Senin, 12 Juni 2017

Cersil Bagus : Istana Pulau Es 1

Cersil Bagus : Istana Pulau Es 1 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Bagus : Istana Pulau Es 1
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Bagus : Istana Pulau Es 1
Kebiasaan lama (tradisi) yang dilanggar akan menimbulkan kutuk dan mala-petaka bagi si pelanggar,
demikian pendapat kuno. Padahal hakekatnya, semua itu tergantung dari pada kepercayaan. Bagi yang
percaya mungkin saja pelanggaran akan dihubungkan dengan sebab terjadinya suatu halangan.
Sebaliknya bagi yang tidak percaya, juga tidak apa-apa dan andai kata terjadi suatu halangan, hal ini
dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran tradisi.
Betapa pun juga, apa yang terjadi di Khitan, yang menimpa Kerajaan Khitan, oleh semua rakyatnya
dianggap sebagai kutuk para dewata oleh karena dosa besar yang telah dilakukan oleh Sang Ratu mereka!
Kerajaan Khitan mengalami kemerosotan hebat sekali. Kerajaan dilanda musim dingin yang hebat dan
amat lama, hasil buruan amat kurang, hasil cocok tanam buruk, penyakit menular, wabah yang aneh-aneh
menimpa rakyat Khitan. Semua ini diperburuk dengan bentrokan-bentrokan yang timbul di antara para
bangsawan yang memperebutkan kedudukan, di antara rakyat sendiri yang keadaannya amat miskin, dan
perselisihan dengan suku bangsa lain karena memperebutkan air dengan daerah subur!
Semua ini adalah kutukan dewa! Demikian anggapan kaum tua di Khitan. Terkutuk oleh dewa karena
pelanggaran hebat yang dilakukan oleh Sang Ratu Yalina, yaitu ibunda Raja Talibu yang sekarang menjadi
Raja Khitan. Di dalam cerita MUTIARA HITAM telah diceritakan betapa Ratu Yalina itu diam-diam menjadi
isteri pendekar sakti Suling Emas, bahkan secara rahasia pula telah melahirkan dua orang bayi kembar,
laki-laki dan perempuan.
Menurut kebiasaan lama bangsa itu, bayi kembar laki perempuan setelah dewasa harus dikawinkan, akan
tetapi Ratu Yalina kembali melanggar, tidak menjodohkan kedua anaknya. Yang laki-laki, yaitu Raja Talibu
sekarang ini, dijodohkan dengan Puteri Mimi puteri Panglima Khitan. Sedangkan anaknya yang perempuan,
yaitu Kam Kwi Lan atau terkenal di dunia kang-ouw sebagai pendekar sakti Mutiara Hitam, menikah
dengan Tang Hauw Lam murid Bu-tek Lo-jin. Kini suami isteri itu malah meninggalkan Khitan dan merantau
entah ke mana.
Nah, semenjak Ratu Yalina bersama suaminya Si Pendekar Suling Emas, pergi pula meninggalkan Khitan
atas kehendak Suling Emas untuk bertapa di puncak puncak Pegunungan Gobi, maka mulailah tampak
hari-hari buruk menimpa Kerajaan Khitan! Hal ini bukan sekali-kali karena rajanya, yaitu Raja Talibu,
kurang memperhatikan kerajaannya, atau berlaku lalim terhadap rakyatnya. Sama sekali tidak!
Raja Talibu agaknya mewarisi watak ayahnya, Si Pendekar Sakti Suling Emas, hatinya tidak keras seperti
watak Ibunya. Dia tenang dan sabar, mencinta rakyatnya dan memerintah dengan keadilan. Akan tetapi
sepandai-pandainya seorang raja, dia hanya seorang manusia juga dan apakah kekuasaan seorang
manusia yang dapat dilakukan oleh seorang Raja Talibu terhadap bencana-bencana alam berupa musim
dingin panjang disusul musim kering yang menghabiskan air serta tanah yang tidak berhasil menjadi
subur? Apakah yang dapat ia lakukan terhadap ketamakan dan nafsu para bangsawan yang saling
bermusuhan? Dia hanya dapat menggunakan kekuasaannya untuk meredakan keadaan, untuk mengadili
segala perkara dengan bijaksana, namun tidak berdaya menahan lajunya kemunduran kerajaannya!
Raja Talibu dengan isterinya, Puteri Mimi yang cantik jelita, hanya mempunyai seorang anak perempuan
mungil dan cantik jelita seperti ibunya, lincah nakal dan penuh keberanian seperti watak neneknya. Anak ini
diberi nama Puteri Maya dan pada waktu itu telah berusia sepuluh tahun. Karena ayah bundanya adalah
keturunan pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, biar pun dia seorang puteri raja, semenjak kecil Maya
suka sekali dengan ilmu silat.
Raja Talibu sebagai putera pendekar Suling Emas dan Ratu Yalina yang juga memiliki ilmu silat luar biasa,
tentu saja tidak melarang puterinya belajar ilmu silat. Sebaliknya ia sendiri malah menggembleng puterinya
itu dengan ilmu silat tinggi sehingga Puteri Maya menjadi seorang anak perempuan yang gagah berani dan
suka pergi berburu sejak kecil, malah dia mempunyai pasukan pengawal sendiri yang menemaninya pergi
dunia-kangouw.blogspot.com
berburu binatang buas. Biar pun usianya baru sepuluh tahun. Puteri Maya berani menghadapi seekor
beruang seorang diri saja, merobohkan binatang itu dengan anak panah atau dengan sebatang tombak
panjang!
Pada suatu pagi yang cerah, Puteri Maya sudah tampak berkeliaran di dalam hutan di sebelah barat kota
raja Khitan. Seperti biasa, kalau dia sedang berburu binatang di dalam hutan, dia berpakaian pria yang
ringkas sehingga memudahkannya untuk bergerak di dalam hutan-hutan liar itu, apa lagi jika bertemu
binatang dan melakukan pengejaran atau pertempuran dengan binatang buas.
Dan seperti biasa pula, pada pagi hari itu juga, Maya jauh meninggalkan para pengawalnya, hal yang
selalu membuat para pengawal menjadi khawatir dan diam-diam merasa jengkel. Namun tidak pernah
mereka mengeluh karena sesungguhnya para pengawal, seperti hampir semua orang di Khitan, amat
sayang kepada puteri yang cantik jelita ini. Kesayangan semua orang inilah yang membuat Maya memiliki
watak manja dan selalu ingin dipenuhi permintaannya!
Selagi ia menyelinap di antara pohon-pohon, mengintai dan mencari binatang buruan, tiba-tiba ia
dikejutkan derap kaki kuda. Hampir saja ia membentak marah karena disangkanya itu derap kaki kuda para
pengawalnya. Ia marah karena suara berisik tentu saja mengganggunya, membikin takut binatang-binatang
hutan yang tentu akan lari dan bersembunyi. Akan tetapi kemarahannya berubah menjadi keheranan dan
ia cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasukan pengawalnya,
melainkan pasukan pilihan ayahnya yang mengangkut perlengkapan perang!
Setelah pasukan itu lewat dan menghilang ke jurusan barat, Maya masih berdiri di tempat
persembunyiannya sambil termenung heran memikirkan hal itu. Ayahnya telah beberapa hari pergi
meninggalkan istana dan menurut ibunya, ayahnya sedang menyelidiki keadaan di perbatasan barat
karena ada kabar bahwa bangsa Yucen sedang bergerak di sana, ada tanda-tanda bahwa bangsa itu
mempunyai niat tidak baik terhadap Kerajaan Khitan dan daerahnya. Akan tetapi, mengapa ayahnya belum
kembali dan sekarang malah pasukan ayahnya mengirim perbekalan perang? Apakah akan terjadi perang
dengan bangsa Yucen? Ia harus pulang dan bertanya kepada ibunya. Hilanglah nafsunya untuk berburu
lagi dan dia lalu berlari kembali menjumpai para pengawalnya memerintahkan mereka untuk pulang ke
kota raja.
Setelah tiba di istana, Maya bergegas lari memasuki kamar ibunya dan betapa kagetnya ketika ia
menyaksikan ibunya sedang duduk termenung dengan muka muram dan mata merah bekas menangis.
Juga tadi ia melihat bahwa para tentara telah bersiap-siap melakukan penjagaan di kota raja. Apakah yang
terjadi?
Maya menubruk ibunya. “Ibunda...” Apakah yang terjadi? Mengapa pasukan Ayah membawa perlengkapan
perang? Mengapa pasukan-pasukan menjaga kota raja? Mengapa Ibu berduka dan menangis?”
Puteri Mimi memeluk dan mencium muka anaknya, kemudian berkata perlahan, “Kutukan dewa...” Kutukan
dewa menimpa kita...” Ah, aku pun ikut berdosa dan engkau... Anakku, semoga para dewa melindungimu
dan tidak menimpakan kemarahannya kepadamu. Engkau tidak berdosa...”” Puteri itu tak dapat menahan
keluarnya air mata.
“Eh, Ibu! Ada apakah?” Maya yang berhati keras dan tabah itu mendesak ibunya, sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan karena ia ingin tahu siapa yang menyebabkan ibunya berduka. Biar dewa
sekali pun akan dilawannya kalau dewa membuat ibunya berduka!
Puteri Mimi yang cantik jelita itu menghela napas. Wajahnya yang berkulit halus dan biasanya berwarna
kemerahan, kini pucat dan alisnya berkerut tanda bahwa hatinya diliputi kegelisahan.
“Seharusnya Ayahmu menikah dengan Mutiara Hitam. Hal ini sudah dikehendaki para dewa semenjak
mereka berdua belum lahir. Akan tetapi, ahhh... nenekmu menghendaki lain. Ayahmu dikawinkan dengan
orang lain. Tentu saja dewa menjadi marah dan sekaranglah tiba kutukannya menimpa keluarga kita!”
Kembali puteri ini menangis.
“Ibu, kutukan apakah itu? Apa yang terjadi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Semenjak nenekmu, Ratu Yalina, meninggalkan Khitan bersama kakekmu, negara kita selalu dirundung
kemalangan. Bencana alam dan perselisihan antara bangsawan mengakibatkan penderitaan, namun
semua itu masih belum seberapa, masih dapat diatasi oleh kebijaksanaan ayahmu. Akan tetapi sekarang...
ahh, beberapa orang bangsawan memberontak dan bersekutu dengan suku bangsa Yucen. Ada yang
menyeberang kepada suku bangsa Mongol dan Mancu, ada pula yang bersekutu dengan Kerajaan Sung
dan kini mereka itu mengepung kita. Ayahmu sendiri berusaha menginsyafkan mereka dan mengajak
damai bangsa Yucen, namun agaknya sia-sia belaka, maka jalan satu-satunya hanyalah mempertahankan
Negara Khitan.”
Muka Maya menjadi merah, kedua tangannya dikepalkan. “Mengapa berduka, Ibu? Kalau musuh datang
kita lawan!”
Melihat sikap puterinya, di dalam tangisnya Puteri Mimi tersenyum dan merangkulnya. “Engkau mewarisi
sifat-sifat nenek dan kakekmu... akan tetapi... musuh terlalu banyak dan terlalu kuat. Betapa pun juga,
benar katamu, Anakku, kita akan melawan!”
Hati Ratu ini dibesarkan oleh sikap puterinya. Ia tidak tahu bahwa pada waktu itu, bangsa Mongol sudah
menjadi bangsa yang amat kuat dan bangsa ini mulai mengembangkan sayapnya, dan bagaikan
gelombang besar datang menelan segala sesuatu yang merintang di depannya!
Benar seperti yang dikatakan Puteri Mimi kepada anaknya. Raja Khitan memang sedang berusaha keras
untuk menghindarkan perang. Pelbagai usaha dilakukannya, akan tetapi para bangsawan Khitan yang
memberontak itu tidak mau mendengar, dan bangsa Yucen yang bergerak dari barat itu pun tidak mau
diajak damai. Melihat keadaan yang amat mendesak, bahwa perang takkan dapat dihindarkan, Raja Khitan
mengadakan rapat pertemuan dengan para panglima.
“Jalan sudah buntu! Kita adalah bangsa yang besar dan biar pun selama ini kita mengalami nasib malang,
namun semangat kita tak pernah padam! Kalau memang mereka menghendaki perang, apa boleh buat,
kita terpaksa mengadakan perlawanan. Hanya aku menyesal sekali akan kebodohan bangsa Yucen,
terutama para bangsawan Khitan yang memberontak. Tidakkah mereka melihat datangnya bahaya hebat
yang akan melanda kita semua? Bangsa Mongol jelas sekali memperlihatkan sikap hendak merajai seluruh
daratan! Biarlah, kita akan mengadakan perlawanan!” Raja ini lalu mengutus pengawal untuk
mendatangkan bala bantuan dari kota raja, membawa perlengkapan perang dan diam-diam ia pun menulis
sepucuk surat kepada isterinya.
‘Bahaya besar mengancam kemusnahan kerajaan kita, Isteriku. Akan tetapi kalau memang para dewa
menghendaki demikian, biarlah aku musnah bersama kerajaanku. Aku akan mempertahankan kerajaan
yang diberikan oleh leluhur kepadaku itu dengan jiwa ragaku! Akan tetapi engkau Isteriku, dan puteri kita
Maya, jangan ikut menjadi korban. Bawalah puteri kita itu ke Pegunungan Gobi, carilah ayah bundaku yang
bertapa di sana, minta perlindungan.’
Demikian antara lain isi surat Raja ini kepada isterinya. Dan surat inilah yang membuat Puteri Mimi
menangis, penuh cinta kasih dan keharuan kepada suaminya yang begitu gagah perkasa sehingga dalam
menghadapi bahaya besar, tidak menyuruh dia pergi mencari pertolongan melainkan menyuruh dia dan
anaknya pergi menyelamatkan diri, dan dengan sifat penuh kejantanan menghadapi bahaya seorang diri!
“Aduh, Suamiku tercinta,” demikian Puteri Mimi mengeluh, “Lupakah engkau bahwa aku pun anak dan
keturunan Panglima Khitan yang setiap saat siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk membela
negara? Tidak, aku pun akan menjaga kerajaan dan merupakan benteng pertahanan terakhir. Kalau
kerajaan runtuh, bukan hanya engkau, aku pun harus ikut runtuh pula! Biarlah anak kita yang akan
kuusahakan agar menyingkir dan menyelamatkan diri.” Diam-diam Puteri Mimi pun sudah mempunyai
rencana dan menantilah dia akan perkembangan dengan hati gelisah namun tetap bersikap tenang.
Perang tak dapat dihindarkan lagi. Pasukan-pasukan penjaga di garis terdepan sudah mulai bentrok
dengan pasukan-pasukan musuh. Dalam keadaan seperti itu, seorang panglima tua Khitan menghadap
Raja Talibu dan berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pihak musuh amat kuat, apa lagi hamba mendapat laporan dari para penyelidik bahwa dari utara, bala
tentara yang besar dari Mongol telah bergerak datang. Keadaan amat terdesak, mengapa sejak dahulu
Paduka tidak mengirim utusan ke Gobi-san mohon bantuan Ayah Bunda Paduka?”
Raja Talibu menggeleng kepalanya dengan sikap tegas. “Paman Panglima, kalau aku melakukan hal itu,
aku akan menjadi manusia tak berguna selama hidupku! Aku menerima kerajaan dari ayah bundaku,
apakah hanya untuk dinikmati saja? Apakah aku harus bersikap seperti seorang anak kecil yang menerima
benda mainan dari orang tua, kemudian kalau benda itu menjadi rusak lalu kusuruh betulkan orang tuaku?
Tidak, Paman, itu bukan sikap seorang pahlawan! Diserahi kerajaan bukan semata untuk menikmatinya
dan bersenang-senang, melainkan diikuti pula dengan tanggung jawab! Orang tuaku telah mengundurkan
diri bertapa, tidak mengecap kesenangan sedikit pun dari kerajaan. Kini kerajaan terancam, masa mereka
yang harus susah payah pula? Biar pun ayah bundaku merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari
bandingnya, akan tetapi apakah artinya dua orang saja menghadapi gelombang barisan Yucen dan Mongol
yang puluhan bahkan ratusan laksa orang jumlahnya? Kita lawan sendiri, dan persoalannya hanyalah
hidup atau mati, dan urusan itu bukanlah wewenang kita untuk menentukan!”
Panglima tua itu kagum mendengar pendirian rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika Panglima ini
menyampaikan pendapat raja itu kepada para perwira dan prajurit, mereka pun bersorak, menyatakan
hendak mempertahankan negara sampai dengan napas terakhir!
Perang terjadi di perbatasan barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga
banyaklah korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang makin dekat
setelah perang berlangsung selama tiga hari. Dan sepak terjang barisan Mongol yang menyerbu ke selatan
itu amatlah ganas seperti segerombolan harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja
Talibu.
Betapa bodohnya mereka, bangsa Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang
sendiri satu kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa gendewanya, naik
ke atas kereta perang dengan pakaian perang yang membuatnya nampak gagah perkasa. Untuk dapat
membawa kereta perangnya ke tengah medan pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh,
bahkan kusirnya sudah beberapa kali diganti karena roboh binasa.
Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba di tengah
medan laga, di tempat yang amat tinggi. Raja Talibu lalu meloncat di atas kereta perangnya, gendewa di
tangan kiri, topi perangnya sudah terlepas dalam pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu sehingga
rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti
auman singa di padang pasir.
“Wahai seluruh bangsa Yucen dan Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu
mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa Mongol yang akan
menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih baik kita bersatu sebagai dua orang saudara untuk
melawan bangsa Mongol dari pada kita seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa
serombongan serigala sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling
berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat sekali.”
Suara Raja Talibu ini amat nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi raguragu.
Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat bangsa
Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah berada di depan hidung, tentu
saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang dengan bangsa Khitan. Akan tetapi sekarang
Raja Khitan yang gagah perkasa itu bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja
Yucen dan pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan. Sementara itu
perang itu dihentikan dulu.
Namun keraguan orang-orang Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak
terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan besar. Perang hebat terjadi
dan biar pun belum diadakan persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk
melawan barisan Mongol.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perang mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena jumlah barisan Mongol
lebih besar dan juga anggota tentara mereka lebih kuat, biar pun pihak Mongol kehilangan banyak tentara,
akhirnya barisan Khitan dan Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk
setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur setelah tubuhnya penuh luka
dan tak dapat bergerak lagi. Raja ini tewas sebagai seorang gagah perkasa. Tangannya masih memegang
pedang dan tubuhnya penuh luka, mandi darahnya sendiri!
Kematian tidak dapat terhindar dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian yang bisa
dipandang oleh mata dan dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia.
Kematian Raja Talibu merupakan sebuah di antara kematian yang terhormat, kematian seorang jantan dan
tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama sebagai putera seorang pendekar
besar seperti Suling Emas dan seorang ratu besar seperti Ratu Yalina. Andai kata ayah bunda ini melihat
kematian puteranya, agaknya kedukaan mereka akan terhibur oleh kebanggaan!
Sebagian para prajurit Khitan yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja
ketika mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama para panglima,
juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktu-waktu pasti akan tiba. Berita kematian
Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini
menahan tangisnya di depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri
pertahanan kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi diterima dengan
kemarahan.
“Kalau aku melarikan diri, mana aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah
mengorbankan nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu dengan
tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan Khitan!”
Maka gemparlah kota raja. Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan
pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal, yaitu pengawal
Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek puteri itu di
Pegunungan Gobi. Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya
yang biasanya memanjakannya itu membentak.
“Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan
Raja Talibu yang gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?”
“Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas
kematian Ayah!”
“Bodoh! Kalau kau tinggal di sini, engkau pun akan mati.”
“Aku tidak takut mati!”
Ratu Mimi menahan tangisnya dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata, “Itulah soalnya, Anakku.
Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa di sini, siapakah kelak yang membalaskan
kematian ayahmu dan ibumu? Engkau masih kecil, tenagamu belum ada artinya untuk menghadapi musuh.
Engkau pergilah kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat
nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu menyertaimu!”
Ucapan ini membuat Maya tak dapat membantah lagi. Biar pun dia masih kecil, namun ia cerdik dan tabah.
Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari ke luar dan ikut bersama
pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Gobi-san. Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi
menangis tersedu-sedu, bukan karena takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan
berduka karena perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari kemudian, kota raja Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang
dengan gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia. Akan tetapi
pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh dan gugur tak beda dengan suaminya,
dunia-kangouw.blogspot.com
tangannya masih memegang pedang dan surat suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena
pada saat terakhir ia melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!
Pasukan Mongol membasmi Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas
harta benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas habis-habisan. Gegerlah
Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang
selama ini kokoh kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh
anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi
suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan
mungkin benar demikian bagi yang percaya.
Mala-petaka hebat yang menimpa Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan
oleh Maya yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas orang pengawal
pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal bernama Bhutan, seorang panglima muda
yang tinggi besar dan berwatak bengis.
Lima belas orang pengawal ini kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya
dari kota raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka terdapat perasaan
tidak senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota raja. Semua
keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka, akan tetapi mereka, lima belas orang ini tidak dapat
melindungi keluarga mereka sendiri karena harus melarikan Maya. Dan mereka dapat membayangkan
dengan hati perih betapa mala-petaka. tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada pelindungnya.
Duka dan sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada Puteri
Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi sebab celakanya. Kalau mereka
tidak pergi mengawal puteri ini, tentu mereka akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan
membawa mereka lari mengungsi!
Malam pertama, ketika rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak
perubahan, hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak cakap. Namun
pemimpin mereka sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa puas. Hal ini dimengertinya baik-baik
karena dia sendiri pun merasa tidak senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan
dikawininya.
Demikian pula malam kedua, hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling
berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa sesuatu peristiwa sehingga ketika pada keesokan harinya
mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Gobi-san yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.
Akan tetapi, ketika pasukan ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja
sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan jatuh, meledaklah rasa
ketidak-puasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan Bhutan sendiri mendengarkan cerita
pengungsi itu dengan wajah pucat.
“Habis semua...!” Demikian antara lain pengungsi itu bercerita. “Mereka itu datang seperti badai mengamuk.
Pasukan kita yang mempertahankan bersama Sang Ratu digilas habis dan tewas semua! Istana dirampok
dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan,
diperkosa seperti segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena diperkosa
orang banyak di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, di mana saja sehingga jerit mereka memenuhi
angkasa.”
“Semua wanita, katamu?” Bhutan bertanya, suaranya gemetar.
“Ya, semua! Bahkan yang tua-tua juga! Yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli kaya atau
miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Habis semua perempuan diperkosa, habis semua pria dibunuh.
Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan orang-orang tua yang berkeliaran dan kelaparan kehilangan
keluarga....”
“Ibuku... bagaimana...?” tiba-tiba Maya menjerit.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang yang bercerita itu menarik napas panjang dan menengadah ke langit. “Sang Ratu telah gugur, akan
tetapi, demi semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan teringat betapa ratu itu tewas
dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh luka, tewas sebagai seorang gagah perkasa... Hebat sekali,
dan agaknya semangatlah yang memimpin semua perlawanan gigih....”
“Aihhh...! Ibu...!” Maya menjerit dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.
“Diammm!” Bhutan tiba-tiba menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat karena
kaget dan heran sekali, mengapa panglima itu mendadak berani membentaknya seperti itu.
Semua pasukan memandang dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat pemimpin
mereka kini pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat mereka terpaksa meninggalkan
keluarga mereka seperti sekumpulan domba ditinggalkan untuk menjadi mangsa serigala-serigala buas.
“Mengapa engkau menangis? Ditangisi pun tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun isteriku, ibuku,
keluargaku!” Dan Panglima ini lalu menangis, biar pun tidak mengeluarkan suara, hanya mengeluarkan air
mata yang menetes turun di kedua pipinya. Juga para anggota pasukan yang empat belas orang
banyaknya itu semua kelihatan termangu-mangu penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing
yang tentu telah menjadi korban pula.
“Kita besok melakukan perjalanan, bukan ke Gobi-san, akan tetapi membalas dendam kita, membakari
rumah-rumah dusun yang sudah menjadi jajahan orang Mongol,” demikian kata Bhutan dengan wajah
bengis.
Anak buahnya bersorak gembira. Biar pun mereka berduka, akan tetapi kini ada jalan untuk melampiaskan
duka dan kemarahan mereka biar pun kepada dusun-dusun! Hal itu berarti mereka akan dapat
memperkosa wanita-wanita seperti isteri-isteri dan keluarga mereka diperkosa, dapat membunuh orangorang
seperti keluarga mereka dibunuh, dapat merampok seperti rumah mereka dirampok!
“Akan tetapi, aku harus kalian antarkan ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di Gobi-san!” Maya
berseru kaget dengan mata terbelalak.
Bhutan tersenyum mengejek. “Mulai sekarang tidak ada lagi yang mengharuskan aku! Engkau tidak boleh
lagi memerintahku, bahkan engkau harus tunduk dan menurut segala kehendakku!” Para anak buahnya
bersorak mengejek.
Maya meloncat bangun, mengepal kedua tinjunya dan memandang marah. “Akan tetapi, apa kalian hendak
memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan! Engkau harus taat kepadaku!”
“Ha-ha-ha, puteri yang manis! Engkau akan kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun lagi engkau
akan menjadi seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku. Bukankah begitu kawan-kawan?” kata
Bhutan yang terhimpit kedukaan sehingga berubah menjadi bengis dan kejam. Anak buahnya bersorak
menyatakan setuju.
“Keparat, kau...!” Maya maju dan mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu.
Akan tetapi biar pun sejak kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki sembarangan,
melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki kepandaian. Dia menangkis terus
menangkap lengan kecil itu, memutar dan mendorong sehingga tubuh Maya terlempar dan roboh telentang.
Terdengar suara ketawa para pasukan pengawal.
