Cersil Istana Pulau Es 3
- Cerita Silat Cantik 2 Istana Pulau Es
- Cersil Bagus : Istana Pulau Es 1
- Cersil Kuno Mutiara Hitam Tamat
- Cerita Silat Mandarin Mutiara Hitam 5
- Cerita Silat Jadul Mutiara Hitam 4
- Cerita Silat Lawas Mutiara Hitam 3
- Cersil Keren Mutiara Hitam 2
- Seri Bukeksiansu Mutiara Hitam 1 Lanjutan Cinta Be...
- Cerita Silat Karya Normie KPPL 2 (Kisah Para Pengg...
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki
dan dua orang sumoi-nya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah dusun kecil
dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula. Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut
kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira.
Tak lama kemudian anak-anak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan
tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada mereka. Biar pun mereka itu
kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal.
Di samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan
mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan
daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya
seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel
kini merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu
adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya keluarga yang terasing dari dunia ramai ini
telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua
mereka tidak bernama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan
Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan
keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia bersama kedua orang sumoi-nya untuk beberapa hari lamanya di
pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia menduga bahwa letak rahasianya agaknya
berada di daerah keramat di pulau itu.
Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhu-nya, Han Ki
bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia
lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya.
Sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu,
menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai berenang....
********************
Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si
Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah
perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara
kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam
perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan
Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan
meninggalkan suami yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang menyiksa jiwanya. Maka
berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas
yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja
Mongol!
Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak
menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari
isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan
dunia-kangouw.blogspot.com
lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung
Merak di daerah Khitan bersama dua orang muridnya.
Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan
gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan
murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari
kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu. Di lubuk hatinya Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kalau dikatakan
bahwa dia menunggu berita kematian isterinya dari pada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya
itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apa lagi Raja Mongol yang pada waktu
itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit kecil dan tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang
Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isterinya. Jenazah
Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat
itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan dan hidup sebagai
pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya.
Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersemedhi, dia
disadarkan teriakan dua orang muridnya.
“Suhu! Ada orang membongkar kuburan!”
Tang Hauw Lam membuka matanya yang kini tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena
pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
“Ceritakan yang betul, apa yang terjadi?” katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di
depannya.
“Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang lakilaki
bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan
bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,” kata Can Ji Kun.
“Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing
saja!” Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang
tajam. “Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan
apa keperluannya menggali tanah kuburan?”
Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan
jelas apa yang telah ia alami bersama sumoi-nya....
********************
Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena
mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang
juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki
bongkok itu sambil membentak.
“Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!”
“Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan
mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di
dunia-kangouw.blogspot.com
tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring. “Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain,
jangan di tempat keramat ini!”
Dan dia melanjutkan pekerjaannya menggali tanah. Tiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah
tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang
seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini.
Merasa tidak dihiraukan, Can Ji Kun lalu membentak, “Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu menerjang
dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok.
“Dukk!” Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak
kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa
nyeri.
Melihat suheng-nya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, “Maling hina! Berani kau merobohkan Suhengku?”
anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki
Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
“Plakk! Aduh...!” Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa
terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan kini
keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
“Hemm... anak-anak nakal!” Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu,
kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan
Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka....
“Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!”
“Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?”
kata Ok Yan Hwa.
Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kalau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil,
bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan
biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok
itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan.
Maka ia bangkit berdiri dan berkata, “Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja,
jangan sekali-kali lancang mencampuri.”
Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu
akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah
hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga
lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah
tanah kosong, sungguh pun tidak jauh dari kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu.
Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk
dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak
tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas
agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat
lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja
Khitan?
“Sobat, apa yang kau lakukan di sini?” Ia menegur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak
senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat
seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah, biar pun kurus dan agak pucat, ia menghentikan
pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw
Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, ia menjawab singkat.
“Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasehati murid-muridmu
agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut
pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!”
Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa
Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus
dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
“Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau
tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!”
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh
kemarahan. “Hemm... siapa yang melarangnya?”
“Aku yang melarangnya!” Hauw Lam berkata tegas.
Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. “Kalau aku tetap hendak mengubur abu
jenazah di sini, engkau mau apa?”
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. “Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”
“Hemm, kau kira akan gampang saja? Cobalah!”
Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan
kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi,
ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak
memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak.
“Manusia sombong! Pergilah!” Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan
kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang
amat ampuh dan kuat, mengandung tenaga sinkang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bongkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga
kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya.
“Desss...!”
“Ahhh...!”
Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda
bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu ilmu
kepandaiannya telah meningkat hebat, karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat ia
telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sinkang-nya
bertambah kuat sehingga untuk masa itu jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto
Tang Hauw Lam, suami Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat
kuatnya dan mengandung tenaga mukjizat, tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali!
Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki ke pandaian sehebat ini?
Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya
bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau
dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya
menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang muridnya tadi.
“Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur
abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapa pun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya
abu jenazah ini di sini!” dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan
alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa
dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab, “Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk
menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapa pun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau
abunya dikuburkan di tempat ini!”
Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya. “Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak
apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”
“Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan
Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, “Mutiara Hitam...?”
Hauw Lam mengangguk. “Isteriku!”
Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua
orang muridnya. Di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya
sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu
jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
“Hamba Gu Toan mohon ampun... harap Tang-taihiap ketahui... ini... abu jenazah dari... majikan hamba...
mendiang Menteri Kam Liong...!”
Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu
jenazah. “Apa?! Kanda Kam Liong... mati...? Benarkah...?”
“Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan... dan yang satu itu
abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid majikan hamba... Mereka tewas dalam menolong adik beliau,
Kam Han Ki Taihiap...”
“Ahhh...!” Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, “Tidak dinyana...
Kam Liong Twako...!”
Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya.
Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu
Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula
kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu
jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.
Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main,
makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar
isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua
isterinya tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam
terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas,
pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya? Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya!
“Aihhh. Gu Toan... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kau
maafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang
Hauw Lam menceritakan kepergian isterinya. Mendengar ini Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian
Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong
dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya
menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang berkabung
menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet
dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan
datang bahaya lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan
agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.
Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda. Sikap
mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan
itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali.
Sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi
besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri
dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya
berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
“Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari
seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!”
Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan. Wajahnya berubah ketika ia berkata,
“Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?”
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dan komandan itu lalu memberi hormat
secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, “Kami melaksanakan perintah raja kami untuk
pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang
Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami
seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!”
Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan
maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan
nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak, “Apa yang terjadi dengan
isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang telah
terjadi?”
“Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam
dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!”
Panglima Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya,
melompat turun dari kudanya dengan sigap, kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk
menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar dan
jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian
menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
“Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.”
“Tunggu dulu!” Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, tetapi ia melompat berdiri dan
berkata, “Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!”
“Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan
Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam
bungkusan. Selamat tinggal!” Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
bergerak cepat. Kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak
debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, “Taihiap, hidup memang
banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman
hidup yang amat berguna.”
Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak
berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat
hatinya dengan hawa murni. Setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai
membuka bungkusan kain kuning.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa
berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja
Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh
perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang
telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan.
Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari
tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggutunggu
dan duga-duga.
Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias
dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan... setumpuk pakaian
dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam
ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapa pun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka
tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula. Terdengar keluhnya,
“Lan-moi... isteriku...!”
Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian
isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu. Tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan
mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan
mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.
“Kwi Lan...!” Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak
menggelapkan kesadarannya.
“Subo...!” Can Ji Kun berseru sambil menangis.
“Subo...!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol!
Aku akan membalas dendam!”
“Aku juga!” Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar rombongan
pasukan Mongol.
“Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti...!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang
muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”
Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan.
“Subo telah mereka bunuh...!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
“Subo-mu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja
Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam. Dengan wajah pucat, pipi basah
air mata, namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan
membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja
Mongol itu.
Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh
kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk
dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan
orang prajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena
kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di
tangan!
‘Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam.’ Demikian
penutup surat yang panjang lebar itu. ‘Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh,
bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan
perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh
hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali
dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.’
“Kwi Lan...!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu.
Wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram. Tanpa banyak cakap
lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh
Gu Toan yang berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah
Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya Tang Hauw Lam berkabung di
dekat kuburan isterinya.
Setelah lewat sebulan dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan
sambil berkata, “Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini
dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua
ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas.
Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”
“Jangan khawatir, Taihiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini,
akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat
mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”
“Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan
dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”
“Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasehat kepada Taihiap. Hanya
ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga
Taihiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Taihiap.”
Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi.
Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “Andai kata aku tewas dalam tugas pribadiku
ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu
gerbang akhirat, suamiku.”
Biar pun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh
syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku
sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat
tinggal!” Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti
pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan
menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri goa besar yang dianggap tempat keramat oleh
penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat
menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya
ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu. Ia
menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu
ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu itu, akan dapat ia temukan di dalam goa keramat yang terlarang
itu.
Biar pun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh
penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat, sehingga kalau dia
tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung
hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang
bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar
daerah terlarang itu. Kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu
sekali?
Goa itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan.
Setelah memasuki goa itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Goa itu
ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, goa itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan
betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan
dinding batunya banyak yang longsor.
Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan
tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki
mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai
membuka-buka kitab.
“Inilah yang kucari!” serunya girang.
Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak
kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi.
Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan.
Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara
mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget
sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih
mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang
mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan
kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari
daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini
amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup
aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu. Para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang
hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain
yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu
kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai
berkembang, terjadilah mala-petaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak
tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua
penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi
semua!
Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar
menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki
dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua
belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!
Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat
tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apa bila ilmunya itu ia wariskan kepada anak
cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan
pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguh pun ilmu silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini
dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang
terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja
yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin
menyambar ke arah kepalanya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya
dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain
mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng.
Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng
seperti binatang buas.
Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika
ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia
bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi
dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan
menakut-nakuti.
“Trik-cringgg...!”
“Ayaaa...!” Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan
kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali
Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat
melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang
punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang
mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian
yang lebih tinggi dari pada para penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena berbeda dengan kakek botak yang menguji
kepandaiannya, orang kembar itu kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau
tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Han Ki tidak dapat bergerak leluasa di
dalam goa yang gelap karena lilin di atas peti terguling, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat,
agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
“Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh...!” Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari.
Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat.
Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin
membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku
runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung
dan di belakang pundak.
Tiba-tiba seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, “Mataku... ahhh... silaunya...!”
Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan
dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan sering kali
dunia-kangouw.blogspot.com
menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke
belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin tadi terguling
dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
“Aduh... silau...!”
“Tak dapat melihat...!”
Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu,
menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh
dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah
menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan
tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang
menolongnya.
Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula.
Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas,
mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai!
Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat
pertempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar goa, tempat di luar goa itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang
dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan goa. Maya dan Siauw Bwee
berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoi-nya itu dibelenggu!
“Eh... aku... aku tidak melakukan apa-apa...,” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini
benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoi-nya kalau
mereka itu berniat buruk.
“Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata
suaranya dingin sekali.
“Akan tetapi... dia... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku
tertarik, tidak berniat buruk.... Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari
Pulau Es!”
Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami tidak mengerti
apa yang kau katakan itu. Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami
anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan mala-petaka kalau tinggal
bersama kami. Kelahiran mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin
besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”
“Akan tetapi mereka... lihai sekali!”
“Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan
seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau
telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoi-mu harus
meninggalkan pulau ini!”
“Akan tetapi...!” Han Ki membantah.
“Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah
kemarahan penghuni pulau?”
Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak mungkin di
bantah. “Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”
“Sekarang juga!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak
menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”
Han Ki mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!”
Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoi-nya, menggunakan tenaga saktinya untuk sekali renggut
membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, kemudian menggandeng tangan mereka dan
mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki
kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki, perempuan, juga kanak-kanak menuruni tebing
membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu melepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang
sumoi-nya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek
botak.
“Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di goa yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua
belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan.
Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan
tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa
yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika
menyelidik ke dalam goa. Ada pun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu.
Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kepandaian mereka itu hebat sekali. Kalau
kaLiang Biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”
Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam
amat gelap. Dia menanti sampai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai. Obor-obor di tangan mereka
membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular
merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia
melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia
mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apa lagi ketika mendengar
bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga.
Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti
penghuni Pulau Nelayan, apa lagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es
itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari melewati sekumpulan pulau
kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar
puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
”Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar
tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain dari pada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan
cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan kalau tidak lebih dulu
mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana, ujung bangunan itu tentu disangka puncak
sebuah bukit karang.
“Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.
“Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
“Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo
bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang tiga orang itu mendarat dan
menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat
menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke
dunia-kangouw.blogspot.com
daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang, dan menyembunyikan perahu di tempat yang
aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja.
Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau
batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan
es yang amat besar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguh pun mereka tidak
merasakan guncangan sama sekali.
“Pulau Es ini kosong, tidak ada makhluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru,
gembira dan kagum.
“Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun,
tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!”
“Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.
Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang
rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum
bahwa kedua orang sumoi-nya tentu akan menderita sekali, karena untuk dapat melawan hawa yang
dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sinkang yang kuat.
“Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”
Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini darah mereka mengalir cepat
menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang akhirnya mereka berhenti dan
memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya,
berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak
gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi,
karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga
Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
“Mari kita masuk!” Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoi-nya.
Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu
bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya, “ Suheng... jangan-jangan
ada orangnya di....”
“Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andai kata ada penghuninya sekali pun kita takut apa?”
Maya mencela dengan suara nyaring.
“Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan
berani mengganggu. Marilah!” Han Ki menggandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak
digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap
tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua
orang sumoi-nya itu.
Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan
istana itu benar-benar mengagumkan sekali. Selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di
dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan
hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.
Ruangan yang lebar, lantainya dari batu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi
di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat dari pada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring
dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah
pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri
menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di
sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya
dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan
runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah
sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak lagi
benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan
depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin
dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana.
Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan di situ terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan
lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdapat beberapa pintu yang
menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu!
Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka
memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.
Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah
kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat
dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat dari pada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan
adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi-nya lebih baik dan lebih mudah, yaitu untuk
melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis
tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur
kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhu-nya yang agaknya telah lebih dulu mengatur
persediaan secukupnya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es.
“Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci,” Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya
halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada suci-nya yang tadi takut
kelaparan berada di pulau itu.
“Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah
habis, ke mana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
“Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.
“Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu
mudah, Sumoi. Sayang sekali hawa di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat
seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak
takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar
ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”
Melihat betapa kedua orang sumoi-nya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata, “Sudahlah,
Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar
karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal
bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan
selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan
kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayursayuran.
Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan
secukupnya. Sekarang lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan
peninggalan Suhu untuk mengisi perut,” dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoi-nya
melupakan perbantahan mereka.
Kemudian mereka berdua kembali berlomba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata
dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya
tidak pernah mau kalah oleh sumoi-nya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini
mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoi-nya.
Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguh pun di dasari kejujuran dan juga mempunyai
kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh
dunia-kangouw.blogspot.com
oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan
untuk mengalah terhadap suci-nya.
Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah dan saling lomba antara kedua orang
anak perempuan itu, yaitu ketika mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu
agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan sehingga amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua
orang sumoi-nya merupakan ‘murid-murid’ yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru
karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapa pun lelahnya seorang di antara mereka, kalau
melihat yang lain berlatih, maka akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau
beristirahat akan tertinggal jauh.
Keduanya sama tekun dan sama cerdik. Kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di
bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka ‘sikat’ satu demi satu! Tentu saja mereka berdua
memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua
orang sumoi-nya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang
lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu-nya. Dengan dasar yang telah dimilikinya,
tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoi-nya yang membuat
mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat
persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang
laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang
manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apa lagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak
kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
“Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu
malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi
habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”
Karena maklum bahwa sumoi-nya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki
hanya mengangguk. “Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya
dan di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”
Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat suci-nya itu untuk
kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, “Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang
begitu banyak sehingga hendak kau basmi semua?”
“Musuh-musuhku?” Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki
memandang kagum.
Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang
cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu
jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam
tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!
“Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi
mereka semua kelak!”
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoi-nya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian
besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan
kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoi-nya ini akan lebih ‘ngotot’
lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau ‘kalah’ begitu saja dan ia langsung mencela, “Aihhh, Suci.
Pandanganmu itu keliru sekali!”
“Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan
ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun Maya menyebut ‘sumoi yang manis’, namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan
menantangnya untuk berdebat.
Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoi-nya akan menyala, dan seyogianya dia
segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan
kedua orang sumoi-nya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.
“Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoi-nya yang kecil ini karena di balik
kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu
sendiri bahwa aku pun menjadi korban. Ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku
sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang
mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu
Panglima Besar Suma Kiat dan kaki-tangannya.”
“Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung
telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas.
Ini merupakan dendam keluarga dan juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan
hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi
ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak pasti akan kubalas.”
Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah benar asal
dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad
Maya-sumoi, dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu,
Khu-sumoi?”
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suheng-nya itu sengaja memasuki perdebatan
dengan maksud menghentikannya, maka dia yang selalu patuh kepada suheng-nya juga tidak berkeras
hendak membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk
kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki
tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar
dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka!”
Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau sendiri
mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?”
Pertanyaan itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga
mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama!
Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban
Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab. “Masih bergema di telingaku nasehat dan
wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhu-nya ‘Siansu’. “Yaitu bahwa dendam timbul dari
nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu
memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada
siapa pun juga. Kalau toh ada mala-petaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu
datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas,
demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Di luar
kehendak-Nya, takkan ada terjadi sesuatu!”
“Akan tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya.
Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi
sebabnya adalah perbuatan manusia. Dalam hal mala-petaka yang menimpamu, sebabnya adalah
kejahatan Suma Kiat!”
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. “Sungguh pun demikian, Sumoi, namun
si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai
penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang
buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa
kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya
kepada Tuhan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya
itu. “Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputus-asaan dan kelemahan
yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak
berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa
pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!”
Han Ki tersenyum memandang sumoi-nya yang penuh semangat itu. “Ucapanmu benar, Sumoi. Memang
manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapa pun juga, segala ikhtiar hanyalah
merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, ada pun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”
“Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan mala-petaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya
mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa mala-petaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan
di mana Suheng bekerja sebagai seorang panglima yang setia! Aku sendiri tertimpa mala-petaka. Ayahku
yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci
di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan
seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja
menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”
Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya ini masih remaja dan penuh
nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. “Sumoi,
manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak
mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh
hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya,
sungguh pun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri....”
“Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, merupakan hukum yang
penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh
keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya
tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran
sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak
Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita
dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah,
yang lain tidaklah penting lagi.”
“Ah, mana mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa mala-petaka yang disebabkan oleh
kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik
kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”
Han Ki menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri
dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andai kata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah
pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan,
permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang
penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biar pun seseorang diberi peran seorang raja
besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biar pun Sang
Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu
memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya
seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja,
kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata
manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati
Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup
penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”
Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati
mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
“Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Suheng. Betapa pun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!”
Siauw Bwee berkata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoi-nya akan siasia
belaka....
Kesadaran datang bukan oleh pelajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman.
Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan
pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran, dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang
lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Namun semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman
manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari,
sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna.
Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoi-nya ini
tidak terlalu pahit.
“Sudahlah, dari pada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sinkang
sehingga dapat bertahan bersemedhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa
hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sinkang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri
untuk memperkuat sinkang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu
menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk
berlatih.”
Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran
ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan
tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi. Untuk pelajaran ini, mereka telah
menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka
hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat
mengatasi suci-nya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biar pun keduanya sama tekun dan samasama
memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda.
Dalam hal mempelajari sinkang, jelas bahwa Maya melampaui sumoi-nya, juga dalam ilmu pukulan,
gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoi-nya.
Akan tetapi dalam hal ginkang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatanloncatan
dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui suci-nya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat
ini.
Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlomba saling
mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk
Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan
menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu
silat ini.
Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang
mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua
jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee.
Setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan
ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja,
sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan
jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kau latih setiap hari dengan tekun. Mayasumoi.”
Maya mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu
membayangkan ketidak-puasan hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoi-nya yang kedua.
”Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang
dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah
dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca. Jari tangannya yang kecil mungil
melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini
ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi.
Setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han
Ki berkata, “Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup,
hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sinkang di ujung jarimu agar
setiap totokan pada tubuh manusia akan berhasil baik.”
Melihat betapa Han Ki, memuji sumoi-nya, Maya meloncat ke depan dan berkata, “Suheng, aku mau
berlatih lagi dengan arca keparat ini!” Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi
menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat
“Krakkk!” Dada arca itu retak-retak dan Maya menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat
tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.
“Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!” Han Ki berseru marah.
Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memujimuji
Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan
pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl
Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan,
Maya menundukkan muka dan berkata, ”Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman....”
Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan
siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang?
Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak
bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu
dan berlatih haruslah yang kuat, apa lagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama
pecah.”
Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoi-nya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlomba dan bersaing,
akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!
“Arca ini peninggalan Suhu, kini telah menjadi rusak. Kita harus dapat membuatkan penggantinya.”
Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan
mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini
terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali!
Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan
Han Ki ternyata amat baik. Bentuknya menyerupai manusia benar dan biar pun tidak sehalus arca yang
rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini, Han Ki
menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir
untuk memperdalam kemahiran tangannya.
Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoi-nya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi
peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis
cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apa lagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia
sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apa lagi sekarang! Namun di
samping ketekunan mereka yang bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah
keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja
itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam
hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang
menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu
bersaing, apa lagi di depan Han Ki!
Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka
masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat
dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu
akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?
Han Ki selalu merasa kagum ketika sedang melatih silat kepada dua orang sumoi-nya. Selain cerdik dan
berbakat, juga kedua orang sumoi-nya itu merupakan dua orang gadis remaja yang cantik jelita. Sukar
dikatakan siapa di antara mereka yang lebih cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar,
bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi daya tariknya
itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan
pengertiannya yang mendalam.
Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak
bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi
bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat dari pada serangkaian
peristiwa yang amat hebat.
“Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolaholah
dia bernapas!” Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki
atas permintaannya.
Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya
sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan
dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang
berlatih di belakang istana.
Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang
lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang
dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah
kitab-kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
“Kitab-kitab pelajaran ilmu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu silat merupakan
ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan
orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan
kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”
Karena inilah maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu
yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu
merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia
pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee seperti
orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan
Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya.
Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Bwee yang mempertahankan. Keduanya
memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
“Prakkk!” burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
“Ohhh...! Burungku... aiihh, burungku pecah...!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu
yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela, “Ahh, begitu
saja menangis. Cengeng...!”
“Maya-sumoi!” Apa yang kau lakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada
Siauw Bwee.
“Aku hanya ingin meminjam dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!”
“Tidak! Dia memang hendak merampasnya!” Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
“Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur, tidak senang
karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
“Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak
kepadaku.”
Han Ki mengerutkan keningnya. “Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan
semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta
saja kubuatkan dan malah merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus
minta maaf kepada Khu-sumoi!”
“Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.” Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air
matanya. Melihat betapa Maya dimarahi Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
“Lihat, Khu-sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali
menegur.
Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. “Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat!
Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya
membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
“Suci, kau hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya
mencegah.
“Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin
hatinya, tentu dia kembali sendiri.” Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia
sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga
Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan.
Akan tetapi mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
“Kucari kemana-mana tidak ada. Suheng, jangan-jangan dia....”
“Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah di mana anak nakal itu!”
“Suheng, Suci tidak nakal! Ahh... dia harus dapat ditemukan kembali. Bagaimana kalau terjadi sesuatu
dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....”
“Tenanglah. Kau persiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya sampai dapat.”
Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak
nyaring memanggil nama Maya.
“Mayaaaaa...! Sumoi..., keluarlah...! Di mana engkau...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya,
mempergunakan khikang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia
melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema
suara Han Ki dari jauh.
“Maya...! Maya...! Maya...!”
Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang
bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah
keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suhengnya
dan sumoi-nya cemas memikirkannya, terutama sekali suheng-nya!
Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suheng-nya tentu
mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong
itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoi-nya, yaitu di
dalam ruangan bawah istana!
Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan
mainan untuk sumoi-nya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suheng-nya membela sumoi-nya,
bahkan memarahinya di depan sumoi-nya. Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati,
aku tidak akan kembali kepada mereka!
Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng
dan sumoi-nya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang
tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan
pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia
dimarahi suheng-nya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ.
Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang
tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal
setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk
mengangkatnya. Namun arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan!
Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sinkang-nya sudah kuat, masa dia tidak dapat mengangkat batu
ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekali pun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa
kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk
kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di
bawah landasan kaki arca itu lantainya berlubang. Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia
berkata, “Inilah tempat sembunyi yang baik!”
Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di bawah lubang
terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia
tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang, dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke
bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi sedikit pun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya
menuruni lorong kecil. Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di
bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap,
melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang
rahasia.
Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu
kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makin ia turun ke bawah makin
gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso.
dunia-kangouw.blogspot.com
Teringatlah ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan
tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa ngeri karena
tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur yang
letaknya di atas tempat itu dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
“Dia tidak ada!” Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
“Begini gelap, tentu sukar mencarinya,” kata Siauw Bwee.
“Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?”
“Dia tidak nakal, Suheng...”
Kembali pemuda itu menghela napas, “Hemm, dia sering kali mengganggumu dan kau selalu melayaninya,
akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi.”
“Marilah, Suheng.”
“Makanlah, aku tidak lapar.”
“Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?”
“Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana
aku tidak khawatir?”
“Kalau Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan.”
“Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya.” Han Ki berkelebat ke luar untuk mencari lagi sumoinya
yang hilang.
Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut. “Dia... dia mencintai Suci!” Tiba-tiba ia
menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya
bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan
disediakan di ruangan belakang di atas meja tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan semalaman
itu ia tidak kembali ke istana karena dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es. Beberapa kali
mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoi-nya itu
dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke
mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau
dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu sumoi-nya itu bersembunyi di dalam istana!
Mengapa dia begini bodoh?
Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan akhirnya
ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia mencium sesuatu
yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah!
Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap
itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk
dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia
terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu.
Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga
batu dan melihat ke depan, ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar
dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat
melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya!
Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena
ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk
mulut yang kebiruan.
Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat
yang menyeramkan itu. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan
seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak
tangga.
Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu
dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh
kembali ke bawah. Akan tetapi uap putih harum amis yang keluar dari mulut mereka makin tebal memenuhi
ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terlentang di atas anak tangga.
“Maya...!” Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga,
sedangkan di bawahnya ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik.
Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa beracun,
menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia
menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia
bernapas lega. Jalan darah sumoi-nya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas
dan mungkin sumoi-nya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan
pundak Maya.
Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini
mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoi-nya, mengangkat
kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
“Maya-sumoi...!”
Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung
sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api. Wajah yang jelita itu menjadi kemerahan,
mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Hong Kwi di waktu berlomba asmara
dengan dia!
“Maya...”
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya
dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya, didekapkan kuat-kuat
sambil berbisik, “Suheng... ah, Suheng...!” Kemudian gadis cilik itu menangis! “Suheng... apakah kau
sayang kepadaku...?”
Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi
sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,” jawabnya dengan cepat karena memang tentu saja dia sayang
kepada sumoi-nya, baik Maya mau pun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu
berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut
Maya berbisik, “Peluklah aku erat-erat... Suheng..., jangan lepaskan lagi...!”
“Maya...!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng... aku cinta padamu, Suheng... ahhh...!” Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan
hendak mencium pipi Han Ki.
Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoi-nya, ia
mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak
Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu
birahi! Cepat ia menotok tubuh sumoi-nya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia
memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng..., Suci kenapa...?” Siauw Bwee ternyata mencari suci-nya dan berhasil menemukan lubang
rahasia, lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh suci-nya
yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai
ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh
Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke
dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ularular
itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas.
“Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat
yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak
tangannya di punggung Maya, menggunakan sinkang-nya untuk ‘membersihkan’ tubuh sumoi-nya dari
pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap
matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular... banyak sekali... ular merah...!” katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. “Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
“Aku di sini, Sumoi.” Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat
di wajahnya. Dia pun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw
Bwee semalam suntuk.
“Ahhh, kini aku teringat... lubang rahasia di bawah arca... lorong di bawah tanah... dan ular-ular merah!
Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali,
entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku juga ikut!” kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih
kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian, akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam
tadi?”
“Aku belum!” jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam, sudah
dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?” Maya bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoi-nya. Melihat ini Han Ki berdebar,
teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bwee balas memeluk. “Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau kau
pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan
pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa,
pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab,
“Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!” Maya berlari
ke dapur.
Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki dan berkata, “Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang
nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee
dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya
itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak
mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?” tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi
korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali
dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang
mendatangkan gairah dan rangsangan birahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih
belum matang.
“Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan
membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka
biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan
kubasmi dengan api.”
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan
makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan
bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daun kering serta
menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoi-nya yang juga membawa
ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan
uap yang harum.
“Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke
sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak
ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting
berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada
lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan
sesuatu di sana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting
berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika
mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoi-nya melemparkan lagi beberapa batang ranting
berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang
itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu
bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang,
saling belit dan berlomba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas,
sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu.
Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak
lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan.
Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas
dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat
untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
“Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun.
Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah. “Hati-hati, Sumoi. Biar pun ular-ular telah pergi dan
uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun
membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya
melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan.
Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan
sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagai penyumbat,
baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya
terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi baru saja tiba di depan lemari, ia
melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan ‘disegel’ dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya.
Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka
separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhu-nya dengan huruf-huruf kembang
yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya
kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhu-nya itu!
‘Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut
dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.’
Membaca tulisan suhu-nya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat
naik menghampiri kedua orang sumoi-nya yang memandang dengan heran.
“Suheng, kitab-kitab apakah itu?” Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga suci-nya, dia selalu ingin
sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang sumoi-nya tidak banyak
bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka. Setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik
napas panjang dan berkata. “Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab
itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya
dipasangi tulisan Suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokohtokoh
buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan
keadilan.”
“Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca di tempat
keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini
kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang
merupakan neraka dunia, yang amat sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau
Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana.
Melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di
Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang
yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main.
Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran
dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk
membantah, apa lagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhu-nya sendiri.
Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat
hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan
pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu
bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya
seperti itu.
Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan
perlombaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka
melanjutkan dengan perlombaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai
perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki,
bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suheng-nya, melainkan kasih sayang seorang wanita
terhadap seorang pria.
Biar pun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling
mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han
Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan
membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoi-nya itu belajar ilmu dengan amat tekunnya
sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia
merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhu-nya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas
Pulau Es selama lima tahun. Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun
sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biar pun mereka bertiga
tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan
perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan
baik.
Seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoi-nya itu
menjadi matang, Siauw Bwee memiliki ginkang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak
seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sinkang-nya menjadi tenaga halus
yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras
dan tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa. Tenaga sinkang-nya mengagumkan, kuat sekali,
terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari
kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat
dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas
Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang
sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti
seorang tua, pendiam dan sering kali bersemedhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya
mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoi-nya telah
menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih dan
amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian
dan hati-hati.....
********************
“Jangan tinggalkan aku... ohhh, Koko... jangan tinggalkan aku..., bawalah aku pergi...!” Rintihan ini keluar
dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang
pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari
pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu
kamar.
Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak.
Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terurai
lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sari bunga. Pakaian yang dipakainya, yang
sedang dibetulkan letaknya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat pembaringan
tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut dari pada emas dan batu kumala, serba indah, dan
mahal.
Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang
hartawan. Ada pun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah seorang
laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya
juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
“Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi.
Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita.”
Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan
yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam suntuk,
keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
Ah, tidak mungkin! Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang
dan menjatuhkan diri berlutut, “Koko..., jangan tinggalkan aku..., ahhh, tidakkah engkau mencintaku?
Bukankah tadi telah kau bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu
tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!”
“Hemm, cinta telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.”
“Koko... aku... aku cinta padamu... uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku...!” Dara itu menangis.
“Engkau? Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!” Laki-laki itu tertawa, akan tetapi
suara tawanya mengandung kepahitan.
“Koko..., sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku,
cintaku, segala-galanya...?”
“Ha-ha-ha, itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta
adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!
dunia-kangouw.blogspot.com
”Tidak...! Tidak...! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku
mau ikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!”
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan.
Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting
telentang di atas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh
sambil berkata,
“Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh.
Yang kau berikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk
mernuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
“Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta...!”
“Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang
dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa
Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik, akan tetapi bukan kupatahkan tangkainya
melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian (Dewa
Pemetik Bunga) dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau ikut? Mencintaku? Ha-ha,
menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis. Apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan
manis.”
Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak
melayang ke luar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak
tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu.....
Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan
dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat ke luar seorang
pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus,
dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang
berada di perahu lain cepat memberi pertolongan. Akan tetapi andai kata tidak ada pemuda itu, agaknya
ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong.
Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri
yang didayung pergi dengan cepat, tidak mempedulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi ketika tadi
menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku
menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis.”
Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya
berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap
yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya.
Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapa pun juga, hatinya
menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya.
Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega
karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang
aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama pulas ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat
kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di
sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan
takut, lalu membuka mulut hendak menjerit.
Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak
dapat mengeluarkan suara. Kemudian dengan halus dan menarik pemuda itu mencumbu rayu, membujukbujuk
dengan halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau
melawan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan
dunia-kangouw.blogspot.com
hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa
pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
“Aahhh...!” Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban
seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti
suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar
dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati
sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi dengan
peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki
yang suka mempermainkan cinta wanita.
Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu
menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari
korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam!
Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang
roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga),
bahkan nama aslinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus. Begitu
keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi
korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada
pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak
ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada
sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama
perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang
gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biar pun dia sendiri
tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia
selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam.
Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenangwenang
dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu.
Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan
para orang gagah. Karena itu pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan
menentang golongan dunia hitam, sungguh pun ia tidak dapat meninggalkan kesukaannya merayu wanitawanita
untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan!
Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat
menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di
samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun sering kali menolong orang-orang lemah tertindas
sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh
Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam
dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan
Yucen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa
Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan menyusun
kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi
makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
Namun segera menjadi kenyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata
lebih bengis dan sewenang-wenang dari pada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biar pun dahulu
Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan
setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan
Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han tidak terlalu mendesak dan selalu
dunia-kangouw.blogspot.com
memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan
kelemahan Sung menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus
dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai
memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit
daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak
dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi
cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung
yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup. Hidup Kaisar
dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolaholah
tidak mempedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh
bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang,
melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara
cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil
keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh kaisar dan keluarganya setiap saat.
Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan.
Masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan
kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas
dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasehat dianggap
melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta
pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan daradara
muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggaklenggok
menari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu
kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak lagi terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang
oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan para selir.
Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang
seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar,
baik sipil mau pun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya
begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa
apa saja, benda mati mau pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus,
benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw,
para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa
bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka
ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang
menguasai daerah-daerah, dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah
Kerajaan Sung pusat.
Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para
pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat. Kebencian mereka
memuncak ketika pera pembesar daerah ini mendengar akan perbuatan Suma Kiat terhadap Menteri Kam
yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar
yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri. Bukan hanya para
pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh
hormat kepada putera Suling Emas itu menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri
Kam.
Mulailah terjadi kesimpang-siuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan
berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kangouw
dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung, kecuali Siauw-limpai.
Pada waktu itu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya,
yaitu Kian Ti Hosiang. Ketika para muridnya menyatakan pendapat menghadapi kekacauan di Kerajaan
Sung, ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
“Omitohud.... Segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat dari pada sepak
terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas
menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi
pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi
kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti
terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai
tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara
pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasehat Supek benar belaka,”
kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang
hwesio yang paling ‘maju’ dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai
setelah ketua sekarang yang terhitung supek-nya itu mengundurkan diri. “Akan tetapi apa bila badai
mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekali
pun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?”
Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar
daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka
tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, di samping menjadi
kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu
saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela.
“Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan.
Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya
tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan
merugikan pihak lain. Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini.”
Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi
para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersemedhi. Maka mereka pun
bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabangcabang
Siauw-lim-pai yang tersebar di mana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan
dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan,
namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di
cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar
pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka
didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas pembesar
pusat untuk menarik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan
ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil
antara kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan
paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa,
rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolahdunia-
kangouw.blogspot.com
olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh
tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap.
Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masingmasing
sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan
kematian. Akan tetapi hal yang amat mengherankan dan mengagumkan adalah, pihak yang melakukan
bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokanbentrokan
itu.
Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga
berlomba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah maka pemilik
restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan, bahkan sebagai pedagangpedagang
cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan
menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu
bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan
berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Seorang pemuda
tampan yang gagah sekali sikapnya, dan pakaiannya indah dengan pedang bergantung di punggung
memasuki restoran. Pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut
sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat.
Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri dua hari yang lalu, dia belum bertemu
dengan wanita yang menggerakkan birahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu
juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
Ia menanggalkan pedang dan buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan
minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran
dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan
ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang
menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancongpelancong.
Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap dan
bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali.
Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun
usianya. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu,
telanjang sama sekali!
Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang
agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada
dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, serta senyumnya yang seolah-olah
mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau,
hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang
bangkrut!
Tidaklah mengherankan apa bila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati
curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang.
Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata, “Bung Pelayan, engkau tidak melayani
pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku
mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!” Setelah berkata demikian, laki-laki itu
menepuk-nepuk bungkusan di ujung tongkatnya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak.
Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu duduk tidak jauh dari meja Suma Hoat.
Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling
tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi betapa pun tertarik hatinya, Suma
dunia-kangouw.blogspot.com
Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya
ucapan orang aneh itu.
Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan
perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap
harta dunia!
Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya,
pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan
bagi yang menilai! Buktinya tersebar di mana-mana.
Datanglah ke rumah seseorang dengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut
dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah menganggap bahwa
engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidak-senangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau
datang dengan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan
nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyumsenyum
karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin
dapat dibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah.
Maka biar pun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperhatikan laki-laki itu dan menduga bahwa
orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguh pun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya.
Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula
keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang
menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena
pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar
dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain dari pada yang lain!
Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu
sebangsa pengemis yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah seorang
kang-ouw, maka ia bertanya dengan sikap hormat. “Sicu hendak memesan apakah?”
Akah tetapi orang itu tidak menjawab, hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan menoleh ke
arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu
dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang tiba. Melihat ini Suma Hoat
memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki
dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian
sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala
gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki
restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap
dan tertawa-tawa.
Si Pelayan yang menyambut segera berkata, “Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang terhormat!
Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!”
Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah
ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima orang itu
menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu
membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang.
Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan
Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan yang kini sibuk
melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak
sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap
percakapan mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!” kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
“Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!” kata perwira kurus sambil
tertawa.
“Kabarnya mereka lihai,” kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
“Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,” kata Si Tosu dengan suara rendah.
“Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan...”
“Sstt, harap Totiang hati-hati,” perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
“Takut apa?” Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak
mendengar. “Semua sudah diatur baik.”
“Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka
terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin
saja,” kata pula perwira kurus.
Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang
mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka
dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,
“He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orangorang
lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!”
“Sicu, harap bersabar...!” Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki
Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua
orang perwira sambil menggumam, “Ciangkun, maafkan...!”
Melihat ini Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata, “Pelayan, tugasmu melayani tamu yang
sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!”
Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu
pelototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata, “Wah-wah, banyak sekali
lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!” katanya dan
menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan. Kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan...
belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua
ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima
orang itu terbahak-bahak, “Ha-ha-ha!” Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaiannya itu tertawa.
“Kalau sudah amat kelaparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan!”
“Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu bertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena
ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang. Perwira kurus ini lalu menoleh dan mengerling ke arah Si
Kaki Telanjang, masih sambil tertawa.
“Ha-ha-ha-hauuup...!” tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya.
Matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar masuk
mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokannya.
“Haaak-agghh... haaakk-huaaakkk!”
“Eh, kau kenapa?” temannya, Si Perwira Gemuk bertanya. Juga tiga orang lainnya memandang heran,
menghentikan ketawa mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ughh-ughh... lalat... masuk mulut..., si bedebah!” Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang
temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa
masuk ke mulut teman mereka.
“Tiga ekor... ihh, huakk..., si keparat!” Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor
lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.
Suma Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk
kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu
memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya.
“Ha-ha-ha, bagi yang kelaparan memang tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan!”
Lima orang itu semua menengok kepada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah
berkata, “Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!”
Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang
beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai
lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah
karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga
sinkang yang kuat.
Dengan tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat
itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat
masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ.
Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata, “Kalau orang gemar kuah daging lalat, silakan
minum!” Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.
”Setan...!” Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi
mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram
kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biar pun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk
itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
“Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi
kuah lalat, ha-ha-ha!” Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan. Diam-diam ia kagum
sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
“Makanlah!” Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok
pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang.
Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali
gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
“Ha-ha-ha, lagi! Lagi...!” katanya gembira.
Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok
masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu,
namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat
yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas
meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.
“Singggg...!” tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si
Kaki Telanjang.
Melihat ini Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan adalah sebuah
piring sehingga ‘senjata rahasia’ itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu Si Kaki Telanjang
sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok terakhir.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ke sini...!” Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan sinkang-nya yang kuat
dan... piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke arah
tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakkannya ke atas meja.
Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang
yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka
cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
”Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan
mata.” Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai.
Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki
Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.
“Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?” tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang
tiga ekor lalat bertanya.
“Aku bukan dari aliran apa pun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapa pun juga,” kata Suma Hoat
acuh.
“Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai sandaran, seorang manusia biasa
biar pun bukan tergolong lalat hijau,” kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
“Kalau begitu, sekali lagi maaf,” kata Si Perwira Kurus. “Karena belum mengenal, kami telah bersikap
lancang dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”
“Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidanganhidangan
yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?”
Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil
berkata, “Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati.
Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
“Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. “Harap jangan
mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian
pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!”
“Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!” Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu
keterlaluan sekali.
“Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang berkata membantah.
Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk, “Ini
bayaran hidangan!” kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si
Pelayan.
Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia bergidik ketika
menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
“Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?” Si Kaki Telanjang menegur pelayan. “Kalau
kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!”
”Tidak..., tidak kurang malah lebih..., akan tetapi...” Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di
telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti
dijepit jepitan baja yang amat kuat!
Si Kaki Telanjang tertawa, “Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pelayan ini pergi tanpa berani membantah. Kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar
terhadap dua orang aneh ini, apa lagi dia!
“Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!”
Suma Hoat menjawab, “Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!”
Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk. “Aihh... dasar aku si tukang
rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku
Im-yang Seng-cu.”
Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia
persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang
dianggap ‘murtad’, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi. Wataknya aneh dan gila-gilaan, akan
tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata, “Aku pun tidak mempunyai nama, dan
orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!”
“Haiii!” Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyanggoyangkan
tangannya, “Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwasian!”
“Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan
dengan....”
“Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita
berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi
menemaniku. Makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!”
Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri
kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang.
Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma
Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
“Benarkah engkau Jai-hwa-sian?” tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
“Kalau benar mengapa?” Suma Hoat balas bertanya.
Im-yang Seng-cu tertawa. “Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku
tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu.”
“Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-yang Seng-cu yang terkenal.”
“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok
sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu
tentang lima orang tadi?”
“Mereka lihai, akan tetapi sombong.”
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau
yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak
membuktikan bahwa sinkang-nya tinggi. Eh, apa yang hendak kau lakukan terhadap rencana mereka?”
“Rencana yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,”
jawab Suma Hoat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana dan
masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai,
dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti
Hosiang!”
Biar pun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap
dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
“Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” jawabnya.
“Apa?” Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya. “Jai-hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan
pendengaranku selama ini bahwa di samping... eh... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah
seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?”
Mendengar ini Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. “Im-yang Seng-cu, tentang
kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan
tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku
belum tahu siapa salah dan siapa yang benar.”
Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aih-aihh..., sampai begitu jauhkah engkau mengerti
tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?”
“Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw.”
“Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik....”
Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang
timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri.
Kemudian ia menambahkan, “Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua
Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak
pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua
cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Kemudian dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang
ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada
pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian
yang bijaksana itu menjadi berantakan?”
Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya,
Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan
kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
“Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio
kelenteng Siauw-lim-si ?”
Yang ditanya tertawa, “Biar pun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu,
akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentang keledai-keledai gundul
yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai
hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan
keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang
akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”
Suma Hoat tersenyum dingin. “Silakan!”
Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah. “Sebaiknya mulai saat ini,
julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan
pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan
yang dipesannya tadi.
Im-yang Seng-cu maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai
yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di
ujung kota.
“Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini,” katanya kepada penjaga kuil.
Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab,
“Suhu sedang bersemedhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauwceng dapat
melayani Sicu.”
Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung
kecurigaan, maka katanya keras, “Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan
yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu.
Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!”
Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biar pun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia,
mengapa sikapnya begini angkuh?
“Maaf Sicu,” jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras. “Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si
adalah tanggung jawab kami sendiri, ada pun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu
tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya
melayani orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Buddha dan bersembahyang.”
Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia
memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar?
Dia penasaran dan berkata lagi, “Engkau sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada
suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!”
Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta
sembarangan. Telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena
hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal
di dunia kang-ouw.
Sambil menjura hwesio itu berkata, “Omitohud... kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang?
Maafkan Sicu, Siauwceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-sanpai.”
“Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak
kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil
ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum
terlambat.”
Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara halus, “Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?”
Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi kurus yang usianya sudah
empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura
dan bertanya. “Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?”
“Benar, Sicu,” Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
“Aku adalah Im-yang Seng-cu. Ada urusan penting mengenai kuil ini yang hendak kusampaikan kepada
Losuhu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Omitohud... ! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar
kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam.”
Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali dan duduk berhadapan,
Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, “Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar.
Malam nanti kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!”
Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguh pun sinar keheranan
dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya. “Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu
bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak
bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua golongan...”
“Aku mengerti Losuhu!” Im-yang Seng-cu memotong tak sabar. “Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi
pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua kalian, Kian Ti
Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi
siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti.”
Mulailah hwesio itu tertarik. “Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?”
“Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini
dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung.” Dengan singkat
namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan
mereka di dalam restoran pagi hari itu.
Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suheng-nya di pusat, yaitu
Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti
sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit
berdiri dan menjura kepada tamunya.
“Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat
begitu jahat terhadap kuil ini, dan andai kata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup
menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu.”
Im-yang Seng-cu membelalakkan mata, “Losuhu, aku akan membantumu!”
“Tidak baik kalau pihak luar mencampuri. Kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang
luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!”
Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang
Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, “Dasar si bodoh yang ingin
mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! Selamat tinggal, Losuhu!”
Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
“Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau
pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orangorang
yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah
berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka
sehingga perdamaian dapat dijaga dan dipertahankan.”
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya
penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biar pun penawarannya untuk
membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendetapendeta
Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya, namun juga amat keras kepalanya itu.
Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya
terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biar pun hatinya
keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah
siap sedia dan berlaku hati-hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh muridmuridnya,
para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa
kedudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan.
Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melakukan
semedhi di tengah ruangan depan.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, “Siap...!” Dan perintah ini segera disampaikan
kepada semua murid sambung-menyambung.
Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda
bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang
ditugaskan menjaga di dalam segera keluar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan
itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu.
Gin Sim Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan. Ia
memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw,
dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang
membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat
tinggi. Orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang
lebih empat puluh tahun.
“Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?”
Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu tertawa sambil mencabut pedang panjang dari
pinggangnya, “Kami adalah dua orang perwira tinggi Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauwlim-
si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan pemberontak!”
“Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!” kata Si Tosu sambil mengejek.
“Omitohud! Harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah
perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai.
Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar
bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami
tidak mau memusuhi siapa pun juga. Kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai
dan memancing-mancing usaha keji, itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa
tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!”
Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak. “Ahhhh Si Keparat... tentu mereka yang
membocorkan...!” teriak Si Perwira Kurus.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan
berkata, “Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah ketagihan lalat lagi
dan datang ke sini hendak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!”
“Engkau... Im-yang Seng-cu!” Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah
maju dan menegur.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Hemm... hemm, kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir!
Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!”
“Setan kau!” Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kangouw,
sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin
Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya. Sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di
depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat
luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si, “Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau
dunia-kangouw.blogspot.com
menghadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya
patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!”
“Omitohud..., terpaksa pinceng melanggar pantangan berkelahi!” Gin Sim Hwesio juga sudah
menggerakkan tongkat hwesio-nya dan melanjutkan, “Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu,
akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!”
Akan tetapi, biar pun mulutnya berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua
orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan kanan telah membuat
senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di
antara muridnya roboh terjengkang dan muntah darah!
“Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!” Im-yang Seng-cu
tertawa lagi.
Tongkatnya menyambar-nyambar, dan dengan ilmu kepandaiannya yang campur aduk ia berhasil
mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Im-yang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoasan-
pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak
bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat.
Memang mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga
kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang
Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apa pun juga, baik ilmu silat kaum putih mau pun kaum hitam
sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala
macam ilmu silat dan ‘mengawin-ngawinkan’ semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan
hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal
dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu.
Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar
biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap
melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang
dan nyaring:
Betapa dunia takkan kacau-balau
oleh tingkah makhluk bernama manusia
Pendeta tidak segan berbuat dosa
Pejabat tidak segan berbuat khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang kaki
membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
Tinggal dia menanti hasil terakhir!
Oh dunia... Oh manusia...
Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan?
Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan
ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan
langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus.
“Pletak!” tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya hingga retak dan rasa nyeri menusuk
ke tengah jantung.
“Ayaaaa...! Aduh-aduhhh...!” Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia
berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering
kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk sampai jantung.
“Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi!” Im-yang
Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Im-yang Seng-cu, manusia sombong!” Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang.
“Syuuutt... tranggg!” Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika
tongkatnya menangkis golok.
Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Ketika melihat betapa empat orang kawannya
tidak mampu mengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, orang gendut pendek ini
segera meninggalkan Gin Sim Hwesio. Tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini
hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas.
Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga
biar pun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala,
tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapa pun juga, mereka berdua masih mampu
mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.
Ada pun Im-yang Seng-cu, biar pun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali.
Tadinya ia memandang ringan setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, akan tetapi begitu Si Gendut
Pendek itu maju, dia segera terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud
tidak kalah jauh olehnya.
“Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?” Im-yang Seng-cu
masih mengejek.
“Ha-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu
sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan bertelanjang
kaki!”
Im-yang Seng-cu tertawa. Diam-diam ia mendongkol karena sekarang ia bertemu batunya. Ternyata Si
Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika
merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang
menyambar, disusul sambaran golok Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan
pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat
mundur dengan kaget.
Pada saat golok menyambar, Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi
begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan!
Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke
atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga
ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong, Si Gendut Pendek itu kuat sekali. Maka ia
tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tubuh Si Gendut itu dengan kekuatan dari bokong
dan punggungnya.
“Ngekkk...broooottt!” Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sinkang untuk melawan
bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
“Idiiih...! Bau... Bau...!” Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan
kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.
Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentutkentut!
Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam ‘penyakit’ yang mungkin
timbul karena kesalahan berlatih sinkang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang
gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan
tenaga sinkang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit
ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring!
Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga
mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula. Sekarang, karena terbanting ia mengerahkan
sinkang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali. Bagaikan seekor
dunia-kangouw.blogspot.com
harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki, “Im-yang Seng-cu calon bangkai!
Makanlah golokku!”
Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani mainmain,
cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang
pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid
kepalanya.
Gin Sim Hwesio mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang
tampak. Tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”
Ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat
mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat
api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu
berkelebat ke bawah melukai pahanya. Ia terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk
menolong suhu-nya.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti
teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian berkelebatlah bayangan orang yang cepat
dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali
terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar ke belakang. Kemudian laki-laki ini meloncat dan menerjang
mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu.
Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, “Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian
(Dewa), bukannya Kwi (Setan)!”
Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya yang diputar cepat sekali
sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan
dadanya.
“Siapa engkau...?” Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma
Hoat.
Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan, “Mau kenal sahabatku
ini? Dialah Jai-hwa-sian!”
Si Gendut terkejut sekali. “Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai?”
Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang, dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
“Cringggg!” golok dan pedang bertemu dan melekat.
Pada saat itulah Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher
Suma Hoat dari belakang.
“Pergilah...!” Suma Hoat membentak.
Ia menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke belakang dan
secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sehingga pedang perwira gemuk menyambar di atas
kepalanya. Detik itu juga pedang Suma Hoat meluncur dari bawah sehingga Si Perwira menjerit,
pedangnya terlepas dan ia terjengkang roboh. Darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
Akan tetapi puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan
belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau muridmurid
dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi
telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang
merobohkan lima orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran, lalu datang membantu Gin Sim
Hwesio dan Im-yang Seng-cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terjadilah pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang, sedangkan
yang mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang telah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
“Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!” Im-yang Seng-cu tertawa bergelak.
Cepat ia mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar ketinggalannya
ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh
ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia
hanya dapat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.
Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud dan tosu yang mengaku
bernama Thian Ek Cinjin. Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah
remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah terluka oleh pedang Suma
Hoat. Biar pun kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tongkat Imyang
seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi
karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Gin
Sim Hwesio sendiri sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.
Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya
terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah
terluka dan tenaganya makin berkurang, sedangkan para pengeroyoknya yang masih muda-muda itu
terlampau banyak. Biar pun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun
keadaannya terancam bahaya maut oleh serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan
hujan menimpa dirinya.
“Trang-trang-trang...!” Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang
pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang, meninggalkan para pengeroyoknya untuk
menolong Gin Sim Hwesio.
Hwesio itu kini sempat bangun kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat
memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya
kena ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya robek dan kulitnya ikut robek sehingga darahnya mulai
mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya
menyambut datangnya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.
Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biar pun masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka
pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sinkang sambil
membanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek berdarah. Dia pun mengamuk
hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:
Malang-melintang di dunia kang-ouw
menentang kejahatan mengabdi kebenaran
Tongkat di tangan haus darah dan nyawa
para penjahat angkara murka
Biar pun tewas dalam membela kebenaran
dengan senjata tongkat tetap di tangan
Apa lagi yang membuat penasaran?
“Bress! Prookk!” Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan
tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah berhasil membacok ke arah lehernya.
Im-yang Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat
keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan
memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak
senjata lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan
mata tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman-temannya mundur. Kesempatan
itu dipergunakan Suma Hoat untuk loncat menjauh, menyambar tubuh Im-yang Seng-cu yang kemudian
dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.
“Kalian berdua mempertahankan di belakangku!” kata Suma Hoat.
Mulailah terjadi pengepungan yang ketat terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga
Im-yang Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu mengirim
serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.
Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat.
Biar pun pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua orang yang
terluka sambil balas menerjang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja
ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban.
Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim
Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat
buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana,
bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang
Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi:
Dia dikatakan Pemetik Bunga
perbuatannya bergelimang darah menghitam
Kini dia mati-matian membela kebenaran
dengan taruhan nyawa penuh rela
Hitam atau putihkah dia?
Dia disebut berbudi seperti dewa
tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara
menangis dengan hati merana
Setan atau dewakah dia?
Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian ini, hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Imyang
Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah
perkasanya Si Kaki Telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya di ujung pedang dan amukannya
membuat gentar Thai-lek Siauw-hud, Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka.
Malam sudah hampir terganti pagi dan mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai pagi
mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua
usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak
buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari
meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.
“Engkau ikut denganku!” tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar pinggang seorang di antara gadis-gadis
penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati
agar jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedangnya
membacok, akan tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat
tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi.
Kemudian, tanpa menoleh lagi Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
“Eh, nanti dulu!” Im-yang Seng-cu berseru.
“Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih!” Gin Sim Hwesio juga berteriak,
akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab.
dunia-kangouw.blogspot.com
Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, “Itulah seorang pendekar besar yang rusak
hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa
kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!” Im-yang Seng-cu juga
berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.
“Omitohod...!” Gin Sim Hwesio merangkap kedua tangan seperti berdoa. Diam-diam ia harus mengakui
bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak
terseret dalam pertentangan adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan
sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
Im-yang Seng-cu melakuan pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan.
Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar
hatinya Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar dan mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu
kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia, yaitu
suka mengganggu wanita!
Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad
untuk membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhirnya dicemarkan
oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda
dan cantik. Penculikan yang jelas diketahui apa maksudnya!
Padahal di waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia
sudah terancam bahaya maut. Kalau dikehendaki, Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat
melarikan diri. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri, tidak mau meninggalkan Gin Sim
Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan
nekat!
“Jai-hwa-sian... bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?” Im-yang Seng-cu
berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa-sian yang membawa lari
korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok-kiu!
Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan. Akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun, dan
tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami
rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi
korban itu. Betapa pun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang perlu
ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa!
Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang di antara para penyerbu kuil semalam, seorang anak
buah Coa Sin Cu. Akan tetapi persoalannya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang
terancam kehormatannya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar
yang semalam mempertaruhkan nyawanya untuk membela kebenaran!
Ia menduga bahwa tentu akan mendengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat
(Penjahat Pemerkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau
mengancam. Akan tetapi muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, bahkan matanya terbelalak ketika
ia mendengar suara gadis itu penuh kemanjaan penuh rayuan.
“Koko... aku... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau... betapa... tampan dan mesra! Koko, aku
rela menjadi milikmu selamanya... aku cinta padamu!”
Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, “Aku tidak percaya akan cinta!
Perempuan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya nafsu! Nafsu birahi! Dan
aku....” Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul bentakan.
“Im-yang Seng-cu! Aku suka bersahabat denganmu karena aku kagum padamu. Akan tetapi kalau kau
mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan kuanggap
penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Im-yang Seng-cu menarik napas panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk
mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan. Kedua
telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini?
Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata, “Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat apakah engkau sadar
bahwa perbuatanmu itu menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa
pun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau
aku terpaksa menggunakan kekerasan?”
Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian,
sungguh pun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apa lagi sekarang dia sudah terluka cukup parah.
Andai kata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian,
biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas
dan terhina.
Akan tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan ‘pertolongannya’? Bahkan,
kalau ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun
akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia
menggerakkan pundak lalu pergi dari tempat itu.....
********************
Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi,
persis seperti kedua orang sumoi-nya yang amat dikasihinya. Ia bukan kagum akan hasil seni yang
diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoi-nya. Baru sekarang ia dapat
memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya.
Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak
Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia
harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan
kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apa lagi ditambah bibir yang
seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok
pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar
gerakan halus kedua orang sumoi-nya, malah dapat membedakannya. Apa lagi ada keharuman yang khas
pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga
yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoi-nya karena dia
tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
“Suheng...”
Han Ki menoleh tersenyum. “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya
saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
Maya berlutut di dekat suheng-nya. “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”
Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu
saja arcaku sendiri!”
“Ah, Suheng sombong!”
Han Ki hanya tertawa.
“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya
menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”
Wajah yang manis itu berseri. Pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis
memikat. “Suheng...,” Maya menyentuh lengan suheng-nya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”
Han Ki menatap wajah sumoi-nya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya,
kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang
amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita,
Sumoi.”
“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya
mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik
melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit,
tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak
ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya
menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini.”
“Maya...!” Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. “Suheng, bukankah aku
lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
“Maya-sumoi...!”
Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suheng-nya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi
pengganti Hong Kwi... aku... Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu...?”
Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam
rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang
tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh
pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan
membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya
mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.
“Suheng...!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
“Maya-sumoi, jangan...!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu,
melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoi-nya. Kini ia telah menguasai
nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.
“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”
“Suheng..., Aku... cinta padamu, Suheng...”
“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah
dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari ke luar sambil terisak.
Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian
ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biar pun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan
sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia?
Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi?
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun ahhh.... dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu birahi menguasainya, membuat ia ingin
memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya
ia jatuh cinta kepada Maya, dan... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat
mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
“Kau... kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri.
Terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung
seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas
perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca
itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, kemudian
mengajaknya makan setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh.
“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauwmoi, tinggalkan aku sendiri.”
Pada jengukannya yang kedua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suheng-nya, kemudian berkata,
“Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”
Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat
demikian?”
“Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya dan menghiburnya
dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri, Sumoi!”
Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau
kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”
“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis.
Suheng, engkau... engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, di samping ibuku yang entah
berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...”
Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat
menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi.
Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau
buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoi-nya
itu.
“Sudah, Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin
mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!”
Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang di sana.”
“Aku ingin menagkap kijang.”
”Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”
“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman di
sini.”
Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoi-nya. “Apa? Di sini ada aku dan suci-mu, dan
engkau hendak mencari kijang untuk teman?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku... aku kadang-kadang merasa
kesepian, Suheng, terutama sekali... sekarang ini....” Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan
tubuhnya dan lari pergi.
“Hei...! Khu-sumoi...?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki
mendengar sumoi-nya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
“Perempuan...!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia
hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoi-nya itu. Untuk melupakan perasaannya,
semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
Pada keesokan harinya barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia
terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah
suara pukulan-pukulan dengan tenaga sinkang yang kuat. Biasanya desir angin pukulan itu terdengar di
waktu kedua sumoi-nya berlatih, akan tetapi sekali ini desir angin hebat itu diseling suara bentakanbentakan
nyaring orang bertempur.
Ia merasa heran dan khawatir sekali, cepat meloncat bangun dan melesat ke luar dari Istana Pulau Es.
Ketika tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoi-nya sudah saling serang dengan
hebatnya! Pohon tumbang dan batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoi-nya yang
berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini
mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan
mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih
bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina
kehilangan anaknya.
“Maya...! Siauw Bwee...! Berhenti...!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari
jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sinkang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan
mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang
mengancam nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling
menuduh.
“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”
“Dan engkau... engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya
membalas dengan teriakan marah.
“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
“Kau perempuan tak bermalu!”
“Engkau yang tidak tahu malu!”
“Sumoi... ! Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil
mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan
terhuyung-huyung.
“Kau... membelanya...!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.
“Kau... kau... melemparku dahulu, kau... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.
“Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini!
Aku... aku... ahhh...!” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
“Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah... engkau
cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti.
Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena
pandang matanya terasa berkunang-kunang. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak
tahu... aku tidak tahu. Kalian adalah kedua orang sumoi-ku, seperti adik-adikku sendiri... aku tidak cinta
siapa-siapa...!”
Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ.
Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan
tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan
memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin
karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis.
Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoi-nya, khawatir kalau-kalau
mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi
mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari
pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu
membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee,
dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii...!”
Akan tetapi samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoi-nya itu menoleh dan melambaikan tangan,
kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua
mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang
matanya. Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali
ke dunia ramai. Akan tetapi kini kedua orang sumoi-nya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini,
meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.
Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoi-nya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoisumoi-
nya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang
yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan
kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapa pun juga, dia harus menyusul
mereka dan berusaha.
Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum
pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah
hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw
Bwee. Lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini
berada di tangan kedua sumoi-nya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai. Ia termenung, hatinya
kosong, sedangkan pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan
hidupnya selama ini.
Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia selalu gembira, tidak
pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi
membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu.
Namun rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoi-nya. Semua
rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoi-nya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan
karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau
Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana.
“Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar dirimu, karena
sesungguhnya yang menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah
sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga dari pada
mengenal cacat selaksa orang lain.”
Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita
kekosongan hati dan kehilangan ini lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.
“Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung,
saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas,
kecewa dan lain-lain hanyalah permainan dari pada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu
akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia
yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa
datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang
KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada
tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki,
sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si
bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas dari pada suka mau pun duka!”
Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan
hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan
kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya,
dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.
Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoi-nya, mencintainya, maka kini kehilangan dan
menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung
Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andai kata dia tidak memiliki kesemuanya
itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
“Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga
kita mempunyai tanpa memiliki. Pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin
kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang
sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget,
tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan
berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”
Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya yang
merupakan obat yang amat mujarab karena kini dia merasa hatinya ringan, tidak seberat tadi, sungguh pun
gundah gulana yang menyesak dada tidak mungkin dapat lenyap. Bukan hanya karena kehilangan dua
orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoi-nya itu membawa ganjalan hati yang rumit,
membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!
Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan dia lalu membuat sebuah perahu. Beberapa pekan
kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana, meninggalkan Pulau Es,
meninggalkan tiga buah arca yang seolah-olah kini menggantikan mereka menghuni Istana Pulau Es yang
mereka tinggalkan.
Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong
olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoi-nya. Dia
mencintai suheng-nya. Melihat sikap suheng-nya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun
merasa yakin bahwa suheng-nya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap
sumoi-nya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!
Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan. Menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki,
juga ketika suheng-nya mengukir arcanya, jari-jari tangan suheng-nya itu penuh perasaan dan amat mesra,
sehingga ketika ia menonton suheng-nya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari
tangan suheng-nya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri,
dunia-kangouw.blogspot.com
membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suheng-nya tidak mau mengaku cinta?
Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal. Maka larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi
cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas
kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung,
terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran
Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hu-nya,
Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suheng-nya, Kam Han Ki.
Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biar pun dia tidak tahu
bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan
tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup
tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapa pun juga di Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia belum melihat daratan besar, hanya
bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah
hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak berlalu di dekat perahunya. Mayat seorang
laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa
bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat
manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh
ombak. Siapakah mereka?
Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat
itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini,
pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubung tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari
situ.
Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi.
Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada
beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran
yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik turun
oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sanasini
mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak.
Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahuperahu
dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising
oleh suara anak panah, suara api memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang
melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula
yang terluka dan belum mati terlempar ke laut. Teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi
maut di laut, sungguh menyayat hati.
Banyak sekali di antara prajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh,
setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada di tengah gelombang lautan, menjerit-jerit dan
minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang ada kalanya orang yang berani mati
menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut
ditelan air.
Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut!
Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang
berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan
merupakan hal yang baru baginya.
Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak
tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu Maya
mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang
penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak
perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan
perahu besar itu. Setiap kali ada prajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu
besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar
menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi serangan anak
panah yang seperti hujan lebatnya telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas
dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat prajurit.
Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau
pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa
orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya.
Mereka itu amat gagah perkasa, bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi
perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di
antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang
panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
Ada pun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang
berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak
hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang
mengepung perahu besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu
besar yang sudah terbakar sebagian!
“Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, dan sekarang telah
terkepung. Menyerahlah!” terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil.
Mendengar ini segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak
terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu
adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara
Kerajaan Sung yang harus dibasminya!
Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak
panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia
berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar
setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet,
tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
“Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung
yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.
Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, lalu mengamuklah sang
dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita
yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan
kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang.
Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat ke luar dari
perahu besar, terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap
diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi
dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai
membakar layar perahu besar.
Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia
menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas
pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang
perwira Sung dari perahu besar pula. Kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan
dan sarung pedang di tangan kiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah
kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu
sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas
dan aneh sekali. Maya segera teringat akan cerita suheng-nya akan sepasang manusia dampit yang amat
lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu perwira pemberontak yang brewok,
yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak
buahnya.
Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi
satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi Si Dampit itu lihai bukan main karena empat buah
tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah
dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak
sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!
“Tawan dan bawa dia ke sini!” terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya, apa
lagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya. Maka ia pun
merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian
tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua
buah kepala orang dampit itu.
“Wuuuuttt... tranggg...!”
Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar.
Namun manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan
gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka
meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sinkang-nya,
akan tetapi juga amat lihai ginkang-nya.
“Lepaskan dia...!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoi-nya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang
yang mereka latih bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru
sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apa lagi kini ia mendesak dari
jarak dekat!
Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka
untuk melawan Maya, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda. Namun sepasang senjata
di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya. Selain aneh
gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sinkang yang dingin menusuk tulang. Setiap
kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan
terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
“Gadis siluman!”
Orang kedua yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya membuat gerakan maut,
dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan
oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat ke luar dari perahu besar. Mereka meloncat
ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa
tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.
Akan tetapi Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran.
“Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya
sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke... air! Maya terkejut, mengira
bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biar pun dia pandai
berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan musuh lihai seperti Si
Dampit itu.
Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat
seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat,
hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat
lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa
lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi ginkang-nya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar,
bahkan menyusul, dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat
menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
“Aduhhh...!” Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas.
Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya berjungkir balik di
udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang
menyambar kelinci sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik,
tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan
perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia
masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek
perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok sambil berkata,
“Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung
ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat merasa kagum bukan main. Ia
lalu berkata, “Lihiap... harap memperkenalkan nama yang mulia...”
“Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama.
Dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan
meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya
kebakaran, sedangkan sisa pasukan musuh pun sudah berloncatan ke air! Mereka tak memperhitungkan
lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!
Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor
harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu
ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahuperahu
kecil untuk mundur!
Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahuperahu
kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahanpecahan
perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu,
dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati. Ada yang meronta-ronta di air berusaha
berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak dengan wajah
berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru
sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golok
para pengeroyok yang ketika ia mengamuk tadi tidak dirasakannya.
Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget. Balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu
saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya
karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi tiba-tiba kakinya terpegang atau
tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang
bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan
Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua
orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang
Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal
mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak
kembarnya Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol, Tang Hauw Lam kehilangan
gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir
isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.
Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan
kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah
memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu
saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah
pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah dicari
pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap
isterinya seperti itu, tubuh Tang Hauw Lam menjadi kurus kering dan wajahnya selalu muram dan pucat.
Bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam
pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak
memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu
lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan
lagi kanak-kanak, perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka.
Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi,
mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid
perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih
ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa.
Pada waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan
ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok
Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas
pendekar besar ini mampu mengubah ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini
kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk melengkapi ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan
kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok
Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai
ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar
amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambarnyambar
menyilaukan mata.
Tang Hauw Lam benar-benar tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya. Di samping
mengajarkan ilmu silat, ia hanya selalu tekun besemedhi. Sebab itu bekas pendekar ini tidak tahu akan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya.
Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa
kanak-kanak mereka lewat sudah. Menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik
yang luar biasa dan karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh,
yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
Tang Hauw Lam baru terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan
kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami
isteri!
“Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu
mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya
mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu
menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.
“Ahhh... dua orang muridku...? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali... aku... aku telah gagal mendidik
kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan
bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.
Pada keesokan harinya Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut beradunya pedang dan angin pukulan
yang berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu gerakan pedang kedua orang
muridnya. Sekali ini kedua pedang itu bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang
bertempur mati-matian.
Ia meloncat. Tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini membuat tubuh
bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadi makin lemah. Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam
terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertanding mati-matian dengan pedang di
tangan. Sepasang pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang
telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu sama
lain?
Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh
kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok,
saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai
merayu dan memikat.
Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai,
pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan
mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih
berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara
mati-matian!
Baru sekali ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka saling
bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasaran dan tidak akan
merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih
panas hatinya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana
harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap
semua cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling menyalahkan sehingga
malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan
bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya lebih ampuh!
Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu
tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati-matian.
Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang disaksikannya ini merupakan pukulan
batin kedua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia
terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding,
melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang Iblis itu!
Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!
“Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding...!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya.
Akan tetapi seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya setiap seruannya tentu akan
diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama
sekali tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.
“Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini
meloncat ke depan dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat gerakan
dunia-kangouw.blogspot.com
saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengah-tengah antara mereka sambil
mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan
masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri
yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu!
“Suhu...!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan
keduanya menangis terisak-isak.
“Suhu... harap Suhu bunuh saja teecu...” Can Ji Kun meratap.
“Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa...!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu
dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang
berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu
tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang
tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang saling
tarik!
“Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk... aaahhhh...!”
“Suhu... teecu berdosa...!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
“Suhu, bunuh saja teecu...!” Yan Hwa juga meratap lagi.
Tang Hauw Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum!
“Tidak, kalian tidak sengaja... dan... dan terima kasih... aku girang sekali... akan dapat berjumpa dengan
subo kalian... akan tetapi kalian... ahh, hati-hatilah... pedang-pedang itu terkutuk... aaaahhhh!” Wajah yang
berseri itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar. “Kwi Lan... isteriku, engkau
masih menunggu aku...? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku datang...!” Tubuhnya terguling.
Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka, mulutnya
tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
“Suhu...!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk
mayat suhu-nya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoi-nya.
Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan
dan dikuburkan di sebuah makam bersama Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si
bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw
Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pedang masingmasing.
“Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita,
akan saling merindukan...” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoi-nya setelah berhari-hari ia
membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita
berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu,
Suheng. Sebaiknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung
kedukaan.
“Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?”
Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau
engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiam-ku (pedang pusakaku).”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan
tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku
suheng-mu, sudah semestinya lebih lihai darimu!”
“Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”
Ji Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguh
pun hal itu terjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan dan
mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga
termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin
dan perasaan berdosa.
“Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan
menderita...”
“Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah
kau mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”
“Gila...!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat seperti itu
bukan hanya sumoi-nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan
terganggu apa bila sumoi-nya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya.
Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa
mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah
telah kemasukan roh dari Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu itu, kembali dunia kang-ouw
kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang
keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
********************
Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain
yang melakukan perjalanan seorang diri meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula
yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suheng-nya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya,
Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke
selatan. Seperti juga suci-nya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya.
Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek
San yang gagah perkasa, bersama suhu-nya, Menteri Kam Liong yang sakti melakukan usaha nekat, yaitu
membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian
ayahnya. Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik suci-nya, tidak mendendam kepada Kerajaan
Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.
Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah
barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang
luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di
pantai ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang
menyambutnya dengan heran karena melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri,
“Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan
seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biar pun amat sederhana namun kuat buatannya
itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan
tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh
mendapatkan perahuku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee.
“Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti
aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang
kuda?”
Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek.
Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”
Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biar pun hatiku amat menyesal karena tidak jadi
mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”
Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena
belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan
menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa
watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap
bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersenyum
manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andai kata aku
sampai dilemparkan dan mati sekali pun.”
“Nona...!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
“Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwee berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung,
tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.
Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya
mengipat-ngipatkan tubuh. Ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungnya, ia lalu berdiri di atas
kedua kaki belakang, menggoyang-goyang tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk
menggigit orang yang menduduki punggungnya.
Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi mereka melongo menyaksikan
betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki
menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak
menamparnya. Setiap kali menoleh kuda itu ditampar dengan pengerahan sedikit sinkang, sementara
tubuhnya ditekan sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya
masih tetap di atas punggung!
“Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun. Kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah
kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirik takut ketika Siauw Bwee
mengelus bulu di kepalanya.
“Hebat... bukan main... siapakah... siapakah Nona...?” tanya nelayan itu. Kini mukanya, seperti muka
teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
“Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan
melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut
kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras, lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti
pandang mata para nelayan yang melongo.
Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas, dapat berlari cepat dan tidak pernah
mogok atau rewel. Biar pun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk ia tidak berhenti sebelum
dihentikan. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat.
Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran
melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari
tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota
raja Kerajaan Sung.
Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di
sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan
kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar
makian nyaring dari atas!
“Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok
Sun!”
Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah
terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalangkabut.
Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang)
itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!
Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika
melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita.
Akhirnya Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum, “Sobat, kau sedang
apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam kurungan?”
Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah
seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang
yang jujur dan penuh keberanian.
Mendengar ucapan yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking marahnya.
Tangannya keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw Bwee, mulutnya terbuka lebar
mengeluarkan kata-kata keras. “Eh, bocah cilik nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau!
Aku bukan harimau atau beruang yang boleh kau jerat seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku
akan...”
“Kau akan apa? Melepaskan diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!”
Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biar pun engkau bukan harimau
atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”
“Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia
kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?”
Siauw Bwee tidak membenci orang itu. Malah sebaliknya, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan
agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya adalah
karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong
membebaskan orang yang meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan
banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.
“Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu,
siapa yang akan membebaskan aku? Aku... aku ngeri melihat ke bawah...!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak
peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara
pohon-pohon dan mengintai.
Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong
keheranan memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang
wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian
mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu,
alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang
mereka kempit di ketiak kanan. Biar pun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat melangkah
cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun
yang tergantung di pohon, mereka berdiri tegak dengan sikap penuh wibawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa
agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia
memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali.
Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup
mulut dan menanti perkembangan selanjutnya.
“Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang
kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
Kakek itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mengangguk-angguk dan
menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggota mereka yang terjerat. Akan tetapi karena
dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang
dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap Suhu.”
Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah!
Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu
siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi!”
“Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata.
Dalam persembunyiannya Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang kasar,
pikirnya.
Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu
aku akan dapat pergi!”
Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si
goblok ini mana bisa pergi, apa lagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana
engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya
membabat dan....
“Brettt!” tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah.
Akan tetapi ternyata ginkang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan
turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun
menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang
ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung
bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung
kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya kereng. “Kami tidak
ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami
sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah Hok Sun.
“Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi
kerbau?”
“Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!” bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si
Kaki Buntung yang kasar.
Dari tempat persembunyiannya Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah
kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda
dunia-kangouw.blogspot.com
terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang
murid pertapa di Gobi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga
tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan
kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang, sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun
Hok Sun benar-benar memiliki ginkang yang hebat. Biar pun tubuhnya masih terapung di udara dan
sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah
berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok
lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh
tersungkur!
“Hemm, manusia bandel!” Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan.
Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali
gerakannya. Sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah
mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biar pun murid
dari Gobi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apa lagi memang gerakan
kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahutahu
Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
“Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!” Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi
rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung,
dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan
keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti
sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula
dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga dia ingin
lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak
tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari
jauh.
Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang
menyambung hutan itu di kaki bukit. Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh
sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar.
Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian,
melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap! Kakek
pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula.
Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheranheran.
Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali
tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa
penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh
permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke
manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee.
Akan tetapi, andai kata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke
bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak
bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap
dan mengintai, sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
“Ohh... tidak...! Mimpi burukkah aku...?” Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
Akan tetapi adakah yang lebih aneh dari pada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung
sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh,
begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan
seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung
sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak
buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling
tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Ada
pun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya,
menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggota rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki
lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh,
namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Kakek berjenggot yang memegang tongkat Si Kaki Buntung dan menjadi pemimpin rombongan itu
menggunakan ujung tongkat mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke
belakang. Tak lama kemudian terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam
lubang melayang ke luar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin
rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa
orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi
tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya
sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan
buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di
punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening,
tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacat itu yang mengeluarkan suara. Yang paling
merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat ke luar menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata
bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur dengan suara penuh kebencian,
keras dan dingin, “Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak
mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing
keributan dengan menawan seorang anggota kami?”
Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu
tersenyum mengejek, lalu menjawab dengan suara tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung
kebencian yang sama, “Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian
orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah
melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacat orang tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah
menggoyang lidah yang tidak bertulang. Kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka
melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari
pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggota kalian yang tidak terhormat ini
melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?”
Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak
buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw
Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan
begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum
yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
“Tidak... tidak... Suci... dan Suheng... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan
penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil
melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini
merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!” Si Tawanan membantah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek berlengan satu tertawa mengejek, “Hemm, mana ada maling mau mengaku?”
Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan
berwibawa, “Menghadapi perkara tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua
pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!”
“Baik!” kata kakek lengan satu. “Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!” Tanpa
banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang
bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki
hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu. Akan tetapi mengingat akan nasib
Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi
lubang itu belum tertutup, Siauw Bwee cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang
itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak
tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya
merupakan ‘pintu gerbang’ saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang
tersembunyi di sebelah bawah!
Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan?
Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia
mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas
sekali, lorong-lorong yang terbuat dari pada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah
tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa,
juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun
tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya
orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?
Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali.
Lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka
kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung.
Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung
yang lihai ini.
Tiba-tiba terdengar gerakan halus. Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari
sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki
kanannya. Akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masingmasing
dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek
buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali.
Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat
mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Apakah Locianpwe ketua dari kaum... eh, kaki
buntung ini?”
Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, “Benar. Aku adalah Liong Ki
Bok, ketua kaum kaki buntung.”
“Maafkan kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini, Liong-locianpwe. Kedatanganku tidak
bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng
Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa.”
“Tidak mempunyai kesalahan? Hemm... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau
kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak
akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini sampai hari pertandingan tiba di
mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee mengerutkan alisnya, “Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?”
“Terpaksa begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka
atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya
menyerah menjadi tawanan kami.”
“Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak
mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak
bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm... kurasa tidak akan begitu mudah.”
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu
mengeluarkan sinar tajam, “Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Gobi-san seperti orang she
Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi
kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung.”
“Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.”
“Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa
tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda.”
“Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak
kulihat engkau dapat berbuat apakah?”
“Suhu, biarkan teecu menawannya!” kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan
agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, “Hati-hatilah, jangan sampai
membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda.”
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee.
“Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami
dan menyerahlah. Biar pun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik.
Sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami.”
Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang
rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, “Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak
ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua,
apa lagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari
sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja.”
“Bocah sombong!” Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram
ke arah pundak kiri Siauw Bwee.
Cepat bukan main gerakan itu. Akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah
mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangannya menyambar
dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
“Aihhh...!” Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw
Bwee.
Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw
Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee
yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya
memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat. Maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya.
Ketika kembali tangan kiri nenek itu menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul
tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja
menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.
“Plakk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhh...!” Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah
mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena
tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya
satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa.
Dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat
sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacat kaki mereka!
Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biar pun dia agak bingung
menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sinkang,
pula dalam hal ginkang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan
cepat atau tangkisan kuat. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orangorang
jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu,
Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa
melukai.
“Hebat...! Luar biasa...! Sukar dipercaya!” Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu
memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee.
Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguhsungguh
yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, suci-nya. Maka kini
mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin
dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan
kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang
ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran ginkang yang istimewa, juga amat berbahaya.
Maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek
itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung
tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.
“Wuuuutttt!”
Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit ruangan
batu itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak,
melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di
punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit.
Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek. “Ah, kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah saja, untuk
apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?”
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai
tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun
yang tidak ternama, dia dipermainkan seperti itu.
“Bocah sombong keparat!” Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya menggenjot lantai, tubuhnya sudah
melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
“Jangan...!” Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah
menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali. Kalau seorang dara remaja sudah
berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di
belakangnya!
Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang
saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan
dunia-kangouw.blogspot.com
punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan
mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
“Aihhh...!” Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah.
Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut
tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat
menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapa pun juga, karena telah ditahan oleh kedua
tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun, ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu
keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya tanpa
menggunakan tongkat. Dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua
tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak
dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat dia kalah pengalaman, lagi pula harus menghadapi gerakan
sepasang tangan yang begitu aneh.
Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika
lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sinkang-nya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat
ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa,
membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu
kena tertotok dengan tepat sekali.
“Celaka...!” Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan
penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi
lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan
latihan-latihan sinkang dan besemedhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu,
ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para
jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sinkang istimewa memulihkan
jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar
seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah
pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah
berpura-pura mati.
Ketika berlatih sinkang di Istana Pulau Es, suheng-nya telah membikin rahasia ilmu ‘mematikan raga’ yang
luar biasa. Kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini sehingga tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan
detik pada nadi tangannya berhenti. Tubuhnya benar-benar seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. “Aihh, celaka.
Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah mencapai
tingkat lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat,
agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku
sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat.”
Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya
masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang
pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu
saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir
kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa ‘jenazahnya’ keluar dari bangunan di bawah tanah,
akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang
yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu. Terdengarlah gerengan
menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor
beruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu
tidak menyerang, bahkan Liong Ki Bok berkata,
“Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita.
Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat
terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.”
Beruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan. Bagaikan mengerti akan
ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan
merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah
yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini
tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!
“Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan
tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di
situ melihat korban tanganku yang berdarah!”
Beruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika
melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa
seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding
dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu,
ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.
Beruang itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti
kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang
Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu
membalikkan tubuh, memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik
lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi suaranya
perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan mengerahkan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap
bisikan-bisikan itu.
“Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi.
Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh,
dan penyesalanku lebih besar dari pada ketika terpaksa membunuhmu.”
Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan baik, dia
mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum
ke atas tubuh Siauw Bwee. “Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...”
Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala beruang sambil berkata,
“Hek-mo, kau jagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.”
Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya beruang itu bertugas menjaga
ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir
kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup
luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya
memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di
tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak!
Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip. Hampir saja ia lupa bahwa dia
telah ‘mati’ dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat
mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah ke luar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup
kembali! Melihat seorang ‘mayat hidup’ di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak
dan mayat-mayat kering, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang gadis remaja, biar pun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee. Maka dara yang tadinya berpurapura
mati itu kini benar-benar menjadi pingsan!
Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she
Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya
tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut,
Siauw Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanak-kanak melihat setan itu mengintai dari balik
peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat
sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci
besar terisi makanan.
Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja. Akan tetapi tiba-tiba ia
mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw Bwee
menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang
hebat. Ilmu silatnya luar biasa sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu
menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari bawah.
Agaknya jurus itu merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu
girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari. Tangannya mengambil makanan dari
panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke
mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat
bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!
Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup
itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya seperti tadi. Akan
tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan
mulutnya masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada
setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara
menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik.
Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah
menghampiri Si Mayat Hidup, hatinya menjadi makin geli melihat betapa ‘mayat hidup’ itu matanya melotot
memandang kepadanya dengan kedua kaki menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa
tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian
seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup!
Terdorong oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah
seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk menakut-nakuti,
setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara mengerikan, “He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini
masih baik, enak diganyang jantungnya!”
Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan
melangkah maju.
“Hiiiihh!” Kini ‘mayat hidup’ itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan
lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.
Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. “Nah, kau tahu sekarang
rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!” katanya. “Orang she Cia, mengapa engkau purapura
mati dan berada di tempat ini?”
Orang yang tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. “Aahhh...
sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!” katanya. Suaranya besar dan agak parau, agaknya karena
sudah lama tidak bicara.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,” Siauw Bwee
berkata sambil tertawa geli.