Cersil Online 21 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil Online 21 Toliongto
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Sesudah berdiam beberapa saat, Cia Soen bertanya,
“Bukankah orang she Boe itu pernah bertemu dengan anak
Boe Kie. Hm.. dia tentu menipu anakku dan mengorek
rahasiaku dari mulutnya.”
Bukan main rasa malu Boe Kie. Ia ingat cara bagimana
ia sudah ditipu Coe Tiang leng dan Coe Kioe Tin sehinga ia
membuka rahasia. Kalau lantaran itu ayah angkatnya
benar2 jadi celaka, biarpun mati berlaksa kali, ia tak bisa
menebus dosa.
“Serangan enam partai terhadap Beng Kauw bukan
urusan kecil,” kata pula Cia Soen. “Bagaimana sebenarnya
nasib kita? Mengapa kau tidak memberitahukan hal itu
kepadaku, waktu kita bertemu di Peng hwee to? Kau sudah
pergi ke Tiong goan lagi dan aku percaya bahwa kau sudah
mendapat warta yg lebih jelas.”
“Apa faedahnya jika aku beritahukan kau kejadian itu
pada waktu aku datang di Peng Hwee to? Paling banyak
kau mengoeml panjang pendek. Mati hidupnya Beng Kau
tak ada sangkut pautnya lagi dengan Kim hoa popo. Kau
rupa2nya sudah lupa kejadian di Kong Beng Teng. Waktu
Kong Beng Co soe dan Kong Beng Yoe soe mengepung
aku. Tapi si nenek masih belum melupakan kejadian itu.”
“Hait….. Ganjelan pribadi adalah soal kecil, melindungi
agama kita adalah soal besar. Han hoejin dadamu sempit
sekali.”
“Bagus!” bentak si nenek dengan gusar. “Kau laki2
gagah aku perempuan berpemandangan sempit! Apa kau
1956
tidak tahu, bahwa aku sudha untuk memutuskan hubungan
dengna Beng Kauw? Kalau bukan begitu cara bagaimana
Ouw Goe bisa memperlakukan aku sebagai orang luar? Dia
menuntut supaya aku bersumpah untuk kembali kepada
Beng Kauw dan hanyalah jika aku memenuhi tuntutannya
barulah ia mengobati luka keracunan dari Gin yan sianseng.
Cia hian tee, sekarang aku berterus terang. Akulah yg
membunuh Tiap kok Ie sien Ouw Ceng Goe Cie san Liong
ong sudah melanggar peraturan Beng Kauw yg paling
penting. Mana bisa aku berhubung lagi dengan orang Beng
Kauw?”
“Cia Song menggeleng2kan kepalanya. “Han hoe jin,
aku mengerti maksudmu yg sebenarnya,” katanya.
“Dengan meminjam To liong to, dimulut kau mengatakan
untuk melawan Go bie pay, tapi dihati, kau sebenarnya
ingin menggunakan golok itu untuk menggempur Yo Siauw
dan Hoan Yauw. Tidak! Aku takkan meminjamkan golok
ini.”
Kim hoa popo batuk2, “Cia hiantee, antara kita berdua,
siapa yg berkepandaian tinggi?” tanyanya.
“Keempat hoat ong masing2 mempunyai keunggulan
sendiri2”.
“Apa sesudah matamu buta, kau masih berani
bertanding dengan aku?”
“Kau mau coba merampas golokku dengan kekerasan,
bukan? Dengan mempunyai To Liong to biarpun buta, Cia
Soen masih bisa meladeni kau.” Mendadak ia mendongak
dan mengeluarkan siulan nyaring. “Han Hoe jin!”
bentaknya dengan gusar. “Dua puluh tahun Giok Bin Hwee
Kauw mengawani aku di Peng Hwe to. Mengapa kau
membunuh dia dengna racun? Aku selalu menahan sabar
dan tidak menegur kau, apa kau kira aku tidak tahu?” (Giok
1957
bin Hwee kauw, kera bulu merah, muka putih seperti batu
giok).
Boe Kie terkesiap. Kera itu pernah menolong kedua
orang tuanya. Diwaktu kecil, binatang itu adalah kawan
mainnya satu2nya. Mendengar kebinasaan binatang itu, ia
seolah2 mendengar meninggalnya seorang sahabat karib. Ia
berduka tercampur gusar.
Si nenek tertawa dingin. “Aku benci kera kecil itu,”
katanya. “Saban kali bertemu dia selalu mengawasi aku
dengan sorot mata beringas. Gerakannya sangat cepat dan
kalau aku tidak selalu berwaspada, bisa2 aku mampus
dalam cekernya. Aku merendam beberapa buah tho
didalam air racun. Kalau dia benar sakti, dia tentu tahu apa
buah itu beracun atau tidak, pikirku. Tapi kera tetap kera.
Nama besarnya hanya nama kosong. Dia gegares habis
beberapa buah tho itu dan bahkan dia menyoja2,
mengucapkan terima kasih kepadaku.”
Boe Kie meluap darahnya. Hampir2 ia menerjang.
Sebisa2 ia menahan sabar karena mengingat bahwa biar
bagaimanapun jua, si nenek adalah kepala dari keempat
Hoe Kauw Hoat Ong. Untuk mempertahankan ‘gie-khie’ ia
harus berdaya untuk menaklukkan nenek yg gagah itu.
Cia Soen menarik napas dalam2 dan maju setindak.
Dengan sikap angker, kedua biji matanya yg sudah tidak
dapat melihat lagi menatap wajah nenek Kim Hoa. In Lee
keder dan mundur beberapa tindak. Dilain pihak, Kim hoa
popo mencekal tongkatnya erat2 dan mengawasi Cia Soen
dengan waspada. Suasana tegang luar biasa, ibarat gendewa
yg sudah terpentgan. Diantara tiupan angin malam yg
membangunkan bulu roma, kedua lawan itu saling
berhadapan dalam jarang kurang lebih setombak. Lama
mereka berdiri, masing2 sungkan untuk bergerak lebih
dahulu.
1958
Tiba2 Cia Soen berkata, “Han hoe jin, hari ini kau
mendesak aku, sehingga aku tidak bisa turun tangan. Hai!
Kejadian ini melanggar sumpah saudara dari keempat Hoe
kauw hoat ong. Didalam hati, Cia Soen sangat menderita.”
“Cia Hiantee, hatimu memang lembek. Wkatu baru
mendengar aku tidak percaya, bahwa kau sudah membunuh
begitu banyak jago2 Rimba Persilatan.”
Cia Soen menghela napas. “aku kalap karena
terbinasanya keluargaku – ayah, ibu, istri dan anak,”
katanya. “Tapi kejadian yg membuat aku paling menyesal
ialah, bahwa kau sudah membinasakan Kongkian Seng
ceng dengan pukulan Cit siang koen.”
Si nenek tekejut. “Apa benar2 kau membinasakan Kong
kian Seng Ceng?” ia menegas. “Lagi kapan kau belajar ilmu
yg hebat itu?” Mendengar matinya Kong kian di dalam
tangan Kim mo say ong, hatinya keder.
“Kau tak usah takut. Waktu di pukul, Kong kian Seng
ceng tidak membalas. Dengan menggunakan ilmu Budha yg
tiada batasnya, beliau berusaha untuk menuntun aku
kejalan yg benar. Hai! … aku membinasakannya dengan
tiga belas pukulan…”
“Kini aku percaya. Kepandaianku tak bisa menandingi
Kong Kian Seng Ceng. Kau membinasakannya dengan
tigabelas pukulan. Mungkin sekali, dengan sembilan atau
sepuluh tinju, kau sudah bisa membinasakan aku.”
Cia Soen mundur setindak. Mendadak suaranya berubah
lunak. “Han Hoe jin,” katanya, “Dahulu, waktu masih
berada di Kong Beng Teng, Han Taoko dan kau telah
memperlakukan aku baik sekali. Ketika Siauwtee sakit,
sebulan lebih kalian merawat aku. Budi ini takkan bisa
dilupakan.” Sambil menepuk2 bajunya yg berlapis kapas, ia
berkata pula, “Dipulau peng hwee to, aku mengenakan baju
1959
yg terbuat dari kulit binatang. Kau membuat pakaian yg
sangat cocok bagiku. Ini semua membuktikan, bahwa
kecintaan persaudaraan masih belum hilang. Kau
membunuh Giok bin Hwee kauw dan hatiku sakit. Tapi apa
yg sudah terjadi tak dapat diubah lagi. Kau pergilah! Mulai
sekarang, kita tak usah bertemu lagi. Aku hanya bisa
mohon pertolonganmu, supaya anak Boe Kie bisa datang
disini untuk menemui aku. Jika kau sudi meluluskan
permohonanku, aku merasa sangat berhutang budi.”
Si nenek tertawa sedih. “Kalau begitu, kau masih ingat
kejadian2 dahulu” katanya. “Sementara Gin yap taoko
meninggal dunia, aku sudah merasa tawar terhadap segala
keduniawian. Hanyalah karena masih ada beberapa urusan
yg belum beres, aku masih belum mau mati untuk
mengikuti Gin yap taoko. Cia hiantee biarpun kepandaian
mereka tinggi dan akalnya banyak, semua jago di Kong
beng teng tak dipandang sebelah mata olehku. Kecuali
satu2nya adalah kasu sendiri. Apa kau tau sebab
musababnya?”
Sesudah memikir beberapa saat, Cia Soen
menggelengkan kepala, “Tidak,” jawabnya. “Cia Soen
seorang bodoh dan tidak cukup berharga untuk dihargai
oleh Hian Cie (kakakku yg budiman).”
Si nenek berjalan beberapa tindak dan berduduk diatas
sebuah batu besar. “Diseluruh Kong Beng Teng, hanya
nyonya Yo Kauwcoe dan kau sendiri yg dipandang mata
oleh Cie san li ong long,” katanya. “Waktu aku menikah
dengan Gin Yap Siang seng, hanya kau bedua yg tidak
mengutuk aku, karena aku menikah dengan orang luar.”
Perlahan2 Cia Soen pun berduduk diatas sebuah batu
besar. “Biarpun bukan penganut agama kita, Han Taoko
adalah seorang gagah sejati,” katanya. “Pemandangan
saudara2 kita memang sangat cupat. Hmm… bagaimana
1960
akibat serangan enam partai terhadap Kong Beng Teng?
Bagaimana nasih saudara2 kita itu?”
“Cia Hiantee, badanmu diluar lautan, hatimu tetap di
Tiong goan. Manusia hanya hidup beberapa puluh tahun.
Dalam sekejap waktu itu lewat. Perlu apa kau memikiri
orang lain?”
Mereka berhadapan dalam jarak beberapa kaki dan bisa
saling mendengar jalan pernapasan masing2. Karena si
nenek selalu batuk2 diwaktu berbicara, Cia Soen lalu
berkata, “Waktu bertempur dengan orang2 Kaypang,
dadamu tertikam pedang. Apa luka itu sampai sekarang
belum sembuh?”
“Saban hawa udara dingin, batukku menghebat. Hmm,
sesudah batuk tigapuluh tahun, aku sudah jadi biasa lagi.
Cia Hiantee kudengar jalan pernapasanmu tidak begitu
baik. Apakah kau mendapat luka didalam waktu berlatih
Cit siang koen? Cia hiantee kau hraus menjaga diri.”
“Terima kasih atas perhatian Hian cie,” mendadak ia
menengok kepada In Lee dan berkata, “In Lee, kemari.”
Si nona mendekati.
“Coba kau totok aku dengan jari tangamu, dengan
seantero tenagamu.”
In Lee terkejut, “Aku tak berani!” katanya.
Cia Soen tertawa. “Cia Kong Kong, kau dan popo
adalah saudara angkat. Segala urusan bisa dibereskan secara
damai.”
Cia Soen tertawa sedih, “Cobalah totok aku,” katanya
pula. “Kau tak usah takut. Kau di perintah olehku.”
In lee tak bisa menolak lagi. Ia segera membalut telunjuk
tangan kanannya dengan sapu tangan dan kemudai
1961
menotok pundak Cia Soen. “Aduh!” ia menjerit, tubuhnya
terpental setombak lebih dan ia jatuh duduk. Ia merasa
kesakitan hebat, seolah2 tulang2nya patah semua.
“Cia Hiantee, kau sungguh beracun,” kata Kim Hoa
popo. “Sebab takut aku mendapat pembantu, kau bertindak
untuk menyingkirkannya.”
Cia Soen tidak lantas menjawab. Selang beberapa saat
barulah ia berkata, “Anak ini sangat baik hatinya. Ia
menotok hanya dengan menggunakan dua tiga bagian
tenaga. Ia membungkus jarinya dan tidak mengerahkan
racun Cian coe, bagus2! Kalau dia tidak berhati mulia,
racun laba2 sekarang sudah menyebar jantungnya dan ia
tentu sudah menjadi mayat.”
Mendengar itu, keringat dingin mengucur dari hati Boe
Kie. Orang2 Beng Kauw memang agak kejam, pikirannya.
“Gie hoe yg begitu mulia, tak urung telengas juga.”
“A lee, mengapa kau begitu baik terhadapku?” tanya
Ciao Soen.
”Sebab kau … kau …. Adalah ayah angkatnya. Sebab
kau dengan kesini untuk kepentingannya. Didalam dunia,
hanya kita berdua, kau dan aku yg masih memperhatikan
dia.”
“Ah! Aku tak nyana kau begitu menyayangi Boe Kie.
Hampir2 aku mengambil jiwamu. Mari! Aku ingin
membisikkan sesuatu dikupingmu.”
Perlahan2, sambil menahan sakit, In Lee bangun berdiri
lalu menghampiri Cia Soen.
“Aku akan turunkan pelajaran semacam Lwee kang
kepadamu,” bisik Cia Soen di kuping nona. “Lwee kang
didapatkan olehku di Peng hwee to dan merupakan hasil
jerih payahku selama seumur hidup.” Sebab berkata begitu
1962
ia segera membaca pelajaran tersebut, dari kepala sampai di
buntut. Tentu saja In Lee tidak bisa lantas mengerti dan ia
hanya coba menghafalnya. Sesudah membaca tiga kali
beruntun Cia Soen bertanya “Apa kau sudah ingat semua?”
“Ya” jawabnya.
“Kau harus berlatih terus dan sesudah berlatih diri
selama lima tahun, kau akan memperoleh hasilnya. Apa
kau tahu maksudku yg sebenarnya dalam memberi
pelajaran ini?”
Tiba2 In Lee mengangis segak seguk, “Aku tahu…
tapi… hal itu tidak bisa terwujud,” jawabnya dengan suara
terputus2.
“Apa yang kau tahu? Mengapa tidak bisa terwujud?”
sambil bertanya begitu Cia Soen mengangkat tangannya.
Jika In Lee memberi jawabyg tak menyenangkan, ia segera
membinasakannya. Seraya mendekap muka dengan kedua
tangannya, si nona berkata, “Ku tahu .. ku tahu, kau ingin
aku mencari Boe Kie dan memberi pelajaran itu kepadanya.
Kutahu.. kau ingin aku memiliki lweekangmu yg sangat
lihai itu supaya aku bisa melindungi dia, supaya dia tak
dihina orang. Tapi.. tapi…” ia tak bisa meneruskan
kata2nya dan menangis menggerung gerung.
“Tapi apa?” bentak Cia Soen, “Apakah anakku Boe
Kie…”
In Lee menubruk dan memeluk Cia Soen. Sambil
menangis sedu sedan ia berkata, “Enam.. enam tahun yg
lalu.. dia.. dia mati di See hek… terjerumus kedalam
jurang!”
Badan Cia Soen bergoyang2. “Apa benar?” ia menegas
dengan suara gemetar.
“Benar… Boe Liat dan anak perempuannya
1963
menyaksikan kebinasaannya dengan mata sendiri. Tujuh
kali aku totok mereka dengan Cian Coe Chioe dan tujuh
kali aku menolong jiwanya. Aku menyiksa mereka secara
hebat luar biasa. Kupercaya mereka tidak berdusta.”
Sekonyong2 Cia Soen menengadah dan mengeluarkan
jeritan menyayat hati sedang air matanya mengucur turun
dikedua pipinya.
Melihat kedukaan ayah angkatnya dan saudari
sepupunya, hampir2 Boe Kie tak bisa mempertahankan diri.
Hampir2 ia melompat untuk memperkenalkan dirinya.
“Cia Hiantee,” kata nenek Kim hoa.
“Sesudah Thio Kongcoe meninggal dunia, perlu apa kau
memegang terus to Liong to? Bukankah lebih baik kau
menyerahkannya kepadaku?”
“Hebat sungguh kau mendustai aku!” bentak Cia Soen
dengan suara menyeramkan. “Kalau kau maui golok ini,
ambil dulu jiwaku!” Perlahan2 ia mendorong In Lee dan
“brett” ia merobek pakaiannya dan melontarkan robekan
itu kepada si nenek. Inilah yg dinamakan “Kwa pauw toan
gie” (Merobek ppakaian, memutuskan persahabatan).
Waktu In Lee mau memberitahukan tentang
“kebinasaan” Boe Kie, Kim hoa popo sebenarnya ingin
merintangi. Tapi ia mendapat lain pikiran. Ia tahu, warta
jelek itu akan sangat mendukakan Kim mo say ong,
sehingga dalam pertempuran tenaganya akan berkurang,
pikirnya kalut dan lebih gampang dipancing masuk ke
dalam ‘barisan jarum’. Memikir begitu, dia hanya
mengawasi sambil tersenyum dingin.
“Ah! Kini tiba waktunya unutk maju dan mencegah
pertempuran,” kata Boe Kie didalam hati. Tapi sebelum dia
melompat keluar, kupingnya yg sangat tajam mengangkap
1964
suara bernapasnya manusia diantar rumput2 tinggi.
Suara itu sangat perlahan dan pendek. Kalau bukan Boe
Kie, lain orang pasti takkan bisa mendengarnya. “Kalau
begitu si nenek menyembunyikan pembantu yg sangat
lihai,” pikir Boe Kie. “Aku tak boleh lantas keluar.”
Sementara itu, setelah merobek pakaian nya sambil
membentak keras Cia Soen memutar To liong to yg
bagaikan seekor naga hitam turun naik disekitar tubuhnya.
Kim hoa popo melayani dengan sangat hati2. dia bergerak
diluar jarak samberan golok dan jika Cia Son sengaja
membuka lowongan barulah ia berani merangsek. Tapi
begitu lekas tongkat nya hampir beradu dengan To long to,
dengan kecepatan luar biasa, ia menyingkir pula. Kedua
lawan itu saling mengenal ilmu silat masing2. Mereka tahu,
bahwa keputusan tak didapatkan dalam seratus atau
duaratus yg kedua belah pihak mempunyai sesuatu yg
menguntungkan. Cia Soen mempunyai golok mustika,
sedangkan si nenek menarik keuntungan karena Cia Soen
tidak bisa melihat. Dengan sedikit keuntungan itu, masing2
berusaha untuk mendapatkan kemenangan. Pada
hakekatnya mereka bukan mengadu ilmu silat tapi mengadu
kepintaran.
Mendadak dua sinar emas menyambar. Nenek Kim Hoa
menumpuk dengan bunga emasnya. Cia Soen menyambut
dengan goloknya dan … kedua senjata rahasia itu,
menempel badan To Liong to! Bunga emas tersebut terbuat
dari baja murni yg dilapis emas. Sebab To liong to terbuat
daripada besi “hian tian” yg mengandung besi berani
(sembrani) Kim Hoa popo mendapat nama beasr nya
karena senjata rahasia itu. Biarpun matanya bisa melihat,
Cia Soen harus menggunakan seantero kepandaiannya
untukmenyelamatkan diri dari serangan Kim Hoa. Diluar
dugaan To Liong to justru penakluk senjata rahasia.
1965
Dengan beruntun si nenek melepaskan tujuh delapan
bunga emas akan tetapi semuanya menempel di badan
golok. Diantara kegelapan malam, bunga2 emas itu
bagaikan kunang2 yg menari2. Sekonyong2 sambil batuk2,
si nenek melepaskan seraup kim hoa. Beberapa belas bunga
emas menyambar serentak. Cia Soen mengibas tangan baju
kiri, sambil menyampik dengan To Liong to. Delapan
sembilan kim hoa menempel di golok, yg lainny amasuk
kedalam tangan baju.
“Han hoe jin,” kata Kim mo say ong. “Gelarmu Cie San
liong on bertemu dengan golokku ini, gelar itu sangat tidak
baik.”
Kim Hoa popo bergidik. Pada jaman itu, diantara ahli2
silat yg setiap hari bermain senjata masih banyak yg percaya
akan takhayul mengenai nama senjata nama atau gelaran.
Si nenek bergelar “Liong Ong” (Raja Naga) sedang nama
golok itu adalah “To Liong” (Membunuh Naga). Sambil
menekan rasa kedernya, ia tertawa dingin dan berkata,
“Mungkin sekali tongkat Sat say thung (Tongkat
membunuh singa) lebih dulu membinasakan anak singa yg
matanya buta.” (Gelar Cia Soen Kim mo Say Ong yg
berarti Raja Singa bulu emas).
Sehabis berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa, ia
menyamber pundak Cia Soen dengan tongkatnya. Cia Soen
coba mengegos, tapi ia terlambat dan pundaknya terpukul.
“Aduh!” teriaknya sambil terhuyung beberapa tindak.
Boe Kie kaget tercampur girang. Mengapa ia bergirang?
Karena ia tahu, bahwa dengan sengaja menerima pukulan,
ayah angkatnya sedang menjalankan tipu. Pada waktu itu,
ia sudah menjadi seorang ahli silat yang berkedudukan
sangat tinggi dan dalam menonton pertempuran. Ia selalu
bisa meramalkan pukulan2 yg bakal dikeluarkan oleh kedua
belah pihak. Setelah Cia Soen terpukul, ia berkata didalam
1966
hati. “Kalau Gie hoe menimpuk dengan bunga emas yg
tergulung dudalam tangan bajunya. Kim hoa popo pasti
akan mundur kesebelah kiri. Gie hoe tentu akan membacok
dengan pukulan Cian san Bai soei loan pie hong sit. Sebab
takut akan ketajaman To lion to, si nenek pasti akan
mundur dua kali, dia tidak bisa mundur lagi. Kalau dengan
menggunakan kesempatan itu, dengan lweekangnya Gie
hoe menimpuk dengan bunga emas yg menempel pada
badan To Liong to. Kim hoa popo rasanya akan terlalu
berat.”
Sesuai dengan dugaan Boe Kie, tiba2 terlihat menyambar
beberapa sinar emas. Cia Soen benar2 menimpuk dengan
kim hoa yang tergulung didalam tangan bajunya. Dan
sesuai dengan dugaan pemuda itu, nenek Kim hoa
melompat mundur kesebelah kiri.
Mendadak Boe Kie mengeluh, “Celaka! Kim hoa popo
menggunakan tipu!” ia mengeluh karena ingat sesuatu.
Sementara itu, di gelanggang terus berlangsung
pertempuran seperti yg ditaksir Boe Kie. Cia Soen
membacok dengan Cian Sen Ban Soei Loan pie hong sit. Si
nenek melompat mundur lagi kekiri dan Cia Soen lalu
menimpuk dengan beralsan kim hoa yg menempel pada
badan golok.”Aduh!” teriak si nenek dan badannya
sempoyongan.
Sesudah “merobek baju, memutuskan persahabatan,”
Cia Soen tidak sungkan2 lagi. Sambil membentak keras, ia
melompat tinggi dan lagi tubuhnya melayang kebawah, ia
mengayun goloknya.
Mendadak terdengar teriakan In Lee, “Awas! Dibawah
ada jarum!”
Cia Soen terkesiap. Kejadian inilah yg sudah dilihat Boe
Kie, sehingga ia mengeluh.
1967
Pada detik itu, belasan bunga emas menyambar. Kim
hoa popo menimpuk selagi badan Cia Soen masih berada
ditengah udara supaya ia tidak bisa mundur lagi dan jatuh
diatas ‘barisan jarum’.
Kim mo say ong memang sudah tidak berdaya lagi. Ia
hanya bisa menyelamatkan diri dari serangan bunga2 emas
dengan menyampok dengan To Liong to, tapi ia tidak bisa
menggelakkan hinggapnya diatas ‘barisan jarum’. Selagi
dianya sedang ia menyampok dan selagi badannya
melayang turun tiba2 ia mendengar suara ‘tring trinh….’
Dilain detik kedua kakinya hinggap diatas batu…. Dengan
tak kurang suatu apa! Ia berjongkok dan meraba2 dan
tangannya menyentuh jarum tajam di batu2 sekitarnya.
Tapi empat batang jarunm yg sedang diinjaknya, hilang
terpukul batu. Cia Soen gusar tercampur kaget. Ia tahu,
bahwa ia sudah di tolong oleh orang yg berkepandaian
tinggi. Dengan mendengar sambaran batu, ia pun tahu,
bahwa yg menolong nya bukan lain daripada si pemuda yg
mengaku sebagai kie keng pang dan yg pernah coba
menolong nya dengan timpukan tujuh butir batu. Hebat
sungguh kepandaian pemuda itu, pikirnya. Sudah lama dia
menonton tanpa diketahui. Mengingat begitu, keringat
dingin mengucur di dahi Kim mo say ong.
“Sekarang kedua Hoe Kouw hoat ong dari Beng Kauw
masing2 sudah berjalan kau tipu Kouw jiok kee (tipu
mempersakiti diri sendiri). Pundak Cia Soen sudah terpukul
tongkat, tubuh si nenek sudah kena bunga emas. Biarpun
tidak berbahaya, luka itu jg tak enteng.
Sesudah batuk2, sambil mengawasi tempat
bersembunyinya Boe Kie, Kim hoa popo membentak,
“Bocah Kie keng pang! Sekali lagi kau mengacau urusan
nenekmu. Siapa namamu?”
Sebelum Boe Kie menjawab mendadak menyambar sinar
1968
emas dan In Lee mengeluarkan teriakan kesakitan. Kim hoa
popo tahu, bahwa kepandaian Boe Kie tidak berada
disebelah bawahnya. Jika ia menyerang In Lee pemuda itu
tentu akan merintangi. Maka itu, ia sengaja berbicara dan
pada saat Boe Kie tdk berwaspada ia menimpuk dengan
tiga bunga emas yg menancap tepat di dada si nona.
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Badannya melesat
bagaikan anak panah dan selagi berada di tengah udara, ia
menyambut dua kim hoa yg menyambar. Begitu hinggap
ditanah, ia memeluk tubuh In Lee.
Dealam keadaan setengah lupa si nona melihat seorang
lelaki berkumis memeluk dirinya. Secara wajar Ia menolak
keras dengan kedua tangannya. Begitu menggunakan
tenaga, ia memuntahkan darah.
Boe Kie lantas saja mengerti mengapa In Lee menolak
dirinya. Buru2 ia mengusap mukanya beberapa kali untuk
mencopot kumis palsu dan penyamarannya.
Di lain saat nona In mengawasi dengan mata membelak.
“A Goe koko, apa kau?” tanyanya dengan suara parau.
“Benar aku!” jawabnya.
Hati si nona lega dan ia pingsan. Karena lukanya sangat
berat, Boe Kie tidak berani mencabut senjata rahasia yg
menancap dan hanya menotok beberapa jalan darah untuk
melindungi bagian2 terpenting dari tubuh In Lee.
“Dua kali tuan menolong Cia Soen dan Cia Soen takkan
melupakan budi yg sangat besar itu,” kata Kim mo Say ong.
Mata Boe Kie lantas saja mengembeng air. “Gie…
mengapa…” katanya.
Sesaat itu, ditempat jauh mendadak terdengar suara
“tring!” Suara itu aneh. Perlahan tapi merdu dan menusuk
1969
kuping. Mendengar suara itu, jantung Kim hoa, Cia Soen
dan Boe Kie melonjak, seolah2 mendengar halilintar yg
dahsyat. Mereka bertiga adalah orang yg memiliki lwee
kang yg tinggi. Kioe yang sin kang Boe Kie dapat dikatakan
sudah sempurna dan ia tidak bisa dilanggar lagi oleh segala
kekotoran. Tapi heran, suara itu dapat menggetarkan
jantungnya. Ia bahkan merasa dirinya terombang ambing di
angkasa. Itulah kejadian yg benar2 luar biasa.
Di lain detik, suara itu terdengar pula, lebih dekat
bberapa puluh tombak. Dalam sedetik suara itu sudah
berpindah sedemikian jauh. Sungguh hebat!
Tapi suara kedua berbeda dari yg pertama. Suara itu
halus lemah lembut. Bagaikan bisikan seorang bercintaan di
tengah malam yg sunyi seolah2 tiupan angin yg silir. Akan
tetapi biarpun begitu, suara itu seperti membetot nyawa.
Boe Kie mengerti, bahwa ia sedang menghadapi seorang
manusia luar biasa. Sambil memeluk In Lee, ia berdidi
tegak siap sedia untuk menyambut setiap serangan.
Sekonyong2 terdengar “tang!” yang sangat hebat, yg
berkumandang diseluruh lembah.
Hampir bersamaan muncul tiga orang, semua
mengenakan jubah putih. Dua diantaranya bertubuh
jangkung sedang yang di sebelah kiri seorang wanita.
Mereka berdiri dengan membelakangi rembulan sehingga
Boe Kie tidak bisa melihat muka mereka. Tapi tak bisa
salah lagi mereka adalah anggota Beng-kauw, karena pada
ujung jubah mereka tersulam sebuah obor.
“Seng hwee leng Beng-kauw sudah tiba,” kata si
jangkung yang berdiri di tengah-tengah. “Hoe kauw Liong
ong, Say ong, mengapa kalian tidak menyambut dengan
berlutut?” Ia berbicara dalam bahasa Han yang sangat jelek
dan kaku.
1970
Boe Kie terkejut, “Menurut surat wasiat Yo Kongcoe,
semenjak jaman Kongcoe ketiga puluh satu, jaman
Kauwcoe, Seng hwee leng jatuh ke dalam tangan Kay-pang
dan sampai sekarang belum bisa diambil kembali,”
pikirnya. “Mengapa benda-benda itu berada di dalam
tangan mereka? Apa itu Seng hwee leng asli? Apa benar
mereka murid Beng-kauw?” Bermacam-macam pertanyaan
keluar masuk dalam otaknya.
“Aku sudah keluar dari Beng-kauw, perkataan Hoe kauw
Liong ong jangan disebut-sebut lagi,” kata Kim hoa po po.
“Siapa nama tuan? Apa itu Seng hwee leng asli? Dari mana
kalian mendapatkannya?”
“Pergi!” bentak orang itu. “Kalau kau sudah keluar dari
agama kami, perlu apa kau banyak rewel? Pergi!”
Kim hoa po po tertawa dingin, “Kim hoa po po belum
pernah dihina orang,” katanya, “Bahkan Kauwcoe
memerlukan aku dengan segala kehormatan. Apa
kedudukanmu di dalam Beng-kauw?”
Tiba-tiba ketiga orang itu bergerak dengan serentak
mendekati dan tangan kiri mereka mencoba mencengkram
badan si nenek. Kim hoa po po menyapu dengan
tongkatnya. Entah bagaimana ketiga orang itu menggeser
kaki tahu-tahu kedudukan badan mereka sudah berubah. Si
nenek menyapu angin dan belakang lehernya dicengkram
dengan tiga tangan dan segera dilontarkan jauh-jauh.
Astaga! Nenek Kim hoa adalah seorang ahli silat kelas
utama. Andaikata ia dikepung oleh tiga orang jago yang
paling hebat belum tentu ia bisa dirobohkan dengan satu
dua jurus. Tapi ketiga orang itu sungguh-sungguh aneh
gerakan kaki dan tangannya.
Tiba-tiba Boe Kie mengeluarkan teriakan “in!” Ia merasa
bahwa gerakan badan, tangan dan kaki ketiga orang itu tak
1971
lain dari gerakan Kian koen Tay lo ie. Apakah mereka
bersama-sama memiliki ilmu yang sangat tinggi itu?
Waktu mendengar suara “tang” yang ketiga kali, In Lee
sadar dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya dan
mendapati kenyataan bahwa ia masih dipeluk Boe Kie.
Dadanya sakit luar biasa dan sambil menahan sakit ia
segera memejamkan kedua matanya.
Sesudah ketiga orang itu mengubah kedudukan, Boe Kie
bisa melihat mukanya. Yang bertubuh paling jangkung
berjenggot dan matanya biru, sedang yang satunya lagi
berambut kuning dan berhidung bengkok seperti patuk
elang. Kedua-duanya orang asing, yang wanita berambut
hitam dan mukanya tak berbeda dengan muka orang Tionghoa.
Hanya biji matanya tidak hitam. Ia berusia kurang
lebih dua puluh tahun dan raut mukanya berbentuk kwa cie,
ia cantik. “Semua orang asing, tidak herean apabila mereka
itu suaranya kaku dan bicaranya seperti orang menghafal
buku,” kata Boe Kie dalam hati.
“Melihat Seng hwee leng seperti bertemu dengan
Kauwcoe,” teriak si jenggot. “Cia Soen mengapa kau tidak
menyambut dengan berlutut?”
“Siapa kalian?” Tanya Kim-mo Say-ong.
“Kalau kalian murid agama kita, Cia Soen pasti
mengenal nama kalian. Kalau bukan murid agama kami,
kalian tidak bersangkut paut dengan Seng hwee leng.”
“Dari mana asalnya Beng-kauw?”
“Dari Persia.”
“Benar, aku adalah Lioe in soe (Utusan Awan) dari
Beng-kauw yang berkedudukan di Persia. Kedua kawanku
ini adalah Biauw hong soe (Utusan Rembulan). Atas
perintah Cong Kauwcoe (Kauwcoe Pusat) dari Persia, kami
1972
bertiga datang ke Peng-goan.”
Cia Soen dan Boe Kie terkejut. Sesudah membaca buku
gubahan Yo Siauw, Boe Kie tahu bahwa Beng-kauw
memang berasal dari Persia. Melihat ilmu silat ketiga orang
itu, ia percaya bahwa keterangan si jenggot bukan
keterangan palsu. Ia tidak membuka mulut dan menunggu
jawaban ayah angkatnya.
“Kauwcoe kami mendapat kabar bahwa Kauwcoe
cabang Tiong-goan hilang tanpa jejak,” kata si rambut
kuning Biauw hong soe. “Karena itu, murid-murid cabang
Tiong-goan bermusuhan satu sama lain dan saling bunuh.
Ceng Kauwcoe memerintahkan Sam soe (tiga utusan) In,
Hong dan Goat datang ke Tiong-goan untuk
membereskannya. Sesudah kami tiba di sini, semua murid
harus mendengar perintah kami.”
Boe Kie girang. “Bagus,” pikirnya, “Dengan begini aku
terbebas dari pikulan yang berat. Pengetahuanku memang
sangat cetek dan bisa jadi aku akan menggagalkan urusan
yang sangat besar.”
“Meskipun benar Beng-kauw Tiong-goan berasal dari
Persia, akan tetapi selama seribu tahun lebih sudah jadi
agama yang berdiri sendiri tanpa dikuasai Cong-kauw
(pusat),” kata Cia Soen. “Bahwa dari tempat jauh Sam wie
datang ke sini, Cia Soen merasa sangat girang. Tapi
menyambut dengan berlutut adalah hal yang tidak
beralasan.”
Lioe in soe merogoh saku dan mengeluarkan dua potong
“pay” (potongan logam atau batu) yang panjangnya kirakira
dua kaki. “Pay” itu bukan emasa dan bukan batu giok,
entah terbuat dari bahan apa. Begitu dikeluarkan kedua
“pay” segera dipukulkan satu sama lain. “Ting!” itulah
suara aneh yang terdengar paling dulu. Dalam jarak dekat,
1973
kedengarannya lebih hebat lagi.
“Inilah Seng hwee leng dari Beng-kauw cabang Tionggoan,”
kata Lioe in soe. “Mendiang Kauwcoe Cio tak becus
sehingga barang ini jatuh ke tangan Kay-pang. Untung juga
kami dapat merampasnya kembali. Semenjak dulu melihat
Seng hwee leng seperti bertemu dengan Kauwcoe sendiri.
Cia Soen apa kau masih mau berkepala batu?”
Waktu Cia Soen masuk agama Beng-kauw, Seng hwee
leng sudah lama hilang. Ia belum pernah melihatnya tapi ia
tahu sifat-sifatnya yang luar biasa. Dalam kitab-kitab Bengkauw
“pay” yang dipegang oleh ketiga orang asing itu
adalah Seng hwee leng asli. Apalagi mereka memiliki
kepandaian yang sangat luar biasa dan sekali gebrak mereka
sudah bisa melemparkan tubuh Kim hoa po po.
Kepandaiannya sendiri kira-kira setanding dengan Kim hoa
po po sehingga andaikata ia mau melawan iapun takkan
bisa melawan. “Aku percaya omongan tuan,” katanya.
“pesan apa yang mau disampaikan oleh kalian?”
Lioe in soe tak menjawab. Ia mengibaskan tangan
kirinya. Biauw hoe soe dan Hwie goat soe mengerti
maksudnya. Dengan serentak ketiga orang itu melompat
tinggi dan dalam sesaat mereka sudah berhadapan dengan
Kim hoa po po. Si nenek menimpuk dengan enam Kim hoa
tapi dengan mudah mereka bisa menyelamatkan diri. Hwie
goat soe merengsek dan mencoba menotok leher si nenek.
Kim hoa po po menangkis dan memukul dengan
tongkatnya. Tiba-tiba tubuh si nenek terangkat tinggi,
punggungnya sudah dicengkram oleh Lioe in soe dan
Biauw hong soe dan diangkat ke atas. Ia tidak berdaya
sebab jalan darah dipunggung sudah ditotok. Hwie goat soe
maju dan dengan tangan kirinya ia menotok tujuh hiat di
dada Cie San Liong ong.
Jalan serangan ketiga orang itu licin dan lancer, “Ilmu
1974
silat mereka tidak luar biasa,” kata Boe Kie dalam hati.
“Yang luar biasa adalah kerjasama mereka. Hwie goat soe
memancing si nenek, kedua tangannya membekuk dengan
membokong, ilmu silat mereka secara perorangan belum
tentu lebih tinggi dari Kim hoa po po.”
Sementara itu Lioe in soe melemparkan Kim hoa po po
ke hadapan Cia Soen. “Cia Say ong,” katanya, “Menurut
peraturan Beng-kauw, seseorang yang sudah masuk agama
itu tapi ia meninggalkan agama kita maka dia telah menjadi
murid pengkhianat. Penggal kepalanya!”
Cia Soen terkejut, “Beng-kauw di Tiong-goan tak punya
peraturan begitu,” jawabnya.
“Mulai dari sekarang, Beng-kauw cabang Tiong-goan
harus menurut Cong-kauw,” kata Lioe in soe dengan suara
dingin. “Nenek itu telah mengatur tipuan busuk untuk
mencelakai kau dan itu semua telah dilihat kami. Hidupnya
dia merupakan bibit penyakit. Lekas binasakan dia!”
“Dahulu Han hoejin telah memperlakukan aku baik
sekali. Empat Raja Pelindung Beng-kauw terikat pada tali
persaudaraan. Biarpun hari ini dia memperlakukan aku
dengan Poet ceng (tanpa kecintaan) tapi aku tak bisa
membalasnya dengan Poet hie (tanpa rasa persahabatan)
dan turun tangan untuk membinasakannya.”
Biauw hong soe tertawa terbahak-bahak. “Kau sungguh
rewel!” katanya. “Caramu seperti perempuan bawel. Dia
berusaha untuk membinasakan kau tapi kau tidak mau
mengambil jiwanya. Mana ada aturan begitu? Heran! Aku
sungguh tidak mengerti!”
“Aku bisa membunuh manusia tanpa terkesiap tapi aku
tak bisa membunuh saudara seagama,” kata Cia Soen
dengan suara mantap.
1975
“Tapi kau mesti membunuh dia,” kata Hwie goat soe,
“Kalau kau menolak berarti kau melanggar perintah. Kami
akan lebih dulu mengambil jiwamu.”
“Baru datang di Tiong-goan Sam wie sudah mencoba
memaksa Kim-mo Say-ong utnuk membunuh Cie San
Liong ong,” kata Cia Soen dengan suara mendongkol.
“Apakah Sam wie mau mencoba memperlihatkan
keangkeran dengan menakut-nakuti aku?”
Hwie goat soe tersenyum, “Meskipun kau buta hati
mengerti segalanya,” katanya, “Hayo! Lekas turun tangan!”
Cia Soen menengadah dan tertawa nyaring sehingga
suaranya berkumandang di seluruh lembah, “Kim-mo Sayong
selamanya bekerja sebagai laki-laki,” katanya dengan
suara keras. “Aku tak sudi membunuh sahabat sendiri. Tapi
andaikata nenek itu musuh besarku akupun takkan turun
tangan sebab dia sekarang sudah tidak bisa membela diri,
Cia Soen belum pernah membunuh manusia yang tidak bisa
melawan lagi.”
Mendengar perkataan itu, Boe Kie merasa kagum sekali
dan terhadap ketiga utusan itu ia mulai merasa muak.
“Bagi setiap murid Beng-kauw melihat Seng hwee leng
seperti melihat Kauwcoe sendiri,” kata Biauw hong soe.
“Say-ong, apa kau mau memberontak?”
“Cia Soen telah buta dua puluh tahun lebih. Biarpun kau
menaruh Seng hwee leng dihadapanku, aku tak bisa
melihatnya. Maka itu, melihat Seng hwee leng seperti
melihat Kauwcoe sendiri tiada sangkut pautnya denganku.”
“Bagus!” bentak Biauw hong soe dengan gusar. “Benarbenar
kau mau berkhianat?”
“Cia Soen tidak berani berkhianat, tapi tujuan Bengkauw
ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
1976
menyingkirkan segala kejahatan. Disamping itu Beng-kauw
pun sangat mengutamakan “gie kie”. Kepala Cia Soen
boleh jatuh di tanah tapi Cia Soen tak boleh melakukan
perbuatan sebusuk itu.”
Nenek Kim hoa tidak bisa bergerak tapi ia mendengar
tegas setiap perkataan Kim-mo Say-ong.
Boe Kie tahu bahwa ayah angkatnya tengah menghadapi
bencana. Perlahan-lahan ia melepaskan In Lee di tanah.
“Semua anggota Beng-kauw di Tiong-goan yang tidak
menghormati Seng hwee leng akan mendapatkan hukuman
mati,” bentak Lioe in soe.
“Aku adalah Hoe-kauw Hoat ong (Raja Pelindung
Agama),” kata Cia Soen dnegan suara lantang, “Biarpun
Kauwcoe sendiri yang mau membinasakan aku, ia harus
mengadakan upacara kepada Langit dan Bumi dengan
memberitahukan segala dosa-dosaku.”
Biauw hong soe tertawa. “Gila!” katanya. “Di Persia
tidak ada peraturan begitu. Begitu datang di Tiong-goan,
Beng-kauw segera mempunyai aturan yang gila-gila.”
Mendadak Sam soe membentak kerasa dan menyerang
dengan berbarengan. Cia Soen segera memutar To liong to
untuk melindungi diri. Sesudah menyerang tiga jurus tanpa
berhasil dengan serentak mereka mengeluarkan Seng hwee
leng. Hwie goat soe merangsek dan memukul batok kepala
Cia Soen dengan Seng hwee leng yang dicekal dalam
tangan kirinya. Cia Soen menangkis dengan goloknya.
“Trang!” Biarpun senjata mustika, golok itu tidak bisa
memutuskan Seng hwee leng. Hampir bersamaan, Lioe in
soe menggulingkan diri di tanah dan memukul betis Cia
Soen sehingga ia terhuyung satu dua langkah. Pada detik
yang bersamaan Biauw hong soe berhasil menotok
punggung Cia Soen dengan Seng hwee lengnya. Mendadak
1977
ia merasa tangannya dibetot orang dan Seng hwee leng
dirampas. Dengan hati mencelos ia memutar badan. Yang
merampas adalah seorang pemuda yang mengenakan
pakaian anak buah perahu.
Perampasan Seng hwee leng dilakukan Boe Kie dengan
kecepatan luar biasa. Dengan gusar Lioe in soe dan Hwie
goat soe segera menyerang dari kiri dan kanan, untuk
menyelamatkan diri Boe Kie melompat mundur ke sebelah
kiri. Diluar dugaan punggungnya kena dipukul Hwie goat
soe. Seng hwee leng adalah benda yang sangat keras dan
pukulan itu disertai Lweekang yang hebat. Maka Boe Kie
berkunang-kunang. Untung juga dia memiliki Sin kang dan
sambil melompat ke depan ia mengempos semangat untuk
menentramkan hatinya.
Sam soe tidak memberi nafas kepadanya dan segera
mengurung. Sesudah serang menyerang beberapa jurus
dengan Seng hwee leng yang dipegang tangan kanannya,
Boe Kie mengirimkan pukulan gertakan kepada Lioe in soe
dan berbarengan tangan kirinya menjambret Seng hwee
leng yang dicekal dalam tangan kiri Hwie goat soe. Baru
saja mau membetot mendadak Hwie goat soe melepaskan
cekalannya sehingga buntut Seng hwee leng itu membal ke
atas dan memukul pergelangan tangannya. Jari-jari tangan
Boe Kie kesemutan sehingga mau tidak mau ia terpaksa
melepaskan pula Seng hwee leng yang sudah dipegangnya,
Hwie goat soe lantas saja menyambutnya.
Semenjak memiliki Kian koen Tay loe ie dan mendapat
petunjuk Thio Sam Hong mengenai Thay kek keon, Boe
Kie tidak pernah menemui tandingan. Diluar dugaan,
dalam menghadapi seorang wanita muda seperti Hwie goat
soe, dua kali beruntun ia kena dipukul. Dalam pukulan
kedua, jika tidak memiliki Sin kang, pergelangan tangannya
pasti sudah patah.
1978
Sekarang ia tidak berani melayani kekerasan lagi. Sambil
membela diri ia memperhatikan serangan-serangan lawan
untuk mencari jalan melawannya.
Dilain pihak, ketiga utusan itu merasa kaget. Belum
pernah mereka menemui lawan seperti Boe Kie.
Tiba-tiba Biauw hong soe menundukkan kepalanya dan
menyeruduk. Inilah serangan luar biasa yang bertentangan
dengan peraturan ilmu silat. Menyeruduk dengan bagian
tubuh yang terpenting tidak pernah atau sedikitnya jarang
digunakan oleh ahli-ahli silat di daerah Tiong-goan.
Boe Kie berdiri tegak bagaikan gunung. Ia mengerti
bahwa serudukan itu akan disertai dengan serudukan
susulan. Ketika batok kepala Biauw hogn soe hanya
terpisah satu kaki dari perutnya barulah ia menggeser kaki
dan mundur selangkah. Mendadak Lioe in soe melompat
tinggi dan ketika tubuhnya turun, ia mencoba duduk di atas
kepala Boe Kie. Inipun serangan aneh. Buru-buru Boe Kie
mengegos ke samping. Mendadak ia merasa dadanya sakit
sebab kena disikat Biauw hong soe tapi Biauw hong soe
sendiri yang kena didorong dengan tenaga Kioe yang Sin
kang terhuyung beberapa langkah.
Paras Sam soe berubah pucat. Tapi mereka segera
merangsek lagi. Selagi Hwie goat soe membabat dengan
kedua Seng hwee leng mendadak Lioe in soe melompat
tinggi dan menjungkir balik tiga kali di tengah udara. Ia
heran melihat saltonya Lioe in soe dan cepat-cepat ia
mengegos ke kiri, mendadak sinar putih berkelabat dan
pundak kanannya terpukul Seng hwee leng Lioe in soe. Ia
terkesiap, itu pukulan yang sangat aneh. Bagaimana
caranya selagi bersalto Lioe in soe bisa memukul dirinya
tanpa ia sendiri bisa mencegahnya? Pukulan itu sangat
hebat, meskipun seluruh tubuhnya dilindungi Sin kang, rasa
sakit terasa di sumsum. Kalau bisa ia ingin mundur tapi ia
1979
tahu kalau ia mundur, ayah angkatnya akan binasa. Ia jadi
nekat, sesudah menarik nafas dalam-dalam ia melompat
menghantam dada Lioe in soe dengan telapak tangannya.
Pada detik yang bersamaan, Lioe in soe pun melompat
ke depan sambil memukul kedua Seng hwee lengnya.
“Trang!” Selagi abdannya masih berada di udara,
mendengar suara itu Boe Kie merasa semangatnya terbetot
keluar. Tiba-tiba Biauw hong soe terpental sebab didorong
oleh Kioe yang Sin kang. Hampir bersamaan Hwie goat soe
sudah menghantam pundak Boe Kie dengan Seng hwee
leng.
Cia Soen tahu bahwa si pemuda Kie yang menolong
jiwanya sedang menghadapi bencana, ia merasa menyesal
bahwa ia tak bisa membantu. Makin lama ia jadi makin
bingung. Jika bertempur sendirian ia bisa melawan dengan
mengandalkan ketajaman kupingnya. Sekarang ia tak bisa
membedakan yang mana lawan yang mana kawan.
Bagaimana jadinya kalau To liong to sampai
membinasakan kawan. Tapi ia tahu bahwa penolongnya
sudah terpukul beberapa kali. “Siauw hiap! Lekas
menyingkir!” teriaknya. “Ini urusan Beng-kauw, bukan
urusan Siauw hiap bahwa Siauw hiap sudah sudi menolong
Cia Soen merasa sangat berhutang budi.”
“Aku…Lari! Lekas kau…lari!” seru Boe Kie dengan
suara terputus-putus.
Mendadak Lioe in soe menghantam dengna Seng hwee
leng. Boe Kie menangkis dengan Seng hwee leng juga.
“Trang!” Seng hwee leng Lioe in soe terlepas. Boe Kie
segera melompat tinggi untuk menangkapnya. Tiba-tiba
“bret!” baju dipunggungnya robek sebab jambretan Hwie
goat soe. Goresan kuku mengeluarkan darah dan Boe Kie
merasa perih pada punggungnya. Karena serangan itu,
gerakan Boe Kie jadi terhambat dan Seng hwee leng keburu
1980
diambil kembali oleh Lioe in soe.
Sesudah bertempur beberapa lama, Boe Kie yakin bahwa
Lweekang ketiga lawan itu masih kalah jauh dari tenaga
dalamnya. Yang sukar dilawan adalah ilmu silat, kerja
sama dan senjata mereka yang aneh. Mereka bekerja sama
dalam cara yang sangat luar biasa. Boe Kie tahu bahwa
kalau ia bisa merobohkan salah seorang maka ia akan
mendapatkan kemenangan tapi hal itu tidak gampang
dilakukan.
Dengan Sin kangnya, dua kali Boe Kie menghantam
Biauw hong soe tapi lawan itu hanya terhuyung beberapa
langkah dan rupa-rupanya tidak mendapat luka yang
berarti. Selain itu setiap kali ia menyerang yang satu, dua
yang lain segera menolong dengan cara yang tak didugaduga.
Beberapa kali ia menukar ilmu silat tapi ia tetap tak
bisa memecahkan kerja sama mereka yang sangat erat.
Dilain pihak, Sam soe pun tak berani membenturkan
kaki tangan atau badan mereka dengan Boe Kie. Setiap kali
mengadu kekuatan setiap kali pihak mereka yang
menderita.
Mendadak, sambil membentak keras Cia Soen memeluk
To liong to melompat masuk ke gelanggang pertempuran
dan mendekati Boe Kie. “Siauw hiap, gunakanlah golok
ini!” katanya. Seraya berkata begitu, ia menyodorkan To
liong to.
Boe Kie menyambuti dan Cia Soen melompat mundur.
Selagi melompat, punggungnya terkena tinju Biauw hong
soe yang menyambar tanpa bersuara sehingga ia tidak dapat
mendengarnya. “Aduh!” ia mengeluh. Ia merasa isi
perutnya seperti terbalik.
Sementara itu, sambil menggertak gigi Boe Kie
membacok Lioe in soe. Si jenggot memapaki kedua Seng
1981
hwee leng yang lantas menempel di badan To liong to.
Tiba-tiba Boe Kie merasa tangannya tergetar sehingga To
liong to hampir terlepas.
Hatinya mencelos, buru-buru ia mengempos semangat
dan menambah Lweekangnya. Merampas senjata dengan
Seng hwee leng adalah satu-satunya ilmu yang sangat
diandalkan oleh Lioe in soe. Dapat dikatakan ia belum
pernah gagal. Kali ini ia tidak berhasil dan kaget bukan
main. Melihat itu, sambil membentak keras Hwie goat soe
melompat dan menempelkan kedua Seng hwee lengnya di
badan To liong to. Sekarang empat Seng hwee leng
membetot golok dan tenaga membetot bertambah satu kali
lipat.
Boe Kie sudah terluka beberapa kali dan biarpun bukan
luka berat tenaganya berkurang. Sesudah bertahan beberapa
saat, ia merasa separuh badannya panas dan tangannya
yang mencekal golok gemetaran. Ayah angkatnya
menyayangi To liong to seperti jiwa sendiri dan bahwa
orang tua itu sudah dengan rela meminjamkan kepada
orang yang belum dikenal merupakan bukti bahwa sang Gie
hoe mempunyai gie kie yang sangat tebal. Kalau To liong to
sampai hilang dalam tangannya, mana ia ada muka untuk
menemui sang ayah angkat lagi? Berpikir begitu sambil
membentak, ia mengerahkan seluruh Kioe yang Sin kang ke
tangan kanannya.
Paras muka Lioe in soe dan Hwie goat soe berubah
pucat. Biauw hong soe kaget, ia melompat dan turut
menempelkan sebuah Seng hwee lengnya ke badan To liong
to.
Sekarang satu melawan tiga dan berkat Sin kang, Boe
Kie tetap bisa bertahan. Diam-diam ia merasa syukur
bahwa ia berhasil merampas sebelah “leng” dari tangan
Biauw hong soe. Jika Liok leng (enam leng) menekannya
1982
dengan bersamaan belum tentu ia bisa mempertahankan
diri.
Dengan tubuh tak bergerak, keempat orang mengerahkan
Lweekang mereka yang paling tinggi.
Mendadak saja Boe Kie merasa dadanya sakit seperti
ditusuk dengan jarum halus. Tusukan itu luar biasa hebat,
terus menerobos ke dalam isi perutnya. Hampir bersamaan,
To liong to terlepas dari cekalannya dan ditarik oleh lima
Seng hwee leng!
Boe Kie terkesiap tapi sebagai ahli silat kelas utama,
dalam kagetnya ia tak menjadi bingung. Ia menghunus Ie
thiam kiam yang terselip dipunggungnya dan dengan Toan
coan Jie ie (berputar-putar menurut kemauan hati) salah
sebuah pukulan Thay kek Kiam hoat, ia membuat sebuah
lingkaran dengan bersamaan membabat kepungan Sam soe.
Cepat-cepat ketiga lawan itu melompat mundur. Boe Kie
memasukkan Ie thiam kiam ke dalam sarung dan dengan
sekali raih ia menangkap gagang To liong to.
Sungguh indah keempat gerakan melepaskan To liong to
dan menghunus Ie thian kiam, memasukkan pedang ke
dalam sarung dan menangkap gagang To liong to. Tempo
kecepatannya bagaikan kilat dan gerakannya gemulai.
Itulah gerakan-gerakan yang dikeluarkan dengan
menggunakan Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh.
Sam soe Persia mengeluarkan seruan kaget. Tak
kepalang heran mereka. Lweekang mereka kalah jauh dari
Boe Kie. Karena mereka berteriak, tenaga bertahan mereka
berkurang dan kelima Seng hwee leng berbalik kena dibetot
Boe Kie bersama-sama To liong to. Buru-buru Sam soe
mengempos semangat dan keadaan pulih seperti tadi,
keempat orang saling bertahan dan saling membetot.
Dilain saat, sekali lagi Boe Kie merasa dadanya sakit
1983
seperti ditusuk jarum.
Tapi sekarang karena sudah bersiap-siap, To liong to
tidak sampai terlepas. Sehelai hawa dingin telah menerobos
masuk dari lapisan Kioe yang Sin kang yang melindungi
seluruh tubuh Boe Kie dan menyerang isi perutnya. Boe Kie
mengerti bahwa itulah tenaga dalam Sam soe yang
menyerang dengan perantaraan Seng hwee leng. Pada
umumnya manakala dingin menyerang panas, belum tentu
dingin mendapatkan kemenangan, tapi dalam hal ini Kioe
yang Sin kang melindungi seluruh tubuh sedang hawa
dingin itu berkumpul menjadi satu dalam bentuk sehelai
benang tipis itu dan menikam bagaikan tikaman pisau.
Itulah sebabnya mengapa biarpun hebat, garis pertahanan
Kioe yang dapat diterobos juga.
Serangan itu sebenarnya dilakukan oleh Hwie goat soe
dan Lweekang yang digunakan Tauw koet ciam (jarum
yang bisa menembus tulang). Ia kaget dan heran karena Boe
Kie dapat mempertahankan diri terhadap serangan
Lweekang Tauw koet ciam, ia ingin sekali merampas Ie
thian kiam tapi tak bisa berbuat begitu sebab kedua
tangannya memegang Seng hwee leng. Biauw hong soe pun
ingin merebut pedang mustika itu dan tangan kirinya
kosong, tapi karena tenaganya sudah dikumpulkan di
tangan kanan maka tangan kiri itu tidak bertenaga lagi.
Boe Kie mengerti bahwa dengan terus bertahan seperti
itu dan setiap saat diserang dengan hawa dingin pada
akhirnya ia akan roboh. Tapi ia tidak berdaya untuk
menolong dirinya.
Sementara itu ia mendengar suara nafas Cia Soen yang
mendekati selangkah demi selangkah. Ia tahu bahwa sang
Gie hoe mau memberi bantuan.
Memang benar Kim mo Say ong telah mengambil
1984
keputusan untuk membantu “si pemuda Kie keng pang”.
Selagi keempat orang itu mengadu Lweekang, kalau ia
memukul musuh seperti juga memukul Boe Kie. Maka itu
ia terus ragu dan belum berani turun tangan.
Boe Kie jadi bingung, “Yang paling penting Gie hoe
harus menyingkir,” pikirnya, “Tapi kalau ia tahu bahwa
aku adalah Boe Kie, ia tidak mau menyingkir.” Berpikir
demikian, ia lantas saja berteriak, “Cia Tay hiap, walaupun
Sam soe berkepandaian tinggi, kalau mau aku bisa
meloloskan diri dengan gampang sekali. Cia Tay hiap, kau
menyingkirlah untuk sementara waktu. Aku akan segera
mengembalikan golok mustikamu.”
Sam soe terkesiap, menurut kebiasaan orang yang sedang
mengadu Lweekang tidak boleh bicara, begitu ia berbicara
tenaga dalamnya buyar. Tapi Boe Kie bisa berbicara sambil
bertahan terus.
“Siapa nama she Siauw hiap yang mulia?” tanya Cia
Soen.
Untuk sejenak Boe Kie ragu, tapi ia segera mengambil
keputusan untuk tidak memperkenalkan diri. Apabila ia
menyebut namanya yang asli, ayah angkatnya pasti akan
mengadu jiwa dengan ketiga orang Persia itu. Berpikir
begitu, ia lantas menjawab, “Aku yang rendah she Can
bernama A Goe. Mengapa Cia Tay hiap tidak mau segera
pergi? Apa Cia Tay hiap tidak percaya aku dan takut aku
telan golok mustika ini?”
Cia Soen tertawa terbahak-bahak. “Siauw hiap, kau tak
usah menggunakan kata-kata itu untuk mengusir aku,”
katanya dengan suara terharu. “Kutahu kau dan aku
mempunyai nyali yang sama. Cia Soen merasa bersyukur
bahwa dalam usia tua ia bisa bertemu dengan seorang
sahabat seperti kau. Can Siauw hiap, aku ingin
1985
menghantam perempuan itu dengan Cit siang koen. Begitu
aku memukul, kau lepaskan To liong to.”
Boe Kie tahu kehebatan Cit siang koen, dengan
mengorbankan golok mustika ternama itu memang dengan
sekali tinju ia bisa membinasakan Hwie goat soe. Tapi
kejadian itu berarti bahwa Beng-kauw Tiong goan akan
bermusuhan dengan beng-kauw pusat. Kalau kini ia
menyetujui dibunuhnya seorang utusan pusat, bukankah
perbuatannya tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai
seorang Kauwcoe? Mengingat itu, buru-buru ia mencegah.
“Tahan!” Ia menengok kepada Lioe in soe dan berkata
pula, “Mari kita berhenti untuk sementara waktu, aku mau
berbicara dengan Sam wie.”
Lioe in soe mengangguk.
“Dengan Beng-kauw aku mempunyai hubungan erat,”
kata Boe Kie. “Dengan membawa Seng hwee leng, kalian
datang ke sini dan pada hakikatnya kalian adalah tamu
kami. Untuk segala perbuatan yang tidak pantas aku mohon
kalian sudi memaafkan. Dengan bersamaan kita menarik
kembali tenaga dalam. Apa kalian setuju?”
Lioe in soe mengangguk lagi.
Boe Kie girang, ia segera menarik kembali Lweekangnya
dan To liong to, dan ketiga lawannya pun menarik kembali
tenaga mereka.
Tapi mendadak, sangat mendadak, semacam tenaga
dingin bagaikan pisau menikam Giok tong hiat di dadanya.
Nafas Boe Kie sesak dan ia tak bisa bergerak lagi. Pada
detik itu di dalam otaknya berkelabat pikiran, “Setelah aku
mati, Gie hoe pun akan mati. Tak disangka, utusan Cang
kauw berbuat begitu. Bagaimana nasib In Lee piau moay?
Bagaimana dengan Tio kauwnio, Cioe kauwnio dan Siauw
Ciauw? Hai! Bagaimana dengan impian Beng-kauw untuk
1986
menolong rakyat dan merobohkan kerajaan Goan?” Selagi
ia berpikir begitu, Lioe in soe sudah mengangkat Seng hwee
leng dan menghantam kepalanya, Boe Kie mencoba
mengerahkan Lweekang untuk membuka Giok tong hiat
yang tertotok tapi sudah tidak keburu lagi.
Pada saat yang sangat genting, tiba-tiba terdengar teriak
seorang wanita, “Rombongan Beng-kauw dari Tiong goan
sudah tiba di sini!”
Lioe in soe terkejut, Seng hwee leng berhenti di tengah
udara.
Bagaikan kilat, satu bayangan abu-abu berkelabat ke arah
Boe Kie, mencabut Ie thian kiam dan menubruk Lioe in
soe. Boe Kie mengenali orang itu adalah nona Tio, tapi
dalam girangnya ia kaget tak kepalang sebab si nona
menyerang dengan sebuah pukulan Koen loen-pay yang
bertujuan untuk mati bersama-sama musuh. Pukulan itu
diberi nama Giok swee Koen kong (batu giok hancur
digunung Koen loen san). Meskipun Boe Kie tak tahu nama
pukulan itu tapi ia mengerti jika nona Tio berhasil melukai
Lioe in soe, ia sendiri sukar luput dari serangan lawan.
Lioe in soe mencelos hatinya. Ia tak pernah bermimpi
bahwa sesudah memperoleh kemenangan dengan jalan
licik, ia bakal diserang dengan begitu. Dalam bahaya, ia
menangkis dengan Seng hwee leng dan menggulingkan
dirinya di tanah. “Trang!” Ie thian kiam terpukul balik,
selagi bergulingan ia merasa dingin pada dagunya,
tangannya basah lengket dan dagunya perih. Ternyata kulit
dagu bersama jenggotnya terpapas Ie thian kiam. Kalau
Seng hwee leng bukan senjata mustika, kepalanya pasti
sudah terbelah dua.
Dilain pihak, ketika terpukul balik Ie thian kiam
memapas pinggiran kopiah nona Tioa sehingga sebagian
1987
rambutnya yang hitam terurai.
Tio Beng datang pada detik yang tepat karena hatinya
tidak enak dan ia kuatir akan keselamatan Boe Kie. Ia
merasa bahwa Kim hoa po po banyak akalnya, Tan Yoe
Liang bukan manusia baik-baik dan pulau itu penuh dengan
bahaya yang tersembunyi. Kian lama ia kian kuatir dan
akhirnya ia mengikuti Boe Kie dari belakang. Ia tahu bahwa
ilmu ringan badannya masih cetek dan kalau ia mendekat,
Boe Kie tetap mengetahuinya.
Maka itu ia hanya menguntit dari kejauhan. Sesudah Boe
Kie bertempur dengan ketiga utusan Cong kauw barulah ia
mendekat. Ia girang ketika Boe Kie mengadu Lweekang
sebab ia merasa pasti bahwa tenaga dalam ketiga orang itu
tak akan bisa menindih Kioe yang Sin kang. Penundaan
pertempuran mengejutkan hatinya. Ia ingin mendekati Boe
Kie supaya ia waspada tapi sudah tak keburu. Demikianlah
pada detik berbahaya ia melompat keluar. Ia tahu bahwa
kepandaiannya tidak dapat menandingi ketiga orang asing
itu tapi ia sudah nekat dan tidak berpikir panjang lagi. Ia
mencabut Ie thian kiam dari pinggang Boe Kie dan
menyerang dengan jurus yang dapat membinasakan kedua
belah pihak, yang diserang dan penyerangnya sendiri.
Sesudah jurus pertama berhasil, ia membuat setengah
lingkaran dan menubruk Biauw hong soe dengan badannya
sendiri. Itulah jurus Jin koei Tong touw (manusia dan setan
jalan bersama-sama), jurus Kong tong-pay yang mempunyai
tujuan sama seperti Giok swee Koen kong. Nona Tio
menganggap bahwa ia ditakdirkan untuk binasa bersamasama
musuh. Giok swee Koen kong dan Jin koei Tong
touw bukan pukulan untuk memperoleh kemenangan
dalam kekalahan atau mencari hidup dalam jalan mati.
Kedua jurus itu adalah jurus bunuh diri sambil membunuh
musuh. Ketika jago-jago Kong tong-pay dikurung di Ban
1988
hoat sie, beberapa diantaranya yang adatnya keras sudah
menyerang dengan jurus tersebut. Tapi karena tidak
mempunyai tenaga dalam serangan mereka gagal. Tio Beng
yang menyaksikan serangan itu segera menghafal dalam
otaknya.
Dengan jurus itu Biauw hong soe terkesiap, keringat
dingin mengucur dan ia berdiri terpaku. Ternyata biarpun
ilmu silatnya tinggi, ia bernyali kecil. Dalam menghadapi
serangan yang mematikan, ia ketakutan dan tak berdaya
lagi.
Sebagai akibat tubrukannya tubuh Tio Beng lebih dulu
membentur Seng hwee leng kemudian barulah tangannya
menikam dengan Ie thian kiam. Serangan jurus Jin koei
Tong touw memang harus dilakukan dengan begitu. Lebih
dulu menabrak senjata musuh dengan tubuh sendiri dan
pada saat itu senjata itu menancap di tubuh, menikam
musuh dengan senjata sendiri. Diserang begitu, biarpun
kepandaiannya tinggi, seseorang tak akan bisa meloloskan
diri. Biauw hong soe terpaku sebab ia segera melihat
hebatnya pukulan itu. Untung besar bagi Tio Beng Seng
hwee leng bukan senjata tajam. Senjata itu tumpul dan
berbentuk tongkat pendek, maka itu biarpun terbentur
badannya ia tidak terluka, dan untung juga bagi Biauw
hong soe karena sebelum Ie thian kiam mampir di
tubuhnya, Hwie goat soe sudah keburu memeluk badan Tio
Beng dari belakang.
Karena dipeluk, noan Tio tak bisa menikam terus, ia
tahu ia bakal celaka, tiba-tiba ia membalikkan pedangnya
dan menikam kempungnya sendiri.
Itulah jurus yang lebih hebat dari dua jurus tadi! Jurus
pedang ini yang dinamakan Thian tee Tong sioe (langit dan
bumi bersamaan usianya) adalah jurus Boe tong-pay tapi
bukan gubahan Thio Sam Hong. Siapa penggubahnya? In
1989
Lie Heng. In Lie Heng yang menggubah itu untuk
membalas sakit hatinya terhadap Yo Siauw. Semenjak Kie
Siauw Hoe meninggal dunia, tekadnya yang bulat adalah
membunuh Yo Siauw. Biarpun gurunya seorang ahli silat
yang paling terkemuka tapi karena bakatnya kurang, ia tak
dapat memperoleh ilmu yang paling tinggi. Ia sudah tidak
berharap hidup maka itu ia menggubah tiga jurus silat
pedang yang bertujuan untuk mati bersama musuhnya. Satu
waktu, selagi berlatih diam-diam, latihannya dilihat Thio
Sam Hong. Guru besar itu menghela nafas sebab ia tahu
biarpun ia coba mencegah, hasilnya akan sia-sia. Ia lalu
memberi nama Thian tee Tong sioe kepada jurus itu. Nama
tersebut berarti bahwa sesudah seorang manusia meninggal
dunia, rohnya akan tetap hidup dan usia roh itu sama
dengan usial langit dan bumi. Ketika dikurung di Ban hoat
sie, murid kepala In Lie Heng pernah menggunakan jurus
itu tapi ia keburu ditolong Kouw Touw too. Peristiwa
tersebut disaksikan Tio Beng.
Thian tee Tong sioe adalah untuk menghabisi musuh
yang tubuhnya berdempetan dengan tubuhnya sendiri,
misalnya pada waktu musuh memeluk. Tio Beng menikam
kempungan sendiri supaya Ie thian kiam menembus dan
terus menikam kempungan Hwie goat soe seperti sate.
Tapi Tio Beng dan Hwie goat soe belum ditakdirkan
mati. Saat itu dengan Kioe yang Sin kang Boe Kie sudah
berhasil membuka jalan darahnya yang tertotok. Pada detik
itu Boe Kie berhasil mencegah tikaman itu. Tio Beng
memberontak dan berhasil melepaskan diri dari pelukan
Hwie goat soe. Nona Tio adalah orang yang cerdas luar
biasa, otaknya bisa bekerja cepat sekali. Ia mengambil Seng
hwee leng dari tangan Boe Kie dan melontarkannya jauhjauh.
“Ting!” benda itu jatuh di dalam “barisan jarum”.
Sam soe menyayangi Seng hwee leng seperti menyayangi
1990
dirinya sendiri, tanpa memperdulikan keselamatan Biauw
hong soe lagi, Lioe in soe dan Hwie goat soe segera
melompat dan berlari-lari ke arah “barisan jarum”. Karena
gelap dan sekitar tempat jatuhnya Seng hwee leng tumbuh
rumput tinggi maka setibanya di “barisan jarum” mereka
terpaksa merangkak, mencabut jarum-jarum dan merabaraba.
Di saat itu Biauw hong soe tersadar, seraya berteriak
ia menyusul kedua kawannya.
Untuk menolong Boe Kie tadi Tio Beng menyerang
dengan nekat. Sekarang, sesudah kekuatannya pulih rasa
takutnya muncul. Tiba-tiba sambil menangis keras ia
menubruk Boe Kie. Dengan rasa terima kasih yang
berlimpah, Boe Kie memegang tangan si nona. Ia tahu
bahwa begitu Sam soe menemukan Seng hwee leng yang
dilemparkan mereka akan segera menyerang pula. Maka itu
ia berkata, “Mari kita lari.” Ia melepaskan tangan Tio Beng,
mendukung In Lee yang terluka berat dan berkata kepada
Cia Soen, “Cia Tay hiap, kita harus menyingkir secepat
mungkin.”
“Benar,” jawab Kim mo Say ong yang lalu membungkuk
dan membuka jalan darah Kim hoa po po. Boe Kie
menganggap bahwa setelah mendapat pengalaman pahit, si
nenek tentu akan mencoret permusuhan terhadap ayah
angkatnya. Setelah ia berlari-lari beberapa tombak, ia
menyerahkan In Lee kepada si nenek sebab biarpun saudari
sepupunya, ia merasa bimbang untuk mendukung seorang
gadis. Mereka lari sekencang-kencangnya, Tio Beng paling
depan. Cia Soen dan Kim hoa po po di tengah dan Boe Kie
paling belakang sebagai pelindung.
Mendadak terdengar bentakan Kim mo Say ong yang
lalu meninju punggung nenek Kim hoa. Cie san Lion gong
menangkis dan melemparkan In Lee di tanah.
Boe Kie terkejut dan mendekat.
1991
“Han Hoe jin!” bentak Cia Soen. “Mengapa lagi-lagi kau
coba membunuh In Kauwnio?”
Si nenek tertawa dingin, “Jangan turut campur
urusanku,” jawabnya.
“Kularang kau membunuh orang secara serampangan,”
kata Boe Kie.
“Apa belum cukup kau mencampuri urusan yang
sebenarnya bukan urusanmu?” tanya Kim hoa po po.
“Belum tentu bukan urusanku,” sahutnya. “Musuh akan
segera mengejar, apa kau ingin mati?”
si nenek mengeluarkan suara di hidung dan lari ke arah
barat. Mendadak tiga kuntum bunga emas menyambar ke
kepala In Lee. Boe Kie mengebut tangannya dan senjata itu
berbalik menyambar majikannya dengan suara “ungg” yang
lebih hebat dari suara menyambarnya anak panah. Si nenek
kaget, ia tak menyangka pemuda itu memiliki Lweekang
yang begitu dahsyat. Ia tak berani menyambuti dan buruburu
menggulingkan badannya di tanah. Ketika Kim hoa
lewat di atas punggungnya dan merobek pakaiannya,
jantung si nenek melonjak dan ia terus kabur tanpa menoleh
lagi.
Selagi Boe Kie membungkuk untuk mendukung In Lee,
tiba-tiba Tio Beng mengeluh dan memegang
kempungannya.
“Mengapa?” tanya Boe Kie sambil mendekati. Dengan
terkejut ia melihat tangan si nona berlepotan darah.
Ternyata biarpun keburu ditolong, tikaman Thian tee Tong
sioe telah melukai kempungannya.
“Apa lukamu berat?” tanya Boe Kie dengan hati
berdebar-debar.
1992
Sebelum Tio Beng menjawab mendadak terdengar
seruan Biauw hong soe, “Ini dia! Dapat! Sudah dapat!”
“Jangan perdulikan aku,” kata nona Tio. “Pergi! Lekas
pergi!”
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Boe Kie segera
memeluk pinggang Tio Beng dan terus kabur ke bawah
gunung.
“Ke perahu…terus berlayar…,” bisik Tio Beng.
Boe Kie mengangguk. Dengan sebelah tangan
mendukung In Lee dan sebelah tangan mendukung Tio
Beng, ia lari sekencang-kencangnya. Cia Soen yang
melindungi dari belakang merasa heran, sebab biarpun
membawa dua orang dewasa, Boe Kie masih bisa lari begitu
cepat. Boe Kie sendiri lari dengan pikiran kusut. Ia sangat
memikirkan keselamatan kedua gadis itu. Kalau seorang
saja tak dapat ditolong, ia akan menyesal seumur hidup.
Untung juga tubuh mereka tak berubah dingin.
Sementara itu, sesudah mendapatkan kembali Seng hwee
leng, Sam soe terus mengejar. Tapi ilmu ringan badan
mereka tak bisa menandingi Boe Kie bahkan belum dapat
merendengi Cia Soen.
Sebelum tiba di perahu, Boe Kie sudah berteriak. O hei!
Beng beng Koencoe memberi perintah. Naikkan layer,
angkat jangkar, siap untuk segera berangkat!”
Dengan demikian, waktu mereka naik di perahu layarlayar
sudah terpentang. Tapi kapten tak berani menjalankan
perahu sebelum mendapat perintah Tio Beng. Ia
menghampiri si nona dan menanyakan sambil
membungkuk.
“Dengar segala perintah Tio Kongcoe…,” kata nona Tio
dengan suara lemah.
1993
Dengan cepat perahu berangkat. Waktu Sam soe tiba di
pesisir perahu itu sudah terpisah beberapa puluh tombak
dari daratan.
Boe Kie segera merebahkan Tio Beng dan In Lee di
pembaringan dan dibantu Siauw Ciauw, ia memeriksa luka
mereka. Luka Tio Beng sendiri lebih dalam. Biarpun
mengeluarkan darah, luka-luka itu tak membahayakan jiwa.
Yang terluka berat adalah In Lee. Ketig Kim hoa menancap
dalam dadanya. Apa nona In bisa ditolong masih
merupakan teka-teki. Boe Kie dan Siauw Ciauw menaruh
obat dan membalutnya. In Lee terus pingsan sedangkan Tio
Beng menangis dengan perlahan.
Sesudah kedua gadis itu diberi obat, Cia Soen berkata,
“Can Siauw hiap, di luar dugaan, dalam usia tua Cia Soen
masih bisa bersahabat dengan seorang ksatria yang begitu
luhur budi pekertinya.”
Boe Kie tidak menjawab. Ia mengambil kursi dan
menyilakan ayah angkatnya duduk. Sesudah itu ia berlutut,
“Gie hoe!” katanya sambil menangis. “Anak Boe Kie tidak
berbakti. Anak tidak bisa menyambut lebih dulu sehingga
Gie hoe banyak menderita.”
Cia Soen terkesiap, “Kau…apa katamu?” tegasnya.
“Anak adalah Boe Kie,” jawabnya.
Tentu saja orang tua itu tak percaya, mulutnya
ternganga.
Boe Kie berkata, “Intisari dari ilmu silat adalah
memusatkan semangat.…” Ia menghafal kouwkoar (teori)
yang Cia Soen pernah ajarkan di pulau Peng hwee to.
Sesudah ia menghafal seratus lebih dengan rasa kaget
bercampur girang orang tua itu mencekal kedua tangannya
dan berkata dengan suara parau, “Apa…apa benar kau Boe
1994
Kie?”
Boe Kie bangkit dan memeluknya. Dengan ringkas ia
menceritakan segala pengalamannya sejak ia berpisah
dengan ayah angkatnya itu. Hanya satu hal yang tidak
diceritakannya yaitu tentang kedudukannya sebagai
Kauwcoe dari Beng-kauw. Kalau ia terangkan, orang tua itu
pasti akan menjalankan penghormatan terhadapnya.
Cia Soen merasa seperti mimpi tapi sekarang ia percaya
apa yang didengarnya. Selagi Boe Kie bercerita, berulangulang
ia berkata, “Langit mempunyai mata! Langit
mempunyai mata!....”
Baru selesai Boe Kie menuturkan pengalamannya,
mendadak di buritan perahu terdengar teriakan beberapa
orang anak buah, “Perahu musuh mengejar! O hoi! Perahu
musuh mengejar!”
Buru-buru Boe Kie pergi ke buritan kapal. Benar saja ia
melihat sebuah perahu besar dengan lima layar sedang
mengejar dengan kecepatan luar biasa. Di antara kegelapan
sang malam, ia tak bisa melihat badan perahu itu, tapi
layarnya yang putih sangat menyolok mata. “Padamkan
penerangan!” teriaknya. Ia mengambil mangkok teh juru
mudi dan menimpuk lentera angina yang terpancang di
puncak tiang layar.
“Trang!” lentera hancur, apinya padam dan perahu gelap
gulita. Tapi biarpun begitu karena layar berwarna putih,
perahu itu masih tetap tidak bisa menyembunyikan diri,
saat layar-layar diturunkan, perahu musuh akan segera
menyandak.
Boe Kie bingung, perahu musuh lebih ringan dan makin
lama makin mendekati. Ia tidak bisa berbuat lain daripada
menunggu kedatangan musuh. Ia berharap di dek perahu
yang sempit Sam soe tidak bisa bekerja sama sebaik di
1995
daratan. Cepat-cepat ia memindahkan Tio Beng dan In Lee
ke kamar yang lebih aman, kemudian ia pergi ke geladak
kapal dan mengambil tiga buah jangkar besar yang lalu
ditaruh di kamar kedua gadis itu sebagai rintangan. Setelah
itu ia menunggu musuh untuk melakukan pertempuran
hidup mati.
Tiba-tiba terdengar suara “dung!” yang sangat hebat dan
perahu bergoncang keras dan diikuti muncratnya air laut.
“Musuh menembak dengan meriam!” teriak anak buah
di buritan perahu. Untung juga peluru yang ditembakkan
jatuh ke air di samping perahu tersebut.
Selagi Boe Kie kebingungan, Tio Beng menghampirinya.
Ia mendekat.
“Jangan takut,” bisik nona Tio. “Kita pun mempunyai
meriam.”
Boe Kie tersadar. Dengan berlari-lari ia naik ke geladak
dan memerintahkan anak buah perahu untuk segera
menyingkirkan semua jala yang menutupi meriam. Dengan
tergesa-gesa, mereka mengisi meriam dengan obat peledak
dan peluru dan menyulut sumbunya. “Dung!” peluru
menyambar musuh. Hanya sayang, tembakan itu meleset
dan peluru jatuh di antara kedua perahu, karena dalam
rombongan anak buah perahu Goan, yang sebagian besar
terdiri dari boesoe gedung Jie lam ong, tak terdapat meriam.
Tapi biarpun begitu, karena melihat pihak Boe Kie juga
memiliki meriam, perahu Persia itu tak berani terlalu
mendekat. Beberapa saat kemudian, perahu musuh
melepaskan tembakan dan peluru jatuh di kepala perahu
yang segera saja terbakar.
Boe Kie segera memimpin sejumlah anak buah untuk
memadamkan api. Tiba-tiba api berkobar-kobar di ruangan
tingkat atas. Dengan kedua tangan menenteng ember air,
1996
buru-buru Boe Kie naik ke atas dan setelah menendang
pintu lalu menyiram api yang telah mulai mengganas. Di
antara asap, ia melihat sesosok tubuh wanita di atas
pembaringan yang ketika didekati ternyata tidak lain adalah
Cioe Cie Jiak yang pakaiannya sudah basah kuyup. Boe Kie
terkesiap, ia melemperkan ember dan bertanya dengan
suara gugup, “Cioe Kauwnio, apa kau terluka?”
Si nona menggelengkan kepalanya. Melihat pemuda itu
ia kaget tak kepalang. Ketika tangannya bergerak
terdengarlah suara gemerincing. Ternyata kaki dan
tangannya dirantai oleh si nenek Kim hoa. Boe Kie segera
turun ke bawah mengambil Ie thian kiam dan memutuskan
rantai itu.
“Thio Kauwcoe,” kata nona setalh kaki tangannya
terbebas, “Bagaimana kau bisa berada di sini?”
Sebelum Boe Kie menjawab, perahu berguncang keras
karena tembakan sehingga si nona yang kaki tangannya
masih kaku segera roboh menubruk Boe Kie. Pemuda itu
segera membangunkannya dan dari sinar api yang masuk
dari jendela ia melihat dadu dan titik-titik air kelihatan
samara-samar membasahi pada paras yang pucat pasi
sehingga muka cantik ayu itu seolah-olah sekuntum bunga
Coei-sian yang kena embun. Sesudah menentramkan
hatinya, ia berkata, “Mari kita turun ke bawah.”
Selagi mereka berjalan keluar dari pintu ruang atas
mendadak perahu itu berputar-putar sebab tembakan tadi
telah menghancurkan kemudi di buritan perahu dan juru
mudinya sendiri tenggelam di laut.
Pemimpin penembak meriam jadi bingung. Ia sendiri
lalu mengisi obat peledak, dengan harapan bahwa dengan
sekali tembak ia akan bisa menenggelamkan perahu musuh.
Ia mengisi sekuat tenaga dan kemudian menyodok-nyodok
1997
obat peledak itu dengan sepasang toya besi supaya masuk
sepadat-padatnya di dalam lubang. Sesudah merasa puas, ia
mengambil obor dan menyulut sumbu. Hampir bersamaan
terdengar suara “dunggg!” yang dahsyat luar biasa, diikuti
melesatnya potongan-potongan baja. Meriam hancur dan
semua anak buah penembak meriam menemui ajal mereka
secara mengenaskan! Karena obat peledak yang diisi
beberapa kali lipat lebih banyak dari takaran peluru maka
peluru tidak bisa tertembak keluar dan obat peledak yang
meledak telah menghancurkan meriam.
Karena ledakan itu Boe Kie dan Cie Jiak yang sedang
berjalan di geladak perahu terlempar jauh dan disambar
dengan hawa yang panas. Tanpa berpikir lagi Boe Kie
meraih tambang layar dengan tangan kanannya sedang
tangan kirinya menangkap kaki Cie Jiak sehingga mereka
tak jatuh ke air. Sesaat itu seluruh perahu sudah diliputi api
dan asap dan mulai tenggelam dengan perlahan. Dengan
hati berdebar-debar Boe Kie mengawasi sekitarnya untuk
mencari jalan hidup. Mendadak terlihat sebuah perahu
kecil, perahu penolong yang terikat di sisi perahu, “Cioe
Kauwnio, loncatlah,” teriaknya.
Hampir bersamaan Siauw Ciauw yang mendukung In
Lee dan Cia Soen yang menggendong Tio Beng muncul di
geladak perahu. Mereka naik ke atas perahu lantaran
perahu berlubang dan air sudah memenuhi bagian bawah
perahu. Sesudah Cia Soen dan Siauw Ciauw duduk di
perahu dengan In thiam kiam Boe Kie membabat tali
pengikat dan perahu itu segera jatuh dan hinggap di
permukaan air. Dilain detik, ia pun melompat ke perahu itu
dan mengambil sepasang dayung dan lalu mendayungnya.
Ia mendayung dengan sekuat tenaga. Perahu yang
sedang terbakar menerangi permukaan laut sampai pada
jarak tertentu. Ia merasa bahwa perahu yang
1998
ditumpanginya harus cepat-cepat berada di luar sinar terang
supaya tidak dilihat Sam soe yang tentu akan menduga
bahwa semua orang mati terbakar dan tidak mencari lebih
lanjut. Cia Soen mengerti maksud si anak dan ia bantu
mendayung dengan sepotong papan. Perahu itu melaju
bagaikan anak panah dan dalam sekejap dia sudah berada
di luar lingkaran sinar terang.
Sementara itu di perahu meriam terjadi peledakan
beruntun sebab terbakarnya obat peledak yang disimpan di
dalam gudang. Perahu Sam soe tidak berani datang
mendekat hanya mengamati dari kejauhan. Diantara
boesoenya Tio Beng terdapat orang-orang yang bisa
berenang. Mereka menceburkan diri di air dan teriak-teriak
minta tolong. Tapi sebaliknya dari ditolong, mereka
dibunuh Sam soe dan orang-orangnya.
Cia Soen dan Boe Kie tidak berani mengaso. Diantara
mereka sedikitpun tidak merasa jeri. Tapi di lautan dengan
mereka di perahu kecil dan musuh berada di perahu
meriam, dia pasti akan binasa kalau sampai ditemukan
musuh. Jika ditembak biarpun tidak kena tepat, perahu
kecil itu pasti akan karam kalau jatuh di tempat berdekatan.
Untung juga Cia Soen dan Boe Kie memiliki tenaga dalam
yang sangat kuat sehingga meskipun harus bekerja sangat
keras selama setengah malam, mereka tidak merasa lelah.
Waktu fajar menyingsing, langit tertutup awan hitam dan
di lautan muncul halimun tebal.
“Bagus!” kata Boe Kie dengan girang, “Kalau kita bisa
kabur setengah hari lagi, musuh pasti tak akan bisa mencari
kita.”
Tapi sesudah berada agak jauh dari bahaya mereka
menghadapi penderitaan lain. Pakaian mereka basah dan
mereka berada dalam musim dingin. Cia Soen dan Boe Kie
1999
yang Lweekangnya kuat masih tak apa. Tapi Cie Jiak dan
Siauw Ciauw yang menggigil lebih-lebih kalau ditiup angin
utara. Perahu kecil tak punya persediaan apapun juga dan
mereka semua tidak berdaya, Cia Soen dan Boe Kie hanya
bisa membuka pakaian luar mereka yang lalu digunakan
untuk menyelimuti tubuh Tio Beng dan In Lee.
Di waktu lohor penderitaan bertambah hebat. Angin
meniup keras dan hujan turun seperti di tuang. Perahu
melaju ke selatan karena ditiup angin dan dayung sudah
tiada gunanya. Cia Soen berempat membuka sepatu mereka
untuk menyendok untuk menyendok dan membuang air
hujan yang masuk di perahu.
Karena bertemu dengan anak angkatnya, biarpun
menghadapi bahaya dan sangat menderita, Cia Soen sangat
gembira dan diantara hujan angin ia terus berbicara dengan
suara menggeledek sambil tertawa. Siauw Ciauw yang
sifatnya berandalan juga turut bicara dengan setiap kali
mengeluarkan suara tertawa nyaring. Hanya Cie Jiak yang
terus membungkam. Setiap kali sinar matanya bentrok
dengan sinar mata Boe Kie, ia berpaling ke arah lain.
“Boe Kie,” teriak Kim mo Say ong. “Dahulu ketika aku
dan kedua orang tuamu mengarungi lautan, ditengah jalan
kami diserang topan dan penderitaan itu lebih hebat dari
sekarang. Belakangan kami menggunakan sebuah gunung
es sebagai perahu dan makan daging beruang. Tapi waktu
itu yang meniup adalah angin selatan dan kami ditiup
sampai kutub utara. Apakah kareana membenci Cia Soen,
Loo thian ya (langit) ingin menggiring aku ke gedung Lam
kek Sian ong (Dewa Kutub Selatan) supaya aku berdiam di
situ dua puluh tahun lagi? Ha ha…Ha ha ha….” Sesudah
tertawa terbahak-bahak ia berkata, “Waktu itu kedua orang
tuamu merupakan pasangan yang serasi tapi sekarang kau
membawa empat orang wanita muda. Bagaimana kau bisa
2000
berbuat begitu? Ha ha ha ha ha….”
Paras muka nona Cioe berubah merah dan ia segera
menundukkan kepala. Yang segera membuka suara adalah
Siauw Ciauw. “Cia Loo-ya coe, aku hanya seorang pelayan
yang melayani Kongcoe ya,” katanya dengan sikap wajar.
“Aku tidak masuk hitungan.”
Tio Beng tersenyum. Ia terluka berat tapi ia tak tahan
untuk tidak ikut bicara. “Cia Loo-ya coe,” katanya. “Kalau
kau masih terus mengaco belo, sesudah sembuh aku akan
menggaplok pipimu.”
Cia Soen tertawa nyaring. “Ah! Sungguh galak si nona!”
katanya. Mendadak ia berhenti tertawa dan berkata pula
dengan suara sungguh-sungguh. “Hm, semalam kau telah
menyerang dengan tiga jurus nekat. Yang pertama Giok
swee Koen kong dari Koen loen-pay. Yang kedua, Jin koei
Tong touw. Yang…yang ketiga…Aku si tua, memang
sangat tolol, aku tak dapat mendengar jurus yang ketiga
itu.”
Nona Tio terkejut, ia tak pernah menduga bahwa
meskipun matanya buta Kim mo Say ong bisa menebak
kedua jurus itu secara tepat. “Yang ketiga Thian tee Tong
sioe dari Boe tong-pay,” katanya. “Jurus ini rupanya belum
lama digubah sehingga tidaklah heran kalau tak dikenal
oleh Loo-ya coe.”
Kim mo Say ong menghela nafas, “Kau ingin menolong
Boe Kie itu sangat baik, sangat mulia,” katanya dengan
suara terharu. “Tapi mengapa kau berlaku nekat?
Mengapa?...Mengapa nekat?”
Tio Beng menjawab, “Karena dia…dia….” Untuk
sejenak ia ragu tapi kemudian meneruskan juga
perkataannya. “…karena…Siapa membunuh Thio
Kongcoe, aku…aku tak mau hidup lagi!” Sehabis berkata
2001
begitu air matanya mengucur.
Cia Soen dan yang lain-lain kaget tak kepalang. Tak
seorangpun pernah menduga bahwa seorang gadis seperti
Tio Beng akan membuka rahasia hatinya di hadapan orang
banyak. Tapi mereka tak ingat bahwa nona Tio adalah
seorang gadis Mongol yang jalan pikirannya dan caracaranya
berlainan dengan wanita Han. Sebagai anak
Mongol, ia berwatak polos. Kalau mencintai ia mencintai
terang-terangan kalau membenci ia juga membenci terangterangan.
Apalagi keadaan waktu itu disaksikan banyak
orang, tak seorangpun bisa mengatakan apa mereka akan
hidup terus atau mati di dasar lautan.
Perkataan nona Tio sangat mengejutkan dan
mengharukan Boe Kie, ia tak sangka bahwa rasa cinta gadis
itu terhadapnya sedemikian besar. Sambil mencekal
tangannya erat-erat ia berbisik, “Biar bagaimanapun juga,
lain kali kau tak boleh berkata begitu.”
Sesudah lidahnya terpeleset, nona Tio sebenarnya
merasa menyesal. Ia merasa bahwa kata-kata itu kurang
pantas dikeluarkan oleh seorang gadis, tapi begitu
mendengar bisikan Boe Kie, ia kaget bercampur girang,
malu bercampur bahagia yang sukar dilukiskan. Ia merasa
bahwa segala pengorbanannya dan segala penderitaannya
tidaklah sia-sia.
Perlahan-lahan hujan berhenti tapi halimun makin tebal.
Mendadak seekor ikan yang beratnya kira-kira tiga puluh
kati melompat masuk ke dalam perahu. Dengan sekali
totok, lima jari tangan Cia Soen amblas di badan ikan.
Semua orang girang, Siauw Ciauw mencabut pedang dan
memotong daging ikan menjadi potongan-potongan kecil.
Mereka sangat lapar dan sambil menahan nafas sebab bau
amis, masing-masing lalu memakan sepotong daging. Cia
Soen makan dengan bernafsu, selama berada di Peng hwee
2002
to ia pernah menelan macam-macam untuk menahan lapar.
Tak lama kemudian, ombak mereda. Sesudah
mengganjal perut, semua orang memejamkan mata dan
mengaso. Yang tertidur paling dulu adalah Siauw Ciauw.
Tio Beng terus memegang tangan Boe Kie dan beberapa
saat kemudian karena hatinya tenteram, iapun pulas dengan
bibir tersungging senyuman. Sesudah melawan bahaya
sehari dan semalam suntuk mereka semua capai dan lelah.
Cie Jiak dan Siauw Ciauw tidak ikut bertempur tapi
merekapun mengalami kekagetan yang tidak kecil.
Demikianlah laut yang tenang sehingga perahu itu
merupakan ayunan yang berayun-ayun dengan perlahan,
keenam penumpang itu tertidur semua.
Selang empat-lima jam, Cia Soen yang berusia lanjut
sadar lebih dulu. Dengan kasih ia mendengar nafasnya
kelima orang muda itu yang saling sahut dengan suara
ombak. Nafas Cie Jiak perlahan dan panjang. Yang luar
biasa adalah suara nafas Boe Kie, suara nafas itu seperti
terputus seperti bersambung antara “ada” dan “tidak ada”.
Bukan main rasa kagumnya Cia Soen. “Seumur hidup aku
belum pernah bertemu dengan manusia yang mempunyai
Lweekang begitu tinggi,” katanya di dalam hati. Nafas
Siauw Ciauw pun sangat aneh, sebentar cepat sebentar
pelan. Itulah tanda bahwa si nona telah berlatih sesuatu
yang mirip Lweekang yang sangat luar biasa. Alis Kim mo
Say ong berkerut. Ia ingat sesuatu hal. “Heran!” pikirnya.
“Apa dia….”
Sekonyong-konyong terdengar bentakan In Lee. “Thio
Boe Kie! Anak bau! Mengapa kau tak mau mengikuti aku
ke Leng Coa To?”
Boe Kie, Tio Beng, Cie Jiak, dan Siauw Ciauw lantas
saja tersadar.
2003
“Boe Kie!” bentak pula nona In. “aku hidup sebatang
kara di pulau itu… Mengapa kau tidak mau menemani aku?
Kau… anak bau! Aku ingin memotong dagingmu jadi dua
puluh tujuh potong untuk dijadikan makanan ikan… kau.”
Boe Kie meraba pipi si nona. Paras membara! Ia
mengaco karena dengan keras. Boe Kie mengerti ilmu
ketabiban, tapi di perahu itu ia tidak berdaya. Jalan satusatunya
hanyalah merobek ujung bajunya, mencelupnya di
air laut dan menaruhnya di pipi In Lee.
Si nona terus berteriak-teriak. “Thia-thia! Jangan!...
Jangan bunuh ibu! Jie-nio dibunuh olehku. Kau bunuhlah
aku! Ibu tak campur-campur urusanku… Ibu mati!...
mati!... akulah yang mencelakainya… uh-uh-uh-uh…. “ Ia
menangis keras, ia sesambat.
“Coe Jie! Coe Jie!” panggil Boe Kie.
“Sadarlah ayahmu tidak berada di sini. Jangan takut!”
“Aku tak takut!” bentak si nona. “ayah yang salah, aku
tak takut! Sesudah dia kawin dengan ibuku, perlu apa dia
mengambil jie-nio, sam-nio? … thia-thia, kau membuat aku
sangat menderita. Kau bukan ayahku… Kau lelaki
curang… lelaki jahat… “
Boe Kie pucat mukanya. Perkataan In Lee seolah-olah
pisau yang menikam hatinya, karena tadi ia mimpi menikah
dengan Tio Beng, dengan Cie Jiak, dengan In Lee sendiri
yang telah berubah cantik dan dengan Siauw Ciauw. Di
waktu sadar ia tidak berani memikir yang tidak-tidak. Tapi
di dalam mimpi, sesuatu yang tersimpan dalam alam
pikirannya yang tidak sadar terbayang tegas. Ia merasa
bahwa keempat gadis itu cantik semuanya dan ia tidak
dapat berpisah dengan mereka. Selagi membujuk In Lee, di
dalam otaknya masih teringat impian yang sedap.
2004
Sekarang mendengar cacian In Lee, ia lantas ingat
peristiwa di kaki Kong Beng Teng yang dilihatnya dengan
mata sendiri dan kejadian-kejadian yang pernah
didengarnya. Karena tak tahan melihat hinaan terhadap ibu
kandungnya In Lee telah membinasakan gundik ayahnya.
Karena perbuatan sadis itu, ibu kandungnya belakangan
membunuh diri. In Ya Ong, ayah In Lee, atau paman Boe
Kie, gusar tak kepalang. Beberapa kali ia coba membunuh
puterinya. Karena peristiwa menyedihkan itu, karena
gundik kesayangannya dibunuh puterinya sendiri, untuk
menghibur hatinya, In Ya Ong mengambil beberapa gundik
lagi.
Itulah yang diingat Boe Kie. Sambil memegang tangan
nona In, ia melirik Tio Beng dan kemudian melirik Cie
Jiak. Ia ingat impiannya dan ia merasa sangat jengah.
Sesudah mengucapkan perkataan-perkataan yang sukar
ditangkap, In Lee berkata dengan suara yang agak tegas.
“Boe Kie… kau ikutlah aku. Kau telah menggigit tanganku,
tapi aku sedikitpun tidak membenci kau. Seumur hidup aku
akan melayani kau, aku menganggap kau sebagai
majikanku. Jangan lah kau mencela romanku yang jelek.
Apabila kau sudi menerima aku, aku rela melemparkan
seantero ilmu silatku, membuang racun Ciancoe yang
berada dalam diriku, supaya paras mukaku bisa pulih
kembali seperti pada waktu kita baru bertemu… “ Ia
mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lemah lembut dan
penuh kasih sayang.
Boe Kie merasa sangat terharu. Ia tak nyana bahwa
saudari sepupuhnya itu adatnya aneh, mempunyai perasaan
yang sangat halus.
“Boe Kie,” kata pula Nona In, “aku telah mencari kau di
segala pelosok dunia. Belakangan kudengar, bahwa kau
mati lantaran jatuh di dalam jurang. Waktu berada di See2005
Hek, aku bertemu dengan seorang pemuda yang bernama
Can A Goe. Dia berkepandaian tinggi, orangnya sangat
baik dan dia pernah mengatakan, bahwa dia bersedia
mengambil aku sebagai isteri… “
Tio Beng dan lain-lain tahu, bahwa Can A Goe adalah
nama samaran Boe Kie. Dengan serentak mereka melirik
pemuda itu yang paras mukanya lantas saja berubah
menjadi merah. Dalam demam keras, In Lee tak dapat
menahan lidahnya sendiri. Boe Kie tidak berani
menghentikannya dengan menotok jalan darah si nona,
sebab kalau ditotok jiwa nona In lebih terancam. Ia tidak
berdaya waktu dilirik oleh Tio Beng, Cie Jiak, dan Siauw
Ciauw, ia merasa begitu jengah sehingga ia ingin sekali
menyeburkan diri ke laut.
Sementara itu, In Lee terus mengaco, ‘A Gu koko pernah
mengatakan begini kepadaku. Nona, dengan setulus hati
aku bersedia untuk menikah dengan kau. Aku hanya
mengharap, kau tidak mengatakan bahwa aku tidak
setimpal dengan dirimu. Selanjutnya dia berkata, mulai
detik ini aku akan mencintaimu, akan melindungi kau
dengan segenap jiwa dan raga. Tak perduli ada berapa
banyak orang yang mau mencelakai kau, tak perduli ada
berapa banyak jago yang mau menghina kau, aku pasti
akan melindungi kau. Aku bersedia untuk mengorbankan
jiwa demi kepentinganmu. Aku ingin kau berbahagia dan
melupakan segala penderitaanmu yang dulu. (Kisah
Pembunuh Naga Jilid 14 Halaman 744) Boe Kie, watak A
Goe Koko baik, lebih tinggi ilmunya dari orang-orang
sepantarnya Biat Coat Soethay. Tapi sebab hatiku sudah
diserahkan kepadamu, Setan kecil yang pendek umurnya,
maka aku tak meluluskan permintaan A Goe Koko. Kau
sudah mati, biarlah aku tak menikah seumur hidup. Boe
Kie, cobalah bilang, apa A Lee baik atau tidak baik
2006
terhadap dirimu? Hari itu kau tak memperdulikan aku,
menolak ajaranaku. Coba kau katakan dengan setulus hati,
apa kau merasa menyesal atau tak merasa menyesal?”
Mendengar kata-kata yang menyayat hati itu, tanpa
merasa air mata Boe Kie mengalir turun ke dua pipinya.
“Boe Kie” bisik nona In. “Apakah kau tak merasa
kesepian di alam baka? Aku telah mengikut Popo ke Peng
Hwee To untuk mencari ayah angkatmu. Sesudah itu, aku
ingin pergi ke Boe Tong San untuk menyembahyangi
kuburan kedua orang tuamu dan kemudian aku akan pergi
di See-hek untuk membuang diri di puncak es, dimana kau
telah tergelincir jatuh, supaya aku bisa menemani kau
selama-lamanya di alam baka. Tapi aku baru bisa bertindak
begitu sesudah Popo meninggal dunia. Sekarang belum
dapat aku mengawanimu. Tak bisa aku meninggalkan Popo
seorang diri di alam dunia yang luas ini. Popo sangat baik
terhadapku. Kalau ia tak menolong, siang-siang aku sudah
mati dibunuh ayah angkatku. Aku telah memberontak
terhadap Popo. Ia sekarang sangat membenci aku, tapi aku
selamanya takkan dapat melupakan budinya dan akan coba
membalas budi yang besar itu. Boe Kie, apakah sikapku
sikap yang benar?”
Sesudah itu, suaranya tak tegas dan tak teratur lagi.
Sebentar ia berbisik, sebentar berteriak, sebentar tertawa,
sebentar menangis. Belakangan suaranya makin perlahan
dan rupa-rupanya karena capai, akhirnya ia tertidur.
Boe Kie berlima saling mengawasi tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Masing-masing bicara pada dirinya sendiri.
Ombak laut memukul-mukul badan perahu, siliran angin
meniup dengan perlahan, sedang saug rembulan
memancarkan sinarnya yang putih laksana perak. Boe Kie
menghela napas. Apa yang dilihatnya langit rembulan
adalah abadi. Apa yang berubah-rubah adalah manusia
2007
yang selalu diliputi dengan kedukaan dan penderitaan.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan dengan nyanyian yang
sangat perlahan.
“Pada akhirnya badan manusia,
tak bisa lari dari hal itu,
hari ini ada kesenangan,
nikmatilah kesenangan itu,
siang dan malam seratus tahun,
yang berusia tujuh puluh sudah jarang ada,
sang waktu mengalir bagaikan air,
gelombang demi gelombang.”
Nyanyian itu ternyata keluar dari mulut In Lee yang
masih terus mengaco.
Mendadak jantung Boe Kie memukul keras. Ia ingat,
bahwa pada waktu terkurung di jalanan rahasia di Kong
Beng Teng sebab jalanan ditutup Seng Koen, Siauw Ciauw
pun pernah menyanyikan nyanyian itu. (Kisah Membunuh
Naga Jilid 17, Halaman 890) Mau tak mau ia melirik nona
itu yang justru sedang mengawasi dirinya. Begitu dua
pasang mata kebentrok, si nona buru-buru memalingkan
kepalanya.
Sementara itu, In Lee sudah menyanyi pula. Kali ini
lagunya aneh, berbeda dengan lagu yang biasa di daerah
Tiong Goan. Boe Kie dan yang lain-lain memasang kuping
untuk menangkap kata-kata dalam nyanyian itu. Akhirnya
mereka mendengar sajak yang maksudnya menyerupai
sajak yang pernah dinyanyikan Siauw Ciauw di Kong Beng
Teng.
“Dengan bagaikan mengalirnya air,
2008
pergi, laksana siliran angin,
entah dari mana datangnya,
entah di maan tujuannya!”
Ia mengulangi sajak itu berulang-ulang. Makin lama
makin perlahan, sehingga akhirnya menghilang di antara
suara air dan suara angin.
Semua orang mendengar dengan termenung. Mereka
merasa bahwa memang benar, seorang manusia yang
dilahirkan di dalam dunia tak diketahui darimana
datangnya. Biarpun dia gagah, biarpun di kosen, pada
akhirnya dia tak bisa terluput dari kematian. Dengan
mengikuti siliran angin tak diketahui dimana tujuannya.
Pada saat itu, Boe Kie merasa, bahwa tangan Tio Beng
yang dicekal olehnya dingin bagaikan es dan agak
bergemetar.
Tiba-tiba kesunyaian dipecahkan oleh suara Cia Soen.
“Ah! Lagu Persia diturunkan oleh Han Hoejin kepadanya.
Dua puluh tahun lebih yang lampau, pada suatu hari ketika
berada di Kong Beng Teng aku pernah dengar lagu ini.
“Hai! Kutaknyana Han Hoejin bisa berlaku begitu kejam
terhadap anak ini.”
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng, “cara bagaimana Han
Hoejin dapat menyanyikan lagu persia itu. Apakah itu lagu
Beng Kauw?”
“Beng Kauw berasal dari Persia dan meskipun bukan
lagu Beng Kauw, lagu itu mempunyai hubungan rapat
dengan Beng Kauw,” jawabnya. “Lagu itu telah digubah
pada dua abad lebih yang lampau oleh seorang penyair
Persia yang paling terkemuka yaitu Omar Khayyam.
Sepanjang cerita lagu itu dapat dinyanyikan hampir oleh
setiap orang Persia. Dahulu waktu aku mendengar
2009
nyanyian Han Hoejin, aku pernah menanyakan asal usul
dan Han Hoejin telah memberi keterangan jelas kepadaku.
Ceritanya adalah begini: Alkisah pada jaman itu, Persia
terdapat seorang guru besar, Imam Mowfaak, ia
mempunyai tiga orang murid terkemuka, yaitu Omar
Khayyam, Nizam Mulk, dan Ben Sabah.”
“Omar Khayyam mengutamakan ilmu sastra, Nizam
Mulk mengutamakan ilmu politik sedang Hasan unggul
dalam ilmu silat. Mereka bertiga bersahabat erat dan
belakangan mereka bersumpah untuk sama-sama senang
dan sama-sama susah.”
“Sesudah mereka keluar dari rumah perguruan, Nazamlah
yang paling beruntung dan ia menjadi Vezer, atau
menjadi seorang Menteri Pertama dari Sah Persia. Waktu
kedua sahabat karibnya datang padanya. Nazam merasa
girang, dan memohon supaya Raja Persia memberi pangkat
kepada mereka itu. Hasan diberi pangkat dan
menerimanya, tapi Omar menolak. Ia hanya memintan
tunjangan uang supaya ia bisa mempelajari ilmu bintang
menyusun kalender dan menulis sajak-sajak, tanpa harus
memikiri soal penghidupannya. Dengan rasa menyesal,
Nazam meluluskan permintaan sahabat itu.
“Tapi Hasan seorang yang berangan-angan besar dan
tidak bisa terus-menerus berada di bawah kekuasaan orang
lain. Ia memberontak dan setelah memberontaknya
ditindas, ia mengumpulkan orang-orang yang tidak karuan
dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk seperti
membunuh dan sebagainya. Ia menjadi kepala dari sebuah
gerombolan yang namanya menggetarkan dunia dan
diantara para pejuang salib, ia terkenal sebagai seorang tua
dari pegunungan. Di daerah barat banyak sekali manusia
yang binasa di dalam tangan Hasan dan pengikutnya.”
“Menurut keterangan Han Hoejin, di ujung daerah Barat
2010
terdapat sebuah negeri yaitu Negeri Inggris. Raja Inggris
,Edward, dimusuhi si “orang tua dari pegunungan,” yang
belakangan mengirim orang untuk membunuh raja tersebut.
Pengawal-pengawal raja tidak berhasil memukul mundur
orang-orangnya Hasan dan raja dilukai dengan golok
beracun. Syukur tanpa memperdulikan keselamatan diri
sendiri, permaisuri memberi pertolongan dengan mengisap
luka sang suami dan menyedot keluar racun itu. Dengan
demikian raja terluput dari kebinasaan.”
“Hasan benar-benar jahat, belakangan ia bahkan
memerintahkan orang untuk membunuh Nizam Mulk,
sahabat karib yang pernah memberi banyak bantuan
kepadanya. Pada waktu mau melepaskan napasnya yang
penghabisan, Nazam telah mengucapkan dua baris sajak
yang tadi diucapkan oleh In KouwNio gubahan Omar
Khayyam.”
“Akhirnya Han Hoejin memberitahukan, bahwa banyak
pengikut Beng Kauw di Persia mempelajari ilmu silat “si
orang tua dari pegunungan” Ilmu silat Sam Soe sangat
aneh. Mungkin sekali ilmu silat mereka didapat dari cabang
tersebut.”
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng. “sifat Han Hoejin
menyerupai sifat si Orang tua dari Pegunungan. Kau
mencintai dia, tapi dia mencelakai kau.”
Cia Soen menghela napas. “Dalam dunia ini, membalas
kebaikan dengan kejahatan, adalah kejadian lumrah,”
katanya dengan suara berduka. “Kau tak usah merasa
heran.”
“Loo Ya Coe,” kata Nona Tio. “Han Hoejin
berkedudukan sebagai kepala dari keempat Hoat Ong. Tapi
mengapa ilmu silatnya tidak lebih tinggi dari ilmu silat Loo
Ya Coe? Mengapa pada waktu dia diserang Sam Soe, dia
2011
tidak mengeluarkan ilmu silat Cian Coe Ciat Hoe Chioe?”
SEDIKIT TENTANG BENG KAUW
Beng Kauw atau agama terang ialah Manichaesm atau
Agama dari Mani.
Mani (terlahir dalam tahun 216) adalah puteranya
seorang bangsawan. Penduduk Ecbatama. Ia dididik baik
oleh ayahnya dan dipelihara dalam lingkungan sekte
Mandaens. Ketika ia dilahirkan. Terdapat dua agama besar
yang saling bertentangan, agama Kristen dan Mitraism.
Mani mempelajari kedua-duanya dan iapun mempelajari
agama Magism dari Persia sendiri (sekarang Iran) Agama
Manichaeism memiliki bagian-bagian dari agama-agama
tersebut.
Sepanjang cerita, ia memproklamirkan agamanya pada
hari penobatan Raja Persia, Shapur I, di istana raja. Ia
berkelana di berbagai negeri untuk menyebarkan agamanya.
Antara lain, ia mengunjungi Transoxiana, Tiongkok Barat
dan India. Belakangan ia kembali ke Persia dan mendapat
banyak pengikut, bahkan di dalam istana raja sendiri. Tapi
ia dimusuhi Kasta Magians. Shapur I sedikit banyak
dipengaruhi ajaran Mani dan Hormizd, penggantinya
adalah seorang raja yang toleran dan menaruh perhatian
kepada Manichaeism. Tapi pengganti Hormizd, Barham I
condong kepada Kasta Magians. Mani ditangkap dan
diserahkan kepada kasta tersebut (musuh Mani) yang lalu
membinasakannya. Pemerintah Persia berusaha untuk
membasmi agama Mani tapi gagal.
Sistem Manichaeism adalah sistem dualisme (rangkap
dua) Menurut Mani, terang ialah baik dan gelap ialah jahat.
2012
Pengetahuan tentang agama berarti pengetahuan tentang
alam dan unsur-unsurnya dan penyelamatan ialah proses
membebaskan unsur terang dari kegelapan.
Menurut Mani, dalam alam semesta terdapat dua
kerajaan. Terang dan gelap, yang berdiri berhadapan, Setan
terlahir di kerajaan gelap.
Manusia pertama adalah ciptaan Setan, tapi dalam
manusia itu juga terdapat unsur terang dari Tuhan. Setan
berusaha untuk mengikat manusia dengan kejahatan, rohroh
terang berusaha untuk memerdekakannya.
Mani menamakan dirinya sebagai “Duta Terang.”
Hanyalah dengan bantuannya dan bantuan muridmuridnya
yang terpilih, barulah terang bisa dipisahkan dari
gelap.
Dalam masyarakat Manichaeism terdapat perbedaan
antara penganut pilihan dan penganut biasa. Penganut
pilihan harus mentaati sepuluh larangan, antaranya
larangan membunuh makhluk berjiwa.
Mengapa Manichaeism pernah mendapat kemajuan
besar dan menjadi sebuah agama besar?
Kekuatannya ialah: Manichaeism mempersatukan
mitologi kuno dan dualisme materialtis dengan cara
bersembaHoan Yauwang sederhana dan larangan-larangan
moral yang keras. Kekuatan lainnya ialah organisasi sosial
yang sederhana. Yang pintar dan yang bodoh, yang
sungguh-sungguh dan yang tidak sungguh, semua boleh
masuk ke agama Mani.
Sepanjang catatan sejarah, Manichaeism hanya hidup
pada abad ketiga belas.
1. Pada tahun 1690, Hasan merampas Alamut, di
propinsi Rudbar, di daerah pengunungan sebelah selatan
2013
Laut Kaspia.
2. Di benua Eropa, Hasan dan pengikutnya dinamakan
“Assassin.” Mungkin sekali perkataan “hashish,” semacam
tumbuh-tumbuhan yang daunnya memabukkan, seperti
madat dan yang digunakan oleh manusia-manusia itu
sebelum mereka melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk.
“Cian Coe Ciat Hoe Chioe?” menegas Cia Soen. “Han
Hoejin tak memiliki ilmu itu. Dia seorang wanita yang
cantik luar biasa. Mana mau dia mengorbankan paras
mukanya untuk ilmu begitu?”
Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak terkejut. Kim Hoa Popo
jelek mukanya. Dilihat mukanya yang sekarang, biarpun
usianya lebih muda tiga puluh atau empat puluh tahun, ia
tak nanti bisa dikatakan sebagai wanita yang cantik luar
biasa. Hidungnya pesek, bibirnya tebal, mukanya persegi,
kupingnya lebar bagaikan kipas. Itu semua takkan dapat
diubah.
Tio Beng tertawa. “Loo Ya Coe,” katanya. “Kim Hoa
Popo tak bisa dikatakan cantik.”
“Apa? Cie San Liong Ong cantik seperti bidadari dari
kayangan. Pada dua puluh tahun lebih yang lampau, ia
adalah wanita cantik di seluruh rimba persilatan. Andaikata
karena usianya sudah lanjut, ia sekarang tak secantik
dahulu, aku merasa pasti ia masih tetap mempertahankan
kecantikannya… hai! … hanya sayangaku tidak bisa
melihat mukanya lagi.”
Mendengar jawaban yang sungguh-sungguh itu, nona
Tio merasa bahwa di balik soal kecantikan Kim Hoa Popo
pasti bersembunyi satu latar belakang yang masih belum
2014
diketahuinya. Nenek itu memang manusia luar biasa.
Bahwa dia bisa menjadi Cie San Liong Ong, kepala dari
keempat Hoe Kauw Hoat Ong sudah luar biasa. Bahwa dia
dinamakan sebagai “wanita tercantik di seluruh rimba
persilatan” lebih luar biasa lagi. Sesudah memikir sejenak,
Tio Beng berkata pula, “Loo Ya Coe, namamu
menggetarkan dunia Kang Ouw. Keangkeranmu di Ong
Poan San diketahui oleh semua orang. Tingginya ilmu
silatmu tidak usah dibicarakan lagi. Peh Bie Eng Ong
mendirikan agama sendiri dan selama kurang lebih dua
puluh tahun, ia bermusuhan dengan enam partai besar.
Ceng Ek Hok Ong lihai seperti setan, hari itu di Ban Hoat
Sie ia menakut-nakuti aku. Juga ia telah mengeluarkan
suatu ancaman untuk menggores mukaku. Kalau ingat
ancamannya, sampai sekarang aku masih merasa jeri. Maka
itu, menurut pendapatku, walaupun Kim Hoa Popo
berkepandaian tinggi dan banyak akalnya, belum tentu ia
pantas untuk mengambil kedudukan di sebelah atas dari
ketiga Hoat Kong. Tapi mengapa ia bisa menjadi Cie San
Liong Ong?”
“Karena In Heng, Wie Hian Tee dan aku bertiga rela
mengalah terhadapnya,” jawab Kim Mo Say Ong.
“Apa?” menegas si nona. Ia tertawa geli dan kemudian
berkata pula. “Apakah karena ia wanita tercantik, sehingga
ketiga Enghiong rela berlutut di hadapannya?”
Boe Kie kaget. Tio Beng benar-benar otak. Terhadap Cia
Soen, ia masih berani berguyon.
Tapi Cia Soen tidak menjadi gusar. Ia menghela napas
dan berkata. “Yang menyerah kalah dengan suka rela
bukan hanya kami bertiga. Waktu itu dalam kalangan
agama kami, paling sedikit ada seratus orang lain yang
mengagumi Taykis.”
2015
“Taykis? Apa itu nama Han Hoejin? Kedengarannya
aneh sekali.”
“Dia asal Persia. Nama itu nama Persia.”
Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak terkesiap. “Orang
Persia?” menegas mereka.
“Apa kalian tak bisa melihat?” Cia Soen balas menanya.
“Ia mempunyai darah campuran puterinya seorang lelaki
Tionghoa yang menikah dengan wanita Persia. Rambut dan
biji matanya hitam, tapi hidungnya mancung dan matanya
dalam. Kulitnya yang putih laksana salju juga berbeda dari
kulit wanita Tiong Goan.”
“Tidak-tidak!” bantah Nona Tio. “Hidungnya melesak.
Kedua matanya kecil. Berbeda jauh dari penjelasan Loo Ya
Coe. Thio Kong Coe, bukankah begitu?”
“Benar,” jawabnya. “Apakah Kim Hoa Popo bertindak
seperti Kouw Tauwtoo merusak mukanya sendiri?”
“Siapa Kouw Tauwtoo?” tanya Cia Soen.
“Kong Beng Yoe Soe Hoan Yauw,” jawab Boe Kie, yang
dengan ringkas lalu menceritakan sepak terjang orang gagah
itu.
“Hoan Heng sangat berjasa kepada Beng Kauw,” kata
Cia Soen sesudah menghela napas. “Tindakannya itu tak
akan bisa dilakukan oleh sembarang orang. Haei…. Bahwa
ia sudah bertindak begitu dapat dikatakan juga lantaran
Han Hoejin…. “
Tio Beng jadi makin heran. “Loo Ya Coe.” Katanya.
“janganlah kau bercerita sepotong-sepotong. Cobalah
ceritakan dari awal sampai pada akhirnya.”
“Hmm… “ Cia Soen menengadah seperti orang yang
mau mengumpulkan ingatan dan kemudian ia berkata
2016
dengan suara perlahan. “Pada dua puluh tahun lebih yang
lampau, Beng Kauw berada di bawah pimpinan Yo Po
Thian, Yo KauwCoe. Waktu itu, agama kami sedang
makmur-makmurnya. Pada suatu hari, tiga orang Persia
tiba-tiba datang di Kong Beng Teng dan mempersembahkan
surat pribadi KauwCoe dari CongKauw kepada Yo
KauwCoe. Surat itu menerangkan bahwa di Congkauw
terdapat seorang Cang San Soe Cie. Ia seorang Tionghoa
yang merantau ke Persia kemuidan menjadi penganut Beng
Kauw. Ia banyak berjasa untuk agama dan dari
pernikahannya dengan seorang puteri. Pada tahun yang
lalu, kata surat itu, Cang San Soe Cie meninggal dunia.
Waktu mau menutup mata, ia ingat akan negerinya dan
memesan supaya puterinya dikirim pulang ke Tiongkok.
Maka itu, untuk memenuhi pesanan tersebut, KauwCoe
CongKauw mengirim nona itu ke Kong Beng Teng dengan
pengharapan supaya Yo KauwCoe sudi memeliharanya.”
“Yo KauwCoe lantas saja mengiakan dan meminta
supaya nona itu dibawa masuk. Begitu dia masuk, ruangan
Toa Thia (ruangan besar) seolah-olah bersinar terang. Selagi
ia memberi hormat kepada Yo KauwCoe dengan berlutut,
kami semua Kong Beng CoeSoe dan Yoe Soe, ketiga Hoat
Ong, Ngo Siong Jin dan kelima pemimipin Ngo Heng Kie
mengawasinya dengan mata membelalak dan hati berdebardebar.
Nona itu adalah Taykis. Ketiga utusan Congkauw
hanya menginap semalaman, pada keesokan paginya
mereka pulang. Mulai dari waktu itu, Taykis menetap di
Kong Beng Teng.”
Tio Beng tertawa, “Loo Ya Coe, kau sendiri lantas jatuh
cinta kepadanya, bukan?” tanyanya. “Jangan malu-malu.
Akuilah!”
Kim Mo Say Ong menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak!” jawabnya dengan suara parau. “Waktu itu aku
2017
baru saja menikah dan isteriku sedang hamil. Dalam hatiku
tak mungkin timbul niatan serong.”
“Oh!” kata Tio Beng. Ia tahu, bahwa ia sudah kelepasan
bicara. Anak isteri Cia Soen dibinasakan Seng Koen dan
tersentuhnya soal itu tentu saja mengingatkan kembali
kejadian dahulu. Buru-buru ia berkata pula. “Benar! Tak
heran kalau si nenek mengatakan, bahwa pada waktu ia
menikah dengan Gin Yap Sianseng, hanya Kauwcoe dan
Loo Ya Coe sendiri yang tidak menentang. Kurasa nyonya
Kauwcoe bukan saja cantik, tapi juga sangat lihai
menakluki suaminya.”
Cia Soen mengangguk. “dugaanmu tidak meleset,”
katanya. “Yo KauwCoe seorang gagah sejati yang adatnya
sangat terbuka. Taykis masih sangat muda – pantas untuk
menjadi anaknya Yo KauwCoe. Apapula Kauwcoe dari
Congkauw telah meminta supaya ia memelihara nona itu
seperti anak sendiri. Semenjak Taykis datang di Kong Beng
Teng, Yo KauwCoe selalu memperlakukannya dengan
kasih sayang dari seorang ayah. Kutahu, Yo KauwCoe
sama sekali tidak punya niatan yang tidak-tidak, Yo Hoejin
adik seperguruan Yo KauwCoe atau Soesiok-ku (bibi
seperguruan) sendiri. Yo KauwCoe, Seng Koen dan Yo
Hoejin adalah Soe Heng Moay (saudara dan saudari
seperguruan) Sebagai toa Soepeh, Yo KauwCoe sering
memberi pelajaran ilmu silat kepadaku. Ia baik sekali
terhadapku.”
Biarpun sakit hatinya terhadap Seng Koen tidak
berkurang, tapi waktu menyebutkan nama manusia
terkutuk itu, Cia Soen tidak kalap lagi dan hanya
menyebutkan dengan suara tawar.
Mendadak Tio Beng ingat sesuatu dan ia lantas saja
berkata. “Menurut katanya orang, di masa muda, Kong
Beng Yoe Soe Hoan Yauw sangat tampan parasnya.
2018
Apakah ia tidak jatuh cinta terhadap Taykis?”
“Dia jatuh cinta sedari pertama bertemu, malahan dia
tergila-gila,” jawabnya sambil mengangguk. “Tapi
sebenarnya yang jatuh cinta bukan hanya Hoan Heng
seorang. Kupercaya, masih banyak orang lain. Tapi sebab
Beng Kauw mempunyai peraturan yang sangat keras dan
juga karen Yo KauwCoe dihormati dan disegani oleh
semua anggota agama kami, maka orang-orang yang berani
mengincar Taykis hanyalah jejaka yang belum menikah.
Diluar dugaan, hati Taykis dingin bagaikan es. Ia
menyemprot setiap orang yang berani menimbulkan soal
cinta kepadanya. Yo Hoejin telah berusaha untuk
merangkap jodohnya dengan Hoan heng, tapi menolak
keras. Belakangan di hadapan banyak orang, sambil
mencekal pedang, ia bersumpah untuk tidak menikah.
Kalau dipaksa ia lebih suka binasa daripada menunduk.
Karena tindakannya yang sangat tandas itu, belakangan tak
seorangpun yang berani coba-coba mendekati lagi nona
yang hatinya dingin itu.”
“Setengah tahun kemudian, pada suatu hari, seorang dari
Leng Coa To datang di Kong Beng Teng. Ia mengaku she
Han, bernama Cian Yap, putera musuhnya Yo KauwCoe,
dan kunjungannnya ke Kong Beng Teng adalah untuk
membalas sakit ayahnya. Macamnya pemuda itu sama
sekali tidak luar biasa. Bahwa dia sudah berani menantang
Yo KauwCoe dianggap sebagai kejadian lucu. Banyak
diantara kami yang tak bisa menahan untuk tidak tertawa.”
“Tapi Yo KauwCoe sendiri tak memandang enteng. Ia
menyambut pemuda itu dengan segala kehormatan dan
menjamunya dalam perjamuan besar.”
“Latar belakang tantangan itu adalah begini. Karena
salah paham, Yo KauwCoe telah bertempur dengan ayah
pemuda itu dan melukainya dengan pukulan Tay Kioe
2019
Thian Chioe. Pecundang itu segera mengatakan, bahwa ia
akan membalas sakit hati itu. Tapi sebab tahu, bahwa ia
takkan bisa mendapat kemajuan lebih jauh dalam ilmu
silatnya, maka ia menjanjikan bahwa di kemudian hari ia
akan mengirim anak lelaki atau anak perempuannya untuk
membalas sakit hati. Yo KauwCoe menjawab bahwa kalau
anak itu datang, ia akan mengalah dalam tiga pukulan.
Ayah pemuda Cian Yap mengatakan bahwa dalam
pertandingan Yo KauwCoe tak usah mengalah tapi kalau
disetujui, ia ingin sekali supaya nanti anaknya boleh
memilih cara bertanding. Yo KauwCoe lantas saja
mengatakan tak dinyana sesudah berselang belasan tahun,
orang itu benar-benar mengirim puteranya untuk
menantang Yo KauwCoe.
“Waktu itu kepandaian Yo KauwCoe sudah sedemikian
tinggi, sehingga biarpun ahli-ahli silat yang paling jempolan
belum tentu bisa melawannya. Han Cian Yap masih sangat
muda. Dalam usia yang belum seberapa itu ia tak mungkin
memiliki kepandaian yang bisa merendengi Yo KauwCoe.
Melihat begitu, kami semua merasa lega. Yang dikuatirkan
hanyalah satu pertanyaan. Cara bertanding bagaimana yang
akan dipilihnya?”
“Pada keesokan harinya, di hadapan kami Han Cian
Yap menceritakan peristiwa itu, sehingga Yo KauwCoe tak
bisa mundur lagi. Cara bertanding yang dipilihnya ialah ia
mau bertanding di dalam Pek Soei Han Tam (kolam dingin
yang airnya biru) yang terdapat di Kong Beng Teng. Siapa
yang kalah harus membunuh diri di hadapan orang
banyak.”
“Tantangan itu bagaikan halilintar di tengah hari yang
bolong. Semua orang mencelos hatinya. Air kolam itu
dingin bagaikan es. Jangankan pada waktu itu, di musim
dingin, sedang di musim panas pun tiada orang yang berani
2020
menceburkan diri di kobakan tersebut. Celakanya Yo
KauwCoe tak bisa berenang. Menerima tantangan itu
berarti mengantarkan jiwa. Kami semua gusar dan mencaci
pemuda itu.”
“Gie Hoe,” kata Boe Kie. “Urusan ini sangat sulit.
Perkataan seorang laki-laki sejati tak bisa diubar oleh kuda
yang paling keras larinya. Sesudah Yo KauwCoe
mengiakan permintaan Han Cian Yap, menurut pantas ia
tak boleh menolak tantangan itu.”
Tio Beng tersenyum dan memijit tangan Boe Kie.
“Benar.” Katanya. “Perkataan seorang laki-laki sejati tidak
bisa diubar oleh kuda yang larinya paling keras. Seorang
kauwcoe dari Beng Kauw tak bisa menjilat ludah sendiri.
Setiap janji harus dipastikan.”
Kata-kata itu sebenarnya untuk menyindir Boe Kie, tapi
Cia Soen tentu saja tidak mengetahui. “Tak salah,”
katanya. “Mendengar cacian kami, Han Cian Yap segera
berkata dengan suara nyaring. “Seorang diri aku datang di
sini. Aku memang tak mengharap hidup. Para enghiong
boleh membunuh aku. Di sini hanya terdapat orang-orang
Beng Kauw, sehingga pembunuhan terhadap diriku tak
akan diketahui oleh orang luar. Kalian boleh segera turun
tangan!” Mendengar omongan itu, kami tertegun.
“Sesudah memikir beberapa saat, Yo KauwCoe berkata,
“Han Heng, memang benar dahulu aku pernah membuat
perjanjian dengan ayahmu. Seorang laki-laki tidak dapat
menyalahi janji. Aku mengaku kalah. Aku bersedia untuk
segala keputusanmu.”
Tangan Han Cian Yap tiba-tiba bergerak dan sudah
memegang sebatang pisau yang ditudingkan ke arah
jantungnya sendiri. “Pisau ini warisan ayahku,” katanya.
“Aku hanya meminta supaya Yo KauwCoe berlutut tiga
2021
kali kepada pisau ini.” Mana boleh kauwcoe kami
menerima hinaan sehebat itu? Tapi sesudah Yo KauwCoe
menyerah kalah, menurut peraturan Kang Ouw, ia tidak
boleh menampik tuntutan itu. Suasana beruabah panas dan
kepentingan memuncak. Han Cian Yap memang sudah
tidak memikir hidup. Sesudah Yo KauwCoe berlutut, ia
pasti akan menancapkan pisau itu di jantungnya sendiri
supaya tak usah binasa dalam tangan jago-jago agama
kami.
“Untuk beberapa saat, ruangan yang besar itu sunyi
bagaikan kuburan. Siauw Yauw Jie Sian (Yo Siauw dan
Hoan Yauw) Peh Bie Eng Ong In Heng, Pheng Eng Giok
Hwee Sio dan yang lain-lain yang biasanya pintar sekarang
menghadapi jalan buntu.
Pada saat yang genting, sekonyong-konyong Taykis
melompat keluar dan berkata pada Yo KauwCoe. “Thiathia,
orang lain mempunyai putera berbakti, apakah Thiathia
tak punya anak perempuan yang berbakti juga? Hanya
datang untuk membalas sakit hati ayahnya. Biarlah Anak
yang melayaninya. Yang lebih tua yang melayani yang tua.
Yang lebih muda berhadapan dengan yang lebih muda.”
“Semua orang kaget. Mengapa Taykis memanggil Thiathia
(ayah)? Tapi kami lantas saja mengerti, bahwa untuk
menyingkirkan marabahaya itu, Taykis sengaja mengakui
Yo KauwCoe sebagai ayahnya. Kami sangat kuatir.
Kepandaian apa yang dimiliki nona itu? Apa ia mampu
berkelahi di dalam air yang sangat dingin seperti es?”
Sebelum Yo KauwCoe keburu menjawab. Han Cian Yap
sudah berkata sambil tertawa dingin. “Mewakili ayah
menyambut lawan memang satu kepantasan, tapi kalau
nona kalah aku tetap menuntut bahwa Yo KauwCoe harus
berlutut di hadapan pisau ini.” Dengan berkata begitu, ia
kelihatannya tidak memandang mata kepada Taykis. “tapi
2022
bagaimana kalau tuan yang kalah?” tanya Taykis. “Nona
boleh berbuat sesuka hati. Boleh bunuh, boleh apapun jua,”
jawabnya. “Baiklah. Mari, kita pergi ke Pek Soei Han
Tam,” kata Taykis yang segera berjalan lebih dahulu. Yo
KauwCoe menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata.
“Tidak! Kau tak usah mencampuri urusan ini.” Taykis
tersenyum, sikapnya tenang luar biasa. “Thia-thia, kau tak
usah kuatir,” katanya sambil berlutut. Berlututnya seolaholah
sebuah upacara mengangkat ayah.
Ketenangan Taykis menunjuk bahwa ia mempunyai
pegangan dan kepercayaan pada dirinya sendiri. Yo
KauwCoe tidak membantah lagi. Pada hakekatnya memang
tak ada jalan lain yang baik. Semua orang lantas saja
menuju Pek Soei Han Tam yang terletak di sebelah utara
gunung. Ketika itu angin utara meniup dengan kerasnya.
Beberapa orang yang tenaga dalamnya tidak begitu kuat
sudah menggigil. Mereka sudah menggigil dengan hanya
berdiri di pinggir kolam. Apapula kalau menerjun! Sebagian
air sudah mengeras menjadi es dan air yang berwarna biru
ituseperti juga tiada dasarnya. Tiba-tiba Yo KauwCoe
merasa bahwa ia tak pantas membiarkan Taykis
mengantarkan jiwa, “Anak,” serunya dengan suara nyaring.
“kutahu, hatimu sangat mulia. Tapi biarlah aku saja yang
melayani Han Heng.” Seraya berkata begitu, ia membuka
jubah luarnya untuk segera menerjun ke air. Taykis
tersenyum. “Thia-thia,” katanya. “Anak pandai berenang
semenjak kecil, anak selalu bermain-main di laut.” Ia
menghunus pedang dan bagaikan seekor walet, badannya
melesat dan kedua kakinya hinggap di atas es. Sesudah
membuat lingkaran dengan pedangnya, ia melompat lagi
dan menerjun ke air!
Di depan mataku terbayang pula kejadian itu. Hari itu,
Taykis mengenakan baju warna ungu dan ketika ia berdiri
2023
di atas es, kecantikannya tak kalah dari kecantikan Dewi
Leng Po. Mendadak tanpa mengeluarkan suara, ia
menerjun ke air. Kami semua terkejut, Han Cian Yap pun
kaget. Paras mukanya yang semula angkuh lantas saja
berubah. Sambil mencekal pisau, ia turut melompat ke
kolam.
Air kolam berwarna biru tua. Perkelahian tak dapat
dilihat kami. Kami hanya melihat bergoyang-goyangnya
air. Kami semua merasa sangat kuatir. Beberapa lama
kemudian di satu sudut air kolam tercampur sedikit darah.
Kami jadi lebih kuatir. Siapa yang terluka? Apa Taykis? Tak
lama kemudian air bergolak dan Han Cian Yap melompat
keluar dengan napas tersengal-sengal. Hati kami mencelos.
“Mana Taykis?” tanyaku. Pemuda itu ternyata kosong
pisaunya tertancap di dadanya sendiri. Sedang kedua
pipinya terdapat goresan luka. Selagi jantung kami
memukul keras, air tergolak pula laksana seekor ikan Taykis
muncul di permukaan air. Akan kemudian sambil memutar
pedang untuk melindungi diri, melompat ke daratan. Kami
sorak sorai. Tanpa mengeluarkan sepatah kata bahna
terharu. Yo KauwCoe mencekal tangan Taykis. Mimpipun
kami belum pernah mimpi, bahwa Taykis memiliki
kepandaian setinggi itu. Sementara itu, sambil melirik Han
Cian Yap, Taykis berkata, “ilmu berenang orang itu cukup
baik. Mengingat kebaktiannya, anak harap Thia-thia suka
mengampuni jiwanya.” Yo KauwCoe lantas saja
meluluskan permintaan itu dan memerintahkan Ouw Ceng
Goe untuk mengobati lukanya.
“Malam itu di atas Kong Beng Teng diadakan perjamuan
yang besar.Taykis telah membuat pahala yang sangat besar.
Tanpa pertolongannya, habislah nama besar Yo KauwCoe.
Yo Hoejin menghadiahkan gelar “Cie San Liong Ong”
yang berendeng dengan Eng-Ong. Say Ong dan Hok Ong.
2024
Kami bertiga menyetujui pengangkatan itu. Kami rela
menyerahkan kedudukan pemimpin keempat Hoat Ong
kepada gadis muda belia itu.”
“Tapi peristiwa itu mempunyai ekor yang tak didugaduga.
Han Cian Yap kalah berkelahi, tapi menang total.
Entah bagaimana, dia berhasil merebut hatinya Taykis.
Rasa cinta Taykis muncul waktu ia setiap hari menengok si
pemuda she Han yang dirawat oleh Ouw Ceng Goe. Sangat
bisa jadi, rasa cintanya bersemi dari rasa kasihan dan
menyesal, bahwa ia sudah melukai pemuda itu. Biar
bagaimanapun jua, setelah Han Cian Yap sembuh,
sekonyong-konyong Taykis memberitahukan Yo KauwCoe,
bahwa ia mau menikah sama pemuda itu. Pemberitahuan
itu mengejutkan kami. Ada yang berduka, ada yang merasa
putus harapan. Ada pula yang bergusar. Han Cian Yap
musuh besar agama kita, hinaannya terhadap Yo KauwCoe
tak dapat dilupakan. Sekarang tiba-tiba Taykis mau mnikah
sama dia. Beberapa saudara yang berangasan lantas saja
mencaci. Tapi Taykis beradat keras. Ia menghunus pedang
dan sambil berdiri di ambang pintu, dia berteriak, “Mulai
hari ini Han Cian Yap menjadi suamiku. Siapa yang
menghina dia boleh menjajal pedang Cie San Liong Ong.”
Melihat tekadnya dan nekadnya, kami semua tidak berdaya
lagi.
“Upacara pernikahan dilangsungkan dengan sangat
sederhana. Sebagian besar saudara-saudara kami tidak
menghadiri pesta. Karena mengingat jasanya, Yo KauwCoe
dan aku berusaha keras memenuhi keinginannya, sehingga
pernikahannya bisa berlangsung tanpa gelombang yang
lebih hebat. Tapi masuknya Han Cian Yap di dalam Beng
Kauw mendapat tentangan yang terlalu hebat sehingga Yo
KauwCoe sendiri tidak bisa menindih tentangan itu.”
“Tak lama kemudian Yo KauwCoe hilang tanpa
2025
berbekas. Kami bingung dan coba mencarinya ke segala
pelosok Secara kebetulan, waktu sedang mencari Yo
KauwCoe, Kong Beng Yoe Soe Hoan Yauw melihat Han
Hoejin keluar dari jalan rahasia.”
Boe Kie terkejut. “keluar dari jalanan rahasia?” ia
menegas.
“Ya,” jawabnya. “Peraturan Beng Kauw sangat keras.
Hanya kauwcoe seorang yang boleh masuk di jalanan
rahasia itu. Dalam kaget dan gusarnya Hoan Yauw segera
menegur. Jawab Han Hoejin. “Aku sudah melanggar
peraturan. Mau bunuh, silahkan bunuh! Sesukamu!”
“Malam itu kami mengadakan perhimpunan besar untuk
membicarakan kedosaan Han Hoejin. Tapi Han Hoejin
tetap berkeras kepala. Pertanyaan mengapa ia masuk di
jalanan itu tidak dijawab. Ia mengatakan tak tahu dimana
adanya Yo KauwCoe. Ia mengatakan, bahwa ia
bertanggung jawab sendiri untuk kedosaannya. Menurut
peraturan, seorang anggota Beng Kauw yang berani masuk
ke jalanan rahasia itu harus membunuh diri atau
dikutungkan sebelah kaki atau sebelah tangannya.
Mengingat kecintaannya yang dahulu, Hoan Yauw
berusaha keras untuk melindunginya. Akupun membantu
supaya hukuman berat itu tak usah dijalankan. Akhirnya
semua orang menyetujui untuk memenjarakannya selama
sepuluh tahun supaya ia bisa merenungkan kedosaannya.
Di luar dugaan, Han Hoejin melawan. Tanpa Yo
KauwCoe, siapa yang berani menghukum aku?
Bentaknya.”
“Gie Hoe,” Boe Kie memotong pembicaraan ayah
angkatnya. “Apa sebenarnya maksud Han Hoejin dengan
masuk di jalanan rahasia itu?”
“Kalau mau diceritakan panjang sekali.” Jawabnya. “Di
2026
dalam Beng Kauw, hanya aku seorang yang tahu sebab
musababnya. Waktu itu banyak yang menafsir, bahwa
masuknya Han Hoejin di jalanan rahasia itu ada sangkut
pautnya dengan masalah mengenai hilangnya suami isteri
Yo KauwCoe.Aku menentang tapsiran itu. Kami
bertengkar hebat sehingga akhirnya Han Hoejin
memutuskan semua hubungan dengan Beng Kauw. Ia
adalah orang pertama yang keluar dari agama kami. Hari
itu juga bersama Han Cian Yap, ia turun gunung dan tidak
bisa ditemukanpula. Kami berusaha keras untuk mencari
Yo KauwCoe, tapi usaha itu tinggal tersia-sia. Berselang
beberapa tahun, sebab perebutan kedudukan Kauwcoe,
keadaan jadi semakin hebat. In Heng meninggalkan Beng
Kauw dan mendirikan Peh Bie Kauw. Aku coba
membujuknya, tapi ia tidak meladeni. Lantaran itu, aku dan
dia jadi bermusuhan. Maka itulah pada dua puluh tahun
lebih yang lalu, pada waktu Peh Bie Kauw memamerkan
To Liong To untuk memperlihatkan keangkerannya, Kim
Mo Say Ong turun tangan. Pertama, memang aku inging
merampas golok itu, dan kedua aku hendak melampiaskan
rasa dongkolku. Aku ingin memperlihatkan kepada In
Heng, bahwa sesudah keluar dari kekuasaan Beng Kauw ia
tak akan dapat melakukan sesuatu yang besar. Hai!...
Sekarang aku merasa bahwa perbuatanku itu sangat
keterlaluan.” Ia menghela napas dan paras mukanya
kelihatan sangat berduka.
Untuk beberapa saat, semua orang tidak berkata-kata.
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng. Sesudah peristiwa ini
terjadi nama Gin Yap dan Kim Hoa Popo menggetarkan
dunia Kang Ouw. Mengapa orang-orang Beng Kauw tak
dapat meraba, bahwa Gin Yap dan Kim Hoa Popo
sebenarnya suami isteri Han Cian Yap? Dan sebab apa Gin
Yap SianSeng mati kena racun?”
2027
“Entahlah,” jawabnya. “Mungkin sekali dalam sepak
terjang mereka di kalangan Kang Ouw, mereka selalu
menyingkirkan diri dari orang-orang agama kami.”
Tiba-tiba Boe Kie menepuk lutut. “Benar!” katanya. Kim
Hoa Popo memang mengelakkan pertemuan dengan orangorang
Beng Kauw waktu enam partai mengepung Beng
Kauw. Meskipun sudah tiba di Kong Beng Teng, ia tidak
naik ke puncak untuk memberi bantuan.”
Alis Tio Beng berkerut. “Ada sesuatu yang tidak bisa
ditembus olehku,” katanya. “Cie San Liong Ong terkenal
sebagai wanita yang sangat cantik. Mengapa sekarang
mukanya jelek? Mengapa mukanya rusak?”
“Menurut taksiranku ia telah menggunakan satu atau
lain cara untuk mengubah paras mukanya.” Kata Cia Soen.
“Kau harus tahu, bahwa Han Hoejin beradat aneh. Kaupun
harus tahu, bahwa di dalam hati ia sangat menderita.
Selama hidup, ia harus selalu menyingkirkan diri dari
orang-orang Cong Kauw yang coba mengubar dan
mencarinya. Hai!... Tak dinyana dalam usianya yang lanjut,
ia masih belum bisa meluputkan diri. Pada akhirnya orangorang
Cong Kauw dari Persia berhasil mencari dia.”
Mata Tio Beng terbuka lebar. “Mengapa orang Cong
Kauw mencari dia?” tanyanya dengan rasa heran.
“Inilah rahasia yang paling besar dari Han Hoejin,”
jawabnya. “Sebenarnya aku tidak boleh membuka rahasia.
Tapi karena aku ingin kembali ke Leng Coa To untuk
menolong dia maka aku harus bicara seterang-terangnya.
“Kembali ke Leng Coa To?” menegas si nona. “Apa Loo
Ya Coe rasa kita akan dapat melawan Sam Soe?”
Cia Soen tidak menjawab. Sesudah menghela napas
panjang, ia bercerita dengan suara perlahan. “Selama
2028
ratusan tahun, kursi kauwcoe dari Beng Kauw di Tiong
Goan diduduki oleh seorang pria, tapi Kauwcoe Cong
Kauw di Persia selalu seorang wanita. Bukan saja seorang
wanita, tapi juga seorang gadis yang tidak menikah.
Menurut peraturan Cong Kauw hanyalah seorang gadis
yang masih suci yang boleh menjadi Kauw Coe supaya ia
bisa mempertahankan kesucian Beng Kauw. Setiap Kauw
Coe yang baru memegang jabatan harus memilih tiga gadis
yang berkedudukan paling tinggi di dalam Cong Kauw,
untuk meneliti di sekeliling dan dijadikan Seng Lie (wanita
suci) Sesudah diangkat menjadi Seng Lie dengan sumpah
yang berat. Mereka harus berkelana berbagai tempat untuk
melakukan perbuatan-perbuatan baik demi kemakmuran
dan kebesaran Beng Kauw. Apa bila kauwcoe meninggal
dunia, maka para tetua agama akan mengadakan
pertemuan untuk memperbincangkan jasa-jasa ketiga Seng
Lie. Yang dianggap paling baik jasa akan diangkat menjadi
Kauw Coe baru. Kalau Seng Lie hilang kesuciannya, kalau
dia menikah, maka dia akan dihukum bakar hidup-hidup.
Tak perduli dia lari kemanapun jua, Cong Kauw akan
memerintahkan orang-orang yang berkepandaian tinggi
untuk mencarinya…. “
“Oh!... “ memutus Tio Beng. “Apakah Han Hoejin salah
seorang dari ketiga Seng Lie itu?”
Cia Soen mengangguk: “benar!” jawabnya. “Aku sudah
tahu pada sebelum Hoan Yauw memergokinya di mulut
jalanan rahasia. Han Hoejin sendiri membuka rahasianya
kepadaku, yang dianggapnya sebagai seorang teman atau
sahabat paling karib. Ia mengatakan, bahwa ia jatuh cinta
pada waktu bertempur dengan Han Cian Yap di kolam
pshl. Belakangan sebab sering menengok pemuda itu yang
dirawat oleh Ouw Ceng Goe, rasa cintanya jadi makin
besar dan tidak dapat diobah lagi. Ia tahu, bahwa sesudah
2029
menikah ia pasti akan diubar oleh orang-orang Cong Kauw.
Harapan satu-satunya untuk menebus dosa ialah membuat
suatu pahala besar. Maka itu, dengan menempuh bahaya, ia
masuk ke jalanan rahasia dengan maksud untuk mencari
kitab Kian Koen Tay Lo Ie. Di Cong Kauw kitab ilmu silat
itu sudah hilang lama dan yang masih memiliknya adalah
Beng Kauw di Tiong Goan. Mengapa Cong Kauw
mengirim Taykis ke Kong Beng Teng? Sebab yang paling
terutama ialah untuk mencari dan mendapat kitab
tersebut.”
“Ah!” Boe Kie mengeluarkan suara tertahan. Ia merasa,
bahwa ada sesuatu yang tidak besar tapi apa itu yang tidak
beres tidak diketahui olehnya.
Cia Soen meneruskan ceritanya. “Beberapa kali Han
Hoejin masuk ke jalanan rahasia tanpa berhasil. Aku
menasehati supaya menghentikan usaha itu, karena
masuknya ke jalanan rahasia merupakan rahasia besar yang
sukar bisa diampuni.”
“sekarang kutahu,” memotong Tio Beng. “Han Hoejin
memutuskan perhubungan Beng Kauw supaya ia merdeka
untuk masuk ke jalanan rahasia itu. Sesudah tak menjadi
anggota Beng Kauw, dia tidak terikat lagi dengan peraturan
agama. Loo Ya Coe, bukankah begitu?”
“Tio Kouwnio sangat pintar.” Jawabnya sambil
mengangguk. “Kong Beng Teng adalah pusat agama kita
dan aku tidak bisa mempermisikan orang keluar masuk
sepenuh hati. Aku sudah menebak niatan Han Hoejin.
Sesudah dia turun gunung, aku sendiri menjaga di mulut
jalanan rahasia. Tiga kali dia menyatroni, tiga kali dia
bertemu dengan aku. Akhirnya dia pergi dengan putus
harapan.” Sehabis berkata begitu, ia menengadah seperti
orang memikir sesuatu. Mendadak ia bertanya,
“Bagaimanakah pakaian Sam Soe? Apa berbeda dari
2030
pakaian anggota Beng Kauw di Tiong Goan?”
“Mereka mengenakan jubah putih dan pada ujung jubah
tersulam obor merah,” jawab Boe Kie. “Tapi… tapi… pada
pinggiran terdapat lapisan kain hitam. Hanya itu
perbedaannya.”
“Tak salah!” seru Cia Soen. “Kauwcoe Cong Kauw baru
saja meninggal dunia! Bagi orang-orang See Hek, hitam
adalah warna berkabung. Jubah putih dengan pinggiran
hitam berarti pakaian berkabung. Mereka mau memilih
kauwcoe baru dan mencari Han Hoejin.”
“Ada satu hal yang aku kurang mengerti,” kata Boe Kie.
“Han Hoejin berasal dari Beng Kauw di Persia dan ia tentu
mahir dalam ilmu silaat yang dipelajari dalam kalangan
Cong Kauw. Tapi mengapa dalam sejurus ia sudah
dirobohkan Sam Soe?”
“Tolol!” kata Tio Beng sambil tersenyum. “Han Hoejin
hanya berpura-pura untuk menutupi asal-usulnya yang
sebenarnya. Ia tidak boleh memperhatikan bahwa ia
mengenal ilmu silat ketiga utusan itu. Menurut dugaanku,
jika Loo Ya Coe mengiring kehendak Sam Soe dan coba
membunuh dia, dia pasti tidak mempunyai daya untuk
menyelamatkan diri.”
Cia Soen menggelengkan kepala. “Memang benar ia
menutupi asal-usulnya,” katanya. “Tapi kalau Tio Kouwnio
berpendapat bahwa sesudah ditotok Sam Soe ia masih bisa
meloloskan diri, aku merasa kurang setuju. Belum tentu ia
bisa meloloskan diri. Menurutku, Han Hoejin lebih suka
dibunuh olehku daripada dibakar hidup-hidup.”
Tiba-tiba terdengar suara beradunya gigi. Semua orang
kaget. Ternyata In Lee kembali menggigit keras dan giginya
bercatrukan. Boe Kie meraba dahi si nona yang panas luar
biasa. Ia menghela napas. Penyakit nona In sangat berat.
2031
“Gie Hoe,” kata Boe Kie setelah memikir sejenak, “anak
mengambil keputusan untuk kembali ke Leng Coa To. In
Kouwnio harus bisa beristirahat sedapat mungkin Andai
kata kita tak bisa berhasil menolong Han Hoejin, kita
sedikitnya harus menolong In Kouwnio.”
“Benar,” kata Cia Soen. “In Kouwnio begitu mencintai
kau. Dia tak bisa tak ditolong, Tio Kouwnio, bagaimana
pikiranmu?”
“Luka In Kouwnio sangat berat, aku setuju untuk
kembali.” Jawab Tio Beng.
Cie Jiak menjawab dengan suara dingin. “Terserah pada
Loo Ya Coe.”
“Kita harus menunggu sampai halimun buyar dan
berlayar dengan melihat bintang sebagai pedoman.” Kata
Boe Kie. “Gie Hoe, Lioe In Soe berhasil melukai aku
dengan Seng Hwee Leng pada waktu ia berjungkil balik di
tengah udara. Mengapa bisa begitu? Ilmu silat apa itu?”
Mereka lantas saja membicarakan ilmu silat ketiga
utusan Cong Kauw itu. Tio Beng yang mengenal banyak
ilmu silat kadang-kadang turut mengantarkan pikirannya.
Tapi sesudah berunding berjam-jam mereka belum juga bisa
menangkap inti sari ilmu silat Sam Soe yang berdasarkan
kerja sama antara mereka bertiga.”
Sesudah matahari keluar barulah halimun membuyar.
“Semula kita menuju ke selatan dari utara,” kata Boe Kie.
“Maka itu, kalau mau kembali ke Leng Coa To, kita
sekarang harus mengambil jalan ke arah barat laut.”
Dengan bergiliran, Cia Soen, Boe Kie, Cie Jiak, dan
Siauw Ciauw lalu mulai mendayung perahu. Kalau tadi
perahu melaju dengan bantuan angin, sekarang harus
melawan angin. Untung juga Cia Soen dan Boe Kie
2032
memiliki tenaga dalam yang sangat kuat, sedang kedua
nona itu pun mempunyai lweekang yang lumayan sehingga
pekerjaan mendayung tak dirasakan terlalu berat. Perlahan
tapi tentu perahu itu bergerak ke jurusan utara.
Selama beberapa hari Cia Soen tak banyak bicara. Ia
duduk termenung dengan alis berkerut memikiri jalan untuk
melawan ilmu Sam Soe yang sangat aneh.
Pada magrib hari keenam, tiba-tiba ia menanya Cie Jiak
tentang ilmu silat Go Bie Pay. Nona Cie segera
memberitahukan tanpa tedeng-tedeng. Tanya jawab itu
berlangsung sampai jauh malam. Akhirnya dengan suara
kecewa, Cia Soen berkata: ”ilmu silat Siauw Lim, Boe
Tong, dan Go Bie semua bersumber dari Kioe Yang Cin
Keng dan tidak berbeda dengan ilmu silat Boe Kie – semua
berdasarkan Yang Kong (keras). Kalau Thio Sam Hong
Cinjin, yang memiliki Im Jioe dan Yang Kong (lembek
keras) berada di sini, kita akan bisa merobohkan Sam Soe.
Dengan Im Jioe dari Thio Cinjin dan Yang Kong dari Boe
Kie, kupercaya Sam Soe dapat dikalahkan. Tapi Thio
Cinjin berada di tempat jauh dan waktu sangat mendesak.
Apa daya kalau Han Hoejin sudah ditangkap Sam Soe?”
“Loo Ya Coe,” kata Cie Jiak. “Kudengar pada ratusan
tahun yang lalu, sejumlah tokoh rimba persilatan mengenal
ilmu silat yang bersumber dari Kioe Im Cin Keng. Apa
benar?”
Waktu berada di Boe Tong Sie, Boe Kie pun pernah
mendengar nama Kioe Im Cin Keng dari Thay Soehoenya.
Ia tahun bahwa Kwee Ceng Kwee Tay Hiap (ayah Kwee
Siang Liehiap, pendiri Go Bie Pay) dan Siauw Tay Hiap Yo
Ko adalah orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat
Kioe Im Cin Keng. Tapi ilmu-ilmu di dalam kitab itu sangat
sukar dipelajari, sehingga Kwee Siang sendiri tidak dapat
mempelajarinya. Ia terkejut waktu mendengar pertanyaan
2033
Cie Jiak.
“Memang ada ceritera begitu, tapi benar setidaknya, aku
tak tahu,” jawab Cia Soen. “Menurut katanya orang-orang
tua, ilmu silat Kioe Im Cin Keng lihai luar biasa. Kalau
sekarang orang-orang memiliki ilmu silat itu dan ia bekerja
sama dengan Boe Kie, Sam Soe pasti bisa dirobohkan
dengan sangat gampang.”
“Ya,” kata nona Cioe. Ia tak bisa berkata suatu apa lagi.
“Cioe Kouwnio, apakah dalam Go Bie Pay tidak ada
orang yang mengenal ilmu silat Kioe Im Cin Keng?” tanya
Tio Beng.
Alis Cie Jiak berkerut dan ia menjawab dengan suara
tawar. “Apabila Go Bie Pay mengenal ilmu silat itu, Sian
coe (mendiang guru) pasti tidak sampai mengorbankan diri
di Ban Hoat Sie.” Bagi Cie Jiak yang perasaannya halus.
Kata-kata itu sudah sangat tajam. Ia tidak dapat
menghilangkan rasa sakit hatinya terhadap Tio Beng, sebab
kebinasaaan gurunya yang tercinta adalah gara-gara nona
Tio.
Tapi Tio Beng tidak menjadi gusar. Ia hanya tersenyum.
Tak lama kemudian selagi enak mendayung, tiba-tiba
Boe Kie berseru sambil menuding ke jurusan barat laut.
“Lihatlah! Di sana ada sinar api.” Semua orang menengok
ke arah itu. Benar saja, di garis antara langit dan laut rapatrapat
berkelebat-kelebatnya sinar api. Meskipun tidak bisa
melihat, Cia Soen turut bergirang.
Sinar itu kelihatan dekat, tapi sebenarnya jauh. Sesudah
mendayung lagi setengah harian barulah mereka bisa
melihat tegas ke tempat terjandinya kebakaran itu. Tempat
itu sebuah pulau yang penuh gunung dan pulau itu bukan
lain daripada Leng Coa To.
2034
“Kita sudah tiba di Leng Coa To!” kata Boe Kie dengan
girang.
Dengan penuh harapan semua orang mengawasi pulau
yang menghijau itu. Mendadak Cia Soen mengeluarkan
teriakan tertahan. “Celaka! Mengapa terjadi kebakaran di
Leng Coa To? Apa mereka sudah membakar Han Hoejin?”
Teriakan itu disusul dengan robohnya Siauw Ciauw.
Buru-buru Boe Kie membangunkannya. Nona itu ternyata
pingsan. Boe Kie menyadarkannya dengan totokan dan
bertanya, “Siauw Ciauw, mengapa kau?”
“Aku takut,” jawabnya sambil menangis. “Aku takut….
Mendengar hukuman bakar hidup-hidup terhadap sesama
manusia.”
“Itu belum tentu,” bujuk Boe Kie. “Itu hanya dugaan Cia
Loocianpwee. Andaikata Han Hoejin sudah ditangkap,
kurasa kita masih bisa menolong.”
Siauw Ciauw mencekal tangan Boe Kie erat-erat dan
berkata dengan suara parau.
“Thio KongCoe, aku memohon… memohon supaya kau
menolong Han Hoejin… “
“Tentu kita berusaha beramai-ramai,” jawabnya. Sehabis
berkata begitu, ia kembali ke buritan perahu dan
mendayung sekuat tenaga, sehingga kendaraan air itu
melaju bagaikan terbang.
Mendadak Tio Beng berkata dengan suara perlahan.
“Thio KongCoe, sudah lama aku memikiri dua soal yang
sampai sekarang belum dapat dipecahkan olehku. Aku
ingin meminta petunjukmu.”
Mendengar kata-kata yang sungkan, Boe Kie merasa
heran. “soal apa?” tanyanya.
2035
“Hari itu, waktu berada di Lek Lioe Chung, aku telah
memerintahkan orang-orangku untuk mengepung
rombongan kakekmu,” menerangkan si nona. “Selagi
rombongan terkepung, tiba-tiba Siauw Ciauw Kouwnio
maju dan memimpin pahlawan rombongan kakekmu.
Memang benar, bahwa dibawah seorang panglima yang
pandai tak ada serdadu yang lemah. Tapi bagiku, bahwa
dibawah Kauw Coe Beng Kauw ada seorang pelayan yang
mempunyai kepandaian begitu tinggi, masih tetap
mengherankan… “
“Kauwcoe Beng Kauw?” memutus Cia Soen.
Tio Beng tertawa, “Loo Ya Coe,” katanya. “Sekarang
biarlah aku berterus terang. Anak angkatmu bukan lain
daripada kauwCoe yang tersohor dari agama Beng Kauw.
Kau sendiri salah seorang bawahannya.”
Cia Soen terkesiap. Mulutnya ternganga dan ia tidak
dapat mengeluarkan sepatah kata. Tapi, di dalam hati ia
masih bersangsi. Tio Beng meretapkan keterangannya, tapi
ia tidak bisa memberi penjelasan mengenai jalannya
peristiwa yang berakhir dengan pengangkatan Boe Kie
sebagai KauwCoe. Karena didesak keras oleh ayah
angkatnya Boe Kie tidak bisa menyangkal lagi. Secara
ringkas ia segera menceritakan segala kejadian.
Tak kepalang girangnya orang tua itu. Ia berlutut dan
berkata dengan suara terharu.
“Orang sebawahan, Kim Mo Say Ong, Cia Soen,
memberi hormat kepada KauwCoe.”
Tersipu-sipu Boe Kie balas berlutut. “Giehoe, janganlah
menjalankan peradatan ini,” katanya dengan air mata
berlinang-linang. “Menurut surat wasiat mendiang Yo
KauwCoe, Giehoe-lah yang harus menjadi Kauwcoe untuk
sementara waktu. Dalam menerima pengangkata, anak
2036
selalu berkuatir kalau-kalau anak tidak kuat memikul beban
yang sangat berat itu. Atas berkah Thian, Giehoe pulang
dengan tak kurang suatu apa. Inilah rejeki dari agama kita.
Sepulangnya dari Tiong Goan, kursi KauwCoe harus
diduduki giehoe.”
“Biarpun ayah angkatmu sudah bisa pulang, tapi dengan
kedua matanya sudah buta, kau tidak bisa mengatakan
bahwa ia pulang dengan tak kurang suatu apa,” kata Cia
Soen dengan suara sedih. “Mana bisa Beng Kauw
mempunyai pemimpin yang matanya tidak dapat melihat?
Tio KouwNio, soal-soal apa yang tidak mengerti olehmu?”
“Aku merasa heran karena Siauw Ciauw Kouwnio
memiliki kepandaian yang sangat luar biasa,” jawabnya.
“Aku ingin menanya, siapa yang mengajarinya dalama ilmu
Kie boen Pat Kwa dan Im Yang Ngo Heng? Cara
bagaimana dalam usia yang begitu muda, ia sudah
mempunyai ilmu tersebut?”
“Itulah ilmu turunan dari keluargaku,” jawab Siauw
Ciauw. “Ilmu itu tidak cukup berharga untuk mendapat
perhatian Koencoe Nio Nio.”
“Siapa ayahmu?” tanya pula Tio Beng. “Anaknya begitu
lihai, ayah ibunya pasti tokoh-tokoh yang namanya
cemerlang.”
“Ayahku hidup dengan mengubur she dan namanya
sendiri,” jawabnya. “Tak perlu Koencoe menanyakannya.
Apakah Koencoe mau memaksa aku dengan ancaman
potong jari-jari tangan?” Si gadis cilik ternyata tak sungkansungkan.
Dengan menyebutkan ancaman potong jari-jari
tangan, ia rupa-rupanya ingin menarik tangan Cie Jiak
untuk berdiri di pihaknya.
Tio Beng hanya tersenyum. “Thio Kongcoe,” katanya
dengan suara tenang. “Malam itu di kota raja, waktu kita
2037
bertemu di rumah makan untuk kedua kali, Kouw Tauwtoo
Hoan Yauw telah memberi selamat berpisah kepadaku.
Waktu itu, ia kebetulan bertemu dengan Siauw Ciauw
KouwNio dan ia mengatakan sesuatu, apakah kau masih
ingat perkataannya?”
Sebenarnya Boe Kie sudah melupakan kejadian tersebut.
Sesudah memikir beberapa saat, ia menjawab. “Hm… kalau
aku tak salah ingat, Kouw Taysoe mengatakan bahwa paras
muka Siauw Ciauw mirip dengan salah seorang
musuhnya.”
“Benar,” kata Tio Beng sambil mengangguk. “Apakah
kau bisa menebak siapa yang dimaksud Kouw Taysoe?
Siauw Ciauw Kouwnio mirip siapa?”
“Bagaimana aku bisa menebak?” Boe Kie balas bertanya.
Selagi mereka bicara, perahu sudah makin mendekati
Leng coa to. Mereka melihat, bahwa di sebelah barat pulau
berderet kapal2 Cong kauw yang layarnya terlukis gambar
obor merah dan pada setiap layar tergantung sehelai kain
hitam.
Alis Boe Kie berkerut. “Cong kauw telah mengerahkan
angkatan laut dan orang yang datang kesini tidak berjumlah
kecil,” katanya.
“Kita harus coba mendarat di pulau yang sepi dan
aman,” kata Tio Beng.
Boe Kie mengangguk dan segera mendayung.
Sekonyong2 dari salah sebuah kapal terdengar bunyi
terompet. “Dung.. dung..” dua peluru menyambar, yang
lain di sebelah kanan perahu, sehingga karena goncangan
ombak, perahu kecil itu hampir hampir tenggelam.
“O hoooi! Dengarlah…!” demikian terdengar teriakan
2038
dari arah kapal itu. “Perahu kecil itu harus datang disini.
Kalau tidak menurut akan ditenggelamkan.”
Boe Kie mengeluh. Kedua tembakan yang barusan
adalah tembakan ancaman. Ia yakin bahwa jika membantah
perahu yang ditumpanginya akan segera ditenggelamkan,
tanpa bisa melawan. Sebab tak ada jalan lain, perlahan
lahan ia mendayung ke arah kapal itu.
Meriam2 di tiga kapal Cong kauw bergerak dan
menuding perahu Boe Kie. Waktu perahu menempel
dengan sisi kapal dari atas kapal segera diturunkan sebuah
tangga tambang.
“Mari kita naik dan berusaha untuk merampas kapal
ini,” bisik Boe Kie.
Cia Soen naik paling dulu disusul oleh Cie Jiak yang
mendukung Tio Beng. Sesudah itu Siauw Ciauw dan yang
paling akhir adalah Boe Kie yang mendukung In Lee. Yang
berada di kapal itu orang2 Persia yang bertubuh tinggi besar
berambut kuning dan bermata biru. Boe Kie menyapu
dengan matanya. Ia tak lihat Sam soe (Budi: Some parts
missing here..) (PP: That’s what’s in the book)
tas saja ia bertanya. “Siapa kamu? Ada urusan apa kamu
datang kemari?”
“Kami mengalami bencana kapal kami tenggelam,”
jawab Tio Beng. “Kami menghaturkan terima kasih untuk
pertolongan kalian.”
Orang itu setengah percaya setengah tidak. Ia berpaling
kepada pemimpinnya yang berduduk di kursi geladak kapal
dan bicara dalam bahasa Persia. Selagi pemimpin itu bicara
tiba2 Siauw Ciauw melompat dan menghantam dengan
telapak tangannya. Dia kaget, berkelit dan menjambret
kursi yang lalu digunakan untuk memukul si nona. Boe Kie
2039
terkesiap. Ia tak pernah menduga, bahwa Siauw Ciauw
akan segera menyerang. Sambil melompat, ia menotok dan
pemimpin itu lantas saja roboh.
Puluhan orang Persia yang berada di situ lantas saja
menjadi kalut. Mereka menghunus senjata dan segera
mengepung. Tapi biarpun mengenal ilmu silat kepandaian
mereka masih kalah
(Budi: Some parts missing here..) (PP: I think that’s OK)
Sambil mendukung In Lee erat erat dengan tangan
kanannya, Boe Kie menyerang dengan tangan kiri. Cia
Soen memutar To Liong To, sedangkan Cie Jiak
mengamuk dengan pedangnya.
Ditambah dengan Siauw Ciauw yang lincah gerakannya
dalam sekejap puluhan orang Persia itu sudah dapat
dibereskan. Belasan orang luka dan rebah di geladak kapal,
tujuh delapan orang jatuh di air dan sisanya tidak berdaya
lagi karena ditotok hiatnya. Lain lain kapal Cong Kauw
lantas saja membunyikan terompet dan mulai mengurung.
Buru buru Boe Kie merebahkan In Lee di geladak
menentang pemimping yang tadi dirobohkannya dan lalu
memanjat tiang layar. “Hai! Kalau ada yang berani datang
kemari, lebih dahulu aku membinasakan orang ini!”
teriaknya.
Pemimpin itu ternyata mempunyai kedudukan tinggi,
lantaran, biarpun mereka berteriak
Some parts missing here…
Boe Kie melompat turun, tapi baru saja melepaskan
tawanannya di geladak tiba tiba ia merasakan kesiuran
angin yang sangat tajam. Secepat kilat ia berkelit dan
menendang. Sebelum ia sempat memutar badan, semacam
senjata yang bukan lain daripada Seng hwee leng
2040
menyambar dari samping kiri. Ia mengeluh. Ia tahu bahwa
Sam soe sudah mulai menyerang. “Semua mundur ke tenda
(gubug) kapal!” teriaknya seraya menjemput si pemimpin
yang lalu digunakan untuk menyambut Seng hwee leng
yang menyambar.
Orang yang memukul adalah Hwie goatsoe. Ia terkejut
dan mati matian ia menarik pulang senjatanya. Ia berhasil,
tapi sebab senjata itu ditarik pulang secara mendadak, maka
bagian bawah tubuhnya jadi terbuka. Melihat lowongan itu
Boe Kie menendang. Lioe in soe dan siauw hong soe
menolong dengan serangan dahsyat sehingga tendangan
Boe Kie meleset dan Hwie goat soe terluput dari bahaya.
Sesudah lewat beberapa jurus tiba2 Biauw hong soe
menyabet dengan Seng hwee leng dengan pukulan yang
sangat aneh. Boe Kie memapaki senjata itu dengan tubuh si
pemimpin dengan gerakan yang tak kurang anehnya.
“Plak!” Seng hwee leng mampir tepat di pipi kiri orang itu.
Tak kepalang kagetnya Sam soe. Muka mereka berubah
pucat. Mereka mengeluarkan beberapa buah perkataan
dalam bahasa Persia dan kemudian membungkuk dengan
sikap hormat kepada pemimpin yang dicekal Boe Kie itu.
Siapa pemimpin itu?
Ia adalah salah seorang dari duabelas Po soe ong (Raja
Pohon Mustika) dalam Cong kauw dan ia bergelar Peng
teng ong. Keduabelas raja itu menurut runtunannya, ialah
Tay seng, Tio wi, Siang seng, Sin sim, Jin jiok, Ceng tit,
Kong tek, Cie sim dan Kie beng. Mereka dalah Keng soe
(guru dalam kitab suci) di bawah Kauwcoe dari Ceng kauw
dan kedudukan mereka menyerupai empat Soe kauw di
wilayah Tionggoan.
Perbedaannya dari Soe kauw Hoat ong ialah, sebaliknya
dari mementingkan ilmu silat, mereka mengutamakan
2041
pelajaran keagamaan. Kecuali Tay seng Po soe ong, Siang
seng Po soe ong dan Kong tek Po soe ong yang memiliki
ilmu silat sangat tinggi, kepandaian yang lainnya hanya
biasa saja dan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan
Sam soe. Kali ini dalam usaha mencari Seng lie untuk
pengangkatan Kauwcoe baru, kedua belas Po soe ong turut
datang di Tiong goan. Karena kedudukan yang sangat
tinggi dari “raja raja” itu maka biarpun tak disengaja,
terpukulnya Peng teng ong dengan Seng hwee leng sudah
mengejutkan Sam soe, sehingga mereka tak berani
menyerang lagi dan segera mengundurkan diri.
Boe Kie segera berduduk dan memangk Peng teng ong.
Ia mengerti, bahwa orang itu mempunyai kedudukan
penting di dalam Cong kauw dan merupakan orang
tanggungan satu2nya yang bisa menolong rombongannya.
Ia membungkuk dan memeriksa luka tawanannya. Untung
juga tidak membahayakan jiwa hanya bengkak pada bagian
pipi. Rupa2nya pada detik terakhir Biauw hong soe
berusaha untuk menarik pulang senjatanya, sehingga tenaga
pukulannya banyak berkurang.
Sementara itu, Cie Jiak dan Siauw Ciauw bekerja keras
untuk memindahkan korban2 yang menggeletak di geladak
kapal. Mereka mengangkat mayat2 ke gubuk belakang dan
mengumpulkan orang-orang yang terluka.
Dengan cepat kapal yang dikuasai rombongan Boe Kie
sudah terkurung rapat oleh belasan kapal Cong kauw.
Semua meriam2 ditudingkan ke arah Boe Kie dan
kawan2nya dan diatas semua kapal penuh dengan orang2
Cong kauw yang memegang obor dan menghunus senjata.
Boe Kie jadi bingung. Tanpa meriam lawan yang
berjumlah begitu besar sudah tak mungkin dilawan. Dengan
ilmu silatnya yang tinggi ia sendiri mungkin dapat selamat.
Tapi bagaimana dengan yang lain? Bagaimana dengan In
2042
Lee dan Tio Beng yang terluka berat?
Sekonyong konyong salah seorang berteriak dalam
bahasa Tionghoa. “Kim mo Say-ong, dengarlah! Dua belas
Po soe ong dari Cong kauw berada di sini. Kedosaanmu
terhadap Cong kauw sudah diampuni oleh para Po soe ong.
Lekas pulangkan anggota Cong kauw yang berada di kapal
itu! Sesudah memulangkan semua orang, kau boleh pergi
tanpa diganggu.”