Jumat, 09 Juni 2017

Cersil Keren Mutiara Hitam 2

Cersil Keren Mutiara Hitam 2 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Keren Mutiara Hitam 2
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Keren Mutiara Hitam 2
Para tamu makin tegang. Setelah kini kedua pihak menggunakan senjata, tak dapat disangsikan lagi gadis
itu tentu akan mati dalam keadaan tubuh tidak utuh. Setiap anggota Cap-ji-liong memiliki ilmu kepandaian
khusus, bahkan sebelum menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu adalah ahli-ahli silat kelas satu. Kini
mereka maju bersama, dapat dibayangkan betapa hebatnya.
“Ha-ha-ha-ha! Sayang sekali kau akan tercincang mati... bunga liar seperti engkau sukar dicari...!” Tiba-tiba
terdengar suara Sin-seng Losu yang tadi kelihatan bersungut-sungut ketika beberapa orang di antara
murid-muridnya ada yang terluka.
Kakek ini sejak tadi melenggut di atas kursi, menonton pertandingan sambil merem-melek. Kelihatannya
saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia menonton dengan hati penuh
penasaran karena semenjak tadi, belum juga ia dapat mengetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal
ini benar-benar membuat ia kaget dan heran.
Biar pun ia sudah terlalu tua sehingga tenaga dan napasnya sudah berkurang banyak dan kalau
bertanding, dia sendiri tidak akan dapat mengatasi keampuhan Cap-ji-liong, akan tetapi pengetahuannya
dalam ilmu silat sudah amat dalam. Ia kenal baik hampir semua aliran ilmu silat di dunia ini. Akan tetapi
sekali ini, setelah melihat gadis itu bersilat sampai puluhan jurus, mengapa ia sama sekali tidak mengenal
aliran ilmu silat yang dimainkan? Ia anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis itu. Mirip-mirip ilmu silat Kunlun-
pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai, akan tetapi ketika menotok hampir sama dengan ilmu
totok Im-yang-tiam-hoat yang lihai dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi semua itu hanya mirip saja, dan sama
sekali bukan aslinya, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan aslinya!
Hal ini memang tidak mengherankan kalau orang mengenal dari mana Kwi Lan mendapatkan semua ilmu
yang aneh itu. Gurunya adalah seorang wanita yang luar biasa, yang puluhan tahun menyembunyikan diri
dan menelan segala macam ilmu tanpa ada yang menuntun. Dalam istana bawah tanah terdapat banyak
sekali kitab pelajaran ilmu silat peninggalan mendiang Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab
itu dari partai-partai besar. Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan, memang tidak sehat alias tidak
normal, maka ketika mempelajari semua ilmu itu ia telah menyeleweng dan ilmu yang asli berubah,
menjadi ilmu aneh dan ganas.
Kwi Lan juga mempelajari kitab-kitab itu sendirian saja, hanya menerima petunjuk-petunjuk dari gurunya.
Justru sedikit petunjuk itu menyeleweng dari pada aslinya, maka dapat dibayangkan betapa hasil ilmu yang
ia kuasai tentu saja lebih aneh dan lebih menyimpang dari aslinya! Melihat cara Kwi Lan bersilat,
jangankan Sinseng Losu, biar tokoh-tokoh dari partai yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri tentu
takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.
Ucapan mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi Lan hebat dan luar
biasa. Baru dari pedangnya yang berupa sebatang pedang kayu wangi sudah membuktikan bahwa gadis
ini biar pun masih remaja, namun sudah mencapai tingkat yang dinamakan tingkat ‘yang lunak
mengalahkan yang keras’, yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur tenaga yang dikendalikan
hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat dipergunakan untuk melawan senjata keras.
Akan tetapi, menghadapi pengurungan dua belas Cap-Ji-liong yang mempergunakan dua belas macam
senjata ini Kwi Lan benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan menyambarnya seperti hujan dan hanya
dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ilmu pedangnya yang aneh maka sementara itu ia masih
mampu bertahan. Seperti juga tadi, dua belas orang pengeroyoknya itu tidak mengeroyok secara
serampangan saja, melainkan mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh kuat. Perlahan akan
tetapi pasti mereka mulai menekan dan mendesak.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari sebelah dalam. Terdengar teriak-teriakan orang yang riuh rendah
saling bersahutan.
“Kebakaran...! Kebakaran...!”
“Tangkap bocah setan...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Celaka, tawanan gadis-gadis itu dilarikan...!”
Semua tamu terkejut dan dua belas orang Cap-ji-liong yang sudah mulai mengurung dan mendesak Kwi
Lan terpengaruh oleh teriakan-teriakan ini sehingga tekanan kepada gadis itu agak mengendur. Pada saat
itu berkelebat bayangan yang tertawa-tawa, “Ha-ha-ha, sungguh memalukan. Dua belas ekor monyet tua
mengeroyok seorang gadis jelita! Dua belas ekor naga kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!”
Kiranya bayangan ini bukan lain adalah Hauw Lam yang dengan gerakan cepat sudah meloncat dan
memutar goloknya menerjang barisan pengepung sehingga terbukalah barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu
mengeluarkan aba-aba. Barisan yang diterjang Hauw Lam sengaja membuka ‘pintu’ dan pemuda ini pun
sekarang masuk ke dalam pengurungan dua belas orang tangguh itu.
“Eh, Mutiara Hitam. Kita datang bersama, mana bisa sekarang engkau berpesta-pora sendiri saja melabrak
dua belas ekor monyet tua ini? Aku ikut. Hayo kita sekarang berlomba. Kita beradu punggung, dan lihat
pedangmu atau golokku yang lebih dulu membabat mampus mereka ini!”
Kwi Lan tersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan terdesak hebat. Namun seujung rambut ia tidak merasa
gentar. Ia tadi sudah siap-siap, kalau sampai ia kalah dan harus roboh di tangan dua belas orang
pengeroyoknya, ia tentu akan menyeret beberapa orang di antaranya, terutama sekali Ma Kiu untuk tewas
bersamanya! Untuk niat ini ia sudah menggenggam tujuh jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat
munculnya Hauw Lam yang mengajak ia berlomba, timbul kegembiraannya dan ia berseru.
“Berandal cilik! Kau lihat betapa aku merobohkan mereka!” Setelah berkata demikian, Kwi Lan mainkan
pedangnya menerjang maju. Empat orang di depannya cepat mengangkat senjata untuk menangkis dan
balas menyerang, akan tetapi pada saat itu tangan kiri Kwi Lan bergerak dan sinar hijau menyambar ke
depan.
“Awas...!” Ma Kiu berseru memperingatkan adik-adiknya.
Namun, jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari jarak dekat sehingga biar pun empat orang itu
berusaha mengelak, dua orang di antara mereka kurang cepat dan robohlah mereka sambil mengeluarkan
jeritan kesakitan. Murid-murid Thian-liong-pang segera menolong mereka ini dan kini sepuluh orang
pengeroyok menerjang dengan marah sekali.
Hauw Lam tertawa-tawa dan sambil berdiri saling membelakangi, dia dan Kwi Lan memutar senjata
menghadapi para pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu Hauw Lam. Tadi yang membuat ia
amat repot adalah penyerangan lawan yang berada di belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi
memperhatikan bagian belakang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap ada
serangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung menyambut serangan ini dengan tusukan atau
totokan yang mendahului sehingga si Penyerang terpaksa menarik kembali serangannya.
“Semua mundur...!” tiba-tiba Ma Kiu berteriak keras memberi perintah kepada adik-adiknya
Sepuluh orang itu serentak melompat mundur sambil menggerakkan tangan kiri. Maka berhamburanlah
senjata-senjata rahasia yang berbentuk peluru bintang, bagaikan hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi
Lan. Dua orang muda itu cepat memutar golok dan pedang, memukul runtuh semua senjata rahasia.
“Wah, kau yang mengajari monyet-monyet itu. Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita lekas pergi dari
sini!” Hauw Lam mengomel.
Kwi Lan setuju akan usul ini, maklum betapa besar bahayanya kalau pihak lawan mulai menyerang dari
jauh dengan senjata rahasia,. Akan tetapi sebelum mereka sempat mendapatkan jalan ke luar untuk
melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka injak tergetar dan dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos
ke bawah.
“Celaka...!” Hauw Lam berseru dan bersama Kwi Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat dicegah
lagi!
“Cari pegangan...!” Hauw Lam berseru pula dan merentangkan kedua tangannya. Goloknya ia tusuktusukkan
ke samping dan akhirnya tangan kirinya berhasil meraba dinding. Ia menggerakkan tubuh
sehingga tubuhnya yang meluncur itu terbanting ke kiri, menubruk dinding dan di lain saat tubuhnya
tergantung pada gagang golok yang dipegangnya erat-erat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Kwi Lan yang memiliki ginkang luar biasa itu, dengan menggerak-gerakkan kaki tangannya
dapat memperlambat luncuran tubuhnya, bahkan ketika kedua kakinya menyentuh dasar sumur, tubuhnya
membalik lagi ke atas sampai dua meter lebih, seakan-akan di kedua kakinya dipasangi per yang lemas
sekali.
“Mutiara Hitam... kau di mana...?” terdengar suara Hauw Lam di atas.
Kwi Lan sudah duduk di atas tanah berbatu dan menjawab, “Di bawah sini. Turunlah. Mau apa kau
bergantungan disitu?”
Hauw Lam menengok ke bawah. Sinar yang masuk dari atas memberi penerangan suram, akan tetapi ia
dapat melihat betapa gadis itu sudah duduk enak-enakan di sebelah bawah, kira-kira tiga meter dari tempat
ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga, mencabut goloknya dan meloncat turun di dekat gadis itu. Pada
saat itu terdengar suara berderit keras dan lobang di sebelah atas itu tertutup rapat kembali. Keadaan
menjadi gelap gulita, melihat tangan sendiri pun tak tampak!
“Wah, kita seperti dua ekor tikus masuk perangkap!” Hauw Lam berkata berusaha untuk tertawa, akan
tetapi menahannya karena khawatir kalau-kalau membuat gadis itu tak senang.
“Kau kenapa? Mau tertawa, tertawalah. Mengapa memandang kepadaku seperti orang ragu-ragu? Kau kira
aku takut? Huh, enak di sini!” kata Kwi Lan yang segera duduk melonjorkan kedua kakinya.
Hauw Lam terkejut. “Apa kau bilang...? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku... eh, Mutiara Hitam, apakah
engkau mempunyai nama seperti kucing?”
“Hemm, kalau aku kucing, engkau tikus! Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan apa yang kau
lakukan tadi.”
Tentu saja Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil tinggal di bawah tanah, di dalam istana
bawah tanah sehingga ia merasa enak berada di bawah tanah! Karena semenjak kecil biasa hidup di
tempat gelap, Kwi Lan memiliki mata yang sudah biasa dengan kegelapan dan dapat melihat benda di
dalam gelap, setidaknya lebih awas dari pada orang biasa. Mendengar suara gadis itu tidak dibuat-buat,
diam-diam ia merasa semakin kagum dan suka. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Selain cantik jelita
seperti dewi, juga wajar dan polos, ditambah kepandaian yang amat tinggi.
Tadi ketika dikeroyok Cap-ji-liong, gadis ini sudah memperlihatkan bahwa ia memiliki kepandaian yang
benar luar biasa. Jarang ada tokoh yang mampu mempertahankan diri dari pengeroyokan Cap-ji-liong, apa
lagi melukai dua orang di antara mereka dalam pengeroyokan. Dan sekarang, biar pun telah terjebak
masuk ke dalam sumur, gadis ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak membayangkan
sikap takut-takut.
“Nanti dulu, paling penting aku harus menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar,” kata Hauw Lam
sambil mengulur kedua lengan ke depan, meraba-raba.
“Tak usah kau selidiki lagi. Percuma, sumur ini sengaja dibuat untuk menjebak musuh. Dindingnya terbuat
dari batu tebal, tingginya lima tombak lebih dan di atas ditutup lembaran besi yang atasnya dipasangi tegel,
dan dapat terbuka atau tertutup sendiri dengan alat rahasia.”
Kembali Hauw Lam menjadi heran. Gadis ini bicara seakan-akan tidak berada di dalam gelap, seperti
menceritakan keadaan yang dilihatnya dengan nyata. Ia tidak percaya, lalu kedua tangannya meraba-raba
dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan gadis itu. Dinding sumur itu segi empat, lebarnya tiga
meter tiap segi, dan terbuat dari pada batu tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia tidak
dapat melihat apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba kepala gadis itu!
“Eh-eh, mau apa kau? Seperti orang buta saja!” Gadis itu membentak.
“Wah, maaf... aku... aku memang seperti buta di sini...”
“Duduklah dan jangan berkeliaran.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hauw Lam lalu duduk di atas lantai sumur. Tanah padas berbatu itu agak basah. Betapa pun juga ia tidak
dapat bersikap masa bodoh seperti gadis ini. Masa mereka harus menerima kematian seperti dua ekor
tikus dalam sumur? Ia harus berdaya untuk keluar dari dalam sumur ini. “Mutiara, aku tidak mengerti
bagaimana kau dapat mengetahui keadaan sumur ini. Akan tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak
mungkin kita meloncat ke luar dari sini. Biar pun begitu, dengan bantuan golok dan pedangmu, aku dapat
meloncat-loncat sambil menancapkan golok dan pedang bergantian pada dinding, terus sampai keluar.
Setelah itu aku akan mencari tambang untuk menarikmu ke luar pula.”
“Eh, takutkah engkau di sini?”
“Bukan takut! Akan tetapi kita harus mencari jalan ke luar.”
“Hemm, bagaimana kau akan membuka penutup besi di atas itu? Pula, siapa tahu begitu kau keluar, hujan
senjata akan menyambutmu?”
Hauw Lam terkejut. Beralasan juga kata-kata gadis ini. “Habis... bagaimana...?”
“Kita menanti kesempatan, dan sementara itu duduk mengaso di sini dan kau ceritakan apa yang terjadi
tadi.”
Malu juga rasa hati Hauw Lam mendengar suara gadis itu yang amat tenang. Ia lalu bercerita. Ketika tadi
melihat datangnya Ci-lan Sai-kong yang menggiring dua belas orang gadis-gadis muda yang diculik, Hauw
Lam marah bukan main. Akan tetapi ia menahan-nahan perasaan hatinya dan setelah mendapat
kesempatan ia lalu menyelinap ke dalam pada saat perhatian semua orang tertarik oleh perbuatan Kwi Lan
yang amat berani.
Setelah tiba di ruangan belakang, ia menyergap dan menotok seorang anggota Thian-liong-pang. Dari
orang inilah ia mendapat keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang ditahan di kamar belakang,
dijaga oleh empat orang anggota Thian-liong-pang. Ia menotok lumpuh orang itu kemudian melanjutkan
penyelidikannya. Tekad hatinya akan menolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, secara mudah ia merobohkan empat orang penjaga dan pada saat itulah dari
atas genteng melayang turun seorang laki-laki yang ternyata adalah Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liongpang
yang tadi diusir oleh Ma Kiu.
Girang hati Hauw Lam dan diam-diam ia kagum menyaksikan keberanian Ciam Goan. Biar pun sudah jelas
bahwa orang gagah itu tak mungkin dapat melawan para pimpinan Thian-liong-pang dan tadi pun sudah
dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih berani dan berusaha menolong dua belas orang gadis
tawanan. Tanpa banyak cakap mereka lalu memasuki kamar, membebaskan dua belas orang gadis itu.
Hauw Lam menyerahkan dua belas orang gadis itu kepada Ciam Goan untuk diajak melarikan diri,
sedangkan dia sendiri memancing perhatian orang dengan jalan membakar bangunan samping bagian
belakang. Akalnya berhasil baik. Semua orang lari ke tempat kebakaran dan mengeroyoknya sehingga
Ciam Goam dan dua belas orang gadis tawanan itu dapat pergi dengan aman. Hauw Lam sendiri lalu
memancing mereka yang mengeroyoknya ke sebelah dalam gedung, bahkan ia lalu bergabung dengan
Kwi Lan yang sudah terdesak oleh Cap-ji-liong sehingga akhirnya mereka berdua terjeblos ke dalam sumur
perangkap.
“Begitulah.” Hauw Lam mengakhiri ceritanya. “Kuharap saja orang she Ciam itu berhasil melarikan dan
menyelamatkan dua belas orang gadis itu. Dan kau sendiri, apa yang kau lakukan tadi? Wah,
kepandaianmu hebat bukan main, Mutiara Hitam. Aku takluk setelah menyaksikan betapa kau melawan
pengeroyokan Cap-ji-liong!”
“Hemm, mereka memang kuat sekali kalau maju bersama. Sebelum kau datang membantu, hampir aku
roboh.” Mutiara Hitam atau Kwi Lan lalu menceritakan pengalamannya.
Hauw Lam kagum sekali dan diam-diam di lubuk hatinya ia merasa puas dan tidak akan penasaran kalau
mengalami kematian bersama nona ini di dalam sumur!
“Sekarang bagaimana? Aku bukannya takut terkurung seperti ini, akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam
saja. Kita harus keluar dari sini, terutama sekali engkau...,” katanya.
“Mengapa aku? Kalau kau bagaimana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku juga harus dapat keluar, akan tetapi yang paling penting engkau, Nona. Kau seorang wanita, karena
itu harus didahulukan keselamatanmu...”
“Huh, laki-laki dan wanita apa bedanya?”
Hauw Lam tidak mau membantah tentang itu. “Biar kucoba untuk merayap atau meloncat naik.”
“Percuma, kita tunggu kesempatan. Kalau ada yang membuka penutup besi di atas itu, sudah
kupersiapkan jarum-jarumku. Begitu ada orang di atas, kuserang dengan jarum dan kau boleh melompat
dengan bantuan golokmu ditancapkan pada dinding.”
“Bagaimana kalau tidak ada yang membuka penutup besi di atas?”
“Kalau begitu, hemm... kita tinggal di sini selamanya sampai mati”
Hauw Lam bergidik mendengar kata-kata yang dikeluarkan seenaknya dan tenang-tenang saja itu. Akan
tetapi hatinya menjadi hangat ketika ia ingat betapa gadis itu agaknya senang saja tinggal berdua dengan
dia di situ selamanya sampal mati! Ia menjadi terharu dan baru sekali ini selama hidupnya Hauw Lam
merasa hatinya terharu sekali dan juga bahagia! Suaranya menjadi gemetar ketika ia berkata, lenyap
nadanya yang suka bergurau, suaranya kini bersungguh-sungguh.
“Nona... aku..., aku pun rela mati di sini, rela tinggal di sini selama hidupku, bahkan aku akan berbahagia
sekali... berdua di sampingmu selamanya....”
“Ihhh! apa maksud kata-katamu yang aneh ini?” Kwi Lan yang tentu saja masih bodoh dalam hal asmara
bertanya heran. Nada suara gadis ini menyadarkan Hauw Lam, membuat mukanya merah sekali, membuat
ia merasa malu sekali. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga ia tidak usah menentang pandang mata
Kwi Lan, dan kegelapan ini sesungguhnya yang membuat ia berani melanjutkan kata-katanya yang
membisikkan suara hatinya.
“Mutiara... biar pun belum lama aku mengenalmu, bahkan namamu yang sesungguhnya pun aku belum
tahu... akan tetapi... aku tidak merasa begitu. Bagiku engkau sudah kukenal selama hidupku. Tadinya aku
sebatang kara di dunia ini... setelah bertemu denganmu, aku merasa tidak sebatang kara lagi. Mutiara...
ah, aku harus berterus terang... aku... aku cinta padamu....”
Saking kaget dan herannya mendengar ucapan yang sama sekali belum pernah didengarnya dan yang
baru ia raba-raba maksud sebenarnya ini, Kwi Lan duduk termenung dan menggigit jarum yang
dipegangnya. Ia seperti orang terpesona, tidak peduli bahwa pada saat itu, sinar terang menerobos masuk
dari atas dan penutup lubang sumur itu dibuka orang! Hauw Lam melihat ini dan cepat melompat, siap
untuk menerjang ke atas dan berseru.
“Mutiara... lekas serang dia...”
Akan tetapi Kwi Lan hanya memandangnya dan berkata bingung, “Ada apa...?”
“Ssstt... naiklah...!” tiba-tiba orang yang membuka penutup sumur itu berkata, kemudian seutas tambang
meluncur turun dari atas.
Hauw Lam dan Kwi Lan melihat bahwa yang muncul dan melemparkan tambang itu adalah seorang yang
berkerudung kain hitam, akan tetapi dari suaranya dapat diketahui bahwa dia seorang laki-laki. Begitu
melempar tambang, bayangan itu lenyap kembali.
“Mari kita naik!” Hauw Lam berkata dan cepat-cepat pemuda ini merayap naik melalui tambang seperti
seekor kera cepatnya.
Kwi Lan juga sudah merayap baik dan sebentar saja keduanya sudah melompat ke luar dari sumur.
Sejenak mata Hauw Lam menjadi silau karena tiba-tiba dari tempat gelap berada diterang. Ia mengejapngejapkan
matanya, kemudian ketika matanya bertemu dengan Kwi Lan, tiba-tiba pemuda ini menjadi
merah seluruh mukanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pergi dari sini cepat!” Hauw Lam berkata dan mereka lalu melompat ke luar dari ruangan silat yang kini
sudah sunyi. Akan tetapi begitu mereka keluar dari ruangan silat dan berada di ruangan tengah, dari kanan
kiri berlompatan ke luar beberapa orang anggota Cap-jiliong!
“Celaka! Mereka lolos! Kepung... tangkap...!” Mereka berteriak-teriak dan empat orang sudah menerjang
Hauw Lam dan Kwi Lan.
Akan tetapi keampuhan Cap-ji-liong adalah kalau mereka maju bersama. Kini hanya ada empat orang di
antara mereka, tentu saja bukan tandingan Hauw Lam dan Kwi Lan. Begitu sepasang orang muda ini
menggerakkan senjata empat orang itu sudah melompat mundur untuk menghindarkan bahaya maut.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hauw Lam dan Kwi Lan untuk berlari terus. Karena dari depan
berbondong datang para anggota Thian-liong-pang, Hauw Lam lalu menarik tangan Kwi Lan, diajak lari
melalui ruangan belakang. Mereka lari masuk ke ruangan dalam, terus ke belakang. Beberapa orang
anggota Thian-liong-pang yang bertemu dengan mereka dan berusaha menghalangi, mereka robohkan
dengan tendangan atau pukulan tangan kiri.
Untung bagi mereka bahwa para pimpinan Thian-liong-pang pada saat itu sedang sibuk membuat
persiapan untuk mengunjungi pertemuan antara tokoh-tokoh dunia hitam yang akan diadakan di puncak
Cheng-liong-san untuk memilih jagoan nomor satu di dunia. Ma Kiu ketua baru, juga Sin-seng Losu sendiri
bersama murid-muridnya bersama beberapa orang tamu penting sudah meninggalkan gedung untuk
mengunjungi kota Tai-goan untuk ikut menyambut datangnya seorang tokoh besar yang terkenal dengan
julukan Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa).
Karena tokoh besar ini masih terhitung paman guru Sin-song Losu, tentu saja oleh Thian-liong-pang
dianggap sebagai kakek guru dan mereka mengharapkan kakek guru ini akan menjadi jagoan nomor satu
sehingga nama Thian-liong-pang akan ikut terangkat tinggi. Karena kesibukan ini mereka hanya
meninggalkan empat orang murid kepala bersama murid-murid bawahan untuk menjaga gedung. Sama
sekali mereka tidak menduga bahwa dua orang muda tawanan mereka akan dapat meloloskan diri dan
menganggap mereka itu tentu akan tewas kelaparan di dalam sumur.
Hauw Lam dan Kwi Lan maklum bahwa keadaan mereka akan berbahaya kalau para pimpinan Thian-liongpang
keburu datang mengeroyok. Mereka pun tidak ada niat untuk melanjutkan pengacauan karena
mereka datang ke tempat itu hanya untuk ‘main-main’ dan tidak mempunyai urusan tertentu dengan
perkumpulan ini. Dihadang oleh murid-murid bawahan Thian-liong-pang tentu saja mereka dengan enak
merobohkan semua penghadang, terus lari ke belakang, mencari kandang kuda dan setelah dapat
menemukan kuda hitam yang mereka ‘sumbangkan’ tadi, mereka lalu menunggang kuda berdua dan
membalapkan kuda itu keluar dari Yen-an. Terdengar derap kaki kuda yang ditungganggi para anak buah
Thian-liong-pang mengejar, namun tak seekor pun kuda mampu menandingi larinya kuda hitam dari Khitan
itu.
Setelah kota Yen-an jauh ditinggalkan dan tak tampak adanya pengejar lagi, Kwi Lan yang duduk di depan
tiba-tiba menahan kudanya. Mereka berhenti di jalan simpang empat.
“Di sini kita berpisah. Kau turunlah.”
Hauw Lam meloncat turun dan memandang gadis itu dengan muka terkejut. Tak disangkanya bahwa
secara tiba-tiba gadis itu mengajak mereka saling berpisah. Namun nona itu menundukkan muka, tidak
membalas pandang matanya.
“Mutiara Hitam... Nona..., mengapa kita harus berpisah?” suara Hauw Lam gemetar, tidak seperti biasa.
Jantung Kwi Lan berdebar aneh. Ia marah dan juga bingung.
“Nona, apakah engkau marah karena pengakuanku di dalam sumur tadi? Maafkanlah, aku bukan
bermaksud menyinggung perasaanmu atau menghinamu, aku hanya mengeluarkan isi hatiku sejujurnya.
Biar pun kau akan menjadi marah dan membunuhku, aku tak dapat menyangkal bahwa aku... cinta
padamu, Mutiara Hitam.”
Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak bisa marah kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia senang
mendengar pengakuan itu. Akan tetapi ia tidak ingin selamanya berada di samping Hauw Lam. Ia ingin
menyendiri.
“Hauw Lam, ada hal yang lebih penting bagimu. Engkau harus pergi kepada ibu kandungmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terbelalak mata Hauw Lam memandang. “Apa...? Apa yang kau maksudkan...?”
“Bukankah ayahmu bernama Tang Sun dan ibumu bernama Phang Bi Li?”
Hauw Lam melangkah maju dan memegang tangan Kwi Lan. “Mutiara! Bicaralah yang jujur! Bagaimana
kau tahu akan nama ayahku? Memang ayahku bernama Tang Sun. Nama ibu aku tidak pernah dengar,
akan tetapi engkau... bagaimana bisa tahu?”
Kwi Lan yang kini melihat betapa wajah Hauw Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik tersenyum.
“Kau pantas menjadi kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap aku anak sendiri. Ayahmu...
ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri. Ibumu masih hidup, namanya Phang Bi Li dan kini tinggal di
Hutan Iblis.”
Makin pucat wajah Hauw Lam. “Di Hutan Iblis...? Ayahku mati...?” Ia merasa mimpi mendengar keterangan
ini dan tentu ia tidak akan percaya kalau saja ia tidak yakin bahwa gadis yang baru dikenalnya beberapa
hari ini tak pernah membohong seperti juga tak pernah merasa takut.
“Pergilah, carilah ibumu dan kau akan mendengar semua. Ibumu hanya tahu bahwa puteranya bernama
Tang Hauw Lam. Kau pergilah ke Lembah Air Hijau, di kaki pegunungan Pek-liu-san sebelah utara, di sana
terdapat hutan yang oleh orang-orang disebut Hutan Iblis. Nah, ibumu tinggal seorang diri di dalam pondok
di hutan itu, menanti-nanti kedatanganmu. Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula.” Setelah berkata
demikian Kwi Lan membalapkan kudanya pergi dari tempat itu, meninggalkan Hauw Lam yang masih
berdiri seperti arca dengan muka pucat.
“Ibuku... ibu kandungku... ibuku....” Pemuda yang biasanya periang itu kini hanya berbisik-bisik dengan
sepasang mata basah. Pandang matanya mengikuti bayangan Kwi Lan di atas kudanya, dan semangatnya
serasa terbawa terbang pergi....
********************
Kwi Lan menjalankan kudanya sambil melamun. Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa betapa ia
kehilangan seorang teman seperjalanan yang selalu mendatangkan suasana gembira. Akan tetapi kalau ia
teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw Lam, ia menjadi kecewa. Hal ini melenyapkan rasa gembiranya
dan membuatnya menjadi tak enak. Hatinya berdebaran dan ia menjadi malu, tak ingin bertemu kembali
dengan pemuda itu.
Ada hal lain yang sejak tadi ia pikirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama Hauw Lam
berada dalam sumur jebakan? Apakah orang gagah she Ciam yang telah menolong dua belas orang gadis
tawanan? Rasanya tidak mungkin karena biar pun gagah berani, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi
kepandaiannya. Penolong tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan dan rahasia Thian-liong-pang.
Kwi Lan yang tidak mengenal jalan, tidak tahu bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah Sungai Kuning
yang mengalir di sebelah timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa jalan ini pula yang diambil oleh
rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke Tai-goan!
Hari telah menjelang senja. Ia segera membalapkan kudanya ketika melihat sebuah dusun jauh di depan.
Perkampungan ini cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan dusun itu. Semua orang
kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang menunggang seekor kuda hitam yang indah ini, namun
Kwi Lan tidak ambil peduli. Setelah pengalamannya di Thian-liong-pang, Kwi Lan bersikap hati-hati dan
tidak mau mencari perkara. Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang yang
berilmu tinggi. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya dan menurut penuturan Hauw Lam, di Khitan
banyak terdapat orang-orang pandai sehingga seorang tokoh hitam seperti Jin-cam Khoa-ong itu pun
menjadi buronan Khitan. Ia akan menemui Ibu kandungnya dan kalau mungkin, memperdalam
kepandaiannya.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dan hari telah lewat senja ketika ia menghentikan
kudanya di tepi Sungai Kuning yang airnya melimpah-limpah dan amat lebar. Ia duduk di atas kudanya
sambil termenung. Bagaimana ia dapat melanjutkan perjalanan? Tidak ada jembatan, tidak ada perahu,
dan tempat itu amat sunyi, tak tampak seorang pun manusia. Hanya dapat dilihat dari situ perahu-perahu
nelayan jauh sekali dan ada di antara mereka yang sudah menyalakan lampu penerangan. Ia lalu
menjalankan kudanya menyusuri sungai menuju ke kiri untuk mencari perahu yang kiranya akan dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menyeberangkannya atau kalau tidak, ia akan mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam dan
besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba dari jauh ia melihat sebuah perahu kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu seorang nelayan,
pikirnya. Mungkin dia bisa menolongku mencarikan sebuah perahu besar untuk menyeberang. Perahu kecil
macam itu mana dapat menyeberangkan kudanya? Kwi Lan mempercepat larinya kuda ke arah pantai.
Akan tetapi ia terlambat karena dari dalam perahu itu meloncat keluar bayangan hitam yang kemudian
berlari amat cepatnya ke darat. Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan nelayan biasa, pikirnya. Nelayan biasa
mana bisa memiliki ginkang yang sedemikian baiknya. Ia pun cepat membelokkan kudanya, mengikuti arah
larinya orang itu. Cuaca sudah mulai gelap, dan Kwi Lan yang merasa tertarik melanjutkan kudanya ke
depan sambil mencari-cari dengan pandang matanya.
Bayangan itu lenyap sudah. Gerakannya terlalu cepat dan melakukan pengejaran sambil menunggang
kuda amat sukar. Selain itu Kwi Lan juga meragu untuk mengejar secara sungguh-sungguh. Ia tidak tahu
siapa orang itu dan mengapa berlari-lari dengan cepatnya. Terang bukan nelayan dan ia tidak mempunyai
keperluan sesuatu dengan orang itu. Hanya ia tadi ingin bertanya kalau-kalau orang itu dapat menunjukkan
di mana ia dapat menyewa perahu untuk menyeberang bersama kudanya.
Sinar terang yang keluar dari kumpulan batu-batu gunung di pantai sebelah depan menarik perhatiannya.
Sinar yang bergerak-gerak besar kecil itu tentulah sinar api unggun yang dinyalakan orang. Ada api
unggun tentu ada orang, dan kalau ada orang berarti ia akan bisa mendapatkan keterangan dan petunjuk
yang diharapkan. Kini kuda hitam yang ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas yang
tinggi dan dijalankan perlahan.
Ternyata api unggun itu dinyalakan orang di dalam sebuah goa batu yang amat lebar. Ketika Kwi Lan yang
masih duduk di atas kudanya tiba di depan mulut goa, ia melihat lima orang laki-laki di dalam goa.
Kedatangannya agaknya sudah dinanti mereka karena mereka sudah berdiri dan tangan kanan mereka
sudah meraba gagang senjata masing-masing.
Yang paling depan adalah seorang pemuda yang berambut panjang, berpakaian hitam dan berwajah
tampan sekali. Kepalanya diikat tali dan di dahinya besinar sebuah batu permata kuning. Tiga orang yang
lain juga sudah siap dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak kaget dan marah. Ada pun orang
ke lima adalah seorang pendeta yang jenggotnya kasar dan jarang seperti kawat, tubuhnya tinggi besar
dan di belakang punggungnya tampak gagang sebatang pedang.
“Siauw-ya (Tuan Muda), dia adalah Mutiara Hitam yang mengacau di Thian-liong-pang...!” seorang di
antara tiga orang di belakang pemuda tampan itu berseru.
Pemuda itu memandang dengan mata bersinar tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya nyaring.
“Mau apa engkau datang ke sini?”
Kwi Lan tersenyum. Ia tidak memandang mata kepada orang-orang Thian-liong-pang ini. Melihat batu
permata di dahi si Pemuda Tampan, ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang tokoh pula. Akan
tetapi ia sedikit pun tidak takut dan karena ia kemarin tidak melihat pemuda ini di antara yang
mengeroyoknya, ia pun tiada nafsu untuk melayani mereka.
“Aku tidak butuh kalian, aku hanya perlu seorang nelayan yang dapat menyeberangkan aku dan kudaku,”
jawabnya dengan suara dingin. Biar pun ia tidak mengharapkan bantuan mereka ini, namun siapa tahu
mereka dapat memberi keterangan tentang nelayan yang ia butuhkan.
Sebelum pemuda dan tiga orang anggota Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong yang berdiri
paling belakang itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata, “Siangkoan-kongcu, biarkan lohu
menghadapinya!”
Dengan langkah lebar pendeta ini maju. Setelah berhadapan dengan Kwi Lan, ia menjura dengan hormat,
tersenyum-senyum dan jenggotnya yang kaku bergerak-gerak, matanya berkejap-kejap. “Nona, sungguh
Nona yang masih begini muda amat mengagumkan. Tadi lohu sudah mendengar penuturan saudarasaudara
Thian-liong-pang akan sepak terjang Nona yang berani menghadapi Cap-ji-liong. Ha-ha-ha,
sungguh gagah! Seorang muda segagah Nona ini patut dikagumi dan sama sekali tidak pantas dimusuhi.
Orang gagah mengutamakan persahabatan sesama orang gagah, maka terimalah rasa kagum lohu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan yang melihat kakek ini merangkapkan kedua tangan, membawa kedua tangan ke depan dada
sambil bergerak memberi hormat, tersenyum mengejek. Dengan gerakan ringan sekali tubuhnya sudah
meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi kakek itu dan menjura sambil berkata, “Kau
orang tua terlalu merendah!”
Biar pun kelihatannya seperti orang menjura dan memberi hormat, namun kedua tangan sai-kong itu
bergerak ke depan dan menyambarlah angin pukulan dahsyat ke arah dada Kwi Lan. Gadis itu hanya
menjura dengan bibir tersenyum, agaknya seperti tidak tahu akan penyerangan orang, akan tetapi kakek
itu merasa betapa tenaga dorongan kedua tangannya tadi seakan-akan membentur api dan membalik,
menimbulkan rasa panas pada dadanya. Ia kaget sekali, akan tetapi masih merasa penasaran dan sambil
tertawa dan berkata, “Nona benar-benar hebat...!”
Kedua tangannya membuka jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri menotok ke arah pundak dan
yang kanan menotok ke arah pergelangan tangan! Hebat serangan ini, namun masih saja tampak seakanakan
orang yang memuji dan menyentuh karena sayang dan kagum, sama sekali tidak kelihatan seperti
orang menyerang. Padahal serangan itu kalau tepat mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan
seketika lumpuh dan lemas.
“Totiang (panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan?” kata Kwi Lan dan kedua tangannya bergerak
ke depan pula seperti orang mencegah.
Hanya tampaknya saja seperti mencegah, akan tetapi sebenarnya dengan cepat seperti kilat menyambar,
jari tangan Kwi Lan sudah siap menerima kedua tangan kakek itu. Kalau kakek itu melanjutkan
serangannya, maka kedua telapak tangannya tentu akan bertemu dengan jari tangan Kwi Lan sehingga
sebelum dapat menotok orang, ia sendiri sudah akan terkena totokan lawan!
“Ahhh...!“ Sai-kong itu menarik kembali kedua tangannya dan melangkah mundur kemudian ia tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha-ha, semuda ini sudah memiliki kepandaian hebat, benar-benar membuat lohu kagum
dan takluk, Nona ingin menyeberang? Biarlah lohu antarkan!”
Girang hati Kwi Lan mendengar ini. “Kau mempunyai perahu, Totiang?”
“Ha-ha, tentu saja ada, harap Nona jangan khawatir. Marilah!” Kakek itu dengan langkah lebar keluar dari
dalam goa, diikuti oleh Kwi Lan.
“Tahan! Mutiara Hitam, engkau sudah mengacau Thian-liong-pang, bagaimana kami dapat membiarkan
kau pergi begitu saja?” teriak seorang di antara anggota-anggota Thian-liong-pang sambil melompat maju
dan mencabut pedang. Akan tetapi pemuda tampan tadi mencegah dan menghardik.
“Nona sudah ikut bersama Huang-ho Tai-ong (Raja Sungai Huang-ho), mau apa kau ribut-ribut?”
Kalau saja Kwi Lan sudah banyak pengalaman merantau, tentu ia akan terkejut sekali mendengar nama
ini. Huang-ho Tai-ong adalah nama julukan kepala bajak sungai Huang-ho yang terkenal sekali. Akan tetapi
gadis ini selain kurang pengalaman, juga tidak mengenal takut, maka ucapan si Pemuda ini sama sekali
tidak ada artinya. Ia mengikuti sai-kong itu yang terus berjalan mendekati pantai, kemudian kakek itu
mengeluarkan teriakan melengking nyaring tinggi sambil menengadahkan kepalanya. Terdengar suitan
balasan dari arah kiri dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah perahu dalam sinar bintang-bintang di
langit yang suram muram. Kiranya perahu itu bercat hitam, cukup besar dan didayung oleh empat orang
tinggi besar.
“Silakan, Nona. Lohu sendiri akan menemanimu menyeberang,” kata saikong tadi sambil tersenyum.
“Terima kasih. Kau baik sekali, Totiang,” jawab Kwi Lan yang menuntun kuda hitamnya ke atas papan
perahu.
Kakek itu pun melompat naik, memberi aba-aba dan empat orang anak buahnya kembali mendayung
perahu ke tengah. Ketika Kwi Lan menengok, ia melihat pemuda tampan tadi bersama teman-temannya
berdiri di pinggir sungai dan memandang.
Karena tidak mengerti, Kwi Lan sama sekali tidak merasa heran mengapa layar perahu itu tidak dipasang.
Untuk menyeberangi sungai sebesar Sungai Kuning ini, tentu dibutuhkan layar agar penyeberangan dapat
berjalan cepat. Akan tetapi empat orang itu hanya mendayung saja sehingga perahu bergerak lambat,
dunia-kangouw.blogspot.com
malah hanyut oleh air. Kuda hitam yang tinggi besar dan gagah itu pun mendengus-dengus dan meringkik,
keempat kakinya menggigil ketika melihat air yang hitam berombak. Akan tetapi, Kwi Lan berdiri tegak
memegangi kendali, sedikit pun tidak merasa takut!
“Nona, orang-orang Thian-liong-pang tadi menceritakan tentang sepak terjang Nona di Thian-liong-pang
dan menyebut Nona Mutiara Hitam. Bolehkah lohu tahu, siapa sesungguhnya namamu dan dari perguruan
manakah? Lohu sendiri disebut orang Huang-ho Tai-ong, bernama Ma Hoan.”
Kwi Lan tidak menaruh curiga kepada kakek ini, juga tidak memperhatikan nama mau pun julukannya,
akan tetapi karena kakek ini menolongnya menyeberang, ia menganggapnya orang baik. Dengan acuh ia
menjawab, “Si Berandal sudah menjuluki aku Mutiara Hitam, biarlah selanjutnya orang mengenalku dengan
nama itu juga. Aku tidak terikat dengan perguruan mana pun.”
Kakek ini mengerutkan alisnya. Gadis yang cantik jelita, akan tetapi sombong sekali, pikirnya. “Mutiara
Hitam, julukan yang bagus. Nona, kenapa engkau mengacau Thian-liong-pang? Mengapa memusuhinya?”
“Aku tidak memusuhi Thian-liong-pang dan tidak ada urusan apa-apa antara mereka dan aku. Hanya aku
tahu bahwa orang-orang Thian-liong-pang bukan manusia baik-baik, pula pengecut. Beraninya hanya
melakukan pengeroyokan dan menggunakan perangkap!”
Pada saat itu Ma Hoan tertawa bergelak dan terdengarlah bunyi banyak dayung memukul air. Ketika Kwi
Lan melihat ke kanan kiri, ia mengerutkan alisnya. Kiranya tanpa ia ketahui, telah muncul empat buah
perahu kecil yang mengurung perahu yang ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu juga bercat hitam dan
setiap buah perahu ditumpangi enam orang bersenjata golok.
“Ha-ha-ha, Mutiara Hitam, engkau terlalu cantik jelita, akan tetapi terlalu sombong! Engkau sudah berada
dalam cengkeramanku, masih bermulut besar mencaci maki Thian-liong-pang? Ketua Thian-liong-pang
adalah kakakku, tahukah kau?”
Kwi Lan memandang tajam dan teringatlah ia sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya adik Ma Kiu
ketua Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak banyak anak buahnya, tentu dia adalah
kepala bajak sungai dan dia kini berada dalam bahaya!
“Bagus, kalau begitu kau sudah bosan hidup!” kata Kwi Lan.
Sekali tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah tercabut dan menerjang, merupakan sinar
kehijauan menyambar ke arah Huang-ho Tai-ong Ma Hoan dan empat orang pendayung perahu. Kuda
hitam meringkik ketakutan, empat orang itu berteriak keras dan terjungkal ke luar dari perahu. Akan tetapi
dengan gerakan cepat sekali Ma Hoan sudah meloncat dan tubuhnya melayang ke atas sebuah di antara
perahu-perahu kecil yang mengurung perahu besar.
“Tangkap dia, gulingkan perahu!” Ma Hoan berseru, memberi komando kepada anak buahnya.
Kwi Lan mendengar ini menjadi kaget juga. Kalau lawan menggunakan akal menggullngkan perahu, dia
dan kudanya celaka! Karena itu, sebelum mereka turun tangan, tubuhnya sudah lebih dulu mencelat ke
atas sebuah perahu kecil terdekat. Sambil meloncat ia memutar pedangnya. Enam orang dengan golok di
tangan menyambutnya. Terdengar suara keras dan enam buah golok itu terlempar ke dalam air dan
seorang di antara mereka malah roboh dengan lengan kanan terbabat putus! Lima orang lainnya cepatcepat
meloncat ke dalam air dengan panik.
Begitu perahu kecil yang diinjaknya itu terus bergoyang-goyang dan miring, Kwi Lan sudah menggenjot
tubuhnya lagi, kini meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma Hoan. Ia maklum bahwa kalau ia tidak
cepat menawan Ma Hoan, ia tentu akan celaka. Di darat ia tidak akan peduli akan pengeroyokan tiga puluh
orang itu, akan tetapi di air? Melawan seorang di antara mereka saja belum tentu ia menang.
Ma Hoan tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning dan tidak akan menjadi kepala bajak kalau ia tidak lihai
ilmu silatnya dan pandai bermain di air. Melihat tubuh gadis perkasa itu berkelebat meloncat ke arah
perahunya, ia mengenal bahaya dan... cepat-cepat ia melempar diri ke dalam air! Dua orang anak buahnya
di perahu itu yang tidak keburu terjun menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan terjungkal di air.
Keadaan menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram gelap Kwi Lan mengamuk, meloncat dari perahu ke
perahu. Namun para bajak itu sudah lebih dahulu terjun ke air dan mulailah mereka berusaha
dunia-kangouw.blogspot.com
menggulingkan perahu di mana Kwi Lan berdiri. Gadis ini tentu saja tidak mau digulingkan ke dalam air. Ia
bermain loncat-loncatan dari perahu ke perahu.
Akan tetapi karena perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu berputaran dan hanyut, apa lagi karena
bajak-bajak menggulingkan semua perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah berdiri di atas perahu yang
terbalik tidak mempunyai tempat lagi untuk meloncat. Kuda hitam besar sudah terjungkal ke dalam air
ketika perahu besar digulingkan. Ketika perahu terbalik yang diinjak Kwi Lan itu tiba-tiba tenggelam, ia
masih dapat meloncat ke atas dan... tak dapat dicegahnya lagi tubuhnya jatuh terbanting ke dalam air yang
bergelombang!
Kwi Lan pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah ia terbanting ke air. Ketika ia siuman
kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan lumpuh kaki tangannya! Tahulah Kwi Lan bahwa ia telah
tertotok lumpuh. Tubuhnya terasa dingin dan basah. Ketika ia membuka mata, ia melihat api unggun dan
ternyata ia telah berada di dalam goa besar tadi, menggeletak di atas rumput kering dan tubuhnya tidak
tertutup pakaian sama sekali!
Kenyataan ini membuat Kwi Lan merasa kaget setengah mati dan cepat-cepat ia menutupkan kedua
matanya lagi, pura-pura pingsan atau hampir pingsan lagi saking kagetnya. Ia tahu bahwa ia telah
tertawan, dan bahwa orang telah menanggalkan semua pakaian dari tubuhnya. Kemudian ia mendengar
betapa di situ terdapat banyak orang, bahkan ada suara orang berbantahan. Baru sekali ini Kwi Lan
mengenal rasa takut, maka dengan jantung berdebar ketakutan ia mendengarkan tanpa membuka
matanya.
“Ma-totiang, aku tahu bahwa urusan ini adalah urusan pribadimu dan sekali lagi kunyatakan bahwa antara
Nona itu dan aku tidak ada sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua hal itu bukan menjadi halangan
bagiku untuk mencegah terjadinya hal yang memalukan ini. Betapa pun juga, kakakmu, Ma Kiu Suheng
adalah ketua kami. Kalau sekarang engkau melakukan perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti
akan menodai nama besar Thian-liong-pang?”
“Eh, Siangkoan-kongcu! Sejak kapan Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki mengambil seorang
wanita yang disukanya? Engkau hendak menghalangiku, berarti engkau iri hati dan engkau sendiri suka
kepada wanita pengacau itu. Betulkah?”
“Tidak, Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil wanita mana saja yang disukainya, akan tetapi kalau wanita
itu mau. Engkau merobohkannya dengan akal curang, dan hendak memaksanya secara keji. Mendiang
ayahku seorang ketua Thian-liong-pang tidak pantang melakukan apa saja kecuali sikap curang dan
pengecut. Kalau kau mengalahkan dia dengan kepandaianmu, maka menjadi hakmulah untuk
memperlakukan orang yang kau kalahkan sesuka hatimu. Akan tetapi melihat betapa tadi dia dilawan
secara licik dan sekarang hendak diperlakukan keji, sungguh sebagai seorang gagah aku tidak akan
mendiamkan saja. Ma-totiang, agar jangan kita menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw, kau bebaskan
dia!”
“Bocah, berani engkau membuka mulut besar? Siangkoan Li! Kau menganggap kau ini siapa dan aku ini
orang macam apa bisa kau perintah sesukamu? Biar pun mendiang ayahmu pernah menjadi ketua Thianliong-
pang, akan tetapi ayahmu bukanlah sahabatku! Hanya mengingat engkau masih cucu luar Sin-seng
Losu dan masih adik seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu, aku masih menganggapmu orang sendiri! Akan
tetapi jangan kau keterlaluan karena menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua saudara Cap-ji-liong juga
tidak suka akan sepak terjangmu yang menyimpang dengan jalan mereka!”
Hening sejenak. Kwi Lan memandang dari balik bulu matanya dan melihat bahwa yang bertengkar adalah
pemuda tampan berambut panjang dan sai-kong yang menawan dirinya. Tiga orang anggota Thian-liongpang
berdiri di sudut, memandang dan melihat pandang mata mereka terhadap pemuda itu, agaknya
mereka ini tidak berpihak kepada si Pemuda. Kwi Lan lalu menutupkan matanya kembali, menekan
perasaannya yang seperti akan melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk
membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki tangannya tetap lumpuh dan karena dadanya
penuh hawa amarah yang hebat, sukar baginya untuk mengumpulkan hawa murni.
“Ma-totiang, bicara tentang sepak terjang, bukan aku yang menyimpang, melainkan orang lain yang
menyeleweng! Akan tetapi cukuplah tentang Thian-liong-pang. Kita bicara tentang perbuatanmu sekarang.
Ma-totiang, engkau adalah seorang bekas pendeta, sedikit banyak pernah belajar tentang kebajikan.
Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedikit banyak mengerti tentang kegagahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Engkau adalah seorang yang sudah tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang hendak memperkosa
seorang gadis...?”
“Huh, bocah bermulut lancang! Siapa hendak memperkosa? Lancang kau menuduh orang...”
“Engkau masih berani menyangkal? Melihat keadaan Nona ini....“
“Ha-ha-ha! Memang dia kutelanjangi, akan tetapi aku tidak berniat memperkosanya. Melihat pandang mata
anak buah Thian-liong-pang, mungkin mereka itu mempunyai niat demikian! Ha-ha, aku sama sekali bukan
hendak memperkosa, melainkan ingin menggunakan dia membantu menyempurnakan ilmu silat yang
sedang kucipta! Dia seorang gadis yang memiliki Iweekang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan darah
yang sehat. Dia juga telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali kuambil semua kekuatan Im-kang
dari tubuhnya...”
“Keji! Aku tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan bahwa engkau sedang mencipta dan melatih Ilmu Biciong-
kun (Ilmu Silat Menyesatkan) yang kau lengkapi dengan pukulan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah
Beracun)..., akan tetapi mengapa menggunakan Im-kang seorang gadis...?”
“Ha-ha-ha, Siangkoan Li! Kau kira akan mudah saja mencari rahasia ilmuku itu? Tidak perlu, hanya perlu
kau ketahui bahwa aku perlu hawa murni dan darah gadis ini untuk I-kin Swe-jwe (Ganti Obat Cuci
Sumsum). Sudahlah, kau pergi saja dan jangan menggangguku lagi.”
“Tidak! Kalau engkau lebih dulu membebaskan Nona ini, kemudian bertanding dengannya secara jantan,
biar dia kalah dan mati di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah tidak akan turut campur. Akan tetapi
melihat dia ditawan dengan akal keji dan kini akan menjadi korban ilmu iblismu, aku tidak akan tinggal diam
saja!”
“Bagus! Memang anak tidak akan berbeda dengan ayahnya! Ayahmu penyeleweng dari Thian-liong-pang,
engkau pun....”
“Tutup mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!” bentak Siangkoan Li yang sudah mencabut
pedangnya.
Huang-to Tai-ong Ma Hoan berteriak keras seperti seekor harimau terluka, mencabut pedangnya dan
menyerang pemuda itu. Karena goa itu kurang luas untuk bertanding, sedangkan ia maklum akan kelihaian
lawannya, pemuda yang bernama Siangkoan Li itu lalu meloncat ke luar goa dikejar oleh Ma Hoan. Segera
terjadi pertandingan hebat di luar goa, di bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara senjata mereka
saling beradu, terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih berusaha menekan kemarahannya dan
membebaskan diri dari totokan.
“Sam-sute, bagaimana baiknya sekarang?” terdengar seorang di antara tiga anggota Thian-liong-pang
berkata. Mereka bertiga masih berada di dalam goa itu, kini memandang ke arah Kwi Lan dengan mata
terbelalak penuh kagum dan gairah.
“Biarkan saja mereka bertempur,” kata suara lain yang parau. “Ma-totiang adalah adik kandung Pangcu
(Ketua), dan Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo-pangcu, bagaimana kita boleh campur tangan? Lihat,
alangkah hebatnya Nona ini. Hemmm... selagi mereka bertanding, mengapa kita sia-siakan kesempatan
bagus ini?”
“Sam-suheng benar!” kata suara ke tiga. “Aku pun selama hidupku belum pernah melihat yang seindah ini.
Aku rela nanti dimarahi Ma-totiang atau Siangkoan-kongcu...”
Tiga orang anggota Thian-liong-pang itu menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh nafsu.
Sebetulnya mereka itu bukanlah kaum jai-hwa-cat macam Ci-lan Sai-kong, bukan pula orang-orang mata
keranjang, sungguh pun mereka juga tak dapat disebut orang baik-baik. Akan tetapi melihat keadaan Kwi
Lan, menyaksikan kecantikan wajah yang memang jarang bandingannya, melihat bentuk tubuh yang
demikian menggairahkan, mereka tak dapat lagi menguasai hati dan menyerah kepada bujukan iblis
nafsunya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi Lan ketika melihat tiga wajah yang berkeringat dengan mata
berkilat-kilat seperti mata binatang kelaparan itu makin mendekatinya. Ia tidak pernah mengenal takut
menghadapi ancaman maut sekali pun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan bahwa kini ia terancam
dunia-kangouw.blogspot.com
mala-petaka yang jauh lebih mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sudah mengerahkan tenaga, namun
perhatiannya tak dapat terkumpul bulat-bulat sehingga belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan kakinya
masih lemas, lumpuh tak bertenaga.
“Sam-sute, Hok-sute, kalian mundurlah. Aku sebagai Suheng kalian dan yang paling tua, biarkan aku
mendekati dia lebih dulu.”
“Ah, tidak, Suheng! Aku yang mengusulkan lebih dulu!”
“Sam-suheng, aku yang paling muda lebih cocok dengan dia!”
Tiga orang murid Thian-liong-pang yang hati serta pikirannya sudah hitam dan gelap kotor oleh nafsu iblis
itu kini saling berebut! Dari pertengkaran mulut, mereka kini saling betot dan agaknya mereka akan saling
jotos karena sudah mulai memaki. Melihat ini Kwi Lan maklum betapa dirinya diperebutkan oleh tiga orang
manusia yang seperti anjing-anjing kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar gelisah,
perasaannya seperti ditusuk-tusuk. Makin rusaklah pengerahan tenaga dan hawa murni di tubuhnya
sehingga akhirnya ia menghela napas dan mengeluarkan suara rintihan karena putus harapan.
Tiba-tiba dari luar goa menyambar dua sinar hitam yang tepat sekali mengenai jalan darah di leher dan
pinggang Kwi Lan. Kiranya dua sinar itu adalah dua buah batu kecil yang tepat telah menotok jalan
darahnya dan... seketika Kwi Lan merasa betapa jalan darahnya pulih kembali! Kaki tangannya dapat ia
gerakkan dan biar pun masih kesemutan, namun ia segera melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia
sudah menyambar pakaiannya yang tadi ia lihat bertumpuk di sudut goa.
Dengan jari-jari tangan gemetar saking lega dan girang hatinya tertolong pada detik-detik berbahaya itu,
namun dengan amat cepat, Kwi Lan mengenakan pakaiannya dan tubuhnya yang kini sudah berpakaian itu
berkelebat cepat ke arah pintu goa ketika ia melihat tiga orang Thian-liong-pang berusaha lari ke luar.
Kejadian ini amat cepatnya.
Ketika tiga orang Thian-liong-pang tadi bertengkar untuk memperebutkan Kwi Lan, mereka tidak tahu
bahwa calon korban mereka itu sudah melompat bangun dan berpakaian. Setelah akhirnya seorang di
antara mereka melihat Kwi Lan dan berteriak kaget, mereka semua menoleh dan serentak mereka kini
berlomba lari ke arah pintu goa untuk menjauhkan diri dari gadis yang mereka tahu amat lihai itu. Namun
tiba-tiba di depan mata mereka berkelebat bayangan orang dan tercium bau harum, tahu-tahu mereka
sudah melihat Kwi Lan menghadang di depan pintu goa dengan pedang Siang-bhok-kiam yang harum di
tangan!
Wajah yang cantik jelita itu tersenyum, senyum manis sekali, akan tetapi sinar matanya tajam bagaikan
pedang dan dingin seperti salju! Tiga orang anggota Thian-liong-pang itu melangkah mundur dengan muka
pucat dan bergidik ngeri. Jalan mundur tidak ada lagi. Satu-satunya jalan ke luar untuk lari telah dihadang
oleh Mutiara Hitam.
Gadis itu melihat tiga orang lawannya mundur-mundur ketakutan, kini melangkah maju pula perlahanlahan.
Ia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata, namun pandang matanya dan senyumnya telah
membayangkan ancaman yang menyeramkan, dan tiada caci maki dari mulut lebih jelas membayangkan
kemarahan yang meluap-luap itu. Tiga orang yang mundur terus akhirnya sampai mepet di dinding batu
goa. Terpaksa mereka berhenti, saling pandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh menggigil.
Mereka tersudut seperti tiga ekor tikus menghadapi seekor kucing yang hendak mempermainkan mereka
lebih dahulu sebelum menjatuhkan terkaman maut.
Tiga orang itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasia
mereka, yaitu perluru-peluru bintang Sin-seng-piauw yang menjadi senjata utama para anak buah Thianliong-
pang. Tidak semua anggota Thian-liong-pang mewarisi ilmu silat Sin-seng Losu, akan tetapi mereka
semua diharuskan melatih penggunaan senjata rahasia Sin-seng-piauw ini. Senjata rahasia ini bentuknya
seperti bintang, kecil namun berat dan pada ujungnya yang runcing diberi racun.
Seperti mendapat aba-aba saja, tiga orang itu menggerakkan tangan menyambit dengan Sin-seng-piauw.
Belasan buah peluru bintang ini menyambar ke arah Kwi Lan. Namun sekali memutar Siang-bhok-kiam,
semua senjata itu runtuh, menancap di atas lantai atau dinding kanan kiri gadis itu. Tiga orang anak buah
Thian-liong-pang itu adalah anggota-anggota tingkat rendah, kepandaian mereka masih terlalu rendah bagi
Kwi Lan. Mereka menjadi makin ketakutan dan menghamburkan senjata-senjata rahasia mereka sampai
habis. Sebuah pun tidak ada yang menyentuh pakaian Kwi Lan. Gadis ini memperlebar senyumnya
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berteriak-teriak seperti orang gila saking takut dan nekat, tiga orang itu lalu menerjang maju,
memutar golok dan membacok sejadinya asal cepat dan kuat. Kwi Lan menggerakkan pedangnya yang
berkelebatan seperti kilat menyambar.
“Trangg... tranggg... tranggg...!”
Tiga batang golok itu patah-patah dan yang berada di tangan mereka hanya tinggal gagangnya saja!
Kembali mereka mundur-mundur sampai mepet dinding dan rasa takut mereka ini memuncak. Melihat
betapa gadis itu sambil tersenyum-senyum melangkah maju dengan pedang di tangan, mereka bertiga
hampir menjadi gila. Lutut mereka menggigil dan akhirnya mereka tak dapat menahan diri lagi, jatuh
berlutut sambil memohon-mohon ampun dan menangis!
“Menjijikkan!” Kwi Lan berkata perlahan akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali sampai lenyap
berubah gulungan sinar hijau menyambar-nyambar.
Terdengar jeritan-jeritan menyayat hati dan ketika gadis itu melangkah ke luar dari dalam goa, di bawah
penerangan api unggun tampak tiga tubuh manusia bergelimpangan di atas lantai goa itu, tanpa tangan
dan kaki lagi! Darah membanjir merah. Mengerikan sekali tubuh yang hanya tinggal kepala dan badan itu,
kaki tangan mereka buntung dari pangkalnya! Kini tiga orang itu hanya bisa menggerak-gerakkan kepala
dengan mulut mengerang kesakitan dan mata terbelalak, masih ketakutan. Namun satu-satunya bagian
tubuh yang masih dapat bergerak, kepala itu, tentu takkan lama bergerak karena mereka tak mungkin
dapat hidup lagi dengan darah mengalir keluar seperti pancuran itu.
Kwi Lan mendengar betapa di luar masih terjadi pertarungan hebat. Kini terdengar suara bersuitan keras
dan ketika ia meloncat ke luar dari dalam goa, ia melihat betapa pemuda tampan yang menolongnya tadi
dikeroyok oleh banyak orang yang membantu Huang-ho Tai-ong Ma Hoan! Pemuda itu hebat sekali
permainan pedangnya. Biar pun Ma Hoan mengeroyoknya dengan bantuan tujuh orang anak buahnya,
namun pemuda itu masih saja menekan mereka dengan gerakan-gerakan pedang yang amat kuat.
Belasan orang anak buah bajak bersuitan dan mengurung. Biar pun ilmu pedangnya hebat, pemuda itu
terkurung oleh banyak sekali bajak yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan.
Kwi Lan melompat, pedang Siang-bhok-kiam berkelebat dan terdengarlah jerit susul menyusul di antara
anak buah bajak yang mengurung. Keadaan menjadi kacau-balau. Kwi Lan yang merasa benci sekali
kepada Ma Hoan, berhasil membuka jalan darah mendekati Ma Hoan dan langsung mengirim tikaman
berantai ke arah dua puluh tujuh jalan darah lawan.
“Hayaaaa...!” Ma Hoan terkejut sekali seperti disambar petir.
Repot ia menggerakkan pedang untuk menangkis dan mengelak. Setiap tangkisan membuat pundak
kanannya tergetar dan dadanya panas, sedangkan setiap elakannya hanya berselisih sedikit sekali dari
sambaran pedang lawan sehingga berkali-kali ia berteriak kaget dan mencium bau harum pedang lawan
yang menyeramkan hatinya. Betapa pun lihainya Ma Hoan, namun menghadapi ilmu pedang Kwi Lan yang
amat aneh, ia hanya mampu mempertahankan diri dan terhuyung-huyung mundur sambil berteriak-teriak
memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju mengeroyok.
Ada pun pemuda itu sekarang juga sudah dikeroyok banyak bajak sungai, namun mereka ini bukanlah
lawan si Pemuda yang gagah perkasa. Sebentar saja mereka berseru kesakitan dan banyak di antara
mereka yang mundur. Namun tak seorang pun terluka berat karena pemuda ini sengaja tidak mau
menurunkan tangan maut.
Biar pun dikeroyok banyak orang, Kwi Lan mengamuk dan sudah lima orang anak buah bajak roboh tewas
oleh pedangnya. Kwi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring ketika ada empat orang bajak
menubruknya dengan golok dari depan, sedangkan Ma Hoan meloncat mundur bersembunyi di belakang
empat orang ini, agaknya hendak lari. Seketika empat orang di depannya itu menjadi lemas dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Lan untuk meloncati kepala mereka mengejar Ma Hoan! Sebelum
tubuhnya turun, pedangnya sudah menyambar ke arah leher lawan yang amat dibencinya ini. Ma Hoan
terkejut sekali dan mengerahkan tenaga menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Celaka...!” seru Ma Hoan ketika pedangnya menjadi patah oleh pedang gadis itu dan pundaknya terasa
sakit karena tertusuk pedang.
Ia cepat menggulingkan tubuhnya ke bawah dan terus bergulingan, sedangkan para anak buahnya kembali
maju menyerbu Kwi Lan. Dengan demikian, kepala bajak itu tertolong dan sekali tubuhnya meloncat, ia
lenyap dalam gelap. Dengan pundak berdarah Ma Hoan berlari cepat menuju ke sungai. Ia pikir kalau ia
bisa sampai ke sungai, berarti nyawanya selamat karena sekali terjun ke air, gadis itu tentu takkan dapat
mengejarnya lagi. Ia bergidik kalau mengingat betapa hebat ilmu kepandaian gadis itu dan juga menyesal
mengapa ia gagal mendapatkan hawa murni Im-kang dari gadis yang sehebat itu. Diam-diam ia marah dan
gemas kepada Siangkoan Li.
Hatinya girang setelah ia mendengar suara air. Sungai Kuning terbentang di depan dan ia mempercepat
larinya menghampiri pantai. Ia melihat di dalam gelap sesosok bayangan hitam di pantai dan dikiranya
bayangan itu seorang di antara anak buahnya, maka ia menghampiri sambil berteriak, “Lekas sediakan
perahu...!”
Akan tetapi kata-katanya terhenti dan ia berdiri melongo, tengkuknya terasa dingin dan rambutnya berdiri
satu-satu. Bayangan itu kini melangkah maju dan bukan lain adalah Kwi Lan, Si Mutiara Hitam! Gadis ini
tersenyum manis dan pedang di tangannya tergetar.
Huang-ho Tai-ong Ma Hoan bukanlah seorang penakut. Sebagai kepala bajak yang sudah belasan tahun
merajalela di sepanjang Sungai Kuning, entah sudah berapa banyaknya manusia tewas di tangannya dan
ia dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Akan tetapi sekarang menghadapi seorang gadis yang
tersenyum-senyum manis di depannya, ia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali!
Baru sekarang ia merasa apa yang dirasakan oleh para korbannya, rasa takut dan ngeri menghadapi
bahaya maut.
Akan tetapi sebagai seorang jagoan, ia segera dapat mengubah rasa takut ini menjadi kemarahan dan
kenekatan. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti suara srigala marah, ia menerjang maju dan
kedua telapak tangannya memukul berbareng dari kanan kiri lambung. Inilah sebuah jurus Bi-ciong-kun
dan dari kedua telapak tangannya keluar tenaga Tok-hiat-ciang. Biar pun ilmu yang ganas ini belum terlatih
sempurna, apa lagi tenaga beracun Tok-hiat-ciang belum jadi sepenuhnya, namun sudah hebat bukan
main. Seorang lawan yang tanggung-tanggung saja kepandaiannya mungkin masih dapat menangkis atau
mengelak dari pukulan, namun sukar untuk menyelamatkan diri dari pada hawa pukulan yang beracun itu.
Kwi Lan menghadapi pukulan ini dengan tenang. Melihat lawannya tidak bersenjata lagi, ia pun tidak
menggunakan Siang-bhok-kiam di tangannya. Dengan pengerahan tenaga dalam, tangan kirinya
menyampok dan hawa pukulannya menyambut serangan lawan, kemudian kakinya menendang. Tubuh
Huang-ho Tai-ong terlempar ke belakang!
Kaget bukan main kepala bajak ini. Bukan hanya gadis itu dapat menahan pukulannya, bahkan secara
aneh sekali kakinya sudah menendangnya sampai terjengkang beberapa meter jauhnya. Ia makin panik
dan takut, lalu melompat bangun dan... membalikkan tubuhnya lari kembali ke tempat tadi. Setidaknya di
tempat pertempuran tadi ia masih dapat mengharapkan bantuan anak buahnya, dari pada menghadapi
gadis setan ini sendirian saja di pinggir sungai dan jalan untuk menyelamatkan diri terjun ke air sudah
ditutup oleh Mutiara Hitam!
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan bingung hati kepala bajak ini ketika ia tiba di depan goa
tadi, di situ telah sunyi, tidak ada lagi pertempuran dan tidak tampak seorang pun anggota bajak sungai!
Selagi ia hendak lari lagi ke kiri, tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan... lagi-lagi si Gadis jelita telah
berada di depannya.
“Perempuan siluman!” Ia membentak dan dengan nekat menubruk maju dengan kedua lengan terpentang,
untuk memeluk dan kalau perlu mengajak mati bersama.
Tampak sinar hijau berkelebat, disusul pekik mengerikan dari kepala bajak itu dan darah menyembur ke
luar dari dadanya ketika Huang-ho Tai-ong Ma Hoan roboh tersungkur, mendekap dada dengan kedua
tangan, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian.
Kwi Lan berdiri memandang korbannya. Baru lenyap sekarang sinar matanya yang berkilat-kilat dan
senyumnya yang dingin. Sambil menarik napas panjang ia memasukkan Siang-bhok-kiam ke dalam
sarungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mereka memang jahat, Huang-ho Tai-ong memang layak mati, akan tetapi kau terlalu ganas, Nona.”
Kwi Lan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat pemuda tampan yang rambutnya dibiarkan terurai di atas
punggung itu, pemuda yang bernama Siangkoan Li, yang tadi telah menolongnya dari bahaya yang lebih
hebat dari pada maut. Pemuda itu berdiri di mulut goa dan tampak gagah membelakangi sinar api unggun
yang agaknya masih menyala di dalam goa itu.
Teguran ini seketika mendatangkan rasa marah di hati Kwi Lan, akan tetapi mengingat bahwa pemuda ini
sudah menolongnya, ia menekan perasaan marahnya dan bertanya, suaranya ketus. “Aku membunuh dia
dengan sebuah tusukan, mengapa kau bilang ganas? Apa yang kau maksudkan?”
Pemuda itu mengerutkan keningnya dan wajahnya yang tampan itu tampak makin sungguh-sungguh.
“Huang-ho Tai-ong sudah layak mati dan tusukan pada jantungnya sudah tepat. Yang kumaksudkan
adalah pembunuhan yang kau lakukan kepada tiga orang anggota Thian-liong-pang. Mengapa kau begitu
ganas membuntungkan kaki tangan mereka, membiarkan mereka menderita hebat sebelum mati?”
Pertanyaan yang penuh teguran ini bagi Kwi Lan dirasakan seperti tantangan. Ia segera membusungkan
dada, menegangkan leher dan memandang tajam.
“Hemm, kulihat engkau memakai pengikat kepala dan permata kuning seperti yang dipakai Cap-ji-liong.
Engkau seorang tokoh Thian-liong-pang. Apakah engkau kini hendak membalas atas kematian tiga ekor
anjing di dalam goa itu?”
Pemuda itu memandang marah. Dua pasang mata saling pandang dan saling tentang, akan tetapi pemuda
itu lebih dahulu menurunkan pandang matanya, menghela napas dan berkata, nada suaranya penuh
penyesalan. “Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah sepatutnya karena dia mempunyai
niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga orang Thian-liong-pang di dalam goa itu, mengapa kau
menyiksa mereka? Dan mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang ketika
diadakan upacara pengangkatan ketua baru?”
“Huh! Orang sendiri biar kotor selalu dianggap bersih! Tiga orang itu bukan manusia, mereka hanya tiga
ekor anjing busuk yang patut dibunuh seratus kali! Mereka itu hendak... hendak... berbuat kurang ajar,
mereka seperti anjing-anjing yang kotor...!”
Pemuda itu menghela napas. “Ah, sudah kusangka demikian...! Makin lama makin rusaklah nama Thianliong-
pang bersama rusaknya watak mereka...! Ah, Nona, sekarang aku tahu mengapa kau membunuh
mereka, akan tetapi tetap saja kau terlalu ganas. Membunuh dengan dorongan kebencian dan kemarahan
bukanlah sikap seorang gagah.”
Kwi Lan makin marah dan penasaran. Ia membanting kaki kanannya dan menghardik. “Kau ini seorang
tokoh Thian-liong-pang, apa kau kira seorang gagah? Apakah Thian-liong-pang perkumpulan orang
gagah? Huh! Kulihat dengan mata sendiri bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkumpulan orang-orang
jahat. Dalam pesta perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang datang adalah orang-orang dari
golongan hitam. Bahkan ada yang menyumbangkan dua belas orang gadis culikan! Dan ketuanya diangkat
dengan upacara penyembelihan dan penyiraman darah anjing. Perkumpulan apa ini? Dan kau yang
menjadi tokohnya masih berani bicara tentang sikap seorang gagah?”
Aneh sekali. Pemuda yang tadinya bersikap marah dan penuh teguran kepada Kwi Lan, setelah
menghadapi kata-kata yang pedas ini tiba-tiba saja berubah air mukanya. Ia mengerutkan keningnya,
wajahnya yang tampan menjadi gelap, kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menarik napas
panjang berkali-kali dan mengeluh. “Disalah-gunakan... disalah-gunakan...!” Dan ia pun menangis!
Kwi Lan tercengang menyaksikan perubahan ini. Dia sendiri memang keras hati, mau membawa kehendak
sendiri dan berwatak aneh, namun dia bukan seorang yang tidak mengenal budi. Melihat keadaan pemuda
ini, hatinya pun menjadi lunak, dan tanpa disadarinya, ia sudah duduk pula di atas sebuah batu di depan
pemuda itu, lalu berkata, “Aku tidak bermaksud memaki dan menyinggungmu. Aku hanya memaki Thianliong-
pang. Biar pun kau seorang tokoh Thian-liong-pang, kulihat engkau lain dari pada mereka. Engkau
sudah menolongku tadi dan budimu itu sungguh amat besar, membuat aku bersyukur dan berterima kasih
sekali. Engkau sudah menentang Huang-ho Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya hebat, engkau
sudah memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu kerikil.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu menyusut air matanya dan mengangkat muka memandang Kwi Lan. Kemudian berkata dengan
suara berduka. “Aku tidak peduli andai kata kau mencaci maki diriku. Dan aku tentu akan menyerangmu
andai kata makianmu terhadap Thian-liong-pang tidak benar. Akan tetapi apa yang kau katakan adalah
benar dan keadaan Thian-liong-pang seperti itulah yang menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk Thianliong-
pang, akan tetapi dengan keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang ini... bagaimana mungkin aku
membelanya? Aku malu sekali, sedih, tapi... tidak berdaya...!”
Timbul rasa suka di hati Kwi Lan terhadap pemuda ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki ilmu
kepandaian tinggi seperti telah dibuktikannya tadi dengan sambitan kerikil dan dengan sepak terjangnya
dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya, juga memiliki kesetiaan namun tidak ikut
menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain dari perkumpulannya itu.
Dengan suara halus ia berkata. “Dari percakapan tiga ekor anjing tadi aku mendengar bahwa kau bernama
Siangkoan Li dan menjadi cucu luar si Kakek Sin-seng Losu. Seorang seperti kau ini, bagaimanakah bisa
berada di tengah-tengah mereka yang kotor seperti mereka itu?”
Siangkoan Li menundukkan mukanya. “Nona, bagaimana aku dapat bercerita tentang keadaanku sebagai
seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah perkasa, seorang pendekar
seperti engkau ini?”
“Pendekar? Siapa bilang aku pendekar?”
“Ah, tidak perlu kau merendahkan diri. Kau tentulah seorang Lihiap (Pendekar Wanita) dari perguruan
tinggi yang terkenal maka kau berani menentang Thian-liong-pang. Kau hidup di dunia yang bersih, yang
menjujung tinggi kegagahan, yang selalu bertindak membela kebenaran dan keadilan, menentang
kejahatan. Sebaliknya aku, aku hidup bergelimang dosa dan kejahatan, hidup di dunia kotor dan hitam....”
“Ihhh, kau ngaco tidak karuan. Siapa bilang aku pendekar? Aku sama sekali bukan seorang lihiap. Aku
seorang perantau, tidak datang dari perguruan mana pun juga. Guruku bukan orang terkenal, dan andai
kata kuberitahukan juga engkau pasti tak pernah mendengar namanya. Aku sama sekali bukan penegak
kebenaran dan keadilan, bukan pendekar, dan aku hanya bertindak menurut suara hatiku saja. Yang
memusuhi aku, tentu akan kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan kubaiki kembali. Engkau
baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak mungkin kau kuanggap musuh. Siangkoan Li, aku ingin
sekali mendengar bagaimana kau bisa terlibat dalam Thianliong-pang.”
Mula-mula pemuda itu memandang Kwi Lan dengan sinar mata heran dan tidak percaya, kemudian
berkata perlahan, “Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita. Hanya bedanya, engkau bebas dan aku
terikat....” Ia meraba permata kuning yang menghias dahinya. Kemudian ia melonjorkan kakinya, duduk
dengan enak dan mulai bercerita.
Thian-liong-pang tadinya merupakan perkumpulan orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han yang
telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang berjiwa patriot membentuk perkumpulan
Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali wilayah Hou-han yang sudah tertumpas musuh.
Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, yang bernama Siangkoan Bu, putera
seorang bekas panglima Kerajaan Hou-han.
Di bawah pimpinan Siangkoan Bu inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan pertempuran gerilya
dan sering kali melakukan pengrongrongan terhadap Kerajaan Sung. Karena perkumpulan ini
membutuhkan banyak tenaga orang-orang gagah, tentu saja sukar untuk mengadakan penyaringan
sehingga banyak pula orang-orang dari dunia hitam yang memiliki kepandaian masuk pula menjadi
anggota. Di antara mereka ini terdapat seorang pelarian dari barat, bekas seorang pendeta yang bukan lain
adalah Sin-seng Losu bersama puterinya yang cantik dan berkepandaian tinggi pula. Hal yang lumrah
terjadilah, Siangkoan Bu jatuh cinta kepada puteri Sinseng Losu dan kemudian mereka menikah. Dari
pernikahan ini lahirlah Siangkoan Li.
Sin-seng Losu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga ketua Thian-liong-pang, yaitu
mantunya sendiri mengangkatnya sebagai guru untuk para anggota Thian-liong-pang. Dengan kedudukan
ini, ditambah kenyataan bahwa dia adalah ayah mertua Siangkoan Bu, maka Sin-seng Losu merupakan
orang ke dua setelah mantunya di dalam perkumpulan. Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul penjilatpenjilat,
yaitu orang-orang dari dunia hitam yang menyelundup masuk ke dalam Thian-liong-pang. Mulailah
Sin-seng Losu menyimpang dari pada jalan bersih menjadi hamba nafsu dan makin tua menjadi makin gila.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang-orang gagah yang melihat gejala-gejala busuk mulai tumbuh dalam Thian-liong-pang menjadi marah
dan tidak senang sekali. Akan tetapi oleh karena segan terhadap Siangkoan Bu, seorang patriot sejati yang
dihormat dan disegani, mereka masih dapat menahan sabar. Tentu saja, sebagai seorang yang bijaksana
Siangkoan Bu maklum pula akan keadaan ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh banyak
anggota yang berasal dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba susah. Mau ditindak, kakek itu
adalah ayah mertuanya. Tidak ditindak, dapat merusak nama baik perkumpulan.
Akhirnya, pada suatu hari Siangkoan Bu berhasil merampas tiga belas butir permata kuning milik pembesar
tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi boneka Kerajaan Sung, lalu menggunakan permatapermata
kuning itu sebagai tanda kekuasan. Ia memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang,
di antaranya dia sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain yang ia tahu adalah
orang-orang gagah dan patriot-patriot sejati sebagai dewan pimpinan yang memakai hiasan dari permata
kuning. Mereka yang memakai tanda ini berhak untuk mengambil keputusan demi kebaikan Thian-liongpang,
di antaranya berhak menghukum para anggota yang menyeleweng!
Dengan adanya peraturan ini, Sin-seng Losu merasa tersudut dan tidak berani lagi melakukan
penyelewengan-penyelewengan secara berterang. Akan tetapi mala-petaka menimpa keluarga Siangkoan
Bu dan Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi bentrokan dengan jagoan-jagoan Kerajaan Sung,
Siangkoan Bu dan isterinya tewas dalam pertempuran hebat.
Semenjak itulah kekuasaan tertinggi jatuh ke tangan Sin-seng Losu. Dan karena ilmu kepandaiannya
paling tinggi ditambah dua belas orang muridnya yang paling ia sayang, yaitu para penjilat terdiri dari Thailek-
kwi Ma Kiu dan yang lain-lain, tidak ada tokoh lain yang berani menentangnya. Bahkan satu demi satu
para patriot mengundurkan diri sehingga tiga belas buah permata kuning terjatuh ke tangan Sin-seng Losu
yang mengangkat diri menjadi ketua Thian-liong-pang.
“Demikianlah, Nona. Sebuah permata, yaitu bekas milik ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar) diberikan
kepadaku untuk kupakai, sedangkan yang dua belas diberikan kepada para suheng, murid Gwakong.”
“Cap-ji-liong itu?”
“Benar, kami diharuskan sumpah setia sebelum menerima permata ini, dan hal itu memang menjadi
peraturan perkumpulan kami.”
Hening sejenak setelah pemuda itu selesai bercerita. Diam-diam Kwi Lan merasa kasihan kepada
Siangkoan Li. Pemuda ini yatim piatu dan terpaksa hidup di antara orang-orang jahat dan merasa tidak
berdaya karena yang mengepalai orang-orang jahat itu adalah kakek luarnya sendiri! Di samping
kenyataan ini, juga ia telah bersumpah setia sebagai pemakai permata kuning, setia terhadap Thian-liongpang
yang kini berubah menjadi dunia hitam! Pantas saja pemuda ini selalu bersedih, wajahnya tak pernah
berseri karena batinnya selalu tertekan.
“Aku seorang anggota dunia hitam, Nona. Bahkan seorang tokohnya, karena aku masih cucu luar orang
pertama Thian-liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi seorang macam aku untuk menceritakan semua ini
kepada seorang seperti Nona. Akan tetapi... aku tidak bisa diam saja melihat kau dirobohkan orang dengan
cara pengecut, karena itu... biar pun merupakan penghinaan terhadap perkumpulan, aku... aku nekat turun
tangan....”
Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu. “Siangkoan Li, kalau begitu... yang menolong aku dan
Berandal keluar dari sumur itu... engkaulah orangnya?”
Siangkoan Li menundukkan mukanya yang menjadi merah. “Aku seorang pengkhianat kotor... aku... aku
akan menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali...! Hidup bagiku sudah memuakkan, lebih
baik menyusul ayah dan ibu...”
“Siangkoan Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata-kata pengecut seperti itu?
Orang yang bosan hidup dan mengharapkan kematian adalah seorang pengecut yang tidak berani
menentang kesulitan hidup, demikian kata guruku. Biar pun semua orang menganggapmu sebagai seorang
tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan, menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah!”
“Kam Kwi Lan? Itukah namamu, Nona...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan terkejut. Karena merasa kasihan, ia sampai memperkenalkan namanya secara tak sadar. Karena
sudah terlanjur, ia lalu berkata, “Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si
Berandal.”
“Si Berandal? Pemuda tampan yang datang bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Di mana dia
sekarang?”
“Dia pergi mencari ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan bahwa kau akan menebus dosa
menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang hendak kau lakukan?”
Dalam percakapan tadi, ketika si Nona memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit
cahaya gembira. Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali wajahnya menjadi muram. Sejenak ia
tidak menjawab, melainkan memandang ke arah pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka
sadari, sang malam telah mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.
“Aku harus mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima
hukuman.”
“Ah, mengapa begitu? Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan!”
teriak Kwi Lan penasaran.
Tiba-tiba Siangkoan Li melompat bangun. “Tidak! Tak mungkin! Thian-liong-pang adalah perkumpulan
yang didirikan oleh mendiang ayahku. Ayah dan ibuku telah menyerahkan nyawa mereka untuk Thianliong-
pang, masa aku harus melarikan diri? Meninggalkan Thian-liong-pang? Tidak, Kwi Lan. Aku takkan
mundur biar pun harus menghadapi kematian.”
“Tapi, orang tuamu mati untuk Thian-liong-pang dalam membela Hou-han, mereka mati sebagai pahlawanpahlawan
utama. Akan tetapi kau... kau hendak menyerahkan nyawa sebagai seorang pengkhianat Thianliong-
pang? Selagi Thian-liong-pang dikuasai orang-orang jahat?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Betapa pun juga, masih ada Sin-seng Losu
di situ dan kau harus ingat, dia adalah Gwakong (Kakek Luar) bagiku. Andai kata tidak ada dia, tentu aku
sudah akan mengadu nyawa dengan Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari Thian-liong-pang!”
“Marilah kita berdua sekarang juga menghadapi mereka. Siangkoan Li, kau percayalah, kita berdua akan
dapat menghancurkan mereka! Kulihat kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada Cap-ji-liong....”
Siangkoan Li mengangguk. “Memang, terhadap Cap-ji-liong aku tidak takut. Mereka itu terhitung Suhengsuheng-
ku sendiri karena aku pun mendapat pelajaran ilmu silat dari Gwakong, akan tetapi aku masih
mempunyai dua orang Guru yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Gwakong.”
“Siapakah mereka itu?” Kwi Lan bertanya kagum.
Siangkoan Li menggeleng kepala. “Tidak boleh kusebut, sungguh pun andai kata kukatakan juga, kau
takkan mengenalnya. Agaknya antara gurumu dan guruku ada persamaan keanehan dalam hal nama ini.
Kau bilang gurumu tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi kurasa gurumu masih jauh lebih terkenal dari
pada guruku yang benar-benar tak ada seorang pun mengenalnya.”
Tiba-tiba Siangkoan Li memandang ke depan dan wajahnya menegang. Kemudian ia memegang tangan
Kwi Lan, menggenggam tangan yang kecil halus itu sejenak sambil berkata, “Sudahlah, Kwi Lan. Mereka
sudah datang. Selamat berpisah. Kau percayalah, pertemuan ini merupakan satu-satunya hal yang paling
menyenangkan hatiku selama hidupku dan sampai mati pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu.”
Setelah berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan pegangan tangannya dan dengan langkah lebar ia
pergi meninggalkan Kwi Lan.
Kwi Lan berdiri di depan goa dengan hati bimbang. Biar pun pemuda itu sudah dua kali menolongnya, akan
tetapi pemuda itu bukan apa-apanya. Orang lain yang kebetulan bertemu di situ. Urusan pribadi pemuda itu
tiada sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia kepada Thian-liong-pang dan begitu
bodoh untuk menyerahkan diri minta dihukum, peduli apakah dengan dia? Berpikir demikian, Kwi Lan juga
mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Ia masih gemas kala mengingat kuda hitamnya yang hilang.
Matikah kuda itu? Hanyut dan tenggelam? Ataukah terampas para bajak?
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda yang aneh, kembali ia berpikir tentang diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk melupakan
pemuda itu begitu saja. Masih terngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika hendak berpisah, ucapan
yang agak gemetar. Pertemuan yang paling menyenangkan hatinya selama hidupnya! Sampai mati pun
pemuda itu takkan melupakannya! Hemmm, Kwi Lan merasa betapa mukanya menjadi panas. Jantungnya
berdebar aneh, seperti ketika Hauw Lam si Berandal menyatakan cinta kasihnya kepadanya di dalam
sumur.
Siangkoan Li merupakan pemuda yang aneh. Akan tetapi ada perbedaan mencolok dalam sikap mereka.
Hauw Lam selalu gembira dan jenaka, nakal dan lucu. Sebaliknya, Siangkoan Li selalu muram dan sedih.
Mengenangkan Hauw Lam menimbulkan kegembiraan. Mengenangkan Siangkoan Li menimbulkan
keharuan. Akan tetapi keduanya sama baiknya. Sama tampan, sama lihai dan keduanya sama amat baik
kepadanya! Hauw Lam sedang pergi mencari ibu kandungnya, dan Siangkoan Li... pergi mencari maut! Ah,
tidak boleh begini! Ia harus melarangnya, harus mencegahnya!
Kwi Lan lalu pergi mengejar. Siangkoan Li sudah tak tampak lagi bayangannya, akan tetapi karena waktu
itu matahari telah mulai muncul mengusir kegelapan, ia dapat lebih mudah mencari pemuda itu. Ia
mendapatkan pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho dalam keadaan... terbelenggu kedua tangannya dan
sedang dimaki-maki oleh Sin-seng Losu, disaksikan oleh seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek
kurus berjenggot lebat.
Siangkoan Li hanya menundukkan mukanya dengan kening berkerut, kelihatan berduka sekali. Melihat
keadaan pemuda ini, darah Kwi Lan sudah bergolak saking marahnya. Di situ hanya terdapat tiga orang
Thian-liong-pang, biar pun yang seorang adalah tokoh terbesar, Sin-seng Losu. Andai kata Cap-ji-liong
lengkap berada di situ sekali pun, ia tidak akan gentar menghadapi mereka untuk menolong Siangkoan Li.
Pemuda itu telah dua tiga kali menolongnya, tidak hanya menolongnya dari pada bahaya maut, bahkan
dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut!
“Sin-seng Losu tua bangka jahat! Hayo bebaskan Siangkoan Li!” bentaknya sambil muncul dari belakang
batang pohon dengan pedang di tangan.
Seorang di antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara kuning di dahi seperti Siangkoan Li menoleh dan
mukanya menjadi marah sekali ketika ia mengenal Kwi Lan. Secepat kilat tangan kirinya bergerak dan
pada saat yang sama Siangkoan Li berseru.
“Thio-suheng... jangan...! Nona Kam, jangan turut campur...!”
Namun terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw sudah menyambar ke arah tubuh Kwi Lan, akan tetapi gadis
ini menggerakkan pedang menyampok runtuh tiga batang Sin-seng-piauw sedangkan tangan kirinya sudah
menyebar jarumnya ke arah anggota Cap-ji-liong itu. Orang she Thio ini cepat meloncat untuk mengelak,
namun kurang cepat karena Kwi Lan melepas jarum secara luar biasa sekali.
Ia melepas dengan gerakan sekaligus, namun ternyata jarum-jarum di tangannya telah terpecah menjadi
dua rombongan. Rombongan pertama menyerang cepat sekali sedangkan rombongan kedua, biar pun
disambitkan dalam waktu yang sama, lebih lambat dan merupakan jarum penutup jalan ke luar sehingga ke
mana pun juga lawan mengelak, tentu akan disambut oleh jarum-jarum rombongan ke dua ini.
Anggota Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya tertusuk sebatang jarum yang amblas sampai
tidak tampak menembus celana, kulit dan dagingnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh
pingsan!
“Wuuuttt... singgg...!”
Masih untung bahwa Kwi Lan mempunyai kegesitan yang mengagumkan dan gerakan yang aneh.
Otomatis tubuhnya mencelat ke kiri sampai hampir menyentuh tanah untuk mengelak sambaran pedang
yang amat luar biasa itu. Ketika ia berjungkir balik memandang, kiranya yang menyerangnya adalah orang
kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi Lan terkejut juga. Gerakan pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih
hebat dari pada orang-orang Cap-ji-liong! Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang Thian-liong-pang yang
menduduki tingkat satu. Kalau begitu orang itu tentu bukan orang Thian-liong-pang.
Ia memandang penuh perhatian. Orang itu tinggi kurus mukanya pucat kehijauan, tanda bahwa dia telah
melatih semacam ilmu Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan jenggotnya awut-awutan tak
terpelihara, juga kotor seperti seorang pengemis terlantar. Namun pakaiannya bukan seperti pakaian
dunia-kangouw.blogspot.com
pengemis. Agaknya seorang pertapa yang sudah tidak peduli akan kebersihan dirinya lagi. Mukanya kurus
tak berdaging, hanya kulit pembungkus tengkorak. Tentu usianya sudah tua sekali.
Orang ini berdiri memandangnya dengan muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan perasaan
sesuatu, juga mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata.
“Susiok, harap jangan layani dia! Nona Kam, kau pergilah...!” Kalimat terakhir itu ditujukan kepada Kwi Lan
dengan pandang mata penuh kedukaan.
Hati Kwi Lan makin tidak tega, maka ia menghadapi kakek berpedang itu sambil mengejek, “Kalian
bebaskan dia atau... pedangku harus bicara?”
“Sute (Adik Seperguruan), kau wakili aku hajar siluman ini!” Sin-seng Losu berkata.
Kini tahulah Kwi Lan bahwa kakek kotor ini adalah adik seperguruan Sinseng Losu, pantas saja Siangkoan
Li menyebutnya paman guru. Ia melihat betapa orang itu menggetarkan pedangnya di tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya tergetar hebat, lalu menjadi kaku dengan jari-jari membentuk cakar garuda.
Kemudian tubuh orang itu menubruk ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang sedangkan tangan
kirinya mencakar ke arah mukanya. Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya, pedang itu ataukah jarijari
tangan kiri itu. Keduanya mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan amat kuatnya.
Sambutan Kwi Lan atas serangan dahsyat dan aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan Kwi Lan
memang aneh dan tidak terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti dari pada ilmu silat Kam Sian Eng
bahwa setiap serangan lawan merupakan pintu yang terbuka dan merupakan kesempatan untuk dibalas
serangan yang mematikan! Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Kwi Lan sudah meloncat tinggi ke
atas sehingga pedang lawan lewat di bawah kedua kakinya dan berbareng pedang Siang-bhok-kiam di
tangannya bergerak menyambar ke bawah membabat tangan kiri lawan yang mencakarnya tadi.
Kakek itu membelalakkan mata dan agaknya hanya gerakan mata ini sajalah yang menyatakan bahwa ia
merasa kaget sekali karena bagian muka yang lain tetap seperti kedok. Namun ternyata ia lihai sekali.
Karena tidak keburu menarik kembali lengan kirinya yang kini menjadi sasaran pedang lawan, ia segera
membuang diri ke belakang sehingga roboh terlentang sambil memutar pedang di depan dada dan
bergulingan. Secepat kilat ia sudah bangun kembali dan kini mereka sudah berhadapan lagi. Keduanya
sama maklum bahwa lawan adalah seorang yang lihai. Namun Kwi Lan tetap tersenyum mengejek,
menanti serangan lawan.
Kakek itu kini menerjang kembali sambil memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali. Pedangnya
membacok-bacok secara bertubi, kiri kanan atas bawah, diselang-seling namun tak pernah berhenti
mengikuti bayangan dan gerakan lawan. Kwi Lan memperlihatkan kegesitannya, terus mengelak dengan
sedikit miringkan tubuh sehingga pedang lawan menyambar-nyambar di samping tubuhnya, bahkan
kadang-kadang kelihatan seperti sudah menyerempetnya! Makin lama makin gencar serangan aneh dan
hebat ini. Pedang itu seakan-akan digerakkan oleh mesin, tak pernah berhenti menyerang dan setiap
bacokan disertai tenaga dahsyat.
Setelah dua puluh jurus lewat Kwi Lan hanya menghadapinya dengan elakan-elakan segesit burung walet.
Gadis ini lalu berseru nyaring dan pedang Siang-bhok-kiam berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung
yang makin lama makin luas lingkarannya dan betapa pun lawannya memutar pedang setelah lewat lima
puluh jurus, sinar hijau mulai menggulung dan melibat sinar pedang kakek itu.
Kakek ini sebenarnya bukan orang sembarangan. Dia bernama Yo Cat, murid dari tokoh besar Siauw-bin
Lo-mo paman guru Sin-seng Losu. Di dalam dunia hitam, ia sudah menduduki tingkat tinggi, sejajar dengan
Sin-seng Losu. Karenanya jarang ia bertemu tanding. Siapa kira, hari ini, selagi ia ikut dengan suheng-nya
itu untuk mempersiapkan tempat istirahat bagi gurunya yang akan datang berkunjung ke Yen-an, ia
bertemu seorang gadis muda belia yang tidak hanya mampu menandinginya, bahkan kini mendesaknya
dengan ilmu pedang yang hebat dan luar biasa, dimainkan dengan sebatang pedang kayu pula!
“Auuuggghhhh...!” Hebat sekali pekik yang keluar dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat ini, bukan
seperti suara manusia lagi, dahsyat dan liar, lebih mirip suara binatang buas atau suara iblis. Lebih hebat
lagi, setelah mengeluarkan ilmu menggereng yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan
melakukan tekanan-tekanan berat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan adalah seorang gadis gemblengan yang telah mempelajari pelbagai ilmu yang aneh-aneh dengan
cara yang aneh pula. Namun menghadapi Yo Cat yang terlatih puluhan tahun lamanya dan sudah menjadi
ahli sebelum gadis ini terlahir, apa lagi menghadapi ilmu hitam Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis)
ini, jantungnya tergetar dan tubuhnya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia terhuyung-huyung ke
belakang.
Ada satu hal yang menguntungkan Kwi Lan, yaitu wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak pernah mau
kenal apa artinya takut. Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena kelemahan orang menghadapi ilmu
semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan takut. Kalau hati merasa gentar, makin hebat pengaruh
ilmu itu sehingga mungkin tanpa bertanding lagi orang sudah bertekuk lutut.
Karena hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan dahsyat itu sebentar saja dan Kwi Lan sudah
dapat menetapkan perasaannya lagi. Pedangnya mulai memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu
singkat saja kembali ia telah mengurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak
pengalamannya, namun menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi yang dilatih di bawah bimbingan seorang
jago wanita gila, tentu saja ia menjadi bingung sekali, tak dapat menduga-duga bagaimana perubahan
pedang itu sehingga menjadi mati kutu!
“Eh, budak cilik, kau kurang ajar sekali!”
Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan kirinya
bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia Sin-sengpiauw,
namun jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak murid Thian-liong-pang. Piauw
ini memang bentuknya seperti bintang, akan tetapi terbuat dari pada perak berkilauan dan karena kakek ini
yang menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun hebat luar biasa!
“Gwakong (Kakek Luar), jangan...!” terdengar Siangkoan Li berseru kaget.
Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi pedang Yo Cat
yang tak boleh dipandang ringan, maka perhatiannya kurang sepenuhnya terhadap datangnya serangan
Sin-seng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar berkeredepan menyambarnya dari
kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang
kecepatannya menyilaukan mata.
Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya.
Namun bagaikan ada matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila. Ketika ia
berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah kakinya kecuali sebuah yang secara aneh
telah menancap di betis kaki kirinya. Untung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan begitu
merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan mengerahkan Iweekang sehingga senjata
rahasia itu hanya separuhnya saja menancap di daging betisnya.
Pada saat tubuhnya masih di udara, Yo Cat menerjang maju dengan tusukan pedangnya. Lebih hebat lagi,
pada saat yang bersamaan Sin-seng Losu sudah mengerahkan sinkang di lengan kanannya dan mengirim
pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis!
“Auhhhh... hehhh... kau berani... berani...?” Terdengar Sin-seng Losu terengah-engah dan tubuhnya
terdorong mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua tangan
Siangkoan Li yang terbelenggu!
Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya masih di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan
lengking tinggi dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular saja menggeliat aneh di udara namun pedang
lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan pedangnya sendiri menyambar ke
lengan kanan lawan.
“Iihhh...!” Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan menarik lengannya,
namun kurang cepat sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan pedang hingga terluka dan
darahnya bercucuran. Si Muka Mayat ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya
khawatir kalau-kalau gadis yang perkasa itu mendesaknya dengan serangan maut.
Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut sambil
menangis! “Gwakong... kau tak boleh membunuhnya... tak boleh...!” Pemuda itu mengeluh berkali-kali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anak keparat, cucu durhaka... hehhehhh... berani kau... huh-huhh... kubunuh kau...!”
Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan ia sudah berdiri menghadang di depan Siangkoan Li,
mulutnya tersenyum dan matanya memandang kakek itu dengan penuh ancaman. Akan tetapi
kekhawatirannya hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat, dengan napas senin
kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah segar!
Diam-diam Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang lemah.
Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian pukulannya jarak jauh juga
hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li, kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan?
Sampai di manakah tingkat kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini?
“Kalian ini dua orang tua bangka yang bosan hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke neraka!”
Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang orang dari belakang.
Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya dan pemuda itu berkata dengan nada sedih.
“Jangan, Kwi Lan. Dan lekas kau keluarkan obat pemunah jarummu untuk Suheng-ku. Lekaslah, harap kau
sudi melihat mukaku dan menolongnya.”
Kwi Lan melongo. Pemuda aneh sekali! Jelas bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa masih nekad
hendak menolong mereka? Akan tetapi mengingat bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah
hatinya untuk menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan sebungkus
kecil obat bubuk dan berkata, “Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya.”
Siangkoan Li menerima bungkusan itu, memberikan kepada suheng-nya. “Thio-suheng, kau pakailah ini!”
Akan tetapi suheng-nya malah membuang muka dan menghardik. “Tutup mulutmu, pengkhianat!”
Siangkoan Li mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suheng-nya yang masih
rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata, “Nona Kam, harap engkau
sekarang segera pergi dari sini. Kalau sampai para suheng-ku datang, engkau tentu akan celaka dan aku
tidak akan mampu menolongmu lagi.”
Kwi Lan mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. “Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira aku pun
takut mati? Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu.”
“Nona... Kwi Lan... aku tidak ingin melihat kau mati karena aku!”
“Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan
tempat ini!”
“Jahanam besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin mayat ayahmu membalik di dalam kuburnya! Berani
main cinta-cintaan dengan seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini?!” Sin-seng Losu
sudah memaki-maki lagi.
“Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku
menerima hukuman. Akan tetapi kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran
karena kau menderita celaka.”
Kini Kwi Lan menjadi marah. Dengan pedang di tangan ia membentak, “Siangkoan Li! Engkau ini pemuda
macam apa begini lemah dan buta? Memang benar kau adalah orang Thian-liong-pang, akan tetapi
ayahmu dahulu adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan
golongan orang jahat. Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin ayahmu itu, aku tidak akan merasa
heran apa bila engkau mengambil sikap seperti ini, bersetia sampai mati. Siangkoan Li, engkau melihat
sikap Ciam Goan? Nah, dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk di
bawah pimpinan Gwakong-mu yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu
memusuhinya. Bukan memusuhi perkumpulannya, melainkan orang-orangnya yang menyeleweng dari
pada kegagahan. Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara banyak dan pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi
karena kau seorang yang sudah melepas budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu dengan
taruhan nyawaku. Pernah guruku bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang
paling memalukan adalah kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang kelaliman! Demi untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
kebenaran, jangankan hanya perkumpulan atau teman-teman, biar orang tua sendiri kalau perlu boleh saja
dilawan!”
Hebat kata-kata ini, apa lagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian merupakan kebajikan mutlak
dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang buruk dari pada kemurtadan anak terhadap orang tua, walau
pun demi membela kebenaran! Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak waras.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dengar...! Dengar itu omongan iblis betina! Omongan perempuan gila! Siangkoan Li, kau berani murtad
terhadap Kakekmu?”
Sambil berlutut Siangkoan Li berkata, “Tidak, Gwakong, aku tidak berani...!” kemudian ia menoleh ke arah
Kwi Lan. “Kwi Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah datang...!”
“Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong
nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!” kata Kwi Lan dengan suara tetap.
“Celaka...! Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?” Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya.
“Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima
orang engkau dan aku belum tentu akan dapat melawannya.”
Akan tetapi Kwi Lan hanya tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh
tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun, menghampiri Kwi Lan, memegang
lengannya dan berseru. “Kalau begitu, demi keselamatanmu, kita pergi...!”
Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya ditarik Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru, “Eh, eh,
kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama.”
“Hushhh... diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari...!”
Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui jalan
menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah
mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.
Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di
pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat
terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.
“Mari kuputuskan belenggu,” kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li.
Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali tangannya. “Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku
akan kembali menyerahkan diri.”
Kwi Lan marah sekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuknya kepada
Siangkoan Li. “Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara
ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini lemah?
Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang
seperti Ciam Goan untuk membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain?
Kalau kau lakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau
seorang yang berbakti kepada mendiang ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan.
Yang kau lakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau
berkukuh hendak mengerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja.
Kita akan sama-sama mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga dari pada matimu yang seperti
kematian seekor kecoa!”
Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata
melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik
napas panjang. “Aku bingung dan ragu-ragu... agaknya engkau benar... biarlah akan kutemui kedua orang
Suhu-ku dan minta nasehat mereka...! Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi
pengkhianat!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua
tangannya. Terdengar suara keras dan... belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus!
Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, yang
jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kekeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.
“Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum percaya betul.
Bagaimana kalau kau lakukan ini hanya untuk mengelabui aku? Sebelum aku yakin akan keputusan
hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau hendak ke mana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu,
jalan satu-satunya adalah bertanya kepada kedua orang guruku. Aku hendak mengunjungi mereka.”
“Kedua orang gurumu tentu orang-orang luar biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka. Aku ikut!”
“Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu dengan orang
lain. Kecuali itu, juga tempatnya amat sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?”
Kwi Lan tersenyum. “Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li, sudah kukatakan tadi.
Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku sudah mengambil keputusan, sebelum kau yakin akan
kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau
bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak? Marilah kita berangkat!”
Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan tentu akan
melakukan apa yang diucapkannya.
“Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau kau terbawabawa
ke dalam lembah hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia
yang kotor.”
Berangkatlah dua orang itu melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya
sejauh bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama Hauw Lam. Perjalanan di
samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan gurau, gembira karena pemuda itu
memandang dunia dari sudut yang terang dan lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang
pemuda yang pendiam dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan.
Di sepanjang jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara. Kalau tidak diajak
bicara, Siangkoan Li tak pernah membuka mulut! Akan tetapi Kwi Lan tidak merasa kecewa. Ia maklum
akan isi hati pemuda ini dan sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah
cukup baginya. Sinar mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya.
Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di hatinya.
Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun pegunungan Lu-liangsan,
masuk keluar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama itu tak pernah bertemu
dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak
orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali beberapa puluh
keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana
sekali.
“Kita sudah sampai,” kata Siangkoan Li.
“Apa? Di dusun ini?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. “Di puncak sana itu.”
Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samarsamar
tampak tembok putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno.
“Bangunan apakah itu?” tanya Kwi Lan.
“Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang-pai yang merupakan partai
persilatan besar di daerah ini.”
“Ahhh, kedua orang gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan
hatinya.
“Apakah dugaanku keliru?”
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang. “Kedua orang guruku adalah... orang-orang
hukuman di kuil itu...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa...?” Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya. “Kenapa mereka
dihukum? Apakah mereka itu anggota-anggota Lu-liang-pai yang menyeleweng?”
“Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak
pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan, tidak mudah menemui mereka di sana.
Kalau ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu kuharap kau suka menanti di dusun ini
dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua orang guruku.”
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol ke luar, “Siangkoan Li,
keadaan gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang
hukuman di kuil Lu-liang-pai?”
Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu bercerita. Ia tidak pandai bicara,
ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.
“Terjadinya ketika ayahku masih hidup. Ayah adalah ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih
bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan
hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru
berusia tiga belas tahun dan diajak oleh ayah.” Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi
Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan....
Sebagai seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan
antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di
kebun belakang. Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang terdapat
taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkinkan segala macam kembang
hidup subur di situ.
Akan tetapi Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan bermain terus
lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang
taman, kali yang lebarnya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak
dipasangi jembatan.
Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran
kalau belum terpenuhi keinginannya. Maka biar pun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera
mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang.
Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai galah loncatan,
sampai jugalah ia di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur.
Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang
yang tertutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah! Dia seorang anak
pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri
karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba
dan terus berjalan maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan.
Akhirnya setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah dan melihat dua
orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah
tua dan pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor
harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua kurus sekali
sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan tulang-tulang terbungkus kulit
belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan
tetapi jenggotnya lebat dan panjang.
Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga
pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya
pucat seputih tembok!
“Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan
berada di neraka berjumpa seorang iblis cilik?” Si Muka Merah berkata sambil terkekeh-kekeh.
“Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?” kata si Muka Putih dengan nada dingin dan
mengejek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biar pun Siangkoan Li seorang anak yang
pemberani, ia merasa seram juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat dua
orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia memberanikan hati dan menghampiri
kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia
yang sangat tua, ia lalu bertanya. “Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?”
Dua orang kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka
putih bersungut-sungut.
“Kau bocah dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?” tanya yang
muka putih.
Siangkoan Li terkejut. Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya
berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia
menggeleng kepala.
“Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama ayahku berkunjung kepada para Lo-suhu di Lu-Liang-pai.
Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang.” Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan
bagaimana ia sampai ke tempat itu.
“Ayahmu Siangkoan Bu ketua Thian-liong-pang? Ha-ha-ha!” Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju
dan... menyusup keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya menyusup
keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar.
Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin dapat
lolos ke luar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak susah?
Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat
keadaan ini, sungguh pun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang
kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Harap suka memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orangorang
sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf!”
Si Muka Merah tertawa tergelak. “Ha-ha-ha! Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan
Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus! Eh, bocah, maukah engkau menjadi murid kami?”
Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali. Sudah sering kali ia mendengar dari ayahnya tentang orangorang
sakti di dunia persilatan dan sering kali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat menjadi murid
orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya
menjadi murid! Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan hal ini.
Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala, “Teecu akan merasa girang dan bahagia
sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)!”
“Ang-bin Siauwte ( Adik Muka Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana
kalau kelak ternyata salah pilih?” tegur si Muka Putih.
“Heh-heh-heh! Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih?
Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau
sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh membantah perintah guru. Mulai
detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil belajar!”
Siangkoan Li terkejut sekali. “Tapi... tapi... teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah...!” bantahnya
dengan muka pucat.
Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar. “Hah, boleh
kau coba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang!”
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua
orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang
itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang guruku itu.” Siangkoan Li
melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat tertarik. “Selama itu
belum pernah kedua orang Suhu itu memberitahukan nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar,
yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia
dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong
menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liongpang
di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan
bagaimana aku berani melawan Gwakong?”
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata, “Memang
sudah paling tepat kalau engkau menemui kedua orang gurumu itu untuk minta pertimbangan dan nasehat
mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus
mengumpulkan orang-orang gagah yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian
melakukan pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang sudah runtuh
nama baiknya itu. Cap-ji-liong harus dibasmi, kakekmu harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali
bertemu dengan kedua orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siangkoan Li.”
“Eh, jangan...! Berbahaya sekali...!”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. “Berbahaya? Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita boleh lihat
saja!”
“Bukan, bukan itu maksudku. Kepandaianmu hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat itu tanpa
diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan tetapi... kedua orang guruku itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu
mereka akan marah kalau melihatmu.”
“Betapa pun anehnya mereka, belum tentu seaneh guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu
gila untuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku tidak takut!”
Siangkoan Li habis daya. Ia merasa tak sanggup menang jika harus berbantahan dengan gadis ini. Pula
dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat terhadap Thian-liong-pang, semua gara-gara
gadis ini. Sekarang kalau mereka berdua akan mengalami mala-petaka bersama sekali pun, apa lagi yang
disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilakukan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam
ia malah merasa jantungnya berdebar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka
kepadanya seperti rasa suka di hatinya? Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya?
Dengan ilmu kepandaian mereka, dengan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang
mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut keterangan
Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga
di belakang kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi
di balik pepohonan.
“Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?” tanya Kwi Lan
ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.
“Entah, kedua orang guruku tak pernah mau bercerita tentang diri mereka.”
“Kalau benar demikian, tentu hwesio-hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa.”
“Memang aku masih ingat cerita ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku
tidak percaya mereka mampu mengalahkan kedua orang guruku. Buktinya, kalau kedua orang guruku
menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerangkeng? Agaknya memang sengaja kedua
orang guruku tidak mau keluar.”
“Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu!”
Tiba-tiba terdengar desir angin. Mereka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang
piauw (senjata rahasia) menyambar di atas kepala mereka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat
tempat mereka bersembunyi, mereka memandang ke sekeliling dengan pedang siap di tangan.
“Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?” kata seorang di antara mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar sekali, Sute (Adik Seperguruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang menyelundup. Kau ingat
pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan
agar kita semua berjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya
dan menjelang habisnya hukuman, teman-temannya yang jahat datang untuk menimbulkan kekacauan di
sini.”
“Kau benar, Suheng (Kakak Seperguruan). Kata Suhu mereka itu lihai bukan main. Gerakan dua bayangan
tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita mengenai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti
setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk
mengepung dan mencari mereka!”
Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlempar dan tubuh mereka
lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi
kalau bukan Siangkoan Li yang melakukan hal ini. Memang pemuda ini memiliki keahlian menotok jalan
darah dengan sambitan kerikil, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan
di dalam goa yang terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang. Setelah
merobohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya
berlari ke luar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.
“Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhu-ku terhalang.”
kata Siangkoan Li.
Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong
bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melintang.
Dengan cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh dengan rumpun alangalang.
Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhu-nya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi
mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya kedua orang suhu-nya bebas? Entah hari apa, akan
tetapi tentu sekitar hari ini.
Dengan mudah Siangkoan Li mendapatkan sumur yang tertutup alang-alang itu. Ia memberi isyarat kepada
Kwi Lan untuk mengikutinya, kemudian ia melompat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti yang
ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian
pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur,
Siangkoan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki
terowongan di bawah tanah.
Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan dan dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu, tiba-tiba
mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras. Cepat Siangkoan
Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil memandang ke
depan.
Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan
kini mereka mencak-mencak seperti dua orang menari-nari. Akan tetapi luar biasa hebatnya sambaran
tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan
menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil
memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah sambil memukul-mukul juga memakimaki.
Dan mereka berdua itu menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi
ternyata maki-makiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.
“Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan! Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus
kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup atau pun
sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara)
dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut
padamu! Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk
menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk
mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?”
Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar,
bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu merasa betapa lantai tergetar
hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua,
dan mungkin tidak melihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap sedangkan
dunia-kangouw.blogspot.com
tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang menerobos masuk dari lubang dan
celah-celah di atas.
Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka dan membuat
mereka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum
betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung dan tidak mengerti mengapa
ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang
mereka tantang?
Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang
amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek ini memang aneh sepak
terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitan dengan
membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan! Akan tetapi maksud hati
mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh Suling Emas, Lin Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di
Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai niat
hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang,
yaitu Bu Kek Siansu!
Siapakah Bu Kek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walau
pun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Di antara para pendekar terdapat
kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib baik
sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan
seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia
hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak
terlawan oleh siapa pun juga! Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu, atau lebih tepat tak
seorangpun tahu di mana adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang
tak disangka-sangka.
Lima belas tahun yang lalu, setelah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling
Emas dan kawan-kawannya, (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)sepasang kakek sakti ini tiba di
Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk
merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk
ini ditentang oleh para hwesio Lu-liang-pai dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya
tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Dua orang kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu
Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini membuat mereka berdua lumpuh tak
dapat berdiri. Kemudian setelah memberi wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk
menjalani hukuman di dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa.
Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan
dalam janji mereka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan memaki-maki
karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.
“Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?” kini
terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras
menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang
mengerikan.
Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu dari
luar, suaranya halus dan merdu, perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li
yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hatinya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap,
namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil menanti
perkembangan keadaan yang menenangkan itu.
“Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?” kata Lam-kek Sian-ong.
“Hoh, ke sinilah biar kami dapat menebus penderitaan lima belas tahun dengan kematianmu, tua bangka!”
kata pula Pak-kek Sian-ong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara yang-khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar,
mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin
dunia-kangouw.blogspot.com
mereda dan akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara yang-khim
penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara
yang-khim makin lama makin lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun seakan-akan
gema suaranya masih terdengar memenuhi telinga, dan suasana tenang damai serta tenteram masih
terasa menyelubungi hati.
“Siancai, siancai(damai, damai)...! Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi
(Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau diikat hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang
membedakan manusia dari pada kerbau...!” Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti
juga suara yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka.
Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka memasuki
terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali.
Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan
sebuah yang-khim berada di punggungnya.
Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang kuda-kuda dan
bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu
sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan
sendirinya!
“Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini kakek-kakek yang sudah amat tua, mengapa harus bertanding
menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai
lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang mengagumkan, tanda bahwa Ji-wi
benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gemblengan sehingga
aku percaya bahwa kini Ji-wi telah memperoleh hasil yang amat berharga.”
“Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu
dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi
kami bukan pengecut yang tidak bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti
hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu!”
kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.
“Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!” kata pula Pakkek
Sian-ong yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang
aneh dan lucu.
Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah. “Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor
akan tetapi menyadari akan kekotorannya, lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat
menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya dan tidak
mau membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut
disesalkan?”
Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian si Muka Merah itu tertawa. “Haha,
Bu Kek Siansu. Kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan. Akan tetapi
kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun
yang lalu!”
“Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini!” kata
Pak-kek Sian-ong penasaran.
“Siancai... Siancai... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya? Apakah
untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semenjak Thian-te
Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan makin aman. Namun kini muncul tokoh-tokoh
baru menggantikan kedudukan mereka. Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan sekali
mereka itu bersatu padu, bukankah peri-kemanusiaan terancam bahaya hebat? Ji-wi, segala apa di dunia
ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari memberi cahaya kehidupan. Tanah
memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji-wi yang telah
dikurniai kepandaian tinggi, layakkah kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa
artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu kalau hanya
untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satusatunya
mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu.”
“Benar kata-kata Ang-bin Siauwte.” kata si Muka Putih. “Yang lain-lain perkara kecil, kalau kami kalah lagi,
selanjutnya kami akan menurut.”
Bu Kek Siansu menarik napas panjang. “Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang.
Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Kalau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah
dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Jiwi
tidak membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Jiwi
menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang
kumaksudkan tadi.”
Kembali dua orang kakek itu saling pandang. Betapa pun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi
manusia setengah dewa itu. Biar pun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam
kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana
tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyianyiakan
kesempatan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya,
melainkan mereka haus akan kemenangan. Apa pun juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang,
akan puaslah hatinya. Apa lagi kalau kemenangan ini disahkan dengan terjatuhnya Bu Kek Siansu, si
manusia dewa di bawah tangan mereka!
“Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!” kata Si Muka Merah.
“Aku pun memukul tiga kali!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Terserah, tiga kali juga baik,” kata Bu Kek Siansu tenang.
“Kau tidak boleh menangkis!” kata pula Lam-kek Sian-ong.
“Dan tidak boleh mengelak!” sambung Pak-kek Sian-ong.
“Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi.”
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini
menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah
menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali
pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak mau pun menangkis?
Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah duduk di
dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal
sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian
licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu. Ia sangat kagum ketika
mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya
karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulailah ia dapat
melihat anjuran Kwi Lan.
Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar
akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan dari kotoran, kemudian melakukan
kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur
kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini
barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya.
Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu
memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat
menyambar.
“Desss...!”
Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima
pukulan tanpa menangkis mau pun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang-bin Siauwte, bergantian!” teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju.
Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapasan. Ia tahu akan akal
saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga
dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam.
Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam ia kagum sekali. Setelah
lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu
Kek Siansu, ia merasa seperti memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh
hebat!
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan
Lam-kek Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka
pucat ini memukul dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Im-kang.
“Cesss...!”
Kembali tubuh Bu Kek Siansu tergetar, bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat
sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah.
Betapa pun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa
hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat.
Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah mengerahkan seluruh
tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu
tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata,
mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik
Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah
mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah
bersepakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa
berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam
penggunaan tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga
dingin. Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat
mengatur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu?
Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu
hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya
untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan
muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua renta itu
tentu akan terpukul mati.
“Bresss...!”
Hebat bukan main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam
dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sianong menampar lambung dalam saat berbareng. Tubuh Bu
Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding
batu. Terdengar suara keras dan yang-khim di punggungnya ternyata telah remuk!
Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia
maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan dinding batu di mana ia
terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu!
Senyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya
mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala
mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah mempergunakan tenaga
dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah
melukai mereka sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya
itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan... mungkin juga menyeret
mereka berdua ke lubang kuburan! Betapa pun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak berlaku
dunia-kangouw.blogspot.com
nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang
berdiri dengan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li.
Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.
“Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi...!”
Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menudingkan telunjuknya dan
berkata, “Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan
memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan
kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian perlihatkan ini?”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sianong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu telah
disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini,
bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka.
Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada
tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan terakhir dengan
menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat munculnya Kwi
Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke
arah dua orang muda yang menghalang di jalan.
“Pergilah kalian!” bentak Lam-kek Sian-ong.
Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka
dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin pukulan
dari depan itu seakan-akan mengunci jalan ke luar, bahkan ketika mereka mengerahkan tenaga, mereka
mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum
tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok!
Benar-benar pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti datangnya maut,
karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh mereka, tentu maut akan datang merenggut
nyawa! Akan tetapi tiba-tiba mereka merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus
dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan sebelum tangan kedua orang kakek
itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh
terjengkang!
“Minggirlah, anak-anak!” terdengar bisikan dari belakang.
Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka
lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum
bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya
memandang ke depan.
Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata
terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang
pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka mata mereka dan mulailah
mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian
sendiri! Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan
mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.
“Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi.”
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak
melukai kakek sakti itu, sungguh pun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik
keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas!
Menyaksikan keraguan mereka, Bu Kek Siansu berkata lagi, “Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi
merasa menyesal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biar pun
kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku.
Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat
selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju
dan Lamkek Sian-ong berkata, “Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat
bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu!”
“Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!” kata pula Pak-kek
Sian-ong.
Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu
Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali
pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada
mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
“Dukkk...!”
Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu
dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah mengorbankan diri demi
keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh
terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang. Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir
darah segar!
Dua orang kakek itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru
sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, begitu saja
membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang
sebesar ini?
Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua. “Siancai... siancai...
legalah hatiku sekarang... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat...”
“Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?” Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
“Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Anak-anak yang baik,” kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak
kecil saja. “Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya.
Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting,
mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan
kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah.” Setelah berkata demikian, ia
bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan
mulut tersenyum!
Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sianong
si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan mukanya di antara
kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi
kerangkeng dan terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua
peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh
menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheranan.
Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. “Ji-wi
Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu...”
Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh, lalu membentak, “Aku tidak mempunyai murid
macam engkau!”
Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. “Suhu, harap maafkan teecu. Teecu datang
menghadap mohon nasehat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi
perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan...?”
Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh dan menoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan mukanya
makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik, “Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liongpang
yang menjemukan! Pergi... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu...!” Siangkoan Li merintih.
“Cukup! Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan ayahmu menjadi runtuh
berantakan. Kau kira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam
engkau!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita
untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twako, kau bikin dua orang muda ini kecewa saja!” si Muka
Merah mengejek.
Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia
menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua
orang suhu-nya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek
Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi,
mengejek dan menghina Kwi Lan.
Wajah pemuda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan semangat. Ia
masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon
dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri
dengan muka merah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka
melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada
dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian
kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani
menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa
Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main,
kemarahannya tak tertahankan lagi. Ia melompat maju dan memaki.
“Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah
atas kehendak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh
Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasehat, akan tetapi kalian malah memaki-maki
dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?” Ia lalu memegang lengan Siangkoan Li,
ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut, digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil
membujuk.
“Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan menyandarkan pendirianmu kepada
orang-orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada
mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam
kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru lakilaki
namanya!”
“Hi-hi-hik...!” Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-kek Sian-ong juga tertawa.
Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh
Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua
orang gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang
kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.
Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Luliang-
pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas
bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan
tetapi warung yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk
melenggut di sudut sebelah depan. Biar pun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ
menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelanja.
Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan tetapi sisa-sisa di atas meja itu
membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa makanan di atas
meja, akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan duduk melenggut, agaknya tertidur setelah kekenyangan
makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
heran melihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun terpelihara baikbaik.
Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala
berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah!
Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguh pun
merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak pengemispengemis
yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun hanya seorang di antara anggota
perkumpulan-perkumpulan itu yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga
Siangkoan Li terlalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usahanya
menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada si Pengemis yang masih duduk
melenggut di atas kursinya.
“Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu,
betapa pun lihainya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng dari pada jalan benar?
Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup,
menghapus semua yang kotor dan mulai dengan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat
jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya,” berkali-kali Kwi Lan
menghibur.
“Aihhh... bukan main...!” Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas.
Kwi Lan cepat menoleh ke luar, akan tetapi tidak tampak ada orang di luar. Suara tadi datang dari luar,
ataukah... dari pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi bukan, karena telinganya yang tajam dapat
menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus dan panjang, napas orang sedang tidur! Ia
menoleh ke arah dalam di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada
orang lain kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi. Mungkin suara orang
di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya dengan dia.
Siangkoan Li menghela napas panjang. “Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi,
mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan
kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi
sudi menyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku
akan berusaha mengangkat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kau usulkan. Akan
tetapi....” Ia menundukkan muka dengan sedih.
“Mengapa lagi? Apa yang menjadi halangan?”
“Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. Dengan sendirinya aku telah
menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat! Lebih dari itu, kedua orang guruku pun ternyata bukan
orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku? Kurasa usahaku untuk
menghimpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biar pun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yang cerdik. Ia
dapat mengerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab
dan menghibur, tiba-tiba terdengar suara halus namun kereng dan penuh teguran.
“Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan
menggunakan kekerasan!”
Kwi Lan cepat menoleh dan tampaklah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio
yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apa lagi yang memimpinnya. Dia
seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, matanya bersinar halus namun amat tajam. Empat
orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan sikap mereka hormat, menanti
perintah. Mereka berlima, semua membawa pedang.
“Celaka, mereka adalah hwesio-hwesio Lu-liang-pai...,” bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan
melangkah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.
“Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh
dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan karena hal itu teecu lakukan secara
terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Luliang-
pai.” Siangkoan Li yang mengenal kesalahannya dan kini sedang dalam usaha ‘memperbaiki jalan
dunia-kangouw.blogspot.com
hidup’ mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan
mendongkol.
“Omitohud... baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang, bukan
hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami. Beberapa tahun yang lalu,
selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan. Lebih dari itu, malah tanpa ada yang mengetahui
kau telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah
melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang
menjadi perkumpulan jahat semenjak ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu
pinceng dan para anggota Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Sekarang, semua dosa ini
ditambah dengan pelanggaran ke dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo
lekas berlutut dan menerima hukuman di kuil kami.”
Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang
Siang-bhok-kiam! Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri
dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.
“Hwesio-hwesio gundul sombong! Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak
apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa-dosanya? Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa
yang menentukan dosa tidaknya manusia?”
Para hwesio itu nampak kaget, bahkan ada di antara mereka mencabut pedang siap menanti komando.
Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, “Omitohud..... Nona
muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok Hwesio ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah
bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?”
“Hwesio tua, tak perlu aku memperkenalkan diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang
tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia. Kau tidak berhak!”
“Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha)
membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat
akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami
menganggap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan
memberi hukuman yang layak. Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm...
agaknya pinceng tidak akan berlaku selunak ini.”
Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkan keningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan betapa
ayahnya seorang yang dihormati dan dijunjung tinggi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya,
hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.
“Tua bangka gundul! Kau bicara seolah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia
ini! Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua
kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci,
paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa!
Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa
untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan menganggap mereka berdosa! Pantas kalian
hendak dibasmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan
mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati
dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk
neraka tak diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu!”
“Kwi Lan, jangan...!” Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah
gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siangkoan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio
dan berkata.
“Thaisu, dan para Suhu semua, dengarlah! Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama ayahku yang
sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Setelah kini kupikir baik-baik, aku
tidak merasa berdosa terhadap Lu-liang-pai. Pelanggaran itu bukanlah dosa. Kalau menurut pendapat
kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh. Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku tidak mau
dihukum! Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh! Biarlah aku melakukan apa yang
dahulu kedua orang Suhu-ku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu
memberi hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah, silakan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan
berani melawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang hebat itu, ia
meragu. Apa lagi di situ terdapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula
maka berani bersikap sekeras itu.
Andai kata dia mampu mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua
orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan janganjangan
mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek Siansu
manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu tak seorang pun manusia
mengetahuinya.
“Omitohud...! Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami
menolong jiwa Siangkoan-kongcu dan berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan
Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat
sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu sebagai musuh, bukan
sebagai putera sahabat lagi.” Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus, “Mari kita pergi.”
Hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah ke luar sambil berliam-keng
(membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan
pandang mata sampai mereka itu mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
“Engkau benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri, mempertimbangkan perbuatan
sendiri, kemudian mempertanggung-jawabkannya sendiri pula. Terima kasih atas segala bantuanmu, Kwi
Lan. Sekarang terbukalah mataku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membangun kembali Thianliong-
pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat,
terjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk memperlihatkan
kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang anak seperti aku.” Ucapan ini bersemangat
sekali dan pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan terkepal dan mukanya
yang tampan kehilangan kemuramannya, kini tampak berseri dan bercahaya.
Kwi Lan tersenyum lebar, menghampiri dan memegang tangan pemuda itu. “Bagus! Sekarang aku dapat
dengan hati ikhlas dan dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li. Kelak aku pasti akan datang
mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu.”
Pemuda itu memandangnya tajam. “Apa? Kau... kau tidak ikut bersamaku?”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Sungguh lucu, bukan? Tadinya engkau yang selalu menyuruh aku pergi
akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak meninggalkanmu akan tetapi
engkau yang sebaliknya menghendaki aku membantumu. Sekarang engkau dapat berdiri sendiri,
Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku, melainkan urusan pribadimu. Betapa pun
juga, aku girang sekali telah dapat bersahabat denganmu. Engkau seorang pemuda yang amat hebat!”
“Kwi Lan... ahhh....”
“Ada apa? Kenapa kau meragu lagi?”
“Kwi Lan..., terus terang saja... hemm, sekarang ini... terasa amat berat bagiku untuk berpisah darimu.
Tidak... tidak dapatkah kita... eh, bersama selalu...?”
“Ehm... ehm...!”
Untung pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil menggaruk-garuk
pundak yang agaknya digigit kutu bajunya sehingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata
Siangkoan Li itu menjadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam warung di mana
terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan
berkata.
“Maaf, Kwi Lan. Kembali aku terseret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus mengambil jalan kita
masing-masing dan kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik, setelah tugas kita masingmasing
selesai. Nah, selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan!” Jari tangan yang menggenggam
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke
dalam hatinya. Ia memandang mesra kemudian menarik kembali tangannya.
“Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil dalam tugasmu. Sampai
berjumpa pula kelak...”
Dengan wajah berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama kemudian ia
telah berlari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang mengikutinya. Gadis itu termenung
sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik warung. Setelah membayar harga makanan,
ia pun lalu membawa bungkusan pakaiannya dan meninggalkan warung itu.
********************
Kita tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk melanjutkan perjalanannya
menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya. Marilah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti
telah disinggung oleh manusia dewa Bu Kek Siansu ketika memberi nasehat kepada Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, terjadi perubahan hebat
semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat.
Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah
kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apa lagi pemerintah Sung dengan secara tidak langsung dibantu oleh
para pendekar, mendapat angin baik dan di mana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan
hitam sehingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang. Untuk
menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan
bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar perkumpulan pengemis
sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar
itu.
Kemudian timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan hitam, yaitu
dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat dari pada
mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak
terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul
sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam ‘datuk’
mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang di
antara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang
memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir ini banyak muncul di dunia
sebelah selatan.
Semenjak dikalahkan oleh Suling Emas (baca CINTA BERNODA DARAH ), iblis betina ini melarikan diri
dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain menggembleng diri dengan
ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid perempuan yang cantik-cantik dan kesemuanya berambut
panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah barisan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin
(Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya
mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya
menggemparkan perbatasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau di antara para dunia pengemis dan
dikabarkan bahwa dia telah membunuh dua ratus lebih orang pengemis golongan putih dengan cara yang
luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang besar sekali. Dia
ini dijuluki Bu-tek Siu-lam (Si Tampan Tanpa Tanding).
Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, tentu saja namanya
disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di
dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan selain lebih lihai dari pada raja pengemis jahat It-gan Kaiong,
juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak bicaranya
seperti perempuan genit!
Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong,
seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya dia itu masih keturunan
mendiang Hek-giam-lo, salah satu tokoh Thian-te Liok-kwi (baca CINTA BERNODA DARAH ). Pak-sin-ong
dunia-kangouw.blogspot.com
(Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah gergaji berkait dan ia
bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan!
Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka
kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi
kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabungkan diri atau lebih tepat bernaung di bawah
pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke empat di antara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah seorang kakek tua renta yang kurus
dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman guru
Sin-seng Losu ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Karena
di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para
pengikutnya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima di antara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan
julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Bertenaga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepulauan di laut,
dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur
sampai perantauannya ke daratan tengah.
Sampai kini belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya yang aneh dan
lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama tambur dan canang untuk
mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti
tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyai pengikut. Ia malang-melintang seorang diri di
dunia kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar!
Pagi hari itu amat ramai di puncak Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini
merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling sunyi, tak pernah didatangi manusia karena
selain sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan sering kali
dijadikan sarang manusia-manusia buas pula. Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat
pertemuan di antara orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal
dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang
akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan
terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan
sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala! Pagi hari itu sudah ramailah puncak,
penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula
yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian
pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis.
Biar pun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu
mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman bermacammacam
lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam
binatang.
Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula
bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis yang
pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan
perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan
pengemislah yang terbanyak datang mengunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan harimau, binatang-binatang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian
pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan manusia memilih kawan
dengan kecocokan watak dan kebiasaan mereka. Biar pun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul
di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakukan perbuatan
sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat beramah-tamah, satu dengan yang lainnya bersendaugurau
dengan hati tulus ikhlas penuh rasa persahabatan. Dengan bangga mereka saling menceritakan
pengalaman mereka yang bagi umum merupakan perbuatan jahat, namun bagi mereka merupakan
kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap
diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir burung-burung yang terbang pergi ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini berkumpul mengelilingi sebuah batu
besar yang bundar bentuknya dan licin permukaannya sehingga batu itu dapat dipergunakan sebagai
pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di seputar ‘meja’ ini, dijadikan tempat
duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacammacamlah
sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ
adalah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu ini, serentak mereka
menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua percakapan terhenti dan semua mata melotot
memandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan dengan lenggang bergaya
tari, menarik dan menggairahkan.
Dua orang wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah muda
dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah wanita-wanita
selatan. Rambut mereka terurai panjang tak digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung.
Mereka datang sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling genit.
Karena yang menjadi pelopor pertemuan ini adalah dua perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang dan
Hek-coa Kaipang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus
meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak musuh yang datang menyelundup.
Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera
menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang wanita itu.
“Selamat datang di antara sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari golongan manakah
dan berdiri di bawah bendera apa?”
Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil menutupi mulut dengan ujung lengan
baju mereka yang panjang. Kemudian seorang di antara mereka yang lebih tinggi berkata, “Kami adalah
anggota-anggota Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini.”
“Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat
mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni
berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!”
Dua orang wanita itu tersenyum-senyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari
laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang wanita
ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan
tempat duduk.
“Mari duduk dekatku sini, Nona. Batunya licin dan bersih!”
“Di sini teduh. Marilah!”
Berlomba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, semua mengharapkan untuk dapat
duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada
pula yang mulai mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak mereka yang
memang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul.
Namun dua orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar senda-gurau lakilaki
yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggota
Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum dan melirik sana-sini memilih tempat. Sesungguhnya bukan tempat
yang mereka pilih, melainkan penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh,
mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera mereka bercakapcakap
dan tertawa-tawa gembira.
Biar pun tuan rumahnya adalah perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan
rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat janggal terdengarnya. Pengemis yang tidak miskin!
Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggota Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan
masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan
mengemis secara paksa alias merampok!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang kaya
lalu ‘mengemis’ jumlah tertentu yang harus diberikan oleh si kaya. Demikianlah praktek yang dijalankan
oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan
dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-makanan yang cukup lezat dan mahal.
Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang lebih, maka perundingan pun
dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan
sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi
para pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.
“Sudah terlalu lama kita ditindas!” Demikian antara lain ketua Hek-pek Kai-pang berkata. “Semenjak para
datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami tewas, maka kita selalu dikejar-kejar,
dihina dan harus sembunyi-sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka.”
“Agar persatuan kita dapat lebih kuat teratur, kita harus mengangkat seorang bengcu (pemimpin).
Pertemuan ini memang merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan untuk memilih bengcu. Tentu
saja memilih bengcu harus mencari seorang tokoh yang sakti agar pekerjaan kita jangan sampai gagal!”
kata Ketua Hek-coa Kai-pang. “Kami dari golongan pengemis mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe
Bu-tek Siu-lam!”
Semua pengemis yang merupakan anggota pimpinan pelbagai perkumpulan pengemis bertepuk tangan
menyatakan setuju dan mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa Kai-pang itu.
Mulailah golongan lain mengajukan calon-calon mereka. Wakil-wakil dari utara mengajukan calon Sin-cam
Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang sudah terkenal kesaktiannya. Golongan barat diperkuat oleh
perkumpulan Thian-liong-pang mengajukan Siauw-bin Lo-mo. Sebaliknya para penjahat yang datang dari
timur dan yang mengagumi sepak terjang Thai-lek Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan
tokoh baru ini sebagai bengcu.
Ramailah mereka memuji-muji setinggi langit calon masing-masing, menceritakan kehebatan sepak terjang
mereka, kelihaian mereka, dan kekejaman mereka yang dikatakan lebih hebat dari pada Thian-te Liok-kwi
yang kini sudah tidak ada lagi, tinggal Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di dunia kangouw.
“Bagus! Agaknya kita tidak kekurangan calon yang hebat-hebat! Sudah ada empat orang calon kita yang
dalam beberapa hari ini akan hadir di sini. Setelah semua calon berkumpul, barulah dilihat siapa di antara
mereka yang paling patut dijadikan bengcu. Sementara itu, mengingat bahwa Siang-mou Sin-ni adalah
seorang di antara Thian-te Liok-kwi, jadi merupakan tokoh tua yang patut diingat, sebaiknya kita
mendengarkan suara utusannya yang kini hadir di sini,” kata Ketua Hek-peng Kai-pang sambil melirik dua
orang nona manis yang kelihatan makin merapat duduknya dengan dua orang laki-laki muda tampan tadi.
Tanpa malu-malu lagi kedua nona itu sudah bersikap sangat mesra terhadap dua orang pasangan mereka.
Mendengar ucapan itu, dua orang nona manis itu kini dengan manja dan perlahan mendorong dada
pasangan mereka, kemudian tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali meloncat, gerakan mereka
yang amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah berdiri di atas batu besar di tengah-tengah. Di
tempat tinggi ini mereka kelihatan jelas. Cantik genit dengan bentuk tubuh tampak membayang di balik
pakaian sutera tipis. Cantik menggairahkan.
“Seperti telah kami katakan tadi, kami hanyalah utusan yang ditugaskan oleh guru kami sebagai peninjau
saja. Guru kami menyatakan bahwa beliau tidak tertarik lagi akan urusan dunia dan tidak menghendaki
kedudukan bengcu. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa kami tidak mau bekerja sama dengan anda
sekalian. Guru kami berpesan apa bila bengcu baru sewaktu-waktu bergerak menggempur Suling Emas,
guru kami pasti akan turun tangan membantu. Hanya kalau bentrok melawan Suling Emas saja guru kami
suka berkerja sama. Kiranya cukuplah pernyataan kami dan selanjutnya kami hanya menjadi peninjau yang
tidak mengajukan calon.” Setelah berkata demikian, dengan langkah menggoyang pinggul mereka kembali
menghampiri pasangan masing-masing yang menerima mereka dengan kedua lengan terbuka dan
tertawa-tawa.
Ucapan anggota Siang-mou-tin ini sekaligus membelokkan percakapan mereka yang hadir di situ dari
persoalan pencalonan bengcu menjadi soal musuh-musuh besar mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa yang dikatakan oleh Ji-wi Kouwnio tadi memang tepat!” kata seorang di antara para tokoh dari utara.
“Memang Suling Emas merupakan seorang musuh besar kita bersama. Siapakah di antara kita yang belum
pernah terganggu oleh Suling Emas, baik secara langsung mau pun tidak langsung? Dan jangan dilupakan
Ratu Khitan! Wanita yang kini menjadi Ratu Khitan kabarnya masih sanak dekat Suling Emas, bahkan
berhasil menjadi ratu karena bantuan Suling Emas. Kami mendengar pula bahwa ratu yang sampai kini
tidak menikah itu adalah kekasih Suling Emas. Sungguh memalukan sekali, terutama terhadap bangsa
Khitan yang menjadi kawan baik kami. Oleh karena itulah kami mengajukan Pak-sin-ong sebagai calon
bengcu dan tugas kita pertama adalah mencari dan membunuh Suling Emas bersama teman-temannya,
terutama sekali Ratu Khitan!”
Ramailah mereka menyebut dan menyumpahi nama-nama tokoh yang menjadi musuh mereka. Selain
Suling Emas dan Ratu Khitan, juga ada yang menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo yang mereka
khawatirkan akan merupakan pimpinan para pengemis baju butut yang amat lihai. Disinggung pula nama
Kam Bu Sin bersama isterinya Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw yang kini berdiam di kota Heng-yang,
sebuah kota yang terletak di lembah Sungai Mutiara di mana keduanya hidup rukun dan tenteram namun
yang selalu tak pernah merupakan tugas mereka sebagai orang-orang gagah untuk melawan kejahatan.
Masih banyak nama yang disebut dan dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat ini, di antaranya disebutsebut
pemilik Ang-san-kok (Lembah Gunung Merah).
“Paling penting lebih dulu memohon bengcu baru untuk menyerang Ratu Khitan,” seorang tokoh utara
berkata, “Kalau kedudukan Ratu Khitan dapat dirampas, berarti golongan kita akan mendapatkan bantuan
yang amat kuat, yaitu bangsa Khitan, sehingga tidak akan sukarlah membasmi yang lain-lain.”
“Akan tetapi kabarnya ilmu kepandaian Ratu Khitan juga amat hebat!” bantah seorang lain. “Aku sendiri
belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi aku mendengar bahwa biar pun usianya sudah empat puluh
tahun lebih, namun ia masih cantik jelita seperti bidadari dan ilmu kepandaiannya amat dahsyat. Di
sampingnya ada pula pembantunya yang setia, Panglima Besar Kayabu yang kabarnya juga lihai sekali.”
“Uhh, lihai apa? Kayabu itu hanya mengandalkan ketampanan wajahnya sehingga ia menjadi seorang di
antara kekasih Ratu Yalina yang gila lelaki!”
“Masa...?”
“Siapa membohong? Kekasihnya banyak, di antaranya Suling Emas, Kayabu dan boleh dibilang setiap
orang muda bangsa Khitan tentu ditarik masuk ke istana untuk memuaskan nafsunya.”
“Ah, benarkah itu...?” Orang-orang menjadi tertarik hatinya.
Orang yang bercerita itu membusungkan dadanya. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih,
tubuhnya tinggi besar, nampak amat kuat, mukanya dihias kumis dan jenggot lebat, sehingga wajahnya
menjadi angker menakutkan.
“Aku bukan hanya sudah menyaksikan dengan mata ini sendiri, bahkan sudah pula menikmati pelukannya
yang hangat!” kata laki-laki ini. “Siapa yang tidak tahu bahwa aku pernah tinggal di Khitan dan menjadi
kekasih Ratu Yalina sampai sepekan lebih?”
“Wah, hebat sekali! Twako, agaknya dia suka kepadamu karena kau tinggi besar dan gagah!” kata seorang
anggota pengemis menggoda karena masih belum percaya benar.
“Memang dia paling suka kepada laki-laki yang tinggi besar, terutama sekali yang jenggot dan kumisnya
sebagus ini!” Laki-laki itu mengelus-elus jenggot dan kumisnya dengan bangga sambil melirik ke arah dua
orang anggota Siang-mou-tin yang tidak memilih dia.
“Ceritakan...!”
“Ya, ceritakan, Twako. Bagaimana ketika engkau menjadi kekasih Ratu Yalina?”
Orang-orang mendesak kepada si Brewok ini untuk bercerita. Dua orang wanita anggota Siang-mou-tin
yang mendengar percakapan yang makin menjurus ke arah cabul dan kotor ini hanya tersenyum-senyum
dan kadang-kadang terkekeh geli.
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Brewok yang kini menjadi pusat perhatian, dengan bangga lalu melompat ke atas batu besar di tengahtengah,
memasang aksi dan berdehem beberapa kali sebelum mulai dengan ceritanya yang pasti menarik
dan cabul. Akan tetapi pada saat itu, si Brewok menjerit dan terjengkang roboh menggelinding turun dari
atas batu besar. Ketika orang-orang datang menghampirinya, ternyata si Brewok sudah tewas dan di
lehernya menancap sebatang jarum hijau! Kagetlah semua orang dan pada saat itu, dari balik sebatang
pohon muncul seorang gadis muda yang amat cantik. Gadis ini bukan lain adalah Kwi Lan!
Secara kebetulan sekali, dalam perjalanannya menuju ke Khitan, Kwi Lan lewat di kaki gunung Chengliong-
san. Ia tertarik akan gerak-gerik dua orang anggota Siang-mou-tin, maka diam-diam ia mengikuti
mereka naik ke puncak di mana ia melihat berkumpul banyak orang dari golongan sesat. Mula-mula ia
hanya mengintai dan mendengarkan, kemudian sudah merasa kesal dan hendak pergi ketika tiba-tiba ia
mendengar nama Ratu Khitan disebut-sebut. Ratu Khitan yang bernama Yalina, ibu kandungnya!
Ia mendengarkan dengan hati berdebar. Ketika mendengar betapa Ratu Yalina dimusuhi, ia hanya
mencibirkan bibirnya dan tidak mengambil peduli. Akan tetapi ketika muncul si Brewok yang menghina
Ratu Yalina, ia tak dapat menahan kemarahannya sehingga sebelum si Brewok bicara yang bukan-bukan,
ia sudah menyerangnya dengan sebatang jarum. Siapa kira si Brewok itu hanya lihai mulutnya saja.
Diserang satu kali telah roboh dan tewas!
Kwi Lan muncul dari tempat sembunyinya dan berkata lantang. “Aku tidak mencari permusuhan dengan
siapa pun juga. Akan tetapi mendengar monyet itu membual, benar-benar membikin orang menjadi muak
dan tak dapat menahan tangan untuk tidak menghajarnya. Selamat tinggal!” Dengan enak saja Kwi Lan
yang telah membunuh orang itu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.
Semua orang terkejut. Gadis cantik itu dapat bersembunyi di situ tanpa seorang pun di antara mereka tahu,
hal ini sudah membuktikan kelihaiannya. Kemudian sekali turun tangan sudah membunuh si Brewok, hal ini
merupakan bukti ke dua. Semua orang menjadi kesima. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan seorang
Khitan yang ikut dalam rombongan dari utara.
“Itu dia perempuan iblis yang merampas kuda hitam Hek-liong-ma!” Orang Khitan ini telinga kanannya
putus bekas sabetan pedang Siang-bhok-kiam di tangan Kwi Lan.
“Benar, dia si Gadis Siluman, murid iblis betina yang bernama Kam Sian Eng!” teriak seorang yang tangan
kanannya buntung, mata kanannya buta dan hidungnya bengkok. Dia adalah seorang tokoh Hek-pang Kaipang
yang pernah mendapat hajaran Kam Sian Eng dan kini mengenal Kwi Lan.
“Dia pengacau itu...!” beberapa orang Thian-liong-pang juga berseru.
“Srr... werr... siuuuuttt...!” Hujan senjata rahasia menyerang Kwi Lan!
Gadis ini terkejut. Tak disangkanya bahwa ia akan bertemu banyak musuh di tempat ini. Cepat ia meloncat
ke depan, mengelak dari serangan hujan senjata rahasia itu. Ia menaksir bahwa jumlah lawannya ada
seratus orang lebih dan dari sambaran senjata-senjata rahasia tadi tahulah ia bahwa di antara mereka
terdapat banyak orang yang tak boleh dipandang ringan kepandaiannya. Ia tidak takut, tidak pernah
mengenal takut.
Akan tetapi Kwi Lan juga bukan seorang goblok yang mau menyia-nyiakan nyawanya, mati konyol
dikeroyok begitu banyak lawan. Sambil tersenyum mengejek ia lalu mempergunakan kepandaiannya
berlari cepat. Karena ia tidak mengenal daerah itu, ia lari ke kiri dan kebetulan sekali ia lari ke tempat kuda.
Kuda-kuda tunggangan para pendatang ini dikumpulkan di suatu tempat yang banyak ditumbuhi rumput
gemuk, dijaga oleh belasan orang anggota rendahan.
Ketika Kwi Lan lari sampai ke tempat ini dikejar oleh puluhan orang dari belakang, ia melihat betapa di
tempat kuda ini ternyata juga terjadi kekacauan. Belasan orang penjaga kuda sudah menggeletak malangmelintang
di sekitar tempat itu sedangkan puluhan ekor kuda itu sudah terlepas semua! Terdengar bunyi
cambuk meledak-ledak, membuat binatang-binatang itu menjadi makin panik, saling tabrak dan riuh rendah
suara mereka meringkik-ringkik. Melihat kesempatan ini, Kwi Lan lalu melompat ke atas punggung seekor
kuda tinggi besar, kemudian menyendal kendali kuda itu, membelok ke kanan lalu melarikan kuda.
Ributlah suara para pengejar ketika menyaksikan kekacauan di tempat ini, apa lagi ketika melihat betapa
semua kuda mereka telah terlepas dan panik. Dalam keadaan seribut itu, mereka terhalang melakukan
pengejaran dan sibuk menenangkan kuda tunggangan mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan membedal terus kudanya menuruni puncak. Ketika mendengar derap kaki banyak kuda
mengejarnya, ia segera mempersiapkan jarum-jarumnya dan menoleh. Mau tidak mau ia tertawa sendiri
melihat bahwa yang mengejarnya adalah kuda-kuda tanpa penunggang. Kiranya banyak kuda yang karena
bingung lalu mengikuti saja kuda yang ditunggangi Kwi Lan. Gadis ini lalu menahan kudanya dan
menghalau belasan ekor kuda yang mengikutinya itu sehingga mereka lari kacau-balau ketakutan.
Sambil tersenyum-senyum Kwi Lan melanjutkan perjalanannya. Senyum kepuasan menghias bibirnya. Ia
telah berhasil merobohkan orang yang telah menghina ibu kandungnya. Biar pun ia belum pernah bertemu
dengan ibu kandungnya dan belum pernah ada yang bercerita tentang ibunya, namun ia tidak percaya
bahwa ibunya seorang berwatak rendah seperti dibualkan oleh si Brewok tadi. Ia puas bahwa ia telah
membunuh orang itu dan di samping ini telah mendapatkan seekor kuda tunggangan.
Biar pun tidak sebaik kuda keturunan Hek-liong-ma yang hilang ketika ia dikeroyok bajak sungai anak buah
Huang-ho Tai-ong, namun kuda ini juga seekor kuda yang baik. Agaknya tunggangan orang-orang utara
tadi. Mereka itu jelas adalah orang-orang dari golongan sesat, maka Kwi Lan tidak merasa malu untuk
merampas kuda mereka.
Akan tetapi, setelah melarikan kuda beberapa lama belum juga Kwi Lan berhasil turun dari Cheng-liongsan.
Ia merasa heran dan bingung sekali. Sudah lama ia membalapkan kuda, naik turun dan membelok ke
kanan kiri, namun ia hanya berputar-putar di sekitar lereng gunung. Ia memang berhasil melarikan diri dari
para pengejarnya, namun ia tidak berhasil turun dari gunung!
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia melihat seorang berpakaian pengemis duduk bersandar batang
pohon. Pengemis itu agaknya kelelahan dan mengaso di tempat itu lalu tertidur karena hembusan angin
gunung yang sejuk. Pengemis ini pakaiannya penuh tambalan, memegangi sebatang tongkat, sebuah
buntalan besar terletak di dekatnya dan sebuah topi lebar menutupi seluruh mukanya. Topi lebar bundar
yang butut dan tua, akan tetapi anehnya, setangkai bunga mawar yang merah segar berikut dua helai
daunnya terselip menghias pita topi itu.
Kwi Lan menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya kepada pengemis ini, menanyakan jalan turun. Akan tetapi
siapa tahu kalau-kalau pengemis ini seorang di antara kaum sesat yang berkumpul di puncak tadi. Tentu
akan sia-sia pertanyaannya. Kalau pengemis ini seorang di antara kaum sesat itu, tentu bukan percuma
berada di situ. Mungkin sengaja menghadang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.
Kwi Lan sengaja memperlambat jalannya kuda ketika melewati pengemis yang duduk melenggut itu.
Kudanya lewat dekat di depan si Pengemis dan ia sudah siap waspada menjaga serangan. Namun
pengemis itu tidak bergerak, seolah-olah tidak mendengar suara kaki kuda lewat di depannya. Kwi Lan
lewat terus sampai agak jauh sambil menengok. Pengemis itu tetap tidak bergerak. Kalau begitu, tentu
bukan seorang di antara kaum sesat, pikirnya. Tentu seorang pengemis tulen yang kelaparan dan
kelelahan. Maka ia lalu memutar kembali kudanya dan meloncat turun dekat pengemis itu. Muka pengemis
itu tidak tampak, tertutup topi lebar. Akan tetapi orang yang menjadi pengemis tentulah seorang tua yang
sudah tidak kuat bekerja lagi dan hidup terlantar, pikirnya.
“Paman pengemis!” tegurnya nyaring. “Harap kau bangun sebentar, aku ingin bertanya....”
Pengemis itu tersentak seperti orang kaget, lalu menggumam dan menggaruk belakang telinganya.
Gerakan ini membuat topinya makin menunduk. Ketika ia mengangkat sedikit mukanya, yang tampak oleh
Kwi Lan hanya sepasang mata mengintai dari bayang-bayang gelap di bawah topi.
“Mau bertanya apa?” Suara pengemis itu lirih seperti orang kelaparan benar sehingga kehabisan tenaga.
“Engkau tentu mengenal jalan di tempat ini. Paman tua, kau tolonglah aku yang tidak tahu jalan. Tunjukkan
padaku jalan menuruni lembah gunung ini.”
Sejenak pengemis itu tidak menjawab, melainkan memandang kuda yang dituntun Kwi Lan. Kemudian ia
berkata acuh tak acuh, “Jalan turun bisa ditempuh jalan kaki, tak mungkin berkuda. Dari sini maju kira-kira
setengah li, di pinggir jalan terdapat sebuah batu besar berbentuk kepala burung. Di belakang batu itulah
terdapat jalan setapak yang akan membawa orang turun ke bawah.” Setelah berkata demikian, pengemis
itu kembali menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh pulas lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terima kasih, Paman.” kata Kwi Lan akan tetapi pengemis itu tidak menjawab karena agaknya sudah
tidur.
“Huh, pemalas benar,” pikir Kwi Lan.
Akan tetapi tiba-tiba ia ingat seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika ia mengingatingat,
terbayanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun dekat markas besar Lu-liang-pai di
mana ia bersama Siangkoan Li berpisah. Di rumah makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus
menerus duduk melenggut, sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya semenjak ia datang ke rumah
itu sampai pergi lagi. Inikah orang itu? Melihat topi bututnya mungkin ini orangnya dan kalau betul, benarbenar
aneh dan mencurigakan. Bagaimana bisa begitu kebetulan?
Tadinya bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di Cheng-liong-san. Di sana tidur, di sini pun tidur.
Kalau pengemis ini begitu malas dan kerjanya hanya tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini?
Biarlah, asal ia tidak menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak di puncak itu dan tentu masih
berusaha mencarinya. Tak perlu menambah lawan yang belum diketahui kesalahannya. Ia lalu meloncat ke
atas punggung kudanya lagi dan melarikan kuda ke depan.
Kurang lebih setengah li jauhnya, melihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip kepala burung, ia
berhenti. Benar saja seperti diceritakan pengemis tadi, ketika ia menyelinap ke belakang batu, tampak
olehnya jalan menurun yang hanya tampak bekas tapak kaki saja. Jalan itu curam dan kecil sekali,
turunnya harus berpegangan pada akar-akar dan batu. Tak mungkin dilalui oleh seekor kuda. Kalau begitu
pengemis itu tidak bohong, dan tidak mempunyai niat buruk.
Pada saat Kwi Lan hendak menuruni jalan setapak itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan-bentakan keras di
sebelah belakang. Ia meloncat ke luar lagi dari belakang batu untuk melihat, siap dengan pedangnya.
Alangkah kaget dan herannya ketika dari jarak setengah li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis
malas yang tadi duduk melenggut di bawah pohon, kini telah bertanding dikeroyok belasan orang
banyaknya! Hebatnya, pengemis itu masih menutupi kepala dan mukanya dengan topi lebar butut, bahkan
masih duduk melonjorkan kaki dan bersandar pada pohon, hanya tongkat di tangannya yang bergerakgerak
ke depan menangkis serangan senjata tajam belasan orang itu yang menyerangnya sambil
membentak-bentak!
Kwi Lan tertarik sekali. Banyak sekali orang aneh di dunia ini dan agaknya pengemis malas itu pun seorang
aneh. Ia menunda niatnya meninggalkan gunung ini dan karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu berlari
kembali ke tempat pengemis itu dikeroyok. Setelah dekat ternyata ia dapat melihat bahwa belasan orang
yang mengeroyok itu adalah pengemis-pengemis pula! Pengemis-pengemis baju bersih yang sudah
beberapa kali bentrok dengan Kwi Lan.
“Hayo mengakulah! Engkau dari golongan mana dan mengapa mengacau pertemuan di puncak Chengliong-
san? Pakaianmu bersih, hal ini berarti bahwa engkau masih segolongan dengan kami, pengemispengemis
pakaian bersih. Mengapa kau mengacau pertemuan yang diadakan Hek-peng Kai-pang dan
Hek-coa Kai-pang? Kau dari partai mana?”
“Hemm, baju bersih badan kotor hati busuk, apa artinya? Orang-orang sesat, pergilah dan jangan
menggangguku!” Pengemis itu berkata tak acuh, dan tongkatnya juga bergerak sembarangan menghadapi
belasan batang tongkat, golok, dan pedang itu.
Kwi Lan yang kini sudah berdiri dekat memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta kagum
sekali. Tongkat di tangan pengemis malas itu benar-benar hebat dan lihai bukan main. Memang benar
bahwa belasan orang pengeroyok itu tidak berapa tinggi ilmu silatnya, namun karena belasan orang maju
bersama maka cukup berbahaya. Apa lagi kalau diingat bahwa pengemis malas itu melawan sambil duduk
dan lebih-lebih lagi, mukanya ditutup topi butut. Akan tetapi begitu tongkat di tangan pengemis malas ini
bergerak ke depan, berturut-turut belasan orang pengemis baju bersih itu roboh terguling dengan
sambungan lutut terlepas karena totokan ujung tongkat yang dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!
Kini pengemis malas itu dengan gerakan sigap telah meloncat bangun, dan barulah tampak oleh Kwi Lan
betapa tubuh pengemis ini jangkung dan tegap, namun mukanya tetap bersembunyi di balik topi butut.
Sambil melintangkan tongkatnya dengan sikap penuh wibawa pengemis itu menghadapi para pengemis
yang merintih-rintih dan mengurut-urut lutut mereka, lalu terdengar suaranya lantang berpengaruh, jauh
bedanya dengan ketika bicara dengan Kwi Lan tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Berani menjadi pengemis berarti berani menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan jahat, berani
mengatasi kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati nurani mereka yang mampu, berani
mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan tetapi kalian menghadapi kemiskinan dengan perbuatan
jahat. Kalau sudah begitu, mengapa masih memakai pakaian pengemis? Kalian hanyalah penjahatpenjahat
yang menyamar sebagai pengemis, membikin kotor dunia pengemis dan sudah sepatutnya
dibasmi. Kalau mau menjadi penjahat, jadilah penjahat yang berani bertanggung jawab, atau kalian mau
jadi pengemis, jadilah pengemis yang baik. Mengapa berlaku seperti pengecut-pengecut yang hina-dina?”
Belasan orang pengemis yang menggeletak itu tidak menjawab, hanyalah memandang dengan mata
melotot. Sebagai jawaban kata-kata itu, dari jauh terdengar bentakan-bentakan dan berbondong-bondong
datanglah berlari-lari banyak orang yang bukan lain adalah orang-orang yang tadi berapat di puncak dan
kini sudah datang mengejar. Jumlah mereka itu ada tiga puluh orang lebih!
Mendengar bentakan-bentakan mereka, pengemis aneh itu menggerakkan kepala memandang ke depan,
kemudian ia menoleh kepada Kwi Lan dengan muka masih tersembunyi di balik topi. “Nona, mengapa
engkau kembali? Pergilah turun gunung dan jangan kau melibatkan diri dengan orang-orang jahat itu.”
“Dan engkau sendiri?” Kwi Lan bertanya.
“Aku akan menghadapi mereka. Tongkatku masih cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus itu.”
“Wah, enaknya! Engkau mau mencari enak sendiri, Paman jembel! Kalau tongkatmu kuat, apa kau kira
pedangku kurang tajam? Kaulah yang boleh pergi, mereka itu mengejar aku, bukan mengejar engkau!”
bantah Kwi Lan sambil mencabut Siang-bhok-kiam dari sarungnya.
Melihat bahwa pedang gadis itu terbuat dari pada kayu, pengemis itu tercengang, kentara dari sikapnya
yang tiba-tiba tak bergerak. Topinya terangkat sedikit dan dari bayangan topi itu menyambar dua buah
mata yang tajam sinarnya. “Ah, kiranya Nona seorang pendekar pedang yang lihai!”
Percakapan mereka terpaksa dihentikan karena para pengejar sudah tiba dekat. Yang tercepat larinya
bahkan sudah tiba di depan pengemis itu dalam jarak empat lima meter. Mereka mengangkat senjata
sambil membentak marah.
Akan tetapi pengemis itu dengan tenang namun cepat bukan main telah menggerakkan tangan kanannya
ke arah topinya, meraih dan melemparkannya ke depan dengan gerakan kilat dan... topi itu berpusing dan
terbang menyambar mereka yang datang mengancam. Bagaikan hidup, topi itu terbang keliling dan
kembali kepada pemiliknya setelah lebih dahulu mampir dan mencium dahi atau leher mereka yang
mengejar paling depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul robohnya tubuh enam
orang pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat bangun lagi!
Sejenak Kwi Lan bengong. Bukan karena melihat senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa itu karena
ia maklum bahwa dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar melempar topi yang pinggirannya
lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi. Yang membuat ia bengong adalah ketika pengemis itu melepas
topinya, maka tampaklah kepala dan muka seorang pengemis yang tampan dan gagah! Seorang pemuda
yang paling banyak dua tiga tahun lebih tua dari padanya! Dan ia sudah menyebutnya paman tua! Akan
tetapi ketika pengemis muda itu sudah mengenakan kembali topinya yang lebar sehingga mukanya yang
tampan tertutup topi, Kwi Lan sadar dari keheranannya. Ia pun tidak mau kalah dan secepat kilat tangan
kirinya bergerak melepas jarum-jarum halus. Kembali terdengar jerit kesakitan dan enam orang pengejar
roboh.
“Nona, mari kita pergi. Jumlah mereka amat banyak dan di antara mereka banyak terdapat orang pandai.
Mari!”
Mereka berdua lari cepat dan sesampainya di batu berbentuk kepala burung, mereka lalu menuruni jalan
setapak. Para pengejar yang belum roboh tidak berani mengejar setelah menyaksikan kelihaian dua orang
muda itu. Mereka berdiri ragu-ragu, menanti rombongan pengejar lain yang lebih banyak sambil menolong
teman-teman yang terluka.
Karena Kwi Lan dan pengemis aneh itu menggunakan ginkang mereka, sebentar saja mereka berhasil
menuruni Cheng-liong-san dan tak tampak atau terdengar lagi pengejar mereka. Mereka kini jalan
berendeng menuju ke timur. Semenjak turun gunung tadi, tak pernah mereka membuka mulut dan baru
dunia-kangouw.blogspot.com
setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, mereka tidak berlari lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan
suara.
“Ah, untung bahwa tokoh-tokohnya belum hadir. Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm..., berbahaya sekali!”
“Kau maksudkan tua-tua bangka yang mereka sebut-sebut tadi seperti Bu-tek Siu-lam, Thai-lek Kauw-ong,
Jin-ciam Khoa-ong dan Siauw-bin Lo-mo? Ah, aku tidak takut! Justru aku ingin sekali bertemu dengan
mereka untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!” kata Kwi Lan.
Kini pengemis muda itu yang menoleh dan memandang terheran-heran. Saking herannya ia sampai lupa
menyembunyikan muka seperti yang biasa ia lakukan. Kebetulan sekali Kwi Lan pun menoleh sehingga ia
dapat melihat wajah pengemis itu dengan jelas. Wajah yang tampan dan gagah, masih muda namun sudah
jelas tampak kematangan jiwa pada sinar mata dan tarikan mukanya.
“Engkau seorang gadis yang aneh, Nona!”
“Tidak seaneh engkau!” jawab Kwi Lan cepat. “Bukankah engkau ini pengemis malas yang pernah kulihat
duduk dalam warung di lereng Lu-liang-san? Dan mengapa engkau sekarang berada di sini? Apakah
engkau sengaja mengikuti perjalananku?”
Pengemis itu menggeleng kepala. “Tidak ada yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu lagi di sini
karena memang aku hendak menonton pertemuan kaum sesat di sini. Akan tetapi engkau... justru
pertemuan di Lu-liang-san itu yang membuat aku keheranan dan mengatakan engkau seorang aneh,
Nona. Kulihat engkau di sana bersama cucu ketua Thian-liong-pang, bersama seorang dari golongan hitam
yang menentang para hwesio Lu-liang-pai. Aku sudah menyayangkan mengapa seorang dengan
kepandaian seperti kau ini terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan tetapi hari ini aku melihat
engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi mereka, bahkan baru saja kau menantangnantang
terhadap empat orang tokoh besar mereka. Bukankah hal ini amat aneh sekali?”
“Jadi tadinya kau kira aku ini seorang tokoh hitam pula?” tanya Kwi Lan sambil memandang marah.
“Begitulah, karena kau datang bersama tokoh Thian-liong-pang dan menentang hwesio-hwesio Lu-liangpai.”
“Bukan, aku bukan tokoh golongan sesat.”
“Itu aku percaya setelah menyaksikan sepak terjangmu di sini. Engkau tentu seorang pendekar wanita
yang sakti.”
“Juga bukan. Aku bukan pendekar wanita dan bukan pula penjahat. Aku orang biasa saja. Tidak seperti
engkau. Engkau tentu seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Agaknya engkau
memimpin pengemis-pengemis baju kotor, bukan?”
Pengemis muda itu menghela napas panjang kemudian menggeleng kepala. “Aku juga bukan apa-apa
seperti engkau, bahkan tidak ada orang yang mengenal siapa aku ini. Memang betul bahwa mendiang
ayahku adalah seorang tokoh besar dunia pengemis, akan tetapi sudah lama sekali sebelum aku lahir
ayahku telah mengundurkan diri dari dunia pengemis. Sebagai seorang pengemis, tentu saja ayah hanya
meninggalkan topi butut, tongkat lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat betapa dunia
pengemis terancam mala-petaka, terpaksa aku harus turun tangan mewakili mendiang ayah. Karena itulah
aku turun gunung dan bertemu dengan engkau di sini.”
“Wah, kalau begitu ayahmu tentu Yu Kang Tianglo!”
Pengemis muda itu terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Kwi Lan tertawa dan wajah yang sudah cantik itu menjadi amat menarik. Ketawanya wajar, tidak ditutuptutupi
dan tidak malu-malu sehingga gadis itu memperlihatkan kecantikan yang asli. Pengemis muda ini
sejenak menjadi bengong, namun ia membuang pandang matanya dan menekan perasaannya.
“Tentu saja aku tahu! Kau berilmu tinggi dan seorang pengemis, kau bilang ayahmu tokoh besar dunia
pengemis. Tentu pengemis golongan putih. Dan tadi, di antara musuh-musuh kaum sesat disebut-sebut
nama Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau bukan ayahmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata susila palsu, di
samping ini, juga pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang terletak di
lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila
kepada gadis ini. Siapa orangnya yang takkan tergila-gila?
“Betul sekali dugaanmu. Mendiang ayahku adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki,
pengemis muda sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku.” Ia menjura dengan
sikap hormat.
Kwi Lan membalas penghormatan itu sambil tertawa, “Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan?
Gerakan tongkatmu tadi hebat luar biasa. Biar pun pakaianmu pakaian jembel, namun engkau bukan
seorang kotor! Yu Siang Ki, namaku Kwi Lan, Kam Kwi Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku
Mutiara Hitam!”
Pengemis muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan. “Engkau she Kam,
Nona?”
“Benar, kenapakah?”
“Aih, tidak apa-apa, hanya... mengapa begitu kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan...”
“Wah, kau menjemukan benar, menyebutku nona-nonaan segala! Semua orang yang menjadi sahabatku
menyebutku Kwi Lan begitu saja atau... Mutiara Hitam.”
“Tapi aku... bukan sahabat....”
“Hemm, bagus, ya? Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau tak mau
bersahabat? Nah, selamat berpisah!” Kwi Lan sudah membalikkan tubuh hendak pergi.
“Eh... maaf, bukan begitu maksudku. Aku... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi...
baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang marah?”
Kwi Lan tertawa. “Memang aku gampang marah gampang gembira! Nah, sekarang lanjutkan, kalau aku
she Kam, mengapa kebetulan?”
“She-mu mengingatkan aku akan seorang yang kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti yang selain
menjadi sahabat baik mendiang ayahku, juga menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun disebutsebut
oleh mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!”
“Eh, dia she Kam?”
Siang Ki mengangguk. “Menurut penuturan ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song. Kwi Lan, melihat
keadaanmu yang luar biasa, ilmu kepandaianmu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan
menghubungkan engkau dengan Suling Emas? Apakah engkau puterinya? Ataukah keponakannya?”
Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar demikian, bahwa
dia puteri seorang sakti seperti Suling Emas, alangkah akan menyenangkan dan membanggakan! Akan
tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang Khitan yang dianggap bangsa
liar!
“Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaimana macamnya Suling
Emas.”
“Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang hatiku andai kata engkau benar-benar puterinya, karena aku
pun sedang mencarinya. Aku sendiri pun belum pernah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi Ayah
berpesan bahwa dalam usahaku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum jahat, sebaiknya aku
mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku mengetahui siapa orang tuamu?”
Mereka tiba di depan sebuah anak sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki gunung Cheng-liongsan
itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara batu-batu menjadi dendang yang aneh namun
dunia-kangouw.blogspot.com
merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi sungai, di atas batu yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan topinya
dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi anak sungai itu.
“Aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku,” kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang mata
melamun. “Semenjak aku masih bayi, aku dirawat guruku.”
Yu Siang Ki memandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan tetapi
sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping orang tuanya. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa ayah
bundanya, seorang gadis yang patut dikasihani.
“Ah, gurumu tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”
“Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya mengenalnya
sebagai Bibi Sian. ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa saja.” Kwi
Lan memang sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya adalah seorang aneh yang tidak
suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan
memberitahukan bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!
Yu Siang Ki menarik napas panjang. “Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan
diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara mereka dan melihat
kepandaianmu, tentu gurumu seorang yang amat pandai.”
Kwi Lan tertawa. “Yu Siang Ki, engkau belum pernah bertanding denganku, belum pernah melihat
kepandaianku, akan tetapi sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah terlalu
aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu barulah patut disebut orangorang
sakti dan aneh luar biasa.”
Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. “Apa? Engkau pernah
berjumpa dengan kedua Locianpwe itu? Mengenal mereka?”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. Hatinya masih mengkal kalau ia teringat kepada dua orang kakek itu,
menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li, “Tentu saja aku sudah pernah
bertemu dengan dua orang tua bangka seperti monyet!”
“Aiihhh... Kwi Lan, bagaimana engkau berani...?”
“Memaki mereka monyet? Di depan mereka pun aku berani memaki-maki mereka. Boleh jadi mereka lihai
dan aneh, akan tetapi mereka itu layak dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepandaian seperti Bu
Kek Siansu, tentu mereka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu sampai kapok!”
Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama gadis ini makin mengherankan! “Kau... kau pernah
berjumpa pula dengan... dengan Bu Kek Siansu?”
Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.
Tanpa disadarinya, Siang Ki memegang lengan gadis itu erat-erat dan dengan penuh gairah ia bertanya.
“Benarkah itu, Kwi Lan? Benarkah ada manusia dewa itu? Aku hanya mendengar namanya seperti
dongeng yang diceritakan ayah!”
“Mengapa aku berbohong? Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan
tetapi juga goblok!”
Kali ini sepasang mata Siang Ki memandangi muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan keraguan. Gadis ini
berani memaki Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesuatu yang tak
masuk akal dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kangouw, menyebut nama dua orang kakek
ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini tidak hanya berani memaki mereka, bahkan
berani mengatakan bahwa Bu Kek Siansu goblok!
Ini sudah keterlaluan sekali. Nama Bu Kek Siansu sudah disanjung-sanjung oleh semua pendekar,
dianggap guru besar yang setarap dengan Tat Mo Couwsu, dan juga disegani semua tokoh dunia hitam,
dianggap seperti manusia dewa yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini
dunia-kangouw.blogspot.com
menyebutnya goblok! Kalau tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri, tak mau Siang Ki
mempercayai hal ini.
“Kwi Lan, maukah engkau menceritakan kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang kakek sakti
itu?” Dengan penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan semangat Kwi Lan untuk
menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.
Ketika mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang kali ia mengangguk.
“Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut dikasihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan
membantunya jika keadaan mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku banyak persamaannya. Dia bertugas
membangun dan membersihkan Thian-liong-pang sedangkan aku harus membangun kembali dan
membersihkan Khong-sim Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kau ceritakan bahwa
kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek Siansu untuk memihak
kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan
sanggup membendung datangnya iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan.”
“Yu Siang Ki, aku sudah terlalu banyak cerita. Sekarang kau ceritakanlah pengalaman dirimu, tentang
ayahmu yang terkenal itu dan tentang kau sendiri.”
Memang begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa suka dan cocok sekali dengan gadis yang wajar dan polos
ini. Apa lagi ketika mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam. Biar pun tidak ada hubungan dengan Kam Bu
Song si Suling Emas, namun persamaan she ini saja sudah menambah rasa suka di hatinya karena
semenjak kecil memang Siang Ki sudah memuja nama Suling Emas yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya.
Kini mendengar permintaan gadis ini tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
Yu Kan Tianglo adalah seorang tokoh partai pengemis Khong-sim Kai-pang. Ia putera Ketua Khong-sim
Kai-pang akan tetapi semenjak kecil menghilang dan mempelajari ilmu silat tinggi. Setelah berusia tiga
puluh tahun ia muncul dan mencari musuh besar yang membunuh ayahnya, yaitu seorang di antara Thiante
Liok-kwi yang menjadi raja pengemis, It-gan Kai-ong. Di dalam usahanya yang amat sukar ini karena Itgan
Kai-ong memiliki kesaktian yang hebat, ia mendapat bantuan Suling Emas sehingga akhirnya berhasil
membunuh tokoh iblis itu.
Semenjak itu, Yu Kang Tianglo tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw. Biar pun secara diam-diam ia
masih suka kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para pimpinan kai-pang, namun ia sendiri
mengasingkan diri dan beberapa tahun kemudian menikah dengan puteri seorang sahabatnya, juga
seorang pendekar silat yang mengasingkan diri. Dari pernikahan ini lahirlah Yu Siang Ki.
Akan tetapi sungguh malang nasib Yu Kang Tianglo. Ketika melahirkan, isterinya meninggal dunia. Hal ini
terjadi karena tempat tinggal mereka yang menyendiri di lereng bukit Thai-hang-san, jauh dari tetangga
sehingga pada saat melahirkan tidak ada satu orang pun yang membantu nyonya muda yang belum
berpengalaman ini.
Yu Kang Tianglo sendiri tidak berada di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia pulang ke
pondok bersama seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan, isterinya telah menggeletak tak
bernyawa di samping seorang bayi yang menangis keras. Isterinya mati karena kehabisan darah!
Yu Kang Tianglo hidup dengan hati mengandung kedukaan besar. Ia makin tak mau lagi muncul di dunia
ramai. Hidupnya dicurahkan untuk merawat dan mendidik Siang Ki, sehingga ketika pemuda ini berusia
dua puluh tahun, ia telah mewarisi semua kepandaian ayahnya! Betapa pun juga, Yu Kang Tianglo tak
pernah mau mengingkari asal-usulnya sebagai putera kai-pang (perkumpulan pengemis) sehingga bukan
hanya dia, bahkan puteranya pun semenjak kecil diharuskan memakai pakaian yang dihias tambaltambalan
seperti pakaian pengemis.
“Demikianlah, Kwi Lan. Ketika ayah mendengar bahwa dunia pengemis kembali rusak dan terancam hebat
oleh tokoh-tokoh sesat sehingga banyak pengemis dibawa menyeleweng, ayah menjadi kaget dan marah
sekali. Hal ini sungguh menjadi mala-petaka. Jantung ayah yang selalu lemah dan sakit-sakit semenjak ibu
meninggal dunia, mendapat serangan yang membawa ayah meninggal dunia pula. Ayah hanya berpesan
agar aku mewakili ayah untuk menolong kaum pengemis, terutama sekali Khong-sim Kai-pang.”
Kwi Lan mendengarkan penuturan itu dengan hati penuh iba. Kiranya pemuda ini juga bernasib buruk di
waktu kecilnya, tidak ada bedanya dengan Tang Hauw Lam mau pun Siangkoan Li, semenjak kecil sudah
dirundung malang dan kini hidup sebatang kara di dunia.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Saudara Siang Ki, karena engkau selalu melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat engkau
mengenal semua tokoh kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam mau pun putih. Karena ayahmu
adalah sahabat baik pendekar sakti Suling Emas, tentu engkau tahu baik tentang riwayat pendekar itu.”
“Aku hanya mendengar dari penuturan mendiang ayah. Biar pun hatiku amat kepingin, namun belum
pernah aku mendapat kehormatan berjumpa dengan pendekar itu.”
“Dalam percakapan kaum sesat di puncak Cheng-liong-san tadi, aku mendengar mereka menyebut-nyebut
nama Ratu Khitan yang katanya masih sanak dekat dengan Suling Emas, bahkan katanya menjadi... eh,
kekasihnya. Tahukah engkau akan hal itu?”
Yu Siang Ki menggeleng kepalanya. “Ayah tidak tahu akan hal itu. Aku pun tidak tahu benar. Yang kutahu
bahwa Ratu Khitan kabarnya juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan aku pernah mendengar
pula dari luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi adik angkat Suling Emas. Tentang hubungan asmara di
antara mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, sampai sekarang Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu
Khitan yang kabarnya cantik jelita itu sampai sekarang tak pernah menikah.”
Berdebar jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa tidak enak. Menurut kata Bibi Sian gurunya, dia adalah
puteri Khitan. Kalau Ratu Khitan tidak pernah menikah, bagaimana ia bisa menjadi puterinya? Siapakah
ayahnya?
“Ah, bagaimana mungkin seorang ratu tidak menikah?” Ia pura-pura merasa heran dan bertanya.
“Bukankah seorang raja atau ratu itu membutuhkan keturunan untuk kelak diwarisi tahta kerajaan?”
Yu Siang Ki mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu tidak menikah.
Akan tetapi aku mendengar dari para pedagang keliling yang sering kali mengembara ke Khitan bahwa
sesungguhnya ia tidak menikah namun Ratu Khitan mempunyai seorang putera angkat. Agaknya putera
angkatnya itu pun telah mewarisi kepandaian ibunya. Namanya Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali
pangeran itu mengadakan perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya tampan bukan main dan
sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang tangguh.”
Makin tidak nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau benar seperti yang dituturkan gurunya secara singkat sekali
bahwa dia puteri Ratu Khitan, mengapa ia sejak kecil ikut Bibi Sian? Mengapa Ibu kandungnya sendiri tidak
merawat dan mendidiknya, bahkan mengangkat seorang putera? Apakah karena aku perempuan? Makin
penasaran rasa hati Kwi Lan sehingga tampak mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api
kemarahan.
“Kau kenapakah?” Siang Ki yang berpemandangan tajam itu menegurnya.
“Tidak apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa bertemu dengan Suling Emas?”
Siang Ki makin terheran. “Kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai hubungan dengan Suling Emas,
mengapa sekarang hendak bertemu dengannya?”
Kwi Lan sudah dapat menekan perasaannya. Ia tersenyum dan menjawab. “Puji-pujian yang kudengar
mendorong hatiku untuk melihat bagaimana macamnya pendekar besar itu. Di manakah dia berada
sekarang?”
“Aku sendiri pun mencari-carinya, Kwi Lan. Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia seperti
Suling Emas. Aku hendak pergi ke Kang-hu, mengunjungi pusat dari Khong-sim Kai-pang. Setelah aku
memperkenalkan diri, kiranya para tokoh Khong-sim Kai-pang ada yang tahu di mana adanya Suling Emas
yang merupakan sahabat baik itu.”
Hati Kwi Lan kecewa mendengar bahwa pemuda yang luas pengalamannya ini pun tidak tahu di mana
adanya Suling Emas. Ia harus bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai pendekar itu tentang ibu
kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya itu seorang wanita tak tahu malu seperti yang
dibicarakan oleh para kaum sesat, ia tidak usah melanjutkan keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu.
Di samping ini, ia pun tertarik untuk menyaksikan bagaimana keadaan perkumpulan pengemis golongan
putih yang menjadi musuh pengemis-pengemis golongan hitam. Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh dan
pendekar-pendekar besar yang ia percaya tentu akan ia jumpai kalau ia mengikuti pengemis muda ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku ikut!” Tiba-tiba ia berkata.
Siang Ki memandang terkejut. “Apa maksudmu? Ikut...?”
“Ya, aku ikut bersamamu dengan harapan agar kau dan Khong-sim Kai-pang akan dapat membantuku
mempertemukan dengan Suling Emas. Atau... barangkali engkau tidak suka mengajak aku.” Sepasang
mata gadis itu memandang penuh selidik, bahkan mengandung tantangan.
Mau tidak mau Siang Ki tersenyum. Gadis ini benar-benar lincah dan wajar, asli dan menyenangkan. Ia
mengangguk dan berkata lirih, “Bukan aku yang tidak suka melakukan perjalanan bersamamu, Kwi Lan.
Sebaliknya aku bersangsi apakah engkau akan betah melakukan perjalanan di samping seorang pengemis
sehingga derajatmu terseret turun dan dipandang rendah serta dihina orang.”
“Karena kau seorang yang berpakaian pengemis? Huh, hendak kulihat siapa berani menghinaku kalau aku
berjalan bersamamu! Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan pula dari kata-katanya, melainkan
dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar setelah merantau.”
Pengemis muda itu memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Dan engkau akan masih
belajar banyak, Kwi Lan, dan akan mendapatkan kenyataan-kenyataan yang banyak pula. Hidup ini belajar,
dan sebelum mati takkan pernah habis hal-hal yang perlu kita pelajari. Nah, mari kita berangkat ke kota
Kang-hu.”
Demikianlah, untuk ke tiga kalinya Kwi Lan melakukan perjalanan bersama seorang pengemis tampan
yang lihai dan sifatnya jauh lagi bedanya dengan dua orang pemuda yang pernah dikenalnya. Kalau Tang
Hauw Lam pemuda berandalan yang selalu riang gembira itu memandang hidup dari segi yang lucu dan
menggembirakan, sedangkan Siangkoan Li memandang hidup dari segi yang penuh kedukaan,
kekecewaan dan penuh perjuangan, adalah pemuda ke tiga ini seorang pemuda yang sikapnya seperti
orang tua, sudah masak, berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan memandang dunia dengan
sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemuda yang ketiganya sama lihai, entah mana yang
paling tinggi ilmunya, dan yang masing-masing memiliki sifat-sifat menarik dan baik. Tiga pemuda perkasa
yang begitu berjumpa dengan Kwi Lan telah memperlihatkan rasa suka dan sayang.....
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suling Emas, semenjak dalam buku jilid pertama. Dua orang tokoh
pengemis Khong-sim Kai-pang yang bernama Gak-lokai dan Ciam-lokai, dengan penuh keyakinan mengira
bahwa Suling Emas adalah Yu Kang Tianglo dan mohon kepada ‘Yu Kang Tianglo’ ini untuk menolong
kaum pengemis yang terancam keselamatannya oleh kaum sesat. Setelah mendengar permintaan mereka
berdua, akhirnya Suling Emas menyanggupi untuk datang ke Kang-hu mengunjungi Khong-sim Kai-pang
sebagai Yu Kang Tianglo!
Ada dua hal yang menyebabkan Suling Emas menerima permintaan ini. Pertama karena mengingat akan
persahabatannya dengan Yu Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali menyelamatkan Khong-sim Kai-pang
dari tangan orang-orang sesat. Ke dua, karena ia sedang dikejar-kejar oleh para orang-orang suruhan Ratu
Yalina dari Khitan yang minta kepadanya untuk datang ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke Khitan
melepaskan rindu terhadap kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina. Akan tetapi keinginan ini ia tekan dengan
anggapan bahwa kepergiannya ke Khitan berarti merendahkan derajat ratu yang di junjung tinggi oleh
bangsa Khitan itu. Tidak, ia harus berkorban.
Dengan menyamar menjadi Yu Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan sapu tangan, tentu akan
membebaskannya dari pada pengejaran orang-orang Khitan itu. Karena kini menghadapi sebuah tugas
yang penting, maka hati dan pikiran Suling Emas tidak lagi terlalu ditekan oleh kenang-kenangan pahit
sehingga tubuhnya menjadi lebih segar dan bersemangat.
Memang tubuh pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala penderitaan. Hanya kalau
terlalu merana hatinya, teringat akan kegagalan-kegagalan cinta kasih yang meremukkan jiwanya, maka
jantungnya menjadi tidak kuat dan ia suka terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia sudah dapat mengatasi
kedukaan ini, tubuhnya menjadi sehat kembali.
Kuda merah kurus yang menjadi kawan satu-satunya dan menjadi kuda tunggangan Suling Emas yang
setia, berjalan perlahan. Setelah tiba di depan pintu gerbang kota Kang-hu sebelah barat, Suling Emas
dunia-kangouw.blogspot.com
menarik napas panjang. Entah sudah berapa belas tahun ia tak pernah lewat kota ini yang dahulu
dikenalnya amat baik.
Ia menaikkan sapu tangan dan menundukkan topi bututnya untuk menyembunyikan muka, kemudian
melanjutkan perjalanan untuk pergi ke kuil yang menjadi markas besar perkumpulan pengemis, Khong-sim
Kai-pang. Ia harus memasuki kota Kang-hu dan keluar lagi dari kota itu melalui pintu sebelah timur karena
kuil itu berada di luar kota sebelah timur.
Kota Kang-hu tidak ada perubahan. Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu saja.
Namun ia tahu bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang dahulu telah menjadi tua,
seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti yang muda, yang dahulu masih kanak-kanak atau
bahkan belum terlahir. Oleh karena penggantian satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa ia
tidak mengenal seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang atau berada di dalam warung dan toko.
Hatinya menjadi lega, maka ia melepas sapu tangan yang menutupi mukanya. Hanya kalau perlu saja,
agar jangan dikenal orang, ia menutupi mukanya. Kalau memang tidak ada yang mengenalnya, ia tidak
perlu menutupi mukanya karena hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan.
Seorang laki-laki tua di atas kuda kurus dan buruk bukanlah penglihatan yang aneh di kota itu, maka tak
seorang pun memperhatikan Suling Emas. Semua orang menganggap dia ini seorang petani tua miskin
yang mungkin hendak mencari sanaknya di kota atau hendak berbelanja.
Ketika tiba di sebuah jalan simpang tiga di dekat pintu gerbang timur, Suling Emas menghentikan kudanya
di depan sebuah warung. Ia teringat bahwa warung ini dahulu amat terkenal dengan masakan bakminya
yang lezat dan murah. Perutnya memang sudah lapar, maka ia ingin makan di warung ini. Seperti yang
telah diduganya, juga penjaga kedai bakmi ini sudah terganti orang lain semua. Akan tetapi meja-mejanya
masih seperti dahulu, menjadi hitam mengkilap saking tuanya dan setiap hari terkena minyak. Dengan hati
lega Suling Emas mengambil tempat duduk di sudut menghadap ke pintu masuk. Senang juga melihat
betapa dugaannya tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi banyak tamu karena bakminya. Buktinya,
belasan orang tamu yang memenuhi tempat itu semua menggerakkan sumpit makan bakmi!
Ia memesan bakmi dan arak, kemudian makan dengan enaknya. Betapa pun juga, karena ia berada dekat
markas Khong-sim Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah ia akan menghadapi hal-hal yang
pelik, Suling Emas memasang mata dengan waspada. Ia sengaja tidak menurunkan topi bututnya dan
mengintai dari balik topinya sambil makan bakmi dan minum arak. Tidak ada sesuatu yang ganjil di antara
para tamu yang makan bakmi.
Hanya di sudut kanan ada tiga orang laki-laki berpakaian seperti ahli-ahli silat, agaknya mereka ini adalah
piauwsu-piauwsu (pengantar kiriman) yang lewat di Kang-hu dan makan di kedai ini. Yang seorang sudah
berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah. Yang dua orang adalah pemudapemuda
berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat terhadap yang tua itu. Di pinggang
mereka tampak gagang pedang. Melihat sikap mereka itu tidak sombong dan bicara dengan sopan dan
perlahan, Suling Emas tahu bahwa mereka ini adalah orang baik-baik. Logat bicara mereka menunjukkan
bahwa mereka adalah orang-orang selatan.
Setelah habis semangkok bakmi, Suling Emas minta semangkok lagi. Perutnya amat lepar, sudah dua hari
ia tidak makan. Juga ia minta tambah arak. Pelayan kedai curiga. Orang tua ini pelahap benar, dan
pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat juga seorang dusun yang miskin.
“Lopek harap bayar dulu,” kata si Pelayan dengan suara perlahan. Kalau sampai orang ini terlalu banyak
makan minum kemudian tidak dapat membayarnya, dia juga tidak terlepas dari tanggung jawab dan selain
mendapat teguran, sedikitnya ia harus menanggung separoh harga makanan dan minuman itu!
Suling Emas tersenyum. Ia dihina, akan tetapi ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia tidak merasa
terhina karena ia tahu akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata sesuatu ia mengeluarkan sepotong
perak dan memberikannya kepada si Pelayan.
Melihat perak yang cukup besar ini, si Pelayan mengubah sikap membungkuk-bungkuk dan berkata, “Biar
nanti sajalah, Lopek. Saya ambilkan tambahanmu.”
Si Pelayan pergi dan Suling Emas menyimpan peraknya sambil tersenyum pula. Semenjak ia muda dahulu
sampai sekarang, generasi telah berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya
orang lain bukan berdasarkan pribadinya, namun berdasarkan harta dan kedudukannya. Orang
menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya, melainkan berdasarkan bagusnya pakaian
dan padatnya kantung. Manusia sudah tidak dapat menguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya
dikuasai harta benda dan kedudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah
dan menyedihkan!
Ketika pelayan itu membawa bakmi dan arak tambahan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut di
pintu kedai. Si Pelayan menoleh dan ketika ia melihat dua orang pengemis di pintu itu yang marah-marah
dan memaki-maki, ia cepat-cepat lari ke dalam dengan muka pucat. Suling Emas menoleh dan diam-diam
ia terkejut ketika melihat dua orang pengemis setengah tua yang berdiri di depan pintu itu.
Dua orang pengemis ini menaruh tangan kiri di atas dada sedangkan tangan kanan membentuk lingkaran
dengan ibu jari dan telunjuk di atas kepala. Itulah tanda bahwa mereka berdua adalah anggota-anggota
Khong-sim Kai-pang! Mau apakah dua orang Khong-sim Kai-pang datang ke kedai ini dengan sikap
demikian aneh?
“Mana pemilik kedai? Hayo lekas keluar!” bentak seorang di antara mereka dengan suara galak. Kini
mereka sudah menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi mereka kempit.
Tak lepas dari pandang mata Suling Emas betapa para tamu kelihatan gelisah melihat dua orang pengemis
ini, seperti takut-takut. Sejak kapankah anggota-anggota Khong-sim Kai-pang bersikap galak seperti ini dan
ditakuti orang?
Dari dalam kedai berlari-lari keluar seorang berjubah hitam panjang, tubuhnya kecil kurus dan kumisnya
panjang sampai ke dagunya. Jelas tampak orang ini ketakutan. Sambil membungkuk-bungkuk dan
memaksa senyum sehingga tampak giginya yang hitam karena tembakau, ia menghampiri dua orang
pengemis itu sambil berkata, “Ah, kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang! Silakan duduk!”
“Tak usah banyak jual omongan manis. Kami datang bukan menghendaki bakmimu yang busuk dan
arakmu yang bau! Engkau Lai Keng pemilik kedai ini?”
“Be... betul..., ada apakah, Taihiap...?”
Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, si Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada
anggota Khong-sim Kai-pang itu.
“Huh, engkau benar-benar memandang rendah kepada kami, ya? Ketika kemarin seorang anggota
rendahan kami datang minta derma sepuluh tail, kenapa hanya kau beri uang kecil? Engkau berani
menghina kami?”
“Ah, tidak sama sekali.... Mana saya berani? Ketahuilah, harap Ji-wi suka mempertimbangkan.
Perdagangan sekarang sepi, dan pula keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagaimana
saya sanggup menderma sepuluh tail perak? Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan....”
“Tidak laku, ya? Sepi kau bilang? Begini banyak tamu kau bilang sepi!” bentak pengemis kedua.
“Benar, ada juga yang datang berbelanja, namun keuntungannya tipis sekali....“
“Banyak alasan! Kalau kau naikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau bisa mendapatkan banyak
untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail? Pendeknya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim
Kai-pang bukannya orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau sekarang tidak mengeluarkan sepuluh tail,
jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini!” Sambil berkata demikian, seorang di antara para
pengemis itu menggerakkan tongkatnya ke bawah dan....
“Ceppp...!” tongkat itu amblas masuk ke dalam lantai sampai setengahnya lebih!
Si Pemillk Kedai menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur isak ia
berkata, “Kalau begini... bakal bangkrut....”
“Kau pilih saja. Bangkrut atau mampus!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak meja sambil berseru, “Bangsat
tak tahu malu! Dari mana datangnya pengemis-pengemis yang begini kurang ajar?!”
Ternyata yang menggebrak meja dan marah-marah ini adalah tiga orang piauwsu tadi yang kini sudah
bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di luar pintu. Piauwsu setengah tua
bermuka merah tadi kini menudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,
“Kalian ini golongan apakah? Melihat sikap dan pakaian seperti pengemis-pengemis yang biasanya
mencari sisa makanan di kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang yang lewat. Akan tetapi ternyata
kalian lebih rendah dari pada pengemis mau pun perampok. Pengemis tidak minta secara paksa
sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis!”
Dua orang pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata melotot
lebar. “Apa kamu mencari mampus berani mencampuri urusan kami dua orang anggota Khong-sim Kaipang?”
Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara pengemis itu dengan keraskeras,
agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama ini untuk mendatangkan kesan.
“Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) semestinya mempunyai anggota-anggota
yang berhati kosong tanpa pamrih, akan tetapi kalian ini perampok-perampok berkedok pengemis amat
menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang sedang makan di kedai ini, memang tidak ada sangkutpautnya
dengan urusan pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang mengganggu!
Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada nafsu makan. Hayo enyah dari sini!” bentak
piauwsu setengah tua muka merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak. Malah
seorang di antara dua orang muda ini segera mengulur tangan ke depan, menggunakan dua buah jari
menjepit tongkat yang tertancap di lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar
dari lantai.
“Phuhh! Yang macam ini dipakai menakut-nakuti orang? Menyebalkan!” katanya sambil melempar tongkat
itu sehingga tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai.
Semua tamu kedai itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah sekali.
Pemilik tongkat sudah menyambar tongkatnya, kemudian mereka berdua meloncat mundur lalu berdiri di
jalan sambil menantang.
“Pengacau dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?”
Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu muda. “Tak tahu malu,
menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk, kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang
sekumpulan manusia jahat. Kami datang dan pergi tak pernah menyembunyikan nama. Di selatan kami
terkenal piauwsu-piauwsu yang paling benci terhadap penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti
srigala-srigala berkedok domba! Aku Lim Kiang atau Lim-piauwsu, dan ini kedua orang puteraku. Lekas
kalian enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang mengusir anjing-anjing
rendah?”
Dua orang pengemis itu marah bukan main. “Keparat she Lim! Kau dan anak-anakmu sudah bosan hidup
rupanya. Majulah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu
yang lebar itu?”
“Ayah, biarkan kami menghajar dua penjahat ini!” seru dua orang muda sambil meloncat ke depan dan
pedang mereka sudah berada di tangan. Sang ayah yang agaknya cukup percaya akan kepandaian
putera-puteranya lalu mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil bertolak pinggang.
Dua orang pengemis itu sudah berseru nyaring sambil memutar tongkat besi mereka, menyerang dua
orang piauwsu muda yang sudah menangkis dengan pedang mereka pula. Terjadilah pertandingan yang
seru, di atas jalan raya di depan kedai bakmi! Mereka yang tadinya enak-enak makan bakmi, kini sudah
keluar pula dari kedai untuk menonton. Wajah mereka tegang dan khawatir karena semua orang di Kanghu
tahu belaka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berlaku sewenang-wenang. Tentu
saja diam-diam mereka mengharapkan kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.
Pengharapan mereka itu ternyata terkabul. Dua orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki ilmu pedang
yang hebat. Tidak sampai lima puluh jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis Khongsim
Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang dan tongkat mereka runtuh. Suling
dunia-kangouw.blogspot.com
Emas yang ikut menonton menjadi terkejut ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera
ia kenali. Itulah ilmu pedang Beng-kauw!
Tak disangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan melihat sepak terjang
mereka, ia menjadi bangga. Mereka ini murid-murid Beng-kauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap
mereka memberi hajaran dua orang pengemis jahat, juga melihat betapa dua orang piauwsu muda itu
hanya melukai pundak lawan, tidak membunuhnya.
Beberapa orang di antara penonton yang tadi makan bakmi segera menghampiri tiga orang piauwsu itu
sambil berbisik, “Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kaipang
bermarkas di luar kota ini dan selain anggotanya banyak, juga mereka mempunyai pemimplnpemimpin
yang pandai dan amat kejam! Lekas, Sam-wi (Tuan Bertiga) pergilah dari sini.”
Piauwsu tua mengerutkan alisnya dan berkata lantang, “Kami bukan golongan pengecut yang berani
berbuat tidak berani bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua orang pengemis ini karena
kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka
itu dengan pedang kami.” Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali tidak
membayangkan kesombongan.
Banyak orang yang sudah tahu akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini
berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka bertiga lekas pergi saja karena kalau tidak, mana
mungkin mereka dapat melawan banyak anggota Khong-sim Kai-pang. Namun bujukan-bujukan itu sia-sia
belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua orang puteranya bahkan menyatakan hendak mendatangi markas
besar Khong-sim Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang
kepada penduduk Kang-hu!
Tiba-tiba terdengar suara orang yang amat jelas mengatasi semua suara orang yang sedang membujukbujuk,
“Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa dibujuk-bujuk? Kalau mereka sudah bosan
hidup, biarkanlah mereka mati!”
Semua orang menoleh. Ketika orang-orang di situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini
adalah seorang berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah tertutup sehelai kain,
mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir. Ada suara bisikan-bisikan terdengar. “Nah,
mereka sudah mulai datang...!”
Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya she Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling
Emas dengan tajam. Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pemimpin Khong-sim Kaipang,
maka Lim Kiang segera melangkah maju dan hendak menegur.
Akan tetapi Suling Emas sudah menghampiri mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan
menegur, “Kalian ini orang-orang apa berani hendak mengancam Khong-sim Kai-pang? Kalau ada satu
dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang kota ini pencuri belaka? Kalau ada satu
dua orang piauwsu menyeleweng, apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka?
Demikian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng, apakah benar kalau
dikatakan bahwa Khong-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat? Setelah memperoleh kemenangan
berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, itulah sikap seorang bijaksana.
Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah? Hayo pergi... pergi... pergi...!” Ia mendorongdorong
sehingga jari-jari tangannya menyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan.
Untuk membela yang tertindas dan menghadapi yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan
ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewarisi watak gagah ini. Melihat Suling
Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh
Khong-sim Kai-pang yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa pengemis
ini bukan orang sembarangan. Karena itulah ia memberi tanda kepada dua orang puteranya untuk mundur,
kemudian ia sendiri tersenyum dan berkata.
“Setiap orang manusia tentu mencari kebenarannya sendiri. Betapa pun jahatnya Khong-sim Kai-pang,
tentu seorang anggotanya akan melihatnya sebagai perkumpulan yang baik. Sahabat, kalau kau merasa
penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau majulah!” Sambil berkata demikian Lim Kiang
meraba gagang pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihh...!” ia berseru kaget dan tangannya meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk melihat ke
arah pinggangnya. Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pedang itu
sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!
Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang
dengan mata terbelalak.
“Pe... pedangku...!” Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa pedang kedua orang
puteranya juga sudah lenyap!
“Ada kalanya orang tidak dapat mengandalkan pedangnya.” Suling Emas berkata lagi, “Tapi lebih tepat
mempergunakan akal dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang
akan selalu membawa kemenangan. Sam-wi mencari inikah?”
Tiga orang piauwsu itu melongo ketika melihat pengemis yang mukanya ditutupi sapu tangan itu
mengangsurkan tiga batang pedang mereka! Cepat mereka menyambut pedang mereka dan tidak berani
sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat merampas pedang mereka bertiga tanpa mereka ketahui
sama sekali adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sekali dan bukanlah lawan mereka!
Betapa pun juga, Lim Kiang adalah seorang gagah yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum
ia dikalahkan.
“Boleh jadi engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira bahwa kami takut
untuk coba-coba memberantas kejahatanmu!” Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan
pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak hendak menerjang
Suling Emas.
Pada saat itu berkelebat dua bayangan hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya
hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang bertubuh bongkok kurus.
Namun si Bongkok ini sekali sambar sudah mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke
belakang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung. Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula
melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.
“Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar terhadap ketua Khong-sim Kai-pang
kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?” bentak si Pengemis Bongkok yang bukan lain adalah Gak-lokai. Ada
pun pengemis ke dua adalah Ciam-lokai.
Lim Kiang adalah seorang piauwsu yang sudah banyak pengalaman. Ia terkejut dan maklum bahwa dua
orang pengemis tua itu pun lihai bukan main. Akan tetapi ia makin kaget ketika mendengar disebutnya
nama Yu Kang Tianglo. Ia memandang terbelalak kepada Suling Emas lalu berkata, “Locianpwe ini... Yu
Kang Tianglo...? Akan tetapi... mereka itu....” Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi dihajar dua
orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas tanah.
Suling Emas mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan dua
orang puteranya. “Terima kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang
penyeleweng itu. Memang di antara anggota Khong-sim Kai-pang ada yang menyeleweng, namun itu
bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan penjahat, Harap Sam-wi
menjadi puas dan sampaikanlah hormatnya Yu Kang Tianglo kepada para tokoh Beng-kauw di selatan
yang amat kami hormati!”
Diam-diam Lim Kiang terkejut dan heran. Ia memang lama mendengar nama besar Yu Kang Tianglo, akan
tetapi sama sekali tak pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis itu dapat mengenal gerakan pedang
putera-puteranya sehingga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat
ia menjatuhkan diri berlutut, diturut kedua orang puteranya.
“Mohon maaf bahwa kami berani bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.” Setelah berkata demikian,
Lim Kiang cepat-cepat mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Kang-hu.
“Kalian sudah datang? Bagus! Bagaimana kalian dapat membiarkan dua orang jahat itu melakukan hal
yang amat memalukan Khong-sim Kai-pang?” Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggota yang setia sudah
menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu,” kata Gak-lokai, sedangkan Ciam-lokai mengambilkan kuda
Suling Emas.
Ketiganya lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua orang pengemis
yang terluka tadi, sedangkan Gak-lokai sibuk menuturkan apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang selama
ini.
Sementara itu, berita tentang munculnya Yu Kang Tianglo seperti tadi terdengar oleh beberapa orang
penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh
kepercayaan bahwa setelah tokoh besar itu muncul, Khong-sim Kai-pang akan bersih dari oknum-oknum
jahat dan tidak lagi ada gangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya.
Mendengar penuturan Gak-lokai, Suling Emas menjadi marah. Ternyata bahwa kaum sesat yang
menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil memecah belah perkumpulan itu, bahkan sebagian
besar anggotanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak mengherankan karena
oknum-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan
lain kesenangan dunia.
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang melihat gejala-gejala buruk ini maklum, bahwa kalau mereka berdua
berkeras, tentu akan terjadi perang di antara para anggota sendiri yang akan mengorbankan banyak
nyawa. Padahal mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada dasarnya jahat, melainkan
karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping itu, ada lima orang kaum sesat yang kini
terpilih menjadi pemimpin mereka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian yang
lihai sehingga dua orang kakek ini tidak berani turun tangan secara serampangan dan menanti datangnya
Yu Kang Tianglo yang mereka andalkan.
“Mereka yang menyeleweng kini menduduki markas karena para anggota yang setia rela mengikuti kami
mengundurkan diri bersembunyi di tempat-tempat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu.” Gak-lokai
menutup ceritanya. “Mereka kini mengganti pakaian mereka dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu
mereka dengan tongkat besi. Hanya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua
puluh orang lebih maka anggota-anggota yang menyeleweng akan dapat disadarkan kembali.”
Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang
tajam melihat bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara pohon-pohon mendahului
mereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah mata-mata golongan sesat yang kini menguasai markas
Khong-sim Kai-pang.
Ketika mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil besar yang
semenjak dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat betapa dari
belakang mereka datang berbondong-bondong puluhan orang pengemis yang berpakaian butut dan
membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh orang lebih dan begitu Suling Emas
menghentikan kudanya untuk menengok, mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan seperti
dlkomando saja mereka berseru. “Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!”
Kemudian tampak dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti barisan pengemis pula, pengemis
dengan pakaian bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini Suling Emas berkata kepada pengikut Gaklokai
dan Cam-lokai, suaranya nyaring.
“Saudara-saudara semua tidak boleh sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan
sendiri, hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang mengotori kai-pang!”
Demikianlah, empat puluh orang pengemis itu disuruh menanti di luar, sedangkan Suling Emas dengan
diantar Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk dengan langkah tenang.
Kuda kurusnya ditinggalkan di luar pekarangan. Ia memandang ke depan dan melihat bahwa yang
memimpin barisan pengemis baju bersih yang jumlahnya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh orang.
Lima di antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian pengemis tambaltambalan
dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak senjata tongkat yang berat dan jelas bukan
tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak berpakaian pengemis, melainkan berpakaian
pendeta, dan agaknya mereka berdua itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh
lebih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suling Emas memandang tajam, namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari pekarangan, ia naik anak
tangga yang tingginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan yang cukup luas. Tempat inilah
yang biasanya dipakai untuk pertemuan umum para anggota, di udara terbuka dan letaknya di depan kuil.
Lima orang pengemis berpakaian penuh kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan
sikap angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka. Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu
melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh tersungkur
ke depan kaki lima orang kepala pengemis baru.
“Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggota Khong-sim Kai-pang ini?”
terdengar suara Suling Emas memecah kesunyian. Suaranya halus, namun penuh wibawa. “Mereka yang
merasa bersalah, telah menyelewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju mengaku
agar menerima hukuman!”
Seorang di antara lima pimpinan pengemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara
mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Suling Emas.
“Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan perkumpulan kami sehingga kau berani mengucapkan kata-kata
kurang ajar? Apakah engkau ini sekutu para pengkhianat macam dua orang jembel tua bangka itu?” ia
menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai.
Gak-lokai tak dapat menahan kemarahannya. “Sungguh kalian ini tak tahu diri! Kalian adalah orang-orang
baru di Khong-sim Kai-pang, namun kalian seperti buta tidak mau membuka mata, seperti tuli tak mau
membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, seorang tokoh terbesar dari golongan
Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut!”
Lima orang itu agaknya sudah mendengar laporan maka mereka tidak menjadi kaget, bahkan tersenyumsenyum.
Akan tetapi di antara lima puluh lebih anggota Khong-sim Kai-pang yang sudah dibawa
menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menjadi pucat mukanya, menggigil
tubuhnya. Kawan-kawannya yang percaya kepada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Puluhan tahun Yu Kang Tianglo tidak memperlihatkan diri, membiarkan Khongsim
Kai-pang dalam keadaan terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat
keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti seorang kawakan yang berkuasa! Cih,
sungguh tidak tahu malu! Pada saat ini memang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk
sementara ini kami lima oranglah yang berkuasa sampai diadakan pemilihan ketua pada pertemuan antara
kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami,
juga apakah engkau ini seorang tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli.
Engkau tidak ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di sini!”
Merah wajah Gak-lokai dan Ciam-lokai, namun Suling Emas memberi isyarat dengan tangan agar mereka
diam. Ia sendiri lalu melangkah maju dan dengan sikap tenang ia berkata. “Yu Kang Tianglo bukan seorang
yang haus akan kedudukan ketua kai-pang. Semenjak ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang
terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang membela orang-orang terlantar dan jembel-jembel
kelaparan, membimbing mereka kembali ke dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka,
paling anti akan kejahatan. Siapa pun dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan siapa pun dia
orangnya boleh menjadi anggota, asal saja mereka itu orang baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan
yang selama puluhan tahun ditempuh Khong-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan muncul di sini sekiranya
keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya. Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim
Kai-pang diselewengkan. Dengan mata kepala, sendiri aku menyaksikan dua orangmu melakukan
pemerasan seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak membersihkan
kai-pang dari orang-orang jahat!”
Mendengar ini, banyak di antara para anggota Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju kembang-kembang
dan memegang tongkat besi menjadi ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka
itu meloncat maju mengurung Suling Emas dan si Juling membentak.
“Keparat busuk, enak saja kau mengobrol di sini! Kami yang berkuasa di Khong-sim Kai-pang dan kami
yang berhak menentukan bagaimana cara kami mengumpulkan dana demi kemajuan perkumpulan dan
kebahagiaan semua anggota kami. Kau berani datang menghina, berarti engkau mencari mampus sendiri!”
Sambil berkata demikian, si Juling dan empat orang adik seperguruannya mengangkat tinggi tongkatdunia-
kangouw.blogspot.com
tongkat mereka. Ada yang memegang tongkat besi, ada tongkat baja, kuningan bahkan ada yang
memegang tongkat dari perak murni!
“Hemm... hemm... semenjak dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan kebenaran dan selalu mengambil
jalan halus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut sebagai lambang mencari
jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewahmewahan
dan berlomba memegang tongkat yang membayangkan kekerasan dan kekejaman. Sungguh
menyeleweng sekali!”
“Tak usah banyak cakap! Satu di antara syarat menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah dia harus
mempunyai kepandaian yang paling tinggi di antara para anggota. Beranikah engkau melawan kami
berlima?”
“Eh, kiranya kalian masih mengenal juga akan peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian
memperlihatkan kecurangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama atau ditambah lagi
dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri pinjam tongkatmu!” kata Suling Emas, menoleh
kepada dua orang tokoh lama itu.
“Harap Pangcu pakai saja tongkat ini. Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin
Tianglo,” kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkatnya, sebatang tongkat bambu yang sudah amat tua.
Yu Jin Tianglo adalah ketua Khong-sim Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka
tentu saja semua anggota yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah. Mereka semua tahu
betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai
sendiri tidak berani sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah
oleh pengeroyokan mereka berlima?
Namun Suling Emas dengan langkah lebar dan tenang sudah berdiri di tengah-tengah lapangan yang
tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa si Juling berbisik-bisik kepada dua orang
pendeta, akan tetapi kemudian si Juling bersama empat orang kawannya meloncat dan sekaligus
mengurung.
“Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat Khong-sim Kaipang
menjadi perkumpulan yang paling hebat di antara semua kai-pang. Maksud baik kami ini kiranya
malah kau hina! Sungguh kau mencari mati sendiri.”
Suling Emas tertawa di balik sapu tangannya. “Kalian ini pengemis-pengemis macam apa? Pakaiannya
saja berlomba mewah! Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu orang-orang golongan sesat yang hendak
menyelundup ke kai-pang-kai-pang mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat
riwayat kalian!”
“Manusia sombong!”
Lima orang itu membentuk barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa memasang
kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di pundaknya. Itu sama sekali
bukan sikap seorang jago silat menghadapi lawan! Tongkat dipanggul di pundak, berdiri seenaknya dan
pandang mata tidak acuh sama sekali!
Diam-diam Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat, menjadi khawatir sekali. Akan tetapi
lima orang pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka terus bergerak mengitari Suling Emas dan
mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba si Mata Juling yang menjadi pimpinan mereka berteriak keras dan
serentak lima batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan sinar
yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali!
Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka, lima orang pengemis baju
kembang itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat
cepatnya, dan amat berat sehingga terdengar angin bersiutan. Betapa mungkin ketua mereka yang berdiri
enak-enak itu dapat menghindarkan diri dari hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Singgggg... Krak-krak-krak-krak-krak...!”
Semua orang kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini terbang di udara dan jatuh jauh
dari tempat itu. Ketika mereka memandang ke depan, lima orang pengemis baju kembang itu sudah roboh
tak berkutik lagi, sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti tadi memanggul tongkatnya!
Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya
pihak kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum. Kemudian meledaklah sorak-sorai
penuh kegembiraan dari beberapa puluh orang pengemis anggota Khong-sim Kai-pang yang setia,
sedangkan para anggota Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima
orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri
berlutut.
“Yu Kang Tianglo, kau terlalu sombong!” bentakan ini keras sekali.
Kiranya dua orang berpakaian tosu tadi telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas, sedangkan
yang kedua dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan mayat lima orang pimpinan
Khong-sim Kai-pang itu ke bawah panggung! Perbuatan yang kejam ini disambut suara berbisik dari
mereka yang pro dan anti di golongan anggota, baik yang kini sudah berpakaian bersih mau pun yang
masih berpakaian butut.
“Trakk! Trakk! Trakk!”
Suara ini nyaring sekali sehingga menyakitkan telinga. Melihat betapa kedua telapak tangan pendeta yang
menghampiri Suling Emas ditepuk-tepukkan menerbitkan suara nyaring itu, semua orang yang tadinya
berisik menjadi diam dan memandang penuh keheranan dan kekaguman. Betapa dua telapak tangan dari
kulit dan daging dapat mengeluarkan bunyi seperti itu?
“Sahabat-sahabat pengemis dengarlah baik-baik! Pinto (aku) berdua hanyalah tamu-tamu dari kelima
pangcu (ketua) yang telah terbunuh secara keji oleh manusia sombong yang mengaku Yu Kang Tianglo ini.
Pinto berdua adalah orang-orang sebawahan Locianpwe Bu-tek Siu-lam, bagaimana mungkin
menyaksikan tuan rumah dihina orang tanpa turun tangan? Telah kita ketahui semua betapa para anggota
kai-pang di bawah pimpinan orang-orang lama yang mengaku suci dan bersih, hidup sengsara,
kekurangan makan dan pakaian, bahkan kadang-kadang mengalami kelaparan. Kemudian golongan kami
sebagai pimpinan baru telah mengangkat nasib para jembel sehingga mereka dapat memakai pakaian baik
dan makan sekenyangnya setiap hari. Tak perlu dibicarakan panjang lebar siapa yang lebih patut menjadi
pemimpin kai-pang. Sudah terbukti pula betapa kelima orang kai-pang yang terbunuh ini berjasa besar
terhadap saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini yang akan merampas kedudukan dan
akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam lembah kesengsaraan!”
Mendengar ini, terbangun semangat mereka yang tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat betapa
dahulu, semenjak dipimpin oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta Ciam-lokai, para anggota hidup di
bawah tekanan peraturan-peraturan keras sekali, bahkan mereka itu diharuskan hidup seadanya dan
sederhana, sesuai dengan pendapatan serta hasil sumbangan para dermawan. Kemudian setelah Gaklokai
dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan dipegang oleh lima orang ketua baru, uang mengalir masuk
dengan berlebihan sehingga mereka dapat hidup jauh lebih baik, bahkan dapat pula bermewah-mewahan!
Maka ketika mendengar ucapan tosu itu, mereka lalu saling bicara dan keadaan menjadi berisik kembali.
Suling Emas tercengang ketika melihat tosu yang membunyikan kedua telapak tangan tadi. Ia maklum
bahwa tosu itu bukan sembarang orang, telah memiliki kepandaian tinggi dan tentu seorang ahli Tiat-ciangkang
(Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih kedua telapak tangannya sehingga menjadi kuat dan keras
laksana baja. Apa lagi mendengar tosu itu mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek Siu-lam, ia menjadi
tertarik. Memang selama perantauannya ia mendengar akan munculnya seorang tokoh besar berjuluk Butek
Siu-lam ini.
Akan tetapi sebelum Suling Emas menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gak-lokai berteriak keras. “Sungguh
tamu-tamu yang tak tahu malu mencampuri urusan dalam Khong-sim Kai-pang!” Kemudian tubuh dua
orang kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah melayang dan meloncat ke depan
Suling Emas menghadapi dua orang tosu itu.
Ciam-lokai menghampiri Suling Emas dan berkata halus, “Mohon Pangcu sudi membiarkan kami berdua
memberi hajaran kepada tosu-tosu lancang ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suling Emas cepat membisikkan nasehatnya. “Baiklah. Ciam-lokai, kau nanti hadapi si Hidung Besar itu
dan awaslah terhadap telapak tangannya. Dia ahli Tiat-ciang-kang dan jangan sampai mengadu telapak
tangan, akan tetapi serang kedua jalan darah di belakang sikunya.” Karena bisikan ini dilakukan seperti
tanpa menggerakkan bibir, hanya dengan pengerahan, tenaga khikang yang sempurna, maka yang
mendengar hanya Ciam-lokai seorang. Kakek bertongkat butut ini mengangguk-angguk. Ia percaya penuh
akan kelihaian ketuanya yang sakti.
Sementara ini, Gak-lokai si Kakek Pengemis yang bertubuh bongkok sudah melangkah maju,
mengerahkan khi-kang dan berkata lantang sehingga suaranya mengatasi suara berisik para anggota
Khong-sim Kai-pang yang seketika menjadi tenang dan mendengarkan penuh perhatian.
“Sejak kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai penasehat-penasehat segala macam hidung kerbau?
Urusan kai-pang adalah urusan dalam dan tidak boleh sama sekali dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah
menjadi peraturan kai-pang sejak dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu. Sekarang ada tamu-tamu
tak diundang yang berani lancang mencampuri urusan dalam, hal ini tak lain berarti sebuah tantangan!”
Dua orang tosu itu menjadi merah mukanya. Tosu yang alisnya putih melangkah maju dan membentak.
“Jembel busuk! Tak tahukah kau siapa kami berdua? Kami adalah utusan Locianpwe Bu-tek Siu-lam!
Berani kau menghina utusan beliau?”
Gak-lokai menjura dan menjawab suaranya tegas dan nyaring. “Kami sama sekali tidak menghina siapa
pun juga, apa lagi seorang tokoh besar seperti Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sebaliknya kalian inilah yang
sudah menghina ketua kami! Kalian sebagai orang luar mana tahu peraturan dan sifat Khong-sim Kai-pang
kami? Perkumpulan kami bukanlah perkumpulan segala macam jembel yang kelaparan dan yang hanya
memikirkan tentang makanan dan pakaian belaka! Akan tetapi kai-pang kami adalah perkumpulan orangorang
yang menjunjung tinggi kegagahan, orang-orang yang bertugas membela kebenaran dan keadilan
tanpa pamrih, cukup dengan hidup sederhana atas kerelaan dan belas kasihan orang yang lebih mampu.
Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan menganggap penyelundup-penyelundup itu menjunjung
tinggi derajat perkumpulan kami? Huh, bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan
dengan cara yang keji dan dengan cara yang lebih jahat dari pada perampok-perampok hina!”
“Setan kelaparan! Gak-lokai dan Ciam-lokai, pinto sudah tahu bahwa kalianlah yang menjadi penyakit
dalam Khong-sim Kai-pang. Kalian mengandalkan apa berani bicara seperti itu di depan pinto?” bentak
tosu hidung besar dengan marah. “Pergilah, kalian terlalu rendah untuk berurusan dengan pinto. Biarkan
orang yang sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan kami!”
“Heh-heh-heh!” Hidung kerbau macam kalian ini mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu kami yang
mulia? Kalau kalian hendak menantang, cukup kami yang akan melayaninya. Rekan Gak, kau minggirlah,
biarkan tongkat bututku menghajar anjing hidung besar ini!”
Gak-lokai tertawa lalu meloncat ke pinggir. Tubuhnya kemudian melayang ke bawah dan tahu-tahu ia telah
menyelinap ke dalam ruangan depan kuil dan sebelum lain orang berani mencegah, ia sudah meloncat
kembali membawa tiga buah bangku. Ia mempersilakan Suling Emas duduk di atas bangku, kemudian ia
sendiri duduk di sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke tiga adalah diperuntukkan Ciam-lokai.
“Ha-ha, Tosu Alis Putih. Kami tidak tahu kau siapa, karena kau tamu tak diundang, silakan kau berdiri saja
di sudut situ!” kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini marah sekali, mengepal tinju dan mendelik.
“Eh-eh, sabar dulu. Giliran kita belum tiba. Nanti setelah Saudara Ciam membereskan temanmu si Hidung
Kerbau, barulah kita boleh saling tonjok!” kata pula Gak-lokai.
Tosu Alis Putih itu hanya membuang ludah melampiaskan marahnya, kemudian ia memandang ke tengah
panggung di mana Ciam-lokai sudah berhadapan dengan kawannya.
Ciam-lokai menghadapi tosu hidung besar dengan menggerak-gerakkan tongkat bambunya yang butut,
yang tadi ia pinjamkan kepada Suling Emas. Ia tersenyum lebar dan berkata, suaranya lantang. “Eh, tosu
yang tak tahu diri! Engkau mengaku tamu, akan tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berarti
kalian ini bukan sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki keadaan Khong-sim Kai-pang. Setelah
kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku siapa sebenarnya kau ini agar aku tahu pula
siapa nama orang yang nanti roboh di tanganku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ucapan ini diucapkan halus dan sewajarnya, akan tetapi tetap saja membikin panas telinga karena sifatnya
takabur! Tosu yang hidungnya besar itu usianya sudah tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih muda
dari pada Ciam-lokai, akan tetapi wajahnya masih gagah dan kulit mukanya kemerahan, rambutnya masih
hitam. Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum mengejek lalu berkata.
“Jembel tua bangka yang sudah mau mampus, dengarlah baik-baik! Pinto bernama Bu Keng Cu,
sedangkan dia itu adalah Suheng-ku bernama Bu Liang Cu. Kami berdua adalah anak murid Im-yang-kauw
di perbatasan dunia barat. Kedatangan kami di Khong-sim Kai-pang ini adalah mewakili Bengcu (Pimpinan)
kami yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam untuk memenuhi undangan pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang
pimpinan Khong-sim Kai-pang yang menjadi sahabat kami dan tuan rumah telah tewas di tangan Yu Kang
Tianglo, tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam. Kalau kau sudah bosan hidup hendak mewakili
Yu Kang Tianglo, silakan. Akan tetapi jangan lupa bahwa pinto sudah menasehatimu supaya kau mundur
saja karena kau bukanlah lawan pinto, jembel tua!”
Wajah Ciam-lokai menjadi pucat sekali. Memang Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang aneh. Orang lain
kalau marah akan merah sekali mukanya, akan tetapi Ciam-lokai menjadi pucat! Ia marah karena merasa
kalah bicara. Siapa kira, tosu ini pandai berdebat dan kini ia yang tadinya hendak menyombong, oleh tosu
yang lemas lidah itu seakan-akan diseret turun menjadi terbalik keadaannya! Selagi ia memutar-mutar otak
untuk mencari jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu itu sudah tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Nah, mukamu sudah pucat seperti mayat, jembel tua. Pinto khawatir kau akan roboh
pingsan dan tewas karena takut! Lebih baik sebelum terlambat, kau mundurlah dan biarkan Yu Kang
Tianglo saja yang melayani pinto!”
Ciam-lokai makin pucat, mulutnya bergerak-gerak namun tidak dapat mengeluarkan suara saking
marahnya. Ia tahu bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang dalam hal kepandaian berdebat,
rekannya Gak-lokai lebih pandai, maka ia hanya dapat menoleh ke arah Gak-lokai dengan muka masih
pucat dan sinar mata minta bantuan.
“Heh-heh-heh, Saudara Ciam yang baik. Mengapa kau terheran-heran mendengar tosu hidung kerbau Bu
Keng Cu itu bernyanyi semerdu ini? Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak sekali pun kalau hampir
mampus dapat bernyanyi merdu? Akan tetapi si Hidung Besar ini suaranya mengandung hawa busuk
beracun, maka lebih baik lekas kau usir dia pergi!”
Muka Ciam-lokai yang tadi pucat kini menjadi merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu sambil
menyeringai lebar. “Nah, kau sudah mendengar sendiri. Masih tidak mau pergi? Benar-benar muka tebal!”
Bu Keng Cu marah sekali. Tanpa bicara lagi kembali ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan
terdengarlah suara nyaring seperti dua buah benda keras digosok. Kemudian secara tiba-tiba dan dengan
dahsyat sekali, tosu itu sudah menerjang maju, kedua tangannya terbuka, yang kanan memukul ke arah
kepala, yang kiri mencengkeram ke arah dada. Telapak tangannya berwarna hitam mengkilap dan ketika ia
menerjang, sambaran angin pukulannya dahsyat sekali.
Ciam-lokai terkejut dan cepat ia mengelak sambil meloncat ke kiri. Tongkat bututnya bergerak secara aneh
dan berkelebat cepat.
“Plak-plak!” terdengarlah suara dua kali disusul seruan Bu Keng Cu yang tubuhnya terhuyung-huyung ke
depan.
Gak-lokai bersorak, diikuti oleh para pengemis bawahannya. Memang lucu sekali pertandingan dalam
gebrak pertama itu. Bu Keng Cu kelihatan amat dahsyat dan ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan
Ciam-lokai amat cepat dan aneh dan dalam gebrakan pertama saja tongkat bambunya sudah berhasil
menggebuk punggung lawan dua kali dan mendorong pantat satu kali. Sayang bahwa gebukan-gebukan
itu dilakukan terlalu cepat sehingga tak bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk dapat merobohkan
lawan sekuat tosu itu.
Memang ilmu tongkat yang dipergunakan oleh Ciam-lokai tadi amat luar biasa. Itulah ilmu tongkat Gobwee-
tung (Tongkat Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo. Gerakan-gerakannya aneh sekali dan
ilmu tongkat ini sanggup untuk ‘mencuri’ beberapa gebukan walau menghadapi ilmu silat yang amat tinggi
sekali pun, karena sifat-sifatnya seperti ekor buaya yang dapat menyabet dari belakang tanpa diduga-duga
lawan. Hanya sayangnya, Yu Jin Tianglo dahulu menciptakan ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum
dan menghajar anak buah yang dahulu menyeleweng, maka semua pukulannya bukan merupakan pukulan
dunia-kangouw.blogspot.com
maut. Dan karena Yu Jin Tianglo melihat bakat baik pada Ciam-lokai untuk menjadi pimpinan pengemis
maka ia sengaja menurunkan ilmu ini kepadanya.
Karena sifatnya hanya untuk menghukum, bukan membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung ini tentu
saja tidak banyak manfaatnya kalau dipergunakan dalam pertandingan sungguh-sungguh di mana kedua
lawan berusaha keras untuk merobohkan dan kalau perlu saling membunuh. Betapa pun juga, melihat
bahwa dalam gebrakan pertama saja pengemis tua itu sudah berhasil menggebuk lawannya, para
pengemis yang pro kepada Ciam-lokai bersorak-sorai gembira.
Sebaliknya Bu Keng Cu menjadi kaget sekali dan tak berani menganggap rendah lawannya yang ternyata
memiliki ilmu tongkat yang hebat itu. Ia berseru keras dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya
sehingga terdengar suara nyaring, dan kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak asap! Itulah
puncak kehebatan penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang! Kemudian tosu itu kembali menyerang, kali ini
terjangannya jauh lebih hebat dari pada tadi, juga pukulannya cepat dengan kedua tangan bergerak-gerak
secara aneh, yang kanan lambat-lambat akan tetapi yang kiri cepat-cepat.
Ciam-lokai bukan seorang bodoh. Sudah banyak pengalamannya dalam bertempur, dan ia maklum pula
akan kelihaian tosu ini. Ia tidak berani lagi main-main dan mengandalkan Go-bwee-tung. Maka ia cepat
menggeser kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya, menghindarkan. pukulan kiri lawan yang amat
cepat datangnya itu. Akan tetapi siapa kira, begitu tubuhnya merendah tahu-tahu pukulan tangan kanan
yang tadinya bergerak lambat, sudah tiba dan dari atas menghantam ke arah kepalanya! Ia kaget sekali
dan cepat-cepat ia mengangkat tongkat menangkis sambil mengerahkan kedua tangannya yang
memegang kedua ujung tongkatnya.
“Krakk!”
Tongkat itu patah menjadi dua! Ciam-lokai meloncat ke belakang dan wajahnya menjadi pucat. Bukan saja
ia menderita malu, juga ia merasa sayang sekali bahwa tongkat pusaka pemberian mendiang Yu Jin
Tianglo itu kini patah menjadi dua!
Segera terdengar sorakan para pengemis baju bersih yang berpihak kepada dua orang tosu ini, karena
keadaan kini berubah untuk keuntungan si Tosu. Ciam-lokai menggigit bibir dan ia menerjang maju dengan
dua batang tongkat pendek di kedua tangan. Kini ia menyesal mengapa tadi ia tidak segera menggunakan
siasat yang dibisikkan ketuanya kepadanya. Maka kini begitu menerjang, ia segera menggunakan dua
batang tongkat pendeknya untuk menghujani kedua siku tangan lawan dengan totokan-totokan cepat.
“Aiihhh...!” Bu Keng Cu berseru kaget dan sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk menghindarkan
totokan itu. Di dalam hatinya, ia terkejut bukan main. Bagaimana kakek jembel ini dalam dua gebrakan saja
sudah dapat mengetahui kelemahan Ilmu Tiat-ciang-kang yang dipergunakannya?
Sampai tiga puluh jurus lebih Ciam-lokai mendesak lawannya dengan totokan-totokan maut yang
dipusatkan pada kedua siku tangan lawan. Bu Keng Cu mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk
menghindarkan totokan-totokan itu, kemudian secara tiba-tiba gerakannya berubah. Sejurus gerakannya
kasar dan keras, pada jurus berikutnya berubah halus lembek, kemudian berubah lagi.
Dalam lima enam jurus saja Ciam-lokai sudah hampir terkena tusukan jari tangan yang sekeras baja, dan
untung ia masih sempat membuang tubuh ke belakang sehingga hanya ujung bajunya yang bolong ketika
tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari menusuk ujung baju bisa bolong menyatakan bahwa jari-jari itu cukup
kuat untuk menusuk bolong logam keras!
Ciam-lokai menjadi terdesak hebat setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu silat aneh yang sebentar lembek
sebentar keras, cepat dan lambat berganti-ganti dan selalu berubah. Kini sukar baginya untuk mengancam
kedua siku lawan karena kedua tangan lawan itu melakukan gerakan-gerakan yang selalu berubah sifatnya
sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.
Suling Emas yang menyaksikan jalannya pertandingan sejak tadi diam-diam harus mengakui keunggulan
tosu itu atas kepandaian Ciam-lokai. Apa lagi ketika tosu itu mainkan ilmu silat yang dikenalnya sebagai
ilmu silat Im-yang-kun, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan tewas
dalam pertempuran ini. Maka ia lalu mengerahkan tenaga khikang-nya, mulutnya berkemak-kemik tanpa
mengeluarkan suara.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Ciam-lokai yang sedang sibuk menghadapi desakan lawan yang lihai, tiba-tiba mendengar
suara ketuanya itu berbisik jelas sekali di pinggir telinganya. “Hantam lutut kanannya, totok pundak kirinya!”
Mendengar suara ketuanya, Ciam-lokai yang sedang terdesak hebat dan sibuk menyelamatkan diri itu
secara membuta lalu mentaati anjuran ini. Ia menggerakkan kedua tangan secara beruntun,
menghantamkan tongkat kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan tongkat kanannya menotok jalan darah
Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri.
Bu Keng Cu terkejut setengah mati. Memang pada saat itu, biar pun ia sedang mendesak lawan, bagian
lutut kanan dan pundak kiri inilah yang terbuka, sedangkan perubahan gerak jembel tua itu benar-benar
aneh dan tidak terduga, begitu langsung menyerang dua bagian yang lemah ini. Hampir saja lutut
kanannya kena dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang lalu menerjang maju lagi dengan kemarahan
meluap.
“Hantam pelipis kirinya dan totok lambung kanannya!”
Kembali Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan hati girang setelah melihat betapa petunjuk pertama tadi
hampir berhasil. Kembali Bu Keng Cu kaget setengah mati dan hanya dengan susah payah ia mampu
membebaskan diri dari bahaya maut. Ia terheran-heran dan makin penasaran dan marah. Jelas bahwa ia
menang unggul dan ia sudah yakin akan memperoleh kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan
terdesak, jembel itu secara tiba-tiba merubah gerakan secara begitu aneh, kadang-kadang berlawanan
dengan gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang bermain silat lagi, akan tetapi selalu tepat
menyerang bagian-bagian tubuhnya yang tak terjaga?
Apakah jembel ini mempunyai ‘mata ke tiga’ yang dapat melihat bagian-bagian terbuka itu? Hal seperti ini
hanya dapat dan mungkin dilakukan oleh orang yang sudah mengenal ilmu silatnya Im-yang-kun. Akan
tetapi andai kata si Jembel Tua ini mengenal bahkan ahli dalam ilmu silat Im-yang-kun, mengapa gerakangerakannya
begitu tiba-tiba dan seperti dipaksakan?
“Injak kaki kirinya dan tusuk perutnya, kalau ia membalik, tendang pantatnya!” kembali bisikan itu diturut
oleh Ciam-lokai dengan taat.
Pada saat itu Bu Keng Cu sedang mendesaknya dengan tendangan kaki kanan dan ia baru saja
menyelinap ke kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia lalu mengangkat kakinya menginjak secara tibatiba
dan keras ke arah kaki kiri tosu itu, berbareng ia menusukkan tongkatnya ke arah pusar lawan.
“Hayaaaa...!” Bu Keng Cu terkejut dan cepat ia memutar tubuh untuk menghindarkan dua serangan
berbahaya ini. Akan tetapi siapa duga baru saja tubuhnya terputar, sebuah tendangan tepat mengenai
pantatnya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Tepuk sorak riuh-rendah menyambut kemenangan Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis pengikut
kaum sesat menjadi pucat wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan diri sebagai utusan Bu-tek Siulam
itu ternyata hanya sebuah gentong kosong belaka, kalah oleh Ciam-lokai yang tua dan kurus kering!
Pada saat itu, di antara riuh-rendahnya para pengemis yang menjagoi Ciam-lokai bersorak-sorak,
berkelebat bayangan Bu Liang Cu, dan begitu berhadapan dengan Ciam-lokai, ia langsung mengirim
serangan bertubi-tubi, mengeluarkan jurus-jurus paling lihai dari Im-yang-kun. Kiranya tosu yang menjadi
suheng Bu Keng Cu ini tadi juga menyaksikan keanehan terjadi dalam pertandingan itu.
Ia yakin bahwa Im-yang-kun mengatasi ilmu silat Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada saat-saat tertentu
jembel itu merubah gerakannya dan begitu tepat mengisi lowongan yang melemahkan pertahanannya?
Oleh karena inilah, dengan hati penasaran ia lalu maju dan langsung menggunakan jurus-jurus Im-yangkun
untuk mencoba apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan ahli ilmu silat Im-yang-kun. Hebat bukan
main terjangan Bu Liang Cu karena ia lebih pandai dari pada sute-nya!
Karena kejadian ini tak terduga-duga dan tiba-tiba, maka Ciam-lokai tak dapat mengharapkan bisikanbisikan
ketuanya, maka cepat ia memutar kedua tongkat dan meloncat ke belakang. Akan tetapi karena
perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan serangan tangan kanan Bu Liang Cu, ia kurang cepat
menghindar ketika tangan kiri tosu itu bergerak cepat sekali menyambar pergelangan tangan kanannya.
Jari-jari tosu itu sudah menyentuh kulit lengannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciam-lokai terkejut, cepat ia menarik tangannya. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah lagi tongkatnya yang
di tangan kanan terampas sedangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang! Keadaannya berbahaya
sekali karena jika tosu itu melanjutkan serangannya, celakalah ia!
“Heh, tosu bau, jangan main curang kau!” Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju menghadapi Bu Liang
Cu. “Lawanmu adalah aku karena rekanku Ciam-lokai sudah mengalahkan kawanmu!”
Tosu itu berdongak dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Siapa yang curang? Sute-ku tidak pernah kalah
oleh jembel busuk itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu!”
“Benar! Mari kita hadapi mereka, Suheng. Hayo majulah dan biar kita lihat bersama apakah benar kalian
berdua dapat mengalahkan kami!” Bu Keng Cu berseru dan ia pun sudah melompat lagi ke atas panggung,
berdiri dekat suheng-nya. Ia memang tidak terluka. Kini kedua orang tosu itu berdiri berdampingan dan
memasang kuda-kuda Im-yang-kun. Ilmu silat Im-yang-kun ini memang hebat, akan tetapi lebih ampuh lagi
kalau dimainkan oleh dua orang.
Gak-lokai yang tidak tahu akan bantuan yang dilakukan diam-diam oleh Suling Emas kepada Ciam-lokai
menjadi marah sekali. “Saudaraku Ciam, mari kita hajar dua orang tosu kerbau ini!”
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus Suling Emas. “Tahan dulu Gak-lokai dan Ciam-lokai, kalian
mundurlah. Aku hendak bicara dengan mereka.”
Karena ketua mereka yang memberi perintah, biar pun ogah-ogahan, kedua orang kakek pengemis itu lalu
mundur. Suling Emas lalu melangkah maju dengan langkah perlahan dan tenang, menghadapi dua orang
tosu yang sudah siap-siap untuk mengadu nyawa. Biar pun ia menyamar sebagai ketua kai-pang, namun
Suling Emas tak dapat menyembunyikan sikapnya yang halus dan sopan terhadap golongan pendeta.
Maka ia segera menjura dengan hormat dan berkata.
“Ji-wi Toyu, sudah lama sekali saya mendengar tentang Im-yang-kauw sebagai sebuah perkumpulan
agama yang besar di perbatasan barat, bahkan pernah saya mendapat kehormatan beramah-tamah
dengan Kauwcu (Ketua Agama) Sin-hong Locianpwe. Menurut pendapat saya, jalan hidup yang ditempuh
golongan Ji-wi (Tuan Berdua) dan golongan kai-pang tidaklah banyak bedanya. Namun dalam urusan
partai masing-masing, tidak selayaknya kalau kedua pihak saling mencampuri. Harap Ji-wi sudi mendengar
alasanku ini dan persilakan Ji-wi menghentikan semua kesalah-pahaman ini.”
Dua orang tosu itu saling pandang, kemudian Bu Liang Cu yang beralis putih segera berkata, lagaknya
angkuh, “Yu Kang Tianglo, bagaimana pinto berdua dapat bicara dengan orang yang hanya mengaku
bernama Yu Kang Tianglo akan tetapi yang menutupi mukanya?”
Suling Emas menarik napas panjang. “Sesungguhnya saya sudah mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi mendengar betapa kai-pang-kai-pang dicemarkan oleh
penyelundup-penyelundup sesat, terpaksa saya turun tangan. Hanya karena kepentingan kai-pang saya
turun tangan, bukan kepentingan pribadi, maka apa perlunya saya memperkenalkan muka? Harap Ji-wi
Toyu suka memandang perkenalan saya dengan Sin-hong Locianpwe Kauwcu dari Im-yang-kauw dan
menghabiskan permusuhan yang tiada sebabnya ini.”
Tiba-tiba kedua orang tosu itu tertawa mengejek dan kini Bu Keng Cu yang berkata dengan suara nyaring,
agaknya dengan maksud agar didengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.
“Ha-ha! Perkenalanmu dengan Sinhong Locianpwe tak perlu kau sombongkan! Kakek itu sudah tewas
karena kesalahan terhadap Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Kini Locianpwe Bu-tek Siu-lam yang memimpin
kami, bahkan beliau pula yang akan memimpin semua kai-pang di dunia. Engkau ini berani lancang tangan
membunuh lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi bengcu di sini
tanpa perkenan Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sungguh tak tahu diri!”
Suling Emas adalah orang yang sudah matang jiwanya. Kesabarannya sudah sampai pada dasar batinnya,
maka ia pun tidak marah mendengar ucapan yang sombong ini. Namun ia terkejut juga mendengar bahwa
Ketua Im-yang-kauw yang memang pernah dikenalnya itu tewas di tangan Bu-tek Siu-lam. Ia tahu bahwa
ketua Im-yang-kauw itu seorang pendeta yang suci, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Ketua Imyang-
kauw itu sampai terbunuh oleh Bu-tek Siu-lam, terbuktilah berita bahwa Bu-tek Siu-lam memiliki
kepandaian yang hebat. Jelas bahwa tokoh ini merupakan ancaman di dunia.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, Ji-wi Toyu tak dapat menerima kata-kata halus. Masa bodoh dan terserahlah, karena saya sebagai
orang Khong-sim Kai-pang, tetap hendak mempertahankan kai-pang dari tangan-tangan jahat, juga
menghukum mereka yang menyeleweng dari pada peraturan kai-pang.”
“Bagus. Tadi dengan Coam-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) kau telah membantu kakek jembel dan
mengalahkan Sute-ku secara curang. Sekarang lawanlah kami berdua secara berterang. Hendak kami lihat
apakah kau pantas menjadi ketua Khong-sim Kai-pang.”
Dengan sikap tenang Suling Emas menjawab. “Ji-wi Toyu, silakan maju. Saya siap menerima pengajaran!”
Suling Emas maklum bahwa dua orang tosu ini pun merupakan penyeleweng-penyeleweng dari pada
agama mereka, maka ia menganggap perlu memberi hajaran kepada mereka, selain demi kebaikan
mereka sendiri, juga agar menundukkan sikap para pengemis yang hendak menyeleweng mengandalkan
pengaruh luar.
Pernah ia bertemu dengan Ketua Im-yang-kauw yang berjuluk Sin-hong (Angin Sakti), dan mereka telah
bertukar pendapat tentang ilmu silat. Ketua Im-yang-kauw itu merasa tunduk akan pengertian Suling Emas,
bahkan berterima kasih sekali karena mendapat petunjuk-petunjuk berharga, maka sebagai balas
kebaikan, ketua itu telah memberikan dasar-dasar Im-yang-kun dan minta supaya ditunjuk kesalahankesalahannya.
Karena ini maka tentu Suling Emas sudah mengenal baik dasar gerakan Im-yang-kun
sehingga tadi ia dapat memberi petunjuk kepada Ciam-lokai untuk mengatasi lawan.
Dua orang tosu itu, apa lagi Bu Liang Cu, maklum bahwa ketua kai-pang ini amat lihai. Seorang yang
sudah dapat menguasai ilmu Coam-im-kang, yaitu mengirim suara dari jarak jauh dengan kekuatan
khikang, adalah seorang yang sudah memiliki tenaga sakti yang hebat. Akan tetapi karena mereka berdua
yakin akan kedahsyatan Im-yang-kun yang dimainkan oleh mereka berdua maka mereka tidak menjadi
gentar dan ingin menebus kekalahan yang tadi.
Dari kiri dan kanan, dua orang tosu itu lalu menyerang. Bu Liang Cu menggunakan Im-kang (Tenaga
Lemas) menyerang dari kiri, mengarah lambung dengan pukulan yang amat perlahan dan lambat,
sebaliknya dari kanan Bu Keng Cu sudah menerjang dengan cepat dan kuat sekali, mempergunakan
Yang-kang (Tenaga Kasar). Kehebatan Im-yang-kun ini adalah perubahan dua macam tenaga yang
berlawanan. Dua orang tosu itu dapat sewaktu-waktu merubah tenaga mereka sehingga lawan yang
dikeroyok dua akan menjadi bingung menghadapi penyerangan-penyerangan tenaga yang berlawanan dan
selalu berubah itu.
Suling Emas maklum akan hal ini, sebab itu tentu saja ia sama sekali tidak bingung karenanya. Apa lagi
baru dua orang tosu itu, biar ketuanya sendiri belum mampu menandingi ilmu-ilmunya. Begitu melihat
datangnya serangan dua orang tosu yang berlawanan tenaganya dan dilakukan secara berbareng ini,
Suling Emas sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis. Pukulan dari kiri ke arah lambung dan dari
kanan menuju leher itu diterimanya sambil mengerahkan Iweekang, kedua tangannya bergerak dan
mulutnya berseru, “Pergilah!”
“Desss..., plakkk...! Wuuuuttt...!”
Dua pukulan itu tepat mengenai lambung kiri dan leher kanan Suling Emas, akan tetapi tubuh pendekar
sakti itu bergoyang sedikit pun tidak, sebaliknya kedua tangannya sudah menerkam baju kedua lawan
bagian dada dan sekali ia menggerakkan kedua lengan, tubuh dua orang tosu itu terlempar jauh ke bawah
panggung!
Kedua tosu itu kaget setengah mampus. Akan tetapi mereka bersyukur sekali bahwa lawan yang sakti itu
masih menaruh kasihan kepada mereka sehingga mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan berdiri
sehingga hanya terhuyung-huyung saja. Kalau terbanting dengan kepala atau badan lebih dahulu,
setidaknya mereka tentu akan babak-belur! Tahulah mereka bahwa ‘Yu Kang Tianglo’ itu benar-benar amat
lihai, maka tanpa banyak cakap lagi mereka berdua lalu ngeloyor pergi secepatnya.
Semua pengemis yang setia bersorak. Sebaliknya mereka yang menyeleweng menjadi pucat dan berlutut
ketakutan. Akan tetapi Suling Emas mengampuni mereka, hanya menyuruh mereka itu mengaku terus
terang akan penyelewengan mereka, mengembalikan semua rampasan kepada yang berhak. Gak-lokai
dan Ciam-lokai membantu Suling Emas meneliti semua bekas penyeleweng, menurunkan kedudukan dan
bahkan membagi-bagi hukuman yang ringan namun cukup meyakinkan hati mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Atas permohonan Gak-lokai dan Ciam-lokai, Suling Emas tinggal di kuil itu sampai beberapa lama untuk
menjaga kalau-kalau golongan sesat datang lagi mengacau.
“Harap Pangcu menaruh kasihan kepada kami semua,” demikian kata Gak-lokai. “Kekalahan pihak sesat
yang tadinya menguasai Khong-sim Kai-pang, tentu takkan diterima begitu saja oleh kawan-kawan mereka.
Di samping itu juga, kemenangan dan kembalinya Pangcu di sini akan membangkitkan semangat bagi para
anggota kai-pang yang lain. Biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk mengundang kai-pang-kai-pang
lain sehingga terdapat kesatuan yang kuat untuk menghadapi gangguan kaum sesat. Setelah Pangcu
memimpin pertemuan itu dan keadaan kita benar-benar kuat, barulah Pangcu dapat meninggalkan kami.”
Suling Emas merasa kasihan dan menyatakan kesanggupannya. Semua pengemis menjadi gembira sekali
dan undangan lalu dikirim. Bendera Khong-sim Kai-pang kini berkibar megah di atas kuil. Di waktu
senggang, Suling Emas menurunkan beberapa ilmu pukulan untuk menyempurnakan kepandaian Gaklokai
dan Ciam-lokai yang ia harapkan akan memimpin Khong-sim Kai-pang kalau ia meninggalkan kaipang
itu. Dua orang kakek itu menjadi girang sekali dan karena mereka itu memang dua orang ahli yang
sudah tahu akan dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dalam beberapa hari saja mereka dapat menguasai
rahasia ilmu pukulan yang diajarkan Suling Emas.
Beberapa hari kemudian, hari yang ditentukan untuk pertemuan para kaipang telah tiba. Semenjak pagi kuil
yang menjadi pusat Khong-sim Kai-pang dikunjungi banyak sekali rombongan pengemis yang dipimpin
ketua masing-masing. Mereka ini datang dari segala penjuru, merupakan kai-pang-kai-pang yang
membawa bendera perkumpulan masing-masing. Ban-hwa Kai-pang dari Sin-yang, Hwa-i Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), Ang-tung Kai-pang (Tongkat Merah) dan masih banyak lagi kaipang
lain yang hadir. Di antaranya malah tampak wakil-wakil dari Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kaipang
yang tampak mencolok dengan pakaian mereka yang bersih dan mentereng!
Tentu saja Suling Emas yang berpandangan tajam itu dapat menduga kai-pang mana yang menyeleweng
dari jalan yang benar. Namun sebagai seorang yang bijaksana, ia memerintahkan Gak-lokai dan Ciamlokai
untuk menerima semua kai-pang itu dengan penghormatan yang sama. Semua bendera kai-pang
yang menjadi tamu dipasang di sekeliling panggung di mana berkibar bendera Khong-sim Kai-pang, dan
para wakil pimpinan kai-pang-kai-pang itu dipersilakan duduk di sebelah kanan panggung, menduduki
kursi-kursi yang berhadapan dengan kursi ketua yang diduduki oleh Suling Emas sendiri. Semua anak
buah partai-partai pengemis itu duduk mengelilingi panggung, ada yang duduk, ada yang berjongkok, ada
pula yang berdiri.
Pada saat itu, di sebelah luar kumpulan pengemis yang mengelilingi panggung itu, terdapat seorang
pengemis muda yang tampan dan seorang gadis cantik. Mereka ini bukan lain adalah Yu Siang Ki dan Kwi
Lan! Wajah Siang Ki agak pucat dan sepasang matanya terbelalak penuh ketegangan. Ia sama sekali tidak
peduli ketika beberapa orang pengemis yang duduknya paling belakang memandang kepadanya dengan
sinar mata penuh kemarahan. Mereka itu adalah pengemis-pengemis baju butut yang tentu saja menjadi
marah melihat Siang Ki yang berpakaian bersih, mengira bahwa pengemis muda ini tentulah golongan para
pengemis aliran baru, yaitu pengemis-pengemis baju bersih yang dipimpin kaum sesat.
Hati Yu Siang Ki terlampau tegang untuk memperhatikan sikap mereka itu. Ia memandang ke atas
panggung, sinar matanya berkilat-kilat ketika ia melihat seorang kakek pengemis bertopi lebar dengan
muka ditutup sapu tangan duduk di atas kursi ketua Khong-sim Kai-pang.
“Siang Ki, kenapa kau tidak maju dan terjang badut tua itu?” tanya Kwi Lan ketika menyaksikan sikap
pemuda teman barunya ini.
Yu Siang Ki menggeleng kepala, lalu menjawab sambil menggerakkan tangan kiri menunjuk ke arah Suling
Emas. “Tidak boleh aku berlaku lancang, Kwi Lan. Memang ketika mendengar dari pengemis-pengemis di
sepanjang jalan bahwa ada orang yang mengaku sebagai ayahku datang merampas kedudukan Ketua
Khong-sim Kai-pang, aku menjadi marah sekali dan berniat untuk membuka kedoknya dan menyerangnya.
Akan tetapi setelah tiba di sini, aku menjadi ragu-ragu. Demi menjaga nama baik Khong-sim Kai-pang, aku
harus bersabar. Menurut cerita mereka itu, orang yang mengaku sebagai ayahku amat aneh dan tinggi
ilmunya, bahkan telah membunuh oknum-oknum jahat yang memegang pimpinan Khong-sim Kai-pang,
bahkan menghukum para anggota yang menyeleweng, juga ia dibantu oleh Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua
tokoh Khong-sim Kai-pang yang dulu menjadi sahabat baik dan pembantu Kakek Yu Jin Tianglo. Aku harus
menyaksikan dulu sepak terjangnya, siapa tahu dia itu seorang tokoh pengemis yang berusaha
menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan oknum-oknum jahat dengan menggunakan nama ayah
untuk mencari wibawa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan mengangguk-angguk. Ia heran mengapa pemuda ini berpikir sedalam itu. Padahal kalau menurut
dia, orang yang memalsukan Yu Kang Tianglo yang sudah meninggal, wajib dikutuk dan dihajar! Coba
seandainya yang menghadapi urusan itu dia sendiri, atau orang-orang seperti Tang Hauw Lam si Berandal
atau Siangkoan Li, tentu takkan menunggu-nunggu dan melihat gelagat. Memang pengemis muda ini lain
lagi sifatnya, hati-hati dan berpandangan luas. Betapa pun juga karena yang dipalsukan namanya adalah
ayah pemuda ini, bukan ayahnya, maka ia pun tinggal diam saja menanti perkembangannya lebih lanjut.
“Orang sesabar dan selemah engkau baru sekali ini kujumpai!” omelnya sambil memandang wajah yang
terlalu tampan untuk menjadi wajah seorang pengemis itu.
Yu Siang Ki juga memandang. Pandang mata mereka bentrok, bertaut sejenak dan pemuda itu tersenyum.
“Sebelum tahu betul apa kehendak orang itu memalsukan nama ayah, bagaimana aku dapat bertindak?
Ayah sendiri memesan agar aku berusaha membela dan membersihkan Khong-sim Kai-pang. Kalau orang
aneh yang memalsukan nama ayah itu bermaksud baik dan membela Khong-sim Kai-pang, andai kata
ayah sendiri masih hidup dan berada di sini, tentu beliau juga tidak akan menghalanginya.”
Kwi Lan tak berkata apa-apa lagi dan hanya menurut ketika pemuda itu mengajaknya memilih tempat di
belakang, dari mana mereka dapat memandang ke atas panggung cukup jelas. Mereka berdua duduk dan
menonton dengan penuh perhatian.
Makin lama makin banyaklah pengemis yang datang memenuhi pekarangan depan kuil yang menjadi
markas Khong-sim Kai-pang itu. Kemudian tampak Gak-lokai dan Ciam-lokai melangkah maju, memberi
hormat kepada Suling Emas, kemudian mereka berdua menjura ke arah belasan orang yang duduk di kursi
kehormatan, yaitu para pimpinan kai-pang-kai-pang lain yang menjadi tamu. Sebagai wakil Khong-sim Kaipang
yang menjadi tuan rumah, Gak-lokai lalu berkata, suaranya lantang dan jelas.
“Saudara sekalian yang kami undang telah sudi datang memenuhi undangan, hal ini amat
menggembirakan karena jelas ternyata bahwa persatuan di antara kai-pang masih erat. Kami mengundang
Saudara sekalian untuk mempererat persatuan ini dan hendak memperkenalkan Saudara tua kami yang
telah puluhan tahun mengasingkan diri dan kini berkenan kembali untuk memimpin kita sekalian, yaitu Yu
Kang Tianglo, Pangcu (Ketua) Khong-sim Kai-pang!”
Tepuk sorak menyambut ucapan ini dan Suling Emas segera bangkit dari tempat duduknya, berdiri dan
menjura ke sekeliling panggung. Melihat tubuh Suling Emas yang tinggi besar dan tegap, sepasang mata di
bawah topi lebar yang tajam berkilat, muka yang bagian bawahnya ditutupi sapu tangan, semua pengemis
memandang dengan bermacam-macam perasaan. Ada yang heran, ada yang kagum, penuh harapan,
curiga dan sebagainya.
Puluhan tahun yang lalu Yu Kang Tianglo muncul untuk membunuh It-gan Kai-ong kemudian melenyapkan
diri kembali. Tak seorang pun di antara para pengemis yang belum mendengar namanya, namun tidak ada
yang pernah melihat mukanya. Kini tokoh besar itu muncul lagi dengan muka tertutup sehingga bermacam
dugaan yang aneh-aneh timbul. Ketika Suling Emas berdiri, keadaan menjadi sunyi dan semua orang
menanti dengan hati berdebar untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Yu Kang Tianglo,
tokoh pengemis yang tak pernah dijumpai orang namun namanya amat terkenal itu.
Dua pasang mata memandang ke arah Suling Emas dengan penuh perhatian dan juga dengan terheranheran
betapa beraninya memalsukan nama orang yang sudah meninggal dunia. Kwi Lan terheran
bercampur marah sedangkan Yu Siang Ki terheran dan ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa
kehendaknya.
“Saudara-saudara para pimpinan dan anggota kai-pang!” Suara Suling Emas lantang dan nyaring, akan
tetapi halus. “Maafkan bahwa saya menutupi muka, karena memang sesungguhnya bukan maksud saya
mencari ketenaran diri dengan kehadiran saya di sini. Sudah semenjak dahulu saya selalu berusaha
menyembunyikan diri dan menjauhkan diri dari urusan dunia. Akan tetapi dua kali saya terpaksa
menampilkan diri. Pertama kali dahulu di waktu It-gan Kai-ong mengotorkan dunia pengemis dengan
kejahatannya, dan sekarang, mendengar betapa dunia pengemis diselundupi kaum sesat, mau tidak mau
saya terpaksa kembali menampilkan diri untuk menegakkan kembali kebenaran dan kebersihan di dunia
pengemis. Terutama sekali Khong-sim Kai-pang yang semenjak mendiang ayah saya dahulu merupakan
kai-pang yang bersih dan gagah ternyata telah diselundupi oknum-oknum jahat yang mengangkat diri
sendiri menjadi pimpinan dan menyelewengkan kai-pang ke jalan sesat. Terpaksa saya turun tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
membasmi mereka. Karena itu, dalam kesempatan ini saya peringatkan kepada saudara-saudara pimpinan
kai-pang lain agar berhati-hati dan bersatu padu untuk menghalau kaum sesat yang hendak mencari
tempat dan menguasai kai-pang.”
“Bagus, bagus.”
“Akur...! Akur...!”
Para pengemis bertepuk sorak. Yu Siang Ki mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kiranya benar seperti
dugaannya. Orang aneh ini sengaja memalsukan nama mendiang ayahnya dengan maksud baik, yaitu
hendak mengandalkan nama ayahnya untuk mempengaruhi kai-pang dan mengajak mereka melawan
kaum sesat. Ia menoleh ke arah Kwi Lan yang juga memandang ke atas panggung dengan mata
terbelalak.
Pada saat itu, Kwi Lan menyentuh tangannya. “Siang Ki, lihat...!”
Yu Siang Ki cepat menengok dan matanya yang tajam masih sempat melihat sinar hitam melayang ke arah
leher dan lambung orang aneh yang memalsukan nama ayahnya itu. Jelas bahwa sinar itu adalah senjata
rahasia yang halus sekali, yaitu jarum-jarum rahasia!
“Celaka!” bisiknya khawatir.
Akan tetapi ia dan Kwi Lan memandang dengan melongo ketika Suling Emas dengan tenang menerima
jarum-jarum itu dengan leher dan lambung, kemudian tangan kirinya seperti mengusir lalat di leher dan
lambungnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hitam melesat dan jarum-jarum itu sudah dilempar
kembali kepada pengirimnya, namun dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat sekali. Terdengar jeritjerit
kesakitan dan dua orang pengemis baju bersih yang berdiri di antara banyak pengemis itu roboh dan
tewas seketika karena leher dan lambung mereka termakan jarum rahasia mereka sendiri!
Hanya para pengemis yang sudah tinggi ilmunya saja menyaksikan gerakan Suling Emas dan maklum apa
yang telah terjadi. Yang tidak begitu tinggi ilmunya terheran-heran dan tidak tahu apa yang terjadi sehingga
keadaan menjadi panik.
Suling Emas mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada semua orang agar tidak menjadi
panik. Kemudian terdengar suaranya lantang. “Harap Saudara semua tenang. Matinya dua orang itu
menjadi peringatan bagi kita bahwa di mana-mana kaum sesat sudah menyelundup sehingga perlu kita
waspada karena mereka berdua itu adalah orang-orang jahat yang berusaha untuk membunuh saya.
Sebaliknya pihak kaum sesat juga telah mendapat peringatan!” Suara ini tegas dan penuh wibawa.
“Mereka itu pengemis baju bersih! Basmi para pengemis baju bersih yang jahat!” Terdengar teriakanteriakan
marah.
Kembali Suling Emas mengangkat tangannya. “Dengarlah baik-baik! Menilai orang bukan dari pakaian
bersih atau kotor! Menilai orang harus dari sepak terjangnya, dari perbuatannya! Pengemis memang orang
miskin. Sedapat mungkin orang harus berpakaian bersih dan baik, akan tetapi kalau tidak ada, apa boleh
buat, kotor pakaiannya asal tidak kotor hati dan pikirannya. Orang-orang yang pernah menyeleweng dari
pada kebenaran bukan sekali-kali berarti bahwa mereka itu selama hidupnya menjadi orang-orang jahat
yang harus dikutuk! Karena itu kami anjurkan kepada saudara-saudara kaum kai-pang yang pernah
menyeleweng, kembalilah ke jalan benar dan bertobatlah. Apa bila kalian tidak insyaf, kami kaum kai-pang
yang sudah bersatu akan membasmi kalian!”
Kembali tepuk sorak menyambut ucapan yang lantang dan penuh semangat dari Suling Emas ini, karena
semua orang menyetujui pendiriannya. Akan tetapi tentu saja tidak termasuk mereka yang memang hadir
dengan maksud menentang, seperti rombongan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dua kai-pang
ini memang sudah seluruhnya dikuasai kaum sesat, bahkan dua kai-pang ini pula yang belum lama ini
mengadakan pertemuan di dunia kaum sesat untuk membicarakan soal pemilihan bengcu golongan hitam.
Oleh karena itu, kedatangan dua rombongan ini tentu saja bertujuan menyelidik dan juga untuk
menghalangi pergerakan kaum pengemis yang dipimpin oleh Yu Kang Tianglo. Bahkan dua orang
pengemis yang tewas karena senjata jarum mereka dikembalikan oleh Suling Emas tadi adalah anggotaanggota
Hek-coa Kai-pang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di antara tepuk sorak gemuruh itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mengatasi kegaduhan itu. “Siapa
di antara kita yang mampu menandingi Locianpwe Bu-tek Siu-lam?”
Pernyataan nyaring yang entah dikeluarkan oleh siapa ini menusuk telinga semua orang dan seketika
kegaduhan terhenti, tak seorang pun berani mengeluarkan suara lagi. Pada saat itu dua orang kakek
pengemis sudah melompat bangun dari barisan kursi pimpinan kai-pang yang menjadi tamu. Mereka ini
lalu melangkah maju ke tengah panggung, menghadapi semua pengemis yang hadir.
Keduanya adalah kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, berpakaian sebagai pengemis akan tetapi
pakaian mereka bersih dan baru yang sengaja ditambal-tambal. Mereka ini memegang tongkat panjang
dan melihat betapa pada baju bagian dada mereka terdapat gambar garuda dan ular, maka mudah diduga
bahwa mereka tentulah tokoh-tokoh dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dan memang betul
sekali. Kakek yang baju di dadanya tergambar garuda hitam adalah seorang tokoh Hek-peng Kai-pang,
sedangkan yang dadanya tergambar ular hitam adalah seorang tokoh Hek-coa Kai-pang.
Sejak tadi, kehadiran rombongan Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang sudah merupakan hal yang
menimbulkan tegang di hati para pengemis karena mereka semua itu tahu dengan jelas siapakah mereka
ini. Boleh dibilang pada waktu itu pelopor para kai-pang yang menggabung dengan kaum sesat adalah dua
buah perkumpulan inilah. Maka semua orang sudah dapat menduga bahwa munculnya tokoh-tokoh dua
kai-pang ini tentulah mengandung maksud kurang baik. Kini melihat dua orang kakek ini muncul di
panggung, semua orang diam dan memandang penuh perhatian.
Kakek yang dadanya bergambar ular hitam itu tubuhnya kecil tinggi, kepalanya besar. Setelah memandang
ke sekeliling ia lalu berkata, “Kami adalah wakil dari Hek-coa Kai-pang. Mendengar uraian pangcu dari
Khong-sim Kai-pang tadi, kami setuju sekali. Memang di antara kai-pang harus diadakan persatuan erat
untuk menghadapi musuh-musuh kita! Dan untuk memperkuat para kai-pang kita harus memilih seorang
pemimpin yang cakap. Kami dari pihak Hek-coa Kai-pang dan juga saudara-saudara kita dari Hek-peng
Kai-pang dalam pertemuan orang-orang gagah telah bersepakat untuk mengangkat Locianpwe Bu-tek Siulam
sebagai bengcu kita.”
“Benar apa yang diucapkan oleh Saudara dari Hek-coa Kai-pang ini!” kata kakek ke dua yang dadanya
bergambar garuda hitam. Kakek ini mukanya merah dan matanya sipit sampai hampir terpejam selalu, tapi
mulutnya lebar dan bibirnya tebal sekali. “Hanya di bawah bimbingan seorang Locianpwe yang sakti seperti
Bu-tek Siu-lam saja maka derajat golongan kita dapat terangkat. Kami rasa Yu Kang Tianglo dari Khongsim
Kai-pang cukup bijaksana untuk menyadari hal ini dan menyetujui pengangkatan Locianpwe Bu-tek
Siu-lam sebagai pimpinan tertinggi semua kai-pang!”
Para pengemis menyambut ucapan dua orang kakek itu dengan berbisik. Dari rombongan pimpinan kaipang
sudah meloncat maju lagi dua orang kakek pengemis berpakaian butut. Seorang di antara mereka
berteriak.
“Apa? Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu kita? Setelah ia membunuh secara keji dua ratus orang golongan
kita?”
Yang berteriak ini adalah Ketua Ang-tung Kai-pang, seorang kakek bertubuh kecil pendek akan tetapi
bermata lebar. Ia memutar-mutar tongkat merahnya dengan sikap marah sekali. Ketika Bu-tek Siu-lam
melakukan pembunuhan terhadap dua ratus orang pengemis, belasan orang pengemis anak buahnya ikut
terbunuh, maka tentu saja ia marah-marah mendengar betapa dua orang kakek itu hendak mengangkat
Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu.
“Cocok! Tidak sudi kami menerima tokoh jahat itu menjadi bengcu!” Teriak pula pengemis ke dua yang
sudah meloncat maju. Dia ini adalah wakil dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Laksaan
Bunga).
“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kaipang memang perkumpulan yang menyeleweng dan bersekongkol
dengan kaum sesat!” Teriakan-teriakan itu terdengar saling bantah dan suasana menjadi berisik sekali
melebihi pasar.
“Yang dibunuh adalah pengemis-pengemis jahat!”
“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang menyenangkan hidup anak buahnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang pro kepada tokoh yang diusulkan menjadi bengcu itu.
“Basmi penyeleweng-penyeleweng!”
“Basmi Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang!”
“Bu-tek Siu-lam musuh besar kaipang!”
Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang anti sehingga keadaan menjadi ribut dan tegang karena setiap
saat dapat timbul perang saudara antara para pengemis ini.
Gak-lokai dan Ciam-lokai menjadi pucat wajahnya dan mereka sudah hendak bergerak, akan tetapi Suling
Emas mencegah dan berkata halus. “Biarkan saja. Malah lebih baik. Dengan begini kita dapat melihat
siapakah di antara mereka yang menyeleweng. Kalau mereka sudah menyatakan pendapat, baru kita turun
tangan melakukan pembersihan.”
Sementara itu, di atas panggung sudah terjadi perdebatan yang makin lama menjadi saling maki antara
tujuh orang pimpinan pengemis baju bersih yang dikepalai oleh dua orang dari Hek-peng Kai-pang dan
Hek-coa Kai-pang, dan pihak lawan mereka adalah sebelas orang pimpinan dari kai-pang-kai-pang lain
yang rata-rata berpakaian butut. Suling Emas hanya duduk di atas kursi sambil menatap tajam, meneliti
mereka yang pro dan mereka yang anti terhadap Bu-tek Siu-lam.
Juga Kwi Lan dan terutama sekali Yu Siang Ki, memandang dengan hati tegang dan tertarik. Diam-diam
Yu Siang Ki terheran menyaksikan orang aneh yang memalsukan nama ayahnya. Ia masih belum dapat
menyelami isi hati orang itu. Kalau benar tindakannya itu demi perbaikan dan pembersihan kai-pang,
kenapa kini ia diam saja melihat keadaan kacau-balau itu? Pihak manakah yang dibelanya?
Suling Emas yang duduk tak bergerak di atas kursinya dapat melihat betapa semua pengemis yang pro
kepada Bu-tek Siu-lam dipimpin oleh dua orang kakek Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dilihat
dari sikap mereka, memang agaknya dua orang kakek ini sudah mengaturnya terlebih dahulu, sengaja
untuk mengacaukan pertemuan ini dan bahkan kini tampak olehnya betapa rombongan pengemis yang
duduk di sebelah timur, yang jumlahnya banyak, adalah anak buah mereka yang diam-diam sudah siap
untuk turun tangan jika terjadi perkelahian!
Yang menyeleweng secara sadar hanya beberapa orang saja, pikirnya. Sebagian besar di antara para
pengemis itu hanya ikut-ikutan karena tertarik oleh tingkat hidup yang lebih baik dan kemewahan. Kalau
sampai terjadi pertempuran, tentu akan banyak roboh korban di kedua pihak. Suling Emas tidak
menghendaki hal ini terjadi, maka ia sudah siap untuk menegur mereka dan merobohkan para pimpinan
pengacau.
Orang-orang yang melakukan penyelewengan secara ikut-ikutan seperti mereka itu, sekali pimpinannya
roboh, tentu akan mudah diinsyafkan dan diajak kembali ke jalan benar. Yang menjadi sumber
penyelewengan para anggota kai-pang ini sebetulnya adalah tokoh yang bernama Bu-tek Siu-lam. Karena
munculnya tokoh sakti yang sudah berhasil membunuh ketua Im-yang-kauw itulah maka para pengemis
yang lemah batinnya mudah dibawa menyeleweng, karena ada yang mereka andalkan.
Akan tetapi dalam keadaan ketegangan tengah memuncak itu, sebelum Suling Emas sempat turun tangan
atau membiarkan Gak-lokai dan Ciam-lokai mengurus keributan, tiba-tiba terdengar suara tertawa
bergelak. Suara ketawa ini datangnya dari... udara! Begitu nyaring dan hebat sehingga seakan-akan
menggetarkan papan panggung.
“Hua-ha-ha-ha! Jembel-jembel busuk ini seperti sekumpulan anjing berebut tulang!”
“Heh-heh-heh! Tidak usah berebut pangkat, kamilah yang akan menjadi raja-raja kalian! Heh-heh!”
“Hua-ha-ha! Benar sekali! Aku ingin menjadi raja pengemis!”
Bagaikan dua ekor burung rajawali, dari atas menyambar turun tubuh dua orang kakek yang mengerikan
keadaannya. Yang seorang bertubuh kurus bermuka putih seperti orang kehabisan darah, kepalanya botak
dunia-kangouw.blogspot.com
dan rambutnya jarang seperti sutera tua. Orang ke dua bertubuh besar kuat dan mukanya merah sekali,
muka yang ditumbuhi rambut sehingga muka itu menyerupai muka singa.
Bukan main hebatnya gerakan kedua orang kakek yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya turun ke atas
papan panggung, sambil tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua tangan ke sekeliling dan... tubuh para
pimpinan pengemis yang tadinya berhadapan dan cekcok saling maki itu seperti layang-layang putus
talinya, terlempar ke bawah panggung! Dan hebatnya, kedua orang kakek itu tidak pilih-pilih orang, siapa
saja yang tadi saling maki memenuhi panggung itu mereka lemparkan turun.
Mereka itu berjumlah belasan orang, hampir dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan kai-pang yang
memiliki kepandaian tinggi. Ketika dua orang kakek aneh ini muncul dan menyergap, belasan orang itu
sudah berusaha menerjang dan memukul roboh dua orang kakek pengacau, bahkan banyak di antara
mereka yang menggunakan tongkat besi menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkattongkat
itu mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama sekali tidak dirasakannya, dan tanpa
dapat dicegah lagi semua orang itu telah mereka lempar-lemparkan dengan cara yang luar biasa
mudahnya. Dalam waktu beberapa menit saja, delapan belas orang pimpinan para pengemis baju bersih
dan baju butut itu telah dilempar turun dari atas panggung!
“Dua orang iblis dari mana berani mengacau pertemuan Khong-sim Kai-pang?” Teriakan ini keluar dari
mulut Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan menerjang dengan tongkat mereka.
Suling Emas terlampau heran dan kaget menyaksikan munculnya dua orang kakek luar biasa itu sehingga
ia tidak sempat mencegah majunya Gak-lokai dan Ciam-lokai. Dengan muka berubah Suling Emas bangkit
dari kursinya, memandang dengan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri
bahwa dua orang kakek yang muncul itu bukan lain adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua
orang kakek yang sakti itu tiba-tiba saja muncul di situ. Apakah kehendaknya? Benarkah mereka
menghendaki menjadi raja pengemis?
Teringatlah Suling Emas pada pertemuannya dengan kedua orang tokoh ini puluhan tahun yang lalu.
Ketika itu pun dua orang kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi raja di Khitan (baca cerita CINTA
BERNODA DARAH). Hanya dengan susah payah, setelah dibantu Lin Lin (Ratu Yalina di Khitan), Liu
Hwee puteri Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian Cinjin tokoh Beng-kauw, ia berhasil mengusir dua orang
kakek itu.
Kini secara tiba-tiba dan tak terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu muncul telah
mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat bahwa mereka berdua itu tidak
memilih bulu, merobohkan semua pengemis baik yang berpakaian butut mau pun yang bersih, jelas bahwa
mereka ini bukan penggerak kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak menurutkan kata
hati mereka sendiri yang aneh luar biasa!
Terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat sekali. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh
Khong-sim Kai-pang yang sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, apa lagi dalam beberapa hari ini mereka telah
mendapat petunjuk dari Suling Emas, maka tentu saja terjangan mereka itu amat hebat. Akan tetapi,
dengan gerakan yang tenang sekali, dua orang kakek aneh di atas panggung itu menggeser kaki dan
terjangan kedua lokai itu hanya mengenai angin belaka.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Makin banyak muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah, keroyoklah
kami, ha-haha!” seru Lam-kek Sian-ong si Muka Merah.
“Bagus sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi dengan enak!”
Dua orang kakek itu terkekeh-kekeh dan menghadapi terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai seenaknya saja,
dengan tangan kosong. Si Kakek Muka Merah menghadapi Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih
menghadapi Gak-lokai. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh yang berwatak luar biasa. Makin
tua makin gila dan sejak dahulu mereka amat doyan berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih
menggembirakan hati mereka melebihi perkelahian yang ramai.
Melihat terjangan dua orang pengemis bertongkat itu, mereka sudah bergembira karena mengira tentu
akan menghadapi lawan tangguh karena mereka pun maklum bahwa di dunia pengemis terdapat banyak
orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi mereka kecewa sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dua
orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali bukan tandingan mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ho-ha-ha, kiranya jembel busuk tidak ada harganya!” Lam-kek Sian-ong si Muka Merah terbahak-bahak
dan pada saat Ciam-lokai memukulkan tongkatnya ke arah dada, ia menyambut dengan kepalan
tangannya.

Share:
cersil...
Comments
0 Comments