“Ha-ha-ha, engkau tidak boleh galak lagi, Nona kecil!” kata mereka.
Maya meloncat bangun lagi, akan tetapi lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan tangan panglima ini
diayun. “Plak-plak-plak-plak!” kedua pipi Maya ditampari sampai menjadi merah dan terasa panas!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dengar kau, Maya! Ketahuilah bahwa engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya diaku
anak, anak angkat!”
Biar pun kedua pipinya terasa panas dan sakit-sakit, tetapi hatinya lebih panas dan sakit lagi mendengar
ucapan itu. Maya terbelalak kaget dan heran. “Apa... apa... kau bilang...?”
“Duduklah dan dengar baik-baik agar kau tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati segala
perintahku karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat menyelamatkanmu. Kerajaan Khitan sudah
hancur, keluarga Raja sudah tewas semua. Engkau memang bukan anak Raja Khitan, mana mungkin Raja
Khitan dapat memperoleh keturunan? Dia telah terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina
melakukan pelanggaran, keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau sekarang menjadi runtuh!”
“Mengapa begitu?” Air mata Maya mengucur lagi. “Ceritakanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang telah teriadi?
Ceritakan tentang keluargaku....”
“Bukan keluargamu, hanya keluarga jauh.”
“Kalau begitu, ceritakan siapa aku, siapa orang tuaku!” Maya makin bingung dan karena ingin sekali
mendengar penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya bahwa dia tadi ditampar.
Para prajurit yang juga belum mendengar riwayat raja mereka dengan jelas, hanya mendengar berita angin
saja, kini juga berkumpul dan mendengarkan penuturan Bhutan yang agaknya tahu akan riwayat itu.
“Dosa pertama dilakukan oleh Ratu Yalina,” Bhutan mulai bercerita. “Ratu Yalina yang dijunjung tinggi oleh
bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah menikah, ternyata melakukan pelanggaran karena
diam-diam melakukan hubungan cinta dengan Pendekar Suling Emas. Dari hubungan gelap yang
mendatangkan kutuk para dewa atas bangsa Khitan itu, terlahirlah anak kembar, laki-laki dan perempuan.”
“Anak kembar laki-laki dan perempuan harus dijadikan suami isteri!” berkata seorang anggota pasukan
pengawal yang sudah berusia empat puluh tahun lebih.
Bhutan mengangguk. “Mestinya demikian. Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan dosa pertama
itu, melanjutkan dengan dosa kedua yang lebih berat lagi dan yang agaknya membuat para dewa
memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak kembar itu, yang perempuan adalah pendekar
wanita Mutiara Hitam yang sekarang merantau bersama suaminya entah ke mana. Ada pun yang laki-laki
adalah mendiang Raja Talibu kita yang menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa itu
tidak bisa memperoleh keturunan. Biar pun aku tidak tahu di mana adanya Mutiara Hitam, akan tetapi aku
yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai keturunan!”
“Tapi aku... aku adalah anak raja dan Ratu Khitan!” Maya berteriak.
“He-he, itu adalah dugaanmu saja, anak manis!” Bhutan berkata tertawa. “Sebetulnya bukan demikian.
Engkau adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi. Ibumu adalah puteri bangsawan rendahan yang
menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika melahirkan engkau dan ayahmu sudah tewas pula
dalam perang. Raja Talibu yang agaknya hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau
sebagai anak! Memang jarang ada yang tahu, akan tetapi aku tahu akan itu semua, manis!”
“Tidak...! Tidak...!” Maya menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya rombongan itu
melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh Bhutan yang memimpin
rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke Gobi-san, melainkan ke timur!
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sengsara rasa hati Maya, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan?
Kalau dia melarikan diri, selain sukar sekali karena ia selalu diawasi, juga ia akan dapat pergi ke manakah?
Lebih sengsara lagi hatinya ketika terpaksa ia harus menyaksikan pasukan yang tadinya menjadi
pengawalnya yang setia itu kini berubah menjadi segerombolan serigala buas yang tidak mengenal perikemanusiaan,
merampok dusun-dusun yang mereka lalui, membunuh, memperkosa dan membakar rumah
sambil bersorak-sorak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dara sekecil ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang mengerikan itu, menyaksikan wanita-wanita yang
menjerit-jerit diperkosa dan kemudian dibunuh. Sampai habis air mata ditumpahkan dalam tangis Maya.
Dalam waktu satu bulan saja ia telah berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati keras seperti baja,
ditempa oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan mengerikan.
Kalau dahulu ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi pendiam, jarang bicara, jarang pula makan
atau tidur kalau tidak terpaksa sekali sehingga mulailah tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat,
wajahnya seperti topeng mati dan sikapnya dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya terbentuklah watak
yang keras dan dingin pada jiwa dara cilik ini.
Pergolakan hebat yang terjadi di utara itu bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan menjadi awal
pergolakan hebat yang menjalar ke selatan. Pada masa itu di selatan juga terjadi pergolakan hebat,
perebutan kekuasaan yang menimbulkan perang di mana-mana.
Suku bangsa Yucen tadinya adalah suku bangsa yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu ketika Ratu
Yalina masih memegang tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan menjadi lemah, bangsa Yucen
membalas dendam, memberontak dan dibantu pula secara diam-diam oleh Kerajaan Sung dari selatan. Di
samping itu, serbuan liar dari bangsa Mongol yang mulai berkembang, membuat Khitan hancur.
Bangsa Yucen ‘mendapat hati’ dan mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin. Sebentar
saja Kerajaan Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya Kerajaan Sung, menuntut agar
Kerajaan Sung mengirim ‘upeti’ setiap tahun!
Keadaan yang demikian itu menyedihkan hati seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung. Menteri ini
bernama Kam Liong dan dia bukan lain adalah putera sulung dari pendekar sakti Suling Emas! Bahkan
Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya telah mewarisi kepandaian ayahnya, juga telah mewarisi
senjata pusaka ayahnya yang berupa sebatang suling emas dan sebuah kipas. Kaisar amat percaya
kepada Menteri Kam Liong bukan hanya karena menteri ini adalah putera pendekar besar Suling Emas,
melainkan terutama sekali karena menteri ini memang amat pandai dan bijaksana, juga amat setia kepada
negara.
Menteri Kam Liong prihatin dan berduka sekali. Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi amat
menggelisahkan hatinya. Dia mendengar akan keadaan Khitan yang terancam hebat oleh bangsa Yucen
dan Mongol. Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran tangan bangsa Yucen untuk bersama-sama
menyerang dan mengeroyok Kerajaan Khitan. Betapa tidak akan sedih hatinya kalau ingat bahwa Raja
Khitan adalah adik tirinya sendiri? Raja Talibu di Khitan adalah putera Suling Emas pula sehingga
merupakan saudara seayah dengannya, berlainan ibu. Namun apa yang dapat ia lakukan? Dia adalah
seorang Menteri Kerajaan Sung, dan adik tirinya itu adalah Raja Khitan! Dia harus bersetia kepada
negaranya sendiri.
Menteri yang bijaksana ini tidak mempunyai anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid yang amat
disayangnya. Muridnya mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah perkasa pula. Muridnya itu kini pun
mempunyai kedudukan tinggi di dalam kerajaan, yaitu menjadi seorang panglima muda yang
diperbantukan kepadanya. Ketika terjadi pergolakan di utara, dia mengatur rencana dengan muridnya itu,
kemudian mengutus muridnya mengerjakan tugas penyelidikan ke utara atas persetujuan Kaisar.
Hal yang menyedihkan hati Menteri Kam Liong yang setia bukan hanya pergolakan di utara yang ia tahu
amat pentingnya bagi perdamaian di negara Sung sendiri, akan tetapi terutama sekali melihat kelemahan
negara Sung sebagai akibat tidak cakapnya Kaisar mengemudikan pemerintahan. Kaisar tidak pernah lagi
memperhatikan urusan pemerintahan, setiap saat hanya tenggelam dalam kesenangan. Pekerjaannya
sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar
mereka bernyanyi, melihat mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok.
Biar pun Kaisar masih ada, namun sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan selir-selir tercantik
dan tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang kebiri) yang mendampingi Kaisar dan para
selir siang malam! Berkali-kali Kam Liong memperingatkan, namun Kaisar hanya teringatkan untuk waktu
singkat saja, kemudian lupa lagi dan berenang dalam kesenangan seperti biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Peringatan yang selalu diajukan Kam Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan kebencian saja
di hati para pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan Kaisar untuk mengeduk keuntungan
pribadi sebanyak mungkin. Hanya karena mereka tahu bahwa Kam Liong merupakan menteri yang
dipercaya oleh Kaisar, memiliki pengaruh dan kekuasaan besar, juga memiliki ilmu kepandaian yang
mengerikan, maka para thaikam dan pembesar lain yang membencinya tidak berani turun tangan
mengganggunya. Hal ini diketahui pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak peduli karena yang
diprihatinkan selalu hanyalah keadaan negara.
Pagi hari itu Menteri Kam Liong termenung di dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi akan tetapi ia
sampai lupa minum sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya tertekan dan ia membayangkan dengan hati
penuh duka betapa keluarga adiknya, Raja Khitan terancam bahaya hebat. Dia sudah memberi nasehat
kepada Kaisar agar jangan memusuhi Khitan, akan tetapi Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar dan
para thaikam menjawab bahwa kesempatan baik tiba di mana Kerajaan Sung dapat mempergunakan
tenaga bangsa Yucen untuk merampas kembali wilayah yang dahulu dikuasai bangsa Khitan!
Dia berduka sekali, mengenangkan keadaan keluarga ayahnya yang cerai-berai itu. Ayahnya sendiri tak
pernah terjun ke dunia ramai, tekun bertapa bersama isterinya, bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang
menjadi Raja Khitan, Raja Talibu, kini terancam bahaya. Saudara kembar Raja itu, adiknya Si Mutiara
Hitam Kam Kwi Lan, kini entah berada di mana karena adiknya yang seorang ini suka sekali merantau, apa
lagi setelah menikah dengan Tang Hauw Lam, pendekar yang suka pula merantau. Mungkin suami isteri itu
kini sedang merantau ke dunia barat lewat Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah terikat oleh tugasnya
sebagai Menteri Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai mati.
“Aaahhhh...” ia teringat akan tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan mengeluh.
“Pantaslah Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri dari pergaulan ramai. Makin banyak
kita mengikatkan diri dengan urusan dunia, makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang
tidak mempunyai turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau demikian, apa artinya
hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian? Bukankah semua itu dipelajari untuk dapat
dipergunakan dalam dunia? Biarlah, bukankah Ayah dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan
gelombang batin yang amat bernilai harganya?”
Pada saat itu, seorang pengawal datang memasuki ruangan dan memberi hormat, lalu melaporkan bahwa
ada seorang tamu pria muda mohon menghadap Sang Menteri.
Atas pertanyaan Menteri, pengawal itu menjawab. “Hamba tidak mengenalnya, Taijin, akan tetapi dia
mendesak untuk diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh
lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya, membawa pedang di punggung dan sikapnya seperti
seorang pendekar.”
“Namanya?”
“Maaf, Taijin. Ketika hamba tanyakan dia hanya mengatakan bahwa Taijin akan mengenalnya kalau sudah
bertemu dan dia tidak memberitahukan namanya.”
Menteri Kam Liong yang sedang kesal hatinya itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. “Ah, tentu seorang
di antara mereka yang masih muda dan ingin sekali mendapatkan kedudukan di kota raja,” pikirnya.
“Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang kepadaku.” Kembali ia menghela napas.
Betapa banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut dan lemah ini. Pembesar-pembesar
tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu memberi suapan banyak tentu akan ‘ditolong’ memperoleh
kedudukan tinggi! Ingin ia memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi tibatiba
kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan kecelik dan biarlah dia menerima
bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak ‘menyogok’, hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimakimakinya,
kalau perlu dibekali tamparan sebelum diusir pergi!
“Suruh dia masuk!” ia berkata pendek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak pengawal itu memandang bingung. Masuk ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang Menteri?
Biasanya, apa bila menerima tamu, tamu itu disuruh menanti di kamar tamu yang berada di ruangan luar!
“Cepat! Tunggu apa lagi?” Menteri Kam Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak.
Sang Pengawal terkejut, memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa hari itu majikannya
demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong terkenal sebagai atasan dan majikan yang lemah
lembut dan halus terhadap anak buahnya.
Menteri Kam Liong sudah mendengar langkah kaki ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan berhenti di
depan pintu. “Hemm, seorang yang pandai ilmu silat,” pikirnya heran. Mengapa seorang ahli silat ingin
bertemu dengannya? Ingin melamar pekerjaan pengawal? Tanpa menoleh, sambil minum teh dari
cangkirnya, ia berkata tenang. “Masuklah!”
Langkah kaki ringan itu memasuki kamarnya, lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara yang nyaring
itu bertanya. “Apakah saya berhadapan dengan Menteri Kam Liong?”
“Hemm, bocah ini sama sekali tidak mempunyai suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak berlebihan
menghormatinya seperti biasa dilakukan orang, malah terdengar agak kurang ajar dan tidak memandang
kedudukannya yang tinggi.”
Dengan cangkir teh masih di depan mulut, Menteri Kam Liong menoleh sambil berkata,
“Siapa engkau? Katakan keperluanmu!” Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan
laki-laki itu.
Seorang pemuda yang amat tampan dan bersikap gagah sekali, dengan sepasang mata yang bersinarsinar
amat tajam. Jelas bukan seorang pemuda sembarangan! Juga wajah ini... serasa pernah ia
mengenalnya, akan tetapi ia tidak ingat di mana dan kapan. Tanpa mengalihkan pandang matanya dari
wajah tampan itu, Menteri Kam Liong yang mulai tertarik meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu
memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan mendesak, “Siapakah engkau?”
Pemuda tampan itu lalu menjura dan memberi hormat, suaranya terdengar gembira dan penuh perasaan.
“Harap Twako sudi memberi maaf kalau siauwte mengganggu. Siauwte adalah Kam Han Ki....”
Menteri Kam Liong mencelat bangkit dari tempat duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat, jauh
bedanya dari sikapnya yang lemah lembut. “Han Ki...? Engkau putera mendiang Paman Kam Bu Sin yang
lenyap bertahun-tahun itu...?”
Pemuda yang bernama Kam Han Ki itu mengangkat mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya
‘kakak tua’ itu dengan wajah berseri lalu mengangguk. “Benar, Twako. Saya adalah Kam Han Ki, adik
sepupu Twako sendiri.”
“Ah, Adikku... Apa saja yang telah terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah, Adikku...!” Menteri itu
melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat menjatuhkan diri berlutut dengan penuh perasaan
terharu.
“Duduklah, Han Ki. Duduklah. Haiii! Pelayan!” Menteri itu memanggil pelayan yang datang berlarian, lalu
memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.
“Twako, manakah Twaso (Kakak ipar)? Ijinkan Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana
keponakan-keponakan saya?” Pemuda itu menghentikan pertanyaannya ketika melihat wajah kakak
misannya itu menjadi muram.
Menteri Kam Liong menghela napas dan berkata, “Aku hidup sendiri Adikku. Twaso-mu telah meninggal
dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat, dan kami tidak mempunyai anak.”
“Ahhh..., maaf, Twako.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak apa, Adikku. Sekarang ceritakan pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya tentu ada
lima belas tahun engkau hilang. Ke mana saja engkau? Berita tentang dirimu yang terakhir amat
mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan dilarikan Siang-mou Sin-ni iblis betina itu!”
Han Ki mengangguk-angguk, lalu berkata, “Benar seperti yang Twako katakan. Iblis betina Siang-mou Sinni
membawa saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan.” Kemudian Han Ki menceritakan pengalamannya.
Ketika berusia sebelas tahun. Kam Han Ki mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah putera Kam Bu Sin,
adik tiri Suling Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke tiga. Kedua orang enci-nya yang bernama
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah pergi ikut bersama Kauw Bian Cinjin, paman kakek mereka untuk
bertapa dan belajar ilmu di puncak Ta-liang-san (baca cerita MUTIARA HITAM).
Dalam keadaan terluka karena pukulan-pukulan beracun, Kam Han Ki yang berusia sebelas tahun itu
dibawa iblis betina Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum), menuju ke Pegunungan Ta-liang-san.
Wanita iblis itu lalu mengisap darah Kam Han Ki yang dianggap mempunyai darah yang bersih dan
sumsum yang murni.
Akan tetapi, iblis betina ini tidak tahu bahwa Han Ki telah minum obat beracun dingin milik kakek sakti
Bouw Lek Couwsu (baca cerita MUTIARA HITAM). Sehingga ketika ia menyedot darah anak itu, ia roboh
terkena racun obat itu. Han Ki segera menggunakan jarum menusuk dada Si Iblis Betina sampai
menembus jantungnya dan tewaslah Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi sebelum roboh tewas, iblis betina itu
berhasil pula memukul Han Ki sehingga anak ini roboh pingsan dengan tulang iga patah-patah!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Kam Han Ki, muncullah kakek dewa Bu Kek
Siansu yang memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu. Dia dibawa ke sebuah goa di lembah
Sungai Cin-sha dan diobati. Setelah sembuh, Bu Kek Siansu menggembleng Han Ki yang sudah memiliki
dasar-dasar ilmu silat tinggi itu dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Selama dua tahun pemuda itu diajar teoriteori
ilmu silat yang hebat, kemudian disuruh berlatih sampai sempurna seorang diri di goa itu dengan
pesan bahwa kalau belum sempurna tidak boleh keluar goa. Juga dia diajar cara bersemedhi dan
menghimpun sinkang.
“Dengan dasar teori yang selama ini kuajarkan kepadamu, engkau membutuhkan waktu belasan tahun
untuk menyempurnakan latihan-latihanmu, Han Ki. Setelah sempurna, baru pergilah kau ke kota raja dan
carilah twako-mu Kam Liong. Dialah pengganti orang tuamu dan selanjutnya, dia yang akan
membimbingmu,” demikian pesan kakek dewa itu yang lalu pergi menghilang tak pernah muncul lagi.
Han Ki adalah seorang anak yang berhati keras dan berkemauan teguh. Biar pun kadang-kadang ia
merasa tersiksa sekali harus hidup menyendiri di tempat sunyi itu, namun ia terus berlatih dengan rajin
sampai sepuluh tahun lamanya! Setelah ia keluar dari goa itu, dia telah menjadi seorang pemuda berusia
dua puluh tiga tahun!
Dengan sebatang pedang yang sengaja ditinggalkan Bu Kek Siansu untuknya, mulailah pemuda itu terjun
ke dunia ramai dan sekaligus mengguncangkan dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang tinggi.
Beberapa kali ia bertemu dengan perampok jahat, namun dengan mudah saja penjahat-penjahat itu
ditaklukkannya. Namun, karena teringat akan pesan gurunya, dalam perantauannya itu akhirnya Kam Han
Ki tiba di kota raja dan langsung mencari twako-nya yang sebelumnya ia selidiki di kota raja dan
mendengar bahwa Kam Liong telah menjadi seorang menteri!
Mendengar cerita itu, berulang kali Kam Liong menarik napas panjang. “Aihh, Adikku, engkau sungguh
beruntung sekali dapat menjadi murid Bu Kek Siansu! Apakah setelah beliau pergi meninggalkanmu tidak
pernah datang lagi menjengukmu?”
“Tidak, Twako. Suhu adalah seorang manusia yang sakti dan aneh, yang muncul dan pergi pada saat-saat
yang sama sekali tidak terduga manusia. Karena saya mematuhi pesannya, maka saya datang menghadap
Twako untuk menghambakan diri.”
“Ahhh, Adikku yang baik. Jangan berkata demikian. Bahkan andai kata aku tahu engkau telah menjadi
seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, tentu akan kucari karena pada saat ini aku sungguh
dunia-kangouw.blogspot.com
membutuhkan bantuan orang yang pandai dan boleh kupercaya penuh. Adikku Han Ki, maukah engkau
membantuku?”
“Tentu saja, Twako. Mulai sekarang, saya hanya menanti perintah Twako, disuruh apa saja saya akan taat.
Twako saya anggap sebagai pengganti orang tua saya, demikian pula pesan Suhu Bu Kek Siansu.”
“Bagus, Han Ki! Ah, betapa lega rasa hatiku dengan kedatanganmu yang sama sekali tidak pernah
kumimpikan ini. Adikku, terimalah secawan arak dariku ini untuk mengucapkan selamat datang kepadamu!”
Menteri itu lalu menuangkan arak ke dalam sebuah cawan sampai penuh betul, kemudian sekali ia
menggerakkan tangan. Cawan yang penuh arak itu terlempar ke atas, berputar-putar cepat sekali akan
tetapi araknya tidak tumpah sedikit pun!
“Terimalah, Adikku!”
“Terima kasih, Twako!” Han Ki yang maklum bahwa kakaknya sedang mengujinya menjadi gembira. Ia
mendorongkan tangan kirinya ke arah cawan yang berputaran di udara itu. Cawan menjadi miring dan
isinya tumpah, akan tetapi tumpahnya langsung memasuki mulutnya sampai cawan itu menjadi kering, lalu
ia menyambar cawan itu dan meletakkannya di atas meja.
“Sayang meja ini agak kotor terkena arak dan kuwah, Twako. Biarlah saya membersihkannya!” Han Ki
menggebrak meja dan... semua mangkok dan cawan beterbangan ke udara!
Cepat Han Ki menyambar sebuah kain pembersih, menggosok meja dengan gerakan yang cepatnya bukan
main sehingga meja menjadi bersih, kemudian ia mengangkat meja itu menerima mangkok piring dan
cawan yang meluncur turun, disambutnya dengan baik sehingga semua barang itu tidak ada yang tumpah,
setelah itu ia meletakkan meja kembali di depannya.
“Bagus. kau hebat, Adikku!” Menteri Kam Liong girang sekali, kemudian tiba-tiba ia memegang tangan
adiknya.
Kam Han Ki merasa betapa dari telapak tangan kakaknya itu keluar getaran hebat yang makin lama makin
panas. Ia tahu bahwa itulah penyaluran tenaga sinkang yang amat kuat, maka cepat ia pun mengerahkan
sinkang-nya, menerima tekanan kakaknya dengan muka tidak berubah.
Menteri itu merasa betapa tiba-tiba tangan adiknya yang ia pegang dan remas itu menjadi dingin seperti
salju dan betapa wajah pemuda itu sama sekali tidak berubah. Ia kagum bukan main dan barulah ia
merasa yakin bahwa Bu Kek Siansu benar-benar telah berlaku murah hati kepada adiknya ini, dan yakin
bahwa pemuda ini dapat membantunya meringankan beban yang pada waktu itu terasa amat berat
olehnya. Akan tetapi hatinya masih belum puas mengingat betapa pentingnya tugas yang hendak ia
serahkan kepada Han Ki.
“Adikku yang baik, marilah ikut bersamaku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!” katanya setelah ia
melepaskan tangannya. Han Ki bangkit dan mengikuti menteri itu pergi ke lian-bu-thia.
Para penjaga hanya dapat melihat dengan mata melongo saja betapa kini pemuda yang menjadi tamu itu
‘bertanding’ dengan hebatnya melawan Sang Menteri. Han Ki menggunakan pedangnya, sedangkan
Menteri Kam Liong menggunakan sepasang senjatanya yang selama ini belum pernah terkalahkan, yaitu
sebatang suling emas dan sebuah kipas.
Diam-diam Kam Han Ki kagum bukan main. Kakaknya yang sudah setengah tua itu ternyata amat hebat.
Permainan suling emas dengan ilmu silat pedang Pat-sian Kiam-sut dirangkai dengan ilmu kipas Lo-hai
San-hoat benar-benar lihai sekali. Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu pedang
tingkat tinggi yang cepat dan memiliki jurus-jurus berbahaya, sungguh menakjubkan kini dimainkan dengan
suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas.
Ada pun Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) juga hebat bukan main. Selain gagangnya dapat
dipergunakan untuk menotok jalan darah, juga kalau kipas dikebutkan, angin menyambar keras
mengacaukan gerakan lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun Han Ki tidak percuma melatih diri selama belasan tahun seorang diri di dalam goa, tidak percuma
menjadi murid Bu Kek Siansu karena ilmu pedangnya juga amat tinggi. Ilmu pedangnya mempunyai dasar
gerakan Hong-in-bun-hoat yaitu gerakan ilmu silat yang dilakukan seolah-olah ‘menulis’ huruf-huruf indah
di udara, dan karena semua ilmu silat yang dimainkan oleh kedua kakak beradik ini berasal dari satu
sumber, maka mereka dapat saling mengenal jurus lawan dan dapat mengimbanginya. Seratus jurus telah
lewat dan diam-diam Menteri Kam Liong kagum dan girang sekali. Pada waktu itu jarang ada lawan yang
dapat menandinginya sampai seratus jurus tanpa terdesak sedikit pun, apa lagi masih begini muda, bahkan
dalam hal tenaga sinkang, adiknya ini malah lebih kuat dari padanya!
“Gu Toan, hebat tidak kepandaian Adikku ini?” Tiba-tiba Menteri Kam Liong berseru gembira sambil
meloncat ke belakang menghentikan serangannya, menoleh kepada seorang laki-laki setengah tua yang
berpunggung bongkok dan yang sejak tadi menonton dengan mata terbelalak dan mulut celangap,
melongo dengan penuh kekaguman.
Si Bongkok yang bernama Gu Toan itu membungkuk-bungkuk sehingga tubuhnya menjadi makin bongkok,
mulutnya berkata. “Hebat... hebat... hamba belum pernah menyaksikan yang sehebat itu, Taijin...”
Diam-diam Han Ki terkejut. Seorang pelayan mengapa dapat menilai pertandingan ilmu silat tinggi yang tak
dapat diikuti pandangan mata sembarangan orang? Agaknya Menteri Kam Liong maklum akan keheranan
hati adiknya, maka ia lalu berkata sambil menunjuk ke arah orang bongkok itu.
“Jangan pandang ringan orang ini, Han Ki. Gu Toan ini adalah pelayanku selama belasan tahun dan biar
pun dia tidak langsung menjadi muridku, namun dari melihat saja dia telah dapat menguasai dasar-dasar
ilmu silat yang kumainkan. Sayang dia sudah tua dan ketika kecil tidak dilatih, padahal dia memiliki bakat
yang lebih besar dari pada bakatku sendiri. Pula, di dunia ini sukar dicari orang yang lebih setia dari pada
Gu Toan!”
Gu Toan kelihatan malu-malu dan berkali-kali ia menjura. “Taijin terlalu memuji hamba, terlalu memuji
hamba... Ah, Kongcu benar-benar memiliki ilmu pedang yang tiada keduanya di dunia ini.”
“Gu Toan, ketahuilah bahwa pemuda ini adalah adikku sendiri, adik sepupu yang mulai sekarang kuangkat
menjadi pengawal pribadiku!”
“Ahh, selamat datang, Kongcu!” pelayan itu berseru girang dan melihat sinar matanya, Han Ki diam-diam
membenarkan pendapat kakaknya. Memang pelayan bongkok ini memiliki sinar mata yang hebat, penuh
kecerdikan juga penuh kesetiaan.
Kembali kakak beradik ini duduk berdua di kamar Sang Menteri dan mulailah Menteri Kam Liong
menceritakan semua urusan yang memberatkan hatinya.
“Yang memberatkan hatiku adalah dua persoalan.” Menteri itu bercerita. “Pertama adalah kekuasaan suku
bangsa Yucen yang makin besar. Aku merasa curiga dengan keadaan mereka, oleh karena itu diam-diam
aku menyuruh muridku sendiri untuk menyelundup dan bekerja di sana sebagai seorang perwira.”
Han Ki tertarik sekali dan merasa kagum akan kecerdikan twako-nya dan keberanian murid twako-nya itu.
“Akan tetapi telah beberapa lama ini dia tidak memberi kabar, bahkan aku khawatir sekali kalau-kalau
terjadi sesuatu dengan kurir yang sering kali menghubungkan dia dan aku, mengirim berita-berita. Karena
itu engkau harus mewakili aku menyelidiki ke sana, Adikku. Tidak mungkin kalau aku sendiri yang pergi ke
sana, karena mereka sudah mengenalku. Aku sendiri akan berangkat ke Khitan menyelidiki keadaan kakak
misanmu yang menjadi Raja Khitan.”
Menteri itu lalu memperkenalkan Raja Talibu yang juga merupakan putera Suling Emas sehingga Han Ki
makin tertarik hatinya. Segera ia menyanggupi tugas yang dibebankan kepadanya. Akan tetapi, karena dia
diangkat sebagai pengawal Menteri Kam Liong, tentu saja oleh Menteri Kam Liong dia harus diperkenalkan
dengan para pembesar lain, juga bahkan dihadapkan kepada Kaisar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar merasa suka bertemu dengan Han Ki, kagum melihat pemuda yang lemah-lembut, tampan dan
gagah perkasa itu. Apa lagi ketika Kaisar mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah adik sepupu dari
menterinya yang setia, kepercayaannya bertambah dan ia menerima Han Ki dengan gembira. Bahkan
memberi ijin kepada pemuda itu untuk ‘melihat-lihat’ keadaan di sekeliling istana, mengagumi taman bunga
istana yang amat indah itu.
Setelah menghaturkan terima kasih, Han Ki lalu memasuki taman, meninggalkan twako-nya yang masih
bercakap-cakap dengan Kaisar mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda ini kagum bukan main. Taman
itu amat luas, pula amat indahnya sehingga dia merasa seolah-olah tersesat ke alam sorga di dalam mimpi.
Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan bunga-bunga yang demikian banyak macamnya, serba
indah, bangunan indah dalam taman dan burung-burung yang dipelihara dalam sangkar beraneka warna.
Saking tertariknya, pemuda yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian
indahnya, sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang, yaitu taman puteri
yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar berduri yang tinggi. Namun bagi Han Ki tentu
saja pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh
lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung
berkilauan agaknya terbuat dari pada perak dan emas, ia menggenjot tubuhnya dan melompati pagar
bunga mawar.
Dia sampai berdiri bengong dan menahan napas menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang
tumbuh di tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah seperti
permadani dari beludru. Seperti dalam mimpi ia berjalan terus, melangkah ke arah sekumpulan bangunan
yang dicat merah. Tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungan, bahkan lalu
mendengar wanita menangis. Cepat ia menyelinap di antara pohon bunga, berlompatan mendekati suara
yang datangnya dari balik kelompok bangunan.
Ketika ia tiba di situ dan memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak
berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali. Kalau tadi ia kagum dan
merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia terpesona menyaksikan seorang dara jelita
yang kecantikannya seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku.
Seorang dara jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur oleh empat
orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa orang di antara wanita-wanita itu ada yang sibuk
menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.
“Kalau dia tidak mau kembali dan terbang pergi... ah bagaimana?” Dara cantik yang berpakaian indah itu
terisak.
Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya mengangguk-angguk
karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu pun cantik-cantik, akan tetapi
dibandingkan dengan dara berpakaian jambon, mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat
seekor burung hong!
“Tenanglah, Siocia. Kalau kita tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun,”
seorang di antara empat pelayan itu menghibur.
“Apakah tukang kebun dapat terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang
(Kaisar) mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap kemarahan Hong-houw
(Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya.” Dara itu menangis lagi.
Han Ki merasa kasihan sekali. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa ia tiba-tiba
merasa kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum dan apa
urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian gelisah dan melihatnya
menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia memandang ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang indah
sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia bahwa Sang Puteri itu agaknya telah
membikin burung tadi terlepas dan kini merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.
Terdorong oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat ke luar dan berkata, “Harap Siocia
tidak khawatir, saya akan menangkap burung itu!”
Dara berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun
menutup mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka menjadi heran, hanya
mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas pohon. Burung itu terkejut dan
terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya
dan burung itu tertahan terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat
turun.
“Nah, ini dia, Siocia, sudah dapat saya tangkap kembali.”
Dara itu girang bukan main, lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan
seorang di antara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu sudah aman
berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah lima orang wanita itu memandang Han Ki dengan bengong
dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia
melihat sinar kagum jelas sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.
“Eh, orang muda, apakah kau pandai terbang?” seorang di antara empat pelayan bertanya.
“Apakah engkau tukang kebun baru?” tanya yang kedua.
Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng
kepala. “Aku tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun.”
Kini puteri itu memutar tubuh dan memandang ke arah wajah Han Ki penuh kemarahan dan bibir yang
merah itu merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.
“Kalau engkau bukan tukang kebun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
Han Ki tak gentar menghadapi pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip
menghadapi serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar ke luar dari sepasang mata
indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!
“Aku... aku... melihat-lihat taman dan melompati pagar bunga mawar!”
“Aihh! Orang muda yang kurang ajar!” Seorang di antara para pelayan membentak. “Kau bicara seenaknya
saja di depan seorang puteri Kaisar!”
Han Ki terkejut sekali, akan tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang
untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih. “Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak
tahu... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini....”
Aneh sekali. Kini puteri itu tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar,
kemudian ia berkata, “Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini, engkau akan dihukum
mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya yang telah
menangkap kembali burung yang terlepas.”
“Tidak, Siocia. Saya tidak membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena
betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak bersedih? Sungguh pun
begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin bebas...?”
Sepasang alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa
jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kau katakan bahwa tentu saja burung itu ingin bebas,
kemudian kau mencelanya sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?” Puteri itu memandang tajam dan
kembali jantungnya berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya itu
benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.
“Dia bodoh sekali, Siocia. Kalau saya menjadi dia, saya... saya akan merasa bahagia sekali dikurung
dalam sangkar dan berada di sini selamanya!” Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu bicara
sejujurnya menurutkan suara hatinya.
Kembali sepasang mata itu terangkat dan sepasang mata indah itu melebar. “Mengapa?”
“Karena... karena setiap hari akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia....”
“Aiihhh...!” Puteri jelita itu membuang muka. Wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya,
matanya seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata kelinci terjebak,
akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum malu, tersipu-sipu!
“Weh-weh, kau laki-laki kurang ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini,” kata seorang pelayan,
juga tiga orang yang lain marah-marah. “Siapa sih engkau berani mati seperti ini?”
Han Ki menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia
bukan menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu. “Saya bernama Kam Han Ki,
pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya diperkenankan oleh Hongsiang untuk
melihat-lihat taman, akan tetapi telah tersesat ke sini, harap Siocia sudi memaafkan.”
“Oohhh... Kau... kau... adik sepupu Menteri Kam?” Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari
pandang matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah, kini
tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka.
Sang Puteri dapat menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak, “Mau apa kalian tersenyumsenyum?”
Empat orang pelayan itu menunduk, akan tetapi tetap tersenyum dan seorang di antara mereka yang
paling berani lalu berkata, “Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang rendah, Siocia.
Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah perkasa, malah pandai terbang melebihi
burung. Hemm....”
Puteri itu tersipu-sipu, akan tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona
karena wajah puteri itu makin dipandang makin mempesona, lalu berkata lirih, “Kam-taihiap, sebaiknya
engkau lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan mendapat
malu. Harap suka pergi dan... terima kasih atas bantuanmu tadi.”
Han Ki mengangguk, merasa kecewa sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum
bahwa kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia berkata, “Maaf...!”
lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar bunga mawar dengan kedua kaki lemas.
Mengapa. hatinya seperti hilang dan semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang
lemas saja yang pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri. Sampai di
pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan bengong. Sejenak dua pasang
mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.
“Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah
kepalang, biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?”
Sunyi sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri itu berkata lirih. “Namaku... Hong Kwi...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terima kasih!” Han Ki berkata dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati
pagar.
Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru, “Dia... dia menghilang. Jangan-jangan dia...
setan...!”
Puteri itu tertawa, suara tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali. “Hushhh!
Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Taihiap, seorang pendekar besar, tentu
saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja...!”
“Hebat... Betulkah, Siocia? Hi-hihik!” para pelayan tertawa.
“Hushh! Apa ketawa? Kusuruh cambuk kau, seribu kali!” Sang Puteri menghardik.
Akan tetapi empat orang pelayan itu masih terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang sudah dapat
mengetahui rahasia hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil berlutut. “Hati hamba sekalian gembira
sekali, Siocia. Jangankan dicambuk seribu kali, biar selaksa kali hamba terima!”
Tentu saja mereka hanya bergurau karena kalau betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali atau seribu
kali, baru dua puluh kali saja kulit-kulit tipis punggung dan pinggul mereka tentu akan pecah-pecah dan
nyawa mereka melayang!
Demikianlah, semenjak saat itu hati Han Ki tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita. Puteri ini adalah
puteri Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita. Dan semenjak saat itu, Han Ki selalu mencari
kesempatan untuk tersesat atau lebih tepat ‘menyesatkan diri’ ke dalam taman terlarang sehingga dalam
waktu sebulan itu, beberapa kali ia ‘kebetulan’ bertemu dengan Sung Hong Kwi, puteri selir itu yang selalu
ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat sering datang ke taman untuk duduk termenung sambil
memandang burung kuning dalam sangkar! Kini puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada
empat orang pelayannya yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong Kwi.
Pada saat malam terang bulan, Hong Kwi duduk melamun di taman. Empat orang pelayan duduk tak jauh
dari situ, berbisik-bisik dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang mereka tahu sedang murung
memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hari tidak tampak.
Hong Kwi memandang ke arah burung kuning dalam sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh. Dia tidak
melihat burung di dalam sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari bibirnya berbisik-bisik “Mungkinkah...?
Akukah yang seperti burung dalam sangkar? Bagaimana mampu bebas dan terbang berdua dengan
burung di luar sangkar? Ah! Kam-taihiap...!”
Seolah-olah mendengar jeritan hatinya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki telah berdiri di
hadapannya!
“Kam-taihiap...!” Hong Kwi terkejut sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di tempat
itu! Kalau ketahuan, mereka berdua bisa celaka!
Akan tetapi sikap Han Ki tidak gembira seperti biasa. Biar pun biasanya pertemuan antara mereka berdua
hanya lebih banyak pertemuan pandang mata saja dari pada percakapan, namun Han Ki selalu bersikap
gembira. Namun malam ini, di bawah sinar bulan, wajah yang tampan itu kelihatan muram.
“Siocia..., saya datang... untuk berpamit...”
Dara jelita itu terkejut, mengangkat muka memandang penuh selidiki. “Berpamit...? Kam-taihiap...
mengapa? Apa yang terjadi? Engkau... hendak pergikah?”
Pemuda itu hanya mengangguk, kemudian memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata,
“Bolehkah saya bicara berdua saja denganmu, Siocia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh... tapi... tapi...” Ia meragu, lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil berkata lirih. “Kalian
pergilah sebentar.”
Empat orang pelayan itu saling pandang, lalu tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu mereka
berlarian menjauh dan bersembunyi di dalam bangunan kecil, agak jauh dari tempat itu.
“Tai-hiap, engkau hendak pergi ke manakah?”
“Siocia, saya mendapat tugas dari Menteri untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa Yucen...!”
“Aihhh... Bangsa yang biadab itu...!” Sang Puteri berseru kaget sekali.
“Karena itu, maka harus diselidiki keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya harus
berangkat besok pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri menghadap Siocia untuk berpamit.”
“Kam-taihiap, berapa lamakah kau pergi...?”
Han Ki menggeleng kepala. “Bagaimana saya bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di sana dan...
hemmm, kalau saya sampai tidak kembali menghadap Siocia itu berarti bahwa saya tentu tewas di sana...
Eh...! Siocia...! Siocia...!”
Han Ki cepat menubruk dan merangkul dara itu yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan mendengar
ucapannya itu. Dia merangkul leher dara itu penuh kasih sayang, penuh kemesraan, lalu memondongnya
dan memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam. Ia tahu bahwa dara itu hanya pingsan karena kaget,
maka perlahan-lahan ia mengurut belakang kepalanya.
Muka itu tengadah, agak pucat namun bibirnya masih merah segar. Pernapasan merasa lega sekali dan
tanpa disadarinya ia menunduk mencium dahi yang putih halus itu. Sang Puteri sadar dan berteriak ketika
mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya dicium.
“Ahhh, Kam-taihiap...!” Ia merintih dan kedua lengannya merangkul leher.
“Hong Kwi... Hong Kwi...?” Han Ki juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan mereka
yang seolah-olah terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan berpisah!
Ia menjadi terharu, bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka ketahui
siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman
mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa sadar, seolah-olah ada tenaga gaib yang mendorong mereka
karena selama hidup mereka belum pernah berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati, seluruh
keharuan, seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang seolah-olah takkan pernah terlepas lagi.
Saat itu mereka terisak, naik sedu-sedan dari dada mereka ke tengorokan.
Mereka terengah-engah, terbuai oleh gelombang asmara yang hebat, baru melepaskan ciuman setelah
napas tak tertahan lagi, saling rangkul seolah-olah tak hendak melepaskan lagi.
“Hong Kwi...!”
“Koko... Kam-koko...!”
Entah berapa lama mereka saling rangkul, entah berapa kali mereka saling berciuman. Tiada bosanbosannya
Han Ki mencium dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher wanita yang dicintanya, seolaholah
hendak menghisap semua itu dan menyimpannya ke dalam lubuk hatinya. Mereka lupa diri, lupa
waktu, lupa keadaan.
“Siocia...!” Suara pelayan menyadarkan mereka. “Hamba mendengar suara peronda...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri itu melepaskan diri dari atas pangkuan Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang lengan Han Ki
yang kuat. “Koko... bagaimana dengan kita...? Ahh, Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku pergi... mari
kita minggat malam ini juga...”
Han Ki menutup mulut itu dengan ciuman mesra, tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini kelihatan oleh
pelayan yang cepat membuang muka dengan sungkan.
“Hushhh, jangan berkata demiklan, kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali membawa jasa
dan tentang masa depan kita, harap jangan khawatir... Twako Kam Liong tentu akan membantuku dan
engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat akan kedudukan dan jasa Menteri, kiranya pinangan itu
takkan ditolak oleh Hongsiang. Nah, selamat berpisah, manisku. Itu peronda datang...” Han Ki melepaskan
pelukannya dan hendak meloncat pergi.
“Koko ...” Ahh, Koko...!” Puteri itu merintih.
Han Ki meloncat kemibali, memberi ciuman yang mesra sekali yang seolah-olah menghisap hati dara itu,
kemudian tanpa menoleh ia sudah meloncat cepat lenyap dari situ. Untung bahwa pemuda itu memiliki
kepandaian yang hebat sehingga munculnya peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena perondaperonda
itu tidak melihat atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat dan berani mati karena asmara
itu.
Para peronda memberi hormat kepada Puteri Sung Hong Kwi yang telah menguasai hatinya dan tanpa
mengeluarkan kata-kata dara itu kembali ke kamarnya diikuti empat orang pelayannya yang diam-diam
saling towel, saling cubit dan menutupi senyum dengan tangan mereka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kam Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang diberikan
kepadanya oleh Menteri Kam Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja bangsa Yucen untuk menyusul Khu Tek
San, yaitu murid Menteri Kam Liong yang diselundupkan ke Kerajaan bangsa Yucen.
Ada pun Menteri Kam Liong sendiri tak lama kemudian juga pergi seorang diri setelah mendapat perkenan
Kaisar, pergi ke Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya yang ia tahu terancam perang besar dengan
bangsa Yucen, bahkan barisan Sung sendiri atas pimpinan panglima-panglima perbatasan yang sudah
disetujui oleh Kaisar juga membantu bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali, apa lagi
karena ia pun tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu mengintai daerah-daerah
perbatasan!
********************
Maya berjalan seperti kehilangan semangat bersama pasukan pengawal yang kini telah berubah menjadi
perampok-perampok, menjadi serigala-serigala haus darah yang amat kejam di bawah pimpinan Bhutan.
Anak perempuan yang usianya baru sepuluh atau sebelas tahun ini menderita tekanan batin yang bukan
main hebatnya.
Pertama-tama tentang keadaan dirinya yang ternyata bukanlah puteri Raja dan Ratu Khitan, melainkan
keponakan mereka, dan bahwa ayah bundanya telah tewas. Hal ini saja sudah membuat ia berduka bukan
main, sungguh pun andai kata dia benar puteri Raja dan Ratu, mereka ini pun sekarang telah tewas. Kedua,
menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan pasukan itu benar-benar mengerikan sekali. Ketiga,
memikirkan keselamatannya sendiri yang terancam mala-petaka hebat.
Malam itu gerombolan yang dipimpin Bhutan mengaso di sebuah hutan dan mereka itu berpesta-pora dan
mabuk-mabukan karena baru saja mereka membasmi sebuah dusun. Di antara suara ketawa-tawa mereka
terdengar jerit dan rintih wanita-wanita yang mereka culik dan mereka seret ke dalam hutan itu. Ada di
antara mereka yang sekaligus membawa dua orang wanita dan mempermainkan mereka seperti seekor
kucing mempermainkan dua ekor tikus.
Maya tidak melihat itu semua, tidak mendengar itu semua. Sudah terlalu sering ia mendengar dan melihat
hal-hal mengerikan itu sehingga biar pun kini mata dan telinganya terbuka, namun yang tampak olehnya
hanya api unggun di depannya. Diam-diam dia telah mempersiapkan diri. Di dalam perampokandunia-
kangouw.blogspot.com
perampokan itu, ia menemukan sebuah pisau belati yang runcing dan tajam. Disembunyikannya pisau itu
di balik bajunya, diselipkan di ikat pinggang sebelah dalam. Dan ia selalu mencari akal untuk melarikan diri.
Mereka sedang mabok-mabokan dan memperkosa wanita rampasan. Kalau saja Bhutan malam itu tidak
menjaganya, tentu ia akan dapat melarikan diri di dalam hutan yang gelap itu. Mereka sedang mabok dan
sedang mengganggu para wanita. Kalau dia lari, tentu takkan ada yang tahu. Jantungnya sudah berdebar
karena dia tidak melihat Bhutan yang tadi rebah-rebahan tidak jauh dari situ.
Akan tetapi harapannya membuyar ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa Bhutan. Suara ketawa yang
serak. “Ha-ha-ha, engkau kelihatan manis sekali di dekat api unggun. Kulit wajahmu kemerahan. Wahai,
puteriku jelita! Engkau seperti bukan kanak-kanak lagi, heh-heh-heh!” Maya merasa muak dan mau muntah
ketika muka Bhutan yang didekatkan itu mengeluarkan bau arak dan daging busuk!
Jantung Maya berdebar tegang. Ia tahu bahwa orang yang paling dibencinya ini sedang mabok. Dari
pandang mata, sikap dan ucapannya, Maya merasa bahwa ada bahaya mengancamnya, bahaya yang
selama ini amat ditakutinya. Biasanya Bhutan hanya merayu dan memujinya dengan kata-kata saja, akan
tetapi sekali ini agaknya dia mempunyai niat lain.
“Pergi dan jangan ganggu aku!” Maya membentak marah.
“Ha-ha-ha, Maya yang manis! Tadinya aku hendak menunggu satu dua tahun sampai engkau lebih matang.
Akan tetapi aku tidak sabar menunggu sekian lamanya dan engkau... hemm, engkau sudah cukup matang,
engkau seperti setangkai kuncup kembang yang sudah merekah. Marilah, Maya manis!” Bhutan yang kini
sudah berubah seperti seekor anjing kelaparan itu menangkap tangan Maya dan menarik tubuh anak
perempuan itu sehingga roboh ke dalam pelukannya.
Bhutan tertawa-tawa dan memondong tubuh Maya yang meronta-ronta, membawanya ke balik gerombolan
pohon kembang di mana terdapat tilam rumput hijau yang lunak. Tak jauh dari situ terdapat mayat seorang
wanita yang baru saja menjadi korban kebuasan Bhutan. Manusia kejam ini telah memperkosa wanita
rampasan itu, kemudian membunuhnya karena wanita itu tidak memuaskan hatinya dan dalam kehausan
nafsu yang bernyala-nyala, Bhutan teringat akan Maya dan kini membawa anak perempuan yang merontaronta
itu ke situ tanpa mempedulikan mayat yang menjadi korban kebuasannya.
Sambil tertawa-tawa dan dengan nafsu makin menyala-nyala, agaknya makin terbangkit oleh perlawanan
Maya yang meronta-ronta, Bhutan melempar tubuh Maya ke atas rumput di mana dara cilik itu terbanting
roboh telentang, kemudian Bhutan menubruk dan menindihnya.
Maya menggerakkan kepala ke kanan kiri untuk mengelakkan ciuman-ciuman Bhutan yang menjijikkan.
Biar pun semenjak tadi Maya meronta-ronta dan menjerit-jerit seperti seorang yang tidak berdaya dan yang
hanya bisa menjerit dan menangis, namun sesungguhnya diam-diam anak ini telah mempersiapkan
seluruh urat tubuhnya dengan perhitungan seorang ahli silat. Ketika melihat lowongan, yaitu kedua tangan
Bhutan menjambak rambutnya, agaknya untuk memaksa Maya agar tidak dapat menggerakkan kepala
mengelak, kemudian mencium mulut gadis cilik itu penuh nafsu, saat itulah yang dinanti-nanti Maya.
Ia mengatupkan mulutnya kuat-kuat sehingga yang dicium Bhutan hanya sepasang bibir yang bersembunyi,
dan tiba-tiba tangan kanan Maya bergerak, menikamkan pisau belati tepat ke ulu hati Bhutan dan miring ke
kiri, ke arah jantung, sedangkan tangan kirinya yang kecil itu menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah
mata lawan. Biar pun Maya merasa muak dan jijik, namun dengan kekuatan hatinya ia dapat menekan
perasaannya itu dan dapat melakukan serangan mendadak secara tepat sekali.
Pekik yang keluar dari mulut Bhutan merupakan raungan binatang buas yang direnggut nyawanya.
Tusukan jari-jari kecil pada kedua matanya dan rasa sakit pada dadanya membuat Bhutan secara otomatis
membawa tangannya ke mata dan dada. Saat yang hanya beberapa detik ini cukup bagi Maya untuk
meronta dan keluar dari tindihan tubuh Bhutan, kemudian meloncat pergi lalu berlari cepat memasuki
tempat gelap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhutan meloncat bangun, meraung lagi, berusaha mengejar namun roboh terguling, berkelojotan dan dari
kerongkongannya terdengar bunyi mengorok seperti babi disembelih. Akhirnya ia tewas tak jauh dari mayat
wanita yang telah dibunuhnya.
Akan tetapi perhitungan Maya meleset. Dia tidak memperhitungkan pekik yang keluar dari mulut Bhutan
ketika ia melakukan penikaman. Pekik itu menarik perhatian dan mengejutkan beberapa orang anak buah
gerombolan yang berada tidak jauh dari tempat itu! Mereka kaget dan meninggalkan wanita korban mereka
yang sudah setengah mati, lalu meloncat ke tempat terdengarnya suara pekikan. Tentu saja mereka
terkejut melihat tubuh Bhutan berkelojotan dan lenyapnya Maya. Mereka berteriak-teriak dan tak lama
kemudian, empat belas orang bekas pengawal itu telah mengejar Maya!
Akhirnya Maya yang kelelahan dan kehabisan tenaga karena memang tubuhnya sekarang telah menjadi
lemah akibat tidak terpelihara dengan baik, makan dan tidur tidak teratur, tertangkap oleh gerombolan itu di
luar sebuah dusun menjelang pagi. Empat belas pasang tangan memperebutkannya, dan seorang di
antara mereka cepat berkata,
“Heh, kawan-kawan jangan bodoh! Kalau diperebutkan begitu, dia akan mampus. Sayang sekali kalau
begitu! Lebih baik dia dirawat dan kita pelihara baik-baik. Dia dijadikan milik kita bersama. Ingat, dia bukan
kembang sembarang kembang, harus diperlakukan penuh kelembutan. Ha-ha-ha!”
Mendengar ini, yang lain-lain setuju dan sambil tertawa-tawa mereka menggandeng tangan Maya yang
sudah babak belur itu.
“Nah, ini ada dusun, melihat bangunan-bangunannya lumayan juga. Bocah ini masih terlalu kecil, kita
pelihara dulu sampai menjadi segar dewasa. Lihat, dia sudah hampir mati kelelahan. Lebih baik kita
mencari bunga di dusun itu dan berpesta-pora!” terdengar suara seorang di antara mereka.
Setelah Bhutan tewas, empat belas orang itu merupakan gerombolan tanpa pimpinan yang tentu saja
menjadi lebih buas seperti serigala-serigala tanpa bimbingan. Sambil bersorak-sorak, empat belas orang
itu menyerbu dusun. Dua orang penjaga di pintu pagar dusun, mereka bunuh tanpa banyak cakap lagi.
Mulailah lagi perbuatan jahat dan penuh kebuasan melanda dusun itu. Penduduknya yang terkejut karena
tak menyangka akan diserbu pada pagi hari itu menjadi geger!
Ada sebagian penduduk yang nekad melakukan perlawanan, namun tentu saja mereka itu bukan
tandingan gerombolan bekas pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mulailah
terjadi pembunuhan, disusul perampokan, pembakaran dan perkosaan. Mulailah terdengar pekik-pekik
mengerikan, pekik kematian dicampur dengan jerit-jerit penuh ketakutan, jerit-jerit para wanita yang
diperlakukan semaunya oleh gerombolan itu.
Sementara itu Maya tidak mendapat kesempatan untuk lari karena sewaktu para gerombolan menyerbu
dusun, kaki tangannya dibelenggu kuat-kuat dan dia dipaksa menunggu mereka dalam keadaan tidak
dapat bergerak, hanya sepasang matanya yang lebar menyaksikan semua kekejian yang terjadi di dusun
itu.
Seperti biasa pula pada akhir penyerbuan sebuah dusun, para gerombolan ini menyeret wanita yang
mereka pilih. Ada yang sibuk mengumpulkan benda-benda berharga, ada yang minum arak sampai mabok
dan di antara asap rumah-rumah yang masih menyala, mereka tertawa-tawa dan berkumpul di dekat
tumpukan mayat-mayat, memandang rumah terbakar. Ada yang mulai mengganggu wanita di depan mata
kawan-kawannya, ada yang bernyanyi-nyanyi, menyanyikan lagu kemenangan barisan tentara Khitan.
Semua ini terjadi dengan hiruk-pikuk dan Maya terpaksa harus menonton semua yang terjadi di depan
mata karena ia berada di tengah-tengah antara mereka. Belenggunya sudah dilepas dan dia menjadi muak
dan pening. Di belakangnya, tiga orang gerombolan sedang mengganggu tiga orang wanita yang menjeritjerit
di antara suara ketawa mereka, di depannya juga ada dan di kanan kiri, gerombolan-gerombolan itu
tertawa-tawa, minum-minum dan mengamat-amati hasil rampokan mereka dengan gembira!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda banyak sekali mendatangi dusun yang terbakar itu. Empat belas orang
gerombolan bekas pengawal menjadi terkejut. Akan tetapi mereka sudah terlalu mabok, mabok oleh arak
dunia-kangouw.blogspot.com
dan mabok nafsu sehingga mereka terlambat untuk mengetahui bahwa yang datang adalah pasukan
musuh, pasukan bangsa Yucen yang berjumlah lima puluh orang! Tahu-tahu mereka diserbu oleh pasukan
Yucen yang banyak jumlahnya itu dan terjadilah perang tanding yang berat sebelah.
Biar pun gerombolan bekas pengawal ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu sudah
setengah mabok dan jumlah mereka kalah banyak. Mereka melakukan perlawanan gigih dan mengamuk.
Melihat kesempatan ini, Maya berusaha untuk melarikan diri. Ia meloncat, akan tetapi sebuah tamparan
seorang pengawal terdekat membuat ia roboh terpelanting dan pingsan di antara tumpukan mayat!
Perang kecil yang berat sebelah itu berlangsung tidak terlalu lama. Biar pun mengorbankan beberapa
orang anak buahnya, namun pasukan Yucen akhirnya berhasil membunuh empat belas orang gerombolan
bekas pengawal Khitan itu. Mayat mereka malang-melintang dan bertumpuk-tumpuk di antara mayat-mayat
bekas korban mereka, penduduk dusun dan wanita-wanita muda yang mereka perkosa. Sisa pasukan
Yucen lalu pergi meninggalkan dusun itu yang kini berubah menjadi tempat yang mengerikan sekali.
Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah api yang masih memakan atap-atap rumah. Tampak di
sana-sini muncul beberapa orang penduduk yang berani datang untuk mengambil dan mengungsikan
barang-barang mereka, akan tetapi tak seorang pun berani mendekati tumpukan mayat empat belas orang
gerombolan yang merubah dusun itu menjadi neraka bagi penduduknya.
Tak lama kemudian, dari arah barat tampak dua orang berjalan ke arah dusun itu. Dari jauh sudah tampak
bahwa mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang laki-laki berkulit hitam sekali dan yang
wanita berkulit putih, akan tetapi tubuh wanita itu tinggi, bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan
laki-laki berkulit hitam itu. Kalau dilihat dari dekat, tentu orang akan terheran-heran melihat pakaian dan
wajah mereka yang berbeda jauh dari penduduk umumnya.
Laki-laki itu tinggi kurus, kulitnya hitam arang, rambutnya yang keriting ditutup sorban kuning. Tubuh atas
tidak berbaju hanya dilibat kain kuning yang sudah dekil, tubuh bawah memakai celana hitam sampai di
bawah lutut, kakinya tidak bersepatu. Sederhana sekali pakaian dan sikapnya, tetapi wajahnya
membayangkan kewibawaan besar, dengan sepasang mata yang tajam seperti mata pedang tetapi juga
menyeramkan dan liar bergerak ke sana-sini.
Si Wanita tidak kalah anehnya. Wajahnya berbentuk seperti laki-laki itu, kening lebar, mata lebar, hidung
mancung sekali dan besar, dagu runcing sehingga dia memiliki kecantikan yang aneh dan khas.
Telinganya memakai hiasan cincin besar, rambutnya terurai sampai ke punggung. Tubuhnya tinggi besar,
nampak kuat seperti tubuh pria, namun gerak-geriknya yang lemah-lembut menandakan bahwa dia benarbenar
seorang wanita. Memakai baju berlengan pendek dan celana panjang sampai ke kaki berwarna biru,
akan tetapi di luar bajunya, ia memakai sutera kuning yang panjang dilibat-libatkan di tubuh.
Lengan kirinya yang berkulit putih kemerahan, bukan putih kekuningan seperti kulit wanita pribumi,
memakai sebuah gelang emas yang besar dan tebal. Demikian pula kedua pergelangan kakinya dihias
gelang kaki terbuat dari pada emas sehingga kadang-kadang kalau kedua kaki berganti langkah, gelanggelang
itu beradu dan menimbulkan suara berdencing nyaring. Usia mereka kurang lebih empat puluh
tahun dan mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata, memasuki dusun itu dan menggelenggeleng
kepala menyaksikan rumah-rumah terbakar dan mayat-mayat bertumpukan dan berserakan.
Ketika tiba di tumpukan mayat empat belas orang bekas pengawal Khitan dan wanita-wanita serta
penduduk, mereka berhenti dan bicara dalam bahasa India.
“Bukankah pakaian mereka itu menunjukkan bahwa mereka adalah pasukan pengawal Khitan?” kata Si
Wanita.
“Agaknya begitulah,” jawab yang laki-laki, suaranya parau dan dalam. “Manusia di mana-mana sama saja,
sekali diberi kesempatan, lalu berlomba saling membunuh.”
Keduanya sudah akan melangkah pergi lagi ketika tiba-tiba terdengar rintihan yang keluar dari tumpukan
mayat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha! Seorang anak perempuan!” Laki-laki itu berkata dan matanya mengeluarkan sinar aneh, kedua
tangannya bergerak mendorong ke depan.
Angin yang kuat menyambar ke arah tumpukan mayat dan... sebagian mayat yang bertumpuk di atas
terlempar seperti daun-daun kering tertiup angin. Tampaklah kini seorang anak perempuan yang merintih
tadi bangun dan berusaha melepaskan diri dari himpitan mayat-mayat. Anak ini adalah Maya yang tadi
pingsan kemudian tubuhnya tertindih banyak mayat!
“Aihh! Anak siapa ini?” Wanita itu meloncat maju mendahului Si Laki-laki, gerakannya cepat sekali seperti
terbang dan sekali sambar ia telah mencengkeram punggung baju Maya dengan tangan kiri dan
mengangkat tubuh Maya ke atas sambil dipandangnya penuh perhatian. Lagak wanita itu seperti seorang
wanita sedang memeriksa seekor kepiting yang hendak dibelinya di pasar!
“Haiii! Kesinikan anak itu! Dia milikku karena akulah yang menemukannya, aku yang pertama membongkar
tumpukan mayat yang menimbunnya!” Laki-laki itu berseru sambil melangkah maju.
“Tidak!” Wanita itu memondong Maya dan meloncat menjauhi. “Aku yang lebih dulu mengambilnya. Anak
ini hebat...!” ia mengelus pipi, memeriksa mata, rambut dan mulut Maya. “Anak hebat... Ah, manis,
siapakah namamu?” tanyanya dalam bahasa Han.
Biar pun dia seorang puteri Khitan, namun sejak kecil Maya diajar bahasa Han di samping bahasa Khitan.
Maka Maya lalu menjawab, “Namaku Maya. Kalian siapakah?” Anak ini lupa akan kesengsaraannya
karena heran menyaksikan dua orang aneh yang tadi bicara dalam bahasa yang tak dimengertinya, juga
yang mempunyai wajah asing, hidung panjang dan pakaian yang aneh pula.
“Maya? Bagus sekali! Nama yang bagus sekali!” Wanita itu berseru girang dan menciumi kedua pipi Maya.
Anak itu mencium bau kembang yang aneh, wangi namun memuakkan baginya, akan tetapi dia tidak
melawan dan membiarkan mukanya dihujani ciuman oleh wanita itu.
“Kau cocok denganku! Hebat! Engkau tentu suka menjadi kekasihku, bukan? Maya, engkau tentu anak
Khitan!” Wanita itu kini menggunakan bahasa Khitan dan Maya menjawab dalam bahasa itu juga, suaranya
berubah girang. “Benar, aku adalah Puteri Maya, puteri... Raja dan Ratu Khitan!”
“Apa...?!” Laki-laki itu meloncat maju. “Puteri Khitan? Hayo, Dewi, berikan padaku anak itu. Aku yang
berhak! Dia berdarah raja, dan tampaknya dia memang memiliki darah murni. Berikan!”
“Tidak!” Wanita itu memondong Maya dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mengepal tinju,
mukanya merah menentang dan matanya bersinar-sinar marah kepada laki-laki berkulit hitam itu.
“Mahendra! Belum puaskan engkau dengan darah beberapa orang anak yang telah kau hisap habis?
Engkau penghisap darah anak yang tiada puasnya! Tidak, anak ini adalah milikku. Engkau tidak boleh
mengganggu Maya! Dia punyaku dan kalau engkau memaksa aku akan membunuhmu.”
Laki-laki yang disebut Mahendra itu tertawa bergelak sehingga ngeri hati Maya melihatnya. Muka yang
hitam itu kelihatan lebih hitam lagi setelah tertawa dan nampak deretan gigi yang putih mengkilap!
“Ha-ha-ha-ha! Nila Dewi, engkau mengancamku berkali-kali seolah-olah aku ini hanya seekor semut yang
mudah mati diinjak! Aku memang haus akan darah anak perempuan, akan tetapi hal itu hanyalah karena
aku belum menemukan anak yang darahnya cocok untuk menyempurnakan ilmuku. Kalau aku sudah
mendapatkan darah seorang anak seperti Maya ini, tentu aku selanjutnya takkan butuh darah lagi.
Berikanlah, sayang. Malam nanti terang bulan, kita dapat berkasih-kasihan. Kalau ada aku di sini, masa
engkau butuh belaian seorang bocah seperti itu lagi? Ha-ha-ha!”
“Mahendra, aku tidak main-main. Maya ini milikku dan habis perkara!”. Nila Dewi mulai mencium-cium dan
mencucup-cucup kulit leher dan pipinya. Gilakah perempuan ini? pikir Maya.
“Ha-ha-ha, kalau begitu, sebaiknya kita bertanya kepada Maya agar dia yang memilih.” Mahendra
memandang Maya dan berkata dalam bahasa Khitan, “Eh, Maya anak manis, dengarlah. Kalau engkau
dunia-kangouw.blogspot.com
memilih aku, terus terang saja aku akan mengambil darahmu untuk obat, akan kuisap habis dan engkau
akan mati seketika tanpa merasa terlalu nyeri. Sebaiknya kalau engkau memilih Nila Dewi, dia akan
menjadikan engkau kekasihnya untuk menuruti nafsu birahinya yang selalu berkobar tak pernah padam.
Engkau akan dibelai, diperas dan perlahan-lahan engkau pun akan mati! Memilih aku berarti mati seketika
tanpa banyak menderita, memilih dia berarti akan mati sekerat demi sekerat dan banyak menderita!”
“Phuaahhh, bohong!” Nila Dewi menjerit marah. “Memilih dia berarti mati seperti seekor ayam disembelih,
sedangkan memilih aku, hemmm... akan mengalami kenikmatan dunia. Andai kata mati, mati dalam
kenikmatan, bukankah itu bahagia sekali? Kau memilih aku, ya Maya? Memilih aku, anak manis?” Nila
Dewi mendekatkan mukanya dan mencium bibir Maya, mengecupnya lama-lama sampai tersedak-sedak
kehabisan napas baru dilepaskan.
Kini Maya menjadi takut sekali, hatinya dicengkeram rasa ngeri yang hebat. Kiranya dia terjatuh kedalam
tangan dua orang asing yang entah gila entah memang berwatak seperti iblis! Kalau tahu begini, jauh lebih
baik dia pingsan di bawah tumpukan mayat-mayat itu!
“Hayo pilih, pilih siapa engkau. Maya?” Laki-laki berkulit hitam itu mendesak dan melangkah maju.
Maya memandang mereka bergantian dengan mata terbelalak. Bagaimana dia bisa memilih? Keduanya
sama menyeramkan dan memilih yang mana pun berarti dia akan mati! Kematian di tangan laki-laki itu
sudah pasti, darahnya akan disedot habis. Dia bergidik ngeri. Akan tetapi biar pun dia tidak dapat
membayangkan bagaimana akan mati di tangan wanita itu, namun ia sudah membayangkan kengerian
yang membuat ia bergidik dan menggigil. Dia dijadikan kekasih! Apa artinya ini?
Kedua orang itu memang bukan manusia-manusia, lumrah. Keduanya adalah saudara seperguruan, muridmurid
seorang sakti di Pegunungan Himalaya. Keduanya memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tinggi,
akan tetapi mempunyai keahlian yang khusus, yaitu membuat pedang yang ampuh. Guru mereka, pertapa
di Himalaya itu memang seorang ahli membuat senjata ampuh, di samping memiliki kesaktian yang tinggi.
Ketika mereka, kakak beradik seperguruan ini mulai tergoda nafsu birahi di tempat sunyi itu dan melakukan
pelanggaran hubungan kelamin, gurunya marah-marah dan mengusir mereka. Mahendra dan Nila Dewi
melarikan diri ke tempat asal mereka, yaitu di India Utara.
Akan tetapi di tempat ini pun mereka terkenal sebagai manusia-manusia iblis yang tidak segan melakukan
pembunuhan dan perbuatan-perbuatan keji, menculik anak-anak sehingga akhirnya mereka dimusuhi
pemerintah dan kembali melarikan diri. Sekali ini mereka lari ke Nepal dan di negara ini mereka berdua,
berkat kepandaian mereka yang tinggi, diangkat menjadi empu-empu pembuat pusaka kerajaan. Di tempat
ini mereka dapat bertahan sampai puluhan tahun karena Raja Nepal selalu menyediakan segala kebutuhan
mereka, anak-anak kecil untuk dihisap darahnya oleh Mahendra, anak-anak dan dara-dara jelita untuk
dijadikan kekasih Nila Dewi yang mempunyai kesukaan aneh sekali, yaitu suka bermain cinta dengan
wanita muda cantik!
Sampai berusia empat puluh tahun lebih, kedua orang saudara seperguruan ini masih menjadi kekasih,
kadang-kadang bermain-main cinta dengan mesra, akan tetapi kadang-kadang bercekcok sebagai dua
orang musuh besar, bahkan tidak jarang mereka bertanding mati-matian!
Akan tetapi selalu Mahendra yang mengalah karena diam-diam Mahendra benar-benar jatuh cinta kepada
adik seperguruannya ini. Karena cintanya yang besar maka dia pun tidak mengganggu kesukaan
kekasihnya yang membagi cintanya dengan anak-anak perempuan cantik.
Kehidupan di Nepal membosankan dua orang manusia iblis ini. Apa lagi ketika mendengar bahwa di timur
terjadi pergolakan perang antar suku. Mereka lalu meninggalkan Nepal untuk menonton keramaian. Di
mana terjadi perang, di sana akan banyak ditemukan korban-korban mereka!
“Memilih siapa, anak manis?” Nila Dewi bertanya, suaranya halus lemah-lembut dan penuh kasih sayang
sehingga sejenak Maya terpengaruh, membuat dia hampir merangkul wanita itu.
Akan tetapi Maya teringat dan mulailah anak yang memiliki keberanian luar biasa dan yang sudah berhasil
mendinginkan hatinya yang tegang itu memutar otaknya. Kalau memilih Mahendra, berarti terus mati dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak ada kesempatan menyelamatkan diri. Dia harus hidup. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan
dalam hidupnya! Kalau dia memilih Nila Dewi, berarti akan ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.
”Aku memilih Nila Dewi!” katanya lantang.
Nila Dewi girang sekali. Sambil memondong Maya dia menari-nari berputaran. Maya merasa heran dan
juga kagum karena tarian Nila Dewi sungguh indah. Tubuhnya dapat bergerak-gerak lemah-gemulai,
pinggangnya meliak-liuk seperti tubuh ular dan sepasang gelang pada kakinya saling beradu menimbulkan
irama seperti musik yang mengiringi tariannya!
“Anak manis! Anak baik! Kekasihku... aihh, engkau memilih aku, hi-hik!” Nila Dewi menunduk, kembali
mencium mulut Maya, tangan kiri memondong, sedangkan jari-jari tangan kanannya menggerayangi Maya.
Maya terkejut sekali dan merasa betapa semua bulu di tubuhnya bangun berdiri penuh kengerian. Sungguh
pun wanita ini tidak menjijikkan seperti Bhutan, akan tetapi perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi
wanita, namun belaian-belaiannya sungguh mengerikan hatinya, memuakkan dan menimbulkan jijik dan
takut.
Tiba-tiba Mahendra melompat cepat dan Maya merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi berhenti,
tubuh wanita itu menjadi lemas kemudian roboh bersama dia!
“Mahendra, engkau pengecut curang...!” Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan tetapi roboh
lagi.
Mahendra tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat Maya yang melihatnya
membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila Dewi telah duduk bersila dekat pohon, kedua
lengan ditelikung ke belakang dan diikat kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan
membelainya penuh nafsu birahi yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra telah menyerangnya
dan menotok wanita itu hingga roboh terkulai lemas dan tidak dapat melawan lagi!
Timbul rasa takutnya dan ia hendak lari. Akan tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah menangkapnya,
kemudian menggunakan sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan tangannya, bahkan tali pengikat
kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh Mahendra untuk menggantung tubuh Maya di cabang pohon.
Tali itu diikatkan pada cabang pohon sehingga tubuh Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah
dan kedua tangannya terikat ke belakang punggung!
“Mahendra!” Nila Dewi yang duduk bersila di bawah pohon itu berteriak. “Kalau engkau membunuh Maya,
aku bersumpah untuk membunuhmu!”
Mahendra tertawa, mengeluarkan sebuah mangkok tanah dan sebatang pisau belati yang tajam sekali dari
balik baju yang melibat tubuhnya. Laki-laki hitam itu lalu berkata, “Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak
akan membunuhnya, betapa pun ingin aku menyedot habis darahnya melalui leher dengan jalan menggigit
urat lehernya dan menyedot sampai tubuhnya kering. Betapa ingin aku membelah kepalanya dan makan
otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga. Akan tetapi aku ingat akan kebutuhanmu. Tidak, aku
tidak akan membunuhnya, maka kukeluarkan pisau dan mangkok ini. Aku hanya akan mengambil
darahnya semangkok untuk kuminum, dia tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya.
Boleh bukan?”
“Keparat kau! Iblis kau! Awas kalau sampai dia cacat!” Nila Dewi mencaci-maki.
”Tenanglah, kekasihku. Aku akan mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak cacat. Aku hanya
menginginkan semangkok darah dan... sedikit sumsumnya. Kalau kukerat sedikit punggungnya,
kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah darahnya, kemudian lukanya kuobati, dia tidak
akan cacat, heh-heh!”
“Jahanam sialan engkau!” Nila Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa
Mahendra tidak akan membunuh Maya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dapat dibayangkan betapa ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa
Khitan itu. Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua tangannya.
“Heh-heh. merontalah kuat-kuat, Anak manis, agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!”
Mahendra melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih!
Maya sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta tiada gunanya
lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi ia sudah menyaksikan kehebatan
kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa lakilaki
hitam itu memondong dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun
memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat harapan lagi.
“Siluman jahat, apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat
bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti
seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul
menyambarnya dua buah benda, yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata,
yang sebuah lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.
“Argghhh...!” Mahendra menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang.
Tali yang menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu kerikil, dan
tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini tentu saja dapat menyelamatkan diri
dengan cara berjungkir balik dan menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu, kemudian bergulingan. Kedua
tangan dan kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
Sementara itu, Mahendra menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di
tangan kiri. Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan cepat, juga mendatangkan
angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat sekali. Namun berkali-kali Mahendra
mengeluarkan seruan kaget karena laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan
membalas dengan serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas, tanda sinkang
yang amat kuat!
Siapa pria setengah tua yang perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia bukan lain adalah
Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong pergi seorang diri
menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika mendapat berita bahwa
Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau
bangsa Mongol. Betapa adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa puteri
mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Gobi-san mencari kakek dan neneknya.
Kalau saja waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul
ke Gobi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi Gobi-san terlalu jauh dan dia
harus segera kembali ke selatan berhubung dengan gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara
ini. Maka dengan hati tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan.
Kebetulan sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang anak
perempuan secara kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya karena memang anak Raja Khitan itu
tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu tentulah anak pelarian para pengungsi yang
dusunnya dilanda perang.
Diam-diam Kam Liong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan
main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat mendesak lawannya.
Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali. Karena Mahendra berkali-kali mundur dan
berloncatan menjauh, makin lama dua orang yang bertanding ini makin menjahui tempat di mana Maya
berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
“Maya kekasihku, jangan pergi. Aku akan melindungimu,” Nila Dewi berkata lembut sambil berusaha pula
membebaskan ikatan kedua tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar, maka diam-diam
ia memaki Mahendra dan kemudian memejamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau jalan
darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tali pengikat tangannya tentu akan putus. Maya agaknya
mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului nenek itu untuk
melepaskan diri dan lari.
Kalau di sebelah sana tampak berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, di sini terjadi
pula perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlomba melawan Nila Dewi untuk lebih dulu
membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti bahwa kalau dia kalah dalam perlombaan ini, lenyaplah satusatunya
harapan dan kesempatan untuk melarikan. Karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding
dengan orang gagah yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari!
Untung bagi Maya bahwa Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa
anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu kuat, berbeda dengan ikatan
pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang
masih menghimpun tenaga untuk memulihkan jalan darah, berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua
kakinya. Akhirnya Maya berhasil melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat bangun dan dengan kedua
tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.
“Robohlah...!” tiba-tiba terdengar suara Nila Dewi yang nyaring, dan bagaikan didorong tenaga mukjizat
Maya terguling roboh!
Maya cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya wanita ini tadi telah
menggunakan sinkang untuk menendangnya dari jarak jauh, akan tetapi penggunaan sinkang ini
melenyapkan tenaga yang sudah mulai terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang
pohon. Melihat ini, Maya tidak mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun dan lari
lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!
“Berhenti... ahhhh, kekasihku, tega engkau meninggalkan aku...?” Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa
menengok Maya terus lari secepatnya.
Sementara itu, pertandingan antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati
dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau menangkis dengan
kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan mangkok
tanah pada Kam Liong. Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.
“Brakkk!” mangkok itu pecah berkeping-keping.
“Mampuslah!” Mahendra berseru dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam
Liong.
Pendekar ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh atasnya dan
menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan seperti seorang nelayan melempar
jaring ikan! Cepat ia mengelak, namun kain itu digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang
untuk ‘menjaringnya’! Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan
kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih, dan dia telah memegang
suling emas dan kipasnya.
“Suling Emas...!” Mahendra terkejut, meloncat ke belakang dan... melarikan diri seperti orang ketakutan
melihat setan.
Kam Liong tidak mengejar, sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh
kagum. Nama ayahnya, pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga orang hitam
aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan! Ia cepat meloncat ke tempat di mana anak tadi
digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan
menghimpun kekuatan dalam. Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil
melarikan diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tidak mengenal dua orang India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya
menolong anak perempuan itu. Setelah anak perempuan itu berhasil menyelamatkan diri, dia pun tidak
mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam Liong menyimpan kedua
senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di
selatan.
Di dalam perjalanan pulang ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya
Raja Talibu, Kam Liong prihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat, juga merasa
gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi duri dalam daging baginya. Perjalanannya ke utara
telah menghasilkan pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang desasdesus
bahwa di antara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan, termasuk
pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat.
Suma Kiat adalah putera tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas.
Namun semenjak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu (baca cerita MUTIARA
HITAM) sehingga ia sering kali bentrok, bahkan terasing dari keluarga keturunan Suling Emas yang terdiri
dari para pendekar perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat
bahwa Suma Kiat masih saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan
berkat usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat panglima dalam
pasukan pertahanan pemerintah.
Memang Suma Kiat bukan seorang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi,
mewarisi ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk persilatan yang
disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma Kiat yang memang berdarah keturunan
keluarga Pangeran Suma, menjadi seorang bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan
bahagia dalam gedungnya di kota raja.
Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal ini sebagian besar adalah karena Suma
Kiat merasa takut dan segan terhadap kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki
kedudukan lebih tinggi dari padanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula. Kini Suma Kiat telah
menjadi seorang setengah tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah. Ia
telah menikah dengan seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya
ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan lemah-lembut seperti Ibunya.
Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan filsafat, diingatkan bahwa dia adalah
keluarga dari pendekar besar Suling Emas, maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia
digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi dari
ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang agaknya menurun dan
mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu birahi dan berwatak mata keranjang!
Selain puteranya sendiri, Suma Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan
keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan Lee. Anak ini
mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biar pun bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam
ilmu silat dan sastra namun berkat kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali
dalam ilmu silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu mengumpulkan
ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan
di kantor menjadi seorang ‘bangsawan’ kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.
Banyak hal terjadi sebagai akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun
tangan dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun yang lalu ketika
Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru berusia kurang lebih dua puluh tahun.
Pada suatu hari, Suma Hoat diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang
merupakan sebuah di antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping kesukaannya mengujungi
tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi dan menari, kemudian memilih
yang tercantik di antara mereka untuk diajak bersenang-senang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan tampan dan
gagah perkasa. Pakaiannya serba indah, terbuat dari pada sutera halus, rambutnya yang hitam panjang itu
dihias dengan hiasan berupa seekor naga emas bertabur batu kemala, gagang pedangnya yang terbuat
dari emas menghias punggungnya, wajahnya yang berkulit putih berseri-seri dengan sepasang mata lebar
dan lincah pandangnya, bibirnya selalu tersenyum. Banyak wanita akan terguncang hatinya apa bila
melihat pemuda bangsawan yang tampan ini membalapkan kuda putihnya. Didampingi pemuda Siangkoan
Lee yang buruk rupa, Suma Hoat kelihatan lebih tampan lagi.
Para wanita cantik di rumah-rumah hiburan yang semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda Suma)
ini, berkumpul di jendela loteng dan melambai-lambaikan sapu tangan sutera yang harum, melontarkan
senyum memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas senyuman mereka dan tidak berhenti karena
memang sekali ini tidak ingin menghibur hati dengan wanita-wanita cantik itu, melainkan hendak pergi
berburu binatang buas di hutan. Pula, ia sudah mulai bosan dengan wanita-wanita cantik yang akan
menghibur pria mana pun juga asal orang itu beruang, bosan dengan cinta yang diobral mereka, cinta
kasih yang dijual.
Dua orang pemuda itu membalapkan kuda mereka keluar dari kota raja dan memasuki dusun-dusun
menuju ke hutan yang besar. Di sebuah dusun mereka mendengar keluh kesah rakyat tentang gangguan
seekor harimau besar yang sudah banyak mencuri kambing dan kerbau penduduk, bahkan telah
membunuh dua orang anak kecil. Mendengar ini bangkit semangat Suma Hoat untuk membunuh harimau
itu.
“Kita harus dapat menangkapnya dan membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!”
demikian Suma Hoat berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya juga yang menjadi sutenya.
“Asal saja dia berani keluar dari tempat sembunyiannya, Kongcu,” jawab Siangkoan Lee yang masih
menyebut ‘kongcu’ kepada suheng-nya itu, mengingat akan kedudukan mereka.
Demikianlah, kedua orang muda itu menjelajah hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang harimau.
Telah sepekan lamanya mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun hasilnya sia-sia belaka,
harimau besar yang dicari-carinya tidak tampak. Suma Hoat menjadi penasaran sekali. Dia sampai lupa
akan niatnya semula, yaitu berburu binatang. Banyak sudah selama sepekan ini dia melihat binatangbinatang
hutan, namun semua itu dibiarkannya saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh perhatiannya
dicurahkan untuk mencari harimau yang telah mengganas di dusun-dusun sekeliling daerah pegunungan
itu.
Berkali-kali Siangkoan Lee membujuk kongcunya untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis berkerut,
Suma Hoat yang berkemauan keras ini malah membentaknya. “Sudah kukatakan bahwa sebelum berhasil
membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau pulang. Jangankan baru sepekan, biar selama hidupku di sini
aku tetap harus mencarinya sampai dapat!”
Siangkoan Lee yang meninggalkan pekerjaan khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya, tetapi ia tidak
berani membantah lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau malam mereka pun mengintai. Jika
sudah lelah sekali mereka baru tidur di bawah pohon sambil membuat api unggun. Suma Hoat benar-benar
mempunyai kemauan yang keras sekali dan pantang mundur sebelum niatnya terpenuhi.
Pada pagi hari yang ke sembilan, dua orang pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung, hutan yang
tidak berapa besar akan tetapi yang belum mereka datangi, berada di lereng dekat kaki bukit. Mereka
berjalan kaki menuntun kuda masing-masing sambil memandang tajam mencari-cari kalau-kalau ada
gerakan binatang yang mereka cari-cari.
Tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma Hoat menoleh
kepada Siangkoan koan Lee. “Adakah engkau mendengar suara di sana?”
“Siangkoan Lee mengangguk. “Seperti jerit seorang wanita.”
“Benar! Kita menunggu apa lagi? Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!” Cepat sekali Suma Hoat
sudah melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan Lee.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah menuruni lereng, mereka tiba di jalan umum yang datang dari timur dan dari atas sudah tampak
oleh mereka sebuah kereta terguling di pinggir jalan. Beberapa orang laki-laki yang berpakaian pelayan
dan pengawal malang-melintang di sekitar tempat itu. Jauh dari kereta itu tampak serombongan orang
sedang mengangkuti barang-barang dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang
menunggang kuda dan memangku seorang wanita yang meronta-ronta, dan agaknya wanita itulah yang
tadi mengeluarkan jeritan.
“Bukan harimau yang menyerangnya, Kongcu,” kata Siangkoan Lee.
“Memang bukan, akan tetapi lebih jahat dari pada harimau. Mereka perampok keparat yang bosan hidup!
Kau basmi anak buahnya, aku akan menolong wanita itu!”
Dua orang muda itu membedal kuda mereka dan sebentar saja mereka sudah tiba di tempat itu. Siangkoan
Lee sudah meloncat turun dari kuda dan membentak.
“Kalian perampok-perampok hina. Tahan dulu!”
Para anak buah perampok yang sedang tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi barang-barang
berharga seperti perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan berkayu-kayu menjadi marah ketika melihat
Siangkoan Lee, seorang pemuda yang masih hijau dan kelihatannya tidak menakutkan itu. Jumlah mereka
ada sembilan orang, tentu saja mereka tidak takut.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan kelihatan kuat terbukti dari bawaannya, yaitu
sebuah peti yang berat sekali, melangkah maju dan melotot kepada Siangkoan Lee, kemudian membentak,
“Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau apa?”
“Jawab dulu, apakah engkau ini telah melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan pelayan
itu?”
“Ha-ha-ha! Benar sekali! Tidak hanya pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar telah menjadi
mayat di dalam kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan menggairahkan, menjadi bagian tai-ong kami!
Kau mau bagian? Jangan main-main! Para pengawal yang kuat itu semua mampus oleh kami. Nih, terima
bagianmu!” Tiba-tiba Si Tinggi Kurus itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan Lee.
Peti yang beratnya lebih dari seratus kati itu melayang ke arah Siangkoan Lee dan para anggota
gerombolan itu tertawa-tawa, yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu akan roboh tertimpa peti dan
gepeng tubuhnya. Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti dan mereka melongo ketika melihat
Siangkoan Lee menerima sambaran peti itu hanya dengan telapak tangannya dan Si Pemuda kurus itu
melontar-lontarkan peti itu ke atas seperti seorang anak kecil mempermainkan sebuah bola karet. Tangan
itu kemudian mendorong maju hingga peti melayang ke arah pelemparnya, Si Tinggi Kurus dengan
kekuatan dahsyat.
“Ahhh...!” Perampok tinggi kurus itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima peti, akan tetapi
tak tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya pecah tertimpa peti yang berat!
Para perampok yang tinggal delapan orang itu menjadi marah sekali. Mereka menurunkan bawaan masingmasing,
mencabut senjata lalu menerjang Siangkoan Lee seperti serombongan serigala mengamuk.
Pemuda kurus ini pun membentak keras dan mencabut sebatang golok melengkung yang amat tajam,
memutar golok menghadapi pengeroyokan delapan orang itu tanpa merasa gentar sedikit pun.
Ternyata olehnya bahwa para perampok itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan penjahat-penjahat
kawakan yang pandai ilmu silat dan bertenaga besar. Namun Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan
hebat, dan sebagai murid yang tekun dari Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu saja gerakannya selain
cepat juga mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Sementara itu, Suma Hoat membalapkan kudanya melewati para anak buah perampok yang ia serahkan
kepada sutenya, terus mengejar kepala perampok yang melarikan wanita itu. Karena kepala rampok itu
dunia-kangouw.blogspot.com
menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa dan tangannya menggerayangi tubuh wanita
rampasannya, sambil mencium dan kelihatan makin gembira karena wanita itu meronta-ronta, sebentar
saja kuda Suma Hoat telah menyusulnya.
“Berhenti kamu keparat hina!” bentak Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri menghadang
di depan kuda yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu.
Kepala perampok yang tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar. Kumis dan
jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia menjadi marah sekali.
“Heh, siapa engkau bocah yang bosan hidup?” bentaknya sambil melompat turun dan masih memondong
wanita yang kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat dengan mata terbelalak seperti
seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar matanya timbul harapan yang tadinya sudah patah.
“Serrr...!” Jantung Suma Hoat seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu.
Tak disangkanya dia akan melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita, manis dan berwajah seperti
bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor kepala perampok itu tadi menggerayangi tubuh Si Jelita,
apa lagi mengingat betapa wajah menyeramkan penuh cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu
halus, bibir yang begitu merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti mendidih.
“Binatang rendah!” ia memaki sambil menunjuk ke arah muka kepala perampok itu. “Engkau tidak
mengenal Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat? Engkau telah merampok, membunuh orang dan
menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau mampus di tangan Suma Hoat!”
“Heh-heh-heh! Aku Si Tangan Besi Ciu Ok mana kenal segala macam bangsawan tukang korup? Kalau
engkau sudah bosan hidup, marilah!” Perampok itu melepaskan tubuh dara itu setelah menotok
punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas rumput. “Kau tunggulah sebentar, calon
biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati baik-baik betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!”
Akan tetapi Suma Hoat sudah menerjangnya dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis,
mengandalkan kekuatan tangannya. Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena kedua tangannya amat
kuat dan keras seperti besi, hasil latihan ilmu Tiat-ciang-kang yang latihannya menggunakan bubuk besi
panas. Akan tetapi begitu ia menangkis, ia terpekik kaget karena lengannya terasa sakit dan ia terhuyung
ke belakang. Kudanya kaget, meringkik dan lari.
“Kepala perampok laknat, kematianmu sudah di depan mata!” Suma Hoat yang marah sekali itu sudah
menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mautnya.
Si Kepala Perampok adalah seorang ahli silat, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak dapat dibandingkan
dengan Suma Hoat yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat yang dimiliki kepala perampok ini adalah ilmu
silat kasar dan dia selama ini hanya mengandalkan kedua tangannya yang kuat. Namun, bertemu dengan
pemuda itu, seolah-olah kedua tangannya bertemu dengan baja yang lebih keras lagi! Setelah tiga kali
menangkis dan tiga kali terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan panas, kepala perampok itu memekik
keras dan mencabut ke luar senjatanya berupa sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi bola baja
berduri. Cepat ia mengayun senjatanya menerjang lawan.
“Wuuut-wuut-wuuttt...!” Angin menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya terputarputar.
Namun dengan mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya setelah
menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia menghadapi lawan yang
bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke kanan kiri dengan lincahnya menanti
kesempatan baik.
Dara cantik yang tertotok dan rebah miring dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari mulutnya yang
kecil terdengar jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang dahsyat itu menyambar, mengancam wajah
dunia-kangouw.blogspot.com
yang halus tampan Si Pemuda penolongnya. Biar pun dara itu tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia
merasa heran mengapa pemuda tampan itu tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!
“Inkong (Tuan Penolong)..., pergunakan pedangmu...!” Akhirnya ia tak dapat menahan kekhawatiran
hatinya lagi melihat betapa kepala pemuda itu nyaris dihantam bola berduri, begitu dekat bola itu
menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat. Aneh sekali, dara itu sudah lupa akan bahaya yang
mengancam dirinya sendiri, sebaliknya khawatir kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.
Mendengar suara itu, Suma Hoat tersenyum gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku, pikirnya
gembira seperti lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan kepandaiannya di depan seorang
dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah gerakannya, sekarang tubuhnya berkelebat cepat sekali
sehinga Si Kepala Rampok berkali-kali berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma
Hoat mendapat kesempatan baik. Ketika bola berduri menyambar ia menggunakan tangannya dari
samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola ke arah muka penyerangnya.
“Prokkk! Adduuuuhhh...!” Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang dengan muka
berubah menjadi onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang tak lama kemudian.
Dara jelita itu memejamkan mata penuh kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma Hoat cepat
berlutut dan sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari pengaruh totokan Si Kepala Rampok.
“Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si Keparat laknat sudah tewas.”
Dara itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Hoat, “Inkong telah menyelamatkan nyawa saya,
akan tetapi... hu-hu-huuukkkk... ayah bundaku telah terbunuh... di dalam kereta...!”
Suma Hoat terkejut dan marah sekali. “Mari kita lihat, temanku sedang membasmi kawanan perampok,
perlu bantuanku!” Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa meloncat ke atas punggung kudanya yang
tidak lari karena kuda itu sudah terlatih baik, kemudian membalapkan kudanya ke arah pertempuran yang
masih berlangsung dekat kereta.
Ternyata bahwa Siangkoan Lee dengan mudah telah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan goloknya
dan kini yang lima orang masih mengeroyoknya mati-matian. Melihat ini Suma Hoat sambil memeluk
pinggang dara itu dengan lengan kiri, mencabut pedang dengan tangan kanan, kudanya menyerbu,
pedangnya berkelebat dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan empat orang perampok roboh dan
tewas. Siangkoan Lee berhasil merobohkan perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan
pedangnya lalu menurunkan tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah kereta yang rebah
miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah bundanya.
Suma Hoat meloncat dekat kereta. Cepat ia mengeluarkan tubuh seorang setengah tua yang terluka
dadanya. Orang itu masih hidup dan cepat pemuda ini mengeluarkan obat luka yang merah warnanya,
mengobati luka itu dan membalutnya. Ayah dara itu masih hidup biar pun terluka parah, akan tetapi ibunya
telah tewas karena tusukan pedang yang menembus jantungnya!
“Terima kasih... Kongcu... saya Ciok Khun menghaturkan terima kasih kepadamu...”
“Paman hendak pergi ke manakah?” Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk karena kasihan
melihat dara itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.
Dengan suara tersendat-sendat laki-laki itu bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak jauh dari kota
raja. Mereka, suami isteri itu, hendak mengantarkan anak dara mereka yang bernama Ciok Kim Hwa, yang
hendak dljodohkan dengan putera bangsawan Thio di kota raja. Karena itulah maka mereka berkereta
membawa barang-barang berharga, dikawal oleh pasukan bangsawan Thio yang menjemput mereka dan
yang terbunuh semua oleh para perampok.
“Siangkoan Lee, kau cepat antarkan Paman Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota raja. Biar
aku yang mengawal Ciok-siocia,” kata Suma Hoat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siangkoan Lee mengangguk, maklum bahwa keadaan orang yang terluka perlu perawatan dengan cepat
dan bahwa kalau Si Nona ikut dalam kereta, tentu nona itu akan berduka sekali menyaksikan jenazah
ibunya. Maka ia lalu mengumpulkan barang-barang yang berceceran, di masukkan barang-barang itu ke
dalam kereta, kemudian ia mengikat kudanya di depan dua ekor kuda penarik kereta dan membalapkan
kereta ke kota raja.
“Mari, Nona. Kau akan kukawal ke kota raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan seluruh
jiwa ragaku.”
Ucapan ini membuat wajah Si Dara Jelita menjadi merah, akan tetapi kedukaannya terlalu besar sehingga
mengurangi rasa kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga dadanya ketika ia duduk atas panggung
kuda, di depan pemuda tampan yang telah menolongnya itu.
Selama hidupnya, baru pertama kali itu Suma Hoat mengalami hal yang aneh dalam hatinya. Jantungnya
berdebar luar biasa sekali. Rasa girang yang amat besar menyelimuti hatinya, dan di balik rasa girang ini
terselip rasa sakit di hatinya karena dara ini hendak dikawinkan dengan orang lain! Kekecewaan yang amat
keras dan aneh. Mengapa dia menjadi begini? Tak dapat disangkal bahwa dia selalu tertarik oleh wajah
cantik jelita, akan tetapi selamanya dia tidak pernah menginginkan wanita yang menjadi milik orang lain!
“Eh, Suma Hoat, kau ini mengapakah?” Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri. Tak terasa lagi
ia menjalankan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat tiba di kota raja, tidak ingin dirampas
kenikmatan dan kebahagiaan hatinya duduk berdua di atas kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim
Hwa ini!
Kereta yang dibalapkan Siangkoan Lee sudah jauh sekali dan sudah tidak tampak, juga tidak terdengar
derap kaki kuda dan roda kereta. Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia bertanya halus,
“Nona...” Ia meragu dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Dara itu menanti sebentar. Karena lama pemuda itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan berkata, “Ada
apakah, Inkong?”
Suma Hoat memejamkan mata karena tidak kuat menyaksikan wajah yang begitu dekat dengannya,
mencium bau harum yang keluar dari rambut dan muka dara itu.
“Kenapa, Inkong?” tanya Kim Hwa yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.
“Jadi... Nona akan... menikah dengan pemuda keluarga Thio...?”
Wajah itu tiba-tiba menjadi merah sekali dan cepat dipalingkan tidak berani menentang pandang mata
Suma Hoat. Sampai lama nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat merasa betapa tubuh di depannya itu
gemetar. Akhirnya terdengar nona itu menjawab lirih.
“Bu... bukan pemuda, melainkan seorang duda tua, adik dari Thio-taijin...!”
Suma Hoat mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. “Seorang duda tua?”
Dara itu mengangguk dan menarik napas panjang.
“Kenapa engkau mau, Nona?”
Kim Hwa mengangkat muka memandang. “Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua, Inkong?
Yang melamar adalah Thio-taijin, untuk adiknya yang sudah mempunyai belasan orang anak dan yang
telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya dapat menolak...?” Kalimat terakhir itu mengandung
isak dan Kim Hwa menundukkan muka, kelihatan berduka sekali.
“Ah, kasihan engkau, Nona. Seorang dara semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan seorang
bandot tua!” Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan Suma Hoat, Kim Hwa terisakisak
menangis sesenggukan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat merasa makin kasihan. Dengan gerakan halus ia menyentuh pundak yang bergoyang-goyang
itu dan berkata, “Jangan menangis, Nona, dan jangan berputus asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan
melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga
Thio itu, kau tolak saja dan aku yang akan melindungimu!”
Ucapan penuh semangat ini membuat Kim Hwa menjadi terharu dan berterima kasih sekali sehingga
tangisnya makin mengguguk. Ketika Suma Hoat menghiburnya dengan mengelus rambut kepalanya yang
hitam panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan merebahkan kepalanya di atas dada Suma Hoat! Sampai
lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, tanpa kata-kata namun keduanya yakin apa yang terjadi
dengan perasaan hati masing-masing.
Kuda yang mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya tidak mau mengganggu majikannya
yang sedang dilanda asmara. Jari-jari tangan Suma Hoat yang mengelus-elus rambut itu seolah-olah
mengeluarkan getaran yang membuat Kim Hwa memejamkan mata dengan sepasang pipinya yang
menjadi kemerahan.
Tiba-tiba kuda putih yang tadinya melangkah perlahan dan tenang, menghentikan langkahnya, hidungnya
kembang-kempis, kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan keempat kakinya menggaruk-garuk
tanah.
“Eh, Pek-ma (Kuda Putih), ada apakah?” Suma Hoat yang sedang diterbangkan ke angkasa kemesraan itu
terkejut, melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan cepat menyambar kendali untuk
menguasai kudanya.
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan hutan itu, gerengan seekor
harimau yang berada di dalam gerombolan semak dan yang kini keluar sambil memandang ke arah kuda.
“Celaka, Inkong...!” Kim Hwa menjerit penuh kengerian dan kedua lengannya otomatis merangkul pinggang
pemuda itu, tubuhnya gemetar.
“Tenanglah, Nona. Aku memang sedang mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kau tunggu saja di
sini sampai aku selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini.”
Tanpa menanti jawaban, Suma Hoat sudah memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas punggung kuda
putih yang juga berdiri menggigil ketakutan. Ia menurunkan Kim Hwa yang berdiri dengan muka pucat di
dekat kuda. Mata gadis ini terbelalak memandang ke arah harimau yang besarnya luar biasa dan kepada
penolongnya yang kini melangkah maju menghampiri harimau dengan senyum tenang di wajahnya yang
tampan!
Suma Hoat memandang harimau yang dihampirinya itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun tidak
berdaya menghadapi pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa besarnya, sebesar anak
lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang angkuh dan memandang rendah seperti sikap
seorang raja besar!
“Inkong..., pedangmu... gunakan pedangmu...!” Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh kekhawatiran.
Dara ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan hari mau akan tetapi masih saja
bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang melawan harimau sebesar itu dengan tangan kosong,
pikirnya. Karena kekhawatirannya, maka ia memaksa diri memperingatkan.
Mendengar ini Suma Hoat menoleh dan tersenyum. “Kim Hwa-moi, jangan khawatir. Dia ini bagiku
hanyalah seekor kucing...”
“Awas... ah, Inkong...!” Kim Hwa menjerit.
Akan tetapi tanpa diperingatkan juga, telinga Suma Hoat yang terlatih sudah mendengar gerakan harimau
itu dan dengan mudah saja ia menggerakkan tubuh ke kiri mengelak dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi
harimau itu benar-benar berbeda dengan harimau-harimau biasa yang pernah ditangkap dan dibunuh
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat dengan tangan kosong. Begitu tubrukannya luput dan kakinya menyentuh tanah, tubuh
harimau itu sudah membalik dengan cepat sekali, kedua kaki depan mencakar dari kanan kiri dan kaki
belakangnya menggenjot tanah sehingga tubuhnya kembali sudah menerkam ke arah Suma Hoat!
“Inkong...!” Suara jerit Kim Hwa mengandung isak.
Suma Hoat terkejut dan kagum menyaksikan ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat besar itu.
Timbul rasa sayangnya dan ia hendak mengambil kulit binatang besar ini tanpa cacat.
Ketika tubuh yang menubruknya itu melayang ke arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut harimau
sehingga kembali tubrukan itu luput dan sebelum harimau dapat membalik, Suma Hoat telah menangkap
ekornya yang panjang, mengerahkan tenaga dan... tubuh harimau itu terangkat dan diputar-putar di atas
kepalanya! Harimau meronta-ronta dan menggereng-gereng berusaha mencakar atau menggigit tangan
kuat yang memegangi ekornya. Penglihatan itu mengerikan dan menegangkan sekali.
“Inkonggg...!” kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka dengan kedua tangan, tidak tahan melihat
perkelahian itu karena ia tidak mau melihat tubuh penolongnya dicakar atau digigit sampai pecah-pecah
kulitnya dan berlumuran darahnya! Hal itu tentu akan terjadi karena penolongnya itu terlampau berani, tidak
mau menggunakan pedang membunuh binatang yang demikian besar dan kuatnya!
Suma Hoat melepaskan ekor yang dipegangnya. Tubuh harimau terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke
atas tanah. Biasanya, harimau yang terbanting seperti ini tentu akan pingsan dan menjadi lemah, maka
Suma Hoat tersenyum-senyum menghampiri Kim Hwa dan berkata, “Jangan khawatir, dia...”
“Inkonggggg...!” Kim Hwa menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang terbanting itu
tiba-tiba sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat!
Saat itu perhatian Suma Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak agak terlambat
dan kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya sehingga tubuhnya terpelanting! Harimau itu
menggereng marah dan menubruk tubuh lawan yang sudah jatuh itu.
“Inkonggggg...!” Jeritan Kim Hwa sekali ini lemah sekali dan ia sudah terkulai, lemas dan roboh pingsan di
atas tanah!
Suma Hoat dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila itu, maka timbul kemarahannya.
Ketika harimau menerkamnya ia menyambut dengan sebuah tendangan yang mengenai perut harimau
sehingga binatang itu terpental ke samping. Sebelum harimau itu sempat menyerangnya kembali, Suma
Hoat sudah melompat ke atas punggungnya! Harimau itu marah, meloncat-loncat, bergulingan, akan tetapi
Suma Hoat tetap di atas punggungnya, kemudian jari tangannya bergerak ke depan.
”Crapp!” Harimau mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua matanya yang
sudah berlubang!
Suma Hoat melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya itu menerjang ke depan secara
ngawur. Binatang itu menjadi seperti gila saking nyeri dan bingungnya, mukanya dicakarinya sendiri,
menggereng-gereng, kemudian meloncat ke depan sekuat tenaga.
“Desssss!” Kepala harimau itu menubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya berkelojotan dalam
sekarat.
Suma Hoat tidak mempedulikan lagi bangkai harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh Kim Hwa
yang menggeletak pingsan di atas tanah.
“Kim Hwa...!” Ia memanggil dan mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa tidak menjawab
dan tubuhnya lemas.
Ketika Suma Hoat meraba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia bahwa kegelisahan dan ketakutan
membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia akan terserang demam. Cepat ia pergi meninggalkan gadis
dunia-kangouw.blogspot.com
yang pingsan itu untuk mencari air. Dalam keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk membasmi
panas di kepala dan dahinya.
Ia harus pergi agak jauh juga untuk mencari air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung karena tidak
membawa tempat air, kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan jubah ke dalam air dingin, tiba-tiba
terdengar kudanya meringkik keras disusul jerit Kim Hwa!
”Hwa-moi...!” Suma Hoat berteriak, menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan berlari
cepat ke tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia melihat kuda putihnya sudah lari dan Kim
Hwa sudah berdiri dan terbelalak ketakutan memandang ke arah seekor harimau besar yang berdiri dekat
sekali di depan dara itu!
Suma Hoat kaget dan heran, ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di tempat tadi,
tahulah dia bahwa harimau besar kedua ini adalah harimau betina. Kiranya ada dua ekor harimau,
sepasang binatang buas yang amat besar yang telah mengganggu dusun.
Tiba-tiba gadis itu menjerit dan hendak lari, akan tetapi harimau menerkam ke depan dan dara itu roboh
telentang.
“Hwa-moi...!” Dengan beberapa kali loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya ekor harimau
dan direnggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.
“Breeeettt!” Baju Kim Hwa terbawa oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang putih mulus
itu. Suma Hoat yang merasa khawatir dan marah sekali mencabut pedang dan tampak sinar berkelebat
disusul muncratnya darah dari leher harimau yang hampir putus terbabat pedang!
“Kim Hwa...!” Suma Hoat cepat berlutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merintih dan membuka matanya. Ketika
melihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan jubah basah adalah pemuda penolongnya, ia
mengeluarkan jerit tertahan dan menangis.
“Diamlah, Moi-moi, diamlah manis... syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja, tergores cakar harimau
laknat...!” Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas luka kecil itu. Darah telah berhenti dan kini, seperti
tak disadarinya, jari tangannya mengelus kulit di seputar luka. Matanya tak pernah berkedip memandang
wajah itu, dada yang terbuka itu, leher itu dan ia terpesona.
Kim Hwa tadinya memejamkan matanya, kemudian kesadarannya kembali dan mulailah dia merasa betapa
dadanya tak tertutup lagi, betapa tangan yang hangat menggetar-getar itu mengelus-elus dan
membelainya. Ia membuka matanya perlahan, melihat wajah yang tampan, mata yang penuh kemesraan
itu memandangnya, dada yang bidang itu pun tak berbaju karena bajunya tadi dipakai mencuci lukanya.
Perasaan aneh dan mesra memenuhi rongga dada Kim Hwa. Seperti disentakkan ia menangkap tangan
yang mengelus dadanya, membawanya ke depan hidung dan mulut, menciumi tangan pemuda yang telah
dua kali menyelamatkan nyawanya.
“Moi-moi...!” Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia menjatuhkan mukanya ke atas dada itu.
“Koko...!” Kim Hwa terisak, memeluk kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga dekat. Dengan
sinar mata yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan napas terengah yang saling meniup
muka mereka, kemudian dua muka yang sama eloknya itu saling mendekat, dua pasang lengan saling
rangkul, saling mendekap.
“Moi-moi...!”
“Koko...!”
Mereka terisak, berciuman seperti tak sadar lagi. Akhirnya Suma Hoat tersentak kaget. Belum pernah ia
merasai seperti ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan wanita cantik, akan tetapi mereka itu wanitawanita
yang menjual cinta! Dan dia hanya menurutkan dorongan nafsu belaka. Sekarang jauh sekali
bedanya! Di samping nafsu yang bergolak dan menindih membakar seluruh urat syaraf di tubuhnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
terdapat perasaan lain. Dia tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia tidak ingin mengganggu dara ini, dia
menaruh kasihan dan kesayangan yang luar biasa. Dia rela mati untuk kebahagiaan dara ini! Sungguh
bedanya seperti bumi dengan langit dibandingkan dengan wanita-wanita yang biasa dicintanya.
Belaian jari tangan wanita ini pada pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu lembut dan
mesra dan ia merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan ini, membuat ia terharu sekali dan
ketika ia mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu, kedua mata Suma Hoat menjadi basah.
Juga ia melihat Kim Hwa menitikkan air mata yang berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun
mulut yang merah dan panas itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata berpandangan,
bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak berani meyakinkan hatinya, maka ia
berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.
“Moi-moi... bolehkah...? Benarkah ini...? Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu, menjadikan engkau
milikku, lahir batin, hati dan tubuhmu... akan tetapi... engkau seorang gadis terhormat... bahkan calon isteri
orang lain... ahh, Moi-moi, katakanlah, betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku
memilikimu sehingga kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela mati dari pada
memaksamu, dari pada menyusahkanmu... Moi-moi, jawablah, bolehkah aku...?” Suara Suma Hoat
mengandung isak, bercampur rintihan hatinya dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Kim Hwa tersenyum, senyum penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta,
senyum yang hanya dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, walau pun air matanya sendiri menetes-netes.
Dara itu kemudian mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik air mata dari pipi Suma Hoat,
kemudian kedua lengan itu merangkul leher, mulutnya berbisik lirih sekali.
“Suma-koko..., aku... aku rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu... biarlah aku menikmati kebahagiaan
sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku... sebelum aku memasuki neraka bersama laki-laki
pilihan orang tuaku... Koko... cintailah aku... aku menyerah, serela-relanya... demi Tuhan...!”
“Moi-moi...!” Suma Hoat memeluk dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.
“Koko...!” Kim Hwa terengah menjerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan
terlupa oleh Suma Hoat.
Dengan penuh kemesraan, dengan nafsu yang terkendalikan oleh cinta murni, dengan pandang mata
penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua
orang muda itu berlangen asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan
gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.
Sehari semalam mereka lupa diri, yang teringat hanyalah orang yang dicintanya, yang tak pernah terpisah
sekejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin. Dalam keadaan seperti
itu, bagi mereka berdua yang ada hanyalah cinta kasih di antara mereka. Kalau sudah saling mencinta,
kalau dunia ini terasa kosong dan yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain
di dunia ini kecuali peluapan asmara, apa lagikah yang dapat mereka ingat?
Sungguh patut dikasihani kedua orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya
mengumpulkan wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan selir-selirnya
yang muda-muda dan cantik-cantik. Sering kali bahkan dia tanpa sengaja menyaksikan ayahnya bermesramesraan
dengan beberapa orang selir di dalam taman atau di dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila
bercinta dengan selir-selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak seorang pria
yang haus akan cinta.
Sebagai putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan semenjak
berusia enam belas tahun, Suma Hoat sudah mencari-cari dan mengejar-ngejar cinta. Namun apa yang
didapatnya di dalam tubuh dan hati wanita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam
pelukannya? Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta nafsu. Wanita-wanita itu sudah tidak mengenal cinta
murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin lagi berpisah, ingin hidup bersama selamanya,
menempuh hidup berdua, suka sama dinikmati, duka sama diderita!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini, bertemu dengan Kim Hwa, dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apa
bila dia terpesona dan lupa diri, lupa segala! Yang teringat hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa
raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yahg harus disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai
mati!
Ada pun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum
pernah berdekatan dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun sebagai seorang dara terpelajar, dia
maklum apa artinya dijodohkan dengan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah dijual seperti
seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban
perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia berduka dan putus asa. Kalau tidak demi bakti kepada
ayah bundanya, ingin dia membunuh diri saja dari pada setiap saat menderita batin, harus menurut dan
tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya.
Kini bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nyawanya, yang begitu jumpa telah merebut
hatinya, telah menimbulkan cinta kasihnya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan
dorongan dan rangsangan nafsu birahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apa bila ia
menyerahkan diri bulat-bulat, penuh kerelaan dan kemesraan yang timbul dari keputus-asaan akan
dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!
Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak
tertandingi di seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas
lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia telah menciptakan hukum-hukum
sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat
kaki tangan kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya
tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Manusia tidak dapat bergerak bebas menurutkan perasaan hatinya, harus lebih dulu melihat ke depan,
apakah pelaksanaan perasaan hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula
dengan cinta! Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum, kesusilaan,
kebudayaan, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak bisa hidup menurutkan cinta dan
pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan terbentur dan... gagal! Dalam segala hal, juga
dalam cinta, manusia harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan
memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.
Karena itu sekali lagi, patut dikasihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun
dan berenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari semalam kedua
manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu, di mana tiada puas-puasnya mereka
saling mencurahkan perasaan cinta mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda
putih, melanjutkan perjalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa
kendali.
Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh
kemesraan. Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan
kirinya di leher Si Jelita, tangan kanannya membelai-belai rambut, mengusap leher dan pipi.
“Koko...” terdengar Kim Hwa berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar
oleh telinga mereka.
“Hemmm...?” Jawaban ini mengandung kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan
disayang.
Memang cinta kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki dan dimiliki,
ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan tubuh di samping ingin meminta
seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu, ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu
kehidupan, satu perasaan!
“Suma-koko, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum. “Aku pun cinta
padamu, Hwa-moi. Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak
pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin besarlah kebahagiaan hatiku.”
Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan pelukan.
“Koko, aku... aku takut...” Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.
“Jangan takut, Moi-moi, ada aku di sampingmu, takut apakah?” Suma Hoat memperkuat pelukannya.
“Kalau sudah sampai di kota raja, aku... ah, tentu akan dikawinkan...”
“Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta
bantuan ayahku yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Jangan
khawatir, engkau tentu akan menjadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!”
Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium bibir pemuda itu. “Koko, aku telah menjadi isterimu dan
akan menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia mau pun di akhirat! Lebih baik aku mati
dari pada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi milikmu.”
Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini
dapat segera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan takkan
terpisah lagi selamanya. Maka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota raja!
Ketika akhirnya Suma Hoat menurunkan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh
bangsawan itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi,
keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan Ciok Khun yang telah
ditolong, juga tidak berani berkata apa-apa sungguh pun hati ayah ini tidak enak karena puterinya
menyusul demikian terlambat. Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah
menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang tuanya.
”Taijin, mohon Paduka sudi menolong hamba...!” Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap
Menteri Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan yang
mengancam pencemaran nama keluarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah dengan puteri
keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok
dan ditolong oleh Suma-kongcu.
“Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk
Suma-kongcu! Padahal dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin. Kalau sampai dibatalkan,
bagaimana pendapat orang akan nama baik keluarga hamba?”
Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Sumaciangkun
yang banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu
dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, putera tunggal adik misannya itu
yang terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah
pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga
Suma tidak patut hendak merampas calon isteri orang lain!
“Hemmm, sungguh tidak benar perbuatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat
kepada Suma-ciangkun agar suka menarik kembali pinangannya dan minta maaf kepada Ciok Khun!”
Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi... uhhh...”
“Apa lagi?” Menteri Kam Liong membentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak
menyenangkan hatinya itu.
“Mengenai pinangan itu, kalau Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi,
sungguh hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia kenapa?” Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya.
“Dia... setiap malam... mengunjungi Ciok Kim Hwa di kamarnya... hamba sekeluarga mana berani
mengganggunya?”
“Apa...?!” Menteri itu menggebrak meja dan bangkit berdiri. “Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan
menghadapinya setelah surat kukirim dan pinangan ditarik kembali. Kalau dia masih berani mengganggu,
aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!”
Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam
Liong lalu menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hatinya. Berulang
kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak patut.
Ketika menerima surat dari kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal-ngepal tinju dengan hati
bingung. Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilakukannya. Siapa
kira kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani membantah. Segera dikirimnya
utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok di gedung keluarga bangsawan Thio, membatalkan
pinangan. Berita ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio, akan tetapi
diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang mengunci pintu dan tidak mau makan,
hanya menangis saja dalam kamar tertutup.
Ketika Suma Hoat pulang, dia disambut oleh maki-makian ayahnya yang marah-marah dan menganggap
puteranya itu membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika
mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena teguran Menteri
Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya, menangis, dan meninju-ninju kasur.
Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur.
“Aku akan lari bersamanya!” Ia berkata seorang diri, matanya menjadi merah dan liar. “Malam ini aku
mengajak dia lari minggat! Itulah jalan satu-satunya!”
Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan
keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio, Menteri Kam Liong dijamu penuh
kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun,
dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda
terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu
Ciok Kim Hwa di kamarnya.
Para penjaga sudah disiapkan bersembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau
Suma-kongcu datang di kamar itu seperti biasa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui
genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk
menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam
Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda
bangsawan yang lihai itu.
Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih
makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka
semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama adiknya di depan, disusul Ciok Khun dan
paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguh pun hatinya panas, malu dan
marah. Betapa pun juga, Suma Hoat adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama
baiknya pula.
Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil
membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman
dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan. Akan tetapi ia
sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan membahagiakannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia
muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemukan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup
bahagia, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian
membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar. Ia menduga bahwa Kim
Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis.
Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan...
pembaringan itu kosong! Matanya mencari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia
membalikkan tubuh ke kanan dan... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya
menggigil, matanya terbelalak memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak
bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang.
Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.
Suma Hoat memaksa kakinya melangkah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerakgerak
namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit.
“Kekasihku, marilah... kenapa kau tidak menyambut aku...?” Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak
bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi,
digigitnya bibirnya sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu tergantung, tak
bergerak.
“Kim Hwa...!” Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki
mayat Kim Hwa yang masih tergantung!
Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu.
Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang
tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.
“Kim Hwa anakku...!” Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak
menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.
“Suma Hoat...!” Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.
Suma Hoat bergerak perlahan, mengeluh lalu berdongak. “Kim Hwa...!” Ia menjerit lagi, meloncat bangun
dan sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu.
Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya.
”Kim Hwa...” Kekasihku... Isteriku... kau... kau... aduh, Kim Hwa... mengapa kau membunuh diri...?” Suma
Hoat menangis, mengguguk di atas dada mayat kekasihnya.
Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur.
Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu
diselimutinya dan ia berkata lirih, “Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau mengantuk? Tidurlah manis,
tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu....”
Kemudian matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak
bernapas lagi dan ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan
merintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar
keluhannya, “Kim Hwa, engkau... engkau mati...? Ah, mana bisa... engkau... aduuhhh... engkau benarbenar
mati? Kim Hwa...!” Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh
dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.
Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah
kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang
demikian mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata
mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bangsawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu
menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak
tahu harus berbuat apa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Hoat siuman kembali, lalu menangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan
memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai
akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra
melainkan terus terpejam.
“Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri... tidak! Engkau dibunuh!” Tiba-tiba Suma Hoat
membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia
melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya meluap.
“Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa
kekasihku. Aku akan membalas dendam!” Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya bergerak
memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio adiknya.
“Bressss!” Tubuh Suma Hoat terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya
tertangkis oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata bengis.
Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang
lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong,
seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pek-hu-nya, air matanya bercucuran dan lututnya menjadi
lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak, “Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...”
Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik,
tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah
perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!”
Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk. “Pek-hu...”
Ia terengah-engah,”...lebih baik saya mati... saya... mencinta Kim hwa... mengapa Pek-hu melarang?
Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah saling mencintai, Tuhan pun tidak melarangnya!
Mengapa kalian mengganggu kami...? Huhu-huuukkkk!” Suma Hoat menangis seperti anak kecil,
menunduk di depan uwanya.
Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan tangan kiri menampar.
“Plakk!” pipi kanan Suma Hoat ditamparnya sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata
penuh penasaran.
Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda
ini. “Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki sejati lebih mementingkan kebenaran dari pada nyawa dan
apa pun juga di dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa ini
adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona ini, melainkan
engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan perbuatanmu. Mengerti?”
Pemuda itu terbelalak memandang pek-hu-nya, penuh penasaran. “Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku...,
kami saling mencinta dan bersumpah untuk....”
“Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi
tanpa pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun engkau
yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak
akan mencintamu! Perbuatanmu itu merupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita!
Dan yang lebih dari itu, engkaulah yang menyebabkan kematian nona ini yang sudah terlanjur
mencintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak berdosa? Hemm, biarlah
peristiwa ini menjadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai mengekang nafsu
dan menyalurkannya melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas.
Pergilah!”
Bentakan terakhir ini mengandung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia
meloncat ke luar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun
dunia-kangouw.blogspot.com
menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng. Suara yang mengandung
isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.
“Perempuan... Aku benci... Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia
pun meninggalkan aku! Aihhh, benci aku...! Benci aku...! Benci... !” Suara itu makin menjauh.
Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran kalau mengenangkan keadaan Suma
Hoat. Diam-diam ia merasa heran mengapa seorang pemuda yang ia tahu berwatak mata keranjang dan
suka mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap
seorang gadis!
Melihat keluarga itu berduka dan berkabung, Menteri Kam Liong pun berpamit. Di sepanjang jalan ia
menyesali nasib keluarganya.
Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh sakit. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan
menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak
setia, bercinta palsu dan lain-lain. Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan
sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya tentu saja menjadi
bingung dan mengundang semua tabib yang ahli untuk mengobati puteranya.
Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar. Tanpa
membuka matanya ia mengenang semua peristiwa yang menimpanya, terkenang kembali kepada Kim
Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, “Semua perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak
setia, malah meninggal pergi!”
Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat pembaringan. “Tidak semua perempuan palsu cintanya, Suma
Hoat. Betapa mudahnya mencinta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun... kalau diberi kesempatan...!”
Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan sapu tangan yang harum dipergunakan
oleh jari-jari itu mengusap peluh di dadanya.
Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang
usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa!
Muka yang halus itu kemerahan, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah
selalu menantang cium!
Wanita yang matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat! Wanita cantik
jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan kata-katanya, terutama
sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!
“Kau... siapakah...?” Suma Hoat bertanya, diam-diam kagum melihat wajah itu.
“Aku? Namaku Bu Ci Goat, aku... baru setengah bulan di sini. Aku selir ayahmu yang paling baru.”
“Oohhh...!” Tanpa disadari seruan ini mengandung kekecewaan.
“Mengapa? Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seperti aku?” Bu Ci Goat
mendekatkan mukanya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali.
Jantung Suma Hoat berdebar dan ia menegur. “Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau apa?”
Wanita itu tersenyum dan memegang tangan Suma Hoat. “Engkau sakit, dan sudah sepatutnya aku
menengok dan menjaga. Aku pun seorang ahli mengobati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah saja
obatnya!”
“Apa?”
“Ini...!” Berkata demikian, wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapatkan tangan pemuda itu ke
dadanya, sehingga terasalah oleh pemuda itu gumpalan daging yang hangat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh... jangan...!” Suma Hoat menarik tangannya akan tetapi terkejut karena ternyata tangan yang
memegangnya itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biar pun belum tentu wanita ini memiliki kepandaian silat
tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!
“Mengapa tidak? Engkau menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya
satu! Dan aku... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kau buktikan sendiri!” Setelah berkata
demikian, wanita itu lalu merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan membelainya.
Jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan itu telah membukai pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri
seperti telah terbuka sendiri sehingga tampak bagian tubuhnya yang menggairahkan. Karena
kesadarannya belum pulih benar, tanpa diketahuinya bagaimana mula-mulanya, Suma Hoat mendapatkan
dirinya dipeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat, serangan ciuman dan
belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!
Ketika itu Suma Hoat mulai terangsang dan lupa diri. Ia seolah-olah menemukan pegangan baru setelah
dirinya hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar menggairahkan,
berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan Kim Hwa. Tiba-tiba daun pintu
terbuka dan muncullah Suma Kiat, ayahnya!
“Bocah setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri? Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu! Engkau benarbenar
mencemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi! Hayo minggat dari sini! Engkau tidak patut menjadi
puteraku!”
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali dan ia meloncat turun dari pembaringan, membereskan
pakaiannya yang ‘dilucuti’ oleh Bu Ci Goat tadi.
Bu Ci Goat dengan tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian menghampiri suaminya,
memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil berkata, suaranya
merayu, “Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha untuk mengobati sakitnya, dia menderita sakit
rindu yang hebat...”
Wajah Suma Kiat yang tadinya marah dan kemerahan dengan matanya yang beringas itu menjadi lunak
ketika ia menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat dikasihinya. Ia lalu
berkata, “Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat. Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku
tidak suka melihat cintamu kepadaku terbagi, biar pun dengan puteraku!”
Menyaksikan semua ini, kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahan lagi. Ia lalu berkata nyaring, “Baik! Aku
pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka ini!” Pemuda itu lalu melompat ke luar dari
kamarnya dan pergi. Semenjak saat itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah ayahnya!
Dan mulai saat itu pula, di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan,
dengan kepandaiannya yang hebat, dengan keberaniannya yang mendirikan bulu roma para penjahat.
Akan tetapi di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda ini memiliki kebiasaan yang keji
sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita!
Dia sering kali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis remaja, siapa saja asal
dia wanita cantik dan sukar didapat. Dan hebatnya, sebagian besar wanita-wanita itu tidak menolak
kedatangan penjahat pemetik bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian merayu wanita secara
istimewa sekali ini!
Dialah Suma Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa wanita hanya lebih
pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar alat pemuas nafsunya!
Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul
sikap Bu Ci Goat dan ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya!
Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang pemerkosa nomor
satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa)
Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan keluarga Suma inilah yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali. Apa lagi ketika
ia melakukan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak buahnya
adalah tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di utara yang membujuk Kaisar untuk
memusuhi Khitan!
Sering kali menteri yang bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang
sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pendekar hebat dan disegani di dunia kang-ouw seperti
pendekar sakti Suling Emas, pendekar wanita Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lainlain.
Akan tetapi, juga terkenal sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka
seperti keturunan keluarga Suma itu.
Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena dahulu di waktu mudanya,
Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena
cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesungguhnya
kepada keturunan Suling Emas. Hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki kepandaian yang
amat tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena kebenciannya
kepada Raja Khitan yang juga merupakan putera Suling Emas, maka dia berusaha keras untuk
menghancurkan Khitan.
********************
Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari seperti terbang cepatnya, melalui
padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan gagah
dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana
dan rambutnya diikat sehelai sapu tangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan
sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Ada pun yang wanita berwajah
cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga membuat orang
yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jeri.
Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak dapat disangsikan lagi
bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Memang tepat sekali dugaan ini, karena mereka
itu adalah sepasang suami isteri yang apa bila disebut namanya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw
terbelalak, dan membuat tokoh-tokoh dunia hitam gemetar. Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pekkong-
to (Si Golok Sinar Putih) Tang Hauw Lam, sedangkan wanita itu adalah isterinya yang lebih terkenal
lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling
Emas!
Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami
(baca cerita MUTIARA HITAM), Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang
diduga oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini
telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan barat.
Mereka melewati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup di
antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya
putih seperti salju dengan manik mata berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala berwarna merah
darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan suami isteri pendekar selama belasan
tahun ini selain menambah pengalaman mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.
Suami isteri yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat
mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang, yaitu bahwa selama belasan tahun
menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan kekecewaan yang kadang-kadang
membuat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi
lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka mencucurkan air mata!
Betapa indah pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu
rindu juga kepada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya yang
aneh, penuh bahaya, dan amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biar
dunia-kangouw.blogspot.com
pun suami isteri ini merupakan orang-orang gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh
amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh.
Banyak mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan
Himalaya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung raksasa yang tidak
terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban
sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu
sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.
Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke
selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa perahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan!
Dalam pelayaran inilah mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa
Jepang. Mereka datang terlambat dan hanya berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan
yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu.
Anak-anak itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami isteri yang
tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun,
sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa. Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak
merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk
selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu
tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.
Demikianlah, ketika mereka mendengar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir
akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Raja Talibu di Khitan, lalu mereka berempat berangkat ke
daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suaminya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan.
Ketika tiba di pinggir hutan, mereka berhenti. Pek-kong-to Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu
berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khikang-nya.
“Ji Kun... ! Yan Hwa...! Hayo cepat kalian menyusul ke sini!”
Mutiara Hitam berkata sambil menghela napas panjang. “Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing
dan berlomba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?”
Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda!
“Ha-ha-ha, mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan!
Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan engkau
melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka
akan berlomba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat.”
Mutiara Hitam mengerutkan keningnya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan.
Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam persaingan dan percekcokan di antara mereka!”
“He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimana pun juga,
mana bisa aku menangkan engkau?”
Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga. Hidup di samping suaminya yang
selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah? “Sesukamulah, akan tetapi engkau pun
harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun.”
“Tentu saja... tentu... Jangan khawatir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam!
Ilmu keturunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!”
Pada saat itu tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan
yang berlari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua orang anak itu
bukan sembarangan berlari, melainkan berlomba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka!
Ketika tiba di situ, Ji Kun menang beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka
cemberut, sungguh pun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari
kami!” Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa sedih hati
Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apa lagi ketika ia mendengar bahwa Kerajaan
Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur
dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat menahan kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis!
Dua orang muridnya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa
pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapa pun juga. Pula, merupakan pantangan bagi
isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia menangis.
Setelah beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi seorang diri dan memesan kedua
orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri isterinya, perlahan-lahan ia
duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata halus.
“Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Menurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi
gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur sebagai raja
dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan
senjata di tangan, mempertahankan kerajaan hingga titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak
kembarmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat mengakhiri hidup
seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka,
apakah kini engkau hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangismu?”
Mendengar ucapan suaminya ini, Mutiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi, ketika menoleh
memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram, pandang mata yang biasanya berseri
itu kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil
menangis lagi.
Tang Hauw Lam memeluk tubuh isterinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Hemm, tenanglah... tenang, isteriku. Lihat... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah, betapa
memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!”
Mutiara Hitam menghentikan tangisnya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan
hati menderita itu dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal
tinju kiri dan berkata, “Aku harus membalaskan kematian mereka! Si keparat bangsa Yucen!”
“Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, isteriku. Pergunakanlah akal budl dan pertimbangan pikiranmu, jangan
dikeruhkan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak dapat
diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan,
maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh
bangsa Yucen dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai
dengan jiwa kependekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahatan manusia. Di dalam perang
bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tugas, seperti
juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan diri
dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?”
Teringatlah Mutiara Hitam dan kemarahannya mereda. “Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam saja
dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?” katanya perlahan.
“Agaknya aku dapat meraba pendirian Gak-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua adalah
orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia, apa lagi urusan kerajaan.
Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan sia-sia saja mereka menyucikan diri? Pula, kerajaan
telah diserahkan kepada mendiang kakakmu, Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua
urusan kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah
dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati. Yang
penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib puteri kakakmu? Bukankah menurut cerita orangorang
Khitan itu mereka mempunyai seorang puteri?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar!” Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. “Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama
pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar
para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Gobi-san!”
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk. “Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya sudah pasti
bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Gobi-san. Kalau benar demikian, selamatlah
keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”
Akan tetapi Mutiara Hitam mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku masih khawatir. Ayah dan
Ibu tidak pernah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apakah pasukan
pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur
kalau Maya sudah tiba di sana, sekalian klta menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita
temui. Aku sudah rindu kepada mereka.”
“Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita.”
Suami isteri pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan
menuju ke barat, ke arah Pegunungan Gobi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang
perjalanan menuju ke Gobi-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah di mana perang terjadi. Mereka
selalu menghindarkan diri dari perang antar suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin
berkembang menjadi kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di
daerah utara dan timur.
********************
Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang
manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok dan Mahendra sedang bertanding
mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat melarikan diri dengan kedua tangan masih
terikat menuju ke barat, memasuki sebuah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi
dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput, terengahengah.
Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia
menggosok-gosokkan tali pergikat kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas
rasanya kedua pergelangan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia
bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun
dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam.
Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani
berhenti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai, kemudian lari terus tanpa tujuan,
pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan, tiba di daerah
padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba
ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya terkejut sekali dan berdiri termangu-mangu,
mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi
mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa olehnya angin menyambar-nyambar ketika
bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang
aneh!
Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan
menyeramkan dari pada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada
yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka
rata-rata buruk dan menyeramkan!
Yang pria banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal menjadi satu
seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti sekumpulan bocah nakal,
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata gendut biar pun tubuh mereka ada yang kurus kering,
seperti tubuh anak cacingan!
Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu robekrobek.
Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak
tubuh atasannya dibiarkan telanjang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu
bergantungan seperti buah pepaya.
Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga
terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Ada pula yang memakai hiasan kalung terbuat dari... batu kerikil
biasa! Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak
perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun
mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!
Mereka itu mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari memutarinya,
mengeluarkan suara aneh, akan tetapi ada sebagian kata-kata bahasa Khitan yang dapat ia tangkap.
“Kejar...! Tangkap...!”
Mereka tertawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya
menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak kecil yang berada
di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara, “Kejar dan tangkap!”
Malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil,
tertawa-tawa gembira. “Ikut... Ikut...!”
Mereka ini juga ikut mengelilinginya dan bersorak-sorak. “Kejar! Tangkap!”
Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khitan itu, mengertilah Maya bahwa
dia diajak main ‘kucing-tikus’, yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka.
Kalau ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan kedudukannya menjadi
kucing.
Permainan anak kecil! Biar pun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, pamanpaman
dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap
seorang di antara mereka, seorang wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan ginkang-nya.
“Wusss!”
Luput! Maya hampir tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya
sehingga biar pun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya karena wanita itu telah
meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh
tidak kira di antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat!
Ia lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-laki ini pun
dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak! Maya menjadi penasaran dan
dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan
main cepatnya sehingga dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang
gila yang memiliki ginkang istimewa!
Karena disoraki dan ditertawai, timbul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapa pun ia mencoba
menangkap, tangannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menangkap,
apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang
tua ini berwatak seperti anak kecil, dan agaknya kecerdikannya pun tidak akan lebih dari pada seorang
anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil dari padanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan
permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lihat ular besar...!” Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke
arah pohon di depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat itulah Maya lalu menubruk wanita yang
buah dadanya panjang di dekatnya sambil tertawa, memegangi lengannya dan berkata, “Tangkap...!”
Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang
itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan campuran. Kini wanita
itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari
mengitari wanita itu seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan
mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi berkunangkunang
dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang tertawa-tawa.
“Tertangkap! Tertangkap!” mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Maya.
Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena
gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah
lingkaran dan mengangkat tangan kanan ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring.
“Dengarlah kalian! Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!”
Akan tetapi orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lenganglengong
menggemaskan hati Maya. Seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari
kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab, “Raja Khitan? Kami tidak kenal. Namamu Maya?”
“Benar!” jawab Maya kesal.
Orang-orang itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, “Kejar! Tangkap!”
Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti. “Dengar.
Aku mempunyai permainan yang lebih bagus dari ini.”
Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan.
Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih ‘cerdik’ dari pada
mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata, “Permainan apa?”
“Yang jenderal berada di tengah dan....”
“Apa jenderal?” semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.
“Jenderal... ya jenderal! Goblok kamu!” Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa
dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok!
Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang
harus cepat-cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus
menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang
menangis kalian cepat menangis. Mengerti?”
Ada di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya
mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu.
Melihat ini lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan
karena orang-orang itu baunya... ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
“Nah, bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
“Berjongkok...!”
Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan
memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang
terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan
dunia-kangouw.blogspot.com
kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa
gembira sekali.
“Wah, tidak beres!” kata Maya. “Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik,
baru berlomba mentaati perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?” Mereka semua
mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
“Awas, ya sekarang?” Maya bertolak pinggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja
menghentikan perintahnya atau menahannya di tengah-tengah. “Ber....”
Baru saja bilang “ber...” semua orang sudah terpelanting karena berlomba untuk berjongkok.
“...lari...!” Maya melanjutkan perintahnya.
Tentu saja orang-orang yang tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari
saling bertubrukan sambil tertawa-tawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah-polah
mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi
amat girang dan menganggap Maya sebagai anggota keluarga mereka sendiri. Mereka bermain-main di
tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.
“Pulang? Pulang ke mana?” Maya bertanya.
Wanita tua berkalung menggandeng tangannya, “Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!”
Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti oleh semua anak
buahnya.
Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa sekali
cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian
mereka memasuki goa yang amat dalam, merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat
luas dan orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali
kehidupan mereka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di
depan goa, serombongan anjing serigala menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya
Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak,
melainkan serigala-serigala yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara
menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan serigala itu mendekam ketakutan, kemudian
seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan
serigala itu pergi dengan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka
makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya
enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap
dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini diterima
menjadi anggota keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal peradaban!
Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah
dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran mereka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh
tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena
dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan
mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali memiliki
keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biar
pun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia benar-benar merasa heran sekali. Pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buahbuah
yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah itu dengan tangan,
ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.
“Dari mana kalian mempelajari gerakan yang demikian ringan dan cepat?”
Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya
mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan
takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Maya
dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.
“Eh-eh, perlahan dulu... wah, bisa jatuh aku...!” Maya terengah-engah karena temannya itu berlari cepat
sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung goa itu dan yang agaknya
tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
“Makan itu!” Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di
lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata,
“Aku takut! Takut!” dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak
kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi
saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat makhluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak
tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini? Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh
anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti pohon raksasa.
Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan?
Maya termenung dan memutar otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat
sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang ginkang mereka, kemudian anak itu kelihatan
takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang
mereka, atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka.
Agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat berguna dan
penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya.
Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah
pohon dan menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi.
Gerakan ginkang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang
timbul dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buahnya
ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar
keluarganya. Karena telah membawa Maya ke situ, tentu saja dia takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus kaki jauhnya
dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi
ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tampak, jauh
di bawah pohon itu. Dindingnya curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang
menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama
halnya jatuh dari langit!
Maya bergidik ngeri. Betapa mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan?
Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin Bhutan,
menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur
di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara
mengerikan dalam tangan sepasang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu?
Tidak seberapa!
Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia alami, semua kengerian yang telah dihadapinya, hati Maya
mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya
timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan ginkang sehebat yang dimiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
orang-orang itu, dia harus mendatanginya. Bahaya terpeleset yang dihadapinya akan sepadan dengan
pahala yang akan diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup
bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran
lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi
sedikit turun ke bawah. Kakinya meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari pegangan.
Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat
dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji
lebih dulu kekuatan akar atau batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya. Sekali akar putus
atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking
dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya
lima ratus kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam!
Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh
keringat. Kaki tangannya menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika
memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna
merah!
Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu.
Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling
besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah pohon itu
terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling
aman.
Tanpa mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu
mengatakan “makan itu”? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa keras seperti arak.
Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apa lagi disertai harapan bahwa buah ini
mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan ginkang-nya. Habislah lima butir buah itu dan
Maya merasa kenyang sekali.
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makin
lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan
bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya. Cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar
untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai
tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya.
Setelah isi perutnya terkuras ke luar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tulang
di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi
berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan
di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang
kotor dengan air yang mengucur ke luar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan
tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan
pakaiannya tercuci bersih, Maya kembali memanjat pohon.
Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan
bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya dia harus
makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya amat
lapar, tenaganya habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke atas.
Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apa lagi kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jeri setelah menderita hebat akibat
makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak
dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya
kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benarbenar
ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali lebih tinggi dari pada biasa!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya
makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawatir. Betapa pun
bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa
celaka. Dia harus naik dan kembali kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah,
mengantunginya dan kemudian mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya
karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya!
Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat naik, berpegang kepada lubang-lubang dan akar-akar di
permukaan dinding tebing. Hal ini adalah karena beberapa sebab. Pertama memang khasiat buah-buah
yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam
pendakian, naik lebih mudah dari pada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang
menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya,
kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang
mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum
memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi
begitu teringat kepada orang-orang aneh yang berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya,
terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang
selama tiga hari?
Maya memasuki terowongan dan berlari cepat sekali. Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi
sekali, tidak tampak seorang pun. Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya. Karena perutnya
lapar sekali, makan buah merah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi,
maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu, daging panggang yang masih hangat
dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan
yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan goa dan bermain-main,
bahkan kini rombongan serigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain-main di situ,
‘dipimpin’ oleh seorang anak laki-laki yang memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan
betapa binatang-binatang serigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar
dijinakkan kini lebih jinak dari pada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan
seorang kanak-kanak!
Akan tetapi ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas ketika ia memandang ke
arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan. Di antara mereka itu ada yang sedang menari-nari
berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang
daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor binatang buruan, tentu Maya tidak akan
melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang
dipanggang itu adalah... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang.
Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan
perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek
pemimpin mereka.
“Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang. “Heeiii, Maya telah kembali!”
Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini
membanting kaki dan membentak.
“Kenapa kalian membunuh orang ini?” Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya
karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
“Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!” Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai
seekor serigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing yang datang menunggang kuda ini telah
dunia-kangouw.blogspot.com
membunuh seekor di antara serigala-serigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu
mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang dagingnya!
“Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya...!”
Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat ke luar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu
menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya
oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, bahkan ada yang
seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara
menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan serigala itu membalas dengan
gonggongan meraung-raung, kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan... serigalaserigala
itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian
berserabutan mereka lari memasuki goa, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan serigala buas.
Agaknya semua orang itu berlomba memasuki goa dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang
kembali diserbu serigala-serigala buas itu cepat menendang seekor serigala terdepan, kemudian ia
membalikkan tubuh dan lari.
Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor serigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak
jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang
dicancang, lalu membalapkan kuda itu. Akan tetapi rombongan serigala itu tetap mengejar dengan
kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja
dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling.
Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan serigala itu kini
menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh
kesempatan selagi gerombolan serigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi,
bukan lari menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput
amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba dari samping bukit muncul serombongan serigala lain, dan dari
belakang pun serigala-serigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini
bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang,
tidak ada pohon di situ, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celahcelah
di antara batu karang yang merupakan sebuah goa kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi,
maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki goa yang amat kecil.
“Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor serigala dari belakang!
“Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!” Maya menjadi marah. Segera ia membalikkan tubuh, menendang serigala yang menggigit
celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk! Kainggg... kainggg...!” Serigala kedua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir
remuk.
Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya
untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam goa kecil, kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang
menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup goa kecil!
Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa
tahu serigala-serigala itu dapat membuka penutup goa dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat.
Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa,
dunia-kangouw.blogspot.com
bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis
digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan
semua itu.
Akan tetapi tidak ada serigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa serigala paling takut
memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing
penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular
yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan
tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi keadaan di situ sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat
ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah
mereka? Tiba-tiba Maya mendapat pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke
pohon rahasia mereka untuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya.
Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing serigala, Maya lalu mengambil keputusan untuk
menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak
akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apa lagi setelah melihat mereka membunuh dan
makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbaik dengan mereka dan
kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang
curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheranheran
dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua
berada di sana, di pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramairamai
mengambil buah sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk...!”
Seketika wajah Maya menjadi pucat. “Celaka!” serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang
berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersoraksorak,
agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak
tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi.
Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan.
Kemudian ia termenung di pinggir tebing dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa
agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang-orang itu merasa
khawatir kalau-kalau ia akan ‘menghabiskan’ buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah
agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya,
baik yang merah mau pun yang masih hijau, yang besar mau pun yang masih pentil.
Karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan
sambil bersorak-sorak, akhirnya pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat
mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang
aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya
meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal
sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan serigala.
Berpikir demikian teringatlah ia akan serigala-serigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus
keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apa lagi setelah sekarang penghuninya
mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ,
tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan tetapi bagaimana ia harus
melewati gerombolan serigala yang menanti di luar goa?
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apa lagi
semenjak keluar dari kota raja Khitan ia berkali-kali menghadapi maut dan mengalami hal-hal yang amat
menderita, keberaniannya makin menebal, dan tidak mudah dia berputus asa menghadapi rintangan apa
dunia-kangouw.blogspot.com
pun juga. Setelah memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama tinggal di situ, ia teringat bahwa serigalaserigala
itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api!
Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan
pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit
kulit itu sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari ke luar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit
binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja nyala apinya dapat bertahan lama. Ketika ia tiba di
pintu goa depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan serigala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia
terus melangkah ke luar dan begitu serigala-serigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang
ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Serigala-serigala itu melengkinglengking
ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat
keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu.
Rombongan serigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka
pun berhenti mengejar. Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang
tongkatnya karena apinya pun sudah padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mencurahkan perhatiannya
kepada kemajuan ginkang-nya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mungkin.
Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya sendiri.
Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia
minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan serigala buas itu pasti takkan mampu
menyusulnya! Dengan dada lapang Maya berlari, rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat
sekali seperti seekor kijang muda.....
********************
Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol
yang dibantu bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat
kedudukannya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku bangsa
yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah ditundukkan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa
Yucen menjadi kuat sekali sehingga setelah memenangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan
kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus
terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Naiman dan Kerait
hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal
batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan
wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena itu perjalanan yang
ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon
besar, dari mana dia menyaksikan perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh
mayat bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya berani turun dari
pohon itu, dan ada kalanya dia harus bersembunyi di dalam goa yang lembab dan dingin kotor sampai
berhari-hari.
Pada suatu senja, Maya yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Gobi
yang penuh dengan selingan padang pasir luas. Ia merasa bingung ketika melihat dari sebuah lereng bukit
ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki bukit. Entah berapa luasnya padang pasir itu karena
tidak tampak tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak
seperti laut!
Ia merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus menyeberangi padang pasir itu,
dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengarnya dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang
pasir yang kadang-kadang mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh
padang pasir itu. Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang yang kehabisan air dan persediaan
makan yang kelaparan dan terutama sekali kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-limpah akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
apa bila didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman tinggal di tempat itu dan setiap saat
siluman-siluman itu mengganggu manusia!
Maka Maya tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui
pegunungan yang biar pun amat sukar ditempuh, namun setidaknya sudah dikenalnya. Sejak kecil ia
sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini dikenalnya, tidak
seperti padang pasir yang gundul dan mengerikan itu.
Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini tampaklah olehnya
di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat
tinggal manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesokan harinya berangkatlah ia ke barat. Siapa
kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga
sampai matahari naik tinggi belum juga ia sampai ke tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang
semalam tampak penerangannya dari puncak bukit.
Ia menjadi girang ketika melihat sebuah bangunan tak jauh di depan. Biar pun dia sudah lelah sekali dan
peluhnya membasahi muka dan leher, namun melihat bangunan itu, Maya melupakan kelelahannya dan
berjalan lagi menuruni lereng. Tentu di situlah dusun yang dilihatnya semalam dari puncak. Akan tetapi
betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi
kini sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah runtuh, lantainya berlumut
dan dindingnya menjamur. Biar pun demikian, lumayan untuk tempat mengaso di terik panas membakar
seperti itu.
Tiba-tiba Maya cepat memasuki bangunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu
bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena hampir
saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan main.
Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, dan salah seorang berpakaian sebagai seorang perwira
bangsa Yucen.
Ada pun yang seorang lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti
pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya, akan tetapi yang
bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk
dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat
menduga bahwa kedua orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi.
Terdengar mereka berbisik-bisik.
“Benarkah dia sedang mendatangi ke sini?”
“Tidak salah,” jawab yang berpakaian perwira Yucen. “Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua
kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lolos.”
“Akan tetapi yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu
dengan gurunya?” Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.
“Betul dia! Memang dia pandai menyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang
cerdik sehingga tidak pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah orangnya.”
“Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah yang akan menangkapnya,” pemuda muka kuda
berbisik. Si Perwira Yucen mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka
kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang telah melesat ke atas atap yang masih ada, di
atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur ke jalan depan kuil.
Biar pun Maya hanya dapat mengintai melalui lubang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca dan
tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor kuda dari derap kakinya
yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini berdebar tegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi
sesuatu yang hebat, sungguh pun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula
pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya!
Apakah artinya semua itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik keras
dan terdengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding.
Maya menggunakan keringanan tubuhnya, menyelinap ke luar dan mencari tempat persembunyian di
sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan mengintai. Tampak olehnya seorang
laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu,
sedang bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang memakai topi lebar itu gagah dan
gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya mendapat kenyataan bahwa Si Pemuda muka
kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundurmundur,
memutar pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung di tangan pemuda itu.
“Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau
menyerangku?”
Namun pemuda muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi
lebar itu makin terdesak.
“Engkau... engkau mengkhianati kerajaan...?” Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba untuk menangkis
golok yang menyambar kepalanya. Akan tetapi pada saat itu tangan kanan pemuda bermuka kuda yang
bertangan kosong karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak tangan ke
depan.
“Blukk! Aiihhhh...!” Laki-laki bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntahkan darah segar, akan tetapi
masih berusaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh, goloknya
menyambar ke depan dari samping.
“Crokk!” terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas
siku!
Maya menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan seperti itu saja, dahulu setiap
hari dilihatnya ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan, bahkan yang lebih dari itu pun sudah ia
anggap biasa! Akan tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup,
menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan amplop ke mulutnya.
“Crass!” Kembali golok menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan
disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.
Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengahengah,
“Siangkoan Lee... bunuh aku tapi... jangan ganggu... Khu-ciangkun...!”
Terpaksa Maya membuang muka ketika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun
golok dan... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah muncul
sambil berkata, “Bawa kepalanya!”
Perwira Yucen ini dengan muka berseri girang menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari
tubuhnya, kemudian memuji. “Sungguh hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini
muda sudah memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali mendengar
pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!”
“Aku hanya menjalankan tugas. Marilah!” kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee,
bekas pelayan, murid, dan juga pembantu Panglima Suma Kiat. Dua orang itu lalu berjalan pergi,
Siangkoan Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa kepala
yang masih meneteskan darah itu.
Entah mengapa, hati Maya tertarik sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang yang disebut
Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi lebar tadi adalah utusan yang
menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya. Ia tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat
dunia-kangouw.blogspot.com
dan bernama Siangkoan Lee. Dan alangkah kagum ia menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam
saat terakhir masih hendak melindungi Khu-ciangkun, dan bahkan hendak memusnahkan sampul suratnya!
Dia tidak mengerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka bahkan
membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang belum pernah dilihatnya.
Karena itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat
menduga bahwa Panglima Khu terancam bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat
perkembangannya dan kalau mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari
bahaya.
Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, Siangkoan Lee adalah bekas pelayan
yang menjadi murid Panglima Suma Kiat. Setelah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan
kota raja dan minggat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang amat
dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dan kini tanpa
ragu-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak berunding dan mengatur
siasat dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Peristiwa yang terjadi mengenai keluarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut campur menambah rasa
dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apa lagi karena urusan itu mengakibatkan puteranya patah hati
dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil
menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluarga Raja Khitan! Kini dia mulai mengintai dan ingin
sekali menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam
Liong!
Akhirnya berkat kelicinannya dan penyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk membongkar
rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa kepergian seorang panglima pembantu Menteri Kam Liong
yang bernama Panglima Khu Tek San bukanlah ditugaskan menjaga tapal batas sebagaimana dikabarkan,
melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang
dipercaya oleh Pemerintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di Yucen,
bekerja demi kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi, dia bekerja atas perintah gurunya, Menteri
Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!
Demikianlah, Suma Kiat lalu menugaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan agar
supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya hal itu tentu akan
memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung, dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan
sekutunya, yaitu para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar dan sudah siap-siap
untuk memberontak jika ada kesempatan.
Biar pun usianya masih muda, namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan baik sekali. Dia tidak
mau begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu yang di Yucen amat dihormati sebagai seorang
panglima gagah perkasa yang selalu ikut berperang membela Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan
bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu bekerja sebagai mata-mata di Yucen, tentu
ada satu cara dari panglima itu untuk mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya, Menteri
Kam Liong.
Akhirnya, setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui bahwa memang ada
seorang kurir yang menghubungkan guru dan murid itu. Dengan petunjuk seorang perwira Yucen, akhirnya
Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir, memenggal kepalanya dan merampas suratnya, kemudian
dengan bekal dua tanda bukti ini berangkatlah dia ke perkemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di
tempat itu dalam operasi pembersihan. Ketika itu Raja Yucen disertai para panglima, di antaranya
Panglima Khu yang dipercaya!
Akan tetapi, sungguh Siangkoan Lee tidak pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan
masak dan dilakukan dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan berusia
sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah menyaksikan semua perbuatannya! Bahkan dia
tidak tahu ketika mereka sudah tiba di perkemahan di waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap
melalui perkemahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya menjadi bingung. Bagaimana dia harus menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang
manakah Panglima itu dan di mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani menanggung bahayanya.
Dengan langkah lebar ia menghampiri beberapa orang tentara yang menjaga. Tiga orang tentara itu
tercengang keheranan ketika tiba-tiba dari tempat gelap muncul seorang anak perempuan yang begitu
cantik dan bersikap begitu tabah dan berani.
“Eh, kau siapakah?”
“Aku adalah keponakan dari Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun, nanti
kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk kalian.”
Tiga orang anggota tentara Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-heran dan ragu-ragu. Panglima
Khu adalah seorang di antara para panglima Yucen yang gagah perkasa dan dipercaya oleh Raja.
Memang semua orang tahu bahwa panglima itu berdarah Han, akan tetapi sepak terjangnya sudah
membuktikan kesetiaannya terhadap Kerajaan Yucen.
Kini tiba-tiba muncul seorang anak perempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka menolak dan
mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa anak ini betul keponakan panglima gagah
itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi, kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andai
kata anak itu membohong, tentu anak ini yang akan dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam
hutan pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu.
Akan tetapi segera mereka berkata, “Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi kalau engkau membohong, jangan
bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!”
Apa boleh buat, pikir Maya. Dia beriktikad baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin kalau pamrih baik
dibalas hukuman mati. “Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!”
Tiga orang tentara itu membawa Maya ke sebuah kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga.
Mereka menceritakan bahwa anak ini mengaku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar menghadap.
“Hemm, kalian mencari penyakit,” kata dua orang penjaga. “Akan tetapi, masuklah. Ciangkun sedang
duduk sendiri, kalau kalian dimaki jangan bersambat kepada kami.”
Maya diajak masuk dan ketika Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat
puluhan tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah Panglima Khu. Maka ia lalu berlari
ke depan menjatuhkan diri dan berlutut dan berkata, “Paman Khu... saya mohon bicara empat mata
dengan Paman mengenai surat bersampul kuning dan laki-laki bertopi lebar!”
Mula-mula panglima itu terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang prajurit memasuki kemahnya
membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan gadis itu, berubahlah
sikapnya. “Pergilah!” katanya kepada tiga orang prajurit sambil melempar beberapa mata uang ke arah
mereka. “Dan terima kasih sudah mengantar keponakanku ke sini!”
Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran panglima itu. Setelah tiga orang prajurit yang
kegirangan tadi menerima hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu sambil
bertanya, “Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan?”
“Anak baik, engkau siapakah dan apa artinya kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar Khuciangkun.”
Perwira itu memegang tangan Maya dan menariknya duduk di atas bangku di dekatnya sambil
memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak sembarangan, pikirnya.
“Ketahuilah, kalau engkau seorang Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu, malah
lebih senang melihat engkau mampus! Akan tetapi karena engkau panglima palsu dan tentu engkau
memusuhi Yucen, aku bersedia menolongmu.”
Terbelalak mata panglima itu. “Apa maksudmu?” Ia berbisik dan menoleh ke luar kemah. “Bicara perlahan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya juga cerdik dan tahu bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak boleh didengar orang lain,
maka ia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Maya, puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah hancur oleh
bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang bertopi lebar yang membawa sampul
kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan sampul suratnya dibawa oleh seorang yang bernama Siangkoan
Lee. Kau akan dilaporkan....”
“Cepat! Kita harus pergi dari sini, sekarang juga!” Panglima itu dengan gerakan cepat dan kuat telah
menyambar tubuh Maya dan dipondongnya.
“Engkau pergilah, aku... biar aku lari sendiri!”
“Tidak. Paduka harus saya selamatkan! Harus!” Panglima itu berkata dengan hati penuh keharuan dan
ketegangan.
Sungguh mimpi pun tidak dia akan bertemu dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja Khitan adalah adik
tiri gurunya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan gurunya sendiri yang harus dia selamatkan!
Rahasianya sudah diketahui orang, entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang
bernama Siangkoan Lee itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak perempuan ini
adalah puteri Kerajaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini, wajah panglima itu
berubah. “Terlambat...! Paduka... jangan mengaku sebagai Puteri Khitan, tetap mengaku keponakan...
keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir. Mengerti?”
Maya membelalakkan mata akan tetapi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan berterima kasih.
Keputusan hatinya untuk menolong panglima ini ternyata tidak sia-sia! Panglima ini seorang yang gagah
perkasa, yang dalam saat berbahaya itu lebih mementingkan keselamatannya dari pada keselamatan
sendiri!
Dengan langkah tenang sambil menggandeng tangan Maya, Panglima Khu berjalan ke luar dan menuju ke
perkemahan besar di mana semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi terompet
tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran, panglima dan perwira. Dengan
sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang siap
dengan senjata mereka, juga pasukan anak buahnya sendiri sehingga diam-diam ia mengerti bahwa
keadaan amat berbahaya. Agaknya Raja yang telah mengetahui rahasianya telah siap menangkapnya.
Biarlah ia berkorban nyawa untuk negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang digandengnya, dia
menjadi bingung!
Para panglima telah siap semua berkumpul di depan kemah Sri Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan
mereka itu memandang heran kepada Khu-ciangkun yang datang menggandeng seorang anak perempuan
cantik.
“Keponakan... selirku!” jawab panglima ini pendek ketika rekan-rekannya bertanya sehingga di sana-sini
terdengar suara ketawa.
Akan tetapi, mereka semua menjadi diam dan bersikap menghormat ketika terdengar suara terompet dari
dalam kemah, tanda bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat dimulai. Tempat di depan kemah itu
telah menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan para prajurit pengawal. Raja keluar dari
kemah dengan... menunggang kuda! Memang Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau
menghadapi para panglimanya dan bangsa Yucen merupakan bangsa yang paling ahli berperang di atas
kuda. Di belakang Raja tampak seorang laki-laki bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.
“Khu-ciangkun...!” Tiba-tiba Raja berseru keras memanggil.
“Hamba siap!” Khu-ciangkun melangkah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya dengan sikap gagah
dan hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di belakang dan anak itu memandang dengan hati tegang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Khu-ciangkun! Selama ini aku percaya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira
ternyata engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!”
Semua panglima saling pandang, dan terdengar suara mereka berisik sekali karena tuduhan ini benarbenar
amat hebat!
“Ampun, Tuanku, akan tetapi tuduhan yang tidak ada buktinya merupakan fitnah keji,” Khu-ciangkun
menjawab dengan suara tenang.
“Fitnah, ya?” Raja membentak dan memberi tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera
membuka kantung dan melemparkan sebuah benda di atas tanah. Benda itu adalah kepala orang!
Semua orang memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja berkata lagi, “Orang she Khu!
Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghubungkan engkau dengan gurumu di Kerajaan Sung!
Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong. Hayo mengaku!”
Khu-ciangkun tetap tenang. “Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang yang
mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah buktinya, Tuanku?”
”Bukti lagi? Lihat ini! Surat Menteri Kam Liong untukmu, keparat!” Raja itu mengeluarkan sebuah sampul
kuning dari sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
Akan tetapi, dalam suasana yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah
pasukan Yucen yang dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda dan mereka ini menyeret tubuh
dua orang anak yang meronta-ronta!
Apakah yang telah terjadi? Siapakah dua orang bocah yang ditawan oleh pasukan Yucen itu? Mereka itu
bukan lain adalah Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya.
Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen?
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya, Pek-kong-to Tang
Hauw Lam, bersama kedua orang muridnya itu, setelah mendengar akan kehancuran Khitan dan tewasnya
raja dan ratu lalu bermaksud mengejar pasukan yang mengantarkan Maya ke Gobi-san. Karena
pengejaran itu dimaksudkan untuk melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak tahu
jalan mana yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan lebih, maka mereka melakukan
perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru mereka, maka
sering kali kedua orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang melakukan penyelidikan setelah
memberi tahu bahwa mereka berdua akan mendahului ke atas bukit di depan atau padang rumput di depan.
Pada sore hari itu, kembali dua orang anak itu mendahului guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput
yang luas. Tiba-tiba muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil tertawa-tawa. Dua orang
bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja bangsa Yucen yang di dalam hatinya memusuhi
orang-orang selatan ingin mempermainkan dua orang anak ini.
”Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik, berlututlah kalian dan minta ampun kepada tuan-tuan besarmu, baru
kami akan melepaskan kalian!” berkata seorang di antara para panglima Yucen yang menunggang kuda.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak yang sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat
tinggi. Selain berani dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua orang gurunya,
terutama sekali nama besar ibu gurunya. Siapa berani mengganggu mereka?
“Kalian ini berandal dari mana berani mengganggu kami? Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak
memberi ampun lagi!” bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang.
Juga Ok Yan Hwa bertolak pinggang sambil membentak. “Sungguh tak tahu diri, berani mengganggu anak
naga dan harimau!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang anggota pasukan itu tertawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. “Ha-ha-ha,
engkau anak naga, ya? Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila?” Seorang di antara mereka menghampiri
Can Ji Kun.
“Wah, yang ini biar pun masih belum dewasa sudah cantik sekali!” Tentara kedua menghampiri Ok Yan
Hwa, tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis cilik itu.
Tiba-tiba dua orang anak itu menerjang ke depan. Terdengar teriakan-teriakan keras dan dua orang
anggota pasukan itu roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah rasanya dihantam
oleh dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah semua pasukan, terkejut dan marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan
membunuh, akan tetapi empat orang panglima berseru, “Jangan bunuh! Biarkan kami menangkap
harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri Baginda. Siapa tahu mereka ini ada
gunanya kelak!”
Setelah berkata demikian, empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang melingkar-lingkar di lengan kiri
mereka. Ujung tali itu dibuat semacam lasso dan kini mereka berempat yang menunggang kuda
mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang tetap diputar-putar. Dua orang
anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi mereka bingung ketika dikurung empat ekor kuda dan
memandang tali berujung lasso yang diputar-putar.
Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa. Dara cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso
itu mengejarnya, ia menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji
Kun dapat menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso menyambar. Bahkan
sampai berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke arah mereka, namun dengan lincah sekali
dua orang anak itu tetap dapat mengelak.
Empat orang Panglima Yucen ini menjadi penasaran sekali. Mereka lalu berpencar menjadi dua
rombongan dan mengeroyok setiap anak dengan lasso mereka. Kini repotlah dua orang anak kecil itu dan
tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan tertangkap! Dua orang panglima memegangi lengan
setiap anak dan mengangkat tubuh anak itu di antara kuda mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah
tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak minta tolong, hanya
memaki-maki dan meronta-ronta.
Sikap dua orang anak inilah yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak
memperlihatkan sikap yang berani luar biasa, tentu mereka dianggap anak-anak biasa dan sudah dibunuh.
Kini para panglima itu menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh kedua orang anak itu dan merasa
perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa itu kepada raja yang kebetulan berada di perkemahan.
Sementara itu, Khu Tek San yang melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia
tidak dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan untuk mengorbankan
dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam pekerjaannya memata-matai Yucen. Yang terpenting sekarang
adalah berusaha menyelamatkan diri Puteri Maya dan menyuruh puteri Kerajaan Khitan itu pergi ke selatan
menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan berita tentang kematiannya.
Ketika melihat keributan dengan datangnya panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, Khu
Tek San cepat berbisik kepada Maya, “Engkau larilah sekarang, cepat!”
Akan tetapi Maya menggeleng kepala. “Aku hanya mau lari kalau bersama engkau!”
Panglima she Khu itu memandang penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu
Suling Emas, pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan! Tiba-tiba Panglima
Khu dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu.
Yang perempuan berkata galak. “Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera
membebaskan kami, tentu akan mampus!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Guru kami, pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, tentu akan
membalas dendam!” kata anak laki-laki, sikap mereka berdua sedikit pun tidak takut dihadapkan pada Raja
Yucen.
Tentu saja Khu Tek San terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal
yang begini kebetulan secara berturut-turut? Pekerjaan rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya, dan
kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah adik
kembar Raja Khitan, jadi adik tiri suhu-nya pula, karena itu bukan hanya Maya yang harus diselamatkan,
melainkan juga dua orang bocah itu!
“Apa pun yang terjadi, aku harus berusaha menyelamatkan mereka,” bisik Khu Tek San kepada Maya.
“Kau larilah dalam keributan ini!”
Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah
dua orang anak itu. Cepat bagaikan seekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima
muda yang memegangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian Khu-ciangkun, maka
mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar
tangan Can Ji Kun, anak laki-laki itu.
Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak. “Budak cilik! Aku tidak butuh
pertolonganmu!”
Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di situ pula, tadi menyambar tangan Yan
Hwa dan ditarik mendekatinya. Ia merasa makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam
keributan seperti yang dipesankannya, malah menyusulnya meloncat ke depan untuk menolong dua orang
murid Mutiara Hitam!
Keadaan menjadi geger. “Kurung...! Tangkap...!” Raja Yucen berteriak marah sekali.
Tek San bersama tiga orang anak itu dikurung rapat oleh pasukan panglima yang telah menghunus senjata.
Tek San menjadi khawatir sekali. Dia tidak takut mati di tangan musuh-musuh ini, akan tetapi bagaimana ia
dapat menyelamatkan tiga orang anak itu?
“Sri Baginda Yucen...!” Ia berteriak lantang. “Aku Khu Tek San sebagai seorang laki-laki sejati telah
mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata
terbuka! Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah Paduka
membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biar pun kami berempat akan mati, namun
kami pun akan menyeret nyawa beberapa orang pengawalmu!”
Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali membentak. “Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si
Pengkhianat ini dan tiga orang anak iblis itu!”
Tek San yang mengambil keputusan untuk melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap
menghadapi pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali dan tak dapat
menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu pun telah bersiap-siap dengan pasangan
kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya sehingga mereka berempat beradu punggung menghadap ke
empat penjuru!
Bukan main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar-benar merupakan
anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil itu, menghadapi bahaya maut tidak
menjadi gentar dan putus asa, melainkan hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan sekali. Pengurungan makin ketat dan sudah dapat dibayangkan bahwa
betapa pun gagahnya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu banyaknya
panglima, perwira dan prajurit Yucen, tentu dia takkan menang.
“Tahannnn...!” tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lengking nyaring ini disusul berkelebatnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya
terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang diduduki Raja Yucen dan
bayangan kedua menyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang berada di sebelah kanan raja. Hanya
terdengar suara gedebukan dan suara “ah-uh-ah-uh” disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua
orang panglima tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja semua pasukan
menjadi terkejut dan mengalihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga orang bocah itu.
“Suhu...!” Ji Kun berteriak girang.
“Subo...!” Yan Hwa juga bersorak.
Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri
seorang wanita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung lengan Raja ke belakang tubuh dengan
tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya
seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan
dua buah kepala itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
“Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh!” Wanita yang bukan lain adalah
Mutiara Hitam itu membentak.
“Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe
juga!” Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. “Dan penukaran ini sudah cukup
menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak
perempuannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami tukar dengan dua puluh tiga jiwa! Wah,
kami sudah banyak mengalah!”
Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang
terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara
Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. “Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang, mana
yang dua puluh orang lagi?”
“Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di
tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa mereka
kepada tubuh masing-masing sambil menanti penukaran ini!” jawab Pek-kong-to Tang Hauw Lam
seenaknya.
“Bebaskan mereka!” Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.
“Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke sini!” Mutiara Hitam berteriak.
Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan gerakan indah serta ringan mereka melayang ke atas batu
besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan
loncatan yang lebih cepat lagi!
“Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam?” Maya bertanya kepada Mutiara Hitam
sambil memandang penuh kagum.
Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran menyaksikan bocah perempuan
yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya. “Siapa engkau? Dan
siapakah orang gagah di bawah itu?”
Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat. “Teecu Khu Tek San murid Suhu
Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima kasih atas
pertolongan Ji-wi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh...!” Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi
berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri!
“Dan bocah ini...?”
“Dia adalah keponakan Sukouw sendiri, Puteri Maya...!”
“Aihhh...!” Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya.
Dipeluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih ‘menelikung’ Raja Yucen.
“Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan kami! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang
bocah itu?”
“Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.”
Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak
suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San,
maka ia menggeleng kepala dan berkata, “Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khuciangkun!”
Mutiara Hitam menghela napas panjang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka
cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirubah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponakannya,
tidak banyak berbantah lagi. Hatinya masih tetap keras dan angkuh.
“Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-hu-mu (Uwamu) Kam Liong pun
sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa orangorang
Yucen tidak akan mengganggu perjalanan kalian.”
Khu Tek San memberi hormat, kemudian menggandeng tangan Maya sambil berkata, “Marilah kita pergi!”
Keduanya melompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani
menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda
muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee
dan yang membunuh kurirnya.
Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi
jauh, Mutiara Hitam melepaskan lengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang
panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya tadi.
Mutiara Hitam menjura kepada raja itu dan berkata, “Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau menurutkan
nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan
kalian...”
“Ahhhh, tuduhan keji itu!” Raja Yucen membentak marah. “Raja Khitan dan kami pada saat terakhir
berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gugur!
Bukan kami yang membunuhnya!”
Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam berkata, ”Siapa pun yang
membunuhnya, kakakku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa.
Akan tetapi, kami tidak menanam permusuhan dengan siapa pun juga, dengan Raja Yucen pun tidak,
maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memusuhi kami dan memerintahkan kepada anak
buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami.”
Raja itu bersungut-sungut. “Musuh kami hanya negara lain, bukan perorangan. Apa untungnya
bermusuhan dengan Mutiara Hitam? Asal engkau tidak mengganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa
kami memusuhimu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, dengan demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda, dan maaf sekali
lagi!” Mutiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji Kun,
kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
“Sialan!” Raja Yucen membanting-banting kaki. “Turunkan aku...! Goblok kalian semua begini banyak
orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut memata-matai
kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada penyelesaian yang memuaskan, kugempur
wilayah Sung!” Raja itu mencak-mencak dan marah-marah.
Karena sudah bertemu dengan keponakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta muridmurid
tidak melanjutkan perjalanan ke Gobi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san di
mana terdapat sebuah goa besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa
pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi di mana-mana, Mutiara Hitam ingin
mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang
muridnya tiba di depan goa di puncak Yin-san, dan melihat seorang kakek dan nenek hidung mancung
telah menempati goa itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek.
“Kalian siapakah? Mau apa di sini?” Mutiara Hitam membentak sambil memandang tajam. Karena sekali
pandang saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia
menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu tertawa. “Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa
tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!”
Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru, “Wah-wah-wah, bukankah
kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita di
Himalaya, bukan?”
Mutiara Hitam teringat dan dia bertukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan
Mutiara Hitam berkata, “Aihh, kebetulan sekali!”
“Heh-heh-heh!” Nenek India yang bernama Nila Dewi terkekeh. “Memang kebetulan bagi kami, akan tetapi
tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!”
Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berkata, “Kami sudah mengenal
guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama kalian?”
“Aku Nila Dewi dan dia ini Mahendra,” jawab Si Nenek India.
“Maksud kedatangan kalian?”
Melihat sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata, “Wah, kami melihat
sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan
main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benar-benar seperti mutiara tulen, makin tua makin
mengkilap!”
“Mahendra, tidak perlu banyak menjilat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya
mengambil tempat kami?”
Mahendra tertawa, akan tetapi ketawanya ini agak dipaksakan untuk menutupi rasa gentarnya terhadap
wanita sakti itu. “Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa kehilangan murid
mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu? Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia ini,
akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman
dan enak seperti goa di puncak ini!”
Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan
plintat-plintut direntang panjang itu. “Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan kehendak kalian!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mutiara Hitam, kami mencontoh perbuatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki
tempat ini dan hanya akan kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan....”
Dua orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!
“Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak tingkah!” Mutiara Hitam membentak.
“Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari
gantinya dan...”
“Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara sekarang! Eh, Hitam
Jangkung! Kau katakan, kalau kami tidak mau memberikan murid-murid kami, lalu bagaimana?” Tang
Hauw Lam bertanya sambil tertawa.
“Kami pun tidak memberikan tempat ini!” jawab Mahendra dan bersama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di
depan goa.
Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang
segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang
membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik seperti dua orang murid
mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya masih bersabar.
Setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata mereka, Mutiara Hitam lalu berkata, “Nila Dewi
dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan
perbuatan. Nah, coba kalian kalahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan merintangi muridmurid
kami kalian bawa.”
“Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu,” kata
Mahendra. “Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan pergi
tanpa banyak ribut lagi.”
“Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan,
membersihkan dan membetulkan. Kalau kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah,
kalian juga harus mengorbankan sesuatu.”
“Apa?” Nila Dewi menjerit. “Kau menghendaki nyawa kami?”
“Bodoh! Kami tidak haus darah seperti kalian. Kalau kalian kalah, kalian harus membuatkan sepasang
pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat
dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami, karena
tukang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak sanggup.”
Mahendra tertawa. “Wah, hebat logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami.
Nah, bagaimana pertandingan ini diatur?”
Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biar pun suaminya memiliki ilmu
yang tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai atau membunuh
lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam permusuhan dengan orang India ini,
juga dia membutuhkan tenaga mereka.
“Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka
harus satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sendiri yang akan
maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!”
Mahendra dan Nila Dewl saling pandang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau
hanya maju dengan tangan kosong, apa yang perlu ditakuti? Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu
mencabut sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan
kosong?”
“Seorang gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong,
Mahendra. Nah, bersiaplah engkau!” Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan goa dan mereka
berhadapan.
Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lututnya, merendahkan diri
dan kedua tangannya dipentang lebar, pisau belati digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap ke
luar. Ketika ia menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa permukaan pisau itu menyorot
ke depan menyilaukan mata.
“Sepasang senjata yang bagus!” Mutiara Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan
pukulan dahsyat.
Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh, pisau kirinya menangkis lengan lawan dan pisau
kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan
mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan
kedua orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton
dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian
isterinya. Ketika isterinya maju dan menantang untuk menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka
tahulah ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya.
Dan memang ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh
terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu
mengalahkan Mahendra dengan melukainya! Padahal, isterinya sudah lama sekali merasa penasaran
mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka dapatkan di puncak gunung barat,
sampai kini belum ada yang mampu membuatnya menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke
timur. Mereka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi dari
Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke timur
menyusuri pantai Sungai Brahma Putera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki
Pegunungan Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan
terdengarlah suara menggelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di
atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!
“Agaknya itulah yang disebut batu bintang!” kata Mutiara Hitam.
“Jatuh begitu saja dari langit? Sungguh luar biasa!” Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani
sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu.
Baru pada keesokan harinya dengan berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah
mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi
girang dan menyimpan dua buah batu logam itu. Ketika sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui
ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi
semua ahli pedang tidak sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih
tetap keras saja!
Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara
Hitam dan suaminya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang yang sakti dan
agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari
dua buah batu logam itu untuk mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra
amat aneh. Gerakan sepasang pisaunya sangat cepat sehingga tampak dua gulungan sinar bergulunggulung
seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam, apa lagi setiap serangannya mengandung
tenaga sinkang yang amat kuat.
Namun Mutiara Hitam menghadapinya dengan ketenangan yang mengagumkan. Bermacam ilmu silat
tangan kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan
Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu. Akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan seorang
yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun, maka sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya.
Untuk melindungi tubuhnya dari sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi dia
terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya untuk mengelak. Yang menjadi
soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.
Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan,
suara melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khikang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari
ayahnya Suling Emas.
Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan sinkang untuk melawan gerakan suara mukjizat ini, Mutiara
Hitam sudah menerjangnya dan mainkan ilmu silat yang memiliki gaya tidak lumrah dahsyatnya! Dia telah
mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu
Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja,
namun tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di antara semua ilmu silat tangan kosong dan
merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan.
Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung. Gerakannya kacau-balau ketika angin
menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mutiara Hitam. Pendekar wanita itu baru
mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan Kilat).
Tubuhnya berkelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu kedua tangan dan
kakinya kadang-kadang menyambar secara tak terduga-duga!
“Ciaaatttt!” Mutiara Hitam berseru.
Tangan kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri Mahendra. Tokoh India ini
kaget sekali. Biar pun yang mengancam pisaunya hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari
kecil mungil itu mengandung tenaga sinkang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja dan ada
bahayanya pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke atas. Mutiara Hitam tertawa dan
Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat.
Dia tadi telah kena dipancing sehingga menekuk lengannya melindungi pisau, akan tetapi kiranya jari
tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehingga seketika lengan kirinya menjadi lumpuh
dan sebelum dia tahu bagaimana terjadinya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam
yang cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
“Bagus! Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah!” Mahendra membentak dan kini
menerjang makin hebat dengan pisau kanannya.
Mutiara Hitam melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau itu dan
memeriksanya penuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat kuat pula.
“Mahendra, bersiaplah engkau untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang
pedang untuk membayar taruhanmu!” Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu menerjang lawannya
dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung.
Tubuh wanita itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main, namun
mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula berputaran tanpa dapat
dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Rontokkan Bunga) dari ketiga-belas jurus
ilmu silat sakti! Mahendra berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat
dunia-kangouw.blogspot.com
dan tak dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula, sedangkan lututnya
tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!
“Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam!” kata kakek hitam itu penuh kagum.
Juga Nila Dewi yang mengikuti jalannya pertandingan dengan seksama mengerti bahwa dia pun bukanlah
tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata, “Kami tidak mendapat kesenangan
memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati kemenangan pertandingan, biarlah kita
menikmati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh. Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam. Kami
akan saling berlomba membuatkan pedang terbagus untukmu.”
Tang Hauw Lam mengeluarkan dua butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah
logam itu kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu,
mereka terbelalak dan membuat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra
berkata lirih, “Ya, Tuhan..., ini... besi bintang putih...!”
Nila Dewi juga terbelalak, mukanya agak pucat dan ia berkata, “Luar biasa... dan kita... yang mendapat
kehormatan membuatkan pedang... dari logam mulia dan keramat ini...!”
Mutiara Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemudian ia berkata, “Apakah
kalian hendak mengatakan bahwa kaLiang Bisa membuat sepasang pedang dari buah benda bola logam
ini?”
“Bisa? Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu kami
membuat pedang,” kata Nila Dewi.
“Benar,” Mahendra mengangguk-angguk. “Kami minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu. Betapa
pun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan po-kiam, apa lagi
menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena itu jangan mencampuri
pekerjaan kami.”
Mutiara Hitam mengangguk-angguk. “Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya
harus seperti ini!” Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas
tanah dan menerangkan modelnya, ukurannya dan lain-lain, diperhatikan oleh dua orang India itu yang
mengangguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahulah mereka pedang
macam apa yang harus mereka bikin.
“Kalian boleh menggunakan dua buah goa di kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan
mengganggu, akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan
pedang itu?”
Mahendra dan Nila Dewi berpikir-pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung. “Untuk mempersiapkan
tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja,” kata Mahendra.
“Hemm, yang harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan
dibentuk!” Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di tangannya.
“Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu,” kata pula Mahendra, kemudian ia menoleh kepada Mutiara Hitam.
“Kami minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam waktu seratus hari pedang ini belum jadi,
berarti kami tidak sanggup lagi.”
Mutiara Hitam menghela napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang
aneh dan ia percaya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana
mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam ia pun mengharapkan
agar mereka akan dapat berhasil membuat sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua buah benda
putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mukjizat dalam kedua
benda itu, pada satu ujungnya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya
tolak atau saling mendorong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang goa yang dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari
goa yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga mereka tidak dapat
melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar
kadang-kadang suara klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat
cahaya api dari dalam goa-guha itu. Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang
itu telah pergi meninggalkan goa tanpa pamit.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments