Selasa, 09 Mei 2017

Cersil Pdf Hina Kelana 2 ( Mentertawakan Dunia Persilatan)

Cersil Hina Kelana 2 ( Mentertawakan Dunia Persilatan) Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Hina Kelana 2 ( Mentertawakan Dunia Persilatan)
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Pdf Hina Kelana 2 ( Mentertawakan Dunia Persilatan)
Bab 9. Suara Rebab Bok-taysiansing Mengejutkan Orang Banyak
Melihat keadaan yang luar biasa itu, serentak beberapa puluh orang yang berada di rumah minum itu
berkerumun maju dan beramai-ramai membicarakan kelihaian ilmu pedang orang tua itu.
Segera seorang di antaranya berkata kepada si pendek buntak tadi, "Untunglah tuan tua itu bermurah hati,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kalau tidak buah kepalamu tentu sudah berpisah dengan tubuhmu seperti cawan ini."
Tapi seorang lagi lantas menanggapi, "Ah, kukira seorang kosen seperti Losiansing ini tentu sungkan untuk
berurusan dengan orang kecil sebagai kita."
Dalam pada itu si pendek gemuk hanya termangu-mangu saja memandangi ketujuh cawan kutung itu,
wajahnya pucat sebagai mayat, apa yang dibicarakan orang-orang itu hakikatnya tidak masuk ke dalam
telinganya.
Si lelaki berbaju sutera tadi lantas berkata, "Nah, apa kataku tadi? Penyakit kebanyakan timbul dari mulut, tapi
kau masih suka mencerocos saja. Di kota Heng-san sekarang entah terdapat berapa banyak orang kosen.
Seperti orang tua barusan ini tentu adalah sahabat baik Bok-taysiansing, karena kau sembarangan mengoceh
tentang Bok-taysiansing, maka dia sengaja memberi sedikit ajaran padamu."
"Huh, sobat baik Bok-taysiansing apa? Justru dia sendiri adalah 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing!" demikian
tiba-tiba si jenggot putih she Pang tadi menjengek.
Kembali semua orang terkejut. "Apa katamu? Dia ... dia sendiri adalah Bok-taysiansing? Da ... dari mana kau
tahu?" beramai-ramai mereka menegas.
"Sudah tentu aku tahu," sahut si jenggot putih. "Bok-taysiansing suka main rebab, dia punya lagu 'Siau-siangya-
uh' (hujan gerimis di waktu malam) sedemikian bagus dan mengharukan sehingga membuat pendengarnya
dapat mengucurkan air mata. 'Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab', katakata
ini adalah gambaran ilmu silat yang dimiliki Bok-taysiansing, kalian sudah berada di kota Heng-san,
masakah kalian tidak tahu hal ini? Tadi saudara itu mengatakan Lau-samya sekali tusuk pedangnya dapat
menjatuhkan lima ekor belibis dan Bok-taysiansing cuma dapat tiga ekor. Sekarang dia sengaja menebas tujuh
cawan sekaligus agar kalian tahu. Makanya dia mendamprat saudara itu ngaco-belo belaka."
Rupanya si pendek gemuk masih belum tenang kembali dari rasa kejutnya tadi, dia menunduk dan tak berani
menjawab. Lekas-lekas si lelaki berbaju sutera membayar rekening dan menarik kawannya meninggalkan
rumah minum itu.
Semua orang menjadi ngeri juga sesudah menyaksikan 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing memperlihatkan
kepandaian saktinya yang mengejutkan itu. Ketika si pendek gemuk memuji-muji Lau Cing-hong dan
mengolok-olok Bok-taysiansing tadi, sedikit banyak mereka pun memberi suara setuju, jangan-jangan lantaran
itu akan menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri. Maka demi tampak si baju sutera menarik pergi si pendek
gemuk, segera mereka pun beramai-ramai membayar rekening, dalam sekejap saja rumah minum yang tadi
penuh sesak itu lantas menjadi sepi.
Diam-diam Peng-ci membatin sambil memandangi tujuh cawan dengan tujuh cincin kutungannya yang terletak
di atas meja itu, "Sekali tebas saja orang itu dapat memotong tujuh buah cawan, jika aku tidak keluar dari
Hokciu tentu tidak tahu bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang sedemikian lihainya. Aku benar-benar
seperti katak di dalam sumur yang tidak tahu luasnya jagat ini, tadinya kukira orang yang paling lihai di dunia
ini juga tidak lebih hebat daripada ayahku. Ai, jika aku dapat berguru kepada orang kosen ini dan belajar
dengan giat, mungkinlah aku dapat membalas sakit hatiku. Kalau tidak, selama hidup ini tentu tiada harapan
buat menuntut balas lagi."
Kemudian terpikir pula olehnya, "Mengapa aku tidak pergi mencari Bok-taysiansing itu dan mohon dengan
sangat agar beliau mau menolong ayah-bundaku serta menerima aku sebagai murid?"
Begitulah serentak ia berbangkit hendak berangkat. Tapi mendadak terpikir lagi, "Dia adalah Ciangbunjin dari
Heng-san-pay, agaknya Ngo-gak-kiam-pay setali tiga uang saja dengan Jing-sia-pay, masakan dia sudi
membela seorang yang tak pernah dikenalnya untuk bercekcok dengan kawan sendiri?"
Berpikir demikian ia menjadi lemas dan duduk kembali dengan lesu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang nyaring merdu sedang berkata, "Jisuko, hujan
ini tidak berhenti-henti, bajuku sampai basah kuyup. Marilah kita minum teh dulu di sini."
Seketika Peng-ci terkesiap, suara itu dikenalnya sebagai suara si nona penjual arak di luar kota Hokciu itu.
Cepat ia lantas menundukkan kepala lebih rendah supaya tidak dikenali orang.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Maka terdengarlah suara seorang tua menjawab, "Baiklah, kita minum satu cangkir teh hangat untuk membuat
panas perut."
Lalu masuklah dua orang ke dalam rumah minum itu dan mengambil tempat duduk di sebelah muka-samping
Peng-ci. Ketika Peng-ci meliriknya, benar juga dilihatnya si nona penjual arak itu berpakaian hijau berduduk
membelakangi dirinya, di sebelahnya duduk orang tua yang mengaku she Sat dan menyaru sebagai kakek si
nona.
Diam-diam Peng-ci mendongkol, pikirnya, "Rupanya kalian berdua adalah saudara seperguruan, tapi sengaja
menyaru sebagai kakek dan cucu untuk melakukan sesuatu muslihat keji di Hokciu. Dasar mataku sudah buta,
masakah secara ngawur membela dua orang ini sehingga keluargaku sendiri berantakan tak keruan, bahkan
jiwaku sendiri hampir-hampir melayang."
Dalam pada itu pelayan telah membersihkan meja kedua orang itu dan membawakan teh baru. Sekilas si kakek
melihat di atas meja sebelah terdapat tujuh buah cawan yang cuma tinggal setengah potong. Ia bersuara kaget
dan berkata kepada sang Sumoay, "Lihatlah, Siausumoay!"
Nona burik itu pun terkejut. Katanya, "Ya, hebat benar kepandaian ini, siapakah yang mampu sekali tebas
dapat memotong tujuh buah cangkir?"
Ia lihat di dalam rumah minum itu selain Peng-ci hanya ada dua orang lagi yang sedang mengantuk sambil
mendekap kepala di atas meja. Mestinya ia hendak tanya Peng-ci, tapi kelihatan Peng-ci menghadap keluar
seperti sedang merenungkan sesuatu, maka ia urung bertanya.
"Siausumoay, coba aku akan menguji kau," demikian si kakek berbisik-bisik pula. "Sekali tebas tujuh gerakan,
tujuh buah cangkir ini siapakah yang memotongnya?"
"Aku toh tidak menyaksikan, dari mana tahu ...." demikian omel si nona. Tapi mendadak ia berseru sambil
tertawa, "Aha, tahulah aku! Tiga puluh enam jurus Hwe-hong-lok-gan-kiam, pada jurus ke-17 dengan gaya
berantai sekaligus tujuh menjatuhkan sembilan ekor burung belibis. Tentu ini adalah perbuatan ... 'Siau-siangya-
uh' Bok-taysiansing!"
Sekonyong-konyong bergemuruhlah suara tertawa beberapa orang, semuanya berseru, "Tajam benar
pandangan Siausumoay!"
Peng-ci sampai terkejut dan heran, dari manakah mendadak muncul orang sebanyak ini? Waktu ia melirik,
ternyata dua orang yang sedang mengantuk tadi juga sudah berbangkit. Selain itu ada lima orang lagi tampak
muncul dari ruangan dalam rumah minum, ada yang berdandan sebagai kuli, ada yang membawa Swipoa
seperti pedagang kecil, ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya seperti pengamen topeng
monyet.
"Aha, kiranya serombongan kaum gelandangan bersembunyi di sini sehingga membikin kaget padaku!" seru si
nona burik dengan tertawa. "He, di manakah Toasuko?"
"Baru bertemu mengapa sudah memaki kami sebagai kaum gelandangan?" omel si pemain kera.
"Habis main sembunyi-sembunyi, kan sama seperti perbuatan kaum gelandangan Kangouw yang rendah?"
sahut si nona dengan tertawa. "Di manakah Toasuko, mengapa tiada bersama kalian?"
"Tidak tanya soal lain, yang ditanya hanya Toasuko melulu," ujar si pemain kera dengan tertawa. "Baru saja
bicara tiga kalimat, dua kalimat di antaranya berturut-turut menanyakan diri Toasuko. Aneh, mengapa tidak
tanya tentang diri Laksuko (kakak-guru keenam) saja?"
"Fui, kau si monyet ini kan baik-baik saja berada di sini, tidak mampus dan tidak sekarat, buat apa bertanya
tentang dirimu?" sahut si nona dengan uring-uringan.
"Haha, dan Toasuko toh juga tidak mampus dan tidak sekarat, mengapa kau menanyakan dia?" kata si pemain
monyet dengan tertawa menggoda.
"Sudahlah, aku tak mau bicara padamu," omel si nona. "Eh, Sisuko (kakak guru keempat), hanya engkau saja
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
orang yang baik. Di manakah Toasuko?"
Belum lagi orang yang berdandan sebagai kuli itu menjawab, beberapa orang kawannya sudah lantas tertawa
dan berkata, "Hanya Sisuko saja orang baik, jadi kami ini adalah orang busuk semua? Losi, jangan katakan
padanya."
"Tidak katakan ya sudah, memangnya aku kepingin?" omel si nona dengan mendongkol. "Kalian tidak mau
bicara, maka aku pun tidak mau menceritakan pengalaman anehku dengan Jisuko dalam perjalanan kami."
Lelaki yang berdandan sebagai kuli itu sejak semula tidak berkelakar dengan si nona, rupanya dia seorang
yang jujur dan pendiam, baru sekarang dia membuka suara, "Kemarin kami baru saja berpisah dengan
Toasuko di kota Heng-yang, dia suruh kami berangkat lebih dulu. Saat ini besar kemungkinan mabuknya juga
sudah sadar dan dapatlah menyusul kemari."
"Kembali dia minum sampai mabuk?" si nona menegas sambil mengerut kening.
Orang yang berdandan sebagai kuli itu mengiakan. Sedangkan orang yang membawa Swipoa lantas berkata,
"Sekali ini dia benar-benar minum dengan sepuas-puasnya, dari pagi minum sampai siang, dari siang minum
lagi hingga petang, kukira paling sedikit juga ada dua-tiga puluh kati arak bagus yang masuk ke dalam
perutnya."
"Cara minum begitu apa takkan merusak kesehatannya? Mengapa kalian tidak menasihati dia?" omel si nona.
Orang yang membawa Swipoa itu meleletkan lidahnya, lalu berkata, "Toasuko mau terima nasihat orang?
Haha, tunggu nanti jika matahari sudah terbit dari barat! Ya, kecuali Siausumoay yang menasihati dia, mungkin
dia mau mengurangi sedikit minumannya itu."
Maka tertawalah semua orang.
Segera si nona berkata pula, "Mengapa dia minum besar-besaran? Apakah dia mengalami hal-hal yang tidak
menyenangkan lagi?"
"Pertanyaan ini harus diajukan kepada Toasuko sendiri," ujar orang yang membawa Swipoa. "Besar
kemungkinan dia mengetahui akan bertemu dengan Siausumoay di sini, saking senangnya dia terus minum
besar-besaran."
"Ngaco-belo!" semprot si nona. Namun tidak urung kelihatan rada senang. Lalu katanya pula, "Dari mana
kalian mengetahui aku dan Jisuko akan datang ke sini? Kalian toh bukan malaikat dewata."
"Kami memang bukan malaikat dewata, tapi Toasuko adalah malaikat dewata," kata si pemain monyet dengan
tertawa.
Mendengar kelakar sesama saudara seperguruan itu, diam-diam Peng-ci merasa heran, pikirnya, "Dari
pembicaraan mereka, agaknya nona itu menaruh hati kepada Toasuhengnya. Namun Jisuhengnya saja sudah
begitu tua, tentu Toasuheng lebih-lebih tua lagi. Padahal usia nona ini paling-paling cuma 16-17 tahun,
masakah dia mencintai seorang kakek-kakek berusia lanjut?"
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Ya, tentulah nona ini merasa mukanya sendiri burik dan jelek, terpaksa ia
mencintai seorang tua yang sudah duda. Hm, dasar nona ini memang berhati buruk, katanya Toasuhengnya
juga seorang pemabuk, mereka benar-benar setimpal satu sama lain."
Dalam pada itu si nona burik telah bertanya pula, "Apakah kemarin pagi-pagi Toasuheng sudah lantas minum
arak?"
Si pemain monyet itu menjawab, "Kalau tidak dijelaskan, tentu kau masih terus bertanya. Kejadiannya adalah
begini: kemarin pagi-pagi waktu kami berdelapan hendak berangkat, tiba-tiba Toasuko mengendus bau arak
yang harum, seketika ia celingukan ke sana kemari, akhirnya dilihatnya seorang pengemis sedang menenggak
arak dari sebuah Houlo (buli-buli dari sejenis buah labu) besar. Seketika Toasuko ketagihan arak, ia coba maju
mengobrol dengan si pengemis dan memuji araknya sangat harum, ditanyanya pula arak apakah itu?
"Si pengemis menjawab, 'Ini adalah arak kera!'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"'Kok aneh namanya arak kera?' tanya Toasuko. Maka pengemis itu menerangkan bahwa di tengah hutan
pegunungan Oulam barat ada kawanan kera yang mahir membuat arak dari buah-buahan, araknya sangat
enak, kebetulan pengemis itu memergoki simpanan arak itu kawanan kera kebetulan tidak ada, segera ia
mencuri tiga buli-buli arak, bahkan menangkap pula seekor monyet kecil. Nah inilah dia!"
Ia mengakhiri ceritanya sambil menunjuk kera yang hinggap di atas pundaknya. Pinggang binatang itu terikat
oleh seutas tali yang digandeng di atas lengannya, gerak-geriknya sangat jenaka.
"Lak-suko," kata si nona sambil memandangi kera itu dengan tertawa, "pantas kau berjuluk 'Lak-kau-ji' (si kera
keenam), tampaknya kau dan binatang cilik ini akrab benar seperti saudara sekandung."
"Bukan, kami bukan saudara sekandung, tapi saudara seperguruan," sahut si pemain monyet dengan menarik
muka. "Binatang cilik ini adalah Sukoku, aku Sutenya."
Serentak bergelak tertawalah semua orang.
Si nona juga tertawa sambil mengomel, "Awas, secara berputar kau memaki Toasuko sebagai monyet, biarlah
akan kulaporkan padanya kalau kau ingin dihajar dengan beberapa bogem mentah!"
Lalu ia tanya pula, "Dan cara bagaimana saudaramu ini sampai di tanganmu?"
"Saudaraku? O, apakah kau maksudkan binatang cilik ini?" si pemain monyet alias Lak-kau-ji menegas. "Wah,
panjang sekali kalau diceritakan dan memusingkan kepala saja."
"Tidak kau ceritakan juga aku dapat menerka," ujar si nona dengan tertawa. "Tentulah Toasuko telah
menyerahkan monyet ini padamu supaya kau mendidiknya untuk membuatkan arak bagi Toasuko, bukan?"
"I ... iya ... tepat sekali kau menerka," sahut Lak-kau-ji.
"Toasuko memang suka main-main dengan urusan yang aneh-aneh," kata si nona. "Di gunung barulah monyet
dapat membuat arak, kalau sudah ditangkap orang masakah mampu membuat arak lagi?"
Sesudah merandek sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kalau tidak, masa selama ini Lak-kau-ji kita tidak
pernah membuat arak?"
"Sumoay, janganlah kurang ajar kepada Suheng, ya!" mendadak Lak-kau-ji berlagak marah.
"Aduuh, baru sekarang berlagak kereng sebagai Suheng," sahut si nona dengan tertawa. "Eh, Lak-suko,
ceritamu belum selesai. Coba teruskan, cara bagaimana sampai Toasuko minum arak terus-menerus siang dan
malam?"
"Begini," tutur Lak-kau-ji. "Waktu itu sama sekali Toasuko tidak pikirkan kotor atau tidak, dia terus minta arak
kepada pengemis itu. Padahal, idiih! Daki di badan pengemis sedikitnya ada tiga senti tebalnya, kutu
berkeliaran di atas bajunya, ingusnya meleleh menjijikkan, besar kemungkinan di dalam buli-buli araknya itu
sudah banyak bercampur dengan ludah riaknya ...."
Si nona menjadi ikut-ikutan jijik, ia mengerut kening dan menutup hidung, katanya, "Sudahlah, jangan
dibicarakan lagi, membikin orang muak saja."
"Kau muak, tapi Toasuko justru tidak muak," ujar Lak-kau-ji. "Malahan waktu si pengemis menolak
permintaannya, segera Toasuko mengeluarkan tiga tahil perak, katanya bayar tiga tahil perak hanya untuk
minum satu ceguk saja."
"Cis, dasar rakus!" omel si nona dengan mendongkol dan geli pula.
"Karena itu barulah si pengemis meluluskan permintaan Toasuko. Sesudah menerima uang ia berkata, 'Baiklah,
kita berjanji hanya satu ceguk saja dan tidak lebih!' Toasuko menjawab, 'Ya, sudah janji satu ceguk sudah
tentu satu ceguk kalau lebih bayar lagi nanti!' Siapa duga, begitu buli-buli itu menempel mulut Toasuko, isi
buli-buli itu lantas seperti dituang ke dalam tenggorokannya, sekaligus ia telah habiskan sisa arak yang lebih
dari setengah buli-buli itu tanpa ganti napas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Kiranya Toasuko telah menggunakan 'Kun-goan-it-ki-kang' ajaran Suhu yang hebat itu sehingga tanpa ganti
napas sekaligus ia telah hirup habis seluruh isi buli-buli. Coba kalau Siausumoay waktu itu ikut berada di sana,
tentu kau pun akan kagum tak terkatakan menyaksikan ilmu sakti Toasuko yang sedemikian hebatnya itu."
Saking geli si nona tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Dasar mulutmu memang kotor, sedemikian caranya
kau melukiskan kerakusan Toasuko."
"Habis memang begitu sih, kelakuannya," sahut Lak-kau-ji dengan tertawa. "Sekali-kali aku tidak membual,
para Suheng dan Sute ikut menjadi saksi. Boleh kau tanya mereka apakah Toasuko tidak menggunakan 'Kungoan-
it-ki-kang' untuk menenggak arak kera itu."
"Ya, Siausumoay, sesungguhnya memang begitu," kata beberapa orang Suhengnya.
Si nona menghela napas, katanya setengah menggumam, "Alangkah sukarnya ilmu itu, kita tak dapat
mempelajari semua, hanya dia seorang yang dapat, tapi dia justru menggunakannya untuk menipu arak si
pengemis."
Nadanya menyesalkan tapi juga mengandung rasa memuji.
"Karena araknya dihabiskan Toasuko, dengan sendirinya pengemis itu tidak mau terima," demikian Lak-kau-ji
menyambung. "Dia pegang baju Toasuko sambil berteriak-teriak, 'Katanya sudah janji hanya minum satu
ceguk, kenapa sekarang seluruh isi Houlo dihabiskan!' Tapi Toasuko telah menjawab dengan tertawa, 'Ya aku
memang benar-benar cuma minum satu ceguk, apakah kau melihat aku berganti napas? Tidak ganti napas
berarti hanya satu ceguk. Sebelumnya toh kita tidak berjanji apakah satu ceguk besar atau satu ceguk kecil.
Padahal barusan aku juga cuma minum setengah ceguk saja. Kalau satu ceguk harganya tiga tahil perak, maka
setengah ceguk hanya satu setengah tahil saja. Nah mana uangnya, kembalikan satu setengah tahil perak.'"
"Hihi, sudah minum arak orang, hendak anglap uang orang lagi," ujar si nona dengan tertawa.
"Ya, keruan saja si pengemis itu hampir-hampir menangis," sambung Lak-kau-ji. "Toasuheng lantas berkata,
'Lauheng (saudara), janganlah khawatir, tampaknya kau juga seorang tukang minum arak. Marilah, mari, biar
kutraktir kau untuk minum sepuas-puasnya.'
"Segera si pengemis diseretnya ke dalam sebuah warung arak di tepi jalan, kedua orang itu lantas minum
besar-besaran. Kekuatan minum pengemis itu lumayan juga, semangkuk demi semangkuk mereka terus
menenggak tanpa berhenti. Kami menunggu sampai siang, dari siang sampai petang, mereka masih terus
minum. Akhirnya pengemis itu menggeletak dan tak sanggup bangun lagi. Tapi Toasuko sendiri masih terus
menuang dan menenggak, cuma bicaranya juga sudah mulai pelo. Kami disuruh berangkat ke sini dahulu dan
dia akan menyusul kemudian."
"O, kiranya demikian," kata si nona. Dan sesudah merenung sejenak, kemudian ia bertanya pula, "Apakah
pengemis itu dari Kay-pang?"
"Bukan!" sahut orang yang berdandan sebagai kuli. "Dia tidak mahir ilmu silat, punggungnya juga tidak
membawa kantong."
Si nona memandang keluar rumah minum, hujan masih rintik-rintik tak berhenti-henti. Ia menggumam sendiri,
"Jika kemarin dia ikut berangkat tentu hari ini tidak perlu kehujanan lagi."
Kemudian Lak-kau-ji berkata pula, "Suhu memberi pesan pada kami agar sesudah mengantarkan kado dan
memberi selamat kepada Lau-samya di sini, lalu berangkat ke Hokkian untuk mencari kalian. Tak terduga
kalian malah sudah datang ke sini lebih dulu. Eh, Siausumoay, tadi kau bilang mengalami kejadian-kejadian
aneh di tengah jalan, sekarang menjadi gilirannya untuk menuturkan pengalamannya kepada kami."
"Buat apa buru-buru?" sahut si nona. "Nanti saja kalau Toasuko sudah datang barulah kuceritakan supaya aku
tidak capek mengulangi lagi. Kalian telah berjanji akan berkumpul di mana?"
"Tiada perjanjian," sahut Lak-kau-ji. "Heng-san toh tidak terlalu besar, tentu kita dapat bertemu dengan
mudah. He, kau menipu aku menceritakan kejadian Toasuko minum arak kera, tapi pengalamanmu sendiri
sengaja dijual mahal dan tidak diceritakan."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Pikiran anak dara itu tampaknya agak melayang, ia berkata, "Jisuko, silakan kau saja yang bercerita."
Ia pandang sekejap ke arah Peng-ci yang duduk mungkur itu, lalu sambung pula, "Di sini terlalu banyak mata
dan telinga, sebaiknya kita mencari hotel dahulu baru nanti kita bicara lagi."
Seorang di antaranya yang berperawakan tinggi sejak tadi tidak ikut bicara, baru sekarang ia berkata, "Hotel di
dalam kota Heng-san sudah penuh semua, kita pun tidak ingin membuat repot keluarga Lau, biarlah sebentar
lagi jika Toasuko sudah datang, kita lantas mencari pondok di kelenteng atau rumah berhala lain di luar kota
saja. Bagaimana Jisuko?"
Karena Toasuko belum datang, dengan sendirinya si kakek sebagai Jisuko adalah pemimpin mereka. Maka dia
mengangguk dan menjawab, "Baik, bolehlah kita menunggu di sini saja."
Dasar julukannya monyet, maka watak Lak-kau-ji juga tidak sabaran seperti kera, dengan bisik-bisik ia
berkata, "Bungkuk itu besar kemungkinan adalah seorang linglung, sudah duduk di situ sejak tadi tanpa
bergerak, buat apa kita urus dia? Nah, Jisuko, engkau dan Siausumoay pergi ke Hokciu, bagaimana hasil
penyelidikan kalian? Hok-wi-piaukiok sudah dibabat habis oleh Jing-sia-pay, apakah keluarga Lim benar-benar
tidak mempunyai kepandaian sejati?"
Mendengar nama keluarganya disinggung, segera Peng-ci lebih memusatkan perhatian untuk mendengarkan.
Tak terduga si kakek malah balik bertanya, "Sebab apakah mendadak Bok-taysiansing muncul di sini dan
mengeluarkan kepandaiannya Kin-lian-hoan dan sekali tebas mengutungkan tujuh cangkir? Tadi kalian ikut
menyaksikan semua, bukan?"
"Ya," sahut Lak-kau-ji. Lalu ia mendahului bercerita apa yang terjadi tadi.
"Oh, begitu," kata si kakek. Selang sejenak baru sambungnya, "Orang luar semua mengatakan Bok-taysiansing
dan Lau-samya tidak akur, sekali ini Lau-samya hendak 'cuci tangan' dan mengundurkan diri, tapi Boktaysiansing
muncul pula di sini secara rahasia dan mencurigakan, sungguh sukar untuk diraba apa sebab
musababnya."
"Jisuko, kabarnya Ciangbunjin dari Thay-san-pay, Thian-bun Cinjin sendiri juga telah hadir di rumah Lausamya?"
tanya orang yang membawa Swipoa.
Si kakek rada terkejut, sahutnya, "Thian-bun Cinjin sendiri juga datang? Wah, sungguh suatu kehormatan
besar bagi Lau-samya. Dengan hadirnya Thian-bun Cinjin, bila benar-benar terjadi percekcokan antara Lausamya
dan Bok-taysiansing, rasanya Lau-samya tidak perlu gentar lagi kepada Bok-taysiansing."
"Jisuko, lalu Ih-koancu dari Jing-sia-pay akan membantu siapa?" tiba-tiba si nona burik bertanya.
Dada Peng-ci seperti dihantam godam demi mendengar nama "Ih-koancu dari Jing-sia-pay".
Dalam pada itu Lak-kau-ji dan yang lain beramai-ramai telah tanya juga, "He, Ih-koancu juga datang?"
"Tumben ada orang dapat mengundang dia turun dari Jing-sia!"
"Wah, sedemikian banyak tokoh-tokoh terkemuka yang berkumpul di kota Heng-san ini, mungkin akan
terjadilah pertarungan sengit."
"Eh, Siausumoay, dari mana kau mendapat tahu kedatangan Ih-koancu?"
"Kenapa mesti mendapat tahu dari mana? Aku sendirilah yang melihat kedatangannya," sahut si nona.
"Kau telah melihat Ih-koancu?" Lak-kau-ji menegaskan. "Di Heng-san sini?"
"Bukan saja aku melihatnya di sini, di Hokkian juga aku melihatnya, di Kangsay juga aku melihatnya," sahut si
nona.
"Oo, Ih-koancu sudah pergi ke Hokkian?" tukas si orang pembawa Swipoa. "Kali ini secara besar-besaran JingDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sia-pay merecoki Hok-wi-piaukiok, sampai-sampai Ih-koancu juga maju sendiri, kukira pasti ada sebab yang
amat penting. Siausumoay, untuk ini kukira engkau tentu tidak tahu."
"Gosuko, kau tidak perlu membikin panas hatiku," sahut si nona. "Mestinya aku hendak cerita, tapi kau sengaja
mengipasi, maka aku justru tidak jadi cerita lagi."
Lak-kau-ji memandang sekejap pula ke arah Peng-ci, lalu berkata, "Mengenai Jing-sia-pay dan Hok-wipiaukiok,
andaikan didengar oleh tamu juga tidak menjadi soal. Jisuko, untuk apakah Ih-koancu pergi ke
Hokkian? Cara bagaimana kalian memergoki dia?"
Ia tidak tahu bahwa diam-diam Peng-ci merasa sangat berterima kasih atas pertanyaannya itu. Sebab memang
demikianlah yang ingin diketahui Peng-ci.
"Bulan 12 yang lalu," demikian si kakek melanjutkan, "ketika di kota Hantiong, Toasuko telah menghajar Hau
Jin-eng dan Ang Jin-hiong dari Jing-sia-pay ...."
Mendengar nama kedua orang itu, mendadak Lak-kau-ji tertawa terkekeh-kekeh.
"Apa yang kau tertawakan?" semprot si nona dengan mendelik.
"Aku menertawai kedua manusia yang sombong itu, nama mereka pakai 'Jin-eng' (pahlawannya manusia) dan
'Jin-hiong' (jantannya manusia) segala, haha, malahan orang Kangouw menyebut mereka sebagai 'Eng-Hiong-
Ho-Kiat, Jing-sia-su-siu', kan lebih baik pakai nama 'Liok Tay-yu' seperti aku saja dan habis perkara," demikian
kata Lak-kau-ji dengan tertawa.
Kiranya nama Lak-kau-ji yang sebenarnya adalah Liok Tay-yu. Liok artinya Lak atau enam, kebetulan uruturutannya
dalam perguruan juga nomor enam, maka orang lantas memberi julukan Lak-kau-ji, si kera keenam,
padanya.
Segera seorang lagi mengomeli, "Sudahlah, jangan kau ganggu cerita Jisuko."
"Baiklah," sahut Liok Tay-yu, tapi tidak urung ia terkekeh-kekeh pula.
"Sebenarnya apa sih yang kau gelikan? Kau memang suka mengacau!" omel si nona.
"Aku jadi teringat pada waktu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong itu dihajar oleh Toasuko sampai jungkir balik dan
terguling-guling, tapi mereka masih belum tahu siapakah orang yang menghajar mereka, lebih-lebih tidak tahu
lantaran sebab apa kok menerima hajaran," sahut Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Kiranya Toasuko menjadi
geregetan bila mendengar nama mereka, maka sambil minum arak Toasuko lantas berteriak-teriak, 'Anjing liar
babi hutan, empat binatang dari Jing-sia'. Sudah tentu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong menjadi marah, segera
mereka hendak melabrak Toasuko, tapi belum apa-apa mereka sudah didepak terguling ke bawah loteng
rumah arak itu. Hahaha, sungguh sangat lucu!"
Hati Peng-ci sangat terhibur mendengar cerita itu. Timbul juga rasa simpatiknya kepada Toasuko dari Hoa-sanpay
ini. Meski dirinya belum kenal Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi kedua orang itu adalah Suheng Pui Jin-ti
dan Uh Jin-ho, mereka telah ditendang terguling-guling oleh "Toasuko" orang-orang Hoa-san-pay ini, paling
tidak rasa dendamnya sudah terlampiaskan sedikit. Padahal kejadian itu adalah bulan 12 tahun yang lalu, jadi
belum terjadi permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok.
Dalam pada itu si nona burik telah mengolok-olok Lak-kau-ji, "Kau cuma pintar menonton saja, bila kau yang
berkelahi dengan orang, rasanya belum tentu kau mampu menandingi 'Jing-sia-su-siu' (empat jago muda Jingsia-
pay)."
"Ah, juga belum tentu begitu," sahut Lak-kau-ji. "Kau toh belum kenal siapa-siapa Jing-sia-su-siu itu."
"Dari mana kau mengetahui bahwa aku belum kenal mereka? Malahan orang Jing-sia-pay sudah merasakan
hajaranku," sahut si nona.
Mendengar itu, para Suhengnya lantas bertanya cara bagaimana nona itu pernah menghajar orang Jing-siapay?
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tapi si nona sengaja jual mahal dan tidak mau cerita. Maklumlah, Keh Jin-tat yang dia lemparkan ke dalam
kolam lumpur itu terhitung jago nomor buntut di antara murid-murid Jing-sia-pay, kalau dia ceritakan rasanya
juga kurang gemilang.
Maka Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji lantas berkata, "Siausumoay, kepandaianmu rasanya selisih tidak jauh
daripadaku, jika orang Jing-sia-pay dapat kau hajar, tentu aku pun mampu menghajar mereka."
"Hihi, tentang Jing-sia-su-siu sih aku belum tentu mampu menandingi mereka, cuma saja mereka yang gentar
padaku," ujar si nona sambil tertawa.
"Inilah aneh," kata Liok Tay-yu. "Kau tidak dapat menandingi mereka, tapi mereka malah gentar padamu. Ini
ma ... mana bisa terjadi?"
"Sudahlah, Lak-kau-ji, jangan menimbrung saja, dengarkan dulu ceritanya Jisuko," kata si jangkung.
Biasanya Lak-kau-ji memang agak jeri kepada Samsuko si jangkung itu, maka ia tidak berani cerewet dan
tertawa-tawa lagi.
"Meski Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi waktu itu dia pun tidak tahu persis
siapakah mereka itu, sesudah itu barulah dia mengetahuinya," demikian tutur si kakek lagi. "Sebab itulah Ihkoancu
lantas menulis surat kepada Suhu, isi suratnya sih sangat ramah, dia bilang kurang keras mendidik
muridnya sehingga membikin marah muridmu, maka sengaja menulis untuk minta maaf segala."
"Hah, orang she Ih itu sungguh sangat licin," sela Liok Tay-yu. "Tampaknya dia menulis surat dan minta maaf,
padahal maksudnya adalah mengadu kepada Suhu. Keruan Toasuko yang terima akibatnya dengan dihukum
berlutut tujuh hari tujuh malam, sesudah para Suheng dan Sute memintakan maaf baginya, barulah Suhu mau
mengampuni dia."
"Ampun apa, bukankah tetap dihukum rangket 30 kali?" ujar si nona.
"Ya, aku pun ikut-ikut dipersen 10 kali rangketan," kata Liok Tay-yu. "Hehe, cuma cara Hau Jin-eng dan Ang
Jin-hiong terguling-guling ke bawah loteng rumah arak itu keadaannya benar-benar sangat konyol. Biarpun
dirangket 10 kali aku merasa tidak rugi. Hahahaha!"
"Hm, macammu ini, sudah dirangket 10 kali toh masih belum kapok," kata si jangkung. "Waktu itu mestinya
kau dapat mencegah Toasuko. Memang dugaan Suhu tidak salah, beliau cukup kenal watakmu, bukannya
mencegah, tentu kau malah mengadu dan mendorong dari belakang. Makanya pantas kau dirangket juga."
"Ai, sekali ini Suhu benar-benar telah salah menaksirkan diriku," ujar Liok Tay-yu. "Jika Toasuko mau tendang
orang, apakah aku mampu mencegahnya? Apalagi betapa cepat Toasuko mengayun kakinya, belum sempat
aku melihat jelas, tahu-tahu kedua 'kesatria besar' yang menubruk dari kanan-kiri itu sudah terguling ke bawah
loteng tanpa berhenti. Mestinya aku hendak memerhatikan kepandaian Toasuko yang istimewa, supaya aku
pun dapat belajar tendangan 'Pah-bwe-kah' (tendangan ekor macan tutul) itu, namun sama sekali aku tidak
sempat menyaksikan dengan jelas, jangankan hendak belajar."
Bab 10. Jing-sia-pay Ternyata Pernah Dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat
"Lak-kau-ji, ingin kutanya kau, pada waktu Toasuko berteriak-teriak tentang 'empat binatang dari Jing-sia',
tatkala itu kau ikut-ikut berteriak atau tidak?" demikian tanya seorang Suhengnya yang berbadan gede.
"Haha, jika begitu cara teriakan Toasuko, sudah tentu aku ikut-ikut memberi suara," sahut Liok Tay-yu.
"Memangnya kau malah ingin aku membantu pihak Jing-sia-pay dan memaki Toasuko?"
"Jika begitu hukuman rangket Suhu atas dirimu itu sedikit pun tidak keliru," ujar si badan gede.
"Ya, peringatan Suhu terhadap Toasuko itu memang perlu juga diingat baik-baik oleh kita semua," kata si
kakek pula. "Menurut Suhu, banyak orang persilatan memang suka memakai julukan yang muluk-muluk dan
berlebihan, tapi masakah kita dapat mengurusnya satu per satu? Orang mau menyebut dirinya sebagai
'kesatria' atau 'pahlawan' boleh biarkan saja, buat apa ambil pusing. Tentang perbuatannya, tingkah lakunya,
apakah betul-betul kesatria atau pahlawan atau cuma 'jual kecap' melulu, tentu orang persilatan umumnya
akan memberi penilaian sendiri, kita tidak perlu ambil tindakan sendiri-sendiri."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Semua orang mengiakan uraian sang Jisuko. Maka dengan tersenyum kakek itu meneruskan, "Setelah kejadian
Hau-Jin-eng dan Ang Jin-hiong dihajar oleh Toasuko, tentu saja hal mana bagi Jing-sia-pay merupakan suatu
hinaan besar dan sangat memalukan, maka sama sekali mereka tidak berani membicarakannya, bahkan anak
murid mereka sendiri jarang yang mengetahui kejadian itu. Suhu juga wanti-wanti memperingatkan kita agar
jangan menyiarkan kejadian itu keluar untuk menghindari percekcokan kedua pihak. Maka selanjutnya kita pun
jangan membicarakannya lagi, awas kalau didengar orang luar dan disiarkan."
"Ah, padahal kepandaian Jing-sia-pay kukira juga cuma membual belaka," ujar Liok Tay-yu. "Biar kita
menyalahi mereka juga tidak menjadi soal ...."
"Laksute," bentak si kakek, "jika kau sembarangan omong lagi, awas kalau kulaporkan kepada Suhu, tentu kau
akan terima rangketan lagi. Dapatnya Toasuko menggulingkan kedua lawan dengan gerakan 'Pah-bwe-kah',
pertama adalah karena pihak mereka sama sekali tidak siap, kedua, Toasuko adalah jago muda yang paling
menonjol dari golongan kita yang sukar dibandingi orang lain. Coba kau sendiri saja, apakah kau mampu
menendang orang sehingga terguling ke bawah loteng?"
Liok Tay-yu melelet-lelet lidah, jawabnya, "Ya, jangan bandingkan Toasuko dengan aku, dong!"
"Maka dari itu janganlah kita tinggi hati. Ih-koancu, ketua Jing-sia-pay, sesungguhnya adalah tokoh pilihan di
dunia persilatan pada zaman ini, siapa berani memandang enteng padanya tentu akan merasakan akibatnya,"
kata si kakek dengan sungguh-sungguh. "Kau, Siausumoay, kau sudah pernah melihat Ih-koancu, coba
bagaimana pendapatmu tentang dia?"
"Tentang Ih-koancu maksudmu?" si nona menegas. "Aku ... aku menjadi takut bila melihatnya. Lain ... lain kali
aku tidak ingin melihat dia lagi."
"Bagaimana sih macamnya Ih-koancu itu sehingga Siausumoay kita sampai ketakutan padanya? Apakah
mukanya sangat bengis dan jahat?" tanya Liok Tay-yu.
Anak dara itu agaknya masih merasa ngeri, maka badannya agak mengkeret dan tidak menjawab
pertanyaannya.
Si kakek lantas menyambung ceritanya, "Karena Toasuko masih belum juga datang, daripada iseng biarlah
kuceritakan sekalian dari awal mula. Sesudah kita mengetahui seluk-beluk urusan ini, kelak bila bertemu
dengan orang-orang Jing-sia-pay dapatlah kita dapat berjaga-jaga sebelumnya dan tahu bagaimana cara
bagaimana menghadapi mereka. Hari itu sesudah Suhu terima suratnya Ih-koancu, dengan marah beliau lantas
memberi hukuman rangket kepada Toasuko dan Laksute. Besoknya beliau lantas menulis surat balasan dan
menyuruh aku mengantarkannya ke Jing-sia-san ...."
"O, makanya hari itu kau turun gunung dengan tergesa-gesa, kiranya kau diutus pergi ke Jing-sia?" seru
beberapa Sutenya.
"Benar," sahut si kakek. "Suhu suruh aku jangan mengatakan kepada kalian supaya tidak timbul hal-hal yang
tak diinginkan."
"Hal-hal yang tak diinginkan apa sih? Itu kan cuma pikiran Suhu yang biasanya memang sangat hati-hati," ujar
Liok Tay-yu.
"Kau tahu apa?" omel Samsuhengnya. "Bila Jisuko mengatakan padamu, tentu kau akan usil mulut dan
menyampaikannya pula kepada Toasuko. Andaikan Toasuko tidak berani membangkang perintah Suhu, tapi dia
tentu akan menggunakan akal aneh-aneh untuk mengacau pihak Jing-sia-pay."
"Benar juga ucapan Samte," kata si kakek. "Toasuko mempunyai banyak sekali sahabat Kangouw, untuk
melakukan sesuatu tidak perlu mesti dia sendiri yang melaksanakannya. Menurut Suhu, dalam surat
mengatakan kedua murid yang nakal telah diberi hukuman yang setimpal, mestinya akan dipecat dari
perguruan, tapi khawatir hal ini akan menimbulkan salah sangka orang Kangouw seakan-akan kedua aliran kita
telah terjadi keretakan, maka sekarang kedua murid nakal itu sudah diberi hukum rangket sehingga tidak
mampu berjalan, sebab itulah sengaja menyuruh Jitecu bernama Lo Tek-nau untuk minta maaf. Urusan yang
ditimbulkan oleh murid nakal ini hendaklah Ih-koancu mengingat hubungan baik kedua pihak dan janganlah
marah dan macam-macam ucapan merendah lagi."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendengar uraian isi surat itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Hubungan Hoa-san-pay kalian dan Jing-sia-pay
ternyata sangat akrab, pantas nona burik itu tidak mau menyalahi mereka hanya untuk membela aku dan ayah
saja."
Dalam pada itu si kakek yang bernama Lo Tek-nau telah meneruskan ceritanya, "Sesampainya aku di Jing-siasan,
masih mendingan si Hau Jin-eng itu, yang kurang ajar adalah si Ang Jin-hiong, beberapa kali dia mengejek
dan mencemooh, bahkan menantang aku untuk berkelahi ...."
"Keparat! Labrak saja, takut apa, Jisuko? Masakah keparat she Ang itu mampu menandingi kau?" seru Liok
Tay-yu dengan gemas.
"Tapi Suhu menyuruh aku ke Jing-sia-san untuk meminta maaf dan bukan untuk mencari perkara," sahut Lo
Tek-nau. "Maka sedapat mungkin aku hanya bersabar saja. Aku menunggu enam hari di sana, sampai hari
ketujuh barulah Ih-koancu menemui aku."
"Hm, lagaknya!" omel Liok Tay-yu. "Selama enam hari enam malam itu tentu engkau sangat tersiksa, Jisuko."
"Ya, sudah tentu aku kenyang disindir dan diejek," sahut Lo Tek-nau. "Syukurlah aku cukup sadar akan tugas
yang dibebankan Suhu kepadaku, bahwasanya aku yang diutus ke Jing-sia bukan lantaran ilmu silatku melebihi
orang lain, beliau tahu usiaku paling tua dan jauh lebih sabar daripada para Sute. Sesudah menemui aku, Ihkoancu
juga tidak bilang apa-apa, dia hanya menghibur aku beberapa patah, malamnya lantas mengadakan
perjamuan untukku. Besok paginya dia sendiri yang mengantar keberangkatanku, sedikit pun tidak kurang
adat. Tapi mereka tidak menduga bahwa selama enam hari aku dibiarkan tinggal di Siong-hong-koan mereka
tanpa digubris sesungguhnya malah merugikan mereka sendiri.
"Karena aku belum dapat bertemu dengan Ih-koancu, dengan sendirinya aku menjadi menganggur saja. Hari
ketiga pagi-pagi sekali aku telah bangun dan keluar jalan-jalan, sampai di lapangan berlatih di belakang kuil
mereka itu, terlihat ada beberapa puluh murid Jing-sia-pay sedang latihan. Kita mengetahui orang Bu-lim
paling pantang kalau mengintip orang lain yang sedang berlatih, maka cepat-cepat aku memutar balik ke
kamar. Akan tetapi hanya sekilas pandang itu saja aku sudah lantas timbul rasa curiga. Kulihat beberapa puluh
murid Jing-sia-pay itu semuanya menggunakan pedang dan sedang berlatih sesuatu ilmu pedang baru, sebab
tampaknya gerakan mereka masih kaku. Cuma sekilas saja aku pun tidak jelas ilmu pedang apa yang mereka
latih itu.
"Sepulangnya di kamar, hatiku semakin curiga. Aku tidak habis mengerti mengapa murid-murid Jing-sia-pay itu
tanpa kecuali sekaligus telah latihan bersama sebuah ilmu pedang. Apalagi di antara mereka juga termasuk
empat tokoh muda yang terkenal sebagai Jing-sia-su-siu, yaitu Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho dan Lo
Jin-kiat. Coba para Sute, jika kalian yang memergoki keadaan begitu, bagaimana dugaan kalian?"
"Mungkin Jing-sia-pay baru menciptakan semacam ilmu pedang," ujar orang pembawa Swipoa.
"Semula aku pun berpikir begitu," sahut Lo Tek-nau. "Tapi setelah kupikir lagi kukira tidak tepat. Ilmu pedang
Ih-koancu sudah cukup terkenal, jika dia berhasil menciptakan ilmu pedang baru, maka ilmu pedang ini pasti
luar biasa dan tidaklah mungkin serentak diajarkan kepada semua muridnya tanpa membedakan tingkatan.
Paling-paling dia cuma pilih dua-tiga muridnya yang paling pandai untuk melatihnya. Maka pagi hari berikutnya
kembali aku memutar ke belakang kuil lagi, lewat di lapangan berlatih, kembali kulihat mereka masih latihan
ilmu pedang. Sekilas pandang pula aku dapat mengingat baik-baik dua jurus di antaranya dengan maksud
sepulangnya di Hoa-san akan kuminta keterangan kepada Suhu. Maklumlah aku menjadi curiga jangan-jangan
Jing-sia-pay hendak memusuhi Hoa-san-pay kita, bukan mustahil ilmu pedang mereka yang baru itu khusus
akan ditujukan untuk mengalahkan kita, untuk mana kita harus siap siaga sebelumnya."
"Jisuko, apakah tidak mungkin mereka sedang berlatih semacam Kiam-tin (barisan pedang)?" tiba-tiba si badan
gede ikut tanya.
"Hal ini pun sangat mungkin. Cuma dari cara latihan mereka itu kukira bukanlah sebuah Kiam-tin apa-apa,"
sahut Lo Tek-nau. "Ketika esok paginya aku pura-pura lalu di lapangan latihan itu, namun keadaan sunyi
senyap tiada seorang pun. Kutahu mereka sengaja menghindari aku, maka rasa curigaku semakin menjadi.
Malamnya selagi aku hampir pulas, tiba-tiba dari jauh terdengar suara saling benturnya senjata. Aku terkejut,
apakah Siong-hong-koan mereka telah kedatangan musuh? Pikiranku yang timbul pertama adalah: janganjangan
Toasuko yang sengaja menyatroni mereka karena merasa dendam habis dimarahi Suhu? Jika demikian
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
halnya, seorang diri tentu Toasuko sukar melawan orang banyak, aku harus keluar untuk membantunya.
Karena aku tidak membawa senjata, terpaksa dengan bertangan kosong aku lantas keluar ...."
"Wah, tabah benar, Jisuko," puji Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Jika aku tentu tidaklah berani melawan Ih Jonghay,
ketua Jing-sia-pay itu dengan bertangan kosong".
"Kau omong melantur saja, monyet," semprot Lo Tek-nau. "Aku toh tidak mengatakan akan menempur Ihkoancu.
Aku cuma khawatirkan keselamatan Toasuko, biarpun berbahaya juga terpaksa ikut maju. Memangnya
kau suruh aku enak-enak tidur dan mengkeret di dalam selimut seperti kura-kura?"
Mendengar itu, para Sutenya lantas bergelak tertawa.
Liok Tay-yu menyengir, sahutnya, "Aku kan memuji kau, kenapa kau marah malah?"
"Terima kasih saja, pujianmu itu tidak enak didengar," ujar Lo Tek-nau.
"Sudahlah Jisuko, lanjutkan saja ceritamu, jangan gubris Lak-kau-ji yang mengacau melulu itu," kata Sutesutenya
yang lain.
"Ya, maka diam-diam aku lantas keluar dari kamar, kudengar suara senjata itu makin lama makin ramai,
hatiku semakin berdebar juga. Kedengaran suara senjata itu datang dari ruangan belakang, terlihat pula di
balik jendela ruangan belakang itu memang terang benderang, segera aku menuju ke sana. Waktu kuintip ke
dalam ruangan melalui celah-celah jendela, maka legalah hatiku. Kiranya curigaku itu tidaklah beralasan,
hanya lantaran Ih-koancu tidak menemui aku sampai beberapa hari, maka aku selalu berpikir hal-hal yang
buruk. Ternyata di dalam ruangan pendopo belakang itu ada dua pasangan sedang bertanding pedang, yang
satu partai adalah Hau Jin-eng melawan Ang Jin-hiong, partai lain adalah Pui Jin-ti melawan Uh Jin-ho."
"Wah, giat amat anak murid Jing-sia-pay itu, sampai malam hari juga berlatih," Liok Tay-yu mengolok-olok.
Lok Tek-nau melototinya sekali, lalu menyambung dengan tersenyum, "Kulihat di tengah ruangan itu duduk
seorang Tojin pendek kecil berjubah hijau, usianya sekitar 50-an tahun, mukanya kurus ciut, melihat
macamnya itu bobot badannya paling-paling cuma 60-70 kati saja. Orang-orang Bu-lim memang mengetahui
ketua Jing-sia-pay adalah seorang Tojin yang pendek dan kecil, tapi kalau tidak menyaksikan sendiri tentu
tidak tahu sampai begitulah pendek dan kecilnya, apalagi percaya bahwa dia adalah Ih-koancu yang namanya
termasyhur.
"Di sekeliling ruangan itu berdiri beberapa puluh anak muridnya, semuanya sedang mengikuti pertandingan
ilmu pedang di tengah kalangan itu. Sesudah mengintip beberapa jurus saja aku lantas tahu bahwa ilmu
pedang yang dimainkan mereka itu tak lain dan tak bukan adalah ilmu pedang yang pernah kulihat di lapangan
latihan itu.
"Kutahu keadaanku waktu itu sangat berbahaya, jika sampai ketahuan orang Jing-sia-pay, bukan saja aku akan
mengalami hinaan, bahkan akan merugikan nama baik perguruan kita. Peristiwa Toasuko menendang terguling
kedua jago muda Jing-sia-pay itu walaupun mengakibatkan Suhu menghukum Toasuko, tapi di dalam hati Suhu
mungkin juga ada perasaan senang. Sebab apa pun juga Toasuko toh sudah menonjolkan namanya, apa yang
disebut Jing-sia-su-siu itu ternyata tidak tahan oleh sekali tendang murid utama Hoa-san-pay kita. Akan tetapi
lain soalnya jika aku ketangkap basah selagi mengintip orang lain berlatih, maka dosaku pastilah tak
terampunkan, bukan mustahil aku akan diusir keluar dari perguruan kita.
"Namun menghadapi pertandingan orang yang menarik itu, boleh jadi ada sangkut pautnya pula dengan
kepentingan Hoa-san-pay kita, masakah aku mau tinggal pergi begitu saja? Diam-diam aku berjanji hanya
akan melihat beberapa jurus saja, lalu pergi. Tapi beberapa jurus ditambah beberapa jurus lagi, makin melihat
makin tertarik sehingga aku tetap mengintip terus. Kulihat ilmu pedang yang dimainkan mereka itu agak aneh,
tapi toh tiada sesuatu yang lihai, mengapa orang Jing-sia-pay sedemikian tekun melatihnya?
"Sesudah mengintip beberapa jurus lagi, aku tidak berani mengintip terus, perlahan-lahan aku pulang ke
kamar. Kukhawatir bila pertandingan mereka sudah berhenti, dalam keadaan sunyi, asal sedikit aku bergerak
saja pasti akan diketahui oleh Ih-koancu. Maka untuk dua malam selanjutnya aku tidak berani pergi mengintip
lagi. Padahal jika sebelumnya aku tahu mereka berlatih di hadapan Ih-koancu betapa pun aku tidak berani
mengintipnya. Soalnya cuma secara kebetulan saja aku memergoki mereka. Maka dari itu pujian Laksute
tentang ketabahanku sebenarnya aku tidak berani terima. Malam itu bila Laksute melihat mukaku yang pucat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
takut itu mustahil takkan mengatakan Jisukomu ini sebagai seorang pengecut nomor satu yang takut mati."
"Ah, mana berani aku berkata begitu," ujar Liok Tay-yu dengan tertawa. "Paling-paling Jisuko adalah penakut
yang nomor dua. Sebab bila aku yang mengintip waktu itu, aku sih tidak takut dipergoki Ih-koancu, karena
saking takutnya aku tentu menjadi kaku dan tak bisa bergerak, bernapas pun tak dapat, maka tak perlu
khawatir diketahui oleh Ih-koancu, tidak nanti Ih-koancu mengetahui di luar jendela ada 'tokoh' nomor satu
sebagai diriku ini sedang mengintip."
Serentak tertawalah semua orang mendengar ucapan Lak-kau-ji yang lucu itu.
Lalu Lo Tek-nau melanjutkan lagi, "Akhirnya Ih-koancu menerima aku juga. Dia bicara dengan sangat sungkan,
katanya hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya sangat baik, kalau anak murid bertengkar adalah
seperti anak kecil berkelahi saja, buat apa orang tua ambil pusing. Malamnya aku lantas dijamu, besoknya
waktu berangkat Ih-koancu mengantar sendiri keluar Siong-hong-koan. Sebagai kaum muda waktu mohon diri
sudah seharusnya aku berlutut untuk menjura padanya. Tapi baru sebelah kakiku berlutut, tangan kanan Ihkoancu
sudah lantas menyanggah perlahan sehingga aku terangkat bangun.
"Tenaga Ih-koancu benar-benar luar biasa, seketika badanku terasa enteng, sedikit pun tak bisa mengeluarkan
tenagaku, kalau dia mau melemparkan aku, tentu aku akan terguling-guling beberapa meter jauhnya. Dengan
tersenyum dia tanya padaku, 'Toasukomu masuk perguruan lebih dahulu beberapa tahun daripadamu? Apakah
kau berguru sudah memiliki ilmu silat?'
"Aku mengiakan dan mengatakan Toasuko masuk perguruan 12 tahun lebih dulu. Maka Ih-koancu tertawa lagi,
katanya, 'O, jadi lebih dulu 12 tahun!'"
"Apa maksudnya dia menanyakan hal itu?" tanya si nona burik.
"Aku pun tidak tahu, cuma wajahnya sangat aneh ketika menanyakan hal itu padaku," sahut Lo Tek-nau.
"Kukira dia hendak mengatakan kepandaianku toh tidak tinggi, biarpun Toasuko belajar lebih lama 12 tahun
rasanya juga tidak berbeda banyak."
"Hm!" si nona mendengus, lalu tidak tanya pula.
Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Sepulangnya di rumah aku lalu mengaturkan surat balasan Ih-koancu kepada
Suhu. Isi suratnya ternyata sangat ramah dan merendah hati. Suhu sangat senang sesudah membaca. Beliau
lantas tanya padaku tentang pengalamanku di Siong-hong-koan. Kuceritakan tentang ilmu pedang yang dilatih
anak murid Jing-sia-pay itu, segera Suhu suruh aku untuk mempertunjukkan jurus-jurus yang kulihat itu.
Karena aku cuma ingat lima-enam jurus saja, aku lantas memainkan apa yang kuketahui itu. Sesudah melihat,
Suhu lantas berkata, 'Ilmu pedang ini adalah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok!'"
Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan terakhir itu. Untunglah orang-orang Hoa-san-pay itu lagi asyik
mendengar cerita Jisuko mereka sehingga tidak memerhatikan orang-orang di sekitarnya.
Dalam pada itu terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Waktu itu aku lantas tanya Suhu, 'Apakah Pi-siakiam-
hoat ini sangat hebat? Mengapa Jing-sia-pay mempelajarinya sedemikian tekun?'
"Namun Suhu tidak menjawab, sesudah merenung sejenak barulah beliau berkata, 'Tek-nau, sebelum berguru
padaku kau sudah pernah berkelana beberapa tahun di Kangouw, apakah kau pernah mendengar orang Bu-lim
memberi komentar tentang ilmu silatnya Lim Cin-lam, itu pemimpin Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu?'
"Aku menjawab, 'Ya, menurut cerita kawan-kawan Bu-lim, katanya tangan Lim Cin-lam sangat terbuka dan
suka menolong, maka setiap orang suka memberi muka padanya tanpa mengganggu barang kawalannya.
Adapun mengenai kepandaiannya yang sejati sebaliknya tidak terlalu jelas.'
"Lalu Suhu berkata pula, 'Memang perkembangan Hok-wi-piaukiok beberapa tahun terakhir ini sebagian besar
adalah berkat bantuan kawan-kawan Kangouw. Tapi kau tidak tahu bahwa Ih-koancu punya Suhu, yaitu Tiangjing-
cu, pada waktu mudanya pernah terjungkal di bawah Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho.'
"Aku tanya siapakah Lim Wan-tho itu, apakah ayahnya Lim Cin-lam. Tapi Suhu menjawab, 'Bukan, Lim Wantho
adalah kakeknya Lim-Cin-lam. Dialah yang mendirikan Hok-wi-piaukiok. Dia punya 72 jurus Pi-sia-kiamhoat,
108 gerakan Hoan-thian-ciang, dan 18 batang panah yang boleh dikata tiada tandingannya di kalangan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hek-to pada masa itu. Lantaran melihat Lim Wan-tho terlalu menonjol di kalangan Kangouw, ada juga kawan
kalangan Pek-to yang sengaja pergi mencari dia untuk minta bertanding, lantaran itulah Tiang-jing-cu telah
dikalahkan oleh Pi-sia-kiam-hoat.'
"'Jika begitu, jadi Pi-sia-kiam-hoat memang sangat lihai?' demikian tanyaku.
"Suhu menjawab, 'Tentang kalahnya Tiang-jing-cu itu kedua pihak telah tutup mulut rapat-rapat, maka orang
Bu-lim tiada yang tahu. Kakek gurumu adalah sobat kentalnya Tiang-jing-cu, pada waktu bertemu Tiang-jingcu
telah menceritakan kekalahannya itu kepada beliau, katanya hal itu merupakan hinaan terbesar selama
hidupnya, tapi dia pun merasa tidak dapat melawan Lim Wan-tho, dendam itu tentu sukar dibalas. Kakek
gurumu pernah coba-coba mengikuti permainan Pi-sia-kiam-hoat yang diperlihatkan Tiang-jing-cu dengan
maksud akan membantu dia menemukan kelemahan ilmu pedang itu.'
"Akan tetapi ke-72 jurus ilmu pedang itu memang luar biasa, tampaknya saja tiada sesuatu yang aneh, tapi di
dalamnya ternyata mengandung kemukjizatan yang sukar diraba orang. Kedua orang tua itu menyelaminya
sampai beberapa bulan dan tetap tidak dapat memecahkan cara mengalahkan Pi-sia-kiam-hoat. Tatkala mana
aku pun menunggui mereka di samping, aku ingat betul gerakan Pi-sia-kiam-hoat itu, maka begitu kau
memainkannya tadi aku lantas tahu ilmu pedang apa. Ai, sang tempo lalu dengan cepat sekali, peristiwa itu
sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau!"
Sebenarnya sejak Lim Peng-ci dihajar habis-habisan oleh anak murid Jing-sia-pay, dia sudah kehilangan
kepercayaan atas ilmu silat warisan leluhurnya sendiri, maka diam-diam ia berharap akan dapat mencari guru
pandai untuk menuntut balas.
Tapi sekarang demi mendengar cerita Lo Tek-nau tentang betapa gagah perwira kakek besarnya, Lim Wan-tho
itu, tanpa merasa semangatnya lantas terbangkit. Katanya di dalam hati, "Kiranya Pi-sia-kiam-hoat leluhurku
sedemikian hebat, sampai-sampai gembong-gembong Hoa-san-pay di masa dulu juga tidak mampu
menandingi. Tapi mengapa ayah sekarang malah tidak mampu melawan anak murid Jing-sia-pay yang masih
hijau pelonco itu? Ai, besar kemungkinan ayah belum lagi berhasil menyelami saripati dan kelihaian ilmu
pedang kakek-besar itu."
Ia dengar Lo Tek-nau sedang berkata pula, "Waktu itu aku telah tanya Suhu, 'Lalu Tiang-jing-cu dapat
menuntut balas atau tidak?'
"Kata Suhu, 'Sebenarnya kalah menang dalam pertandingan ilmu silat juga tak dapat dianggap sebagai
permusuhan sehingga mesti merasa dendam segala, apalagi Lim Wan-tho pada masa itu sudah lama
termasyhur, dia adalah Locianpwe yang dikagumi kawan-kawan Bu-lim, sebaliknya Tiang-jing-cu adalah Tosu
muda yang baru saja mulai menonjol. Seorang muda dikalahkan kaum tua sebenarnya tidaklah menjadi soal.
Sebab itulah kakek-gurumu telah menghibur dengan menasihati dia supaya persoalan itu jangan dipikirkan
lagi. Kemudian Tiang-jing-cu telah meninggal dalam usia cuma 36 tahun, boleh jadi soal kekalahannya itu
masih tetap menjadi ganjalan hatinya sehingga dia mati dengan kurang tenteram. Kejadian yang sudah
berselang beberapa puluh tahun, kini mendadak Ih Jong-hay giat melatih Pi-sia-kiam-hoat bersama muridmuridnya,
sebenarnya apakah sebabnya? Ya, apa sebabnya!'
"Aku coba mengemukakan pendapatku, apakah tak mungkin Ih-koancu hendak mencari perkara kepada Hokwi-
piaukiok secara besar-besaran untuk menuntut balas sakit hati gurunya? Suhu tampak mengangguk,
katanya, 'Aku pun berpikir demikian. Agaknya jiwa Tiang-jing-cu itu sangat sempit, orangnya tinggi hati pula,
soal kekalahannya tentu membuatnya dendam sampai saat ajalnya, besar kemungkinan dia telah
meninggalkan pesan apa-apa kepada Ih Jong-hay. Namun Lim Wan-tho sudah wafat lebih dulu daripada Tiangjing-
cu, jika Ih Jong-hay mau menuntut balas terpaksa mesti mencari keturunan Lim Wan-tho. Tapi entah
mengapa tertunda hingga sekarang baru mau bertindak. Ih Jong-hay itu sangat licin, tentu dia sudah mengatur
rencana dulu baru mulai bergerak. Sekali ini Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok tentu akan berhadapan dengan
sengit.'
"Waktu aku tanya Suhu bagaimana pendapatnya atas perselisihan itu, pihak mana yang akan menang? Dengan
tertawa Suhu menjawab, 'Ilmu silat Ih Jong-hay sudah jauh melebihi gurunya, yaitu Tiang-jing-cu, sebaliknya
kepandaian Lim Cin-lam walaupun orang luar tidak tahu persis, tapi jelas tidak dapat memadai kakeknya. Yang
satu maju dan yang lain mundur, ditambah lagi Jing-sia-pay di pihak yang gelap sedangkan Hok-wi-piaukiok
berada di pihak yang terang, sebelum mulai bertarung Hok-wi-piaukiok sudah kalah separuh. Apabila
sebelumnya Lim Cin-lam mendapat kabar dan dapat meminta bantuan Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa dari
Lokyang, yaitu ayah-mertuanya, mungkin dia masih dapat melawan Jing-sia-pay. Tek-nau, apakah kau tidak
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ingin pergi melihat keramaian itu?'
"Sudah tentu aku mau saja. Tapi Suhu suruh aku diam-diam saja, jangan sampai diketahui oleh para Sute.
Dasar Siausumoay memang setan cerdik, akhirnya diketahui olehnya, dia merengek dan minta Suhu
mengizinkan dia ikut padaku. Begitulah kami berdua lantas berangkat ke Hokkian, kami menyamar sebagai
kakek dan cucu, dan membuka warung arak di luar kota Hokciu. Setiap hari kami tentu pergi menyelidiki
keadaan Hok-wi-piaukiok. Kami tidak melihat apa-apa yang menarik, hanya sering melihat Lim Cin-lam sedang
mengajar ilmu pedang kepada putranya yang bernama Lim Peng-ci. Melihat ilmu pedang mereka itu
Siausumoay geleng-geleng kepala terus, katanya padaku, 'Apakah begitu itu namanya Pi-sia-kiam-hoat (ilmu
pedang penghalau iblis), haha, jika iblis benar-benar datang, mungkin Lim-kongcu itu sudah lebih dulu
terhalau! ....'"
Di tengah gelak tertawa orang-orang Hoa-san-pay itu, muka Peng-ci juga merah jengah, malunya tak
terlukiskan. Pikirnya, "Kiranya mereka berdua lebih dahulu mengintai ke rumahku, tapi kami sekeluarga tidak
tahu sama sekali, sungguh tidak becus."
Terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Tidak seberapa hari kami tinggal di luar kota Hokciu lantas datanglah
anak murid Jing-sia-pay berturut-turut. Yang datang paling dulu adalah Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, setiap
hari mereka pasti mondar-mandir di sekitar Hok-wi-piaukiok. Khawatir kepergok, aku dan Siausumoay lantas
tidak pergi ke sana lagi.
"Pada hari itu benar-benar sangat kebetulan, tiba-tiba Lim-kongcu itu berkunjung ke warung yang kubuka
bersama Siausumoay itu. Terpaksa Siausumoay mengantar arak yang mereka minta. Tadinya aku
menyangsikan jangan-jangan penyamaran kami telah diketahui, maka dia sengaja datang untuk membongkar
rahasia kami. Tapi sesudah ajak bicara barulah diketahui Lim-kongcu itu sama sekali tidak sadar, pemuda
perlente yang hidupnya aman tenteram itu ternyata tidak paham apa-apa, tiada ubahnya seperti anak tolol.
Pada saat itulah tiba-tiba kedua orang Jing-sia-pay yang paling berengsek, yaitu Ih Jin-gan dan Keh Jin-tat,
juga berkunjung ke tempat kami ...."
"Haha, Jisuko, perusahaan yang kau buka bersama Siausumoay itu benar-benar subur dan makmur, laris
sebagai menjual pisang goreng. Wah, tentu kalian telah kaya mendadak di Hokkian!" demikian Liok Tay-yu
alias Lak-kau-ji bersorak.
"Tentu saja, masakah masih perlu tanya?" sela si nona dengan tertawa. "Sudah lama Jisuko menjadi hartawan,
berkat rezekinya aku pun ikut-ikut memperoleh bagian."
Maka tertawalah semua orang.
Dengan tertawa Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Ilmu silat Lim-siaupiauthau itu teramat rendah, menjadi
muridnya Siausumoay saja tidak memenuhi syarat, tapi jiwanya ternyata kesatria. Dasar putra mestika Ih
Jong-hay itu sudah buta, dia berani main gila dan mengganggu Siausumoay, eh, Lim-kongcu itu ternyata tidak
tinggal diam, ia terus tampil ke muka untuk membela Siausumoay ...."
Diam-diam perasaan Peng-ci bergolak, pikirnya dengan gusar, "Kurang ajar, rupanya secara berencana Jingsia-
pay sengaja mencari perkara dengan Hok-wi-piaukiok kami untuk menuntut balas angkatan tua mereka
yang dikalahkan kakek-besarku. Jika demikian yang datang ke Hokciu tentu tidak cuma Pui Jin-ti berempat
saja. Andaikan aku tidak membunuh Ih Jin-gan juga mereka akan merecoki aku."
Karena pikirannya melayang, maka apa yang diceritakan Lo Tek-nau tentang caranya dia membunuh Ih Jin-gan
menjadi tidak jelas baginya, hanya saja cerita Lo Tek-nau itu diselingi dengan suara tertawa semua orang,
terang mereka menertawakan kepandaiannya yang rendah itu.
Kemudian terdengar Lo Tek-nau lagi berkata, "Sesudah kusaksikan cara Lim-siaupiauthau itu membunuh Ih
Jin-gan, diam-diam aku tukar pikiran dengan Siausumoay tentang Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim, andaikan
ilmu pedang itu benar-benar lihai, paling sedikit Lim-siaupiauthau itu terang belum mempelajarinya. Malamnya
aku beserta Siausumoay lantas pergi lagi ke Hok-wi-piaukiok, tertampak Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho,
Pui Jin-ti dan belasan kawannya sudah datang semua.
"Khawatir dipergoki mereka, kami menonton saja dari jauh. Kami menyaksikan mereka menghabisi para
Piauthau dan petugas-petugas Piaukiok yang lain seorang demi seorang, setiap Piauthau yang keluar Piaukiok
selalu dibinasakan oleh mereka dan mayat mereka dikirim kembali, cara mereka benar-benar sangat keji.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kupikir permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok hanya disebabkan Tiang-jing-cu dikalahkan oleh
Lim Wan-tho, jika mau membalas sakit hati leluhur itu cukuplah Ih-koancu merobohkan keturunan keluarga
Lim saja, mengapa mesti menggunakan cara sekejam itu? Aku menduga, mungkin karena tewasnya Ih Jin-gan,
anak murid Jing-sia-pay itu terpaksa mesti main bunuh secara besar-besaran supaya bisa bertanggung jawab
kepada guru mereka. Akan tetapi mereka justru membiarkan hidup Lim Cin-lam dan istrinya beserta Lim Pengci
bertiga, mereka dipaksa kabur dari Hok-wi-piaukiok mereka."
"Tentang kepandaian, Lim-congpiauthau itu memang jauh lebih tinggi daripada Lim-siaupiauthau, tapi juga
belum terhitung jago pilihan," ujar si nona. "Menurut Jisuko, Jing-sia-pay persiapkan diri dengan giat berlatih di
waktu malam segala, sesungguhnya jerih payah mereka juga terlalu berlebihan."
"Tapi kalau mengingat mendiang Tiang-jing-cu dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya Ih Jong-hay
tidak berani memandang enteng ilmu pedang itu, maka tidaklah heran jika mereka giat berlatih dan
mempersiapkan diri dengan baik," kata Lo Tek-nau. "Hanya saja sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya
dipaksa kabur, akhirnya toh Ih-koancu masih datang pula ke Piaukiok itu, bahkan tinggal selama tiga hari di
sana, hal inilah yang kurasakan agak luar biasa."
Peng-ci terkejut juga, tanyanya di dalam hati, "Aneh, mengapa bangsat tua Ih Jong-hay itu mendatangi
Piaukiok kami? Untuk apa maksudnya?"
Ternyata pertanyaannya itu pun segera telah diucapkan oleh beberapa murid Hoa-san-pay itu.
Maka terdengar Lo Tek-nau telah menjawab, "Cerita ini cukup panjang. Sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya
melarikan diri, Pui Jin-ti dan lain-lain lantas membayangi mereka. Karena Siausumoay ingin mengetahui apa
yang akan terjadi, segera kami membayangi di belakang murid Jing-sia-pay pula. Sampai di sebuah warung
nasi di daerah pegunungan selatan Hokciu, di situlah Pui Jin-ti, Uh Jin-ho dan Keh Jin-tat bertiga lantas muncul
dan dapat menawan ketiga anggota keluarga Lim itu. Karena Siausumoay merasa terbunuhnya Ih Jin-gan oleh
Lim-kongcu adalah disebabkan gara-gara Siausumoay sendiri, maka mau tak mau ia hendak menolong Limkongcu
untuk sekadar membalas budi. Aku mencegahnya sedapat mungkin, kukatakan jika kita ikut campur
tentu akan mengganggu hubungan baik antara Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kita, apalagi orang-orang Jingsia-
pay boleh dikata berkumpul semua di Hokciu, kami berdua tentu sukar melawan mereka, kalau ikut makan
getahnya kan bisa runyam malah."
"Dasar usia Jisuko lebih lanjut, segala apa selalu berpikir secara panjang, tentu saja sangat mengecewakan
keinginan Siausumoay," ujar Liok Tay-yu.
"Tapi sekali Siausumoay sudah mau begitu, betapa pun aku hendak mencegahnya juga tidak dapat lagi," kata
Lo Tek-nau. "Segera Siausumoay tampil ke muka dengan tetap berdandan sebagai gadis penjual arak. Sudah
tentu Keh Jin-tat lantas mengenalnya, maka belum banyak bicara kontan dia sudah dijungkalbalikkan oleh
Siausumoay, malahan yang terakhir Siausumoay telah melemparkan dia ke dalam kolam lumpur sehingga
manusia she Keh itu kenyang menyedot air kencing dan ampas perut."
"Haha, bagus, bagus!" sorak Liok Tay-yu dengan tertawa. "Kutahu maksud Siausumoay itu bukanlah hendak
menolong bocah she Lim itu, tapi dalam hati kecilnya mempunyai tujuan lain. Hm, bagus, bagus!"
"Aku mempunyai tujuan lain apa? Kembali kau ngaco-belo lagi!" semprot si nona.
"Bukankah lantaran aku dihukum rangket oleh Suhu, maka Siausumoay ikut penasaran dan melampiaskannya
bagiku dengan menghajar orang Jing-sia-pay itu? Nah, terima kasih, ya ...." sambil berkata Liok Tay-yu terus
berbangkit dan memberi hormat.
Si nona melotot dengan tersenyum, omelnya, "Huh, kan kau tidak percuma merasakan rangketan itu. Sesudah
dirangket, bukankah kau telah terima ganti rugi dari Toasuko?"
"Aneh, sudah dirangket, cara bagaimana memberikan ganti rugi?" ujar Liok Tay-yu dengan heran.
"Ala, pura-pura dungu, tapi jangan kau kira dapat mengelabui aku," kata si nona. "Hari itu secara sembunyisembunyi
kau berlatih gaya tendangan itu di belakang gunung sampai beberapa pohon Tho roboh malang
melintang, bukankah tendangan itu adalah ajaran Toasuko?"
Muka Lak-kau-ji menjadi merah, sahutnya, "Ya, saking kagumnya atas tendangan Toasuheng yang sekaligus
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dapat membikin Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling, maka aku telah tanya dia cara bagaimana
menggunakan tendangan itu. Hal ini juga tak dapat dikatakan Toasuko mengajarkan padaku."
"Dan sekarang kau sudah pandai tendangan itu atau belum?" tanya si nona dengan tertawa.
Muka Liok Tay-yu kembali merah jengah, sahutnya, "Wah, masakah begitu cepat? Jika Sumoay juga ingin
belajar, tentu Toasuko akan memberi petunjuk padamu."
"Kau sudah belajar lebih dulu, buat apa aku mengekor kau?" kata si nona.
"Lalu bagaimana Jisuko, sesudah Siausumoay menghajar orang she Keh itu?" tanya Samsuhengnya.
Maka Lo Tek-nau menyambung lagi ceritanya, "Mata Pui Jin-ti itu ternyata sangat lihai, segera ia mengenali
gerakan Siausumoay adalah orang kita, tutur katanya menjadi agak jeri. Tetapi waktu Siausumoay membuka
Hiat-to pemuda she Lim dan hendak melepaskan dia, namun Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho menyatakan keberatan.
Maka Siausumoay lantas berguyon dengan mereka, ia campur arak dengan bedak dan gincu dan menyatakan
arak itu berbisa, lalu paksa mereka minum. Ternyata orang she Pui dan Uh itu tidak berani, di luar dugaan,
Lim-siaupiauthau itu ternyata sangat gagah perwira, sekaligus ia lantas habiskan arak Siausumoay itu."
Kembali Peng-ci merasa malu, pikirnya, "Nona burik itu benar-benar telah mempermainkan aku. Kiranya arak
itu dicampur bedak, pantas berbau pupur. Sungguh sial aku kena dibohongi dan kenyang minum arak begitu!"
"Pui Jin-ti tidak berani minum arak itu anggaplah tidak menjadi soal, tapi dia justru membual, katanya dia
memiliki obat penawar yang tidak takut segala macam racun," demikian Lo Tek-nau melanjutkan. "Dasar
Siausumoay juga jahil, segera ia keluarkan 'Hang-liong-hok-hou-wan' (pil penakluk naga dan harimau) dan
dicampurkan ke dalam arak, lalu suruh orang she Pui dan Uh itu minum. Coba kalian pikir betapa lihainya
Hang-liong-hok-hou-wan itu, biasanya kalau kita campur dengan air dan mencekoki babi atau kambing, lalu
dibuang di tanah pegunungan, makan betapa pun buasnya harimau maupun ular raksasa jika makan babi atau
kambing itu juga akan roboh oleh obat itu selama sehari semalam tak bisa berkutik. Maka kalau orang-orang
Jing-sia-pay itu berani meminumnya, pasti celakalah mereka dan akan dibikin malu."
Bab 11. Murid Pertama Hoa-san-pay Namanya Lenghou Tiong
"Lalu mereka minum atau tidak?" tanya Lak-kau-ji.
"Sudah tentu mereka tidak berani minum," sahut Lo Tek-nau. "Dengan mengendus bau arak yang sengak
menusuk hidung itu, siapa lagi yang berani minum. Tapi, e-e-eh, Lim-siaupiauthau itu benar-benar tidak takut
langit dan tidak gentar bumi, sekaligus dia telah menghabiskan tiga cawan arak itu. Para Sute, biarpun ilmu
silat Lim-kongcu itu tidak seberapa tingginya, tapi dengan diminumnya tiga cawan arak itu aku lantas
menghormati dia sebagai seorang laki-laki sejati. Sikap kesatria begitu benar-benar jarang terdapat di dunia
persilatan. Waktu itu jika aku yang dihadapkan kepada ketiga cawan arak itu tentu aku tidak mau juga tidak
berani minum."
Seketika semua orang terdiam, air muka mereka menampilkan rasa kagum kepada keberanian Lim Peng-ci.
"Dan sesudah habiskan tiga cawan arak itu tentu dia lantas menggeletak mabuk?" ujar Lak-kau-ji.
"Tentu saja," sahut Lo Tek-nau. "Kontan dia roboh terkulai seperti orang mampus. Tapi Pui Jin-ti itu benarbenar
sangat licin dan cerdik, dia masih curiga dan coba-coba memeriksa napas dan nadi Lim-kongcu itu
barulah mau percaya dia sudah mati. Habis itu barulah mereka berangkat dengan menggiring Lim Cin-lam dan
istrinya. Kemudian aku dan Siausumoay lantas menggali sebuah lubang untuk mengubur Lim-kongcu, namun
yang kami uruk di atas badannya hanya daun-daun kering, tangkai kayu dan batu saja, agar supaya dia dapat
bernapas dengan longgar, bila dia siuman tentu dapat merangkak keluar. Dengan cara kami mengubur dia itu,
andaikan orang-orang Jing-sia-pay kembali lagi ke situ juga terpaksa percaya akan kematian Lim-kongcu. Pula
kalau dia tak dikubur, tentu akan berbahaya jika dibiarkan menggeletak di situ, bila dia dimakan binatang buas
kan percumalah maksud Siausumoay hendak menolongnya."
Mendengar sampai di sini barulah Peng-ci paham duduknya perkara. Rupanya si nona burik justru bermaksud
menyelamatkannya dengan menguburnya di bawah tanah. Diam-diam ia berterima kasih, rasa dongkolnya dulu
lantas lenyap seketika.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu hujan bukannya mereda, sebaliknya malah semakin lebat. Tiba-tiba terlihat ada seorang
penjual pangsit berteduh di bawah emper di depan rumah minum itu. Penjual pangsit itu seorang tua, tiada
hentinya memukul kedua keping bambu sehingga mengeluarkan suara "tek-tok-tek-tok".
Memangnya sejak tadi anak murid Hoa-san-pay itu sudah kelaparan, cuma warung minum itu tidak menjual
barang daharan, terpaksa mereka menahan lapar. Kebetulan sekarang datang penjual pangsit, tanpa disuruh
lagi Liok Tay-yu lantas berseru, "He, pangsit, buatkan beberapa mangkuk, tambahkan telur pada tiap-tiap
mangkuk."
Penjual pangsit itu mengiakan dan segera membuka tutup kuali yang berisi air mendidih itu. Ia masukkan
pangsit mentah ke dalam kuali untuk direbus, kemudian diciduklah pangsit itu serta diberi bumbu, selang tak
lama lima mangkuk pangsit kuah yang masih panas sudah disuguhkan.
Kali ini Liok Tay-yu ternyata sangat taat pada peraturan, mangkuk pertama ia aturkan kepada Jisuko Lo Teknau,
mangkuk kedua kepada Samsuko Nio Hoat, lalu berturut-turut kepada Sisuko Si Cay-cu dan Gosuko Ko
Kin-beng. Mangkuk kelima mestinya adalah bagiannya sendiri, tapi dia memberikannya kepada si nona burik
dan berkata, "Silakan kau makan dulu, Siausumoay."
Di waktu bergurau si nona suka memanggil "Lak-kau-ji" padanya, tapi sekarang ia lantas berbangkit dan
menjawab dengan hormat, "Terima kasih, Laksuko."
Mungkin tata tertib perguruan mereka sangat keras, di waktu biasa mereka boleh bergurau sesukanya, tapi
tidak boleh mengurangi peraturan dan tata krama.
Begitulah Lo Tek-nau lantas mulai makan pangsitnya, sebaliknya si nona sengaja menunggu sampai pangsit
bagian Liok Tay-yu diantarkan oleh si penjual pangsit barulah mereka makan berbareng.
"Jisuko," demikian sambil makan Nio Hoat mulai bertanya pula, "tadi kau bilang Ih-koancu mengunjungi Hokwi-
piaukiok sendiri, sebenarnya apa maksud tujuannya?"
Maka Lo Tek-nau menjawab, "Sesudah Siausumoay berhasil menyelamatkan Lim-kongcu, mestinya ia masih
hendak mengintil di belakang rombongan Pui Jin-ti untuk mencari kesempatan buat menolong Lim Cin-lam dan
istrinya. Tapi aku telah mencegahnya, kubilang kebaikan Lim-kongcu itu sudah cukup terbalas dengan
menyelamatkan jiwanya. Tentang permusuhan Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok yang sudah berjalan sejak
angkatan tua sebaiknya kita jangan ikut tersangkut. Nasihatku ini telah diturut oleh Siausumoay dan kami
lantas kembali ke Hokciu.
"Kami menjadi heran ketika mengetahui belasan murid Jing-sia-pay masih berada di sekitar Hok-wi-piaukiok di
kota itu, tampaknya sedang berjaga dengan ketat. Padahal Piaukiok itu sudah kosong, sampai-sampai Lim Cinlam
dan istrinya juga sudah kabur, lalu apa lagi yang dikehendaki oleh pihak Jing-sia-pay? Karena merasa
tertarik, malamnya aku dan Siausumoay lantas pergi menyelidiki.
"Kami merasa tidak mudah untuk menyusup ke dalam Piaukiok itu mengingat penjagaan ketat yang diadakan
oleh murid-murid Jing-sia-pay. Tapi pada waktu mereka berganti penjaga ketika makan malam, kami berhasil
menyelundup ke dalam kebun sayur di belakang, kami sembunyi di situ. Kemudian waktu kami merunduk ke
dalam Piaukiok, kami terkejut sekali. Ternyata banyak sekali murid Jing-sia-pay yang sedang mengubrak-abrik
seluruh isi Piaukiok itu sampai-sampai dinding juga dikorek dan jubin dibongkar. Hok-wi-piaukiok sebesar itu
hampir seluruhnya dijungkirbalikkan. Sudah tentu di dalam Piaukiok itu masih banyak harta benda yang
berharga yang tidak sempat dibawa pergi. Tapi orang-orang Jing-sia-pay itu ternyata tidak tamak harta,
barang-barang berharga yang diketemukan hanya ditaruh begitu saja. Saat itu juga, aku lantas berpikir bahwa
yang dicari oleh mereka tentu adalah suatu barang yang sangat penting dan barang apakah itu?"
"Tentu adalah Kiam-boh (rumus) dari Pi-sia-kiam-hoat!" seru beberapa orang Sutenya serentak.
"Benar, aku dan Siausumoay pun berpendapat begitu," sahut Lo Tek-nau. "Melihat gelagatnya terang mereka
sengaja memaksa orang-orang Hok-wi-piaukiok supaya kabur dari tempat itu, lalu mereka dapat mengubrakabrik
dengan sesuka hati. Tapi meski mereka kelihatan sibuk sekali sehingga mandi keringat toh tetap tiada
sesuatu yang diketemukan."
"Akhirnya mereka berhasil atau tidak?" tanya Liok Tay-yu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Aku dan Siausumoay juga ingin tahu akan hal itu, akan tetapi orang-orang Jing-sia-pay itu bongkar sini dan
gali sana, sampai-sampai kakus juga hampir-hampir mereka bongkar, khawatir kalau-kalau akhirnya kami
kepergok, terpaksa aku dan Siausumoay lekas-lekas meninggalkan tempat itu," jawab Lo Tek-nau.
"Jisuko, kali ini sampai-sampai Ih Jong-hay juga maju sendiri, menurut pandanganmu apakah tidak
berlebihan?" tanya Gosutenya, Ko Kin-beng.
"Soalnya leluhur Jing-sia-pay pernah dikalahkan Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho, sekarang kepandaian Lim
Cin-lam entah lebih tinggi atau lebih tidak becus dari leluhurnya tidaklah diketahui dengan pasti oleh orang
luar. Maka rasanya tidak berlebihan jika Ih-koancu merasa perlu tampil ke muka sendiri. Cuma dari gerakgeriknya
itu kukira maksud tujuan kedatangannya ke Hokciu itu bukanlah untuk menuntut balas melulu, yang
lebih penting adalah dia ingin mendapatkan buku Kiam-boh itu."
"Jisuko," kata Sisutenya yang bernama Si Cay-cu, "kau telah menyaksikan mereka berlatih Pi-sia-kiam-hoat di
Siong-hong-koan. Jika mereka sudah dapat memainkan ilmu pedang itu buat apa mesti mencari Kiam-boh dari
Kiam-hoat itu? Boleh jadi yang hendak mereka cari adalah barang lain."
"Tidak," sahut Lo Tek-nau sambil menggeleng. "Tokoh besar sebagai Ih-koancu itu, di dunia ini hanya rumus
ilmu silat saja yang dapat menarik perhatiannya. Kemudian waktu di daerah Kangsay aku dan Siausumoay
telah memergoki rombongannya lagi. Terdengar Ih-koancu menanyakan kepada anak muridnya yang datang
melapor dari Oulam dan Kwitang, tapi dari sikapnya yang lemas dan gelisah itu agaknya barang yang mereka
cari itu belum diketemukan."
"Tapi kau bilang mereka telah mahir memainkan ilmu pedang itu, buat apa lagi mereka mencari Kiam-bohnya?
Sungguh aneh bin ajaib!" kata Si Cay-cu dengan tetap tidak mengerti.
Lo Tek-nau tahu otak sang Sisute itu memang agak puntul, suatu urusan yang sederhana terkadang sukar
dipahami sampai sekian lamanya. Cuma dia paling giat berlatih, kegiatannya ternyata dapat menambal
kekurangan kecerdasannya sehingga dalam ilmu silat dia malah lebih bagus daripada para Suheng dan Sutenya
yang lain. Maka jawabnya, "Coba Sisute pikir saja, dahulu Li Wan-tho dapat mengalahkan Tiang-jing-cu, sudah
tentu ilmu pedangnya sangat hebat, sebaliknya sekarang Ih-koancu menyaksikan ilmu Lim Cin-lam dan
putranya ternyata tidak becus. Bukankah di balik ini pasti ada sesuatu yang tidak beres?"
"Mengapa tidak beres?" tanya Si Cay-cu dengan tetap bingung.
"Sudah tentu karena di dalam Pi-sia-kiam-hoat itu pasti ada rahasianya yang belum diketahui, walaupun
gerakan pedangnya begitu-begitu saja, tapi daya tempurnya seharusnya sangat kuat, dan rahasia inilah yang
belum sampai dipelajari oleh Lim Cin-lam," ujar Tek-nau.
Untuk sejenak Si Cay-cu termenung-menung. Katanya kemudian, "O, kiranya begitu. Tapi tentang rumus
Kiam-hoat biasanya diajarkan oleh sang guru secara lisan. Padahal Lim Wan-tho sudah mati beberapa puluh
tahun yang lalu, andaikan peti matinya dibongkar juga tiada gunanya."
"Menurut peraturan golongan kita memang rumus ilmu silat diajarkan secara lisan antara guru dan murid tanpa
tertulis, tapi ilmu silat golongan lain belum tentu sama," kata Tek-nau.
"Tapi aku masih tetap tidak jelas, Jisuko," ujar Si Cay-cu. "Mungkin akan beralasan jika dahulu mereka mencari
rumus Pi-sia-kiam-hoat, yaitu supaya mereka dapat mengetahui rahasia ilmu pedang itu dan dapat
mengalahkannya. Akan tetapi sekarang Lim Cin-lam dan istrinya juga sudah mereka tawan, Hok-wi-piaukiok
dan segenap kantor cabangnya juga sudah diubrak-abrik mereka, lalu mereka mau menuntut balas apa lagi?
Andaikan di dalam Pi-sia-kiam-hoat itu betul ada rahasianya, lalu guna apa mereka mencarinya?"
"Coba jawab, Sisute," tanya Tek-nau dengan tertawa. "Ilmu silat Jing-sia-pay kalau dibanding dengan Ngo-gakkiam-
pay kita, kira-kira bagaimana?"
"Aku tidak tahu," sahut Si Cay-cu. Tapi lewat sejenak ia menambahkan lagi, "Mungkin belum memadai?"
"Benar, mungkin belum memadai," tukas Tek-nau. "Tapi Ih-koancu itu adalah orang yang berambisi besar dan
tinggi hati, masakah dia mau berdiri di bawah orang untuk selamanya? Bilamana di dalam Pi-sia-kiam-hoat itu
memang betul ada sesuatu rumus rahasia yang dapat membikin jurus ilmu pedang yang tampaknya sepele itu
menjadi mahalihai, lalu ilmu pedang yang mukjizat itu dikombinasikan di dalam Jing-sia-kiam-hoat, lantas
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bagaimana akibatnya?"
Si Cay-cu termangu-mangu sejenak, mendadak ia menggebrak meja lalu berbangkit sambil berseru, "Aha, baru
sekarang aku paham! Kiranya Ih Jong-hay ingin menjadi 'Ban-kiam-bengcu' (raja dari segala ilmu pedang)!"
Karena meja digebrak olehnya, sebuah mangkuk wadah pangsit tadi lantas mencelat dan jatuh ke bawah.
Namun cepat Ko Kin-beng mengayun sebelah kakinya, ujung kakinya mencukit perlahan sehingga mangkuk itu
mencelat kembali ke atas, maka dengan gampang mangkuk itu kena ditangkapnya kembali.
Pada saat itulah sekonyong-konyong si kakek penjual pangsit berkata kepada mereka dengan suara tertahan,
"Awas, lawan kalian telah datang, lekas lari!"
Mendengar kakek penjual pangsit itu mendadak bicara demikian, keruan semua orang terkejut. Cepat Ko Kinbeng
menegas, "Apakah Ih Jong-hay telah datang?"
Tapi penjual pangsit itu tidak menjawab, hanya ujung mulutnya mengerot memberi tanda, lalu ia memukulmukul
kepingan bambunya lagi.
Waktu semua orang memandang keluar, tertampaklah di tengah hujan lebat itu ada belasan orang sedang
mendatangi dengan langkah cepat. Orang-orang itu semuanya pakai mantel. Sesudah dekat barulah terlihat
jelas, kiranya adalah serombongan Nikoh (biksuni).
Yang berjalan paling depan adalah seorang Nikoh tua yang berbadan sangat tinggi. Begitu sampai di depan
rumah minum itu ia lantas berhenti dan berseru dengan suara kasar, "Lenghou Tiong, hayo keluar!"
Melihat Nikoh tua itu, serentak Lo Tek-nau dan para Sutenya berbangkit serta memberi hormat. Dengan suara
lantang Tek-nau menyapa, "Terimalah sembah bakti kami, Ting-yat Susiok."
Kiranya Nikoh tua itu bergelar Ting-yat Suthay, dia adalah Sumoaynya Ting-sian Suthay, itu ketua Hing-sanpay
yang bersemayam di Pek-hun-am (biara awan putih) di gunung Hing. Nama Ting-yat bukan saja sangat
berwibawa di dalam Hing-san-pay, bahkan orang Bu-lim umumnya juga sangat segan padanya.
Terdengar dia berteriak-teriak pula dengan suara kasar, "Di mana Lenghou Tiong bersembunyi, suruh dia
keluar!"
"Lapor Susiok, Lenghou-suheng tidak berada di sini," demikian kata Lo Tek-nau dengan hormat. "Sejak tadi
Tecu sekalian telah menunggunya dan tetap belum datang."
Mendengar percakapan itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Kiranya Toasuko yang mereka bicarakan tadi
bernama Lenghou Tiong. Orang ini benar-benar suka cari gara-gara, entah mengapa dia telah membuat marah
Nikoh tua ini?"
Dalam pada itu Ting-yat telah melangkah ke dalam rumah minum itu. Tapi di antara tamu-tamu itu tiada
diketemukan Lenghou Tiong, tiba-tiba ia menatap si nona burik dan bertanya, "Apakah kau ini Ling-ji? Mengapa
menyamar begini aneh?"
"Ada orang jahat yang hendak membuat susah Ling-ji, terpaksa menyamar untuk menghindarinya," sahut si
nona.
"Orang jahat macam apa itu? Katakan padanya bahwa segala apa yang kau lakukan adalah suruhanku, jika
perlu suruh dia mencari padaku saja," kata Ting-yat.
"Terima kasih, Susiok," sahut si nona alias Ling-ji. "Susiok, entah sebab apa Toasuko membikin marah
padamu? Biarlah aku menjura dan minta maaf baginya, harap engkau jangan gusar lagi."
Habis berkata ia lantas berlutut dan menyembah.
"Hm, pengawasan Hoa-san-pay kalian makin lama makin tak keruan dan membiarkan muridnya main gila
sesukanya," jengek Ting-yat. "Sudahlah, jika urusan di sini sudah beres segera aku akan pergi ke Hoa-san
untuk mencari bapakmu."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Eh, janganlah Susiok ke sana," cepat Ling-ji mencegah. "Baru saja Toasuko dirangket 30 kali oleh Ayah
sehingga berjalan pun tidak dapat. Jika Susiok mengadu lagi pada ayah, tentu Toasuko akan dihajar lebih
berat, jangan-jangan akan dirangket sampai mati."
"Binatang begitu lebih baik dihajar mampus saja daripada hidup lebih lama lagi," kata Ting-yat. "Hm, kau pun
berani berdusta padaku, Ling-ji! Kau bilang Lenghou Tiong tidak dapat berjalan, tapi mengapa dia dapat
membawa lari muridku yang terkecil?"
Ucapan ini membuat anak murid Hoa-san-pay itu terperanjat, lebih-lebih Ling-ji, hampir-hampir ia menangis,
cepat ia bertanya, "Susiok, rasanya hal itu ti ... tidaklah mungkin. Betapa pun binalnya Toasuko juga takkan
berani menyalahi para Suci dari golongan kalian. Besar kemungkinan ada orang yang sengaja memfitnah dan
mengadu domba."
"Kau masih coba menyangkal dan membelanya?" semprot Ting-yat. "Coba, Gi-kong, ceritakan apa yang kau
saksikan di Hengyang?"
Seorang Nikoh setengah tua lantas tampil ke muka, katanya, "Tecu telah menyaksikan sendiri di kota
Hengyang, di mana Lenghou-suheng dan Gi-lim Sumoay berduduk bersama sedang minum arak di Cui-sianlau.
Terang kelihatan Gi-lim Sumoay berada di bawah ancaman Lenghou-suheng sehingga terpaksa menurut
saja, sikapnya tampak sangat cemas dan takut-takut."
Meski sudah mengetahui hal itu, sekarang untuk kedua kalinya Ting-yat mendengar, kembali rasa gusarnya
memuncak, mendadak ia menggebrak meja sehingga beberapa mangkuk pangsit sampai mencelat. Sekali ini
tiada seorang pun yang berani menangkap kembali mangkuk-mangkuk itu sehingga terjatuh semua ke lantai
dan pecah berantakan.
Diam-diam para murid Hoa-san-pay itu menjadi serbasalah, mereka anggap perbuatan sang Suheng sekali ini
agak kelewatan, kalau minum arak bersama seorang pengemis sih tidak menjadi soal, tapi mana boleh
memaksa seorang Nikoh cilik minum bersama di rumah arak secara terang-terangan di depan umum. Apalagi
Nikoh itu adalah murid Hing-san-pay. Sekarang menghadapi Ting-yat Suthay yang wataknya sangat keras, jika
dilaporkan, sekalipun Toasuheng tidak dibunuh Suhu juga pasti akan diusir dari perguruan.
Air mata Ling-ji sampai berlinang-linang mendengar hal itu, tanyanya kemudian dengan suara gemetar,
"Susiok, apakah ... apakah Gi-kong Suci tidak salah lihat?"
"Masakan aku bisa salah lihat?" sahut Gi-kong dengan dingin. "Gi-lim Sumoay adalah saudara seperguruanku,
masakah aku keliru mengenalnya? Apalagi macamnya Lenghou-suheng itu juga tidak mungkin aku pangling."
"Jika ... jika begitu, mengapa engkau tidak panggil Gi-lim Sumoay supaya ikut pergi bersama engkau?" tanya
Ling-ji.
"Aku tidak berani," sahut Gi-kong.
"Tidak berani? Apakah engkau takut Toasuko memaksa kau ikut minum sekalian bersama dia?" tanya Ling-ji
pula.
Pertanyaan ini membuat para Suhengnya merasa geli, tapi tiada yang berani tertawa. Ting-yat juga lantas
membentak, "Ling-ji, jangan sembarangan omong!"
Lalu Gi-kong menjawab, "Sebab di antara mereka terdapat pula seorang lagi dan aku tidak berani
menemuinya."
"Siapakah dia?" tanya Ling-ji.
"Dian Pek-kong!" jawab Gi-kong.
Serentak semua orang bersuara kaget sambil berbangkit.
Rupanya Dian Pek-kong itu dijuluki "Ban-li-tok-heng", si kelana tunggal berlaksa li, seorang bandit yang sangat
memusingkan tokoh-tokoh, baik dari kalangan Pek-to maupun Hek-to. Ilmu silat Dian Pek-kong sangat tinggi,
tipu akalnya banyak dan macam-macam, datang pergi selalu seorang diri tanpa bekas. Caranya kejam pula,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
segala kejahatan dapat diperbuatnya, membunuh, merampok, menculik, memerkosa wanita, semuanya adalah
dikerjakannya yang biasa.
Beberapa kali juga jago-jago persilatan secara besar-besaran menggerebeknya, tapi dia selalu menghilang. Bila
para pengepungnya sudah bubar, lalu satu per satu dia menyergap mereka, selama ini sudah banyak sekali
orang-orang gagah yang menjadi korban keganasannya.
Yang paling celaka adalah Dian Pek-kong ini berjiwa cabul, setiap wanita yang agak lumayan parasnya tentu
diincar olehnya. Sebab itulah orang Bu-lim merasa sangat benci padanya dan setiap orang ingin membinasakan
dia. Lebih-lebih kaum wanita, bila mendengar namanya sangat ketakutan.
"Gi-kong Sumoay, apakah kau kenal keparat Dian Pek-kong itu?" demikian tiba-tiba Lo Tek-nau bertanya.
"Pada jidat sebelah kiri orang itu ada tembong (toh) hijau serta tumbuh bulu yang panjang," sahut Gi-kong.
Kiranya tembong hijau berbulu di atas jidat adalah ciri khas Dian Pek-kong sehingga diketahui oleh setiap
orang Kangouw.
Maka dengan gusar Ting-yat lantas memaki, "Coba, binatang Lenghou Tiong itu telah bergaul bersama
penjahat tak terampunkan sebagai Dian Pek-kong itu, bukankah dia sudah terjeblos ke dalam lumpur
sedemikian dalamnya? Biarpun Suhu kalian masih membela muridnya sendiri, jika aku ketemukan dia, pasti tak
ampun lagi, aku harus memenggal kepalanya. Hm, orang lain gentar kepada Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong,
tapi aku justru hendak melabraknya mati-matian. Sayang waktu aku mendapat laporan dan memburu ke sana,
sementara itu Dian Pek-kong dan Lenghou Tiong sudah kabur dengan membawa lari Gi-lim. Ai, kasihan Gi-lim
anak ini!"
Segera di antara murid-murid Pek-hun-am itu ada yang menangis khawatir. Mereka yakin Gi-lim yang masih
muda belia dan lemah lembut itu sekali sudah jatuh di bawah cengkeraman Dian Pek-kong pastilah sukar
terhindar dari kecemaran.
Lo Tek-nau dan yang lain juga berdebar-debar khawatir. Pikir mereka, "Sekalipun Toasuko melulu minum arak
berduaan bersama Gi-lim di rumah minum, hal ini saja sudah sangat mencemarkan nama baik dan kesucian
orang beribadat dan telah melanggar undang-undang perguruan, sekarang dia bergaul pula dengan manusia
kotor sebagai Dian Pek-kong ini, benar-benar dosa ditambah dosa lagi."
Selang sejenak barulah Tek-nau berkata, "Susiok, boleh jadi Lenghou-suheng cuma bertemu secara kebetulan
saja dengan Dian Pek-kong dan tiada persahabatan apa-apa. Selama beberapa hari ini Toasuheng selalu
minum sampai mabuk, pikirannya menjadi linglung sehingga tindak tanduknya sukar diduga ...."
"Hm, mabuk apa? Mabuk juga ada batasnya!" bentak Ting-yat dengan gusar. "Dia toh bukan anak kecil,
masakah tidak bisa membedakan hal-hal yang baik dan yang busuk?"
"Ya, ya," sahut Tek-nau. "Cuma tidak diketahui Toasuheng sekarang berada di mana. Sutit sekalian juga ingin
mencarinya dan menegur perbuatannya yang tidak pantas itu. Sekarang biarlah Sutit menjura dan minta maaf
dulu kepada Susiok, nanti akan kami laporkan kepada Suhu agar menghukum Toasuheng secara setimpal."
"Hm, aku peduli apa dengan Suhengmu?" damprat Ting-yat dengan marah. Sekonyong-konyong tangannya
menjulur, kontan pergelangan tangan Ling-ji kena dipegang olehnya.
Seketika Ling-ji merasa tangannya seperti dibelenggu, ia menjerit kaget, "Su ... Susiok!"
"Toasuhengmu telah menculik muridku Gi-lim, maka sekarang aku pun hendak menculik kau sebagai sandera,"
kata Ting-yat. "Asal kalian mengembalikan Gi-lim, segera aku pun akan melepaskan Ling-ji!"
Habis berkata ia memutar tubuh, Ling-ji diseretnya keluar rumah minum itu.
Tanpa ampun lagi setengah badan bagian atas Ling-ji terasa kesemutan dan tak bertenaga, tanpa kuasa ia ikut
berjalan dengan sempoyongan.
Cepat Lo Tek-nau dan Nio Hoat melompat maju dan mengadang di depan Ting-yat Suthay. Kata Tek-nau
dengan menghormat, "Ting-yat Susiok, andaikan Toasuko berbuat apa-apa yang tidak pantas juga tidak ada
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sangkut pautnya dengan Siausumoay, harap Susiok suka mengampuni dia."
"Baik, akan kuampuni dia!" sahut Ting-yat. Mendadak ia angkat lengan kanan lalu menyampuk ke samping.
Kontan Lo Tek-nau dan Nio Hoat merasa didorong oleh suatu tenaga mahakuat, sampai napas pun terasa
sesak, tanpa kuasa lagi tubuh mereka mencelat ke belakang. "Blang" punggung Lo Tek-nau menumbuk daun
pintu rumah minum itu, papan pintu itu sampai-sampai pecah. Sedangkan Nio Hoat mencelat ke arah si penjual
pangsit, tampaknya pikulan pangsit itu pasti hancur tertumbuk dan bukan mustahil Nio Hoat akan terluka parah
terkena air mendidih. Syukurlah mendadak si kakek penjual pangsit telah menjulurkan sebelah tangannya
untuk menahan di punggung Nio Hoat sehingga dia dapat berdiri kembali dengan tegak.
"Kiranya kau!" kata Ting-yat Suthay sambil melotot sesudah mengenali siapa kakek penjual pangsit itu.
"Ya, akulah adanya," sahut si penjual pangsit dengan tertawa. "Perangai Suthay rasanya terlalulah diumbar!"
"Peduli apa dengan kau?" semprot Ting-yat.
Pada saat itu juga tertampak dua orang berpayung dan membawa lentera sedang mendatangi dengan cepat
sambil berseru, "Apakah di sini ini adalah Sin-ni dari Hing-san-pay?"
Mendengar dirinya disebut sebagai "Sin-ni" (Nikoh sakti), Ting-yat menjadi senang hatinya. Segera ia
menjawab, "Ah, tidak berani terima pujian demikian. Ting-yat dari Hing-san memang berada di sini."
Sesudah dekat, tertampak kerudung lentera yang dibawa kedua orang itu tertulis huruf "Lau" merah. Seorang
di antaranya lantas berkata, "Wanpwe diperintahkan Suhu untuk mengundang Ting-yat Supek dan para Suci
supaya mampir dulu, harap dimaafkan keterlambatan penyambutan kami atas kedatangan Supek ke kota
Heng-san ini."
"Ah, tak perlu banyak adat," sahut Ting-yat. "Apakah kalian adalah murid Lau-samya?"
"Betul," sahut orang itu. "Wanpwe bernama Hiang Tay-lian, dan ini adalah Bi Wi-gi Sute. Terimalah sembah
bakti kami."
Dasar Ting-yat memang suka dipuji sanjung, maka ia menjadi sangat senang atas sikap Hiang Tay-lian dan Bi
Wi-gi yang ramah dan merendah itu. Sahutnya, "Baiklah, kami memang hendak mengunjungi Lau-samya."
"Dan siapakah saudara-saudara ini?" Hiang Tay-lian lantas tanya Nio Hoat dan lain-lain.
"Cayhe Nio Hoat dari Hoa-san," sahut Nio Hoat.
"Aha, kiranya adalah 'Kiu-ting-jiu' Nio-samko dari Hoa-san," seru Hiang Tay-lian dengan gembira. "Sudah lama
kami mengagumi nama Nio-samko, silakan mampir sekalian. Kami telah dipesan oleh Suhu untuk menyambut
kedatangan para tamu, cuma kami kekurangan tenaga sehingga banyak kekurangan dalam penyambutan,
untuk mana harap dimaafkan. Marilah silakan mampir semua!"
Dalam pada itu Lo Tek-nau juga sudah mendekati mereka dan berkata, "Sebenarnya kami sedang menunggu
datangnya Toasuko baru akan berkunjung dan menyampaikan salam hormat kepada Lau-samya."
"Yang ini tentulah Lo-jiko adanya?" sahut Hiang Tay-lian. "Suhu sering memuji para murid Gak-supek betapa
gagah perwiranya, Lenghou-suheng dan Lo-jiko lebih-lebih adalah kesatria angkatan muda yang jarang ada
bandingannya. Jika Lenghou-suheng masih belum tiba, bolehlah saudara-saudara silakan mampir dulu."
Diam-diam Lo Tek-nau membatin, "Siausumoay sudah dicengkeram oleh Ting-yat, tampaknya dia tak mau
melepaskannya. Kami terpaksa mengikut mereka pergi ke sana."
Maka ia lantas berkata, "Jika begitu terpaksa mesti mengganggu."
"Ah, kedatangan kalian ke Heng-san sini berarti suatu kehormatan bagi kami, masakah kalian masih
mengucapkan kata-kata sungkan demikian?" sahut Hiang Tay-lian.
"Dan dia ini juga kau undang atau tidak?" tiba-tiba Ting-yat bertanya sambil menunjuk si kakek penjual
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pangsit.
Hiang Tay-lian memandang sejenak kepada penjual pangsit itu, mendadak dia sadar, katanya dengan
menghormat, "Ah, kiranya Ho-supek dari Gan-thang-san juga berada di sini, maafkan keteledoran kami.
Silakan, silakan Ho-supek juga ikut mampir ke tempat kami."
Kiranya kakek penjual pangsit ini bernama Ho Sam-jit, seorang tokoh terkemuka dari Gan-thang-san di
Ciatkang Selatan. Sejak kecil hidupnya dari menjual pangsit, sesudah berhasil menjadi jago silat dia masih
tetap berkelana dengan pikulan pangsitnya, maka pikulan pangsitnya itu boleh dikata adalah "tanda
pengenalnya". Cuma saja di setiap kota banyak sekali terdapat penjual pangsit, dengan sendirinya sukar
dikenali. Tapi jika mahir ilmu silat, maka terang penjual pangsit itu pasti Ho Sam-jit adanya.
"Ya, baiklah, aku memang hendak mengganggu ke tempat kalian," demikian sahut Ho Sam-jit dengan
tersenyum sambil mengemasi mangkuk pangsitnya.
Mendengar disebutnya Ho Sam-jit, cepat Lo Tek-nau memberi hormat juga dan berkata, "Wanpwe punya mata
tapi tidak bisa melihat, harap Ho-supek jangan marah."
"Tidak marah, tidak marah!" sahut Ho Sam-jit dengan tertawa. "Kalian telah membeli pangsitku, kalian adalah
pemberi sandang pangan padaku, masakah aku berani marah kepada kalian?"
Dalam pada itu hujan ternyata sudah mereda. Segera Hiang Tay-lian berkata pula, "Silakan sekalian
berangkat!"
Lalu ia mendahului berjalan di depan sebagai penunjuk jalan dan diikuti orang banyak dari belakang. Peng-ci
juga lantas berbangkit dan mengikut di belakang orang-orang Hoa-san-pay.
Tidak lama sampailah mereka di depan sebuah gedung yang megah, di depan pintu gerbang terpajang lampion
dan kertas berwarna-warni sehingga menambah semarak sekali. Banyak orang Kangouw tampak masuk keluar
dengan ramai.
Hiang Tay-lian membawa para tamunya ke ruangan tengah, tertampak di ruangan yang sangat luas itu sudah
penuh tamu. Mereka lantas mencari tempat duduk yang luang. Kemudian Hiang Tay-lian mengundang Ting-yat
dan Ho Sam-jit masuk ke ruangan dalam.
Selagi suasana di ruang tamu itu riuh ramai orang berbicara, tiba-tiba Hiang Tay-lian keluar lagi dan mendekati
Lo Tek-nau serta mengundangnya ke ruangan dalam. Tek-nau mengiakan dan segera ikut masuk ke belakang.
Sesudah menyusur sebuah serambi yang panjang, akhirnya sampailah di sebuah ruangan berjubin kembang.
Di tengah ruangan itu kelihatan berjajar lima buah kursi besar, empat di antaranya kosong, hanya kursi ujung
kanan berduduk seorang Tojin bermuka merah dan berbadan kekar. Tek-nau tahu kelima kursi besar itu
disediakan bagi kelima Ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay, lima aliran ilmu pedang dari lima gunung, yaitu Kosan,
Hing-san, Hoa-san, Heng-san dan Thay-san. Ternyata empat di antara lima aliran itu belum ada yang
datang, hanya Ciangbunjin Thay-san-pay saja yang sudah hadir, yaitu Tojin muka merah tadi yang bergelar
Thian-bun Tojin.
Di samping kanan-kiri juga sudah banyak tetamu angkatan tua, di antaranya terlihat Ting-yat Suthay dari
Hing-san-pay, Ih Jong-hay dari Jing-sia-pay dan Ho Sam-jit, si kakek penjual pangsit. Pada kursi tempat tuan
rumah terlihat berduduk seorang setengah umur yang pendek gemuk berjubah sutera warna cokelat. Itulah
dia, Lau Cing-hong, tuan rumah yang berpotongan sebagai hartawan.
Lebih dulu Lo Tek-nau mendekati tuan rumah dan memberi hormat, lalu menyembah kepada Thian-bun Tojin
sambil menyapa, "Anak murid Hoa-san-pay Lo Tek-nau memberi sembah kepada Thian-bun Supek."
Air muka Thian-bun Tojin tampak guram, seperti penuh menahan rasa gusar yang setiap saat dapat meledak.
Mendadak ia gebrak di atas pegangan kursi dan membentak, "Di manakah Lenghou Tiong?"
Suaranya yang keras mengguntur ini sampai-sampai terdengar juga oleh orang-orang yang berada di ruangan
depan. Keruan para murid Hoa-san-pay sama terkejut. Walaupun Peng-ci duduk di tempat paling terpencil, tapi
suara Thian-bun Tojin yang mengamuk itu pun dapat didengarnya. Pikirnya, "Kembali mereka mencari si
Lenghou Tiong itu. Wah, si tua Lenghou Tiong itu benar-benar suka bikin gara-gara."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu Lo Tek-nau juga tergetar oleh suara Thian-bun Tojin tadi, selang sejenak barulah dia dapat
menjawab, "Lapor Supek, Lenghou-suheng sementara telah berpisah dengan rombongan Wanpwe di Hengyang
dan berjanji untuk berkumpul kembali di Heng-san ini, jika hari ini belum datang tentu besok juga akan tiba."
"Dia masih berani datang? Berani datang?" demikian Thian-bun mengulangi dengan gusar. "Lenghou Tiong
adalah Ciangbun-tay-tecu (murid pewaris) Hoa-san-pay kalian, betapa pun terhitung dari golongan yang baik.
Tapi mengapa dia bergaul dengan bangsat keparat Dian Pek-kong yang terkutuk itu?"
"Setahu Tecu selama ini Toasuko tidak mengenal Dian Pek-kong," sahut Lo Tek-nau. "Hanya Toasuko paling
gemar minum arak, boleh jadi Toasuko tidak tahu siapakah Dian Pek-kong itu dan secara kebetulan bertemu
dengan dia di rumah minum."
"Kau masih berani mengoceh untuk membela keparat Lenghou Tiong itu?" bentak Thian-bun dengan gusar
sambil berbangkit. "Sute, coba kau ceritakan padanya, cara bagaimana kau sampai terluka dan Lenghou Tiong
apakah kenal Dian Pek-kong atau tidak?"
Ternyata di samping kiri terdapat dua papan daun pintu, yang sebuah berbaring sesosok mayat, sebuah lagi
merebah seorang Tojin berjenggot panjang. Ialah Te-coat Tojin dari Thay-san-pay, Sutenya Thian-bun.
Keadaan Te-coat tampaknya cukup payah, mukanya pucat, jenggotnya juga penuh berlepotan darah. Cuma
tadi dia sudah diberi obat luka oleh Ting-yat Suthay, maka jiwanya tidak menjadi soal lagi. Ketika mendengar
pertanyaan sang Suheng, dengan suara lemah ia lantas berkata, "Pagi ... pagi tadi waktu aku menemui Tangsutit
di ... di rumah makan Cui-sian-lau, kulihat Leng ... Lenghou Tiong berada di sana ber ... sama Dian Pekkong
dan se ... seorang Nikoh kecil ...." sampai di sini napasnya sudah tersengal-sengal dan terpaksa berhenti.
"Sudahlah, Te-coat Toheng, biarlah aku mewakilkan kau menceritakan apa yang kau uraikan tadi," kata Lau
Cing-hong. Lalu ia berpaling kepada Tek-nau dan berkata pula, "Lo-hiantit, kalian jauh-jauh datang untuk
mengucapkan selamat padaku, sungguh aku sangat berterima kasih. Cuma entah mengapa Lenghou-hiantit
dapat berkenalan dengan keparat Dian Pek-kong, hal ini harus kita selidiki dengan jelas. Jika memang
Lenghou-hiantit yang salah, mengingat Ngo-gak-kiam-pay kita adalah orang sekeluarga, maka kita harus
menasihati dia dengan baik-baik ...."
"Menasihati apa? Harus membikin pembersihan dan penggal kepalanya!" seru Thian-bun dengan gusar.
Melihat betapa murkanya Thian-bun, diam-diam Lo Tek-nau sangat takut. Dilihatnya Ih Jong-hay dan Ting-yat
Suthay sedang mengikuti tanya jawab itu. Ih Jong-hay tampak tersenyum-senyum senang seakan-akan
menyukurkan apa yang terjadi, sedangkan Ting-yat tampak ikut-ikut memberi angin dan membakar Thian-bun
Tojin.
Diam-diam Tek-nau mendongkol pula. Pikirnya, "Lenghou-suheng tidak ada di sini, sementara aku adalah
kepala murid-murid Hoa-san-pay yang hadir di sini, sekali-kali aku tak boleh menurunkan derajat Suhu."
Maka ia lantas berkata, "Para Supek dan Susiok adalah sahabat karib Suhu kami, terhadap murid yang bersalah
biasanya Suhu kami tidak pernah melindungi dan mengampuni begitu saja."
Sampai di sini ia lantas berpaling ke arah Ih Jong-hay dan bertanya, "Untuk ini Ih-susiok dapat memberi saksi
bahwa ucapan Tecu tidaklah dusta."
Pertanyaan Lo Tek-nau ini benar-benar lihai. Seketika Ih Jong-hay mendengus dan tidak berani menjawab. Ia
tahu ucapan Lo Tek-nau ini mengandung ancaman dan pemerasan, maksudnya jika persoalannya ditanyakan
terus, tentu akhirnya akan menyinggung tentang kejadian dua orang murid utama Jing-sia-pay yang ditendang
terguling ke bawah loteng oleh Lenghou Tiong, hal ini tentu akan membikin malu pihak Jing-sia-pay.
Maka terdengar Lau Cing-hong berkata pula, "Tata tertib Gak-suheng yang keras itu sudah tentu kami cukup
tahu. Cuma perbuatan Lenghou-hiantit kali ini harus dianggap keterlaluan."
Bab 12. Si Gi-lim Cantik Berkisah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Buat apa kau masih sebut dia sebagai 'Hiantit' (keponakan yang baik) segala, Hian ... Hian kentut!" teriak
Thian-bun dengan gusar. Tapi segera ia merasa ucapannya itu kurang sopan di hadapan seorang Nikoh sebagai
Ting-yat Suthay. Namun kata-kata itu sudah telanjur dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali, terpaksa ia
hanya marah-marah dan duduk kembali ke tempatnya.
"Lau-susiok, sebenarnya bagaimana duduk perkara ini, harap engkau sudi menjelaskan," tanya Tek-nau
kemudian.
"Ya, seperti yang dikatakan Te-coat Toheng tadi," demikian Cing-hong menutur. "Pagi ini dia dan murid Thianbun
Toheng, yaitu Tang Pek-sing, pergi ke rumah makan Cui-sian-lau. Begitu mereka naik ke atas loteng lantas
melihat ada tiga orang sedang makan-minum besar. Mereka adalah si maling cabul Dian Pek-kong, Lenghousutit
dan murid kesayangan Ting-yat Suthay, yaitu Gi-lim. Melihat mereka, Te-coat Toheng lantas merasa ada
sesuatu yang ganjil. Sebenarnya dia tidak mengenal mereka bertiga, cuma dari dandanan mereka diketahui
yang seorang adalah murid Hoa-san-pay, yang wanita adalah murid Hing-san-pay. Untuk ini harap Ting-yat
Suthay jangan marah. Gi-lim adalah karena dipaksa orang, mau tak mau dia mesti menurut saja karena dalam
keadaan tak berkuasa. Menurut Te-coat Toheng, katanya Dian Pek-kong itu adalah seorang laki-laki berpakaian
perlente dan berumur 30-an tahun. Semula dia tidak tahu siapakah maling cabul itu, kemudian sesudah
mendengar Lenghou-hiantit berbicara dan menyebutnya, 'Dian-heng, marilah kita habiskan satu cawan lagi!
Ginkangmu terkenal tiada bandingannya di dunia ini, tapi kekuatan minum kau pasti kalah jauh daripadaku.'
"Jika orang itu she Dian, dikatakan Ginkangnya tiada bandingannya pula, apalagi dari mukanya yang ada ciriciri
tertentu itu, maka Te-coat Toheng lantas tahu keparat itu pastilah Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong adanya.
Dasar Te-coat Toheng biasanya pandang kejahatan sebagai musuhnya, demi melihat mereka bertiga minum
bersama, dengan sendirinya ia naik darah ...."
Diam-diam Lo Tek-nau membatin, "Tiga orang minum bersama, seorang adalah bangsat cabul yang terkenal
dan seorang Nikoh cilik yang sudah menyucikan diri, sedangkan seorang lagi adalah murid utama Hoa-san-pay,
pemandangan demikian memang tidak sedap."
"Kemudian Te-coat Toheng mendengar Dian Pek-kong itu menjawab, 'Aku Dian Pek-kong selamanya datang
pergi seorang diri dan malang melintang di dunia ini, selama hidupku aku paling memandang hina kepada
manusia-manusia yang suka mengaku sebagai seorang Beng-bun-cing-pay (keluarga ternama dan golongan
baik). Lenghou-heng, meski kau adalah murid Hoa-san-pay, tapi jiwamu sangat cocok dengan diriku, tidaklah
mengecewakan jika aku berkawan dan minum bersama kau. Marilah, boleh kita berlomba minum, kurasa
kekuatan minumku pasti lebih banyak daripadamu. Eh, Nikoh cilik, kau mau mengiringi kami minum atau
tidak? Jika tidak mau biar aku mencekoki kau ....'" sampai di sini Lau Cing-hong bicara, Tek-nau mencoba
memandang sekejap kepadanya, lalu memandang Te-coat Tojin pula, wajahnya menampilkan rasa sangsi dan
tidak percaya.
Cing-hong lantas paham, segera ia menerangkan, "Dalam keadaan terluka sudah tentu Te-coat Toheng tidak
dapat bercerita sedemikian jelasnya padaku, tapi apa yang kututurkan ini pada garis besarnya adalah begitu.
Betul tidak, Te-coat Toheng?"
"Ya, be ... betul, betul!" sahut Te-coat Tojin.
"Waktu itu juga Te-coat Toheng tidak sabar lagi, segera ia menggebrak meja dan memaki, 'Kau adalah maling
cabul Dian Pek-kong, bukan? Setiap orang Bu-lim tentu ingin membinasakan kau, tapi kau malah berani
berlagak di sini, apa barangkali kau sudah bosan hidup?'
"Keparat Dian Pek-kong itu ternyata sangat sombong, dia telah bicara secara kasar sehingga Te-coat Toheng
menjadi marah dan segera lolos senjata untuk melabraknya. Mungkin karena ingin lekas-lekas membinasakan
bangsat itu sehingga agak lena, suatu ketika Te-coat Toheng telah dibacok sekali di bagian dada oleh musuh.
Dengan mati-matian Tang-sutit bermaksud menolong sang Susiok, akhirnya dia malah menjadi korban.
Seorang kesatria muda akhirnya tewas di tangan maling cabul itu, sungguh sayang. Tatkala mana Lenghou
Tiong tetap berduduk saja di tempatnya, sama sekali tidak memberi bantuan apa-apa, sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa setia kawan di antara Ngo-gak-kiam-pay kita. Lantaran itulah Thian-bun Toheng merasa
marah."
"Huh, setia kawan apa?" ejek Thian-bun dengan gusar. "Orang yang belajar silat sebagai kita ini harus dapat
membedakan secara tegas antara yang baik dan yang jahat. Tapi bergaul dengan seorang maling cabul begitu
...."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah karena marahnya sampai napasnya menjadi sesak dan jenggotnya seakan-akan berdiri.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di luar pintu, "Suhu, Tecu ingin memberi laporan!"
Dari suaranya, Thian-bun mengenalnya adalah muridnya sendiri yang bernama Ong Gun. Segera ia menjawab,
"Masuk! Ada urusan apa?"
Maka muncullah seorang pemuda gagah berusia 30-an. Lebih dulu ia memberi hormat kepada Lau Cing-hong
sebagai tuan rumah, lalu memberi hormat kepada para hadirin yang lebih tua, akhirnya barulah memberi
hormat kepada Thian-bun Tojin dan berkata, "Suhu, ada berita dari Jin-jing Susiok, katanya beliau bersama
para Suheng dan Sute telah mencari ke segenap pelosok kota Heng-san ini, tapi tetap tidak menemukan jejak
kedua maling cabul Dian Pek-kong dan Lenghou Tiong."
Diam-diam Lo Tek-nau dongkol karena Toasuhengnya juga dianggap sebagai "maling cabul". Tapi apa mau
dikata lagi kalau memang Toasuhengnya terbukti berada bersama Dian Pek-kong?
Terdengar Ong Gun sedang menyambung laporannya, "Akan tetapi di luar kota Hong-san Susiok telah
menemukan serangka mayat yang bagian dadanya tertusuk pedang. Pedang itu ... pedang itu ternyata adalah
milik ... milik si maling cabul Lenghou Tiong ...."
"Dan yang mati itu siapa?" cepat Thian-bun menyela.
Ong Gun menatap Ih Jong-hay sambil menjawab, "Dia adalah seorang Suheng dari murid Ih-susiok. Tatkala itu
kami tidak mengenalnya, sesudah kami mengusung jenazah itu ke dalam kota barulah ada orang yang kenal,
kiranya adalah Lo Jin-kiat, Lo-suheng ...."
"Hah, Jin-kiat katamu? Di mana jenazahnya?" teriak Ih Jong-hay sambil berbangkit.
Segera terdengar suara jawaban orang di luar, "Berada di sini!"
Ih Jong-hay itu benar-benar seseorang yang dapat menahan perasaannya, walaupun mendadak mendengar
kematian muridnya, bahkan adalah salah satu di antara murid terkemuka dari "Eng Hiong Ho Kiat", yaitu Lo
Jin-kiat, namun dia masih tetap berlaku tenang. Katanya, "Harap tolong dibawa masuk ke sini."
Orang di luar itu mengiakan. Lalu dua orang menggotong sebuah daun pintu di mana menggeletak sesosok
jenazah yang di atas dadanya masih menancap sebatang pedang.
Ujung pedang itu tertusuk masuk melalui perut terus miring ke atas. Pedang yang panjangnya hampir satu
meter itu tinggal sepertiga saja yang kelihatan di luar sehingga ujung pedangnya terang menembus sampai di
bagian tenggorokan sang korban. Gaya serangan keji yang menusuk secara miring dari bawah ke atas
demikian benar-benar jarang terlihat digunakan oleh orang Bu-lim.
Dalam pada itu Ong Gun bicara lagi, "Menurut berita Jin-jing Susiok, katanya beliau masih meneruskan
pencarian atas diri kedua maling cabul itu. Paling baik kalau dari sini dapat dikirimkan bala bantuan satu-dua
orang Supek atau Susiok lagi."
"Aku yang pergi ke sana!" Ting-yat dan Ih Jong-hay berseru serentak.
Tapi tepat pada saat itu juga tiba-tiba dari luar ada orang berseru dengan suara yang lemah lembut, "Suhu,
aku sudah kembali!"
"Apakah Gi-lim? Masuk!" bentak Ting-yat dengan muka merah padam.
Seketika semua orang memandang ke arah pintu untuk melihat bagaimana rupanya Nikoh cilik yang minum
arak bersama kedua maling cabul di atas rumah makan itu.
Waktu kerai pintu terbuka, pandangan semua orang serasa terbelalak. Ternyata Nikoh cilik ini berparas putih
molek, memang benar-benar seorang wanita cantik yang jarang ada tandingannya. Cuma usianya baru 16-17
tahun, perawakannya yang menggiurkan itu terselubung di dalam pakaian Nikoh yang longgar, namun toh
tetap tidak mengurangi potongannya yang cantik.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan langkah lemah gemulai Nikoh muda itu mendekati Ting-yat dan menyembah, katanya, "Suhu ...." tapi
baru sekian saja ucapannya, mendadak ia sudah menangis.
"Hm, bagus benar per ... perbuatanmu, ya? Cara bagaimana kau bisa pulang?" kata Ting-yat dengan muka
merengut.
"Suhu, kali ini ... kali ini Tecu hampir-hampir tak dapat bertemu pula dengan engkau," kata Gi-lim hampir
menangis.
Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, diam-diam semua orang berpikir, "Dara secantik ini mengapa terima
menjadi Nikoh?"
Saat itu kedua tangan Gi-lim sedang memegangi ujung baju sang guru sehingga kelihatan tangannya yang
putih halus laksana salju itu. Tanpa terasa hati Ong Gun dan kedua kawannya yang menggotong masuk
mayatnya Lo Jin-kiat itu terguncang.
Ih Jong-hay hanya memandang sekejap saja pada Nikoh muda cantik itu, lalu sorot matanya berpindah kepada
pedang yang menancap di dada Lo Jin-kiat. Dilihatnya gagang pedang itu terikat seuntai benang hijau, di atas
batang pedang dekat dengan gagang pedang berukir lima huruf yang berbunyi: "Hoa-san Lenghou Tiong".
Ketika pandangannya beralih, dilihatnya pada pinggang Lo Tek-nau juga bergantungkan pedang yang serupa.
Mendadak ia melangkah maju, kontan tangan kirinya mencolok mata Lo Tek-nau.
Keruan Lo Tek-nau terkejut, cepat ia gunakan jurus "Ki-hwe-liau-thian" (angkat obor menerangi langit),
tangannya menyampuk ke atas untuk menangkis.
Ih Jong-hay mendengus sambil tangannya memutar sedikit, kontan kedua tangan Lo Tek-nau telah kena
dicengkeramnya. Menyusul tangan yang lain lantas menjulur, "sret", pedang yang tergantung di pinggang Teknau
itu telah dilolos olehnya.
Sekuatnya Tek-nau meronta, akan tetapi kedua tangannya seperti terjepit oleh tanggam, sedikit pun tak bisa
berkutik. Dalam pada itu ujung pedang sudah mengancam di dadanya sendiri. Diam-diam ia mengeluh bisa
celaka.
Di atas batang pedang rampasannya itu Ih Jong-hay melihat ada lima huruf juga yang berbunyi: "Hoa-san Lo
Tek-nau", besarnya huruf mirip benar dengan huruf di atas pedang yang menancap di tubuh muridnya yang
sudah tak bernyawa itu. Mendadak ia tekan ujung pedang ke bawah dan mengancam di perut Lo Tek-nau,
katanya dengan menyeringai, "Hm, tusukan dari bawah ke atas begini termasuk jurus apa dalam ilmu pedang
Hoa-san-pay kalian?"
Dahi Lo Tek-nau sudah mulai berkeringat dingin, tapi sedapat mungkin ia tabahkan diri, jawabnya, "Hoa ...
Hoa-san-kiam-hoat kami tiada ... tiada jurus serangan demikian ini."
Memangnya Ih Jong-hay juga merasa heran. Yang menyebabkan kematian Lo Jin-kiat itu adalah serangan
pedang yang ditusukkan melalui perutnya terus miring ke atas hingga mencapai tenggorokan, apakah mungkin
Lenghou Tiong berjongkok lebih dulu untuk kemudian melakukan serangan? Dan sesudah membunuh orang
mengapa pedang dibiarkan menancap di tubuh sang korban sehingga mudah dijadikan bukti? Hm, terang sekali
dia sengaja hendak main gila kepada Jing-sia-pay.
Selagi Ih Jong-hay merasa ragu-ragu, tiba-tiba Gi-lim berseru, "Ih-susiok, harap engkau mengampuni dia. Tipu
serangan yang dilakukan Lenghou-toako itu besar kemungkinan bukanlah Hoa-san-kiam-hoat."
Jong-hay tidak menjawab, sebaliknya ia berpaling ke arah Ting-yat Suthay, katanya dengan muka guram,
"Suthay, coba dengarkan apa yang diucapkan muridmu yang baik ini, dia panggil apa kepada bangsat keparat
Lenghou Tiong itu?"
"Memangnya aku tidak punya telinga sehingga kau perlu mengingatkan aku?" sahut Ting-yat dengan gusar.
Kiranya Ting-yat Suthay ini wataknya sangat aneh, dia paling suka membela orangnya sendiri walaupun tahu
pihaknya sendiri yang salah. Sebenarnya dia juga sudah marah ketika mendengar Gi-lim menyebut Lenghou
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiong sebagai "Lenghou-toako", kalau Ih Jong-hay tidak mendahului menegur tentu dia sudah mendamprat
muridnya itu. Celakanya Ih Jong-hay yang lebih dulu bicara sehingga dia berbalik mengeloni muridnya sendiri.
Segera ia menyambung pula, "Dia mengucapkan begitu secara wajar saja, apa halangannya? Kami Ngo-gakkiam-
pay telah berserikat dan mengangkat saudara, setiap murid dari kelima golongan kami adalah saudara
perguruan, apanya yang perlu diherankan?"
Di balik kata-katanya ini dia seperti hendak mengolok-olok Ih Jong-hay bahwa Jing-sia-pay kalian tidak
termasuk di dalam Ngo-gak-kiam-pay, hakikatnya aku memandang rendah padamu.
Sudah tentu Ih Jong-hay paham maksud ucapan Ting-yat itu, segera ia balas menjengek dan berkata, "Ya,
bagus! Dan Lenghou Tiong itu entah termasuk murid Ngo-gak-kiam-pay atau bukan?"
Habis berkata, sekali dorong, kontan Lo Tek-nau mencelat ke belakang dan menumbuk dinding, bentaknya
pula, "Hm, kau ini pun bukan manusia baik-baik. Sepanjang jalan kau terus main sembunyi-sembunyi dan
menguntit diriku, apa maksud tujuanmu?"
Karena tertumbuk dinding, isi perut Lo Tek-nau serasa terjungkir balik, sekuatnya ia hendak berbangkit dengan
menahan dinding, tapi kedua kakinya terasa lemas linu, akhirnya ia jatuh terduduk lagi. Ia tambah mengeluh
pula saat mendengar dampratan Ih Jong-hay itu, pikirnya, "Wah, celaka! Rupanya gerak-gerikku bersama
Siausumoay yang mengintai perbuatan mereka itu akhirnya ketahuan Tojin kerdil yang licin ini."
Dalam pada itu Ting-yat telah berkata, "Gi-lim, coba kemari, cara bagaimana kau sampai ditawan oleh mereka,
ceritakanlah sejelas-jelasnya kepada Suhu."
Habis berkata, muridnya itu terus digandeng menuju ke luar ruangan.
Semua orang maklum, seorang Nikoh muda jelita demikian sekali sudah jatuh di dalam cengkeraman Dian Pekkong
yang cabul itu maka pastilah sukar mempertahankan kesuciannya. Tentang pengalamannya itu sudah
tentu tidak leluasa diceritakan di hadapan orang banyak.
Tapi mendadak bayangan orang berkelebat, Ih Jong-hay telah melompat ke depan pintu merintangi jalan
keluar mereka, katanya, "Urusan ini menyangkut dua nyawa, hendaklah Gi-lim Siausuhu bicara di sini saja."
Setelah merandek sejenak, lalu sambungnya, "Tang-hiantit adalah orang Ngo-gak-kiam-pay, di antara orangorang
Ngo-gak adalah saudara seperguruan semua, jika mereka ada yang dibunuh Lenghou Tiong mungkin
Thay-san-pay takkan terlalu memikirkannya. Akan tetapi muridku Lo Jin-kiat ini tiada harganya untuk saling
mengaku sebagai Suheng dan Sute dengan Lenghou Tiong."
Nyata ucapannya ini langsung mengolok-olok kata-kata Ting-yat yang membela muridnya tadi. Dasar watak
Ting-yat memang sangat keras dan berangasan, mana dia mau dirintangi oleh Ih Jong-hay, apalagi dengan
kata-kata yang menyinggung itu, seketika ia naik pitam, kedua alisnya sampai menegak.
Orang-orang yang kenal perangai Ting-yat begitu melihat alisnya menegak segera mengetahui akan terjadi
pertarungan. Ih Jong-hay juga terhitung tokoh kelas satu, bila kedua orang sampai bergebrak, tentu sukar
dilerai dan urusan bisa meluas.
Cepat Lau Cing-hong melompat maju, ia memberi hormat dan berkata, "Kalian berdua adalah tamuku yang
terhormat, betapa pun hendaklah mengingat diriku, janganlah sampai bercekcok. Memang layananku yang
kurang baik, harap kalian memaafkan."
"Ha, aneh juga ucapan Lau-samya ini," sahut Ting-yat. "Aku marah kepada 'hidung kerbau' (istilah olok-olok
kepada kaum Tojin) itu, apa sangkut pautnya dengan kau? Dia melarang aku pergi, aku justru mau pergi. Jika
kau tidak merintangi jalanku dan ingin aku tetap tinggal saja di sini juga boleh."
Sebenarnya Ih Jong-hay juga rada jeri terhadap Ting-yat. Apalagi ilmu silat Ting-sian, Ciangbunjin dari Hingsan-
pay, terkenal juga sangat lihai. Andaikan sekarang dirinya dapat mengalahkan Ting-yat, apakah orangorang
Hing-san-pay yang lain bisa tinggal diam?
Berpikir begitu terpaksa ia mundur teratur, sambil tertawa ia pun berkata, "Yang kuharapkan ialah Gi-lim
Siausuhu mau bercerita dengan jelas kepada kita bersama. Ih Jong-hay orang macam apa masakah berani
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
merintangi jalan tokoh Pek-hun-am dari Hing-san-pay?"
Habis berkata, sekali lompat, segera ia kembali ke tempat duduknya pula.
"Asal kau tahu saja!" ujar Ting-yat. Lalu ia pun kembali ke tempat duduknya dengan menarik Gi-lim. Katanya
kemudian, "Bagaimana pengalamanmu sesudah kau tersesat kemarin? Coba ceritakan yang penting-penting
saja, yang tidak perlu jangan diuraikan."
Gi-lim mengiakan, lalu bercerita, "Tecu tidak berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Suhu, hanya Tecu mohon
Suhu supaya membunuh keparat Dian Pek-kong itu, sebab dia ... dia ...."
"Ya, aku sudah tahu, tak perlu kau katakan lagi," sela Ting-yat. "Aku pasti akan membunuh Dian Pek-kong dan
Lenghou Tiong berdua bangsat keparat itu ...."
"He, Lenghou Tiong, Lenghou-toako maksud Suhu?" Gi-lim menegaskan dengan heran. "Mengapa Suhu hendak
membunuh Lenghou-toako? Dia ...." mendadak air matanya berlinang-linang dan sambungnya dengan suara
terguguk-guguk, "Dia ... dia sudah meninggal dunia!"
Keruan semua orang melengak mendengar keterangan demikian. Dengan suara keras Thian-bun Tojin lantas
tanya, "Cara bagaimana dia mati? Siapa yang membunuhnya?"
"Pembunuhnya adalah ... adalah orang jahat Jing ... Jing-sia-pay ini," sahut Gi-lim sambil menunjuk jenazah Lo
Jin-kiat.
Mendengar bahwa Lenghou Tiong sudah mati, seketika rasa murka Thian-bun Tojin lenyap. Sebaliknya Ih Jonghay
merasa senang pula, pikirnya, "Kiranya keparat Lenghou Tiong itu terbunuh oleh Jin-kiat. Jika demikian,
mereka berdua telah bertarung mati-matian dan gugur bersama. Baik, memang aku sudah tahu Jin-kiat adalah
anak yang jantan, ternyata dia memang tidak membikin malu nama Jing-sia-pay."
Tapi lantas ia melototi Gi-lim, katanya dengan menjengek, "Hm, jika orang-orang Ngo-gak-kiam-pay kalian
adalah orang baik, hanya orang Jing-sia-pay kami adalah orang jahat semua!"
"Aku ... aku tidak tahu," sahut Gi-lim dengan menangis. "Aku tidak maksudkan Ih-supek, tapi kumaksudkan
dia."
Kembali ia tuding mayat Lo Jin-kiat.
"Kau mau apa menakut-nakuti anak kecil?" semprot Ting-yat pada Ih Jong-hay. "Jangan takut, Gi-lim!
Bagaimana jahatnya, coba ceritakan semua. Suhu berada di sini, coba siapa yang berani membikin susah
padamu?"
Habis berkata ia melirik sekali kepada Ih Jong-hay.
Tiba-tiba Jong-hay berkata, "Cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah, maksudnya orang yang
sudah masuk biara) tidak boleh berdusta. Siausuhu, apakah kau berani mengangkat sumpah terhadap
Buddha?"
"Di hadapan Suhu, sekali-kali aku tak berani berdusta," kata Gi-lim. Lalu ia berlutut menghadap keluar, kedua
tangannya terkatup di depan dada, sambil menunduk ia bersumpah, "Tecu Gi-lim akan melaporkan segala
sesuatu kepada Suhu dan para Supek, sedikit pun takkan berdusta, Buddha mahasakti tentu akan maklum."
Melihat gerak-gerik Gi-lim yang halus dan pantas dikasihani itu, mau tak mau timbul juga rasa simpatik orang
banyak. Seorang Susing (pelajar) berjenggot hitam yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, sekarang tibatiba
menyela, "Jika Siausuhu sudah bersumpah begitu, tentu semua orang akan percaya."
Orang ini she Bun, namanya tidak diketahui, hanya orang biasa menyebutnya sebagai Bun-siansing. Dia
bersenjata sepasang Boan-koan-pit, terkenal sebagai ahli Tiam-hiat yang sangat disegani.
"Nah, dengar tidak, hidung kerbau?" kata Ting-yat. "Bun-siansing saja berkata demikian, apakah kau masih
sangsi?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tadi Ih Jong-hay khawatir kalau-kalau Gi-lim sengaja disuruh oleh Ting-yat untuk menceritakan perbuatanperbuatan
Jin-kiat yang tidak baik. Sebaliknya Jin-kiat sudah mati, tentu tidak dapat membantah lagi. Tapi
sekarang demi melihat wajah Gi-lim yang jelita laksana batu kemala yang tak bercacat itu, mau tak mau ia pun
mau percaya Nikoh cilik ini tentu bukanlah pendusta.
Maka terdengar Gi-lim mulai menutur lagi, "Kemarin ketika berangkat ke Hengyang bersama rombongan Suhu,
di tengah jalan kami kehujanan sehingga kakiku berlepotan kotoran lumpur. Aku telah meninggalkan
rombongan untuk mencuci kaki di sungai kecil di tepi jalan yang agak jauh. Tengah asyik mencuci, sekonyongkonyong
aku melihat di samping bayanganku sendiri yang tercermin di dalam air sungai itu telah bertambah
suatu bayangan orang laki-laki. Aku terkejut dan cepat berdiri, tapi mendadak punggung terasa sakit, aku
punya Hiat-to sudah tertutuk. Aku sangat takut dan bermaksud menjerit untuk minta tolong kepada Suhu,
namun aku sudah tak dapat bersuara lagi. Tubuhku diangkat oleh orang itu dan di bawa ke dalam sebuah gua.
Aku menjadi rada lega sesudah melihat wajahnya ternyata tidak begitu bengis.
"Selang tak lama kudengar tiga orang Suci sedang mencari aku sambil memanggil-manggil namaku. Orang itu
hanya tertawa-tawa saja, katanya dengan suara tertahan, 'Jika mereka mencari ke sini, biar kutangkap mereka
sekalian!'
"Namun ketiga Suci tidak mencari ke tempat gua itu, mereka telah memutar ke tempat lain.
"Kemudian orang itu telah membuka Hiat-to sehingga aku dapat bergerak, segera aku hendak lari ke luar gua.
Tak terduga gerakan orang itu teramat cepat, tahu-tahu kepalaku menyeruduk di dadanya, dia bergelak
tertawa, cepat aku melompat mundur dan lolos pedang. Mestinya aku hendak menusuk dia, tapi lantas teringat
Cut-keh-lang harus mengutamakan welas asih, buat apa membikin celaka orang lain? Maka aku tidak jadi
menyerangnya, aku bertanya, 'Mengapa kau mengganggu aku? Lekas menyingkir, jika tidak segera pedangku
ini akan melukai kau!'
"Orang itu tertawa, katanya, 'Baik juga hati nuranimu, Siausuhu. Kau merasa sayang untuk membunuh aku,
bukan?'
"Aku menjawab, 'Kita tiada permusuhan apa-apa, buat apa aku membunuh kau?'
"Dengan menyengir orang itu berkata pula, 'Jika begitu, marilah duduk dulu untuk bicara.'
"Aku menolak, tapi orang itu masih terus merecoki aku. Akhirnya aku mengancamnya, 'Lekas kau lepaskan
diriku. Apakah kau tidak tahu Suhuku sangat lihai? Jika beliau mengetahui kekurangajaranmu ini, mustahil
kedua kakimu tak dihantam patah olehnya.'
"Tapi dia malah berkata, 'Jika kau suka menghantam kakiku, bolehlah silakan, tapi kalau Suhumu, ha, dia
sudah tua, aku tidak suka ....'"
"Hus, ocehan gila begitu buat apa kau ceritakan?" bentak Ting-yat mendadak. Ia tahu muridnya itu masih
kekanak-kanakan dan tidak kenal soal-soal kehidupan manusia, tentang hubungan laki-laki dan wanita lebihlebih
masih hijau. Kata-kata kotor yang diucapkan maling cabul itu hakikatnya tak dipahami olehnya, maka dia
hanya menirukan dan menguraikannya di depan orang banyak.
Sudah tentu semua orang merasa geli sekali, cuma segan pada Ting-yat Suthay, maka siapa pun tidak berani
tertawa.
"Tetapi ... tapi memang begitulah katanya," demikian Gi-lim masih memperkuat penuturannya itu.
"Ya sudahlah, omongan gila yang tak penting itu tak perlu kau ulangi, ceritakan saja cara bagaimana kemudian
bertemu dengan Lenghou Tiong," kata Ting-yat.
"Baiklah," sahut Gi-lim. "Dan sesudah orang itu mematahkan pedangku ...."
"Dia mematahkan pedangmu?" tegas Ting-yat.
"Ya," sahut Gi-lim. "Waktu itu dia omong macam-macam pula dan tetap tidak mau melepaskan diriku. Katanya
... katanya aku sangat cantik dan suruh aku tidur bersama dia ...."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Tutup mulut!" bentak Ting-yat. "Anak kecil sembarangan omong."
"Tapi dialah yang omong dan bukan aku, aku pun tidak menerima ajakannya ...."
"Diam!" bentak Ting-yat dengan lebih keras.
Rupanya karena tidak tahan, pada saat itu juga salah seorang murid Jing-sia-pay yang ikut mengusung mayat
Lo Jin-kiat tadi mendadak tertawa geli.
Ting-yat menjadi murka, ia sambar mangkuk teh yang terletak di atas meja lalu disiramkan ke arah murid Jingsia-
pay.
Siraman yang disertai tenaga dalam itu menjadi sangat cepat lagi tepat, murid Jing-sia-pay itu tidak sempat
menghindar, keruan ia tersiram teh panas itu sehingga berkaok-kaok kesakitan.
"Kau ini apa-apaan? Masa boleh omong tapi tidak boleh tertawa? Benar-benar mau menang sendiri saja!"
demikian kata Ih Jong-hay dengan gusar.
"Sudah puluhan tahun Ting-yat dari Hing-san-pay memang suka menang sendiri, masa baru sekarang kau
tahu?" jengek Ting-yat dengan melirik hina, berbareng mangkuk teh itu sudah diangkat dan siap untuk
disambitkan ke arah Ih Jong-hay.
Tapi Ih Jong-hay malah sengaja melengos, pandang saja dia sungkan, ia anggap sepi saja ancaman Ting-yat
itu.
Melihat Ih Jong-hay sedikit pun tidak gentar, pula memang diketahui ilmu silat ketua Jing-sia-pay itu sangat
hebat, maka Ting-yat juga tidak berani sembrono. Perlahan-lahan ia taruh kembali mangkuk teh itu di atas
meja. Katanya kepada Gi-lim, "Coba teruskan ceritamu. Kata-kata yang tidak penting tak perlu diuraikan!"
"Baik, Suhu," sahut Gi-lim. Lalu ia menutur pula, "Beberapa kali aku hendak melarikan diri, tapi selalu kena
dicegat oleh orang jahat itu. Sementara itu hari sudah mulai gelap, aku semakin gelisah. Suatu ketika aku telah
menusuknya dengan pedangku, tapi entah cara bagaimana tahu-tahu pedangku telah kena dirampas olehnya.
Penjahat itu sungguh sangat lihai, dengan tangan kanan pegang gagang pedang, tangan kiri lantas pencet
ujung pedang dengan jari jempol dan jari telunjuk, sekali tekuk dengan perlahan, 'krek', ujung pedang itu
lantas patah dua-tiga senti panjangnya."
"Kau bilang cuma patah sepanjang dua-tiga senti saja?" Ting-yat menegaskan.
Mereka tahu jika Dian Pek-kong itu mematahkan pedang bagian tengahnya, hal itu tidak perlu diherankan. Tapi
dengan dua jari dapat menekuk patah ujung pedang sepanjang dua-tiga senti saja, maka betapa hebat tenaga
jarinya sungguh bukan main-main.
"Sret", mendadak Thian-bun Tojin melolos pedang yang tergantung di pinggang seorang muridnya, ia gunakan
jari jempol dan telunjuk untuk pencet ujung pedang. Ketika ditekuk perlahan, "krek", kontan pedang itu patah
sebagian sepanjang dua-tiga senti. "Apakah begini caranya?" ia tanya.
"Kiranya Supek juga bisa!" sahut Gi-lim. "Cuma caranya mematahkan ada lebih rata sedikit daripada bagian
pedang yang dipatahkan Supek ini."
Thian-bun mendengus sambil mengembalikan pedang kepada muridnya. Ketika tangan kirinya yang masih
memegang potongan kecil ujung pedang itu digabrukkan ke atas meja, kontan potongan ujung pedang itu
ambles menghilang ke dalam meja.
"Wah, kepandaian Supek yang hebat ini aku yakin pasti tak dapat ditandingi oleh penjahat Dian Pek-kong itu,"
sorak Gi-lim. Tapi wajahnya mendadak murung lagi, ia menunduk sambil menghela napas perlahan, lalu
berkata pula, "Ai, cuma sayang waktu itu Supek tidak berada di sana, kalau tidak, tentu Lenghou-toako tak
sampai terluka parah."
"Terluka parah apa? Bukankah kau bilang dia sudah mati?" tanya Thian-bun.
"Benar, justru karena terluka parah maka Lenghou-toako kena dibunuh oleh penjahat Lo Jin-kiat dari Jing-siaDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pay itu," sahut Gi-lim.
Kembali Ih Jong-hay mendengus gusar demi mendengar muridnya juga disebut sebagai "penjahat" seperti Dian
Pek-kong yang terkutuk itu.
Melihat paras Gi-lim yang cemas-cemas sedih itu, tanpa merasa semua orang menaruh belas kasihan padanya.
Coba kalau dia bukan Nikoh, tentu tokoh-tokoh angkatan tua sebagai Thian-bun, Lau Cing-hong, Ho Sam-jit,
Bun-siansing dan lain-lain sudah menjulurkan tangan untuk mengelus-elus punggungnya atau membelai-belai
rambutnya untuk menghiburnya.
Dalam pada itu Gi-lim berkata pula sambil menggunakan lengan baju untuk mengusap air matanya yang
berlinang-linang, "Keparat Dian-Pek-kong itu akhirnya hendak memaksa diriku, dia telah tarik-tarik dan hendak
merangkul, tanpa pikir aku hendak menamparnya. Tapi mendadak kedua tanganku kena dipegang olehnya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar gua ada suara orang tertawa. Setiap kali tertawa 'hahaha' lalu
berhenti, kemudian tertawa 'hahaha' lagi.
"Segera keparat Dian Pek-kong itu membentak, 'Siapa itu?'
"Namun orang di luar itu kembali tertawa. Dian Pek-kong lantas memaki, 'Kurang ajar! Lekas enyah kau! Jika
tuanmu sampai marah, tentu jiwamu bisa melayang!' Tapi orang itu masih terus terbahak-bahak. Dian Pekkong
tak menggubrisnya lagi, segera ia hendak membelejeti pakaianku, tapi orang di luar itu lagi-lagi bergelak
tertawa sehingga Dian Pek-kong menjadi murka. Waktu itu aku benar-benar sangat mengharap orang itu dapat
menolong diriku, tapi rupanya orang itu pun jeri terhadap Dian Pek-kong dan tidak berani masuk ke dalam gua,
dia hanya tertawa terus di luar gua."
"Akhirnya Dian Pek-kong tidak tahan rasa gusarnya, ia menutuk aku punya Hiat-to, lalu melompat keluar
secara mendadak. Tapi lebih dulu orang di luar itu sudah menyembunyikan dirinya. Karena tidak menemukan
orang itu, Dian Pek-kong masuk kembali ke dalam gua. Tapi baru saja dia mendekati diriku, kembali orang itu
terbahak-bahak lagi di luar gua. Karena tingkahnya yang lucu itu hampir-hampir saja aku ikut tertawa.
"Saking geregetan, akhirnya Dian Pek-kong menuju ke luar gua, asal orang itu bersuara lagi tentu akan
disergapnya. Tapi orang itu ternyata sangat cerdik dan tidak tertawa. Kulihat Dian Pek-kong terus merunduk ke
mulut gua, kupikir kalau orang itu sampai kena disergap olehnya tentu aku akan ikut celaka. Maka, ketika
melihat Dian Pek-kong hampir menerjang keluar, cepat aku berteriak, 'Awas, dia hendak keluar!'
"Tiba-tiba terdengar orang itu tertawa di tempat agak jauh, katanya, 'Terima kasih, tapi jangan khawatir, dia
tak mampu mengejar. Ginkangnya terlalu rendah!'"
Diam-diam semua orang berpikir, Dian Pek-kong itu justru sangat terkenal karena Ginkangnya yang jarang ada
bandingannya, tapi orang itu mengolok-olok Ginkangnya, terang sengaja hendak membikin marah saja
padanya.
Dalam pada itu Gi-lim lalu meneruskan, "Mendadak keparat Dian Pek-kong itu mendekati aku dan mencubit
pipiku, aku menjerit kesakitan, pada saat itu juga ia lantas melompat keluar gua sambil membentak, 'Bangsat,
kita coba-coba berlomba Ginkang masing-masing!'
"Tak tersangka sekali ini dia telah kena ditipu, orang itu ternyata sudah sembunyi di samping gua, begitu Dian
Pek-kong menguber keluar, segera orang itu menyelinap masuk, katanya kepadaku dengan suara tertahan,
'Jangan takut, aku akan menolong kau. Hiat-to mana yang ditutuk olehnya?'
"Aku memberitahukan tempat Hiat-to yang tertutuk dan tanya siapa dia. Tapi dia mengatakan nanti saja bicara
lagi dan segera memijat Koh-cin-hiat dan Goan-tiau-hiat, bagian-bagian Hiat-to di tubuhku yang tertutuk itu."
Ting-yat mengerut kening mendengar sampai di sini. Ia tahu Goan-tiau-hiat itu letaknya di bagian paha,
padahal antara laki-laki dan wanita dilarang bersentuhan, apalagi seorang Nikoh, hal itu benar-benar kurang
pantas. Cuma saat itu dalam keadaan berbahaya dan kepepet, daripada tercemar oleh keparat Dian Pek-kong
itu, tentu orang Bu-lim akan dapat memakluminya.
Maka terdengar Gi-lim menutur pula, "Tak terduga tenaga jari bangsat Dian Pek-kong itu ternyata sangat lihai,
meski orang itu telah memijat sebisanya tetap sukar membuka Hiat-to yang tertutuk itu. Sementara itu
terdengar suaranya Dian Pek-kong sudah berlari kembali lagi. Aku berkata kepada orang itu, 'Lekas lari, jika
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kau kepergok tentu kau akan dibunuh olehnya.'
"Tapi orang itu menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay laksana daun dan tangkai, Sumoay ada kesulitan, masakah aku
boleh tinggal pergi?'"
"Dia juga orang dari Ngo-gak-kiam-pay?" Ting-yat menegaskan.
"Ya, Suhu, dia bukan lain adalah Lenghou-toako, Lenghou Tiong!" sahut Gi-lim.
"Oo," serentak Ting-yat, Thian-bun, Ih Jong-hay, Ho Sam-jit, Bun-siansing, Lau Cing-hong dan lain-lain
bersuara lega. Begitu pula Lo Tek-nau.
"Rupanya Dian Pek-kong masih terus mencari di luar gua, lambat laun suaranya kedengaran menjauh,"
demikian Gi-lim melanjutkan. "Tiba-tiba Lenghou-toako mengatakan maaf, lalu aku dipondong olehnya dan
dibawa lari ke luar gua serta sembunyi di tengah alang-alang yang lebat. Baru saja kami bersembunyi, cepat
sekali Dian Pek-kong sudah kembali dan masuk ke dalam gua. Tentu saja dia marah-marah demi tidak
menemukan diriku lagi, dia lantas mencaci maki dengan macam-macam ucapan yang kotor, aku pun tidak
paham apa artinya. Dengan menggunakan pedang dia terus membacok dan menebas serabutan di antara
semak-semak rumput.
Bab 13. Asal Judi Tentu Kalah
"Untung juga udara mendung, keadaan gelap gulita, dia tak dapat melihat kami. Tapi mungkin dia pun
menduga kami pasti masih sembunyi di sekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menebas tak
berhenti-henti. Suatu kali pedangnya menyambar lewat di atas kepalaku, wah, hampir-hampir saja aku terluka,
sungguh sangat berbahaya. Sesudah menebas kian kemari tanpa hasil, bangsat itu masih terus mencaci maki
dan mencari ke sebelah sana.
"Sekonyong-konyong ada benda cair hangat menetes di atas mukaku, berbareng aku lantas mengendus bau
anyirnya darah. Aku terkejut dan bertanya dengan suara perlahan, 'Apakah engkau terluka?'
"Tapi cepat ia mendekap mulutku sambil berbisik, 'Ssst, aku tak apa-apa, jangan bersuara.'
"Selang sejenak suara Dian Pek-kong semakin menjauh, lalu dia membuka tangannya. Aku merasa darah yang
menetes di mukaku itu semakin banyak, tanyaku khawatir, 'Apakah lukamu parah? Darah harus dibikin pampat
dulu. Aku membawa obat luka.'
"Tapi kembali dia mendekap mulutku sambil mendesis supaya aku jangan bersuara. Pada saat itulah mendadak
Dian Pek-kong berlari kembali sambil menghardik, 'Hahaha! Kiranya sembunyi di sini. Hayo lekas keluar, aku
sudah melihat tempat sembunyi kalian!'
"Mendengar tempat sembunyi kami telah dilihat Dian Pek-kong, diam-diam aku mengeluh," demikian Gi-lim
melanjutkan, "segera aku bermaksud berdiri, cuma kakiku tak bisa bergerak sama sekali .…"
"Kau tertipu, Dian Pek-kong hanya menggertak kalian, sebenarnya dia tidak melihat apa-apa," kata Ting-yat
Suthay.
"Memang betul," kata Gi-lim. "Waktu itu Suhu tidak berada di sana, mengapa bisa tahu persis?"
"Itu terlalu gampang untuk ditebak," kata Ting-yat. "Jika dia betul-betul melihat kalian, buat apa dia
bergembar-gembor, dia dapat mendekati kalian dan sekali tebas binasakan Lenghou Tiong saja kan beres.
Rupanya bocah Lenghou Tiong itu pun masih hijau."
"Tidak, Lenghou-toako juga dapat menerka maksud Dian Pek-kong itu, cepat dia tekap mulutku agar tidak
bersuara," tutur Gi-lim. "Sesudah berkaok-kaok sekian lamanya dan tidak mendengar suara apa-apa, Dian Pekkong
memotong dan membabati rumput lagi untuk mencari ke lain tempat. Setelah pergi jauh, kemudian
Lenghou-toako berbisik padaku, 'Sumoay, asal kita dapat tahan lagi setengah jam, sesudah Hiat-tomu yang
tertutuk lancar kembali jalan darahnya tentu dapat aku dapat menolong dirimu. Cuma sebentar lagi keparat
Dian Pek-kong itu pasti akan putar kembali dan tentu kita akan diketemukan. Terpaksa kita harus mengambil
risiko, biarlah kita sembunyi ke dalam gua saja."
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendengar sampai di sini, serentak Bun-siansing, Ho Sam-jit dan Lau Cing-hong berseru berbareng, "Bagus!
Tabah dan cerdik!"
"Tapi aku menjadi takut demi mendengar akan masuk ke dalam gua lagi," tutur Gi-lim pula. "Namun tatkala itu
aku sudah sangat kagum kepada Lenghou-toako, jika begitu keinginannya, kuyakin pasti benar. Maka aku
lantas menyatakan setuju. Segera aku dipondongnya dan menyusup ke dalam gua. Sesudah aku diletakkan di
atas tanah, aku berkata, 'Di bajuku ada Thian-hiang-toan-siok-ko, obat luka yang sangat mujarab, silakan ...
silakan ambil untuk dibubuhkan pada lukamu.'
"Tapi Lenghou-toako mengatakan kurang leluasa, tapi akan menunggu setelah aku dapat bergerak barulah
mau terima obatku. Lalu dia memotong ujung baju sendiri untuk membalut lukanya.
"Baru sekarang aku tahu bahwa demi untuk melindungi diriku, pada waktu sembunyi di semak-semak alangalang
tadi golok Dian Pek-kong telah kena menebas di bahunya, tapi dia tetap tidak bergerak dan tidak
bersuara walaupun rasa sakitnya pasti bukan buatan. Syukurlah dalam keadaan gelap Dian Pek-kong tidak
memergoki kami. Sungguh aku merasa sedih dan tidak paham mengapa dia bilang tidak leluasa mengambil
obatku .…"
"Hm, jika begitu, jadi Lenghou Tiong adalah kesatria dan laki-laki sejati," jengek Ting-yat Suthay.
Sepasang mata Gi-lim yang besar dan bening itu memancarkan perasaan heran, katanya, "Ya, Lenghou-toako
sudah tentu seorang baik pilihan. Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri sudi tampil ke muka untuk menolong diriku."
"Meski kau tidak pernah kenal dia, tapi bukan mustahil sudah lama dia telah kenal wajahmu, kalau tidak
masakan dia mau berbuat begitu?" ujar Ih Jong-hay dengan dingin. Di balik kata-katanya itu seakan-akan
menuduh sebabnya Lenghou Tiong mau menolong Gi-lim adalah lantaran kesengsem pada muka Gi-lim yang
sangat cantik itu.
"Tidak, Lenghou-toako mengatakan selamanya tak pernah melihat diriku," kata Gi-lim. "Lenghou-toako pasti
tidak berdusta padaku, pasti tidak!"
Mendengar jawaban Gi-lim yang tegas dan pasti itu, mau tak mau semua orang percaya juga terhadap
keyakinan Nikoh jelita yang suci bersih itu.
Ih Jong-hay juga membatin, "Perbuatan Lenghou Tiong yang gila-gilaan itu besar kemungkinan sengaja hendak
menempur Dian Pek-kong agar namanya bisa berkumandang di dunia persilatan."
Dalam pada itu Gi-lim telah melanjutkan, "Sesudah Lenghou-toako membalut luka, dia lantas menolong aku
pula dengan mengurut Koh-cing-hiat dan Goan-tiau-hiat di tubuhku. Tidak lama kemudian terdengarlah suara
gemeresak rumput dibabat di luar gua itu berjangkit pula, makin lama makin dekat. Nyata Dian Pek-kong
masih terus mencari kami dan sekarang telah kembali lagi di depan gua. Kudengar dia melangkah masuk ke
dalam gua dan duduk mengaso di mulut gua tanpa bersuara.
"Hatiku berdebar-debar, sedapat mungkin aku menahan napas. Sekonyong-konyong Koh-cing-hiat di bahuku
terasa sakit mendadak, karena secara mendadak sehingga aku meringis dan menghela napas. Tapi sedikit
suara ini saja sudah membikin keadaan menjadi runyam. Dian Pek-kong lantas bergelak tertawa dan melompat
bangun, segera dia mendekati aku. Lenghou-toako tetap meringkuk di samping tanpa bergerak sedikit pun.
"Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, 'Haha, kiranya kau masih sembunyi di sini, domba cilik!'
"Berbareng tangannya lantas hendak meraih tubuhku. Tapi mendadak terdengar suara 'cret' satu kali, dia telah
kena ditusuk oleh pedang Lenghou-toako. Cuma sayang tusukan itu tidak mengenai tempatnya yang
berbahaya sehingga Dian Pek-kong sempat melompat mundur terus melolos golok yang terselip di
pinggangnya. Dalam kegelapan segera dia balas membacok Lenghou-toako. Maka terdengarlah suara 'trang'
yang nyaring, kedua orang lantas bertempur."
"Berapa babak Lenghou Tiong menempur Dian Pek-kong itu?" mendadak Thian-bun Tojin menyela.
"Entahlah, dalam keadaan bingung Tecu juga tidak tahu mereka telah bertempur berapa lamanya," sahut Gilim.
"Kudengar Dian Pek-kong tertawa dan berseru, 'Aha, kau adalah orang Hoa-san-pay! Hoa-san-kiam-hoat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bukanlah tandinganku. Siapa namamu?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, baik Hoa-san-pay atau keempat golongan
lain, semuanya adalah musuhmu maling cabul ini ...'
"Belum habis ucapannya, Dian Pek-kong sudah lantas menerjang maju pula. Kiranya dia sengaja memancing
Lenghou-toako bersuara agar tahu persis tempatnya, lalu menyerangnya.
"Setelah saling gebrak beberapa jurus lagi, mendadak Lenghou-toako menjerit kesakitan, rupanya dia terluka
lagi. Terdengar Dian Pek-kong mengejeknya dengan tertawa, 'Sedari tadi sudah kukatakan Hoa-san-kiam-hoat
bukanlah tandinganku, sekalipun gurumu Gak-loji datang sendiri juga tak mampu melawan aku.'
"Namun Lenghou-toako tidak gubris padanya.
"Waktu aku merasa kesakitan tadi kiranya disebabkan Koh-cing-hiat yang tertutuk telah lancar kembali.
Sekarang Goan-tiau-hiat juga terasa sakit, tapi perlahan-lahan aku lantas dapat bergerak, aku merangkak
bangun dan bermaksud mencari pedangku yang patah itu. Rupanya mendengar suaraku, dengan girang
Lenghou-toako berseru, 'He, kau sudah dapat bergerak. Lekas lari, lekas!'
"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Suheng dari Hoa-san-pay, biarlah aku membantu kau melabrak penjahat itu!'
"Dia berkata, 'Tidak, kau lekas lari saja, kekuatan kita berdua juga bukan tandingannya.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong ikut menimbrung, 'Asal kau tahu saja! Makanya buat apa kau mengorbankan
jiwa percuma? Eh, aku kagum juga pada jiwamu yang gagah perwira ini. Siapakah namamu?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Jika kau secara hormat tanya namaku tentu akan kuberi tahukan. Tapi kau tanya
secara kasar begini, tidak sudi aku menggubris.'
"Habis itu Lenghou-toako lantas berseru pula kepadaku, 'Sumoay, lekas lari ke Heng-san, kawan-kawan kita
telah berkumpul semua di sana, rasanya bangsat ini tidak berani mencarimu ke sana.'
"Tapi aku menjawab, 'Jika aku sudah pergi, lalu dia membunuh kau, lantas bagaimana?'
"Lenghou-toako berkata, 'Tidak, dia tak mampu membunuh aku! Aku akan merintangi dia, mengapa tidak lekas
pergi? Hayo, lekas! Aduh!'
"Kiranya sedikit lengah saja kembali Lenghou-toako terluka pula. Dia menjadi khawatir dan gelisah, segera ia
berteriak lagi, 'Hayolah, lekas lari! Kalau tidak lekas pergi akan kumaki kau!'
"Dalam pada itu aku sudah menemukan pedang patah, aku berseru, 'Biarlah kita berdua mengeroyoknya.'
"Sebaliknya Dian Pek-kong malah tertawa mengejek, 'Bagus! Biarlah hari ini Dian Pek-kong seorang diri
menempur Hoa-san-pay dan Hing-san-pay!'
"Rupanya Lenghou-toako menjadi marah benar-benar, dia memaki diriku, 'He, Nikoh cilik yang tidak tahu
urusan, kau sudah linglung barangkali? Kalau tidak lekas pergi, lain kali bila bertemu lagi tentu aku tempeleng
kau!'
"Keparat Dian Pek-kong itu lantas menertawakan diriku lagi, 'Rupanya Nikoh cilik ini merasa berat berpisah
dengan aku!'
"Lenghou-toako tambah gelisah, dia berteriak padaku, 'Apakah kau benar-benar tidak pergi?'
"Aku menjawab, 'Tidak!'
"Mendadak Lenghou-toako mengomel, 'Dasar Ting-sian si Nikoh tua itu sudah pikun, makanya mempunyai
murid linglung sebagai kau ini.'
"Aku lantas berkata, 'Ting-sian Supek bukanlah guruku.'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"'Hah, jadi kau masih tetap tidak mau pergi? Biarlah kumaki Ting-yat yang tua pikun itu .…'"
Mendadak muka Ting-yat bersungut menahan marah.
Cepat Gi-lim berkata, "Suhu, harap engkau jangan gusar. Maksud Lenghou-toako itu adalah demi kebaikanku
dan tidak sungguh-sungguh memaki padamu. Aku telah menjawabnya, 'Aku sendirilah yang linglung dan bukan
lantaran Suhuku.'
"Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong menubruk ke tempatku dan menutuk. Dalam keadaan gelap aku
putar pedang patah menebas dan membacok serabutan, dengan demikian barulah dia terpaksa mundur.
"Kemudian Lenghou-toako berkata pula padaku, 'Lekas lari! Kalau tidak aku akan memaki gurumu, apakah kau
tidak takut?'
"Aku menjawab, 'Engkau jangan memaki, marilah kita lari bersama saja!'
"Tapi Lenghou-toako berkata, 'Kau berada di sini hanya mengganggu aku saja sehingga aku tidak leluasa
memainkan Hoa-san-kiam-hoatku yang paling lihai. Tapi bila kau sudah pergi, pasti akan dapat membinasakan
bangsat keparat ini.'
"Tiba-tiba Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Kasih sayangmu kepada Nikoh cilik ini boleh juga, cuma
sayang namamu siapa saja dia tidak mengetahui.'
"Kupikir apa yang dikatakan jahanam itu ada benarnya juga, segera aku bertanya, 'Suheng dari Hoa-san-pay
itu, siapakah namamu? Akan kupergi lapor kepada Suhu di kota Heng-san bahwa engkau yang telah
menyelamatkan jiwaku.'
"'Ya, lekas pergi, lekas! Mengapa ceriwis tidak habis-habis. Aku she Lo bernama Tek-nau!'"
Mendengar sampai di sini, Lo Tek-nau melengak. Ia tidak habis paham sebab apa Toasuko memalsukan
namanya.
Sedangkan Bun-siansing telah berkata sambil manggut-manggut, "Lenghou Tiong itu berbuat bajik tapi tidak
menonjolkan namanya yang asli, ini benar-benar perbuatan seorang kesatria tulen dari kaum kita."
Sebaliknya Lo Tek-nau berpikir, "Watak Toasuko biasanya memang sangat aneh dan banyak tipu akalnya, dia
tentu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan menggunakan namaku. Cuma sayang, tokoh muda yang
berkepandaian tinggi sebagai dia mesti tewas di tangan Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay yang jahat ini."
Ting-yat Suthay lantas melotot kepada Lo Tek-nau dan bertanya, "He, apakah orang yang memaki aku sudah
tua dan pikun dalam gua itu adalah kau ini?"
Melihat sikap Ting-yat yang galak itu, cepat Tek-nau memberi hormat dan menjawab, "Tidak, mana Tecu
berani!"
Dengan tersenyum Lau Cing-hong ikut berkata, "Ting-yat Suthay, memang beralasan juga Lenghou Tiong
sengaja memalsukan nama Sutenya. Kita tahu Lo-hiantit ini berguru dalam keadaan sudah mahir ilmu silat,
tingkatannya meski rendah, tapi usianya sudah lanjut, jenggotnya saja sudah sepanjang itu, dia pantas
menjadi kakeknya Gi-lim Sutit."
Mendengar penjelasan itu barulah Ting-yat sadar. Kiranya Lenghou Tiong sengaja hendak membela
kehormatan Gi-lim. Dalam keadaan gelap gulita bercampur di dalam gua itu dan tidak saling mengenal muka,
bila kemudian Gi-lim dapat meloloskan diri dan mengatakan kepada orang lain bahwa penolongnya itu adalah
Lo Tek-nau dari Hoa-san-pay yang sudah kakek-kakek, maka orang lain tentu takkan mencemoohkannya,
dengan demikian nama baik Gi-lim dapat dibersihkan, begitu pula kehormatan Hing-san-pay.
"Ehm, boleh juga pikiran bocah itu," kata Ting-yat kemudian dengan tersenyum puas. "Lalu bagaimana, Gilim?"
"Waktu itu aku masih tetap tidak mau pergi," tutur Gi-lim. Aku berkata, 'Lo-toako, Ngo-gak-kiam-pay kita
adalah senapas dan sehaluan, kau mengalami bahaya lantaran hendak menolong aku, mana boleh aku
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
melarikan diri malah? Jika Suhu mengetahui perbuatanku yang pengecut ini tentu aku akan dibunuhnya.'"
"Bagus! Tepat sekali ucapanmu!" seru Ting-yat memuji. "Kaum persilatan kita memang harus mengutamakan
setia kawan sesama orang Kangouw, tak peduli laki-laki atau perempuan, sama saja halnya."
"Akan tetapi Lenghou-toako terus mencaci maki diriku," sambung Gi-lim. "Dia bilang, 'Nikoh cilik keparat,
persetan kau! Kau di sini hanya membikin repot padaku saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Hoa-sankiam-
hoat yang tiada tandingannya di dunia ini. Rupanya jiwaku yang tua ini sudah ditakdirkan harus mati di
tangan Dian Pek-kong ini. Dasar sial, aku Lo Tek-nau hari ini ketemu Nikoh, bahkan seorang Nikoh cilik celaka
sehingga ilmu pedangku yang mahasakti tak dapat kumainkan. Sudahlah, aku terima nasib saja. Dian Pekkong,
boleh kau binasakan aku!'"
Diam-diam semua orang geli melihat Gi-lim yang cantik jelita itu menirukan kata-kata kasar yang diucapkan
Lenghou Tiong itu.
Terdengar Gi-lim melanjutkan pula, "Sudah tentu aku tahu dia tidak sungguh-sungguh memaki diriku, tapi
mengingat kepandaianku yang rendah memang tidak sanggup membantu dia, beradanya diriku di dalam gua
situ hanya merintangi dia sehingga Hua-san-kiam-hoat yang hebat itu sukar dikembangkan ...."
"Hm, bocah itu ngaco-belo belaka, Hoa-san-kiam-hoat paling-paling juga cuma begitu saja, masakah bilang
tiada tandingannya di dunia ini?" jengek Ting-yat.
"Suhu, dia hanya untuk menakut-nakuti Dian Pek-kong saja supaya mundur teratur," kata Gi-lim. "Karena dia
memaki semakin hebat, terpaksa aku berkata, 'Baiklah, Lo-toako, aku akan pergi, sampai bertemu pula!'
"Tapi dia masih memaki padaku, 'Ya, lekas enyah kau Nikoh busuk, lekas enyah! Setiap kali melihat Nikoh, bila
judi pasti kalah. Selamanya aku tidak pernah melihat kau, selanjutnya juga takkan melihat kau. Selama
hidupku paling gemar berjudi, buat apa melihat kau lagi?'"
Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan berteriak, "Anak keparat itu seharusnya kau tusuk dia
sehingga tembus! Lalu kau pergi atau tidak?"
"Khawatir membikin dia marah, terpaksa aku pergi dari situ," sahut Gi-lim. "Begitu keluar gua aku lantas
mendengar suara benturan senjata bertambah gencar di dalam gua. Kupikir kalau Dian Pek-kong yang
menang, tentu dia akan mengejar dan menangkap aku lagi. Jika Lo-toako itu yang menang, bila dia keluar dan
melihat aku, jangan-jangan akan membikin sial dia, asal berjudi pasti kalah. Sebab itulah aku lantas lari
secepatnya dengan maksud menyusul Suhu dan minta engkau pergi membinasakan keparat Dian Pek-kong
itu."
Sampai di sini mendadak Gi-lim tanya kepada Ting-yat, "Suhu, kemudian Lenghou-toako telah tewas, apakah
disebabkan ... disebabkan dia melihat aku sehingga sial baginya?"
"Apa yang dikatakan bila melihat Nikoh tentu kalah judi hanya ngaco-belo belaka," kata Ting-yat dengan gusar.
"Bukankah di sini banyak sekali orang melihat kita, masakah mereka semua juga sial dan akan celaka?"
Semua orang merasa geli atas tanya jawab Ting-yat dan Gi-lim itu, tapi tiada seorang pun yang berani tertawa.
"Begitulah, aku lantas berlari-lari," demikian Gi-lim menyambung ceritanya, "ketika fajar menyingsing,
tertampaklah kota Heng-san, hatiku menjadi tenteram, kupikir besar kemungkinan akan dapat menemukan
Suhu di dalam kota. Siapa duga pada saat itu juga tahu-tahu Dian Pek-kong telah menyusul tiba.
"Melihat dia, kakiku jadi lemas, tiada seberapa langkah saja aku berlari sudah kena dibekuk olehnya. Kupikir
dia dapat kejar diriku, maka Lo-toako dari Hoa-san-pay itu tentu sudah terbunuh olehnya di dalam gua.
Sungguh aku merasa sangat sedih.
"Karena melihat banyak orang berlalu-lalang di jalan raya, rupanya Dian Pek-kong tidak berani berlaku kasar
padaku, dia hanya mengancam padaku, 'Kau harus ikut padaku bila tidak ingin aku main tangan
menggerayangi tubuhmu. Jika kau berkepala batu dan membangkang, tentu aku akan membelejeti pakaianmu
agar ditonton oleh orang banyak.'
"Keruan aku ketakutan, terpaksa aku menurut saja dan ikut dia ke dalam kota. Sampai di depan restoran CuiDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sian-lau itu, dia berkata pula, 'Siausuhu, kau adalah bidadari yang turun dari kahyangan. Di sini adalah Cuisian-
lau (restoran pemabuk dewa), marilah kita masuk ke sana dan minum sampai mabuk.'
"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Cut-keh-lang tidak boleh minum arak, ini pun adalah peraturan Pek-hun-am kami.'
"Tapi dia memaksa, katanya, 'Ah, memang Pek-hun-am kalian ada-ada saja peraturan apa segala? Sebentar
malah aku akan suruh kau melanggar segala pantangan. Tiap-tiap peraturan pertapaan hanya untuk menipu
orang saja. Suhumu ... Suhumu .…'" Sampai di sini ia melirik sekejap kepada sang guru dan tidak berani
melanjutkan.
"Ocehan keparat itu tentu tidak genah, tak perlu kau katakan, ceritakan saja kejadian selanjutnya." ujar Tingyat.
"Baik," sahut Gi-lim. "Kemudian aku berkata, 'Kau jangan sembarangan omong, Suhuku tidak pernah minum
arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.'"
Mendengar ini, tak tahan lagi semua orang bergelak tertawa. Walaupun Gi-lim tidak menguraikan apa yang
dikatakan Dian Pek-kong tadi, tapi dari jawabnya yang diulangi itu dapatlah diketahui bahwa Dian Pek-kong
telah menuduh Ting-yat suka minum arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.
Keruan wajah Ting-yat menjadi guram, katanya di dalam hati, "Gi-lim benar-benar bocah yang tulus dan polos,
sama sekali belum bisa berpikir."
Dalam pada itu Gi-lim telah menyambung, "Mendadak bangsat itu mencengkeram bajuku dan berkata, 'Hayo
ikut ke dalam restoran dan mengiringi aku makan minum, kalau tidak segera kurobek bajumu!'
"Karena tak berdaya, terpaksa aku menurut saja. Segera bangsat itu pesan daharan dan arak. Dia benar-benar
sangat busuk, sudah tahu aku hanya makan sayur saja, tapi yang dia pesan justru daging melulu, ada daging
babi, daging sapi, daging ayam segala. Dia mengancam bila aku tak mau makan, segera pakaianku akan
dibelejeti olehnya di depan umum.
"Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang pemuda, pedang tergantung di pinggangnya, wajahnya tampak
pucat, badannya berlumuran darah, datang-datang lantas duduk satu meja dengan kami. Tanpa bicara dia
lantas angkat arak bagianku dan sekali tenggak habislah isinya. Dia lalu menuang arak sendiri dan habiskan
semangkuk pula. Ketika mangkuk ketiga sudah dituang, dia angkat mangkuk dan berkata kepada Dian Pekkong,
'Silakan!' Begitu pula dia ucapkan padaku. Lalu dia menghabiskan pula araknya.
"Mendengar suaranya itu, seketika hatiku berdebar-debar, aku bergirang dan terkejut pula. Kiranya dia adalah
orang yang telah menolong aku di dalam gua itu. Syukurlah dia tidak dibunuh oleh Dian Pek-kong, hanya
badannya berlumuran darah, terang lukanya tidak ringan karena berusaha menolong diriku.
"Dian Pek-kong telah mengamat-amati dia dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, kemudian berkata,
'Kiranya kau!'
"'Ya, aku!' sahut orang itu. Dian Pek-kong mengacungkan jari jempolnya dan memuji, 'Lelaki hebat!' Kontan
orang itu pun balas memuji dengan mengacungkan jari jempolnya, 'Ilmu golok hebat!'
"Lalu kedua orang bergelak tertawa dan sama-sama mengangkat mangkuk arak dan habiskan isinya.
"Aku menjadi heran sekali. Semalam mereka baru saja berkelahi mati-matian, mengapa sekarang berubah
menjadi kawan baik? Terdengar Dian Pek-kong berkata pula, 'Kau bukan Lo Tek-nau. Orang she Lo itu adalah
seorang tua bangka, masakah segagah dan setampan kau?'
"Orang itu tertawa, sahutnya, 'Aku memang bukan Lo Tek-nau.'
"Mendadak Dian Pek-kong menepuk meja dan berseru, 'Aha, kau adalah Lenghou Tiong dari Hoa-san. Sudah
lama kudengar murid pertama Hoa-san-pay adalah seorang kesatria muda yang berani berbuat dan berani
bertanggung jawab, adalah seorang tokoh muda kelas wahid di dunia Kangouw pada zaman ini.'
"Pada saat itulah Lenghou-toako lantas mengaku, jawabnya dengan tertawa, 'Ah, kau terlalu memuji. Lenghou
Tiong adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu. Sungguh menertawakan saja.'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Tapi Dian Pek-kong berkata, 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Marilah kita berkawan saja. Andaikan
Lenghou-heng penujui Nikoh cilik jelita ini tentu Cayhe akan mengalah dan menyerahkannya padamu.
Mementingkan perempuan dan melupakan sahabat bukanlah sifat kaum kita.'"
Wajah Ting-yat tampak merengut, berulang-ulang ia memaki, "Kurang ajar! Kurang ajar!"
Mendadak Gi-lim menangis, katanya pula, "Suhu, tiba-tiba Lenghou-toako mencaci maki lagi padaku. Katanya,
'Dian-heng, Nikoh cilik ini mukanya pucat seperti mayat, setiap hari makannya sayur dan tahu melulu, betapa
pun cantiknya juga tak berguna. Apalagi aku paling muak terhadap kaum Nikoh, bila melihatnya lantas marah,
kalau bisa sungguh aku ingin membunuh habis setiap Nikoh di dunia ini.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong bertanya, 'Apakah sebabnya itu?'
"Maka Lenghou-toako menjawab, 'Sesungguhnya dalam hidupku ini hanya ada suatu kegemaran yaitu gemar
berjudi. Asal sudah pegang dadu dan kartu, maka aku menjadi lupa daratan sampai jiwanya sendiri pun tak
ingat lagi. Akan tetapi bila melihat Nikoh, maka celakalah aku, hari itu aku tak boleh lagi berjudi, setiap kali
judi pasti kalah. Hal ini sudah kucoba berkali-kali dan setiap kali memang begitu. Bukan saja aku, bahkan para
Sute dari Hoa-san-pay kami juga begitu. Sebab itulah bila anak murid Hoa-san-pay kami bertemu dengan para
Supek, Susiok, Suci dan Sumoay dari Hing-san-pay, meski lahirnya kami ramah tamah dan menghormat, tapi
di dalam batin kami menganggap sial.'"
Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi marahnya, "plok", kontan ia tampar Lo Tek-nau sekali. Karena
tamparannya cepat dan keras, sukarlah bagi Lo Tek-nau untuk menghindar. Seketika ia merasa kepalanya
puyeng hampir-hampir saja roboh pingsan.
Dengan tertawa, Lau Cing-hong lantas berkata, "Buat apa Suthay mesti marah? Sebabnya Lenghou Tiong
sembarangan mengoceh adalah karena ingin menolong muridmu. Mengapa kau anggap sungguh-sungguh
ocehannya itu?"
"Ya, sebenarnya Lenghou-toako sangat baik," kata Gi-lim dengan terguguk-guguk. "Cuma ... cuma saja
ucapannya agak kasar. Suhu menjadi marah, aku tidak berani menceritakan lagi."
"Ceritakan saja! Ceritakan seterang-terangnya," ujar Ting-yat. "Aku ingin tahu dia sembarangan omong karena
bermaksud baik atau jahat. Jika dia adalah pemuda bangor dan berkelakuan bajingan, biarlah aku akan bikin
perhitungan dengan Gak-loji."
"Baiklah," sahut Gi-lim. "Kemudian Lenghou-toako berkata pula, 'Dian-heng, orang belajar ilmu silat seperti
kita ini selama hidup selalu bergulat di ujung senjata. Walaupun ilmu silat lebih tinggi akan lebih beruntung,
tapi hakikatnya juga tergantung pada nasib. Betul tidak katamu? Jangankan Nikoh cilik yang kurus kecil seperti
ini, bobotnya paling-paling hanya belasan kati saja, sekalipun betul-betul bidadari turun dari kahyangan juga
aku Lenghou Tiong takkan terpikat padanya. Manusia betapa pun lebih mementingkan jiwa, mementingkan
perempuan dan mengentengkan kawan adalah tidak boleh, sebaliknya mementingkan perempuan dan
mengentengkan jiwa juga tolol. Maka dari itu, tentang Nikoh cilik ini janganlah sekali-kali disentuh.'
"Tapi dengan tertawa Dian Pek-kong membantah, 'Lenghou-heng, kukira kau adalah seorang jantan yang tidak
takut pada langit dan tidak gentar pada bumi, mengapa terhadap seorang Nikoh menjadi begitu ketakutan?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Maklumlah, asal melihat Nikoh tentu aku akan sial, karena pengalaman sudah
banyak, mau tak mau aku harus percaya. Coba pikirkan, kemarin aku masih segar bugar, melihat muka Nikoh
cilik ini saja tidak, tapi semalam aku cuma mendengar suaranya saja lantas menderita luka parah kena dibacok
oleh golokmu, bahkan jiwaku hampir-hampir melayang. Apa namanya ini kalau bukan sial?'
"Dian Pek-kong terbahak-bahak, katanya, 'Ya, benar juga.'
"Lalu Lenghou-toako berkata pula, 'Makanya, Dian-heng, kita kaum laki-laki sejati biarlah minum arak saja
sepuas-puasnya, lebih baik kau suruh Nikoh cilik ini lekas enyah saja. Aku ingin menasihati kau setulus hatiku,
janganlah sekali-kali kau menyentuh dia bila kau tidak ingin sial dan celaka selama hidupmu, kecuali kalau kau
sendiri pun ingin menjadi Hwesio. Wah, 'tiga racun dunia' ini masakah kau tidak lekas menghindarinya?'
"Dengan heran Dian Pek-kong bertanya, 'Apa itu 'tiga racun dunia' yang kau katakan?'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Lenghou-toako mengunjuk rasa heran, jawabnya, 'Aneh, masakah tiga racun dunia saja kau tidak tahu? Tiga
racun dunia itu adalah Nikoh, warangan dan ular. Di antara tiga racun dunia itu Nikoh adalah racun pertama
pula. Masakah kau tidak takut?'"
Sampai di sini kembali Ting-yat naik darah pula, ia menggebrak meja sambil memaki, "Keparat, ocehan omong
kosong belaka!"
Karena sudah merasakan tempelengan Nikoh tua itu, Lo Tek-nau menjadi waswas dan menyingkir agak jauh.
Lau Cing-hong lantas berkata, "Biarpun bermaksud baik, tapi mulut Lenghou-hiantit memang juga agak
lancang. Cuma kalau dipikir kembali, menghadapi bangsat besar sebagai Dian Pek-kong itu kalau tidak
mengobral ocehan tentu akan sukar menipu dia supaya dia mau percaya."
"Lau-supek, apakah engkau kira ucapan-ucapan Lenghou-toako itu sengaja dikarang untuk menipu bangsat she
Dian itu?" tanya Gi-lim.
"Sudah tentu begitulah," sahut Lau Cing-hong. "Masakah di antara orang-orang Ngo-gak-kiam-pay kita ada
yang berani begitu kurang ajar dan iseng mengucapkan kata-kata kasar demikian. Padahal besok lusa adalah
hari perayaanku, betapa pun aku harus mencari hari baik dan suasana bahagia. Jika kita benar-benar menaruh
sirik terhadap kalian, mengapa dengan hormat aku malah mengundang Ting-yat Suthay dan kalian hadir ke
sini?"
Mendengar ucapan Lau Cing-hong ini barulah air muka Ting-yat berubah agak tenang kembali, tapi dia masih
menjengek dan memaki, "Mulut kotor anak keparat itu entah ajaran manusia rendah yang mana?"
Demikian di balik ucapannya ini dia sengaja memaki gurunya Lenghou Tiong, yaitu ketua Hoa-san-pay.
"Suthay janganlah marah," ujar Lau Cing-hong. "Sesungguhnya ilmu silat keparat Dian Pek-kong itu sangat
lihai. Karena ingin menolong Gi-lim Sutit dan kepandaian sendiri tak mampu menandingi musuh, terpaksa
Lenghou-sutit mengarang kata-kata yang tak genah untuk menipu bangsat itu."
"Apakah dengan demikian Dian Pek-kong lantas membebaskan kau?" tanya Ting-yat kepada Gi-lim.
"Tidak," sahut Gi-lim sambil menggeleng. "Tatkala mana Dian Pek-kong tampak rada ragu-ragu, dia
memandang sekejap padaku, lalu berkata, 'Banyak terima kasih atas nasihat Lenghou-heng, cuma tentang
Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihatnya, maka biarkan dia menemani kita di sini saja.'
"Lenghou-toako berkata, 'Tambah lama melihat dia tambah sial, tambah sial!'
"Pada saat itulah mendadak seorang pemuda yang duduk di meja sebelah melolos pedang dan melompat ke
depan Dian Pek-kong sambil membentak, 'Jadi kau ... kau inilah Dian Pek-kong?'
"Keparat she Dian itu menjawab, 'Ada apa?'
"'Akan kubunuh kau maling cabul ini!' seru pemuda itu terus menyerang. Dari jurus ilmu pedangnya dapatlah
diketahui dia adalah orang Thay-san-pay. Dia adalah Suheng ini," sampai di sini ia lantas tunjuk jenazah yang
menggeletak di atas daun pintu itu. Lalu melanjutkan, "Tapi Dian Pek-kong itu tidaklah berdiri, dia dapat
mengegos serangan Suheng ini dan berkata, 'Eh, Lenghou-heng, orang ini dari Thay-san-pay, kau membantu
dia atau tidak?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, sudah tentu akan kubantu!'
"'Baik, biarpun kalian Hoa-san, Hing-san dan Thay-san-pay bergabung juga bukan tandinganku,' kata Dian Pekkong.
'Bukan tandinganmu juga akan kulakukan,' ujar Lenghou-toako sambil melolos pedangnya. Dalam pada
itu si pemuda tadi sudah serang beberapa kali pada Dian Pek-kong, tapi semuanya dapat dihindarkan olehnya.
Pemuda itu malah meludahi Lenghou-toako, dampratnya, 'Di dalam Ngo-gak-kiam-pay kami masakah terdapat
maling cabul sebagai kau?' Habis berkata pedangnya malah terus menusuk ke arah Lenghou-toako.
"Namun Lenghou-toako sempat melompat ke samping, berbareng pedangnya lantas menusuk punggung Dian
Pek-kong. Waktu itu aku pun sudah siap dengan pedangku yang sudah patah dan serentak mengerubut maju.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tapi bangsat she Dian itu benar-benar sangat lihai, tubuhnya hanya bergerak sedikit saja tahu-tahu tangannya
sudah memegang sebatang golok, katanya dengan tertawa, 'Duduk, duduklah, mari minum lagi!'
"Habis berkata ia lantas simpan kembali goloknya. Sebaliknya Suheng dari Thay-san-pay itu entah kapan
dadanya telah terkena goloknya, darah tampak menyembur keluar, matanya mendelik kepada Dian Pek-kong,
badannya bergoyang-goyang, lalu roboh terkapar." "Untung juga udara mendung, keadaan gelap gulita, dia tak
dapat melihat kami. Tapi mungkin dia pun menduga kami pasti masih sembunyi di sekitar situ, maka dia masih
terus membacok dan menebas tak berhenti-henti. Suatu kali pedangnya menyambar lewat di atas kepalaku,
wah, hampir-hampir saja aku terluka, sungguh sangat berbahaya. Sesudah menebas kian kemari tanpa hasil,
bangsat itu masih terus mencaci maki dan mencari ke sebelah sana.
"Sekonyong-konyong ada benda cair hangat menetes di atas mukaku, berbareng aku lantas mengendus bau
anyirnya darah. Aku terkejut dan bertanya dengan suara perlahan, 'Apakah engkau terluka?'
"Tapi cepat ia mendekap mulutku sambil berbisik, 'Ssst, aku tak apa-apa, jangan bersuara.'
"Selang sejenak suara Dian Pek-kong semakin menjauh, lalu dia membuka tangannya. Aku merasa darah yang
menetes di mukaku itu semakin banyak, tanyaku khawatir, 'Apakah lukamu parah? Darah harus dibikin pampat
dulu. Aku membawa obat luka.'
"Tapi kembali dia mendekap mulutku sambil mendesis supaya aku jangan bersuara. Pada saat itulah mendadak
Dian Pek-kong berlari kembali sambil menghardik, 'Hahaha! Kiranya sembunyi di sini. Hayo lekas keluar, aku
sudah melihat tempat sembunyi kalian!'
"Mendengar tempat sembunyi kami telah dilihat Dian Pek-kong, diam-diam aku mengeluh," demikian Gi-lim
melanjutkan, "segera aku bermaksud berdiri, cuma kakiku tak bisa bergerak sama sekali .…"
"Kau tertipu, Dian Pek-kong hanya menggertak kalian, sebenarnya dia tidak melihat apa-apa," kata Ting-yat
Suthay.
"Memang betul," kata Gi-lim. "Waktu itu Suhu tidak berada di sana, mengapa bisa tahu persis?"
"Itu terlalu gampang untuk ditebak," kata Ting-yat. "Jika dia betul-betul melihat kalian, buat apa dia
bergembar-gembor, dia dapat mendekati kalian dan sekali tebas binasakan Lenghou Tiong saja kan beres.
Rupanya bocah Lenghou Tiong itu pun masih hijau."
"Tidak, Lenghou-toako juga dapat menerka maksud Dian Pek-kong itu, cepat dia tekap mulutku agar tidak
bersuara," tutur Gi-lim. "Sesudah berkaok-kaok sekian lamanya dan tidak mendengar suara apa-apa, Dian Pekkong
memotong dan membabati rumput lagi untuk mencari ke lain tempat. Setelah pergi jauh, kemudian
Lenghou-toako berbisik padaku, 'Sumoay, asal kita dapat tahan lagi setengah jam, sesudah Hiat-tomu yang
tertutuk lancar kembali jalan darahnya tentu dapat aku dapat menolong dirimu. Cuma sebentar lagi keparat
Dian Pek-kong itu pasti akan putar kembali dan tentu kita akan diketemukan. Terpaksa kita harus mengambil
risiko, biarlah kita sembunyi ke dalam gua saja."
Mendengar sampai di sini, serentak Bun-siansing, Ho Sam-jit dan Lau Cing-hong berseru berbareng, "Bagus!
Tabah dan cerdik!"
"Tapi aku menjadi takut demi mendengar akan masuk ke dalam gua lagi," tutur Gi-lim pula. "Namun tatkala itu
aku sudah sangat kagum kepada Lenghou-toako, jika begitu keinginannya, kuyakin pasti benar. Maka aku
lantas menyatakan setuju. Segera aku dipondongnya dan menyusup ke dalam gua. Sesudah aku diletakkan di
atas tanah, aku berkata, 'Di bajuku ada Thian-hiang-toan-siok-ko, obat luka yang sangat mujarab, silakan ...
silakan ambil untuk dibubuhkan pada lukamu.'
"Tapi Lenghou-toako mengatakan kurang leluasa, tapi akan menunggu setelah aku dapat bergerak barulah
mau terima obatku. Lalu dia memotong ujung baju sendiri untuk membalut lukanya.
"Baru sekarang aku tahu bahwa demi untuk melindungi diriku, pada waktu sembunyi di semak-semak alangalang
tadi golok Dian Pek-kong telah kena menebas di bahunya, tapi dia tetap tidak bergerak dan tidak
bersuara walaupun rasa sakitnya pasti bukan buatan. Syukurlah dalam keadaan gelap Dian Pek-kong tidak
memergoki kami. Sungguh aku merasa sedih dan tidak paham mengapa dia bilang tidak leluasa mengambil
obatku .…"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Hm, jika begitu, jadi Lenghou Tiong adalah kesatria dan laki-laki sejati," jengek Ting-yat Suthay.
Sepasang mata Gi-lim yang besar dan bening itu memancarkan perasaan heran, katanya, "Ya, Lenghou-toako
sudah tentu seorang baik pilihan. Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri sudi tampil ke muka untuk menolong diriku."
"Meski kau tidak pernah kenal dia, tapi bukan mustahil sudah lama dia telah kenal wajahmu, kalau tidak
masakan dia mau berbuat begitu?" ujar Ih Jong-hay dengan dingin. Di balik kata-katanya itu seakan-akan
menuduh sebabnya Lenghou Tiong mau menolong Gi-lim adalah lantaran kesengsem pada muka Gi-lim yang
sangat cantik itu.
"Tidak, Lenghou-toako mengatakan selamanya tak pernah melihat diriku," kata Gi-lim. "Lenghou-toako pasti
tidak berdusta padaku, pasti tidak!"
Mendengar jawaban Gi-lim yang tegas dan pasti itu, mau tak mau semua orang percaya juga terhadap
keyakinan Nikoh jelita yang suci bersih itu.
Ih Jong-hay juga membatin, "Perbuatan Lenghou Tiong yang gila-gilaan itu besar kemungkinan sengaja hendak
menempur Dian Pek-kong agar namanya bisa berkumandang di dunia persilatan."
Dalam pada itu Gi-lim telah melanjutkan, "Sesudah Lenghou-toako membalut luka, dia lantas menolong aku
pula dengan mengurut Koh-cing-hiat dan Goan-tiau-hiat di tubuhku. Tidak lama kemudian terdengarlah suara
gemeresak rumput dibabat di luar gua itu berjangkit pula, makin lama makin dekat. Nyata Dian Pek-kong
masih terus mencari kami dan sekarang telah kembali lagi di depan gua. Kudengar dia melangkah masuk ke
dalam gua dan duduk mengaso di mulut gua tanpa bersuara.
"Hatiku berdebar-debar, sedapat mungkin aku menahan napas. Sekonyong-konyong Koh-cing-hiat di bahuku
terasa sakit mendadak, karena secara mendadak sehingga aku meringis dan menghela napas. Tapi sedikit
suara ini saja sudah membikin keadaan menjadi runyam. Dian Pek-kong lantas bergelak tertawa dan melompat
bangun, segera dia mendekati aku. Lenghou-toako tetap meringkuk di samping tanpa bergerak sedikit pun.
"Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, 'Haha, kiranya kau masih sembunyi di sini, domba cilik!'
"Berbareng tangannya lantas hendak meraih tubuhku. Tapi mendadak terdengar suara 'cret' satu kali, dia telah
kena ditusuk oleh pedang Lenghou-toako. Cuma sayang tusukan itu tidak mengenai tempatnya yang
berbahaya sehingga Dian Pek-kong sempat melompat mundur terus melolos golok yang terselip di
pinggangnya. Dalam kegelapan segera dia balas membacok Lenghou-toako. Maka terdengarlah suara 'trang'
yang nyaring, kedua orang lantas bertempur."
"Berapa babak Lenghou Tiong menempur Dian Pek-kong itu?" mendadak Thian-bun Tojin menyela.
"Entahlah, dalam keadaan bingung Tecu juga tidak tahu mereka telah bertempur berapa lamanya," sahut Gilim.
"Kudengar Dian Pek-kong tertawa dan berseru, 'Aha, kau adalah orang Hoa-san-pay! Hoa-san-kiam-hoat
bukanlah tandinganku. Siapa namamu?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, baik Hoa-san-pay atau keempat golongan
lain, semuanya adalah musuhmu maling cabul ini ...'
"Belum habis ucapannya, Dian Pek-kong sudah lantas menerjang maju pula. Kiranya dia sengaja memancing
Lenghou-toako bersuara agar tahu persis tempatnya, lalu menyerangnya.
"Setelah saling gebrak beberapa jurus lagi, mendadak Lenghou-toako menjerit kesakitan, rupanya dia terluka
lagi. Terdengar Dian Pek-kong mengejeknya dengan tertawa, 'Sedari tadi sudah kukatakan Hoa-san-kiam-hoat
bukanlah tandinganku, sekalipun gurumu Gak-loji datang sendiri juga tak mampu melawan aku.'
"Namun Lenghou-toako tidak gubris padanya.
"Waktu aku merasa kesakitan tadi kiranya disebabkan Koh-cing-hiat yang tertutuk telah lancar kembali.
Sekarang Goan-tiau-hiat juga terasa sakit, tapi perlahan-lahan aku lantas dapat bergerak, aku merangkak
bangun dan bermaksud mencari pedangku yang patah itu. Rupanya mendengar suaraku, dengan girang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou-toako berseru, 'He, kau sudah dapat bergerak. Lekas lari, lekas!'
"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Suheng dari Hoa-san-pay, biarlah aku membantu kau melabrak penjahat itu!'
"Dia berkata, 'Tidak, kau lekas lari saja, kekuatan kita berdua juga bukan tandingannya.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong ikut menimbrung, 'Asal kau tahu saja! Makanya buat apa kau mengorbankan
jiwa percuma? Eh, aku kagum juga pada jiwamu yang gagah perwira ini. Siapakah namamu?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Jika kau secara hormat tanya namaku tentu akan kuberi tahukan. Tapi kau tanya
secara kasar begini, tidak sudi aku menggubris.'
"Habis itu Lenghou-toako lantas berseru pula kepadaku, 'Sumoay, lekas lari ke Heng-san, kawan-kawan kita
telah berkumpul semua di sana, rasanya bangsat ini tidak berani mencarimu ke sana.'
"Tapi aku menjawab, 'Jika aku sudah pergi, lalu dia membunuh kau, lantas bagaimana?'
"Lenghou-toako berkata, 'Tidak, dia tak mampu membunuh aku! Aku akan merintangi dia, mengapa tidak lekas
pergi? Hayo, lekas! Aduh!'
"Kiranya sedikit lengah saja kembali Lenghou-toako terluka pula. Dia menjadi khawatir dan gelisah, segera ia
berteriak lagi, 'Hayolah, lekas lari! Kalau tidak lekas pergi akan kumaki kau!'
"Dalam pada itu aku sudah menemukan pedang patah, aku berseru, 'Biarlah kita berdua mengeroyoknya.'
"Sebaliknya Dian Pek-kong malah tertawa mengejek, 'Bagus! Biarlah hari ini Dian Pek-kong seorang diri
menempur Hoa-san-pay dan Hing-san-pay!'
"Rupanya Lenghou-toako menjadi marah benar-benar, dia memaki diriku, 'He, Nikoh cilik yang tidak tahu
urusan, kau sudah linglung barangkali? Kalau tidak lekas pergi, lain kali bila bertemu lagi tentu aku tempeleng
kau!'
"Keparat Dian Pek-kong itu lantas menertawakan diriku lagi, 'Rupanya Nikoh cilik ini merasa berat berpisah
dengan aku!'
"Lenghou-toako tambah gelisah, dia berteriak padaku, 'Apakah kau benar-benar tidak pergi?'
"Aku menjawab, 'Tidak!'
"Mendadak Lenghou-toako mengomel, 'Dasar Ting-sian si Nikoh tua itu sudah pikun, makanya mempunyai
murid linglung sebagai kau ini.'
"Aku lantas berkata, 'Ting-sian Supek bukanlah guruku.'
"'Hah, jadi kau masih tetap tidak mau pergi? Biarlah kumaki Ting-yat yang tua pikun itu .…'"
Mendadak muka Ting-yat bersungut menahan marah.
Cepat Gi-lim berkata, "Suhu, harap engkau jangan gusar. Maksud Lenghou-toako itu adalah demi kebaikanku
dan tidak sungguh-sungguh memaki padamu. Aku telah menjawabnya, 'Aku sendirilah yang linglung dan bukan
lantaran Suhuku.'
"Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong menubruk ke tempatku dan menutuk. Dalam keadaan gelap aku
putar pedang patah menebas dan membacok serabutan, dengan demikian barulah dia terpaksa mundur.
"Kemudian Lenghou-toako berkata pula padaku, 'Lekas lari! Kalau tidak aku akan memaki gurumu, apakah kau
tidak takut?'
"Aku menjawab, 'Engkau jangan memaki, marilah kita lari bersama saja!'
"Tapi Lenghou-toako berkata, 'Kau berada di sini hanya mengganggu aku saja sehingga aku tidak leluasa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memainkan Hoa-san-kiam-hoatku yang paling lihai. Tapi bila kau sudah pergi, pasti akan dapat membinasakan
bangsat keparat ini.'
"Tiba-tiba Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Kasih sayangmu kepada Nikoh cilik ini boleh juga, cuma
sayang namamu siapa saja dia tidak mengetahui.'
"Kupikir apa yang dikatakan jahanam itu ada benarnya juga, segera aku bertanya, 'Suheng dari Hoa-san-pay
itu, siapakah namamu? Akan kupergi lapor kepada Suhu di kota Heng-san bahwa engkau yang telah
menyelamatkan jiwaku.'
"'Ya, lekas pergi, lekas! Mengapa ceriwis tidak habis-habis. Aku she Lo bernama Tek-nau!'"
Mendengar sampai di sini, Lo Tek-nau melengak. Ia tidak habis paham sebab apa Toasuko memalsukan
namanya.
Sedangkan Bun-siansing telah berkata sambil manggut-manggut, "Lenghou Tiong itu berbuat bajik tapi tidak
menonjolkan namanya yang asli, ini benar-benar perbuatan seorang kesatria tulen dari kaum kita."
Sebaliknya Lo Tek-nau berpikir, "Watak Toasuko biasanya memang sangat aneh dan banyak tipu akalnya, dia
tentu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan menggunakan namaku. Cuma sayang, tokoh muda yang
berkepandaian tinggi sebagai dia mesti tewas di tangan Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay yang jahat ini."
Ting-yat Suthay lantas melotot kepada Lo Tek-nau dan bertanya, "He, apakah orang yang memaki aku sudah
tua dan pikun dalam gua itu adalah kau ini?"
Melihat sikap Ting-yat yang galak itu, cepat Tek-nau memberi hormat dan menjawab, "Tidak, mana Tecu
berani!"
Dengan tersenyum Lau Cing-hong ikut berkata, "Ting-yat Suthay, memang beralasan juga Lenghou Tiong
sengaja memalsukan nama Sutenya. Kita tahu Lo-hiantit ini berguru dalam keadaan sudah mahir ilmu silat,
tingkatannya meski rendah, tapi usianya sudah lanjut, jenggotnya saja sudah sepanjang itu, dia pantas
menjadi kakeknya Gi-lim Sutit."
Mendengar penjelasan itu barulah Ting-yat sadar. Kiranya Lenghou Tiong sengaja hendak membela
kehormatan Gi-lim. Dalam keadaan gelap gulita bercampur di dalam gua itu dan tidak saling mengenal muka,
bila kemudian Gi-lim dapat meloloskan diri dan mengatakan kepada orang lain bahwa penolongnya itu adalah
Lo Tek-nau dari Hoa-san-pay yang sudah kakek-kakek, maka orang lain tentu takkan mencemoohkannya,
dengan demikian nama baik Gi-lim dapat dibersihkan, begitu pula kehormatan Hing-san-pay.
"Ehm, boleh juga pikiran bocah itu," kata Ting-yat kemudian dengan tersenyum puas. "Lalu bagaimana, Gilim?"
"Waktu itu aku masih tetap tidak mau pergi," tutur Gi-lim. Aku berkata, 'Lo-toako, Ngo-gak-kiam-pay kita
adalah senapas dan sehaluan, kau mengalami bahaya lantaran hendak menolong aku, mana boleh aku
melarikan diri malah? Jika Suhu mengetahui perbuatanku yang pengecut ini tentu aku akan dibunuhnya.'"
"Bagus! Tepat sekali ucapanmu!" seru Ting-yat memuji. "Kaum persilatan kita memang harus mengutamakan
setia kawan sesama orang Kangouw, tak peduli laki-laki atau perempuan, sama saja halnya."
"Akan tetapi Lenghou-toako terus mencaci maki diriku," sambung Gi-lim. "Dia bilang, 'Nikoh cilik keparat,
persetan kau! Kau di sini hanya membikin repot padaku saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Hoa-sankiam-
hoat yang tiada tandingannya di dunia ini. Rupanya jiwaku yang tua ini sudah ditakdirkan harus mati di
tangan Dian Pek-kong ini. Dasar sial, aku Lo Tek-nau hari ini ketemu Nikoh, bahkan seorang Nikoh cilik celaka
sehingga ilmu pedangku yang mahasakti tak dapat kumainkan. Sudahlah, aku terima nasib saja. Dian Pekkong,
boleh kau binasakan aku!'"
Diam-diam semua orang geli melihat Gi-lim yang cantik jelita itu menirukan kata-kata kasar yang diucapkan
Lenghou Tiong itu.
Terdengar Gi-lim melanjutkan pula, "Sudah tentu aku tahu dia tidak sungguh-sungguh memaki diriku, tapi
mengingat kepandaianku yang rendah memang tidak sanggup membantu dia, beradanya diriku di dalam gua
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
situ hanya merintangi dia sehingga Hua-san-kiam-hoat yang hebat itu sukar dikembangkan ...."
"Hm, bocah itu ngaco-belo belaka, Hoa-san-kiam-hoat paling-paling juga cuma begitu saja, masakah bilang
tiada tandingannya di dunia ini?" jengek Ting-yat.
"Suhu, dia hanya untuk menakut-nakuti Dian Pek-kong saja supaya mundur teratur," kata Gi-lim. "Karena dia
memaki semakin hebat, terpaksa aku berkata, 'Baiklah, Lo-toako, aku akan pergi, sampai bertemu pula!'
"Tapi dia masih memaki padaku, 'Ya, lekas enyah kau Nikoh busuk, lekas enyah! Setiap kali melihat Nikoh, bila
judi pasti kalah. Selamanya aku tidak pernah melihat kau, selanjutnya juga takkan melihat kau. Selama
hidupku paling gemar berjudi, buat apa melihat kau lagi?'"
Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan berteriak, "Anak keparat itu seharusnya kau tusuk dia
sehingga tembus! Lalu kau pergi atau tidak?"
"Khawatir membikin dia marah, terpaksa aku pergi dari situ," sahut Gi-lim. "Begitu keluar gua aku lantas
mendengar suara benturan senjata bertambah gencar di dalam gua. Kupikir kalau Dian Pek-kong yang
menang, tentu dia akan mengejar dan menangkap aku lagi. Jika Lo-toako itu yang menang, bila dia keluar dan
melihat aku, jangan-jangan akan membikin sial dia, asal berjudi pasti kalah. Sebab itulah aku lantas lari
secepatnya dengan maksud menyusul Suhu dan minta engkau pergi membinasakan keparat Dian Pek-kong
itu."
Sampai di sini mendadak Gi-lim tanya kepada Ting-yat, "Suhu, kemudian Lenghou-toako telah tewas, apakah
disebabkan ... disebabkan dia melihat aku sehingga sial baginya?"
"Apa yang dikatakan bila melihat Nikoh tentu kalah judi hanya ngaco-belo belaka," kata Ting-yat dengan gusar.
"Bukankah di sini banyak sekali orang melihat kita, masakah mereka semua juga sial dan akan celaka?"
Semua orang merasa geli atas tanya jawab Ting-yat dan Gi-lim itu, tapi tiada seorang pun yang berani tertawa.
"Begitulah, aku lantas berlari-lari," demikian Gi-lim menyambung ceritanya, "ketika fajar menyingsing,
tertampaklah kota Heng-san, hatiku menjadi tenteram, kupikir besar kemungkinan akan dapat menemukan
Suhu di dalam kota. Siapa duga pada saat itu juga tahu-tahu Dian Pek-kong telah menyusul tiba.
"Melihat dia, kakiku jadi lemas, tiada seberapa langkah saja aku berlari sudah kena dibekuk olehnya. Kupikir
dia dapat kejar diriku, maka Lo-toako dari Hoa-san-pay itu tentu sudah terbunuh olehnya di dalam gua.
Sungguh aku merasa sangat sedih.
"Karena melihat banyak orang berlalu-lalang di jalan raya, rupanya Dian Pek-kong tidak berani berlaku kasar
padaku, dia hanya mengancam padaku, 'Kau harus ikut padaku bila tidak ingin aku main tangan
menggerayangi tubuhmu. Jika kau berkepala batu dan membangkang, tentu aku akan membelejeti pakaianmu
agar ditonton oleh orang banyak.'
"Keruan aku ketakutan, terpaksa aku menurut saja dan ikut dia ke dalam kota. Sampai di depan restoran Cuisian-
lau itu, dia berkata pula, 'Siausuhu, kau adalah bidadari yang turun dari kahyangan. Di sini adalah Cuisian-
lau (restoran pemabuk dewa), marilah kita masuk ke sana dan minum sampai mabuk.'
"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Cut-keh-lang tidak boleh minum arak, ini pun adalah peraturan Pek-hun-am kami.'
"Tapi dia memaksa, katanya, 'Ah, memang Pek-hun-am kalian ada-ada saja peraturan apa segala? Sebentar
malah aku akan suruh kau melanggar segala pantangan. Tiap-tiap peraturan pertapaan hanya untuk menipu
orang saja. Suhumu ... Suhumu .…'" Sampai di sini ia melirik sekejap kepada sang guru dan tidak berani
melanjutkan.
"Ocehan keparat itu tentu tidak genah, tak perlu kau katakan, ceritakan saja kejadian selanjutnya." ujar Tingyat.
"Baik," sahut Gi-lim. "Kemudian aku berkata, 'Kau jangan sembarangan omong, Suhuku tidak pernah minum
arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.'"
Mendengar ini, tak tahan lagi semua orang bergelak tertawa. Walaupun Gi-lim tidak menguraikan apa yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dikatakan Dian Pek-kong tadi, tapi dari jawabnya yang diulangi itu dapatlah diketahui bahwa Dian Pek-kong
telah menuduh Ting-yat suka minum arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.
Keruan wajah Ting-yat menjadi guram, katanya di dalam hati, "Gi-lim benar-benar bocah yang tulus dan polos,
sama sekali belum bisa berpikir."
Dalam pada itu Gi-lim telah menyambung, "Mendadak bangsat itu mencengkeram bajuku dan berkata, 'Hayo
ikut ke dalam restoran dan mengiringi aku makan minum, kalau tidak segera kurobek bajumu!'
"Karena tak berdaya, terpaksa aku menurut saja. Segera bangsat itu pesan daharan dan arak. Dia benar-benar
sangat busuk, sudah tahu aku hanya makan sayur saja, tapi yang dia pesan justru daging melulu, ada daging
babi, daging sapi, daging ayam segala. Dia mengancam bila aku tak mau makan, segera pakaianku akan
dibelejeti olehnya di depan umum.
"Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang pemuda, pedang tergantung di pinggangnya, wajahnya tampak
pucat, badannya berlumuran darah, datang-datang lantas duduk satu meja dengan kami. Tanpa bicara dia
lantas angkat arak bagianku dan sekali tenggak habislah isinya. Dia lalu menuang arak sendiri dan habiskan
semangkuk pula. Ketika mangkuk ketiga sudah dituang, dia angkat mangkuk dan berkata kepada Dian Pekkong,
'Silakan!' Begitu pula dia ucapkan padaku. Lalu dia menghabiskan pula araknya.
"Mendengar suaranya itu, seketika hatiku berdebar-debar, aku bergirang dan terkejut pula. Kiranya dia adalah
orang yang telah menolong aku di dalam gua itu. Syukurlah dia tidak dibunuh oleh Dian Pek-kong, hanya
badannya berlumuran darah, terang lukanya tidak ringan karena berusaha menolong diriku.
"Dian Pek-kong telah mengamat-amati dia dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, kemudian berkata,
'Kiranya kau!'
"'Ya, aku!' sahut orang itu. Dian Pek-kong mengacungkan jari jempolnya dan memuji, 'Lelaki hebat!' Kontan
orang itu pun balas memuji dengan mengacungkan jari jempolnya, 'Ilmu golok hebat!'
"Lalu kedua orang bergelak tertawa dan sama-sama mengangkat mangkuk arak dan habiskan isinya.
"Aku menjadi heran sekali. Semalam mereka baru saja berkelahi mati-matian, mengapa sekarang berubah
menjadi kawan baik? Terdengar Dian Pek-kong berkata pula, 'Kau bukan Lo Tek-nau. Orang she Lo itu adalah
seorang tua bangka, masakah segagah dan setampan kau?'
"Orang itu tertawa, sahutnya, 'Aku memang bukan Lo Tek-nau.'
"Mendadak Dian Pek-kong menepuk meja dan berseru, 'Aha, kau adalah Lenghou Tiong dari Hoa-san. Sudah
lama kudengar murid pertama Hoa-san-pay adalah seorang kesatria muda yang berani berbuat dan berani
bertanggung jawab, adalah seorang tokoh muda kelas wahid di dunia Kangouw pada zaman ini.'
"Pada saat itulah Lenghou-toako lantas mengaku, jawabnya dengan tertawa, 'Ah, kau terlalu memuji. Lenghou
Tiong adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu. Sungguh menertawakan saja.'
"Tapi Dian Pek-kong berkata, 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Marilah kita berkawan saja. Andaikan
Lenghou-heng penujui Nikoh cilik jelita ini tentu Cayhe akan mengalah dan menyerahkannya padamu.
Mementingkan perempuan dan melupakan sahabat bukanlah sifat kaum kita.'"
Wajah Ting-yat tampak merengut, berulang-ulang ia memaki, "Kurang ajar! Kurang ajar!"
Mendadak Gi-lim menangis, katanya pula, "Suhu, tiba-tiba Lenghou-toako mencaci maki lagi padaku. Katanya,
'Dian-heng, Nikoh cilik ini mukanya pucat seperti mayat, setiap hari makannya sayur dan tahu melulu, betapa
pun cantiknya juga tak berguna. Apalagi aku paling muak terhadap kaum Nikoh, bila melihatnya lantas marah,
kalau bisa sungguh aku ingin membunuh habis setiap Nikoh di dunia ini.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong bertanya, 'Apakah sebabnya itu?'
"Maka Lenghou-toako menjawab, 'Sesungguhnya dalam hidupku ini hanya ada suatu kegemaran yaitu gemar
berjudi. Asal sudah pegang dadu dan kartu, maka aku menjadi lupa daratan sampai jiwanya sendiri pun tak
ingat lagi. Akan tetapi bila melihat Nikoh, maka celakalah aku, hari itu aku tak boleh lagi berjudi, setiap kali
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
judi pasti kalah. Hal ini sudah kucoba berkali-kali dan setiap kali memang begitu. Bukan saja aku, bahkan para
Sute dari Hoa-san-pay kami juga begitu. Sebab itulah bila anak murid Hoa-san-pay kami bertemu dengan para
Supek, Susiok, Suci dan Sumoay dari Hing-san-pay, meski lahirnya kami ramah tamah dan menghormat, tapi
di dalam batin kami menganggap sial.'"
Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi marahnya, "plok", kontan ia tampar Lo Tek-nau sekali. Karena
tamparannya cepat dan keras, sukarlah bagi Lo Tek-nau untuk menghindar. Seketika ia merasa kepalanya
puyeng hampir-hampir saja roboh pingsan.
Dengan tertawa, Lau Cing-hong lantas berkata, "Buat apa Suthay mesti marah? Sebabnya Lenghou Tiong
sembarangan mengoceh adalah karena ingin menolong muridmu. Mengapa kau anggap sungguh-sungguh
ocehannya itu?"
"Ya, sebenarnya Lenghou-toako sangat baik," kata Gi-lim dengan terguguk-guguk. "Cuma ... cuma saja
ucapannya agak kasar. Suhu menjadi marah, aku tidak berani menceritakan lagi."
"Ceritakan saja! Ceritakan seterang-terangnya," ujar Ting-yat. "Aku ingin tahu dia sembarangan omong karena
bermaksud baik atau jahat. Jika dia adalah pemuda bangor dan berkelakuan bajingan, biarlah aku akan bikin
perhitungan dengan Gak-loji."
"Baiklah," sahut Gi-lim. "Kemudian Lenghou-toako berkata pula, 'Dian-heng, orang belajar ilmu silat seperti
kita ini selama hidup selalu bergulat di ujung senjata. Walaupun ilmu silat lebih tinggi akan lebih beruntung,
tapi hakikatnya juga tergantung pada nasib. Betul tidak katamu? Jangankan Nikoh cilik yang kurus kecil seperti
ini, bobotnya paling-paling hanya belasan kati saja, sekalipun betul-betul bidadari turun dari kahyangan juga
aku Lenghou Tiong takkan terpikat padanya. Manusia betapa pun lebih mementingkan jiwa, mementingkan
perempuan dan mengentengkan kawan adalah tidak boleh, sebaliknya mementingkan perempuan dan
mengentengkan jiwa juga tolol. Maka dari itu, tentang Nikoh cilik ini janganlah sekali-kali disentuh.'
"Tapi dengan tertawa Dian Pek-kong membantah, 'Lenghou-heng, kukira kau adalah seorang jantan yang tidak
takut pada langit dan tidak gentar pada bumi, mengapa terhadap seorang Nikoh menjadi begitu ketakutan?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Maklumlah, asal melihat Nikoh tentu aku akan sial, karena pengalaman sudah
banyak, mau tak mau aku harus percaya. Coba pikirkan, kemarin aku masih segar bugar, melihat muka Nikoh
cilik ini saja tidak, tapi semalam aku cuma mendengar suaranya saja lantas menderita luka parah kena dibacok
oleh golokmu, bahkan jiwaku hampir-hampir melayang. Apa namanya ini kalau bukan sial?'
"Dian Pek-kong terbahak-bahak, katanya, 'Ya, benar juga.'
"Lalu Lenghou-toako berkata pula, 'Makanya, Dian-heng, kita kaum laki-laki sejati biarlah minum arak saja
sepuas-puasnya, lebih baik kau suruh Nikoh cilik ini lekas enyah saja. Aku ingin menasihati kau setulus hatiku,
janganlah sekali-kali kau menyentuh dia bila kau tidak ingin sial dan celaka selama hidupmu, kecuali kalau kau
sendiri pun ingin menjadi Hwesio. Wah, 'tiga racun dunia' ini masakah kau tidak lekas menghindarinya?'
"Dengan heran Dian Pek-kong bertanya, 'Apa itu 'tiga racun dunia' yang kau katakan?'
"Lenghou-toako mengunjuk rasa heran, jawabnya, 'Aneh, masakah tiga racun dunia saja kau tidak tahu? Tiga
racun dunia itu adalah Nikoh, warangan dan ular. Di antara tiga racun dunia itu Nikoh adalah racun pertama
pula. Masakah kau tidak takut?'"
Sampai di sini kembali Ting-yat naik darah pula, ia menggebrak meja sambil memaki, "Keparat, ocehan omong
kosong belaka!"
Karena sudah merasakan tempelengan Nikoh tua itu, Lo Tek-nau menjadi waswas dan menyingkir agak jauh.
Lau Cing-hong lantas berkata, "Biarpun bermaksud baik, tapi mulut Lenghou-hiantit memang juga agak
lancang. Cuma kalau dipikir kembali, menghadapi bangsat besar sebagai Dian Pek-kong itu kalau tidak
mengobral ocehan tentu akan sukar menipu dia supaya dia mau percaya."
"Lau-supek, apakah engkau kira ucapan-ucapan Lenghou-toako itu sengaja dikarang untuk menipu bangsat she
Dian itu?" tanya Gi-lim.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Sudah tentu begitulah," sahut Lau Cing-hong. "Masakah di antara orang-orang Ngo-gak-kiam-pay kita ada
yang berani begitu kurang ajar dan iseng mengucapkan kata-kata kasar demikian. Padahal besok lusa adalah
hari perayaanku, betapa pun aku harus mencari hari baik dan suasana bahagia. Jika kita benar-benar menaruh
sirik terhadap kalian, mengapa dengan hormat aku malah mengundang Ting-yat Suthay dan kalian hadir ke
sini?"
Mendengar ucapan Lau Cing-hong ini barulah air muka Ting-yat berubah agak tenang kembali, tapi dia masih
menjengek dan memaki, "Mulut kotor anak keparat itu entah ajaran manusia rendah yang mana?"
Demikian di balik ucapannya ini dia sengaja memaki gurunya Lenghou Tiong, yaitu ketua Hoa-san-pay.
"Suthay janganlah marah," ujar Lau Cing-hong. "Sesungguhnya ilmu silat keparat Dian Pek-kong itu sangat
lihai. Karena ingin menolong Gi-lim Sutit dan kepandaian sendiri tak mampu menandingi musuh, terpaksa
Lenghou-sutit mengarang kata-kata yang tak genah untuk menipu bangsat itu."
"Apakah dengan demikian Dian Pek-kong lantas membebaskan kau?" tanya Ting-yat kepada Gi-lim.
"Tidak," sahut Gi-lim sambil menggeleng. "Tatkala mana Dian Pek-kong tampak rada ragu-ragu, dia
memandang sekejap padaku, lalu berkata, 'Banyak terima kasih atas nasihat Lenghou-heng, cuma tentang
Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihatnya, maka biarkan dia menemani kita di sini saja.'
"Lenghou-toako berkata, 'Tambah lama melihat dia tambah sial, tambah sial!'
"Pada saat itulah mendadak seorang pemuda yang duduk di meja sebelah melolos pedang dan melompat ke
depan Dian Pek-kong sambil membentak, 'Jadi kau ... kau inilah Dian Pek-kong?'
"Keparat she Dian itu menjawab, 'Ada apa?'
"'Akan kubunuh kau maling cabul ini!' seru pemuda itu terus menyerang. Dari jurus ilmu pedangnya dapatlah
diketahui dia adalah orang Thay-san-pay. Dia adalah Suheng ini," sampai di sini ia lantas tunjuk jenazah yang
menggeletak di atas daun pintu itu. Lalu melanjutkan, "Tapi Dian Pek-kong itu tidaklah berdiri, dia dapat
mengegos serangan Suheng ini dan berkata, 'Eh, Lenghou-heng, orang ini dari Thay-san-pay, kau membantu
dia atau tidak?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, sudah tentu akan kubantu!'
"'Baik, biarpun kalian Hoa-san, Hing-san dan Thay-san-pay bergabung juga bukan tandinganku,' kata Dian Pekkong.
'Bukan tandinganmu juga akan kulakukan,' ujar Lenghou-toako sambil melolos pedangnya. Dalam pada
itu si pemuda tadi sudah serang beberapa kali pada Dian Pek-kong, tapi semuanya dapat dihindarkan olehnya.
Pemuda itu malah meludahi Lenghou-toako, dampratnya, 'Di dalam Ngo-gak-kiam-pay kami masakah terdapat
maling cabul sebagai kau?' Habis berkata pedangnya malah terus menusuk ke arah Lenghou-toako.
"Namun Lenghou-toako sempat melompat ke samping, berbareng pedangnya lantas menusuk punggung Dian
Pek-kong. Waktu itu aku pun sudah siap dengan pedangku yang sudah patah dan serentak mengerubut maju.
Tapi bangsat she Dian itu benar-benar sangat lihai, tubuhnya hanya bergerak sedikit saja tahu-tahu tangannya
sudah memegang sebatang golok, katanya dengan tertawa, 'Duduk, duduklah, mari minum lagi!'
"Habis berkata ia lantas simpan kembali goloknya. Sebaliknya Suheng dari Thay-san-pay itu entah kapan
dadanya telah terkena goloknya, darah tampak menyembur keluar, matanya mendelik kepada Dian Pek-kong,
badannya bergoyang-goyang, lalu roboh terkapar."
Bab 14. Ilmu Pedang Kakus Ciptaan Lenghou Tiong
Sampai di sini ia pandang Te-coat Tojin, lalu menyambung pula, "Dan Supek dari Thay-san-pay ini lantas
melompat ke depan Dian Pek-kong sambil membentak, pedangnya menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi.
Sudah tentu ilmu pedang Supek ini sangat hebat, tapi Dian Pek-kong tidak berdiri lagi, ia hanya duduk di
kursinya sambil cabut golok dan menangkis setiap serangan. Supek ini telah menyerang belasan kali dan Dian
Pek-kong juga menangkis belasan kali, selama itu dia tetap duduk saja tanpa berbangkit."
Air muka Thian-bun Tojin tampak membesi, katanya, "Sute, apakah ilmu silat bangsat itu benar-benar begitu
lihai?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendadak Te-coat menarik napas panjang, wajahnya yang pucat sekarang tambah putih seperti mayat.
Perlahan-lahan ia berpaling ke arah lain.
Semua orang tahu itu adalah jawaban secara diam-diam yang mengakui ilmu silat Dian Pek-kong memang
lihai. Maka pandangan semua orang lantas berpindah lagi kepada Gi-lim untuk mendengarkan ceritanya lebih
lanjut.
"Saat itulah Lenghou-toako lantas putar pedangnya dan menusuk ke arah Dian Pek-kong," demikian Gi-lim
menyambung. "Cepat Dian Pek-kong menangkis dengan goloknya, dia tergeliat dan akhirnya berdirilah."
"Apakah kau tidak salah omong?" ujar Ting-yat. "Masakah belasan kali serangan Te-coat Totiang tak mampu
memaksa dia berdiri, sebaliknya hanya sekali serangan Lenghou Tiong saja sudah membuatnya berbangkit?"
"Untuk itu Dian Pek-kong telah memberi penjelasan," jawab Gi-lim. "Dia bilang, 'Lenghou-heng, aku anggap
kau sebagai sahabat, kau menyerang aku dengan senjata, jika aku tetap berduduk saja berarti memandang
hina padamu. Meski ilmu silatku lebih tinggi daripadamu, tapi hatiku menghormati kau sebagai seorang
kesatria sejati. Sebab itulah tak peduli menang atau kalah aku akan berdiri untuk menyambut seranganmu.
Lain halnya terhadap hidung kerbau ini.'
"Lenghou-toako mendengus sekali, katanya, 'Terima kasih atas pujianmu!'
"Sret-sret-sret, beruntun-runtun ia terus menyerang lagi tiga kali. Suhu, tiga kali serangan itu benar-benar
sangat lihai, sinar pedang telah membungkus rapat tubuh Dian Pek-kong …."
"Itu adalah karya kebanggaan Gak-loji yang disebut 'Tiang-kang-sam-tiap-lang' (gelombang ombak susun
tiga)," kata Ting-yat. "Kabarnya serangan kedua lebih kuat daripada serangan pertama dan serangan ketiga
tambah kuat lagi daripada serangan kedua. Dan cara bagaimana Dian Pek-kong itu mematahkan seranganserangan
itu?"
Para hadirin juga tahu serangan berantai ilmu pedang Hoa-san-pay yang disebut "Tiang-kang-sam-tiap-lang"
itu sangat hebat, maka mereka pun ingin tahu cara bagaimana Dian Pek-kong mematahkan serangan lihai itu.
Terdengar Gi-lim menyambung lagi, "Setiap kali Dian Pek-kong menangkis, tiap kali pula dia mundur satu
tindak, berturut-turut ia mundur tiga tindak, lalu berseru memuji, 'Bagus! Ilmu pedang bagus!'
"Tiba-tiba ia berpaling kepada Te-coat Susiok dan bertanya, 'Hidung kerbau, kenapa kau tidak ikut mengerubut
maju?' Kiranya pada waktu Lenghou-toako mengeluarkan serangan lihai tadi, Te-coat Susiok hanya berdiri di
samping saja tanpa membantu.
"Dengan mencemoohkan Te-coat Susiok menjawab, 'Huh, Thay-san-pay adalah kaum jantan sejati, masakah
sudi bergabung dengan kaum bajingan tengik dan cabul sebagai kalian?'
"Aku menjadi tidak tahan dan berseru, 'Te-coat Susiok, janganlah engkau salah sangka terhadap Lenghousuheng,
dia adalah seorang baik!'
"Tapi Te-coat Susiok menjengek, 'Dia adalah orang baik? Hehe, ya, memang orang baik, orang paling baik dari
begundalnya Dian Pek-kong yang kotor dan hina ini!'
"Sekonyong-konyong terdengar Te-coat Susiok menjerit sekali, kedua tangannya mendekap dadanya sendiri,
air mukanya meringis aneh. Sedangkan Dian Pek-kong lantas menyimpan kembali goloknya dan berkata,
'Duduklah, silakan duduk, marilah minum!'
"Kulihat dari celah-celah jari Te-coat Susiok yang menutupi dada itu merembes keluar darah segar, entah
dengan cara bagaimana dadanya telah kena dilukai Dian Pek-kong. Serangan itu benar-benar aneh dan secepat
kilat sampai-sampai aku tidak tahu kapan terjadinya. Saking ketakutan aku hanya mampu berseru, 'Jang ...
jangan membunuhnya!'
"Dengan cengar-cengir Dian Pek-kong berkata, 'Baik, si jelita bilang jangan membunuhnya, tentu aku takkan
membunuhnya!'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Segera Te-coat Susiok lari pergi dari restoran itu sambil menahan lukanya. Mestinya Lenghou-toako hendak
menyusul dan menolong Te-coat Susiok, tapi Dian Pek-kong telah berkata, 'Lenghou-heng, lebih baik duduklah
dan minum saja. Hidung kerbau itu terlalu angkuh, biarpun mati juga takkan terima pertolonganmu, buat apa
kau mesti mencari malu sendiri?'
"Lenghou-toako tersenyum getir saja sambil geleng-geleng kepala, beruntun-runtun ia minum arak beberapa
mangkuk lagi.
"Kemudian Dian Pek-kong berkata pula, 'Imam hidung kerbau itu juga terhitung jago kelas satu di dalam Thaysan-
pay mereka, bacokan golokku tadi tidak lambat, tapi dia ternyata sempat mengkeret mundur beberapa
senti sehingga dia tidak sampai mati. Jago silat di dunia ini yang mampu terhindar dari kematian seranganku
ini barulah dia orang satu-satunya. Bagus, bagus, ilmu silat Thay-san-pay ternyata masih boleh juga. Tapi
bagimu, Lenghou-heng, karena hidung kerbau itu tidak jadi mati, tentu kesukaranmu di kemudian hari akan
tambah banyak.'
"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Selama hidupku setiap hari selalu menghadapi kesukaran, pusing
apa? Hayolah minum, silakan minum! Dian-heng, jika seranganmu ditujukan padaku tentu aku tidak mampu
mengelakkan diri.'
"Dian Pek-kong berkata, 'Ya, tadi aku memang bertangan ringan padamu sebagai balas kebaikanmu semalam
tidak membunuh aku di dalam gua sana.'
"Mendengar itu, aku menjadi heran sekali. Jika demikian, jadi pertarungan sengit di dalam gua semalam itu
bukannya Dian Pek-kong yang menang, sebaliknya Lenghou-toako yang telah mengampuni jiwanya malah."
Mendengar sampai di sini, air muka semua orang mengunjuk rasa kurang senang pula. Mereka anggap
Lenghou Tiong tidak pantas bergaul dan main sungkan-sungkan terhadap maling cabul yang terkutuk sebagai
Dian Pek-kong itu.
Lalu Gi-lim melanjutkan, "Lenghou-toako telah berkata, 'Pertarungan di dalam gua semalam aku sudah berbuat
sepenuh tenaga, tapi apa mau dikata, kepandaianku memang kalah tinggi, masakah aku berani mengaku telah
bermurah hati padamu?'
"Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Tatkala itu kau dan Nikoh cilik ini bersembunyi di dalam gua, Nikoh
cilik ini mengeluarkan suara sehingga ketahuan, sebaliknya kau menahan napas sehingga aku sama sekali tidak
menduga kau juga bersembunyi di situ. Waktu aku memegang Nikoh ini dan akan melanggar kesuciannya,
dalam keadaan begitu bila kau menunggu lagi sejenak, di kala aku sedang lupa daratan lalu kau menyerang,
tentu dengan gampang kau dapat membinasakan aku. Kau toh bukan anak kecil, Lenghou-heng, masakah kau
tidak tahu seluk-beluk orang hidup? Tapi aku tahu kau adalah seorang laki-laki sejati, seorang kesatria tulen
yang tidak sudi menyerang orang secara menggelap. Sebab itulah, hehe, pedangmu hanya menusuk perlahan
saja di atas pundakku.'
"Tapi Lenghou-toako menjawab, 'Tidak, waktu itu aku tidak dapat menunggu lagi sehingga Nikoh cilik ini
dinodai olehmu. Biarlah kukatakan padamu, walaupun merasa sial bila melihat Nikoh, tapi Hing-san-pay jelekjelek
adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay kami, kau berani main gila kepada kami, sudah tentu aku tak
dapat tinggal diam.'
"'Walaupun begitu, bila tusukan pedangmu itu didorong lagi dua-tiga senti ke depan, tentu lenganku ini sudah
tamat riwayatnya. Tapi mengapa tusukanmu yang sudah mengenai sasarannya mendadak ditarik kembali?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Sebagai murid Hoa-san-pay mana boleh aku menyerang orang secara pengecut?
Lebih dulu kau telah menebas luka bahuku, maka aku pun balas melukai pundakmu. Kita sama-sama tidak
utang. Jika mesti bertempur lagi kita pun tak perlu sungkan-sungkan lagi.'
"'Hahaha, bagus! Aku ingin bersahabat dengan kau. Marilah, mari, kita habiskan semangkuk arak ini,' jawab
Dian Pek-kong dengan terbahak-bahak. Lenghou-toako berkata, 'Ilmu silatku kalah kuat daripada kau, tapi
kekuatan minum arak, kaulah yang kalah dariku.'
"Dian Pek-kong menjawab, 'Kekuatan minum arak aku kalah? Juga belum tentu. Hayolah kita coba-coba
bertanding. Marilah kita minum 16 mangkuk bersama!'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Mendadak Lenghou-toako mengerut kening, katanya, 'Dian-heng, kukira engkau adalah seorang adil, makanya
aku mau berlomba minum dengan kau, siapa tahu tidak begitu halnya, sungguh sangat mengecewakan aku.'
"Dian Pek-kong meliriknya dan bertanya, 'Mengapa aku kurang adil?'
"'Habis kau kan tahu aku paling jemu kepada Nikoh, bila melihat Nikoh tentu badanku menjadi tidak enak,
seleraku menjadi muak, cara bagaimana lagi dapat berlomba minum dengan kau?' demikian sahut Lenghoutoako.
"Dian Pek-kong terbahak-bahak, katanya, 'Ya, Lenghou-heng, aku tahu dengan segala daya upayamu kau ingin
menolong Nikoh cilik ini. Akan tetapi dasar aku Dian Pek-kong memang suka pada perempuan melebihi jiwanya
sendiri, sekali aku sudah penujui Nikoh cilik jelita ini tidak nanti kulepaskan dia lagi. Apabila kau ingin aku
melepaskan dia juga boleh, tapi ada satu syarat!'
"Jawab Lenghou-toako, 'Baik, coba katakan. Naik gunung berapi atau masuk ke laut mendidih, jika aku
Lenghou Tiong mengerut kening sedikit saja bukanlah laki-laki sejati.'
"Dengan tertawa, Dian Pek-kong menuang dua mangkuk arak lalu berkata, 'Silakan minum dulu, akan
kukatakan padamu.'
"Tanpa pikir lagi Lenghou-toako lantas angkat mangkuk itu, sekali tenggak ia habiskan isinya dan
memperlihatkan mangkuk yang kosong sambil berkata, 'Habis!'
"Segera Dian Pek-kong juga menghabiskan semangkuk arak, kemudian berkata, 'Lenghou-heng, bila aku sudah
anggap kau sebagai sahabat, maka kita harus tunduk kepada hukum Kangouw. Istri kawan tidak boleh digoda.
Asal kau menyanggupi akan mengawini Nikoh cilik ini .…'" bercerita sampai di sini air muka Gi-lim menjadi
merah jengah, suaranya makin lirih sampai akhirnya tidak kedengaran lagi.
"Ngaco-belo! Makin omong makin kotor!" teriak Ting-yat sambil gebrak meja. "Lalu bagaimana?"
Dengan suara perlahan Gi-lim menutur pula, "Dian Pek-kong itu masih mengoceh terus, dengan cengar-cengir
ia berkata, 'Seorang laki-laki sejati sekali omong harus bisa pegang janji. Asal kau menyanggupi akan menikahi
dia sebagai istri, segera juga aku akan membebaskan dia, bahkan aku akan memberi hormat dan minta maaf
padanya. Selain jalan ini jangan lagi mengharap.'
"Lenghou-toako menyemprotnya, 'Cis, memangnya kau ingin membikin aku sial selama hidup? Sudahlah,
urusan ini jangan dibicarakan lagi.'
"Tapi keparat Dian Pek-kong itu masih terus mengoceh tak keruan, katanya Nikoh kalau piara rambut tentu
bukan Nikoh lagi dan macam-macam omongan gila lainnya. Aku menutup telinga sendiri tidak sudi
mendengarkan. 'Tutup mulut!' bentak Lenghou-toako. 'Jika kau sembarangan mengoceh lagi seketika ini juga
aku bisa mati kaku. Kau tidak mau membebaskan dia, bolehlah kita bertempur lagi mati-matian. Dian-heng,
sesungguhnya kalau bertempur dengan berdiri aku memang bukan tandinganmu, tapi kalau bertempur sambil
berduduk kau pasti bukan lawanku.'"
Tadi semua orang telah mendengar cerita Gi-lim tentang Dian Pek-kong menangkis belasan kali serangan Tecoat
Tojin tanpa berbangkit dari tempat duduknya, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian
bertempur Dian Pek-kong sambil berduduk itu. Tapi sekarang Lenghou Tiong berani mengatakan kepandaian
Dian Pek-kong kalah tinggi daripadanya, terang ucapan ini hanya untuk membuat marah lawan saja.
"Ya, terhadap bangsat keparat cabul begitu memang harus memancingnya supaya murka, habis itu barulah
mencari kesempatan untuk membinasakan dia," kata Ho Sam-jit.
"Akan tetapi Dian Pek-kong itu ternyata tidak marah atas tantangan Lenghou-toako itu," tutur Gi-lim lebih
lanjut. "Dengan tertawa dia berkata, 'Lenghou-heng, yang kukagumi adalah jiwa kesatria dan keberanianmu,
tapi bukanlah ilmu silatmu.'
"Kontan Lenghou-toako menjawab, 'Dan yang kukagumi adalah ilmu golokmu dengan berdiri dan bukan ilmu
golok yang dimainkan sambil berduduk.'
"Dian Pek-kong terbahak-bahak, jawabnya, 'Dalam hal ini rupanya kau tidak tahu bahwa dahulu aku pernah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sakit lumpuh, lebih dari dua tahun aku terpaksa berlatih ilmu golok sambil berduduk. Maka bertempur sambil
berduduk adalah kemahiranku yang khas. Ini sudah terbukti dalam pertarunganku dengan Tojin hidung kerbau
tadi. Maka dari itu Lenghou-heng, dalam hal kepandaian bertempur sambil berduduk sudah terang kau bukan
tandinganku.'
"Tapi Lenghou-toako lantas mendebat, 'Dian-heng, rupanya kau pun tidak tahu. Kau cuma dua tahun saja
berlatih ilmu golokmu sambil berduduk lantaran kena penyakit lumpuh, terang ilmu pedangku sambil berduduk
jauh lebih lihai daripadamu, sebab setiap hari aku senantiasa berlatih sambil berduduk.'"
Bercerita sampai di sini, sorot mata semua orang lantas beralih ke arah Lo Tek-nau dengan maksud ingin tahu
apa yang dikatakan oleh Lenghou Tiong itu apakah memang sungguh-sungguh, mereka tidak tahu apakah di
dalam ilmu silat Hoa-san-pay memang betul ada cara latihan sambil berduduk.
Maka dengan tertawa Lo Tek-nau telah menjawab, "Toasuko hanya membohongi dia saja, golongan kami tiada
terdapat kepandaian cara demikian."
"Ya, Dian Pek-kong juga merasa heran," sambung Gi-lim. "Katanya, 'Apakah betul demikian? Wah, rupanya
pengetahuanku yang dangkal dan kurang luas pengalamanku. Aku menjadi ingin sekali belajar kenal dengan
ilmu pedang Hoa-san-pay ... eh, apakah namanya?'
"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Ilmu pedang ini bukan ajaran guruku, tapi adalah ciptaanku
sendiri.'
"Mendengar itu, seketika air muka Dian Pek-kong berubah, katanya, 'O, kiranya demikian. Bakat Lenghou-heng
yang tinggi sungguh sangat mengagumkan.'"
Semua orang dapat mengerti sebab apa air muka Dian Pek-kong berubah. Maklumlah, untuk menciptakan
sejurus ilmu pukulan atau ilmu pedang bukanlah soal mudah di dunia persilatan. Kalau bukan ilmu silatnya
sudah kelewat tinggi dan mempunyai bakat serta pengetahuan yang luas, tidaklah mungkin dapat menciptakan
sendiri ilmu silat baru.
Maka diam-diam Lo Tek-nau juga heran, pikirnya, "Kiranya Toasuko telah berhasil menciptakan ilmu pedang
baru, mengapa dia tidak lapor kepada Suhu? Apa barangkali dia merasa sirik karena telah dihajar oleh Suhu
gara-gara percekcokannya dengan orang-orang Jing-sia-pay, lalu ingin keluar dari Hoa-san-pay untuk berdiri
sendiri?"
Dalam pada itu terdengar Gi-lim telah melanjutkan, "Tatkala itu Lenghou-toako hanya tertawa saja, katanya,
'Haha, ilmu pedangku ini berbau busuk, apanya yang perlu dikagumkan?'
"Dian Pek-kong menjadi heran, ia tanya, 'Mengapa kau bilang berbau busuk?'
"Aku sendiri juga terheran-heran atas keterangan Lenghou-toako itu. Ilmu pedang hanya dibedakan antara
bagus dan tidak, masakah pakai bau harum dan bau busuk segala?
"Kudengar Lenghou-toako telah menjawab, 'Biarlah kuceritakan terus terang padamu, Dian-heng. Terciptanya
ilmu pedangku ini adalah demikian jalannya: Setiap pagi hari aku tentu masuk kakus, di kala berduduk di
tempat buangan kotoran selalu aku diganggu oleh lalat yang terbang kian kemari dan menjemukan. Saking
isengnya aku lantas membawa pedang untuk menyampuk dan menusuk kawanan lalat yang mengganggu itu.
Semula memang sukar untuk menusuk lalat-lalat itu, tapi lama-kelamaan menjadi jitu, setiap kali menusuk
tentu kena sasarannya, lambat laun timbul juga ilhamku untuk menggubah gerakan menusuk lalat dengan
pedang itu dalam sejurus Kiam-hoat. Karena di waktu memainkan ilmu pedang itu selalu duduk di dalam
kakus, bukankah baunya menjadi rada-rada busuk?'
"Mendengar uraian Lenghou-toako itu, saking gelinya, aku sampai tertawa. Kuanggap Lenghou-toako itu benarbenar
sangat jenaka, di dunia ini masakah ada orang berlatih ilmu pedang cara demikian? Sebaliknya air muka
Dian Pek-kong berubah kurang senang, katanya, 'Lenghou-heng, aku anggap kau sebagai seorang sahabat,
tapi dengan ucapanmu itu tidakkah terlalu menghina diriku? Masakah kau anggap aku Dian Pek-kong sebagai
lalat-lalat di dalam kakus itu? Bagus, biarlah sekarang juga aku akan belajar kenal dengan ilmu yang ... yang
....'"
Mendengar sampai di sini, diam-diam semua orang manggut-manggut mengakui kecerdikan Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Hendaklah maklum bahwa pertandingan antara jago silat kelas wahid paling pantang marah, sekali marah
berarti sudah kalah beberapa bagian. Sekarang Lenghou Tiong sengaja mengarang kata-kata yang menghina
dan Dian Pek-kong benar-benar telah dibikin marah, ini berarti langkah pertama Lenghou Tiong sudah berhasil.
Dian Pek-kong sudah masuk ke perangkapnya.
"Kemudian bagaimana?" segera Ting-yat tanya.
"Lenghou-toako masih tetap tertawa saja," tutur Gi-lim. "Katanya, 'Tidak, tidak ada maksud Cayhe ingin
menghina Dian-heng. Di waktu melatih ilmu pedangku ini sesungguhnya hanya terdorong oleh rasa iseng saja,
sekali-kali tiada maksud tujuan akan digunakan untuk bertempur dengan orang. Maka dari itu harap Dian-heng
jangan salah paham, betapa pun kurang ajarnya Cayhe juga tak berani menyamakan Dian-heng dengan lalat di
kakus.'
"Aku tambah geli mendengar Lenghou-toako menekankan nadanya pada menyamakan Dian-heng dengan lalat
di kakus, tanpa merasa aku tertawa pula. Keruan Dian Pek-kong tambah gusar, segera ia cabut goloknya dan
ditaruh di atas meja. Katanya, 'Baik, kita boleh coba-coba bertanding sambil berduduk.'
"Melihat sorot mata Dian Pek-kong memancarkan sinar beringas aku jadi khawatir. Terang kini Dian Pek-kong
sudah tidak kenal ampun lagi dan akan membunuh Lenghou-toako.
"Tapi Lenghou-toako tetap tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa, 'Kita bertanding sambil berduduk,
terang kau kalah mahir daripadaku dan pasti bukan tandinganku. Hari ini Lenghou Tiong baru saja
mendapatkan seorang sahabat sebagai Dian-heng, buat apa mesti saling cekcok pula? Lagi pula Lenghou Tiong
adalah seorang laki-laki sejati, tidak nanti aku sudi mengakali kawannya sendiri dengan kepandaian yang
paling diandalkannya!'
"Dian Pek-kong menjawab, 'Tidak, pertandingan ini berlangsung dengan sukarela dan tak dapat dianggap kau
mengakali aku.'
"Lenghou-toako menegas, 'Jika demikian, jadi Dian-heng berkeras ingin bertanding?'
"'Ya, harus bertanding!' jawab Dian Pek-kong. 'Bertanding sambil berduduk?' Lenghou-toako menegas pula.
'Betul, bertanding sambil berduduk,' jawab Dian Pek-kong.
"'Baik, jika demikian, kita harus menentukan suatu peraturan, siapa yang berdiri sebelum menang atau kalah
diketahui dianggap kalah,' kata Lenghou-toako.
"'Akur! Siapa yang berdiri lebih dulu dianggap kalah!'
"Lalu Lenghou-toako berkata pula, 'Dan bagaimana bagi yang kalah?'
"'Terserah padamu bagaimana baiknya?' jawab Dian Pek-kong. Kata Lenghou-toako, 'Tunggu sebentar, biar
kupikir dulu. Ah, adalah! Pertama, siapa yang kalah selanjutnya tidak boleh bersikap kurang ajar kepada Nikoh
cilik ini, bila melihat dia harus memberi hormat dan menyapa, 'Siausuhu, Tecu Dian Pek-kong menyampaikan
salam bakti.'
"Dian Pek-kong menyemprot, 'Cis, dari mana kau mengetahui aku yang akan kalah? Jika kau yang kalah lantas
bagaimana?'
"Dengan tertawa Lenghou-toako menjawab, 'Sama juga, pendek kata siapa saja yang kalah harus ganti
perguruan dan mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru, menjadi cucu murid Ting-yat Losuthay dari Hing-sanpay!'
"Coba Suhu, ucapan Lenghou-toako itu sangat lucu bukan? Mereka berdua akan bertanding, masakah kalau
kalah harus menjadi murid Hing-san-pay? Padahal aku mana boleh menerima mereka sebagai murid?"
Sampai di sini, wajah Gi-lim yang sejak tadi muram durja itu lantas menampilkan senyuman manis sehingga
makin menambah kecantikannya.
"Ucapan orang Kangouw begitu buat apa kau anggap sungguh-sungguh? Lenghou Tiong hanya sengaja
membuat marah Dian Pek-kong saja," kata Ting-yat Suthay. "Kemudian bagaimana?"
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Dian Pek-kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan Lenghou-toako yang tegas dan pasti itu. Aku menduga
dia mulai khawatir jangan-jangan kepandaian main pedang sambil berduduk Lenghou-toako benar-benar luar
biasa. Karena itu Lenghou-toako telah membikin panas lagi hatinya, 'Jika kau sudah pasti tidak ingin menjadi
murid Hing-san-pay, maka bolehlah kita batalkan pertandingan ini.'
"Dian Pek-kong menjadi marah, sahutnya, 'Baiklah, kita tetapkan demikian, siapa yang kalah harus
mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru.'
"Tapi aku lantas berseru, 'Tidak, aku tidak ingin menerima kalian sebagai murid. Kepandaianku rendah, pula
Suhuku juga tidak akan mengizinkan. Setiap orang Hing-san-pay kami adalah Nikoh, mana boleh ... mana
boleh ....'
"Mendadak Lenghou-toako memutus ucapanku, 'Aku berunding sendiri dengan Dian-heng, mau tidak mau kau
harus menurut, kau tidak ada hak buat ikut campur.'
"Lalu ia berpaling kepada Dian Pek-kong dan melanjutkan, 'Kedua, siapa yang kalah harus segera ayun senjata
atas diri sendiri dan menjadi Thaykam.'
"Sungguh aku tidak paham, Suhu, entah apa maksudnya ayun senjata atas diri sendiri dan menjadi Thaykam?"
Karena pertanyaan Gi-lim ini, seketika tertawalah semua orang. Thaykam adalah dayang raja yang sudah
dikebiri. Ayun senjata atas diri sendiri dan menjadi Thaykam berarti mengebiri dirinya sendiri.
Ting-yat ikut geli juga atas kepolosan muridnya yang hijau itu. Jawabnya, "Kata-kata itu adalah ucapan kasar
kaum bajingan, tidak perlu kau cari tahu."
"O, kiranya adalah kata-kata kasar," tukas Gi-lim. "Tapi demi mendengar ucapan itu, Dian Pek-kong lantas
melirik Lenghou-toako, katanya, 'Lenghou-heng, apakah kau betul-betul sudah yakin akan menang?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Sudah tentu! Jika bertempur sambil berdiri, di seluruh dunia ini aku terhitung jago
nomor 39, tapi kalau bertempur sambil berduduk, aku adalah tokoh nomor dua!'
"Dian Pek-kong tampak terheran-heran mendengar keterangan itu, ia tanya, 'Bertempur sambil berduduk kau
adalah tokoh nomor dua? Lalu siapa itu yang nomor satu?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Yang nomor satu ialah Mo-kau Kaucu (ketua Mo-kau) Tonghong Put-pay!'"
Mendengar nama "Mo-kau Kaucu Tonghong Put-pay" itu, seketika air muka semua orang berubah.
Gi-lim merasakan juga keadaan yang tegang itu, ia merasa heran dan takut pula sebab mengira ucapannya
salah. Ia coba tanya, "Suhu, apakah aku salah omong?"
"Tak perlu kau sebut nama itu lagi," sahut Ting-yat. "Lalu bagaimana kata Dian Pek-kong?"
"Waktu itu Dian Pek-kong hanya manggut-manggut saja," tutur Gi-lim pula. "Katanya, 'Ya, kau bilang
Tonghong-kaucu yang nomor satu, ini dapat aku setujui. Tapi Lenghou-heng mengaku nomor dua, hal ini
rasanya terlalu sombong dan membual belaka. Memangnya kau dapat melebihi gurumu sendiri?'
"'Aku kan bilang bertempur sambil berduduk. Kalau bertempur dengan berdiri, Suhuku adalah nomor enam,
sedangkan aku cuma nomor 39, sudah tentu aku selisih sangat jauh dengan beliau,' demikian jawab Lenghoutoako.
"Dian Pek-kong angguk-angguk, katanya, 'O, kiranya begitu! Lalu jika bertempur sambil berdiri aku terhitung
nomor berapa? Siapa sih yang menentukan urut-urutan nomor ini?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Sebenarnya ini merupakan suatu rahasia besar. Tapi kita berdua rupanya sangat
cocok satu sama lain, biarlah kuceritakan pada Dian-heng, tapi jangan sekali-kali kau ceritakan lagi kepada
orang lain. Kalau tidak tentu akan mengakibatkan pergolakan besar dalam dunia persilatan. Tiga bulan yang
lalu, kelima guru besar Ngo-gak-kiam-pay kami telah berkumpul di Hoa-san untuk membicarakan tokoh-tokoh
terkemuka Bu-lim pada zaman ini, pada waktu itulah telah ditentukan urut-urutan jago-jago silat di seluruh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
jagat. Dian-heng, terus terang saja kukatakan padamu, kelima guru besar kami telah memaki kelakuanmu
yang tidak ada harganya sepeser pun, tapi mengenai ilmu silatmu masih boleh juga, dalam hal bertempur
sambil berdiri, kau dapat dihitung nomor 14 di dunia ini.'"
"Lenghou Tiong omong kosong, bilakah terjadi pertemuan demikian?" seru Thian-bun dan Ting-yat berbareng.
"Kiranya Lenghou-toako sengaja membohongi dia," kata Gi-lim. "Makanya Dian Pek-kong juga ragu-ragu,
setengah percaya, setengah tidak, katanya, 'Hahaha, aku Dian Pek-kong dapat dihitung nomor 14 di antara
para Ciangbunjin Ngo-gak-kiam-pay dan para tokoh Bu-lim yang lain, sungguh bahagialah aku. Dan waktu itu,
Lenghou-heng apakah juga telah pertunjukkan ilmu pedang kakus yang berbau busuk itu di depan kelima guru
besar kalian? Kalau tidak masakah beliau-beliau itu meluluskan gelarmu sebagai jago nomor dua di dunia ini?'
"Dengan tertawa Lenghou-toako menjawab, 'Ilmu pedang kakus itu adalah tidak pantas dipertunjukkan di
depan umum, apalagi di depan kelima guru besar kami. Aku memainkannya jika aku merasa kebelet dan
cepat-cepat pergi ke kakus, dengan sendirinya gaya permainan ilmu pedang ini sangatlah menertawakan. Aku
pernah tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkemuka dari Mo-kau, mereka menganggap ilmu pedangku ini tiada
tandingannya kecuali Tonghong-kaucu mereka. Cuma saja, Dian-heng, ilmu pedangku ini meski lihai, tapi
kecuali kugunakan menusuk lalat di waktu berak sesungguhnya tiada gunanya lagi. Coba kau pikir, bila benarbenar
aku bergebrak dengan orang, siapa yang mau bertanding dengan aku sambil berduduk? Memang kau
sekarang sudah berjanji akan bertanding dengan aku sambil berduduk. Tapi bila nanti kau sudah kalah, tentu
dari malu kau akan menjadi gusar dan mendadak berbangkit untuk menyerang diriku. Padahal kau adalah jago
nomor 14 jika bertempur sambil berdiri, tentu saja dengan gampang kau dapat membunuh aku yang cuma
nomor 39 ini. Jadi, jago nomor 14 bagimu adalah tulen, tapi jago nomor 2 bagiku sebenarnya percuma saja.'
"Dian Pek-kong lantas mendengus dan berkata, 'Lenghou-heng, mulutmu ini memang pintar putar lidah. Dari
mana kau tahu pasti aku akan kalah jika bertempur dengan kau sambil berduduk dan dari mana mengetahui
pula aku akan malu berubah menjadi gusar, lalu berbangkit dan membunuh kau?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Dian-heng, jika kau berjanji takkan membunuh aku bilamana kau nanti kalah,
maka syarat menjadi Thaykam tadi bolehlah dihapuskan supaya kau tidak sampai putus keturunan. Nah, tidak
perlu banyak omong lagi, marilah mulai!"
"Habis berkata ia terus jungkirkan meja bersama mangkuk dan poci arak sehingga mencelat, maka
berhadapanlah kedua orang sekarang sambil berduduk, yang satu bergolok dan yang lain menghunus pedang.
Kata Lenghou-toako pula, 'Silakan mulai! Siapa yang berbangkit lebih dulu, pantat siapa yang lebih dulu
meninggalkan kursi, dianggap kalah.'
"'Baik, ingin kulihat siapa yang lebih dulu berbangkit!' sahut Dian Pek-kong.
"Baru saja mereka hendak mulai bergebrak, sekilas Dian Pek-kong memandang ke arahku, mendadak ia
bergelak tertawa dan berkata, 'Lenghou-heng, aku menyerah padamu saja. Kiranya kau memang sengaja
hendak membuat gara-gara padaku. Sekarang kita bertempur sambil berduduk dan tidak boleh meninggalkan
kursi, jangan-jangan kau telah menyembunyikan pembantu, atau Nikoh cilik ini nanti akan mengganggu aku
dari belakang sehingga terpaksa aku akan berbangkit.'
"Tapi Lenghou-toako juga terbahak-bahak, jawabnya, 'Aku tidak perlu dibantu oleh siapa-siapa, bila ada yang
membantu, anggaplah aku yang kalah. Eh, Nikoh cilik, kau mengharapkan aku menang atau kalah?'
"Aku menjawab, 'Sudah tentu mengharapkan kau menang. Kau adalah jago nomor dua di dunia ini bila
bertempur sambil berduduk, kau pasti takkan kalah.'
"'Baik, jika begitu lekas enyah! Makin cepat makin baik, makin jauh makin bagus. Tanpa bertempur juga aku
sudah kalah bila seorang wanita gundul macammu selalu berdiri di depanku,' demikian kata Lenghou-toako,
dan tanpa menunggu Dian Pek-kong bersuara lagi, kontan ia mendahului menusuk.
"Cepat Dian Pek-kong menangkis dan balas menyerang satu kali, katanya dengan tertawa, 'Lenghou-heng,
sungguh aku sangat kagum kepada tipu akalmu yang hendak menyelamatkan Nikoh cilik ini. Lenghou-heng,
kau benar-benar seorang pencinta besar. Cuma risiko ini juga teramat besar bagimu.'
"Pada waktu itu barulah aku tahu bahwa sebabnya Lenghou-toako berulang-ulang menegaskan siapa yang
berdiri lebih dulu dianggap kalah adalah supaya aku ada kesempatan untuk melarikan diri. Jika Dian Pek-kong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tidak mau dianggap kalah, dengan sendirinya ia tidak boleh meninggalkan kursinya dan dengan sendirinya tak
dapat menangkap aku lagi."
Semua orang ikut merasa gegetun atas usaha Lenghou Tiong yang ingin menolong Gi-lim itu. Dalam keadaan
ilmu silatnya kalah tinggi memang tiada jalan lain kecuali adu tipu daya.
"Tentang 'cinta' apa segala selanjutnya jangan kau sebut-sebut lagi dan tidak boleh kau pikirkan," kata Tingyat.
"Lalu bagaimana, waktu itu seharusnya kau dapat melarikan diri. Kalau tidak, sesudah Lenghou Tiong
dibunuh oleh Dian Pek-kong, tentu kau akan dibekuk pula olehnya."
"Ya, Lenghou-toako berulang-ulang juga mendesak pula, terpaksa aku menyembah padanya dan berkata,
'Banyak terima kasih atas pertolongan Lenghou-suheng!'
"Habis itu aku lantas hendak turun ke bawah loteng. Tapi baru saja sampai di ujung tangga, sekonyongkonyong
terdengar suara bentakan Dian Pek-kong, 'Kena!'
"Waktu aku menoleh, dua titik darah menciprat di atas mukaku. Kiranya pundak Lenghou-toako telah terluka.
"Terdengar Dian Pek-kong bertanya dengan tertawa, 'Bagaimana? Jago ilmu pedang nomor dua di dunia ini
kukira juga biasa saja!'
"Lenghou-toako menjawab, 'Nanti dulu! Nikoh cilik itu belum pergi, sudah tentu aku tak dapat menangkan kau.
Rupanya aku sudah ditakdirkan sial begini.'
"Kupikir Lenghou-toako jemu kepada Nikoh, jika aku tetap tinggal di situ jangan-jangan akan benar-benar
membikin celaka dia, terpaksa aku lekas-lekas turun dari loteng restoran itu. Sampai di bawah, kudengar suara
benturan senjata di atas loteng bertambah ramai, mendadak Dian Pek-kong membentak pula, 'Kena!'
"Keruan aku terperanjat, kupikir Lenghou-toako tentu terluka lagi. Tapi aku tak berani naik ke atas loteng,
terpaksa mencari jalan di luar dan memanjat ke atas atap restoran itu, aku mendekam di atas genting dan
mengintip ke bawah melalui jendela. Kulihat Lenghou-toako masih terus bertempur dengan tangkas walaupun
badannya sudah berlumuran darah, sebaliknya Dian Pek-kong sama sekali tidak terluka.
"Setelah bertempur sekian lamanya lagi, kembali Dian Pek-kong membentak, 'Kena!'
"Tahu-tahu lengan kiri Lenghou-toako telah terbacok. Tapi Dian Pek-kong lantas tarik kembali goloknya,
katanya dengan tertawa, 'Lenghou-heng, seranganku ini sengaja kulakukan dengan setengah-setengah saja.'
"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Sudah tentu aku tahu. Jika kau membacok sedikit lebih keras
tentu lenganku ini sudah berpisah dengan tubuhku!'
"Coba Suhu, dalam keadaan demikian dia masih tertawa-tawa malah.
"Lalu Dian Pek-kong bertanya, 'Dan pertempuran ini apakah perlu diteruskan?'
"Lenghou-toako menjawab, 'Sudah tentu diteruskan. Aku toh belum sampai berdiri.' Kata Dian Pek-kong, 'Aku
menganjurkan sebaiknya kau mengaku kalah dan berdiri saja. Apa yang sudah kita janjikan boleh dianggap
gugur saja, kau tidak perlu mengangkat Nikoh cilik itu sebagai guru.' Tapi Lenghou-toako menjawab, 'Tidak,
laki-laki sejati, sekali sudah berjanji mana boleh ditarik kembali?'
"Dian Pek-kong berkata, 'Sudah banyak aku melihat laki-laki pemberani di dunia ini, tapi orang seperti
Lenghou-heng ini baru hari ini aku melihatnya. Baiklah, anggap saja kita seri, marilah kita sudahi pertandingan
ini.'
"Tapi Lenghou-toako memandangnya sambil tertawa-tawa tanpa menjawab. Darah menetes dari berbagai
lukanya. Dian Pek-kong lantas menyimpan goloknya dan baru saja hendak berbangkit, mendadak teringat
olehnya, bila meninggalkan kursinya akan berarti kalah, maka tubuhnya baru menggeliat sedikit saja ia lantas
berduduk tegak lagi sehingga tidak sampai meninggalkan kursinya. 'Dian-heng, cerdik sekali kau ini!' kata
Lenghou-toako dengan tertawa."
Mendengar sampai di sini, tanpa merasa semua orang menarik napas panjang dan merasa sayang bagi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou-Tiong.
Lalu Gi-lim menyambung lagi, "Segera Dian Pek-kong mengangkat goloknya lagi dan berkata, 'Aku akan main
dengan cepat, jika terlambat mungkin aku tak dapat menyusul dan membekuk Nikoh cilik itu.'
"Mendengar diriku akan diuber pula, aku menjadi gemetar ketakutan, tapi khawatir pula kalau-kalau Lenghoutoako
akan mengalami cedera apa-apa. Aku jadi bingung. Tiba-tiba timbul pikiranku bahwa sebabnya Lenghoutoako
bertempur mati-matian dengan dia adalah lantaran ingin menolong diriku. Jalan satu-satunya asal aku
bunuh diri di depan mereka barulah Lenghou-toako akan terhindar dari kematian.
"Segera aku bersiap-siap untuk melompat ke dalam loteng restoran itu, tapi mendadak kulihat Lenghou-toako
sempoyongan, tubuhnya berikut kursinya terperosot roboh ke samping, tapi kedua tangannya menahan di
lantai sambil merangkak-rangkak sehingga kursi itu tetap menindih di atas bokongnya. Rupanya lukanya cukup
parah sehingga sukar untuk berdiri kembali. Dian Pek-kong sangat senang, dengan tertawa ia bertanya,
'Bagaimana? Kalau bertempur sambil duduk adalah jago nomor dua, kalau sambil merangkak jago nomor
berapa?'
"Sambil bicara tanpa merasa ia terus berbangkit.
"Mendadak Lenghou-toako bergelak tertawa dan berkata, 'Hahahaha! Kau sudah kalah!'
"Dian Pek-kong menjawab, 'Kau yang kalah sampai jatuh terperosot, masakah masih menuduh aku yang
kalah?'
"Sambil tengkurap di atas lantai, Lenghou-toako menjawab, 'Coba katakan, bagaimana perjanjian kita?'
"'Kita berjanji bertempur sambil berduduk, siapa yang berdiri lebih dulu, yang pantatnya meninggalkan kursi
lebih dulu, dianggap ka ... ka ....' berkata sampai di sini, Dian Pek-kong tidak dapat meneruskan lagi. Sambil
menuding Lenghou-toako ia pun sadar bahwa dirinya telah tertipu. Dia sudah berdiri lebih dulu, sebaliknya
Lenghou-toako masih belum berbangkit, pantatnya juga belum pernah berpisah dengan kursinya, walaupun
keadaan Lenghou-toako rada runyam, tapi sesuai dengan perjanjian, terang dia yang keluar sebagai
pemenang."
Mendengar sampai di sini, serentak semua orang bertepuk tangan dan tertawa puas. Hanya Ih Jong-hay saja
yang mendengus, katanya, "Huh, hanya bajingan tengik saja yang sudi main akal bulus dengan maling cabul
sebagai Dian Pek-kong itu, sungguh membikin malu kaum Beng-bun-cing-pay saja."
Bab 15. Si Gadis Cilik Berbaju Hijau
"Akal bulus apa?" semprot Ting-yat Suthay dengan gusar. "Seorang jantan boleh adu kecerdikan dan tidak
perlu adu kekuatan. Selama ini juga tidak pernah terlihat di dalam Jing-sia-pay kalian ada seorang kesatria
muda budiman seperti dia?"
Semula dia menyalahkan Lenghou Tiong, tapi sesudah mendengar cerita Gi-lim bahwa yang telah membela
kehormatan Hing-san-pay mereka tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri, ia menjadi merasa terima
kasih malah.
Kembali Ih Jong-hay mendengus, "Hm, hebat benar kesatria muda tukang merangkak."
Khawatir kalau Ting-yat Suthay mengamuk lagi, cepat Lau Cing-hong menyela, tanyanya kepada Gi-lim, "Lalu
bagaimana, Gi-lim Sutit, Dian Pek-kong mengaku kalah atau tidak?"
"Untuk sejenak Dian Pek-kong termangu-mangu dan ragu-ragu," tutur Gi-lim. "Mendadak Lenghou-toako
berseru, 'Sumoay dari Hing-san-pay, bolehlah kau turun ke sini, terimalah ucapan selamat dariku karena
penerimaan muridmu yang baru ini!'
"Kiranya jejakku mengintip di atas atap rumah telah diketahui olehnya. Dalam keadaan terluka parah mestinya
Lenghou-toako mudah dibinasakan, tapi meski Dian Pek-kong itu orangnya busuk namun dapat pegang janji,
dia tidak mengganggu Lenghou-toako lagi, sebaliknya berteriak kepadaku, 'Nikoh cilik, dengarkan yang terang,
bila lain kali kulihat kau lagi, sekali bacok segera kumampuskan kau!'
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Habis berkata ia terus simpan kembali goloknya dan melangkah pergi dari restoran itu.
"Memangnya aku pun tak sudi mempunyai murid sebagai dia, sudah tentu ucapannya itu kebetulan bagiku.
Segera aku melompat turun dan membangunkan Lenghou-toako, aku membubuhi lukanya dengan Thian-hiangtoan-
siok-ko. Ternyata di atas tubuhnya tidak kurang dari 13 tempat luka ...."
"Ting-yat Suthay, selamat! Selamat!" mendadak Ih Jong-hay menyela.
"Selamat apa?" tanya Ting-yat dengan melotot dan heran.
"Selamat karena kau telah mempunyai seorang cucu murid yang berilmu silat tinggi dan termasyhur namanya,"
demikian Ih Jong-hay sengaja mengolok-olok.
Keruan Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan berbangkit hendak melabrak Ih Jong-hay. Untunglah
Thian-bun Tojin lantas bersuara, "Ih-koancu, ini teranglah kau yang salah. Sebagai kaum ibadat kita mana
boleh sembarangan berguyon dengan kata-kata demikian?"
Karena merasa dirinya memang salah, pula jeri kepada Thian-bun Tojin, maka Ih Jong-hay tidak berani
bersuara lagi.
Lalu Gi-lim menyambung ceritanya, "Setelah aku membubuhi obat pada lukanya Lenghou-toako, baru saja aku
hendak memberi obat pula kepada Te-coat Susiok, sekonyong-konyong dari bawah loteng datang lagi dua
orang Jing-sia-pay, seorang di antaranya adalah jahanam Lo Jin-kiat itu. Dia pandang-pandang Lenghou-toako,
lalu pandang-pandang diriku pula dengan sikap yang kurang ajar. Melihat jahanam she Lo itu, tiba-tiba
Lenghou-toako bertanya padaku, 'Sumoay, apakah kau tahu kepandaian apa yang paling diandalkan oleh orang
Jing-sia-pay?'
"Aku menjawab, 'Entah, kabarnya ilmu silat Jing-sia-pay memang bagus-bagus.'
"'Ya, memang bagus-bagus ilmu silat Jing-sia-pay. Tapi ada sejurus di antaranya yang paling bagus. Tapi, ah,
lebih baik tak kukatakan supaya tidak menimbulkan percekcokan,' demikian kata Lenghou-toako sambil melirik
sekejap kepada Lo Jin-kiat.
"Rupanya Lo Jin-kiat itu menjadi gusar, ia melangkah maju dan membentak, 'Apa jurus yang paling bagus itu?
Hayo, coba katakan!'
"Dengan tertawa Lenghou-toako menjawab, 'Sebetulnya aku tidak ingin bicara, tapi kau paksa aku
mengatakan, bukan? Baiklah, jurus itu adalah 'gaya belibis jatuh pantat menghadap belakang.'
"Lo Jin-kiat menjadi gusar, ia membentak pula, 'Ngaco-belo, apa itu 'gaya belibis jatuh pantat menghadap
belakang'? Aku sendiri tak pernah dengar!'
"Dengan tertawa Lenghou-toako berkata, 'Kau tidak pernah mendengar? Sungguh aneh! Padahal jurus itu
adalah ilmu silat yang paling diandalkan dari Jing-sia-pay kalian. Eh, coba kau berdiri mungkur, biar
kupertunjukkan padamu!'
"Lo Jin-kiat tahu Lenghou-toako sengaja hendak mengolok-oloknya, kontan ia terus menjotos. Mestinya
Lenghou-toako hendak berdiri untuk melawannya, cuma sayang dia terlalu banyak keluar darah, tenaganya
sudah habis, dia bergeliat dan jatuh terduduk pula, jotosan jahanam Lo Jin-kiat itu tepat mengenai hidungnya
sehingga darah pun bercucuran.
"Menyusul Lo Jin-kiat hendak memukul pula, cepat aku menangkisnya dan berseru, 'Jangan! Dia terluka parah,
masakah kau tidak lihat? Terhitung orang gagah macam apa menyerang seseorang yang terluka?'
"Jahanam she Lo itu bahkan memaki aku, 'Hm, Nikoh cilik kepincut kepada maling cilik yang tampan ini ya?
Lekas enyah, kalau tidak tentu aku hantam kau sekalian!'
"Aku mengancamnya, 'Kau berani memukul aku, biar kulapor kepada gurumu, Ih-koancu!'
"Dia malah tertawa menggoda dan mencolek pipiku. Saking gemas dan gugup aku menyerangnya beberapa
kali, tapi dapat dielakkannya semua.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
"Dalam pada itu Lenghou-toako telah berseru padaku, 'Sumoay, tak perlu kau labrak dia. Asal tenagaku pulih
sedikit saja sudah jadi.'
"Waktu aku menoleh, melihat dia pucat pasi. Pada saat itulah mendadak Lo Jin-kiat menubruk maju hendak
menyerangnya pula. Tapi sekonyong-konyong Lenghou-toako mengayun sebelah kakinya, dengan tepat bokong
Lo Jin-kiat kena didepak. Depakan itu sungguh sangat cepat lagi jitu, kontan Lo Jin-kiat itu terguling ke
belakang dan menggelinding ke bawah loteng.
"Lalu Lenghou-toako berkata kepadaku, 'Itulah, Sumoay, yang disebut 'gaya belibis jatuh pantat menghadap
belakang' yang paling dibanggakan oleh Jing-sia-pay mereka.'
"Mestinya aku ingin tertawa geli atas nama jurus yang lucu itu, tapi melihat air muka Lenghou-toako semakin
pucat, aku menjadi khawatir dan berkata, 'Engkau jangan bicara, mengaso saja sebentar.'
"Kulihat darah merembes keluar pula dari lukanya, terang karena depakannya tadi terlalu kuat menggunakan
tenaga, maka lukanya pecah lagi.
"Siapa menduga Lo Jin-kiat yang sudah didepak terguling ke bawah loteng itu mendadak berlari ke atas pula,
sekarang tangannya sudah menghunus pedang. Ia membentak, 'Kau ini Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay,
bukan?'
"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Jago-jago Jing-sia-pay kalian yang menyerang diriku dengan gaya
'pantat menghadap ke belakang' ini termasuk engkau su ... sudah ada tiga orang, pan ... pantas ....' sambil
berkata Lenghou-toako terbatuk-batuk pula. Khawatir kalau Lo Jin-kiat menyerang lagi, segera aku melolos
pedang dan menjaga di samping.
"Tapi Lo Jin-kiat lantas berkata kepada kawannya, 'Le-sute, layanilah Nikoh cilik itu.'
"Kawannya mengiakan dan segera melolos pedang serta menyerang padaku. Terpaksa aku menangkis dan
balas menyerang. Di sebelah lain, Lo Jin-kiat juga sudah mulai menyerang Lenghou-toako, kulihat Lenghoutoako
menangkis sekuatnya, keadaannya sangat payah. Pada saat itu kudengar Te-coat Susiok juga sedang
berseru, 'Berhenti, berhenti dulu! Kawan sendiri semua!'
"Akan tetapi Lo Jin-kiat tidak ambil pusing dan masih menyerang dengan lebih gencar.
"Hanya beberapa jurus saja Lenghou-toako sudah kehabisan tenaga, pedangnya tersampuk jatuh. Ujung
pedang Lo Jin-kiat lantas mengancam di depan dadanya, katanya dengan tertawa, 'Asal kau panggil kakek tiga
kali padaku, jiwamu lantas kuampuni.'
"'Baik, aku akan panggil, sesudah itu apakah kau akan mengajarkan padaku jurus 'jatuh dengan pantat
menghadap ke belakang itu' ....' Belum lagi selesai ucapannya, keparat Lo Jin-kiat itu sudah menusukkan
pedangnya ke dada Lenghou-toako. Sungguh kejam sekali jahanam she Lo ini ...."
Sampai di sini air mata Gi-lim sudah bercucuran, dengan terguguk-guguk ia menyambung pula, "Me ... melihat
keadaan begitu, cepat aku menubruk ke sana hendak mencegahnya, namun pedang Lo Jin-kiat itu sudah
menancap di dada Lenghou-toako."
Seketika suasana di ruangan tamu itu menjadi sunyi senyap. Ih Jong-hay merasa berpuluh-puluh sinar mata
menyorot semua ke arahnya dengan penuh hina dan kebencian. Selang sejenak ia coba membuka suara, "Apa
yang kau katakan ini terang tidak jujur dan tidak lengkap. Kau bilang Jin-kiat berhasil membunuh Lenghou
Tiong, tapi mengapa Jin-kiat tewas pula di bawah pedangnya Lenghou Tiong?"
"Lenghou-toako tidak lantas meninggal meski dadanya tertusuk pedang," tutur Gi-lim pula. "Dia malah tertawa
dan tiba-tiba berkata padaku dengan suara perlahan, 'Siausumoay, ada ... ada suatu rahasia besar yang ingin
kuberi tahukan padamu. Tentang ... tentang Pi-sia-kiam-boh milik ... milik Hok-wi-piaukiok itu tersimpan di ....'
makin lama suara Lenghou-toako makin lirih sehingga akhirnya aku sendiri tak dengar apa yang dia ucapkan
...."
Hati Ih Jong-hay tergetar juga demi mendengar Gi-lim menyinggung tentang Pi-sia-kiam-boh milik Hok-wipiaukiok
yang memang sedang dicarinya itu. Seketika ia berubah tegang dan cepat bertanya, "Tersimpan di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mana ...?"
Tapi mendadak ia merasa pertanyaannya itu tidak pantas diajukan sehingga "di mana" itu sangat lirih
ucapannya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Dia berharap Gi-lim yang masih hijau pelonco itu akan bercerita
terus terang.
Terdengar Gi-lim sedang melanjutkan, "Rupanya Lo Jin-kiat sangat tertarik kepada Kiam-boh apa itu, ia lantas
melangkah maju dan membungkukkan tubuh ingin ikut mendengarkan di tempat mana Kiam-boh itu
tersimpan. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Lenghou-toako menyambar pedangnya yang terjatuh di lantai
itu terus ditubleskan ke dalam perut jahanam she Lo itu. Kontan jahanam itu jatuh terjengkang, kaki dan
tangannya berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bisa bergerak lagi. Suhu, kiranya ... kiranya Lenghou-toako
sengaja memancing supaya dia mendekat, lalu balas membunuhnya."
Setelah bercerita pengalamannya yang panjang lebar itu, semangat Gi-lim tidak tahan lagi, ia sempoyongan
dan jatuh pingsan. Cepat Ting-yat Suthay merangkul bahu sang murid dan memayangnya ke pinggir sambil
melotot murka kepada Ih Jong-hay.
Untuk sejenak semua orang terdiam dan membayangkan pertarungan sengit di Cui-sian-lau itu. Bagi tokohtokoh
seperti Thian-bun, Ho Sam-jit, Bun-siansing dan yang lain-lain, ilmu silat Lenghou Tiong, Lo Jin-kiat dan
lain-lain tidaklah mengherankan mereka, tapi pertarungan yang berakhir dengan perubahan di luar dugaan
serta mengenaskan itu adalah adegan yang jarang terlihat dan terdengar di dunia Kangouw.
"Sute, apa yang terjadi itu telah kau saksikan juga?" tanya Thian-bun kepada Te-coat Tojin.
"Ya," sahut Te-coat. "Lenghou Tiong dan Lo Jin-kiat memang sama-sama kejamnya, akhirnya gugur
berbareng."
Dengan menahan gusar Ih Jong-hay berpaling kepada Lo Tek-nau dan bertanya, "Lo-hiantit, sebenarnya di
mana letak kesalahan Jing-sia-pay kami terhadap Hoa-san-pay kalian sehingga berulang-ulang Suhengmu
mencari gara-gara kepada murid Jing-sia-pay?"
"Tecu tidak tahu," sahut Lo Tek-nau. "Mungkin ada percekcokan pribadi antara Lenghou-suheng dengan para
Suheng murid Ih-koancu, tapi sekali-kali tidak ada sangkut paut dengan hubungan baik Jing-sia-pay dan Hoasan-
pay."
Ih Jong-hay menjengek, "Hm, tiada sangkut paut, enak saja kau bicara ...." belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong jendela sebelah kiri didobrak orang, dari situ melayang masuk sesosok tubuh manusia.
Yang hadir di situ adalah tokoh-tokoh terkemuka semua, dengan cepat mereka sempat menyingkir ke samping
sambil siap siaga. Belum lagi mereka sempat membedakan tubuh siapakah itu, menyusul dari luar melayang
masuk lagi seorang. Kedua orang itu jatuh bertiarap tanpa bergerak. Hanya kelihatan mereka berjubah warna
hijau, itulah seragam anak murid Jing-sia-pay. Pada jubah bagian bokong mereka jelas kelihatan terdapat
sebuah bekas tapak kaki yang masih basah kotor.
Dalam pada itu terdengar di luar jendela ada orang yang berseru lantang, "Inilah gaya belibis jatuh dengan
pantat menghadap ke belakang!"
Serentak Ih Jong-hay bergerak, sambil melompat keluar jendela berbareng kedua tangannya terus
menghantam. Dan baru saja menongol keluar, sebelah tangannya terus menahan di atas sayap jendela,
tubuhnya terus melayang ke atas atap rumah. Dengan berdiri di atas wuwungan, beberapa puluh meter di
sekelilingnya dapatlah diawasinya dengan jelas.
Akan tetapi keadaan sunyi senyap. Suasana malam tetap kelam dengan hujan rintik-rintik tanpa bayangan
seorang pun. Ia tahu orang itu pasti seorang lawan tangguh, tapi tentu masih sembunyi di sekitar situ. Segera
ia lolos pedang dan berlari mengelilingi gedung yang megah itu.
Tatkala mana kecuali Thian-bun Tojin yang menjaga kehormatannya sendiri dan tetap duduk di tempatnya,
tokoh-tokoh lain sudah melompat ke atas rumah. Mereka melihat seorang Tojin berperawakan pendek kecil
dengan menghunus pedang yang bersinar gemerlapan di malam gelap sedang 'ngebut' di sekitar rumah, diamdiam
mereka kagum terhadap Ginkang Ih Jong-hay yang tinggi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Walaupun berlari cepat, namun tiada suatu tempat pun di sekitar gedung keluarga Lau itu terlalui dari incaran
Ih Jong-hay. Setelah berkeliling satu kali, kemudian ia melompat kembali ke ruangan tamu tadi, dilihatnya
kedua muridnya masih tiarap di atas lantai, kedua bekas tapak kaki masih jelas kelihatan di atas pantat,
sungguh suatu sindiran yang memalukan bagi Jing-sia-pay.
Cepat Ih Jong-hay membalikkan tubuh seorang muridnya itu, kiranya adalah muridnya yang bernama Sin Jincun.
Murid yang lain tidak perlu diperiksa, sudah dikenalnya karena dari belakang tampak jenggotnya yang
pendek kaku, terang adalah Kiat Jin-thong yang biasanya berhubungan paling dekat dengan Sin Jin-cun.
Ia tepuk-tepuk dua kali Hiat-to di bawah iga Sin Jin-cun dan bertanya, "Kau diserang siapa?"
Jin-cun tampak membuka mulut hendak bicara, tapi sukar mengeluarkan suara.
Keruan Ih Jong-hay terkejut. Tepukannya tadi tampaknya perlahan tapi sebenarnya telah menggunakan
Lwekang tertinggi dari Jing-sia-pay, dan ternyata masih tidak dapat membuka Hiat-to yang tertutuk itu, terang
kepandaian lawan masih lebih tinggi daripadanya. Walaupun kecil orangnya, tapi semangat tempur Ih Jong-hay
sangatlah besar. Bukannya jeri, sebaliknya dia tergugah malah, segera ia salurkan tenaga dalam lebih kuat ke
"Leng-tay-hiat" di punggung Sin Jin-cun.
Selang sejenak barulah terdengar Jin-cun mulai bersuara dengan tergagap-gagap, "Su ... Suhu, Tecu ti ... tidak
tahu ... siapa ... siapa lawan itu."
"Di mana kalian diserang?" tanya Jong-hay.
"Tadi Tecu dan Kiat-sute baru saja keluar buang air, mendadak terasa punggung kesemutan ditutuk orang,
tahu-tahu sudah kena dikerjai anak kura-kura itu," tutur Jin-cun.
Seketika Ih Jong-hay tidak dapat meraba dari golongan manakah penyerang itu. Kelihatannya air mukanya
dingin-dingin saja, terhadap kejadian itu seperti acuh tak acuh. Namun diam-diam ia membatin, "Ngo-gakkiam-
pay mereka senapas dan sehaluan, karena Jin-kiat telah membinasakan Lenghou Tiong, tampaknya
Thian-bun menjadi tidak senang padaku."
Tiba-tiba teringat olehnya, boleh jadi penyerang gelap itu masih berada di ruangan pendopo depan. Segera ia
mengajak Jin-cun menuju ke ruangan depan dengan cepat. Di ruangan besar itu tampak semua orang ramai
membicarakan tentang terbunuhnya murid Thay-san-pay dan murid Jing-sia-pay itu. Demi melihat datangnya
Ih Jong-hay yang bertubuh kecil tapi berwibawa itu, serentak pandangan semua orang dialihkan kepadanya.
Begitu berada di tengah ruangan, sinar mata Ih Jong-hay yang tajam lantas menyoroti muka setiap orang.
Yang hadir di situ adalah angkatan kedua dari berbagai aliran persilatan. Walaupun yang dikenalnya tidak
banyak, tapi dari dandanan dan air muka mereka dapatlah diketahui berasal dari golongan dan aliran mana dan
apakah mereka memiliki kepandaian tinggi.
Satu per satu Ih Jong-hay meneliti. Mendadak sinar matanya yang tajam itu berhenti pada diri seorang. Macam
orang itu sangatlah jelek, mukanya berkerut dan berlekuk, bahkan ditempeli beberapa potong koyok,
punggungnya menonjol tinggi ke atas, terang seorang bungkuk.
Tiba-tiba Ih Jong-hay teringat kepada satu orang, ia terkesiap, "Jangan-jangan adalah dia? Kabarnya orang ini
mengasingkan diri jauh di daerah utara yang dingin, selamanya jarang datang ke Tionggoan, pula tiada
hubungan baik dengan Ngo-gak-kiam-pay, mengapa bisa ikut hadir dalam perjamuan Lau Cing-hong ini? Tapi
kalau bukan dia, di dunia persilatan tiada terdapat tokoh bungkuk kedua yang bermuka buruk seperti dia ini.
Jika betul-betul dia, wah, urusan menjadi ruwet."
Ketika pandangan semua orang ikut beralih kepada si bungkuk yang diperhatikan Ih Jong-hay itu, beberapa
orang yang mengetahui kejadian-kejadian Bu-lim di masa dahulu menjadi terperanjat juga. Segera Lau Cinghong
tampil ke depan dan memberi hormat, "Cayhe tidak mengetahui kedatangan saudara yang terhormat
sehingga terlambat menyambut, haraplah dimaafkan."
Padahal si bungkuk itu sama sekali bukanlah orang kosen dunia persilatan. Dia tak lain tak bukan adalah Lim
Peng-ci, itu juragan muda yang lagi apes dari Hok-wi-piaukiok. Dia telah menyamar sebagai orang bungkuk
yang bermuka jelek, khawatir kalau dikenali orang, maka sejak tadi dia duduk di tempat pojok dengan kepala
menunduk. Coba kalau Ih Jong-hay tidak kebetulan ingin mencari penyerang muridnya, tentu tiada seorang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pun yang memerhatikan dia.
Sekarang perhatian semua orang dipusatkan padanya, keruan Peng-ci serbarunyam. Lekas-lekas ia berbangkit
dan balas menghormat, sahutnya, "Ah, jangan, jangan sungkan-sungkan!"
Lau Cing-hong tahu tokoh bungkuk yang termasyhur itu adalah orang utara, tapi suara orang di depannya itu
terang adalah logat daerah selatan, usianya juga berbeda jauh, diam-diam ia merasa curiga. Tapi diketahui
pula tingkah laku tokoh bungkuk itu memang sukar diduga dan diukur, maka ia tetap bersikap hormat dan
berkata, "Cayhe Lau Cing-hong, apakah boleh tanya nama tuan yang terhormat?"
Sama sekali Peng-ci tidak menduga orang akan tanya namanya, keruan ia gelagapan dan menjawab secara
ngawur saja, "Cayhe she ... she Bok."
Dia mengaku she "Bok" karena huruf "Lim" terdiri dari dua huruf "Bok", maka sekenanya saja ia katakan. Di
luar dugaan menjadi kebetulan malah, segera terdengar semua orang bersuara kejut.
Kiranya tokoh bungkuk dari daerah utara itu sesungguhnya memang she Bok. Pada umumnya sangatlah langka
orang she Bok, apalagi seorang bungkuk yang bermuka jelek.
Maka dengan hormat Lau Cing-hong berkata pula, "Sungguh suatu kehormatan besar bagiku atas kunjungan
Bok-siansing ini. Entah pernah apa dengan 'Say-pak-beng-tho' Bok Ko-hong, Bok-tayhiap yang mulia?"
Dia melihat usia Peng-ci masih sangat muda, pula koyok di mukanya itu terang sengaja ditempelkan saja untuk
menutupi wajahnya yang asli dan sekali-kali bukan tokoh bungkuk yang termasyhur berpuluh tahun yang lalu,
"Say-pak-beng-tho" Bok Ko-hong.
Peng-ci sendiri juga tak pernah dengar tentang si bungkuk she Bok dari utara yang sangat disegani itu, tapi dia
adalah pemuda cerdik, begitu mendengar nada Lau Cing-hong sangat hormat dan segan kepada orang she Bok,
sebaliknya sikap Ih Jong-hay yang mengawasi di sebelahnya itu tampak tak bersahabat, bila dirinya sampai
dikenali tentu bisa celaka. Dalam keadaan kepepet terpaksa dia menjawab sebisanya untuk mencari selamat,
"O, kau tanya Say-pak-beng-tho Bok-tayhiap? Beliau ... beliau adalah angkatan tua Cayhe."
Dia pikir, orang she Bok itu disebut sebagai "Tayhiap", maka dengan sendirinya boleh diaku sebagai angkatan
tua dirinya.
Karena tiada melihat orang mencurigakan lagi di ruangan itu, Ih Jong-hay menduga penyerang Jin-cun dan Jinthong
pastilah si bungkuk muda ini. Jika Bok Ko-hong datang sendiri mungkin dirinya mesti berpikir dulu
sebelum bertindak, sekarang orang ini hanya anak murid Bok Ko-hong, kenapa mesti takut? Apalagi dia yang
cari perkara lebih dulu kepada Jing-sia-pay, selamanya Ih Jong-hay tidak pernah tunduk kepada siapa pun,
mana dia rela menerima hinaan itu. Segera ia menegur dengan suara dingin, "Selamanya Jing-sia-pay tiada
percekcokan apa-apa dengan Bok-siansing dari Say-pak, entah di manakah kami berbuat salah kepada
saudara?"
Berhadapan dengan Tojin yang bertubuh kerdil ini, Peng-ci menjadi teringat kepada nasib dirinya pada masa
terakhir ini, perusahaannya bangkrut, orang tua tertawan musuh dan tak diketahui nasibnya. Biang keladi
kesemuanya itu adalah Tojin kerdil ini. Seketika darahnya lantas mendidih, walaupun tahu kepandaian lawan
sangat tinggi, sungguh ia ingin sekali melabrak musuhnya itu.
Syukurlah sesudah mengalami gemblengan selama beberapa bulan ini dia sudah bukan lagi seorang pemuda
yang hidupnya mewah dan royal itu. Dengan menahan gusar ia pun menjawab, "Jing-sia-pay suka cari garagara,
melihat ketidakadilan dengan sendirinya Bok-tayhiap ingin ikut campur. Beliau paling suka membantu
kaum lemah dan melawan penindasan, tidak peduli apakah salah atau tidak salah."
Mendengar itu, diam-diam Lau Cing-hong dan lain-lain merasa geli. Mereka tahu ilmu silat Say-pak-beng-tho
Bok Ko-hong, si bungkuk dari daerah utara, memang tinggi, tapi kelakuannya tidaklah dapat dipuji, apalagi
disebut sebagai "Tayhiap" (pendekar besar), malahan Bok Ko-hong itu adalah manusia yang paling licin, paling
pintar melihat arah angin.
Soalnya ilmu silatnya sangat tinggi, orangnya pun cerdik, bila sampai bermusuhan dengan dia tentu akan
banyak menimbulkan kesukaran, maka semua orang lebih suka menjauhinya, tapi tidak berarti menghormat
padanya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah maka Lau Cing-hong menjadi lebih percaya bahwa Lim Peng-ci tentu adalah muridnya Bok Ko-hong,
mengingat ucapannya yang terbalik tadi. Ia khawatir kalau Ih Jong-hay menyerang Peng-ci, bila terjadi apaapa
tentu dirinya harus bertanggung jawab selaku tuan rumah. Maka cepat ia menyela dengan tertawa, "Ihkoancu
dan Bok-heng, kalian adalah tamu terhormat, betapa pun sudilah mengingat diriku dan marilah saling
angkat cawan sebagai tanda damai saja. Hayolah, bawakan arak!"
Segera seorang pelayan mengiakan dan menuangkan arak.
Meski Ih Jong-hay tidak gentar terhadap si "bungkuk" muda di depannya ini, tapi menurut cerita orang
Kangouw tentang kekejaman Say-pak-beng-tho Bok Ko-hong, mau tak mau ia mesti hati-hati juga.
Sebaliknya Lim Peng-ci merasa dendam dan takut-takut pula. Namun tetap rasa dendamnya lebih kuat,
pikirnya, "Boleh jadi saat ini ayah dan ibu sudah mengalami apa-apa di tangan Tojin keji ini. Aku lebih suka
binasa dihantam olehmu daripada menyatakan damai padamu."
Karena pikiran demikian, segera matanya melotot, ia pandang Ih Jong-hay dengan sorot mata berapi.
Melihat sikap Peng-ci yang penuh permusuhan itu, Ih Jong-hay menjadi naik darah juga. Mendadak ia
mengulurkan tangan, dengan Kim-na-jiu-hoat ia pegang tangan Lim Peng-ci sambil berkata, "Baik, baik!
Ucapan Lau-samya memang tidak salah, kita adalah tetamu, mana boleh sembrono di tempat tuan rumah ini.
Saudara Bok, marilah kita bersahabat saja."
Semula Peng-ci telah meronta, tapi tidak terlepas, akhirnya pergelangan tangan lantas terasa sakit luar biasa,
ruas tulangnya sampai bunyi berkeriutan. Diam-diam ia mengeluh, tulang tangannya tentu akan remuk
diremas oleh Ih Jong-hay.
Tapi Ih Jong-hay ternyata tidak meremas lebih keras lagi, maksudnya hendak memaksa Peng-ci bersuara minta
ampun. Tak terduga dendam Peng-ci kepadanya sudah terlalu mendalam, biarpun tulang pergelangan tangan
kesakitan tidak kepalang, tapi dia tetap bertahan tanpa merintih sedikit pun, bahkan matanya melotot semakin
lebar.
Lau Cing-hong berdiri di sebelahnya melihat butiran keringat sebesar kedelai mulai merembes keluar di
jidatnya, tapi pemuda itu tetap bersikap gagah pantang menyerah, diam-diam ia merasa kagum terhadap jiwa
Peng-ci yang keras itu. Segera ia bermaksud melerai.
Tapi sebelum ia bertindak, tiba-tiba terdengar seorang yang tajam melengking sedang berseru, "Ih-koancu,
gembira betul tampaknya kau ini sehingga cucu Bok Ko-hong juga kau ajak berkelakar!"
Waktu semua orang menoleh, terlihat di depan ruangan situ sudah berdiri seorang pendek gemuk dan bungkuk
pula. Muka si bungkuk ini belang-belang bonteng dan benjal-benjol, jeleknya tak terkatakan. Badannya
gembung dan pendek sekali, ditambah lagi punggungnya menonjol ke atas, dipandang dari jauh mirip
segumpal bola daging.
Para hadirin belum ada yang kenal Bok Ko-hong, sekarang mendengar dia mengaku sendiri siapa dirinya, pula
melihat wajahnya yang aneh itu, semuanya menjadi terperanjat.
Yang luar biasa adalah badan yang bungkuk dan buntak itu gerak-geriknya ternyata sangat cepat dan gesit,
tanpa kelihatan menggeser langkah tahu-tahu bola daging itu sudah "menggelinding" sampai di samping Pengci,
pundak pemuda itu ditepuknya satu kali sambil berkata, "Cucu yang baik, cucu yang bagus! Kau telah
memuji dan menyanjung kakek sebagai pendekar budiman yang suka bantu kaum lemah dan melawan
penindasan segala, sungguh kakek sangat senang."
Habis berkata kembali ia tepuk sekali lagi pundak Peng-ci.
Waktu pundaknya ditepuk pertama kali tadi, Peng-ci merasa badannya tergetar, tangan Ih Jong-hay yang
mencengkeram pergelangan tangan Peng-ci juga terasa panas dan hampir-hampir terlepas. Tapi segera ia
kerahkan tenaga dan memegang lebih kencang lagi.
Bok Ko-hong agak terkejut juga melihat tepukannya itu tidak mampu melepaskan cengkeraman Ih Jong-hay
itu. Maka sambil bicara tadi ia lantas mengerahkan segenap tenaganya untuk menepuk lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Peng-ci tak tahan lagi atas tepukan kedua itu, matanya terasa gelap, tenggorokannya terasa anyir, sekumur
darah sudah naik sampai di mulutnya, tapi sekuatnya ia bertahan dan telan kembali mentah-mentah darahnya
sendiri.
Genggaman Ih Jong-hay juga terasa panas pedas dan tak tertahankan pula, terpaksa ia lepas tangan sambil
mundur selangkah. Pikirnya, "Si bungkuk ini benar-benar licin dan keji, demi untuk menggetar lepas tanganku
dia tidak segan-segan membuat cucunya terluka dalam."
Dalam pada itu Peng-ci masih berlagak tertawa, katanya kepada Ih Jong-hay, "Ih-koancu, ilmu silat Jing-siapay
kalian ternyata juga cuma begini saja. Kukira kau lebih baik ganti perguruan dan mohon Bok-tayhiap untuk
menerima kau sebagai murid saja, dengan demikian mungkin kau akan ... akan tambah maju."
Dalam keadaan terluka Peng-ci mengucapkan kata-kata itu dengan perasaan bergolak, namun badannya terasa
lemas, hampir-hampir tak sanggup berdiri lagi.
"Baik, sudah tentu aku sangat girang dapat menjadi murid Bok-siansing," kata Ih Jong-hay. "Kau sendiri adalah
murid Bok-siansing, kepandaianmu tentu sangat hebat, biarlah aku belajar kenal dulu dengan kau."
Demikianlah secara licin Ih Jong-hay telah menantang Peng-ci, tapi Bok Ko-hong terpaksa tak dapat ikut
campur kecuali menonton saja.
Sudah tentu Bok Ko-hong tahu maksudnya, dengan tertawa katanya terhadap Peng-ci, "Cucu yang baik,
dengan kepandaianmu yang rendah ini bukan mustahil sekali hantam saja kau akan dibinasakan oleh Ihkoancu.
Sayanglah cucu yang tampan dan bungkuk seperti kau ini bila sampai dibunuh orang. Ada lebih baik
jika kau menyembah kepada kakek dan minta kakek mewakilkan kau saja?"
Peng-ci melotot sekali ke arah Ih Jong-hay, ia pikir kepandaian sendiri terlalu rendah, kalau terima tantangan
itu bukan mustahil sekali hantam saja dirinya sudah mati konyol, bahkan sakit hati ayah-bunda sukar terbalas
pula. Tapi sebagai seorang laki-laki mana boleh terima terhina dan sembarangan menyembah dan mengaku
seorang bungkuk sebagai kakek? Perbuatan yang memalukan bagi dirinya dan leluhur ini mana boleh
dilakukan?
Karena pikirannya bimbang, tubuhnya menjadi rada gemetar dan kaki terasa lemas, dengan sebelah tangan ia
menahan di atas meja.
Segera Ih Jong-hay mengejeknya, "Kulihat kau memang pengecut! Supaya orang lain mau membela kau, apa
halangannya kau menyembah dan memanggil kakek?"
Rupanya dia sudah dapat menduga hubungan antara Peng-ci dan Bok Ko-hong itu rada janggal, terang Bok Kohong
bukan kakek pemuda itu, kalau tidak mengapa Peng-ci masih diharuskan menyembah dan memanggil
kakek pula? Sebab itulah ia sengaja memancing dengan kata-kata menghina agar Peng-ci naik darah dan
terima tantangannya, dengan demikian akan mudahlah baginya untuk menyelesaikan perkara ini.
Dalam pada itu terlintas di dalam benak Peng-ci adegan-adegan kejadian akhir-akhir ini, Hok-wi-piaukiok
bangkrut, rumah tangganya hancur, semuanya gara-gara perbuatan Jing-sia-pay. Kepandaian dirinya terlalu
rendah, untuk membalas dendam sekarang terang sukar. Teringat olehnya di zaman dinasti Han dahulu pernah
ada terjadi Han Sin terima dihina dengan merangkak melalui selangkangan musuh, tapi akhirnya Han Sin
menjadi panglima dan berkuasa sehingga sangat terkenal di dalam sejarah. Seorang laki-laki sejati harus tahan
hinaan kecil supaya tidak menggagalkan usaha besar. Asal kelak aku benar-benar dapat membalas dendam,
apa artinya kalau sekarang aku terima hinaan sedikit?
Berpikir demikian, segera ia berpaling dan berlutut ke hadapan Bok Ko-hong, katanya sambil menyembah,
"Kakek, dosa jahanam Ih Jong-hay sudah kelewat takaran dan setiap orang Bu-lim wajib membunuhnya.
Hendaklah kakek menegakkan keadilan dan tumpaskan penyakit besar ini bagi dunia Kangouw."
Tindakan Peng-ci ini benar-benar sama sekali di luar dugaan Bok Ko-hong dan Ih Jong-hay. Pada umumnya
orang Bu-lim paling menjaga martabat dan ingin menang, lebih suka menerima siksaan daripada tunduk
merendahkan diri, apalagi di depan umum.
Para hadirin kebanyakan memang mengira si bungkuk muda adalah cucu kandung atau cucu murid Bok KoDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hong. Hanya Bok Ko-hong sendiri yang tahu sama sekali Peng-ci tiada hubungan apa-apa dengan dirinya, Ih
Jong-hay sendiri walaupun curiga tapi juga tidak tahu persis ada hubungan apa antara bungkuk tua dan
bungkuk muda itu. Hanya didengarnya panggilan "kakek" yang diucapkan oleh Peng-ci itu terdengar sangat
kaku dan kikuk, mungkin pemuda itu memang seorang pengecut.
Bok Ko-hong lantas bergelak tertawa, katanya, "Wah cucu baik, cucu bagus! Bagaimana? Apakah kita benarbenar
akan main-main?"
Dia bicara seperti memuji Peng-ci, tapi mukanya menghadap Ih Jong-hay sehingga kata-kata "cucu baik dan
cucu bagus" itu seakan-akan ditujukan kepada ketua Jing-sia-pay itu. Keruan Ih Jong-hay tambah gusar.
Tapi ia pun sadar bila sampai terjadi pertarungan, maka soalnya tidak cuma menyangkut mati-hidupnya sendiri
saja, tapi juga berhubungan dengan turun atau naiknya gengsi Jing-sia-pay pada umumnya. Maka diam-diam
ia pun siap siaga, katanya dengan tersenyum tawar, "Jika Bok-siansing ada maksud memamerkan ilmu sakti
yang hebat di depan para kawan supaya kita bertambah pengalaman, maka terpaksa Cayhe mesti menerima
ajakanmu."
Dari dua kali tepukan Bok Ko-hong tadi dapatlah Ih Jong-hay menilai bahwa tenaga dalam si bungkuk tua itu
memang lebih lihai daripada dirinya. Bahkan sangat keras, sekali menyerang sukar dibendung pula. Paling baik
kalau bertahan saja tanpa menyerang, jika musuh mulai gelisah dan tak sabar mungkin akan ada lubang
kelemahannya, asal dapat menandingi bungkuk tua ini dengan sama kuat, tentu Jing-sia-pay sudah mendapat
nama baik di depan orang banyak.
Sebaliknya Bok Ko-hong juga ragu-ragu, dilihatnya perawakan Tojin yang berdiri di depannya ini pendek kecil
seperti bocah cilik, bobotnya paling-paling cuma dua-tiga puluh kati saja, tapi sikapnya tampak kereng
berwibawa, terang bukanlah kaum keroco yang bernama kosong. Jika dirinya sampai kalah tentu hanyutlah
nama baiknya yang dipupuknya selama ini. Dasar orangnya memang licin, maka seketika Bok Ko-hong tidak
berani sembarangan menyerang lebih dulu.
Sedangkan para hadirin yang menyaksikan dua orang kerdil berdiri berhadapan dan saling melotot, mereka
tahu setiap saat akan terjadilah pertarungan sengit yang tidak kenal ampun. Banyak di antara mereka seperti
Ting-yat, Thian-bun dan lain-lain tidak suka kepada Ih Jong-hay, sebab Jing-sia-pay tidak termasuk di dalam
Ngo-gak-kiam-pay. Biasanya anak murid Jing-sia-pay sengaja atau tidak sengaja juga suka mencemoohkan
Ngo-gak-kiam-pay, walaupun tidak berani terang-terangan. Mereka tidak suka kepada Bok Ko-hong yang
punya nama buruk di dunia persilatan, mereka merasa malu untuk berkawan dengan manusia rendah itu.
Sebab itulah, tak peduli siapa yang akan menang atau kalah di antara kedua orang adalah tidak diambil pusing
oleh Thian-bun dan lain-lain, bahkan kalau mereka sama-sama mampus malah akan dianggap kebetulan.
Hanya Lau Cing-hong saja sebagai tuan rumah masih coba mencegah pertarungan itu. Akan tetapi Ih Jong-hay
dan Bok Ko-hong adalah tokoh-tokoh terkemuka semua, siapa yang mundur lebih dulu berarti akan kehilangan
muka. Maka walaupun dalam hati mereka juga ingin batalkan pertandingan itu, namun keadaan sudah samasama
ngotot dan sukar dilerai.
Pada saat kedua orang sudah siap akan bergebrak itulah, sekonyong-konyong terdengar suara "bluk-bluk" dua
kali, dua sosok tubuh manusia mendadak melayang dari belakang dan jatuh tersungkur tanpa bergerak lagi.
Tampak kedua orang itu berjubah hijau, pantat mereka yang menghadap ke atas itu terdapat bekas tapak kaki.
Pada saat yang hampir sama terdengarlah suara seorang anak perempuan telah berseru, "Ini adalah
kepandaian andalan Jing-sia-pay yang disebut 'gaya belibis jatuh dengan pantat menghadap ke belakang'!"
Ih Jong-hay menjadi murka, begitu putar tubuh, tanpa melihat jelas siapakah pembicara itu, dengan
menurutkan arah suara segera ia melompat ke sana. Dilihatnya seorang gadis cilik berbaju hijau pupus berdiri
di samping meja, tanpa pikir segera ia pegang tangan dara cilik itu.
"Aduh, mak!" mendadak dara cilik itu menjerit terus menangis.
Ih Jong-hay menjadi terkejut. Ia dengar dara cilik itu mengeluarkan ucapan olok-olok, saking gusarnya tanpa
pikir lagi ia anggap kedua muridnya yang kecundang itu tentu ada hubungannya dengan dia, maka
pegangannya agak keras. Demi dara cilik menjerit dan menangis barulah teringat olehnya adalah tidak pantas
memperlakukan seorang anak kecil sekasar itu. Maka cepat-cepat ia lepaskan tangannya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tak disangka dara cilik itu makin menangis makin keras, ia menjerit pula, "Kau telah patahkan tulang
tanganku! O, ibu, tanganku patah! Aduh, sakitnya! Uh-uh-uh, sakit sekali!"
Biarpun Ih Jong-hay sudah berpengalaman, tapi menghadapi seorang anak kecil mau tak mau ia menjadi
serbarunyam juga. Apalagi berpuluh pasang mata seketika telah terarah kepadanya, banyak di antaranya
memandangnya dengan hina dan menganggapnya seorang tua beraninya cuma sama anak kecil tapi tidak
berani melawan Bok Ko-hong. Keruan muka Ih Jong-hay menjadi merah, dengan bingung ia coba membujuk
gadis cilik itu dengan suara perlahan, "Jangan menangis, jangan menangis! Tanganmu tidak apa-apa, tidak
patah, tidak sakit lagi!"
"Aku tak mau!" teriak dara cilik itu malah sambil menangis. "Tanganku sudah patah! Aduh mak! Sakitnya! U-uuuuh!
Kau orang tua hanya berani pada anak kecil! U-uuh! Tanganku sakit, Ibu! Ibu!"
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru