Cersil 6 Serial Kisah Naga Langit Kho Ping Hoo Mandarin Terbaru Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil 6 Serial Kisah Naga Langit Kho Ping Hoo Mandarin Terbaru
- Cersil 5 Serial Naga Langit Kho Ping Hoo Muantab
- Cersil 4 Serial Kisah Si Naga Langit Khoping Hoo H...
- Cersil 3 Serial Kisah Naga Langit 1 Kho Ping Hoo B...
- Cersil 2 Serial Kisah Naga Langit 1 Karya Emas Kho...
- Cersil 1 Serial Kisah Naga Langit 1 ala Kho Ping H...
- Kumpulan Cerita Silat Cersil Pilihan Bulan April
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
“Baiklah, memang sinar matahari panas bukan main dan kuda kita juga sudah lelah,” kata Pek Hong Nio-cu.
Mereka menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi Sungai Han, turun dari kuda dan menambatkan
kuda di batang pohon kecil tak jauh dari situ. “Kota Yun-sian berada tidak jauh lagi di depan. Sebelum sore
kita sudah dapat memasuki kota itu.”
“Nio-cu, agaknya engkau mengenal betul daerah ini,” kata Thian Liong.
“Tentu saja, sudah beberapa kali aku mengunjungi Paman Kuang yang memimpin pasukan menjaga
perbatasan. Tapi, engkau belum menjawab pertanyaan tadi, Thian Liong.”
Pemuda itu duduk di atas batu di bawah pohon yang teduh itu dan Pek Hong Nio-cu juga duduk di atas batu
di depannya. Pemandangan di situ amat indah. Di dekat mereka, hanya empat meter jauhnya, tampak
Sungai Han mengalirkan airnya yang masih jernih dengan tenang.
Di tepi sungai, kanan kiri, tumbuh subur segala macam pohon dan semak. Sebuah perahu terapung di tepi
sungai tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pengail duduk di atas perahu itu, duduk seperti patung,
memegangi tangkai pancingnya, bahkan menengokpun tidak ketika Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
berhenti di bawah pohon. Dia tenggelam ke dalam keasyikan memancing ikan.
Pengail itu memakai caping lebar akan tetapi sedikit bagian mukanya kelihatan dan ternyata dia adalah
seorang laki laki yang sudah tua. Thian Liong, dan Pek Hong Nio-cu tidak memperdulikan kakek itu yang
dari bentuk capingnya dapat diduga bahwa dia tentu seorang bersuku bangsa Hui.
“Aku harus menjawab bagaimana, Pek Hong Nio-cu? Aku tadi memang sedang melamun. Panasnya sinar
matahari dan kuda kita yang berjalan perlahan membu¬at aku mengantuk lalu melamun.”
“Hemm, melamun sambil cengar-¬cengir, tersenyum dan menghela napas. Apa saja sih yang
kaulamunkan?”
Tentu saja Thian Liong merasa malu untuk menceritakan bahwa tadi dia me¬lamun, membayangkan gadisgadis
yang pernah berurusan dengannya! “Ah, aku melamun tentang masa laluku sampai sa¬at ini.”
“Kenapa senyum-senyum dan menghe¬la napas segala? Seperti orang bergembi¬ra kemudian bersedih!”
desak puteri itu.
“Aku bergembira ketika teringat ke¬tika aku masih kanak-kanak lalu bersedih kalau mengingat keadaanku
sekarang, mengejar pencuri kitab yang tidak kuke¬tahui namanya dan kuketahui tempat tinggalnya. Kitab itu
harus kudapatkan kembali untuk kuserahkan kepada yang berhak di Kun-lun-pai, kalau tidak berar¬ti aku
gagal melaksanakan perintah su¬hu.”
Pek Hong Nio-cu menatap wajah pe¬muda itu penuh perhatian. Agaknya hati¬nya tertarik sekali. “Souw
Thian Liong, maukah engkau menceritakan rlwayatmu ketika engkau masih kecil, tentang orang tuamu,
tentang gurumu? Aku sudah la¬ma mendengar tentang Tiong Lee Cin¬-jin yang sangat terkenal sebagai
seorang yang sakti berilmu tinggi, juga yang di¬kenal sebagai Tabib Dewa, suka meno¬long siapa saja
tanpa pilih bulu. Bahkan semua keluarga ayahku di istana menge¬nal nama itu dan merasa kagum.”
“Tidak ada apa-apa yang menarik tentang diriku, Nio-cu. Aku seorang anak desa yang tlnggal di sebuah
dusun kecil di lereng Mao-mao-san. Ketika berusia lima tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena wabah
penyakit perut yang me¬ngamuk di dusun kami.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aduh, kasihan sekali engkau, Thian Liong. Dalam usia lima tahun sudah piatu, ditinggal mati ayah ibu,”
kata Pek Hong Nio-cu sambil memandang wa¬jah Thian Liong dengan iba.
“Aku hidup berdua dengan nenekku dan setelah berusia sepuluh tahun aku bekerja kepada Lurah Coa di
dusun ka¬mi. Pekerjaanku menggembala kerbau.”
Pek Hong Nio-cu tersenyum lebar. “Ah, aku teringat akan dongeng Ibuku. Ketika aku masih kecil ibu
mendongeng tentang seorang pemuda penggembala kerbau yang dengan tiupan sulingnya me¬narik
perhatian seorang bidadari sehing¬ga bidadari turun dari langit kemudian menjadi isteri si penggembala
kerbau.”
17.1 Cia-suheng Bersama Pengkhianat Kin?
Thian Liong tertawa. “Ha-ha, kalau meniup suling akupun bisa, akan tetapi mana mungkin ada bidadari
memperhatikan aku?”
“Hemm, siapa tahu? Engkau juga seorang penggembala kerbau yang istimewa, Thian Liong. Lanjutkan
ceritamu yang menarik sekali itu.”
Thian. Liong merasa heran. Bagaimana kisah tentang seorang penggembala kerbau saja menarik hati gadis
ini? Akan tetapi segera dia teringat bahwa gadis ini adalah seorang puteri raja, tentu saja tertarik
mendengar akan kehidupan seorang penggembala seperti juga seorang penggembala akan tertarik
mendengar akan kehidupan seorang puteri raja. Setiap orang selalu tertarik akan hal yang baru, akan hal
yang tak pernah dialaminya atau keadaan yang berlawanan dengan keadaannya sendiri.
“Ketika aku berusia sepuluh tahun, pada suatu hari aku menggembala kerbau dan kebetulan aku bertemu
dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Nenekku yang sudah berusia delapanpuluh tahun, meninggal dunia dan aku
lalu ikut dan menjadi murid suhu. Selama sepuluh tahun aku mempelajari ilmu dari suhu. Kemudian,
setahun lebih yang lalu, suhu menyuruh aku turun gunung dan aku diberi tugas untuk menyerahkan kitabkitab
kepada Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, kitab untuk Kun-lun-pai itu dicuri
gadis baju merah yang kini sedang kucari itu. Nah, itulah riwayatku, Nio-cu. Sekarang akupun ingin
mendengar riwayat seorang puteri raja, kalau saja engkau tidak keberatan untuk menceritakan kepada
seorang penggembala kerbau.”
Pek Hong Nio-cu tertawa. “Heh-heh, engkau membalas atau menagih? Riwayatku ketika masih kecil lebih
tidak menarik lagi. Aku hidup di dalam istana, serba tertutup, tidak bebas seperti engkau. Ke mana-mana
dikawal, sungguh menyebalkan. Akan tetapi untung bagiku, ayahku memberi kebebasan kepadaku setelah
aku remaja, bahkan mengijinkan aku mempelajari segala macam ketangkasan. Menunggang kuda sudah
bisa kulakukan sejak aku berusia lima tahun. Akan tetapi masih kalah olehmu. Engkau berani menunggang
kerbau sejak kecil, sedangkan aku, sampai sekarangpun nanti dulu kalau disuruh menunggang kerbau!”
“Siapakah yang mengajarimu ilmu silat sehingga engkau kini memiliki kepandaian yang tinggi?”
“Guruku banyak sekali. Jagoan istana yang mana saja tentu akan mengajarkan ilmu silatnya kepadaku
kalau aku memberitahu ayah. Ayah yang memerintahkan mereka untuk mengajariku dengan baik.”
“Wah, agaknya engkau seorang anak yang manja dan nakal!” kata Thian Liong sambil tertawa.
Pek Hong Nio-cu juga tertawa dan bukan main manisnya kalau puteri ini tertawa. Tawanya bebas sehingga
tampak deretan giginya yang putih rapi seperti mutiara dan lidahnya yang kecil merah sehat.
“Memang aku dimanja olah ayahku akan tetapi aku tidak nakal!” katanya. “Dan guruku yang terakhir malah
belum pernah berhadapan muka dan belum pernah bicara dengan aku, sungguhpun aku pernah melihatnya
satu kali.”
“Lho, bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dia kauanggap sebagai gurumu dan bagaimana pula caramu
mempelajari ilmunya?” tanya Thian Liong heran.
“Begini ceritanya. Pada suatu waktu, aku melihat ibu....... bicara dengan seorang laki-laki dalam taman. Aku
tidak berani mengganggu dan ketika aku bertanya kepada ibu, ibu hanya menceritakan bahwa laki-laki itu
adalah seorang sahabat lama dan aku disuruh menyebutnya paman Sie. Paman Sie itu menurut ibuku,
menjadi guruku juga karena dia telah memberikan tiga buah kitab pelajaran silat seperti yang pernah
kuperlihatkan padamu dan sebuah perhiasan rambut yang kupakai ini.” Pek Hong Nio-cu meraba perhiasan
rambut berbentuk burung Hong yang berada di kepalanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, jadi karena engkau memakai perhiasan itu maka engkau mendapat julukan Pek Hong Nio-cu (Nona
Burung Hong Putih?”
“Kira-kira begitulah, akan tetapi ibuku memesan agar aku merahasiakan dari siapa juga tentang kunjungan
Paman Sie itu. Bahkan kepada ayahpun aku tidak menceritakannya.”
“Akan tetapi kenapa kepadaku engkau menceritakan?”
“Ah, entahlah. Aku percaya padamu, Thian Liong. Dan pula, aku kira ibuku melarang aku bercerita karena
ibuku adalah seorang wanita berbangsa Han dan agaknya Paman Sie itu juga berbangsa Han. Aku tidak
menceritakan kepada seorangpun dari bangsa Nuchen (Kin) dan aku hanya bercerita kepadamu karena
engkau adalah seorang pemuda Han juga dan aku percaya sepenuhnya kepadamu.”
“Terima kasih, Nio-cu. Apakah semenjak itu engkau tidak pernah bertemu atau melihat Paman Sie itu?”
“Tidak pernah. Aku amat berterima kasih kepadanya karena setelah aku mempelajari ilmu-ilmu dari
kitabnya, aku memperoleh kemajuan pesat. Aku ingin sekali bertemu dan menghaturkan terima kasih
kepadanya, akan tetapi aku tidak tahu di mana dia. Bahkan ketika aku bertanya kepada ibu, Ibu juga tidak
mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa Paman Sie adalah seorang perantau besar.”
“Tiga buah kitab pelajaran ilmu silat itu memang mengandung pelajaran ilmu silat yang amat hebat, Nio-cu.
Paman Sie itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Oya, kalau Ibumu seorang wanita Han, siapakah
namanya?”
“Namanya Tan Siang Lin. Nama yang bagus, bukan? Dan engkau nanti setelah berhasil menemukan gadis
pencuri kitab dan merampasnya lalu mengembalikan kepada Kun-lun-pai, lalu apa selanjutnya yang akan
kaulakukan, Thian Liong?”
“Suhuku masih memberi sebuah tugas lain yang tidak kalah pentingnya. Aku harus membantu para
pendekar yang berusaha menyelamatkan Kerajaan Sung dari cengkeraman kekuasaan Perdana Menteri
Chin Kui.”
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Ah, aku tahu siapa itu Perdana Menteri Chin Kui. Dia banyak
membantu Kerajaan Kin, akan tetapi ibuku seringkali bilang bahwa Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan
Sung itu adalah seorang pengkhianat besar dan seorang jahat. Bahkan akhir-akhir ini ayahku, Raja
Kerajaan Kin, juga mengecamnya dan pernah bilang kepadaku bahwa Chin Kui adalah seekor ular kepala
dua yang berbahaya dan tidak boleh dipercaya. Sebagai perantara hubungan Kerajaan Kin dan Kerajaan
Sung, Chin Kui itu sering kali menjegal dan telah ketahuan bahwa dia juga mencuri sebagian dari hadiahhadiah
yang dikirimkan oleh Raja Sung untuk Raja Kin. Maka, sekarang ayahku mulai tidak percaya dan
merenggangkan hubungannya dengan pembesar Chin Kui itu.”
“Wah, agaknya engkau mengerti banyak tentang keadaan politik kerajaan Kin, Nio-cu!” kata Thian Liong
sambil memandang kagum. Ternyata gadis ini memiliki banyak kemampuan dan pengetahuan yang
mengejutkan. Biasanya wanita jarang ada yang mau tahu tentang pemerintahan.
“Tentu saja, Thian Liong. Akupun bertanggung jawab atas keselamatan pemerintahan Kerajaan Kin yang
dipimpin ayah, bukan? Malah diam-diam akupun melakukan penyelidikan dan selalu menentang dan
memberantas para pembesar Kin yang lalim, tidak jujur dan tidak setia. Aku tahu pula bahwa diam-diam ada
persekutuan di kota raja dan aku mendengar bahwa persekutuan untuk memberontak itu dibantu pula oleh
pembesar Chin Kui dari Kerajaan Sung.”
“Ah, begitukah?”
“Karena itulah aku sekarang pergi ke barat untuk mengunjungi Paman Pangeran Kuang yang menjadi
panglima yang memimpin bala tentara yang menjaga perbatasan. Aku akan menceritakan semua itu kepada
Paman Pangeran Kuang karena dia adalah seorang ahli yang setia kepada ayah dan menjadi komandan
pasukan besar dan kuat. Dia tentu akan datang ke kota raja membawa pasukannya untuk menghancurkan
komplotan pemberontak itu.”
“Siapakah yang memimpin persekutuan untuk memberontak, Nio-cu?” Thian Liong merasa heran. Ternyata
Kerajaan Kin yang merupakan kerajaan bangsa Nu-chen yang menjajah dan terkenal kuat itupun
keadaannya sama saja dengan kerajaan Sung yang karena penyerangan bangsa Nuchen terpaksa pindah
ke sebelah selatan Sungai Yang-ce, yaitu ada saja orang-orang yang berkhianat. “Atau, barangkali aku tidak
boleh mengetahui?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, aku percaya padamu, Thian Liong. Engkaupun tadi sudah bicara blak blakan tentang Perdana Menteri
Chin Kui kepadaku. Penggerak persekutuan pemberontak itu adalah seorang pangeran juga, jadi masih
pamanku sendiri, paman tiri. Dia bernama Pangeran Hiu Kit Bong. Akan tetapi karena belum mendapatkan
bukti bahwa dia akan memberontak dan menyusun kekuatan secara diam-diam, bahkan mungkin sekali
mengadakan persekutuan dengan Chin Kui, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu. Melapor kepada
ayahpun pasti tidak akan dipercaya kalau tidak ada buktinya. Karena itu, jalan satu-satunya adalah
menceritakan kepada Paman Pangeran Kuang yang tentu akan dapat membasmi para pemberontak.”
“Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu, Nio-cu,” kata Thian Liong.
Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin menjenguk isi hati pemuda itu. “Akan tetapi,
Thian Liong, engkau seorang pemuda berbangsa Han!”
“Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?”
“Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin? Bukankah kerajaan Kin telah menyebabkan
kerajaan Sung mengungsi ke selatan? Apakah engkau tidak mendendam kepada bangsa Nuchen yang
mendirikan kerajaan Kin yang menjajah tanah airmu?”
Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat berkata begitu ke-padanya? Ini tentu pengaruh
ibu puteri itu, yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.
“Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung.
Menurut suhu, yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat, melenyapkan kejahatan dan
kebodohan. Karena kalau rakyat hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya dikurangi,
maka negara akan menjadi kuat. Kalau para pejabat melakukan tugasnya dengan jujur dan setia,
mementingkan kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung pemerintah dan pemerintah
menjadi kuat. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan dan harta
benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas rakyat, pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat
akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya kerajaan Sung dahulu. Mengingat akan
ajaran suhu itu, aku tidak mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku siap membantu selama
kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang baik dan yang memperhatikan kepentingan rakyat jelata.”
“Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong. Apalagi aku mempunyai darah campuran,
ayahku orang Nuchen dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku menentang pemberontak di
kerajaan Kin, kelak aku pasti akan membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang berkhianat
terhadap kerajaan Sung.”
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap
tenang dan memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan debu mengepul itu. Akan tetapi
ketika rombongan itu tiba di dekat mereka, terdengar seruan nyaring.
“Berhenti......!!”
Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang walaupun kini mereka memandang kepada
rombongan itu dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua terdiri dari sekitar tigapuluh
orang akan tetapi tidak dapat dilihat jelas wajah mereka karena debu mengepul dan banyak di antara
mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.
Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan
kerajaan Kin. Maka ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.
Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan turun dari atas kuda mereka. Beberapa orang
di antara mereka yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda itu agak menjauh dan
menambatkannya pada pohon pohon.
Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu.
Tentu saja puteri ini segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja dan lima orang itu
masih menjadi pengawal-pengawal pribadi Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari mereka.
Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja
Pek Hong Nio-cu tidak lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang mereka sebagai orangorang
yang jahat dan khianat.
Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu
ia menegur mereka. “Mau apa kalian datang ke sini? Hayo pergi dan jangan mengganggu aku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki
wibawa yang amat kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang jagoan itu menjadi gentar
dan mereka saling pandang, menjadi salah tingkah.
Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Nio-cu setelah membungkuk dalam-dalam.
“Harap paduka maafkan kami kalau kami mengganggu. Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar
untuk mengajak paduka pulang ke kotaraja.”
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Kenapa aku harus pulang? Apa yang terjadi di istana?” terkandung
kekhawatiran dalam suaranya.
“Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera kembali ke kota raja,” kata Con Gu.
Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir, kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak
mungkin ayahnya mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan pengawal istana karena ia
tidak mengenal mereka. Ada sesuatu yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.
“Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan kalian menjemputku, perlihatkan padaku
surat perintahnya!” katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.
Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang dengan empat orang rekannya dan tampak
bingung. “Akan tetapi......” Dia berkata gagap.
“Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda Kaisar!” bentak Pek Hong Nio-cu sambil
menghunus pedang bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai wakil Kaisar itu.
Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu, orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih
tabah, berkata, “Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kami menerima perintah
dari beliau. Harap paduka menurut dan ikut saja dengan kami!”
Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan, sinar matanya menyambar penuh
kemarahan. “Keparat! Kalian tidak melihat pedang kekuasaan ini? Aku tidak mau pulang bersama kalian,
habis kalian mau apa?”
Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali ketabahannya dan dia berkata, “Kalau paduka
menolak, terpaksa kami menggunakan kekerasan.”
“Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan ini? Berarti kalian berani melawan
Sribaginda Kaisar, berarti kalian pengkhianat dan pemberontak!”
“Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!” kata Con Gu.
“Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian
pulang. Hendak kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!” Pek Hong Nio-cu membentak marah.
“Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!” Con Gu berkata dan dia memberi isyarat.
Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong
yang masih duduk. Di belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka tidak mendapatkan
jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu. Tadi dia
diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan
Kin dan dia merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya, mau tidak mau harus
mencampurinya.
“Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu? Yang hendak kalian lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar
kerajaan Kin, junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan menjadi pengkhianat dan
pemberontak!” kata Thian Liong sambil memandang tajam mereka berlima.
Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia
bukan anggauta pasukan.
“Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi memang bersembunyi di
belakang pasukan.
Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran bukan main.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama pasukan pengkhianat ini? Apa artinya ini,
suheng?”
“Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap para ketua Siauw-limpai
dan Kun lun-pai untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!”
“Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?” Thian Liong bertanya, heran dan penasaran.
“Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan diadili!”
Pek Hong Nio-cu berseru keras, “Ah, sekarang aku tahu, Thian Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini
tentulah utusan Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat Pangeran Hiu Kit Bong itu!”
17.2 Tertangkap Pasukan Pemberontak Kin
Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song. “Ah! Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana
Menteri Chin Kui dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan Kin? Cia-suheng,
bagaimana engkau bisa.......”
“Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang menangkap Pek Hong Nio-cu!” kata Cia Song dan dia
sudah menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang beronce merah yang dia cabut dari
punggungnya.
“Tranggg......!” Pek Hong Nio-cu menangkis dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar,
menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih jauh kekuatannya.
Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngo-heng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong.
Melihat hebatnya barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya menggerakkan pedang samurai
dengan dahsyat sekali, Thian Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya untuk
melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya bertubi-tubi dari lima jurusan itu.
Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan
Sung maupun pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai niat baik terhadap Pek Hong
Nio-cu. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali tidak diduganya telah
menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dangan pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya
untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk diadili! Apa yang terjadi? Dia
tidak melakukan sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu! Karena merasa penasaran, Thian
Liong lalu mengamuk.
Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun
tidak mampu mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila bertemu dengan sinar pedang
itu. Akan tetapi Thian Liong juga mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari lima orang itu
tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka rapi sekali, saling melindungi dan saling memperkuat daya
serang sehingga dia harus berhati-hati.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia Song berkata dengan suara merayu, “Ah,
puteri jelita, sebaiknya engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu menjadi lecet. Sayang
kalau engkau sampai terluka, manis.”
“Singgg......!” Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu. Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song menjadi
terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil menggerakkan pedangnya menangkis.
“Cringgg......!” Akan tetapi begitu tertangkis, pedang di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi,
sekali ini dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!
Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia
membalas dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini hanya dengan bertahan saja. Pek
Hong Nio-cu terlalu tangguh untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat mengimbangi gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia mencoba
untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan dengan suara yang mengandung sihir dan
dayanya melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh. Hal ini adalah karena dara itu juga
telah menghimpun tenaga sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh sihir lawan.
Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan
melihat pula sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih baik karena mereka itu
dunia-kangouw.blogspot.com
agaknya bahkan kewalahan menghadapi gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru kepada
pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu.
“Pasukan bergerak, serbu......!!”
Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian. Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong
dan yang selosin lagi mengeroyok Pek Hong Nio-cu.
Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan merasa betapa Cia Song merupakan lawan
yang amat tangguh, menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu Cia Song
mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu menyambarnyambar.
Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat ini, Cia Song memperhebat desakannya dan
para perajurit yang mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan, namun dalam beberapa
jurus saja gadis itu telah mampu merobohkan dua orang!
Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah selosin orang perajurit ikut mengeroyok.
Menghadapi Ngo heng Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi sebelum dapat
merobohkan lima orang samurai itu, kini maju selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang
dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.
Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu
dan Ngo heng Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia mengeluarkan aba-aba, sisa
perajurit yang masih sembilanbelas orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah
dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih menggunakan senjata istimewa ini. Begitu
mereka menyerang maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu! Dua orang
muda itu mengelak ke sana-sini dan menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring yang
menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata jaring-jaring itu terbuat dari tali istimewa yang tidak
mudah dirusak senjata tajam!
Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga
saktinya, meronta dan menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil menangkapnya dengan jaring
dan memegangi tali jaring itu, disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua orang ftu
terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari selimutan jaring-jaring itu.
Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk
dengan pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini, Thian Liong mengeluarkan pekik
melengking dan getaran suara pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok mundur beberapa
langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Nio-cu. Pedangnya digerakkan menangkis sambaran
pedang Cia Song.
'Tranggg......!” Bunga api berpijar dan Cia Song terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya
sudah diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat melindungi dirinya dengan pedangnya yang
dapat keluar dari sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak maju dan begitu pedangnya berkelebat, dua
orang perejurit yang menangkap Pek Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting roboh. Thian Liong
cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek Hong Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah
para perajurit mempergunakan senjata jaring itu.
“Kita pergi!” katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan
kaki, mereka berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih memegang tangkai pancingnya
dengan tenang seolah tidak mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat sungai. Dengan
ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu dapat hinggap di atas perahu pengail ikan itu
tanpa mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.
“Maafkan, paman. Kami menumpang di perahumu......” kata Thian Liong.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu tiba-tiba saja menggerakkan kedua
tangannya mendorong ke depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu mendatangkan
angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri
di atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terdorong dan keduanya
terjengkang dan terjatuh ke dalam air!
Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke
dalam air yang dalam. Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja. Akan tetapi ketika
mereka berusaha berenang, para perajurit berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong
dunia-kangouw.blogspot.com
dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang orang dari bawah dan tubuh mereka diseret ke
dalam air!
Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan
tetapi, kini yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh jadi mereka merupakan orangorang
yang amat lihai. Akan tetapi dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak karena melawan air agar
tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian besar tenaga mereka. Karena itu, ketika kaki mereka
dipegang banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air, mereka tidak berdaya. Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi lemas dan akhirnya tak dapat
meronta lagi dan mereka berdua dibelit-belit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan setengah
pingsan!
Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu memerintahkan para perajurit yang ahli
dalam menolong orang yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan itu. Tubuh Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut.
Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.
Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh
mereka tidak dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai sekali. Dia menduga bahwa yang
menotok jalan darah mereka tentulah Cia Song. Dia tidak berkata apa-apa hanya memandang mereka yang
berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang yang membentuk Ngo-heng Kilam-tin yang tadi
mengeroyoknya dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang kepada Pek Hong Nio-cu
dengan mulut menyeringai.
Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dengan para
pengkhianat kerajaan Kin itu berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing tadi! Kiranya
kakek tukang pancing itu merupakan seorang di antara mereka, bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong
adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi murid
Siauw-lim-pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang belum dia ketahui siapa orangnya.
“Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu (murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu
yang teecu kira seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih atas bantuan suhu
sehingga mereka berdua ini dapat ditangkap,” kata Cia Song yang membuat Thian Liong keheranan dan
kini dia mengamati kakek itu.
Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi
kurus dan sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat bambu.
Kakek itu tertawa lirih. “Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku sedang suka hidup di atas perahu dan setiap
hari memancing ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek Hong Nio-cu yang namanya
terkenal itu adalah puteri Kaisar kerajaan Kin? Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat sekali.
Murid siapakah dia?”
“Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin,” jawab Cia Song.
“Eh? Murid Tiong Lee Cin-jin? Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja dia? Kalau dibiarkan hidup, kelak
akan menjadi bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau tidak akan menang
melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai ini, mustahil engkau dapat menangkapnya.” Kakek itu
menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan sudah berwarna putih.
“Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang
akan mengadili dan menghukumnya.”
“Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri ini?” tanya pula kakek itu.
“Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada
urusan sesuatu, marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu membantu Pangeran Hiu Kit Bong
agar kelak di hari tua suhu akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan.”
“Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu,”
kata kakek itu lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah capingnya itu dia memakai
sebuah sorban berwarna putih.
Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia sadar, ia lalu mencaci maki. “Jahanam
keparat kalian para pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan mendapatkan hukuman
siksa sampai mati! Dan kamu, tua bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali Ahmed, datuk
dunia-kangouw.blogspot.com
bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau manusia terkutuk, sudah tua bangka mau mati
masih tidak mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau akan masuk neraka jahanam!”
Cia Song memerintah anak buahnya. “Bawa kereta itu ke sini!”
Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk mengangkut kedua tawanan mereka.
Setelah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con Gu. “Paman Con Gu,
kau angkat Thian Liong dan aku yang mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta. Dan
suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga
dua orang tawanan ini agar tidak sampai lolos.”
“Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta,” kata kakek itu yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang
sepuluh tahun lebih yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari Tiong Lee Cin-jin. Dia
memang menjadi guru dari Cia Song selama beberapa tahun.
Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia
Song sendiri memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap tubuh yang lunak hangat itu
kuat-kuat ke dadanya, membuat jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.
Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan
kaki tangannya diborgol kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song dengan kebencian
yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini, kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba mengambil hati.
“Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku jamin engkau akan diperlakukan dengan
baik dan tidak akan ada yang berani mengganggumu.”
“Siapa sudi mendengar ocehanmu!” kata sang puteri dengan marah.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta, berdampingan menghadap ke belakang
sedangkan Ali Ahmed duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar, kakek tua renta itu
segera tertidur sambil memegang tongkat bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio
cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya dan selalu memperhatikan gerak gerik
mereka berdua.
“Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang
yang selama ini kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak tahunya dia seorang murid
Siauw-lim-pai yang berkhianat, tidak saja terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi bahkan terhadap bangsa dan
negara.”
“Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal, maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak
melakukan perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami seperti sekarang ini.”
“Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam itu menangkap aku. Engkau...... tidak takut, Nio-cu?”
Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya seperti puteri yang gagah perkasa itu masih
dapat tersenyum manis sekali. “Takut? Bukankah engkau pernah rnengatakan bahwa hidup atau matinya
seseorang itu berada di tangan Yang Maha Kuasa? Mengapa mesti takut? Kalau Yang Maha Kuasa
menghendaki kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia menghendaki kita hidup,
siapa yang akan mampu membunuh kita?”
“Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak putus harapan?”
“Mengapa putus harapan? Selama masih hidup, kita masih dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus
harapan berarti sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah putus harapan selagi masih
hidup.”
Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau
puteri itu akan dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian itu
sendiri. Cara Cia Song memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan mendekapnya yang sempat
dilihatnya, membuat dia merasa khawatir sekali. Dia dapat merasakan betapa pemuda sesat itu
memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala memandang seekor kelinci!
Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan
tetapi terdapat sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat oleh pasukan kerajaan Kin
untuk membuat hubungan dari daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga para pedagang
yang suka melakukan perjalanan dalam rombongan besar, yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang
dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan jalan raya ini sehingga merekapun turun
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan mengeluarkan biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu merupakan jalan yang cukup
lebar dan nyaman.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan yang dipimpin Cia Song itu memasuki
hutan, tiba tiba saja terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan kuda masing-masing.
Kereta yang berada di tengah-tengah rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat sebatang
pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan jatuh berdembum melintang dan menghalangi jalan!
Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya
malang melintang memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan melalui pohon-pohon di
tepi jalan, akan tetapi karena pohon-pohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak belukar,
maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan jalan lain kecuali jalan yang terhalang pohon roboh itu,
“Cepat singkirkan pohon itu!” Cia Song memberi perintah.
Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka memotongi batang pohon dan menariknya ke
tepi jalan. Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta dapat lewat. Akan tetapi, baru saja
kereta bergerak, belum ada duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon di depan mereka roboh
melintang di jalan!
Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga. Robohnya pohon pertama mereka anggap
sebagai hal yang kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos. Akan tetapi robohnya
pohon kedua ini tak mungkin hanya kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit, memandang ke
sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.
Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi penyebab tumbangnya pohon itu, terpaksa
Cia Song kembali memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua yang roboh itu. Dia kini
melihat hal yang membuat dia bergidik dan merasa seram. Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah
batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akar-akarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan
pohon sebesar itu sampai jebol berikut akarnya? Seekor gajahpun belum tentu mampu melakukannya!
Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja
pohon itu disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di depan yang lebih besar lagi
tumbang melintang di pinggir jalan!
17.3 Pertolongan Suhu atau Paman Sie?
Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi,
kiranya tidak mungkin ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di mana
gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon tadi.
Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang
puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohon-pohon secara berturut-turut
itu bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan yang
menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka.
“Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu suka keluar dan melakukan pemeriksaan,”
katanya.
Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia
menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata, “Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang
kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir maupun batin, kecuali.......”
“Kecuali siapa, suhu?”
“Hemm, kecuali setan itu.”
Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah
orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu seperti hampir semua
orang pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke arah
pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka.
Hamba berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah
kami melewati jalan ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia
Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang. Hanya
Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang matanya yang
masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak
maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya dan para perajurit itu keliru menafsirkannya
dan menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan atau mahluk halus.
Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk
menghormati “penguasa hutan” itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan
pohon ketiga itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek Hong Nio-cu.
“Pengkhianat-pengkhianat jahanam!”
Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka melihat
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas dari semua belenggu.
Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah
memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah merampas kedua pedang mereka itu dan
menaruhnya di atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia menoleh ke arah kudanya
yang ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela kudanya!
Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Niocu
sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka melihat
sinar berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan pedang
mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan
mereka, dengan mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat tubuh dan kaki mereka.
Kemudian mereka turun dari kereta dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu
mengeluarkan bentakan marah itu.
Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan telah
memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya. “Suhu, harap suhu cepat
robohkan mereka!”
Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut
melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena sejak
pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini, mendengar
permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak orang, dia
lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga,
semacam bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya berkemak-kemik membaca
mantra dan dia mengerahkan ilmu sihirnya.
“Bummm......!” Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan
dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang ke
arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong dan
moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan mahluk itu menyemburkan api!
Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam
kepala naga jadi-jadian itu.
“Darrr……!” Naga itu terpental dan asap hitam mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga
itu terlempar ke dekat Ali Ahmed.
Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya
sedang, mengenakan pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya, memakai sepatu
dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung dan mulut
penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa
kumis atau jenggot.
Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua
tangannya didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki laki itu, membawa
angin pukulan yang dahsyat sekali dan berhawa panas.
“Siancai......!” Laki-laki itu berkata lirih dan tangan kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan
jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Blarrrr......!” Hawa pukulan berasap hitam yang dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan
membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak bergerak lagi.
Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya
kakek yang sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat menerima
tenaganya sendiri yang membalik.
“Suhu......!” Thian Long berseru ketika melihat laki-laki berpakaian kuning itu.
“Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru.
Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Niocu,
lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia
sudah lenyap dari sana.
Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam-tin segera mengerahkan semua perajurit untuk
menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka.
Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak
batang hidungnya lagi. Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan Thian
Liong menyebut “suhu” kepada laki-laki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia bahwa
kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari
situ!
Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan
tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak perduli
kepada gurunya yang tewas!
Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu tidak
muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu saja
mereka menjadi “makanan lunak” bagi Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu
sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi menjadi kusir kereta.
“Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan pemberontakan
Pangeran Hiu Kit Bong!” Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali untuk mencegah puteri itu
menyebar maut.
Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya
merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak orang dan tak
lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan,
tendangan, atau terluka oleh pedang.
Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan mereka
semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa sudah tidak mungkin
dapat melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut sekali.
Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan
dibunuh oleh Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka yang menjadi kaki tangan
pemberontak.
Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas
pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai komandannya. Benteng pasukan
itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore harinya mereka
tiba di benteng itu.
“Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?” tanya Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan
menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan penjaga perbatasan.
“Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau
menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan kepadaku itu?”
“Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak
melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut Paman
Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu silat.
Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita
untuk bertemu dan bicara dengannya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat
berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu dengan
guruku dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran, bagaimana
guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie? Sungguh aku tidak mengerti.”
“Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?” tanya Pek Hong Nio-cu.
Thian Liong menggeleng kepalanya.
“Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan
berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah menceritakan tentang masa
lalunya.”
“Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga
sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai
sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku.”
“Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau
hendak membawa orang-orang ini ke mana?”
“Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar, orangorang
ini dapat menjadi saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak. Aku
akan minta Paman Kuang secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas para
pemberontak.”
Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas
menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga heran.
“Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa tawanan
begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula…… pemuda ini?” Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh
tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah tampan, bertubuh tinggi besar.
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu
dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali, paman.”
Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. “Ah, sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini
sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga, orang muda.” Dia menyuruh para
pengawal untuk mengurus tawanan.
Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu
bahwa waktunya mendesak sekali.
“Paman, orang yang kutawan itu...... oya, aku lupa, ini adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang
membantuku menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu
adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan pemberontakan!”
Pangeran Kuang membelalakkan matanya. “Apa? Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?”
“Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka
ini diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan sandera dan memaksa sri
baginda untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak ada
bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka. Cepat, paman. Hanya Paman Kuang
saja yang dapat menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak. Cepat paman kerahkan
pasukan dan kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku khawatir
akan keselamatan ayah.”
Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak
tirinya, seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai dengan
kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan
merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong hendak memberontak, sungguh dia
merupakan seorang yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan pengkhianat!
“Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti
itu!” kata Pangeran Kuang. “Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang juga!”
Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja. Pek
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan
Pangeran Kuang kepada mereka berdua.
◄Y►
Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah
terbang begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas terpukul tenaganya sendiri
yang membalik. Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin roboh sendiri.
Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan
kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang sakti itu!
Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat
malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu Kit
Bong menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja dengan marah sekali.
“Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau
gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!”
“Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran!
Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu dan
hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki ilmu
kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!
Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang para
panglima sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah
semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong berkata.
“Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang.
Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita tidak
boleh tinggal diam. Malam ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita serbu istana, kita
tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang
datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan Kaisar.”
Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai karena
hal itu akan membuat sekutunya gentar dan patah semangat.
Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan terhadap istana, para Panglima yang
dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan
pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.
Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia
Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk
melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah gagal
menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya mungkin tertawan dan hal itu tentu saja
membahayakan karena rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah maka Pangeran Hiu
Kit Bong hendak melakukan serangan mendadak sebelum terlambat.
Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang diamdiam
masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi
melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang setia
kepada Kaisar kerajaan Kin.
Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang masih
setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam-diam
Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan marah
sekali.
18.1 Pemberontakan Saudara Kaisar Kin
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali
tentara mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan lain yang menghadang.
Terjadilah pertempuran hebat di sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah sekali
melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan melarikan diri
mengungsi keluar dari kota raja!
Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang
dipimpin Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus kegagalannya
memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya
dan banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di tangannya.
Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun
pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu melakukan perlawanan mati-matian!
Maka, setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak belum juga
dapat menduduki istana.
Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang tewas,
semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan balok-balok yang kokoh.
Malam itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan kepada pasukan
untuk beristirahat dan merawat luka-luka mereka.
Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi
mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka mendengar pula bahwa
kalau siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit pembela kaisar
sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan
mempertahankan benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti pasukan pembela kaisar kalah
dan pasukan pemberontak tentu akan menyerbu istana!
◄Y►
Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa
udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk melepas lelah setelah sehari
tadi bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar. Ronda berjalan
sepanjang malam dan para penjaga itu bergiliran.
Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu
meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada
penjaga dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok
benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak
lama kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas wuwungan istana!
Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa
dari Pangeran Hiu Kit Bong.
Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar.
Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.
“Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau akan melaksanakan dengan baik dan
berhasil, Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai,” kata Pangeran itu.
Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan
banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya
menangkap Puteri Moguhai.
“Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?”
“Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan Panglima
Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri Baginda dan
membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau
pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita
yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar.”
“Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!” kata Panglima Kiat Kon dengan tegas. “Kalau Cia-sicu
menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!”
“Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda itu
dengan tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia
mengangguk dan menjawab, “Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena di istana
tentu diadakan penjagaan kuat.”
Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa diketahui perajurit
pembela kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan istana!
Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti
di mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki mereka terpeleset genteng
wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi ketika
mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka tidak mendengar apapun.
Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah, kembali genteng yang mereka injak bergerak
dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar tidak terjatuh.
“Eh, apa ini, sicu?”
Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang. “Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja…...”
Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat
mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai pundak mereka seolah
benda hidup yang terbang mengejar ketika mereka mengelak.
Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu
untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu terjatuh ke
atas genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng. Mereka terkejut
bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak
mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang sengaja mengganggu mereka dan
kalau tadi dua kali kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang mengganggu mereka itu.
“Ciang-kun, kita pergi. Cepat!” kata Cia Song yang menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul
dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan celakalah mereka! Keduanya lalu
cepat meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi, mereka berlompatan dan
keluar dari benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu Panglima
Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.
Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diamdiam
telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran Hiu Kit
Bong karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini.
Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan tentang kegagalannya. “Entah siapa yang
mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena dengan adanya orang yang demikian
saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap atau terbunuh.
Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana.”
Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. “Sialan, gagal lagi! Mana orang she Cia itu?”
“Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi
meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu dengan paduka.”
Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan
besok pagi pagi melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng istana
harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran
Kuang keburu datang dan menyerang mereka.
Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi
yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song
dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang pengawal pribadi
kaisar. Dengan menyandera keluarga dua orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh
isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar malam itu.
Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan dibunuh!
Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam.
Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak
perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi mereka kalah, mereka akan
terjatuh ke tangan pemberontak.
Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan
kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali
mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi,
memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa
dia tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak berada di istana.
Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu
percaya kepadanya. Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu
berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang
dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang
Lin, ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan pribumi Han ini sajalah yang
kelihatan tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun sehingga kaisar teringat
kembali kepada puteri mereka.
“Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi?” tanya
kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini.
Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini seringkali menengok dan memandang
kepada suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang menjadi suaminya itu
sama sekali tidak tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu.
“Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana.”
Kaisar mengangguk-angguk. “Aku percaya bahwa Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja ini
dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita semua.”
“Semoga saja demikian, Sri Baginda,” kata Tan Siang Lin.
Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi
keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan jendela jendela yang
terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan
pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar dengan taruhan nyawa.
Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam
jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah Kaisar!
“Ampunkan hamba, Sri Baginda!” seru yang seorang.
“Ampunkan hamba, hamba...... terpaksa membunuh paduka!” seru orang kedua.
Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah
karena dua orang itu sudah menyerang kaisar.
Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua
sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua orang
perajurit pengawal yang memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan pedang mereka
terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan
kanan masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para perajurit segera berlompatan dan
meringkus dua orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.
Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur
masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang.
“Sie-ko (kanda Sie)......!” Akan tetapi ia sadar dan menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.
“Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!” kata kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh
peristiwa itu. Dua orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka menyembah-nyembah
dan menangis!
“Ampun, Yang Mulia…..! Ampunkan hamba berdua yang terpaksa......” mereka mengeluh dalam tangisan
mereka.
“Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan hendak membunuh kami?” bentak kaisar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan, “Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah
Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh keluarga hamba
berdua yang sudah disandera akan dibunuh.”
Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun menancap di pergelangan kedua orang itu dan
lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin sehelai daun dapat menancap
pada lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal membunuh kaisar? Pada hal daun hijau basah itu
lunak dan lentur!
“Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh,” kata kaisar kepada para pengawalnya.
Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi
dua orang perajurit memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari ruangan itu.
Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, “Dinda Siang Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan
memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu? Apakah engkau melihat seseorang?”
Wajah Siang Lin berubah kemerahan. “Hamba tidak melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba
dapat menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri kita Moguhai, karena hanya
dialah kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun.”
“Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?” tanya kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang manusia
sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat.
Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan
kaisar yang menjadi suaminya itu.
“Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga Sie, Sri baginda.”
“Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat
memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang ini.”
Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela. Seorang perajurit pengawal cepat
menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas putih.
“Apa itu?” tanya kaisar.
“Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia,” kata pengawal itu.
“Cepat bawa ke sini!” perintah Sri Baginda dan perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar.
Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan
suara lantang.
“Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih sekali padamu!”
Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada Siang Lin yang segera membacanya.
Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis
itu.
“Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana
sampai mereka datang.”
Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang
setelah membacanya menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca dan semua wajah
menjadi berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran
Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!
18.2 Si Naga Langit Dan Pemberontakan Kin
“Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!” Kaisar timbul semangatnya dan diapun keluar dari
ruangan itu menemui para perwira yang setia kepadanya untuk mengawasi sendiri pasukan yang
mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar sendiri ke tengah-tengah mereka, para perajurit yang
membela kaisar bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi ketika mereka mendengar
bahwa bala bantuan segera datang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan bunyi terompet, tambur dan canang,
pasukan pemberontak menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang terbuat dari baja itu.
Ada pula yang mempergunakan tangga untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela kaisar
menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian.
Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan. Bunyi denting beradunya senjata bercampur
sorak-sorai dan teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung bersama debu yang mengepul
tebal. Darah mulai berceceran membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang menguasai hati dan
pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas daripada binatang.
Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar,
maka tentu saja pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat. Bahkan pihak penyerang sudah
banyak yang dapat naik ke atas tembok benteng dan di sana sudah terjadi pertempuran seru. Pintu gerbang
mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka mempergunakan kayu balok besar yang digotong
beramai-ramai untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring menggelegar setiap kali ujung balok
itu menghantam pintu gerbang.
Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk mempertahankan pintu gerbang itu dengan
mengandalkan benda-benda berat. Namun, mereka kalah kuat karena kalah banyak dan akhirnya, pintu
gerbang yang tebal dan besar itu jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan belasan
orang perajurit di sebelah dalam yang tadi mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat berat
itu sehingga tewas terhimpit.
Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu bagaikan air bah
mengamuk. Perajurit pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan terjadilah pertempuran
seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya, maka para penyerbu
itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan
orang perajurit penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang perajurit pembela kaisar dan
yang di luar terhalang oleh yang berada di depan.
Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun juga keadaan sudah sangat gawat karena
dapat diramalkan bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat menyerbu ke dalam
bangunan istana.
Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya. Dia memberi komando. Ada yang
menyambut serbuan lewat pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada yang
diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk menghalau musuh yang memasuki benteng
lewat tembok.
Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar sorak-sorai bercampur suara terompet, genderang dan
canang. Para perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka menjadi kacau-balau ketika
diserang oleh pasukan yang baru datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri Moguhai
bersama Thian Liong!
Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka jalan berdarah memasuki kerumunan
perajurit-perajurit pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Melihat betapa pintu
gerbang yang sudah terbuka itu penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok benteng.
Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok benteng melihat datangnya pasukan penolong
itu. Ketika mereka melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal seorang di antara mereka
adalah Puteri Moguhai, mereka bersorak dan semangat mereka berkobar. Apalagi ketika Puteri Moguhai
dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak perajurit pemberontak yang berhasil naik ke atas
benteng, mereka pun bersorak sambil mengamuk.
Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu
atau Moguhai itu memasuki istana. Para perajurit pengawal kaisar yang melihat sang puteri, juga bersorak
gembira. Mereka semua telah mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di luar dan
sedang menyerang pasukan pemberontak.
Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan
Siang Lin lari menyambut.
“Moguhai……!”
“Ibu......!” Mereka berangkulan. “Semua keluarga selamat, bukan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali melihat puterinya datang bersama pasukan
Pangeran Kuang. Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu siapa yang menulis surat
itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan sambitan
daun?
“Di mana Sri Baginda?” tanya Moguhai ketika tidak melihat ayahnya, di antara mereka.
Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai karena lega dan gembira hatinya, berkata,
“Moguhai, ayahmu sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan pemberontak.”
“Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!” kata Puteri Moguhai kepada pemuda itu.
Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah
kepada para perwira pasukan yang mempertahankan benteng. Serbuan Pasukan yang datang membuat
kaum pemberontak panik dan yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan datangnya
pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan semangat mereka dan mereka didesak keluar oleh
pasukan yang berada di dalam benteng istana.
“Sri Baginda......!” seru Puteri Moguhai dengan hati bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi
dorongan semangat kepada para perajurit.
Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri melihat puterinya. “Ah, Moguhai!
Kedatanganmu bersama Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada waktunya! Kami semua
merasa gembira sekali!”
“Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka
sendiri bersusah payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya Souw Thian Liong ini
yang akan membantu pasukan menyerbu keluar!”
Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan
dada dan membungkuk sampai dalam.
“Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat,” kata Kaisar dan dia lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima
orang pengawal pribadi yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu mengikuti dari jarak dekat
ke manapun kaisar pergi.
Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan dengan mudah mereka mendesak para
pemberontak keluar dari benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar. Mereka menjadi
panik dan banyak di antara mereka terluka atau tewas.
Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh brewok itu mengamuk seperti seekor
harimau terluka. Dia sudah merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah umntuk menjadi panglima besar
kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah hampir
berhasil. Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin Pangeran Kuang sehingga kini pasukannya
terjepit antara pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengah-tengah pertempuran dekat
benteng istana, tidak mungkin keluar dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan diri. Sudah kepalang
karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya tentu tidak luput dari hukuman. Maka dia mengamuk
dengan pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak perajurit pembela kaisar yang roboh dan tewas
terkena babatan pedangnya.
Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah seorang perajurit musuh berikutnya.
“Trangggg......!” bunga api berpijar dan Kiat Kon merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak
tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan
tetapi dia masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat memandang ke kanan untuk melihat siapa
yang menangkis pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang yang memegang pedang bengkok
menangkis serangannya, mukanya berubah pucat. Kiranya Puteri Moguhai yang berdiri di depannya dengan
mata bersinar penuh kemarahan.
“Puteri...... Moguhai…..!” dia berseru gagap.
“Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!” bentak Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai. “Sri
Baginda telah memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menjadi
pengkhianat dan pembantu pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?” Setelah berkata demikian,
Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi
tidak ada jalan keluar lagi baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana dan kiranya tidak
mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai. Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri.
Akan tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia telah memiliki ilmu silat yang jauh
lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan mati-matian.
Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ, seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh
tahun yang bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek, pakaiannya menunjukkan
bahwa dia seorang bangsawan tinggi, sedang berdiri dengan pedang di tangan. Lima orang pengawal
melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung bangsawan tinggi itu. ternyata lima orang
pengawal itu cukup lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima orang yang memegang
golok besar itu.
Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah
digambarkan oleh Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis pendek. Tentu inilah
pangeran yang menjadi biang keladi pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua orang
pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan
dua orang itu terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan. Pangeran Hiu Kit Bong
mencoba untuk membacoknya dengan pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan tangan kirinya,
pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat kitat Thian Liong menotoknya sehingga
Pangeran Hiu Kit Bong tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu membawa tubuh Pangeran itu
melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat tinggi itu dia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya
sehingga suaranya terdengar lantang sampai jauh.
“Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin
mati cepat lempar senjata dan menyerah!!”
Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan tetapi karena semua perajurit pemberontak
tidak mengenal pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu Kit Bong, maka mereka
menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok benteng dan ternyata
ia adalah Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil merobohkan Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan
yang menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat Thian Liong, yang merangkul
Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak melengking.
“Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak,
kalian akan dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan dan Panglima Kiat Kon juga
sudah tewas!”
Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit
Bong benar-benar telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi mereka membuang senjata
mereka dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.
Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak
dibunuh. Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi membela kaisar.
Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng. Para perajurit melakukan penangkapanpenangkapan
teradap mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di bawah pimpinan para
panglima yang setia kepada kaisar. Ada pula yang bertugas membersihkan benteng istana, merawat yang
terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.
Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang menjadi anak buah dan sekutunya, dengan
kedua tangan diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran Kuang, Puteri Moguhai dan Thian
Liong. Semula Thian Liong tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan imbalan jasa
untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri
Moguhai berkata.
“Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku. Engkau telah membantu kami, sudah
sepantasnya kalau ayah bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang membantu aku, nanti aku
akan membantumu mencari gadis berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!”
Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang
menggiring tawanan yang jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia merasa janggal.
Dia memasuki istana Kaisar Kin yang merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung, menjajah
tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak merasa bersalah. Dia pasti tidak akan membantu
Kerajaan Kin sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau sekarang dia membantu
dunia-kangouw.blogspot.com
kerajaan Kin adalah karena dia memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang tentu saja
merupakan pihak yang tidak benar karena memberontak. Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit
Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang harus
ditentangnya karena pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh buruk kepada Kaisar
kerajaan Sung.
Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari
menghampiri ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi hormat kepada kakak tirinya
dengan sikap gagah sebagai seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kaisar.
Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak
akan ragu-ragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan. Akan tetapi dia berhadapan dengan
kaisar kerajaan Kin, kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya mengangkat kedua tangan
depan dada sambil membungkuk sebagai penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan berkata
lirih.
“Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang membantu kita dan dia pula yang menangkap
Pangeran Hiu Kit Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat dihentikan.”
Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar bangsa Han itu. Dia tersenyum dan memandang
kepada Thian Liong lalu mengangguk-angguk. “Souw sicu, silakan duduk di kursi itu. Engkau juga,
Pangeran Kuang!”
Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini
setelah mengambil Tan Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan. Kalau dahulu dia
terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin sehingga
dia menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua orang tentu mengira bahwa kaisar akan
menghukum mati pimpinan pemberontak itu
Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para
sekutunya tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga mereka di daerah
utara, hidup dalam pengasingan dengan suku-suku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada
kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan gerakannya menumpas pemberontak,
dimulai dari kunjungan Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan, yaitu Ngo-heng
Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai, sampai
pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil membasmi para pemberontak pada saat
yang tepat.
Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri Moguhai untuk menceritakan pengalamannya
bersama Souw Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai menarik perhatian semua
keluarga istana yang hadir di situ. Mereka merasa kagum sekali. Setelah mendengar betapa Souw Thian
Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan Kin dan berjasa besar, Kaisar segera berkata
sambil memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.
“Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Katakan, apa
yang kau inginkan dari kami? Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas budi dan jasamu.”
Thian Liong cepat memberi hormat. “Maafkan hamba, Sri Baginda. Harap Paduka tidak salah paham.
Hamba sama sekali tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama sekali bukan perbuatan
jasa atau pelepasan budi, apalagi berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah menjadi kewajiban
hamba untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah dari Paduka, hanya hamba tidak
mengharapkan imbalan apa pun.”
“Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar
sejati, dan memberi hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan menghinanya. Hamba
mempunyai cara yang terbaik untuk membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis berpakaian
merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan dia juga bertugas untuk menentang Perdana Menteri
Chin Kui di kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya, dengan demikian hamba dapat
membalas budi kebaikannya,” kata Puteri Moguhai kepada kaisar.
Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga, Chin
Kui dahulu merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang mencegah balatentara Sung
yang dipimpin Jenderal Gak Hui, jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin, melanjutkan
dunia-kangouw.blogspot.com
gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan
Cina bagian utara. Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk berdamai dengan kerajaan Kin,
bahkan kerajaan Sung mengirim upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini dia melihat
kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya
sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.
“Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak ditentang?” tanyanya sambil memandang
kepada puterinya.
Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya. “Sri Baginda, Souw Thian Liong hendak menentangnya
karena Chin Kui terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat terhadap kerajaan Sung.
Selain itu, ternyata dia juga menjadi sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak kepada
paduka.”
Kaisar mengerutkan alisnya. “Bersekutu dengan pemberontak?” Dia memandang puterinya dengan sinar
mata penuh keheranan. “Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?”
“Buktinya sudah jelas, Sri Baginda,” kata Puteri Moguhai. “Cin Kui memang diam-diam menjalin
persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim seorang utusan
yang bernama Cia Song untuk menangkap hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk
memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hiu Kit Bong.”
18.3 Penyamaran Puteri Kerajaan Kin
Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Hemm, aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui
adalah seorang yang licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia minta kepada kami
agar kami mengirim pasukan untuk membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar Kao
Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan
kerajaan Sung.”
“Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan untuk menghukum Chin Kui yang
bersekongkol dengan pemberontak itu?” tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.
Kaisar menggeleng kepala. “Tidak boleh, adinda pangeran. Kalau engkau membawa pasukan ke selatan,
hal itu akan dapat menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di sana Chin Kui hendak
mengadakan pemberontakan, biarlah Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan
dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak mencampurinya.”
“Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri yang pergi membantu Souw Thian Liong,
hamba tidak mewakili kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba. Hamba ingin membalas
budi kebaikan Souw Thian Liong dan harap paduka tidak melarang hamba.”
“Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai? Apakah ayahmu ini pernah melarangmu selama
ini? Engkau merantau ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan aku tidak pernah
melarangnya. Baiklah, engkau pergilah membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera pulang.
Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa, usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan sudah
tiba masanya bagimu untuk menikah!”
“Aihh…… paduka…..! Hamba….. belum ingin menikah,” kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap
sehingga ditertawakan semua anggauta keluarga istana.
Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa tinggal di istana selama beberapa hari
karena gadis itu ingin melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu sebelum meninggalkan
mereka untuk melakukan perjalanan dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.
Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang
Lin, merasa berat dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan membantu Thian Liong
menentang Perdana Menteri Chin Kui.
“Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau
orang-orang kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin, tentu engkau akan
dimusuhi dan amatlah berbahaya bagimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Moguhai merangkul ibunya. “Jangan khawatir, ibu. Di dalam istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan
tetapi di luar sana, aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orang-orang akan mengenal aku
sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri Moguhai.”
“Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana kalau dia memberitahukan kepada orangorang
lain?”
“Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah
tertimpa malapetaka. Dia boleh dipercaya, ibu.”
Tan Siang Lin menghela napas panjang. “Bagaimana pun juga, aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau
telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak terdapat penjahat yang
sakti.”
Moguhai tersenyum. “Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri mampu membela dan menjaga diri, juga
ada Souw Thian Liong yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai sekali, ibu. Lihai dan
bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya? Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan
lain adalah Tiong Lee Cin-jin!”
Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan seruan, “Ahh......!” ketika ia
mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi ia lalu menundukkan mukanya dan diam saja.
Moguhai memperhatikan sikap ibunya. “Ibu, ada satu hal yang merupakan kejutan besar.”
“Hemm, apakah itu, anakku?”
“Aku telah bertemu dengan paman Sie!”
“Eh? Benarkah? Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang kautemukan itu Paman Sie?”
“Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia ketika dia datang menemui ibu di taman
beberapa tahun yang lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitab-kitab dan perhiasan
rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong tertawan
kaki tangan pemberontak.”
“Ah......!” Selir kaisar itu memandang wajah puterinya. “Dan dia menemuimu, bicara denganmu?”
“Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu dia menghilang setelah menolong aku dan
Thian Liong.” Kini gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam. “Dan ada satu lagi kejutan besar, ibu.”
Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia memandang puterinya sambil tersenyum
dan berkata, “Ah, engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak kauceritakan, Moguhai?”
“Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw Thian Liong!”
Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas
menunjukkan bahwa ibunya pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan Tan Siang Lin
masih tersenyum ketika bertanya kepada puterinya.
“Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu Tiong Lee Cin-jin?”
“Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku, Thian Liong berseru memanggilnya
dengan sebutan suhu. Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman Sie adalah Tiong
Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu? Ibu tentu lebih mengenal dan mengetahui, bukan?”
Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab dan hanya menundukkan mukanya,
kemudian malah melamun dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul ibunya. Ia
biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa gelisah
dan ingin sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.
“Ibu, ada apakah, ibu? Ibu agaknya menyimpan rahasia! Ceritakanlah kepadaku, ibu.”
Tan Siang Lin menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada apa-apa, anakku. Hanya aku merasa terharu
mendengar sahabat baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun sudah menyelamatkan
ayahmu ketika ayahmu terancam oleh dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan Pangeran
Hiu Kit Bong.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, benarkah ibu? Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang hal itu!” kata Moguhai, ikut gembira karena
bagaimanapun juga, ia merasa dekat dengan “Paman Sie” yang telah memberi tiga kitab pelajaran ilmu silat
tinggi dan perhiasan rambut, dan menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia belum pernah bertemu dan
bercakap-cakap.
“Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak persoalan yang harus diurus ayahmu
berhubung dengan pemberontakan itu.”
“Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu, Ibu?”
“Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam, dalam keadaan tegang karena pada siang
harinya terjadi pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya menjaga di dalam benteng
istana dan pintu gerbang ditutup rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami semua dapat
menduga bahwa besok paginya para pemberontak tentu akan menyerang lagi.
Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di tangan, menyerang ayahmu. Mereka telah
menjadi antek Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba maka agaknya tidak ada
yang akan dapat menyelamatkan ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar hijau
meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu yang senjata mereka terlepas dan mereka sendiri
lalu terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan ternyata yang menancap di tangan mereka
hanyalah dua helai daun hijau!”
Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum. “Hebat! Bukan main! Daun basah dapat
dipergunakan sebagai senjata rahasia! Alangkah saktinya!”
“Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela
dan aku yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela. Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di
mana adanya engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas bersurat.” Tan Siang Lin lalu
mengambil sebuah lipatan kertas dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai. “Inilah
suratnya, masih kusimpan.”
Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima surat itu dan membuka lipatan lalu
membacanya.
“Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana
sampai mereka datang.”
“Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?” tanya puteri itu.
Ibunya mengangguk. “Aku yakin sekaIi. Aku mengenal tulisannya yang indah itu.”
Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak
begitu tentu ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah mereka itu pernah saling
bersurat-suratan? Moguhai tidak berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan ibunya
dengan dugaan yang terlalu jauh itu.
“Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan perantauan jauh ke barat sampai belasan
tahun dan ketika dia kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan yang dulunya hilang.
Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada pemilik aselinya. Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab
pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira
mereka berdua itu hanya satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah Tiong Lee Cin-jin?”
Tan Siang Lin menghela napas. “Mungkin sekali demikian, Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan
kepadaku bahwa dia juga disebut Tiong Lee Cin-jin walaupun…… eh, dia juga telah pergi selama belasan
tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa.”
“Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah belasan tahun saling berpisah?”
Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas. “Sudahlah, Moguhai. Jangan banyak
membicarakan dia, tidak enak kalau didengar orang lain, disangkanya nanti ada apa-apa…...”
“Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie seperti yang ibu pesan dulu.”
“Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia
adalah sahabat baik ibumu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata demikian iapun membelokkan percakapan
tentang hal lain dan tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan kerinduannya kepada
keluarga istana selama tiga hari, Moguhai lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.
◄Y►
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek Hong Nio-cu karena selama melakukan
perjalanan bersama Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai, menunggang kuda di
sebelah Thian Liong. Mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki wilayah
kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi Sungat Yang-ce.
Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak
menemui banyak kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh kehormatan setelah para
pembesar setempat mengetahui, dari pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan perjalanan
itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan pembesar yang
sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja kecil yang lalim, ia segera turun tangan
memberi hajaran dan memperingatkan mereka dengan keras.
Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di
daerah barat. Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari timur yang sebetulnya lebih
dekat dan mereka dapat langsung tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah timur itu
merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat
daerah itu akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.
Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan setengah malam di bawah sinar bulan purnama,
mereka dan juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian Liong yang kini menjadi
penunjuk jalan di daerah Sung yang lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar mereka dapat
beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung, atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu
mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis pribumi Han. Hal ini amat penting
karena kalau ia mengenakan pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), hal itu akan
menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan dimusuhi oleh rakyat pribumi.
Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian pengganti, memakai pakaian gadis Han,
akan tetapi tetap saja pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di kepalanya masih
dipakainya, hanya gelung rambutnya disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han.
Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali karena wajah puteri itu memang lebih mirip
gadis pribumi Han daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat cantik jelita, maka di
mana saja, orang-orang, terutama para pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.
Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan segera menyambut dan mengurus kuda mereka. Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan
rumah penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan yang duduk di belakang meja
penerima tamu.
Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan itu bahwa para tamu harus memperkenalkan
namanya. Ketika ditanya, Thian Liong menjawab tenang. “Namaku Souw Thian Liong dan nona ini adalah
adikku, Souw-siocia (Nona Souw). Kami hendak pergi ke kota raja.
Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka lalu memasuki kamar masing-masing untuk
tidur karena merasa lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya terbangun dengan tubuh
terasa segar kembali. Setelah mandi dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan yang
berada di samping rumah penginapan dan memesan makanan.
Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba-tiba mereka dan semua orang yang sedang makan dalam
rumah makan itu dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata adalah perajurit-perajurit
berpakaian seragam dan jumlah mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang bertubuh
tinggi besar.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan memandang kepada perwira yang memimpin
pasukan kecil itu. Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga tampak memasuki rumah
makan dan orang ini mendekati sang perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu segera melangkah lebar
menghampiri Thian Liong, diikuti belasan orang anak buahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah
cepat-oepat menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di meja pengurus rumah makan.
Berdasarkan pengalaman, kalau pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin tersangkut.
Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan
itu. Para pelayan rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran, menonton dari kejauhan.
Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan perajurit itu menghampiri meja mereka, Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu dengan sikap acuh mengangkat
cangkir air tehnya dan minum.
Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan
mukanya brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu bertanya dengan suara parau dan
sikapnya kasar.
“Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?”
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang, akan tetapi Thian Liong memberi isyarat
kepadanya agar diam, lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab. “Benar, aku bernama Souw Thian
Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?”
“Bagus!” Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang anak buahnya yang juga mencabut golok
mereka.
“Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu. Jangan melawan agar kami tidak perlu
menggunakan kekerasan!”
Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan
pasukan kecil itu yang mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata penuh marah dan
mulut menyeringai kurang ajar, ia menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.
“Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa engkau hendak menangkap aku? Katakan
dulu apa kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah dengan senang hati untuk
kautangkap,” kata Thian Liong, tidak menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau sikapnya.
Perwira tinggi besar itu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau masih pura-pura bertanya? Engkau adalah seorang
buruan pemerintah. Engkau seorang pengkhianat yang menjadi antek kerajaan Kin, tentu engkau hendak
memata-matai daerah ini, bukan? Nah, menyerahlah kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa! Dan Nona
inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu, apalagi engkau mengaku bahwa ia adikmu, tentu
tersangkut dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!” Perwira itu lalu menoleh kepada anak buahnya.
“Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!”
Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah menggerakkan cangkir tehnya dan air . teh dari cangkir
itu menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.
“Ah...... aduh......!” Perwira itu meraba mukanya yang terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya pedas
tersiram air teh yang masih panas! “Serang mereka!” bentaknya sambil menggosok-gosok matanya yang
belum dapat dibuka.
Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan menggerakkan golok mereka menyerang Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu!
“Nio-cu, jangan bunuh orang!” Thian Liong berseru kepada gadis itu.
Pek Hong Nio-cu menendang meja di depannya. Meja melayang dan menimpa para perajurit sehingga
empat orang kena hantam meja dan roboh. Dua orang muda itu lalu melompat dan kaki tangan mereka
bergerak cepat. Terdengar teriakan teriakan mengaduh disusul golok beterbangan lepas dari tangan para
perajurit dan tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi dalam ruangan rumah makan itu!
19.1 Buronan Pemerintah Kerajaan Sung
Si perwira yang belum sempat dapat membuka matanya, disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu.
Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara berdebuk dan tubuh perwira itu terjengkang dan
terbanting ke atas lantai. Dia mengaduh dan memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas melilit-lilit.
Mungkin usus buntunya kena tendang Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda itu mengamuk dan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
tamparan dan tendangan, dalam waktu pendek saja belasan orang perajurit itupun sudah dapat mereka
robohkan.
“Kita pergi!” kata Thian Liong dan mereka berdua cepat meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah
penginapan, bermaksud mengambil buntalan pakaian mereka. Akan tetapi ternyata buntalan pakaian itu
sudah tidak ada lagi!
Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah menangkap leher baju pengurus rumah penginapan dan
membentak, “Katakan di mana buntalan pakaian kami!” Dia mengguncang orang itu yang menjadi
ketakutan.
“Maaf...... kami...... kami tidak berdaya...... buntalan-buntalan itu telah disita perajurit......!”
“Keparat!” Pek Hong Nio-cu berseru marah.
“Sudahlah, kita pergi, ambil kuda!”
Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa pedang dan bekal perhiasan Pek Hong Nio-cu tadi dibawa
ketika makan sehingga yang tersita hanya pakaian saja. Setelah tiba di kandang kuda, mereka melihat
empat orang perajurit seclang menuntun kuda mereka. Mereka menjadi marah dan melompat ke depan,
merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah lalu keduanya melompat ke atas punggung kuda dan
membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.
Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah timur, menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun.
Mereka berhenti di tempat yang sepi di luar kota yang sudah tampak tak jauh di depan, lalu melompat turun
dari kuda dan duduk di atas batu di tepi jalan. Mereka tadi telah membalapkan kuda selama beberapa jam.
Matahari mulai condong ke barat.
Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan lehernya, menggunakan sehelai saputangan.
“Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong. Agaknya pemerintah Kerajaan Sung telah
menganggap engkau menjadi pengkhianat dan menjadi mata mata Kerajaan Kin. Ini tentu akibat engkau
membantu kami di sana.”
“Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu kerajaan ayahmu untuk menentang pemberontakan di
sana, bukan untuk memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu fitnah belaka. Akan tetapi sungguh heran, bagaimana
mereka bisa tahu?”
Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku tahu, Thian Liong. Pasti suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan
fitnah ini sehingga engkau dicap sebagai buronan pemerintah kerajaan Sung.”
“Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat sekali Cia Song. Dia memutar-balikkan kenyataan.
Dialah sesungguhnya pengkhianat yang sangat jahat, antek Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi, aku
masih sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar di kota Ciu-siang saja yang entah bagaimana memang
membenciku.”
“Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan itu, sekalian kita membeli pakaian pengganti karena
pakaian kita telah habis disita di kota Ciu-siang.”
“Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau tidak salah, itu adalah kota Ki-bun.”
“Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di luar kota, Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa
namamu sudah dicap sebagai buronan pemerintah sehingga di kota Ki-bun engkau juga akan dikejar-kejar,
kita lebih mudah untuk melarikan diri,” kata Pek Hong Nio-cu.
Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka menemukan sebuah rumah petani di luar kota. Mereka lalu
menitipkan kuda dan pedang mereka kepada nenek petani pemilik rumah itu, kemudian mereka berdua
berjalan memasuki kota Ki bun. Mereka meninggalkan pedang agar tidak menarik perhatian orang.
Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan aman dan Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong
berbelanja pakaian di toko. Setelah membungkus pakaian mereka dalam buntalan dan mereka gendong di
punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong Nio-cu pergi ke sebuah rumah penginapan dan dengan
sengaja Thian Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada pengurus rumah penginapan. Mereka lalu
makan di rumah makan dan kembali ke rumah penginapan untuk melewatkan malam dalam dua buah
kamar yang mereka sewa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga. Buntalan pakaian sudah dipersiapkan di atas meja dan
mereka merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut sepatu agar kalau ada apa-apa mereka dapat
cepat melarikan diri membawa buntalan pakaian yang baru mereka beli sore itu. Mereka menunggu dengan
tenang-tenang saja dan dapat tidur pulas walaupun mereka tetap waspada sehingga biarpun tertidur,
mereka peka sekali.
Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti yang mereka duga, umpan pancingan Thian
Liong berhasil. Pengurus rumah penginapan itu memang sudah mencatat nama Souw Thian Liong sebagai
buronan pemerintah, seperti juga para pengurus semua penginapan. Begitu mengetahui bahwa tamunya
bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan segera melaporkan kepada komandan pasukan
keamanan setempat. Komandan itu segera membawa tigapuluh orang anak buahnya dan pasukan ini
mengepung dua kamar di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berada.
Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu kamar Thian Liong.
“Tok-tok-tok! Souw Thian Liong, keluar dan menyerahlah!”
Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian Liong segera menyambar buntalan pakaian dan
digendongnya. Demikian pula yang dilakukan Pek Hong Nio-cu. Mereka berdua, hampir bersamaan
membuka daun pintu dan menerjang keluar.
“Tangkap! Serang mereka!” Komandan pasukan itu memberi aba-aba.
Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan golok di tangan. Akan tetapi, seperti sudah mereka
sepakati, Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong tidak melayani mereka berkelahi. Dua orang itu menerjang
keluar, merobohkan siapa saja yang menghadang dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang berani
menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu bagaikan dua ekor burung saja lalu melompat jauh
ke depan, keluar dari rumah penginapan itu. Komandan pasukan berteriak-teriak, memberi aba-aba
pengejaran dan mereka semua mengejar keluar. Akan tetapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah menghilang dalam kegelapan malam
karena bulan belum muncul. Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan ngawur mereka
menggeledahi rumah-rumah sehingga penduduk kota Ki-bun menjadi geger.
Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota. Pek Hong Nio-cu memberi hadiah dua potong perak
kepada nenek petani itu yang menerimanya dengan gembira sekali. Dua potong itu baginya merupakan
jumlah yang amat banyak.
Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan merasa heran akan tetapi tidak berani
bertanya ketika dua orang tamunya itu malam-malam begitu melanjutkan perjalanan mereka.
Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama Souw Thian Liong memang sudah disiarkan di semua kota
sebagai buruan pemerintah, sebagai pengkhianat yang jahat dan berbahaya!
“Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan fitnah ini, bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah itu
ke semua kota, dan bagaimana pula para pembesar setempat percaya akan keterangan palsunya itu?” kata
Thian Liong ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan kota Ki-bun.
“Kenapa heran, Thian Liong? Tentu saja Cia Song tidak menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah
bahwa dia adalah antek dari Perdana Menteri Chin Kui yang berkuasa? Tentu dia melaporkan segala hal
yang terjadi di kerajaan kami itu kepada Chin Kui dan Chin Kui yang menyebarluaskan fitnah itu melalui
para pembesar. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar, tentu saja dia dapat memerintahkan para
pembesar untuk menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk Kaisar Sung Kao Tsu dengan
meyakinkan hati kaisar itu bahwa engkau benar-benar seorang pengkhianat sehingga kaisar sendiri yang
mengeluarkan perintah penangkapan atas dirimu.”
Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal tinjunya. “Ah, alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana
Menteri Chin Kui!”
“Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota raja
lebih dulu karena kalau sampai engkau ketahuan memasuki kota raja dan pasukan bergerak untuk
menangkapmu, tentu akan berbahaya sekali bagimu. Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun, akan
dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi
ilmunya?”
“Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Nio-cu. Akan tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja, lalu
bagaimana aku dapat melakukan tugasku menentang Perdana Menteri Chin Kui? Dan akupun harus
dunia-kangouw.blogspot.com
mencari Cia Song. Orang itu ternyata jahat dan palsu. Dia adalah seorang pengkhianat Siauw-lim-pai
dengan menjadi murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia
juga membantu pemberontakan di kerajaan Kin. Aku harus menangkapnya dan membawanya ke Siauw-limpai
agar dia mendapatkan keputusan peradilan di Siauw-lim-pai.”
“Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu, Cia Song mengatakan bahwa engkau akan ditawan dan
dibawa ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk menerima hukuman. Apa artinya kata-kata itu?”
“Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia maksudkan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan
apapun terhadap Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi aku masih bingung, karena sekarang aku
dinyatakan buronan oleh pembesar Kerajaan Sung, lalu bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?”
“Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting, sekarang kita harus menghindari kota-kota besar.
Tidak mungkin pejabat kecil di desa sudah mendengar bahwa engkau dinyatakan buron oleh pemerintah.
Kita melewati desa-desa saja, dan kita mencoba untuk mencari gadis baju merah yang telah mencuri
kitabmu. Nanti kita mencari jalan untuk melakukan penyelidikan di kota raja tentang Chin Kui dan Cia Song.
Kurasa untuk menentang Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan seorang diri saja. Dia tentu
mempunyai banyak pendukung dan pasukan.”
Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum kepada puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu
silatnya dan baik budinya, Pek Hong Nio-cu juga berpandangan luas dan agaknya dapat membuat
perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun agaknya pengertiannya tentang seluk beluk
pemerintahan dan lawan-lawannya cukup luas.
“Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, entah apa yang akan kulakukan. Aku sendiri
menjadi bingung melihat pemerintah menganggap aku seorang pengkhianat yang harus ditangkap.”
“Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri yang pernah menasihatiku bahwa orang yang benar
dilindungi Tuhan? Setidaknya kita berdua tahu benar bahwa engkau bukan pengkhianat, bukan mata-mata
kerajaan Kin, engkau tidak bersalah. Ini semua hanya fitnah yang dilakukan seorang yang jahat, yaitu Cia
Song yang dibantu oleh seorang pembesar lalim seperti Chin Kui. Kita akan lawan mereka dan kita harus
yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka.”
Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi orang buruan pemerintah tanpa melakukan kesalahan
apapun itu membuat Thian Liong menjadi murung. Dia berhutang budi kepada gurunya dan dia selalu
menaati perintah gurunya. Tiong Lee Cin-jin menyuruh dia menyerahkan kitab-kitab kepada mereka yang
berhak. Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan mengalami kegagalan karena sebuah
kitab milik Kun lun-pai dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia belum dapat menemukannya
kembali untuk diserahkan kepada Kun-lun-pai. Kemudian, perintah kedua agar dia membela kerajaan dan
menentang Perdana Menteri Chin Kui, belum dia laksanakan malah sekarang dia dianggap pengkhianat
oleh kerajaan Sung dan menjadi orang buruan yang dikejar-kejar dan hendak ditangkap pemerintah.
Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri sendiri. Dia merasa malu kepada gurunya yang
demikian baiknya. Bahkan ketika dia dan Pek Hong Nio-cu terancam bahaya dan tertawan oleh
pemberontak kerajaan Kin, gurunya itu muncul dan menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang
berilmu tinggi itu pasti sudah tahu akan semua kegagalannya dan hal ini membuat dia merasa malu sekali.
Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak bahagia, Pek Hong Nio-cu merasa iba.
“Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanak-kanak, ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan
sebuah telaga yang disebutnya See-ouw (Telaga Barat). Aku ingin sekali melihat keindahan telaga itu.
Maukah engkau mengajak aku ke sana?”
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang manis dan membujuk sehingga Thian Liong merasa tidak
tega untuk menolak. Maka, mereka mengurungkan perjalanan mereka menuju Lin-an, kota raja Kerajaan
Sung Selatan, melainkan membalik, menuju ke arah Telaga Barat.
◄Y►
Sepasang suami isteri yang menunggang kuda, menjalankan kudanya perlahan-lahan menyusuri sepanjang
tepi See ouw (Telaga Barat) yang cukup luas itu.
Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit, tampak berseri dan cahaya yang masih lembut itu
menghangatkan tubuh dan hati kedua orang suami isteri yang menunggang kuda dengan santai itu. Mereka
menikmati keindahan alam pagi hari itu, tidak pernah merasa bosan walaupun sudah bertahun-tahun
mereka seringkali melakukan perjalanan seperti itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun, akan tetapi dia tampak lebih tua daripada umurnya.
Rambut di atas kedua telinganya sudah memutih dan ada garis-garis duka pada wajahnya. Wajahnya biasa
saja, tidak terlalu tampan namun tidak pula jelek, akan tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada sikap
tubuh dan penampilannya, membayangkan kejantanan dan kegagahan. Sebatang pedang yang berada di
pungungnya menambah kegagahannya. Dia memang seorang yang gagah perkasa, bahkan pernah
menjadi komandan Pasukan Halilintar, sebuah pasukan dalam barisan yang dipimpin mendiang Jenderal
Gak Hui yang amat terkenal itu. Pria ini bukan lain adalah Han Si Tiong yang sudah kita kenal dalam bagian
awal kisah ini.
Adapun isterinya, yang menunggang kuda di sampingnya, adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar tigapuluh
delapan tahun. Wajahnya cantik manis, berbentuk bulat telur, terutama sekali bibirnya yang membuat ia
tampak menarik sekali, apa lagi ada tahi lalat di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita ini
membawa pedang di punggungnya.
Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut
berjuang sebagai bawahan mendiang Jenderal Gak Hui, melawan pasukan-pasukan Kin di perbatasan.
Suami isteri ini dengan Pasukan Halilintarnya membuat kemenangan dan jasa, akan tetapi tiba-tiba saja
mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari kaisar untuk menarik mundur pasukannya. Ini adalah
akibat dari bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada Kaisar yang menghentikan perang terhadap kerajaan
penjajah Kin. Bahkan kemudian Perdana Menteri Chin Kui berhasil membujuk Kaisar dan menjatuhkan
fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga panglima yang gagah perkasa dan setia ini dihukum mati.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah pertempuran berhasil menewaskan Pangeran Cu Si,
pangeran Kerajaan Kin. Mereka mengambil pedang bengkok pangeran Kin ini untuk oleh-oleh puterinya,
Han Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang lebih tujuh tahun dan yang memang memesan kepada ayahnya
agar dioleh-olehi pedang bengkok itu. Akan tetapi ketika mereka berdua pulang ke Lin-an, mereka
mendapatkan bahwa Lu-ma, pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang dan puteri mereka itu lenyap diculik
pembunuh itu!
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk mencari puteri mereka yang hilang. Namun semua usaha
bertahun-tahun mereka sia-sia. Dan mereka mendengar betapa Jenderal Gak Hui telah dijatuhi hukuman
mati. Hal ini membuat mereka berduka sekali dan mereka tidak mau kembali ke kota raja, tidak mau
mengabdi kepada Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari puterinya dengan sia-sia, akhirnya mereka
tinggal di sebuah dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah, mendirikan rumah
sederhana dan menjadi petani.
Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalan-jalan di waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak ada
seorangpun penduduk daerah telaga itu yang mengetahui bahwa Han Si Tiong, yang mereka sebut Hansicu
dan Liang Hong Yi yang mereka sebut Han-toanio adalah suami isteri yang dulu pernah memimpm
Pasukan Halilintar yang terkenal. Para penduduk hanya mengenal mereka sebagai seorang gagah yang
memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu menjadi aman dan tidak ada lagi perampok yang
suka mengganggu penduduk pedusunan. Mereka dihormati semua orang yang tinggal sekitar Telaga Barat.
Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi berjalan-jalan menunggang kuda di tepi telaga.
Ketika mereka tiba di bagian yang sepi karena daerah itu berhutan yang panjangnya sekitar dua lie (mil) di
tepi telaga dan melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba kedua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan
mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan ketakutan.
19.2 Berita Si Anak Yang Hilang
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat turun agar tidak sampai terjatuh dan mereka memegang
kendali kuda, berusaha menenangkan kuda mereka. Akan tetapi pada saat itu, seekor ular kobra melompat
dari depan dan dengan cepat sekali, seperti anak panah menyambar, ular itu menggigit kaki kedua ekor
kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga kendali yang dipegang Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi putus. Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa tombak jauhnya mereka Iari,
mereka lalu roboh terguling dan tewas seketika!
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat kuda mereka tewas digigit ular kobra. Mereka
mencabut pedang dan bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan tetapi tiba-tiba ular kobra itu melayang ke
bawah pohon besar.
Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak kaget dan heran melihat betapa ular kobra itu ditangkap
seorang kakek dan setelah berada di tangan kakek itu ular kobra yang tadi menggigit mati dua ekor kuda
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka, kini berubah menjadi sebatang tongkat ular kobra kering! Suami isteri itu, dengan pedang masih di
tangan, memandang kepada kakek itu dengan penuh perhatian.
Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya yang
lebat sudah putih semua. Kepalanya yang berambut putih itu ditutupi sebuah topi yang biasa dipakai oleh
suku bangsa Uigur. Tubuhnya sedang, agak kurus namun masih membayangkan ketegapan dan kekuatan.
Wajah yang berkumis dan berjenggot lebat itu tampak menyeramkan, terutama karena sepasang matanya
liar, bergerak gerak ke kanan kiri dan bersinar tajam dan mengandung kekuatan dan wibawa.
Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon besar itu kini terkekeh aneh dan bangkit berdiri,
bertopang pada tongkatnya yang ternyata merupakan seekor ular kobra kering yang tentu saja sudah mati
dan kaku keras. Sepasang suami isteri itu menatap ke arah tongkat itu dan hati mereka merasa ngeri.
Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah mati, kaku dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali dan
menggigit dua ekor kuda mereka sampai mati keracunan? Mereka berdua adalah ahli-ahli silat yang pandai,
akan tetapi menghadapi peristiwa tadi, mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang ahli
sihir yang berbahaya. Hanya dengan kekuatan sihir saja ular yang mati dapat menyerang seperti ular hidup!
Han Si Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka diapun mengangkat kedua
tangan depan dada sebagai penghormatan, diturut oleh isterinya.
“Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor
kuda kami? Apakah kesalahan kami?” tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.
Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu
ke atas tanah. “He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya? Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?”
Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak menyangkal lagi. “Benar, kalau begitu,
kenapa?”
Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata itu
semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api.
“Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau
mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam
pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku
hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan
memang aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas
dendam. Kalian harus mati di tanganku!”
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan
menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala
tentara yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang melawan
pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama sekali tidak merasa gentar. Bagi bekas
pejuang seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang perlu ditakuti. Akan tetapi mereka
merasa penasaran sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini mendendam kepada
mereka, dan mengancam akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah
mengenalnya!
“Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe
mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa
artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan
tahun? Kami sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan dengan lo-cianpwe,” kata Han
Si Tiong dengan suara dan sikap masih menghormat.
“Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran. Aku
adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular
Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya.
Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam
sebuah pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin
minta kepadaku untuk mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh kalian untuk
membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam pertempuran.”
“Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam
perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan pertempuran dalam perang
dunia-kangouw.blogspot.com
berarti membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan dendam pribadi?”
bantah Han Si Tiong.
“Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu
memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di rumah kalian,
di Lin-an (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum kembali dari
perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik puteri kalian itu.”
“Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana
sekarang Bi Lan anakku!” Liang Hong Yi berseru marah sekali.
“Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan apa
saja terhadap anak dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah perjalanan,
anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali
ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat aku merasa malu untuk bertemu Kaisar
Kin. Aku selama bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat menemukan kalian dan
membunuh kalian agar aku ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah mempercayaiku dan
baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk mampus di tanganku!”
“Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!” kata Han Si Tiong. “Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di
mana adanya anak kami itu sekarang!”
Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu dari
tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu.
“Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini!
Hyaaaattt......!!”
Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat bukan
main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong.
Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut
pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur itu
dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan tongkat
ularnya dari bawah untuk menangkis sambil mengerahkan senjatanya.
“Singg...... tranggg......!!” Pedang itu terpental dan Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget
sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular,
telapak tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat
lihai.
Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat
melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar
tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan sinar
hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang menyerangnya.
“Cringgg......!” Kembali terdengar dentingan nyaring ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga
merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan dalam
adu senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani
mendekat, hanya membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau
samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa
mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain
kecuali melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari lawan yang amat tangguh
itu.
Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat
limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya kematian mereka hanya
menunggu beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri dengan
memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan mereka gawat sekali.
Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya,
menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring.
“Haiiiittt......!” Pedangnya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan
tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu. Liang
Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet
pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.
Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.
“Trang......!!” Pedang di tangan Han Si Tiong menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan tetapi
pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa melepaskan pula pedangnya karena tangannya
terasa panas sekali.
Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena
pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar
hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.
“Singgg...... tranggg......!” Toat-beng Coa ong Ouw Kan terkejut bukan main.
Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika
dia memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang dan agaknya
pemuda itu yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya. Di samping pemuda itu
berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga gadis
itu membawa sebatang pedang di punggungnya.
Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang gadis Han dan karena pedang bengkok
sebagai tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung,
maka ia tidak membawanya dan sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk melengkapi
penyamarannya.
Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh
tahun lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia kurang lebih
delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih ingat
bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai dan bernama Ouw Kan. Akan tetapi
tentu saja ia tidak mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai seorang gadis Han dan
pula urusan datuk itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia dan Thian Liong
datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian Liong segera melompat dan
menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.
Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah.
“Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong?” Kakek itu
hendak menggertak dengan nama julukannya yang terdengar menyeramkan dan sudah amat terkenal di
dunia kang-ouw itu.
Thian Liong menjawab dengan sikap tenang. “Lo-cianpwe, kami sama sehali tidak menentangmu.”
“Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri urusanku dan berani menangkis tongkatku dan kaubilang
tidak menentang?”
“Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena melihat ada seorang wanita hendak dibunuh
dengan kejam, maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan mencegahnya.”
“Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan
menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati,
beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa meninggalkan nama!” Ouw Kan membentak dengan
sikap galak!
Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi
tamu ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu
orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw
Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu maju dan berkata dengan nyaring.
“Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam dan
sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu membikin kami merasa takut
? Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan dia ini bernama
Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu
tidak ingin lebih cepat mampus!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk
perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi
sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan
lawan sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia
diam saja dan hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran mengapa tibatiba
Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek Hong.
Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik.
“Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?”
Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.
“Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci kepada
orang kejam dan sombong macam kamu!”
Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram. Kemarahannya memuncak karena dia dihina
oleh gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya, menudingkan tongkat ular itu ke arah
Pek Hong Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.
“Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah
kepadaku!”
Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi.
Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti dipaksa untuk berlutut. Akan
tetapi sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya, terdengar suara Thian
Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya bagaikan secercah sinar memasuki ruangan
batinnya yang mendadak gelap tadi.
“Nio-cu, bangkit dan mundurlah!”
Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur karena menyadari betapa berbahayanya
lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian Liong melangkah
maju menghadapi Ouw Kan dan mereka berdua saling pandang. Biarpun mereka berdua hanya berdiri
saling berhadapan dan saling berpandangan, namun sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara
kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui pandang matanya, dan Thian
Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.
Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda
itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis itu. Karena itu, dia lalu
mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian
Liong.
“Sambut seranganku!” Tongkat itu melayang ke atas, lalu menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali,
meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda sebelum
“terbang” kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini memang
berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong
Yi karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih memuaskan baginya kalau dia
membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi lawannya sekarang, pemuda
itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak mencoba menyerangnya dengan keampuhan
tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.
Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan serangan yang wajar, melainkan mengandung
kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan kekerasan dia akan terancam
bahaya. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya lalu dia mendorong
ke depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil berseru nyaring.
“Hyaaaatt...... blarrr......!!” Tongkat yang berubah menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan
dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor
ular kobra kering yang menjadi tongkat!
“Keparat busuk, mampuslah!” Ouw Kan kini yang sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah
Thian Liong dengan serangan tongkatnya.
“Tranggg......!” Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat
kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi
tenaganya sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah membalik ke
dunia-kangouw.blogspot.com
bawah menusuk ke arah perut lawan. Ouw Kan terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah
sehingga kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan suara berdencing nyaring.
Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya juga
memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.
Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek Hong
Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg......!” Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh dorongan tangan Thian Liong yang menyambut
serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang
kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong
dengan pukulan jarak jauh.
Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda remaja
ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu dan
mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya
mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu ke arah dua orang lawannya. Thian Liong
berseru kepada Pek Hong Nio-cu.
“Nio-cu, awas......!” Gadis itupun cepat mengelak ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong
menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir yang
disambitkannya itu mengandung racun pula.
Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat
berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.
19.3 Bukan Dendam Pribadi!
Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara
wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.
“Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang
diri.”
Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok
di dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh itu. Ternyata sedikit luka di
paha Liang Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan membengkak dan terasa nyeri dan panas
bukan main.
Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu. “Paman, biarkan aku mencoba untuk
mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang berbahaya!”
Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han
Si Tiong.
“Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka.”
Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi.
Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong
lalu merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya tergores
dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun pada tongkat ular kobra itu membuat kulit
pahanya berubah menghitam dan membengkak.
Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia
menggores luka kecil itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu
ditempelkan pada luka yang berdarah.
Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahanlahan,
pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih
mulus seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang Naga
Langit) yang kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian Liong
menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa girang sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini, bibi,” kata Pek Hong Nio-cu sambil membuka
sebuah bungkusan obat bubuk putih. Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang robek oleh
ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama
sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada
Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
“Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami
berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih sekali
kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami.” kata Han Si Tiong. “Perkenalkan, Souw-sicu dan
Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun
Kian cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di
sana kita dapat bicara dengan leluasa.”
Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk.
“Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan peristiwa tadi,” kata Thian Liong dan dia
bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.
Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang
cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi tahu
seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang tetangga
untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat telaga. Kemudian dia dan isterinya
mempersilakan dua orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka duduk mengelilingi meja
bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak biasa
minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu menghidangkan air teh.
“Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw
Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi? Kami ingin sekali mengetahui sebabnya,” kata
Pek Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.
Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kami sendiri tadinya juga merasa heran.
Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami
diserang ular dan roboh mati.
Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia
memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami. Sebelumnya kami sama
sekali tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa dengannya.”
“Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia
dapat mendendam kepada paman dan bibi?” tanya Pek Hong Nio-cu.
“Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut
berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur
melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan seorang
pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si.”
“Hemm, begitukah?” kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun.
Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas dalam
perang melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana berkabung.
Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu
pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu!
Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si
Tiong melanjutkan ceritanya.
“Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin
mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami.
Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu
menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia berusia tujuh tahun, dan membunuh
pengasuhnya. Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an, meninggalkan
pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan tetapi
semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi
ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka.
Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.
“Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia
bercerita bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lolos dari tangannya. Dia
tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana anak kami sekarang. Dia hanya bilang bahwa
karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan
selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan
sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya.”
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita,
Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis itupun
sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.
“Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi
hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang
wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apalagi dijadikan
dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam.
Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah kini hendak membunuh, sungguh
jahat dan kejam dia!”
Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh
seorang gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah mendengar pendapat
gadis itu, baru dia berani bicara.
“Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa
paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktuwaktu
datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan
pindah ke tempat lain.”
Han Si Tiong menghela napas panjang. “Berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak,
Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia datang
lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih
karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!”
“Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup
ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian,
bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu,” kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.
Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah
perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia
membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.
“Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain bertulis ini
harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan melihat
kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua.”
Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau
menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu
dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini,
Thian Liong berkata kepada mereka.
“Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah
kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman
berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong.”
Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi.
“Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu.”
Pek Hong Nio-cu tersenyum manis. “Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau kita
saling tolong menolong?”
Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan menghela napas panjang lalu berkata, “Aahhh...... kalau saja
kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu sudah sebesar engkau inilah……”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu
dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-cung
ini,” kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.
Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang
bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda
penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah gadis Han
yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara.
Selain sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, sehelai kain
bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan
kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya,
akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.
“Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong.
Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong,
suka menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?”
Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku adalah Sie Pek Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si
Tiong?” Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.
“Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!”
Liang Hong Yi mencela suaminya.
“Aku tidak berprasangka buruk,” bantah Han Si Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu. “Aku
curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau memberi kain bersurat itu kepada
kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong.”
“Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan
keterbukaan dan aku tidak akan marah.”
“Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan
cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan Ouw Kan menurut
pengakuannya adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di
kerajaan Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami. Itu
berarti bahwa dari tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona, berarti nona
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil
kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran kalau
nona ini seorang puteri kaisar......”
Liang Hong Yi terkejut dan berseru, “Ia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran
Cu Si? Kalau begitu celaka......”
Pek Hong Nio-cu tertawa. “Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang
benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan diriku di depan
mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai
pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua dugaan paman tadi memang
benar. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku
terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu.”
“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri......” Liang Hong Yi
berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat,
lalu berkata ragu.
“Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!”
“Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru.
Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela
negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam perang.
Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi. Adapun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu
bahwa dia orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi, tentu saja aku
berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan bibi sekarang
menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut nyebut lagi tentang
Puteri Kerajaan Kin.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Si Tiong mengangguk-angguk. “Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaanmu.” Dia lalu
menoleh kepada Thian Liong. “Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak...... nona Sie ini ke
daerah ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya.”
“Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di manamana.
Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita.”
“Eh, kenapa begitu sicu?” tanya Liang Hong Yi heran.
“Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!” kata Pek Hong Nio-cu
gemas.
“Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga
tidak suka kepada perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami juga
menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?”
“Panjang ceritanya, paman,” kata Thian Liong.
Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang
berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit
Bong. Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song.
Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.
“Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui
bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa
para pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin
Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan orang buruan dan
ditangkap, mati atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan Kin hanya dalam menghadapi pemberontak
yang bersekutu dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin menganggap saya berjasa,
maka ketika saya meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu
menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui. Nah, itulah sebabnya puteri...... eh, Pek Hong
Nio-cu ini sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah beberapa kali kami diserang
pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami.”
20.1 Upaya Pembunuhan Pahlawan Sung
“Aih…..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui,
pengkhianat itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku mempunyai banyak kawan
seperjuangan di kota raja dan ka¬mi semua menentang Chin Kui. Akan ka¬mi beberkan semua rahasia
jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil,
tentu dia akan mempunyai rencana jahat lainnya.
“Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga
terjun ke da¬lam bahaya,” kata Thian Liong.
“Kita sama lihat saja nanti. Yang je¬las, kita bersatu hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin
Kui yang amat jahat!” kata pula Han Si Tiong.
Setelah menginap satu malam di ru¬mah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik
tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang
sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk
mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan
ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai pengganti dua ekor kuda mereka
yang sudah kele¬lahan karena melakukan perjalanan jauh.
“Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong
yang agak suram.
“Aku sedang memikirkan hal itu baik-¬baik, Nio-cu. Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab
milik Kun-¬lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya
akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat tinggal¬nya dan
ke mana ia pergi. Maka, ting¬gal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu,
aku harus pergi ke kota raja!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong dan kalau eng¬kau ke kota raja, bukankah hal
itu sama saja dengan mencari penyakit?”
“Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu......”
“Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku
Sie Pek Hong, kau ingat?”
Thian Liong tersenyum. “Hemm, aku heran bagaimana engkau tiba-tiba mema¬kai she Sie!”
“Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku ha¬rus mempunyai she (marga),
aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu menggunakan
nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku seba¬gai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus,
bukan?”
“Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu......”
“Heitt! Lupa, lagi!”
“O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”
“Ah, aku senang sekali. Dan aku me¬nyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan
adik?”
“Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran dan bingung memikir¬kan, Nio...... eh, Hong-moi.
Ketika suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah li¬hat? Engkau
atau aku? Menurut peng¬lihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!”
“Dan akupun tidak mungkin salah li¬hat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman
istana ke¬tika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Pa¬man Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan
rambut ini kepadaku!” gadis itu berkata kukuh.
“Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib
Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu
silatku?”
“Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu menyuruh eng¬kau membagi-bagikan kitab
pelajaran il¬mu silat kepada partai-partai persilat¬an......”
“Bukan membagi-bagi, Hong-moi, me¬lainkan kitab-kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-partai
itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu.”
“Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga
memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin
bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!”
“Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara
tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kuka¬takan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak,
bagaimana aku dapat mem¬bantu kerajaan agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?”
“Akan tetapi engkau sedang dikejar-¬kejar, Liong-ko! Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja,
engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan pemerin¬tah!”
“Aku dapat menyamar, Hong-moi. De¬ngan memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat memasuki kota
raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada yang
mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin para perwira pasukan hanya mendengar gambaran
tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajah¬ku, tentu tidak ada yang mengenalku.”
“Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku
dapat me¬masang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali
memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat
memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?”
“Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi.”
Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong
dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tak lama kemudian mereka melan¬jutkan perjalanan dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang
yang berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya. Mereka menunggang
kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.
“Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko.”
“Benar sekali, Hong-moi. Mulai seka¬rang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou.”
Pek Hong tersenyum. “Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liongko?”
“Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Se¬but Lam-ko agar tidak terbuka rahasia¬ku. Ketahuilah, di waktu kecil
aku ting¬gal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao¬-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera
Gunung Mou, bukan?”
Pek- Hong tertawa. “Heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong…… eh, Lam-ko. Mari kita
cepat melan¬jutkan perjalanan.”
Mereka lalu membalapkan kuda mere¬ka dan benar saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan
menggunakan na¬ma Mou San Lam, tidak ada yang men-curigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di
Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.
◄Y►
Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan
isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, mem¬bawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya
menunggang kuda berangkat me¬nuju ke Lin-an. Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan kota
raja, maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkit¬kan kenangan masa lalu.
Mereka masih, mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa sedih melihat
betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada kemajuan.
Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat per¬baikan, bahkan di mana-mana mereka
mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan ham¬pir setiap orang yang
mereka tanyai me¬ngeluh tentang beratnya pajak yang ha¬rus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun
menekan dan memeras penduduk¬nya dan kalau Han Si Tiong dan isteri¬nya menyelidiki kepala dusun itu,
mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan
ancaman dicopot kedudukan¬nya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang sudah ditentukan
banyaknya.
Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan Per¬dana Menteri Chin Kui dan
para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kai¬sar sudah tidak
mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat dengan
peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal, Han Si Tiong dan isterinya ta¬hu betul bahwa semua
peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perda¬na Menteri Chin Kui dan kaki tangannya. Pajak
yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang berpengha¬silan besar, ditambah sedemiklan
rupa oleh Chin Kui, bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak, dan
semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk kantong Chin Kui dan para pembesar yang
menjadi kaki tangannya.
Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan.
Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena me¬reka tahu bahwa bekas rumah pemberian
pemerintah itu kini tentu ditinggali per¬wira lain. Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik
mereka, Kwee-¬ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka
hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi me¬rasa aman. Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai
musuh, ke¬cuali tentu saja Chin Kui. Mereka men¬dengar bahwa perdana menteri itu amat membenci
mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu berusaha un¬tuk membasmi semua pengikut setia
jen¬deral besar itu. Han Si Tiong merasa su¬dah berjasa terhadap Kerajaan Sung, ma¬ka tidak semestinya
kalau dia dan iste¬rinya takut berada di kota raja. Apa la¬gi mereka sudah hampir duabelas tahun
meninggalkan kota raja.
Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua
perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang me¬ngenal mereka? Wajah mereka
telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong ber¬sih tanpa kumis atau
dunia-kangouw.blogspot.com
jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak
kurus karena selama bertahun-¬tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.
Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa
sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih men¬duduki jabatannya yang lama, yaitu ko¬mandan
pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam hatinya Kwee¬-ciangkun ini tidak suka, bahkan
memben¬ci Chin Kui seperti banyak pejabat ting¬gi yang setia kepada Kaisar lainnya, na¬mun dia tidak
memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee¬-
ciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya, apa lagi Kwee-ciangkun merupakan panglima
yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.
Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si Tiong lalu meng¬ajak isterinya untuk pergi
mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi¬-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan
jalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.
Han Si Tiong dan isterinya sama se¬kali tidak menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja,
beberapa pasang mata telah memperhatikan mere¬ka dan beberapa orang telah memba¬yangi dan
mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki ta¬ngan Perdana Menteri Chin Kui yang
me¬mang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja! Maka, tidak
mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini
te¬lah kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga orang
jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, be¬kas jagoan guru mendiang Ciang Bun pu¬tera
mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.
Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin
berha¬sil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak
adik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu-¬tek Mo-ko
(Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus ber¬usia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-
¬eng Mo-ko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.
Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui
juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang
jagoannya itu pasti akan dapat membina-sakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena
hal itu akan me-nimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah dikenal rakyat dan dahulu nama mereka
banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya kepada suami isteri pimpinan
Pasu¬kan Halilintar itu. Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan me¬nimbulkan
kegemparan.
Suami isteri itu berjalan santai menu¬ju ke rumah gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka
tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba me¬reka melihat tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan.
Suami isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang seorang berpa¬kaian
seperti seorang tosu. Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak pendek de¬ngan perut gendut. Mukanya
berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum me¬ngejek. Di punggungnya tergantung seba¬tang pedang.
Orang kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengko¬rak dan diapun mempunyai sebatang
pedang yang digantung di pinggang. Orang ketiga bertubuh pendek gendut dan membawa golok yang
digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh lima tahun sedangkan orang terakhir
berusia antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.
Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan
sepi itu.
Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum
mengejek dan memandang rendah.
“Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi?”
Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab. “Benar sekali.
Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang
perjalanan kami?”
Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut
senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru, “Kalian harus mati di tangan kami!” Tiga orang itu sudah
menyerang dengan cepat dan ganas sekali. Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil
melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si
Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua orang jagoan yang di dunia
kang-ouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis Jantan).
“Tranggg......! Trangggg!!” Bunga api berpijar dan suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali
Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat pedangnya terlepas dan ia merasa betapa
telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu terjengkang, akan tetapi Han Si
Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah isterinya terjatuh.
Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki
kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam segebrakan
saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh! Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami
isteri itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan terkadang mereka terpaksa
menggunakan pedang menangkis.
Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus
menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak mempermainkan calon
korbannya. Sementara itu, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang dengan
Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.
Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan
tetapi dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan
menangkis.
“Cringgg...... trak......! Trakk......!”
Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat
betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan maut.
“Tahan!” bentak Han Si Tiong. “Kami bukan orang-orang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa
kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?”
Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan
memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum terhadap suami isteri
itu tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah Perdana
Menteri Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka menerjang ke depan untuk mengirim
serangan maut dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak berdaya itu.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok bayangan
berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.
“Tranggg......! Cringgg…… !!”
Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang lain
yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya
adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan
kanan. Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena senjata mereka bertemu dengan
pedang yang demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek Mo ko dan
ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!
Sementara itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi girang bukan main ketika pada saat kematian sudah di
depan mata, ada dua orang penolong muncul dan menangkis serangan maut tiga orang lawan mereka itu.
Mereka berdua segera mengenal gadis yang mengaku bernama Sie Pek Hong namun sesungguhnya puteri
Kaisar Kin itu, yang muncul bersama seorang laki-laki berkumis dan berjenggot tebal. Akan tetapi ketika
mereka melihat dengan penuh perhatian, mereka segera mengenal bahwa orang berkumis dan berjenggot
itu bukan lain adalah Thian Liong. Tentu saja mereka menjadi girang sekali, akan tetapi melihat betapa
pemuda itu menyamar, mereka tidak mau memanggil namanya.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu yang sudah marah sekali, tanpa banyak cakap lagi sudah bergerak ke
depan, menerjang Hwa Hwa Cin-jin dengan serangan pedangnya. Juga Thian Liong sudah memutar
pedangnya menyerang dua orang Siang Mo-ko. Serangan Thian Liong demikian hebatnya sehingga
terdengar suara berdencing nyaring ketika dua orang itu menangkis pedang Thian-liong-kiam.
20.2 Pertemuan Dua Sahabat Lama
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cringggg......!” Dua orang itu terhuyung dan kini pedang dan golok mereka patah di bagian tengahnya. Dua
kali Thian Liong menendang dan dua orang kakak beradik seperguruan itu tak mampu menghindarkan diri
lagi sehingga mereka terguling roboh. Mereka merangkak bangun dan melihat betapa Hwa Hwa Cin jin juga
repot menghadapi serangan gadis cantik itu, mereka berdua segera berseru.
“Cin-jin, lari! Kita mencari bantuan!”
Mendengar ini. Hwa Hwa Cin-jin maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali, maka diapun melarikan diri
bersama dua orang Siang Mo-ko untuk mencari bantuan.
Melihat tiga orang itu melarikan diri dan berteriak bahwa mereka akan mencari bala bantuan, Han Si Tiong
berbisik kepada isterinya. “Cepat ajak mereka lari ke rumah Kwee-ciangkun!”
Liang Hong Yi maklum akan maksud suaminya. Mereka lari menghampiri dua orang muda itu dan Han Si
Tiong memegang tangan Tian Liong sedangkan Liang Hong Yi memegang tangan Pek Hong, lalu menarik
mereka untuk cepat berlari memasuki lorong kecil.
“Cepat lari bersama kami sebelum mereka kembali membawa pasukan!”
Thian Liong dan Pek Hong maklum akan maksud mereka dan menurut saja. Tak lama kemudian mereka
memasuki sebuah pintu kecil yang merupakan pintu belakang gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi.
Pintu kecil ini merupakan pintu untuk para pelayan kalau hendak bepergian ke luar gedung untuk suatu
keperluan.
Han Si Tiong dan isterinya masih hapal akan keadaan rumah ini, maka tanpa ragu-ragu mereka memasuki
pintu kecil itu dan menutupkannya kembali. Dua orang pelayan wanita yang berada di bagian belakang
rumah itu terkejut sekali melihat masuknya empat orang dari pintu itu.
Mereka hendak menjerit, akan tetapi cepat sekali Pek Hong dan Liang Hong Yi menangkap dan menutup
mulut mereka dengan tangan.
“Jangan berteriak! Kami bukan orang jahat. Kami adalah sahabat Kwee-ciangkun yang membutuhkan
perlindungan karena dikejar orang-orangnya Perdana Menteri Chin Kui. Cepat bawa kami ke dalam bertemu
dengan Kwee-ciangkun atau Kwee-hujin (Nyonya Kwee}!” kata Liang Hong Yi.
Dua orang pembantu itu masih ketakutan. Pada saat itu dari dalam muncul seorang pemuda yang tinggi
besar dan tampan, berusia sekitar duapuluh tahun.
“He, ada apa ini? Siapa kalian berempat?” Pemuda yang bukan lain adalah Kwee Cun Ki itu membentak
dan meraba gagang pedangnya.
“Kwee-kongcu...... mereka ini menerobos masuk...... mengaku sahabat Thai-ciangkun (panglima besar)......”
seorang di antara dua pelayan itu berkata gagap.
Mendengar ini Han Si Tiong cepat berkata. “Ah, Kwee-kongcu? Engkau ini tentu Kwee Cun Ki, bukan?”
Liang Hong Yi juga berseru girang, “Benar, dia pasti Cun Ki! Cun Ki, lupakah engkau kepada kami? Ini
adalah pamanmu Han Si Tiong dan aku……”
“Ah, engkau bibi Liang Hong Yi! Paman Han, bagaimana saya dapat mengenal paman kalau sekarang
berjenggot dan berkumis seperti ini?” Cun Ki berseru girang, lalu memandang kepada Thian Liong dan Pek
Hong. “Dan mereka ini siapa, paman?”
“Cun Ki, nanti saja kita bicara dan kuperkenalkan. Sekarang cepat ajak kami menemui ayah ibumu. Kami
dikejar-kejar kaki tangan Chin Kui!”
“Ah, marilah, paman!” kata pemuda itu dan dia mendahului mereka memasuki gedung meninggalkan para
pembantu rumah tangga yang merasa lega bahwa tuan muda mereka mengenal baik para pendatang itu.
Kebetulan sekali Panglima Kwee Gi dan isterinya berada di rumah. Mereka sedang duduk di ruangan dalam
ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan putera mereka, Kwee Cun Ki menerobos masuk diikuti empat
orang asing. Kwee-ciangkun bangkit berdiri dengan terkejut dan heran. Dia tidak segera mengenal sahabat
baiknya itu.
“Ayah, ibu, lihat siapa yang datang berkunjung! Paman Han Si Tiong dan bibi Liang Hong Yi!”
Barulah suami isteri itu mengenali suami isteri yang menjadi sahabat baik mereka dan yang sudah belasan
tahun tidak pernah mereka temui dan tidak mereka ketahui di mana tempat tinggalnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han-siauwte (adik Han)......!”
“Kwee-twako (kakak Kwee)......!”
Dua orang sahabat itu saling menghampiri dan mereka segera berangkulan. Juga Liang Hong Yi
berangkulan dengan nyonya Kwee. Setelah menumpahkan rasa rindu dan girang hati mereka, empat orang
tamu itu dipersilakan duduk.
“Han-siauwte, siapakah orang muda dan nona ini?” tanya Kwee-ciangkun sambil memandang kepada Thian
Liong dan Pek Hong.
“Nanti dulu, Kwee-twako. Sebelumnya ketahuilah bahwa kami berempat tadi diserang oleh orang-orangnya
Chin Kui. Mereka lari memanggil bala bantuan dan kami cepat melarikan diri ke sini! Mungkin mereka akan
mengejar dan mencari sampai ke sini!”
Kwee-ciangkun mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, Han-siauwte. Kalian
bersembunyilah dalam ruangan rahasia, biar diantar oleh isteriku. Aku akan keluar untuk menemui mereka!”
Kwee-hujin (Nyonya Kwee) lalu mengajak empat orang itu ke ruangan belakang. Di dekat dapur, nyonya itu
menggerakkan sebuah patung yang berada di atas meja dan dinding ruangan itu tiba-tiba terangkat naik
dan mereka lalu memasuki pintu rahasia itu. Setelah tiba di dalam, dinding itu menutup kembali.
Ternyata ruangan di balik dinding ini cukup luas dan Kwee-hujin mempersilakan empat orang itu duduk
mengelilingi sebuah meja besar dan iapun bercakap-cakap dengan Liang Hong Yi.
Sementara itu Kwee-ciangkun keluar dari gedung dan dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin Hwa
Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko. Dia mengenal tiga orang ini sebagai jagoan-jagoan Perdana Menteri Chin
Kui.
“Eh, Totiang hendak ke manakah membawa pasukan ini?” tanya Kwee-ciangkun.
Para jagoan Perdana Menteri Chin Kui itu mempunyai tugas rahasia dan tentu saja mereka tidak ingin tugas
itu diketahui oleh orang lain, apalagi diketahui seorang panglima kerajaan.
“Kami diutus Chin-taijin (Pembesar Chin) untuk mencari penjahat-penjahat. Mereka merupakan dua pasang
lelaki perempuan yang masih muda dan setengah tua. Kalau anak buah Kwee-ciangkun ada yang
melihatnya, harap cepat memberitahukan kami,” jawab Hwa Hwa Cin-jin.
“Ah, begitukah? Baik totiang, akan kupesan kepada anak buahku!”
Mereka berpisah. Pasukan itu melanjutkan pencarian mereka dan Kwee-ciangkun kembali ke rumahnya.
Setelah tiba di rumah, cepat dia memasuki ruangan rahasia itu di mana isteri dan empat orang tamunya
telah menunggu.
“Benar saja, Han-siauwte. Tiga orang jagoan kaki tangan Chin Kui itu membawa tiga losin orang perajurit
mencari kalian berempat. Sebaiknya kalian berdiam di sini dan jangan keluar sampai keadaan di luar
aman.”
Setelah Kwee-ciangkun duduk menghadapi meja, Han Si Tiong memperkenalkan. “Twako perkenalkan.
Pemuda ini bernama Souw Thian Liong dan nona ini bernama...... Sie Pek Hong. Mereka berdua sehaluan
dengan kita, menentang kelaliman Chin Kui. Tadi kami berdua diserang oleh tiga orang jagoan kaki tangan
Chin Kui itu. Kami nyaris celaka. Untung muncul mereka berdua ini sehingga para penyerang itu melarikan
diri. Sebelum mereka kembali membawa pasukan, aku mengajak mereka lari ke sini.” Setelah berkata
demikian, Han Si Tiong menoleh kepada Thian Liong dan Pek Hong.
“Souw-sicu dan Sie-siocia, perkenalkan. Tuan rumah kita ini adalah Panglima Kwee Gi dan Nyonya Kwee,
dan pemuda gagah ini adalah putera mereka, Kwee Cun Ki.”
Thian Liong mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diikuti oleh Pek Hong. “Maafkan
kalau kami berdua mengganggu ketenteraman keluarga ciang-kun,” kata Thian Liong dengan sikap hormat.
“Ah, sama sekali tidak mengganggu, Souw-sicu,” kata Kwee-ciangkun yang lalu memandang kepada Han Si
Tiong.
“Han-siauwte, bagaimana asal mulanya maka engkau dan isterimu, setelah menghilang selama belasan
tahun, tiba-tiba muncul di kota raja dan diserang oleh kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui?”
“Ceritanya panjang, twako,” Han Si Tiong mulai bercerita. “Twako berdua tentu tahu bahwa semenjak
pulang dari perbatasan dan mendapat kenyataan betapa bibi Lu-ma terbunuh dan anak kami diculik orang,
dunia-kangouw.blogspot.com
kami meletakkan jabatan dan meninggalkan kota raja. Selama bertahun-tahun kami mencoba untuk mencari
anak kami, namun semua usaha kami sia-sia sehingga akhirnya kami tinggal di tempat sunyi, di sebuah
dusun dekat See-ouw (Telaga Barat). Kami sudah putus asa untuk dapat menemukan Bi Lan, anak kami
yang hilang itu……”
“Kami tidak tahu apakah anak kami itu masih hidup ataukah......” sambung Liang Hong Yi dengan suara
gemetar karena sedihnya.
“Paman dan bibi! Adik Han Bi Lan masih hidup!” tiba-tiba Cun Ki berseru, nada suaranya gembira.
Dua pasang mata itu terbelalak. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bangkit berdiri dengan wajah berubah
merah. Air mata bercucuran dari kedua mata Liang Hong Yi dan sepasang mata Han Si Tiong juga menjadi
basah.
“Cun Ki, apa...... apa...... maksudmu......?” tanya Han Si Tiong gagap, seolah tidak percaya akan apa yang
didengarnya tadi.
“Cun Ki berkata benar, siauw-te. Bi Lan masih hidup, sehat bahkan kini ia menjadi seorang gadis yang lihai
sekali!” kata Kwee-ciangkun.
Han Si Tiong melompat dan memegang kedua lengan sahabatnya dengan erat, sedangkan Liang Hong Yi
sudah menubruk dan merangkul Nyonya Kwee sambil menangis sesenggukan. Rasa bahagia yang terlalu
besar memukul perasaan mereka, mendatangkan keharuan yang mendalam.
“Ceritakan, twako, ceritakan tentang Bi Lan!”
“Tolong, Kwee-twako...... cepat katakan ...... di mana anakku Bi Lan sekarang......?” kata pula Liang Hong Yi
di antara tangisnya.
Pek Hong bangkit dan menghampiri Liang Hong Yi yang masih merangkul nyonya Kwee sambil menangis.
Dengan lembut ia menarik pundak wanita yang menangis itu, “Tenangkanlah hatimu, bibi.”
“Benar, paman Han dan bibi, harap tenang dan duduklah. Tentu Kwee-ciangkun akan segera menceritakan
tentang puteri paman dan bibi itu,” kata pula Thian Liong.
Suami isteri itu menyadari keadaan mereka. Mereka duduk kembali dan Han Si Tiong berkata, “Twako dan
so-so (isteri kakak), maafkanlah kelemahan kami.”
Kwee Gi tersenyum. “Tidak mengapa, siauw-te, kami dapat memaklumi perasaan kalian yang dilanda
kegirangan dan keharuan. Kurang lebih dua bulan yang lalu, puteri kalian Han Bi Lan memang datang di
kota raja ini dan ia sempat membikin geger kota raja.”
“Apa yang telah dilakukan anakku, Kwee-twako?” tanya Liang Hong Yi.
“Ia datang ke kota raja untuk mencari kalian di rumah kalian yang dulu. Akan tetapi rumah itu kini telah
menjadi tempat kediaman Jenderal Ciang Sun Bo dan ketika Bi Lan datang berkunjung, Jenderal Ciang
mengaku sebagai sahabat kalian dan menerima Bi Lan dengan ramah.”
“Huh, mana mungkin Jenderal Ciang yang jahat itu menjadi sahabat kami? Dia bohong!” kata Liang Hong Yi
gemas.
“Memang dia berbohong, akan tetapi tentu saja Bi Lan tidak tahu akan hal itu, maka dia menerima dengan
senang hati ketika keluarga Ciang itu menjamunya dengan pesta makan. Ketika makan minum, mereka
menaruh racun ke dalam anggurnya untuk membuat Bi Lan terbius dan pingsan......”
“Jahanam! Kubunuh itu Jenderal Ciang keparat!” Liang Hong Yi membentak dan mengepal tinju.
Pek Hong tersenyum geli. Nyonya itu wataknya seperti ia, paling benci melihat kelicikan orang. “Harap bibi
tenang karena melihat wajah Kwee-ciangkun, kukira akhir ceritanya tidak begitu mengkhawatirkan.”
Kwee Gi tersenyum. “Penglihatan Nona Sie tajam sekali. Memang benar, harap Han-siauwte berdua tidak
menjadi gelisah dulu. Bi Lan tidak akan dapat bertemu dengan kami kalau dia sampai celaka di tangan
mereka. Ia memang jatuh pingsan dan ia sempat dipondong oleh Ciang Ban ke dalam kamarnya. Akan
tetapi Bi Lan ternyata cerdik bukan main. Ia telah merasa curiga, maka ia hanya pura-pura saja pingsan. Ia
murid seorang ahli racun, maka ia tentu saja tidak mudah diracuni orang. Setelah tiba di kamar, melihat
Ciang Ban bermaksud keji kepadanya, ia lalu membunuh Ciang Ban. Jenderal Ciang Sun Bo dan Luiciangkun,
pembantunya yang mengeroyok Bi Lan, dibunuh pula oleh puteri kalian itu, dan Hwa Hwa Cin-jin
berhasil lolos.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hebat! Bagus sekali. Ah, Bi Lan anakku......!” Liang Hong Yi berseru dan ia menangis lagi, penuh
kegembiraan dan kebanggaan! Juga Han Si Tiong meneteskan air mata karena girang dan bangga.
Sama sekali tak pernah dibayangkan bahwa puteri mereka, anak tunggal mereka yang hilang itu, kini masih
hidup dan menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai!
“Bi Lan lalu dikepung banyak perajurit. Ia mengamuk dan merobohkan banyak perajurit dan lolos dari rumah
Jenderal Ciang. Ia dikejar banyak perajurit dan sebentar saja pasukan dikerahkan untuk mengejarnya. Aku
mendengar dari para penyelidikku bahwa yang membunuh Jenderal Ciang dan puteranya, juga membunuh
Perwira Lui To dan banyak perajurit, adalah Han Bi Lan, puteri kalian. Mendengar ini, aku terkejut dan cepat
aku keluar. Beruntung sekali aku bertemu dengan Bi Lan di lorong sepi dan aku segera memperkenalkan
diri dan mengajaknya sembunyi di rumah kami ini.”
“Ah, lagi-lagi engkau yang telah menolong, twako. Pertama engkau menyelamatkan Bi Lan dan hari ini
engkau menyelamatkan kami!” kata Han Si Tiong terharu.
“Hemm, itulah gunanya persahabatan, siauwte. Kalau bukan sahabat yang saling menolong, lalu siapa?
Biar kulanjutkan ceritaku tentang Bi Lan. Ia bersembunyi di sini selama seminggu dan selama itu ia
menceritakan semua pengalamannya sejak ia diculik oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Ouw Kan datang
ke rumah kalian di sini lalu membunuh Lu-ma dan menculik Bi Lan. Di tengah perjalanannya melarikan Bi
Lan, Ouw Kan bertemu dengan Jit Kong Lhama, datuk persilatan dari Tibet dan pendeta Lhama ini
merampas Bi Lan setelah mengalahkan Ouw Kan. Sejak saat itu, Bi Lan menjadi murid Jit Kong Lhama
sampai sebelas tahun lamanya. Ia mempelajari ilmu-ilmu silat, sihir dan juga tentang racun dari Jit Kong
Lhama sehingga menjadi lihai sekali. Ia tinggal selama itu di sebuah puncak dari pegunungan Kun-lun-san
dan katanya akhir-akhir ini iapun menjadi murid Kun-lun-pai.”
“Ahh, anak kita menjadi seorang yang lihai! Terima kasih kepada Thian (Tuhan) ......!” kata Liang Hong Yi.
“Akan tetapi ke manakah Bi Lan pergi setelah meninggalkan rumahmu ini, twako?” tanya Han Si Tiong.
Kwee Gi menghela napas panjang.
“Kami tidak tahu, siauw-te. Kami menyelundupkan ia keluar kota raja setelah tinggal di sini selama satu
minggu. Ia tidak mengatakan ke mana akan pergi. Sebetulnya kami bermaksud menahannya di sini karena
kami mempunyai niat untuk...... menjodohkan Bi Lan dengan putera kami Cun Ki ini.”
“Ohhh...... kami akan senang sekali dan setuju sekali!” seru Liang Hong Yi.
“Ya, tentu saja kalau Bi Lan juga menyetujui,” sambung Han Si Tiong sambil memandang kepada Kwee
Cun Ki.
Pemuda ini tampan dan tampak gagah perkasa, cukup membanggakan kalau dapat menjadi mantu.
Mendengar percakapan tentang perjodohannya dengan Bi Lan, gadis yang dikaguminya dan yang
membangkitkan rasa cintanya itu, Cun Ki hanya tersenyum, dalam hatinya merasa girang mendengar
betapa ayah ibu Bi Lan tidak keberatan kalau dia berjodoh dengan Bi Lan. Bahkan ibu gadis itu menyetujui.
20.3 Pengaduan Kepada Kaisar Sung
“Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang perjalananmu sampai ke sini, Han-siauwte,” tanya Kwee Gi.
Han Si Tiong memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong, lalu menjawab. “Kwee-twako, sebetulnya
kedetangan kami berdua di kota raja ini erat hubungannya dengan dua orang muda, Souw Thian Liong dan
Sie Pek Hong ini. Belum lama ini, tempat tinggal kami diketahui oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, datuk
yang membunuh Bibi Lu-ma dan menculik Bi Lan itu. Karena dia gagal membunuh kami, bahkan gagal pula
menculik Bi Lan, dia malu bertemu dengan Kaisar Kin yang mengutusnya membunuh kami. Kaisar Kin
merasa sakit hati mendengar betapa puteranya, Pangeran Cu Si, tewas oleh kami dalam pertempuran di
perbatasan dahulu. Maka, Ouw Kan selama ini terus mencari kami dan akhirnya dia menemukan kami di
dekat Telaga Barat. Kami nyaris tewas oleh datuk yang amat sakti itu, akan tetapi kebetulan Souw-sicu dan
Sie-siocia ini muncul dan menolong kami, mengusir Ouw Kan yang melarikan diri. Kemudian kami saling
bercerita dan kami berdua mendengar bahwa Souw-sicu sedang dikejar-kejar pasukan kerajaan yang harus
menangkap atau membunuhnya karena dia dituduh sebagai seorang pengkhianat yang menjadi kaki tangan
Kerajaan Kin. Padahal dia sama sekali tidak berkhianat, bahkan dia hendak menentang Perdana Menteri
Chin Kui. Tentu Chin Kui yang melempar fitnah dan membujuk Sri Baginda agar mengeluarkan perintah
menangkap Souw-sicu dengan tuduhan pengkhianat. Nah, karena kami yakin bahwa dia bukan
dunia-kangouw.blogspot.com
pengkhianat, maka kami sengaja datang ke sini untuk minta bantuan twako mencari jalan untuk
menyakinkan Sri Baginda bahwa Souw Thian Liong bukan pengkhianat dan tidak menjadi kaki tangan
Kerajaan Kin seperti yang dituduhkan.”
Panglima Kwee Gi kini memandang kepada Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong bergantian dengan sinar
mata penuh selidik.
“Souw-sicu dan Sie-siocia, kami tidak mengenal kalian, akan tetapi setelah mendengar cerita Han-siauwte
kami percaya sepenuhnya kepada kalian berdua. Kalau sekiranya kami dapat membantumu agar terlepas
dari tuduhan itu, kami akan senang sekali membantu. Akan tetapi tentu saja kami harus mendengar
penjelasan darimu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga kalian dituduh sebagai pengkhianat dan kaki
tangan Kerajaan Kin.”
Thian Liong mengerutkan alisnya. Diapun belum mengenal orang macam apa adanya Kwee Gi ini, maka dia
menoleh dan memandang kepada Han Si Tiong dengan sinar mata bertanya. Han Si Tiong dapat
memaklumi perasaan pemuda itu, maka diapun berkata.
“Souw-sicu, engkau dan nona Sie telah mempercayai kami suami isteri dan kalau kalian kini mempercayai
Panglima Kwee Gi, kami yang menanggung bahwa kepercayaanmu itu tidak keliru.”
Mendengar ucapan Han Si Tiong itu, Thian Liong kini memandang kepada Sie Pek Hong. Gadis ini
tersenyum dan berkata.
“Liong-ko, aku juga dapat melihat dan merasa bahwa Paman Kwee Gi adalah seorang yang baik dan
bijaksana, aku tidak keberatan kalau engkau menceritakan segalanya kepadanya.”
Lega hati Thian Liong mendengar ini. Dia lalu memandang kepada Panglima Kwee dan berkata, “Kweeciangkun......”
“Nanti dulu, tadi nona ini sudah memberi contoh baik, menyebut Paman Kwee kepadaku. Sebaiknya
engkaupun menyebut kami paman dan bibi saja, Souw Thian Liong.”
Senang hati Thian Liong melihat sikap dan mendengar ucapan yang ramah itu.
“Baiklah, Paman Kwee. Saya akan berterus terang kepada paman dan bibi, seperti kami juga telah berterus
terang kepada Paman dan Bibi Han. Semula, saya melakukan perjalanan ke utara untuk ......” Dia berhenti
karena dia tidak tahu atau belum ingin menceritakan bahwa dia mencari gadis pencuri kitab yang kini dia
ketahui adalah Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong. Tidak enak rasanya terhadap suami isteri Han itu kalau dia
menceritakan bahwa anak gadis mereka adalah seorang pencuri!
“Maksud saya...... saya melakukan perjalanan merantau ke utara untuk meluaskan pengalaman dan dalam
perjalanan itu saya berkenalan dengan ia ini yang menghajar para pembesar Kerajaan Kin yang menindas
rakyat. Saya mengenalnya sebagai Pek Hong Nio-cu, yaitu nama julukannya sebagai seorang pendekar
wanita pembela kebenaran dan keadilan. Kemudian saya baru mengetahui bahwa Pek Hong Nio-cu yang
sekarang menggunakan nama Han yaitu Sie Pek Hong ini bukan lain adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar
Kerajaan Kin.”
“Ahh......!” Panglima Kwee dan isterinya berseru kaget. Siapa orangnya yang tidak akan kaget mendengar
bahwa gadis yang kini berada di rumah mereka itu ternyata adalah puteri Kaisar Kin? Mereka berdua kini
memandang kepada “puteri” itu dengan heran bercampur kagum.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu yang menjadi perhatian hanya tersenyum manis! Melihat betapa pandang
mata, suami isteri itu kini agak berbeda, pandang mata yang menghormat, ia lalu berkata ramah.
“Paman dan Bibi Kwee. Keadaan diriku ini harap paman berdua rahasiakan. Anggap saja aku ini gadis Han
bernama Sie Pek Hong dan sebut saja namaku Pek Hong. Dengan demikian paman berdua telah
membantu penyamaranku dan aku berterima kasih sekali kepadamu.”
Suami isteri itu saling pandang lalu pecah ketawa Panglima Kwee. “Ha-ha-ha, luar biasa sekali! Seperti
dongeng saja! Hebat, engkau hebat sekali dan kami sungguh merasa kagum sekali padamu, Pek Hong!”
“Dan kepadamu juga aku minta hal yang sama, koko Kwee Cun Ki,” kata Pek Hong kepada pemuda tinggi
besar itu. Cun Ki tersipu dan diapun mengangguk.
“Baik, percayalah kepadaku. Aku bukan seseorang yang suka panjang mulut, Hong-moi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian Liong tersenyum. “Nah, Hong-moi, agaknya kita berada di antara keluarga yang bijaksana dan patut
dihormati.”
Pek Hong mengangguk dan Han Si Tiong tertawa pula. “Ha-ha-ha! Kepercayaan kalian berdua tidak sia-sia.
Aku jamin bahwa kalian akan aman berada di dalam rumah Kwee-toako.”
Kwee Gi tersenyum. “Sudahlah, cukup semua pujian itu. Sekarang, lanjutkan ceritamu, Thian Liong!”
“Setelah kami berdua berkenalan, kami sempat tertawan oleh orang-orang yang sedang hendak
memberontak kepada Kerajaan Kin. Untung kami dapat lolos.” Dia tidak menceritakan tentang pertotongan
yang dilakukan suhunya yang menurut Pek Hong adalah Paman Sie.
“Kami mengetahui rahasia pemberontakan itu yang diatur oleh Pangeran Hiu Kit Bong yang bersekongkol
dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh seorang pemuda bernama Cia Song. Kami berdua
menentang pemberontakan itu dan berhasil mengundang pasukan yang berjaga di barat sehingga akhirnya
pemberontakan itu dapat ditumpas. Sayang bahwa Cia Song, utusan Perdana Menteri Chin Kui itu dapat
lolos dan agaknya dia yang melapor kepada Chin Kui dan mereka melempar fitnah kepada diriku sehingga
aku dijadikan orang buronan pemerintah Sung. Aku memang membantu pemerintah Kerajaan Kin, akan
tetapi membantu dari ancaman pemberontak yang bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui.”
“Hemm, aku mulai mengerti duduknya perkara. Dan Pek Hong, kenapa engkau meninggalkan...... istana
dan ikut Thian Liong ke sini, padahal di sini bahaya mengancammu?”
Pek Hong tersenyum. “Liong-ko telah membantuku menyelamatkan kerajaan ayah, karena itu, aku ingin
membalas budinya dan ingin membantu dia menyelamatkan Kerajaan Sung dari tangan Chin Kui yang
kotor. Mengingat bahwa Chin Kui bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin, berarti dia juga musuhku,
bukan? Dan ayahku, Raja Kin, juga menyetujui kepergianku ikut Liong-ko ke selatan.”
“Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu untuk membersihkan namamu, Thian Liong. Kalau tidak, engkau
akan menjadi buronan pemerintah dan hidupmu tidak akan aman lagi.”
“Akan tetapi bagaimana caranya, Kwee-toako? Kalau hanya Chin Kui yang mengerahkan orang-orangnya
untuk menangkap atau membunuh Thian Liong, hal itu tidak terlalu berbahaya dan juga tentu saja dapat
dilawan. Akan tetapi kalau pengejaran itu atas perintah Sri Baginda, tentu seluruh negeri akan mengawasi
Thian Liong dan kalau dia melawan pasukan pemerintah, tentu dia akan dituduh sebagai pemberontak,”
kata Han Si Tiong.
“Tidak ada jalan lain kiranya kecuali satu, ialah membunuh si jahat Chin Kui!” kata Pek Hong.
Liang Hong Yi berseru, “Tepat! Memang jahanam itu harus dibunuh karena dialah biang keladi semua
kekacauan ini!”
Panglima Kwee Gi menggeleng kepala sambil tersenyum melihat dua orang wanita yang bersikap galak
seperti harimau betina itu.
“Tidak begitu mudah membunuh perdana menteri itu. Selain dia selalu dikawal oleh banyak jagoan yang
tangguh, juga dia mempunyai pasukan pengawal khusus yang jumlahnya sampai seratus orang dan ke
manapun dia pergi selalu terlindung. Selain itu, aku mendengar bahhwa di dalam gedungnya yang seperti
istana itu dipasangi banyak alat rahasia sehingga tidak mudah mencari tempat persembunyiannya.”
“Kalau begitu kita tunggu sampai dia keluar dari gedungnya dan kita menyergapnya!” kata pula Pek Hong.
“Kalau dia dilindungi seratus orang pengawal, kukira Paman Kwee tentu dapat mengerahkan pasukan yang
lebih besar, mengingat paman menjadi komandan pasukan keamanan kota raja!”
Kembali Panglima Kwee tersenyum dan menggeleng kepala walaupun dia kagum akan semangat yang
demikian hebat dari puteri Raja Kin itu. “Hal itu tidak mungkin dilakukan, Pek Hong. Waktu ini, pengaruh
Chin Kui terhadap Kaisar amat besar dan dia dipercaya penuh sehingga kalau kita mengerahkan pasukan
dan membunuhnya, jelas kita akan dianggap sebagai pemberontak terhadap kerajaan. Hal ini bahkan akan
membuat keadaan menjadi semakin buruk dan merugikan bagi kita.”
Kwee Cun Ki yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini ikut merasa penasaran dan bertanya, “Wah,
kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan, ayah?”
“Ya, apa yang harus kami lakukan sekarang, Kwee-twako?” tanya pula Han Si Tiong. Semua orang
memandang kepada Kwee Gi, menanti jawabannya karena semua orang bingung dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan, kalau jalan jang diusulkan Pek Hong tadi sama sekali tidak boleh dilakukan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Kwee mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian setelah berpikir sejenak, dia berkata. “Kupikir
sekaranglah saatnya yang tepat untuk bertindak. Aku sudah mengumpulkan semua rekan pejabat yang
sehaluan untuk menentang Chin Kui, dan semua panglima yang sehaluan sudah pula mempersiapkan
pasukan masing-masing untuk melawan kalau kalau Chin Kui mempergunakan kekerasan dan
mengerahkan pasukan yang mendukungnya.”
“Dan apa yang dapat kami berempat lakukan untuk membantu?” tanya pula Thian Liong.
“Dua hari lagi akan ada persidangan dan pada waktu mana para pejabat tinggi dan panglima datang
menghadap Kaisar. Selama dua hari ini, aku akan dapat mematangkan persiapan kami, akan kuajak semua
rekan untuk berunding. Kemudian, setelah saatnya menghadap Kaisar tiba, kalian berempat, Han-siauwte
dan isterimu, Thian Liong, dan Pek Hong ikut bersamaku menghadap Kaisar.”
“Heh?? Ini sama saja dengan menyerahkan diri! Liong-ko sedang diburu pemerintah, kalau dia ikut
menghadap Kaisar, bukankah itu berarti dia menyerahkan diri dan akan ditangkap?” seru Pek Hong terkejut.
“Memang, dan menyerahkan diri itu menunjukkan bahwa Thian Liong bukan pengkhianat yang hendak
memberontak. Di depan Kaisar nanti aku yang akan menjelaskan persoalannya ketika dia membantu Kaisar
Kin menghadapi pemberontakan yang bersekutu dengan Chin Kui. Justru fitnah terhadap Thian Liong itu
akan kupergunakan untuk membongkar persekutuan Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang
memberontak kepada Kaisar Kin. Dan semua rekan sehaluan yang hadir akan mendukung laporanku
kepada Kaisar.”
“Akan tetapi Perdana Menteri Chin Kui akan membantah dan memutar-balikkan fakta, dan di antara para
pejabat yang menghadap tentu banyak pula kaki tangannya yang akan mendukung semua laporannya,”
kata Liang Hong Yi.
“Benar sekali, hal itu sudah kami perhitungkan.”
“Akan tetapi kalau Kaisar lebih mempercayai Chin Kui yang sudah menguasainya, tentu Kaisar akan
membenarkan perdana menteri itu dan Liong-ko akan ditangkap dan dihukum!” protes Pek Hong.
“Kami sudah memperhitungkan demikian. Kalau benar seperti yang kaukhawatirkan, Pek Hong, mungkin
Thian Liong dan engkau hanya akan ditahan dulu di penjara istana. Aku mengenal watak Kaisar.
Sesungguhnya beliau seorang bijaksana, hanya dipengaruhi Chin Kui. Kalau terjadi pertentangan pendapat
di antara para pejabat tinggi tentu dia tidak akan tergesa-gesa menghukum kalian, melainkan menahan dulu
untuk dipertimbangkan lagi dan diselidiki oleh Kaisar. Dan untuk sementara, tidak ada tempat yang lebih
aman bagi kalian berdua, atau mungkin berempat dengan Han-siauwte dan isterinya kalau omongan Chin
Kui herhasil dipercaya Kaisar. Setidaknya di sana kalian tidak akan dikejar-kejar lagi.”
“Akan tetapi, kalau kami dipenjara, tentu mudah bagi Chin Kui untuk membinasakan kami!” lagi-lagi Pek
Hong memprotes.
“Jangan khawatir, Pek Hong. Kami sudah memperhitungkan segala kemungkinan itu. Ketahuilah bahwa
kepala penjara istana adalah orang kita sendiri, sehaluan dengan kita, menentang Chin Kui. Maka kalau
kalian ditahan di dalam penjara istana, aku yakin kalian akan diperlakukan dengan baik dan keselamatan
kalian terjamin.”
“Lalu, kalau hal itu terjadi dan kami berempat ditahan dalam penjara, kemudian selanjutnya bagaimana,
Kwee-twako?” tanya Han Si Tiong.
“Aku berpendapat bahwa engkau dan isterimu tidak akan dapat difitnah Chin Kui, Hian-te. Kalian hanya
dimusuhi Chin Kui karena sebagai bekas bawahan mendiang Jenderal Gak Hui kalian dianggap berbahaya.
Akan tetapi kalian tidak dipersalahkan pemerintah, bahkan kalian sudah berjasa ketika balatentara Sung
melawan pasukan Kin di perbatasan. Kalian ikut kuhadirkan di depan Kaisar hanya untuk menjadi saksi
betapa Chin Kui berniat jahat, hendak membunuh kalian yang telah berjasa kepada negara. Setelah,
andaikata, benar-benar Thian Liong ditahan, tidak usah khawatir. Selain kepala penjara istana merupakan
orang kita sendiri, juga kami akan berusaha menyadarkan Kaisar dan siap bertindak kalau Chin Kui
mempergunakan kekerasan. Pendeknya, sekarang saatnya bagi kita untuk melakukan perlawanan habishabisan
terhadap Perdana Menteri Chin Kui.”
“Baiklah, Paman Kwee. Saya siap paman bawa menghadap Kaisar!” kata Thian Liong penuh semangat. Dia
teringat akan pesan gurunya agar dia membela Kerajaan Sung dari pengaruh dan kekuasaan Perdana
Menteri Chin Kui.
“Akupun siap!” kata Pek Hong penuh semangat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Empat orang yang dicari dam diburu kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui itu tinggal di ruangan rahasia
gedung Panglima Kwee sampai dua hari. Selama itu Kwee-ciangkun mengadakan persiapan yang matang
dengan para rekannya. Mereka semua mempersiapkan laporan dalam usaha mereka menjatuhkan Perdana
Menteri Chin Kui di depan Kaisar.
◄Y►
Ruangan persidangan dalam istana Kaisar Sung Kao Tsung itu luas sekali. Biarpun puluhan orang yang
menduduki jabatan tinggi dan merupakan orang-orang penting di Kerajaan Sung pada pagi hari itu berdiri
menanti munculnya Kaisar Sung Kao Tsung, namun ruangan itu masih tampak lega karena ruangan itu
akan mampu menampung ratusan orang! Para pejabat militer dan sipil sudah berdiri menanti dan mereka
tidak berani berisik, berdiri diam menanti dengan sabar. Di sekeliling ruangan itu tampak para perajurit
pengawal istana berjaga, ada dua losin pasukan tombak dan dua losin pasukan golok. Sebagian besar
berjaga di luar ruangan.
Panglima Kwee berdiri di depan dan di samping kirinya berdiri Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian
Liong, dan Sie Pek Hong. Pek Hong memandang ke kanan kiri, memperhatikan ruangan sidang itu,
agaknya membandingkan dengan ruangan sidang di istana ayahnya. Para pejabat tinggi yang menjadi
rekan Panglima Kwee, tidak merasa heran melihat kehadiran empat orang pengikut Panglima Kwee ini.
Akan tetapi mereka yang menjadi sekutu Perdana Menteri Chin Kui, memandang dengan curiga dan
mereka itu saling berbisik-bisik lirih.
Tak lama kemudian suara pelapor terdengar lantang memenuhi ruangan itu.
“Yang Mulia Kaisar telah tiba......!!”
Suara itu seolah merupakan komando karena semua orang yang berdiri di ruangan itu, menghadap
singasana, segera menjatuhkan diri berlutut dengan khidmat. Pek Kong juga ikut berlutut karena ia sudah
biasa dengan adegan macam ini. Hanya biasanya, ia berdiri di samping ayahnya, tidak ikut menghadap dan
berlutut seperti ini.
Rombongan kecil itupun melangkah perlahan, masuk ke ruangan dari pintu besar di samping singasana.
Kaisar Sung Kao Tsung berjalan perlahan dengan pakaian gemerlapan, sikapnya anggun dan dia
tersenyum melihat para pejabat berlutut. Di belakangnya berjalan seorang laki-laki berusia sekitar
enampuluh dua tahun, akan tetapi tampak jauh lebih tua daripada usianya. Wajahnya penuh keriput dan
rambutnya sudah putih semua. Aan tetapi pakaiannya mewah sekali, tidak kalah oleh pakaian yang
dikenakan kaisar dan dan pandang mata maupun senyum di wajahnya yang kurus itu tampak jelas
keangkuhannya dan kelicikannya.
Itulah Perdana Menteri Chin Kui yang seperti biasanya dalam persidangan, selalu menghadap Kaisar lebih
dulu dengan alasan memberi laporan lengkap lebih dulu sebelum kaisar dihadap semua pejabat tinggi. Di
belakang Perdana Menteri Chin Kui tampak beberapa orang thai-kam (orang kebiri atau sida-sida) yang
menjadi pelayan pribadi kaisar dan paling belakang berjalan selosin orang perajurit pengawal pribadi kaisar.
Begitu kaisar duduk di atas singasana, semua pejabat tinggi yang menghadap segera berseru dengan
suara berbareng.
“Ban-swe...... ban-ban-swe......! (Panjang umur selaksa tahun!)''
Kaisar Sung Kao Tsung memberi isyarat dengan tangan kanannya, dan seorang thai-kam pelayan pribadi
yang bertugas mengumumkan isyarat kaisar lalu berseru lantang.
“Para pejabat dipersilakan duduk!”
Dalam persidangan umum, Para pejabat tetap berdiri, akan tetapi kalau yang bersidang itu para pejabat
tinggi, maka disediakan tempat duduk untuk mereka. Peraturan ini ditentukan kaisar mengingat bahwa
dalam persidangan para pembantu utamanya itu terkadang makan waktu lama sehingga mereka akan
kelelahan kalau harus berdiri terus.
Para penghadap itu lalu mengambil tempat duduk masing-masing, dan tempat duduk mereka itu sudah
ditentukan. Maka, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong tentu saja tidak
kebagian tempat duduk dan mereka lalu berlutut di dekat tempat duduk Panglima Kwee. Karena semua
orang duduk dan hanya empat orang itu berlutut, maka mereka menjadi pusat perhatian.
Baru sekarang Perdana Menteri Chin Kui melihat mereka. Dia tidak mengenal Souw Thian Liong dan Sie
Pek Hong, akan tetapi dia mengenal Han Si Tiong dan isterinya, walaupun bekas perwira itu kini
memelihara kumis dan jenggot.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja perdana menteri itu terkejut dan marah bukan main, juga heran, akan tetapi dia tidak berani
membuat ribut di situ karena yang memusuhi suami isteri itu adalah dia sendiri, dan kaisar bahkan tidak
tahu tentang suami isteri bekas pembantu mendiang Jenderal Gak Hui itu.
Kaisar Sung Kao Tsung juga segera melihat empat orang yang berlutut itu maka diapun merasa heran.
Melihat betapa empat orang yang berlutut dekat dengan Kwee Gi, maka kaisar lalu bertanya kepadanya.
“Kwee-ciangkun, siapa empat orang yang berlutut itu?”
“Ampunkan hamba, Sri Baginda Yang Mulia, hamba telah berani menghadapkan mereka berempat kepada
paduka di luar perintah paduka. Suami isteri ini adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang pada duabelas
tahun yang lalu pernah menjadi pimpinan Pasukan Halilintar yang telah berjasa memerangi balatentara Kin
di perbatasan.”