dia dapat melihat bahwa dua orang gadis remaja yang baru saja ditawan itu belum terganggu. Kedatangannya tidak terlambat! Dia melihat seorang laki-laki raksasa yang tadi mengaku sebagai Hek-coa-kauwcu, duduk menghadapi meja yang besar di mana terhidang beberapa mangkok masakan dan seguci arak dengan cawannya. Dan di sudut ruangan itu Thian Liong melihat sebuah peti besar. Pasti itu tempat penyimpanan harta benda yang mereka dapatkan dari para penduduk, pikir Thian Liong.
“Hemm, bagaimana kalian dapat menangkap anjing ini?” Hek-coa-kauwcu itu bertanya sambil memandang rendah kepada Thian Liong.
“Dia terjatuh ke dalam jaring, Kauw-cu. Katanya dia memang dijadikan korban agar menjadi pelayan di sini,” kata Si Kepala Botak.
“Bohong! Tidak mungkin penduduk dusun memberikan sesuatu yang tidak kita minta. Paksa dia untuk mengaku!” kata raksasa bermuka hitam itu.
“Berlutut kau!” bentak Si Hidung Besar sambil mendorong Thian Liong agar berlutut menghadap raksasa muka hitam itu. Akan tetapi sekarang setelah Thian Liong tahu bahwa gerombolan penjahat itu hanya terdiri dari empat orang itu, dia segera bertindak. Ketika Si Hidung Besar mendorongnya, tubuhnya sama sekali tidak terguncang dan dia cepat membalik, menangkap lengan orang yang mendorongnya dan sekali tarik dengan pengerahan tenaga, Si Hidung Besar itu yang roboh berlutut!
Melihat ini, dua orang kawannya, yaitu Si Botak dan Si Mata Lebar berjenggot menjadi marah. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka berdua menerjang Thian Liong sambil mencabut pedang yang tergantung di pungung mereka. Thian Liong cepat mengelak. Si Hidung Besar sudah bangkit pula dan dengan pedang di tangan dia pun mengeroyok Thian Liong.
Pemuda ini tidak mau memberi hati lagi. Tubuhnya bergerak cepat sekali sehingga yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan terdengar teriakan tiga orang pengeroyok itu dan satu demi satu mereka roboh dengan tubuh terluka berdarah oleh pedang mereka sendiri. Ternyata Thian Liong dapat menangkap pergelangan tangan para pengeroyok yang memegang pedang dan membalikkan tangan itu sehingga pedangnya melukai si pemegang sendiri. Ada yang pundaknya terbacok, ada yang lengan kirinya terbacok, dan ada yang pedangnya meluncur ke bawah melukai paha sendiri. Tiga orang itu terpelanting dan mengaduh-aduh dengan bagian tubuh yang terluka itu bercucuran darah.
Hek-coa-kauwcu menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan membuka lingkaran ular hitam yang melilit pinggangnya. Entah apa yang dilakukannya terhadap ular hitam itu karena tiba-tiba ular hitam itu mengangkat kepala tinggi-tinggi dan mengeluarkan suara mendesis-desis marah dan dari moncongnya menyambar uap kehitaman yang mengeluarkan bau amis!
Thian Liong maklum bahwa ular itu berbisa dan berbahaya sekali, maka sekaIi kakinya mencuat, meja yang berada di depan raksasa muka hitam itu ditendangnya sehingga meja itu melayang ke arah Hek-coa-kauwcu, didahului oleh mangkok-mangkok sayur, guci dan cawan arak! Akan tetapi ternyata raksasa muka hitam itu, biarpun memiliki tubuh tinggi besar dengan perut gendut, dapat bergerak dengan gesit sekali. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri sehingga serangan meja itu tidak mengenai dirinya.
“Anjing kecil, mampus kau!” bentaknya dan sinar hitam menyambar leher Thian Liong. Itu adalah ular yang dipegang ekornya oleh Hek-coa-kauwcu dan diayun menyerang Thian Liong. Moncong ular itu terbuka siap menggigit leher pemuda itu. Akan tetapi dengan mudah saja Thian Liong menghindar dengan langkah kakinya, kemudian dari samping dia membalas dengan serangan kakinya yang mencuat dalam sebuah tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat ke arah perut gendut lawan. Hek-coa-kauwcu menggerakkan tangan kirinya yang besar dan panjang, mengerahkan tenaga menangkis ke arah kaki yang menyambar dengan maksud untuk memukul patah kaki lawan.
“Syuuuttt...... dukkk!!” Hebat sekali benturan antara kaki dan lengan yang besarnya berimbang dengan kaki Thian Liong. Seluruh ruangan itu seperti tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat itu dan akibatnya, tubuh Hek-coa-kauwcu terhuyung ke belakang dan lengannya yang menangkis terasa panas dan nyeri! Hek-coa-kauwcu menjadi semakin marah, juga dia menyadari bahwa pemuda itu bukanlah seorang korban seperti pengakuannya, melainkan seorang pendekar yang jelas hendak menentangnya.
Melihat bahaya mengancam dan tiga orang murid yang membantunya dalam aksi kejahatan yang berkedok agama baru Hek-coa-kauwcu itu kini telah terkapar dan terluka sehingga tidak dapat membantunya lagi, dia menjadi nekat. Akan tetapi, dia pun mencari jalan untuk dapat mempergunakan ilmu sihirnya, maka setelah adu tenaga tadi, dia berseru.
“Tahan dulu! Orang muda, jelas bahwa engkau bukan seorang penduduk dusun dan engkau sengaja datang hendak mengganggu kami! Katakan, siapa engkau?”
“Namaku Souw Thian Liong. Jangan katakan bahwa aku datang hendak mengganggu karena kalau bicara tentang gangguan, engkau dan tiga pembantumulah yang mengganggu penduduk dusun selama tiga bulan ini! Engkau dapat membodohi penduduk dusun tentang Dewa Ular Hitam itu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau telah membohongi rakyat. Aku datang untuk menghentikan kejahatanmu yang keji itu! Engkau bukan saja memeras rakyat untuk menyerahkan harta benda dan ternak mereka, akan tetapi juga mengganggu gadis-gadis mereka!”
Diam-diam Hek-coa-kauwcu membaca mantera, mengerahkan kekuatan sihir dalam pandang matanya, lalu membentak. “Souw Thian Liong! Aku tidak berbohong. Lihat baik-baik, aku adalah penjelmaan Dewa Ular Hitam!”
Raksasa itu membuat gerakan dengan kedua tangannya ke arah Thian Liong, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis-desis dan mengalungkan ular hitamnya di leher. Kedua matanya mencorong dan mengandung getaran tenaga sihir yang amat kuat! Thian Liong kagum juga karena getaran tenaga sihir itu sedemikian kuatnya sehingga mendadak dia melihat betapa kepala laki-laki tinggi besar itu berubah menjadi kepala ular raksasa yang amat mengerikan!
Akan tetapi Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin yang sakti dan yang tahu akan segala macam ilmu sihir yang berasal dari negara barat (India) dan tahu pula bagaimana untuk mengatasinya. Maka, melihat perubahan kepala itu, Thian Liong tersenyum tenang dan begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kepala raksasa itu pulih kembali seperti biasa.
Hek-coa-kauwcu tidak menyadari bahwa Thian Liong tidak terpengaruh oleh sihirnya dan mengira bahwa pemuda itu telah dapat dia pengaruhi, dia lalu berseru nyaring dengan suara memerintah.
“Souw Thian Liong, berlututlah engkau dan beri hormat kepada Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam)!”
Thian Liong dapat merasakan getaran kuat menyerangnya dan hendak memaksanya menjatuhkan dirinya berlutut. Akan tetapi dengan pengerahan tenaga dalamnya dia dapat menangkis serangan ini, bahkan dia tersenyum dan berkata suaranya lembut namun mengandung wibawa yang kuat.
“Hek-coa-kwi (Setan Ular Hitam)! kalau engkau ingin berlutut, berlututlah sendiri, tidak perlu mengajak aku!”
Tiba-tiba kedua kaki raksasa itu bertekuk lutut! Dia menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa akan begini jadinya! Baru dia menyadari bahwa pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh sihirnya, akan tetapi bahkan dapat menyerang balik sehingga dia sendiri yang berlutut. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya dengan cepat dan dia sudah melompat berdiri lalu melepaskan ular hitam itu dari lehernya, kemudian menyerang Thian Liong dengan ularnya yang dia pergunakan sebagai cambuk. Kepala ular itu menyambar dengan moncong terbuka. Akan tetapi dengan mudah Thian Liong dapat menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Ular itu menyambar-nyambar, mengeluarkan suara mendesis-desis dan bercuitan saking cepat dan kuatnya ular itu digerakkan tangan raksasa muka hitam itu. Thian Liong bergerak dengan tenang, mengelak ke sana-sini, berloncatan dan ketika dia mendapat kesempatan, kaki kirinya menendang.
“Bukk!” Perut gendut itu terkena tendangan. Raksasa yang nama aselinya Gu Pang itu melindungi perutnya dengan kekebalan sehingga tidak terluka dalam, namun tetap saja tubuh yang tinggi besar dan amat berat itu terlempar oleh tendangan itu sampai menabrak dinding!
Gu Pang mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah. Mukanya yang hitam menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke kepalanya. Dia tidak menderita rasa nyeri, hanya kemarahan yang semakin berkobar. Dia bangkit berdiri dan kini dia memutar-mutar ular hitam itu di atas kepalanya. Thian Liong mengira bahwa Iawannya itu akan menyerangnya lagi dengan Ular hitam itu sebagai senjata. Akan tetapi ternyata tidak Gu Pang memutar-mutar ularnya, lalu tiba-tiba dia melepas ekor ular yang dipegangnya sehingga ular itu meluncur seperti sebatang tombak yang dilontarkan ke arah Thian Liong!
“Hemmm......!” Thian Liong dengan tenang menggeser kaki ke kanan, lalu ketika ular itu meluncur lewat, dia menggerakkan tangan kanan yang miring, memukul ke arah kepala ular itu.
“Prakk!” Ular itu terlempar menabrak dinding dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.
Melihat ini, raksasa itu semakin kaget dan mulai gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dan tiga orang pembantunya masih tidak berdaya, duduk dan merintih, dia menjadi nekat. Dicabutnya pedang dari punggungnya dan dengan lompatan buas dia menerjang ke arah Thian Liong, pedangnya diputar, menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar!
Melihat gerakan pedang orang itu cukup cepat dan kuat sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing, Thian Liong juga mengambil pedang Thian-liong-kiam dari balik bajunya.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang seru. Sebetulnya, bagi Thian Liong, tingkat kepandaian lawannya itu tidaklah berapa kuat dan kalau dia menghendaki, dalam sepuluh jurus saja dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, Thian Liong tidak ingin membunuh lawan. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin, mengajarnya agar dia tidak membunuh lawannya, betapa jahat pun lawan itu. Sedapat mungkin dia harus berusaha untuk menyadarkan orang yang tersesat ke dalam jalan kebenaran. Kalau perlu mengalahkannya dengan kekerasan dan memberi hajaran agar bertaubat, akan tetapi dia dianjurkan oleh gurunya agar tidak membunuh orang. Maka, kini pun Thian Liong tidak mau membunuh Iawannya dan hanya ingin membuatnya tidak berdaya tanpa melukainya dengan parah. Karena laki-laki raksasa ini memang bukan lawan sembarangan, memiliki tenaga yang amat besar, maka tidaklah amat mudah bagi Thian Liong untuk merobohkannya tanpa melukainya dengan berat. Setelah lewat tigapuluh jurus, barulah Thian Liong berhasil mendapat kesempatan.
“Hyaaaatttt……!” Dia berseru dan ketika pedang lawan menyambar, dia menangkis dan dengan penggunaan tenaga sakti, dia membuat pedang lawan menempel pada pedangnya dan pada saat Hek-coa-kauwcu Gu Pang itu bersitegang mencoba untuk menarik lepas pedangnya, Thian Liong sudah memukul dengan tangan kirinya, mengenai pundak lawan.
“Krek!” Tubuh Gu Pang terjengkang. Pedangnya terlepas dari tangan kanan yang menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main karena tulang pundak kanannya telah patah-patah oleh pukulan tangan kiri Thian Liong! Raksasa itu hanya dapat bangkit duduk sambil meringis dan merintih, memegang pundak kanan dengan tangan kirinya. Rasa nyeri yang menusuk membuat dia tidak mampu berdiri lagi.
Thian Liong tidak memperdulikan empat orang penjahat itu. Dia cepat membebaskan dua orang gadis remaja, juga membobol daun pintu kamar di mana empat orang gadis lain dikurung. Enam orang gadis remaja itu berkumpul dan mereka menjatuhkan diri berlutut kepada Thian Liong, menghaturkan terima kasih dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketakutan.
Tiba-tiba Thian Liong mendengar suara banyak orang di atas ruangan itu. Thian Liong memandang kepada enam orang gadis itu dan bertanya, “Di mana pintu jalan keluar tempat ini?”
Seorang di antara empat gadis yang sudah dua bulan dikurung di situ, menuding ke atas dan berkata, “In-kong (Tuan Penolong), mereka biasanya turun dari atas langit-langit itu dapat dibuka dan ditutup.”
Thian Liong melompat ke atas dan menggunakan tangan memukul langit-langit ruangan itu yang tampak jelas terbuat dari papan kayu.
“Braakkkk......!” langit-langit itu jebol dan ternyata bahwa langit-langit itu, menembus sebuah bangunan dapur yang menjadi bagian bangunan sebelah belakang dari kuil tua! Kiranya inilah jalan rahasia para penjahat sehingga mereka dapat keluar masuk ruangan bawah tanah itu melalui lantai dapur yang dapat dibuka dan ditutup dengan menggunakan alat rahasia yang kini menjadi rusak karena langit-langit dari papan tebal itu dijebol dengan paksa oleh pukulan Thian Liong tadi!
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tampak banyak kepala menjenguk ke bawah. Itu adalah kepala para penduduk dusun yang ternyata telah berkumpul di kuil itu, seratus orang lebih banyaknya. Tadi mereka, dipimpin oleh kepala dusun yang mendengar laporan dua orang janda ibu dua orang gadis remaja yang dijadikan korban bahwa ada seorang manusia sakti seperti dewa hendak menolong, menjadi berani dan nekat. Berbondong-bondong mereka mendekati kuil itu dan melihat kuil itu kosong, mereka mengobrak-abrik kuil dan mencari-cari. Akan tetapi tiga orang pendeta itu tidak dapat mereka temukan.
Selagi mereka mencari-cari di bagian belakang, mereka mendengar suara pecahnya lantai dapur. Segera mereka menyerbu masuk dan menjenguk ke bawah lantai yang sudah jebol itu. Mereka melihat Thian Liong berdiri di situ bersama enam orang gadis, dan melihat pula tiga orang pendeta dan Hek-coa-kauwcu yang tinggi besar sudah duduk sambil merintih dan terluka. Orang-orang itu bersorak dan berbondong mereka turun menggunakan tali berebutan memasuki ruangan bawah tanah.
Melihat semua orang memasuki ruangan itu dan dengan beringas mereka itu menyerang empat orang penjahat dengan berbagai senjata yang mereka bawa, Thian Liong berusaha mencegah. Namun suaranya hilang ditelan suara begitu banyak orang. Dia melihat betapa empat orang penjahat itu minta-minta ampun, akan tetapi suara mereka segera berubah menjadi teriakan kesakitan yang makin lama semakin melemah. Suara mereka tertutup oleh suara orang-orang yang dengan geram memaki-maki dan senjata mereka berdebukan menghantami tubuh empat orang penjahat yang sudah tidak mampu melawan itu.
Thian Liong menghela napas. Dia tidak berdaya menolong nyawa empat orang itu karena para penduduk dusun memenuhi ruangan itu dan mereka seperti kesetanan menghujani tubuh empat orang penjahat itu dengan hantaman bermacam senjata yang mereka bawa dari rumah tadi. Ada yang menggunakan golok, pisau, linggis, sekop, tongkat, bahkan ada yang menggunakan cangkul untuk menghajar tubuh empat orang penjahat itu.
Karena tidak ada hal yang dapat dia kerjakan lagi dan dia tidak ingin repot karena penduduk dusun itu pasti akan menyanjung dan menghormatinya, Thian Liong menggunakan kesempatan selagi mereka berpesta pora itu, dia melompat naik melalui langit-langit yang sudah jebol lalu meninggalkan bukit itu dengan cepat, melanjutkan perjalanannya.
Ketika dia melewati dusun yang dikacau oleh empat orang penjahat yang menyamar sebagai pendeta Hek-coa-kauwcu itu, dia sedang dalam perjalanan menuju ke dusun Kian-cung di dekat Telaga Barat (See-ouw) karena dia ingin mengunjungi suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang sudah dikenalnya dengan baik. Dia harus menemui mereka, orang tua Han Bi Lan itu, untuk menjelaskan mengapa dia sampai menghajar Bi Lan dengan menampar pinggulnya selama sepuluh kali. Dia harus menceritakan hal itu kepada mereka untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman karena kalau Bi Lan lebih dulu bercerita kepada mereka, tentu dia akan dianggap kurang ajar, tidak sopan dan menghina seorang gadis!
Dengan melakukan perjalanan cepat, kurang lebih dua pekan kemudian tibalah dia di See-ouw (Telaga Barat) dan langsung saja dia memasuki dusun Kian-cung dan menuju ke rumah Han Si Tiong yang pernah dia kunjungi bersama Puteri Moguhai. Rumah itu tampak sunyi dan ketika Thian Liong menghampiri pintu depan, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang membungkuk dengan hormat, Thian Liong dapat menduga bahwa orang itu tentu seorang pelayan keluarga Han itu.
“Paman, saya ingin bertemu dengan Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Tolong laporkan bahwa saya, Souw Thian Liong, ingin bertemu.”
“Maaf, Kongcu (Tuah Muda), rumah ini kosong, hanya ada saya yang bertugas menjaga rumah ini.”
“Bukankah ini rumah keluarga Han?”
“Benar, Kongcu.”
“Lalu ke mana perginya Paman Han Si Tiong?”
“Pendekar Han Si Tiong telah...... telah meninggal dunia.”
Thian Liong terkejut dan memandang penjaga rumah itu dengan mata terbelalak. “Meninggal dunia? Apa...... apa maksudmu, Paman?”
Laki-laki itu dengan tajam mengamati wajah Thian Liong, lalu bertanya, “Souw-kongcu (Tuan Muda Souw), apakah engkau masih ada hubungan dengan mendiang Han-enghiong (Pendekar Han)?”
“Saya bukan keluarga, akan tetapi sahabat keluarga Han, Paman, sahabat baik.”
“Kalau begitu, masuk dan duduklah, Kongcu. Kita bicara di dalam saja,” ajak penjaga rumah itu.
Setelah mereka duduk di ruangan depan, menghadapi sebuah meja kecil, penjaga rumah itu berkata. “Perkenalkan, Kongcu. Saya biasa disebut A-siong, penduduk dusun ini semua mengenal saya. Ketika Toanio (Nyonya) meninggalkan rumah ini sebulan lebih yang lalu, ia menugaskan saya untuk menjaga rumah ini.”
Thian Liong bertanya, tidak sabar lagi. “Paman A-siong, cepat ceritakan apa yang telah terjadi? Bilakah Paman Han Si Tiong meninggal dan apakah penyakitnya sehingga dia meninggal dunia?”
“Sebulan yang lalu, menurut kabar beberapa orang tetangga dekat yang menyaksikan peristiwa itu sambil bersembunyi dan mengintai dari rumah mereka, Han-enghiong dan Toanio kedatangan dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis datang berkunjung. Lalu Han-enghiong dan isterinya berkelahi melawan pemuda dan gadis itu. Para tetangga ketakutan dan bersembunyi sambil mengintai.”
“Mengapa mereka berkelahi, Paman?”
“Saya tidak tahu, Kongcu. Tidak ada orang yang tahu karena tidak ada yang berani bertanya kepada Toanio. Keluarga Han amat disegani dan dihormati di sini. Dalam perkelahian itu, Han-enghiong roboh terluka parah dan Toanio juga terluka. Setelah Han-enghiong dan Toanio roboh, pemuda dan gadis itu melarikan diri. Toanio yang terluka pundaknya berusaha mengangkat tubuh Han-enghiong yang berlumuran darah, dibantu oleh Bibi Ji, pelayan mereka yang kini sudah pulang ke kampung semenjak Toanio pergi. Pada saat itu, datang seorang gadis yang ternyata adalah puteri Han-enghiong.”
“Han Bi Lan?”
“Jadi Kongcu mengenalnya? Benar, Nona itu bernama Han Bi Lan. Kemudian Han-enghiong meninggal dunia karena lukanya yang parah, akan tetapi isterinya selamat. Beberapa hari kemudian, Nona Han Bi Lan dan Ibunya memanggil saya dan memberi tugas kepada saya untuk menjaga rumah mereka ini dan mereka berdua lalu pergi.”
“Pergi ke mana, Paman A-siong?”
“Kalau saya tidak salah ingat, Han-toanio (Nyonya Han) berkata bahwa ia hendak pergi ke kota raja.”
Thian Liong teringat akan peristiwa ketika dia bersama Puteri Moguhai, Han Si Tiong, dan Liang Hong Yi, berada di rumah Panglima Kwee Gi di kota raja. Ketika itu, Panglima Kwee dan isterinya mengajukan usul kepada Han Si Tiong dan isterinya untuk menjodohkan Han Bi Lan dengan putera mereka, Kwee Cun Ki, dan ayah-bunda Bi Lan setuju. Akan tetapi ketika itu dia sama sekali belum tahu bahwa Han Bi Lan adalah gadis yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Kalau dia mengetahui bahwa gadis pencuri kitab itu puteri mereka, pasti dia tidak akan menghukum Bi Lan dengan menampari pinggulnya sampai sepuluh kali.
Dan sekarang setelah Bi Lan kembali kepada orang tuanya, ia mendapatkan ayah ibunya terluka dan ayahnya lalu tewas! Sungguh kasihan gadis itu dan semakin menyesal rasa hatinya bahwa dia telah menampari pinggul gadis itu!
Kini, Bi Lan diajak ibunya pergi ke kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee Gi. Dia sendiri tidak tahu apa sebabnya ketika berpikir sampai di sini, hatinya terasa hampa. Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki! Hal itu baik sekali karena dia melihat bahwa Kwee Cun Ki adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, putera seorang panglima yang bijaksana, setia kepada Kaisar, dan terhormat pula. Ditambah lagi keadaan keluarga Kwee itu kaya raya. Bi Lan pasti akan hidup bahagia sebagai isteri Kwee Cun Ki, sebagai mantu Panglima Kwee Gi. Mengapa ada perasaan hampa dan perih dalam hatinya?
“Souw-kongcu, engkau tidak apa-apa?” tanya penjaga rumah itu ketika melihat Thian Liong sejak tadi diam saja seperti orang melamun dengan alis berkerut.
Thian Liong sadar dari lamunannya. “Aku terkejut dan sedih mendengar akan kematian Paman Han Si Tiong karena dia itu sahabatku yang baik sekali. Paman A-siong, di manakah makamnya? Saya ingin mengunjungi makamnya.”
“Oh, memang Han-enghiong seorang yang amat baik hati dan sudah sepatutnya kalau dikenang dan dikasihi sahabat-sahabatnya. Sayang ada juga yang memusuhinya sampai membunuhnya. Mari kuantar mengunjungi makamnya, Souw-kongcu.”
Mereka keluar dan A-siong mengunci pintu depan, lalu berangkatlah mereka ke tanah kuburan yang tidak jauh letaknya dari dusun Kian Cung. Makam itu masih baru, karena belum ada dua bulan jenazah Han Si Tiong dikubur di situ. Tadi dengan petunjuk A-siong, Thian Liong telah membeli perlengkapan sembahyang dan di depan makam itu dia melakukan sembahyang dengan khidmat.
Sembahyangan itu dia lakukan bukan sekedar untuk memberi hormat kepada almarhum sahabat baiknya yang sudah sama-sama dengan dia menghadapi ancaman maut ketika melawan Perdana Menteri Chin Kui dan mereka ditahan dalam penjara istana. Akan tetapi diam-diam Thian Liong mendoakan untuk arwah Han Si Tiong semoga arwah pendekar itu akan mendapatkan tempat yang baik di alam baka. Selain itu juga diam-diam dia menceritakan tentang perlakuannya terhadap Bi Lan dan menceritakan mengapa dia sampai memukuli pinggul gadis itu! Setelah melakukan sembahyang, baru dia merasa lega dalam hatinya.
Setelah selesai sembahyang dan mengucapkan terima kasih kepada A-siong, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Kian-cung.
Ketika tiba di tepi Telaga Barat, pemandangan dari tempat agak tinggi di mana dia berada, Thian Liong melihat pemandangan alam yang amat indah. Matahari amat cerahnya, sinarnya menimpa permukaan telaga sehingga berkilauan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi telaga tampak terbalik di permukaan air, namun lebih hidup daripada aselinya karena kalau pohon-pohon di darat itu diam tak bergerak karena tidak ada angin, pohon-pohon terbalik di permukaan air telaga itu bergoyang-goyang seperti menari-nari.
Dari tempat itu Thian Liong melihat betapa di sebelah kiri sana terdapat sebuah dusun di tepi telaga dan di dusun itulah tempat para tamu yang berdatangan dari luar daerah dan dari kota-kota besar berkumpul untuk pesiar di telaga yang terkenal itu. Banyak terdapat perahu-perahu di situ dan para pelancong dapat menyewa perahu. Perahu-perahu besar kecil yang di sewa pelancong berluncuran di atas telaga.
Thian Liong teringat akan perjalanannya dahulu di tempat ini. Dulu pernah dia dan Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai berdiri pula di tempat dia berdiri sekarang dan menikmati keindahan pemandangan di situ. Teringat akan ini membuat dia merasa rindu kepada Puteri Moguhai. Puteri itu merupakan seorang sahabat yang amat baik baginya, seorang sahabat yang akrab dan kelincahan puteri itu membuat perjalanan bersamanya menjadi gembira. Biarpun Puteri Moguhai seorang wanita yang lincah jenaka dan pemberani, gagah perkasa dan cantik jelita, seorang puteri bangsawan agung karena ia Puteri Raja Kin, namun gadis itu memiliki watak yang baik sekali. Ia lebih pantas menyandang gelar Pek Hong Niocu sebagai seorang pendekar perkasa daripada sebagai seorang puteri raja. Terkenang akan Pek Hong Niocu menyentuh perasaannya dan menimbulkan kerinduannya untuk dapat bertemu dan bercakap-cakap lagi dengan gadis itu. Seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan bijaksana, dan biarpun
wataknya bebas sehingga akan dianggap agak liar oleh wanita pada umumnya, namun sesungguhnya gadis itu menjaga kesusilaan; sopan dan tidak genit.
Kenangan manis dengan puteri Kerajaan Kin itu membuat 'Thian Liong ingin mengulang kembali apa yang pernah dialaminya bersama Pek Hong Niocu di Telaga See-ouw ini. Maka dia pun menuruni tempat tinggi itu menuju ke dusun di tepi telaga yang menjadi pusat perkumpulan para pelancong, di mana dulu dia bersama Pek Hong Niocu juga datang dan berpelesir menyewa perahu. Masih ingat dia dengan kagum betapa Pek Hong Niocu pandai mendayung perahu. Puteri Raja itu agaknya serba bisa. Tidak ada hal yang tidak dapat ia lakukan dengari baik!
“Niocu......,” dia mengeluh dan makin merasa betapa dia kesepian dan merasa ditinggalkan. Dia lalu mempercepat langkahnya menuju ke dusun di tepi danau itu.
Dusun Kui-sek itu memanjang di tepi telaga. Biarpun penduduknya hanya sekitar seratus rumah, namun melihat keadaan rumahnya yang lumayan dan pakaiannya yang cukup bersih dan utuh, dapat diduga bahwa kehidupan mereka tidaklah semiskin para penduduk dusun lain. Memang para penduduk dusun yang berada di tepi Telaga Barat memiliki mata pencarian yang cukup. Sawah ladang di telaga itu subur sehingga mereka dapat memperoleh hasil lumayan dari bercocok tariam. Juga telaga itu mengandung banyak ikan dan saking luasnya telaga itu, ikan-ikan agaknya tidak akan pernah habis walaupun setiap hari ditangkapi mereka yang bekerja sebagai nelayan.
Selain itu, ada penghasilan tambahan, yaitu menyambut para pelancong dari daerah lain dengan menjajakan makanan, menyewakan perahu dan terkadang juga menyewakan kamar di rumah mereka apabila ada pelancong hendak menginap. Para pelancong dari kota besar itu bagi para penduduk dusun Kui-sek merupakan orang-orang yang royal dan membuang uang seperti pasir saja. Harga buah atau apa saja yang mereka naikkan dua kali lipat, dibeli orang-orang kota itu, malah dianggap murah! Tentu saja hal ini membuka kesempatan bagi penduduk dusun Kui-sek untuk memperoleh penghasilan yang lumayan sehingga mereka mampu memperbaiki rumah dan membeli perahu baru.
Ketika Thian Liong tiba di tepi danau, dia melihat bahwa di ujung barat dusun Kui-sek terdapat perahu-perahu para nelayan dan di sana terdapat kesibukan para nelayan. Ada yang memperbaiki jala, ada yang membetulkan perahu yang bocor, ada pula yang mengangkut ikan-ikan dalam keranjang ke darat. Bau ikan tercium sampai ke bagian lain dusun itu. Di ujung timur merupakan tempat di mana para pelancong berkumpul, menyewa perahu, mandi di telaga, atau makan minum di rumah-rumah makan kecil sehingga lebih pantas disebut warung-warung yang menjajakan makanan kecil sampai nasi, minuman air teh hangat sampai arak.
Bau masakan dan arak yang keluar dari warung-warung itu mendatangkan rasa lapar dalam perut Thian Liong dan dia memasuki sebuah di antara warung-warung itu dan memesan nasi dan sayur. Lezat rasanya makan di warung itu. Padahal yang dimakannya hanyalah hidangan yang bersahaja, nasi yang tidak begitu putih, lauknya juga hanya ikan danau dengan sayur sederhana, minumnya teh pahit. Akan tetapi karena hawa udara di situ sejuk, juga suasananya begitu nyaman dengan adanya air danau dan banyak pohon-pohon, alam di situ masih aseli, ditambah lagi perut lapar maka Thian Liong benar-benar menikmati makanan yang sederhana itu.
Setelah kenyang dan keluar dari warung, empat orang tukang perahu merubungnya dan menawarkan perahu mereka untuk disewa. Melihat bahwa Thian Liong hanya seorang pemuda yang berpakaian sederhana walaupun bersih, sama sekali tidak menggambarkan seorang pelancong kaya, maka para
tukang perahu itu menawarkan perahu mereka untuk disewa dengan harga murah. Hari itu memang tidak begitu banyak pelancong sehingga banyak perahu tidak mendapatkan penyewa, maka mereka berebut untuk menawarkan perahunya kepada Thian Liong.
Di antara empat orang tukang perahu itu terdapat seorang laki-laki tua, berusia sekitar enampuluh tahun. Tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, pakaiannya juga amat bersahaja, bahkan ada dua tambalan di bagian pundak dan paha. Dia tidak terlalu cerewet dalam menawarkan perahunya, tidak seperti tiga orang yang lain dan masih muda. Entah mengapa, mungkin melihat usianya, atau pakaiannya, atau tubuhnya yang kurus, atau mungkin sekali matanya yang mengeluarkan sinar aneh, Thian Liong memilih perahu laki-laki tua itu untuk disewanya.
“Huh, perahu tua Kakek Tolol malah dipilihnya!” seorang di antara mereka berkata sambil melangkah pergi.
“Kalau bocor dan tenggelam di tengah danau, baru tahu rasa!” kata yang lain. Mereka semua pergi meninggalkan Thian Liong sambil mengejek dan mengomel, jelas iri dan kecewa.
Thian Liong diam saja, hanya tersenyum dan memandang Kakek itu penuh perhatian. Usianya sekitar enampuluh tahun lebih. Pakaiannya berpotongan model para nelayan, kepalanya tertutup sebuah caping lebar sehingga mukanya diselimuti bayangan gelap. Namun Thian Liong clapat melihat wajah yang kurus itu, kulit mukanya pucat namun bentuk muka itu masih menunjukkan bekas ketampanan. Terutama sepasang mata kakek itu yang demikian terang mencorong, sama sekali tidak membayangkan bahwa dia seorang yang bodoh, apalagi tolol, seperti tadi dikatakan seorang tukang, perahu yang menyebutnya Kakek Tolol.
“Paman, di mana perahumu itu?”
“Di sana, Sicu,” kakek itu menuding ke arah sekumpulan perahu yang berada di tepi danau, lalu dia melangkah menuju ke sana tanpa bicara lagi.
Thian Liong mengikuti dari belakang. Suara kakek itu tidak cocok dengan keadaan jasmaninya yang tampak lemah, kurus dan pucat. Suara itu bening lembut. Juga dia merasa heran mengapa kakek ini menyebutnya sicu, sebutan yang biasa diberikan kepada seorang laki-laki yang gagah.
Padahal dia sama sekali tidak tampak sebagai seorang pendekar. Pakaiannya biasa, juga pedang Thian-liong-kiam tersembunyi dalam bungkusan pakaiannya.
Setelah tiba di situ, kakek itu menarik sebuah perahu keluar dari kumpulan perahu itu, menyeretnya ke air. Melihat kakek itu kelihatan lemah, Thian Liong membantunya dan akhirnya perahu itu dapat ditarik ke air.
“Sicu hendak menyewa perahu saja, mendayung sendiri atau ingin saya yang menemani dan mendayung?” pertanyaan ini biasa diajukan para pemilik perahu karena di antara para pelancong, ada yang minta si pemilik perahu mendayung dan mereka hanya duduk menikmati pemandangan dari dalam perahu.
Thian Liong melihat keadaan perahu itu dengan sapuan pandang matanya. Sebuah perahu yang tidak besar, dengan payon di bagian tengah, keadaannya sudah tua dan sederhana dan di kedua ujung
perahu, tampak basah. Agaknya memang ada kebocoran di sana-sini dan biarpun bocoran itu sudah ditambal dengan kayu, tetap saja air masih merembes sehingga dasar perahu menjadi basah. Tentu saja dalam hatinya Thian Liong tidak merasa senang dengan perahu yang benar-benar buruk dan kalau bocoran itu pecah lagi memang dapat membahayakan. Akan tetapi untuk membatalkan, dia merasa tidak tega. Agaknya kakek tukang perahu itu dapat melihat keraguan pada wajah Thian Liong yang mengerutkan alisnya.
“Jangan khawatir, Sicu. Perahu ini sudah menemani saya mengarungi telaga ini selama bertahun-tahun. Biarpun tua dan buruk, perahu ini kokoh kuat dan dapat melaju dengan cepat, mempunyai keseimbangan yang baik sekali sehingga tidak mudah terguling.”
Thian Liong melihat betapa kakek itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, tanpa menoleh kepadanya. Dia merasa tidak nyaman kalau harus mendayung sendiri. Kakek ini tentu berpengalaman sekali dan akan lebih aman rasanya kalau ikut dalam perahu. Thian Liong merasa khawatir juga kalau sampai terjadi perahu terguling atau tenggelam. Dia boleh jadi dapat membela diri dengan baiknya kalau berada di darat. Akan tetapi di air, kepandaiannya renang hanya biasa saja dan kalau sampai terjadi serangan dalam air, dia akan menjadi orang yang lemah. Bahkan dalam hal menggunakan dayung saja dulu dia harus mengaku kalah terhadap Puteri Moguhai!
“Biar engkau saja yang mendayung, Paman. Saya tidak pandai mendayung perahu,” kata Thian Liong.
“Sicu hendak pergi ke manakah?”
“Hanya melihat-lihat saja, Paman. Bawa saja perahu ini ke bagian terindah di telaga ini.”
“Baik, naiklah, Sicu.”
Mereka berdua naik. Kakek itu mengambil tempat duduk dan memegang dua buah dayung di kanan kiri perahu. Thian Liong duduk di bawah payonan dan mereka duduk berhadapan.
“Sicu, sebaiknya sicu menghadap ke depan agar dapat menikmati pemandangan indah di bagian depan.”
“Nanti dulu, Paman. Saya ingin bicara dulu dengan Paman. Saya harap Paman jangan menyebut sicu kepada saya. Saya hanya seorang biasa seperti Paman, seorang perantau yang sederhana dan tidak punya apa-apa. Nama saya Thian Liong, Souw Thian Liong. Panggil saja nama saya, tanpa Sicu.”
“Akan tetapi, Souw-kongcu (Tuan Muda Souw)......”
“Wah, apa lagi sebutan kongcu itu sama sekali tidak pantas untuk saya, Paman. Lihat, apakah ada seorang tuan muda berpakaian seperti saya ini? Saya mungkin lebih miskin daripada Paman. Setidaknya Paman tentu mempunyai tempat tinggal, dan punya perahu ini. Sedangkan saya, tempat tinggal pun tidak punya. Sebut saja nama saya, Paman.”
Kakek itu mengamati wajah Thian Liong dengan sinar mata penuh selidik, lalu mulutnya mengembangkan senyum. “Baiklah, Thian Liong. Kalau begitu, engkau datang ke tempat ini hendak mencari apakah?”
“Ah, tidak mencari apa-apa, Paman. Hanya tertarik oleh keindahan telaga ini dan ingin melihat-lihat.”
“Kalau begitu berputarlah, Sicu...... eh, Thian Liong dan lihat ke depan. Engkau melihat gerombolam pohon di sana itu? Itu dikenal penduduk sekitar telaga sebagai Hutan Ular. Tidak ada seorang pemburu pun berani memasuki hutan itu karena selain di sana banyak terdapat ular-ular besar yang dapat menelan manusia, juga terdapat banyak ular-ular kecil yang amat berbisa.”
Thian Liong memandang dan merasa senang. Kakek ini tidak hanya pandai mendayung perahu karena dia merasa betapa perahu itu meluncur dengan mantap dan tidak bergoyang sama sekali, akan tetapi juga kakek ini dapat menjadi pemandu yang amat baik, dapat menceritakan keadaan di sekitar telaga itu. Dia kini duduk menghadap ke belakang, membelakangi kakek itu.
Ketika Thian Liong menghadap ke depan, dia merasa seolah-olah perahu itu meluncur semakin cepat. Akan tetapi mungkin ini hanya perasaannya saja, pikirnya, karena memang jarang sekali dia duduk di atas perahu yang meluncur di atas air.
“Lihat di depan itu, Thian Liong. Perbukitan di depan itu mempunyai sekumpulan puncak yang memakai nama binatang. Urut-urutannya dari kiri begini. Pertama Puncak Naga, lalu Puncak Burung Hong, Puncak Harimau, Puncak Biruang dan yang paling kecil itu Puncak Srigala.”
Thian Liong memandang ke arah puncak-puncak bukit yang berjajar di sebelah kiri telaga. “Paman, apakah di setiap puncak terdapat binatangnya seperti yang dijadikan nama itu?”
“Ah, saya kira tidak. Mana mungkin di Puncak Naga itu ada naganya atau di Puncak Burung Hong itu terdapat Burung Hongnya? Itu hanya nama pemberian penduduk untuk membedakan puncak yang satu dari yang lain. Mungkin dulu diberi nama aneh demikian untuk menarik para pelancong.”
Telaga itu luas sekali. Sudah hampir dua jam perahu itu meluncur, namun belum juga tiba di ujung telaga! Thian Liong melihat sebuah pulau kecil di tengah telaga dan pulau itu penuh dengan pohon-pohon besar sehingga tampak hijau gelap menyeramkan. Tepi pulau itu merupakan tebing yang tinggi sehingga pulau itu seolah berada di atas bukit.
“Eh, Paman. Di sana itu? Bukankah itu sebuah pulau? Apa nama pulau itu, Paman? Apakah juga ada namanya yang aneh?”
“Orang-orang di sini menyebutnya Pulau Iblis.”
Thian Liong menoleh dan melihat kakek itu mengerutkan alisnya, matanya menerawang ke arah pulau itu. Thian Liong memandang ke arah pulau.
“Pulau Iblis? Mengapa disebut begitu, Paman? Apakah pulau itu berhantu?”
“Saya sendiri tidak tahu jelas, akan tetapi sejak saya datang dan tinggal di sini tiga tahun yang lalu, penduduk sudah menamakannya begitu. Menurut dongeng mereka, memang pulau itu berhantu.”
“Dan engkau percaya itu, Paman?” Kembali Thian Liong menoleh karena dia mendengar bahwa ketika bicara tentang hantu, suara kakek itu meninggi, seolah hendak memberi tekanan agar pemuda itu mempercayainya.
“Entahlah......, akan tetapi lebih baik kita tidak bicara tentang hal itu.”
Akan tetapi Thian Liong sudah terlanjur tertarik kepada pulau itu. Kalau diberitakan pulau itu berhantu oleh penduduk, pasti ada hal-hal yang tidak wajar atau aneh di sana. Pulau itu tidak terlalu besar, akan tetapi penuh pohon-pohon yang menjulang tinggi sehingga pantaslah kalau dihuni setan, kalau memang ada apa yang disebut hantu, atau setan karena dia sendiri belum pernah bertemu mahluk yang menurut dongeng menyeramkan dan menakutkan itu. Menurut gurunya, Tiong Lee Cin-jin, yang disebut setan adalah roh jahat yang menggerakkan nafsu-nafsu dalam diri manusia sendiri dan menyeret manusia untuk menuruti nafsunya dan melakukan perbuatan yang jahat, merugikan orang lain dan menguntungkan diri sendiri demi mendapatkan kesenangan.
“Paman, tujukan perahu ini ke pulau itu,” katanya mantap.
“Ah, untuk apa, Thian Liong? Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kita kembali ke dusun. Kita sudah pergi jauh.”
Thian Liong melihat beberapa buah perahu dan memang tidak ada sebuah pun berani mendekati pulau itu, bahkan perahu yang ditumpanginya itu yang paling dekat dengan apa yang dinamakan Pulau Iblis itu! Ketika ada sebuah perahu yang lebih besar lewat, ditumpangi belasan orang pelancong, tukang perahunya berseru kepada kakek yang berada di belakangnya.
“Heei, Kakek Tolol, apakah engkau akan membawa penumpangmu agar dimakan penjaga pulau itu?”
Akan tetapi kakek itu tidak menjawab. Setelah perahu besar itu meluncur lewat dan agaknya sedang menuju kembali ke dusun, kakek itu berkata lagi kepada Thian Liong.
“Thian Liong, mari kita kembali saja. Tidak baik pergi ke sana, selain terlalu jauh juga kalau kita ke sana, mungkin pulangnya akan kemalaman.”
“Jangan khawatir, Paman. Saya akan membayar lebih. Mari tujukan perahu ini ke pulau itu. Apakah perlu kubantu mendayung?” Tanpa menanti jawaban, Thian Liong mengambil dayung yang terdapat di dekatnya, kemudian dia menggunakan dua batang dayung itu untuk mendayung di kanan kiri perahu, setelah dua batang dayung itu dipasang pada tempatnya. Perahu meluncur dengan cepat sekali menuju ke pulau itu. Pulau Iblis!
Dia mendengar kakek itu menghela napas panjang, lalu terdengar berkata lirih, “Apa boleh buat, kalau engkau memaksa. Akan tetapi jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa.”
Thian Liong tersenyum. Dia sedang kesepian dan dia akan menyambut gembira kalau terjadi apa-apa, terjadi sesuatu yang aneh, apalagi kalau di pulau itu bersembunyi gerombolan penjahat. Dia mendapat kesempatan untuk mengobrak-abrik sarang penjahat itu dan membubarkan mereka agar tidak mengganggu penduduk di sekitar telaga itu.
“Paman, sudah lamakah Paman tinggal di daerah ini?”
“Sudah saya ceritakan tadi, sudah tiga tahun.”
“Apakah Paman tahu bahwa tidak jauh dari telaga ini terdapat sebuah dusun yang disebut dusun Kian-cung?”
Agak lama Thian Liong menanti jawaban. Kemudian terdengar kakek itu menjawab. “Ya, ya, saya pernah mendengar tentang dusun Kian-cung.”
“Apakah Paman mengenal keluarga Han?”
“Keluarga Han?”
“Ya, keluarga Han Si Tiong yang tinggal di Kian-cung, seorang pendekar budiman.”
Kembali agak lama tidak terdengar jawaban sehingga Thian Liong menengok dan mengulangi pertanyaannya. “Apakah Paman mengenal keluarga Han itu?”
“Tidak, baru tiga tahun saya berada di sini dan saya tidak pernah pergi ke mana-mana.”
Akan tetapi Thian Liong tidak memperhatikan jawaban itu karena tiba-tiba ada hal lain yang menarik perhatiannya. Mereka sudah tiba dekat pulau itu dan tiba-tiba dia melihat sebuah perahu yang agak besar muncul dari balik pulau itu. Perahu ini didayung oleh lima orang dan meluncur cepat, mendekati tebing pulau itu. Di atas perahu itu, di tengah-tengah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Karena jarak antara perahu itu dan dia masih cukup jauh, maka Thian Liong tidak melihat jelas wajah orang yang berdiri itu. Jubah orang itu berwarna hitam panjang sampai ke bawah lutut.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti auman singa, terdengar dari perahu itu. Suara gerengan itu sedemikian kuatnya sehingga Thian Liong yang duduk di atas perahunya dan jaraknya masih ada satu mil lebih, merasa tergetar dan permukaan danau itu mulai bergelombang! Lalu dari arah pulau, terdengar bunyi melengking yang begitu nyaring, tinggi, dan tajam menusuk telinga. Kembali Thian Liong merasa jantungnya berdebar. Belum lenyap gema lengkingan ini, disusul suara seperti tawa yang menggelegar, tidak kalah kuatnya dibandingkan gerengan pertama dan lengkingan yang menyusul tadi, Thian Liong terkejut. Dia tahu bahwa gerengan, lengkingan dan suara tawa itu dilakukan orang-orang yang memiliki tenaga sin kang (tenaga sakti) amat kuatnya. Dia sendiri dapat menahan getaran suara itu akan tetapi orang biasa yang mendengar suara-suara yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu dapat saja terguncang jantungnya dan menderita luka parah! Dia teringat kepada tukang perahu, maka cepat dia menoleh. Dia melihat kakek tukang perahu itu masih duduk mendayung perahu, sama sekali tidak terpengaruh suara-suara yang mengandung daya serang amat kuat tadi! Kakek itu mengerutkan alisnya dan berkata, seperti kepada diri sendiri.
“Hemmm, akhirnya mereka muncul juga. Sudah kuduga......!”
“Paman, apa yang Paman maksudkan?” tanya Thian Liong sambil memandang wajah kakek itu.
Kakek itu tidak menjawab, hanya menuding ke depan. Thian Liong memutar tubuh lagi memandang ke depan. Dia melihat orang tinggi besar berjubah lebar panjang itu melompat dari atas perahunya dan...... berdiri di atas air telaga, lalu angin dari belakangnya yang bertiup cukup keras membuat jubahnya yang lebar itu mengembang. Orang itu membentang kedua lengannya sehingga jubahnya kini berbentuk sayap yang ditiup angin dari belakang dan orang itu pun meluncur maju dengan cepatnya menuju ke
tebing pulau! Thian Liong memandang penuh kagum. Lima orang yang mendayung perahu itu kini melanjutkan luncuran perahu mereka ke kiri, agaknya menuju ke tepi pulau yang landai.
“Thian Liong, engkau dayunglah sendiri perahu ini dan kembalilah ke dusun Kui-sek. Jangan mencampuri urusan saya, dapat membahayakan keselamatan nyawamu!” kata kakek tukang perahu dan ketika Thian Liong menengok ke belakang, dia terbelalak. Kakek itu melompat keluar dari perahu dan berdiri di atas air, lalu menggunakan kedua dayungnya untuk mendayung sehingga tubuhnya meluncur ke depan, menuju ke tebing pulau yang tingginya tidak kurang dari seratus tombak itu.
Thian Liong memutar perahunya untuk dapat melihat dan mengikuti kakek tukang perahu itu dengan pandang matanya. Dia melihat orang pertama yang meluncur dengan jubah terkembang seperti sayap itu kini telah mencapai tebing dan seperti seekor kera orang tinggi besar itu memanjat tebing! Adapun kakek tukang perahu itu meluncur dengan cepat dan ia melihat betapa kakek itu menggunakan dua potong papan yang diikatkan kepada dua buah kakinya sehingga dia dapat terapung di atas air dan dengan dorongan dayungnya, tubuhnya meluncur dengan cepat menuju tebing!
Thian Liong merasa kagum bukan main. Kini dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar itu pun menggunakan sesuatu yang diinjaknya sehingga tubuhnya terapung dan angin mendorong jubahnya yang mengembang seperti layar itu. Memang hal itu mustahil dapat dilakukan sembarang orang. Akan tetapi dengan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan dengan tenaga sakti dapat mengatur keseimbangan, dia sendiri mungkin dapat melakukan seperti yang dilakukan dua orang itu. Kini tahulah dia bahwa kakek tukang perahu itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti!
Hati Thian Liong tertarik sekali. Pasti ada yang luar biasa terjadi di pulau itu. Maka dia lalu mendayung perahu itu sekuatnya, bukan meninggalkan tempat itu menuju dusun Kui-sek seperti yang dianjurkan kakek tukang perahu, melainkan mendekati Pulau Iblis dengan memutar, mencari bagian tepi yang landai karena dia ingin mendarat dan melihat apa yang terjadi di pulau itu.
Ketika dia melihat bagian pantai pulau itu yang landai, Thian Liong segera mendayung perahunya ke sana. Dilihatnya perahu yang ditumpangi orang tinggi besar tadi sudah berada di pantai. Lima orang pendayungnya juga sudah mendarat dan mereka berdiri di dekat perahu yang sudah ditarik ke darat. Thian Liong segera mendarat dan menarik perahunya ke pantai, tak jauh dari perahu lima orang itu.
Melihat lima orang itu berdiri seperti menunggu sesuatu, Thian Liong memperhatikan. Mereka berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, tubuh mereka tampak kokoh kuat, akan tetapi wajah mereka seperti wajah orang bodoh. Pakaian mereka seragam, berwarna kuning, dan di pinggang mereka tergantung golok. Kepala mereka diikat kain kuning pula.
Mungkin mereka itu tahu apa yang terjadi di pulau ini, pikir Thian Liong dan dia menghampiri mereka sambil tersenyum. Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Thian Liong memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Ngo-wi Toa-ko (Kakak Berlima), bolehkah aku mengetahui, apa yang terjadi di pulau ini?” tanyanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah tengah hutan yang dipenuhi pohon-pohon raksasa itu.
Lima orang itu tidak menjawab, hanya saling pandang, lalu tiba-tiba mereka mencabut golok dan mengepung Thian Liong, wajah mereka jelas menunjukkan kemarahan dan permusuhan!
“Hei......! Saya tidak ingin berkelahi, tidak ingin bermusuhan! Saya tidak mempunyai niat buruk......!” Thian Liong berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas.
Akan tetapi, lima orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sudah maju menyerang dengan golok mereka! Gerakan mereka cukup cepat dan kuat! Tentu saja Thian Liong merasa terkejut sekali dan dia cepat berkelebat untuk mengelak. Begitu dia melompat keluar dari kepungan, dia mendapat kenyataan aneh. Lima orang itu tampak bingung mencarinya, menggerakkan kepala dan mata mereka mencari-cari! Bukan begini sikap orang-orang yang pandai ilmu silat. Padahal gerakan mereka tadi cukup tangkas, cepat dan juga sambaran golok mereka mengandung tenaga yang besar. Akan tetapi mengapa sekarang mereka kebingungan mencari di mana dia berada? Bukankah pendengaran orang orang yang ahli silat terlatih dan dapat menangkap beradanya lawan, bahkan lebih tajam daripada penglihatan?
Ketika seorang di antara mereka memutar tubuh dan melihatnya, dia menyentuh lengan teman di dekatnya dan dengan sentuhan tangan mereka seolah memberitahu di mana adanya lawan. Kini mereka serentak menyerang lagi, lebih dahsyat daripada tadi! Ah, agaknya mereka tuli, pikir Thian Liong terheran-heran. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lanjut karena serangan mereka itu memang berbahaya sekali. Gerakan mereka itu saling menunjang dan melengkapi sehingga merupakan kesatuan yang amat kuat. Thian Liong kembali mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi itu untuk berkelebat dan di lain saat dia telah melompat ke atas pohon besar yang berada di dekat pantai. Dari atas pohon dia melihat bahwa lima orang itu kembali kebingungan, mencari-cari dengan pandang mata mereka, berputar-putaran.
Untuk meyakinkan hatinya, dia berseru, “Heii, aku berada di sini!” Akan tetapi lima orang itu tetap saja tidak melihat ke atas pohon. Kemudian, dia melihat betapa lima orang itu saling pandang kemudian membuat gerakan-gerakan dengan tangan, seperti yang dilakukan orang gagu kalau hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain. Gagu! Tuli dan gagu lima orang ini, pikir Thian Liong dengan semakin heran. Bagaimana ada lima orang kesemuanya gagu dan tuli? Dan mereka berpakaian seragam lagi. Apakah mereka ini para anggauta perkumpulan aneh yang semua anggautanya gagu dan tuli? Dia lalu melompat dari pohon ke pohon lain dan meninggalkan lima orang tadi, menuju ke tengah pulau.
Setelah tiba di tengah pulau yang merupakan bukit kecil yang puncaknya rata, Thian Liong menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat bahwa puncak itu tanahnya rata dan terbuka karena agaknya pohon-pohon itu telah ditebangi. Dia melihat sebuah pondok berdiri di tengah lapangan terbuka di puncak itu, pondok kayu yang kokoh dan sederhana.
Di depan pondok terdapat sebuah pekarangan yang luas, dipenuhi rumput tebal dan dia melihat seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya yang longgar kedodoran dan mukanya yang bulat selalu tersenyum lebar itu membuat dia tampak seperti arca Ji-lai-hud, dewa bertubuh gendut yang selalu tersenyum lebar itu.
Kakek ini duduk bersila di atas sebuah batu besar, menghadap ke timur. Biarpun tubuhnya diam tak bergerak sedikit pun namun mulutnya lebar dan matanya menatap ke depan. Hanya mulut dan matanya itu yang menunjukkan bahwa dia adalah manusia hidup, bukan arca! Tiba-tiba kakek gundul berjubah lebar seperti yang biasanya menjadi ciri seorang hwesio (pendeta Buddha) membuka mulut lebar-lebar dan terdengarlah suara tawanya yang menggelegar seperti yang tadi didengar Thian Liong dari perahu. Suara itu menggetarkan tanah di mana dia berpijak, bahkan batang pohon di depannya itu seolah tergetar!
“Ha-ha-ha, keluarlah engkau, Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian! Sudah datang di sini, mengapa tidak langsung saja menampakkan diri? Ha-ha-ha-ha, apa engkau hendak main kucing-kucingan?” suara tawanya kembali menggelegar.
Karena Si Gendut Gundul itu menoleh ke arah kirinya, yaitu ke arah utara, Thian Liong juga memandang ke arah itu. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi seperti bunyi tiupan suling dengan nada tertinggi sehingga mendatangkan rasa nyeri dalam telinga. Thian Liong cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi dirinya karena suara seperti itu dapat memecahkan telinga dan membuat telinga menjadi tuli! Lalu dari balik semak belukar muncul seorang kakek berusia sekitar enampuluh tahun, rambutnya putih semua dan diikat ke atas dengan pita kuning, jubahnya putih seperti yang biasa dipakai seorang tosu (pendeta To), tubuhnya tinggi kurus dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat berwarna hitam, berujung runcing dan berkepala ular. Setelah suara melengking itu berhenti, tosu itu melangkah memasuki pekarangan dan berkata dengan suara yang tinggi kecil seperti suara wanita.
“Heh, See-ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang, kiranya engkau telah berada di sini! Pin-to (aku) tadi sudah mendengar suara tawamu dan mendengar pula auman Singa Timur. Mana dia?”
Sebagai jawaban kakek tinggi kurus itu, tiba-tiba terdengar gerengan mengeluarkan gema menggetar seperti auman singa yang datangnya dari arah timur dan muncullah kakek berusia sekitar enampuluh tahun juga, bertubuh tinggi besar muka hitam, pakaiannya mewah dengan jubah lebar berwarna hitam. Rambutnya riap-riapan, kumis dan jenggotnya lebat, bercambang bauk sehingga mukanya mirip muka seekor singa, tangan kanannya membawa sebatang tombak. Inilah kakek yang tadi dilihat Thian Liong, yang turun dari perahu dan meluncur di atas air telaga!
“Hemm, kalian pendeta-pendeta palsu sudah tiba di sini lebih dulu!” Si Muka Singa ini mengaum lagi dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tergetar! “Mana dia Si Jembel, pengemis kurang makan itu? Tak tahu malu! Menjadi tuan rumah malah belum tampak hidungnya!”
Mereka bertiga sudah saling berhadapan. Pak-sian Liong Su Kian yang seperti tosu itu berdiri di utara, See-ong Hui Kong Hosiang menghadap ke timur, dan Tung-sai Kui Tong menghadap ke barat. Ucapan kakek seperti hartawan muka singa itu segera mendapat jawaban. Dari selatan muncullah kakek tinggi kurus bermuka pucat, pakaiannya lusuh dan ditambal, matanya mencorong. Dia tidak mengeluarkan suara yang dahsyat, melainkan muncul dengan langkah tenang dan kedua batang dayung itu dipegang dengan tangan kanan. Suaranya terdengar lembut ketika dia bicara setelah berdiri berhadapan dengan tiga orang lain. Mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak.
“Wah, kalian sudah datang rupanya. Selamat datang, Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang dan Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong!”
“Ha-ha-ha!” See-ong Hui Kong Hosiang tertawa, kini tertawa biasa. “Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin, engkau pembimbing terakhir jago kita. Sampai di mana sekarang kemajuannya dan di mana dia?”
“See-ong, bagianku dua tahun ini tidak sia-sia. Murid kita itu kini telah menguasai tahap berakhir. Dia kusuruh bersamadhi selama sepuluh hari dan hari ini adalah hari terakhir. Kukira sebentar lagi dia akan sadar dari samadhinya. Bagaimana, apakah kalian bertiga sudah siap memperoleh kemajuan selama delapan tahun ini? Selama delapan tahun kita berempat telah menggembleng murid kita, sejak dia
berusia limabelas tahun dan baru hari ini kita dapat saling berhadapan muka kembali,” kata kakek bernama Gui Lin berjuluk Lam-kai yang dikenal oleh Thian Liong sebagai tukang perahu itu.
Thian Liong yang mengintai dari tempat persembunyiannya, diam-diam terkejut sekali. Dia sudah pernah mendengar gurunya, Tiong Lee Cin-jin, memberi keterangan singkat bahwa di dunia persilatan terdapat Empat Datuk Besar yang berjuluk Pak-sian (Dewa Utara), See-ong (Raja Barat), Tung-sai (Singa Timur) dan Lam-kai (Pengemis Selatan). Mereka merupakan empat orang datuk besar empat penjuru dan memiliki ilmu kesaktian tinggi. Akan tetapi gurunya pernah mengatakan bahwa kalau dia bertemu mereka, jangan katakan bahwa dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin! Dan kini, dia berhadapan dengan Empat Datuk Besar dari empat penjuru itu. Bahkan Lam-kai Gui Lin menyamar sebagai tukang perahu yang perahunya dia sewa!
“Ha-ha-ha! Omitohud, Lam-kai agaknya telah memperdalam ilmu silatnya maka kini mengejek apakah yang lain memperoleh kemajuan selama delapan tahun ini!” kata See-ong, hwesio pendek gendut itu sambil tertawa.
“Akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita semua memperdalam ilmu kita, selain mengajar murid kita itu masing-masing dua tahun, karena tentu saja di antara kita tidak ada yang mau mengulang kekalahan kita dari Yok-sian (Dewa Obat)!” kata Pak-sian dengan suaranya yang seperti suara wanita.
“Hemmm......!” Tung-sai menggereng. “Aku telah mempersiapkan diri dan akan kubalas kekalahanku kalau aku dapat bertemu dengan Tiong Lee Cin-jin!”
Tentu saja Thian Liong terkejut sekali mendengar percakapan mereka itu. Mereka membicarakan gurunya! Kini dia dapat menduga mengapa gurunya memesan agar dia tidak mengaku sebagai murid Yok-sian Tiong Lee Cin-jin kalau bertemu Empat Datuk Besar ini. Kiranya mereka berempat pernah dikalahkan gurunya dan agaknya mereka merasa penasaran dan selama delapan tahun mereka memperdalam ilmu silat mereka, juga mereka herempat agaknya menurunkan ilmu mereka secara bergantian kepada seorang murid! Murid mereka itu dilatih sejak usia limabelas tahun, berarti sekarang telah berusia duapuluh tiga tahun. Dia memandang dengan penuh perhatian berhati-hati sekali agar jangan sampai ketahuan oleh mereka karena dia maklum bahwa empat orang itu tentu lihai bukan main.
“Lam-kai, apakah engkau selama dua tahun ini menjaga rahasia kita dan tak seorang pun tahu akan murid yang sedang kau gembleng itu seperti yang telah kami lakukan ketika tiba giliran kami?” tanya See-ong.
“Tentu saja! Kalian lihat, aku bahkan tidak memakai pakaian kebesaranku sebagai datuk para pengemis. Aku menyamar sebagai seorang tukang perahu agar tidak ada seorang pun menduga bahwa aku adalah Lam-kai dan tak seorang pun tahu akan murid kita.”
Mendengar ini, Thian Liong sekarang tidak merasa heran mengapa Pengemis Selatan yang merupakan datuk semua kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah selatan itu menyamar sebagai tukang perahu.
“Bila dia selesai dengan samadhinya?” tanya Pak-sian tidak sabar. “Berapa lama aku harus menunggu?”
Lam-kai menoleh dan memandang ke arah pondok. “Menurut perhitungan, hari ini dia akan selesai melatih pengerahan sin-kang (tenaga sakti). Akan tetapi rupa-rupanya karena dia menerima empat macam aliran sin-kang, terjadi kelainan. Kalau penggabungan empat aliran itu berhasil dengan baik, dia
akan memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak kalah oleh kita berempat. Akan tetapi kalau dia gagal, hal itu dapat membuat batinnya menjadi kacau dan sulit diatur.”
“Hemm, begitukah? Kenapa kita tidak gugah saja, dia?” Tung-sai Si Muka Singa itu bertanya dan sepasang alisnya yang tebal itu berkerut.
“Jangan!” kata Lam-kai. “Hal itu akan mengganggu dan mengacau dia dan kemungkinan akibatnya akan buruk. Kita tunggu saja di sini sampai dia selesai dan keluar. Itu See-ong sudah mendapat tempat duduk. Mari kita duduk di sini dan menanti dengan sabar. Kita sudah menanti selama delapan tahun, masa sekarang hanya menunggu beberapa lamanya saja tidak sabar?”
Lam-kai lalu menghampiri sekumpulan batu-batu besar, sebesar perut kerbau dan dengan ringan saja dia mengangkat batu-batu itu satu demi satu dan dilontarkan ke arah Pak-sian dan Tung-sai. Batu itu tentu saja berat sekali dan ditambah dengan tenaga lontaran kakek kurus pucat itu, batu melayang cepat ke arah dua orang itu.
Pak-sian yang tinggi kurus berambut putih itu mengeluarkan suara melengking lalu tubuhnya melompat tinggi ke atas dan tahu-tahu dia sudah hinggap di atas batu yang terbang ke arahnya, lalu batu itu turun di tempat dia berdiri tadi, dengan dia duduk bersila di atasnya! Thian Liong menonton dengan kagum. Pak-sian itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat, juga tenaga saktinya amat kuat.
Sementara itu, Tung-sai juga menggereng. Dia tidak melompat menghindar atau menangkis, melainkan menyambut batu besar itu dengan tombaknya. Batu besar itu diterima di ujung tombak dan batu itu berputar di atas ujung tombak. Setelah berpusing beberapa lamanya di ujung tombak, Tung-sai menurunkan tombaknya dan batu itu menempel terus sambil berputar sampai tiba di atas tanah, Tung-sai lalu duduk di atasnya, bersila seperti yang dilakukan See-ong dan Pak-sian. Thian Liong juga kagum terhadap Singa Timur ini karena caranya menyambut lontaran batu tadi menunjukkan bahwa datuk itu memiliki ilmu tombak yang amat dahsyat.
Lam-kai sendiri mengambil sebongkah batu dan kini mereka masing-masing duduk bersila dengan kedudukan seperti tadi, sesuai dengan julukan masing-masing. Si Dewa Utara duduk di sebelah utara, Raja Barat duduk di barat, Singa Timur duduk di timur dan Pengemis Selatan duduk di selatan! Jarak di antara mereka kurang lebih tujuh meter.
Thian Liong melihat semua itu dengan hati tegang. Apakah yang sedang direncanakan Empat Datuk Besar itu? Apa yang hendak mereka lakukan dan siapa pula murid yang menerima gemblengan mereka berempat? Sebetulnya dia hendak pergi saja karena merasa tidak enak mengintai orang-orang yang tidak ada urusan dengan dia. Akan tetapi ingin dia melihat murid mereka itu lebih dulu sebelum pergi meninggalkan Pulau Iblis.
Tidak lama Thian Liong menunggu. Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan atap pondok kayu itu jebol, lalu dari dalam meluncur bayangan orang ke atas sampai tinggi, kemudian tubuh orang itu berjungkir balik di udara beberapa kali dan turun di tengah-tengah antara empat orang yang duduk bersila itu. Ketika turun, kedua kakinya hinggap di tanah bagaikan seekor kucing melompat, sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga dari ini saja sudah dapat diketahui bahwa orang itu memiliki gin-kang yang sudah tinggi sekali.
Thian Liong memandang penuh perhatian. Orang itu adalah seorang pemuda, pasti, dia yang dimaksudkan Empat Datuk Besar itu karena pemuda itu usianya sekitar duapuluh tiga tahun. Pemuda itu bertubuh sedang namun tegak, dengan dada bidang dan kepala tegak angkuh. Rambutnya hitam dan saat itu rambutnya dikuncir tebal bergantung di belakang. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal, melindungi sepasang mata yang mencorong namun sinarnya liar dengan pandang mata tak acuh, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk bagus dan jantan.
Namun mulut itu mengembangkan senyum sinis dan memandang rendah apa yang berada di depannya. Pakaiannya dari sutera serba putih dengan potongan pakaian pendekar yang ringkas. Seorang pemuda yang gagah dan tampan, namun membayangkan sikap yang angkuh dan memandang rendah orang lain, juga matanya yang liar itu terkadang mengeluarkan sinar kejam!
Empat Datuk Besar juga memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata gembira. Terutama sekali Tung-sai Kui Tong, dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat itu yang menggetarkan bumi di sekelilingnya dan berkata-kata dengan suaranya yang parau dan besar.
“Heemmmmm, anakku yang baik, muridku yang pintar. Selama delapan tahun engkau kami gembleng secara bergiliran, sekarang sudah saatnya kami berempat menguji apakah kemampuanmu sudah cukup untuk membalaskan dendam kami, membunuh Si Sombong Yok-sian (Dewa Obat) Tiong Lee Cin-jin. Bersiaplah engkau dan hadapi seranganku. Awas, kami tidak main-main, kalau engkau kurang waspada mungkin saja engkau akan tewas di tangan kami!” Setelah berkata demikian, Tung-sai mengeluarkan suara mengaum dan seperti seekor singa kelaparan, dari atas batu di mana tadinya dia duduk bersila, tubuhnya sudah melayang dan menyerang pemuda itu seperti seekor singa menerkam korbannya!
Namun dengan mudahnya pemuda itu menggeser kaki mengelak ke kiri. Tung-sai dengan gerakan cepat dan kuat memutar tombaknya ke kanan dan tombak itu sudah meluncur ke arah dada pemuda itu. Hebat dan cepat sekali gerakan tombak Tung-sai Kui Tong ini sehingga tidak kosong belaka kalau di dunia kang-ouw dia disebut Si Tombak Maut! Akan tetapi pemuda itu agaknya sudah hafal akan gerakan tombak itu dan kembali dia dapat menghindarkan diri dengan mudah. Setelah membiarkan Tung-sai melakukan serangan sampai lima kali, pada saat tombak menyerang untuk keenam kalinya dengan sabetan kuat ke arah lehernya, pemuda itu membiarkan tombak menyambar dekat dan setelah dekat, tangannya bergerak dari samping bawah dan menangkis.
“Cringgg......!” Tombak dengan gagangnya yang terbuat dari baja pilihan itu terpukul ke samping dan Tung-sai merasa betapa kedua tangannya tergetar hebat!
“Lam-kai, bantulah aku!” Tung-sai berseru.
Lam-kai Gui Lin bergerak dari atas batu yang didudukinya dan tiba-tiba tampak sinar berkilat dan tahu-tahu ketika tubuhnya turun, dia sudah memegang sebatang pedang yang gemerlapan. Thian Liong yang tadi mengamatinya dengan penuh perhatian, baru mengerti bahwa kakek yang menyamar sebagai tukang perahu itu menyembunyikan pedangnya ke dalam sebatang di antara dua dayungnya. Dia mematahkan sebatang dayungnya dan keluarlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan!
Begitu menerjang, Lam-kai telah menggerakkan pedangnya menyerang pemuda itu dengan cepat dan kuat sekali. Penyerangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan serangan Tung-sai tadi dan kini pemuda itu dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi. Tombak itu menyambar-nyambar dengan tusukan kilat sedangkan pedang itu berdesingan dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Dari
suara berdesing ini saja sudah dapat dinilai betapa dahsyatnya serangan itu dan juga dari ujung tombak yang kalau luput menusuk tergetar menjadi banyak dapat diketahui betapa hebatnya serangan tombak itu.
Thian Liong memandang kagum. Dia tahu bahwa dua orang datuk itu benar-benar tidak main-main dan serangan mereka merupakan serangan maut. Kalau pemuda itu tidak memiliki gerakan cepat dan terkena bacokan pedang atau tusukan tombak, tentu dia akan terluka parah atau tidak mustahil tewas seketika! Akan tetapi bayangan pemuda itu berkelebatan dan ia mampu menghindarkan pengeroyokan pedang dan tombak itu dengan elakan atau tangkisan. Yang mengagumkan, terkadang pemuda itu berani menangkis mata tombak dan pedang dengan kebutan tangan kosong!
“Suhu Pak-sian dan Suhu See-ong, majulah sekalian agar kalian berempat mengeroyokku! Aku tidak akan menyesal seandainya aku terluka atau tewas!” pemuda itu menantang dan suaranya lembut dan merdu, manis menyenangkan!
Pak-sian Liong Su Kian melengking dan tubuhnya berkelebat seperti kilat dan tongkat hitamnya berkepala ular itu sudah menotok tujuh jalan darah di tubuh pemuda itu. Namun pemuda itu dapat menghindarkan semua totokan karena dia pun sudah hafal akan ilmu tongkat yang dimainkan Pak-sian.
“Omitohud! Engkau membuat hati pinceng (aku) gembira, Can Kok!” kata See-ong Hui Kong Hosiang dan pendeta pendek gendut ini pun sudah mengeroyok. Dia tidak menyerang dengan senjata, namun kedua ujung lengan bajunya yang panjang merupakan sepasang senjata yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam dan runcing terbuat dari baja.
Kini Thian Liong benar-benar merasa kagum dan juga heran. Pemuda itu dikeroyok empat orang, padahal mereka itu adalah Empat Datuk Besar yang rata-rata memiliki kesaktian! Dan empat orang itu menyerangnya dengan senjata dan bukan main-main, melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Senjata-senjata itu berkelebatan bagaikan tangan-tangan maut yang mengancam nyawa pemuda itu!
Pemuda yang tadi disebut Can Kok oleh See-ong itu menyambut pengeroyokan empat orang itu dengan tangan kosong saja! Dia bergerak cepat dan ringan sekali, bagaikan berubah menjadi bayang-bayang dan menyambut semua serangan itu dengan elakan atau tangkisan kedua tangannya yang berani beradu dengan senjata tajam dan runcing!
Bukan main, pikirnya. Pemuda itu benar-benar hebat sekali. Dia sendiri pasti akan kerepotan kalau dikeroyok empat orang datuk itu. Can Kok, dia akan mengingat nama itu. Thian Liong seolah mendapat firasat buruk bahwa Can Kok ini kelak akan menjadi lawannya! Apalagi mengingat bahwa Empat Datuk Besar itu mendendam kepada suhunya dan hendak membalas kekalahan yang pernah diderita mereka dari suhunya!
Maklum bahwa kalau mereka melihatnya maka tentu akan timbul keributan, maka Thian Liong merasa tidak enak kalau mengintai terus. Dia lalu dengan hati-hati meninggalkan tempat itu. Setelah tiba di pantai di mana dia meninggalkan perahunya, dia melihat lima orang tuli gagu tadi masih berada di situ, menunggui perahu mereka.
Thian Liong tidak memperhatikan mereka. Akan tetapi lima orang itu ketika melihat Thian Liong datang, mereka mencabut senjata dan siap hendak menyerang. Thian Liong tidak ingin berkelahi, apalagi dia tidak ingin kehadirannya di pulau itu ketahuan oleh Empat Datuk Besar dan murid mereka yang aneh
dan lihai itu. Maka, dia lalu menghampiri sebatang pohon dan mencabut pohon itu yang menjadi jebol berikut akarnya.
Melihat ini, lima orang itu terbelalak dan mereka mundur ketakutan. Kesempatan itu dipergunakan Thian Liong untuk menarik perahu kecilnya ke air dan mendayung perahu itu meninggalkan pulau. Lima orang tadi hanya melihat ke arah perginya Thian Liong. Tangan bergerak-gerak, mewakili kata-kata untuk bicara dengan teman-teman mereka.
Siapakah pemuda lihai yang mampu menandingi pengeroyokan Empat Datuk Besar itu? Delapan tahun yang lalu, pemuda itu adalah murid Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong. Datuk Timur ini amat menyayang pemuda yang bernama Can Kok itu karena selain pemuda itu menjadi seorang murid yang pandai, juga dia adalah keponakannya sendiri, putera adik perempuannya yang menikah dengan sutenya (adik seperguruan) yang bernama Can Giam dan berjuluk Huang-sin-eng (Garuda Sakti Kuning).
Tigabelas tahun yang lalu, ketika Can Kok berusia sepuluh tahun, pada suatu hari ayahnya, Huang-sin-eng Can Giam tewas ketika dia hendak merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-jin. Dalam perkelahiannya melawan Si Dewa Obat, Can Giam menderita luka dalam yang parah karena tenaga sin-kangnya membalik dan memukul dirinya sendiri ketika dia menyerang Yok-sian Tiong Lee Cin-jin. Biarpun terluka parah, dia menolak ketika Tiong Lee Cin-jin hendak mengobatinya. Dia memaksa dirinya yang sudah payah itu untuk pulang dan setibanya di rumah, dia tewas karena luka dalam yang parah itu. Isterinya, adik perempuan Tung-sai, menyusul suaminya, meninggal dunia karena sakitnya menjadi semakin berat sepeninggal suaminya.
Demikianlah, Can Kok yang menjadi yatim piatu itu dibawa paman tuanya ke pantai Laut Timur daerah Ce-kiang. Tung-sai Kui Tong tinggal di sebuah pulau kecil dan menjadi to-cu (majikan pulau) dari Pulau Udang, hidup sebagai seorang yang kaya raya dan berkuasa sepenuhnya. Penghuni pulau sejumlah sekitar seratus kepala keluarga itu menjadi anak buahnya.
Tung-sai Kui Tong adalah seorang datuk yang berwatak keras dan aneh. Dia mempunyai duapuluh orang pengawal yang merupakan anak buah yang juga murid-muridnya yang paling dipercaya, merupakan pengawal-pengawal pribadi. Akan tetapi, duapuluh orang ini semua tuli dan gagu! Bukan gagu tuli sejak kecil atau terkena penyakit, melainkan dibikin gagu tuli oleh Tung-sai Kui Tong. Sebagai seorang ahli, dia mampu membuat mereka itu tidak mampu mendengar dan tidak mampu bicara dengan merusak syaraf yang bekerja untuk kedua keperluan itu!
Pulau Udang itu merupakan sebuah kerajaan kecil di mana Tung-sai menjadi rajanya! Penghasilan mereka seluruhnya diambil dari dalam lautan. Menangkap ikan terutama udang-udang yang dapat dijual dengan harga tinggi karena banyak disuka orang kota. Dan yang terutama sekali, hasil penyelaman untuk dapat menemukan mutiara di kerang-kerang besar. Hasil mutiara ini yang membuat Singa Timur menjadi kaya raya.
Tung-sai Kui Tong sendiri tidak mempunyai anak walaupun dia memiliki tiga orang isteri. Karena itu, setelah dia membawa Can Kok ke pulau dan melihat anak itu amat cerdik, berbakat besar dan bertulang kuat, juga melihat Can Kok juga pandai membawa diri, berwajah tampan pula, Singa Timur itu menjadi sayang padanya. Can Kok dianggap puteranya sendiri dan digembleng ilmu silat dan juga ilmu baca tulis sehingga Can Kok menjadi seorang pemuda bun-bu-coan-jai (ahli silat dan sastra).
Kemudian, ketika Can Kok berusia limabelas tahun, Tung-sai Kui Tong yang pergi meninggalkan pulau selama sebulan, pulang ditemani oleh tiga orang laki-laki, yaitu Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, dan Lam-kai Gui Lin, yaitu datuk utara, datuk barat, dan datuk selatan. Sedangkan Tung-sai sendiri adalah datuk timur. Mereka berempat yang dikenal dengan sebutan Empat Datuk Besar. Akan tetapi yang mengejutkan hati Can Kok adalah bahwa mereka berempat itu menderita luka-luka walaupun tidak parah. Dari gurunya, atau paman tuanya yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, dia mendengar bahwa Empat Datuk Besar itu terluka karena kalah bertanding melawan Yok-sian (Dewa Obat) Tiong Lee Cin-jin.
“Keparat jahanam Tiong Lee Cin-jin!” Can Kok pemuda remaja berusia limabelas tahun itu berteriak sambil mengepal kedua tangannya. Matanya mencorong penuh kemarahan dan mukanya yang tampan menjadi merah. “Aku akan membunuhnya untuk membalas kematian ayah dan membalas kekalahan Pek-hu (Paman Tua)!”
Melihat kemarahan pemuda itu, tiga orang datuk lain memandang Can Kok dengan penuh perhatian dan hati mereka tertarik, mata mereka yang penuh pengalaman itu dapat menilai bahwa pemuda itu memiliki semangat besar dan sinar matanya yang mencorong menunjukkan bahwa ia memiliki batin yang kuat dan penuh keberanian.
“Omitohud, Singa Timur, siapakah pemuda ini?” tanya See-ong dan dua orang datuk yang lain juga mengamati wajah Can Kok penuh perhatian.
“Anak ini bernama Can Kok. Dia adalah keponakanku, anak mendiang adik perempuanku, dan sudah yatim piatu. Dia juga muridku terbaik dan anak angkatku. Kelak dialah yang kuharapkan akan dapat membalaskan kekalahanku sekarang, juga membalaskan dendam ayah kandungnya yang tewas pula karena bertanding melawan Yok-sian Tiong Lee Cin-jin. Ayah kandungnya adalah suteku sendiri.”
“Maksudmu mendiang Huang-sin-eng Can Giam?” tanya Pak-sian Liong Su Kian.
“Benar, karena itu aku akan mengajarkan seluruh ilmuku kepadanya agar kelak dia dapat membalaskan dendam ini.”
“Aih, Tung-sai, bukan maksudku memandang rendah kepandaianmu. Akan tetapi kalau engkau sendiri, bahkan kita berempat, masih tidak mampu menandingi Yok-sian, bagaimana engkau dapat mengharapkan muridmu dapat mengalahkannya?” kata Lam-kai Gui Lin.
Mendengar ucapan Pengemis Selatan ini, Singa Timur mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak dapat membantah ucapan itu karena memang benar. Dia dengan tiga orang rekannya, Empat Datuk Besar, maju bersama dan masih juga belum mampu mengalahkan Tiong Lee Cin-jin. Biarpun seluruh ilmunya diturunkan kepada Can Kok, tidak mungkin pemuda itu mampu menandingi Tiong Lee Cin-jin yang mereka anggap sebagai musuh besar itu.
“Aku harus mengakui kebenaran ucapanmu, Pengemis Selatan. Akan tetapi apalagi yang dapat kulakukan?” katanya kesal.
“Omitohud! Pinceng mempunyai gagasan yang baik sekali! Kalau kita berempat dapat mengajarkan inti ilmu masing-masing yang paling ampuh kepadanya, maka dengan penggabungan ilmu kita berempat,
tentu lebih besar harapan anak ini akan mampu mengalahkan Yok-sian! Akan tetapi kita harus selidiki dulu apa-kah kiranya seseorang mampu menerima penggabungan ilmu-ilmu kita yang paling berat.”
Mendengar ucapan See-ong Hui Kong Hosiang itu, semua orang setuju. “Aku menjamin bahwa dia memiliki tulang bersih dan kuat, juga bakatnya besar dan otaknya cerdik. Kalian boleh memeriksanya sendiri!” kata Tung-sai gembira karena gagasan itu agaknya merupakan satu-satunya jalan untuk dapat membalas dendam dengan berhasil.
Tiga orang datuk itu lalu menghampiri Can Kok dan mulai memeriksa keadaan tubuh pemuda remaja itu. Ada yang meraba-raba kepalanya, ada yang memijat-mijat lengan dan kakinya, ada pula yang mengetuk-ngetuk dadanya dan akhirnya mereka bertiga mengangguk-angguk, bahkan mengeluarkan suara memuji dan kagum.
“Aku setuju dengan gagasan Raja Barat tadi!” kata Dewa Utara.
“Aku pun cocok!” kata Pengemis Selatan.
“Omitohud, kalau semua setuju, mari kita atur bagaimana baiknya. Singa Timur, engkau sebagai Paman tua, guru pertama dan juga orang tua angkat Can Kok, katakan bagaimana pendapat dan rencanamu untuk melaksanakan gagasan kita itu.”
Tung-sai Kui Tong mengangguk-angguk, lalu berkata dengan suaranya yang seperti aum singa itu kepada Can Kok. “Kok-ji (Anak Kok), bagaimana? Mau dan sanggupkah engkau digembleng secara bergantian oleh kami berempat agar engkau dapat menggabungkan inti ilmu aliran kami masing-masing sehingga engkau kelak akan dapat mewakili kami membunuh Yok-sian Tiong Lee Cin-jin?”
“Saya sanggup Pekhu (Paman Tua)!” jawab Can Kok dengan suara mantap dan tegas.
“Bagus! Kalau begitu sebaiknya diatur begini. Aku sendiri yang akan mulai mengajarkan ilmuku yang paling ampuh kepadanya selama dua tahun. Setelah itu kalian boleh bergantian mengajarnya, menurunkan ilmu kalian yang paling ampuh, masing-masing dua tahun. Dia akan berusia duapuluh tiga tahun setelah digembleng selama empat kali dua tahun.”
“Setuju!” kata Pak-sian dengan suaranya yang melengking seperti suara wanita. “Aku akan menjadi orang kedua menurunkan semua ilmu yang paling ampuh kepadanya.”
“Omitohud, biar pinceng menjadi guru ketiga selama dua tahun setelah dia selesai belajar pada Dewa Utara!”
“Bagus, kalau begitu rencana kita sudah dipastikan. Dan Pengemis Selatan akan menjadi guru terakhir selama dua tahun,” kata Tung-sai.
Lam-kai Gui Lin mengangguk-angguk. “Baik, setelah Raja Barat mengajar selama dua tahun, aku akan membawanya pergi dan menggemblengnya selama dua tahun.”
“Akan tetapi, ke mana engkau akan membawa dia pergi, Lam-kai? Selama ini engkau adalah seorang pengemis yang merantau di daerah selatan, tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.”
“Jangan khawatir. Setelah dia belajar selama dua tahun, aku akan mengabari kalian semua untuk datang berkunjung ke tempatku dan kita berempat dapat melihat dan menguji bagaimana hasil jerih payah kita masing-masing dua tahun itu.”
Demikianlah, mulai hari itu, selama dua tahun Can Kok digembleng secara istimewa oleh Tung-sai Kui Tong yang mengajarkan semua ilmunya yang paling ampuh dan cara menghimpun tenaga sakti menurut ajaran alirannya. Setelah dua tahun terlewat, Pak-sian Liong Su Kian datang dan mengajak Can Kok ke Cin-ling-san, di mana dia menjadi pertapa di sebuah puncak pegunungan itu. Setelah Dewa Utara itu mengajarkan semua ilmu rahasia yang paling ampuh selama dua tahun, See-ong Hui Kong Hosiang datang menjemput Can Kok dan membawanya ke Pegunungan Beng-san di barat di mana dia tinggal seorang diri dalam sebuah kuil tua yang disebut Thian-kok-si. Di tempat sunyi ini kembali Can Kok digembleng secara istimewa oleh hwesio itu selama dua tahun.
Terakhir Can Kok diajak Lam-kai Gui Lin ke selatan. Karena Pengemis Selatan ini tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan dia tidak ingin ada orang lain melihat bahwa dia menggembleng Can Kok, maka dia lalu memilih Pulau Iblis di Telaga Barat untuk menjadi tempat tinggalnya. Dia membangun sebuah pondok di pulau yang ditakuti penduduk sekitar telaga dan menggembleng Can Kok di situ. Agar tidak menarik perhatian orang, dia menyamar sebagai tukang perahu dan nelayan.
Setelah masa dua tahun akan habis, Lam-kai Gui Lin mengirim kabar kepada tiga orang datuk yang lain dan pada hari itu, mereka berempat berkumpul di Pulau Iblis dan setelah Can Kok selesai dengan latihan penggabungan tenaga sakti dari empat aliran yang berbeda, pemuda itu melompat keluar secara luar biasa, menjebol atap. Perbuatan ini saja sudah menunjukkan bahwa latihan yang berbeda-beda dari empat orang datuk dan kemudian dia disuruh menggabungkannya, memang dapat ditahan tubuhnya, akan tetapi mengguncang jiwanya dan mendatangkan kelainan pada sikapnya, menjadi aneh.
Seperti kita ketahui, Can Kok sedang diuji oleh Empat Datuk Besar dan dia sudah hafal akan sifat serangan empat orang datuk itu. Bahkan kini dia memiliki tenaga sakti yang diajarkan Empat Datuk Besar itu mendatangkan tenaga sakti yang ajaib namun amat kuat!
Empat Datuk Besar itu mengeroyok sampai seratus jurus, namun mereka tidak mampu mendesak murid bersama mereka itu, bahkan serangan balasan membuat mereka harus melompat mundur untuk menghindarkan diri dari terjangan Can Kok yang amat hebat! Setelah merasa puas menguji ilmu silat, Tung-sai Kui Tong berseru.
“Kita kini uji tenaga sin-kangnya!”
Empat Datuk Besar itu berlompatan ke belakang, lalu mereka menyatukan tenaga sakti mereka dan dengan pengerahan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya, mereka mendorongkan kedua tangan ke arah Can Kok. Angin besar bergemuruh menyambar ke arah pemuda itu. Ini adalah serangan jarak jauh yang teramat berbahaya! Empat orang datuk besar ini, memang merupakan tokoh-tokoh, yang selain sakti juga terkenal berwatak aneh dan sulit dimengerti orang-orang biasa. Mereka menyayang Can Kok sebagai murid mereka dan masing-masing sudah mengorbankan waktu selama dua tahun untuk menggemblengnya. Akan tetapi kini, untuk mengujinya, mereka menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya dan bukan mustahil akan dapat menewaskan murid itu!
“Wuuuuttt...... blarrr......!”
Can Kok menyambut serangan itu dengan merendahkan tubuh menekuk lutut sehingga hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan. Ketika tenaga sakti yang didorongkan keempat Datuk Besar itu bertemu dengan sambutan tenaga sakti Can Kok tubuh empat orang kakek itu terpental sampai lima meter dan terbanting roboh! Dari mulut mereka keluar darah segar, dan mereka cepat bangkit duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mencegah agar luka dalam yang mereka derita tidak menjadi semakin parah.
Can Kok sendiri masih berdiri setengah berjongkok, tidak tergeser dari tempat dia berdiri, akan tetapi kedua kakinya terperosok masuk ke dalam tanah sampai sebatas lutut! Dari pertemuan tenaga sakti ini saja sudah dapat terbukti bahwa tenaga sakti yang dimiliki Can Kok ini bahkan, lebih kuat daripada tenaga keempat gurunya menjadi satu! Can Kok menarik kedua kakinya dari dalam tanah, berdiri tegak memandang empat orang gurunya yang duduk bersila memejamkan mata itu, dan dia lalu menengadah dan tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha......!” Tubuhnya berkelebat lenyap dari situ, akan tetapi suara tawanya masih terdengar berkepanjangan dan bergema, makin lama semakin perlahan dan akhirnya lenyap terbawa angin.
Empat orang datuk besar itu menghela napas panjang. Diam-diam mereka merasa khawatir karena biarpun murid mereka itu dapat diharapkan akan mampu membalas dendam dan kebencian mereka dengan membunuh Tiong Lee Cin-jin, namun dia pun kini menjadi aneh dan tidak memperdulikan empat orang gurunya lagi dan kalau sampai pemuda itu tidak terkendali, siapa yang akan mampu menundukkannya kalau dia menjadi liar dan merusak?
Can Kok berloncatan ke arah pantai pulau itu dan mulutnya berbisik-bisik, “Tiong Lee Cin-jin, tunggulah saat kematianmu di tanganku. Ha-ha-ha, engkau harus menghadap Ayahku di alam baka. Ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa, kini tawa tanpa bunyi, hanya menyeringai dan terkekeh, seperti seorang yang miring otaknya!
Setelah tiba di pantai, lima orang gagu-tuli yang menjadi pendayung dan anak buah Tung-sai memandang ke arahnya dengan pandang mata heran.
Seperti diketahui, sejak berusia sepuluh tahun Can Kok dibawa paman-tuanya, yaitu Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong ke Pulau Udang di Laut Timur dan selama lima tahun digembleng di sana. Setelah berusia limabelas tahun, barulah dia keluar dari pulau untuk menerima gemblengan empat orang datuk besar itu selama masing-masing dua tahun. Karena itu, lima orang pendayung perahu yang merupakan sebagian dari anak buah Pulau Udang yang menjadi anak buah Tung-sai, mengenal Can Kok. Mereka adalah orang yang sengaja dibikin gagu dan tuli oleh Tung-sai, dan mereka amat setia kepada Tung-sai. Melihat Can Kok mendatangi perahu mereka dan tanpa banyak cakap hendak melepaskan ikatan perahu, lima orang itu segera menghampirinya dan menghalangi dengan gerakan tangan, melarang Can Kok yang hendak menggunakan perahu itu.
Can Kok memandang mereka dengan alis berkerut. “Pergi kalian!” bentaknya.
Akan tetapi lima orang gagu tuli itu yang merasa berkewajiban menjaga perahu, kukuh hendak melarang dengan memegangi perahu yang hendak ditarik ke air oleh Can Kok. Melihat ini, Can Kok menjadi marah dan dia memperlihatkan kemarahannya itu dengan tertawa. Kalau mengeluarkan tawa terkekeh dengan
suara seperti tangis mengguguk seperti itu, merupakan pertanda bahwa pemuda aneh itu sedang marah!
Tiba-tiba tangan kirinya berkelebat ke arah lima orang itu dan mereka berpelantingan roboh dan tewas seketika dengan muka berubah menghitam! Can Kok tertawa bergelak, kini tertawa karena senang hatinya seperti ketika dia merobohkan empat orang datuk besar tadi. Dia mendorong perahu ke air telaga lalu mendayung. Perahu meluncur cepat sekali karena gerakan dayung itu bukan main kuatnya, seolah didayung sepuluh orang, sebentar saja sudah jauh meninggalkan Pulau Iblis.
Ketika empat orang datuk besar tiba di pantai pulau itu, mereka melihat mayat orang gagu tuli yang mukanya kehitaman dan mereka berempat menghela napas panjang.
“Celaka, dia menjadi liar sampai orang-orang sendiri pun dia bunuh!” kata Tung-sai Kui Tong.
“Hemm, bukan mustahil kalau kelak bertemu dengan kita, dia juga akan membunuh kita satu demi satu. Otak anak itu telah rusak oleh sin-kang yang amat kuat namun karena datang dari empat aliran yang dipersatukan, merusak dan mengacau pikirannya,” kata Pak-sian Liong Su Kian.
“Bagaimanapun juga, dia sudah menjadi luar biasa lihainya dan aku yakin dia akan mampu membunuh Tiong Lee Cin-jin,” kata Lam-kai Gui Lin.
“Omitohud! Biarkan dia membunuh Tiong Lee Cin-jin lebih dulu, baru sesudah itu kita mencari jalan untuk memusnakan dia karena kalau dibiarkan, dia hanya akan membikin kotor nama kita yang menjadi guru-gurunya,” kata See-ong Hui Kong Hosiang.
Tung-sai Kui Tong lalu melempar-lemparkan mayat lima orang anak buahnya itu ke tengah telaga dan sebentar saja di telaga itu ikan-ikan berpesta pora. Kekejaman seperti itu bukan merupakan hal aneh bagi empat orang datuk besar yang terkenal akan kesesatannya itu. kemudian mereka berempat mempergunakan dua buah perahu kecil yang tadi dipergunakan Pak-sian Liong Su Kian dan See-ong Hui Kong Hosiang untuk meninggalkan Pulau Iblis di tengah telaga itu.
Setelah tiba di daratan mereka berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing, Pak-sian kembali ke Cin-ling-san, See-ong kembali ke Beng-san, Tung-sai kembali ke Pulau Udang di Laut Timur, dan Lam-kai Gui Lin kembali merantau karena dia adalah seorang datuk pengemis yang suka merantau dan tinggal di Pulau Iblis hanya untuk Sementara, selama dua tahun ketika dia melatih Can Kok.
Yang pernah melihat Han Bi Lan tentu tidak akan menduga bahwa gadis yang berjalan perlahan mendaki bukit itu adalah Han Bi Lan. Setelah beberapa bulan meninggalkan ibunya, mengamuk dan menciderai para pria bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelacuran, gadis yang tadinya bertubuh denok padat itu kini tampak kurus. Pakaiannya yang biasanya berwarna merah muda dan rapi bersih, kini lusuh. Rambutnya yang hitam panjang dan biasanya digelung indah, kini dibiarkan terurai lepas sampai ke punggung. Wajahnya memang masih tampak cantik menarik namun kehilangan sinarnya, pandang matanya kosong dan sepasang alisnya yang indah bentuknya itu selalu berkerut.
Berbagai kegetiran mengacaukan ingatannya. Pertama yang mengguncangkan hatinya adalah kenyataan bahwa ibunya adalah seorang bekas pelacur! Kedua adalah kematian ayahnya sehingga ia bersumpah untuk membalas dendam karena kematian ayahnya itu kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dua
muridnya, yaitu pemuda bernama Bouw Kiang dan gadis bernama Bong Siu Lan! Dan ketiga, ia harus membalas penghinaan yang dilakukan Souw Thian Liong kepadanya, yaitu telah menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali.
Masih terasa panas kedua pipinya sampai sekarang setiap kali ia teringat akan peristiwa itu. Pinggulnya yang ditampari, akan tetapi hatinya yang sakit dan kedua pipinya yang panas dan kemerahan. Tunggu saja, aku akan membalas menampari engkau lipat dua kali, bukan sepuluh melainkan duapuluh kali! Tentu saja bukan pada pinggul Thian Liong, melainkan pada kedua belah pipinya, pikirnya dengan hati panas. Akan tetapi untuk dapat melaksanakan semua dendam itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya. Ouw Kan dan dua orang muridnya itu merupakan lawan berat. Apalagi Thian Liong. Tidak mudah mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi ia akan belajar lagi, Entah dengan cara bagaimana dan kalau sudah merasa kuat ia akan mencari mereka untuk membalas dendamnya.
Ayahnya telah mati dan ia menganggap ibunya telah mati pula! Pikiran ini membuat ia merasa demikian tertekan hatinya, membuat ia seolah kehilangan gairah hidupnya dan kini dara perkasa yang menderita batin itu mendaki bukit bagaikan orang berjalan dalam mimpi tanpa tujuan, seolah tidak sadar dan hanya menurut saja ke mana kedua kakinya melangkah dan membawanya. Ia bahkan seolah tidak melihat keindahan pemandangan alam terbentang di bawah bukit itu. Matanya terbuka namun kosong. Bahkan beberapa kali kakinya tersandung batu menunjukkan bahwa ia pun tidak memperhatikan langkahnya. Padahal, pemandangan di pagi hari yang cerah itu amatlah indahnya.
Setelah tiba di puncak bukit, baru ia berhenti melangkah. Pendakian yang cukup melelahkan itu tidak dirasakannya, hanya muka dan leher yang basah oleh keringat menunjukkan bahwa untuk mendaki bukit itu menguras banyak tenaganya. Seolah baru tersentak bangun dari tidur Bi Lan seperti terseret kembali ke alam kesadaran. Ia berdiri memandang ke sekeliling. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar yang aneh-aneh bentuknya, seolah-olah ada barisan hantu raksasa mengepungnya.
“Makin dicari semakin menjauh! Sudah dekat sekali tidak terasa. Alangkah bodohnya!”
Bi Lan terkejut karena suara itu terdengar demikian dekatnya, seolah mulut yang mengeluarkan kata-kata itu ditempelkan di telinganya! Ia mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi karena di sekelilingnya berdiri batu-batu besar berderet-deret seperti kepungan raksasa, ia tidak dapat melihat jauh, terhalang batu-batu itu. Tidak tampak seorang pun di situ. Ia lalu berjalan, di antara batu-batu dan memandang ke kanan kiri dan ke atas batu-batu, namun setelah ia berputar-putar di sekitar puncak, tidak menemukan seorang pun!
Bi Lan berhenti melangkah, alisnya berkerut, matanya yang selama ini kosong dan sayu, kini mencorong, pertanda bahwa ia mulai mencurahkan perhatiannya dan merasa penasaran. Bahkan ia mulai waspada. Ia seorang gadis yang sudah biasa bertualang, tidak mengenal takut. Bahkan kalau pada waktu itu orang-orang lajim percaya akan tahyul dan takut terhadap cerita dan bayangan tentang setan, Bi Lan tidak pernah takut. Iblis yang bagaimanapun akan dihadapi dan kalau perlu ditentangnya!
“Keparat! Siapa yang bicara tadi? Hayo cepat keluar!” ia membentak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya itu bergema sampai jauh. Akan tetapi tidak ada yang menjawab ucapannya tadi.
Bi Lan mulai marah karena ia merasa dipermainkan. Ia memutar tubuh dan menghantam sebongkah batu sebesar kerbau dangan telapak tangannya.
“Haaiiiittt...... pyarr......!!” Batu itu ambyar (hancur) berkeping-keping!
“Tolol, batu tidak berdosa dipukul hancur. Bocah perempuan gila yang tolol.”
Bi Lan cepat sekali memutar tubuhnya dan matanya yang mencorong mencari-cari. Akan tetapi tidak melihat siapa-siapa kecuali batu-batu, padahal, suara itu tadi terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dengan penasaran ia mencari-cari lagi akan tetapi kembali ia kecewa karena tidak dapat menemukan apa-apa. Ia menjadi semakin marah. Ia mengepal tinju dan mengamangkan tinjunya ke atas.
“Setan iblis! Keluarlah, dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!” teriaknya.
“Ha-ha-heh-heh-heh......!” Suara tawa itu amat menggelitik, jelas mengandung cemooh atau ejekan, seperti orang tua menertawakan kenakalan seorang anak kecil.
Bi Lan cepat melompat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya karena suara itu terdengar dari arah belakang. Setelah ia menyelinap di antara dua buah batu besar yang lebih tinggi dari tubuhnya, ia melihat sesosok tubuh duduk bersila di atas sebuah batu besar yang tingginya setinggi dirinya. Ia menjadi marah sekali. Sekarang ia menemukan pengganggunya! Maka dengan ringan ia melompat ke atas batu itu dan kini ia berdiri di depan sosok tubuh manusia itu.
Bi Lan mengerutkan alisnya dan mengamati orang itu dengan sinar mata penuh selidik dan kemarahan, namun ia tetap waspada dan berhati-hati.
Orang itu duduk bersila dengan tegak dan kaku seolah-olah telah berubah menjadi arca batu. Rambutnya putih riap-riapan, sebagian menutupi wajahnya yang kurus pucat. Alis dan kumis jenggotnya juga sudah putih semua. Wajah itu tentu sudah tua renta, mungkin ada seratus tahun usianya. Matanya terpejam, mulut tertutup. Wajah kurus pucat itu tidak ada sinar kehidupan, seperti wajah mayat! Pakaiannya yang membungkus badan kurus itu hanya kain putih yang sudah lusuh. Kepalanya hanya diikat sehelai kain putih pula. Kedua kaki yang itu mengenakan sepatu kain putih yang sudah butut.
'Hei! Kakek tua! engkaukah yang bicara dan mentertawakan aku tadi?” Bi Lan menegur, agak menyabarkan hatinya karena ia berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang pantasnya menjadi kakek buyutnya.
Akan tetapi orang itu sama sekali tidak menjawab, bergerak sedikit pun tidak.
“Hei, Kek! Jawab pertanyaanku! Engkaukah yang bicara tadi?”
Kakek itu tetap diam saja.
Bi Lan menjadi jengkel. “Kakek tua! Tulikah engkau? Gagukah engkau? Hayo jawab, jangan membuat aku marah!!”
Tetap saja kakek itu tidak menjawab.
“Setan, apakah engkau sudah mati?” bentak Bi Lan, lalu matanya terbelalak. Mati? Mungkin kakek ini sudah mati!
Bi Lan menjulurkan tangannya meraba dahi yang berkeriputan itu. Hih, Dingin sekali! Benarkah sudah mati? Akan tetapi walaupun wajah yang pucat itu seperti mayat, tubuhnya masih duduk bersila dengan tegak. Mana mungkin mayat dapat duduk bersila tegak terus menerus? Hanya kalau mayat itu membeku atau sudah menjadi batu! Akan tetapi mayat ini tidak membeku, kulit dahinya yang dirabanya itu masih lunak. Bi Lan kembali menjulurkan tangannya, dibawa ke depan hidung itu. Tidak ada hembusan napas sedikit pun. Kakek itu tidak bernapas! Berarti sudah mati. Juga baju di bagian dadanya tidak bergerak, tanda bahwa dada itu pun tidak mengembang kempis seperti kalau orangnya masih hidup dan bernapas!
Ah, tanda hidup atau mati ada pada detak jantungnya, pikir Bi Lan. Ia akan tahu apakah kakek ini masih hidup atau sudah mati kalau ia memeriksa denyut nadinya. Ia menjulurkan tangan lagi, menyentuh bawah dagu, di leher atas tu-tang pundak, di mana biasanya denyut jantung terasa. Tidak ada denyut! Ia kini meraba pergelangan tangan kakek itu. Kulit pergelangan tangan itu masih lunak, akan tetapi dingin sekali dan denyut nadinya juga tidak ada sama sekali! Ah, dia sudah mati, pikir Bi Lan sambil bangkit berdiri dari jongkoknya. Sialan! Ia bertemu mayat. Akan tetapi...... kenapa mayat dapat bicara? Dan dapat menertawakannya?
Ia memandang lagi, terbelalak dan betapapun tabahnya, kini ia merasa tengkuknya dingin dan bulu kuduknya berdiri. Siapa yang tidak ngeri kalau mendengar mayat bicara dan tertawa? Akan tetapi dasar ia seorang gadis bandel dan keras hati, ia mampu mengusir rasa ngerinya dan membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka mayat itu.
“Siapa kau! Sudah mati masih suka menggoda orang!”
“Daripada masih hidup suka menggoda orang, lebih baik sesudah mati, tidak berbahaya!”
Bi Lan terbelalak dan mulutnya ternganga. Jelas terdengar oleh telinganya bahwa suara itu keluar dari mayat itu, akan tetapi ia tidak melihat mulut mayat itu terbuka! Sama sekali mulut itu tidak bergerak. Bagaimana mungkin bicara tanpa menggerakkan bibir? Bulu kuduknya meremang semakin kuat, rasa dingin di tengkuknya menjalar ke punggung. Akan tetapi Bi Lan mengeraskan hatinya dan menjadi semakin marah sehingga tanpa disadari ia membanting-banting kaki kirinya yang merupakan kebiasaannya sejak kecil kalau ia sedang marah.
“Setan! Engkau setan iblis neraka yang memasuki tubuh mayat ini untuk menggodaku!” Ia memaki dan menudingkan lagi telunjuknya ke arah muka mayat itu.
“Heh-heh, engkaulah setan betina cilik yang tolol!” kembali terdengar suara dari “mayat” itu, suara yang keluar tanpa menggerakkan bibir!
Kemarahan mengusir semua rasa ngeri dan takut. “Setan busuk, jangan kira aku takut padamu! Mampuslah kamu! Bi Lan menggunakan tangan kirinya untuk menampar pundak mayat itu. Karena ia masih ingat bahwa itu mayat seorang kakek, ia masih merasa sungkan dan yang ditampar hanya pundak, itu pun tanpa mengerahkan tenaga saktinya karena ia tidak ingin merusak “mayat” itu.
“Wuuttt...... plakk!” Tangan Bi Lan terpental dan ia merasa telapak tangannya panas dan pedih, seolah ia tadi menampar papan baja yang membara! Tentu saja ia menjadi semakin marah.
“Ihh, engkau melawan, ya? Ingin memperlihatkan kekuatan setanmu padaku? Akan kuhancurkan kepalamu, setan iblis hantu mayat hidup!” Setelah memaki ia menggerahkan pukulan dengan tenaga sin-kang dari Kwan-im-sin-ciang (Tangan Sakti Kwan Im) ke arah dada “mayat” itu.
“Hyaaaaattt……!” Kini telapak tangannya menghantam dengan didahului angin pukulan yang dahsyat.
“Wuuuuttt...... dessss!” Bukan mayat itu yang terpukul pecah atau roboh, sedikit pun tidak terguncang, sebaliknya tubuh Bi Lan yang terjengkang ke belakang. Untung ia dapat cepat berjungkir balik sehingga tubuh belakangnya tidak terbanting ke atas batu besar yang keras dan lebar itu!
“Heh-heh, sedikit ilmu pukulan lemah dari Tibet hendak dipamerkan? Ha-ha-ha!” mayat itu menertawakan.
Bi Lan terbelalak. Bukan terkejut melihat kelihaian setan yang masuk ke dalam mayat kakek itu, akan tetapi juga kaget mendengar kakek itu mengenal pukulannya yang ia pelajari dari guru pertamanya, Jit Kong Lhama yang memang berasal dari Tibet. Akan tetapi ia juga menjadi semakin marah karena pukulannya tadi bertemu dengan hawa yang amat kuat. Karena tadi ia tidak mengerahkan seluruh tenaganya ketika menggunakan pukulan dari Kwan-im-sin-ciang, kini ia memasang kuda-kuda dan menghantam dengan jurus maut dari ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Ilmu silat simpanan dari Kun-lun-pai ini memang hebat sekali dan mengandung hawa pukulan yang amat kuat.
“Terimalah ini, setan! Haiiiiiitt……!!”
Kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri, dahsyat bukan main dan pukulan kedua tangan gadis itu akan mampu menghancurkan batu karang.
“Syuuuuuttt...... blaarr......!” Tubuh Bi Lan terlempar jauh sampai keluar dan turun ke bawah batu besar itu! Gadis itu terkejut sekali dan untung ia masih mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu dan hanya terhuyung.
Pada saat itu, ada bayangan berkelebat dari atas batu dan tahu-tahu “mayat” tadi kini sudah berdiri di depan Bi Lan, matanya terbuka dan sepasang mata itu mencorong seperti kilat! Bi Lan memandang dan merasa ngeri juga karena jelas bahwa “mayat” itu sakti bukan main. Setelah mahluk itu kini berdiri, makin tampak betapa kurusnya dia.
“Heh, bocah perempuan liar! Bagaimana mungkin engkau menggunakan jurus terakhir dari delapan jurus ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat? Padahal, bahkan Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai itu sendiri setahuku hanya mampu menguasai sebanyak enam jurus lebih! Siapakah engkau ini?”
Bi Lan memperhatikan mahluk yang berdiri di depannya. Melihat tubuh itu dapat bergerak-gerak dengan wajar dan bola mata yang mencorong itu pun bergerak biasa, jelas bahwa dia berhadapan dengan mahluk hidup berwujud manusia. Akan tetapi kalau manusia, bagaimana dapat bicara tanpa menggerakkan bibirnya? Ia memandang ke arah kaki yang bersepatu kain itu. Menurut kabar, setan atau iblis hantu tidak menginjak tanah. Akan tetapi mayat hidup di depannya ini menginjak tanah seperti manusia biasa! Baik iblis maupun manusia, mahluk ini jelas memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia hendak memperdalam ilmu-ilmunya, alangkah baiknya kalau dapat berguru kepada mahluk ini! Gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan mahluk itu.
“Ampunkan teecu kalau tadi teecu bertindak kurang ajar karena teecu tidak mengenal Suhu dan mengira Suhu mempermainkan teecu. Teecu bernama Han Bi Lan dan teecu pernah menjadi murid Suhu Jit Kong Lhama, kemudian teecu menjadi murid Kun-lun-pai dan sudah mempelajari ilmu dari Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Akan tetapi di depan Suhu, kepandaian teecu itu tidak ada artinya sama sekali. Teecu mohon agar Suhu sudi menerima teecu menjadi murid.”
“Heh-he-heh, engkau seorang manusia, gadis muda cantik, ingin berguru kepada setan hantu iblis mayat hidup?” Mahluk itu terkekeh tanpa menggerakkan bibirnya.
Wajah Bi Lan menjadi kemerahan karena ia merasa diejek. Ialah yang tadi menyebut mahluk itu setan hantu iblis mayat hidup.
“Ampunkan teecu, Suhu. Apa pun adanya Suhu, malaikat, dewa, manusia, ataupun hantu, teecu tetap ingin menjadi murid Suhu.”
“Ha-ha-ha, Han Bi Lan! Apa sebabnya engkau mengira aku ini setan?”
Bi Lan mengangkat mukanya memandang. “Tadi Suhu duduk bersila tak bergerak sama sekali, tidak ada detak jantung dan ketika teecu meraba, kulit badan Suhu dingin sekali seperti mayat.”
“Heh-heh, engkau yang sudah memiliki ilmu yang lumayan, tentu tahu bahwa dalam samadhi kita dapat saja mengatur denyut jantung dan peredaran darah. Apa anehnya?”
“Akan tetapi...... Suhu tadi dan bahkan sekarang pun kalau bicara tidak menggerakkan bibir!”
“Oh, apa sih anehnya itu? Setiap orang dapat mempelajarinya! Jangan gerakkan bibir dan hanya pergunakan lidah dan kerongkongan dibantu gerakan perut, tentu engkau dapat bicara seperti yang kulakukan ini. Dan sekarang engkau yang tadi mengamuk dan menyerangku, kini ingin berguru kepadaku. Mengapa?”
“Suhu memiliki kesaktian luar biasa sehingga pukulan-pukulan teecu sama sekali tidak mampu menyentuh Suhu, maka teecu ingin mendapatkan pelajaran ilmu dari Suhu. Harap Suhu tidak menolak dan sudi menerima teecu menjadi murid.”
“Hemm, engkau begini muda sudah memiliki ilmu-ilmu yang tinggi dari Tibet dan Kun-lun-pai, untuk apa ingin mempelajari ilmu yang lebih tinggi lagi?”
“Teecu ingin membalas dendam, Suhu. Teecu ingin membalas kepada orang-orang yang membunuh ayah kandung teecu, juga membalas orang yang pernah menghina teecu. Akan tetapi, para musuh teecu itu lihai sekali dan teecu tidak mampu mengalahkan mereka, oleh karena itu teecu mohon Suhu suka membimbing teecu.”
“Heh-heh-heh, Han Bi Lan, tahukah engkau siapa aku?”
“Teecu tidak tahu, akan tetapi teecu yakin bahwa Suhu tentu seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal sekali.”
“Hemm, dulu aku disebut Heng-si Cauw-jiok dan semua orang takut padaku!”
Bi Lan terkejut bukan main dan juga girang. Gurunya yang pertama, Jit Kong Lhama, pernah bercerita kepadanya tentang seorang datuk persilatan penuh rahasia berjuluk Heng-si Cauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) yang dimusuhi hampir semua datuk di daratan Cina. Tidak kurang dari tujuh orang datuk beramai-ramai mengeroyoknya dan dikabarkan bahwa Heng-si Cauw-jiok tewas ketika dikeroyok itu. Bagaimana mungkin sekarang datuk besar itu masih hidup?
“Teecu pernah mendengar Suhu Jit Kong Lhama bercerita tentang Suhu! Katanya bahwa Suhu dikeroyok tujuh orang datuk besar dan tewas, dan peristiwa itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Bagaimana kini Suhu mengaku bahwa Suhu adalah Heng-si Cauw-jiok yang telah tewas puluhan tahun yang lalu?”
“Ha-ha-ha, mereka itu orang-orang bodoh yang menyangka aku mati. Andaikata aku mati sekalipun, aku akan tetap hidup. Bukankah julukanku Si Mayat Berjalan? Ha-ha-ha!”
Diam-diam Bi Lan bergidik. Jangan-jangan Kakek ini benar-benar telah mati dan menjadi mayat hidup alias setan! Akan tetapi ia tidak perduli. Setan atau manusia kalau dapat mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya, akan ia angkat menjadi gurunya!
“Suhu, mohon menerima teecu sebagai murid,” katanya lagi.
“Hemm, aku sudah bosan hidup. Terlalu lama hidup di dunia yang penuh kepahitan ini. Akan tetapi agaknya kita memang berjodoh. Baiklah, Bi Lan. Engkau akan kugembleng selama satu tahun, akan tetapi engkau harus berjanji dulu bahwa setelah satu tahun, engkau harus mau mengubur aku hidup-hidup!”
Bi Lan terbelalak. “Mengubur Suhu hidup-hidup? Ah, itu jahat sekali namanya! Teecu akan dikatakan murid durhaka!”
“Pendeknya mau atau tidak? Kalau tidak mau, pergilah sana, aku tidak sudi menjadi gurumu. Baru mulai saja sudah tidak taat, apalagi sesudah setahun!”
Bi Lan menjadi serba salah. Hemm, ia berhadapan dengan seorang kakek yang sudah sinting. Sanggupi saja, soal nanti setahun, bagaimana nanti sajalah!
“Baiklah, Suhu, teecu menurut.”
“Kalau begitu, mari ikut aku pulang.”
“Pulang?”
“Ya, ke tempat tinggalku di sana.”
Bi Lan mengikuti kakek itu dan ternyata tempat tinggal Si Mayat Hidup itu tidak jauh dari situ. Dia tinggal di sebuah guha yang tepat berada di bawah puncak. Mulai saat itu Bi Lan menjadi murid manusia aneh itu dan ia digembleng dengan keras. Selama setahun Bi Lan mendapat pelajaran ilmu silat yang aneh dan dahsyat yang oleh Si Mayat Hidup disebut Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Langit) yang terdiri dari tigabelas jurus ampuh.
Thio Ki terkenal sebagai seorang pedagang yang berhasil di kota Kang-cun. Dia sering membawa barang dagangan yang besar jumlahnya ke utara sampai di kota raja Yen-cing (Peking), yaitu kota raja Kerajaan Kin. Terkadang dia pun membawa barang dagangan ke selatan sampai ke kota Hang-couw, yaitu kota raja Kerajaan Sung Selatan.
Dengan perdagangan ke utara dan ke selatan itu, Thio Ki berhasil mendapatkan keuntungan besar sehingga dia terkenal sebagai seorang hartawan di kota Kang-cun yang terletak di lembah Sungai Yang-ce bagian utara. Kota Kang-cun merupakan kota yang berada di tapal batas dua kerajaan itu, namun masih termasuk ke dalam Kerajaan Kin.
Isteri Thio Ki adalah seorang wanita berdarah bangsawan karena sebelum menikah dengan Thio Ki, ia adalah janda pangeran Kerajaan Kin. Sebelumnya ia sendiri adalah puteri seorang kepala suku bangsa Uigur. Namanya Miyana, usianya sekitar empatpuluh tahun masih tampak bekas kecantikannya.
Thio Ki sendiri berusia empatpuluh lima tahun. Biarpun selama menikah dengan Miyana, kurang lebih limabelas tahun, mereka tidak mempunyai keturunan, namun Thio Ki cukup merasa berbahagia dengan anak tirinya, seorang anak perempuan yang ketika dia menikah dengan Miyana, berusia empat tahun. Anak itu bukan lain adalah Thio Siang In yang terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li!
Thio Ki yang biasa melakukan perjalanan jauh untuk berdagang, selain dikawal beberapa orang piauw-su (pengawal barang dagangan) yang lihai, juga bukan seorang lemah. Dia pernah belajar silat beberapa tahun lamanya. Karena itu, ketika anak perempuan yang memakai nama marganya itu tampak suka akan ilmu silat, dia memberi pelajaran ilmu silat. Ketika isterinya, Miyana memberi tahu bahwa suku bangsanya mempunyai seorang datuk besar yang sakti, yaitu Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) Ouw Kan, Thio Ki lalu menye-rahkan Siang In kepada guru besar itu untuk menjadi muridnya.
Setelah tamat belajar dan Thio Siang In menjadi pendekar wanita yang gagah perkasa, Thio Ki dan Miyana ikut merasa bangga dan berbahagia. Ternyata setelah menjadi seorang gadis yang lihai, Siang In tidak melupakan pendidikan budi pekerti yang diberikan Ayah Ibunya sehingga ia menjadi seorang li-hiap (pendekar wanita) yang dijuluki Ang Hwa Sian-li. Akan tetapi yang terkadang membuat mereka berdua gelisah dan rindu, adalah kesukaan puteri mereka itu meninggalkan rumah, mengembara dan bertualang. Bahkan akhirnya, setahun yang lalu, puteri mereka itu mengikuti seorang guru lain, yaitu Tiong Lee Cin-jin.
Thio Ki sudah mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Tabib Dewa itu sebagai seorang yang amat sakti dan budiman serta arif bijaksana. Maka dia dan isterinya menyatakan persetujuan mereka puterinya menjadi murid Tabib Dewa itu.
Tentu saja Miyana telah berterus terang kepada suaminya bahwa Siang In bukanlah anak kandungnya. Ia menceritakan sejujurnya kepada suami yang amat mencintanya itu bahwa sesungguhnya anak mereka itu adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin! Puteri seorang selir kaisar yang berkebangsaan Han bernama Tan Siang Lin dan menjadi sahabat baiknya ketika ia menjadi selir seorang pangeran dahulu. Selir kaisar itu melahirkan sepasang bayi kembar dan agar kedua orang bayi itu tidak dibunuh seperti yang telah menjadi kepercayaan bangsa Kin (Nuchen) bahwa anak kembar akan mendatangkan malapetaka, maka seorang dari bayi kembar itu diserahkan kepadanya. Thio Ki bahkan semakin sayang kepada Siang In, yang sesungguhnya adalah puteri kaisar itu!
Akan tetapi hari ini rumah besar keluarga itu tampak sepi, padahal biasanya seluruh penghuni rumah itu tampak gembira dengan wajah berseri. Kini para pelayan dan pekerja pembantu tampak muram wajahnya dan kalau bicara pun mereka berbisik-bisik sehingga dapat diduga bahwa tentu ada perkara yang amat menyedihkan terjadi di rumah besar itu.
Di dalam sebuah kamar yang besar dalam rumah itu, kamar induk, Thio Ki rebah telentang di atas pembaringan. Kepala dan lengan kirinya dibalut. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak lemah dan wajahnya yang gagah agak pucat. Miyana, isterinya yang masih cantik, duduk di tepi pembaringan. Wajahnya masih muram dan matanya masih kemerahan dan sembab, tanda bahwa ia banyak menangis. Di atas meja dekat pembaringan tampak mangkuk obat yang sudah kosong.
Thio Ki rebah dengan kedua mata terpejam dan mulutnya agak menyeringai menahan rasa nyeri. Tiba-tiba dia mengeluh dan bergerak hendak bangkit duduk.
Miyana cepat membantunya sambil bertanya lembut, “Mengapa bangkit? Lebih baik rebah dulu. Bukankah tabib tadi mengatakan bahwa engkau kehilangan ba-nyak darah dan sebaiknya rebah mengaso dan banyak tidur?”
Thio Ki sudah duduk dan pundaknya dirangkul isterinya. Dia menghela napas panjang beberapa kali. “Ahh, rasa sakit di badan ini dapat kutahan. Akan tetapi hatiku sakit sekali kalau ingat akan semua barang yang dirampas dan penghinaan yang kudapat dari jahanam-jahanam itu......”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan soal kehilangan harta benda. Harta bisa dicari lagi, yang penting kesehatanmu cepat pulih kembali,” isterinya menghibur.
“Kehilangan harta benda tidak menyusahkan aku,” kata Thio Ki, “aku pernah melarat dan aku tidak takut untuk menjadi melarat lagi. Akan tetapi di antara barang-barang itu ada yang milik orang lain dan aku harus mengganti kehilangan itu! Barang-barangku sendiri sudah habis, dari mana aku dapat mengganti kehilangan itu?”
“Pemilik barang itu pasti akan mengerti bahwa barangnya hilang karena engkau dirampok dan dia mau mengerti. Kita bekerja lagi dan perlahan-lahan kita dapat mencicil barangnya yang hilang itu.”
“Hemm, mana dia mau? Kau tahu siapa pemilik barang yang dititipkan padaku untuk dikirim dan ikut dibawa perampok itu? Dia adalah Pangeran Cin Boan!”
“Pangeran Cin Boan? Ahh......!” Miyana terkejut mendengar nama ini.
“Ya, Pangeran Cin Boan yang kita tolak lamarannya terhadap Siang In yang ingin dia jodohkan dengan puteranya karena Siang In selalu menolak pinangan siapapun juga. Mana mungkin dia mau memberi kelonggaran kepada kita yang dianggap tentu telah menyakitkan hatinya karena penolakan pinangan itu? Ahhh!” Thio Ki tampak sedih sekali.
“Aihh...... kalau saja dulu Siang In mau menerimanya pinangan itu. Aku pernah melihat Cin-kongcu (Tuan Muda Cin) dan dia adalah seorang pemuda yang tampan dan halus tutur sapanya, sopan santun dan aku mendengar dia telah lulus ujian sebagai seorang sasterawan. Siang In sungguh keras hati. Belum juga melihat Cin-kongcu, ia sudah menolak begitu saja! Sekarang, bagaimana baiknya......?” Miyana yang biasanya tabah kini mulai merasa gelisah juga mendengar keterangan suaminya tadi.
“Hemm, kalau Siang In berada di rumah, pasti ia akan mampu merampas kembali barang-barang itu dari gerombolan perampok. Mengapa ia belum juga pulang? Bukankah dulu Tiong Lee Cin-jin mengirim kabar kepada kita bahwa dia hendak mengajarkan ilmu kepada Siang In selama satu tahun saja? Dan sekarang, kalau tidak salah, sudah setahun lamanya.”
“Sudahlah, jangan memikirkan dulu semua urusan itu,” Miyana kembali menghibur suaminya. “Tiduran saja dulu, tenangkan hatimu. Kalau sudah sembuh benar, baru kita memikirkan urusan itu.” Ia membantu suaminya rebah kembali, menyelimuti tubuh suaminya dan membantu pelayan mempersiapkan makan obat untuk suaminya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada seorang laki-laki datang berkunjung ke rumah Thio Ki. Laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh pendek gendut ini diterima dengan baik oleh Miyana karena ia telah mengenalnya dengan baik. Orang itu adalah Bhe Liang yang berjuluk Twa-to (Golok Besar) karena dia terkenal lihai dengan permainan golok besarnya. Bhe Liang ini merupakan seorang di antara para pimpinan pasukan piauw-su (pengawal kiriman barang) yang telah bekerja kepada Thio Ki selama setahun lebih. Akan tetapi ketika terjadi perampokan barang itu, yang mengawal bukan giliran kelompoknya. Sebelum menjadi piauw-su, dia pernah bekerja sebagai pengawal pada keluarga Pangeran Cin Boan.
Setelah berada dalam kamar Thio Ki yang dijenguknya, Bhe Liang dipersilakan duduk di kursi dekat pembaringan di mana Thio Ki berbaring.
“Bagaimana keadaanmu Thio-twako?” tanya Bhe Liang dengan penuh perhatian.
“Luka-luka di pelipis dan lengan kiri sudah tidak begitu nyeri lagi, Bhe-te (Adik Bhe). Akan tetapi tubuh ini rasanya masih lemas,” jawab Thio Ki dengan suara sedih.
“Hemm, kalau saja ketika itu saya yang mengawal, pasti tidak akan terjadi hal ini, Twako. Saya tentu sudah menghajar para perampok keparat itu!” Si Pendek Gendut ini mengepal tinju dengan penasaran.
Thio Ki menghela napas panjang. “Apa hendak dikata. Semua telah terjadi. Kalau saja puteriku Siang In berada di sini, pasti ia akan mencari dan membasmi gerombolan perampok itu dan merampas kembali semua barangku.”
“Thio-twako, kedatangan saya ini selain untuk melihat keadaan, Twako, juga untuk menyampaikan kabar yang penting bagimu. Twako, saya tahu siapa yang menjadi dalang perampokan ini!”
“Eh?” Thio Ki tertarik sekali dan memandang penuh selidik. “Benarkah itu, Bhe-te? Siapa yang mendalangi?”
Pada saat itu, Miyana memasuki kamar dan ia mendengar ucapan terakhir suaminya itu. “Eh? Ada yang mendalangi perampokan?” Ia lalu duduk di tepi pembaringan dan ikut memandang Bhe Liang dengan sinar mata menyelidik.
“Benar, Twa-so.”
Sudah menjadi kebiasaan umum di Cina, seseorang yang hendak menghormati orang lain menyebutnya Twako (Kakak Tertua) dan isterinya disebut Twa-so (Kakak Ipar Tertua) walaupun laki-laki itu bukan kakaknya sendiri dan isteri temannya itu bukan kakak iparnya. “Saya tahu betul siapa yang mengatur perampokan ini.”
“Siapa dia......?” Suami isteri itu bertanya dengan suara hampir berbareng.
“Siapa lagi kalau bukan Pangeran Cin Boan!”
Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alisya, menatap tajam wajah Bhe Liang dengan ragu. “Bhe-te, jangan main-main kau!” kata Thio Ki. “Jangan menuduh tanpa bukti, itu fitnah namanya!”
“Aih, Twako. Sudah setahun lebih saya membantu Twako dengan setia, apakah Twako masih meragukan keterangan saya? Saya tidak menuduh sembarangan saja. Twako tentu masih ingat, setahun yang lalu saya masih menjadi pengawal di keluarga Pangeran Cin Boan itu. Nah, ketika pinangan keluarga itu terhadap puteri Twako ditolak, Pangeran Cin Boan marah sekali. Saya mendengar sendiri kata-katanya bahwa sekali waktu dia akan membalas penghinaan itu.”
“Penghinaan?” Miyana bertanya heran.
“Benar, Twako. Penolakan pinangan itu dianggap sebagai penghinaan oleh Pangeran Cin Boan. Maka, setelah terjadi perampokan ini, padahal dia juga menitipkan kiriman barang yang besar nilainya, siapa lagi yang mendalanginya kalau bukan dia?”
Setelah Bhe Liang meninggalkan rumah itu, Thio Ki dan Miyana masih duduk termenung, memikirkan keterangan Bhe Liang tadi dengan hati risau.
“Mungkinkah itu? Tidak biasanya dia menitipkan barang demikian banyaknya dalam perjalananku itu...... benarkah dia membalas dendam karena ditolak lamarannya? Semua hartaku dirampas, bahkan diriku dilukai...... alangkah kejamnya......”
“Nanti dulu, kita harus berhati-hati dan jangan dulu memastikan bahwa dugaan Bhe Liang itu benar. Pertama, apa buktinya bahwa perampokan ini didalangi oleh Pangeran Cin Boan yang hendak membalas dendam kepadamu? Kedua, kita sudah mendengar dan mengenal siapa Pangeran Cin Boan. Dia seorang bangsawan kaya raya yang dermawan dan selalu bersikap baik dan ramah terhadap siapapun juga. Jadi, amat meragukan kalau dia dapat melakukan tindakan sejahat itu.”
“Akan tetapi dia seorang Pangeran Kin, mungkin saja diam-diam dia membenci aku, seorang pribumi bangsa Han.”
“Tidak mungkin! Kalau dia membencimu, mengapa dia melamar anak kita dan hendak menjadikan engkau besannya?”
Mereka diam dan termenung, lalu Thio Ki menghela napas panjang den berkata, “Bagaimanapun juga, dugaan Bhe Liang tidaklah ngawur. Memang besar sekali kemungkinan Pangeran Cin Boan merasa terhina. Bagaimana dia tidak akan merasa terhina oleh penolakan kita? Dia seorang pangeran, berkedudukan tinggi, kaya raya dan kita ini orang-orang biasa saja. Pinangannya kita tolak, tentu hal itu
bagi mereka merupakan pukulan dan kalau terdengar orang akan memalukan sekali. Pinangan seorang pangeran kaya raya ditolak seorang rakyat kecil biasa! Biarpun dia baik hati, namun dendam sakit hati dapat saja membuat seorang yang baik hati menjadi kejam karena dendam kemarahannya. Kiranya hanya dia seorang yang paling pantas dicurigai mendalangi perampokan itu.”
Miyana termenung, lalu ia pun menghela napas panjang dan berkata.
“Andaikata benar dugaan itu, lalu kita mampu berbuat apa? Pertama, dugaan itu tidak ada buktinya, dan kedua, apa yang dapat kita lakukan terhadap Pangeran Cin Boan? Dia seorang bangsawan tinggi, keluarga kerajaan yang kedudukannya kuat.”
“Ah, kalau saja Siang In ada......” Keduanya mengeluh dan merasa tidak berdaya.
Ternyata harapan mereka itu terkabul. Pada keesokan harinya, pagi-pagi muncul Thio Siang In, seperti biasa berpakaian serba hijau dan ada setangkai bunga merah menghias rambutnya. Wajahnya masih cantik jelita dan berseri gembira. Gadis ini muncul bersama Puteri Moguhai yang berpakaian serba putih dengan sabuk panjang berwarna merah, di atas kepalanya terhias burung Hong dari perak yang ukirannya indah.
“Ayah, apa yang terjadi denganmu?” ketika Thio Ki dan Miyana muncul, Siang In berseru kaget melihat lengan kiri dan kepala Thio Ki dibalut kain putih dan wajah Ayahnya itu pucat.
“Siang In......!” Miyana maju merangkul anaknya sambil menangis. “Aih, Siang In, mengapa engkau baru pulang? Ayahmu mengalami malapetaka, dirampok habis- habisan dan dilukai......”
“Hemm, kapan terjadinya, di mana dan siapa perampoknya?” Siang In bertanya dan wajahnya sudah berubah kemerahan karena marah.
Akan tetapi Thio Ki yang memandang ke arah Puteri Moguhai dan merasa terkejut dan terheran-heran melihat betapa gadis itu serupa benar dengan puterinya dan hanya pakaian mereka saja yang berbeda, cepat berkata.
“Siang In, nanti saja kita bicara di dalam agar lebih leluasa. Sekarang perkenalkan dulu siapa temanmu ini.”
Baru sekarang Miyana menyadari bahwa anaknya tidak pulang seorang diri dan ia pun memandang kepada Moguhai. Mata wanita itu terbelalak lebar ketika melihat wajah puteri itu. Lalu ia menoleh dan memandang wajah anaknya, lalu menoleh lagi kepada Moguhai, begitu berulang-ulang, ganti berganti.
“Siang In...... ini...... ini...... siapakah ini......?” Akhirnya ia dapat bertanya dan kembali ia meneliti wajah puterinya karena ia merasa bingung dan ragu apakah yang dirangkulnya itu benar Siang In, ataukah gadis yang lain itu yang sesungguhnya anaknya!
Siang In juga baru ingat akan kehadiran Moguhai karena tadi ia merasa khawatir dan tegang melihat keadaan Ayahnya. Ia lalu menoleh kepada orang tuanya.
“O ya, Ayah dan Ibu, perkenalkan. Ini sahabat baikku yang juga menjadi saudara seperguruanku. Ia terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu, nama aselinya Puteri Moguhai.”
“Puteri......?” Miyana makin terkejut.
“Benar, Ibu. Puteri Moguhai ini adalah Puteri Kaisar Kerajaan Kin. Ibunya selir kaisar, seorang wanita Han bernama Tan Siang Lin.” Siang In memperkenalkan dengan suara biasa saja. “Pek Hong, perkenalkan, ini Ayahku Thio Ki dan Ibuku ini bernama Miyana.” Siang In memang kini menyebut Moguhai dengan nama pemberian Ayah mereka, yaitu Sie Pek Hong.
Pek Hong memberi hormat dengan mengangkat tangan depan dada dan berkata sambil tersenyum, “Paman dan Bibi, senang sekali dapat berkenalan dengan kalian.”
Hampir pingsan rasanya Miyana pada saat iuu. Thio Ki melihat keadaan isterinya dan biarpun dia sendiri terkejut dan tubuhnya masih lemas karena luka-lukanya, dia cepat memegang lengan isterinya yang agaknya menjadi pening dan terhuyung. Miyana tidak ragu lagi bahwa yang datang ini adalah saudara kembar Siang In, dan Thio Ki yang pernah mendengar cerita isterinya juga mengerti. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak ingin memperlihatkan kepada siapapun juga, terutama kepada anak mereka, bahwa mereka telah mengetahui rahasia dua orang gadis itu.
“Ah, Ibu terkejut melihat persamaan antara aku dan Pek Hong? Memang kami mirip sekali satu sama lain, akan tetapi ia adalah puteri kaisar dan aku hanyalah anak Ayah dan Ibu,” kata Siang In.
“Ampun, Tuan Puteri. Hamba tidak mengenal maka bersikap kurang hormat......” kata Miyana sambil memberi hormat dengan sembah dan menekuk kedua lututnya. Akan tetapi Pek Hong segera membungkuk dan memegang lengannya, mencegah ia berlutut.
“Bibi, jangan begitu. Kalau sudah keluar dari istana, aku lebih suka dikenal sebagai Pek Hong Niocu dan Siang In juga menyebut namaku Pek Hong. Kuharap Paman dan Bibi juga menyebutku begitu.”
“Mari, marilah kita semua masuk dan bicara di dalam,” kata Thio Ki dan mereka berempat memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi sebuah meja besar. Miyana menutup daun pintu dan jendela agar tidak ada pelayan yang berani masuk atau mendengarkan percakapan mereka.
“Nah, Ayah. Sekarang ceritakanlah apa yang terjadi padamu,” kata Siang In, sudah dapat menekan kemarahannya.
“Terjadinya lima hari yang lalu. Bersama beberapa orang piauw-su, aku membawa barang-barang daganganku sendiri dan juga titipan barang-barang Pangeran Cin Boan menuju ke kota raja. Ketika rombongan kami tiba di kaki Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur, kami dihadang segerombolan perampok. Kami melawan dan karena pihak kami kalah banyak, barang-barang itu semua dirampas dan aku terluka.
“Hemm, di mana terjadinya itu, Ayah?”
“Di kaki Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur, dalam hutan yang berada di tepi jalan raya menuju kota Kai-feng.”
“Tahukah Ayah siapa pemimpin gerombolan itu?”
“Aku tidak mengenalnya, orangnya tinggi kurus dan permainan siang-to (sepasang golok) amat lihai. Dia tidak menyebutkan namanya dan anak buahnya berjumlah lebih dari tigapuluh orang. Dalam rombongan kami, banyak yang terluka bahkan ada dua orang piauwsu yang tewas.”
“Dan harta benda Ayah habis?”
“Hemm, terlukanya badanku dan habisnya hartaku tidak menjadi soal berat bagiku, Siang In. Kita dapat mencari lagi dengan bekerja keras. Akan tetapi yang menyusahkan hatiku adalah barang titipan Pangeran Cin Boan yang ikut hilang dibawa perampok, padahal barang-barang itu amat mahal harganya. Bagaimana aku akan dapat membayarnya?” Kalimat terakhir ini diucapkan Thio Ki dengan keluhan.
“Jangan khawatir, Ayah. Aku akan segera mencari ke tempat Ayah dihadang perampok itu dan aku akan membasmi mereka dan mengambil kembali barang-barang Ayah!” kata Siang In.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru