- Cersil Terbaik Istana Pulau Es 5 Cerita Silat KPH Istana Pulau Es 4
- Cersil Istana Pulau Es 3
- Cerita Silat Cantik 2 Istana Pulau Es
- Cersil Bagus : Istana Pulau Es 1
- Cersil Kuno Mutiara Hitam Tamat
- Cerita Silat Mandarin Mutiara Hitam 5
- Cerita Silat Jadul Mutiara Hitam 4
- Cerita Silat Lawas Mutiara Hitam 3
- Cersil Keren Mutiara Hitam 2
- Seri Bukeksiansu Mutiara Hitam 1 Lanjutan Cinta Be...
- Cerita Silat Karya Normie KPPL 2 (Kisah Para Pengg...
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Cui Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala
memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang
usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah perkasa dan masih
nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik.
Kini wanita yang lebih tua menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
“Penjahat keji, perbuatanmu melampaui batas peri-kemanusiaan. Sekarang setelah kami datang,
bersiaplah untuk mati!” Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke depan, menyerang Suma Hoat
yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.
“Dan engkau wanita kejam patut mampus, juga!” teriak wanita kedua yang juga cepat sekali gerakannya
menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.
“Cringgg..., tranggg...!”
Pertemuan pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng
menimbulkan bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main
karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang
suling itu memiliki sinkang yang amat kuat. Ada pun wanita kedua juga merasa bahwa dara cantik yang
menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar
dan cepat menyerang dengan dahsyat.
Namun Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan
sehingga mereka telah bertanding dengan seru. Diam-diam ia kagum karena ternyata wanita baju hijau
yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat
melolos pedangnya dan balas menyerang.
Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan
seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya tahan kokoh
kuat.
“Tahan...!” Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti enci-nya.
Wanita ini memandang Cui Leng dan bertanya, “Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Ilmu pedangmu
adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!”
Cui Leng menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti
sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ingin ia
menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Namun Suma Hoat sudah
mendahuluinya, tertawa sambil memandang kedua wanita itu.
“Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan suci-nya itu adalah murid-murid Siauwlim-
pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main, mengapa Ji-wi membunuh ularularku
dan menyerang kami?”
Kedua orang wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan
ucapan Suma Hoat yang main-main, juga panggilan dengan embel-embel ‘yang cantik dan gagah’ yang
pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan
bertanya.
“Engkau... dan suci-mu... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga
bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung. “Aku... aku...” Sukar
sekali dia melanjutkan kata-katanya.
“Kembali Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi
siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding. Mari kita ke rumah kami.” Suma
Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.
“Aihhh..., bagaimana ini? “Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung.
“Hui-moi, mari kita pergi!” kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya
berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Cui Leng membanting-bantingkan kakinya. “Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua
adalah orang-orang Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!”
Suma Hoat tertawa, “Takut apa, Moi-moi? Ada aku di sini, mengapa takut?”
Cui Leng memandang suci-nya yang masih rebah telentang, dan ternyata suci-nya telah pingsan saking
ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.
“Wah, bagaimana ini? Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu.
Rahasia tentu akan terbongkar...!”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Suci-mu takut ular, aku masih ada jalan lain.”
Setelah berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh
Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang lihai itu.
Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia dan Suma Hoat akan mampu
menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa
dia adalah murid dan wakil Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?
Ya, siapakah mereka? Dua orang wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun
bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir dua puluh
tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek
mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui, dan mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka
adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka adalah Liu Hwe, keturunan
ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!
Kedua orang kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan,
akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw. Mereka
belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai janda-janda yang tekun melatih diri di puncak
Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka
merasa prihatin sekali ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari
Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai Ci-sha.
Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai, yang
melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw menjadi anak
buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan
melakukan perbuatan yang jahat. Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal. Bahkan suami
mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek
guru mereka, juga tewas di tangan Hoat Bhok Lama!
Demikianlah, dalam usaha mereka untuk menentang Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas
dendam kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas kembali
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan, Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui
menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.
Tentu saja mereka segera turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh
dengan ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah murid-murid Siauwlim-
pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil, dan yang kini malah membantu
pemuda tampan itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan
bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa jadinya? Maka mereka
bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling
Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja
Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka. Mereka tidak berdaya
berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Bengkauw
dirampas orang dan diselewengkan.
Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa adik
mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih hidup. Maka satusatunya
harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu memiliki banyak orang pandai dan yang
selalu siap membela kebenaran. Apa lagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit
banyak hal ini akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.
Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan
sekalian untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat Bhok Lama
yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki
Pegunungan Cing-lai, di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai tidak jauh dari situ.
Kian Ti Hosiang menerima kedatangan mereka, dengan sabar dan tenang mendengarkan penuturan
mereka. Biar pun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan
keadaan kedua orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata, “Omitohud... Ji-wi Toanio telah
bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda dan belum berpengalaman.
Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang
akan menengok mereka.”
“Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu,” kata Kam Siang Kui
yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke
tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biar pun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapa pun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan
seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di
samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka
harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek
mereka sendiri tidak akan dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan
kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka untuk
menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan penuh kesabaran,
kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai,
dan akan dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.
“Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami,” Kam Siang Kui berkata
penuh permohonan. “Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia ini yang
akan dapat mengalahkannya.”
Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang. “Nanti kita lihat sajalah, Toanio. Pinceng sudah lama
menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan pembunuhan. Pinceng
tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak
berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya.
Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan
masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.
Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok. Ia
memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng. Dilihatnya Suma
Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan
menotok jalan darah di pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan
sinkang untuk melepaskan diri.
Cui Leng memandang kepada suci-nya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian
ia melangkah maju, membujuk, “Suci, mengapa engkau berkeras? Suci, Hoat-koko benar-benar mencinta
kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu
dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan... dan... engkau tentu akan
merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita
berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua. Sekarang... aku menikmati
kebahagiaan, aku pun ingin agar kita menikmatinya berdua...”
“Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau
menyeret nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat terperosok
serendah ini?”
“Suci, apakah artinya malu? Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain,
mengapa mesti malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya! Suci,
kau sambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita
takut kepada siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki sinkang yang
amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita
berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah senangnya!”
“Sumoi! Aku masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kau lepaskan aku, mari kita pergi
dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum tersesat terlalu jauh...”
Akan tetapi Cui Leng menggeleng kepala. “Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau
engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati kebahagiaan bersama, setelah
itu... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau
meninggalkannya dengan hati aman...”
Liang Bi membelalakkan matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoi-nya bersikeras minta agar dia
melayani niat keji pemuda itu!
Senja telah mendatang ketika dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri
meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling Si Pemuda yang pandai
menguasai ular dengan sulingnya. Padahal, di antara segala makhluk di dunia ini, ular adalah binatang
yang paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga biar pun kini telah menjadi
seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya
menjadi pucat dan napasnya terengah.
Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan
bibirnya tersenyum. “Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu
melawan Hoat-koko!”
Makin pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya
dan... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih
dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya
merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti,
mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu lenyap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bi-moi, bagaimana? Apakah engkau masih keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima
cintaku seperti yang dilakukan sumoi-mu, dan kita bertiga hidup bahagia.”
“Tidak sudi. Lebih baik mati!”
“Begitukah? Hemm... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa
cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih
suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan jijik sehingga rohmu akan
berkeliaran dikejar ketakutan hebat!”
Suma Hoat lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu mengangkat tubuh
atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari dan perlahan-lahan merayap mendekati
kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi memandang ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya
bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha menguatkan hatinya, akan
tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya... Liang
Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang
gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan tetapi bukan
kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa geli dan jijik.
Namun celaka baginya. Suma Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya,
melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu berdanyut-danyut
dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan, kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan
mukanya, lidahnya keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia
masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu
seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
“Bunuh aku... iihhhh... bunuh aku... uhu-hu-huu... suruh dia pergi...!” Akhirnya ia merintih.
Akan tetapi Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan
leher Liang Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia
pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan terbebas. Akan tetapi celaka, dia masih sadar dan
harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat
sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan jijik ini
benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.
“Suci, menyerahlah...!” Terdengar suara Cui Leng membujuk.
Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang,
menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba kepada suci-nya. Akan tetapi karena ia maklum bahwa
sebelum suci-nya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia menguatkan hatanya. Dia
pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa suci-nya seperti itu, karena dia menganggap
bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk membujuk suci-nya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda
ini terpaksa melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!
Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh makhluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram
oleh nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang banyak
dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu birahi dan didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin
mendapatkan kawan kalau dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini sebuah di antara banyak sekali sifat
buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram watak semua manusia,
merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita!
Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis
akan berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh
kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan semacam ‘hiburan’ bagi
seorang yang sedang menderita. Memang amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya,
‘penyakit’ ini telah diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perbuatan Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya
terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya
itu dengan menggunakan nafsu birahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin! Karena bencinya
timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya!
Dia menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat wanita
tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat nafsu birahinya berkobar! Makin hebat
seorang wanita tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!
Tubuh Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin
tinggi. Tiba-tiba ular itu berubah gerakannya, kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di
balik baju bagian dada Liang Bi!
“Iihhh... ouhhh...” Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup
makin dalam. “Aduuuuhhhh... tolongggg... ihhhh... ambil dia... ambil binatang ini... uhu-hu-huuuu...!”
“Engkau menyerah?” Suma Hoat bertanya.
Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. “...aku
menyerah... hu-hu-huuuuhh...”
Suma Hoat lompat mendekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke
kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma
Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak
kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi
menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi.
Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar
dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu
saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut
lain wanita!
Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi
yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya
menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega,
karena sekarang dia mendapat kawan!
Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia?
Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir air matanya menjadi bukti akan kebimbangan
hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat
tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng.
Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang
kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak
berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolaholah
dia hidup di alam mimpi.
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga
dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
“Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!” katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi
mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.
“Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?” Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan
mesra membelai dagu pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan.
“Bahagia? Aku berbahagia...?” Ia menghela napas, mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini
wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
”Jangan...! Jangan panggil ular...” Ia merintih.
Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. “Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau
menakut-nakuti engkau lagi?” Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu,
lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang
mata mereka.
Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati
peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma
Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari
pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.
Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah Anda!
serasa tampak Anda mengintai
di balik kelopak bunga mengharum
menunggang cahaya matahari pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun...
setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan Anda!
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan Anda?
Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang
gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu
diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.
Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan dari badan?
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?
Suma Hoat meloncat bangun, suling siap di tangannya. Wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau
itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri
dunia-kangouw.blogspot.com
karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan
Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apa lagi karena suara itu tidak asing
bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat
guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi
menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.
“Suhu...!” Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan
muka pucat.
“Omitohud...!” Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang.
Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian
perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak
mereka bertemu pandang.
Kian Ti Hosiang lalu berkata, “Sayang...! Sungguh sayang sekali...! Orang muda, kalau pinceng tidak salah
sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?”
Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua
orang gadis itu. Dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasakan selama petualangannya
dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan
berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Kalau keadaan mengijinkan, agaknya ia bersedia
menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan
berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini
hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya!
Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura
sambil berkata, “Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan
sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!”
“Oohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng.
Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati
mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang
gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk
suci-nya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah
yang mendatangkan mala-petaka besar itu!
“Kau... kau... Suma Hoat...?” Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling
pandang dengan adiknya.
Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam,
namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata, “Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu
yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti
bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga
pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman.
Akan tetapi sayang... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita,
engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang
berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang
keluarga Suma!”
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang
Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding. “Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu
ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau
bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang
sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan
jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di
dunia-kangouw.blogspot.com
dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang... memberatkan selirnya
dari pada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah
keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua
Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa
engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?”
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh
kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri!
Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng
adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan,
dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja
menjawab, “Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin
manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua makhluk agar
kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu.”
“Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah
pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas
kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang
dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa
sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka
membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah
pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kau basmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada
lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?”
Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga
memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka
itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. “Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali
kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai
dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin
menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!”
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu
pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi mendengar
pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap.
Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil
yang nakal!
“Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai dua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah
perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman
paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?”
Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. “Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma
Hoat. Perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi,
mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa
perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi
untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu.”
“Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!”
”Suma Hoat manusia iblis!” Kam Siang Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat tersenyum lebar. “Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik,
hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jahanam!” Kam Siang Hui yang mendengar enci-nya dihina seperti itu sudah tidak dapat menahan lagi
hatinya. Dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sinkang. Sebagai murid
Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan
angin dahsyat.
“Plak! Plak!” Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung
dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya.
Ada pun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang
wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan
mereka! Akan tetapi hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan
suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
“Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan
bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?”
“Suma Hoat, bocah celaka!” Kam Siang Kui kembali membentak.
“Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia,” kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang
wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
“Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh
aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?” Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas
mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah, bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu
lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua
orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani
mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
“Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka
mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita?
Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun
seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau
dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat.
Setelah apa yang kau lakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan
jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.”
Wajah Suma Hoat menjadi merah. “Kalau aku menolak?”
Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini
karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia
ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai,
adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. “Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk
keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan
keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.”
“Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?”
Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. “Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati
karena pinceng tidak bisa membikin hidup.”
“Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?”
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. “Pinceng tidak takut kepada siapa pun juga, kecuali
kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasehatmu asal engkau suka menerima dua
kali pukulanku. Bagaimana?”
Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. “Omitohud...! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat
mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima
syarat itu...”
“Locianpwe...!” Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. “Bagaimana
Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!”
“Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya.” Terpaksa kedua
orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. “Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul
pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan
sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik.”
Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! “Apa? Engkau
menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?”
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. “Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang
gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan
membuang semua perbuatan sesat.”
Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan
hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio
ini.
“Baik, aku berjanji!” bentaknya.
“Nah, silakan memukul dua kali, Sicu.” Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda,
memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sinkang di tubuhnya, disalurkan
ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda
bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sinkang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh
Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang
dengan muka pucat.
Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat
sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu
baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati dari pada makian atau
serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang
anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benarbenar
menerima pukulannya tanpa melawan.
Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sinkang untuk menangkis. Ataukah
kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya. Maka kini
Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah
kedua paha kaki Kian Ti Hosiang.
Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah
Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sinkang-nya
dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan
Tulang)!
“Krekkk! Krekkkk!” Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu, sedangkan tubuh
Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya
remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil
tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki
hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biar pun kedua kakinya
sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati
Suma Hoat tidak kuat menahan.
“Kau... kau...! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati... terimalah ini...!” Suma Hoat yang merasa ngeri
kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini
menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik
melihat hwesio ini mati dari pada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!
Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang
mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.
“Desss...!”
Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya... tubuh Suma
Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan
muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah
hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah
dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan
roboh dan kehilangan nyawa!
“Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?” dengan tenang Kian Ti
Hosiang menegur perlahan.
Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sinkang
sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat
menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang
akan mematikannya.
“Oohhh, bocah setan yang kejam...!” Kam Siang Kui menggeram.
“Manusia iblis yang patut dibasmi!” Kam Siang Hui juga membentak.
Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi
kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang, “Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan
sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!”
Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi, “Bagaimana, Suma Hoat, apakah
engkau akan memegang janji?” Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila,
enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi
merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru
sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja,
siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya
hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya
manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini?
Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab, “Locianpwe, aku bersumpah akan
bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi... aku tidak yakin apakah akan
berhasil...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupan untuk berusaha.
Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu.”
“Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena
aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah
selama hidup...”
Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan
Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian,
kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan
mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya, Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan
dosa sumoi-nya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang
sumoi-nya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri
sampai tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh, merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Omitohud... dosa
ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi
godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak
mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat
membantu Ji-wi.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih
bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian
sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu
berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit
hatinya. Biasanya dia bisa tertawa-tawa melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya.
Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauwlim-
pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata
menetes dari matanya. Biar pun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan
telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.
“Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih
jahat lagi!” terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
“Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!” Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, “Tidak
hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai
kepada kami!”
Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya
untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka
berdua dan tersenyum. “Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biar pun aku terluka akan
tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!”
“Keparat bermulut busuk!” Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
“Plakkk!” Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap
tersenyum biar pun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. “Baru saja engkau berjanji
kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kau langgar, bedebah!”
“Ha-ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk
memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau
kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ini juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua
mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biar pun sudah
agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat...!”
“Plak-plak!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan
Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing
kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang
menyesak di dada bersama luka akibat sinkang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
“Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...”
“Kubunuh engkau!” Kam Siang Hui membentak dan....
“Srat!” pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh enci-nya.
“Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau
begitu,” Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu
berkata, suaranya dingin.
“Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan
kenalilah siapa adanya kami yang telah kau hina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku,
Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri.
Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!”
Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang
tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
“Ahhhh...!” Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam
Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia
mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!
“Aduhhh... ampunkan aku... kedua bibi... ampunkan aku...,” ketika siuman Suma Hoat merintih-rintih,
suaranya mengandung penuh penyesalan.
Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa
mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin.
Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani
mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!
“Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin....”
Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak
tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata
sedang menyalurkan sinkang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang
menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki
telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya,
yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.
“Ahhh... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati....” Suma Hoat
mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak
di dadanya.
“Jai-hwa-sian... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang
gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menderita luka dalam yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang yang memiliki sinkang amat kuatnya. Itu masih belum aneh. Yang lebih aneh lagi,
engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai
sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu... ceritakanlah apa yang terjadi?”
Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri
mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup
sebatang kara. Kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti
anak kecil!
Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil
terisak Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benarbenar
dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri. Kemudian betapa
Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia
menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan birahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jaihwa-
sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang
ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat
menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang
begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.
Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat
menangis dengan tubuh lemas.
“Aihhh..., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi
tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima
Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah... ah..., kiranya engkau
masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas... pantas...! Dan engkau telah
melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai
itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!”
Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. “Dia
mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat...! Aku sudah terlalu rusak,
mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah
mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...”
Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu
mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang
adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena
hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika
engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian. Di samping itu, hemmm... kalau aku tidak salah duga, orang
tua yang sakti dan bijaksana itu sengaja membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!”
Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara
bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai
kepada mereka.
“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?”
“Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha
merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama
menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak
menundukkannya banyak yang tewas di tangannya. Kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang,
maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!”
“Eh, mengapa begitu?”
Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh
perhatian. “Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai
kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga
macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang
menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah.
Yang kedua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam,
juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan
dunia-kangouw.blogspot.com
atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih
tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau
mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja,
untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu
mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat
menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa
enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka dia sengaja menerima
pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok
Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu.”
Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. “Aihhhh...! Dan seorang yang berbudi mulia
seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah
bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?” Dia mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan
penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah
kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu
terhadap kedua orang bibimu.”
“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah
kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang
harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?” Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang
menjadi terharu hatinya.
Im-yang Seng-cu membalas pegangan itu dan berkata, “Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali
Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti
Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok
Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti
kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan
seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama.”
Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. “Bagus sekali! Terima kasih atas
nasehatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk
membantu kedua orang bibiku itu!”
Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali. “Aku tahu! Aku tahu
bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah
kutunjukkan jalannya, sahabatku!” Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan
ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liangsan.....
********************
Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan
bergabung dengan pasukan-pasukannya yang malam nanti akan menyerang barisan Sung yang dipimpin
Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di
belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali
siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat.
Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah
malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun.
Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala
domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah
penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi
pembantunya yang setia!
Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia
teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya
dunia-kangouw.blogspot.com
karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam
hubungan di antara kedua orang itu. Ia melihat ada sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan
tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan
memasuki perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti
sikap pertentangan mereka?
Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya.
Biar pun ia mengepalai banyak sekali pasukan, namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian.
Ke manakah suheng-nya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suheng-nya? Ia membayangkan
bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suheng-nya masih berada di sana? Dan sumoi-nya, Khu
Siauw Bwee, apakah sumoi-nya itu pun berada di sana?
Teringat akan suheng-nya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan
penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoi-nya juga mencinta
suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih
sayang suheng-nya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suheng-nya amat sayang kepada dia dan sumoinya,
akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoi-nya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap
wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak
tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan
dengan sinar mata penuh kasih!
“Maya...”
Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di
belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata, “Can Ji Kun, ada keperluan
apakah engkau menemuiku?”
“Maya... aku... aku...,” Ji Kun menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja, padahal biasanya
menyebutnya ‘li-ciangkun’.
“Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!”
Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, “Maya,
katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kau anggap aku
telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?”
Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia
mengangguk dan menjawab, “Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu.”
“Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu.
Sesungguhnya... eh, semenjak kita bertemu... sesungguhnya... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku...
aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!”
Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Baru pertama kali ini
didengarnya pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya. Hal ini menimbulkan keharuan di
hatinya. Dia mencinta suheng-nya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid
bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan
hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan
membuat dia langsung menjawab keras.
“Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa.... Kau kira
mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau
bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kepadaku?”
“Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing,
bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah!” Maya berkata jengkel. “Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin
bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun, dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi
kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?”
“Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi
aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak
kasihankah engkau kepadaku?” Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, “Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa
mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang
engkau bicara tentang cinta!”
“Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau
tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...”
“Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat
mencinta pria lain!”
“Maya... apakah... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?”
Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu
kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya.
Melihat ini Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya, “Siapa dia, Maya? Siapa pria
yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!”
Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah.
“Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apa lagi membalas cintamu.
Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri
dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,
“Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!”
Ji Kun tidak menjawab, hanya berdiri tegak dengan kepala menunduk. Ia tak berani menatap kepergian
gadis itu, seakan takut bahwa ia telah ditinggalkan selamanya.
Setelah tiba di kamarnya, Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang
kepada suheng-nya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan.
Diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu?
Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.
Betapa pun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta
kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu
dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti... seperti dia mencinta
Han Ki!
Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan
pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan
pikiran ini, Maya lalu melompat turun dan melesat ke luar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam
telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji
Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan
menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan
Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu
menyerangnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing
cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoi-nya dan juga saingannya
itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk
membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka
pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biar pun hanya tergores ujung pedang namun
mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan
pedangnya.
“Cring-cring...!” Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan
pedang Maya.
“Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!” bentak Maya.
“Aku harus membunuhnya!” Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
“Perempuan sombong, kau kira begitu mudah?” Ji Kun balas membentak.
“Tranggg....!” Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.
“Berhenti kataku!” Maya menerjang lagi di antara mereka. Pedangnya berkelebat menyilaukan mata,
mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.
“Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya
ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani
aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi
belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di
depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku
yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!”
Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan
mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini, maka biar pun ditantang mereka diam saja.
Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.
“Maya... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar,
kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi.”
Yan Hwa menarik napas panjang. “Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau
memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf.”
Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata,
“Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orangorang
lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat
dan penting, urusan pribadi harus di kesampingkan dulu. Apa lagi kalau timbul urusan di antara kita yang
bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di
ujung pedang seperti musuh-musuh besar!”
“Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita.”
“Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati.”
“Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?”
Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik
napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus
menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas
bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di
ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu!
Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang
mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi
sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu
mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah
pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela
napas, sudah memaafkan Ji Kun.
Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suheng-nya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh
suheng-nya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoi-nya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata
keranjang?
Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantupembantunya
yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa-huciang. Mereka bergerak dari tiga
jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan
serigalanya.
Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala
yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung
menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka
lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara
mendadak dan mengacaukan musuh. Begitu tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledakledak
dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka!
Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak,
bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau!
Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang sampyuh tanpa memilih lawan, hanya
membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia
di bumi yang saling sembelih dan saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan
sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti
saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa
mereka itu sama kuat.
Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah
diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan
belakang sehingga mereka maklum bahwa biar pun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun
dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap
kanan, kiri dan belakang.
Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata gagal. Tanpa terduga-duga awanawan
gelap menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu sering kali
terjadi atas diri manusia.
Betapa pun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau
Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal
yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.
Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada
keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung
benar-benar menjadi kacau karena Maya telah mengerahkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu
untuk menghantam dari tiga jurusan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh
pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng
Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu!
Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang
pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan
berkuda ini amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak
akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini akan dapat
membunuh seekor serigala dengan mudah.
Akan tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala liar yang langsung menerjang
mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik ketakutan, serigala-serigala
yang seperti manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak
seperti serigala, tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi
karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan berkuda yang
merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat sendiri menjadi marah dan juga bingung
menyaksikan keadaan pasukannya.
Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa
yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh
Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang
kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.
“Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!” bentaknya.
Di atas kudanya, panglima ini bersama selir dan muridnya menyerbu ke depan. Gerakan pedang tiga orang
ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan
kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok. Jarum-jarum
beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu
sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan
mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala
menjadi seperti gila.
Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung
benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan
Pasukan Maut itu saja mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua
serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya.
Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri
dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan
menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling berlomba, berbanyak-banyakan membabat musuh!
Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu
karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan besar lawan untuk
membantu barisan Mancu.
“Bala bantuan datang!” Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak
hebat.
Pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma Kiat
menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin oleh beberapa orang panglima
Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan
muridnya tertawa dan mengamuk makin hebat sehingga para prajurit di pihak musuh menjadi gentar tidak
berani mendekati mereka.
Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan menjadi
terkejut. Biar pun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih
besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadaan yang
membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan
dunia-kangouw.blogspot.com
barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah
mereka kini hampir seimbang. Kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya
pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu
akan mampu bertahan.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, mau pun oleh pihak
Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu
barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu
saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu
diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee.
Pasukan yang baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung. Akan
tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya tidak berani menyerang sehingga
dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga
orang ini, tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu,
Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San.
Karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah, “Apa kalian bertiga sudah
menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?”
Ong Ki Bu, Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima
Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma
Kiat sambil berkata, “Suma Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi
pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San.
Engkau menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami
sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?”
Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu
mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke
arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut
sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak
menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu
dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.
“Krekkkk! Desss!” Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang
berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat
itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah
mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!
“Hayo kalian berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!” Suma Kiat membentak kepada
Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat
Ong Ki Bu.
Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan
senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat
selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama
pertandingan yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih
lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah
jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas
menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.
Akan tetapi biar pun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat
pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini Suma Kiat
menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh,
merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara
Hitam yang juga mengamuk secara dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!” Can Ji Kun ketawa dan
menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari pedang di tangan
Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.
“Trang-trang...!” Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan
mata itu, apa lagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis. Dipandangnya dua
orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,
“Bocah-bocah setan! Siapa kalian?”
“Buka telingamu lebar-lebar!” Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. “Kami
adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!”
Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu di
waktu mudanya ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya, juga
Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara Hitam). Akan tetapi karena cinta
kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga
Suling Emas.
Mata Suma Kiat melotot dan ia membentak, “Kebetulan sekali! Aku tidak punya kesempatan membikin
mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat
membunuh kedua orang muridnya!” Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang
juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang
amat hebat.
“Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup darahmu!” Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu
bersama sumoi-nya sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini
khawatir kalau-kalau kalah duluan!
Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan
ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini
ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa. Masing-masing telah
memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis
Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biar pun Suma Kiat
memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan
gerakan mereka, terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang mengandung hawa mukjizat yang
mengerikan!
Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para
prajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju
sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun
bertanding melawan Suma Kiat.
Kini keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biar pun
kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya, namun panglima ini pun
akan selalu terdesak. Kini setelah kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan
hebat, sedangkan Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang Yan Hwa.
Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap
Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir.
Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada prajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh
Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima
Khu Tek San, dan juga suheng-nya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak
oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.
“Trangggg...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tubuh Suma Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia
memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya. “Hemmm, agaknya engkau
inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?” bentaknya.
Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat. “Benar, akulah Maya. Apakah engkau
telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika
menyambut utusan Kerajaan Yucen?”
Suma Kiat membelalakkan matanya. “Engkau...? Engkaukah... Maya puteri Raja Talibu?” Diam-diam ia
bergidik.
Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam
belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih
hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya,
apa lagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat
seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan
dari Mancu!
Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya sudah
tidak dapat membebaskan diri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih,
dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat
baik di otaknya.
“Persetan kalian! Mampuslah!” Kedua tangan panglima ini bergerak.
”Awas jarum berbisa!” Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan
bajunya.
Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung di
situ. Biar pun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas
kudanya. Melihat ini Maya cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki
pergelangan tangan kiri Kwa-huciang.
“Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!” Maya berseru dan... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan
tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan
satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.
“Biar kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih balk tangkap dia!” Ia menuding ke depan.
Maya baru teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun terlambat, karena Suma Kiat sudah meloncat
ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam
nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas ubun-ubun!
“Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!” Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang
meninggalkan Ok Yan Hwa.
“Pengecut besar!” Maya berseru. “Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki.
Panglima macam apa engkau ini?”
Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah. “Belum waktunya kita bertanding, Maya.
Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan
pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!”
“Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!” Pangeran Bharigan yang sudah
dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, “Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo
cepat serang jahanam ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, “Tahan!”
Kedua orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan.
Maya menghela napas dan berkata, “Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan
dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?”
“Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kau kehendaki?”
“Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan
menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau
bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau
engkau masih memiliki slfat kegagahan!”
“Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri?
Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu
calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku. Apakah engkau sekarang, dan dua
orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?”
“Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran
Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa
diganggu. Atau... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan.
Nah, pilihlah!”
“Ha-ha-ha! Maya, engkau membela mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemm... dia memang gagah
dan tampan! Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya? Kerajaan
Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri seorang Pangeran Mancu sehingga
ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri...”
“Keparat busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!” Pangeran Bharigan membentak marah sekali.
“Suma Kiat, bagaimana?” Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah
disarungkannya.
“Ha-ha-ha, baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!” Suma Kiat
melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah pergi
diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu pergi begitu saja,
Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar
musuh.
“Trang-tranggg...!”
“Ehhh! Engkau... melindungi dan membela dia?” Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil
melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak. Maya menyarungkan
kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan menghalangi tadi, menggeleng kepala dan
berkata, suaranya tegas dan ketus.
“Tidak, aku tidak membela dia melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih
menghargai kehormatan dari pada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji sendiri? Apakah
hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang
gagah perkasa?”
Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak hal,
Maya ini menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang
pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
“Heiii! Tahan senjata! Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!” Pangeran Bharigan
berseru dengan marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira tinggi
menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan.
Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,
“Panglima Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku
akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!”
Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan
Sang Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekali tidak menyembunyikan perasaan di hati
pangeran itu terhadap dirinya!
Kemenangan besar di hari itu disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja,
bahkan dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh Pangeran Bharigan
sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap
Kerajaan Sung, kini dia mengepalai laksaan prajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala
perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang
dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu diangkat menjadi
penasehat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang yang berkepandaian.
Karena memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada
Pemerintah Sung, kepada bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi
panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya. Yang penting mereka
dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin
barisan yang kuat.
Raja Mancu yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini berlaku cerdik dan bijaksana. Maya
dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan menghadapi pasukan-pasukan musuh
yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah mengetahui
riwayat Maya.
Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara
Mancu menjadi kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi
pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua orang murid
Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin disanjung-sanjung dan diberi banyak
hadiah oleh Raja.
Biar pun kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak
hal yang dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja ia menderita
rindu kepada suheng-nya yang dicintanya, juga dia menghadapi hal-hal yang memusingkan hatinya.
Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid
bibinya itu. Jelas bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik
seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja!
Akan tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang dengan
senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar riwayatnya oleh Maya
dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu
memperlihatkan sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang
benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk ‘memanaskan’ hati Yan Hwa, dia tidak
pernah dapat memastikan.
Akan tetapi, hal itu tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar
bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang
dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula
hanya diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin
lama makin nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terangterangan
menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar.
Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama dapat
membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi negara besar!” Demikian antara lain
bujukan yang dikeluarkan oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya menghela napas panjang. “Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan
cinta kasihmu terhadap diriku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah
sekarang kita telah bekerja sama? Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh
hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak.”
“Apakah... apakah tidak ada cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?” Pertanyaan Pangeran itu
yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan, membuat kedua pipi Maya kemerahan
dan hatinya terharu.
“Pangeran, maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si
penggembala domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan, budiman,
berkedudukan tinggi. Pendeknya, tiada cacat celanya bagi seorang gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah
soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran.”
Wajah yang tampan itu menjadi muram. “Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah
mencinta pria lain?”
Maya mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya menundukkan
muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan jujur, “Benar, Pangeran.”
Pangeran Bharigan menghela napas panjang. “Aihhh, betapa bahagianya pria itu...”
Di dalam suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan
dara ini berkata, “Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku.”
Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal tinju. “Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah
terang dia itu orang gila!”
“Pangeran!”
“Maafkan aku, Maya...!” Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri
bergembira sambil berkata, “Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita hentikan saja
pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku
hanya berdoa semoga engkau bahagia, dan... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku,
Maya.”
Biar pun semenjak saat itu sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran
itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari pandangan mata pangeran itu
kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini
selalu masih mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung,
teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suheng-nya dan juga gurunya yang amat dicintanya.
Pada suatu hari, selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya membicarakan pergerakan bala
tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan bahwa pasukan
Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat!
Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir.
Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa kepala seorang
panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen
yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Perwira itu berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun
muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar
menahan marah ketika ia membentak, “Kubur kepala itu dengan upacara kebesaran!”
Setelah perwira itu pergi, Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram,
“Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang menjemukan
dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang besar.
Hemmm, berani mereka memandang rendah kepada kita!”
Seorang perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen
terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun orang
itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu berantakan. Juga Panglima Yucen itulah
yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan
Mancu.
“Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!” kata Maya dengan
marah.
“Aih, menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja. Tidak perlu engkau
merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya.”
Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya. “Kalau begitu,
aku akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk menghancurkan pasukan
Yucen.”
Pangeran Bharigan mengangguk, “Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlomba membunuh
musuh itu maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis.” Dia tersenyum puas karena
sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu amat hebat dan ganas,
mengerikan bagi pihak lawan.
Biar pun kedudukan mereka sudah tinggi, namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke
medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu seakan-akan berlomba,
berbanyak-banyak minum darah musuh! Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan
Sung yang menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu Pendekar
Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam
(Pedang Iblis Betina)!
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen
yang mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah
mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah gatal-gatal untuk menghajar pihak
musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing.
Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh
hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing
hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang
Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan
sambil bernyanyi-nyanyi.
Setelah tiba di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru.
Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara hiruk-pikuk
yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan golok, pedang dan tombak menyilaukan
mata dan banjir darah mulai membasahi rumput dan tanah.
Ji Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka
berubah menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit
seorang lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis yang haus darah dan
mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh
lawan yang lebih banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu
sehingga pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama sekali
menyaksikan amukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu
mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang
tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlomba dengan telapak tangan kirinya.
Setiap sabetan atau tusukan pedang sama mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan
kirinya. Kepala atau dada seorang prajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri
orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau prajurit, akan tetapi agak nya para
anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat
ketika orang sakti ini muncul.
Laki-laki muda rupawan ini bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong
Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati Kam Han Ki remuk
redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu yang dianggap sebagai biang keladi atau
penyebab kematian bekas kekasihnya itu.
Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah yang
memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar dikirimkan
kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki menantang dan bersumpah akan
membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan
mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat seorang
yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk seperti seekor naga menyambarnyambar
merobohkan banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah.
Seperti berlomba mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap orang prajurit musuh yang
menghadang dan hanya beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu
mengamuk.
Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka, menyerang Han Ki
dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang
mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar pedang yang mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut.
Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini.
Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari
sambaran dua batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa
penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu, bersikap
gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan
berbangsa Mancu.
Yang menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu,
pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda ukurannya. Han Ki
dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.
Ada pun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun
kurang lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang
rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jeri terhadap mereka, terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam
gebrakan pertama tadi laki-laki itu mencelat ke belakang.
“Sumoi, mari kita lihat siapa di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!”
“Ah, sukar menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek
tubuhnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki mengerutkan keningnya dan berkata, “Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian
lumayan, namun berwatak tinggi hati. Sayang... sayang... agaknya guru kalian tidak meningkatkan akhlak
kalian.”
Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak,
“Setan sombong! Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul
engkau mencaci guru kami, keparat!”
“Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka
mulut besar!”
Benar saja, Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena
Mutiara Hitam adalah piauwci-nya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya
mendalam.
“Bagus! Kiranya kalian murid Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan
diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!”
“Jahanam bermulut kotor!” Yan Hwa kembali memaki, “Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...”
“Buka matamu lebar-lebar!” Han Ki memotong. “Apakah pakaianku seperti prajurit? Tidak, aku tidak
membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan Yucen
sekali pun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang tidak usah banyak cakap,
biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran kepada kalian bocah-bocah murtad!”
“Sombong!” Ji Kun sudah menerjang lagi dibarengi oleh sumoi-nya.
Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun
dengan mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan
pedangnya.
Para prajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat itu otomatis menghentikan pertandingan mereka
dan mundur di belakang ‘jago’ masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton pertandingan luar
biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang
tampak hanyalah gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga
orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Tadi, ketika kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau
percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh
jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid piauwci-nya. Yang membuat
dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan bahwa mereka menjadi panglima-panglima Mancu.
Kalau benar murid piauwci-nya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu.
Apa lagi mereka memiliki sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum
sesat, sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat permainan ilmu pedang
mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan
lain, dengan tenaga sinkang yang amat kuat. Dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin
membunuh dua orang murid piauwci-nya ini.
“Kalian murid-murid murtad!” Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan
mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur, menurunkan pedang dan
‘membuka’ pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan
dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan
mereka dengan gerak kilat membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap kali ia menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat
sinkang-nya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari tempelan, juga kedua orang
lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan kekuatan sinkang yang amat luar biasa, selalu
dunia-kangouw.blogspot.com
menarik kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga sinkang. Kini melihat pancingannya berhasil, Han
Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang.
“Trakkk!” Dua batang Pedang Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biar pun dua orang murid Mutiara
Hitam sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang mereka.
Namun Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar
Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat.
Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya
mendorong dan ujung lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya
dari Yan Hwa.
Akan tetapi, pada saat itu Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah tusukan pedang yang diikuti
hantaman tangan kiri yang mengandung sinkang panas sekali. Han Ki terkejut, apa lagi ketika Yan Hwa
juga sudah menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya mendahului
pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.
Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mukjizat yang disebut
Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah
Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji,
berbahaya bukan main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin
pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!
Namun Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi,
mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan
maut dibarengi serangan pedang iblis itu, dia menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua
batang pedang sambil kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di
pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan
tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.
“Trak-trakk... plak-plak!”
Kedua orang murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak dapat dielakkan
lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main. Tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di pedang
lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa
yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan.
Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji Kun dan
Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa mereka melepaskan pedang lalu roboh
berlutut!
Han Ki yang berhasil merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan
mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.
“Hemmm, sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki
senjata-senjata yang begini keji!” Ia berkata.
Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya, “Siapakah...
siapakah engkau?”
“Orang-orang murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak Mutiara
Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan pedangpedang
iblis ini. Kedua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan
dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap
kurang ajar. Aku adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku.”
Kedua orang muda itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka
mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek Siansu, berhadapan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan teringat akan guru mereka, kedua
orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.
“Mohon Susiok sudi memaafkan. Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat
menuntut balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian Supek
Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas kehancuran Khitan di tangan musuhmusuhnya,
di antaranya bangsa Yucen!”
Kam Han Ki menarik napas panjang. “Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau
aku tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini? Kalian boleh pergi dan
jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini... hemm,
mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang
pedang iblis ini.”
“Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!”
Mendengar ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang mengeluarkan
cahaya kilat menyilaukan mata itu. “Apa? Benarkah itu?”
“Sumoi tidak membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas
perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu
berdua.”
Han Ki menghela napas dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu. “Baiklah, sebetulnya baik
buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang gurumu
memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini, pergunakanlah pedang-pedang itu untuk
menjunjung tinggi nama gurumu, karena kalau kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan
pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!”
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi
meninggalkan medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati karena
kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam sampai terbujuk
menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan
baru di pihak Mancu yang berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.
Pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan istimewa
yang terlatih, rata-rata prajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat yang tinggi karena
para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak
Mancu melakukan serbuan yang ganas dan pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biar pun di situ
terdapat Kam Han Ki yang mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap
bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju empat orang
sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang di tangan kanan Han Ki dan
pukulan maut dari tangan kirinya.
Perang yang terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur.
Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan biar pun dia merupakan
seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya, namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari
darah dan daging. Hujan senjata pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan
biar pun tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek, kulitnya
babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
Amat menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul dari
kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecewaan hatinya, segala kedukaannya ia
tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya, merobohkan siapa saja yang menentangnya.
Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi amukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat
menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga akhirnya
para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki dipancing masuk ke tempat yang sudah dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin
prajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya.
Han Ki tidak tahu akan jebakan ini, maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan yang
menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya diputar dan ia membabat
setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia
sengaja hendak dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang ditutupi ranting dan tanah,
tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
“Cring-tranggg... brettt!” Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus.
Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi sehelai jaring telah
menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah
ia meraih dengan tangan kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak,
terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi pecah dihantam kaitankaitan
baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi baru saja ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru,
anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang mengandung api! Bukan main
berbahayanya penyerangan ini. Terpaksa Han Ki yang sudah lelah sekali itu memutar pedangnya
melindungi tubuh.
Ia maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan berhenti dan
akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang
menghujankan anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan
anak panah berikutnya. Pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di
sebelah kirinya.
Han Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apa lagi karena pihak Mancu
harus menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biar
pun tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun amukan pemuda sakti itu terhadap pihak
Mancu benar-benar menguntungkan mereka.
Perang di antara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia
sudah tidak mengamuk lagi. Jangankan mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah tidak kuat.
Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali. Marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan
kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam.
Rambutnya awut-awutan, seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah kental
menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak ada yang berani mendekatinya biar pun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu.
Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda itu
kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya. Akan tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang
dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat
dua kali, ke depan dan belakang dan... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang. Setelah
terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han Ki yang sudah kehabisan
tenaga.
Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen
yang kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai mundur. Akan tetapi
Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena
yang penting baginya hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai
tenaganya habis!
Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya, pikiran dan
hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut dan menyesal. Apakah yang telah
dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang prajurit
Yucen! Dia membunuhi manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati
dunia-kangouw.blogspot.com
kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas tangannya sendiri,
melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.
“Ya Tuhan..., apakah yang telah kulakukan tadi...?” Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti
seekor binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah berapa ratus atau
berapa ribu orang!
Teringat akan semua perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki,
apa lagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang
kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk
dan mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasehat gurunya sehingga dia sampai melakukan
pembunuhan besar-besaran ini?
Tiba-tiba ia mendengar derap banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga
keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang baru tiba,
masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir
tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak
kalau tidak diserang orang. Apa lagi dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andai
kata diserang orang sekali pun belum tentu dia mau membela diri.
“Suheng...!”
Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han
Ki.
“Suheng...!”
Han Ki membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Seorang
wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.
“Maya-sumoi...!” Han Ki tergagap saking bingungnya melihat sumoi-nya telah menjadi Panglima Besar
Mancu. “Kau... kau seorang Panglima Mancu?”
“Aihh, Suheng. Kiranya engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah,
Suheng, mana mungkin ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah mengakibatkan
kehancuran Khitan? Suheng....”
“Diam!” Han Ki membentak marah lalu bangkit berdiri. “Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu
merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan prajurit Yucen.
Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan pribadi... aku... aku pun sudah menyesal
sekarang. Akan tetapi engkau... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah, sekarang
engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa?
Mau menangkapku? Membunuhku?”
“Suheng...!”
Maya bangkit pula berdiri dan mukanya pucat sekali. “Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu
kepadaku? Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku... aku bukan gila kedudukan. Aku... aku
bergabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat
membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana
mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung,
sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku
menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu
untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita, Suheng...”
Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak. “Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa
yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku
dunia-kangouw.blogspot.com
telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kau tinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita
bertiga kembali ke Pulau Es.”
Maya mengerutkan keningnya, menjawab perlahan, “Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku
kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang
terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah
engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan
mencari berita ke mana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa
depan kita!”
“Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya.
Setidaknya aku sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan hidupmu,
Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...,” dengan hati penuh duka karena kecewa
menyaksikan sumoi-nya itu ternyata telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan
tubuh hendak pergi.
“Tunggu, Suheng...!” Maya berkelebat dan sudah meloncat menghadang ke depan suheng-nya,
memandang dengan sepasang mata merah dan basah.
Biar pun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah
berseri. “Bagus, Sumoi. Lekas kau buang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari
Khu-sumoi.”
“Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku
suka ikut bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup selamanya di sana.
Jangan mencari Sumoi karena... hal itu... hal itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan...”
“Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?” Han Ki membentak.
“Suheng, tidak tahukah engkau...? Aku... aku... dan Sumoi... kami... ah, tak mungkin kami berdua hidup di
sampingmu bersama-sama...”
“Omong kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari
sini. Mari ikut bersamaku.”
“Tidak, Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es aku tidak bisa
ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami.”
“Maya...!”
Maya terisak menangis. “Selamat berpisah, Suheng...” Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan
kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya menyerang pasukan Yucen
yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di
dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa
yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu kepada
Siauw Bwee!
Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilirmudik.
Ia terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, “Maya... kenapa engkau
bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin menderita setelah aku kehilangan
Hong Kwi? Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoi-ku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh
cinta kepada kalian yang kukenal sejak kecil? Maya... apa yang harus kulakukan kini? Siauw Bwee, aku
harus mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau
Es...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, dengan hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari
daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari sumoi-nya yang kedua, yaitu Khu Siauw
Bwee. Ia bahkan mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi seorang
Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw
Bwee.
Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini
dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah
pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah
menghabiskan tenaganya. Kini, setelah sadar akan segala perbuatannya, ditambah dengan pertemuannya
dengan Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan.
Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan
tetapi tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata batinnya betapa ia telah melakukan
perbuatan yang amat jahat membunuhi orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit
hatinya oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa dia
sampai dapat menjadi begitu lemah.
Teringat ia akan suhu-nya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang
manusia dewa yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan yang
amat tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang menentukan nilai seseorang
bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan kekuatan batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa
batinnya masih lemah, masih mudah dikuasai oleh nafsu dendam. Ia merasa menyesal sekali.
Ia harus dapat membujuk Maya agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan
kewajibannya. Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoi-nya itu sehingga dalam keadaan seperti
sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.
“Aku harus dapat menemukan Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku membujuk
Maya. Khu-sumoi, di manakah engkau...?” Han Ki mengeluh.
Dalam keadaan berduka itu teringatlah Han Ki akan semua pengalamannya sejak kecil.
Dan teringat ia akan kedua orang enci-nya. Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua
orang kakak perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di Ta-liang-san belajar ilmu
dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di
hatinya kepada kedua orang enci-nya itu.
Akhirnya, setelah bersemedhi di lereng gunung itu selama semalam untuk memulihkan tenaganya, pada
keesokan harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liangsan
karena dia tahu bahwa kedua orang suci-nya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng
oleh paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin.....
********************
Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok
bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah
dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga
tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk di
kaki pegunungan ini sering kali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang
berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan ada kalanya
menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.
Biar pun semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga
bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan
benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu
merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti
beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh,
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada
penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.
Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta
Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong,
maka biar pun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi
keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsunafsunya,
yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikit pun juga. Hidupnya telah dipersembahkan
untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai dengan mengandalkan kepandaiannya yang
tinggi.
Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan. Karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya
ini, dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang
anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan
kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di
daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu dibawa ke
bentengnya. Setelah dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang
melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan
wanita cantik!
Karena inilah maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang. Semua perabot serba
mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar yang
berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya,
tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah!
Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat
Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah
bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti
untuk memperlengkapi haremnya.
Pihak pimpinan Beng-kauw yang asli sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki
tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan mendengar
akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang datang untuk
menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini.
Selain Hoat Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian
tinggi, juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya, jebakan-jebakan dan
alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw
yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita muda
yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggota rombongan pedagang yang baru saja dirampok.
Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta dibunuh termasuk para pengawal, sedangkan tiga
orang wanita muda yang cantik itu ditawan.
Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami mereka tewas
dalam pertempuran melawan perampok, ada pun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun.
Biar pun kedua orang enci-nya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan
cantik-cantik pula, maka mereka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.
Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari
yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru, maka
kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai
mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki
kamarnya.
Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak
buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar
dunia-kangouw.blogspot.com
jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela
mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.
“Tok-tok-tok! Suhu...!” terdengar ketukan di pintu kamar itu.
“Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?” Hoat Bhok Lama membentak marah dari
dalam kamar.
“Teecu hendak melapor, ada musuh datang!” Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.
“Heh, keparat!” Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya
terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga merangkap selirnya tentu saja karena
muridnya ini cantik.
“Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor
bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?”
“Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar
tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kau jaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan
membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!”
Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok
lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang
sambil menangis mengguguk.
Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga.
Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.
“Di mana mereka? Dan berapa orang yang datang?”
“Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama),” jawab seorang pembantunya. “Enci adik Kam Siang Kui
dan Kam Siang Hui yang dulu juga.”
“Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan
tetapi biar pun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka.”
“Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada
hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan
kepada kami saja?”
“Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka
sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?”
“Mereka mendaki dari lereng sebelah utara.”
“Sekali ini aku tidak ingin mengorbankan anak buah. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan
keluar menangkap mereka.” Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan
perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung
berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu
bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andai kata mereka tahu pun mereka tidak peduli
dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw
yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil
keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya
kosong.
Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, mereka menjadi gentar dan
tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran akhirnya kedua orang enci adik
itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Bengkauw
yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk
merampas kembali Beng-kauw.
Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri
dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Pecut di tangan
mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di
tangan mereka.
Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu
terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan
senjata ini mengeluarkan pengaruh mukjizat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian
oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu
keponakan, juga muridnya.
“Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku
menduga bahwa di bagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan
senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki.”
“Baik, Cici,” jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman di
samping lebih tinggi tingkat ilmunya.
Mereka berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di
kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.
“Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!” kata Siang Hui.
“Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya
tersembunyi jebakan.” Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah
rumput yang hijau segar di sebelah depan.
“Trakk!” Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke
atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa.
Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan
mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ sambil tertawa
bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami
mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw,
menghancurkan Beng-kauw asli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini
mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan
sesat!
“Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa
keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang
mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami
baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?”
“Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah
merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa
denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Beng-kauw!”
Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau,
pedangnya menusuk ke arah perut lawan.
“Crengggg...!” Siang Kui terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat.
Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua tangannya
dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat
dunia-kangouw.blogspot.com
telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut
hitam di tangannya.
“Tar-tar...!” Ujung cambuk hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga
karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke belakang, kemudian
berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala
Siang Hui.
“Cringgg...!” Seperti juga enci-nya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung
dan tangan kanannya tergetar.
“Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!” Hoat Bhok Lama kini menerjang maju,
sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar seperti
dua bola api.
“Sing-sing-sing, crenggg...!” Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan
kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling bertemu sendiri atau
beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang senjata ini.
Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang
amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja yang sanggup
menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam,
Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng, bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi
ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama
adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong.
Di samping senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat
akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung,
namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan
Thai-lek-kang yang mengandung sinkang amat kuat.
“Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!”
Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat,
berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka,
sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara
tiba-tiba untuk membalas serangan lawan.
Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau
dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja
dia dapat mengeluarkan ilmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Akan tetapi kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa
dan rela mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua
ekor naga betina yang ganas.
Di samping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia
janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepalanya, maka
akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia
akan memperoleh dua keuntungan. Pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan kedua ia akan dapat
menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biar pun mata keranjang dan
harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat
memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya!
Karena itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum
bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari
mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka.
Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan
atau mengorbankan nyawa terbunuh olehnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cuit-cuit-tar-tar-tar!” Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat
jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.
“Aihhhh!” Hoat Bhok Lama terkejut sekali.
Sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang
membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka
tergetar, membuat mereka terhuyung ke belakang. Namun sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui
masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main.
Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya.
Namun sinkang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang.
Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka,
sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing!
Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin
puyuh, membuat pasangan kuda-kuda kaki mereka berdua tidak dapat tetap. Itulah Soan-hong Sin-ciang
yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang
menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeramancengkeraman
maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak
kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan
yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan
jantung mereka.
Untuk memusatkan sinkang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan
mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.
“Cuit-cuittt...!” Dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka ketika Hoat
Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja.
“Cret-crett!” ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali.
Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan
ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan
Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk
golongan hitam!
“Siuuut! Siuuutt!” dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri.
Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke belakang sehingga
sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga
dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas, mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena
pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke belakang, cepat
Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua
batang cambuk.
Ketua Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul
dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di
punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar
tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat
dan kedua kakinya telanjang.
Ia maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran seperti itu
tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua
orang kakak beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk
mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat ke
belakang, ke arah padang rumput.
“Manusia terkutuk, hendak lari ke mana kau?” Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh
Siang Hui.
“Kedua bibi jangan kejar dia!” Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si Jai-hwa-sian berteriak
memberi peringatan.
Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya
keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apa
lagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia
sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki
Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras.
“Moi-moi, ikuti jejak kakiku!” Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan
seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya.
Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di
belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di belakang enci-nya
ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak
tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling ke dalam air!
Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat
Bhok Lama memang tepat di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan
tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi
sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki
Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air.
Air itu ternyata cukup dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok
Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan. Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau
mereka di darat, akan tetapi mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan setelah tercebur ke dalam air.
Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah
rumput di mana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui.
Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang
wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang
dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biar pun demikian,
mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke
bawah sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!
“Cepat, kita harus menolong mereka!” teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat.
Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya. Tubuhnya menyusul melayang seperti
seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang melintang dan mengambang di atas
rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong
kayu yang didapatnya di situ, meniru perbuatan kawannya melompat.
Sekali menggerakkan tangan mereka sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha
menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui.
Namun tubuh dua orang terlalu berat untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka
sambil menarik, mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di
seberang yang lebih dekat.
Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di
udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput
dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sempat berterima kasih kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama
yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah
depan.
Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu
baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.
“Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!” Im-yang Seng-cu berkata, “Aku harus
membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!”
Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kawannya dan mengerahkan sinkang melemparkan
tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang
dan dia pun mengerahkan ginkang-nya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini
sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia
menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia
merasa yakin kini akan dapat menawan mereka. Akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda
yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi
isyarat kepada anak buahnya. Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang
rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang
anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama.
Melihat ini Suma Hoat berteriak, “Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua
ini kepada kami!”
Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa
keponakan mereka itu agaknya telah insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang
kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan
Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama,
apa lagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang
mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.
Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok
Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang
ringan. Mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji, “Wah, kepandaian
kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?”
Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa
menjawab, “Anak buah Beng-kauw yang kau pimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah
seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini,
Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang asli. Bagaimana?”
Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. “Hemmm, seingatku nama julukan Jaihwa-
san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Imyang
Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong
kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang
golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini. Apa lagi Jai-hwasian,
ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?”
Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, “Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik
sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jaihwa-
sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di
balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat
perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau
sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan
menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kau bawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku
dunia-kangouw.blogspot.com
mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu
tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!”
“Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!” bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah
sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga
terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar
ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
“Cringgg! Tranggg!” Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis.
Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur, tanda bahwa tenaga sinkang kakek itu benar-benar amat
hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam
sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua
gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang
Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!
Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid.
Murid kedua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka
menyerbu tempat Coa-bengcu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan
dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini
benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat.
Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka
masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benarbenar
dahsyat sekali itu.
Andai kata mereka berdua itu maju satu lawan satu, pasti mereka akan kalah. Akan tetapi karena mereka
itu maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang
mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk
dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apa lagi selama ini Hoat Bhok Lama
terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi
tawanannya sehingga tenaga sinkang-nya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.
Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu
karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur
dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung
karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang
bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina
yang marah.
Biar pun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka
berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk,
merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap
berjumlah dua puluh orang lebih.
Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat
sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu
makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali,
mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat yang penuh jebakan itu.
“Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka...!” Ia berteriak.
Akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka. Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan
banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur, tentu saja tidak mau melepaskan
mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apa lagi karena mereka kini memperoleh
kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua
dunia-kangouw.blogspot.com
orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang
melarikan diri ke puncak gunung karang.
Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang.
Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke
kanan kiri, mencari-cari.
“Bibi... awaaasss...!” Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang
mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai
suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!
“Moi-moi, turun...!” Siang Kui berseru keras.
Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi.
Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar
yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak
gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau
bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawah.
“Cici...!” Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri
dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?
Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan mala-petaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat.
Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan
telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama
dengan gembreng kiri. Saat itu tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki
Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya agar temannya dapat turun
tangan.
“Desss!” Biar pun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja
pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyunghuyung,
akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.
Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani
mengejar ketika melihat temannya terluka.
Dia berlutut dan bertanya, “Bagaimana?”
Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku
berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sinkang lawan
yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat
tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata.
Dengan nekat ia kemudian meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak
berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui dan Siang Hui berdiri,
ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.
“Bibi...” Bibi...!” Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang
sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.
“Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar
ini?” Im-yang Seng-cu menghibur, akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu.
Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu
itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.
“Bibi...” Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang
terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan
orang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bi...!” Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah
batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala
seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyumsenyum!
Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai
kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.
“Takkk!” Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya
nyeri bukan main, seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari
baja murni.
Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu,
meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya
lebih besar dari pada kepala orang dewasa yang mana pun juga!
“Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?” Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras
membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguh pun dia telah mengerahkan sinkang menahan.
Tentu saja Im-yang Seng-cu terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di
depan dada siap bertanding.
“Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!” Suma Hoat yang dapat mengerti
bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.
“Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar
kurang ajar. Kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan
mampus.” Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, “Mohon
Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin.”
Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata
terbelalak. Di dalam perantauannya pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang
oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan
kedua adalah Bu-tek Lo-jin.
Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar.
Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak
terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka
ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu.
Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun
tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam cerita ‘Mutiara Hitam’ kakek yang sakti dan
berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari
pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan
pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biar pun hanya beberapa bulan saja Tang
Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyatdahsyat
dan membuat pendekar itu makin terkenal.
Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini
lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh. Karena itu dapat
dibayangkan betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka
mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!
“Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam
dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak
dunia-kangouw.blogspot.com
bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah
menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?”
Suma Hoat cepat menjawab, “Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu,
bekas tokoh Hoa-san-pai. Ada pun saya sendiri... saya bernama Suma Hoat...”
“Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh
denganku. Eh, Suma Hoat, coba kau serang dengan seluruh kepandaian yang kau miliki!”
Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu dan berkata, “Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu
ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu.” Setelah
berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.
“Hayaaaa...! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita
yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu
jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat
ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka
yang tentu sudah hancur?”
“Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Dari pada membuang waktu membongkar batu yang tidak
akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas
kematian kedua orang bibimu,” kata Im-yang Seng-cu.
Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. “Kau betul! Mari
kita kejar dia!”
“Heitt, nanti dulu!” Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil
sudah berdiri di depan Suma Hoat. “Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan
tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang,
bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apa lagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu
dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kau seranglah aku!”
Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira,
“Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?”
Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah
karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat
betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biar pun lengan kirinya terasa
nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata, “Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teecu menyerang!”
Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan
kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.
“Cuss! Cusss!”
“Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?” Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan
kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat.
Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari
tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sinkang-nya seperti terbanting membuat ia terpelanting
ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mukjizat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini,
Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut. “Teecu mohon petunjuk.”
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih. “Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui
orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biar pun mereka semua sekarang telah menjadi
setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih
bergidik. Pak-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi
tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru dunia
dunia-kangouw.blogspot.com
terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari
barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan.
Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik
Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda,
gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Imyang-
tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!”
“Beliau adalah nenek teecu!” Suma Hoat berkata.
“Aihhhh! Pantas... pantas...!” Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil. “Dia
memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...”
“Dia adalah ayah teecu!” Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali,
sungguh pun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.
“Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam, sekarang
aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biar pun dari keluarga yang gila dan jahat.
Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?”
“Tentu saja yang baik, Locianpwe!”
Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu
mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk Jaihwa-
sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh
dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu birahi yang tidak wajar di
samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita.
Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi. “Heh-heh, kalau
engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?”
Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, “Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi
teecu!”
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan
tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya. “Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali!
Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu.
Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku,
masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat dari pada seorang baik yang
menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir
sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?”
“Teecu siap, Suhu.”
“Nah, kalau begitu, mari kau ikut aku pergi dari tempat ini!” Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga
bangkit berdiri.
“Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?” Imyang
Seng-cu menegur.
Suma Hoat memandang gurunya. “Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Bengkauw
palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu
akan mengikuti Suhu!”
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya. “Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam
kematian kedua bibimu?”
Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya
yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab, “Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu
bukan hendak membunuhnya karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan
yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang
dari ancaman perbuatan jahat mereka.”
Kembali kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah
engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang
dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan
dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali
mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!”
Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat,
meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan batu-batu
yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa
sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu.
Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapa pun juga,
bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin
bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin
hidup bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya terdapat rasa simpati yang besar terhadap Jai-hwasian
Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat,
maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.
Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia
tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu runtuh,
perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan
goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam.
Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke bangunan yang dikelillngi pagar tembok tinggi. Menjelang
senja barulah ia sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan keadaan
markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga di depan pintu. Ketika ia melangkah maju
dengan hati-hati karena maklum bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia
dan jebakan berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biar pun terasa amat sunyi karena
tidak ada suara, namun di sebelah dalam benteng itu tampak kesibukan orang-orang.
Im-yang Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia yang malangmelintang
di tempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para pembantunya. Ketika melihat mayat
Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka,
tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu
bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala yang gundul itu!
Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka
memandang dengan khawatir. Seorang di antara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus
mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang
Seng-cu, menjura dengan penuh hormat dan berkata, “Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami
yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma-taihiap.”
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk kagum. Ia maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan
gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para
pembantunya serta menundukkan anak buahnya.
“Apa yang telah terjadi?” tanyanya.
Orang itu memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini. “Bukankah
Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, akan tetapi aku tertinggal di sana. Harap kau ceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan
mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini.”
Orang itu menarik napas panjang. Setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata,
“Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah sepatutnya mendengar
semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan saya akan menceritakan semuanya.”
Im-yang Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah. Setelah duduk
menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kiam, orang itu yang
dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan tingginya.
“Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya mula-mula menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw
melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para pimpinan kami,
bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula di tangan Hoat Bhok Lama. Sampai
habis semua pimpinan tingkat tinggi kami, dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang
masih sempat meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggota Beng-kauw yang
setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi kemudian tertarik oleh
bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama, pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya
kami sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain Hoat Bhok Lama mengatakan, bahwa Agama Bengkauw
adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sinong
Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!”
“Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw,” kata Im-yang Seng-cu.
“Apa saja yang dikatakannya mengenai penyelewengan itu?”
Lauw Kian lalu bercerita. Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas
pengurus dan anggota Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism) didirikan oleh
Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah lambang kejahatan. Pelajarannya
adalah untuk menyelamatkan Terang dari selubung Kegelapan.
Jadi menurut pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan
Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan,
demikian menurut Hoat Bhok Lama, karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Bengkauw
merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya.
Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang dijelaskan
oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para
penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan,
sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk
memasuki kegelapan!
“Betapa mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa
mengetahui kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui keadaan
musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir dari kegelapan, setelah kita sadar dan
mendapat sinar terang untuk melawan kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu
kegelapan, apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan nafsu, jalan
satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam
diri kita, tidak akan sukar lagi untuk menundukkannya!”
Demikianlah bujukan dan pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang
lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan dari pada menganut pelajaran
yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan.
Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh, sebaliknya
mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat minat
yang besar sekali dari para bekas anggota Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan
mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih ‘bijaksana’ dari pada para bekas
pengurus lama. Apa lagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari
pendeta Lama itu.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas panjang.
Dia masih belum tua, namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh di dunia ini yang membuat
pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh agama apa pun juga
dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya.
Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biar pun dengan akal budi dan
pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya
terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah
pertentangan yang amat menyedihkan.
Pertentangan antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi,
yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang
mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata
yang amat ampuh untuk menundukkan manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar
sehingga manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihatlah manusiamanusia
kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong
dalam membela diri. Sebaliknya, biar pun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur
dan lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
“Hem, dia memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya,” kata Im-yang Seng-cu. “Dan
bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?”
“Hal itu terjadi dua bulan yang lalu,” kata Lauw Kian.
Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke
Pegunungan Heng-toan, ke markas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya.
Kakek ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan paksa. Ketika
mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya
tentang kematian sahabat yang dikenalnya itu.
Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama
membujuk agar kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai ke
seluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui
kakek itu bahwa dia merampas Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu
menipu Bu-tek Lo-jin memasuki goa di puncak yang merupakan tempat jebakan yang amat berbahaya.
Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke
dalam lubang jebakan yang terdapat di goa puncak gunung itu.
“Hoat Bhok Lama menutup lubang dan goa itu sehingga kami menganggap kakek itu telah tewas,” Lauw
Kian menutup ceritanya. “Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama Sumataihiap.
Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup di dalam sumur goa itu.”
Im-yang Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali
saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup di dalam sumur di puncak.
Bahkan kakek yang sakti ini masih mampu menyelamatkan diri ketika puncak itu longsor oleh gerakan alatalat
rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula ke bawah.
“Setelah kini kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan
kalian lakukan?” Im-yang Seng-cu bertanya.
“Kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas
para anggota Beng-kauw, bersama-sama membangun kembali Beng-kauw,” jawab Lauw Kian dengan
wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan
mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya
mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian. Kalau urusan kerohanian
dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya
bersimpang jalan. Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan
mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan sinar rohaninya, digelapkan oleh awanawan
nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan tukang pukul. Yang disebut kuat
dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga
memancarkan sinar terang dan membantu mereka yang kegelapan. Semoga kalian berhasil.”
Im-yang Seng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cinsha.
Diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selain memperoleh ilmu
kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang
membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga.....
********************
“Aiihhh..., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari
orang? Ahhh, Suheng... di manakah engkau...?” Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil
duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu.
Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa tentu arah dalam usahanya mencari dua orang
dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang
kedua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki
dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat
menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suheng-nya dan Suma Kiat musuh besarnya.
Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya
yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang
merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang
dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.
Semenjak meninggalkan Pulau Es, di dalam perantauannya Siauw Bwee telah mengalami banyak hal yang
hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama
sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat
Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun dara yang berilmu
tinggi dan cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang
yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan
kedukaan.
Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah
penglihatan, pendengaran dan perasaannya menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun segala
kewaspadaan akan hilang apa bila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam.
Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau
basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya
yang panjang lentik.
Ia teringat akan nasibnya. Ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus
menerima kematian sebagai seorang pemberontak. Ibunya harus meninggal dunia dalam keadaan merana
berduka. Kemudian ia terpaksa harus berpisah dari suci-nya Maya dengan kandungan dendam di dalam
hati. Dan akhirnya ia harus berpisah dari suheng-nya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di
hatinya.
Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidak-senangan hatinya yang hendak ia tumpahkan
dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil
menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan
perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak
berkesempatan turun tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk
mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu
Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan
pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan!
Biar pun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah
Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan
arah pikiran dan perasaan hati itu, teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan
ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sajak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti
dirinya di saat itu.
Kosong melengang... pikiran melayang
mengejar kenangan dihimpit kesunyian...
seperti iblis mentertawakan bunyi daun berkelisik
Kerik jengkerik, kerok katak, kokok burung hantu
di luar bising... namun betapa sunyi melengang terasa di dalam
seribu suara malam, menambah rasa kesepian...
Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw
Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit
hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib
sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.
“Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul
dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng,
dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa
lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...”
Betapa pun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara
remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau
setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam
kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sekelilingnya. Melihat kudanya,
dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu.
Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara binatangbinatang
kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam,
menyatukan diri dengan alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena
kesepian itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak
mau pun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya halhal
yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan.
Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang
akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala
dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah
dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran
yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya ke luar, tidak pernah
ke dalam, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.
Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan
kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang
mata seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada di atas
cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi pemuda
ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.
Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum
lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena
wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok
dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan
pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Ada pun ibunya adalah seorang
yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu
pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)!
Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat asli
dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu
kepandaian yang tinggi ini, orang tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk
meluaskan pengalaman.
Malam itu kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan
aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh
kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri.
Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun pendidikannya
sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun,
bahkan tidak berani berkutik, khawatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar.
Dia hanya berdoa dalam hatinya, mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya
berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin
kurang ajar tampaknya.
Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong
yang muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan
pemuda ini meraba ke pinggang, di mana disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi
dara itu kalau betul ada tiga ekor harlmau merunduknya!
Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik.
“Srattt!” sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya.
Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit dan
ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli!
Karena terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat
menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong di
balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas,
entah harimau entah apa.
Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun
lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang
boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka
itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang
melongo terheran-heran penuh kekaguman.
Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu
gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak
menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun
memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri.
Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak
mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah
merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andai kata binatang, atau manusia, tentu dapat ia
kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!
Seluruh urat saraf di tubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti
munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak
seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia,
mengintainya jauh di atas dengan melongo penuh kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa
yang mengancamnya. Apa pun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu
tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api unggun, menambah kayu hingga api unggun menyala lagi,
apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk
melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua
ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat
ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan makhluk
itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.
Yu Goan yang berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah
tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang
menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang
mata penuh perhatian. Karena berada di tempat tinggi, dia lebih awas dari pada Siauw Bwee yang
pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.
Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda
mencorong muncul di sekitar tempat itu, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali! Untung
baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan kini
tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee
berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu ‘padam’ dan lenyap, juga
sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biar pun dia sudah berloncatan ke sana ke mari di
sekeliling tempat itu.
Kini Siauw Bwee kembali ke tempatnya dengan muka penuh keringat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah
ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang
dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang
mengganggunya!
Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana pun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh,
kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera meninggalkan
hutan berhantu ini! Siauw Bwee menghela napas, tak berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di
tempat menyeramkan ini. Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya
dari keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di
dekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu mengeluarkan suara
bercicitan ketika meluncur ke atas, ke arah pemuda yang menjadi terkejut bukan main.
“Wuuuuttt! Trakkk!” Biar pun hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya
diduduki Yu Goan menjadi patah terkena hantamannya.
Pemuda itu sudah meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru, “Heit, saya bukan
musuh...! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah makhluk-makhluk mengerikan yang memiliki
mata mencorong itu!”
Siauw Bwee memandang tajam ke arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya
meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki
di atas pohon itu yang mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan mereka saling
pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona. Kiranya dara itu setelah
didekatinya, malah jauh lebih jelita dari pada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!
“Mudah saja membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak
menyangkal lagi?” Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.
Yu Goan menggeleng kepala. “Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi
bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah berada di atas pohon lama
sebelum Nona datang dan membuat api unggun di bawah pohon ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri di
hatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini.
“Engkau membohong!”
Yu Goan menarik napas panjang. “Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan,
karena seorang pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andai kata Nona yang berada di
sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana mungkin sampai tidak tahu
ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh
tadi.”
Siauw Bwee termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu
karena biar pun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa pemuda
ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat ke
atas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali.
“Kalau begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?”
“Habis, apa yang harus kulakukan, Nona?”
“Mengapa engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?”
“Ahh, mana aku berani, Nona? Andai kata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu
dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan bersikap
tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus
berbuat apa, turun tidak berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya
mengkhawatirkan suatu hal...” Tiba-tiba pemuda itu berhenti, mukanya yang tampan menjadi merah sekali.
Ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur menurutkan suara hatinya.
Siauw Bwee kini sudah hilang kemarahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus,
pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusun rapi. Ia percaya bahwa pemuda
seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi
kembali membangkitkan kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak, “Apa yang kau khawatirkan itu?
Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!”
“Yang kukhawatirkan tadi... eh, anu... aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan
hal yang bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas pohon, karena kalau engkau melakukannya,
aku benar-benar akan celaka!”
“Eh, jangan bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau
khawatir aku lakukan?”
“Hem... misalnya... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka... sepatu... atau... eh, berganti pakaian...
maaf...”
Tiba-tiba Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air
di situ. Kalau ada tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini... bertelanjang bulat di situ,
di bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran
dan bertanya, “Andai kata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kau katakan akan celaka?”
“Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi.”
Siauw Bwee tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. “Sungguh lega hatiku sambitanku tadi
tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat sopan dan
jujur. Siapakah engkau?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu menjura dengan hormat, wajahnya berseri karena dia senang sekali bahwa Nona yang
dikaguminya itu tidak marah. “Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau yang kemalaman di sini
maka bermalam di atas pohon. Dan Nona...”
“Eh, apakah engkau tadi melihat benda-benda mencorong yang aneh itu?” Siauw Bwee memotongnya.
“Aku melihatnya, dan aku kagum sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat.”
”Hemm, kalau gerakanmu demikian cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah
benda-benda itu tadi?”
“Aku pun tidak tahu, Nona. Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau sampai Nona yang
demikian cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku bukan seorang yang percaya akan tahyul,
hanya... kiranya tak mungkin manusia memiliki mata seperti itu. Aihh, sampai sekarang pun aku masih
merasa ngeri dan merasa seolah-olah saat ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita.”
Siauw Bwee bergidik, hatinya ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia mendapatkan
seorang kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja matanya melirik ke bawah dan
memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, sikapnya yang halus seperti itu
jarang ia jumpai, dan munculnya tidak wajar. Jangan-jangan penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu?
Tiba-tiba pemuda itu tertawa geli. “Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman!
Sungguh mati, aku manusia biasa!”
Wajah Siauw Bwee menjadi merah dan ia pun tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku
menyangka engkau siluman?”
“Nona memandang ke arah kakiku untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan? Menurut
dongeng, bangsa siluman kalau menjelma menjadi manusia dapat dikenal dari kakinya yang tidak
menginjak tanah, melainkan berada sejengkal di atas tanah, dan kalau ada cermin, dia tidak mempunyai
bayangan.”
“Ihh, aku harus berhati-hati terhadapmu. Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik
oleh rasa ngeri memikirkan benda-benda mencorong itu.”
Pemuda itu mengangguk. “Kalau tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung
kita saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada. Engkau mengasolah, Nona. Biar aku
yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman takut akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga
jangan sampai padam.”
Siauw Bwee menggeleng kepala. “Setelah munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur?
Engkau tidurlah, biar aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan muncul lagi...
hemmm, ingin aku menggempur mereka!”
“Tidak, Nona. Engkau yang harus tidur dan aku yang menjaga.”
“Tidak! Aku yang menjaga!”
Keduanya saling pandang dan melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh
keheranan dan kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru saja bertemu, sudah
berbantahan!
“Aku telah tahu bahwa ilmu kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat
kepandaianku. Akan tetapi, betapa pun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Mana
mungkin seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas dan membiarkan seorang wanita melakukan
penjagaan? Biar pun bodoh, aku tidaklah sekasar dan kurang ajar seperti itu, Nona.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul
lagi benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku. Dan jangan lupa,
kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas itu sudah lenyap, tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau
mengaso.”
Yu Goan mengangguk. “Baiklah.”
“Akan tetapi awas, jangan kau terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan
marah!”
Yu Goan tersenyum. Makin tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi bidadari impian hatinya, berilmu
tinggi sekali, pemberani dan tabah sehingga seorang diri berani bermain di dalam hutan, dirundung
keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara air mata mendatangkan perasaan iba di hatinya, dan
sekarang ternyata selain berwatak halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur!
Seorang dara yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain!
Siauw Bwee rebah miring membelakangi api unggun dan Si Pemuda. Biar pun dia merasa yakin akan sifatsifat
baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian, maka dia hanya akan merasa aman kalau
tidur sambil menghadap ke arah kegelapan dari mana tadi muncul benda-benda aneh.
Hati Yu Goan merasa lega. Kalau gadis itu rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia tidak akan
berani menatap wajah gadis itu. Kini gadis itu membelakanginya sehingga dia mendapat kebebasan untuk
memandangnya, biar pun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung tubuh belakang di balik pakaian
sederhana, dan sedikit kulit tengkuk putih kuning yang membayang di antara dua kepang rambut yang
hitam subur, anak-anak rambut yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi kemerahan dilindungi
sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis.
Semalam suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh muncul. Yu
Goan tenggelam dalam kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa malam telah lewat. Dirasakannya
sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutam berkokok dan sinar keemasan membayang
di timur. Malam telah lewat dan pagi mulai menjenguk di ambang timur!
Siauw Bwee mengulet enak sekali, membalikkan tubuh, menegangkan otot-otot dan mengembangkan
kedua lengan ke atas kepala, menguap kecil. Pemandangan ini sedemikian indah mengharukan bagi Yu
Goan, membuatnya terpesona. Akan tetapi ketika hatinya mencela mata yang menikmati pemandangan itu,
dia cepat menunduk, mengalihkan pandang dari tubuh dan muka yang kini telentang itu.
Kokok ayam hutan memasuki pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan
memandang ke arah api unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda yang masih duduk dekat api
unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia membentak, “Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau tidak
membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak memberi kesempatan padaku
untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?”
Yu Goan bangkit berdiri dan menjawab halus, “Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku malam tadi.
Pertama, aku harus melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan Nona. Kedua,
aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan Nona. Dari dua pilihan itu, aku
memilih yang kedua. Aku menerima salah dan siap menerima hukuman.”
Bagaimana mungkin orang bisa marah menghadapi sikap yang menyerah seperti ini? Apa lagi pemuda itu
jelas bermaksud bahwa rela dimarahi dari pada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau dia toh marah
terus, berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan hati Siauw Bwee lenyap dan dara ini menurunkan
kedua lengan yang tadi menegang, membanting kaki kiri dan berkata, “Aihhhh! Engkau membikin aku tidak
enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikit pun juga, apa lagi tidur semalam suntuk dan
membiarkan engkau melakukan penjagaan!”
“Tapi aku senang sekali melakukan penjagaan, Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu.
Agaknya iblis-iblis itu telah merasa takut mendengar ancamanmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee teringat dan cepat ia menyambar pedangnya, digantungkan di punggung. “Ahh, sekarang kita
dapat mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti bukan iblis!”
“Engkau benar, Nona. Mari kita mencari!”
Dua orang muda itu lalu mencari di antara rumput alang-alang dan tetumbuhan di sekitar tempat itu, di
tempat-tempat di mana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan dapat dibayangkan betapa
kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!
“Bukan main! Manusia-manusia apakah mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?” Yu
Goan berseru.
“Hebatnya, bagaimana mereka dapat bergerak demikian cepatnya?” Siauw Bwee berkata lirih.
Diam-diam ia terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti gerak kaki tangan kilat dari rombongan kaki
buntung dan lengan buntung, ginkang-nya mencapai tingkat tinggi sekali. Akan tetapi mengapa semalam
dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh ini? Mungkinkah mereka memiliki kepandaian menghilang
seperti setan?
“Jumlah mereka banyak dan tapak kaki mereka menuju ke satu jurusan. Kita dapat mengikuti mereka.” Yu
Goan berkata sambil meneliti tanah.
“Hemm, aku merasa curiga sekali. Mari kita cari mereka!” Siauw Bwee berkata.
Kedua orang itu lalu berjalan mengikuti arah jejak tapak kaki yang menuju ke selatan. Setelah berjalan dua
jam lamanya, mereka berdua berhenti di tepi sebuah tebing yang amat curam.
“Ah, tentu di bawah itu sarang mereka...!” kata Yu Goan menunjuk ke bawah.
Tebing itu amat curam, kiranya tidak kurang dari dua ribu kaki. Dan jauh di bawah sana, kelihatan kecil
sekali seperti mainan kanak-kanak, tampak sebuah perkampungan kecil dengan beberapa buah rumah
sederhana. Lembah di bawah itu kelihatan sunyi, seolah-olah perkampungan itu tidak ada penghuninya.
“Aneh sekali. Lembah di bawah itu dikelilingi tebing yang begini curam, seolah-olah terpisah dari dunia
ramai. Siapakah gerangan yang tinggal di bawah sana?” Siauw Bwee berkata, termangu-mangu.
“Sebaiknya kita mencari jalan turun ke sana untuk menyelidikinya, Nona.”
“Memang begitu kehendakku. Akan tetapi, aku mendapat firasat di hati bahwa tempat itu amat berbahaya,
dan agaknya orang-orang yang tinggal di tempat seperti itu tentulah orang-orang aneh yang berilmu tinggi.
Aku tidak ingin melihat engkau menghadapi mala-petaka di sana, Yu-twako.”
Yu Goan menoleh, mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. “Engkau baik sekali, Nona. Jangan
khawatir, aku dapat menjaga diri dengan pedangku.”
Sejenak Siauw Bwee memandang pemuda itu. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk, “Baiklah, aku pun
percaya bahwa engkau bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako. Mari kita mencari jalan turun!”
“Nanti dulu, Nona!”
Siauw Bwee membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia bertanya,
“Ada apakah?”
Pemuda itu kelihatan bingung dan ragu-ragu, agaknya sukar sekali membuka mulut menyatakan isi hatinya.
“Harap Nona sudi memaafkan kalau aku bersikap kurang ajar, karena sungguh tidak sopan bagi seorang
pemuda untuk mengajukan pertanyaan ini kepada seorang dara terhormat...”
“Aihhh, katakanlah. Apa yang ingin kau katakan, Twako? Engkau terlalu sungkan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
”Aku terpaksa mengajukan pertanyaan ini, Nona, mengingat bahwa kita telah saling berkenalan dan kita
bersama menghadapi hal yang belum kita ketahui bagaimana sifatnya, mungkin berbahaya.”
Siauw Bwee mengangguk tak sabar. “Tanyalah!”
“Aku ingin mengetahui siapakah Nona? Dan siapakah nama Nona yang mulia?”
Siauw Bwee tertawa dan menggunakan tangan kiri menutupi mulut. “Hi-hi-hik! Engkau benar-benar lucu
sekali, Twako! Engkau terlalu ditekan dan diselubungi kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya nama
saja apa sih dosanya? Tentu saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku yang lupa belum
memperkenalkan diri, padahal aku telah mengetahui namamu. Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu,
minta maaf segala? Dengarlah, namaku adalah Khu Siauw Bwee.”
“Khu Siauw Bwee...?” Yu Goan mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar nama ini.
Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang. “Khu-lihiap (Pendekar Wanita she Khu), aku pernah
mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam Liong yang menjadi menteri. Murid Menteri Kam
Liong itu seorang pahlawan yang gagah perkasa, dan yang telah gugur bersama gurunya di kota raja
karena fitnah. Namanya Khu Tek San, dan mengingat she itu...” Yu Goan berhenti bicara dan memandang
terbelalak ke wajah jelita yang berubah agak pucat. Dua butir air mata menitik turun dan bibir yang kecil
merah itu bergerak-gerak lalu digigit.
“Khu-lihiap, maafkan aku. Apakah mendiang Khu Tek San itu...”
Siauw Bwee mengangguk. “Dia adalah ayahku sendiri!”
Yu Goan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, membungkuk penuh hormat.
“Ahhh, sudah kuduga bahwa Nona tentulah bukan orang sembarangan! Kiranya puteri mendiang Khuciangkun,
murid yang setia dan gagah perkasa dari mendiang Menteri Kam yang terkenal di seluruh dunia!
Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!”
Siauw Bwee menarik napas panjang. “Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan hormat itu bisa
membuat orang salah mengerti, mengira bahwa engkau memiliki watak penjilat. Bagimu mungkin aku
puteri seorang pahlawan, akan tetapi banyak orang menganggap aku puteri seorang pemberontak! Aku
tahu bahwa engkau seorang yang terpelajar dan berbudi halus, penuh kesopanan, dan aku suka
bersahabat denganmu, Twako. Akan tetapi kalau engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan dan
sopan itu, aku akan benci padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang menunduk-nunduk seperti
seorang penjilat!”
Wajah Yu Goan menjadi merah sekali. “Tidak ada seujung rambut pun di dalam hatiku ingin menjilat
kepadamu atau kepada siapa pun di dunia ini, Nona. Sikapku tidak kubuat-buat dan sewajarnya, sesuai
dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak kecil kuterima dalam pendidikan. Karena itu maafkan aku,
Lihiap.”
“Twako, aku ingin sekali mengetahui bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal nama
Menteri Kam?”
“Ayah bundaku mengenal baik Menteri Kam yang sakti, Nona. Terutama sekali ayahku, dia banyak
bercerita tentang pendekar-pendekar sakti keturunan Suling Emas. Ayah amat kagum terhadap keturunan
Suling Emas, kekaguman yang tertanam pula di dalam hatiku. Ah, betapa ayah dan ibu akan merasa
bangga bahwa aku dapat bertemu dan bersahabat dengan puteri Khu-ciangkun yang terkenal, murid
Menteri Kam!”
“Sudahlah, Twako. Aku menjadi pening mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang kosong itu!
Lihat, di bawah itu mulai ada gerakan!” Siauw Bwee menuding.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Yu Goan memandang ke bawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak ke sana ke mari akan
tetapi karena jaraknya amat jauh sehingga manusia-manusia di bawah itu hanya kelihatan sebesar jari
tangan, maka mereka tidak dapat melihat jelas.
Dengan hati-hati dari berindap-indap, Siauw Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun ke lembah di bawah
yang penuh rahasia itu. Akan tetapi dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa tebing yang amat
curam itu tidak mungkin dapat dituruni. Mana mungkin turun melalui dinding karang yang ratusan kaki
tingginya, licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak atau tangan bergantung? Untuk menggunakan
ginkang meloncat ke bawah? Lebih tak masuk akal lagi.
Namun Siauw Bwee dan Yu Goan bukanlah orang-orang lemah yang muda berputus asa. Mereka terus
mencari, meneliti setiap kemungkinan menuruni tebing dan memeriksa sekeliling tebing yang berada di situ.
Sampai setengah hari mereka mencari jalan turun, namun hasilnya sia-sia.
Lembah di bawah itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak mungkin dituruni atau
didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak mungkin menuruni tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat
menahan tubuh. Perkampungan di lembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali dari dunia luar
daerah mereka. Mereka seperti hidup di dalam sebuah mangkok, tidak mungkin dapat menjenguk ke luar
dari bibir mangkok yang merupakan tebing yang mengelilingi tempat tinggal mereka.
Akhirnya Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa mengaku kalah. Mereka telah melakukan pemeriksaan
mengitari sekeliling lembah sampai kembali ke tempat mereka berangkat, tempat mereka mula-mula
melakukan pemeriksaan. Keduanya duduk mengaso di tepi tebing sambil memandang ke bawah dengan
hati penasaran.
Dari atas tampak manusia di bawah itu menuju ke suatu tempat di tengah perkampungan, kemudian
tampak api bernyala, asap mengepul tinggi seolah-olah mereka yang berada di bawah itu membakar
sesuatu. Terlalu tinggi tempat itu untuk dapat melihat jelas apa yang dikerjakan oleh manusia-manusia di
lembah itu.
“Tanpa sayap seperti burung, mana mungkin menuruni tempat itu?” Yu Goan berkata sambil menghapus
peluh dari lehernya.
“Memang tidak mungkin, kecuali kalau menggunakan alat.” Siauw Bwee berkata memandang ke bawah
dengan alis berkerut. “Menggunakan kaitan besi atau tali untuk merayap ke bawah.”
“Akan tetapi terlalu berbahaya. Biar pun merayap ke bawah tidak amat berbahaya, namun kalau orangorang
di bawah itu menyambut dengan sikap bermusuh, kita yang sedang merayap tak berdaya itu tentu
merupakan sasaran yang lunak.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk. “Memang aneh sekali. Makin sukar tempat itu didatangi, makin tertarik
hatiku untuk membongkar rahasia mereka itu. Yang mengherankan hati, kalau memang benar mereka di
bawah sana itu yang malam tadi mengganggu kita, bagaimana cara mereka mendaki tebing?”
“Dan gerakan mereka begitu cepat seperti menghilang!” Yu Goan berkata.
“Yu-twako, awasss...!” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya duduk di atas rumput
dekat pemuda itu, mencelat ke belakang, berjungkir-balik beberapa kali.
Yu Goan terkejut pula, meloncat ke atas dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat dara jelita itu
telah mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap kuat dan berpakaian sederhana kasar
seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis itu mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya
bergerak merobohkan lawan! Dari gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat kepandaian
dara ini jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya, bahkan dia dapat menduga bahwa dara itu lebih pandai dari
pada ibunya, atau ayahnya sekali pun!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi dia terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang mengurung tempat itu bukan hanya dua
orang yang didorong roboh oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak sekali. Sebagian sudah
memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang menyelinap di balik pohon-pohon dan tetumbuhan!
Siauw Bwee tadi sengaja mendorong dua orang terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa heran
hatinya ketika melihat dua orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika ia tadi berloncatan berjungkir balik
lalu menyerang, dua orang itu membuat gerakan tangan yang baginya amat canggung dan tidak ada
artinya sehingga mudah saja dia mendorong mereka dan menotok pundak mereka. Akan tetapi sungguh
luar biasa. Kedua orang kasar itu bukan roboh tertotok, melainkan terguling karena tenaga dorongan dan
begitu menyentuh tanah mereka sudah meloncat bangun kembali. Kini tampak belasan orang mengurung
dia dan Yu Goan.
“Tahan!” Siauw Bwee membentak ketika melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak menyerang.
Dia melihat orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti manusia-manusia
liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan kebodohan, akan tetapi sepasang mata
mereka mengeluarkan sinar berkilat! Ah, kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka
yang aneh seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun!
Diam-diam Siauw Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suheng-nya, hanya orang-orang yang
memiliki sinkang tingkat tinggi saja yang dapat membuat matanya mencorong seperti mata harimau. Dia
dan suci serta suheng-nya pun dapat membuat matanya mencorong kalau dia kehendaki, akan tetapi tentu
saja dia tidak mau melakukan itu karena hal demikian hanya akan membuat dia menjadi tontonan! Akan
tetapi orang-orang kasar ini semua memiliki sinar mata yang mencorong!
“Siapakah kalian dan mengapa kalian mengurung kami berdua?” Siauw Bwee membentak.
Orang-orang itu saling pandang, tidak ada yang menjawab.
“Heii! Apakah kalian tuli, atau gagu?” Siauw Bwee membentak lagi.
“Mereka hanya melaksanakan perintah!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki
berusia kurang lebih empat puluh tahun dari belakang sebatang pohon besar.
Siauw Bwee dan Yu Goan menoleh dan mereka mengerutkan kening melihat bahwa orang itu tidak
segolongan para pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa, bahkan pakaiannya bersih dari sutera mahal,
bentuk pakaian seorang sastrawan, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya,
juga pancaran pandang mata orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu.
“Perintah siapa?” Siauw Bwee bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang menjadi komandan
pasukan orang liar yang mengepung.
“Tentu saja perintah ketua kami. Kalian berdua memasuki daerah kami, daerah terlarang, karenanya kalian
harus menyerah sebagai tawanan kami untuk kami bawa menghadap Ketua!”
“Hemm, kami berdua tidak salah apa-apa, mengapa akan dijadikan tawanan?” Yu Goan membantah. “Mau
apa kalian menawan kami?”
Sastrawan itu memandang Yu Goan dan tersenyum mengejek. “Hanya ketua kami yang akan
memutuskan.”
“Aku tidak sudi menyerah!” Siauw Bwee membentak. “Pergilah kalian, jangan menggangguku. Kalian akan
menyesal nanti!”
Sastrawan itu mengerutkan kening, memberi aba-aba dan menyerbulah belasan orang liar itu. Gerakan
mereka kaku sekali, akan tetapi baik Siauw Bwee mau pun Yu Goat terkejut sekali ketika dari gerakan
tangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hati-hati, Twako. Sinkang mereka amat kuat!” Siauw Bwee berseru.
Dara perkasa ini sengaja berkelebat cepat mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan,
mempergunakan ilmu mukjizat gerak kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah
merobohkan delapan orang terrnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi kembali dia terkejut karena seperti halnya
dua orang yang pertama kali dia robohkan tadi, delapan orang ini pun meloncat bangun begitu tubuh
mereka terbanting ke tanah, sedikit pun tidak tampak tanda-tanda mereka itu menderita nyeri.
Yu Goan juga cepat mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini, karena tanpa peringatan
Siauw Bwee pun dia maklum betapa pukulan-pukulan para pengurung liar ini mendatangkan angin keras.
Sambil mengelak dia sudah menotok jalan darah di leher seorang pengeroyok, dan pada detik berikutnya,
kakinya sudah menendang sambungan lutut seorang pengeroyok lain. Kedua orang itu terpelanting, akan
tetapi mereka mencelat bangun lagi. Baik totokannya mau pun tendangannya hanya membuat kedua orang
itu terpelanting, akan tetapi sama sekali tidak melumpuhkan mereka.
Berkali-kali Siauw Bwee dan Yu Goan merobohkan para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki ilmu silat
tinggi. Bahkan Si Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi Siauw Bwee biasa saja. Akan tetapi
jelas terbukti bahwa segala macam pukulan, totokan, tendangan, tidak mampu merobohkan para
pengeroyok yang agaknya memiliki kekebalan luar biasa, atau tubuh mereka seolah-olah dilindungi oleh
semacam hawa mukjizat.
Siauw Bwee merasa terheran-heran dan diam-diam ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki keadaan
lawan. Ketika ia sengaja menerima pukulan dengan telapak tangannya, ia merasa ada hawa yang panas
keluar dari kepalan orang itu, yang cepat dapat ia enyahkan dengan sinkang-nya. Akan tetapi pukulan
kedua orang dari orang yang sama, mengandung hawa yang sejuk nyaman. Im-kang yang aneh ini tentu
saja dapat juga ia lawan dengan sinkang yang amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau Es. Biar pun
Siauw Bwee belum tahu dengan jelas, namun kini ia sudah dapat menduga bahwa para pengeroyoknya itu
biar pun tidak memiliki ilmu silat tinggi, namun memiliki inti tenaga sinkang yang amat kuat dan aneh, dan
agaknya mereka yang masih rendah ilmu silatnya ini secara luar biasa telah dapat menggabungkan tenaga
sakti Im dan Yang.
“Twako, pergunakan senjatamu!” tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut pedangnya.
“Sing! Singgg!” Dua sinar berkelebat ketika dua orang muda itu mencabut pedang mereka. Benar saja
seperti yang diduga Siauw Bwee, kecuali Si Sastrawan, para pengeroyok itu kelihatan jeri.
“Twako, robohkan akan tetapi jangan bunuh orang!” Kembali Siauw Bwee berseru dan diam-diam Yu Goan
menjadi makin suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang ternyata selain lihai, cantik jelita, juga
hatinya lembut, tidak kejam.
Orang-orang ini biar pun kelihatan jeri, namun mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu Goan
membacokkan pedangnya, mengarah bagian yang tidak berbahaya. Dua kali pedangnya berkelebat,
menyambar pangkal lengan seorang dan paha orang kedua.
“Plak! Plak!” Pedangnya itu mengenai sasaran, akan tetapi telapak tangannya terasa panas karena dua kali
pedangnya membalik seperti membacok karet yang ulet dan kuat.
Dua orang itu terhuyung. Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi lukanya hanya
merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak terluka sama sekali. Darah yang keluar
hanya merupakan goresan merah pada kulit yang terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek
pedang dari pada kulit mereka.
Demikian pula Siauw Bwee mengalami hal yang sama. Dia kaget dan makin kagum. Hebat sekali
kekebalan yang dimiliki oleh orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu mereka ini orang-orang yang
kasar dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih sinkang yang amat mukjizat! Apa lagi ketika ia menyerang
Si Sastrawan yang dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia lebih terkejut lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pedangnya selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si Sastrawan,
seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya ke samping! Hal ini membuktikan sinkang
yang amat kuat, dan untung baginya bahwa sinkang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si
Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sinkang yang sedemikian kuatnya itu
dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi
pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sinkang-nya!
“Tangkap mereka dengan jala!” tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.
“Wuuuuttt! Wuuuuutttt!” Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa.
Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka biasanya
menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, beruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli
mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan
menggerakkan jala-jala itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah
jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan para pengeroyok
lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada
Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.
Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang
ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
pedangnya tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang
amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga
bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok
asap saja!
Sementara itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh ke kiri untuk
mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka
terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki orang kedua.
“Dukkk!” Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya.
Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biar pun pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena
mengandung tenaga sinkang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini
mengatur pernapasan. Pada saat itu bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke arah
kepalanya!
Yu Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan ke atas tanah.
Akan tetapi ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka
sudah melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung
menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi.
Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan ginkang-nya, meloncat bangun dan memutar pedangnya.
Akan tetapi jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras pula
ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan
tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu
sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu
Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!
Melihat ini Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sinkang-nya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw
Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan ginkang-nya yang
membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat
menangkapnya!
Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di
antara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali! Kini
keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring,
dunia-kangouw.blogspot.com
pedangnya bergerak ke depan dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke
kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya.
“Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!” bentaknya.
Didahului sinar pedangnya yang berkelebat, bagai seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah
melayang ke arah Si Sastrawan. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi....
“Brettt!” kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!
“Kalau tidak kau lepaskan dia, lehermu yang akan putus!” Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu
membentak.
Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu
Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.
“Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!” Si Sastrawan berseru sambil menodongkan
pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.
Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu
ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala
melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala.
Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua
orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya.
Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan
yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut
tertarik, roboh terseret ke depan!
Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya
menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai
tergulung jala. Akan tetapi biar pun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang
pedangnya. Begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan
yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena
pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!
“Tahan...!” tiba-tiba terdengar seruan halus.
Mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan menjatuhkan
diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tibatiba
muncul di tempat itu.
“Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!” Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi
kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.
Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar
di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih
dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa
mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali orangorang
liar itu.
Ada pun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua
orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan. Sikapnya yang palsu ini
diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee.
Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih.
Matanya cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong dari pada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga
sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.
“Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa
sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian
bertanding dengan orang luar?”
Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi
beberapa orang di antara mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya
kepada sastrawan itu.
Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata,
“Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok
dua orang muda ini?”
Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, “Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya.
Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya
mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu
untuk diadili. Akan tetapi mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah
pertempuran.”
Kakek itu mengerutkan keningnya. “Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang
yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak
buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau
demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik
lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!”
Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala
menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran,
akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah
sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan
seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya
dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.
Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian
kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak
buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah
seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti.”
Siauw Bwee tersenyum. Biar pun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar
tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu
berkata, “Kami berdua hanya kebetulan saja lewat di hutan sana, akan tetapi malam tadi anak buahmu
mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami
dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu...
apakah ada hubungannya dengan Pangcu?”
Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat. Ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, “Harap Lihiap
tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah,
aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain
akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi
kebaikan Ji-wi sendiri.”
Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan. Mukanya berubah
pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti
orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah,
mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.
“Pangcu...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sssttt...!” Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu
mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.
Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia
dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati
Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah
mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor
cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!
“Pangcu...” Kembali Siauw Bwee melangkah maju.
“Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang
mempelajari penyakitnya.”
Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga
kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih
rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang
aneh dan mengagumkan!
Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka
mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada
dua orang muda itu dan berkata perlahan, “Maafkan... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit
gangguan kesehatanku...”
“Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah Pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan
sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan hebat
sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!”
Kakek itu menjadi pucat wajahnya. “Bagaimana Sicu bisa tahu?”
“Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka
bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan
telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu
memusatkan pikiran, kemudian berkata, “Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat.
Bukankah kadang-kadang hawa sinkang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit
seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin ada kalanya amat panas hampir tak
tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?”
Kakek itu terbelalak. “Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui
siapa guru Sicu?”
“Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin.”
“Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?” kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. “Mohon
pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku.”
“Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi
mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sinkang yang amat besar dan pula bukan di sini
tempatnya.”
“Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!”
Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka
berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di tengah jalan Siauw Bwee berkata, “Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako.”
“Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula aku merasa sangsi, apakah aku akan cukup kuat
untuk menyembuhkan orang tua ini.”
“Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada
Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah
mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan
sudah belasan tahun menjadi ketua di sini.”
Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, “Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku
bernama Yu Goan.”
Biar pun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia
tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang
pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di
perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat subur dan
sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.
“Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan.
Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia,”
kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi
rumahnya.
Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi nampak hilir mudik dan
sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka
memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara
karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka.
Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar
dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa!
Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli
pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan.
Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada
kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan
sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja,
kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena
kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar.
Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan
kerakusan akan kenikmatan duniawi dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang
bukan pula susah, bukan untung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada
perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!
Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat dari
pada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja.
Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua
orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini!
Yu Goan dan Ouw-pangcu duduk berhadapan di atas dipan, ada pun Siauw Bwee duduk di atas bangku
tak jauh dari situ, mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan,
maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.
“Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan
tidak pernah kena pukul,” kata kakek itu menyatakan keheranannya, biar pun dia tidak meragukan
keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang
dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri
dengan sinkang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga
engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang
sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri.”
Kakek itu membelalakkan matanya. “Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan
tetapi... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sinkang yang... yang...,”
kakek itu kelihatan ragu-ragu.
“Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sinkang secara berbareng dan pandai pula menggunakan
kedua sinkang itu secara berbareng?” tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak
ragu-ragu untuk memberi tahu.
Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. “Engkau tahu akan hal itu, Nona?
Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah,
sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia. Akan tetapi heran sekali, mengapa engkau dapat menduga
begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok.”
“Hemm, apa anehnya Pangcu?” Siauw Bwee berkata. “Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun
mereka rata-rata memiliki sinkang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...”
Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. “Aihh! Apakah bisa jadi...?”
“Apa yang hendak kau katakan, Pangcu?” Yu Goan berkata.
“Racun itu...! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia... Ang-siucai itu... dia banyak
mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu...!” Tiba-tiba ia menarik
napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik. “Ah, aku sudah membuka
rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku
terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu.”
Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu
di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih
terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar.
Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan
sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan
ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup
dalam dunia yang masih liar itu.
“Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat
menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa
kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang
yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, mala-petaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit
yang menyeramkan.”
“Penyakit apakah, Pangcu?” Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan
menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.
“Penyakit kusta.”
“Kusta...?” Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang
belum pernah dapat diobati itu. “Lalu bagaimana, Pangcu?”
“Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap
bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai
menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?” tanya
Siauw Bwee.
“Benar, jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan
lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu
sehingga sampai sekarang pun, tingkat kedudukan mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang
penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih
sinkang yang disebut Jit-goat-sinkang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di lembah
saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu
itu. Aku melatih sinkang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun.
Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sinkang itu sendiri.”
“Kenapa engkau keracunan, Pangcu? Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu,” kata Yu Goan.
“Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sinkang, dan satu-satunya... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi
tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu,
datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan
masak dan baca tulis.
Mungkinkah dia...? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil
perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan
mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini.
Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati
perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi.”
“Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantu membersihkan hawa
beracun yang mengacaukan sinkang di tubuhmu.” kata Yu Goan.
Pemuda ini lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu. Ia kemudian menempelkan kedua
telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sinkang-nya. Tak lama kemudian,
Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat
dan matanya terbelalak. Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri.
Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. “Bagaimana, Sicu?”
“Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?” Siauw Bwee juga bertanya.
Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. “Percuma. Agaknya Jit-goat-sinkang yang kau
miliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang
yang memiliki sinkang jauh lebih tinggi dari pada kekuatanmu sendiri. Sinkang-mu yang dua macam saling
berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi
tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sinkang yang berlawanan itu, sebagian untuk
mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sinkang-mu dan bersama-sama
mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sinkang-ku masih tidak kuat
menghadapl pergolakan Jit-goat-sinkang yang saling berlawanan itu, apa lagi untuk mengusir hawa
beracun.”
“Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua.
Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau sampai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku
semua...” Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.
“Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang
harus kulakukan?”
“Khu-lihiap..., hal itu... berbahaya sekali. Jit-goat-sinkang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah
engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!”
“Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku,” Ouw-pangcu juga
berkata dengan hati tulus.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee tersenyum. “Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya.”
“Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih
tinggi dari pada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sinkang-mu lebih lemah dari pada
sinkangku, akan tetapi betapa pun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sinkang yang liar di tubuh Ouwpangcu.”
Kembali Siauw Bwee tersenyum. “Ouw-pangcu, Locianpwe yang kau sebutkan tadi, apakah dia seorang
kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?”
Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw
Bwee dengan mata terbelalak. “Ini... ini... rahasia besar... bagaimana Lihiap bisa tahu...?” tanyanya gugup.
Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia
setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal dari pada nama Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran
dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!
“Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya
penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama
besar Bu-tek Lo-jin dari suheng-ku ketika aku digemblengnya di Pulau Es.”
“Pulau Es...?” Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.
“Khu-lihiap, jadi engkau... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek
Siansu...?” Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.
Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. “Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke
Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suci-ku
dan suheng-ku.”
“Ah, aku bersikap kurang hormat...!” Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru
setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah
melayang ke atas dipan!
Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata, “Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku
menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!”
”Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat
menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana
caranya mengobati luka Ouw-pangcu.”
Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tibatiba
terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu,
“Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!”
Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, “Twako, kau
menjaga di pintu, biar aku mengobatinya.” Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya ke
punggung kakek itu.
Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh,
tenaga Jit-goat-sinkang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sinkang yang amat kuat, juga sinkang yang
keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sinkang, panas dan dingin. Dia terheran-heran.
Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sinkang?
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya bukanlah demikian. Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sinkang dari inti hawa sakti
matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab
pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.
Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouwpangcu
diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam
Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ telah menurunkan ilmu silat kepada para kawanan yang
dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
“Bunuh Ouw-pangcu!” terdengar teriakan Ang-siucai.
Ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula
beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk
perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu ratarata
memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura.
Biasanya dia menyembunyikan kepandaiannya, maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang
di situ. Akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sinkang yang telah dimilikinya walau pun belum
mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang
demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal
Ouw-pangcu!
Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama
yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua
orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi
keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sinkang itu tidak dapat dihentikan di
tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri
sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.
Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang
berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dari sarung pedangnya karena dia maklum
akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan
dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya.
Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat akan tetapi gerakan
mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri
menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka
kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan
sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit.
Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas. Akan tetapi Yu Goan yang
melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan
orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Cepat pedangnya dibalik
dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan yang
langsung menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya, kemudian terjungkal. Ada pun penyerangnya
dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya
terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh.
Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher. Biar pun leher itu juga kebal, namun goresan itu
mengenai jalan darah di leher sehingga tampak tergetar ketika bertemu dengan golok yang dipegang
seorang berpakaian seperti orang Han, yang dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas.
Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu.
Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan
Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali.
Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya
melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil
dunia-kangouw.blogspot.com
merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya
datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai dan dua orang Han yang lihai!
Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki,
keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar
yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya
yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu.
Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan
sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!
Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan
menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw
Bwee dan Ouw-pangcu. Andai kata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia
sudah meloncat ke luar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk.
Kini di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouwpangcu,
tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata
yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka,
namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam
Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.
“Kurung dia rapat-rapat!” Ang-siucai berseru.
Kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi
melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan
ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena
dia nekat meloncat ke luar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat
di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan
memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.
“Trang-trang! Cepp! Cepp!”
Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali
pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sinkang karena
serangan itu datangnya amat cepatnya.
“Bukkk!”
Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang
golok dan pedang menghujam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini. Akan tetapi dengan sikap seperti
seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang
dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari
belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka
menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Tanpa berunding
lebih dulu karena memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, dua orang ini menubruk, seorang
mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang kedua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka,
dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
“Auugghhh!”
“Aiiighhh!”
Begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, dua orang ini terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang
memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan
tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Ada pun yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena
darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!
“Ihhhh...!” Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang
nona itu, namun terlambat. Dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah
menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya
memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika!