Kamis, 18 Mei 2017

Cerita Silat Suling Emas 3 Kho Ping Hoo Lanjutan Bukeksiansu

Cerita Silat Suling Emas 3 Kho Ping Hoo Lanjutan Bukeksiansu Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Suling Emas 3 Kho Ping Hoo Lanjutan Bukeksiansu
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Suling Emas 3 Kho Ping Hoo Lanjutan Bukeksiansu
"Inilah saat penentuan bagi para pemenang," orang itu menerangkan. "Enam orang itu adalah orang-orang
pilihan yang telah keluar sebagai pemenang beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih
yang paling gagah di antara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh dia yang berbaju
kuning!"
Kwee Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang tampan dan
gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada di tempat paling kiri. Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah,
bertubuh kekar dan sinar matanya penuh semangat.
"Perlombaan apa saja yang akan dipertandingkan?" Kwee Seng bertanya gembira.
Orang itu menengok. Melihat orang yang bertanya, biar pun dari suaranya jelas seorang Han, namun
pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan tertawa-tawa menunjukkan bahwa
orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu menjawab singkat, "Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!"
Kwee Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia di mana-mana masih
belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai seseorang dari pakaiannya. Makin indah
pakaianmu, makin dihormat oranglah kamu! Akan tetapi Kwee Seng tidak peduli dan melongok-longok,
mendesak di antara banyak orang untuk dapat menonton lebih jelas.
Sementara itu, di panggung Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.
"Ahh," jawab Raja Kulu-khan. "Siapa yang tidak tahu bahwa kau adalah Panglima Muda dan memiliki
kepandaian tinggi? Apa perlunya kau hendak ikut pertandingan?"
Bayisan tersenyum. "Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah kegembiraan para
peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah
dengan cara ini, Paduka kelak akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"
Raja Kulu-khan tersenyum. Di dalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga mencari
kesempatan ‘jual muka’ memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena alasan tadi ada benarnya pula, maka ia
mengangguk memberi ijin.
"Heh-heh-heh, Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!" Panglima Tua Kalisani menegur
Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani terkenal sebagai seorang yang suka
bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga terhitung masih sanak dengan keluarga raja.
Bayisan hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling ke arah Puteri Tayami sambil berkata, "Mana mungkin
aku kalah dengan segala macam perwira seperti mereka itu?" setelah berkata demikian, ia memberi hormat
kepada raja dan meloncat turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri
Salinga, pemuda pilihan hati Tayami. Hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami sendiri, mau pun Raja Kulukhan
dan juga Kalisani.
Ketika Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar sebaris dengan
enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera menerjang orang yang telah berbuat
curang terhadapnya itu. Akan tetapi ia menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu
akan menimbukan kegemparan. Kalau ia kemudian dikepung oleh semua orang Khitan, bukankah sulit untuk
meloloskan diri? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan, turun tangan di waktu
malam sunyi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Raja memberi tanda dengan tangan diangkat ke atas, terompet tanduk menjangan dibunyikan orang dan
perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang
tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang, berteriak keras. Kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat
laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher mengikuti larinya kuda yang makin
mendekati barisan tombak yang menghalang jalan. Kwee Seng sudah tidak tampak lagi di antara penonton,
karena ia sudah enak-enak duduk di atas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan enak.
Setelah tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya melompat ke atas.
Hebat lompatan kuda ini. Keempat kakinya hampir menyentuh ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa,
akan tetapi juga permainan yang amat berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda itu menyentuh mata
tombak, tentu tubuh kuda akan terguling dan jatuh di ‘sate’ ujung banyak tombak, mungkin berikut
penunggangnya! Namun kuda hitam bersama penunggangnya amatlah tangkas, secepat kilat kuda itu sudah
mewakili barisan tombak dan turun dengan selamat, menimbulkan debu mengebul tinggi dan sorak-sorai tepuk
tangan gemuruh dari para penonton. Raja mengangguk puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang
setangkas itu, makin kuatlah Kerajaan Khitan.
Akan tetapi lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian bukan hanya sampai pada melompati barisan mata
tombak. Ini masih belum berbahaya! Ujian kedua lebih hebat lagi, yaitu melalui barisan anak panah.
Penunggang kuda hitam sudah melarikan kudanya cepat-cepat, kembali lagi setelah tiba di ujung sana untuk
memasuki lingkungan barisan anak panah yang sudah siap sedia.
Begitu kuda itu memasuki lingkungan itu, busur-busur di pentang dan melesatlah puluhan batang anak panah
menyambar ke arah tubuh si Penunggang Kuda. Semua pelepas anak panah adalah ahli-ahli pilihan sehingga
tidak sebatang pun anak panah yang akan mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat di atas tubuh
kuda, lewat dengan cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang menyerempet pelana di punggung
kuda.
Akan tetapi Si Penunggang Kuda yang cekatan itu tahu-tahu telah lenyap dari atas kuda. Demikian cepatnya
gerakan itu sehingga ia seolah-olah menghilang, padahal ketika anak-anak panah menyambar, penunggang ini
sudah menjatuhkan diri ke kiri, terus tubuhnya menggantung ke bawah perut kuda, hanya kedua kakinya yang
menahan tubuh, kedua kaki yang dikaitkan kepada pelana kuda itu.
Kuda lari terus, penunggangnya bergantung di bawahnya, sungguh ketangkasan yang mengagumkan! Tepuk
tangan dan sorak-sorai menyambut ketangkasan ini setelah kuda beserta penunggangnya selamat melewati
barisan anak panah. Dengan gerakan indah si Penunggang mengayun tubuhnya dan dari sebelah kanan perut
kuda ia telah duduk kembali dengan tegaknya!
Ujian ke tiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil menunggang kuda yang mengitari lapangan, Si
Penunggang Kuda hitam itu mementang busur dan berturut-turut ia melepas anak panah yang menancap tepat
pada dada dan perut boneka besar berupa manusia yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah
lapangan. Tujuh kali si Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan lima di antaranya menancap
tepat di tengah dada, yang dua agak meleset, menancap di pundak dan paha. Namun ini saja sudah cukup
menyatakan bahwa ia lulus! Dengan bangga si Penunggang Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke
bawah panggung, melompat turun dan berlutut ke arah raja, kemudian menuntun kudanya berdiri di pinggir ikut
menonton peserta-peserta berikutnya.
Peserta ke dua mengalami saat naas baginya. Ketika kudanya melompati barisan tombak, di bagian terakhir
kudanya terjungkal jatuh ke bawah. Perut kuda tertembus tombak-tombak itu dan penunggangnya pun
mengalami nasib yang sama, perut dan dadanya tembus oleh tombak. Penonton berseru kengerian dan
beberapa orang penjaga segera lari mendatangi untuk membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban mulai
jatuh dalam permainan berbahaya ini, dan penonton mulai tegang!
Peserta ke tiga selamat melampaui barisan tombak, dan ketika melampaui barisan anak panah, kurang cepat
ia bersembunyi sehingga pundak dan pahanya terserempet anak panah. Ketika ia memanah orang-orangan
dalam keadaan luka ringan ini, di antara tujuh batang anak panahnya, hanya dua yang mengenai sasaran,
maka tentu saja ia pun dinyatakan gagal!
dunia-kangouw.blogspot.com
Peserta ke empat hanya berhasil melampaui barisan tombak. Ia terjungkal roboh dengan anak panah
menancap di perut dan lehernya! Kembali ada korban yang kehilangan nyawanya dalam lomba ketangkasan
ini. Namun para penonton tidak lagi menjadi ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata
oleh mereka betapa sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini.
Peserta ke lima mukanya sudah pucat melihat betapa rekan-rekannya gagal, bahkan ada yang tewas. Semua
orang memandang penuh ketegangan ketika pemuda itu membentak kudanya agar mulai lari membalap.
Peserta ke lima ini tubuhnya jangkung kurus namun bahunya bidang dan lengannya kelihatan kuat. Ia berhasil
melompati barisan tombak, berhasil pula melewati barisan anak panah dengan cara sembunyi di bawah perut
kuda seperti dilakukan peserta pertama, akan tetapi ketika ia memperlihatkan keahliannya memanah, di antara
tujuh batang anak panahnya hanya dua yang menancap pada perut sasaran, yang lima meleset semua.
Kegagalan inilah yang menyebabkan ia dianggap tidak lulus, tidak diterima menjadi calon panglima dan hanya
dinaikkan pangkatnya satu tingkat saja. Namun ia masih beruntung kalau dibandingkan dengan rekanrekannya
yang tewas atau terluka parah.
Tibalah kini giliran Salinga. Begitu pemuda berkuda putih ini maju, para penonton bertepuk tangan. Pemuda ini
amatlah tampan dan sikapnya tenang, jelas bahwa orangnya rendah hati dan tidak sombong, namun pandang
matanya yang tajam itu membayangkan semangat dan keberanian yang luar biasa. Para penonton yang sudah
tahu bahwa pemuda ini adalah pilihan Puteri Mahkota, tentu saja simpati dan mengharapkan pemuda ini akan
berhasil baik dan lulus. Sebaliknya, Puteri Tayami biar pun kelihatan tenang-tenang saja, diam-diam ia merasa
khawatir kalau-kalau kekasihnya takkan berhasil. Perlombaan atau ujian sehebat ini hanya diadakan beberapa
tahun sekali kalau Raja berkenan hendak memilih calon-calon panglima yang harus benar-benar gagah
perkasa.
Seperti juga yang lain-lain. Salinga membawa kudanya ke depan panggung, lalu ia turun dan memberi hormat
sambil berlutut ke arah raja. Kemudian matanya mengerling sekilas ke arah kekasihnya. Alangkah besar
hatinya ketika ia menerima kiriman senyum dari Tayami, senyum yang menimbulkan keyakinan di dalam
hatinya bahwa demi untuk puteri pujaannya, ia harus dan akan berhasil!
Pada saat ia bangun kembali dan melompat ke atas punggung kudanya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki
kuda dan tahu-tahu seekor kuda berbulu merah telah berada di dekatnya. Salinga tercengang ketika mengenal
penunggangnya yang bukan lain adalah Panglima Muda Bayisan! Segera ia menjura di atas kuda putihnya dan
berkata.
"Salam, Tuan Panglima!"
"Salam, perwira Salinga yang gagah!" balas Bayisan.
"Ada pesan apa gerangan yang hendak Tuan sampaikan kepada saya?"
"Tidak ada apa-apa Salinga. Hanya, melihat bahwa peserta terakhir tinggal engkau seorang dan aku yang
hendak mencoba-coba sukarnya ujian, sebaiknya kita lakukan itu bersama. Bukankah hal itu akan menambah
kegembiraan dan akan membesarkan hati kita, juga menggembirakan para penonton?"
Tentu saja Salinga maklum bahwa di antara para saingannya dalam merebut hati tuan puteri, Bayisan ini
merupakan saingan terberat dan juga paling berbahaya. Sudah sering kali kekasihnya, Puteri Tayami,
memperingatkan agar ia berhati-hati terhadap Bayisan. Ia tentu saja dapat menduga bahwa panglima muda
yang sebetulnya juga pangeran ini mempunyai maksud tersembunyi dalam mengajak ia melakukan ujian
bersama.
Terang bahwa Bayisan takkan mungkin berani mencelakainya di depan begitu banyak saksi, di antaranya raja
dan Puteri Mahkota sendiri. Salinga menaruh curiga dan tidak suka, akan tetapi betapa pun juga, tak dapat ia
menolak, tak dapat ia berlaku tidak hormat kepada Bayisan. Pertama, Bayisan adalah panglima muda, jadi
masih termasuk atasannya biar pun ia dimasukkan ke dalam pasukan yang langsung dikepalai panglima tua.
Ke dua, Bayisan adalah putera raja sendiri, biar pun hanya putera selir yang tidak begitu harum namanya
karena menjadi selir raja atas kehendak suaminya yang kemudian di hukum mati.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tuan Panglima amat gagah perkasa, tentu saja bagi Tuan ujian ini hanya sebagai main-main belaka, berbeda
dengan saya yang harus mempertaruhkan nyawa untuk dapat lulus," kata Salinga merendah.
Mendengar ini Bayisan tertawa bergelak dan sengaja berkata dengan suara keras agar terdengar orang lain,
terutama tentu saja, agar terdengar Puteri Tayami. "Ha-ha-ha, mempertaruhkan nyawa untuk permainan
macam itu saja? Ha-ha, kau berkelakar, Salinga! Siapa yang tidak tahu akan ketangkasanmu? Hayolah,
jangan membuang waktu lagi. Kuda kita sama-sama baik, usiamu lebih muda dari pada usiaku, tentu kau lebih
tangkas. Ha-ha!"
Bayisan lalu mencambuk kudanya yang melesat maju. Merah muka Salinga karena ia maklum apa yang
dimaksudkan oleh Bayisan tadi. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah panggung, ia melihat Tayami kembali
tersenyum kepadanya, senyum yang mengatakan berpihak kepadanya. Ia pun tersenyum pula dan
mencambuk kuda putihnya yang terbang maju ke depan.
Penonton bersorak riuh rendah. Hebat memang melihat kedua orang gagah itu. Kuda yang mereka tunggangi
juga merupakan kuda pilihan. Kuda putih tunggangan Salinga adalah kuda pemberian Puteri Tayami, tentu
saja merupakan kuda pilihan dari kandang istana. Ada pun kuda merah tunggangan Bayisan juga datang dari
kandang istana, karena kuda ini hadiah dari raja sendiri ketika ia berhasil menumpas pasukan musuh
beberapa hari yang lalu. Banyak di antara penonton hanya mendengar kegagahan panglima muda dari cerita
para anggota pasukan belaka, jarang ada yang pernah menyaksikan sendiri, maka kesempatan yang amat
baik tentu saja menggembirakan hati mereka.
Sementara itu, Kwee Seng yang ikut merasa tegang dan gembira, tiba-tiba terkejut bukan main ketika ia
mendengar suara berkeresekan di atasnya. Ketika mengangkat mukanya, ia melihat seorang kakek tua sudah
duduk di atas cabang, hanya dua meter di sebelah atasnya! Inilah yang membuat ia merasa kaget bukan main.
Biar pun ia tadi memperhatikan ketegangan di bawah, namun bagaimana ia tidak dapat mendengar ada orang
yang tahu-tahu berada di atasnya?
Ia memperhatikan kakek itu. Kakek yang aneh sekali. Pendek, luar biasa pendeknya paling-paling satu meter
tingginya. Tubuhnya, kaki tangannya, kecil seperti kaki tangan anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi
kepalanya sebesar kepala orang dewasa, bahkan lebih besar lagi tampaknya karena rambutnya yang penuh
uban itu riap-riapan. Kumis jenggotnya memenuhi separuh muka, alisnya juga panjang sampai ke pipi, bibir
yang merah tampak membayang di antara kumis jenggot, tersenyum-tersenyum lebar dan matanya yang kecil
itu bersinar gembira seperti anak yang nakal. Di pundaknya sebelah kanan bertengger seekor burung, burung
hantu atau burung malam yang matanya seperti mata kucing, kelihatan cerdik licik dan menakutkan!
Sekali pandang saja maklumlah Kwee Seng bahwa kakek pendek aneh yang duduk di sebelah atasnya itu
adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia bersikap hati-hati dan waspada. Ia tidak pernah
mendengar di dunia kang-ouw ada tokoh macam ini, maka ia tidak tahu dari golongan mana kakek ini dan
bagaimana pula sepak terjang serta wataknya.
Karena sejak tadi ia sendiri tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya, bahkan ketika naik ke atas pohon itu
pun ia mendaki seperti orang biasa, maka Kwee Seng merasa yakin bahwa tak seorang pun dapat menduga ia
berkepandaian, juga kakek itu tentu tidak. Maka ia segera pura-pura tidak melihatnya, atau tidak
mempedulikannya, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan melanjutkan keasyikannya tadi menonton
perlombaan.
Tangkas sekali Salinga dengan kuda putihnya. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, Salinga mencambuk
dan kudanya melompat ke atas melewati barisan tombak. Rambut dan ujung baju Salinga berkibar-kibar
bersama ekor kuda ketika mereka melayang di atas barisan tombak, selamat sampai di ujung dan turun
kembali ke atas tanah.
Akan tetapi lebih hebat sorak-sorai menyambut lompatan kuda merah yang ditunggangi Bayisan. Panglima
muda ini sengaja melompat tepat di belakang Salinga dan begitu kuda merahnya melompat, diam-diam
Bayisan mengerahkan lweekang dan ginkang-nya. Ia menjepit perut kudanya dan menambah tenaga loncatan
kuda dengan loncatannya sendiri sehingga dia bersama kudanya melayang jauh lebih tinggi dari pada Salinga!
dunia-kangouw.blogspot.com
Para penonton dengan jelas melihat betapa kuda merah itu semeter lebih berada di atas kuda putih dan
melayang lebih cepat. Kalau saja Bayisan menghendaki, bisa saja ia menurunkan kuda merahnya tepat di atas
Salinga sehingga pemuda itu dengan kuda putihnya akan celaka. Kalau hal ini terjadi, tentu merupakan
kecelakaan yang tidak disengaja. Namun Bayisan tetap khawatir kalau-kalau Raja dan Tayami mengetahui
rahasianya. Selagi para penonton menahan napas dan berseru kaget melihat kuda merah meluncur di atas
kuda putih, tiba-tiba Bayisan berseru keras sekali dan tahu-tahu kuda merahnya itu berjungkir balik membuat
salto di udara dan turun beberapa meter di sebelah depan kuda putih!
Gemuruh sorak dan tepuk tangan menyambut pertunjukan yang hebat ini. Bahkan Kwee Seng sendiri yang ikut
bertepuk tangan, diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan kelihaian Bayisan. Ia tahu bagaimana caranya
Bayisan melakukan semua itu, dan inilah pula yang menyebabkan ia kagum karena tokoh Khitan itu ternyata
amat maju dalam lweekang dan ginkang-nya.
Kalau semua orang bertepuk dan bersorak, adalah kakek di atas Kwee Seng itu bersungut-sungut, "Ah, bau...!
Bau...!"
Kwee Seng mendengar ini akan tetapi pura-pura tidak dengar dan tidak tahu, karena sebenarnya ia pun tidak
mengerti mengapa kakek itu mengatakan bau. Bau apa sih?
Dengan lagak dibuat-buat Bayisan sengaja minggirkan kudanya dan memberi isyarat dengan tangan agar
Salinga melarikan kudanya terlebih dahulu memasuki barisan anak panah. Para penonton sudah diam semua
karena kini mereka mulai merasa tegang. Bagaimanakah gerangan cara kedua orang gagah ini menghadapi
hujan anak panah? Apakah juga seperti yang dilakukan peserta pertama tadi bersembunyi di bawah perut
kuda?
Cara seperti ini memang amat populer di antara orang-orang Khitan. Boleh dibilang setiap prajurit
mempelajarinya, walau pun tidak banyak berhasil baik karena cara ini hanya dapat menyelamatkan diri dalam
keadaan darurat saja. Dalam keadaan perang sungguh-sungguh, cara ini malah kurang tepat, karena biar pun
tubuh sendiri tidak terkena anak panah, kalau kudanya yang terkena dan roboh, bukankah penunggangnya
akan tergencet dan memudahkan musuh untuk membunuhnya? Betapa pun juga, cara lain tidak ada dan kini
menyaksikan dua orang muda itu memasuki barisan panah, tentu saja para penonton, termasuk Raja sendiri
dan juga Puteri Mahkota memandang penuh perhatian dan ketegangan.
Ketika kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu terdengar suara menjepret dan anak panah
menyambar-nyambar, sekali menghentakkan tubuhnya, Salinga telah meloncat dan berdiri di atas punggung
kudanya, berdiri sambil menekuk lutut membuat tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok. Dengan
begini, anak panah menyambar ke arahnya ke seluruh bagian tubuh dari kepala sampai ke kaki! Para
pemanah itu memang diperintahkan untuk memanah si Penunggang Kuda dan sama sekali tidak boleh
memanah kudanya.
Begitu puluhan batang anak panah itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru keras dan tubuhnya
mencelat ke atas dalam keadaan masih seperti berjongkok. Kudanya lari ke depan, akan tetapi karena Salinga
juga mencelat ke depan, ketika ia turun lagi, tepat kakinya tiba di atas pelana kudanya. Kembali anak panah
menyambar, akan tetapi kembali tubuh Salinga mencelat ke atas dan demikianlah secara bertubi-tubi anak
panah itu dapat dielakkan sambil meloncat ke atas dengan gerakan yang tangkas sekali!
Sorak-sorai menyambut cara menghindarkan anak-anak panah ini, cara yang dianggap lebih tangkas dan lebih
berani dari pada cara bersembunyi di perut kuda, akan tetapi sudah tentu saja merupakan cara yang lebih
sukar, yang hanya dapat dipelajari orang-orang pandai.
Tiba-tiba sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika Bayisan dengan tenangnya memasuki barisan anak
panah bersama kudanya yang ia jalankan seenaknya saja. Anak panah menyambar bagaikan hujan ke
arahnya, namun panglima muda ini sama sekali tidak membuat gerakan mengelak. Semua orang termasuk
Raja kaget karena bagaimana orang itu begitu enak-enakan sedangkan puluhan anak panah menyambar
dengan cepat ke arahnya?
