Senin, 08 Mei 2017

Cersil 5 Serial Naga Langit Kho Ping Hoo Muantab

Cersil 5 Serial Naga Langit Kho Ping Hoo Muantab Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 5 Serial Naga Langit Kho Ping Hoo Muantab
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 5 Serial Naga Langit Kho Ping Hoo Muantab
Pembunuhan Panglima Ciang.
Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa
Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan lahapnya! Akan tetapi ia teringat akan gurunya sendiri.
Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya berpantang makan makanan berjiwa dan minumminuman
keras, akan tetapi gurunya melanggar pantangan itu. Banyak pendeta yang melanggar
pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti gurunya,
melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya saja. Sambil makan minum, Jenderal Ciang bertanya
kepada Bi Lan.
“Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau
dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu. Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang, hari
ini engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat. Apakah yang terjadi denganmu?”
Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah, Bi Lan tidak keberatan untuk menceritakan
pengalamannya. “Saya dilarikan penculik itu dengan cepat keluar kota raja.”
“Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa pula dia menculikmu?” tanya Jenderal Ciang.
Bi Lan mengangguk. “Dia mengaku terus terang bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia
diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu sebagai balas dendam karena ayah telah menewaskan
Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw Kan lalu
menculikku dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin.”
“Hemm, jahat......, jahat……!” kata Jenderal Ciang. “Kemudian bagaimana Bi Lan?”
“Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan
selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai
belajar, saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Lin-an ini untuk mencari ayah ibu.”
“Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit Kong Lhama? Ke mana saja engkau dibawanya?”
“Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah bukit di pegunungan Kun-lun-san.”
“Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit Kong
Lhama?”
“Suhu sudah kembali ke Tibet.”
“Siancai......! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong Lhama!” kata Hwa Hwa Cin-jin. “Pantas nona amat lihai
pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu itu, nona!”
Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak
anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri menutupi
mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat sekali
menguasainya. Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh terduduk kembali. Kantuknya tak tertahankan dan
akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya sendiri dan dari
pernapasannya yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur!
Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan tangannya dan mengguncang pundak gadis itu.
Namun Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali.
“Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu berhasil baik sekali!” dia memuji sambil memandang kepada
Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam cawan anggur
gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor gajah
sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun pembius buatan pinto,” kata Hwa Hwa Cin-jin dengan
bangga.
“Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya
sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan kita
dan bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan menimbulkan kesulitan bagi kita,” kata Lui To.
Jenderal Ciang mengangguk-angguk. “Ya, engkau benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong
menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku mengira
dia sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toat-beng Coa ong Ouw Kan tidak pernah memberi
kabar. Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong Lhama! Ia lihai sekali berbahaya, memang
sebaiknya kalau dibunuh saja.”
“Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis ini?” tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis yang
tertidur itu dengan mata lahap.
“Siapa tahu mereka di mana? Mereka mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar, mengundurkan
diri dan sampai sekarang tidak ada yang tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita tahu, tentu aku telah
mencari jalan untuk membasmi mereka. Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah membicarakan mereka
dan beliau juga menghendaki agar para pengikut mendiang Jenderal Gak yang setia itu dibasmi semua
karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja.”
“Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini. Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati.
Biarlah pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur pulas,” kata Hwa Hwa Cin-jin sambil bangkit
berdiri dan dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk menotok jalan darah maut di tubuh Bi
Lan.
“Nanti dulu, suhu!” tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya. “Ayah,
aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini, dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah. Setelah
aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!”
Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada
putera tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki kesukaan yang tiada bedanya dengan
kesukaannya sendiri di waktu muda. “Akan tetapi hati-hatilah, Ciang Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong
Lhama dan ia lihai dan berbahaya sekali!”
Ciang-kongcu menyeringai lebar. “Ha-ha, ayah. Aku mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak
berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan mengikat tangannya, atau dengan memberinya
obat perangsang......”
“Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah. Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu!” kata Jenderal
yang mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu.
Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia
bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur.
“Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang!” kata Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya,
Lui-ciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul gadis itu, memondongnya dan membawanya ke
kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dia mendorong daun pintu terbuka lalu masuk dan
mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari dalam tanpa menguncinya.
Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya yang
membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah puteranya
itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli.
Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin-jin
yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diam-diam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau Ciang
Ban. Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda itu, mempermainkan gadis muda belia itu
sepuasnya-puasnya dulu sebelum dibunuh!
Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan ke
atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa kelaparan menerkam seekor domba, dia melompat dan
menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas pembaringan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wuuuuttt...... desss……!!” Ciang Ban mengaduh ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki yang
mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh
berdebuk ke atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak pingsan atau mabok seperti yang mereka
semua kira.
Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi ia
juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang
penolakan segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh golongan sesat untuk menjatuhkan lawan
secara licik. Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang gadis yang amat cerdik. Maka, ketika
ia diterima dengan amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga melihat wajah Lui To dan terutama
Hwa Hwa Cin-jin yang sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah merasa curiga.
Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat
kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak mengandung racun. Bagaimanapun juga, ia tetap
berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat
penolak racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan lidahnya merasakan sesuatu yang tidak
wajar pada minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak tahu apa-apa.
Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia
ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka bicara¬kan. Setelah ia pura-pura
pingsan, barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan kemarahan yang ditahan-tahan ia
mengetahui bahwa mereka semua adalah orang-orang yang memusuhi ayahnya, bahkan mereka
mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan
menculiknya.
Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu
menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai perut pemuda itu.
Ciang Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas lantai. Akan tetapi pemuda ini bukan seorang
lemah. Dia adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia merasa perutnya mulas, dia memaksa diri
melompat bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu dia tanggalkan saking nafsunya sudah
memuncak tadi.
Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan. Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada mereka
yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia
menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam
(Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan). Pedangnya meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan
menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri sehingga pedang itu meluncur ke atas kepalanya
dan dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor ular menyambar ke atas. Tangan
kanannya memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas pedang.
“Ngekk….. uhhh…..!” Betapapun lihainya Ciang Ban, namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih
tinggi tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti ditotok toya baja, membuat dia tak dapat
bernapas dan tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah direnggut lepas dari tangannya. Totokan
pada ulu hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu.
Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya menyambar, disusul tendangan kakinya.
“Crakk...... desss......!”
Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin, ketiganya adalah orang-orang yang tangguh, terutama
sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari menuju ke pintu
kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak sesuatu dan terbuka…. Dan tubuh Ciang Ban
melayang dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul melayangnya kepala pemuda itu yang sudah
terlepas dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu terbelalak.
Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi mayat
dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka bertiga
mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu ke dalam kamar.
Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah melayang
keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking marahnya, Jenderal Ciang sudah menerjangnya
dengan pedangnya yang panjang dan tebal.
Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula dan
serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan lebih
berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga mulai menyerang Bi Lan. Namun, setelah mempelajari Ngodunia-
kangouw.blogspot.com
heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab yang dicurinya dari tangan Thian Liong itu, Bi Lan memiliki
gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa. Dengan beberapa lingkaran gerakan kaki saja ia sudah dapat
menghindarkan diri dari serangan pedang tiga orang pengeroyoknya.
Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata, akan tetapi yang pandai mempergunakan senjata apa
saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan
itu dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang, namun
Bi Lan dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya sebatang ranting kayu, untuk mainkan ilmu silat
itu. Juga ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Sakti, akan tetapi ia pun dapat
mempergunakan segala macam benda untuk memainkan ilmu silat ini.
Setelah pedangnya bergulung-gulung dalam permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya
terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak hanya gulungan sinar pedang yang seperti gelombang
samudera menggulung ke arah mereka.
Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan
tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya yang
dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika.
Robohnya jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun yang tersabet lehernya dan roboh mandi
darah, tewas pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil melompat jauh melarikan diri.
Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan samping
yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng. Para perajurit melakukan pengejaran, namun
sebentar saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu.
Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal
Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan tak lama kemudian,
kota raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian dan pengejaran. Setiap Iorong jalan dijaga,
sehingga Bi Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk keluar dari kota raja.
Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh dari
istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia menyelinap ke sebuah lorong yang menembus ke
arah istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau berjaga karena siapa mengira bahwa si pengacau
yang melakukan pembunuhan besar-besaran di rumah Jenderal Ciang akan berani melarikan diri ke daerah
istana?
Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana ia
akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hal ini agak menolongnya
karena para perajurit penjaga keamanan kota yang dikerahkan untuk mengejar dan menangkap pembunuh,
banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan menghentikan pencarian mereka. Akan tetapi Bi Lan
harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi karena ia tahu bahwa biarpun mereka tidak mencari
dan berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu dengan penuh perhatian melihat ke arah orangorang
yang berani menempuh hujan di jalan.
Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun yang
berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi Lan.
Ia masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciang-kongcu tadi. Bagaikan seekor burung ia
melompat keluar dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan ujung pedangnya sudah
menempel di tenggorokan orang itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak memandang, akan
tetapi setelah melihat wajah gadis itu, wajahnya berseri-seri penuh harapan.
“Bi Lan......, engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah
Jenderal Ciang?”
Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main. “Eh......, bagaimana engkau bisa tahu......?”
“Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi, Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari,
mari cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita bicara. Cepat pakai ini!” Panglima itu
melepaskan mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi Lan.
Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi
ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati lorong-lorong yang sepi, kemudian memasuki
rumah gedung dari pintu belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya,
bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat,
tentu saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia tahu merupakan sahabat baik ayahnya.
Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi besar muncul dan dia memandang heran melihat
ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan dalam itu.
“Ayah, siapa nona ini, dan mengapa……!”
13.2 Pertolongan Sahabat Ayah.
“Cun Ki, ini adalah Bi Lan, puterinya pamanmu Han Si Tiong pemimpin Pasukan Halilintar yang terkenal itu.
Ingat? Bi Lan, ini adalah Kwe Cun Gi, anak kami. Kalian sudah bersahabat dulu ketika masih kecil.”
“Oh......! Kau Bi Lan...... yang dulu nakal dan manja itu?” seru pemuda tinggi besar berwajah tampan yang
usianya sekitar duapuluh tahun itu.
“Dan engkau...... kakak Cun Ki yang dulu suka menggodaku. Engkau yang nakal sekali!” kata pula Bi Lan.
“Akan tetapi kabarnya engkau hilang diculik dan......”
“Cun Ki, tahan dulu bicaranya. Keadaan genting sekali. Bi Lan sedang dikejar-kejar seluruh perajurit
penjaga keamanan di kota raja. Cepat kau keluar dan jaga agar jangan ada orang memasuki rumah kita.
Atur para pengawal untuk berjaga ketat dan kalau ada yang mencariku, katakan aku sibuk memimpin
pasukan di luar untuk mencari pembunuh.”
Cun Ki membelalakkan matanya. “Ah, aku mendengar tentang itu...... jadi….. engkaukah yang telah
mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Ciang, Ciang Ban, dan Perwira Lui To itu?”
“Cun Ki, jangan banyak cakap! Cepat laksanakan perintahku! Nanti saja kalau mau bicara!”
“Baik, ayah.” Pemuda itu lalu dengan gerakan yang gesit keluar dari ruangan dalam.
Panglima Kwee Gi membawa Bi Lan memasuki sebuah kamar, lalu berkata.
“Engkau tinggallah di sini sebentar, aku akan memanggil bibimu.”
Bi Lan mengangguk. Ia tahu bahwa keadaannya berbahaya sekali. Kalau tidak ada Panglima Kwee yang
melindunginya, kiranya akan sukar lolos dari kota raja yang kini semua pintu gapuranya pasti sudah terjaga
ketat.
Tak lama kemudian, nyonya Kwee bersama suaminya muncul. Bi Lan segera mengenal wanita setengah
tua yang masih tampak cantik itu. Nyonya Kwee juga mengenalnya dan mereka berangkulan.
“Aih, Bi Lan. Engkau lenyap begitu saja sebelas tahun yang lalu dan kini muncul secara mengejutkan pula.”
Nyonya itu lalu mengajak Bi Lan duduk di atas kursi dan daun pintu kamar itu ditutup rapat-rapat.
“B Lan, mulai hari ini engkau bersembunyi dulu di sini. Kepada para pelayan, kami akan memberitahukan
bahwa engkau adalah seorang keponakan kami bernama Kwee Ciok Li. Ayahmu adalah adikku yang tinggal
jauh di dusun sebelah selatan. Engkau tidak usah keluar dari rumah agar tidak berjumpa orang lain. Nanti
kalau keadaan sudah aman, kita mencari jalan agar engkau dapat keluar dari kota raja.”
“Ah, Paman Kwee, sungguh beruntung sekali aku bertemu dengan paman dan bibi. Paman telah menolong
dan menyelamatkan nyawaku.”
“Hemm, jangan berkata begitu. Tadi, begitu mendengar berita bahwa jenderal Ciang dan puteranya, juga
Perwira Lui mati terbunuh seorang gadis cantik, aku segera dapat menduga bahwa agaknya engkaulah
orangnya. Karena itu, ketika mendapat perintah untuk mengerahkan pasukan melakukan pencarian, aku
sendiri lalu memisahkan diri dan mencarimu. Beruntung aku menemukan engkau sebelum yang lain
menemukanmu. Sekarang, ceritakanlah siapa yang dulu membunuh nenekmu dan melukai tukang kebun
dan apa yang terjadi selanjutnya denganmu?”
“Maaf, paman. Sebelum aku menceritakan pengalamanku, aku ingin lebih dulu mendengar tentang ayah
ibuku. Untuk itulah aku datang ke kota raja, untuk mencari orang tuaku.”
Pada saat itu Kwee Cun Ki melangkah masuk dan dengan singkat melaporkan bahwa penjagaan telah
diatur sebaik mungkin. Setelah itu dia mengambil tempat duduk untuk ikut mendengarkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Kwee Gi menghela napas ketika, mendengar pertanyaan gadis itu tentang orang tuanya. Dia
menggeleng kepala dan berkata.
“Bi Lan, ketika ayah dan ibumu pulang dari perang mereka mendapatkan engkau telah hilang diculik orang.
Mereka lalu berusaha mencarimu. Bahkan akhirnya ayahmu, Han Si Tiong mengembalikan pangkatnya
kepada pemerintah dan bersama isterinya lalu meninggalkan kota raja. Kepadaku mereka hanya
mengatakan bahwa mereka hendak mencarimu sampai dapat. Sungguh menyesal sekali, Bi Lan, aku
sendiri tidak dapat mengatakan di mana mereka berada karena sudah bertahun-tahun mereka tidak
memberi kabar kepadaku.”
Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa akan tetapi ia tidak dapat menyalahkan panglima yang
menjadi sahabat ayahnya itu.
“Biarlah aku akan membantumu mencari mereka, Lan-moi,” kata Cun Ki.
“Terima kasih, Ki-ko (kakak Ki),” kata Bi Lan.
“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu, Bi Lan. Kami semua ingin sekali
mengetahuinya.”
“Ketika itu, aku diculik dan dilarikan oleh datuk sesat Ouw Kan. Dia menculikku untuk membalas dendam
atas perintah Raja Kin karena ayah telah membunuh puteranya, Pangeran Cu Si, dalam perang. Ouw Kan
hendak menyerahkan aku kepada Raja Kin. Di tengah jalan kami bertemu dengan Jit Kong Lhama dan
pendeta Lhama itu berhasil mengalahkan Ouw Kan dan sejak itu aku menjadi murid Jit Kong Lhama.”
“Pantas engkau menjadi lihai sekali, Lan-moi!” Cun Ki memuji, padahal dia belum melihat sampai di mana
kelihaian gadis itu.
“Aku juga menjadi murid Kun-lun-pai,” kata Bi Lan cepat agar diketahui bahwa ia bukan hanya menjadi
murid datuk sesat itu, namun juga murid partai Ku-lun-pai yang terkenal! “Setelah tamat belajar, aku lalu
cepat pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah orang tuaku. Akan tetapi ternyata yang tinggal di sana
adalah keluarga Jenderal Ciang Sun Bo. Bersama puteranya yang bernama Ciang Ban, dan seorang
perwira bernama Lui To dan seorang pendeta tosu guru Ciang Ban bernama Hwa Hwa Cin-jin. Jenderal
Ciang menyambutku dengan ramah. Dia mengatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayah, maka dia
menerimaku dengan baik, bahkan lalu mengadakan perjamuan makan untuk menyambut kedatanganku.
Kami makan minum dan minumanku dicampuri obat bius.”
“Jahat sekali!” Kwee Cun Ki berseru marah.
“Aku sudah menaruh kecurigaan maka diam-diam aku telah menjaga diri dan minum obat penawar racun.
Aku lalu pura-pura pingsan terbius. Dalam keadaan itulah aku mendengar mereka bicara dan aku tahu
bahwa mereka itu sebetulnya bersekutu dengan datuk jahat Ouw Kan yang dulu menculikku, berarti
bersekutu dengan Raja Kin dan mereka adalah orang-orang yang memusuhi ayahku. Mereka hendak
membunuhku, akan tetapi Ciang Ban yang terkutuk itu lalu memondongku ke dalam kamar dengan maksud
kotor dan hina. Aku tidak dapat menahan kemarahanku lagi dan kubunuh pemuda itu. Jenderal Ciang,
Perwira Lui To dan Pendeta Hwa Hwa Cin-jin menyerangku. Aku berhasil membunuh jenderal Ciang dan
Perwira Lui, akan tetapi Hwa Hwa Cin-jin dapat melarikan diri. Karena banyak perajurit pengawal
bermunculan, aku lalu melarikan diri.”
Kwee Gi mengangguk-angguk. “Hemm, akhirnya mereka menerima hukuman juga dan tewas di tanganmu,
Bi Lan. Jenderal Ciang itu memang merupakan antek Perdana Menteri Chin Kui.”
“Siapa itu Perdana Menteri Chin Kui, paman?”
“Dialah yang menjadi biang keladi semua ketidak-amanan dan kekacauan. Dia berhasil mempengaruhi
kaisar dan perdana menteri itu bersekongkol dengan bangsa Kin di utara. Bahkan dia pula yang telah
melakukan fitnah kepada jenderal Gak Hui pahlawan besar yang amat dihormati dan dibantu ayahmu. Han
Si Tiong dan isterinya mengundurkan diri dari jabatannya, bukan hanya karena kehilangan engkau, akan
tetapi terutama sekali karena kecewa melihat jenderal Gak Hui difitnah dan Kaisar berpihak kepada
pengkhianat macam Chin Kui.”
“Pantas Ouw Kan diutus raja Kin untuk mencelakakan ayahku, kiranya juga dikarenakan ayah menjadi
pembantu setia Jenderal Gak Hui,” kata Bi Lan gemas.
“Begitulah. Kita semua mengetahui bahwa Chin Kui seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan
penjajah Kin yang menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Bangsa Kin menguasai daerah itu dan Chin
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui telah membujuk kaisar agar tidak melawan, bahkan berbaik dengan penjajah mengirim upeti setiap
tahun. Semua itu tentu ada imbalannya dan semua orang tahu betapa kaya rayanya Perdana Menteri Chin
Kui itu.”
“Hemm, kenapa ada pengkhianat macam itu di kerajaan tidak ada yang menentang? Kenapa kaisar begitu
bodoh? Apa tidak ada pejabat tinggi yang setia kepada negara dan berusaha menentang perdana menteri
jahat itu?” tanya Bi Lan penasaran.
Kwee-ciangkun menghela napas panjang. “Apa yang dapat kami lakukan? Dia memiliki kekuasaan yang
besar, bahkan kaisar sendiri selalu menuruti kata-katanya. Menentang dia, bisa berarti menentang
pemerintah, menentang kaisar sendiri, dan akan berhadapan dengan pasukan pemerintah.”
“Kalau begitu, sebaiknya orang seperti itu dibinasakan saja! Aku sanggup melakukannya, paman!” kata Bi
Lan penuh semangat.
Panglima Kwee tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau memang pantas menjadi puteri Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi, Bi Lan! Semangatmu besar dan keberanianmu menakjubkan. Akan tetapi aku harus
melarangmu. Entah sudah berapa banyak orang-orang gagah melakukan usaha itu, namun semua gagal
dan bahkan mereka yang tewas. Perdana Menteri Chin Kui menjaga dirinya dengan ketat. Pasukan
pengawal khusus yang terdiri dari jagoan-jagoan, di antaranya didatangkan dari utara, selalu melindunginya
siang malam. Betapapun tinggi kepandaian silatmu, tidak mungkin menembus pertahanan yang amat kuat
itu.”
“Hemm, kalau begitu, apakah orang macam itu dibiarkan saja mengkhianati tanah air dan bangsa?” Bi Lan
penasaran.
“Tidak, Bi Lan. Kami, orang-orang setia kepada Kerajaan Sung, tidak tinggal diam. Kami sudah menyusun
kekuatan dan kami sedang berusaha untuk mendapatkan bukti-bukti penyelewengannya, baik
penyelewengannya dalam korupsi uang negara, pemerasan terhadap para bangsawan dan hartawan,
pajak-pajak gelap yang dilakukannya, yang hasilnya masuk kantungnya sendiri, juga kami sedang
mengumpulkan bukti penyelewengannya tentang persekongkolannya dengan Bangsa Kin. Bukti bahwa dia
menerima banyak hadiah dari Bangsa Kin. Semua itu, kalau sudah dapat dikumpulkan, akan kami haturkan
kepada Sribaginda Kaisar. Dengan demikian maka kaisar yang akan bertindak. Kecuali dengan jalan itu,
amat sukar untuk mengalahkan Chin Kui yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar sekali. Satu-satunya
orang yang akan mampu menundukkan hanyalah kaisar sendiri.”
Bi Lan mengangguk-angguk. “Ah, begitukah, paman? Kalau begitu, dalam hal ini aku tidak dapat
membantu. Aku ingin segera keluar dari kota raja, paman, untuk mencari ayah dan ibuku.”
“Tentu saja, akan tetapi bersabarlah. Sekarang sedang hangat-hangatnya pasukan mencarimu. Perdana
Menteri Chin Kui sendiri tentu marah dan merasa kehilangan karena Jenderal Ciang dan Perwira Lui
merupakan pembantu-pembantunya yang setia. Tunggu sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah
dingin dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah lolos dari kota raja, barulah aku akan
mengatur agar supaya engkau dapat keluar dari kota raja.”
“Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat memberi petunjuk kepadaku, di manakah kiranya orang
tuaku sekarang?”
Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela napas. “Aku sudah berusaha menyebar orang-orangku
untuk mencari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Aku hanya mempunyai satu perkiraan, yaitu
besar sekali kemungkinannya mereka pergi ke utara untuk mencari Ouw Kan karena mendengar akan ciriciri
penculik itu dari tukang kebun yang belum terbunuh mati, kami sudah dapat menduga bahwa pelakunya
adalah Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong. Dia adalah seorang suku bangsa Hui dan berasal dari
Sin-kiang. Kini dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena itu besar kemungkinan ayah ibumu
mencarinya ke utara, atau ke Sin-kiang.”
Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di dalam rumah Panglima Kwee dan dalam waktu
seminggu itu, hubungannya dengan keluarga itu menjadi akrab. Terutama sekali Kwee Cun Ki. Pemuda itu
nampak benar-benar tertarik kepada Bi Lan, bahkan berulang kali dia mengatakan kepada gadis itu bahwa
dia ingin menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan Sin-kiang.
Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee mengatakan kepada Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba bagi Bi
Lan untuk diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki mengulangi keinginannya itu kepada Bi Lan, di depan
ayah ibunya. “Lan-moi, sekali lagi aku minta agar engkau suka kutemani untuk mencari orang tuamu.
Melakukan perjalanan seorang diri di daerah musuh itu sungguh amat berbahaya bagimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa putera tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan. Di
dalam hati, mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi mantu mereka. Kwee Gi segera berkata, “Kami setuju
kalau Cun Ki menemanimu, Bi Lan. Dengan bantuannya, tentu akan lebih mudah menemukan orang
tuamu.”
“Benar, Bi Lan,” kata Nyonya Kwee. “Dengan adanya Cun Ki yang menemanimu, hati kami tidak akan
merasa gelisah seperti kalau engkau pergi seorang diri. Seorang gadis merantau seorang diri tanpa kawan
di tempat yang jauh itu, apalagi di daerah musuh, sungguh hatiku akan merasa gelisah selalu. Engkau
sudah kuanggap seperti anak sendiri, Bi Lan.”
Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan isyarat yang jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak
mantunya. Akan tetapi Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat menjawab.
“Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan juga Ki-twako. Kalian telah menolongku dan bersikap baik
sekali kepadaku. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, aku ingin melakukan
perjalanan seorang diri. Terima kasih atas penawaranmu untuk menemaniku, Ki-twako. Ketahuilah bahwa
aku masih mempunyai tugas pribadi yang harus kuselesaikan. Kelak, kalau semua tugas dan urusanku
sudah selesai, aku pasti akan datang berkunjung untuk mengucapkan terima kasihku.”
Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki tidak berani memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan
main. Dia tadinya mengharapkan bahwa kalau melakukan perjalanan bersama, gadis yang membuatnya
tergila-gila itu akan tergerak hatinya dan akan membalas cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan berkeras tidak
mau ditemani, tentu saja dia tidak berani memaksa yang akan membuat gadis itu marah.
Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja dipersiapkan. Sebuah kereta berhenti di depan gedung keluarga
panglima Kwee. Kusirnya seorang laki-laki yang masih muda, berwajah tampan. Tak lama kemudian,
Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan di belakang kereta terdapat belasan orang perajurit pengawal
menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat dan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah
utara.
Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera memberi hormat ketika melihat bahwa penumpang
kereta itu adalah Panglima Kwee Gi dan isterinya.
Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah Perdana Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan
mengawasi. Kalau ada mereka, biarpun yang lewat itu Panglima Kwee, tentu mereka akan melakukan
pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi, pencarian pembunuh itu kini sudah tidak ketat 1agi. Seminggu telah
lewat dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya. Dianggap sudah kabur dari kota raja, maka kini di pintu
gerbang hanya dijaga para perajurit keamanan biasa.
Panglima Kwee adalah komandan pasukan keamanan, maka tentu saja para perajurit percaya kepadanya
dan setelah memberi hormat, para penjaga itu membiarkan kereta dan pengawalnya lewat keluar dari pintu
gerbang.
Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang kepercayaan Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba jauh
dari pintu gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan berhenti. Seorang pengawal muda turun dari atas
kudanya, menanggalkan pakaian luarnya dan kini mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai
kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir. Kusir itu bukan lain adalah Bi Lan yang menyamar sebagai kusir.
Semua perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan pakaian yang disembunyikan dalam kereta.
Dalam buntalan itu, selain pakaiannya, juga ada sekantung uang emas sebagai bekal, merupakan hadiah
dari Panglima Kwee.
Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi hormat kepada Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan
lalu menunggangi kuda yang tadi ditunggangi pengawal yang kini menjadi kusir, dan gadis itupun membedal
kudanya, membalap ke arah utara, diikuti pandang mata Panglima Kwee Gi dan isterinya. Kekecewaan dan
keharuan membayang dalam pandang mata suami isteri itu. Mereka lebih senang melihat gadis itu berada
di rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis itu telah pergi, menuju ke seberang utara yang
dikuasai bangsa Kin, tempat berbahaya sekali dan entah mereka akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu
ataukah tidak.
◄Y►
Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali karena
sebuah di antara tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya telah gagal. Dia telah berhasil menyerahkan
kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah beruntung diberi
kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh ketua Siauw-lim-pai sehingga dia memperoleh kemajuan
besar dalam ilmu silatnya. Kemudian dia juga telah menyerahkan kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Ciang Losu
dunia-kangouw.blogspot.com
ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab yang ketiga, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia
berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai seperti yang diperintahkan gurunya, telah lenyap dicuri gadis
liar berpakaian merah muda itu.
Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat merebut kembali kitab itu dan menyerahkannya kepada yang
berhak, yaitu kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa gadis itu, siapa namanya dan ke
mana harus mencarinya!
Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu dan mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat
kepada Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia mengabaikan perintah gurunya dan dia merasa
“berhutang” kepada Kun-lun-pai. Wah, gadis berpakaian merah muda itu! Gemas sekali dia! Awas kau,
kalau dapat kutemukan, bukan saja kitab itu kurampas darimu, juga engkau patut diberi hajaran. Akan
kupukul pantatmu sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang bapak memukul pantat anaknya yang
nakal ketika dia berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau! Demikian gemas rasa hati Thian
Liong sehingga dia bersungut-sungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling! Kurang ajar betul.
Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang tadinya dia membayangkan sebagai wajah setan,
berubah dan tampaklah wajah lain. Wajah seorang gadis lain yang berpakaian serba hijau dan memakai
bunga mawar merah di rambutnya. Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sianli! Gadis yang satu ini
sama liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik
Siauw-lim-pai dan pinjamnya pakai memaksa lagi!
Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar gadis itu dengan mengalahkannya sehingga ia pergi
dengan marah marah. Tidak sekurang ajar gadis baju merah muda yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai!
Ah, kenapa nasibnya begini? Bertemu dengan dua orang gadis liar yang sama-sama membikin dia pusing
dan marah. Tiba-tiba terbayang wajah seorang gadis lain! Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin,
menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila! Kalau
dia menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus membunuhnya dan kalau gagal, harus membunuh diri
sendiri atau akan dibunuh gurunya! Aturan mana ini? Si nenek yang menjadi guru Kim Lan dan sumoinya
yang bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila, mengadakan peraturan seperti itu kepada murid-murid
wanitanya. Gila! Apakah para wanita itu sudah gila semua?
Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong mengambil keputusan untuk melaksanakan dua kewajiban
yang dipesan oleh gurunya. Pertama, dia harus merebut kembali kitab pusaka milik Kun-1un-pai itu. Dan
kedua, gurunya pesan agar dia membantu Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya. Dia mengingatingat.
Suhunya pernah menyebut nama Perdana Menteri Chin Kui sebagai orang jahat dan berkhianat dan
yang telah mempengaruhi kaisar. Dia diberi tugas untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh para
pembesar yang jahat. Akan tetapi, yang lebih dulu harus dia kerjakan adalah mencari gadis setan berbaju
merah itu untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai!
Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan lincah
jenaka memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan kejam. Begitu saja membunuh orang, biarpun yang
dibunuhnya itu seorang penjahat. Akan tetapi ilmu silatnya amat hebat. Hanya dengan sebatang ranting, ia
mampu mempermainkan si gendut, perampok lihai itu, bahkan membunuhnya. Permainan rantingnya mirip
ilmu pedang.
Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan matanya untuk membayangkan kembali gerakan
gadis baju merah itu ketika bertanding melawan perampok gendut. Dia banyak tahu akan aliran ilmu silat
dari gurunya. Gurunya pernah membeberkan rahasia dasar gerakan silat perguruan-perguruan besar,
bahkan ilmu silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti ilmu silat yang berdasar pada aliran Tibet, Gobi,
Mancu, Mongol dan lain-lain.
Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki gadis baju merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat
dan berputar. Itu adalah gerakan dasar ilmu silat aliran Tibet yang diajarkan pendeta Lhama di Tibet.
Gurunya, Tiong Lee Cin-jin sudah pernah bertahun-tahun tinggal di Tibet dan mempelajari ilmu silat dari
suku bangsa itu.
13.3 Pengejaran Pencuri Kitab Pusaka
Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lunpai
itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti.
Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar
kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa
dunia-kangouw.blogspot.com
Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di sanalah dia
akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan.
Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin.
Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota
raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan
melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan
tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antekanteknya
yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya,
maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan. Dia hanya puas dengan
daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh lebih subur
dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan kebesaran
Kerajaan Sung yang pernah berjaya.
Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian
Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan
kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan
secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat
mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa
besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan
mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup.
Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah
menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak
menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada
satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia
bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa
anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang
kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih
mengerikan lagi!
Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu
turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan
kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia tidak pernah
menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya
menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong)
seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan
menolong rakyat yang menderita!
Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya-tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis
yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia menuruni
lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya
tentang gadis itu.
Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera
memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah
dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusundusun
lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat di Peking, semakin
baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan,
tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa keadaan di
dusun-dusun.
Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah makan
dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita tentang gadis
baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin
malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit
dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk.
Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum
ramah.
“Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?”
“Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!” pelayan itu menawarkan.
“Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok,” jawab Thian Liong sambil
tersenyum.
“Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali
anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa…… bikin jengkel orang tua saja!” Pelayan itu menggelenggeleng
kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong.
Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu
untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan
sepi tidak tampak tamu lain.
Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong
mengajaknya bicara sambil makan.
“Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku.”
Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya,
“Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba
merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan...... gadis itu pandai ilmu silat?”
Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia yang
kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat menyambar,
kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!”
“Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?”
“Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan
gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera
merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya
Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!”
Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit. “Maaf, siauw-ko,
ada tamu!” Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang laki-laki muda
berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri
setengah tua sekitar limapuluh tahun.
Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga
meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya seperti
penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi.
Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka
Kun-lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan. Maling
wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula,
maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan sebatang
ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah!
Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti
warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong
Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda.
Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki
rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa,
mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok.
“Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
kurus.
“Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia……! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi
bakso komplit dua porsi! Cepat......!!” Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan
dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka karena dia
bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu.
“Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban-kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan
duduk......” kata pelayan itu dengan sikap hormat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cerewet!” bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw-kongcu. “Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua
mangkok, bodoh!” bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar.
“Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......” pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua
orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik, “hemm...... mereka putera kepala Dusun
Bouw dan Kepala Keamanan Ban......”
Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban-kongcu
dan bergantian minum lagi sambil tertawa-tawa.
“Ehh? Manis sekali!” Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang
duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya.
“Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum,” kata Ban-kongcu sambil bangkit
berdiri.
“Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis itu...... heh-heh.”
Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan
empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata.
“Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!”
Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala.
Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua.
“Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak
sopan namanya!” kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki-laki setengah tua itu marah.
“Jangan ganggu anakku!” bentaknya.
Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar,
memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti-ganti. “Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian
belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?”
“Sabarlah, sobat,” ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu. “Kami sekeluarga baru saja tiba
di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan
apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin makan di sini.”
“Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera
kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona ini harus menemani kami makan minum dan
siapapun tidak boleh menghalangi!” Setelah berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan
gadis itu dan menariknya berdiri.
Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah. “Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?” Dia maju
dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agaknya
Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh.
Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu
mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu
menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu
sambil menyeringai senang.
“Ting-yi......!” Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang.
Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas
kursi di samping Bouw-kongcu.
Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri
karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau
melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua
orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya. Gadis ini benar-benar
mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok
semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan sepasang mata
itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa disadarinya,
Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang
ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya
terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali.
Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang, atau
orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu.
Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong
seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu
amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang
wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari
kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu
melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang sebatang
pecut kuda.
“Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?” suaranya nyaring dan merdu dan
biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa
Kin.
Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan
mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka
bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang
duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan meraba-raba dengan tangan mereka.
Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang
duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada
dan menowel dagu dan pipi.
“Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?” bentak gadis itu sambil
menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan
keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.
Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat
mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum.
“Huihhh! Alangkah cantiknya!” kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum.
“Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!” kata Ban Gu.
“Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan
pemberani ini!” kata Bouw Kui.
Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong.
“Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka……!” bisiknya dan Thian Liong menonton
dengan ingin tahu sekali.
“Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali, atau,
aku akan menyiksa kalian sampai mampus!” bentak gadis itu sambil bertolak pinggang.
14.1 Pedang Bengkok Mas Ukiran Naga
Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah juga. “Heh, jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah
engkau siapa kami? Toako, ini adalah Bouw-kongcu, putera kepala daerah Bouw! Dan aku adalah Ban Gu,
putera kepala pasukan keamanan kota ini. Berani engkau memaki kami? Kau bisa kutangkap dan
kumasukkan penjara!”
“Memaki kalian? Menyiksa dan membunuh kalian pun aku berani,” kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk kuda
di tangannya menyambar ke depan. Cepat sekali ujung cambuk itu menyambar, seperti kilat menyambar.
“Tar-tarrr......!!” dua kali cambuk itu menyambar dan dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan
mendekap mu¬ka mereka yang tampak ada balur memanjang merah dan berdarah! Tentu saja mereka
marah sekali. Mereka berdua pernah belajar silat, apalagi Ban Gu yang memiliki ilmu silat yang cukup
tangguh dan dia terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan yang suka mengandalkan kekuatannya dan terutama
kedudukan ayahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Perempuan gila......!!” Dia membentak dan tangan kanannya sudah mencabut sebatang. golok, lalu dia
melompat ke depan dan menyerang dengan goloknya.
Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah mencabut goloknya dan menerjang ke depan pula. Gadis
yang ketakutan itu segera berlari menghampiri orang tuanya dan mereka berempat segera pergi dari situ,
keluar dari rumah makan tanpa pamit karena merekapun belum makan apa-apa. Mereka merasa lebih
cepat mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.
“Tar-tar-tar-tarrrr......!” Pecut itu meledak-ledak.
Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis itu. Gerakan perutnya itu bukan gerakan sembarangan,
melainkan gerakan tangan yang memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga pecut
yang hanya terbuat dari bambu itu kini berubah menjadi senjata yang kuat menangkis sambaran golok
tanpa menjadi rusak!
“Trang-tranggg......! Dua kali pecut itu meledak lagi, tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang
pemuda yang memegang golok. Golok itu terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai. Kini pecut itu
menari-nari, meledak-ledak dan tubuh dua orang pemuda menjadi bulan-bulan¬an pecut.
Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua ekor monyet menari karena tubuh mereka dihujani
lecutan cambuk yang merobek-robek pakaian dan kulit tubuh mereka sehingga tubuh mereka itu kini mandi
darah! Mereka merasa betapa tubuh mereka nyeri semua perih-perih dan panas, sakit sampai menusuk ke
dalam tulang sumsum. Mereka jatuh terguling dan tanpa malu-malu lagi mereka berlutut dan menyembahnyembah
sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam makan padi sambil merintih-rintih.
“Aduh...... ampun...... ampun….. jangan bunuh......!!” Keduanya minta-minta ampun.
Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak tempat dijuluki Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong
Putih! Ia menghentikan cambukannya, hidungnya mendengus dan ia segera berkata kepada Ban Gu.
“He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil Kepala Daerah Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan
datang ke sini. Cepat dan tikus she Bouw ini biar berlutut terus di sini sampai kamu kembali bersama dua
tikus yang kupanggil itu!”
Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang sekali, akan memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru
tahu rasa engkau, perempuan iblis, pikirya. Dia mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berlari dengan
terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa nyeri semua, seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.
Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mendekat, hanya
menonton dari jarak agak jauh sehingga rumah makan itu tampak sepi ditinggalkan orang. Bahkan mereka
yang melalui jalan di depan rumah makan itu tidak berani lewat.
Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang karena kalau sang pembesar yang merupakan raja dan
panglimanya itu muncul bersama pasukannya, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi mereka yang sudah
pernah melihat sepak terjang Burung Hong Putih, diam-diam merasa gembira sekali dan tahu bahwa
mereka akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati mereka yang selama ini banyak mengalami
penindasan itu.
Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang pembesar itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan
agar mereka cepat tiba di tempat itu, kedua orang pembesar itu naik sebuah kereta dan di belakang kereta
terdapat duapuluh orang lebih perajurit penjaga keamanan yang biasanya suka dipergunakan untuk
melakukan “pembersihan” kepada rakyat jelata untuk memaksa mereka membayar pajak atau melakukan
apa saja yang dikehendaki kepala daerah atau komandan pasukan itu.
Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban Gu yang tidak sempat berganti pakaian, masih
berpakaian koyak-koyak dan tubuh berlumuran darah, turun diikuti oleh ayahnya yang bertubuh tinggi besar
berperut gendut sekali, berpakaian sebagai seorang perwira yang serba gemerlapan dan gagah. Wajah Ban
Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh brewok sehingga tampak menyeramkan, dan wajah itu
sudah membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan galak. Orang kedua, usianya sebaya dengan
Ban Ho Tung, adalah Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang berpakaian sebagai seorang bangsawan,
tubuhnya tinggi kurus, kumisnya seperti tikus dan sikapnya angkuh dan sombong sekali, jalannya saja
dibuat-buat segagah mungkin, namun malah tampak lucu karena tubuhnya yang kerempeng seperti
seorang pemadat berat itu.
“Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak itu?” tanya Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada
puteranya, sikapnya petentang-petenteng (membusungkan dada menantang).
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah,” kata Ban Gu sambil menuding ke dalam.
“Siapa mencari aku?” terdengar bentakan nyaring merdu dan dari dalam rumah makan itu melangkah keluar
gadis berpakaian putih itu. Tangan kanannya memegang pecut dan ujung pecut melingkar di leher Bouw
Kui yang diseret sehingga pemuda itu berjalan dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.
“Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut!” Gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya kepada
Ban Gu.
Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah sekali. Dia kini tidak merasa takut lagi. Bukankah ada
ayahnya dan ada Bouw-taijin beserta duapuluh lebih perajurit di belakangnya?
“Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti……”
“Wuuuttt...... tarrrr......!!” Pecut itu sudah melayang dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali tarik
tubuh Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam keadaan berlutut! Ban Gu menjadi pucat dan dia
berteriak-teriak.
“Tolooonggg......, ayah, toloonggg......!”
“Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek, mengandalkan kedudukan orang tua untuk menghina
wanita-wanita. Kalian sudah sepantasnya dihajar!” Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan
cambuknya dua kali.
“Tarrrr!! Tarrr!!”
Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap pinggir kepala yang berdarah-darah karena daun
telinga kanan mereka telah putus terpenggal ujung cambuk dan kini dua potong daun telinga itu
menggeletak di atas tanah! Keduanya lalu merangkak melarikan diri ke arah orang tua mereka.
“Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan menghina putera kami? Kami adalah kepala daerah di
Leng-ciu ini!”
“Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan di Leng-ciu. Engkau telah berani menghina kami,
berarti engkau sudah bosan hidup!” bentak pula Ban Ho Tung sambil mencabut pedangnya lalu dia
memberi isyarat kepada duapuluh empat orang anak buahnya untuk menangkap atau mengeroyok gadis
berpakaian putih itu. Para perajurit yang sudah turun dari kuda masing-masing maju mengepung.
Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti suara burung dan tiba-tiba tangannya sudah melolos ikat
pinggang, yang berupa sabuk sutera merah. Ketika para perajurit menyerbu, ia bergerak bagaikan seekor
burung cepatnya. Tubuhnya melesat dan seolah lenyap, merupakan bayangan yang berkelebatan di antara
gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar. Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan para
perajurit itu roboh berpelantingan ketika mereka disambar sinar merah dari sabuk sutera merah yang
digerakkan secara amat lihai itu. Diam-diam Thian Liong yang keluar dan ikut nonton perkelahian itu merasa
kagum sekali. Tingkat kepandaian silat gadis ini, biarpun gerakannya aneh dan asing, namun dibandingkan
tingkat ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah muda atau tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang
In, agaknya tidak kalah atau sukar ditentukan siapa yang paling lihai di antara mereka!
Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit itu, Si Burung Hong Putih melihat betapa dua orang
pembesar itu ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi ia melompat mengejar, dan sinar merah
sabuk suteranya meluncur ke depan. Tahu-tahu leher kedua orang itu telah terbelit ujung sabuk yang
ternyata menjadi panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu roboh terguling-guling ke arah kakinya!
Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih terbelit ujung sabuk merah. Pembesar Bouw yang
berwatak angkuh dan sombong, biarpun ketakutan setengah mati melihat puteranya terpotong daun telinga
kanannya dan semua perajurit pengawalnya dihajar sampai berjatuhan, namun masih mencoba untuk
menggertak gadis itu.
“Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan kerajaan akan datang, menangkapmu sebagai seorang
pemberontak yang jahat!”
“Srattt......!” Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok diukir
gambar seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan ukiran naga itu terbuat dari emas!
“Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang bengkok yang diukir gambar naga dari emas itu, seketika
mata mereka terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat, tubuh mereka gemetar dan kedua kaki menggigil.
Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu, membentur-benturkan dahi di tanah sambil berkata
dengan suara penuh ketakutan.
“Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu bahwa paduka yang mulia adalah......”
“Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua mengakui dosa-dosa kalian?” bentak gadis itu sambil
mengancam dengan pedang bengkoknya dan melepaskan sabuk sutera merahnya dari leher mereka.
“Hamba...... hamba...... tidak tahu kesalahan dan dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang mulia......”
Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu yang berlutut lalu menyebut yang mulia kepada
nona itu, Bouw Kui dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan ketakutan, lalu ikut berlutut mendekam di
atas tanah, tidak berani bergerak, bahkan menahan napas agar tubuh mereka tidak membuat gerakan.
Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga ketakutan dan berlutut di atas tanah. Ada pula di antara
mereka yang sudah lama menjadi perajurit mengenal pedang bengkok dengan ukiran naga emas itu. Itu
adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan oleh Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang itu boleh
menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa lebih dulu minta ijin dari Kaisar!
“Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian berdua adalah orang-orang pribumi yang dipercaya
oleh Sribaginda, diberi kedudukan dan kekuasaan untuk mengatur rakyat di daerah kalian, menjaga
keamanan dan mengusahakan kesejahteraan dan ketenteraman bagi rakyat. Akan tetapi ternyata kalian
menindas rakyat, bangsamu sendiri, dan membiarkan anak-anak kalian menjadi pemuda berandalan yang
jahat dan kejam. Dan sekarang kalian masih bertanya dosa apa yang kalian lakukan? Hayo jawab!”
Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan. “Hamba layak dihukum...... akan tetapi hamba mohon
beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan melakukan penindasan lagi, akan melaksanakan tugas
kewajiban hamba sebaik-baiknya.”
“Hemm, benarkah itu? Kalian akan berusaha agar kehidupan rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan
makmur? Kalian akan bertindak seadil-adilnya?”
“Hamba bersumpah!” Dua orang pembesar itu menjawab dengan berbareng.
“Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang melihat kejadian ini dari jauh itu,” ia menuding ke arah
banyak orang yang berdiri di kejauhan, “biarlah sekarang aku memberi hukuman ringan kepada kalian!”
Berkata demikian, secepat kilat sinar pedang berkelebat dan dua orang pembesar itu mengaduh dan
memegangi tangan kiri mereka yang sudah kehilangan jari kelingking masing-masing, terbabat putus oleh
pedang yang amat tajam itu. “Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang kuambil, lain kali kalau aku
masih mendengar atau melihat kalian berlaku sewenang-wenang kepada rakyat, kalian akan kutangkap dan
kuseret ke pengadilan kota raja, atau kalau aku tidak sabar, akan kupenggal leher kalian di sini juga!”
“Ampunkan hamba……!” Dua orang itu menyembah-nyembah. Dua orang putera mereka juga menyembahnyembah
ketakutan.
Gadis itu menyarungkan lagi pedangnya dan melibatkan sabuk sutera merah di pinggangnya, lalu
menghampiri kudanya, melompat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya meninggalkan tempat itu.
Ketika ia melewati orang-orang yang berkerumun nonton dari kejauhan, ada yang berseru, “Hidup Pek Hong
Nio-cu….!”
Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru, “Hidup Pek Hong Nio-cu……!!”
Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan membedal kudanya meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak tahu
bahwa ada bayangan orang berkelebat dan mengikutinya keluar dari pintu gerbang kota sebelah utara.
◄Y►
Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah seorang puteri kaisar yang lahir dari seorang selir
kaisar yang cantik. Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa China aseli yang menyebut dirinya bangsa
Han). Biarpun ia hanya puteri seorang selir, namun karena selir itu menjadi kesayangan kaisar Dinasti Kin,
maka tentu saja anak perempuan ini juga amat disayang dan dimanja kaisar.
Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki watak yang begal dan lincah seperti seorang anak lakilaki.
Dalam usia lima tahun saja, ia sudah berani menunggang kuda dan membalapnya, berlumba dengan
para putera bangsawan, bahkan yang usianya lebih tua dari padanya. Ia suka pula bermain panahpanah
¬an sehingga sejak kecil dapat melepaskan anak panah dengan jitu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia sepuluh tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri
Moguhai yang berusia enam tahun juga tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan berlatih ilmu silat. Tentu saja guru
silatnya tidak berani melarang karena ia puteri kaisar, pula ketika guru-guru silat melihat betapa bocah
perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka bahkan bersemangat untuk mengajarkan ilmu silat
kepadanya. Maka tidak mengherankan apabila Puteri Moguhai memperoleh kemajuan pesat dan setelah
berusia sepuluh tahun, dalam latihan, ia dapat mengalahkan murid-murid pria yang usianya lebih beberapa
tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja menjadi girang dan bangga dan mereka seolah berlumba
untuk menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada sang puteri, bukan hanya karena senang
mempunyai murid demikian cerdiknya, melainkan tentu saja ada pamrih untuk menyenangkan hati sang
kaisar!
Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada suatu hari, ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-jalan ke
dalam taman istana yang luas. Cuaca remang-remang, akan tetapi ia masih dapat menikmati bunga-bunga
yang bermekaran karena waktu itu musim semi telah tiba. Ketika ia mendekati sebuah pondok yang berada
di tengah taman itu, pondok kecil tempat peristirahatan keluarga kaisar, ia dari jauh melihat ibunya
memasuki pondok itu bersama seorang laki-laki. Jelas tampak olehnya bahwa laki-laki itu bukan kaisar,
bukan ayahnya!
Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan belum dapat menduga apa-apa yang melanggar susila. Ia
hanya merasa heran sekali, akan tetapi tidak berani mendekati pondok, hanya merunduk-runduk lebih dekat
lalu bersembunyi di balik semak-semak di samping pondok untuk mengintai ke arah pintu dengan maksud
agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar dari pondok. Di atas pondok itu tergantung sebuah
lampu sehingga ia akan dapat melihat wajah laki-laki itu nanti. Ia mendekam di situ, hati-hati sekali tidak
berani banyak bergerak, bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia hanya mengusir nyamuk itu, tidak
berani menamparnya.
Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang Ibu Puteri Moguhai yang dulu adalah seorang wanita
pribumi bernama Tan Siang Lin. Kini ia adalah seorang selir terkasih dari Kaisar Kin. Usianya sekitar
duapuluh delapan tahun namun masih tampak cantik jelita dan gerak-geriknya lembut, seperti seorang
gadis muda.
Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi lampu gantung itu bersama seorang pria. Laki-laki itu
berpakaian sederhana, tubuhnya sedang namun tegap, wajahnya bersih, tampan dan senyumnya
menawan, sikapnya juga lembut dan sinar matanya mencorong. Begitu memasuki pondok dan daun
pintunya ditutup, selir kaisar itu lalu mengeluh.
14.2 Li-hiap, Puteri Kaisar Kin
“Sie-koko (Kanda Sie)……!” Dan ia sudah menubruk hendak merangkul pria itu. Akan tetapi pria itu
menyambut dengan memegang dan menahan kedua pundak wanita itu, lalu berkata dengan suara halus
namun penuh wibawa.
“Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau adalah isteri seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku
tidak ingin melihat engkau menjadi seorang isteri yang melakukan hal tidak pantas dan mengkhianati suami.
Mari, duduklah, kita bicara baik-baik dan pantas.” Dia mendorong wanita itu duduk di atas buah kursi,
sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan Siang Lin atau yang kini menjadi selir kaisar itu
menggigit bibir dan mengusap beberapa butir air mata yang menetes di atas kedua pipinya.
“Akan tetapi, Sie-ko, aku...... aku rindu padamu...... apakah engkau tidak cinta lagi padaku, koko?” Dalam
suara itu terkandung kesedihan yang ditahan-tahan.
Laki-laki itu menghela napas panjang. “Lin-moi, justeru karena aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku,
maka aku tidak ingin melihat engkau menyimpang dari kebenaran. Aku ingin melihat engkau bahagia
sebagai seorang isteri kaisar yang dimuliakan, dihormati, dan bersih dari pada noda.”
“Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman ini, koko? Pada hal kunjunganmu ini berbahaya sekali,
kalau sampai ketahuan, pasti nyawamu taruh-annya. Apa maksudmu berkunjung ini, kalau bukan
karena…… rindu padaku seperti juga aku merindukanmu?”
Laki-laki itu tersenyum. “Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa engkau hidup bahagia di sini, Lin-moi.
Aku mendengar dan kini melihat sendiri bahwa engkau menjadi seorang selir yang dikasihi kaisar, dihormati
dan dimuliakan orang, walaupun engkau seorang pribumi Han. Juga aku mendengar tentang...... siapa lagi
nama anak itu……?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Puteri Moguhai……”
“Ya, nama yang indah, walaupun agak asing terdengarnya. Aku mendengar pula tentang anak itu. Kabarnya
ia cerdik sekali dan berbakat baik dalam ilmu silat. Karena itu, kedatanganku ini untuk menyerahkan kitabkitab
ini kepadamu. Kelak, setelah anak itu berusia empatbelas tahun dan sudah memiliki dasar ilmu silat
yang baik, kau berikan kitab¬kitab ini dan suruh ia melatih sendiri. Sudah kuberi petunjuk-petunjuk jelas
dalam kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadanya, Lin-moi, dan ini, suruh ia kelak selalu
memakai ini dan semoga Tuhan selalu melindunginya.“
Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah perhiasan rambut berbentuk burung Hong dari perak
dengan mata mirah. Ia menerimanya dengan terharu sekali.
“Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah engkau menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan
menjaga puterimu.” Pria itu bangkit berdiri dan hendak melangkah ke pintu.
“Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu...... ini...... merupakan rahasia
pribadiku...... dan hanya engkau saja yang boleh mendengarnya.”
Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang Lin dengan sinar mata mencorong. “Apakah itu, Linmoi?”
“Ketika aku melahirkan...... sebetulnya anakku itu terlahir kembar, keduanya perempuan......”
Pria itu membelalakkan kedua matanya. “Kembar? Dan...... yang seorang lagi……?”
“Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah seorang wanita tua yang menjadi bidan, dan ditemani
seorang sahabat baikku. Ia seorang janda pangeran, suaminya sudah mati dan ia tidak mau menikah lagi,
pada hal ia masih muda, sebaya dengan aku. Kami menjadi saha¬bat yang akrab sekali, bahkan telah
bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri kepala suku bangsa Uigur, namanya Miyana. Ketika
melihat aku melahirkan bayi perempuan kembar, Miyana menangis dan mengatakan kepadaku bahwa
kaisar adalah seorang yang percaya bahwa anak kembar wanita akan membawa malapetaka maka besar
kemungkinan anak kembarku akan dibunuh! Maka, atas usul Miyana, anak yang satunya lagi ia
selundupkan keluar dari kamarku sehingga aku dianggap melahirkan seorang anak perempuan saja, yaitu
Moguhai itulah. Bidan tua itupun dipesan menyimpan rahasia, akan tetapi beberapa hari kemudian ia mati
karena sakit mendadak. Aku menduga bahwa itu perbuatan Miyana yang takut kalau-kalau bidan itu
membuka rahasia.”
Pria itu mengangguk-angguk. “Hemm, lalu...... anak yang satunya lagi itu?”
“Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda, pulang kepada orang tuanya, kepada ayahnya yang
menjadi kepala suku Uigur. Tentu saja anak itu diam-diam dibawanya dan sampai sekarang aku tidak
pernah lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah, itu, koko, dan hanya engkau seorang yang
mengetahui.”
Pria itu menghela napas panjang. “Aih, sungguh nasib mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah
hukuman akibat dosa kita herdua? Nah, terima kasih atas semua ceritamu, Lin-moi dan jangan lupa berikan
kitab-kitab itu kepada Moguhai. Sekarang aku pergi.”
Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu. Moguhai yang mengintai di luar melihat mereka keluar
dan ia menatap wajah pria itu dengan penuh perhatian. Ia melihat mereka berdiri berhadapan di luar pintu,
lalu pria itu memegang pundak ibunya dan berkata dengan suara lirih, “Nah, selamat tinggal, Lin-moi,
semoga engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!”
“Selamat jalan, Sie-koko...... jaga dirimu baik-baik!” kata ibunya dengan suara mengandung isak.
Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ. Moguhai
terbelalak! Setankah yang dilihatnya tadi? Kalau manusia, mana mungkin menghilang begitu saja? Ibunya
bergaul dengan setan yang disebutnya Sie-koko?
Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis cilik itu lalu lari menghampri ibunya.
“Ibu……!”
“Eh, engkau Moguhai? Dari mana engkau......?” Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira anaknya
muncul begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu telah melihat......
“Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehh? Setan......?”
“Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang ibu sebut Sie-koko, akan tetapi dia menghilang seperti
setan!”
Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya masuk ke dalam pondok itu. Dia memeluk dan berkata
dengan nada suara serius.
“Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia
seorang sakti, Moguhai dan dia...... dia itu dahulu menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan
kitab-kitab dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau kelak engkau mempelajari tiga buah kitab ini, berarti
dia itu juga gurumu, Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku, jangan katakan tentang dia itu kepada siapapun
juga. Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu ini tentu akan dihukum mati, dan mungkin engkau juga tidak
akan terluput dari hukuman.”
“Akan tetapi kenapa, ibu? Ayahanda Kaisar tentu tidak akan marah mendengar aku mendapatkan seorang
guru yang sakti.”
“Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang pendekar bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh curiga
dan mengira dia itu mata-mata dari kerajaan Sung yang akan menyelidiki istana. Karena itu, demi
keselamatan kita sendiri, jangan katakan kepada siapapun juga. Engkau berjanji?”
Moguhai mengangguk-angguk. “Baik, ibu.”
Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa laki-laki, yang memberi kitab kepadanya itu adalah
“Paman Sie” dan ia tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tiga kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran
ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang pertama mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang
(tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam yang hebat, juga dapat mengerahkan tenaga sakti,
untuk membuat dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti terbang. Kitab kedua berisi pelajaran ilmu
silat yang menggunakan senjata sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai dengan sehelai sabuk sutera panjang
merah.
Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang yang aneh akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang
Sin-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dimainkan dengan pedang bengkoknya, pedang khas
bangsa Kin sehingga kini, setelah berusia sembilanbelas tahun, Moguhai menjadi seorang gadis yang lihai
bukan main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih karena
perhiasan rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata mirah!
Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan kota Leng-ciu menunggang kudanya. Biarpun ia puteri
Kaisar, namun ia berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya yang sering menceritakan tentang sepak terjang
para pendekar persilatan yang selalu berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, selalu
menentang kejahatan, melawan para penindas dan membela rakyat kecil yang tertindas. Karena itulah, ia
seringkali meninggalkan istana dan merantau ke daerah-daerah. Setiap bertemu kejahatan, ia pasti
menantang yang jahat dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang korup menerima hajaran keras
darinya dan banyak gerombolan penjahat dibasminya. Kaisar yang mendengar akan sepak
terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga, maka lalu menghadiahkan pedang bengkok berukir naga
emas yang menjadi tanda kuasaan besar. Semua pembesar maklum bahwa pemilik pedang naga emas itu
berkuasa seperti kaisar sendiri, boleh menghukum atau membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!
Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya dengan santai keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada bayangan
berkelebat dari belakangnya dan tahu-tahu di tengah jalan berdiri seorang pemuda. Jalan itu sepi, tidak ada
orang lain kecuali mereka berdua. Pemuda itu berdiri tegak di tengah jalan, jelas menghadang perjalanan
kudanya.
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia memperhatikan seorang pemuda biasa saja, menggendong
buntalan seperti orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya sederhana dan wajah pemuda
itupun biasa saja walaupun dapat dibilang tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau mencolok.
Seorang pemuda dusun biasa!
“Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak lewat? Apa ingin tertubruk kuda!” tegurnya.
Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada
sambil membungkuk sedikit sebagai penghormatan.
“Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu......”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?” Pek Hong Nio-cu menegur, agak kesal karena
perjalanannya terganggu.
“Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan engkau menghajar orang pembesar brengsek di kota
Leng-ciu tadi! Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi, nona. Aku merasa kagum sekali kepadamu!”
“Hemm, aku tidak butuh pujianmu!” bentak Pek Hong Nio-cu karena sudah sering ia mendengar laki-laki
memujinya yang sebetulnya hanya merupakan rayuan untuk menyenangkan hatinya. Ia sudah
mendapatkan kenyataan bahwa semua adalah perayu-perayu gombal kalau sudah berhadapan dengan
wanita cantik!
“Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara sebenarnya!”
“Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu. Apa maksudmu menghadang perjalananku? Minggir, atau
kutabrak engkau!”
“Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau beraksi, aku mengira bahwa engkau adalah seorang
gadis yang pernah kukenal, gadis yang mencuri pusakaku.”
“Tikus busuk!” Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya berwatak keras dan galak itu sudah melompat turun
dari punggung kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia mengikatkan kendali kuda pada sebatang
pohon di tepi jalan dan cepat ia kini berdiri menghadapi Thian Liong dengan sikap menantang. “Kurang ajar,
berani engkau mengira aku sebagai pencuri?”
Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak. Bukan, gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah,
pencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Hanya bentuk tubuhnya saja yang sama,
juga sama-sama cantik jelita.
Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian Liong memandang wajahnya dengan penuh perhatian,
dia terbelalak. Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam dan senyum mengejek itu, dan terutama tahi lalat
di ujung bibir kanan itu! Tak salah lagi! Siapa, lagi kalau bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In? Memang
benar, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau, akan tetapi pakaian mudah saja diganti, dari yang berwarna
hijau kini menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah lagi! Thian Liong tertawa dan melangkah
maju lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung gadis itu.
“Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?”
“Ngawur! Siapa itu Thio Siang In?” Pek Hong Nio-cu membentak kehilangan kesabaran karena
menganggap pemuda itu main-main.
“Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa kepadaku? Atau pura-pura lupa? Aku Souw Thian Liong!
Jangan marah kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu. Kitab itu sudah kukembalikan yang berhak, yaitu
Siauw-lim-pai yang menjadi pemilik sah. Maafkan kalau dulu aku tidak dapat meminjamkannya kepadamu,
In-moi.”
“Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan kurang ajar kepadaku. Sambut ini!” Bentak Pek Hong Niocu
ia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah ulu hati Thian Liong.
Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian Liong cepat mengelak mundur. “In-moi, aku tidak
main-main, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu.”
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang semakin ganas dan gencar. Serangan-serangan gadis itu
sungguh tak boleh dipandang ringan karena pukulannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat.
Thian Liong menjadi terkejut dan timbul kegembiraannya untuk menguji kembali kepandaian gadis ini yang
dulu pernah dia kalahkan. Siapa tahu Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru yang lebih lihai. Maka dia
cepat mengelak dan membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.
Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan heran. Pemuda yang disangkanya pemuda dusun biasa itu
ternyata bukan main. Tidak saja dapat menghindarkan serangannya yang cepat dan bertubi, bahkan
mampu membalas dengan tamparan yang mengandung tenaga sakti yang kuat. Pek Hong Nio-cu menjadi
penasaran sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan dorongan telapak
tangannya. Thian Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun menyambut dengan tangkisan sambil
mengerahkan sinkangnya pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wuuuttt...... dukkk!” Tubuh Pek Hong Nio-cu terdorong ke belakang sampai lima langkah! Ia terbelalak dan
menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya mundur selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti ini jelas
bahwa ia kalah kuat.
“Srettt......!!” Tampak gulungan sinar merah berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu sinar itu
mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian Liong. Itulah senjata sabuk merah yang telah diloloskan Pek
Hong Nio-cu dari pinggangnya.
“Hyaattt……!” Sinar merah itu menyambar cepat sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan
berbahayanya senjata sabuk sutera merah itu, sudah cepat merendahkan dirinya sehingga sabuk itu lewat
di atas kepalanya. Begitu sinar itu lewat di atas kepala, tangan Thian Liong menyambar dan ujung sabuk
sudah dapat dipegangnya!
Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik sabuknya, namun tetap saja ujung sabuk berada di
tangan Thian Liong, tak dapat terlepas dari pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali cepat ia maju dan
mengirim tendangan berantai ke arah tubuh Thian Liong. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang
bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu sehingga gadis itu merasa kakinya nyeri bertemu dengan
tangan Thian Liong. Ia membetot sekuat tenaga.
Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah itu putus. Dia tidak mau merusak senjata lawan, maka
tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dan otomatis tubuh Pek Hong Nio-cu terjengkang ke belakang.
Thian Liong terkejut karena gadis itu tentu akan terbanting jatuh. Akan tetapi ternyata tidak. Tubuh yang
padat langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke belakang sampai lima kali dengan indahnya dan tidak
terbanting sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan sabuk sutera itu telah dilibatkan kembali
ke pinggangnya. Agaknya sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat menyimpan kembali sabuknya.
“Hebat!” Thian Liong memuji kagum.
Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus. Akan tetapi yang dia puji malah semakin
marah. Pek Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong itu sebagai ejekan dan kini begitu tangan
kanannya bergerak, ia sudah mengeluarkan pedang bengkoknya yang mengeluarkan cahaya berkilauan
saking tajamnya!
“Manusia sombong!” bentak gadis itu, kemarahannya memuncak karena dua kali ia telah kalah, pertama
dalam ilmu silat tangan kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang bersenjatakan sabuk sutera merah tidak
mampu mengalahkan pemuda yang bertangan kosong itu. “Kalau memang engkau gagah, cabut pedangmu
dan lawan pedangku ini!”
Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut dengan gadis
yang galak, lihai dan jelas berjiwa pendekar yang tadi menentang pembesar-pembesar jahat sewenangwenang
itu. Dan diapun mulai curiga. Dia sama sekali tidak merasa salah lihat. Gadis ini jelas Thio Siang In
yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias mawar merah dan pakaiannya serba hijau. Akan
tetapi selain tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata sepasang pedang.
Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar, pakaiannya serba putih, bersenjata sabuk sutera merah,
dan pedangnya bukan sepasang pedang melainkan sebatang pedang bengkok! Selain itu, ketika tadi
bertanding, dia melihat ilmu silat mereka juga sama sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio Siang itu
memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas dan keji seperti yang biasa dipergunakan orangorang
golongan sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang dimainkan Pek Hong Nio-cu ini memiliki dasar
yang bersih. Ternyata ilmu silat antara kedua orang gadis itu sama sekali berbeda, walaupun tingkatnya
kira-kira hampir sama.
Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu menjura dengan hormat. “Maafkan aku, nona, kalau aku
telah salah mengenal orang. Biarpun nona serupa benar, bahkan persis, seorang gadis bernama Thio Siang
In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, namun senjata dan ilmu silat nona sama sekali berlainan. Karena itu aku
mulai yakin bahwa aku telah salah mengenal orang. Karena itu, harap engkau suka maafkan aku karena
aku tidak bermaksud buruk terhadap dirimu.”
Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata mencorong. Mulutnya merengut dan kembali jantung
Thian Liong berdebar. Kalau cemberut marah seperti itu, sungguh persis sekali gadis ini dengan Thio Siang
In. Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu juga cemberut seperti ini ketika dia marah kepadanya!
“Engkau sudah memamerkan kepandaian mengalahkan aku dua kali dan masih bilang tidak berniat buruk
terhadap aku? Hayo cabut pedangmu dan jangan kepalang kalau hendak mengujiku. Sebelum engkau
dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih belum mengaku kalah!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku Souw Thian Liong mengaku bersalah dan
mohon maaf,” kembali pemuda itu berkata.
“Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang selama ini disohorkan orang maka engkau menjadi
begini sombong! Kalau engkau tidak mau mencabut pedangmu, terpaksa aku akan menyerangmu juga!
Lihat pedang!” Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang bengkoknya dan begitu menyerang, ia
sudah mengeluarkan jurus yang lihai dari ilmu pedang Sin-coa Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong (Ular
Sakti Keluar Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar terang meluncur ke arah dada Thian Liong!
Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong dan sabuk sutera merah gadis itu baginya masih belum
merupakan serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi serangan pedang bengkok ini sama sekali tidak boleh
dipandang ringan. Maka, dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut Thian-liong-kiam.
14.3 Bedanya Di Pakaian dan Ilmu Silat!
Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada
tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu “mematuk” dari samping.
Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong
mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan tubuhnya
dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu menyambar ke
arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya.
“Tranggggg……!” Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah
sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali
sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang
pedang gemetar dan terguncang hebat.
Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu
benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah
dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya.
Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis
itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini
belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah
menguasai sepenuhnya, Thian Liong mak¬lum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi
lawannya.
Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima
ilmu pedang itu dari “pamannya”, yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga
kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan
ilmu pemberian “Paman Sie” itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di
bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.
Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak
mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh
jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin-kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya.
Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian
Liong membentak.
“Lepas!” Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat
mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas.
Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong
Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan
lagi pedangnya di sarung pedangnya.
Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan
membungkuk hormat.
“Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding denganmu
dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar dengan seorang
pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku
mengenal orang, nona.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati
Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena
pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi
sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
“Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih
tinggi daripada kepandaianku, bukan?” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan.
“Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau
ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa
Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu.”
Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si
Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi
biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga
bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu
tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan. Akan
tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa Kin,
tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya!
Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi
ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!
“Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?” Pek Nio-cu
bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu.
Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu.
Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari
ketenaran nama. “Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli saya,” katanya
malu-malu.
“Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan
membela kebenaran dan keadilan?”
“Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi kewajibanku,
Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat.”
“Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah
Kerajaan Kin?” gadis itu mendesakkan pertanyaan ini.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela
napas. “Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh
negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan balatentara negara? Tidak, Pek Hong
Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu
dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang
bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan
kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju
sekali dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu.”
“Tindakan yang mana?” tanya gadis itu, semakin tertarik.
“Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda
putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras
kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar
dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri,
kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek
Hong Nio-cu.”
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?”
'Thian Liong tersenyum. “Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat
menduga siapa engkau sebenarnya.”
“Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?” kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun
menantang.
“Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru
menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama
ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok, dua
orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum siapa
saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri
kaisar.
“Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?” tanyanya.
“Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau
seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada
dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu
yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas
pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mampu beradu
dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar, maka mudah menduga bahwa
tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau
adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin,
Pek Hong Nio-cu.”
Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia
masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat
menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri.
“Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian
Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar
bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!”
Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu
menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa
gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan
penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri.
“Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?” ia menegur, alisnya berkerut.
Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat. “Maafkan saya, tuan puteri......!”
“Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan
sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita
biasa, bukan seorang puteri kaisar!”
Thian Liong tersenyum maklum. “Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu
dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada
bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah
Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya.”
Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali. “Hemm, coba perhatikan
dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?”
“Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan
bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut
senjatanya, juga gaya bahasanya.”
“Bagaimana perbedaannya?”
“Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah.
Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya
bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang
sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat
orang-orang dari daerah barat.”
“Ia itu seorang...... sahabat baikmu?” tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi
jalan. Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah.
“Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai
perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham.” Dengan singkat dia lalu menceritakan
tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orangorang
Bu-tong-pai karena kesalahpahaman mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai,”
kata Pek Hong Nio-cu. “Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu.
Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?”
“Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain.
Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba merah
muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai
sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya
kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang
sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali.”
“Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang
lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin
pinjam kitab!”
Thian Liong menghela napas panjang. “Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa
pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan
aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di
sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus
dibenci semua gadis cantik yang lihai.”
“Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa
sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu-tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai
persilatan lain? Kenapa engkau membagi-bagikan kitab kepada mereka?”
Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah
mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak tahu
siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak
memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu pergi
dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci
kepadanya bahkan mengatakan kagum!
“Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah
kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah
atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk
diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab
Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga
buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat
menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak. Akan tetapi di tengah
jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lunpai.
Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab Kiauw-ta
Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai. Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Samjong
Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami bertanding
dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis baju
merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu.”
“Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?”
“Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin.”
“Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya!
Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana
ayahku berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati dan sakit
sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi-bagikan obat penawar
penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja berkelebat ketika dia
meninggalkan obat itu.”
Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal
yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap
menjulurkan tangan menolong.
“Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga,” katanya pendek.
“Wah, melihat engkau membagi-bagi¬kan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!”
Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya, “Paman Sie? Siapakah dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum. “Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu
dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia
jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong.”
“Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku
mengetehui siapa namamu?”
“Namaku adalah Puteri Moguhai.”
“Dan gurumu?”
“Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku
melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru-guruku yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar
kepadaku adalah jagoan-jagoan istana.”
Thian Liong mengangguk-angguk. “Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek
Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kaulatih di bawah bimbingan seorang guru pandai,
tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan
mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali diduga
perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang.
“Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat
memberi petunjuk kepadaku.”
“Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah
menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu.”
“Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?”
15.1 Murid Kun-lun-pai Pemburu Lelaki
“Sudah kukatakan tadi, aku haruslah mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lianhoan
Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya berdasar aliran Tibet, aku akan mencari ke
barat.”
“Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan melakukan perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sinkiang
terdapat seorang pamanku, Pangeran Kuang yang memimpin pasukan yang berjaga di perbatasan.
Aku akan menemui dia untuk suatu keperluan penting sekali dan mungkin saja dia yang mempunyai banyak
pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu tentang gadis baju merah yang mencuri kitab itu. Kita
dapat melakukan perjalanan bersama.”
Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh. Melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang demikian
cantik jelita, puteri kaisar pula?
''Akan tetapi…..” dia meragu.
“Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang puteri kerajaan bangsa Nuchen
yang memusuhi bangsa Han? Katakan saja terus terang!” kata Nio-cu sambil memandang tajam.
Thian Liong menggeleng kepalanya. “Tidak, Nio-cu. Permusuhan antara kerajaan tidak berarti permusuhan
perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi…… apa akan kata orang kalau aku, seorang pemuda,
melakukan perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis......?” Dia menahan mulutnya tidak
mengatakan cantik jelita.
“Apa salahnya? Yang penting kita bersahabat dan tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada
mulut usil bicara sembarangan, biar kupukul hancur mulut itu!”
Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat mencari alasan untuk menolaknya? Dia tidak berdaya
menghadapi gadis yang berhati keras namun tidak dapat dibantah karena ucapannya memang benar itu.
“Baiklah kalau engkau memang menghendaki demikian. Akan tetapi kuperingatkan, melakukan perjalanan
bersama aku tidak akan menyenangkan karena aku seorang yang miskin dan biasa hidup sederhana,
terkadang harus melewatkan malam di tempat terbuka, di kuil-kuil kosong, di guha-guha, bahkan di bawah
pohon. Mana mungkin engkau dapat melakukan perjalanan seperti itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya mengingatkan Thian Liong kepada Ang Hwa Sian-li. Alangkah
miripnya. Sama-sama begitu bebas kalau tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu seperti gadis Han
pada umumnya. Bebas membuka mulut sehingga tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara,
bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah muda.
“Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat kotor seperti itu!” katanya setelah tawanya reda. “Akan
tetapi akupun tidak perlu harus sengsara seperti itu. Kau tahu, aku membawa cukup banyak emas untuk
membeli segala keperluan kita di dalam perjalanan, dan pedangku ini dapat membuat semua pembesar di
daerah bertekuk lutut dun melayani segala keperluanku. Maka, kalau kita melakukan perjalanan bersama,
perlu apa kita harus bersusah payah seperti yang kaugambarkan tadi? Mari kita berangkat. Tak jauh dari
sini, di depan sana terdapat sebuah dusun dan kita dapat membeli seekor kuda untukmu.”
Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis itu, akan tetapi dia tidak dapat membantah.
Bagaimanapun juga, gadis itu adalah puteri kaisar, tentu saja kaya raya dan memiliki kekuasaan tinggi.
Diapun lalu berjalan cepat di samping kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu.
◄Y►
Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan Sung Selatan dan memasuki daerah Kerajaan Kin utara.
Keduanya berjalan kaki dan melihat langkah mereka yang tegap dan gesit, apalagi melihat pedang yang
tergantung di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka berdua adalah gadis-gadis kang-ouw yang
pandai ilmu silat. Yang seorang berusia duapuluh tahun, bermuka bulat dan cantik, bertubuh tinggi ramping.
Yang kedua lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang berbentuk bulat telur, usianya sekitar
sembilanbelas tahun. Keduanya memiliki wajah cantik dan bentuk tubuhnya yang menggiurkan sehingga di
dalam perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang dengan kagum. Namun jarang ada yang
berani mengganggu mereka, melihat pedang yang tergantung di pungung mereka.
Mereka memang bukan gadis sembarangan, melainkan dua orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu silat,
terutama lihai ilmu pedang mereka. Yang pertama adalah Kim Lan dan yang kedua adalah su-moinya (adik
seperguruannya) Ai Yin.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena dikalahkan oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah yang
diharuskan oleh guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim Lan harus menjadi isteri Thian Liong dan kalau Thian
Liong menolak, Kim Lan harus membunuhnya! Sakit hati karena cintanya ditolak pria, membuat Biauw In
Su-thai mengambil sumpah para murid wanitanya seperti itu. Kemudian ia menyesal ketika ditegur Kui Beng
Thaisu ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di pondok pengasingan. Akan tetapi Kim Lan sudah
terlanjur pergi untuk mencari dan membunuh Thian Liong yang menolak menjadi suaminya. Ai Yin yang
amat mencinta sucinya (kakak seperguruannya) ikut pergi bersama Kim Lan.
Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama hampir dua bulan Kim Lan belum juga dapat
menemukan Thian Liong. Ia lalu mengajak su-moinya untuk pergi mengunjungi bibinya yang tinggal di
dusun Lui-touw di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Ai Yin menurut saja kepada sucinya.
“Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal bibimu itu enak, lebih baik kita tinggal saja di sana
dan tidak usah ke Kun-lun-pai, tidak perlu bersusah payah mencari Souw Thian Liong. Mencari seseorang
yang tidak diketahui ke mana perginya, mana mungkin? Ke mana kita harus mencarinya? Kita hidup di
dusun saja bertani, suci,” kata Ai Yin.
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di pinggir sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat
panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan sejak pagi tadi.
Kim Lan menyusut keringat dari lehernya, memandang wajah su-moinya dengan alis berkerut dan pandang
mata sedih. Lalu ia menghela napas panjang. “Aih, mana bisa begitu, su-moi? Kita berdua sudah yatim
piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik oleh subo Biauw In Su-thai penuh kasih sayang. Subo
menganggap kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti orang tua kita. Bagaimana kita dapat
menjadi murid murtad? Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan seorang gagah
mengingkari sumpahnya sendiri!”
Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari utara.
Setelah dekat ternyata mereka adalah sepasukan perajurit terdiri dari duapuluh empat orang, dipimpin oleh
dua orang perwira. Dari pakaian seragam mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah pasukan
Kerajaan Kin yang menguasai daerah sebelah utara Sungai Yang-ce. Ketika dua orang perwira itu melihat
dua orang gadis yang duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera mengangkat tangan memberi
isyarat agar pasukannya berhenti. Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini menimbulkan debu mengepul
tinggi di siang hari terik itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Menyebalkan!” kata Kim Lan yang pemarah dan ia bangkit berdiri sambil menutupi hidung dan mulutnya
dengan sehelai saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung dan mulut, dan bangkit berdiri pula.
Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah melihat bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya
berdua saja, maka timbul keisengan mereka. Dua orang perwira itu segera saling bicara, kemudian sambil
tertawa keduanya melompat turun dari atas kuda masing-masing dan melangkah dengan gagah
menghampiri Kim Lan dan Ai Yin. Dua losin perajurit itupun berlompatan dari atas kuda mereka, tertawatawa
melihat tingkah kedua orang pimpinan mereka yang mereka anggap lucu. Sudah berbulan-bulan
mereka meronda di perbatasan dan haus akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai hiburan
yang menarik.
Kim Lan berbisik kepada su-moinya. “Su-moi, hati-hati, mereka itu agaknya mencari perkara.”
Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian. Dua orang perwira itu berusia empatpuluh tahun lebih,
yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah halus, sedangkan yang kedua bertubuh lebih pendek
gempal dengan muka penuh brewok. Dengan langah gagah dibuat-buat kedua orang perwira itu
menghampiri dua orang gadis itu. Kini Kim Lan dan Ai Yin sudah melepaskan tangan dari muka mereka
sehingga tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira itu memandang penuh gairah dan
menyeringai lebar.
Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu cengar-cengir memandang kepada dua orang gadis itu
dan yang tinggi besar itu bertanya kepada Kim Lan.
“Nona berdua siapakah dan mengapa berada di sini?”
Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada dasarnya Kim Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia
menjawab dengan sikap galak dan suara ketus. “Kami berada di tempat umum dan tidak ada sangkut
pautnya dengan kalian. Ada urusan apa engkau bertanya-tanya?”
“Ha-ha-ha!” Perwira tinggi besar itu tertawa dan menoleh kepada temannya yang brewokan. “Lihat, betapa
galaknya nona ini! Wah, aku suka yang galak-galak begini, makin liar semakin menyenangkan. Ha-ha-ha!
Biarlah engkau mendapat yang satunya itu, Koan-te (adik Koan)!”
“Ha-ha-ha!” Yang brewokan juga tertawa senang. “Aku lebih suka yang sikapnya halus ini!”
“Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan kami, bersenang-senang daripada kesepian di sini!”
Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi Kim Lan.
Bukan main marahnya Kim Lan. “Wwuutt...... plak!” Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan
tangannya, mengenai pipi si perwira tinggi besar sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Agaknya
perwira itu memiliki tubuh yang kuat maka tamparan itu hanya membuatnya terhuyung.
“Jahanam, engkau bosan hidup!” Kim Lan membentak dan sekali tangannya bergerak, ia sudah mencabut
pedangnya. Ai Yin juga sudah mencabut pedangnya dan kedua orang gadis itu sudah siap memasang
kuda-kuda dengan gagahnya!
Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si tinggi besar yang kena ditampar pipinya. Dia juga
mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, diikuti perwira yang brewok. “Berani kalian melawan kami!
Kalian tentu mata-mata dari pemberontak di Kerajaan Sung Selatan!” kata si perwira tinggi besar.
“Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui, kalian tentu akan ditangkap dan dihukum berat!”
kata pula perwira brewokan dan mereka berdua memberi isyarat kepada para anak buahnya. Dua losin
perajurit itu sudah bergerak maju mengepung dengan senjata tajam di tangan.
“Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang pedang kalian dan menyerah, atau kalian akan mati
dengan tubuh hancur!” bentak pula perwira tinggi besar.
“Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus oleh pedang kami!” bentak Kim Lan dan iapun sudah
menerjang maju dengan gerakan pedangnya, menyerang Perwira tinggi besar.
Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan pedangnya Menyerang perwira brewokan. Gerakan pedang
dua orang gadis murid Kun-lun-pai ini hebat bukan main, cepat dan dahsyat karena mereka mainkan Tianlui-
kiamsut (ilmu Pedang Kilat Guntur). Dua orang perwira itu cepat menggerakkan golok mereka menangkis
sambil berlompatan ke belakang, terkejut menghadapi serangan kilat yang dahsyat itu. Perajurit-perajurit
lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis itu menghadapi pengeroyokan duapuluh empat orang
perajurit yang dipimpin dua orang perwira itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan memainkan pedang mereka menggunakan ilmu pedang andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut,
Kim Lan dan Ai Yin mengamuk bagaikan dua ekor singa betina yang haus darah. Para murid wanita Kunlun-
pai yang langsung di bawah bimbingan Biauw In Su-thai memang sudah terbiasa dengan sifat galak dan
keras guru mereka itu sehingga mereka sendiri rata-rata memiliki sifat yang keras. Berbeda dengan para
murid wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang berwatak lembut, merekapun rata-rata
berwatak lembut.
Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan Biauw In Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin
lebih lembut dibandingkan Kim Lan yang galak. Mereka berdua mengamuk dengan pedang mereka dan
sebentar saja sudah ada empat orang perajurit terjungkal mandi darah dan pedang kedua orang gadis itu
sudah mulai berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang perwira itu kiranya bukan orang-orang lemah.
Mereka berdua merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu oleh banyak perajurit cukup
merepotkan Kim Lan dan Ai Yin yang mulai terdesak karena hujan serangan para pengeroyoknya yang jauh
lebih banyak itu.
Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang perajurit lagi, namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa lelah
sekali. Mereka terpaksa harus saling membelakangi agar tidak dapat diserang dari belakang dan mereka
hanya dapat mempertahankan diri, memutar pedang untuk menghalau semua senjata yang datang
menyerang seperti hujan itu.
Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka kehabisan tenaga. Untuk melarikan diri, mereka tidak
mempunyai kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka dapat melarikan diri, pasukan itu dapat mengejar
mereka dengan naik kuda. Tidak ada jalan lain, mereka harus melawan terus mempertahankan diri sampai
akhir.
Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak menghendaki mereka berdua mati begitu saja. “Kepung
terus, jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!” teriak dua orang perwira itu.
Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu. Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh
segerombolan orang ini, mereka berdua menjadi ngeri. Lebih baik mati daripada tertawan hidup-hidup, pikir
mereka sambil mengamuk terus.
Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Ji-wi Li-hiap
(Dua Nona Pendekar) jangan khawatir, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!”
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu beberapa orang perajurit Kin terpelanting, diterjang seorang
pemuda yang gerakannya amat dahsyat. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam tahun, berkulit putih,
wajahnya bundar dan tampan dengan alis tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya gagah. Tubuhnya
sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi. Dia memegang sebatang pedang dengan ronce merah.
Begitu dia menerjang dengan pedangnya, empat orang perajurit berpelantingan.
Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika pemuda itu dengan gerakan pedangnya yang amat
dahsyat kini menerjang kepada dua orang perwira dan dalam beberapa jurus saja dua orang perwira itu
terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja para perajurit menjadi terkejut dan gentar. Sebaliknya, Kim
Lan dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan sudah merobohkan empat
orang pengeroyok lagi.
Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu melarikan diri, berloncatan ke atas punggung kuda
mereka dan membalapkan kuda meninggalkan tempat yang berbahaya itu, meninggalkan mayat-mayat dua
orang perwira dan kawan-kawan mereka.
Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda yang telah menyelamatkan mereka dari ancaman
bahaya yang bagi mereka lebih mengerikan dari pada maut itu.
Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai Yin.
“Terima kasih atas bantuan tai-hiap (pendekar besar) yang telah menyelamatkan kami berdua dari
pengeroyokan pasukan itu.”
Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu dengan sikap halus dan senyum ramah dia menjawab,
“Harap ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua) tidak bersikap sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk
saling bantu menentang kejahatan. Mari kita bicara di tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk bicara,
pula kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala bantuan yang besar jumlahnya, kita bisa repot.”
Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis
meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan. Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu
memang benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayat-mayat para perajurit
bergelimpangan itu. Mereka berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.
“Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman,” kata pemuda itu. “Perkenalkan, nona berdua, namaku
Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat, permainan pedang kalian tadi adalah
dari Kun-lun-pai. Benarkah?”
“Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar Cia)......”
“Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita murid-murid dua partai persilatan besar yang
segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri.”
“Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!” kata Ai Yin kagum.
“Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim Lan dan ini su-moiku (adik seperguruanku) bernama Ai
Yin, murid-murid Kun-lun-pai.”
“Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian di sini. Akan
tetapi, bagaimana sampai kalian berdua dikeroyok tikus-tikus tadi?” tanya Cia Song, murid Siauw-lim-pai
yang pernah kita kenal.
15.2 Pendekar Muda Yang Simpatik
Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah bertemu dengan Thian Liong ketika Thian Liong berkunjung
ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian Hwesio. Cia Song inilah
yang dulu menangkap kemudian membunuh Hui-houw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai pemerkosa Kwee
Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.
“Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba di sini ketika rombongan pasukan itu muncul dan
mereka hendak ganggu kami, maka kami melawan dan dikeroyok,” kata Ai Yin. Gadis ini diam-diam kagum
kepada Cia Song yang tampan dan gagah, dan yang telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.
“Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini, ada urusan apakah, kalau aku boleh bertanya? Siapa
tahu, aku dapat membantu kalian,” kata Cia Song dengan sikapnya yang lemah lembut dan ramah.
Kim Lan dan Ai Yin saling berpandangan dan mereka setuju untuk berterus terang kepada pemuda yang
menarik hati dan menyenangkan itu. Siapa tahu dia dapat membantu dan menemukan orang yang mereka
cari-cari.
“Cia-twako sesungguhnya aku sedang mencari seseorang dan su-moi ini ikut denganku. Susahnya, aku
tidak tahu ke mana harus mencari seseorang itu,” kata Kim Lan.
“Hemm, siapakah orang yang kaucari itu, Lan-moi? Barangkali saja aku mengenalnya,” tanya Cia Song
sambil lalu karena sesungguhnya dia tidak tertarik kepada orang yang dicari kedua orang gadis cantik ini.
Akan tetapi jawaban Kim Lan sungguh tak disangka-sangka dan amat mengejutkan hatinya. “Cia-twako,
engkau tentu tidak mengenalnya. Dia adalah seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong.”
“Souw Thian Liong......?” tanya Cia Song, tertarik sekali.
“Apakah engkau mengenal dia, Cia-twako?” Tanya Ai Yin.
“Hemm, bukankah yang kalian maksudkan itu, Souw Thian Liong murid dari Tiong Lee Cin-jin?”
“Benar sekali, twako!” seru Kim Lan girang. “Apakah engkau tahu di mana dia?”
Cia Song mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu di mana Thian Liong berada! Di Siauw-lim-si dia sudah
bergaul akrab dengan Thian Liong dan ia mendengar bahwa sebuah di antara kitab-kitab pelajaran ilmu
silat, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang merupakan kitab pusaka Kun-lun-pai, yang seharusnya oleh
Thian Liong dikembalikan kepada Kun-lun-pai, telah dicuri seorang gadis berpakaian merah yang tidak
diketahui siapa nama dan di mana tempat tinggalnya. Dia tahu pula bahwa setelah pergi dari Siauw-lim-si,
Thian Liong tentu akan mencari gadis pencuri kitab itu sampai dapat ditemukan untuk merampas kembali
kitab pusaka Kun-lun-pai.
Diam-diam tanpa diketahui Thian Liong, Cia Song membayangi pemuda itu karena timbul keinginannya
untuk menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai itu! Dia tahu bahwa Thian Liong berada di kota Kiang-cu, tak
dunia-kangouw.blogspot.com
jauh dari tempat itu dan Thian Liong dilihatnya telah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan. Karena
memang niatnya hendak mendahului Thian Liong menemukan gadis yang mencuri kitab pusaka Kun-lunpai,
maka selagi Thian Liong berada di kota itu, dia sengaja keluar kota untuk menyelidiki kalau-kalau gadis
berpakaian merah itu berada di sekitar daerah itu dan kebetulan dia melihat Kim Lan dan Ai Yin yang
dikeroyok perajurit Kin.
“Mungkin aku dapat membantu kalian mendapatkan Souw Thian Liong. Akan tetapi aku juga ingin sekali
mengetahui, mengapa kalian mencari dia?”
“Suci Kim Lan yang mencarinya, twako. Dia adalah calon suami suci!” kata Ai Yin.
Cia Song terkejut dan memandang wajah Kim Lan yang berubah kemerahan. “Ah, jadi engkau telah
bertunangan dengan Souw Thian Liong, Lan-moi? Sungguh tidak kusangka! Kalau begitu, kiong-hi
(selamat)!” Cia Song memberi selamat dengan menjura. “Akan tetapi, kenapa sekarang engkau mencari dia
sampai ke sini? Apakah dia pergi tanpa pamit dan ada urusan yang amat penting? Katakanlah terus terang
karena aku adalah kenalan baiknya dan aku pasti akan dapat menemukan untukmu.”
Dengan muka masih kemerahan, Kim Lan berkata, “Sebetulnya, dia...... memang melarikan diri dan aku
ingin bertemu dengan dia untuk minta keputusannya apakah dia mau menjadi suamiku atau kalau tidak......”
“Hemm, kalau tidak bagaimana?” kejar Cia Song yang menjadi semakin heran.
“Kalau tidak aku...... aku harus membunuhnya!”
Cia Song terbelalak heran. “Bagaimana pula ini?” tanyanya dengan heran. “Apa yang terjadi, Lan-moi?”
“Pendeknya, bagiku hanya ada dua pilihan. Dia mau menjadi suamiku atau kalau dia menolak, aku harus
membunuhnya!” kata pula Kim Lan.
Cia Song mengerutkan alisnya, lalu dia mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? Jadi dia dan engkau......
hemm, dia telah......”
“Tidak, tidak begitu, Cia-twako!” bantah Ai Yin yang tahu apa yang diduga pemuda itu. “Tidak pernah ada
hubungan apapun antara Souw Thian Liong dan suci. Akan tetapi suci harus melakukan itu untuk memenuhi
sumpahnya, sumpah kami.”
“Sumpah? Aku tidak mengerti......” kata Cia Song, semakin heran.
Kim Lan menghela napas panjang lalu berkata, “Begini, Cia-twako. Karena engkau bersikap baik kepada
kami, biarlah kami anggap saudara sendiri dan engkau boleh mengetahui persoalannya. Kami, murid-murid
subo, sudah disumpah oleh subo bahwa kami tidak boleh menikah dengan pria kecuali kalau ada pria yang
mengalahkan kami dalam pertandingan dan kalau pria itu menolak, kami harus membunuhnya. Kebetulan
Souw Thian Liong mengalahkan aku dalam pertandingan, akan tetapi dia menolak untuk menjadi suamiku,
bahkan lalu melarikan diri. Karena itu aku harus mencarinya dan minta kepastian darinya.”
Cia Song mengangguk-angguk, diam-diam dalam hatinya dia tertawa mendengar tentang sumpah yang
aneh itu. “Hemm, begitukah? Apakah semua murid wanita Kun-lun-pai harus bersumpah seperti itu?”
“Tidak, twako,” kata Ai Yin. “Hanya subo Biauw In Su-thai yang mempunyai peraturan seperti itu dan kami
sebagai murid-muridnya harus memenuhi sumpah kami.”
“Hemm, aku pernah mendengar bahwa Souw Thian Liong datang ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan
sebuah kitab pusaka. Benarkah begitu?” tanya Cia Song.
“Ah, engkau tahu juga akan hal itu, Cia-twako?” kata Kim Lan. “Memang benar, akan tetapi menurut
pengakuannya, kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu telah dicuri orang.”
“Hemm, itu menurut pengakuannya, ya? Aku sudah curiga kepadanya, aku sudah menduga bahwa Souw
Thian Liong sebetulnya bukan orang baik-baik. Kitab pusaka Kun-lun-pai itu tentu ingin dia kuasai sendiri
dan dia berbohong mengatakan bahwa kitab itu dicuri orang agar mendapat kesempatan untuk
mempelajarinya sendiri. Dan kalau dia memang seorang gagah, tentu dia menghormati sumpahmu, Lanmoi.
Bukankah mengalahkanmu lalu meninggalkan pergi, membiarkan engkau kebingungan dengan
sumpahmu. Dan sementara ini, apa kalian tahu apa yang sedang ia lakukan? Hemm, aku melihat dia
berhubungan dengan seorang puteri bangsawan Nuchen.”
“Apa? maksudmu, seorang puteri bangsawan kerajaan Kin?” tanya Ai Yin penasaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, aku melihatnya sendiri. Dia sekarang berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari sini dan dia telah menyewa
kamar di sebuah penginapan bersama puteri bangsawan Kerajaan Kin itu.”
“Tak tahu malu!” kata Ai Yin, hatinya ikut panas mendengar betapa pemuda yang telah mengalahkan
sucinya dan menolak menikah dengan Kim Lan itu kini bergaul dengan seorang wanita Kin, bahkan
bersama-sama menginap di sebuah rumah penginapan.
“Cia-twako, tolonglah tunjukkan tempatnya. Aku harus menemuinya untuk memenuhi sumpahku!” kata Kim
Lan dengan muka berubah kemerahan karena hatinya juga mulai merasa panas.
Cia Song memang tidak berbohong. Dia melihat betapa Thian Liong berkenalan dengan Pek Hong Nio-cu.
Biarpun dia sendiri tidak mengenal Pek Hong Nio-cu, akan tetapi dari pakaiannya dan dari keterangan orang
di jalan yang dia tanyai, tahulah dia bahwa Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri bangsawan yang selain
lihai silatnya, juga memiliki kekuasaan besar sehingga ditakuti dua orang pembesar di kota Leng-ciu itu.
Diam-diam dia membayangi dan melihat Thian Liong bergaul akrab dengan Pek Hong Nio-cu. Diam-diam
dia sendiri juga kagum kepada gadis cantik jelita yang lihai itu. Pula, kedatangannya di daerah yang
diduduki Kerajaan Kin juga bukan semata-mata hendak membayangi Thian Liong dan kalau mungkin dapat
menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai yang katanya dicuri seorang gadis baju merah itu. Akan tetapi dia
memiliki tugas pribadi yang teramat penting.
“Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke sana, akan tetapi kalian harus menaati petunjukku karena kalau
tidak, keadaannya malah tidak menguntungkan, bahkan berbahaya sekali untuk kita semua. Ketahuilah,
Souw Thian Liong seperti kalian sudah mengetahui, adalah seorang yang lihai sekali. Biarpun aku kiranya
dapat dan mampu menandinginya, akan tetapi temannya itu, gadis bangsawan Kin itu, ia juga seorang yang
lihai bukan main. Ia berjuluk Pek Hong Nio-cu dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.”
“Kami tidak takut!” kata Kim Lan.
“Biar kami hajar sekalian gadis kerajaan musuh itu!” kata pula Ai Yin.
“Wah, kalian ini agaknya sudah lupa berada di mana!” kata Cia Song sambil tersenyum. “Kita berada di
daerah yang dikuasai Kerajaan Kin, hal ini harus kalian ingat benar. Di mana-mana terdapat pasukan Kin.
Kalau kita bentrok begitu saja melawan puteri bengsawan Kin itu, kemudian ia mendatangkan pasukan yang
besar jumlahnya, celakalah kita!”
Dua orang gadis itu saling pandang dan baru menyadari kesalahan mereka. “Habis, lalu apa yang harus kita
lakukan, twako?” tanya Kim Lan, bingung.
“Nah, karena itu kukatakan tadi bahwa kalian harus menaati petunjukku. Kalian jangan tergesa-gesa turun
tangan. Nanti kita memasuki kota Kiang-cu, kita menyewa kamar rumah penginapan, lalu aku akan
menemui Thian Liong yang sudah kukenal baik. Aku akan membujuk dia agar dia mau menerimamu
sebagai isterinya sehingga engkau tidak akan melanggar sumpahmu, Lan-moi. Kalau dia dapat kubujuk,
maka segalanya menjadi beres. Kalau dia menolak, aku akan mencoba memancingnya keluar kota dan di
tempat sunyi, tanpa ditemani Pek Hong Nio-cu, kita dapat memaksa dan menyerang dia.”
“Kita?” Kim Lan bertanya.
“Ya, aku akan membantumu, Lan-moi. Kalau tidak, bagaimana kalian akan mampu mengalahkannya?”
Diam-diam Kim Lan berterima kasih sekali kepada Cia Song dan Ai Yin menjadi semakin kagum
kepadanya. Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan menuju kota Kiang-cu yang jaraknya hanya
belasan lie (mil) dari situ.
◄Y►
“Souw-sute (adik seperguruan Souw)…..!”
Mendengar seruan itu, Thian Liong yang bersama Pek Hong Nio-cu berjalan keluar dari rumah penginapan
itu terkejut dan menengok.
“Eh, suheng (kakak seperguruan) Cia Song......!” Dia berseru heran sekali ketika mengenal Cia Song. Sejak
dia diberi pelajaran ilmu silat dari kitab Sam-jong Cin-keng oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, Thian
Liong diakui sebagai murid Siauw-lim-pai dan karena itu Cia Song menyebutnya sute (adik seperguruan)
dan dia menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Cia Song.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cia Song melangkah cepat menghampiri Thian Liong yang berdiri di samping Pek Hong Nio-cu. Gadis
inipun memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada pemuda tampan gagah yang menegur Thian
Liong sebagai sutenya.
“Aih, Souw-sute, senang sekali kejutan ini bagiku, bertemu denganmu di tempat ini!” kata Cia Song,
kemudian seolah baru melihat Pek Hong Nio-cu yang berdiri di samping Thian Liong, dia menyambung
ragu, “dan...... maaf, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona yang terhormat ini?”
Melihat di ruangan depan rumah penginapan itu terdapat tamu-tamu yang mulai memperhatikan mereka,
Thian Liong segera berkata, “Suheng, marilah kita bicara di dalam. Marilah Nio-cu.” Ajaknya kepada Pek
Hong Nio-cu. Mereka bertiga lalu memasuki rumah penginapan dan tak lama kemudian mereka bertiga
memasuki kamar Thian Liong dan duduk berhadapan terhalang meja.
“Cia-suheng, lebih dulu perkenalkan. Ini adalah Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang terkenal di
daerah ini. Nio-cu, ini adalah suheng Cia Song, murid suhu Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai.”
Dengan sikap lembut dan hormat Cia Song bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu yang
dibalas oleh Pek Hong Nio-cu dengan sikap anggun dan angkuh. Melihat sikap wanita itu, makin yakinlah
hati Cia Song bahwa Pek Hong Nio-cu tentulah puteri seorang pembesar tinggi kedudukannya.
“Souw-sute, tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini. Engkau...... eh, kalau boleh aku
bertanya, engkau dan nona Pek Hong Nio-cu hendak pergi ke manakah?”
“Saudara Cia Song tidak usah sungkan, sebut saja aku Nio-cu,” kata gadis itu dengan sikap wajar. Kembali
Cia Song mendapat kenyataan betapa dalam ucapannya itu gadis ini memiliki wibawa dan keanggunan
yang amat kuat.
“Ah, terima kasih, Nio-cu,” katanya.
“Cia-suheng, tentu engkau masih ingat bahwa kitab pusaka milik Kun-lun-pai dicuri orang…….”
“Ah, pencuri wanita baju merah yang tidak kaukenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya itu?”
sambung Cia Song.
“Benar, suheng. Aku hanya ingat bahwa gerakan silatnya memiliki dasar ilmu silat Tibet. Karena itu, aku
hendak mencari ke daerah barat dan kebetulan Pek Hong Nio-cu ini juga hendak melakukan perjalanan ke
perbatasan Sin-kiang, maka kami melakukan perjalanan bersama. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke
manakah suheng?”
“Ah, aku...... aku hanya hendak melihat-lihat keadaan di utara ini saja. Akan tetapi tiba-tiba aku
mendapatkan suatu urusan yang teramat penting, yang menyangkut pribadimu. Aku….. hem, agaknya
urusan ini hanya dapat kaudengarkan sendiri saja, sute......”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Pek Hong Nio-cu bangkit berdiri dan berkata kepada Thian Liong, “Thian
Liong, engkau bicarakanlah urusan pribadimu dengan saudara Cia Song. Aku hendak keluar sebentar.
Nanti kita bertemu lagi!”
“Maafkan aku, Nio-cu,” kata Cia Song.
“Ah, tidak mengapa!” kata Pek Hong Nio-cu dan gadis ini segera melangkah keluar dari kamar itu.
Thian Liong mengerutkan alisnya, merasa tidak enak karena dia maklum bagaimana perasaan Pek Hong
Nio-cu mendengar kata-kata Cia Song yang jelas hendak membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi
orang lain itu.
“Cia-suheng, sebetulnya ada apakah maka engkau bicara seperti ada rahasia besar?” tanya Thian Liong.
“Tentu saja Nio-cu menjadi tidak enak dan pergi meninggalkan kita.”
“Maafkan aku, Souw-sute. Akan tetapi aku tidak mengada-ada. Memang ada hal yang harus kuberitahukan
kepadamu seorang diri saja dan amat tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apa lagi oleh seorang
gadis seperti Nio-cu tadi.”
“Akan tetapi ada urusan apakah, suheng? Aku tidak merasa mempunyai urusan pribadi yang harus
disembunyikan dari orang lain!” kata Thian Liong penasaran.
“Hemm, Souw-te, ingatkah engkau akan nama Kim Lan dan Ai Yin?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kim Lan dan Ai Yin?” Thian Liong mengingat-ingat. Tentu saja mudah baginya mengingat dua nama gadis
itu yang membuatnya penasaran setengah mati. Kim Lan dan Ai Yin pernah mengeroyoknya, bahkan
dibantu guru mereka, Biauw In Su-thai, dan hendak memaksanya untuk menikah dengan Kim Lan! Sumpah
aneh dan gila itu!
“Maksudmu...... dua orang murid wanita dari Biauw In Su-thai, tokoh Kun-lun-pai itu?”
“Hemm, ternyata engkau masih ingat dengan baik. Ya, mereka itu mencarimu dan ingin memaksamu
menikah dengan Kim Lan dan kalau engkau tidak mau menjadi suaminya, mereka berdua hendak
membunuhmu!”
“Hemm, sumpah gila itu? Aku sudah tahu, suheng, dan aku tidak perduli. Salah mereka sendiri kenapa
mereka mau membuat sumpah gila itu? Aku tidak ingin menjadi suaminya Kim Lan atau suami siapapun
juga. Biarkan saja mereka mengancam akan membunuhku. Bagaimanapun mereka berada jauh di Kun-lunpai!”
Cia Song tersenyum. “Siapa bilang mereka berada jauh di Kun-lun-pai? Mereka berada dekat sekali, sute.
Mereka berada di sini, di kota ini!”
Thian Liong terkejut. Berita ini benar-benar mengejutkan, tidak pernah disangkanya. “Di sini? Di mana
mereka? Biar kutemui mereka dan akan kujelaskan, kusadarkan mereka bahwa sumpah mereka itu benar
gila dan tidak ada artinya!”
“Sssttt, tenanglah, Souw-sute. Aku telah bertemu secara kebetulan dengan mereka. Mereka dikeroyok
segerombolan penjahat dan aku kebetulan lewat dan membantu mereka. Mereka lalu menceritakan
semuanya tentang urusan Kim Lan denganmu dan Kim Lan sudah mengambil keputusan nekad, yaitu
mengajak engkau menikah dan kalau engkau tidak mau, ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu dan
membunuhmu!”
“Aku tidak takut, Cia-suheng. Engkau bantulah aku menyadarkan mereka dari sumpah gila itu. Kalau
mereka hendak mengeroyokku, aku dapat mengatasi mereka.”
“Hemm, mudah saja kau bicara. Dan apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri?”
Thian Ltong terbelalak, “Membunuh diri……?”
“Nah, ini agaknya yang kau tidak ketahui, Souw-sute. Kim Lan mengatakan kepadaku bahwa kalau engkau
menolak. Ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu. Kalau mereka kalah, mereka akan membunuh diri di
depanmu, karena kalau tidak, mereka juga akan dibunuh oleh guru mereka.”
“Gila betul…..!!”
“Gila atau tidak, apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri? Berarti mereka mati karena
engkau, sute. Sama saja dengan engkau yang membunuh mereka.”
“Wah-wah, cialat (celaka) kalau begitu!” Thian Liong bingung. “Lalu apa yang harus kulakukan, suheng?”
15.3 Pemetik Bunga Murid Siauw-lim-pay
“Apa lagi? Ya harus menjadi suami Kim Lan, itu jalan yang paling aman.”
“Aih, mana bisa begitu, Cia-suheng. Kalau setiap ada gadis mengancam bunuh diri kalau tidak dinikahi, bisa
repot! Tolonglah, suheng, berikan aku nasihat, bagaimana sebaiknya yang harus kulakukan. Apakah tidak
baik kalau kutemui mereka dan kubujuk dan nasihati agar mereka tidak usah memenuhi sumpah mereka
yang gila-gilaan itu?” tanya Thian Liong yang benar-benar merasa bingung sekali.
Cia Song meraba-raba dagunya dan berpikir-pikir. “Kukira itu tidak baik, sute. Engkaulah orang yang
mereka cari. Kalau engkau yang menemui mereka dan menasihati, jelas mereka menganggap engkau
terang-terangan menolak dan hal itu akan membuat mereka menjadi sakit hati dan lebih marah lagi. Soal
membujuk dan menasihati mereka, kurasa aku akan lebih berhasil. Pertama, bukan aku orang yang mereka
kejar, kedua kalinya, bagaimanapun juga mereka berhutang budi padaku.”
“Dan aku? Bagaimana dengan aku? Apa yang harus kulakukan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, tidak ada jalan lain, sute. Sebaiknya engkau cepat pergi meninggalkan kota ini. Jangan sampai
mereka mengetahui bahwa engkau berada di sini. Jangan sampai mereka melihatmu! Lebih cepat engkau
lari lebih baik, lebih jauh dari mereka lebih baik!”
“Begitukah, suheng? Hemm, agaknya memang sebaiknya begitu. Terima kasih, Cia-suheng, engkau telah
menolongku!” kata Thian Liong dengan girang.
“Sudahlah, Souw-sute. Sekarang aku mau cepat menghampiri mereka dan akan kujaga agar mereka jangan
meninggalkan rumah penginapan sehingga tidak akan bertemu denganmu. Akan tetapi, sore ini juga
engkau harus meninggalkan kota ini.”
“Baik, akan kuusahakan, suheng. Terima kasih!”
Cia Song segera meninggalkan rumah penginapan itu dan bergegas dia pergi ke rumah penginapan di
mana dia dan kedua orang murid wanita Kun-lun-pai menyewa dua buah kamar, untuk dia dan untuk
mereka berdua. Rumah penginapan itu berada di sudut kota Kiang-cu, jauh dari rumah penginapan di mana
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bermalam.
Tak lama setelah Cia Song pergi, muncullah Pek Hong Nio-cu. Ternyata gadis itu tidak pergi jauh, hanya
duduk di rumah makan yang berada di depan rumah penginapan itu. Setelah ia melihat Cia Song pergi,
cepat ia menemui Thian Liong.
“Thian Liong, biarpun Cia Song itu suhengmu, akan tetapi terus terang saja aku tidak suka padanya,” kata
Pek Hong Nio-cu sejujurnya.
“Eh, Nio-cu. Kenapa begitu? Dia memang bukan suhengku secara langsung, hanya karena kebetulan Hui
Sian Hwesio melatih sebuah ilmu kepadaku, maka aku lalu dianggap sebagai sutenya. Akan tetapi, dia
orang baik, Nio-cu, bahkan baru saja dia telah menolong aku keluar dari keadaan yang amat menyulitkan
diriku.”
“Hemm, kalau engkau juga hendak merahasiakan urusan besar dan penting pribadimu itu, tidak perlu
kaubicarakan denganku!” kata Pek Hong Nio-cu ketus. “Pendeknya aku tidak suka padanya, mungkin katakatanya
yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu sopan, dan pandang
matanya yang terkadang aneh. Aku tidak percaya orang itu, Thian Liong.”
“Maafkan dia kalau tadi dia merahasiakan urusan itu, Nio-cu. Akan tetapi aku tidak perlu merahasiakannya
kepadamu karena urusan itu aneh dan lucu dan juga terpaksa aku harus mengajak engkau untuk
meninggalkan kota ini sekarang juga.”
“Hemm, kenapa begitu?” Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.
“Nio-cu, mari kita bicara di dalam agar jangan terdengar orang lain.” Thian Liong mengajak dan Pek Hong
Nio-cu tanpa rikuh-rikuh lagi lalu mengikuti Thian Liong masuk kamar pemuda itu dan membiarkan daun
pintu kamar terbuka sehingga mereka akan dapat melihat kalau ada orang mendekati kamar itu. Setelah
mereka duduk, Thian Liong lalu menceritakan tentang sumpah Kim Lan pada subonya dan betapa sekarang
Kim Lan, dibantu su-moinya yang bernama Ai Yin, mencarinya sampai ke kota Kiang-cu itu dan hendak
memaksa dia mengawininya, kalau dia menolak, mereka akan mengeroyok dan membunuhnya!
“Hemm, dan engkau tidak mau menjadi suami Kim Lan itu?” tanya Nio-cu.
“Tentu saja aku tidak mau. Aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diriku dengan
sebuah perjodohan. Kalau aku mau tentu aku tidak akan melarikan diri dari mereka.”
“Dan engkau takut menghadapi pengeroyokan dua orang gadis itu? Apakah mereka lihai sekali?”
“Tidak, aku tidak takut. Kurasa aku dapat mengatasi mereka, Nio-cu,” kata Thian Liong sejujurnya.
“Hemm, kalau begitu mengapa engkau harus cepat-cepat melarikan diri? Kalau mereka menyerangmu,
lawan saja dan hajar perempuan-perempuan tidak tahu malu itu!”
“Ah, engkau tidak tahu, Nio-cu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tadi suheng Cia Song memberi tahu
bahwa Kim Lan sudah mengatakan kepadanya bahwa kalau ia dan su-moinya tidak dapat membunuhku,
mereka akan membunuh diri di depanku.”
“Perempuan-perempuan gila!” desis Pek Hong Nio-cu.
“Mereka itu terpaksa, Nio-cu. Mereka sudah bersumpah kepada guru mereka dan andaikata mereka tidak
membunuh diri, merekapun akan dibunuh guru mereka sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Huh, orang-orang gila! Mengapa engkau perduli amat? Kalau mereka mau bunuh diri, biarkan saja, bukan
urusanmu!”
“Ah, bagaimana aku dapat membiarkan hal itu terjadi, Nio-cu? Kalau mereka membunuh diri karena tidak
dapat mengalahkan aku, berarti mereka mati karena aku. Sama saja dengan aku yang membunuh mereka.”
“Huh, habis apakah selama hidupmu engkau akan terus berlari-larian menjadi buruan mereka? Gila!”
“Tidak, Nio-cu. Suheng Cia Song sudah berjanji bahwa dia akan membujuk mereka untuk tidak melanjutkan
pelaksanaan sumpah mereka itu.”
“Perempuan dari manakah mereka itu? Begitu tidak tahu malu!”
“Mereka bukan perempuan sembarangan, Nio-cu. Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan subo
merekalah yang gila, menyuruh mereka bersumpah seperti itu.”
“Tidak perduli mereka itu murid partai mana, kelakuan mereka itu memalukan! Jadi engkau tetap akan
melarikan diri meninggalkan kota ini sekarang?”
“Benar, Nio-cu. Terpaksa, maafkan aku.”
“Tidak, aku tidak mau pergi sekarang!” kata wanita itu dengan suara tegas.
“Nio-cu, sekali ini harap engkau suka mengalah,” pinta Thian Liong.
“Tidak, aku baru mau berangkat besok pagi-pagi. Kalau engkau takut bertemu mereka, malam ini tinggal
saja di kamar, jangan keluar-keluar. Aku ingin sekali melihat orang-orang macam apa sih murid-murid Kunlun-
pai itu!”
“Aih, Nio-cu, harap jangan membuat gara-gara dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah cukup
membuat aku pusing.”
“Siapa mau cari gara-gara dengan mereka? Aku hanya ingin melihat macam apa mereka itu dan aku hanya
mau pergi besok pagi-pagi. Terserah kalau engkau mau pergi sekarang!” Setelah berkata demikian, dengan
sikap marah Pek Hong Nio-cu meninggalkan kamar itu.
Thian Liong menghela napas dan menutup daun pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas
pembaringan. Pikirannya pusing! Para wanita itu, selalu membikin pusing saja!
Mula-mula gadis baju merah. Lalu Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kemudian Kim Lan dan sekarang diapun
pusing melihat sikap keras Pek Hong Nio-cu! Mengapa mereka semua keras kepala? Terpaksa dia
mengalah kepada Pek Hong Nio-cu. Malam ini dia tidak akan keluar kamar. Dia akan bersembunyi saja di
dalam kamarnya dan besok pagi-pagi berangkat meninggalkan kota Kiang-cu itu bersama Pek Hong Nio-cu.
Puteri itu telah membeli seekor kuda untuknya dan dua ekor kuda mereka berada di kandang rumah
penginapan.
Terpaksa dia juga tidak keluar untuk makan malam. Akan tetapi malam itu daun pintu kamarnya diketuk
pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman untuknya. “Nio-cu yang memerintahkan untuk
mengantar ini kepada sicu (tuan),” kata pelayan itu.
Thian Liong tersenyum dan kejengkelannya terhadap Pek Hong Nio-cu mereda. Puteri itu ternyata
memperhatikan kebutuhan makannya juga. Akan tetapi malam itu dia tidak mau keluar kamar, khawatir
kalau-kalau sampai ketahuan oleh Kim Lan dan Ai Yin.
◄Y►
Kembalinya Cia Song ke rumah penginapan disambut oleh dua orang gadis murid Kun-lun-pai dengan hati
ingin tahu sekali. Apa lagi Kim Lan, ia segera menyongsong kedatangan Cia Song dengan pertanyaan yang
dilakukan dengan hati berdebar tegang.
“Bagaimana, Cia-twako? Apakah engkau berhasil bertemu dia?”
Cia Song tersenyum dan mengangguk. “Beres! Aku sudah bertemu dengan Souw Thian Liong dan setelah
aku membujuk dan berbantahan dengan dia, akhirnya dia menyatakan bersedia bertemu denganmu, Lanmoi.”
“Ah, dia mau menikah dengan suci, twako?” tanya Ai Yin girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia tidak mengatakan begitu, akan tetapi dia bersedia mengadakan pertemuan dengan kalian untuk
membicarakan hal itu baik-baik. Aku yakin akhirnya dia akan mau menerimanya juga.”
“Mana dia sekarang, Cia-twako? Kenapa tidak datang bersamamu?” tanya Kim Lan tidak sabar karena ia
ingin segera mendapat keputusan akan masa depannya.
“Dia tidak dapat datang sekarang seperti kukatakan kepada kalian, dia bersama puteri bangsawan Kin itu.
Akan tetapi dia bilang bahwa malam ini dia pasti datang mengunjungi kalian. Karena itu, kalian siap saja
menerima kunjungannya malam ini. Setelah berkata demikian, Cia Song mengajak dua orang gadis yang
sudah mandi dan berganti pakaian itu untuk makan malam.
“Mari kita makan minum untuk merayakan keberhasilanku membujuk Souw Thian Liong!” katanya dan
mereka memasuki rumah makan.
Pemuda itu memesan bermacam masakan dan arak wangi. Untuk menyenangkan hati Cia Song yang
mereka anggap sudah menolongnya dengan sungguh-sungguh itu, Kim Lan dan Ai Yin memaksa diri ikut
merayakan keberhasilan itu. Bahkan mereka tidak dapat menolak ketika beberapa kali Cia Song mengajak
mereka minum arak sehingga setelah perjamuan makan itu selesai, dua orang gadis itu merasa agak
pening karena pengaruh arak yang cukup keras. Wajah mereka menjadi kemerahan dan keadaan setengah
mabok membuat mereka gembira dan mudah terkekeh senang. Dengan langkah agak tidak tetap kedua
orang gadis itu lalu diajak kembali ke rumah penginapan oleh Cia Song.
“Sekarang kalian tunggu saja dalam kamar. Nanti kalau keadaan sudah agak sepi, tentu dia akan datang
berkunjung. Sebaiknya pintu kamar kalian ditutup saja, jangan dipalang dari dalam sehingga kalau dia
datang, aku mudah memberitahu kalian tanpa harus menggedor daun pintu. Maklum, Souw Thian Liong
menghendaki agar orang lain tidak ada yang tahu akan persoalan dia dan kalian.”
Dua orang gadis itu mengangguk, kemudian mereka memasuki kamar dan menutupkan daun pintu kamar
tanpa memalangnya dari dalam. Pengaruh arak membuat mereka agak pening dan mengantuk. Mereka lalu
merebahkan diri di atas pembaringan tanpa mematikan lilin besar yang bernyala menerangi kamar itu, dan
tanpa membuka sepatu. Karena merasa yakin bahwa Cia Song tidak berbohong dan bahwa pemuda itu
tentu menunggu kedatangan Souw Thian Liong dan akan memberitahu mereka, maka dua orang gadis itu
berbaring dengan santai dan akhirnya tak kuasa menahan kantuk dan tertidur.
Cia Song memang tidak tidur. Dia duduk di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar dua orang
gadis itu.
Dia menelan sebutir obat pulung berwarna merah. Obat ini adalah obat penawar minuman keras sehingga
minuman beberapa cawan arak di rumah makan tadi tidak mempengaruhinya dan dia tetap sadar. Tiba-tiba
pendengarannya yang terlatih dapat menangkap suara lembut yang datangnya dari atas genteng. Dia
terkejut dan menduga-duga. Benar-benarkah Thian Liong datang berkunjung? Kalau benar, gila orang itu.
Bukankah dia sudah memesan agar Thian Liong segera melarikan diri meninggalkan kota Kiang-cu?
Dia tetap waspada dan segera menyelinap keluar lalu melompat ke atas genteng melalui bagian belakang.
Dia akhirnya dapat melihat sesosok bayangan mendekam di atas kamar Kim Lan dan Ai Yin. Jantung Cia
Song berdebar tegang. Benarkah Thian Liong datang berkunjung? Dan kalau benar dia yang datang,
kenapa caranya seperti itu, mengintai dari atas dan membuka genteng seperti kelakuan seorang pencuri?
Dia hendak menegur dengan bentakan, akan tetapi ditahannya karena setelah dapat melihat lebih jelas, dia
mendapatkan bahwa orang itu berpakaian serba putih dan ketika berjongkok, pinggulnya berbentuk bulat
indah dan pinggangnya ramping. Seorang wanita! Ah, dia teringat sekarang. Bayangan itu tentulah Pek
Hong Nio-cu, gadis bangsawan Kin itu! Mau apa dara itu datang seperti pencuri? Karena cuaca memang
gelap, dia tidak melihat betapa Pek Hong Nio-cu melemparkan sesuatu ke dalam kamar dari lubang
genteng yang dibuatnya.
Cia Song bergerak mendekati. Gerakannya itu agaknya terdengar oleh Pek Hong Nio-cu. Gadis ini cepat
menutupkan kembali genteng yang dibukanya dan tubuhnya berkelebat cepat menghilang dari tempat itu.
Cia Song kagum melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dari gadis itu. Akan tetapi dia tidak
melakukan pengejaran. Untuk apa? Dia mempunyai rencananya sendiri dan kemunculan orang tadi bahkan
membantu rencananya. Tak lama kemudian, menjelang te¬ngah malam setelah keadaan menjadi sunyi
sekali dan dia yakin bahwa dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu tertidur dalam penantian mereka, dia
menghampiri kamar itu, mendorong daun pintu terbuka, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) dari jauh
meniup padam lilin di atas meja, menutupkan daun pintu, memalangnya dari dalam, lalu berjingkat
menghampiri pembaringan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim Lan dan Ai Yin terbangun dan terkejut. Mereka hendak meronta, akan tetapi mereka hanya dapat
menggerakkan kaki tangan dengan lemah sekali, tanpa tenaga. Jalan darah mereka telah tertotok secara
lihai sekali sehingga mereka tidak mampu mengerahkan tenaga dan tubuh mereka menjadi lemas! Mereka
hendak berteriak, akan tetapi dengan kaget mendapat kenyataan bahwa leher mereka telah tertotok
sehingga mereka tidak mampu mengeluarkan suara! Keadaan kamar dan sedikit cahaya yang menerobos
melalui celah-celah di atas jendela, yang datangnya dari sinar lampu di luar, hanya membuat keadaan
dalam kamar itu remang-remang, namun terlalu gelap untuk melihat jelas.
Kemudian, dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati kedua orang gadis Kun-lun-pai itu ketika
mereka berdua melihat bayangan seorang laki-laki dalam kamar mereka. Biarpun mereka tidak dapat
melihat jelas wajah dan bentuk tubuh orang itu, namun mereka dapat melihat garis bayangan seorang lakilaki.
Kemudian, bayangan itu mendekati mereka. Mereka hendak melompat dan meronta, namun hanya
mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan lemah saja, tanpa tenaga.
Dan ketika laki-laki itu menyentuh mereka, dunia bagaikan kiamat bagi dua orang gadis itu! Mereka tidak
dapat melawan, tidak dapat menggunakan tenaga. Mereka hanya mampu menangis tanpa dapat
mengeluarkan suara, hanya air mata yang bercucuran dan akhirnya mereka jatuh pingsan. Terlalu ngeri
malapetaka yang menimpa diri mereka sehingga tak tertahankan lagi. Sebelum ketidak-sadaran
menyelimuti mereka, kedua orang gadis itu mendengar suara laki-laki itu berbisik sinis.
“Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?” Suara itu disusul tawa lirih laki-laki itu dan selanjutnya mereka
tidak mendengar apa-apa lagi karena keduanya jatuh pingsan.
Kalau keadaan sudah terbalik, yaitu kalau manusia yang sesungguhnya menjadi majikan dari nafsunafsunya
sendiri yang menjadi hamba atau pelayannya itu malah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya maka
segala macam perbuatan keji dan terkutuk dapat saja dilakukan manusia itu! Manusia terlahir di dunia
memang sudah disertai nafsu-nafsunya sebagai pelayan, sebagai penggerak hidupnya, pendorong
semangat dan memberi kemungkinan manusia menikmati kehidupannya di dunia.
Kita tidak mungkin dapat hidup wajar tanpa disertai nafsu-nafsu kita, alat-alat hidup atau hamba-hamba kita
yang amat penting ini. Akan tetapi, kita sama sekali tidak boleh lengah. Iblis mengetahui bahwa kita tidak
dapat hidup tanpa nafsu, karena itu iblis mempergunakan nafsu-nafsu ini untuk menyeret kita ke dalam
lembah dosa. Dengan umpan kesenangan-kesenangan duniawi, yang serba enak dan nikmat, maka nafsunafsu
manusia berkobar dan dari keadaan sebagai hamba, nafsu berbalik menjadi majikan.
Manusia menjadi hamba, hidupnya sepenuhnya bergantung kepada ulah nafsu sehingga untuk
mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seperti yang dipamerkan dan dibisikkan iblis melalui nafsu akal
pikiran, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja. Rusaklah semua pertimbangan, patahlah semua
ukuran manusiawi, dan manusia tiada ubahnya sebagai binatang yang hanya bergerak dalam hidup sebagai
abdi nafsu-nafsunya sendiri.
Seperti juga nafsu lain, nafsu berahi merupakan nafsu alami yang murni, bahkan suci karena nafsu berahi
selain menjadi puncak pernyataan rasa kasih sayang yang paling dalam, juga menjadi sarana perkembangbiakan
segala mahluk hidup termasuk manusia. Tidak ada yang buruk atau kotor dalam nafsu ini. Akan
tetapi ia akan menjadi buruk, kotor, busuk dan keji apabila ia telah menjadi alat iblis untuk menguasai
manusia. Yang tadinya bersih murni seperti malaikat berubah menjadi kotor dan jahat seperti iblis! Kalau
manusia yang diperhamba nafsu berahi, iblis menang dan si manusia melakukan segala hal yang amat keji
seperti perjinahan, pelacuran, bahkan perkosaan!
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, begitu mereka dapat mempergunakan tenaga, kedua orang gadis
murid Kun-lun-pai itu berloncatan turun dari pembaringan. Air mata mereka sudah terkuras habis sepanjang
malam setelah mereka siuman dari pingsan. Tangis tanpa suara, bercucuran seperti hujan. Setelah dapat
menggunakan tenaga dan dapat bersuara lagi, keduanya sambil terisak cepat membereskan pakaian
mereka, kemudian sambil menahan jerit mereka saling berangkulan. Saling bertangisan dan menangisi
nasib diri sendiri yang terkutuk!
“Jahanam Souw Thian Liong…..!” Ai Yin menangis tersedu-sedu namun menjaga agar supaya tangisnya
jangan sampai terdengar orang.
“Lebih baik aku mati saja......!” Kim Lan tiba-tiba melompat ke dekat meja, mencabut pedangnya yang
terletak di atas meja dan berniat menghabisi nyawanya sendiri.
Akan tetapi Ai Yin melompat dan merangkulnya, memegangi lengan yang memegang pedang. “Tunggu
suci. Kenapa engkau begitu bodoh? Kita harus membalas dendam ini! Kita harus membunuh iblis itu, baru
boleh membunuh diri. Mari kita selidiki!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim Lan teringat dan ia meletakkan pedangnya di atas meja. Wajahnya pucat sekali dan ia mengepal tinju.
“Engkau benar, su-moi. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuh iblis busuk Souw Thian
Liong!”
Ai Yin sudah berdiri dekat jendela. “Lihat, suci. Jendela ini dipaksa terbuka dari luar, kaitannya putus.
Jahanam itu tentu masuk dan keluar dari jendela.” Ia membuka daun jendela sehingga cahaya lampu kini
menyinar ke dalam.
“Lihat, ini ada surat!” kata Kim Lan.
Ai Yin menghampiri. Kini setelah kamar agak terang oleh sinar lampu dari luar jendela, mereka melihat
sehelai kertas bersurat di atas meja, tertancap sebilah pisau runcing. Keduanya lalu membaca kertas itu.
“Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu! Memaksa seorang menjadi suaminya.
Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?”
Demikian bunyi surat itu, tanpa tanda tangan. Kim Lan hendak meremas surat itu, akan tetapi Ai Yin
berkata, “Jangan merusak surat itu, suci. Itu dapat kita jadikan bukti dan kita perlihatkan kepada para suhu
dan subo di Kun-lun-pai!”
16.1 Utusan Khusus Pengkhianat Chin Kui
Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu. “Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia
menge¬tahui sesuatu tentang jahanam itu!” kata Kim Lan.
“Benar juga,” kata Ai Yin. “Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita ten¬tang kedatangan jahanam itu?”
“Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya
Cia-twako!” Dua orang gadis itu setelah mem¬bereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk
daun pintu kamar Cia Song.
Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka
pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut.
“Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apa¬kah......?” tanyanya dengan kaget.
“Cia-twako, apakah engkau melihat dia?” tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti
juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis.
“Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang jan¬ji. Dia tidak jadi datang,
bukan? Sema¬lam aku sempat melihat dia.”
“Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?” tanya Ai Yin.
“Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas
genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi
menghilang dalam ge¬lap. Dia tidak jadi berkunjung kepada ka¬lian, bukan?”
Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah
Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka
tidak berdaya lalu melakukan ke¬kejian terkutuk terhadap mereka.
“Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat dan....... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah
yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?”
Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menang¬is lagi, Cia Song berkata,
“Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam.” Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain
melihat keadaan mereka itu¬pun tidak membantah dan memasuki ka¬mar Cia Song. Mereka duduk di
sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya.
“Sebetulnya, apakah yang telah terja¬di? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada apakah?”
Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka me¬nangis sesenggukan dan
menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepa¬da Cia
Song tanpa berkata-kata.
Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini ke¬pada kalian?” kata Cia Song
dengan nada suara marah sekali.
“Bukan hanya itu, twako,” Ai Yin berkata sambil menangis. “Lebih celaka lagi......”
“Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?” tanya Cia Song.
“Dia...... dia memasuki kamar kami da¬ri jendela….. dan....... dan dia telah memperkosa kami.......”
Cia Song melompat bangun. “Apa?? Dan kalian tidak melawan?”
“Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu melawan,
tidak mam¬pu berteriak……” kata Kim Lan.
“Dan surat ini?” tanya Cia Song.
“Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini,” kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing
yang disim¬pannya. Cia Song mengamati pisau itu.
“Hemm, kalian melihat dia?”
“Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya.” kata Ai Yin.
“Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?” desak Cia Song.
“Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri,” kata Kim Lan gemas.
“Mengaku? Bagaimana dia mengaku?” kejar Cia Song.
“Dia berbisik ‘Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?’ begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam
terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!” kata pu¬la Kim Lan penuh dendam.
“Keparat busuk! Betapa keji dan ja¬hatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang
akan kalian lakukan sekarang?” tanya Cia Song.
“Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya
urusan priba¬di, melainkan sudah menghina pula Kun--lun-pai!” kata Ai Yin.
“Benar sekali itu! Aku juga akan me¬laporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw-lim-pai.
Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan nama
baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lan-moi
dan Yin-moi!” kata Cia Song penuh semangat.
“Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua
orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus mem¬bayar kejahatannya!” kata Kim Lan.
“Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan
Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melapor¬kan kepada
para guru kalian,” kata Cia Song.
Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, me¬reka saling berpisah. Kim Lan
dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-¬pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan gairah
hldup mereka ha¬nya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong.
◄Y►
Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua sete¬lah kota raja Peking di
sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung
barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum,
mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepa¬da mereka. Dua orang
perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung be¬sar itu.
Seorang perajurit lain menyam¬butnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song,
perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song mema¬suki sebuah ruangan tamu di sebelah ka¬nan depan
gedung itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam.
Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia meman¬dang kagum kepada hiasan
dinding beru¬pa lukisan-lukisan dan tulisan ber¬sajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu
sebelah dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi
dunia-kangouw.blogspot.com
hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua ta¬ngan di depan dada kepada seorang
di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa Kin.
“Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga
mengganggu waktu pa¬duka yang amat berharga, Pangeran.”
Laki-laki berpakaian bangsawan ting¬gi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaian¬nya mewah, usianya sekitar
limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya
yang khas. Jenggotnya pan¬jang dan kumisnya dicukur pendek. Jari-¬jari tangannya berkuku panjang
terpeliha¬ra. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi
karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan
juga Penasihat kaisar.
Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini
beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tu¬gastugasnya.
Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima perang,
usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat.
“Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), se¬lamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk,
sicu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja
besar.
“Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu.
Dan Kiat¬-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana Menteri
Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan.” Pangeran itu memperke¬nalkan.
Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu. “Terimalah hormat
saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!”
Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang de¬mikian ramah. “Ha-ha, terima
kasih, Cia-¬sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!”
Cia Song duduk kembali. Seorang pe¬layan masuk membawa minuman sehing¬ga percakapan mereka
terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song.
“Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang bar¬kunjung secara tiba-tiba begini,
tentu engkau membawa berita penting sekali.”
Cia Song yang menjadi murid yang di¬sayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw¬-lim-pai, yang dikenal
sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata me¬miliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak,
umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang su¬ka membela kebenaran dan
keadilan, se¬bagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak
diketahui, bahkan tidak per¬nah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru
kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam.
De¬ngan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song menjadi
semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmu-ilmu
asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu silat
Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri
se¬hingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing. Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali
Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong.
Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar
kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah
mengesampingkan pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah
dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan per¬buatan-perbuatan yang sesat.
Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenal¬kan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang bersekutu
dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan Kin, bah¬kan
tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan penjajah itu!
Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi utusan
rahasia. Tidak ada yang tahu ke¬cuali para sekutunya bahwa Cia Song te¬lah menjadi antek perdana
menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu!
Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-ang¬guk. Kini terjadi perubahan
besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Ka¬rena Kaisar
dunia-kangouw.blogspot.com
Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul
kerenggang¬an. Dalam keadaan seperti itu, terjalin¬lah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui
dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar
Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di
kota raja Pe¬king, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Ki¬at Kon.
Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena
inilah ma¬ka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan keduduk¬an Panglima
tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong
mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia
Song yang le¬bih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong.
“Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pange¬ran. Saat ini banyak para
pendekar mu¬lai memperlihatkan sikap menentang Per¬dana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini
sesungguhnya disebabkan ke¬keliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan
pembu¬nuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Aki¬batnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang
menghormati dan ka¬gum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui.
Hal ini bukan saja menyurutkan pe¬ngaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap
Perdana Men¬teri.”
Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau. “Ah, mudah saja itu!
Kenapa pu¬sing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh
saja para jagoannya itu ber¬tindak dan membunuhi mereka yang me¬nentangnya. Habis perkara!”
“Hemm, tidak begitu mudah, ciang¬kun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai,” kata
Cia Song.
“Ah, memang repot menghadapi ahli¬-ahli silat petualang itu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Kami sendiri di
sini pu¬sing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar-benar
merupakan batu sandung¬an bagi kami. Kalau ia berada dekat de¬ngan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan
su¬karlah untuk mengganggu Sribaginda.”
Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi?
“Siapakah puteri itu, Pangeran? Ham¬ba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin
amat lihai ilmu silatnya.”
“Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada arti¬nya dan tidak terkenal bagimu.
Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mung¬kin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri
Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mende¬ngar nama itu?”
“Ohhh……!” Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang pernah
dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! “Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri
Sribaginda Kerajaan Kin?”
“Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah
menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini
tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat
yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan
beberapa kali ia memperli¬hatkan sikap tidak suka dan menentang¬ku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan,
kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama.”
“Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya.
Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka se¬dang menuju ke
barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu.”
“Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sinkiang
di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas barat.
Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran Kuang
dan ini berbahaya. Pangeran Ku¬ang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu,
maukah eng¬kau membantu kami?”
“Tentu saja, Pangeran. Bukankah sela¬ma ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, kami menghargai semua bantuan¬mu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa,
penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan
melancarkan jalannya semua rencana kami?”
Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi dan
baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia
belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu
melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu
melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika
melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali.
“Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?” Pangeran Hiu Kit Bong mendesak.
Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab, “Tugas itu berat sekali, pangeran.”
“Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?” tanya pangeran
itu.
“Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut
kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang
pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya
dan tahu betapa tangguhnya dia.”
“Hemm, siapakah pemuda itu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.
16.2 Pengkhianat Kerajaan Kin
“Namanya Souw Thian Liong, Pangeran. Dia adalah murid Tiong Lee Cin jin.”
“Cia-sicu jangan takut. Kami tidak ingin engkau turun tangan seorang diri. Kami selalu ingin keyakinan
bahwa kami pasti berhasil sebelum melakukan sesuatu. Kami akan mempersiapkan sebuah pasukan
khusus, pasukan istimewa terdiri dari dua losin orang yang dipimpin oleh lima orang jagoan kami yang lihai
dan boleh diandalkan kemampuannya. Mereka bukan saja pandai ilmu silat dan amat tangguh, akan tetapi
juga merupakan ahli-ahli mengatur siasat pertempuran. Dengan bantuan mereka, engkau tidak perlu ragu
dan khawatir. Pasti rencana kita berjalan dengan baik dan lancar.”
Cia Song sudah tahu benar betapa tinggi ilmu kepandaian Thian Liong. Bahkan pemuda itu masih
menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng dari Hui Sian Hwesio, hal yang membuat dia merasa
iri hati sekali. Dan walaupun dia belum mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu, dia
dapat menduga bahwa gadis itu pasti bukan lawan yang mudah dikalahkan. Karena itu, untuk memperoleh
keyakinan, dia harus menguji dulu sampai di mana kelihaian lima orang jagoan yang hendak diperbantukan
padanya itu. Sedikitnya lima orang pembantu itu harus mampu menandinginya, barulah bantuan mereka
dan dua losin perajurit pilihan akan ada artinya.
“Maaf, pangeran. Akan tetapi siapakah lima orang jagoan yang akan diperbantukan kepada hamba itu?
Hamba tetap merasa ragu sebelum menguji sampai di mana kemampuan mereka.”
Pangeran Hiu Kit Bong tidak marah, malah tersenyum. Kehati-hatian Cia Song itu menyenangkan dia
karena ini berarti bahwa pemuda itu seorang yang teliti dan boleh diandalkan akan berhasil dalam
melaksanakan tugasnya.
“Mereka adalah bekas pengawal-pengawal pribadi Sribaginda sendiri. Karena melakukan pelanggaran
kesusilaan di istana, mereka diusir dari istana. Kami menampung mereka dan mereka memang mempunyai
perasaan dendam kepada Sribaginda, maka dapat merupakan pembantu-pembantu yang setia. Mereka
adalah jagoan-jagoan yang telah menguasai banyak ilmu, bukan saja ilmu silat aliran utara, akan tetapi juga
menguasai ilmu gulat dari Mongolia dan ilmu silat dari Jepang. Dan mudah saja untuk menguji mereka
karena dapat segera dipanggil ke sini.” Setelah berkata demikian, Pangeran Hiu Kit Bong mengutus
seorang perajurit untuk memanggil lima orang jagoannya itu. Sambil menanti datangnya lima orang jagoan
itu, mereka bertiga bercakap-cakap dan mengatur siasat selanjutnya, bukan hanya untuk membunuh Pek
Hong Nio-cu, melainkan juga untuk gerakan pemberontakan dan menggulingkan kedudukan Kaisar Kin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cia Song yang teringat akan kecantikan Pek Hong Nio-cu yang membuat dia tergila-gila dan bangkit
gairahnya, mengajukan usul kepada Pangeran Hiu Kit Bong. “Pangeran, menurut pendapat hamba, akan
lebih baik apabila Puteri Moguhai itu tidak dibunuh, melainkan ditawan saja.”
“Eh? Kenapa begitu? Ia akan menjadi batu sandungan bagiku, mengganggu kelancaran rencanaku. Tidak,
ia harus dibunuh, Cia-sicu. Untuk membunuh puteri itulah kami minta bantuanmu!”
“Harap paduka pertimbangkan dulu usul hamba. Kalau puteri itu dibunuh paduka hanya mendapatkan satu
keuntungan yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kalau ia ditawan, berarti paduka memperoleh dua
keuntungan, seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, satu kali bergerak mendapatkan dua yang
amat baik.”
“Hemm, apa maksudmu, sicu?”
“Begini, Pangeran. Hamba akan menawan Puteri Moguhai itu dan dengan tawanan yang amat penting itu,
paduka dapat menjadikan ia sebagai sandera dan paduka dapat mengancam agar Sribaginda suka
menyerahkan tahta kepada paduka untuk ditukar dengan nyawa puteri Sribaginda. Dengan demikian,
paduka akan dapat mengambil alih singasana tanpa banyak kesukaran lagi.”
Mendengar usul ini, Pangeran Hiu Kit Bong tertegun dan saling pandang dengan Panglima Kiat Kon yang
menjadi sekutu utamanya dalam ambisinya merebut kekuasaan kerajaan Kin. Keduanya saling pandang
lalu mengangguk-angguk.
“Siasat itu sungguh hebat dan baik sekali, Pangeran!” kata Panglima Kiat Kon.
Pangeran Hiu Kit Bong juga mengangguk-angguk dan tersenyum kepada Cia Song. “Bagus, Cia-sicu,
gagasanmu itu cemerlang sekali! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Ha-ha-ha, tidak percuma Perdana
Menteri Chin Kui mengangkatmu menjadi penghubung antara kami! Baik, siasatmu itu baik dan harus
dilaksanakan begitu. Puteri Moguhai, keponakan tiriku itu, si cantik yang liar itu, jangan dibunuh, melainkan
ditangkap dan dijadikan sandera! Bagus sekali!”
“Akan tetapi, Pangeran. Biarpun gagasan itu bagus dan sudah sepatutnya dilaksanakan, akan tetapi tetap
saja kita harus menyusun kekuatan pasukan yang besar. Siapa tahu Sribaginda akan nekat dan tidak mau
menyerahkan mahkota sehingga kita terpaksa harus menggunakan kekerasan, menyerbu istana dan untuk
itu kita memerlukan pasukan yang amat kuat,” kata Panglima Kiat Kon.
Pangeran Hiu Kit Bong mengangguk-angguk setuju. Mereka lalu bercakap cakap dan berunding, mencari
siasat-siasat terbaik. Ada dua tujuan terpenting yang hendak dicapai oleh persekutuan antara Pangeran Hiu
Kit Bong dan Perdana Menteri Chin Kui. Pertama, mahkota kerajaan Kin harus terjatuh ke tangan Pangeran
Hiu Kit Bong dan kedua, kedudukan Perdana Menteri Chin Kui harus diperkuat dengan disingkirkannya
mereka yang menentang kekuasaannya sehingga dia dapat makin kuat mencengkeram Kaisar Sung dalam
kekuasaannya. Dengan demikian, maka Kerajaan Kin akan dapat tetap bersahabat dengan Kerajaan Sung
Selatan.
Percakapan mereka terhenti ketika muncul lima orang memasuki ruangan itu. Mereka segera memberi
hormat kepada Pangeran Hiu Kit Bong dengan membungkuk dalam-dalam.
Pangeran Hiu Kit Bong tersenyum gembira menyambut mereka. “Ah, kalian telah datang? Duduklah!” Dia
mempersilakan mereka duduk dan lima orang itu lalu duduk di atas kursi-kursi yang sudah tersedia di depan
pangeran itu. Cia Song memandang mereka dengan penuh perhatian.
Pangeran Hiu Kit Bong lalu memperkenalkan Cia Song kepada mereka. “Nah, kalian berlima kenalkanlah.
Ini adalah pendekar besar Cia Song yang menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dari
Kerajaan Sung!”
Lima orang itu agaknya sudah pernah mendengar nama Cia Song, maka mereka lalu bangkit dan memberi
hormat kepada Cia Song, juga dengan membungkuk dalam-dalam. Cia Song membalas dengan merangkap
kedua tangan depan dada. Dia pernah melihat cara penghormatan membungkuk seperti itu, yakni
kebiasaan orang-orang Jepang. Agaknya lima orang ini pernah berguru kepada orang Jepang, pikirnya dan
perkiraan ini agaknya tidak salah karena diapun melihat betapa di pinggang mereka berlima itu tergantung
sebatang pedang samurai, yaitu pedang bangsa Jepang yang bentuknya agak melengkung, gagangnya
agak panjang sehingga dapat dipegang kedua tangan dan hanya bermata sebelah seperti golok.
Pangeran Hiu Kit Bong memperkenalkan lima orang jagoannya kepada Cia Song. Cia Song memperhatikan
mereka. Orang pertama bernama Con Gu, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya
panjang dan berwarna kuning sekali. Orang kedua bernama Koi Cu, usianya empatpuluh tiga tahun,
bertubuh pendek gendut dan kepalanya botak. Orang ketiga bernama Jiu Hon, berusia empatpuluh tahun,
dunia-kangouw.blogspot.com
bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menyeramkan. Orang keempat bernama Kian Su,
usianya tigapuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya bersih tampan. Adapun orang kelima
bernama Hayasi, berusia tigapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan kaki tangan pendek akan tetapi kokoh
berotot.
Mereka berlima itu memiliki mata yang tampak cerdik, bersinar tajam dan dari sikap mereka mudah diduga
bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berlima memiliki sebatang pedang samurai. Koi
Cu dan Hayasi yang bertubuh pendek membawa pedang samurai mereka di punggung, akan tetapi tiga
orang yang lain menggantung pedang samurai mereka di pinggang.
“Paduka memanggil kami menghadap, ada tugas apakah yang harus kami laksanakan, Pangeran?” tanya
Con Gu, orang tertua yang agaknya juga menjadi juru bicara mereka berlima.
“Ada tugas penting sekali untuk kalian berlima. Tugas itu sebetulnya sudah kami serahkan kepada Cia-sicu,
akan tetapi karena tugas itu berbahaya dan akan menghadapi lawan yang amat kuat, maka kami
membutuhkan bantuanmu yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan untuk membantu tugas Cia-sicu,”
kata Pangeran Hiu Kit Bong.
“Bolehkah kami mengetahui, tugas apa yang harus kami lakukan, Pangeran?” tanya Con Gu.
“Kalian berlima dan pasukan yang kalian pimpin harus membantu Cia-sicu untuk menangkap seseorang.”
“Menangkap seorang saja mengapa harus memakai begitu banyak orang?” Hayasi bertanya dan logat
bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang berbangsa Jepang.
“Yang harus ditangkap adalah Puteri Moguhai yang di luar istana terkenal sebagai Pek Hong Nio-cu!” kata
Pangeran Hiu Kit Bong.
Lima orang itu terkejut sekali. “Oh......! Sang Puteri Moguhai.......?” kata Con Gu, lalu dia menganggukangguk.
“Pangeran, kami tahu bahwa Puteri Moguhai memang memiliki kepandaian tinggi dan lihai sekali.
Memang harus hamba akui kalau kami berlima maju satu-satu, agaknya masih akan sukarlah
menangkapnya. Akan tetapi kalau kami berlima maju, agaknya sudah pasti kami dapat menangkapnya.
Mengapa harus menyusahkan Cia-sicu dan bahkan ditambah dua losin perajurit lagi?”
“Wah, tidak semudah itu, Con Gu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Ketahuilah bahwa selain Puteri Moguhai
sendiri seorang yang tangguh, ia ditemani oleh seorang pemuda yang namanya....... eh, siapa tadi
namanya, Cia-sicu?”
“Namanya Souw Thian Liong, Pangeran.”
“Ya, temannya itu bernama Souw Thian Liong dan menurut keterangan Cia-sicu, pemuda itu lihai sekali
karena dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin.”
Lima orang jagoan itu saling pandang dan dari sinar mata mereka Cia Song tahu bahwa mereka terkejut
dan gentar mendengar nama Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai seorang manusia setengah dewa itu!
“Kami akan membantu Cia-sicu sekuat tenaga kami!” kata Con Gu.
“Karena menghadapi pekerjaan penting, Cia-sicu masih ragu apakah bantuan kalian berlima berikut dua
losin perajurit pilihan sudah cukup. Oleh karena itu, untuk menyakinkan hatinya, dia minta agar
diperbolehkan menguji ketangguhan kalian berlima.”
Mendengar ucapan pangeran itu, kelima orang jagoan mernandang kepada Cia Song dengan sinar mata
tajam.
“Bagaimana, sobat-sobat? Apakah kalian tidak keberatan kalau aku hendak menguji ilmu silat kalian?” tanya
Cia Song.
Lima orang itu menggeleng kepala dan Con Gu berkata sambil tersenyum.
“Tentu saja tidak, Cia-sicu. Kami siap untuk diuji sewaktu-waktu.”
Pangeran Hiu Kit Bong tertawa. “Ha-ha, bagus. Waktunya sekarang saja dan ruangan ini kiranya cukup luas
untuk dipakai sebagai tempat ujian bertanding. Bagaimana pendapatmu, Cia-sicu?”
Cia Song bangkit berdiri. “Memang cukup luas, Pangeran. Marilah, sobat-sobat, kita mulai saja.” Dia lalu
melangkah ke tengah ruangan yang luas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Con Gu juga bangkit dan setelah membungkuk di depan sang pangeran, diapun melangkah lebar
menghampiri Cia Song, setelah berhadapan lalu berkata, “Cia-sicu, kami telah siap. Biarlah saya yang maju
pertama untuk menerima ujian.”
“Bukan satu-satu, maksudku kalian berlima maju berbareng. Aku ingin melihat apakah kalau kalian maju
berbareng cukup kuat untuk melawan musuh yang tangguh.”
“Kami berlima maju berbareng? Mengeroyokmu, sicu? Ah, jangan bergurau!” kata Con Gu sambil tertawa
dan empat orang rekannya juga tertawa lirih karena mereka berada di depan Pangeran.
“Aku sama sekali tidak bergurau. Ketahuilah bahwa lawan-lawan yang akan kita hadapi sungguh tangguh
dan lihai sekali, maka aku harus yakin bahwa kalian cukup kuat untuk menandingi seorang di antara
mereka. Nah, marilah, kalian berlima maju berbareng dan jangan sungkan mengeroyok aku, keluarkan
semua kemampuan kalian agar aku dapat merasa yakin sehingga tugas kita akan dapat terlaksana dengan
hasil baik.”
“Hayolah, kalian berlima jangan ragu. Turuti perintah Cia-sicu. Dalam tugas dia adalah pemimpin kalian!”
kata Pangeran Hiu Kit Bong.
Mendengar perintah pangeran, tentu saja lima orang itu tidak berani membantah lagi dan empat orang
jagoan yang lain segera bangkit berdiri dan menghampiri Cia Song. Mereka berlima berdiri berjajar
menghadapi Cia Song dengan sikap masih ragu-ragu. Mereka adalah jagoan-jagoan pilihan, bahkan pernah
menjadi pengawal pribadi Raja Kin yang jarang menemui tanding. Bagaimana sekarang mereka berlima
disuruh mengeroyok seorang lawan saja? Bagi mereka, hal ini memalukan sekali. Andaikata mereka
menang sekalipun, tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi karena pangeran yang memerintah dan Cia Song
juga hanya bermaksud untuk menguji, maka mereka berlima siap.
Melihat mereka berdiri berjajar, bukan mengepung seperti lima orang yang hendak mengeroyok, Cia Song
maklum bahwa mereka masih merasa sungkan. Dan dia maklum akan perasaan mereka. Mereka adalah
jagoan-jagoan istana Kin dan usia mereka juga lebih tua daripada dia, maka tentu saja mereka sungkan
untuk melakukan pengeroyokan.
“Sekarang begini saja,” katanya, “agar kalian tidak merasa sungkan, biarlah kalau sampai robek sedikit
pakaianku terkena ujung pedang kalian, kuanggap kalian sudah lulus ujian dan dapat mengalahkan aku.
Nah, sekarang aku hendak bertanya dan kuharap kalian menjawab sejujurnya. Aku ingin agar kalian
mengeluarkan ilmu kalian yang paling ampuh. Kalau kalian maju berlima, kalian hendak mempergunakan
ilmu pedang apakah yang kalian anggap paling ampuh?”
“Sesungguhnya, Cia-sicu. Kami berlima malu untuk maju berbareng dan mengeroyokmu. Akan tetapi
karena Pangeran telah memerintahkan dan sicu hanya ingin menguji, maka apa boleh buat, kami akan
menaati perintah. Kami masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi kalau kami maju
bersama, kami telah menciptakan permainan pedang gabungan yang kami namakan Ngo heng Kiam-tin
(Barisan Pedang Lima Unsur). Dengan memainkan Ngo-heng Kiam tin, kami berlima belum pernah
terkalahkan.”
“Bagus! Aku menghendaki agar kalian berlima mengeroyok aku dengan Ngo heng Kiam-tin itu dan jangan
sungkan. Serang aku sekuat kalian dan kalahkan aku secepat mungkin. Aku percaya bahwa ahli-ahli
pedang seperti kalian tentu tidak akan salah tangan, tidak akan melukai tubuhku, cukup dengan merobek
pakaianku saja.” Cia Song bicara sambil tersenyum ramah, sama sekali tidak terkandung nada atau sikap
mengejek.
“Baiklah, Cia-sicu. Maafkan kami.” Con Gu memandang kepada empat orang rekannya dan mereka berlima
lalu menggerakkan tangan kanan. Tampak kilatan lima sinar ketika mereka telah mencabut pedang samurai
mereka masing masing. Lima batang pedang panjang yang agak melengkung itu berkilauan dan ini
menunjukkan bahwa pedang-pedang itu amat tajam. Ketika dicabut dengan amat cepatnya, terdengar suara
berdesing yang menandakan bahwa lima orang itu memiliki tenaga yang kuat. Setelah mencabut pedang
samurai masing-masing, lima orang itu lalu mulai melangkah dengan geseran-geseran kaki dan mereka
telah mengepung Cia Song dari lima penjuru.
“Bersiaplah, Cia-sicu!” kata Con Gu yang memberi kesempatan kepada Cia Song untuk mengeluarkan
senjatanya.
Dari gerakan mereka saja Cia Song maklum bahwa akan sukar menandingi mereka berlima kalau dia
bertangan kosong. Maka diapun segera mencabut pedang yang berada di punggungnya, sebatang pedang
beronce merah. Dia mencabutnya dengan perlahan lalu melintangkan pedangnya di depan dada. Biarpun
dia tidak memasang kuda-kuda secara khusus, namun Cia Song bersikap hati-hati dan waspada karena dia
dunia-kangouw.blogspot.com
maklum bahwa lima orang lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus menjaga agar dia jangan sampai
kalah atau kalau dikalahkan juga dia harus dapat melakukan perlawanan yang cukup kuat dan seimbang.
Setelah melihat Cia Song mencabut pedang, Con Gu mewakili rekan-rekannya bertanya, “Cia-sicu, apakah
kami sudah boleh mulai menyerang?”
“Boleh, silakan, aku sudah siap!” kata Cia Song.
“Sambut serangan Unsur Swee (Air)!” bentak Con Gu dan dia menyerang dari depan Cia Song. Pedang
samurainya menyambar dan gerakannya bergelombang seperti ombak sehingga cocok sekali kalau Con Gu
memperkenalkan dirinya sebagai pemain Unsur Air dalam Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur)
itu. Cia Song sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia hendak
mengukur tenaga Con Gu melalui serangan pedang samurainya itu.
“Tranggg!!” Pedang samurai itu tergetar dan Con Gu melangkah ke belakang lima kali. Cia Song juga
merasakan pedangnya tergetar dan tahulah dia bahwa tenaga Con Gu cukup kuat walaupun masih jauh
kalau dibandingkan dengan sin kang (tenaga sakti) yang dikuasainya.
“Cia-sicu, sambut serangan Unsur Hwe (Api)!” teriak Koi Cu yang berkepala botak dan bertubuh pendek
gendut dari sebelah kanan Cia Song. Pedang Samurai yang terlalu panjang bagi tubuh yang pendek itu
menyambar lurus, dari bawah ke atas seperti berkobarnya api dan gerakannya dahsyat sekali. Cia Song
sudah mengukur kekuatan Con Gu dan dia menduga bahwa tentu tenaga orang pertama itu yang paling
kuat di antara mereka berlima. Maka dia menghadapi serangan Unsur Api ini dengan mengandalkan
kecepatan gerakan tubuhnya. Dia mengelak sehingga pedang Koi Cu menyambar di samping tubuhnya.
“Sambut serangan Unsur Bhok (Kayu)!” teriak Jiu Hon yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh
brewok. Orang ketiga ini menyerang dari belakang, maka Cia Song memutar tubuhnya, menggeser kakinya
dan melihat pedang samurai Jiu Hon menusuk ke arah lambungnya. Cia Song memiringkan tubuhnya dan
menggunakan pedangnya untuk menangkis dari samping sehingga serangan Jiu Hon gagal, pedang
samurainya terpental.
“Awas serangan Unsur Kim (Emas, logam)!” bentak Kian Su, orang keempat yang berwajah tampan.
Pedangnya meluncur dan menyerang dari sebelah kiri tubuh Cia Song. Kembali Cia Song mengelak dengan
mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi tingkatnya.
“Sambut serangan Unsur Tho (Tanah)!” bentak Hayasi. Orang yang paling pendek ini menyerang dan
pedangnya berputar menyerang ke arah kedua kaki Cia Song. Serangannya tidak kalah dahsyat
dibandingkan empat orang rekannya. Cia Song dengan tenang namun cepat meloncat untuk
menghindarkan serangan itu.
Setelah lima orang itu masing-masing mengeluarkan jurus serangannya secara bergiliran dan semua
serangan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Cia Song mereka berlima maklum bahwa Cia Song
benar-benar lihai, maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk mengeroyok. Con Gu memberi isyarat kepada
empat orang rekannya dan mulailah mereka berlima menyerang dari lima penjuru dengan berbareng!
Serangan mereka datang bergelombang dan bertubi-tubi, dan hebatnya serangan mereka itu saling
menunjang, saling melengkapi sesuai dengan watak ngo-heng (lima unsur) sehingga serangan beruntun
yang saling menunjang dan saling melengkapi akan tetapi yang sifatnya juga saling berlawanan itu menjadi
membingungkan, aneh dan dahsyat sekali!
Diam-diam Cia Song terkejut. Dia tahu bahwa kalau mereka itu maju satu demi satu, tidak begitu sukar
baginya untuk mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan maju bersama membentuk Barisan Pedang Lima
Unsur, mereka sungguh merupakan lawan yang tangguh dan amat berbahaya. Untuk dapat melakukan
perlawanan yang kuat, Cia Song segera memainkan ilmu silat gabungan, yaitu pada dasarnya merupakan
ilmu silat pedang aliran Siauw-lim-pai, akan tetapi dia memasukkan unsur ilmu yang dipelajarinya dari Ali
Ahmed, datuk suku bangsa Hui itu. Ilmu pedang menjadi aneh namun kuat sekali. Tubuh Cia Song lenyap
dibungkus sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan berkelebatan, bukan hanya sinar pedang itu
menangkis lima batang pedang samurai yang mengancamnya dari lima jurusan yang kadang berputaran,
namun juga mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya!
Pangeran Hiu Kit Bong yang hanya menguasai ilmu silat yang rendah, tidak dapat mengikuti jalannya
pertandingan. Gerakan enam orang itu terlampau cepat baginya sehingga pandang matanya menjadi kabur.
Kilatan sinar pedang yang mencuat ke sana-sini, kadang bergulung gulung, diseling suara berdentangan
nyaring membuat dia hanya dapat memandang kagum.
“Bagaimana pendapatmu, ciangkun?”
dunia-kangouw.blogspot.com
16.3 Perjalanan Berdua Dengan Puteri Raja
Dia bertanya kepada Panglima Kiat Kon yang juga menonton pertandingan itu dengan tertarik sekali.
Tingkat kepandaian silat panglima ini juga sudah cukup tinggi, seimbang dibandingkan tingkat masingmasing
anggauta Ngo-heng Kiam-tin itu, maka dia dapat mengikuti pertandingan itu dan menjadi amat
kagum melihat betapa Cia Song dapat mempertahankan diri bahkan mengimbangi serangan gabungan
yang dahsyat itu. Dia sendiri akan kalah dalam waktu pendek kalau harus menandingi pengeroyokan Ngoheng
Kiam-tin itu.
“Hebat, Pangeran. Ngo-heng Kiam-tin memang dahsyat sekali, akan tetapi kepandaian Cia-sicu juga luar
biasa sehingga dia mampu mengimbangi pengeroyokan itu,” katanya sambil mengangguk angguk dengan
hati kagum.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Semua serangan dari barisan pedang lima orang itu dapat
dihindarkan dengan baik oleh Cia Song, biarpun serangan itu datang bergelombang dan bertubi-tubi. Akan
tetapi serangan balasan dari Cia Song juga selalu dapat ditangkis. Kalau Cia Song hendak mengandalkan
kelebihan tenaganya, diapun gagal karena yang menangkis pedangnya tentu sedikitnya dua orang, bahkan
kadang tiga-empat pedang samurai sekaligus menyambut pedangnya sehingga kelebihan tenaganya
diimbangi tenaga gabungan para pengeroyok. Sampai seratus jurus mereka bertanding dan belum tampak
siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Cia Song merasa sudah cukup menguji jagoan itu dan dia merasa girang. Ternyata Ngo-heng Kiam-tin
memang tangguh dan boleh diandalkan. Dibantu lima orang seperti ini, apalagi yang memimpin dua losin
perajurit pilihan, dia akan merasa kuat menghadapi Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong. Maka dia ingin
menyudahi ujian itu. Akan tetapi dasar dia memiliki watak yang sombong, walaupun disembunyikan di balik
sikapnya yang halus dan sopan, maka dia tidak akan merasa puas kalau tidak lebih dulu mengalahkan
mereka agar dia memperoleh kesan yang baik dan agar lima orang itu tunduk kepadanya sehingga dapat
menjadi pembantu-pembantu yang taat kepadanya.
Diam-diam Cia Song mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu pukulan jarak jauh
bercampur kekuatan sihir yang dipelajarinya dari Ali Ahmed.
“Hyaaaattt....... ahhhh!” Tangan kirinya mendorong ke depan dan tubuhnya berputar sehingga sasaran
pukulan jarak jauh itu diarahkan kepada lima orang pengeroyok yang mengepungnya. Dari telapak tangan
kirinya keluar asap hitam yang menyambar ke arah lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan
lima orang itu satu demi satu terhuyung ke belakang. Cia Song bergerak cepat sekali. Pedangnya
menyambar-nyambar dan ketika dia melompat agak ke belakang menjauhi mereka, lima orang itu melihat
betapa ujung baju mereka telah terbabat putus oleh sinar pedang Cia Song selagi mereka terhuyung tadi!
Lima orang itu membungkuk sampai dalam dan Con Gu mewakili para rekanrrya berkata, “ilmu pedang Ciasicu
hebat bukan main! Kami mengaku kalah!”
Cia Song menyimpan kembali pedangnya dan berkata, “Ngo-heng Kiam-tin amat tangguh. Aku girang sekali
mendapatkan pembantu seperti kalian berlima!”
Mendengar ini, Pangeran Hiu Kit Bong dan Panglima Kiat Kon bertepuk tangan.
“Kami girang sekali bahwa mereka berlima lulus ujian, Cia-sicu. Bagaimana pendapat sicu? Apakah
ditemani mereka yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan dianggap cukup kuat?”
“Lebih dari cukup, Pangeran. Dengan bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan, hamba yakin kami
dapat menangkap Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong.”
“Bagus! Duduklah kalian berenam!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Akan tetapi kalau Puteri Moguhai jangan
dibunuh, sebaliknya pemuda lihai yang menjadi temannya itu harus dibunuh karena dia membahayakan
kita.”
“Tidak, Pangeran. Souw Thian Liong juga akan hamba tangkap karena dia harus memperhitungkan dosadosanya
kepada Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia harus menerima hukumannya,” kata Cia Song.
“Hemm, apa sih yang dilakukannya? Ah, sudahlah, bukan urusan kami. Terserah kepadamu kalau engkau
hendak menangkap pemuda itu, Cia-sicu. Yang terpenting bagi kami adalah menawan Puteri Moguhai untuk
dijadikan sandera,” kata Pangeran Hiu Kit Bong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mengadakan perundingan matang dan membuat persiapan, berangkatlah Cia Song bersama
kelima Ngo-heng Kiam-tin, memimpin dua losin perajurit yang terlatih baik dan rata-rata pandai ilmu silat
melakukan pengejaran kepada Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang menuju ke barat. Mereka
menunggang kuda-kuda pilihan sehingga dapat melakukan perjalanan cepat.
◄Y►
Souw Thian Liong mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Setelah melakukan perjalanan
dengan Pek Hong Nio-cu selama hampir sebulan lamanya, dia mendapat kenyataan betapa amat
menggembirakan perjalanan itu.
Pek Hong Nio-cu ternyata merupakan teman seperjalanan yang amat baik. Wataknya gembira, pandai
bicara dan di mana saja pendekar wanita yang sesungguhnya puteri raja ini memperlihatkan watak aselinya
yang mengagumkan. Ia ramah terhadap rakyat jelata, murah hati dan siap menolong rakyat yang hidup
sengsara. Ringan tangan menghajar orang orang yang mengandalkan kekerasan dan kekuasaan untuk
menindas rakyat. Terutama sekali ia amat keras terhadap para pembesar kecil yang bertindak sewenangwenang
terhadap rakyat. Dan di mana saja, para pembesar itu selalu mati kutu dan ketakutan setelah
memperlihatkan pedang bengkok dari emas yang menjadi lambang kekuasaan Kaisar kerajaan Kin. Puteri
raja ini selain cantik jelita dan menarik hati, juga gagah perkasa dan memiliki watak yang budiman.
Di lain pihak, diam-diam Pek Hong Nio-cu juga kagum bukan main kepada Thian Liong. Pemuda itu selalu
sopan dan penuh perhatian. Tidak pernah sedikitpun mernperlihatkan watak mata keranjang, tidak pernah
mencoba untuk merayunya seperti yang banyak ditemui pada diri para pria kalau bertemu dengannya.
Sungguh seorang pemuda yang hebat, berjiwa pendekar dan juga pandai bicara dan suka berkelakar
dengan sopan.
Seperti kita ketahui, ketika mereka berdua tiba di kota Kiang-cu dan bermalam di sebuah rumah
penginapan, Cia Song menemui Thian Liong dan membujuk agar Thian Liong segera meninggalkan kota itu
karena Kim Lan dan Ai Yin mencarinya untuk memaksa Thian Liong menikahi Kim Lan atau kalau tidak
mau, dua orang gadis itu hendak membunuhnya.
Setelah Cia Song pergi, Pek Hong Nio-cu mendengar dari Thian Liong tentang gadis murid Kun-lun-pai
yang hendak memaksa dia mengawini dengan alasan bahwa gadis itu sudah bersumpah akan berjodoh
dengan pria yang dapat mengalahkannya. Kalau dia tidak mau, Thian Liong akan dibunuhnya! Mendengar
ini, Pek Hong Nio-cu marah sekali.
Malam itu, tanpa setahu Thian Liong, Pek Hong Nio-cu pergi mengunjungi rumah penginapan di mana Kim
Lan dan Ai Yin bermalam. Ia melemparkan surat celaannya yang disambitkan ke atas meja dengan sebuah
pisau lalu meninggalkan atap rumah penginapan itu karena ia melihat bayangan orang. Dan pada keesokan
harinya, Thian Liong mengajaknya segera pergi meninggalkan kota Kiang-cu.
Pemuda ini ingin menghindarkan diri dari kejaran dua orang gadis Kun-lun-pai itu. Pek Hong Nio-cu juga
tidak pernah bicara tentang dua orang gadis itu juga tidak pernah menceritakan tentang perbuatannya
mengirim surat teguran yang isinya rnencela murid wanita Kun-lun-pai sebagai wanita yang tidak tahu malu
hendak memaksa seorang pria menjadi suaminya!
Matahari telah naik tinggi dan udara lumayan panasnya. Mereka berdua menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan, menyusuri sepanjang tepi Sungai Han, yaitu sungai yang menjadi cabang Sungai Yang-ce
yang besar. Pemandangan alamnya di lembah sungai itu amat indah. Daerah ini termasuk daerah yang
kecil jumlah penduduknya sehingga tempat yang mereka lalui itu sunyi. Thian Liong menjalankan kudanya
di sebelah kiri kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu. Dua ekor kuda itu berjalan seenaknya karena dua
orang penunggangnya tidak ingin memaksa binatang yang juga sudah tampak kelelahan itu. Thian Liong
melamun.
Dia melamun tentang keadaan dirinya. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa dia akan
melakukan perjalanan berdua saja dengan puteri Raja Kin! Dan perjalanan bersama itu sudah dilakukan
selama kurang lebih satu bulan! Sungguh amat mengherankan dan tentu banyak yang tidak percaya kalau
dia bercerita kepada orang lain. Dia disambut oleh pejabat-pejabat pemerintah Kin di sepanjang jalan
dengan sikap hormat sekali karena dia diperkenalkan oleh Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu sebagai
sahabatnya. Dan puteri itu begitu manis, begitu ramah dan akrab dengan dia. Akan tetapi yang
menunggang kuda di sisinya ini adalah seorang puteri bangsawan tinggi, Puteri Raja Kin sedangkan dia
apa? Seorang pemuda yatim piatu yang bodoh dan miskin, rumahpun tidak punya! Akan tetapi Thian Liong
tidak merasa rendah diri. Mengapa rendah diri?
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tidak mempunyai pamrih apapun dalam persahabatannya dengan Pek Hong Nio-cu. Memang harus dia
akui bahwa dia amat tertarik, kagum dan suka sekali kepada gadis bangsawan ini. Sungguh jauh bedanya
gadis ini dibandingkan gadis-gadis yang pernah dia jumpai. Berpikir sampai di sini, terbayang olehnya wajah
seorang gadis yang manis. Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan anak rambut melingkar
di dahi dan pelipis. Dahinya halus dan putih sekali, dengan alis hitam kecil panjang dan tebal, matanya
seperti sepasang bintang, bersinar tajam dan penuh gairah hidup, hidungnya mancung dan mulutnya amat
menggairahkan, dengan bibir merah basah dan lesung pipit menghias kanan kiri mulut itu. Dagunya runcing
dan kulitnya putih mulus. Tubuhnya padat ranum dengan pinggang ramping.
Gadis yang lincah dan liar, galak penuh semangat, berpakaian merah muda. Gadis yang telah mencuri kitab
Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari buntalan pakaiannya, kitab yang seharusnya dia serahkan kepada para
ketua Kun-lun-pai seperti yang dipesan gurunya. Gadis cantik jelita dan juga gagah perkasa. Akan tetapi
sayang, ia mencuri kitab, dan lebih sayang lagi, dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat
tinggalnya. Perjalanannya ke barat inipun untuk mencari gadis pencuri itu. Dia hanya menduga bahwa gadis
itu tentu berada di daerah barat mengingat bahwa ilmu silatnya seperti ilmu silat aliran Tibet.
Kalau dibuat perbandingan antara gadis baju merah itu dengan Pek Hon g Nio-cu, alangkah jauh bedanya.
Memang mereka berdua sama sama cantik menarik, sama-sama gagah perkasa, bahkan sama-sama
lincah, agak liar dan galak bersemangat. Akan tetapi gadis baju merah yang liar itu adalah seorang gadis
kang-ouw tulen dan seorang pencuri, sebaliknya Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri raja yang baik hati.
Akan tetapi aneh, dia sukar dapat melupakan gadis baju merah itu dan kalau teringat padanya, jantungnya
berdebar dan wajahnya berseri. Padahal, dia berjanji kalau dapat menemukan gadis baju merah itu, akan
direbahkan gadis itu menelungkup di atas kedua pahanya lalu akan ditamparnya pinggul gadis itu seputuh
kali seperti orang mengajar anaknya yang nakal!
Kemudian, bayangan wajah gadis baju merah yang mencuri kitab milik Kun-lun pai itu terganti wajah
seorang gadis lain. Wajah yang setelah kini terbayang olehnya, makin tampak betapa wajah itu tidak ada
bedanya dengan wajah Pek Hong Nio-cu! Dia mencoba untuk mencari perbedaan antara dua wajah itu.
Namun, seingatnya, tidak ada bedanya sama sekali! Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li,
gadis yang suka memakai pakaian serba hijau itu.
Ada bunga mawar merah di rambutnya. Cantik jelita dan cerdik sekali. Juga amat lihai ilmu silatnya.
Hebatnya, seingatnya Thio Siang In juga mempunyai setitik tahi lalat di dekat mulutnya, di ujung bibir, sama
dengan Puteri Moguhai! Kedua wajah itu serupa benar. Kalau ada perbedaan yang sangat mencolok adalah
warna dan bentuk pakaian mereka. Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih dan Ang-hwa Sian-li
berpakalan serba hijau. Akan tetapi, walaupun tidak sampai mencuri seperti yang dilakukan gadis baju
merah, Thio Siang In itupun seorang gadis yang ugal-ugalan. Hendak meminjam kitab Sam-jong-cin-keng
milik Siauw-lim-pai dengan paksa! Ketika dia tidak mau menyerahkan kitab itu, Ang-hwa Sian-li Thio Siang
In marah dan mengajak bertanding! Sayang sekali, padahal gadis itu gagah perkasa dan tadinya sudah
menjadi teman akrab dengannya. Seperti juga bayangan gadis baju merah, bayangan Ang-hwa Sian-li ini
selalu muncul dalam ingatannya.
Kemudian teringat dia akan wajah Kim Lan, murid Kun-lun-pai itu, bersama su-moinya (adik
seperguruannya) yang bernama Ai Yin. Mereka juga gadis-gadis manis, cantik menarik, gagah perkasa dan
sebagai murid-murid Kun-lun-pai, tentu saja kepandaian mereka tinggi dan watak mereka seperti pendekar.
Akan tetapi sayang, terutama sekali Kim Lan, gadis cantik itu diikat sumpah yang aneh sehingga ketika
kalah bertanding melawannya, kini mengejarnya untuk memaksa dia mengawininya dan kalau dia menolak,
dia akan dibunuhnya!
Thian Liong menghela napas panjang. Aneh-aneh saja pengalamannya dengan gadis-gadis itu! Dan
biarpun mereka, yang tiga orang itu, gadis baju merah, Ang-hwa Sian-li, dan Kim Lan tidak dapat disamakan
dengan Pek Hong Nio-cu yang anggun, bangsawan tinggi dan tidak ada kesalahan kepadanya, namun tetap
saja ada rasa suka pula dalam hatinya terhadap mereka. Dan wajah mereka selalu bermunculan dalam
kenangannya.
“Souw Thian Liong, kenapa engkau menghela napas panjang setelah sejak tadi melamun seorang diri?”
tiba-tiba suara Pek Hong Nio-cu menyadarkan dan seolah menyeret dia kembali ke alam sadar.
“Eh? Apa maksud paduka, Puteri?” tanya Thian Liong gagap, seperti orang baru bangun tidur.
“Hushh! Berapa kali aku memperingatkan agar engkau jangan menyebut aku paduka dan puteri, kecuali
kalau berhadapan dengan para pembesar dan dalam suasana resmi!” tegur Pek Hong Nio-cu dengan alis
berkerut. “Dalam percakapan pribadi, aku ini bukan lain adalah Pek Hong Nio-cu, seorang sahabat yang
sederajat denganmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, maafkan, Nio-cu. Aku memang pelupa, akan tetapi apa yang kau maksudkan dengan pertanyaanmu
tadi?”
“Hemm, bagaimana sih pertanyaanku tadi, Thian Liong?”
Thian Liong menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tidak ingat lagi.”
“Nah, itu tandanya bahwa engkau tenggelam ke dalam lamunanmu,” kata Pek Hong Nio-cu sambil menahan
dan menghentikan kudanya. Melihat ini, Thian Liong juga menghentikan kudanya. “Thian Liong, sejak tadi
aku melihat engkau melamun dengan pandang mata kosong, kadang tersenyum-senyum dan kemudian
engkau menghela napas panjang. Nah, tadi aku bertanya mengapa engkau melamun terus dan menghela
napas panjang?”
Ah, itukah yang kautanyakan? Nio-cu, marilah kita mengaso dan berteduh di bawah pohon itu,” kata Thian
Liong.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru