Cerita Silat Karya Normie KPPL 2 (Kisah Para Penggetar Langit) Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Karya Normie KPPL 2 (Kisah Para Penggetar Langit)
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Kisah Para Penggetar Langit-2
Bagian i dapat dibaca disini atau di blog aslinya di kisahparapenggetarlangit.blogspot.co.id
Suasana di kedai kecil itu lumayan ramai. Di pagi hari orang sudah ramai memenuhi tempat minum arak itu. Mungkin karena musim dingin yang menusuk tulang, orang-orang memerlukan arak untuk menghangatkan tubuh. Walaupun kecil, kedai arak itu tertata rapi dan bersih. Terlihat para pelayan sibuk kesana kemari menerima dan mengantarkan pesanan.
Ada sekitar 6 meja yang ada di dalam kedai itu. Semuanya hampir penuh. Mereka yang memenuhi kedai itu rupanya sedang mendengarkan seseorang bercerita. Orang itu masih mudah. Ia berperawakan gagah. Ada beberapa bekas luka di wajahnya. Janggut dan kumisnya tipis. Matanya terang dan bersinar-sinar saat ia bercerita,
“Begitulah” katanya.
“Sejak kejadian di istana kaisar itu, selama 5 tahun ini, Cio San-tayhiap (pendekar besar) menebarkan nama harum di mana-mana. Beliau berkelana menegakkan kebenaran. Di usianya yang masih muda, perbuatan gagah yang dilakukannya sudah tak terhitung lagi. Menumpas kejahatan, menolong orang yang sedang kesusahan, dan segala macam perbuatan gagah yang kita saja tidak mampu membayangkan” kata orang itu.
“Jangan-jangan Cio San-tayhiap itu pula yang menumpas gerombolan perompak di hutan Liok Bin di luar kota ini beberapa waktu belakangan ini, kakak Ceng?” tanya salah seorang.
“Bisa jadi. Kejadian itu baru lewat setengah bulan, tapi orang-orang Kang Ouw (dunia persilatan) sudah ramai membicarakannya” kata si pencerita yang dipanggil kakak Ceng itu.
“Hebat benar ya” orang-orang ramai berdecak kagum.
“Alah, cuma pesilat kampung seperti Cio San itu mana mampu mengalahkan gerombolan orang-orang hebat di hutan Liok Bin?” suara itu datang dari sudut belakang kedai arak kecil itu.
Sontak semua orang menoleh ke sumber suara. Si pemilik suara ternyata seorang yang berpakaian lusuh. Wajahnya penuh cambang bawuk yang lebat. Ia duduk meringkuk di sambil memegang sebotol arak yang tampaknya sudah kosong.
“Jangan hiraukan dia, kakak Ceng. Dia sedang mabuk” kata salah seorang.
Tapi si kakak Ceng tidak perduli. Ia bangkit dari tempat duduknya, dan menggebrak meja,
“Kurang ajar! Siapa kau berani-beraninya menghina Cio-tayhiap (pendekar besar)!” bentaknya.
Orang bercambang yang lusuh itu seperti tidak perduli akan bentakan itu. Dengan santai ia menenggak isi botol araknya. Nampaknya ia kecewa karena isinya memang sudah habis.
“Kemari kau!” bentak si kakak Ceng lagi.
Si cambang tetap perduli. Ia malah menoleh ke salah seorang pelayan dan berkata, “Beri aku satu botol lagi”
Si pelayan agak ragu-ragu untuk bergerak.
Si kakak Ceng kini sudah beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan pelan ke arah si cambang.
“Tarik kembali kata-katamu, atau kau kuhajar” bentaknya.
Si cambang tetap diam. Tatapan matanya kosong. Bibirnya sedikit tersenyum.
Marah karena merasa di remehkan, orang yang dipanggil kakak Ceng itu mencengkeram baju si cambang lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Dalam hatinya ia kaget juga ketika mengetahui tenaganya sangat kuat untuk mengangkat si cambang tinggi-tinggi.
Braaaaaaakkkk!
Ia lalu membanting si cambang ke sebuah meja.
“Kakak Ceng, jangan…jangan….” beberapa orang datang melerai.
Tapi dengan sekali dorongan, si kakak Ceng ini berhasil membuat mereka mundur.
“Minggir” bentaknya dengan marah.
Si cambang sudah terjengkang. Si Kakak Ceng ini kemudian menendangnya sampai ke pintu depan!
Dengan sekali tendang, si cambang terlempar sampai ke luar kedai arak kecil itu. Si kakak Ceng lalu mengejarnya sampai keluar, lalu ditendang dan di hajarnya berulang kali.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut si cambang ia hanya tersenyum.
Senyum melambangkan banyak hal.
Dan senyumannya terlihat jauh lebih memilukan daripada tangisan yang paling sedih sekalipun.
Tapi ia tetap diam. Seolah-olah menikmati hajaran yang ditujukan kepadanya.
Sudah tak terhitung berapa pukulan yang mendarat di tubuhnya. Orang-orang berkerumun tapi tak ada seorang pun yang melerai.
Lalu suatu ketika, saat tangan si kakak Ceng sedang diayunkannya tinggi-tinggi untuk mendaratkan pukulan yang kesekian kalinya, tiba-tiba ada sebuah tangan yang datang menahan tangannya.
Tentu saja ia kaget. Selama menjadi guru silat di kota kecil itu, tidak ada seorang pun yang sanggup menahan tangannya. Ia menoleh.
Terlihat seseorang berambut kemerah-merahan.
Orang itu berkata, “Cukup. Pergilah”
Orang itu hanya memiliki satu tangan.
Sebagai orang yang mengerti ilmu silat, dan mengikuti perkembangan dunia persilatan, si kakak Ceng ini tahu ia berhadapan dengan siapa.
“Tuan…tuan..apakah Suma-tayhiap”
Orang yang ditanya itu mengangguk.
“Aih…maafkan saya Suma-tayhiap. Tapi..tapi..orang ini menghina Cio-tayhiap. Saya harus menghajarnya”
“Pergilah” hanya itu yang keluar dari mulut orang yang dipanggil Suma-tayhiap itu.
“Baik….baik. Saya mohon diri” si kakak Ceng segera mundur dari situ.
“Kau sudah datang” kata si cambang yang sekarang wajahnya berantakan penuh lumpur dan salju.
“Tentu saja aku sudah datang” kata orang she (marga) Suma itu. Ia berjongkok dan memandang si cambang. Ada perasaan sedih yang tak terungkapkan dari raut wajahnya.
“Mari, kawan. Kita pergi” ia lalu membantu si cambang berdiri.
Mereka berdua lalu beranjak dan pergi dari situ.
Kerumunan orang yang berada di sana tentu saja lalu membubarkan diri.
Setelah lama mereka berjalan, sampai lah mereka di sebuah bukit kecil.
“Si maling mengapa tidak bersamamu?” tanya si cambang.
“Ia akan datang tidak lama lagi” jawab orang she (marga) Suma.
“Ada masalah apa hingga kalian datang mencariku?” tanya si cambang.
“Seharusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu” jawab orang she Suma.
“Haha. Suma Sun memang Suma Sun. Suma Sun bukan orang lain” kata si cambang sambil tertawa. Herannya tawa itu terdengar memilukan.
“Selama beberapa tahun ini, walaupun kita sudah berpisah, aku selalu mendengar tindak tandukmu yang gagah. Lalu 5 bulan terakhir, aku sama sekali tidak mendengar apa-apa tentangmu” kata Suma Sun.
“Karena itu kau lalu mencariku?” tanya si cambang.
“Apa yang terjadi denganmu, Cio San?” Suma Sun malah balik bertanya.
Si cambang bawuk yang berpenampilan lusuh ini ternyata adalah Cio San. Pendekar besar yang namanya begitu diagung-agungkan karena kesaktian dan perbuatannya yang gagah, ternyata sekarang berpenampilan seperti ini.
Orang yang paling polos pun tak akan percaya jika mendengar cerita seperti ini.
Cio San tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Senyum itu lagi.
Senyum yang terlihat sangat memilukan.
“Kita tunggu si raja maling datang, aku kan menceritakan semuanya” kata Cio San.
“Ia sudah datang” tukas Suma Sun.
Mendengar kata-kata Suma Sun, Cio San segera menengadah memandang langit. Ia lalu tersenyum. Dari kejauhan terlihat titik hitam yang cukup besar.
Tak berapa lama titik hitam itu semakin besar. Membentuk puluhan burung. Cukat Tong, si raja maling bergelayutan pada burung-burung itu.
Terdengar teriakannya, “Kuharap kalian berdua belum begitu mabuk, karena aku membawakan arak terbaik untuk kalian”
Sahabat sudah bertemu. Arak harus segera disajikan.
Ia lalu bersalto dan melompat turun. Burung-burung itu lalu menghilang entah kemana.
Begitu mendarat, ia menghampiri mereka. Begitu kagetnya ia ketika melihat penampilan Cio San seperti itu. Ia hampir-hampir tak mengenal sahabatnya itu. Tapi berbeda dengan Suma Sun, ia tak bertanya apa yang telah terjadi terhadap sahabatnya itu.
Ia telah tahu jawabannya.
Di dunia ini, hanya ada satu hal yang mampu merubah laki-laki yang begitu gagah menjadi begitu menyedihkan.
Dan ia tahu apa jawabannya. Karena ia sendiri pernah mengalaminya.
“Arak apa yang kau bawa?” tanya Cio San sambil tersenyum.
“Tentu saja arak kesukaanmu” tukas Cukat Tong sambil tertawa, mencoba menyembunyikan rasa prihatinnya.
“Semua arak adalah kesukaanyaa” timpal Suma Sun sambil ikut tertawa juga.
“Karena itu kubawa arak apa saja tentu saja ia akan senang” kata Cukat Tong sambil mengeluarkan beberapa guci arak dari buntalan di punggungnya
“Eh, sudah ada arak, mengapa kalian masih saja berbicara. Cepat tuangkan” kata Cio San, ia lalu duduk di tanah dengan hati gembira.
Satu-satunya hal di dunia yang bisa membuat hati sedih menjadi gembira adalah arak. Semua peminum arak paham teori ini.
Mereka minum.
Amat aneh perasaan di hati mereka. Sedih dan gembira bercampur menjadi satu.
Jika kau sudah lama tidak bertemu dengan sahabatmu, lalu saat bertemu ternyata keadaan sahabatmu serupa dengan Cio San saat ini, tentu saja kau akan memiliki perasaan seperti ini.
Arak dan sahabat sejati. Mereka yang paham betapa berharganya kedua hal ini, tentu akan mengerti cara menghargainya.
Setelah arak-arak itu habis mereka tenggak, mereka berbaring di rerumputan.
Cio San yang pertama-tama membuka suara,
“Bagaimana kabar adik Ang Lin Hua? Apakah ia memperlakukanmu dengan baik?” tanyanya kepada Suma Sun.
“Ya sejak kau pergi beberapa hari setelah pernikahan kami, hidupku menjadi lebih teratur. Ia tidak pernah lagi memarahiku karena tidak ada lagi orang yang mengajakku mabuk setiap hari” tukasnya sambil tersenyum.
Mereka tertawa bersama.
“Aku justru khawatir ia tidak tidur dengan istrinya, malah tidur dengan pedang” seloroh Cukat Tong.
Kembali tawa terdengar memenuhi bukit kecil itu.
“Bagaimana dengan kakak Bwee Hua? Sehat-sehat kah?” kali ini Cio San bertanya kepada Cukat Tong.
“Ya tentu saja. Kami membuka beberapa usaha kecil. Sekarang malah sudah menjadi cukup besar. Aku yang pusing mengatur waktu”
“Kau buka usaha apa?” tanya Cio San.
“Penginapan dan kedai makan” jawab si raja maling.
“Wah, berarti sekarang aku sedang berhadapan dengan seorang wangwe (hartawan)” tukas Cio San sambil tertawa.
“Bagaimana dengan kau?” tanya Suma Sun.
“Aku?” Cio San tersenyum.
“Ya beginilah keadaanku. Tambah tampan bukan?” ia tertawa, namun matanya berkaca-kaca.
Suma Sun juga cuma tersenyum. Tapi ia tidak bertanya lagi.
Cukat Tong pun hanya diam memandang langit kelabu di atas sana.
Lama mereka terdiam.
“Beberapa bulan yang lalu aku menerima surat”
Semua masih diam.
Ia lalu melanjutkan, “Dari Khu Ling Ling”
“Ia memutuskan hubungannya denganku, perkawinan kami batal”
“Ia memutuskan hubungan hanya melalui surat?” tanya Cukat Tong.
“Ya. Aku mencoba mencarinya. Tapi sampai saat ini belum ketemu” kata Cio San.
“Perkawinan kalian bukankah akan dilakukan 7 bulan lagi? Semua orang sudah ramai membicarakannya. Bahkan aku pun sudah menyiapkan hadiah. Ah….” Cukat Tong tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Tak ada yang sanggup bersuara.
Di saat-saat seperti ini, saat seorang sahabat menceritakan kepedihan hatinya, lebih baik kau tidak bersuara. Biarkan ia bercerita sampai selesai. Hal itu akan membuatnya lebih tenang.
Cio San melanjutkan,
“Dalam suratnya ia berkata, ia masih belum bisa melupakan kekasihnya yang lama. Aku…aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya ingin mencarinya dan ingin mendengarkan sendiri kata-kata itu. Aku tak akan memaksanya untuk membatalkan keputusannya”
Perempuan sangat sulit mengambil keputusan. Namun jika ia sudah mengambil keputusan, tak akan sanggup dirubah. Bahkan jika bumi hancur dan langit runtuh pun, keputusan itu tak akan berubah. Orang yang ingin merubahnya hanya akan menghadapi kesulitan dan kesedihan yang lebih dalam.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Cukat Tong
“Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin mencarinya untuk mendengar keputusan itu dari bibirnya sendiri. Rasanya sangat tidak enak, hubungan ini diakhiri hanya lewat surat” jawab Cio San.
“Apakah keluarga besar Khu sudah tahu tentang hal ini?” tanya Suma Sun.
“Begitu menerima surat itu, aku langsung pergi mencarinya ke rumah orang tuanya. Walaupun aku tak bertemu dengan Ling Ling, aku sempat bercerita tentang hal ini kepada orang tuanya” jawab Cio San.
“Apa kata mereka?” tanya Suma Sun.
“Tentu saja mereka kaget mendengar hal ini. Mereka sendiri tidak tahu di mana Ling Ling berada. Tapi beberapa hari kemudian Ling Ling mengirimkan surat pula kepada orang tuanya mengenai hubungan kami. Ia juga berkata ia sedang berkelana, dan akan pulang jika urusannya sudah selesai” kata Cio San.
“Aih, perempuan. Mengapa mereka begitu sukar dipahami?” Cukat Tong seperti berbicara pada diri sendiri. “Jika ia tidak menyukaimu, mengapa ia mau bertunangan denganmu?”
“Entahlah. Pastinya ada alasan tersendiri. Untuk itulah aku mencarinya” ujar Cio San.
Perempuan.
Jika mereka ingin datang, mengapa mereka pergi?
Jika mereka ingin pergi, mengapa mereka datang?
“Kau sudah menemukan jejaknya?” tanya Suma Sun.
“Sudah. Ia berada di Lembah Naga”
“Ahhhh” Suma Sun dan Cukat Tong menghela nafas.
Semua orang Bu Lim (kaum persilatan) tahu tentang Lembah Naga. Tapi keberadaan lembah itu sendiri bagai cerita dongeng. Tak ada seorang pun yang tahu letak persisinya. Konon di lembah itu tinggal sebuah keluarga maha sakti yang tindak tanduknya penuh rahasia. Mereka memiliki ilmu silat hebat yang hanya diturunkan turun menurun dalam keluarga itu.
“Apakah Lembah Naga itu berada di sekitar sini?” tanya Cukat Tong.
“Ya. Lembah itu berada di puncak salju gunung Tian Shan” jawab Cio San.
“Ayo kita pergi. Kami akan menemanimu” tukas Suma Sun.
“Buat apa harus kalian temani? Apa kau takut di tengah jalan aku akan dihajar orang sampai mampus?” kata Cio San sambil tertawa.
“Aku sama sekali tidak khawatir kau dihajar orang, yang tidak dapat kuterima adalah jika kau dihina orang” kata Suma Sun ketus.
Tubuh dan raga seorang pendekar seperti Cio San telah terlatih dengan ilmu silat maha hebat. Tapi hatinya? Memangnya di dunia ini ada ilmu untuk melindungi hati dan perasaan manusia?
“Orang yang sanggup menghajar dan mengalahkanmu belum lagi dilahirkan di dunia ini. Tapi jika kau seperti ini, aku sungguh khawatir kau dihina orang” kali ini Cukat Tong yang berbicara, “Ayolah kita pergi bersama-sama.”
“Halah, memangnya aku anak kecil yang harus pergi diantar ke pasar?”
“Kau tahu tidak? Bahkan jika kau mencambukku dan menyuruhku pergi, aku akan tetap bergelayut di tanganmu seperti perawan tua menggandeng tangan perjaka” tukas Cukat Tong sambil tertawa.
Mereka lalu pergi.
Perjalanan telah memakan waktu 4 hari. Mereka hampir sampai di puncak Tian Shan. Gunung ini ditutupi salju yang sangat tebal. Untunglah ketiga orang ini memiliki tenaga sakti yang sangat tinggi sehingga cuaca dingin tidak begitu mengganggu perjalanan mereka.
Dalam perjalan mencari jejak orang, hanya ada satu orang di kolong langit ini yang bisa diandalkan. Tentu saja orang ini adalah Suma Sun.
Dengan segala pengetahuan, naluri, dan pengalamannya, mencari Lembah Naga tidak terlalu sukar. Tentu saja juga tidak terlalu gampang.
“Lembah Naga pasti berada di sana” kata Suma Sun sambil menunjuk lembah gelap yang berada di bawah sana.
“Baiklah. Kalian tunggu di sini. Aku akan kesana” kata Cio San.
“Dengan apa kau turun ke sana?” tanya Cukat Tong.
“Melompat. Memangnya kau pikir aku punya sayap?” tukas Cio San sambil tertawa.
“Kau gila. Dengan ketinggian seperti ini, mengandalkan ginkang tingkat dewa sekalipun kau akan mati terhempas angin kencang dan batu-batu yang mungkin ada di dasar jurang” kata Cukat Tong.
“Apakah burung-burung peliharaanmu bisa digunakan?” tanya Suma Sun.
“Tidak. Burung-burung itu akan mati terkena cuaca dingin seperti ini. Angin sekencang ini pun akan menghempaskan mereka”
Begitu Cukat Tong selesai bicara, Cio San sudah melompat ke dalam jurang.
“Yihaaaaaaa” teriak Cio San senang.
“Orang ini bodoh atau sudah gila?” kata Cukat Tong.
Meski berkata begitu, ia pun ikut meloncat turun ke dalam jurang gelap itu.
Suma Sun pun tentu saja sudah melompat pula.
Perbuatan bodoh seperti ini, hanya 2 golongan manusia yang sanggup melakukannya.
Manusia yang patah hatinya.
Atau manusia yang menganggap dirinya sebagai seorang ‘sahabat’.
Manusia-manusia seperti ini bodohnya melebihi orang yang paling bodoh, dan gilanya melebihi orang yang sudah gila.
Tapi hati manusia-manusia seperti ini biasanya dipenuhi ketulusan yang amat sangat dalam.
Begitu mereka melompat, ternyata mereka disambut sejenis tumbuh-tumbuhan yang hidup hanya di daerah seperti ini. Batangnya yang tipis dan kokoh membuat laju turun mereka melambat. Rupanya inilah salah satu rahasia Lembah Naga.
Butuh waktu cukup lama hingga mereka bisa sampai ke dasar jurang. Jurang itu sangat gelap dan dingin. Tapi Cukat Tong punya obor untuk dinyalakan. Ia selalu punya apa saja yang bisa digunakan di saat-saat tak terduga.
“Wah, indah sekali pemandangan di sini” kata Cio San.
Balok-balok es memantulkan cahaya obor. Menciptakan sebuah pemandangan yang hanya bisa ditemukan di tempat ini.
“Lihat itu ada pintu kecil” tunjuk Suma Sun.
Mereka semua bergerak ke sana.
Tiba-tiba dari mulut goa muncul seorang anak kecil.
Gadis kecil ini mungil dan menggemaskan. Pipinya kemerah-merahan. Ia memakai baju berwarna merah pula. Di tangannya ada pula sebuah obor
“Keluarga Lembah Naga memberi salam pada Cio-tayhiap, Suma-tayhiap, dan Cukat-tayhiap. Ada keperluan apa hingga mampir ke mari?” kata anak kecil itu.
Ketiga orang ini kagum juga.
“Anak ini apakah setan penjaga lembah?” bisik Cukat Tong kepada Cio San.
Cio San hanya tersenyum, lalu katanya “Adik kecil, hebat sekali engkau bisa mengenal kami. Kami sedang dalam perjalanan mencari sahabat kami bernama Khu Ling Ling. Apakah egkau pernah mendengar namanya?” Cio San bukan orang yang bertele-tele, dan tidak begitu perduli dengan adat kesopanan.
Rupanya gadis kecil itu pun demikian,
“Khu-siocia (nona Khu) memang berada di sini. Cio-tayhiap ada keperluan apa ingin bertemu dengan calon enso (kakak ipar) ku?”
Mendengar ini Cio San terhenyak, ia lalu berkata,
“Aku hanya ingin berbicara beberapa patah kata dengannya. Apakah adik kecil mengijinkan?”
Anak kecil itu hanya diam lalu memandang kepada Cukat Tong dan Suma Sun, “Lalu tuan berdua ada keperluan apa?”
“Kami hanya mengantarkan Cio San” jawab Cukat Tong.
Setelah berpikir sebentar, gadis kecil itu berkata, “Baiklah. Cio San-tayhiap boleh masuk. Tetapi tuan berdua harap tunggu di sini”
Selesai berkata begitu ia pun berbalik masuk ke dalam goa.
“Kalian tunggulah di sini. Paling lambat sebelum malam aku sudah kembali” kata Cio San.
Kedua orang itu hanya mengangguk.
Cio San mengikuti bocoh itu. Cahaya obor yang berada di tangan bocah itu menuntun mereka menyusuri dalam goa. Di ujung sana terlihat setitik cahaya kecil.
Tak lama kemudian mereka telah sampai. Ternyata goa itu menuju ke udara terbuka.
Sebuah lembah yang sangat indah!
Cio San seperti berada di dunia lain. Dunia yang terbentuk dari balok-balok es yang sangat indah, seolah-olah berlian dan permata yang bercahaya. Penataan lentera yang tepat membuat tempat itu terang benderang penuh keindahan.
Tak jauh dari sana terlihat bangunan mirip istana yang dibangun dari es pula. Sangat mengagumkan.
Anak kecil itu kemudian berbalik menghadap Cio San dan berkata,
“Kakak pertama sudah datang”
Cio San menatap ke depan.
Sang kakak pertama datang dan berjalan dengan santai. Gerak geriknya sangat ringan. Orangnya berumur sekitar 30 tahun lebih.
“Salam tayhiap” katanya sambil menjura.
Cio San balas menjura, “Salam tuan. Apakah cayhe (saya) sedang berhadapan dengan Liong Kim Sa-tayhiap yang terkenal?”
Ternyata Cio San kenal nama ini.
“Ah, cayhe (saya) belum pernah keluar rumah. Bagaimana tayhiap mengenal nama cayhe?” tanyanya sopan.
“Orangnya tidak pernah keluar rumah, tapi namanya sendiri sudah harum tersebar di penjuru dunia” kata Cio San tersenyum.
“Aih, mana berani cayhe (saya) menerima pujian Hongswe (jenderal phoenix)?” kata Liong Kim Sa tersenyum.
Sebutan Hongswe adalah sebutan yang langsung diberikan oleh kaisar kepada Cio San. Hampir seluruh orang Bu Lim (kaum persilatan) memanggilnya dengan sebutan itu.
Dengan sebutan itu, seluruh orang Bu Lim memang akan hormat kepadanya.
“Hongswe ada keperluan apa datang kemari?” tanya Liong Kim Sa ramah
“Cayhe datang hendak mencari Khu-siocia (nona Khu)” jawab Cio San
“Oh begitu. Ada keperluan apa Hongswe terhadap calon adik iparku?” tanya Liong Kim Sa.
Sebutan ‘ipar’ ini sejak tadi menghujam jantung Cio San.
“Cayhe hanya ingin berbicara beberapa patah kata kepadanya. Mohon Liong-tayhiap mengijinkan. Setelah itu cayhe akan pergi” kata Cio San.
“Pergi? Memangnya hongswe pikir Lembah Naga adalah kedai arak? Bisa datang dan pergi sesuka hati” kata Liong Kim Sa, masih dengan senyumnya yang ramah.
Tiba-tiba Cio San merasa keluarga ini sungguh tidak ramah.
“Apa yang harus cayhe lakukan agar dapat bertemu dengan Khu-siocia (nona Khu)?” tanya Cio San.
“Tidak ada” jawab Liong Kim Sa pendek. Lanjutnya,
“Kami menerimamu datang ke sini dengan ramah, karena kaisar sendiri menganggapmu tinggi. Tapi jika kau datang untuk mencari masalah, aku tidak segan-segan mengusirmu pergi”
“Aku datang tidak ingin mencari masalah. Hanya ingin bertemu dengan Khu-siocia dan berbicara barang sebentar” ujar Cio San.
“Apa yang ingin kau katakan kepada calon adik iparku, bisa kau katakan kepadaku” kata Liong Kim Sa.
Cio San tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Memaksa bertempur pun bukan jalan terbaik. Ia datang dengan baik-baik. Bukan untuk mencari masalah.
Tapi herannya masalah selalu datang kepadanya.
“Bisakah aku bertemu dengan adik anda? Calon suami nona Khu….”
“Tidak” jawaban pendek itu kembali muncul.
“Tuan, aku menempuh perjalan berbulan-bulan untuk sampai ke tempat ini, mohon beri sedikit kelonggaran” kata Cio San.
“Itu bukan masalahku” jawab Liong Kim Sa.
“Aku dulu adalah calon suami nona Khu juga, setidaknya tuan bisa mengerti” kata Cio San.
“Aku tidak mengerti” jawab Liong Kim Sa ketus.
“Baiklah. Jika begitu, mohon maaf jika aku memaksa” kata Cio San.
“Silahkan”
Liong Kim Sa lalu memasang kuda-kuda.
Cio San tidak memasang kuda-kuda. Ia tidak perlu kuda-kuda.
Begitu ia bergerak, terdengar seruan seseorang, “Tahan!”
Ia melihat seorang laki-laki tampan bertubuh tegap sedang dipapah seseorang.
“Seseorang” itu tentu saja sosok yang dicari-carinya selama ini.
Ia begitu indah, begitu bercahaya.
Hati Cio San mencelos.
Akhirnya.
“Ling-mey” bisiknya.
“Aku Liong Tay Ping, calon suami nona Khu” kata pria yang dipapah itu.
“Salam. Cayhe she (marga) Cio bernama San” kata Cio San sambil menjura.
“Ah, Cio-Hongswe (Jenderal Phoenix Cio) memang segagah berita yang cayhe dengar” kata Liong Tay Ping.
“Tidak berani…tidak berani. Liong-enghiong (ksatria Liong) apakah menderita sakit?”
Liong Tay Ping hanya tersenyum.
“Bolehkah cayhe memeriksa Liong-enghiong? Cayhe memiliki sedikit pengetahuan tentang pengobatan” kata Cio San.
Liong Tay Ping hanya tertawa dan berkata,
“Siapa yang tidak pernah mendengar tentang ilmu pengobatan Cio-Hongswe. Tapi, cayhe sungguh tidak enak hati jika merepotkan……”
Cio San sudah maju, lalu ia memegang urat nadi Liong-tayhiap. Terbayang sedikit kekagetan.
“Nadi enghiong sungguh kacau. Menurut pandangan cayhe, anda kehilangan banyak sekali tenaga dalam. Urat jantung juga sangat kacau.”
Cio San seperti hendak menyalurkan tenaga dalam, tetapi Liong Tay Ping mencegahnya, “Tidak perlu, Hongswe. Cio-hongswe pasti tahu bahwa nadi dan urat jantung cayhe walaupun sangat kacau, kini sudah membaik dan mulai wajar kembali, bukan?”
“Iya benar. Beberapa bulan yang lalu pasti enghiong sangat menderita sekali dan bahkan hampir mengalami kematian. Untunglah kesehatan enghiong berangsur-angsur pulih. Bolehkah cayhe tahu enghiong beradu tenaga dengan siapa hingga menderita seperti ini?” tanya Cio San.
Liong Tay Ping terlihat canggung. Ia berkata,
“Masalah ini, sebaiknya kita bicarakan berdua saja. Mari”
Dengan tertatih ia mengajak Cio San pergi dari situ. Khu Ling Ling yang selama ini diam saja pun tak berkata apa-apa ketika Liong Tay Ping melepas pegangannya dan berjalan tertatih-tatih.
Ingin rasanya Cio San memegang tangan Liong Tay Ping dan membantunya berjalan, tapi ia segera sadar bahwa perbuatan itu malah akan merendahkan Liong Tay Ping.
Ingin juga ia menyapa Khu Ling Ling, menggenggam tangannya, atau bahkan memeluknya. Tapi gadis cantik itu bahkan menoleh pun tidak. Ia membuang muka dan hanya menatap punggung kekasihnya, Liong Tay Ping.
Cio San tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia akhirnya berbalik badan dan mengikuti langkah Liong Tay Ping.
Dengan pelan mereka berdua berjalan memasuki sebuah daerah yang sangat indah. Cahaya lampu yang ditata sedemikian rupa di dalam tempat itu membuat suasana dan pemandangan bagaikan bermandikan cahaya berwarna-warni.
Jika tidak sedang dalam masalah, Cio San tentu akan sangat menikmati keberadaannya di situ.
“Mari silahkan duduk, Hongswe” kata Liong Tay Ping mempersilahkan.
Cio San mengangguk dan membiarkan Liong Tay Peng duduk lebih dahulu.
Setelah duduk, pendekar berwajah tampan itu lalu berkata,
“Kita berdua sama-sama laki-laki, dan laki-laki seharusnya tidak banyak berbasa-basi” katanya pelan.
Cio San hanya mengangguk dan tersenyum.
Liong Tay Ping berkata, “Hongswe pasti tahu bahwa sebelum menjalin hubungan dengan hongswe, Khu Ling Ling pernah menjalin hubungan dengan cayhe”
Cio San menggeleng,
“Nona Khu tidak pernah bercerita”
“Aaaah” Liong Tay Ping mengangguk perlahan.
Jika wanita tidak pernah menceritakan tentang kekasihnya yang lama, itu bisa berarti ia sudah benar-benar melupakannya. Namun bisa juga berarti bahwa ia benar-benar masih mengenangnya.
“Walaupun belum resmi bertunangan, kami memang pernah menjadi sepasang kekasih” jelas Liong Tay Ping.
Ia melanjutkan, “Saat itu, dikarenakan usia kami yang masih muda dan terlalu terbawa emosi, hubungan kami berakhir. Beberapa bulan kemudian cayhe mendengar bahwa Khu-siocia (nona Khu) telah menjalin hubungan dengan Hongswe”
Cio San menyimak dengan seksama.
Lanjut Liong Tay Ping,
“Setelah mendengar kabar itu, cayhe baru sadar bahwa cayhe masih, dan sangat mencintainya. Tak berapa lama kemudian cayhe jatuh sakit. Sakit yang cukup aneh karena tak ada satu pun tabib yang sanggung mengobatinya”
Ia melanjutkan,
“Berbagai macam tabib sudah pernah dipanggil kesini. Bahkan sampai mendatangkan seorang tabib sakti dari kuil Buddha di Tibet”
“Apakah tabib itu bernama Su Hai-lama yang berjulukan tabib dewa bermuka muram?” tanya Cio San.
“Benar sekali, pengetahuan Hongswe sungguh luas”
“Aih, jika tabib dewa itu sudah turun tangan, tentu saja kesehatan enghiong segera membaik” kata Cio San.
“Sayangnya tidak. Justru tabib dewa itu hanya menggelang-gelengkan kepala dengan sedih dan berkata bahwa penyakit cayhe sudah sangat parah, beliau sendiri tak mampu menyembuhkan”
Cio San kaget juga. Jika tabib dewa bermuka muram saja sudah angkat tangan, orang di seluruh dunia ini pun pasti akan angkat tangan pula.
“Lalu bagaimana keadaan enghiong bisa membaik?” tanya Cio San.
“Beliau berkata penyebab penyakit hamba cuma satu, dan obat penyembuhnya juga cuma satu. Bahkan penyebab dan penyembuhnya pun merupakan hal yang sama”
Cio San sudah tahu jawabannya.
Tentu saja “Cinta”
Di dunia ini, jika ada hal yang begitu indah namun pada saat yang bersamaan terasa menakutkan itu hanyalah cinta. Hanya cinta yang mampu melukai dengan sangat dalam, namun cinta jualah yang mampu menyembuhkan dengan sangat cepat.
Hanya cinta yang membuat orang waras menjadi gila, dan orang gila menjadi waras. Membuat perempuan baik-baik berubah menjadi nakal, dan permpuan nakal menjadi wanita baik-baik.
Hanya cinta yang mampu membuat laki-laki gagah menjadi lunglai, lesu, dan kehilangan semangat. Hanya cinta pulalah yang membuat lelaki pemalas dan awut-awutan berubah menjadi rajin, tampan, dan begitu mempesona.
Hanya cinta.
Hanya cinta yang punya kekuatan begitu besar yang mampu menghancurkan manusia terkuat yang paling berkuasa sekalipun. Hanya cinta pulalah yang mampu mengangkat seorang manusia biasa saja menjadi manusia yang paling dikenang.
“Cinta” kata Liong Tay Ping.
Karena cinta pula maka seorang pria yang sakit sekarat hampir mati menjadi tersembuhkan dan kembali menjalani hidup.
Apakah karena ‘cinta’ pula sehingga Khu Ling Ling meninggalkan kekasih yang baru dan pulang kepada kekasih yang lama?
Cinta bisa membuat seseorang berbuat apa saja.
Cinta bisa mendatangkan yang baru, atau mengembalikan yang dulu hilang.
Cio San mengerti.
Khu Ling Ling mungkin masih mencintai lelaki di hadapannya ini. Begitu mendengar lelaki ini sakit parah dan sekarat, segera Khu Ling Ling datang menemuinya. Hadir di sampingnya, merawatnya hingga sembuh.
Kekuatan seorang wanita itu begitu dahsyat. Biasanya seorang laki-laki baru akan mengerti kekuatannya saat wanita itu sudah begitu jauh menghilang.
Wanita memang selalu seperti itu. Mereka selalu pergi menghilang.
Tetapi jika mereka kembali, yang mereka bawa adalah harapan yang cerah.
Cio San dan Liong Tay Ping hanya duduk saling berhadapan dalam diam. Dua orang laki-laki yang begitu berseberangan tetapi saling mengerti.
Begitu lama mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian Cio San mengangguk sambil tersenyum,
“Baiklah. Cayhe (saya) dapat menerima keadaan ini. Cayhe berharap enghiong segera sembuh dan segera dapat menikahi nona Khu” katanya tulus.
Ia bangkit dari duduknya lalu menjura, “Cayhe (saya) mohon diri untuk pulang”
Liong Tay Ping pun bangkit dari duduknya dan menjura,
“Atas pengertian Hongswe ini, cayhe sungguh berterima kasih. Jika ada hal yang sanggup cayhe lakukan…..” segera ia menghentikan ucapannya.
Ia sadar, tak ada hal yang sanggup ia lakukan untuk Cio San.
Tak ada hal yang dapat dilakukan seorang laki-laki kepada lelaki lain yang telah direbut kekasihnya.
Kecuali meminta maaf.
Dan itulah yang dilakukannya,
“Cayhe sungguh meminta maaf atas kejadian ini” katanya sambil menjura.
Cio San dengan mata bersinar-sinar dan senyum yang pahit, berkata
“Tidak ada yang salah dalam cinta, enghiong. Karena cinta tak pernah salah”
Mereka berdua hanya mengangguk lalu kemudian beranjak dari situ.
Sambil berjalan, Liong Tay Ping bertanya,
“Apakah Cio-hongswe ingin berbicara dengan Khu-siocia (nona Khu)?”
Cio San mengangguk.
Walaupun perpisahan ini menyedihkan, ia harus tetap menghadapinya. Ia harus mampu mengucapkan selamat tinggal. Ia harus mampu mengerti jalan yang diambil nona itu.
Liong Tay Ping dan Cio San telah sampai di tempat mereka bertemu pertama kali. Khu Ling Ling masih di sana.
Sendirian.
Liong Tay Ping pun memilih melanjutkan berjalan masuk ke sebuah ruangan. Meninggalkan Cio San dan Khu Ling Ling di sana.
“Ling-mey (adik Ling), aku pulang”
Khu Ling Ling hanya mengangguk.
Wajahnya begitu kosong.
Tapi begitu cantik.
Cio San mencoba meraih tangannya. Ia ingin menyentuhnya sekali saja.
Sekali saja.
Untuk kemudian tak akan lagi menyentuhnya selama-lamanya.
Tapi gadis itu menarik tangannya.
Perempuan.
Jika ia sudah tidak cinta, bahkan untuk menyentuh tangannya saja terasa mustahil.
Cio San mengangguk mengerti.
“Pergilah” kata Khu Ling Ling. Kata-kata ini lembut. Bahkan ada senyuman lembut dan indah di bibirnya.
Seperti kata-kata seorang istri yang melepas suaminya berangkat kerja.
Matanya masih seperti yang dulu.
Berbinar-binar seolah-olah cahaya seluruh bintang di langit telah dikumpulkan di matanya.
Perempuan.
Jika mereka sudah tidak cinta, mengapa masih bisa tersenyum dengan begitu indah?
Cio San berbalik punggung.
“Selamat tinggal” katanya
“Selamat jalan” jawab gadis cantik itu.
Cio San berjalan terus tanpa menoleh. Jika ia menoleh, bisa saja ia akan berlari memeluk gadis itu. Memeluknya erat-erat dan membawanya pergi dari sana.
Khu Ling Ling pun berjalan pergi.
Laki-laki dan perempuan yang pernah saling mencinta, kini berjalan pergi berlawanan arah.
Mendengarkan cerita seperti ini saja sudah membangkitkan perasaan yang menyakitkan.
Cio San terus berjalan, ia kembali bertemu anak kecil itu lagi.
“Bisakah aku pulang melewati jalan yang lain?” tanyanya.
“Tayhiap tidak ingin bertemu teman-teman tayhiap di depan sana?”
Cio San menggeleng. Untuk kali ini, dalam sepanjang hidupnya ia tidak menunaikan janjinya terhadap sahabat-sahabatnya.
Ia tidak sanggup menemui mereka.
“Baiklah” jawab anak kecil itu.
Mereka pun beranjak dari situ.
Suma Sun dan Cukat Tong masih menanti di depan dengan sabar. Mereka percaya penuh terhadap Cio San. Jika Cio San bilang akan kembali, ia akan kembali tepat sesuai janjinya. Apapun yang terjadi di dalam sana, mereka yakin Cio San akan kembali.
Alangkah kagetnya mereka ketika ternyata yang muncul adalah anak kecil itu lagi!
“Cio-hongswe sudah pulang” katanya “Harap tuan-tuan sekalian juga segera meninggalkan tempat ini” kata-katanya sungguh tidak sopan, namun diucapkan dengan riang gembira khas anak-anak.
“Eh, kau mengusir?” tanya Cukat Tong.
“Tentu saja. Ini rumahku, aku berhak mengusir tuan sekalian. Hihihi.” katanya sambil tertawa, ia lalu maju ke depan sambil menyerahkan sebuah surat.
“Ini surat dari Cio-Hongswe kepada tuan”
Cukat Tong membukanya dan membaca.
“Aku pergi. Aku perlu menenangkan pikiran dan melupakan segala yang terjadi. Kalian tidak usah mencariku, aku akan datang membawa ratusan guci arak saat aku kembali. Sampaikan salamku kepada Bwee-cici dan Lin Hua.”
Terdapat stempel bergambar burung Hong (Phoenix) di bagian bawah surat itu.
Stempel itu langsung diberikan oleh kaisar kepada Cio San, sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasa-jasa Cio San.
“Nampaknya ia memang tak ingin bertemu dengan kita” kata Cukat Tong kepada Suma Sun yang disambut dengan anggukan kepala oleh Suma Sun.
“Eh adik yang baik” kata Cukat Tong kepada anak kecil itu “Bolehkah kami pulang dengan melalui jalan yang sama dengan jalan yang dilalui Cio-hongswe?”
“Tentu saja. Memangnya tuan-tuan ini ingin memanjat ke atas?”
Kedua orang ini tersenyum melihat tingkah anak kecil ini. Walaupun kata-katanya tak tahu aturan, tapi diucapkan dengan wajar dan menyenangkan. Mau tak mau Cukat Tong dan Suma Sun tersenyum saja menyaksikan tingkah polah anak ini.
Mereka berjalan melewati berbagai daerah lembah es itu. Pemandangan yang menakjubkan membuat Cukat Tong acap kali berdecak kagum.
“Kau dari tadi berdecak terus. Jangan-jangan sudah banyak barang yang masuk ke dalam saku bajumu?” canda Suma Sun.
“Haha, walaupun aku dijuluki raja maling, untuk mengambil barang dari sini, setidaknya aku harus berpikir seribu kali” tukasnya
“Memangnya kenapa?” tanya Suma Sun.
“Ada nona cilik galak yang siap menerkam” sindiran ini tentu saja dipahami oleh anak kecil yang berada di depan.
“Eh, tuan raja maling ini masih sakit hati gara-gara ku usir pergi ya?” tawanya.
Suma Sun tertawa ewa.
Cukat Tong tertawa pula, katanya “Jadi anak gadis jangan galak-galak, jika kau seperti ini terus anak laki-laki tak akan mau mendekatimu”
“Eh jangan salah, justru anak gadis bawel seperti aku, selalu menarik di hadapan anak lelaki” jawab si gadis kecil sambil tertawa.
“Untuk ukuran anak seusiamu, kau rupanya punya banyak pengalaman juga” sahut Cukat Tong sebal. Sejak tadi ia kalah bicara terus dengan anak kecil itu.
“Memangnya tuan pikir berapa usiaku?”
“Paling tak lebih dari 12 atau 13 tahun”
“Haha. Usiaku 40 tahun” jawab anak itu.
“Empat puluh?! Selain suka bergurau kau juga punya bakat tukang bohong” kata Cukat Tong tertawa.
“Memangnya apa gunanya aku bohong? Kau toh tak memberiku uang jika berhasil ku bohongi. Memangnya kau tak pernah dengar ada manusia-manusia dengan keadaan tubuh seperti aku? Di dunia ini kan banyak pula perempuan-perempuan tua tapi kecantikannya masih seperti nona-nona remaja. Heran, bagaimana mungkin orang yang dijuluki raja maling bisa punya pandangan dan pengetahuan yang sedemikian sempit” cerocos anak itu panjang lebar.
Merasa kalah bicara, Cukat Tong hanya bisa mengangguk-angguk membenarkan.
“Wah, kalau begitu engkau harus kupanggil apa?” tanya Cukat Tong.
“Panggil aku cici (kakak perempuan)” jawab si gadis kecil.
Tapi Suma Sun segera memotong, “Jika kau berumur 40 tahun, bagaimana mungkin kau memanggil Khu-siocia sebagai kakak ipar?”
“Ah, kau masih ingat saja perkataanku tadi. Dia kan jelas-jelas calon istri kakak ku, tentu saja ku panggil sebagai kakak ipar”
“Memangnya kakakmu umur berapa tahun?” tanya Suma Sun.
“Tahun ini genap 58”
“Heh? Mengapa ia memilih jodoh setua itu?” tukas Cukat Tong.
“Hey, terserah nona Khu lah! Mau tua kek, mau remaja kek, memangnya apa urusanmu?” tukas gadis kecil itu sengit.
Suma Sun hanya tertawa.
Si gadis melanjutkan, “Tempat tinggal kami ‘Lembah Naga Es’ memiliki cuaca yang berbeda dengan dunia luar, memiliki tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan dunia luar. Cara hidup kami pun berbeda dengan dunia luar. Itulah sebabnya tubuh kami pun berbeda dengan dunia luar. Kalian mengerti tidak?”
Bagai kerbau yang dicocok hidung, kedua pendekar besar itu hanya mengangguk-anggukan kepala dituturi oleh seorang gadis kecil.
“Nah!”
Katanya sambil melipat tangan di dada dan menunjukkan wajah angkuh.
Tak lama kemudian mereka sampai di mulut goa. Cahaya dunia luar telah menembus masuk. Lembah itu ternyata memang tertutupi berbagai jalan rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni lembah itu.
“Aku hanya bisa mengantar kalian sampai di sini” kata si gadis kecil.
“Baiklah. Terima kasih, cici (kakak perempuan)” tukas Cukat Tong.
“Hati-hati di jalan ya!” katanya sambil berbalik badan dan tersenyum riang. Ia lalu pergi dengan ringan.
Suma Sun dan Cukat Tong tersenyum.
Mereka berjalan dan keluar dari goa.
Dunia luar yang menantang!
Hembusan angin dingin, rengkuhan salju, dan alam yang ganas. Serasa mereka berpindah dunia dalam sekejap.
“Bau Cio San terhenti sampai di sini” kata Suma Sun.
“Kau tidak bisa mengendusnya lagi? Masa ia hilang begitu saja di telan bumi?” tanya Cukat Tong.
“Ia memang hilang. Tapi bukan di telan bumi, melainkan di telan sungai yang membeku itu” kata Sum Sun sambil menunjuk sebuah sungai yang membeku.
“Maksudmu, Cio San tenggelam?”
“Tidak. Ia memang sengaja masuk ke sungai beku itu. Sungai ini hanya bagian atasnya saja yang beku, bagian bawahnya masih mengalir”
“Memangnya untuk apa dia sengaja mengambil resiko ini?”
“Ia tidak ingin ditemukan” jawab Suma Sun.
“Tapi seorang Suma Sun kan masih tetap dapat menemukannya” ujar Cukat Tong.
“Jika ia tak ingin ditemukan, bahkan apabila seluruh manusia ini berubah menjadi Suma Sun pun, tentu saja tak akan dapat menemukannya”
Cukat Tong menggeleng-gelengkan kepala,
“Cinta”
Hanya itulah yang terucap dari bibirnya.
Tapi maknanya begitu mendalam.
Ada saat di mana ketika seorang lelaki harus menjalani hal dalam hidupnya sendirian. Tak seorang pun sahabat yang mampu menemaninya, dan mampu meringankan penderitaan hatinya.
Cio San benar-benar harus sendirian.
Ia butuh sendirian.
Manusia butuh waktu untuk melupakan dan menyembuhkan kesedihan.
Sebenarnya keberadaan sahabat-sahabat akan jauh lebih menenangkan, tapi tetap saja, manusia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.
Dan Cio San adalah manusia.
Manusia biasa.
Yang memiliki hati dan perasaan.
Sehebat apapun seorang pendekar dalam ilmu silatnya, tetap saja ia tak akan sanggup melindungi hatinya. Karena tak ada satu pun ilmu di dunia ini yang mengajarkan cara untuk melindungi dan membentengi hati dari luka kesedihan.
Cukat Tong sangat mengerti hal ini. Karena ia sendiri telah mengalaminya.
“Biarkan ia sendiri. Hanya dirinya sendirilah yang bisa mengobati luka-lukanya”
Jika orang-orang berkata bahwa hanya cinta baru yang mampu menyembuhkan luka atas cinta lama, mereka salah.
Yang mampu menyembuhkan itu hanyalah diri sendiri. Bukan orang lain. Hanya mereka yang mau berdiri kembali yang sanggup berdiri. Jika ia tidak memiliki tekad untuk berdiri, jangan harap akan bisa berdiri walaupun ada ratusan orang yang membantunya berdiri.
“Bagaimana hasil penyeledikanmu tadi terhadap tempat itu?” tanya Suma Sun.
“Dari mana kau tahu aku tadi menyelidiki tempat itu?” Cukat Tong balik bertanya.
“Kau sengaja bercanda dengan anak kecil itu adalah sengaja untuk mengalihkan perhatian, kan?” ujar Suma Sun.
“Tampaknya cara berpikirmu sudah ketularan Cio San” tawa Cukat Tong. Sambungnya, “dari hasil pengamatanku, penghuni lembah itu totalnya tak lebih dari 20 orang. Sebagian menempati pos masing-masing. Cio San memang sudah tidak berada di tempat itu. Khu Ling Ling memang di sana. Dan tempat itu menyimpan banyak tempat pusaka”
“Ada pedang yang bagus di sana?”
“Ada” tukas Cukat Tong
“Berarti setidaknya ada seorang pendekar pedang di sana”
“Kau tidak tertarik menantangnya?”
“Ia masih belum pantas menantangku” jawab Suma Sun.
“Mengapa demikian?”
“Jika pantas, sudah sejak tadi ia muncul”
“Bisa saja tempat itu menyimpan ‘Harimau mendekam, Naga sembunyi’ (tempat tenang yang menyembunyikan bahaya besar)
“Kau tidak mengerti isi hati para pendekar pedang. Mereka berbeda dengan pendekar umumnya. Sifat selalu ingin menjadi nomer satulah yang membuat mereka menjadi seperti itu”
Cukat Tong mengangguk-angguk. Katanya,
“Mari kita pulang. Tidak ada yang dapat kita perbuat di sini”
Suma Sun pun mengangguk pula. “Sebelum pergi, bisakah kau menjelaskan apa yang sebetulnya tengah terjadi dengan Cio San?”
“Aih, pendekar pedang seperti kau tak akan mengerti” rupanya ia ingin membalas perkataan Suma Sun tadi.
Suma Sun pun hanya tersenyum saja.
Urusan perasaan manusia memang tidak mudah ia pahami.
Kedua pendekar sakti itu berjalan jauh dan menghilang di tengah derasnya salju.
Khu Ling Ling memandang mereka dari kejauhan. Hatinya seperti melayang entah kemana. Liong Tay Ping datang dan menyentuh pundaknya dengan halus,
“Apa yang sedang kau pikirkan memey (adik)?”
Khu Ling Ling hanya menggeleng. Air mata menggenang di sudut pipinya.
“Ini adalah jalan yang harus kau ambil, demi kebaikan bersama. Demi kebaikan semua orang. Umat manusia akan mengenang pengorbananmu” kata Liong Tay Ping menenangkan.
“Sungguh malang nasibnya” kata Khu Ling Ling.
Liong Tay Ping hanya bisa menggeleng-geleng.
“Tidak adikku sayang, justru nasibmu yang sungguh malang”
Khu Ling Ling hanya bisa diam, lalu ia memeluk Liong Tay Ping.
“Terima kasih atas apa yang sudah engkau lakukan untukku” katanya nona cantik itu.
Air matanya tak berhenti mengalir dengan derasnya.
=====
Salju menutupi seluruh permukaan bumi. Sejauh mata memandang, hanya hamparan putih bersih yang terlihat. Angin dingin bertiup menembus sampai ke dalam tulang. Manusia manapun yang sanggup bertahan di dalam cuaca seperti ini, bisa dibilang bukan manusia biasa.
Suara angin menggelegar menghempas telinga, namun suasana di atas gunung ini terasa sangat sunyi. Kesunyian itu memang sesuatu yang aneh, ia bisa datang di tempat yang paling ramai sekalipun.
Di tengah kesunyian itu, 3 manusia melangkah. Seolah-olah hawa dingin itu tidak mampu membekukan tulang dan darah mereka. Seolah olah jika mereka berhenti berjalan, mereka berhenti hidup. Yang mengherankan lagi, salah satu dari ketiga manusia ini adalah seorang anak-anak.
Jika ditilik lebih jauh, usianya mungkin baru 9 atau 10 tahun. Rambutnya yang kemerah-merahan dikuncir dengan rapih. Sinar matanya mencorong namun memancarkan cahaya yang aneh. Mata itu sendiri malah berwarna kebiru-biruan.
Kedua orang lainnya, adalah laki-laki dan perempuan. Tentu saja mereka adalah orang tua anak laki-laki yang aneh tadi. Yang laki-laki tinggi dan gagah. Wajahnya tampan. Ada beberapa bekas goresan luka di wajahnya. Herannya luka itu malah semakin membuat wajahnya terlihat tampan dan mengagumkan.
Yang perempuan, sangat cantik. Rambutnya berwarna kemerah-merahan pula. Salju putih yang menyelimuti rambutnya, tidak bisa menutupi keindahan rambut itu. Rambut panjang yang memancarkan keindahan cahaya mentari. Bahkan salju pun tak dapat menyembunyikannya. Kulit perempuan ini sedikit berbeda dari kulit orang Han (Tionghoa) asli. Warnanya kemerahan bercampur kecoklatan. Wajahnya pun bukan seperti wajah orang Han pada umumnya. Matanya lebar. Tulang pipinya tinggi. Bibirnya tipis dan merona merekah. Matanya sama birunya dengan mata anaknya.
Siapa pun yang dipandang oleh mata perempuan itu tentu akan merasa beruntung telah dipandang olehnya. Pula, siapapun yang memandang mata perempuan itu tentu akan merasa beruntung telah diberi kesempatan untuk menikmati salah satu keindahan terindah di muka bumi.
Mereka berdua menenteng pedang. Yang laki-laki membawa buntalan besar di bahunya. Yang perempuan membawa buntalan yang sedikit lebih kecil. Si anak lelaki juga membawa buntalan.
“Sun-ji (anak Sun) di sini tempat kita berpisah, ayah dan ibu akan menjemputmu di tempat ini 3 tahun lagi. Kau siap kah?”
“Siap ayah” jawab anak kecil itu.
“Walaupun ayah dan ibumu khawatir, tapi kami yakin kau akan sanggup menjalaninya. Seluruh anak keluarga Suma harus menjalaninya”
“Tentu saja anak mengerti, ibu” kata anak kecil itu sambil tersenyum.
Sejak kecil, bahkan sejak lahir, ia telah dipersiapkan untuk ini. Sudah tentu ia telah siap lahir bathin. Semua anak keluarga Suma harus menjalani hal ini. Hidup sendirian di atas gunung bersalju hanya berteman pedang selama tiga tahun.
Kenapa?
Karena mereka putra keluarga Suma.
Jawaban ini saja rasanya cukup untuk menjawab segala pertanyaan.
Ketiga orang itu berpelukan dengan mesra, lalu saling mengucapkan “Sampai jumpa!”.
“Ayah dan ibu akan menantikanmu di sini 3tahun lagi. Kau berangkatlah” kata sang ibu sambil tersenyum. Anak kecil itu pun mengangguk dan tersenyum. Segera ia membalikkan badan dan berjalan dengan gagah menembus salju yang pekat.
Tak ada air mata yang menetes di pipi kedua orang suami istri itu saat melihat putranya menerjang bahaya sendirian. Apakah karena air mata itu telah membeku terhantam dinginnya udara?
Ataukah karena air mata itu sudah membeku di dalam hati mereka?
Orang tua siapa yang tega melihat anak satu-satunya, yang belum genap 10 tahun pergi menyongsong bahaya seperti ini?
Ia hanya bisa mengeraskan hatinya, menguatkan perasaannya. Tak terasa suaminya telah menggenggam tangannya dengan erat.
Ia akan kuat.
Putranya adalah putra keluarga Suma.
Tentu saja ia akan kuat
Satu tahun tlah berlalu.
Suma Sun walaupun hanya bertambah tua setahun, telah memperlihatkan perubahan yang besar. Tubuhnya telah menjadi tegap. Wajahnya biarpun masih nampak kanak-kanak, telah menggariskan kedewasaan yang membayang di dalam rautnya.
Tatapan mata itu.
Tatapan itu masih tetap saja kosong. Tapi sinar cahayanya memperlihatkan api yang sangat membara. Ia memang hanya bisa menatap kosong. Ia telah buta sejak lahir. Ayah ibunya menggembleng dia dengan sangat keras. Mengajarkannya berbagai hal agar ia tidak menyerah kepada takdir dan keadaan.
Dalam budaya keluarga Suma, seorang anak laki-laki harus menjalani ‘upacara’ hidup di atas gunung sendirian selama satu tahun. Tapi ayahnya mewajibkan 3 tahun kepadanya. Semuanya untuk melatih jiwa dan raganya agar tangguh menghadapi kehidupan.
Awal-awal kehidupannya di puncak gunung ini memang terasa berat. Yang membuat berat dalah rasa sepi dan sunyi. Sejak kecil ia telah terbiasa berburu, memasak, dan mengerjakan keperluannya tanpa meminta bantuan orang lain. Kedua orang tuanya telah melatihnya sejak dahulu.
Tapi ia belum pernah merasakan sunyi. Selama ini kedua orang tuanya selalu ada bersamanya. Selalu ada kehangatan di dalam keluarga kecil ini.
Baru kali ini ia mengalami betapa menyeramkannya kesunyian itu.
Tapi syukurlah Suma Sun bukan seorang anak manja putra pembesar atau saudagar ibu kota. Ia adalah putra keluarga pendekar. Nama keluarga Suma Sun telah turun temurun menghasilkan pendekar-pendekar gagah yang menggetarkan dunia. Menjadi pendekar bukan hal mudah, menggetarkan dunia lebih tidak mudah lagi.
Setiap putra keluarga Suma dididik dengan keras dan ditempa dengan sangat kuat. Apalagi kenyataan bahwa Suma Sun terlahir buta, ayah ibunya menempanya tiga kali lebih keras dari tradisi keluarga yang seharusnya.
Inilah dia, putra keluarga Suma.
Tubuhnya berlompatan dengan ringan. Ia menggerakan pedangnya dengan sangat lincah. Jurus-jurus ini bahkan mungkin sudah dikenalnya sejak ia dilahirkan.
Gerakan ilmu pedang keluarga Suma sangat khas dan unik. Jurus-jurus mereka menggunakan tangan kiri. Ini mungkin juga tidak terlepas dari keunikan keluarga itu sendiri. Sejak dahulu sampai sekarang, setiap lelaki keluarga Suma, hanya akan memiliki satu anak lelaki tunggal. Tidak ada perempuan dalam keluarga Suma, tidak ada pula kakak atau adik, tidak ada pula paman dan bibi.
Dan yang lebih aneh lagi, semuanya kidal.
Keunikan keluarga ini semakin menambah daya pengaruhnya yang menggetarkan. Orang mana pun di kolong langit ini, jika mendengarkan nama Suma, pasti akan berdebar-debar jantungnya.
Pedang di tangan Suma Sun bergerak bagaikan keadaan udara di gunung itu. Dingin, menusuk, dan menderu-deru. Setiap gerakannya tak ada yang percuma. Dilakukan dengan ketepatan, kecepatan, dan kekuatan terbaik.
Tak ada satu orang pun yang percaya gerakan seperti itu mampu dilakukan oleh seorang anak belasan tahun.
Tentu saja.
Walaupun kau seorang anak kecil, jika nama keluargamu adalah Suma, ilmu pedangmu tentu saja bukan sekedar kemampuan memotong sayur di dapur.
Salju mencair di ujung pedang.
Kecepatan gerakannya membuat pedang itu terasa panas membara.
Suma Sun tersenyum. Ia merasakan kehadiran sesuatu.
Ada 5 serigala yang sedang mengintainya.
Serigala-serigala itu diam dan bergerak perlahan. Suma Sun sendiri suka serigala. Ia mengagumi dan menghormati mereka.
Tak berapa lama serigala-serigala itu telah mengurung dirinya. Langkah mereka perlahan namun pasti. Hampir tak ada suara. Tapi tidak bagi telinga Suma Sun. Telinga itu telah menjadi ‘mata’ baginya sejak ia lahir. Tentu saja ia percaya kepada telinganya.
Begitu serigala-serigala untuk berhasil mengurung Suma Sun, mereka baru bergerak dengan liar dan ganas. Suara gonggongan dan raungan kelima serigala itu akan menggetarkan hati siapa saja.
Suma Sun meletakkan pedangnya dan menyongsong serigala-serigala itu dengan tangan kosong.
Gerakan tangannya seperti membentuk jurus-jurus pedang. Anak ini rupanya ingin menaklukkan serigala-serigala buas ini tanpa membunuh mereka.
Anak kecil dan lima ekor serigala menari di tengah rintikan salju putih yang bercahaya.
Pemandangan yang indah namun menakutkan.
Ia bergerak sambil tertawa-tawa. Menyongsong gigitan-gigitan yang berbahaya dari moncong 5 makhluk buas yang kelaparan. Mereka menyerang seperti berirama. Seperti ada pola serangan. Yang satu mengejar kaki, yang satu mengejar tangan, yang satu mengejar urat leher, yang satu mengincar perut dan yang satu lagi menyerang dengan bebas.
“Ah, kalian sudah semakin pintar” ujarnya sambil tersenyum. Gerakannya pun semakin cepat. Tidak ada satupun serangan moncong itu yang mampu menyentuhnya.
Ia seperti menikmati hal ini. Lama mereka ‘menari’ hingga terdengar suitan keras Suma Sun. Serta merta kelima serigala itu menghentikan serangan.
“Kurasa sudah cukup kakak-kakak sekalian. Hari sudah sore, mari kita berburu”
Rupanya kelima serigala itu adalah sahabatnya.
Seorang anak kecil buta, berteman dengan lima ekor serigala. Ini bukanlah hal yang tidak masuk akal. Bahkan hal yang tidak masuk akal pun sering terjadi di dunia ini.
Mereka lalu pergi. Tak berapa lama, mereka telah kembali dengan membawa seekor kijang yang amat besar.
Suma Sun memotong-motong tubuh kijang itu sementara kelima kijang itu menunggu dengan sabar. Ia lalu membagikannya sama rata kepada kelima serigala itu, baru menyisakan sepotong kecil untuk dirinya.
Ia lalu memakannya mentah-mentah.
“Hari telah gelap, kalian pulanglah” kata Suma Sun begitu ia selesai memakan daging mentah itu. Para serigala itu seperti mendengar perintahnya, lalu bangun dan beranjak pergi dari sana.
Ia sendiri lalu beranjak dari situ menuju sebuah gubuk kecil yang tak jauh dari situ. Gubuk turun temurun milik keluarga Suma. Di situlah ia hidup selama satu tahun ini. Mengembangkan ilmu silatnya, mengasah inderanya, melatih tubuh dan jiwanya.
Manusia yang sanggup hidup dalam keadaan seperti ini selama setahun, bolehlah mendapatkan rasa hormat dari manusia-manusia yang lain. Apalagi anak sekecil ini.
Pertama kali tinggal di sana, ia telah dikeroyok serigala. Awalnya Suma Sun terpaksa membunuh mereka. Tapi gerombolan serigala ini seperti tak pernah habis. Hari ini mati satu, besok bertambah dua. Hari ini mati dua, besok bertambah tiga. Rupanya sosok manusia ini menjadi musuh tersendiri yang harus dimusnahkan kawanan serigala ini.
Hingga suatu saat Suma Sun memutuskan untuk tidak membunuh mereka. Pilihan ini ternyata benar, setelah berbulan-bulan melawan dan menaklukkan mereka, Suma Sun akhirnya berhasil mengikat tali persahabatan yang aneh.
Dari kawanan serigala itu ia belajar banyak hal. Cara berburu, cara mengintai mangsa. Serigala adalah makhluk yang pintar. Mereka pandai mengintai dan mengincar mangsa. Bagaimana mereka menyimpan tenaga dan menggunakannya di saat yang dibutuhkan. Semua dipelajari Suma Sun dengan sangat baik. Dalam hitungan bulan saja, ia sudah sangat mahir.
Telinganya, hidungnya, indera perasanya semua semakin meningkat sejak ia mempelajari tindak tanduk kawanan serigala ini.
Suma Sun memperlihatkan rasa hormatnya yang mendalam terhadap kawanan serigala itu. Sebisa mungkin ia tidak melanggar wilayah kedaulatan mereka. Jika datang pun, ia membawa makanan bagi mereka.
Rasa saling menghormat ini menimbulkan persahabatan yang mendalam di antara mereka.
Hari demi hari, ilmu pedangnya meningkat. Di atas gunung itu ia tidak saja ‘bertempur’ melawan cuaca yang ganas. Ia juga bertempur melawan makhluk-makhluk gunung lain seperti beruang es, dan lain-lain. Semuanya mampu ia taklukkan. Namun musuh terbesar seseorang saat di alam terbuka bukanlah keganasan alam tersebut, melainkan dirinya sendiri.
Sifat asli manusia akan terlihat setelah ia menghabiskan waktu di alam bebas. Jika hidup di tengah masyarakat, manusia akan terikat norma, hukum, dan aturan. Di alam bebas, manusia akan memperlihatkan watak aslinya.
Mungkin ini sebabnya seluruh putra keluarga Suma harus mengalaminya. Inilah latihan untuk menumbuhkan kejujuran, kekuatan jiwa, dan ketegaran hati. Inilah sebenar-benarnya latihan. Pantasan saja keluarga Suma menjadi seperti ini.
Memasuki tahun kedua.
Suma Sun sedang bersemedi mengumpulkan tenaga chi nya, ketika telinganya menangkap suara dari kejauhan. Derap kaki seseorang yang berlari di dalam badai.
Manusia siapa yang datang kemari?
Jika bukan karena dikejar sesuatu yang menakutkan, tidak nanti ada manusia mau datang kemari.
Suma Sun menghentikan meditasinya dan bangkit. Segera ia menerjang badai untuk mencari tahu siapa adanya orang ini.
Semakin dekat, semakin Suma Sun memperhatikan derap langkah itu semakin lemah. Rupanya pemilik langkah ini telah kehabisan tenaga.
Tak berapa lama, langkah itu malah terhenti.
Dengan melesat cepat, dalam lima langkah Suma Sun telah tiba di hadapan orang itu.
“Aaaahhh” terdengar suara kaget orang itu.
Suma Sun hanya diam.
“Jika kau mau bunuh, bunuhlah aku!” teriak orang itu. Di tengah rasa takutnya, seseorang memang terkadang menjadi berani.
Suma Sun tidak memperdulikan orang itu, ia hanya diam. Selamanya ia memang tidak pernah bicara jika tidak perlu.
Telinganya menangkap suara derap langkah lagi dari kejauhan. Lagkah-langkah ini lebih ringan. Ada 3 atau 4 orang yang datang dari kejauhan.
“Siapa orang-orang itu? Mengapa mengejar tuan?” tanya Suma Sun.
“Ka…kau…bukan salah satu dari mereka?” tanya orang itu, sejenak terasa cahaya harapan menyeruak.
Suma Sun kembali diam. Dalam hitungan detik ia harus membuat keputusan. Menolong orang ini dan menyingkir, atau menyongsong orang-orang yang akan muncul beberapa saat lagi.
Ia mempercayai nalurinya. Ia memilih pilihan pertama.
Dengan cepat dipanggulnya orang itu dan menyingkir dari sana.
Umurnya baru belasan tahun, tapi sudah dapat membopong orang dewasa berusia setangah baya. Itu pun dilakukan dengan gerakan yang amat cepat.
Suma Sun tidak membawa orang itu ke gubuknya, melainkan menjauh dari sana. Ia pergi ke sisi lain gunung. Ke hutan pinus yang sangat lebat.
Ia melakukan suitan. Suitan lirih yang tak dapat didengar manusia, namun mampu didengar makhluk lain.
Tak berapa lama terdengar auman makhluk-makhluk buasa dari kejauhan. Serigala sahabat-sahabatnya sudah datang.
Mendengar auman ini, para pengejar di belakangnya takut juga.
“Lam-ko, kau dengar itu?” tanya salah seorang.
“Ya, itu auman kawanan serigala” jawab orang yg disebut Lam-ko (kakak Lam) itu. Lanjutnya, “Hati-hati, jika jumlah mereka banyak, kita akan kerepotan” ia lalu mencabut golok yang ada di pinggangnya.
Kawanan serigala itu muncul. Jumlah mereka puluhan. Namun mereka tidak menyerang. Hanya menunggu di kejauhan. Tak berapa lama rombongan pengejar itu sudah terkepung.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang.
“Jangan melakukan gerakan apa-apa” kata orang bernama Lam itu.
Salju turun dengan lebat.
Ke empat orang itu masih berdiri mematung.
Dari kejauhan muncul sesosok manusia.
Mereka memicingkan mata menanti sesosok bayangan itu menjadi jelas. Ketika bayangan itu menjadi jelas, tampaklah sesosok anak kecil.
Orang-orang itu tak percaya mengapa ada seorang anak kecil yang tahu-tahu muncul di tempat seperti ini.
“Lam-ko, jangan-jangan dia adalah setan gunung?” tanya salah seorang.
“Setan gunung tak perlu membawa pedang” jawab Lam-ko.
Mendengar itu, mereka menjadi lebih berani. Salah seorang kemudian bertanya,
“Hey, anak kecil! Apa kau lihat seorang tua lewat daerah sini”
Anak kecil yang ditanya itu diam saja.
“Heh! Apakah kau tuli?!”
Tetap saja tak ada jawaban.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” si anak kecil ini malah balik bertanya.
Melihat sikap anak ini yang gagah dan penuh percaya diri, mau tidak mau ke empat orang ini menjadi salah tingkah.
“Jangan-jangan ia putra pendekar ternama. Jangan ceroboh” bisik Lam-ko.
“Siau-enghiong (ksatria muda), kami Empat Serangkai Macan Gunung. Jika boleh tahu, siapakah namamu?” tanya orang she (marga) Lam.
“Tuan-tuan ada keperluan apa memasuki daerah ini?” tanya Suma Sun.
“Siau-enghiong belum menjawab pertanyaan kami” tukas orang she Lam ketus.
“Ini daerah keluarga kami, harap tuan-tuan semua keluar dari sini” jawab Suma Sun tenang.
“Ah, benar dugaanku. Ia berasal dari keluarga pendekar. Teman-teman jangan ceroboh” bisik orang she-Lam. Lalu ia berkata, “Baiklah, jika ini memang wilayah keluarga siau-enghiong (ksatria muda), kami meminta maaf dan mohon diri” ujarnya sambil menjura.
Teman-temannya pun mengikuti langkahnya pergi dari situ.
Suma Sun tertawa dalam hati, mudah sekali mengusir pendekar-pendekar jalanan seperti mereka. Ia segera pergi ke tempat tadi ia menyembunyikan orang yang ia tolong.
Orang itu sudah kepayahan bersembunyi di balik dahan pohon kering. Salju telah hampir menyelimuti tubuhnya. Nafasnya tinggal satu-satu.
“Tuan siapakah?” tanya Suma Sun kecil.
“Aku adalah anggota Hu Liong Piawkok (Jasa Pengawal Barang Naga Terbang)”
“Orang-orang itu perampok?” tanya Suma Sun.
“Benar, mereka telah membunuh belasan kawan-kawanku. Hanya aku yang berhasil lolos” jelas orang itu.
“Tuan pasti membawa barang yang mereka cari, bukan?” selidik Suma Sun.
Orang itu terdiam sejenak, lalu berkata “Entah kenapa aku percaya denganmu, nak. Memang aku membawa sebuah mustika. Tapi mustika ini adalah amanat yang harus dijaga. Ku harap engkau mau berbaik hati menjaganya”
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dari kejauhan. Dengan ketajaman telinganya, Suma Sun tahu itu teriakan manusia yang meregang nyawa.
Segera ia menoleh, “Tuan, harap tunggu disini” ia segera melesat kencang ke sumber teriakan tadi. Alangkah kagetnya ketika ia menemukan banyak sekali mayat bergelimpangan.
“Mayat-mayat ini adalah mereka yang tadi berhasil ku usir. Siapa yang membunuh mereka?” ia menajamkan telinganya. Jika ada orang lain datang dan ia sampai tidak tahu, berarti kemampuan silat orang ini tidak bisa dianggap main-main.
Tiba-tiba terdengar suara di belakangnya,
“Anak kecil, kau lihat seorang yang kabur lewat sini?”
Suara perempuan.
Suma Sun menoleh ke sumber suara. Walaupun ia tidak dapat melihat, ia yakin betul pemilik suara ini pasti cantik sekali. Ia tidak berkata apa-apa.
“Tampan sekali wajahmu, sayang masih belum cukup umur” perempuan itu tertawa lepas. “Eh, kau tidak tuli bukan? Kenapa diam saja?”
“Nona yang membunuh mereka semua?” kali ini Suma Sun balas bertanya.
“Kau memanggilku nona? Wah terima kasih sekali. Hihihi” tawanya lepas dan renyah. Suaranya mendesah, dan lembut.
“Aku tidak ingin menyulitkanmu, cepat katakan dimana orang itu kabur, aku akan membiarkanmu pergi.” Kata si perempuan.
Suma Sun tetap diam.
“Kau ini ada bakat tampan, tapi juga ada bakat pikun. Ditanya tidak menjawab, malah balas bertanya.” Kata si perempuan sambil membanting kaki.
Suma Sun tidak tahu, justru perempuan paling suka jenis laki-laki seperti ini. Jenis laki-laki yang mampu membuat mereka penasaran.
“Kau mau bicara tidak?” tanya si perempuan sedikit sebal.
Tentu saja Suma Sun tidak bicara. Pada dasarnya Suma Sun sendiri juga bingung harus bicara apa.
“Sebaiknya, nona pergi saja. Aku akan menguburkan mayat-mayat yang kau bunuh” kata Suma Sun.
“Eh, kau mengusirku? Punya kelebihan apa kau berani mengusirku?”
“Jika kau tidak pergi aku akan membunuhmu” kata Suma Sun.
“Eh, ada apa ini main bunuh? Kau tidak kasihan padaku? Aku perempuan yang lemah, datang kesini di tengah badai salju, mencari seseorang yang mencuri barang ku. Kau malah menuduhku membunuh orang dan mengusirku pergi. Coba pikir, kau kejam tidak?” katanya marah namun suaranya tetap lembut.
Suma Sun terhenyak.
“Bukan kau yang membunuh mereka? Lalu siapa?” tanyanya
“Kau bertanya kepadaku, lalu aku bertanya kepada siapa?” tukas si nona berlagak sebal.
“E…entahlah…” Suma Sun kehabisan kata-kata. Lalu kemudian ia berkata, “Jika bukan nona yang membunuh mereka, berarti ada orang lain di sini yang membunuh mereka”
Si nona terhenyak, lalu dengan sedikit berteriak, ia berkata, “Celaka!”
Suma Sun kaget pula, “kenapa?” tanyanya.
“Jangan-jangan Kim Hoat Lo-Mo (Iblis tua berambut emas) yang membunuh mereka” teriak si nona.
“Siapa Kim Hoat Lo-Mo?” tanya Suma Sun.
“Aih, tak ada waktu untuk menjelaskan, jangan-jangan ia sudah sampai di sini. Coba kau periksa mayat-mayat ini apakah mereka memiliki luka jarum beracun berawarna emas di lehernya?”
Suma Sun segera bergegas, dan benar. Ia menemukan jarum-jarum emas menancap di leher mayat-mayat itu.
“Ada?”
Suma Sun mengangguk.
“Celaka. Kim Hoat Lo Mo sejak dulu memang telah mengincar mustika itu!” kata si nona panik.
“Mustika apa?”
“Sebuah mustika yang mampu menawarkan segala jenis racun. Kim Hoat Lo Mo memang mengincarnya karena itulah satu-satu mustika yang dapat menawarkan racun jarum emasnya”
Suma Sun tak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Eh dimana orang yang kabur mencuri mustika emas itu? Nyawanya dalam bahaya pula!” kata si nona panik.
Suma Sun segera melesat, si nona pun berlari mengikutinya.
Begitu sampai di sana, si orang tua itu masih berada di sana. Tapi ia tak bergerak. Salju telah menutupi seluruh tubuhnya.
Suma Sun mendekatinya dengan hati-hati mencoba memeriksanya. Orang itu masih hidup, nafasnya sangat lemah.
“Syukurlah”
Tiba-tiba sebuah tangan menotok urat besarnya. Suma Sun mematung kaku.
“Mengapa kalian kaum laki-laki begitu mudah dibodohi?”
Si nona tersenyum, suaranya halus lembut.
=========
Si nona cantik memeriksa orang setengah tua yang tergeletak tak berdaya itu. Setelah memeriksa sebentar, ia tersenyum ketika tangannya mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam. Dengan hati-hati dibukanya kotak itu. Wajahnya berbinar-binar saat melihat isinya.
Sebuah benda kecil bulat agak lonjong. Hampir seperti mutiara tetapi benda ini lebih bening dan bercahaya. Si nona mengeluarkan benda itu dari kotak. Ia lalu mengeluarkan sejenis botol kecil yang bening pula. Dengan cekatan ia menggunakan botol itu untuk mengambil salju yang berada di dekatnya.
Si nona lalu menggunakan tenaga dalam untuk memanaskan botol itu dan merubah salju menjadi air. Walaupun buta, Suma Sun tahu apa yang sedang diperbuat nona ini. Dan hal ini membuat Suma Sun sangat kagum, karena kemampuan seperti ini hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang tenaga dalamnya sangat tinggi. Walaupun ia sendiri sudah cukup bisa untuk melakukannya, namun si nona ini jauh lebih cepat dalam melakukannya. Ini membuktikan bahwa tenaga dalam nona ini memang sangat hebat.
Setelah salju mencair dan mengisi botol itu, si nona lalu mencelupkan benda seperti mutiara itu ke dasar botol. Ia memperhatikan. Mutiara itu tidak mengapung melainkan tetap berada di dasar botol. Si nona tersenyum. Kali ini, ia mengambil mutiara ini dan meletakkannya di permukaan air, tidak mencelupkannya langsung ke dasar. Mutiara itu kini malah mengapung di permukaan air. Ia menunggu agak lama, dan tersenyum puas ketika mutiara ini tetap mengapung dan tidak tenggelam.
“Aha..ini asli. Terima kasih orang tua”
Sambil begitu tangannya bergerak. Sebuah jarum emas langsung menancap di leher orang tua yang nahas itu. Jiwanya melayang saat itu juga.
Suma Sun menahan nafas, nona ini begitu kejam. Dengan segala cara ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk melepas totokan ini, namun tiada hasil.
“Kau tak perlu bersusah payah, aku menotokmu dengan ilmu totok terbaik. Pendekar paling hebat pun masih membutuhkan banyak waktu agar dapat membukanya” tukas si nona.
Ia tersenyum manis. Walaupun Suma Sun tidak dapat melihat senyuman ini, ia merasa ditelanjangi oleh tatapan nona itu. Nona ini pasti siluman. Tak terasa bulu kuduknya berdiri.
“Hmmm, aku suka kau. Penuh rahasia dan penuh tanda tanya. Membuat orang penasaran.” Ia tetap tersenyum sambil memandang Suma Sun, lalu berkata “Eh, menurutmu aku cantik tidak?”
Suma Sun hanya diam.
Si nona tertawa, “Haha. Laki-laki memang sama semua. Dari yang kecil sampai yang tua bangka, selalu tak mampu bersuara memandang kecantikan perempuan”
“Menurutku kau tidak secantik yang kau kira” kata Suma Sun.
“Haha. Itu juga yang sering dikatakan laki-laki ketika aku bertanya demikian. Mereka ini menyangkal kenyataan. Kau tahu, tidak? Perempuan itu memiliki sejenis perasaan khusus yang mampu menangkap isi hati laki-laki dan maksud mereka. Kau mau berbohong jenis bagaimanapun, kami kaum perempuan tetap tahu”
Perempuan memang selalu memiliki perasaan yang peka.
“Kau, aku penasaran dengan kau. Sedang apa kau sendirian di sini? Siapa orang tua mu?” tanya si nona.
“Orang tua ku sebentar lagi datang. Kau siap-siap saja” kata Suma Sun.
“Haha” ia tertawa sambil menutup mulut, “Kau pikir aku bodoh? Jika mereka berada di sekitar sini, aku sudah akan tahu dari tadi. Kau kira aku berani naik kemari tanpa melakukan perhitungan yang matang lebih dulu? Setiap jengkal yang ku lewati telah kuperhatikan. Tidak ada manusia yang naik turun kemari dalam jangka waktu 2 hari, kecuali si pengawal barang, dan kawanan perampok yang tadi ku bunuh. Menurut perhitunganku kau mungkin bersama orang lain di atas sini. Tapi mereka dari tadi tidak muncul. Oleh sebab itu, kau pasti sendirian di sini. Jika orang tua mu muncul, paling-paling mereka akan sampai saat malam atau fajar nanti”
Mendengarkan penjelasan ini Suma Sun sangat kagum. Si nona ini selain ilmu silatnya hebat, daya pikirnya juga mengagumkan.
Si nona berjalan ke arah Suma Sun. Ia mengambil pedang di pinggang Suma Sun. Dengan santainya ia memperhatikan pedang itu.
“Sebuah pedang unik yang ditempa dengan cara-cara yang unik pula. Hmmmm, pedang semacam ini hanya dimiliki beberapa orang di dunia ini”
Si nona berpikir sebentar.
“Pedang ini ditempa dengan ilmu dari barat.” Lalu dengan mengibaskan pedang, pohon besar di sebelah sang nona tertebas dalam satu gerakan.
Mata si nona berbinar-binar. Ia memperhatikan lagi pedang itu. “Walaupun ini pedang yang unik, pembuatannya masih di daerah Tionggoan (China daratan). Menggunakan bahan-bahan dari negeri India”.
Ia memperhatikan lagi.
“Aha. Ini ciri yang kucari sejak tadi. Tanda mata sang pembuatnya” matanya tertumbuk pada sebuah huruf kecil yang tertulis secara tersembunyi di ujung gagang.
Sebuah huruf ‘Langit’.
“Pedang ini dibuat oleh pandai besi jaman dahulu kala. Kehebatannya sangat tersohor karena pembuat pedang ini menimba ilmu cara membuat pedang dari barat. Namanya adalah Thian Kong-cianpwee (cianpwee berarti senior atau yang lebih tua).”
“Seumur hidup ia hanya membuat 5 pedang. Pedang pertama bernama Pedang Phoenix (Hong Kiam) pedang ini sekarang berada di gudang senjata istana kaisar. Pedang kedua bernama Pedang Naga (Liong Kiam), pedang ini berada di tangan pendekar pedang kelana Can Li Hoa, pedang yang ketiga dan keempat adalah sepasang, bernama Pedang Iblis (Mo Kiam) dan Pedang Dewi (Sian Kiam) berada di tangan suami istri keluarga Suma. Dan yang terakhir pedang…. ahaa.. pedang yang terakhir juga berada pada keluarga Suma. Pedang Serigala (Lang Kiam) ini pasti pedang yang kupegang ini. Kau adalah putra keluarga Suma!”
Lang Kiam
Betapa mengagumkan si nona ini mengurutkan pengetahuan untuk menarik kesimpulan. Suma Sun hanya bisa takjub dalam diamnya.
“Mengapa semua bisa secocok dan semulus ini? Semua usaha dan rencanaku sepertinya direstui oleh Thian (langit). Bertemu engkau di sini, malah semakin membuka jalan bagi rencanaku. Hahahaa” ia tertawa merdu sekali.
Tapi bagi siapapun yang mengerti kekejamannya tentu akan lebih bergidik lagi mendengar tawanya itu. Tawa perempuan apakah memang seperti ini? Sungguh merdu dan indah, tapi juga menyeramkan dan menggetarkan jiwa.
Empat hari kemudian mereka sudah sampai di kaki gunung. Si nona memanggul Suma Sun kecil dengan ringan. Selama perjalanan si nona bercerita dengan riang, seperti tak ada beban atas apa yang baru saja mereka hadapi. Membunuh orang nampaknya sudah merupakan hal yang amat biasa bagi nona ini.
“Kau selalu diam saat ku tanya. Siapa namamu? Berapa sih umurmu?” tanya si nona.
Suma Sun tak berkata apa-apa, pandangan matanya menyorot ke depan. Memandang api unggun yang sekarang berada di hadapannya. Tatapan matanya kosong namun dalam. Seolah-olah sebuah lubang hitam besar yang tenang namun siap menelan apa saja.
“Biar ku tebak, umurmu pasti antara 13 sampai 15 tahun” ujar si nona. “Kalau namamu pun tidak mau kau beritahu, aku akan memanggilmu Siauw-Suma (Suma kecil) saja. Eh, cepat kau makan daging kelinci, susah payah ku tangkap dan ku bakar untukmu” kata-katanya hangat, suaranya renyah dan menggoda hati.
Selama hidup, Suma Sun belum pernah berdekatan dengan perempuan lain selain ibunya. Kini setelah 4 hari ia lewatkan bersama si nona ini, ada perasaan aneh yang timbul di hatinya. Perasaan yang sebenarnya wajar bagi anak-anak seumurannya. Tapi Suma Sun bukan anak sembarangan, sejak kecil ia telah ditempa oleh kesulitan hidup, kemampuannya untuk menahan perasaan dan gejolak jiwanya jauh di atas rata-rata orang biasa.
“Kau ini, masih semuda ini sudah keras hati, kelak jika sudah dewasa, akan ada berapa banyak perempuan yang kau lukai? Dengan wajah setampan kau, aku yakin 3 atau 4 tahun lagi kau sudah ahli menaklukan perempuan” suaranya halus lembut, tapi sungguh menggetarkan sukma Suma Sun.
Ia masih tertotok, tak mampu bergerak. Suara dan nafas nona itu mendesah-desah di telinganya.
“Siauw-Suma kau tak boleh terlalu keras hati” katanya berbisik di kuping Sum Sun. “Jika nanti ada perempuan yang terluka karena sikapmu, kau akan repot sendiri” ia berkata begitu sambil tangannya memegang dada Suma Sun. Sentuhan iu sederhana saja, tapi bukan sentuhan yang dibuat-buat. Laki-laki manapun yang terkena sentuhan ini ditanggung lupa umur, lupa sanak saudara, bahkan lupa jika ia manusia biasa.
Anak seumuran Suma Sun yang baru akan beranjak dewasa, yang fungsi-fungsi kelaki-lakiannya telah tumbuh dengan sempurna, mana mungkin sanggup menerima sentuhan seperti ini.
Dan sentuhan ini turun dari dada ke perut, dan ke berbagai tempat lain.
Di luarnya wajah Suma Sun tetap kosong dan tenang, di dalam dadanya gejolak dorongan wajar seorang laki-laki telah menggedor-gedor jiwanya.
“Entah kenapa aku heran pada setiap laki-laki, jika kami para perempuan mendiamkan, kami dituduh bersikap dingin, jika kami membuka diri kami malah dituduh murahan. Kau tahu? Kami para perempuan ini cuma makhluk yang lemah. Butuh tempat bersandar dan berlindung” sambil berkata begitu ia merebahkan kepalanya di paha Suma Sun.
Rambutnya yang bersanggul indah menyeruakkan semerbak aroma bunga melati yang lembut. Wajahnya yang putih bersih jauh mengalahkan indahnya salju yang menempel di ujung-ujung rambutnya. Walaupun Suma Sun tidak dapat menyaksikan semua ini, bayangan yang timbul di dalam benaknya jauh lebih indah.
Lama sekali kepala itu bersandar di pahanya, saat kemudian si nona mengangkat kepalanya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Suma Sun.
Begitu dekat.
Begitu halus.
Begitu indah.
Begitu mendebarkan.
Jantung Suma Sun berdebar menggelora. Belum pernah ia mengalami hal seperti ini. Bibir si nona begitu sangat dekat sampai sampai hampir menyentuh bibirnya. Walaupun dalam keadaan tertotok, Suma Sun berusaha menjangkau ke depan.
Lalu nona itu menarik kepalanya. Bibir itu menjauh. Tak tersentuh.
Mengapa perempuan selalu seperti ini? Di saat ia begitu dekat, tiba-tiba terasa begitu jauh.
Si nona tertawa, “Kau ini, masih kecil-kecil sudah berani mencium bibir orang. Huh, aku tidak bisa membayangkan jika kau sudah sedikit lebih dewasa nanti” ia berkata begitu sambil tangannya memukul pundak Sum Sun dengan lembut.
“Kau mau makan tidak? Jika mau akan ku suapkan”
Tanpa menunggu jawaban, si nona lalu menyuapkan daging kelinci panggang ke mulut Suma Sun. Suapan yang halus ini membuat Suma Sun terpaksa membuka mulut dan mengunyahnya. Ia sendiri memang sudah beberapa hari ini menahan lapar.
“Enak bukan? Kau sih sok jual mahal tidak mau makan” bisiknya lembut.
Bisikannya tidak dibuat-buat untuk menggoda. Apa yang nona ini lakukan semuanya tidak dibuat-buat. Bisikannya, desahannya, tawanya, cara ia berbicara, semua dilakukannya dengan wajar. Justru hal semacam ini yang membuat ia semakin menarik.
“Kau masih tidak mau memberitahukan namamu?” tanyanya lembut.
“Aku akan memberitahukan namaku jika kau memberitahukan namamu” kata Suma Sun.
“Aaaah, mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan? Namaku Bwee Hua”
“Namaku Suma Sun”
“Wah, jadi benar kau putra keluarga Suma? Aku hanya menebak-nebak saja tadinya. Hmmm, memang keluarga Suma bukan keluarga bernama kosong. Sejak dahulu kala nama mereka sudah bersinar terang. Sayangnya jarang ada orang yang bertemu keluarga ini. Bisa bertemu kau di sini, boleh dibilang rejeki cukup besar”
“Bwee-siocia (nona Bwee) bolehkah aku bertanya?”
Si nona mengangguk.
“Mengapa kau begitu kejam membunuh mereka semua?” tanya Suma Sun.
Si nona tersenyum, “Kau belum pernah membunuh orang?”
Suma Sun menggeleng.
“Jika nanti kau membunuh orang, kau akan tahu rasanya”
“Seperti apa rasanya?”
“Menyenangkan” tukas si nona sambil tertawa.
“Sungguh kejam”
“Bila aku tidak kejam, aku tak dapat hidup sampai sekarang” ujar Bwee Hua.
Suma Sun terdiam. Ia ingat kata-kata orang tuanya, bahwa di dalam hidup seorang pendekar, ada saat dimana ia harus membunuh orang. Walaupun tidak menyenangkan, hal itu harus tetap dilalui. Tapi si nona ini, menganggap membunuh itu menyenangkan.
“Sejak kecil aku terlunta-lunta. Ditolong orang, aku hanya dimanfaatkan. Orang-orang hanya membutuhkan kecantikanku. Kaum perempuan adalah kaum yang lemah. Kami tidak mempunyai kekuatan seperti laki-laki. Kaum masyarakat pun menempatkan perempuan di posisi yang lebih rendah daripada lelaki. Jika tidak bertindak kejam, apa kau pikir dunia ini akan lemah lembut terhadap kami?”
Suma Sun mendengarkan dengan seksama.
“Aku telah mengalami kehidupan yang menyenangkan, tapi setelah itu mengalami kehidupan yang penuh penderitaan. Penyiksaan, penodaan, dan segalam macam hal tak pernah bisa kau bayangkan, semuanya telah ku lalui. Semua yang ku lakukan saat ini, hanyalah bagian dari caraku mempertahankan hidupku. Jika kau mengalami yang ku alami, apa yang akan kau lakukan?”
Meskipun ia belum terlalu dalam memahami permasalahan dunia, mau tidak mau Suma Sun memahami juga perasaan nona cantik ini.
Justru inilah keselahannya.
Inilah kesalahan lelaki pada umumnya.
Terhadap penderitaan perempuan, mereka begitu mudah hanyut dan terbeli hatinya.
Sekarang Suma Sun telah sepenuhnya membuka dirinya untuk Bwee Hua.
“Di mana rumah keluargamu?” tanya Bwee Hua.
“Ada perlu apa nona dengan keluargaku?”
“Aku ingin menukarmu”
“Menukarku dengan apa?”
“Dengan sebuah pedang” jawab Bwee Hua.
“Apa nona pikir ayah ibuku mudah diancam?”
“Siapapun mudah diancam jika anaknya sedang disandera”
“Dengan pedang apa nona hendak menukarku? Sepasang pedang Iblis dan Dewi milik orang tuaku?”
Si nona menggeleng.
“Selain sepasang pedang itu, dan pedangku yang telah kau ambil, keluarga kami tidak memiliki pedang lagi”
“Memangnya siapa yang ingin mengincar pedang kalian” kata si nona sambil tertawa renyah. Lalu sambungnya, “Aku mencari pedang milik Tok Ko Kiu Pay.”
“Tok Ko Kiu Pay (sedih karena tak pernah kalah)?”
“Masa kau tak pernah dengar nama ini?” tanya si nona.
“Tentu saja, beliau adalah pendekar tanpa tanding di jaman dahulu. Ia dijuluki si Iblis Pedang (Kiam Mo). Dari namanya saja, beliau tak pernah terkalahkan. Sepanjang hayatnya beliau memiliki beberapa pedang. Pedang yang pertama digunakan saat beliau berumur belasan tahun. Dengan pedang ini, beliau menguasai daerah utara tanpa terkalahkan” jelas Suma Sun.
“Benar. Lanjutkan” tukas si nona.
“Pedang yang kedua berwarna ungu, sebuah pedang lemas yang sangat kuat. Dengan pedang ini, beliau menguasai dunia persilatan pada umur 20 tahunan. Beliau kemudian membuang pedang ini ke dalam jurang karena kesalahan tangan membunuh orang yang tidak bersalah”
Si nona mengangguk-angguk.
“lalu pedang ketiga, adalah sebuah pedang berat. Pedang ini kemudian ditemukan oleh leluhur Yo Ko saat beliau terjatuh ke dalam jurang. Seratus tahun setelah pendekar Yo Ko dan istirinya Siau LiongLie menghilang, pedang itu muncul dalam wujud dua buah senjata mustika bernama Golok Pembunuh Naga, dan Pedang Langit”
“Bagus sekali” sahut nona Bwee Hua.
“Tapi kedua mustika ini sudah patah. Pecahannya sekarang tersimpan di Bu Tong-pay dan Go Bi-pay. Nona mengincar pedang yang mana?”
“Tentu saja pedang yang kedua, pedang ungu itu adalah buatan para tetua di luar Tionggoan. Ilmu membuat pedang mereka sangat hebat sehingga pedangnya bisa menjadi sangat lemas, namun sangat kuat. Pedang ini bisa ditekuk sampai ke gagangnya, tapi mampu menebas batu karang. Bahkan memotong putus sutra yang dijatuhkan di atasnya.”
“Tak seorang pun tahu keberadaan pedang sakti itu. Entah berapa ribu jurang yang ada di tionggoan ini” kata Suma Sun.
“Justru itulah kedua orang tuamu harus mencarikannya untukku” ujar si nona sambil tersenyum.
=========
Mereka telah melalui perjalanan berbulan-bulan. Si Nona rupanya memiliki anak buah yang sangat banyak. Di mana-mana ia bertemu mereka dan memberi perintah. Menurut dugaan Suma Sun, si nona pasti telah mengabari keadaan dirinya kepada kedua orang tuanya. Dan dugaannya memang benar.
“Menurut berita yang kudengar, ayah ibumu sudah mulai melakukan perjalanan. Beberapa hari yang lalu orang-orangku sudah mengirimkan barang-barangmu dan sepucuk surat kepada mereka” kata si Nona.
“Mereka akan menemukanmu sebelum menemukan pedang itu” sahut Suma Sun tenang.
“Haha. Tidak segampang itu. Bahkan jika malaikat maut ingin mencariku pun mungkin bukan perkara yang mudah” tawanya renyah.
Suma Sun tidak tahu bagaimana ia bisa seyakin itu. Ia tidak tahu, perempuan yang teramat cantik biasanya amat yakin terhadap dirinya sendiri.
“Jangan harap ia akan menemukan jejak-jejak yang kau tinggalkan” kata si nona sambil tersenyum.
Suma Sun tidak menjawab.
“Kau jangan pura-pura bodoh. Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau meninggalkan jejak sepanjang perjalanan? Goresan pada pohon, tanda-tanda rahasia pada rerumputan, sisa-sisa makanan yang kau atur sedemikian rupa. Semuanya sudah dibersihkan dan dibereskan anak buahku. Ayah ibumu akan tersesat sejauh ribuan li saat mencarimu.” Tawa si nona.
Tiba-tiba Suma Sun merasa perempuan ini memang benar-benar menakutkan. Sayangnya, dirinya sendiri memang tidak pernah merasa takut.
“Nona memang hebat” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Tentu saja” walaupun tidak dapat melihat, Suma Sun dapat membayangkan betapa cantiknya nona itu saat berkata begitu.
“Kau istirahatlah, besok kita akan memulai perjalanan lagi”
Suma Sun mengangguk. Ia memang tak dapat melakukan apa-apa. Tubuhnya selalu ditotok. Perjalanan pun dilakukan dengan kereta yang tertutup. Dari pendengarannya Suma Sun tahu ini bukanlah kereta biasa saja. Pasti merupakan kereta mewah yang mahal. Kuda penariknya pun merupakan kuda-kuda pilihan.
Siapa nona ini? Apa rencananya? Suma Sun hanya bisa menebak-nebak saja.
Selama perjalanan mereka singgah di berbagai tempat. Rumah tempat singgah mereka pun semuanya merupakan rumah-rumah mewah. Saat ini pun ia sedang berada di sebuah rumah mewah yang tamannya sangat indah. Angin membawa aroma sejuk dan wangi bunga-bunga yang beraneka rupa. Suara gemericik air dari sungai yang mengalir di sekitar menambah indahnya suasana. Seandainya ia sedang tidak disekap, tentulah ia akan keluar menikmati suasana ini.
Orang buta memang kadang lebih paham keindahan dunia ketimbang orang yang tidak buta. Itulah mengapa cinta itu buta pula.
Berdekatan dengan nona ini setiap hari, merasakan kehangatannya, mendengarkan suara indahnya, menciup wangi tubuhnya, menimbulkan perasaan yang Suma Sun sendiri tidak mengerti. Dalam keadaan ditawan seperti ini, ia tidak merasa takut. Jauh di lubuk hatinya terdalam, ia bahkan berharap agar kedua orang tuanya tidak segera menemukannya.
Perasaan aneh seperti ini bukankah pula tumbuh di hati semua umat manusia? Kadang-kadang membuat si manusia tidak sanggup berpikir dengan jernih. Bahkan menatap kenyataan dengan pandangan yang sama sekali berbeda.
Yang seharusnya dibenci justru dicintai, yang seharusnya dicintai justru dibenci.
Yang seharusnya didekati justru dijauhi, yang seharusnya dijauhi justru didekati.
Apakah karena kebodohan ini umat manusia mengalami penderitaan yang terus menerus?
Anak semuda ini, mana paham cara menahan perasaan? Mereka yang sdah berumur pun belum tentu bisa melakukannya. Apalagi Suma Sun yang baru berusia belasan tahun.
Si nona pun bukannya tidak mengetahui hal ini. Ia justru sangat mengetahuinya, dan malah ia telah merencanakannya. Ia justru paling ahli dalam masalah ini. Semua anak buahnya justru ditaklukannya dengan cara ini.
Kecantikan perempuan justru sebenarnya adalah hal yang mengerikan. Jika ia menggunakannya dengan pintar dan cerdik, alangkah banyaknya penderitaan yang mampu ia hasilkan.
Si nona telah mempelajari ini sejak ia kecil. Sejak menjadi tawanan perampok di Mongolia. Ia telah mengalami penyiksaan, penodaan, dan penderitaan. Tapi ia belajar dan belajar. Sehingga ia akhirnya menjadi kesayangan sang kepala perampok.
Saat gerombalan perampok itu ditumpas oleh kerajaan Goan (Mongolia), ia lalu menjadi tawanan prajurit. Dengan kecantikan dan pengalamannya, ia malah menjadi kesayangan seorang jenderal. Lalu tak sengaja sang Kaisar Goan melihatnya dan menjadikannya selir kesayangannya.
Thian (langit) memang memberkatinya dengan kemujuran demi kemujuran setelah penderitaan yang selama ini selalu dideritanya. Entah darimana ia mempelajari ilmu dan ramuan-ramuan yang semakin mempercantik dirinya. Ilmu ini bahkan mampu membuatnya melawan kekuatan umur yang menggerogotinya.
Ia menjadi semakin cantik dan semakin menggairahkan. Pengalamannya dalam menaklukan ratusan lelaki menjadi modal utamanya untuk menaklukan hati kaisar. Sampai akhirnya ia melahirkan benih sang kaisar sendiri. Walaupun anak itu bukanlah putra mahkota yang akan menggantikan sang kaisar kelak.
Tidak ada yang tahu umur pastinya. Bagi pandangan mata manusia, ia tetaplah nona cantik yang senyumnya dapat meluluhkan hati lelaki manapun. Suaranya yang mendesah bahkan mampu memberi perintah kepada sang kaisar sendiri.
Hingga suatu saat kerajaan Goan pun runtuh dan digantikan kerajaa Beng. Dengan susah payah ia berhasil menyelamatkan dirinya dan anaknya. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia membangun kembali apa yang selama ini telah menjadi miliknya.
Kekuasaan.
Kekuasaan memang teramat sangat menggiurkan. Orang mampu melakukan apa saja.
Entah sudah berapa tahun ia membangun kembali kekuatan ini secara diam-diam. Entah seberapa besar kekuasaannya, entah berapa pula umurnya, tak ada seorang pun yang tahu.
Si nona kini memandang bintang-bintang di angkasa. Ia telah memandang bintang-bintang itu sekian lama seolah olah ingin mengambil seluruh cahaya bintang-bintang itu untuk diletakkan di kedua matanya yang indah.
Terdengar suara di belakangnya,
“Siocia, Song Wei datang melapor”
“Berita apa yang kau bawa, Song Wei?” tanya si nona.
“Pendekar Suma dan istrinya sedang menuju ke puncak Himalaya” kata Song Wei.
“Menurut kabar, si Jubah Merah sedang menuju perjalanan ke sana pula”
Dengan akalnya, si nona menghubung-hubungkan kedua berita ini.
“Apakah Pedang Ungu berada di tangan si Jubah Merah?” tanyanya.
“Benar siocia. Menurut kabar, ia telah berhasil menemukan pedang itu” jawab Song Wei.
“Wow, sangat menarik. Dan kau tahu mengapa si Jubah Merah menuju ke puncak Himalaya?” tanya si nona lagi.
“Hamba belum mendapatkan kabar yang pasti, tapi menurut hamba, ia mungkin melarikan diri dari kejaran orang-orang Bu Lim (kalangan persilatan)” jawab Song Wei.
“Haha. Orang seperti dia tak akan mungkin lari. Aku paham betul sifat lelaki seperti itu” ia berkata begitu sambil membasahi bibirnya. Pipinya merona merah.
Melihat itu Song Wei hanya bisa menelan ludahnya. Ia telah bepergian jauh dan menempuh banyak bahaya hanya untuk bisa menatap pipi yang merona merah itu.
“Untuk jasamu ini rasanya kau boleh menemaniku malam ini” kata si nona tersenyum mesra.
Rembulan bersinar terang.
Dua anak manusia lalu tenggelam dalam nikmatnya cinta.
Beribu-ribu li dari sana, seorang pria yang amat sangat tampan sedang memandang rembulan itu pula.
Ia duduk di atap kereta ditemani arak dan sebuah jubah merah untuk menghangatkannya. Jubah merah yang menggetarkan dunia. Bayangan jubah ini telah menancapkan rasa takut dan segan yang teramat dalam di hati manusia.
Dan ia teramat bangga dengan jubahnya ini. Baginya jubahnya ini adalah cerminan dari dirinya sendiri.
Ia teramat sangat tampan. Lelaki dengan wajah setampan ini amat sangat sukar untuk menjadi lelaki baik-baik. Tak terhitung banyaknya perempuan yang merelakan diri dan jiwanya terkoyak koyak. Mereka semua datang secara sukarela kepadanya. Jika kau memiliki wajah setampan ini, bidadari di khayangan pun akan datang secara sukarela kepadamu.
Dunia persilatan menyebutnya dengan julukan ‘Jai Hwa Sian’ sang Dewa Pemetik Bunga. Di mana ia hadir, akan ada puluhan bahkan ratusan ‘bunga’ yang akan ia petik dan ia hisap madunya. Bunga tentu saja adalah wanita.
Selama hidupnya, tidak ada satu pun wanita yang tidak pernah tidak menginginkan dirinya.
Tak terhitung nona-nona cantik ini rela meninggalkan rumah, rela meninggalkan keluarga hanya agar dapat bersama dirinya. Hanya agar dapat memandang matanya yang teduh, senyumnya yang hangat, dan suaranya yang dalam dan menenangkan.
Jika dunia kiamat sekalipun, wanita manapun akan merasa aman saat berada di dalam pelukannya.
Ia pintar menghadapi wanita. Ia tahu cara menghadapi mereka. Ia tahu cara memuaskan perasaan wanita-wanita ini. Ia mengerti mereka, memberikan apa yang selama ini mereka cari, dengan caranya yang berbeda-beda. Ia tahu isi hati perempuan luar dalam.
Dan itulah mungkin cara ia mampu menaklukkan mereka. Ketampanan saja tidak akan cukup. Ia memiliki banyak hal yang amat diinginkan perempuan darinya. Wajah yang sangat rupawan, tubuh yang tegap, uang, kata-kata yang manis, dan pengetahuan yang amat dalam tentang sifat-sifat perempuan.
Dengan kemampuannya ini ia dapat mengajak pergi nona kecil yang masih bau kencur untuk kabur dari rumah orang tua mereka. Dapat membawa lari istri pejabat-pejabat tinggi, dan bahkan sampai masuk ke dalam ruang selir-selir kaisar dan bersenang-senang dengan mereka.
Tak ada satu perempuan pun yang meninggalkan lengannya tanpa terpuaskan jiwa dan tubuhnya.
Maka bisa dibayangkan betapa berbahayanya laki-laki ini. Karena lelaki yang paling berbahaya adalah laki-laki yang dapat menaklukkan perempuan.
Seluruh kalangan mencarinya. Seluruh kalangan menetapkannya sebagai buronan. Karena dengan kemampuannya ini ia mampu mendapatkan apa saja.
Pedang Ungu yang sedang berada di depannya ini tentu saja adalah salah satu hasilnya.
Ia sangat paham pedang. Bahkan pedang adalah salah satu keahliannya yang paling ia banggakan. Dan ia tahu pedang apa yang berada di hadapannya ini.
“Tok Kiu Pai menaklukkan dunia dengan pedang ini. Aku pun akan menaklukan dunia dengan pedang ini pula” batinnya.
“Sayang, masuklah aku kedinginan” terdengar suara dari dalam kereta.
Sang Dewa Pemetik Bunga tersenyum, lalu melompat turun dan masuk ke dalam kereta.
“Kau belum tidur, sayang?” tanyanya mesra.
“Bagaimana aku bisa tidur kalau tidak kau peluk?” suara itu suara perempuan.
Tentu saja ia kedinginan karena saat itu ia tidak mengenakan sehelai benang pun.
“Hmm, memangnya apa yang akan kau berikan kepadaku jika aku memelukmu?” tanya si lelaki sambil tersenyum mesra.
“Apa saja. Kau minta apapun pasti akan ku berikan” jawab si perempuan. Wajahnya merona merah.
“Kalau aku meminta keningmu?” bisik si lelaki.
“Tentu saja ku berikan”
“kalau aku minta mata mu?”
“Tentu saja ku berikan pula”
“Kalau hidungmu”
“Boleh kau ambil saja” kata si wanita sambil merengut manja.
“Kalau bibirmu?” sambil bertanya ini, ia menghembuskan nafasnya ke kuping si wanita.
“Bibir ini toh punyamu, memangnya akan kau apakan jika kuberikan?” tanya si nona manja.
“Jika sudah menjadi milikku tentu saja terserah apa yang aku inginkan untuk kulakukan pada bibir itu” jawab si lelaki.
“memangnya apa yang akan kau lakukan?” desah si wanita.
Si lelaki tersenyum. Betapa tampannya wajah ini.
“Aku tidak mau mengatakannya kepadamu. Kau boleh membayangkan sendiri” katanya sambil tertawa kecil.
“Kau jahat! Aku tidak ingin melihatmu lagi” kata si wanita sambil memukul-mukul manja dada si lelaki.
Mereka berdua tertawa dengan mesra.
Kegelapan malam menyelimuti pinggiran hutan yang lebat dan sepi itu.
Suara nafas mereka berdua memburu. Hingga sang lelaki berhenti.
“Kenapa?” tanya si wanita.
“Kau tunggu di sini” kata si lelaki sambil cepat-cepat mengenakan bajunya.
Ia mengenakannya dengan cepat dan sudah keluar dari keretanya.
Di luar sudah ada seseorang yang terlihat mendekati kereta itu.
“Benar dugaanku penjahat hina ini berada di sini” kata lelaki yang datang itu. Ia sudah setengah baya.
“Ah, Bhok-tayhiap rupanya. Selamat datang” ia menjura dan memberi salam.
Selamanya ia memang adalah lelaki yang sangat sopan dan mengerti adat.
“Tidak perlu bertele-tele” Bhok-tayhiap mengeluarkan pedang dari sarungnya.
“Di mana anakku?” tanyanya.
“Bhok-siocia sudah terlelap di dalam kereta, tayhiap.” Jawab si lelaki berjubah merah ini.
“Kurang ajar!” cepat cepat ia memburu ke kereta itu dan membuka pintunya. Dilihatnya putrinya sedang tertidur lelap. Dengan marah ia membentak dan menarik putrinya, “Ayo pulang!”
Putrinya tentu saja tidak terlelap. Ia hanya pura-pura saja sejak pertama kali ia mengetahui bahwa ayahnya datang.
“Eh, ada apa?” katanya ‘kaget’.
“Ayah?”
Plakkk! Itu jawaban dari ayahnya.
“Bikin malu keluarga!”
Dengan marah ia menoleh ke si Jubah Merah, “Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu” katanya sambil menuding pedang.
“Perbuatan apa?” tanya si Jubah Merah.
“Kau telah membawa kabur anakku. Kau pilih mati kubunuh atau mengawininya?”
Si jubah merah tertawa.
Orang seperti Bhok-tayhiap ini jika ada sepuluh pun belum tentu sanggup menggoreskan pedang kepada tubuhnya.
“Bhok-siocia secara sukarela untuk pergi dengan cayhe. Sama sekali cayhe tidak membawa lari. Bukankah ia telah menuliskan surat kepada tayhiap?” tanyanya sopan.
Bhok-tayhiap sama sekali tidak bisa menjawab karena ia menyadari kebenaran kata-kata ini. Tiga hari yang lalu ia menemukan surat ini di atas mejanya.
“Kau…kau…” katanya terbata-bata.
“Ayah….sudahlah….aku…aku mencintainya..aku ingin hidup selamanya bersamanya” kata si nona.
Alangkah pedihnya hati seorang ayah. Setelah bertahun-tahun membesarkan dan memberikan penghidupan yang layak kepada anak perempuannya, lalu si anak perempuan meninggalkannya karena jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru dikenalnya.
Kebanyakan laki-laki jika telah menjadi ayah baru akan mengerti pemahaman ini. Baru akan mengerti betapa mereka dulu tidak disukai calon mertuanya.
Bhok-tayhiap tidak tahu harus berkata dan berbuat apa-apa. Air mata menetes di pipinya. Entah air mata kemarahan, dan air mata kesedihan.
Lalu ia menarik anak perempuannya dengan paksa.
“Jika kau berani datang dan melamarnya secara baik-baik. Aku akan merestuinya.”
Ia tidak lagi menghiraukan tangisan anak perempuannya yang meronta-ronta tidak ingin diajak pergi.
Si Jubah Merah berkata dengan tenang,
“Tunggulah di rumah”
Dan tak lama kemudian ia telah sendirian berada di situ. Bayangan si nona dan ayahnya telah menghilang ditelan kegelapan.
Ia tersenyum.
“Mengapa perempuan begitu mudah dibohongi?”
========
Kakinya melangkah dengan ringan. Tidak ada beban di dalam hidupnya. Kereta indahnya telah ia tinggalkan di dalam hutan. Ia memang lebih suka seperti ini, menembus malam sendirian dalam langkah-langkah kaki yang ringan.
Menjelang pagi ia telah memasuki sebuah dusun di pinggiran hutan. Sebuah dusun kecil dengan suasana yang amat tenang. Beberapa petani telah menyiapkan diri untuk bekerja di sawah dan ladang mereka.
Si jubah merah menanyakan di mana ia bisa menemukan penginapan kepada mereka. Seperti yang diduganya, tidak ada penginapan di dusun terpencil seperti itu. Akhirnya ia menanyakan di mana ada kedai yang menjual arak dan makanan. Salah seorang petani itu menunjukkan arah kepadanya. Dengan sedikit mencari-cari, akhirnya ia menemukan kedai itu.
Walaupun belum ‘resmi’ buka, pemiliknya mempersilahkan si jubah merah masuk. Rupanya kedai itu memang buka pagi-pagi, sekedar untuk menjual arak kepada para pekerja yang akan menggarap ladang mereka.
“Maaf masih berantakan, tuan ingin pesan apa?” tanya pemiliknya yang sudah cukup berumur. Mulutnya bertanya tapi tatapan matanya tidak pernah lepas dari wajah si jubah merah.
“Ah, lopek (orang tua) punya arak?” tanyanya sopan.
“Tentu saja. Tapi arak-arak ku tidak seenak di kota. Tapi lumayan untuk menghangatkan badan” katanya. Dengan segera pemilik kedai itu sudah mengantarkan seguci arak yang berbau harum.
Memang benar, arak itu tidak terlalu istimewa. Sejenis arak murahan yang bisa ditemukan di mana saja. Tapi di tempat terpencil seperti di dusun seperti ini, dapat menemukan arak saja sudah merupakan sebuah berkah yang luar biasa.
Si jubah merah meminumnya dengan tenang. Ia sangat menghargai arak. Baginya arak seperti perempuan, jika kau tahu cara menikmatinya, arak semasam apapun juga bisa terasa enak.
“Tuan hendak ke gunung himalaya?” tanya si pemilik kedai.
“Benar, bagaimana lopek bisa tahu?” tanyanya sambil tersenyum.
“Semua orang yang akan pergi ke Himalaya biasanya melewati tempat ini jika mengambil jalur timur” kata si lopek menjelaskan.
“Oh” si jubah merah mengangguk angguk sambil tersenyum.
“Di mana perlengkapan tuan?” tanya si lopek lagi.
“Aku tidak membawa perlengkapan apa-apa” jawabnya ringan.
“Wah, tuan bercanda? Pergi ke himalaya tanpa perlengkapan sama saja dengan bunuh diri”
“Memangnya aku perlu membawa apa saja?” tanya si jubah merah.
“Tuan perlu beberapa mantel bulu yang tebal. Cuaca di sana amat berbahaya. Tuan juga perlu menyiapkan bahan makanan yang cukup banyak”
“Di mana aku bisa membeli semua itu?”
“Si tua A Bin mempunyai toko khusus menjual perlengkapan ini. Tokonya di seberang utara. Mungkin 4 atau 5 rumah dari sini” jelas si lopek.
“Baik lah aku akan kesana sebentar lagi. Eh, apakah banyak orang yang pergi ke himalaya?” tanya si jubah merah.
“Setiap tahunnya pasti ada, dari kabar yang ku dengar ada benda berharga yang mereka cari di sana”
“Benda apa?”
“Loh, tuan bukannya hendak mencari juga?”
“Eh, tidak. Aku hanya ingin bertualang. Ku dengar di kaki gunungnya ada sejenis kaum yang amat aneh. Aku tertarik mengenal mereka”
“Oh, apakah yang tuan maksud Pek Swat Ceng (perkampungan salju putih)?”
“Benar sekali”
“Aih, kecantikan gadis-gadis Pek Swat Ceng memang amat sangat terkenal. Sampai orang-orang rela bepergian jauh hanya untuk menemui mereka.” Tukas si lopek.
“Apakah lopek pernah bertemu mereka?” tanya si jubah merah tertarik.
Si kakek mengangguk, “Beberapa anggotanya memang pernah lewat sini beberapa kali”
“Apakah mereka secantik legenda yang terdengar?”
“Tentu saja, aku yang setua ini belum pernah melihat kecantikan mereka”
Mata si jubah merah membesar.
“Apa yang mereka lakukan saat lewat sini?” tanyanya
“Cuma sekedar lewat. Tapi kami semua tahu mereka anggota Pek Swat Ceng. Dari bajunya kelihatan” jelasnya.
“Oh, ada ciri-ciri khusus di baju mereka?”
“Ya. Semua baju mereka ada bordiran huruf ‘swat’ (salju)” jawab si lopek.
Si jubah merah manggut-manggut.
“Eh tuan, bolehkah aku bertanya?” kata si lopek.
“Tentu saja”
“Tuan ini berasal dari mana?”
Si jubah merah tersenyum. Sepanjang hidupnya orang selalu menanyakan pertanyaan ini. Ia sendiri telah berusaha melupakannya. Bahkan namanya sendiri telah berusaha ia lupakan.
“Aku berasal dari kotaraja” jawabnya berbohong.
“Aih, tuan bepergian sejauh ini hanya untuk bertemu nona-nona Pek Swat Ceng?” tanya si lopek lagi.
“Benar” sahut si jubah merah sambil tersenyum, lanjutnya “Apakah pantas?”
“Pantas. Pantas sekali. Tuan tidak akan rugi berjalan sejauh ini hanya untuk bertemu mereka. Tapi……” si lopek ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa, lopek?”
“Seharusnya tuan tinggal saja di rumah, dengan wajah setampan ini, aku rasa justru nona-nona Pek Swat Ceng yang seharusnya mendatangi tuan ke kotaraja”
“hahaha” ia hanya tertawa. Di dunia ini jika orang memujinya terlalu tampan, ia yakin mereka tidak mengada-ada. Justru ketika mereka berkata wajahnya buruk rupalah baru ia yakin mereka berbohong.
“Siapa nama tuan dan apa pekerjaan tuan?” tanya si lopek lagi.
“Aku adalah seorang Siucai (sastrawan), dan aku she (marga) Li bernama Hiang” katanya sembarangan.
“Ah tuan Li Hiang? Nama yang cocok sekali” kata si lopek. Hiang berarti ‘Harum’.
Mereka mengobrol lama hingga terang tanah. Li Hiang atau si jubah merah menanyakan banyak hal kepada kakek ini. Terutama tentang daerah ini, keistimewaannya, budayanya dan lain-lain. Ia memang sangat tertarik mempelajari manusia dan ciri khasnya.
Karena pemahamannya yang mendalam tentang manusia inilah, ia mampu menaklukkan golongan manusia yang paling sukar untuk ditaklukkan, perempuan.
Matahari sudah mulai bersinar terang. Berguci-guci arak pun sudah ia habiskan. Ia pun sudah sempat tertidur pulas beberapa jam. Badannya kini sudah segar, ia telah siap memulai perjalanan.
Setelah membayar arak dan berterima kasih kepada lopek itu, ia bergegas ke toko A Bin yang menjual perlengkapan mendaki. Setelah mencari sebentar, ia menemukan toko kecil itu.
Penjaga tokonya adalah seorang nona muda, berumur belasan tahun. Begitu ia memasuki toko itu, si nona terperanjat kaget. Li Hiang cuma tersenyum.
“Eh..eh selamat siang. Tuan mencari apa?” tanya si nona.
“Aku ingin mendaki Himalaya, dan ingin membeli perlengkapan” kata Li Hiang sambil tersenyum.
Si nona mendengarkan suaranya yang dalam dan lembut itu, sekian lama baru bisa menjawab,
“Eh..ada..ada..tunggu sebentar” segera ia bergegas ke belakang dengan wajah memerah.
Begitu kembali, ia tidak datang membawa perlengkapan, melainkan membawa seorang nona pula. Nampaknya kakak perempuannya.
Sang kakak yang terlihat menahan diri, mau tidak mau terhenyak juga saat dipandang Li Hiang.
“Eh…tuan mau membeli perlengkapan mendaki?” tanyanya pelan dan terbata-bata.
“Benar. Menurut nona, apa yang kira-kira harus ku beli?” tanyanya tenang namun senyum lembut tidak pernah hilang dari bibirnya.
“Mmmmm, tuan butuh…” katanya sambil membongkar-bongkar beberapa barang, “ini…” ia menunjukkan mantel bulu.
“Lalu?” tanya Li Hiang hampir menahan tawa.
“Mmmmm…ini juga” ia menunjukkan segulungan tali yang tebal. Wajah mereka berdua memerah. Pura-pura sibuk mencari-carikan barang.
Karena gugupnya, ada beberapa barang yang terjatuh dari rak. Dengan sigap Li Hiang membantu si nona mengambil barang itu. Tak sengaja tangan mereka berdua bersentuhan.
“Ahhh” lenguhan itu hanya terdengar perlahan. Tapi Li Hiang mendengarnya. Ia memang sengaja menyentuh tangan nona itu.
“Hati-hati nona” katanya sambil tersenyum.
Rupanya barang yang jatuh tadi adalah beberapa bungkusan makanan kering. “Tuan..tuan butuh ini juga” kata si nona terbata-bata. Adiknya malah sudah tidak berada di sana. Menenggelamkan diri dibalik tumpukan barang dagangan. Li Hiang tau nona kecil itu sedang tersenyum-senyum sendiri di balik tumpukan barang itu.
“Cici (kakak), tuan itu butuh juga peralatan memasak” kata adiknya berkata dari balik tumpukan.
“Ah betul sekali, cici” kata Li Hiang menirukan sebutan ‘cici’.
“Aih mengapa tuan memanggilku cici…” kata si nona, wajahnya sedikit merengut. Tetapi rona merah dari wajahnya tidak menghilang.
“Maaf aku tidak tahu namamu” kata Li Hiang, sambil berkata begitu tangannya secara ‘tidak sengaja’ menyentuh lengan atas nona itu yang putih mulus kemerah-merahan.
“Namaku, Tan Ling” katanya.
“Oh nona Tan” kata Li Hiang pelan.
“Kalau tuan siapa namanya?” tanya adiknya dari balik tumpukan barang.
“Namaku? Ah..” Li Hiang tersenyum penuh rahasia. Lanjutnya, “Namaku kan tidak penting” katanya sambil tertawa kecil.
“Curang. Tadi bukankah ciciku sudah memberitahukan namanya? Mengapa sekarang tuan merahasiakan nama tuan?”
“Kan yang bertanya kamu, bukan cicimu” goda Li Hiang.
Pelajaran pertama menaklukkan hati perempuan: buatlah mereka penasaran. Li Hiang sudah pasti telah menguasai sekali pelajaran ini.
“Baiklah! Namaku Tan Cin” kata si adik. Dari ekor matanya, Li Hiang melihat si kakak tersenyum-senyum saja melihat salah tingkah adiknya.
“Salam kenal, nona Tan kecil” kata Li Hiang.
“Aku bukan anak kecil, umurku sudah 16” tukasnya dari balik tumpukan barang. Kepalanya muncul sejenak.
Li Hiang tertawa kecil.
Ironi terbesar manusia adalah saat kecil mereka ingin cepat dewasa, saat dewasa mereka ingin kembali menjadi anak-anak.
“Baiklah, Biar ku bantu mengangkat barang-barang yang akan kubutuhkan. Aku mungkin akan berada di sana sekitar 5 atau 6 hari”
“Baiklah, aih tuan baik sekali mau membantu” kedua nona Tan itu bekerja dengan semangat.
Bau tubuh mereka bercampur antara keringat dan wangi sabun dan pewangi. Li Hiang paling menyukai bau ini. Kadang-kadang saat ia membantu mengangkatkan barang yang cukup berat, ia menghirup bau ini.
Hal yang paling menarik dari perempuan selain wajah dan tubuh mereka, adalah wangi mereka. Bau khas yang merupakan campuran keringat dan pewangi. Wanita yang bisa merawat tubuhnya akan memiliki bau khas yang menyenangkan. Kedua nona ini, walaupun belum terlalu mengerti tentang hal ini, bau mereka masih menyenangkan. Ini mungkin karena mereka rajin menjaga kebersihan.
“Eh kemana orang tua kalian?” tanya Li Hiang.
“Ibu sudah meninggal saat kami masih kecil, ayah sekarang sedang pergi ke kampung sebelah. Ada saudara kami yang meninggal” jelas Tan Cin.
“Oh, aku turut berduka” kata Li Hiang penuh simpati.
Setelah bekerja beberapa lama, akhirnya selesai juga. Li Heng membayar semua keperluannya, bahkan membayar dengan harga lebih, kedua nona desa yang manis itu tentu saja senang.
“Tuan ada keperluan apakah ke Himalaya? Ingin mencari pusaka berharga, atau mengunjungi Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)?” tanya Tan Cin, nona kecil ini rupanya senang mengobrol.
Li Hiang menerawang, padangannya jauh ke kaki langit di mana Himalaya terasa masih begitu jauh. Ia masih diam begitu lama.
“Menurut yang kami dengar, para gadis-gadis Pek Swat Ceng itu memang cantik bak bidadari. Dibandingkan dengan gadis dusun seperti aku dan cici tentu jauh sekali” kata Tan Cin lagi.
Li Hiang seolah tersadar dari lamunannya,
“Benarkah?” tanyanya senyumnya yang tenang masih menyungging.
“Benar” tukas Tan Cin, yang dibenarkan oleh anggukan kepala Tan Ling.
“Aku tidak begitu tertarik dengan Pek Swat Ceng” kata Li Heng.
“Oh jadi tuan mencari pusaka?” tanya Tan Cin dengan mata membesar.
“Tidak juga” jawab Li Hiang pelan.
“Lalu?” serempak kedua nona mungil ini bertanya.
“Aku hanya ingin menyepi. Kalian tahu, aku adalah seorang siucai (sastrawan). Aku ingin membuat puisi yang indah dan lagu yang merdu tentang pemandangan di Himalaya”
“Kenapa..memilih himalaya” kini Tan Ling yang bertanya.
“Aku sudah mendatangi banyak tempat. Gunung dan gurun, sungai dan samudera. Hanya Himalaya ini yang belum” kata Li Heng.
Lelaki yang amat tampan, sopan, dan gagah. Pandai menuliskan kata indah, senang bertualang pula. Perempuan siapa yang tidak jatuh hati?
“Aih tuan punya syair yang bagus? Perdengarkan kepada kami” kata Tan Cin bersemangat.
“Alah, cuma syair dari penyair tak bernama, mana pantas diperdengarkan kepada peri-peri cantik” kata Li Hiang.
“Aih, tuan suka menggoda, mana pantas kami disebut peri-peri cantik?” kata Tan Cin, wajahnya semakin merona.
“Ayolah perdengarkan, tuan” kata Tan Ling.
“Baiklah jika kalian memaksa” kata Li Heng.
Ia terdiam sebentar. Memejamkan matanya. Wajahnya seperti menikmati wangi bunga yang semerbak.
Ia sendirian,
Menatap bulan dan bintang di angkasa,
Adakah seseorang di sana yang menatap pula angkasa ini?,
Merasakan yang dideritanya, Merasakan kerinduannya,
Sesungguhnya sendirian pun tak mengapa,
Asalkan ada seseorang di sana yang memikirkannya,
Sendirian pun tak mengapa.
Lalu Li Hiang terdiam, dan membuka matanya.
Puisi ini pendek dan sangat sederhana. Tapi seolah olah isi hati dan perasaannya telah tertuangkan ke dalam kata-kata yang sederhana itu.
Tan Cin dan Tan Ling seolah-olah terbawa pula oleh perasaan ini.
Lelaki yang penuh perasaan, memang memiliki pesonanya tersendiri. Kata-kata ini memang ada benarnya. Wanita mengutamakan perasaan, oleh sebab itu, lelaki yang penuh perasaan selalu dapat mengerti mereka.
“Beruntung sekali nona yang tuan rindukan itu” kata Tan Ling.
Li Hiang memandang jauh ke depan. Seolah-olah bayangan ‘nona’ yang dimaksud Tan Ling itu benar-benar berada di hadapannya. Sampai-sampai Tan Cin dan Tan Ling pun menoleh ke tempat Li Hiang menatap.
Sunyi.
Lalu Li Hiang tertawa.
“Nona itu tidak perduli” kata Li Hiang.
“Bagaimana mungkin ada orang yang tidak perduli kepada tuan?” kata Tan Cin. Terus terang ia tidak mungkin percaya ada seorang nona yang menyia-nyiakan orang seperti tuan di hadapannya ini. Lanjutnya, “Kalau bukan karena buta atau gila, tentu saja tak ada seorang pun nona yang berani menyakiti tuan”
Nona sekecil ini mengerti apa tentang cinta?
Li Hiang hanya tertawa, dengan lembut ia menyentuh lengan Tan Cin. Lengan yang montok, dan menggairahkan untuk ukuran nona seumur dia. “Tentu saja ada. Aku kan bukan seorang dewa cinta yang mampu membuat semua orang jatuh cinta kepadaku” katanya sambil tersenyum.
“Aih, bodoh sekali nona itu” kata Tan Cin merengut. Hidung dan bibirnya menjadi lebih mancung.
“Nona itu tidak perduli atau tidak tahu? Apakah tuan pernah mengungkapkan perasaan tuan kepadanya?” Tan Ling bertanya.
“Pernah”
“Lalu apa jawabnya?” tanya mereka serempak.
“Ia hanya tertawa dan pergi”
Perempuan yang tertawa dan pergi bukan hanya dia seorang, pun dia bukan orang yang terakhir. Laki-laki di mana pun di dunia ini pasti suatu waktu pernah bertemu dengan perempuan yang tertawa dan pergi. Entah bagaimana perasaan laki-laki di saat itu, hanya laki-lakilah yang benar-benar mengetahuinya.
“Lalu?” tanya mereka serempak lagi.
“Apanya yang ‘lalu’?” tanya Li Hiang sambil tertawa.
“Apa yang kemudian tuan lakukan?”
“Aku pun pergi” katanya sambil mengangkat bahu.
“Tuan tidak mengejarnya?”
“Tidak” kata Li Heng.
“Aihhhh”
Jika perempuan mengatakan ‘tidak’ kepada lelaki, dan menyuruhnya pergi, maka kemungkinannya hanya dua. Ia ingin dikejar, atau ia benar-benar ingin lelaki itu pergi.
Sayangnya saat itu Li Hiang tidak mengerti pemahaman ini.
Laki-laki selalu memang terlambat memahami perempuan.
Saat ia akhirnya mengerti, ia memastikan kepada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah mengalami lagi penderitaan seperti ini.
“Ah sudahlah, aku harus berangkat. Tak lama lagi akan sore” kata Li Hiang. “untuk kenang-kenangan, ku harap nona berdua mau menerima ini”. Ia mengeluarkan dua buah giok yang indah dari kantongnya.
“Aih indah sekali, mana berani kami menerimanya” kata Tan Ling.
“Terima lah, suatu hari jika kita bertemu, aku kan bisa mengingat kalian berdua” kata Li Hiang. Ia lalu pergi dengan memanggul barang-barang yang dibelinya.
Lama keuda orang ini memandang Li Hiang.
“Ia nampaknya tidak seperti yang orang-orang ceritakan” kata Tan Cin.
“Benar. Ayo kita tuliskan laporan kepada suhu” kata Tan Ling.
Jauh berjalan, Li Hiang masih tersenyum,
“Nona-nona bodoh itu apa merasa aku tolol?” ia tertawa.
===========
aya kaum perempuan dan membunuh korban-korbannya tanpa ampun”.
Tan Ling mengangguk. Lanjut Tan Cin, “Sebenarnya, apa yang membuat ia menjadi orang seperti itu?”
“Menurut kisah yang kudengar,” kata Tan Ling, “latar belakang hidupnya tidak jelas. Menurut kabar angin yang terdengar, ia terlahir tanpa ayah yang jelas. Ibunya adalah wanita penghibur di sebuah rumah bordil terkenal. Setelah dewasa ia bertemu seorang ahli silat tanpa nama namun sangat sakti. Ilmu silatnya sendiri pun tidak jelas berasal dari mana”
“Jika sejak kecil ia hidup bersama wanita-wanita penghibur, ia pasti terlatih sekali menghadapi perempuan” ujar Tan Cin.
“Begitulah” tukas Tan Ling. Mata mereka memandang jauh ke depan. Ke arah bayangan jubah merah itu menghilang. Ada perasaan aneh di hati mereka.
Hati perempuan seperti melekat pada langkah-langkahnya. Langkah-langkah yang sangat ringan namun tanpa beban. Tetapi orang yang terlihat tanpa beban, justru sebenarnya menyimpan penderitaan yang teramat dalam.
Matanya mencorong tajam dan bercahaya. Senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya. Jika seorang wanita terluka parah, hanya dengan memandang senyum ini, lukanya pasti akan tersembuhkan. Senyum adalah senjatanya yang paling hebat. Bukan untuk menaklukan hati orang, melainkan untuk menyembuhkan luka dan penderitaannya sendiri.
Teringat ia akan kisah hidupnya, ia terpaksa tersenyum. Senyuman hangat yang memilukan. Ia terlahir sebagai anak yang tidak jelas. Lahir dari rahim seorang wanita penghibur. Ibunya dulu adalah salah seorang wanita tercantik di sebuah rumah bordil di kotaraja. Ia tak tahu siapa ayahnya. Sejak kecil ia belajar mempertahankan hidup dengan menjadi pembantu di rumah bordil itu. Menjadi tukang bersih-bersih dan mempersiapkan segala kebutuhan para penghuninya.
Sebagai orang yang hidup di rumah bordil, ia tahu betul seluk beluk kehidupan wanita penghibur. Bagaimana mereka harus bertahan hidup dengan menjual tubuh. Apapun yang terjadi harus tampil cantik, harus dapat menyenangkan hati tamu. Salah sedikit mendapat hajaran dan hinaan. Ia menjadi saksi bagaimana wanita-wanita ini menyimpan airmata dan memasang topeng senyuman paling indah.
Saat berumur 15 tahun, ia jatuh cinta kepada seorang gadis. Seorang gadis yang berasal dari keluarga terhormat dan merupakan salah satu keluarga yang paling kaya di kotaraja. Dengan berani ia mengungkapkan perasaan itu kepada sang gadis pujaan. Apa nyana ternyata ia ditertawakan dan dihina. Latar belakang kehidupannya sebagai jongos sebuah rumah bordil tentu saja tidak menarik bagi perempuan manapun.
Dalam kesedihannya, seorang gadis penghuni rumah bordil itu memberi perhatian yang dalam. Hiang Hiang namanya. Hiang Hiang mengajarkannya tentang banyak hal. Bagaimana seorang lelaki harus bersikap dan menghadapi wanita. Segala seluk beluk tentang perempuan dipelajarinya dari Hiang Hiang. Bagaimana menyenangkan mereka, meneduhkan hati mereka, menyikapi mereka.
Ia pun kehilangan keperjakaannya untuk pertama kali pada Hiang Hiang. Dengan sabar Hiang Hiang mencintai dan merawatnya, hingga suatu hari Hiang-Hiang ditebus seseorang. Sejak saat itu ia tak pernah bertemu kembali dengannya. Namun segala pelajaran Hiang Hiang telah merasuk di dalam jiwanya. Seluruh perempuan di rumah bordil itu ditaklukannya. Ibunya yang sudah beranjak tua, tidak perduli dengan kelakuannya. Selama ia tidak mencuri atau merampok, sang ibu membebaskannya untuk melakukan apa saja.
Semakin lama ia semakin berani. Setelah menaklukan gadis-gadis rumah bordil, ia pindah menaklukan gadis-gadis di luar rumah bordil. Siapapun yang ia temui, asal mereka perempuan, ia menaklukkannya. Bahkan kemudian istri-istri para hartawan dan pejabat pun tertarik padanya.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, tentu akan terjatuh juga. Hubungan gelapnya dengan istri salah seorang pejabat tertangkap basah. Ia dipukuli sampai hampir mati. Untunglah ada seseorang datang menolongnya. Seorang nenek tua yang teramat sakti.
Nenek itu merawatnya dan mengajarkannya ilmu-ilmu silat hebat. Mereka hidup di sebuah tempat terpencil. Tetapi semua kebaikan nenek itu tentu harus dibayar mahal. Ia harus memuaskan nafsu nenek itu. Seorang pemuda tampan melayani nenek-nenek tua. Walaupun sejak dahulu sampai sekarang cerita ini bukan cerita yang aneh, tetap saja orang-orang masih mual saat mendengar kisah seperti ini.
Apalagi hubungan guru dan murid adalah sebuah hubungan yang sakral bagi orang-orang Tionggoan. Hubungan itu seperti hubungan orang tua dan anak, sehingga jika terjadi cinta antara guru dan murid hal itu dianggap sangat tabu. Seorang pendekar besar di jaman dulu yang bernama Yo Ko pernah mengalami penderitaan yang besar saat memiliki hubungan cinta dengan gurunya. Ia harus mengalami penderitaan dan cobaan yang teramat besar.
Untuk menghindari penderitaan itulah nenek tua dan si jubah merah ini menyepi di sebuah gunung terpencil. Setelah nenek itu meninggal, si jubah merah memutuskan untuk turun gunung dan terjun ke dunia Kang Ouw.
Dengan warisan ilmu sakti dan sebilah pedang ungu yang konon merupakan milik pendekar Tok Ho Kiu Pay, si jubah merah melanglang dunia. Pada awalnya ia tidak pernah menggunakan pedang sakti itu dan disembunyikannya baik-baik dibalik jubahnya. Ilmunya teramat sakti sehingga ia tak pernah perlu untuk menggunakan pedang itu. Selama 3 tahun ia bertualang, tak pernah sekalipun ia menggunakan pedang itu. Hingga pada akhirnya, ia bertemu dengan lawan yang sangat kuat sehingga mau tidak mau ia harus menggunakan pedang itu.
Seperti dugaannya, kalangan Kang Ouw heboh mendengar bahwa pedang ungu Tok Ho Kiu Pay telah ditemukan. Berbagai pendekar dari bermacam kalangan mulai memburunya. Kehebatan pedang ini telah begitu melegenda dan menjadi impian begitu banyak orang.
Kini ia telah berada di sini. Namanya telah menggetarkan 8 penjuru angin. Semua orang mengenal namanya, mengenal kehebatannya. Tetapi dari semua hal dan semua penderitaan serta kenikmatan yang dilaluinya, hatinya masih merasakan kesepian. Rasa sepi itu begitu aneh. Selalu datang pada saat yang salah. Kepada orang yang salah pula.
Telah begitu banyak wanita yang memberikan hati untuknya, namun hatinya hanya untuk Hiang Hiang. Wanita itu kini telah sakit-sakitan. Sebuah sakit aneh yang mungkin di dapatkannya dari pekerjaannya sebagai wanita penghibur. Dengan segala kemampuannya, si jubah merah mencari jejak Hiang Hiang dan akhirnya menemukannya. Hidup menyendiri, sakit-sakitan, tanpa ada seorang pun merawatnya.
Ia telah membawakan berbagai macam tabib, tetapi tak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkannya. Perjalanannya ke Himalaya ini pun dilakukannya demi Hiang Hiang. Tak ada seorang pun yang tahu sosok Hiang Hiang ini di hidup si jubah merah. Hanya ia yang paling tahu, dan paling paham betapa sosok itu begitu berarti di dalam hidupnya.
Seorang lelaki, jika telah mencinta, akan mencintai seumur hidupnya. Tidak perduli ada berapa banyak wanita yang hadir di dalam hidupnya, selalu ada sebuah ruang kosong yang indah, suci, dan terjaga bagi seorang wanita itu di dalam hatinya. Bidadari yang suci bersih karena cinta seorang lelaki, tak perduli apapun yang telah wanita itu lakukan sebelumnya di dalam hidupnya.
Meskipun ia telah bertualang sekian lama, dari perempuan ke perempuan, menaklukan hati mereka, tetap saja hatinya telah sepenuhnya milik Hiang Hiang. Sejauh apapun ia melangkah pergi, hatinya telah tertinggal pada wanita itu. Setinggi apapun ia terbang, akar cintanya tertanam terlalu dalam pada sosok Hiang Hiang.
Hiang berarti ‘harum’ atau ‘wangi’. Itulah kenapa ia memakai nama itu untuk menutupi nama aslinya yang bahkan terkadang ia pun lupa. Ia bukan orang yang suka mengingat masa lalu. Karena masa lalu adalah hal yang tak pernah bisa terulang kembali. Ia selalu menatap masa depan, dan masa depan yang gemilang telah berada di depannya. Ia hanya perlu untuk meraihnya. Dengan segalanya yang telah ia miliki, ia bisa menjadi orang paling ternama di dunia ini, tapi ia mengesampingkannya. Baginya Hiang Hiang adalah seluruh hidupnya. Ia harus mampu menyembuhkannya.
Kadang-kadang, lelaki atau perempuan yang paling bejat pun, mampu memiliki cinta yang teramat suci dan bersih.
Si jubah merah menatap ke depan, sebentar lagi ia akan memasuki sebuah hutan pinus yang indah. Wangi pepohonan pinus tertiup angin. Salju pada dedaunan membeku dan memutih. Seperti cinta, semakin membeku kadang malah bertambah putih dan suci. Mungkin seperti itulah cinta sejati. Beku, dingin, dan sepi.
Hari semakin gelap ketika ia melintasi hutan pinus itu. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Segera ia mengeluarkan peralatan masak dari dalam kantong peralatannya. Setelah membuat perapian, ia lalu berburu. Tidak perlu waktu lama ia telah berhasil menangkap seekor kelinci gemuk.
Makanan enak, dan arak. Tidak ada yang lebih nikmat dari kedua hal itu di tempat seperti ini. Bau panggangan bercampur dengan wangi hutan pinus, siapapun yang mampu membayangkannya pasti akan menginginkannya.
Tak lama kemudian ia mendengar suara langkah yang semakin mendekat. Ia menajamkan telinga. Lalu munculah sesosok bayangan. Tan Cin!
“oh, kau” tukas Li Hiang sambil tersenyum manis.
Tan Cin tidak menjawab, ia hanya terpana. Lalu berkata, “Aku tidak mengejar kau” katanya bersungut.
“Tentu saja. Tapi apapun yang ingin kau kerjakan, mengapa tidak beristirahat sejenak dan menikmati daging kelinci?” kata Li Hiang ringan.
“Apa yang tuan panggang?” kata ‘kau’ tadi sudah berubah menjadi ‘tuan’.
“Kelinci yang gemuk” sambil berkata begitu, ia mencabik paha kelinci, meletakkannya diatas daun yang bersih, lalu menyerahkannya kepada Tan Cin, “hati hati panas”.
Tan Cin menerimanya dengan tersenyum. Betapa perhatiannya laki-laki ini.
Setelah mengunyah sejenak, ia memuji “Masakan tuan enak!”
“Aku memang suka memasak”
“Benarkah? Ku kira para lelaki memandang pekerjaan itu hanya milik kaum perempuan” tukas Tan Cin.
“Pekerjaan perempuan toh bukan pekerjaan yang hina. Justru menjadi perempuan, dan mengerjakan pekerjaan perempuan amatlah sulit” jelas Li Hiang.
“Oh ya? Tuan beranggapan begitu?”
“Iya. Jika aku menjadi perempuan, aku tak dapat membayangkan segala persoalan berat yang akan kuhadapi. Menjadi perempuan itu tidak mudah”
“Contohnya?”
“Perempuan adalah makhluk indah, yang terindah adalah perasaannya. Mereka hidup dikendalikan oleh perasaan. Tidak perduli apapun yang mereka kerjakan atau hadapi, mereka selalu menggunakan perasaan untuk menjalaninya. Bahkan mereka rela melakukan apa saja karena dorongan perasaan. Mereka rela menjalani kesulitan-kesulitan hanya demi perasaan mereka” tutur Li Hiang.
“Benaaaaaar sekali. Tuan nampaknya sangat memahami perasaan perempuan. Sangat mengerti perempuan” puji Tan Cin.
“Laki-laki yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena bodoh tentu karena pikun. Aku hanya mencoba menyelami perasaan perempuan saja. Jika laki-laki bisa melakukannya, sedikit banyak mereka akan mengerti mengapa perempuan bertingkah seperti perempuan”.
Tan Cin terdiam. Perkataan Li Hiang tepat menusuk di jantung hatinya. Lama sekali baru ia berkata, “Tuan, apakah tuan pernah membunuh orang?”
Li Hiang tidak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum. “Pernah”
Tan Cin hanya memandangnya. Lalu berkata, “Mengapa?”
“Karena mereka ingin membunuhku.”
Sebuah jawaban yang sangat tepat. Tan Cin seperti kehabisan kata-kata. Li Hiang pun membiarkannya sibuk dengan pikiran-pikirannya.
Setelah sekian lama, akhirnya Li Hiang yang bicara, “Kau ingin bertanya mengapa aku membunuh puluhan bahkan ratusan wanita-wanita yang tak berdaya, bukan?”
Perkataan yang sangat tepat. Memang pertanyaan itulah yang ada di benak Tan Cin, ia hanya tak tahu bagaimana mengutarakannya.
“Kau mungkin telah mendengar bahwa aku adalah seorang laki-laki bejat yang pekerjaannya merusak perempuan, lalu membunuh mereka saat sudah selesai”
Tan Cin terdiam, rupanya Li Hiang benar-benar telah membaca isi hatinya.
“Semua cerita itu hanya fitnah. Aku bahkan tak pernah membunuh seorang wanita pun. Segala pembunuhan-pembunuhan itu bukan aku yang melakukannya”
“Lalu siapa?” tanya Tan Cin.
“Entahlah. Mungkin salah seorang musuh-musuhku melakukannya demi memfitnahku.”
Tan Cin memandang wajah lelaki di hadapannya lama sekali. Ia baru beberapa jam mengenalnya. Tapi jika disiksapun ia tak akan mau percaya bahwa laki-laki ini sanggup melakukan kebejatan yang didengarnya.
“Aku percaya kepadamu” hanya itu yang keluar dari mulutnya setalah sekian lama terdiam.
“Terima kasih” sambil berkata begitu, ia melepaskan jubah merahnya dan menyelimuti tubuh Tan Cin. Nona mungil yang manis. Wajahnya kemerah-merahan saat jubah yang wangi itu menghangatkan tubuhnya.
“Tuan.., bagaimana tuan tahu pertanyaan itulah yang ingin kutanyakan?” tanya Tan Cin.
Li Hiang tertawa. “Sejak awal aku sudah curiga bahwa kau bukanlah anak pemilik toko perlengkapan. Tangan kalian begitu halus. Kalian pun tidak tahu letak barang-barang yang akan ku beli. Seharian kalian membuat toko itu berantakan” jelasnya.
“Aih….”
“Tapi sudahlah, apapun maksud kalian kepadaku, aku tak kan bertanya. Jika kau ingin pulang dan melapor kepada orang yang menyuruhmu, kau boleh pergi. Tapi jika kau ingin tetap di sini dan bercakap-cakap, aku ingin menemanimu” kata Li Hiang.
“A..aku harus pulang” kata Tan Cin terbata-bata.
Li Hiang tersenyum. Dalam hati ia berkata, “Ya, kau harus pulang. Tapi kau tak ingin melepaskan kesempatan untuk berduaan denganku”. Tapi ia berkata,
“Hari sudah malam, jika kau pulang sekarang kau bisa tersesat. Lagian, kau belum lagi melakukan yang diperintahkan kepadamu”
“Jangan sok tahu, memangnya apa yang diperintahkan kepadaku?”
Li Hiang yang tersenyum. Ia hanya menuangkan arak dari guci dan menenggaknya. Tan Cin hanya memperhatikan dengan penasaran.
“Eh tuan, memangnya kau tahu apa yang diperintahkan kepadaku?” tanya Tan Cin penasaran.
“Mengapa kau bertanya kepadaku? Isi perintah itu kan hanya kau yang tahu” jawab Li Hiang sambil tersenyum.
“Kau jahat!”
“Sedikit” tukas si jubah merah sambil tersenyum. Ia lalu melanjutkan meminum arak tanpa memperdulikan Tan Cin sama sekali.
Nona itu memandangnya dengan gemas.
Pelajaran kedua: semakin kau tidak memperhatikan seorang perempuan, semakin ingin ia engkau perhatikan.
Tentu saja Li Hiang telah lulus pelajaran ini.
“Aku tak ingin berbicara lagi kepadamu” kata Tan Cin dengan marah.
“Kenapa?”
“Kau jahat!” kata ‘tuan’ sudah berubah menjadi kata ‘kau’.
“Aku apa pernah menyakitimu?”
Tan Cin berpikir sebentar, “tidak”
“Nah”
“Tapi kau tetap jahat!”
“Sebabnya?”
“Kau bermain rahasia denganku!”
“Memangnya kau tidak bermain rahasia denganku?”
Tan Cin terdiam lagi.
“Ihhh” dengan gemas ia membanting kaki dan melempar kerikil-kerikil kecil ke arah Li Hiang. Si jubah merah tidak menghindarinya dan hanya tertawa.
“Masih berapa jauh lagi dari sini ke Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)?” tanya Li Hiang.
“Entah” kata Tan Cin sambil membuang muka.
“Sekarang kau lah yang bermain rahasia denganku” tukas Li Hiang.
“Kau bertanya kepadaku, lantas aku bertanya kepada siapa?” tanya Tan Cin ketus.
“Kau tidak perlu bertanya kepada siapa-siapa. Kau kan hafal sekali jalan menuju ke sana” tawa Li Hiang.
“Sok tahu!”
Li Hiang tertawa. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa perkampungan itu mengirimkan anggotanya yang masih hijau untuk menghadapinya.
Untuk sejenak mereka terdiam. Menikmati pikiran masing-masing.
Malam beranjak semakin larut. Kekelaman menyelimuti dunia. Ada api unggun untuk penerang dan penghangat suasana. Ada kebersamaan. Dua orang anak manusia, duduk saling berhadap-hadapan.
Nona itu lalu menggigil. Cuaca di tempat itu memang sangat dingin.
Dengan sigap Li Hiang menambah kayu untuk memperbesar api, lalu pindah duduk ke sebelah nona itu. Katanya “Aku kedinginan”.
Dengan pintar ia mengaku kedinginan saat ia melihat nona itu kedinginan pula. Dengan pintar ia memindah posisi duduknya dengan alasan ini. Ia tidak bertanya apakah nona itu kedinginan. Tetapi mengaku diri sendiri yang kedinginan. Menghadapi perempuan, ia sangat paham caranya. Karena ia tahu, jika ia menyuruh nona itu mendekat kepadanya, nona itu akan menolak.
Mereka mengobrol dan bercanda. Li Hiang menceritakan kisah-kisah seru dan unik kepada nona itu. Tak terasa duduk mereka semakin dekat dan semakin rapat. Lalu entah kapan, lengan Li Hiang telah merangkul nona itu. Tak butuh waktu lama baginya agar nona itu berada di dalam pelukannya.
Menghadapi perempuan harus seperti ini. Dengan lembut namun pasti. Kau harus tahu kapan maju dan kapan mundur. Bujuk rayu lelaki memang berbahaya. Yang paling berbahaya adalah merayu tanpa kata-kata. Hanya lelaki yang berpegalaman yang mampu melakukannya. Dengan senyum, dengan perbuatan-perbuatan kecil yang remeh, hati perempuan akan dengan mudah di rayu.
Pelajaran ketiga: merayu perempuan bukanlah dengan kata-kata.
Tentu saja ia telah menguasai dengan baik pelajaran ini.
Bibir mereka bersentuhan. Ciuman yang lembut. Sentuhan yang halus. Rembulan di tengah malam. Wangi hutan pinus yang menyegarkan.
Lama sekali mereka berciuman, ketika Li Hiang tersadar bahwa ia telah tertotok oleh nona mungil ini!
“Ternyata nama besar Jai Hwa Sian hanya nama kosong” kata Tan Cin sambil tertawa.
Li Hiang pun hanya tertawa.
Pelajaran ke empat: Laki-laki manapun di dunia ini yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena bodoh, tentu karena sudah pikun.
=========
Tan Cin mengeluarkan sebuah sempritan dari sakunya, lalu meniupnya. Tak berapa lama serombongan perempuan cantik sudah datang.
“Kau berhasil!” tukas salah seorang.
Tan Cin tersenyum, “Menaklukan laki-laki yang bernama besar seperti dia ternyata sangat mudah”
“Kerja yang bagus” kata salah seorang memuji.
Li Hiang saat melihat mereka tetap tersenyum, ujarnya “Memang benar cerita yang kudengar. Para gadis Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih) memang cantik-cantik”
“Tutup mulutmu” seorang gadis memarahinya, tapi saat memandang wajah Li Hiang, gadis itu terhenyak. Orang buta pun terhenyak memandang Li Hiang.
Beberapa orang gadis lalu memondong tubuh Li Hiang untuk diletakkan diatas sebuah kereta yang sudah mereka siapkan. Setelah membongkar-bongkar barang bawaan Li Hiang, mereka akhirnya menemukan yang mereka cari.
“Ada!” wajah mereka semua gembira.
Saat ditarik, pedang itu memancarkan cahaya keungu-unguan. Tentu saja benda inilah yang mereka cari.
“Jika kalian mencari pedang itu, kenapa tidak meminta saja? Tidak perlu repot-repot menculikku” ujar Li Hiang sambil tertawa.
“Mulutmu seperti perempuan. Terlalu cerewet” bentak salah seorang.
Mereka lalu berangkat pergi dari situ sambil menyekap Li Hiang di dalam kereta. Dibutuhkan perjalanan berhari-hari untuk sampai ke markas mereka. Sepanjang perjalanan Li Hiang menolak untuk makan dan minum. Hanya sekali-sekali saja ia mau menerima roti atau buah pemberian nona-nona itu.
“Jika kau tidak mau makan, kami tak perduli. Tapi jika sampai kau mati di perjalanan, guru akan memarahi kami” kata seorang gadis. Wajahnya cukup ramah. Pipihnya sedikit montok. Li Hiang senang memandang wajahnya.
“Terima kasih” Li Hiang terima saja ketika ia disuapi nona itu. “Nona baik sekali. Tidak seperti yang lain. Mereka semua judes” kata Li Hiang sambil tersenyum.
“Makanya kau harus menurut kata-kataku. Kalau tidak, aku akan lebih judes daripada mereka” tukas si nona pipi montok.
“Baiklah cici (kakak perempuan) yang baik” kata Li Hiang.
“Eh, kau memanggilku kakak? Ditengok dari wajah saja, sudah jelas kau lebih tua daripada aku”
“Memangnya berapa umur cici yang baik?” tanya Li Hiang serius. Jika bertanya, orang akan merasakan pertanyaannya sungguh-sungguh dan ia benar ingin tahu.
“Umurku 20 tahun. Dan kau jangan memanggil aku cici”
“Dua puluh tahun? Wah, tadinya aku ingin menggodamu karena ku kira kau seorang nona cilik”
“Nona cilik?”
“Benar. Dilihat dari wajahmu, tak ada seorang pun yang percaya kau berumur 20 tahun”
“Memangnya tampangku seperti orang berumur berapa?” tanya si nona penasaran.
“Paling banyak 16 tahun atau 17 tahun” jelas Li Hiang.
Pipi nona yang montok itu memerah. Lalu ia berkata, “Kau tak perlu menggodaku!” sambil berbalik pergi.
Tapi sebelum pergi, ia menoleh dan berkata, “Jika kau ingin makan sesuatu, mintalah kepadaku.”
Li Hiang mengangguk, dan berkata dengan tulus “Terima kasih, nona”
Pelajaran kelima: perempuan paling suka dianggap lebih muda.
Tentu saja Li Hiang amat memahami pelajaran ini.
Dengan pendengarannya yang tajam, ia bisa mendengar nona-nona itu membicarakan dirinya.
“Eh kau harus hati-hati jika berbicara kepadanya, kata suhu ia pintar merayu” kata salah seorang.
“Benar” yang lain mengiakan.
“Ah dia tidak sehebat itu” seorang nona membantah.
“Hei Cin Cin, saat kau bersamanya, apa ia merayumu?” tanya salah seorang.
“Ih, dia sih tidak sehebat kabar yang terdengar. Kami cuma mengobrol biasa dan sama sekali ia tidak merayuku. Kecuali saat ia mencoba memelukku” jelas Tan Cin yang rupanya bernama Cin Cin.
“Ia memelukmu?” serempak mereka bertanya.
“Waaaah, kau beruntung sekali”
“Aih, aku sih, mana mau dipeluk laki-laki kurang ajar macam begitu” tukas salah seorang.
“Eh kau tidak boleh menyalahkan dia, dia kan hanya menjalankan perintah suhu” timpal salah seorang.
Li Hiang tersenyum.
Perempuan. Mereka begitu akrab, tapi begitu suka menyimpan perasaan tidak suka satu sama lain. Seakrab-akrabnya perempuan, pasti memendam ketidaksukaannya kepada sahabatnya. Hal ini entah sudah menjadi bagian dari sifat mereka, atau karena pengaruh lingkungan, Li Hiang hanya tertawa.
Ia mencoba beristirahat. Perjalanan masih panjang. Dan gadis-gadis di luar kereta masih bertanya-tanya mengapa lelaki ini masih tetap tenang dan menjaga kesopanannya.
Keeseokan paginya, cahaya mentar bersinar menembus jendela kereta. Tiga orang wanita di dalam kereta duduk dengan sigap di hadapannya. Seolah-olah lelaki yang baru bangun tidur adalah seekor singa yang siap menerkam mereka.
“Selamat pagi sam-wi-siocia (tiga nona)” ucapan salam ini dilontarkan dengan sopan dan ringan, seolah-olah ia bukan tawanan nona-nona ini.
“Pa…pagi” nona pipi montok menjawab dengan ragu-ragu, diikuti pelototan mata kedua nona yang lain.
“Eh, kalian belum tidur?” tanya Li Hiang.
“Apa perdulimu?” jengek salah seorang.
“Manusia jika kurang tidur, kulit akan mengendur, kantong mata akan timbul, pipi menjadi tembem. Jika keseringan, tak lama lagi gadis cantik akan berubah menjadi nenek-nenek. Apa kalian belum mendengar hal ini?”
Mendengar penjelasan Li Hiang mau tidak mau ketiga nona itu tergetar juga hatinya. Maklumlah, menjadi tua adalah ketakutan wanita di manapun di dunia ini.
Lanjut Li Hiang, “Banyak-banyaklah minum air putih, hal ini lumayan membantu”
“Tidak perlu sok memberi perhatian!” bentak nona manis yang tubuhnya agak sedikit terlalu kurus. Tapi cantik sekali.
Li Hiang tersenyum saja, perempuan selalu ‘marah’ jika ada yang memberi perhatian. Padahal hati mereka senang. Ini mungkin hanya sekedar menutupi rasa senang, atau mereka khawatir jika perhatian itu hanya basa-basi.
Li Hiang hanya mengangguk-angguk saja. Saat menoleh di luar, pemandangan sungguh indah. Mereka sedang melalui bukit. Di kanan kiri pemandangan sangat menarik hatinya.
Ia tersenyum memandang pemandangan di luar sana. Seolah-olah ia sendirian di sana.
“Orang ini sudah gila. Tersenyum-seyum sendiri” bisik gadis-gadis itu.
Li Hiang seperti tidak mendengar kasak kusuk nona-nona di depannya. Perhatiannya terpusatkan memandang keindahan alam di jendela. Sekian lama ia menikmati pemandangan itu, nona-nona di depannya sudah mulai bosan.
Ia sama sekali tak berkata apa-apa. Sikapnya tenang dan tak ragu-ragu. Senyum lembutnya tak pernah hilang.
“Apa yang kau lihat di jendela itu?” tanya si pipi montok.
“Kecantikan”
Mendengar kata ‘kecantikan’, ketiga nona turut menoleh. Yang mereka lihat hanyalah alam. Mereka telah berkali-kali melihatnya. Terlalu sering malah.
“Hmmmmm”
Kata ‘Hmmmm’ adalah kata yang paling diucapkan perempuan. Itu mereka lakukan jika apa yang ada di hati mereka berbeda dengan apa yang ingin mereka ucapkan.
Li Hiang masih memandang ke luar jendela. Terbentang sebuah danau yang indah. Daerah di sekitar Himalaya memang diliputi banyak danau.
“Hey kau, makan dulu” kata si kurus, sambil berkata begitu ia mengeluarkan bekal roti dari dalam bungkusan. Li Hiang seolah-olah tidak mendengarkan.
Dengan gemas nona itu membanting kaki, “Ya sudah jika tidak mau makan, biar kau mampus kelaparan!”
Li Hiang menoleh kepada nona pipi montok, “Nona membawa bekal apa?”
“Aku…aku membawa kacang-kacangan” jawab si pipi montok.
“Aku mau kacang” sahut Li Hiang sambil tersenyum. Dengan rikuh si nona menyuapkan kacang-kacangan itu ke mulut Li Hiang. Kedua nona yang lain memandang dengan iri.
Li Hiang makan dengan lahap namun perlahan. Caranya mengunyah kacang menyenangkan sekali. Dengan tersenyum ia memuji gelang giok milik si pipi montok,
“Indah sekali giok itu”
Si popo montok tersenyum, tapi buru-buru ia mengubah sikap.
Dua temannya yang lain melengos. Tapi walaupun mereka melengos, secara tidak sadar masing-masing merapikan rambut dan pakaian.
Hari telah memasuki siang yang terik. Walaupun cahaya matahari bersinar terang, cuacanya masih terasa sangat dingin. Mereka berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda-kuda. Si pipi montok dan si kurus kini pindah ke depan, berganti tugas dengan dua orang yang tadinya bertugas sebagai kusir.
Begitu kedua nona yang tadinya menjadi sais itu masuk ke dalam kereta, terciumlah wangi yang khas yang keluar dari tubuh dan pakaian Li Hiang. Perempuan paling suka wewangian. Tapi wewangian itu harus lembut dan tidak menusuk, ada perasaan tersendiri di hati mereka kita mencium wewangian seperti ini.
“Ah ji-wi siocia (kedua nona)” sapa Li Hiang halus sambil menganggukan kepala.
Kedua nona yang baru masuk itu tidak membalas, hanya saling menatap mata Li Hiang dan menundukkan muka. Tidak perlu siapapun engkau, asalkan kau perempuan, kau pasti akan tertunduk malu jika dipandangi Li Hiang.
“Kalian beristirahatlah” kata si nona yang tertinggal, rupanya ia ketua rombongan nona-nona cantik ini. Walaupun ia bukan yang paling cantik, tatapan matanya sangat mempesona. Mau tidak mau, Li Hiang harus memujinya,
“Mata nona…”
Ia menjengek, “Kenapa mataku?”
Li Hiang hanya mendengus sambil tersenyum. Menaklukan perempuan galak ada caranya sendiri. Untuk saat ini ia sebaiknya menahan diri.
Kedua nona yang baru masuk tadi, kini sudah mulai merebahkan diri bersandar pada dinding kereta yang terbuat dari kayu itu. Walaupun tidak terlalu besar, kereta ini memang lumayan mewah.
Setelah beristirahat cukup, akhirnya perjalanan di mulai lagi. Li Hiang membuka omongan, “Aku heran, mengapa ketuamu menyuruh kalian meringkusku di sana. Padahal jika ini dilakukan di dalam markas kalian, bukankah jauh lebih gampang?”
Tak ada yang menjawab, hanya nona mata indah yang menoleh padanya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi diurungkannya. Kedua nona lain sudah malas bicara, mungkin karena ingin beristirahat.
Setelah berpikir sejenak, Li Hiang tersenyum sambil berkata, “Ah aku tahu”.
Si nona mata indah menatapnya, menanti ia berbicara lebih jauh. Tetapi setelah sekian lama menunggu, Li Hiang tidak kunjung bicara. Karena penasaran, si mata indah bertanya, “Apa yang kau tahu?”
Li Hiang hanya menatapnya sekilas lalu tersenyum lagi. “Jika nona sudah tahu, mengapa bertanya?”
“Apa kau selalu bersikap semenyebalkan ini? Aku heran bagaimana gadis-gadis itu bisa tertipu dengan manusia macam kau!”
Senyum di wajah Li Hiang menghilang dengan cepat, katanya dingin. “Kau pikir aku manusia macam apa? Masa dengan otakmu yang cerdas kau tak dapat berpikir bahwa aku sebenarnya mengalah terhadap kalian?”
“Hah? Jangan melucu”
Bagitu kata ‘cu’ selesai, Li Hiang telah meniupkan sebuah kacang dari dalam mulutnya. Tiupan itu sangat keras dan cepat menghujam kepada hiat to (titik syaraf) yang tertotok. Dengan serta merta totokannya terbuka. Si mata indah masih belum sadar apa yang terjadi ketika dengan cepat, tangan Li Hiang telah menutuk tiga hiat to di tubuhnya. Si mata indah diam tak berkutik.
Kedua nona yang tadi beristirahat pun sudah terkena totok!
Li Hiang menatap si mata indah dengan tajam. “Jika aku menelenjangimu sekarang, kira-kira apa yang bisa kau perbuat?”
Matanya jauh memandang keluar jendela. Rasa sepi di hatinya entah bagaimana bisa diobati. Semakin ia memandang jauh ke luar, semakin wajah Hiang Hiang terbayang di matanya.
Dengan sedih ia menoleh ke si mata indah yang kini memandangnya dengan sangat ketakutan. Lalu ia berkata, “Aku akan membuka totokan kalian. Berjanjilah untuk tidak berbuat bodoh. Jika aku melihat kalian melakukan hal bodoh, dalam satu kali gerakan aku akan melepas Am Gi (senjata rahasia) yang menembus lehermu. Mengerti?”
Si nona dan kedua sahabatnya hanya mengedipkan mata dengan ketakutan. Li Hiang benar-benar membuka totokan mereka. Lalu berkata, “Jangan ganggu tidurku. Kalian pun tidurlah.”
Lalu dengan tenang ia pun berbaring dan memejamkan mata.
Keringat dingin telah membasahi tubuh mereka. Dalam mimpi pun mereka tidak pernah membayangkan betapa berbahayanya lelaki ini. Mereka hanya bisa memandangnya dengan segala macam perasaan bercampur aduk.
Lalu secara tiba-tiba, Li Hiang membuka mata, “Nona yang matanya indah, siapa namamu?”
“Eh..eh”
“Namamu Eh Eh?”
“Eh…na..namaku Sim Lan”
“Oh, nona Sim Lan. Salam kenal. Namaku Li Hiang” lalu ia menoleh ke dua nona di sebelahnya, “Kau?”
“Namaku Kiong Ji”
Nona yang satunya berkata, “Aku..” sebelum ia selesai bicara, Li Hiang telah memotongnya, “Aku tak lupa namamu Cin Cin” katanya sambil tersenyum. Lalu ia menoleh ke si mata indah, “Nona Sim Lan, masih jauhkah perjalanan kita?”
Sim Lan berpikir sebentar lalu berkata, “Jika tidak ada halangan, mungkin sekitar 5 hari kita sudah sampai”
Li Hiang menganggukkan kepala, lalu berkata “Tanpa harus menculikku pun, aku bakalan ke Pek Swat Ceng. Mengapa ketuamu menyuruh kalian menculikku, apa karena merasa jauh lebih gampang menaklukanku saat aku lengah?”
Sim Lan menjawab, “Benar. Kata guru, jika kau telah memasuki markas, maka seluruh jiwamu, tubuhmu, dan pikiranmu telah terpusatkan untuk bertempur. Jika hal itu terjadi, amat sangat susah menaklukanmu”
“Kalian kan berjumlah sangat banyak, mengapa memandang remeh diri sendiri?” tanya Li Hiang.
Sim Lan tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala.
Lalu Tan Cin yang menjawab, “Perkampungan kami saat ini sedang dalam kondisi genting. Banyak musuh yang datang menyerang”
Li Hiang terdiam sesaat, lalu berkata, “Apakah rahasia kalian sudah bocor dan tersebar kemana-mana?”
Ketiga nona itu hanya saling memandang, lalu Cin Cin lah yang berkata, “Benar”.
Li Hiang hanya menghela nafas. “Jika itu yang terjadi, maka merupakan sebuah malapetaka yang besar. Siapa saja yang sudah menyerang kesana?”
“Banyak tokoh dari kalangan hitam. Banyak juga dari kalangan putih. Kami sudah berhasil menghalau dan mengusir mereka. Tapi harga yang kami bayar sangat mahal. Kami kehilangan banyak sekali anggota kami”
“Apakah gurumu terluka?” tanya Li Hiang lagi.
Mereka hanya tertunduk diam. Hal ini saja sudah merupakan jawaban bagi Li Hiang. Ia tidak berbicara. Hanya menggelengkan kepala penuh penyesalan.
“Apakah maksud tuan datang ke tempat kami, sama dengan maksud orang-orang yang menyerang itu?” kali ini Sim Lian yang bertanya.
“Tentu saja. Tetapi aku bermaksud memintanya baik-baik. Aku bahkan bermaksud menukarnya dengan pedang ungu itu” jelas Li Hiang.
“Aihhh” mereka semua menghela nafas.
“Tempat kalian bukankah sangat rahasia, bagaimana mungkin bisa didatangi berbagai macam orang?” tanya Li Hiang.
Mereka semua menggeleng tak mengerti. Li Hiang berpikir lama, lalu dengan tiba-tiba bertanya, “ Kenapa Tan Ling tidak ikut rombongan?”
“Ia…memutuskan untuk berangkat lebih dulu untuk melapor”
“Siapa yang memutuskan hal itu?” tanya Lia Hiang.
“Dia sendiri” jawab Cin Cin.
“Celaka!” kata Li Hiang. “Bisa jadi ia pengkhianatnya!”
Mereka semua terhenyak. “Tidak mungkin”
Li Hiang bertanya lagi, “Dengan apa kalian berkirim kabar?”
“Menggunakan burung elang salju” jawab Cin Cin.
“Lalu kenapa ia harus melapor sendiri?” tukas Li Hiang.
Mereka seperti tersadar, tapi dengan segera Tan Cin membantah, “Tidak mungkin ciciku melakukan hal yang memalukan seperti itu! Tidak mungkin!”
Li Hiang kemudian menenangkan, “Nona, aku minta maaf jika terlalu cepat mengambil kesimpulan. Sebelum ada bukti memang ama sangat tidak pantas jika menuduh seseorang” kata Li Hiang. Lanjutnya, “Untuk hal ini, aku benar-benar meminta maaf kepada nona”
Cin Cin mengangguk.
Menghadapi perempuan, seorang laki-laki harus bijaksana. Ia sangat mengerti, amat sangat bodoh beradu pendapat dengan perempuan. Karena perempuan tidak pernah punya pendapat. Mereka hanya mempunyai dorongan perasaan. Jika akal mereka berkata ‘Ya’, namun hati mereka mengatakan ‘Tidak’, maka mereka pasti akan berkata ‘Tidak’.
Li Hiang pun lebih memusatkan perhatiannya untuk memikirkan segala kemungkinan. Lama sekali ia berpikir. Ketiga nona dihadapannya pun tidak berkata apa-apa. Terlihat mereka begitu tidak tenang, dan gugup. Dengan hangat Li Hiang berkata, “Tenanglah. Aku pasti memikirkan segala cara untuk menolong kalian”.
Jika seorang laki-laki selalu ada untuk menenangkan perasaan perempuan, maka lelaki seperti inilah yang harus dicari dan dijaga. Herannya, perempuan selalu lebih tertarik dengan laki-laki yang membuat perasaan perempuan berkobar dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Sepanjang hidupnya, perempuan selalu lebih tertarik dengan lelaki seperti ini. Perasaan perempuan memang tidak pernah tenang, seperti kuda liar yang membawa mereka kepada jurang penderitaan. Lalu ketika mereka sudah terjatuh ke dalam jurang itu, mereka menangis menyesal. Saat ada laki-laki lain menarik mereka keluar dari jurang itu, justru tidak jarang mereka justru mendorong laki-laki itu jatuh ke dalam jurang yang sama.
Li Hiang amat sangat paham, hal yang paling berbahaya di dunia ini adalah perasaan perempuan. Justru karena berbahaya lah, ia tertarik untuk memasukinya. Ia memang terlahir untuk mencintai bahaya.
Dan bahaya kematian sekarang telah membayang di depan mata. Li Hiang tidak pernah suka untuk membunuh orang. Baginya kehidupan itu sangat indah. Ia hidup untuk menikmati keindahan itu. Tetapi entah dari mana tuduhan dan fitnah bahwa ia suka membunuh korban-korbannya ia tidak pernah tahu. Ia pun tidak punya waktu untuk meluruskan hal itu. Baginya, selama ia tidak pernah melakukannya, ia tidak pernah perduli dengan pendapat orang lain.
Hari telah menjelang malam. Gelap telah menyelimuti dunia. Rombongan kecil ini beristirahat di tepian telaga yang sangat indah. Kedua orang kusir, yaitu si pipi montok dan si kurus terkaget-kaget ketika mengetahui apa yang terjadi di dalam kereta selama perjalanan. Hal ini diam-diam telah menimbulkan kekaguman yang amat besar di dalam hati mereka. Di hati kelima nona yang cantik-cantik itu.
Saat mereka telah mengetahui kesaktian dan kecerdasan Li Hiang, sudah pasti mereka tidak banyak berulah. Bahkan sekarang, segala perkataan Li Hiang mereka dengarkan dengan patuh. Ia telah membuktikan bahwa ia bukanlah orang yang kejam dan perusak kehormatan wanita. Li Hiang malah terlihat sebagai seorang lelaki sejati yang perduli dan melindungi mereka.
Di malam itu, Li Hiang memasak untuk mereka, membuat api unggun untuk mengahangatkan mereka. Lelaki yang tampan itu bahkan memperhatikan hal yang secil-kecilnya.
“Tan Cin, dengan dekat api, nanti kau bau asap”
“Kiong Ji, makanlah daging kijang ini. Jika kurang makan nanti tubuhmu lemah”
“Sim Lan, kau pakailah jubah ini untuk menghangatkan tubuhmu”
“Eh bagus sekali sepatu mungilmu itu”
“Ah, pita itu serasi sekali dengan rambutmu”
“Hmm, kau memang pintar memilih baju. Rajutan kembangnya itu siapa yang buat?”
Malam itu mereka habiskan untuk saling mengakrabkan diri. Bahaya sudah menanti, bukankah amat baik untuk bergembira ria? Hal ini akan menambah kekuatan, dan daya pikir. Juga membuat tubuh lebih kuat dan waspada.
Malam itu justru Li Hiang lah yang berjaga-jaga. Sedangkan kelima nona itu tidur dan beristirahat dengan pulas. Tapi Li Hiang tahu, walaupun nona-nona itu terlihat telah percaya kepadanya, mereka tetap saja masih tidur dengan waspada. Masing-masing mereka tidur dengan menggengam pedang dan senjata rahasia.
Di tengah malam, di temani rembulan, ia mengeluarkan sebuah seruling kecil yang selama ini selalu dibawanya. Ia memainkan sebuah lagu yang sangat indah. Tiupannya sangat merdu. Nona-nona itu semua terbangun namun tak berani berkata apa-apa, takut mengganggu tiupan seruling yang indah itu. Sebuah seruling emas.
Seruling Emas yang juga menyimpan banyak rahasia!
=========
Lagu yang menjarah jiwa!
Siapapun yang mendengarkannya, asal masih punya hati, walaupun hati itu sekeras karang di lautan, pastilah akan meneteskan air mata.
Bagaimana mungkin kelima gadis cantik yang lemah lembut hatinya ini tidak menangis. Masing-masing memiliki cerita dan latar belakang kisah hidup sendiri-sendiri. Masing-masing dari mereka tidak mampu menahan lelehan air mata bening itu.
Kerinduan.
Jika manusia mau memahami kerinduan orang lain terhadap dirinya, dunia mungkin tak akan semuram dan segelap ini. Sayangnya kerinduan manusia teramat sering tidak terbalas dan tidak bertepi. Semakin ia berusaha menyembunyikan kerinduan itu, semakin ia terbenam di dalam kesusahan dan kesedihan.
Lagu apapun yang menceritakan kerinduan, selalu mampu menggetarkan hati. Tangisan apapun yang disebabkan kerinduan, selalu menggetarkan langit.
Keenam orang ini kini duduk berhadap-hadapan. Tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Semua orang memiliki kisah perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, namun mereka selalu memiliki kedalaman perasaan yang sama.
Itulah yang teramat unik dari manusia. Sifat dan akal mereka selalu berbeda, tetapi perasaan pasti akan tetap sama.
Setelah sekian lama mereka berdiam diri, Cin Cin bertanya,
“Apa judul lagu ini?”
“Kerinduan” jawab Li Hiang pelan.
“Kau kah yang menggubah lagu itu?”
Li Hiang hanya mengangguk. Lalu ia berkata, “Lagu ini sebenarnya masih panjang, tapi aku tak mampu memainkannya”
“Kenapa? Apakah bagian itu terlalu sulit untuk dimainkan?” tanya Cin Cin penasaran.
Si jubah merah menggeleng, “Tidak, justru bagian itu lebih gampang dimainkan. Hanya saja aku memang tak sanggup memainkannya”
“Kenapa?”
Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Suatu saat kau akan mengerti”
Ya, ia akan mengerti suatu saat nanti. Saat kenangan berubah menjadi sesuatu yang indah namun kejam. Yang membuatmu kuat dan lemah pada saat yang bersamaan. Yang membuatmu berani melangkah menuju masa depan, tapi juga takut meninggalkan masa lalu. Saat-saat seperti itu memang akan datang ke hati setiap orang.
Cin Cin hanya menggerutu. Perkataan atau cerita yang menggantung selalu membuat perempuan penasaran. Dalam hal apapun mereka selalu ingin tahu. Ini mungkin kekuatan sekaligus kelemahan perempuan. Karena hal inilah, laki-laki yang pintar bisa dengan mudah menguasai mereka.
“Sudahlah, tidur saja Cin-moy (adik Cin)” kata Li Hiang. Ia sengaja menggunakan kata Moymoy. Dengan sadar ia mengerti betapa keempat gadis lainnya terbakar api cemburu. Gerak-gerik perempuan sudah sangat dipahaminya.
Pelajaran keenam: Jika kau ingin membuat wanita lebih tertarik kepadamu, beri perhatianlah kepada wanita lain. Karena rasa cemburu bisa membuat perempuan berbuat apa saja.
Li Hiang sangat mengerti pemahaman ini.
Ia lalu berdiri dan berkata, “Aku harus mencari kayu untuk menambah api” lalu dengan santai ia menghilang. Tak berapa lama ia telah kembali. Saat kembali ia memperhatikan nona-nona itu sudah ‘bertambah’ cantik.
Tentu saja ia mengerti bahwa saat ia pergi tadi, nona-nona ini dengan cepat merapikan diri. Menyisir rambut, memakai wewangian, bahkan mungkin mengoles gincu dan pupur. Kecantikan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari perempuan. Perempuan mana saja. Li Hiang menyukai kecantikan. Dan perempuan menyukai Li Hiang. Perempuan mana saja.
“Cerah sekali wajahmu malam ini, Lan-moy” katanya memuji. Sim Lan walaupun sedikit melengos, cahaya di matanya bersinar semakin terang. Ada sekilas senyum yang tersungging di sana. Tapi katanya, “Lama sekali? Hampir saja kami mengiramu kabur.”
Li Hiang hanya melengos sambil tersenyum, “Kayu yang kering susah dicari di daerah sini. Kita sudah mulai memasuki daerah bersalju”
“Aduuuuh” tiba-tiba si pipi montok menjerit. Semua orang kaget dan menoleh, rupanya ia terkena bara panas dari api unggun saat mencoba membesarkan api.
Dengan sigap Li Hiang bergerak menolongnya. Dikeluarkannya beberapa ramuan dari kantong bajunya, dan mengoleskannya dengan lembut ke ujung jari-jari si kurus yang mengeluh kesakitan. “Kau harus lebih hati-hati Giok-moy.” Ketika tadi mengobrol, Li Hiang sudah mengenal namanya Hwi Giok. Walaupun di luarnya ia tampak perhatian sekali, di dalam hatinya Li Hiang tertawa. Perempuan jika sendirian, jurang selebar apapun dapat dilewatinya dengan sekali lompat. Tetapi jika bersama lelaki, apalagi lelaki yang disukainya, sebuah selokan kecil pun terlihat sangat membahayakan jiwanya.
Perhatian dan kelembutan Li Hiang terhadap Hwi Giok ini membuat keempat nona yang lain semakin penasaran. Sejak saat itu masing-masing mulai melakukan hal untuk mendapatkan perhatian Li Hiang. Ada yang mengatakan gelangnya jatuh entah di mana. Ada yang minta dibuatkan minuman panas. Macam-macam. Li Hiang melayani mereka dengan sabar dan penuh perhatian.
Semakin lama mereka semakin dekat. Li Hiang sudah mulai bisa mengorek cerita tentang latar belakang masing-masing. Walaupun sebagian besar masih mereka tutup-tutupi, namun Li Hiang telah sekali lagi melewati tahapan penting dalam menaklukan mereka.
Perempuan harus merasa nyaman terhadap seorang laki-laki. Ia harus merasa aman, agar curahan isi hatinya atau rahasia-rahasia perasaannya terjaga. Laki-laki yang cerdas seharusnya membiarkan dirinya menjadi sosok seperti ini, sebelum mereka mengharapkan perempuan jatuh hati kepadanya. Karena ketertarikan perempuan terhadap wajah laki-laki hanya sebentar, pada akhirnya ia mencari sesuatu yang jauh lebih dalam daripada ini.
Berbicara tentang sifat perempuan, banyak laki-laki mengaku tidak bisa memahami. Padahal jika mereka mau sedikit mempelajari sejarah, setidaknya mereka bisa memahami mengapa perempuan berlaku seperti perempuan. Ribuan, atau bahkan jutaan yang lalu, perempuan sebenarnya sudah seperti ini. Mereka diciptakan sebagai pihak yang menjaga dan merawat, dan laki-laki ditakdirkan sebagai pihak yang mencari dan menyediakan.
Oleh karena itu, di jaman purbakala, laki-laki harus berburu, bercocok tanam, menyediakan keperluan keluarga, dan memberi perlindungan keamanan dari makhluk buas atau gangguan manusia lain. Sedangkan perempuan merawat dan mengasuh anak, merawat rumah, dan menjaga milik keluarga. Hal ini berlangsung sejak jaman dahulu kala, hingga masa depan. Itulah mengapa, perempuan lebih memilih laki-laki yang kuat, cerdas, mampu menyediakan keperluan, serta perlindungan kepadanya. Semakin seorang laki-laki terlihat memiliki sifat kepemimpinan yang kuat, yang dapat mengatur kehidupannya, semakin perempuan tertarik kepadanya. Seekor singa, raja hutan, adalah sosok yang paling gampang untuk menggambarkan ini. Ia kuat, melindungi kumpulannya, serta gagah dan jantan sejati. Sebagai raja hutan, semua makhluk ‘sungkan’ dan ‘hormat’ kepadanya. Jiwa bertarungnya yang kuat, membuatnya tahan menghadapi tantangan singa jantan lain yang ingin meraih kedudukannya sebagai Raja Hutan. Dan yang lebih hebat lagi, sang raja tidak perlu berburu. Para wanita lah yang berburu untuknya.
Laki-laki memang tidak harus sepersis singa, namun setidaknya beberapa sifat dan keagungan singa amat menarik untuk diperhatikan.
Sosok Li Hiang dipandang perempuan memiliki kesemua hal ini. Apalagi ditambah ia memiliki wajah yang sangat rupawan. Ia seperti raja rimba yang berjalan sendirian di depan, sedangkan singa-singa betina mengekornya dengan patuh. Ia tenang. Melakukan sesuatu penuh perhitungan, tetapi jika bergerak, tak seorang pun yang sanggup menghalanginya. Jika tidak diganggu ia akan berlaku sopan dan tenang, tetapi jika diganggu, ia berubah menjadi sosok yang menakutkan.
Saat ini sang singa berjubah merah sedang dikelilingi para betinanya. Dengan pesonanya yang tak tertindingi betapa wanita-wanita cantik ini telah hampir jatuh dibawah kakinya. Bercengkerama dan mendengarkan mereka. Mengisahkan cerita-cerita lucu, seram, dan menggugah hati.
Lalu telinganya mendengar seseuat di kejauhan. Dalam melakukan apapun, ia selalu waspada. Ia pernah tertangkap basah dan dianiaya hingga hampir mati. Sejak saat itu ia tidak pernah membiarkan kewaspadaan hilang dari kesadarannya.
Badannya menegak. Ia menyadari ada bahaya yang segera akan datang. Tapi dengan tenang ia berdiri dan berkata, “Kalian tenanglah”
“Ada apa?” tanya mereka serempak.
“Tidak apa-apa” katanya menoleh sambil tersenyum.
Senyum memang adalah senjatanya.
Tak berapa lama yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tiga orang sosok besar yang menyeramkan. Kesemuanya berjanggut lebat. Kesemuanya datang menghunus golok.
“Aha…kita dapat mangsa, It-ko (kakak pertama)”
“Mangsa yang sedap” kata si kakak pertama.
Li Hiang tersenyum, tiga orang pembegal adalah seperti mainan bagi dirinya. Tapi dengan matanya yang tajam, ia tahu, ketiga begal ini bukan begal sembarangan. Ia pun menjaga perkataannya,
“Sam-wi-hohan (ketiga orang gagah) hendak kemana? Apakah tersesat?”
“Hey, kau laki-laki? Ku kira kau perempuan. Hahaha” tawa si kakak pertama.
“Kalian bawa apa? Cepat keluarkan!” teriaknya.
“Aku cuma bawa pedang” kata Li Hiang. Ia tidak butuh waktu untuk berbasa-basi. Ia tahu kapan bersikap sopan, dan kapan bersikap garang.
Cring!
Sebilah pedang ungu yang bercahaya dalam temaram malam yang dingin.
“Pedang…pedang..ungu!”
“Hahaha…kita tidak perlu mencari jauh-jauh, pedang ungu itu ada di sini!”
Di dalam hatinya Li Hiang kaget juga. Ternyata pedang ini memang sudah menimbulkan goncangan yang luar biasa di dalam dunia Kang Ouw (dunia persilatan). Tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk berita ini menyebar di mana-mana.
“Di lihat dari ciri-cirinya, ia memang cocok menjadi Jai-Hwa-Sian (Dewa Pemetik Bunga)” kata salah seorang.
“Aku memang Jai-Hwa-Sian. Jika mau mengambil pedang ini, silahkan maju”
“Hahahaha….sekali menyelam minum air. Hahahaha”
Begitu tertawanya berhenti, ketiga orang bertubuh besar menyeramkan ini bergerak dengan cepat mengurungnya. Li Hiang tidak panik. Dengan tenang ia maju menyambut kepungan ini. Dalam sekejap mata, ketiga orang itu sudah mengirimkan enam serangan berbahaya.
Angin serangan itu mengeluarkan deru angin yang mendesir. Wuuuuuuuussss……wuuuuuuuuus.
Tapi Li Hiang lebih cepat, pedangnya hanya diputar sekali berbentuk lingkaran, keenam serangan itu seketika terbenam dalam lingkaran cahaya ungu. Hal ini membuat Li Hiang dan kelima nona itu terhenyak. Tiada seorang pun yang menyangka, betapa bodohnya ketiga orang ini meneruskan serangan tangan kosongnya saat dihadang pedang.
Traaaang!
Terdengar bunyi yang mneyakitkan telinga. Pedang Ungu itu seperti berbenturan dengan logam keras. Keenam lengan itu ternyata sekeras baja!
Wajah Li Hiang tidak menampakkan panik sama sekali, padahal di dalam hatinya ia tercengang melihat kekuatan lengan ini. Dengan cepat ia mundur ke belakang, dan memutar tubuhnya. Angin pukulan itu lewat di belakangnya. Kelima nona yang berdiri di belakangnya tidak mampu menahan kekagetan. Hampir bersamaan mereka berteriak,
“Tiat Po San!” (Ilmu Baju Besi/Lonceng Emas)
Ilmu ini adalah ilmu yang langka, bahkan boleh dikatakan hampir punah, karena orang yang mempelajari ilmu ini tidak diperbolehkan berhubungan kelamin. Itulah sebabnya hanya sedikit orang yang mempelajari ilmu ini. Kini ilmu itu hadir secara tiba-tiba, kehadirannya tentu saja mencengangkan.
“Hahahaha. Pedang Ungu milik Tok Ko Kiu Pay pun tak mampu menembus kulit kami. Hahahaha. Hahahaha”
“Ah, jangan-jangan ini hanya sebuah pedang palsu” kata salah seorang.
Karena penasaran, mereka maju berbarengan menyerang Li Hiang. Sekali lagi si jubah merah memutar pedangnya, tapi kali ini ia mengincar mata para penyerangnya. Satu sabetan pedangnya telah mempu mencecar keenam mata penyerangnya. Karena serangan ini, ketiga orang beringas itu menahan sedikit gerakannya untuk menghindar.
Hal ini membuktikan kecerdasan Li Hiang ketika dengan cepat ia menemukan kelemahan ilmu Baju Besi Emas ini. Mata manusia, adalah bagian tubuh yang tidak bisa dilatih silat!
“Hngggggggg” ketiga orang ini menggerung dengan marah saat kelemahan mereka terbongkar dengan mudah. Li Hiang tersenyum menggoda, katanya “Sekeras apapun kalian berlatih, kelemahan di mata kalian tak akan mungkin tertutupi.
Dengan kalap mereka menyerang kembali. Mungkin karena nekat serangan ini jauh lebih membabi buta. Bahkan mereka tak perduli untuk melindungi mata mereka. Kembali enam pukulan dari enam kepalan terarah pada Li Hiang. Dengan sekali melangkah, ia telah mengambil posisi yang menguntungkan untuk menyerang dan bertahan sekaligus. Ia mencondongkan badannya ke belakang, lalu dengan cepat, pedangnya sudah ia putarkan ke depan.
Jurus ini dikenal sebagai salah satu jurus ‘Hoa San Pay’ bernama “Pedang dan Bunga Menari Bersama”. Semua orang yang berada di sana kaget juga ketika melihat Li Hiang menggunakan jurus ini. Tetapi kekagetan itu bertambah menjadi keheranan yang teramat sangat ketika ketiga orang itu tetap meneruskan pukulan, padahal mata mereka terancam serangan dahsyat.
Traaaaaaaang!
Sabetan pedang itu menoreh di ketiga pasang mati itu!
Tetapi bukan mereka ya terlempar mundur dan kesakitan, melainkan Li Hiang!
Mata-mata itu ternyata kebal pula.
Li Hiang ternyata salah perhitungan!
Dan ia harus membayarnya dengan cukup mahal. Tubuhnya terhempas ke belakang dan dari bibirnya terlihat percikan darah segar.
“Hahahahaha” tawa ketiga orang itu menggema memenuhi hutan.
“Begitu mudahnya kau tertipu!”
Ternyata mereka berpura-pura takut terhadap serangan Li Hiang ke mata mereka tadi, adalah sebuah taktik pura-pura untuk mengecoh lawan. Saat sarangan berikutnya, mereka mengambil keuntungan dari tipuan ini untuk melanjutkan serangan dahsyatnya.
Tapi Li Hiang bukan pemuda sembarangan. Tubuhnya telah tergembleng oleh seorang nenek aneh sakti yang juga adalah kekasihnya. Dengan tenang ia bangkit. Sinar matanya mencorong. Setiap kali menghadapi tantangan dan bahaya, sinar matanya mencorong seperti ini.
Ia berbalik dan berbisik kepada kelima nona di belakangnya dengan menggunakan ilmu mengirimkan suara. Ilmu ini adalah sejenis ilmu melatih gelombang suara yang sangat tinggi, yang berguna untuk mengirimkan pesan atau suara hanya kepada orang yang dimaksud.
“Tutup jalan pendengaran”. Dengan cepat kelima nona itu mematuhi perintahnya. Mereka lalu duduk bersila dan bersemedhi.
Li Hiang mengeluarkan suling emasnya. Senjata ini belum pernah ia pergunakan sama sekali. Dari kejauhan yang terlihat seperti tongkat kecil berwarna emas. Li Hiang bergerak cepat. Sekali menghentak ia sudah berada di hadapan ketiga orang itu.
Ia memutar suling itu ditangannya. Terlihat lingkaran emas kecil di tangannya. Dari lingkaran itu terdengar suara dengung yang menggetarkan jantung!
Si jubah merah lalu melancarkan serangan. Serangannya cepat dan berat. Mengincar kepala ketiga orang itu. Kawanan berangasan itu menerima serangan dengan gagah berani. Tangan mereka diangkat. Orang pertama yang menerima serangan itu adalah si kakak pertama. Tapi ia kecelik, ketika ternyata Li Hiang merubah serangan itu dari kepalanya menuju kepalannya. Kecepatan kepalan itu berada dengan kecepatan serangan Li Hiang.
Bluuuuummm!
Dua orang yang lain tercengang melihat ternyata lingkaran kecil itu mampu melumpuhkan lengan sang kakak. Terdengar rintihnya kesakitan bercampur dengan marah!
Inti sari ilmu Thiat Po San (Baju Besi emas) adalah kekuatannya dalam menghadapi senjata tajam dan senjata lainnya. Tetapi jika menghadapi serangan yang berisi tenaga dalam, maka ilmu ini sebenarnya tidak terlalu hebat. Namun dibutuhkan tenaga dalam yang amat sangat besar untuk bisa menembus ilmu ini.
Dengan cerdik, Li Hiang memutar-mutar seruling itu agar tenaga yang tersalurkan menjadi berlipat-lipat, sehingga tanpa mengerahkan tenaga yang terlalu besar pun, hasil serangan yang dihasilkan menjadi berlipat ganda!
Tangan si kakak pertama kesemutan untuk sementara ia tak dapat menggerakan lengannya. Melihat keadaan ini, kedua ‘adik’nya menyerang Li Hiang dengan penuh amarah. Tapi Li Hiang sekarang berada di atas angin, serangan tangan kosong mereka cukup di hadapi dengan kebutan lingkaran seruling emas di tangannya saja. Para penyerangnya serta merta kelagapan karena serangan mereka harus selalu ditarik kembali.
Kini tubuh Li Hiang diliputi cahaya keemasan yang berputar mengelilingi tubuhnya, bahkan seperti sebuah ilmu Baju Besi Emas yang kini melindungi tubuhnya.
Cahaya emas ini begitu indah terlihat di dalam malam yang gelap.
“Adik berdua, ayo kita serang dia dengan menggabungkan kekuatan!” teriak si kakak pertama.
Mendengar teriakan ini, mereka lalu membentuk barisan. Si Kakak duduk berjongkok di tanah, tangannya diangkat ke depan. Terlihat tangannya berkilat memenacarkan cahaya keemasan. Kedua adiknya berdiri di hadapannya menyandarkan pinggang mereka ke telapak tangan sang kakak. Tubuh mereka pun terlihat berpendar mengeluarkan cahaya keemasan.
Li Hiang paham, ini adalah bentuk penyatuan cin-keng (tenaga sakti) yang akan menimbulkan serangan yang amat dahsyat. Ia memutar seruling di tangannya semakin kencang. Suara menderu yang dihasilkan seruling itu semakin mengencang. Lama-lama terdengar seperti semakin melengking. Dengan tenang ia menunggu sampai ketiga orang itu melancarkan serangan.
Lalu saat yang ditunggu pun tiba. Kedua orang itu terlontar bagaikan anak panah yang maha dahsyat. Kecepatannya sukar dibayangkan dan diikuti. Yang satu menggunakan tendangan yang menghujam keras ke ulu hati, sedangkan yang satu menyusur ke bawah mengincar kuda-kuda.
Serangan ini jika dijelaskan terdengar biasa-biasa saja. Tetapi kecepatannya sangat sukar untuk diikuti. Li Hiang terhenyak dengan begitu cepatnya mereka bergerak. Selama hidupnya, ia telah menghadapi puluhan bahkan ratusan pertarungan, tapi belum ada satupun yang menyemai cepatnya gerakan ini.
Ia pun bergerak. Tidak ada jalan untuk menghindari gerakan ini. Jika ia mundur ke belakang, nona-nona yang sedang bersemedi ini semuanya akan terancam bahaya tertabrak dirinya dan penyerangnya. Jika menghindar ke samping, para penyerang ini mungkin akan meneruskan serangan mereka kepada nona-nona ini.
Li Hiang bergerak ke samping. Begitu penyerangnya lewat sejengkal, dan terus meneruskan serangan mereka ke depan menuju nona-nona itu, ia melemparkan serulingnya ke arah si kakak pertama yang sedang berjongkok itu. Ia tahu, pusat tenaga serangan ini justru berada kepada lontaran tenaga sang kakak. Setelah ia melontarkan mereka, tenaganya yang tadi telah penuh terisi, akan habis terkuras untuk melempar mereka. Seperti perumpamaan balon yang terisi penuh lalu meledak.
Seruling itu bergerak sangat cepat menghujam kepala si kakak yang terkaget-kaget menerima serangan tiba-tiba itu. Ia tak pernah menyadari hidupnya berakhir dengan kepala pecah terhantam seruling emas.
Jarak nona-nona itu masih cukup jauh. Li Hiang masih sempat memutar tubuh menggunakan jurus cakar untuk mencengkeram kedua penyerang itu dari belakang. Cengkeraman itu memang tak mampu menembus kulit mereka yang kebal dan tebal, tapi cengkeraman itu mampu memperlambat gerakan mereka.
Begitu mereka mendengar teriakan menyedihkan dari sang kakak yang kepalanya pecah itu, serta merta mereka menghentikan serangan dan menoleh ke belakang. Saat mereka menoleh itu, semua sudah terlambat. Seruling yang tadi dilemparkan Li Hiang, telah kembali ke tangan pemiliknya. Dengan kecapatan tinggi, ia menghajar tenggorokan kedua orang ini dengan sekali gerakan.
Rasa kaget, dan cemas terhadap keadaan kakak mereka, ditambah dengan hilangnya tenaga serangan mereka karena tadi berhenti tiba-tiba, memberikan waktu yang cukup dan keuntungan yang cukup besar bagi serangan Li Hiang.
Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mereka telah roboh dengan tenggorokan pecah!
Terdengar suara, “grrrkkkk….grrrkkkkk”, dari mulut mereka saat sekarat. Lalu kemudian hening karena kedua orang ini telah menyusul sang kakak bertemu Giam Lo Ong (Dewa Kematian).
Kelima nona itu melihat pertarungan ini dengan mata terbelalak. Walaupun mereka bersemedi menghimpun kekuatan untuk menutup jalan pendengaran, mata mereka tetap terbuak menyaksikan dahsyatnya pertarungan ini.
Li Hiang memberi isyarat bagi mereka untuk membuka kembali jalan pendengaran mereka.
“Hiang-ko (kakak Hiang) kau hebat” puji mereka serentak.
Tentu saja setelah semua perhatian, kebaikan, dan pesona Li Hiang selama ini, mereka akan menyebutnya dengan panggilan yang mesra.
Li Hiang tersenyum, katanya, “Hampir saja. Musuh yang berbahaya”
“Siapa mereka?” tanya Cin-Cin.
“Jika tebakanku tidak salah, mereka adalah Tiga Iblis Gunung yang cukup terkenal di kalangan Liok Lim (golongan hitam)”
“Apakah mereka kesini untuk mengejar pedang ungu, ataukah untuk keperluan lain?” tanya Sim Lan.
“Sepertinya mengejar hal lain. Itulah sebabnya mereka tadi berkata ‘sambil menyelam minum air’” jelas Li Hiang.
Sudah jelas apa yang dicari mereka itu adalah sebuah ‘hal’ lain yang berada di Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih).
“Ilmumu hebat sekali, Hiang-ko” puji si kurus manis.
“Iya benar, hebat sekali serulingmu” puji yang lain.
“Apa nama ilmu itu?” tanya yang lain pula.
“Sudahlah, itu tidak penting” ujarnya sambil tersenyum hangat, “Keadaan kalian lah yang paling kupikirikan. Apakah kalian semua baik-baik saja?’
“Tentu saja, ada Hiang-ko di sini, tentu saja kami baik-baik saja” jawab mereka hampir berbarengan.
Li Hiang tersenyum.
Senyum memiliki banyak arti.
========
Li Hiang memeriksa ketiga mayat ini. Kelima nona berlagak jijik dan takut melihat kepala mayat-mayat yang pecah. Padahal sebagai orang dari kalangan Kang Ouw, pemandangan seperti ini terhitung biasa.
Dari ketiga mayat ini, Li Hiang menemukan beberapa kantung besar yang isinya adalah emas permata dan barang-barang berharga, selembar peta, dan bekal makanan. Alangkah kagetnya ia ketika mengetahui bahwa daging makanan itu berasal dari daging manusia. Tampangnya biasa-biasa saja, padahal hatinya terguncang juga. Dengan tenang ia memisahkan harta berharga, dan selembar peta itu, sedangkan yang lain ia tinggalkan.
“Kita harus menguburkan ketiga mayat ini” kata Li Hiang.
“Aih, kenapa kita harus repot-repot mengurus ketiga penjahat ini?” tanya Cin-Cin.
“Saat menjadi mayat, mereka sudah bukan penjahat lagi. Lagian, biaya pemakamannya kan sudah mereka bayar berlebihan” kata Li Hiang sambil mengangsurkan kantong-kantong emas permata itu.
“Hiang-ko mau mengambil harta itu? Bukankah itu harta hasil rampokan?” tanya Sim Lan.
“Jika kutinggalkan disini, atau ku kuburkan bersama mereka, bukankah harta ini malah akan terbuang percuma? Akan lebih baik jika harta ini diambil, dan digunakan untuk hal yang berguna. Menolong orang lain, atau apa saja yang bermanfaat” jelas Li Hiang.
“Wah, pemikiran Hiang-ko jauh ke depan, Aku sepakat” tukas si pipi montok.
Dengan adil Li Hiang membagi isi kantong itu. Semua orang mendapatkan porsi yang sama. Perempuan di mana saja memang sama. Selalu suka dengan harta dan kemewahan. Jika ada perempuan yang tidak, maka kemungkinan cuma dua, ia bukan perempuan, atau ia sudah gila.
Setelah pembagian harta ini, mereka lalu menguburkan ketiga mayat itu. Dibutuhkan waktu yang tidak terlalu lama untuk menggali lubang yang cukup besar untuk ketiga mayat itu. Setelah menguburkan, mereka lalu beristirahat.
Pagi kemudian datang menjelang. Li Hiang bangun paling awal daripada yang lain. Ia lalu mempersiapkan makanan dan minuman bagi nona-nona ini. Begitu mencium wangi masakan yang dibuat oleh si jubah merah, kelima nona ini berangsur-angsur bangun.
“Kalian santai saja, biar aku persiapkan dulu hidangan ini” kata Li Hiang hangat.
Laki-laki di manapun paling suka jika dilayani perempuan dalam hal apa saja. Mereka tidak paham bahwa kesukaan itu kalah besar dengan kesukaan perempuan jika dilayani laki-laki. Li Hiang paham ini. Karena ini adalah salah satu cara memikat hati mereka.
“Aku sudah menyiapkan air panas jika kalian ingin membersihkan diri. Campurkan saja air panas ini dengan air danau supaya kalian tidak kedinginan. Rendamlah kain besar ini ke dalam air danau, lalu rendam lagi ke baskom air panas lalu usapkan ke tubuh kalian.”
Melihat perhatian sebesar ini, mau tidak mau hati mereka semakin tertarik kepadanya. Ia melayani mereka bukan sambil menjilat-jilat, melainkan dengan kesabaran dan ketegasan. Jika kau tahu caranya, kau dapat menaklukan perempuan mana saja. Li Hiang tahu caranya.
Para nona ini menuruti kata-katanya lalu pergi bersama-sama ke danau untuk membersihkan diri. Begitu kembali mereka semua nampak cantik dan wangi sekali. Melihat ini Li Hiang hanya tersenyum dan memuji, “Untung kalian tidak mempunyai sayap. Jika punya. tentu aku yakin ada bidadari kesasar datang kemari”
Pujiannya disampaikan dengan ringan dan hangat. Tanpa ada unsur menjilat dan merendahkan diri sendiri. Laki-laki memang harus selalu memuji perempuan. Tetapi dengan cara yang tepat. Jika tidak, perempuan akan mudah bosan kepadamu.
Mereka lalu sama-sama menikmati hidangan yang lezat yang telah dipersiapkan Li Hiang. Hari belum lagi terang benar. Embun pagi di rerumputan, serta udara dingin yang menghembus kulit membuat hidangan ini bertambah lezat.
“Kau pintar sekali memasak. Aku saja belum tentu sanggup membuat masakan sehebat ini, Hiang-ko” puji si pipi montok yang ternyata bernama Hwi Giok.
“Dulu aku pernah bekerja sebagai tukang masak” kata Li Hiang sungguh-sungguh.
“Benarkah?” tanya mereka serempak, “Di rumah makan?” tanya mereka serempak lagi.
Li Hiang hanya tersenyum. Banyak kenangan di tempat itu. Begitu ia teringat Hiang-Hiang, hatinya serasa mencelos. Hati manusia memang selalu seperti ini. Jika teringat orang yang disayanginya, selalu terasa menyaktikan dan membahagiakan di saat yang bersamaan.
Tak ada seorang pun yang mengetahui perubahan hatinya. Ia memang selalu pintar menyembunyikan perasaan. Orang jika terlalu lama dihina, selalu akan pintar menyembunyikan isi hatinya.
Mereka bercakap-cakap dengan mesra hingga terang tanah datang. Li Hiang kemudian beranjak sambil bertanya, “Kapan kita melanjutkan perjalanan?”
Sim Lan, sebagai ketua rombongan, menjawab, “Jika perbekalan sudah dipersiapkan, kita harus segera berangkat. Kita akan sampai pada danau ke delapan tengah malam nanti. Sampai di sana, kita boleh istirahat.”
Li Hiang mengangguk-anggukan kepala. Lalu katanya, “Aku ingin mencari buah-buahan dan berburu sebentar. Kiong Ji, maukah kau menemani aku?”
Kiong Ji adalah gadis yang paling pendiam di antara rombongan ini, mendengar ia diajak oleh Li Hiang membuatnya terbata-bata. Belum sempat ia menjawab, tangannya sudah ditarik dengan lembut oleh Li Hiang.
Perempuan siapapun jika tangannya ditarik oleh Li Hiang pasti akan menurut.
Dengan ringan Li Hiang bergerak melayang pergi dari situ. Meninggalkan keempat nona lain yang hanya terdiam dibakar api cemburu.
Sesudah agak jauh dan yakin bahwa tak ada seorang pun yang mengekornya, Li Hiang lalu berhenti.
“Eh, kau yakin di daerah sini ada buah-buahan?” tanya Kiong Ji.
Li Hiang melihat sekeliling dan mengangguk pelan. Genggaman tangannya tidak pernah ia lepaskan. Nona itu pun nampaknya tidak ingin melepaskan tangan itu.
Pelajaran ketujuh: Jika kau ingin melakukan sesuatu terhadap perempuan, pertama-tama kau harus memegang tangannya dahulu untuk ‘membaca’ isi hatinya.
Orang seperti Li Hiang tentu saja sudah memahami ini.
Li Hiang menatapnya dengan lembut. Tatapan mata teduh yang hangat. Tangan kanannya menggandeng tangan kiri nona itu, tangan kirinya telah membelai rambutnya yang terurai indah. Si nona diam saja tertunduk malu.
Lalu Li Hiang mengecup bibirnya. Bibir yang hangat dan merekah. Nona ini awalnya menarik mundur kepalanya, tetapi dengan lembut tangan kiri Li Hiang telah mendorong kepala itu maju kembali.
Keragu-raguan si nona berubah menjadi kecupan-kecupan yang hangat membara. Dalam hati Li Hiang tertawa. Perempuan yang terlihat pendiam, teramat sering menyimpan cinta dan nafsu yang membara. Tentu saja ia sudah memahami ini, itulah kenapa ia memilih nona ini.
Mengapa laki-laki seperti Li Hiang tidak pernah gagal dalam menaklukkan mangsa? Alasan paling utama adalah bahwa mereka selalu memperhitungkan langkah, ucapan, dan perbuatan mangsanya. Setiap mangsa mempunyai cara sendiri-sendiri untuk ditaklukkan.
Di tengah hutan yang sepi, dua tubuh terlena dalam cinta yang membara. Cinta yang membara akan selalu seperti ini. Membakar dan menghanguskan. Namun apinya selalu terlihat indah dan menghangatkan.
Nona itu tergeletak tanpa daya. Ini pertama kali ia mengalaminya. Pertama kali ia merasakan kehangatan laki-laki dalam bentuk yang sebenar-benarnya. Dan Li Hiang adalah lelaki sejati. Belum ada seorang pun perempuan yang meninggalkan pelukannya dengan kecewa.
Air mata mengalir di pipi Kiong Ji, lalu menghilang bersama kehormatan terindahnya. Hampir semua wanita akan meneteskan air mata saat kehormatannya ia serahkan kepada lelaki yang bukan suaminya. Namun air mata itu adalah air mata keindahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Air mata itu berarti mereka telah rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada laki-laki di hadapannya. Air mata itu juga berarti mereka telah siap menghadapi apapun di dunia ini.
Dibutuhkan keberanian yang besar untuk menyerahkannya. Tetapi keberanian ini lahir dari sebuah kebodohan. Kebodohan yang manis!
Perempuan mana saja yang pernah mengalaminya, pasti memahami benar perasaan ini.
Li Hiang memeluknya erat. Membelai rambutnya. Memberitahukan kepadanya bahwa apapun yang terjadi, ia akan mencintai nona ini dengan segenap hatinya. Entah sudah berapa ribu kali ia membisikkan hal ini kepada orang yang berbeda. Entah sudah berapa ribu kali pula perempuan yang bahagia mendengarnya. Saat ini, apapun yang terjadi, bahkan jika langit runtuh sekalipun, perempuan manapun akan percaya sepenuh hati terhadap laki-laki yang membisikkannya.
Saat yang lebih indah selain melakukan hal ‘terindah’, bagi perempuan, adalah saat di mana laki-laki memeluk mereka dengan kehangatan dan perhatian setelah melakukan hal ‘terindah’ itu.
Dan Li Hiang memeluknya dengan penuh kehangatan, membisikkan kata-kata yang begitu indah. Memujinya dengan penuh ketulusan. Perempuan memang lebih mendengarkan bisikan ketimbang teriakan. Karena bisikan akan langsung sampai ke hati mereka.
Setelah sekian lama, akhirnya mereka beranjak dari situ. Li Hiang membantu si nona memakai baju. Ikut merapikan rambut si nona, mengikat pita sanggulnya. Membersihkan wajahnya yang penuh keringat, dan memberishkan bagian tubuhnya yang terkena debu dan dedaunan kering. Perhatian seperti ini justru membuat si nona semakin terpesona dan bertambah rasa hatinya. Dengan panas, diciumnya bibir Li Hiang.
Menerima ciuman itu, Li Hiang membiarkannya sebentar, lalu menarik kepalanya. Membuat si nona penasaran dan mengejar bibirnya. Tapi Li Hiang dengan sabar dan tersenyum, berkata “Kita harus segera pergi, mereka menunggu kita terlalu lama.”
Lalu tangannya menggandeng nona itu dan pergi dari sana.
Setelah kembali, mereka sudah membawa buah yang cukup banyak dan seekor babi hutan yang besar. Sikap mereka pun biasa-biasa saja. Li Hiang tetap tenang, dan si nona terlihat malu-malu.
“Mengapa kalian lama sekali?” tanya si kurus yang bernama, Lam Siu Kwi dengan sebal. Terlihat sekali api cemburu di wajahnya.
Li Hiang tidak memperdulikan pertanyaan nona ini, ia malah berbicara kepada Sim Lan.
“Babinya pintar berlari dan menghindar. Ia menggunakan pepohonan untuk membantu pelariannya. Lihat sampai kaki Kiong Ji pun berdarah” jelas Li Hiang.
Sadar kehadirannya tidak dianggap oleh Li Hiang, ia membanting kaki dan pergi dari situ.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Cin-Cin kepada Kiong Ji. Pertanyaan basa-basi karena ia sebenarnya tidak perduli perduli.
“Tidak apa-apa” kata Kiong Ji sambil menunjukan lukanya. “Tapi darahnya sempat mengotori beberapa bagian bajuku”
Tentu saja itu bukan darah karena luka. Hanya Li Hiang dan Kiong Ji yang tahu itu darah apa.
“Ya sudah, cepat kita kemas perbekalan ini” tukas Sim Lan.
Mereka sibuk membungkus buah-buahan ke dalam keranjang. Sedangkan Li Hiang menyembelih babi hutan itu dan mengiris-iris dagingnya. Lalu ia mengasapkan daging-daging itu dan membungkusnya dengan rapih. Setelah semuanya beres, mereka lalu berangkat dengan kereta. Kali ini justru Li Hiang yang duduk di muka sebagai kusir bersama Sim Lan.
Perjalanan dilakukan tanpa beristirahat untuk menghemat waktu. Agar mereka bisa sampai pada tujuan tepat sebelum tengah malam. Makan dilakukan sambil jalan. Li Hiang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mendekatkan diri kepada Sim Lan.
Dengan caranya sendiri ia telah berhasil menaklukkan Sim Lan pula. Mereka menghabiskan perjalanan sambil bercerita dan bertatapan hangat. Bahkan Sim Lan kini sudah merasa nyaman untuk meletakkan kepalanya bersandar di pundak Li Hiang. Saat memasuki hutan lebat yang tertembus cahaya matahari, Li Hiang bahkan mencium keningnya. Awalnya Sim Lan cemberut. Tetapi tidak berkata apa-apa. Li Hiang menggenggam tangannya dan berkata, “Kau jangan marah, aku tidak ingin kurang ajar. Tetapi hatiku tak bisa menahan diriku untuk tidak mengagumi kecantikanmu. Dalam hidupku, aku belum pernah melihat seorang pun yang secantik kau.” Ucapan ini disampaikan dengan tenang dan sungguh-sungguh. Mata indah Sim Lan tak dapat menyembunyikan sinarnya, walaupun bibirnya cemberut.
Tidak ada perempuan yang tidak suka dibilang cantik. Tapi jika kau mengatakan bahwa ia cantik, ia akan memasang wajah cemberut untuk menutupi kesenangan hatinya. Jika kau mengatakannya berkali-kali, ia akan bosan. Kau hanya perlu menemukan takaran yang pas untuk memuji dan menggodanya.
Dan itulah yang Li Hiang lakukan. Sepanjang perjalanan ia menggoda nona itu. Bukan godaan kurang ajar, melainkan ejekan-ejekan lucu yang membuat nona itu tertawa. Perempuan sangat suka dengan laki-laki yang dapat membuatnya tertawa.
Hari menjelang sore, matahari tenggelam di ufuk barat. Langit kemerah-merahan dan dunia perlahan-lahan menjadi gelap. Mereka memasang lentera untuk menerangi perjalanan. Sebuah perjalanan panjang yang penuh cerita tentang manusia.
Li Hiang memang tidak pernah kehabisan cerita dan candaan. Sim Lan pun sangat menikmati kedekatannya saat itu. Lalu dengan tiba-tiba Li Hiang mengeluarkan selembar kertas dari balik bajunya, “Apakah ini peta menuju Pek Swat Ceng?” tanyanya.
Sim Lan melihat sekilas dan mengangguk. Tanyanya, “Apakah peta ini yang tadi kau ambil dari mayat-mayat itu, Hiang-ko?”. Gantian Li Hiang yang mengangguk, lalu berkata, “Kalian kan tidak membutuhkan peta. Pasti ada yang membuatkan peta ini bagi orang luar. Entah bagaimana ketiga penjahat itu mendapatkannya”
“Selama ini tidak ada orang luar yang berkunjung ke perkampungan kami. Karena perkampungan itu letaknya sangat rahasia. Jika menerima tamu pun, subo (guru) hanya menerima mereka di Pavilliun Musim Dingin.” Jelas Sim Lan.
“Pavilliun Musim Dingin?” tanya Li Hiang.
“Itu sebuah bangunan kecil yang kami dirikan jauh dari perkampungan. Gunanya untuk menerima dan menjamu tamu.” Jawab Sim Lan.
“Tamu kalian dari mana saja?” kembali Li Hiang bertanya.
“Biasanya sahabat-sahabat subo. Atau utusan dari perguruan lain.” Jawab si Nona.
“Jadi selama ini, tak ada satu pun orang luar yang mengetahui markas kalian?”
“Benar. Sebelum penyerangan-penyerangan beberapa waktu yang lalu, tak ada seorang pun pihak luar yang mengetahuinya”.
“Dengan adanya peta ini, membuktikan bahwa ada pihak jahat yang sengaja membongkar rahasia letak perkampungan kalian. Peta ini entah bagaimana bisa tersebar, lalu menimbulkan gejolak besar di kalangan Kang Ouw (dunia persilatan)”.
Sim Lan melamun sedih. Mengingat nasib perkampungannya, tak terasa air matanya menetes. Li Hiang sambil memegang pipi si nona menghapusnya air mata itu dengan lembut. Katanya, “Aku dengan segenap pikiran dan tenagaku akan membantu kalian. Tenang saja.” Bisikan yang lembut untuk telah mampu menenangkan hatinya. Bahkan ia tak tahu sejak kapan bibir Li Hiang telah bersatu dengan bibirnya. Semua terjadi dengan tiba-tiba. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang menggelora. Ciuman itu halus lembut. Tidak terburu-buru, tidak memaksa. Tetapi justru menariknya ke dalam pusaran perasaan yang begitu dalam. Sim Lan tak pernah bisa menyangka bahwa sekuat apapun ia menahan dirinya, ia tidak mampu menahan bibirnya untuk mengecup dengan penuh hasrat seperti ini.
Ciuman sangatlah berbahaya. Ia adalah jendela menuju dunia yang tak terduga. Kecupan kecil ini bagaikan hujan rintik-rintik. Jatuh ke bumi satu persatu dan perlahan-lahan. Lalu tanpa diduga-duga berubah menjadi badai yang menyapu segalanya. Hasrat adalah tempat dimana kesenangan dan penyesalan menjadi satu. Ketika semua sudah terjadi, seseorang hanya bisa memilih, bahagia atau menyesal.
Sim Lan tidak menyesal.
Tidak ada seorang perempuan pun yang menyesal dikecup oleh Li Hiang. Bahkan jika Li Hiang mencacah tubuhnya menjadi potongan daging kecil-kecil pun, para perempuan ini tak akan menyesal.
Dalam satu kecupan saja, seorang wanita tahu apakah ia harus menyerahkan jiwa raganya kepada lelaki itu atau tidak. Bagi Sim Lan, jangankan jiwa raganya, jika harus memberikan jiwa raga orang lain pun ia bersedia mencarikannya.
Kereta kuda berjalan di dalam kegelapan malam. Tangan kanan Li Hiang mengendalikan kuda, sedangkan tangan kirinya memeluk Sim Lan dengan hangat. Di malam yang gelap itu, entah tangan kiri itu telah menyentuh bagian mana saja dari tubuh Sim Lan.
Gadis seumur dia, yang baru saja mengerti akan cinta. Apa yang tidak berani mereka korbankan? Cinta adalah kebodohan yang indah. Siapapun yang mengatakannya tentu sudah pernah mengalaminya.
Li Hiang tahu bagaimana menahan diri. Ia tahu bagaimana membuat perempuan penasaran. Jika kau tidak memberikan sesuatu kepada perempuan, ia akan berusaha mendapatkannya apapun yang terjadi. Justru ketika kau mengumbar pemberianmu, ia akan semakin tidak menghargainya. Mungkin karena inikah, perempuan tidak pernah menghargai lelaki yang mencintai mereka? Justru laki-laki yang menyakiti dan mengacuhkan mereka lah yang mereka rindukan.
Oleh karena itu, lelaki yang bijak tahu, ia lebih baik menyimpan perasaannya dalam-dalam. Ia lebih baik menyembunyikannya. Daripada kemudian perasaan itu tersia-siakan dengan percuma.
Malam semakin larut, perjalanan semakin panjang, cinta pun semakin membara.
Mereka pun sampai kepada danau tujuan. Di daerah pegunungan Himalaya memang terbentang banyak danau mulai dari kaki gunung, sampai pada daerah pegunungannya. Danau tempat mereka berhenti ini adalah sebuah danau yang tidak terlalu besar. Mereka lalu turun dan membongkar muatan. Sim Lan dan Li Hiang bersikap biasa saja seolah-olah tidak terjadi suatu apapun saat perjalanan tadi. Tetapi siapapun yang matanya jeli pasti akan dapat memperhatikan betapa mata Sim Lan semakin berbinar-binar dan pipinya memerah jika berdekatan atau berbicara kepada Li Hiang.
Saat Li Hiang menurunkan beberapa barang, baru disadarinya di depan sana terdapat sebuah bangunan. Karena gelap ia tidak bisa melihat dengan jelas bangunan apa itu. Saat dilihatnya para nona ini menuju ke sana segera ia menduga, tentu bangunan itu adalah Pavilliun Musim Dingin.
Salju mulai turun di kegelapan malam. Bangunan itu memang tanpa penerangan. Baru saat mereka semua masuk, lentera-lentera lalu dinyalakan. Li Hiang kagum dengan betapa indahnya bangunan itu. Semua perabotan sangat bersih, dan tertata rapih. Semua keperluan untuk melayani tamu ada di sana. Mulai dari peralatan makan, sampai kamar-kamar. Segalanya tertata rapi, wangi, dan menyenangkan. Memang jika perempuan yang menata rumah, segala sesuatu akan tampak jauh lebih indah.
Perapian sudah menyala pula. Pavilliun ini memang sungguh menyenangkan. Li Hiang bahkan sudah dipilihkan kamar oleh nona-nona ini. Sebuah kamar yang paling besar yang tepat berada di tengah-tengah. Ia lalu menyiapkan air panas untuk membersihkan diri.
Di jaman itu, orang menggunakan sejenis baskom yang sangat besar yang terbuat dari kayu atau porselen untuk berendam. Kadang dibuat secara permanen dalam suatu ruangan khusus, tetapi ada juga yang bisa dipindahkan seperti baskom biasa. Namun ukurannya besar, dua atau 3 orang manusia bisa berendam di bak ini sekaligus.
Di bawah bak seperti ini biasanya ada sejenis tungku untuk menghangatkan air, jadi orang akan berendam saat api di tungku itu itu masih menyala. Begini pula yang Li Hiang lakukan. Ia sangat menikmati saat berendam sendirian. Rendaman bunga-bungaan khusus, membawa aroma yang menenangkan perasaannya.
Para gadis-gadis itu pun mungkin sedang membersihkan diri pula. Perjalanan tadi walaupun hanya dilakukan sambil duduk di kereta, ternyata menguras tenaga. Berendam di air hangat saat cuaca dingin seperti ini memang akan mengembalikan tenaga dan membuat tubuh lebih segar.
Li Hiang bersandar sambil memejamkan mata. Entah berapa lama ia memejamkan mata, air rendamannya terasa semakin menghangat, ia pun terlelap.
Sebuah suara lirih terdengar dari belakangnya. Suara sepelan itu saja sudah mampu membangunkannya. Saat ia menoleh, terlihat si nona kurus, Lam Siu Kwi, sudah berada di belakangnya.
Nona ini melepas baju tipisnya, dan membiarkan gaun indah jatuh di lantai. Dengan perlahan-lahan, tubuh yang tambah sehelai benang pun itu pun turut masuk ke dalam bak mandi Li Hiang. Tubuhnya bukan kurus, melainkan amat langsing. Bentuk tubuh yang digemari perempuan, namun kurang digemari laki-laki pada umumnya.
Saat ia masuk bak, harum keringat perempuan yang khas turut bercampur pula dengan aroma bunga-bungaan di air hangat ini. Membangkitkan perasaan dan gairah dalam diri Li Hiang. Tetapi walaupun jantungnya berdetak keras, wajahnya masih tampak tenang, bahkan tersenyum pun tidak.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Li Hiang.
“Aku ingin mandi bersamamu” jawab Lam Siu Kwi sambil tersenyum. Pipinya berubah kemerahan-merahan, matanya membesar.
“Kau tidak bisa mandi sendiri? Memangnya kau bayi berumur 3 tahun?” tanya Li Hiang ketus.
Dengan marah, nona itu membanting tangannya di air.
“Memangnya apa salah ku kepadamu sehingga kau memperlakukanku begitu buruk? Apakah wajahku jelek buruk rupa, sehingga menatapku saja kau begitu muak?”
Li Hiang tidak menjawab, tidak juga tersenyum seperti biasa. Ia membiarkan nona itu menumpahkan kemarahannya.
Matanya memerah, lalu beranjak pergi dari situ sambil menangis. Saat beberapa langkah dari bak, terdengar suara Li Hiang, “Kembali.”
Nona itu menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang dengan tidak percaya.
“Jika kau keluar dari pintu itu, aku tak akan mau kenal denganmu lagi” kata Li Hiang.
Si nona masih terdiam, “Kenapa kau begitu jahat kepadaku?” kali ini pertanyaannya begitu lirih.
Li Hiang menjawab dengan perlahan pula, “Karena aku takut, jika aku bersikap baik kepadamu, justru kaulah yang akan bersikap jahat kepadaku.”
Nona itu tersenyum sambil menangis, “Bagaimana aku tega berbuat jahat kepadamu?”
Ia tidak menerima jawaban Li Hiang. Karena ujung jarinya telah ditarik dengan lembut. Tubuhnya pun telah terhempas jatuh dengan lembut di air hangat beraroma bunga itu. Tubuhnya benar-benar milik Li Hiang saat itu. Siapapun tak dapat memiliki tubuh dan jiwanya, kecuali Li Hiang. Bahkan dirinya sendiri tak memiliki lagi tubuh dan jiwa itu.
Entah berapa lama mereka menikmati keindahan ini. Kenikmatan terindah dalam hidup sebagian besar manusia.
“Kau tidak boleh jahat lagi kepadaku” kata Lam Siu Kwi manja, sambil mencemberutkan bibirnya. Saat melakukan ini wajahnya terlihat lebih menyenangkan. Memang ada sebagian wanita yang jika ia semakin membuat wajahnya bertambah jelek, ia justru kelihatan tambah cantik, lucu, dan menggemaskan.
Li Hiang hanya mengangguk dan berbisik, “Iya, sayang”
“Kau benar-benar sayang kepadaku? Tidak mempermainkan aku?” matanya berbinar, tetapi bibirnya tetap mencibir.
“Kenapa kau bertanya seperti ini? Apakah janjiku saja tidak cukup?” tanya Li Hiang lembut.
“Aku tak percaya kepada janjimu. Sudah berapa perempuan yang kau tipu, lalu kau bunuh” matany mengejap membayangkan kekejaman yang dilakukan Li Hiang.
“Saat kau mendengar berita itu, apakah kau pernah bertemu denganku?” tanya Li Hiang tegas.
“Tidak” jawab Lam Siu Kwi.
“Saat bertemu, apakah kelakuanku persis seperti yang diceritakan?”
“Tidak”
“Lalu mengapa kau masih begitu tega menuduhku yang tidak-tidak?”
Si nona terdiam.
Sambil becanda, Li Hiang mencipratkan air ke wajah si nona. Ia lalu tersenyum dan berkata, “Jika ditanya, harap menjawab. Jangan membuatku panik dengan mengiramu berubah menjadi gagu”
Si nona tertawa. Tawa perempuan saat setelah cemberut adalah tawa yang paling menyenangkan untuk dilihat. Li Hiang memeluknya dan berkata, “Kembalilah ke kamarmu, aku tak ingin mereka curiga dan menuduhmu macam-macam”
“Aku tak perduli” jawab Lam Siu Kwi.
“Aku tahu kau tak perduli. Tapi justru aku yang perduli. Aku tak ingin mereka memperlakukanmu dengan buruk.”
Setelah berpikir sebentar, Lam Siu Kwi lalu bangkit dari bak itu dan memakai kembali bajunya. Sebelum ia melangkah pergi, Li Hiang menciumnya dengan sangat mesra.
Lalu bayangan si nona menghilang dari kamarnya. Li Hiang hanya tersenyum kecut. Ia tahu lembaran peta yang tadi berada di jubah merahnya sudah hilang.
===========
Li Hiang memakai bajunya. Lalu memeriksa barang-barangnya, ada sebuah benda yang sangat ia jaga jangan sampai hilang. Dari balik sebuah kantong, tangannya menemukan barang yang dicarinya. Sebuah boneka mungil yang lucu. Boneka itu lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya paling dalam. Benda mungil itu mempunyai arti besar bagi dirinya.
Seringkali manusia sedemikian lucu, sampai-sampai hal kecil menjadi sedemikian penting dan hal besar sepenuhnya terabaikan.
Setelah itu ia mengendap-endap keluar dari kamarnya, menuju kamar Lam Siu Kwi. Ia ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu terhadap peta yang hilang. Dengan hati-hati ia mengendap-endap. Pekerjaan mengendap-endap ini nampaknya sudah merupakan pekerjaan sehari-hari baginya. Ia begitu luwes, lincah, dan cepat. Lorong gang di mana kamar-kamar itu berdampingan yang sempit dan gelap, membantu menyamarkan pergerakannya.
Di dapatinya kamar itu sudah kosong. Ia berpindah meneliti kamar-kamar yang lain. Semua gadis itu telah beristirahat. Dengan menggunakan pandangannya yang tajam, ia memeriksa permadani di lantai. Jejak kaki nona itu yang basah masih meninggalkan jejak. Ditelusurinya jejak itu. Rupanya si nona tidak masuk ke kamarnya. Jejak kaki itu menuju ke kamar lain.
Kamar siapa?
Jejak itu mulai menghilang. Hilangnya tepat di di pertigaan gang. Jika lurus menuju ke kamar dua orang nona lain. Jika belok kiri menuju pintu luar. Dengan heran Li Hiang memeriksa ke luar. Tidak ada jejak. Lam Siu Kwi telah pergi meninggalkan tempat itu!
Otaknya bergerak cepat memikirkan segala kemungkinan. Apakah nona itu adalah pengkhianatnya? Ia mencuri peta itu untuk menghilangkan barang bukti. Tetapi mengapa ia pergi? Mungkinkah ia pergi karena telah tahu bahwa kedoknya telah terbuka.
Ia pergi tanpa berganti baju karena jejak kakinya langsung menuju kesini. Apakah sebelumnya ia sudah mempersiapkan perlengkapannya dan diletakkan disini? Sehingga saat keluar, tinggal mengambil saja?
Entahlah.
Li Hiang kembali ke kamarnya. Baginya hal yang terbaik sekarang ini adalah beristirahat sebanyak-banyaknya untuk memulihkan tenaganya.
Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun saat mendengar ketukan perlahan di pintunya. Ia telah tahu apa yang terjadi,
“Apakah Kwi-ci (kakak Kwi) ada di sini?” tanya si pipi montok Hwi Giok.
Li Hiang menggeleng.
“Kwi-ci (kakak Kwi Ci) menghilang” jelas Hwi Giok.
“Sejak kapan?” tanya Li Hiang pura-pura tidak tahu.
“Entahlah. Sejak kami masuk ke kamar masing-masing, aku tidak melihatnya lagi. Pagi ini saat Cin-Cin ingin membangunkannya, ia sudah tidak berada di kamar”
“Mungkin ia keluar sebentar?” tanya Li Hiang lagi.
“Tidak mungkin. Kami semua sudah sepakat untuk bangun pagi-pagi sekali dan mengadakan rapat” tukas si nona.
“Baiklah. Kubantu kalian mencarinya” kata Li Hiang dengan tanggap.
Dengan bergegas ia bergerak ke luar mencari jejak Lam Siu Kwi dengan dibantu nona-nona yang lain. Setelah berjam-jam mencari jejaknya dan berteriak kesana-kemari, mereka akhirnya menyerah. Si nona menghilang!
“Apakah ia tidak pulang ke Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)?” tanya Li Hiang.
“Tidak mungkin. Perintah guru jelas. Kami berlima harus mengawalmu sampai ke sana” kata Sim Lan. Ada bayangan kepanikan di wajahnya yang indah.
“Mungkin saja ia menemukan suatu petunjuk dan harus buru-buru melaporkannya kepada suhu kalian” kata Li Hiang mencoba menenangkan.
“Petunjuk apa?” mereka hampir serempak bertanya.
“Petunjuk tentang siapa pengkhianatnya” tukas Li Hiang.
Para nona saling memandang. Kemungkinan itu bisa saja terjadi.
“Atau bisa saja ia pengkhianatnya” tegas Cin-Cin.
“Bisa jadi” jawab Li Hiang sambil mengangguk perlahan-lahan.
Mereka semua kembali ke Pavilliun Musim Dingin itu. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Kelima orang ini memutuskan untuk menikmati makan pagi sambil membahas kejadian yang barusan saja terjadi.
“Sungguh tak kusangka Kwi-ci (kakak Kwi) lah pengkhianatnya” tukas Cin-Cin.
“Sebelum kita mengetahui kejadian sebenarnya, kita tidak boleh mengambil keputusan terlalu cepat” sanggah Sim Lan.
“Tapi jika tidak terjadi apa-apa, mengapa ia menghilang secara tiba-tiba?” tegas Cin-Cin.
Li Hiang sebenarnya ingin membuka permasalahan hilangnya peta, namun ia mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk mencermati keadaan dulu sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu.
Sim Lan menoleh kepadanya,
“Hiang-ko, apakah kau…tidak ada..hubungan dengan menghilangnya Kwi-moy (adik Moy)?” tanya Sim Lan.
Li Hiang menggeleng, katanya, “Jika aku ingin membunuh atau menghilangkan kalian, mengapa harus menunggu sekarang? Selama di perjalanan kan aku bisa membunuh kalian semua”
“Bisa saja kau memang menunggu agar kami membawamu ke Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Hijau) baru membunuh kami” sanggah Sim Lan.
“Lalu mengapa aku harus membunuh Lam Siu Kwi sekarang?”
“Karena….ah…aku tidak tahu…bisa saja karena ia mengerti rahasiamu! Atau kau memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya!”
“Lan-moy (adik Lan), kau sedang panik, semua tuduhanmu tidak berdasar. Kau boleh menuduhku sombong, tapi aku jamin, aku tak perlu memaksa wanita untuk melakukan hal yang tidak ingin mereka lakukan.” Jelas si Jubah Merah.
Jauh di dalam hati masing-masing nona itu, mereka paham betul apa yang Li Hiang maksudkan. Karena mereka tahu kata-katanya memang benar.
Sim Lan menutup wajahnya, air mata telah meleleh di pipinya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Dengan lembut, Li Hiang menyentuh pundaknya dan menenangkannya. Tak berapa lama, si nona cantik bermata indah ini akhirnya dapat menenangkan dirinya.
“Jika ada musuh yang datang, kita pasti akan tahu. Tapi nona Lam Siu Kwi menghilang dengan sendirinya, tanpa jejak pula. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu dan melihat perubahan” kata Li Hiang menenangkan.
Keempat nona itu memang tidak bisa melakukan apa-apa selain menanti. Li Hiang sendiri memikirkan beberapa kemungkinan yang mungkin telah terjadi. Lama berpikir, ia masih belum dapat memastikan kemungkinan mana yang benar-benar terjadi.
Hari menjelang sore dan si nona langsing yang cantik itu masih tetap menghilang. Seharian mereka semua duduk di ruang tengah Pavilliun yang indah itu. Selain untuk menenangkan pikiran, duduk bersama-sama seperti ini berguna sebagai pertahanan jika ada musuh tak terduga. Karena masing-masing orang yang ada di sini semuanya mencurigakan!
Suasana di sana hangat, walaupun di luar hujan salju turun rintik-rintik. Perapian di ruang tengah itu diatur dengan baik sehingga panasnya menjalar ke seluruh ruangan. Masing-masing termenung dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Di tengah suasana sepi seperti ini, segala gerakan yang terjadi di luar akan cepat dapat diketahui dari dalam. Letak Pavilliun yang sedikit lebih tinggi dari daerah sekitar, memberi pandangan yang luas dan keutungan tersendiri. Selain sebagai rumah peristirahatan, Pavilliun ini sebenarnya adalah sebuah benteng yang bagus.
Dengan pendengarannya yang tajam, Li Hiang mendengar sesuatu di luar sana. Hari telah menjelang gelap, dan salju telah menutupi tanah. Gerak langkah kaki di salju. Li Hiang bangkit berdiri. Ke empat nona yang sedang duduk-dudukan itu pun ikut berdiri. Rupanya mereka kemudian mendengar langkah-langkah ini. Serentak mereka bergegas menuju jendela untuk mengintip ke luar.
“Guru!”
Rombongan yang terdiri dari 3 orang itu ternyata adalah rombongan Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih). Li Hiang dapat merasakan perasaan cemas ke empat nona yang telah berlari keluar menyambut guru mereka. Ia sendiri mengikuti mereka dari belakang sambil berjaga-jaga. Segala kemungkinan bisa terjadi.
“Guru, murid memberi salam!” kata keempat nona itu serempak sambil berlutut.
“Bangkitlah” jawab sang guru.
Pandangan sang guru tertuju kepada laki-laki di belakang ke empat muridnya itu. Setiap perempuan yang memandang Li Hiang pasti akan memiliki pandangan seperti ini. Pandangan kagum sekaligus tak percaya bahwa ada orang setampan itu di kolong langit ini.
Li Hiang memberi salam duluan, “Cayhe (Saya) Li Hiang, memberi hormat kepada Cengcu (ketua perkampungan)” katanya sambil menjura.
Sang guru yang melihat keadaan Li Hiang yang tidak terikat dan bergerak dengan santai dan tenang, dapat memahami bahwa orang ini bukanlah tahanan seperti yang direncanakannya. Ia lalu bertanya,
“Apakah cayhe (saya) sedang berhadapan dengan Si Jubah Merah yang tersohor itu?”
“Nama cayhe Li Hiang. Tapi orang-orang memang suka menjuluki cayhe dengan nama Si Jubah Merah. Sebuah nama kosong belaka, sungguh tidak pantas terucap oleh bibir Cengcu (ketua perkampungan) yang terhormat” jawab Li Hiang sambil menunduk sopan.
Sang guru yang ternyata masih sangat cantik walau sudah tua itu hanya mengangguk sambil tersenyum sinis,
“Sudah mampu menaklukkan murid-muridku, tentu saja bukan nama kosong” tukasnya.
Dalam hati Li Hiang ingin tertawa. Murid-murid pingkan dan kemayu seperti ini mana bisa dibanggakan? Tapi di luaran wajahnya tetap tenang dan penuh hormat. Katanya, “Sesungguhnya justru cayhe yang merasa takluk oleh murid-murid Cengcu. Karena itulah cayhe tunduk dibawa kesini”
Sang guru tersenyum, “Bagus. Setidaknya kau bukan orang yang suka menjilat”
Li Hiang memang pintar memilih kata-kata. Dengan mengatakan “merasa takluk”, Li Hiang seperti mengatakan bahwa ia “tidak takluk”, hanya “merasa” saja. Jika diadu sungguh-sungguh tentu saja ia sanggup mengalahkan nona-nona ‘mungil’ ini.
“Eh, kemana Siu Kwi?” tanya sang guru.
“Guru sebaiknya masuk dan beristirahat dulu” kata Sim Lan, yang diikuti dengan anggukan kepala sang guru.
Setelah masuk dan melepas mantelnya, tampak lah tubuh semampai sang guru yang sintal dan menggairahkan. Menurut taksiran Li Hiang, umurnya mungkin sekitar 50an. Tetapi wajah dan tubuhnya seperti wanita berumur 30an.
Sang guru bersama kedua orang pengawalnya lalu memilih ruang tengah untuk duduk dan beristirahat. Murid-muridnya lalu menyiapkan makanan dan minuman. Li Hiang sendiri tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya berdiri memandang pemandangan luar Pavilliun itu melalui jendela.
Sim Lan lalu melaporkan hasil tugas mereka, termasuk kejadian hilangnya Siu Kwi. Diceritakan secara ringkas dan jelas. Sang guru hanya manggut-manggut mendengar cerita itu. Setelah selesai, ia lalu bertanya, “Di mana pedang ungu itu?”
“Ini guru” kali ini Hwi Giok, si pipi montok, maju dan menyodorkan sebuah pedang.
Sang guru menerima pedang itu dengan mata berbinar. Di keluarkannya pedang itu dari sarungnya. Cahaya ungu merona keluar dari badan pedang yang berwarna perak menyala.
“Pedang ini palsu!” lalu pedang itu dibantingnya.
Dengan marah ia menoleh ke Li Hiang, “Pedang asli masih berada padamu, bukan?”
Li Hiang hanya mengangguk.
“Serahkan padaku!” perintah sang guru cantik ini.
Si Jubah Merah tersenyum, “Baik” katanya tenang.
Tapi ia tidak melakukan apa-apa, pandangannya malah kembali ia tujukan ke luar jendela. Seolah sang guru dan murid-muridnya tidak pernah berada di hadapannya.
Setelah menunggu beberapa saat sikap Li Hiang tidak berubah, dengan sang guru membentaknya, “Serahkan pedang itu sekarang!”
Li Hiang hanya menoleh dan tersenyum, “Aku akan memberikannya kepadamu jika saatnya tiba”. Kata-kata itu tenang dan dalam. Seperti memerintah. Sang guru seolah-olah tersihir menjadi patuh, ia hanya menjawab, “Baiklah”
Ketenangan, rasa percaya diri, sikap, dan ketegasan, adalah unsur utama yang paling menarik dari laki-laki. Seluruh unsur inilah yang paling membuat perempuan tertarik dan merasa penasaran. Li Hiang sudah lulus pelajaran ini. Ia sangat ahli di bidang ini.
“Cengcu beristirahatlah. Aku telah berjanji, dan janjiku selalu ku tepati” ujar Li Hiang.
“Mulut lelaki mana pernah bisa dipercaya?” kali ini Cin-Cin yang menukas.
“Mulut laki-laki bernama Li Hiang pasti bisa dipercaya!” jawab Si Jubah Merah sungguh-sungguh. Melihat ketegasan dan ketenangan ini, mau tidak mau mereka tunduk juga.
Dengan segala pesona, ketampanan, dan pembawaannya, Li Hiang telah berhasil menguasai kumpulan guru dan murid ini hanya dengan kata-katanya. “Bukankah Cengcu sekalian sedang dalam pelarian dari kejaran musuh?” tanyanya.
Sang guru hanya bisa sedikit terhenyak, lalu mengangguk dan mengiyakan.
“Apakah Pek Swat Ceng sudah hancur?” tanyanya.
“Tidak” jawab sang guru tenang.
“Lalu mengapa Cengcu kemari?”
“Kehadiranku di sini justru untuk memancing para musuh datang ke mari” jawabnya tenang.
“Ahhh” Li Hiang hanya bisa tersenyum dan tertawa. “Rupanya cayhe harus mengakui kelihayan dan kepintaran Cengcu”
“Hmm” hanya itu yang keluar dari bibir sang guru.
“Cengcu ingin menggunakan cayhe untuk mengalahkan musuh-musuh itu. Betul tidak?” tanya Li Hiang.
“Benar sekali”
“Dan Cengcu yakin bahwa cayhe akan membantu menghadapi karena Cengcu memiliki sebuah benda yang cayhe cari-cari?” tanya Li Hiang.
“Benar lagi”
“Cengcu yakin pula bahwa cayhe tak akan membunuh cangcu sekalian guru dan murid, karena hanya Cengcu lah yang tahu di mana letak benda yang cayhe cari?”
Sang guru hanya mengangguk, lalu menjawab “Kau memang seorang yang cerdas”
Li Hiang tertawa.
“Walaupun cayhe bukan orang paling sakti di dunia persilatan, rasanya cayhe pun bukan orang lemah. Tapi jika menghadapi keroyokan banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang nanti akan datang kemari, rasa-rasanya jika Li Hiang membelah diri menjadi 10 orang pun belum tentu bisa mengalahkan mereka”
“Kau tak perlu mengalahkan mereka. Kau hanya perlu mengalihkan mereka” jawab sang guru tenang.
“Oh?”
Sang guru tersenyum manis.
Li Hiang bertanya, “Apakah Cengcu akan memberikan barang yang cayhe cari itu dengan sukarela, lalu membiarkan cayhe yang gantian diuber orang-orang dunia persilatan?”
“Ah tidak. Barang itu terlalu berharga jika diberikan secara cuma-cuma” jawab sang guru penuh rahasia.
“Lalu?”
“Mengapa aku harus membeberkan rencanaku?” jawab sang guru sambil tersenyum.
“Haha. Baiklah. Aku tak akan bisa mengancammu. Lebih baik kau ku ajak minum arak saja” setelah berkata begitu, dengan santai Li Hiang maju dan duduk di hadapan sang guru. Para murid hendak mencegah, namun sang guru memberi tanda untuk membiarkan saja.
“Kalian para murid beristirahatlah. Besok adalah hari penentuan. Kumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya”
“Subo (guru perempuan) biarlah teecu (murid) berjaga di sini. Siapa tahu orang ini punya rencana jahat” kata salah seorang murid yang tadi datang bersamanya.
“Tidak perlu. Patuhi saja perintahkku”
“Baiklah, teecu mematuhi”
Keenam murid yang ada di sana kemudian masing-masing masuk kamar. Masih ada beberapa kamar kosong yang bisa dipakai oleh kedua murid yang baru datang. Mereka sendiri merapikan dulu kamar untuk guru mereka sebelum menggunakan kamar sendiri.
Kini tinggal Li Hiang berduaan dengan sang guru.
Malam sudah datang. Tatapan mata mereka beradu. Harus diakui, perempuan yang sudah hampir setengah abad ini masih sangat cantik dan menggiurkan. Sebaliknya, ia sendiri belum pernah melihat lelaki setampan Li Hiang.
Mereka duduk berhadap-hadapan. Bersila di lantai, hanya dipisahkan sebuah meja kecil. Seguci arak berada di sana. Li Hiang menuangkkannya ke dalam cawan. Gerakannya tegas, tanpa ragu-ragu. Dengan lembut dan sambil tersenyum, ia lalu menyodorkan cawan itu kepada wanita di hadapannya. “Silahkan Cengcu”
“Kau pintar sekali melayani wanita” kata sang Cengcu.
“Wanita memang sukar dilayani keinginannya. Cengcu memuji cayhe terlalu tinggi” katanya sambil menuangkan sendiri arak ke dalam cawannya.
“Mari”
“Mari”
Mereka mengangkat cawan tinggi-tinggi lalu menenggaknya.
“Mohon maaf, cayhe (aku) belum mengetahui nama Cengcu” kata Li Hiang. Sebenarnya, seorang tamu menanyakan nama tuan rumah bukanlah hal yang sopan. Tapi ia tahu caranya. Ia mengerti bagaimana cara bersikap tidak sopan dengan amat sopan. Begitu pula sebaliknya.
Sang cengcu tersenyum, sambil memandang wajah Li Hiang dalam-dalam, ia berkata,
“Namaku Song Ling Ji”
“Bagus sekali nama cengcu” pujian dari mulut Li Hiang selalu terdengar merdu.
“Selain pintar melayani perempuan, kau juga pintar memuji perempuan” matanya tetap menatap wajah Li Hiang.
“Ada orang yang bilang, cayhe ini memang tercipta untuk menyenangkan hati perempuan. Entah perkataan ini betul atau tidak” katanya Li Hiang.
“Orang yang berkata begitu, pasti telah kau senangkan hatinya” tukas Song Ling Ji. “Orang yang kau senangkan hatinya tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya.”
“Orang yang cayhe lukai hatinya, rasa-rasanya jauh lebih banyak” saat berkata begitu mata Li Hiang seperti menerawang di kejauhan.
“Laki-laki seperti engkau mungkin memang ditakdirkan untuk menyakiti hati perempuan” kata Song Ling Ji.
“Ada yang bilang cayhe (aku) tercipta untuk menyenangkan, ada pula yang bilang cayhe tercipta untuk menyakiti. Entah sebenarnya cayhe masuk golongan mana?”
Kesedihan dan kesenangan adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang hanya bisa disakiti oleh orang yang menyenangkan hatinya. Jika ia sudah tidak senang, ia pasti sudah tidak perduli apapun yang orang itu lakukan. Manusia memang hanya bisa menyakiti hati orang yang mencintainya.
“Ku lihat kau pun menyimpan penderitaan yang cukup dalam.” Ucapan Li Hiang ini menusuk tepat di jantung hati Song Ling Ji.
Ia sedikit terhanyak, namun dalam sekejap ia telah mampu menguasai dirinya.
“Hanya orang-orang yang pernah terluka yang mampu menyelami penderitaan orang lain. Betul tidak?” tanya Song Ling Ji.
Li Hiang tidak menjawab. Ia memang tidak perlu menjawab.
Ia bangkit berdiri dan menarik tangan Song Ling Ji. Semua perempuan di muka bumi ini pasti menurut jika tangannya ditarik pergi oleh Li Hiang.
“Kau hendak membawaku kemana?”
“Ikut saja” jawab Li Hiang pendek. Perempuan memang suka dengan hal-hal yang rahasia. Semakin rahasia, hati mereka semakin penasaran.
Di luar salju telah turun dengan deras. Li Hiang menarik wanita itu pergi keluar. Dengan lembut ia menuntun wanita itu. Lalu mereka berhenti,
“Kau lihat salju-salju itu?” tanya Li Hiang.
Song Ling Ji mengangguk.
“Salju-salju itu seperti hatimu. Dingin, rapuh, namun putih bersih. Terlihat sangat indah, namun di saat yang sama terlihat kesepian.”
Entah bagaimana, Song Ling Ji merasakan matanya berair. Ia hanya bisa menghela nafas.
“Tapi musim dingin yang paling panjang dan penuh penderitaan pun pada akhirnya akan berganti musim semi. Salju akan mencair, dan bunga-bunga akan tumbuh berkembang lagi. Jika cahaya matahari datang dan menyinari, tempat yang paling dingin dan gelap pun akan berubah menjadi hangat dan bercahaya” kata Li Hiang.
Genggaman tangan Song Ling Ji semakin mengeras. Ia merasakan kehangatan tangan Li Hiang.
“Jika kau mau, kau bisa meninggalkan musim dingin dan beranjak ke musim semi. Cahaya matahari akan selalu menunggumu di sana”
Salju turun dan memenuhi rambut Song Ling Ji. Ia tidak bisa dibilang muda lagi. Tapi tak ada seorang pun yang bisa berkata bahwa ia tidak cantik. Masih sangat cantik. Wajahnya yang putih bersih memerah diterpa angin dingin pegunungan. Matanya masih bersinar cerah seperti seorang gadis pingitan yang bertemu kekasihnya untuk pertama kali. Walaupun mata itu dipenuhi air mata, mata itu tetap indah dan bercahaya.
“Apa maumu?” tanya Song Ling Ji.
“Aku hanya ingin kau bahagia”
“Kau tahu apa tentang kebahagiaan?” tanya Song Ling Ji lagi.
“Walaupun aku tidak begitu jelas tentang makna bahagia, setidaknya aku tahu persis apa itu penderitaan” jawab Li Hiang.
“Dan kau ingin memberikan kebahagiaan itu kepadaku?” tanya perempuan cantik ini.
“Jika kau pergi sampai ke ujung dunia untuk mencari orang yang dapat membahagiakanmu, kau tak akan pernah menemukannya. Kau hanya perlu mencari cermin. Karena sesungguhnya satu-satunya orang yang dapat membahagiakanmu adalah dirimu sendiri. Tetapi jika kau menginginkan seseorang untuk menemani perjalananmu, aku bersedia.” Kata-kata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dengan polos, dan dengan kepercayaan diri yang amat kuat.
Song Ling Ji hanya bisa menutup matanya. Saat itu juga sukmanya telah melayang entah kemana. Bersama ciuman hangat seorang pemuda paling tampan yang pernah ditemuinya. Segala penderitaan hatinya pun seolah-olah terangkat seluruhnya dari jiwanya. Ketika ia benar-benar tersadar, tubuhnya telah tergeletak penuh peluh di atas ranjang di dalam kamarnya.
Ia tidak memakai apa-apa.
Li Hiang juga tidak memakai apa-apa.
Laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan hal-hal seperti ini memang biasanya paling suka jika tidak memakai apa-apa.
Dan ketika semua ini selesai, yang tertinggal adalah pelukan hangat sepasang kekasih. Justru saat-saat seperti inilah, perasaan manusia berada di tingkat yang paling menyenangkan.
Li Hiang memeluknya dari belakang. Song Ling Ji menikmati sekali pelukan itu. Hal yang dirindukannya sejak puluhan tahun yang lalu.
Seseorang jika pernah terluka karena cinta yang terlalu dalam, memang kadang-kadang lebih memilih kesendirian selama ribuan tahun daripada membiarkan dirinya terluka lagi.
Sejak jaman dahulu, orang-orang seperti ini telah ada. Kelak di masa mendatang, jumlahnya tidak berkurang, malah selalu bertambah.
Orang-orang yang tidak pernah mengenal cinta sejati, selamanya tidak akan pernah mengerti dan memahami hal ini.
Apakah karena di dunia ini manusia selalu lebih suka dengan cinta yang sementara?
Sementara karena tidak ada. Sementara karena yang ditunggu tidak juga datang. Sementara karena yang disayang sedang pergi jauh. Sesuatu yang sementara, memang seperti namanya, ‘sementara’, memang tak akan bertahan lama.
Orang-orang seperti ini walaupun terlihat sangat bahagia, sebenarnya penderitaannya jauh lebih dalam dan menyakitkan.
Justru karena hal inilah, penderitaan di muka bumi seperti tidak pernah berakhir.
“Besok, jika musuh-musuhku datang, maukah kau menghadapinya bersamaku?” tanya Song Ling Ji lembut.
“Tentu saja”
“Aku merasa bersalah karena memanfaatkanmu” ujar Song Ling Ji
“Sebenarnya, apa rencanamu pada awalnya?” tanya Li Hiang.
“Seperti yang kau bilang, aku berencana untuk mengatakan bahwa barang itu sudah kau rebut, agar musuh-musuhku mengubermu” kata Song Ling Ji.
“Lalu kenapa tidak kau akui tadi saat ku tanya?” tanya Li Hiang sambil tertawa.
“Perempuan bukan perempuan jika ia kalah bicara dengan laki-laki. Orang seperti kau seharusnya mengerti hal ini” kata Song Ling Ji manja sambil cemberut.
Tentu saja Li Hiang paham. Tapi ia juga paham, beradu mulut dengan perempuan adalah hal yang sia-sia. Cari terbaik adalah dengan membuat mereka mengakui sendiri perbuatan mereka. Dan tentang cara ini, Li Hiang sudah lulus seluruhnya.
=========
“Aku memikirkan sebuah hal yang mengherankan, sayang” Li Hiang telah menggunakan kata ‘sayang’.
“Apa itu, sayangku?” Song Ling Ji pun menggunakan sebutan yang sama.
“Aku harus menceritakan satu hal kepadamu dulu” jelas Li Hiang. Lanjutnya, “Sebelum Lam Siu Kwi menghilang, aku telah kehilangan sebuah peta di dalam kamarku”
“Kau yakin dia yang mengambil?” tanya si Cengcu cantik ini.
“Dari 10 bagian keyakinan, aku yakin 8 bagian”
“Memangnya itu peta apa?”
“Aku sendiri tidak yakin. Aku menemukan peta itu dari tubuh salah seorang dari Tiga Iblis Gunung”
“Oh, Sim Lan tadi sudah bercerita bahwa kau membunuh mereka.”
“Iya. Aku bahkan menunjukkan peta itu kepada Sim Lan”
“Apa kata dia?” tanya Song Ling Ji.
“Iya mengatakan bahwa peta itu adalah peta menuju Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)”
“Ah, jadi letak perkampungan kami sudah tersebar di dunia luar”
“Ada satu hal yang mengherankan” kata Li Hiang
“Apa itu?”
“Jika itu adalah peta menuju Pek Swat Ceng, mengapa Lam Siu Kwi harus mencurinya?”
Song Ling Ji berfikir sebentar, lalu berkata “Benar juga”
Lanjutnya, “Apakah dia adalah pengkhianat yang selama ini membocorkan rahasia kami?”
“Bisa jadi. Mungkin di dalam peta itu ada beberapa petunjuk yang memperlihatkan keterlibatannya dalam pengkhianatan itu. Misalnya mungkin saja peta itu adalah tulisan tangannya”
“Benar. Bisa jadi. Aih…..aku tak pernah menyangka dia lah pengkhianat itu”
“Sebelum semua ini jelas, kita tidak boleh mengambil kesimpulan terburu-buru. Harus memperhatikan keadaan lebih jauh”
“Baiklah. Aku ikut maumu saja, sayang” sambil berkata begitu, ia memeluk Li Hiang dan menghujaninya dengan ciuman yang panas membara.
Malam itu adalah malam yang panjang bagi mereka berdua.
Kebahagiaan.
Terlihat sangat sederhana, namun sungguh amat sangat tidak sederhana. Terlihat tidak sederhana, namun sungguh sangat sederhana.
Pagi menjelang.
Li Hiang telah mempersiapkan dirinya. Ia telah selesai mandi air hangat, dan berpakaian. Semua dilakukannya sendiri tanpa manja meminta disiapkan. Bahkan ia telah menyiapkan roti-rotian untuk sarapan. Song Ling Ji terbangun oleh aroma wangi sarapan yang sudah disiapkan Li Hiang.
Dengan manja dan sambil malas-malasan, Cengcu cantik ini makan dengan disuapi oleh Li Hiang. Perempuan sangat ingin dimanjakan. Dan jumlah laki-laki yang mengerti hal ini di kolong langit mungkin bisa dihitung dengan jari.
“Kau sudah siap?” tanya Song Ling Ji.
Li Hiang menangguk, lalu katanya “Apa rencanamu, apakah ‘bunga’ itu memang berada padamu?”
Song Ling Ji bangkit dari sikap manjanya. Sikapnya kini serius dan bersungguh-sungguh.
“Aku akan memberitahukanmu di mana letak ‘Anggrek Tengah Malam’” kata sang Cengcu cantik.
Mendengar kata ‘Anggrek Tengah Malam’, betapa jantung Li Hiang berdetak kencang. Inilah benda yang dicari-carinya selama ini. Mengorbankan hidupnya hanya untuk menemukannya. Tapi walaupun di dalam hatinya ia tak dapat menahan kegembiraan, raut wajahnya tampak tenang-tenang saja.
“Kau tidak terlihat gembira” kata Song Ling Ji.
Li Hiang hanya tersenyum.
“Seluruh manusia di kolong langit ini berlomba-lomba mencari bunga ini. Dengan segala khasiatnya, bunga sakti ini mampu menjadikan manusia sebagai dewa atau dewi. Kenapa tampangmu biasa-biasa saja?” tanya Song Ling Ji.
“Aku dengar bunga itu dapat mempertahankan kecantikan dan kemolekan wanita sampai ratusan tahun lamanya. Aku curiga kau sudah pernah menggunakan khasiat bunga ini” kata Li Hiang.
“Aih, kau terlalu memuji. Memang dasar kau perayu wanita” walaupun bersungut-sungut, mau tidak mau wajah Song Ling Ji terlihat gembira dan tersipu malu.
“Sebagai ketua perkampungan, aku telah disumpah oleh para leluhur untuk tidak mempergunakannya. Seluruh murid Pek Swat Ceng (Perkumpulan Salju Putih) pun tidak tahu keberadaan bunga ini”
“Perkumpulan yang aneh” tukas si Jubah Merah.
“Memang. Tanaman itu telah menjadi rebutan orang sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Bahkan namanya telah menjadi serupa legenda yang tak dapat dipastikan kebenarannya. Khasiatnya mampu menambah kemampuan tenaga dalam seseorang hingga berlipat-lipat, mampu menyembuhkan segala penyakit yang tak tersembuhkan sekalipun, mampu membuat seseorang awet muda, bahkan memberikan umur sampai seratus tahun lebih. Itulah sebabnya menjadi rebutan orang selama ribuan tahun. Tanaman ini tersembunyi aman, terjaga oleh aku seorang. Baru beberapa bulan belakangan ini bocor keberadaannya. Aku heran, bagaimana kau bisa tahu bunga ini berada di sini?”
“Guruku pernah menceritakan rahasia ini kepadaku beberapa tahun yang lalu” jelas Li Hiang.
“Siapa nama gurumu?” tanya Song Ling Ji.
Li Hiang hanya menggeleng.
“Ah, rahasia? Baiklah, aku takkan memaksa” kata Song Ling Ji.
“Menurut pendapatku, di dalam perkampunganmu mungkin ada seorang pengkhianat yang menyebarkan rahasia itu” kata Li Hiang.
“Hmmm….eh, tapi jika kau telah mengetahui rahasia ini bertahun-tahun yang lalu, mengapa kau tidak segera datang merebutnya?”
“Karena saat itu aku belum membutuhkannya” jelas pemuda tampan itu.
“Belum?” setelah berpikir sebentar, ketua cantik ini bertanya lagi, “Apakah karena sekarang kau sedang sakit?”
“Bukan aku yang sakit. Tetapi seseorang yang benar-benar ku sayangi yang sedang menderita sakit” jelas Li Hiang.
“Siapa dia? Istrimu kah? Atau kekasihmu?”
“Dia seseorang yang sangat berharga bagi hidupku. Aku rela mengorbankan seluruh hidupku baginya” ujar Li Hiang.
“Seandainya aku adalah orang itu, maukah kau mengorbankan hidupmu pula?” tanya Song Ling Ji sungguh-sungguh.
“Tentu saja” Li Hiang mengangguk tegas.
“Sayangnya, aku bukan orang itu” tak terasa matanya memerah. Pertemuan ini baru semalam, tetapi hati dan jiwanya telah menjadi milik Li Hiang sepenuhnya. Entah berapa banyak hati dan jiwa perempuan yang sepenuhnya menjadi milik seorang laki-laki dalam semalam.
Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mencintaimu, saat itu juga ia rela memberikan seluruh hidupnya kepadamu.
Tetapi saat cintanya menghilang dan hatinya berubah, maka ia seolah-olah berubah menjadi seorang asing yang tak kau kenali lagi.
Memang tak ada seorang perempuan pun yang benar-benar kejam. Yang ada hanyalah perempuan yang berubah hatinya.
Cerita ini bukan cerita baru di dalam hidup manusia.
Song Ling Ji menatap wajah Li Hiang dengan penuh cinta dan hormat.
“Orang-orang di muka bumi ini menganggapmu sebagai seorang bajingan. Sesungguhnya kau seorang baik dan setia. Kau hanya terlalu baik kepada semua perempuan yang kau temui”
Li Hiang hanya diam. ‘Terlalu baik’ itu tidak enak. ‘Terlalu baik’ itu menyakitkan. Ia sesungguhnya telah berhenti menjadi ‘terlalu baik’ kepada orang lain.
“Jika nanti semua telah terjadi, mau kah kau mengenangku? Menyimpan rapat-rapat kenangan kita berdua, walau hanya sebentar, sesungguhnya saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku” tak terasa air matanya meleleh.
Air mata perempuan, kadang terlihat indah. Apakah karena keindahan ini, laki-laki begitu sering menyakiti perempuan? Agar sekedar dapat melihat air matanya.
Ataukah karena keindahan ini, perempuan begitu sering menggunakannya agar setiap hati laki-laki bertekuk lutut di hadapannya?
Entahlah. Urusan manusia begitu banyak. Urusan hati justru jauh lebih banyak lagi.
“Tak akan ada sedetik pun yang terlewatkan. Tak ada sedetik pun yang terlupakan. Seseorang boleh datang dan boleh pergi dalam kehidupan orang lain. Tapi kenangan pasti membekas dan menorehkan ceritanya tersendiri”
Kadang-kadang, kenangan adalah sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang cinta itu sendiri.
“Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Asalkan kau berjanji, di dalam hidupmu, di dalam hatimu, terdapat sebuah ruangan kecil yang kau kosongkan bagi namaku. Di mana kau menemukan kebahagiaan dan kedamaian, aku sudah cukup berbahagia.” Kata perempuan cantik ini.
Ia lalu berdiri. Merobek seutas kain dari pakaiannya lalu menuliskan sesuatu. Rupanya ia menggambar sebuah peta. Dengan terang dan jelas, ia menunjukkan di mana bunga ‘Anggrek Tengah Malam” itu berada.
Li Hiang mengangguk mengerti. Setelah penjelasan itu selesai, ia mengecup bibir Song Ling Ji. Kecupan terakhir. Segala sesuatu yang terakhir memang selalu berharga. Demikian juga kecupan terakhir. Rasanya akan membekas di jiwa manusia selamanya.
Kecupan ini lama, namun tak lagi membara. Segala nafsu telah menghilang lepas entah kemana. Yang tertinggal hanya perasaan cinta yang dalam.
Lalu perpisahan pun tiba.
Perpisahan yang datang ke dalam sebuah perasaan cinta yang dalam. Adakah yang lebih menyedihkan dari hal ini?
Seperti pertemuan, perpisahan pun adalah takdir. Manusia kebanyakan mengingat pertemuan, tanpa pernah mau menghargai perpisahan. Padahal berpisah pun sama berharganya dengan bertemu. Bahkan jauh lebih berharga.
Karena walaupun pertemuan mampu merubah hidup seseorang, perpisahan justru jauh merubahnya dengan lebih dalam. Memberi seseorang pengertian akan hidup. Memberi arti kepada kenangan.
Karena kenangan sesungguhnya hanya akan berharga jika ada perpisahan.
Maka mereka pun berpisah. Tidak perduli apakah kedua orang ini suami-istri atau bukan, kekasih atau bukan, sahabat atau bukan, perpisahan selalu menggetarkan jiwa.
“Sebelum kau pergi, totoklah aku. Lalu totoklah semua murid-muridku” pinta Song Ling Ji.
Li Hiang memandangnya dengan penuh tanya. Perempuan cantik itu berkata,
“Jika musuh-musuhku datang, aku akan berkata bahwa kau telah menotokku, dan kau pergi sambil membawa peta keberadaan ‘Anggrek Tengah Malam’.”
“Baiklah. Jadi kau ingin mereka benar-benar mengejarku?”
“Aku ingin kau mendapatkan bunga itu. Lalu pergi dan menemukan kekasihmu dan menyembuhkannya. Tapi aku ingin kau berkorban pula untukku. Dengan mengejarmu, aku ada kesempatan untuk menyingkir dan menyelamatkan anak buahku. Jika bunga itu telah berada di tanganmu, para musuh tidak akan menganggu lagi Pek Swat Ceng”
“Aku telah berjanji untuk memberikan pedang ungu kepadamu, maukah kau…?” belum selesai Li Hiang bicara, Song Ling Ji telah memotongnya, “Aku tidak pernah menginginkan pedang itu. Aku hanya inginmenggunakanmu melawan musuh-musuhku. Tapi setelah bertemu, aku tahu hatiku telah menjadi milikmu”
“Mengapa tidak kau berikan saja bunga itu kepada salah seorang musuhmu? Bukankah dengan begitu mereka akan saling menghancurkan” kata Li Hiang.
“Aku hanya memberikan bagian paling berharga dalam hidupku kepada orang yang ku cintai. Apakah penjelasanku sudah cukup?”
Li Hiang mengangguk, “Lebih dari cukup”
Tangannya bergerak menotok perempuan cantik itu. Lalu ia membisikkan bagaimana cara membuka totokan itu.
Lalu mata mereka saling memandang. Pandangan ini mungkin untuk yang terakhir kalinya. Laki-laki yang pergi demi mengejar impian hidupnya, dan perempuan yang rela melepasnya pergi dengan penuh setia dan percaya. Di dunia ini tidak ada yang lebih mengharukan selain pemandangan ini.
Jauh di hati masing-masing, mereka tahu, mereka berdua mungkin akan mati tanpa pernah bertemu kembali. Tapi masing-masing menghadapi perpisahan ini dengan kegembiraan yang menyedihkan. Karena mereka tahu, masing-masing mengorbankan dirinya demi satu sama lain.
Jika di dalam hidupmu kau sanggup melakukan hal ini satu kali saja, maka kau baru pantas mengaku sebagai manusia.
Lalu ia pergi.
Bayangan merah itu menghilang dari hadapannya. Air mata Song Ling Ji menetes dengan deras, tapi bibirnya menyungging senyum bahagia.
Kebahagiaan yang menyedihkan.
Hanya mereka yang telah mengalaminya yang betul-betul memahami artinya.
Song Ling Ji memahaminya.
Li Hiang pun memahaminya.
Oleh karena itu Li Hiang bergerak tanpa ragu-ragu. Ditotoknya seluruh murid-murid yang berada di sana. Dengan gerakannya yang sukar diikuti mata, tidak sulit baginya untuk menotok murid-murid itu satu persatu di kamar mereka masing-masing.
Lalu ia pergi menyusuri jalan kecil di belakang Pavilliun itu. Jalan kecil berkelok yang mengantarnya ke sebuah kecil.
“Gua ini adalah gerbang masuk menuju jalan di mana ‘Anggrek Tengah Malam’ disimpan” katanya dalam hati. “Hiang-Hiang, aku akan datang menyembuhkanmu. Tunggulah!”
Pagi masih gelap, cuaca masih dingin, bayangan Li Hiang telah menghilang dari dalam gua.
Song Ling Ji masih tak bergerak di atas tempat tidurnya. Ia telah memperhitungkan segalanya. Tak lama lagi akan banyak orang berdatangan kemari. Dan ia benar, dalam beberapa jam setelah Li Hiang pergi, saat terang tanah, ia telah mendengar suara di luar Pavilliun. Li Hiang menotoknya dengan sebuah totokan yang sangat sulit dibuka, tapi lelaki tampan itu telah memberitahukannya bagaimana cara membuka totokan itu. Dengan penggunaan tenaga dalam seorang ahli silat seperti dirinya, asal tahu rahasianya pasti dapat membuka totokan yang sulit itu.
Suara itu semakin mendekat, rupanya cuma ada satu orang yang datang.
“Aku Bwee Hua, datang memberi hormat” terdengar suara dari luar.
Bwee Hua? Siapa itu? Belum pernah ia mendengar tokoh bernama Bwee Hua sebelumnya.
“Silahkan masuk. Maaf kami tuan rama tak dapat menyambut tamu secara pantas” teriak Song Ling Ji dari dalam kamarnya.
“Maaf dengan siapa kami bicara? Apakah dengan Pek Swat Cengcu (Ketua Perkampungan Salju Putih) sendiri?” tanya Bwee Hua.
“Benar. Cayhe (saya) bernama Song Ling Ji”
“Baiklah. Mohon ijin” sambil berkata begitu Bwee Hua masuk ke dalam rumah indah itu. Pintunya tidak terkunci.
Dengan pandangan yang tajam, Bwee Hua memeriksa seluruh isi rumah itu. Setelah merasa aman dan yakin, ia lalu membuka suara,
“Maaf, di mana tuan rumah berada?”
“Aku berada di kamar paling kanan di ujung lorong. Silahkan datang” terdengar jawaban.
Bwee Hua beranjak kesana. Ia melangkah dengan hati-hati. Tapi pengalamannya dalam suasana seperti ini sudah terhitung banyaknya. Oleh sebab itu langkahnya ringan dan santai, seperti anak perempuan berjalan di toko pakaian. Ringan, enteng, dan gembira.
Saat membuka pintu pun ia berlaku hati-hati, tapi gerakannya gembira seolah-olah memasuki kamarnya sendiri. Begitu dilihatnya ada sesosok tubuh tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur, ia bertanya, “Cengcu?”
“Benar” jawab sang Cengcu. “Aku tertotok”
“Oh? Siapa yang melakukannya?” tanya Bwee Hua sambil tersenyum.
“Si Jubah Merah” jawab Song Ling Ji.
“Aih….laki-laki itu, sudah berapa perempuan yang dibuatnya tidak berdaya seperti ini?’ ia berkata sambil melangkah maju. Di luaran wajahnya tersenyum ramah, tapi seluruh tubuhnya telah bersiap-siap dengan segala perubahan yang ada. Di saat seperti ini, segala jebakan atau serangan tidak akan mempan terhadap Bwee Hua.
Ia adalah perempuan yang paling cerdas dan paling menakutkan di dunia ini. Segala ketenangan, pemikiran, dan perbuatannya telah terlatih melalui segenap pengalaman hidupnya.
Memang, pengalaman hidup seseorang lah yang mampu membentuk jiwanya.
Dengan hati-hati ia memperhatikan tubuh itu. Secara tiba-tiba ae melancarkan serangan yang sangat mematikan tepat ke jantung Song Ling Ji. Cengcu cantik itu memang belum sempat membuka totokannya, sebab itu tak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah, dan mempercayakan nasibnya.
Dan kali ini ia benar. Serangan itu tiba-tiba berhenti tepat seujung kuku di titik jantungnya. Bwee Hua mengangguk puas dan berkata, “Kau benar-benar tertotok”
Lalu ia bertanya, “Di mana murid-muridmu?”
“Entahlah, mungkin di kamar masing-masing”
Bwee Hua cepat bergerak memeriksa. Ternyata benar murid-murid itu semua dalam keadaan tertotok. Ia lalu kembali ke kamar Song Ling Ji dan bertanya,
“Kemana Li Hiang pergi?”
Song Ling Ji tidak menjawab.
Bwee Hua tertawa. Saat tertawa, wajahnya yang cantik itu jauh bertambah cantik. Lalu tangannya bergerak. Dengan satu jarinya ia menyerang sebuh titik di telapak kaki Song Ling Ji. Serangan yang sangat tidak berperikemanusiaan, karena titik itu membawa penderitaan yang amat sangat bagi Song Ling Ji. Seolah-olah kakinya direndam ke dalam sebuah kuali berisi minyak yang amat sangat panas.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
Teriakannya bahkan membahana ke segala penjuru tempat itu. Teriakan yang sangat memilukan.
Bwee Hua hanya tertawa, “Aku tak akan menghilangkan penderitaanmu sebelum kau memberitahukan ke mana Li Hiang pergi”
Teriakan Song Ling Ji masih berlanjut. Tak dapat dipungkiri bagaimana kekuatan hatinya menahan siksaan sedemikian berat.
“Kau tahu, ilmu yang barusan ku pakai bernama ‘Ilmu Totok Naga Api’” jelas Bwee Hua.
Sebagai seorang yang berkecimpung di dalam dunia persilatan, Song Ling Ji pernah mendengar tentang kedahsyatan ilmu ini, tapi sedikit pun tak pernah ia bayangkan bahwa ia sendiri yang akan mengalaminya.
Dengan segenap hati ia menahan penderitaannya. Teriakannya kini telah berubah menjadi bisikan lemah yang penuh kesedihan. Suaranya telah habis. Air matanya telah menetes dan bahkan mungkin telah mengering. Entah berapa lama ia bertahan dalam penderitaan ini.
Namun kekuatan seseorang dalam menerima penderitaan memang ada batasnya, akhirnya ia menyerah.
“Ba….baik…lah…a…ku…menye…rah…”
Bwee Hua lalu menotoknya lagi. Dalam sekejap penderitaan itu menghilang. Tapi Song Ling Ji tidak lagi punya kekuatan untuk melepaskan totokan seperti yang diajarkan Li Hiang. Ia kini hanya bisa pasrah.
“Ia…ia pergi mengambil ‘Anggrek Tengah Malam’”
“Nah, jika kau menjawab dari tadi kan kau tidak perlu menderita seperti ini Cengcu” desah Bwee Hua sambil tersenyum manis. Sebagai sesama perempuan, Song Ling Ji harus mengakui, inilah perempuan yang tercantik yang pernah ditemuinya. Bagi perempuan untuk mengakui hal ini, dibutuhkan kebesaran hati tersendiri.
Dalam ketidakberdayaannya ini, pelan-pelan Song Ling Ji mengumpulkan tenaga untuk membuka totokannya. Sedikit demi sedikit totokan itu mulai terbuka, namun ia tetap tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Dari luar kamar terdengar langkah. Alangkah kagetnya ketika yang muncul ternyata Sim Lan.
“Subo (guru)” kata Sim Lan.
Song Ling Ji akan menjawabnya, ketika ternyata disadari bahwa Sim Lan menyapa kepada Bwee Hua!
“Ka..kau…” hanya itulah kata-kata yang muncul dari mulut Song Ling Ji.
Sim Lan menjura dan memberi hormat kepada Bwee Hua.
“Bagus! Kau menjalankan tugasmu dengan baik. Aku telah membuka totokanmu dan kini kau bebas. Aku ingin menugaskan sebuah hal yang penting kepadamu”
“Teecu (murid) siap menerima perintah” kata Sim Lan dengan penuh hormat.
Bwee Hua menoleh kepada Song Ling Ji. “Kau tidak perlu kaget seperti itu. Sim Lan memang muridku sejak kecil. Dia kususupkan menjadi orang perkumpulanmu untuk mencari rahasia ‘Anggrek tengah Malam’”
“Jadi yang menyebarkan tentang rahasia perkumpulan kita adalah kau, Sim Lan? Yang menghilangkan Lam Siu Kwi juga adalah kau? Mengapa?” Song Ling Ji begitu marah, namun suaranya begitu lemah.
“Saat kusadari bahwa peta yang ditemukan oleh Li Hiang adalah peta hasil gambar tanganku, aku panik. Peta itu harus kurebut agar nantinya tidak ketahuan. Aku menyuruh Lam Siu Kwi untuk merayu dan mencuri peta itu dengan mengelabuinya dengan berkata bahwa peta itu harus diserahkan kepada kau. Sebagai pemimpin rombongan, kata-kataku pasti dipatuhinya. Dengan tanpa curiga ia membawa peta itu ke kamarku” jelas Sim Lan sambil tersenyum. Senyumnya pun cantik sekali. Bahkan hampir mirip dengan Bwee Hua!
“Kau lalu membunuhnya?”
“Tentu saja. Mayatnya kini berbaring tenang di atas langit-langit kamarku” senyum Sim Lan.
Begitu senyum itu hilang, Song Ling Ji sudah berkelebat dengan cepat. Ia telah mampu membuka totokan. Serangannya sangat dahsyat menuju ke kerongkongan Bwee Hua.
Bwee Hua adalah perempuan yang sudah sangat matang dengan segala intrik seperti ini. Oleh karena itu ia telah siap menerima segala perubahan dan jebakan apapun. Urusan akal-mengakali memang tidak ada seorang pun yang mengalahkan Bwee Hua!
Serangan Song Ling Ji disambutnya dengan bergerak ke samping. Ia sedikit menunduk lalu melepaskan sebuah tendangan maha cepat yang menyerang paha Song Ling Ji. Tanpa ampun Song Ling Ji terjengkang ke samping. Pada kesempatan itu, Sim Lan sudah maju memburu dan melancarkan serangan pedang yang dahsyat.
“Tunggu!” teriakan Bwee Hua menghentikan serangan Sim Lan.
Song Ling Ji ingin maju menyerang sekali lagi, tapi kekuatannya telah sirna karena sejak tadi menahan siksaan ‘Totokan Naga Api’, gerakannya menjadi lambat dan tak bertenaga. Dengan sekali gerakan, Bwee Hua kembali menghempaskannya ke tembok. Kali ini darah segar keluar dari mulut Song Ling Ji.
“Subo, sebaiknya perempuan bodoh ini dibunuh saja” tukas Sim Lan.
“Aku masih merasa ada keanehan” kata Bwee Hua.
Lanjutnya, “Jika Li Hiang memang memaksa dia atau memperalat dia agar mendapatkan letak daerah tempat bunga itu, tentu ia tak akan sesehat ini seperti pertama kali ku menemukannya”
“Tentu Li Hiang sudah menggunakan kekerasan dan perempuan ini pun melawan, jika dilihat dari betapa kuatnya ia menjaga rahasia. Kecuali jika Li Hiang telah menjatuhkan hatinya. Dengan rayuan mautnya Li Hiang pasti sudah berhasil memperalat dia agar mendapat peta keberadaan bunga itu”
“Lalu, jika peta itu sudah diberikannya sepenuh hati, mengapa Li Hiang harus menotoknya? Jika aku menjadi dia, tentu aku akan turut pergi mengambil bunga itu bersama Li Hiang. Mengambil khasiatnya bersama-sama lalu hidup bersama-sama”
“Ah aku tahu. Kau sudah memanfaatkannya. Kau rela membiarkannya pergi untuk mengambil bunga itu, sedangkan kau bertahan di sini, mencoba memberikan tipu muslihat agar orang yang datang percaya bahwa Li Hiang telah mendapatkan bunga itu. Lalu seluruh orang di dunia Kang Ouw akan mengalihkan perhatian kepada Li Hiang. Seluruh dunia akan mengejarnya, dan kau memiliki kesempatan untuk kabur dan menyelematkan dirimu sendiri”
“Tapi pengertian ini terlalu sederhana, dan terlalu ‘kejam’ untuk orang sepertimu. Kau pasti mempunyai rencana lain”
Bwee Hua berpikir dan diam sebentar.
“Ah aku tahu! Bunga itu palsu! Peta yang kau berikan kepada Li Hiang memang benar, tapi bunganya palsu. Kau sengaja mengalihkan perhatian orang-orang untuk mengejar Li Hiang, sedangkan kau bisa menyelamatkan diri dan menyelamatkan bungamu!’
“Eh, tapi, jika kau bisa menyelamatkan diri dan bungamu, mengapa sejak tadi kau tidak segera kabur? Hmmmm, apakah karena kau takut orang-orang itu akan tahu bahwa bunga itu palsu? Jika orang-orang tahu bunga itu palsu, kan memang sebaiknya kau menghilang sejak tadi?”
“Aha! Aku tahu sekarang! Kau memang ingin berada di sini seolah-olah kau telah mempertahankan hidupmu dan bunga itu dengan sepenuh hati, sedangkan bunga yang asli tersimpan dengan selamat di suatu tempat!”
Begitu Bwee Hua selesai bicara, Song Ling Ji telah membunuh dirinya sendiri. Seluruh darah mengalir dari semua lubang di tubuhnya. Cengcu itu memilih mati untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat!
“Aih, dia sudah mati, bagaimana mungkin kita mengorek keterangan lebih dalam, subo?” tanya Sim Lan.
“Aku sudah tahu ia bakalan bunuh diri. Walaupun aku menyiksanya dengan lebih kejam pun, ia pasti memilih mati daripada memberitahukan rahasia bunga itu”
“Jadi apa yang harus kita lakukan, subo?”
“Segera selidiki keberadaan bunga yang asli. Namun itu akan merupakan tugas yang panjang dan berat, sebelum itu aku membutuhkanmu untuk merayu seseorang”
“Siapa dia?”
“Dia adalah murid dari Tong Hong Siansing. Umurnya mungkin sedikit lebih tua darimu. Tapi ia memiliki banyak ilmu dan kemampuan yang bisa kita pergunakan di masa mendatang nanti” jelas Bwee Hua.
“Baiklah, subo. Siapa namanya?”
“Cukat Tong”
“Baiklah” saat berkata begitu, tiba-tiba ada seekor burung rajawali datang menghampiri melalui jendela.
Bwee Hua lalu menghampiri rajawali itu dan mengelusnya. Dari kaki rajawali itu, ia mengambil sebuah bungkusan yang ternyata berisi sepucuk surat.
Setelah membaca ia mengangguk dan tertawa senang. “Sudah mulai ramai!”
“Ada apa subo?”
“Orang-orang sudah mulai berkumpul di kaki bukit. Tak berapa lagi mereka mungkin akan sampai kemari?”
“Oh, siapa saja?”
“Bhiksu Hong Tam dari Siu Lim Pay, Pendekar Pedang Kelana Can Li Hoa, Pendekar wanita dari Go Bi Pay bersama seorang anaknya yang masih kecil, Singa dari Barat Gow Han Sing, Raja Golok Utara Sie Man Hok, seorang pendekar Bu Tong Pay yang belum ketahuan namanya, beberapa iblis tak berguna dari rimba hijau yang tak perlu disebutkan namanya, ada lagi beberapa tokoh hitam yang masih bergerak dalam kegelapan yang perlahan-lahan menuju kemari. Dan tak lupa, yang paling seru, sepasang suami istri keluarga Suma yang mencari anaknya”
=========
“Aih, orang-orang yang datang kebanyakan bukan orang sembarangan. Tapi aku yakin subo (guru perempuan) pasti sanggup menghadapi mereka semua” puji Sim Lan sambil menjura.
“Kau pintar menjilat, tapi aku suka padamu. Kelak, kau akan kuberikan sebuah rencana besar. Tapi untuk saat ini, kau masih perlu banyak latihan. Ilmu merayumu masih kurang sempurna. Jika kau sudah bisa memuji-mujiku tanpa aku merasa jijik, maka kau akan kunyatakan lulus” kata Bwee Hua sambil terkikik.
“Teecu (murid) memeinta ampun atas kebodohan dan kekurangan ini. Kelak tidak akan mengecewakan subo (guru perempuan)” Sim Lan berlutut dengan sungguh-sungguh.
“Pekerjaanmu kali ini sungguh bagus, karena itu kau kumaafkan. Untuk aku menugaskan kau sejak dahulu di sini. Jika tidak, kita tak akan pernah tahu bahwa bunga yang paling dicari-cari itu berada di sini. Sudahlah, ayo kita segera berangkat. Aku sudah membuat pos persembunyian tidak jauh dari sini. Tak lama lagi orang-orang akan segera datang” kata Bwee Hua.
Dengan segera mereka bergegas dari situ. Terlebih dulu mereka membunuhi semua murid yang ada di dalam kamar-kamar. Keadaan murid-murid malang yang dalam keadaan tertotok itu memang sangat menyedihkan, mati tanpa dapat berbuat apa-apa sedikit pun.
“Aku harus melukaimu. Kau akan menjadi penunjuk jalan bagi orang-orang yang datang. Katakan bahwa kalian semua telah diserang oleh Li Hiang dan kau adalah satu-satunya orang yang selamat. Katakan pula bahwa Li Hiang telah memiliki peta letak keberadaan bunga itu”
“Lalu subo sendiri bagaimana?” tanya Sim Lan.
“Tentu saja aku menghilang” kata Bwee Hua sambil tersenyum. Dari balik kantong perlengkapannya, ia mengeluarkan sepasang sepatu. Sepatu ini adalah sepatu khusus yang mampu membuat pemakainya berselancar di atas es!
Dengan sebuah gerakan yang amat cepat, ia telah menghantam dada Sim Lan. Gadis terhempas roboh ke belakang. Memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya. Beberapa tulang rusuknya patah, tapi organ bagian dalamnya selamat.
“Maaf. Aku harus sungguh-sungguh memukulmu. Jika tidak, orang-orang akan curiga. Aku akan mengirimkan surat perintah berikutnya. Tunggu saja”
Sambil berkata begitu ia memakai mantel putih lalu melayang pergi. Di atas udara ia memakai sepatunya itu, lalu mendarat dengan ringan di atas danau yang membeku. Tubuhnya yang terbungkus mantel putih membuat Bwee Hua seperti hilang ditelan salju. Dalam sekejap mata saja, Bwee Hua sudah tidak kelihatan lagi.
“Pintar sekali subo mengambil jalur danau. Tak ada seorang pun yang mengira ada orang yang berjalan di atas danau. Ah, aku harus mempunyai sepatu seperti itu suatu saat nanti. Aih….subo memukul terlalu keras”
Ia lalu bangkit dan berjalan tertatih-tatih menuju arah yang berlawanan dengan Paviliun. Dengan begitu, ada kesempatan baginya untuk bertemu orang di tengah jalan. Dalam hati ia heran juga, bagaimana jika di tengah jalan ia bertemu orang jahat yang justru akan mencelekai atau bahkan membunuhnya? Tapi ia percaya sepenuhnya atas perintah gurunya.
Sim Lan berjalan menyusuri hutan sekian lama. Ia tidak berani membekali diri dengan makanan atau mantel tebal bagi perjalanannya. Semua kejadian ini harus terlihat alami, agar orang-orang percaya semua sandiwara yang diatur gurunya.
Setelah hampir 2 jam ia berjalan, akhirnya ia melihat titik hitam dari kejauhan. Titik itu berubah menjadi dua titik dan bergerak mendekatinya. Sim Lan lalu mempersiapkan segala sandiwaranya. Ia pura-pura tergeletak di atas salju. Darah yang mengucur dari mulutnya pun seolah muncul lebih banyak. Entah bagaimana ia melakukannya.
Tak lama kemudian kedua titik yang bergerak di kejauhan itu membentuk 2 sosok manusia. Laki-laki dan perempuan.
“Suamiku, tampaknya ada sebuah tubuh terkapar di depan” kata si perempuan.
“Hati-hati jebakan” kata suaminya dengan tenang.
Ternyata kedua orang ini adalah suami-istri keluarga Suma yang sedang dalam perjalanan menemukan anak mereka. Anak yang harus mereka tukarkan dengan sebelah pedang istimewa. Pedang belum ditemukan, tentu saja anak belum ditemukan pula.
Dengan cepat namun hati-hati mereka telah sampai di depan tubuh Sim Lan. Terlihat gerakan nafas gadis yang lemah dan tak berdaya.
“Ia masih hidup” bisik sang istri.
Tanpa memperdulikan perkataan istrinya, mata pendekar Suma menyapu sekeliling daerah itu.
“Tidak ada apapun yang mencurigakan di sini”
Kata-kata itu bagai pemberitahuan bagi sang istri agar segera bergegas menolong tubuh tergeletak itu. Ia mendekati tubuh yang lunglai itu lalu bertanya, “Siocia (nona), apakah siocia mendengar kata-kataku?”
Hanya terdengaran desahan kesakitan si nona. Sang istri memperhatikan keadaan nona itu lalu berkata kepada suaminya, “Ia terpukul di bagian dada. Beberapa tulang rusuknya patah.”
Sang suami hanya mengangguk.
Sang istri dengan sigap segera menempelkan tangannya ke dada nona itu dan menyalurkan tenaga dalam. Tak berapa lama Sim Lan mulai ‘pulih’ kesadarannya.
“Te…te..terima…ka..sih…inkong (tuan penolong)” katanya meracau.
“Nona beristirahatlah sejenak. Telan pil obat ini” kata sang istri.
Sim Lan menelan obat itu. Tak berapa lama tubuhnya terasa hangat. Berbaring lama di atas es membantu sandiwaranya dengan baik. Tubuhnya dingin dan wajahnya sangat pucat. Selain karena pukulan gurunya sendiri, dinginnya salju sangat berperan besar dalam hal ini.
Setelah si nona mulai pulih keasadarannya, barulah sang istri mulai bertanya,
“Siocia (nona) siapakah? Dan siapa yang melakukan ini terhadap nona?”
“Si ju…bah..me..rah”
Mendengar nama itu disebut, kedua suami istri itu menegakkan tubuh.
“Apakah ia berada di sekitar sini?” tanya si istri.
“Di..paviliun ka…mi….tak…ja…uh da..ri sini…..”
“Apakah yang dimaksud siocia (nona) adalah pavilliun milik Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)”
Sim Lan hanya mengangguk.
“Siocia adalah anggota Pek Swat Ceng?”
Sim Lan mengangguk lagi.
Si istri menoleh kepada sang suami, “Jejak yang kita cari ternyata benar. Ia berada di sana”
“Inkong (tuan penolong)..siapakah? ada keper…luan..apa kemari?’ tanya Sim Lan
Sempat ragu sebentar, sang istri menjawab, “Kami berdua adalah sepasang suami istri. Kami dalam perjalanan mencari anak kami yang diculik”
“Di..cu..lik..sia.pa?”
“Aih ceritanya panjang. Tapi singkatnya, kami harus menemui si Jubah Merah sebelum bisa menemukan anak kami”
“Aih…bang..sat ja..hat..itu…telah meng..habi..si…selu..ruh..anggota ka..mi”
“Benarkah? Aih malang sekali nasibmu nona”
Ia lalu menoleh kepada suaminya, “Kita harus menolong nona ini”
“Kita sudah menolongnya” jawab sang suami pendek.
“Suamiku, kau ingin meninggalkannya di tengah salju seperti ini?” tanya sang istri.
“Dengan membawanya kesana, kita akan menambah beban. Kehebatan ilmu si Jubah merah ini masih belum bisa kuukur. Jika kita menambah beban, maka kita memberatkan keadaan sendiri”
“Lalu kau akan membiarkannya mati di sini?”
“Dia tak akan mati. Jika kau meninggalkan sedikit perbekalan kepadanya, ia akan bertahan dan selamat”
“Aih….bagaimana jika orang-orang yang dibelakang sana menyusul kemari? Mereka ada yang jahat dan baik. Jika kita tidak menolongnya, bisa jadi nanti ia jatuh ke tangan orang jahat”
“Empat orang yang berada di belakang kita adalah orang baik. Sebentar lagi mereka da…” belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, dari kejauhan terlihat sesesok manusia.
Manusia itu ternyata perempuan. Ia datang menggendong anak di punggungnya. Perempuan macam apa yang mengajak anak kecil ke dalam perjalanan seperti itu?
“Salam Suma-tayhiap (pendekar besar) dan Suma-liehiap (pendekar wanita)” kata perempuan itu menjura.
“Salam. Anda telah mengekor perjalanan kami sekian lama. Akhirnya bertemu muka, rasa-rasanya cukup pantas jika cayhe (saya) menanyakan siapa nama anda?” tanya pendekar wanita Suma dengan sopan namun tegas.
“Nama cayhe Hok Lian Si, dari Go Bi Pay” tangannya masih menjura. Lanjutnya, “Cayhe akui selama ini mengekor tayhiap berdua karena inilah satu-satunya cara bagi cayhe agar menemukan Li Hiang”
“Li Hiang si jubah merah?”
“Benar sekali, liehiap (pendekar wanita)”
“Anda apakah istrinya?” tanya Suma-liehiap
“Istri? Entahlah. Tapi cayhe adalah ibu dari anaknya yang cayhe gendong kemana-mana ini”
“Mengapa anda begitu tega membawa anak sekecil ini ke dalam perjalan yang seberat ini?” tanya Suma-liehiap lagi.
“Ini mungkin satu-satunya cara agar ia dapat bertemu ayahnya”
Harus Suma-liehiap akui, dengan nama buruk yang dimiliki Li Hiang, anak kecil ini memang amat sangat sukar bertemu ayahnya itu. Melihat bahwa pendekar wanita she (marga) Suma itu tertegun, Hok Lian Si menyambung, “Sudah tersabar di dunia persilatan bahwa tayhiap berdua sedang mencari Li Hiang agar dapat meminta pedangnya untuk ditukar dengan anak tayhiap berdua yang hilang. Cayhe pikir, dengan mengekor tayhiap berdua, cayhe dapat pula menemukan Li Hiang”
Suma-liehiap mengangguk.
“Menurut nona yang terluka ini, Li Hiang berada di paviliun di depan sana. Kami akan pergi kesana, namun tidak tega meninggalkan nona ini sendirian di sini”
“Li..Hiang…sudah…tidak..berada di paviliun…ia pergi..men..cu..ri bu..nga ra..ha..sia…ka.mi” Sim Lan menimpali.
“Anggrek Tengah Malam? Jika bunga itu jatuh ke tangannya, ia akan berubah seperti harimau diberi sayap(berlipat ganda kesaktiannya)”
“Kau jaga saja nona ini, aku yang berangkat ke sana” Suma tayhiap segera bergerak tanpa menunggu jawaban dari istrinya.
“Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang mengagumkan” puji Hok Lian Si.
Suma-liehiap tidak mau menunggu. Suaminya tadi pergi meninggalkan beberapa perlengkapan. Di dalam perlengkapan itu terdapat kain panjang yang bisa dibuat tenda. Dengan cekatan ia membuat tenda, dengan dibantu Hok Lian Si.
Setelah membuat tenda, mereka memindahkan Sim Lan ke dalam tenda itu, lalu mencoba membuat api. Di cuaca yang sedingin itu, membuat api adalah sebuah hal yang hampir tidak mungkin. Tapi Suma-liehiap (pendekar wanita) bukan orang sembarangan. Pengalaman hidup telah mengajarkannya banyak hal. Ia ternyata membawa sejenis ramuan khusus yang berbau menyengat. Ia mengorbankan salah satu pakaian dalam perlengkapannya sebagai bahan bakar. Ramuan menyengat itu dituangkannya ke pakaian itu, lalu tangannya menyambitkan sesuatu. Tak berapa lama, api telah membesar!
Kehangatan menyelimuti tenda sederhana itu. Hok Lian Si sendiri telah menidurkan anaknya. Di umur yang belum lagi genap 5 tahun, anak kecil itu sama sekali tidak rewel dan bersikap sangat tenang.
Murid perempuan perguruan Go Bi Pay itu lalu mengeluarkan perbekalan agar dinikmati bersama. Seguci arak pun menghangatkan tubuh mereka. Mereka pun beristirahat sejenak. Badai salju sudah mulai turun. Untunglah Suma-liehiap mengingatkan tenda itu kepada sebuah pohon yang amat besar di sela-sela pohon lain, sehingga keadaan mereka sangat terlindungi.
Setelah beristirahat beberapa, Hok Lian Si meminta diri. Ia merasa harus segara menemukan Li Hiang untuk menyerahkan anak itu. Kata Suma-liehiap, “Kenapa tidak menunggu suamiku pulang saja, ia pasti berhasil menemui Li Hiang”
“Aih…bukannya cayhe (saya) berpikiran buruk, tetapi pertemuan kedua pendekar seperti Suma-tayhiap dan si Jubah Merah, tidak jarang menghasilkan pertempuran yang hebat. Cayhe (saya) takut…” ia tidak melanjutkan ucapannya.
Suma-liehiap mengerti sekali perasaan ibu muda itu. Ia akhirnya hanya bisa mengangguk dan menatap pendekar muda Go Bi Pay itu pergi dari sana.
“Cinta” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Walaupun ia tidak muda lagi, umurnya juga tidak bisa dibilang sudah tua. Walaupun ia belum mengerti betul perasaan manusia, sedikit banyak ia tahu bagaimana cinta bisa menyebabkan hal-hal yang tak terduga dalam hidup manusia.
Cinta merubah banyak hal.
Cinta bisa membuat manusia waras menjadi gila. Membuat orang sehat menjadi tuli, bisu, dan gagu. Cinta pula yang bisa menumbuhkan semangat, dan melumpuhkan seseorang dalam saat yang bersamaan.
Cinta lah yang menggerakkan ia dan suaminya pergi ribuan li jauhnya untuk mencari anaknya yang hilang. Cinta pulalah yang membuat nona pendekar Gobi-pay menempuh badai sendirian untuk menemui kekasih hatinya.
Apakah cinta pula yang membuat seseorang pergi dari kehidupan orang lain?
Apakah cinta pula yang membuat seorang suami meninggalkan istri?
Membuat istri mengkhianati suami?
Jika cinta mengakibatkan hal-hal yang penuh duka, mengapa pula seluruh umat manusia sepenuh hati ingin menemukannya?
Salju jatuh dengan lembut. Angin dingin menusuk tulang. Dedaunan membeku. Ranting mengering. Cinta menghilang. Semua ini adalah hal-hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan manusia.
Tak jauh di sana, tampak bayangan datang dengan perlahan.
Siapa pula yang datang dalam cuaca sedingin ini?
Apakah karena cinta pula?
Bayangan itu kini menjadi nyata, berubah menjadi sosok kurus berbaju kuning emas. Kepalanya gundul, janggutnya sudah memutih seluruhnya.
“Salam, Suma-liehiap” kata orang itu.
“Salam. Apakah cayhe sedang berhadapan dengan yang mulia pendeta Hong Tang dari Siau Lim-pay?” kata Suma-liehiap balas menjura.
“Pandangan Suma-hujin (nyonya Suma) sungguh tajam. Pinceng (sebutan diri sendiri bagi seorang bhiksu) sungguh kagum”
“Apakah yang mulia juga sedang mencari si Jubah Merah?” tanya Suma-liehiap (pendekar wanita Suma)
“Aih, sungguh pertanyaan yang berterus terang. Semakin menambah kekaguman pinceng. Tebakan hujin (nyonya) memang benar. Pinceng memang sedang mencari si Jubah Merah, Li Hiang”
“Pemuda itu, begitu banyak manusia di dunia ini yang mencarinya?”
“Omitohoud….omitohoud…(Buddha berbelas kasih)” kata bhiksu Hong Tang sambil menunduk-nunduk. “Jika kita berbuat, maka kita akan menerima balasannya”
“Cayhe sudah mendengar berbagai perbuatan keji si Jubah Merah ini. Di mana-mana ia menculik dan memperkosa anak gadis. Setelah itu masih sempat membunuh mereka pula. Bagaimana mungkin ada manusia yang sekejam ini? Sungguh dia memang pantas mati” tukas Suma-liehiap.
“Omitohoud….sesungguhnya seluruh manusia akan mati. Maka sebaiknya bertobatlah dan memilih jalan Buddha”
Suma-liehiap merenung. Lalu berkata, “Suami cayhe, dan seorang pemudi dari partai Gobi-pay sedang mengubernya, ke arah sana” sambil menunjuk arah.
“Di belakang pinceng terdapat beberapa orang yang menuju kemari pula. Sebagian dari mereka, piceng khawatirkan akan menggangu hujin (nyonya), dan nona yang sedang tidur itu”
“Siapa mereka?”
“Ada beberapa orang yang pinceng kenal. Dan pinceng tahu mereka banyak sekali melakukan perbuatan yang menyimpang. Sebaiknya pinceng menanti mereka di sini”
“Jika mereka berniat jahat, cayhe berani menghadapinya” tukas Suma-liehiap. Ia adalah istri dari keluarga Suma. Jika ia berkata begitu memang bukan omong kosong belaka.
“Tentang keberanian dan kelihaian keluarga Suma, tidak ada seorang pun di kolong langit ini yang menyangkal. Tapi pinceng khawatir jumlah mereka lumayan banyak”
Tepat saat ia berkata begitu, terlihat sejumlah titik yang bermunculan dari jauh.
“Tujuh orang” pandangan mata bhiksu Siau Lim-pay memang tidak bisa diragukan.
Ketujuh titik itu semakin mendekat, lalu terdengarlah teriakan yang dipenuh tawa, “Seorang bhiksu tua berduaan dengan perempuan cantik di tempat sepi. Sungguh pemandangan yang menyenangkan”
“Eh, kau salah. Ia bersama dua orang perempuan” sahut salah seorang dari rombongan itu.
“Aih, besar juga nafsu kakek ini” sahut seorang yang lain, yang kemudian ditimpali dengan tawa yang membahana.
“Omitihoud….” hanya itu yang keluar dari bibir bhiksu Hong Tang.
“Liok Lim Chit Koay (Tujuh Orang Aneh Rimba Hijau). Sungguh beruntung sekali” sahut Suma-liehiap.
“Eh? Kau mengenal kami? Bagus juga matamu”
“Aku memang mencari kalian. Justru kalian yang datang sendiri kemari” jawab Suma-liehiap dingin.
“Hoho…Ada perempuan cantik mencari kami. Sungguh memang hal yang patut disyukuri. Hahahahahaha”
Tanpa banyak bicara, Suma-liehiap sudah melolos pedang.
Sian-kiam (pedang Dewi).
Semua orang di rimba persilatan mengenal pedang ini.
Lebih-lebih lagi, pasti mengenal pemiliknya.
“Ah, pelacur she (marga) Suma” kata salah seorang.
Kembali tawa mereka terdengar membahana. Tapi masing-masing sadar bahwa tawa ini bukanlah tawa bahagia. Ada sedikit rasa jerih melihat pedang itu.
“Mana suamimu? Apa sudah kau tinggal untuk kabur bersama bhiksu tua ini? Hahahaha”
“Tutup mulut. Lihat serangan!”
Begitu kata terakhir diucapkan, tubuh nyonya Suma ini sudah berkelebat secepat kilat menyerang ketujuh orang ini. Tangan kirinya menyapu pedang dengan ringan. Dalam satu serangan pedang, ketujuh orang ini sudah dibuat mundur seluruhnya!
Tapi gerakan mundur ini langsung dibarengi dengan gerakan maju menyerang pula!
Nyonya Suma terhenyak ketika menyadari bahwa kecepatan ketujuh orang ini tidak berada di bawahnya. Gerakan mereka cepat dan ganas. Terlihat sembarangan dan tidak teratur. Tapi seolah-olah saling mengisi.
Tak ada jalan lain baginya selain melangkah mundur. Pedang di tangannya ia angkat ke depan, sambil melayang mundur. Ketujuh orang itu pun melayang maju mengikuti gerakan sang nyonya.
Ini adalah kesalahan mereka. Karena gerakan mundur ini hanyalah sebuah pancingan belaka. Saat melayang ke belakang itu tahu-tahu sang nyonya melempar pedang ke depan. Lemparan itu merupakan sebuah lemparan yang teramat lihay sehingga pedang itu memutar bagaikan bor, dan menyapu ketujuh orang itu.
Mereka kaget. Namun mereka bukan anak kemarin sore dalam dunia persilatan. Nama mereka justru termasuk nama yang paling ditakuti. Menerima serangan itu mereka tidak panik. Walaupun sedang dalam posisi di udara, tubuh mereka tahu-tahu berhenti melayang dan berhenti seketika.
Di dunia ini, manusia yang mempunyai kemampuan berhenti di udara hanya bisa dihitung dengan jari. Dan tujuh jari untuk menghitung itu adalah milik ketujuh orang ini.
Sebuah pameran ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat memukau!
Saat mereka berhenti di udara, tahu-tahu secara aneh pula mereka telah bergerak ke segala arah, keluar dari daerah serangan pedang yang memutar bagai angin puting beliung itu. Gerakan mereka malah jauh lebih cepat dan kali ini ketujuh tubuh mereka telah maju ke depan menghujam ke tubuh nyonya Suma!
Bhiksu Hong Tang yang melihat kejadian ini kaget bukan main. Ia bergerak menolong nyonya itu, tapi ia tahu ia pasti terlambat. Walaupun gerakannya tidak kalah cepat dengan ketujuh orang ini, ia telah kedahuluan mereka. Mereka bergerak lebih dulu. Dengan ledakan tenaga dan kecepatan yang mengagumkan pula!
Ia tahu ia terlambat!
Nyonya itu kini melayang mundur ke belakang tanpa pedang. Ia tak memiliki senjata apapun untuk bertahan dari hujaman serangan ketujuh orang aneh ini. Ia seolah-olah sudah tidak memiliki harapan lagi.
Tapi orang-orang yang berada di sini semuanya lupa. Ia adalah nyonya dari keluarga Suma.
Itu saja sudah cukup!
Entah bagaimana pedang yang tadi sudah dilepaskannya kini bisa kembali berbalik. Gerakan baliknya pun datangnya jauh lebih cepat dari saat perginya tadi. Ketujuh orang ini begitu mendengar suara gemerincing suara pedang yang meluncur cepat ke arah mereka serta merta membuyarkan serangan mereka.
Kembali secara aneh tubuh mereka berhenti di udara untuk kemudian melayang secara acak dengan cepat kembali ke tempat semula mereka tadi.
“Hebat!”
“Mantap!”
Mulut mereka memuji.
“Majulah!” teriak nyonya itu dengan berani. “Dosa kalian sudah terlalu banyak. Korban yang kalian bunuh sudah tak terhitung jumlahnya. Kejahatan yang kalian perbuat sudah tidak bisa dimaafkan lagi.”
“Eh? Memangnya kau tidak pernah berbuat dosa? Hahahaha. Dasar munafik!” tukas salah seorang. Mereka bergerak lagi. Gerakan mereka serampangan dan asal-asalan. Entah ke mana arah yang dituju. Tapi gerakan mereka serempak dan susul menyusul.
Kali ini bhiksu Hong Tang tidak tinggal diam. Ia melompat ke arah serangan ketujuh orang itu dan memotong gerakan mereka. Setiap gerakan anggota Siu Lim-pay selalu ringan dan penuh tenaga. Apalagi ia adalah pendeta dengan gelar ‘Hong’. Gelar itu adalah gelar bagi bhiksu-bhiksu utama dalam Siu Lim-pay.
Gerakan ketujuh orang ini menjadi kacau ketika bhiksu Hong Tang masuk ke dalam arus pusaran gerakan mereka. Sebagai salah satu pendekar terkemuka di dunia persilatan, kemampuan bhiksu ini memang sangat tidak bisa diragukan.
Terdengar suara gemuruh angin yang keluar dari tangannya saat ia melancarkan serangan. Padahal ia melancarkan serangan dengan ringan. Terlihat cahaya berwarna emas keluar dari telapak tangannya. Cahaya emas itu terlihat menyerupai tapak pula. Muncul dalam jumlah yang sangat banyak mengejar setiap anggota tujuh orang aneh itu.
“Tapak Budhha!” teriak mereka.
Nyonya Suma pun cuma melongo.
Ini adalah jurus yang dikabarkan telah menghilang dari dunia persilatan. Bahkan konon tak ada seorang pun anggota Siau Lim-pay yang menguasainya!
Cahaya telapak emas itu menghujam ke seluruh tubuh ketujuh orang itu. Tanpa ampun tubuh mereka terjengkang dan formasi serangan mereka berantakan.
Ilmu silat yang mampu membuat penggunanya mengeluarkan cahaya yang menyerupai sinar sampai saat ini hanya berupa dongeng belaka. Tak ada seorang pun yang pernah melihatnya apalagi menguasainya. Ilmu-ilmu ini adalah milik dari pendekar jaman dahulu yang diyakini telah menghilang dari dunia persilatan. Selain Tapak Buddha, jurus 18 Tapak Naga juga adalah salah satu jurus yang membuat penggunanya mampu mengeluarkan kekuatan yang menyerupai cahaya. Seperti juga ilmu tapak Buddha, ilmu 18 Tapak Naga ini diyakini menghilang dari dunia persilatan.
Namun ada kabar angin yang mengatakan bahwa Siau Lim-pay sebagai pusat ilmu silat, menyimpan kitab-kitab ilmu hebat ini di dalam perpustakaannya. Berhubung nama Siau Lim-pay adalah nama yang paling angker dan sangat dihormati di dalam dunia persilatan, tidak ada seorang pun yang cukup gila untuk bertanya keberadaan kitab-kitab itu kepada Siau Lim-pay.
Jadi saat Hong Tang-thaysu (Bhiksu Hong Tang) mengeluarkan jurus Tapak Buddha, yakinlah seluruh orang yang berada di tempat itu bahwa kuil Siau Lim-pay memang menyimpan kitab-kitab ini.
Ketujuh orang itu tergeletak di tanah. Darah muncrat dari mulut mereka. Sepanjang hayat mereka tak pernah menyangka bahwa gerakan mereka yang khas serta dahsyat itu sanggup dipatahkan hanya oleh sebuah gerakan.
Pertarungan ilmu silat kelas tinggi memang tidak memerlukan waktu yang lama. Sepersekian detik saja sudah mampu menentukan hidup dan mati seseorang.
“Buddha maha pengampun. Semoga sejak saat ini kalian tidak lagi melakukan dosa”
Lalu bhiksu itu berbalik badan dan meninggalkan mereka. Ketujuh orang yang terkapar itu tak tahu harus berbuat apa. Mereka telah kalah dalam satu jurus. Tapi orang yang mengalahkan mereka justru mengampuni mereka dan berbuat seolah-olah mereka tidak berharga untuk dibunuh.
Bagi mereka ini adalah penghinaan!
“Bhiksu keparat!”
“Kau pikir kami takut kepadamu?!”
Dengan sisa-sisa kekuatan mereka, ketujuh orang ini berdiri. Harus diakui kekerasan hati mereka. Siapapun yang terpukul oleh ilmu Tapak Buddha akan mengalami luka dalam yang sangat parah. Jika tidak segera memulihkan tubuh, organ-organ bagian dalam tubuh mereka akan rusak selamanya.
“Manusia yang tidak tahu terima kasih ini memang sepertinya harus dipenggal lehernya agar bisa diam” sahut Suma-liehiap (pendekar wanita Suma).
Pedang di tangan kiri nyonya Suma terangkat lembut.
Matanya terang memandang ketujuh orang di hadapannya. Rambutnya berkibar mewangi. Walaupun pedang adalah sebuah senjata yang kejam, di tangan nyonya ini berubah menjadi anggun dan penuh kelembutan.
Ketujuh orang ini bergerak serentak!
Tapi apa daya, tubuh mereka telah terluka berat, gerakan mereka menjadi lamban, serangan mereka kehilangan kekuatannya.
Sian Kiam (Pedang Dewi) melayang. Masih tetap cepat, masih tetap mengagumkan, masih tetap indah dipandang mata.
Pedang itu melayang, tujuh leher pun meninggalkan tempatnya.
Lalu setelah selesai, dengan aneh pedang itu pun kembali ke tangan nyonya muda nan cantik ini, seolah-olah peliharaan yang memiliki sayap terbang kembali pulang ke pemiliknya.
“Omitihoud…….” sang bhiksu hanya bisa menghela nafas menyaksikan pemandangan ini.
“Musuh yang sudah kalah, pantas untuk diampuni. Tetapi musuh yang sudah kalah namun tidak tahu diri, memang pantas untuk mati” suara nyonya ini lembut namun dalam. Ia yakin benar terhadap setiap patah kata yang dikatakannya.
“Ilmu pedang yang sungguh hebat sekali. Apakah ini adalah ilmu pedang keluarga Suma?”
“Bukan, thaysu (bhiksu).Ini adalah ilmu pedang asli milik keluarga ibu cayhe saat cayhe belum menikah”
“Sungguh mengagumkan. Tetapi nyonya harus mencari cara untuk menutup kawat halus lembut yang menyambungkan pedang itu dengan jemari nyonya. Bagi orang yang pandangannya cukup tajam, kawat itu adalah titik kelemahan ilmu pedang ini” ujar Hong Tang-thaysu.
Seketika nyonya itu terhenyak. Sang thaysu menemukan kunci ilmu pedangnya hanya dengan sekali pandang. Tingkat ilmu silat dan kepandaian bhiksu ini amat sangat sukar untuk diukur. Dalam seumur hidupnya, mungkin bhiksu inilah orang yang paling hebat yang pernah ditemuinya.
“Terima kasih atas petunjuk thaysu (bhiksu), semoga kelak cayhe bisa lebih menyempurnakan lagi ilmu ini.” Jawab nyonya Suma penuh terima kasih.
“Suami nyonya tidak membantu nyonya dalam hal ini?” tanya sang thaysu.
“Aih, sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mendalami ilmunya sendiri, bagaimana sempat mengurusi ilmu orang lain?” kata nyonya itu sambil tertawa. Walaupun ia seperti ‘mengejek’ suaminya, cahaya mata dan senyum dibibirnya menunjukkan kebanggaan dan cinta yang amat dalam terhadap suaminya itu.
Bhiksu itu hanya tersenyum. Ia mengerti sekali sifat para pendekar. Menghabiskan seluruh hidup untuk mendalami ilmu silat, untuk kemudian menemui ajal karena silat pula. Ia sendiri pun seperti itu.
Kadang-kadang menertawakan orang lain sebenarnya adalah menertawakan diri sendiri.
Tahu-tahu dari balik balik pepohonan, muncul sesosok tinggi jangkung yang rambutnya telah memutih. Melihat ini nyonya Suma dan Hong Tong-thaysu terhenyak. Sejak tadi mereka tidak tahu jika sudah ada orang lagi yang datang di tempat itu. Ini menunjukkan bahwa sosok yang baru datang ini ilmunya masih berada di atas Hong Tang-thaysu!
“Omitohoud….apakah pinceng sedang berhadapan dengan Pendekar Pedang Kelana, Can Li Hoa-tayhiap?”
Pendekar jangkung yang sudah tua itu hanya mengangguk. “Hong Tang-thaysu terlalu sungkan”
“Ayah? Buat apa kemari?” sahut nyonya Suma.
“Kau sudah menemukan anakmu?” tanya Pendekar Pedang Kelana
“Belum. Tapi Tian-ko (kakak Tian) sudah hampir berhasil menemukan Li Hiang”
Yang dimaksud Tian-ko adalah suaminya sendiri, Suma Tian.
Pendekar Pedang Kelana lalu berkata, “Mainkan kembali ilmu pedangmu!”
Nyonya Suma paham. Tadi ilmu pedangnya sempat ‘dikritik’ oleh Hong Tang-thaysu, oleh karena itu ayahnya ingin membenahi ilmu pedang itu di hadapan Hong Tang-thaysu.
Ia lalu bergerak dengan cepat. Pedang melayang, berputar, dan bergerak dengan indah. Meluncur dari tangannya seperti anak panah, lalu berputar kembali dan ditangkap oleh nyonya itu.
Saat melihat gerakan itu, ada perasaan tersendiri yang timbul di hati Pendekar Pedang Kelana. Ilmu itu adalah ilmu istrinya. Merupakan warisan dari keluarga istrinya. Ia dulu tidak punya waktu untuk membenahi ilmu itu, karena ia sendiri terlalu sibuk mendalami ilmu pedangnya. Saat istrinya meninggal dalam pertempuran, itu karena lawan berhasil memecahkan rahasia ilmu itu. Dirinya sendiri berhasil membalas dendam, namun kesedihan yang mendalam membuatnya menghilang dari dunia persilatan.
Kini saat melihat anaknya sendiri memainkan ilmu itu, perasaan Can Li Hoa, sang Pendekar Pedang Kelana seolah-olah terbang melayang. Begitu besar kemiripan anak semata wayangnya ini dengan istri yang sangat dicintainya. Gerakannya begitu sama, wajahnya begitu sama pula.
Anak-anak harusnya mengerti, bahwa betapa mereka adalah bayangan dari orang tuanya sendiri.
“Mana pedangmu?”
Nyonya muda itu menyerahkan pedang tersebut kepada ayahnya.
“Perhatikan!”
Sang ayah lalu bergerak. Gerakan yang amat sederhana namun luwes. Hampir tidak ada keistimewaan apa-apa. Tapi Hong Tang-thaysu dan nyonya Suma ini paham betapa gerakan itu sanggup menghadapi ilmu tinggi mana pun.
“Kau sudah paham?” tanya sang ayah.
“Sudah!” tukas si nyonya sambil tersenyum.
Seorang wanita, umur berapapun, jika bertemu ayah yang sangat disayanginya, pasti akan bersikap semanja ini.
“Ayo kita cari anakmu” kata sang ayah.
“Aku harus menjaga nona itu….kasihan” jawab si nyonya.
Sang ayah menatap nona yang tertidur di dalam tenda kecil itu cukup lama.
“Baiklah. Aku sendiri yang akan menyusul suamimu” ia lalu menoleh kepada sang bhiksu, “Hong Tang-thaysu, mari” ajaknya.
“Mari!”
========
Nyonya Suma melihat kepergian ayahnya serta Hong Tang-thaysu dengan berseri-seri. Ada kedua orang ini, harapannya bertambah besar.
Ia kemudian kembali ke tendanya untuk berteduh. Ketujuh mayat orang aneh itu telah tertutup salju. Tak berapa lama si nona yang tadi tertidur sudah bangun.
“Kepalaku..pening..sekali, nyonya” katanya.
“Beristirahatlah. Kau terluka. Dalam beberapa jam lagi, keadaanmu akan membaik, dan aku bisa meninggalkanmu”
“Terima kasih sekali atas bantuan nyonya” kata Sim Lan sambil tersenyum.
Ia dan nyonya Suma itu lalu bersandar di sebatang pohon besar tempat mereka mengikat tenda. Salju sudah tidak sederas tadi. Dari kejauhan kembali terlihat orang yang datang.
Ia datang sambil berlari-lari. Semakin dekat, Sim Lan mengenalnya. Itu adalah Subo (guru perempuan) nya sendiri.
“Eh, Lan-moay (Adik Lan)? Apa yang kau lakukan di sini? Kau terluka?” tanya Bwee Hua.
Sim Lan sadar bahwa gurunya sedang bersandiwara. Dalam hati ia tersenyum, tapi di luaran ia menunjukkan wajah khawatir.
“Ting-ci (kakak Ting), kau baru datang? Aihhhhh” wajahnya menunjukkan kesedihan yang amat besar.
“Begitu mendengar kabar bahwa subo kita melarikan diri ke Paviliiun Musim Dingin, aku segera bergerak ke sini” jawab Bwee Hua yang sekarang namanya sudah diganti Sim Lan menjadi Ting-ci (kakak Ting).
“Kau….kau..terlambat…aihhh” air mata menetes dengan deras dari pipi Sim Lan.
“Terlambat? Apakah….apakah..subo..sudah…” Ting-ci pun terbata-bata.
“Subo…subo telah tewas….dibunuh Li Hiang keparat itu…hu…hu..hu..” tangisannya pun tambah membesar.
“Aih……..” Ting-ci pun menangis. Menangisnya pun terlihat penuh kesedihan. Dua orang kakak-adik seperguruan ini saling berpelukan.
Suma-hujin (nyonya Suma) sangat tersentuh melihat keadaan ini. Dengan lemah lembut ia mendekat untuk menenangkan kedua nona yang sedang berduka ini.
Inilah kesalahannya.
Perempuan selalu tersentuh melihat penderitaan perempuan lain.
Bwee Hua mengerti sekali hal ini.
Karena Bwee Hua adalah perempuan.
Perempuan yang kejam.
Entah dari mana, dengan kecepatan yang tak pernah bisa dibayangkan, telapak Bwee Hua yang penuh dengan tenaga dalam yang dahsyat telah menghantam dada Suma-hujin!
Tubuhnya terpental jauh beberapa tombak.
Suma-hujin memuntahkan darah kental yang menghitam. Tubuhnya terpukul sebuah pukulan kejam yang terlalu dahsyat. Tapi ia masih bergerak.
Melihat ini pun, Bwee Hua heran, “Eh? Kau masih hidup?”
“Ka..kau..ke..jam…” nafas Suma-hujin sudah satu-satu, tetapi ia masih ingin berdiri dengan gagah.
Siapapun kau, jika kau menyandang nama ‘Suma’, kau pun akan berdiri gagah dalam keadaan seperti ini.
Tubuhnya sudah bergetar, tak ada lagi kekuatan yang tersisa. Tetapi perempuan ini tetap memaksa untuk berdiri. Dan ia berdiri. Ia memang pantas menyandang nama ‘Suma’.
Memandang ini, Bwee Hua tersenyum manis “Kau tidak mengecewakan. Orang lain pasti sudah mampus”
Suma-hujin bukan orang lain. Ia adalah Suma-hujin.
Pedang masih berada di pinggangnya. Untuk bernafas saja ia sudah kepayahan, apalagi untuk bergerak. Tapi tangannya tetap berusaha menggapai pedang yang ada di pinggangnya. Tangan dan pinggang itu jaraknya hanya sejengkal. Tetapi seolah-olah berjarak ratusan li (kilo).
Pada saat tangannya telah berhasil menyentuh pedang, wajahnya yang tadi sepucat mayat kini mulai sedikit merona merah.
Bagi keluarga Suma, pedang bukan senjata. Pedang adalah harga diri. Jika anggota keluarga Suma mati, maka matinya pun harus memegang pedang.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, nyonya ini menarik keluar pedangnya. Dibutuhkan waktu yang sangat lama baginya untuk melakukannya.
Bwee Hua hanya tertawa, “Kau akan melawanku? Dalam satu dua langkah saja kau akan jatuh tergelepar mampus.”
“Kau…kah..Bwee..Hua..?”
“Tidak ada yang lain” senyum manis itu tetap tersungging di wajahnya.
“Di…ma..na..anak…ku..?”
“Sebentar lagi tiba. Jika kau tidak keburu mampus, kau mungkin masih bisa bertemu dengannya” sambil berkata begitu matanya memandang dari kejauhan, seperti menunggu kedatangan seseorang.
Mendengar ini, nyonya Suma terlihat sedikit lega. Di akhir hidupnya ia masih bisa bertemu dengan anak kesayangannya. Semangatnya pulih kembali.
Konon katanya, keinginan yang besar untuk menemui seseorang, dapat menunda kematian.
Perkataan ini mungkin ada benarnya. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang bisa bertahan selama ini terhadap pukulan telapak Bwee Hua. Jika bukan karena cinta yang membara terhadap anaknya, tidak mungkin nyonya Suma sanggup berdiri selama itu. Dengan menggunakan pedang sebagai tongkat, ia menunggu dengan sabar.
Orang yang ditunggu pun datang. Ia bertubuh tinggi besar dengan kepala botak namun memiliki janggut lebat berwarna keemas-emasan. Ia membawa sebuah karung besar di pundaknya. Begitu melihat Bwee Hua, ia berlutut dan memberi hormat. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya karena ia bisu.
“Kau tepat waktu. Tadinya kupikir ibu cantik ini tak akan punya kesempatan untuk melihat anaknya. Keluarkan dia!” perintah Bwee Hua.
Orang tinggi besar mengangguk dengan penuh hormat dengan mengeluarkan isi kantong besarnya. Ternyata Suma Sun adalah isinya. Anak ini tertotok, tak bergerak dan tak bersuara.
Melihat anaknya, betapa gembiranya Suma-hujin (nyonya Suma).
“San..ji…san..ji (anak San)” suara dari mulutnya lirih hampir tak terdengar. Tetapi telinga Suma Sun tentu mendengarnya. Karena tertotok, ia tidak sanggup membalas panggilan itu.
Si gundul kekar itu lalu meletakkan Suma Sun dengan posisi duduk di tanah. Sang ibu berusaha maju meraih anak satu-satunya itu.
Jarak mereka demikian dekat, namun demikian jauh. Suara sang ibu terngiang-ngiang di telinganya begitu jelas. Tetapi ia tak sanggup menjawab panggilan itu.
“San..ji…kau…sehat..kah?”
Begitu dalam cinta seorang ibu, sehingga yang ia khawatirkan bukanlah dirinya sendiri yang sudah hampir sekarat, melainkan anaknya yang paling dicintainya.
“San..ji…ba..ik..kah..kau?”
Hanya air mata yang menetes.
Menetes dari mata ibu dan anak.
Cinta manusia tak akan bisa sedalam ini.
Tak akan bisa melebihi cinta seorang ibu terhadap anaknya.
Anaknya yang paling dikasihinya hanya berjarak selangkah lagi. Tangan sang ibu sudah meraih ke depan. Tapi wajah orang yang paling dicintainya itu terasa begitu jauh. Begitu sukar diraih.
Cinta memang selalu seperti ini. Begitu dekat namun begitu sulit diraih.
“San..ji..sa..yang…”
Pemandangan ini adalah pemandangan yang tak ada satu pun pemandangan yang sanggup mengalahkan nilai kesedihan, kedukaan, dan penderitaannya.
Seorang anak yang tak dapat membalas panggilan ibunya yang sekarat.
Seorang ibu sekarat yang tak dapat menyentuh wajah anak yang paling dikasihinya.
Gerakan sang ibu begitu lemah. Begitu lunglai. Wajahnya memucat pasi bagai salju yang putih bersih. Tapi sorot matanya begitu bercahaya. Begitu penuh kasih yang murni.
Hanya cinta kasih seorang ibulah yang membuat dunia tidak segelap ini. Seperti cahaya kecil di dalam kegelapan malam yang paling pekat.
Tangan itu gemetar meraih ke depan. Tubuh Suma Sun yang telah tertotok pun bergetar. Begitu besar cinta dan harapannya sehingga membuat tubuh yang telah tertotok itu sanggup bergerak sedikit deni sedikit.
“Menarik” tukas Bwee Hua sambil tersenyum.
Tangan itu sudah hampir meraih wajah mungil itu. Wajah itu pun sudah seperti merasakan sentuhannya.
Sedikit lagi.
Sedikit lagi.
Tapi yang sedikit itu sering kali tidak pernah terjadi.
Bwee Hua telah melempar sebuah pedang yang memutus tangan indah itu. Tangan indah seorang ibu yang ingin menyentuh anaknya untuk yang terakhir kali.
Darah muncrat dari tangan kutung itu.
Membasahi wajah mungil di depannya.
Suma Sun tahu apa yang terjadi. Darah ibunya telah bercampur dengan air matanya.
“Te..nang..sa..yang…se..mua..akan…baik..ba..ik..saj..a..” suara itu tanpa tenaga, namun begitu lembut menenangkan.
“Kau…ada..lah..se..orang..Suma..”
Lalu ia roboh.
Tanpa pernah menyentuh anaknya untuk yang terakhir kali.
Hanya air mata bercampur darah di wajah Suma Sun.
Ia adalah seorang ‘Suma’.
Kata-kata ini akan diingat selamanya.
Seorang ‘Suma’ bukanlah sebuah nama yang sia-sia. Nama ini telah menggetarkan jantung orang ratusan tahun yang lalu. Ribuan tahun ke depan pun nama ini akan menggetarkan jantung orang.
Dan nama yang akan paling menggetarkan sukma adalah ‘Suma Sun’. Di dalam hatinya ia telah menjanjikan hal itu.
Di masa depan nanti, saat bibir seseorang mengucapkan nama ‘Suma’, maka pemilik bibir itu harus merasakan ketakutan dan kepedihan yang dialaminya sekarang ini.
Karena ia adalah seorang ‘Suma’.
“Apalah arti nama ‘Suma’ jika kemampuannya hanya sekosong ini?” tawa Bwee Hua mengejek.
Suma Sun mendengarkan perkataan itu dengan jelas. Suara lembut dan menggairahkan dari seorang perempuan.
Suara itu dulu begitu lembut dan penuh cinta. Suma Sun bahkan telah jatuh cinta kepada pemilik suara lembut ini.
Tapi cinta itu telah berubah seketika menjadi kebencian yang amat sangat dalam.
Begitu mengherankan ketika cinta berubah menjadi benci. Terkadang karena dendam yang begitu membara. Terkadang hanya karena perkara sepele.
Kebencian yang mendalam justru kadang lahir dari perasaan cinta yang mendalam pula.
Suatu saat nanti, suara yang lembut ini akan merasakan jawaban dari pertanyaan itu. Jawaban dari pertanyaan “Apa hebatnya keluarga Suma?”
Hatinya telah membeku. Air matanya telah mengering. Jika air mata seseorang telah mengering, yang tinggal di hatinya hanyalah api yang membara.
Dan api yang membara itu sangat menakutkan.
Ia telah berhenti menangis. Karena ia adalah seorang ‘Suma’.
Memiliki nama ‘Suma’ baginya sudah cukup. Sudah amat sangat cukup.
“Gouw Han Sing, masukkan kembali anak itu ke dalam karung mu”
Si raksasa bisu itu kemudian menuruti perintah.
Bwee Hua sendiri kemudian berjalan menuju tubuh nyonya Suma. Ia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil. Ketika tutupnya dibuka, tercium aroma harum tajam yang menusuk. Ia lalu mengeluarkan satu tetesan saja ke tubuh nyonya malang itu.
Tak berapa lama terdengar suara mendesis. Tubuh itu sedikit demi sedikit hancur dan menguap!
Suara desis yang menyeramkan itu bercampur dengan bau daging terbakar dan bau harum yang menusuk. Tak berapa lama, tubuh nyonya malang itu hancur seluruhnya. Tanpa bekas!
Hanya pedangnya yang tertinggal.
Pedang itu dipungut Bwee Hua, sambil tertawa senang ia menukas, “Lumayan”
“Sim Lan, bereskan tenda itu lalu tumpuk rapat-rapat dengan salju. Jangan sampai orang menemukan jejak” perintahnya.
Dengan sigap Sim Lan melaksanakan perintah itu.
“Orang-orang yang datang, sebagian sudah bisa diatasi orang-orang kita. Cecunguk-cecunguk tak penting sudah mati semua. Hanya beberapa orang dari perguruan ternama yang masih susah untuk diatasi. Tapi orang-orang kita berhasil menahan perjalanan mereka untuk sementara” kata Bwee Hua.
“Oh pantas saja teecu (murid) belum melihat mereka berdatangan” tukas Sim Lan.
“Ayo kita pergi menyusul. Di atas sana suasana pasti sudah ramai sekali. Aku ingin menonton keramaian”
Salju putih turun di musim dingin.
Bagi Suma Sun, musim dingin kali ini mungkin adalah yang paling dingin di sepanjang umurnya.
===========
“Sim Lan, kau harus segera menemui Can Li Hoa, pendekar pedang kelana. Katakan bahwa nyonya Suma sedang bertarung mati-matian di bawah sini melawan Bwee Hua. Usahakan agar ia kembali bersamamu ke sini, Jika mereka tidak menemukan nyonya Suma, katakan bahwa mungkin nyonya itu sudah mengejar Bwee Hua, karena kau melihat Bwee Hua membawa Suma Sun. Sampai di bawah sekali, ada orang-orang kita siap melayani mereka. Begitu pertarungan di mulai, kau harus bersiap-siap menghilang. Ada orang yang akan membantumu nanti”
“Baik. Suhu”
Setelah Sim Lan berangkat, Bwee Hua dan Gouw Han Sing pun menyesulnya. Cuma kali ini mereka memilih masuk ke hutan di samping jalan setapak di dekat pavilliun itu dan bersembunyi di sana. Untuk urusan bersembunyi ini Bwee Hua memang sudah sangat ahli.
Setelah menunggu cukup lama, ternyata Sim Lan berhasil. Dari kejauhan ia terlihat berlari bersama Can Li Hoa, dan Hong Tang-thaysu.
Bwee Hua tersenyum puas melihat kerja murid kesayangannya itu. Setelah bayangan mereka menghilang, dengan cepat ia pergi ke arah pavilliun. Mencoba mengikuti jejak Li Hiang dan Suma Tian, serta nona dari Go Bi-pay itu.
Sim Lan memang berhasil. Sejak kecil ia telah dilatih sendiri oleh Bwee Hua. Tipu menipu, muslihat, serta akal-akalan keji memang adalah senjata utama Bwee Hua.
Ketika sampai di tempat semula, Sim Lan melakukan hal yang diperintahkan Bwee Hua, mengatakan bahwa nyonya Suma mungkin sudah mengejar Bwee Hua ke bawah.
Kedua orang ini, Can Li Hoa serta Hong Tong-thaysu bukanlah orang-orang baru dalam dunia persilatan. Pengalaman mereka sudah sangat matang dalam pertempuran. Tetapi mereka orang-orang berhati lurus yang mengabdikan hidup memepelajari ilmu silat. Segala macam tipu muslihat keji tidak pernah terpikirkan dalam jiwa mereka yang putih bersih itu. Apalagi Sim Lan adalah seorang nona cantik yang lemah.
Di situlah memang kesalahan laki-laki. Justru nona cantik muda usia yang terlihat begitu polos dan tak berdosa, malah sebenarnya menyimpan rahasia dan kelicikan-kelicikan yang menakutkan.
Laki-laki yang tertipu perempuan jenis ini memang sungguh banyak. Laki-laki yang belum pernah tertipu perempuan jenis ini juga sama banyaknya.
Laki-laki yang tidak tertipu perempuan jenis ini, malah bisa dihitung dengan jari.
Mereka dengan sekuat tenaga menyusul ke jalan bawah gunung. Untuk kemudian menerima ratusan, bahkan ribuan serangan Am Gi (senjata rahasia).
Senjata seperti ini walau tidak berbahaya, juga tidak bisa dianggap remeh. Kedua orang yang namanya mungkin sudah patut diperhitungkan sebagai jago-jago terkemuka di jamannya, menerima serangan itu dengan tenang.
Tetapi di dalam hati mereka sungguh heran mengapa senjata ini disambitkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan seolah-olah tidak ada habisnya.
Entah berapa lama baru serangan Am Gi itu selesai.
Begitu mereka menoleh, Sim Lan sudah melompat ke dalam sebuah air tarjun yang sangat dalam!
Air terjun itu seolah-olah membeku. Can Li Hoa ingin melompat juga, tetapi dicegah oleh Hong Tang-thaysu.
“Tayhiap, jangan. Ini sebuah adalah jebakan!”
Dengan mara Can Li Hoa menghambur ke berbagai jurusan tempat sumber Am Gi itu meluncur. Ketika sampai di sana ia hanya menemukan beberapa kotak aneh. Kotak itu tersebar di mana-mana, terikat di cabang-cabang pohon secara tersembunyi.
“Jadi kotak-kotak ini lah yang menyambitkan Am Gi (senjata rahasia) beracun itu” katanya.
“Hati-hati tayhiap (pendekar besar), siapa tahu serangan berikutnya akan datang lagi” kata Hong Tang-thaysu mengingatkan.
“Aih, siapa orangnya yang sanggup menciptakan senjata macam begini. Di dalam kotak ini mungkin terdapat semacam pegas yang sanggup melontarkan ribuan Am Gi” tukas sang Pendekar Pedang Kelana.
“Angkatan muda jaman ini sungguh telah maju pemikirannya. Menciptakan benda-benda yang sangat mengagumkan” puji Hong Tang-thaysu tulus.
“Thaysu, ku mohon thaysu segera kembali ke gunung di atas. Cayhe (aku) akan mencoba menemukan putriku”
“Baiklah. Hati-hatilah cianpwee (panggilan kepada yang lebih tua)”
Mereka berpisah.
Sampai ke ujung dunia pun pendekar tua ini mencari putrinya, ia tak akan pernah menemukannya.
Manusia yang tidak pernah menemukan apa yang dia cari, adalah manusia-manusia yang patut dikasihani.
Suma Tian memandang lelaki di depannya. Setelah sekian lama ia mencari jejaknya, akhirnya bertemu juga.
Lelaki itu memang sangat tampan, seperti cerita yang pernah didengarnya. Belum pernah ia melihat lelaki setampan itu.
Ia memakai jubah merah. Duduk sendirian di atas batu besar yang sudah hampir tertutup salju. Udara dingin seperti tidak berpengaruh pada dirinya sama sekali.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah bunga.
“Kau yang bernama Li Hiang?” tanya Suma Tian.
Yang ditanya hanya diam. Lalu memandang sebentar. Ia tersenyum kecut, kemudian mengangguk.
“Aku datang ingin meminta kemurahan hatimu, lalu kemudian meminta nyawamu”
Perkataan ini sungguh aneh. Tidak kalah aneh dengan orang yang mengucapkannya.
Li Hiang tertawa, “Boleh ku tahu siapa nama tuan yang terhormat?”
“Namaku Suma Tian”
“Ah, keluarga Suma?”
Siapapun di kolong langit ini memang pernah mendengar nama ini. Tapi sangat jarang yang pernah bertemu langsung dengan salah satu pemilik nama ini.
“Jika kau menginginkan bunga ini, mohon maaf aku tak dapat memberikannya”
“Aku tidak ingin bunga itu. Aku hanya menginginkan sebuah pedang”
Li Hiang paham pedang apa yang dimaksud.
“Aku tidak bisa memberikannya kepadamu. Aku telah berjanji untuk memberikannya kepada orang lain” jawab si jubah merah.
“Siapa?” tanya Suma Tian.
“Aku tidak bisa memberitahukannya kepadamu”
“Ketahuilah bahwa anakku telah diculik oleh seorang wanita bernama Bwee Hua. Ia ingin menukar anakku dengan pedangmu” jelas Suma Tian.
“Jadi apapun yang terjadi, kau harus merebut pedang itu dariku?” tanya Li Hiang sambil tersenyum.
Suma Tian hanya mengangguk.
“Apakah kau pernah punya dendam kepadaku sebelumnya?” tanya Li Hiang lagi.
Suma Tian menggeleng, lalu berkata, “Manusia yang punya dendam kepadamu sudah tidak bisa dihitung. Tapi aku bukan salah satunya. Aku hanya ingin membantu mereka membalas dendam itu” jawab Suma Tian datar.
“Dendam seperti apakah gerangan?”
“Bukankah tidak perlu kujelaskan?” sahut Suma Tian.
“Apa maksudmu dendam beberapa orang tua yang anaknya kunodai? Atau dendam lelaki yang kurebut kekasihnya?”
“Dendam dari keluarga nona-nona yang kau bunuh” jawab Suma Tian singkat.
“Walaupun aku pernah membunuh orang, aku tak ingat pernah membunuh nona-nona”
“Seorang enghiong (ksatria) tidak akan berbohong menutupi dosanya. Kupikir kau tidak serendah ini” ujar Suma Tian.
“Walaupun aku bukan enghiong, aku tidak perlu malu mengakui dosaku” sahut Li Hiang.
Suma Tian menatapnya. Di lubuk hatinya entah kenapa ia percaya dengan ucapan lelaki berjubah merah di hadapannya ini.
“Sepanjang perjalananku mencari jejakmu, aku telah mendengar kabar bahwa semua nona yang pernah kau bawa lari, telah mati seluruhnya” jelas Suma Tian.
“Apa?” Li Hiang terbalalak tak percaya. Ia diam dan berpikir sejenak. “Lidah keluarga Suma, adalah lidah keluarga Suma, bukan?”
Lidah keluarga Suma memang lidah keluarga Suma. Tidak pernah berbohong dan selalu dapat dipegang kata-katanya.
Suma Tian mengangguk.
“Pasti ada orang yang ingin memfitnahku” kata Li Hiang masih sambil melamun.
Jika kau berbuat banyak kesalahan, orang yang membencimu akan sangat banyak. Tetapi jika kau berbuat kebaikan, orang yang membencimu akan jauh lebih banyak.
Manusia memang aneh.
Lin Hiang tersenyum, “Biarlah. Suatu saat aku akan mengetahui siapa pelakunya.” Lalu lanjutnya, “Nah, karena kau tidak punya dendam kepadaku, dan kau pun ingin meminta kebaikan dariku, bolehkan aku meminta sesuatu dari mu?”
“Silahkan”
“Ku lihat kau membawa sebotol arak”
Tanpa bertanya Suma Sun sudah melemparkan arak itu ke arah Li Hiang. Lemparan itu pelan, namun mengandung tenaga dalam yang luar bisa.
Li Hiang menangkapnya dengan enteng. Membuka tutup botol itu dan meminumnya.
“Arak bagus!” pujinya.
“Sisakan sedikit untukku. Kutemani kau minum” kata Suma Tian.
“Baik! Hahah” sambil tertawa botol itu dilemparnya pula. Dengan kekuatan tenaga dalam yang tak kalah dahsyat dengan lemparan Suma Tian.
Pendekar pedang itu menangkap botol itu dengan enteng pula. Masing-masing telah mampu menakar tenaga masing-masing.
Sebanding!
Pantas jadi kawan, pantas pula jadi lawan. Jika bisa menjadi kawan, kenapa pula harus menjadi lawan?
Suma Tian melompat ringan, lalu duduk di sebelah Li Hiang.
Mereka minum arak bergantian dari botol yang sama. Sifat mereka pun begitu sama.
Kadang-kadang memang ada sebagian orang yang kelakuannya sama persis. Orang-orang semacam ini biasanya menjadi sahabat yang sangat akrab.
Lama mereka minum. Menghabiskan arak sedikit demi sedikit. Sekadar menikmati persahabatan baru, yang pada akhirnya mungkin harus diakhiri dengan permusuhan.
Selama masih bisa menjadi teman, selama itu pula harus dinikmati.
Hari sudah beranjak gelap.
Dua orang laki laki duduk di sebuah batu yang sangat besar menikmati arak.
Hanya laki-laki dan peminum arak yang bisa menghargai pemandangan seperti ini.
“Aku telah berjanji menyerahkan pedang ini kepada seseorang, aku tidak bisa memberitahukan namanya kepadamu, karena aku khawatir kau akan membunuhnya” kata Li Hiang.
“Bagaimana jika aku berjanji untuk tidak membunuhnya?” tanya Suma Tian.
“Bagaimana jika ia tidak mau memberikannya?” Li Hiang balik bertanya.
“Aku pasti akan menemukan caranya” jawab Suma Tian.
“Baiklah aku percaya” lanjutnya, “Namanya Song Ling Ji, ia cengcu (ketua perkampungan) dari Pek Swat Ceng”
“Pek Swat Ceng? Hmmmm”
“Ada apa?” tanya Li Hiang.
“Aku menemukan beberapa mayat di bawah sana, di pavilliun kecil itu”
“Apaaaaaa?” dengan kaget Li Hiang segera beranjak dari situ, “Aku harus melihat keadaan mereka”
Saat mereka berdua berlari turun ke bawah, mereka bertemu dengan seorang perempuan.
Hok Lian Si.
“Si-moay (adik Si)?”
“Aku datang, Liang-ko (kakak Liang)”
“Kau….apa yang kau lakukan di sini? Mengapa membawa anak kecil pula?”
“Aku…aku..terusir dari Go Bi-pay” jawab nona itu.
“Mengapa?”
“Aku…hamil….”
Jawaban itu membelalakan mata Li Hiang.
“Apakah..dia..?” tanya lelaki itu sambil menuding anak yang digendong Hok Lian Si.
“Benar….dia..dia..anakmu”
“Hahaha…tidak mungkin!” bentak Li Hiang.
“Mengapa kau menyangkal darah dagingmu sendiri? Liang-ko?” air mata telah menetes di pipi Hok Lian Si.
“Hahahaha…..mengapa semua orang di dunia ini ingin memfitnah ku?!” ada kemarahan, ada kesedihan, ada ketidakberdayaan di dalam perkataan ini.
Tawanya membahana. Namun terdengar sangat menyedihkan.
“Liang-ko, kau jangan mengingkarinya. Aku menempuh perjalanan begitu jauh hanya untuk mencarimu” tukas Hok Lian Si.
“Kau perempuan jalang, tutup mulutmu!”
Sambil berkata begitu Li Hiang berlari turun ke bawah. Tapi Suma Tian mencegahnya.
“Kawan, kau jangan sampai lari dari kenyataan”
Teguran itu halus dan sopan, tetapi membangkitkan gelegak amarah di hati Li Hiang.
“Kau tahu apa? Apa urusannya aku denganmu?” bentaknya.
“Aku pernah minum arak denganmu. Bagiku kau adalah sahabatku”
Kata sahabat saja sebenarnya sudah cukup untuk menangkan hati laki-laki. Tapi entah ada apa yang timbul di pikiran dan perasaan Li Hiang sehingga ia begitu marah. Ia seolah-olah berubah menjadi seorang yang asing.
“Jika kau menahanku pergi, aku akan melawanmu!”
Ia menggerakkan tangannya. Ia mencopot sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Ternyata itu adalah sebuah ikat pinggang kain yang selama ini selalu dipakainya. Di dalam kain yang membungkus itu ternyata tersimpan sebilah pedang.
Sebilah pedang ungu.
Pedang legendaris milik Tok Ho Kyu Pai.
Ia adalah pendekar pedang paling hebat yang pernah terlahir du kolong langit ini. Pedang lemas ini begitu tajam namun begitu lemas. Pedang itu masih ada di dalam sarungnya ketika kain pembungkusnya di buka.
Saat Li Hiang melolos pedang itu, terlihat warna ungu yang berbinar menyelimuti batang pedang yang berwarna keperakan itu.
Saat melihat pedang itu, hati Suma Tian mencelos juga. Melihat pedangnya, sama seperti melihat orangnya. Orangnya bernama Tok Ho Kiu Pai. Mendengar namanya saja hati pendekar manapun akan tergetar, apalagi melihat pedangnya.
Setiap pendekar pedang di manapun di dunia ini memiliki sifat yang hampir sama, selalu tertarik kepada ilmu pedang dan pedang. Ketika melihat pedang itu, darah Suma Tian bergejolak juga.
Tangannya pun kini sudah menyentuh pedang di pinggangnya.
“Majulah!” teriak Li Hiang.
Tak jauh dari sana, dua bayangan muncul. Bwee Hua dan Gouw Han Sing datang.
Masih dengan senyum yang manis, Bwee Hua menyapa,
“Aih ternyata aku belum terlambat. Baguslah!”
Perhatian Suma Tian hanya terpusat kepada pedang di hadapannya. Ia tidak mengenal kedua orang yang datang itu.
“Suma-tayhiap, ini anakmu kubawa dalam karung” lalu Gouw Han Sing pun mengeluarkan isinya. Terbelalak mata Suma Tian melihat anaknya yang kaku tak bergerak.
“Jangan khawatir ia cuma tertotok. Rebut pedang itu dan berikan kepadaku. Nanti ku tukarkan Suma Sun kepadamu”
Suma Tian tak perdulu, ia maju melangkah ke arah Bwee Hua.
“Jika kau maju selangkah lagi, aku akan membunuh anak ini.” Telapak tangan Bwee Hua telah menempel di kepala Suma Sun.
“Kalau kau menyakitinya seujung rambut saja, aku tak akan mengampunimu” ancam Suma Tian.
“Tidak perlu banyak bacot”, senyuum Bwee Hua, “Rebut dulu pedang itu baru bicara”
Dengan geram Suma Tian memandang Bwee Hua. Lalu ia seakan tersadar. Jalan menuju puncak gunung ini cuma memiliki satu jalur. Harusnya Bwee Hua bertemu dengan istrinya serta mertuanya dan Hong Tang-thaysu.
“Di..di mana istriku?” ada getaran yang terasa dalam ucapan ini.
“Sudah mampus” jawab Bwee Hua ringan sambil tersenyum.
Dengan marah Suma Tian menerjang Bwee Hua. Serangan pedang keluarga Suma adalah serangan pedang keluarga Suma. Tak ada satu orang pun yang bisa lolos dari kejaran pedang itu.
Tapi sambil tertawa Bwee Hua mengacungkan Suma Sun ke depan. Dengan serta merta serangan pedang itu berhenti tepat di depan hidung Suma Sun.
“Kau ingin memutus keturunan? Jika kau mati, dan anakmu mati, keluarga Suma akan musnah dari dunia ini” tawa dan katanya sungguh manis. Diucapkan seolah-olah bukan ancaman melainkan gurauan manis dari seorang kekasih.
Mendengar kata keturunan, Li Hiang kembali menjadi seperti gila. Ia tertawa lepas, “Hahahaha. Suma Tian, kau tak akan bisa mengalahkan tipu daya perempuan. Lebih baik kemari mengadu jiwa denganku. Jika kau menang maka pedang ini bisa kau tukarkan kepadanya”
Dari jauh terlihat pula Hong Tang thaysu sudah datang. Dari belakangnya, di kejauhan terlihat pula banyak sekali orang yang datang. Ada puluhan orang.
Suma Tian tak tahu lagi harus melakukan apa.
Ia hanya memandang Suma Sun dan berkata, “Jangan khawatir”
Suma Sun tak bergerak, wajahnya pun tidak menunjukkan apa-apa. Seolah-olah jiwanya sedang tidak berada di situ.
Suma Sun yang ini memang bukan Suma Sun yang dulu. Suma Sun yang ini adalah seorang anak kecil yang telah berubah seluruhnya. Batinnya, jiwanya, sudah bukan anak-anak lagi. Bahkan mungkin sudah bukan manusia lagi.
“Li Hiang, maafkan aku harus merebut pedang itu.”
Sebagai pendekar pedang ia tentu lebih memilih bertarung demi pedang itu ketimbang meminta baik-baik. Kemarahan dan keputusasaannya telah membutakan seluruh pikirannya.
Li Hiang mengangkat pedangnya ke depan. Di tangan kirinya ia mengeluarkan sebuah suling emas.
Seruling itu berputar-putar mengeluarkan suara berdengung yang menakutkan.
Suma Tian melangkah maju dengan perlahan. Di saat seperti ini satu gerakan saja akan menentukan hidup dan mati.
Tapi mereka masih diam tidak bergerak. Padahal jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah saja.
Dari kejauhan rombongan itu sudah datang pula. Hampir semuanya adalah orang ternama. Puluhan orang ini rupanya mencari Li Hiang!
“Hey penjahat mesum keparat! Ada kami seluruhnya di sini kau sudah tak dapat lari lagi”
Li Hiang memandang mereka semua.
“Kalian datang meminta pertanggungjawabanku?”
“Benar! Jika sudah paham, segara gorok tenggorokanmu sendiri!”
“Kalian semua dengarkanlah. Walaupun aku memang bejat, aku bersumpah bahwa aku tak pernah membunuh seorang pun nona yang terpikat denganku. Entah kalian mau percaya atau tidak”
“Pembohong busuk! Kami tidak percaya!” teriakan mereka serempak.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang termasuk terkemuka di dalam dunia persilatan. Mereka dipimipin oleh seorang pendekar Bu Tong-pay.
Pendekar itu lalu berkata,
“Li Hiang, namaku Tan Hoat dari Bu Tong-pay. Kami datang mencarimu untuk menghukummu atas perbuatanmu. Jika kau mengaku tidak bersalah, maka yakinlah bahwa aku akan memastikan pengadilan yang layak kepadamu”
“Orang-orang Bu Tong-pay biasanya berpikiran luas dan terbuka. Jika hukumanku adalah hukuman mati, untuk apa pula aku menolak mengakuinya? Pada akhirnya aku pun akan mati di gantungan. Tapi kau, sebagai murid partai persilatan yang terhormat, bukankah kau berpegang bahwa omongan seorang enghiong harus bisa dipegang?”
“Benar” Tan Hoat mengiyakan.
“Mau kah kau percaya bahwa bukan aku yang melakukannya dan aku hanya difitnah?”
“Jika bukan kau yang melakukannya, aku berjanji untuk menyelidikinya untukmu. Tetapi sebelumnya kau harus menyerah dulu untuk kami bawa ke pengadilan”
“Aku tidak setuju! Orang itu harus mati di sini!” teriak salah seorang.
Yang lain pun menyahuti, “Ya! Harus mati disini! Harus!”
Teriakan ini semakin lama semakin membahana, sehingga Tan Hoat pun kesulitan menenangkannya.
Bwee Hua hanya tersenyum dalam hati melihat keramaian ini. Memang sebenarnya orang-orang ini, kecuali Tan Hoat, sebagian besar adalah anak buahnya.
“Pancung kepalanya disini! Pancung!”
Mereka adalah orang-orang terhormat. Ada yang merupakan ketua sebuah partak kecil, sebuah perguruan besar, pejabat pemerintahan, dan lain-lain.
Semua berteriak penuh amarah!
Lupa dengan kedudukan terhormat yang disandangnya.
“Omitohoud…..Li Hiang-enghiong (ksatria Li Hiang) menyerahlah. Pertanggung jawabkan perbuatanmu di hadapan pengadilan. Jika nanti tidak terbukti, pinceng (saya) bersedia menerimamu sebagai murid Siau Lim Pay. Jadilah Bhiksu dan ikutilah jalan Buddha” suara Hong Tang-thaysu menenangkan.
Orang-orang yang mendengar ini tentu menjadi sedikit jerih melihat seorang pendeta Buddha angkat bicara. Perlu dimaklumi bahwa Siau Lim-pay adalah partai paling terkemuka di dunia persilatan. Perkataan sala seorang anggotanya harus didengarkan dengan seksama. Apalagi yang berbicara ini adalah pendeta terkemuka.
Tapi orang-orang ini kebanyakan adalah anak buah Bwee Hua. Mereka sama sekali bukan keluarga korban. Hanya menimbulkan fitnah besar untuk menyudutkan Li Hiang. Memang dari puluhan orang itu ada juga belasan orang yang anaknya menjadi korban. Tetapi jumlah mereka lebih sedikit daripada anak buah Bwee Hua.
Para anak buah ini, yang juga terdiri dari kaum-kaum terhormat, semua meneriaki agar Li Hiang di pancung saat itu juga!
“Pancung!”
“Pancung!”
Teriakan itu membahana.
Li Hiang hanya tertawa. Baginya ini adalah ujung perjalanannya. Petualangannya mungkin harus berakhir di puncak gunung ini.
“Jika aku harus mati, baiklah! Aku terima!”
Mendengar kata-kata itu semua orang bersorak. Tan Hoat mencoba menengkan mereka.
“Tapi aku hanya ingin mati di tangan Suma Tian” kata si jubah merah.
Suma Tian mengangguk. Ada rasa bangga yang timbul di hatinya saat Li Hiang memilihnya menjadi algojonya.
“Jika aku mati, silahkan ambil pedang ini dan juga bunga ini” katanya kepada Suma Tian.
“Tidak bisa! Tidak bisa! Semua barang milikmu adalah rampasan perang. Serahkan pada kami untuk diputuskan!” teriak orang-orang itu.
“Ah, jadi inikah maksud kalian sebenarnya? Hahahahaha. Suma Tian, jika aku mati, maukah kau berjanji untuk menjaga bunga ini? Tolong serahkan kepada seorang wanita di desa Hui San, di kaki gunung Thay San. Sedangkan pedang ini boleh kau tukarkan kepada perempuan itu. Seruling ini mohon kau jaga selamanya”
“Kekasihku, aku ingin bertarung bersamamu” kali ini Hok Lian Si angkat bicara setelah sekian lama bungkam.
“Pergilah! Aku bukan siapa-siapamu! Bawa anak itu pergi dari sini, jangan sampai ia mendapat musibah yang lebih besar” teriak Li Hiang.
“Suma Tian, mari!”
“Mari!”
Li Hiang pun menerjang. Suara seruling ditangannya mengeluarkan suara dinging yang menggetarkan. Orang-orang yang berada di sama merasakan seolah-olah dengungan itu menggetarkan jantung mereka!
Lalu pedangnya menyambar!
Gerakannya lihay dan cepat. Li Hiang ternyata bukan pendekar pedang sembarangan. Apalagi ditambah dengan legenda pedang itu sendiri.
Menerima serangan itu Suma Tian memundurkan tubuh bagian atas. Kakinya tetap ‘menancap’ di tanah.
Saat pedang itu lewat, tahu-tahu tangan kiri Li Hiang sudah menyerang bagian tubuh Suma Tian yang sebelah bawah dengan serulingnya.
Melihat serangan itu, Suma Tian memiringkan tubuhnya tanpa bergeser sedikit pun. Pedangnya masih tersimpan di sarungnya. Tapi tangan kirinya telah menggenggam pegangan pedang.
Li Hiang hanya melancarkan 2 buah gerakan sederhana, namun gerakan ini sebenarnya sangat mematikan. Jurus ini terlihat mudah dipatahkan, namun sebenarnya menyimpan bahaya yang tersembunyi.
Pengalaman bertarung Suma Tian sudah sangat banyak sehingga ia tahu, gerakan itu bukan gerakan silat kelas pemula.
Begitu ia akan mencabut pedang, tahu-tahu pedang lemas Li Hiang telah menyambar ke arah tangan kirinya itu pula. Mau tidak mau Suma Tian bergeser sedikit.
Geseran ini membuka ruang yang cukup besar baginya untuk menyerang. Tangannya bergerak cepat. Pedangnya sudah keluar mengincar sebuah titik di dahi Li Hiang. Tetapi Li Hiang masih memiliki seruling sakti yang menangkis serangan itu!
Ilmu pedang keluarga Suma adalah ilmu pedang yang mengandalkan kecepatan dan ketepatan. Gerakan tubuh ilmu ini akan menciptakan ruang-ruang sempit bagi para penyerang. Tetapi justru ruang sempit inilah di mana ilmu pedang keluarga Suma terlihat kehebatannya. Justru di dalam kesempatan yang sempit, serta ruang yang sempit inilah, jurus mereka dilancarkan.
Para penyerang tak akan percaya bagaimana dari sudut yang sesempit itu, dengan posisi tubuh yang tidak menguntungkan, serta kesempatan yang demikian kecil, ilmu pedang itu dapat menembus dahi orang.
Di sepanjang hayatnya, belum pernah ada orang yang lolos dari jurus pertama keluarga Suma jika ia yang memainkannya. Dan Li Hiang adalah orang pertama. Betapa heran Suma Tian ketika melihat Li Hiang sanggup mematahkan jurus itu!
Begitu jurus pertama Suma Tian berhasil dipatahkannya, Li Hiang bergerak lagi. Kali ini ia bergerak rendah, pedangnya meliuk membabat paha Suma Tian.
Dengan geseran kecil, ia berhasil menghindari tusukan itu. Tapi entah bagaimana, pedang itu tahu tahu membengkok dengan sendirinya dan mengincar lututnya.
Suma Tian bergerak lagi. Sebuah gerakan sederhana yang menciptakan sudut kecil lagi. Sudut ini memperpendek jarak mereka berdua.
Tangannya menyabet kencang. Cahaya pedang dari tangan kirinya tak akan bisa tertangkap mata. Bagaikan kilat yang memecah kegelapan, cahaya pedang itu kembali menyambar dahi Li Hiang.
Dengan gerakan yang aneh Li Hiang memutar tubuhnya berjumpalitan berputar. Pedang itu lewat di atas wajahnya yang menyusur tanah.
Dari bawah kaki Suma Tian, Li Hiang menggunakan serulingnya untuk menutuk pinggang Suma Tian. Gerakan ini sama cepatnya dengan gerakan Suma Tian sendiri.
Tanpa panik, Suma Tian kembali menggunakan langkah anehnya. Hanya satu langkah namun ditempatkan pada posisi yang tidak mungkin sehingga membuka posisi menyerang yang menguntungkan baginya.
Ilmu pedang keluarga Suma memang sangat mengunggulkan kecepatan pedang. Tetapi intinya sebenarnya adalah bergerak dan menciptakan peluang. Setiap kali bergerak, terciptalah peluang menyerang yang sangat menguntungkan. Serangan harus dilakukan dengan cepat pula, karena ruang kosong ini sempit sekali, namun mematikan.
Inti jurus pedang keluarga Suma adalah menerima serangan sambil menciptakan peluang serangan balasan dengan hanya bergerak se-sedikit mungkin.
Setiap gerakan serangan lawan sesulit dan sedahsyat apapun, jurus keluarga Suma pasti akan bergerak melangkah sedikit dan menciptakan peluang untuk menyerang. Selama ini tidak ada seorang pun yang bertahan satu jurus.
Tapi Li Hiang mampu!
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, setiap jurus menghasilkan decak kekaguman orang-orang yang menyaksikan. Bagi mereka ini pelajaran silat tanpa perlu membayar atau mengambil guru.
Walaupun kecepatan kedua jagoan ini sangat sukar diikuti mata, tapi kebanyakan orang yang berada di sini adalah ahli-ahli silat kelas atas sehingga mata mereka telah terbiasa menyaksikan pertarungan dengan gerakan secepat ini.
Pada jurus ke 83, terlihat gerakan Li Hiang semakin berkurang kedahsyatannya. Walaupun serangannya semakin bertenaga dan semakin berbahaya, kecepatannya terlihat sangat berkurang.
Memasuki jurus ke 90, tibalah peluang yang ditunggu-tunggu Suma Tian. Seruling emas milik Li Hiang mengarah ke tenggorokannya, sedangkan pedang Li Hiang agak ke belakang tubuh si jubah merah itu. Suma Tian mundur sedikit. Selama ini Li Hiang tidak berani menyambitkan seruling emas itu seperti yang dulu ia lakukan melawan tiga orang di hutan. Ia paham jika Suma Tian berhasil menghindarinya, maka ia tidak punya kesempatan untuk melindungi diri.
Saat serulingnya telah berhasil dihindari, Li Hiang menyusulkannya dengan pedang ungu itu. Pedang itu mengeleluarkan suara seperti angin sepoi-sepoi h=tetapi datang dengan sangat cepat.
Suma Tian mengetahui ini, ia tetap menunggu sampai pedang itu datang. Lalu ketika pedang itu hampir menusuk dadanya, dengan cepat ia memindahkan pedang dari tangan kiri ke tangan kanan. Dengan melakukan ini, Suma Tian memiliki keunggulan posisi tangan yang lebih dekat ke arah musuh.
Pedangnya menyambar tajam. Li Hiang telah kehilangan posisi dan keadaan, menghindar pun sudah terlambat. Dengan cepat ia melempar seruling emas di tangannya itu untuk menutuk pedang Li Hiang, karena pedang itu paling dekat dengan pedang Li Hiang.
Tak dapat dihindar lagi pedang itu mengenai dada Li Hiang. Jika tidak ada seruling emas yang menolongnya, tentu jantungnya sudah tertembus pedang Suma Tian.
Darah muncrat dari dada Li Hiang. Pakaian bagian depannya robek dan mencipratkan darah.
Tapi Suma Tian tidak memberi ampun. Pedangnya yang tadi sempat bergeser posisi karena lemparan seruling milik Li Hiang, kini diteruskannya.
Li Hiang pun pasrah. Jika ia mati, ia harus mati saat perlawanan terakhir!
Semua orang yang di sana paham bahwa Li Hiang sudah tidak memiliki harapan lagi. Ia kalah posisi dan kalah keadaan dari Suma Tian. Serangannya itu hanya sebuah serangan putus asa yang dilancarkan secara sembarangan.
Pedang Suma Tian telah menuju tenggorokan Li Hiang.
Sejengkal lagi.
Seujung kuku lagi.
Lalu pedang itu terhenti.
Tak ada yang menyangka dan paham mengapa pedang itu terhenti.
Lalu pedang Li Hiang lah yang berhasil mengenai ujung dada Suma Tian, tepat di jantungnya!
Li Hiang sendiri terheran-heran mengapa pedang Suma Tian terhenti.
Dunia seolah-olah berhenti pula.
Ia menatap Suma Tian dengan sangat dalam.
Pendekar itu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kalung yang menempel di lehernya.
Kalung itu ternyata sebuah kalung giok berbentuk naga. Tetapi kalung itu cuma separuh.
Yang separuhnya lagi berada di leher Li Hiang.
Ternyata saat bajunya robek tadi, kalung itu muncul keluar dan terlihat oleh Suma Tian.
“A….dik..”
=========
“Menarik…” Bwee Hua tersenyum.
Yang lain hanya bisa melongo. Kejadian yang tidak ada siapa pun menduganya.
“Ke…mar..i” panggil Suma Tian perlahan.
Li Hiang maju dengan perlahan. Mendekatkan kepalanya kepada orang yang barusan memanggilnya ‘adik’ ini.
“Dulu..ibu…melahir..kan dua…orang..anak..kembar…”
Semua orang memperhatikan dan mendengarkan suara lirih itu.
“Men…urut..peraturan..ke..luar..ga..Suma…anak yang…ter..pi..lih..hanya..lah ..yang..ber..tangan..kidal..”
“Yang..tidak.kidal…harus..di..bu..nuh..ke..luarga..Su..ma..hanya…boleh..mempunyai..sa..tu..ke..turunan…”
“Teta..pi…ayah…ti..dak..te..ga…..mem..bunuh..mu..beli..au..menitipkan…mu…ke..pada..sese..orang”
“Raha…sia..ini..ha..nya..aku..yang..diberi..ta…hu…tapi..beli..au..ti..dak..memberitahu..kan..kepada..sia..pa..beliau..menitipkan..engkau…”
“Hanya…ka..lung..ini..seba..gai..penanda..nya”
Mendengar hal ini, entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran Li Hiang. Ia adalah keturunan keluarga Suma. Namun keturunan yang terbuang!
Selama hidupnya ia telah menjadi orang sisa-sisa. Lahir tidak diinginkan, hidup pun akhirnya dikejar-kejar. Mendapat pengetahuan baru seperti ini membuat jiwanya benar-benar terguncang.
Air matanya menetes. Semarah apapun dirinya, di hadapannya berbaring kakaknya yang sedang sekarat karena serangan pedangnya.
“Na..ma..mu…Suma..Hiang..se.la..mat..kan..keponakan…mu.., a..dik….kau..adalah..seorang..Suma”
‘Suma’ adalah kata terakhir Suma Tian.
Li Hiang menutup mata kakaknya itu.
Pada akhirnya, setelah selama ini hidup menjadi orang terbuang, ia memiliki saudara. Seberat apapun beban hidupnya, semarah apapun hatinya, setidaknya ada satu orang di dunia ini yang menganggapnya saudara.
Persaudaraan selalu lebih berharga dari apapun juga. Sayangnya manusia selalu terlambat memahaminya.
“Bwee Hua!” Li Hiang akhirnya berdiri.
Ia adalah seorang Suma!
Bwee Hua tersenyum mengerling.
“Jika namaku disebut oleh Li Hiang-tayhiap yang terhormat, rasanya sungguh merupakan sebuah kehormatan” tukas Bwee Hua.
“Namaku Suma Hiang”
Siapapun yang mendengar nama Suma pasti hatinya tergetar. Suma yang satu ini bukan pengecualian.
Suma yang manapun memang bukan pengecualian.
Ia memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri.
Gaya pedang keluarga Suma.
Karena walaupun ia dulu terbuang, kakaknya telah menerimanya kembali.
“Para hadirin yang datang, dengarkanlah! Bwee Hua-siocia (nona Bwee Hua) adalah seorang penculik. Ia telah menculik putra dari keluarga Suma. Perbuatan hina dan penuh cela ini harus dihentikan!”
“Urusan kami semua datang kesini adalah untuk mencarimu! Urusan keluarga Suma adalah urusan keluarga Suma! Pertama-tama kau tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” hampir serempak orang-orang ini ramai berteriak.
Tan Hoat, satria dari Butong-pay itu mencoba menenangkan. Tetapi keadaan sudah tidak terkendali. Semua orang sudah mencabut senjata. “Tenang…saudara-saudara…tenang!”
Belum selesai Tan Hoat menenangkan mereka, Suma Hiang sudah bergerak cepat. Meskipun tenaganya telah habis bertempur seratus jurus, dengan semangat yang membara ia telah menyerang Bwee Hua.
Menerima serangan pedang yang ganas itu, Bwee Hua melakukan hal yang persis sama dengan yang dia lakukan saat menghadapi serangan Suma Tian. Ia hanya menyodorkan Suma Sun untuk menyambut serangan itu.
Tapi kali ini Bwee Hua salah perhitungan. Pedang yang dipakai Suma Hiang bukanlah pedang sembarangan. Tahu-tahu pedang lemas itu bisa membengkok sendiri. Ujungnya yang semulah menuju leher Suma Sun, kini berbelok arah dan malah menyerang tangan Bwee Hua yang mencengkeram leher belakang Suma Sun!
Dengan licik Bwee Hua menyorongkan pula tubuh Suma Sun ke arah belokan pedang itu. Maksudnya untuk menutup arah gerakan pedang itu, tetapi gerakan ini justru membuat tubuh bagian depannya terbuka. Tanpa ampun, seruling emas Suma Hiang telah masuk ke rusuk Bwee Hua.
Suma Sun akhirnya terlepas, dan perempuan cantik itu terhempas ke belakang. Untunglah ada Gouw Han Sing yang menahannya. Raksasa gundul itu segera menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong tuannya itu.
Serangan Suma Hiang, atau Li Hiang ini, sebenarnya jika dilakukan pada saat ia di dalam keadaan terbaik, pasti akan dapat membunuh Bwee Hua. Tetapi ia barusan saja menghadapi pertarungan terbesar di dalam hidupnya. Tenaga yang tersisa sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Bwee Hua juga walaupun tadi sempat meremehkan serangan Suma Hiang, memiliki ketinggian ilmu yang sangat sulit diukur. Tidak ada seorang pun yang mengetahui berapa dalam ilmunya.
Mendapatkan serangan seperti itu tidak membuatnya terluka berat. Ia hanya kaget, dan menyadari bahwa Suma Hiang adalah lawan yang pantas baginya.
Suma Sun pun kini jatuh di tangan Tan Hoat.
“Tenanglah wahai putra Suma” katanya pelan dan gagah.
Anak kecil yang dipanggil ‘putra Suma’ itu memang tenang. Jika bumi seluruhnya hancur pun dia akan tetap tenang. Hati dan hidupnya telah mati sejak beberapa saat yang lalu.
“Tan-enghiong (Ksatria Tan), cayhe menitipkan keponakan cayhe kepada enghiong.” Kata Suma Hiang sambil berlutut. Air mata menetes di pipinya. Ia tahu ia tak akan mungkin mempunyai kesempatan untuk menjaga anak itu.
Lalu ia berkata kepada Suma Sun, “Maafkan pamanmu tidak bisa menjagamu terlalu lama. Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa kau adalah putra Suma”
Suma Sun hanya memandang kosong ke depan. Walaupun raut wajahnya kosong dan pucat pasi, walaupun sinar matanya redup dan tak bercahaya, ada api yang membakar perlahan-lahan di jiwanya.
“Minggir!” dengan gemas Bwee Hua memerintahkan Gouw Han Sing untuk mundur. Ternyata raksasa botak itu hanya bergerak jika diperintah tuannya.
Begitu Bwee Hua ingin maju, ternyata puluhan orang-orang lain telah menyerang Suma Hiang. Mereka ini adalah antara lain adalah tokoh-tokoh terkemuka dunia persilatan dari beberapa partai. Sehingga menyebabkan serangan mereka benar-benar dahsyat dan tak mungkin dihindari.
Nona dari Gobi-pay, Hok Lian Si, tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya memandang pemandangan itu dengan pandangan yang menyedihkan. Anak yang sedang digendongnya pun hanya bisa menatap sendu.
Mereka ini pun sebenarnya adalah orang-orang yang terbuang.
Hal yang paling menakutkan dari manusia adalah bahwa dalam melakukan apapun, selalu ada korban baik sengaja atau tidak sengaja. Korban hati, korban perasaan, korban nasib, maupun korban nyawa.
Ibu dan anak ini hanya memandang begitu lama menyaksikan keroyokan berat sebelah ini. Tan Hoat dan Hong Tang-thaysu yang mencoba merelai pun tidak dapat berbuat banyak. Karena walaupun ilmu mereka sangat tinggi, orang-orang yang mengeroyok ini pun memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Ibu muda ini lalu membisikkan kata-kata terakhir kepada anaknya yang mungkin baru berusia 6 atau 7 tahun ini.
Kata-kata terakhir memang selalu bersemayam di jiwa manusia. Anak itu memandang ibunya sambil menangis. Anak-anak kecil sebenarnya selalu bisa mengerti keadaan. Sayangnya mereka tidak tahu bagaimana bersikap.
Ibu itu memandangnya. Untuk yang terakhir kalinya, dan mengecupnya.
“Anakku sayang, laki-laki berjubah merah itu adalah satu-satunya orang yang ibu cintai di dunia ini. Jika tidak bisa hidup bersamanya, maka ibu harus mati bersamanya”
Cinta.
Seluruh permasalahan di kolong langit ini sumbernya sebenarnya hanya karena satu hal.
Satu hal.
Mengapa manusia tidak pernah mengerti?
“Hong Tang-thaysu, boanpwee (saya yang lebih rendah) menitipkan anak kepada cianpwee (yang lebih tua). Semoga di masa mendatang bisa menjadi manusia yang baik dibawah bimibingan Siau Lim-pay”
Betapa kaget Hong Tang-thaysu mendengar hal ini. Tapi apa dinyana, sang ibu ternyata sudah berbuat nekat, dan menerjunkan diri ke dalam pertempuran.
“Liehiap (pendekar wanita)….mohon dipertimbangkan kembali..” kata bhiksu baik hati ini.
Tetapi keadaan yang sangat kacau balau membuatnya tak mampu melakukan apa-apa. Tan Hoat yang mendengar ini pun tak sanggup berbuat apa-apa karena ia harus menjaga Suma Sun.
Manusia yang sudah putus asa, tidak lagi memiliki pertimbangan yang matang. Manusia yang tidak lagi memiliki cinta, akan berhenti mencintai dirinya sendiri.
Perempuan muda itu dengan nekat terjun dan menerima serangan. Ia hanya ingin mati dengan orang yang dikasihinya. Entah ini merupakan cinta yang dalam atau sebuah kebodohan.
Memang, cinta yang terlalu dalam akan berubah menjadi kebodohan.
Tetapi menjadi bodoh karena cinta, adalah sebuah perbuatan yang manis.
Seseorang tidak pernah dapat disalahkan saat ia berbuat bodoh demi cinta.
Oleh karena itu pula perempuan muda ini tidak dapat disalahkan ketika ia memasang badan menerima serangan pedang mematikan yang terarah kepada lelaki yang sangat dipujanya.
Pedang itu menusuk jantungnya, dan bukan jantung Suma Hiang. Tetapi karena serangan ini pula, Suma Hiang terhempas ke belakang.
Ada orang yang bersedia mati untuknya.
Perempuan ini walaupun bukanlah cinta sejatinya, ia tetap pantas mendapatkan rasa hormat dan sayang yang mendalam.
Meskipun perempuan ini bukan kekasihnya, perempuan ini pantas mendapatkan jiwanya.
Sejak dahulu, orang yang dicintai dan orang yang dinikahi memang seringkali berbeda.
Kehidupan manusia memang selalu penuh rahasia.
Suma Hiang pun akhirnya merelakan kenyataan bahwa ia tidak dapat menyembuhkan Hiang-Hiang. Perempuan yang paling dikasihinya.
Ia meraba kantongnya, bunga itu ternyata telah terjatuh. Mungkin saat ia bertempur tadi.
Ia memejamkan mata menguatkan hatinya.
Jika tidak bisa bersatu di bumi, bukankah masih bisa bersatu di langit?
Tubuh indah milik Hok Lian Si lunglai namun berdiri gagah. Suma Hiang memegang pundaknya, lalu tersenyum, “Mari kita mati sama-sama”
Lalu Suma Liang menggandeng tangan nona itu.
“Ciiiiih!” Bwee meludah muak melihat pemandangan itu. Ia memang selalu muak melihat cinta sejati.
“Hahahaha” Suma Hiang tertawa lalu melemparkan pedangnya jauh-jauh.
Ke dalam sebuah jurang yang amat pekat gelap gulita.
Semua yang melihat kejadian ini sama-sama menyesalkan. Dalam lubuk hati mereka memang ada keinginan untuk mendapatkan pedang itu.
Karena marah karena keinginan mereka tidak terkabul, dan karena melihat Suma Hiang sudah tidak memegang senjata lagi, mereka menyerang dengan bersemangat.
Sebuah serangan yang mengakhiri segalanya!
Seolah-olah semua kekuatan bumi dikumpulkan dan dihempaskan kepada kedua orang ini!
Terdengar dentuman yang sangat keras dan suara bagaikan pohon tumbang.
Tubuh mereka terhempas melayang jauh ke dalam jurang.
Tubuh yang perempuan terhempas lebih jauh karena tubuhnya lebih ringan.
Tapi tangannya tertinggal di tangan Suma Hiang. Putus dari tubuhnya.
Walaupun mati ia tetap menggenggam tangan itu.
Berdua mereka menghilang ditelan kegelapan jurang.
Batas antara cinta dan benci memang sungguh tipis. Hanya orang-orang yang pernah mengalaminya yang mengerti pemahaman ini.
Suma Hiang akhirnya mengerti.
Hok Lian Si pun mengerti.
Sayangnya seseorang harus mengalami dulu baru mengerti.
Hong Tang-thaysu hanya bisa memeluk anak kecil yang ditinggalkan kedua orang tuanya itu.
Tan Hoat pun juga hanya bisa memeluk anak kecil yang diam tak bergerak dalam pelukannya.
Bwee Hua tentu saja sudah tidak ada sejak tadi di sana.
Ia sudah dalam perjalanan menuruni gunung salju itu dengan sepatu khususnya.
Di tangannya terdapat sebuah bunga anggrek yang indah.
Ia tadi sengaja membiarkan Suma Hiang menyerangnya dengan serulingnya, agar ia dapat mengambil bunga itu dari kantong Suma Hiang.
Dalam amarahnya, Suma Hiang lupa bahwa ia harus memberikan bunga itu terhadap seseorang. Dan Bwee Hua benar-benar memanfaat hal ini.
Urusan licik dan perencanaan memang adalah kelebihannya.
Mulutnya tersenyum manis.
Jika Bwee Hua tersenyum memang seperti membuat kebencian yang ditujukan kepada dirinya luruh sepenuhnya.
Ia bagaikan bidadari putih suci bersih tanpa noda yang turun dari langit mengenderai awan.
Bayangannya telah menghilang.
Meninggalkan darah dan air mata di atas gunung itu.
Semua orang akhirnya pulang.
Ketika dendam dan kebencian sudah ditunaikan, biasanya yang tertinggal hanyalah kehampaan. Justru ketika dendam dan benci masih mengisi jiwa, kedua hal itulah yang memberi semangat dan kekuatan.
Kebencian, seperti juga cinta, membuat orang mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan.
Lalu apa beda cinta dan benci jika hal-hal yang dihasilkan ternyata serupa?
Hong Tang-thaysu pergi sambil menggendong anak kecil itu.
“Siapa namamu, anak baik?” tanya bhiksu tua itu.
Ia tidak menjawab, dan hanya meneteskan air mata.
“Jangan takut. Mulai sekarang, akulah yang melindungimu. Katakan siapa namamu?”
Anak itu menguatkan hatinya, terisak sejenak, lalu berkata,
“Aku she (marga) Suma”
=========
Setelah begitu jauh Tan Hoat dan Suma Sun berkelana, akhirnya mereka bertemu juga dengan Can Li Hoa, sang Pendekar Pedang Kelana.
Pertemuan yang sangat mengharukan bagi Can Li Hoa karena inilah satu-satunya keturunannya yang tersisa. Ia telah mengetahui semua kejadian yang terjadi di puncak gunung salju itu.
Sudah hampir setahun Suma Sun diasuh oleh Tan Hoat. Selama bersama Suma Sun selalu bersikap dingin dan tidak banyak bicara. Tan Hoat sangat mengerti keadaan ini dan tidak menyalahkan Suma Sun. Ia pun tidak memaksa anak itu untuk mematuhinya. Setiap hari ia mencurahkan kasih sayang kepada Suma Sun bagaikan anaknya sendiri. Tetapi hati Suma Sun memang seperti sudah mati.
Setelah menyerahkan Suma Sun kepada Can Li Hoa, Tan Hoat meminta diri.
Dalam perjalanan pulang ia menyempatkan diri menyelediki beberapa kawanan perampok yang meresehkan penduduk. Saat itulah ia melihat pesan rahasia dari perguruannya yang menggetarkan jiwanya,
“Thio Sam Hong-thaysuhu Telah Berpulang”
========
Bagian kedua
===========
Kao Ceng Lun terbangun. Suara orang mengetuk pintunya. Mengapa pelayan rumah membangunkannya sepagi ini? Beberapa hari ini ia menjalankan tugas kerajaan, menyelidiki beberapa perkara. Mumpung kebetulan melewati kota kelahirannya, ia mampir sebentar untuk mengunjungi rumah ayahnya.
Sebenarnya ia merasa terganggu sekali dibangunkan sepagi ini, tetapi jiwa pendekarnya mengatakan bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
“Ada apa?” katanya sambil membuka pintu kamar.
Yang terkejut sebenarnya adalah Kao Ceng Lun, karena dilihatnya wajah pelayan rumah sudah pucat pasi bagaikan mayat.
“Tuan be…tuan..be..sar…..”
“Ada apa? Tuan besar kenapa?” tanpa menunggu jawaban dari pelayan rumah, Kao Ceng Lun segera bergegas ke kamar ayahnya. Pintu kamar sudah terbuka, dan ada beberapa pelayan yang berdiri di depan pintu dengan wajah pucat pasi, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Wajah Kao Ceng Lun pun berubah seperti ini saat ia melihat apa yang terjadi di dalam kamar.
Ayahnya terbaring di atas tempat tidur dengan berlumuran darah. Lehernya terputus.
Di sebelahnya terdapat jubah merah.
Merahnya jauh lebih merah daripada darah segar.
==========
Musim semi tiba. Salju mencair dengan cepat. Bumi yang beberapa saat lalu seolah-olah tertutup oleh selimut putih, kini berangsur-angsur berubah warna. Tanah mulai terlihat kecoklatan, pepohonan mulai terlihat menghijau.
Musim dingin telah lewat, kini musim semi yang hangat tlah datang.
Seperti juga kehidupan manusia, selalu berganti-ganti setiap waktu. Sedih dan bahagia bertukar tempat setiap saat. Walaupun terasa berat, justru hal inilah yang membuat umat manusia terus berkembang dan bergerak maju.
A San sedang duduk di bawah pohon willow ketika seseorang meneriakan namanya.
“A San! A San! Kita mendapat pekerjaan kali ini”
Tanpa menoleh pun A San sudah tahu bahwa itu adalah sahabat dekatnya, Sam Siu. A San memanggilnya Siu-ko (kakak Sio).
Ia bangkit dari duduknya dengan wajah berseri-seri, “Pekerjaan apa? Di mana?”
“Kita disuruh membangun kolam. Di rumah Yan-wangwe (hartawan)” jawab Sam Siu.
“Aha. Pantas wajahmu berseri-seri” tukas A San tersenyum.
“Haha. Iya. Akhirnya kesempatanku bertemu dengan Niu-Niu akan lebih sering” Sam Siu pun tersenyum.
“Kapan kita sudah mulai bekerja?” tanya A San.
“Besok sudah bisa” jawab Sam Siu. “Eh, bukankah besok adalah tepat 2 tahun kita bertemu?” tanya Sam Siu.
A San berpikir sebentar, “Ya benar. Mungkin ini hadiah dari Thian (langit) untuk persahabatan kita. Harus kita rayakan!” katanya senang.
“Ayo kita pulang ke rumah”
Rumah yang di maksud sebenarnya tidak cukup pantas untuk di bilang rumah. Walaupun bersih, tetap saja masih belum pantas di bilang rumah. Hanya berupa sebuah gubuk reot yang terletak di pinggiran sungai. Terbuat dari bambu dan kayu-kayu kering.
Kedua orang itu duduk di sebuah dipan di depan pintu.
“Walaupun kita tidak punya arak, bahkan secangkir teh pun tidak ada, perayaan ini harus dilangsungkan dengan meriah!” kata A San.
“Tentu saja! Hari ini kita minum air hangat saja. Haha” tawa Sam Siu.
Mereka tertawa-tawa dan menuangkan air hangat itu dari sebuah guci. Air itu diminum dengan bahagia dan penuh rasa syukur. Persahabatan memang harus dihargai. Dan harga yang paling mahal bagi sebuah persahabatan adalah ketulusan.
Musim dingin yang penuh penderitaan sudah lewat. Bagi sebagian orang, musim dingin adalah masa yang penuh kebahagiaan. Baju hangat, permainan salju, makanan-makanan yang jauh lebih nikmat disantap saat musim dingin, kenangan-kenangan romantis yang tak terlupakan. Tetapi bagi golongan yang tidak memiliki apa-apa, musim dingin adalah penderitaan yang paling berat. Hanya kaum miskinlah yang paling mengerti penderitaan semacam ini.
Sam Siu dan A San adalah dua pemuda miskin. Tentu saja mereka paham penderitaan ini.
Mereka menikmati air hangat itu seperti menikmati arak yang paling nikmat. Sore datang menjelang. Matahari perlahan meredup. Mereka masih duduk di depan itu bercerita dengan suka cita.
“Siu-ko (kakak Siu) , mengapa kau tidak memberanikan diri melamar Niu-Niu?” tanya A San.
“Kau ini tolol apa sudah mabuk air hangat? Haha. Mana berani aku melamar putri keluarga kaya seperti dia? Merindukannya saja aku tidak berani” tukas Sam Siu.
Jika ‘rindu’ saja sudah merupakan penderitaan yang berat, apalagi ‘tidak berani merinduinya’? Jika jatuh cinta saja kadang terasa menyakitkan, bagaimana pula dengan ‘tidak berani berkata cinta’?
Jika cintamu sedalam lautan, setinggi gunung tertinggi sekalipun, namun kau hanya mampu memendamnya, menyimpannya rapat-rapat, dan mengubur seluruh perasaanmu terhadapnya, membiarkan perasaanmu membusuk dan mati dengan sendirinya, memangnya hidup seberat apa pula yang tak sanggup kau jalani?
A San tidak berani memikirkannya. Hidup mereka berdua sendiri sudah sangat berat. Makan hanya mengandalkan hasil tangkapan sungai di pinggir gubuk mereka ini. Jika ingin makan nasi, tangkapan ikan itu mereka tukarkan dengan beras. Untuk membeli pakaian atau perabotan rumah pun mereka masih belum mampu. Jika dengan keadaan seperti ini Sam Siu menebalkan muka dan pergi meminang Yan Niu Niu, putri seorang hartawan terkaya di kota itu, maka kemungkinannya hanya dua. Keluarga itu akan tertawa sampai mampus, atau sebaliknya, menangis sampai mampus. Dua-duanya tentu tidak enak.
A San lupa bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan berikutnya, seperti kemungkinan bahwa bisa saja keluarga Yan menggorok leher Sam Siu karena dianggap mempermalukan mereka, dan masih banyak kemungkinan yang lain pula. Tapi tentu saja A San tidak mau berpikir.
“Setidaknya, bertemu dengannya sudah merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku. Suatu kemewahan dan anugrah terindah jika bisa memandang wajahnya yang suci” ujar Sam Siu sambil menatap ke atas langit.
Pertemuan. Bagi sebagian orang, pertemuan adalah hal terindah. Bagi sebagian yang lain, pertemuan hanyalah kebosanan demi kebosanan.
A San hanya bisa mengangguk-angguk. Ia tidak mau berpikir tentang cinta. Lebih tepatnya, ia tidak berani berpikir tentang cinta. Penderitaan manusia sudah terlalu banyak akibat cinta.
Esok harinya pagi pagi sekali kedua orang ini sudah berada di depan gerbang Yan-ceng (perkampungan keluarga Yan). Sebuah ceng yang sungguh luas sekali. Begitu sampai di depan pintu pagarnya, mereka sudah ditegur pengawal,
“Berhenti! Apa keperluanmu?” bentaknya galak.
“Saya Sam Siu dan ini A San. Kami mendapat kerja untuk membuat kolam” jelas Sam Siu.
“Oh? Sepagi ini kalian datang?” tanyanya masih galak.
“Memang kami disuruh datang pagi-pagi sekali” jawab Sam Siu.
“Barang apa saja yang kalian bawa?”
“Kami hanya membawa cangkul, dan guci untuk minum”
Penjaga gerbang itu memperhatikan dengan seksama, lalu berkata, “Baiklah, kalian boleh masuk. A Tung akan mengantarkan kalian”
Ia lalu meneriakkan nama A Tung, tak lama kemudian A Tung muncul.
“Antarkan mereka ke bagian utara, mereka akan membuat kolam di sebelah kamar Niu-siocia” kata si penjaga.
Mendengar kalimat ini, sudah pasti yang paling bersinar-sinar wajahnya adalah Sam Siu. Melihat ini A San menahan tawanya. Sebisa mungkin mereka berdua membuat wajah yang wajar.
Berjalan melintasi Yan-ceng (perkampungan keluarga Yan) ini bagaikan melintasi istana raja. Bangunan-bangunannya sangat indah, terutama bangunan utama. Luas dan sangat asri pula. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka pun memberi senyum yang ramah.
A San memandang wajah sahabatnya. Ia tahu apa yang Sam Siu rasakan. Bagaimana mungkin seorang lelaki kere seperti dirinya akan mampu memiliki Niu-Niu? Seperti ada jarak ‘ratusan tahun’ yang memisahkan mereka. Begitu jauh. Begitu berbeda. Namun kenapa, begitu dekat di dalam hati?
Tak terasa air mata mengambang di pelupuk mata A Man. Ia memang orang yang mudah terharu. Ia juga paham betul, bagaimana menyaktikannya cinta itu. Apakah karena itu kebencian di muka bumi ini begitu banyak? Karena cinta itu menyakitkan, umat manusia lebih cenderung memilih kebencian.
Ia menyentuh punggung sahabatnya itu, mencoba untuk memberi sedikit sokongan kekuatan kepada jiwanya. Sam Siu menatapnya sambil tersenyum. Seyuman pahit yang terasa manis sekali. Tatapan mata Sam Siu seperti berkata, “Aku laki-laki, tentu saja aku akan kuat menjalaninya”
Mereka terus berjalan hingga sampai di tempat yang dituju.
“Ya di sini. Itu tanda-tanda batas untuk kolam sudah ada. Kalian tinggal mengikutinya saja” jelas A Tung. “Aku pergi dulu, jika ada apa-apa cari aku saja”
“Baik, terima kasih kakak” kata Sam Siu sambil tersenyum.
“Mari kita mulai bekerja” katanya terhadap A San.
Kedua orang itu mulai mencangkul dengan semangat. Pekerjaan, bagi mereka adalah suatu anugrah. Dengan hasil itu setidaknya hidup mereka akan sedikit lebih baik ke depannya. Mungkin bisa untuk membeli baju yang pantas, atau makan yang lebih enak. Mungkin juga bisa ditabung sedikit untuk keperluan-keperluan yang akan datang.
Sudah beberapa jam mereka menggali. Lubang sudah sangat besar. Sebenarnya Sam Siu tidak ingin menyelesaikan pekerjaan ini terlalu cepat, agar kesempatan bertemu dengan Niu-Niu bisa lebih lama. Tapi ia berpikir, jika pekerjaan cepat dan memuaskan, maka keluarga Yan akan memanggilnya lagi. Dengan begitu ia masih bisa bertemu dengan Niu-Niu.
Tapi sudah sekian lama mereka bekerja, tanda-tanda bayangan nona yang ditunggu-tunggu masih belum muncul juga. Beberapa pelayan datang membawakan minum dan makanan. Sam Siu berharap Niu-Niu yang datang mengantarkan makanan, tapi itu tentu saja tidak mungkin. Nona besar tentu saja tidak mau melakukan pekerjaan pelayan.
Saat tengah hari, mereka beristirahat. Duduk di bawah pohon plum, mereka beristirahat sambil menikmati santap siang. Santapan siang ini tentu saja sungguh mewah bagi mereka. Pada saat sedang nikmat-nikmatnya makan, terdengar suara yang merdu sekali,
“Eh rupanya Siu-ko yang mengerjakan kolam”
Kedua pemuda itu menoleh.
Pemilik suara semerdu itu memang sangat cantik. Wajahnya cerah, putih kemerah-merahan. Matanya lebar dan bercahaya terang.
Dengan kikuk Sam Siu menyapa pula, “Yan-siocia (nona Yan), apa kabar?”
“Kabar baik. Siu-ko baik pula kah?” katanya sambil tersenyum.
Pantas saja Sam Siu jatuh hati pada nona ini, pikir A San. Wajahnya sungguh tak kalah dengan nona-nona besar di kotaraja.
Sam Siu mengangguk-angguk, “Tentu saja baik, siocia”
“Baiklah. Teruskan makannya ya, aku pergi dulu ada urusan di toko ayah” kata Yan Niu-Niu dengan halus.
“Silahkan nona. Hati-hati di jalan”
Si nona mengangguk sambil tersenyum manis.
Nona cantik itu telah pergi. Sam Siu masih berada di situ. Tapi jiwanya telah melayang mengikuti langkah halus nona itu. Ia masih diam terpaku di tempatnya.
A San memandangnya sambil tersenyum, katanya “Jika Siu-ko terus berdiri seperti ini, kemungkinan besar orang-orang mengira mereka salah pesan patung”
Sam Siu tersadar lalu berkata, “Aih, cantik sekali nona itu. Ini pertama kalinya lagi kita bertemu setelah pertemuan pertama”
“Oh, semenjak Siu-ko menolongnya memperbaiki roda kereta yang patah dulu itu?”
“Iya. Saat itu aku kebetulan lewat dan melihat kereta yang terperosok masuk parit. Untung segera bisa kuperbaiki keretanya. Untung pula nona itu sangat berbaik hati dan mau berkenalan denganku”
“Kejadian itu sudah lama lewat, tapi nona itu masih ingat kepadamu” tukas A San.
“Yaaa. Hal ini saja sudah membuat hatiku sangat senang” ujar Sam Siu gembira.
Mereka duduk dan makan dengan suka cita. Hari itu terasa lebih cerah dan membahagiakan dibanding hari-hari yang lain.
Bukankah sebuah senyuman saja sudah cukup untuk membahagiakan hati orang lain?
Musim semi.
Anginnya sejuk. Sinar mataharinya teduh. Inilah saat ketika bunga-bunga perlahan-lahan mulai tumbuh dan bermekaran. Musim semi adalah saat ketika harapan kembali tumbuh. Saat ketika penderitaan musim dingin telah lewat.
A San selalu suka dengan musim semi.
Musim dingin selalu menyakitkan hatinya. Dua kali sudah ia melewatkan musim dingin di kota kecil itu. Ia baru 2 tahun di sana. Tapi ia sangat mencintai kota itu. Kota kecil yang aman dan damai. Kota ini menjadi tujuan wisata bagi para pelancong di bagian utara Tionggoan.
Ia sudah tidak mau lagi mengingat masa lalunya. Ia ingin menjadi manusia baru. Karena itulah ia memilih tinggal di kota kecil ini. Walaupun kecil, kota ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai macam suku Tionggoan. Suku Han (orang tionghoa asli), Uyghur, Hui, kazak, Tajik, dan Mongol. Mereka hidup dengan damai di kota yang bernama Tihwa ini.
“Mari kita bekerja lagi!” kata Sam Siu dengan bersemangat.
Tak terasa sudah hampir seminggu mereka bekerja. Membuat kolam yang luas dan indah bukanlah pekerjaan yang gampang. Tetapi Sam Siu dan A San bekerja dengan rajin sehingga hasilnya pun sangat baik sekali.
Di hari ke 6, saat mereka sedang beristirahat makan, seorang centeng keluarga Yan menghampiri mereka, “Kalian bisa merawat kuda?”
Sam Siu mengangguk.
Tentu saja bisa. Jika keluarga Yan yang bertanya apa yang bisa Sam Siu lakukan, maka Sam Siu akan menjawab apapun bisa ia lakukan.
Ini nampaknya sudah menjadi rumus.
Dalam hati A San tertawa.
“Baiklah. Pengurus kandang kuda kami mengundurkan diri. Ia dan anaknya entah mendapat warisan dari mana sehingga mampu membeli sawah. Jika kolam ini selesai, maka kalian mendapat pekerjaan tetap mengurus kandang kuda”
Begitulah.
Dari pekerjaan membuat kolam, mereka kini menjadi pengurus kuda. Sam Siu sangat senang sekali dapat bekerja secara tetap di sana. Mereka bahkan diberi ruangan kecil di sebelah kandang kuda-kuda itu.
Kini mereka berdua duduk menatap langit-langit kamar. Walaupun bukan kamar yang mewah, setidaknya masih layak ditinggali manusia. Jauh lebih baik ketimbang gubuk reot mereka sebelumnya.
“Eh, A San, bukankah hidup itu sungguh nikmat?”
Mendapat pertanyaan seperti ini, A San sukar menjawab.
Karena walaupun hatinya tidak bahagia, perasaannya juga tidak sedih. Ia sendiri khawatir hatinya sudah mati. Sudah 3 tahun peristiwa itu terjadi. Sudah 3 tahun ia mencoba melupakannya. Mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sehingga ia akhirnya menetap di kota kecil ini selama 2 tahun.
Herannya, wajah orang yang ingin dilupakannya itu justru semakin terbayang dari hari ke hari.
Meskipun rasa sakit itu hilang, meskipun hidupnya kini terasa tenang, sebuah kenangan tak akan pernah hilang di dalam jiwa manusia.
Manusia yang menjadi kenangan manis, sebenarnya adalah manusia yang beruntung. Setidaknya mereka masih terus berharga walaupun tidak lagi berada di dalam kehidupan orang lain.
“Kau sudah tidur?”
“Belum” jawab A San.
“Lalu kenapa tidak kau jawab pertanyaanku?”
“Aku justru sedang memikirkan pertanyaan Siu-ko (kakak Siu)” jawab A San.
“Pertanyaan seperti ini kan tidak perlu dipikir” tukas Sam Siu.
“Justru setiap pertanyaan memang harus dipikir”
Sam Siu diam sejenak, lalu katanya, “Kau benar”
Ia pun melamun memandang langit-langit.
Tempat tidur mereka cuma berupa sebuah depan lebar. Kasurnya cuma berupa kain yang berisi jerami. Tidurnya pun berhimpitan. Tetapi Sam Siu sungguh bahagia.
Kebahagiaan itu memang sebenarnya selalu sederhana.
A San tersenyum.
“Kurasa memang hidup kita selamanya harus dinikmati. Apa yang ada di depan mata ya dilihat, apa yang di depan mulut ya diendus, apa yang di depan mulut ya dimakan. Perbuatan ini rasanya tidak begitu sulit!”
“Nah!”
“Apalagi jika kau bisa bertemu dengan pujaan hatimu”
“Nah!”
“Setiap hari pula!”
Sebenarnya Sam Siu ingin menjawab “Nah” lagi, cuma saja perkataan A San tadi sedikit mengusik hatinya.
“Sudah 3 hari ini aku tidak melihatnya” kata Sam Siu.
“Dulu, ketika kau belum bekerja di sini, berapa kali kau bertemu dengannya, Siu-ko (kakak Siu)?” tanya A San.
“Tidak pernah”
“Nah! Jika sekarang tidak bertemu 3 hari saja kan bukan perkara yang besar” kata A San sambil tertawa.
“Kau tahu, selama 2 bulan kita bekerja di sini, aku selalu melihatnya setiap hari. Entah itu cuma lewat, atau saat ia ingin menggunakan kuda, atau saat apa saja lah. Walaupun cuma sebentar, setidaknya aku masih bertemu” jelas Sam Siu.
“Kau kan toh belum menikah dengannya, belum hidup sekamar dengannya pula. Jika ia tidak muncul satu dua hari kan tidak masalah” ujar A San.
“Satu dua hari memang tidak masalah. Tapi 3 hari sudah menjadi masalah” kata Sam Siu.
A San sebenarnya ingin tertawa. Tapi ia tidak mampu. Ia paham, Cinta dapat membuat orang sengsara saat tidak bertemu selama 3 hari. Tetapi cinta juga dapat membuat orang bertahan untuk tetap kuat menanti saat pertemuan setelah berpisah bertahun-tahun.
“Coba hari ini kau bertanya-tanya, Siu-ko. Siapa tahu mungkin ia pergi keluar kota, atau sedang sibuk dengan kegiatannya”
“Aku tahu ia tidak pergi keluar kota, dan aku tahu pula ia hanya berdiam di kamar” kata Sam Siu.
“Eh, apakah dia sakit? Bagaimana kau bisa tahu?”
“Setiap hari aku pura-pura melewati kamarnya”
“Jadi sekarang kau sudah berubah menjadi tukang intai dan tukang intip, Siu-ko?” tanya A San sambil tertawa.
Orang yang jatuh cinta memang selalu seperti ini.
Sam Siu tertawa karena perbuatannya ketahuan,
“Setidaknya aku hanya ingin tahu kabarnya saja. Segala perbuatan tidak senonoh tidak pernah kulakukan” jelasnya sungguh-sungguh.
“Aku percaya”
Nona yang setiap hari terlihat di rumah, lincah dan manja, kini mengurung diri 3 hari di dalam kamarnya.
Nona ini mungkin sedang jatuh cinta. Mungkin juga sedang ngambek dan minta kawin. Urusan perbuatan perempuan memang A San sama sekali tidak ahli.
Tapi keadaan ini membuat dirinya tertarik.
Sudah 3 tahun lebih hidupnya tenang. Ia ingin sesuatu yang menarik yang membuatnya bersemangat kembali. Meskipun hanya urusan perempuan yang tidak mau keluar kamar selama 3 hari.
Jika ini menyangkut perasaan sahabatnya, tentu saja ia perduli. Sejak dahulu ia memang sudah seperti itu.
Rembulan di musim semi.
Musim dingin yang panjang sudah lewat. Musim semi telah datang. Musim panas yang menghangatkan pun akan tiba.
Kegembiraan dan kehangatan.
Persahabatan dan persaudaraan.
Yang berlalu sudah berlalu, yang akan datang belum lagi datang. Jika tidak menikmati hari ini, memangnya apa yang bisa manusia lakukan?
A San dan Sam Siu pun tidur sambil tersenyum. Orang-orang seperti mereka, yang hidup dalam keterbatasan, justru kadang-kadang lebih tahu caranya menikmati hidup.
============
Pagi datang menjelang. Cahaya matahari yang hangat menembus celah-celah papan yang merupakan dinding dari bilik kamar mereka. Segelap apapun malam, matahari selalu datang untuk menerangi hari. Seperti pula kehidupan manusia, cahaya selalu datang untuk menerangi gelapnya hidup. Walaupun manusia tidak pernah tahu kapan cahaya itu datang, yang ia perlukan hanyalah kesabaran.
Sabar memang sebenarnya tidak mengenal batas. Jika mengenal batas, maka itu berarti tidak sabar.
A San sudah terbangun dari tadi. Sam Siu juga sudah terbangun. Bagi para pekerja rendahan seperti mereka, bangun pagi adalah kewajiban. Kata orang, semakin rajin bekerja maka rejeki semakin besar yang menghampiri. Sayangnya, banyak sekali orang kaya yang tidak perlu bekerja keras. Sejak lahir sudah kaya 7 turunan. Kadang kekayaan seseorang tidak ada hubungannya dengan seberapa keras ia bekerja.
Ini bukan rumus. Ini hanya beberapa kenyataan yang kita temukan di dalam kehidupan.
Tok Tok Tok!
Di luar seseorang mengetuk pintu. A San segera bergegas membukanya.
Ternyata seorang nona. Masih muda, wajahnya lumayan pula. A San ingat siapa dia. Nona ini adalah pelayan pribadi Yan Niu Niu.
“Selamat pagi nona” tegur A San sambil tersenyum. Sam Siu sendiri sudah muncul di balik punggungnya.
“Aih pemuda macam apa kalian, jam segini baru bangun” cela nona itu sambil tersenyum.
“Hari ini kan hari libur” tukas Sam Siu sambil tersenyum pula. Lanjutnya, “Ada apa nona datang mencari kami?”
“Aku mencari kau” tunjuk nona itu kepada A San.
“Dia?” tanya Sam Siu keheranan.
Si nona hanya mengangguk.
“Aku membawa sebuah berita kepadamu” kata si nona itu tersenyum.
Meskipun wajahnya tidak begitu cantik, ia juga tidak begitu jelek. Perempuan cantik seperti Yan Niu Niu memang suka mencari teman atau pembantu yang berwajah seperti ini. Hanya sekedar agar wajahnya terlihat paling cantik di sebuah kumpulan.
Sam Siu masih mematung. Ia tidak percaya justru nona itu mencari A San dan bukan dirinya.
“Eh, kenapa kau masih di sini?” tanya si nona kepada Sam Siu.
“Memangnya aku harus kemana? Ini kan tempatku” tanya Sam Siu.
“Aih, pantas saja ‘nona’ berkata kau ini laki-laki bodoh” tukas si nona. Kata ‘nona’ yang ia maksud tentu adalah Yan Niu Niu, majikannya.
“Nonamu berkata begitu tentang aku? Aih…..” kata Sam Siu sambil menepuk jidat.
Sambil tersenyum A San berbisik kepadanya, “Siu-ko kau pergilah mandi sebentar, saat kau kembali aku akan menceritakan semuanya kepadamu”
“Baiklah” Sam Siu dengan sedikit linglung pergi dari situ.
“Ada petunjuk apa dari nona?” tanya A San sopan.
Setelah melihat sekeliling dan memastikan tak ada orang yang ikut mendengar, si nona pelayan itu lalu berkata pelan,
“Nona akan menikah”
A San mengangguk, “Apakah Yan-siocia (nona Yan) dijodohkan?” tanyanya.
“Eh, dari mana kau tahu?” tanya nona pelayan itu.
“Jawab saja” tukas A San.
“Iya benar. Kabar ini apakah sudah tersebar di rumah besar ini?” tanya si nona.
“Aku baru mendengarnya darimu” jawab A San.
Sambil memandang A San, bibir si nona pelayan menekuk. Katanya, “Kau tampaknya jauh lebih pintar dari si tolol itu”
“Laki-laki manapun jika jatuh cinta pasti akan jadi tolol. Kau tak perlu mencelanya” kata A San sambil tersenyum kecut.
Lalu katanya, “Katakan pada Yan-siocia, Sam Siu akan menemuinya malam ini. Di dekat kolam di bawah jendela kamarnya, tepat tengah malam”
“Eh?” si nona pelayan tidak sanggup berkata apa-apa. Karena ternyata A San sudah tahu maksud perkataan dan kedatangannya kemari.
Lama ia mematung, lalu berkata, “Jika laki-laki seluruhnya memiliki pengertian seperti kau, kami para perempuan akan sungguh-sungguh bahagia.” Ia lalu pergi sambil tertawa.
A San pun tersenyum, tapi ia merasa kecut hati.
Urusan laki-laki dan perempuan meskipun terlihat sederhana, sesungguhnya jauh lebih berat dari dugaan siapapun. Karena urusan laki-laki dan perempuan hanya terlihat sederhana jika itu menyangkut orang lain. Jika menyangkut diri sendiri, urusan yang terlihat sederhana itu ternyata terasa jauh lebih berat dari urusan langit dan bumi.
Ini nampaknya sudah menjadi rumus semenjak dahulu kala.
Begitu Sam Siu kembali dalam keadaan segar sehabis mandi, A San menceritakan hal ini kepadanya.
“Ia datang dan menceritakan rencana pernikahan ini kepadamu?” tanyanya tidak percaya. “Apakah….apakah…Yan-siocia (nona Yan) suka kepadamu..?”
A San menggeleng sambil tersenyum.
“Jangan-jangan…justru kau..suka kepadanya?” tanya Sam Siu lagi.
A San tertawa.
Sahabat di depannya ini bukan seorang yang tolol. Tetapi kemudian bersikap seperti seorang pikun. Jika bukan karena cinta, seorang laki-laki tak akan berubah seperti ini.
“Yan-siocia memerintahkan pelayannya untuk memberitahukan hal ini kepadamu” jelas A San.
“Lalu kenapa ia tidak menceritakan kepadaku, malah mengusirku pergi?” tanya Sam Siu.
“Justru jika ia langsung menceritakan kepadamu, maka ia boleh dianggap bukan perempuan” tukas A San.
“Aku tidak mengerti maksudmu” kata Sam Siu keheranan.
“Perempuan tidak akan pernah bisa mengungkapkan isi perasaannya kepada laki-laki yang disukainya secara langsung. Cara terbaik adalah menyampaikannya kepada sahabatnya. Biar sahabatnya itu saja yang mengungkapkannya kepada orang yang disukainya.”
“Aih….aku tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka” ujar Sam Siu sambil geleng-geleng kepala. Lanjutnya, “Jadi maksudmu, Yan-siocia, suka kepadaku?”
A San mengangguk.
“Tetapi ia harus menikah dengan orang yang lebih pantas. Aku bisa mengerti” kata Sam Siu tertunduk sedih.
“Ia mengirim pelayannya bukan hanya memberitahukan pernikahannya itu kepadamu. Ia punya maksud lain” jelas A San.
“Apa itu?” tanya Sam Siu penasaran.
“Kau akan mengetahuinya nanti malam. Aku telah membuat janji atas namamu, untuk bertemu dengan Yan-siocia tepat tengah malam nanti”
Sam Siu terbelalak, “Berani betul kau membuat janji ini” wajahnya memperlihatkan raut marah, tetap matanya terlihat senang.
Begitulah.
Kini mereka berdua sudah berada di pasar. A San menemani Sam Siu untuk membeli beberapa keperluan pribadi. Wewangian, pisau cukup, baju baru, dan ikat kepala baru.
Sam Siu menghabiskan hampir seluruh gajinya untuk ini.
Ini kali pertama mereka pergi ke pasar sejak bekerja di rumah Yang-wangwe (hartawan Yan).
A San menggunakan kesempatan ini untuk menikmati suasana sekitarnya. Keramaian ini kadang-kadang terasa syahdu di hatinya. Dengan memperhatikan berbagai orang di sekitarnya, A San menemukan hiburan tersendiri.
Sudah lama ia tidak melatih otaknya. Saat mereka duduk beristirahat di sebuah kedai kecil menikmati teh di pagi hari, A San memulai kesenangannya itu.
Menilai orang yang lewat.
Lelaki itu selingkuh.
Perempuan ini menyukai lelaki di depannya.
Anak muda yang tadi lewat telah mencuri uang milik ibunya.
Pria tua itu ternyata menyukai tetangganya yang jauh lebih muda daripadanya.
Tukang sayur yang lewat tadi, adalah orang kerajaan.
Pengemis itu bukanlah pengemis.
Pelajar yang lewat itu adalah seorang pendekar yang sedang mencari seseorang.
Semua diterkanya dengan tepat. Itulah sebabnya kenapa ia menutup diri dari dunia. Pikirannya selalu cerdas dan tepat dalam memikirkan sesuatu. Hanya dengan memandang sekilas, ia dapat mengetahui kehidupan orang lain, rahasia mereka, perbuatan-perbuatan mereka.
Bagi orang lain, kemampuan seperti ini adalah rahmat yang sangat besar. Bagi dirinya ini seperti kutukan.
Ia dapat menyadari, bahwa saat berbicara dengan orang lain, ia bisa menangkap ketulusan orang itu, maksud orang itu. Jika seorang berkata yang baik terhadapnya, ia bisa mengerti ternyata di hatinya orang itu menyimpan kebencian.
Hari demi hari ia selalu berhadapan dengan kepalsuan manusia.
Hal inilah yang membuat ia mengasingkan diri dari keramaian dan riuh kehidupan. Memutuskan menjadi orang rendahan, terhina, diremehkan. Setidaknya ia bisa merasa diperlakukan dengan adil.
Jika seseorang memujimu dan bersahabat denganmu, tetapi kau tahu ia memiliki kebencian yang mendalam kepadamu. Jika seorang wanita berkata ia mencintaimu, lalu ternyata dihatinya menyimpan kebusukan dan pengkhianatan.
Apa yang bisa kau lakukan?
Menuduhnya?
Lalu jika ia berkilah, apa yang bisa kau lakukan?
Justru kau yang dituduh balik dengan tuduhan yang menyakitkan hati.
Oleh sebab itu, kemampuan yang dimiliki A San ini sebenarnya merupakan kutukan baginya. Ada penderitaan besar yang tak seorang pun bisa mengerti kecuali dirinya.
“Eh, apa yang kau pikirkan?” tanya Sam Siu.
“Tidak ada. Hanya melamun saja” jawab A San. “Kau sendiri pun melamun”.
Mereka berdua tertawa. Persahabatan lelaki yang cukup dalam, memang kebanyakan seperti ini. Masing-masing melamun. Tidak banyak yang diceritakan. Karena tanpa bercerita pun para lelaki sudah mengerti isi hati masing-masing. Kadang para lelaki saling memaki satu sama lain pula. Tetapi justru persahabatan di hati mereka semakin mendalam.
Hal ini berbeda dengan perempuan. Jika bertemu saling memuji dan bercerita dengan ramai. Tapi seseungguhnya masing-masing menyimpan perasaan tidak enak satu sama lain.
Karena itulah persahabatan perempuan tidak pernah bisa lebih dalam dari persahabatan lelaki. Karena itu pula perempuan tidak pernah bisa mengerti mengapa laki-laki lebih suka menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, ketimbang bersama kekasihnya.
Persahabatan di hati laki-laki, kadang lebih tulus, lebih jujur, dan lebih dalam. Walaupun tidak melebihi cinta terhadap kekasihnya, seorang lelaki sering lebih mengutamakan sahabat-sahabatnya.
“Ayo kita kembali. Sudah saatnya memberi makan kuda-kuda” kata A San.
Mereka lalu kembali pulang ke rumah besar milik Yan-wangwe (hartawan Yan). Dalam perjalan pulang, mereka kembali melewati kerumunan pasar.
Di tengah kerumunan yang ramai itu, seseorang menotok punggung A San.
Ia berteriak kesakitan. Tetapi di tengah keriuhan pasar itu tak ada seorang pun yang mendengar. Hanya Sam Siu yang mendengar karena ia kebetulan orang yang paling dekat dengan A San.
“Eh kau kenapa?”
Wajah A San memperlihatkan kesakitan yang amat sangat. Dengan sekuat tenaga ia menahan rasa sakit. Wajahnya terlihat pucat, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya.
“Seseorang menotok punggungku….Aaaaaah”
Sam Siu memapahnya dengan penuh khawatir. Matanya menyapu keadaan sekitar mencoba mencari siapa pelakunya.
Di pasar seramai itu, siapa saja bisa menjadi pelakunya.
A San meringis, “Sekujur tubuhku seperti tersengat! Sakitnya menjalar ke seluruh tubuh! Aaaa….kita..istirahat sejenak…” pintanya.
Akhirnya mereka berdua duduk di salah satu sudut pasar yang agak sepi. A San berusaha menahan sakitnya. Wajahnya bertambah pucat dan tubuhnya menggigil.
“Aku akan membawaku ke tabib!” seru Sam Siu.
“Tidak perlu. Sakitnya sudah mulai menghilang sekarang”
Dengan mengatur nafas A San mencoba bertahan. Setelah beberapa lama, akhirnya ia berkata,
“Ayo kita pulang”
“Kau yakin sudah kuat?” tanya Sam Siu
A San hanya mengangguk. Mereka kemudian berjalan pulang. Jarak pasar dan rumah keluarga Yan sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi karena perjalanan di lakukan dengan perlahan, sampai juga mereka di hadapan gerbang rumah megah itu. Rumah ini juga disebut ‘Ceng’ (perkampungan), karena terdiri dari kumpulan beberapa rumah, dan sebuah rumah induk yang besar. Kaum hartawan, pejabat, dan golongan terkemuka di Tionggoan (China daratan) selalu memiliki perkampungan, atau ‘Ceng’ seperti ini.
Sesampai di depan gerbang, terlihat penjaga gerbang sedang memarahi sekumpulan pengemis.
“Pergi kalian! Tiap hari duduk saja di sini! Jika diberi terus akan jadi kebiasaan! Dasar pemalas!” bentak sang penjaga.
“Eh, kakak Soh, ada apa kok marah-marah begini?’ tanya Sam Siu.
“Ini para pengemis. Sudah beberapa hari ini selalu datang. Setelah dikasih bukannya pergi malah terus nongkrong di depan sini. Mengganggu pemandangan saja!”
“Sudah sejak kapan mereka berada di situ terus, kakak Soh?” tanya A San sambil terbata-bata
“Sudah 4-5 hari ini. Eh, kenapa kau?”
“Aku terjatuh tadi menghindari kuda” jawab A San sambil meringis.
“Ah, kau sih tidak hati-hati. Kau sudah ke tabib?”
A San dan Sam Siu mengangguk.
Mereka lalu masuk dan menuju bilik mereka di bagian paling belakang di rumah yang sangat luas itu. Sam Siu membaringkan A San ke dipan kayu.
“Istirahatlah. Aku akan memanaskan air untukmu. Di kebun ada beberapa daud yang bisa ku masuk jadi obat” kata Sam Siu penuh perhatian.
A San mengangguk sambil tersenyum pahit. Ia sungguh tidak ingin merepotkan sahabatnya. Sambil berbaring ia menutup matanya. Mencoba memikirkan apa yang baru saja di alaminya.
Apa maksud semua ini? Otaknya berpikir keras.
Otaknya adalah otak yang sangat dihormati di kalangan Bu Lim (orang persilatan). Hanya saja otak ini sudah beberapa tahun sengaja tidak diasahnya.
Guna otak adalah untuk berpikir.
Dan pikiran manusia adalah sumber dari kekhawatiran dan kepedihan hati.
Selama ini A San tidak mau berpikir lagi. Tapi kini ia ingin berpikir. Tiba-tiba semangatnya terbakar lagi. Setelah sekian lama ia bersembunyi di balik topeng ketidakberdayaan.
Sam Siu datang membawa beberapa lembar dedaunan. Air sudah dipanaskannya sebelum pergi tadi. Sambil menunggu air itu matang, Sam Siu menumbuk dan menghancurkan dedaunan itu.
“Kau yakin seseorang menotokmu?” tanya Sam Siu.
“Sebenarnya aku tidak yakin. Karena setelah ku toleh, tidak ada seorang pun di belakangku” jelas A San.
“Nah! Aku pun berpikiran yang sama.” Tukas Sam Siu sambil memandang A San dalam-dalam.
A San pun memandangnya.
“Nanti sore ku antarkan kau ke tabib” tegas Sam Siu.
A San mengerti maksud Sam Siu. Sahabatnya ini mengira mengidap sebuah sakit parah.
“Kau benar. Aku memang menderita sakit” kata A San.
“Sakit apa?” tanya Sam Siu penuh perhatian.
“Sejak kecil aku mengidap sejenis ayan. Datang menyerangnya pun tidak menentu. Terkadang bertahun-tahun aku tidak terserang. Tetapi jika kadang menyerang, bisa dalam beberapa kali” A San merasa pedih jika harus berbohong terhadap sahabatnya.
“Kau sudah mencoba berobat?” tanya Sam Siu.
“Sudah. Kata tabib yang dulu, penyakit ini tidak berbahaya, namun memang tidak bisa disembuhkan seluruhnya. Jika berbaring istirahat dan meminum obat-obatan, dalam beberapa hari aku akan sembuh” jelas A San.
“Mengapa kau berbohong kepadaku dan mengatakan ada orang yang menotokmu?”
Walaupun mereka bukan ahli silat, siapapu di jaman itu pernah mendengar tentang ilmu totok. Ilmu ini adalah ilmu yang harus dimiliki semua pendekar Kang Ouw (dunia persilatan).
“A..aku…malu mengakui memiliki penyakit ayan…” jawab A San penuh penyasalan.
“Aih….terhadap seorang sahabat masa kau malu mengakui kekuranganmu. Penyakit toh bukan hal yang memalukan. Aku akan ke tabib sekarang. Memintanya datang memeriksamu”
“Tabib mahal, kita tidak mampu membayarnya” kata A San. “Walaupun tabunganku masih ada, aku akan menggunakannya untuk keperluan lain”
“Keperluan lain?” alis Sam Siu terangkat. “Aku masih punya sisa uang sedikit” katanya.
“Jika kau menggunakan uang itu untuk memanggil tabib dan membeli obat, aku tak akan meminumnya. Kita kan masih punya beberapa obat-obatan yang bisa dibuat sendiri.” Kata A San.
“Kau kenapa begitu keras kepala?” Sam Siu hanya bisa menggelengkan kepala.
“Sakitku ini hanya sakit kambuhan. Satu dua hari sudah hilang. Kenapa justru kau yang terlalu khawatir?” tukas A San sambil tersenyum.
Sam Siu berkata, “Baiklah. Jika dalam 3 hari kau tidak membaik. Aku akan memanggilkan tabib. Jika kau tidak meminum obatnya, kan ku robek mulutmu dan memasukan obat itu dengan paksa. Kau mengerti?”
A San tertawa pahit. “Kuda-kuda sudah memanggilmu karena lapar. Jika kau terus berkhotbah di sini, aku takut mereka akan datang ke sini dan menendang pantatmu”
“Aih…Iya, aku lupa. Kau sih merepotkan. Haha” ia tertawa sambil bergegas ke kandang kuda.
A San kembali berbaring. Sambil berpikir, paling asik jika ditemani arak. Sayang mereka tidak punya arak. Setiap hari mereka memang minum arak. Tetapi arak itu adalah jatah sehabis makan yang diberikan oleh rumah itu. Tidak bisa diambil seenaknya.
Jika sudah ingat arak, ia selalu ingat sahabat-sahabatnya. Apa kabar mereka sekarang? Semoga terus bahagia.
Ia tersenyum, tetapi matanya berair.
Seseorang jika mengingat sahabatnya yang jauh, akan selalu seperti ini.
Meskipun kini ia jauh dari mereka, ia yakin mereka tidak melupakannya dan selalu mendoakannya. Karena ia pun begitu. Selalu mengingat dan mendoakan mereka.
Kini ia pun telah memiliki seorang sahabat dekat. Biarpun baru kenal beberapa tahun, ketulusan dan kebaikan hati sahabatnya itu tidak pernah ia ragukan. Ia memang tidak pernah meragukan sahabat-sahabatnya. Karena itu orang yang benar-benar bisa menjadi sahabatnya, hanya bisa dihitung dengan jari.
Orang yang mengenalnya sungguh banyak. Ia pun banyak mengenal orang. Tetapi yang benar-benar ia anggap sahabat, hanya terdiri dari beberapa orang saja.
Ia sanggup mati dan menderita untuk orang-orang ini. Karena ia tahu, mereka pun sanggup mati dan menderita untuk dirinya.
“Sepertinya nanti malam, aku tidak jadi bertemu dengan Yan-siocia” tukas Sam Siu sambil dari luar jendela.
“Kenapa? Kau sudah gila?’ tanya A San.
“Jika malam nanti kau terserang penyakit lagi, tidak ada orang yang mengurusmu” tegas Sam Siu.
“Aih, aku kan sudah bilang Siu-ko (kakak Siu), penyakit ini hanya kadang-kadang saja datang”
“Justu karena kadang-kadang saja itu maka harus mendampingimu. Kau yakin nanti malam tidak terserang?”
“Yakin!”
Sam Siu lalu memunculkan kepala di jendela. “Aku justru tidak yakin!’
Sambil tertawa A San menukas, “Haha. Kau mengaku saja tidak berani bertemu dengan nona kita itu”
“Eh, aku bukan kalangan Kang Ouw (persilatan) yang bisa kau pancing-pancing dengan kata ‘tidak berani’” katanya sambil tertawa pula.
Kata ‘tidak berani’ adalah kata yang paling tabu di dunia persilatan. Seseorang lebih suka dimaki-maki daripada dituduh ‘tidak berani’.
“Jika kau tidak berani pergi, aku saja yang akan pergi” sahut A San.
“Pergi saja jika kau berani” Sam Siu tertawa.
“Lihat saja nanti”
Dari kejauhan, di balik pepohonan kebun yang lebat, sepasang mata menatap kedua sahabat itu dari kegelapan bayang-bayang.
Ia nampaknya cukup puas melihat A San terbaring lemah, sedangkan Sam Siu harus bekerja sendirian. Lalu sepasang mati itu menghilang dari sana.
===========
Malam lalu menjelang. Rembulan muncul dengan indahnya. Bintang-bintang menghiasi langit yang gelap. Seorang laki-laki menanti saat bertemu dengan pujaan hati.
“Tenang saja. Semua akan berjalan dengan baik” kata A San sambil tertawa.
“Bagaimana mungkin, seorang tukang kuda yang janjian bertemu dengan tuan putri majikannya, di tengah malam pula.” Sam Siu hanya bisa geleng-geleng kepala tidak percaya. “Mengapa kau memilih waktu seperti itu?”
“Justru waktu-waktu itu kan lebih seru dan menegangkan. Heheh.” sahut A San.
“Aku yang tegang, kau yang santai-santai saja”
“Kan kau yang bertemu kekasih hatimu, Siu-ko (kakak Siu), aku hanya membuka jalan saja” tukas A San.
“Tapi jalan yang kau buka sungguh merepotkan”
“Perempuan justru menyukai hal yang menegangkan dan berbahaya” ujar A San.
“Benarkah?”
A San mengangguk, “Semakin seorang laki-laki berani menempuh bahaya demi perempuan, rasa tertarik perempuan itu akan semakin besar kepadanya”
Lanjutnya, “Perempuan menyukai hal-hal yang menimbulkan penasaran. Menyukai laki-laki yang tegas dalam melakukan semua hal. Walau di luarannya mereka merengut dan mencibir, di dalam hati perempuan justru bertambah senang terhadap lelaki semacam itu”
“Karena itulah, laki-laki yang terlihat berandalan, terlihat acuh tak acuh, terlihat sedikit berbahayalah yang paling sering menarik hati perempuan. Laki-laki brengsek yang bergandengan tangan dengan perempuan cantik kan sudah bukan pemandangan yang asing, bukan?” jelas A San.
Sam Siu hanya manggut-manggut sambil mendengarkan. “Kau tampaknya sangat mengerti urusan ini. Coba jelaskan lebih lanjut. Aku tertarik mendengarkannya”
A San tersenyum, “Asal kau tidak mengantuk saat aku bercerita”
“Aku janji!” kata Sam Siu bersungguh-sungguh.
“Untuk memahami perempuan, kau harus memahami sejarah sejak jaman purbakala.”
Lanjutnya,
“Jaman purbakala, laki-laki bertugas berburu, mencari makan, dan menyediakan segala kebutuhan rumah tangga. Yang perempuan bertugas di rumah, menjaga segala persediaan, dan merawat anak. Oleh karena itu, perempuan jaman purba selalu mencari laki-laki yang tangguh dalam berburu. Yang paling bisa menyediakan kebutuhan lah yang paling diminati. Lelaki seperti ini adalah lelaki yang gagah, tegap, tinggi, dan tenang. Karena perempuan mencari ketenangan. Mereka butuh perlindungan dari makhluk buas dan gangguan lainnya.”
Sam Siu memotong, “Cerita ini sudah aku dengar sebelumnya”
“Baiklah” tukas A San, “Untuk mempersingkat cerita, pemahaman ini kemudian turun menurun sampai sekarang. Tetapi karena kehidupan manusia berkembang, jenis lelaki kemudian berkembang pula. Lelaki yang tidak punya keberanian, tidak percaya diri, tidak bisa menghidupi wanita, tentu saja tidak diminati”
“Karena perkembangan ini, jenis lelaki kemudian bermacam-macam, dan yang dicari perempuan kemudian terbagi menjadi 2 jenis” jelas A San.
“Apa itu?”
“Yang pertama tipe petualang. Warisan pemikiran wanita purbakala masih berpengaruh di sini. Jenis laki-laki petualang adalah laki-laki yang gagah, tegas, menyukai bahaya, hidupnya bebas dan menarik. Ia berpetualang mengarungi hidup dengan bebas. Agak sedikit kasar, kadang malah suka mempermainkan wanita” ujar A San.
“Mempermainkan wanita? Mengapa wanita suka dengan laki-laki yang suka mempermainkan mereka?” tanya Sam Siu heran.
“Justru ini uniknya wanita. Laki-laki seperti ini memang terlihat brengsek, tapi sangat menawan di mata mereka. Mungkin karena lelaki seperti ini adalah bagaikan piala kemenangan. Semakin banyak wanita yang ia taklukkan, semakin banyak pula wanita lain yang tertarik kepadanya. Rasa penasaran perempuan adalah titik kelemahan kaum perempuan. Mereka tidak boleh merasa penasaran. Jika laki-laki pandai membuat perempuan penasaran, maka perempuan akan semakin tertarik kepadanya.” Jelas A San.
“Hmmmm” Sam Siu manggut-manggut. “Bagaimana cara membuat penasaran?”
“Dengan cara mempermainkan mereka. Ini terdengar kejam dan tidak bertanggung jawab. Tapi inilah satu-satunya cara. Semakin pintar laki-laki mempermainkan perasaan perempuan, semakin banyak pula perempuan yang tertarik kepadanya. Ini sebuah pertentangan yang lucu, tapi demikianlah adanya. Semakin laki-laki tidak memperdulikan perempuan, semakin perempuan itu tertarik untuk membuktikan dirinya kepada laki-laki itu. Oleh karena itu seorang laki-laki yang pintar tidak akan mencurahkan segala hatinya terhadap perempuan. Ia harus pandai-pandai bersikap dan membuat perempuan penasaran terhadapnya”
Apakah karena hal inilah, perempuan selalu mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan selalu menyakiti laki-laki yang mencintainya?
Entahlah.
A San terdiam sebentar. Sam Siu pun terdiam. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.
Hanya cinta yang mendalam yang mampu membuat seorang laki-laki terdiam dan tak mampu berkata-kata.
“Lanjut” kata Sam Siu tersenyum.
“Nah. Perempuan yang masih muda, yang baru saja menjelejahi kehidupan, yang tertarik dengan hal-hal yang menggerakkan hatinya, akan selalu tertarik dengan laki-laki seperti ini. Laki-laki yang penuh bahaya dan petualangan. Yang memperkenalkannya kepada hal-hal baru.”
Hal-hal ‘baru’.
Mungkin karena rasa ingin tahu terhadap hal-hal ‘baru’ inilah, begitu banyak perempuan kehilangan ‘kesuciannya’ kepada laki-laki yang ‘brengsek’.
Cinta saja tak akan membuat perempuan menyerahkan segalanya. Seorang wanita harus merasa tertarik dan penasaran agar ia mampu melakukan apa saja.
Oleh karena itu, banyak perempuan yang meninggalkan cinta sejati, demi mengejar bayang-bayang yang membuat ia tertarik dan penasaran.
Karena hal ini pulalah banyak wanita dan laki-laki yang menderita di dunia ini.
Laki-laki yang paham hal ini akan sanggup memanfaatkan keadaan. Laki-laki yang tidak paham akan menderita selamanya.
“Jadi untuk mendapatkan cinta perempuan, aku harus berlaku seperti ini?” tanya Sam Siu.
“Kau tidak harus benar-benar brengsek. Kau hanya perlu berpura-pura brengsek. Kau harus selalu melatih dirimu untuk mengetahui batas-batas brengsek itu sampai di mana. Karena setertarik apapun perempuan kepada laki-laki jenis petualang ini, ia akan lebih tertarik lagi kepada jenis yang kedua” jelas A San.
“Jenis apa itu?”
“Jenis ‘penyedia’. Laki-laki seperti ini walau tidak segagah dan semenarik jenis petualang, akan jauh lebih memikat perempuan. Jenis ‘penyedia’ ini adalah jenis yang punya pekerjaan tetap yang bagus, mempunyai penghasilan yang sangat besar, dan mampu memberikan segala keinginan perempuan”
“Maksudmu kaya raya?” tanya Sam Siu.
“Benar. Ada berapa banyak perempuan yang meninggalkan laki-laki tampan demi menikah dengan laki-laki yang kaya raya? Banyak perempuan yang menyangkal hal ini, tapi hal ini sudah berlaku semenjak jaman dahulu kala. Di ribuan tahun mendatang pun hal ini akan tetap berlaku. Karena hal ini sudah tertanam di dalam pikiran wanita. Mereka butuh ketenangan dalam hidup. Butuh kasih sayang. Butuh dimanjakan. Butuh segala keperluannya terpenuhi. Dan hanya laki-laki yang punya uang yang sanggup melakukannya. Semakin kaya seorang laki-laki, semakin banyak pula perempuan mengerebutinya”
“Bahkan jika laki-laki kaya itu tua, dan buruk rupa?” tanya Sam Siu.
A San mengangguk.
Ini adalah kenyataan.
Seseorang dapat menyangkalnya.
Tetapi cerita tentang orang yang menyangkal kebenaran bukanlah hal baru di dunia ini.
“Bagaimana jika seorang laki-laki tidak termasuk ke dalam dua jenis ini? Bukan jenis ‘petualang’, dan bukan jenis ‘penyedia’ pula?” Sam Siu kembali bertanya.
“Ia harus berubah”
Sebuah jawaban yang sangat singkat dan sederhana.
Jika kau tak sanggup mengejar cinta, buatlah agar cinta datang mengejarmu.
Caranya sederhana. ‘Berubah’.
Walaupun kata ini terdengar amat sangat sederhana, tetapi melakukannya adalah hal yang sangat sulit. Karena sifat seseorang sudah merupakan watak yang ia dapatkan sejak lahir, dan kemudian terbentuk oleh lingkungan sekitar.
Tapi demi cinta dan kehidupan yang lebih bahagia, ‘berubah’ adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.
Seorang laki-laki miskin dan tidak menarik, di masa depan dapat berubah menjadi kaya raya dan menawan karena sebelumnya terluka oleh cinta
Cerita ini pun bukan cerita baru.
Perempuan yang tak menarik dan terhina di masa lalu, kemudian berubah menjadi cantik menawan pun sejak dahulu sudah ada di dunia ini.
Cerita ini pun bukan cerita baru.
Ketika hidup menderita, kau harus berubah.
Kau tak dapat menanti seseorang datang di dalam hidupmu dan menyelamatkanmu dari jurang penderitaan. Satu-satunya orang yang sanggup menolongmu adalah dirimu sendiri.
Karena itulah seseorang harus berubah menjadi lebih baik. Perubahan mungkin akan memakan waktu yang lama, tetapi jika seseorang telah melakukannya, waktu yang lama dan segala kesulitan yang harus ditempuhnya akan berbuah manis.
Cinta dapat merubah seseorang.
Kepedihan pun dapat merubah seseorang. Kadang perubahannya sangat menyedihkan, namun tak jarang perubahannya sangat indah dan mengagumkan.
Dirimu sendirilah yang memutuskan apakah ingin berubah menjadi menyedihkan, atau berubah menjadi mengagumkan.
Ada cahaya di mata Sam Siu. Segala keraguan dan kerisauannya sirna. Wajahnya bersinar terang.
“Lanjutkan lagi” pintanya.
“Perempuan pada akhirnya, akan memilih lelaki jenis ‘penyedia’. Karena mereka tahu, semakin umur mereka bertambah, kecantikan mereka akan memudar. Tubuh mereka tak akan seindah dulu. Oleh karena itu mereka akan mencari lelaki yang bisa memberikan ketenangan dan penghidupan yang layak kepada mereka. Banyak sekali perempuan yang meninggalkan kekasihnya karena hal ini.”
Lanjutnya, “Tetapi perempuan adalah perempuan. Mereka selalu mengikuti perasaan dan selalu menomerduakan akal. Saat mereka telah hidup tenang dengan laki-laki ‘penyedia’, timbul lah rasa bosan. Karena perempuan mudah sekali bosan. Kau harus selalu memperkenalkan hal baru kepadanya. Suasana baru, tempat makan baru, taman baru, tempat jalan-jalan baru. Jika semua berjalan apa adanya saja setiap saat, ia akan merasa bosan. Bahkan jika ia sudah hidup tenang dan harta yang berkecukupan pun, pada akhirnya ia akan merasa bosan”
“Karena perempuan selalu tertarik dengan tantangan, cerita-cerita yang menggugah perasaan, kehidupan menarik yang tidak membosankan. Laki-laki yang merasa aman hanya dengan memberi kebutuhan sehari-hari dan uang kepada perempuan, pada akhirnya akan menyesal”
“Watak perempuan yang mudah terbawa perasaan, akan membuatnya mencari hal dan tantangan baru. Di saat inilah, ia akan berani melakukan hal-hal yang melanggar. Karena jiwa dan batinnya haus oleh hal-hal yang membuatnya penasaran. Karena watak inilah, perempuan kemudian tertarik lagi kepada laki-laki jenis ‘petualang’. Dan berhubung laki-laki jenis ‘petualang’ ini menyukai tantangan pula, maka gayung kemudian bersambut. Pengkhianatan pun terjadi. Berawal mula dari sekedar sering bertemu, lalu sapa-menyapa, lalu kemudian bertemu berdua, lalu terjadilah hal-hal yang kau tahu sendiri apa itu. Perempuan tua yang menyimpan kekasih muda. Atau seorang istri yang berhubungan dengan kekasih lama, segala macam” ujar A San.
Sam Siu terheran, “Lalu jika menjadi jenis ‘petualang’ salah, dan menjadi jenis ‘penyedia’ pun salah juga, seorang laki-laki harus bagaimana?”
“Harus menjadi kedua-duanya. Menjadi ‘petualang’ dan ‘penyedia’.” Jawab A San.
“Lelaki seperti ini ada pula?” tanya Sam Siu heran.
“Ada. Bahkan lelaki jenis ini begitu memikatnya sampai-sampai segala jenis perempuan akan bertekuk lutut kepadanya. Mereka benar-benar tahu memainkan hati dan perasaan wanita dengan cara yang paling pas. Mereka tahu bagaimana bersikap acuh, namun penuh perhatian. Mereka tahu bagaimana bersikap sopan, namun juga sedikit mengejek dan menggoda. Mereka tahu cara memberikan rasa aman, namun menawarkan tantangan-tantangan seru. Mereka tahu cara berdandan sembarangan namun terlihat rapi dan menggemaskan di mata perempuan. Mereka begitu paham batas-batas sampai di mana membuat perempuan penasaran, tertarik, dan merasakan ‘bahaya’, tetapi juga mampu memberi keamanan, kenyamanan, dan penghidupan” jelas A San.
“Lelaki seperti ini seperti dewa” kata Sam Siu sambil tertawa.
“Walaupun terdengar seperti dongeng, lelaki seperti ini betul-betul ada di dunia nyata”
“Bisa kau sebutkan siapa?”
“Apakah kau pernah mendengar tentang pendekar Butong-pay bernama Beng Liong?”
“Ya. Siapapun di dunia ini mengenalnya. Ia kan yang berusaha memberontak dan membunuh kaisar.” Jawab Sam Siu.
“Benar. Menurut cerita yang terdengar, aku mengambil kesimpulan bahwa ialah contoh nyata jenis lelaki bagaikan dewa itu. Ia sangat tampan. Pakaian yang dipakainya selalu serasi. Pembawaannya tenang. Tubuhnya wangi. Wangi yang lembut namun tidak menusuk hidung. Ia begitu acuh, namun sopan kepada perempuan. Ia pun sangat hebat dalam ilmu silat” ujar A San.
“Ah kau memujinya seolah-olah dia adalah pahlawan. Dia kan penjahat besar. Aku lebih tertarik dengan pahlawan sesungguhnya, Cio-Hongswee (jenderal phoenix bermarga Cio), kau tentu tahu nama ini”
Dada A San bagai tertusuk sembilu. Tentu saja ia tahu nama ini. Nama ini bahkan coba dilupakannya selama beberapa tahun ini.
Dengan menahan perasaan, A San menjawab sambil tersenyum, “Tentu saja”
“Nah, bagiku dialah contoh lelaki sejati. Seorang enghiong (ksatria), seorang Kuncu (lelaki sejati). Melakukan hal-hal besar namun tetap rendah hati. Sayang kabarnya tidak terdengar lagi. Ia bagai hilang ditelan bumi”
A San hanya mengangguk. Ia memang tak sanggup mengatakan apa-apa.
“Eh dari tadi kita membahas perempuan, coba sekarang kita membahas laki-laki” kata A San mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Baik” kata Sam Siu. “Sejak tadi kau memang hanya menjelek-jelekkan perempuan. Laki-laki kan banyak yang brengsek pula”
“Oh tentu saja. Laki-laki yang brengsek sama jumlahnya dengan perempuan yang brengsek.” Tukas A San sambil tertawa lepas.
“Coba kau jelaskan apa saja kekurangan dan kelebihan laki-laki” pinta A San.
“Jika perempuan hanya bisa mencintai satu orang lelaki di dalam setiap masa di dalam hidupnya, laki-laki justru mampu membagi cintanya” jelas A San.
Lanjutnya, “Jika perempuan jatuh cinta, ia akan jatuh cinta pada seorang saja. Jika saat jatuh cinta itu ia telah memiliki seorang kekasih, maka cintanya pada kekasih itu akan menghilang lenyap, berpindah kepada lelaki baru yang membuatnya jatuh cinta. Pada saat itu, seorang perempuan akan berani meninggalkan kekasihnya yang lama dan berpindah kepada kekasih yang baru. Jika ia belum yakin benar bahwa ia bisa hidup dengan kekasih yang baru, ia akan mempertahankan kekasih yang lama sampai ia sudah yakin benar. Jika saat itu tiba, ia akan meninggalkan kekasih yang lama”
“Kalau laki-laki?” tanya Sam Siu.
“Kalau laki-laki, berani hidup bersama kedua-duanya. Seorang laki-laki dapat hidup dengan kekasih yang lama, sambil menyimpan kekasih baru diam-diam selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu banyak laki-laki yang mempunyai banyak istri dan simpanan sekaligus”
“Perempuan yang punya simpanan kan juga banyak?”
“Oh ya, tapi kebanyakan melakukan itu bukan karena cinta, melainkan karena penasaran dengan tantangan. Jika harus memilih, pada akhirnya mereka akan tetap memilih suami mereka yang mampu menghidupi mereka.”
“Apa lagi kekurangan laki-laki?”
“Kebanyakan laki-laki itu pemalas. Bukan dalam artian malas bekerja, tetapi malas melakukan hal-hal yang baru. Saat merasa hidupnya sudah tenang, laki-laki betah melakukan hal yang itu-itu saja sepanjang hayatnya. Dan hal inilah yang memancing perempuan untuk mencari hal-hal baru”
“Jadi jika ada perempuan berbuat seorang, ini adalah kesalahan laki-laki?” tanya Sam Siu.
“Tidak salah. Laki-laki harus membahagiakan perempuan. Jika tidak sanggup, maka jangan salahkan perempuan mencari kebahagiaan lain”
“Tetapi bukankah hal ini sungguh kejam?” tanya Sam Siu lagi.
“Di mata perempuan, justru jika laki-laki tidak sanggup membahagiakannya, laki-laki itu lah yang kejam”
Kejam atau tidak kejam, salah atau tidak salah, semua adalah persoalan sudut pandang.
Lelaki yang miskin dan bodoh, adalah salah dirinya sendiri. Kenapa ia tidak belajar dan bekerja keras?
Tetapi bukankah miskin dan kaya ditentukan oleh takdir?
Benar.
Tetapi lapar pun ditentukan oleh takdir. Manusialah yang memutuskan apakah ia mau berusaha untuk mencari makan dan mengisi perutnya.
Karena takdir adalah sebuah pemahaman yang amat sangat luas, manusia baru hanya akan mengetahui takdirnya saat takdir itu sudah terjadi, dan saat ia sudah mati.
Selama ia masih bernafas, selama itulah ia bisa berusaha membentuk takdirnya sendiri. Karena jika Thian (Langit) memberi kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk memilih, bersikap dan berbuat, mengapa tidak memilih untuk berusaha menjadi kaya, pintar, dan berhasil?
Gagal atau berhasil baru ditentukan sesudah mati.
Percakapan yang panjang ini benar-benar membuka pikiran dan hati Sam Siu, dengan wajah yang cerah ia berkata, “Nampaknya sudah banyak sekali hal yang terjadi di dalam hidupmu sehingga kau mampu bercerita seperti ini”
A San hanya tertawa. Hidup masih panjang, cerita yang akan ia alami di masa depan pun mungkin akan jauh lebih dalam dan menghujam daripada apa yang telah ia alami sebelumnya.
Tetapi cerita itu pun belum terjadi. Maka lebih baik ia menikmati saat-saat sekarang ini dengan tenang dan bahagia.
Badai akan datang di kehidupan setiap manusia. Bagaimana kau bertahan di dalam badai itulah yang menunjukkan siapa sebenarnya dirimu.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Di luar terdengar petugas keliling yang meneriakan waktu (di jaman itu, memang ada sejenis petugas ronda yang berkeliling meneriakkan waktu saat itu).
“Sudah tengah malam” kata Sam Siu.
A San memandangnya. Lalu tersenyum.
Kadang yang bisa kau lakukan untuk seorang sahabat adalah memberikan senyummu yang paling tulus. Kadang pula yang sahabatmu perlukan darimu hanyalah sebuah senyuman yang tulus pula.
Senyum memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas yang tak terpikirkan umat manusia.
A San bangkit dari pembaringan, dengan susah payah ia berusaha memberikan tepukan kecil di pundak sahabatnya itu. Dan sahabatnya pun mengerti bagaimana perjuangannya hanya untuk bangkit dari pembaringan dan memberikan tepukan kecil itu.
Hal yang paling kecil sekalipun, jika diberikan dengan tulus dan sepenuh hati, akan bernilai sangat besar di hadapan orang yang memahaminya.
Sam Siu paham.
Oleh karena itu ketakutan dan keraguannya hilang sepenuhnya.
Jika ada cerita tentang jongos pengurus kuda yang memberanikan diri bertemu dengan nona majikannya yang cantik di tengah malam buta, maka cerita ini sungguh akan mendapat tertawaan dan cibiran dari berbagai kalangan.
Tetapi cerita ini manis dan naif.
Segala cerita yang manis dan naif akan selalu berharga di masa depan saat seseorang sudah tua dan kesepian. Cerita-cerita ini semacam inilah yang akan menghangatkan hati dan tubuhnya saat ia menjalani musim dingin yang panjang. Sendirian.
Cerita ini menjadi kenangan abadi yang menunjukkan keberanian masa muda, serta dalamnya perasaan cinta. Walaupun bodoh, perbuatan seperti ini tidak pernah bisa disalahkan. Umat manusia bisa lahir, tumbuh, dan berkembang adalah karena cerita-cerita bodoh semacam ini.
Jika bodoh itu berarti tulus, seseorang tidak perlu malu karena berbuat bodoh.
Jika jatuh cinta itu bodoh, seseorang pun tidak perlu malu untuk jatuh cinta.
Jika setia itu bodoh pula, seseorang pun tidak perlu malu untuk selalu setia.
Sam Liu berangkat dengan gagah. Sahabatnya telah melepas kepergiannya dengan mantap. Seorang wanita yang dicintainya sedang menunggunya di balik jendela kecil kamarnya yang wangi merona.
Apa lagi yang dibutuhkan seorang laki-laki?
===========
Sam Siu melangkahkan kakinya dengan mantap namun perlahan. Di tengah malam seperti ini, walaupun hampir seluruh penghuni ‘Ceng’ ini sudah tidur, masih banyak penjaga yang berkeliling di dan berjaga. Rumah seluas dan sebesar ini memang harus dijaga dari segala kemungkinan kejahatan seperti pencuri atau perampok.
Setelah beberapa bulan tinggal di sana, Sam Siu sudah paham letak-letak penjagaan. Karena itu dengan mudah ia bisa menyelinap kesana kemari. Ia pun sengaja membeli baju baru berwarna hitam. Minyak wangi masih belum dipakainya, khawatir jika tercium para pengawal.
Tak butuh lama baginya untuk sampai ke bawah jendela sang nona pujaan hati. Tetapi perjalanan yang singkat itu baginya bagaikan perjalanan bertahun-tahun.
Jendela mungil itu terbuka sedikit. Di sebelahnya terdapat kolam yang indah yang dulu dibuatnya bersama A San. Untunglah di bawah jendela di samping kolam, terdepat sedikit jalur yang bisa dipakainya untuk berjalan.
Sam Siu kini tepat di bawah jendela yang tidak cukup tinggi itu. Dengan mengendap-endap, ia merepatkan tubuhnya ke tembok, lalu mendekatkan kepalanya ke jendela itu.
“Yan-siocia (nona Yan)….Yan-siocia” bisiknya lirih.
Jendela itu terbuka lagi sedikit. Terlihat sebuah bayangan yang menengok keluar. Kamar nona ini gelap sehingga Sam Siu tidak bisa memastikan bayangan siapa itu. Tapi jantungnya sudah berdegup kencang.
Cinta dapat membuat seseorang mengenal orang yang dicintainya walaupun di tengah bayang-bayang kegelapan.
Tetapi kadang cinta begitu membutakan sehingga kesalahan dan kekurangan yang terang benderang pun tak terlihat sama sekali.
Tentu saja Sam Siu kemudian mengenal bayangan siapa itu. Bayangan yang telah dirindukannya selama ini. Mengisi malam-malam kosongnya. Hadir setiap saat di dalam angan-angannya.
“Yan-siocia…”
“Kau kah itu, Sam-ko (kakak Sam)?”
Mendengar suaranya saja, entah hati Sam Siu sudah mencelos kemana. Suara ini demikian lembut. Mengucapkan namanya dengan bisikan lirih pula.
“Benar, siocia (nona)” bisik Sam Siu lirih pula.
“Masuklah” jendela itu terbuka sedikit lebar.
Laki-laki yang masuk kamar perempuan yang bukan istrinya, di tengah malam, lewat jendela pula, tentu saja bukan laki-laki baik. Sam Siu paham ini. Perempuan yang mengijinkannya pun bukan perempuan baik-baik pula. Sam Siu juga paham ini.
“Ah…tapi…tapi..ini tidak benar, siocia” katanya ragu-ragu.
“Siu-ko (kakak Siu), jika kau tertangkap justru nasib kita berdua akan lebih berbahaya”
Sam Siu lalu teringat percakapannya dengan A San, ia lalu memberanikan dirinya. Perempuan kan memang suka lelaki pemberani yang ‘brengsek’.
Laki-laki yang memasuki kamar perempuan di tengah malam melalui jendela, adalah laki-laki ‘brengsek’.
Mengingat ini ia justru tertawa dalam hati, dan tambah bersemangat.
Tadi saat berbisik-bisik, dia sudah menggunakan minyak wanginya. Di teteskan di pergelangan tangan, dan belakang leher. Sebelum berangkat juga ia sudah mandi dan membersihkan diri. Rambutnya diikat rapi. Bajunya pun baru. Intinya, Sam Siu sudah melakukan segala hal yang harus dilakukan seorang laki-laki ketika akan berhadapan dengan seorang perempuan.
Di tengah kegelapan, kamar itu hanya diterangi sebuah lilin.
Wajah itu begitu cantik.
Seseorang tidak perlu membanding-bandingkan kecantikan seorang wanita dengan pemandangan atau keadaan alam. Jika wanita ini sudah menjadi penghuni hatinya, segala macam apapun di dunia ini mana pantas dibandingkan dengannya?
Sam Siu juga begitu. Ia tidak berani dan tidak mungkin membandingkan nona ini dengan apapun juga. Karena apapun juga tidak pantas dibandingkan dengan nona ini.
Di dalam gelap, mata nona ini bersinar terang. Mata seorang perempuan selalu seperti ini saat bertemu orang yang disukainya.
“Siu-ko, kau…kau..sudah mendengar kabar bukan?” tanya Yan Niu Niu terbata-bata.
“Sudah” kata Sam Siu lirih.
Si nona cantik terdiam menunggu Sam Siu melanjutkan kata-katanya. Ia berharap lelaki ini mengatakan sesuatu. Tetapi Sam Siu hanya diam saja.
Seorang perempuan selalu mengharapkan laki-laki mengerti maksud hatinya. Sayangnya jarang laki-laki yang memahami hal ini. Yan Siu Siu adalah perempuan, Sam Siu adalah laki-laki.
Oleh karena itu, akhirnya Yan Niu Niu bertanya, “Jadi…eh…apa pendapatmu..??”
“Eh, pendapatku…..eh, ehm, boleh ku tahu nona akan dikawinkan dengan siapa?”
“Ia seorang petugas kerajaan. Dari kota sebelah” jelas si nona.
Sam Siu terdiam. Memangnya apa yang sanggup dikatakan seorang laki-laki di saat seperti ini?
“Apakah nona mencintainya?” tanya Sam Siu.
Di dalam hatinya, si nona mungkin berkata, “Tentu saja aku tidak mencintainya. Kau pikir buat apa aku mengundangmu kemari untuk membicarakan hal ini? Dasar tolol!”
Tetapi di luarannya, si nona hanya berkata, “Aku…aku tidak tahu..”
Seorang laki-laki akan mengira bahwa perempuan bersikap tidak jelas saat berkata , “Aku tidak tahu”. Tetapi sebenarnya dibalik kata-kata ini, ada berjuta makna yang ingin disampaikannya, tetapi tidak sanggup dikatakannya.
“Jika…jika…nona menyukainya..maka..aku pikir..”
Belum selesai Sam Siu menyelesaikan kata-kata, si nona cantik sudah menatapnya dengan sebal,
“Kau bodoh! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!” sambil membanting kaki nona itu membalikkan badan.
Tak terasa ia meneteskan air matanya.
Kaum laki-laki memang bodoh. Walaupun ungkapan ini tidak sepenuhnya salah, ungkapan ini pun tidak sepenuhnya benar.
Laki-laki yang bodoh biasanya laki-laki yang baik dan terlalu baik. Laki-laki yang pintar dan mampu mengerti perasaan perempuan, justru paling sering memanfaatkan perasaan itu.
Hanya laki-laki yang sudah berpengalaman dengan banyak perempuanlah yang mampu mengerti perempuan.
Laki-laki yang berpengalaman dengan banyak perempuan, biasanya bukan laki-laki baik-baik.
“Eh…nona…apakah…aku salah bicara..aku minta maaf”
“Pergilah! Sudah ku bilang aku tak mau menemuimu lagi” si nona berbicara dari balik punggungnya. Suaranya terdengar serak dan bergetar. Kadang-kadang ada keindahan tersendiri di dalam suara perempuan yang sedang menangis.
Kelemahan perempuan adalah salah satu keindahan dan pesonanya.
Sam Siu hanya menunduk menyesal, tak tahu apa kesalahannya. Ia hanya mampu berkata, “Baiklah….jika ini memang kemauan nona…aku tidak bisa menolak…tetapi sebelum aku pergi…aku ingin mengatakan bahwa aku….”
Lama Sam Siu terdiam,
“Bahwa aku….”
Si nona pun menunggu.
“Ah sudahlah……”
Tanpa disadarinya, Sam Siu sudah melakukan hal yang sangat menarik perhatian wanita. Kata-kata dan kalimat yang belum selesai, adalah hal yang sangat membangkitkan rasa ingin tahu dan penasaran mereka. Laki-laki yang pintar akan sanggup memanfaatkan ini. Walaupun Sam Siu bukan laki-laki yang pintar, secara tidak sengaja ia sudah melakukannya.
“Eh, apa yang ingin kau katakan?” nona ini kini sudah membalik badan dan bertatapan dengan Sam Siu.
“Aih….” Sam Siu bingung memikirkan apa yang harus diucapkannya.
Lama ia terdiam, lalu berkata, “Aih…walaupun aku mengatakannya sekarang pun, toh sudah terlambat….tak lama lagi nona akan….”
Si nona memotong, “Katakan saja!”
“Aku…aku…..aih”
“Dari tadi ‘aih’ melulu, kau datang sejauh ini hanya untuk berkata ‘aih’?” bentak si nona lirih. Dengan gemas ia membanting kakinya.
Sam Siu mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia terdiam sebentar.
“Walau sudah terlambat, sekaranglah saat kau mengatakannya. Lebih baik terlambat atau tidak sama sekali, setelah ini toh aku tak akan bertemu denganmu lagi” di dalam perkataan nona ini, terdapat ancaman yang sangat mengguncang jiwa.
Jika aku mengatakannya atau tidak mengatakannya, apa artinya? Toh nantinya aku tak akan bertemu lagi denganmu.
Tetapi jika tidak sekarang, setelat apapun, perasaan hati seseorang harus diungkapkan.
“Jika aku mengatakannya…..aku harap nona tidak marah…” kata Sam Siu.
“Kau mau bilang apa sih?” tanya si nona dengan setengah marah.
Sam Siu mengumpulkan segenap keberaniannya. Untuk yang kali ini saja, sesudah ini, semua akan berakhir.
“Aku…aku…telah lama mencintai nona….”
Akhirnya.
Seorang laki-laki jika akhirnya mengatakan hal ini, terasa beban berat yang ditanggungnya selama ini hilang lenyap. Namun anehnya, terasa pula beban aneh yang baru yang muncul pula.
Beban itu bernama ‘harapan’.
Berharap bahwa si nona pun memiliki perasaan yang sama. Walau secuil saja, walau tidak mungkin, walau apapun yang terjadi.
Mendengar itu si nona terdiam.
Lalu dengan sebal ia memandang Sam Siu,
“Aku tak mau bertemu dengan kau lagi!”
Sebenarnya Sam Siu sangat berharap bahwa nona itu akan tersenyum, lalu berkata ‘Aku pun juga’.
Tetapi ia sejak lama telah bersiap-siap dengan jawaban si nona tadi. Dengan memejamkan sejenak, ia menghela nafas.
Dibutuhkan perjuangan yang amat berat bagi seorang laki-laki untuk mengatakan cinta. Sayangnya tidak banyak perempuan yang mampu menghargai hal ini.
Yan Niu Niu adalah perempuan tulen.
“Baiklah nona, aku pergi….Jaga diri nona baik-baik…..”
Sebenarnya Sam Siu ingin menyentuh ujung jemari nona itu untuk sekedar perpisahan dan salam terakhir. Betapa ia menyanjung jari jemari itu dan rela mati oleh jari-jari itu.
Tapi nona itu diam saja. Wajahnya membeku.
Jika seorang perempuan menyuruhmu pergi, kau harus pergi.
Maka Sam Siu pun pergi.
Meninggalkan jendela yang kemudian terdengar ditutup oleh si empunya. Meninggalkan wangi kamar dan cahaya lilin di dalam kegelapan. Pergi jauh meninggalkan semua itu bukanlah perkara sulit. Untuk melupakan kenangan tentang semua itu lah yang sungguh berat.
Sam Siu telah sampai di kamarnya, A San memang sejak tadi menunggunya. Melihat dari raut wajah Sam Siu, A San sudah tahu apa yang terjadi.
Sam Siu pun bercerita, sambil berkaca-kaca.
Setelah selesai bercerita A San malah tertawa. Tertawanya tertawa senang pula.
“Tak ku sungka kau menertawakan penderitaan sahabatmu sendiri” tukas Sam Siu, walaupun sedikit kecewa, ia terpaksa harus tersenyum juga.
“Aku menertawakan kebodohanmu, Siu-ko” jawab A San.
“Aku? Bodoh? Aku tak mengerti…”
“Jika seorang perempuan memarahimu, menyuruhmu pergi, dan berkata bahwa ia tak ingin bertemu denganmu lagi, maka justru kau harus datang dan mengubernya. Apalagi seorang perempuan yang memasukanmu ke dalam kamarnya di tengah malam”
“Ah masa? Benarkah?”
“Jika seorang perempuan sudah tidak sayang dan cinta kepadamu, untuk bertemu dan melihat tampangmu saja ia sudah tidak sudi. Mana mungkin ia mau memasukanmu malam-malam ke dalam kamarnya” tukas Cio San.
“Tetapi…tetapi…kenapa ia mengusirku? Kenapa tidak berkata bahwa ia menginginkan aku pula?” tanya Sam Siu.
“Jika perempuan berkata jujur, maka ia bukan perempuan. Justru karena ia perempuan maka ia berkata dan bertingkah seperti itu”
Karena perempuan adalah perempuan. Rasa-rasanya ungkapan ini saja sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.
Lanjut A San,
“Jika kau berharap saat kau mengungkapkan cintamu, seorang wanita akan memasang wajah bahagia dan berkata, ‘aku pun mencintaimu’, maka kau keliru. Seorang perempuan umumnya, akan memasang tampang heran dan sebal. Memberi banyak alasan ini dan itu. Membuat kau bertanya-tanya apa maksud mereka sebenarnya.”
“Mengapa mereka melakukan hal seperti ini?” tanya Sam Siu.
“Karena mereka tidak ingin dianggap gampangan dan murahan. Sebisa mungkin mereka akan membuat dirinya susah dikejar. Perempuan sangat menyukai hal ini. Mereka menikmati mempermainkan perasaan laki-laki. Jika ada laki-laki bingung karena mereka, kaum perempuan justru senang” jelas A San.
“Aih, jadi sebenarnya kaum laki-laki dan kau perempuan sama saja? Sama-sama suka mempermainkan perasaan orang?”
“Benar. Bedanya cuma satu, perempuan justru suka perasaannya dipermainkan, sedangkan laki-laki justru kebingungan dan kelimpungan” ujar A San.
“Jadi sekarang, apa yang harus kulakukan?”
“Kau harus mempermainkan permainannya” tukas A San sambil tersenyum.
“Bagaimana jika aku kalah? Aku tak paham permainan ini”
Sambil bangkit dari pembaringan, A San berkata,
“Ada aku disini, siapa yang bisa mengalahkanmu?”
===========
“Jadi apa yang harus kau lakukan? Apakah aku harus menemui Yan-siocia lagi?” tanya Sam Siu.
“Jika kau menemuinya lagi, ia akan mengusirmu pergi” kata A San.
“Aih…jadi apa yang harus kulakukan?’
“Kau tetap harus menemuinya. Jika ia mengusirmu, pergilah. Tapi pastikan bahwa ia tahu kedatanganmu. Perempuan suka dikejar-kejar. Jika kau terlihat susah karena mengejarnya, maka ia akan bahagia karena merasa dirinya berharga dan kau begitu menghargai dirinya sehingga rela kesusahan”
“Hmmm….jadi aku harus menerima saja jika ia mengusirku pergi…nah, jika bertemu kepadanya, apa yang harus ku katakan?”
“Katakan kau mengerti maksudnya. Dan suruh ia menunggu beberapa hari” tukas A San.
“Menunggu untuk apa? Memangnya kau punya rencana apa untukku?”
“Aku punya beberapa rencana, Siu-ko. Tapi kuharap kau percaya padaku. Aku akan menjelaskan rencana itu beberapa hari lagi. Setuju?” jelas A San.
“Setuju!” tanpa pikir panjang Sam Siu mengangguk dan tersenyum.
Entah kenapa, ada banyak orang di dunia ini yang sanggup membuat orang lain percaya sepenuhnya kepada dirinya. Namun hanya teramat sedikit orang yang mampu menjawab kepercayaan itu dengan tanggung jawab.
A San adalah salah satu dari segelintir orang itu.
Pagi-pagi sekali mereka berdua sudah bangun. Mengurusi kuda-kuda yang berada di istal milik keluarga Yan yang kaya raya. Yan-wangwe (Hartawan Yan) mempunyai kesukaan mengumpulkan kuda-kuda pilihan yang mahal-mahal.
A San sendiri tidak memiliki kemampuan mengurusi kuda. Ia hanya percaya sepenuhnya terhadap Sam Siu yang mengaku bisa mengurusi kuda. Awalnya A San mengira Sam Siu mengakui itu agar bisa diterima bekerja pada keluarga ini, rupanya Sam Siu memang betul-betul paham dengan kuda. Dari Sam Siu lah A San belajar banyak hal tentang kuda.
A San rupanya masih merasa sakit di tubuhnya sehingga ia tidak bisa bekerja dengan sepenuhnya seperti biasa. Terkadang ia harus berhenti dan beristirahat untuk memulihkan tenaganya. Sam Siu sendiri bekerja seperti biasa, dan malah menyuruh A San beristirahat sepenuhnya saja di bilik mereka. Tentu saja A San tidak mau. Ia tidak tega melihat sahabatnya itu bekerja keras sendirian, membersihkan kuda-kuda, membersihkan kandang, menyusun jerami, memberi makan, dan sebagainya. Apalagi jumlah kuda-kuda di istal itu ada puluhan ekor.
Saat A San sedang duduk bersandar di sebuah tiang, terdengarlah sebuah bentakan, “Siapa menyuruhmu istirahat?!”
Setelah2 bulan bekerja di sana, kedua orang ini sudah pasti paham siapa pemilik suara ini. Suara yang menggelegar ini adalah milik Yan-wangwe sendiri. Sang Cukong (majikan) ini jika bersuara memang selalu membentak.
Segera A San bangkit dari duduknya, dengan wajah menahan sakit, ia berkata, “Maaf sekali chungcu (panggilan untuk majikan pemilik rumah), hamba sedang sakit jadi tidak bisa bekerja sepenuhnya”
“Kau sakit? Kenapa tidak istirahat?” tanyanya sambil membentak pula. Dari belakangnya sudah muncul juga beberapa orang yang merupakan pelayan dan pengawalnya.
“Hamba merasa kasihan dengan Sam Siu, chongcu (majikan). Jika hamba beristirahat, maka ia harus bekerja sendirian” jelas A San.
“Alasan saja. Kau bekerja supaya upahmu tidak dipotong karena tidak masuk!” bentak Yan-wangwe yang berperawakan gendut dan sedikit botak. “Kalau mau bekerja kau harus sungguh-sungguh. Jika setengah-setengah seperti ini, upahmu akan ku potong!”
A San mengangguk. Sam Siu ingin membelanya tapi setelah dipikir hal ini hanya akan mengeruhkan suasana, Sam Siu mengurungkan niatnya.
“Siapkan kudaku!” bentak Yan-wangwe lagi.
“Baik chungcu (majikan)” sahut mereka berdua sambil bergegas.
Tak berapa lama kuda sudah siap. Kuda pribadi milik Yan- wangwe adalah sebuah kuda hitam yang tinggi besar. Kuda ini adalah kuda pilihan daerah padang rumput yang harganya sangat mahal. Kuda ini sangat setia kepada tuannya, dan lagi sangat pintar. Melihat kudanya sudah bersih, dan wangi, apalagi pelana yang terpasang terlihat mewah dan serasi, Yan-wangwe terlihat puas. Ia lalu berkata, “Untung kerjamu bagus. Hari ini aku tidak memotong upahmu!”
Sambil berkata begitu ia menaiki kuda gagahnya. Kuda ini agak sedikit berontak saat dinaiki juragan gendut ini. Untung Sam Siu dengan sigap sudah menahan kendali kuda dan menenangkan sang kuda gagah ini.
“Aaah! Kuda goblok! Percuma kubeli kau mahal-mahal! Sudah setahun ini masih saja kau tidak mau tunduk pada majikanmu!” Dengan tergopoh-gopoh ia mengendalikan kudanya itu.
Kuda-kuda bagi para pelayan dan pengawal pun sudah disiapkan A San. Beberapa orang ini berlaku kasar dan mendorong A San yang dianggap menutupi jalan mereka, “Minggir!”
A San hanya bisa menyabarkan dirinya, dan meminta maaf. Seluruhnya rombongan itu berisi 6 orang. Mereka kemudian membedal kuda dan berangkat dengan semangat.
Debu mengudara.
Sam Siu hanya tertawa. Katanya, “Begitu galaknya Yan-wangwe sampai-sampai kudanya saja takut dan emoh kepadanya”
“Oh, bukankah kuda pilihan seperti sangat cerdas? Mengapa sampai satu tahun masih belum bisa akrab dengan tuannya. Haha” tawa A San.
“Seperti yang kubilang tadi, mungkin karena Yan-wangwe terlalu galak. Aku saja yang baru bekerja 2 bulan di sini sudah bisa mengakrabkan diri dengan kuda itu.” Tukas Sam Siu.
“Haha. Kau tidak boleh berbicara yang buruk terhadap chungcu (majikan) mu sendiri. Apalagi dia kan calon mertuamu” goda A San.
“Haha. Sialan!” maki Sam Siu sambil melempar lumpur.
Sambil bercanda mereka kemudian masing-masing membersihkan diri lalu bersiap-siap untuk makan siang. Biasanya tak lama lagi lonceng tanda makan siang akan dibunyikan.
A San mencoba memaksa meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku karena terlalu banyak berbaring. Dengan berjalan-jalan sendirian sejenak, ia merasa tubuhnya menjadi lebih segar. Apalagi udara daerah rumah itu yang banyak ditumbuhi pepohonan dan bunga-bungaan segar. Sambil berjalan-jalan, A San memperhatikan suasana sekitar. Ada beberapa orang yang lalu lalang, melakukan pekerjaan masing-masing. Sebuah rumah besar jenis ‘Ceng’ (perkampungan) seperti ini memang memerlukan banyak orang untuk mengurusinya.
Ia dan Sam Siu walaupun baru 2 bulan bekerja di sana, sudah mengenal hampir seluruh pekerja yang ada di Ceng itu. Saat makan siang adalah saat di mana mereka semua bertemu dan bercengkerama dengan akrab.
Mereka berdua pun sangat menikmati saat-saat ini karena inilah saat dimana mereka bisa mempelajari banyak hal tentang tempat ini. Sam Siu tentu saja menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui kabar berita nona kesayangannya. Tidak perlu waktu lama bagi A San untuk melihat Sam Siu sudah duduk semeja dengan nona pelayan yang kemarin datang menemui mereka. Entah apa yang mereka bicarakan.
Di sini, para pekerja jika makan memang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Terkadang ada cerita cinta antar para pekerja ini. A San suka memperhatikan hal ini. Otaknya pun bekerja untuk menebak-nebak apa saya yang terjadi di antara mereka-mereka. Kadang-kadang ia pun tersenyum sendiri.
“Hey, kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya seorang pekerja yang kebetulan duduk berhadapan dengan A San di sebuah meja makan yang panjang.
“Ah, tidak apa-apa, koko (kakak). Hanya teringat sebuah kejadian lucu di masa lalu” jelas A San.
“Kau yang mengurus kuda? Yang menggantikan si tua Souw dan anaknya?”
“Iya benar sekali koko” jawab A San sambil mengangguk.
“Kasihan sekali nasib mereka” kata si pekerja.
“Oh? Memangnya ada apa, koko?” tanya A San
“Aku juga baru tahu hal ini. Beberapa hari yang lalu, ia dan anaknya mati bunuh diri”
“Hah?”
“Iya. Kabarnya harta simpanan mereka hilang dicuri orang. Karena tidak kuat menahan sedih, mereka berdua membunuh diri”
“Aih, sungguh malang sekali nasib mereka”
“Itulah. Aku dan beberapa pekerja di sini rencananya akan datang melayat ke rumahnya sehabis makan siang. Sekedar memberikan sumbangan ala kadarnya” jelas si koko.
“Apakah aku boleh ikut, koko?” tanya A San sungguh-sungguh.
“Eh? Beneran? Terserah sih. Kau toh kan tidak mengenalnya?”
“Yah, mendiang Souw-lopek (orang yang sudah tua) kan merupakan orang yang aku gantikan, rasanya cukup pantas jika aku dan Sam Siu datang melayat”
“Baiklah. Terserah kau saja”
Setelah melanjutkan makan, mereka pun berangkat ke rumah duka. Rumah si tua Souw berada di sebuah desa yang berada di luar kota kecil itu. Walaupun tidak terlalu jauh, jaraknya pun tidak dekat.
Sesampai di sana rumah duka terlihat cukup banyak orang, meskipun tidak terlalu ramai. Rupanya si tua Souw ini merupakan orang yang baik di daerah itu sehingga banyak tetangga yang turut berduka pula.
A San dan rombongan berbaur dengan para pelayat. Dari carita para tetangga, ia baru tahu jika ternyata si tua Souw tinggal sendirian bernama anak laki-lakinya. Istrinya sudah mati lama. Anak laki-lakinya sendiri juga merupakan pemuda yang otaknya sedikit ‘terbelakang’. Mereka hidup dari bekerja di rumah Yan-wangwe.
“Kasihan sekali nasib Souw-lopek, mereka sudah bertahun-tahun bekerja pada Yan-wangwe, tanpa sebab akibat mereka dipecat” cerita salah seorang pelayat yang merupakan tetangga si tua Souw.
“Dipecat?” tanya A San.
“Iya. Yan-wangwe memang begitu. Namanya sudah terkenal sebagai hartawan yang semaunya sendiri. Jika tidak suka, langsung main pecat. Kau kan kerja di sana. Masa tidak tahu?” nampaknya si pelayat ini tidak menutup-nutupi ketidaksukaannya terhadap hartawan itu.
“Aih, Souw-lopek tidak pernah bercerita apa-apa. Kami para pekerja juga tidak diberitahukan oleh atasan kami tentang pemecatan Souw-lopek….sungguh menyedihkan…” tukas A San sungguh-sungguh.
“Kau harus berhati-hati saat bekerja di sana. Salah sedikit kau bisa dipecat! Lalu kemudian kau mati bunuh diri. Kami sampai kerepotan membersihkan muntahannya di mana-mana?”
“Muntah?”
“Ya! Ia mati minum racun bersama anaknya itu. Sungguh menyedihkan.”
“Minum racum? Ah menyedihkan sekali. Racun apa gerangan?” tanya A San.
“Entahlah racun apa. Sepertinya ia mencampurkan sendiri racun itu ke dalam makanan atau minumannya”
“Aih, sungguh malang sekali nasib Souw-lopek. Kudengar ia bunuh diri karena uang tabungannya dicuri orang?” tanya A San.
“Sepertinya begitu. Minggu lalu rumahnya kebobolan maling. Dari yang kudengar ia kehilangan uang pesangon setelah dipecat Yan-wangwe.”
“Sungguh malang nasib Souw-lopek, ia pasti sedih sekali saat kejadian itu” kata A San penuh simpati.
“Ya sebenarnya kasihan. Tapi uang pesangon itu tidak seberapa. Lagian ia juga saat mengalami pencurian itu terlihat tabah dan sabar. Cuma, yah, entahlah. Kita kan tidak tahu isi hatinya. Bisa jadi ia hanya menutupi saja perasaan hatinya” tukas si tetangga.
“Oh, apakah Souw-lopek meninggalkan surat atau pesan terakhir?”
“Setahuku sih tidak. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Sungguh malang memang nasibnya. Keluarga sudah tidak punya. Hanya kamilah para tetangga mengurusinya saat ini.”
A San manggut-manggut mendengar cerita panjang lebar dari si tetangga tersebut. Tak lama kemudian mereka harus minta diri untung segera pulang meneruskan pekerjaan.
Saat pulang A San melihat Sam Siu sedang bersantai. Ia memang tidak ikut melayat karena harus menjaga istal kuda. Mereka memang sering berjaga bergantian jikalau salah seorang memiliki keperluan keluar rumah itu.
“Kabar apa yang kau dengar si nona mungil itu?” tanya A San langsung.
“Eh, tahu darimana kau jika aku mendapat kabar bagus?”
“Wajahmu bercahaya sampai ke rumah duka Souw-lopek. Hahah” tawa A San.
“Si nona mungil itu cerita kalau nona besarnya masih marah-marah. Katanya aku bodoh dan tolol” kata Sam Siu.
“Dimaki bodoh dan tolol kok kau malah senang?” kata A San menggoda.
“Kan kau yang cerita sendiri, jika perempuan memaki seorang laki-laki bodoh dan tolol, itu berarti si perempuan memiliki kemauan dan keinginan yang tidak dimengerti oleh si laki-laki” jelas Sam Siu.
“Nampaknya kau sudah memahami sekali pelajaran yang kuberikan, Siu-ko.
Jika begini terus kurasa kau harus memanggilku ‘suhu’ (guru).” Tawa A San.
“Aku justru akan memanggil ‘kongkong’ (kakek) kepadamu. Pengetahuanmu tentang sifat perempuan sungguh tiada bandingnya. Hahahah. Jika bukan karena pengalaman ratusan tahun bersama ribuan perempuan, ku kira kongkong (kakek) ku yang tercinta ini tidak mungkin selihai ini. Hahaha”
A San iku tertawa pula. Ia telah memutuskan sejak beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk segala urusan mengenai perempuan, ia hanya akan tertawa.
Menangis tidak akan menyelesaikan masalah.
Ia sudah terlalu lihai dalam menangis. Kali ini ia belajar untuk tertawa.
Walaupun segala urusan di dunia ini tidak dapat diselesaikan dengan tawa, urusan-urusan ini tak dapat pula diselesaikan dengan menangis.
Ia telah menderita cukup lama, telah berpikir cukup lama. Segala kepedihan yang telah dilaluinya membuatnya belajar banyak hal. Membuatnya memperhatikan banyak hal.
Dirinya bukan manusia sempurna yang mengerti dan menguasai segala hal. Bukan makhluk paling cerdas dan cakap dalam mengatasi segala persoalan. Ia memiliki kelemahan-kelemahannya sendiri. Memiliki sisi menyedihkan yang tidak ingin ia tunjukkan kepada orang lain.
Jadi ia memilih tertawa.
Selama ini ia sudah begitu ahli dalam menertawakan dirinya sendiri. Jika orang lain menertawakan dirinya, ia akan tertawa lebih keras daripada orang lain.
Jadi ia memilih tertawa.
Semua orang di dunia ini sebaiknya memilih tertawa pula.
Dunia yang semuram ini harus sedikit dicerahkan oleh tawa manusia.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan, Siu-ko?” tanya A San setelah puas tertawa.
“Aku akan datang lagi kepadanya nanti malam” tegas Sam Siu dengan yakin.
“Lalu apa yang akan kau katakan kepada Yan-siocia. Apakah seperti rencana kita semalam? Mengatakan bahwa kau ‘memiliki rencana untuknya’?”
“A..ku masih belum yakin…” ujar Sam Siu.
“Kau memaksa datang menemui seorang perempuan, tapi tak yakin apa yang ingin kau bicarakan?” tanya A San tersenyum.
“Ia akan menganggapku sudah gila bukan? Aih……”
“Haha. Ia justru akan menganggapnya ‘manis’. Datanglah kepadanya dan katakan ini kepadanya. Katakan bahwa kau hanya ingin menemuinya. Hal yang lain tidaklah penting. Menemuinya adalah hal yang paling penting di dunia ini.”
“Jika ia merengut dan mengusirku seperti tadi malam?”
“Katakan bahwa kau sudah memiliki rencana dan berharap agar ia bersabar”
“Sebenarnya apa sih rencanamu?” tanya Sam Siu penasaran.
“Kau kan sudah berjanji untuk percaya kepadaku, Siu-ko?” senyum A San.
“Iya. Tetapi aku tetap penasaran. Ini kan menyangkut hidupku, aku harus tahu”
Ini menyangkut hidup banyak orang.
A San tersenyum, “Jika semuanya sudah selesai ku atur, yakinlah bahwa kau orang pertama yang kuberitahu, Siu-ko. Percayalah kepadaku”
“Baiklah”
Dua orang sahabat yang saling percaya, rasanya cukup memberi harapan di dalam kehidupan yang muram ini.
Setelah menyelesaikan pekerjaan sore hari. Mereka pun masih menungguh kedatangan Yan-wangwe kembali. Kuda-kuda yang dipakai rombongan itu harus diurus pula. Bekerja sebagai pengurus kuda harus selalu siap sedia setiap waktu. Harus menjaga dan merawat hewan-hewan itu, dan mempersiapkan mereka jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Untunglah menjelang gelap rombongan Yan-wangwe sudah pulang sehingga Sam Siu dan A San tidak perlu menunggu terlalu lama.
Setelah cukup beristirahat sampai hampir tengah malam, Sam Siu pun bangkit untuk membersihkan diri dan berdandan. A San yang saat itu tertidur, untuk menghilangkan sakit karena totokan yang masih sedikit tersisa, akhirnya harus terbangun juga.
“Kau sudah siap?” tanyanya.
Sam Siu mengangguk. “Doakan aku!” bisiknya lirih sambil menepuk pundak A San, yang kemudian dibalas pula oleh A San. “Tentu saja. Hati-hati!”
Sam Siu pun berangkat.
Sebenarnya A San ingin menyelinap dan mengikuti Sam Siu juga. Tapi setelah berpikir sebentar, ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya.
Cahaya lentera di bilik itu sudah dimatikan sejak tadi. Dengan sigap ia bergerak cepat, memeriksa segala isi bilik kecil itu. Ia ingin tahu siapa Sam Siu sebenarnya.
Selama 2 tahun ini, ia tak pernah menanyakan asal usul Sam Siu. Sebaliknya, Sam Siu pun tidak pernah menanyakan asal-usul A San. Mereka berdua bersahabat akrab tanpa memahami latar belakang masing-masing.
Kini A San memutuskan untuk mencari tahu.
Di dalam kegelapan matanya bersinar terang. Saat kecil dulu ia pernah hidup cukup lama di dalam kegelapan, sehingga otot dan syaraf matanya terlatih melihat di dalam kegelapan.
Tubuhnya pun memiliki kemampuan untuk bergerak amat sangat cepat. Bahkan di dunia ini, boleh dibilang gerak tubuhnya lah yang paling cepat di antara manusia-manusia yang tercipta di kolong langit ini.
Ia telah memeriksa seluruh yang harus diperiksa. Ia meninggalkan bagian yang paling ia curigai untuk diperiksa terakhir. Selama ini ia selal memperhatikan mata dan perhatian Sam Siu mengarah ke salah satu kaki dipan mereka. Seseorang yang menyimpan barang harga di suatu tempat, selalu akan berusaha menutupinya. Tetapi justru ada saat di mana ketika nalurinya mendorongnya untuk melakukan kekeliruan dan menunjukkan rahasianya.
A San telah menguasai hal-hal semacam ini dengan sangat baik.
Ia lalu mengangkat dipan itu dan memperhatikan. Kaki dipan itu terbuat dari bambu oleh sebab itu memiliki ruang di dalamnya. Di dalam ruang itu ia menemukan sebuah kotak kecil.
Kotak kecil berwarna merah terang.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah cincin indah dari bahan berwarna merah pula. Bahan ini terbuat dari sejenis batu-batuan kristal merah yang indah.
Ada tulisan sebuah huruf yang terukir di cincin itu ‘Ma’.
‘Ma’ berarti kuda.
Cincin ini walaupun bukan cincin murahan. Juga bukan cincin mahal yang langka. Bahan untuk membuat cincin ini adalah sebuah bahan dari kristal yang biasanya dijadikan sebagai bahan pewarna.
Pewarna yang dihasilkan pun berwarna merah seperti batu kristal itu.
Merah seperti ini, dalam bahasa Hokkian di sebut ‘Cu’ (mandarin: Zhu. Dalam bahasa Inggris, warna ini disebut ‘Vermillion’ atau ‘Scarlett’). Para pelukis dan seniman menggunakan bahan ini sebagai pewarna. Para tabib menggunakan surbuknya untuk pengobatan.
Tidak ada yang aneh dari cincin ini. Tulisannya pun tidak aneh. Yang aneh adalah bahan batu kristal seperti ini sangat jarang dipakai untuk membuat cincin. Itu saja.
Tulisan ‘Ma’ yang berarti ‘Kuda’ pun tidak mencurigakan. Kata ‘Ma’ ini bisa merupakan nama ‘she’ (marga) keluarga yang umum di Tionggoan. Mungkin saja nama keluarga Sam Siu yang sebenarnya adalah ‘Ma’. Atau bisa pula nama ini merupakan penghormatan kepada pemilik cincin ini untuk kepandaiannya mengurusi ‘Kuda’.
A San semakin bersemangat untuk mencari tahu.
Setelah penyelidikannya selesai, ia lalu mengembalikan benda itu ke tempat semula. Ia sendiri sudah sangat lihay untuk memperkatikan letak sebuah benda sesuai posisinya. Jadi jika ia menyentuhnya sedikit saja, ia tahu bagaimana cara mengembalikannya ke tempat semula.
Kemampuan ini berlaku untuk barang orang lain. Dan terutama bagi barang-barangnya sendiri. Jika ada sedikit saja perubahan terhadap letak posisi benda apapun di sekelilingnya, ia akan tahu. Oleh karena itu ia tahu jika sebelumnya ada orang lain datang memeriksa ke bilik mereka saat mereka sedang makan siang tadi. Ia pun juga tahu bahwa orang yang menyusup dan memeriksa bilik mereka ini pun sudah tahu keberadaan cincin milik Sam Siu.
Kepandaian ini tidak ia dapatkan sejak lahir. Ia mengembangkannya perlahan-lahan. Apalagi seorang sahabat karibnya pun membimbing dan mengajarkannya tentang hal ini.
Teman karibnya itu bahkan mendapat julukan “Raja Maling”.
Semua orang di muka bumi tahu dan kenal siapa ‘Raja Maling’. Semua orang di muka bumi pun tahu siapa nama sahabat karib dari si ‘Raja Maling’ ini.
============
Saat Sam Liu kembali, A San sudah tertidur dengan pulas. Terdengar suara mendengkur pula. Sam Siu bergerak hati-hati agar tidak membangunkan sahabatnya yang sedang tertidur itu.
Tapi A San segera tersadar, “Eh, sudah pulang? Bagaimana hasinya?”
“Oh, maaf membuat kau terbangun. Semua berjalan lancar. Aku membuatnya semakin penasaran. Hehe” kata Sam Siu.
A San mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Bagus. Sekarang beristirahatlah. Kemungkinan besok aku akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan”
Sam Siu mengangguk pula. Tetapi pemuda ini tidak langsung tidur, malah duduk di ujung dipan sambil melamun. Wajahnya menunjukkan raut yang bahagia.
Menyadari ini A San bertanya, “Apa yang barusan kalian lakukan?”
“Heheh” Sam Siu tertawa. Tawanya menjelaskan banyak hal.
“Kau mencium dia ya? Hahah” tawa A San.
“Hahaha…”
Tawa juga kadang menjadi sebuah jawaban.
“Ini merupakan sebuah kemajuan yang luar bisa. Hahaha” tawa A San.
“Ya. Aku sendiri tidak menduga aku berani melakukannya. Tapi kami berbicara dan ia meletakkan wajahnya di depan wajahku sangat dekat. Aih…..betapa cantik. Betapa anggun dan lembut” mata Sam Siu menerawang, senyum tak memudar dari bibirnya.
“Karena wajahnya sangat dekat dengan wajahmu, kau tak dapat menahan diri untuk menciumnya ya?”
“Hehe. Tentu saja”
Ini adalah cara perempuan minta dicium. Laki-laki manapun jika menghadapi keadaan seperti ini akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Sam Siu.
“Seandainya ia membatalkan pernikahannya dan memilihmu, apa yang akan kau lakukan?”
“Hah?” Sam Siu tidak bisa menjawab. Ini pertanyaan yang sudah ada di benaknya sejak beberapa hari yang lalu. Ia hanya takut menanyakannya kepada dirinya sendiri.
“Menurutmu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Apakah kau sungguh-sungguh cinta kepadanya?” A San balik bertanya.
“Ya”
Jika kau mencintai seseorang, seolah-olah hidupmu jauh lebih berarti dari hidupnya. Bukan saja tidak berarti, tetapi jika kau harus mati pun kau akan rela.
Tidak banyak orang yang merasakan cinta sedalam ini. Tetapi tidak sedikit pula orang yang hidupnya menderita karenanya.
Cinta mendorongmu untuk melakukan hal-hal yang mengagumkan.
“Kau pasti tahu jika ayahnya tak bakal setuju” tukas Cio San.
Sam Siu mengangguk. Hal ini adalah hal utama yang paling mengganggu pikirannya.
“Aku yakin kau akan berkata bahwa kau akan rela melepasnya pergi jika itu bisa membuatnya bahagia” kata A San.
“Benar”
“Tapi kau tahu dan yakin dengan pasti bahwa ia tidak bahagia dengan pernikahan ini”
“Benar”
Apakah seorang laki-laki mengatakan bahwa ia merelakan kekasihnya pergi dengan orang lain asalkan kekasihnya itu bahagia, adalah seorang yang pengecut?
Bahagia itu hanya sementara. Setelah itu seorang manusia harus menjalani pula kesedihan dan kepedihan.
Apakah jika kekasihnya itu pergi, maka ia akan bahagia? Tetapi jika kekasihnya itu memilih untuk tinggal, apakah si laki-laki juga sanggup membahagiakannya?
Bahagia itu fana.
Seseorang dapat dimanjakan, dapat dijaga, dapat dihidupi dan dihujani dengan kemewahan, tetapi tidak ada jaminan bahwa ia akan bahagia.
Seseorang dapat dihujani dengan kesusahan, kelaparan, dan kesepian, tetapi tidak ada jaminan bahwa ia tidak berbahagia.
Karena bahagia itu fana.
Bahagia adalah bayang-bayang yang menggantung di benak umat manusia. Membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hal-hal ini kadangan mengagumkan. Kadang pula sangat menakutkan. Bahkan menjijikkan.
“Ku pikir, aku lebih baik memberitahukan rencanaku sekarang. Mumpung perasaan hatimu sedang berbahagia” tukas Cio San.
Sam Siu mengangguk.
“Menurutku jika cintanya terlalu mendalam kepadamu, ia akan mengajakmu lari dari sini” jelas A San.
“Apa? Kau sungguh-sungguh? Ia..ia..memilih meninggalkan kemewahan dan memilih untuk hidup terlunta bersamaku? Itu tidak mungkin!” bantah Sam Siu.
“Kau tidak memahami kekuatan cinta seorang perempuan. Jika ia sudah menyukai seseorang, ia akan melakukan cara apapun agar dapat bersama orang itu”
“Apakah itu termasuk rela menderita terlunta-lunta?” tanya Sam Siu.
“Sekarang memang kau miskin, tetapi jika seorang wanita menganggap kau memiliki ‘sesuatu’ yang bisa membuatnya bahagia di masa depan, ia akan memilihmu. Lebih baik ia menderita untuk sementara waktu, lalu kemudian bahagia di masa depan. Daripada jika ia harus hidup dalam kemewahan tetapi menderita selamanya”
Lanjut A San, “Jika pun kau sekarang tidak memiliki apa-apa, belum tentu besok kau tidak memiliki apa-apa pula. Kau lelaki sejati, wajahmu tampan, tubuhmu tegap dan sehat. Apa pula yang harus ditakutkan. Uang dan kehormatan bisa dicari. Tetapi cinta sejati, jika hilang, kau tak akan pernah menemukannya lagi”
Sam Siu berpikir dengan lama. Dari wajahnya mengalir keringat yang cukup deras. Tubuhnya bergetar, dan matanya berkaca-kaca. Setelah lama berpikir, ia akhirnya berkata, “Kau benar”.
A San tersenyum. Entah apa makna senyum ini. Terlihat aneh dan menyedihkan.
Sam Siu pun menyadarinya, “Mengapa kau tersenyum seperti itu?”
“Cinta sejati, tidak hanya mengenal kebahagiaan, tetapi juga penderitaan. Jika kau berani menjalaninya, kau akan menjadi manusia yang lebih baik. Apa kau siap?”
Ia terdiam sejenak, lalu menjawab, “Aku siap”
A San memandangnya dengan kagum.
Laki-laki yang melakukan hal-hal bodoh demi cinta, adalah laki-laki yang harus dikagumi.
“Kau tidurlah. Besok aku akan mengatur semuanya untukmu” kata A San.
“Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu”
***
Pagi-pagi sekali A San sudah bangun. Ia bersiap-siap untuk membeli beberapa keperluan di kota. Sam Siu kni bertugas sendirian mengurusi kuda.
Setelah A San membeli segala keperluannya, hari ternyata sudah cukup terang. Ia berjalan dengan tenang dan santai, tetapi sebenarnya ia telah menyelediki keadaan sekitar. Setelah yakin bahwa tidak ada seorang pun yang membuntutinya, ia menuju ke sebuah tempat yang memang sejak lama sudah ingin ditujunya.
Sebuah kedai teh kecil di pinggiran sungai, tempat kemaren ia dan Sam Sui mampir.
Pemilik kedai ini rupanya bersiap-siap akan tidur. Kedai arak semacam ini memang buka sampai fajar menjelang. Lalu tutup untuk kemudian buka di siang hari.
“Maaf sekali tuan, kami akan tutup” jawab pemilik kedai yang sudah terlihat setengah baya itu.
Dengan tersenyum A San berkata, “Angin dari barat menyapa. Apakah saudara merasakan cahayanya?”
Pemilik kedai itu tertegun, lalu bertanya, “Cahaya di depan mata masakah kami buta? Tapi entah siapakah pembawa cahaya ini?”
“Raja tanpa mahkota, adalah kaisar di tengah cahaya”
Betapa terkejutnya pemilik kedai itu, “Mari silahkan masuk….”
Begitu A San memasuki kedai itu, si pemilik kedai ingin cepat-cepat menutup pintu kedai itu, namun A San mencegahnya, “Jangan ditutup. Justru akan menimbulkan kecurigaan”
“Aih..tapi..tapi…bagaimana mungkin siauwjin (saya orang rendahan) tidak memberi hormat kepada Kauwcu (ketua)…” kata si pemilik kedai lirih.
“Aku sudah bukan kauwcu lagi, harap cianpwee (anda yang lebih tua) tidak berlaku sungkan” ujar A San menenangkan.
“Sekali menjadi Kauwcu, maka selamanya menjadi kauwcu. Mana berani siaujin bersikap kurang ajar” katanya penuh hormat. Lanjutnya, “Jadi selama ini kauwcu menyepi di sini. Maafkan sungguh siauwjin pantas mampus”
Sambil berkata begitu ia sudah siap-siap membenturkan kepalanya ke meja.
“Jika cianpwee (yang lebih tua) bunuh diri, lalu siapa yang akan membantu cayhe (saya)?” tanya A San.
“Kauwcu ada perintah apa? Siauwjin siap menyumbang nyawa!” walaupun ucapannya lirih, ketegasan dan kesungguhan hati terdengar jelas di dalam suaranya.
“Semua yang cayhe (saya) butuhkan ada di catatan ini, ada berapa anggota kita di kota ini?”
“Seluruhnya berjumlah 123 orang. Tersebar di berbagai penjuru kota”
Tanya A San, “Bukankah anggota kita ada pula yang menjadi opas (sejenis polisi) di kota?”
“Ada beberapa, Kauwcu”
“Apakah cianpwee bisa mempercayainya?” tanya Cio San.
“Bisa kauwcu. Hampir semua anggota kita disini sangat terpercaya”
“Cayhe sudah bertemu dengan beberapa dari mereka, saat berkeliling kota dahulu. Namun kupikir hanya cianpwee lah yang cayhe percaya” tukas A San.
“Aih, terima kasih sekali kauwcu. Siauwjin siap mengorbankan nyawa. Turunkan saja perintah”
“Baca saja catatan ini. Lalu lakukan seperti yang tertulis di dalamnya. Pilihlah orang yang benar-benar cianpwee percaya. Jika sudah selesai, cayhe akan mengirimkan surat kepada Ang-kauwcu (ketua Ang) tentang jasa cianpwee”
“Siap laksanakan perintah!”
Ang-kauwcu adalah Ang Lin Hua.
Salah seorang wanita terbaik yang pernah dikenalnya dengan sangat dekat. Yang juga merupakan istri dari sahabat dekatnya, Suma Sun.
Saat ia pergi dahulu, ia meninggalkan jabatan Kauwcu (ketua) kepada Ang Lin Hua, yang merupakan putri satu-satunya dari Kauwcu yang lama.
Menjadi ketua dari sebuah perkumpulan yang amat sangat besar, yang anggotanya tersebar di seluruh pelosok dunia, bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Dan ia sendiri merasa tidak mampu melaksanakannya. Jika boleh memilih, ia akan memilih menyepi di gunung atau di pinggiran danau yang tenang. Menikmati musik dan sastra, menikmati arak bersama sahabat-sahabat terbaiknya.
Dan ia memang memilih jalan itu.
Tetapi dunia dengan segala permasalahannya telah memanggilnya untuk kembali. Dan demi kemanusiaan serta persahabatan, ia harus kembali.
Dan ia kembali.
Walaupun wajahnya kini ditutupi jenggot lembut, rambutnya pun tidak tersisir rapi, pakaian yang dipakainya kumal, bilik yang ditinggalinya kumuh, dirinya tetaplah dirinya.
Meskipun setiap hari ia terhina, menjadi jongos dan diperintah orang lain dengan cara yang sangat menyakitkan hati, dirinya adalah dirinya.
Harga dirinya mungkin sudah lama terkoyak moyak. Harapannya sudah lama pudar di dalam kegelapan. Kebanggaannya mungkin telah sirna seluruhnya.
Tapi dirinya tetaplah dirinya.
Cio San adalah Cio San.
Cio San bukan orang lain.
Jika kau membunuhnya berkali-kali, ia akan tetap muncul kembali. Datang dengan senyum yang sama.
Selamanya Cio San cuma dia seorang. Tak akan ada Cio San yang kedua. Besok tiada yang lain, kelak tiada yang berikutnya. Sepanjang jaman hanya ada satu. Seluruh dunia mencintainya atau membencinya pun ia tidak perduli.
Karena Cio San adalah Cio San.
Ia telah menyepi selama 3 tahun. Mencoba memahami dan mengambil hikmah dari seluruh kejadian yang menimpanya. Ia telah lahir kembali oleh segala kesulitan dan penderitaan.
Orang seperti Cio San selalu terlahir kembali. Itulah mengapa ia mendapat julukan Hongswee. Jenderal Phoenix. Burung Hong (phoenix) selalu lahir kembali dari abu jasadnya. Menjadi api yang bersinar terang, menjadi bahan pembicaraan orang selama-lamanya.
Saat terlahir kembali, ia menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Cio San pergi melangkah dengan ringan. Seluruh tugas yang butuh ia kerjakan telah ia kerjakan. Seluruh rencana yang butuh dijalankan telah ia jalankan. Jika semua hal yang butuh dikerjakan di muka bumi ini sudah dikerjakan, maka manusia hanya bisa mempercayakan nasib kepada langit.
Ia selalu percaya kepada langit, karena ia pun percaya kepada dirinya sendiri.
Jika langit menurunkan hujan, ia akan berteduh. Jika menurunkan panas ia akan memanfaatkan cahayanya. Jika menurunkan badai ia akan menerjangnya.
Ia selalu menerjang.
Walau ia terluka dan terjatuh, ia akan terus berlari ke depan. Dengan caranya sendiri, dengan kekuatannya sendiri.
Memang ada waktu bagi seseorang untuk memulihkan lukanya. Dan Cio San telah pulih. Selama bertahun-tahun ini ia menyembuhkan luka dan mengumpulkan kekuatan.
Kini ia kembali.
Cio San berjalan pulang kembali ke rumah keluarga Yan. Siang sudah menjelang. Di sepanjang jalan, banyak pengemis meminta-minta. Orang berlalu lalang dengan ramai. Sekali lagi ia menggunakan pikirannya untuk ‘memeriksa’ berbagai macam orang. Kadang ia merasa senang dengan kebiasaannya ‘membaca’ orang lain. Tetapi lebih sering ia terluka dengan kemampuannya ini. Cio San telah memutuskan hanya menggunakan kemampuannya jika ia benar-benar memerlukannya. Selama bertahun-tahun ia berlatih untuk menahan diri agar pikirannya tidak secara langsung ‘membaca’ orang lain. Walaupun sulit, ia sudah mulai bisa mengendalikannya.
Sesampai di rumah, ia segera merapikan barang belanjaannya lalu menemui Sam Siu. Sahabatnya itu rupanya sedang beristirahat setelah sejak pagi bekerja.
“Kau lama betul. Urusan apa saja yang kau kerjakan?” tanya Sam Siu sambil tertawa.
“Urusanmu!’ tukas Cio San sambil tertawa pula. Lanjutnya, “Makan siang nanti, temuilah si nona mungil pelayan nona Yan”
“Apa yang harus kukatakan?”
“Tulislah surat untuk nona Yan. Ajak ia melarikan diri malam ini juga”
“Apa? Kau gila?”
“Jika kau tidak mengajaknya, justru ia yang akan mengajakmu nantinya” kata Cio San.
“Eh? Beneran? Apa kau pikir wanita memang seperti ini?”
“Tidak semua, tapi aku yakin Yan-siocia (nona Yan) memang seperti ini”
Sam Siu menatap sahabatnya dalam-dalam. Ia baru mengenalnya beberapa tahun. Tetapi ada semacam keunikan tersendiri di dalam diri sahabatnya itu, yang membuat ia percaya sepenuhnya.
“Baik. Aku percaya kepadamu”
“Bersiaplah. Tulislah surat itu dan berikan kepada si nona saat makan siang. Bungkuslah barang-barangmu. Tengah malam nanti, aku akan membantu kalian kabur dari sini”
“Bagaimana caranya?”
“Aku akan membuat keributan. Jika saat itu terjadi, bersiaplah untuk menyelinap bersama Yan-siocia lewat pintu belakang. Kau tahu pintu itu, kan? Pintu tempat biasanya para pelayan keluar masuk.” Jelas Cio San.
“Tempat itu di jaga ketat. Bagaimana aku bisa melewatinya?”
“Percayakan kepadaku” jawab Cio San.
“Lalu saat aku sudah lolos pintu itu? Apa yang harus ku lakukan?”
“Ada seorang sahabatku yang menunggumu di luar. Ia akan siap mengantarmu ke manapun kau mau.”
“Aih…aku..tidak..tahu harus kemana”
Cio San memandangnya dalam-dalam. “Demi cintamu. Kau harus rela berkorban. Aku yakin kau tahu apa yang harus kau perbuat”
Sam Siu memandangnya dalam-dalam pula. Seolah-olah Cio San telah ‘membaca’ seluruh keadaan dirinya. Lalu ia berkata, “Aku tidak mengenalmu sebelumnya. Selama 2 tahun ini hanya kau sahabat karibku. Aku rela mengorbankan diriku ini, adalah juga karena aku percaya sepenuhnya padamu. Pertanyaanku hanya satu. Apakah selama ini keputusanku untuk mempercayaimu sudah benar?”
Cio San mengangguk mantap.
Sam Siu pun mengangguk dengan mantap.
Yang dibutuhkan oleh seorang sahabat sebenarnya hanyalah sebuah anggukan kecil. Anggukan kecil ini bermakna sangat dalam. Hanya orang-orang yang mempunyai persahabatan yang tuluslah yang benar-benar mengerti arti anggukan kecil ini.
Lalu Cio San berkata, “Jika nanti di masa depan, kau menemukan kesulitan dan kepedihan hati karena perbuatanku, aku ingin kau mengerti bahwa aku melakukan ini semua untukmu. Demi kebaikanmu. Aku tahu lelaki yang kuat, dan memiliki hati yang tulus. Aku hanya memiliki sebuah pertanyaan kepadamu. Apakah penilainku ini benar?”
Sam Siu mengangguk mantap.
Mereka lalu bersalaman. Air mata menetes di pipi Sam Siu. Perpisahan akan segera tiba. Perpisahan selalu menyakitkan. Tetapi perpisahan selalu menyimpan harapan-harapan baru tentang masa depan.
Sam Siu lalu bersiap-siap. Segala petunjuk Cio San dilaksanakannya. Saat makan siang tiba, ia pun menyerahkan surat itu secara diam-diam kepada si nona pelayan yang cantik mungil itu.
Sore hari setelah seluruh pekerjaan mereka selesai, Sam Siu dan Cio San beristirahat. Cio San membantu Sam Siu memberekan barang-barangnya. Mereka melakukannya dengan diam-diam agar tidak menimbulkan kecurigaan. Setelah selesai, Cio San memilih tidur. Hal ini menimbulkan keheranan dalam hati Sam Siu, tanyanya “Kau bisa tidur dalam suasana seperti ini, A San?”
“Saat tidak ada lagi yang bisa dilakukan, aku memilih tidur untuk memulihkan tenaga dan menjernihkan pikiran.” Jelasnya.
Sam Siu hanya mengangguk-angguk saja. Sejak awal bertemu, ia sudah memiliki kekaguman yang begitu besar terhadap sahabatnya ini. Perbuatannya, pemikirannya, dan tindakannya, walaupun sederhana, selalu menimbulkan kekaguman tersendiri. Jika langit runtuh sekalipun, Sam Siu akan mempercayakan nyawanya kepada sahabatnya ini.
Ada banyak kejadian yang terjadi selama ia hidup bersama A San. Meskipun bukan kejadian yang heboh dan besar, sikap dan tindakan A San selalu tepat, jujur, dan berani. Ia telah belajar mempercayainya. Lelaki yang sedang tiduran sambil mendengkur di hadapannya ini bukan lelaki sembarangan.
Sam Siu tidak pernah menanyakan asal usulnya, tetapi ia paham dan sadar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Ada kejadian di masa lalunya yang membuat sahabatnya ini tidak pernah membuka diri untuk bercerita. Ia pun tidak pernah berniat untuk bertanya, karena ia tahu A San pun tidak pernah berniat untuk menanyakan masa lalunya pula.
Persahabatan yang tulus didasarkan oleh kepercayaan dan harapan masa depan. Bukan atas kejadian dan cerita-cerita masa lalu.
Jauh di lubuk hati Sam Siu, ia yakin A San pun memiliki penilaian yang sama terhadap dirinya. Ia yakin bahwa A San pun menilai bahwa dirinya ini pun memiliki nilai-nilai yang setara dengan dirinya. Karena itulah A San memilih Sam Siu sebagai sahabatnya.
Persahabatan selalu jauh lebih dalam daripada sekedar berkumpul bersama.
Tengah malam hampir tiba. Sam Siu berbaring namun tak dapat memejamkan mata. Kejadian yang akan terjadi nanti mungkin akan merubah seluruh hidupnya.
Cio San terbangun. Tenaganya telah pulih seluruhnya. Pikirannya pun jernih. Ia telah siap menghadapi semua ini.
Dengan wajah dan senyum yang cerah ia bangkit dari tidurnya. Sam Siu pun bangkit. Melihat senyum di wajah sahabatnya, kepercayaan diri Sam Siu pun terkumpul kembali.
“Aku heran kepadamu, kau selalu mampu membuat orang lain merasa lebih baik” kata Sam Siu sambil tersenyum.
Orang yang selalu mempu membuat orang lain merasa lebih baik, adalah mereka yang telah mengalami berbagai macam kejadian terburuk dalam hidupnya. Orang yang mampu membuat orang lain tertawa dengan lepas, biasanya adalah mereka yang paling mampu menyembunyikan air mata kesedihannya. Orang yang paling kuat dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup, biasanya adalah orang yang paling lemah kekuatannya. Tetapi orang-orang seperti ini selalu hidup demi orang lain. Justru dari sinilah kekuatan mereka lahir dan tumbuh.
Cio San adalah salah satu dari orang-orang seperti ini.
“Kau sudah siap?” tanya Cio San.
“Tentu saja!” jawabannya tegas dan menantang.
Mereka lalu bersalaman dan berpelukan di dalam kegelapan kamar yang sempit itu.
“Pergilah”
“Aku pergi”
Betapa gagahnya Sam Siu melangkah. Meskipun dengan mengendap-endap di dalam kegelapan, langkah-langkahnya dilakukan dengan keberanian. Orang yang berani memang bukanlah orang yang tidak mempunyai rasa takut, melainkan orang yang mampu menaklukkan rasa takutnya itu.
Cio San menegakkan tubuhnya. Ia hanya bisa mempercayakan semua rencana ini kepada langit. Hanya bisa mempercayakan keberhasilan rencana ini kepada penilaian-penilaiannya tentang sifat dan watak manusia.
Ia lalu bergerak. Gerakan yang sangat lincah dan tak dapat diikuti oleh mata. Dalam sekejap ia telah ‘terbang’ membumbung ke atap rumah. Gerakan yang sangat cepat itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa. Jika ia bergerak di siang hari yang terang benderang pun, belum tentu ada orang yang mampu melihat gerakannya. Apalagi saat ia melakukan gerakan ini di tengah malam buta.
Dari tangannya ia melempar sesuatu ke depan. Tidak terdengar suara apa-apa, hanya terlihat kilatan api di atap rumah. Dari atas atap ia memperhatikan segala sesuatu.
Tidak ada yang mencurigakan. Orang kepercayaannya yang tadi pagi sudah ia perintahkan pun sudah berada di posisi yang ditentukan.
Dengan sigap Cio San melompat turun.
Lalu dengan keras ia berteriak, “Kebakaran! Kebakaran!”
Tak berapa lama sudah ramai orang berkumpul di api yang semakin membesar itu!
Keadaan menjadi ramai dan kacau. Begitu banyak orang berusaha untuk memadamkan api itu. Cio San pun pura-pura memadamkan api yang ia buat sendiri itu. Ia sebelumnya sengaja memilih tempat yang tidak orang tinggal disitu. Tempat yang terbaik adalah atap gudang tempat penyimpanan bahan makanan.
Dengan kelihaian matanya, Cio San melihat Sam Siu dan Yan Niu Niu berhasil meloloskan diri melewati pintu kecil yang mereka rencanakan. Penjaga di sana telah terbius oleh jarum-jarum rahasia. Ini merupakan perbuatan orang suruhan Cio San.
Lega sekali hati Cio San ketika melihat sahabatnya berhasil melosokan diri bersama kekasihnya. Anak buahnya yang ia suruh berjaga tak jauh dari pintu kecil itu pun sudah bersiap di sana dengan beberapa orang terpercayanya. Mereka juga sudah siap dengan beberapa kuda.
Begitu Sam Siu dan Yan Niu Niu datang, kuda-kuda itu kemudian berlari ke segala arah. Tujuannya untuk mengacaukan jejak, karena Sam Siu dan Yan Niu Niu sendiri sekarang sudah berada di pundak 2 orang suruhan Cio San. Dengan cepat mereka menyusup melalui rumah-rumah dan gang-gang kecil. Tak berapa lama mereka sudah di tepi sungai. Di sana sebuah perahu sudah menanti mereka.
“Tuan, terima kasih atas pertolongannya,” kata Sam Siu penuh hormat.
“Tidak perlu siauya (tuan muda). Anda adalah sahabat tuan kami. Sekarang cepatlah naik perahu. Seorang sahabat kami sudah siap mengantar anda kemana saja” jawab si tuan penolong yang ternyata ada pemilik kedai teh.
Sam Siu dan Yan Niu Niu tanpa ragu menaiki dan menghilang di balik kabut malam.
Tak berapa lama api di rumah Yan-wangwe sudah berhasil dipadamkan. Semua orang dapat bernafas dengan lega. Tetapi Cio San tahu, tak berapa lama lagi, sang empunya rumah akan sadar bahwa anak perempuan satu-satunya sudah menghilang.
Dan benar saja, kini telah terdengar suara marah-marah membentak dari Yan-wangwe (hartawan Yan). Ia memerintahkan seluruh anak buahnya mencari nona itu. Setelah beberapa lama tanpa hasil, ia memerintahkan untuk mengumpulkan seluruh penghuni mulai dari keluarga sampai pelayan dan para pengawal.
Tadi butuh waktu lama pula untuk mengetahui bahwa Sam Siu tidak ada di dalam barisan ini.
“Kau!” bentak si hartawan kepada Cio San. “Di mana kawanmu?”
“Dia…dia….kabur….” jawab Cio San penuh rasa takut.
“Kabur? Mengapa tidak sejak tadi kau laporkan kepadaku?”
“Hamba….hamba…takut” wajah Cio San pucat ketakutan.
“Pengawal! Bawa dia dan pukul dia! Tanya sampai dia mengakui semua kejadian ini!”
===========
Beberapa pengawal yang berbadan besar itu menghampirinya. Ia gemetar ketakutan. Sebuah tendangan mendarat telak di perutnya. Ia terjengkang ke belakang. Hajaran, pukulan, dan tendangan merengsek masuk menghujam tubuhnya.
Ia tidak mengerahkan tenaganya sama sekali. Di saat menyamar seperti ini, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menerima hajaran itu dengan hati yang lapang.
Di saat biasa, para tukang pukul seperti ini akan mampus menggenaskan jika Cio San menggerakkan ujung kelingking saja. Tetapi saat ini bukanlah saat itu. Saat ini adalah saat di mana ia harus merelakan dirinya menjadi sasaran pukulan dan hinaan orang lain agar sahabatnya dapat meloloskan diri.
Wajahnya bengkak. Dari bibir dan hidungnya mengalir darah segar. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Tangan dan kakinya hampir tak dapat digerakkan. Darah mengucur deras dari kepalanya yang bocor.
Sambil terus menghajar, para tukang pukul ini menanyakan segala hal yang berhubungan dengan menghilangnya Sam Siu dan Yan Niu Niu.
“A…ku…ti…dak..tahu…ke..mana…mereka..lari…”
Berulang kali Cio San menjawab ini sembari menerima hajaran terus menerus. Amat menyakitkan dan amat pedih penderitaannya.
Wajahnya sudah tak dapat dikenali. Darah mengalir membasahi wajahnya. Pakaiannya pun belepotan darah dan debu. Di tengah malam seperti ini, keadaan Cio San sudah seperti hewan buruan yang tertangkap dan dikuliti.
Begitu hebat penyiksaan yang ia terima demi persahabatan. Jika pun harus mati demi sahabatnya, Cio San akan rela berulang kali menyerahkan nyawanya.
“Buk! Buk!” bunyi tubuh yang dikeroyok dengan sangat kejam ini.
Betapa payahnya ia menerima penyiksaan ini. Semua orang yang berada di sana memalingkan muka tidak tega. Sampai-sampai para tukang ini lelah sendiri lalu berhenti.
Tubuh itu tergeletak di tanah tak bergerak.
“Jangan bunuh dia. Tunggu sampai sadar lalu siksa lagi!” perintah Yan-wangwe (Hartawan Yan). “Yang lain, segera menyebar mencari keparat yang membawa lari anakku!”
Semua orang mematuhi perintah. Di sini Yan-wangwe adalah raja. Tak ada satu perkataannya pun yang boleh dibantah.
Cio San hampir tak sadarkan diri. Sepanjang pemukulan itu, ia memang tidak mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Ia sengaja melakukannya agar para pemukulnya tidak terlempar dan mati. Ia memiliki ilmu-ilmu ajaib yang membuatnya dapat menghancurkan mereka semua dalam satu kali gerak sederhana. Tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya.
Ia rela dipermalukan, disakiti, dan dihina.
Entah demi apa.
Ia berbaring lemah tak berdaya. Sepanjang hidupnya ia baru pertama kali ini dihajar sedemikian rupa oleh orang lain. Tetapi ia yakin, pengorbanannya ini akan terbayar lunas.
Menjelang terang tanah, suasana mulai sepi. Saat kejadian tadi, memang banyak orang sekitar yang datang menonton keramaian. Mereka-mereka ini adalah tetangga dari Yan-wangwe. Tembok besar yang mengelilingi gedung-gedung megah milik Yan-wangwe menghalangi orang-orang ini untuk masuk. Tetapi dari suara yang terdengarm, mereka memahami apa yang terjadi.
Cio San masih terkapar tak berdaya. Cahaya matahari yang terbit pelan-pelan mulai menyinari tubuhnya. Ia merasakan kehangatan yang mampu mengurangi rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.
“Byuuurrrrr!” seember air kotor disiram ke wajahnya. Entah air apa ini, baunya sangat busuk dan menyengat. Begitu terlihat ia menggerakkan tubuhnya, pukulan dan tendangan kembali menghantam tubuhnya.
Jika bukan karena latihan keras dan khasiat jamur aneh yang dulu pernah dimakannya, Cio San pasti sudah mati dengan tubuh hancur. Meskipun tenaga saktinya tidak ia kerahkan, setidaknya tubuhnya sendiri sudah sangat kuat tanpa pengerahan tenaga sakti itu.
“Kemana keparat itu membawa kabur anakku? Katakan?!! Cepat katakan!!!”
Tentu saja tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Cio San. Jika raja neraka sendiri yang datang bertanya kepadanya pun, ia tak akan menjawab.
“Tuan, ada beberapa opas (polisi) datang” terdengar suara salah seorang anak buah Yan-wangwe.
“Ahhh…para opas ini selalu datang terlambat!” dengus si tuan besar ini.
“Selamat pagi wangwe” tegur salah seorang opas.
“Pagi” jawab si wangwe sambil mendengus.
“Kami mendengar ada kejadian di sini” kata si opas.
“Semua orang juga sudah mendengar ada kejadian di sini!” bentaknya tidak suka. Rupanya Yan-wangwe memiliki kebencian tersendiri terhadap para opas ini.
Salah seorang anak buah Yan-wangwe lalu menceritakan seluruh kejadian. Salah satu opas lalu memeriksa tubuh Cio San yang tergeletak tak berdaya.
“Hah? Dia ini adalah buronan yang kita cari-cari selama ini!”
“Benarkah?” tanya salah seorang opas lagi.
“Benar, cian-bu (kapten). Ciri-cirinya persis benar” jawab si opas yang memeriksa.
“Heh? Buronan apa?” tanya Yan-wangwe tertarik.
“Dia ini adalah salah satu pencuri ulung yang merupakan buronan negara.”
“Apakah kau yakin?” tanya Yan-wangwe.
“Yakin sekali. Kami sudah mendapat perintah mencari orang ini, rupanya ia selama ini bersembunyi di sini”
“Omongan bau kentut! Memangnya siapa yang menyembunyikan dia?” bentak Yan-wangwe. Rupanya ia takut akan tersangkut paut masalah buronan kerajaan.
“Apakah wangwe mengijinkan kami untuk membawanya ke markas? Kami akan menanyai dan membawanya ke pengadilan” kata sang cian-bu (kapten).
“Eh…bawa saja. Tapi tolong tanyakan juga kemana kawan sekongkolnya membawa lari putriku!”
***
Cio San dimasukkan ke dalam ruang tahanan kecil di markas opas. Ketika ia akhirnya mampu memulihkan kesadarannya seutuhnya, dilihatnya beberapa opas sudah berada di dalam ruang tahanan itu pula. Duduk disampingnya dengan penuh prihatin,
“Aih, kauwcu. Mengapa kauwcu (ketua) membiarkan mereka melakukan hal ini kepada kauwcu. Satu perintah saja, akan siauwjin (aku orang rendah) habisi seluruh isi rumah ‘ceng’ (rumah) itu” kata salah seorang opas.
Cio San duduk bersila, lalu tersenyum. Terasa amat sakit baginya untuk tersenyum sedikit saja.
“Tak apa-apa. Memang harus begini rencananya” katanya lirih sambil menahan sakit.
“Begitu mendapat perintah dari pemilik kedai, kami langsung menyiapkan segalanya” kata si cian-bu (kapten).
“Terima kasih sekali, koko (kakak). Tanpa bantuan kalian sekalian, rencanaku tak akan berhasil” kata Cio San sambil tersenyum.
Senyum yang perih karena menahan perih di wajahnya.
Ada sebagian senyum yang memang terasa perih. Dan biasanya rasa perih itu berada di hati, bukan di wajah.
“Aih, mana berani siauwjin (aku orang rendah) dapat menerima panggilan ‘koko’ ini. Kauwcu jangan berlaku sungkan.” Jawab si cian-bu.
Cio San hanya mengangguk tersenyum. Katanya, “Saatnya kita melanjutkan rencana berikutnya”
“Siap” kata beberapa orang yang berada di dalam ruang tahanan itu. Mereka pun meminta diri keluar dari situ.
Cio San lalu bersemedi untuk memusatkan tenaga saktinya. Jika ia mau, dalam beberapa jam saja tubuhnya akan pulih seketika. Tetapi ia melakukannya sedikit demi sedikit. Hanya seperlunya saja untuk menghilangkan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Siang menjelang. Di ruangan tahanan yang kecil dan sempit itu hanya ia seorang yang berada di sana. Ada beberapa ruang tahanan pula di situ, tetapi kosong pula.
Ia memilih tidur untuk menjernihkan pikirannya. Masih banyak yang harus ia hadapi nanti. Seluruh rencananya harus berjalan dengan sempurna.
Setelah beberapa jam tertidur, terdengar suara pintu dibuka. Pintu ini adalah pintu utama ruangan di mana bilik-bilik tahanan berada.
Seorang tamu datang berkunjung dengan diantar seorang opas. Tamu itu lalu duduk di hadapan Cio San. Mereka terpisah terali besi kokoh yang mengurung tubuh Cio San. Si opas yang mengantar pun keluar dan mengunci pintu dari luar.
Nona mungil pelayan yang cantik.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya prihatin.
Dengan memasang tampang melas, Cio San mengangguk.
“Sungguh tak tega aku melihat keadaanmu” kata si nona lagi.
“Terima kasih, nona. Ada keperluan apa nona kemari?” tanya Cio San lirih.
“Aku..aku hanya ingin melihat keadaanmu saja. Apakah kau baik-baik saja?” tanyanya sedih.
Cantik juga.
“Yah, seperti yang nona liat” kata Cio San sambil tertawa sedih.
“Aih, kau jangan memanggilku nona. Aku cuma pelayan” katanya tersenyum sedih pula. Jika tersenyum, nona ini sungguh manis. Tubuhnya mungil dan lesung pipitnya menggemaskan.
Si nona lalu bercerita keadaan di luar. Bahwa Yan-wangwe telah mengerahkan banyak orang mencari Sam Siu dan Yan Niu Niu tetapi sampai sore itu belum membawa hasil.
Cio San mendengarkannya dengan penuh perhatian. Lalu nona itu berkata, “Aku ingin memberitahukan sebuah rahasia kepadamu. Sini” katanya sambil berbisik.
Cio San maju ke depan menjulurkan kepalanya. Si nona juga menjulurkan kepalanya seperti hendak berbisik ke telinga Cio San. Tetapi kali ini bukan bibirnya yang berbicara. Kali ini jarinya yang ‘berbicara’.
Ia menggores sebuah luka kecil di leher Cio San.
Cio San secara nalurikan menarik badannya ke belakang sambil keheranan, “Nona apa maksudmu?’
“Aku menggoreskan racun di lehermu. Jangan khawatir, racun ini tidak bakalan membunuhmu seketika. Mungkin tengah malam nanti baru kau mampus”
Cio San hanya bisa terbelalak ketakutan.
“Sekarang ini tubuhmu kaku, dan lidahmu kelu bukan? Nah, nikmati saja. Aku pulang dulu” ia pergi sambil tersenyum.
Perempuan yang pergi sambil tersenyum meninggalkan laki-laki yang menderita bukan cuma dia seorang. Jumlah perempuan seperti ini tak pernah bisa dihitung secara pasti.
Ia mengetuk pintu yang dikunci dari luar. Setelah terbuka, bayangannya pun kemudian menghilang.
Cio San tersenyum.
Racun yang sanggup membuat kepalanya pusing saja, sampai saat ini belumlah ditemukan orang. Apalagi yang sanggup membunuhnya.
Persekongkolan busuk ini semakin menarik baginya.
Tak berapa lama si cian-bu (kapten) datang. “Kauwcu tidak apa-apa?” tanyanya.
“Tentu saja”
“Semua tebakan dan rencana Kauwcu benar-benar terjadi sesuai kenyataan. Sungguh Siauwjin (aku orang rendahan) merasa bangga memiliki kauwcu seperti anda” katanya.
“Aku sudah bukan Kauwcu lagi. Kauwcu kalian adalah Suma-hujin (Nyonya Suma/Ang Lin Hua)” kata Cio San.
Si cian-bu tidak membantah tetapi juga tidak mengiakan. Ia hanya menunduk dengan penuh rasa hormat.
Selama ini partai mereka yang besar selalu mendapat hinaan orang. Dituduh sesat dan meresahkan. Baru ketika Cio San menjadi Kauwcu lah, partai mereka ini kembali disegani dan dihormati. Kejadian di istana kaisar yang menghebohkan itu, memangnya siapa pula manusia di dunia ini yang belum pernah mendengar?
Ia baru pertama kali bertemu dengan lelaki gagah di hadapannya ini. Bertemunya pun saat lelaki ini sudah tidak lagi menjabat menjadi ketuanya. Tetapi rasa hormatnya yang dalam tidak akan mungkin pudar barang secuil pun. Keyakinan dan rasa percayanya terhadap lelaki yang berada di dalam tahanan ini semakin besar dan bertambah besar.
Cio San telah menuliskan perintah dan petunjuk yang amat sangat jelas. Seolah-olah dia sudah mengerti segala kejadian yang akan terjadi nanti. Lelaki ini masih muda. Jauh lebih muda dari dirinya malah. Tetapi akal dan kehebatannya sangat sulit dicarikan tandingan. Belum pernah sepanjang partainya berdiri ratusan tahun yang lalu, mereka memiliki ketua yang demikian muda, cerdas, namun sederhana.
“Tugas kalian sudah hampir selesai. Jika urusan ini beres seluruhnya, aku akan melaporkan kepada Suma-Kauwcu” kata Cio San sambil tersenyum.
“Tidak perlu, Kauwcu. Selama hidup bisa berbakti kepada Kauwcu, kami sudah merasa sangat puas” kata si kapten sambil menjura.
Cio San pun menjura.
“Ada orang-orang seperti kalian inilah yang membuat partai kita berjaya”
===========
Saat tengah malam, terlihat beberapa opas sedang mengangkat mayat. Mayat itu dibungkus dengan lilitan beberapa kain kotor. Tak berapa lama, mereka pun membakar mayat itu di halaman belakang markas mereka.
“Ah, untunglah keparat ini mati. Meskipun kita tak sempat membawanya ke pengadilan, kematian adalah hukuman yang pantas baginya,” kata seorang opas yang diikuti oleh anggukan yang lain setuju.
“Sekarang kita tinggal membuat laporas saja kepada atasan tentang hal ini” katanya.
“Apa yang akan kau tuliskan?” tanya temannya.
“Kita tulis saja bahwa ia tertangkap mencuri di rumah Yan-wangwe, dan ia mati dikeroyok penjaga di sana.”
“Bagus juga usulmu.”
Si nona mungil pelayan rumah Yan-wangwe menonton peristiwa ini dari balik kegelapan. Ia tersenyum puas dan segera menghilang di dalam kegelapan.
Tak lama setelah si nona pergi, salah seorang opas kemudian ‘terbang’ menghilang pula. Tentu saja si opas ini adalah Cio San.
Ratusan li (kilo) dari sana, Sam Siu dan Yan Niu Niu sudah tidur tenang di atas perahu kecil itu. Sang tukang perahu dengan cepat membawa perahunya keluar dari kota asal mereka. Kini mereka telah memasuki daerah lain.
Kedua sejoli yang dimabuk asmara itu seperti tidak lagi memperdulikan kejadian yang mereka alami. Bila cinta sudah mengisi hati, maka yang ada hanyalah asa dan harapan yang membuai.
Hal ini berlaku untuk setiap orang. Perempuan dan laki-laki. Tua maupun muda.
“Tuan, kita sekarang sudah memasuki daerah Ban Sing. Tak lama lagi kita akan memasuki dari San Tung,” tukas tukang perahu.
“Kami sangat berterima sekali atas bantuanmu, in-hiap (tuan penolong),” kata Sam Siu.
“Aih, diantara sesama sahabat, tidak perlu mengucapkan terima kasih segala,” tukas si tukang perahu sambil tersenyum.
“Sayang, siapakah sebenarnya A San ini? Mengapa ia begitu hebat mengatur pelarian kita?” tanya Yan Niu Niu.
“Hmmm, aku sendiri tidak pernah bertanya kepadanya tentang latar belakang kehidupannya. Yang ku tahu, ia adalah seorang sahabat yang sangat bisa diandalkan. Setia kawan dan jujur. Aku mengenalnya sekitar 2 tahun ini,” jelas Sam Siu.
“Kau baru mengenalnya 2 tahun ini tetapi ia sudah berkorban begitu besar untukmu?” tanya si nona lagi.
“Jika aku yang harus melakukan pengorbanan ini untuknya, aku akan melakukannya,” tukas Sam Siu dengan gagah.
Persahabatan antar laki-laki memang adalah hal yang cukup mengeherankan bagi perempuan.
“Tuan penolong, maukah tuan menjelaskan siapa tuan A San ini? Agar kelak kami dapat berterima kasih” tanya Yan Niu Niu kepada si tukang perahu.
“Mengenai nama aslinya, sungguh saya tak dapat memberitahukan. Tetapi yang bisa saya ceritakan, beliau adalah salah satu buronan yang paling dicari kerajaan”
“Hah?” sepasang kekasih ini melongo keheranan, “Apa yang telah ia perbuat?”
“Beliau biasanya mencuri harta benda orang kaya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang miskin. Sedangkan beliau sendiri tetap hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya beliau memang sudah mengincar harta Yan-wangwe, tapi belum sempat rencana itu terlaksana, terjadilah kejadian ini.”
Begitu mendengar nama ayahnya disebut, wajah Yan Niu-Niu langsung berubah. Sam Siu merasakan hal ini dan mencoba menenangkannya, “Sayang, kau tak perlu khawatir. Aku akan selalu menjagamu. Kita akan hidup bersama selamanya. Dan susah dan senang. Bersediakah kau?”
Wajah si nona bersemu merah, kekhwatirannya perlahan-lahan menyurut, “Tentu saja, sayang. Ada kau disampingku, tak ada hal yang perlu kutakutkan”
“Kau tak takut hidup miskin?” tanya Sam Siu.
“Jika berusaha toh, kau pasti akan berhasil. Miskin sedikit pun toh aku tak perduli. Aku sudah punya kau”
Begitu tenang dirinya mengucapkan kata-kata ini.
Jika seorang perempuan memahami betapa dalamnya kata-kata ini, dan betapa rindunya seorang laki-laki mendengarkan ucapan ini, mereka tak akan mengucapkannya sembarangan.
Yan Niu Niu pun tidak mengucapkannya sembarangan. Ia tahu benar bahwa ucapan itu akan menguatkan kekasihnya itu, dan menguatkan hatinya sendiri.
Seorang laki-laki yang tidak putus asa, serta seorang perempuan yang sabar menemaninya. Hal ini adalah hal yang paling mengharukan di dalam kehidupan manusia sejak dahulu.
Di tangah malam yang dingin, di sungai yang tenang. Cahaya bintang dan rembulan menerangi jalan kedua anak muda ini. Cinta akan menerangi kehidupan yang kelam. Jika terlalu membara, ia akan membakar siapapun yang mengecapnya. Jika terlalu dingin, maka cinta itu akan mati dan beku.
Cinta seharusnya tenang bagaikan cahaya lentera di tengah malam yang gelap. Menerangi jalan, dan menuntun langkah.
Perjalanan akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Si tukang perahu meminta maaf karena tak dapat mengantarkan mereka lebih jauh. Sebelum pergi ia memberi sebuah kantong yang berisi uang.
“Uang ini tidak banyak. Tetapi dapat dipakai untuk kehidupan kalian selama beberapa bulan. Maaf hanya ini yang bisa diberikan oleh tuan kami, A San. Beliau sendiri memang tidak pernah mempunyai uang berlebih,” jelas si tukang perahu.
“Aih, bahkan sesudah melakukan semua rencana inipun, ia masih mengorbankan seluruh tabungannya selama bekerja. Benar-benar seorang sahabat sejati,” tukas Sam Siu penuh terima kasih.
Mereka berdua lalu memberi hormat dan meminta diri.
Dan perjalanan kehidupan pun dimulai.
Amat sangat tidak mudah untuk hidup dengan cara seperti ini. Sepasang kekasih yang kawin lari hidupnya selalu tidak pernah tenang. Tetapi ada cinta yang akan menjaga mereka. Sayagnya cinta saja tidak cukup.
Dalam kehidupan manusia, cinta saja tidak pernah cukup.
Selama berhari-hari mereka menempuh perjalanan. Dengan uang yang ada, mereka membeli kuda dan perbekalan. Juga membeli beberapa helai pakaian.
Perjalanan pun dilakukan dengan tenang. Mereka menyamar sebagai dua orang petani. Wajah mereka dikotori dengan arang agar tidak mudah dikenali. Hal ini malah menambah keasyikan dan kemesraan tersendiri.
“Sayang, masih jauh lagikah tempat itu?” tanya Yan Niu Niu.
“Sehari perjalanan lagi, sayang. Sabar sedikit ya…” kata Sam Siu dengan mesra.
“Aih, aku takut”
“Apa yang kau takutkan, sayang”
“Aku takut ayahmu tak akan menerima aku”
“Ah, tidak mungkin. Kita menempuh perjalanan sejauh ini adalah untuk menemui ayah. Meskipun dulu aku lari dari rumah, tetapi aku yakin ayah akan memaafkan aku,” jelas Sam Siu sambil tersenyum.
“Dulu mengapa engkau lari dari rumah?”
“Aku tidak betah. Setiap hari hanya disuruh mempelajari kitab suci”
Yan Niu Niu menarik muka, “Eh? Kitab suci? Memangnya ayahmu sejenis pendeta?”
“Benar. Beliau adalah seorang hwesio (bhiksu)”
“Hah? Jika beliau adalah hwesio, bagaimana mungkin kau lahir? Hwesio kan tidak boleh menikah?” tanya si nona.
Ada perubahan di wajah Sam Siu. Seperti ada kesedihan yang tiba-tiba datang menghiasi wajahnya. Katanya, “Dulu kami adalah sebuah keluarga. Tetapi semua berubah sejak terjadi sebuah kecelekaan. Rumah kami terbakar. Ibu dan kakakku meninggal dalam kecelekaan itu. Hanya aku dan ayah yang selamat. Karena sedih, beliau akhirnya memilih menjadi hwesio.”
“Oh, kasihan sekali nasibmu sayang. Aku berjanji akan menjaga dan mencintaimu selamanya.”
“Karena itulah, bagaimana pun juga, kita harus tetap meminta restu dari ayahku. Meskipun ayahmu tidak merestui hubungan kita, setidaknya ayahku menyetujuinya,” Sam Siu tersenyum.
“Eh, dulu sebelum menjadi hwesio, apa pekerjaan ayahmu?”
“Beliau adalah seorang siucai (sastrawan). Menyukai puisi, dan musik. Beliau adalah pelukis juga. Lukisan beliau banyak yang terjual dulunya, meskipun beliau belum seperti siucai yang terkenal lainnya”
“oh, aku ingin sekali mempelajari puisi dan melukis. Aku juga suka bermain musik. Kau harus mendengarkanku bermain khim (kecapi)” tawa si nona manja.
“Kalau cuma permainan khim, hampir setiap hari aku mendengarkannya dari balik jendelamu, sayang,” tawa Sam Siu.
“eh, jadi kau mencuri dengar? Jangan-jangan kau mengintip juga ya? Dasar nakal!” si nona memukul kekasihnya. Pukulan yang manja. Pukulan kekasih yang manja adalah satu-satunya pukulan yang menyenangkan di dunia ini. Sedangkan pukulan yang paling tidak menyenangkan adalah pukulan kekasih yang menangkap basah kau berbuat serong.
Perjalanan dilalui dengan mesra dan kecupan-kecupan yang hangat. Sam Siu mampu menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang sebelum mereka menikah. Sepanjang jalan saling bercerita satu sama lain. Menceritakan apa yang mereka suka, apa yang mereka tidak suka.
Sambil menikmati alam, mengarungi kehidupan bersama kekasih tercinta. Rasa-rasanya semua orang pun menginginkan hal demikian.
Akhirnya perjalanan mereka sampai pula.
Sebuah bio (kuil) agama buddha yang terpencil di daerah kaki pegunungan. Mereka telah melalui perjalanan selama berhari-hari, jadi begitu tempat yang tertuju sudah terlihat, bukan main senangnya perasaan mereka.
“Kau bilang ayahmu tinggal di rumah?”
“Ya bio (kuil) ini adalah rumah kami. Ayah yang membangunnya dengan menggunakan sisa hartanya.”
“Hebat sekali…..Aku tak sabar bertemu dengan beliau.”
Sam Siu tersenyum. Ia pun sudah tidak sabar. Sudah lebih dari 3 tahun ia tidak berjumpa dengan ayahnya.
Sesampai di gerbang bio, ada beberapa hweesio muda yang sedang menyapu pelataran.
“Gi-hudya (sebutan bagi pendeta buddha), selamat pagi. Apakah masih mengenalku?” sapa Sam Siu kepada salah seorang.
Para hweesio itu menoleh, “Siauya (tuan muda)? Waaaaaah akhirnya kau pulang juga!’ mereka menyambutnya dengan gembira.
Mereka saling berpeluk dan mengucap salam.
“Wah, kau tambah besar! Sudah pergi lama, tahu-tahu pulang membawa istri. Selamat!”
Ramai mereka menyambut pemuda ini.
“Eh, apakah ayah sehat-sehat?” tanya Sam Siu.
“Tentu saja, beliau ada di…”
“Ehhm…..”
Terdengar suara batuk. Rupanya keramaian ini mengundang orang yang terbatuk ini keluar.
Usianya belum begitu tua. Tetapi siapapun dapat melihat bahwa penderitaan yang hebat, telah membuat usianya nampak lebih dari setengah abad.
“Ayah…..” Sam Siu berlari menuju orang itu dan berlutut di kakinya.
“Kau sudah pulang”
Kalimat ini bukan kalimat pertanyaan, juga bukan kalimat pernyataan.
“Anak sudah pulang ayah……”
Sang ayah diam saja.
Lelaki itu lalu menatap ke depan, seorang perempuan berdiri di sebelah kereta kuda.
“Kau membawa istri?” tanya si ayah.
“Kami belum menikah ayah. Anak tidak berani menikah sebelum mendapat restu dari ayah”
“Karena ingin menikah jadi kau pulang kemari?” tanya si ayah tajam.
Sam Siu tak tahu apa yang harus ia katakan. Wajahnya masih berlutut mencium kaki ayahnya.
Yan Niu Niu hendak maju ke depan memperkenalkan diri, namun kata-kata tajam sang ayah menghentikan langkahnya.
“Berhenti nona. Kuil kami terlarang bagi kaum perempuan.”
“Ayah mohon maafkan anak” kata Sam Siu penuh kesedihan.
“Kau hanya datang kemari untuk memohon restuku, bukan? Nah pergilah. Kau telah mendapatkan restuku” kata si ayah dengan datar. Ia lalu berbalik punggung dan melangkah pergi dari situ.
Si anak tetap berlutut dan berjalan mengikuti ayahnya dari belakang.
“Ayah….ayah…kumohon maafkan lah anak….ayah…kumohon…”
Siapapun yang melihat pemandangan ini akan trenyuh hatinya. Seorang anak yang berlutut menyembah menyeret wajah di tanah, sedangkan ayahnya berjalan pergi meninggalkannya.
Hubungan anak dan ayah, terkadang begitu renggang. Tetapi perasaan cinta di hati mereka sesungguhnya begitu dalam.
Air mata Sam Siu menetes membasahi tanah. Ia masih berlutut dan ‘menyembah’ dengan penuh hormat. Sekali pun ia tidak berani mengangkat wajahnya.
Semua orang terpana dan tak tahu harus melakukan apa melihat kejadian ini. Betapa memilukan dan menyayat hati.
“Ayah…maafkanlah anak….”
Tiada hal yang paling mengharukan selain pemandangan seorang anak yang memohon ampun kepada orang tuanya. Atas kesalahan-kesalahannya.
“Pergi.”
Dan pula, tiada hal yang paling menghancurkan jiwa selain pemandangan seorang ayah mengusir anaknya pergi.
Sang ayah tetap membalik punggung.
Entah karena ia sendiri tak sanggup melihat pemandangan ini, atau karena ia sendiri menyembunyikan air matanya.
Semua yang berada di sana, begitu terpana, sampai-sampai tak sadar bahwa sudah ada 3 bayangan yang hadir di situ pula. Bayangan ini bergerak begitu cepat dan tersembunyi, sehingga tak ada seorang pun yang menyadari kedatangannya.
“Rupanya kau disini. Haha” suara ini adalah suara Yan-wangwe (Hartawan Yan).
“Tidak sia-sia usaha kita” suara ini adalah suara si nona mungil pelayan.
“Hmmmm” suara ini milik seorang tua yang janggutnya menjuntai. Tubuhnya hitam legam. Kepalanya gundul. Ada dua buah anting-anting emas menggantung di telinganya.
Bajunya seperti bhiksu tetapi berwarna mereah darah.
Semua orang yang di sana menatap kaget. Beberapa bhiksu muda itu bergerak cepat.
“Lindungi Thaysu (bhiksu utama)” seru mereka serempak. Dalam sekejap mereka sudah membentuk sebuah barisan pertahanan.
Sam Siu menoleh kaget, dengan cepat ia bergerak menuju Yan Niu Niu dan menariknya pergi.
Alangkah herannya saat ternyata Yan Niu Niu bergerak cepat dan menotok tubuhnya kaku!
===========
Sang ayah terkejut melihat hal ini, tetapi wajahnya tenang. Lalu dengan dingin ia bertanya, “Apa yang kalian inginkan?”
“Kitab Bu Bok” jawab si bhiksu hitam.
Ayah Sam Siu tersenyum dingin. “Walaupun kalian membunuh kami, kitab itu tak akan ku serahkan”
“Sayang….sayang…apa yang kau lakukan?” Sam Siu bertanya tak percaya. Jauh di dalam hatinya ia telah mengerti apa yang terjadi.
Yan Niu Niu tertawa dingin, “Kau lelaki bodoh. Sampai kapan kau mau menutupi jati dirimu?”
Sam Siu terkulai lemas, tidak menyangka jika selama ini ia telah dijebak. “Apakah…apakah…A San mengkhianatiku pula? Aih….”
“Sahabatmu itu sudah jadi abu gosong” sahut nona mungil pelayan.
Tak terkira betapa hancur hati Sam Siu. Ia kehilangan seluruh tenaga dan semangatnya.
Beberapa bhiksu muda yang berjumlah 5 orang itu diam tak bergerak. Berdiri tegak melindungi ayah Sam Siu.
“Jika kau tidak menyerahkannya baik-baik, aku akan membunuh kalian semua dan mengobrak abrik kuil ini. Bukankah lebih baik kau berikan saja kitab itu dan kami akan pergi secara baik-baik,” kali ini Yan-wangwe yang berbicara.
“Umpama kau benar-benar mau menghancurkan kami semua pun, buku itu tersimpan di tempat rahasia. Kau tak akan bisa menemukannya”
“Siau Ting, petehkan saja leher anak itu,” perintah si bhiksu hitam. Ternyata nama asli Yan Niu Niu adalah Siau Ting.
Saat Siau Ting akan menggerakaan tangannya, tahu-tahu angin deras telah menghantam tubuhnya dari belakang. Tak ayal tubuhnya terlempar ke depan dan Sam Siu lepas dari pegangannya. Kelima orang Bhiksu pengawal ayah Sam Siu dengan sigap menangkapnya.
Begitu terkejut si Bhiksu hitam ketika mengetahui ada orang bisa membokong tanpa sepengatahuannya. Dengan cepat ia menyerang ke arah pembokong itu.
Si pembongkong tidak menerima serangan itu, malahan ia berjumpalitan menghindar sambil melepaskan sebuah pukulan.
Sebuah pukulan yang amat sangat terkenal.
“Naga Menggerung Menyesal”
Terdengar suara raungan naga saat si pembokong meneriakan kata-kata itu. Dari tangannya pun terlihat sinar keemasan yang berbentuk meneyrupai naga.
Si bhiksu tua yang kulitnya hitam legam itu terkaget. Ia tidak menyangka akan diserang dengan pukulan yang sedemikan dahsyat.
Seorang laki-laki muda berdiri di sana.
Tepat di antara rombongan si bhiksu hitam, dan rombongan ayah Sam Siu.
“Kau? Bukankah kau sudah mati jadi abu gosong?” kali ini si nona mungil pelayan yang berbicara.
“Kalian bisa menipu, masakah orang lain tidak bisa menipu pula?” jawab lelaki ini. Wajahnya masih tertutupi jenggot lebat. Tapi kini pakaiannya bersih dan rapi. Rambutnya pun sudah disanggul pula.
“A San!” teriak Sam Siu.
“Maaf aku terlambat,” kata A San sambil menoleh dan tersenyum.
“Hati-hati. Mereka semua licik dan jahat” kata Sam Siu mengingatkan.
“Ada aku di sini. Apa yang harus kau takutkan?”
Itulah jawaban seorang sahabat!
Inilah nilai seorang sahabat!
Jika kau memiliki seorang sahabat seperti ini, kau telah memiliki segalanya.
“Hissss, budak tolol macam begini biar aku yang menghadapi” Yan-wangwe maju dengan gagah.
Tetapi belum lagi ia melangkah, si bhiksu telah menamparnya.
“Mundur!” bentaknya.
Yan-wangwe tak tahu sebab musabab ia ditampar. Yang ia tahu pipinya sudah memerah dan panas membara.
Lalu si bhiksu hitam bertanya dengan sopan,
“Apakah pinceng (saya, ucapan untuk bhiksu) berhadapan dengan Cio-hongswee yang tersohor itu?”
Cio San menjura, “Pendangan La Ma (panggilan untuk bhiksu asal tibet) sungguh tajam dan luas”
Si La Ma menatapnya.
“Di dunia ini, orang yang sanggup bergerak diam-diam di belakang pinceng (saya) bisa di hitung dengan jari. Apalagi pukulan sakti itu, mungkin cuma seorang di dunia ini yang mampu melakukannya” jelas si La Ma.
Yan-wangwe dan yang lain tersentak mendengar nama itu disebut. Sedari tadi ia sudah curiga siapa A San sebenarnya, tetapi ia tidak yakin orang sehebat Cio San ini menerima saja dipukul ramai-ramai oleh anak buahnya. Bahkan sempat menjadi jongos pula di kandang kudanya.
Kini ia dan kawan-kawannya hanya bisa melongo. Yan Niu Niu alias Siau Ting yang sedang tergeletak di tanah pun hanya melongo. Ia tadi mendapatkan serangan yang cukup kuat, tetapi tidak melukainya dengan berat. Meskipun begitu, ia was-was juga. Khawatir jika Cio San akan menghajarnya. Tubuhnya memang paling dekat dengan pendekar itu.
“Namamu Siau Ting?” tanya Cio San.
“Lim Siau Ting” jawab nona itu.
Cio San mengangguk. “Pergilah,” Ia lalu menoleh kepada Sam Siu, “Kau ingin aku menjelaskan semua ini?”
Sam Siu mengangguk.
“Mereka-mereka ini adalah sebuah komplotan. Mereka telah mengetahui jati dirimu sebenarnya. Untuk itulah mereka menyusun rencana agar kau dapat membawa mereke bertemu…eh..ayahmu..”
Saat menyebut ‘ayahmu’, entah kenapa Cio San sungkan sendiri.
“Jadi…jadi..keluarga Yan itu tidak pernah ada?” tanya Sam Siu dengan wajah sedih.
“Ada. Hanya saja Yan-wangwe dan Yan-siocia yang asli…sudah..” Cio San tidak tega meneruskan kata-katanya.
Sam Siu pun sudah mengerti kelanjutan kata-kata itu.
“Ketika kau sudah mengerti ini, mengapa tidak kau jelaskan kepadaku?” air mata Sam Siu akhirnya tumpah. “Aku dapat menerima pengkhianatan mereka kepadaku. Tetapi aku tak sanggup menerima kebohonganmu! Kau menutupi kebenaran dariku!”
Cio San hanya menatapnya terharu. Terharu karena lelaki di hadapannya itu menganggapnya sebagai seorang sahabat!
“Aku akan menjelaskan seluruhnya kepadamu saat ini semua selesai”
“Aku tidak butuh!” dengan mantap ia berdiri maju dan berjalan menuju rombongan La Ma.
“Kalian ingin bunuh kami? Silahkan bunuh. Namun kami tidak akan memberikan apa yang kalian cari!”
Cio San maju meraih tangannya.
Sam Siu menarik tangannya dengan kasar. “Kau, tiada beda dengan mereka. Kau pun memanfaatkan aku!”
Seorang kekasih dapat menghina, menolak, atau mencapakkannya. Ia akan mampu menerima semua itu. Tetapi jika seorang sahabat yang melakukannya, hidupnya seolah-olah tidak berguna lagi.
Begitu dalam kata ‘persahabatan’ dipegangnya erat-erat. Berapa banyak dari kita yang mampu melakukannya?
Air mata Cio San mengalir deras.
Rombongan para penjahat yang ada di depan mereka terkejut heran, “Eh, kalian pencinta sesama jenis?” tanya nona mungil pelayan.
Plak!
Sekali lagi La Ma menampar.
“Kalian lihat baik-baik. Itulah yang dinamakan setia kawan”
Meskipun ia terlihat jelas sebagai tokoh Liok Lim (golongan hitam), tetapi La Ma ini menjunjung tinggi rasa setia kawan.
“Wan Gui, mundur!” kali ini ayah Sam Sui yang bersuara. Ternyata nama asli Sam Siu adalah Wan Gui.
Mendengar bentakan ayahnya, Wan Gui tersentak.
“Anak mendengar” ia menunduk patuh dan berjalan kembali ke tempat semula.
Suara sang ayah memang penuh wibawa. Siapapun yang mendengar suara ini, hatinya pasti bergetar.
“Pendekar muda,” kata si ayah kepada Cio San. “Kau tidak perlu mengorbankan jiwa bagi kami. Semua ini sudah takdir dan merupakan kehendak langit. Biar pun mereka memaksa dan menghancurkan kami, mereka tak akan menemukan kitab itu”
“Yang Mulia,” Cio San mengangguk dengan hormat. “Karena siauwjin (saya orang yang rendah) pun sudah berada di sini, bukankah tidak mengapa jika siauwjin ikut dihancurkan pula oleh mereka” ia menjura dengan sangat dalam.
“Kau sudah tahu siapa aku”
Kalimat ini bukan pertanyaan, bukan pula pernyataan.
Di dunia ini orang disebut “Yang Mulia” hanya satu orang.
“Jika aku memiliki 5 orang saja seperti engkau, maka kejadian dahulu kala tak akan terjadi. Aih…..takdir terjadi, masa lalu tak dapat terlupa. Omitohoud….omitohuuuud… (Buddha welas asih)”
“Yang Mulia silahkan turunkan perintah!” salah satu dari kelima orang bhiksu pengawal itu berteriak.
Sang La Ma pandai membaca gelagat. Ia tahu jika ia bertempur mati-matian, kemungkinannya masih seimbang. Jika ia melawan Cio San, ia belum tahu hasilnya seperti apa. Meskipun ia tidak meragukan kekuatannya sendiri, ia pun tidak meragukan kekuatan Cio San.
Sedangkan ketiga orang anak buahnya jika dikeroyok oleh kelima Bhiksu itu pun kemungkinan besar akan kalah atau seimbang.
Tetapi jika mengundurkan diri, ia tak tahu harus di mana menaruh muka. Akhirnya ia memilih melawan. Lebih baik mati ketimbang malu.
“Cio-hongswee, aku mengajakmu bertaruh” kata si La Ma.
“Silahkan”
“Jika aku menang bertaruung melawanmu, maka kalian harus menyerahkan kitab itu dan membiarkan kami pergi. Tetapi jika aku kalah, maka aku dan rombonganku akan pergi dari sini dengan tenang.”
Betapa pintar kakek ini mengatur siasat. Dengan melakukan taruhan ini, dia memilih jalan mundur yang aman. Jika kalah toh ia tak akan mati terbunuh. Anak buahnya pun tidak harus bertarung.
“Kitab itu bukan milikku. Aku tidak berhak menjawab” kata Cio San.
“Jadi kau menolak tantanganku?”
Kembali si kakek hitam legam ini menggunakan kata-kata berbisanya.
Jika Cio San menolak maka ia mengaku kalah!
Dengan melipat satu tangan ke belakang, dan dengan memainkan rambutnya, Cio San berkata dengan tenang. “Ada dua hal yang harus kau pahami. Pertama, kami semua disini lebih memilih menyerahkan nyawa ketimbang menyerahkan kitab itu. Kedua, aku tak akan kalah”
“Pendekar muda yang sombong” kata si La Ma perlahan. “Baiklah. Aku menawarkan tawaran kedua”
“Silahkan”
“Jika aku menang, maka kau tidak boleh menghalangi kami menyerang bhiksu-bhiksu ini dan mengobrak-abrik tempat ini. Tapi jika aku kalah, aku akan pergi dengan tenang”
Cio San tersenyum, enak sekali kakek tua ini mengajukan tawaran.
“Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau dan rombonganmu tidak akan mengganggu ‘Yang Mulia’ atau mencari kitab itu lagi.”
Si La Ma berpikir sebentar, lalu berkata, “Baik lah”.
Ia lalu maju 3 langkah ke depan. “Kita mulai” ia mengangkat tangannya menjura.
Cio San pun maju 3 langkah dan menjura. “Silahkan”
Tak ada kuda-kuda yang dilakukannya. Berdiri santai dengan satu tangan terlipat ke belakang, dan jemarinya memainkan rambutnya yang jatuh di bahu.
Melihat gaya berdiri ini si La Ma terhenyak juga, tetapi hatinya terasa panas. Anak muda sombong ini meremehkan dirinya!
“Awas serangan!” ia bergerak dengan cepat.
Tak ada seorang pun yang dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana bayangan itu bergerak, tahu-tahu ia sudah berada di atas kepala Cio San.
Telapaknya menyerang ke depan, mengincar batok kepala pendekar muda itu. Menerima serangan ini Cio San tidak melangkah menghindar. Ia hanya membengkokan tubuhnya ke samping. Dari telapak tangan kanannya terdengar suara berderik.
Inilah jurus ciptaannya yang menggoncang dunia, “Telapak Ular Derik”
Gerakannya jauh lebih cepat dari serangan si La Ma. Melihat serangan itu, sang La Ma menjulurkan telapak tangan yang satunya pula.
Kedua telapak itu beradu!
Blaaaaaaaaaaaaaam!!!!!!
Terdengar suara menggelegar!
Tanah tempat Cio San berpijak hancur tak beraturan. Tetapi tubuh pendekar itu tetap tegak. Rupanya sang La Ma dengan nekat mengajak Cio San beradu tenaga dalam.
Sebagai orang yang lebih tua dan pelatihan tenaga dalamnya lebih lama, sang La Ma yakin ia mempunyai tenaga dalam yang lebih dahsyat. Oleh karena itu ia berlaku nekat.
Begitu tenaga itu beradu, tubuh Cio San secara alami menggerakkan ‘Thay Kek Kun’. Ilmu andalan Bu Tong-pay ini adalah ilmu ciptaan pendeta Thio Sam Hong yang amat termahsyur.
Ilmu ini menyerap tenaga sang La Ma ke dalam sebuah kekosongan yang dalam. Kakek tua itu merasa tenaga dalamnya amblas hilang kemana, tahu-tahu tenaga itu seperti muncul kembali dan malah menyerang dirinya!
Tak hilang akal, si kakek berputar mencoba mengimbangi kekuatan arus pusaran yang muncul dari serangan Cio San. Sebuah tindakan yang pintar yang lahir dari kemampuannya memahami jurus orang lain.
Dengan berputar seperti itu mengikuti pusaran yang ada, sang kakek membuat pusaran tenaga itu jsutru bertambah besar dan semakin membesar. Para penonton yang berada di pinggiran merasa terdorong oleh besarnya kekuatan yang diciptakan. Jika tidak segera memasang kuda-kuda, seseorang bisa terdorong jatuh.
Kekuatan yang membesar itu mengeluarkan sinar kilat yang bercahaya!
Tubuh kedua orang ini melayang di udara. Tetapa karena pusaran ini, tubuh mereka hanya berputar-putar di tempat. Semakin lama semakin kencang!
Angin yang tercipta oleh putaran kedua orang ini malah telah menderbangkan atap kuil, debu, dan kayu-kayu serta bebatuan kecil.
Sungguh tak terduga bagaimana kekuatan kedua orang ini bisa menghasilkan badai yang kencang.
Cio San tenang. Wajahnya memerah pertanda ia sedang mengerahkan tenaga dalamnya sekuat yang ia bisa. Di pihak lain, wajah si kakek yang hitam legam terlihat memutih pucat.
Adu tenaga ini berlangsung cukup lama, sampai-sampai baju yang mereka pakai pun koyak moyak.
Betapa pun mereka berdua mencoba untuk bertahan.
Cio San tak dapat menggunakan ilmu lainnya, yaitu ‘Ilmu Menghisap Matahari’. Jika ia menggunakan ilmu ini, maka justru akan berbahaya bagi dirinya. Arus pusaran kekuatan itu begitu kuat sehingga ia menyerap tenaga pusaran itu, malah akan menyerang dirinya sendiri.
Ibarat air yang meluber karena ember yang terlalu penuh. Atau ibarat balon udara yang pecah karena kelebihan angin.
Satu-satunya cara yang bisa mereka berdua lakukan adalah tetap mempertahankan keadaan dan menambah tenaga.
Pertarungan adu tenaga ini sungguh tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Tanah di bawah mereka pecah berhamburan. Batu-batuan terlempar ke segala arah. Yang menonton pun terpaksa menghindar dan berlindung di balik apapun yang bisa melindungi mereka.
Kedua tangan mereka menempel. Tapi masing-masing memiliki satu tangan lagi yang mereka persiapkan untuk serangan pamungkas.
Seolah-olah pikiran mereka sudah tersambung, gerakan serangan pamungkas ini dilancarkan dengan bersamaan pula. Si kakek mengisi tangannya dengan tenaga yang ia simpan sedari tadi. Tenaga paling dahsyat yang pernah ia keluarkan sepanjang hidupnya.
Cio San menerimanya pula dengan telapak tangannya. Tetapi ia tidak mengisi telapak tangan itu dengan kekuatan. Ia bahkan tidak mengisi telapak tangannya dengan apapun.
Kosong!
Dalam Thay Kek Koen, kosong dapat mengalahkan isi.
Karena dengan kekosongan inilah, Cio San menyerap seluruh tenaga serangan sang La Ma dengan menggunakan ‘Ilmu Menghisap Matahari’ lalu menyalurkannya melalui telapak tangannya yang menempel ke tangan si kakek, dengan menggunakan Thay Kek Koen.
Sang kakek tahu Cio San mampu menggunakan Thay Kek Koen, dan Ilmu Menghisap Matahari. Yang tidak ia ketahui adalah Cio San mampu menggunakan jurus itu secara bersamaan!
Itulah kesalahannya!
Dan keselahan ini membuatnya terlempar beberapa tombak jauhnya. Ia memuntahkan darah segar yang amat banyak. Seluruh organ tubuhnya terluka dalam dengan amat sangat hebat.
Ia terluka karena pukulannya sendiri.
Untunglah Cio San tidak menyalurkan seluruh tenaga itu. Begitu kakek itu terlempat, ia menggunakan tangannya yang lain untuk menyalurkan tenaga sisa. Tangan itu memukul ke daerah kosong yang tidak ada seorang pun berdiri di situ.
Kekuatan yang keluar sanggup menghancurkan apapun yang berada di sana. Tembok, batu besar, pepohonan, segalanya berterbangan berhamburan ke segala arah.
Alangkah menakutkannya lelaki ini.
Lelaki yang begitu muda, tetapi sudah sedemikian hebatnya.
Sang La Ma pingsan. Ia bahkan sekarat.
“Bantu dia!” perintah Cio San, “Kerahkan tenaga kalian ke bagian pusarnya”
kata-kata ini ia ucapkan kepada ketiga orang anak buah sang La Ma.
Mereka dengan buru-buru melakukan yang ia perintahkan.
“Rasakan tenaga yang berputar itu, tahan di sana jangan sampai bergerak. Biarkan saja titik jantungnya. Jika kalian menambah tenaga di sana, justru urat jantungnya akan putus”
Ia memberi perintah dengan tenang sehingga para anak buah ini pun tenang juga melakukannya. Mereka percaya Cio San memang benar-benar ingin menyelematkan majikan mereka. Karena jika Cio San mau, ia sanggup membunuh sang La Ma sejak tadi!
Setelah lama bersemedi dan menyalurkan tenaga, akhirnya tenaga di pusar si kakek dapat dikendalikan. Mereka semua mengakhiri semedi dan penyaluran tenaga itu.
“Bawa dia pergi dan jangan kembali lagi” perintah Cio San.
Tentu saja mereka tidak perlu diperintah dua kali. Ketika hendak pergi, Sam Siu atau Wan Gui berteriak, “Berhenti”
Mereka berhenti.
Wan Gui menatap Lim Siau Ting. Tatapan yang penuh kesedihan.
“Jika kau berjanji untuk mengubah dirimu, aku masih mempertahankan janjiku”
Nona ini terdiam sejenak. Lalu tersenyum sinis,
“Cih” ia membuang ludah dan berbalik badan.
Meninggalkan seorang lelaki yang mencintainya begitu dalam.
Perempuan selalu menyakiti lelaki yang mencintainya terlalu dalam. Ini mungkin sudah sifat mereka. Sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Seorang lelaki memang tidak boleh mencintai perempuan terlalu dalam. Apabila ia nekat melakukannya, ia akan terluka berkali-kali.
Berkali-kali.
Karena berapa kali pun perempuan itu melukainya, ia akan terus memaafkan dan mengharapkannya kembali.
Jika seorang lelaki telah berjanji untuk menunggu seorang perempuan, maka walaupun perempuan itu menghancurkannya berkali-kali, lelaki itu akan tetap menunggunya.
Jumlah lelaki seperti ini memang tidak banyak. Namun jumlah mereka sungguh tidak sedikit pula.
Wan Gui adalah jenis lelaki semacam ini.
Cio San memandangnya dengan kagum. Lalu menjura.
Sesungguhnya ada begitu banyak hal yang bisa ia pelajari dari lelaki muda ini. Lelaki yang dipermalukan dan dikhianati namun tetap memperlihatkan cinta sejati.
“Aku akan menunggumu” bisik Wan Gui lirih. Bayangan Lim Siau Ting sudah begitu jauh. Lelaki muda ini tetap berdiri tegak menatap punggung sang perempuan.
Perempuan yang sudah pergi.
Yang sudah pergi belum tentu tidak akan kembali lagi.
Itulah yang berada di benaknya. Ia akan menunggu. Menunggunya berubah. Menunggunya menyadari bahwa tiada seorang lelaki pun yang akan mencintainya setulus dan sedalam ini.
Apakah ini kesalahan terbesarnya?
Hanya waktu yang dapat menjawab semua ini.
Jika itu merupakan kesalahan, toh ia tidak akan menyesal.
Seseorang tidak perlu menyesal jika ia mencintai orang lain dengan begitu dalam. Justru orang yang dicintai itulah yang sesungguhnya menyesal karena meninggalkannya.
Ya. Jauh di lubuk hati mereka, siapapun itu, baik ia lelaki maupun perempuan, jika ia pergi meninggalkan orang yang mencintainya teramat dalam, maka ia akan menyesal.
Menyesalnya pun sedalam cinta yang ia sia-siakan.
Hal ini sesungguhnya adalah hal yang paling menyedihkan dalam kehidupan umat manusia.
===========
Wan Gui masih menatap jauh ke depan. Matanya tak pernah ingin melepas bayangan itu pergi. Cio San tahu, tak ada yang sanggup ia lakukan.
Ia berbalik lalu menghadap kepada ayah Wan Gui. Ia berlutut dan memberi hormat,
“Semoga Kaisar panjang umur!”
Ayah Wan Gui diam saja. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Lalu dengan suara halus ia berkata, “Aku sudah bukan kaisar lagi, tidak perlu sungkan”
Cio San masih berlutut.
“Bangkitlah!” perintahnya masih berwibawa. Suaranya masih membuat hati gentar. Orang ini masih pantas menjadi kaisar.
Cio San berdiri, ia tahu sang ‘kaisar’ ini tidak ingin diperlakukan seperti kaisar lagi. Sambil menjura, Cio San berkata, “Hamba mengusulkan bagi Yang Mulia untuk segera menyelamatkan diri dari sini”
“Kami pun mengusulkan hal yang sama” sahut kelima orang bhiksu pengawalnya.
Ayah Wan Gui lalu bepikir sebentar, ia berkata, “Aku tidak ingin lari dan bersembunyi lagi. Biarlah mereka datang. Aku hanya ingin menitipkan Kitab Bu Bok kepada kau, Cio San. Bawalah dan jaga kitab ini jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat”
Cio San menunduk, betapa ia tidak mungkin memaksa orang ini untuk berubah pendapat.
“Yang mulia, jika jalan kehidupan masih bisa diambil, mengapa memilih jalan kematian?” tanyanya sopan.
Sang ‘kaisar’ menatap Cio San dalam-dalam dan berkata, “Aku sebenarnya sudah mati sejak dahulu. Tetapi langit masih memberi kesempatan untuk bertobat dan mengikuti jalan buddha. Kehidupan sudah tidak berarti bagiku,” jawabnya datar.
Cio San menjura lagi, “Jalan buddha adalah jalan kehidupan, pengasihan, dan pengampunan. Hamba yakin, Yang Mulia akan memilih jalan ini.”
Lelaki setengah baya itu terdiam. Di matanya mengambang air mata. Ia menatap pula punggung anaknya yang masih berdiri di kejauhan, melepas pergi orang yang dikasihinya.
“Kehidupan manusia penuh nafsu. Seseorang tak pernah bisa lepas dari hal ini sampai ia mati,” katanya sambil menerawang jauh. “Tapi kau benar, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang tidak menghargai kehidupan”
Betapa bahagianya Cio San mendengar hal ini.
Sang ‘kaisar’ menoleh kepada para bhiksu pengawalnya dan berkata, “Para saudaraku sekalian, mari kita pergi!”
Agak terhenyak juga Cio San mendengar ini. Pergi ke mana? Kenapa tidak membuat persiapan? Bekal?
Tapi ia adalah orang yang berpikiran ‘mengalir’. Ia cuma tidak menyangka ada orang yang berpikiran yang sama seperti dirinya.
Kelima hweesio itu memimpin jalan di depan. Sang ‘kaisar’ mengikuti dari belakang. Cio San menoleh kepada sahabatnya yang jauh berdiri di sana.
Ia berjalan padanya dan menyentuh pundaknya.
“Siu-ko, ayo kita pergi”
Sahabatnya itu menoleh kepadanya sebentar. Lalu membuang muka. Cio San mengerti bahwa sahabatnya ini sedang murka kepadanya. “Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu” katanya pelan.
Sam Siu tidak menoleh. Ia berjalan mengikuti rombongan yang tadi sudah berangkat. Cio San mengikutinya dari belakang.
Perjalanan ini melalui gerbang belakang bio (kuil). Seorang bhiksu pengawal mundur ke belakang Cio San dan mulai menghapus jejak. Nampaknya ia sangat terlatih dalam hal ini. Setelah beberapa jam mereka berjalan menembus hutan dan menaiki bukit, sampailah mereka di depan sebuah air terjun kecil yang indah.
Cio San terkagum-kagum saat melihat keindahan ini. Apalagi pantulan percikan air menciptakan pelangi kecil yang melengkung indah. Selain dia, tiada satu pun dari rombongan ini yang kagum. Sepertinya mereka memang sudah sering ke tempat ini.
Jalan yang kemudian mereka ambil adalah sebuah jalan setapak yang sangat licin. Bebatuan pegunungan yang keras dan terjal pun mereka lalui. Bahkan sampai harus merangkak, memanjat, dan merayap.
Lalu mereka sampai tepat di balik air terjun. Suara air terjun itu lumayan keras juga. Percikan airnya sampai membasahi tubuh mereka semua. Salah satu bhiksu pengawal lalu menekan sebuah batu. Ternyata batu ini berfungsi sebagai sejenis tuas yang membuka sebuah pintu rahasia.
Di balik pintu ini ternyata adalah sebuah goa rahasia yang indah. Mereka semua masuk, dan kembali si pengawal menutup pintu rahasai dari dalam.
Melihat keadaan goa ini, Cio San teringat keadaan dulu saat ia terjebak di goa bawah tanah. Suasananya hampir mirip, kecuali bahwa goa ini ternyata memiliki sinar matahari yang masuk melalui atap dan dinding batu yang memiliki lubang-lubang.
Di dalam goa pun mengalir sungai kecil serta memiliki tumbuh-tumbuhan beraneka ragam. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk, serta persediaan yang cukup banyak, tanaman ini dapat tumbuh dengan subur.
Persedian makan dan minum yang berlimpah, tempat tinggal yang tersembunyi, suasana yang bersih dan sehat, goa ini adalah sebuah tempat persembunyian yang sempurna!
“Kau pasti heran melihat keadaan goa ini. Aku justru menemukan tempat ini berdasarkan petunjuk yang berada di dalam kitab Bu Bok,” kata sang ‘kaisar’ kepada Cio San yang mendengarkan dengan mengangguk-angguk.
Mereka kemudian beristirahat dengan cara duduk bersandar. Beberapa orang pengawal memetik buah dan mengambilkan air minum.
Setelah selesai menikmati makanan ini, sang ‘kaisar’ berkata, “Kau nampaknya harus menceritakan asal mula keadaan ini, Cio-hongswee.”
Bahkan kaisar yang ini pun memanggilnya dengan sebutan Hongswee. Sang jenderal Phoenix!
Cio San bercerita tentang awal pertemuannya dengan Sam Siu atau Wan Gui. Ia bercerita pula saat mereka di terima kerja di rumah keluarga Yan.
“Ketika mengetahui bahwa nona Yan menyukai Siu-ko (kakak Siu), hamba menjadi curiga. Walaupun cinta antara wanita kaya raya dan pemuda miskin memang pernah ada, tetapi hal ini lebih banyak terjadi di dalam puisi dan cerita-cerita karangan penyair belaka,” jelas Cio San.
Sang ‘kaisar’ hanya tersenyum. “Lanjutkan.”
Sam Siu atau Wan Gui yang mendengarkan dari jarak yang cukup jauh hanya memandang wajah tak perduli. Ia menatap kosong ke langit-langit goa.
“Hamba hanya curiga, apa maksud nona Yan sebenarnya. Apalagi ada kejadian ia dijodohkan lalu seolah-olah memancing Siu-ko untuk kawin lari. Dalam pengetahuan hamba, seorang perempuan secantik nona Yan, yang hidup dalam kemewahan dalam seumur hidupnya, pasti akan berpikir 1000 kali untuk kawin lari dengan seorang pemuda….yang…eh..tidak memiliki apa-apa”.
Si kaisar tak tahan untuk memotong, “Kau nampaknya memiliki kebencian terhadap perempuan?”
Cio San ingin tertawa dan berdalih, tapi akhirnya ia berkata, “Walaupun hamba tidak membenci perempuan, hamba memeiliki beberapa pengalaman yang mengajarkan kepada hamba untuk lebih hati-hati dalam menghadapi perempuan”
Sang ‘kaisar’ ini tersenyum bijak.
Cio San melanjutkan, “Hamba terpaksa harus menyelidiki hal ini. Kecurigaan hamba terbukti ketika suatu hari, saat hamba sedang berjalan dengan Siu-ko, hamba ditotok seorang tidak dikenal. Ini bukan totokan mematikan. Si pelaku hanya ingin tahu apakah hamba bisa silat. Dengan begitu dia bisa menyusun rencana seandainya hamba terlibat dalam urusan ini. Dia pun hanya ingin tahu apakah hamba merupakan pengawal rahasia dari Siu-ko. Oleh karena itu hamba merelakan ditotok, agar jati diri hamba tidak diketahui.”
Lanjutnya,
“Kecurigaan hamba bertambah pula saat hamba menyadari bahwa kuda kesayangan Yan-wangwe (hartawan Yan) ternyata tidak menyukai tuannya sendiri”
“Dari mana kau tahu?” tanya sang ‘kaisar’.
“Hamba menyadari saat Siu-ko berkata si kuda ini merasa tidak nyaman saat dikendarai Yan-wangwe. Padahal kuda itu sudah menjadi tunggangannya selama setahun lebih. Kesimpulan yang hamba ambil adalah bahwa, sang kuda tahu bahwa orang yang menungganginya ini bukan lah tuannya”
‘Kaisar’ tua itu hanya mengangguk-angguk.
“Begitu menyadari ini, hamba mencari tahu keadaan pengurus kuda sebelum kami. Katanya ia dipecat tanpa sebab. Ia kemudian mati bunuh diri meminum racun. Tapi menurut perhitungan hamba, ia tentu dibunuh. Mengapa dibunuh? Karena sebagai pengurus kuda, ia pasti sadar juga bahwa Yan-wangwe yang ini adalah Yan-wangwe palsu! Kudanya sendiri tidak mengenalnya. Padahal selama ini Yan-wangwe begitu akrab dengan kudanya. Karena hal inilah si tukang kuda itu dibunuh untuk menghilangkan kecurigaan. Ia katanya mati bunuh diri dengan mencampurkan racun ke dalam makanan dan minumannya. Tetapi orang yang mau berpikir akan mengerti bahwa jika seseorang ingin bunuh diri dengan racun, ia akan langsung meminumnya. Tidak perlu mencampurkan dengan makanan atau minuman. Pasti ada orang lain yang menaruh racun di makanan dan minumannya”
“Pemikiran yang bagus” puji sang ‘kaisar’.
“Setelah mengetahui bahwa Yan-wangwe ini palsu, maka hamba pun mengambil kesimpulan bahwa Yan-siocia (nona Yan) juga palsu. Kini yang hamba perlukan hanyalah alasan mereka melakukan semua ini.”
Lanjutnya, “Hamba baru bisa mengerti alasan semua ini, setelah hamba, eh, menemukan cincin milik Siu-ko (kakak Siu)”
“Oh, jadi kau pun memeriksa barang ku pula. Bagus sekali perbuatanmu” tukas Sam Siu dari jauh.
“Lanjutkan ceritamu, Cio San” perintah sang ayah.
“Dari cincin itu, hamba mengetahui siapa Siu-ko yang sebenarnya”
“Nah, menarik. Coba jelaskan bagaimana kau mengetahui jati dirinya hanya berdasarkan sebuah cincin.”
“Awalnya tiada yang aneh. Sebuah cincin berwarna merah dengan ukiran huruf “Ma” atau yang berarti ‘Kuda’. Pertamanya hamba mengira huruf ini adalah she (marga) asli dari Siu-ko. Atau juga mungkin nama julukan, karena Siu-ko sangat ahli dalam urusan kuda”
Lanjutnya,
“Sampai saat itu, hamba belum bisa menebak siapa Siu-ko sebenarnya. Pikiran hamba baru terbuka setelah hamba menyadari bahan cincin itu. Cincin itu terbuat dari bahan yang tidak umum. Walaupun bahan itu bahan umum, tetapi jarang sekali orang membuat cincin dari bahan ini. Bahan ini bernama ‘Cu’ (Zhu dalam dialek mandarin. Berarti ‘Vermililion’, atau bahan ‘Cinnabar’ sejenis bebatuan yang dipakai juga untuk bahan pewarna).”
“Apa yang kau temukan dalam bahan ‘Cu’ itu?” tanya sang ‘kaisar’.
“Nama asli keluarga kekaisaran yang sekarang adalah she (marga) ‘Cu’. Hamba menemukan setelah mencoba mengingat-ingat sejarah. Kaisar kedua di dalam dinasti ini, bernama Cu Yun Wan. Ia diangkat menjadi kaisar pada umur 14 tahun, menggantikan ayahnya yang meninggal sebelum menjadi kaisar. Pengangkatan ini mengakibatkan adik dari ayahnya yang merasa lebih berhak, untuk memberontak. Sang pemberontak itu kemudian menjadi kaisar ketiga dinasti Beng, bernama kaisar Yong Lu.”
Si bhiksu ini hanya mengangguk-angguk sambil memejamkan mata.
“Nasib kaisar kedua ini tiada seorang pun yang tahu. Istananya dibakar seluruh keluarganya meninggal. Tapi hamba mengetahui dari cincin itu, dengan bahan ‘Cu’ yang melambangkan nama keluarga, serta huruf ‘Ma’ atau ‘kuda’ yang merupakan nama marga asli dari permaisuri. Setelah hamba mengingat-ingat, nama permaisuri itu adalah…”
“Cukup. Jangan kau sebut namanya,” air mata telah meleleh di pipi sang ‘kaisar’. “Lanjutkan saja ceritamu.”
“Setelah hamba mengetahui latar belakang ini, hamba mengambil kesimpulan bahwa Siu-ko adalah keturunan dari kaisar ini. Ia mungkin selamat dari pembakaran istana dan pembunuhan keluarganya. Dan mungkin saja ia membawa pusaka-pusaka berharga. Karena setahu hamba, banyak pusaka dan kitab yang hilang saat pembakaran istana itu.”
“Mengetahui ini, hamba mencoba memainkan saja permainan ini. Menyusun rencana sebaik mungkin agar para penjahat ini tidak mengetahui bahwa hamba sengaja melakukannya justru agar dapat membongkar persekongkolan ini. Karena jika tidak ditangkap tangan, amat sangat sulit membuktikannya.”
Lanjutnya,
“Hamba menuliskan rencana dengan matang, lalu mengumpulkan beberapa anak buah hamba yang tersebar di kota itu. Kemudian membuntuti para penjahat itu kemari. Sisanya, Yang Mulia sudah mengerti sendiri.”
“Bagus” tukas sang kaisar. “Kau memang memiliki kemampuan. Sungguh tidak menyesal aku bertemu denganmu. Tidak menyesal”
Tetapi di seberang sana, anaknya merasa sungguh menyesal. Wajahnya masih membatu, matanya pun masih menerawang.
“Kau telah bercerita cukup panjang. Kini giliranku yang bercerita.”
“Hamba mendengar dengan seksama, Yang Mulia” kata Cio San.
“Kejadian itu pemberontakan itu memang benar. Pamanku sendiri yang menghancurkan istanaku. Saat itu aku menggendong Wan Gui, dan anakku yang pertama digandeng oleh istriku. Entah bagaimana ia sedikit tertinggal di belakang, lalu sebuah kayu palang atap terbakar dan roboh. Memisahkan kami. Aku hendak kembali tetapi para pengawal melumpuhkanku dan aku hilang kesadaran. Tahu-tahu aku sudah berada di tempat lain. Saat kami kabur, beberapa pengawalku sempat menyelamatkan sebagain pusaka yang penting, termasuk Kitab Bu Bok. Berdasarkan petunjuk dalam kitab inilah aku menemukan tempat ini. Dengan sisa uang yang ada kami membangun kuil buddha dan hidup menyepi disini. Kau tentu tahu apa isi kitab Bu Bok bukan?”
Cio San mengangguk dan menjawab, “Kitab itu adalah kitab kuno yang ditulis oleh jendral Gak Hui (Yue Fuei dalam dialek mandarin). Kitab ini berisikan segala petunjuk mengenai peperangan. Konon katanya siapapun yang menggunakan petunjuk yang ada di dalamnya tidak ada kalah dalam perang. Saat menghadapi serbuan bangsa Goan (Mongol) dahulu, leluhur pendekar besar nan sakti, Kwee Ceng, menyimpan kitab ini di dalam golok sakti bernama ‘Golok Pembunuh Naga’. Dalam perjalanannya, tetua hamba di Bu Tong-pay, Thio Bu Kie-cianpwee (yang lebih tua) lah yang memiliki kitab itu. Kemudian saat beliau mengundurkan diri, kitab ini beliau serahkan kepada orang yang kemudian menjadi kaisar pertama, Yang Mulia Cu Guan Ceng, yang merupakan kakek dari anda, Yang Mulia.”
“Benar sekali. Oleh karena itu, kitab ini adalah warisan leluhur kita. Harus dijaga dan tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat. Jika tidak, seluruh kerajaan ini akan hancur.”
Cio San menjura.
“Ketahuilah bahwa kerajaan pun selama ini mengejar-ngejar aku. Mereka mengira dengan membawa kitab ini, aku akan mengumpulkan pasukan dan memberontak. Padahal tidak ada niatku sama sekali. Aku hanya berharap kitab ini jangan lagi digunakan untuk menyerang dan membunuh orang lain. Sampai kaisar yang ketiga, yaitu pamanku, wafat pun, kerajaan sampai saat ini masih mengejarku. Oleh karena itu, jika kau bersedia, kumohon bawalah saja kitab ini. Biarkan aku hidup tenang, dan mengikuti jalan Buddha” sambil berkata begitu, ia lalu beranjak mengambil sesuatu dari balik dinding di belakang tempat duduknya. Sebuah kitab. Lalu ia menyerahkannya dengan sopan dan sambil menunduk kepada Cio San.
Sekali lagi pendekar muda ini menjura. Diberikan tugas seberat ini, entah bagaimana ia menjalankannya. Apalagi sang kaisar yang terusir ini sampai membungkuk sedemikian rupa kepadanya.
“Terima kasih atas apa yang sudah kau perbuat. Omitohoud (Buddha welas asih)…Omithoud….” sang kaisar memberi salam seperti kaum Buddha lalu memejamkan matanya dan bersemedi.
Cio San bersoja (berlutut dan memberi hormat) sebentar, lalu berdiri dari situ. Kelima pengawal pun nampaknya sudah menutup mata dan bersemedi pula.
Hanya Sam Siu atau Cu Wan Gui yang masih membuka mata. Sepasang mata itu pun menatap Cio San dengan sangat tajam.
“Ada banyak hal yang harus kau jelaskan kepadaku”
“Begitu banyak, dari mana harus ku mulai?”
“Tentang cinta sejati. Kau berjanji menunjukkan kepadaku tentang cinta sejati. Nampaknya berupa kebohongan belaka.”
“Justru apa yang terjadi padamu adalah cinta sejati” kata Cio San sungguh-sungguh.
“Jelaskkan kepadaku”
“Cinta sejati, bukanlah cinta yang berakhir dengan kebahagiaan. Walaupun banyak yang berakhir dengan bahagia, banyak pula yang berakhir menyedihkan. Tetapi cinta sejati adalah cinta sejati. Memiliki dirinya atau tidak, kau tetap menyayanginya. Mengharapkan kebahagiaan dan kehidupan terbaik kepadanya. Mendoakannya, bahkan menantinya. Ia akan melukaimu berkali-kali, tapi kau tahu dengan pasti, kau pun akan memaafkannya berkali-kali pula. Karena cinta sejati mengalahkan takdir. Takdir mungkin akan mempersatukan dua orang di dalam pernikahan, tetapi takdir tak dapat menghalangi seseorang untuk terus mencintai meskipun apapun yang terjadi. Karena cinta sejati adalah milik hatimu. Bukan milik orang lain, bukan milik takdir. Engkaulah yang akan menentukan untuk terus mencintainya atau tidak. Kau menuliskan takdirmu sendiri terhadap perasaan cintamu. Inilah yang dinamakan cinta sejati”
Mendengar penjelasan yang panjang lebar itu, Cu Wan Gui hanya terdiam. Air mata mengalir deras di pipinya.
Cio San melanjutkan,
“Jika kau tidak mengalami kejadian memilukan seperti ini, kau tak akan pernah tahu cinta yang sebenarnya. Jika aku membongkar semua persekongkolan ini dari awal, kau tak akan mencintai Lim Siau Ting dengan begitu dalam. Walaupun ia palsu, yang kau tak tahu wajah aslinya seperti apa, sifatnya seperti apa, kehidupannya seperti apa, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu memaafkan segala kebohongannya. Akan membuatmu menerima dia apa adanya. Membuatmu menanti di dalam penantian yang panjang hanya untuk bertemu dengannya sekali saja”
“Kau rela membiarkanku jatuh ke dalam penderitaan sekejam itu?” tanya Cu Wan Gui.
“Umpama aku harus membuangmu ke dalam sebuah jurang penuh ular berbisa, asalkan aku yakin kau akan selamat dan akan berubah menjadi seorang lelaki yang lebih baik, aku akan tetap melakukannya”
Cu Wan Gui mengangguk. Ia mengerti sekarang. Air mata masih meleleh di pipinya. Air mata persahabatan!
“Baik! Kau pergilah. Saat aku telah menjadi lelaki sejati seperti yang kau inginkan, aku akan mencarimu!” katanya tegas dan lantang.
Cio San mengangguk, “Ketika saat itu tiba, giliran kau yang akan melemparkanku ke jurang penuh ular agar aku bisa menjadi orang sepertimu!”
“Baik!”
“Baik!”
“Aku pergi!”
“Selamat jalan, sahabat!”
============
Cio San hidup pada jaman kekaisaran Beng. Dalam dialek mandarin, disebut kekaisaran ‘Ming’. Mengapa saya menyukai kekaisaran ini, saya pun kurang tahu. Rasanya lebih longgar aja menulis cerita dengan latar belakang kekaisaran Beng ini.
Saya sempat menyusun ‘timeline’ kekaisaran ini untuk dicocokkan dengan kisah di novel ini. Dan yang saya temukan menarik. Timeline nya sungguh sangat cocok dengan isi cerita yang saya karang. Jadi seolah-seolah seperti fiksi dan fakta bercampur menjadi satu. Terus terang, sebuah cerita fiksi akan lebih asik dinikmati jika memiliki latar belakang fakta yang benar-benar terjadi.
Sekedar fakta untuk diketahui teman-teman, kekaisaran Beng ini berdiri di tahun 1368. Saat itu pendirinya yang bernama ‘Cu Goan Ceng’ berusia 40 tahun. Kaisar ini kemudian mempunyai namanya bangsawan ‘Hong wu’. Jadi, ia dikenal dengan nama kaisar Hongwu. Di dalam novel ini, kaisar ini merupakan sahabat karib dari kakeknya Cio San. Mereka bersama bahu membahu mengusir penjajah Mongol, dan mendirikan kerajaan Beng. Kaisar Hongwu inilah yang di dalam cerita ‘Golok Membunuh Naga’ karya Chin Yung, merupakan orang yang diberikan kitab Bu Bok oleh Thio Bu Kie.
Seperti layaknya kekaisaran, seorang putra mahkota harus dipilih sejak awal oleh sang kaisar sendiri untuk kemudian menggantinya bertahta. Putra mahkota ini menurut tradisi, dipilih dari antara anak-anaknya sendiri yang semuanya bergelar ‘Pangeran’. Sayang, putra mahkota yang telah terpilih itu meninggal di usia muda sebelum ia menjabat menjadi kaisar menggantikan ayahnya, kaisar Hong Wu. Di jaman itu, menikah di usia remaja adalah hal yang biasa. Sebelum meninggal sang putra mahkota ini sudah memiliki seorang anak.
Masalah kemudian terjadi ketika kaisar Hongwu tidak memilih putra mahkota dari pangeran-pangeran yang ada, yang nota bene adalah anak kandungnya sendiri. Ia malah memilih putra mahkota dari anak putra mahkota yang meninggal tadi. Dengan kata lain, kaisar Hongwu tidak memilih penggantinya dari para pangeran yang ada (anak-anaknya sendiri), tetapi ia malah memilih pengganti dari para cucunya.
Maka saat kaisar Hongwu meninggal, naiklah cucunya menjadi penggantinya, pada umur 14 tahun. Hal ini menimbulkan kecemburuan tersendiri dari para pangeran, yang merupakan paman dari kaisar muda ini. Kaisar muda belia ini bernama kaisar Jian Wen dalam dialek mandarin (terus terang dialek hokkiannya saya tidak tahu. Kiam Wan mungkin? Entahlah). Kaisar Jian Wen inilah yang menjadi tokoh bhiksu, ayah dari Sam Siu, alias Cu Wan Gui.
Dalam sejarah yang asli, kaisar ini hanya memerintah selama 3 tahun, sebelum salah pamannya melakukan pemberontakan. Saat pemberontakan itu, sang paman menyerbu dengan ribuan pasukan, serta membakar istana kekaisaran. Dikabarkan kaisar Jian Wen mati dalam serangan itu. Tetapi dalam sejarah tertulis, kaisar ini berhasil selamat bersama anaknya yang baru berumur 1 tahun, yaitu Cu Wan Gui (di dalam novel KPPL bernama Sam Siu).
Sejarah menceritakan pula, bahwa permaisuri yang bermarga ‘Ma’, tidak berhasil menyelamatkan diri, dan membiarkan tubuhnya terbakar, demikian pula anak mereka yang pertama tewas pula dalam kejadian itu. Setelah kejadian ini, ada beberapa catatan yang menceritakan bahwa kaisar yang terusir ini mengasingkan diri sebagai bhiksu Buddha secara rahasia.
Sang paman, yang kini menjadi kaisar baru berjulukan kasiar Yong Lu, mengadakan banyak penugasan rahasia untuk menyelediki dimana keberadaan keponanakannya itu. Bahkan katanya, ekspedisi armada laut Ceng Ho pun ada hubungannya dengan pencarian kaisar yang hilang itu.
Nah, kaisar Yong Lu ini adalah kaisar yang muncul di KPPL pertama. Sebagai orang yang hampir dibunuh oleh Beng Liong dan komplotannya. Dan juga sebagai kaisar yang memberi julukan ‘Hongswee’ pada Cio San.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, kaisar ini memerintah dengan cukup adil dan cerdas. Ekonomi rakyat bertambah maju dan dan banyak penemuan-penemuan mutakhir pada jamannya. Ekspedisi mencari dunia baru melalui armada maritim Ceng Ho juga sangat terkenal.
Sedikit informasi, Cio San lahir tepat di tahun 1400. Kaisar Jian Wen diturunkan dari tahta oleh pamannya, kaisar Yong Lu, di tahun 1402. Jadi saat itu Cio San baru berumur 2 tahun. Ketika Cio San menyelamatkan kaisar Yong Lu dari serangan Beng Liong, saat itu Cio San berumur 20 tahun. Berarti kejadian itu terjadi di tahun 1420.
Cio San kemudian berkelana di dunia persilatan dan menjadi terkenal selama 5 tahun. Berarti kejadian di Lembah Naga dimana Khu Ling Ling memutuskan cinta mereka, saat itu tahun 1425, Cio San berumur 25 tahun.
Seperti yang kita ketahui, Cio San lalu menghilang selama 3 tahun. Selama menghilang itu dipecah menjadi 1 tahun berkelana seorang diri, dan 2 tahun tinggal bersama Sam Siu/Cu Wan Gui. Jadi ketika kejadian Cio San mematahkan persekongkolan kitab Bu Bok ini terjadi saat ia berusia 28 tahun.
Oh iya, secara singkat saya ceritakan tentang asal-usul kitab Bu Bok. Dalam dialek mandarin, kitab ini di sebut kitab Wu Mu, atau Book of Wu Mu. Kitab ini ditulis oleh seorang jendral ternama bernama Gak Hui atau lebih terkenal dalam ejaan mandarin, Yue Fei. Jenderal ini sangat legendaris, karena dianggap sebagai salah satu jenderal terbaik yang ada di dunia.
Book of Wu Mu ini kemudian berpindah tangan sampai jatuh ke tangan pendekar Kwee Ceng dalam fiksi karangan Chin Yung berjudul ‘Legend of Condor Heroes’ (Sin Tiauw Eng Hiong/ Shen Dao Ying Xiong). Lalu berpindah lagi ke tangan Ciu Cie Jiak, ketua Go Bi-pay. Lalu berpindah lagi ke tangan Thio Bu Kie, lalu berpindah ke tangan Cu Goan Cu alias kaisar pertama kerajaan Beng. Konon dengan ilmu dari buku inilah Cu Guan Cu meraih kemenangan dan berhasil mengusir penjajah.
Sekarang, menurut novel KPPL episode 2 bab 25, book of Wu Mu, atau Kitab Bu Bok tersebut berada di tangan Cio San. Yang ia terima dari kaisar kedua, sang kaisar terusir, Jian Wen.
===========
Melangkah.
Kehidupan manusia pada intinya adalah melangkah. Kehidupan tidak pernah diam. Yang diam hanyalah yang mati. Jika seseorang tetap diam di masa lalunya, maka ia sebenarnya mati walaupun ia masih hidup. Cio San telah mati selama 3 tahun ini.
Tetapi ia sudah datang. Ia sudah pulang.
Melangkah memerlukan keberanian, sebab itu banyak orang yang memilih diam karena ia tidak memiliki keberanian. Bergerak memerlukan tenaga pula. Siapa yang tidak bergerak, maka dia orang yang malas atau sakit.
Diam hanya boleh dilakukan saat kita beristirahat dari gemuruhnya dunia. Setelah mengumpulkan kekuatan, seseorang harus bergerak lagi.
Perjalanan begitu panjang di hadapannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, harus melakukan apa pula. Tapi dari kejadian yang lewat baru-baru ini, Cio San melihat adanya sebuah rencana besar lagi.
Kaum persilatan tidak akan mungkin tertarik dengan Kitab Bu Bok. Kitab ini adalah kitab tentang siasat perang. Tidak ada yang menarik bagi ahli silat. Tetapi kitab ini adalah kitab dambaan para jendral perang. Kitab dambaan para kaisar!
Siapa gerangan La Ma yang sakti itu? Apakah ia benar-benar tertarik dengan kitab Bu Bok? Ataukah dia hanyalah orang suruhan? Ataukah dia adalah bagian dari sebuah persekongkolan jahat yang mempunyai rencana besar?
Ia tahu hidupnya tidak akan tenang lagi. Ia sudah cukup menikmati ketenangan selama 3 tahun. Sekarang saatnya kembali pada kehidupannya yang sebenarnya. Kehidupan yang penuh bahaya sudah menantinya di depan. Jika gerombolan La Ma itu cukup cerdas untuk melacak siapa Sam Siu sebenarnya dan membuat rencana seperti peristiwa yang lalu, mereka pasti juga cukup cerdas untuk mengambil kesimpulan bahwa kitab Bu Bok pasti sekarang berada pada dirinya.
Dengan penuh semangat ia berjalan. Lupa bahwa ia tidak punya uang sepeser pun. Selama ini sepanjang perjalanan ia selalu memetik buah atau menangkap hewan liar. Tetapi jika sudah masuk kota, maka untuk makan, seseorang harus punya uang.
Hal inilah yang membuat Cio San sedikit heran. Saat kecil dulu, ayahnya sering menceritakan kisah-kisah kepahlawanan. Ia sendiri juga sering membaca kisah hidup pendekra-pendekar besar seperti Kwee Ceng, Yo Ko, dan lain-lain. Di waktu dulu, ia merasa sangat kagum dengan kehidupan mereka yang penuh keberanian dan petualangan. Kini, yang ada di dalam kepalanya hanyalah sebuah perasaan heran.
Ya. Heran.
Para pendekar besar ini berkelana kesana kemari, dari mana mereka punya uang? Mungkin mereka bisa memetik buah atau menangkap hewan liar untuk makan. Tetapi apakah mereka tidak butuh baju? Jika mereka masuk ke sebuah kota, di mana mereka makan dan menginap? Menggunakan uang siapa pula? Jika mereka harus menggunakan jasa tukang perahu, siapa yang membayar? Apa mereka tidak butuh kuda? Kuda yang bagus sangat mahal harganya. Setidaknya untuk ukuran kantongnya.
Cio San tersenyum-senyum sendiri. Kehidupan para pendekar memang penuh suka duka. Herannya tak sedikitpun ia pernah membaca atau mendengar bahwa mereka pernah mengeluh kesulitan uang.
Sebenarnya sebagai seorang yang diangkat sebagai jendral kehormatan kekaisaran Beng dengan julukan ‘Hongswee’, harusnya hidup Cio San sangat menyenangkan. Ia bisa hidup nikmat hanya dengan mengandalkan julukan itu saja. Apalagi sang kaisar pun menganugerahkan sebuah lencana naga padanya. Lencana naga ini memberi kekuasaan yang amat sangat besar kepadanya. Siapa yang memiliki lencana naga ini dianggap seperti perwakilan kaisar langsung. Orang yang menunjukkan lencana naga maka seluruh ucapannya harus dituruti. Ini sudah ada dalam undang-undang dasar kekaisaran. Hanya ada 2 atau 3 orang yang memiliki lencana naga kekaisaran. Hanya kaisar pula yang boleh memberi atau mengambil kembali lencana itu.
Sayangnya Cio San tidak suka membawa lencana naga kemana-mana. Ia juga berpikir lencana itu tidak ada gunanya. Kebutuhannya hanya makan dan minum, mungkin 2 helai baju, dan seekor kuda tunggangan. Jadi Cio San tak sanggup membayangkan jika ia tidak punya uang untuk membayar makan di sebuah kedai, ia lantas menunjukkan lencana naga itu.
Mau ditaruh dimana kewibawaan kekaisaran ini jika pembawa lencana naga tidak punya uang untuk membayar makan?
Oleh sebab itu ia menyimpan lencana naga itu di sebuah tempat rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu.
Sebagai ketua perkumpulan terbesar di dunia, Kay Pang, ia juga sebenarnya mempunyai keuntungan yang besar. Partai ini adalah partai pengemis. Pengemis ada di seluruh dunia. Jika ia mau ia bisa memerintahkan para pengemis ini mencarikan makan untuknya. Markas perkumpulan ini pun tersebar di mana-mana. Asal ia memasukinya saja, akan ada ratusan orang berlutut di kakinya memberi hormat. Apalagi cuma urusan makan. Tetapi Cio San ini sudah bukan lagi pangcu (ketua) dari partai terbesar ini. Ia dulu sempat menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, dan menyatakan mengundurkan diri dari partai ini. Jika ia dengan jumawa datang ke markas partai ini, ia tetap akan disambut oleh ratusan orang. Bedanya, mereka akan menyambutnya dengan serangan mematikan. Oleh sebab itu Cio San pun mengurungkan niat untuk menghubungi Kay Pang. Apalagi menghubungi partai terbesar sedunia itu hanya untuk urusan makan atau pinjam uang.
Cio San juga pernah menjabat dari partai nomer dua terbesar di dunia persilatan, yaitu Beng Kauw. Partai ini dulu amat berjaya, bahkan sempat berperan besar dalam mengusir penjajah dan mendirikan kekaisaran Beng. Nama kekaisaran ini pun diambil dari partai ini. Karena banyak kejadian, orang-orang menyebut partai ini Mo Kauw, atau partai ‘iblis’. Cio San dulu pernah tidak sengaja pula diangkat sebagai Kauwcu (ketua) nya. Tetapi ia sudah mengundurkan diri pula dari partai ini. Jabatan ketua ia berikan kepada sahabat baiknya, seorang wanita, Ang Lin Hua. Wanita ini adalah istri dari sahabat baiknya, Suma Sun.
Sebenarnya walaupun sudah tidak menjabat lagi sebagai ketua, banyak anggota Mo Kauw yang masih menganggapnya ketua. Hal ini terjadi karena mereka sangat mengagumi sepak terjang pemuda ini. Cio San pun mengetahui hal ini, karenanya ia mampu menggerakkan beberapa orang dalam pelaksanaan rencananya beberapa hari yang lalu. Tapi sungguh ia tidak punya muka untuk datang ke markas mereka untuk meminta makan atau meminjam uang. Karena ia tahu, orang-orang ini jauh lebih membutuhkan uang daripada dirinya.
Karena jika menyangkut hal hidup orang banyak, dan kepentingan umum, Cio San akan melakukan apa saja. Tetapi jika menyangkut dirinya sendiri, ia sangat sungkan merepotkan orang lain.
Selain ketiga ‘jabatan’ ini, Cio San pun masih memiliki suatu kelebihan. Yaitu ia telah dianggap bagian dari keluarga ‘Khu’. Keluarga ini adalah salah satu keluarga paling kaya di Tionggoan (China). Usaha mereka meliputi berbagai bidang. Toko dan tempat usaha mereka tersebar dimana-mana. Konon katanya, tempat usaha mereka ini jauh lebih banyak dari kantor pemerintah.
Kepala keluarga ini, yaitu Khu-hujin (Nyonya Khu) sudah menganggapnya seperti ‘anak’ sendiri. Bahkan juga menyetujui hubungannya dengan cucu sang Hujin, yaitu Khu Ling Ling. Mengingat nama ini, dada Cio San serasa sempit. Jantungnya bergetar tak karuan. Meskipun ia sudah melupakan nama ini, tetap saja dadanya terasa sakit saat mendengar namanya. Mungkin karena sebenarnya seseorang tidak bisa melupakan orang yang dicintainya. Ia hanya bisa mencoba untuk tidak mengingatnya.
Karena lupa dan tidak ingat sebenarnya adalah 2 hal yang berbeda.
Jika ia mau, ia bisa masuk ke kota mana saja, mencari cabang usaha keluarga Khu, dan mengambil apapun yang ia suka. Tetapi ia merasa amat tidak pantas jika seorang laki-laki memasuki toko mantan kekasihnya untuk meminta macam-macam. Selain tidak punya harga diri, laki-laki semacam ini juga tidak punya malu.
Oleh karena sebab-musabab di inilah, Cio San tidak melakukan apa-apa dan terus berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai.
Ia pernah menjadi tukang masak di sebuah kedai. Pekerjaan ini sangat disukainya, bahkan ia yakin ia memiliki bakat dalam hal ini. Saat bekerja sebagai tukang masak inilah ia bertemu dengan Kwee Mey Lan, cinta pertamanya. Dan umumnya, cinta pertama selalu berakhir tidak mengenakkan. Cerita Cio San pun seperti itu. Oleh karena itu Cio San memilih untuk tidak menjadi tukang masak lagi. Ia takut ia akan bertemu dengan Kwee Mey Lan-Kwee Mey Lan berikutnya.
Ia lalu berpikir untuk menjadi pesilat jalanan. Pekerjaan ini cukup menjanjikan. Seseorang cukup memilih sebuah tempat di kota, paling baik jika di pinggir jalan. Ia cukup mempertontonkan kepandaiannya bersilat. Jika penonton kagum atas kepandaiannya, mereka akan memberi uang.
Cio San berpikir sebentar lalu mengambil keputusan. Ya, ia akan menjadi pesilat jalanan!
Setelah berkeliling sebentar di pusat kota, ia akhirnya menemukan sebuah pojok jalanan yang tidak begitu ramai. Dengan suara diberat-beratkan, ia lalu berteriak:
“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian, perkenalkan nama cayhe (saya) adalah A San. Cayhe datang dari jauh bukan untuk memamerkan kepandaian. Cayhe hanya ingin memberi tontonan yang menghibur kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian. Bagi saudara-saudara yang bisa ilmu silat, mohon maafkan cayhe yang sudah lancang. Sungguh cayhe tidak ingin menantang siapa-siapa, cayhe hanya ingin mencari sesuap nasi”
Setelah berteriak lantang, banyak orang yang berkumpul. Mereka penasaran ingin melihat kehebatan silat lelaki ini. Maklum, ilmu silat di jaman ini adalah sesuatu yang mengagumkan. Siapapun yang menguasainya akan memiliki nilai lebih di mata orang. Semakin hebat, semakin tinggi pula nilainya.
“Hooooop!” Cio San mulai bersilat.
Gerakannya mantap, luwes, dan lincah. Tentu saja ia tidak menunjukkan kemampuan silatnya yang sebenarnya. Jika ia mempertunjukkannya, tidak ada satu orang penonton pun yang akan sanggup melihat gerakannya yang sangat cepat itu.
Cio San mencampurkan banyak gaya silat. Ia bergerak dengan langkah gerakan Bu Tong yang terkenal ‘Melangkah Di Atas Awan’ tetapi menggabungkannya dengan pukulan khas Kay Pang, ‘Jurus Tongkat Memukul Anjing’.
Ilmu silat ini seperti asal-asalan, namun cukup indah juga dipandang. Tetapi ahli silat yang paham pasti tahu bahwa gerakan-gerakan seperti ini adalah gerakan ngawur yang tidak ada dalam pelajaran silat manapun.
Setelah bersilat cukup lama, penonton yang hadir pun semakin bertambah. Cio San menjadi semakin bersemangat untuk bersilat. Gerakannya tambah mengada-ada. Entah jurus apa yang sudah ia mainkan, intinya ia hanya ingin memperlihatkan keindahan bentuk, tanpa perduli gerakan itu benar-benar bisa dipakai dalam pertarungan sebenarnya.
“Berhenti!!!! Bubar! Bubar semua!”
Terdengar sebuah teriakan.
Saat orang-orang menoleh, ternyata mereka mengenalnya sebagai Tam-toako, atau kakak Tam. Tidak ada yang tahu nama panjangnya siapa. Semua mengenalnya dengan nama Tam-toako.
Kakak Tam.
Jika kau bertanya kepada seluruh orang-orang kecil di kota ini, mereka tahu siapa Tam-toako. Ia adalah kebanggan kota ini.
Ia adalah seorang pesilat jalanan pula, seperti Cio San. Dan tempatnya bersilat pun tepat di tempat Cio San bersilat. Seluruh orang yang ramai berkumpul di sini sebenarnya ingin tahu mengapa ada orang baru berani bersilat di tempat itu.
“Kau tahu siapa aku?” tanya Tam-toako sambil berjalan menembus kerumunan penonton. Tentu saja mereka semua memberi jalan kepadanya.
“Tidak” kata Cio San tersenyum sambil menggeleng.
“Jika tidak tahu, mengapa kau berani bersilat di sini?”
“Umpama aku mau buang air juga apa harus tahu siapa kau?” Cio San tertawa masam.
“Kurang ajar!” kata-kata dibarengi dengan serangan tendangan Tam-toako.
Untuk kalangan pesilat biasa, serangan ini cukup mengagumkan. Gerakannya cepat, dan tepat. Mengarah ke dagu Cio San. Tetapi mana bisa serangan pesilat biasa ini dipakai untuk menghadapi Cio San?
Ia menghindarinya dengan gaya yang dibuat-buat. Sedikit pura-pura takut dan menghindar ke belakang. “Aih, toako. Kenapa harus berkelahi? Semuanya kan bisa dibicarakan baik-baik.
Tam-toako tidak peduli. Berturut-turut ia melancarkan pukulan. Cio San menangkisnya sambil berpura-pura kesakitan.
Terjadi kekacauan karena semua penonton kini mulai memasang taruhan. Taruhan paling besar tentunya dialamatkan kepada Tam-toako. Selama ini tak ada seorang pun yang mampu menghadapi Ta.-toako!
Melihat ini Cio San bertanya, “Eh, jika aku menang, apakah aku akan dapat uang pula?”
“Tentu saja!” jawab para penonton.
“Kau tak akan menang!” Tam-toako menyerang tanpa kenal ampun.
Di umur 7 atau 8 tahun, saat Cio San masih sakit-sakitan dan belajar silat di Bu Tong pay, ia bisa mengalahkan Tam-toako dalam satu atau dua jurus. Apalagi dalam keadaan sekarang. Sayangnya Cio San sangat menikmati hal ini.
Ia menikmati dianggap remeh orang lain. Karena ia tidak pernah menyukai pujian. Ia mengerti betul bahwa dibalik pujian, terdapat kecemburuan dan iri hati yang besar.
Manusia amat sangat jarang memuji dengan tulus. Mereka memuji untuk menutupi rasa cemburu. Di dalam hati mereka tersimpan niat untuk menjadi lebih baik daripada orang yang dipujinya.
Tetapi memang ada juga orang yang tulus. Cuma jumlahnya amat sangat sedikit.
Mendengar kata ‘uang’ tentu saja Cio San bertambah semangatnya. Ia bukan mata duitan. Tetapi ia perlu makan dan berganti baju. Selama beberapa hari perjalanan, bau keringat dan debu sudah menempel cukup kuat di baju itu.
Dengan sebuah gerakan kecil, Cio San berhasil menjatuhkan Tam-toako. Gerakan ini dilakukan dengan cara pura-pura lari menghindar ketakutan. Tetapi si ‘kakak’ ini dengan cepat berdiri dan menyerang lebih ganas.
Mendapat serangan seperti ini Cio San seolah-olah tidak dapat menghindar. Ia menjadi tersudut karena tidak dapat mundur lagi. Sebuah pukulan memasuki ulu hatinya.
Duggg!
“Uhk!” terdengar suaranya merintih.
“Hahaha. Aku menang! Aku menang!” Tam-toako berteriak senang karena ia melihat Cio San terkapar dan tak dapat bangun lagi.
“Sekarang kau pergi! Jangan pernah bersilat di sini lagi. Tempat ini milikku! Jangan pernah bersilat di kota ini. Pergilah kau sejauh-jauhnya!” bentaknya.
Cio San menunggu agak lama baru ia berdiri. Dengan pelan ia berjalan meninggalkan tempat itu. Orang-orang memandangnya dengan penuh tawa dan cacian.
“Makanya, jangan sok jago! Hahahaha”
Sudah dihajar, tidak dapat uang pula. Ia melangkah dengan gontai. Udara sore bertiup sepoi-sepoi. Langit berwarna kuning cerah.
Ia duduk di pinggiran pantai. Mendengarkan deburan ombak dan angin pantai.
Lama sekali ia duduk di sana, hingga seseorang datang dan mengagetkannya dari lamunannya.
“Selamat sore” kata orang itu menjura.
Cio San tersenyum. Ia balas menjura pula.
“Dari 5 orang yang membuntuti ku sejak 3 hari yang lalu, hanya kau seorang yang tidak tertipu dengan sandiwaraku tadi”
Orang yang datang itu menunduk hormat. Ia masih muda. Pakaiannya rapi, dan wajahnya berwibawa. Sebelum ia berbicara, Cio San sudah membuka suara,
“Ada perlu apa kekaisaran mencariku?”
“Aih….sungguh hamba kagum. Tidak ada hal yang bisa disembunyikan dari Hongswee” kata orang itu menunduk kagum.
“Badanmu tegap. Raut wajah dan gerak tubuh menggambarkan pelatihan ketentaraan yang lama. Kau pasti tentara kerajaan. Apalagi aku baru saja melihat sebuah lencana ketentaraan tersembunyi di balik sakumu,” jelas Cio San.
Orang ini kembali tersenyum kagum. Katanya, “Sebaiknya hamba memang tidak perlu berbasa-basi kepada Hongswee. Nama hamba Nio Sin Kung. Sesungguhnya hamba mencari Hongswee karena ditugaskan oleh atasan hamba.”
“Siapa?”
“Kao Ceng Lun”
“Oh. Ada apa?” tanya Cio San penasaran.
“Telah terjadi pencurian di gudang istana kaisar”
Cio San terhenyak dan kaget. Kekagetannya bukan karena mendengar gudang istana dibobol maling. Melainkan karena ia heran mengapa mereka mencari dirinya, bukan Cukat Tong.
“Kenapa tidak bertanya kepada Cukat Tong? Aih….apakah ada sesuatu terjadi padanya?” ia bertanya cemas.
“Hamba hanya diperintahkan menyampaikan ini kepada Hongswee. Mengenai urusan lain, harap Hongswee tanyakan kepada atasan hamba, Kao-Bu Ciang (kolonel Kao)” jelas orang itu.
“Dia sudah berpangkat Bu Ciang? Hebat. Semuda itu. Di mana aku bisa menemuinya?”
“Beliau sedang berada di kota kelahirannya. Beberapa hari yang lalu, saat beliau sedang bertugas menyelidiki beberapa perkara, beliau mampir ke kota kelahirannya. Tak tahunya, di sana malah terjadi kejadian yang sama sekali tidak beliau duga. Ayah beliau dibunuh orang!”
“Hah?”
“Sebuah kejadian yang mengerikan sekali, Hongswee. Karena itu beliau tidak dapat menjemput sendiri dan memerintahkan hamba untuk menjemput”.
“Siapa yang memberitahukanmu tentang keberadaanku? Suma-tayhiap (pendekar Suma)?”
“Benar. Selama ini Suma-tayhiap selalu mengikuti perkembangan kehidupan Hongswee. Entah bagaimana caranya. Hamba mencari Hongswee sampai ke rumah Yan-wangwe, mendengar bahwa terjadi keributan. Lalu hamba mengusut hingga ke bio (kuil) di gunung timur. Kembali hamba terlambat pula karena ketika sampai di sana ternyata bio ini sudah kosong. Kemudian hamba mencari lagi hingga akhirnya sampai kemari”
Dalam hati Cio San tertawa. Memang tak ada satu hal pun yang bisa ia sembunyikan dari ‘serigala’. Ia juga cukup kagum dengan kecerdasan Nio Sin Kung yang mampu mencarinya sampai kemari.
“Aku akan segera berangkat. Kau pulanglah dahulu.” Kata Cio San kepadaa Nio Sin Kung.
“Apakah Hongswee akan berkunjung ke tempat Cukat-tayhiap (pendekar Cukat)? Beliau sekarang tidak menetap lagi di kota yang lama. Ini hamba bawakan peta tempat tinggalnya. Ini ada juga uang seadanya untuk perjalanan. Hamba juga suda menyediakan kuda. Itu yang tertambat di sana” katanya sambil menunjuk sebuah kuda putih yang amat gagah.
“Kalian para petugas kerajaan, memang sangat penuh perhitungan, sudah tahu apa yang akan kulakukan”
‘Semua ini atas petunjuk Suma-tayhiap, dan Kao-bun ciang (kolonel Kao). Mereka sudah memberitahukan kepada hamba bahwa Hongswee pasti akan mencari kabar Cukat-tayhiap dahulu. Oleh karena itu mereka berdua pun sudah menitip janji untuk bertemu dengan Hongswee di sana pada tanggal 14 bulan depan”
Cio San mengangguk.
“Untuk sekadar pengetahuan Hongswee, empat orang lain yang membuntuti Hongswee sudah pergi karena tertipu sandiwara Hongswee. Tetapi kami sudah mengirim orang juga untuk membuntuti mereka. Dalam satu dua hari, kami akan mendapatkan kabar jati diri mereka.”
Cio San tahu, yang dimaksud dengan ‘kami’ adalah ‘Kim Ie Wie’, yang berarti ‘Pengawal Baju Sulam’. Pasukan ini adalah pasukan rahasia milik kekaisaran. Bertugas untuk menyelidiki segala urusan rahasia. Mereka bahkan diberi kekuasaan untuk menangkap, menghukum, dan membunuh jika diperlukan. Mereka tidak membutuhkan ijin untuk melakukan itu semua. Kaisar telah memberi kekuasaan yang besar kepada pasukan ini. Sebuah pasukan yang menakutkan.
Ia hanya mengangguk, dan berkata “Baik, terima kasih. Sekarang juga aku berangkat.”
“Selamat jalan. Semoga Thian (langit) memberi perlindungan hingga sampai di tujuan”
“Terima kasih”
===========
Perjalanan memakan waktu berhari-hari. Sepanjang perjalanan, Cio San menggunakan apa saja untuk mempercepat perjalanan. Terkadang ia menggunakan jasa tukang perahu, kadang ia harus berjalan kaki menembus hutan belantara. Semua ini untuk mempersingkat waktu perjalanannya. Ketika ia tidak membutuhkan kuda, ia menjual hewan ini untuk kemudian membeli lagi saat ia membutuhkan tenaganya.
Hari ke 11, Cio San tiba di sebuah kota. Kota ini membawa kenangan tersendiri baginya. Kota Liu Ya. Kota ini adalah kota di mana seluruh petualangannya dulu di mulai. Kota di mana ia bertemu pertama kali dengan Kwee Mey Lan.
Kwee Mey Lan.
Nama yang indah. Cinta pertama selalu membekas. Setiap orang dapat jatuh cinta kepada orang lain, namun selalu ada seseorang yang begitu membekas di dalam hati hingga ia mati.
Cio San sudah tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Mey Lan. Tetapi kenangan manis dan indah selalu membayang dalam setiap jejak langkahnya.
“Semoga kau selalu berbahagia. Menemukan apa yang kau cari selama ini” bisiknya di dalam hati.
Setelah menimbang-nimbang sebentar, Cio San memutuskan untuk mampir ke kedai milik keluarga Kwee. Sekedar untuk membangkitkan kenangan dan perasaan masa lampau.
Ia melawati jalanan menuju kedai itu. Jalanan ini sudah banyak berubah. Kota ini bertambah ramai. Ada nuansa tersendiri yang timbul di hatinya. Kenangan seperih apapun di suatu saat nanti toh akan terasa manis. Ia percaya itu.
Ketika sampai di depan kedai itu, ia sedikit takjub. Kedai itu sudah berubah menjadi sangat megah. Pengunjungnya pun bertambah ramai. ‘Lai-Lai’ tertulis di papan namanya. Ia tersenyum. Dunia boleh berubah, tetapi kenangan tidak akan berubah.
Langkahnya ringan memasuki kedai itu,
“Maaf tuan, sekarang pengunjung sedang penuh. Jika tuan mau memesan tempat, tuan bisa kembali lagi 2 jam dari sekarang” tegur seorang pelayan yang berdiri di depan pintu.
“Oh? Ramai sekali. Baiklah aku memesan tempat. Dua jam lagi aku datang”
“Maaf, atas nama siapa?” tanya si pelayan sopan.
“A San”
Setelah mencatat nama, si pelayan lalu berkata, “Untuk memesan tempat, tuan harus membayar uang jaminan.” Si pelayan menyebut harga dan Cio San pun membayar, setelah itu ia pun pergi.
“Kebetulan. Aku bisa mengunjungi rumah peristirahatan Khu-hujin di daerah ini” pikirnya dalam hati.
Dengan perasaan berkecamuk ia pun berangkat. Ada perasaan senang saat ia berpikir bahwa sebentar lagi ia akan bertamu ke rumah mewah itu. Tetapi ia khawatir jika Khu-hujin tidak berada di sana. Nyonya itu memiliki kesibukan yang amat padat.
Sesampai di depan gerbang rumahm ia malah disapa duluan oleh seorang penjaga, “Ah, siauya (tuan muda) sudah pulang? Mari masuk. Hujin (nyonya) sudah menunggu.”
Cio San hanya mengangguk dan tersenyum. Rupanya keangkeran keluarga ini memang masih belum luntur. Baru sebentar saja ia berada di kota ini, sang nyonya dan anak buahnya sudah mengetahui. Orang-orang hebat yang dipekerjakan keluarga ini memang tak terhitung jumlahnya dan tersebar di mana-mana.
Ia diantar sampai ke sebuah pavilliun di halaman belakang yang sangat luas. Sang nyonya besar sedang duduk sambil asik memperhatikan ikan-ikan peliharaannya yang berenang di kolam yang sangat indah.
“Kau sudah pulang?” sang nyonya tersenyum.
“Ya. Saya sudah pulang,” Cio San pun tersenyum.
Pulang adalah sebuah kata yang sederhana. Tapi maknanya terlalu dalam. Terkadang manusia banyak meneteskan air mata ketika membicarakan kata ini.
“Duduklah,” kata Khu-hujin mempersilakan. Cio San ia duduk di dekat tangga kecil paviliun itu. Paviliun itu lumayan besar, sehingga jarak antara mereka berdua lumayan jauh. Khu-hujin tidak berkata apa-apa. Ia hanya memainkan sebuah lagu. Sebuah lagu ciptaan kekasihnya, yang dulu sempat dimainkan Cio San. Alunan merdu lagu indah itu mengalir bagaikan angin di musim gugur. Dingin namun hangat.
Seperti sebuah kenangan.
Kenangan selalu dingin, namun menghangatkan.
Rimbunan bambu hijau meliuk diterpa angin. Dedaunannya mulai menguning. Lentingan nada dari jari-jari yang memetik khim seolah-olah menari bersama ranting-ranting pohon willow. Gemericik air di kolam membuat lagu ini terasa lebih indah dan sendu.
Lagu yang sedih dan menyentuh hati. Lalu entah bagaimana tanpa terasa, nada yang sedih itu berubah menjadi sebuah lagu yang indah dan penuh pengharapan.
Cio San hanya bisa termenung. Kesedihan selalu beriringan dengan harapan. Sesedih apapun kehidupan seseorang, lilin kecil yang menyalakan api harapan selalu menanti di ujung perjalanan.
Khu-hujin bernyanyi. Suaranya terdengar bagai seorang anak gadis yang penuh cinta dan kerinduan. Cinta dan kesetiaan memang akan membuat seorang setua apapun menjadi jauh lebih muda.
Bunga Bwee mekar di batu merah,
Si dia berdiri di atas es dan salju dari ribuan mil,
Ia tidak berani menghadapi dingin dan pahitnya musim dingin,
Ia setia menanti datangnya matahari.
Bunga Bwee mekar,
setiap kuntumnya berkemilauan,
Si dia mengangkat kepalanya menatap mekar ribuan bunga,
Aroma wangi tubuhnya terbang ke awan dan angkasa,
Ia mengajak bunga untuk mekar bersama-sama,
Untuk menyanyi dan merayakan musim semi baru akan datang…
Air mata mengalir di pipinya yang masih begitu indah di usianya yang sudah senja. Tetapi senyumnya tetap tersungging. Matanya jauh memandang ke depan. Ke angkasa raya yang biru.
Air mata ini adalah air mata pengharapan. Karena kesedihan telah hilang seluruhnya dari dalam hatinya. Kenangan memang tak pernah berada di dalam pikiran atau perasaan. Ia mendarah daging.
Cio San pun turut meneteskan air mata. Bibirnya pun turut tersenyum. Matanya pun turut memandang langit biru nun jauh di sana. Di dalam suasana seperti ini, bahkan bernafas pun adalah dosa. Apalagi mengucapkan kata-kata.
Lalu lagu itu usai.
Air mata dan senyum masih berada di sana.
Kenangan pun sudah terlupa seluruhnya. Karena jika kau terlalu dalam mencintai seseorang, kau akan jarang mengingatnya. Karena kau tahu ia telah menjadi bagian dari hidupmu, nafasmu, tubuhmu, dan harapan-harapanmu.
Khu-hujin dan Cio San telah memasuki tahap ini. Tahap di mana perasaan mereka sudah mati seluruhnya. Kenangan telah pudar seluruhnya. Yang tertinggal hanyalah doa dan harapan akan kebaikan.
Memangnya selain mendoakan yang terbaik, apa pula yang bisa kau lakukan terhadap cinta masa lalu?
“Kau sudah mengerti?” tanya sang nyonya besar.
Cio San hanya mengangguk. Air matanya masih mengalir deras. Tetapi air mata ini bukan air mata kesedihan. Manusia yang mampu memiliki air mata seperti ini hanyalah manusia-manusia mulia dan setia. Amat sangat sedikit manusia yang memiliki air mata ini. Namun orang yang menjadi penyebab air mata ini amat sangat banyak.
“Kau sudah bertemu Ling-Ling?” tanya sang nyonya lagi.
Cio San pun mengangguk pula.
“Berarti kau sudah tahu alasan mengapa ia pergi?”
“Sudah, hujin.”
“Jelaskan kepadaku,” pinta Khu-hujin.
“Ada sebuah permasalahan yang membuat ia memilih pergi. Bukan karena sudah tidak mencintai saya lagi, melainkan justru karena cintanya terlalu dalam.”
Lanjutnya,
“Ia pergi karena ia tahu, jika saya terus bersamanya, saya akan berhenti menjadi diri saya sendiri.”
“Benar sekali,” sahut Khu-hujin. Ia melanjutkan, “Khu Ling-Ling terkena sebuah sakit yang aneh. Penyakit ini sudah menghinggapinya sejak ia masih kecil. Selama ini ia bisa bertahan hidup karena ramuan-ramuan khusus, dan sumbangan tenaga sakti dari tetua-tetua sakti di Siao Lim-pay, dan beberapa perguruan lain. Ia terlihat sehat dan biasa saja saat telah meminum ramuan itu dan mendapat curahan sinkang (tenaga sakti). Tetapi satu persatu tetua ini telah meninggal. Ling-Ling pun tidak ingin menggantungkan hidup kepada mereka. Ia pun tidak ingin menggantungkan hidup kepadamu. Karena ia tahu, engkau bukan miliknya seorang. Kau adalah milik dunia. Semua orang di kolong langit ini berhak memilikimu. Kecerdasan dan kepandaianmu dibutuhkan umat manusia. Karena itulah ia memilih pergi. Mengorbankan cintanya. Mengorbankan dirinya sendiri. Kau tentu bisa mengerti….”
Ia hanya bisa memejamkan mata. Berharap air yang menggantung di mata itu bisa ‘tertelan’ kembali. Namun justru air mata itu semakin melimpah ruah. Tetapi ia memberanikan diri untuk bicara,
“Saya telah tahu ia sakit. Saat saya ingin memegang tangannya, ia menarik tangannya. Ia tidak ingin saat saya memegangnya, saya akan mengetahui sakitnya. Karena dulu saat masih bersama, saat saya memegang tangannya, ia akan membalas pegangan tangan saya.”
Dari pegangan tangan seorang perempuan, kau akan tahu perasaannya kepadamu. Dari matanya, dari helaan nafasnya. Dari apa yang tidak ia katakan. Seorang lelaki memang harus mempelajari semua ini agar kelak ia sendiri tidak kecewa.
“Apakah tidak ada sesuatu apapun yang dapat mengobatinya?” tanya Cio San.
“Hanya ada satu, ‘Anggrek Tengah Malam,” jawab sang hujin (nyonya besar).
Cio San pernah membaca tentang bunga ini. Sebuah bunga sakti yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan membuat seseorang awet muda dan panjang umur. Tetapi bunga ini bagaikan dongeng, tak ada satu pun orang di muka bumi yang mengetahui keberadaannya.
“Saya akan mencari bunga itu,” tukas Cio San.
“Justru perkataan inilah yang ditakutkan Ling-ji (anak Ling). Kau akan menghabiskan seluruh waktumu untuk mencari bunga ini. Lalu meninggalkan segala urusan yang lain. Padahal urusan dunia ini begitu banyak yang harus kau selesaikan,” kata Khu-hujin.
Cio San menghela nafas. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Mengapa pula urusannya begitu banyak? Mengapa pula ia diberi kemampuan seperti ini?
Khu-hujin seolah-olah mengerti perasaan Cio San. Ia lalu berkata, “Semakin kuat seseorang, semakin banyak pula urusan yang harus ia selesaikan. Ku harap kau pernah mendengar pemahaman ini, San-ji (anak Ji).”
Lanjutnya,
“Kau harus menghargai keputusan Ling-ji (anak Ling). Pengorbanan yang ia lakukan, tidak boleh kau sia-siakan. Hiduplah sebaik-baiknya. Berikan sebesar-besarnya manfaat kepada orang yang membutuhkan kekuatanmu. Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa kau lakukan untuk menghargai pengorbanan Ling-ji.”
Apa boleh buat?
Itulah sebuah pertanyaan yang bukan merupakan pertanyaan. Begitu berat, namun harus dihadapi. Dihadapi sendirian pula. “Apa boleh buat?”
Lama sekali ia termenung. Khu-hujin pun membiarkan anak muda itu tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Cukup lama kesunyian itu berlangsung. Hanya suara desiran angin dan gemercik kolam yang terdengar.
Air mata lelaki muda ini pun perlahan-lahan mengering. Sejak beberapa tahun yang lalu, ia mengira ia tak dapat lagi menangis. Tetapi ia salah sesalah-salahnya. Manusia yang tak dapat menangis hanyalah manusia yang sudah mati. Ia mengira perasaannya yang telah mati ini tak akan membuatnya meneteskan air mata barang setetes pun. Tapi ia salah. Perasaan yang sudah mati, sebenarnya hidup sehidup-hidupnya. Perasaan itu hanya menanti sebuah cahaya kecil untuk menerangi kegelapannya. Saat cahaya itu datang, manusianya akan mengalami hidup yang lebih hidup. Akan mengalami pencerahan. Akan menghadapi kehidupan setelah kematian. Terlahir kembali!
Cio San terlahir kembali!
Kenangan, harapan, dan kesunyian adalah cahaya-cahaya kecil yang menuntun umat manusia. Ia tak akan pernah bisa berlari atau sembunyi darinya. Ia mungkin akan mampu membohongi dirinya sendiri. Tetapi kebohongan terhadap diri sendiri tak akan dapat bertahan lama. Pada akhirnya seseorang akan mengakui bahwa cinta adalah sebuah hal yang agung yang akan merubah hidupnya. Sepedih apapun cinta itu, cinta selalu mampu merubah seorang manusia menjadi lebih baik.
Air mata telah mengering seluruhnya. Pandangan mata itu kembali jernih. Wajahnya kini berseri-seri. Beban berat yang menghimpit dadanya seolah-olah telah terangkat seluruhnya. Khu-hujin menatap perubahan itu dengan senyum,
“Kau tak perlu malu menjadi seorang yang patah hatinya. Keadaan itu justru akan menyelamatkanmu. Membuatmu menjadi manusia yang lebih baik. Membuatmu mampu merubah dunia dengan hal-hal besar. Seseorang yang hanya mendapatkan kesenangan di sepanjang hidupnya, tak akan pernah menghargai manusia dan kehidupan. Tak akan pernah menghargai rejeki. Tak akan pernah menghargai usia dan waktu. Tak akan pernah menghargai jerih payah, dan pengorbanan.”
Cio San mengangguk dan tersenyum, “Saya paham seluruhnya!”
“Bagus. Kau pantas mendapatkan julukan Hongswee!”
Burung Hong Hong adalah burung yang selalu bangkit dari kematian. Lahir dari abu tubuhnya sendiri. Walaupun tiada manusia yang seperti burung Hong Hong, setidaknya ada beberapa manusia yang mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Manusia-manusia seperti ini patut pula mendapat julukan ‘Hongswee’. Sang jenderal phoenix.
Ia benar-benar telah pulang. Telah kembali menjadi dirinya sendiri. Telah kembali utuh menjadi manusia. Selama beberapa tahun ini ia hanyalah sebuah tubuh yang bergerak tanpa perasaan. Karena ia mencoba mematikan perasaan itu. Sekarang perasaan itu telah hidup. Karena cinta. Bukan cinta kepada orang lain, melainkan cinta yang tulus kepada diri sendiri. Terhadap kekurangan dan penderitaan diri sendiri. Seseorang jika sudah bisa menghargai dirinya sendiri, barulah ia menjadi manusia seutuhnya. Menghargai diri sendiri bukan berarti egois, tamak, dan serakah. Menghargai diri sendiri adalah dengan cara mensyukuri segala kejadian yang terjadi. Mencoba memperbaiki, tidak patah semangat, dan selalu bisa berdamai dengan keadaan.
Damai.
Itulah yang ia rasakan sekarang. Sebuah kata kecil yang sederhana namun teramat sangat berharga. Terlalu sering diremehkan, namun sesungguhnya tak terhitung nilainya.
“Hari sudah menjelang sore. Bukankah kau memesan makan di Lai-Lai?” tanya Khu-hujin. Begitu besar kekuasannya di kota ini sampai-sampai ia pun tahu apa yang Cio San lakukan sebelum datang menemuinya.
Lelaki muda berjulukan ‘Hongswee’ ini kemudian tersenyum, saat akan meminta diri, Khu-hujin berkata sambil tertawa, “Kau mandilah dulu dan bercukur. Tampangmu lebih mirip perampok daripada seorang enghiong (ksatria sejati).”
Ia hanya mengangguk dan tertawa. Sambil bersoja (bersujud) menghormati wanita tua yang cantik itu, Cio San meminta diri.
“Eh, nanti dulu. Ada sebuah hal yang lupa kusampaikan kepadamu,” tukas Khu-hujin. “Anggrek Tengah Malam, terakhir kudengar berada di puncak Himalaya. Seorang pendekar besar yang hidupnya cukup menderita, bernama Li Hiang adalah orang terakhir yang diketahui memiliki bunga ini. Sayangnya ia tewas di sana. Dari kabar yang kutahu, orang tua Suma Sun, dan Bwee Hua tua juga berada di sana saat kejadian itu terjadi. Hanya itu kabar yang ku ketahui. Jika kau ingin keterangan yang lebih jelas, kau dapat bertanya kepada Suma Sun.”
“Haha. Dari mana hujin (nyonya besar) tahu bahwa saya akan mencari bunga itu?”
“Aku kan yang memberikan kitab tentang wajah dan gerak gerik kepadamu. Ilmuku tentu jauh diatasmu,” si nyonya besar tertawa. Lanjutnya, “Kau boleh saja mencari bunga itu, asalkan kau berjanji bahwa kau tidak meninggalkan tugas-tugasmu yang lain.”
“Tentu saja, hujin. Terima kasih atas segala petunjuknya. Saya minta diri”
“Pergilah.”
Sang nyonya besar memandang pundak yang melangkah pergi menjauh. Entah permasalahan apa lagi yang akan menghadapinya di masa depan. Tetapi Khu-hujin yakin, pundak itu akan dapat menampung keseluruhan beban itu dengan gagah berani.
===========
Cio San sudah bercukur. Rambutnya disanggul rapi. Tubuhnya pun kini sangat wangi. Sekilas ia teringat Beng Liong yang memiliki wangi yang khas. Hatinya terasa kecut kita memikirkan sahabatnya itu. Tetapi ia mengeraskan hatinya dan mencoba melupakannya. Baju baru yang disediakan para pelayan di rumah itu untuk Cio San terlihat sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya. Wajahnya terlihat jauh lebih muda. Cahaya terang bersinar dari raut wajahnya yang gembira.
Ia pergi ke Lai-Lai. Tempat yang menyimpan begitu banyak cerita. Ia pernah tinggal di sana cukup lama. Ia hafal hampir seluruh sudut tempat itu. Tetapi tempat itu sudah amat berubah. Saat sampai di pintu depan, seorang pelayan menyapanya, “Maaf tuan, tempat kami penuh. Tuan bisa memesan tempat, tetapi harus menunggu cukup lama”
“Oh, aku sudah memesan tempat,” sahut Cio San sambil tersenyum. “Atas nama A San.” Sang pelayan memandang catatannya sebentar lalu tersenyum dan mengangguk, “Ah, mari silakan masuk tuan.”
Si pelayan mengantar Cio San duduk di kursinya. Kebetulan tempat itu berada di pojok dan mejanya kecil, hanya cukup untuk dua orang. “Maaf hanya tempat ini yang tersedia, tuan,” kata si pelayan. Cio San memuji, “Ah sempurna sekali. Cocok.”
“Baiklah kalau tuan suka. Tuan ingin memesan apa? Kami punya masakan dan arak terbaik. Kalau boleh menyarankan, saya menyarankan bebek panggang merah tabur kacang, dan arak gun siu. Itu adalah masakan unggulan kedai kami.”
Melihat si pelayan yang tangkas dan ramah, Cio San tersenyum senang dan berkata, “Kedengarannya enak! Baiklah, aku memesan itu saja.”
Ia tahu masakan itu harganya mahal. Tetapi ia tahu pula, di dalam kantong baju barunya, uangnya sangat banyak. Pelayan di rumah Khu-hujin sudah menyelipkan sebuah kantong uang yang cukup dalam di balik sakunya. Saat itu ia pura-pura tidak tahu saja. Karena untuk mengembalikan uang itu tentu tidak mungkin, sebab akan menyinggung Khu-hujin.
Seperti biasa, ia memperhatikan keadaan sekitar. Otaknya telah bekerja secara alami untuk memperhatikan, dan mengambil kesimpulan. Dari jejak tanah di sepatu, ia tahu bahwa orang yang duduk di meja sebelah baru saja datang dari kota Ceng Pau. Dari sarung pedang dan gagangnya, Cio San tahu bahwa seseorang yang duduk di pojok nun jauh di sana baru saja membunuh orang.
Begitu seterusnya. Otak dan pemikirannya tak pernah berhenti memperhatikan dan mengambil kesimpulan. Bahkan kelebihan inilah yang membuat ia bertahan hidup sampai sekarang.
Ta perlu menunggu terlalu lama, pesanannya sudah datang. Baunya wangi sekali. “Sungguh wangi! Terima kasih” puji Cio San. Si pelayan cuma mengangguk tersenyum bangga. Hanya itulah kebanggaan pelayan. Jika pekerjaan mereka dihargai dan dipuji. Cukup tersenyum manis, dan berterima kasih. Para pelayan akan sangat berterima kasih kepadamu pula. Malahan kemungkinan pelayanan mereka kepadamu malah semakin baik.
Tanpa tedeng aling, Cio San langsung menyantap hidangan di hadapannya. Ia paling suka makan. Apalagi makanan enak. Jika ada makanan tidak enak, ia akan selalu menemukan cara untuk membuatnya jadi lebih enak. Ini salah satu kelebihan kecil yang amat sangat dibanggakannya di hadapan sahabat-sahabatnya. Dan sahabat-sahabatnya pun mengakui hal ini. Apa yang dipesan Cio San akan mereka pesan pula. Apa yang dilakukan Cio San terhadap makanannya, akan mereka lakukan pula terhadap makanan mereka. Cio San makan di mana, di situ pula mereka akan makan. Pendek kata, jika Cio San makan batu. Sahabat-sahabatnya pun akan makan batu, karena mereka yakin, batu itu pasti enak rasanya.
Ia menikmati masakan ini dengan sungguh-sungguh. Rasanya sangat enak. Kwee-ciangkui (pemilik rumah makan), ayah Kwee Mey Lan, rupanya berhasil menemukan tukang masak yang berbakat. Teringat akan Kwee-ciangkui, Cio San penasaran. Kemana orang tua yang baik hati itu? Yang menjaga bagian kasir bukanlah dirinya, melainkan seorang wanita tua dengan dandanan cukup menor. Apakah ini istri barunya? Cio San tersenyum sendiri. Pintar juga Kwee-ciangkui mencari istri.
Wanita itu masih lumayan muda. Mungkin sekitar 35 tahunan. Tubuhnya padat memikat. Bajunya pun lumayan ketat. Wajahnya masih cantik, sayang dandanannya cukup tebal. Kebanyakan perempuan memang seperti ini. Semakin tua, dandanannya semakin tebal. Mungkin untuk menutupi kerutan wajah yang perlahan-lahan muncul menjarah kecantikan mereka.
Perempuan cantik yang menjadi tua, selalu menjadi sebuah ironi tersendiri.
Lagak wanita di bagian kasir ini juga cukup menarik. Ia mengatur urusan Ciaulauw (kedai makan/arak) ini dengan cukup luwes dan ramah. Cio San jadi asik sendiri memperhatikan wanita ini. Tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin ketahuan memelototi wanita ini.
Tiba-tiba terdengar keributan di luar. Rupanya seorang tamu memaksa masuk, padahal sang pelayan telah memberitahukan bahwa tempat itu sudah penuh.
“Biarkan aku masuk!” terdengar suara yang cukup menggelegar.
“Maaf, tuan. Tidak bisa, tempat kami sudah penuh,” si pelayan mencoba mencegahnya. Tapi apa daya, dengan satu tarikan, si pelayan sudah dilempar orang itu keluar. Rupanya orang ini adalah seorang ahli Gwa-kang (tenaga luar). Melihat caranya melempar pelayan itu, Cio San terkesan. Bukan terkesan dengan tenaganya, melainkan terkesan dengan cara lemparnya. Orang itu menggunakan gerak sedemikian rupa sehingga pelayan itu jatuhnya tepat dengan kedua kakinya dan tidak terluka pula. Dari sini saja, Cio San menilai bahwa orang ini bukan orang yang jahat. Ia cuma bersifat keras dan kasar.
Orang itu masuk ke dalam. Dari cara berpakaiannya Cio San tahu bahwa orang ini berasal dari suku Miao. Sebuah suku dari banyaknya suku yang hidup di Tionggoan (China daratan). Hubungan suku Han (suku mayoritas di China daratan) dengan suku Miao akhir-akhir ini memang kurang baik. Dari kabar yang terdengar, ada gerakan pemberontakan yang dilakukan suku ini di beberapa tempat. Karena itulah, saat orang ini masuk, seluruh orang yang berada di dalam Lai Lai-ciulauw (kedai Lai Lai) ini langsung membuang muka.
Cio San menyambutnya dengan senyum, “Toako (kakak)! Duduk lah di sini. Masih ada sebuah kursi kosong.”
Melihat teguran yang bersahabat itu, orang Miao ini lalu tersenyum senang, ia menoleh kepada si wanita penjaga kasir, “Tuh, ada kan! Kalian saja yang tidak mau menerima orang Miao!” Sebenarnya tabu membicarakan urusan antar suku seperti ini, tetapi orang Miao memang lebih terbuka dalam urusan berbicara.
Ia lalu duduk tepat di sebelah Cio San. Karena bangku yang tersisa cuma sebuah bangku yang agak panjang yang diduduki Cio San. “Salam kenal!” katanya sambil menjura. Cio San tersenyum dan membalas salamnya. “Nama cahye, A San. Kalau boleh tahu, siapakah nama toako (kakak) yang gagah?”
“Namaku Tia Cati. Senang berkenalan dengan anda!” mulutnya tersenyum tetapi matanya memandang bebek dan arak yang ada di atas meja.
“Tia-toako (kakak Tia) nampaknya lapar dan barusan berjalan jauh. Ini makan dulu bebekku. Masih ada beberapa bagian yang utuh. Biar ku pesan lagi hidangan yang lain,” kata Cio San sambil melambaikan tangan memanggil pelayan. Tia Cati ini tanpa ragu-ragu langsung mengambil bebek itu dan melahapnya. “Baik. Bagus sekali. Terima kasih.”
Bagi orang lain, perbuatan ini sangat tidak sopan. Apalagi mereka mendengar bahwa kedua orang ini baru saling kenal. Dalam suku Miao sendiri pun ada aturan tata kesopanan tersendiri. Nampaknya memang sudah sifat dan pembawaan Tia Cati sendiri yang seperti ini. Cio San tersenyum dalam hati memperhatikan lagak orang di sebelahnya ini. Tanpa tedeng aling, tanpa basa-basi, jujur dan terbuka. Cio San menghargai ini. Sekali pandang saja ia tahu, orang ini cocok dijadikan sahabat.
Perawakannya tinggi besar, bercambang lebat, rambutnya disanggul namun sedikit awut-awutan. Ketika bebeknya selesai masuk perutnya, hidangan lain yang dipesan Cio San sudah datang pula. Mereka berdua menghabiskan makanan ini dengan lahap tanpa bercakap-cakap.
Jika makanan enak berada di dalam mulut, apa pula gunanya berbicara? Orang lain yang memperhatikan tingkah kedua orang ini cuma bisa geleng-geleng kepala.
“San-toako (kakak San), aku tahu engkau bukan orang biasa. Tetapi musuhku sedang mengejarku. Aku terpaksa makan untuk mengisi tenaga. Jika nanti ia masuk kemari, ku mohon kau pergilah. Aku tidak ingin sahabat baruku terkena urusanku,” kata Tia Ciati.
“Memangnya ada orang yang berani mencari perkara denganmu?” tanya Cio San sambil tersenyum.
“Orang lain tidak berani. Tapi orang ini berani. Aku sudah bosan lari darinya, kuputuskan untuk melawannya di sini saja,” tukas Tia Ciati sambil gegares paha domba yang cukup besar.
Dalam hati Cio San cukup kaget. Musuh yang mampu membuat laki-laki gagah seperti ini melarikan diri, bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.
Tia Ciati menatap pintu dengan sedikit khawatir. Tapi mulutnya tidak berhenti makan dan menenggak arak. “Aih, enak sekali arak ini!” tapi begitu kata ‘ini’ selesai, wajahnya memucat. Rupanya bayangan musuhnya telah tiba di depan pintu. Mau tidak mau, Cio San menoleh ke pintu juga. Entah bagaimana musuh itu bisa masuk tanpa dihadang pelayan. Mungkin karena ada beberapa kursi yang sudah kosong.
Musuh itu sudah tiba!
Alangkah herannya Cio San ketika melihat yang masuk itu adalah seorang perempuan kurus langsing, dengan pakaian khas suku Miao. Wajahnya lumayan walaupun bukan wajah perempuan paling cantik nomer satu di dunia. Cio San berani memberi nilai 7 untuk wajah ini.
“Sekarang kau tak bisa lari lagi!” kata wanita itu. Suaranya melengking.
“Aku memang tidak kepingin lari,” jawab Tia Ciati tenang sambil melahap paha domba. Meskipun tenang, Cio San dapat melihat keringat sebesar butiran jagung di dahinya.
“Jadi kau setuju akan menikahiku?”
Hampir pecah tawa Cio San mendengar hal ini. Tetapi ia berpura-pura menenggak arak. Biarpun mangkoknya sudah kosong, ia masih berpura-pura menenggak, agar menutupi tawanya.
“Tidak kepingin lari, kan bukan berarti kepingin nikah,” jawab Tia Ciati pelan.
Braaaaak!! Si nona menggebrak meja.
“Jadi apa maumu???!!!” tanyanya dengan mata membelalak.
Cio San tak tahu apa yang harus ia lakukan. Rasanya yang paling baik dilakukan seseorang ketika sahabatnya dimarahi kekasihnya, adalah duduk diam dan tidak ikut campur.
“A…aku, hanya ingin kau memberiku kebebasan. Tidak perlu mengejar-ngejar sampai kemari….” kata Tia Ciati.
“Bicaran sembarangan!Kau sendiri yang berjanji akan menikahiku. Kini mau ingkar janji?” bentak si nona.
Orang-orang disekeliling menahan tawa. Rupanya laki-laki yang galak dan gagah berani ini takut kepada calon istrinya. Laki-laki yang galak memang cuma takluk kepada satu hal. Perempuan yang galak.
Perempuan yang galak ini sedang melototi mereka. Walaupun Cio San tidak ikut-ikutan masalah ini, sedikit banyak ia merasa dipelototi juga. Rasanya sungguh tidak enak. Cio San lalu berdiri dan berkata, “Nona, duduklah dulu. Biar saya ambilkan kursi yang kosong.”
“Tidak perlu! Kau siapanya?” galak betul pertanyaannya.
Tentu saja Cio San tidak bisa menjawab. Dikatakan baru saja kenal, mereka sudah menyantap hidangan bersama-sama seperti orang kelaparan, duduk berdampingan pula. Dikatakan kenal pun, mereka baru saja bertemu beberapa menit yang lalu.
“Eh…aku..aku..”
“Kau yang membantunya melarikan diri kesini?”
“Eh bukaaaan…bukaaaan,” Tia Ciati buru-buru memotong. “Aku baru saja kenal. Ia menawarkan untuk duduk di sebelahnya karena meja yang lain penuh.”
Si nona memandang ke sekeliling. Meja banyak yang kosong. Entah karena memang pengunjung yang lain sudah selesai makan, atau karena Tia Ciati sedang sial.
“Bohong besar! Meja kosong segitu banyaknya!”
Tia Ciati memandang ke sekeliling dan terpaksa tertenduk lemas.
“Kau! Siapa namamu?” pertanyaannya sungguh tidak sopan.
“Namaku A San”
“Kau sahabatnya?”
“Benar”
Apa salahnya mengakui seseorang sebagai sahabat? Seburuk apapun sifatnya,ia pasti juga punya kebaikan.
“Sejak kapan kau mengenalnya?”
“Baru beberapa saat yang lalu,” Cio San menjawab seperti seorang pencuri yang tertangkap basah.
“Baru saja kenal, kalian sudah duduk berdampingan, makan dengan mesra pula. Kau begini licin dandannya. Tampan pula. Ah jangan…jangan….., kalian…kalian…saling mencinta?”
Cio San cuma melongo. Cara nona ini mengambil kesimpulan memang lumayan cerdas. Kalau saja bukan dia yang dituduh seperti itu, tentu ia akan tertawa.
Sayangnya tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa tertawa jika dirinya sendiri yang dituduh mencintai sesama jenis.
“Omongan ngawur!” Tia Ciati akhirnya angkat bicara. “Kau boleh mempermalukan aku, tetapi tidak boleh mempermalukan sahabatku!”
Nah! Kata-kata ini sungguh merdu di telinga Cio San. Sejak awal, pandangannya terhadap Tia Ciati memang tidak salah. Laki-laki berdiri gagah seolah-olah ingin melindungi Cio San dari semprotan amarah kekasihnya.
“Kau berani membentakku?!”
“Tentu saja berani. Kenapa tidak berani?!” matanya melotot.
“Aku adalah tuan putrimu! Ayahku adalah Siauw-ong (raja kecil)!”
“Dan, lelaki ini adalah sahabatku!” suara bentakan Tia Ciati jauh lebih menggelegar dan membahana.
Semua orang yang mendengar ini terhenyak. Untuk ukuran tuan putri, nona ini derajatnya sangat terhormat. Jika kemana-mana, para tuan putri seperti ini harus diiringi dayang-dayang dan pengawal. Tetapi nona ini datang sendirian.
Yang lebih mengherankan, si lelaki tegap ini berani membentaknya. Jika dipikir-pikir, walaupun lelaki ini sudah dijodohkan dengan si tuan putri, tetap saja sekarang derajadnya masih di bawah si putri. Entah mungkin anak pejabat atau panglima.
Persahabatan.
Bukankah persahabatan sungguh berat nilainya?
Tia Ciati tahu nilainya. Tentu saja Cio San juga tahu nilainya.
Telingan Cio San yang tajam, mendengar keributan yang datang dari jauh. Belasan kuda datang menghampiri. “Nona, pengawal-pengawal anda sudah datang.”
Si nona bingung sebentar, ia menoleh dan tidak ada siapa-siapa di pintu. Para pengunjung masing-masing duduk di mejanya ingin mengetahui akhir dari tontonan menarik ini.
“Dasar tukang bohong. Mereka tidak tahu aku pergi,”
“Tunggu saja, sebentar lagi mereka muncul”
Karena penasaran si nona menatap terus ke arah pintu. Ia baru yakin ketika terdengar suara kuda dari jauh. Dengan memasang wajah sebal, dan mempelototi Cio San, ia berkata, “Aku akan membuat perhitungan denganmu.” Dalam sekelebat nona itu melayang dan menghilang dari jendela.
Tia Ciati pun berdiri dan menepuk pundah Cio San, “San-toako, sepertinya aku juga harus pergi. Sampai bertemu lagi. Terima kasih atas suguhannya.” Ia pun menghilang melalui jendela.
Tinggalah Cio San yang kini duduk menenggak arak. Semua mata memandang ke arah pintu. Menanti siapa lagi yang akan datang. Kejutan apa lagi yang akan terjadi.
Derap kuda itu berhenti tepat di halaman kedai. Ada belasan orang yang datang. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki berpakaian khas suku Miao juga. Lagaknya cukup gagah, sepertinya seorang serdadu. Anak buahnya segera memasuki kedai dan mulai berkeliling mencari orang. Para pengunjung tetap duduk diam dan tenang. Rupanya mereka sudah terbiasa dengan hal seperi ini.
“Selamat sore, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Maaf mengganggu. Kami ingin bertanya, apakah tuan-tuan melihat seorang gadis yang cantik, yang berpakaian suku Miao, masuk ke tempat ini?”
Semua mata pengunjung tertuju pada Cio San.
Si kepala pasukan juga bukan orang yang bodoh. Ia segera paham arti pandangan orang-orang ini. “Tuan, apakah tuan…”
“Ia sudah pergi lewat jendela” potong Cio San.
Si kepala pasukan meneliti Cio San dengan tajam, lalu berkata, “Tuan siapakah nona kami?”
“Aku sahabatnya”
“Hmmm….” ia berpikir sebentar, kemudian berkata, “Mau kah tuan ikut dengan kami? Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan.”
“Tidak”
Singkat, padat, dan jelas.
“Maafkan jika kami harus memaksa,” kata si kepala pasukan. Ia hendak berteriak memberi perintah kepada pasukannya, ketika Cio San kemudian memotong,
“Jika aku berkata kepada tuan putrimu, kau mengkasari sahabatnya, kira-kira hukuman apa yang akan ia berikan kepadamu?”
“Aih….” rupanya perkataan itu menusuk dengan tepat. Tapi ia bisa menguasai diri lalu bertanya dengan tenang, “Maafkan jika kami kasar, tuan. Kami hanya mengkhawatirkan keadaan tuan putri. Tapi jika boleh tahu, dari mana tuan mengenal tuan putri kami?”
“Tuan putrimu kan bukan baru sekali ini berkelana. Tidak mengherankan jika ia banyak menjalin persahabatan.”
Sekali lagi ucapan Cio San mengena pula. Dengan pikirannya ia sudah bisa mengetahui apa yang sedang terjadi. Si tuan puteri ini adalah jenis puteri yang susah diatur dan banyak perkara. Dilihat dari gelagatnya, tentu si tuan puteri ini sedang melarikan diri dan berkelana di dunia yang bebas.
“Baiklah jika begitu. Bolehkah saya mengetahui nama tuan yang terhormat?” tanya si kepala pasukan.
“Namaku A San.”
“Tanpa she (marga)?”
“She ku tidak penting”
“Baik. Kami mohon diri dulu. Jika tuan bertemu dengan tuan putri, harap sampaikan pesan bahwa siau-ong (raja kecil) marah besar tuan putri kabur lagi. Dimohon tuan putri segera pulang.”
“Baiklah. Akan ku sampaikan.”
“Terima kasih banyak, San-enghiong (ksatria San),” si kepala pasukan menjura lalu mohon diri. Cio San balas menjura pula. Lalu duduk kembali menikmati arak dan makanannya. Pasukan berkuda itu sudah menghilang dari sana.
“Urusan perempuan yang keras kepala memang amat banyak,” katanya pelan.
“Benar!”
Ternyata si nona putri yang dicari-cari itu sudah berada di situ. Sejak tadi ia tidak kabur melainkan bersembunyi di atas genteng. Tentu saja Cio San tahu hal ini. Itulah sebabnya ia mengucapkan kata-kata tadi. Rupanya kata-kata itu memang ditujukan kepada si tuan putri.
Si nona duduk di hadapannya. Mengambil pula daging domba, tanpa minta ijin. Sepertinya si nona dengan Tia Ciati memang mempunyai sifat yang mirip. Sama-sama tanpa tedeng aling dan bebas tidak terikat aturan.
“Kenapa kau lari?” tanya Cio San.
“Aku dipaksa menikah!”
“Ooooh? Kau sendiri tidak suka dipaksa menikah. Kenapa kau memaksa orang lain menikah denganmu?”
“Karena ia sudah berjanji kepadaku!”
“Janji itu mungkin dilakukannya saat mabuk, atau tidak sadarkan diri,” kata Cio San.
“Eh enak saja bicara! Aku ingat betul ia sadar sesadar-sadarnya. Aku pun ingat betul tanggal berapa ia mengatakan hal itu!”
“Oh? Kapan itu?”
Si nona menerawang sambil tersenyu sendiri, “Tanggal 20 bulan 6, tepat 20 tahun yang lalu!”
Cio San hampir memuntahkan arak yang sudah melewati tenggorokannya. “Itu kalian umur berapa? 5 tahun?!”
“Aku berumur 5 tahun. Ia berusia 7 tahun saat itu,”
Sebenarnya Cio San ingin menuturinya tentang berbagai hal, tapi ia tahu nona ini tidak bisa dinasehati. Ada dua macam manusia yang tidak bisa dinasehati, manusia yang sedang jatuh cinta, dan manusia yang sudah mati.
Akhirnya ia hanya bisa bertanya, “Jadi kau benar-benar mencintainya?”
“Mengapa pertanyaanmu sebodoh ini? Tentu saja aku mencintainya!”
Cio San tertawa. Orang yang memakinya bodoh seumur hidupnya memang baru perempuan ini. Tetapi ia tidak tersinggung malahan tertawa.
“Jika kau mencintainya, buatlah agar ia yang mengejarmu. Jangan kau yang mengejar dia.”
“Melihat tampangku saja, ia lari terbirit-birit. Bagaimana mungkin ia akan berbalik mengejarku?”
“Semua ada cara dan siasat. Jika kau tahu caranya, kau akan bisa menaklukannya.”
“Oh, jadi kau tahu caranya?”
“Tidak”
Braaaaaak! Suara tangan sang nona menghentak meja.
“Tetapi aku mengenal seseorang yang mengetahui caranya,” jelas Cio San sambil tersenyum.
“Siapa?”
“Aku akan memberitahukan kepadamu saat seluruh urusanku selesai. Sambil menunggu, kau harus berjanji untuk tidak mengejar-ngejar dirinya.”
Si nona memikirkan matang-matang perkataan itu. Membutuhkan waktu cukup lama baginya untuk kemudian berkata, “Baiklah! Entah kenapa, aku percaya kepadamu.”
Nona ini bukan orang pertama yang mengatakan hal ini, pun ia bukan orang yang terakhir.
“Nah sekarang pergilah. Saat urusanku selesai, aku akan mencarimu.”
Tuan putri ini memandangnya dalam-dalam. Lalu pergi tanpa suara. Cio San memandangnya pergi.
Jika seseorang sudah jatuh cinta dengan begitu tak berdaya, tiada hal yang dapat ia lakukan selain mempercayai apapun yang orang katakan kepadanya.
Si nona pergi menghilang, bersama mentari sore yang tenggelam di ufuk barat.
Suasana Lai Lai sudah mulai sepi. Cio San masih menikmati araknya. Lalu terdengar suara Tia Ciati, “Kau berhasil mengusirnya, San-toako! Aku harus berterima kasih kepadamu!”
Cio San memandangnya sambil tersenyum, lalu katanya, “Duduklah!”
Tia Ciati duduk dengan santai lalu menuangkan arak. Tetapi wajahnya segera berubah ketika melihat wajah Cio San yang sangat sungguh-sungguh. “Ada apa?” tanya Tia Ciati.
“Jika kalian ingin meminta sesuatu dariku, cukup datang saja dan katakan sejujurnya. Tidak perlu mengarang-ngarang cerita segala!”
===========
“Aih, hongswee memang hongswee, cayhe sungguh kagum,” Tia Ciati menjura. Cio San hanya tersenyum, tangannya melambai kepada pelayan untuk meminta arak lagi. Tak lama kemudian arak pun sudah datang.
“Sebaiknya cayhe (saya) cerita dari awal,” kata Tia Ciati. Cio San mengangguk sambil menuangkan arak di mangkok masing-masing.
“Cayhe adalah jenderal dari suku Miao. Wanita tadi adalah adik seperguruan cayhe, bernama Sui Tami. Kami membutuhkan kitab Bu Bok untuk keperluan peperangan. Tidak ada jalan lain kecuali merebutnya dari Hongswee. Tetapi kami sadar kemampuan sendiri tidak mungkin memetik bintang di langit. Bertempur melawan Hongswee sudah jelas tidak mungkin, racun pun tidak mungkin. Mengambil diam-diam pun jelas tidak masuk akal. Satu-satunya jalan agar kami mendapatkan kitab itu, adalah dengan cara meminta baik-baik. Untuk itulah kami mengarang sandiwara ini, agar dapat diterima menjadi sahabat Hongswee.”
Cio San mengangguk tersenyum, “Cepat sekali berita tentang kitab Bu Bok ini tersebar.”
Tia Ciati mengangguk, “Nampaknya berita ini sengaja disebar untuk membatasi pergerakan Hongswee. Hampir semua orang di dunia Kang Ouw sudah mendengar bahwa kitab ini berada pada Hongswee. Tetapi yang sudah pikun dan berani merebutnya secara terang-terangan mungkin baru cayhe seorang.”
“Rencana yang ciangkun jalankan sebenarnya cukup baik. Rupanya ciangkun (jenderal) sudah menyelediki segala hal tentang cayhe (saya) sehingga menggunakan ‘persahabatan’ sebagai umpannya. Sayang, banyak hal-hal kecil yang ciangkun lupakan,” tukas Cio San.
“Apa itu? Mohon petunjuk dari Hongswee.”
“Pertama, yang paling jelas, adalah ciangkun ingin menyamar sebagai orang yang telah melalui perjalanan yang jauh. Pakaian ciangkun sudah benar. Kotor dan sedikit awut-awutan. Tubuh ciangkun pun sudah berdebu. Cukup meyakinkan. Tapi ciangkun memiliki kuku pendek yang terlihat baru habis dipotong. Orang yang tergesa-gesa dalam perjalanan jauh, apalagi sedang dalam keadaan dikejar-kejar, tidak mungkin punya waktu untuk potong kuku dulu.”
Tia-ciangkun (jenderal Tia) hanya mengangguk-angguk memandang kukunya.
“Yang kedua, saat nona itu datang kemari. Pakaiannya juga sudah pas. Sedikit berdebu dan sedikit kurang rapi. Cocok untuk menunujukkan keadaan orang yang bepergian jauh. Yang ia lupa, jika beperan sebagai seorang putri Miao yang kabur dari rumah, ia harusnya menggunakan pakaian orang Han (orang Tionghoa). Dia kan harus menyamar dan berbaur, supaya para pengejarnya tidak mudah menemukannya. Jika aku seorang putri Miao, melarikan dari rumah. Masakah aku akan menggunakan pakaian Miao lengkap?”
Sekali lagi Tia-ciangkun cuma bisa manggut-manggut. Penjelasan Cio San sederhana dan sangat masuk akal. “Kami memohon maaf sebesar-besarnya. Merupakan kesalahan besar karena kami meremehkan ketajaman pandangan dan kecerdasan Hongswee. Sungguh kami meminta maaf dengan kerendahan hati,” katanya sungguh-sungguh.
Kata Cio San, “Ada lagi sebuah kesalahan yang sangat besar dari ciangkun. Ketika kalian berdua bertengkar, kalian menggunakan bahasa Han (tionghoa). Seharusnya kan kalian bertengkar menggunakan bahasa Miao.”
“Aih…..” sang Ciangkun hanya melongo. Ini sebuah kesalahan besar yang lahir dari kesalahan kecil. Awalnya ia bermaksud dengan pertengkaran itu ia bisa mengambil hati Cio San, apa daya ternyata justru membongkar sandiwara mereka.
“Karena ciangkun telah membohongiku, rasanya cukup pantas jika ciangkun dihukum,” kata Cio San.
“Baiklah. Apa hukumannya?”
“Habiskan arak ini bersamaku,”
“Itu saja?”
“Itu saja.”
Arak pun masuk tenggorokan. Masuknya pun sangat cepat. Setelah berguci-guci arak itu habis, Cio San pun lalu berkata, “Sebenarnya kau kan tahu, aku tidak mungkin memberikanmu kitab itu. Kekaisaran sekarang sedang berusaha menumpas keras pemberontakan suku Miao di beberapa daerah di selatan. Jika aku memberikannya kepadamu, bukankah itu sama saja dengan mengkhianati tanah airku?”
“Apa boleh buat? Cayhe pun hanya berusaha membela tanah air cayhe……”
Jika dua orang yang berbeda suku dan kepercayaan, yang pada saat itu sedang berseteru atau berperang, bisa duduk berdampingan dan menikmati arak, tentunya kehidupan di kolong langit ini bisa lebih tenang.
“Aku mengagumi keterusteranganmu, ciangkun. Aku sendiri tidak setuju dengan seluruh peperangan ini. Seandainya kita semua dapat berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Sayangnya sepintar dan sehebat apapun manusia, ia tak akan pernah dapat menghentikan peperangan, karena sepertinya, perang adalah takdir di dalam hidup manusia.”
Sebagai seorang jenderal, Tia-ciangkun tahu betul apa maksud Cio San. Perang tidaklah ditentukan oleh para serdadu dan panglima. Perang selamanya ditentukan oleh mereka yang menikmati tahta, dan mereka yang memiliki kepentingan akan kekuasaan. Mereka ini tidak pernah turun ke medan perang. Hanya menikmati kasur empuk bersama permaisuri atau selir-selirnya. Mereka-mereka inilah yang berbahagia atas kemenangan pasukan, di saat ribuan bahkan jutaan prajurit meregang nyawa di medan pertempuran.
Perang selalu kejam. Tetapi bukan darah yang tertumpah atau nyawa yang terbuang yang membuat perang menjadi begitu kejam. Kekejaman itu muncul dari kenyataan bahwa justru orang yang paling tidak tahu apa-apa, dan yang paling tidak punya kepentingan apa-apalah, yang dipaksa berangkat ke dalam arena peperangan itu. Sedangkan ia yang paling berkepentingan justru menikmati ketenangan hidup di istananya.
“Peperangan yang sebenarnya belum terjadi antara kekaisaran dan suku kami. Hanya terdapat perseteruan-perseteruan kecil yang mengakibatkan gesekan-gesekan kecil antara orang Han (tionghoa) dengan orang Miao. Hal ini sebenarnya bisa diatasi jika semua pihak bisa menahan diri dan saling mengerti. Raja kami sebenarnya terus mengutamakan perdamaian. Hanya saja beberapa dari menteri di dalam pemerintahan selalu berusaha menghasut raja kami mengambil keputusan untuk berperang,” jelas Tia-ciangkun.
Cio San melihat kejujuran di mata Tia Ciati.
“Apa yang bisa ciangkun (jenderal) lakukan untuk mencegah semua itu?” tanyanya.
“Tidak ada. Tentara kekaisaran Beng sudah memasuki kota-kota di daerah selatan. Mereka banyak melakukan kekerasan dan memperkosa wanita kaum kami. Sepertinya para tentara ini sengaja membuat keonaran agar perseteruan semakin meruncing. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain melindungi kaum kami. Di kota kami banyak sekali penduduk biasa yang merupakan orang Han. Tapi kami diperintahkan untuk tidak mengganggu mereka. Segala perlawanan yang kami lakukan, adalah untuk mebela diri,” jelas jenderal Tia.
Mendengar hal ini, Cio San cuma menghela nafas. Segala hal yang berhubungan dengan siasat kekuasaan memang selalu membuatnya jijik. Ia pernah menyelamatkan kaisar di masa lalu. Tetapi perbuatan itu bukan karena ia mendukung dan mencintai kaisar itu. Ia merasa wajib melakukannya karena itu adalah hal yang benar.
Kebenaran harus selalu dilihat dengan jernih, tidak perduli apapun sukumu, kepercayaanmu, bangsamu. Jika sebuah perbuatan itu salah, maka selamanya perbuatan itu salah. Tak akan menjadi benar walaupun ia dilakukan oleh orang sukumu, atau orang yang memiliki kepercayaan yang sama denganmu.
Di masa peperangan, amat sangat sulit menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Semua orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Meskipun Tia-ciangkun secara terang-terangan mengakui bahwa ia sebenarnya mengincar kitab Bu Bok, Cio San bisa melihat ketulusan dan kejujuran di matanya. Ia tidak pernah salah menilai orang lain. Inilah kelebihannya yang utama.
“Aku ingin ciangkun menjanjikan satu hal untukku, sebagai balasannya, aku akan memperlihatkan kitab Bu Bok kepada ciangkun. Anda boleh membaca selama mungkin sampai tengah malam nanti. Karena pada saat itu, aku akan meneruskan perjalanan,” ujar Cio San.
“Janji apa?”
“Berjanjilah bahwa ciangkun tidak akan memberitahukan isi kitab itu kepada orang lain!”
Sang jenderal mengangguk, “Baik. Aku berjanji!”
Janji adalah kehormatan, kedua orang ini paham betul akan hal itu. Maka Cio San mengeluarkan kitab itu dari balik bajunya. Sebuah kitab tebal yang terbuat dari kulit hewan. Dengan mata berbinar-binar sang jenderal membuka halamannya. Lembar demi lembarnya dibuka dengan hati-hati. Dibacanya satu persatu dengan teliti. Terkadang ia berhenti sebentar untuk menghafalkan tulisan yang ia baca.
Cio San membiarkan sang jenderal mempelajari isi kitab itu. Dia sendiri tenggelam dalam arak yang entah sudah berapa kali diantarkan para pelayan.
Jika orang yang berpikirannya sempit, tentu akan memandang Cio San sebagai pengkhianat karena membiarkan orang lain, yang saat itu berseberangan dengan bangsanya, untuk membaca rahasia tentang siasat perang milik bangsanya. Tetapi bagi mereka yang mau berpikir, perbuatan Cio San ini penuh makna yang dalam. Hanya dengan cara inilah dua orang berseberangan dapat mengesampingkan segala pertentangan dan duduk bersama-sama menikmati kedamaian. Perang tidak pernah mengenai rakyat jelata. Perang selalu mengenai kekuasaan.
Mungkin, walaupun kemungkinannya sangat kecil, hanya rakyat yang cerdas yang tak dapat diadu domba dan dibodohilah yang sanggup mencegah peperangan. Karena rakyat yang telah bersatulah yang ditakuti oleh para penguasa. Rakyat yang telah pintar, dan tidak termakan kabar burung. Tidak terbakar fitnah serta cerita-cerita bohong. Mungkin inilah satu-satunya harapan atas kedamaian. Karena inilah Cio San membiarkan Tia-ciangkun membaca isi kitab Bu Bok. Dengan kejernihan hati, kecerdasan dan kepintarannya, ia mungkin akan dapat mempelajari banyak hal yang kelak membantunya menghentikan perang!
Siapa tahu?
Langit memiliki rahasianya sendiri. Manusia hanya dapat berusaha. Akhirnya selesailah sang jenderal muda itu membaca kitab Bu Bok. Setelah menutup kitab itu, ia meletakkannya di atas meja, lalu menjura memberi hormat amat dalam. Setelah selesai, ia pun menjura kepada Cio San,
“Sungguh pelajaran yang amat sangat berharga. Cayhe (saya) amat berterima kasih bahwa Cio-hongswee mengijinkan cayhe untuk membacanya. Sekali lagi terima kasih, Hongswee.”
Cio San balas menjura. Katanya, “Semoga ciangkun menemukan hikmah membaca kitab ini.”
“Tentu saja, sebuah hikmah yang sangat dalam, Hongswee.”
“Apa itu?”
“Bahwa kemenangan berperang tidak pernah bisa dibandingkan dengan kedamaian dan kesejahteraan rakyat,” tukas sang jenderal.
“Tapi cayhe (saya) pernah mendengar bahwa untuk mencapai perdamaian, seseorang harus rela berperang,” ujar Cio San.
“Pemahaman itu keliru. Kedamaian hanya akan bisa dihasilkan oleh kesadaran dan kejernihan hati. Perang, hanya akan menimbulkan kedamaian yang sementara. Pada akhirnya akan timbul perang lagi di antara mereka.”
“Setuju,” kata Cio San. “Justru karena aku yakin bahwa ciangkun akan sampai pada pemahaman inilah, aku mengijinkan ciangkun untuk membaca kitab ini. Kelak di masa depan, ciangkun mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk menghentikan perang.”
Sang jenderal hanya mengangguk-angguk dengan dalam. Di hadapan Cio San yang sederhana dan masih muda, seorang jenderal seperti dia pun harus menunduk dengan penuh kagum.
Orang yang mengagumkan, memang bukanlah orang yang memiliki harta dan kekayaan yang melimpah. Bukan mereka yang memiliki anak buah atau pasukan yang banyak. Bukan mereka yang memiliki kekuasaan dan jabatan penting. Bukan pula mereka yang memiliki kekuatan dan kesaktian. Orang yang mengagumkan adalah mereka yang melakukan hal-hal kecil yang sederhana demi orang lain. Menyingkirkan sebuah duri di jalanan agar orang lain tidak terkena duri, adalah perbuatan mengagumkan.
Sesuatu yang kecil dan sederhana, memang selalu mengagumkan. Kecil dan sederhana, tidak pernah remeh. Karena kecil dan sederhana memerlukan ketulusan dan tidak meminta imbalan. Amat sangat sedikit orang yang melakukan sesuatu tanpa mencari imbalan, sekecil apapun. Menunggu ucapatn terima kasih adalah pamrih. Yang paling benar adalah melakukan sesuatu tanpa menanti balasan apapun, walaupun itu hanya sekedar ucapan ‘terima kasih’.
“Ciangkun, saat ini sudah tepat tengah malam. Banyak orang yang mengincar kitab ini, Dari penglihatanku saja, sudah ada 5 orang di dalam kedai ini yang mengincarnya. Mulai sekarang mungkin hidupmu tidak akan tenang. Untuk mencariku, orang-orang ini mungkin tak akan berani. Tapi mereka akan melakukan segara cara licik untuk mendapatkan isi kitab ini. Kau tentu tahu resikonya ketika aku mengijinkan ciangkun membaca kitab ini?”
“Tentu saja. Cayhe telah siap dengan segala macam kemungkinan,” ia mengangguk dengan mantap. Ia memang pantas menjadi seorang jenderal.
“Cayhe harus pergi. Kita harus berpisah sampai di sini, di masa depan mungkin kita akan bertemu lagi. Cayhe harap, kita bertemu sebagai sahabat, dan bukan sebagai musuh.”
“Tentu saja Hongswee. Cayhe akan berusaha sebisa mungkin untuk mengatasi perang. Cayhe sudah memiliki beberapa cara.”
“Baiklah, kita berpisah. Sampai jumpa!”
“Sampai jumpa. Dan oh, mengenai hidangan tadi, biarkan cayhe yang membayar,” tukas Tia Ciati sambil tersenyum.
Cio San tentu tersenyum pula. Mereka sama-sama berdiri dan menuju ke ciangkui (kasir) untuk membayar. Setelah selesai, mereka bersalaman sekali lagi. Tia Ciati segera melesat hilang di dala kegelapan malam. Tidak lama terdengar derap kaki kuda yang mengikutinya. Rupanya para pengawalnya pun selalu berada di dekatnya. Cio San tahu mereka bukan orang sembarangan.
Saat Cio San melangkahkan kaki keluar dari halaman kedai, 5 orang dari dalam kedai pun ikut keluar. Cio San tersenyum di dalam hati. Hidupnya memang tidak pernah tenang. Tetapi sungguh kaget dirinya ketika langkah kakinya harus berhenti. Terhentinya pun karena sebuah sosok yang berada di depannya.
Kwee Mey Lan!
============
Kedua sosok itu saling bertatapan dalam diam. Di tengah kegelapan malam yang sunyi dan sepi. Kwee Mey Lan memandang Cio San dengan sebuah tatapan berjuta makna. Perempuan selalu memandang laki-laki dengan tatapan seperti ini. Tugas laki-laki lah untuk menerjemahkan tatapan ini. Biasanya laki-laki memang tidak pernah berhasil melakukannya.
Cio San kikuk tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa. Kwee Mey Lan pun masih memandangnya. Sejuta makna itu tidak pernah berhasil dipahami Cio San. Memang ini mungkin satu-satunya hal yang tidak pernah bisa dipahami otaknya yang cerdas. Karena memahami perempuan memang tidak pernah bisa dengan menggunakan akal. Memahami perempuan haruslah dengan perasaan.
“Mey Lan…., baru pulang kah?” akhirnya Cio San bersuara.
“Pulang? Memangnya sejak kapan aku pergi?”
“Oh, sejak tadi aku di Lai-Lai, tidak melihat Mey Lan. Ku pikir kau pergi atau sedang berkelana bersama…”
“Kau mencariku? Ada urusan apa?” tanya Mey Lan ketus.
“Tidak apa-apa, hanya sekedar ingin bertemu….”
Hanya sekedar ingin bertemu.
Kalimat ini adalah kalimat yang paling menyakitkan yang pernah diucapkan oleh bibir manusia. Kalimat yang sederhana dan begitu pendek. Tetapi orang-orang yang mengucapkannya telah mengalami penderitaan yang begitu panjang. Kau baru akan mengerti betapa menyedihkannya kalimat ini jika kau pernah mengalaminya.
Pernahkah kau merindukan seseorang sehingga setiap helaan nafasmu kau menyebut namanya? Setiap detak jantungmu kau mendengar suaranya? Setiap matamu berkedip kau hanya melihat bayangannya. Pernahkah pula kau merindukan seseorang sehingga sinar matahari yang paling panas sekalipun terasa membeku di kulitmu? Salju yang memutih terasa panas membara? Pernahkah kau merindukan seseorang sehingga air matamu berlinang-linang saat seseorang tidak sengaja menyebut namanya? Dadamu terasa sesak dan sempit saat kenangan tentangnya tiba-tiba datang sehingga membuatmu tenggelam dalam arus kenangan yang membuatmu tidak dapat bernafas? Pernahkah pula kau begitu merindukan seseorang sehingga di dalam kegelapan malam yang sunyi kau bangun dari tidurmu hanya untuk sekedar mendoakan namanya? Atau pernahkah kau begitu merindukan seseorang sehingga kau mengangkat tanganmu ke udara untuk mencoba menjangkau bayangannya yang begitu semu? Pernahkah kau begitu menginginkan bertemu dengannya sehingga jika ia meminta nyawamu, kau akan memberikannya berkali-kali jika bisa? Pernahkah kau merindukan seseorang sehingga setiap suapan makanan yang enak ke dalam mulutmu, kau berharap apa yang ia makan jauh lebih enak daripada makananmu? Pernah kah pula kau merindukan seseorang sehingga kau berharap setiap kepedihan yang ada di dunia ini ditimpakan kepadamu, sehingga orang yang kau rindukan itu tidak perlu mengalami kepedihan walau hanya seujung kuku?
Jika kau pernah mengalaminya, kau tak akan berkata apa-apa saat aku menanyakan hal ini kepadamu. Karena kau tahu betapa pedih dan menderitanya mengalami hal ini. Jika kau pernah merasakannya, maka kau hanya akan mampu meneteskan air matamu dan berkata “Jika aku harus mengalaminya sekali lagi, aku rela.”
Kau tahu kau akan mengatakan hal itu, karena kau tahu, ketika rindu dan cinta sudah menembus kulit dan tulang, ia akan mendarah daging. Sehingga rindu dan cinta itu berubah menjadi bagian dari dirimu. Menjadi DIRIMU. Sampai di saat kau matipun, rindu dan cinta itu akan terkubur dalam-dalam, atau hangus menjadi debu bersama tubuhmu.
Cio San pernah merasakannya. Ia pernah datang, pernah hidup, pernah cinta.
Siapapun, baik ia laki-laki atau perempuan, pastilah pernah datang di dalam kehidupan seseorang. Pernah hidup di dalam mimpi-mipinya, pernah begitu cinta terhadap seseorang.
Siapapun, baik ia laki-laki dan perempuan, pada suatu waktu pastilah akan mengalami perasaan seperti ini. Ketika rindu menumpuk dan begitu menggebu-gebu, rindu itu berubah menjadi kebencian. Kebencian terhadap diri sendiri karena ia tahu ia begitu tak berdaya melawan kerinduan itu.
Hal ini berlaku untuk laki-laki. Juga berlaku untuk perempuan.
Sesungguhnya setiap manusia yang masih bernafas, memiliki kerinduan terhadap sesuatu, atau seseorang. Kerinduan ini menghimpit dadanya. Menyerap seluruh hidup dan kebahagian. Kerinduan ini membunuhnya pelan-pelan. Tetapi yang amat mengherankan, kerinduan ini pulalah yang membuat seseorang bertahan hidup sampai sekarang.
Ia mungkin akan melanjutkan hidup itu dengan mencoba mencintai orang lain. Tetapi kerinduan terhadap ‘si dia’ ini, tak akan pernah berakhir. Ia mungkin akan mencoba menguburkan kerinduan ini dengan mencoba merindukan orang lain. Tetapi kerinduannya terhadap ‘si dia’ justru akan semakin mendalam dan menghancurkannya.
Rindu, bukanlah sebuah kata yang sederhana. Ia adalah sebuah kata yang mematikan. Mematikanmu dari dalam dan perlahan-lahan.
Cio San tahu, ia memang mencoba untuk pergi. Pergi dari kenangan atas cinta yang hilang. Ia pun telah mematikan perasaannya. Mencoba untuk menghidupkan perasaan itu terhadap orang lain. Mencoba untuk membenci cinta yang pernah pergi.
Tapi ia tak akan pernah bisa. Manusia manapun tak akan pernah bisa. Karena jika ia telah mencintai seseorang dengan begitu dalam, tak ada satu hal pun yang sanggup ia lakukan kecuali melanjutkan hidup di dalam kehampaan.
Kehampaan karena orang yang dicintai itu telah pergi bersama dengan segenap jiwanya. Karena cinta yang terlalu dalam selalu menimbulkan lubang di dalam hati dan perasaan. Lubang ini menciptakan sebuah ruang. Ruang milik ‘si dia’ yang tak akan pernah lagi terisi apa-apa. Karena ruang ini milik dia seorang. Tak ada seorang pun yang dapat hidup dan berkuasa di dalam ruang kecil itu kecuali ‘dia’ seorang.
Namun Cio San pun telah mengalami perjalanan yang panjang terhadap perasaannya. Ruang yang kosong di hatinya telah tertutup dan terisi. Bukan terisi dengan orang lain, melainkan terisi dengan pemahaman dan pencerahan.
Pencerahan yang didapatkan dari pemahaman bahwa seseorang sebenarnya dapat hidup tanpa cinta orang lain. Ia hanya perlu mengerti bahwa cinta yang terbaik, adalah cinta terhadap dirinya sendiri. Terhadap kekurangan dan ketidaksempurnaannya dirinya sendiri. Bahwa semua mimpi dan harapan belum tentu terkabul. Manusia lemah dan tak dapat menentukan takdir.
Jika kau bisa memahami hal ini, kau akan bahagia. Dengan atau tanpa cinta orang lain. Karena walaupun kau pernah datang, pernah hidup, dan pernah cinta. Pada akhirnya pun kau akan pernah pergi, pernah mati, dan pernah benci.
Pada akhirnya kau akan memahami bahwa semua kepedihan memang datang untuk menghidupkanmu!
Kehidupan selalu berharga. Kepedihan selalu datang untuk membuat kita menghargai kehidupan itu. Dan Cio San telah memahaminya seluruhnya.
Alangkah beruntung orang yang memahami hal ini.
“Mengapa kau baru datang sekarang? Mengapa pula kau membohongiku sejak dulu?” Mey Lan bertanya kepadanya.
Dalam hati Cio San tersenyum. Dulu, bukan ia yang pergi.
“Aku harus menutupi jati diriku dari musuh-musuhku. Karena itulah aku memakai topeng dan menyamar. Sama sekali tidak ada bermaksud membohongimu.”
“Jika kau sudah pergi, kau tak perlu datang kembali!” tukas Mey Lan.
Perempuan jika berbicara memang temanya selalu melompat-lopat. Ini karena apa yang ada di dala perasaan mereka begitu banyak. Dan mereka ingin mengeluarkannya seluruhnya.
“Aku tidak pernah pergi,” Cio San memilih tegas berkata-kata. “Dulu kau lah yang pergi meninggalkan aku.”
“Kau yang pergi! Kau meninggalkanku sendirian. Tanpa tahu kau akan kembali atau tidak. Hidup terombang ambing di dalam kesepian. Tanpa masa depan! Coba kau katakan kepadaku, bagaimana aku harus hidup? Mengapa kau tak pernah mengerti perasaanku?”
Perempuan memang tidak boleh merasa kesepian. Saat ia merasa kesepian, ia akan mencari seseorang untuk mengisi kesepiannya, terkadang sementara, terkadang untuk selamanya. Ini pelajaran utama yang harus dipahami laki-laki. Terlalu banyak duka yang lahir atas kenyataan ini. Baik di pihak laki-laki maupun di pihak perempuan.
Meskipun lelaki tidak sepenuhnya salah, perempuan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Lalu jika tidak ada yang salah, siapa pula yang patut dipersalahkan?
Cinta memang selalu tentang setia. Setia bersama, setia menanti, ataupun juga setia untu terus mencintai walau cinta itu tidak berbalas.
Siapa telah setia, dia telah mencinta.
Ada orang yang rela menyakiti diri sendiri demi kesetiaannya terhadap hal-hal yang tidak pasti.
Kwee Mey Lan bukan salah satu dari mereka. Meskipun begitu, ia tidak pernah bisa disalahkan. Tidak ada perempuan yang bisa disalahkan. Rumus ini memang sebaiknya dipahami laki-laki.
Bukan karena perempuan ingin menang sendiri. Mereka memang terlahir dan tercipta seperti ini. Keinginan dan kebutuhan untuk dicintai dan dimanjakan, sudah menjadi bagian dari diri mereka sejak mereka lahir. Hal ini telah dimulai sejak perempuan pertama hidup di muka bumi. Akan terus berlaku hingga perempuan terakhir mati di kolong langit.
Laki-laki harus mengerti. Laki-laki mana saja harus mengerti. Jika ia tidak mengerti, maka ia akan mengalami kesulitan hidup dan kekecewaan yang mendalam.
Adalah kewajiban laki-laki untuk memahami perempuan. Mau atau tidak mau. Rela atau tidak rela. Kewajiban ini sudah di mulai sejak laki-laki pertama hidup di muka bumi. Akan terus berlaku hingga laki-laki terakhir mati di kolong langit.
Meskipun perempuan tidak bisa disalahkan, laki-laki pun tidak bisa disalahkan. Laki-laki memang sulit memahami perempuan. Mereka tercipta berbeda. Mereka memiliki tantangan hidup tersendiri. Perempuan yang tidak memahami hal ini akan hidup dalam penantian dan kesepian.
Semua kesedihan di dunia ini sebenarnya berawal dari ketidakmengertian laki-laki terhadap perempuan, dan ketidakmengertian perempuan terhadap laki-laki.
Tetapi walaupun Cio San telah mengerti, tetap saja hatinya terasa perih bertemu dengan mantan kekasihnya ini. Meskipun kau telah sembuh dari patah hati, telah melanjutkan hidup dengan sungguh-sungguh, kau tak akan dapat menghindarkan diri dari perih seperti ini.
Bagaimana mungkin perih akan cinta bisa menghilang, sedangkan penyebab perih itu telah menjadi bagian dari darah dan dagingmu? Jiwa dan hidupmu? Perasaan dan akal sehatmu?
Kwee Mey Lan telah tergantikan oleh Khu Ling Ling di dalam hati Cio San. Tetapi ruang bagi Kwee Mey Lan tak pernah terisi siapapun. Ruang bagi Khu Ling Ling pun tidak pernah terisi siapapun.
Inilah perbedaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki mungkin dapat mencintai beberapa perempuan pada saat yang bersamaan. Selalu ada ruang kosong di hati laki-laki bagi beberapa perempuan, yang masing-masing tak dapat menggantikan yang lain.
Perempuan berbeda, ia hanya dapat mencintai satu orang. Jika hari ini ia mencintaimu, seluruh hidupnya adalah milikmu. Tetapi jika di hari esok ia mencintai orang lain, maka seolah-olah ia tak kenal lagi padamu. Ia mungkin akan mengingat kenangan tentangmu, tetapi perasaan cintanya kepadamu telah hilang sepenuhnya.
Cukup lama mereka bertatapan dalam diam. Lalu masing-masing luluh. Kekerasan hati yang datang karena kekecewaan, perlahan-lahan akan luluh. Sedalam apapun kemarahanmu pada seseorang yang mengecewakan cintamu, pada akhirnya kau akan luluh juga. Ini hanyalah masalah waktu. Hati manusia pun mudah berubah. Jika cinta bisa berubah menjadi benci, kenapa pula benci tak dapat berubah menjadi cinta?
Pernah pergi, pernah mati, pernah benci.
Lalu tatapan mereka yang dingin kini mulai menghangat. Kehangatan yang lahir dari rindu dan kenangan akan mengalahkan angin musim gugur yang dingin. Bisa pula mencairkan salju yang beku di musim dingin.
“Mey Lan, apakah sehat?” tanya Cio San tulus.
“Iya. Apakah San-ko (kakak San) sehat pula?”
Ia mengangguk. Ada perasaan sejuk di hatinya, walaupun ia tahu pertanyaan ini mungkin adalah sebuah basa-basi. “Selama ini, bagaimanakah hidupmu?”
“Aku…, telah menjadi murid Go Bi-pay. Hari ini pulang karena ayah sedang sakit.”
“Oh, sakit apa?”
“Entahlah. Aku malah belum bertemu.”
Berbagai macam perasaan berkecamuk di hati Cio San. Ia ingin membantu, tetapi ia telah berjanji untuk menemui sahabat-sahabatnya. Janji kepada sahabat tidak boleh sekalipun di langgar.
“Jika urusanku selesai, aku akan langsung menemui ayahmu. Dalam 4-5 hari aku akan kembali ke sini,” janjinya.
“Baik lah. Aku akan menanti. Hati-hatilah.”
Laki-laki yang pergi dan perempuan yang menanti. Tidak ada yang lebih mengharukan selain hal ini.
Cio San lalu menoleh, “Kalian ingin kitab Bu Bok? Boleh coba ambil sekarang, atau tidak pernah sama sekali.”
Kelima orang yang telah mengepungnya tak jauh dari situ hanya menggumam, “Hmmmm….”
Salah satu dari mereka berkata, “Jika sendirian, memang susah melawanmu. Jika berlima menyatukan kekuatan, ku pikir setan pun terbirit-birit.”
“Aku bukan setan. Aku Cio San!”
Tentu saja Cio San adalah Cio San. Cio San bukan orang lain. Bukan pula setan. Ia lalu meletakan tangan kirinya di belakang. Tangan kanannya memainkan ujung rambutnya.
“Majulah!”
“Teman-teman, kita tujukan saja serangan kita kepada perempuan itu,” kata salah seorang pengepung.
Kwee Mey Lan kaget, tangannya meraih pedang yang sejak tadi ditentengnya.
Cio San tersenyum kepadanya dan berkata, “Tidak perlu. Aku jamin, belum sempat mereka bergerak 5 langkah mendekatimu, nyawa mereka akan dibawa kabur setan.”
===========
Kelima orang yang mengurung ini tidak ada yang berani bergerak. Cio San dan Kwee Mey Lan berada di dalam kurungan ini. Jarak mereka berdua sekitar 3 langkah. Jarak pengurungnya mungkin sekitar 10 langkah.
Tidak ada satu pun yang berani melangkah maju. Mereka sebenarnya orang-orang yang sangat percaya akan kemampuan sendiri. Tetapi melihat keyakinan diri Cio San, mereka jadi sedikit ragu.
Selama ini nama besar Cio San sudah didengar orang, tetapi orang yang pernah bertemu dengannya tidak banyak. Dari cerita yang terdengar, kehebatan Cio San dikisahkan simpang siur. Ada yang mengatakan ia adalah seorang kakek tua sakti, ada yang mengatakan ia adalah seorang bocah ajaib yang aneh, dan macam-macam cerita. Maklum manusia memang suka menambah-nambah dan mengganti cerita sesuai keinginannya sendiri.
Ada yang bilang bahwa Cio San memiliki ilmu yang sangat hebat, ada pula yang bilang ilmunya biasa-biasa saja. Ada juga yang bilang bahwa kehebatan Cio San hanya pada akalnya, dan ia dibantu oleh ilmu silat sahabat-sahabatnya.
Kelima orang ini awalnya tidak saling mengenal. Tetapi mereka bahu membahu untuk merebut kitab Bu Bhok. Entah mengapa buku ini menjadi sangat penting di kalangan Bu Lim.
Cio San masih memainkan rambutnya. Kelima pengurungnya masih ragu. Dua orang sudah mencabut pedang, satu orang membawa golok, satu orang membawa tombak, dan satu orang menggunakan tangan kosong.
“Kau tahu siapa kami?” tanya yang menggunakan tangan kosong.
Cio San menatapnya. “Aku tidak tahu siapa namamu. Yang aku tahu kau menguasai tinju pasir besi. Anakmu baru saja lahir, dan kau berasal dari Sen Cang.”
Si tangan kosong terbelalak. Dari mana Cio San tahu?
“Dan kau,” Cio San menoleh kepada pendekar tombak, “Kau adalah pelarian Siau Lim Pay selama setahun ini. Kau baru saja menghadapi musuh yang sangat kuat, tapi kau berhasil mengalahkannya. Aku tidak tahu pula namamu.”
Si jago tombak diam saja, tetapi raut wajahnya terlihat perubahan.
Sang jenderal Phoenix menoleh ke pendekar golok, “Nampaknya kau paling tidak sabar untuk maju. Silahkan!”
Si pendekar golok ini rupanya adalah seorang yang berangasan dan tidak sabaran. Ia juga terlalu percaya diri dan meremehkan orang lain.
Goloknya berwarna keemasan. Sekali bergerak golok itu malah mengincar leher Cio San, bukan mengincar Kwee Mey Lan. Yang mengincar Kwee Mey Lan justru dua orang pendekar pedang yang sedari tadi diam.
“Naga Menggerung Menyesal!”
Dari mulutnya terdengar teriakan itu. Dari tangan kirinya terlihat cahaya kuning yang bergerak meliuk-liuk bagai gerakan naga, menyambar kedua pendekar pedang itu. Saat itu mereka mengira dengan menyerang Kwee Mey Lan secara bersamaan, Cio San akan kerepotan. Sayangnya mereka salah. Cahaya kuning emas yang keluar dari telapak tangan Cio San itu benar-benar bagai naga yang melibas serangan mereka!
Kedua pendekar pedang itu terjengkang ke belakang, tidak mengerti bagaimana cahaya itu dapat bergerak bagaikan naga yang hidup!
Si pendekar golok tersenyum karena ia mengira perhatian Cio San terpecah pada kedua pendekar pedang itu. Goloknya menyabar leher Cio San demikian cepat. Si pendekar tongkat pelarian Siau Lim Pay pun sudah menyusul bergerak menyerang Kwee Mey Lan!
Mendapat serangan serempak yang berlainan tempat ini tidak membuat Cio San kelimpungan. Tangan kanannya menerima golok itu, dengan sedikit putaran telapak tangannya, ia menerima golok itu dengan lembut dari bawah. Begitu tangannya menyentuh golok itu, segera ia menepis golok itu ke atas.
Begitu golok tertepis ke atas, Cio San suduh meluncur menyusuri tanah. Gerakannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari siapa pun. Sambil meluncur ke tanah, telapaknya memukul ke belakang. Sebuah pukulan jarak jauh pula. Tetapi kali ini ia menggunakan Thay Kek Koen (Tai Chi Chuan) untuk mendorong si pendekar golok menjauh. Sedangkan tangan kanan kirinya sudah memukul ke depan. Kembali terdengar suara, “Naga Terbang Di Langit!”
Jurus ini adalah kedua dari rangkaian jurus 18 Tapak Naga. Jurus ini dilancarkan saat seseorang bergerak meluncur ke depan. Walaupun merupakan pukulan jarak jauh, jurus kedua ini membutuhkan penggunanya untuk bergerak cepat ke depan agar menghasilkan dorongan pukulan yang jauh lebih kuat.
Si pendekar tombak yang menyerang Mey Lan pun tidak menyangka betapa Cio San dapat bergerak secepat itu sambil mengeluarkan dua jurus berbeda secara bersamaan pula.
Di dalam dunia persilatan, orang yang sanggup melancarkan dua jurus berbeda secara bersamaan, mungkin cuma Cio San seorang. Amat sangat susah untuk menggunakan dua jurus secara bersamaan, karena pengerahan tenaga, kuda-kuda, dan gerakannya amat sangat berbeda. Apalagi menggunakan dua jenis jurus yang berbeda. Dalam ilmu silat, jenis jurus terbagi dua, yaitu yang berdasarkan tenaga keras seperti 18 Tapak Naga, dan berdasarkan tenaga lembut seperti Thay Kek Koen. Kedua jenis ini amatlah berbeda sehingga para pendekar pasti akan lebih menitikberatkan untuk mempelajari salah satu. Menggabungkan keduanya adalah perbuatan yang hampir tidak mungkin. Hanya pendekar-pendekar besar yang paling berbakat saja yang bisa melakukannya, seperti pendekar besar Kwee Ceng.
Kini saat Cio San melakukannya dengan alami dan sangat mengalir, tentulah hasilnya sangat dahsyat. Si pendekar tombak itu menghalau cahaya emas di telapak tangan Cio San dengan tongkatnya. Gerakan jurusnya menghujam dan meluncur tak tertangkap mata. Ujung tombaknya bertemu telapak tangan Cio San.
Dengan gerakan kecil, Cio San menurunkansedikit telapak tangannya sehingga ujung tombak tidak bertemu dengan telapak tanganya. Ujung tombak itu malah masuk di antara celah-celah jari-jari Cio San.
Saat ujung tombak itu belum lagi lewat, Cio San telah menjepit ujung tombak yang pipih itu dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya!
Sepanjang hidup para pendekar-pendekar ini, belum pernah mereka melihat seseorang menangkap senjata tajam dengan kedua jarinya. Jepitan itu membuat tombak tidak bergerak sama sekali. Bahkan ketika si pendekar tombak mengerahkan seluruh tenaganya, tobak itu diam bagai tertancap di batu.
Penempatan waktu, kekuatan, serta kecerdasan Cio San berperan sangat penting dalam gerakan yang sederhana namun mencengangkan ini.
Ia hanya tersenyum lalu berbicara kepada dirinya sendiri, “Eh, aku menciptakan jurus baru!”
Bagaimana mungkin seseorang bisa menciptakan jurus baru dalam pertarungan sedahsyat ini. Bahkan dalam posisi yang paling tidak mungkin sekalipun, ia sanggup menciptakan jurus baru!
Tombak masih terjepit diam di tangan, pemilik tombak masih berusaha sekuat tenaga menggerakkan tombaknya. 3 orang sudah tergeletak di tanah, yang seorang lagi, si tangan kosong, masih berdiri mematung.
Kwee Mey Lan bahkan tidak perlu bergerak sama sekali. Ia telah percaya penuh kepada Cio San.
Dan Cio San memang tidak pernah mengecewakan siapapun!
Ia menatap si pendekar tombak. Katanya, “Menyerah dan pergilah. Untuk bisa mengalahkanku, kau membutuhkan 20 tahun.”
Crang! Lalu ujung tombak itu patah. Jepitan tangan Cio San telah menghancurkan tombak itu seperti daun kering.
“Kau baru saja melawan musuh yang kuat. Karena itu gerakanmu menjadi lamban. Aku tahu karena kau baru saja mengganti kayu di tombakmu. Kayu ini kayu yang baru. Terlihat jelas dari warnanya. Kemungkinan saat kau melawan musuh itu, ia berhasil mematahkan kayu tombakmu. Tetapi kau berhasil membunuhnya. Karena pertempuran itu, kau kehilangan banyak tenaga. Pasti ada beberapa luka yang kau sembunyikan di balik bajumu. Tercium aroma salap Ling Pek dari tubuhmu. Salap ini adalah salap mujarab untuk mengeringkan luka akibat senjata tajam.”
Si pendekar tombak hanya terpana. Begitu mudah jurus tombaknya dipatahkan. Begitu mudah tombaknya dihancurkan. Begitu mudah pula keadaan dirinya tertebak. Seluruh hidupnya dihabiskan hanya untuk mempelajari ilmu tombak. Lalu ilmu itu dipatahkan hanya dalam satu jurus.
Ia membanting tombak itu, dan tertunduk lesu. Pergi dari situ dengan perasaan tidak percaya.
Lalu Cio San berkata kepadanya, “Kau belajar silat karena ingin menjadi nomer satu. Belajarlah karena kau mencintainya. Dengan begitu kau tak akan kecewa.”
Si pendekar tombak menoleh lalu menjura, “Terima kasih atas petunjuk dan kemurahan hati Hongswee.”
“Sebenarnya kau tidak ingin ku ampuni karena berani menyerang nona ini. Jika nona ini mengampuni, baru aku akan mengampunimu,” tukas Cio San.
“Biarkan ia pergi San-ko,” kata Mey Lan.
Cio San mengangguk. Si pendekar tombak pergi. Untuk selamanya dunia persilatan tidak lagi mendengar tantang sepak terjangnya.
Dua orang pendekar pedang yang tergeletak di tanah terluka paling parah. Ini karena Cio San benar-benar mengerahkan tenaganya ketika menyerang mereka. Perbuatan mereka menyerang Mey Lan secara bersama-sama sungguh memalukan.
“Luka dalam kalian terlalu parah. Tulislah surat wasiat,” hanya itu kata Cio San tanpa menoleh sedikit pun kepada mereka. Matanya memandang pada pendekar golok yang tadi terlempar terkena Thay Kek Koen. “Kau kumaafkan karena langsung menyerangku dan tidak mengeroyok nona ini. Jika masih belum puas, silahkan maju lagi.”
Si pendekar golok sudah bangkit berdiri, ia lalu menjura. “Aku bukan tandinganmu. Tetapi amat memalukan jika kalah lalu mendapat pengampunan dari musuh. Biarkan aku menyerangmu lagi. Jika aku kalah, bunuhlah aku.”
Cio San sangat memahami isi hati kebanyakan kaum pendekar. Harga diri mereka terlalu tinggi.
Si pendekar golok bergerak menyerang. Kali ini ia melompat tinggi. Dalam satu gerakan, jaraknya dengan Cio San menjadi sangat pendek. Kecepatan yang cukup mengagumkan.
Golok itu datang membacok tepat di tengah kepala Cio San. Dengan tenang Cio San mundur selangkah ke belakang. Golok itu lewat di depannya. Begitu golok itu luput, entah bagaimana golok terhenti dan arah serangannya pun berubah. Kali ini tahu-tahu ia menyerang pinggang dengan sangat cepat. Serangan itu kembali luput karena Cio San sudah melopat tinggi ke atas dan berjumpalitan.
Saat Cio San di atas, entah bagaimana bacokan menyamping itu berubah menjadi bacokan ke atas. Si pendekar hanya melancarkan 3 serangan tapi serangan ini berubah-ubah gerakannya dengan amat cepat dan tak terduga.
Mengahadapi bacokan itu, Cio San menjulurkan tangan kirinya menyambut golok itu. Tapi si pendekar golok itu telah belajar dari serangan-serangan yang lalu, ia tahu bahwa Cio San pasti akan dapat menangkap golok itu. Jadi ia merubah gerakannya. Golok yang tadinya menyerang dari atas ke bawah, di bagian bawah tubuh Cio San, kini berubah menyerang dari atas ke bawah, karena si pendekar golok telah ikut melompat ke atas pula.
Jarak mereka sangat dekat. Menggunakan jurus itu sama saja bunuh diri, karena dengan ikut melompat, ia menjadi sarangan empuk bagi Cio San karena tubuhnya tepat berada di depan Cio San. Ia memang melakukan serangan nekat itu karena ia tahu ia bukan tandingan Cio San. Ia bermaksud untuk mati sama-sama.
Tangan kanan Cio San yang masih belum terpakainya, bergerak menjulur untuk menyambut golok itu dari samping. Si pendekar golok tidak mengira tubuh Cio San bisa memuntir seperti itu bagaikan ular. Tidak ada manusia yang dapat memuntir tubuhnya sedemikian rupa seperti itu. Ia memang tidak tahu bahwa Cio San pernah mempelajari jurus ular sakti saat berada di sebuah goa bawah tanah.
Golok itu tertepis dan terlepas dari tangannya. Posisi tubuhnya kemudian terbuka lebar. Satu serangan saja orang ini akan mati dengan menggenaskan. Tetapi Cio San tidak menyerangnya. Dengan Thay Kek Koen, ia menggunakan puntiran tubuhnya sendiri untuk memuntir orang itu. Tenaga puntiran diri sendiri yang penuh kekuatan itu terselurkan ke tubuh si pendekar golok. Tubuhnya ikut memuntir dan berputar. Tak ayal lagi tubuh itu terhempas ke samping sambil terputar.
Sebenarnya hempasan itu tidak membahayakan jiwanya. Cio San sudah memperhitungkan bahwa hempasan itu akan membuat si pendekar golok mendarat di tanah dengan kedua kakinya. Tetapi sebuah gerakan cepat memotong putaran itu. Sebuah tinju mendarat tepat di batok kepala si pendekar golok dan memecahkan kepalanya!
Si tangan kosong rupanya bergerak!
“Begini lebih cepat. Ia toh memang ingin mati.”
Cio San tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya menampakkan raut wajah yang menyayangkan kejadian ini. Di dalam hatinya ia tahu omongan si tangan kosong memang benar.
Si tangan kosong memandangnya dalam-dalam, lalu bertanya, “Dari mana kau tahu bahwa istriku baru melahirkan? Dari mana juga kau tahu bahwa aku berasal dari Sen Cang? Dari mana kau tahu semua latar belakang kami?”
“Kau membawa daun pohon Lim Ca di kantongmu. Saat kau lewat tadi, baunya yang khas sudah tercium. Daun ini pahit dan jarang ada orang yang memakannya. Khasiat daun ini untuk menambah jumlah air susu ibu. Tumbuhan Lim Ca sangat umum di Tionggoan. Hanya daerah Sen Cang yang merupakan daerah kering di daerah selatan yang tidak memiliki tumbuhan ini. Dari ujung kepalanmu aku tahu kau mempelajari jurus pasir besi. Kepalan tanganmu berwarna kemerahan dan sangat tebal. Sedangkan telapak tanganmu terlihat lebih halus dan tidak semerah kepalanmu. Ini menandakan kau lebih sering melatih kepalan tangan, ketimbang telapak. Ada 2 buah guci yang kau bawa. Satunya berisi air untuk minum. Satunya lagi untuk apa? Tentunya untuk mengisi sesuatu yang bukan air. Saat aku menghubungkannya dengan kepalanmu, maka aku mengambil kesimpulan bahwa isi guci adalah pasir. Pasir khusus yang jika dipanaskan akan membantumu dalam berlatih jurusmu. Awalnya aku mengira kau mengisi guci itu dengan arak. Tapi saat ku perhatikan di dalam kedai, kau tidak meminum arak sama sekali. Kau menghindari arak, karena bagimu saat akan bertarung, arak akan mengganggu gerakanmu. Seluruhnya kalian berlima memang tidak memesan arak karena kalian tahu kalian akan bertarung denganku. Tapi kau, memang sejak dulu menghindar arak. Ini berhubungan pula dengan ilmu yang kau pelajari. Dari yang aku dengar, ilmu Pasir Besi mengharamkan penggunanya untuk meminum arak, karena akan mengganggu pengerahan tenaga di dalam perut. Apa penjelasanku sudah cukup?”
Si tangan kosong hanya bisa menarik nafas.
“Kau pun tidak ikut menyerang dan mengeroyokku, karena kau merasa mengeroyok itu adalah perbuatan rendah. Kau pun sangat yakin akan tinju mu itu. Kini saatnya maju dan membuktikan. Silahkan…..,” kata Cio San.
“Seumur hidup aku mempelajari tinju pasir besi, baru kali ini aku menemukan lawan yang sepadan,” kata si tangan kosong. Ia lalu menjura dan berkata, “Namaku Wan Si Cou. Adalah sebuah kehormatan bertemu Hongswee.” Saat berkata begitu terlihat ia mengumpulkan tenaga karena urat-urat di lengannya mulai menonjol dan tangannya berwarna merah legam seperti perunggu.
“Kehormatan pula bagi cayhe (saya),” jawab Cio San yang sudah mulai menggunakan bahasa ‘halus’ untuk menghormati lawannya.
“Tidak perlu sungkan. Lihat serangan!”
Tinjunya sudah melayang. Datang dengan suara menderu-deru. Wuuuuuum! Wuuuuuuum!
Cio San menghindari tinju ini dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan. Tahu-tahu satu lagi tinju si tangan kosong sudah melayang pula. Ketepatan waktu dan kekuatannya cukup mengagumkan. Cio San tidak menerima tinju dengan tangkisan, melainkan menunduk lalu sedikit berputar. Gerakan menunduk ini membuat ia berpindah dari kanan ke kiri. Kedua tinju yang sangat cepat itu berhasil di hindarinya, tanpa harus melangkahkan kaki. Dengan sendirinya tubuh se penyerang malah mendekat kepadanya. Dengan pundaknya, Cio San menyorong ke depan. Tangan kanannya menghentak ke arah pinggang.
Wan Si Cou terdorong ke belakang. Tetapi dengan lincah ia berjumpalitan agar tidak terhempas. Dengan keadaan kepala di bawah dan kaki di atas, ia melancarkan serangan yang amat sakit. Ada sekitar 10 tinju yang ia lancarkan hampir secara bersamaan.
Cio San menghindari kesepuluh tinju itu dengan lincah, tak ada satu pun yang engenai tubuhnya. Saat Wan Si Cou mendarat, Cio San sudah menyambutnya dengan tendangan yang sangat cepat. Wan Si Cou menyambut tendangan itu dengan tinju kanannya. Cahaya merah keluar dari tinju itu. Belum sempat kaki Cio San terkena tinju itu, ia melipat lututnya. Sehingga kakinya luput dari benturan dengan tinju. Tetapi gerakan tendangan itu tetap diteruskannya sehingga badannya berputar. Saat berputar itulah Wan Si Cou maju menyambar dengan tinju dahsyatnya. Cio San yang masih dalam gerakan memutar sedang dalam keadaan membelakangi Wan Si Cou sehingga menempatkannya dalam posisi yang berbahaya.
Ketika tinju itu akan menghujam punggungnya, ia kembali menggunakan gerakan ular sakti yang membuat tubuh bagian atasnya berputar hampir seluruhnya ke belakang. Kini tinju meluncur ke dadanya, namun Cio San menyapu tinju itu dengan Thay Kek Koen. Wan Si Cou melancarkan satu tinju lagi namun tinjunya yang pertama dipakai Cio San untuk menangkis tinjunya sendiri.
Blaaaaaaang!!!
Terdengar suara bagaikan besi berbenturan dengan besi. Suara yang memekakkan telinga. Kedua kepalan Wan Si Cou retak berantakan!
Kini Cio San melompat dan memutar tubuh bagian bawah pinggangnya yang tadi tidak ikut memutar mengikuti bagian atas tubuhnya. Putaran tenaga bagian bawah ini menghasilkan tenaga tendangan yang sangat kuat. Menghajar rusuk Wan Si Cou tanpa ampun.
Pendekar bertubuh kekar ini tanpa ampun terjengkang ke samping.
“Pulanglah. Temani istrimu. Mengapa membuang-buang nyawa meninggalkan keluarga?” ujar Cio San.
Wan Si Cou hanya meringis kesakitan. Kepalannya retak parah. Tulang rusaknya pun patah. Untung saja Cio San tidak membunuhnya.
“Lan-moi (adik Lan), aku harus pergi. Jagalah diri baik-baik. Kita bertemu beberapa hari lagi. Eh, siapa wanita yang menjaga kasir itu? Ibu tirimu kah?”
Kwee Mey Lan hanya mengangguk pelan. Matanya bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Cio San bertanya tentang ibu tirinya itu. Tetapi ia menanyakan pertanyaan yang lain, “Siapakah mereka ini, mereka mengapa menyerangmu?”
“Ada persekongkolan besar yang rupanya ingin menjatuhkan kekaisaran. Mereka membutuhkan kitab ini untuk menyiapkan pasukan yang besar dan kuat.”
Kembali Kwee Mey Lan mengangguk. “Kau berhati-hatilah.”
Lelaki di depannya mengangguk pula dan berkata, “Sampai jumpa!”
===========
Cio San melangkah pergi. Ia begitu sering melangkah pergi. Tetapi kali ini perginya tidak seperti dulu yang penuh kesedihan. Kali ini perginya penuh harapan dan kebahagiaan. Ia menoleh ke belakang, Mey Lan masih menatapnya pergi.
Pergi seolah-olah tidak pernah datang. Datang seolah-olah tidak pernah pergi.
Kali ini tatapan Mey Lan pun mengandung banyak hal. Seorang laki-laki tak akan pernah mengerti arti tatapan mata perempuan. Walaupun seorang laki-laki itu bernama Cio San. Mey Lan masih tetap di sana, tersenyum padanya. Mengiringi langkahnya pergi. Alangkah bedanya saat dulu ia pergi meninggalkan Mey Lan, di atas sebuah jembatan merah di tengah hujan yang mulai menderas. Kini ia berangkat dengan ringan, cuaca cerah, rembulan bersinar dengan teduhnya. Perempuan yang ditingalkannya pun tidak menetaskan air mata, malahan kini tersenyum indah.
Bukankah kepedihan sebesar langit dan bumi dapat terhapus dengan sebuah senyum? Sebaliknya kebahagiaan sebesar langit dan bumi pun dapat terhapus oleh sebuah tangis. Luka sedalam samudera yang paling dalam pun akan hilang terhapus oleh waktu.
Waktu memang selalu menjadi obat penyembuh yang paling baik.
Cio San terus melangkah pergi. Hatinya dipenuhi kebahagiaan. Ia telah bertemu Mey Lan. Tak lama lagi ia akan bertemu sahabat-sahabat terdekatnya. Meskipun apapun yang akan terjadi di masa depan, saat ini tak ada satu pun hal yang menghalaunya bertemu sahabat-sahabatnya.
Tukang perahu sudah mulai bekerja di malam buta seperti itu. Memang angin yang membantu gerakan perahu mereka seringnya bertiup di jam-jam seperti ini. Karena itulah Cio San memang menunggu hingga saat ini agar perjalannnya jauh lebih cepat. Apalagi malam hari lalu lintas perairan tidak seramai siang hari.
Ia memilih perahu yang paling bobrok dengan tukang perahu yang paling tua. Ia tahu jenis seperti ini yang paling jarang dipakai orang. Tetapi justru perahu bobrok dan tukang perahu tua lah, yang biasanya berarti si tukang perahu amat berpengalaman, dan perahu itu telah teruji menghadapi gelombang dan angin yang kencang.
Harga telah disepakati, tujuan telah ditentukan. Cio San menaiki perahu, dan perjalanan di mulai!
Angin dingin di malam hari terasa sejuk menyegarkan. Suara derai arus sungai serta cahaya lampu-lampu di tengah sungai yang luas ini. Cio San tersenyum menikmati keindahan di dalam kesunyian ini. Ia lalu memilih untuk tidur.
Di tengah bahaya yang selalu mengancamnya karena ia membawa sebuah kitab pusaka, ia malah memilih tidur dengan pulas. Ini karena ia memang membutuhkan hal itu untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya. Jika orang lain tidak dapat tidur dengan tenang di dalam gemuruh permasalahan hidup yang mereka hadapi. Cio San justru selalu memilih untuk tidur. Karena saat tidur, tubuh manusia memperbaiki dan mengobati dirinya sendiri. Di saat tidur, pikiran manusia ‘didinginkan’ sehingga ketika bangun, ia dapat berpikir lebih jernih dan lebih tajam.
Lalu bagaimana dengan bahaya yang terus mengintainya setiap saat?
Cio San tahu tiada seorang pun yang begitu bodoh untuk menyerangnya di dalam tidur. Karena penyerangnya ini tentu berpikir bahwa Cio San sengaja tertidur pulas untuk memancing mereka muncul dan bergerak. Justru jika Cio San tidur dan berleha-leha seperti ini, ia mungkin sedang menyimpan siasat dan tipu daya tak terduga!
Tapi Cio San tidak menyimpan siasat apa-apa. Ia justru tidur dengan pulas. Mendengkur pula!
Tukang perahu menjalankan perahunya dengan tenang. Sungai Huang Ho yang luas ini terlihat seperti lautan samudera. Di tengah-tengah ‘samudera’ ini, apa yang terjadi, siapa yang tahu?
Perahu seperti berhenti di tengah-tengah kesunyian. Si tukang perahu yang tua menatap tubuh pemuda yang sedang tertidur di depannya itu dengan pandangan yang aneh. Pandangan seperti ingin membunuh.
Cio San membuka mata dan bertanya, “Kita sudah sampai?”
Si tukang perahu menggeleng. Melihat sinar matanya, Cio San telah mengetahui apa yang terjadi. Ia malah tersenyum dan berkata, “Orang yang menyuruhmu sungguh bukan orang sembarangan.”
Si tukang perahu mengangguk.
“Sepertinya seluruh tukang perahu yang ada di pangkalan tadi seluruhnya adalah orang suruhannya,” tukas Cio San. Lanjutnya, “Jadi siapapun tukang perahu yang kupilih, tuan mu itu pasti berhasil membunuhku.”
Si tukang perahu mengangguk lagi.
Cio San menjura dan menghormat, “Majikanmu memandang cayhe (aku) begitu tinggi, sehingga mengirim tayhiap untuk membunuhku. Untuk hal ini, pantas mendapat penghormatan.”
Kali ini si tukang perahu tidak menggeleng. Ia bertanya, “Kau tahu siapa aku?”
Cio San menggeleng.
“Kau tahu siapa majikanku?”
Cio San menggeleng pula.
“Jika kau tidak tahu, mengapa kau memberi hormat?”
“Yang aku tahu, tayhiap tidak berusaha untuk membunuhku saat aku tertidur. Dari hal ini saja, aku bisa menduga orang seperti apa tayhiap ini. Dan orang seperti tayhiap tidak akan salah memilih majikan. Tentu sang majikan ini bukan orang sembarangan pula,” jelas Cio San.
Si tukang perahu memandangnya dengan tajam. “Orang yang bisa tertidur pulas dan mendengkur di saat banyak orang yang ingin menyembelih lehernya pun bukan orang sembarangan,” katanya dingin.
Sekeliling perahu hanya air dan kegelapan.
Juga hawa kematian.
Si tukang perahu yang tua ini mengeluarkan pedang. Pedang itu tersembunyi di balik sebuah galah bambu. Pedang yang warnanya menghitam karena sudah karatan. Orang lain tentu akan malu memegang pedang seperti itu. Tapi si tukang perahu memegang pedang itu dengan bangga. Orang lain tentu akan tertawa melihat pedang itu. Tapi Cio San bukan orang lain. Ia tahu betul, tangan yang memegang pedang itu jauh lebih berbahaya daripada senjata apapun di muka bumi ini. Karena tangan itulah, orang yang memegang pedang itu amat yakin dan bangga dengan dirinya sendiri.
Jika kau memiliki tangan seperti dirinya, kau pun akan bangga memegang sebuah pisau dapur karatan.
Cio San bangkit berdiri.
Seorang pendekar pedang tua sedang mengacungkan pedang ke hadapannya. Matanya, gerak-geriknya, mengingatkannya pada Suma Sun. Tak terasa Cio San tersenyum.
Si tukang perahu keheranan, “Mengapa kau tersenyum?” Ia sepertinya amat tersinggung.
“Ah, ku mohon tayhiap jangan tersinggung. Melihat kuda-kuda tayhiap yang gagah, cayhe teringat salah seorang sahabat cayhe,” jelas Cio San.
“Siapa?”
“Suma Sun”
“Maksudmu Ang Hoat Kiam Sian (dewa pedang berambut merah)?”
“Benar”
“Kau sahabatnya?”
“Kau tidak tahu?”
“Jika aku ingin membunuh orang, aku tidak perlu mengetahui siapa sahabatnya, siapa keluarganya,” kata si tukang perahu.
Cio San tersenyum lagi. “Suma-tayhiap memang adalah sahabat dekat cayhe.”
Mata si tukang perahu bersinar terang, hawa kematian semakin menguar tajam. Katanya, “Aku justru semakin ingin membunuhmu”
Cio San mengangguk.”Tentu saja, itu satu-satunya cara agar Suma-tayhiap dapat bertempur denganmu”
“Benar. Aku telah lama mencarinya namun belum sempat bertemu.”
Kedua orang itu lalu terdiam. Kesunyian yang muncul sebelum dua orang jagoan bergerak. Kesunyian ini selalu menakutkan.
“Lihat pedang!”
Si tukang perahu menusukkan pedangnya. Gerakannya sangat cepat. Amat sangat cepat. Bahkan kecepatannya setara dengan Suma Sun!
Jurus yang ia keluarkan bernama ‘Menusuk Rembulan’. Amat sangat cocok dengan gerakannya yang sempurna. Satu tusukan yang cepat dan tepat sasaran. Tusukan itu mengarah ke ulu hati Cio San. Pendekar muda itu pun bergerak dengan amat cepat, dengan jarinya ia menyentil pedang karatan itu. Tusukan pedang itu berbelok arah, ke arah kiri Cio San. Tahu-tahu tusukan itu berubah arah menyerang lehernya.
Kekuatan sentilan jari Cio San seharusnya membuat serangan pedang itu buyar. Tetapi si jago pedang tua ini amat lihay sehingga ia tetap bisa mempertahankan serangannya dan malah membelokkan serangan itu ke arah leher lawannya.
Amat sangat jarang orang memiliki kecepatan pedang seperti ini, di sepanjang hayatnya cuma dua orang yang pernah dilihat Cio San yang memiliki kecepatan ini. Suma Sun dan pendekar Kim Sian. Kini si tukang perahu tak bernama ini memiliki kecepatan yang hampir sama dengan mereka.
Serangan di leher itu lewat di atasnya saat Cio San memiringkan lehernya ke samping kanan. Tetapi pedang itu berhenti tepat di atas telinga Cio San lalu menghujam kebawah! Jarak pedang dan telinga Cio San cuma seujung jari! Tapi Cio San tidak panik. Dengan tangan kirinya ia menyentil lagi pedang itu. Kali ini dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga pedang itu terdorong ke kanannya.
Anehnya, si jago tua ini selalu berhasil mengatasi kekuatan dorongan sentilan itu sehingga ia kembali menyerang dengan sabetan yang membacok kepala Cio San yang sedang miring ke kanan. Si kakek rupanya menggunakan tenaga sentilan Cio San untuk mempercepat gerakannya sendiri, sehingga serangan ini datangnya dua kali lebih cepat!
Tubuh Cio San yang sedang miring ke kanan itu sudah tidak sempat lagi menghndar. Untuk menangkis dengan menggnakan kedua tangannya pun tidak sempat, karena jarak kedua tangannya justru jauh dari pedang. Dalam sepersekian detik kepalanya pasti terbelah dua!
Dengan ketenangan yang luar biasa, Cio San menggunakan tangan kanannya yang saat itu sangat dekat dengan pinggiran perahu. Di hajarnya pinggiran perahu itu sehingga perahu menjadi olang. Saat perahu olang itu, si jago tua kehilangan kuda-kudanya dan serangan itu pun buyar seketika!
Dibutuhkan ketenangan, serta pemikiran yang amat sangat cepat untuk bisa melakukan hal yang Cio San lakukan. Dibutuhkan pula kemujuran yang amat sangat luar biasa.
Ketika kuda-kudanya buyar karena pergerakan perahu yang tiba-tiba seperti itu, si jago tua mampu mengendalikan gerakannya. Ia berjumpalitan ke udara, dan melesat melancarkan sebuah tusukan yang dahsyat!
Cio San yang saat itu juga tidak memiliki pijakan yang kuat karena gerakan perahu yang terombang-ambing, hanya dapat menjatuhkan punggungnya ke belakang. Hujaman hentakan punggungnya ini amat sangat kuat sehingga perahu melesak ke dalam air sungai!
Akibatnya, cipratan air yang muncul akibat gerakan ini pun menjadi dahsyat, menghambur ke udara menutupi serangan pedang si jago tua. Adanya cipratan air yang lumayan banyak ini sedikit memperpelan gerakan pedang si jago tua, juga sedikit mengaburkan pandangannya. Kejadian ini hanya sepersekian detik, tetapi yang sepersekian detik itu telah menolong Cio San terhindar dari tusukan pedang yang menakutkan ini.
Karena sepersekian detik itu memberi kesempatan bagi kaki Cio San untuk naik dan menendang pergelangan tangan si jago tua. Pandangan mata pendekar pedang itu tertutup cipratan air yang menghujam wajahnya sehingga ia tidak tahu betapa cepatnya kaki Cio San telah menghantam pergelangan tangannya. Pedangnya terlepas, terlempar jatuh ke dalam sungai.
Pedang itu menghilang bersama semangatnya pula.
Pendekar pedang tanpa pedang, bukanlah pendekar pedang. Ini adalah pemahaman hampir seluruh pendekar pedang di kolong langit.
Perahu kembali ke posisi semua. Air sungai membahasi mereka berdua. Seisi perahu telah berisi air sungai pula. Si jago tua berdiri membisu dan membeku. Sepanjang hidupnya, baru kali ini pedangnya terlepas dari tangannya.
Pandangan matanya kosong selama beberapa saat.
Ia lalu menjura kepada Cio San dan berkata, “Kau menang”
Cio San menggeleng. “Cayhe tidak menang, cayhe hanya tidak kalah.”
Tidak menang dan tidak kalah rupanya memiliki arti yang hampir serupa.
Si jago tua terlihat bersedih sekali.
Cio San berkata, “Dalam ilmu pedang, sesungguhnya tayhiap telah memiliki tingkatan yang tinggi sekali. Mungkin setara dengan Suma Sun atau Kim Kiam Sian. Cayhe sungguh takjub.”
“Karena kata-kata ini datang dari bibirmu, aku percaya,” ujar si jago tua. “Lalu apa kekuranganku?” tanyanya.
“Kekurangan tayhiap hanyalah bahwa tayhiap terlalu yakin dengan ilmu pedang sendiri, sehingga lupa satu hal yang teramat penting.”
“Apa itu?”
“Alam sekitar,” jawab Cio San.
Si jago tua berdiri lama dan berpikir. Lalu berkata, “Jadi kau bisa mengalahkan ilmu pedangku, bukan dengan menggunakan ilmumu sendiri, melainkan memanfaatkan alam?”
“Cayhe memanfaatkan kedua-duanya. Ilmu cayhe sendiri, dan juga alam sekitar. Saat memukul perahu, cayhe menggunakan pengerahan tenaga Thay Kek Kun agar perahu tidak pecah, dan tenaga tersalurkan sehingga gerakan perahu dapat berubah. Tanpa hal ini, perahu hanya akan pecah, dan nasib cayhe justru akan berakhir di ujung pedang tayhiap,” jelas Cio San.
Si jago tua itu mengangguk, lalu menjura. Lalu berkata, “Karena aku telah kalah, kau berhak melakukan apa yang kau inginkan kepadaku,” ia mengucapkan ini dengan suara yang gagah. Ia tahu Cio San dapat mengambil nyawanya kapan saja.
“Baiklah,” tawa Cio San. “Sejak awal kan kita sudah sepakat bahwa tayhiap akan mengantarkan cayhe sampai ke tempat tujuan.”
“Lalu?” tanya si jago tua heran.
“Seorang pendekar kan tidak akan menyalahi janji,” tukas Cio San sambil tersenyum. Lalu dengan santai ia bersandar di pinggiran perahu dan tidur!
Bahkan tak lama ia telah mendengkur pula.
Si jago tua ini tak dapat melakukan apa-apa selain menggelengkan kepala.
Perjalanan dilanjutkan, matahari pun muncul. Saat terang tanah, mereka telah sampai di kota tujuan. Si jago tua membangunkan Cio San. Ia begitu heran bagaimana Cio San dapat tidur sepulas itu. Saat terbangun Cio San menggeliat sebentar, lalu berkata, “Ah, sudah sampai.”
Si jago tua menatapnya dalam-dalam, “Kau benar-benar tidur.”
Kalimat itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. “Ya,” jawab Cio San. “Apakah suara dengkuran cayhe demikian keras? Aih, sungguh memalukan,” tukasnya tertawa.
“Kau terlalu percaya kepada orang lain,” kata si jago tua.
Pendekar muda di hadapannya mengangguk dan berkata, “Mungkin. Tetapi selama ini, cayhe tidak pernah salah mempercayai sahabat.”
“Aku bukan sahabatmu,” tukas si jago tua.
“Sekarang tayhiap adalah sahabatku. Meski tayhiap tidak mau menganggapku sahabat, tetapi cayhe menganggap tayhiap sebagai sahabat. Jika sudah begini kan, tayhiap tidak dapat melakukan apa-apa,” ia tertawa dengan ringan.
Si jago tua itu kembali menatapnya dengan dalam. Lalu katanya, “Orang yang bersahabat denganmu sungguh beruntung. Orang yang bermusuhan denganmu, sungguh sial.”
Cio San mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar perahu. Si jago tua pada awalnya tidak mau menerima. Tetapi Cio San mengingatkan bahwa mereka berdua sudah sepakat sejak awal.
Kemudian Cio San bangkit, lalu dengan sekali melompat ia keluar dari perahu. “Ikutlah, aku ingin mentraktir tayhiap minum arak,” katanya sambil tersenyum.
“Dari kabar yang ku tahu, kau datang ke kota ini untuk bertemu dengan sahabat-sahabatmu. Apakah Suma Sun salah satunya?” tanya si jago tua. Cio San mengangguk.
“Jika begitu, lebih baik jangan. Asal kau tahu saja, aku pernah bertemu dengannya saat ia masih kecil. Waktu itu ia masih belum bisa apa-apa. Sampaikan saja salamku padanya ” si kakek lalu mendayung perahunya pergi.
Cio San paham, jika dua jago pedang bertemu, tentu mereka akan bertempur. Itu sudah sifat dasar para pendekar pedang. Ia lalu berkata, “Baiklah. Jika suatu saat kita bertemu lagi, perkenankan cayhe mentraktir tayhiap, boleh tahu nama tayhiap yang terhormat?”
Si jago tua tidak menjawab, perahunya telah menjauh.
Cio San berbalik, lalu melangkah menyusuri pangkalan perahu yang sangat ramai itu. Dari kejauhan ia mengenal dua orang yang sedang berdiri di gerbang pangkalan perahu itu.
Suma Sun dan Kao Ceng Lun!
Mereka tersenyum memandangnya. Begitu hangat dan penuh persahabatan.
“Kau sudah datang,” kata Suma Sun. Meskipun ia buta, ia punya kemampuan ‘memandang’ pula. Memandangnya pun mungkin lebih tajam daripada orang yang tidak buta.
“Kenapa kalian repot-repot menjemput? Kalian kan bisa menanti di rumah Cukak Tong.”
“Kami sudah menginap di sana 2 hari. Tetapi Sun-toako (kakak Sun) sudah tidak sabar menanti, sehingga akhirnya kami menjemput San-ko (kakak San) kemari,” kata Kao Ceng Lun sambil tertawa hangat.
“Bagaimana kabarmu Lun-te (adik Lun)? Pekerjaanmu semakin merepotkan rupanya? Aku turut berduka atas kepergian ayahandamu,” kata Cio San.
Mereka lalu berpelukan dengan hangat.
“Ayo kita berangkat. Cukat Tong sudah menunggu,” kata Suma Sun.
Ada sebuah kereta mewah yang menanti mereka. Segera mereka naik kereta itu dengan penuh semangat. Di dalam kereta mereka saling bercerita membagi pengalaman. Cio San lalu bertanya kepada Suma Sun,
“Semalam aku bertempur dengan seorang jago pedang tua. Ia memakai pedang yang berkarat. Kau tahu siapa dia?”
“Setahuku, jago tua yang menggunakan pedang berkarat cuma satu orang. Namanya Hua Ko Lim. Ia adalah seorang pembunuh bayaran.”
Cio San mengangguk-angguk.
“Kau membunuhnya?” tanya Suma Sun.
“Tidak.”
“Baguslah.”
“Kenapa?” tanya Cio San.
“Aku ingin menjajal pedangnya sebelum ia atau aku mati.”
Sebenarnya Cio San ingin menceritakan jurus-jurus pedang si jago tua itu, tetapi ia tahu Suma Sun tidak akan tertarik mendengarnya. “Ia mengirimkan salam kepadamu. Katanya dulu pernah bertemu saat kau masih kecil.”
Suma Sun mencoba mengingat-ingat, tapi ia tidak berkata apa-apa.
“Jika ia pembunuh bayaran, tentu ada seseorang yang mengutusnya,” kata Kao Ceng Lun.
“Tentunya,” tukas Cio San.
“San-ko (kakak San) tahu siapa yang mengutusnya?” tanya Kao Ceng Lun.
Cio San menggeleng.
“Hmmmmm…..,” Kao Ceng Lun berpikir keras.
“Semua ini ada hubungannya dengan beberapa permasalahan yang kau tangani, ya?” tanya Cio San.
Kao Ceng Lun mengangguk, ia masih berpikir keras.
Cio San memang tadi tidak bertanya kepada si jago tua tentang siapa majikannya. Ia tahu hal itu adalah hal yang sia-sia. Si jago tua tentu tak akan membocorkannya.
Mereka akhirnya tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk beberapa saat. Setelah itu mereka kembali lagi saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Cio San sangat tertarik pada kisah Kao Ceng Lun terutama tentang urusan-urusan Kim Ie Wie (Pasukan Berbaju Sulam), pasukan khusus petugas rahasia yang amat sangat disegani. Kao Ceng Lun bahkan menjadi perwira di dalam kesatuan itu.
“Banyak hal yang terjadi sejak San-ko menghilang. Kekaisaran sekarang mendapat ancaman dari berbagai pihak. Di daerah selatan suku Miao sudah mulai berani mengacau. Di daerah barat mendekati utara, pergerakan kerajaan Mongol mulai membahayakan kota-kota kita. Saat mereka diusir dulu, bangsa Goan (Mongol) kembali ke daerahnya dan mendirikan kekaisaran yang cukup kuat. Sedangkan di dalam kekaisaran sendiri, banyak pejabat istana yang merencanakan hal-hal buruk. Kim Ie Wie yang awalnya cuma pasukan penjaga kaisar mulai dilebarkan menjadi pasukan khusus yang rahasia. Jumlah kami sudah cukup banyak. Ini memang bertujuan untuk menjaga keutuhan kekaisaran,” jelas Kao Ceng Lun.
Cio San menggut-manggut mendengar penjelasan Kao Ceng Lun. “Apakah karena ini, banyak orang mulai memperebutkan kitab Bu Bhok? Aku heran, banyak sekali ahli silat yang mencari kitab ini. Padahal orang-orang Bu Lim (dunia persilatan) jarang sekali ada yang tertarik dengan kitab siasat perang.”
“Kemungkinan besar memang demikian adanya, San-ko. Mereka mungkin saja adalah orang-orang suruhan dari bangsa Goan (Mongol). Sejak mereka terusir, mereka selalu membikin gara-gara dan berusaha menjatuhkan kekaisaran. Tapi aku masih belum berani mengambil kesimpulan. Ada kemungkinan juga mereka merupakan suruhan pejabat-pejabat istana sendiri,” kata Kao Ceng Lun.
“Kemungkinan itu justru lebih masuk akal bagiku. Karena jago-jago silat ini tidak mungkin mau diperintah oleh bangsa Goan (Mongol). Tidak mungkin juga bangsa Goan menggunakan cara yang sama seperti beberapa tahun yang lalu saat pemberontakan, ehm, Beng..,” Cio San tak sanggup meneruskan perkataanya. Ia lalu mengganti arah pembicaraan, “Aku dengar ada beberapa benda berharga yang hilang dicuri dari gudang istana?”
Kao Ceng Lun mengangguk, “Itulah yang menjadi perhatian yang sangat besar. Kejadian ini tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan orang ‘dalam’. Sampai sekarang kami masih belum menemukan petunjuk yang benar-benar pasti. Mungkin San-ko (kakak San) bisa membantu kami dalam hal ini.”
Saat Kao Ceng Lun berkata begitu, ingin sekali Cio San bertanya mengapa mereka tidak meminta pertolongan Cukat Tong, si raja maling. Tapi Cio San menahan dirinya. Jika sahabat-sahabatnya tidak mau bercerita, ia memang tidak pernah mau bertanya.
Tak lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Rumah milik Cukat Tong berada di tengah-tengah kota. Rumah itu pun tak pantas disebt rumah, lebih pantas disebut istana! Begitu megah dan mewahnya sampai-sampai Cio San mengira mereka salah alamat.
Karena ‘istana’ ini adalah sebuah tempat ‘hiburan’. Orang yang sudah berpengalaman tentu tahu arti kata ‘hiburan’ ini.
Istana ini adalah sebuah tempat judi, tempat minum arak, tempat makan, penginapan, dan rumah bordil!
Di tempat seperti ini, ramainya sungguh tak bisa digambarkan. Mereka yang datang kesini pun, paling tidak 3 hari baru pulang. Bahkan banyak pula yang menginap berminggu-minggu. Tempat ini sangat terkenal di seluruh penjuru kekaisaran. Namanya pun indah, Istana Bunga Langit.
Saat Cio San bertiga datang di pintu gerbang, mereka sudah disambut beberapa orang gadis yang amat sangat cantik. Cio San bahkan tak berani bernafas. Khawatir jika wangi tubuh gadis-gadis yang maha cantik ini akan membuatnya mabuk dan gila.
“Cio-hongswe sudah ditunggu sejak tadi. Mari masuk,” wanita yang mengatakan hal ini adalah wanita yang paling cantik diantara rombongan. Ia menggenggam tangan Cio San dengan lembut dan menariknya pergi. Gadis-gadis yang lain pun turut menggenggam tangan Suma Sun dan Kao Ceng Lun.
Mereka tidak masuk ke dalam, melainkan lewat samping dan menaiki sebuah tangga yang megah. Si nona cantik menggenggam tangan Cio San dengan lembut namun erat. Seolah-olah ia tak ingin lelaki itu pergi selangkah saja meninggalkan dirinya.
Tibalah mereka di depan sebuah pintu yang sangat megah. Si gadis cantik mengetuk pintu itu 3 kali. Terdengar suara dari dalam. “Masuk.”
Begitu pintu dibuka, tampaklah seorang laki-laki tampan yang sedang duduk di sebuah permadani indah diujung sebuah ruangan yang sangat luas. Lelaki itu tidak begitu muda, tetapi juga tidak begitu tua. Cio San hampir-hampir tidak mengenalnya, tetapi dari sinar matanya ia tahu, orang ini adalah Cukat Tong!
Cukat Tong berdiri. Perlu belasan langkah agar masing-masing bisa saling bertemu dan berpelukan hangat di tengah-tengah ruangan yang penuh perabotan mewah ini.
“Akhirnya kau datang juga,” kata Cukat Tong sambil menepuk pundak Cio San. Kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya. Tapi matanya meskipun memancarkan kebahagiaan pula, seperti menyembunyikan sebuah rahasia yang amat sangat dalam. Cio San tak berani menebak rahasia ini. Ia sungguh-sungguh tidak berani berpikir lebih jauh.
“Siapkan meja!” Cukat Tong memberi perintah. Salah satu pelayannya dengan sigap menjawab, “Meja telah disiapkan sejak tadi. Hidangan untuk menyambut tamu pun sudah siap, tuan.”
“Bagus!” kata Cukat Tong, ia menoleh dengan senyum lebar kepada Cio San,
“Mari!”
Mereka berempat lalu duduk mengitari meja. Arak terbaik disuguhkan. Tawa mereka membahana. Berbagai macam cerita dikisahkan. Canda tawa, dan senyum ceria. Tetapi cahaya di mata Cukat Tong tidak berubah. Ada sesuatu di sana. Suma Sun dan Kao Ceng Lun mungkin sudah paham latar belakang cahaya mata itu, tetapi ia tidak. Ia benar-benar tidak ingin tahu. Oleh sebab itu ia menenggak arak banyak-banyak. Mencoba menggunakan arak untuk mengalihkan pikirannya.
Wajahnya memerah, tawanya membahana. Cio San masih jauh dari kata mabuk, walaupun puluhan guci arak telah ditenggaknya. Meskipun seluruh arak yang ada di dunia ini habis ditenggaknya, ia tak akan mabuk. Tetapi ia justru berpura-pura mabuk. Mungkin karena inilah alasan seseorang menghabiskan banyak arak. Agar ia dapat berpura-pura mabuk. Agar orang mengira ia telah dapat melupakan pikiran-pikiran dan permasalahannya. Agar ia dapat tertawa lepas melupakan segala hal yang meresahkan hatinya.
Melihat cahaya di mata Cukat Tong, jauh lebih pedih daripada memandang mata wanita-wanita yang telah meninggalkan dirinya. Jauh lebih menyakitkan daripada hal apapun juga. Dan ia tak berani bertanya. Sampai kapan pun ia tak akan bertanya. Cukat Tong adalah orang yang berbeda sekarang.
Wajahnya boleh bersih dan rapi. Ia sangat tampan pula. Cahaya wajahnya pun terlihat bahagia dan penuh kesenangan. Tetapi mata itu bersinar menyedihkan. Sepertinya mata itu tidak pantas diletakkan di wajah itu. Gerakan tubuhnya berbeda, tidak lagi seperti ahli silat utama yang lincah dan gagah. Gerakannya bagaikan orang berpenyakitan dan tak memiliki semangat hidup.
Sesuatu pasti telah terjadi kepada sahabat terbaiknya ini. Tetapi ia tidak mungkin bertanya. Ia tidak ingin bertanya. Jawabannya justru akan membuat hatinya lebih perih. Ia memilih tertawa dan tertawa, menikmati segala hidangan yang ada. Menikmati pelukan gadis-gadis maha cantik yang kini bergelayutan di pundaknya.
Hari hampir siang, dan pesta pun selesai.
Cukat Tong meminta diri untuk menyelesaikan urusan ‘dagang’. Tinggal ketiga sahabat ini duduk di permadani indah ditemani gadis-gadis cantik. Cio San memandang Suma Sun, lalu bertanya “apakah Bwee Hua pergi meninggalkan dirinya?”
Suma Sun menggeleng lalu tersenyum pahit, “Justru mereka berdua seperti tidak terpisahkan.”
Cio San memejamkan matanya dan menarik nafasnya. Sahabat yang berubah bukan Cukat Tong seorang. Berbagai macam sahabat di dunia ini suatu waktu mungkin akan berubah.
“Eh, kakak-kakak sekalian, maafkan aku terlambat datang,” suara ini terdengar sangat halus dan menggetarkan jantung.
Laki-laki manapun akan putus urat jantungnya jika mendengarkan suara perempuan ini dibisikkan di teliangnya dengan mesra. Pemilik suara ini pun muncul.
Langkahnya anggun, pakaian yang dipakainya sederhana tetapi sangat indah. Menonjolkan lekuk-lekuk tubuh khas perempuan.
Wajahnya.
Jika kecantikan seluruh perempuan tercantik di istana ini dikumpulkan, lalu dikalikan 1000, masih belum mencukupi separuh dari kecantikan perempuan ini. Bahkan memandangnya saja sudah merupakan sebuah dosa besar. Bahkan berada di dalam satu ruangan bersamanya saja sudah merupakan anugrah paling indah dari Yang Maha Kuasa.
Perempuan semacam ini jika mengucapkan sepatah kata saja, kau akan rela menyerahkan jiwamu, jiwa keluargamu, jiwa sahabat-sahabatmu, dan jiwa siapapun juga ke tangannya. Untunglah perempuan semacam ini hanya ada satu. Satu-satunya di atas bumi di kolong langit.
Siau Bwee Hua.
Bunga Bwee yang mungil.
Tetapi pemilik nama ini tidak mungil. Tubuhnya tinggi semampai. Di bagian tubuh yang harus langsing, ia terlihat langsing. Di bagian tubuh lain yang harus montok padat, maka montok padat pula bagian tubuh itu. Semuanya tepat, pas, dan sempurna. Siapapun yang menciptakan manusia, pasti hatinya sedang senang di kala menciptakan perempuan ini.
Cio San memberi salam kepadanya.
“Aih, San-ko mengapa begitu sungkan pakai salam-salam segala. Aku ini kan kakak iparmu,” ia lalu duduk di hadapan mereka pula. Suma Sun dan Kao Ceng Lun tersenyum memberi hormat.
“Bagaimana kabar San-ko?” pertanyaan sederhana diucapkan oleh bibir terindah di dunia, disuarakan oleh suara paling merdu dan menggairahkan sedunia.
“Baik. Bagaimana kabar Hua-cici (kakak Hua)?”
“Baik pula,” ia tersenyum sangat manis. Lalu menuangkan arak ke cawan milik Cukat Tong yang kosong sejak tadi. Begitu arak tertelan, wajahnya bersemu merah. Semakin membuat wajah sempurna itu bertambah cantik. Satu-satunya hal yang sudah sempurna, namun masih bisa disempurnakan lagi adalah wajah Bwee Hua. Entah bagaimana setiap apa yang ia lakukan membuatnya bertambah cantik. Minum arak bertambah cantik. Berkata-kata bertambah cantik. Tersenyum bertambah cantik. Bahkan jika tubuhnya dihancurkan golok lalu diberikan kepada anjing liar, ia mungkin akan tetap bertambah cantik.
Sungguh, penulis manapun yang mencoba menuliskan kecantikannya, hanyalah melakukan kesia-siaan dan menghabiskan umur.
Mereka bercakap-cakap sebentar. Tak lama kemudian seorang pelayan datang dan memberitahukan kepada Siau Bwee Hua bahwa ada sedikit urusan yang harus diselesaikannya. Ia lalu meminta diri, dan memerintahkan para pelayan untuk memenuhi segala permintaan ketiga orang tamunya.
Cio San tidak berani memandang tubuh yang berlalu pergi itu. Kao Ceng Lun pun hanya duduk terpekur memandang cawan kosong di hadapannya. Sejak tadi ia pun berpura pura sibuk dengan berguci-guci arak.
Hanya Suma Sun yang tersenyum dan berkata, “Untung saja aku ini buta.”
===========
Makan malam telah berlalu. Kedua orang tuan rumah tidak bisa hadir karena harus menyelesaikan urusan dagang. Cio San berada di kamar Suma Sun. Ia sebenarnya telah diberikan kamar tersendiri. Tetapi dirasanya kamar itu terlalu besar dan terlalu luas, karenanya ia memilih ke kamar Suma Sun saja. Kamar yang ditempati sahabatnya itu pun tidak kalah besar. Penataannya sangat indah. Warna-warnanya serasi. Wangi hio (dupa) yang ada didalam ruangan memberikan perasaan yang nyaman dan membuat tubuh terasa santai. Segala hal di dalam kamar rupanya sudah diatur sedemikian rupa sehingga penghuninya tidak ingin keluar. Arak dan hidangan makanan ringan juga telah tersedia di meja.
Suma Sun duduk menghadapi meja. Ia membelakangi pintu paviliun yang terbuka lebar memperlihatkan pemandangan indah kota itu di malam hari. Mereka berada di tingkat tiga gedung megah itu. Segala keindahan tentu terlihat dari sana. Cio San tidur malas-malasan di atas ranjang Suma Sun. Kasur ini sangat empuk dan wangi. Tentu harganya sangat mahal.
“Kau tidak bertanya, apakah kau sudah tahu?” Suma Sun buka suara.
“Tahu apa?” Cio San bertanya balik.
“Tentang keadaan Cukat Tong”
Cio San diam sejenak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Lalu dengan perlahan ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak ingin tahu. Ia terlihat begitu bahagia. Kehidupannya ini sangat nyaman.”
Suma Sun menghela nafas, katanya “Getaran kesedihan dari dalam suara dan gerak-geraknya terlalu besar kurasa. Ia tidak mungkin bahagia hidup seperti ini.”
“Bahagia atau tidak bahagia, apakah kita berhak menilainya? Jika ia sendiri ingin hidup seperti ini, apakah kita berhak melarangnya?”
Suma Sun termenung. Persahabatan mereka terlalu dalam, sehingga apabila salah satu dari mereka ingin terjun ke jurang api, yang lain tak akan menghalau, melainkan turut pula lompat bersama-sama tanpa perlu bertanya sama sekali. “Setidaknya kau harus memeriksa apa yang benar-benar sedang terjadi,”
“Kau belum memeriksa?” tanya Cio San.
Suma Sun menggeleng.
“Kau sendiri tidak tega, mengapa kau pikir aku bakalan tega pula?”
“Di dunia ini, segala pekerjaan yang tidak mungkin, hanya bisa dikerjakan oleh satu orang saja,” kata Suma Sun sambil tersenyum. Senyumnya adalah senyum yang menyedihkan, karena ia tahu betapa benar dan beratnya ucapan tersebut.
Cio San bangkit dari tidur malasnya. “Ia sudah bukan Cukat Tong yang dulu lagi. Semangat petualangannya telah hilang. Api membara yang membakar nyali seorang laki-laki sejati telah hilang sepenuhnya.”
Seorang lelaki petualang yang rajin mengarungi bahaya, tahu-tahu berubah menjadi menjadi seorang laki-laki penurut setelah menikah. Ini bukanlah sebuah cerita aneh. Sebagian besar laki-laki mengalami hal ini. Tapi Cio San tak dapat menerima bahwa sahabatnya itu berubah sedemikian cepat dan dalam. Cahaya semangat telah hilang sepenuhnya dari mata dan wajah Cukat Tong. Seolah-olah ia orang yang sama sekali berbeda. Langkahnya tak lagi ringan dan lincah. Gerak tubuhnya tak lagi cepat dan gesit.
“Bwee Hua,” kata Cio San. “Bwee yang merubahnya,”
Suma Sun mengangguk. “Aku tahu, tapi aku tak punya bukti, dan tak berani menyelidiki.”
Kata ‘tak berani’ ini sebenarnya pantang diucapkan seorang pendekar. Tetapi demi sahabat, terkadang orang bisa pula berani untuk ‘tidak berani’. Karena mereka masing-masing telah paham, jika seorang sahabat tidak ingin menceritakan sesuatu, mereka pun tak akan bertanya. Jika seorang sahabat ingin merahasiakan isi hatinya, maka yang lain tidak punya hak untuk bertanya.
Mereka adalah orang yang suka bercanda dan saling berolok-olok. Tetapi mereka tahu persis kapan harus berhenti, dan kapan harus menghargai perasaan orang lain. Kapan harus diam, dan kapan pula harus bicara. Kapan harus datang dan kapan harus pergi. Persahabatan bukanlah tentang bertemu dan menghabiskan waktu bersama-sama. Persahabatan adalah tentang sejauh mana kau memahami isi hati dan keinginan sahabatmu. Tidak semua orang memiliki isi hati dan keinginan yang sama. Tidak pula antar sahabat harus memiliki kesenangan dan sifat yang sama. Sahabat-sahabat sejati, kadang memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Karena yang mereka cari bukan kesamaan sifat. Melainkan pengertian.
Oleh karena itu jika salah satu harus mengorek rahasia yang lain, maka ia telah melakukan pelanggaran berat dan kehinaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang mengerti tentang pemahaman ini. Karena itulah Suma Sun sama sekali tidak melakukan apa-apa.
Dan kenapa pula Cio San yang harus melakukannya?
Karena memang, di dunia ini jika ada pekerjaan yang amat mustahil, tentu saja hanya dia yang bisa mengerjakannya. Entah siapa yang pertama kali menciptakan kalimat ini, tetapi rasa-rasanya semua orang yang mendengarnya pasti setuju. Yang tidak setuju pun pasti hanya satu orang. Cio San sendiri!
Ia hanya bisa termenung dan menertawakan penderitaannya sendiri.
Di luar terdengar suara ledakan kembang api yang meriah. Cahayanya warna-warna sungguh indah. Cio San tertarik untuk melihat keramaian. Ia melangkan ke pintu besar yang sejak tadi terbuka menghadap luar. Di atas paviliun kamar itu pemandangannya sungguh indah. Saat ia menoleh ke kanan, ternyata Kao Ceng Lun pun keluar dari kamarnya untuk menikmati keramaian.
“Kau ketiduran?” tanya Cio San sambil tertawa.
“Bagaimana bisa tidur, jika perempuan-perempuan di dalam justru tidak mau tidur?” katanya sambil tertawa. Cio San tertawa pula. Ia mengerti maksudnya. Cukat Tong memang sudah menyediakan perempuan-perempuan cantik untuk menemani mereka. Untungnya ia sudah pindah ke kamar Suma Sun. Dan karena Suma Sun sudah menikah, Cukat Tong sepertinya sedikit sungkan untuk menyediakan wanita kepadanya.
Cahaya ledakan indah merona di angkasa, jalanan ramai dipenuhi manusia. Air sungai memantulkan cahaya warna-warni yang sangat indah. Cukup lama mereka menikmati pertunjukan itu.
Sebuah panah meluncur dari atas langit!
Panah itu mengarah tepat di tengah batok kepala bagian atas Cio San. Luncuran panah itu sangat cepat, seolah-olah bintang jatuh yang menghujam dari angkasa. Panah itu berat namun tak bersuara. Tinggal sedikit lagi panah itu menghujam batok kepala Cio San, tetapi kedua orang yang berada di paviliun lantai dua itu sama sekali tidak merasakan bahaya apa-apa.
Lalu Suma Sun terhenyak. Ia dapat mendengarkan hal yang tidak dapat didengarkan manusia biasa. Tangannya meraih cangkir yang berada di depannya dan langsung melemparkannya ke arah datangnya anak panah itu.
Cio San menggerakkan tubuhnya condong ke belakang. Sebelum cangkir yang dilempar Suma Sun mengenai anak panah itu, dua jari Cio San sudah menjepit panah itu. Dengan jari yang lain ia menangkap cangkir itu.
Sungguh tak dapat dibayangkan kecepatan dan ketepatan jemari itu!
Begitu cangkir itu tertangkap, Suma Sun sudah berdiri di samping Cio San. Kao Ceng Lun baru menyadari apa yang terjadi. Ia melihat ke sekeliling. Tiada sesuatu yang mencurigakan.
“Layang-layang!” kata Suma Sun.
Cio San menoleh ke angkasa. Nun jauh di sana, di langit yang dipenuhi cahaya kerlap kerlip kembang api, sebuah layang-layang mengambang di angkasa. Ia membutuhkan sayap agar dapat melayang kesana. Jika Cukat Tong berada di sana, siulannya akan memanggil burung-burung peliharannya. Tetapi Cukat Tong tidak berada di sana.
Ada sesuatu yang hilang di dalam perasaan Cio San.
“Layang-layang itu apakah ada orang yang mengendarainya?” tanya Cio San kepada Suma Sun.
“Ada”
“Laki-laki atau perempuan?”
“Dari jarak sejauh ini, aku tak dapat membedakan,”
Kao Ceng Lun melompat, “Aku akan menelusuri layang-layang itu. Mungkin kita bisa menyelediki arah benangnya.” Saat suaranya masih berada di situ, bayanganya telah melesat jauh sekali.
“Senang juga melihat kepandaiannya meningkat pesat,” kata Cio San.
“Kau tidak mengikutinya?” tanya Suma Sun.
“Percuma,” jawab Cio San sambil terus memandang layang-layang itu. Ternyata layang-layang itu dengan cepat telah menghilang. Langit telah kembali gelap, cahaya kembang api telah berhenti. “Petunjuk yang paling penting berada di sini,”
Ia memperhatikan panah yang dipegangnya.
“Panah ini dirancang agar tidak meninggalkan bunyi. Bagian mata panahnya terbuat dari besi yang berat. Hmmm…., di batang panahnya, ada tulisan….,”
“Kematian Berwarna Merah Darah”
Panah itu pun sendiri berwarna merah.
“Kau mengenal tulisan siapa itu?” tanya Suma Sun.
“Tidak.”
Suma Sun meraih panah itu dan mengendusnya. Ia berpikir sebentar tapi kemudian tidak berkata apa-apa.
“Semua petunjuk mengarah ke Bwee Hua, bukan?” tanya Cio San.
Suma Sun mengangguk.
“Panah ini mengandung wangi yang sama dengan wangi tubuh Bwee Hua. Pesta kembang api di depan istana ini pun adalah hasil prakarsanya. Malam ini bukanlah malam perayaan apa-apa, mengapa harus ada pesta kembang api? Ia menggunakan ledakan-ledakan ini untuk menutupi suara datangnya anak panah,” kata Cio San.
Suma Sun hanya diam.
“Tetapi justru jika semakin jelas petunjuknya, aku malah semakin yakin jika ini adalah tipu daya untuk mengelabui,” tukas Cio San.
Tahu-tahu Suma Sun menoleh ke bawah. Ia merasakan sebuah hawa pembunuh yang sangat kuat berasal dari bawah sana. Dari tengah keramaian dan tawa canda yang membahana. Cio San pun ikut menoleh. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Tetapi ia sangat percaya dengan naluri Suma Sun.
“Ada apa?” bisiknya perlahan.
“Ada seorang pendekar sakti yang memperhatikan kita. Hawa pembunuhnya sangat tajam. Tetapi aku tidak tahu keberadaannya dengan jelas,” kata Suma Sun. Ia masuk ke dalam mengambil pedang. Saat keluar, tanpa berkata apa-apa ia sudah melayang dengan ringan ke bawah.
Cio San menggumama dalam hati, “Ada satu orang yang mati lagi malam ini,” sambil ikut melayang turun pula.
Tahu-tahu Suma Sun berkata, “Tiga,”
“Eh, jadi kau bisa mendengarkan isi hati orang pula?” tanya Cio San tidak percaya sambil tertawa.
“Aku bukan cacing di dalam perutmu, tentu saja tidak bisa.” Suma Sun tertawa pula tetapi gerakannya semakin halus dan lembut. Jika gerakan Suma Sun semakin halus dan lembut, itu tandanya ia sedang bersiap-siap membunuh orang.
“Lalu kenapa jawabanmu persis sama dengan ucapanku di dalam hati?” Cio San masih tertawa heran.
“Mungkin karena aku terlalu banyak menghabiskan waktu mendengarkan ocehanmu. Sehingga aku tahu hal-hal apa saja yang tidak sempat kau ocehkan,” tawa Suma Sun. Jalannya semakin lambat dan halus. Tetapi ia masih tertawa.
Ada semacam keanehan di dalam diri mereka. Jika semakin besar sebuah bahaya datang, semakin mereka akan sering bercanda dan tertawa. Ini mungkin untuk melonggarkan seluruh otot dan syaraf, agar benar-benar siap menghadapi perubahan. Hal ini juga untuk mengelabui keadaan kepada musuh.
Di tengah keramaian seperti itu, segala bahaya dapat datang kapan saja.
“Tuan…tuan, tolong….aku..aku..hilang..” seorang anak gadis kecil datang di hadapannya denga menangis.
“Hilang? Kau kan ada di sini, kata siapa kau hilang?” canda Cio San.
“Hu…..hu…ayah..dan ibu…tak tahu…hu…hu…” tangis si mungil ini malah bertambah deras.
“Oh, kau datang dengan ayah bundamu, lalu kau terpisah dari mereka?” tanya Cio San ramah.
Anak mungil itu masih menggunakan lengannya untuk menyapu air matanya, tetapi kepalanya mengangguk. Tangisannya terdengar menyedihkan sekali.
“Jangan khawatir, ayo kita cari ayah-ibumu. Apakah rumahmu jauh dari sini?”
Saat mendengar kata ‘rumah’ tangisan si kecil semakin membahana.
Cio San menggandeng tangan mungil itu dan berkata, “Jangan bersedih. Yuk, kita cari ayah-ibumu.”
Mereka lalu jalan bergandengan, Suma Sun mengikuti dari belakang.
“Eh adik kecil yang baik, siapa namamu?” tanya Cio San.
“Aku she (marga) Sim, namaku Ning Ning…..,” jawab si anak mungil.
“Oh, nama yang bagus sekali,” puji Cio San. Ia senang kepada anak kecil. Dan anak kecil ini manis dan polos. Ia tidak lagi menangis, tapi wajahnya masih menampakkan kekhawatiran. Dari tampilannya, Cio San bisa melihat bahwa anak ini berasal dari keluarga berada. Baju kembang-kembang yang dipakainya terbuat dari bahan yang cukup mahal. Tusuk rambutnya meskipun sederhana, juga terbuat dari bahan pilihan.
Langit kembali bergemuruh. Kembang api kembali dinyalakan. Sim Ning Ning memperhatikan langit dengan sedikit bahagia. Kekhawatiran masih terbayang, tetapi melihat cahaya warna-warni kembang api, sedikit banyak kekhawatiran itu agak menghilang.
Cio San tersenyum memandangnya.
Mereka berkeliling-keliling sambil mencari orang tua Ning Ning. Cio San bertanya tentang ciri-ciri orang tua Ning Ning.
“Ayah tinggi besar. Lebih tinggi daripada kau, paman. Ibu lebih pendek sedikit dari engkau. Ayah memakai baju biru. Rambutnya disanggul dengan pita putih. Ibu memakai baju biru muda. Sanggulnya berawarna biru muda pula.”
Cio San hanya mengangguk-angguk. Dengan seksama ia memperhatikan diantara kerumunan ratusan bahkan ribuan orang yang tumpah ruah di jalanan ini. Setelah lama mencari dan berkeliling, Cio San berkata, “Ning-Ning, kita beristirahat dulu ya. Siapa tau saat istirahat kita akan bertemu dengan ayah ibumu.”
“Baiklah,” jawab gadis mungil itu patuh. “Eh, kakak, aku tahu sebuah kedai teh langganan ayah. Siapa tahu ia berada di sana,”
“Baiklah!”
Mereka lalu menuju sebuah jalanan yang agak sepi karena bukan merupakan pusat keramaian. Di situ ada gang sempit yang agak menjorok ke dalam. Ada sebuah kedai teh di pinggiran sungai.
Secara tiba-tiba, Cio San melemparkan anak kecil itu ke udara. Tubuhnya meluncur cepat ke arah dinding kedai. Perbuatan yang tak disangka-sangka untunglah tidak mengakibatkan anak ini terluka, karena secara tidak disangka-sangka pula, anak kecil yang polos ini sudah berjumpalitan. Kakinya menendang dinding dan melenting ke atas. Tubuh itu lalu melayang turun perlahan.
“Paman sungguh kejam!” kata anak kecil itu tertawa.
“Dan kau sungguh bodoh,” tawa Cio San.
“Ku akui kepintaranmu dalam membongkar penyamaranku. Tapi, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Ning-Ning.
“Di dalam cuaca musim gugur seperti ini, orang tua bodoh mana yang membiarkan anaknya yang masih kecil keluar tanpa mantel? Kuperhatikan semua orang di keramaian ini memakai mantel. Jika bukan karena tenaga dalam yang cukup, anak sekecil kau tidak mungkin mampu melawan dinginnya angin malam musim gugur,” jelas Cio San.
“Oh, jadi hanya dari baju saja kau bisa menebak semua ini? Sungguh tidak masuk akal!” kata Sim Ning Ning.
“Aku mengajak kau berkeliling cukup lama. Langkahku pun sedikit kupercepat. Ku lihat kau sama sekali tidak capek dan ngos-ngosan. Padahal untuk ukuran sepertimu, harusnya kau sudah lelah dari tadi,” ia menjelaskan masih sambil tersenyum.
Gang sempit ini cukup gelap, karena merupakan bagian kumuh dari kota yang indah ini. Suma Sun masih berdiri di belakang Cio San, ia berkata, “Mereka sudah datang,”
Dua orang muncul di gang sempit itu. Laki-laki dan perempuan. Ciri-cirinya persis seperti yang diungkapkan Sim Ning Ning.
“Kita rasanya tidak perlu basa basi.” Suma Sun langsung berdiri tegap menghadap kedua orang itu. Letak tubuhnya membelakangi Cio San yang sedang berhadapan dengan Sim Ning Ning.
Keramaian masih terdengar di luar. Herannya, keramaian itu semakin dekat dan mendekat.
Ratusan orang sudah berada di sana! Dari keramaian itu muncul ribuan anak panah!
Para pengunjung keramaian ini semuanya rupanya adalah pembunuh!
Ribuan panah menghujam dengan cepat. Melesat meninggalkan bunyi yang menyeramkan. Saat Cio San menoleh sejenak, Sim Ning Ning telah menghilang dari sana! Sepasang pendekar ‘ayah-ibu’ dari Ning-Ning juga sudah menghilang dari sana.
Suma Sun dan Cio San lalu merapatkan badan saling membelakangi. Hujan panah datang dari segala arah. Untuk ukuran pendekar kelas wahid seperti mereka, hujan anak panah bukanlah hal yang terlalu berbahaya. Tetapi jika para pemanahnya dapat menyembunyikan hawa pembunuh dan hawa kematian yang mereka bawa, tanpa ‘tercium’ oleh Suma Sun, maka mereka sama sekali tidak boleh dianggap remeh!
Ribuan panah ini seperti tidak pernah habis. Suma Sun dan Cio San seperti tidak punya kesempatan untuk maju ke depan dan menyerang para pemanah. Cio San tak dapat menggunakan pukulan jarak jauhnya karena ia tahu, jarak para penyerangnya terlalu jauh. Ia hanya dapat mengarahkan pukulannya untuk memunahkan panah. Tetapi panah selalu datang dan datang, seperti tiada akhir.
Kejadian ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi bahaya yang mereka hadapi ini sangat sukar dilukiskan.
Sebuah panah yang datang dari tempat berbeda, dari tempat yang gelap dan tersembunyi, datang bagaikan sebuah ular berbisa yang mematuk dari balik bayang-bayang. Cepat, dingin, dan mematikan.
Hanya sebuah panah.
Tetapi panah itu tersembunyi di balik ribuan panah yang datang susul menyusul bagai badai. Siapa yang dapat mengira akan datangnya sebuah panah semenyeramkan itu, di tengah serbuan ribuan panah yang lain?
Sehebat dan sesakti apapun seorang manusia, ia tak akan pernah dapat lolos dari maut, jika takdirnya telah tiba.
Cio San adalah manusia.
Suma Sun pun adalah manusia.
Panah itu datang dan menghujam jantung Cio San!
Suma Sun hanya dapat mendengar suaranya, ketika panah laknat itu menembus dada sahabatnya!
Ia tahu apa yang terjadi. Ia tahu betapa dahsyatnya panah itu. Ia pernah ‘berhadapan’ dengan panah itu beberapa menit yang lalu. Dengan segala naluri yang dimilikinya, ia baru mengetahui kedatangan panah itu ketika hampir menembus batok kepala sahabatnya. Kini, ditengah hujan badai panah dan keramaian kembang api, serta kesibukannya menangkis semua panah yang datang, bagaimana mungkin ia dapat mendengar sebuah panah yang memang dirancang dengan sangat hebat itu?
Siapapun yang dapat menembak panah dengan demikian tepat dan cepatnya, sungguh pantas mendapatkan rasa takutnya. Kaki Suma Sun bergetar, dalam sepersekian detik itu ia hanya bisa bergerak maju untuk menutupi tubuh kawannya dari hujaman panah lain yang datang.
Dengan marah ia hanya dapat menangkis panah-panah yang datang entah dari mana itu. Tangkisannya banyak yang mengembalikan panah itu kepada pemanahnya. Tapi mereka telah bersiap-siap. Tameng baja telah tersedia bagi para pemanah itu untuk menangkis hujaman panah yang dilesatkan kembali oleh Suma Sun.
Ia dapat merasakan genggaman tangan Cio San di punggungnya. Tangan itu belepotan darah yang hangat. Baju putih Suma Sun yang semula bersih tanpa noda, kini memerah terkena cipratan darah sahabat terdekatnya ini. Suma Sun tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jika menyerang maju, ia tentu saja berani. Ia tidak perduli pada nyawanya. Tetapi ia sungguh perduli pada nyawa sahabatnya. Tidak ada yang lebih penting dari nyawa sahabatnya, bahkan nyawanya sendirinya pun tidak cukup penting.
“Pe..per..gi…lah….” itu sebuah kata terakhir yang keluar dari mulut Cio San. Sebelum akhirnya ia menutup mata di dalam kegelapan yang tak bertepi.
Sayup-sayup, Cio San masih mendengar Suma Sun berkata, “Hey, keparat. Ini bukan saat yang baik untuk mati…..”
Tetapi ucapan ini semakin lama-semakin mengecil, menjadi sayup-sayup, lalu menghilang di telan kegelapan dan kesunyian.
Suma Sun masih menangkis panah. Ia hanya punya satu tangan. Selama hidupnya, ia menggantungkan nasib dan takdir kepada tangannya. Dulu di tangan kanannya, beberapa waktu yang lalu di tangan kirinya. Kini ia benar-benar menggantungkan seluruh harapan itu kepada tangan satu-satunya ini. Ia sendiri tahu, ada beberapa panah yang telah menghujam dirinya. Tetapi ia tidak khawatir akan ada panah yang berbahaya yang akan datang. Karena ia tahu, untuk melepaskan panah seperti itu, seorang pemanah harus mengumpulkan nafas, ketenangan, tenaga dalam yang tinggi, serta pemusatan kesadaran tertinggi. Dan hal itu butuh waktu.
Segala kejadian ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi seolah-olah berlangsung seumur hidupnya. Nasib manusia, siapa pula yang tahu dan bisa menebak? Takdir adalah rahasia langit, baru diketahui saat sudah terjadi.
Kematian.
===========
Jika kematian datang, mereka pasti menghadapinya dengan senyuman. Cio San tersenyum. Sekilas Suma Sun memandang sahabatnya ini. Ia tersenyum pula. Harapannya akan kehidupan telah sirna. Jika bisa hidup bersama dengan bahagia, tentu mati bersama akan bahagia pula. Karena inilah Suma Sun tersenyum pula.
Ia mementang tangannya lebar-lebar, menyambut panah-panah yang tak terhitung jumlahnya ini. Tetapi begitu ia mengikhlaskan kematian, panah-panah itu justru berhenti. Karena entah dari mana sebuah perahu kecil telah melayang jatuh di depannya. Telinganya telah mendengar datangnya, ia berharap yang datang itu adalah sebuah senjata yang akan mengantarkan kematian, tetapi yang datang justru sebuah perahu yang berfungsi sebagai tameng.
“Kim Ie Wei datang, semua takluk!” terdengar teriakan menggema.
Seseorang menarik Suma Sun dan Cio San pergi dari situ. Di leher orang itu terdapat panah yang menancap. Darah mengalir di sekujur tubuhnya. Tetapi orang ini tetap bertahan. Ia datang bersama perahu yang melayang itu. Kao Ceng Lun!
“Mari kita pergi, kakak sekalian. Pasukanku akan menahan mereka!”
Suma Sun menggapit Cio San di ketiaknya. Kao Ceng Lun menggunakan perahu sebagai tameng. Mereka semua melompat ke belakang. Tak jauh dari sana terdapat sungai kecil. Ketiga orang ini melompat ke sana dengan menggunakan perahu sebagai tameng.
“Byurrrr!”
Di kegelapan malam, mereka menceburkan diri ke dalam sungai. Perahu itu melindungi mereka dari hujaman panah, saat mereka menyelam dibawahnya. Dengan semangat yang membara mereka berenang sampai jauh. Saat tidak terdengar lagi suara panah menancap di atas perahu.
Saat dirasa telah aman, mereka memanjat naik.Kondisi Kao Ceng Lun sangat parah, tetapi ia masih memiliki kekuatan tersisa. Suma Sun jauh lebih baik darinya. Cio San sudah kaku. Wajahnya pucat membiru.
Suma Sun menahan air matanya. Kao Ceng Lun tak bisa berkata apa-apa. Di tengah sungai yang sunyi ini, menatap kawan terbaik meregang nyawa, bukanlah sebuah peristiwa yang bisa diabaikan begitu saja.
“Bagaimana lukamu?” tanya Suma Sun kepada Kao Ceng Lun.
“Cukup parah….” jawab pemuda itu terbata-bata, “Tetapi tidak mengenai urat penting….”
Suma Sun mengangguk.
Ia hendak memeriksa luka itu ketika terdengar sebuah suara.
“Ah..”
Terdengar suara lenguhan. Cio San masih hidup!
Suma Sun memeriksa panah itu. Panah itu menancap di dada Cio San. Tetapi sebelumnya panah itu menancap pula di sebuah kitab yang lumayan tebal. Kitab Bu Bhok! Dengan penuh harapan, Suma Sun menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Cio San. Ia pun menekan beberapa titik di tubuh Cio San. Saat hal itu dilakukan, terlihat air sungai menyembur dari mulut dan hidungnya. Bercampur dengan darah.
Cukup lama ia menyalurkan tenaganya sampai terlihat tubuh Cio San mulai memerah dan menghangat. Bagitu dirasanya cukup, Suma Sun menghentikan penyaluran tenaga itu. Ia memeriksa nadi di pergelangan tangan Cio San. Detaknya sangat lemah dan kacau. Tetapi setidaknya sahabatnya itu masih hidup!
Alangkah luar biasanya kebahagiaan Suma Sun saat itu.
Kao Ceng Lun pun terlihat sangat lega. Mereka tidak berani mencabut panah di dada Cio San karena khawatir justru akan melukai lebih parah. Giliran Suma Sun memeriksa luka Kao Ceng Lun. Setelah meneliti dengan seksama dengan sentuhan-sentuhan jarinya, Suma Sun baru yakin bahwa luka itu memang benar-benar tidak akan meenggut nyawa sahabat mudanya itu.
“Kau sangat beruntung. Jika panah ini tepat pada sasaran, urat besarmu akan putus dan kau akan mati seketika,” ia lalu menotok beberapa titik di tubuh Kao Ceng Lun. Setelah itu dengan hati-hati ia mencabut panah itu.
Suma Sun lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik bajunya. Botol kecil itu berisi obat yang ampuh. Umumnya setiap orang Kang Ouw memang membawa perlengkapan seperti ini. Obat berupa bubuk itu diteteskan di luka Kao Ceng Lun. Tak berapa lama wajah Kao Ceng Lun yang pucat itu pun berangsur-angsur memerah. Ia telah lolos dari maut.
Entah kemana perahu ini membawa mereka. Tak ada dayung, tak ada layar. Seperti juga nasib manusia yang selalu terombang-ambing gelombang takdir, ketiga orang ini benar-benar menggantungkan diri kepada suratan takdir.
Tak jauh dari sana, sebuah kapal mewah mendekat. Kapal ini tidak begitu besar. Tetapi terlihat sangat mewah. Sebuah bendera penanda kapal berkibar di tiang layarnya. Sebuah bendera polos berwarna merah!
Pemilik kapal itu sedang berdiri di anjungan. Ia memakai jubah berwarna merah pula. Di sekelilingnya ada beberapa gadis maha cantik yang berdiri menatap pula. Siapapun yang melihatnya, pasti akan mengenal siapa orang ini.
Dialah Bu-Lim bengcu (ketua dunia persilatan), Gan-siauya (tuan muda Gan).
Setelah Beng Liong meninggal, jabatan ketua dunia persilatan menjadi tanggung jawabnya, sebagai orang yang dikalahkan Beng Liong.
“Apakah cayhe sedang berhadapan dengan Suma-tayhiap?” terdengar suara Gan-siauya. Ia berkata sangat pelan, tetapi suara itu terdengar sangat jelas.
Suma Sun hanya mengangguk.
“Kedua orang yang terluka itu membutuhkan pertolongan. Harap tayhiap sudi naik ke kapal kecil kami untuk menerima sedikit perawatan,” kata Gan-siauya sopan.
Setelah berpikir sebentar, Suma Sun akhirnya mengangguk lagi. Perahu kecil mereka sebenarnya sudah banyak memiliki bocor kecil di mana-mana akibat panah. Tak berapa lama seluruh perahu ini akan tenggelam sepenuhnya. Mendapatkan pertolongan yang tak diduga-duga ini, sungguh hati Suma Sun sangat berbahagia.
Kao Ceng Lun yang masin memiliki sedikit sisa tenaga, membopong Cio San dengan hati-hati. Mereka lalu melompat ke atas kapal dengan sisa tenaga mereka. Begitu mendarat, mereka disambut oleh nona-nona cantik itu. Nona-nona itu sangat sigap dalam memberi pertolongan. Mereka membawa Cio San ke sebuah kamar perawatan khusus.
Suma Sun dan Kao Ceng Lun menjura dan berterima kasih.
“Ji-wi enghiong (dua orang satria) tidak perlu sungkan. Hal ini sudah merupakan kewajiban cayhe. Harap ji-wi enghiong beristirahat. Kamar sudah disiapkan. Tetapi harap maklum, kapal ini kecil sehingga ji-wi enghiong terpaksa harus berbagi tempat dalam satu kamar,” kata Gan-siauya.
“Aih mana berani kami menolak. Bengcu (ketua) mau menampung kami saja, sudah merupakan hal yang sangat membahagiakan,” sahut Suma Sun penuh terima kasih.
Salah seorang nona lalu mengantarkan mereka ke sebuah kamar. Walaupun kecil, kamar ini sangat nyaman dan mewah. Tak berapa lama, hidangan berupa makanan mewah, dan dua mangkuk obat-obatan sudah dihantarkan pula.
“Betapa teliti bengcu kita ini. Semua makanan ini sangat enak, tetapi sangat bergizi dan bukan merupakan pantangan kepada luka-luka kami. Bahkan ia pun mengantarkan ramuan obat yang sangat mujarab. Sampaikan salam hormat kami kepada majikan anda,” kata Suma Sun kepada si nona yang sedang membereskan piring dan mangkok bekas makan mereka.
Nona itu tersenyum menggoda. “Siauya (majikan) kami juga memerintahkan, apa saja yang tuan-tuan butuhkan, kami nona-nona ‘kecil’ ini harus menurut,” perempuan cantik dan bahenol, jika sudah mengaku akan menurut semua perkataanmu, hal lain apa lagi yang bisa kau bayangkan?
“Terima kasih. Untuk saat ini, kami hanya butuh istirahat. Bantuan dan perhatian nona amat sangat berarti bagi kami. Eh, apakah saudara kami yang terluka berat ini, ada di kamar sebelah?”
“Benar sekali tuan. Saat ini Cio-hongswe sedang dirawat tabib kami. Jika sudah selesai, ia akan menjelaskan semuanya kepada tuan. Harap bersabar,” jelas si nona sambil tersenyum ramah.
Suma Sun mengangguk dan berterima kasih.
“Ji-wi enghiong (kedua tuan pendekar) beristirahatlah, hamba berada di depan. Jika sewaktu-waktu butuh, silahkan ketuk pintu kamar ini saja. Ini ada baju bersih yang bisa ji-wi berdua pakai,” ia lalu meminta diri.
“Berada di depan? Apakah mereka menawan kita?” bisik Kao Ceng Lun lemah. Suma Sun tidak berkata apa-apa. Di dalam suasana seperti ini, semua orang bisa menjadi musuh. Bahkan diri sendiri pun bisa menjadi musuh. Ia menggenggam pedangnya erat-erat. “Kau beristirahatlah, Lun-te (adik Lun).”
“Sun-ko (kakak Sun) saja yang beristirahat. Lukaku tidak parah,”
“Lukaku justru jauh lebih tidak parah. Sudahlah ayo istirahat,” tukas Suma Sun.
Kao Ceng Lun tidak berani membantah. Ia lalu menutup mata dan bersemedi memulihkan luka di lehernya. Makanan bergizi dan semangkuk ramuan berkhasiat yang tadi ia santap, bekerja sangat baik dalam memulihkan tenaga dalamnya. Ia yakin dalam dua atau tiga hari, lukanya akan sembuh sepenuhnya.
Suma Sun pun bersemedi memulihkan luka-lukanya. Ada beberapa panah yang sempat menancap di tubuhnya. Panah-panah ini beracun. Tetapi bukanlah racun yang amat sangat berbahaya seperti racun-racun para ahli silat umumnya. Dengan obat-obatan yang ia bawa sendiri, serta kekuatan tenaga dalamnya, racun-racun ini dapat dipunahkan seluruhnya.
Hari beranjak pagi. Seseorang mengetuk pintu. “Silahkan,” jawab Suma Sun.
Ternyata si nona yang semalam menjaga pintu depan, “Tuan, tabib kami hendak masuk dan berbicara sebentar,”
“Oh, mari silahkan masuk,”
Tabib yang masuk adalah seorang wanita yang amat cantik pula. Umurnya tidak begitu muda, mungkin belum sampai 35. Wajahnya menggambarkan wibawa, dan pembawaan yang halus. Mengisyaratkan bahwa ia wanita yang berpendidikan, dan cerdas.
Suma Sun menjura memberi hormat. Wanita itu pun membalas, “Perkenalkan, nama cayhe Peng Lin. Cayhe yang merawat luka Cio-hongswe.”
“Bagaimana keadaannya Lin-siansing?”
“Aih, sebutan siansing terlalu berat. Harap memanggil nama saja. Tayhiap (pendekar) jangan terlalu sungkan,” katanya sambil tersenyum. Lanjutnya, “Keadaan Cio-hongswe sudah membaik. Ia sangat beruntung karena panah tidak sampai menembus jantungnya. Sebuah kitab tebal secara kebetulan menahan laju panah itu. Sehingga panah itu tidak menembus jantungnya,”
“Aih, syukurlah,” kata Suma Sun penuh bahagia.
“Tetapi, walaupun penuh itu tidak menembus jantungnya, panah itu sedikit melukai jantungnya. Goresan ini tidak dalam dan hanya kecil saja. Namun karena luka itu berada di jantung, maka hasilnya sangat berbahaya. Cio-hongswe tidak boleh banyak bergerak, dan harus beristirahat total selama satu tahun. Bahkan turun dari tempat tidur saja tidak boleh. Jika tidak luka ini bisa membesar, dan akan menyebabkan kematian,” jelas Peng Lin.
Bagi seorang ahli silat, tidak boleh bergerak selama satu tahun adalah penderitaan yang amat sangat besar. Suma Sun amat sangat paham masalah ini,
“Apakah maksud Lin-ci (kakak perempuan Lin), ia sudah tak dapat bersilat lagi?”
“Untuk hal ini, cayhe tidak berani memutuskan. Harus melihat tingkat kesembuhan Cio-hongswe. Jika lukanya bisa pulih sepenuhnya, mungkin saja Cio-hongswe bisa kembali berlatih silat. Tetapi jika boleh jujur, luka seperti ini akan amat sangat membatasi seseorang. Pengerahan tenaga yang besar, bisa membuat lukanya terbuka lagi, dan justru akan mendatangkan bahaya yang lebih besar,”
Suma Sun mengangguk paham. “Bolehkah cayhe menjenguknya?”
“Tentu saja. Tetapi Cio-hongswe masih belum sadar. Dan ia tidak boleh dibuat letih dulu,” jelas tabib cantik ini.
“Cayhe mengerti. Terima kasih sekali atas pertolongan Lin-ci. Sampaikan pula terima kasih cayhe kepada bengcu,” kata Suma Sun sambil menjura. Ia lalu bergegas ke kamar Cio San. Di depan pintu kamar itu, ada dua orang nona sedang berjaga.
“Biarkan, Suma-tayhiap masuk,” kata Peng Lin. Kedua penjaga ini lalu memberi jalan, dan membukakan pintu, “Silahkan.”
Suma Sun masuk. Dilihatnya sahabatnya itu sedang berbaring lemah tak berdaya. Tubuhnya sudah tidak lagi dingin. Malahan terasa hangat seperti orang sedang demam. Hampir saja Suma Sun menumpahkan air mata ketika terdengar suara lemah,
“Kau belum mampus?”
Suma Sun terperangah, namun ia segera menjawab sambil tertawa, “Kau sendiri belum mampus, masakan aku mampus lebih dulu?”
Cio San tersenyum, tetapi matanya masih terpejam. “Kau istirahatlah,”
Dirinya sendiri terluka amat parah, tetapi masih memikirkan orang lain. Air mata Suma Sun menderai saat mendengarkan ini. “Kata tabib, kaulah yang harus istirahat selama satu tahun tidak boleh bergerak. Ingin ku lihat tampangmu apa masih bisa menggoda orang,” kata Suma Sun sambil tersenyum tetapi air matanya terus mengalir.
Si tabib masuk ke kamar, ia tidak menyangka Cio San akan sadar secepat itu, dan masih sanggup bercanda pula. “Hongswe, mohon istirahat dan tidak banyak bicara dulu. Luka Hongswe masih harus dipulihkan,” kata si tabib cantik.
Cio San tersenyum, “Terima kasih siansing,”
Sebenarnya si tabib cantik ingin membantah sebutan siansing ini, tetapi ia memilih diam agar Cio San dapat beristirahat. Ia lalu meramu beberapa ramuan yang berada di atas sebuah meja kecil di sebelah tempat tidur.
“Kita berada dimana?” tanya Cio San.
“Aih, hongswe, mohon istirahat dulu,” terdengar seruan tidak senang dari si tabib cantik. Mendengar ini, Suma Sun tersenyum, ia mendekatkan kepala lalu berbisik kepada Cio San, “Ada perempuan cerewet di sini yang mengurusimu. Ku kira hidupmu ke depan tidak akan tenang,”
Cio San menahan tawa sekuat mungkin, melihat ini si tabib cantik berseru pula, “Suma-tayhiap, mohon maaf, cayhe harus meminta tayhiap untuk keluar. Perawatan masih belum selesai. Dan cayhe memohon dengan sangat agar tayhiap tidak berkata atau melakukan apa-apa yang bisa berbahaya bagi kepulihan, Cio-hongswe,”
Suma Sun mengangguk dengan penuh hormat, lalu meminta diri. Senyum masih menganmbang di pipinya, tetapi entah kenapa, air matanya justru mengalir lebih deras.
Ia paham betul dengan kenyataan bahwa Cio San bisa kehilangan seluruh kemampuan silatnya. Dan ia tahu pula, Cio San mungkin akan tetap senang hidup dengan keadaan seperti itu. Justru hal inilah yang membuatnya semakin terharu. Ia paham betul sifat sahabatnya ini. Betapa besar kecintaan Cio San dengan kehidupan, dengan manusia, dengan alam.
Dengan segala bahaya besar yang harus Cio San hadapi, hidup tanpa kemampuan ilmu silat hanyalah akan mengantarkan neraka kepadanya. Tetapi Suma Sun sendiri sudah bertekad, selama hidpunya ia akan melindungi Cio San.
Persahabatan yang dalam selalu mengharukan. Karena di dalam penderitaanlah makna sebenarnya dari persahabatan itu sungguh berarti. Berapa banyak orang yang beruntung mengalaminya?
Suma Sun kembali ke kamarnya. Kao Ceng Lun terlihat amat segar, dan luka di lehernya terlihat sudah mulai mengering. “Bengcu mengundang kita makan pagi,” kata Ceng Lun. Suma Sun mengangguk, “Mari.”
Hidangan sudah tersedia. Hidangan mahal namun sangat bergizi dan berkhasiat bagi pemulihan. Tidak gampang membuat makanan seperti ini, karena pada umumnya makanan enak itu tidak bergizi. Dan makanan bergizi itu tidak selezat makanan ‘enak’.
“Ah, ji-wi enghiong sudah datang. Mari…mari..!” kata Gan-siauya (tuan muda Gan) ramah.
Mereka duduk lalu menikmati hidangan. Sambil mengobrol ringan tentang kehidupan sehari-hari. Gan-siauya sama sekali tidak bertanya-tanya tentang kejadian yang baru saja mereka alami. Seolah-olah kejadian ini tidak penah terjadi.
Setelah makan ia menjamu kedua tamunya itu dengan nyanyian dan permainan khimnya yang sangat indah. Lelaki tampan dan halus ini memiliki bakat yang sangat besar dalam sastra pula. Ia bercerita tentang lukisan-lukisan yang digantung di dinding kapal. Ternyata lukisan-lukisan ini sangat mahal dan terkenal.
Lelaki yang ‘hong liu’ seperti ini amat sangat sukar ditemukan. Hong Liu berarti anggun, flamboyan, elegan. Amat sangat banyak wanita yang akan jatuh hati terhadap lelaki ‘hong liu’ seperti ini. Keanggunan Gan-siauya mungkin hanya dapat disamakan dengan Beng Liong. Dalam urusan sastra, silat, dan seni, kedua orang ini hampir setara. Ketampananannya pun hampir setara. Ilmu silatnya pun hanya beda setengah tingkat. Dilihat dari segala hal, Gan-siauya ini amat mirip dengan Beng Liong!
“Melihat betapa tinggi pemahaman bengcu (ketua) terhadap bu (ilmu silat), dan bun (ilmu sastra), dan juga kesukaan bengcu terhadap warna merah, cayhe jadi teringat seorang pendekar besar di masa lalu,” kata Suma Sun.
“Aih, siapakah yang dimaksud Suma-tayhiap?”
“Si jubah merah, Li Hiang” jawab Suma Sun.
Gan-siauya tertawa. Kao Ceng Lun bertanya, “Siapakah sebenarnya si jubah merah ini, Sun-ko? Aku pernah mendengarnya, tetapi cerita yang jelas tentang dirinya masih samar-samar,”
Gan-siauya menukas, “Li Hiang adalah seorang tokoh yang cukup terkenal puluhan tahun yang lalu. Ia mendapat julukan sebagai ‘Ji Hua Sian’, dewa pemetik bunga. Banyak orang yang menuduhnya sebagai bajingan, tetapi banyak pula yang menganggapnya sebagai seorang enghiong sejati. Konon kabarnya, seluruh wanita bertekuk lutut di bawah senyumannya, dan banyak pula pendekar yang bertekuk lutut di bawah pedangnya. Suma-tayhiap membandingkan cayhe (saya) dengan beliau adalah seperti membandingkan langit dengan bumi,” tawanya.
“Sungguh bukan maksud cayhe untuk membandingkan, apalagi menghina bengcu dengan membandingkan bengcu dengan seorang ‘pemetik bunga’ (playboy, pemerkosa). Tetapi cayhe pernah bertemu sendiri dengan beliau, dan beliau jauh dari sangkaan orang. Beliau sangat baik, setia kawan, tahu balas budi, dan amat sangat tinggi ilmu silatnya.”
Gan-siuya hanya tertawa, “Ah, tayhiap jangan sungkan. Sama sekali cayhe tidak tersinggung. Malahan cayhe merasa sangat tersanjung. Tetapi masih butuh ratusan tahun bagi cayhe, untuk dapat menyamai nama beliau, mari bersulang untuk beliau,” ia mengangkat cawan araknya tinggi-tinggi.
Suma Sun dan Kao Ceng Lun pun melakukan hal yang sama, “menjura,”
Kao Ceng Lun lalu bertanya, “Sun-ko ceritakanlah tentang si jubah merah ini, aku sungguh tertarik,”
Kata Suma Sun, “Aku bertemunya saat aku masih kecil. Itu kejadian lama yang pahit dan sangat ingin kulupakan. Saat itulah di mana ayah dan ibuku terbunuh. Aku benar-benar tidak ingin bercerita. Tetapi satu hal yang kujamin, Si jubah merah adalah seorang kuncu. Seorang laki-laki sejati,”
Kao Ceng Lun hanya bisa mengangguk-angguk dengan perasaan tidak enak karena melihat bayangan kesedihan di wajah Suma Sun. Sejak tadi ia ingin menanyakan sebuah hal yang sangat menarik perhatiannya. Sebuah layang-layang besar yang tergantung di dinding.
Layang-layang besar berwarna merah!
“Bengcu suka bermain layang-layang?” tanyanya.
“Ah ya. Suka sekali. Aku mempunyai simpanan layang-layang yang amat sangat banyak di gudang kapal. Bahkan di seluruh tionggoan, orang mengenalku sebagai penggemar layang-layang kelas wahid. Ha ha ha, “ tawanya. Lanjutnya, “eh, marilah kita bermain. Ku tunjukkan sebuah hal yang menarik.”
Mereka bertiga bergegas keluar. “Yong-ji, terbangkan layangan. Angin sedang bagus, cuaca cerah. Mari bermain,” perintah Gan-siauya kepada salah seorang dayang-dayangnya.
“Baik, siauya,” si nona menjawab dengan penuh semangat.
Layangan sudah terbang. Tinggi sekali. Senyum di wajah Gan-siauya seperti senyuman anak kecil yang menemukan mainan kesenangannya. “Nah, kita memasuki bagian yang seru,” sambil berkata begitu, tubuhnya melayang, kakinya menginjak benang tipis layangan itu. Lalu menggunakan benang tipis itu, ia mendaki ke atas langit. Jauh sekali. Ilmu meringankan tubuh yang ia pertontonkan ini sungguh sangat sukar dibayangkan. Bahkan benang layangan itu tidak bengkok karena berat tubuhnya. Tetap lurus mengambang diangkasa seperti tak ada apa-apa.
Suma Sun dan Kao Ceng Lun berdecak kagum melihat pertunjukan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat itu.
“Ji-wi tayhiap naiklah kemari,” Gan-siauya mengirimkan suara dari atas langit. Suara itu datang degan jelas padahal ia berada jauh di atas langit bersama layang-layangnya yang terlihat bagai sebuah titik kecil di angkasa.
Ajakan ini sebenarnya adalah ‘tantangan’ untuk mempertunjukkan tingkat tingginya ginkang seseorang. Suma Sun tentu saja tidak tertarik kepada ‘tantangan’ ini, tetapi ia tertarik merasakan bagaimana rasanya menunggang layangan.
Tubuhnya pun sudah melesat ke atas. Tidak kalah ringan, dan tidak kalah cepat. Ginkang Suma Sun memang tidak pernah kalah ringan, dan tidak pernah kalah cepat oleh siapa pun. Tak berapa lama tubuhnya pun telah berubah menjadi sebuah titik di angkasa.
Layang-layang adalah sebuah benda yang sangat tipis yang terbuat dari bambu dan kertas. Jika layang-layang itu tetap dapat terbang dengan bebas di angkasa padahal di saat yang sama ada 2 orang lelaki dewasa berdiri di atasnya, berarti bukan layang-layang itu yang hebat, melainkan kedua orang laki-laki itulah yang hebat.
Di atas sana, angin terdengar sepoi-sepoi. Suara keramaian manusia pun hanya terdengar sayup-sayup. Manusia terasa begitu kecil dan tak berarti.
“Bagaimana, Suma-tayhiap? Seru bukan?” kata Gan-siauya sambil tertawa senang.
“Menarik. Amat sangat menarik! Walaupun aku buta dan tak dapat melihat apa-apa, sungguh suasana di atas sini sangat menyenangkan,” sahut Suma Sun.
“Karena itulah, cayhe sangat sering melakukannya. Dari atas sini, banyak sekali manfaat dan juga ketenangan yang bisa kudapatkan,” jelas Gan-siauya.
Suma Sun mengangguk mengerti.
“Siauya sedang urusan apa ke kota ini?” tanya Suma Sun.
“Oh, kota ini adalah tempat tinggal tetapku. Aku suka suasana gemerlapnya, tetapi tetap masih bisa membawa ketenangan,”
“Oh begitu….” kata Suma Sun.
“Memangnya kenapa, tayhiap?”
“Semua kejadian ini serasa seperti di atur oleh sebuah tangan gaib yang kejam,” kata Suma Sun.
“Cayhe (aku) mengerti. Segala kejadian semalam, cyahe sudah paham. Kalian diserang oleh sebuah pasukan panah yang amat sangat terlatih. Begitu mendengar hal ini dari seorang anak buah, cayhe langsung berangkat. Untungnya, walaupun sedikit terlambat, nyawa saudara sekalian masih bisa tertolong. Saat itu cayhe tidak tahu siapa yang diserang, dan memutuskan untuk tidak ikut campur dahulu sebelum mengetahui duduk permasalahan. Pasukan yang terlatih seperti itu, sangat menakutkan. Cayhe khawatir bahwa pasukan ini adalah pasukan khusus kerajaan,” jelasnya.
“Cayhe masih belum tahu pasti,” kata Suma Sun. “Pasukan seperti ini bisa dilatih siapa saja, asalkan mempunyai dana dan pengetahuan yang sangat kuat,”
“Apakah mereka mencari kitab Bu Bhok?”
“Mungkin saja. Sekarang kitab ini sudah menjadi incaran siapa saja. Kitab ini sekarang berada pada bengcu, bukan?” tanya Suma Sun.
“Ya benar. Saat panah dicabut dari dada Cio-hongswe, buku ini berhasil diselamatkan pula. Untunglah buku ini dilapisi sejenis lilin sehingga tahan air. Apakah tabibku menjelaskan bahwa buku ini berada padaku?”
“Tidak. Cayhe hanya menebak saja. Pastinya sudah berada pada bengcu, karena cayhe tidak menemukan buku itu di kamar Cio San. Cayhe harap, bengcu menyimpan buku itu dengan baik. Urusan yang akan datang kepada bengcu akan amat sangat banyak,” kata Suma Sun.
“Buku itu bukan milikku, dan tidak dipercayakan kepadaku. Cayhe (aku) hanya akan menyimpan buku itu sampai Cio-hongswe pulih. Atau jika mendapat ijin langsung dari Cio-hongswe,” kata Gan-siauya.
“Eh, Kao-tayhiap, ayo naiklah kemari,” dengan Khi-kang (ilmu pengaturan suara) nya ia memanggil Kao Ceng Lun. Ceng Lun membalas pula dengan mengirimkan suara,
“Terima kasih, cayhe takut ketinggian. Haha”
“Haha. Lucu juga Kao-enghiong. Dia apakah perwira Kim Ie Wie (pasuka Baju Sulam, pasukan elit rahasia milik kekaisaran)?” tanya Gan-siauya.
Suma Sun mengiyakan.
“Laporan dari salah satu anak buah cayhe itu, Kao-enghiong dengan gagah berani menyalakan suar (tanda cahaya, biasanya dibakar dan menyala di langit. Seperti kembang api) untuk memanggil anggota-anggotanya. Suar ini adalah suar khusus milik kesatuan Kim Ie Wie. Padahal saat itu katanya ia telah terluka oleh sebuah panah di lehernya. Saat pasukan itu berkumpul, ia lalu memerintahkan mereka menyerang pasukan pemanah, sedangkan ia sendiri menyelamatkan Suma-tayhiap dan Cio-hongswe,” kisah Gan-siauya.
“Eh, bagaimana nasib pasukan ini?” tanya Suma Sun.
“Mereka berhasil memporak-porandakan pasukan pamanah. Kelemahan pasukan pemanah memang adalah pertarungan jarak dekat. Apalagi belasan anggota Kim Ie Wie ini memiliki ilmu silat dan daya tempur yang sangat tinggi. Tak berapa lama, pasukan ini sudah kocar-kacir,”
Suma Sun mendengar penjelasan ini dengan sungguh-sungguh. Katanya, “Ini bukti bahwa mereka bukan pasukan milik pemerintah. Anggota Kim Ie Wie pasti akan menangkap salah satu dari mereka dan akan menanyakan hal ini sejelas-jelasnya. Semoga tak berapa lagi, kita bisa mendapat kabar,”
“Betul, tayhiap.”
Mereka menghabiskan waktu di atas ini untuk beberapa lama, lalu kemudian turun kembali ke kapal. Saat turun kembali Kao Ceng Lun dan beberapa nona masih berada di sana dan bercengkarama. “Bagaimana keadaan di atas sana, Sun-ko”
“Gelap. Aku kan buta,” jawab Suma Sun sambil tertawa. Yang lain ingin tertawa namun sedikit sungkan. Kata Suma Sun, “Jangan khawatir, justru karena kebutaanku ini, aku dapat melihat dan mengalami hal yang tidak bisa dirasakan oleh manusia yang sehat,” katanya tersenyum.
“Seperti apa contohnya, tayhiap?” tanya selah seorang dayang cantik yang ada di sana?
“Seperti sebuah kapal besar yang siap menyerang kemari,” senyumnya masih mengambang pula. Tapi entah dari mana, pedangnya sudah berada di tangannya.
============
“Lun-te (adik Lun), kau masuklah ke dalam, temani Cio San,” kata Suma Sun kepada Kao Ceng Lun. Dengan sigap pemuda itu mengangguk dan segera beranjak masuk ke dalam kapal, ketika ia mendengar Gan-siauya berkata, “Kapal ini adalah kapal perang kerajaan.”
“Kapal kerajaan?” Kao Ceng Lun menghentikan langkahnya. “Jika itu benar kapal kerajaan, biarkan aku berbicara pada pemimpin kapalnya,” katanya. Suma Sun mengangguk setuju, katanya, “Jika begitu, aku saja yang masuk ke dalam menjaga Cio San,” segera ia sudah menghilang dari situ.
Gan-siauya menoleh kepada Kao Ceng Lun, “Ide bagus. Sebagai perwira dari Kim Ie Wie (pasukan baju sulam), kau tentu bisa berbicara kepada mereka.”
“Yang cayhe (saya) khawatirkan adalah maksud dan tujuan mereka,” tukas Kao Ceng Lun.
“Aku tidak membawa barang-barang terlarang, atau berbahaya. Kemungkinan besar, satu-satunya hal yang mereka cari, adalah Kitab Bu Bhok,” ujar Gan-siauya.
Kao Ceng Lun mengangguk, “Sudah lama para jenderal dan perwira kerajaan mencari kitab ini. Sebenarnya tidak ada perintah khusus dari kaisar yang sekarang untuk tugas ini. Tetapi jika kitab ini jatuh ke tangan jenderal-jenderal yang merencanakan pemberontakan…..,” Kao Ceng Lun tidak berani meneruskan kata-katanya.
“Pemberontakan?” tanya Gan-siauya.
“Sebenarnya cayhe (saya) tidak boleh menceritakan rahasia ini. Tetapi kepada Beng-cu (ketua), tentu saja hal ini tidak mungkin cayhe tutup-tutupi. Ada pergerakan rahasia di dalam istana. Beberapa jenderal sedang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar, dengan cara memanfaatkan keributan dengan suku-suku luar seperti Miao, dan Goan. Sayangnya, kami masih belum mengetahui siapa-siapa saja jenderal-jenderal ini. Tapi pergerakan mereka semakin jelas,” ujar Kao Ceng Lun.
“Jika kitab Bu Bhok jatuh ke tangan mereka, maka pergerakan mereka akan semakin berbahaya. Bagaikan harimau yang tumbuh sayap,” kata Gan-siauya lirih. Matanya memandang jauh ke depan, kapal yang semakin kencang menghampiri mereka, terlihat semakin mendekat. Ukuran kapal ini sangat besar, hampir 9 atau 10 kali kapalnya sendiri. Bisa dibayangkan, pasukan tentara yang berada di kapal itu pasti sangat banyak.
Bendera kerajaan yang berwarna kuning keemasan terlihat berkibar begitu gagah. Di anjungan depan kapal, banyak orang yang berkumpul dan berdiri dengan gagah. Dari pakaian dan gayanya yang berwibawa, Gan-siauya dapat melihat siapa pemimpin kapal itu.
“Laksamana Bu Sien….,” kata Kao Ceng Lun pelan. Ia mengenal laksamana itu.
“Dia orang baik?” tanya Gan-siauya.
“Cayhe tidak berani memastikan…..” jelas Kao Ceng Lun.
Kapal raksasa itu datang membawa gelombang yang cukup kuat sehingga kapal Gan-siauya sedikit terombang-ambing. Kapal kerajaan itu berhenti disamping kapal ketua dunia persilatan yang masih sangat muda itu.
Ia membuka suara, “Perkenalkan, nama cayhe Gan Siauw Liong (Siauw Liong berarti ‘naga kecil’). Cayhe adalah Bu Lim Beng Cu (ketua dunia persilatan) sah saat ini. Apakah cayhe sedang berhadapan dengan yang mulia laksamana Bu Sien yang terhormat? Mohon terima salam hormat kami,” ia menjura, suaranya terdengar lantang dan gagah, namun lembut dan tegas. Baru kali ini pula Kao Ceng Lun mengetahui nama asli Gan-siauya.
Seorang lelaki gagah, tinggi besar dan wajah kemerahan menyahut, “Salam. Benar aku adalah laksamana Bu Sien. Aku memiliki sedikit keperluan dengan saudara,” suaranya keras menggelegar.
“Laksamana yang terhormat memiliki keperluan apa, mohon titahkan,” kata Gan Siau Liong sambil tersenyum ramah. Beberapa dayangnya yang cantik masih berada di belakangnya, tersenyum dengan ramah pula.
“Aku mendengar bahwa kapal ini memuat sebuah benda yang sangat penting bagi kekaisaran, aku berharap saudara mau menyerahkannya kepada kami sebagai perwakilan kekaisaran ,” laksamana ini memang bukan orang yang suka basa-basi.
“Benda apakah gerangan yang dimaksud laksamana yang terhormat?” tanya Gan Siau Liong.
“Kitab Bu Bhok!”
Gan Siau Liong terdiam beberapa saat, tapi ia segera berkata, “Kitab itu memang berada kepada kami, tetapi benda itu kini milik kaum persilatan. Menurut undang-undang yang berlaku, kekaisaran tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan kaum persilatan, kecuali jika yang mulia kaisar sendiri yang menurunkan titah,”
Braaaak! Sang laksamana menggebrak pagar anjungan kapalnya. Ia tahu kata-kata Gan Siau Liong memang ada benarnya. Tiba-tiba dari kerumunan pasukan tempatnya berdiri, majulah seseorang yang berperawakan aneh. Tubuhnya cebol, dan kepalanya jauh lebih besar daripada umumnya. Kepalanya botak dan ditumbuhi rambut tipis-tipis di sana sini. Kumis dan jambangnya lebat. Sepanjang hidupnya, seluruh yang berada di kapal Gan-siauya (tuan muda Gan) ini memang belum pernah bertemu dengan orang seperti ini. Karena pendek, lelaki cebol ini melompat dengan ringan dan berdiri di atas pagar anjungan kapal agar dapat berbicara dengan leluasa kepada kapal kecil dibawahnya.
“Menurut peraturan dunia persilatan, segala mamcam urusan antara kaum bu lim (kaum persilatan) dapat diselesaikan dengan mengadakan Pi Bu (adu tanding silat),” ia berhenti sejenak untuk melihat jawaban Gan Siau Liong. Pemuda ketua dunia persilatan itu mengangguk.
“Aku menantangmu untuk melakukan Pi Bu!” Ia menjura lalu menghentakkan kakinya tiga kali. Dalam budaya persilatan di Tionggoan, gerakan ini berarti secara resmi menantang tanding.
“Baik, apa pertaruhannya?” tanya Gao Ceng Lun balas menjura, yang berarti menerima tantangan.
“Jika aku menang, kami boleh membawa kitab Bu Bhok tanpa diganggu. Jika kau menang, kami akan membebaskan kalian pergi tanpa diganggu.”
Gao Ceng Lun mengangguk. “Tuan telah menentukan pertaruhannya, aku berhak menentukan aturannya,” katanya tegas.
Giliran si cebol yang mengangguk.
“Pertandingan ini hanya berlangsung sekali, antar 2 orang. Siapa yang jatuh ke laut dianggap kalah, siapa yang mati dianggap kalah. Boleh menggunakan senjata apa saja, kecuali racun. Tidak boleh dibantu orang lain, masing-masing petarung bertanggung jawab atas nyawanya sendiri, dan tidak ada kewajiban balas dendam kepada keluarga dan sahabat yang ditinggalkan,” kata Gan Siau Liong dengan lantang, lanjutnya, “Masih ada satu lagi. Arena pertempuran berada di kapal saudara, dan bukan kapal kami.”
“Baik. Aku menerima aturan,” kata si cebol menjura.
“Ijinkan hamba naik ke atas kapal laksamana yang mulia,” pinta Gan Siau Liong yang diikuti dengan anggukan kepala sang laksamana memberi ijin.
Dengan ringan, sang ketua dunia persilatan itu melayang dengan indahnya. Jubah merahnya yang longgar menutupi pakaiannya yang berwarna putih, berkibar-kibar tertiup angin laut. Ia mendarat di lantai kayu kapal itu dengan sangat ringan, bahkan tidak terdengar suara sedikitpun saat kakinya menginjak lantai. Bagaikan bunga kapas yang meliuk dengan indah dan jatuh di atas rerumputan.
Begitu mendarat, hanya satu hal yang menarik perhatiannya. Sesosok perempuan yang sejak tadi berada di balik kerumunan para prajurit. Pakaian perempuan ini ringkas namun bahan-bahannya sangat mewah. Rupanya ia adalah orang Bu Lim (kaum persilatan) pula. Gan Siau Liong memandang sekilas padanya. Senyumnya hanya di ujung bibir, seolah-olah tersenyum kepada dirinya sendiri. Nona cantik itu hanya diam memandangnya. Senyumnya pun tipis sekali. Seperti balas tersenyum kepada dirinya sendiri pula.
Para prajurit dengan sigap membuat barisan berupa lingkaran di anjungan kapal. Gan-siauya (tuan muda Gan) dan si cebol berada tepat di tengah-tengahnya. “Bolehkah aku mengetahui nama tuan yang terhormat?”
“Julukanku Sin Mo Locu (si iblis tua sakti),”
Gan Siau Liong mengangguk hormat. “Kita mulai?”
“Yang lebih mudah, silahkan memulai lebih dahulu,” katanya jumawa. Ia berkata begitu sambil menutup matanya dan kepala mendangak.
Gan Siau Liong, atau yang lebih dikenal dengan nama Gan-siauya (tuan muda Gan) itu melepas jubah merahnya. Bajunya yang putih ringkas, akan membuat gerakannya menjadi lincah dan tanpa hambatan. Ia lalu berseru, “Lihat serangan!”
Tubuh pemuda tampan itu melesat ke depan, si cebol hanya berdiri diam. Di dalam hati ia kagum juga melihat kecepatan pemuda lawannya ini. Begitu tiba di hadapannya, pemuda tampan itu melancarkan sebuah sapuan yang tiba-tiba. Serangan ini sangat unik, karena biasanya sebuah jurus pembuka adalah berupa pukulan atau tendangan. Tapi Gan Siau Liong malah menunduk rendah dan melakukan sebuah sapuan yang amat cepat. Gerakan ini sebenarnya kurang menguntungkan dibandingkan pukulan atau tendangan. Karena untuk melakukan sapuan, ia harus menunduk terlebih dahulu, dan karena ini ia kehilangan sepersekian detik yang berharga.
Karena hal inilah, si cebol tidak menghindar. Ia justru menyerang dengan telapak tangannya, karena ia merasa menang keadaan. Dalam perhitungannya, serangan telapaknya itu pasti sampai lebih dulu. Tapi ia terpaksa dibuat kagum ketika Gan-siauya secara tiba-tiba merubah sapuan itu menjadi tendangan yang dahsyat.
Nama jurus tendangan yang aneh ini adalah ‘Naga Mengibaskan Ekor’. Jurus yang merupakan pengembangan dari 18 Tapak Naga. Tetapi dilakukan dengan tendangan!
Terdengar suara angin yang menderu-deru dari tendangan maha dahsyat itu. Si cebol tidak sempat menghindar, dengan telapak tangannya yang kecil, ia menangkis tendangan maha hebat itu. Semua orang yang berada di situ berseru kaget karena telapak tangan kecil itu bergerak seperti tanpa tenaga menghadapi tendangan sedahsyat itu. Si cebol bisa terhempas tersapu kekuatan mengagumkan dari tendangan itu!
Tetapi semua yang menonton pertandingan ini justru lebih kaget lagi, ketika ternyata justru Gan-siauya yang terpental saat tendangannya beradu dengan tapak mungil itu. Seluruh kapal terasa bergetar ketika kedua serangan itu berada. Gan-siauya terhempas ke belakang hampir menabrak kerumunan para prajurit yang membentuk lingkaran. Dengan berjumpalitan, ia berhasil menguasai keadaan tubuhnya. Ia justru melayang melenting ke atas melewati barisan prajurit, dan mendarat dengan ringan di atas pagar anjungan dengan satu kaki.
Kaki yang satunya terangkat tinggi di udara. Wajahnya menampakkan senyum yang tenang. Meskipun hatinya berdebar-debar oleh semangat yang menggelora, wajahnya tetap menggambarkan ketenangan yang luar biasa.
Ia menguasai ilmu pecahan dari 18 Tapak Naga, yang dikenalnya dengan sebuat 10 Tapak Naga. Ilmu itu dulunya berjumlah 28. Ratusan tahun yang lalu, tetua Kay Pang (perkumpulan pengemis) yang bernama Siau Hong meringkas ilmu itu menjadi 18 jurus. Sedangkan 10 yang tersisa melebur ke dalam yang ke 18 itu. Tak ada seorang pun yang tahu bagaimana rupa asli dari 10 jurus yang dilebur itu. Sampai kemudian,beberapa tahun lalu Gan-siauya menggunakannya dalam perebutan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay-San. Kesepuluh jurus ini adalah jurus maha dahsyat yang terbuang percuma, karena tetua Siau Hong saat itu belum benar-benar memecahkan inti rahasia kesepuluh jurus ini.
Tetapi Gan Siau Liong berhasil memecahkannya. Inti dari 18 Tapak Naga adalah pengerahan kekuatan maha dahsyat untuk menyerang musuh. Inti dari 10 tapak yang tersisa adalah bagaimana menggunakan tenaga lawan untuk digabungkan dengan tenaga sendiri untuk menyerang lawan.
Cio San dulu berhasil melakukan hal ini dengan menggabungkan 18 Tapak Naga dan Thay Kek Kun. Itu pun ia hanya menguasai 3 jurus pertama dari jurus 18 Tapak Naga. Tetapi Cio San sebenarnya telah mampu memecahkan rahasia tersembunyi di balik 18 Tapak Naga. Selain tenaganya yang sangat-sangat dahsyat untuk menghancurkan, ilmu ini sebenarnya bisa digabungkan dengan ilmu tenaga ‘lembut’ yang akan menambah kedahsyatannya.
Oleh karena itu Gan Siau Liong sama sekali tidak terluka walaupun ia terhempas lumayan jauh. Justru keadaan si cebol yang sangat berbahaya. Agar mempertahankan dirinya supaya tidak terlempar ke laut, si cebol mengeluarkan tenaga yang lebih dahsyat untuk menahan gerakannya. Hal ini mengakibatkan tenaganya sendiri saling beradu, apalagi ditambah dengan tenaga serangan Gan Siau Liong. Keadaannya sebenarnya memprihatinkan.
Tapi ia tampak tenang-tenang saja, meskipun ia terlihat sangat pucat karena menahan sakit. Sebisa mungkin ia tidak bersuara agar tenaganya tidak terbuang percuma. Dengan mata merah, ia memandang Gan Siau Liong penuh kebencian. Tubuhnya bergetar menahan perihnya luka dalam yang ia hadapi.
Ingin rasanya ia pergi dari situ karena pemenangnya sudah dapat ditentukan. Dalam satu kali gebrakan saja si cebol ini mungkin akan menderita lebih parah. Tetapi peraturan yang disepakati mengatakan bahwa pemenang baru akan ditentukan saat seseorang jatuh ke laut atau mati. Bukan terluka!
Maka dari itu dengan tidak ragu-ragu, pemuda itu membumbung tinggi untuk menyudahi pertarungan itu. Ia melayang dengan indah. Mata semua orang yang berada di sana terbelalak dalam kekaguman. Seolah-olah sedang melihat seorang dewa maha tampan yang melayang turun dari khayangan. Gerakan melayang ke atas ini dilakukan dengan sangat anggun, sepertinya seluruh dunia bergerak dengan sangat lambat mengikuti gerakan pemuda tampan ini. Rambutnya tertiup angin, membuat wajahnya semakin terlihat mengagumkan.
Lalu ia melayang turun. Sebuah hujaman tendangan yang dilakukan amat sangat cepat! Begitu berbeda dari gerakan melayang naiknya yang perlahan, anggun, dan mempesona, tendangan ini justru sebaliknya. Cepat, ganas, dan menakutkan!
Gerakannya menghujam deras! Bagaikan naga yang meluncur turun dengan kecepatan dan tenaga penuh. Terlihat cahaya berkilauan dari tubuh dan matanya. Seperti petir yang menyambar-nyambar! Belum pernah seorang pun melihat cahaya yang berkilauan yang keluar dari mata manusia. Ia seperti dewa naga!
Sangat menakutkan! Sangat mengagumkan!
Angin menderu-deru menimbulkan gelombang yang membuat kapal bergoyang-goyang. Angin yang keluar hanya dari gerakan melayang si pemuda tampan ini!
Si cebol sudah tak dapat bergerak, ia hanya menerima serangan itu dengan pasrah. Tendangan yang datang sudah tak mampu dihindari atau dihentikan.
Lalu si cebol ini bergerak. Gerakannya justru lebih cepat dari gerakan Gan-siauya!
Tetapi ia bergerak ke samping, dan tidak menerima serangan itu dari depan. Tak ada seorang pun yang menyangka dibalik sikapnya yang seperti telah menerima kematian, si cebol ini rupanya menyimpan tenaga yang amat sangat besar!
Rupanya ia berpura-pura terluka.
Ia sama sekali tidak terluka. Tenaga besar yang tadi menghujam tubuhnya, rupanya mampu dikendalikannya dan dimanfaatkannya dengan baik. Ia sepertinya menguasai sebuah ilmu yang mampu menyerap tenaga dan mengalirkannya.
Dulu pula, Cio San berhasil melakukannya dengan menggabungkan ilmu menghisap matahari dan Thay Kek Kun. Tetapi ilmu si cebol itu bukan gabungan kedua ilmu itu. Ilmunya jauh lebih penuh rahasia, jauh lebih menakutkan, karena dilakukan bersamaan dengan tipu daya.
Gerakan ke sampingnya membuka peluang baginya untuk menyerang bagian paha Gan Siau Liong yang terbuka. Dan itulah yang dilakukannya! Telapak tangannya menghujam ke paha Gan Siau Liong tanpa ampun. Pemuda itu terlontar ke samping!
Tapi ia tidak kehilangan akal. Dengan kaki satunya, ia mengait ketiak si cebol, dan dengan menggunakan tenaga dorongan hasil dari serangan si cebol sendiri, ia melontarkan si cebol jauh ke atas!
Tubuh Gan Siau Liong sendiri menghujam ke barisan prajurit lalu lanjut menghantam pagar anjungan. Terdengar raungan beberapa prajurit yang tulangnya hancur dan patah-patah karena tertabrak tubuh Gan Siau Liong.
Tulang pahanya patah, dan ia terluka dalam. Dengan tenaga yang tersisa, ia berpegangan di ujung haluan kapal. Si cebol sendiri melayang ke atas, dan tanpa ampun terhempas ke laut!
Menurut peraturan yang disepakati, Gan Siau Liong lah pemenangnya.
Sejak awal, Gan Siau Liong sudah curiga bahwa si cebol memiliki ilmu yang aneh. Karena itu ia sengaja menggunakan ilmu-ilmu terdahsyatnya agar si cebol terpancing juga mengeluarkan ilmunya yang sebenarnya. Ketika pertama kali ia terhempas saat tendangannya tertangkis si cebol, ia sudah curiga bahwa si cebol ini memiliki sejenis ilmu untuk mengalihkan tenaga.
Di serangannya yang kedua, ia tahu bahwa ia tidak boleh beradu tenaga dengan si cebol ini. Sebab itu, ia memancing dengan menggunakan tendangannya yang paling sakti. Ia menyangka si cebol akan menerima tendangannya dengan telapak pula, sehingga dengan begitu si cebol akan mampu menyerap tenaganya. Jika itu yang dilakukan si cebol, Gan Siau Liong sudah menyiapkan sebuah ilmu lain untuk menghadapi tipu daya itu. Tetapi si cebol justru bergerak di luar dugaan. Ia malah memilih bergerak ke samping dan menyerang paha Gan Siau Liong.
Hal ini dilakukan si cebol karena ia sendiri tidak yakin dengan kemampuannya menyerap tenaga maha dahsyat itu. Bisa jadi Gan Siau Liong mempersiapkan serangan yang lain. Kekhawatiran si cebol itu terbukti, karena memang Gan Siau Liong sudah menyiapkan sebuah serangan yang lain. Pengalamannya dalam bertanding ribuan kali memberikannya naluri untuk membaca serangan tipuan. Oleh karena itu ia bergerak ke samping untuk menyerang daerah kosong.
Satu-satunya kesalahan si cebol adalah bahwa ia tidak menyangka Gan Siau Liong akan bergerak cepat mengikuti perubahan, dan melahirkan ide untuk mengait dirinya dan melemparkannya ke laut!
Adu tenaga ia tidak kalah. Tetapi adu pintar, ia kalah setengah langkah.
Ia sama sekali tidak terluka. Justru Gan Siau Liong lah yang terluka sangat parah. Tulang pahanya remuk. Tetapi sesuai peraturan, Gan Siau Liong lah pemenangnya.
“Prajurit, bunuh Gan Siau Liong, dan serang kapal itu!” perintah laksamana Bu Sien.
Tetapi tidak ada seorang pun yang berani bergerak. Karena tahu-tahu di situ sudah muncul sesosok laki-laki yang berpakaian putih, rambutnya kemerahan-merahan. Tangannya buntung.
“Siapa yang berani bergerak, silahkan maju lebih dulu,”
Ia tidak bergerak. Hanya diam mematung. Tetapi hawa kematian memenuhi sekitar kapal dengan sangat pekat. Para prajurit ini sudah sering berperang, dan dekat dengan kematian. Oleh karena itu mereka mengenal hawa kematian dengan baik. Mereka amat sangat mengenal kematian. Dan laki-laki bertangan buntung di hadapan mereka ini adalah ‘kematian’.
Gerakannya amat tenang, padahal ada ratusan prajurit terlatih yang sedang mengepungnya.
“Bodoh! Ayo serang!” bentak sang laksamana.
“Jangan bergerak!” terdengar suara seorang perempuan mencegah para prajurit untung bergerak. Perempuan itu sendiri malah maju ke depan ke hadapan lelaki buntung itu.
“Lian-ji! (anak Lian)” seru sang laksamana. Nona cantik ini ternyata adalah anaknya.
Si nona tidak memperdulikan ayahnya, ia justru bertanya pada si lelaki buntung, “Apakah cayhe (saya) berhadapan dengan Suma-tayhiap yang namanya menggetarkan dunia?”
“Dengan siapa saya sedang berbicara?” tanya lelaki buntung itu tenang dan lirih.
“Nama cayhe (saya) adalah Bu Cin Lian, cayhe adalah murid perguruan Tian Kiam(Pedang Langit),” jelas nona cantik itu. Jika kejadian ini terjadi di masa lampau, lelaki buntung ini pasti akan mengajak nona itu duel pedang. Tetapi lelaki ini telah jauh berubah. Ia bukan lagi seorang laki-laki yang haus kemulian dan menggilai pedang. Ia hanyalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki sejati.
“Maafkan ayah cayhe yang tidak mengerti peraturan dunia kang ouw (dunia persilatan), untuk selanjutnya, harap Suma-tayhiap membawa Gan-bengcu (ketua Gan) pergi dengan aman. Kami berjanji untuk tidak mengganggu lagi. Mohon maaf atas kesalahpahaman ini,” nona itu menjura dan tersenyum dengan sopan. Begitu ia mengangkat kepala, laki-laki buntung itu telah menghilang dan membawa Gan-siauya bersamanya. Tak ada seorang pun yang tahu kapan ia bergerak.
Si cebol sudah kembali naik ke kapal dengan basah kuyup. Dengan wajah memerah ia berlalu dari situ tanpa memperdulikan sang laksamana yang marah-marah kepadanya.
Kapal kekaisaran itu pun tak lama sudah menghilang dari sana.
Suma Sun kini berada di bilik Cio San, bersama Kao Ceng Lun. Tabib wanita yang cantik sedang merawat luka Gan Siau Liong. Cio San rupanya tidak tidur, ia membuka matanya lebar-lebar dan menatap langit-langit kapal.
“Dari ceritamu tentang pertandingan tadi, Gan-bengcu (ketua Gan) telah melakukan pengorbanan yang amat sangat besar,” rupanya Cio San mengikuti jalannya pertarungan dengan cara mendengar cerita Suma Sun.
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Suma Sun.
“Untuk sementara, carilah tempat kita bisa menyepi sementara dan memulihkan luka, dengan keadaan sekarang kita tak dapat bertahan lebih lama,” jawab Cio San.
“Ke istana Ular?” tanya Suma Sun lagi.
“Hua-moay (adik Hua, maksudnya Ang Lin Hua, istri Suma Sun) berada di sana?”
Suma Sun mengangguk.
“Sebaiknya jangan, kita justru akan membawa bahaya yang lebih besar,” kata Cio San.
“Aku punya ide yang lebih baik,” sahut Kao Ceng Lun.
“Di mana?” tanya Cio San dan Suma sun hampir bersamaan.
“Di istana kaisar,”
===========
Sampai disini : http://indozone.net/literatures/chapter/30092/
tergantung…….