Akan tetapi tiba-tiba Bayisan menggunakan cambuk di tangan kanan yang diputar-putar cepat sekali,
menangkis semua anak panah yang runtuh ke kanan kiri begitu terkena sambaran cambuk yang diputar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangan kirinya juga ikut membantu, begitu lengan baju yang kiri menyampok, anak panah menyeleweng atau
terpental. Kembali Kwee Seng diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak maju kalau dibandingkan
dengan beberapa tahun yang lalu.
"Ah, bau...! Tengik dan kecut! Jembel busuk tak pernah mandi!" terdengar makian perlahan di sebelah atas
Kwee Seng.
Mendengar makian ini, Kwee Seng mengerutkan kening. Kurang ajar, pikirnya. Kiranya yang dimaki bau tengik
dan kecut adalah dia! Dengan hati mendongkol Kwee Seng berdongak, memandang kakek itu yang juga
memandang kepadanya sambil menutup lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari yang menjepit hidung.
"Heh-heh, kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba kau cukur bersih
cambang baukmu, tentu lenyap bau tak enak itu, heh-heh-heh!"
Mendengar ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidungnya, lalu tangannya menyambar jenggot dan
kumisnya yang panjang, dibawa dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia mendengus-dengus dan mencium-cium.
Mendadak ia berbangkis dua kali.
"Haching! Haching! Apek... apek! Wah, jembel busuk, kau berani mempermainkan aku, hah? Burung setan,
kau wakili aku pancal hidungnya sampai keluar kecap dan tampar kedua pipinya sampai bengkak-bengkak!"
kakek itu berkata perlahan.
Kwee Seng memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan karena orang takkan dapat menduga
apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh seperti itu. Akan tetapi ia kaget juga ketika tiba-tiba sesosok
sinar abu-abu menyambar ke arah mukanya. Kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan gerakan
terbang yang sama sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu telah menggunakan paruhnya untuk
mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan kedua sayap burung itu ke arah kedua pipinya! Serangan yang
hebat sekali, lebih hebat dari pada sambaran anak-anak panah yang betapa laju pun.....
"Plak-plak-plak!!!" beberapa helai bulu burung rontok.
"Huuuk... huuuuk...!" dan burung itu sendiri mengeluarkan suara, lalu terbang ke atas dan lenyap ke atas
pohon, mengeluh kesakitan.
Hidung Kwee Seng sama sekali tidak mengeluarkan kecap dan sepasang pipinya tidak bengkak-bengkak
seperti yang diharapkan kakek cebol itu. Kwee Seng masih duduk enak-enakan dan tidak pedulikan lagi kakek
di atasnya, melainkan menonton kelanjutan perlombaan di bawah. Tadi ia menggunakan sentilan dan
tamparan mengusir burung tanpa membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu tidak bersalah apa-apa,
hanya memenuhi perintah si Kakek Cebol.
Saat itu Salinga sudah melarikan kuda putihnya mengelilingi lapangan untuk memperlihatkan ketangkasannya
melepas anak panah. Pemuda ini biar pun tidak selihai Bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk
menjadi seorang perwira jagoan di dalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar dan berat mengeluarkan
suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh batang anak panah telah menancap, empat batang anak
panah yang kesemuanya tepat mengenai sasaran di bagian yang penting dan mematikan. Tentu saja para
penonton, termasuk Puteri Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan tepuk sorak gemuruh, karena
jelas bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut menjadi calon panglima!
Akan tetapi, apa yang dilihat penonton selanjutnya benar-benar membuat penonton besorak lebih gemuruh
lagi, karena pertunjukan Bayisan benar-benar mengagumkan mereka. Seperti juga Salinga, panglima muda ini
melarikan kuda merahnya amat cepat mengelilingi lapangan, demikian cepatnya kuda merah itu lari sehingga
merupakan bayangan merah yang bagaikan terbang mengelilingi sasaran.
Ketika larinya kuda tiba di depan sasaran, tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar dari atas kuda menuju
sasaran, dan.... tiga belas batang hui-to (pisau terbang) telah menancap di tiga belas bagian tubuh yang
mematikan yaitu di antara kedua alis, ditenggorokan, di kedua pundak, di kanan kiri dada, di pusar, di kanan
kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini merupakan demonstrasi ilmu melempar senjata
yang amat hebat, yang belum pernah disaksikan oleh mereka semua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang sebenarnya Bayisan merahasiakan kepandaiannya ini, akan tetapi karena ingin mengalahkan Salinga
dan memamerkan kepandaiannya di depan Tayami, kini terpaksa ia perlihatkan.
"Bau... bau...! He, jembel muda yang tengik. Kau berada di bawahku, baumu naik memenuhi hidungku. Hayo
kau bersamaku memperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa tidak ada artinya semua pertunjukan ini.
Akan tetapi karena kau bau sekali, kau harus berada di atasku, aku menjadi kuda, kau boleh menunggang
punggungku!"
Kwee Seng berdongak, ia terkekeh geli. Kakek itu tidak tampak lagi mukanya, ditutup baju yang ditariknya ke
atas, kemudian tubuh kakek itu melayang jauh ke bawah. Ketika sampai di depannya, kakek itu menyambar
tangannya untuk ditarik turun bersama ke bawah. Kwee Seng terkejut, namun ia cepat mengerahkan ginkangnya
yang ikut melayang ke bawah.
Kwee Seng merasa gembira karena maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan cari perkara.
Begitu melihat kakek itu tiba di tanah dalam keadaan merangkak, yaitu kedua tangan menjadi kaki depan
seekor keledai kecil sekali, ia tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan melayani kehendak si Kakek. Cepat ia
melompat dan tepat tiba di punggung kakek itu dengan ringan!
Begitu merasa tubuh jembel muda itu tiba-tiba di punggungnya, si Kakek memperdengarkan suara meringkik
mirip kuda, lalu ia ‘lari’ dengan empat kakinya, lari congklang ke tengah lapangan! Kwee Seng terkekeh-kekeh,
rambutnya riap-riapan. Ia menoleh ke kanan kiri dengan lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan lain-lain
peserta tadi. Seolah-olah ia juga seorang peserta yang gagah perkasa menunggang kuda yang tangkas.
Ributlah para penonton. Terdengar gelak tawa di sana-sini, lalu pecah terbahak-bahak. Lucu sekali memang.
Penunggangnya seorang jembel berpakaian compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan
bertelanjang kaki, ‘kudanya’ mirip seekor anjing buduk yang pincang kakinya.
Para prajurit penjaga menjadi marah dan hendak menghalangi si Gila itu membikin kacau, akan tetapi raja
mengangkat tangan mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja Kulu-khan berkata, "Biarkan! Biarkan! Bukankah ini
merupakan pertunjukan lawak yang menarik?"
Diam-diam si Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa tubuh jembel muda itu tiba di punggungnya seperti
sehelai daun kering. Rasa kagum yang disusul rasa penasaran, karena biar pun ia sudah tua bangka, namun
ia adalah seorang yang memiliki watak yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga! Maka kini ia lari
mencongklang ke arah barisan tombak. Kemudian sekali ia menggerakkan kaki tangannya, tubuhnya mencelat
ke atas dan hinggap di atas tombak! Di atas ujung mata tombak yang runcing, yaitu empat buah tombak
pertama. Tangan dan kakinya menekan ujung itu seperti seekor burung hinggap di atas cabang! Kwee Seng
terkejut sekali dan diam-diam ia merasa amat kagum.
Gelak tawa dari para penonton seketika terhenti, dan kini para penonton melongok terheran-heran. Senyum
Raja Kulu-khan sendiri terhenti di tengah-tengah. Puteri Tayami bangkit berdiri, dan para penglima, termasuk
Kalisani dan Bayisan berubah air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak gila lagi, melainkan pertunjukan yang
hebat! Bayisan segera lari ke arah barisan panah dan memberi perintah dengan suara perlahan, kemudian
kembali lagi di tempat semula sambil memandang penuh perhatian.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang menjadi kuda itu melangkahkan ‘empat kakinya’
setapak demi setapak melalui ujung mata tombak yang berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng enak-enak
duduk di atas punggungnya. Karena Kwee Seng juga merasa panas perutnya melihat kakek ini seakan-akan
memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam Kwee Seng tidak menggunakan lagi ginkang-nya, membiarkan
tubuhnya memberat dan menindih kakek itu.
Akan tetapi kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat melompat-lompat di atas mata tombak, tidak
menekankan tangan kaki lagi seperti tadi melainkan memegang dengan tangan lalu melompat sehingga
akhirnya ia sampai di baris terakhir lalu melompat ke bawah.
Para penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran, maka kini suara sorak-sorai mengalahkan yang tadi
karena sorakan itu diseling tawa terbahak saking kagum dan lucu. Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
sebentar karena ‘orang gila’ bersama ‘kudanya’ yang aneh sekali itu telah mendekati barisan anak panah.
Apakah mereka benar-benar hendak memasuki barisan itu? Mencari mampus?
Ketegangan memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak ‘nongkrong’ di punggung kakek itu seakanakan
tidak melihat bahaya, membiarkan dirinya dibawa ke dalam barisan anak panah, di mana ahli-ahli panah
telah siap melepaskan anak panah. Busur telah mereka tarik sepenuhnya! Bahkan di panggung kehormatan
tidak ada suara berkelisik, semua mata memandang penuh ketegangan, agaknya napasnya pun ditahan
menanti detik-detik yang akan datang itu.
Dari mulut Raja Kulu-khan terdengar suara. "Ah, sayang... kalau sampai mereka tewas...." Akan tetapi suara ini
hanya seperti bisik-bisik saja. Pula pada saat seperti itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana
kelanjutan peristiwa aneh itu? Raja sendiri biar pun mulut berkata demikian, hatinya amat ingin menyaksikan
dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi orang gila itu memasuki barisan anak panah.
Para ahli panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan menanti sampai orang gila itu tiba di tengah-tengah
lapangan. Tepat pula seperti yang diperintahkan Bayisan, mereka memanah untuk membunuh, maka begitu
terdengar suara tali busur menjepret disusul berdesirnya anak panah yang puluhan batang banyaknya, semua
anak panah itu selain menuju ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Kwee Seng, juga ada yang
mengaung lewat di pinggir dan atas kepalanya untuk mencegah orang gila itu mengelak!
"Aduh celaka...!"
"Ahhhh...!"
"Mati dia...!"
Bahkan Raja Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa, demikian pula puteri Tayami dan yang lain-lain
ketika melihat betapa anak-anak panah yang banyak sekali mengenai tubuh ‘orang gila’ itu sehingga tubuhnya
seperti penuh anak panah, di kanan kiri dada, bahkan ada yang menancap di mukanya! Akan tetapi anehnya,
‘kuda’ kecil itu masih merayap terus dan orang gila itu masih enak-enak duduk mengantuk, seakan-akan anakanak
panah yang menancap pada dada dan mukanya itu tidak dirasainya sama sekali!
Kembali anak panah yang banyak sekali menyambar, kini menuju kepada ‘kuda’! Berbeda dengan peraturan
yang berlaku dalam ujian ketangkasan itu, kini karena telah diberi komando Bayisan yang tahu bahwa dua
orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya memancing keributan, mereka lalu menghujani ‘kuda’ itu
dengan anak panah pula.
"Anak kecil itu pun mati...!" teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja sudah dapat menduga bahwa
kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan seorang manusia. Tentu seorang anak-anak karena kaki
tangannya begitu kecil dan pendek.
Aneh pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak dan tubuhnya pun
penuh dengan anak panah! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini
menuju ke lapangan di mana tersedia sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian memanah!
Barulah kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap di dada orang gila itu
sama sekali bukan menancap, melainkan di kempit di antara kedua kelek (ketiak) dan di antara jari-jari tangan,
malah yang tadinya disangka menancap di muka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh ‘orang
gila’ itu. Entah bagaimana cara ‘kuda’ itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap
pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang dikerobongkan di kepala! Setelah tiba di lapangan
memanah, tiba-tiba ‘kuda’ itu lari congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya
kuda!
Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga
meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya,
Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah
Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hebat...! Mereka orang-orang sakti! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan mereka?"
Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia
mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua dari pada
Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.
"Siapakah mereka...?" tanya Kubakan.
"Aku tidak tahu..." jawab Bayisan bingung.
"Jangan-jangan...." Kubakan menoleh ke arah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum ke arah
lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.
"Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu? Malam ini kita harus turun tangan...."
Kembali Kubakan menoleh ke arah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini
bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari ke arah lapangan untuk menyaksikan dua orang
aneh itu dari dekat.
Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu
tiba di depan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan
seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh
terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung ‘kuda’ dan sekali kakinya
menjejak, tubuhnya itu terbang cepat ke arah sasaran.
"Cap-cap-cap-cap!!!" Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak
sebatang pun luput.
Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang
memandang tidak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa
semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap di atas gagang tiga belas buah pisau
terbang panglima muda! Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam
Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa ‘orang gila’ itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu
menancap di gagang hui-to yang tadi ia lepaskan.
Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan ‘kuda’ itu meloncat berdiri di atas dua kaki belakangnya sehingga
tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng. Kedua tangannya
sudah menggenggam banyak sekali anak panah dan sambil masih tertawa-tawa bergelak, kedua tangannya
bergerak ke depan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan ke arah sasaran. Anehnya, anak-anak
panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima
rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal paha.
“Prak-prak-prak... Brakkk!” tahu-tahu boneka yang dijadikan sasaran telah roboh. Anak-anak panah masih
menancap tepat di tengah kepala kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah!
Tanpa mempedulikan keributan semua orang di situ, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu
tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau
mungkin juga keduanya sudah miring otaknya!
"Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga! Aku harus mencobamu!"
"Kakek cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?" Kwee Seng menjawab, karena
betapa pun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa (takabur). Biar pun Kwee Seng berdiri acuh tak
acuh, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki
dibengkokkan secara lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum bahwa seorang
sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua
orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikin rusuh.
Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak. "Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau.
Kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau
sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!"
Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya
seperti katak melompat. Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang
banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan
seperti batu loncatan oleh si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan
lumpur. Malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang si Kakek
melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak!
Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya
menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang tumbuh lebat di lembah sungai Huangho.
Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras
pada hari itu dan seterusnya.
Kalisani mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu
adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan agaknya mereka berdua
itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai
tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti
maling?"
Dengan wajah berkerut Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapa
pun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku
sendiri yang melakukan perondaan di dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk,
dan mereka amatlah lihai."
Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang
itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia
ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biar pun seorang tokoh Khitan, namun
pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat
selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang
pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.
Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tenteram pada malam hari itu setelah
siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi
dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah
terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga
malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali tentu saja,
anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan.
Di tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan,
menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik
jelita dengan rambut disanggul ke atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi
terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami," terdengar pemuda itu berkata,
suaranya seperti orang bersyair. "Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau
tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa
yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat khawatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama
ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka menghentikan kuda di
bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti
keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima,
kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih
dirimu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah
bahagia hatiku...."
Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekhawatiran. "Betapa pun juga Kanda Salinga, kita harus waspada
terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima
kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah
memancarkan cahaya berapi."
"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih
seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka
datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah
kalau si Kakek Cebol. Betapa pun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa
gerangan mereka?"
"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu
khawatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai,
betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."
Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda,
menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan. Sambil berbisikbisik
mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu
dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk
bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut
ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, di bawah sinar
bulan purnama di dalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus
juwita terurai di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng
bagaikan nyanyian sorga-loka.
Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur,
ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau. Saat membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauwhwa,
membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek di
Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa
setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu, karena tiap kali teringat akan segala
yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai
macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih
berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila.
Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar,
suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, lalu mendekat. Di bawah bayangan pohon
yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah, mengapa justru kita yang mendapat tugas berat ini...?" Seorang di antara mereka mengeluh. "Mereka
tidak pandai berenang."
"Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan
tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang
hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main di perahu tertimpa mala-petaka, perahu
terguling dan mereka mati tenggelam...."
"Ahhh...!" kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua
orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu perlahan-lahan turun ke dalam air,
kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat.
Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan
jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas
berkali-kali kemudian dengan hati mengkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena
suara hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat
dengan tangan dimiringkan.
"Krakkkk!" batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian
yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika!
"Eh, apa itu...?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh, Kanda... celaka...!" disusul jeritan Tayami karena pada saat itu perahu mereka tiba-tiba terguling
membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air!
Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air menjauhi
mereka. Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi karena tidak
pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut.
"Tolonggg...!" Tayami menjerit akan tetapi suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan mulut.
"Dinda...!"
"Kanda Salinga... ooohh...!"
Mereka saling menangkap tangan, akan tetapi justru ini membuat gerakan mereka mengurang dan tubuh
mereka tenggelam kembali. Cepat-cepat mereka menendang-nendang dengan kaki dan muncul lagi
gelagapan. Pada saat itu, entah dari mana datangnya, sebatang pohon meluncur di dekat mereka.
"Dinda Tayami, cepat pegang ini...!" Salinga berseru girang.
Tak lama kemudian mereka sudah berhasil menangkap batang pohon itu. Dengan bantuan Salinga, Tayami
sudah duduk di atas batang pohon sambil muntahkan air yang telah banyak diminumnya. Salinga sendiri
memeluk batang pohon itu agar jangan bergulingan. Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka terurai,
akan tetapi untuk sementara mereka selamat.
"Kanda... mengapa perahu kita terguling..?"
"Entahlah, tidak perlu dipikirkan sekarang. Paling penting kita harus dapat mendayung batang ini ke pinggir..."
Dengan susah payah Salinga berusaha menggerak-gerakkan batang itu ke pinggir akan tetapi karena tidak
didayung, batang pohon itu bergerak perlahan menurutkan arus sungai.
Pada saat itu terdengarlah suara, "Huuukk... huuukkk...!" dan menyambarlah seekor burung yang matanya
berkilauan seperti mata kucing.
"Ihhh... burung hantu...!" seru Tayami dengan perasaan ngeri. Sudah menjadi kepercayaan di daerah itu
bahwa burung hantu ini pembawa berita kematian, maka siapa bertemu dengannya tentu akan kematian
seorang keluarga.
"Ia... membawa bungkusan...!" seru pula Salinga terheran-heran.
Betul saja. Kuku burung itu mencengkeram tali di mana tergantung sebuah bungkusan kecil. Anehnya, begitu
melihat mereka, burung itu menyambar turun dan sayapnya hampir saja mengenai muka Tayami kalau saja
gadis ini tidak cepat-cepat mengelak sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu bukannya menyerang,
melainkan melepas tali sehingga bungkusan itu jatuhlah ke depan Tayami, tepat di atas batang pohon!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ada tulisannya!" Tayami berseru heran melihat tulisan huruf-huruf besar dan jelas di atas bungkusan. Kalau
huruf-huruf itu tidak jelas tentu takkan dapat terbaca di bawah sinar bulan.
‘LEKAS PULANG DAN ISI BUNGKUSAN INI PAKAI SEBAGAI BEDAK, BARU MALA-PETAKA DAPAT
DICEGAH.’
Tayami membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh Salinga. "Apa artinya ini?"
"Entahlah, Dinda. Semua terjadi serba aneh. Perahu kita terguling. Kita hampir celaka, lalu tiba-tiba ada batang
pohon ini yang menolong kita. Lalu muncul burung hantu yang memberi bungkusan dan surat. Ihhh, benarbenar
menyeramkan sekali. Kau simpan bungkusan itu, mari bantu aku mendayung batang pohon itu dengan
kaki agar dapat minggir." Mereka segera bekerja dan betul saja, sedikit demi sedikit batang kayu itu bergerak
ke pinggir.
Sementara itu, tiga orang Khitan yang telah selesai melakukan pekerjaan jahat itu, cepat-cepat menyelam dan
berenang ke pinggir kembali. Akan tetapi begitu mereka muncul di pinggir dan meloncat ke darat, mereka
kaget sekali karena di depan mereka telah berdiri seorang yang terkekeh-kekeh dan mereka menjadi ngeri
ketika mengenali laki-laki gila yang pagi tadi mengacaukan perlombaan.
"Heh-he-he, setelah membunuh lalu lari, ya?" Kwee Seng menegur.
Tentu saja mereka bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan mereka tadi mencelakai dan membunuh Puteri
Mahkota adalah perbuatan yang amat berbahaya. Kalau diketahui orang, tentu mereka akan celaka, maka
sekarang mendengar bahwa jembel gila ini sudah melihat perbuatan mereka, serentak dua orang yang
bertubuh tinggi besar itu mencabut golok dan menerjang Kwee Seng! Cepat gerakan mereka ini, dan cepat
pula hasil ayunan golok mereka, yaitu kepala mereka sendiri terbelah oleh golok masing-masing sampai
hampir menjadi dua dan tubuh mereka masuk ke dalam sungai dan hanyut. Hanya dengan sentilan jari
tangannya Kwee Seng telah membuat golok yang menyerangnya itu membalik dan ‘makan tuan’.
Sejenak ia memandang dua buah mayat yang menggantikan tempat Tayami dan Salinga itu, kemudian sekali
berkelebat ia telah meloncat dan menangkap tengkuk orang ke tiga yang melarikan diri ketakutan. "Ke mana
kau hendak lari?"
"Am... ampun... hamba tahu pekerjaan itu terkutuk... akan tetapi hamba terpaksa... kalau tidak mau melakukan
tentu akan dibunuh...."
"Hemm, aku tadi telah mendengar keraguanmu melakukan perbuatan itu. Siapa yang memaksamu
melakukannya?"
"Panglima Muda Bayisan...."
"Mengapa? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan dibunuh?"
"Hamba... hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu setelah... Sribaginda menerima Salinga menjadi calon
mantu...."
"Hemmm...." Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang Khitan
itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dalam kegelapan
malam.
Setelah berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari ke arah kuda mereka, meloncat ke punggung kuda
setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda kembali ke kota raja.
"Aku merasa khawatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja," kata Salinga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada tanda-tanda terjadi
sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa
tadi, mereka langsung melarikan kuda sampai depan istana.
"Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu kau ceritakan siapa pun juga. Biar besok kita bertemu
lagi dan kita bicarakan peristiwa itu!"
Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan siapa pun juga tentang peristiwa itu sebelum ia
dapat membuka rahasianya. Peristiwa yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi,
ia berkata, "Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai bedak. Lebih baik
suruh selidiki dulu oleh ahli obat."
Tayami mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan, lalu berlari-lari
memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian. Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju
ke rumahnya.
Setelah itu para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti tubuhnya sampai
kering kemudian menggantikan dengan pakaian bersih. Ketika mereka hendak menyanggul rambut yang
belum kering benar itu, Tayami mengusir mereka, "Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang diri."
Sambil tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari ke luar dan Tayami duduk di atas pembaringan
dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung
hantu tadi ia buka perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali berwarna
kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda harum ini dan tulisan yang
menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk mencegah mala-petaka, membuat tangannya gatalgatal
untuk memakainya. Akan tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema di telinganya.
“Salinga benar juga,” pikirnya. “Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan mencegah mala-petaka
apakah? Di sini aman saja.” Puteri Tayami bimbang antara kepercayaannya akan tahyul dan pesan
kekasihnya. Bungkusannya yang sudah terbuka itu ia taruh di atas meja dekat pembaringan.
Gadis puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata mengintai penuh
kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya itu datang seperti setan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun ketika kaki mereka menginjak genteng? Dan dua pasang mata yang
memandang kagum ke dalam kamar itu pun tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia lakilaki,
takkan terpesona dan kagum melihat gadis Puteri Mahkota yang cantik jelita itu? Melihat pakaiannya
ditukar oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk
termenung seorang diri di dalam kamar yang indah.
Kwee Seng datang terlebih dulu karena sejak tadi dari jauh ia mengikuti puteri ini. Ia bersembunyi di sudut
atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang
membuka genting dan mengintai ke dalam pula, seperti dia! Berdebar hatinya ketika mengenal orang itu, yang
bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan
tetapi karena ia pun terpesona oleh keindahan di dalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin
melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia kepada Liu
Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya termenung dan penyakitnya hampir kumat!
Tayami sedang termenung di dalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi. Teringat akan kekasihnya,
ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia
memandang bubukan obat. Apakah maksudnya pengirim obat ini? Benarkah burung itu bukan burung biasa?
Ataukah disuruh oleh orang sakti? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau memang bedak ini dipakai
untuk menolak mala-petaka, apa salahnya? Tentu pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau
aku pakai sedikit untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu bergerak
mendekati kertas, hendak menjumput bedak.
Akan tetapi tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin bergoyang-goyang.
Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang terbuka lebar sambil membalikkan
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget melihat bahwa di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki
yang tersenyum-senyum, Bayisan!
"Kanda Panglima Bayisan...! Apa artinya ini? Mengapa kau masuk ke sini secara begini?" Tayami bertanya
gagap.
Bayisan memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis di depannya.
Mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar penuh perasaan, "Alangkah indahnya
rambutmu, Tayami... alangkah cantik engkau...., bisa gila aku karena birahi melihatmu...."
Tiba-tiba Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemarahan. "Kanda Panglima! Apakah kau sudah
gila? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini di depanku? Pergi kau keluar! Kau tahu apa yang akan kau
hadapi kalau kuadukan kekurang-ajaranmu ini kepada ayah?!"
Bayisan tertawa mengejek. "Huh! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam ini kau sudah menjadi
milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku dari pada menjadi
isteri seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku sudah terlalu lama menahan rindu
birahiku...!" Bayisan melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, matanya yang
agak kemerahan karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.
"Bayisan, berhenti! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan penjaga. Ke mana
hendak kau taruh mukamu?"
"Heh-heh-heh, menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan totokan-totokanku
yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani cinta kasihku dengan suka rela karena... karena
terhadapmu aku tidak suka menggunakan kekerasan."
Tayami menjadi makin panik mengingat akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia tahu amat lihai.
Sambil berseru keras ia melompat ke samping, menyambar pedangnya, yaitu pedang Besi Kuning yang
tergantung di dinding, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut mengarah
leher. Cepat bacokan ini dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat karena Tayami adalah seorang
Puteri Mahkota yang terlatih, menguasai ilmu pedang yang cukup tinggi. Akan tetapi, tentu saja silat Puteri
Mahkota ini tak ada artinya.
"Heh-heh, Tayami yang manis. Kau seranglah, makin ganas kau menyerang, akan makin sedap rasanya kalau
nanti kau menyerahkan diri kepadaku!"
"Keparat! Jahanam berhati iblis! Tak ingatkah kau bahwa kita ini seayah? Tak ingatkah kau bahwa aku ini
Puteri Mahkota dan kau ini Panglima Muda? Lupakah kau bahwa pagi tadi ayah telah menjodohkan aku
dengan Salinga? Bayisan, sadarlah dan pergi dari sini sebelum kupenggal lehermu!"
"Heh-heh-heh, Tayami bidadari jelita. Kau hendak memenggal leherku, kau penggallah, sayang. Tanpa kepala
pun aku masih akan mencintaimu!" Bayisan mengejek dan betul-betul ia mengulur leher mendekatkan
kepalanya, malah mukanya akan mencium pipi gadis itu.
Tayami marah sekali. Pedangnya berkelebat, benar-benar hendak memenggal leher itu dengan gerakan cepat
sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bayisan tertawa, miringkan tubuh menarik kembali kepalanya.
Pedang menyambar lewat, jari tangan Bayisan bergerak menotok pergelangan lengan dan... pedang itu
terlepas dari pegangan Tayami, terlempar ke sudut kamar!
Bayisan sudah mencengkeram rambut yang panjang riap-riapan itu ke depan mukanya, mencium rambut
sambil berkata lirih, "Alangkah indahnya rambutmu... halus... ah, harumnya...."
Tayami kaget sekali, tangan kirinya diayun memukul kepala, akan tetapi dengan mudah saja Bayisan
menangkap tangan ini dan ketika tangan kanan Tayami juga datang memukul, kembali tangan ini ditangkap.
Kedua tangan gadis itu kini tertangkap oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa menyeringai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau lihat, alangkah mudahnya aku membuat kau tidak berdaya!" Tangan kirinya mengelus-elis dagu yang
halus. "Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat kuat, amat kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki
mana pun juga di Khitan ini!" Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan tubuh Tayami
terguling ke atas pembaringan.
Gadis itu takut setengah mati, lalu nekat menerjang maju lagi sambil melompat dari atas pembaringan. Akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas ketika jari tangan Bayisan menotok jalan darah bagian thian-hu-hiat
yang membuat seluruh tubuhnya menjadi seperti lumpuh! Dengan lagak tengik Bayisan kembali mengusap pipi
gadis itu sambil tertawa.
"Heh-heh, betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan kekerasan. Kau tak dapat bergerak sama sekali,
bukan? Akan tetapi aku tidak menghendaki demikian, juwitaku. Aku ingin kau menyerahkan diri secara
sukarela kepadaku, ingin kau membalas cinta kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan tak berdaya.
Nah, bebaslah dan kuberi kesempatan berpikir."
Tangannya menotok lagi dan benar saja, Tayami dapat bergerak kembali. Muka gadis ini sudah pucat sekali,
akan tetapi sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Ia akan melawan sampai mati, tidak nanti ia mau
menyerah! Baru sekarang ia teringat untuk menjerit. Tadinya, selain terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang
katanya telah merobohkan semua penjaga dan pelayan, juga ia merasa malu kalau peristiwa ini diketahui
orang luar. Akan tetapi melihat kenekatan Bayisan yang seperti gila itu, ia tidak peduli lagi dan tiba-tiba Tayami
menjerit sekuatnya. Aneh dan kagetlah ia ketika tiba-tiba lehernya terasa sakit dan sama sekali ia tidak dapat
mengeluarkan suara!
"Heh-heh-heh, jalan darahmu di leher kutotok, membuat kau menjadi gagu! Nah, insyaflah, Tayami, betapa
mudahnya bagiku. Dengan tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat kau lakukan untuk menolak kehendakku?
Akan tetapi aku tidak mau begitu... aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, berikut hatimu. Manis, kau balaslah
cintaku...." Bayisan melangkah maju lalu memeluk.
Tayami memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi pukulan-pukulan itu agaknya sama sekali tidak
terasa oleh Bayisan. Pemuda Khitan yang seperti gila ini menciumi muka Tayami, membujuk-bujuk dan
terdengar kain robek. Terengah-engah Tayami ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya sambil
memandang dengan mulut menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek, wajah gadis ini pucat sekali.
“Celaka,” pikirnya. “Tidak ada senjata lagi.”
Tiba-tiba Tayami teringat akan bungkusan bedak di atas meja. Kalau bedak itu mengenai mata, tentu untuk
sesaat Bayisan takkan dapat membuka matanya, mungkin ada kesempatan baginya untuk lari ke luar kamar.
Bayisan sudah hendak memeluk lagi. "Tayami sayang, aku cinta kepadamu... kau layanilah hasratku...."
Tiba-tiba Tayami memukulkan tangan kirinya ke arah ulu hati Bayisan. Melihat pukulan itu keras juga dan
mengarah bagian berbahaya, sambil tertawa Bayisan menangkap tangan ini dan hendak mendekap tubuh
Tayami. Mendadak tangan Tayami yang kanan menyambar, dan segumpal uap putih menghantam muka
Bayisan yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu. Begitu melihat sambitannya mengenai sasaran,
Tayami cepat melompat ke belakang sampai mepet dinding belakang pembaringan.
"Kau... kau apakan mukaku? Tayami... kau gunakan apa ini...?" Ia terhuyung-huyung menuju ke meja rias di
mana terdapat sebuah cermin. Ketika ia memandang wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan liar seperti
bukan suara manusia lagi.
Tayami yang sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Tak sanggup
ia melihat lebih lama lagi. Ia memang seorang gadis perkasa, tak gentar menghadapi perang, sudah biasa
melihat mayat bertumpukan sebagai korban perang, melihat orang terluka parah. Akan tetapi peristiwa yang
mereka hadapi sekarang ini benar-benar mengerikan sekali, apalagi kalau ia ingat betapa tadi sebelum
Bayisan datang, hampir saja ia menggunakan bedak beracun itu untuk membedaki mukanya. Menggigil
kengerian ia kalau membayangkan betapa kulit mukanya yang halus itu akan digerogoti perlahan-lahan oleh
racun itu, betapa mukanya akan tak berkulit lagi, seperti muka iblis yang seburuk-buruknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika ia membalikkan tubuh menghadapi pembaringan di
mana Tayami duduk bersimpuh kengerian dan ketakutan. "Kau... kau... setan betina... kucekik lehermu sampai
mampus..."
Ia menubruk maju, akan tetapi tiba-tiba ia berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang. Tangan kirinya
meraih ke arah pundak kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan gatal panas. Ketika ia berhasil mencabut
jarum hitam yang menancap di pundak kanannya, ia berteriak kaget, mundur beberapa langkah dan berdongak
ke atas. Di sana, di celah-celah genteng, tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang muda yang
rambutnya riap-riapan.
Bayisan tentu saja mengenal jarum hitamnya, maka tadi ia kaget setengah mati melihat pundaknya dilukai
orang dengan jarumnya sendiri. Kini melihat muka itu, muka jembel muda yang siang tadi membikin kacau,
teringatlah ia akan muka Kwee Seng, teringatlah ia akan semua peristiwa di puncak Liong-kwi-san.
"Liong... kwi.... san...." Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia bahwa tidak harapan baginya
untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia
dapat tinggal di istana setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi seperti
muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti lolong seekor serigala hutan yang
kelaparan ketika tubuhnya berkelebat ke arah jendela dan lenyaplah Bayisan di dalam kegelapan malam.
Kwee Seng tersenyum puas. Tak perlu ia membunuh Bayisan, cukup dengan mengembalikan jarumnya di
tempat yang sama. Ia puas melihat Bayisan sudah cukup terhukum oleh perbuatannya sendiri yang jahat.
Siapa kira, bungkusan yang ia duga dikirim kakek cebol untuk Puteri Mahkota Khitan itu, ternyata berisi bedak
beracun dan secara tidak sengaja telah dapat memberi hukuman mengerikan kepada Bayisan si manusia
jahat!
Akan tetapi kakek cebol itu juga jahat. Bagaimana seandainya bedak itu dipergunakan oleh Puteri Mahkota?
Kwee Seng bergidik. Tak sampai hatinya membayangkan hal ini. Dia amat sayang akan segala yang indahindah,
kalau sampai wajah yang jelita itu, dikupas kulitnya oleh bedak beracun, hiiiih!
"Kakek cebol, kau iblis tua bangka, tak dapat kudiamkan saja perbuatanmu ini!" kata Kwee Seng di dalam
hatinya dan ia pun meloncat turun dari atas genteng, menghilang di dalam gelap.
Pada keesokan harinya, kota raja bangsa Khitan itu geger ketika Pangeran Kubakan mengumumkan bahwa
Raja Kulu-khan telah meninggal dunia secara mendadak karena terserang sakit setelah menghadiri pesta
perlombaan kemarin. Tentu saja hal ini mengejutkan bangsa Khitan yang merasa sayang kepada raja yang adil
itu. Semua orang berkabung untuk kematian yang tak tersangka-sangka ini.
Ada pun di dalam istana sendiri, tidak kurang hebatnya pukulan yang tak tersangka-sangka ini. Tayami
menangisi jenazah ayahnya dan para panglima hanya saling pandang dengan penuh pengertian. Tidak ada
tanda-tanda penganiayaan, akan tetapi tahu-tahu raja telah meninggal dunia di atas pembaringannya, tidak
ada tanda luka, tidak ada tanda minuman atau makanan beracun.
Akan tetapi bagi pandang mata yang awas dari para panglima yang tahu akan ilmu silat tinggi, yaitu misalnya
Kalisani Si Panglima Tua, atau juga panglima-panglima kosen seperti Pek-bin Ciangkun (Panglima Muka
Putih) dan Salinga, dapat menduga bahwa kematian raja mereka itu adalah akibat pukulan jarak jauh yang
mengandung tenaga sinkang dengan hawa beracun. Dari sembilan lubang di tubuh raja itu keluar darah
menghitam, ini tandanya keracunan hebat oleh pukulan yang merusak tubuh sebelah dalam.
Ketidak hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini bahwa Bayisan itulah yang telah membunuh raja,
ayahnya sendiri! Mungkin karena tak senang dengan pengangkatan Salinga sebagai calon panglima dan
mantu raja. Akan tetapi, setelah mereka mendengar penuturan Puteri Mahkota tentang kekurang-ajaran
Bayisan memasuki kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri Tayami dengan bubuk beracun sehingga
Bayisan menghilang, para panglima itu tidak mau lagi membicarakan hal ini di luaran. Hanya diam-diam
mereka mencari Bayisan untuk membalas dendam atas kematian raja, namun semenjak saat itu Bayisan
menghilang sehingga orang menyangka bekas panglima itu tentu telah tewas oleh racun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejak kematian Raja Kulu-khan itulah timbul perebutan kedudukan raja di Khitan. Tentu saja menurut
sepatutnya karena yang menjadi Puteri Mahkota adalah Tayami, maka puteri inilah yang menggantikan
kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan,
sedangkan calon suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di antara
mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro dengannya tidaklah banyak. Terutama
sekali yang mendukungnya adalah panglima tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.
"Biar pun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera, akan tetapi apa gunanya
kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup ada kita yang akan maju dengan persetujuan
raja. Puteri Tayami adalah Puteri Mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang
tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak mentaati perintah mendiang
raja kita?" demikian antara lain Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami!
Akan tetapi pihak lain membantah dengan sama kerasnya. "Kita semua maklum bahwa bangsa Khitan
menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang gagah perkasa tidak sekarang
mencari tempat di selatan, mau tunggu sampai kapan lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan
seorang raja yang gagah berani, seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga
seorang wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapa pun juga, langkah seorang wanita tidak selebar
laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam kedudukannya sebagai Puteri Mahkota yang kita hormati,
akan tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran."
Perdebatan sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara. Sebagian besar para panglima dan
ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini
mengecewakan hati Kalisani yang amat tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu,
apalagi karena dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja golongan raja ini
akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan
perantauan yang menjadi kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya
yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan Khitan, Kalisani hanya minta diri
kepada Puteri Tayami.
"Harap Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan pemerintahan akan
sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali
lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri. Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka."
Tentu saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta kepadanya. Ia menjadi
terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan
tulus ihklas, yang murni. Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat
betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang benar-benar menaruh sayang
kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis.
Puteri ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi barang permainan dan kesayangannya sejak
kecil, lalu menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata, "Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kau
limpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda
emas milikku ini sebagai kenangan-kenangan."
Kalisani mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda emas,
mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata, "Sampai mati aku takkan
berpisah dari sepasang roda emas ini...."
Biar pun kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih mendampingi kakak
tirinya ini dan kekuasaan Puteri Mahkota ini masih besar sekali. Raja Kubakan yang baru tidak berani
mengganggu Tayami, karena sungguh pun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun
boleh dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada Puteri Mahkota. Raja Kubakan merasa
kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada orang yang tahu ke mana perginya. Kalau
seandainya ada Bayisan di sampingnya, tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan.
Demikianlah, secara singkat dituturkan di sini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan Salinga dan
mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta. Tidak terjadi sesuatu di antara raja baru dan Puteri Tayami
dunia-kangouw.blogspot.com
mau pun suaminya karena mereka tidak saling mengganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang
menghadapi musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka itu
terdapat semacam ‘perang dingin’.
Kita kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja. Sambil
menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil lalu dari dapur istana sebelum
keluar, ia berjalan seenaknya di malam hari itu. Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi
tubuhnya sudah luar biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan bukan
apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus atau sekali makan
menghabiskan makanan sepuluh orang!
Kwee Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir kegelapan malam.
Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa, suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya
karena itulah suara si Kakek Cebol! Mendengar suara si Cebol, bangkitlah amarah di hati Kwee Seng. Si
Kakek Cebol yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian cantiknya
seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi hajaran. Dengan tangan kanan memegang
tulang paha kambing, tangan kiri menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat
langkahnya menghampiri arah suara ketawa.
Kakek cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sambil memeriksa muka seorang
yang menggeletak di depan kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang yang menggeletak itu, ia terheranheran
dan kaget, karena orang itu bukan lain adalah Bayisan! Memang aneh kakek itu. Ia membungkuk,
mengamat-amati muka Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi, memeriksa
dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.
"Huah-hah-hah, lucu perbuatan si tangan jahil iblis siluman! Muka si Cantik halus yang aku arah, kiranya malah
bocah tolol ini yang terkena! Heh-heh-heh!"
Makin yakin kini hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini sengaja mengirim obat bubuk beracun untuk merusak
muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Di samping kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti
mengapa kakek itu hendak berbuat sedemikian kejinya terhadap Tayami. Kwee Seng menanti sesaat untuk
melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu. Bayisan agaknya pingsan, atau mungkin sudah
mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Tiba-tiba kakek itu berseru. "Aiiihhh, bau... bau...! Bau jembel tengik...!"
Terkejutlah Kwee Seng. Dengan kening berkerut ia menggerakkan muka ke kanan kiri, hidungnya kembangkempis
mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga kehadirannya tercium oleh kakek itu?
Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat
tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek cebol itu tentu
sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat mengetahui kehadirannya menunjukkan
kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik pohon dan melangkah maju menghampiri.
Kakek itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan sambil mengoceh. "Wah,
baunya, baunya makin keras! Jembel busuk tengik ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan
sekelilingnya. Wah, bau... bau... tak tertahankan...!" Kakek itu lalu berbangkis-bangkis.
Rasa mendongkol di dalam hati Kwee Seng seperti membakar, "Kakek cebol tua bangka tak sedap
dipandang!" Ia memaki. "Sudah mukamu seperti monyet tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor, watakmu pun keji
seperti ular berbisa!"
Kakek itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan lebar, mengintai dari
balik alisnya yang panjang dan berjuntai ke bawah menutupi mata. "Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar
engkau yang mengotori hawa udara di sini! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak keliru. Memang
mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu lebih buruk dari pada muka orang? Hahhah-
hah, coba kau tanya kepada monyet betina, muka siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan
berbulu ataukah mukamu yang licin menjijikkan! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol dari pada merasa
tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh yang menggeletak di sini. Tentang mulut kotor,
dunia-kangouw.blogspot.com
memang kau benar. Mulut manusia mana yang tidak kotor? Segala macam bangkai dimasukkan ke mulut,
sedangkan yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala penyakit disebabkan
oleh yang masuk melalui mulut, dan bukankah segala cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar
melalui mulut? Memang mulut manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular
berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah jembel!"
Kwee Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel di tulang paha, sedangkan
dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara di pagi hari itu amat dingin. "Kakek cebol,
omonganmu memang tidak keliru dan mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran.
Akan tetapi, kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti di depan mata."
Kakek itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya di atas tanah, mukanya memperlihatkan
kejengkelan dan kemarahan. "Iihh... oohh... aku adalah Bu Tek Lojin! Selamanya belum pernah ada orang
berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek
Lojin berwatak keji dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo katakan, apa
buktinya?"
Diam-diam Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu Kek Siansu,
manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, yang sudah hampir dapat
membebaskan diri sepenuhnya dari pada ikatan lahir. Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah
membayangkan kesombongan. Bu Tek Lojin! Orang Tua Tanpa Tanding!
Belum pernah Kwee Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang ia kenal, baik
mengenal muka mau pun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar nama Bu Tek Lojin!
Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, di
samping tokoh-tokoh besar yang menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai,
Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek cebol yang mengaku bernama
Orang Tua Tanpa Tanding ini????
"Huh, tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah jelas tampak di depan
mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak di depan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah
hendak menolongnya, bukan? Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah
menjalarnya racun di mukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan? Bukankah
orang-orang gagah tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya dengan diri sendiri melakukan
kejahatan? Bukti pertama sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat!"
Tiba-tiba kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin itu tertawa bergelak. Kembali tubuhnya meloncatloncat
berjingkrakan seperti seorang anak kecil diberi kembang gula. "Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar
terbang seekor garuda! Kau anak ayamnya dan aku garudanya!" Ia tertawa-tawa lagi.
Kwee Seng mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai ilmunya, juga lihai mulutnya, seperti anak yang nakal
sekali. Akan tetapi ia diam saja mendengarkan.
"Bocah, kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa tentang menolong? Tahu apa tentang jahat dan baik?
Membantu tidak sama dengan menolong, akan tetapi jahat tidak ada bedanya dengan baik, kau tahu??"
Kwee Seng seakan-akan menghadapi teka-teki. "Kakek sombong, apa bedanya membantu dan menolong?"
"Uuhhh, goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan aku ikut-ikutan mendorong agar apa yang ia lakukan itu
berhasil, itu namanya membantu. Melihat lebih dulu sebab dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu.
Tanpa mempedulikan sebab dan akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong. Siapa pun juga dia, apa
sebabnya dan bagaimana akibatnya, tidak peduli, pendeknya harus turun tangan, itulah penolong yang sejati!"
Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak, pakai irama dan berlagu pula sehingga sukar dimengerti.
Akan tetapi Kwee Seng terkejut karena mengenal filsafat ini. Biar pun diucapkan seperti sajak berkelakar,
namun adalah kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia kagum dan tidak lagi main-main.
"Bu Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kau katakan bahwa jahat tidak ada bedanya dengan baik?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ho-ho-hah-hah, memang kau bodoh dan goblok! Semua menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua
manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan buruk? Apa bedanya siang dan
malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu,
mana bisa ada atau tidak ada? Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh
bocah, siapa namamu?"
"Aku yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai nama ini untuk
menandingi kesombongan si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Iblis
Berhati Emas), akan tetapi untuk menggunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri.
Padahal ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang dianggap sudah mati
terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar
Setan Emas!
"Wah, wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh pakai apa saja.
Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek Lojin, huah-hah-hah! Eh, Kim-mo Taisu yang
tidak patut bernama Kim-mo Taisu karena masih muda, aku tanya, apakah kau seorang baik?"
Ditanya begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha, tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di dunia ini orang
yang mengaku dirinya orang jahat. Biar pun mulutnya bilang jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah
dia yang baik? Yang baik adalah dirinya sendiri. Orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya
sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang jahat? Yang jahat adalah orang yang
melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya sendiri. Nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik
dan jahat tidak ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi kesenangan
diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-haha!
Menolong yang dianggap baik, itu bukan menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan
menolong diri sendiri, menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"
Di dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan sembarangan orang! Betapa pun
juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan
wataknya yang suka menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.
"Bu Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apa pun juga, boleh kau membongkar-bongkar filsafat untuk
mencari kebenaran sendiri. Akan tetapi aku melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun
kepada Puteri Mahkota Tayami dengan nasehat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau
mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka yang begitu cantik,
bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku seorang manusia, di mana perikemanusiaanmu?"
"Huah-hah-hah! Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu,
memang kusengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang menyebabkan semua
keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba dan saling membenci? Tak lain
untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri
Mahkota? Karena dia cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya.
Kecantikan hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak kulihat apakah
para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya menghilangkan akibat dengan membongkar
sebabnya!"
"Hemm, membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar mencerminkan
hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati iblis!"
"Uwaaaahh! Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar seekor naga. Lucu...
lucu....!"
Makin mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak ayam dan dirinya
sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat dirinya sendiri seekor naga!
"Biar pun naga, kalau matanya buta dan merusak sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"
"Bagus, mari kau layani aku beberapa jurus!" kakek itu berkata, lalu meloncat ke kiri dan memasang kuda-kuda
yang aneh. Kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong ke depan,
pundaknya diangkat pula ke depan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan
dipersabungkan!
Melihat kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya,
kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia mengerahkan sinkang-nya
seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi. Ia cukup maklum bahwa betapa pun aneh dan lucu sikap kakek itu,
namun sudah terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki lweekang yang amat kuat serta ginkang yang amat
tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti sambil siap siaga, tidak mau
menyerang lebih dulu.
Akan tetapi kakek itu juga tak kunjung datang serangannya. Hanya kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya
lirak-lirik seperti ayam jago sedang menaksir-naksir kekuatan lawan, kemudian kakinya melangkah-langkah
berputar mengelilingi Kwee Seng! Tentu saja Kwee Seng juga segera mengubah kedudukan kaki dan
mengatur langkah mengikuti si Kakek yang aneh. Ia melihat betapa jari-jari kakek itu yang telanjang seperti
kakinya sendiri, terpentang seperti cakar ayam. Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh sekali. Apakah
kakek ini menciptakan ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago? Ataukah semacam burung? Ia menaksirnaksir
akan tetapi tetap waspada.
Tiba-tiba kakek itu berseru, "Awas!" dan tubuhnya mencelat ke depan, menerjang, kedua tangannya
menggampar dari kanan kiri, kedua kakinya menendang.
Biar pun kelihatan hanya sebuah terjangan kasar, namun jari-jari kakinya serta jari-jari tangannya melakukan
totokan di tujuh bagian hiato(jalan darah) yang berbahaya! Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak
dari terjangan liar ini, maka cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu kedua tangannya
membuat gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia dapat menangkis dua pasang tangan kaki
kakek itu.
"Dukkk!" tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua kali, akan tetapi kedudukan kaki Kwee
Seng juga tergempur sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang.
Kagetlah Kwee Seng. Setelah berlatih di Neraka Bumi, tenaganya mengalami kemajuan pesat sekali. Namun
kini ia ketemu batunya. Kakek yang menerjang di tengah udara itu ternyata mampu membuatnya terhuyunghuyung,
dan kedua lengannya yang menangkis tadi seakan-akan bertemu dengan benda yang antep dan
keras.
"Heh-heh, kau boleh juga!" Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya seperti ayam jago,
berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.
Kembali Bu Tek Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul serangkaian serangan yang ganas,
memukul dan menendang bergantian, semua mengarah jalan darah yang berbahaya. Kwee Seng berlaku
cepat, tubuhnya mencelat ke sana-sini dan ia pun membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkansungkan
lagi. Maka lenyaplah bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan ginkang ini, berkelebatan
seperti petir menyambar.
Berkali-kali mereka beradu tangan dan selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia kalah kuat dalam
hal tenaga dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki ilmu silat yang tinggi maka penjagaannya
rapat sekali. Setelah mengalami benturan tangan belasan kali yang membuat kedua lengannya terasa sakitsakit,
Kwee Seng segera mengerahkan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti). Kedua tangannya
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi lunak seperti kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas kalau bertemu dengan tangannya, sehingga
ia tidak mengalami rasa nyeri lagi, malah dengan ilmunya ini ia dapat membalas serangan dengan mendadak
dan cepat, membuat kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan penasaran.
Tiba-tiba kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang tadinya amat cepat lincah itu menjadi gerakan
lambat. Malah kedua kakinya seakan-akan tidak bertenaga, seperti mengambang di atas air saja. Namun
hebatnya, begitu mereka beradu lengan, Kwee Seng terlempar ke belakang sedangkan kakek itu hanya
menari-nari dengan kedua kaki seperti tidak menginjak tanah.
Kwee Seng terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi hanya membuat gerakan mendorong dengan kedua
tangan, mengapa begitu beradu tangan ia terlempar sampai tiga meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua
tangan kakek itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya, padahal gerakan kakek itu lambat dan
kelihatan lemah serta kosong. Ia tidak tahu bahwa ini ilmu ciptaan Bu Tek Lo-jin yang dinamainya Khong-inban-
kin (Awan Kosong Mengandung Kekuatan Selaksa Kati)! Ada pun ilmu ini adalah ilmu sinkang yang
mendasarkan ilmu memanfaatkan yang kosong seperti seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu dalam kitabnya
To-tik-keng sehingga merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu batin yang tinggi.
Karena maklum bahwa kalau ia terus melayani kakek sakti ini dengan tangan kosong tentu ia akan kalah,
Kwee Seng lalu mencabut tulang paha kambing dan daun lebar dari ikat pinggangnya. "Bu Tek Lojin, dengan
tangan kosong aku kalah, marilah kita gunakan senjata!"
Bu Tek Lojin bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang muda mengeluarkan senjata yang begitu sederhana
dan aneh, ia tahu bahwa lawannya ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Tadi pun diam-diam
ia sudah terheran-heran mengapa ada orang muda yang begitu lihai. Selama hidupnya, belum pernah ia
bertemu tanding yang semuda ini. Akan tetapi memang wataknya tinggi hati, tidak memandang mata kepada
lawan mana pun juga, maka ia tertawa sambil berkata, "Jembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu
untuk kulihat!"
Setelah berkata demikian kakek cebol itu langsung menyerang lagi dan kini kembali ilmu silatnya sudah
berubah. Tenaganya masih sehebat tadi, namun kedua tangannya membuat gerakan yang membentuk
lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya, sedangkan yang kanan membentuk lingkaran-lingkaran
sempit. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangannya datang bergulung-gulung seperti ombak samudera
menerjang habis segala yang merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera memutar ulang
paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi tubuh, sedangkan daun di tangan kiri mulai
ia kebut-kebutkan yang juga mengeluarkan angin pukulan yang amat dahsyat.
Tiba-tiba terdengar suara keras, "Bagus, Bu Tek Lojin, kau hajar mampus bocah itu. Kalau kau kalah, baru aku
yang maju!" Suara itu terdengar dari jauh akan tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu
lenyap kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar berkepala gundul
yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi Lo-cia!
Sejenak kakek cebol menghentikan serangannya, membanting-banting kaki dan memaki, "Kau bilang kalau
aku kalah? Kuda gundul, kau lihat saja aku menjatuhkan jembel tengik ini. Kalau sudah, biar kau punya
selaksa lengan (ban-pi), pasti tanganku yang hanya dua ini akan kenyang menempilingi gundulmu sampai kau
berkuik-kuik dan berkaing-kaing!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu segera menyerang Kwee Seng
lagi dengan hebatnya.
Kwee Seng mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha kambing. "Berhenti dulu, Bu Tek Lojin. Dia itu musuh
lamaku, biarkan aku membuat perhitungan dengan dia! Heh, manusia cabul, rasakan pembalasanku atas
kematian Ang-siauw-hwa...!" Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek cebol itu
merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.
"Kau belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan melawan orang lain?"
Karena serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee Seng tidak dapat memecah perhatian dan
terpaksa ia melayani lagi dengan hati mendongkol. Ia tahu bahwa percuma saja bicara dengan kakek cebol ini.
Jalan satu-satunya mengalahkan si Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi Lo-cia. Akan tetapi ini
hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati karena si Cebol ini benar-benar sakti luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh Bayisan yang menggeletak di atas tanah. Ia kaget
sekali dan tidak mempedulikan lagi mereka yang sedang bertempur. Cepat ia berlutut di dekat muridnya.
Setelah melihat muka muridnya, ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan mengurut sana-sini. Akhirnya
Bayisan dapat bicara.
"Suhu (Guru)..." ia mengeluh.
"Muridku, siapa yang melakukan ini padamu? Hayo katakan, siapa? Akan kubeset kulit mukanya!"
Dengan suara terputus-putus Bayisan bercerita terus terang kepada gurunya bagaimana ia tergila-gila kepada
Tayami dan memasuki kamarnya, kemudian Puteri Mahkota itu menggunakan bubuk beracun mengenai
mukanya. Ketika bicara agak panjang ini, Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya, maka begitu
habis bicara, ia jatuh pingsan lagi.
Ban-pi Lo-cia menarik napas panjang, menggeleng kepala dan berkata. "Ahhh, banyak wanita cantik di dunia
ini, mengapa kau memilih Puteri Mahkota bangsa sendiri? Ah, tidak bisa aku menggangu Puteri Tayami.
Tayami anak Kulu-khan, mengapa engkau begini kejam? Muridku, jangan penasaran. Aku akan menurunkan
semua kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat menjagoi dan menjadi orang nomor satu di Khitan!"
Setelah berkata demikian, Ban-pi Lo-cia memondong tubuh muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu
tanpa peduli lagi kepada dua orang yang sedang bertanding.
"Ban-pi Lo-cia, kau hendak lari kemana?" Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan jurus maut Pat-siantoat-
beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat.
Baru sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat karena tadi dalam menghadapi Bu Tek Lojin ia
belum mau mempergunakan ilmunya ini yang dahulu telah diperbaiki oleh Bu Kek Siansu. Sekarang ia ingin
sekali mengejar Ban-pi Lo-cia, terpaksa ia menggunakan jurus ini. Kagetlah Bu Tek Lojin. Serangan ini
memang hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau dielakkan. Tulang itu ujungnya tahu-tahu sudah
mengancam ulu hati. Terpaksa Bu Tek Lojin menggunakan gerakan yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli
silat tinggi enggan melakukannya, yaitu membuang diri ke belakang seperti batang pohon tumbang, lalu
bergulingan di atas tanah.
Akan tetapi Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek cebol ini untuk sementara menjauhkan diri,
langsung ia meloncat dengan ginkang-nya yang hebat ke arah Ban-pi Lo-cia yang sedang melarikan diri
membawa muridnya, tulangnya menghantam ke arah lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini mendengar
desir angin, menangkis dengan lengan karena tahu bahwa senjata lawan itu tidak tajam.
"Dukkk!!" tubuh Ban-pi Lo-cia terguling!
Bukan main kagetnya hati si Gundul, karena sama sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan sekuat itu, jauh
lebih kuat dari pada beberapa tahun yang lalu. Tulang lengannya tidak patah akan tetapi rasa nyeri menusuk
sampai ke jantung. Ia tidak berani main-main lagi. Karena ia memang amat kuat, sekali meloncat ia telah
berada jauh di depan, lalu menggunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan tempat itu.
Kwee Seng hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar geraman hebat dan kakek cebol sudah
menerjangnya penuh kemarahan karena tadi dipaksa harus bergulingan sehingga pakaian dan rambut serta
jenggotnya terkena debu. Terpaksa Kwee Seng mencurahkan perhatiannya kepada kakek cebol lagi. Karena
mendongkol, kini ia segera mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan tulang di tangan kanan, sedangkan daun lebar
di tangan kiri ia mainkan dengan Ilmu Silat Lo-hai San-hoat.
Kalau tiga empat tahun yang lalu saja sepasang ilmu ini dapat membuat ia terkenal dengan sebutan Kim-moeng,
apalagi sekarang setelah ia memperoleh kemajuan pesat di Neraka Bumi. Hebat bukan main permainan
pedang dan kipasnya. Dalam segebrakan saja Bu-tek Lojin sudah terdesak sampai sepuluh jurus lebih. Kwee
Seng mengerahkan seluruh kepandaian karena maklum bahwa menghadapi kakek itu, sukar baginya untuk
dapat mengalahkannya. Dalam hal tenaga sinkang mau pun keringanan tubuh, kakek cebol ini hebat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh... ohh... tahan dulu...!" Sambil mencelat ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran daun dan tulang,
Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan
serangannya.
"Mau bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi mendesakku untuk bertanding sampai mati?" Kwee Seng
menegur marah dan mendongkol.
"Mengapa gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah kau murid Bu... Bu Kek... Siansu...?"
Kwee Seng tersenyum. "Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk kepadaku..."
"Wah... celaka... cukuplah kita main-main." Kakek cebol itu lalu bersuit panjang dan datanglah burung hantu
melayang-layang di atas kepalanya, kemudian ia lari meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung
hantu.
Sejenak Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar. Ternyata ilmu lari
cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul. Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan
agaknya kalau dilanjutkan dia sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti
orang jeri dan lari?
Bayangan kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil jauh di depan. Kwee
Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke
depan. Ketika ia memasuki hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin! Ia
menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan.
Apa yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap di belakang pohon. Kiranya kakek cebol itu
sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang
bertubuh pendek pula akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang adalah
panglima tua!
Memang, laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja dengan maksud merantau
ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu Kalisani bertemu dengan kakek cebol yang amat ia kagumi
sepak terjangnya ketika kakek itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat si Kakek Cebol,
tanpa ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.
"Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah) sudilah Lo-cianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa pun yang locianpwe
perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga teecu."
Inilah yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh Kwee Seng. Kakek
cebol itu setelah tertawa berkata, "Aku akan membikin kepalamu seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat
apakah kau masih nekat mau mengangkat aku sebagai gurumu!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu
menggerakkan telapak tangannya ke arah kepala Kalisani.
Bekas Panglima Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya. “Celaka,” pikirnya,
“mati aku sekali ini!” Akan tetapi karena ia telah terlanjur berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya
dan menguatkan hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!
Kwee Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya memukul, melainkan
mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali tangannya, semua rambut bagian atas kepala
Kalisani rontok semua sehingga kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang! Diamdiam
Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu.
Kalisani meringis, kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus sampai menembus ke
dalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk
belajar ilmu kepada kakek yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur
tanah sambil berkata, "Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang Suhu membutuhkan, teecu
serahkan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus jenggotnya dan menarik
napas panjang. "Kau boleh juga. Bukankah kau panglima di Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak
menjadi murid?"
"Sekarang teecu bukanlah prajurit Khitan lagi. Teecu sudah meninggalkan kerajaan karena jemu menyaksikan
perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi tidak beres. Karena amat kagum akan
kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai satu niat di hati, yaitu menjadi murid suhu."
"Hah-hah-hah, selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan kepandaian
kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong
aku dan jangan berhenti sebelum kuminta, biar pun kedua kakimu akan patah-patah!"
Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia
menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu
berkata, "Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan
kubunuh!" Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya!
Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena
keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan. Pertama, mereka adalah dua iblis neraka
atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala botak
dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan.
Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja
suara itu akan membuat orang menggigil seram di waktu malam!
Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh di
dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah
selesai. Bayisan telah terhukum, sungguh pun bukan langsung dari tangannya, ada pun Ban-pi Lo-cia, biarlah
lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan. Betapa pun juga,
matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.
Dalam perantauannya yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee
Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya
penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa
banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya! Di
mana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan sampai kini masih saja ia sembunyi, tak
suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai
Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping
penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya
adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!
Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini
seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah
dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap
Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di
Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat
kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
********************
Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan
dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya
karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus
tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu. Harus tetap berada di atas nafsu dan dapat
mengendalikannya.
Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan
sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju
dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada sang kusir yang menguasai kuda itu, maka akan berbahayalah jadinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang kusir inilah rohani yang harus diperkuat
dengan kesadaran. Apabila sang kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan
dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar.
Sebaliknya, apabila sang kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya
dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan
akan membawa kereta masuk jurang!
Betapa pun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali
meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi
hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang
untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu birahi semata.
Liu Lu Sian telah melakukan kesalahan itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia
rela meninggalkan Kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapa pun
juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai
kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian
lari dari pada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan,
kebebasan total, juga kebebasan cinta!
Ada juga rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan
bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka.
Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di
sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak
diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!
Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang
perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya di rumah Kam
Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan
ayahnya. Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika ayahnya
bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama
sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya
menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu akan dicurinya.
Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati ‘kebebasannya’.
Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki di sepanjang perjalanan
menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana
semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia
merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek
di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian
dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang
selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya.
Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam
rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas
pembaringan, hatinya penuh rindu birahi kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis
penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya
untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar,
sehari-hari hanya berkeliaran di dalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.
Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak
merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada
tamu sepagi itu.
"Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!" tiba-tiba suara ini
menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk
di depan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu
makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.
Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya
tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekhawatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di
pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena
sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata, Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah
seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan,
terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja.
Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan
kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.
Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara
berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari
beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang
memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim
Kai-pang). Menurut penuturan ayahnya, di antara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar,
yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah.
Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biar pun hanya perkumpulan pengemis, namun
sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena
filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka
mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana sekali!
Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis
Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat.
Biar pun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi
mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai ‘dunia pengemis’
bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Banhwa-
kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi
kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.
Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara
ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke
arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya
tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya. Orang itu masih tetap
makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu,
maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki
itu tampan dan gagah, amat menarik hati.
Muncullah kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian
mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang di
antara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya
telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biar pun pakaiannya tambaltambalan
dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini ‘pasang aksi’
ketika matanya memandang Lu Sian.
Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi. Segera mereka maju ke
depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyumsenyum.
Hanya si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya
perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya
bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.
Tamu tak diundang datang kemari
apakah hendak menyerahkan diri?
Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang, "Heii,
Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi."
Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok
kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja si Laki-laki Gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar
pintu.
"Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore
saja datang kalau hendak minta sisa...." Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa
pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja!
Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya
menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang enak-enak makan, kemudian cepat-cepat ia pergi
menjauhi.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya melirik ke arah
Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan si Lakilaki
Gagah, dan di dalam hatinya siap untuk membantu kalau laki-laki itu menghadapi bahaya.
Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang sebelah
menyambung nyanyiannya.
Menyerahkan diri membayar hutang
baru si Kecil diantar pulang!
Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu,
matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.
Diantar pulang ke rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?
Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua
pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona, lalu bingung. Namun
jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona
oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan
tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.
Hati Lu Sian juga berdebar aneh ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia
seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya semua laki-laki yang
memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang
tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!
Tiga orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali pengemis muda yang
menyelewengkan nyanyian ke arah Lu Sian. Kini melihat orang itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi
marah. Si Pengemis Muda menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman ke arah leher lakilaki
gagah.
Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia, yang biar pun tidak terlalu hebat
namun cukup berbahaya kalau si Laki-laki itu tidak dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan
kagum ketika melihat laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar lehernya telah
terjepit di antara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit bergerak, paku hitam
menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat dari pada tadi ke arah si penyerang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Auuuhhh...!" pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil mengaduh-aduh dan
memegangi kaki kirinya yang diangkat-angkat. Paku tadi, pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan
sehingga ia memakai julukan Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap di paha
kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!
Dua orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah menerjang dengan
tongkatnya yang ditusukkan ke arah muka sedangkan pengemis sepatu tunggal itu mencabut golok lalu
membacok ke arah leher. Namun orang itu masih enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan
dua senjata itu menyambar sampai dekat sekali.
Kali ini Lu Sian benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan itu, pikirnya.
Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan, sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu
meluncur ke depan seperti anak panah melesat dari busurnya.
"Tranggg! Aduhhh! Aduhhh...!" Peristiwa yang terjadi beberapa detik itu mengherankan sekali. Secara tiba-tiba,
laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok itu lenyap dari atas kursinya sehingga golok dan tongkat
saling bertemu di udara, kemudian dalam detik selanjutnya, tangan dua orang pengemis yang memegang
senjata itu telah tertusuk sumpit, tembus di telapak tangan sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan,
mereka berteriak-teriak kesakitan sambil menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.
"Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang bagus!"
"Sambitan yang luar biasa!"
Pujian yang keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu terdengar dalam waktu bersamaan, mereka saling
pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan ‘ada rasa’! akan tetapi laki-laki itu
segera melangkah ke luar menghadapi tiga orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan
suara lantang berwibawa.
"Aku Tan Hui adalah laki-laki yang tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu urusanku dengan Khongsim
Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami berdua saling menghargai dan bersahabat.
Kenapa sekarang tanpa alasan Khong-sim Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalau ada urusan silahkan Yu
Jin Tianglo menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo katakan
kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku, Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri. Pergilah!"
Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan
angin dan tiga orang pengemis yang sudah terluka itu roboh terguling! Mereka merangkak bangun, meringis
kesakitan, lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu Sian.
"Nona, kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan Hui-kiam-eng Tan
Hui?"
Lu Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya terluka itu untuk sejenak
melupakan rasa nyerinya. "Aku bukan apa-apa dengan orang gagah ini, ada pun namaku Lu Sian. Karena
jemu menyaksikan sikap tengik kalian, maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan
kepada kepala kalian!"
Tiga orang pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan tubuh dan sambil
menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka meninggalkan tempat itu.
Lu Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah mendengar
akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di daerah timur ini, seorang yang
kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama sekali ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya
tak pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja, namun dilakukan oleh Tan
Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin dapat melakukan gerakan ini secepat itu.
Di lain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang pendekar wanita bernama
Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik
dunia-kangouw.blogspot.com
jelita seperti bidadari di hadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika ia memandang
wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan berbentuk
indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah, rambut sinom yang terurai di kening, benar-benar
membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Nona, banyak terima kasih atas bantuanmu tadi."
Lu Sian tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika
bicara, matanya pun bersinar-sinar. "Ah, itu bukanlah bantuan namanya dan tidak ada artinya. Kita mempunyai
perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan tiga orang jembel tadi...."
Hening sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu memandangnya dengan
melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan.
"Eh, Tan-enghiong, kau kenapa...?" tegurnya sambil tersenyum manis.
Tan Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik jelita, yang bibirnya
bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar. "Eh... oh... kau... kau hebat sekali...."
Kembali Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang dengan kaku.
Akhirnya Lu Sian berkata, "Apakah kita akan terus bicara sambil berdiri saja?"
Kembali Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu. Merah sekali
mukanya ketika ia berkata, "Ah..., silakan, Nona. Mari silakan duduk."
Mereka duduk semeja, saling berhadapan. "Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim Kai-pang.
Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo
yang lihai dan terkenal sebagai tokoh baik-baik. Mengapa kau di musuhi mereka?"
Tan Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan bayangan duka, kini
menjadi keruh kembali. "Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak
ada salahnya kalau aku ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kau antarkan seguci arak dan
sekati daging."
Pelayan menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh hormat. "Maaf,
Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis
itu tidak tahu diri, berani main gila terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!"
"Sudahlah, tolong kau sediakan pesananku."
Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Ada pun pelayan
lain melihat rumah makan itu masih belum banyak tamu, menggunakan kesempatan menganggur ini lari ke
luar rumah makan untuk membual tentang kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui di tempat
kerjanya!
"Aku mempunyai banyak musuh," Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas panjang. “Semua karena
salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang
ditindas atau kejahatan berlalu saja tanpa turun tangan menolong. Sebab itu banyak pula orang
membenciku...."
"Sudah selayaknya orang gagah dibenci orang jahat," Lu Sian berkata menghibur, karena ia anggap hal seperti
itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan
tetapi wajahnya selalu membayangkan kerisauan hati.
Tan Hui mengangguk. "Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena itulah maka aku tak pernah
berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan
untuk menghantam mereka yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan
dengan Khong-sim Kai-pang. Setahun yang lalu, lima orang angguta Khong-sim Kai-pang melakukan
dunia-kangouw.blogspot.com
penyelewengan di kota Tong-an. Mereka minta derma secara paksa. Tidak itu saja, malah seorang di antara
mereka telah menculik puteri seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu
turun tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh si penculik."
"Kenapa tidak dibunuh semua saja?" Lu Sian memotong.
Tan Hui menghela napas. "Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat begini panjang. Akan
tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang terkenal baik, apalagi aku memandang muka
ketuanya, maka kuampunkan mereka dan hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan
hanya berhenti sampai di situ. Tidak tahunya, ketika melakukan perjalanan aku dihadang dan dikeroyok tiga
puluh orang Khong-sim Kai-pang yang mendendam atas kematian seorang temannya. Terjadi pertempuran
dan biar pun aku merobohkan dan melukai banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak
seorang pun tewas. Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu. Yu Jin
Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan penurunan tingkat. Urusan itu
sudah beres sampai... setengah bulan yang lalu..." Sampai di sini Tan Hui berhenti dan wajahnya
memperlihatkan kemuraman.
"Lalu mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar mereka datang
mencari mati. Kalau Yu Jin Tianglo membela anak buahnya yang mencari perkara, dia pun tidak benar dan
perlu diberi hajaran!"
Tan Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan marah-marah. Urusan ini
tidak ada sangkut-pautnya dengan Lu Sian, mengapa gadis ini menjadi begitu marah?
"Sungguh tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..."
"Tidak enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut
menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan khawatir, aku akan membantumu. Aku tidak takut
menghadapi orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak buahnya yang tidak benar!"
Tan Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian, maka ia makin terheran-heran. Memang watak Lu Sian amat
ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan
Tan Hui otomatis telah menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya!
Dengan muka masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih atas perhatian Nona
terhadap perkaraku."
"Ah, kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang segolongan? Tak perlu
sungkan-sungkan lagi," jawab Lu Sian.
Tan Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya. "Persoalannya tidaklah begitu
sederhana. Kalau hanya para anggota Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah
menguatirkan. Akan tetapi dua pekan yang lalu... aku hidup sebatang kara, mengapa mereka mengganggu
anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima tahun...."
Lu Sian terkejut dan merasa agak kecewa. "Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang kara... tapi kau...
mempunyai anak?"
Melihat kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka. "Memang aku sebatang kara... semenjak isteriku
meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya.
Itu pula sebabnya orang-orang jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin
mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau seorang diri dan
menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam, serombongan anggota Khong-sim Kai-pang mendatangi
rumah itu dan menggunakan kekerasan menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan
mereka meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus menyerahkan diri
kepada mereka!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah... begitukah? Jahanam benar mereka! Di manakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia seoranglah yang
harus bertanggung-jawab menghadapi semua ini. Minta anak itu dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti
dia menantang!"
"Markas Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini jauhnya. Adapun Yu Jin
Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua di luar kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai di sini,
siapa tahu, agaknya Yu Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!"
"Tak usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu, Tan-enghiong!"
"Nona Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaranmu yang amat berharga itu. Akan tetapi... urusan ini
mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak...."
"Aku tidak takut!"
"Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi... aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan
kau... kau seorang Nona terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar melihat,
tentu... ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak...."
Tiba-tiba Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat. "Apa peduliku akan pendapat
orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangmu? Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun
seorang... janda! Kita maju bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang
janda, mana mungkin ada yang lebih cocok lagi?"
Tan Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita
begini cantik jelita, begini berani dan terbuka, kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya,
tinggi ilmu silatnya. Seorang janda pula!
Pada saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan. "Orang she Tan! Keluarlah dan lekas berlutut untuk
kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!"
"Hemm, mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku, mengapa Khong-sim Kai-pang dalam waktu setahun
telah begini berubah?"
"Kau lihat saja bagaimana aku menghajar mereka!"
Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat ke luar menghadapi dua orang pengemis tua yang
berdiri di depan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula
berada di sampingnya. Kembali ia kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng
sebagai jago ginkang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah sengaja
mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk pamer kepada Tan Hui, juga untuk
membikin jeri kedua orang pengemis tua. Siapa kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat
karena dalam sekejap mata ia tersusul!
"Nanti dulu, adik Sian!" bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa kepada Lu Sian. Menyebut
Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang gadis, melainkan seorang janda seperti
pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik
saja. "Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."
Tanpa memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura kepada dua
orang pengemis tua itu sambil berkata, "Melihat ikat pinggang putih yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Jiwi
termasuk pimpinan Khong-sim Kai-pang. Kini aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga orang anggota
tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa di antara Khong-sim Kai-pang
dan aku tidak ada urusan permusuhan semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh
karena itu, kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan di antara kita dapat
diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang tua itu tentang main-main dari Khong-sim
Kai-pang dengan anakku ini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Di dalam ucapan Tan Hui ini, biar pun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung kekerasan tersembunyi
sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini merendahkan diri. Betapa pun juga, Lu Sian tidak puas.
Menurut kata hatinya, lebih baik menggunakan pedang dari pada menggunakan lidah dalam menghadapi
orang-orang macam itu.
Dua orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya bersikap sombong dan
memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk ular. Mukanya yang penuh keriput itu
kelihatan pucat, akan tetapi selalu membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang
mata seorang bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si
Tongkat Ular ini berkata, "Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang telah membunuh dan menghina
anak buah Khong-sim Kai-pang?" Sambil berkata demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya yang
berbentuk ular itu di depan dada dengan gerakan penuh aksi!
Akan tetapi pengemis ke dua yang mempunyai kepala besar sekali, sikapnya biar sombong namun lebih
sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia berkata dengan suara membayangkan ketinggian hati. "Hui-kiam-eng
Tan Hui! Setahun yang lalu kau menggunakan kelemahan bekas pangcu (ketua) kami, mengandalkan
kepandaian untuk membunuh dan menghina anak buah kami. Sekarang kami telah mempunyai pangcu baru
yang tidak mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu, kalau kau menghendaki
anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap kepada beliau di Kang-hu!" Setelah berkata
demikian, pengemis berkepala besar ini membalikkan tubuh hendak pergi.
"Heh-heh, mungkin dengan minta-minta ampun dan mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau akan diampuni!"
kata Si Pengemis Bertongkat Ular yang lalu membalikkan tubuh pula, kemudian dengan langkah dibuat-buat ia
meninggalkan tempat itu, setelah melirik-lirik ke arah Lu Sian.
Tan Hui terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin Tianglo sudah tidak menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang,
sudah diganti. Pantas timbul urusan ini, pikirnya. Akan tetapi, ke manakah perginya Yu Jin Tianglo? Dan siapa
penggantinya? Ia harus lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua pertanyaan itu tentu akan terjawab.
Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu, Tan Hui sama sekali tidak ambil peduli!
Boleh jadi Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu dilayani. Akan tetapi tidak demikian dengan Lu Sian.
Dia masih dapat menahan kesabarannya melihat dua orang itu memandang rendah Tan Hui. Akan tetapi
ketika pengemis kurus bertongkat ular itu membawa-bawa dia yang jelas sekali mengandung maksud kotor
dan kurang ajar, mana mungkin Lu Sian berlaku sabar lagi?
"Eh, eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua) yang baik, aku mau bicara denganmu!" Dengan langkah cepat Lu
Sian mengejar.
Tan Hui mengerutkan keningnya. Sahabat barunya ini benar-benar seorang wanita yang tidak tahu bahaya,
pikirnya. Melihat ikat pinggang putih lebar yang dipakai kedua orang pengemis itu, terbukti bahwa mereka
adalah pimpinan Khong-sim Kai-pang dan sudah terkenal bahwa para pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah
orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sekelebatan saja ia tadi dapat menerka bahwa si Kepala Besar
adalah seorang ahli lweekang yang amat kuat, sedangkan si Kurus itu agaknya seorang ahli bermin ilmu
tongkat.
Ia dapat menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari perkara, maka diam-diam ia merasa khawatir, akan
tetapi juga ingin sekali ia tahu sampai di mana kelihaian dua orang pengemis itu dan terutama wanita yang
menarik hatinya ini. Tadi ia hanya menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia menyambit dengan sumpit, akan
tetapi sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Karena keinginan tahu inilah maka ia tidak
menghalangi Lu Sian, melainkan mendekat agar dalam keadaan berbahaya, ia dapat memberikan pertolongan
dengan cepat.
Kedua orang pengemis itu berhenti. Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan tubuhnya, akan tetapi
si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai.
"Nona mau bicara apakah?" Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian mundur dua
langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Harum... sedap...!" si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang tercium keharuman luar
biasa ketika ia mendekati Lu Sian.
Diam-diam Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam sudah menjadi
heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi mendengar seruan kurang ajar itu ia
merasa panas dadanya. Benar-benar tidak patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu!
Lu Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam, kemudian ia
berkata, "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap
pangcumu agar mendapat pengampunan, apa artinya itu?"
Si Pengemis tertawa. "He-he-he... Nona seorang yang cantik luar biasa seperti bidadari, harum seperti mawar
hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin
kemarahannya terhadap orang she Tan akan mencair."
Di dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel buruk seperti ini?
Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis. "Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kaipang
tentu lihai dan terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"
Si Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya. "Wah, namaku sih tidak terlalu besar akan tetapi di
dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat
Aneh Ular Sakti)!"
Kakek jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang ketika melihat
gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan
tetapi hatinya lalu membengkak besar saking bangganya.
"Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kau selalu goyang-goyang tongkatmu seperti ular! Kiranya
julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar di tengah hari panas!"
Kembali pengemis itu melengak. "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru sekali ini aku mendengar pujian
begitu."
"Kau tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan mendatangkan
hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti perut kosong kebanyakan angin, maka
angin busuk pula yang dikeluarkan!"
Tan Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan liar, akan tetapi juga
terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung marah bukan main. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah
dipermainkan oleh wanita cantik ini.
"Uh-uh, bocah kemarin sore, berani kau memandang rendah tongkatku dan nama besarku?"
"Ah, sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa, tentu kau pun
mempunyai keistimewaan pula."
"Memang, aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa seorang manusia
melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau ini, sekaligus hatiku lemas!" Ternyata kakek ini
tidak hanya lihai julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas.
Namun ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara. "Sayang sekali, tua
bangka jembel. Mulai hari ini julukanmu akan berganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!" kata-kata ini
ditutup dengan gerakan tangan dan.....
"Singgg!" pedang Toa-hong-kiam sudah berada di tangan kanan sedangkan tangan kirinya di saat itu juga
sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah yang
semuanya menuju ke arah muka Si Pengemis Kurus!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aiiihhh!" Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai. Dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar
cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.
"Monyet tua, makan pedangku!" Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu
Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan
namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah
menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!
"Eh... orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!"
Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya. Keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena
hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai, maka setelah
berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat ke belakang menjauhkan diri
agar terlepas dari pada rangkaian kilat menyambar itu.
Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek. "Ular Buduk, apakah kau
tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah
tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya
hampir meledak. Sejenak ia tak dapat mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah
ia berteriak-teriak.
"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang
maju. Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu
sukar diduga ke mana hendak menyerang.
Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu.
Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan
sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang di tangan Lu Sian membentuk
garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, ke mana pun ujung tongkat pengemis itu
meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.
"Hebat wanita ini!" diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang
itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiamhoat
yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan. Ilmu pedang ini aneh
dan menyembunyikan sifat yang amat ganas.
Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasakan keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah
menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi
pihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian
berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali
bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan
pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini
ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.
"Menarilah, Ular Buduk, menarilah!" Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum
dan pedangnya. Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya
merangsak ke arah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncatloncat
menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari
ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya!
Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu
roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding ke dekat kaki Lu Sian dan sekali bacok,
tongkat itu pun buntung!
"Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?" Lu Sian mengejek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa
dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan
kosong yang menimbulkan angin bersiutan!
"Jangan curang!" tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak
tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang
dilakukan pengemis kepala besar.
"Dukkk!" dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel.
Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat
ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia
pun lalu mengerahkan lweekang-nya untuk melawan. Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan
saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang.
Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya dari pada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih
dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat
berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan
tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar
mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur
lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.
"Koko, mengapa begini sabar melayani dia?" tiba-tiba Lu Sian berkata halus di belakang Tan Hui sambil
menepuk pundak pendekar itu.
Tan Hui kaget. Tepukan itu biar pun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekang-nya,
karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak
mungkin. “Celaka,” pikirnya. “Apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku?” Tapi suaranya begitu merdu,
panggilannya ‘koko’ begitu mesra.
"Plakkk!" Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tempat di mana hawa sinkang lewat dan menjurus ke
lengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan
menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya,
lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!
"Kalian yang curang!!" kakek itu memaki. Begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu
besar di sampingnya dan melontarkannya ke arah Tan Hui dan Lu Sian.
Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi dengan begitu mudah
dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja! Hebat serangan ini, karena jarak di antara mereka
hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia
banting ke belakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa
tubuh Tan Hui mencelat ke depan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap di atas batu yang menyambar
lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia ‘menunggang’ batu itu dan ketika batu jatuh ke
tanah, ia pun meloncat turun!
"Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!" tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh
kekaguman.
Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata, "Hui-kiam-eng, kepandaianmu
dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk
menerima puterimu atau menerima kematianmu, barulah kami benar-benar kagum!" Ia lalu menghampiri
temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.
"Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan
hebat, ada pun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku seperti tidak bermata, tak tahu bahwa aku
berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya. "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit?
Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku
tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh... alangkah akan bahagia hatiku."
"Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin di dunia. Apa sukarnya
mempelajari ginkang bagi kau yang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?"
"Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima
kasih... kau baik sekali, baik sekali..." saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua
tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan di dalam hati masing-masing makin
tertarik.
Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian.
Hal itu biar pun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan karena Tan Hui adalah seorang jantan yang
berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita. Maka selama ini ia pun tinggal menduda,
sedikit pun tidak pernah menoleh ke arah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya.
Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula
kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekali pun
mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati.
Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya
adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada di
sebelah bawah tingkatnya sendiri!
"Bagaimana, Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"
Sudah berada di ujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu pedang dan ilmu
ginkang-nya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia merasa agak meragu. "Aku tidak
keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu
turunan...."
Lu Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa meramkan
mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya berguncang keras. "Apakah kau tidak
mau menganggap aku orang dalam...?" suaranya merdu lirih seperti berbisik.
Pada saat itu sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan di depan rumah makan.
Melihat ini Tan Hui segera berkata perlahan. "Moi-moi, tak baik bicara di sini seperti ini. Di manakah kau
tinggal? Mari kita bereskan perhitungan dengan rumah makan dulu."
"Aku tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko..."
Akan tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari mendatangi.
Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya
pengawal atau tukang pukul. Akan tetapi begitu tiba di depan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri
berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal barang berharga) yang
mukanya penuh debu dan keringat, bahkan di antara mereka ada yang terluka sehingga pakaian mereka
berlumur darah.
"Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu yang
celaka....!" seorang di antara mereka yang tertua dan pundaknya terluka bacokan, segera berkata dengan
suara penuh permohonan. "Kebetulan sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap di sini,
maka kami segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka menolong, berarti
kami sekeluarga akan mati...."
Tan Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang gagah bersikap
selemah ini. "Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengekrengek
seperti anak kecil?" tanyanya berisikan teguran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Maaf, Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah putus harapan.
Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar
Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar
yang pindah tempat, yang katanya berharga ribuan tail emas. Karena perjalanan menuju kota Sui-kiang
biasanya aman, kami tidak merasa khawatir apa-apa. Ternyata di luar dugaan, di lereng bukit itu, hanya empat
puluh li dari sini, kami dihadang perampok. Barang-barang kami dirampas semua, bahkan di antara kami ada
yang tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru di sana, dipimpin oleh kepalanya
yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami, karena kami tidak mampu merampas kembali lima
buah peti itu pasti perusahaan kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"
"Kalian tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?" tiba-tiba Lu Sian membentak
mereka. "Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah harus berani menanggung resikonya, mengapa
kalian ribut merengek-rengek minta bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami
punya urusan yang lebih penting!"
Tujuh orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita cantik jelita yang
galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada di situ bersama Tan Hui, mereka lalu membenturbenturkan
jidat ke tanah sambil memohon-mohon dengan suara pilu.
"Sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang selalu
mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami mohon dengan segala
kerendahan hati..."
"Hemmm, sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu. Di mana adanya si
perampok?"
"Koko! Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan kita..."
"Hanya sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam perampok hina apa
sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga beres."
"Aku tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!" Lu Sian cemberut.
Tan Hui tersenyum. "Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka menanti. Tak lama aku
kembali."
Lu Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang ke arah para piauwsu dengan marah.
Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para
piauwsu yang seakan-akan hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan
sikap uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil alat tulis, lalu
ditulisnya beberapa huruf di atas kertas yang kemudian dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah
makan.
"Kalau Tan-taihiap datang, kau berikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa, surat ini sama
harganya dengan sepasang telingamu!"
Pengurus itu yang tadi melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang pengemis lihai,
menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar ketika Lu Sian dengan langkah gesit keluar
dari situ.
Mengapa terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini terkenal sebagai
perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan, di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo
yang terkenal bijaksana dan keras terhadap anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini
berani melakukan penyelewengan.
Akan tetapi, memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari pantai Lautan Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee
Lui ini bukan orang sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa di dalam goa-goa sepanjang pantai Podunia-
kangouw.blogspot.com
hai. Semenjak kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali.
Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu
mengalahkan batinnya sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami
wanita itu dan beberapa orang keluarganya yang hendak membela wanita itu.
Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui turun tangan pula terhadap
gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil membunuh gurunya sendiri, kemudian
membunuh pula wanita itu! Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua
dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalkan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan darah pembunuhan
kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari kitab-kitab dari suhu-nya, maka
kepandaiannya makin meningkat tinggi.
Dalam perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu angkara murka,
mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan dirinya. Merampok, membunuh,
merampas wanita, dan mengganggu orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga
dalam beberapa tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas dan
kejam sepak terjangnya.
Pada suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia mendengar tentang
perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan
itu dan tercenganglah ia menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di sebelah
dalamnya terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula melihat betapa
kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak buah Khong-sim Kai-pang yang mempunyai
ratusan orang anggota, mau pun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri
memandang perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu ingin merampas
kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!
Dengan tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia menyatakan kepada
Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu
menjadi marah, namun sekaligus mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin
Tianglo sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam pertandingan
yang hebat terbunuh olehnya!
Sifat-sifat baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat buruk itu tanpa diajarkan
pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan
kesaktian petualang muda itu, para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk. Para anggota
perkumpulan ini menjadi gembira sekali melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan
Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan sifat dan watak Yu Jin Tianglo. Nafsu mereka yang selama
berada di bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat jalan ke luar.
Mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama
ini terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah
menyalahkan anak buahnya sendiri, kini meluap-luap. Ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru
itu, Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi
untuk menculik puteri Tan Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan
karena ketua baru ini merasa dirinya terlalu tinggi untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan Hui!
Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu saja
mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan kebesaran perkumpulan itu dan
ketuanya, Yu Jin Tianglo.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat penghinaan dari Tan
Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian. Malah dua orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian
cukup dan ia utus menantang Hui-kiam-eng Tan Hui juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan
ini sudah melampaui batas, dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari sendiri Tan Hui,
tiba-tiba muncullah Lu Sian yang menerobos masuk dengan pedang di tangan dan berseru.
"Di mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil kembali puterinya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Di dalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang sedang berkumpul, malah dua orang pengemis yang
telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam juga hadir di situ. Menyaksikan seorang
wanita muda dengan pedang di tangan yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona
dan keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi telinga pembantunya.
Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu.
Pouw Kee Lui pada hakekatnya bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar
terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Namun ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa
seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan,
tentulah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah rendah.
Kalau dua orang pembantunya itu pulang dalam keadaan terluka cukup hebat setelah bertemu dengan wanita
ini, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di
dalam Kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu. Maka sebagai seorang
yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa gerangan wanita ini dan dari
golongan mana.
Akan tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat munculnya Lu Sian,
mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot. Ini cukup menjadi isyarat bagi para
pimpinan pengemis yang jumlahnya ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata
masing-masing. Tujuh orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian tinggi.
Lima di antara mereka, bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang.
Namun Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan kanan yang
memegang pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh orang pengemis itu, ia membentak, "Aku
tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk
bicara denganku!"
Akan tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka lalu membuat
gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi gemas sekali dan ia sudah siap
menerjang untuk memberi hajaran ketika di belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.
"Nona, Yu Jin Tianglo yang kau tanyakan itu sudah mati."
Kaget sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa para
pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat
ia memutar tubuh menghadapi si pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit kasar akan
tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai
kepandaian yang tinggi, akan tetapi sepasang matanya mencorong bagaikan mata serigala. Pakaiannya biar
sederhana, namun tidak ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota pengemis,
apalagi seperti ketua pengemis.
"Mati...?" Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru.
"Ya, mati," kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul di bibirnya. "Sangat tidak kebetulan sekali, ia mati
melawan aku."
Diam-diam kagetlah Lu Sian. Siapa kira orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh Yu Jin
Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di depannya ini pantasnya seorang petani
gunung, atau paling hebat seorang pedagang obat keliling.
"Hemmm," akhirnya ia mendengus. "Kau siapakah?"
Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju menerjangnya. Terpaksa Lu
Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka yang sudah mengurungnya. Ia segera
menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis
datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar suara nyaring beradunya
dunia-kangouw.blogspot.com
senjata dan di antara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa dan berkata dengan nada
mengejek.
"Namaku Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang ketua Khong-sim Kai-pang!"
Lu Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah itu amat curang.
Tentu tadi selagi bicara dia memberi perintah kepada para pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan
kesempatan selagi ia agak lengah. Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu.
Kemarahannya meluap-luap ketika ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas kau bebaskan puteri Tan
Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari ini!"
Pouw Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu. Diam-diam ia terkejut dan heran karena ia sama
sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan
boleh dibilang mengenal ilmu pedang dari golongan mana pun, baik dari partai bersih mau pun dari golongan
hitam. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia harus akui bahwa
ilmu pedang ini hebat!
"Wesss-wessss!" tiba-tiba tedengar suara beberapa kali dan.... seorang demi seorang pengemis tua yang
mengeroyok Lu Sian terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak.
Lu Sian sendiri tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori
pedangnya dengan lawan yang roboh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya menambah tendangan saja,
membuat mereka yang roboh mencelat ke luar dari ruangan. Segera terdengar hiruk pikuk mereka memaki
dan menyatakan rasa heran.
"Ilmu siluman....!"
"Dia bukan manusia!"
Tujuh orang pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main. Matanya
mengerling ke kiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat beras, bersandar di sudut kiri
ruangan itu, di belakang patung Buddha. Ia tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu
dari karung itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia berlaku hatihati
sekali.
Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai pembantu yang demikian hebat ilmu
pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh aneh
yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya. Kini dengan wajah
tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan berkata.
"Lihiap benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura bukan sembarang
menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan yang amat kuat.
Lu Sian kaget. Tentu saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kaipang
ini mungkin melakukan serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak
mengira bahwa tenaga serangan gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia
mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia
berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui.
Akan tetapi pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga, dan pada saat Lu Sian merasa lega karena
mengira bahwa tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia agak
lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui menyambar ke depan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah
kena dicengkeram!
Lu Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu. Biasanya orang yang saling mengadu
tenaga lweekang seperti mereka itu sama sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan
gelap seperti yang dilakukan ketua pengemis ini. Lengan kiri Lu Sian yang dicengkeram terasa sakit sekali,
seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir masuk melalui pergelangan
dunia-kangouw.blogspot.com
tangannya yang dicengkeram. Ia kaget dan marah, lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk
dibacokkan ke arah muka lawan.
Namun tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya si Ketua
Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah
sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat
mengenai tangan kanan Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga terpaksa Lu
Sian melepaskan pedangnya yang meluncur ke sebelah kanannya, ke arah karung yang bersandar di sudut
belakang arca! Ini saja sudah membuktikan kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus
sambil menangkis serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang ‘karung’ itu.
Tepat seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati. Tiba-tiba karung itu mencelat ke atas dan pedang
Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri
setelah jatuh di atas lantai, membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan
tetapi tidak jatuh ke bawah.
Sementara itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim Kai-pang ini. Namun ia
segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan kanan dengan jari terbuka menghantam pusar
lawan sambil tangan kirinya yang masih dicengkeram itu di tarik keras.
Hebat sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat Sin-coa-kun (Ilmu
Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee
Lui juga kaget, terpaksa melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar
pedangnya yang menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi
lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam Siang-tok-ciam.
Pouw Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu bahwa ia takkan kalah
menghadapi gadis jelita ini. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa,
bahkan belum ia ketahui apakah isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga
bahwa yang berada dalam karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian
nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada
waktu Lu Sian datang mewakili Tan Hui, ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hatihati.
Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak mau sembrono.
"Tahan dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya lagi, bahkan siap dengan
jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah
terheran dan menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun harum dan
berwarna merah.
Lu Sian juga bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar amat lihai. Ia
masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak
termakan oleh pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis
yang mengeroyoknya tadi, dan yang sekarang masih bergoyang-goyang di atas kepala arca. Menghadapi
seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan
serangannya, memandang dengan mulut cemberut, hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan
kirinya masih terasa nyeri bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.
"Nona, terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa, bahkan selamanya baru
kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang
kupimpin, bukan urusanku pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk
menghindarkan kesalah-pahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang mewakili Tan Hui,
dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?"
Lu Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang lihai, pula di situ
masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka
maju mengeroyok, perlu ia mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang. "Dari
golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk dibandingkan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu
Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan...."
"Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget.
"Betul. Nah, kau mau bicara apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara angkuh.
"Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan Kam-goanswe...?"
"Sekarang tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong. "Nah, sekarang kau mau serahkan puteri Hui-kiam-eng atau
kita lanjutkan pertandingan?"
Pouw Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia mengetahui
bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak
buah Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut kedudukan pangcu
bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.
"Ah, kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi pertengkaran tiada
artinya?"
"Kita bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku bukan pengemis!"
Kembali Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak merasa sebagai
pengemis biar pun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang
memelototkan mata karena mereka sebagai tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.
"Biarlah kukembalikan anak Hui-kiam-eng karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong!" Sambil
berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca. Alangkah kaget hatinya melihat bahwa setan karung
tadi sudah tidak berada lagi di tempat itu. Entah ke mana perginya!
Ia merasa heran dan penasaran. Dengan kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat
perginya makhluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu karung itu terisi manusia sakti dari Bengkauw
yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau
ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini, biar pun ia akan dapat menangkan
Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu setan karung itu seorang
tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian.
Ia memberi isyarat kepada seorang anggota Kai-pang yang cepat masuk ke belakang kuil itu dan tak lama
kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan. Anak itu berusia lima tahun,
wajahnya cantik, walau pun masih kecil sudah tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis,
hanya dengan sepasang matanya yang bening memandang ke arah Lu Sian.
Lu Sian tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu."
Akan tetapi anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan
ragu-ragu, agaknya tidak percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun
menurut saja, tidak membantah.
"Nah, sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil melangkah ke luar.
"Harap sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa mempedulikan sikap para
pembantunya yang kelihatan penasaran.
Setelah Lu Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi para
pembantunya sambil berkata, suaranya kereng. "Kalian mau apa?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pangcu, sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu. Pula, apakah kematian anak buah kita di tangan
Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biar pun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan
dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman
betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan...."
"Desss!" Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan si pembicara itu, seorang pengemis tua, jatuh tersungkur,
giginya yang tinggal beberapa buah itu meloncat ke luar dari mulutnya yang berdarah.
"Kau tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga mudah dikalahkan
oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal
berani menerjang saja tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah perkumpulan
agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah
Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kaipang
sama sekali bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan Khongsim
Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu Jin Tianglo? Phuh, hanya dua
ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw
dengan jalan mencelakai puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"
Tercengang para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu banyak isi
dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan yang luas dari ketua baru ini.
"Kami mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan," kata Si Kepala Besar.
Pouw Kee Lui tertawa bergelak. "Di seluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis macam kalian yang
sesungguhnya merupakan kekuatan yang besar. Akan tetapi kalian terpisah-pisah secara berkelompok,
merupakan kaipang-kaipang yang tidak ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang
di seluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi
kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain
tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!"
Para pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka memikirkan hal ini, dan
dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo
masih menjadi ketua mereka, perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouwpangcu
ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan uraian Pouw
Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada
ketua kai-pang yang tidak tunduk akan dibunuhnya.
Sementara itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari cepat
mempergunakan ginkang-nya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga puluh li lebih, di mana ia
meninggalkan pakaiannya di rumah penginapan. Anak perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang
tengah malam, sampailah ia di dusun itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat
menanti di situ sampai Tan Hui datang.
Akan tetapi, pada saat itu ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan. Kiranya Tan Hui baru saja
kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para
perampok dan merampas kembali barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan
cepat Lu Sian menyelinap ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah penginapan. Ia tidak dapat
melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau,
dan mudah dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya begini.
"Dasar kau yang tidak mentaati nasehat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah lagi dengan gadis
pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu
sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian) amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang
isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat dari pada Siok Lan untuk menjadi ibu Lian-ji...."
"Lauw-ko, harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak Lian...," terdengar
suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar lampu tampaklah seorang lakilaki
tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan itu, selain ada beberapa orang lain yang berpakaian
piauwsu. Ada pun Tan Hui duduk menunjang dagu di atas bangku.
Setelah menarik napas panjang berkali-kali, akhirnya Tan Hui meloncat bangun dan berkata, "Aku harus
menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha menolong anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Kau terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu sampai besok pagi juga
belum terlambat," kata suara parau.
"Akan tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya, banyak orangnya
yang pandai."
Pada saat itu terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!" Dan anak perempuan yang tadi
digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari masuk.
"Lian-ji...!" Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul tangis seorang
wanita yang memeluk anak itu.
"Lian-ji! Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..."
"Bibi Lan...!" Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan Tan Hui yang sudah meloncat dekat
membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri.
Tan Hui menghadap ke arah pintu, kemudian berkata, "Adik Lu Sian, silakan masuk!"
Akan tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat meloncat ke luar. Ia
melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari halaman depan.
"Adik Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh nona itu terguling roboh. Cepat
ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu. "Kau... terluka...?" bisiknya.
Sambil merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih, "...punggungku... terkena... jarum beracun...!" lalu ia menjerit
dan pingsan.
Kagetlah semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang pingsan. "Inilah
Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena
racun. Lauw-ko, harap suka menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan
menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan racun, sekarang juga!"
Orang yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui memondong tubuh
seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah
tidak lebih baik dirawat di penginapan sini lalu memanggil tabib?"
"Ah, kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya dan hanya ahli-ahli saja yang dapat
mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku sampai mengorbankan diri, bagaimana aku
dapat ragu-ragu lagi untuk menolongnya? Harap Lauw-ko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan,
aku mohon bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua lengan
memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja ia sudah berada di luar rumah
penginapan.
"Tan-taihiap, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang tidak
mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran!" seorang di antara para piauwsu itu berteriak,
namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka.
Dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan ginkang-nya untuk berlari cepat meninggalkan dusun itu.
Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat
keluar masuk hutan dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang sunyi dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh. Tan Hui girang sekali karena tadinya ia merasa khawatir melihat Lu
Sian tidak pernah bergerak dalam pondongannya dengan wajah yang amat pucat.
"Bagaimana, Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam pondongannya.
Lu Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko, kau hendak bawa aku ke
manakah?"
"Di Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang tinggal di kota I-kiang.
Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai di sana, dan kau tentu akan tertolong."
Lu Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan bagus bentuknya. "Percuma,
Koko, akan terlambat...."
Kaget sekali Tan Hui mendengar hal ini. Ia seorang ahli pedang dan ahli ginkang, tidak banyak mengetahui
tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya
Moi-moi?"
Sejenak Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa kau membingungkan keadaanku?
Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi apa-apa!"
"Ah, jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong puteriku. Aku bersedia
mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar itu."
"Hemm, jadi hanya karena ingin membalas budi? Andai kata aku tidak menolong anakmu, tentu sekarang kau
sudah tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa peduli sedikit pun, bukan?"
"Ah... eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biar pun kita baru saja berkenalan, akan
tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu. Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang
paling penting, bagaimana harus membebaskanmu dari pada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam
tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti tentang pengaruh racun?"
"Aku tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun ini. Akan tetapi aku
sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku."
"Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biar pun untuk itu aku harus korbankan apa juga. Moi-moi
yang baik, lekas kau katakan bagaimana aku dapat menyembuhkanmu!" Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat
dirasakan oleh Lu Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin erat.
Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.
"Tan-koko, tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan tidak karuan.
Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."
"Kurasa tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini," Tan Hui menjawab sangsi,
memandang keadaan dusun yang sunyi itu.
"Kalau begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu untuk mengobati
punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum bosan tinggal di dalam badanku."
Tan Hui girang sekali dan dalam hati ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang akan bosan tinggal di dalam
tubuh seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu.
Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga
petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian di atas sebuah pembaringan dalam kamar
sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.
"Aduhh...! Ah, punggungku yang terluka, kenapa kau telentangkan tubuhku...?" Lu Sian mengeluh kesakitan,
membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu wanita itu tertelungkup.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lekas, Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas, perih dan gatal-gatal...!"
Tan Hui bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha...? Bagaimana bisa memeriksanya...?" ia
tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali. Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti
harus membuka baju yang menutupnya, betapa mungkin?
"Ah, Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang makin menghebat
menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala sopan santun dan sungkan-sungkan?
Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati
sendiri di sini!"
"Moi-moi kau tahu aku ingin sekali menolong..."
"Kalau begitu, lekas kau buka baju di punggungku, kau robek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku
bagaimana macamnya dan di mana letaknya."
Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung
dan....
"Brettt!" baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang
kuat.
Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju dengan urat-urat merah membayang.
Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut khawatir melihat di
punggung kiri tujuh batang jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu....!
"Tujuh batang jarum merah!" katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu
mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!"
Karena ingin sekali menolong, sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan Hui
memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh
Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah.
Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kau cari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kau bakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat,
Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam
kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua
jarum.
"Sekarang kau tusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan
sebentar lalu kau tusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya pun berkerut.
Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh
dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita
ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka
robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biar pun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi,
namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui
menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Koko, kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka
matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan
memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan
menghadapimu dalam keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah
mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak
merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka
kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki
mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila!
"Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya
seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan....."
Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui,
mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapa pun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat
menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat dari
pada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang!
Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama
kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan,
ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki
yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian
isterinya, belum tentu ada wanita betapa pun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini
keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta.
Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita,
apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka
bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya
dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal
pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara?
Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi
seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa
pula bahwa ia melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk
menurunkan ilmu ginkang yang luar biasa dari keluarganya!
Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah
dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung
puas. Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di
pinggir anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping berlatih ilmu
ginkang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya.
Ilmu ginkang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya. Rahasia
kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan semedhi, cara penyaluran jalan darah di waktu
mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan ginkang
dari golongan lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersemedhi dalam keadaan telanjang
bulat!
Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan ginkang, dan
menyatakan bahwa hanya orang ‘dalam’ atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar
dunia-kangouw.blogspot.com
orang lain, bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi
kekasihnya, menjadi isteri walau pun di luar pernikahan, tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat cerdik, dalam waktu
kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai ilmu ginkang yang diturunkan oleh kekasihnya
kepadanya. Ia merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari ginkang yang terkenal di
dunia kang-ouw sebagai ginkang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa
Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak
seperti bekas suaminya, Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin!
Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping Tan Hui, karena kekasihnya ini
sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di dunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih
tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di
sampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai. Akan tetapi, betapa pun juga, manusia takkan
mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan dengan peri-kebajikan. Mimpi yang
muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan!
Pagi hari itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai,
kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah
serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan
bahwa mereka diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya. Sebagai pembalasan budi, tentu
saja para piauwsu ini segera mencarinya.
Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa
berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu
menekan perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan
kepada kakak iparnya bahwa ia segera pulang.
Demikianlah, ketika Lu Sian pulang dari anak sungai dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam
mabuk cinta, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan
gelora amarah yang mengamuk di hatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk. Namun ia
mencinta Lu Sian maka yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!"
"Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap lengan kekasihnya
yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau.
Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Secara kasar ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian sambil
berkata, "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan
Siok Lan, gadis dusun yang baik!"
Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui sambil
berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini?
Mengapa kau marah-marah kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah
semalam kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besar terhadap diriku dan...."
"Cukup!" Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah. "Jangan
sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila.
Perbuatan terkutuk!"
"Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kau
bilang itu terkutuk?"
"Perbuatan jinah yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!" Tan Hui
memaksa keluar dari pintu depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau keluarkan isi hatimu! Aku akan
mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku?"
Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik
napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak. "Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu
mengelak. Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah
kau menipuku, mewarisi ginkang dan menyeretku ke dalam hubungan jinah karena kau adalah isteri dari
seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini
diucapkan dengan suara pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri,
kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagipagi
ini kau berubah? Sejak kapankah kau ketahui rahasiaku itu?"
"Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis
Khong-sim Kai-pang tentang kau...."
"Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah
kau lempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti
kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang laki-laki
begitu rendah ahlak?"
Tan Hui marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janjijanjiku.
Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah
isteri Kam Si Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjinah denganmu, ini saja sudah merupakan
perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu
Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi
dengan hati serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa
meninggalkan suami dan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri ginkang? Kau manusia
rendah, wanita tak tahu malu. Biar pun aku cinta kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu.
Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh
siluman betina macam engkau!" Tan Hui meloncat jauh ke depan.
Terdengar pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah menyambar ke arah Tan Hui
disusul bentakannya, "Tan Hui, kau terlalu menghinaku!"
Mendengar sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar. Ia berhasil
menangkap sebatang di antara jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Tan Hui tertegun melihat jarum merah
di tangannya itu, kemudian kemarahannya memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan
memaki-maki, "Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu, hanyalah akalmu saja
untuk merayu aku dan menyeret aku ke dalam jurang perjinahan, ya? Yang melukai punggungmu adalah
jarum-jarum merahmu sendiri!"
Lu Sian tersenyum mengejek. "Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala macam akal untuk
memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku sudah kagum dan hal ini menimbulkan
rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab,
melawan suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"
"Dan aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..." saking marahnya Tan Hui tak dapat
melanjutkan kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.
Lu Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang muda yang semalam
masih saling peluk cium dengan kasih sayang yang semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat
dan mati-matian karena hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang
mencari korban.
Julukan Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali. Akan tetapi
sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah karena ia memiliki ilmu ginkang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
hebat. Ilmu meringankan tubuh ini membuat ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya
tentu saja menjadi amat berbahaya karena cepatnya.
Biar pun ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu Sian yang diwarisi
dari ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andai kata Lu Sian belum mempelajari ginkang istimewa itu,
agaknya Tan Hui akan dapat mengimbanginya dengan kecepatan. Namun kini Lu Sian telah memiliki ginkang
Coan-in-hui (Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun dari Tan Hui. Biar pun
dibandingkan dengan Tan Hui ginkang-nya masih kalah sedikit, tapi ginkang ini membuat ilmu pedang Pat-mo
Kiam-hoat ciptaan ayahnya menjadi beberapa kali lipat dahsyatnya.
Lu Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat disangkal pula bahwa
semenjak meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia
mencinta Tan Hui dan agaknya akan bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi
perselisihan di pagi hari itu. Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap membenci dan
menghina, maka ia pun memaksa perasaannya untuk balas membenci, dan menganggap Tan Hui seorang
musuh yang harus dibasmi.
Pertandingan berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu, diseling
bersiutnya pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan. Setelah berjalan seratus jurus
mulailah Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung
gerakan-gerakan yang curang.
Di samping kalah tinggi ilmu pedangnya, juga di dalam hatinya, Tan Hui tidaklah sebulat Lu Sian untuk
membunuh lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah mendengar bahwa kekasihnya yang
benar-benar amat dicintanya itu adalah isteri orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena
kecewa inilah, maka setelah bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang secara
sungguh-sungguh.
Berbeda dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai terdesak, ia
berseru keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar yang amat hebat. Angin menderu-deru
keluar dari sinar ini yang tadinya bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaranlingkaran
secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang dimainkan oleh Lu
Sian. Ilmu pedang yang dimilikinya, biasanya sudah hebat sekali apalagi sekarang setelah ginkang-nya maju
pesat. Maka cepatlah gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu.
Tan Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang yang
demikian dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun kecepatan pedangnya tidak cukup untuk
membendung datangnya lingkaran-lingkaran yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja
pedangnya berdenting karena bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan
kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu sudah memasuki perut Hui-kiam-eng Tan Hui!
"Cepppp!"
Hanya sedetik terjadinya hal ini, bahkan Lu Sian sendiri merasa kaget. Cepat-cepat ia mencabut pedang dan
meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak dengan mata terbelalak memandang bekas
kekasihnya yang kini menjadi musuhnya itu.
Tan Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka di perutnya sambil
menekan keras-keras, namun tetap saja darahnya menetes-netes melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya
pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum pahit.
"Tidak penasaran Hui-kiam-eng roboh di tangan puteri Beng-kauwcu karena memang kiam-hoat-mu hebat luar
biasa. Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah kunasehatkan kepadamu, bahwa kalau kau melanjutkan
kesukaanmu menggoda dan menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak
dimusuhi orang. Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga hidupmu kelak akan
terjamin...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Cerewet! Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi kesempatan
kepadamu untuk pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"
Senyum di mulut Tan Hui berubah makin pahit. "Seorang pendekar tidak akan lari dari pada maut. Lukaku
memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri tegak, pedangku masih di tangan. Siapa bilang aku
kalah? Baru kalah kalau pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat berdiri. Lihat
serangan!" Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat, sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena
gerakannya dalam menyerang ini mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang
ditutupnya dengan tangan.
Lu Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum terluka, Tan Hui tidak
mampu menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturutturut
ujung pedang Lu Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh bergulingan lalu
diam telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan masih memegang pedang dan mulutnya
tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas kekasihnya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan
pedangnya.
"Salahmu sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..."
Tan Hui menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata,
"Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tapi tak mungkin. Aku sudah jatuh... aku terlalu
mencintamu. Sian-moi, hanya pesanku... jangan kau turunkan ginkang kepada orang lain... dan kalau kelak
anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kau ampunkan dia...," makin lirih suara
Tan Hui, kemudian hanya terdengar bisik-bisik yang tak dapat dimengerti, dan akhirnya ia diam tak bergerak
lagi.
Sejenak Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam hatinya. Ia seorang
yang berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan. Kemudian ia berlutut di dekat mayat Tan Hui.
Setelah mati wajah Tan Hui tampak tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam
bahagia bersama pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih, "Akan
kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"
"Celaka ia membunuh Tan-taihiap!" terdengar suara berdesing dicabutnya golok dan pedang.
Perlahan Lu Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu yang sudah
mengurungnya. Sinar matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah tersenyum mengejek dan ujung hidungnya
agak berkembang kempis. Alamat celakalah mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti
itu, karena itu adalah tanda-tanda dari pada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui dapat mengenalnya
dari keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak langsung para piauwsu inilah yang merusak
kebahagiaannya dengan Tan Hui!
"Kalian piauwsu-piauwsu jahanam inikah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya aku?" suaranya
terdengar satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan mulut setengah tersenyum.
Seorang piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki. "Kau siluman betina! Kau puteri Beng-kauwcu
dan sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"
"Syiuuutt, cring... crokkk!"
Piauwsu muda itu sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar ke arahnya. Goloknya yang
menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali dan kepalanya
terpental jauh. Tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan menyemprotkan darah seperti air mancur!
Ributlah delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala penjuru. Namun Lu
Sian sudah siap sedia, dan dia sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam di
tangannya berkelebat laksana naga mengamuk. Kini ginkang-nya sudah maju pesat sekali sehingga
gerakannya sukar diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguh pun delapan orang itu menerjang
berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu Sian yang seakan-akan dapat melejit dan menyelinap di
dunia-kangouw.blogspot.com
antara sinar golok dan pedang para pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang
Toa-hong-kiam di tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang!
Hanya terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar bersiutan, kemudian
yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang pengeroyok, disusul orang ke dua ke tiga dan
seterusnya dengan tangan buntung, perut robek, atau muka terbelah dua. Darah muncrat-muncrat dan tubuh
bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu telah roboh mandi darah di
sekeliling mayat Tan Hui! Ada di antara mereka yang tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi
orang cacat karena sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung!
Sambil tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali, lalu pergi dari situ
tanpa menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi,
barulah penduduk dusun itu geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Di halaman pondok yang
tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat
mereka berkasih-kasihan, kini penuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka
parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada
pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.
Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan
mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam
menghadapi mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita
ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan.
Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para
piauwsu yang tidak mati tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar
saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
********************
Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya,
tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan dari pada
sepuluh orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya
kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa.
Akan tetapi, biar pun baru berusia sembilan tahun, namun Bu Song bukan anak sembarangan. Semenjak
berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab. Pada masa itu, yang
disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat,
segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pandangan yang luas,
sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.
Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya
adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini,
maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan
diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam
perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekali pun.
Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan
hidup. Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk
memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun,
sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, menggembala kerbau,
menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan dikerjakannya. Tenaga anak
ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena
ia mau bekerja hanya untuk menyambung hidupnya.
Biar pun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia
sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karena sejak kecil,
kitab-kitab filsafat dan nasehat-nasehat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli
silat. Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian nasehat ayahnya. Menjadi
tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu
dunia-kangouw.blogspot.com
silat untuk melawan musuh, untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat
mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera, membasmi musuh negara,
akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan dengan yang menyeleweng menjadi penjahat
mengandalkan kekuatan dan kepandaian silatnya.
Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula
menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia ‘memaksa diri’ untuk membenci
ilmu silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu
menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan!
Karena semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera seorang pembesar yang serba cukup, maka biar pun
sekarang telah menjadi seorang ‘gelandangan’, namun Bu Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap bersih
dan sehat. Biar pun pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan sehingga yang dimilikinya hanya yang
menempel pada tubuhnya, namun ia merawat pakaian itu dengan hati-hati, mencucinya setiap kali pakaian itu
kotor. Oleh karena inilah, Bu Song selalu tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang anak jembel.
Pada suatu hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah Bu Song di lembah Sungai Huai yang subur
daerahnya. Ia meninggalkan kabupaten Jwee-bun di mana ia tinggal selama sebulan dan bekerja membantu
seorang pemilik rumah makan. Kini dengan bekal sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi
meninggalkan Jwee-bun, terus ke timur melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah sungai.
Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon di atas kepalanya. Angin semilir
berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung-burung hutan. Di sana-sini binatang kelinci
dengan telinganya yang panjang-panjang berlompatan saling kejar dan bermain ‘sembunyi-cari’ dengan
teman-temannya di antara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian
nyaman perasaan pada pagi yang cerah itu sehingga Bu Song lupa akan segala kesukaran yang pernah ia
alami mau pun yang akan ia hadapi. Anak ini berdiri diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelincikelinci
itu, menonton mereka bermain-main dengan hati geli.
"Ha-ha-ha-ha! Akulah raja di antara segala raja! Dikawal monyet-monyet berkuda! Ha-ha-ha!"
Bu Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung kata-kata yang dinyanyikan
itu. Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh sekali. Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi ini
ada seorang bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika mendengar
suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda besar-besar ditunggangi lima orang yang
wajahnya kelihatan bengis-bengis.
Kuda terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam menyeret seorang laki-laki
yang pakaiannya compang-camping penuh tambalan. Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi,
karena memang keadaannya seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan
kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh si penunggang kuda. Si gila ini tangan kanannya memegang
sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha angsa atau kalkun, yang digerogotinya. Biar pun kedua
lengannya terikat, ia kelihatan enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama
sekali tidak kelihatan takut.
“Terang dia gila,” pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang itu. Mereka kelihatan galak dan membawa
senjata tajam. Rasa iba menyesak di dadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa
seperti itu?
Tentu saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang telah menggemparkan
dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam menentang kejahatan, disertai tindakannya yang
selalu edan-edanan seperti orang tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga
seperti Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo Taisu, pendekar
sastrawan gila yang dahulu adalah seorang sastrawan tampan dan gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk
Kim-mo eng!
Terdorong oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"He, bocah! Mau apa kau?!" seorang di antara para penunggang kuda itu membentak, tangannya bergerak
dan cambuk di tangannya itu mengeluarkan bunyi bergeletar seperti mercon.
"Aku hanya ingin bicara dengan paman ini, apa salahnya?" Bu Song menjawab dan ia nekat mendekati terus
biar pun ia diancam dengan cambuk yang panjang dan dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang dipegangnya, melirik ke
kanan memandang Bu Song, lalu tertawa dan berkata. "Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan
makan sepotong!" Sedapatnya ia mengeluarkan tangannya yang terikat untuk memberikan paha panggang itu
kepada Bu Song.
"Tidak, Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri." Bu Song terpaksa harus maju setengah berlari untuk
mengimbangi orang gila yang terseret di belakang kuda itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan
terhuyung-huyung.
"Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa ke mana?"
"Bocah gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!"
Cambuk di tangan penunggang kuda yang paling belakang melecut ke arah Bu Song dan orang gila itu.
Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biar pun kurus namun bertenaga sehingga lecutan itu
keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama sekali
tidak merasa sakit karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan
tertangkis tenaga yang tak tampak.
"Heh-heh-heh, bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?" si Gila itu berkata kepada Bu Song sambil tertawa
menggerogoti paha panggang pula.
"Aku kasihan kepadamu, Paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..."
"Hush, jangan goblok! Aku memang berdosa, aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan untuk itu aku
harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan hukum seret ini baru habis kalau paha ini pun habis
kumakan."
"Kau masih tidak mau pergi?!" Kembali si penunggang kuda mencambuk, kini ujung cambuk mengenai pipi Bu
Song, terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari di
sebelah si Gila.
Kini orang gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah jalur merah di pipi
yang tercambuk. "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang
hendak menangkap anjing, akan tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah,
pergilah kau, sampai jumpa pula!"
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata si Gila itu, hanya ia dapat menduga
bahwa si Gila ini tentu memaki para penawannya yang disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya,
si Gila ini malah mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung
sindiran yang memaki orang!
"Cerewet, masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?"
Kembali cambuk itu melecut hingga mengenai kaki Bu Song. Sekali cambuk itu digerakkan, Bu Song terlempar
bergulingan ke pinggir jalan. Kulitnya lecet-lecet, akan tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia
bangun berdiri dan sempat melihat betapa orang gila itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu dilarikan
cepat-cepat. Biar pun terseret-seret jatuh bangun dan terhuyung-huyung, namun si Gila itu masih tertawa-tawa
dan bernyanyi dengan suara riang dan nyaring. Bu Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh kagum
kepada orang gila itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh Kim-mo Taisu Kwee
Seng! Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak di sebelah kuil bobrok di luar kota kabupaten Jweebun
ketika lima orang penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena tidak tahu apa urusannya, Kwee
Seng tidak melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat.
Malam tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya dari rumah makan terbesar di kota itu, minum-minum
sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat akan semua pederitaannya sehingga membuat ia
tertawa-tawa dan menangis seorang diri. Ketika lima orang itu menyergapnya dan mengikat kedua lengannya
dengan tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk membelenggu lawan, ia hanya tertawa-tawa dan
memutar-mutar biji matanya.
Setelah membelenggu kedua tangannya, orang tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan lima
orang itu lalu bertolak pinggang dan berkata, "Kami adalah murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bukoan
(Perkumpulan Silat Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat yang
tiga malam yang lalu telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena kaulah orang baru
yang kami temui dan jelas bahwa kau pandai ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu
sebelum kau dihadapkan kepada Suhu."
Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar, lalu mereka menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang
dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun. Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi. "Akulah rajadiraja!
Pengawal-pengawalku monyet-monyet berkuda!"
Ia menari-nari di pinggir-pinggir jalan. Ketika mereka lewat di depan rumah makan, kaki Kwee Seng
menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya paha panggang yang berada di tempatnya telah
berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah paha panggang yang meloncat di dekatnya, terus
saja digerogotinya paha panggang yang masih panas itu sambil mulutnya mengoceh, "Enak... enak, gurih
sedap...!"
Pemilik warung marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang yang
berjatuhan di tanah, kemudian mereka hendak memukuli orang gila itu.
Akan tetapi Si Muka Hitam membentak. "Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih, kerugianmu kuganti!"
ia melemparkan sepotong uang perak yang diterima oleh pemilik warung dengan girang.
Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan. Anak-anak menggoda Kwee Seng, orang-orang tua
mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri paha panggang, dan
melihat betapa kepala rombongan orang berkuda itu dengan baik membayar kerugian si tukang warung,
otomatis semua orang berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah
telah melakukan perbuatan jahat.
Kwee Seng terus diseret berlari-lari di belakang kuda sambil tetap menggerogoti daging paha. Setelah
dagingnya habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya untuk dihisap sumsumnya, mendadak
Kwee Seng berhenti dan berkata, "Sudah cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"
Kuda di depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, si Muka Hitam yang memegangi ujung tali belenggu
tersentak ke belakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto
sehingga ia dapat jatuh berdiri di atas tanah sambil membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga
cepat melompat turun dan mencabut senjata masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak
jeri.
Kwee Seng menggerakkan kedua tangannya dan....
"Bret, brett!" tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah.
Kembali lima orang itu terkejut. Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap menghadapi
tawanan yang memberontak ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Seng tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri memandang lima orang yang mengurungnya. "Heh-heh,
habis makan tidak minum, sungguh tak enak sekali. Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian
yang mempunyai arak? Aku ingin sekali minum!"
Empat orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi si Muka Hitam menggeleng
kepala, menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang temannya, mengeluarkan sebuah guci arak
dan melemparkannya kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan
isinya ke mulut, meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu kosong!
"Heh-heh, arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!" katanya sambil mengusap mulut dengan lengan
baju. "Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseretseret.
Akan tetapi sekarang barang curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak perlu segala pura-pura ini!" si Muka Hitam membentak. "Seorang gagah tidak akan menyangkal
perbuatannya. Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut?
Kaulah satu-satunya orang yang mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu kami harap
supaya kau ikut baik-baik menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras menolak,
terpaksa kami akan menggunakan kekerasan pula!"
"Siapa guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak acuh.
"Suhu adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang
menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan lain."
"Aha! Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota Sin-yang."
Lima orang itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang. "Hemm, kau sudah mengenal Suhu,
sudah mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura lagi!" tegur si Muka Hitam.
"Ha-ha-ha! Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini benar-benar
monyet buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian hendak menangkap anjing, akan tetapi
keliru menangkap hariamau, bukankah itu amat lucu? Sudahlah, aku hendak pergi!"
Setelah berkata demikian, Kwee Seng melempar guci arak yang sudah kosong ke atas tanah, kemudian tanpa
menoleh lagi ia berjalan melewati mereka dengan lenggang seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!
Kalau To menyuram, dianjurkan prikebajikan!
Prikebajikan muncul, tampak pula kemunafikan!
Kalau rumah tangga hancur berantakan, dianjurkan kerukunan!
Setelah negara kacau, baru timbul pahlawan!
Hayaaaaa......! Hayaaaa...! Hayaaaaa......!!!
Nyanyian itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-kheng pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng amat tertarik oleh
pelajaran Agama To-kauw ini setelah selama tiga tahun ia berada di Neraka Bumi. Di sana terkumpul banyak
kitab-kitab kuno tentang To-kauw milik nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak pula kitab-kitab ini
dibacanya. Agaknya pengaruh pelajaran To ini pulalah yang membuat Kwee Seng kini menjadi tak acuh akan
keduniawian, bersikap bebas lepas seperti orang tidak normal!
Ada pun ketika melihat si Gila seperti hendak melarikan diri, lima orang itu cepat lari mengejar dan
mengurungnya dengan senjata di tangan, sikap mengancam dan siap menerjang. Si Muka Hitam yang tinggi
besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil membentak. "Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami
menghadap Suhu!"
"Ha-ha-ha, aku akan menghadap Suhu-mu sekarang juga!" Kwee Seng berkata sambil berjalan terus tanpa
mempedulikan mereka.
Tentu saja lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat untuk dapat
melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan pedang
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka. Senjata-senjata itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang
hanya dipakai mengancam karena mereka tidak berniat membunuh si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada
guru mereka untuk diperiksa.
"Siuuuttt... werr-werr-werrr!"
Lima orang itu menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh mereka terpental ke
belakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar dan jatuh duduk terjengkang, sedangkan
senjata mereka lenyap entah ke mana bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang mereka serang tadi!
Mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid-murid pilihan dari Sin-kauw-jiu Liong
Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang
lawan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya?
"Eh, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!" seorang di antara mereka berkata sambil
menudingkan telunjuknya ke belakang.
Si Muka Hitam dan adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka yang lenyap
tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang kosong! Entah bagaimana bisa menancap di
situ, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali tidak dapat menerka. Mereka bangkit dengan penuh
keheranan, kekaguman, juga kekhawatiran karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang
sedemikian saktinya. Setelah membersihkan pakaian, mereka lalu mengambil senjata dan meloncat ke atas
kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada guru mereka.
Dengan cepat lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan keselamatan perguruan
mereka. Guru mereka harus diberi peringatan akan datangnya mala-petaka dari tangan si Jembel yang sakti
itu. Lima ekor kuda mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan cepat-cepat
mereka melompat turun di depan rumah besar yang pintu depannya terdapat tulisan ‘Sin-kauw-bu-koan’
(Perguruan Silat Monyet Sakti). Mereka berlima lalu lari masuk tanpa mempedulikan pertanyaan para murid
lain yang berada di depan gedung.
"Mana Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!" demikianlah ucapan mereka sambil berlari terus
menuju ke ruangan dalam.
Akan tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri seperti patung,
membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang mata dan pendengaran telinga sendiri.
Suhu mereka, seorang tua berusia enam puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk di ruangan
tamu menjamu seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana gembira.
Sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa. Tamu itu berpakaian compang-camping dan bukan lain adalah....
Jembel Gila yang mereka keroyok tadi!
Orang gila itu kini menoleh ke arah mereka sambil mengangkat cawan arak dan berkata sambil tertawa. "Haha,
percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap Liong-lo-enghing (Orang Tua Gagah she
Liong)?"
Lima orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya edan-edanan, janganjangan
suhu mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang selalu ramah kepada siapa pun juga, siapa tahu
bahwa si Gila inilah mungkin orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.
"Suhu... eh, dia ini...," si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan kata-katanya ketika melihat
sepasang mata suhu-nya memandang marah kepadanya.
"Hemm, apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi hormat kepada yang
terhormat Kim-mo Taisu!"
Lima orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka sudah mendengar suhu
mereka bicara dengan kagum tentang seorang pendekar aneh yang menggemparkan dunia persilatan, yaitu
seorang pendekar muda yang amat sakti dan jarang dapat ditemui orang namun perbuatan-perbuatannya
membuat namanya menjulang tinggi di antara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa kira nama
dunia-kangouw.blogspot.com
besar ini dimiliki oleh seorang jembel muda! Patutnya nama julukan Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua
yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan
dapat percaya. Meremang bulu tengkuk mereka saat mengingat bahwa mereka telah menawan dan menyeretnyeret
Kim-mo Taisu.
Serempak lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil berkata, "Mohon Taisu sudi
mengampuni kekurang-ajaran kami berlima!"
Sin-kauw Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat murid-murid kepala ini
memberi penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya, maka cepat ia bertanya dengan suara kereng.
"Hemm, apakah yang telah kalian perbuat terhadap dia?"
Si Muka Hitam segera menjawab, suaranya penuh penyesalan, "Suhu, teecu berlima dalam menyelidiki
penjahat telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap Taisu, mohon Suhu dapat mengampunkan
teecu."
"Hah...?? Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap Taisu suka
memaafkan aku orang tua yang mempunyai murid-murid tolol," Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee
Seng.
Kwee Seng tertawa dan balas menjura. "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila terjadi kesalahpahaman.
Kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"
Liong Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia menarik napas panjang
lalu memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk bangun. Dengan taat mereka bangkit dan mengambil
tempat duduk di belakang suhu mereka. Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama
sekali, penuh keseganan dan kekaguman.
"Memang murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalah-dugaan mereka karena musuh
yang datang pun seorang muda yang suka memakai pakaian jembel seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main...
hemm, ataukah agaknya aku yang sudah terlalu tua dan tiada guna...?" kembali guru silat tua itu menarik
napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata. "Kim-mo
Taisu, aku sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di
Hutan Ayam Putih membasmi perampok. Coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat merosot?"
Setelah berkata demikian, guru silat tua itu tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas
bangkunya. Guru silat tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun
Kwee Seng hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya, terdengar suara keras dan
bangku yang diduduki Kwee Seng tadi hancur berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah
tidak berada di situ! Kejadian ini berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat luar biasa
sehingga guru silat dan lima orang muridnya melongo, lalu celingukan mencari-cari dengan mata mereka.
"Ha-ha, pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar suaranya.
Ketika semua orang memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada di sudut ruangan,
punggungnya menempel pada sudut dinding bagian atas, seperti orang enak-enak duduk saja! Ternyata
pendekar sakti itu sekaligus telah membuktikan kehebatan ginkang-nya ketika ia ‘menghilang’ dan juga
kekuatan lweekang-nya dengan cara menempelkan punggung pada dinding!
"Hemm, kau anggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat ilmu toyaku,
bagaimana?"
Cepat sekali guru silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau pentung
terbuat dari pada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata yang berat dan keras bukan main.
Toya itu kemudian diputar-putarnya sampai mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya
karena yang tampak hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar. Terdengar suara
dunia-kangouw.blogspot.com
keras berkali-kali dan di lain saat si Guru Silat sudah meloncat turun, toyanya melintang di depan dada, dan ia
bengong memandang ke atas di mana tadi Kim-mo Taisu berada.
Pendekar sakti itu sudah tidak berada di atas. Malah dinding itu memperlihatkan akibat serangan yang hebat
tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat di bagian tubuh yang berbahaya.
"Wah, ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan kiranya pendekar
ini tadi melompat ke sudut lain dari ruangan itu dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh
mereka yang berada di ruangan itu.
Kini ia menghampiri si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa, "Kau yang begini tua masih sehebat ini,
benar-benar harus diberi ucapan selamat dengan seguci arak wangi."
Liong Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan menyimpannya.
"Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah tidak butuhkan itu lagi. Taisu, kalau kau
menganggap bahwa ilmuku masih belum berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei,
ambil lagi guci besar arak wangi untuk Taisu!"
Biar pun tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru dibuka dari guci,
namun kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas panjang berkali-kali.
"Lo-enghiong, mengapa kau simpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan siapa itu
orang muda berpakaian jembel yang lihai sekali?"
Liong Keng kembali menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin orang mati penasaran! Aku
Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat tak pernah mencari permusuhan dengan siapa pun
juga, kecuali dengan orang-orang jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu,
sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak terkenal)!"
Dengan suara penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa yang menimpa padanya beberapa hari yang
lalu......
Liong Keng seorang guru silat yang terkenal. Walau pun merupakan guru bayaran, namun dalam menerima
murid ia tidak asal menerima orang yang mampu membayar saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan
yang berkelakuan baik-baik, bahkan banyak di antara muridnya yang karena miskin tidak perlu membayarnya.
Ada seorang murid perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu
meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu
sendiri memang tidak mempunyai keturunan.
Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti. Wajahnya cukup cantik sehingga guru silat itu
tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu
Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa keluar
pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada
orang yang berani mencoba-coba mengganggunya. Selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa
sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu Liong Keng dan murid-muridnya yang banyak jumlahnya.
"Akan tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya. "Bi Loan memasuki sebuah
tempat judi karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan
mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar
kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang-langgang. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang
pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita
mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela
para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindirnyindir.
Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu...," sampai di sini guru silat
itu berhenti bercerita dan menarik napas panjang.
"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tak seorang pun yang tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak
pulang. Aku menjadi khawatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi
Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."
Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis itu?"
"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap
yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
“Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan
memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia
hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut Kai-ong! Malam harinya, tiga hari
yang lalu, di depan hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan membawa pergi
Bi Loan!"
"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah
lumayan. Kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu
saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh aku harus merasa malu. Sudah menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, tapi aku sama sekali
tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru.
"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo
Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku mau pun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari
itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali
belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya ke luar dan meloncat ke atas
genteng. Aku mendengar puteriku berkata ‘Selamat tinggal, Ayah’ dan melihat berkelebatnya bayangan itu di
atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang
itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa!
Kemudian menghilang di dalam gelap...!"
Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang
berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis
yang demikian lihai!
"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan
tetapi bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku
kurang ajar kepadamu. Betapa pun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena kalau tidak kau sahabat
muda, siapa lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?" suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh
permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu
menderita kekalahan.
"Baiklah, Lo-enghiong," Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan
raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau
memang betul dia itu telah memilih si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau
sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara...," perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia
menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil!
Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa
mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian
tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."
Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan
pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya... si Raja Pengemis!
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh
perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala botak bertanya serius, "Dari mana mau ke
mana?"
Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan
menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"
Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak.
Orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas kemudian menghardik. "Jembel kapiran! Hayo lekas pergi, di
sini bukan tempat kau mengemis!"
"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting.
"Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak si
Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu di depan hidung si Pendekar Sakti.
"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya.
Kwee Seng lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan
keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik kepalannya dan
mencium tangannya itu. Agaknya tangannya itu memang bau karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung
kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia
sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah
membaca papan nama dengan suara keras, "Ban Hwa Po Koan” (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah,
kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"
Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca
huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula? "Eh, setan sampah! Makan saja kau harus
minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek si Botak dan kedua orang
penjaga pintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut.
Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang
sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan! "Apakah modal sekian
ini kurang cukup?"
Dua orang itu menelan ludah, menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak.
Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup... silakan masuk...!"
Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua orang
penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah
masuk ke dalam ruangan yang cukup luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja
judi. Ngeri hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi,
melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan. Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan
seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang
kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri.
“Tempat setan dan iblis berpesta-pora,” pikir Kwee Seng. Hawa udara terasa panas di dalam Rumah Judi
Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar panas karena kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.
Kwee Seng menghampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah meja
permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana
taruhannya amat besar. Uang perak bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas.
Yang mainkan dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu usianya
empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas
meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok.
Mulailah orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan
selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di
atas meja dengan permukaan memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang
keluar.
Bagi yang pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata
berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu
betapa tumpukan uang taruhan mereka digaruk oleh si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang
nasibnya mujur adalah selalu si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu
hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!
Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah
melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh, Kwee Seng mendesak maju.
Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan
keras. Jelas tampak bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang
merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk
berhadapan dengan si Bandar Judi. Pundi-pundi itu belum dibuka, maka si Bandar yang kurus itu memandang
tajam dengan mata sipitnya.
"Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" tanya si Bandar dan diam-diam ia merasa heran
mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.
"Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!" Kwee Seng membuka pundi-pundinya
dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak
sudi berjudi kecil-kecilan. Aku ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap,
dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"
Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah
judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini
tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus.
"Mengapa tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kau pertaruhkan?"
"Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"
Ramai sekali terdengar seruan kaget ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang seratus dua
puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan hal ini! Bahkan si Bandar Kurus itu
sendiri menjadi basah penuh keringat karena betapa pun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan
yang begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya seperti
orang mencari kutu rambut.
"Eh, Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang
kepadanya.
Ada yang tertawa geli, ada pula yang khawatir mendengar jembel itu berani menyebut muka tikus kepada
bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap
tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang si Jembel ini sambil saling memberi tanda
dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.
"Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?"
Si Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam, memasukkannya ke dalam mangkok yang
telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara. Mereka
menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi, dan agaknya sebuah jarum yang jatuh ke
lantai akan terdengar pada saat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan. "Seratus dua puluh tail
perak kupasangkan untuk angka ganjil!" katanya nyaring.
Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan
mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat
mempergunakan dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji
dadu di waktu ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini
sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu.
Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka hatinya, apalagi kalau hanya
sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan
dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat jarijari
tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik biji-biji
dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu
pemasang taruhan besar akan kalah.
Sekarang jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya untuk membalikkan
biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh
tail. Alangkah mudahnya!
"Baik!" katanya. "Semua orang di sini menjadi saksi. Kau memasang angka ganjil!"
Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok.
Gerakannya cepat sekali sehingga dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking
cepatnya, kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan biji dadu di
bawahnya.
"Heh-heh-heh!" si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil?
Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau genap?"
Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas
meja, di depannya. Tenang-tenang saja ia menjawab, "Aku tetap memasang angka ganjil!"
Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata, "Nah, siap untuk dibuka,
semua orang menjadi saksi!" Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar.
"Heeeeeiiitt!"
Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik merah.
"Ganjil...!" semua mulut berseru.
"Aaahhhhh....!" Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir
tidak percaya kepada matanya sendiri.
Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima, maka ketika
membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau empat. Akan
tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi
berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup kau bayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar
seratus dua puluh tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.
Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar itu tidak memberi
tanda, maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap
peluh yang memenuhi muka dan lehernya, kemudian ia tertawa.
"Heh-heh-heh... tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah ‘botoh kendil’ ini.
Botoh berarti penjudi, ada pun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira
istilah itu merupakan makian. "Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa
jembel ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah
menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan,
termasuk golongan yang licik!" jawab si bandar yang juga terheran-heran.
Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah. "Wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa
kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan khawatir, Tikus, aku
tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk
membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini,
Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya
nyaring. "Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!" Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah
mereka di sekeliliing meja besar.
Perjudian di dalam ruangan itu seakan-akan menjadi terhenti sama sekali. Semua penjudi kini menjadi
penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan si Bandar bermata sipit. Bandar ini pun
kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia
dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal si Jembel! Kalau tadi ia mungkin
kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan
menang.
"Bagus! Kau memang benar-benar penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam
mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol," Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi
dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di
depan dadanya.
Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja
menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!" si
Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji
dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak
merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng berkata tenang tapi cukup
jelas.
Muka si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.
"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap
dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia
sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu,
tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!" seru semua orang dan si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika
matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucekngucek
matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? Semua orang melihat jelas
bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa
ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap si
Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?"
Selagi si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat
dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang lakilaki
berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu.
Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar
dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si
Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan
dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu," kata si Bandar.
Mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek
itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian
butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung.
Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya, sedangkan kedua
tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hatihati.
Tadi ia telah menggunakan tenaga lweekang-nya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa
lweekang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya.
Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundipundi
uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail!
Setelah membayar, si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian karena ia takut kalau kalah. Kalau
sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung-jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi
ketika ia melirik ke arah kakek itu, si Kakek berkata perlahan. "Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di
mana nasib baik orang muda ini."
Mendengar ini, si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa si Kakek hendak membantunya dan
tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya.
Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa
Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota. Kurang lebih setengah tahun yang lalu,
secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa Po-koan karena sesungguhnya terjadi perubahan hebat
pada Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan
kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang
berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan
para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan), ketua Ban-hwa Kai-pang,
menjadi ketakutan akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini mereka menjadi besar hati.
Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan
mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia
menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan
tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang dari pada tadi. Semua orang yang berada di situ, biar
pun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang
berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang
rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba
bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton
dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil melirik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata, "Tidak ada
perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda
dengan mata supaya si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu
membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan hati-hati si Bandar
menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku
tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai
ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa
ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sinkang.
"Siap Buka... heeiittt! Aduuhhh...!" si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya
yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan
oleh hawa sinkang si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana
memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...!"
“Hebat...!!" Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga!
Diam-diam si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang
sembarangan. Ia maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan
dorongan berhawa sinkang dari jari-jari tangan, mencegah si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari
tangan!
Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan
mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata, "Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia
sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, si Bandar dan para pembantunya segera sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup
untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan
uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil keuntungan rumah judi itu selama beberapa hari!
Orang-orang di situ makin terheran-heran. Mereka melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja
uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang
jumlahnya hampir seribu tail perak, agaknya masih belum puas. Buktinya ia masih memandang ke arah
mangkok dadu.
Kini kakek pengemis itu yang bertanya. "Sahabat muda, masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri. "Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah
menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis. Cepat-cepat ia menggotong seguci
besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng.
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik," kata si
Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi," kata Kwee Seng yang
segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis
setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik...
ha-ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, si Ketua Pengemis
merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu
hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sedang sialan!" Kwee Seng menertawakan.
Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik. "Orang
muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!" seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa
kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok
dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka!
Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang," kata si Kakek sambil
mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar
tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak
bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada kalau diputar oleh si
Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku
kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku
hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw,
uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar
diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan
heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam
aku ini yang menyebut dirinya Kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan Kaiong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga dari pada delapan pundi-pundi
perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau
bayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana
adanya Kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau
kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu si Jembel menolak.
Akan tetapi Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!"
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang Kai-ong saja
dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi?!” demikian pikir sebagian
besar orang di sana.
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin
cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib
si Jembel dan tangan kirinya. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan
kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun suasana yang amat tegang itu sama
sekali tidak mempengaruhi si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk
dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus
melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!"
Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, jarijari
tangan kiri Kwee Seng juga menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini,
menyambar keluar tenaga sinkang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja
itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin karena begitu tadi mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah
jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu
berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti
mau terloncat ke luar dari tempatnya.
Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak
miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi
dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyong ke angka tiga, di lain saat
mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu
kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka
makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah
penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan
menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah.
Ada pun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke
depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci
arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan
muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi
miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?” terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapa pun juga,
Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang
dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan
adu tenaga sinkang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan
menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah
saling mengadu sinkang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan
pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis,
maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak
ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri
bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya
masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu
ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu
yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu.
Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan
tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!" teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan
kirinya menuju Kwee Seng.
Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan. Sebelum mangkok itu menyentuh tangan
kanannya, benda itu sudah terpental kembali, kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti
mengambang di udara karena ‘terjepit’ di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu?”
Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sinkang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya
mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung
Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biar pun masih mengambang
di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya.
Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata, "Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...!"
Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu, empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok
kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini. Namun karena sambaran
tenaga empat batang golok itu tidak ada arti baginya, dan karena ia sedang mengerahkan sinkang sehingga
seluruh tubuhnya terlindung, ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke
arah kepala dan leher, dan tiba-tiba....
"Wuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat.
Saking hebatnya tenaga membalik, tanpa dapat dicegah lagi golok-golok itu menyerang pemegangnya karena
tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi. Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan
kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan
suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biar pun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup
keras untuk membuat kepala mereka ‘bocor’ dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu
disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung Tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa, lalu
menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu Koai-tung Tiang-lo sudah melompat
bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para
tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan, sedangkan para pengunjung
rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangan menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang Gagah) hebat,
pantas berjumpa dengan Kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana Kai-ong kami menanti
kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu
termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh
lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-akan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku ke luar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus.
Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut ke luar, dan tentu saja tidak semua dari mereka menderita
kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula ke luar. Sampai di luar rumah
dunia-kangouw.blogspot.com
judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah
mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi
keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-saudara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena
percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian
akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu
kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian
kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan,
menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian
untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan
sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagibagi
semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail
perak lebih! Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari
kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut
seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi.
Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang
mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah
terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti
kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti
orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa
bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh muridmurid
guru silat Liong Keng! "Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki
ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri
urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik
kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku
pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak
mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra
dan silat, kini diberi ‘kuliah’ oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak
ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi
yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu
pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri
di depannya dengan pandang mata penuh perhatian.
Kwee Seng tertawa lagi. "Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa perbuatanku tadi kau
katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?”
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikirpikir
lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama
bertentangan dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan
bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
Diri sendiri melakukan kejahatan
dunia-kangouw.blogspot.com
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?
Kwee Seng melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat
suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha
Dhammapada.
Bu Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab. Kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku
menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin tertarik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak
mau lagi menyebut anak itu ‘anak sinting’.
Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya. "Anak baik, coba kau
jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan
penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka
karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber
semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung dari pada
pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya
bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena
hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian
uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah
mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi
apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci mana pun juga, melainkan keluar dari
pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia
kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini ‘ngoceh’ tanpa
sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah
hal ke dua?"
"Segala macam nasehat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah
suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan
enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada
kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang
lain dari pada belajar sendiri! Oleh karana itu, perbaikilah dirimu sendiri sebelum engkau memperbaiki orang
lain."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan
memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan
mencontoh. Kalau semua orang masing-masing belajar memperbaiki diri sendiri, maka apa perlunya segala
macam nasehat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau
mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasehati para penjudi
itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasehat Paman itu mendapat kenyataan
betapa Paman sendiri seorang maling...."
"Hahhh...? Apa kau bilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot
dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak
takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi
yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri ketika pertemuan kita yang pertama.
Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan
itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-haha!
Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam
mau pun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah
bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah
seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Ada pun Bu Song tidak merasa bahwa
jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut
riap-riapan itu.
Kembali ia menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa
tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman
telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Semenjak perantauannya, baru kali ini ia mendapat
perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa,
pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada
orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaannya. Andai kata dahulu ia tidak tertarik
kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian....!
Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini. Kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul.
Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel
yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya
nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan
mendalam di hatinya. Karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya,
maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk
tangan memuji. "Bagus sekali, Paman, terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To,
kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak.
Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata.
"Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tekkheng
dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa she-mu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song
saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau, Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau
bilang bahwa kau juga tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng
terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini
mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda
anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu
akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku
tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan
tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman. Aku
tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan
Paman, biar pun dengan penuh sesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini
memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan
hati girang dan heran. Ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu
silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
“Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini,” pikir Bu Song dengan
kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah
kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan
indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi ‘Kim-mo Taisu’, lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah
namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman!
Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan
huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik.
Ia tertawa bergelak.....
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab
agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali
untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan
sepasang alisnya yang berbentuk golok. "Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru