Kamis, 18 Mei 2017

Cersil Suling Emas Seri Ke2 Bu Kek Siansu

Cersil Suling Emas Seri Ke2 Bu Kek Siansu kph Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdfcCersil Suling Emas Seri Ke2 Bu Kek Siansu
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Suling Emas Seri Ke2 Bu Kek Siansu
Pada keesokan malamnya Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu
angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar bersinar terang, menerangi jalan setapak
yang amat sukar dilalui. Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik
menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu
Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain.
Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat
mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas
meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang
sukar. Ada pun di sebelah utara dan timur tampak jurang menganga, jurang yang tak dapat dibayangkan
betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di
jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu
bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di
bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi,
maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.
Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan
terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa
maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan
dari pada urusannya dengan Lu Sian.
Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir,
tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka
Kwee Seng tidak jadi naik. Cepat ia berlari turun lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya,
tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup. "Eh...
ah... Kwee-taihiap... aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang
bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena
aku tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang di sini." Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan
tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang
mendesak.
"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu? Akan tetapi biarlah, karena kulihat
bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku
bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan? Duduklah biar enak kita bicara."
Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk di
atas tanah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu...." Ia mulai bicara, suaranya menggetar. "Aku tak
dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa Taihiap tidak sudi
menerima undanganku, karena sesungguhnya kami membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti
Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda...." Ia berhenti sebentar
untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja, maka ia melanjutkan
ceritanya.
"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk
membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki. Kami
lalu bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main, orang Khitan keparat itu.
Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi
diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya
Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Sute-ku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap
dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian
banyaknya muncul raja-raja yang membangun kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk."
Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah seorang yang amat cinta
kepada negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa.
Tak enaklah kalau menolak terus.
"Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di benteng Jenderal Kam."
"Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan menjura, berkali-kali.
"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di sini, aku ingin berpesan, kau
bersembunyilah dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali memperlihatkan diri, apa pun juga yang
terjadi. Maukah kau memenuhi permintaanku ini?"
Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi karena muka
itu tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat kesedihan ini. Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui
Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan
main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari
khayangan. Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.
"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini, siap menerima ilmu seperti yang
kau janjikan dahulu," kata Liu Lu Sian, akan tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati karena terdengar
dingin, alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan
kemesraan.
Kwee Seng tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena
itu, ia pun tidak mau menggunakan sebutan moi-moi (adinda), karena khawatir kalau-kalau hal itu akan
menambah kemarahan si gadis dan akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergilagila
kepada Lu Sian.
"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah Ilmu Silat Pat-sian-kun
biasa saja."
"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan kepadaku seperti janjimu,
lekas beri ajaran!"
Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat itu."
Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dengan tangan
kosong, akan tetapi jelas bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat ini
ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima petunjuk dari Bu Kek Siansu si
Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak serangan atau
gerak pertahanan.
Setelah mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata,
"Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian, Sudahkah kau memperhatikan
gerakannya? Harap kau coba latih, mana yang kurang jelas akan kuberi penjelasan."
"Ah, kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu saja, dilihat dari gerakannya jauh
kalah lihai dari pada Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Ayah! Mana bisa kau kalahkan aku dengan ilmu itu? Kwee
Seng, aku tahu, setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya dengan menyuguhkan
ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
Gemas hati Kwee Seng dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam kepada orang yang tidak menjadi
pilihan hatinya. "Lu Sian, siapa membohongimu? Ketika aku menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan
ilmu lain kecuali ini!"
"Aku tidak percaya! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah ranting pohon yang berada di
tempat itu. "Kau mulailah dan lihat baik-baik, aku hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!"
Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan jurus berbahaya dari ilmu
pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk
menghadapi Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa, Kwee Seng
menggeser kakinya ke kiri lalu ranting di tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas
dan menekan pedang lawan itu ke bawah disertai tenaga sinkang. Pedang Lu Sian tertekan dan tertempel
seakan-akan berakar pada ranting itu! Betapa pun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia-sia belaka.
"Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu Pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka Pintu) dan dapat
dilanjutkan dengan serangan jurus ke delapan Pat-sian-hian-hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga). Pedang
menyambar sesuka hati, boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh aku hanya menyerang bahu."
Tiba-tiba ranting yang tadinya menekan pedang itu lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang
telepas dari tekanan ini meluncur ke atas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian!
Lu Sian meringis. Tidak sakit, akan tetapi membuatnya amat penasaran. "Coba hadapi ini!" teriaknya dan
pedangnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Dari dalam lingkaran itu ujung pedang menyambar-nyambar
laksana burung garuda mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat-sian-hut-san (Delapan Dewa Kebut Kipas)
untuk melindungi diri," kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting di tangannya berputar cepat merupakan segunduk
sinar bulat melindungi tubuh atasnya. “Dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke empat belas yang disebut
Delapan Dewa Menari Payung!" tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah lebar seperti payung dan tahu-tahu
dari sebelah bawah, ranting telah meluncur dan menyabet paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara keras.
Kalau saja ranting itu merupakan pedang, tentu putus paha gadis itu!
"Aduh...!" Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan sakit. "Kwee Seng, kau kurang
ajar...!"
"Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak! Kau akali aku! Aku minta kau ajarkan ilmu-ilmu silatmu yang terkenal, seperti Lo-hai San-hoat (Ilmu
Kipas Menaklukan Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan
Bian-sin-kun (Tangan Sakti Kapas)!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu-ilmu silat rahasia simpanannya itu? Ia menjadi
curiga. Kalau Pat-jiu Sin-ong mungkin tahu, akan tetapi nona ini? Suaranya kereng berwibawa ketika ia
menjawab. "Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan kau Patsian-
kun, dan kau harus menerima apa yang hendak kuberikan kepadamu."
"Kau hendak melanggar janji??"
"Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu
pedangmu itu, dan kurasa Pat-sian-kun yang dapat menjadi Pat-sian Kiam-hoat dapat mengalahkan ilmu
pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!"
"Hoa-ha-ha-ha! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh keterlaluan sekali!"
Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu Sin-ong sudah berdiri di situ, tinggi besar dan bertolak
pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng memberi hormat sambil berkata, "Ah, kiranya Beng-kauwcu telah
berada di sini!"
Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu Sian mengenal semua ilmu
simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya
untuk menjajaki kepandaiannya dan kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya.
"Beng-kauwcu, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
"Ha-ha-ha! Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat menangkan Pat-mo Kiam-hoat! Tentu saja kau dapat
menangkan Lu Sian karena memang tingkat kepandaianmu agak lebih tinggi dari pada tingkatnya." Dengan
ucapan ‘agak lebih tinggi’ ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda
itu mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andai kata aku yang mainkan Pat-mo Kiam-hoat, apakah kau
juga masih berani bilang dapat mengalahkannya dengan Pat-sian-kun?"
"Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani main-main denganmu? Kita sama-sama tahu bahwa ilmu
silat sama sekali bukan merupakan syarat mutlak untuk memenangkan pertandingan, melainkan tergantung
dari pada kemahiran seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu, kalau si pemainnya kurang
menguasai ilmu itu dapat saja kalah oleh seorang ahli yang mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir.
Puterimu dahulu kuhadapi dengan Pat-sian-kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak menurunkan ilmu
yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan Pat-sian-kun kepadanya, apalagi yang harus
diperbincangkan?"
"Orang muda she Kwee! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" si ketua Beng-kauw membentak.
Suaranya mengguntur sehingga bergema di seluruh puncak, membikin kaget burung-burung yang tadinya
mengaso di pohon. Dari jauh terdengar auman binatang-binatang buas yang merasa kaget pula mendengar
suara aneh ini.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu," jawab Kwee Seng tetap tenang.
"Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang sekali kalau kau menjadi suami
anakku. Akan tetapi kau pura-pura menolak ketika berada di sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau
mengadakan perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang mempunyai mantu
engkau. Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepada Lu Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda
lemah. Ini masih kumaafkan karena memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi suaminya. Akan
tetapi Lu Sian melihat kelemahanmu dan tidak mau membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu.
Dan sekarang, kau yang katanya mencintainya mati-matian, ternyata hanya hendak menipunya. Kalau betul
mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu simpananmu? Inilah penghinaan ke dua!"
Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam mengawasi gerakgeriknya.
Ia menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini
terang berlaku curang dan tak tahu malu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pat-jiu Sin-ong! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati! Kau menganggap aku menipu, aku menganggap
kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni
terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, Beng-kauwcu aku tetap dengan
pendirianku, karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang
aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!" Tanpa diduga kilat menyambar.
Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sin-ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali
sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di tangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah
Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh
ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan Pat-sian-kiam!" teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena
berarti merupakan pertempuran hidup mati yang makan waktu panjang. Pat-jiu Sin-ong pernah bertanding
selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia dan berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini
saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini. Dan sekarang kakek ini mengajak ia
bertanding pedang!
Kwee Seng tidak mempunyai pedang. Biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang, akan
tetapi sulingnya tidak ada lagi! Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki
batin yang kuat sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh
karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan!
Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah, lalu menghadapi
kakek itu sambil berkata, "Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad
hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Patmo-
kun! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!"
Lu Sian meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini.
Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah
bentuk pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang terangnya melebihi sinar bulan.
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak Pat-jiu Sin-ong, disusul dengan
menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Seng.
Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja diciptakan untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja
gerakannya ada persamaannya. Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa
jurus ini kalau dimainkan oleh Pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian. Jurus apa
saja kalau diperagakan oleh tangan kakek ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan
berbahaya.
Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun jurus ke sebelas. Setiap
jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil
mengerahkan tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti
gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis pedang.
"Krakkk!" ranting itu patah menjadi dua.
Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata
kepadaku, Kim-mo-eng! Apa kau kira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti
yang kau lakukan kepada Lu Sian?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong," jawab Kwee Seng dengan sikap tenang,
akan tetapi diam-diam ia senang juga. Ternyata ketua Beng-kauw ini biar pun wataknya aneh dan kadangkadang
kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali
pedangnya ketika senjata lawannya yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-siankun
dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek, mencabut pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee
Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya
terbang ke arah Kwee Seng. Ahli silat biasa saja tentu akan ‘termakan’ oleh pedang terbang ini. Akan tetapi
dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat
pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini
jurus ke tujuh Pat-mo-kun!" kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri
Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang
rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak
memperlihatkan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya. Maka ia
cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak di pakai.
Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat
ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sinkang-nya. Dua kali serangan lawan dapat ia
tangkis, dengan meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya,
padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sinkang-nya, maka dapat ia
atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang sama sekali tidak
menyangkanya.
Pat-jiu Sin-ong diam-diam kaget juga karena ia tidak mengira bahwa serangan pertamanya itu seakan-akan
malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan merupakan serangan lagi melainkan
merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat
mematikan! Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan
pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu
terpental dan langsung membabat leher!
Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini, sebab baginya mudah saja
menghindari diri dari pada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan
jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Patsian-
kun. Namun dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali, benar-benar ia melihat
bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng
karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu
terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi
yang berada di telapak kaki. Gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat
mengerahkan sinkang-nya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin
kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu
Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari ketua Beng-kauw.
Kalau saja sinkang-nya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini.
Bahkan ia percaya, mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini jantungnya bisa tergetar
dan tewas seketika! Ia dapat melindungi jantung dan perasaannya dari pada pengaruh lengking tadi,
sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan seranganserangan
yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
satria perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar andai
kata ia terancam bahaya maut sekali pun!
Setelah gema suara lengking itu mereda, sambil menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus
Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan), Kwee Seng berkata, "Orang tua, apakah begitu perlu Patmo-
kun harus kau bantu dengan Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan Pat-sian-kun?"
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar sambil menjawab,
"Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi, ketika pedang Kwee Seng tertangkis, pedang itu kembali sudah terpental dan membentuk jurus
Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu
cepat dan susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas.
Karena jelas bahwa Pat-mo-kun selalu ‘tertindih’ oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati Pat-jiu
Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak!
Pat-jiu Sin-ong menggereng, dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk
mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun. Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar
terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaranlingkaran.
Hebat sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan
dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat
menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih,
sebagian besar dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih
luas dan lebih lebar, seakan-akan ‘menggulung’ lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong!
Dua jam lebih mereka bertanding. Selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan di lain
pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biar pun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan
dengan pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul
karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri
dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama Pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena
benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh
sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira
sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng yang ia kagumi ini. Akan tetapi kalau ia harus
kalah, nanti dulu! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itu pun belum cukup menjadi alasan
untukmu menurunkannya kepada anakku! Apa artinya Pat-sian-kun yang biar pun sedikit lebih unggul dari
pada Pat-mo-kun? Jika Pat-sian-kun dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri
akan membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!"
Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan
sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng! Di samping gelombang gulungan sinar pedang
itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang dengan dorongandorongan
jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali!
"Hei... hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran? Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin!" Kwee
Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk melindungi diri sambil mengucapkan kata-kata memperingatkan.
"Ha-ha-ha, orang muda, kau mulai takut?"
Kata-kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali Kwee Seng. Mendengar ia disangka
takut, hatinya panas sekali. "Siapa takut?!" bentaknya dan pandangnya berkelebat-kelebat dalam usaha
membalas serangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun, Pat-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang serangan ilmu pedang itu, apalagi
masih dibantu dengan sambaran angin pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus
mempertahankan dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat. Biar pun ia mampu membendung gelombang
serangan, namun ia terdesak dan harus mundur-mundur ke arah jurang hitam!
"Ha-ha-ha, Kim-mo-eng! Begini sajakah kepandaianmu? Apakah kau hanya mengandalkan Pat-sian-kun untuk
menjagoi dan mengangkat nama sebagai seorang pendekar sakti? Ha-ha-ha, sungguh lucu!" Pat-jiu Sin-ong
tertawa bergelak.
Kwee Seng biar pun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia tetap masih seorang pemuda
yang kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak
mengira sama sekali bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat pilihan untuk
mendesaknya dan sengaja pula memanaskan hatinya agar ia suka menggunakan ilmu simpanannya. Kakek
yang haus akan ilmu silat itu menggunakan semua ini untuk memancing keluar ilmu-ilmu simpanannya!
Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu berseru keras dan tiba-tiba muncul
angin yang mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya!
Kini ia merasa dirinya lengkap! Tangan kanan memegang pedang mainkan Pat-sian Kiam-hoat sedangkan
tangan kiri memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat! Bukan main hebatnya.
Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga ia dijuluki Kimmo-
eng hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong saja, tanpa dapat banyak
membalas. Karena ia tidak ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter di belakangnya,
terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya. Kini pedangnya mulai mainkan Ilmu pedang Cap-jit-sengkiam
yang jarang ia keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari
dari pada ilmu pedang simpanannya.
Melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong menjadi girang
sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan merupakan hal mudah, dan memang tiada maksudnya
untuk dapat mengalahkannya cepat-cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang
benar-benar merupakan ilmu pilihan.
Hebat pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia
menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Locia,
ketua Beng-kauw ini lebih kuat sedikit. Biar pun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap
saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang
ingin mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing,
cepat-cepat mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu silat lainnya.
Melihat perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa. Timbullah kemarahannya
sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa
mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi. Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai
membayang.
Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang.
Tadi ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya
menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat
halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum-jarum
halus, akan tetapi sebatang jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali.
Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh, juga timbul rasa gatal yang membuktikan bahwa
jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke belakang dan terpaksa melepaskan pedang di
tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh. Pada saat itu kembali ia dihujani jarum yang lebih banyak lagi.
Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat berbahaya, menyampok
dengan kipasnya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung ke belakang
tadi ia telah mendekati jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil
menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri dari pada penyerangan jarum-jarum rahasia,
namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke dalam jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat ditahannya! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari
ke tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut keparat!" bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya ke arah bayangan
hitam yang tadi menyerang dengan jarum-jarum rahasianya ke arah Kwee Seng.
"Lo-cianpwe, saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang Khitan, mengelak
sambil memprotes.
Akan tetapi Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini. "Siapa butuh bantuanmu? Kau pengecut
curang patut mampus!"
Pedangnya menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat
mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan! Ini tandanya bahwa orang muda ini bukanlah orang
sembarangan.
"Siapa kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik perhatiannya,
membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak sampai dua kali ini.
"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng...."
"Keparat orang Khitan! Kau telah bersikap pengecut!"
Kembali Pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia tidak boleh
main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke belakang dan melarikan diri dalam gelap. Pat-jiu
Sin-ong mengejar sambil memaki-maki.
Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang hitam
yang hanya dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis pakaian putih lari ke tepi jurang sambil
menangis. Ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi di
atas genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam
Si Ek!
Pada saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya. Dengan pipi basah oleh air mata, ia mendamprat Lu Sian.
“Gara-gara kau, dia celaka!”
Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang di kaguminya, menjawab halus,
"Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku mau pun ayahku
yang membuat Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan
dan yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan
mengapa pula kau menangisinya?"
Tiba-tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan menabahkan hati ia
berkata, "Kwee-taihiap telah menolongku dari si laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan
kehormatan kepada Kwee-taihiap! Biar pun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam
kepadanya, namun aku... aku... ah...." Ia menangis lagi.
"Cici! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan juga pada gadis ini.
"Ya! Aku cinta padanya! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain! Sekarang ia telah tewas.... Ah,
apa lagi yang kuharapkan di dunia ini? Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya...." Sambil terisak
Kui Lan lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan antara ayahnya
dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh
kegagahan dan kejantanan Kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki
pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayahnya muncul setelah malam mulai berganti fajar. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh
harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah
ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah. "Iblis jahanam Bayisan itu! Kepandaiannya boleh juga,
ilmu lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau
seorang gadis yang goblok sekali!"
Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya
sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk
dikendalikan.
"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut. Apakah kau hendak memilih batu
kali? Di mana di dunia ini ada calon suami yang lebih baik dan gagah dari pada Kwee Seng? Siapa pun juga
yang kau pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapa pun
gagah dan pandainya dia!"
"Huh! Kau keras kepala dan sombong! Tidak akan ada Kwee Seng kedua di dunia ini."
"Tidak ada Kwee Seng kedua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"
"Tak mungkin! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan
penyesalan."
"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli
tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!"
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah. "Kau anak kecil tahu apa?
Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh
dengan Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh
pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmuilmunya
juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo
pulang!"
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana," bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati
Kam Si Ek pujaan hatinya.
Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu
sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia pun tidak khawatir karena puterinya memiliki kepandaian
yang lebih dari pada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu
yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar.
Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan
kujodohkan dengan seorang anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya
berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak
menyetujui pilihannya? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut
pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng. Sejenak ia berdiri di tepi jurang melongok ke bawah,
bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia
menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu.
Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa
nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia
ketahui berapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu ia tidak berani
menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia, sekali-kali ia akan
mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu berdaya. Ketika ikhtiar dan usaha sudah tiada
gunanya lagi, memang jalan terbaik adalah menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi,
sebulat-bulatnya.
Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini, kesudahannya berada dalam kekuasaan
Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun si orang bersembunyi di lubang semut, maut
pasti akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biar
pun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong.
Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan semangatnya serasa
melayang-layang. Betapa pun tabahnya, namun mala-petaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri,
membayangkan apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar
jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak segera
datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum mati hamba-Mu ini harus mengalami siksaan
begini mengerikan? Tiba-tiba.....
"Byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.
Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng segera membuat
reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya
seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika
tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air.
Masih gelap pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa seram dan terkejut karena tubuhnya terseret arus
air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah
menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan
tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai kepalanya menjadi pening.
Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air yang
kuat. Benar dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya disedot ke dalam air
tanpa dapat ia pertahankan lagi!
Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada di bawah air ia menggerakkan
kaki tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas dari pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini
tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air, hatinya
girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak
begitu gelap lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter
tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup
dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu-batu.
Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng membiarkan dirinya
hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan
hatinya ngeri.
Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang
juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di dalam tebing! Bagaimana akalnya? Untuk mendarat
tidak mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama, menahan arus air tak
mungkin!
“Celaka,” pikirnya. “Kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di depan!”
Akan tetapi ia tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat
mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin. Ikhtiarnya ini
menyelamatkannya dari cengkeraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan
tetapi di bagian bawah dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis
tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu
Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee Seng terseret arus yang amat cepat. Ia hanya menahan napas dan meramkan mata, sedapat mungkin
mengerahkan sinkang di tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang
gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah
hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang
terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas.
Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan goa panjang yang amat menyeramkan. Air
mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal. Di atas bergantungan batu-batu
yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari yang entah
menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
Kwee Seng mengeluh. Kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas, dan tangan kanannya kaku,
lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap di dalam pundak kanannya. Rambutnya awut-awutan
menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek di sana-sini. Ia
mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya.
Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi beberapa kali ia terjatuh dan kakinya tersangkut
batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak
tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang ke arahnya
penuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya bersih, akan
tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinar-sinar.
"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih hidup!" Nenek
itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia
melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena sudah
pingsan.
Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu setelah memeriksa
nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja,
begitu mudah dan ringan. Nenek itu lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah yang
tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berliku-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan tubuh
Kwee Seng di atas pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara
kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng berwarna hitam.
"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya.
Cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia menggunakan
sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan
beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang
warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan.
Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya
darah yang berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya
kembali di atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mukjijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal
ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk yang
dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat
pinggang.
Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat sehingga ia seakanakan
keluar kembali dari lubang kubur, terlepas dari cengkeraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia
roboh pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa lukalukanya
dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan
merawatnya siang malam, bahkan tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan
lemah. Ketika membuka matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari
dinding batu itu yang penuh dengan tulisan, lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang
dunia-kangouw.blogspot.com
agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas
pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walau pun
mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di
dalam sebuah ‘kamar’ batu seperti goa, teringatlah Kwee Seng. Cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia
melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan
dan sayur untukmu." Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun.
Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping ini,
nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun,
sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang kang-ouw. Pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di
dalam istana raja-raja!
Ketika merasa pundaknya sakit dan saat diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa
kaku mau pun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini
merupakan penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking
lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.
"Lo-cianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda yang
menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."
Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan
yang tak pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapa pun juga. Kemudian terdengar pula suaranya
yang halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak
mengenal tua dan muda, dan aku pun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan
membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, makhluk berjiwa apa pun juga yang terseret ke dalam
Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa.
Ahhh, entah setan yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf, Lo-cianpwe, saya kira bukan setan yang Lo-cianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi
saya...."
"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon,
terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada, Tuhan itu sama sekali tidak peduli
kepada diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini.
Kwee Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa
sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita
seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan
malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walau pun ia merasa penasaran dan terheranheran,
mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi begitu dangkal pandangannya
tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah saya mengetahui nama Lo-cianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di sini menemaniku, biarlah
kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut
menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan. "Ah, sampai lupa aku.
Kau tentu lapar. Untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Goa Seratus Golok tumbuh dengan
suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya
kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih, bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu
pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk bersila, mereka
berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini
tentu saja amat janggal. Seorang nenek berbau harum? Apakah memakai minyak bunga? Dan mata nenek itu.
Bukan main!
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih
hidupkah dia? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka di mana ia dihukum dan diharuskan
tinggal bersama seorang iblis betina? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka
Bumi! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya
seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada
cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini! Ah, tak mungkin!
Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh ruangan, "Oya,
di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitabkitab
tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng dari pada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri? Manusia mau
pun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari
sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab
kuno? Lebih baik melihat-lihat dari pada duduk menanti orang memasak, karena teringat akan masakan,
perutnya yang perih akan makin terasa.
Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa
lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau
mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan
perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan
terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan
rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ
terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal!
Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab
kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang
kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya. Setengah meloncat ia mendekati
rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku.
Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongengdongeng
raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno. Sampai bingung Kwee Seng akan
melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau
mengambil sebuah di antaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk
mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi
kitab tentang rahasia letak dan gerakan bintang-bintang.
Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang semedhi itu. Alangkah girang hatinya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana
dijelaskan tentang pelbagai ilmu semedhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan semedhi,
mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersemedhi untuk melatih
lweekang dan memperkuat sinkang-nya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak
berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa
kitab Semedhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapa pun juga, ia
harus minta ijin dulu dari si pemilik kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang
orang! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang
amat tinggi! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia
kelak yang memilihkan nama untuknya!
Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Semedhi ketika nenek itu muncul membawa mangkokmangkok
batu dengan masakan yang masih mengebul dan menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat
Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani
lancang mengganggu Lo-cianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia
dunia-kangouw.blogspot.com
mengambil dua buah kitab ini. Apabila Lo-cianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya
baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu
menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikitsedikit
berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai,
mengapa harus memakai banyak tata cara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau
memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Semedhi dan kitab Perbintangan? Ah, justru dua kitab itu yang
aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku
tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Lo-cianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian...."
"Siapa memberi? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir! Mari kita makan, perutmu kosong dan
kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu
menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang
berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, namun terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi
Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya
terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat si
Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita. Kalau kau membantu dan canggung
sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi." Nenek itu lalu pergi lagi.
Ketika Kwee Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada
air mancur yang jernih, dan di satu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna
hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Di situ tidak kekurangan kayu bakar, agaknya dari kayu-kayu dan
ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat sinar
matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan
agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja
mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin
lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng langsung lesu dan berduka. Akan tetapi kalau ia teringat akan derita
hidup karena putus cinta, dan kasihnya ditolak oleh Liu Lu Sian, ia justru tidak ingin lagi kembali ke dunia
ramai.
Tempat itu biar pun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan
cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu
teliti, penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno
tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biar pun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau
apa lagi?
Namun ternyata kitab Semedhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di
pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersemedhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee
Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, bhkan ia merasa
betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya
terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke
dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintangbintang
ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-sengkiam
(Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)!
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala
keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambal oleh si Nenek. Seringkali Kwee Seng
memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya mau pun
riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
suara kesal. "Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kau sebut-sebut lo-cianpwe
segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"
Kadang-kadang Kwee Seng tertegun menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambek dan marah,
kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa
ia menghilangkan panggilan lo-cianpwe dan memanggilnya Nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa
menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek
itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia
merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat
ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab semedhi itu, waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia
melatih diri dalam semedhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah
terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng
yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya.
Tenaga sinkang-nya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup
menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik! Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia
dapat menggunakan dua buah ranting untuk ‘mendaki’ naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras
dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang!
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih
sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri!
Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan
keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu!
"Kalau kau pergi... aku... aku mati saja...," si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan ke luar,
tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan...."
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai? Aku mau mati di sini!"
Kwee Seng terharu. Ia melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau jangan berpendirian
begitu, Nek...!"
"Jangan sentuh aku!" tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari
pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat.
Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia
harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sinkang nenek ini agaknya
tidak akan melebihi tenaga sinkang-nya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati
pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan ke luar dan
membawamu di dunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan
aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi...."
"Cukup! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap marah.
Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan
niatnya untuk mencari jalan ke luar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur
diri sampai mati di tempat itu?
Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee
Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remangremang.
Nenek itu datang berjalan perlahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suara apakah itu, Nek?"
"Hujan! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak ada cahaya
matahari, amat gelap di sini dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."
"Wah, celaka! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan khawatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir di sini, akan
tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumpulkan
ikan untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur."
Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur.
Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikhawatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu
menjadi liar dan besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan.
Lubang di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu
minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan. Untuk menghemat minyaknya lampu itu harus
seringkali dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan
terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap.
Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya dengan suara
halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat khawatir ditinggalkan. "Sesungguhnya,
Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu
saja besar harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar
bersamaku."
Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya.
Wajah nenek yang keriputan itu tidak pernah membayangkan isi hatinya, akan tetapi matanya dapat
membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tanpa dapat melihat apa-apa.
"Kwee Seng...," kata-kata si Nenek tertahan lagi.
"Ya, Nek? Ada apa?"
"Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari
mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah
menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan.
Agaknya si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar ke dunia ramai!
"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada
orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku
seorang mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun tidak. Aku
lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."
"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu," bantah si Nenek.
"Ah, agaknya aku mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan, Nek."
Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas
lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam
dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia
ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa,
kembangnya pelacur di See-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang
menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia
terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras.
Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur
pulas!
Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.
"Nek, mengapa kau menangis?"
"Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kau cinta? Agaknya...
agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."
"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa
olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walau pun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal
dunia dalam usia muda..."
"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu! Lebih baik mati! Akan
tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?"
"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat! Dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan dari
pada Liu Lu Sian...."
Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis. Ia
mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang
tidak menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri,
atau cucu sendiri sehingga mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi
setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi khawatir juga.
"Nek, apa kau menangis? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."
Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua
renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan
pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun
padam. Kiranya si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkhawatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah,
Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee
Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa
menit kemudian terdengar suara si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee Seng..."
"Ya, Nek. Ada apa?"
"Kalau kau keluar dari sini...," kata-kata itu terhenti seakan sukar dilanjutkan.
"Ya....?" Kwee Seng mendesak.
"Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan...."
"Ya...? Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi
dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut...."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku
hanya minta sedikit...."
"Apa, Nek? Katakanlah."
Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek
itu.
"Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?"
"Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?"
"Selama itu kau tidak boleh mencoba ke luar...."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya?
"Ha-ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah kau meminta pun, bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu
hebat mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan...."
"Ya...??" Kwee Seng mulai tidak sabar.
"....dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa??!" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Saking kagetnya, begitu saja ia
terguling dari atas pembaringan batu. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu
tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya,
"apa...?? ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu permintaanku. Kita
menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya. "Apa?? Gila ini! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya
tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak
terlalu keras. Kemudian, di antara tangisnya terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, "Ah, aku tahu...
kau tentu menolak...."
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu. Ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah
pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya.
Apakah nenek itu sudah menjadi gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam
puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang
gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya,
seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa?
Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta
yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan
suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih
sayang selama seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja! Padahal nenek itu pun
hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya!
Ah, dapat ia membayangkannya, betapa sakit hati nenek itu. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi! Mungkin
nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih dari pada
dunia-kangouw.blogspot.com
itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa
mati! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek
ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai! Sebagai wanita yang
selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari
seorang pria yang mengaku sebagai suaminya!
Ah, betapa bodohnya! Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu
sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi si Nenek
yang tak mungkin menghendaki lebih dari pada itu.
Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedusedan
nenek itu tetap terdengar olehnya, makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan
pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang
wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya.
Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata
yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang....!
Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi. Mata Angsiauw-
hwa si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya
pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila si Nenek
memandangnya.
"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya.
Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang
cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita
terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa
artinya keburukan rupa?
Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi
menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat
yang paling jauh dalam ‘rumah tinggal’ itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah
pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini!
Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani
menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua,
karena untuk melakukan ‘sandiwara’ yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa
melihat wajah si Nenek! Ia meraba-raba, dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ
membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.
"Nek... aku datang...."
"...pergi! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh
kau!"
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku
datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu...."
Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee
Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas! Kemudian terdengar
gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...? Kau... kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"
"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan
hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walau pun kita
sama tahu bahwa aku tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka
kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada
dadanya, berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang mati pun aku tidak akan
penasaran lagi...."
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan
manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena
bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas
budi, sama sekali bukan karena cinta? Betapa pun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus
nenek itu menyebutnya ‘kakanda’!
"Niocu...," katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya.
Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan ‘niocu’. "Karena keadaan
tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita yang
tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa
rindu hatiku selama tiga tahun ini! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah
pedulikan aku...!" Nenek itu memeluknya makin erat.
Biar pun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya! Akan tetapi hidungnya kembangkempis,
bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap
harum mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya
begitu halus! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya.
Di dalam gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya
selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia
balas memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka
kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia
menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka
keriputan, hampir mati! Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang
nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa! Beberapa kali ia menciumi
muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini
Ang-siauw-hwa! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah meninggal dunia! Mana mungkin?
"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu...," nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan
haru. Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu...."
Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain
saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja.
Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia
melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung, bibir merah dan mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!
"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu...."
Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh
kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.
"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"
Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya
yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu! Kesadarannya kadangkadang
memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek, akan tetapi ia tidak
mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita
dunia-kangouw.blogspot.com
muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu
Sian!
Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, makhluk yang banyak sekali
melakukan penyelewengan-penyelewengan, makhluk yang selemah-lemahnya. Setiap orang manusia tentu
ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya.
Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah
ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi,
tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasihkasihan
dengan seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik
jelita! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah,
mudah terpengaruh.
Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang
dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian! Tak pernah nenek itu
membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, selalu dilayani nenek
itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap.
Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang
berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang makhluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng
tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin
menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar
yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang
cantik jelita!
Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sumsum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka
matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang. Teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya merabaraba
dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik
napas panjang penuh kebahagiaan.
Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan
mengapa keadaan tidak gelap lagi? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti!
Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat
melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi!
Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak
memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya
mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas
dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan
gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh
keriput!
Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia
bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan
diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama
sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra! Dialah
yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek!
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri.
"Plak-plak-plak-plak!" begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan
bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa.
Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri.
Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang
mengejeknya, sehingga ia malu! Malu dan ia harus pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia
tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di
dunia-kangouw.blogspot.com
tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas
lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke
tengah.
"Byuuur!" air muncrat tinggi.
Akan tetapi biar pun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu
mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan
arus air sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya
dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan
panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik
jelita. Kedua pipinya kemerahan, hidungnya mancung, bibirnya merah, matanya jernih, muka yang muda dan
jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya
tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak
sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng dari pada kulit yang amat halus
buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta.....!
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh penting dalam cerita
ini, kalau tidak yang terpenting. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak
gara-gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya
yang amat menarik.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu Sinong
Liu Gan, yang memberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan ‘memilih suami’.
Gadis itu masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng
terjungkal dan lenyap. Betapa pun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat
mencintanya. Untuk penghabisan kali ia menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan
bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."
Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan
tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena
penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.
Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannya yang terguncang.
Sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya. Pada saat itulah ia
mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar
terdengar orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap
kaki kuda mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah
pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai
bersembunyi.
"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.
"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera bersembunyi dan kalau nona sayang
keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada apakah? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali melewati kampung ini.
Pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau
melihat wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari
melalui pintu belakang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan? Pasukan itu boleh jadi
ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah? Boleh coba-coba
ganggu kalau hendak berkenalan dengan pedangnya! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu sudah
dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung menonton.
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda dengan kuda yang bagusbagus,
dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu
Sian keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan di mana terdapat seorang wanita
muda sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat
begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan
lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang
denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukkan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan
panjang itu sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.
"Tar-tar!" dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan
nyaring, "Mundur kau! Masuk barisan kembali! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak
mencemarkan namaku? Orang tolol!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda.
Wanita itu cepat-cepat menggendong anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir hitam tinggi besar itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh
kekaguman dan kekurang-ajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya,
memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian.
Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati
Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap
nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan.
Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak
buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan
menindas si lemah? Ia harus menguji kepandaiannya.
Setelah rombongan tentara itu lenyap, berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing. Jalan
penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran
melihat Lu Sian masih duduk di situ.
"Eh, kau masih berada di sini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung
bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak
lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik.
Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga
orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu
saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang
kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Dengan penuh kekaguman ia teringat betapa Kam Si Ek menghadapi
rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek
sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong
seorang pemuda yang kalah.
Masih terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku
menjadi pemenang... Akan tetapi... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah
dunia-kangouw.blogspot.com
terhadapmu." Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga
‘ada hati’ terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian
membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat
bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang
penjaga yang berada di pintu benteng kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita. Dengan mudah Lu
Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah
berloncatan di atas genteng.
Akan tetapi, ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah
kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar.
Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat
ia sudah mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran.
Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam
Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan dan matanya berapiapi
marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di
antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika
pasukan lewat di dusun.
"Lai-lihiap, sebagai bekas pembantu Sute-mu, saya harap Lihiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan
mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Lihiap tidak berhak mencampurinya," kata perwira yang duduk di
kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe.
Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-lihiap tidak berhak
mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan.
"Sudah terlalu banyak Lihiap mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah
kami padahal biar pun Lihiap adalah kakak seperguruan Kam-goanswe namun Lihiap tetap seorang biasa,
bukan anggota ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menudingkan telunjuknya ke arah dua orang bekas pembantu adik
seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat! Sute-ku menjalankan disiplin keras,
menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Sute-ku menegakkan nama baik
benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat. Apa yang kulakukan juga sudah
merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang, baru setengah
hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian
sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas
harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke
neraka!"
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih
berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai
di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sute-nya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu,
Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan.
"Nona, betapa pun juga, kedua orang saudara ini berkata benar, bahwa semenjak saat berangkatnya Sute-mu
tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa.
Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di
sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya dari pada komandan benteng.
Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan
dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya? Nona, harap nona suka bersabar dan
dari pada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar
anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian,
komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut
tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sute-nya sendiri akan marah
kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan komandannya. Maka ia segera berkata keras, "Aku akan
menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata demikian, ia
membalikkan tubuhnya dan meloncat ke luar dari dalam rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali! Dia memang
akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek? Ha-ha-ha!"
kata seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan
terjeblos ke dalam perangkap. Suci-nya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita
bersenang-senang, makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor
anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"
Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti
tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan
gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk
tubuhnya. Rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita
sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh
bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang
pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata
berubah menjadi seorang gadis, akan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada
taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah
makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh
tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari! Kau sudah menyusul datang? Apakah hendak menemaniku makan
minum?"
Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak
tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan
goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua, sedangkan dia sendiri
melompat ke pinggir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat
matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan,
menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang-ciangkun, yang betapa pun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa
cantiknya ini. Ia tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang
temannya menahan golok dan meloncat mundur.
"Nona, kau siapakah? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk? Tidak ada permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu. "Ihh, manusia keparat! Kau
masih bisa bilang tidak ada permusuhan? Kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
menghina suci-nya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?"
"Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang
bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun.
Perwira ini kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira
pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar
yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenangdunia-
kangouw.blogspot.com
wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka
menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar
biasa sejak kecil oleh ayahnya?
Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira
pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan
sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala
bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun
dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah
lenyap.
Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang
melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua
bersenang-senang karena mereka terbebas dari pada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan
dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang
kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang
biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu
kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat
pengecutnya.
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan
Kam Si Ek! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal lehermu!"
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap perwira itu
berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...!
Yang mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama
besar dan kekuasaan Kam-goanswe, maka Phang-ciangkun dan kawan-kawannya bermaksud untuk membuat
jenderal itu jatuh. Beberapa hari yang lalu Gubernur memanggil beberapa komandan pasukan dan pembesar
di Shan-si untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun
yang mengundang Kam-goanswe ke ibu kota. Akan tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan temantemannya
untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak
mau menghadap dan malah merencanakan pemberontakan."
"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. “Hayo katakan, di mana Kam Si Ek akan di
tahan?!"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan
dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu... dan... ahh!!" jerit
terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Toa-hong-kiam memisahkan kepala dari
badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan
bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan
pakaiannya, bahkan memukuli si pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.
Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka
merasa khawatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu
Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke
dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu
Sian lenyap di dalam gelap. Dengan hati panas ia kembali ke benteng!
Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda
kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri,
seekor kuda pilihan, telah lenyap! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang
tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang
lain ia sama sekali tidak peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi
dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur. Selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah
selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintupintu
gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikutkereta-
kereta yang membawa banyak dagangan. Poki juga dikenal sebagai kota pelabuhan sungai sehingga
banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di
dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik
Phang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki
Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian
ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia
memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke mana pun juga Liu Lu Sian pergi dan di mana pun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian
orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki yang
terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguh pun keadaan
macam ini selalu mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin
semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke
dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah
ia dari pada perhatian orang di jalan, sungguh pun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap
saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya,
seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau di mana letaknya Kelenteng Tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi
bersembahyang ke sana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut. Si Pelayan menengok ke kiri kanan lebih dulu, baru
menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng
ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau
ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau...."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio," jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa
agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat
disambungnya. “Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah
letaknya kelenteng itu?"
Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi dari pada
bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga
dapat langsung ke sana.
"Memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan Nona. Akan tetapi sungguhsungguh
keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti Nona. Kelenteng itu selalu
sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang
sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka
minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara
kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana...."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi
mendengar ucapan si pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, maka ia membalikkan
tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya
membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke
arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi
Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek.
Ketika Lu Sian lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda
terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian
mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu tidak takut biar pun ia
membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya
mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya.
Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak
mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka
itu! Ia mengerahkan lweekang-nya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke
arah mereka.
Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti
dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga.
Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya,
berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai
sejengkal dalamnya? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak
batunya!
Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang
pecah, sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya, bahkan mustika naga
di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga
sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak
terawat, maka menjadi amat buruk.
Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas. Bangunannya besar, akan tetapi
di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap
rumah kelenteng. Namun di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah
lenyap warnanya, yaitu huruf ‘Tee Kong Bio’ (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang
terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki
pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara
berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup.
Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu.
Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu saja yang terkunci. Dari luar kini tampak jendela-jendela dan daundaun
pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi
jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah ada bekas telapak kaki yang masih baru pada
debu di lantai.
Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini
tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi,
dan tempat toapekong juga kosong. Sisa barang yang masih tetap di tempatnya hanya arca-arca yang sudah
hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia.
Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut
pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang
terbuat dari pada bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut
ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di
ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
"Wer-wer-wer......!!" tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to
(Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat
melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.
Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang
tanpa permisi!"
Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang
wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu
Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang
jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan,
berkepala kecil bertopi batok. Wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada
mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu
tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya,
masih terpesona.
Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu! Mengaku-aku ini tempat kediamanmu
sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang itu segera menjura. Sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya
tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda berdarah bangsa
Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan...."
"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak
mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian Lu Sian melangkah maju, pedangnya
siap menerjang.
Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar. "Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang
adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to?
Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."
"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing.
Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja
batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja!
"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"
Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan
pedangnya saja sudah dapat mengenalnya? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya dan
membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?!"
Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus! Bagus sekali! Karena terhalang
urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga
dewata dari Beng-kauw! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya? Sudah lama aku mendengar
bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan
yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang
pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain
wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian! Aha, kebetulan sekali!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega
karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi,
melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan
pedangnya lagi sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.
Bayisan cepat mengelak, ia miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh
sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main! Bayisan terkejut,
cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia
melepaskan sebatang hui-to ke arah lawan.
"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan, dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan
pedang di tangan sambil tertawa.
"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juwitaku,
mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi...."
"Tranggg!" terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu Sian sudah menyambar, membacok
mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah menyerangnya secara
bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan
ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini
menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun
rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung
yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya
pedang bergerak.
Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia
mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali
terdengar suara nyaring bertemunya kedua pedang. Sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, Bayisan
sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah dada kiri!
Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun
Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat
gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki, sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri
terbuka jarinya mencengkeram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar!
"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik yang dilakukan
dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat sinkang-nya, tentu akan roboh karena
lumpuh terserang pekik luar biasa ini!
Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri Beng-kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang
mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya
dan serangan berbahaya itu terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan
membabat angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat lalu
berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar tadi.
Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserang menjadi penyerang. Namun
lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang
membabat angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas
lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya.
Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya membabat kedua kaki, dan begitu
membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk
membarengi dengan serangan balasan. Tiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan
menyambut lagi kedua kaki yang turun!
“Menjemukan!" Lu Sian berseru keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya, dan dari atas pedangnya langsung
membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan
kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar
mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Lu Sian tidak turun ke
bawah, melainkan malah meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng
melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya!
"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori
bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng! Akan tetapi ia
selamat dari pada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
"Perempuan liar! Kau tidak tahu dicinta orang! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu. Kalau
kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup mulutmu!"
Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya
tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas
seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat
dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya.
Akan tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi
Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan
maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun
perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat,
mana mudah ditindih? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat ke luar dari tenaga tindihannya dan
kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar,
sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka dengan
pengerahan tenaga sinkang.
Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki
sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak
merobek perut!
"Trang, trang!" dua kali pedang bertemu karena begitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi
membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.
Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka
berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi. Ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus
gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti
dua ekor ayam berlaga.
Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau
terdesak. Biar pun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata
tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya
dalam kelincahan gerak.
Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja
Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding. Namun
kehebatan ilmu silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi
main-main dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali.
Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus
menang karena kalau ia kalah berarti kematian baginya! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya
sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
Setelah lewat seratus jurus Liu Lu Sian maklum akan kemenangannya dalam ginkang. Cepat ia menggunakan
keunggulan ini, mengerahkan ginkang-nya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambardunia-
kangouw.blogspot.com
nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo
Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering
beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga.
Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk
mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain
Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa
penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya!
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas
menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah
bergerak cepat dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan
gawat, salah-salah bisa putus. Maka sambil membalik tadi ia cepat membabatkan pedang dengan setengah
putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini
tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya
memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang
tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat!
Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri
gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya lenggak-lenggok macam ular akan
tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya! Hebat sekali serangan Lu
Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan
Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti).
Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan
kehebatannya.
"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus
menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter
dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding.
Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar cepat ke arah
Lu Sian! Kiranya ketika menghindarkan diri dari serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah
mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini.
Memang hebat! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia
menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga
pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat
hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.
Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia
jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat
pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi
sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian
sekali ia menghentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan! Ini masih belum hebat, biar
pun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian
menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan
jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga memberi ‘hidangan’ yang sama dan yang tidak
kalah lezatnya!
"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu.
Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul
berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang
memiliki kepandaian tinggi ini.
Pada saat itu terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!"
Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu
berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali.
Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan, tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi
besi berwarna merah.
Munculnya tiga orang jembel ini menghentikan pertandingan itu.
Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.
"Masih pura-pura lagi! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe
yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san? Kau membasmi keluarga yang
dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata
demikian, mereka serentak maju menerjang.
Melihat ini Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, sungguh pun tentu ia tidak gentar
menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini. Namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian
menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan
yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak
menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela.
Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"
Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan
dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap
kekurang-ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia
tidak akan mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud
membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek?
Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan
menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan
pula. Cepat mereka mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke
dalam tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum yang amis itu membuat mereka kaget sekali.
"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran.
Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi.
Teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera
memasuki kelenteng.
Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka
mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"
Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang
kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis.
Mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.
Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami
adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."
"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm,
kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu...."
"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Lihiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu
kami tidak dapat datang menghadap ayah Lihiap (Pendekar Wanita)."
"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan mereka tadi yang
memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian di mana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia
dijebak orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa
artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw
dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.
Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu
kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun, si
Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba
di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu.
Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-ciangkun, sehingga selagi
tidur Kam Si Ek dapat disergap dan dijadikan tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang
memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si Ek. Sebagai seorang komandan
yang jujur dan tidak mau mengganggu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan sederhana,
menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah
kelenteng itu diterimanya dengan baik.
"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat
perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang
(perkumpulan jembel) itu berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya,
akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula
oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"
"Betul, Lihiap. Seperti diketahui, Kerajaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu
mengalami rongrongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan
dan selain ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah
hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe
terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah
sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali mempergunakan tenaganya. Cara satu-satunya hanya menculiknya
karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul
setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya
mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."
Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap
Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh
perhatian ia mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia
takkan suka mempedulikannya.
Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan
Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan
Liang, maka keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan selalu terjadi.
Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak
mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga
keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini
pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.
"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang
mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga
kami percaya. Ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki ke mana Kam-goanswe dibawa, kami lalu
mengerahkan anak buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar
berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."
"Apa yang ia lakukan?"
"Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan.
Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan
jahanam itu sebagai balas budi ini? Selama dua hari dia memperkosa dan mempermainkan anak gadis pencari
dunia-kangouw.blogspot.com
kayu itu! Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga
orang berikut gadis itu sendiri! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke
sini, kiranya Lihiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat
membinasakannya!"
Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini. Maka ia cepat bertanya, "Lalu,
bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kemana Kam-goanswe dibawa oleh pasukan itu?"
"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
“Ke mana pun juga akan kukejar,” pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kaifeng,
dan ia harus segera berangkat ke sana. "Dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa
ia hendak menolong Kam-goanswe pula?" tanyanya pula.
"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Lihiap.
Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali
mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah
berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."
"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah, Lihiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orangorang
pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."
Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu
Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun di luar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia
membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-hokai-
pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para
bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar
membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu menjadi
korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah
ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara
paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan
keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi
tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan dari pada
menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Di masa tenteram, orang-orang
sakti akan pergi ke goa-goa, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa. Kini dalam keadaan
kacau-balau mereka turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian serta mencari jasa dan
kedudukan mulia!
Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar amat
membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri dari golongan hitam mau pun
putih, penjahat mau pun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau
raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat,
atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh
dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan
perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masingmasing
membela yang mempergunakan jasa mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara
perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang
mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai
Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi!
Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja
menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat
perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan
tetapi, pada suatu hari ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk
menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia
mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita
yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi
pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak
menarik perhatian Lu Sian.
Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang
aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai
seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan
kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan
semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biar pun kotor berdebu terbuat
dari pada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh, pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang
marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas.
Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orangorang
sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi
lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek
tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya
bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan
mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang
melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu
mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang
agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan
pakaian.
Pada saat itu datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan
seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki
kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki
dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan
mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang
pedang.
Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk
tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah
maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh
perhatian, lalu dengan suara malas bertanya. "Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada
kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek iblis! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh
mereka? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jawab! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..."
Pemuda itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan tenang kakek itu menggerakkan
tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda
berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan. Dari mulut,
hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis ketika menyaksikan
bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas!
"Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke depan, kedua tangannya
bergerak memukul.
Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu mengalami nasib yang sama.
Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan! Kakek itu
tidak berhenti sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu
bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung,
mata dan telinganya!
Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi kembali. Lu Sian bergidik.
Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauhnya membayangkan tenaga sinkang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi
dan mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka itu
terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada
si Kakek Lumpuh.
"Apa yang terjadi? Lopek, apakah yang terjadi di sini? Mengapa begini banyak orang mati...?" seorang di
antara rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan gerakan perlahan kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari dua keluarga itu
dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak," jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di gunung-gunung di mana
terdapat ketenteraman."
"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman lagi. Biar pun banyak
hidup kerajaan-kerajaan baru, mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan sekantung uang
perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat
jalan!"
Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti kakek aneh ini ada hubungannya
dengan kematian begitu banyak orang. Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa
keluarganya meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri
dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini
karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk
mayat pengungsi di tempat itu, dan si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa
dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang
sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang. Ayahnya dan para
pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa
berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki
perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benarbenar
ia menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biar pun urusannya itu
tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu,
dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu
mempunyai kepandaian tinggi sekali.
Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa
herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua
pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik
untuknya.
"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya
dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang
pembesar atau bangsawan.
Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali,
menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh. Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia melihat berkelebatnya
bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana si
Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erangan laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya
untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. “Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama
lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap
orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Orang di luar itu tertawa juga. "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau
merasa malu dengan kekalahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biar pun
mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi
kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja
melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu
yang menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan.
He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan?
Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk
pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orangorang
menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" si Hwesio marah, memutar toya
(tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup
menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik! Orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa
mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan!
Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan
menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu
berkelebat memasuki pintu gubuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu
akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar
suara ketawa si Kakek Lumpuh, dibarengi suara berderak....
“Krakkkk!” dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah
menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat ke luar. Agaknya ia gentar
dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan
tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng
(Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan
tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian
tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang. Kalian harus kubunuh. Kau tunggulah,
sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari
ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia
persilatan. Menurut cerita ayahnya, Couw Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki
ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan
orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya.
Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu
dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan.
Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga
sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk
Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipikul dua
orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena
kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak
ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi
sungai. Ia melihat empat orang itu sudah menanti musuh.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang ia memperhatikan mereka. Ia melihat seorang hwesio setengah
tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan
kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio
bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri
tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata
apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam. Ada pun orang ke empat adalah seorang
wanita berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan
sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari
arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang
merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah
lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi
muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau.
Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar
lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari
keempat orang yang sudah siap itu.
Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun
ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan
dunia-kangouw.blogspot.com
sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
diperlihatkan kakek lumpuh itu!
Dua orang pemikul lalu berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini
melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini, setelah Kerajaan
Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya
hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang
yang sudah roboh. Dalam kecewa dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti
tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas, kejam dan gila-gilaan!
"Nah, kalian menantangku, aku sudah datang. Majulah!" kakek itu menantang dengan sikap tenang saja,
masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha.
Setelah melangkah maju setindak, hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab, "Couw Pa Ong, sebelum
kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak
tahu bahwa kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang
terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau
anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan
tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah
Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji. Dan bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan
menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah hendak membasmi kejahatan.
Pinceng Houw Hwat Hwesio murid dari Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun-lun-pai,
dia itu Bun-toanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kau lihat, kami adalah muridmurid
partai besar yang selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi kejahatan...."
"Cukup! Ha-ha-ha, hwesio mentah! Kau perlu apa berpidato di depanku? Kau tahu apa? Dengan membunuhi
para pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah
pemerintah pemberontakan Liang sama dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga
tidak usah menghadapi bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut
tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa ada harganya untuk hidup lebih lama
lagi?!"
"Benar-benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!" bentak Lo Tek Gu, si murid
Hoa-san-pai yang memegang tongkat. "Mari kita hajar tua bangka keji ini!"
Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum terhadap Kong Lo
Sengjin si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula kata-katanya, aneh dan juga terlalu sekali! Ia
mengharapkan pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai
sehari lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah murid-murid partai persilatan
besar, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Hoa-san-pai! Tiga buah partai besar yang sering disebut-sebut dan
dikagumi ayahnya.
Mula-mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung si Kakek Lumpuh.
Hwesio Siauw-lim-pai yang telah kehilangan toya itu kini mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan
ini dengan tenaga besar, menimbulkan angin berderu. Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu
pun meloloskan cambuknya, dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar di atas kepala. Sungguh pun
permainan cambuk itu tidak sehebat paman gurunya, Kauw Bian, namun Lu Sian mengagumi keindahannya.
Ada pun kakak beradik seperguruan dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu
amat cepat, pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung-gulung, sedangkan tongkat sute-nya juga
bergerak-gerak laksana seekor naga mengamuk.
Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu silat indah yang
kosong saja, ataukah si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi mereka? Disambar empat macam senjata dari
empat penjuru, tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin, maka
semua pukulan yang mengancam tubuhnya menyeleweng ke kanan ke kiri.
Tiba-tiba terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke
atas, kemudian menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio Siauw-lim-pai ini kaget sekali. Cepat ia
dunia-kangouw.blogspot.com
menyambut dengan sodokan toyanya ke arah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu berbareng tangan
kirinya menampar dan dilanjutkan dengan tangan kanan yang menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat
Hwesio berteriak sekali dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah tubuh
hwesio itu terapung-apung seperti sebatang balok hanyut!
"Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si tosu Kun-lun-pai. Cambuknya
menyambar-nyambar dengan suara keras.
Kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi menyerang Houw Hwat Hwesio, maka
cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya. Bun-toanio yang juga marah menerjang
dengan tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu menghantamkan
tongkatnya ke arah pundak kiri.
Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu mengenai kepalanya.
Ujung cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan
melihat hasil serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya
seakan-akan telah tumbuh akar di kepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali! Pedang yang menusuk
punggung dan tongkat yang menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset
hanya merobek baju saja, seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali.
Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat
ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar diikuti dengan pandang mata, menampar tiga
kali ke arah kepala para pengeroyoknya. Sambil menampar, ia terus mencengkeram dan melempar. Hanya
jerit tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut-turut melayang dari atas tebing, jatuh ke
dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat
Hwesio!
Dua orang pemikul itu kini menghampiri si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata. "Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan.
Sampai di sini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil
jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka, dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul
itu tentu akan mampus di tangan kakek sakti itu!
"Hemm, kenapa? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka
membunuh orang banyak. Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan
mereka. Akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang
gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan
dengan suara penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor
kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah
kerajaan Liang!"
"Bagus! Nah, kau perhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" kata kakek itu.
Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana
kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah
menerima pelajaran ini, dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam
waktu setengah malam mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu.
Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia
mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biar pun baginya sendiri ilmu itu masih
tidak usah mendatangkan khawatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu
merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya.
Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan si Kakek Lumpuh
mengambil contoh ular pula. Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian si Kakek Lumpuh,
dan kalau dibandingkan dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat
menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencobacoba.
Hanya ayahnya atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan
yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih
dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan
tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan
dengan langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang
menggantikan sepasang kakinya. Biar pun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya,
namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan
dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar saja
bayangannya lenyap ke arah timur, dari mana malam tadi dia muncul.
Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu
tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andai kata dia selihai
Kwee Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian
banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang
mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapa pun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek
itu karena telah membunuhi orang tak bersalah.
Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapa pun juga, Kwee
Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang
teman seperjalanan yang lumayan, dari pada sekarang ini berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah
Kam Si Ek terbayang, lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng. Tiba-tiba ia teringat
akan keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu
untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi
Honan.
Lu Sian sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat
jenderal muda ini. Ia menduga bahwa andai kata benar pujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan
Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera mencari
tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih di Lembah Sungai
Kuning, namun agak jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat itu, Sungai Kuning airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari
sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat
sungai, sudah banyak yang dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, si Tukang Perahu berani
melayarkan perahunya menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan
dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan
alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang mengenaskan, sungguh pun Lu Sian tidak ambil peduli
terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib Kam
Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir ke sana...!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah
perahu besar berlabuh di sebelah kanan.
Lu Sian merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin, patutnya
perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut
untuk berpesiar, maka adanya perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia
melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah. Hanya satu-satunya rumah gedung di
dusun itu yang masih belum kemasukan air karena kebetulan letaknya di tempat agak tinggi. Tak seorang pun
dunia-kangouw.blogspot.com
manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau
demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya?
Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar
kosong, ia berkata, "Kau tunggu di sini, aku hendak menyelidiki ke mana perginya orang-orang dari perahu ini!"
Tanpa menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke rumah yang
terendam air. Kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dari satu rumah ke rumah lain,
kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam
air.
Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik. Ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita
kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalau tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani
melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian
seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukkan para penjual obat, siapa kira gadis ini
dapat berloncatan seperti itu.
“Jangan-jangan dia bukan manusia,” pikir si Tukang Perahu.
Menurut cerita rakyat, di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu siluman-siluman pada bermunculan, juga
para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak
manusia dengan air banjir. Biar pun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat
antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman. Betapa pun juga dewa-dewi yang menang dan air yang
digerakkan siluman mengamuk ke dusun-dusun itu akan kembali ke sungai pula seperti biasa! Kini melihat
gadis penyewa perahunya pandai ‘terbang’ melayang-layang dari rumah ke rumah, si Tukang Perahu bergidik.
"Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pergi
sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung
perahunya ke tengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang
sewa perahu belum dibayar. Ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu,
bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan
mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas
genteng gedung itu dan dari atas genteng ia mengintai ke dalam. Ternyata di dalamnya terdapat enam orang
anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh di dekat tempat perapian sambil makan roti kering dan
dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut.
"Kita ditinggalkan di sini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus bawa perahu? Ah, lebih
enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang
tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak dari
pada kita!"
"Sam-lote, kau jangan bilang begitu," cela temannya. "Tawanan itu memang seorang penting. Siapa tidak
mengenal Jenderal Kam Si Ek? Malah aku mendengar dari anggota pasukan, bahwa komandan mereka
menerima perintah khusus dari kota raja untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya
petugas-petugas biasa, mau apa lagi?"
Lu Sian girang sekali mendengar percakapan mereka ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia meninggalkan
tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu letaknya di tempat tinggi maka tidak terlanda banjir. Di
bagian belakang gedung merupakan kaki sebuah bukit kecil dan ke sinilah Lu Sian mengambil jalan ke selatan,
ke kota raja Lok-yang.
Tak lama kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang kudanya ia tinggalkan
ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat
tinggi, Lu Sian segera mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga tubuhnya berkelebat seperti
terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya seekor kuda biasa!
dunia-kangouw.blogspot.com
Perjalanan selanjutnya melalui pegunungan yang biar pun jalannya lebar, namun banyak naik turun dan amat
sunyi. Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi. Dari atas puncak ini tampaklah gununggunung
yang memang banyak mengepung daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak pegunungan Luliangsan
dan Tai-hang-san, di sebelah barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan samar-samar tampak
dibalik mega puncak pegunungan Tapa-san. Biasanya Lu Sian amat suka menikmati tamasya alam di
pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak mempunyai perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan
pikirannya penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.
Ketika ia membelok di sebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang menggeletak di pinggir jalan.
Golok dan pedang malang melintang, darah berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka
ini kelihatan sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah. Melihat betapa senjata-senjata mereka tidak
berjauhan, malah ada yang masih di dalam cengkeraman tangan, melihat tubuh mereka penuh luka, agaknya
orang-orang ini telah melakukan pertandingan mati-matian dan nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama,
mungkin pagi tadi dan di situ tampak bekas-bekas pertempuran dahsyat. Lu Sian berdebar. Apakah
hubungannya belasan mayat orang ini dengan ditawannya Kam Si Ek? Hatinya makin khawatir dan ia
mempercepat larinya mengejar ke depan.
Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit. Jelas terdengar
suara banyak orang sedang berkelahi, diselingi ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian
mempercepat larinya dan napasnya terengah-engah ketika ia tiba di tempat pertempuran, karena selain terusmenerus
ia mengerahkan ginkang untuk berlari cepat juga hatinya selalu penuh ketegangan dan kekhawatiran
akan keselamatan pemuda idaman hatinya.
Kiranya banyak sekali orang yang bertanding di depan sebuah danau kecil di kaki bukit itu. Hampir seratus
orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil yang kacau-balau. Ada yang masih menunggang
kuda, ada yang sudah bertanding di atas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik
dan saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha berenang minggir. Kacau-balau
dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan marah, keluh kesakitan dan ketakutan.
Lu Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah pasukan yang
mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena di antara mereka ini masih banyak yang menunggang kuda.
Ada pun lawan pasukan ini adalah orang-orang yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani,
ada pula yang berpakaian pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan
dengan Wei-ho Kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu condong membantu para pengemis.
Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini para pengemis hendak menolongnya? Akan tetapi, Lu
Sian tidak berniat membantu mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak
mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari adalah Jenderal Kam.
Dengan sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki gelangang perang.
Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki
tangannya bergerak merobohkan siapa saja yang menghalangi jalannya! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik
pihak pasukan mau pun pihak pengemis, sekali terkena pukulan mau pun tendangannya pasti roboh!
"Dimana Kam Si Ek?" Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan yang ia robohkan, akan
tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera dikeroyok empat anggota pasukan.
Golok gagang panjang dari dua orang lawan yang masih menunggang kuda menyambar ke arah leher dan
pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat, menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan
mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama yang ia tarik itu terlepas dari pegangan
dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat mengenai pahanya dan menembus memasuki
perut kuda! Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penunggangnya yang hampir putus paha kakinya.
Ada pun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetot.
Pada saat itu dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan belakang dengan
menggunakan pedang. Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat ke atas dan tahu-tahu ia sudah
berdiri di atas punggung kuda, tepat di belakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakkan
tangan, ia sudah mencekik leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai! Tentu saja dua orang itu tidak berani
menyerang, takut melukai tubuh teman mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.
"Hayo, katakan di mana adanya Kam-goanswe!" Lu Sian membentak sambil mempererat cekikan pada
tengkuk si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.
"Di... di sana..." Perwira itu menuding ke arah batu karang besar.
Lu Sian cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan ke arah
sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Tempat itu terjaga oleh beberapa
orang anggota pasukan, dan agaknya orang tawanan itu disembunyikan di belakang batu-batu.
Sebelum Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa di antara orang-orang yang
bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa,
berkepala gundul menggunakan kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, lakilaki
gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh oleh ujung kedua lengan
bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang
bergelimpangan di sekitarnya.
Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba di depan batu-batu karang
besar. Lima orang penjaganya segera mencegat dengan senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi
besar itu menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada batu karang dan
hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga mungkin patah-patah tulang
iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi!
Raksasa gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu karang itu dan di
lain saat ia telah melesat ke luar sambil mengempit tubuh Kam Si Ek!
Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula mengejar. Akan
tetapi gerakan si Raksasa Gundul itu benar-benar hebat karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan
tempat pertempuran. Betapa pun juga Lu Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari
cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi!
"Lepaskan dia!!" ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya tinggal lima meter lagi.
Kedua tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum
rahasia yang amat hebat. Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari
keadaan segala macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang
pelbagai macam racun, maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga,
maka terciptalah jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat
harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang
amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium
baunya saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit memasuki jalan darah!
Akan tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan lengan bajunya
dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap di situ. Tiba-tiba raksasa gundul itu
berseru keras, tangannya bergerak dan jarum-jarum itu menyambar ke luar, kembali ke pemiliknya!
Tentu saja Lu Sian terkejut sekali. Cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan pedangnya yang
sudah ia cabut ke luar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul
selihai ini kiranya hanya ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang sudah
bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri! Bahkan Kwee Seng sendiri yang
begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya oleh raksasa gundul ini.
Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek telah dikempit dan
dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja? Gadis ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi.
Akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia berpikir dan tidak jadi
menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak dapat menyusul.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ia tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek. Kalau hendak membunuhnya, perlu apa dibawa lari-lari?
Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, tentu sudah terkena totokan sehingga terlihat lemas. Kalau mau dibunuh,
sekali pukul juga mati." Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat, melainkan
kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah hutan di kaki bukit.
Dengan hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada di dalam hutan. Ia tahu
bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu, maka ia tidak berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia
takut menghadapi bahaya, melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik.
Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan
gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil dan mengintai. Senja telah datang
akan tetapi cuaca di luar kuil belum gelap benar. Hanya di sebelah dalam kuil yang tua dan rusak itu sudah
gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara ketawanya penuh
ejekan.
"Heh-heh-heh, Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu keselamatan
Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi." Kembali kakek itu tertawa.
Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini. Ia mengarahkan pandang matanya untuk melihat sebelah
dalam yang agak gelap. Setelah matanya terbiasa, ia dapat melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila di atas
lantai, agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar tembok.
Kam Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila. Terdengar suaranya yang nyaring,
"Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah? Harap suka memperkenalkan diri agar aku yang sudah menerima budi
pertolongan akan dapat mengingat nama besar Losuhu."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan seorang hwesio seperti kau
sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti
sekarang ini. Oleh karena itu, aku menolongmu tentu sama sekali bukan untuk melepas budi, melainkan untuk
keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, kiranya begitulah? Kalau begitu, siapa pun adanya kau, dan betapa pun tinggi kepandaianmu, tak
mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati perintahmu. Raja Liang bermaksud
menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri, banyak orang mencoba menggagalkan penculikannya. Kulihat
pendeta, orang-orang kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam perang,
akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal di antara mereka. Kalau mereka juga berusaha menolongku, tentu
juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah bodoh dan sia-sia! Selama negara terpecah-pecah seperti
sekarang, selama orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan kemuliaan dan kedudukan, selama
tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek takkan sudi mengeluarkan setetes
pun keringat untuk membantu!"
Ban-pi Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang muda yang
sedang duduk bersila itu. "Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa aku?"
"Kau seorang tua yang berilmu tinggi, sayang...."
"Eh, kenapa sayang?"
"Sayang bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat oleh orang-orang yang haus akan
kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh kekuasaan dan kemuliaan di atas ratusan ribu mayat dari rakyat!"
"Ha-ha-ha! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku karena kau bukan
orang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa
aku menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di Khitan."
"Ahhh...!" Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para
prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling
membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak
sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut...."
Ban-pi Lo-cia berseru keras, sementara itu di luar kuil Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya.
Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun
disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa!
"Apa kau bilang?! Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana
kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul mundur dalam perang melawan pasukanku.
Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku? Bukankah ini cara yang licik sekali?
Kalau memang gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur
barisan?"
"Ha-ha-ha! Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur,
maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kau pilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang
terhadap kami bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh
seekor cacing. Akan tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk
rajaku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."
"Tidak sudi! Lebih baik mati ditanganmu!"
Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia.
Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak
dirampas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak melawan karena ia tidak mungkin dapat melawan puluhan orang, pula
karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik. Kini menghadapi seorang
Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu
saja ia lebih senang memilih mati dari pada harus menjadi penghianat bangsa.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Lu Sian tidak dapat melihat jelas lagi apa yang terjadi di dalam kuil itu. Selagi
ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek, tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia
mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan
menyambar ke luar mengarah Lu Sian! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat ke luar kuil, maklum bahwa
kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.
Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu
menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah
tahu bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang ‘besar kepala’ dan memandang rendah
semua orang, ia tidak peduli.
Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia ‘menangkap’ golok emas itu dengan ujung lengan baju dan
menghentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek, lalu melontarkannya langsung menyerang si
Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita
sehingga membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biar pun sudah banyak sekali kakek gundul ini
mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang
gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha, cantik jelita! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan membunuhmu. Untung...." Ia
melangkah maju jari tangannya yang besar-besar dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian.
Gadis ini mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek. "Kau apakan dia...? Kau...
kau bunuh dia...?” Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh
Kam Si Ek, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh-eh, juwita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran.
Lu Sian tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil, akan tetapi cepat ia menghindar karena
hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari ke luar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia
terheran-heran melihat Lu Sian yang segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah
herannya karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk menolongnya adalah...
puteri ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia tergila-gila begitu berjumpa!
Juga Lu Sian tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas kau ambil golokmu di sana. Kita
keroyok, dia lihai sekali!"
Tentu saja Kam Si Ek tahu akan kelihaian kakek gundul itu. Tadi saja di dalam gelap, sekali gebrak goloknya
sudah kena dirampas! Akan tetapi karena tidak ada jalan lain kecuali nekat melawan, ia mengangguk dan
cepat ia lari dan mencabut goloknya yang menancap pada sebatang pohon. Setelah itu ia kembali berlari
menghampiri lawannya yang sudah berhadapan dengan Lu Sian.
Agaknya kecantikan Lu Sian yang luar biasa itu seakan-akan menyilaukan pandangan mata yang lebar melotot
itu, membetot semangatnya dan membuat si Kakek Gundul berdiri seperti patung, menikmati wajah ayu lalu
merayap-rayap turun. Lu Sian menjadi merah mukanya. Pandang mata itu seakan-akan mulut besar yang
melahapnya dengan rakus!
"Monyet tua, kau melihat apa?!" Lu Sian membentak marah dan pedangnya berkelebat dengan serangan jurus
Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat. Karena maklum bahwa lawannya ini amat lihai, maka begitu bergerak ia
segera menggunakan ilmu pedang ciptaan ayahnya itu. Pedangnya berkelebat menyambar menimbulkan
angin berdesir diikuti suara mengaung.
"Aihh, bagus ilmu pedangmu!" Ban-pi Lo-cia berseru kaget.
Tentu saja ia dapat mengenal ilmu pedang yang baik. Cepat ia mengebutkan ujung lengan bajunya yang kiri.
Biar pun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi,
lengan baju itu menjadi senjata yang amat ampuh. Ketika ujungnya menangkis pedang, Lu Sian merasa
betapa tangannya panas. Itulah tanda betapa besarnya tenaga sinkang dari lawannya. Di lain pihak, Ban-pi Locia
juga heran. Ia tadi sudah mengerahkan tenaganya dengan maksud memukul runtuh pedang Si Nona, siapa
kira pedang itu tidak runtuh. Dari rasa kaget ia menjadi gembira.
"Heh-heh-heh, cantik jelita dan manis seperti bidadari, ilmu pedangnya lumayan pula. Heh-heh, sukar dicari
keduanya...!"
Pada saat itu, golok di tangan Kam Si Ek sudah menyambar, membacok ke arah kepalanya yang gundul.
Kepala itu gundul plontos seperti labu, agaknya akan terbelah dua kalau bacokan golok itu mengenainya. Akan
tetapi Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh besar yang sakti. Tanpa menoleh atau membalikkan tubuhnya, ia
sudah menundukkan kepalanya sehingga golok itu berdesing hanya beberapa senti di sebelah kanan
kepalanya.
Kakek ini tentu saja tidak mendiamkan orang yang menyerangnya. Tangan kanannya mencengkeram ke
belakang dan biar pun ia masih tetap memandang penuh kekaguman kepada Lu Sian, namun tangan yang
digerakkan ke belakang itu dengan cepat sekali telah menyerang ke arah pergelangan tangan kanan Kam Si
Ek yang memegang golok. Jenderal muda ini kaget. Ternyata kakek yang diserang ini tanpa merobah
kedudukan badan telah dapat mengelak dan sekaligus mengancam lengannya. Cepat ia menarik kembali
goloknya dan meloncat ke samping untuk menghindarkan cengkeraman yang amat hebat itu.
Lu Sian sudah menerjang pula. Kini gerakan kakinya membentuk pat-kwa mengelilingi si Kakek Gundul,
pedangnya menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Inilah Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan sepenuhnya
oleh gadis itu, karena ia tahu betul, tanpa usaha keras dan sungguh-sungguh, dia dan Kam Si Ek pasti akan
celaka menghadapi lawan tangguh ini. Kam Si Ek yang masih merasa heran mengapa gadis puteri Bengkauwcu
ini bisa tiba-tiba muncul di tempat ini dan berusaha menolongnya, juga maklum bahwa mereka berdua
menghadapi seorang lawan tangguh. Ia tidak pernah mendengar nama Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek gundul
dunia-kangouw.blogspot.com
itu sudah membuktikan kelihaiannya. Cepat Kam Si Ek juga memutar golok emasnya dan kini ia berhati-hati
sekali, mengeluarakan jurus-jurus berbahaya mendesak dari belakang.
Kam Si Ek adalah murid dari ayahnya sendiri, seorang panglima perang yang ulung. Akan tetapi karena
ayahnya juga seorang ahli perang, dengan sendirinya ia lebih suka mempelajari ilmu perang dan memimpin
barisan dari pada ilmu silat. Dalam hal menunggang kuda, melepas panah dan mencari siasat dalam
memimpin barisan, ia jauh lebih hebat dari pada ilmu silatnya. Betapa pun juga, golok emasnya yang
digerakkan dengan tenaganya yang besar, cukup berbahaya.
Ban-pi Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua lengan bajunya
berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia
tertegun karena mengenal ilmu pedang itu.
"Kau... murid Pat-jiu Sin-ong...?" tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul kebutan lengan bajunya ke
belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.
Lu Sian tersenyum mengejek. "Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan dengan puteri tunggalnya!"
"Ahh... ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia menghentikan semua gerakannya.
Melihat hal ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah leher disusul
dengan tangan kiri, sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan goloknya ke arah pinggang. Hebat
sekali serangan dua orang muda ini.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular terbang mengitari tubuh Ban-pi
Lo-cia. Hebat sekali sinar hitam ini yang ternyata merupakan sehelai cambuk atau tali hitam panjang
berkelebatan sambil mengeluarkan suara meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru kaget.
Goloknya sudah terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh terkena totokan
ujung cambuk!
Lu Sian marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk maju dengan nekat,
menggerakkan pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris
ke arah cambuk. Serangan ini benar-benar amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan
gerakan kaki ringan, kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan ketika Lu Sian menerjang
maju. Tiba-tiba cambuknya mengeluarkan suara keras lalu menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke
arah muka yang cantik jelita itu.
Kini Lu Sian yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk itu membingungkannya,
apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan mukanya. Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini,
tentu akan bercacat! Karena ini ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya berusaha
membabat cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang (Ilmu Mencengkeram Kuku
Harimau) untuk menangkap cambuk.
Ban-pi Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama makin mengecil. Tanpa
dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan gadis itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat
dan membelenggu kedua pergelangan tangannya. Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari
tangannya dan betapa pun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua lengannya, namun sia-sia
belaka.
"Huah-hah-hah, manisku, kau hendak lari ke manakah?" Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau tali hitamnya
itu dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan kanannya dengan jari besar-besar dan penuh
bulu itu diulur ke depan, agaknya hendak menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu.
Melihat muka yang berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal menyeringai makin
mendekatinya, Lu Sian hampir menjerit saking ngeri dan seramnya.
"Binatang, kau lepaskan dia!" Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu meloncat dan
menubruk Ban-pi Lo-cia dari belakang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tadi jenderal muda ini merasa lengan kanannya lumpuh setelah tertotok ujung cambuk sehingga goloknya
terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu Sian, ia cepat mengerahkan sinkang ke arah
lengan untuk mengusir kelumpuhan. Betapa kagetnya melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan agaknya si
Kakek Iblis itu hendak berbuat kurang ajar. Rasa khawatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat dan seperti
seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.
Kalau saja berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang secara kasar begini. Akan
tetapi pada saat itu Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam keadaan mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang
membuat semangatnya melayang-layang, apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan
cambuknya. Bagaikan seorang kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia tidak ingat apaapa
lagi kecuali korbannya. Inilah sebabnya mengapa Kam Si Ek berhasil menerkamnya dan menggulatnya
dari belakang. Pemuda yang bertenaga kuat itu sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan
ilmu gulat yang memang pernah ia pelajari untuk memiting dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia!
Kagetlah Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik lingkaran tangan yang
kuat! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian,
cambuknya ia tarik kembali dan kedua tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan
merenggut lengan yang mencekiknya.
Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik terus,
bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan
menjadi seekor lintah yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi! Menghadapi ilmu gulat
macam ini Ban-pi Lo-cia kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata kelahi (ilmu silat) dari aliran mana pun
juga, akan tetapi menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.
Pada saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas dari belenggu ujung cambuk. Sejenak ia mengurut-ngurut kedua
lengannya yang terasa sakit, kemudian menyambar pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan
bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk mencegah si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.
Repot juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang menyerang
seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam Si Ek pada lehernya makin
mengeras dan kuat sekali. Sebetulnya dengan mudah Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian. Akan
tetapi saking gugup dan khawatirnya akan cekikan yang ketat, ia jadi terburu-buru sehingga menjadi bingung
sendiri. Ia mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau pedang Lu Sian tanpa mendapat
kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari cekikan orang muda itu.
Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni mematahkan tulang leher lawannya!
Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali! Kalau yang ia piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu
leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu mematahkan tulang seekor
harimau!
Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang tokoh
persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar saja ia bingung.
Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali melecut-lecut
dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung
cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat
pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.
"Ayaaaa....!" Lu Sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya, menikam bertubitubi
sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan.
Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah di dekat siku
lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya. Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek
dan otomatis kempitannya pada leher juga terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri
terlepas, lalu membalik dan sekali tangan kirinya menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu
terguling roboh!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bocah setan! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak membuatku
menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya? Mari kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi
setan penasaran!" Ia menubruk maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher
pemuda itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu! Tangan kirinya memegang
cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.
"Iblis tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu tercekik. Maka cepat ia menyambar
pedangnya yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk menolong
pemuda pujaan hatinya.
“He-he-he, kau bersabar dan tunggulah, manis! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini sudah kucekik
sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya! Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan
cambuk di tangan kirinya untuk menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.
Kam Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkeraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada kedua
tangannya, berusaha sekuatnya untuk merenggut lepas lengan tangan yang mencekiknya. Namun hasilnya
sia-sia belaka karena tangan kakek yang kuat itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi,
tak dapat bernapas, pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi, kepalanya
serasa membesar dan hampir meledak.
Tadinya ia mengharapkan bantuan Lu Sian. Akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, pedangnya
selalu tertangkis cambuk. Habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus
mati. Bagi seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin
mati di dalam perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih
menyesal lagi hatinya mengingat gadis penolongnya itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih
hebat dari pada maut!
Tiba-tiba wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia tengah
memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. Ia berteriak
sekuatnya, "Jangan...!!" akan tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan Banpi
Lo-cia.
"Brett...! Breettt! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"
Mendengar suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan menoleh. Matanya yang
sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu
merobek bajunya sendiri sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna
merah muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.
"Kau masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan mulut menyungging
senyum manis ditambah lirikan mata memikat.
"Heh-heh-heh... ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam mimpi ia bangkit
meninggalkan pemuda itu. Kini ia terkekeh, matanya tak pernah berkedip menelan gadis di depannya, kakinya
melangkah ke depan dan kedua tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.
Lu Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh, melangkah
mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga makin menonjollah keelokkan
tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek
itu. Ketika ia melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya
kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang
terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang
tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang
yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Inilah serangan hebat sekali! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia
menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai. Begitu melihat kelebatan jarum dan pedang,
kesadarannya pulih kembali. Sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan
lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian.
Tiba-tiba terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran
lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian
dan Si Ek, tanpa dikomando lagi, telah mengeroyok si kakek lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian
dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka
mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin. Walau pun akan kalah, maka mereka kini menyerang
dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu siap mengadu nyawa!
Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong. Biar pun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau
dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju
secara nekat seperti itu. Ada pun Kam Si Ek, biar pun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun
pemuda ini bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai Ban-pi Lo-cia
untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh.
Padahal Ban-pi Lo-cia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila, ada pun
Kam Si Ek tentu akan dibunuhnya kalau memang tidak dapat ia bujuk. Setelah mencari akal, tiba-tiba
cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan
terdengarlah suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke
arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.
Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka
begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi golok
dan pedang seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan
tenaga untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk
secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya
memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang
luar biasa ampuhnya. Biar pun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan
menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh!
"Hemm, tua bangka tak tahu malu! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?" tiba-tiba
terdengar angin mendesing dari kiri.
Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh ke kiri
dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi
akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek
tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan
sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.
"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke
mari seperti anjing terkena gebuk! Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang
kini menjadi pengemis lumpuh." Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.
Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah
lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga
dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Akan tetapi, andai kata kakek itu belum lumpuh sekali pun ia tidak takut, apalagi
sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.
Kong Lo Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini. "Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk.
Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba
menganggu Kam-goanswe. Dia seorang patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biar pun ia tidak akan kalah, namun ia
merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti
membantu si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek? Terang bahwa jenderal
dunia-kangouw.blogspot.com
muda itu tidak akan suka membantu Khitan, walau pun ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat
tidak mau membantu. Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau
resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling
gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek?
Ia lalu tertawa menyeringai. "Kakek lumpuh, raja jembel! Siapa butuh dia? Kau bawalah jenderalmu itu, yang
kubutuhkan adalah si Bidadari!" Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan
mulut terbuka lebar.
Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih
pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun
siuman dari pingsannya. Untung bahwa mereka tadi tidak terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul
oleh anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya
Hek-see-ciang tentu nyawa mereka sukar ditolong.
Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek
saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang
seorang pula menculik dia! Ia tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah
Kong Lo Sengjin. Dua orang kakek itu terheran.
Segera Lu Sian meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata, "Ayahku
Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan
seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku
kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik...." Liu Lu Sian tidak melanjutkan katakatanya
melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar. Maka ia membentak, "Budak rendah! Biar
pun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa? Mengapa kau mentertawakan aku? Apanya yang tidak cocok?"
"Kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi! Orang-orang yang tidak
bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang
membunuh lalat saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang,
karena kau tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang
beraninya hanya kepada si lemah. Orang Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, tapi kau mengalah dan
ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan? Hi-hi-hik!"
Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu
dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka
mukanya segera menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala
jalang ketika ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.
"Ban-pi Lo-cia, bersiaplah kau! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik mengira Kong Lo Sengjin
takut menghadapi seekor monyet Khitan!"
Ban-pi Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat mengadu domba. Akan
tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek
yang sudah lumpuh? Ia harus memperlihatkan kelihaiannya. Setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa
sukarnya menangkap si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek?
"Raja Muda bangkrut! Kau lihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!" Ban-pi Lo-cia membentak.
“Tar-tar-tar!” menyusul suara keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut sambil
mengeluarkan bunyi seperti halilintar.
"Ha-ha-ha, kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu?" Liu Lu Sian
berseru sambil bertepuk tangan. Besar hati Ban-pi Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia
makin hebat memutar cambuknya dan menyerang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi hati merasa marah sekali. Ia tidak akan
berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil mengalahkan Ban-pi Lo-cia. Memang cerdik Liu Lu Sian.
Ia memakai taktik memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak kakek
lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin menghebat.
Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin lama makin hebat dan mati-matian
sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan
golok Kam Si Ek dan memberi isyarat supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara. Kemudian di
dalam gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi dari situ
dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.
Sementara itu dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah bertanding dengan
hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong karena ia memandang rendah kepada
lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa lawannya ini tentu memiliki sinkang yang kuat, maka dalam
serangannya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan.
Seperti biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya kepandaian sendiri, agaknya Ban-pi Lo-cia
memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya si Kepalan Sakti. Pukulan Hek-see-ciang yang
tadi anginnya saja sudah mampu merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin.
Hebat memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun lamanya, dengan
latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur racun kelabang direndam arak tua. Maka kini
pukulan yang dilancarkan dengan pengaruh tenaga sinkang hebatnya luar biasa, sehingga tidak aneh kalau
orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh anginnya saja.
Namun sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki Sin-jiu atau
Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam
pukulan berbisa seperti Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, mau pun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula
bagaimana harus menghadapi pukulan-pukulan ini. Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh sinar hitam,
ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat
kanan ke tangan kiri.
Ban-pi Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi Hek-see-ciang, karena hawa
pukulannya akan langsung menembus kulit telapak tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke
jantung. Maka ia mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.
"Dessss...!"
Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang lemas lunak seperti
kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui
sesuatu. Selagi ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya
sendiri melalui kepalan tangannya!
"Celaka...!" ia berseru kaget
Cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang membalik itu tertangkis dan ia
segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan. Kiranya kakek buntung itu sudah mempergunakan jurus
dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan, kemudian dengan
pengerahan tenaga sinkang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau tersimpan.
Marahlah Ban-pi Lo-cia. Tahu bahwa tak boleh ia main-main lagi dengan tangan kosong melawan kakek yang
berjulukan Kepalan Sakti ini. Ia melolos Lui-kong-pian dan terus mengadakan serangan dahsyat. Cambuknya
menyambar-nyambar dan meledak di atas kepala si Kakek Buntung.
Diam-diam Kong Lo Sengjin terkejut. Ia lebih mahir menggunakan tangan kosong, akan tetapi menghadapi
cambuk yang demikian panas dan dahsyatnya, kalau dilawan dengan tangan kosong, tentu ia akan terdesak.
Maka ia lalu melompat ke belakang dan mengangkat tongkat bambunya untuk menangkis, kemudian secepat
kilat tongkat bambu yang kiri menusuk perut lawan. Kiranya dua batang bambu yang dipergunakan untuk
pengganti kaki itu kini dapat dimainkan seperti senjata. Kalau yang kanan akan menyerang, yang kiri menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
kaki dan demikian sebaliknya. Bahkan adakalanya tubuh kakek lumpuh ini melayang ke atas dan pada saat
seperti itu, dua batang bambunya dapat menyerang bertubi-tubi.
Hebat memang bekas raja muda ini! Tongkat-tongkat bambunya itu tidak saja dapat menyerang dengan
pukulan dan hantaman atau sodokan seperti dua batang toya panjang, malah ujungnya dapat ia pergunakan
untuk menotok jalan darah. Karena bambu itu berlubang, maka ketika digerakkan oleh sepasang tangan yang
sakti itu, mengeluarkan bunyi angin mengaung-ngaung seperti suara dua ekor harimau bertanding.
Ramai bukan main pertandingan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka lenyap terbungkus gulungan sinar
senjata, sedangkan sekitar sana diselimuti auman-auman yang keluar dari sepasang bambu diseling suara
meledak-ledak dari ujung cambuk. Keadaan yang seimbang ini, serta ketangguhan lawan yang membuat hati
panas menjadi gelap, membuat kedua orang tua itu tidak mendusin lagi bahwa dua orang muda itu sudah
lenyap dari situ.
Setelah lewat seratus jurus, mendadak Kong Lo Sengjin yang teringat kepada Lu Sian berseru, "Siluman
betina, kau lihat baik-baik bagaimana aku merobohkan monyet Khitan!"
Tiba-tiba gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di tangan kirinya menerjang dengan gerakan memutar
seperti kitiran sehingga suara mengaung jadi makin keras. Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini
sehingga Ban-pi Lo-cia terpaksa memutar cambuknya pula untuk menangkis dan melindungi tubuh. Dengan
tongkat lawan diputar seperti itu, tak mungkin ia dapat melibat dengan cambuknya.
Tiba-tiba sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri sudah turun dan kini
sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin
mendesis ketika pukulan ini dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa
mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa ampuhnya.
Ban-pi Lo-cia kaget dan maklum bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek bekas raja muda itu dijuluki
Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak mau menangkis secara langsung karena maklum
bahwa lawannya memang memiliki keistimewaan dalam hal pukulan tangan kosong. Cepat ia menggeser
kakinya sehingga kedudukan kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani menangkis dengan
Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama dengan menerima dari depan secara langsung.
Betapa pun juga, begitu lengannya bertemu dengan lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia
terjengkang, maka cepat-cepat ia melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.
"Huah-hah-hah, bidadari cantik manis. Kau lihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh Sin-jiu?
Sekarang kau lihat betapa aku membalasnya...." Tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar
mencari-cari di dalam gelap dan tiba-tiba ia berseru, "Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"
"Huh-huh, siapa butuh siluman itu? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki. "Hayo kita lanjutkan
pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.
"Nanti dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia anggap sebagai korban yang
sudah berada di depan mulut, melenyapkan pula nafsunya bertempur. "Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong.
Mengapa pula ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya? Hemm, apakah kau kira
Nan-cao tidak mengilar pula memiliki panglima seperti Kam-goanswe?"
Kong Lo Sengjin menyumpah-nyumpah. "Kau betul! Celaka, kita kejar dia!"
Dua orang itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang memberi aba-aba, meloncat
ke atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar. Biar pun keadaan gelap, namun sinar bintangbintang
di langit cukup untuk menerangi sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang
kakek ini segera melihat berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari jauh.
"Huah-hah-hah, manisku! Kau hendak lari kemanakah?" Mereka berdua meloncat turun lagi dan segera
mengejar ke arah dua bayangan tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main kagetnya hati Lu Sian. Tadinya ia sudah merasa girang karena berhasil lari pergi dari tempat
pertempuran selagi dua orang kakek sakti itu berkutetan mencari menang. Tanpa disengaja, mereka lari sambil
berpegang tangan. Agaknya Kam Si Ek masih belum pulih betul oleh bekas pukulan Hek-se-ciang, maka ia
menurut saja digandeng dan ditarik oleh gadis itu.
"Celaka," bisik Lu Sian. "Si Monyet Gundul mengejar kita...."
"Hemm, kita bersembunyi di balik batang pohon besar, biarkan ia lewat lalu tiba-tiba kita berdua menyerang
dari kanan kiri, bukankah itu akan berhasil?" Kam Si Ek memberi usul.
Siasat seperti ini adalah siasat perang, akan tetapi agaknya takkan berhasil banyak kalau dipergunakan
sebagai siasat pertandingan perorangan. Dalam perang mungkin siasat ini dapat dipergunakan melawan
musuh yang lebih banyak.
"Percuma, kepandaiannya beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kita, akal itu takkan berhasil. Lebih baik
bersembunyi, tapi jangan sampai dapat dicari."
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah belakang, "Kam-goansewe, jangan takut aku menolongmu!"
Gemetar suara Lu Sian mendengar ini. "Wah, benar-benar celaka. Kusangka Ban-pi Lo-cia menang dan
mengejar, kiranya kedua-duanya iblis tua itu yang mengejar kita."
"Hemm, mengapa takut? Kalau memang tidak ada jalan ke luar, kita lawan mati-matian. Aku tidak takut mati!"
"Aku... aku juga tidak takut mati, akan tetapi aku masih ingin hidup, apalagi sekarang setelah bertemu
denganmu." Kata-kata Lu Sian ini membikin Kam Si Ek terkejut dan tercengang.
Selanjutnya ia menurut saja ketika Lu Sian menariknya ke arah kiri di mana terdapat sebuah danau kecil. Kini
bulan mulai menerangi jagat dan tampaklah permukaan danau kilau kemilau, dan rumput alang-alang yang
tumbuh di pinggir danau bergerak-gerak seperti menari-nari ketika tertiup angin malam.
"Lekas terjun, ini jalan satu-satunya!"
Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan mereka terjun ke dalam air danau yang gelap dan dingin. Kam Si Ek
segera menggerakkan kaki tangan hendak berenang ke tengah, akan tetapi gadis itu menahannya.
"Tidak usah ke tengah, kita bersembunyi di sini saja."
"Di sini?"
"Ya, menyelam. Lihat, alang-alang ini dapat menyembunyikan kita." Lu Sian memilih batang alang-alang yang
besar dan panjang, memotongnya dan memasukkan ujungnya ke mulut. "Kalau mereka lewat, kita menyelam,
batang alang-alang ini membantu pernapasan kita."
Diam-diam Kam Si Ek kagum bukan main. Gadis ini cerdik luar biasa, pikirnya setelah ia mengerti apa yang
dimaksudkan Lu Sian. Ia pun segera memotong sebatang alang-alang dan mereka menanti. Danau di bagian
pinggir itu tidak dalam, air hanya sebatas dada mereka. Akan tetapi dinginnya bukan main!
Tidak lama mereka menanti. Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya datang dari depan, lalu terdengar
suara Ban-pi Lo-cia, "Ke mana mereka pergi? Tak mungkin mereka lari jauh!"
"Hemm, kalau tidak bersembunyi di danau itu, kemana lagi?" kata pula si Kakek Lumpuh, Kong Lo Sengjin.
Kagetlah hati dua orang muda itu dan cepat-cepat Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek memberi isyarat supaya
menyelam. Keduanya lalu menyelamkan kepala, berlutut di dalam danau dan batang alang-alang itu mereka
pergunakan untuk menghisap hawa dari permukaan air. Karena di situ memang banyak tumbuh alang-alang
maka batang alang-alang dari mulut mereka itu tidak tampak dari luar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka tidak berani banyak bergerak, khawatir kalau-kalau air bergelombang dan menimbulkan kecurigaan.
Dari dalam air mereka dapat melihat bayangan dua orang itu di pinggir danau. Agaknya dua orang kakek itu
tetap menyangka mereka bersembunyi di danau maka sengaja mereka menanti. Akan celakalah agaknya
kalau tadi mereka tidak mempergunakan batang alang-alang untuk bernapas, karena kalau tadi mereka hanya
menyelam biasa, tentu sekarang sudah tidak kuat menahan napas dan terpaksa muncul lagi. Dan sekali
mereka muncul, berarti mereka pasti akan tertawan!
Saking girang dan kagum hati Kam Si Ek memikirkan ini, di dalam air ia memegang tangan Lu Sian dan
menggenggamnya. Kagetlah ia karena tangan gadis itu menggigil kedinginan. Baru ia teringat bahwa air di
dalam danau ini dingin luar biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Kam Si Ek lalu memeluk pundak gadis itu sambil
merapatkan tubuhnya agar dengan jalan ini mereka berdua agak merasa hangat.
Ketika melihat dari dalam air bahwa kedua orang kakek itu berdiri agak menjauhi tempat mereka sembunyi, Lu
Sian menempelkan telinganya ke permukaan air dengan gerakan hati-hati sekali. Daun telinganya timbul di
permukaan air di antara alang-alang dan terdengarlah suara Ban-pi Lo-cia.
"Aku harus mendapatkan bidadari itu!"
"Ah, monyet tua bangka tak tahu malu, masih suka mengejar-ngejar gadis remaja. Aku sama sekali tidak
peduli. Nah, kau carilah sendiri!" jawab Kong Lo Sengjin sambil menggerakkan tongkat hendak pergi.
"Uh, uh, kaulah yang tolol!" si Gundul memaki. "Apa kau kira Jenderal Kam Si Ek akan aman berada di
tangannya? Eh, setan lumpuh, mari kita kerja sama. Kau mengejar ke kanan aku mengejar ke kiri, syukur
kalau aku dapat menangkap Si Bidadari Manis dan kau dapat menemukan Jenderal Kam. Kalau sebaliknya,
kita lalu saling menukar tangkapan kita, bukankah ini kerja sama yang baik sekali?"
Si Kakek Lumpuh diam sejenak. Dipikir-pikir memang benar juga ucapan iblis gundul ini. Iblis gundul ini lihai
bukan main, kalau dia sampai mengganggu puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, itulah baik. Biar kelak Pat-jiu
Sin-ong mencarinya untuk membalas dendam. Biar dua orang iblis itu saling gempur, dengan demikian berarti
ia akan kehilangan dua orang musuh yang tangguh, dan kalau mereka itu sampai mampus, berarti Khitan dan
Nan-cao akan kehilangan tulang punggungnya.
"Usulmu baik sekali, mari kita kerjakan!" kata si Kakek Lumpuh.
Kong Lo Sengjin segera meloncat ke arah kiri dan berlari cepat sekali dengan sepasang tongkatnya. Ban-pi
Lo-cia juga berlari cepat ke arah kanan dan sebentar saja lenyaplah bayangan mereka, meninggalkan danau
yang sunyi.
Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan kini keduanya berdiri lagi. Air sampai sebatas dada mereka. Akan
tetapi mereka belum berani keluar dari danau.
"Kita tunggu sebentar, siapa tahu mereka itu hanya menipu. Kalau mereka tiba-tiba kembali, kita dapat
menyelam lagi," kata Lu Sian dan Kam Si Ek menjawab dengan mengangguk.
Mereka masih berpegang tangan. Kini di bawah sinar bulan mereka saling pandang dengan seluruh rambut,
muka dan tubuh basah! Melihat pandang mata Kam Si Ek seperti itu, tak terasa lagi Lu Sian menjadi merah
mukanya, berdebar hatinya dan ia cepat menundukkan mukanya!
"Liu-siocia (Nona Liu), tanpa bantuanmu aku tentu sudah menjadi orang halus. Aku berhutang budi, berhutang
nyawa kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasnya."
"Tidak ada yang hutang dan tidak ada yang menghutangkan nyawa!" jawab Lu Sian, kini matanya bersinarsinar
memandang. Wajah mereka hanya terpisah dua jengkal saja, tangan mereka masih saling berpegang.
"Kalau tadi aku tidak kau bantu, aku pun sudah celaka di tangan Ban-pi Lo-cia." Ketika Lu Sian menunduk dan
melihat bajunya yang robek, ia cepat-cepat menutupkannya, dan kembali dua pipinya tiba-tiba menjadi merah.
Kam Si Ek bingung. Sejenak ia terpesona. Biasanya ia memandang rendah dan tidak mengacuhkan ketika
menghadapi gadis cantik yang terang-terangan memperlihatkan cinta kasih kepadanya. Ia selalu menganggap
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa wanita hanya akan melemahkan semangatnya berjuang! Akan tetapi sekali ini ia benar-benar bingung.
Wajah ini, biar pun basah kuyup dan rambutnya awut-awutan, luar biasa cantiknya.
"Kenapa kau memandang terus tanpa berkedip?" tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil tersenyum.
"Eh... oh... aku heran, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terkurung bencana dan dapat datang menolong...,"
dalam gugupnya Kam Si Ek berkata, heran akan kenakalan gadis ini menggodanya seperti itu.
Lu Sian lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendengar rencana jahat yang dilakukan
Phang-ciangkun untuk menipu dan menawan Kam Si Ek dan semua peristiwa yang terjadi ketika ia melakukan
pengejaran untuk menolong Kam Si Ek ke Lok-yang. Kam Si Ek mendengarkan penuh perhatian, kagum akan
kecerdikan Lu Sian dalam mengikuti jejak mereka yang menculiknya, bergidik mendengar akan kekejaman
Kong Lo Sengjin membunuhi pengungsi.
"Dia dahulu adalah seorang Raja Muda yang perkasa, berjuang mati-matian mempertahankan Dinasti Tang.
Sayang bahwa kekecewaan karena melihat jatuhnya Kerajaan Tang membuat ia seperti gila dan menjadi
seorang kejam."
"Kau sendiri bersetia kepada Tang sampai rela mengorbankan nyawa," Lu Sian menegur.
"Akan tetapi semua kesetiaanku kutujukan kepada negara dan bangsa. Kerajaan Tang roboh karena
kesalahan Kaisar dan pembantu-pembantunya yang mengabaikan rakyat. Sekarang, setelah Kerajaan Tang
jatuh, aku hanya mengabdi kepada negara dan rakyat, tidak mudah tertipu oleh mereka yang mengangkat diri
sendiri menjadi raja-raja kecil yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan."
"Hemm, kau memang... memang lain dari pada yang lain...." Lu Sian menarik napas panjang, memandang
kagum tanpa disembunyikan lagi.
Melihat pandang mata gadis ini, berdebar jantung Kam Si Ek karena ia menjadi bingung dan tidak mengerti
mengapa gadis ini memandangnya seperti itu, menimbulkan rasa tegang dan juga senang.
"Nona, mengapa kau lakukan semua ini...?" akhirnya ia bertanya sambil memandang tajam.
"Lakukan apa?" Lu Sian balik bertanya sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah di seluruh
tubuh Kam Si Ek bergelora.
"Melakukan semua untuk menolongku. Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu sendiri
hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"
Sejenak mereka saling pandang. Tanpa sengaja kini mereka saling mendekat, tinggal sejengkal saja jarak
antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi
suaranya terdengar merdu dan jelas. "Karena... karena aku cinta kepadamu!"
Hampir saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat memegang lengannya
dan menariknya. "Kau... kenapa.....?" gadis itu bertanya kaget.
"Ah... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati kaget...!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan
girang. Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu
telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara terang-terangan? "Lu Sian... mungkin...
mungkinkah ini...." ia lalu merangkul.
"Mengapa tidak mungkin? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang bahwa hanya
Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu aku tak dapat melupakanmu...."
"Aduh, kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang meluap-luap Kam Si Ek lalu
mendekap kepala gadis itu dan menciumnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Keduanya yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa seakan-akan lemas seluruh
syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih
berpelukan dan berciuman! Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat
bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari rumpun alang-alang! Tentu saja
mereka tidak berani berkutik, dengan saling rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan
napas!
Setelah bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling rangkul dan terengahengah,
kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa,
masih saling peluk dan saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang
tanpa kata-kata.
Kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih, "Moi-moi, terima kasih atas budi dan cintamu. Percayalah,
semenjak aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri. Seorang seperti
aku mana mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"
Lu Sian mencubit lengan pemuda itu. "Kau seorang Jenderal! Dan aku... aku hanya wanita biasa, bagaimana
kau bisa bilang begitu?" Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu.
Dengan penuh kebahagiaan Kam Si Ek mendekap kepala kekasihnya yang menggigil kedinginan. Memang
tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin
malam, dinginnya makin menghebat. "Ah, kau kedinginan! Mari kita keluar dari sini!" katanya.
"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura di sini," Lu Sian menggoda.
Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini
memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan
karenanya ia merasa amat gembira dan heran. Mereka lalu meloncat ke darat.
"Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di sana?" tanya Lu Sian
sambil meloncat.
"Ah, malah kembali ke perahu?"
"Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka
tentu mengira kita mengambil jalan darat untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."
Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat
mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap
menuju ke Sungai Kuning di utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu
dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek. Mereka melakukan perjalanan
tanpa bicara karena khawatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari
tangan mereka yang bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek
tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik di
dekat telinga masing-masing.
Karena melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari barulah mereka
sampai di sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah kaget hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin
membesar. Dusun yang terendam air makin tak tampak dan keadaan di situ sunyi sekali, hanya terlihat para
anak buah perahu yang tetap berjaga. Dari tempat tinggi itu tampak perahu masih berada di sana sehingga
mereka menjadi girang sekali.
Karena banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit, kira-kira sejengkal dalamnya.
Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu, mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.
"Celaka betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja! Apakah kita akan didiamkan di sini
sampai mati kedinginan?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada pahalanya!" cela suara lain.
Tiba-tiba enam orang prajurit yang bertugas menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok bayangan melompat
masuk dan seorang gadis dengan pedang di tangan telah berada di depan mereka. Apalagi ketika melihat
bahwa bayangan ke dua adalah Kam Si Ek, orang yang tadinya tertawan dan dibawa ke kota raja. Seketika
mereka menjadi pucat dan berseru, "Celaka...!"
Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan seekor burung garuda
menyambar, mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah dari tubuh enam orang itu yang roboh satusatu
dengan dada berlubang atau leher hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air
yang merendam lantai seketika menjadi merah.
"Moi-moi... jangan..." Kam Si Ek mencegah.
Akan tetapi gerakan pedang Lu Sian amat cepat, secepat kilat menyambar, dan enam orang itu telah
menggeletak tak bernyawa lagi. Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini berdiri dengan muka berkerut,
tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini yang dianggapnya amat kejam dan ganas. Teringat ia bahwa
gadis kekasihnya ini adalah puteri tunggal Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya kekejamankekejaman
yang terjadi di Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah sekali.
"Hemm, gadis berhati kejam! Sekarang aku tahu maksud hatimu! Kau tidak ada bedanya dengan yang lain.
Tentu kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao, bukan? Kau mempergunakan
kecantikanmu untuk menjatuhkan hatiku. Memang, aku cinta kepadamu, aku tergila-gila oleh kecantikanmu.
Akan tetapi jangan harap bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan bangsa
hanya karena seorang wanita!" Ia mencabut golok emasnya dan memandang dengan mata penuh kemarahan.
Lu Sian terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum mengejek. Ia puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong,
tentu saja ia pun mempunyai watak yang amat aneh. Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut
dibunuh harus dibunuh, demikian ajaran ayahnya. Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan cinta
kepada Kam Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah kesempatan baik baginya untuk menguji
kepandaian pemuda itu. Maka ia lalu menggerakkan pedangnya dan berkata.
"Kam Si Ek, begitukah dugaanmu? Dan kau telah menghunus golokmu? Baiklah, mari kita lihat siapa di antara
kita yang lebih lihai!" Sambil berkata demikian, gadis itu meloncat ke ruangan belakang gedung yang lebih luas
karena ruangan itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa mengejek,
membikin hati Kam Si Ek makin panas.
"Lihat golok!" bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat.
Lu Sian membalikkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis. Maka bertandinglah kedua orang itu
dalam ruangan belakang di mana lantainya penuh air sehingga kaki mereka membuat air di lantai muncratmuncrat.
Golok dan pedang menyambar-nyambar dan berkali-kali terdengar suara nyaring beradunya kedua
senjata itu! Memang aneh kedua orang muda ini. Beberapa jam yang lalu mereka masih berpelukan,
berciuman, dan sekarang mereka sudah saling serang, senjata mereka saling mengintai nyawa!
Dalam hal ilmu silat, Kam Si Ek masih kalah oleh Liu Lu Sian. Akan tetapi pemuda ini mempunyai ketabahan
hati luar biasa, karenanya ilmu goloknya seperti dimainkan oleh orang nekat, juga tenaganya besar sekali
sehingga untuk seratus jurus lamanya mereka bertanding dengan seru dalam keadaan berimbang.
Lu Sian orangnya memang cerdik sekali. Ia sudah dapat menyelami perasaan hati kekasihnya, maka ia tidak
marah ketika tadi dimaki-maki. Ia tahu bahwa cara hidup kekasihnya itu jauh berbeda dengan dia, maka bagi
Kam Si Ek, cara pembunuhan yang dilakukan tadi tentu amat mengagetkan. Selain itu, agaknya kekasihnya ini
mulai merasa curiga, mengira bahwa dia memang bermaksud membujuk dan menariknya untuk membantu
Kerajaan Nan-cao. Oleh karena ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau sampai ia menyinggung hati
pemuda yang sudah menjadi kekasihnya itu, maka hal itu dapat merenggangkan perhubungan mereka yang
sudah mulai terjalin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini ia sudah merasa puas menguji kepandaian Kam Si Ek. Sungguh pun tingkat kepandaian jenderal muda ini
tentu saja sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau
dibandingkan dengan para pemuda yang pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling
unggul. Tidak banyak selisihnya dari pada tingkatnya sendiri. Kalau ia mau, tentu lambat laun ia dapat
mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka ia sudah merasa puas.
Bakat ilmu silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima pelajaran ilmu silat tinggi, tentu
dia sendiri pun akan kalah! Ia sudah mencoba kepandaiannya, akan tetapi belum mencoba hatinya. Biarlah ia
mainkan ujian berbahaya ini. Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan
ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya menanti
maut!
Tak usah diceritakan lagi betapa terkejutnya hati Kam Si Ek. Pemuda ini berseru kaget. Karena sudah tak
mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya yang mengarah
ke leher. Namun tetap saja goloknya itu membabat ke arah pundak dan ‘makan’ ke dalam daging di pangkal
lengan Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya
pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.
"Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?" Lu Sian berkata. Biar pun
pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini.
Jelas bahwa pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu
hanya digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.
"Kau... kau mengapa begini aneh...? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"
"Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang
telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka
ini sudah melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada
mereka? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa
berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka.
Sekarang aku membunuh enam orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan
bahaya bagi kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan
membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu
belaka, hanya di bibir. Aku... aku... ahhhh....!" Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling.
Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu. Ia makin gugup saat melihat
betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat.
"Moi-moi... Moi-moi..., kau maafkan aku... ah, aku bodoh sekali! Lu Sian...! Moi-moi...!"
Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari ke belakang rumah dan
meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya di perahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu
Sian ke atas sebuah pembaringan yang berada di bilik perahu.
"Ah, benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!"
Kam Si Ek merobek baju di pundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak
sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak
dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak. Kemudian, melihat wajah gadis itu
masih pucat dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari ke sana ke
mari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik
dari pada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Di musim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat
tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih.
Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata
yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum
geli! Kalau ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi! Setelah air matang Kam Si
dunia-kangouw.blogspot.com
Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian,
melihat di perahu itu banyak perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin.
Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu yang biar pun sudah mulai siuman, namun belum sadar,
masih bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan. Matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya
mengigau seperti orang terserang demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya,
sambil meramkan mata, gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya!
"Ayah, aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng! Tidak mau dengan raja muda di timur, pangeran di barat
atau putera mahkota di utara! Aku hanya mau menikah dengan Kam Si Ek. Biar dia jenderal tolol, biar dia lakilaki
canggung, aku sudah cinta kepadanya, Ayah!"
Kam Si Ek duduk bengong di pinggir pembaringan. Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya. Girang dan
bahagia karena dalam igauannya ini Liu Lu Sian jelas membuka isi hatinya yang amat mencintainya. Bingung
karena gadis itu makin malam makin hebat mengigau dan gelisah. Duka dan khawatir karena ia telah melukai
gadis itu, melukai tubuh dan hatinya.
Lu Sian mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia menyebut-nyebut bahwa ia bersama Kam Si Ek akan
pergi menemui Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, untuk minta bantuan gubernur ini menjadi perantara
meminangnya kepada ayahnya di Nan-cao. Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa itulah jalan
terbaik. Ia memang tadinya menerima undangan atau panggilan Gubernur Li dan di tengah jalan ia dijebak dan
dikhianati komplotan para perwira yang memberontak dan pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia
laporkan kepada Gubernur Li. Di samping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah Liu Lu Sian yang selain
menjadi Ketua Beng-kauw, juga menjadi koksu (guru negara) di Nan-cao, siapa lagi yang lebih tepat selain
dengan perantaraan Gubernur Li?
Ia memeluk Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra. "Moi-moi, tenangkanlah hatimu, kau ampunkan
kokomu yang tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan demi Tuhan, aku akan meminangmu dari tangan
ayahmu." Ia lalu sibuk melepaskan perahu dari ikatannya, mendayung ke tengah lalu memasang layar. Biar
pun bukan ahli, Kam Si Ek tidak asing dengan pelayaran, maka biar pun hari telah berganti malam, ia berani
melayarkan perahunya di bawah sinar bulan.
Lu Sian membuka matanya dan tersenyum-senyum girang. Melihat Kam Si Ek sibuk mengemudikan perahu, ia
lalu mengeluarkan bungkusannya, mengambil obat luka dan mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusapngusap
pipinya yang masih panas oleh ciuman Kam Si Ek, perlahan-lahan turun dari pembaringan, lalu keluar
dari dalam bilik.
"Koko (Kanda)...," ia berseru memanggil lirih.
Kam Si Ek terkejut dan menoleh. Melihat gadis itu berdiri bersandar pintu bilik, ia terkejut, girang dan juga
khawatir. "Eh, kau sudah bangun, Moi-moi? Kau beristirahatlah, jangan keluar dulu, nanti kena angin...! Itu ada
bubur di meja, kau makanlah...!"
"Aku tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh." Mana bisa ia merasa lapar kalau hatinya sebahagia itu? Pula,
ketika ia berpura-pura pingsan dan mengigau, bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah menyuapinya
dengan bubur sampai kekenyangan? "Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko. Kau melayarkan
perahu ini ke manakah?"
Girang sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya benar-benar telah sembuh, wajahnya berseri, pipinya merah
dan matanya bersinar-seinar. "Pundakmu tidak nyeri lagi, Moi-moi?"
Dengan gaya manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu berjalan menghampiri. Dengan satu tangan Kam Si
Ek memegang tali layar, tangan ke dua meraih lengan gadis itu dan mereka berpegang tangan, saling pandang
penuh kasih.
"Sian-moi, kau tahu bahwa aku dipanggil oleh Gubernur Li, akan tetapi aku diculik oleh pasukan yang
berkhianat dan bersekongkol dengan Raja Liang. Hal ini harus kulaporkan kepada Gubernur Li, maka aku
sekarang hendak pergi ke Shan-si untuk berunding dengan beliau. Kuharap kau suka ikut denganku ke sana.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selain berunding urusan pengkhianatan itu, aku pun perlu minta bantuannya...." Sampai di sini pemuda itu
berhenti bicara dan mukanya menjadi merah.
"Bantuan apa, Koko?" Lu Sian bertanya, pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam girang sekali karena
agaknya akalnya ‘mengigau’ itu berhasil baik.
"Moi-moi." Tangan Kam Si Ek menggenggam erat-erat tangan Lu Sian. "Aku hendak mohon bantuannya untuk
menjadi orang perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan di
Nan-cao."
Girang sekali hati Lu Sian. "Koko, ke mana pun juga kau pergi, aku suka ikut!"
Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi dari pada kegembiraan dua buah hati yang saling
bertemu. Berhari-hari mereka menjalankan perahu sambil bersenda gurau, menceritakan keadaan masingmasing,
menangkap ikan dan masak-masak lalu makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam cinta dan
kagumnya terhadap Lu Sian, mengagumi kecantikan dan kelincahan gadis ini, termasuk wataknya yang
kadang-kadang aneh. Di lain pihak, Lu Sian juga kagum akan kekasihnya yang sudah tiada orang tua lagi,
tentang keturunan keluarga Kam yang semenjak dahulu terkenal sebagai panglima-panglima perang jagoan.
Ketika Lu Sian bercerita tentang pertemuannya dengan kakak seperguruan jenderal itu, yaitu Lai Kui Lan di
dalam benteng, Kam Si Ek menyatakan kekhawatirannya.
"Suci seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh, banyak
membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati menangis di kamarnya, dan sama
sekali tidak mau menceritakan apa sebab-sebabnya. Aku khawatir sekali ada sesuatu yang mengganjal
hatinya. Malah sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio di luar benteng,
bahkan bermalam di sana. Agaknya ia menjadi kenalan baik dari para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu."
Mendengar ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh di dalam hatinya, tidak mau menceritakan apa
yang menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi korban asmara, tentu berduka karena
Kwee Seng terjatuh ke dalam jurang dan binasa. Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia
tidak berani bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan membuka pula
rahasia tentang perasaan Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini tentu akan mendatangkan suasana tidak
enak di antara mereka, apalagi di situ tersangkut pula diri Lai Kui Lan.
Cinta memang aneh. Biar pun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya, namun kalau
sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta,
hanya akan melihat yang baik-baik saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek.
Kalau saja mereka tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa mereka mempunyai
watak yang jauh berbeda.
Kam Si Ek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah perkasa dan
seorang patriot. Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang aneh, kadang-kadang licik, dan menjalankan
siasat-siasat yang curang bukanlah aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar.
Tidak mau kalah oleh siapa pun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau tidak, tidak peduli sama
sekali tentang negara mau pun bangsa. Baginya, siapa yang menentangnya akan ia hantam!
Perbedaan itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran mereka pada saat
mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian,
melamun betapa dengan bantuan isterinya yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan
dapat berjuang dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja yang akan
benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, Lu Sian di samping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang dicintanya, juga
ia teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat
betapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia,
Bayisan, dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat, pikirnya dengan hati tidak
puas. Ia bercita-cita untuk memperdalam ilmu silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat
agar ia dapat menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan orang-orang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia
akan menitahkan anak buah suaminya untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu!
Untung bagi mereka, di dalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia mau pun Kong Lo
Sengjin. Setelah tiba di wilayah Shan-si, mereka merasa aman, melakukan perjalanan cepat dengan
menunggang kuda memasuki ibu kota Shan-si, menghadap Gubernur Li Ko Yung.
Gubernur Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang di antara pimpinan pemberontakan
yang menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di
Ho-nan yang akhirnya berhasil menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar
pertama Kerajaan Liang. Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat hati-hati. Ia maklum bahwa
jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak
mempengaruhi hati Kam-goanswe. Oleh karena itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga
dan pikiran jenderal muda itu secara halus.
Ia menyambut kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap Liu Lu
Sian yang diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika secara singkat
Kam Si Ek menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus memanggilnya ke benteng itu telah
bersekongkol dengan pasukan Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.
"Keparat itu berani melakukan kejahatan seperti itu?" Gubernur Li menggebrak meja, memanggil seorang
panglima dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan dan surat perintahnya untuk menangkap
Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman mati! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan
arak dan hidangan lezat, berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe dari pada bahaya.
Kemudian, setelah mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko Yung berkata.
"Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata denganmu, untuk merundingkan urusan negara dalam
keadaan kacau-balau seperti sekarang ini," berkata demikian, ia melirik ke arah Liu Lu Sian.
Gadis ini tentu saja maklum bahwa dia merupakan ‘orang luar’, apalagi dia adalah puteri Guru Negara Nancao,
maka tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun dasar ia berwatak nakal dan kukwai (aneh), ia purapura
tidak tahu dan enak-enak duduk minum arak wangi! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu
Sian pergi, tentu saja tidak enak baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ, juga tidak enak
terhadap Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu berkata sambil bangkit berdiri dan menjura
kepada gubernur itu.
"Li-taijin, harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang penting, baiklah
lebih dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini bukanlah orang luar. Dia adalah... adalah... calon
isteri saya, yaitu... eh..., kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi orang
perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao." Setelah berkata demikian, dengan
muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian tersenyum di dalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk
karena malu.
Sejenak gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya. Tidak ada
kesempatan sebaik ini! Cocok benar dengan cita-cita hatinya. Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao!
Melepas budi kepada Jenderal Kam! Mana ada kesempatan yang lebih bagus dari pada ini demi terlaksananya
cita-citanya?
"Ha-ha-ha! Bagus..., bagus sekali! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah tiba waktunya Kamgoanswe
memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan
pasangan yang amat cocok dengan Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi, dan tentu saja dengan segala senang
hati saya suka menjadi perantara!"
Gubernur Li mengangkat cawan memberi selamat, dan dua orang muda itu cepat menghaturkan terima kasih.
Setelah itu Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara bersungguh-sungguh. "Ji-wi (kalian) tentu maklum
bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah
seorang pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe. Memang dahulu
kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada waktu itu merupakan raja lalim. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi sama sekali bukan menjadi rencana kami untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja, tapi hanya
bermaksud menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun berkhianat dan
mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu
dalam perjuangan, kini memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana
dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si? Tentu saja kita tidak akan tunduk kepada Kerajaan Liang
atau kerajaan kecil yang mana pun juga. Bagaimana pendapat Kam-goanswe?"
Kam Si Ek mengangguk-angguk, lalu berkata, "Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi kesetiaan leluhur
kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali
kita salah pilih mengabdi kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."
"Betul sekali ucapan Kam-goanswe! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang sipil, Goanswe di bidang
muliter, namun pendapat dan tujuan kita cocok! Kita boleh menanti dan memilih secara hati-hati. Sementara
itu, sebelum muncul seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah Shan-si
yang menjadi tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu yang mana pun juga. Bukankah begitu,
Kam-goanswe?"
"Betul sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan membela Shan-si!"
"Bagus! Nah, ketahuilah, Goanswe. Di antara para raja kecil yang secara lancang mengangkat diri sendiri, kini
terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap
wilayah kita, melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang amat
membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu kita membentuk pemerintahan
sementara dan kerja sama yang erat antara kita semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah
nanti saya menjadi orang perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya minta agar
Kam-goanswe sudi memegang tugas panglima di sini dan mengatur semua barisan yang perlu diperkuat untuk
mejaga wilayah kita dari ancaman di segala jurusan."
Pandai sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang berwatak jujur itu
percaya seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung tidak membayangkan niat untuk mencari
kekuasaan sendiri, maka serta merta Kam Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama.
Ada pun Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang, sedikit
banyak menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya satu, yaitu
menjadi isteri Kam Si Ek yang dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga hasrat
hatinya terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah Gubernur Li itu seorang patriot tulen
ataukah seorang pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang
perkasa ini menjadi suaminya.
Ketika utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan surat pribadi
mengajukan pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga tiba di Nan-cao menghadap kepada Bengkauwcu
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapa pun
juga, ia kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau puterinya mendapat jodoh
seorang tokoh kang-ouw seperti Kwee Seng. Puterinya terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang
yang biasa terbang bebas seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal
yang terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak mereka?
Akan tetapi karena surat itu dilampiri surat puterinya, dan ia mengenal baik watak puterinya yang mewarisi
wataknya sendiri, yaitu tidak mau mundur sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula
mengingat bahwa Kam Si Ek adalah seorang pemuda perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum wanita,
keturunan panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia mengalah. Apalagi kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai
seorang kok-su (guru negara) mengingat akan suasana dan kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di
Shan-si, yang tentu saja merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka ia segera
menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahan puterinya di Nan-cao.
Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu
Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil di
seluruh negara yang jumlahnya sukar dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di antara raja-raja kecil ini,
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan
bangsawan. Kelompok ini tidak lantas berdiam diri, tapi terus berusaha untuk merebut kembali tahta Kerajaan
Tang yang sudah roboh itu.
Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, di
antaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah
menjadi seorang kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin. Pangeran ini dapat pula menarik
bantuan Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek, dan masih banyak pula orangorang
gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan
Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari Pemerintah Liang Muda.
Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu
merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini
terjadi pada tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan
pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja (907-923).
Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama
Kerajaan Tang Muda. Akan tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang
Muda ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara ‘orang dalam’, juga ancaman
serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda.
Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota
raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti
biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja
terakhir Dinasti Tang! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang, namun di dalam hatinya timbul
dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Ada pun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama
sekali masih amat dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, masih tetap tinggal di Shan-si.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Sementara terjadi pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si
Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun.
Anak ini bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan,
wajahnya toapan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk
menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih
dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf.
Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan
tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah
lewat beberapa tahun. Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan
hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak
akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi
seorang petualang dunia kang-ouw.
Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul
memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra,
lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan. Lu Sian beberapa kali
menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun
agar mereka dapat mengajak putera mereka merantau dan menambah pengalaman di dunia kang-ouw. Tentu
saja Kam Si Ek menolak ajakan ini.
Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan
kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah
mereka derita ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti. Akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa
bukanlah ilmu silat yang dapat melindungi manusia, melainkan watak yang baik!
Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan besar. Kam Si
Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang
tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Kam Si Ek karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang! Hanya
sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.
Kam Si Ek,
Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap cocok dengan
keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.
Liu Lu Sian
Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar sambil memegang
surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya
itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia
menerima penderitaan dari kesalahan ini dengan hati tabah. Betapa pun juga, ia mencinta isterinya itu.
Sekarang hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih melihat kenyataan pahit bahwa isterinya
meninggalkannya. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya
membujuknya untuk meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.....
"Si Ek!" demikian isterinya berkata marah. Isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau
sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa
kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan
bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh
pemerintah macam itu?"
"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orangorang
tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan
bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak
ikut-ikut dengan kelaliman mereka. Aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat untuk menghalau
musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari
gangguan orang-orang jahat."
"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya. "Kau kurung dirimu dengan
tugas, dan kau kurung diriku pula dengan kekukuhanmu. Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima
permintaanku? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi dia
tidak menangis, tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar.
"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku.
Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat
oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik
masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan
kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan
kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan
kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau,
bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan
Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak. "Cukup! Bosan
aku mendengar kuliahmu! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya untuk membuat aku terikat
kewajiban-kewajiban, tidak sudi aku!" Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting
pintu keras-keras.
Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang. Kemudian
ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang
marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung
sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan.
Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera
mereka. Dia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar,
percuma pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali
mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
dunia-kangouw.blogspot.com
Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh
lima! Mereka berdua masih muda dan sudah harus berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup
yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang
ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam
tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.
"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu
Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua
Beng-kauw di Nan-cao.
Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa
pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya atau pun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek
yang sedang pusing dan duka itu membentaknya dengan keras. Sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi
tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang
bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok. Ia tahu
bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang
salah di antara mereka.
Semenjak isterinya pergi meninggalkannya, hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek. Setelah Lu Sian
pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya.
Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan
pekerjaannya. Akan tetapi keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian
dalam pertengkaran mereka.
Memang betul bahwa Kerajaan Liang yang merobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula
didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya
sudah amat buruk dan rusak. Pimpinan muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu,
orang-orang yang mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Setelah memperoleh
kedudukan dan kemuliaan, orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani menjadi lupa sama sekali
akan tujuan perjuangan mereka.
Setiap orang pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan
rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasakan kenikmatan dari pada
kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat
yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku
pula yang harus senang. Mengapa memikirkan orang lain? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan
mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari.
Namun di dunia ini tiada yang kekal. Kesenangan tidak, kedudukan pun tidak. Semua pasti berakhir,
kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba berputar. Selama manusia mengenal
suka, tentu ia akan bertemu dengan duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan
diperbudak suka. Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang! Titik kedua ujung poros yang
memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.
Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami
pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama
Ciu Bwee Hwa. Tentu saja tidak secantik Liu Lu Sian karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki
kecantikan yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang wanita yang halus
perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai
Kui Lan yang sekarang telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan
Nikouw.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada
Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa
maut bagi pendekar itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia tertarik
oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sute-nya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu,
dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek
sendiri, juga amat perlu bagi Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena
ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan
pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun
Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali.
Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi
meriah dengan datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta
pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi.
Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi dan kedua mempelai
sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara
membentak, "Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya
sambil berkata dengan suaranya gemetar, "Harap jangan layani orang itu...!"
Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak
melayani orang yang menantangnya seperti itu? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya,
"Mengapa? Siapa dia?" Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata, "Dia... dia... itu Giam Sui Lok, orang sekampung
denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi... ditolak
oleh ayah. Biar pun dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta huruf.
Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku dan kalau aku menikah dengan orang lain, maka dia akan
memusuhi suamiku. Harap kau suka menaruh kasihan... dan jangan melayaninya...."
Kam Si Ek mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini? Biar pun disebut pendekar oleh isterinya, jelas
bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah
hendak memusuhi siapa pun yang menjadi suami Bee Hwa? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah
ia akan disangka pengecut dan penakut?
“Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya? Apakah kau suka kepadanya?"
Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan suaminya. "Bagaimana kau bisa
bilang begitu? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi isterimu? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana
pikiranku dapat mengingat laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak ingin
kalian bertempur, kemudian seorang di antara kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku
berpihak kepadamu... akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia
bukan orang jahat...."
Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya. "Jangan kau khawatir, aku akan menasehatinya.
Kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun jendela diketuk dari luar. "Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san! Ada urusan di antara
kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm, kau tunggulah!" Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun
jendela, terus melompat ke luar.
Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki
muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya
membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biar pun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu
aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu
aturan dan tak tahu malu? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar? Apakah
di dunia ini hanya ada dia seorang wanita? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan
penghinaan bagiku. Akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan
harap kau segera pergi dari sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai di sini saja."
Giam Sui Lok mengertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati, "Kam Si Ek, enak saja kau
bicara! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa. Belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan
ayahnya menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi
kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati di ujung senjata siapa
yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan
persoalan ini. Kau harus mati di tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk mengakhiri
penderitaan batin ini!" Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya.
Kam Si Ek menjadi marah. "Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak menggunakan
aturan."
"Tak perlu banyak cakap! Pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini di ujung senjata? Kalau tidak
berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau
bukan karena kau lebih gagah dari pada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biar pun hanya
panglima pengecut."
"Tutup mulut! Lihat golokku siap menandingimu!" bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok
emasnya.
Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua
orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat. Goloknya menyambar-nyambar
dengan amat cepat dan kuat, agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya
karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya! Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi
tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini.
Akan tetapi ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan
Kam Si Ek ia kalah jauh. Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai
belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena
kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya
yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya
menyerempet pangkal lengan kanan lawannya.
Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang
kesakitan, hanya menahan rasa nyeri, lalu berkata, "Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin
hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya. "Justru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat! Kau masih
muda dan biarlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan
merasa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Kam Si Ek! Aku mengaku kalah
dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan
datang saatnya aku kembali mencarimu. Sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan
mau sudah!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di
balik gelap malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil
berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song!
Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia
membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di
pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia
cepat berlari ke luar dan lenyap pula di tempat gelap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat
disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan,
akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu
saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat
ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui
Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok
kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang
lenyapnya Kam Bu Song!
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng! Sengaja kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun
baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu.
Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih seorang neneknenek
di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca
menjadi gelap. Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia
telah mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi
suaminya! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam
air Arus Maut, menyelam dan berenang melawan arus.
Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi
selama tiga tahun berdiam di dalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.
Berkat latihan semedhi menurut ajaran kitab semedhi, tenaga lweekang-nya meningkat hebat beberapa kali
lipat, sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjadi hebat luar biasa setelah ia memahami kitab
Ilmu Perbintangan.
Kini menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekang-nya,
menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun
dengan gigih Kwee Seng maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak
terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk
mengambil napas, lalu menyelam kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan
melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andai kata tiga tahun yang lalu ia
harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas!
Akhirnya ia dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika ia muncul di permukaan air, ia melihat langit
menyinarkan cahaya terang benderang, membuat matanya silau karena sudah terlalu lama ia tinggal di tempat
agak gelap. Biar pun sudah keluar dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang diterjangnya ini diapit-apit
dinding batu karang yang amat tinggi. Ia berenang terus dan akhirnya, sejam kemudian, ia melihat dinding
yang biar pun masih amat tinggi dan curam, namun tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia berenang
ke pinggir, menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat tubuhnya ke atas. Cepat ia bersila di bawah
dinding karang untuk memulihkan tenaganya dan pernapasannya.
Akan tetapi, setelah tenaganya pulih, ia teringat akan perbuatannya dengan nenek itu dan... tiba-tiba Kwee
Seng menangis, lalu menampari pipinya beberapa kali sampai kedua pipinya bengkak-bengkak matang biru!
Sebentar kemudian ia tertawa-tawa, suara ketawanya bergema di sepanjang sungai yang diapit dinding
karang. Kemudian ia merayap naik melalui dinding yang tidak rata, menggunakan tangan kirinya menangkap
dan menginjak celah-celah karang. Cepat sekali gerakannya, seperti seekor monyet saja. Tak sampai
seperempat jam, ia telah berada di atas tanah datar, di lembah sungai di lereng Bukit Liong-kui-san! Tak jauh
di sebelah depan, ia melihat puncak di mana tiga tahun yang lalu ia bertanding mati-matian melawan Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, di mana ia dirobohkan secara pengecut oleh jarum-jarum beracun Bayisan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Kwee Seng tertawa bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang
lebar. Rambutnya riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita rambutnya hilang entah ke mana, bajunya
robek-robek, kedua pipinya bengkak-bengkak, akan tetapi matanya bersinar terang biar pun mulutnya
tersenyum setengah mewek seperti orang mau menangis!
dunia-kangouw.blogspot.com
Masih terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya berloncatan dengan gerakan yang luar biasa, tidak
seperti manusia lagi, melainkan lebih pantas iblis penjaga gunung sedang menari-nari. Memang patut
dikasihani Kwee Seng ini. Karena tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan kecewa melihat watak gadis
yang ia cinta, ia menjadi seorang pemabok. Kini setiap kali teringat kepada Lu Sian ia masih tertawa-tawa.
Kemudian pengalamannya dengan nenek-nenek di dalam Neraka Bumi benar-benar telah membuat rusak
pikirannya, membuat ia tak kuat lagi menahan tekanan batin, membuatnya seperti gila. Kalau teringat kepada
nenek-nenek itu, ia menangis. Maka sejak saat itu kembali ke dunia ramai, tawa dan tangis silih berganti
dilakukan oleh pendekar muda ini! Seorang pendekar muda yang tadinya terkenal tampan dan gagah perkasa,
kini berubah menjadi seorang berpakaian compang-camping yang suka tertawa dan menangis, pendeknya
berubah menjadi seorang jembel gila! Dan semua ini karena asmara.
Akan tetapi, sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah gila. Ia hanya seperti orang gila kalau teringat
kepada Liu Lu Sian dan teringat pula kepada si Nenek, karena kedua orang itu mengingatkan ia akan semua
pengalaman dan perbuatannya. Kalau ia sedang sadar, Kwee Seng tetap merupakan pendekar yang gagah
perkasa, yang cerdik dan berpemandangan luas.
Ia tidak pernah pula melupakan Bayisan yang telah berlaku curang dan menyebabkan ia terjungkal ke dalam
jurang di puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat melupakan guru Bayisan, Ban-pi Lo-cia yang telah
membunuh atau lebih hebat lagi, menodai Ang-siauw-hwa sehingga wanita itu membunuh diri. Tidak pula lupa
kepada Liu Lu Sian yang telah menolak cintanya dan bahkan menghinanya.
Demikianlah, Kwee Seng mulai dengan perantauannya. Ia tetap berpakaian seperti jembel, pakaian yang
compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya selalu bersih terpelihara! Di
dalam perantauannya bertahun-tahun ini, tak pernah ia melupakan tugasnya sebagai seorang gagah, seorang
pendekar yang aneh dan sakti. Namun, tetap seperti dahulu, ia melakukan perbuatannya dengan cara
sembunyi-sembunyi. Maka dari itu, semenjak ia keluar dari Neraka Bumi, muncullah di dunia kang-ouw
seorang tokoh aneh tak terkenal yang luar biasa, yang menggegerkan dunia kang-ouw karena banyak sekali
tokoh-tokoh dunia hitam dihancurkan oleh pendekar gila ini.
Akhirnya ada yang mengenalnya sebagai Kim-mo-eng dan makin terkenallah nama ini yang dahulu malah
tidak begitu terkenal. Kalau dulu hanya tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw saja yang mengenal Kim-moeng
sebagai seorang pendekar muda yang berkepandaian tinggi, kini dunia kang-ouw mengenal Kim-mo-eng
sebagai seorang pendekar gila, sungguh pun jarang ada orang pernah melihatnya beraksi. Dengan demikian,
dalam perantauannya, orang-orang yang bertemu dengan Kwee Seng hanya mengira dia seorang jembel gila,
sama sekali tidak ada yang pernah mengira bahwa dia inilah Kim-mo-eng, tokoh kang-ouw yang baru muncul
dan membikin geger dunia persilatan itu!
Rasa penasaran di hatinya terhadap Bayisan membuat Kwee Seng mengarahkan perantauannya menuju ke
daerah Khitan! Ia hendak meluaskan pengalaman dan sekalian mencari Bayisan atau Ban-pi Lo-cia yang
keduanya masih mempunyai perhitungan dengannya.
Bangsa Khitan adalah bangsa nomad (perantau) yang terkenal gagah perkasa, ulet dan pandai perang.
Karena iklim dan keadaan tanah di mana mereka hidup, yaitu di daerah timur laut yang penuh gunung-gunung,
gurun-gurun pasir, dan salju, maka mereka dipaksa oleh keadaan untuk selalu berpindah-pindah tempat untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa suku bangsa Khitan amat ulet dan
berani.
Dan ini pula agaknya yang menyebabkan Khitan seringkali mengadakan penyerbuan ke selatan dalam usaha
mereka mencari tempat yang lebih makmur untuk bangsa mereka. Akan tetapi, berkali-kali mereka terpukul
mundur oleh bala tentara kerajaan selatan sehingga akhirnya mereka tidaklah begitu berani melakukan
penyerbuan secara liar, melainkan baru berani menyerbu setelah direncanakan terlebih dahulu. Karena usaha
mereka yang terus menerus menyerbu ke selatan inilah maka bangsa Khitan selalu dianggap sebagai musuh
besar oleh orang selatan, dari jaman dinasti mana pun juga.
Pada waktu Kwee Seng melakukan perantauannya ke daerah Khitan, yang dijadikan ibu kota Khitan adalah
kota Paoto di lembah Sungai Kuning, termasuk daerah Mancuria selatan. Rajanya adalah Raja Kulu-khan,
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang raja yang terkenal gagah dan suka perang, namun amat dicinta oleh rakyatnya karena ia selalu
bertindak adil dan penuh perhatian terhadap rakyatnya.
Raja Kulu-khan mempunyai belasan orang putera dan puteri, akan tetapi semua itu lahir dari para selir. Ada
pun permaisurinya hanya mempunyai seorang anak perempuan, yang dengan sendirinya menjadi Puteri
Mahkota. Puteri Mahkota ini bernama Puteri Tayami yang semenjak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri,
pandai menunggang kuda, pandai bermain panah dan pandai pula mainkan tombak dan pedang. Selain ini, ia
pun seorang puteri yang amat cantik jelita, menjadi kenangan dan kembang mimpi semua pemuda Khitan.
Namun tak seorang pun di antara para pemuda berani main-main dengan puteri Tayami. Bukan saja karena
Tayami adalah Puteri Mahkota, akan tetapi terutama karena mereka gentar menghadapi kegagahan puteri ini.
Kalau Tayami sudah ikut maju perang dengan pedang pusaka di tangan, yaitu Pedang Besi Kuning, dengan
gendewa dan anak panah menghias bahu, menyengkelit tombak, bukan main hebatnya puteri ini. Entah sudah
berapa banyak tentara musuh yang roboh oleh anak panahnya, pedangnya, mau pun tombaknya.
Khitan memiliki pula banyak panglima-panglima perang yang berilmu tinggi di antaranya adalah Panglima Tua
Kalisani dan Panglima Muda Bayisan. Hanya dua orang ini yang paling hebat kepandaiannya di antara semua
panglima yang juga memiliki keistimewaan masing-masing. Akan tetapi hanya kedua orang panglima itu yang
memiliki ilmu silat dari selatan dan barat. Ada pun Ban-pi Lo-cia, biar pun terkenal namun tidaklah langsung
membantu pergerakan bangsanya. Dia adalah guru dari Panglima Muda Bayisan, namun jarang ia tinggal
terlalu lama di Khitan. Ia lebih suka merantau ke selatan, ke dunia yang lebih ramai dan lebih banyak terdapat
kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan selera nafsunya.
Dasar watak manusia jantan, di mana-mana sama saja. Asalkan melihat wanita cantik, tentu mereka itu saling
berebutan. Yang kasar yang halus, ya begitu juga. Hanya yang kasar itu mengeluarkan perasaan hatinya
melalui kata-kata kasar atau pandang mata kurang ajar, sedangkan yang halus diam-diam menyimpan di hati.
Namun hakekatnya, sama juga. Di antara sekian banyaknya pemuda Khitan yang jatuh hati terhadap Puteri
Tayami, termasuk juga Bayisan dan... Kalisani!
Kita sudah mengenal Bayisan sebagai seorang tokoh muda yang haus akan wanita cantik, yang jahat dan keji,
tidak segan-segan melakukan perkosaan terhadap wanita yang mana pun juga, baik ia isteri orang mau pun
anak orang, baik ia mau atau pun tidak. Maka tidak mengherankan apabila Bayisan tergila-gila kepada Puteri
Mahkota bangsanya sendiri yang demikian jelita ayu.
Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah Panglima Tua Kalisani. Usianya sudah empat puluh tahun lebih,
dua kali usia Tayami, namun panglima yang belum pernah menikah ini secara diam-diam tergila-gila pula
kepada Tayami. Hanya bedanya, kalau Bayisan mengungkapkan perasaannya melalui senyum dan pandang
mata, kadang-kadang kata-kata kurang ajar, adalah Kalisani memendam dalam hati, dan mungkin hanya dapat
terlihat oleh Tayami sendiri melalui pancaran sinar mata penuh kasih sayang.
Namun, semua harapan para muda termasuk dua orang panglima itu, sebenarnya sia-sia belaka. Puteri
Mahkota Tayami sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Ia telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang
bekas temannya semenjak kecil, putera dari pelayan pribadi ayahnya. Kini bekas teman itu telah menjadi
seorang pemuda tampan dan gagah. Biar pun pangkatnya hanya perwira menengah, namun kegagahannya
dalam pandang mata Tayami tiada yang dapat menandinginya! Pemuda ini bernama Salinga, biar pun
keturunan pelayan raja, namun semenjak nenek moyangnya dahulu amat setia dan berdarah patriot.
Raja Kulu-khan amat mencinta puterinya, dan raja ini pun berpemandangan luas, tidak mengukur pribadi
seseorang dari kedudukannya. Maka biar pun ia tahu akan hubungan antara puterinya dengan Salinga, raja ini
tidak pernah menegur puterinya. Malah ketika Bayisan mengadukan hubungan itu, ia memarahi Bayisan.
Bayisan ini biar pun terkenal di luaran sebagai panglima muda, namun adalah putera Raja Kulu-khan juga.
Putera yang lahir dari seorang wanita yang telah bersuamikan seorang pembantu raja, akan tetapi oleh
suaminya seakan-akan ‘dijual’ kepada raja karena mengharapkan kenaikan pangkat!
Peristiwa ini terjadi ketika Raja Kulu-khan masih muda dan tidak kuat menghadapi godaan isteri ponggawa itu.
Namun setelah mengetahui niat licik dari ponggawa yang menjual isterinya sendiri itu, raja ini malah
menjatuhkan hukuman kepada si Ponggawa, sedangkan isteri ponggawa itu ia ambil sekalian menjadi selirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hal ini dilakukan untuk mencuci segala noda. Anak yang lahir dari hubungan inilah yang sekarang menjadi
Panglima Muda Bayisan!
"Cinta kasih antara orang muda adalah cinta kasih murni yang timbul dari hati sanubari. Adalah Dewa yang
menjodohkan, bagaimana kita manusia hendak merusaknya, Bayisan? Kalau adikmu Tayami memang saling
mencinta dengan Salinga, biarlah. Salinga seorang pemuda baik, apa salahnya?"
"Akan tetapi, Sri Baginda. Adinda Tayami adalah seorang Puteri Mahkota, sedangkan Salinga... seorang
prajurit biasa..."
"Hemm, dia seorang perwira..."
"Apa artinya? Seorang Puteri Mahkota jodohnya adalah pangeran, atau yang setingkat..."
"Ha-ha-ha, Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu. Siapakah yang membuat hati dan menimbulkan cinta?
Hanya para Dewa yang tahu. Siapa sekarang yang membuat segala macam pangkat dan kedudukan? Hanya
manusia. Apa sukarnya kalau sekarang aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau Ponggawa yang
tinggi kedudukannya? Mudah saja, bukan? Akan tetapi aku tidak mau lakukan itu, sebab kenaikan tingkat
harus dilakukan menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat Salinga, berarti suatu penghinaan, baik bagi
Salinga mau pun bagi keluargaku sendiri. Nah, cukup, tak perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!"
Demikianlah, dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan
hati Tayami dan menjatuhkan diri Salinga. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani secara berterang melakukan
hal ini, karena Salinga adalah kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula kepada Tayami, adik tirinya!
Pagi hari itu Kwee Seng memasuki kota raja Paoto yang sedang ramai. Segera ia menarik perhatian karena
pakaiannya yang compang-camping dan penuh tambalan itu menunjukkan bahwa dia orang dari selatan.
Namun sikapnya yang seperti orang gila membuat orang-orang hanya tertawa kepadanya. Memang pada
waktu itu banyak sekali orang Khitan sudah berpakaian seperti orang Han, dengan pakaian yang dapat mereka
rampas kalau mereka menyerbu ke selatan, atau pakaian yang mereka tukar dengan kulit dan bulu domba.
Banyak juga pedagang-pedagang dari selatan sampai Khitan, mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi
para pedagang, di mana ada ‘untung’ ke sana ia pergi, tak peduli di sana terdapat bahaya menantang.
Keramaian kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan yang lalu, di bawah pimpinan Panglima Muda
Bayisan sendiri, sepasukan orang Khitan menyerbu dan menghancurkan pasukan Kerajaan Cin Muda yang
ternyata adalah pasukan yang melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil perampasan mereka
terhadap Kerajaan Tang Muda yang kalah perang. Banyak sekali barang rampasan ini, belum lagi kuda dan
senjata, maka saking gembiranya Raja Kulu-khan lalu mengadakan pesta untuk menghormati pasukan itu.
Dan sebagaimana biasanya, dalam setiap keramaian seperti itu tentu diadakan perlombaan-perlombaan
ketangkasan di tepi Sungai Kuning. Perlombaan macam ini bukan hanya sebagai hiburan untuk
menggembirakan suasana, namun ada pula maksudnya untuk mengumpulkan tenaga-tenaga muda. Tak
jarang dalam kesempatan seperti ini bermunculan perwira-perwira baru yang diangkat karena kemenangannya
dalam perlombaan.
Kwee Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat perlombaan. Kwee
Seng ikut berlari-lari sambil makan roti susu kambing yang tadi dibelinya dari warung dan kini digerogotinya.
Lapangan di tepi sungai itu luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata
dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan.
Hati Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang di antara para perwira tinggi yang hadir di
tempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan
lain adalah Bayisan, musuh lama yang dicari-carinya. Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak
melihat Ban-pi Lo-cia di tempat itu. Di panggung yang sengaja dibuat, duduklah Raja Khitan, ditemani Bayisan,
Kalisani, dan belasan orang panglima tinggi lainnya. Di samping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik
jelita, pakaiannya serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung di belakang punggung. Inilah Puteri
Mahkota Tayami. Kwee Seng juga dapat menduganya karena seringkali ia mendengar nama puteri ini
disanjung-sanjung orang dalam perjalanannya di daerah Khitan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar, agaknya menanti tanda untuk
segera dimulainya berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di sebelah depan dipasangi tombak
berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu memenuhi jalan
dan dipasang amat kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing di atas. Tak jauh
dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang siap dengan busur dan anak panah.
Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada penonton di sebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang
dari pada para pedagang perantau.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru