Kamis, 18 Mei 2017

Bu Kek Siansu 4 KPH Cersil Pertama Terbaik Kho Ping Hoo

Bu Kek Siansu 4 KPH Cersil Pertama Terbaik Kho Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Bu Kek Siansu 4 KPH Cersil Pertama Terbaik Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
Bu Kek Siansu 4 KPH Cersil Pertama Terbaik Kho Ping Hoo
"Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si pemberontak laknat, apakah tidak mendengar siapa
adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? Kami adalah patriot-patriot sejati,
dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? Sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para
pemberontak laknat!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh
tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang
kesemuanya bersikap gagah perkasa.
Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biar pun mereka itu dikurung oleh
sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap. Mereka bahkan
mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan
membantu pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang
bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di
tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu.
Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek
Tojin, ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggota Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai
ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biar pun mereka merupakan orang-orang gagah yang
berkepandaian tinggi, namun pada waktu The Kwat Lin merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun
tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita
itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping kenyataan
bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di
Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi.
Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin
oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san. Kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai
mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun sebagai akibatnya, Butong-
pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan ‘kebersihannya’ dengan jalan membantu
pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan
kesetian mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai
turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan.
An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang
bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah.
Maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah pada
hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh
pasukan itu dan disuruh menyerah. Akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu
tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian.
Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu,
mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan
menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong. Terjadilah perang
kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pendekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan
bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya rata-rata memiliki ilmu silat
yang lumayan.
Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan
seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Enghiong
karena gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biar pun dikeroyok
oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan,
mereka mampu mempertahankan diri dengan baik. Bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang
berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu.
Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan.
Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para prajurit
yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Di antara lebih lima puluh
orang prajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh
sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah
semangat Cap-pwe Eng-hiong. Mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua
musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan diri.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan
An Lu Shan yang baru tiba. Serta merta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu
kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati
Cap-pwe Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi
gentar, bahkan menambah kegembiraan. Mereka mengamuk sungguh pun sekali ini mereka segera
terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari
perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat
itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri.
Mereka itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu
Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan
perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang
yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak
menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka.
"Betapa buasnya mereka...!" Liu Bwee berkata lirih.
"Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas
dari-pada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita
melihat perang yang begini ganas dan kejam...."
"...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benarbenar
tidak mengenal arti kegagahan sama sekali."
"Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggota pasukan, lihat pakaian mereka
yang seragam. Sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biar pun
dikeroyok banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar."
"Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita
bantu mereka."
"Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari...!"
Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari
mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat
orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang dilemparlemparkan
seperti orang membuang rumput-rumput kering saja!
Pasukan menjadi geger. Sedangkan delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan
girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang tibatiba
membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang
panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan
berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan
cahaya. Cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang
pengeroyok lain. Secepat kilat kemudian dia menangkap tombak itu dengan kedua tangan, lalu
mengerahkan sinkang membetot dan membalikkan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari
pegangan pemiliknya. Gagang tombak itu meluncur terus menghantam tengkuk sang komandan hingga
membuatnya terjungkal!
Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang
dianggapnya cukup baik. Dengan pedang ini dia mengamuk. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan
pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya
merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya.
Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak
kurang dari tiga puluh orang anggota pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan,
membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jeri sisa anggota pasukan.
Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang
terluka!
Delapan belas orang pendekar itu berdiri berjajar. Beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka
ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka
berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw
Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya.
"Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi
Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu.
Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" kata Song Kiat sang Twa-suheng.
Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus
jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya.
Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini
tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama. Hanya ingin kami ketahui,
siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka?"
Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan mata terbelalak
heran. Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang
menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu
bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An Lu Shan?
Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sute-nya menduga bahwa tentu kedua orang ini
adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan
keadaan dunia. Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan
mereka, selain mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti
kepada negara menentang pemberontakan.
"Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah murid-murid Butong-
pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pemberontak. Pasukan tadi adalah pasukan
pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan
yang kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh
pasukan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Jiwi
membantu usaha penyelidikan kami itu."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam
permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan
pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat
jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk
bertanya kepada Cuwi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahwa dua orang sakti itu tidak mau mencampuri urusan
pemerintah, akan tetapi karena kedua orang ini sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut,
dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silakan Taihiap kalau hendak
bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan sejelasnya dan sedapatnya."
"Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang
pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan merasa
berterima kasih sekali andai kata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu."
Delapan belas orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak
seorang pun di antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya
di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu. Akan tetapi nama-nama itu telah kami catat
dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor
kepada Ji-wi?"
Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah
orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat
Lin?"
Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut bukan main karena tidak
menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh
besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki kesaktian yang luar
biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The
Kwat Lin!
Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan The Kwat Lin
dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biar
pun belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sute-nya yang berpendapat untuk tidak
mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya,
"Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat
Lin itu?"
Liu Bwee membelalakkan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu,
aku akan membunuh iblis betina itu!"
Mendengar ini serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh tujuh belas orang sute-nya
sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran.
"Apa... apa artinya ini?!" Liu Bwee membentak.
"Maafkan, kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami sudah
merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis
betina itu adalah musuh Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya karena iblis
betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai."
"Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia
musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil
memandang penuh selidik.
"Benar ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan Seperguruan)
kami sendiri karena dia adalah seorang di antara Cap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar), murid-murid
dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang,
beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan
kepandaiannya yang luar biasa menundukkan Suhu kami, ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah
merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai
dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Bu-tong-pai....."
"Ahhh...! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki.
"Dia becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim muridnya menyelundup ke istana, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan ini, The Kwat Lin menjadi buruan pemerintah
dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena
perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk membuktikan
kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah menghadapi pemberontak An
Lu Shan."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok dengan
pasukan An Lu Shan hari ini."
"Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya.
Dia ingin segera bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali
pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apa
lagi dengan bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat
itu.
"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai. Kalau saja kami sudah selesai dengan tugas kami di Telaga
Utara, tentu dengan senang hati kami menemani Jiwi menyerbu ke sana."
"Rawa Bangkai? Di manakah itu? Tempat apakah itu?" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia
merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu.
"Rawa Bangkai adalah sebuah tempat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya
karena banyak sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu.
Konon kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi
nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk
Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li
telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama
puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk
mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas kami di
Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan
musuh besar kami."
Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang. Ternyata di antara kedua orang ini sudah terdapat saling
pengeritan yang mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup menjadi
pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengar Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah
kami berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara. Biar pun kami tidak mempunyai urusan
dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, tentu saja berarti kami juga
dimusuhi oleh mereka. Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu
menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai."
Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka
girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat
sulit dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah
Telaga Utara itu. Kini dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan
mereka berdua akan mempermudah penyelesaian tugas mereka.
Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara
yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia dari An Lu Shan di
mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orangorang
kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata.
Melihat semangat kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia
adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun
mulai bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan.
Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya
terdapat sebuah pulau yang dihubungkan ke pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas pulau inilah
berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya jika dia
hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi
dunia-kangouw.blogspot.com
tugas kerja. Biar pun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung
sehingga amat sukar dikunjungi orang, apa lagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang
dikelilingi jurang-jurang amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu
ketidak-mungkinan untuk datang ke telaga itu.
Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian
seperti rakyat biasa dan tidak dikawal oleh pasukan pengawal, melainkan oleh belasan orang pengawal
yang berpakaian preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, pengawalpengawal
itu adalah orang-orang pilihan yang berilmu tinggi.
Orang-orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telaga Utara itu adalah rata-rata orang lihai, baik
dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masingmasing.
Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh
dendam kepada kerajaan. Ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar
karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenang-senang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa
menghiraukan kesengsaraan rakyat. Mereka menganggap pemberontakan itu sebagai perjuangan para
patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan.
Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang membantu
An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan
dan kemuliaan. Walau pun An Lu Shan kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal
yang ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan
dasar dan pamrih yang terkandung di hati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura
tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah
bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan siapa pun yang merasa dapat mengelabui
An Lu Shan akan kecelik sekali!
Biar pun dia merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini
bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam-diam dia menaruh mata-mata dan
penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap
gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang
katanya menjadi pembantu An Lu Shan. Apa lagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu,
penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.
Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada
pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari
jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang
mendengar bahwa ada dua puluh orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing
menuju ke telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang
itu.
"Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita,"
katanya. "Dan kalau pun mereka bisa memasuki telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar
mereka tidak dapat keluar pula," demikian perintahnya.
Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang
dari seratus orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua
puluh lebih orang kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada
bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan
membasmi mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi
Telaga Utara.
"Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu
Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua berdiri di depan jurang yang ternganga lebar
di depan mereka.
Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga melompati jurang ini
mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang
melompatinya begitu saja?
dunia-kangouw.blogspot.com
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang seperti ini?"
Song Kiat, orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini
dengan seksama dan memang telaga di gunung ini dikelilingi oleh jurang-jurang. Bagian yang paling
sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini."
"Hemm, bagaimana caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia
sendiri yang memiliki kepandaian jauh melampaui mereka merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan
nyawa meloncati jurang selebar ini.
"Rintangan ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap.
Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang,
kemudian merayap naik, amat sukar dan lebih berbahaya. Maka jalan satu-satunya adalah membuat
jembatan manusia dari sini ke seberang jurang."
"Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee.
"Harap Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah
terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana."
"Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok.
Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu
beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang
hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga
kedua kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apa lagi orang
berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik
kedua kakinya terlepas dari tanah!
Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah,
batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat
dan berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka
berdiri tersusun, masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak
bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap naik
melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul
oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh
belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang
berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak
terasa amat berat baginya!
Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki masing-masing yang tadinya menginjak
pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua
tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke depan dan terus mendoyong
dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi,
kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah
yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi.
Melihat ini Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara
mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya. Selain
membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang
amat besar. Sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya
delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang!
Kini susunan orang itu telah melintang, dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan
menyambar akar pohon yang amat kuat yang berdiri di seberang. Maka jadilah ‘jembatan’ istimewa itu!
Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar
suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi.
"Taihiap dan Lihiap, silakan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Katadunia-
kangouw.blogspot.com
kata ini menyadarkan kedua orang itu.
Ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan
tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan ‘menyeberang’
melalui jembatan manusia yang sambung-menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan
ginkang-nya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok
telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan
kagum.
Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang, Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu.
Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil mengerahkan ginkang-nya, Liu Bwee
mulai menyeberangi ‘jembatan’ istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya.
Betapa pun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga! Akhirnya
dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok.
"Mereka benar-benar merupakan pendekar-pendekar yang mengagumkan," kata Liu Bwee.
Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dia dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk
membantu delapan belas orang gagah ini.
Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling
belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang
terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee
hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung
sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini
mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika
susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan
terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini.
Namun dengan cekatan dan terlatih, masing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas
dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke
arah dinding karang ketika tubuh mereka terayun dekat dinding. Akhirnya selamatlah rangkaian orang ini
tergantung di sepanjang dinding karang. Kini yang paling berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia
merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada
akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sute-nya yang bergantung pada kakinya! Pantas saja
twa-suheng ini menjadi orang pertama, karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak
seperguruan ke dua) dari delapan belas orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi
Besar tadi.
Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung
paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga
tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi jurang dengan selamat!
"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.
"Taihiap terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi
telah kami latih selama berbulan-bulan. Baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini.
Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali
kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini Telaga Utara kosong sehingga kita
boleh menyelidiki dengan aman. Kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah
demikian kuat."
Ouw Sian Kok menoleh ke kanan-kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara
Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang
berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat. Tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah
pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."
"Apa pun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu
kita khawatir," Liu Bwee menghibur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan
sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu tidak nampak seorang pun
penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk
perangkap!" baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara
gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga mau pun dari belakang pohon
dan semak-semak.
"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"
Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka
menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song
Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sute-nya.
Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur
dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk
melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah
dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak
kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?"
"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam perangkap.
Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata
secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah
berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan
membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya mau pun tidak. Apa
gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"
Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Butong-
pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak
kami duga-duga. Apa lagi kami telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya
pula."
"Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita menghadapinya," Liu Bwee
berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan, apa lagi sejak kecil tinggal di
Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.
"Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami
berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!"
Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya.
Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sute-nya. Dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana
telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat
itu. Mereka melihat An Lu Shan berdiri diiringi oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan
keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Akan
tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang
bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap
untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.
Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar laporan dari anak
buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang
tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki
kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk
menyambut mereka.
"Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan
menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin bicara dulu dengan mereka, siapa
dunia-kangouw.blogspot.com
tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu."
Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Bu-tong-pai
itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi
ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi
mereka.
"Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan berkata
dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada
keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?"
Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau berbohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai
pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal
pemberontak An Lu Shan!"
Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan
untuk membasmi musuh. Akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas untuk mencegah. Dia
berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang
tajam menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita
cantik yang memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu.
"Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih juga belum sadar?
Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tongpai,
juga telah menghinanya, menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang Cuwi
malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian rendah
dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?"
"Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan
pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang.
An Lu Shan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang
berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak,
melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang
hanya tahu bersenang-senang belaka. Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini
untuk membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat
jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai manusia, terutama sebagai manusia
yang berjiwa gagah."
Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan. Memang jenderal
ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga sejenak delapan belas orang itu saling
pandang dengan bingung.
Tiba-tiba Liu Bwee yang biar pun hanya seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es,
yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah
sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu,
"Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat
ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya."
Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An Lu
Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat,
tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! Kami harus
mempertahankan pendirian kami, harus membela dan mematuhi perintah ketua dan guru kami dengan
darah dan nyawa!"
Kedua pihak sudah ‘panas’, akan tetapi An Lu Shan masih bersabar. Ia mengangkat tangannya, menahan
anak buahnya, lalu berkata, "Terserah pemilihan Cuwi dari Bu-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang
datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin
kami mengenal mereka, dan mengapa pula Jiwi mencampuri urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami?"
"Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong Cap-pwe Engdunia-
kangouw.blogspot.com
hiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggungjawab
kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok.
"Harap Jiwi suka mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan
dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu
kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Asal Jiwi suka lepas tangan,
kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam dapat menduga bahwa
dua orang itu amat lihai, maka dia berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
"Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti
seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum, bagi seorang yang gagah
perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari-pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan
merupakan benda yang terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian
bukan apa-apa. Kami yang sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong tentu tidak mungkin dapat
mundur lagi. Nah, kami semua telah siap. Apa pun yang akan kau lakukan, kami akan hadapi dengan
pertaruhan nyawa."
An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan
penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak
musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya menerjang maju!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati masing-masing, maka
hampir berbareng mereka berdua menggerakkan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum
bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat
mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu
dapat ditangkap, tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan
melumpuhkan semangat lawan.
An Lu Shan terkejut melihat gerakan mereka berdua. Memang dia sudah mendengar laporan anak
buahnya bahwa dua orang ini lihai sekali. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat
bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat
menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kangouw
yang berdiri di kanan-kiri dan belakangnya.
"Trang-cringgg-cringgg...!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan
menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu
terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!
Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dalam waktu singkat
dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah mengunakan ginkang-nya yang amat hebat.
Tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para
pembantu dan para pengawalnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang
tombak yang dipegang oleh orang yang seperti ‘terbang’ di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa,
melainkan seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat
campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan
kanannya bergerak dan begitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata.
Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
"Trakkkk!" tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu
melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang
pedang pusaka kuno yang amat ampuh.
Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu tidak menjadi gugup. Dia bahkan mampu menggerakkan
sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian
rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya
terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang.
Jenderal ini menjadi marah. Selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka. "Serbu mereka! Basmi
mereka semua, jangan beri ampun seorang pun juga!" dia berteriak memberi perintah.
An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya. Akan tetapi,
di waktu marah dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan
latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw
Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguh pun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan
lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat
permusuhan, apa lagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka.
Maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka
dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak
terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biar pun mengiriskan namun tidak
pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan
mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah. Pedang mereka berkelebatan. Kalau
ada pihak lawan yang roboh, tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka
atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh
mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar
dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali. Cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk
meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian
menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini menghadapi delapan belas
orang pendekar Bu-tong-pai itu. Kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah
berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok
musuh.
Betapa pun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan
yang jumlahnya jauh lebih banyak, apa lagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang
kang-ouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe
Eng-hiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan perlawanan sampai
titik darah terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang
biasanya menjadi tempat pertemuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hari itu berubah menjadi tempat
yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu
silat lebih tinggi dari-pada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk
ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biar pun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang
yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang
banyak dan dekat.
Akhirnya sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa
ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi
sebagai seorang tawanan. Betapa pun juga orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk
membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.
Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup
untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkang-nya. Tiong-gi-kiam di tangannya
menyusul berkelebat, membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang
lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.
"An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee
ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan
tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau
tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa!
"Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil
menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para
pengeroyoknya.
Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki
gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan?
Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih
ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja
bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya
mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua.
Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping
lebar yang mereka kenal sebagai kakek nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu
bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamatamati
saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu,
juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu
benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian Kok yang mendengar ucapan itu menjadi terkejut sekali. Cepat dia memandang. Terlihat olehnya
seorang kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar seperti yang biasa digunakan
para nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu.
Dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang
mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai.
Otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu
Shan pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw
Sian Kok.
"Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya. Pedangnya
mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan
memutar senjata itu menyerang.
Dengan tenang kakek itu menghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang
anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka sekali ini Ouw Sian Kok tidak
bersikap tanggung-tanggung, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan.
Akan tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali.
Ouw Sian Kok bersikap waspada. Ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke
depan menyambutnya, dia cepat menggerakkan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga
sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar
pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tetapi tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian
Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu yang
menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena tali
itu kecil saja. Tahu-tahu mata pancing itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolaholah
Ouw Sian Kok dijadikan ‘ikan’ yang terkena pancing!
Ouw Sian Kok terkejut dan marah. Dia bergerak hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek
itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan
terbanting keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di
udara.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan kagum melihat betapa
mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!
Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkang-nya dan dia telah menggunakan ilmu
dunia-kangouw.blogspot.com
memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu
melengkung seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.
"Tidak buruk...!" kakek itu berseru kagum juga.
Akan tetapi karena dia masih memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok
tidak dapat melepaskan diri. Ia hanya melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan
dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakkan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.
Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan...! Lo-cianpwe, mohon Lo-cianpwe sudi
mengampuninya...!!"
Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut. Dia menghentikan usahanya untuk menyerang
atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang
ajar!"
"Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu, orang muda!" Tali pancing itu mengendur dan
tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak bergerak, hanya
menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat.
Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "Angoanswe
harap suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu."
Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia
pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik
bersahabat dari-pada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan
sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi
isyarat kepada orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee.
Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguh pun para anak buah dan
pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang
seorang sudah tertawan, mengapa dibebaskan lagi? Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan
berbahaya?
Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan
diri berlutut. "Lo-cianpwe...," katanya dan melanjutkan katanya dengan tangis yang menyedihkan.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan
Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya."
Liu Bwee tersadar setelah mendengar ucapan ini. Cepat ia menghapus air matanya, lalu berkata kepada
Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan
mengasingkan diri sebagai seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan beliau...."
Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini
dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi,
karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini. Hatinya makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada
Lo-cianpwe," katanya.
Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah bertobat! Sudah
puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau merubah dan mencari
keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah
kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian
hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikut
bersamaku, segala hal mungkin saja terjadi.”
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang. Biar pun mulut mereka tidak saling bicara, namun hati
mereka sudah saling menerima getaran. Mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka tidak
berpisah, mereka akan merasa cukup kuat, berani, tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu menganggukdunia-
kangouw.blogspot.com
angguk tanpa bicara lagi.
Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan aku
menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan
urusanku untuk mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini."
An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Lo-cianpwe, saya
mohon petunjuk Lo-cianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka
untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasehat dari
kakek sakti itu.
Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan dan makin
lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah
terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang diputar
cepat itu. "Yang lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada
yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua, mati dan
diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan
dilanda kematian dan kesengsaraan. Ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan
pula!”
Suara melengking dan nyanyian terhenti. Semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan
arti nyanyian itu. Ketika mereka memandang, tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal
sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!"
Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu
menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar, kemudian lenyap di
balik gunung!
An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian itu,
menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang
terkenal ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan
terguling, yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya
menggulingkan pemerintahan lama pasti akan berhasil.
Apa lagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi
korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang
tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan dan
keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukkan
dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti, bahwa biar pun An Lu Shan behasil merampas tahta
kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang
pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki
tangannya sendiri!
Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga,
yang muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya
sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang
belum dimilikinya.
Manusia tidak mau melihat apa adanya, tidak mau mempedulikan ‘yang begini’ melainkan selalu
mengarahkan pandang matanya kepada ‘yang begitu’, yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan
keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa ‘yang begitu’ tadi, artinya belum
diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi ‘yang begini’ pula dan mata
akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada ‘yang begitu’, ialah hal lain yang
belum dimilikinya.
Betapa akan berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukkan pandang mata kita kepada ‘yang
begini’, kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan
mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun
dunia-kangouw.blogspot.com
terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik,
benda apa pun juga, di mana pun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh
keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, untung dan rugi, aku
dan engkau. Kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian,
kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka.
Kita tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan
lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan
pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan
dua orang itu.
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng
puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Butong-
pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Liong bersama Swat
Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke
pegunungan Bu-tong-san.
Biar pun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat
dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang
amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki
gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas
salah satu di antara puncak-puncak pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai," Sin Liong berkata ketika mereka berhenti
sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher.
"Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau
mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!"
Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan
sumoi-nya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan
sumoi-nya dalam keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu
dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong.
Andai kata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin
mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi
bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan
memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah-bundanya. Hal ini
menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin
berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapa pun juga. Tidak membantu, tentu Swat
Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya!
Mereka sudah mendekati puncak di mana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi, kau serahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan
suka menerima alasan kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya,
kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran
sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnya Bu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan
mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup, tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar
itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar. Tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya
dunia-kangouw.blogspot.com
beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan memandang
tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong!
Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin Liong cepat menjura
dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan para Lo-cianpwe dari Bu-tong-pai?"
Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong. Tosu tua yang berada paling
depan lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum
diperintah!"
Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah perkasa yang tadi
bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan
mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing.
Melihat ini timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak
menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!"
Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona
hendak bertemu dengan ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada
keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak. Ia memandang kaget dan heran. "Eh...? Benarkah ini? Kami... kami tidak datang
mencari Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu saling pandang. Seorang di antara mereka, seorang tosu pula yang tinggi
besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, kemudian bertanya, "Kalau begitu, siapakah yang Nona
cari?"
"Kami mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk
maju. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanannya
menotok ke arah leher.
Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali.
Apa lagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa
pukulan yang menandakan bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiittt...!!" dia melengking
panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut.
"Dukkkk... plakkk...!!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat, sedangkan tangan
yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukkan kepala sedikit, kemudian jari tangannya
mendahului sehingga dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan.
Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat
lengannya tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak
menendang.
"Desss...!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras!
Semua orang terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sute-nya, tingkat
kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja?
Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas
kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya
orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu.
Melihat tosu muka hitam roboh, para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainnya lalu serentak menyerbu, didahului
oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu.
Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta
mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi? Bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun
yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!"
Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya seperti hendak menyebarkan maut.
Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata...!!"
Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar seruanseruan
kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang
tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahui sebabnya!
Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang berlaku sabar
dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak
berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk
mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tongpai.
Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara
membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya."
"Apa...? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis itu?"
"Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan
kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh
sekalian!"
"Siancai...! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut yang tidak bergigi
lagi. "Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalah-pahaman ini.
Semua ini gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu
menaruh curiga kepada siapa pun. Silakan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"
Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tong-pai itu
dan dipersilakan duduk di ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya,
"Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan dengan The
Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The
Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi."
“Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan
diri sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan
tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah
menjadi ketua Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul ke sini."
Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua
orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es!
Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Kui Tek Tojin kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin
yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu dengan kekerasan merampas kedudukan ketua dan diam-diam
mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal,
dia menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan
diri bersama para pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alih Bu-tong-pai kembali dan
belum lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat
menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak
bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cappwe
Eng-hiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan
terhadap pemberontakan An Lu Shan."
Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali. Jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tongsan,
hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah
menjadi orang buruan pemerintah.
"Aihhh... ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beri-tahukan bahwa kalau tidak salah dugaan
kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana,
tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan di mana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri
karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya.
“Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The
Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa Bangkai, di kaki pegunungan Luliang-
san, tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat
sudah bangkit berdiri.
Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati.
Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat berbahaya. Selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo
Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini
sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima kasih atas peringatan Lo-cianpwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun
merasa amat tidak enak telah mengganggu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya
pergi dari situ. Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap.
Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar
biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti
gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang
muda itu seperti dewa!"
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"
"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat
berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong mengangguk, mengeluarkan sapu-tangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan
dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh
semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat.
Sin Liong memandang sumoi-nya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoi-nya. Seorang dara
muda seperti sumoi-nya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal
seorang dara muda seperti sumoi-nya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup
aman tenteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersendaugurau,
tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakkan
alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan
pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, berteduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat
panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.
"Suheng...," sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang
cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari
tangannya, kemudian dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya.
"Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong
juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang
rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulaupulau
di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari
sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga,
"Kalau sudah bertemu dengan ibu?"
"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu terasa aneh
kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup bersama ibumu...."
"Dan kau?"
"Aku? Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada
tugas. Aku bebas seperti burung di udara, terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah
sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana
pula andai kata Ibu... ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan. Dihadapkan dengan kemungkinan
kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berpikir, kemudian menjawab
tanpa keraguan sedikit pun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab.
Swat Hong berkata lagi, "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan
yang kau idam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan,
akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi
wakil orang tuamu. Aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri
seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi
rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoi-nya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali
mengapa sumoi-nya mendadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan
keinginannya yang baik terhadap sumoi-nya yang akan dibelanya itu. "Sumoi...!" dia memanggil dan gadis
itu membalikan tubuh.
Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoi-nya itu, biar pun tidak sesenggukan, tapi telah menangis.
Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk
matanya.
"Suheng, engkau... engkau kejam...!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan
menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya
membanjir ke luar dari celah-celah jari tangannya.
Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam...?" Dia seperti hendak bertanya kepada
bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam.
Swat Hong memeras air matanya, menghapus muka dengan sapu-tangan, kemudian mengangkat
mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak
membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar kau dapat bebas merantau seorang
diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau
seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi... uh-uh-uh... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat
bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang...!"
"Eh-eh, Sumoi..., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang
pernikahan itu.... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau
cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau
berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu
saja?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku hanya akan menikah kalau engkau
sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.
Sin Liong membelalakkan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan
menikah, Sumoi!"
Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suheng-nya,
disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi
engkau seorang wanita...."
"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak
akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"
Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang
marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoi-nya itu hanyalah terdorong oleh
kemarahan. Kalau kelak sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling
mencinta, tentu pendirian sumoi-nya tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat
membayangkan seorang dara seperti sumoi-nya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari
keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sampai lama suheng-nya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya.
Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan sapu-tangan dan dia pindah duduk dekat suheng-nya.
Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoi-nya.
"Suheng...."
"Hemmm...?"
"Kau marah kepadaku?"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya
betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada seorang yang marah di sini,
agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk
menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian
terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah
menanti jawaban dengan tidak sabar lagi. "Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan
ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah,
berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda,
kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suheng-nya. Sampai lama dia diam
saja, kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan
pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya
mengangguk sambil memandang wajah sumoi-nya penuh selidik. Apa lagi yang akan dikemukaan sumoinya
ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika
saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan
pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta birahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa
Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang
mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga
timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan, bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak,
aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya
kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmm, sama sekali tidak. Apa lagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cintai?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku...?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoi-nya ini. Ketika dia mengangkat muka
memandang, dia melihat sumoi-nya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoi-nya
yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar
matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang
menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu
pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang
adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu.
Aku merasa sebagai pengganti ayah-bundamu. Aku akan merasa berbahagia kalau bisa melihatmu
bahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum...."
"Sudahlah... sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong
sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya
untuk menyusul sumoi-nya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk
melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai
yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa
ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak
orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya
saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali.
Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orangorang
itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan
tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orang-orang yang
sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh. Wajah mereka keruh
dan marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam,
senjata yang aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak
mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka
bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti katak, kadang-kadang berloncatan!
"Kalian mau apa? Pergi...!!" Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat
orang katai terdekat.
Akan tetapi betapa herannya ketika melihat empat kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin
kosong. Dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelak,
bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah," Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar
sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan. "Kita
hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut. Akan tetapi melihat hasil
tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka
dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan suheng-nya. Mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan punggung saling membelakangi hampir bersentuhan.
Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari
terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia
memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya
mata mereka yang melirik ke kanan-kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka.
"Harap Cuwi jangan salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi
sekalian atau siapa pun juga di tempat ini. Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai.
Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali."
Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan
membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda-mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak,
namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan.
Salah satu di antara orang kerdil itu bertanya sambil terus mengelilingi mereka berdua, "Mau apa kalian
mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang kerdil
menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!"
Mata orang-orang itu melotot, namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu. Orang yang
memegang sebatang golok besar bercincin empat, agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan
kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau kubunuh mampus!" jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja.
Serentak terdengar mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang
untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara
yang disertai khikang. Tentu saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak
dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.
Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba si pemegang golok bercincin
berteriak. Mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu mereka menyerang
sambil lari, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja
amat berbahaya.
Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan
pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Trang-trang-cringgg...!!" bunyi senjata tajam bertemu.
Terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat
pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari
pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup membuat mereka
maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh
melebihi mereka. Maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau
mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada
temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suheng-nya
yang hanya bertahan dan melindungi diri saja. Hal itu dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu ‘memberi
hati’ kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu.
Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking
yang tinggi dan dahsyat. Pedangnya berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung
tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang
terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil
ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi
pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan
roboh semua. Si kerdil bergolok yang memimpin mereka segera mengeluarkan suitan aneh dan
gerombolan itu lalu melarikan diri sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka. Si pemegang
golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan
kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!"
"Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak.
"Heh-heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" si pemegang golok
mengejek.
"Keparat, siapa takut?" Swat Hong melompat dan mengejar.
"Sumoi...!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah
marah sekali, apa lagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin segera
berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Melihat sumoi-nya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar.
Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki daerah yang tandus
berbatu-batu. Di tempat itu terdapat banyak goa batu yang besar-besar, dan dari luar tampak menghitam
karena di sebelah dalam goa tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari belakang Sin Liong
melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan
memasuki goa-goa di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah goa terbesar dan yang
berada di tengah-tengah di antara semua goa.
"Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena Swat
Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam goa besar.
"Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan
terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki goa besar itu. Goa itu gelap sekali, gelap dan sunyi.
"Sumoi...!!" dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari
berbagai jurusan!
Sin Liong terkejut dan dapat menduga bahwa goa itu merupakan terowongan yang bercabang-cabang. Dia
maju terus dan benar saja dugaannya, goa yang gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan
terowongan yang bersimpang tiga!
"Sumoi...!!" dia berteriak lagi, dan jauh dari depan terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali
berturut-turut!
"Celaka," pikirnya. "Kita telah terjebak!"
Akan tetapi dia harus dapat menemukan sumoi-nya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap
orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa,
ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari yang masuk dan memantul sampai
ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan
terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!
"Aihhh...!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak memanggil, "Sumoi...!" gema suaranya
mengaung dan membuat panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah!
Dia lari memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah. Tidak terlihat bekas tapak sepatu
sumoi-nya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan
ini panjang sekali, menurut taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya. Hatinya makin risau. Sudah
begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknya pun belum
ditemukan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sumoi...!!" dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau
dalam gunung yang cukup lebar.
Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan, dan dari depan, kanan dan kiri menyambar
sinar-sinar hitam. Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu
adalah anak panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang
berubah menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis
dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh dengan anak panah hitam yang
agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana nasib sumoi-nya di tempat berbahaya ini?
"Sumoi...!!"
Sambil berteriak dia segera membalikkan tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu berlari
kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu, sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi.
Kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoi-nya. "Swat Hong...! Han
Swat Hong...!!"
Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga dinding terowongan itu menjadi
tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking
panjang. Sin Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini dia merasa
sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoi-nya
memasuki goa-goa rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan!
Dia berlari terus dengan hati gelisah, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan karena dia maklum bahwa
tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan
manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat goa-goa dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan
tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan
yang jahat!
"Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan
jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui.
Ia terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tiba-tiba sekali, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang
terinjak olehnya tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjangnya ada tiga meter,
terbuka secara tiba-tiba. Kalau dia tadi tidak berhasil meloncat dan lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam
jurang itu. Terdengar suara mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan
bau amis membuat Sin Liong bergidik. Tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular
berbisa! Jebakan yang amat keji!
"Keparat...!" desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan
mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan.
Dia melompati lubang itu dan melanjutkan larinya. Ketika dia berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti di
jalan buntu yang merupakan sebuah ruangan besar pula. Bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang,
entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar matahari dapat masuk.
Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya
pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua
dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar. Kumis dan jenggotnya panjang,
sedangkan bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang
yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh.
Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu
rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan
kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap dan besar membayangkan
kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan
brewok tebal menghitam.
Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dari
pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan lucu. Orang kedua yang brewok dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang daripada
tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik.
Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biar pun dilanda kekhawatiran,
masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-lo-cianpwe sudi
memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya
kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi
kepada saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani
mengganggu lagi."
Dua orang kakek itu saling pandang. Mereka kemudian tertawa melihat betapa Sin Liong mengamat-amati
dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu
rahasianya. Kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian
memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah
engkau? Dan siapa pula Sumoi-mu itu?"
"Namaku Kwa Sin Liong dan... sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat
ini."
"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"
"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang sama sekali tidak menyangkut diri orang
lain."
Kembali dua orang kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa
kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian
adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan
seperti Sumoi-mu."
Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan
The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoi-nya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan
dengan dia?!" bentaknya.
"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu
menjawab.
Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali. Dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.
"Sing... siuuut... trang-trang...!!" Dua orang kakek itu sudah menggerakkan pedang dan toya, cepat dan
kuat sekali gerakan mereka.
Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong, murid utama Raja Pulau Es yang telah
mewarisi ilmu yang hebat-hebat. Dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakkan
tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras
karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat
lengan mereka seperti hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan
senjata di tangan kiri dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Biar pun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk membunuh
orang. Maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua
tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan-kiri, lalu dengan berani dia
menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong!
Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa
saja. Akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena
tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong berteriak dan mengerahkan tenaga
membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan lawan yang menggenggamnya. Akan tetapi betapa
pun ia mengerahkan tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin Liong.
Demikian pula kakek brewok yang membetot-betot toyanya, percuma saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit dan... tubuh kedua orang kakek itu
terlempar membentur dinding kanan-kiri! Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua
senjata itu, lalu menyerang melalui lengan mereka masing-masing dan memukul dada, membuat dada
terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar di dinding, terengah-engah dan terbelalak
memandang pemuda luar biasa itu. Tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka secara aneh.
"Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun dinding itu sudah tertutup
kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan-kiri.
Sin Liong menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya menghantami dinding
kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin
Liong membuang toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan
sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong Swat Hong?
Teringat akan sumoi-nya ini, dia menjadi panik lagi. Andai kata sumoi-nya berada di sampingnya saat itu,
tentu pemuda ini tidak menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa
sumoi-nya terancam bahaya, benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia merasa bertanggung-jawab akan
keselamatan sumoi-nya, dan dia merasa seolah-olah mendengar suara ayah-bunda dara itu mencelanya,
mengapa dia sampai membiarkan dara itu terancam bahaya.
Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya meraba-raba. Lebih satu jam dia
menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di antara puluhan batu menonjol di
dinding itu! Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap
melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu itu pun hanya
merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi.
Kembali dia berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini.
Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan ke luar. Dia pun
tidak ingin keluar sebelum dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa
mungkin sekarang di ‘dunia luar’ sudah mulai senja. Bagaimana pun juga, dia tidak akan keluar sebelum
menemukan Swat Hong.
Sin Liong berjalan terus, ke mana saja asal bergerak. Dia mulai memperhatikan lorong yang dilaluinya agar
jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat
melangkah maju dengan meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang
mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan
langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk
memancing dan menjebaknya. Betapa pun juga, dia tidak takut!
Dengan hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak olehnya
adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya, kakinya yang melangkah hatihati
tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka
memberi sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak peduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam
berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan
sebatang obor. Kini dia dapat melanjutkan usahanya mencari Swat Hong.
Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang. Sin Liong
cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak
terbatas sekali dan di sebelah sana kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara itu makin lama makin keras
dan akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil yang
mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang berterbangan,
seakan berlomba untuk mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu.
Sin Liong sekarang maklum mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik lebahlebah
itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah
berbahaya, lebah yang sengatannya mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan lebah-lebah
beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai sapu-tangan, menyelipkan pedang di pinggangnya,
dan menggunakan sapu-tangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu. Namun, tertarik oleh
sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut
akan usiran menggunakan sapu-tangan ini. Biar pun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena
dunia-kangouw.blogspot.com
terhalang sapu-tangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong, menanti saat baik untuk
menyerang!
“Celaka,” pikir Sin Liong.
Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa
gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan
putaran sapu-tangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah batu dinding, lalu pergi
menjauh. Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi mepedulikannya setelah dia tidak memegang obor. Kini
binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor.
Sin Liong duduk bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati karena
menyerbu api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak berdosa. Entah
mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri
massal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil
berteriak-teriak, "Aduh...! Aduh, mati aku...!"
Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk
memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya
hanya dengan cara ini dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan
siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu!
Semalaman Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya.
Ketika inilah dia pergunakan untuk beristirahat, biar pun sama sekali dia tidak dapat tidur. Mana mungkin
dia tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong seperti itu? Betapa pun juga, dia dapat melepaskan
lelah dan memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan.
Dia menghela napas panjang. Biar pun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti, sesungguhnya
dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan cinta
kasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena
memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat
hatinya terasa seperti ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati Swat Hong
dengan menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, tidak mencinta seperti harapan gadis itu. Tidak
mungkin dia mau melibatkan diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya
hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.
Lihat saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja
yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih birahi seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah
Soan Cu, yang menjadi gila karena kematian isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang
hanya akan berakhir dengan kesengsaraan. Masih banyak lagi contoh-contoh.
Cinta kasih yang terdorong oleh birahi dan kesengsaran ini pasti akan disusul dengan keinginan memiliki,
menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka
karena kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain. Pengikatan diri kepada
sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya
sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan.
Yang paling menimbulkan sesal dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap
cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan mendatangkan kekecewaan kepada mereka. Namun dia pun yakin
bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong,
sudah tertarik kepada seorang laki-laki lain, kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi.
Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk melanjukan siasatnya,
Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang telah padam, rebah di antara bangkai-bangkai lebah
yang hangus. Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai
mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang datang menghampirinya!
Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu bersama enam orang kerdil lain. Mereka
segera menghampiri dan merubungnya, bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan
tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan detak jantung dan pernapasannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia telah mati...!!" terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring.
"Kita laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang.
Pada saat itu pula Sin Liong membalikkan tubuhnya. Tangannya menyambar dan dia telah menangkap
lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan
lenyap di balik dinding melalui pintu-pintu rahasia, meninggalkan si kerdil yang telah roboh tertotok.
Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja.
Sin Liong lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik, "Hayo tunjukkan
aku di mana teman wanitaku itu ditawan!"
Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku... aku tidak tahu...."
"Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya. Kalau kau mengaku terus
terang, aku akan membebaskanmu."
"Aku... aku tidak berani...," kata orang itu kemudian, suaranya mengandung rasa takut dan dia menoleh ke
kanan-kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar oleh dinding di kanan-kirinya.
"Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi kau
menunjukkan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu."
"Aku... aku takut... takut disiksa...," orang itu berkata setengah menangis.
Sin Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus mengeraskan hati. Apa boleh buat,
demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu, memijit jalan darah
sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku? Nah, kau tunjukan atau
kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama hidupmu!"
Orang itu menyeringai, makin lama makin lebar. Tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang
menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling,
menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku... atau bunuh aku
saja...."
Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu dan
juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat sahabatku itu, selama hidup
kau akan menderita seperti ini!"
"Tolong... aduhhh.... Baik, kutunjukkan tempatnya... tapi... tapi bebaskan dulu aku...."
Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang itu yang segera
menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan
ngeri.
"Aku akan menunjukkan tempatnya, akan tetapi... kau harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka
bukanlah aku pembunuhnya."
Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi,
melainkan berkata dengan suara terengah, "Lekas... tunjukkan...!" dan dia menyambar pergelangan tangan
orang itu agar jangan sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia.
Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong. Ternyata lorong-lorong itu amat ruwet
bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya.
“Pantas saja aku tidak berhasil,” pikir Sin Liong dengan rasa kagum.
Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya,
tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata. Dindingnya lebar sempit, di lantainya banyak terdapat
dunia-kangouw.blogspot.com
gundukan-gundukan batu pedang, serta dari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka
berada di dalam goa-goa besar yang berbeda sekali dengan goa-goa dari mana Sin Liong dan Swat Hong
masuk.
"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suaranya gemetar karena dia merasa tegang sekali.
Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik
untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!
"Di mana dia? Hayo katakan!" dia mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh orang itu menggigil. "Dia... di dalam goa sana itu.... Lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"
"Hayo kita ke sana!"
"Tidak... tidak, aku takut...! Mereka menjebaknya di sana. Tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa yang
mengerikan. Kurasa dia sudah tewas...."
Sin Liong tidak peduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong,
melalui batu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar
suara lirih.
"Sumoi...!" Sin Liong berteriak.
"Suheng... aihhh... Suheng...!" terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.
Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai
terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak
mempedulikannya lagi. Dia sudah memasuki goa dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara
Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang diangkat tinggitinggi
dan tangan kiri siap di depan dada.
Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan
sepasang anggota bulat seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang labalaba
yang bukan main besarnya. Benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali
dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga
kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat
dilepaskan lagi.
Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng..., cepat kau bunuh binatang
menjijikan itu...!"
Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan
hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat
hidup. Akan tetapi dia tidak mempedulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong
sumoi-nya.
"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan
terharunya.
Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat sekali dan
tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin
Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali. Sin Liong menggerakkan
pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus. Kemudian dia melangkah maju, mengelak dari
sambaran tali ke dua, lalu dari samping dia menggerakkan kaki menendang.
"Desss...!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun dia terlempar setelah terkena tendangan
kaki Sin Liong, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih
ke arah Sin Liong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah
lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat
Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu
mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakkan pedangnya
karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang
melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan
runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah.
Gadis itu telah lemas sekali, dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda
itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong tubuh sumoi-nya yang lemas menjauhi
tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoi-nya yang duduk
bersandar batu.
"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoi-nya. Detak jantungnya
lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa
sumoi-nya itu telah keracunan!
"Untung... untung kau datang, Suheng... Kalau tidak... aku sudah hampir tidak kuat...." Gadis itu tiba-tiba
merangkul dan menangis dipundak Sin Liong.
Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu
beracun, kau terkena hawa beracun. Akan tetapi, berapa lama kau tertawan seperti itu?"
"Sejak malam tadi.... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah, mari aku membantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."
"Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu...." Swat Hong berkata terengah-engah. "Ceritaku akan
dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram hatiku, Suheng."
Sin Liong mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biar pun terserang hawa beracun namun keadaan
Swat Hong tidak berbahaya, dan malah ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu
malam itu lebih berbahaya. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat
mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan ke luar dan dapat
meringankan hati yang tertekan.
"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak
berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa
mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat
pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa
orang kerdil lari memasuki goa ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir
asal dapat menangkap seorang di antara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres.
Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam goa ini, aku menerjang dan melompat maju,
bermaksud menangkap seorang di antara mereka."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian. Diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoi-nya dengan
pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya
sayangnya, sumoi-nya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan.
"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku
tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang
mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu
begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit. Aku pingsan entah beberapa kali."
"Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguh pun aku merasa heran sekali...."
"Dapat kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng. Ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang
mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu
bergerak, dan laba-laba itu... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu.... Ihh,
melihat kaki yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi, yang penting engkau dapat terhindar. Hanya
satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia
amat berbisa."
"Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan
mengeluarkan cahaya hijau.
"Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani
menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi.
Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
"Baik, Suheng... aku.... ahhhh...." Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan!
Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoi-nya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena begitu
memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoi-nya tidak seringan yang diduganya semula.
Hal ini adalah karena tadi sumoi-nya meletakkan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada
pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatannya hanya ringan.
Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan
hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan.
Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat
Hong mengeluh lirih dan membuka matanya.
"Sumoi, kau ternyata terluka cukup hebat di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kau
buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak
tertutup pakaian," suara Sin Liong sungguh-sungguh.
Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya sesak
sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan
membiarkan punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh... ahhh, panas sekali... Ah, Suheng, badanku
seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu
merosot.
"Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."
Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu menyalurkan tenaga sinkang yang dingin,
menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas
sekali. Setelah telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan
hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono, mengira luka sumoi-nya tadi ringan
saja sehingga tidak segera mengobati sumoi-nya.
Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang
menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di
punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong
akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan
membelanya.
Dia tahu bahwa mengerahkan Swat-im-sinkang untuk mengusir hawa beracun yang panas itu
membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apa lagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hati-hati
sehingga akan menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya
yang telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suheng-nya
itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suhengnya
mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu.
Sin Liong tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoi-nya terlalu lelah sehingga tidak kuat
membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai
meneteskan keringat dan dia memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam
usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoi-nya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan
antara tenaga Swat-im-sinkang yang mengusir hawa beracun panas, melainkan juga tersiksa oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
perasaannya sendiri yang tidak karuan. Sin Liong tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan
kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan di mukanya tidak hanya peluh yang menetes, melainkan
juga air mata!
Juga kedua orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri
tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan sederhana
bentuknya, namun yang terbuat dari kain yang mahal. Jenggotnya yang panjang terpelihara rapi, sudah
banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan
pembungkus rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas.
Wajah kakek ini biar pun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang
membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek.
Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia
lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertapa yang agung.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong yang
telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang melengkung indah itu, yang berakhir
membesar di pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot. Dari samping punggung
tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang dipegang oleh
tangan Swat Hong. Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat
juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan mudah membangkitkan
birahi seorang pria yang memang benaknya penuh terisi oleh khayalan-khayalan cabul!
Siapakah kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat
punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang pertapa yang belum lama turun dari pertapaannya
di lereng pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar, merantau ke
barat dan akhirnya bertapa di lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari
ilmu.
Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya di Himalaya,
dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran
kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Karena di dalam dirinya memang belum benarbenar
bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan
mencari jalan ke luar. Dengan bantuan ilmu sihirnya, pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi seorang
pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa pun demi mencapai kenikmatan dan
kesenangan dunia.
Nama pendeta ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi lebihlebih
lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan.
Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu inilah, yang merupakan obat ‘guna-guna’, maka An Lu Shan yang
kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui!
Bertapa atau melakukan segala usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu belaka,
karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri.
Penekanan hanyalah akan menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah
berarti bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan
meledaklah nafsu yang ditahan-tahan.
Seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu dapat membakar, karena yang menekan nafsu ini pun
sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama yang kita berikan kepadanya.
Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran setan yang
tiada berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan masyarakat agar tidak melihat lagi
wanita dan timbul nafsu birahi kalau nafsu birahi itu sendiri masih bercokol di dalam batinnya, kalau dirinya
sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu birahi yang masih bercokol di dalam batin itu!
Sebaliknya, biar pun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau memang tidak ada nafsu birahi, di
dalam hatinya sama sekali bersih, pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin. Jadi yang
penting bukanlah mencari pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini sebagai
contoh adalah nafsu birahi, melainkan membebaskan diri dari nafsu birahi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kebebasan ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal benar diri sendiri, mengenal
nafsu birahi yang membakar kita, dan tak mungkin kita dapat mengenal tanpa kita mempelajari,
mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha untuk menundukkannya! Dengan pengamatan ini
maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari pengamatan akan timbul pengertian, dari
pengertian akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan palsu atau pelarian.
Demikianlah halnya dengan Ouwyang Cin Cu. Karena puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan dan
menekan nafsu, setelah kini dia menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh jalan mudah untuk
melampiaskan nafsu-nafsunya, dia membiarkan nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah untuk
menebus pertapaannya yang selama puluhan tahun itu! Begitu turun gunung kembali ke timur untuk
menikmati seluruh sisa hidupnya dengan segala macam kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia
mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan.
Memang dia seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan terbuka baginya untuk mencari
kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia mengunjungi An Lu Shan dan dengan
demonstrasi kepandaiannya, baik silat mau pun sihir, dia diterima dengan tangan terbuka dan diberi
kedudukan tinggi, yaitu penasehat urusan dalam dari Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi
penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah Ouwyang Cin
Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan,
kehormatan, dan pelampiasan nafsu birahinya karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda
yang cantik-cantik untuk kakek ini!
Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai, karena An Lu
Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat
untuk menarik kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini menunjukan kecerdikan
Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu silat
yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka gulingkan
dan rampas. Kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang
kuat, kelak tentu akan menjadi penghalang dan saingan belaka.
Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya dapat diawasi selain tenaganya
dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga dia akan merasa lebih aman dan terjamin
keselamatannya. Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima
orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil
dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat pribadinya yang
dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi istananya untuk mengadakan
perundingan.
Kedatangan Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat Lin
dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan
rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah
tanah, dari balik gunung yang dijaga oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki
tangannya. Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan
kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa.
Betapa kagetnya semua orang ketika melihat seorang kakek datang menunggangi seekor harimau! The
Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin
Cu yang masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih
lengkap.
"Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?"
"Benar, siapakah Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini menunjukan bahwa dia
adalah seorang yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa juga amat cantik.
Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia
menggosok kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi.
Asap itu membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul surat! Tentu saja The Kwat Lin dan
Kiam-mo Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap yang hebat ini. The Kwat Lin menerima
surat itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan... wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas!
"Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun dari atas punggung
harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di
angkasa!
Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu tentu saja
tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya
mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin
Cu! Padahal yang menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!"
Ouwyang Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah ada
kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu, biar pun usianya sudah enam
puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya bersinar-sinar penuh nafsu birahi! Sebaliknya
Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenali Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biar pun usianya sudah
setengah abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak
mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka!
Ouwyang Cin Cu tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu sulap? Kita berdua
suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanpa menutupi badan sama sekali, bukan?"
Kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit saking kaget dan ngerinya.
Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian
sama sekali, telanjang bulat sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik
dan melihat bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan perubahan apa-apa, tahulah dia
bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka berdua! Dia pun tersenyum dan
menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh
Ouwyang Cin Cu kepadanya.
Pertapa cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li.
Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan
gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia
pun tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia
pura-pura tidak tahu.
Persiapan lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan.
Akan tetapi sebelum mereka berangkat, terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang
dikabarkan oleh orang-orang kerdil kepada mereka. Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang
datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia
tahu bahwa biar pun dia jarang bertemu tandingan di daratan besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun
menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh main-main. Apa lagi menghadapi Sin Liong yang dia
tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas
suaminya, Han Ti Ong!
"Aihh... mereka datang...??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.
Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The Kwat
Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan
takut!
"Siapakah mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah menjadi
sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan cici.
"Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau Es. Kwa Sin
Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong adalah puterinya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak
baik.
"Habis, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atur jebakan agar mereka
terperosok. Kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini, berbahaya sekali!" kata Kwat Lin, masih
tetap takut.
"Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan Ibu
sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan kita hancurkan mereka!" tiba-tiba
Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa.
Mendengar ini Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu. "Engkau hebat sekali,
Han-kongcu! Masih sekecil ini sudah memiliki keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap.
Biarlah para orang kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah pinto yang menghadapi
mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka sebagai tawanan atau sebagai mayat."
Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak Sin Liong dan
Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu. The
Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah, setelah Sin Liong
berhasil menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi
ketelanjangan punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu.
Melihat betapa pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun dengan pengerahan sinkang, dia menjadi
kagum sekali kepada pemuda itu. Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh
kecabulan itu. Birahinya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang putih mulus dari Swat
Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda dan pemudi di dalam goa itu masih murni, maka
timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!
Memang demikianlah! Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berjinah sendiri dengan orang yang
menimbulkan birahinya, melainkan juga dapat berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain
cinta. Hal ini juga timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun
dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh. Jika dia berhasil menggunakan sihir
dan guna-guna untuk membuat pemuda itu ‘jatuh’ tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu,
akan mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.
Bagaikan bayangan setan saja kakek itu menyelinap di balik batu. Tak lama kemudian tampak asap
mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah
duduk bersila, kedua lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak
memandang seperti sepasang mata setan!
Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan latihanlatihan
yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan mukjijat yang hanya dikenal
oleh mereka yang memuja setan, iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya, ditambah dengan
kekuatan dari tenaga sakti (sinkang) dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga.
Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa membara
sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api membara di ujung dupa itu membesar atau
mengecil, mengepulkan asap atau tidak menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan
matanya yang tajam itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai menjatuhkan
sihirnya. Matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik membaca
mantra.
Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mukjijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja
Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoi-nya, juga memang
sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh dan sejak
tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suheng-nya menyentuh
punggungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh
rasa cintanya kepada suheng-nya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir,
Swat Hong mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya
berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak
peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan dadanya, merosot dan terbuka.
Setelah gelisah bergerak ke kanan-kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada suheng-nya yang
masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam.
"Iihhh... aahhh... Suheng...!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikkan tubuhnya dan serta merta merangkul
leher Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis.
Sin Liong membuka matanya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoi-nya
dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya.
"Su... Sumoi!" dia berseru.
Barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang matanya menjadi berkunang dan
hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoinya
mendekap ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak halus dan hangat. Jantungnya
berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah memperketat pelukannya dan
menciumnya.
"Suheng...!"
Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa seolah-olah dia terseret oleh arus yang amat dahsyat, yang
membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang memaksa kedua lengannya merangkul dan mendekap.
Namun seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan
membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabuk itu.
Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah
dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar,
tidak dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah manusia
biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir yang amat mukjijat, biar pun dia sendiri belum tahu bahwa ada
orang jahil yang mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya telah meninggalkan
hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu.
Mata pemuda itu seperti terbuka begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh jahat. Baru tampak
olehnya kepulan asap yang harum dan keadaan Swat Hong yang tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa
keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat. Begitu telinganya menangkap
suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila
dan meluruskan kedua lengannya ke arah mereka. Dari kedua lengan itu, juga dari kedua matanya,
menyambar tenaga mukjijat ke arah mereka.
Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat serta mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya,
keluar dari mulut Sin Liong dan dia sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran
yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali,
bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu. Dia menjadi pucat
sekali, terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh, pingsan!
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati hasil ilmu
sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara
melengking sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot! Melihat
betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit berdiri.
"Manusia jahat, apa yang telah kau lakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu.
Kakek itu mengerahkan tenaga mukjijatnya, disalurkan melalui tangan kanannya yang jari-jari tangannya
terbuka dan diselonjorkan ke arah muka Sin Liong. Ia memandang tajam sambil berkata, "Orang muda
berlututlah kau di depan Ouwyang Cin Cu...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap orang lawan akan dapat
dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya memandang
kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya
dengan suara berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu
sama sekali tidak terpengaruh.
Tentu saja Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga mukjijat ini. Dia merasa betapa ada hawa yang
menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan seperti
ada kekuatan mukjijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Namun dia
mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu,
melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang dianggapnya jahat itu.
Melihat betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi penasaran sekali.
Sihirnya boleh gagal, akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik
menarik. Usahanya menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh
saja dan dara itu ditawan!
"Mampuslah kau!" bentaknya penasaran.
Kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan menerkam kepada Sin Liong seperti
seekor serigala. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan
kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan.
"Plak! Desss...!" Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh kakek itu terdorong
ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang sanggup membuyarkan
ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh!
Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa, Ouwyang Cin Cu meloncat,
membalikkan tubuhnya dan lari!
Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es ketika mendengar akan
kedatangan pemuda dan pemudi ini, dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu kelihatan takuttakut.
Kiranya pemuda ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena
menghadapi seorang diri saja amat berbahaya.
Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin, segera mengejar
sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana? Tunggu, kau harus menjawab beberapa
pertanyaanku!"
Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya, akan
tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan
terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari goa di mana Sin Liong meninggalkan
Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul
dekat sekali di belakangnya.
"Kakek jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.
"Haaeeehhhh!!"
Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu membalikkan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru menyambar
ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah
sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar
putih itu adalah jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat
ampuh!
"Hemmm...!!"
Sin Liong yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain curang,
sudah menjaga diri. Maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat
dunia-kangouw.blogspot.com
ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda
itu pandai menghilang! Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan
ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya. Ternyata ketika mengelak tadi pemuda itu telah
mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan tetapi gerakan pemuda itu
sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan
berkelebat dan pemuda itu lenyap.
Berdebar jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti ini!
"Hiaaaahhh!!" dia mengusir rasa gentarnya.
Ouwyang Cin Cu mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang itu berubah
menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing nyaring sekali. Serangan pedang ini
masih dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa
sinkang yang amat kuat. Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini
selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuat dan pedang yang
dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru yang amat ampuh. Akan tetapi kali ini dia
bertemu dengan batunya!
Tubuh Sin Liong berkelebatan. Ke mana pun pedang dan tangan kiri Ouwyang Cin Cu menyerang, selalu
hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai
napasnya terengah-engah.
Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"
"Plakk! Desss....!!"
"Aiiihhh...!!" pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara
berdenting nyaring.
Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong, mendatangkan rasa
nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan
urat, membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada
saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li! Bagaikan dua sosok bayangan
setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara
melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang
juga menyerang tanpa mengeluarkan suara.
"Heeeiiiittttttttt!!! Wir-wirrr... singgg... singgg!!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah bergerak
menyambar menyusul lengkingannya, juga dibarengi menyambarnya rambut panjangnya dan kuku tangan
kirinya yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat!
Namun Sin Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya tanpa suara itu. Dia tahu
bahwa pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih
berbahaya dari-pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu.
"Hemmm...!" Sin Liong mendengus. Kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku, tubuhnya
mencelat menghindari sinar merah pedang The Kwat Lin, dan ujung kakinya yang menendang pergelangan
tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung.
Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata telah
menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok.
"Ahhh!" Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena dia memang
sengaja berlaku lambat. Begitu pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu
batang pedang biru itu.
"Tringgggg... Auuhhh...!" untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan tangan Ouwyang Cin
Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak!
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong meloncat jauh ke belakang,
dunia-kangouw.blogspot.com
lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tunggu dulu!" Suaranya halus, akan tetapi penuh wibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya, memandang kepada pemuda itu
dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang luar biasa ini,
pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan kekerasan dan
yang memiliki sepasang mata yang aneh dan indah.
"Hemmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subo-mu (Ibu Gurumu)!?" bentak The
Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi guncangan hatinya.
"Subo adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk
memenuhi pesan Suhu."
Kembali hati The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya yang dia
tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi pesan
suaminya, hatinya lega karena hal itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang!
"Hemm, pesan apakah dari Suhumu?"
Sin Liong yang memang berwatak polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya,
berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi,
diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es."
Mendengar permintaan ini, tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakkan pedangnya dan
mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali. Pedangnya hanya
tampak sebagai sinar merah yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong. Pemuda ini
kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan berdiri dengan tenang.
"Subo harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es.
Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak mengembalikan pusaka-pusaka itu,
terpaksa teecu...."
"Heiihhh, mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan dengan cepat seperti
seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh sinar merah pedang Ang-bwe-kiam di
tangannya.
Terpaksa Sin Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke pergelangan
tangan yang memegang pedang. Namun bekas ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik kembali
pedangnya dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Ngo-heng
Kiam-sut.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan latihanlatihannya
di Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat latihan sinkangnya
di pulau dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Ang-bwekiam
menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biar pun tubuh belum
sampai tercium pedang.
Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar
pedang yang bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan
tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika
Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya
amat memalukan. Tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang senjatasenjata
pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian!
Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong benar-benar
diuji semua hasil jerih payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir seluruh
ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan kosong
saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan tingkat kepandaian Sin Liong yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur sampai di mana
tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya, dan karena itu dia
dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat
yang dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui
perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya.
Akan tetapi ada dua hal penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan tiga orang lihai
itu. Pertama, harus diakui bahwa biar pun tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat
dan lebih bersih sehingga sinkang-nya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam latihan. Usianya masih
terlalu muda. Dia belum mengalami banyak pertandingan, apa lagi melawan orang-orang yang ahli, tidak
seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan
silat.
Hal kedua merupakan kenyataan yang paling hebat. Sin Liong memiliki dasar watak yang halus budi dan
penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega menjatuhkan pukulan maut, apa lagi
membunuh lawannya. Andai kata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang
hebat, tentu dia akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia
menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya.
Kini menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha sungguh-sungguh untuk
membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apa lagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadangkadang
membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau
salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang dari-pada balas menyerang.
Seratus jurus telah lewat, dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para
pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biar pun di
tempat itu tidak ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan
mengurung tempat itu, orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu
tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus
tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong!
The Kwat Lin selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan. Biar pun tahu betapa lihainya
murid bekas suaminya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang,
maka dia merasa penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat
yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman
yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran. Terutama sekali Ouwyang Cin
Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok
seorang pemuda seperti itu. Hal ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati
mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.
"Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras.
Pedang birunya untuk ke sekian kalinya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan
kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan
The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya
itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping.
"Hiaaattttt!!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi serangan Ouwyang Cin Cu dari
belakang. Kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong, sedangkan pedang payungnya berputarputar
mengancam tengkuk. Dalam detik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut
dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi,
pedang payung bertemu dengan pedang biru.
"Cringgg...!!"
Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main. Tubuhnya sudah
berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Plak! Plak!"
Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar,
sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak
ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!
"Orang muda, lihat ini...!!" tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali.
Pedang birunya diputar-putar sehingga merupakan sinar biru bergulung-gulung di depannya. Sin Liong
mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia
memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti selanjutnya menuruti katakata
kakek itu. Dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sinar biru itu!
"Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah... duduklah kau...!" kembali suara kakek itu mendengung
dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.
Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk
itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan
ilmu hitamnya. Kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkang-nya
untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi,
datang lagi, seolah-olah terjadi ‘pertandingan’ yang tidak tampak. Akan tetapi, karena terlalu mencurahkan
perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkang-nya untuk
melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainnya menjadi berkurang
banyak.
Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu
kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia
didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukkan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul
oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh
hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung im-kang amat dahsyatnya.
Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak.
Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li
dan The Kwat Lin yang memegang pedang. Gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu
memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan! Akan tetapi kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang
beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama,
tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.
"Plakk! Desss...!!" dan tubuh Sin Liong terguling.
Cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara otomatis
hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram. Akan tetapi hantaman tangan kiri The
Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu
sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkang-nya yang
otomatis, sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang hebat
akibat pukulan itu membuat dia pingsan!
Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya
ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin
Liong untuk membunuhnya.
"Wuuuttt... plakkk!”
“Ehhh?! Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak
kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini.
Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti. Matanya yang indah itu memandang dengan lirikan yang memikat.
"Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan.
"Dia adalah sin-tong. Kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Huh, kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela, akan tetapi tidak berani turun tangan lagi.
"Tidak, dia harus dibunuh! Kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan sampai ada
bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular,
juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!"
"Ah, ya... gadis itu...!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera
berlari ke dalam goa terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu
begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Cai-li!
Akan tetapi tak lama kemudian dia kembali dengan muka berubah. "Dia... dia tidak ada!"
"Apa...?!" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat.
"Kalau begitu... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular, kemudian cari gadis itu sampai dapat...!”
The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka menuju ke
sebuah sumur di dalam goa terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter, namun dalamnya
sukar diukur karena amat gelap. Dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu
penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh
bercampur amis.
Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur. Mereka semua
menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada
ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang
pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan....
"Cepat kerahkan orang untuk mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata.
Sibuklah mereka semua mencari Swat Hong. Namun sampai habis seluruh lorong terowongan itu dijelajahi
dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan gadis itu yang seolaholah
lenyap ditelan bumi!
"Heran sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka
bertiga kembali berkumpul di dalam goa di depan sumur ular.
"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira. Andai kata dia berhasil melarikan diri,
biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat
betapa The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat.
"Aihhh... kau tidak tahu...! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh..., aku takut kalau-kalau...."
"Mengapa? Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.
"Kalau ayahnya yang datang, kita pasti celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apa lagi
gurunya..."
"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
"Raja Pulau Es?" Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan-kiri, karena gentar juga
mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo
Cai-li.
"Benar, kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu
karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.
"Memang sebaiknya kita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum yakin benar akan
kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam
sana."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aiihhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu
berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan hal itu.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat ini mengerti betul
bahwa sumur itu merupakan sumur maut. Entah sudah berapa banyak... eh, orang-orang yang aku lempar
ke situ dan tidak pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan sarang
ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa jangankan baru
pemuda itu, biar dewa sekali pun kalau terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!"
Memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke dalam sumur
itu, yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu birahinya. Setelah dia merasa bosan, para
korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa.
"Betapa pun juga, aku masih belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau begitu, kita runtuhkan saja goa ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi baginya walau
pun dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan usulnya.
"Memang baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang katai untuk
meruntuhkan goa itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan tidak ada jalan keluar dari
tempat yang terpendam batu-batu besar itu. Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak buah
mereka meninggalkan Rawa Bangkai secara diam-diam dan terpencar. Mereka melakukan perjalanan ke
utara untuk membantu pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya
untuk menyerbu kota raja.
Ke manakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin!
Andai kata dia siuman dan melihat Sin Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suheng-nya itu, kalau
perlu sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri,
apa lagi suheng-nya terancam bahaya. Tidak, ketika pertolongan itu tiba, dara ini masih dalam keadaan
pingsan.
Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua renta yang bercaping lebar,
berdiri memandang Han Swat Hong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri
dara itu, membetulkan bajunya yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam
goa dengan gerakan yang cepat sekali. Setelah berada di dalam sebuah hutan yang jauh di luar daerah
Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut tengkuk gadis itu beberapa kali.
Swat Hong membuka matanya dan melihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia jatuh lagi
karena tubuhnya masih lemah.
"Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah," suara ini sedemikan halusnya sehingga mengelus hati
Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembali.
Swat Hong duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka
memandang kakek yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu. "Kau... kau siapakah...?"
"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah kau datang dari Pulau Es?"
Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk. "Kau... kau
siapakah...?"
"Hemmm... kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Swat Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Kakek itu tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa tidak tahu kalau Han Ti
Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut. Kiranya dia
berhadapan dengan Kongcouw-nya (kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es
sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini telah menolongnya.
"Ha-ha-ha, kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku tertarik akan
She Han yang diteriakkannya. Melihat engkau berada dalam bahaya, aku segera membawamu ke luar dari
goa ke tempat ini."
"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kongcouw... akan tetapi, di mana Suheng?"
"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suheng-mu?"
"Benar, Kongcouw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh, keadaannya terlalu berbahaya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke
sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum sekali. Kakek
buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun usianya, namun gerakannya masih demikian
ringan dan cepat. Hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu
duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan tenaganya.
Samar-samar teringatlah dia akan peristiwa di dalam goa dan mukanya terasa panas sekali. Teringatlah
dia betapa dia telah menjadi seperti gila di dalam goa itu, ketika suheng-nya mengobatinya dan mengusir
hawa beracun dari tubuhnya. Kalau dia membayangkan peristiwa itu... betapa dia tanpa malu-malu
memeluk suheng-nya, menciumnya... ah, dia bisa mati karena malu!
Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia sendiri masih
tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya dalam mimpi belaka? Kalau sungguh
terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani melakukan hal itu, sungguh pun di sudut
hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suheng-nya. Akan tetapi siapa tahu, di
dalam goa yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu , betapa dia dapat bertemu muka
dengan suheng-nya?
Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu berlalu dengan amat cepatnya
sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia
sadar kembali dan teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ, tahu-tahu sudah duduk
di dekatnya, menghapus keringat dari dahi yang berkeriput itu.
"Aihh...!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong yang sudah membuka mata
dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana, Kongcouw? Mana Suheng?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka sungguh jahat,
Suheng-mu biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suheng-mu tertangkap dan...
terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. Samar-samar dari sepasang bibir itu keluar suara
seperti menggumam, "Terbunuh? Suheng... terbunuh...?"
"Ya, dilempar ke dalam sumur ular...."
"Aahhh...!" Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak di sambar oleh kakek itu. Dara itu
pingsan dengan muka pucat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat menyelami
perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang agaknya mencinta Suheng-nya. Setelah siuman dari pingsannya,
Swat Hong menangis dengan sedihnya.
Kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata dengan suara halus dan penuh
pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena kematian
Suheng-mu itu amat menyedihkan. Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat dan menghadapi
kenyataan seperti apa adanya. Suheng-mu tewas, hal ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah
oleh siapa dan oleh apa pun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berubah biar pun kita akan
berduka sampai menangis air mata darah sekali pun. Karena itu lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah
tenang dan tabah."
Swat Hong menyusut matanya. "Dia... dia adalah satu-satunya orang... setelah aku kehilangan Ibu dan
Ayah...." Swat Hong sukar membendung membanjirnya air mata. Akan tetapi perlahan-lahan,
mendengarkan nasehat kakek buyutnya, dapat juga dia menekan kedukaannya dan menghentikan
tangisnya. "Kongcouw, apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat
Lin dan teman-temannya sudah melarikan diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang
masih tinggal di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suheng-mu dikeroyok dan akhirnya
dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia dilempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan.
Kakek itu, yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Han
Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Goa terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah
tertutup batu-batu besar. Suheng-mu tidak mungkin dapat ditolong lagi karena sumur itu penuh ular berbisa
dan Suheng-mu pingsan ketika dilempar ke situ."
Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan itu dikepal,
"Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan kematian Suheng! Kalau tidak, hidupku tidak ada artinya
lagi. Kongcouw, sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"
Swat Hong memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas
dendam?"
"Melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan
sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suheng-mu telah membayar dengan
nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar keterangan dari
si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk
menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. Kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin
engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang? Apakah kau
hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di sana?"
"Aku tidak takut, Kongcouw!"
Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan
membalaskan kematian Suheng-mu ataukah akan membunuh diri?"
Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya menuruti hati
duka dan sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng, dan
juga aku harus merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin untuk memenuhi
pesan terakhir Ayahku."
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri saja. Marilah
pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang akan menyelidiki di
sana nanti."
dunia-kangouw.blogspot.com
Swat Hong tentu merasa girang sekali memperoleh bantuan kakeknya yang berilmu tinggi dan dia tidak
membantah. Maka berangkatlah ke dua orang ini ke utara. Setelah tiba di dekat Telaga Utara, Han Lojin
mulai menyelidiki sebagai sebagai seorang tukang pancing yang bercaping lebar. Swat Hong dia suruh
menanti di dalam kuil tua di dalam hutan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian bertemu dengan cucu mantunya, Liu Bwee,
dan Ouw Sian Kok yang dikeroyok oleh orang-orangnya An Lu Shan dan menyelamatkan kedua orang itu.
Dia tidak berhasil bertemu dengan The Kwat Lin karena wanita ini, bersama dengan Kiam-mo Cai-li dan
juga Ouwyang Cin Cu, telah memperoleh tugas lebih dulu dari An Lu Shan dan telah berangkat ke kota raja
untuk menyelundup dan membantu gerakan dari dalam secara rahasia. Oleh karena inilah, maka ketika
menyelidiki ke Telaga Utara, Han Lojin tidak pernah mellihat The Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu
dan menyelamatkan cucu mantunya. Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok ikut bersama kakek sakti
itu memasuki hutan.
Ketika tiba di kuil, kakek itu berkata kepada Liu Bwee, "Engkau akan bertemu dengan seseorang yang
tidak kausangka-sangka, maka bersiaplah engkau menghadapi peristiwa ini."
Tentu saja Liu Bwee menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara orang, "Kongcouw, kau sudah pulang?" dan munculah Swat
Hong!
Tiba-tiba Swat Hong yang berlari ke luar itu berhenti dan seperti telah berubah menjadi patung. Ibu dan
anak itu saling berpandangan, keduanya tidak bergerak seperti terkena pesona.
"Ibuuuu....!!"
"Swat Hong... Hong-ji, anakku...!"
Keduanya berlari ke depan, kedua lengan terbuka, air mata bercucuran di wajah yang berseri penuh
kebahagiaan. Keduanya bertemu, saling rangkul dan saling dekap sambil menangis! Pertemuan yang
sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka, pertemuan yang mengundang keharuan hati,
mendatangkan segala bayangan duka yang dipendam di lubuk hati.
Ouw Sian Kok terbatuk-batuk menahan haru. Teringat dia akan puterinya sendiri, namun diam-diam dia
merasa girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa dengan anaknya. Dia saling pandang dengan Han Lojin
dan tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu pergi menjauh untuk memberi kesempatan kepada ibu
dan anak itu saling bertemu dan bicara.
"Ibu..., Ayah... Pulau Es...."
Liu Bwee mengangguk dan mengusap rambut puterinya. "Aku sudah tahu...."
"...dan Suheng...."
Liu Bwee memandang puterinya dan mengangkat dagu Swat Hong. "Apa maksudmu? Suheng-mu
kenapa?"
Melihat ibunya belum tahu, Swat Hong terisak lagi menangis.
"Hong-ji, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suheng-mu? Apa saja yang telah terjadi sejak kita
berpisah?"
"Suheng... Suheng telah tewas, Ibu...."
Liu Bwee terkejut bukan main. Ia terbelalak dan memandang pucat kepada puterinya, akan tetapi melihat
puterinya menangis penuh duka, dia mendekapnya dan menghibur, "Mati hidup bukanlah urusan kita,
Hong-ji. Tenanglah dan ceritakan semua pengalamanmu kepada Ibumu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Swat Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya meninggalkan Pulau Es,
menceritakan dengan lengkap namun singkat dan didengarkan oleh ibunya penuh perhatian.
Ketika puterinya itu bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee menengok dan menggapai ke arah Ouw Sian Kok
sambil berseru, "Ouw-twako, ke sinilah. Anakku telah bertemu dengan puterimu, Ouw Soan Cu!"
Mendengar seruan ini, Ouw Sian Kok melompat bangun dan lari menghampiri, berkata kepada Swat Hong,
"Aihhh, Han-siocia (Nona Han), benarkah kau telah bertemu dengan anakku?" suaranya agak gemetar
karena keharuan hatinya mendengar tentang puterinya.
Swat Hong memandang laki-laki setengah tua yang gagah itu, lalu mengangguk. Kiranya ibunya telah
bertemu dan bersahabat dengan ayah Soan Cu, pikirnya! Dia telah mendengar akan ayah Soan Cu yang
lari meninggalkan Pulau Neraka semenjak isterinya meninggal dunia. Jadi inikah orangnya? Dia lalu
melanjutkan penuturannya yang amat menarik hati itu sampai pada peristiwa penyerbuannya bersama
suheng-nya ke Rawa Bangkai sehingga suheng-nya tewas dan dia tertolong oleh kakek buyutnya.
Hening sekali setelah Swat Hong mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu masih terdengar.
"Hemm, sungguh jahat sekali The Kwat Lin itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok berkata sambil mengepal tinjunya.
"Han-siocia, aku Ouw Sian Kok bersumpah untuk membantumu menghadapi iblis betina itu!"
Swat Hong mengangkat mukanya memandang. "Terima kasih, Paman Ouw...."
"Akan tetapi, aku harus menemui anakku lebih dulu. Di manakah engkau bertemu dengan dia untuk
terakhir kalinya?"
"Dia kami tinggalkan di Puncak Awan Merah di pegunungan Tai-hang-san, di tempat tinggal Tee-tok
Siangkoan Houw."
"Kalau begitu, biar aku menyusul ke sana!" kata Ouw Sian Kok dengan gembira. "Setelah aku bertemu
dengan dia, barulah kita beramai mencari iblis betina itu untuk sama-sama menghadapinya dan
menghancurkannya! Bagaimana pendapat Lo-cianpwe?" dia berpaling kepada kakek Han yang sejak tadi
hanya mendengarkan saja.
Juga Swat Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu, karena betapa pun juga, mereka
mengharapkan bantuan kakek ini, juga keputusannya.
Sampai lama Han Lojin diam saja, merenung dan memandang jauh, kemudian menghela napas panjang.
"Aihh, tak kusangka akan begini jadinya...! Tadinya, ingin sekali aku melihat kalian berdua melupakan
semua hal yang telah lalu, mulai hidup baru dengan aman dan tenteram, menjauhi urusan kekerasan dunia
yang hanya mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara sesama manusia, sambil mendidik Swat
Hong pula. Akan tetapi melihat gejalanya... mengingat pula hancurnya Pulau Es... dan memang sudah
seharusnya kalau pusaka-pusaka itu dikembalikan ke tempat asalnya.... Ahhh, aku si tua bangka yang
sudah lama mencuci tangan dari urusan duniawi, sekarang terseret pula! Betapa menyedihkan!"
"Lo-cianpwe, kalau kita masih hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita menghindarkan diri untuk
mencampuri urusan dunia ramai? Yang penting kita selalu berada di pihak yang benar." Ouw Sian Kok
membantah.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Engkau belum mengerti, apa sih artinya pihak yang benar? Apa sih
artinya kebenaran? Kebenaran yang dapat disebut dengan mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh,
sudahlah, tanpa adanya kesadaran, mana mungkin dapat mengerti? Engkau hendak mencari puterimu,
memang sudah sepatutnya dan semestinya sejak dahulu kau lakukan hal itu. Sekarang aku akan
menyertai Liu Bwee dan puterinya ini ke kota raja...."
"Ke kota raja?" Ouw Sian Kok berseru heran.
"Ya, karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari An Lu Shan untuk menyusun kekuatan di sana
menanti saat pemberontakan tiba. Dan kita tidak perlu terseret oleh pemberontakan, melainkan hanya
hendak mencari The Kwat Lin dan minta kembali pusaka-pusaka Pulau Es."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dan membunuh mereka untuk membalaskan kematian suheng!" Swat Hong berseru penuh semangat.
Han Lojin tidak menjawab seruan Swat Hong itu, melainkan menoleh kepada Ouw Sian Kok sambil
berkata, "Ouw Sian Kok, kalau kau hendak mencari puterimu, pergilah dan kelak kau boleh menyusul kami
di kota raja...."
"Tidak, Lo-cianpwe. Setelah saya mendengar bahwa iblis betina itu berada di kota raja, saya juga harus
ikut ke kota raja untuk menghadapinya!"
Liu Bwee memandang kepada tokoh Pulau Neraka ini dan kebetulan sekali Ouw Sian Kok juga
memandangnya, maka pertemuan dua pasang sinar mata itu sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui
isi hati masing-masing. Liu Bwee maklum bahwa pria yang gagah itu ingin membantunya karena
mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok juga maklum bahwa bekas ratu Pulau Es itu girang
sekali mendengar bahwa dia akan membantu. Maka tanpa banyak cakap lagi berangkatlah empat orang ini
menuju ke kota raja.
Pada waktu itu suasana di seluruh negeri telah menjadi panas. Kekacauan terjadi di mana-mana. Tersiar
berita bahwa pemberontakan An Lu Shan mulai bergerak dari utara. Tersiar pula berita bahwa di tapal
batas utara telah di mulai perang saudara antara pasukan pemberontak dan pasukan pemerintah yang
tidak kuat membendung datangnya pasukan pemberontak yang seperti air bah membanjir ke selatan.
Berita ini sudah cukup untuk membangkitkan semangat golongan sesat untuk bangkit dan mempergunakan
kesempatan selagi keadaan negara kacau, rakyat bingung dan pasukan-pasukan ditarik untuk
diperbantukan menghadapi pemberontak sehingga keamanan tidak terjamin lagi.
Memang perang telah dimulai. An Lu Shan telah membuka kedoknya dan dengan terang-terangan mulai
menggerakkan pasukannya. Pada waktu itu, pasukan pemerintah yang terkuat adalah pasukan penjaga
tapal batas utara yang dianggap merupakan bagian atau daerah yang paling penting untuk dijaga dengan
kuat, maka otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah pimpinan Jenderal ini.
Pada jaman itu, kerajaan Tang dipimpin oleh kaisar Beng Ong yang usianya sudah enam puluh tahun
lebih, seorang kaisar yang sayangnya memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu birahi sehingga
dia seperti boneka lilin di dalam tangan halus selir Yang Kui Hui. Pada waktu itu Kerajaan Tang mempunyai
dua buah kota raja atau ibu kota. Yang pertama, di mana Kaisar Beng Ong duduk bertahta dan menjadi
pusat pemerintahannya, adalah ibu kota Tiang-an. Ada pun ibu kota yang ke dua adalah Lok-yang.
Selain mempunyai bala tentara yang besar jumlahnya dan pasukan-pasukan pilihan, An Lu Shan juga
dibantu oleh banyak orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Hal ini adalah karena banyak orang-orang
kang-ouw merasa tidak suka kepada Kaisar tua yang berada di bawah telapak kaki selir cantik itu, juga
banyak pembesar yang diam-diam merasa dendam kepada Yang Kui Hui karena selir ini dengan mudah
begitu saja mempengaruhi Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan menggantikan
kedudukan mereka dengan kedudukan lebih rendah. Semua ini untuk menarik keluarga-keluarganya agar
dapat menduduki tempat-tempat penting!
Gerakan pemberontakan An Lu Shan dimulai dari utara di dekat Peking, terus membanjir ke selatan.
Dengan mudahnya dia melumpuhkan semua perlawanan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan yang
masih setia kepada Kaisar, bahkan pasukan yang takluk segera menyerah dan menjadi pasukan
pembantunya. Dengan mudah saja pasukan-pasukan pemberontak menyeberangi Sungai Kuning dan
menyerbu Lok-yang, ibu kota ke dua dari kerajaan Tang.
Komandan pasukan yang mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua dari Kerajaan Tang ini adalah
seorang panglima yang setia. Dengan gigih dia memimpin pasukannya mempertahankan Lok-yang matimatian.
Akan tetapi, yang amat melemahkan pertahanan itu adalah gangguan-gangguan dari dalam kota
itu sendiri yang dilakukan oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat Lok-yang diserbu inilah rombongan Han
Lojin berada di Lok-yang, ketika mereka berusaha mencari The Kwat Lin yang dikabarkan membantu An
Lu Shan dengan mempersiapkan diri di ibu kota itu.
Han Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee dan Swat Hong terkurung di dalam kota Lok-yang ketika ibu kota ke
dua ini diserbu pemberontak. Mereka menyaksikan sendiri betapa Panglima Coa Cun dengan gagah berani
mempertahankan ibu kota ke dua itu dengan pasukannya sehingga tidaklah mudah bagi pasukan
dunia-kangouw.blogspot.com
pemberontak untuk menguasai kota raja ini. Han Lojin dan rombongan yang memang bermaksud untuk
mencari The Kwat Lin, sambil memasang mata ikut hilir mudik bersama para penghuni yang ketakutan.
Ketika terjadi pembakaran di pusat pasar dan serangan-serangan gelap yang ditujukan kepada komandankomandan
pasukan oleh serombongan orang yang gerakannya amat lihai, Han Lojin dan rombongannya
cepat mendatangi tempat kekacauan ini. Akhirnya setelah lari ke sana-sini setiap mendengar ada
kekacauan yang dilakukan oleh segerombolan mata-mata musuh, sampailah mereka di taman belakang
istana pangeran muda yang berkuasa di Lok-yang. Di sinilah mereka melihat gerombolan pengacau itu.
Serta merta Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee Dan Swat Hong lalu menyerbu dan mencari The Kwat Lin.
Akan tetapi mereka berhadapan dengan belasan orang pengacau yang dipimpin oleh Kiam-mo Cai-li!
Gerombolan itu sedang berusaha untuk membakar istana pangeran dengan panah-panah api, dan para
pengawal istana itu sudah dibuat tewas malang melintang oleh mereka.
"Dialah Kiam-mo Cai-li, pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin sambil menuding ke arah seorang
wanita cantik yang pakaiannya mewah.
Tampak Kiam-mo Cai-li sedang memimpin belasan orang pembantunya itu untuk menghujankan anak
panah ke arah istana. Sebagian dari istana itu mulai terbakar.
Mendengar bahwa wanita itu adalah seorang di antara pembunuh-pembunuh suheng-nya, Swat Hong
sudah tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dengan
pedang di tangan. Serta merta ia menyerang sambil membentak, "Iblis betina Kiam-mo Cai-li, bersiaplah
engkau menebus nyawa Suheng Kwa Sin Liong!!"
"Singgg... syuuutttt... aiihhh....!" Kiam-mo Cai-li cepat mengelak dengan meloncat ke belakang. Rambutnya
yang panjang seperti hidup saja bergerak menyambar ke arah pergelangan tangan Swat Hong.
Namun dara ini cukup cekatan. Melihat sinar hitam menyambar, dia sudah membalikkan pedangnya
membacok sehingga putuslah segumpal rambut, membuat Kiam-mo Cai-li berteriak kaget dan marah.
Ketika dia memandang dan melihat bahwa yang muncul ini adalah gadis teman Sin Liong, gadis dari Pulau
Es seperti yang di ceritakan oleh The Kwat Lin, dia terkejut bukan main. Apa lagi melihat Han Lojin, Ouw
Sian Kok, dan Liu Bwee yang jelas membayangkan kelihaian.
"Panah roboh mereka!" tiba-tiba dia berteriak sambil melompat jauh ke belakang untuk memberi
kesempatan kepada dua belas orang pembantunya menyerang empat orang ini.
Dua belas orang itu adalah anak buah Kiam-Mo Cai-li dari Rawa Bangkai yang telah dididik khusus
menggunakan anak panah berapi. Ketika mereka mendengar aba-aba ini dan mengenal wajah Swat Hong
sebagai gadis yang pernah menyerbu Rawa Bangkai, cepat mereka membidikan anak panah mereka.
Tampaklah sinar-sinar berapi menyambar kepada empat orang itu.
"Wir-wir-wir...!!" Mengerikan sekali datangnya anak-anak panah yang ujungnya bernyala itu. Dapat
dibayangkan betapa mengerikan kalau anak panah yang bernyala itu mengenai tubuh!
Namun, empat orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat mudahnya Han Lojin dan Ouw
Sian Kok mengebutkan ujung baju meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka.
Sedangkan Liu Bwee dan Swat Hong juga sudah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke
arah mereka dengan pedang sehingga anak-anak panah itu patah-patah.
"Iblis betina !" Swat Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan dia sudah menerjang Kiam-mo Caili
dengan dahsyat.
"Tranggg! Trik-trikkk!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah menangkis dan kuku-kuku jarinya
yang panjang mengeluarkan bunyi berjentrik saat dia mencengkeram ke arah Swat Hong yang dapat
dielakkan oleh dara ini.
"Kalian hadapi mereka. Wanita itu lihai dan berbahaya, aku harus menjaga Swat Hong," kata Han Lojin
kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
dunia-kangouw.blogspot.com
Liu Bwee mengangguk. Hatinya lega karena dengan bantuan kakek suaminya itu, dia tidak
mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw Sian Kok dia lalu mengamuk dan celakalah
dua belas orang anak buah Rawa Bangkai itu. Mana mungkin mereka dapat melawan dua orang lihai dari
Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biar pun mereka semua telah menggunakan pedang dan golok menyerang
dan mengeroyok, namun seorang demi seorang roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Ada pun pertandingan antara Swat Hong melawan Kiam-mo Cai-li amat seru dan menegangkan. Biar pun
pada dasarnya Swat Hong memiliki ilmu silat tinggi yang lebih murni dan kuat, namun menghadapi seorang
datuk kaum sesat seperti Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik dan banyak pengalaman, beberapa kali hampir
saja dia terkena cakaran kuku panjang beracun itu. Tiga macam senjata Kiam-mo Cai-li amat
membingungkan Swat Hong. Dengan gerakan pedang yang cepat, Swat Hong dapat membendung pedang
payung dan kuku-kuku jari tangan kiri iblis betina itu, bahkan dia mulai mendesak dengan permainan
pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga dingin itu.
"Mampuslah!" Swat Hong membentak dan pedangnya menusuk.
"Tranggg...! Brettt...!!" pedang Swat Hong bertemu dengan pedang payung dan berhasil menembus dan
merobek kain payung, akan tetapi pedangnya itu tercepit di antara batang-batang payung sehingga kedua
pedang bertemu dan saling melekat.
"Hi-hi-hik, kaulah yang mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah
dada Swat Hong. Kalau sampai kena dicengkeram kuku-kuku beracun itu, dada Swat Hong tentu akan
berbahaya sekali.
"Plak!" Swat Hong sudah siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan dari bawah. Kini
terjadilah adu tenaga karena kedua tangan mereka sudah tidak bebas lagi.
Pada saat itu rambut panjang Kiam-mo Cai-li bergerak menyambar ketika dia menggerakkan kepalanya
sambil tertawa. Bagaikan ular hidup saja, gumpalan rambut itu menyambar dengan totokan maut! Swat
Hong terkejut bukan main, namun hatinya menjadi lega kembali melihat berkelebatnya bayangan kakek
buyutnya.
"Plakkk!!" rambut itu disambar oleh tangan Han Lojin.
"Aihhh... lepaskan...!" Kiam-mo Cai-li menjerit karena betapa pun dia berusaha menarik rambutnya, tetap
saja tidak dapat terlepas bahkan semakin erat.
"Swat Hong, lepaskan dia, mundurlah!" Han Lojin berseru.
Swat Hong tidak berani membantah, lalu melepaskan pegangan tangannya dan menarik pedangnya
melompat mundur.
"Kiam-mo Cai-li, aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya halus.
Melihat kakek ini yang dia tahu amat lihai, Kiam-mo Cai-li yang cerdik lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu, menunduk dan berkata, "Lo-cianpwe, maafkan saya, saya tidak berani melawan Locianpwe
yang sakti. Pertanyaan apakah yang hendak Lo-cianpwe (Kakek Gagah Perkasa) ajukan kepada
saya?"
Swat Hong mengerutkan alisnya melihat sikap Kiam-mo Cai-li yang begitu ketakutan.
Akan tetapi Han Lojin hanya mengelus jenggotnya. "Hemmm, semua orang pernah melakukan
penyelewengan dalam hidupnya. Penyesalan yang disertai kesadaran tinggi mendatangkan pengertian
sehingga si penyeleweng akan merasa jijik untuk melanjutkan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang
kalau kepandaian seperti yang kau miliki itu dipergunakan untuk kejahatan. Aku hendak bertanya, di mana
adanya The Kwat Lin?"
"The Kwat Lin? Ohh, dia berada di... neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita itu dari bawah menyerang
dengan payung dan kuku beracunnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ceppp... bresss...!"
"Keparat...." Swat Hong menjerit dan pedangnya bergerak secepat kilat sebelum Kiam-mo Cai-li sempat
mencabut kembali pedangnya dari dada kakek itu.
"Preppp...! Aihhhh...!!" darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada Han Lojin.
Kakek itu masih berdiri tegak sambil tersenyum ketika pedang dicabut ke luar dadanya. Kiam-mo Cai-li
mengeluarkan teriakan seperti binatang buas ketika dia menubruk Swat Hong dan menyerangnya, namun
Swat Hong sudah mengelak dan dari samping kembali pedangnya menyambar.
"Crokkk!!" tubuh Kiam-mo Cai-li yang sudah terhuyung itu tidak dapat mengelak lagi. Lehernya tertusuk
pedang dan dia roboh terguling, berkelojotan dengan mata mendelik memandang ke arah Swat Hong.
"Lo-cianpwe...!" Ouw Sian Kok yang bersama Liu Bwee sudah berhasil merobohkan dua belas orang itu,
meloncat dan merangkul kakek itu karena kekek yang masih berdiri tegak itu mendekap dadanya yang
bercucuran darah.
Kakek itu menggelengkan kepala, memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas sekali, Swat
Hong...!"
"Kongcouw... dia jahat... patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang mayat Kiam-mo Cai-li yang kini
sudah tidak bergerak lagi itu.
"Hayaaaa... selamanya belum pernah dirobohkan orang, sekali ini terperdaya kelicikan seorang wanita...
memang sudah semestinya begini.... kalian.... kurangilah atau lenyapkan sama sekali.... keganasan....
kekerasan, bunuh membunuh ini.... karena siapa menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan
pula.... nah, selamat berpisah anak-anak....."
Tubuh yang bediri tegak itu masih berdiri, akan tetapi kalau tidak dirangkul tentu akan roboh karena pada
saat itu juga Han Lojin telah mengembuskan napas terakhir. Memang luar biasa sekali kakek ini. Pedang
payung yang ditusukkan secara curang oleh Kiam-mo Cai-li menembus dada dan menembus pula
jantungnya, namun dia masih mampu berdiri tegak dan berkata-kata!
Liu Bwee dan Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan tetapi Ouw Sian Kok berkata, "Harap kalian
bangkit berdiri dan mari kita lekas membawa pergi jenazah Lo-cianpwe ini keluar kota."
Liu Bwee menyusut air matanya dan menggandeng tangan Swat Hong, menarik gadis itu bangkit berdiri.
"Ouw-twako benar, Hong-ji. Kita tidak mempunyai urusan apa-apa lagi di sini, sedangkan keadaan makin
kacau. Tugas kita berada di ibu kota pertama, Tiang-an."
Diingatkan bahwa The Kwat Lin berada di Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya.
"Kami tadi telah memaksa mereka bicara, dan seorang di antara mereka itu mengaku di mana adanya The
Kwat Lin. Dia berada di Tiang-an, tugasnya sama dengan Kiam-mo Cai-li yaitu mengacau kota raja di
waktu pemberontak menyerbu ke sana."
Swat Hong mengangguk, sekali lagi melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li. Rasa lega dan puas menyelinap
di hatinya mengingat akan kematian suheng-nya yang betapa pun juga kini sudah agak terbalas dengan
matinya wanita ini. Dia kemudian mengikuti ibunya pergi dari tempat itu.
Perang, perang, perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah hentinya terjadi perang di
antara manusia. Selama sejarah berkembang, terbukti bahwa di setiap jaman manusia melakukan perang,
baik dari jaman batu sampai jaman modern! Agaknya betapa pun majunya manusia dari segi lahiriah,
sebaliknya dalam segi batiniah manusia bahkan makin mundur! Betapa tidak?
Di jaman dahulu, yang dikatakan perang adalah mereka yang langsung menceburkan diri dalam perang
sampyuh, dan mereka ini pula yang menjadi korban, yang membunuh atau dibunuh. Makin lama,
perkembangan perang menjadi makin ganas dan makin kejam, makin tidak adil dan makin menjauhi apa
yang kita sebut peri-kemanusiaan. Sekarang, di jaman modern, yang langsung memegang senjata banyak
dunia-kangouw.blogspot.com
selamat karena dia menguasai teknik perang, pandai menjaga diri, pandai bersembunyi. Sebaliknya, rakyat
yang tidak tahu apa-apa mati konyol!
Perang, di sudut mana pun terjadinya di dunia ini, dengan kata apa pun diselimutinya, dengan kata-kata
indah macam perjuangan, perang suci, perang membela negara, membela agama, membela kehormatan
dan lain-lain, tetap saja perang yang berarti bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh hanya untuk
melampiaskan dendam dan kembencian sehingga amatlah buasnya, jauh melampaui kebuasan binatang
apa pun juga yang hidup di dunia ini. Kita semua bertanggung-jawab untuk ini!
Perang yang terjadi antara bangsa, antara golongan, antara kelompok, meletus karena kita! Perang antara
bangsa atau negara hanya menjadi akibat dari kepentingan Si Aku, bangsaku, agamaku, kebenaranku,
kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang bersumber kepada aku. Perang antara bangsa
hanya bentuk besar dari perang antara tetangga dan perang antara tetangga adalah bentuk besar dari
perang antara keluarga atau perorangan dan semua ini bersumber kepada perang di dalam batin kita
sendiri.
Batin kita setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam, benci dan semua bentuk kekerasan
dan kekejaman. Kalau semua itu menguasai batin kita semua, menguasai dunia, herankah kita kalau selalu
terdapat permusuhan dan perang di dunia ini? Semenjak sejarah tercatat, setiap pihak yang melakukan
perang tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang buruk. Sebaliknya malah, bermacam dalih diajukan
menjadi semacam kedok di depan wajah perang yang dilakukannya, kedok berupa untuk membela diri,
perang untuk keadilan, dan perang untuk perdamaian!
Betapa menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang untuk perdamaian! Dengan cara membunuh-bunuhi
sesama manusia. Kita selalu terjebak ke dalam perangkap penuh tipu muslihat ini yang berupa kata-kata
indah. Pendapat bahwa tujuan menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri dan berlawanan
dengan kenyataan. Mungkinkah untuk mencapai tujuan baik menggunakan cara yang jahat? Yang penting
adalah caranya, bukan tujuannya. Tujuan adalah masa depan yang belum ada, hanya merupakan akibat,
sebaliknya cara adalah masa kini, saat ini, nyata!
Dengan dalih ‘menumbangkan kekuasaan lalim’ itulah An Lu Shan memimpin ratusan ribu bala tentaranya
menyerbu ke selatan. Pada saat seperti itu, An Lu Shan dan semua pengikutnya menganggap bahwa
mereka itu ‘berjuang’ dan mereka sama sekali tidak mau melihat bahwa kelak andai kata mereka berhasil
dan memegang kekuasaan, ada pula pihak-pihak yang akan mengecapnya ‘kekuasaan lalim’ yang lain dan
yang baru pula!
Di lain pihak Kaisar Han Tiong atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama para punggawanya yang setia
tentu saja melakukan perlawanan yang gigih dengan dalih ‘menghancurkan dan membasmi pemberontak’.
Mereka ini lupa bahwa peristiwa pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka sendiri.
Kekuatan bala tentara yang dipimpin An Lu Shan memang hebat. Dalam beberapa bulan saja, sekali
menyerbu, dia telah menguasai seluruh daerah di sebelah utara Sungai Huangho. Pasukan-pasukannya
akhirnya berhasil merobohkan pertahanan Lok-yang dan menduduki ibu kota ke dua itu. Kemudian An Lu
Shan kembali mengumpulkan kekuatan pasukannya dan melanjutkan penyerbuannya menuju ke kota raja
Tiang-an! Kematian Kiam-mo Cai-li membuat Jenderal ini menyesal, tentu saja penyesalan ini didasari
bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Ketika Kaisar yang sudah tua itu mendengar betapa Lok-yang dalam beberapa hari saja terjatuh ke dalam
tangan pemberontak An Lu Shan, mulailah terbuka matanya. Selama ini Kaisar tidak terlalu mengacuhkan
urusan pertahanan dan sebagian besar waktunya hanya dihabiskannya di dalam kamar tidur dan di atas
ranjang yang lunak hangat dan harum dari selirnya tercinta, Yang Kui Hui.
Bangkitlah semangatnya, semangat mudanya yang kini terlalu lama terpendam itu. Dia berhasil
mengobarkan semangat para pasukannya yang dikumpulkannya di Ling Pao di mana Kaisar membentuk
benteng pertahanan yang cukup kuat. Bahkan sekali ini dia memimpin sendiri untuk berperang
menghadapi An Lu Shan dengan hati penuh kemarahan. Hati siapa tidak akan sakit kalau mengingat
betapa dia telah memberi anugerah besar kepada An Lu Shan, bahkan selirnya yang tercinta telah
menganggap An Lu Shan sebagai putera angkat. Dan kini jenderal itu memberontak!
Perbuatan apa pun yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, tidak lah benar jika di belakangnya
dunia-kangouw.blogspot.com
bersembunyi pamrih apa pun. Sesuatu perbuatan boleh jadi oleh umum dianggap sebagai perbuatan baik,
namun apabila perbuatan itu menyembunyikan pamrih, baik yang disadari mau pun tidak, maka perbuatan
itu tidak benar. Perbuatan menolong orang lain oleh umum dianggap baik, namun jika hal itu dilakukan
dengan pamrih apa pun, itu bukanlah menolong namanya, melainkan hanya memberi pinjam untuk kelak
ditagih kembali dalam bentuk pembalasan budi!
Selama yang berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia menolong, di dalam perasaan
ini sudah terkandung pamrih! Jelas tidak benar! Dan selama ada pamrih di balik setiap perbuatan, pasti
akan mendatangkan penyesalan, kebanggaan, kekecewaan, dendam, penjilat, penindasan dan lain-lain.
Setiap perbuatan barulah benar jika didorong atau didasari oleh CINTA KASIH!
Demikian pula dengan Kaisar. Karena dia merasa bahwa dia telah menolong An Lu Shan, merasa telah
berbuat baik kepada jenderal itu maka timbullah penyesalan, kemarahan dan kebencian karena yang
pernah ditolongnya itu tidak membalas dengan kebaikan. Pamrih yang tersembunyi di balik pertolongannya
dahulu itu adalah menghendaki pembalasan berupa kesetiaan, penghormatan, atau setidaknya
menghendaki agar jangan sampai jenderal itu berani melawannya!
Contoh ini tanpa kita sadari terjadi di dalam penghidupan kita sehari-hari. Kita miskin akan cinta kasih
sehingga setiap perbuatan kita dicengkeram pamrih. Kalau cinta kasih memenuhi hati kita, maka segala
pamrih akan lenyap tanpa bekas. Setiap perbuatan kita adalah wajar dan tentu saja benar karena dasarnya
cinta kasih yang melekat pada bibir setiap orang, yang menjadi hampa karena disebut-sebut dan
disanjung-sanjung, diberi pengertian lain, dan dipecah-pecah!
Di mana terdapat cemburu, benci, sengsara, marah, dan lain-lain, cinta kasih tidak akan ada. Di mana
terdapat si ‘aku’ yang selalu mengejar keuntungan dan kesenangan lahir batin, cinta kasih tidak akan
pernah ada. Karena bagi ‘si aku’, cinta kasih berarti kesenangan untuk ‘aku’ lahir batin yang berupa
ketenteraman, jaminan, kepuasan, dan kenikmatan. Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu luput,
berakhirlah cinta kasihnya dan berubah menjadi cemburu, kemarahan dan kebencian!
Dengan penuh kemarahan Kaisar memimpin barisan-barisan yang dapat dikumpulkannya, didampingi oleh
seorang jenderal yang setia kepadanya, seorang jenderal yang ahli dalam perang bernama Kok Cu It yang
menjadi komandan barisan itu. Barisan ini lalu bergerak dari Ling Pao. Bertemulah dua barisan yang
bermusuhan itu di pegunungan dan terjadilah perang yang amat dahsyat di sela Gunung Tung Kuan.
Perang yang amat mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia bertumpuk-tumpuk dan
berserakan, darah manusia membanjiri padang rumput.
Dengan gigih Panglima Kok Cu It melakukan perlawanan setelah dia menyuruh pasukan pengawal
mengiringkan Kaisar lebih dulu menyelamatkan diri ke kota raja. Namun ahirnya, karena kalah banyak
jumlah pasukannya, Tung Kuan jatuh ke tangan pihak An Lu Shan. Pasukan-pasukan yang masih dapat
bertahan segera ditarik mundur ke Ling Pao dan membuat pertahanan di tempat ini.
Kaisar telah melanjutkan perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia berkemas-kemas dengan hati penuh
kekhawatiran. Tak lama kemudian, Ling Pao juga jatuh dan Panglima Kok Cu It terpaksa membawa sisa
pasukannya kembali ke kota raja. Melihat betapa gerakan An Lu Shan amat kuat dan tidak dapat
dibendung, panglima ini menganjurkan kepada Kaisar untuk pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar
mengumpulkan semua pembantunya yang setia dan akhirnya, atas desakan mereka pula, kaisar menerima
usul itu.
Berangkatlah rombongan Kaisar ke barat. Yang berada di dalam rombongan itu, selain Kaisar sekeluarga
tentu saja termasuk selir Yang Kui Hui, juga perdana Menteri Yang Kok Tiong, kakak dari selir cantik itu
beserta semua keluarganya, para Thaikam (Orang Kebiri) yang setia kepada Kaisar, dan beberapa orang
punggawa tinggi yang menjadi kaki tangan mereka. Rombongan besar ini dikawal oleh pasukan pengawal
istimewa dan berangkatlah rombongan Kaisar pergi mengungsi yang dilakukan di waktu malam agar
jangan ada rakyat mengetahuinya.
Pelarian yang dilakukan tergesa-gesa ini pun mencerminkan watak orang-orang bangsawan ini. Selain
keluarga mereka, juga mereka membawa harta benda mereka sebanyak mungkin! Tidak ada lagi yang
dipikirkan kecuali membawa keluarga dan harta bendanya sehingga mereka lupa bahwa bukan harta
benda yang penting untuk dibawa sebagai bekal, melainkan ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk
membawa harta benda yang mungkin dapat terbawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Telah menjadi kelemahan kita manusia dalam penghidupan kita ini bahwa kita selalu melekat kepada
benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu memang merupakan perlengkapan hidup dan kita
butuhkan, namun hanyalah sekedar menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi hidup. Akan tetapi
kita silau oleh benda-benda mati itu, kita mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena
kebutuhan, melainkan karena ketamakan, karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak mungkin.
Setelah itu kita menjadi hamba duniawi, kita melekatkan diri dan kita telah merubah batin kita menjadi
benda-benda itu!
Maka kita selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian. Kita tidak bisa lagi hidup tanpa dia, lahir
mau pun batin. Kehilangan harta benda menjadi hal yang amat hebat dan penuh derita. Mencari dan
mengumpulkan harta benda menjadi hal yang paling penting di dalam hidup kita, sehingga kalau perlu
dalam mengejar duniawi berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak segan-segan
untuk sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia! Maka akan BAHAGIALAH DIA
YANG MEMPUNYAI NAMUN TIDAK MEMILIKI, dalam arti kata, mempunyai apa saja di dunia ini karena
ada hubungannya, karena ada kebutuhannya, hanya mempunyai lahiriah saja, namun batin sama sekali
tidak memiliki, sama sekali tidak terikat atau melekat sehingga punya atau tidak punya bukanlah
merupakan soal penting lagi!
Karena ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami akibatnya setelah rombongan besar
itu melarikan diri sampai di pos penjagaan Ma Wei yang terletak di Propinsi Shen-si sebelah barat,
rombongan ini kehabisan ransum yang tidak berapa banyak itu. Sisa ransum yang tinggal sedikit itu
diperuntukkan bagi Kaisar dan keluarganya serta para bangsawan. Pasukan pengawal yang menderita
kelelahan dan kelaparan menjadi gelisah. Tampaklah wajah-wajah yang membayangkan penasaran dan
kemarahan, mulai terdengarlah suara-suara tidak puas di antara para anggota pasukan.
Perhentian di Ma Wei ini dipergunakan oleh Yang Kok Tiong untuk mengadakan pertemuan dengan orangorang
Tibet. Yang Kok Tiong berusaha untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Tibet untuk
membantu Kaisar dalam menghadapi pemberontakan dan membujuk seorang pendeta Lhama yang
berada di antara orang-orang Tibet itu untuk menyampaikan permintaan bantuannya. Hatinya juga gelisah
ketika melihat betapa anak buah pasukan pengawal mulai tidak puas. Akan tetapi Kaisar yang sudah
merasa lelah dan berduka, tidak tahu akan semua itu dan dia menenggelamkan dirinya yang dirundung
kedukaan itu dalam pelukan selirnya yang menghiburnya.
Tidak seorang pun di antara para bangsawan itu tahu, betapa di luar terjadi hal yang luar biasa. Seorang
laki-laki muda dan seorang gadis cantik menyelinap di antara penduduk setempat, mendekati tempat
mengaso para pasukan pengawal dan dua orang muda ini berbisik-bisik dengan para pasukan. Mereka ini
bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki!
Seperti telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai itu adalah mata-mata An Lu Shan dan
Bu Swi Nio, murid The Kwat Lin, akhirnya juga menjadi pembantu An Lu Shan karena terbawa oleh Liem
Toan Ki yang menjadi tunangannya itu. Kini, selagi memata-matai keadaan Kaisar yang melarikan diri, Bu
Swi Nio teringat akan kematian kakaknya, maka diambilnya keputusan untuk membalas dendam kepada
Yang Kui Hui yang menyebabkan kematian kakaknya, Bu Swi Liang. Setelah berunding dengan
kekasihnya, mereka berdua lalu menyelinap di antara penduduk, mengadakan kontak dengan para
komandan pasukan pengawal, mulai menghasut mereka itu.
"Lihat, kita bersusah payah, setengah mati kelelahan dan kelaparan menjaga keselamatan Kaisar, beliau
sendiri bahkan bersenang-senang dan tidak mempedulikan kita, mabuk dalam rayuan Yang Kui Hui setan
kuntilanak itu!" Bu Swi Nio antara lain menghasut.
"Lihat kakaknya yang menjadi perdana menteri itu. Diam-diam mengadakan perundingan dengan orangorang
Tibet. Dialah bersama adiknya ular cantik itu yang menjadi pengkhianat dan menjual negara. Coba
ingat, bukankah An Lu Shan diambil anak oleh Yang Kui Hui? Padahal diam-diam menjadi kekasihnya!
Negara telah dijual oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada kekasihnya, An Lu Shan. Dan sekarang agaknya
Yang Kok Tiong hendak menjual keselamatan Kaisar kepada orang-orang Tibet! Aduhhh, sungguh
membuat orang hampir mati penasaran. Kaisar dipermainkan seperti itu, namun tinggal diam karena
mabuk oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak
dalam api yang mulai dikobarkan oleh Swi Nio.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang para anggota pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan. Mereka merasa sengsara dan
nasib mereka masih belum dapat ditentukan. Mungkin saja mereka semua akan mati konyol jika sampai
dapat disusul oleh pasukan-pasukan pemberontak. Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka menjadi
makin gelisah dan akhirnya terdengarlah teriakan-teriakan yang diam-diam didahului oleh Swi Nio dan
Toan Ki.
"Gantung pengkhianat!"
"Bunuh penjual negara!"
"Seret Yang Kok Tiong!"
"Yang Kok Tiong pengkhianat, harus dihukum mati!"
"Sebelum penjual negara itu mampus, kami tidak mau pergi!"
Teriakan-teriakan ini makin hebat dan kini seluruh pasukan sudah bangkit, mengacung-acungkan kepalan
dan senjata ke arah bangunan-bangunan di mana rombongan bangsawan itu berada. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya hati Kaisar ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Juga yang lain-lain menjadi kaget
setengah mati, terutama Yang Kok Tiong sendiri. Dia sedang berunding dengan orang-orang Tibet, ketika
tiba-tiba Kaisar bersama pengawal-pengawal pribadi memasuki tempat itu.
Kaisar kelihatan marah. "Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke arah tujuh orang Tibet yang
berada di situ.
"Hamba... hamba sedang berunding... minta pertolongan Pemerintah Tibet," jawab Yang Kok Tiong.
"Tangkap orang-orang Tibet itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata perampok!" Perintah Kaisar ini
dituruti oleh para pengawal dan ditangkaplah tujuh orang Tibet itu yang tidak berani melakukan
perlawanan.
Sementara itu, teriakan-teriakan di luar menuntut kematian Yang Kok Tiong makin menghebat.
Berbondong-bondong datanglah para pembantu Kaisar, berkumpul di tempat Yang Kok Tiong yang duduk
dengan muka pucat mendengar tuntutan para pasukan di luar.
Di depan mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan merangkul leher Kaisar sambil
menangis. "Sudilah Paduka menolong kakakku.... harap Paduka menyelamatkan kakakku...," selir itu
menangis.
Didekap dan ditangisi selirnya yang tercinta, kaisar yang tua itu segera menghardik kepada kepala
pengawal pribadinya, "Tangkap si pembuat ribut itu!"
Komandan pengawal itu berdiri tegak dan menjawab, "Ampun, Sri Baginda. Akan tetapi yang ribut adalah
seluruh pasukan pengawal!"
"Junjungan hamba... tolonglah kakakku... selamatkan dia...!" Yang Kui Hui menangis.
Yang Kok Tiong juga menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar. "Hamba hanya dapat mengharapkan
kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa hamba di dalam telapak tangan Paduka...!"
"Seret Yang Kok Tiong si pengkhianat keluar!" terdengar teriakan dari luar.
"Keluarkan jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu ke dalam!" suara ini diikuti suara pintu digedor-gedor
dari luar.
"Tangkap dia...!!" Kaisar memerintah dan menudingkan telunjuknya ke luar.
Komandan pengawal hendak membuka daun pintu, akan tetapi tiba-tiba dari luar meloncat masuk
pengawal yang menjaga di luar, mukanya pucat dan tubuhnya menggigil lalu dia menjatuhkan diri di atas
lantai menghadap Kaisar sambil berkata, "Mereka... mereka... akan menyerbu...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh kepala pengawal, Kaisar dan rombongannya dikawal naik ke loteng. Kemudian Kaisar keluar dan
memandang kepada pasukannya yang memberontak di luar itu. Begitu melihat munculnya Kaisar, para
anak buah pasukan berteriak kacau-balau, menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada mereka.
Kepala pengawal yang melihat gelagat buruk, diam-diam lalu menotok perdana menteri itu dan
membawanya turun lagi di luar tahunya Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan mendorong perdana
menteri itu ke luar.
Banyak tangan yang penuh dendam kebencian menyambut. Tubuh Yang Kok Tiong di seret-seret, hujan
pukulan dan makian, penghinaan dan ludah ditujukan kepadanya. Ketika Yang Kui Hui yang mendengar
teriakan-teriakan kakaknya itu keluar mendekati Kaisar dan menjenguk ke bawah, dia menjerit dan
merangkul Kaisar, lalu menangis. Kaisar sendiri terbelalak memandang betapa perdana menterinya itu,
kakak dari selirnya, disiksa oleh pasukan, dipukuli dan dimaki-maki.
"Tolonglah kakakku... tolonglah dia...." Yang Kui Hui merintih dan menangis.
Kaisar lalu berseru ke bawah dengan suara lantang, "Haiii! Semua anggota pasukanku! Tahan...! Jangan
lanjutkan perbuatan gila itu!"
"Berhenti...! Kalian iblis-iblis jahat...! Uh-huuuuhhh-huuuu...!!" Yang Kui Hui juga menjerit-jerit dan akhirnya
menutupi mukanya, demikian pula Kaisar ketika melihat betapa Yang Kok Tiong sudah rebah dan tidak
berkutik lagi, dengan tubuh hancur dan penuh darah.
Tiba-tiba dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang dusun yang banyak berkumpul di tempat itu
terdengar suara nyaring seorang laki-laki, "Seret iblis betina Yang Kui Hui...! Dialah biang keladinya! Dialah
yang menjatuhkan kerajaan dengan menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia, kerajaan menjadi lemah
dan dikuasai oleh pengkhianat-pengkhianat!"
Disusul suara wanita, "Bunuh kuntilanak itu! Dia siluman betina! Dia Tiat Ki ke dua...! Dia berjinah dengan
An Lu Shan, dia mengumpulkan keluarganya untuk menguasai kerajaan! Dia harus dihukum gantung....!”
Suara ini adalah suara Bu Swi Nio yang ingin membalas kematian kakaknya. Dia menyebut-nyebut nama
tokoh wanita Tiat Ki, yang dalam dongeng sejarah adalah seekor siluman rase yang menjelma wanita
menjadi selir Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran pula.
Mendengar teriakan-teriakan menghasut dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio ini, pasukan yang haus darah
dan yang tidak puas itu lalu berteriak-teriak, menuding-nuding kepada Yang Kui Hui sambil menuntut agar
wanita cantik itu digantung!
"Tidak...!! Kalian gila semua! Tidaakkk...!!" Kaisar memeluk tubuh selirnya yang pucat dan hampir pingsan
itu, lalu menariknya masuk, diikuti teriakan-teriakan para anak buah pasukan dan rakyat setempat.
Kaisar dengan muka merah karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang menangis terisak-isak itu.
Semua anggota rombongan memandang dengan muka pucat, apa lagi mereka mendengar suara ribut-ribut
di luar rumah dan kini pintu digedor-gedor lagi.
"Gantung Yang Kui Hui....!"
"Bunuh siluman itu....!"
"Kalau tidak, rumah ini kami bakar!!"
Tentu saja Kaisar dan yang lain menjadi makin panik. Kaisar menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat
dan keringat bercucuran membasahinya. Sementara itu Yang Kui Hui berlutut di dekat kursi Kaisar,
memeluk kaki Kaisar dan memperlihatkan sikap yang memelas (menimbulkan iba) sekali, tubuhnya
gemetar karena suara-suara dari luar yang terdengar, suara menuntut kematiannya itu seperti ujung
pedang-pedang yang ditusuk-tusukan ke ulu hatinya....
Gedoran pintu makin keras, teriakan-teriakan makin hebat, sementara Kaisar menanti hasil para komandan
pasukan pengawal yang tadi keluar untuk menyabarkan anak buahnya. Penantian yang mencekam dan
menegangkan urat syaraf. Tiba-tiba, pekik para komandan pasukan yang keluar dan bicara, suara-suara
dunia-kangouw.blogspot.com
teriakan dan gedoran pintu terhenti.
Hati Kaisar lega, dia menunduk dan saling pandang dengan kekasihnya. Sepasang mata indah yang tak
pernah kehilangan daya pengaruh untuk membuat Kaisar terpesona itu kini berlinang air mata. Akan tetapi
hanya sejenak saja hati mereka terhibur dan harapan mereka timbul, karena tiba-tiba terdengar teriakanteriakan
lebih keras lagi disusul gedoran pada pintu dan dinding. Tak lama kemudian kepala pengawal dan
para pembantunya masuk dengan muka pucat.
Serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. "Hamba siap menerima hukuman karena
hamba sekalian tidak berhasil menundukkan kemarahan mereka," kata komandan pengawal sambil
menunduk.
Kaisar bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara, "Bunuh siluman Yang Kui Hui! Kalau tidak, mari
kita bunuh saja semua!"
"Tidak! Tidaakkk...! Persetan...!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya merangkul leher selirnya, seolah-olah
dia hendak melindungi kekasih tercinta itu.
"Dar-dar-darrrr...!" pintu digedor dari luar.
"Hancurkan saja Raja lalim dan lemah...!"
"Bakar saja rumah ini kalau yang Kui Hui tidak dihukum mati!"
Keadaan sudah amat berbahaya dan menegangkan. Semua bangsawan yang berada di situ sudah
menjadi pucat. Pangeran Mahkota segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
"Dalam keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih kukuh?" Putera Mahkota itu menangis.
Para pembesar yang setia kepada kaisar juga membujuk, bahkan kepala thaikam yang menjadi
kepercayaan Kaisar dan yang diam-diam secara pribadi memusuhi Yang Kui Hui, berkata, "Harap Paduka
suka mempertimbangkan dengan tenang. Memang menyakitkan hati sekali tuntutan mereka. Namun,
mereka tidak dapat dibendung dan kalau ditolak, tentu Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh
keluarga Paduka. Apakah Paduka hendak mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan seluruh
keluarga hanya untuk satu orang yang toh tidak akan dapat Paduka selamatkan juga?"
Putera Mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan berkata, suaranya keras dan penuh tuntutan, "Seorang
yang selama puluhan tahun memperoleh kemuliaan dan anugerah kebaikan Kaisar, apakah di waktu
terancam lalu melupakan budi yang besarnya melebihi nyawa itu?"
Yang Kui Hui menjadi pucat wajahnya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar, memeluk kaki Kaisar
sambil menangis dan berkata, "Biarlah hamba membalas segala budi kebaikan Paduka...."
"Tidak...! Tidak... Ohhh, Kui Hui, tidak...! Jangan...!"
Akan tetapi banyak tangan merenggut tubuh selir cantik itu dari pelukan Kaisar, lalu menyerahkannya
kepada kepala thaikam. Selir itu diseret oleh kepala thaikam ke atas pagoda dan tak lama kemudian,
terdengarlah sorak-sorai para pasukan melihat tubuh selir cantik jelita itu tergantung di pagoda, tergantung
lehernya dan berkelojotan sebentar lalu terdiam.
"Hidup kaisar...!!"
"Biang keladi kelemahan telah tewas...!!"
"Kita akan mengawal Kaisar sampai titik darah terakhir!"
Di sebelah dalam, Kaisar yang tadinya menangis itu terbelalak mendengar teriakan yang sama sekali
berlainan itu. Dia bingung tidak tahu apa yang terjadi, memandang ke kanan-kiri. "Di mana dia...? Mana
Yang Kui Hui...?!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua keluarganya menjatuhkan diri berlutut. "Dia... telah mengorbankan nyawa demi keselamatan
paduka sekeluarga...."
"Kui Hui...!!" Kaisar berlari naik ke loteng, kemudian roboh pingsan melihat tubuh kekasihnya yang diam
tidak bergerak, tergantung di pagoda itu.
Peristiwa ini merupakan peristiwa bersejarah yang kemudian terkenal di seluruh Tiongkok sampai berabadabad
lamanya. Bagi mereka yang ikut merasa berduka dan terharu mendengar cerita tentang pemutusan
hubungan cinta yang amat menyedikan ini, menganggap Kaisar itu lemah dan telah melakukan kesalahan
besar. Peristiwa ini menjadi terkenal sekali ratusan tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama yang
dipanggungkan dan menjadi bahan karangan cerita yang tak terhitung banyaknya. Lebih terkenal sekali
setelah sastrawan Po Cu I menulisnya dengan judul ‘Kesalahan Abadi’.
Dengan lesu dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan. Kematian
selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah tua itu. Akan tetapi, di tengah
perjalanan kembali terjadi peristiwa hebat. Ketika rombongan itu sedang beristirahat dan bermalam di
sebuah dusun kecil di daerah yang sepi di perbatasan Secuan, malam itu tiba-tiba heboh karena terjadinya
pembunuhan atas diri seorang di antara para pangeran yang ikut mengungsi. Pangeran ini adalah adik
Pangeran Mahkota.
Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang
dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki.
Setelah berhasil menghasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang Kui Hui dan
kakaknya, sebagai mata-mata An Lu Shan keduanya diam-diam terus mengikuti dan membayangi
rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya
Kaisar akan merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.
Akan tetapi, mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di
sebelah kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergerak, tubuh di atas pembaringan,
di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar, melainkan
tubuh pangeran itu! Barulah kedua orang ini tahu bahwa mereka telah keliru. Cepat mereka meloncat dan
keluar dari dalam kamar itu melalui jendela.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap pembunuh!!"
Dalam sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan orang pengawal dan disergap.
Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Terjadilah pertandingan keroyokan di ruangan yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah
pengawal yang datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal yang
berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga.
Dengan berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling melindungi. Pedang mereka bergerak
cepat menyambar-nyambar ke depan, kanan dan kiri menangkis semua senjata yang datang bagaikan
hujan ke arah mereka. Suara nyaring beradunya senjata diselingi teriakan-teriakan para pengeroyok
memecah kesunyian malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok roboh oleh pedang
mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan mereka mengurung dan mengatur barisan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya mundur sampai punggungnya
beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik, suaranya mengandung keharuan, "Maaf,
Koko. Aku yang membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh..., mati atau hidup kita tetap berdua, Moi-moi...."
"Aku tak takut mati, tapi... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...."
"Tidak ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita mati bersama!"
Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil memegang pedang erat-erat
dunia-kangouw.blogspot.com
dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku akan merasa bangga denganmu, Koko!"
Percakapan bisik-bisik itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung mereka telah mulai
menyerang. Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan datang bertubi-tubi, berantai karena mereka
mengelilingi dua orang ini sampai tiga empat baris. Swi Nio dan Toan Ki kembali harus menggerakkan
pedang masing-masing untuk menangkis dan melindungi tubuh mereka. Namun karena datangnya
serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan susul-menyusul, mereka berdua menjadi repot
sekali.
Tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketika bahu kirinya terkena hantaman gagang tombak. Biar
pun keduanya telah terluka, namun mereka terus mengamuk, pedang mereka menyambar-nyambar dan
kembali robohlah empat orang pengeroyok, sungguh pun mereka berdua sendiri juga mengalami luka-luka
bacokan. Maklumlah keduanya, bahwa mereka tidak mungkin dapat meloloskan diri menghadapi
pengeroyokan demikian banyak pengawal, maka mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak
mungkin musuh sebelum mereka berdua dirobohkan. Mereka berdua sudah bertekad untuk melawan
sampai mati.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Para pengurung dan pengeroyok menjadi kacau-balau. Terdengar
pula suara meledak-ledak nyaring serta disusul pekik-pekik kesakitan yang diikuti robohnya beberapa
orang pengeroyok terkena sambaran sebatang cambuk berduri. Juga ada para pengeroyok yang dilemparlemparkan
sepasang lengan yang amat kuat.
Swi Nio dan Toan Ki terkejut dan girang sekali karena maklum bahwa ada bala bantuan datang. Mereka
tadinya menduga bahwa yang datang tentulah teman-teman mereka, para mata-mata yang disebar oleh An
Lu Shan. Akan tetapi mereka menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika menyaksikan bahwa yang
mendatangkan kekacauan pada pihak para pengeroyok hanyalah dua orang. Seorang adalah pemuda
tinggi besar yang gagah perkasa, yang menggunakan kedua tangannya melempar-lemparkan para
pengawal. Seorang lagi ialah dara yang amat cantik jelita dan gagah, dara yang mengamuk dengan
sebatang cambuk berduri dan sebatang pedang, gerakannya cepat dan ganas.
Siapakah dua orang yang tidak dikenal oleh Swi Nio dan Toan Ki itu? Mereka adalah Ouw Soan Cu, gadis
Pulau Nereka yang lihai itu, dan pemuda tinggi besar Kwee Lun, murid Lam-hai Sengjin yang tinggal di
Pulau Kura-kura di Laut Selatan.
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka berdua saling berjumpa di puncak Awan Merah di
Pegunungan Tai-hang-san, yaitu di tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau
Neraka itu datang bersama Sin Liong sedangkan Kwee Lun yang menjadi teman seperjalanan dan sahabat
Swat Hong datang pula bersama gadis itu.
Tadinya, sebelum pergi bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di Bu-tong-pai, Sin Liong yang
merasa kasihan kepada Soan Cu menitipkan gadis itu kepada Tee-tok Siangkoan Houw. Akan tetapi
melihat Sin Liong pergi bersama Swat Hong, Soan Cu tidak mau tinggal di tempat itu, lalu dia pun pergi
hendak mencari ayahnya. Dan Kwee Lun, yang merasa tertarik kepada gadis cantik jelita dan galak serta
jujur itu segera berpamit dan cepat lari mengejar Soan Cu. Di kaki pegunungan Tai-hang-san barulah Kwee
Lun mampu menyusul Soan Cu karena gadis itu memperlambat larinya dan berjalan dengan termenung.
Setelah kini mulai melakukan perjalanan seorang diri, barulah Soan Cu merasa bingung sekali. Ketika
melakukan perjalanan bersama Sin Liong, dia tidak tahu apa-apa, hanya ikut saja dan seluruh hal
diputuskan oleh pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa dia berada seorang diri di dunia yang luas ini, dia
merasa kesepian dan bingung. Dia tidak mengenal tempat dan tidak tahu harus menuju ke mana untuk
mencari ayahnya! Teringat akan semua ini, hatinya menjadi kecil dan gelisah, juga marah. Marah kepada
Sin Liong yang meninggalkanya.
"Nona Ouw, perlahan dulu....!"
Karena termenung dan hatinya gelisah, Soan Cu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekitarnya,
maka dia tidak tahu bahwa ada orang membayanginya di belakang. Dia baru terkejut ketika mendengar
seruan itu. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang. Dia cemberut melihat bahwa yang
dunia-kangouw.blogspot.com
memanggilnya adalah pemuda tinggi besar yang pernah bertempur dengan dia di Puncak Awan Merah
karena pemuda ini memembela Swat Hong dan dia membela Sin Liong. Teringat akan peristiwa itu, tibatiba
saja dia merasa geli dan menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu menutupi mulutnya.
Melihat gadis itu menahan ketawa, namun jelas sinar mata gadis itu mentertawakannya, Kwee Lun
mengerutkan alisnya yang tebal, akan tetapi dia pun tersenyum dan berkata sambil menjura, "Nona Ouw,
mengapa engkau menahan ketawa dan menyembunyikan senyum? Menyambut seorang kenalan dengan
senyum lebar di bibir merupakan penghormatan paling besar. Senyum adalah seperti matahari pagi,
menghidupkan menenteramkan, penuh damai dan bahagia...."
Mendengar ucapan pemuda itu yang diatur seperti orang membaca sajak, Soan Cu tertawa dan dia kagum
juga. Terdengar amat indah kata-kata tadi. Akan tetapi timbul pula kenakalannya dan dia menjawab
dengan nada mengejek, "Orang She Kwee, aku tertawa bukan menyambutmu, melainkan teringat akan
peristiwa yang amat lucu. Engkau datang bersama Han Swat Hong, membelanya mati-matian, akan tetapi
sekarang di manakah dia? Engkau ditinggalkan begitu saja! Betapa lucunya! Lucu ataukah menyedihkan?"
Alis tebal itu makin dalam berkerut, akan tetapi kemudian Kwee Lun tersenyum lagi dan menganggukangguk.
"Memang lucu sekali! Ha-ha-ha-ha, lucu sekali!"
Melihat pemuda itu tidak tersinggung malah tertawa-tawa, Soan Cu menjadi penasaran. "Apa yang lucu?"
bentaknya.
"Kau... eh, kita berdua... yang lucu. Mengapa bisa begini kebetulan?"
"Apa yang kebetulan?" Soan Cu makin penasaran karena ejekannya itu kini agaknya malah dibalikkan oleh
pemuda itu kepadanya.
"Bukankah kebetulan sekali nasib kita amat serupa? Aku datang bersama Nona Swat Hong dan aku
ditinggalkan, sebaliknya engkau pun datang bersama Sin Liong dan engkau ditinggalkan pula. Nasib kita
benar serupa, bukankah ini amat lucunya?"
Wajah Soan Cu menjadi merah sekali.
"Srattt!" pedang Coa-kut-kiam yang bersinar-sinar telah berada di tangan kanannya.
Kwee Lun terkejut bukan main, hanya memandang bengong karena sama sekali tidak menyangka bahwa
gadis yang dianggapnya jujur dan lincah gembira ini demikian mudah tersinggung! "Eh, Nona Ouw... kau...
marah oleh godaanku tadi?"
"Siapa marah? Hayo cabut pedangmu, kita lanjutkan pertempuran kita yang terhenti ketika di Puncak Awan
Merah. Aku masih belum kalah olehmu!"
Kwee Lun menarik napas panjang, hatinya lega. Tepat dugaannya, nona ini sama sekali bukan tersinggung
oleh godaannya, melainkan karena memiliki watak aneh, ingin melanjutkan pertempuran ketika mereka
saling membela sahabat masing-masing di Puncak Awan Merah.
"Wah, berat, Nona. Aku terima kalah. Dalam gebrakan-gebrakan yang pernah kita lakukan itu saja aku
sudah tahu bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih tinggi dari-pada aku. Pula kita bukanlah musuh. Terserah
kalau Nona hendak menganggap aku musuh, akan tetapi aku Kwee Lun sama sekali tidak menganggap
kau sebagai musuhku. Bahkan sebaliknya, di antara kita, mau atau tidak telah terdapat ikatan
persahabatan yang amat erat."
"Hemm, jangan kau mencoba untuk membujukku. Persahabatan dari mana? Enak saja kau bicara!"
"Eh, apakah kau hendak menyangkal bahwa engkau adalah sahabat baik dari Kwa Sin Liong, Nona?"
"Memang, dia adalah sahabat baikku, bukan engkau!"
"Nah, kalau engkau sahabat baik dari Kwa Sin Liong, berarti engkau adalah sahabat baikku pula. Kwa Sin
Liong adalah Suheng dari Han Swat Hong, dan Nona itu adalah sahabatku. Sahabat dari si Suheng tentu
dunia-kangouw.blogspot.com
juga menjadi sahabat baik dari sahabat si Sumoi, bukan?"
"Hemm, kau memang pandai bicara." Soan Cu menyarungkan kembali pedangnya. "Bilang saja bahwa kau
tidak berani melawan aku!"
"Tentu saja tidak berani, karena memang pedangku bukan untuk melawan, melainkan untuk membantumu
mencari kembali Ayahmu. Bukankah kau hendak mencari Ayahmu, Nona? Tahukah kau ke mana kau
harus mencarinya?"
Ditegur seperti itu, Soan Cu menjadi bingung lagi. Memang tadi dia sedang termenung bingung, tidak tahu
harus pergi ke mana. Dengan matanya yang indah terbelalak gadis itu memandang kepada Kwee Lun dan
menggelengkan kepalanya, lalu dia berkata, "Apakah kau tahu?"
"Tentu saja aku tidak tahu, Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis
muda, sungguh tidak leluasa bagimu untuk mencari sendiri. Aku dapat membantumu. Dahulu aku sering
merantau dengan guruku, dan aku banyak mengenal daerah-daerah, tahu pula dunia kang-ouw sehingga
agaknya akan lebih menguntungkan bagimu dan menyenangkan bagiku kalau kita melakukan perjalanan
bersama. Tentu saja kalau kau suka...."
Sampai lama Soan Cu menatap wajah pemuda itu. Dia menghela napas, kemudian berkata, "Engkau baik
sekali, seperti Sin Liong. Tentu saja engkau tidak dapat kuandalkan seperti dia, kepandaianmu tidak
sehebat dia. Akan tetapi engkau juga gagah perkasa, jujur dan itu sudah cukup untuk meyakinkan aku
bahwa engkau tentu dapat menjadi seorang sahabat."
"Ha-ha-ha, terima kasih, ha-ha-ha! Sudah kuduga bahwa engkau adalah seorang gadis yang luar biasa,
polos dan tidak berpura-pura, cantik dan gagah perkasa. Ha-ha-ha!" Kwe Lun tertawa dengan bebas.
Soan Cu menjadi sangat terkejut ketika melihat betapa air mata mengalir di kedua pipi pemuda tinggi besar
yang gagah dan tampan ini. "Eh, kau menangis??"
Kwee Lun menghentikan tawanya, mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya sambil menggeleng
kepala. "Ini adalah penyakitku, Nona. Aku selalu mengeluarkan air mata kalau tertawa terlalu gembira.
Akan tetapi, kalau dilihat kenyataannya, apa sih bedanya antara tawa dan tangis? Apakah bedanya antara
senang dan susah, antara nyeri dan nikmat? Kesemuanya adalah dua muka dari satu tangan, tak
terpisahkan. Mencari yang satu, pasti akan ketemu dengan yang ke dua."
"Wah, kau memang seorang manusia aneh, Kwee-toako. Kau gagah perkasa, pemberani, pandai bersajak,
pandai filsafat, dan.... cengeng!"
Girang bukan main hatinya mendengar gadis itu menyebutnya toako, tanda bahwa gadis itu benar-benar
mau menerima persaudaraan atau persahabatan di antara mereka. "Ouw-siocia... atau engkau lebih
senang kusebut adik?"
"Sebut saja namaku Soan Cu."
"Bagus! Kau hebat! Soan Cu kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah seorang yang berhati palsu. Engkau
tidak akan kecewa menaruh kepercayaan kepadaku dan sudi menerima uluran tangan persahabatan
dariku. Aku akan berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencari Ayahmu itu. Siapakah nama beliau?"
"Ayahku bernama Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau Neraka yang sudah belasan tahun meninggalkan
Pulau Neraka."
Tiba-tiba Kwee Lun memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, bibirnya
bergetar ketika dia menegaskan. "Pu... Pulau... Neraka?"
Soan Cu tersenyum. "Apakah kau masih mau menganggap aku sahabat setelah kau tahu aku adalah
seorang gadis dari Pulau Neraka?"
"Eh-eh, jangan salah paham, Soan Cu. Aku... hanya terkejut sekali mendengar ada pulau yang namanya
seperti itu. Pernah guruku, Lam-hai Sengjin mengatakan bahwa di dalam dongeng yang tersebar di antara
dunia-kangouw.blogspot.com
kaum kang-ouw, terdapat sebutan dua pulau. Pertama adalah Pulau Es...."
"Tempat tinggal Sin Liong dan Swat Hong!"
"Benar, dan aku sudah merasa bahagia bukan main telah bertemu dengan seorang puteri Pulau Es. Dan
kedua, menurut Suhu adalah pulau yang tentu tidak pernah ada dan hanya ada dalam dongeng, adalah
Pulau Neraka...."
"Bukan dongeng. Akulah gadis Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu menceritakan dengan singkat keadaan
Pulau Neraka, juga tentang ayahnya yang minggat dari pulau ketika ibunya tewas melahirkan dia.
"Ah, kasihan sekali engkau, Soan Cu."
"Ayahku yang patut dikasihani."
"Tidak! Ayahmu telah melakukan hal yang amat keliru. Perbuatannya lari dari Pulau Neraka itu jelas
membayangkan betapa ayahmu hanyalah mengingat akan dirinya sendiri saja."
"Kwee Lun! Apa yang kau katakan ini? Kau berani menghina nama ayah di depanku?" Soan Cu melotot
marah.
"Maaf, Soan Cu. Aku sama sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya bicara berdasarkan kenyataan.
Ibumu meninggal dunia ketika melahirkanmu, apakah beliau itu salah? Engkau sendiri yang dilahirkan dan
kelahiran itu mengakibatkan kematian ibumu, apakah engkau pun bersalah? Tentu saja tidak! Mendiang
ibumu dan engkau sama sekali tidak bersalah dan kematian itu adalah suatu hal yang wajar, yang sudah
semestinya dan lumrah karena hidup dan mati adalah hal yang biasa. Akan tetapi ayahmu. Beliau malah
lari meninggalkan pulau, meninggalkan anaknya yang baru terlahir! Apakah perbuatan ini harus
kubenarkan saja? Kalau aku berbuat demikian, berarti aku bukan membenarkan secara jujur, melainkan
menjilat untuk menyenangkan hatimu."
Lenyap kemarahan Soan Cu. Dia menunduk. "Kau aneh, Kwee-toako, aneh dan terlalu terus terang. Habis,
andai kata benar seperti yang kau katakan bahwa Ayah terlalu mementingkan diri sendiri, apakah aku
sebagai anaknya tidak boleh mencari Ayahku?"
"Bukan begitu, Soan Cu. Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu dan aku akan membantumu sampai
kita berhasil menemukan Ayahmu. Mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena harus diakui betapa
akan sukarnya mencari seorang yang tidak kita ketahui berada di mana. Akan tetapi aku percaya, kalau
memang Ayahmu yang telah pergi selama belasan tahun itu berada di daratan, sebagai seorang tokoh
besar, tentu ada orang kang-ouw yang mengetahuinya."
Demikanlah, kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama dan makin eratlah hubungan di antara
mereka. Dalam diri masing-masing mereka menemukan sahabat yang cocok kepribadian dan serasi
dengan watak masing-masing, terbuka, jujur dan tidak bisa bermanis-manis muka. Soan Cu mulai tertarik
sekali kepada pemuda tinggi besar yang tampan, jujur, jenaka dan biar pun kelihatan kasar, namun
ternyata pandai bernyanyi dan membaca sajak-sajak indah. Di lain pihak, Kwee Lun juga tertarik sekali
oleh pribadi Soan Cu, seorang gadis yang kadang-kadang kelihatan liar dan ganas, tidak pernah
menyembunyikan perasaan, namun kadang-kadang begitu lembut dan penuh sifat keibuan.
Makin akrab hubungan mereka, makin terobatilah hati yang tadinya luka oleh asmara. Kwee Lun mulai
dapat melupakan Swat Hong yang dikaguminya, sedangkan Soan Cu mulai dapat melupakan Sin Liong.
Kwee Lun bersama Soan Cu melakukan penyelidikan sampai jauh ke barat, karena dia mendengar dari
seorang tokoh kang-ouw bahwa nama Ouw Sian Kok pernah muncul di barat. Akan tetapi pada waktu
mereka melakukan perjalanan ke barat untuk mencari jejak tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah kacaubalau
oleh perang dan arus manusia ke barat amat banyak. Kedua orang muda itu terbawa arus manusia
dan mereka pun terlihat seperti dua orang yang sedang mengungsi ke barat.
Ketika mendengar bahwa rombongan Kaisar yang melarikan diri berada di depan, mendengar pula tentang
kematian selir terkenal Yang Kui Hui bersama kakaknya yang menjadi perdana menteri, Kwee Lun berkata
kepada temannya, "Soan Cu, mari kita melihat keadaan Kaisar. Aku tidak mencampuri urusan perang,
akan tetapi siapa tahu, rombongan keluarga bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik
dunia-kangouw.blogspot.com
perhatian orang-orang kang-ouw, termasuk Ayahmu."
Seperti biasa selama melakukan perjalanan bersama, Soan Cu hanya menyetujui karena dia sendiri tidak
tahu apa-apa. Hanya harapan untuk bertemu dengan ayahnya mulai menipis karena sampai saat itu belum
juga ada keterangan yang jelas dan meyakinkan tentang diri ayahnya. Malam itu mereka dapat menyusul
rombongan Kaisar yang berada dalam keadaan berduka setelah terjadi peristiwa pembunuhan Yang Kui
Hui karena Kaisar selalu murung dan berduka sekali.
Dan seperti diceritakan di bagian depan, pada malam itu terjadi lagi peristiwa hebat yang menimpa
rombongan Kaisar, ketika Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki diam-diam menyelinap ke dalam tempat
penginapan dan hendak membunuh Kaisar akan tetapi salah masuk dan sebaliknya membunuh seorang
pangeran muda. Ketika Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang muda yang dengan gagah perkasa
mengamuk dan dikepung ketat oleh para pengawal, telah menderta luka-luka namun masih terus
mengamuk hebat, Kwee Lun menjadi kagum.
"Melihat gerakannya, pemuda gagah itu tentu murid Hao-san-pai. Dia adalah orang gagah, pendekar sejati,
maka sepatutnya kita menolong mereka."
Soan Cu mengangguk. "Memang tidak adil sekali dua orang dikeroyok puluhan orang prajurit seperti itu.
Gadis itu pun gagah dan cantik. Mari, Toako, kita bantu mereka meloloskan diri."
Mereka lalu melayang turun dari atas pohon dari mana mereka tadi mengintai. Tak lama kemudian
gegerlah para pengeroyok ketika dua orang muda ini menyerbu dari luar kepungan dan merobohkan para
pengeroyok dengan amat mudahnya. Kwee Lun tidak mencabut pedangnya, melainkan menggunakan
kedua tangannya yang kuat menangkapi dan melempar-lemparkan pengawal yang menghadang di
depannya, sedangkan Soan Cu mengamuk dengan cabuk berduri di tangan kiri dan sebatang pedang di
tangan kanan. Gerakan dara ini bukan main ganasnya. Cambuknya meledak-ledak dan setiap ledakan
disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya membuat gerakan cepat sehingga tampak sinar
bergulung-gulung yang merontokkan semua senjata lawan.
"Harap Ji-wi mundur dan cepat lari, biar kami menahan mereka!" kata Kwee Lun sambil menggerakkan
sikunya yang kuat merobohkan seorang pengawal yang menerjangnya dari belakang.
"Terima kasih atas bantuan Ji-wi (Anda Berdua)!" seru Liem Toan Ki dengan girang karena dia khawatir
sekali akan keadaan kekasihnya.
Sambil menggerakkan pedang, mereka lalu mundur dan membuka jalan darah, merobohkan mereka yang
berani menghadang. Karena kini para pengawal itu dikacaukan oleh Kwee Lun dan Soan Cu, tidak sukar
bagi Swi Nio dan Toan Ki untuk meloloskan diri dari kepungan yang sudah terpecah belah itu. Setelah
melihat dua orang itu menghilang, Kwee Lun juga mengajak Soan Cu meninggalkan gelanggang
pertempuran dan menghilang di dalam gelap, mengejar bayangan dua orang yang mereka tolong itu.
Menjelang pagi, Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya tadi sedang menanti mereka
di luar sebuah hutan besar.
Melihat dua orang penolong mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk. "Banyak terima kasih kami haturkan atas
bantuan Ji-wi yang mulia," kata Toan Ki. "Kalau tidak mendapat bantuan Ji-wi, tentu kami berdua telah
tewas di tangan para pengawal Kaisar itu."
"Ah, di antara kita, bantu membantu merupakan hal yang sudah sewajarnya," jawab Kwee Lun. "kami
sendiri juga mengharapkan bantuan Ji-wi."
"Bantuan apa? Kami akan bergembira sekali kalau dapat membantu Ji-wi," seru Liem Toan Ki yang telah
merasa berhutang budi.
"Kami berdua sedang mencari seorang tokoh bernama Ouw Sian Kok, tokoh dari Pulau Neraka. Barangkali
Ji-wi dapat membantu kami di mana adanya Ouw-lo-cianpwe itu?"
Kaget juga Swi Nio dan Toan Ki mendengar disebutnya Pulau Neraka. Mereka saling pandang dan
menggelengkan kepala. "Sayang, kami sendiri belum pernah mendengar nama Ouw Sian Kok dari Pulau
dunia-kangouw.blogspot.com
Neraka. Akan tetapi kami akan membantu sekuat tenaga. Di manakah adanya beliau yang terakhir kalinya,
dan apakah Ji-wi sudah mendapatkan jejaknya?"
"Itulah sukarnya. Kami tidak tahu beliau berada di mana, maka mengharapkan keterangan dari orangorang
kang-ouw."
"Kalau begitu, mari Ji-wi ikut dengan kami ke timur. Saya kira, mencari seorang tokoh besar di dunia kangouw
akan bisa kita dapatkan keterangan selengkapnya di sekitar kota raja. Apa lagi sekarang, setelah
perjuangan An Lu Shan Tai-ciangkun berhasil, tentu banyak tokoh kang-ouw muncul di kota raja dan kita
dapat bertanya-tanya kepada mereka."
"Akan tetapi kabarnya di sana terjadi perang, bahkan banyak orang mengungsi ke Secuan."
Toan Ki tersenyum. "Jangan khawatir, kami berdua adalah orang-orang dalam! Kami berdua bekerja untuk
An-tai-ciangkun, maka kami mempunyai banyak kenalan di sana. Sekarang Tiang-an telah diduduki, dan
agaknya keadaan tentu telah aman kembali."
Mereka bercakap-cakap dan terdapatlah kecocokan di antara mereka. Juga Soan Cu menjadi akrab
dengan Swi Nio. Gadis Pulau Neraka yang masih hijau ini senang sekali mendengar penuturan Swi Nio
yang sudah berpengalaman, sebaliknya Swi Nio juga kagum terhadap dara cantik yang ternyata adalah
seorang dari Pulau Neraka yang hanya dikenal dalam dongeng, kagum menyaksikan kehebatan ilmu
kepandaian Soan Cu tadi dan juga ngeri menyaksikan senjata-senjata yang ampuh dan ganas itu.
Berangkatlah mereka berempat kembali ke timur menuju ke Tiang-an, kota raja pertama yang telah terjatuh
ke tangan An Lu Shan.
Setelah berhasil menduduki Lok-yang melalui pertempuran yang seru, An Lu Shan memimpin pasukan
intinya menuju ke Tiang-an. Kembali dia harus menghadapi perlawanan gigih di Lembah Tung Kuan, akan
tetapi setelah lembah ini didudukinya, pasukan-pasukannya terus menekan dan bergerak menuju ke Tiangan.
Demikianlah, Tiang-an, ibu kota yang megah itu, diserbu dan didudukinya dengan amat mudah, hampir
tidak ada perlawanan sama sekali.
Hal ini adalah karena banyak kaki tangan dan mata-matanya yang dipimpin oleh Ouwyang Cin Cu dan The
Kwat Lin, telah lebih dulu melakukan kekacauan-kekacauan sehingga melemahkan pertahanan. Apa lagi
Kaisar juga telah melarikan diri dan meninggalkan kota raja Tiang-an, hal ini membuat para pasukan
penjaga menjadi kehilangan semangat dan sebagian besar di antara mereka menyatakan takluk tanpa
melalui peperangan yang lama, ada pula yang melarikan diri menyusul rombongan Kaisar ke barat.
Seperti biasa terjadi di waktu perang, dari jaman dahulu sebelum sejarah tercatat sampai sekarang, akibatakibat
yang mengerikan terjadi dan menimpa diri pihak yang kalah perang. Demikian pula nasib para
bangsawan di kota raja yang tidak sempat melarikan diri. Banyak orang dibunuh hanya oleh tudingan jari
tangan orang lain yang memfitnahnya, mengatakan bahwa orang itu adalah mata-mata pemerintah. Mayat
bergelimpangan di sepanjang jalan dan anggota-anggota pasukan pemberontak yang menang perang itu
berpesta pora mengangkuti harta benda dan wanita dari pihak yang kalah.
Jerit tangis wanita-wanita yang dipaksa dan diperkosa, membumbung tinggi ke angkasa, bercampur baur
dengan sorak dan tawa kemenangan. Dan An Lu Shan, seorang yang ahli dalam hal memimpin pasukan,
sengaja membiarkan saja hal itu terjadi agar darah yang bergolak di dada para anak buahnya dapat
diredakan. Beberapa hari kemudian, setelah anak buahnya sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya
mengganggu wanita dan merebutkan harta benda yang ditinggal lari, barulah muncul perintah yang
melarang perbuatan seperti itu.
Namun An Lu Shan juga tidak melupakan janji-janjinya kepada para pembantunya yang telah berjasa.
Dengan royal dia lalu membagi-bagikan pangkat, gedung bekas tempat tinggal para bangsawan yang
melarikan diri atau terbunuh, membagi-bagikan harta benda dan para puteri cantik yang menjadi tawanan.
Maka selama beberapa bulan lamanya berpesta poralah para kaki tangan An Lu Shan yang menerima
hadiah-hadiah itu. Tentu saja An Lu Shan lebih lagi memperhatikan para pembantu yang tangguh dan yang
masih diharapkan bantuan mereka. Kepada mereka ini dia memberi hadiah yang lebih besar lagi.
Dia tidak mengingkari janjinya terhadap para pembantu yang berjasa besar seperti The Kwat Lin, bekas
Ratu Pulau Es itu. Maka setelah Tiang-an diduduki, putera The Kwat Lin yang bernama Han Bu Ong lalu
dunia-kangouw.blogspot.com
diberi anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin sendiri diangkat menjadi seorang panglima pengawal,
sedangkan Ouwyang Cin Cu diangkat menjadi koksu (guru penasehat negara). Dapat dibayangkan betapa
girangnya hati The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai, puteranya telah menjadi pangeran dan kalau dia pandai
mengatur kelak siapa tahu terbuka kesempatan bagi para puteranya untuk menjadi Kaisar! Tidaklah
mengherankan apa yang terkandung dalam hati The Kwat Lin sebagai cita-cita ini.
Sudah lazim bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi hamba dari cita-cita kita sendiri. Seluruh
kehidupan ini seolah-olah dikuasai dan diatur oleh cita-cita kita masing-masing. Kita tenggelam dalam
khayal dan cita-cita, tidak tahu betapa cita-cita amatlah merusak hidup kita. Cita-cita membuat pandang
mata kita selalu memandang jauh ke depan penuh harapan untuk mencapai sesuatu yang kita cita-citakan.
Pandang mata yang selalu ditujukan ke masa depan yang belum ada, tangan yang dijangkaukan ke depan
untuk selalu mengejar apa yang belum kita miliki, membuat kita hidup seperti dalam bayangan.
Kita tidak mungkin dapat menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi saat, sekarang ini, bukan masa
depan yang merupakan bayangan khayal, bukan pula masa lalu yang sudah mati. Sekali kita
menghambakan diri kepada cita-cita, selama hidup kita akan terbelenggu oleh cita-cita karena tidak ada
cita-cita yang dapat terpenuhi sampai selengkapnya, dan kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tak
berkeputusan. Mendapat satu ingin dua, memperoleh dua mengejar tiga dan selanjutnya, itulah cita-cita!
Semua itu akan kita kejar terus sampai kematian merenggut kehidupan kita, bahkan di ambang kubur
sekali pun di waktu mendekati kematian, kita masih terus di cengkeram cita-cita, yaitu cita-cita untuk masa
depan sesudah mati! Betapa mungkin kita dapat menikmati hidup ini kalau mata kita selalu memandang
masa datang yang belum ada? Sebaliknya, orang yang bebas dari cita-cita, bebas dari masa lalu dan masa
depan, dapat menghayati hidup ini saat demi saat!
Demikian pula dengan The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai dengan diangkatnya puteranya menjadi
pangeran, akan tetapi sudah habis di situ sajakah cita-citanya? Sama sekali belum! jauh dari-pada cukup
atau habis! Bahkan cita-cita barunya yang lebih hebat baru saja dia mulai, yaitu cita-cita melihat puteranya
menjadi kaisar! Karena cita-cita ini, maka keadaannya pada saat itu tidak terasa membahagiakan, bahkan
terasa amat kurang. Hanya pangeran! Hanya panglima pengawal! Jauh dibandingkan dengan puteranya
menjadi kaisar dan dia menjadi ibu suri!
Banyak orang membantah, mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita kita tidak
akan maju. Apakah cita-cita itu? Apakah kemajuan itu? Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu yang
belum terdapat oleh kita. Dan keinginan seperti ini merupakan dorongan nafsu yang tak mengenal
kenyang, makin dituruti makin lapar dan haus, menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar
dibedakan lagi dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan pertentangan, permusuhan dan
kesengsaraan.
Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan adalah keduniawian, harta
benda, kedudukan, nama besar. Apakah ‘kemajuan’ seperti ini mendatangkan kebahagiaan? Hanya
mereka yang telah memiliki nama terkenal saja yang mampu menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK!
Bahkan sebaliknya, makin banyak kedudukan atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada duniawi,
makin banyak pula kesengsaraan hidup yang kita derita berupa kekecewaan, pertentangan dan
kekhawatiran. Karena yang sudah pasti saja, hanya mereka yang masih memiliki lahir batin yang akan
kehilangan! Kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan sedangkan sebelum terjadi kehilangan, kita
digerogoti kekhawatiran.
Akan tetapi pada waktu itu tidak nampak seorang pun, karena pada waktu itu rakyat penghuni ibu kota
sedang dicengkeram ketakutan hebat. Seperti biasa setelah perang berakhir, rakyat yang menjadi sasaran
mereka yang memperoleh kemenangan. Para anggota pasukan baru berkeliaran keluar masuk
perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya sendiri, bahkan tidak jarang terjadi mereka
memasuki kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri sambil menyeret nyonya rumah yang
masih muda atau anak gadis mereka! Seperti para atasannya yang mengadakan pesta besar-besaran,
kaum rendahan juga berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk hanya pandai
menangis dan mengeluh mengadu kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya.
Menjelang tengah malam, pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang berkedudukan
tinggi sekali sekarang, seorang koksu, datang juga hanya sekedar memberi selamat dan tidak tinggal lama.
Akan tetapi para pengawal baru, tentu saja mereka yang berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora
dunia-kangouw.blogspot.com
karena memang The Kwat Lin ingin mengambil hati para rekannya ini yang kelak dia harapkan bantuan
mereka. Bahkan ketika para tamu orang penting sudah meninggalkan tempat pesta dalam keadaan
setengah mabuk dan tempat itu mulai sepi, The Kwat Lin masih menahan para pembesar pengawal yang
jumlahnya belasan orang itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru sebagai pengawalpengawal
istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya.
Lewat tengah malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal hanyalah empat belas orang pimpinan
pengawal yang kini dijamu dan diajak berunding di ruangan dalam, ada pun ruangan luar tempat pesta
mulai dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan yang kelihatan lelah dan mengantuk. Pada saat itulah
berkelebat bayangan tiga orang. Para pelayan yang membersihkan tempat bekas pesta itu hanya melihat
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu kelihatan dua orang wanita cantik dan seorang laki-laki
gagah sudah berdiri dengan sikap angker!
Tentu saja para pelayan terkejut sekali dan mengira bahwa orang-orang aneh yang bergerak amat
cepatnya ini tentulah sahabat majikan mereka yang juga terkenal lihai bukan main. Maka seorang di antara
mereka menyambut sambil menjura dan berkata, "Sam-wi yang terhormat agak terlambat karena pesta
telah bubar."
"Kami tidak ingin pesta," jawab wanita yang setengah tua dengan sikap keren. "Kami ingin berjumpa
dengan majikan kalian."
Melihat sikap yang keren penuh wibawa ini, para pelayan menjadi gentar dan dua orang di antara mereka
cepat memasuki ruangan dalam di mana The Kwat Lin sedang mengadakan perundingan dengan rekanrekannya.
Diam-diam wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat dengan matanya kepada Swat Hong, puterinya. Swat
Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat cepat dara ini sudah meloncat dan menyelinap lenyap
dari situ, sedangkan ibunya dan Ouw Sian Kok sudah menerjang ke dalam ruangan ketika melihat pelayan
tadi pergi melapor. Baru saja dua orang pelayan itu memasuki ruangan dalam dan belum sempat
mengeluarkan kata-kata, pintu telah terbuka lebar dan Liu Bwee bersama Ouw Sian Kok telah menerjang
ke dalam.
"Heiii! Siapa...?!" bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya berubah pucat ketika dia melihat
munculnya wanita yang tentu saja amat dikenalnya itu.
Dia menjadi pucat ketakutan karena mengira bahwa bekas suaminya, Han Ti Ong Raja Pulau Es yang
amat ditakutinya itu muncul. Akan tetapi ketika melihat bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee itu
bukanlah Han Ti Ong, hatinya menjadi lega dan dengan tabah dia meloncat ke depan. Dua kali dia
menendang, membuat dua orang pelayannya terlempar ke luar ruangan, kemudian menghadapi Liu Bwee
sambil tersenyum mengejek. "Aih, kiranya wanita buangan yang datang mengacau dan mengantarkan
nyawa!" bentaknya.
"Perempuan hina yang berhati iblis! Engkau telah menerima budi kebaikan dari suamiku, mengangkatmu
dari lembah kehinaan ke tempat mulia, malah membalasnya dengan khianat! Engkau dan anak harammu
itu harus mampus di tanganku!"
"Mulut busuk!" The Kwat Lin balas memaki dan sekali tanganya bergerak, tampak sinar merah dari Pedang
Ang-bwe-kiam di tangan kanannya, kemudian tanpa menanti lagi, sinar merah itu sudah meluncur ke
depan menyerang Liu Bwee.
"Cringgg...!!" bunga api berpijar dan The Kwat Lin mundur dua langkah sambil memandang Ouw Sian Kok
yang telah menangkis pedangnya dengan sebatang pedang di tangan, tangkisan yang membuat lengannya
tergetar, tanda bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee ini memiliki kepandaian tinggi pula.
"Siapa engkau?!" bentaknya, sementara para rekannya, empat belas orang perwira dan panglima
pengawal, telah mencabut senjata masing-masing dan mengurung, menanti saat bantuan mereka
diperlukan oleh The Kwat Lin.
Ouw Sian Kok yang mengerti bahwa dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong telah memasuki goa
harimau dan berada dalam ancaman bahaya besar, sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada Swat Hong yang oleh ibunya ditugaskan menyelinap ke dalam istana untuk mencari dan merampas
kembali pusaka-pusaka Pulau Es. Hanya dengan jalan demikian saja kiranya pusaka-pusaka itu dapat
dirampas kembali. Dia tertawa dan mengelus jenggotnya, sedangkan Liu Bwee siap dan berdiri saling
membelakangi punggung dengan Ouw Sian Kok, maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi
pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling melindungi.
"Ha-ha-ha! Engkau tanya siapa aku? Aku pun seorang buangan! Namaku Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka!"
Mendengar ini The Kwat Lin diam-diam merasa terkejut dan heran juga. Dia sudah mendengar dari bekas
suaminya, Raja Pulau Es, bahwa para buangan di Pulau Neraka bukanlah orang-orang sembarangan,
bahkan banyak di antara mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi karena dia percaya akan
kepandaiannya sendiri, juga merasa aman berada di antara para pengawal dan lebih lagi dia kini berada di
dalam istananya di kota raja, dia memandang rendah. "Huh, kiranya adalah buangan rendah dan hina dari
Pulau Neraka."
Ouw Sian Kok yang ingin mengulur waktu kembali tertawa untuk mengalihkan perhatian The Kwat Lin. "Haha-
ha! Biar pun kami para penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang buangan, namun kiranya sukar
dicari seorang pun di antara kami yang memiliki watak rendah untuk mengkhianati orang yang telah
menolong dan melimpahkan kebaikan kepada kami seperti yang dilakukan olehmu, The Kwat Lin!"
"Manusia hina! Mampuslah!!"
"Sing-sing-singggg...!!"
Ouw Sian Kok maklum akan kelihaian wanita ini. Maka cepat ia mengelak, menangkis dan balas
menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya. Dia keluarkan ilmu-ilmu simpanannya.
Terjadilah duel yang amat hebat di antara kedua orang berilmu tinggi ini. Melihat betapa Ouw Sian Kok
yang memang seperti direncanakan harus menghadapi The Kwat Lin sementara dapat mengimbangi
lawan, Liu Bwee cepat memutar pedangnya dan menghadapi pengeroyokan belasan orang pengawal itu.
Pedangnya bergerak dahsyat sekali, dan dalam sepuluh jurus saja dia telah merobohkan dua orang
pengawal. Yang lain tetap mengepungnya karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani
membantu The Kwat Lin, melihat betapa bayangan wanita itu dan bayangan lawannya lenyap menjadi satu
digulung oleh sinar pedang mereka.
Mulai cemas rasa hati The Kwat Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa Ouw Sian Kok merupakan
lawan yang berat dan seimbang dengannya. Sedangkan para rekannya itu biar pun berjumlah banyak,
ternyata tidak mampu mengimbangi amukan Liu Bwee sehingga berturut-turut roboh pula beberapa orang
di antara mereka!
"Cari bantuan dari benteng!" terpaksa The Kwat Lin berteriak keras.
Mendengar ini, seorang di antara para pengawal itu segera lari keluar untuk minta bala bantuan. Melihat
gelagat yang berbahaya ini, Ouw Sian Kok menjadi khawatir juga. Mengapa Swat Hong belum juga
kembali?
"Lekas robohkan mereka dan bantu aku mengalahkan dia ini!" katanya kepada Liu Bwee ketika melihat
betapa Liu Bwee tidak begitu sukar untuk mendesak para pengeroyoknya.
Liu Bwee maklum pula akan kelihaian The Kwat Lin. Tahulah dia bahwa betapa pun lihainya Ouw Sian
Kok, menghadapi wanita itu masih amat sukar untuk mencapai kemenangan. Maka dia memutar
pedangnya makin cepat, merobohkan lagi tiga orang. Pada saat itu berkelebat bayangan yang gesit dan
tampaklah Swat Hong yang membawa sebatang pedang dan di punggungnya tampak sebuah buntalan
kain sutera merah.
"Ibu, aku berhasil...!" teriak Swat Hong sambil menerjang maju merobohkan dua orang pengeroyok ibunya.
Melihat ini The Kwat Lin menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia kena diakali. Dia dapat menduga
apa isi buntalan sutera merah itu, sutera merah yang amat dikenalnya. Pusaka-pusaka Pulau Es telah
berada di tangan Swat Hong!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bedebah! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" bentaknya dan tubuhnya secara tiba-tiba sekali mencelat ke
arah Swat Hong, pedangnya menusuk tenggorokan tangan kirinya meraih ke arah punggung.
"Tranggg...!" Liu Bwee terhuyung dan hampir roboh setelah menangkis pedang The Kwat Lin. Seorang
pengawal menubruknya, akan tetapi pengawal itu terlempar dengan dada pecah karena ditendang oleh Liu
Bwee.
Sedangkan Swat Hong sudah dapat menangkis pedang The Kwat Lin yang kembali menyerangnya. Ouw
Sian Kok sudah meloncat pula dan menerjang The Kwat Lin sehingga kembali mereka bertanding dengan
hebat.
"Hong-ji, kau selamatkan dulu pusaka-pusaka itu!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak kepada puterinya.
"Kita akan cepat menyusul pergi!" kata pula Ouw Sian Kok kepada Swat Hong.
Swat Hong melihat bahwa jumlah pengawal hanya tinggal lima orang dan mereka bukanlah lawan berat
bagi ibunya, sedangkan Ouw Sian Kok juga dapat menahan Kwat Lin. Sebab itu dia mengangguk, dan
sekali berkelebat dia meloncat ke luar.
"Tahan dia....! Jangan larikan pusaka Pulau Es...!" Kwat Lin berteriak marah, akan tetapi dia tidak dapat
mengejar karena sinar pedang Ouw Sian Kok menghalanginya dengan serangan-serangan dahsyat.
Terpaksa The Kwat Lin mengerahkan tenaganya untuk mendesak Ouw Sian Kok dan dalam kemarahan
yang amat hebat ini tenaganya bertambah sehingga Ouw Sian Kok berseru kaget dan mundur karena
pundak kirinya berdarah, terluka sedikit kena diserempet sinar pedang kemerahan.
Ketika Swat Hong berlari cepat sekali ke luar, dia terkejut setengah mati melihat sepasukan pengawal
berbondong datang memasuki istana itu dari pintu luar, bersenjata lengkap, dipimpin sendiri oleh Ouwyang
Cin Cu! Bingunglah dia. Pusaka memang harus diselamatkan, akan tetapi betapa mungkin dia
meninggalkan ibunya yang terancam bahaya maut?
Selagi dia meragu dan mengintai dari tempat bersembunyi, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan
empat orang. Dia menjadi girang sekali ketika mengenal dua orang di antara mereka adalah Kwee Lun dan
Soan Cu. Cepat dia meloncat ke luar, berseru lirih, "Kwee-toako! Soan Cu...!!"
Soan Cu dan Kwee Lun terkejut dan berhenti, juga Swi Nio dan Liem Toan Ki yang datang bersama
mereka. Ketika melihat bahwa orang yang muncul dari balik pohon di luar istana itu adalah Swat Hong,
Kwee Lun menjadi girang sekali, akan tetapi Soan Cu cemberut. Bagaimana hatinya dapat merasa girang
bertemu dengan dara yang menimbulkan iri di hatinya dahulu itu?
Akan tetapi Swat Hong yang girang sekali tentu saja tidak dapat melihat wajah cemberut di tempat yang
remang-remang itu, maka cepat dia berkata, "Soan Cu, Ayahmu berada di dalam bersama ibuku, sedang
dikepung para pengawal."
Seketika pucat wajah Soan Cu dan dia memandang bengong, sampai lama baru dapat berkata gagap, "A...
Ayah... ku...?"
"Benar! Kita harus membantunya," kata lagi Swat Hong.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Mari kita membantu orang tua kalian!" Kwee Lun berkata.
"Nanti dulu... siapakah dua orang ini?" Swat Hong bertanya sambil menuding kepada Swi Nio dan Liem
Toan Ki.
"Namaku Bu Swi Nio, Adik Han Swat Hong. Aku sudah mendengar namamu dari kedua saudara ini dan
aku merasa kagum sekali. Ketahuilah bahwa aku dahulu adalah murid The Kwat Lin, akan tetapi sekarang
aku hendak mencari dan membunuhnya." Swi Nio berkata penuh semangat. "Dan aku tadinya mata-mata
Jenderal An Lu Shan, akan tetapi aku berjuang bukan untuk mencari pangkat, melainkan untuk membalas
dendam. Sekarang aku hendak membantu dia... eh, tunanganku ini untuk menghadapi The Kwat Lin."
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Swat Hong bergerak maju, kedua tangannya bergerak cepat sekali, yang kanan menyerang ke
arah leher Liem Toan Ki, sedangkan yang kiri menotok ke arah dada Swi Nio.
"Eiihhh...."
"Haiiiittt.....!"
Toan Ki dan Swi Nio yang terkejut sekali cepat mengelak, namun tetap saja mereka terhuyung dan hampir
jatuh terdorong sambaran kedua tangan Swat Hong.
"Eh-eh... apa yang kau lakukan itu?" Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga marah.
"Aku hanya menguji mereka. Maafkan aku, Enci Swi Nio dan Liem-toako. Melihat tingkat kepandaian
kalian, lebih baik kalian tidak ikut masuk. Musuh amat kuat, dan ada tugas yang lebih penting lagi bagi
kalian, kalau benar kalian suka membantu kami dari Pulau Es."
Swi Nio dan Toan Ki yang tadinya terkejut dan marah, menjadi lega bahwa kiranya gadis yang amat lihai itu
hanya menguji mereka. Biar pun ucapan itu merendahkan tingkat kepandaian mereka, namun harus
mereka akui bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun dan Soan
Cu, apa lagi Swat Hong ini.
"Kami berdua siap membantu!" Toan Ki berkata, hampir berbareng dengan Swi Nio.
Karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, tanpa ragu-ragu lagi Swat Hong melepaskan ikatan buntalan
dari punggungnya, menyerahkannya kepada Toan Ki. Dia lebih percaya kepada Toan Ki dari-pada kepada
Swi Nio, hal ini karena tadi dia mendengar bahwa Swi Nio adalah bekas murid The Kwat Lin!
"Inilah pusaka kami dari Pulau Es yang seharusnya kuselamatkan. Akan tetapi karena Ibuku dan Ayah
Soan Cu terkurung di dalam, aku harus membantu mereka dan kuharap kalian suka menyelamatkan
pusaka-pusaka ini jauh dari kota raja. Kelak kita dapat saling bertemu di Puncak Awan Merah di tempat
kediaman Tee-tok Siangkoan Houw, di pegunungan Tai-hang-san. Nah, kalian pergilah cepat!"
Liem Toan Ki menerima bungkusan itu dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio terkejut dan cepat dia
menyambar tangan kekasihnya.
"Mari kita segera pergi!" Kedua orang muda itu menyelinap lenyap di dalam kegelapan malam.
"Hayo kita bantu Ibu dan Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu.
Soan Cu mengangguk karena merasa lehernya seperti dicekik oleh sedu-sedan yang naik dari dalam
dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dia
lihat itu. Bertemu dalam keadaan terancam bahaya maut! Tampak tiga bayangan berkelebat ketika Soan
Cu, Swat Hong, dan Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu.
Ketika mereka tiba di dalam, ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat dan kini
pertempuran telah berpindah ke ruang luar yang lebih lega. Agaknya, agar dapat melakukan perlawanan
dengan leluasa dan mendapat kesempatan untuk meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah
pindah keluar dari ruangan dalam yang sempit. Kini dengan saling membelakangi, kedua orang itu
mengamuk dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal istana, sedangkan The Kwat Lin dan
Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir.
Ketika Swat Hong dan dua orang kawannya masuk, mereka melihat Kwat Lin berlari pergi ke dalam
istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu tentulah hendak memeriksa simpanan pusakanya. Maka
dia lalu menyentuh tangan Soan Cu yang dengan mata merah hampir menangis sedang bengong
memandang kepada laki-laki setengah tua yang mengamuk dengan gagahnya itu. Soan Cu sadar dan
menengok.
"Kita kejar dia! Dialah yang paling jahat dan berbahaya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Soan Cu mengangguk dan kedua orang gadis berkelebat pergi mengejar Kwat Lin. Kwee Lun sendiri lalu
berteriak keras dan meloncat ke depan, meyerbu para pengeroyok. Sepak terjang pemuda tinggi besar ini
memang hebat, tenaganya yang amat kuat itu membuat dia sekali turun tangan merobohkan empat orang
pengeroyok. Tentu saja kepungan menjadi buyar dan kacau. Dan ketika mereka membalik untuk
mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merubah tenaga dahsyat tadi dengan pukulan-pukulan
Bian-sin-kun, pukulan kapas yang kelihatannya lemah dan lunak, namun setiap kali menyentuh tubuh para
pengeroyok tentu membuat dia terguling.
"Jiwi-lo-cianpwe, saya adalah Kwee Lun, sahabat baik dari Nona Swat Hong dan Nona Soan Cu! Mereka
sedang mengejar Si Iblis Betina!" teriak Kwee Lun dengan suara nyaring.
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar bahwa
puterinya juga datang! Akan tetapi malang baginya. Karena dia terlampau girang hendak melihat wajah
puterinya, dia menoleh ke sana ke mari mencari-cari.
"Ouw-toako, awas...!!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak dan wanita ini berusaha untuk menangkis sinar biru dari
pedang Ouwyang Cin Cu.
"Tranggg...aih....!!" Liu Bwee terlambat dan bergulingan untuk menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian
Kok terjungkal karena tamparan tangan kiri Ouwyang Cin Cu mengenai punggungnya.
"Plakk! Aughhhh....!" Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Curang...!!" Kwee Lun membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya menyambar
ganas. Namun dia terlalu lunak bagi Ouwyang Cin Cu. Hanya dengan sekali tangkis, kipas itu robek dan
pedangnya hampir terpental.
"Haiiiitttt....!!" Ouw Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka.
Melihat serangan ganas ini Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia meloncat mundur. Sebelum dia didesak
oleh tiga orang lawan itu, para pengawal sudah mengepung lagi. Kini mereka bertiga dikeroyok dan
dihujani senjata oleh puluhan orang pengawal.
"Twako... kau... terluka...?" sambil mengamuk dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya.
"Tidak apa... mati pun aku rela... pusaka telah diselamatkan...." kata Ouw Sian Kok. "Tapi... tapi anakku...,"
dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena harus menghadapi pengeroyokan banyak pengawal.
Sementara itu di dalam istana juga terjadi pertempuran yang mati-matian dan hebat sekali. The Kwat Lin
yang melihat datangnya bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu, setelah melihat bahwa
dua orang pengacau itu terkepung ketat, lalu teringat akan pusaka yang tadi dibawa Swat Hong. Dia
teringat pula akan puteranya yang sudah tidur di kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat
pertempuran untuk memeriksa pusaka dan puteranya.
Dilihatnya Bu Ong masih tidur nyenyak dan terjaga, maka dia cepat lari ke dalam kamarnya sendiri. Seperti
telah diduganya, para penjaga sebanyak lima orang yang berada di kamarnya tewas semua dan keadaan
kamarnya rusak dan kacau. Sekali saja melihat ke arah peti hitam yang terbuka di depan tempat tidurnya,
tahulah dia bahwa semua pusaka telah dirampas oleh Swat Hong, seperti yang dikhawatirkannya.
"Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah aman!"
The Kwat Lin cepat menengok. Dia melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu bersama seorang
gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil
mengeluarkan jerit melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang merahnya.
"Cring-trang...!!" pedang Swat Hong disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan Soan Cu menangkis dan
kedua orang dara itu meloncat ke belakang, ke tempat yang lebih lega.
Dengan kemarahan meluap-luap The Kwat Lin meloncat ke luar dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi
setelah bergerak belasan jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti kemarahan
dunia-kangouw.blogspot.com
hatinya.
The Kwat Lin sadar bahwa dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki
kepandaian hebat juga gadis yang gerakan-gerakannya liar dan ganas itu amat berbahaya, apa lagi
cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat. Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali
dia berusaha untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup jalan keluar
dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu.
The Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat kepada Swat Hong,
mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang
bertubi-tubi itu, Swat Hong mundur-mundur juga. Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan oleh Soan
Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali mengancam ubun-ubun
kepala The Kwat Lin. Ketika wanita ini mengelak ke samping sambil melanjutkan serangan pedangnya
kepada Swat Hong, Soan Cu menusukkan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.
"Singgg... crat... aihhhhh!!"
Kwat Lin terkejut sekali. Biar pun dia telah mengelak, tetap saja pedang Coa-kut-kiam (Pedang Tulang
Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri, panas dan perih sekali. Akan
tetapi wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikkan pedangnya menyambar leher Soan
Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka ini.
"Awas Soan Cu...!!" Swat Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah lengan kanan
Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah dia dapat menolong Soan Cu.
"Brettt... crok... aughhhh....!!"
Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat
memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di bagian
bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini
mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang lutut.
"Dukkk! Aduh...!"
Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi
Swat Hong menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu
wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat Lin.
"Bedebah kau...!" tiba-tiba pedang di tangan Kwat Lin meluncur.
"Soan Cu, awas...!!" Swat Hong berteriak kaget.
Namun terlambat! Pedang yang dilempar dari jarak dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan
dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh Soan Cu dan menancap di bawah pundak
sampai dalam!
"Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan lehernya hampir
putus!
Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh Soan Cu yang tersenyum! “Pergilah... Aku... aku tak berguna
lagi...!" katanya.
"Omong kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan
Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong melempar pedang itu, lalu memondong tubuh Soan
Cu yang dibawanya ke luar.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar. Pertempuran yang masih berlangsung hebat itu ternyata
membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu
yang mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga masih
mengamuk. Hanya pemuda inilah yang belum terluka karena Ouwyang Cin Cu menujukan serangandunia-
kangouw.blogspot.com
serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun.
"Ibu...!!"
Dengan kemarahan meluap-luap Swat Hong meloncat, melampaui para pengepung dan menurunkan
tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang
pengawal. Gerakannya demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar, kemudian bergerak
mundur.
"Ibu....!"
"Ayahhhh....!"
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru