Kamis, 18 Mei 2017

Cersil 5 Bu Kek Siansu Tamat Kho Ping Hoo

Cersil 5 Bu Kek Siansu Tamat Kho Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 5 Bu Kek Siansu Tamat Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 5 Bu Kek Siansu Tamat Kho Ping Hoo
Ouw Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya
telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan membuat dia lemas. "Kau... kau Soan
Cu...?"
"Ayahhhhh.... Hu-hu-hu-huuuu....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga bercucuran air
mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan air mata.
"Wutttt... tranggg...!!" dua batang golok terpental oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia
sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya.
"Ayah, aku puas... dapat bertemu denganmu....!"
"Soan Cu... aihhh, anakku, kau ampunkan dosa ayahmu...." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak.
"Trang-trang..... dessss!!" dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw
Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang.
"Ah, jangan kau keluarkan tenaga...." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas
Soan Cu memburu.
"Ayah... aku... aku tidak kuat lagi... kau larilah, ayah...."
"Soan Cu...! Soan Cuuuu....!!"
Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru dilihatnya
selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas dengan bibir tersenyum di dalam dekapnya. Laki-laki
gagah perkasa itu masih terus meraung-raung. Ketika dia telah membaringkan tubuh puterinya ke atas
lantai, dengan air mata bercucuran kemudian dia mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut di
antara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya lagi. Pedangnya sampai menjadi merah dari
ujung sampai ke gagang, bahkan sampai ke lengannya!
Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kehilangan darah juga makin lemas gerakannya, kalau tidak
ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah
menjadi Koksu ini hanya setengah hati saja bertempur, sering-kali dia sengaja mundur dan membiarkan
anak buah pengawal yang mengeroyok. Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat
Lin yang dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak
membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin
permusuhan dengan orang-orang lihai, apa lagi keluarga dari Pulau Es!
"Swat Hong, cepat kau pergi....!"
"Tidak, Ibu!"
"Kalau tidak, kau akan mati...!"
"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hushh, anak bodoh. Kalau begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kau ingat pesan Ayahmu."
"Tapi, Ibu...."
"Kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak akan dapat mati dengan mata meram."
"Ibu....!"
"Lihatlah, dia... dia pun akan mati.... Ibu ada seorang teman yang baik.... Ibu dan dia.... Ahh, kami senang
mati bersama... kau jangan ikut-ikut....!"
Mendengarkan ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang
mengerikan keadaannya itu. Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta!
Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah,
sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila
kepada wanita lain!
"Ibu......"
"Pergilah, dan ajak pemuda gagah itu!"
Sambil bercucuran air mata Swat Hong mengamuk, memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang
juga masih mengamuk.
"Toako, hayo kita pergi!!"
"Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya....?"
"Ayolah....!!"
"Baik, baik...!"
Dengan membuka jalan darah, mereka berdua akhirnya berhasil meloncat ke luar.
"Jangan kejar mereka! Kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu berseru.
Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga
terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu.
Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih
belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini adalah orang-orang yang datang dari tempat yang
hanya didengarnya dalam dongeng! Wanita cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau
Es, sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan
merupakan tokoh pimpinan! Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas
dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa di lubuk hati wanita ini
tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan
kedudukannya sendiri.
Ouwyang Cin Cu yang telah menjadi Koksu membuat laporan tentang kematian The Kwat Lin kepada
Kaisar baru, yaitu An Lu Shan. Bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm, sayang sekali,
dia merupakan tenaga yang berguna." Kemudian sambil mengelus jenggotnya dia berkata, "Kalau begitu
bagaimana dengan puteranya?"
"Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai
hubungan keluarga dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak
kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya."
An Lu Shan mengangguk-angguk. "Habis bagaimana pendapatmu?"
Koksu yang merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban, lalu berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa kembali ke sana, diberi kedudukan
sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerah sekitarnya. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa, asal diberi
kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang
hatinya."
"Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan."
Demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja
ketika oleh Ouwyang Cin Cu diberi-tahu bahwa dia oleh Kaisar ‘diangkat’ menjadi ‘raja muda’ yang
berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua
pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah.
Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biar pun dia dicukupi hidupnya,
diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah ‘dibuang’ oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah
ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi
musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya.
Anak kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu-ilmu peninggalan ibunya yang masih ada
padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain dia harus membalas kepada musuhmusuhnya,
juga dia akan berusaha untuk merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh
Swat Hong. Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es?
Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu
yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomor satu di dunia....
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu
sampai tewas dalam keadaan yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas
dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan tetapi kalau orang belum tiba
saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang bisa dianggap tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa.
Dalam halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa.
Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor ular berbisa
dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekor pun ular yang berani menggigitnya. Jangankan menggigit,
mendekati pun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular-ular itu cepat
menyingkir ketakutan. Hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika
hijau dari Pulau Es!
Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang telah menyelamatkan nyawa
gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoi-nya itu, dia menyimpan batu
mustika ini di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut
terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani mendekatinya.
Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat parah dan berakibat mematikan bagi orang lain. Namun
pemuda ini pada dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan uraturatnya.
Apa lagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia
memilki tubuh yang amat kuat dan tahan derita.
Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tanpa diusik oleh ular-ular itu yang
hanya memandang dari jauh seolah-olah dia merupakan makhluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga,
nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara keluhan
panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah.
Sejenak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap.
Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta. Akan tetapi
ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa
dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke sumur
dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu sengaja
diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong menggerakkan tubuhnya hendak menyelidiki. Akan tetapi
dia mengeluh, karena begitu bergerak dadanya terasa nyeri bukan main! Dia teringat akan pertempuran itu
dan mulai mengerti bahwa tentu dia telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat
gelap. Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan pengap itu,
menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang yang amat kuat
berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan
menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya.
Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua
hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri dengan hati-hati.
Tangannya meraih ke atas... kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala.
Tetap saja di sebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti sumur!
Betapa pun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat ke luar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkang-nya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya
tetap menjaga di atas kepala.
"Plakkk!" tubuhnya melayang lagi ke bawah.
Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat dan menutup lubang sumur itu! Beberapa
kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan setiap kali meloncat, dia
menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan tetapi usahanya ini selalu gagal.
Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuat pun dia, untuk meloncat sambil mendorong
tumpukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan yang sebongkah
saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri
melalui atas tidak mungkin baginya. Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya.
Sumur itu tidak berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara
mendesis-desis dan mencium bau amis, tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa.
Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan
agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. Begitu dia mendekati lubang ini, tampak olehnya di
dalam cahaya remang-remang itu seekor ular berkelebat menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa
binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya.
Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang mengeluarkan sinar di
dalam gelap itu. Inilah penolongku, pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan adanya batu mustika
hijau ini, tidak perlu takut menghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi melihat batu mustika itu,
teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga. Musuh demikian lihai, dia sendiri kena
ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari
tempat ini untuk menolong Swat Hong. Kekhawatirannya terhadap sumoi-nya itu membuat dia makin
bersemangat mencari jalan keluar.
Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu
menggunakan kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan
memukul pecah batu-batu di sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih
lemah, juga batu-batu di tempat itu amat keras dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun
akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus
menggempur lubang di depan yang merupakan terowongan panjang.
Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin terang, hati Sin Ling
membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk,
pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular dengan hanya
menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga. Saking hausnya, dia menengadah untuk
menerima titik-titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. Biar pun
memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan minum secara demikian.
Namun perutnya yang lapar terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari, karena setelah tiga hari,
barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas,
akan tetapi juga merupakan tempat tertutup! Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan
gelap, maka ruangan kedua ini luas sekali. Garis tengahnya tidak kurang dari sepuluh meter, merupakan
sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu
dunia-kangouw.blogspot.com
dan ada celah-celah yang merupakan retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos
masuk.
Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan harapannya kandas sama sekali.
Kalau sumur pertama itu merupakan tempat tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar
lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali dan saling berbelit-belit kelihatan ketakutan, ada
yang merayap naik, ada pula yang menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam
sumur pertama!
Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan
memperoleh penerangan sinar matahari yang tidak seberapa, itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi
putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam
hatinya tentang diri sumoi-nya dengan keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa
dipengaruhi segala kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi
ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu.
Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan ke luar dari tempat itu, namun sama sekali tidak ada jalan ke
luar. Akan tetapi dia menemukan benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman
kelaparan, yaitu jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar
matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan hatinya. Maka
mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam
keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah
khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air yang menetes. Ditampungnya
tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh tanah
dan batu itu.
Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan ke luar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan
dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi luar
biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya dahulu dan sukar dimengerti olehnya
karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami
intinya. Oleh karena inilah maka di luar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya bertambah dengan
hebat dan cepatnya.
Juga di tempat ini dia mulai mengenal diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa
disadarinya sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mukjijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap
orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup
manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku. Tanpa terasa oleh Sin Liong sendiri yang
selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu,
pemuda luar biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun!
Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah
sejak lama dia tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu yang menjadi teman-temannya
hanyalah ular-ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun mengenal
siapa lawan siapa kawan. Karena selama itu dia tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak
dan sama sekali tidak pernah menyerangnya, biar pun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya.
Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri
mereka.
Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur
yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama sekali berlainan dengan manusia biasa. Makanan
amat mempengaruhi tubuh dan sari jamur yang dimakannya selama dua tahun itu mendatangkan
kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya. Dia menjadi
seorang manusia luar biasa, tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam
keadaan apa pun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang
dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau tidak
menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa.
Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar
dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat
dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang
dunia-kangouw.blogspot.com
tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti batin Sin Liong di waktu itu.
Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan besar. Puluhan orang katai
yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar,
dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu-batu di dalam terowongan
bawah tanah itu. Pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah
mengumpulkan sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka.
Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara
tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai
kenyataan, dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi ‘raja’ dari orangorang
katai ini. Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia
mendirikan ‘kerajaan kecil’ di bawah tanah. Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di
bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan
mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. Sering-kali dia secara sembunyi mengadakan
pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan pemuda
tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya.
Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang
kerdil, dan juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa Bangkai di
terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang
dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li.
"Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran
dilakukan. "Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana
tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiammo
Cai-li dan Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak
mampu hidup kembali."
Han Bu Ong tertawa. "Ha-ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di
sumur ular, andai kata dia tidak mati oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di
sumur itu dia kini sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo
bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan
sebagai jalan rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita."
Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para manusia katai itu
segera bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat
pendongkel dan lain-lain. Hiruk-pikuk suara di dalam terowongan itu, dan pekerjaan yang berat itu biar pun
dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang
sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah
membersihkannya tidak semudah itu.
Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur dapat
disingkirkan. Han Bu Ong dan para anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok
ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyambar dari bawah dan
berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah. Han Bu Ong dan semua orang terkejut.
Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala mereka,
mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pemuda yang berwajah
tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda
yang pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena
memang keadaannya jauh berbeda dengan tahun yang lalu.
Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah, "Serbu! Bunuh dia...!!"
Orang-orang katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa
tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi
sadar. Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur.
Mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke
sumur ular yang tertutup kini ternyata masih hidup. Namun karena maklum bahwa ini adalah musuh
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka dengan teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu.
Memang benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong akhirnya
dari bawah mendengar suara hirup pikuk di sebelah atas, kemudian melihat cahaya turun melalui
terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama. Akhirnya dia
melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah dia ke luar.
Karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia
tersenyum girang.
Akan tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya
mengerahkan sinkang-nya membiarkan belasan senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakanteriakan
kaget karena semua senjata, baik yang tajam mau pun yang tumpul, begitu mengenai tubuh
pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat.
"Adik Bu Ong... bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?" Sin Liong berkata halus sambil memandang
kepada Han Bu Ong.
"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!" Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.
Biar pun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan senjata menyambar
tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan
pemiliknya. Sin Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi
makin compang-camping akibat terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya
berkelebat melewati kepala para pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap.
Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong menyabarkan dan menenangkan hati mereka. Dia
merasa yakin bahwa betapa pun lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya.
Maka dia melanjutkan rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga
ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan dengan
menghubungi seorang ‘pangeran’ baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya
setelah perjuangan mereka berhasil.
Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang bergabung dengan An Lu Shan,
bernama Shi Su Beng yang kini dianugerahi pangkat ‘pangeran’ oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud
untuk merebut tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan bawah
tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan
segala-galanya dan tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota
raja bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu.
Memang selama dua tahun itu terjadi dua hal yang banyak tercatat dalam sejarah. Kemenangan An Lu
Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Kaisar yang telah
melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di
barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja. Selain itu, di dalam istana pemerintah baru sendiri
terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan!
Semua ini terjadi karena memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu memberontak
terhadap pemerintah dengan dalih ‘demi rakyat’ atau demi keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain
istilah muluk-muluk lagi itu sesungguhnya hanyalah ‘berjuang’ demi dirinya sendiri saja! Semua istilah itu
tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan ‘modal’ perjuangannya untuk mencari kedudukan dan
kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun sampai
sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut namanya oleh orang-orang
yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di
negara mana pun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan mereka sendiri, dengan
siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka, kalau perlu mereka
mengorbankan rakyat.
Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar ‘pahlawan’ kalau sampai tewas dalam perjuangan yang
sebenarnya adalah penyalah-gunaan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu. Inilah
sebabnya ketika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi sudah
memperoleh apa yang mereka kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan,
dunia-kangouw.blogspot.com
melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan
atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang
terinjak memang selalu yang berada di bawah. Yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka
itu saling berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk daripada
kedudukan yang telah dimilikinya.
Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam ‘perjuangan’ mereka
merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya berjuang bahu-membahu, menjadi
kawan senasib sependeritaan, yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah memperoleh apa yang
mereka cita-citakan, berbalik mencurigai, saling iri!
Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih
amat kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah
menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan tetapi diam-diam, banyak pula yang
mempersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka
yang memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hatihati
menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi dan berlangsunglah
konflik sembunyi di antara mereka.
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Ke manakah perginya Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang
muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari ke luar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja
Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng
tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan
penjagaan yang terlampau ketat.
Setelah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya
berhenti dalam keadaan terengah-engah.
Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat, muka dan lehernya
penuh keringat yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali,
dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan
setengah sadar.
Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. Beberapa
kali dia menggerakkan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini
merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat berduka
dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang amat dicintainya.
Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi
kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat
betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan
saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang
batinnya lebih berbahaya lagi.
Akhirnya Kwee Lun memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan Thian,
kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang. Akan tetapi pandang matanya tetap
kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara meragu,
"Hemm...?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun.
Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka
kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."
Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar. Bibir yang gemetar itu
bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras, "Ibu....? Ibu...., Ibu...!" Swat Hong menangis tersedusedu
dan memanggil-manggil ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tenanglah, Nona. Tenanglah...." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi
suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu...! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri...? Ibu...! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu....!"
Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan. Akan
tetapi saat melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona.
Ingatlah pesan Ibumu... tentang pusaka Pulau Es...."
Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk. "Toako...
ahhh, Toako...!" dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan
satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini.
Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak.
Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas... di depan mataku... dan aku tidak dapat
menolongnya... hu-hu-huuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga... hu-huuuuuhhh apa
gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?”
Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu
melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah
meninggal, dan Suheng... satu-satunya orang yang kucinta... dia pun tidak ada lagi...! Katakan, apa
perlunya aku hidup lebih lama?"
Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya. Akan tetapi dia menekan
kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa
seperti engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es!
Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami
pesan mendiang Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es
terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan? Pusaka itu
telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera
menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."
Ucapan penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah
kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan
menghapus air matanya, lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun. "Kwee-toako,
terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah berani hidup harus
berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri
menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku...."
Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar... aku mencinta Soan Cu... aku
mencintanya...."
"Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai gurumu,
sedangkan aku hanya seorang diri... Ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat
menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih." Swat Hong berkelebat
dan meloncat pergi.
"Nanti dulu! Hong-moi... biarlah aku membantumu...."
"Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan
kembali ke Pulau Es... untuk... untuk selamanya. Selamat tinggal!" Swat Hong meloncat dengan cepat
sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas.
Pemuda ini menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan
bertitiknya air matanya. Baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa
amat hampa dan sunyi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lamhai
Sengjin yang seperti orang tuanya sendiri.
Dia harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai! Terbayang olehnya betapa suhu-nya itu akan terherandunia-
kangouw.blogspot.com
heran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong dan
sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya dan perlahan-lahan
Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya.
Sementara itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang
diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan Ki. Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta
kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya... entah, dia sendiri
tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar.
Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biar pun pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal
di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan
terkenang kepada suheng-nya. Kalau saja ada suheng-nya di sisinya, tentu tidak akan begini merana
hatinya. Akan tetapi, betapa pun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil
menyusul Swi Nio dan Toan Ki.
Ketika tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya
disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam. Kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan
bahwa Tee-tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak
ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu.
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah
salah memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu
sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di
hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu.
Hidupnya masih perlu dan ada gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar
tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa dia
masih amat dibutuhkan untuk hidup terus.
Sambil menahan kemarahannya, dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu, "Andai kata ada datang Bu
Swi Nio dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya
akan kembali menemui mereka."
Ang-in Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah
ini mengangguk-angguk.
Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan kota
raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa dengannya di jalan. Namun semua
perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk
kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda
yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang.
"Saya malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu," kata kakek itu. "Keadaan di mana-mana sedang ribut
dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang."
Swat Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku
khianat, menginginkan pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain
merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia
memaki-maki Bu Swi Nio yang tadinya dipercayainya.
"Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!"
Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa hasil. Sampai dua tahun dia berkelana mencaricari
kedua orang muda itu namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan mereka.
Akhirnya timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah
anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru
dan telah lari mengungsi ke barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi!
Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka,
dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut
kembali tahta kerajaan. Sebaiknya kalau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan
dunia-kangouw.blogspot.com
hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua
kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu. Mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan
pangeran atau raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan
darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di mana An Lu Shan
mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan
wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita. Maka begitu
dia berhasil menjadi Kaisar, tak pernah berhenti setiap malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih
dan ditunjuknya, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang lain sekali pun!
Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk dan sedang gembira, An Lu Shan lupa diri dan dalam keadaan
setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya yang sudah lama sekali dia rindukan secara
diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabuk, dia masih menahan hasrat hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam
keadaan mabuk, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya! Tidak ada seorang
pun manusia di dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu Shan sedang tidak
berada di situ.
Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita itu tidak kuasa menolak
atau memberontak. Sambil menangis dia terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang
mabuk itu. Dengan suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun
seorang laki-laki yang tidak hanya mabuk arak, melainkan juga mabuk cinta birahi, tidak mempedulikan
apa pun. Wanita itu hanya dapat merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan.
Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur mendengkur
kelelahan dengan muka merah karena banyak arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak-isak,
berlutut di atas lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali meloncat dia telah
menikam dada ayahnya sendiri.
"Crappp...!"
"Auhhh... haiii... kau... kau....?!"
Biar pun pedang telah menembus dadanya, An Lu Shan yang bertubuh kuat itu masih dapat meloncat dan
mencengkeram ke arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya
menendang sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia
berkelojotan dan tak bergerak lagi!
"Tangkap pembunuh...!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama dengan Han Bu Ong
sudah lari ke dalam kamar.
Shi Su Beng menggerakkan pedangnya dan terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu roboh pula
di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir putus terbabat pedang
Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana. Rapat kilat diadakan dan Shi Su Beng yang dianggap
membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar! Dalam keadaan
kacau-balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja muda
pembantunya yang setia!
Hanya mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang digerakkan oleh mereka berdua!
Shi Su Beng yang membangkitkan birahi An Lu Shan terhadap mantu perempuannya. Bahkan di dalam
mabuk, Shi Su Beng yang membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa
di dalam kamar itu dia telah menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan
selagi An Lu Shan yang mabuk itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu Ong menghubungi
pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki kamarnya. Maka terjadilah seperti apa yang
telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan
kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng.
Terjadilah pergantian kekuasaan dan perubahan besar-besaran di kota raja. Kembali Han Bu Ong berhasil
dunia-kangouw.blogspot.com
mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi seorang pangeran yang
berkuasa, jauh lebih berkuasa dari-pada di waktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan
penguasa baru yang menjadi sekutunya! Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan
ke tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota raja akibat
perebutan kekuasaan.
Seperti biasa penguasa baru mengangkat teman-temannya sendiri menduduki jabatan tinggi, melakukan
penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari kawan-kawan yang berbalik menjadi
lawan. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran jika timbul rencana-rencana dan intrik perebutan kekuasaan
yang kacau-balau, kalau perlu dengan cara halus mau pun kasar.
Sebaliknya, para pemberontak yang kini memegang tampuk kerajaan itu justru menjadi lalai. Mereka terlalu
memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu
sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat mereka lengah dan
kurang memperhatikan pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan
telah membentuk kekuatan baru untuk melakukan pembalasan!
Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinnya karena bukan hanya mahkota kerajaan dirampas oleh
pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati
digantung oleh keputusannya sendiri, setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang patah semangat
dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para
pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat Kaisar baru, yaitu
Putera Mahkota yang bergelar Su Tiong.
Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu Shan, di bawah pimpinan
Panglima Besar Kok Cu It, telah menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan
dari rakyatnya di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada negara-negara tetangga yang bersahabat.
Maka terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam suku, bahkan terdapat pula
bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai
tanda bersahabat oleh Kaliphu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan diberi latihanlatihan
berat dalam persiapan Kaisar Su Tiong untuk merampas kembali kerajaannya.
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu
berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada
garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walau pun tidak pernah bersolek.
Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa
berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari
sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu.
Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba
di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si Tiong, memang sedang menyusun tenaga di
bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu It sendiri. Panglima Kok ini menyebarkan para pembantunya,
yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk pendaftaran dan penerimaan para
suka-relawan yang hendak masuk menjadi tentara.
Seorang di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan, bahkan menghubungi orangorang
asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah yang telah berjasa menghubungi
orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan.
Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil
menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ.
Panglima Kok Cu It yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar
menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan
dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa
heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat
gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah jalan, dia melihat seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gandewa dan anak panah dikelilingi prajurit-prajurit
Han dan Arab sambil tertawa-tawa.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat
burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"
Swat Hong tertarik, berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu
sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau
orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?
"Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya
bergerak-gerak. "Biar aku jatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang
anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa. Terdengar suara menjepret dan meluncurlah
tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana
burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor
paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang
melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguh pun dia maklum bahwa kepandaian memanah seperti itu
hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan
berhadapan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan lain-lain.
"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat
Hong. Laki-laki ini adalah seorang prajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak
Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.
Swat Hong tidak mau melayaninya, dia malah membuang muka dan melanjutkan langkahnya.
Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang di depannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti
dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan penembak tepat, juga banyak
wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"
Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus.
Melihat dara yang begitu cantik, apa lagi di sana banyak kawan yang menyaksikannya, maka prajurit itu
lantas gatal tangan. Dia melangkah maju, kemudian meraih dan berhasil menangkap lengan gadis yang
saat itu sedang gundah hatinya. Di samping sedang memikirkan banyak hal, Swat Hong tidak menduga
prajurit itu akan berani berbuat selancang itu, maka tidak heran jika lengannya dapat ditangkap begitu saja.
Langsung darah gadis ini meluap naik hingga mukanya merah.
"Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata, dan sekali dia menggerakkan lengannya yang
terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, lakilaki
itu jatuh tersungkur mencium tanah!
"Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat dia melompat dan menubruk.
"Plakk! Aughhh...!" Prajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.
Melihat kejadian ini, lima orang prajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju.
"Tangkap, dia tentu mata-mata!"
Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlomba
menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun
roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung.
Akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik.
"Mundur semua!"
Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu
membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah
pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"
"Hemm,” pikir Swat Hong. “Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed
ini gagah sekali.”
Perwira bernama Ahmed ini memang gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita
terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu.
Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai
bersikap manis terhadap wanita.
"Sudahlah," kata Swat Hong. “Asal mereka jangan kurang ajar, aku pun tidak ingin mencari permusuhan.
Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap
Kaisar?"
Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih,
kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"
"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"
Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk
membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda
yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula
orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang
seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang
disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?"
Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan
keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"
"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam
bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed
memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"
Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di
antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."
Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona,
dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biar pun musuh itu
menggunakan senjata apa pun untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terusmenerus
dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"
"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."
"Wah...!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakah di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan
diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"
"Boleh kau coba. Aku bersedia."
"Eiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apa lagi
membunuhmu!"
"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mustahil!"
Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong kini mendekat. Karena dia maklum akan kelihaian
dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang
lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."
Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik
jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus langkah, pendekpendek
saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.
"Wah, terlalu dekat...! Terlalu dekat sekali! Langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima
puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah.
Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah,
aku sudah siap," katanya.
Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk
menangkis atau sebuah perisai."
"Tidak perlu. Seranglah!"
Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu
memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah
yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hatihatilah!"
teriaknya.
Terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti
oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan.
Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur di sekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa
orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita
sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak,
membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang
sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak!
Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja
selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!
"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak
panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri.
Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main. Kembali
terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong.
Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa
Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke
bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu!
Ahmed mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita
itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul-menyusul ke arah tubuh Swat
Hong.
Dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya
menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya. Dia lalu menggunakan
dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian
dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah
Ahmed.
“Auhhh...!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu
kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena
anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang
dunia-kangouw.blogspot.com
runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang.
Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk
sampai dalam sambil berkata, "Duhai..., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di
antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona.... saya merasa kagum dan hormat
sekali...!"
Wajah Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang
aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah
seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda.
Usia panglima ini tentu sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan.
Akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang
mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya!
Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada
Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed.
Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah
melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.
"Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouwciangkun
untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat
dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."
"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri
perwira yang simpatik ini.
"Nama saya Ahmed, Nona."
Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan
namanya. "Dan namaku Han Swat Hong."
Mereka memasuki sebuah bangunan besar. Di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam
sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun
lebih, mukanya bulat. Matanya yang sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang
datang bersama Ahmed.
Setelah memberi hormat, Ahmed berkata, "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."
"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab
Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang
senang.
Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah ke luar dengan tegap. Setelah derap
kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biar pun di situ, selain Bouw-ciangkun dan
Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca.
"Silakan duduk, Nona," suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan
lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya
hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia
tidak banyak cakap, lalu duduk.
"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan
sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga
keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan. Kalau
kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."
Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar dari-pada
bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih
sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar. Pekerjaan menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.
"Baik, saya akan menanti," jawab Swat Hong.
Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke
pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang
bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga
yang jumlahnya hanya belasan orang. Akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang
bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.
"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan
nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada
Bouwciangkun dengan gagah.
Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang
pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara...."
Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia
sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya.
"Memang dikosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona
boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona
menghadap. Saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan
sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar."
Swat Hong hanya mengangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya.
Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan
kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan.
"Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur.
Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi
dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa
seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan
dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia
meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang pengawal istimewa yang
bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi.
"Harap Nona jangan meninggalkan pondok. Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan, dan kalau
Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biar pun dianggapnya tidak ada
gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke
kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia
tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia
mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya.
Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk-pikuk di luar.
Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika
melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan
Ahmed tadi. Mereka diiringi oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup.
Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat), Nona
Han. Kami telah menghadap Kaisar, dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh
menghadap sendiri. Sementara itu Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima
hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"
Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani
menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan!
Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es
dunia-kangouw.blogspot.com
juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang kehidupan keluarga Raja di daratan besar.
Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia
memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua.
Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di
sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun
memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang
membantu. "Kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota
raja...," antara lain Bouw-ciangkun berkata. Akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja
oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.
Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong,
Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "Mari kita mulai makan minum
bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan
penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"
Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilakan
Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira
menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di
kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para pemberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan
puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi persaingan dari bekas
kawan-kawannya sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" dia menutup ceritanya sambil tertawa-tawa.
Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik. Komandan ini mengeluarkan
sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, lalu membuka tutupnya. Segera tercium bau harum
yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah
seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda, karena itu sudah
sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan.
Cawan pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong,
tidak banyak, hanya setengah cawan kurang.
Karena dia diajak minum demi keselamatan keluarga Kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apa lagi
karena dia melihat betapa Bouw-ciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya
cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum, sungguh pun agak aneh
harumnya.
"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"
Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.
"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!"
Sekali ini cawan itu diisi penuh. Karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa,
Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur itu sampai habis. Panglima Hussin dan Bouw-ciangkun
tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima
itu berpamit.
Sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini. Siapa
tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. Hal itu bisa saja terjadi di
siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktuwaktu,
kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput
Nona."
Swat Hong mengangguk. Setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi
oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar
pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini
teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap.... menggoyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini
mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari
baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia
menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya.
“Ini tidak wajar,” pikirnya.
Rasa kantuk menyerangnya amat hebat. Terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum
sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan
bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya.
Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada ‘main mata’ di antara kedua orang
panglima itu!
"Celaka...!" dia mengeluh. Ingin dia turun membasahi muka dengan air, akan tetapi dia tidak kuat. Baru
saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di
atas lantai dengan pulasnya!
Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangan seorang pemuda
berkelebat dan mengintai pesanggrahan itu dari balik batu-batu gunung. Pemuda ini tinggi besar, gagah
dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar
penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu?
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan
langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai
Sengjin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya, terutama pengalaman muridnya yang
bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Tak lupa Kwee Lun bercerita juga tentang kematian
Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka,
Setelah muridnya selesai bercerita, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang
biarlah kau memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu,
berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau-balau dilanda oleh para pemberontak.
Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya Kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul
ke sana untuk membantu Kaisar. Jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."
Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu
pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia
meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke
barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong!
Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi
mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun.
Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada
siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang
diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para prajurit Han,
bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu.
"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar
biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang menghebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan
sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"
"Ah, masa?"
"Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!"
"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! Jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mudah-mudahan begitu!"
"Tapi panglima itu terkenal pandai. Lihat saja Perwira Ahmed itu, di mana-mana para wanita tergila-gila
kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukkan hati wanita."
Mendengar ini Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya di tempat seperti ini dia mendengarkan
peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar
bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia jadi tertarik.
"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.
"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak
pernah ada wanita yang dapat melawan apa bila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apa lagi kalau
Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha
mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"
Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh
keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggrahan,
yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para prajurit diberi nama tempat penjagalan perawan!
"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku."
Kwee Lun berpikir, "Biar pun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang
kejahatan, dari siapa pun juga datangnya!”
Dengan pikiran ini Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan. Pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah
pesanggrahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu
dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat
orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggrahan itu, Kwee Lun bersembunyi
dan mengintai.
Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatannya bukan penjagapenjaga
sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat
memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya. Akan tetapi tibatiba
dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggrahan itu. Empat
orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga
memasuki pesanggrahan.
“Hemm, ini agaknya pembesar yang dihadiahi gadis itu,” pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia
harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga
meronda di dekat tempat dia bersembunyi.
"Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya.
Penjaga itu terkejut, cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap
untuk menyerang.
"Haaiiittttt!!!" tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di
depan.
"Bresss...!!" perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya
terdorong dan terjengkang bergulingan.
Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain. Dalam waktu sebentar saja Kwee Lun
terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang
bersenjata pedang ular dan perisai kura-kura itu.
Sementara itu, perwira berkumis yang datang tadi bukan lain adalah Perwira Ahmed. Dia baru saja berhasil
meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di
pesanggrahan. Dia terkejut mendengar suara ribut-ribut. Ketika dia menengok, dia melihat seorang
pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu
dunia-kangouw.blogspot.com
datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita
dibentaknya untuk minggir.
"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!” didorongnya daun pintu kamar dan cepat ditutupnya dari
dalam.
Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan
sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya
sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.
Tak lama kemudian dara itu terbangun. Dia mengeluh dan merintih, "Aduhh... pening kepalaku..."
"Ssttt... Nona Swat Hong. Sadarlah... aku datang menolongmu." Ahmed mengguncang-guncang dara itu.
Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.
"Lekas kau cium ini...." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.
Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan
disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis. “Apa... apa yang terjadi...?" Swat
Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.
"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang
dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya."
Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan
pil kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.
"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi
anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda
agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."
"Kwee Lun....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari ke luar.
"Nanti dulu, Nona."
Swat Hong berhenti. "Kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih padamu."
"Bukan itu. Kau... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai
pengkhianat."
Barulah Swat Hong sadar betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau
adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku... dan
ternyata di segala bangsa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa
lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed. Nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!"
Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya. Perwira
itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak
mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam
sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan-kiri sehingga menimbulkan
kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan
melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu,
"Selamat tinggal, Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."
Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat
berkata," Kau... setangkai bunga di padang pasir...."
Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang
terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya
tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main
karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun.
Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki
keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan
tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu. Perisai digunakan untuk
berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura
menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.
Kwee Lun merasa kewalahan juga menghadapi kepungan yang ketat ini. Akan tetapi dia mengamuk
dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobol kepungan dengan jalan berloncatan ke sanasini,
kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya. Begitu
berada di luar kepungan, dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya.
Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking
nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.
"Nona Han...!"
"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.
Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu
adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu
berbalik malah menolongnya!
"Kita lari saja, Nona. Tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"
"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw...!"
Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin
oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya
terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya
menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang
menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul
robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan
Swat Hong!
"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat.
Mereka sudah dikepung oleh ratusan orang prajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian
komandan mereka secara tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang
tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari
pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mereka!"
"Tahan semua senjata...!!" Kwee Lun berteriak, suaranya mengatasi semua keributan itu.
Semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi
mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?
"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami
adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri
Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong
yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan
dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai
hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"
"Tangkap.....!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bunuh....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun.....!"
"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"
Kini tempat itu penuh dengan prajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah
marah semua karena biar pun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun,
namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka.
Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.
"Menyesal tidak berhasil, Nona."
"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."
"Benarkah?"
"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."
"Kalau begitu, marilah mati bersama!"
Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya. Mereka saling membelakangi
dan saling melindungi. Para prajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak
menggerakkan senjata......!"
Sungguh ajaib sekali. Biar pun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak
tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruanseruan
kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan
tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para prajurit.
Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan
mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang
memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Pemuda yang pakaiannya sederhana, agak kurus,
matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan
senyum di bibir.
"Su... Suhengggg...!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak
dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!
"Suheng... aihhh, Suheng... Ibuku...."
"Tenanglah, Sumoi, tenanglah...," suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa, sehingga Swat
Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya
masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.
"Suheng... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi...."
"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."
"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya
ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!
Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu,
juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia
pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam
keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."
Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan
kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu. Sambil menyarungkan pedang dan menyimpan
kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi... mereka itu...?"
Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"
"Bunuh pemberontak!"
"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"
Ribuan orang prajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suheng-nya dan Kwee Lun juga
mendekati Sin Liong. Betapa pun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apa lagi dia
tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin
Liong memegang lengan sumoi-nya.
Terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka
berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami
pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil
tindakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan
anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.
"Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya,
memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu ke luar dari kepungan.
Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika
mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para prajurit
yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang
mereka, seolah-olah para prajurit itu tidak melihat mereka!
Dan memang begitulah. Para prajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus
itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan
dua orang temannya pergi jauh, barulah tempat itu menjadi gempar. Akhirnya Kaisar memperoleh laporan
tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya
diserahkan kepada Ahmed!
Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh
dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan?
Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah
mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"
"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita
bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak."
Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoi-nya dan diajak duduk di atas rumput. Swat
Hong duduk dekat suheng-nya dan memandang wajah suheng-nya dengan penuh kagum dan kasih
sayang.
"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang? Dengan saling bunuh membunuh antara manusia,
antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah
dan menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh
hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut
disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”
"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja apa yang barusan telah aku
alami. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa
aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu," Swat Hong berkata,
kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong
oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.
"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat
dunia-kangouw.blogspot.com
membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu
untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"
"Jangan tergesa-gesa berprasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari
mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."
Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta
agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.
"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan
reruntuhan goa, dapat menyelamatkan diri, Suheng? Dan selama ini engkau kemana saja?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba
saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong
mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.
Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia
berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.
"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran.
"Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"
"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan
tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu
membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di
Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako
dikeroyok para prajurit."
Sin Liong tidak memberi-tahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga
seolah-olah dia tahu bahwa sumoi-nya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan
rahasia lagi baginya!
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya
tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi... tadi di sana seruan Taihiap membuat
ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun... tidak mampu bergerak. Kemudian... ketika kita pergi,
terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi...."
Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.
"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.
"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada
permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."
Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak suheng-nya dan kadang-kadang
ucapan suheng-nya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya.
Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia
biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya... saya mohon petunjuk...."
Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya
pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku
yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat
menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik
mungkin."
Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih,
kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong. Seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari
gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan
menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada
kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako."
Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan
girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima
dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini
melakukan perjalanan ke timur dan di sepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari
Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama
sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang
manusia biasa. Tindak-tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti
ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dia sendiri!
Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong!
"Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.
"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama
hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan
terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"
"Hushhhh... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari,
Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Tiong dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak
sumoi-nya pergi dari situ.
Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata!
Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir
dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suheng-nya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada
lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh
Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka
itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan
mereka itu? Sama sekali tidak demikian! Mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka
meninggalkan kota raja.
Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke
barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja. Selagi
mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat
menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.
Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu,
mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat
rendah, keluarlah!"
Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah
bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa ‘perjuangan’. Karena
mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu
pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat ke luar. Liem
Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat
orang itu.
Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek
Bin! Ada pun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi
ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang
she Thio ini lihai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami
di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak
mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."
"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat,
mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang
bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian
banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi
berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat
buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya, sebaiknya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!"
kata orang ke dua, sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.
Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka
mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan
ini.
"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini
bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapa pun juga."
“Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal
di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak
menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.
“Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! Kami tidak akan membagi pusaka
kepada kalian atau siapa pun juga. Habis kalian mau apa?!" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut
pedangnya.
"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup,
akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang
kawannya.
Swi Nio dan Toan Ki menggerakkan senjata dan melawan dengan mati-matian.
Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok.
Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauwcee-
thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang
yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biar pun
senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah
terdesak olehnya.
Namun Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat.
Selain itu dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid
Hoa-san-pai. Selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan
pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar.
Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio
Sek Bi.
Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu tidak mengalami banyak kesulitan.
Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang
dahsyat dari wanita itu. Kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya di bawah dia, tentu saja dia
dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking
berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturutturut
dengan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan
membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.
"Cring! Tranggggg.....!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan Ki tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menubruk maju dan memutar pedangnya, kemudian dibantu oleh
kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya,
tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak
kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
"Lekas...! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.
Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda
yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung
kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.
Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung. "Ada apakah?"
"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah."
Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini,
dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria
yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga, janganjangan
kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biar
pun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusakapusaka
Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat
yang tentu mengandung ilmu-ilmu mukjijat!
"Kok, apa... apa maksudmu?"
Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka bertemu pandang
dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu. "Ihhh! kau berdosa
padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang
bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek
Bi tadi adalah murid Thian-tok, sedangkan Thian-tok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di Tai-hangsan!
Kalau murid dari sang suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan
lebih baik? Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"
"Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio
menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.
"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apa lagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa
kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan
dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita
tentu akan dicari oleh mereka."
Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu
bagaimana baiknya?”
"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka
menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang
dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai."
"Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka
ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?"
"Lebih baik begitu dari-pada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita
tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita
dunia-kangouw.blogspot.com
atau menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak
sebelum kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan
mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang
terhitung twa-supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu
dengan Kong Thian-cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah
lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Lo-cianpwe," kata Swi Nio penuh hormat.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twasupek,
orang muda?"
"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-ming dan menurut Suhu,
katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguh pun Suhu
berpesan agar teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapa pun juga."
Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang. Sambil mengelus jenggotnya dia kembali
mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang
Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekali. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan
dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah
dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi
hukuman mati."
"Ahhh...!"
"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang-tua teecu juga menjadi
korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan. Setelah berhasil teecu
mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apa lagi melihat betapa Angoanswe
menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."
"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu. Biar pun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai,
namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandaian Hoa-san-pai
mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona ini datang
menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari
mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai...! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang
yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan
apakah yang kalian harapkan dari pinto?"
Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang
penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan
Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak
merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.
Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu. Beberapa kali memandang ke arah
buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya.
"Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong,
pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orangorang
Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."
"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk merampas
dunia-kangouw.blogspot.com
pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai
yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan
tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata,
suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai
orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan
kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana
tewasnya seperti Kee-san Ngo-hohan, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sintong...."
"Aihhh...!!" tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya,
dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan
Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika
menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu
yang membunuh murid-murid pinto...!”
"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong, puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka
kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata.
Kakek itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di
kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan pusakapusaka
Pulau Es itu.
"Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh
tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak
datang mengambilnya."
"Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati
Twasupek. Dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua...."
Kakek itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya telah pinto terima
dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan ke luar
agar tidak menimbulkan keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau kemukakan?"
"Teecu... mohon... karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua sudah
cukup lama bertunangan, maka... teecu mohon berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah di sini."
Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap
ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi merah
sekali.
Kong Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa yang amat menggembirakan.
Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai
pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang
berada di sini."
Demikianlah, pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu sendiri di
dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada anggota Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya. Sebulan
kemudian diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara pernikahan
antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio.
Pada malam pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan
penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan. Dia terkenang semua pengalamannya,
kematian ayahnya dan kakaknya, mala-petaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabuk dan
tidak ingat diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk suaminya dan berterima kasih
sekali karena dia dapat membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan
syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan hidup pun ia akan
menderita aib dan terhina.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sampai dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa-san-pai, menjadi
anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka
gelisah sekali karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul,
bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan
menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh
yang berhak dan tidak menjadi tanggung-jawab mereka.
Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari ketua Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang
sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberi-tahukan di
mana dia menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian-cu
meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung
sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim Tojin.
Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu
seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biar pun selama dua tahun itu tidak terjadi
sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua sering-kali
merundingkan bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka
tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana
harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah.
Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat
rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling
berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek
Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama
sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri....
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.
Sin Liong menoleh kepada dara itu. Ia tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"
Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk di bawah
sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu di tepi jalan yang merupakan
lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat curam.
Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka,
sehelai permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau
namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar.
Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelokbelok,
dengan rumpun di sana-sini, diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perubahan
yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-daunnya telah menguning dan
banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau,
dan seolah-olah segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati itu.
Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga hari tampak cerah
sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya,
terang menderang tidak ada gangguan awan. Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini
semua. Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan
lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.
Semenjak dia bertemu dengan suheng-nya dan melakukan perjalanan ini, sering-kali dia tenggelam ke
dalam keindahan yang amat luar biasa, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram,
tenang dan penuh damai sungguh pun suheng-nya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa
betapa diri pribadi suheng-nya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib
keluar dari pribadi suheng-nya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang
menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.
Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suheng-nya, namun setiap kali dia hendak bicara,
dunia-kangouw.blogspot.com
mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut
terhadap suheng-nya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suheng-nya, ini
sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung dari-pada sekedar cinta biasa,
perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng...," dia memberanikan hatinya berkata.
"Ya.....?" Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut penuh
kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolaholah
sebelum dia bicara, suheng-nya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang
biasanya membuatnya membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke manakah?"
"Ke Hoa-san, sudah kuberi-tahukan kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"
Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas dan wajar,
tidak menyembunyikan sesuatu dan tanpa membawa sesuatu arti. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada
Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja
mereka berada di Hoa-san."
Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia
lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhengnya! "Bagaimana kalau mereka tidak
berada si sana, Suheng?"
Kembali senyum itu, senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian,
seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak dan maklum mengapa anak itu nakal!
"Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum
terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan
kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di
depan kita."
Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa depan,
Suheng?"
"Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, kalau
sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah
hidup dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung-jawab atas timbulnya rasa
takut. Pikiran mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di
masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran
mengenang penderitaan masa lalu dan ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang
kembali maka timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!"
"Habis bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini. Apa
yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang
apa yang telah terjadi di masa lalu."
"Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh...."
"Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam
terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat masa lalu dan
untuk membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh
nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak
lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan ini barulah di namakan
hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran,
tidak terbuai dalam alam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sampai lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan di dalam
keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.
"Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana-mana, hanya ke
Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan
pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti
yang kupesankan? Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat
sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang kegagahan dan
kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"
"Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita. Prasangka di lahirkan
oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang timbul karena
kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri sendiri. Kalau kita sudah bertemu
dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka?
Prasangka dan sebagainya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan
sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi
kehidupan kita?"
Kembali hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang nyata.
Memang dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran
ini timbulah prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran!
Setelah tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hoasan.
Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa suheng-nya benar-benar telah berubah, jauh
bedanya dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan beristirahat,
Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan-tahunya.
"Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh kenyataan
bahwa engkau telah berubah sekali!" berkata Swat Hong.
"Begitukah, Sumoi?"
"Aku tidak tahu apanya yang berubah. Memang kelihatannya engkau masih biasa seperti dulu, Suheng-ku
yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguh pun aku sendiri
tidak dapat mengatakan apanya yang berubah."
Sin Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami
perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu, dengan segala
macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup
ada artinya!"
Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan mengajaknya
bangkit berdiri, lalu perlahan-lahan melanjutkan perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong
hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suheng-nya, dia mendengar suara orang dan tampaklah
olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai
penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-macam pula, namun
jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk
mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw!
Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong,
hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa
mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu
saja mereka mengira bahwa dia dan suheng-nya adalah anggota rombongan lain. Hati Swat Hong diliputi
penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di puncak Hoa-san terdapat
perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai?
Akan tetapi melihat sikap suheng-nya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk bertanya dan
teringatlah dia akan kata-kata suheng-nya tentang permainan pikiran yang membayangkan masa depan
yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia
dunia-kangouw.blogspot.com
merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa
adanya tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi!
Ketika akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas perkumpulan Hoa-san-pai yang besar,
Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu
dan anggota Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi, sedangkan di bawah anak
tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang! Ketika dia
melirik ke arah suheng-nya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan suheng-nya ini
pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu ikut memandang lagi ke
sana.
Swat Hong melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang
kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat, lalu berkata dengan suara halus namun cukup nyaring,
"Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak
mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kangouw
dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi Hoa-san-pai,
tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan di antaranya banyak tokoh aneh yang tidak
dikenalnya itu. Dengan heran dia melihat adanya Siangkoan Houw Tee-tok, tokoh yang tinggal di Puncak
Awan Merah di Tai-hang-san itu!
"Suheng, itu Tee-tok berada pula di sini," bisiknya sambil menyentuh lengan suheng-nya.
"Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin
yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas suheng dari Tee-tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang
Ham Ketua Kang-jiu-pang di Secuan. Yang di sana itu adalah Lam-hai Sengjin, tosu majikan Pulau Kurakura
di Lam-hai...."
"Guru Kwee-toako?"
Sin Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran melihat suheng-nya
mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit
Nomor Satu! Dan Lam-hai Sengjin berarti Manusia dari Laut Selatan!
"Dan itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang pertapa di Bukit Beng-san dan yang di
ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan
kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut."
"Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita melihat dan mendengarkan saja."
Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para
pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab
langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan saling menanti,
menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di situ.
Betapa pun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal sebagai sebuah
perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan
perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya
dengan mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang disegani di dunia
persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan.
Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek tinggi besar bermuka
tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab,
dia lalu berkata ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah
mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia
kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinto harap
Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah Bhong
Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka
semua ini aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluar bicara dengan aku dan aku tidak akan
membawa-bawa Hoa-san-pai!"
Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak kepala dianggukan tanda
setuju dan di sana-sini terdengar teriakan, "Suruh mereka keluar!"
Pek Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak menyangkal bahwa
di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama
Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan
tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan keonaran di luar, apa lagi membuat permusuhan
dengan golongan mana pun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk
menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung-jawab atas semua sepak terjang
murid-murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!"
Hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu untuk menjawab.
Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio
disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggota
Hoa-san-pai, dia tidak melihat adanya kedua orang itu.
"Suheng..., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...," bisik Swat Hong dengan
hati tegang.
Akan tetapi suheng-nya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi
apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut turun tangan, ya!"
Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suheng-nya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya
berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw
ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak
demikian apa lagi?
Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang
Ham yang datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan ke atas tombak di tangan kanannya dan
berteriak. "Totiang, sebagai Ketua Hoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak terjang muridmu,
akan tetapi kalau urusan ini tidak menyangkut Hoa-san-pai, bagaimana kami dapat bicara denganmu? Ini
adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami dapat bicara dengan
dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan mencampuri urusan pribadi!"
Berkerut alis ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biar pun tidak secara langsung, sudah merupakan
tantangan dan hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia
tidak mau bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua Hoa-san-pai ini
memang belum sempat diberi-tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.
"Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" tiba-tiba terdengar suara orang, diikuti munculnya
Liem Toan Ki dan isterinya dari dalam.
Mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan pakaian ringkas.
Wajah mereka agak pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jeri. Liem Toan Ki meloncat ke depan, di
atas ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil
berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cuwi
sekalian datang mencari kami di Hoa-san?"
Hiruk-pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda muncul dari dalam.
Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah
berani melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka yang
kau bawa itu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Liem Toan Ki tersenyum. "Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami, Locianpwe.
Pusaka apa yang Lo-cianpwe maksudkan?"
"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah. "Serahkan Pusaka Pulau Es kepada
kami!"
"Kepada kami!"
"Bagi-bagi rata!"
"Dijadikan sayembara!" Macam-macam lagi teriakan para tokoh kang-ouw itu.
Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua
menyimpan Pusaka Pulau Es?"
"Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang melihat betapa gadis
Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah
Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu.
Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas pengawal yang
dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada
gunanya lagi.
"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk.
Liem Toan Ki berkata lagi dengan suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi
bahwa memang kami telah dititipi pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu. Akan tetapi,
kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona
Han Swat Hong!"
Teriakan-teriakan hiruk-pikuk menyambut ucapan lantang ini.
"Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan,
akan tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak
memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa
menyerahkan pusaka!
"Siancai... harap Cu-wi bersabar dulu...!" tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh, ketua
Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!"
"Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot.
"Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Hoasanpai
dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai ketua Hoa-san-pai, pinto hendak
bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak
akan mencampurinya!"
Terdengar teriakan-teriakan, "Silakan! Silakan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!"
Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa artinya ini semua? Benarkah
kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?"
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem
Toan Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang
mengijinkan teecu berdua dan beliau yang melarang teecu berdua menceritakan kepada siapa pun juga,
bahkan beliau yang membantu teecu berdua dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya
dan hendak menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa
Hoa-san-pai."
Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut pedang dan berkatalah
dunia-kangouw.blogspot.com
Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan kami berdua
suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai. Maka kalau kalian begitu tidak tahu malu hendak
merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!"
"Keparat, aku tidak membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok
membentak.
"Tahan!" tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekali. "Cu-wi sekalian sungguh terlalu,
memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali tidak memandang mata kepada Hoa-sanpai,
hendak membikin ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoasan-
pai!"
"Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu! Aku tidak akan
membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!" tiba-tiba
tokoh Tai-hang-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi Toan Ki
dan Swi Nio dengan sikap gagah!
"Ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja! Aku pun tua
bangka yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan
siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Sengjin, guru Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan
tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke
ruangan depan mendampingi Tee-tok.
"Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw yang tak tahu malu hendak merampas pusaka lain
orang!" tampak bayangan berkelebat disertai suara halus melengking dan di ruang depan itu nampak Ginsiauw
Siucai Si Sastrawan yang bersenjata suling perak dan mauwpit!
Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apa lagi melihat bekas sute-nya,
Tee-tok, memelopori lebih dulu membela Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka
Pulau Es yang amat dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak
kulihat sampai di mana kepandaian kalian!"
Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa
tentu sebentar lagi akan terjadi perang kecil yang amat hebat antara para anggota Hoa-san-pai dibantu
oleh tiga tokoh kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
"Tahan...!" Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sedikit pun, akan tetapi anehnya,
semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka menghentikan gerakan mereka mencabut
senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok
bayangan orang ke arah situ.
Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-pai. Dengan sikap
tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia
persilatan yang hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
Terdengar kemudian pemuda ini berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe mengapa sejak dahulu sampai sekarang
gemar sekali memperebutkan sesuatu?"
Thiantok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian pula Thian-he Teeit
Ciang Ham, Lam-hai Sengjin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah
hendak memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka merasa
kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.
"Ka... kau siapakah...?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?" tiba-tiba Tee-tok Siangkoan Houw berseru keras. Hatinya girang
dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya
pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan baikbaik,
belasan tahun yang lalu di lereng pegunungan Jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu.
Siapa dia?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sin-tong...!"
"Bocah ajaib.....!!"
Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak.
"Mau apa kau datang ke sini?" Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya.
Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee-tok dan lain tokoh yang tadi membela
Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong. Kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima
kasih kami haturkan kepada Ji-wi (Kalian Berdua) yang ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas
dipuji dan dikagumi kesetiaan dan kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan
pusaka-pusaka itu kepadaku."
Toan Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti sebentar."
Kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata ketua Hoa-sanpai yang
menjadi terheran-heran.
"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.
"Harap Lo-cianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang untuk mengambil
kembali pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."
"Penghuni Pulau Es...??!"
Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari pihak Hoa-san-pai dan mereka yang
membelanya, kecuali Tee-tok Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu.
Tak lama kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio.
Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu
kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata, "Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap
titipkan kepada kami dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari
tanggung-jawab yang amat berat itu.
Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin
kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi mereka ini."
Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian matanya beralih kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih
memandang dengan bengong dan kini dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar.
Setelah pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu
saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?
Sin Liong kemudian berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa
pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua
mengharap sudilah Cu-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini."
"Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami juga!"
"Kami minta bagian!"
Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah.
Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus, "Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari, kemudian kami
akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat bagi kita untuk
bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi Lo-cianpwe kalau mengganggu Hoa-sanpai
yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan Hoa-sandunia-
kangouw.blogspot.com
pai, boleh kita bicara lagi."
Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa pusaka itu berada di tangan Sintong
dan dara muda itu, Thian-tok lalu mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian
berdua tidak akan dapat terbang berlalu."
Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu
akan mengurung tempat itu dan tidak akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa
pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu.
Sin Liong lalu menjura kepada ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio, juga
kepada Tee-tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian berkata, "Terutama kepada
Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi
pelajari. Dan kepada para Lo-cianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para Lo-cianpwe
main-main sedikit untuk memperluas pengetahuan ilmu silat."
Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda yang aneh itu, akan tetapi
Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah, ingin aku tua
bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!"
Sin Liong tersenyum, lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silakan Siangkoan Lo-cianpwe
menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya tenang. "Harap Lo-cianpwe jangan
sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!"
Tee-tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini. Setelah dua tahun tidak jumpa, kini sikap pemuda ini
luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang
tadi sudah bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma
pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak
mempunyai maksud jahat dan tadi membela pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa
ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh
tenaga dan perhatiannya, dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat Pek-luikun
yang dahsyat.
"Haiiittt... eihhh..?!"
Bukan main heran dan kagetnya ketika ia melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang
sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai
sebagai serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang
dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu untuk menghadapinya jauh
lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat
hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan
sungguh pun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu!
Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus lain, dan tanpa sisa dia
menggunakan delapan belas jurus terampuh dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat
dihindarkan dengan baik oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus ‘diperbaiki’ dengan sempurna. Semua
gerakan ini dicatat oleh Tee-tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia
melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.
"Astaga... kepandaian Taihiap seperti dewa saja.... Saya... saya menghaturkan banyak terima kasih atas
petunjuk Taihiap....." katanya agak tergagap.
"Ah, Lo-cianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong.
Tee-tok lalu menjura ke arah ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan
langkah lebar dan wajah termenung karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan
baru yang menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam-hai Sengjin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang berilmu tinggi. Melihat
peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah
dunia-kangouw.blogspot.com
mewarisi ilmu mukjijat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan itu dan dia sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya.
"Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk kepadaku!"
"Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi mengajarnya baik-baik,"
jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya.
Biar pun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya digerakkan seperti kedua
senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan
sempurna. Seperti juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran
ilmu hudtim dan kipas.
"Terima kasih, terima kasih.... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya."
Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek itu hanya
mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai
lupa.
Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan mauwpit-nya, kemudian
ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut.
Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak, terheran-heran melihat tiga orang
tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi
girang karena tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka
hadang.
Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan ilmu-ilmu tinggi
kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh
kenamaan dan mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai. Pada hari ke
empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh
ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.
"Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan para anak murid
pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng gunung," Pek Sim Tojin berkata dengan alis
berkerut. "Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?"
Sin Liong tersenyum. "Terima kasih, Lo-cianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka berarti membuat
mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami berdua menemui mereka dan
membereskan persoalan seketika juga."
Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh kepercayaan
penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa
pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apa lagi pemuda itu memiliki wibawa
yang tidak lumrah manusia. Gerak-geriknya demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga
tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini!
Memang benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu masih
menghadang di lereng puncak, dipelopori oleh Thian-tok. Thian-tok yang tadinya mengandalkan
kepandaiannya sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah mendapatkan
kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa
kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka semua. Terutama yang menjadi
pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya
berselisih atau kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.
Maka ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan perlahan dan
tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda
itu dengan ketat, mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi Lo-cianpwe. Pusaka-pusaka
ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah
kami berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau Es,
tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada kami."
"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?"
"Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi
para Lo-cianpwe ini."
Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah semua orang
kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan
kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang (Ilmu meringankan
tubuh) yang amat hebat!
Sin Liong sengaja menyuruh sumoi-nya pergi keluar dari kepungan karena tidak menghendaki sumoi-nya
itu naik darah dan turun tangan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini
melihat sumoi-nya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata,
"Silakan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es
tidak akan kuberikan kepada Cu-wi."
Melihat sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw menjadi marah juga. Pemuda itu tidak
memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di
punggungnya. Maka serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali merampas
pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak
merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua
lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata.
"Ahhh...!"
"Hayaaa....!"
"Aihhhh....!"
Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati
mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum itu. Tangan mereka seperti lumpuh dan
tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling timpa!
Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman mereka itu.
Kedua orang berilmu tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk
menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu. Kini
melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakkan sebuah jari tangan pun, kedua
orang itu terkejut, marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di
tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan.
"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.
"Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang Ham juga menghardik.
Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak, hanya berkata, "Terserah kepada Ji-wi Lo-cianpwe. Ji-wi yang
melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung akibatnya."
"Keras kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala
pemuda itu.
Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke
arah kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.
"Desss! Takkkk!!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihhh......!"
"Heiiii....!"
Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang Ham berteriak kaget dan meloncat ke belakang.
Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu
terpental kembali seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa panas!
Tentu saja mereka merasa penasaran, biar pun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orangorang
kang-ouw lainnya yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga
menyerbu ke depan.
Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu datang bagaikan hujan
menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh
pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini,
bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik. Makin keras orang menyerang,
makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah mengelus kepalanya yang benjol
terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan paha Ciang Ham berdarah karena tombaknya pun
membalik tanpa dapat ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua kalinya.
Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda itu masih
tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya,
kini pakaiannya robek-robek dan penuh lubang. Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang
terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran.
Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama
hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini.
Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga. Apa lagi melihat cahaya aneh seperti
melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa
melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya kalau pemuda ini
mengangkat tangan membalas!
"Maafkan kami...!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi.
"Sin-tong, maafkan...!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari
situ.
Melihat kedua orang yang diandalkan itu lari, para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan jeri
tentu saja cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ meninggalkan Sin Liong yang masih
berdiri tegak di tempat itu.
Swat Hong lari menghampiri suheng-nya, lalu memeluk suheng-nya itu. "Suheng..., kau tidak apa-apa...?"
tanyanya.
Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Pakaianmu hancur...."
"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan malapetaka."
"Suheng, kau...."
"Ada apakah, Sumoi...?"
Swat Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua tindak dan
memandang suheng-nya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jeri. "Suheng, kau... kau berbeda
dari dulu...."
"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suheng-mu yang dahulu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak, tidak...! Kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi? Mendiang Ayahku sekali pun
tidak pernah memperlihatkan ilmu mukjijat seperti itu...."
"Apakah keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya mengakibatkan
pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri."
"Suheng, ajarilah aku ilmu tadi...."
"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. Marilah kita lanjutkan perjalanan
kita."
Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoi-nya dan terdengar jerit tertahan dara itu
ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh suheng-nya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia
sendiri adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa, akan tetapi apa yang
dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah
hatinya bahwa suheng-nya telah menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang
manusia dewa!
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar Su Tiong, yang
dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari
tangan pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian barat, dibantu
pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong
melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan
karena jenderal pemberontak itu telah tewas.
Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan
dan kota demi kota dapat dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su
Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil membantu
pemerintah pemberontak, tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak ada satu pun orang kerdil
tinggal hidup.
Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu, namun kerajaan
Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu
Shan itu. Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang
selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak
kurang dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu!
Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kerajaan Tang
kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu
merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang
diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah
menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri. Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk
pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke perbatasan dan menjadi
pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan pemerintah.
Demikianlah, dengan dalih apa pun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan
mala-petaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh
dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah
revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah
keadaan yang menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
--- dunia-kangouw.blogspot.com ---
Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau
Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja. Akan tetapi kedua
orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang
tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada
dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup.
dunia-kangouw.blogspot.com
Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti
menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Di dalam kegelapan selagi badai
mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba
muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik,
dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu
kemudian menariknya ke luar dari daerah yang diamuk badai!
Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali
muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak
pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong,
bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah
kembali ke Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya
bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting lagi.
Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada
umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan
mendatangkan kesenangan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan
kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara
kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus menerima pula yang ke dua, yang
mau menikmati kesenangan harus pula mau menderita kesusahan. Tidak! Cinta kasih mereka bukan
seperti cinta kasih palsu yang kita punyai!
Pernah ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika perahunya diayun-ayun gelombang
kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus
yang dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan remang-remang di bawah
sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti
berikut:
‘Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta Kasih namun tak pernah bicara tentang Cinta Kasih!
Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu?
Bilamana tidak ada ikatan, tidak ada pamrih dan rasa takut, tidak memiliki atau dimiliki, tidak menuntut dan
tidak merasa memberi. Tidak menguasai atau dikuasai, tidak ada cemburu, iri hati tidak ada dendam dan
amarah tidak ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba diri, tidak mementingkan diri pribadi, bilamana
tidak ada Aku barulah ada Cinta Kasih......’
Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita setengah
dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang
sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun. Bu Kek
Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti
Tee-tok Siangkoan Houw, Lam-hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh Hoasan-
pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu
pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoi-nya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya
menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.
Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak
tanpa pamrih, hanya digerakkan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang
manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang
banyak…..
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru