Jumat, 16 Juni 2017

Cerita Silat KPH Istana Pulau Es 4

Cerita Silat KPH Istana Pulau Es 4
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat KPH Istana Pulau Es 4
Orang itu meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. “Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke
sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?”
Siauw Bwee menjebirkan bibirnya. “Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa
berada di sini dan beraksi sebagai mayat?”
Sejenak laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan
menghela napas. “Sukar dipercaya... akan tetapi... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri bahwa
kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau dapat mengakali Liong Ki
Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan dibawa ke sini?”
“Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan
napas dan memindahkan denyut perjalanan darah.”
Mata orang itu terbelalak. “Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?”
“Jangan terlalu memuji, Sobat.” Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa
‘senasib’. “Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan berpura-pura mati.”
“Aku lain lagi. Aku memang hampir mati ketika dibawa ke sini... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku
menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan mengapa Nona
menyelundup masuk seperti ini?”
Siauw Bwee maklum bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat
menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan
penyelidikan sendiri. “Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena hendak menolong
seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap
melanggar wilayah mereka.”
Orang itu mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah,
dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki satu
dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua
saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran
hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya.
Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu, juga masingmasing
mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk
menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak,
maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu ilmu.
Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki
buntung dan kaum lengan buntung yang saling bermusuhan.”
“Akan tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan
orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
“Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!”
Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. “Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?”
Orang itu mengangguk. “Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki
atau lengannya.”
“Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?”
“Memang banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal,
maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal
dunia-kangouw.blogspot.com
diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan
kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam goa-goa batu karang. Kaum kaki buntung ini
diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara
seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan itu. Ada
pun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki
Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan
setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. “Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan
tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung. Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki
buntung dan berada di sini?”
”Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le
adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk
menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena hanya dengan
mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan
musuh keturunan mereka ini.”
“Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?”
Cia Cen Thok menghela napas panjang. “Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang
mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para
keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada
habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya.
Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang
luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi karena kaki mereka hanya sebuah, telah
menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benarbenar
amat hebat.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk. “Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh.”
“Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum
lengan buntung untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan
tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka
mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini.”
“Tiga tahun?” Siauw Bwee bergidik.
“Ya, tiga tahun kurang lebih.”
“Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat
mereka!”
Cia Cen Thok memandang kagum. “Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biar pun aku percaya bahwa
engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia
gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan
selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jagojago
berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir setingkat
dengan kepandaian Si Ketua sendiri.”
“Berapakah jumlah mereka?”
“Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh
orang.”
“Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Hui-eng Liem Hok Sun itu.”
“Apamukah dia itu, Nona?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm... bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar,
juga dia murid Gobi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang
yang menjadi tawanan di sini.”
“Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan
nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kau lakukan ini.”
Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan beruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara
gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan,
yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera
menyerahkan pedangnya sambil berkata,
“Nona, kau pergunakan pedang ini. Mari kita menerjang ke luar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya
dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!” Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan
meloncat ke belakang seperti diserang ular. “Dia... eh, dia... siapa ini...?”
“Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa
bebas?”
Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa, “Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah,
ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan,
kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa
mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya
engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang ke luar
sebelum terlambat!”
Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat
hidup itu mengangguk-angguk mengerti. “Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!”
“Eh, kau mengenal aku?”
“Aku yang memberitahukan namamu kepadanya,” kata Siauw Bwee.
“Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri..., ohhh, sekarang
aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar.
Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari ke luar?”
Cia Cen Thok mengangguk. “Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan.”
Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat beruang itu sudah menggeletak
dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena
menganggap beruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia diam saja dan
terus berlari ke luar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.
Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat ke luar empat orang berkaki
buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.
Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh
tenaga sinkang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun
kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang
penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis
dan orang kedua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.
“Trakk!” Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian
pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!” Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka
bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua orang
pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!
“Hayo cepat keluar!” Siauw Bwee berkata.
Kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah
dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang
naik dan menerobos ke luar dari lubang kecil yang merupakan ‘pintu kamar’ bangunan setengah bundar di
atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona
itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki
buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia
Cen Thok, biar pun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang, ginkang, mau pun ilmu silat,
namun gerakan tangan mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.
Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini memang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan
membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka
gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha
merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sinkang. Karena inilah maka dia
segera dikurung dan didesak hebat.
Ada pun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan
tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si
Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan
tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat, sungguh pun cukup mendatangkan
rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid
lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah
bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.
“Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!” teriak Siauw Bwee sambil
berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan.
Hok Sun bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun lalu
meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee.
Dengan cara ini mereka berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
“Awas...!” Siauw Bwee berbisik, “aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus
cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka...!”
“Ahhh, mana bisa...?” Hok Sun menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang
berbisik, pemuda itu bicara nyaring, “Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri dan
meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para....”
Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja
menggerakkan pinggul.
“Auhhh...! Apakah pinggulmu dari baja, Nona?” Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam
dari belakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak sempat menghindar ketika ada tongkat
memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka
ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.
“Aihhh...!” Hok Sun terhuyung, akan tetapi hantaman tongkat itu luput. “Bagaimana sih engkau ini, Nona?
Kawan ataukah lawan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bodoh!” Siauw Bwee berbisik gemas. “Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan
diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!” Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke atas ketika
Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan tenaga yang hebat bukan main.
Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk
melarikan diri. Diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee.
Setelah Si Dogol itu terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya
sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar pedangnya. Dari dalam
gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga
dahsyat dari telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang
terjengkang, akan tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw Bwee
memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah dikepung enam orang kaki
buntung! Siauw Bwee gemas sekali.
Tentu Si Dogol itu masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu terus, Hok
Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok
Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai
ketika sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki
bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka berdiri terbelalak seperti arca
dengan muka pucat.
Siauw Bwee tersenyum geli dan hatinya lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan
diri, menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam tak bergerak. Tentu saja
anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati melihat dan mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi
mayat di kamar mayat, kini tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk!
Ketika melihat Siauw Bwee, mereka tidak begitu kaget dan heran karena mereka segera mengerti bahwa
dara perkasa itu sebetulnya belum mati ketika tadi dimasukkan ke kamar jenazah. Akan tetapi berbeda lagi
dengan Cia Cen Thok yang sudah tiga tahun menjadi mayat, dan dahulu mereka ikut pula mengeroyok dan
membunuh orang ini. Dan pakaian Cia Cen Thok yang hanya berupa cawat itu menambah keseraman.
Setelah melihat dua orang itu jauh dan lenyap bayangannya, Siauw Bwee tertawa nyaring. Pedangnya
dilempar ke atas tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali. Selagi semua orang
berdongak dan mengikuti gerakan luar biasa itu, tubuh Siauw Bwee telah lari jauh dan dia menyusul ke
arah larinya Hok Sun dan Cia Cen Thok. Orang-orang berkaki buntung mengejar cepat, namun mereka itu
bukanlah tandingan Siauw Bwee dalam hal ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja tubuh dan bayangan
Siauw Bwee telah lenyap dari pandang mata mereka.
Tak lama kemudian Siauw Bwee telah dapat mengejar Hok Sun dan Cen Thok. Dia heran melihat dua
orang itu berhenti dan kelihatan bingung. “Kenapa kalian berhenti di sini?” Siauw Bwee menegur.
“Wah, celaka, Lihiap!” Kini Hok Sun yang amat kagum akan kelihaian Siauw Bwee tidak segan-segan
menyebut lihiap (pendekar wanita), “Semua jalan ke luar sudah dihadang setan-setan buntung itu!”
Siauw Bwee memandang kepada Cen Thok dan bekas mayat hidup ini mengangguk.
“Memang benar, Lihiap. Jalan menuju ke tempat tinggal kaum lengan buntung sudah dihadang semua dan
penuh perangkap dan jerat yang dipasang mereka. Satu-satunya jalan hanya melalui rawa, daerah yang
dianggap berbahaya dan tidak pernah ada yang berani melalui tempat itu. Aku sendiri sama sekali tidak
mengenal daerah itu, Lihiap.” Ucapan terakhir ini seolah-olah minta keputusan dan nasehat Siauw Bwee
yang biar pun paling muda namun mereka anggap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukan dan
tingkatnya dari pada mereka.
“Kalau begitu, kita melalui rawa!” kata Siauw Bwee dengan suara tetap, ”Bagaimana pun juga kita harus
dapat keluar dari daerah berbahaya ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik, kalau begitu marilah ikut bersamaku!” Cen Thok berkata dan mendahului lari. Hok Sun dan Siauw
Bwee juga meloncat dan lari mengikuti orang bercawat itu. Tak lama kemudian mereka tibalah di daerah
yang penuh rawa, daerah luas dan mati.
“Ke mana jalannya?” tanya Siauw Bwee, agak ngeri juga menyaksikan daerah luas dan mati, rawa yang
seolah-olah tanpa tepi sehingga amat mengerikan keadaannya.
“Aku sendiri pun tidak tahu, Lihiap. Kita harus mencari jalan, akan tetapi hati-hatilah. Rawa ini kabarnya
berbahaya sekali, banyak terdapat bagian-bagian yang pada permukaannya kelihatan rumput dan tanah,
akan tetapi di bawahnya adalah lumpur yang menyedot dan ada kalanya air amat dalam.”
Siauw Bwee yang mengandalkan ginkang-nya segera mengambil keputusan, “Biarlah aku mencari jalan.
Dengan keringanan tubuh, kiranya aku tidak akan terancam bahaya.”
Tanpa menanti jawaban ia lalu mulai menyeberangi rawa, memilih bagian yang cukup tebal dan kuat.
Kalau kakinya salah injak bagian yang tipis, sebelum ia terjeblos ia sudah dapat meloncat lagi. Melihat ini,
dua orang itu selain merasa kagum juga ngeri karena kalau kurang tinggi ilmu ginkang-nya, tentu sekali
terjeblos akan berarti bahaya maut!
Matahari telah condong ke barat dan mereka masih belum menemukan jalan ke luar dari daerah itu karena
jalan penyeberangan rawa yang mereka tempuh membelak-belok harus memilih bagian yang aman.
Tiba-tiba Hok Sun berteriak, “Aihh, apa itu...?”
Dua orang temannya menengok dan berdongak memandang ke atas, arah yang ditunjuk oleh Hok Sun.
Tampak awan hitam memenuhi udara, akan tetapi jelas bukan awan yang bergerak terbawa angin karena
gerakan awan itu cepat sekali.
“Burung-burung...!” Siauw Bwee berseru ngeri karena belum pernah ia melihat burung-burung terbang
berkelompok sebanyak itu sehingga merupakan awan hitam yang bergerak cepat.
“Eh, dia ke sini...!” Cen Thok berseru kaget.
“Mereka meluncur turun...!” Hok Sun berteriak pula.
Benar saja. Sekumpulan burung itu seolah-olah menerima pertanda rahasia dan mereka kini meluncur
turun ke arah tiga orang ini dan segera mereka diserang oleh ratusan ekor burung elang!
Tiga orang ini menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ribuan ekor burung di tengah rawa yang amat
berbahaya itu. Hok Sun menggerak-gerakkan kedua tangannya menangkis dan menghantam burungburung
yang menyerangnya. Juga Cen Thok sibuk membela diri dan membunuhi burung-burung yang tak
terhitung banyaknya. Namun mereka ini kewalahan, bingung dan panik, apa lagi setelah kulit-kulit tangan
mereka mulai berdarah oleh patukan-patukan burung yang kuat itu. Mereka bertanding melawan keroyokan
burung-burung sambil berteriak-teriak.
Tak lama kemudian Siauw Bwee terpisah dari mereka. Dara perkasa ini pun repot menghadapi
pengeroyokan binatang-binatang yang kelihatannya marah, haus darah dan buas itu. Sampokansampokan
kedua tangan dara ini sekaligus membunuhi banyak burung, akan tetapi binatang-binatang itu
sungguh ganas. Mati lima datang sepuluh, mati sepuluh datang dua puluh.
Kepanikan menyerang hati Siauw Bwee. Dia merasa jijik dan ngeri sekali karena para pengeroyoknya ini
seperti bukan burung-burung biasa, begitu nekat dan agaknya mereka kelaparan semua. Bajunya mulai
robek-robek, bahkan pundak dan kedua lengannya mulai berdarah. Serangan datangnya seperti hujan,
sukar untuk dihindarkan semua. Dia tidak lagi dapat memperhatikan dua orang temannya dan teriakanteriakan
mereka sudah tidak terdengar lagi karena mereka saling berpisah makin jauh setelah Siauw Bwee
mulai berloncatan untuk menghindarkan burung-burung itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia menggunakan ginkang-nya, meloncat tinggi dan jauh dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi
burung-burung itu tetap mengejarnya. Sampai jauh Siauw Bwee melawan sambil berloncatan menjauhi dan
kemarahannya timbul sehingga ketika dia menggerakkan kedua tangan, makin banyaklah burung-burung
itu menjadi bangkai, memenuhi rawa.
Entah berapa jam lamanya Siauw Bwee bertanding melawan burung-burung itu, akan tetapi kini matahari
sudah makin doyong ke barat dan sinarnya mulai menyuram. Entah berapa ratus ekor burung telah
dibunuhnya. Kepalanya menjadi pening oleh suara burung yang menjerit-jerit sambil menyerang, pandang
matanya berkunang oleh bayangan burung-burung yang tiada hentinya menyambar di depan mukanya. Dia
mulai lelah, kepalanya pening dan patukan burung mulai banyak mengenai kulit lengannya. Celaka,
pikirnya, tidak pernah mengira bahwa dia akan tewas oleh pengeroyokan burung-burung. Betapa
memalukan dan menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan burung-burung!
Tiba-tiba di antara suara mencicitnya burung yang memekakkan telinga, terdengar suara manusia! Lirih
saja, akan tetapi amatlah jelas seolah-olah ada yang berbisik di dekat telinganya.
“Sungguh keberanian dan kenekatan yang bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung? Kalau
berlindung ke air bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah dari pada melawan dengan
nekat?”
Siauw Bwee terkejut. Tidak, dia bukan sedang mimpi, juga tidak mendengar suara setan rawa! Dia
mendengar suara manusia, seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang menolongnya dengan nasehat
itu. Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat jauh menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit yang hanya
dapat dilakukan dengan pengerahan khikang yang amat kuat! Suheng-nya dapat melakukan hal itu, dan
dia pun kalau mau melatih diri, menggabungkan sinkang dengan khikang, tentu akan dapat melakukannya
pula.
Suheng-nya! Jantung Siauw Bwee berdebar. Suheng-nyakah orang itu? Ah, tidak mungkin. Suheng-nya
selalu bicara dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan suara orang itu sama sekali tidak halus dan
ramah, bahkan setengah memakinya bodoh dan kalah cerdik oleh burung! Siapa pun adanya orang itu,
jelas bahwa nasehatnya patut diperhatikan.
Maka ia lalu mencari bagian rawa yang penuh alang-alang dan yang airnya agak dalam. Setelah
menggerakkan kedua tangannya membunuh burung-burung yang menyerangnya, ia lalu menjatuhkan diri
ke dalam air rawa, menyembunyikan tubuhnya ke dalam air di bawah alang-alang sampai ke atas mulut.
Hidungnya mencium bau busuk alang-alang yang membusuk, membuatnya muak, akan tetapi ia tahankan.
Benar saja, burung-burung itu hanya beterbangan di atas alang-alang, tidak ada lagi yang menyerangnya.
Siauw Bwee merasa lega dan berterima kasih. Akan tetapi burung-burung itu tetap saja beterbangan di
atas alang-alang, agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan siap menyerang. Burung sialan, ia
memaki. Merendam diri di dalam air lumpur kotor itu sungguh bukan hal yang menyenangkan, apa lagi
baunya amat tidak enak dan tubuhnya mulai merasa gatal-gatal.
Dua jam kemudian, setelah matahari makin turun ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak ada tenaganya
lagi, setelah Siauw Bwee hampir tidak kuat bertahan dan ingin mengamuk lagi, tiba-tiba burung-burung itu
terbang pergi meninggalkan Siauw Bwee dan meninggalkan rawa yang banyak bangkai burungnya. Siauw
Bwee meloncat dan keluar dari dalam air. Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya mengkirik, menggigil
dengan jijik dan geli ketika ia melihat bahwa puluhan ekor lintah telah menempel di tubuhnya dan menggigit,
menghisap darahnya tanpa ia rasakan tadi!
Dengan bulu tengkuk berdiri dan mengkirik ia sibuk mencabuti dan meremas serta membanting lintahlintah
itu sehingga darah binatang-binatang itu berceceran ke mana-mana. Bukan darah binatang-binatang
itu melainkan darahnya yang telah dihisap mereka! Siauw Bwee sampai hampir menelanjangi tubuhnya
sendiri karena lintah-lintah itu ada yang menyelinap memasuki baju dan celananya, menggigit dan
menghisap darah tanpa memilih tempat.
“Setan! Bedebah! Kurang ajar!” Siauw Bwee memaki-maki dan membunuhi lintah-lintah itu, dan setelah
memeriksa semua tubuh dan pakaiannya, barulah ia memakai kembali pakaiannya. Sementara itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
matahari telah tenggelam. Ketika Siauw Bwee memandang ke sekeliling, dia tidak melihat lagi adanya dua
orang temannya tadi, juga tidak dapat menduga ke mana larinya mereka yang tadi ketakutan dikeroyok
burung.
Siauw Bwee mulai melangkah lagi melanjutkan usahanya keluar dari tempat itu. Dia tidak lagi dapat
mencari kedua orang temannya, maka dia pun kini harus mengingat keadaannya sendiri. Dia harus dapat
keluar dari daerah rawa yang amat luas ini. Dia mulai mencari-cari, akan tetapi tetap saja tidak dapat keluar,
bahkan beberapa kali ia lewat lagi di tempat di mana dia dikeroyok burung karena di situ terdapat banyak
bangkai burung berserakan di atas rawa!
“Tempat celaka! Neraka dunia!” Ia mengomel karena kini malam sudah mulai tiba, cuaca mulai gelap.
Tiba-tiba terdengar suara air berkecipakan. Dia memandang ke depan dan bukan main kagetnya ketika
melihat serombongan ular berenang menyeberangi rawa menuju ke arah dia berdiri! Ular-ular yang besar
kecil beraneka warna, ada yang putih, hijau, coklat, hitam dan merah! Kembali bulu tengkuk Siauw Bwee
berdiri. Teringatlah ia akan ular-ular merah di bawah Istana Pulau Es. Tak jauh dari tempat ia berdiri
terdapat sebatang pohon yang sudah tumbang tengahnya, tinggal merupakan tonggak, akan tetapi
tingginya masih ada dua meter.
Cepat Siauw Bwee mengayun tubuh meloncat ke atas tonggak itu, berdiri tegak dan memandang ke bawah.
Betapa ngeri hatinya ketika ia melihat ular-ular itu mulai berebut, memperebutkan bangkai-bangkai burung.
Bangkai-bangkai burung yang terapung di atas air itu mereka serang, moncong-moncong ular dibuka lebar
dan bangkai-bangkai dicaploki dan ditelan berikut bulu-bulunya sehingga tak lama kemudian beratus buah
bangkai burung itu telah habis, pindah ke dalam perut ular-ular yang kini menggembung.
Pemandangan ini amat mengerikan hati Siauw Bwee sehingga tonggak yang ia injak bergoyang-goyang,
tanda bahwa kakinya menggigil terbawa oleh hati yang ngeri. Baiknya dara perkasa ini sudah memiliki
ginkang yang luar biasa, kalau tidak, ada bahayanya ia terguling jatuh dan dikeroyok ular saking ngerinya.
Malam telah tiba dan keadaan gelap sekali. Selagi Siauw Bwee kebingungan karena tidak mungkin kini ia
berdiri terus semalam suntuk di atas tonggak, juga tidak mungkin dia meloncat turun tanpa mengetahui
lebih dulu apakah ular-ular itu tidak berada di situ, tiba-tiba tampak olehnya sinar terang dari jauh.
Dari atas tonggak itu ia dapat menduga bahwa sinar itu adalah obor-obor yang dipegang orang. Karena
rawa itu luas dan sinar obor-obor yang bersatu itu cukup terang, maka sebagian sinarnya dapat mencapai
tempat Siauw Bwee. Giranglah hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa ular-ular yang sudah kekenyangan
itu kini merayap pergi, agaknya takut akan sinar obor.
Dengan bantuan sinar yang datang dari obor-obor itu, Siauw Bwee dapat meloncat turun ke tempat yang
tidak ada ularnya, kemudian mulailah ia berlari dengan hati-hati menuju ke arah orang-orang yang
membawa obor. Tadinya ia mengira bahwa kedua orang temannya yang membawa obor itu, akan tetapi
kini tampak olehnya bahwa yang membawa obor adalah tiga orang, jadi jelas bukan dua orang temannya
itu. Tiga orang itu membawa enam buah obor, masing-masing dua buah yang disatukan di satu tangan.
Apakah orang-orang berkaki buntung yang masih berusaha mengejar dan mencarinya? Siauw Bwee
menggigit bibirnya dengan gemas. Aku telah menderita karena mereka, pikirnya. Dikeroyok burung, hampir
dikeroyok ular dan benar-benar telah dikeroyok lintah! Dan merendam tubuhnya di air kotor berbau! Kalau
dia bukan bekas penghuni Pulau Es, tentu sekarang telah menderita kedinginan luar biasa pula! Biarlah,
mereka hanya bertiga, mungkin pimpinan mereka dan sekali ini aku akan membikin mereka tahu rasa!
Dengan hati gemas dan marah Siauw Bwee mempercepat larinya, berloncatan menghampiri tiga orang
yang membawa obor itu dan setelah dekat ia tercengang karena tiga orang itu tidak memakai tongkat dan
kini tampak jelaslah bahwa mereka bukan tiga orang berkaki buntung, melainkan tiga orang berlengan
buntung sebelah! Kiranya mereka itu adalah tiga orang dari kaum lengan buntung!
Hati Siauw Bwee tertarik sekali dan juga girang. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk keluar dari
daerah rawa yang berbahaya itu! Diam-diam ia membayangi mereka dan benarlah dugaannya, tiga orang
berlengan kiri buntung itu membawanya keluar dari daerah rawa dan memasuki sebuah hutan yang tandus.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena keadaan gelap dan penerangan obor itu tidaklah cukup menerangi daerah sekitarnya, maka Siauw
Bwee tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh sehingga dapat keluar dari daerah rawa, akan tetapi
ternyata untuk keluar dari daerah rawa itu mereka telah menghabiskan waktu semalam suntuk!
Mereka telah memadamkan obor dan membuangnya karena malam telah terganti pagi ketika tiga orang itu
berjalan cepat sekali menuju ke sebuah pondok bambu yang berdiri di tengah hutan tandus. Gerak kaki
mereka ketika berlari itu cepat bukan main dan diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Gerakan orangorang
berlengan kiri buntung itu ternyata amat hebat dan dalam hal berlari cepat, jelas bahwa orang-orang
berkaki buntung bukanlah lawan mereka ini! Dia sendiri harus mengerahkan ginkang-nya dan berlari cepatcepat
untuk dapat membayangi mereka agar tidak tertinggal.
Ketika tiga orang itu menghampiri pondok, Siauw Bwee menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai.
Pakaiannya sudah kering kembali, akan tetapi robek-robek di bagian lutut, paha, betis dan lengan kanan
kiri. Burung-burung sialan, ia memaki. Bekal pakaiannya masih tertinggal di atas punggung kuda hitamnya
yang sekarang entah bagaimana nasibnya.
Siauw Bwee memandang heran ketika melihat seorang laki-laki tua renta dan bertubuh kurus kering duduk
di atas bangku bambu depan pondok itu. Laki-laki itu keadaannya amat menyedihkan. Kedua kakinya
buntung sebatas paha, lengan kirinya juga buntung seperti tiga orang pendatang itu dan yang tinggal
hanyalah lengan kanannya yang kurus dan yang memegang sebatang tongkat seperti milik para anggota
kaum kaki buntung. Siauw Bwee memandang heran dan menduga. Termasuk golongan manakah kakek
itu?
Lengan kirinya buntung seperti tiga orang pendatang itu, akan tetapi belum tentu dia merupakan anggota
kaum lengan buntung karena kakinya juga buntung, tidak hanya kaki kanan, bahkan kedua-duanya! Dan
kakek itu duduk tanpa kaki seperti orang sedang bersila. Tangan kanannya memegang tongkat yang
melintang di depannya, lengan baju kiri tergantung lepas tanpa isi, kedua matanya terpejam seolah-olah
dia tidak tahu akan kedatangan tiga orang itu.
Siauw Bwee mengalihkan pandangnya. Di antara tiga orang lengan buntung ini tidak seorang pun pernah
dilihatnya di antara mereka yang dulu pernah dilihatnya ketika lima orang lengan buntung membawa
tawanan seorang kaki buntung. Yang seorang adalah seorang nenek yang mukanya masam dan kelihatan
galak. Yang kedua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, lebih muda dari pada Si Nenek,
sikapnya gagah dan agaknya dia yang memimpin rombongan tiga orang itu. Orang ke tiga adalah seorang
laki-laki bermuka tampan akan tetapi membayangkan kesombongan. Ketiganya kini berdiri di depan kakek
tua renta itu, kemudian terdengarlah laki-laki tinggi tegap yang memimpin rombongan itu berkata,
“Twa-supek, kami diperintah oleh Suhu untuk memperingatkan Supek yang terakhir kalinya agar supek
suka memberitahukan rahasia gerak tangan kilat kaum kaki buntung!” Biar pun laki-laki itu menyebut twasupek
(uwa guru tertua), namun nada suaranya amat tidak menghormat, bahkan mengandung ancaman
dan kekerasan.
Kakek itu membuka matanya dan terkejutlah Siauw Bwee menyaksikan betapa sinar mata kakek tua renta
itu mengandung penderitaan seperti mata orang yang sakit berat! Kemudian terdengar kakek itu berkata
lirih, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi mencampuri permusuhan terkutuk itu! Pergilah kalian!”
“Twa-supek! Kalau begitu benar keterangan para penyelidik bahwa supek menerima kedatangan orangorang
berkaki buntung, tentu supek telah membuka rahasia ilmu kami!”
“Benar, mereka datang pula ke sini membujuk, akan tetapi aku tidak sudi pula membantu mereka. Seperti
juga kaum lengan buntung, kaum kaki buntung adalah anak muridku pula. Betapa aku sudi membantu
mereka yang saling bermusuhan sendiri?”
“Twa-supek! Kiranya sampai sekarang, setelah menerima kutukan dari roh para nenek moyang, Twa-supek
masih saja mengkhianati sumpah...”
“Sudahlah, tutup mulutmu!” Kakek itu membentak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu melotot marah. “Orang tua, biar pun engkau terhitung supek sendiri, akan tetapi engkau telah
hampir mati, hanya mempunyai sebuah lengan saja. Kalau kami turun tangan, apakah kau sanggup
melawan kami?”
Kakek itu menundukkan kepalanya. “Hanya kesesatan itu yang belum kalian lakukan, kalau kalian hendak
membunuhku, silakan!”
Siauw Bwee terkejut ketika mendengar suara kakek itu. Teringatlah ia akan suara yang dikirim dengan ilmu
Coan-im-jip-bit dan yang telah menolongnya dari serangan burung-burung liar. Kini mendengar ancaman
laki-laki lengan buntung, Siauw Bwee tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menggenjotkan
kakinya dan tubuhnya melayang cepat sekali, tahu-tahu telah berdiri di depan laki-laki tinggi tegap yang
menyerang kakek itu dengan kata-kata keras tadi.
“Engkau manusia yang tak tahu aturan!” Siauw Bwee tidak memberi kesempatan kepada tiga orang itu
untuk pulih kembali dari rasa kaget mereka melihat munculnya seorang dara yang gerakannya seperti
burung walet. “Tidak menghormati supek sendiri, dan tidak menghiraukan alasan-alasan yang begitu
bijaksana, melainkan bersikap seperti tiga ekor kerbau gila yang hanya bertindak karena dorongan nafsu
bermusuhan dan haus darah! Kalian hendak membunuh Locianpwe ini? Hi-hik, bicara sih mudah! Baru
melawan aku saja kalian sudah takkan bisa menang, apa lagi melawan Locianpwe ini!”
Tiba-tiba muncul seorang dara jelita yang masih remaja dan datang-datang memaki-makinya membuat
laki-laki tinggi tegap bertangan satu itu tercengang dan sejenak tak dapat berkata-kata. Akan tetapi
kemudian timbul kemarahannya. Dia tadi hanya mengancam saja dan sama sekali bukan bermaksud
menyerang, apa lagi membunuh kakek itu. Karena ancamannya itu kini disaksikan orang luar, tentu saja
hal ini amat memalukan dan merendahkan dirinya, maka dia amat marah.
“Bocah siluman dari mana berani mencampuri urusan kami?!” bentaknya.
“Bocah dari mana tak perlu kau tahu. Pendeknya, lekas kau mentaati petintah Locianpwe ini untuk segera
angkat kaki dari tempat ini, kalau tidak, jangan sesalkan aku menggunakan kekerasan mengusir kalian
bertiga!”
Ucapan ini tekebur sekali dan tentu saja murid kepala kaum lengan buntung itu saking marahnya sampai
memandang dengan mata mendelik. “Bocah kurang ajar! Engkau ada hubungan apakah dengan kakek itu?”
“Bukan sanak bukan teman, akan tetapi aku akan melindunginya dari keganasan kalian!”
“Hemm, kulihat engkau masih amat muda, masih bocah. Ingat lebih baik jangan mencampuri urusan kaum
lengan buntung kalau kau sayang nyawamu.”
“Tentu saja aku sayang nyawaku, akan tetapi aku siap membelanya dengan nyawaku karena aku yakin
nyawaku tidak akan apa-apa kalau hanya melawan orang-orang kejam macam kalian!”
“Keparat!” Laki-laki itu tak dapat menahan kesabarannya lagi dan ia sudah menerjang dengan sambaran
lengan baju kirinya ke arah muka Siauw Bwee dan tangan kanannya sudah cepat mengirim susulan
dengan tonjokan ke arah leher! Gerakannya ini cepat sekali, namun terlalu lambat bagi Siauw Bwee yang
sudah dapat mengelak dengan jalan menarik muka ke belakang, kemudian menggerakkan tangan kiri
menangkis tangan kanan yang memukul.
“Plakk!” Tubuh laki-laki itu hampir terjengkang ke belakang sehingga ia mengeluarkan seruan kaget dan
heran.
Siauw Bwee tidak peduli dan sudah menerjang maju dengan tamparan kedua tangannya susul-menyusul.
Akan tetapi kini dara ini yang merasa kaget karena tubuh laki-laki itu dengan amat indah dan cepatnya
sudah bergerak dan semua tamparannya luput! Kiranya laki-laki itu mempunyai gerak langkah yang amat
luar biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan cepatnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee makin terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara cepat ia dapat menghindar.
Namun dengan langkah-langkah yang aneh dan berputar, laki-laki itu telah berada di belakangnya dan
lengannya mencengkeram kepala, disusul tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau
bunting saking kuatnya!
“Ayaaaa...!” Siauw Bwee berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali, kemudian dari atas, ketika
tubuhnya meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.
Laki-laki itu kagum sekali menyaksikan ginkang yang begitu sempurna, akan tetapi ia juga girang karena
kalau tubuh itu turun ia akan dapat menyambut dengan serangan dahsyat. Siapa kira, dari telapak kedua
tangan dara itu menyambar hawa yang kuat dan ketika ia berusaha menangkis, hawa dingin yang luar
biasa membuat tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.
“Aihhh...!” Laki-laki itu berseru keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah menerjang maju
mengeroyok Siauw Bwee.
“Bagus, majulah semua kalian orang-orang tak tahu malu!” Siauw Bwee mengejek, akan tetapi segera ia
mendapat kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh orang-orang itu benar-benar merupakan lawan amat berat!
Tingkat sinkang dan ginkang mereka tidaklah seberapa hebat, akan tetapi dia dibikin bingung oleh gerak
langkah mereka yang amat luar biasa itu. Teringatlah ia akan penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan
buntung ini telah mencipta semacam ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini dia terdesak terus. Sungguh pun dengan ilmu silatnya yang
tinggi, sinkang-nya yang kuat dan ginkang-nya yang sempurna dia dapat selalu mengelak atau menangkis,
namun dia tidak diberi kesempatan membalas sama sekali. Terkejutlah dara perkasa itu karena mendapat
kenyataan bahwa kaum lengan buntung ini benar-benar memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki kaum
kaki buntung dengan gerak tangan kilat mereka!
Tiba-tiba terdengar kelepak sayap yang riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap tertutup
bayangan dari atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke atas dan seketika wajah mereka
menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap itu ternyata bukanlah sayap melainkan suara cecowetan separti
suara kera yang banyak sekali dan dari mulut tiga orang lengan buntung itu terdengar jerit ketakutan.
“Celaka...! Kelelawar siang!”
Siauw Bwee menjadi heran sekali melihat tiga orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala
mereka dengan tubuh menggigil ketakutan. Dia mendongak dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir
menjerit. Yang disebut kelelawar siang itu memang sesungguhnya kelelawar, akan tetapi banyaknya bukan
main, sama banyaknya dengan burung-burung yang menyerangnya kemarin! Dan yang hebat, kelelawarkelelawar
itu agaknya berbeda dengan kelelawar biasa, tidak takut sinar matahari dan tubuh mereka hitam
seperti arang! Biar pun merasa ngeri sekali, akan tetapi Siauw Bwee tidak mau bersikap penakut seperti
tiga orang bekas lawan itu, maka ia masih berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan.
“Nona, lekas berlutut serendah mungkin. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyerang lebih tinggi dari
satu meter di atas tanah, dan gigitannya seekor saja cukup membuat manusia menjadi gila!”
Mendengar suara lirih di dekat telinganya yang sama dengan suara ketika dia dikeroyok burung, Siauw
Bwee terkejut. Pada saat itu beberapa ekor kelelawar sudah menyambar turun mengarah kepalanya!
Menjadi gila kalau digigit? Dia makin ngeri dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut seperti
yang dilakukan tiga orang lengan buntung, hanya dia tidak menutup kepalanya melainkan memandang ke
atas penuh perhatian.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan melihat bahwa suara
itu keluar dari mulut Si Kakek Tua, suara yang dikeluarkan dengan pengerahan sinkang yang tinggi. Aneh
sekali, ketika terdengar suara melengking tinggi penuh getaran ini, kelelawar-kelelawar itu menjadi kacaubalau
terbangnya, menabrak sana sini dan kelihatan panik. Akan tetapi, sebelum suara itu cukup kuat
untuk mengusir semua kelelawar, suara itu makin melemah dan Siauw Bwee melihat kakek itu terengahengah
kehabisan tenaga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee adalah seorang dara yang cerdik. Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan
lengkingan itu adalah cara untuk mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan bahwa pada saat itu Si
Kakek yang lihai sedang menderita sakit, maka pengerahan sinkang yang kuat membuatnya kehabisan
tenaga. Maka dia lalu mengerahkan sinkang dan keluarlah suara melengking tinggi dengan getaran kuat
dari dalam dada Siauw Bwee.
Dia hampir menari kegirangan ketika melihat hasil tiruannya. Binatang-binatang itu menjadi makin panik
dan kacau, beterbangan membubung setinggi mungkin, agaknya untuk menghindari getaran lengkingan
maut itu dan tak lama kemudian mereka sudah terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata.
Barulah Siauw Bwee menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang tiga orang lengan
buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.
“Mau dilanjutkan?” Siauw Bwee menantang berani.
“Kalian bertiga tidak lekas pergi? Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!” kata Si Kakek Tua.
Tiga orang itu sudah melihat bukti kelihaian Siauw Bwee. Selain merasa gentar, juga mereka tahu bahwa
berkat pertolongan gadis itulah maka mereka lolos dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut,
maka tanpa berkata-kata mereka lalu berlari pergi.
Siauw Bwee membalikkan tubuh memandang kakek tua itu. “Locianpwe, kau sedang menderita sakit.”
Kakek itu mengangguk, tersenyum dan lengan tunggalnya melambai. “Ke sinilah, anak baik. Siapa
namamu?”
“Nama saya Khu Siauw Bwee, Locianpwe.”
“Ha-ha-ha, jangan menyebut locianpwe. Kepandaianmu lebih hebat dari pada sedikit ilmu yang kumiliki.
Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara semuda engkau telah memiliki sinkang yang sedemikian
hebat. Siapakah gurumu?”
Siauw Bwee sudah mendapat pesan suheng-nya bahwa mereka bertiga tidak boleh menyebut-nyebut
nama Bu Kek Siansu, sesuai dengan pesan kakek manusia dewa itu. Maka dia menjawab menyimpang,
“Guruku tidak boleh disebut namanya, aku hanya belajar dari suheng-ku yang bernama Kam Han Ki.
Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi bangga dan sombong.”
Kembali kakek itu tertawa. “Engkau benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga
rendah hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum mengenal aku akan tetapi
engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku mati-matian.”
Siauw Bwee tertawa manis dan dia berkata, “Aihhh, Locianpwe membikin aku merasa malu saja. Aku
tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela mati-matian kepada Locianpwe yang
telah menolongku kemarin.”
Mata kakek itu terbelalak. “Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?”
“Waah, Locianpwe pandai berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit
menyelamatkan aku dari serangan burung-burung gila? Kalau tidak ada pertolongan Locianpwe, agaknya
aku akan mati di tengah rawa!”
“Ah, engkaukah orangnya? Aku tidak mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku kebetulan berjalanjalan
di dekat rawa dan melihat orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah orangnya?”
Hati Siauw Bwee menjadi geli. Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa berjalan-jalan?
Ingin dia menyaksikan bagaimana orang tak berkaki bisa berjalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akulah orangnya, Locianpwe. Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu,” Siauw
Bwee menjura dengan hormat.
Kakek itu tertawa bergelak dan sejenak wajahnya yang muram itu berseri gembira. “Wah, pengakuanmu ini
meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala kebaikanmu, engkau jujur dan ingat
budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya yang akan dapat menolong kedua kaum yang
saling bermusuhan sehingga setiap tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku
mohon kepadamu, Nona. Sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan seperti itu
masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum buntung kaki dan buntung lengan yang
memperlakukannya dengan buruk.
“Apakah maksudmu, Locianpwe? Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai. Bagaimana
aku dapat mencampuri dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak yang saling bermusuhan?”
“Duduklah, Nona, dan dengarkan ceritaku.”
Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum yang cacat itu, yang sebagian sudah ia
dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu duduk di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.
“Tahukah engkau mengapa kedua kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?”
Siauw Bwee mengangguk. “Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan yang
bermusuhan dan dalam pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang seorang lagi kehilangan
lengan kiri.”
“Benar, dan aku tadinya adalah seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi, sejak dahulu aku
tidak menyetujui permusuhan antara saudara sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung
sebenarnya adalah saudara-saudara seperguruan. Apa lagi cara mereka menerima murid-murid yang
harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti kaum mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat
keji. Aku adalah suheng dari The Bian Le dan aku berusaha membujuk sute-ku yang menjadi ketua kaum
lengan buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak kaki buntung. Pada waktu itu akulah yang menjadi
ketua kaum lengan buntung. Usul itu diterima dengan penuh kemarahan dan mereka memberontak. Aku
yang menjadi ketua mereka malah mereka anggap pengkhianat sumpah leluhur dan aku dikeroyok,
kemudian kaki kananku mereka buntungkan dan aku diusir dengan kata-kata menghina bahwa aku
berpihak kepada kaum kaki buntung.”
Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya dan
berkata, “Betapa kejamnya!”
Kakek itu menggeleng kepala, “Mereka patut dikasihani, Nona. Aku tidak menyesal karena kakiku
dibuntungi sebelah, melainkan menyesal bahwa usahaku itu gagal sama sekali. Aku lalu pergi ke tempat
kaum kaki buntung. Biar pun kaki kananku sudah buntung seperti lengan kiriku, aku tidak putus harapan
dan berusaha menghubungi Liong Ki Bok, ketua mereka yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah
sute-ku sendiri pula. Akan tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung, aku dicurigai dan
malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi pula.”
“Ahhh... Biadab! Jahat benar mereka itu!”
Kembali kakek itu menggeleng kepala. “Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh dendam
permusuhan. Akulah orangnya yang patut disesalkan karena berusaha mendamaikan mereka. Akan tetapi
aku malah tetap penasaran dan aku takkan dapat mati dengan meram kalau belum berhasil mendamaikan
mereka.” Kakek itu kelihatan berduka sekali dan diam-diam Siauw Bwee merasa terharu dan kasihan, juga
kagum menyaksikan iktikad baik yang tak kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya sudah cacat
seperti itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa hubungannya semua itu dengan aku, Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang tadinya adalah ketua
kaum lengan buntung sama sekali tidak dapat mendamaikan mereka bahkan dianggap pengkhianat,
bagaimana aku akan dapat mengusahakannya?”
“Dengan jalan lain pasti dapat, Khu-lihiap. Akan tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku terasing di antara
mereka kedua pihak. Dengan tekad untuk tetap hidup dan terus berusaha mendamaikan mereka, aku
dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan kanan ini sampai ke tempat ini, terpencil dan terasing.
Sepuluh tahun lamanya aku berdiam di sini, menggembleng diri dan terutama sekali mempelajari rahasia
ilmu-ilmu kedua pihak yang sesungguhnya memang sesumber. Dan ketekunanku selama sepuluh tahun ini
berhasil baik, Nona! Aku telah memecahkan kedua ilmu mereka, maksudku aku telah menemukan cara
pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung dan ilmu
gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung. Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau
perlu dengan kekerasan!”
Wajah Siauw Bwee berseri, dia ikut merasa gembira akan hasil kakek itu yang akan dapat memenuhi citacita
hidupnya, yaitu menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang bersaudara akan tetapi
permusuhan itu. “Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu, Locianpwe pergunakan saja ilmu itu untuk
menghajar orang-orang keras kepala itu!” serunya.
“Nona, lihatlah keadaanku. Aku hanya mempunyai sebuah lengan dan aku... karena terlalu tekun
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu, aku menderita sakit jantung yang hebat dan takkan terobati lagi.
Biar pun semua teori silat mereka sudah berada di telapak tanganku kalau aku hanya mempunyai satu
lengan saja, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi mereka?”
“Ohhh... Maafkan aku, Locianpwe,” Siauw Bwee berkata dengan muka merah karena dalam
kegembiraannya tadi ia sampai lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.
“Tidak apa, Nona. Bahkan akulah yang minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang luar
untuk mewakili aku...”
“Maksudmu...?”
“Ilmu kepandaianmu hebat, Nona. Baik Liong Ki Bok mau pun The Bian Le, malah aku sendiri tidak akan
dapat menandingimu. Engkau tentu murid seorang yang amat sakti. Akan tetapi, kalau engkau dikeroyok
dan menghadapi ilmu silat gerak tangan sakti dan gerak kaki sakti, engkau yang masih kurang pengalaman
tentu akan menjadi bingung sehingga keadaanmu akan berbahaya. Akan tetapi kalau engkau kuberi
pelajaran rahasia tentang kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan mudah engkau akan dapat
mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi permintaan seorang tua yang sudah hampir mati
dan sudikah engkau membiarkan aku mati dalam keadaan meram dan tenang karena menyaksikan kedua
kaum itu telah dapat dipaksa berdamai?” Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan
disambungnya dengan suara parau. “Andai kata aku memiliki dua buah kaki, aku akan berlutut memohon
kepadamu, Khu-lihiap!”
Siauw Bwee merasa terharu sekali. Dia memiliki watak yang halus dan perasa, penuh welas asih,
bagaimana mungkin ia dapat menolak permintaan itu? “Aihh, Locianpwe harap jangan terlalu sungkan. Aku
sudah Locianpwe tolong dari ancaman maut dikeroyok burung-burung liar dan aku belum dapat membalas
budi itu. Tentu saja aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu.”
“Terima kasih, Lihiap! Semoga Tuhan memberkatimu! Dan jangan bicara tentang budi pertolongan dariku,
karena aku tahu bahwa tanpa kunasehatkan untuk menyelam juga, burung-burung gila itu mana mungkin
dapat menjatuhkan seorang seperti Lihiap? Nah, marilah kita mulai dengan latihan ilmu-ilmu tangan kilat
dan kaki kilat, Nona. Waktu untuk pibu (mengadu ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi, cukup lama
bagimu untuk menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan pibu Nona dapat maju dan
mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu, tentu mereka tidak berani membantah dan akan
memenuhi permintaan Lihiap untuk berdamai dan bersumpah mengubur semua permusuhan di antara
kedua kaum!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar dan berarti bahwa perjalanan akan tertunda selama tiga
bulan. Akan tetapi waktu itu tidak dibuang sia-sia, dan sebagai seorang ahli silat seperti Siauw Bwee, tentu
saja akan girang sekali menerima pelajaran dua macam ilmu yang demikian hebat. Apa lagi kalau diingat
bahwa dia sedang melakukan tugas yang mulia, yaitu berusaha mendamaikan permusuhan semua
saudara sehingga kalau berhasil berarti dia telah menyelamatkan entah berapa banyak nyawa yang setiap
tahun pasti ada yang jatuh menjadi korban pibu.
Demikianlah, mulai hari itu, Siauw Bwee menerima petunjuk-petunjuk kakek cacat itu, melatih diri dengan
ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat. Karena dasar ilmu silatnya malah lebih tinggi tingkatnya dari
pada kedua ilmu itu, dia dapat melatih diri dengan mudah dan hasilnya amat hebat, lebih hebat dari pada
kalau kedua ilmu itu dilatih oleh tubuh Si Kakek sendiri andai kata dia tidak bercacat!
********************
Terpaksa kita tinggalkan dulu Siauw Bwee yang setiap hari tekun berlatih kedua macam ilmu silat istimewa
itu dan sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki, karena hal ini untuk memperlancar jalannya cerita.
Telah kita ketahui betapa Kam Han Ki merana hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup
ketika kedua orang sumoi-nya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga dia tinggal seorang diri di Pulau Es.
Karena tidak dapat menahan kesepian yang menggerogoti hatinya, juga karena khawatir akan keadaan
kedua orang sumoi-nya, Han Ki lalu membuat sebuah perahu dan berlayarlah dia meninggalkan Pulau Es
dengan maksud hendak mencari kedua orang sumoi-nya, atau setidaknya, seorang di antara mereka.
Setelah mendarat di tepi pantai daratan Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia tidak tahu di
sebelah mana kedua orang sumoi-nya mendarat dan ke mana pula mereka pergi. Akan tetapi dia berjalan
terus ke barat dan di sepanjang jalan dia berusaha menemukan jejak kedua orang sumoi-nya dengan
bertanya-tanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan.
Akan tetapi sampai berpekan-pekan ia melakukan perjalanan, belum juga ia mendapatkan jejak kedua
orang sumoi-nya. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang ditanyainya pernah melihat dua orang
gadis itu, sebaliknya, Han Ki mendengar akan keadaan kerajaan baru yang makin luas saja wilayahnya,
yaitu Kerajaan Cin yang dibangun oleh bangsa Yucen.
Kini di daerah utara hampir seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke tangan Kerajaan Cin. Dan dia
mendengar pula tentang pergolakan di Kerajaan Sung, tentang para pembesar yang memberontak dan
berdiri sendiri-sendiri menguasai wilayah masing-masing. Mendengar pula akan pergerakan bangsa Mancu
di samping bangsa Yucen.
Ketika ia mendengar bahwa dia memasuki daerah yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai
mengangkat pejabat-pejabat daerah sebagai pegawai Kerajaan Cin, teringatlah Han Ki akan kekasihnya,
Sung Hong Kwi yang dahulu akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Timbul hasrat hatinya untuk mendengar
berita tentang kekasihnya itu, dan kalau mungkin... menjumpainya! Masih hidupkah Hong Kwi kekasihnya
itu? Apakah kini telah menjadi seorang yang mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir rendahan
saja?
Hatinya terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa raja-raja yang berkuasa, seperti halnya Kaisar
Kerajaan Sung, paling suka mempermainkan wanita dan setiap hari berganti wanita, yang lama
dicampakkan begitu saja. Jangan-jangan seperti itu pula nasib Hong Kwi. Kekhawatiran ini mendorong
hasratnya untuk menyelidiki keadaan Hong Kwi.
Akhirnya karena dorongan hasrat ingin bertemu bekas kekasihnya tak dapat ditahannya lagi, Han Ki
mendatangi kota raja Yucen dan pada suatu malam berhasil menyelundup masuk ke taman Istana Raja
Yucen! Dilihatnya bahwa dia telah memasuki harem (keputren, tempat selir-selir raja) dan ketika ia melihat
beberapa orang wanita cantik berpakaian indah bersendau-gurau di dekat kolam ikan, ia lalu melompat ke
dekat mereka. Wanita-wanita itu terkejut dan menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat tangannya dan
berkata halus,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Harap kalian jangan takut. Aku datang tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan Sung Hong Kwi.
Adakah dia di sini?”
Ketika melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah,
lenyaplah rasa takut wanita-wanita itu dan di antara mereka bahkan ada yang tersenyum-senyum dan
melirik-lirik tajam. Mereka adalah wanita-wanita yang selalu dikurung dan hanya kadang-kadang melayani
Raja Yucen yang sudah tua, tentu saja jantung mereka berdebar tegang dan aneh ketika berhadapan
dengan seorang pemuda tampan dan gagah seperti itu.
Seorang di antara mereka yang paling berani segera berkata, “Engkau sungguh berani mati memasuki
tempat ini. Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para pengawal yang menjaga di luar?”
“Hal itu tidak penting. Yang penting, adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa dengan dia.”
“Siapa itu Sung Hong Kwi? Kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya.”
Han Ki mengerutkan kening. Salahkah dugaannya bahwa kekasihnya itu diboyong oleh Raja Yucen? “Lima
tahun yang lalu, ada seorang puteri Kerajaan Sung dikawinkan dengan Raja Yucen...”
“Ohhh! Kau maksudkan dia?” Seorang selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh tahun akan
tetapi masih amat cantik segera berkata, “Puteri yang rewel itu? Dia tidak menjadi selir sribaginda, akan
tetapi diberikan kepada Pangeran Dhanu yang tergila-gila kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran Dhanu
yang tampan, rela tidak memelihara selir akan tetapi isterinya itu selalu merongrongnya!”
Han Ki terkejut. “Pangeran Dhanu? Di mana istananya?”
Wanita itu tertawa. “Mana ada waktu beristirahat dengan tenang di istana? Isterinya, Puteri Sung itu terlalu
rewel, bahkan kini kabarnya sakit sehingga diajak tetirah ke Hutan Bunga Bwee di tepi sungai.”
“Di mana tempat itu?”
“Ihh, mau apa sih engkau mencari puteri yang sakit-sakitan? Di sini banyak...”
“Lekas katakan!” Han Ki membentak marah ketika mendengar wanita-wanita itu mulai tertawa memikat.
“Kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!” Ia sengaja mengancam dan berhasillah dia karena
wanita-wanita itu menjadi pucat dan ketakutan.
“Di luar kota raja, di sebelah utara, dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah beberapa hari
mereka di sana... aihhh...!” Wanita itu dan teman-temannya menjerit ketika tiba-tiba tubuh Han Ki
berkelebat dan pemuda gagah itu sudah lenyap dari depan mereka.
“Setan...! Siluman...!” Mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri. Ada yang terkencing-kencing ketakutan
dan bahkan ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak malam itu sampai beberapa lama pemuda itu
menjadi bahan percakapan para selir dengan penuh rasa ngeri dan juga rindu!
Akan tetapi ketika Han Ki tiba di hutan yang dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas pertempuran
dan mendapat kabar bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh gerombolan pasukan Mancu yang memang
telah bermusuhan dengan pihak Yucen. Di sana tergeletak banyak mayat-mayat bangsa Mancu dan Yucen,
dan ketika dia tiba di situ, pasukan Yucen sedang mengangkuti mayat-mayat itu dan melakukan penjagaan
ketat. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Han Ki berhasil mendekati sampai di luar perkemahan
yang ditinggali Pangeran Dhanu dan isterinya. Di luar perkemahan dia dihadang oleh para pengawal.
“Berhenti! Siapa engkau dan ada keperluan apa?” bentak pengawal-pengawal itu. ”Aku hendak berjumpa
dengan Pangeran Dhanu. Aku adalah... seorang saudara dari isterinya, hendak menengoknya karena
kabarnya ia sedang sakit.”
Para pengawal mengepungnya dengan pandang mata curiga. “Sang Pangeran sedang sibuk, Sang Puteri
sakit keras...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Han Ki meloncat ke dalam kemah, gerakannya amat cepat sehingga para pengawal itu sejenak
melongo karena kehilangan pemuda itu. Baru mereka tahu bahwa pemuda itu menerobos masuk ketika
mendengar pemuda itu menjerit, “Hong-Kwi...!”
Mendengar kekasihnya sakit keras, pemuda itu seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil nama
kekasihnya.
“Han Ki Koko...? Ohhh...”
Suara ini cukup bagi Han Ki. Dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat memasuki sebuah
kamar di dalam perkemahan besar itu dan dia berdiri pucat dengan mata terbelalak memandang tubuh
kekasihnya yang rebah telentang seperti mati di atas pembaringan. Di kepala pembaringan itu duduk
seorang laki-laki yang berkumis tipis berpakaian indah dan bersikap gagah namun wajahnya diliputi
kedukaan besar. Laki-laki ini meloncat bangun dan tangannya meraba gagang pedangnya. Seorang
pelayan wanita mundur-mundur ketakutan memandang Han Ki.
Wajah Hong Kwi pucat sekali, matanya sayu dan rambutnya yang hitam itu terurai lepas, tubuhnya
kelihatan lemah. Dia memandang Han Ki, beberapa kali bibirnya bergerak namun tidak ada suara keluar.
Air mata seperti butiran-butiran mutiara menetes turun dan akhirnya dia dapat juga bersuara,
“Han Ki Koko... kau datang...? Ahh, Koko... bawalah aku pergi... bawalah...!” Kedua lengannya diangkat
lemah, diulurkan ke arah Han Ki, akan tetapi tiba-tiba kedua lengannya terkulai kembali di atas
pembaringan. Mukanya yang tadinya menghadap ke Han Ki itu tergolek ke kiri, matanya terpejam, hanya
mulutnya yang masih agak terbuka seolah-olah dia belum selesai bicara.
“Hong Kwi...!” Han Ki tidak mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di kerongkongannya.
“Isteriku...!” Pangeran Dhanu, laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Ia kemudian meloncat bangun,
memandang Han Ki dan berkata dengan air mata masih menetes-netes, “Jadi engkaukah Kam Han Ki,
laki-laki kejam yang menghancurkan hati isteriku? Engkau datang hanya untuk menyaksikan kematiannya?
Betapa kejam engkau!”
Ucapan ini bagaikan petir menyambar karena seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya telah
meninggal dunia. Dia menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong Kwi, diguncang-guncangnya
pundak mayat itu. “Hong Kwi... Hong Kwi...! Ini aku Kam Han Ki! Aku telah datang. Hong Kwi...! Hong Kwi,
bukalah matamu, pandanglah aku, bicaralah...!”
Menyaksikan sikap pemuda itu, Pangeran Dhanu agak berkurang kemarahannya dan memandang dengan
kening berkerut. Di belakang Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan di luar kamar itu, seorang
pengawal berdiri tegak menjaga dalam keadaan siap seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di dalam
kamar, sungguh pun alisnya berkerut menandakan bahwa dia ikut prihatin terharu.
“Hong Kwi... kekasihku... Hong Kwi, aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau bawalah aku...!” Han Ki yang
biasanya tenang itu kini tidak dapat menahan pukulan batin yang amat hebat itu. Dia masih mencinta Hong
Kwi, bahkan belum pernah dia berhenti mencintanya. Kini melihat kekasihnya mati setelah bertemu
dengannya, dia merasa berdosa dan berduka.
“Hemm, dia sudah mati baru engkau datang dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan seorang
laki-laki yang patut dipuji!”
Ucapan yang bernada keras ini membuat Han Ki sadar bahwa dia telah berada di tempat orang, bahkan
sadar bahwa mayat yang dipeluknya itu adalah mayat isteri orang lain. Dia bangkit, menekan perasaannya,
berdiri lemas dan dengan mata merah dan pipi basah, lalu ia memandang Pangeran Dhanu. Sejenak
kedua orang laki-laki itu saling berpandangan.
“Engkau tentu Pangeran Dhanu...,” katanya perlahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar! Akulah Pangeran Dhanu, laki-laki yang mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, yang selama
bertahun-tahun ikut menderita bersamanya, yang berusaha menghiburnya, yang memenuhi segala
permintaannya. Akan tetapi, pada saat terakhir, namamulah yang diucapkannya!” Di dalam ucapan
pangeran itu terdapat kegetiran yang hebat sehingga diam-diam Han Ki merasa kasihan dan bersalah.
“Pangeran, selama bertahun-tahun aku berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan tetapi
engkau... selama itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita dari pada engkau.”
“Aku sudah mendengar akan namamu, dia bercerita tentang dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia asal dia
dapat membalas dan menerima cintaku. Akan tetapi... dia selalu berduka, teringat kepadamu, selalu sakitsakitan...
kuajak tetirah ke mana-mana untuk menghiburnya, kukorbankan tugas-tugasku. Semalam anjinganjing
Mancu menyerbu perkemahan, biar pun dapat dipukul mundur akan tetapi isteriku menderita kaget
yang hebat. Jantungnya lemah... dan... kemudian kau datang... ah, isteriku...!” Pangeran itu mengusap air
matanya.
“Pangeran, maafkan aku. Betapa pun juga, engkau yang mencintanya telah menjadi suaminya selama lima
tahun. Engkau telah memiliki dia sebagai isteri yang tercinta...”
“Memang aku memiliki tubuhnya akan tetapi tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas hatinya,
keparat!”
“Dan orang-orang Mancu telah merampas nyawanya. Aku akan membalas ini!”
“Orang she Kam! Tidak perlu menimpakan kesalahan kepada orang lain. Engkaulah yang telah membunuh
isteriku! Engkaulah yang menghancurkan hidupnya, dan engkau pula yang merampas kebahagiaan
hidupku! Pengawal, tangkap orang ini!”
Belasan orang pengawal menerjang masuk dengan tombak di tangan. Han Ki berseru, “Hong Kwi, kalau
rohmu masih di sini, dengarlah sumpahku. Aku tidak akan menikah dengan wanita lain di dunia ini!”
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat ke luar dan robohlah enam orang pengawal yang
menghadangnya.
Dia tidak membunuh karena dia maklum betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa
pangeran itu betul-betul mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang Mancu karena andai
kata malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga tidak mengagetkan hati Hong Kwi yang
jantungnya lemah karena sakit, tentu pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu tidak berakhir dengan
kematian Hong Kwi!
Biar pun Pangeran Dhanu yang marah, berduka dan sakit hati itu mengerahkan semua sisa pasukannya,
namun mereka tidak dapat mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar dari hutan itu dengan gerakan cepat
seperti menghilang.
Han Ki berlari cepat meninggalkan Kerajaan Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan diri dengan
barisan Kerajaan Sung, melupakan semua peristiwa yang membuat ia menjadi orang buruan. Ingin ia
membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya. Akan tetapi, tentu dia akan ditangkap begitu
muncul di kota raja! Ah, biar pun tanpa pasukan, dia tetap berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi
kepada bala tentara Mancu! dengan keputusan bulat, Han Ki melanjutkan perjalanannya, hatinya makin
merana.
Dia tidak saja kehilangan Maya dan Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi yang sampai detik
terakhir masih mencintanya! Kenyataan ini makin memberatkan hatinya, dan ia selalu merasa telah berbuat
dosa yang amat besar kepada Hong Kwi. Cinta kasih di antara mereka yang terenggut putus, yang
disangkanya hanya membuat dia seorang menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa lagi bagi Hong Kwi
sampai dibawanya mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan ia merasa dirinya sudah tua sekali. Padahal pada
waktu itu, usia Han Ki baru tiga puluh satu atau tiga puluh dua tahun.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya membuka matanya. Sudah matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah bahwa
dia terseret ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Tentu sudah mati. Akan tetapi
mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam orang prajurit di perahu itu, perahu yang didayung
cepat. Tidak! Dia tentu belum mati.
Ataukah perahu ini perahu yang akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu malaikatmalaikat?
Tak mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti prajurit dunia! Keparat, tentu mereka ini
yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka yang menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan
tertawan. Dia menjadi marah dan menggerakkan tangan... akan tetapi kedua tangan dan kedua kakinya
tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia lelah sekali sehingga
tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu, dan ketika ia memandang, kiranya belenggu
itu terbuat dari pada baja yang tebal dan kuat sekali! Maya pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak,
diam-diam mengumpulkan hawa murni ke lengannya.
Perahu itu kini menempel pada sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.
“Wah, dia sudah sadar!” kata seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya
membuka mata.
Karena sudah ketahuan, Maya tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuhnya, ia berhasil bangun
duduk. “Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?” Akan tetapi ketika melihat pakaian seragam mereka
adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu berkata, “Hemm... kalian tentu anjing-anjing Kerajaan Sung!”
“Perempuan liar. Bangunlah dan ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke
atas perahu?”
Karena belum mendapat kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba kedua
kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang prajurit terlempar ke dalam
air!
“Wah! Wah! Awas... betina ini liar sekali!” Seru seorang di antara mereka dan kini dari atas perahu besar
meloncat turun banyak prajurit.
Tubuh Maya diringkus dan dia dipaksa naik ke atas perahu besar. Dua orang prajurit yang bertubuh kuat
memegang ujung rantai yang membelenggu kedua tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa
memasuki ruangan besar di atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima mereka. Kalau
nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini!
Dengan dada membusung dan kepala tegak Maya berjalan memasuki ruangan dengan terpincang-pincang
karena kedua kakinya dibelenggu. Matanya terbelalak ketika ia melihat dua orang panglima duduk di atas
kursi dalam ruangan itu. Ia mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu besar yang telah
ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit berdiri adalah panglima muda yang
ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai.
Juga panglima besar yang berjenggot itu memandang dengan kaget. “Engkau...? Engkau pendekar wanita
penolong kami...!” Ia lalu membentak anak buahnya, “Apakah kalian ini buta dan gila semua? Hayo cepat
lepaskan belenggunya!”
“Krek! Krekkk!” Sekali mengerahkan tenaga yang telah berhasil dikumpulkan kembali, Maya telah
mematahkan belenggu kaki tangannya! Sambil tersenyum dia melangkah maju. “Ciangkun, selamat
berjumpa!”
Panglima besar itu meloncat dari tempat duduknya dan cepat menjura. “Selamat datang, Lihiap!” Dan
kepada anak buahnya ia membentak, “Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol! Menawan
dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu ada artinya bagi Lihiap yang sakti?!”
Kemudian ia membentak makin nyaring, “Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Lihiap!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Enam orang itu, yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti burungburung
saling sahut mereka berseru, “Mohon maaf kepada Lihiap, karena kami tidak tahu maka....”
Maya menggerakkan tangannya. “Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga
mudah kalian bekuk!”
“Lihiap, silakan duduk!” Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang
kagum. Ketika ditolong dari tangan Si Dampit yang lihai, dia tidak dapat melihat jelas wajah penolongnya.
Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang masih amat
muda lagi cantik jelita seperti bidadari!
“Lekas ambil pakaian bersih dan kering untuk Lihiap! Dan sediakan meja perjamuan!” Panglima besar itu
memberi perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan itu.
“Lihiap, silakan berganti pakaian kering dulu. Nanti kita bicara,” Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa
sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti pakaian. Panglima
besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.
“Wah, betapa lucunya aku berpakaian seperti ini!” Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar
dari kamar tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.
”Engkau gagah sekali dan patut dalam pakaian itu, Lihiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai
pedangku.” Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri Maya
dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak makin gagah perkasa.
Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum
mereka bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab, “Namaku Maya dan kuharap
Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku karena hal itu takkan dapat
kuterangkan. Seandainya aku tidak melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan
pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan
mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?”
Wajah panglima tua itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini
menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, dan setelah arak yang
disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata, “Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah
pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung yang
ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin
menyuram dan penuh kelaliman.”
“Hemm... jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?”
Panglima she Bu itu menarik napas panjang. “Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah
pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi sekarang ini Kerajaan Sung
mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna,
thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam Suma-goanswe. Karena itu banyak sekali panglima
yang memberontak, pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal diam,
apa lagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan tewas oleh kekejian Kerajaan
Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang
bebas dari pada penindasan para pembesar korup.”
Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan untuk
membasmi musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apa lagi karena jelas bahwa panglima ini bersetia
kawan dengan pek-hu-nya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata, “Kalau begitu, aku siap
membantumu, Ciangkun!”
Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian
berkata, “Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti
hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani
dunia-kangouw.blogspot.com
mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima
kasih, Lihiap, terima kasih!”
“Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci
sehingga kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan yang cukup
banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu menyerbu ke kota raja Sung!”
Hampir saja kedua orang panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya
pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan menyerbu ke kota raja,
seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak tanpa rintangan. Sebelum perjalanan ribuan li ditempuh
seper-sepuluhnya sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya.
Dara ini bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena
maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang perang, dan agar jangan
menyinggung perasaan, kedua orang panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati
mereka.
“Lihiap, serahkan urusan perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu.
Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi, kau akan kuangkat
menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa
yang kuat dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan Lihiap dengan pasukanmu untuk
mendobrak pihak musuh di garis depan.”
Maya mengangguk. “Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi
pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik.”
“Bagus! Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai
pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan
dan siasat kita.”
Dengan panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah
mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat
menyerang ke selatan. Mendengar ini Maya tidak ambil peduli. Baginya bersekutu dengan Mancu pun tidak
menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!
“Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang
Mongol dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!”
Bu-ciangkun tertawa bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi
tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan jujur, “Ha-ha-ha!
Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan bangsa
Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh
kita karena dia merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang
akan kau hadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan Sung.”
“Bagus!” Maya, girang sekali. “Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!”
Demikianlah, mulai hari itu Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira
pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering kali melihat, bahkan
mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia
dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan
beberapa jurus yang lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan
beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.
Mula-mula Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya melatih
pasukannya. Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar bahwa
puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama Menteri
Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam ia menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya yang kini
menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja Khitan dan keponakan dari mendiang
Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia
pun diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapa pun juga.
Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Buciangkun
mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang.
“Barisan Mancu yang menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung
kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan kurirnya juga belum
tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan, maka sebaiknya seorang di antara kalian harus
membawa pasukan untuk menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalanan itu
jauh, melalui daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan pasukanpasukan
Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di antara kalian yang sanggup
melakukan tugas berat ini?”
Seperti telah diduganya, dan juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol
dan Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab, “Aku sanggup!”
Empat orang panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani
berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya segera berkata,
“Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan pasukan mautnya.”
Bu-ciangkun mengangguk-angguk. “Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di
perbatasan. Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa.”
“Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir.”
“Selain mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Liciangkun
mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita dan
dapat membantu perjuangan kita.”
“Baik!” jawab Maya yang teringat akan rakyat Khitan.
Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka masuk menjadi prajurit di bawah
pimpinannya, betapa akan senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit
di bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!
Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya
membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing
seekor kuda, ada pun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang
prajurit untuk setiap kuda seekor.
Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang menunggang
kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu
pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di depan, seratus orang yang berkuda di belakang. Bu-ciangkun
sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan.
Dua buah bendera itu berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh Bu-ciangkun
sendiri, yaitu ‘Pasukan Maut’. Dan bendera yang sebuah lagi bertuliskan nama panglimanya, yaitu
Panglima Wanita Maya!
Perjalanan ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak
buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi prajurit
Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi kegagahan Bu-taiciangkun
sendiri, seperti seekor naga betina.
dunia-kangouw.blogspot.com
Belasan hari kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui
padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai
memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena
daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.
“Basmi anjing-anjing Yucen!” Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan
dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti harimau-harimau kelaparan.
Pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu adalah
pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah menjadi kewalahan. Apa lagi ketika Maya sendiri turun
dari kudanya dan mengamuk, pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja,
pasukan Yucen menjadi makin gentar saja.
Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat Maya melompat.
Pedangnya memenggal leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju
Panglima Yucen itu, terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan kaget
melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya
mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis, “Engkau Panglima Yucen keparat.
Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?”
Wajah panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala, “Aku... aku tidak...!”
Akan tetapi kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini
melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru, “Heii... anjing-anjing
Yucen! Lihat kepala siapa ini?”
Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin paniklah
tentara Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka. Sebaliknya makin bersemangatlah
Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari berserabutan.
“Hidup Maya Li-ciangkun!” Sorak para prajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.
Hanya setelah ada perintah Maya saja para prajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para
perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi
membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan prajurit yang terluka
dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para prajurit Yucen dibiarkan saja
berserakan. Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi dan beristirahat serta bermalam di
atas bukit, di sebelah hutan.
Biar pun baru saja Maya mendapatkan kemenangan yang gemilang, namun dia tidak menjadi lengah.
Teringat ia akan nasehat ayahnya dahulu kepada para panglimanya bahwa saat-saat sehabis mendapat
kemenangan adalah saat-saat yang berbahaya. Anak buah menjadi mabuk kemenangan, bangga dan
terlalu percaya kepada kekuatan sendiri, dan menimbulkan kelengahan dan biasanya musuh
menggunakan kesempatan itu untuk menyerang.
Karena itu dia mengatur penjagaan ketat, penjaga-penjaga yang bersembunyi disebar sampai jauh di
lereng bukit itu secara bergilir. Juga ia tidak melupakan para penjaga ini yang dikirimi ransum, bahkan
mereka ini menerima pesan Maya pribadi agar tidak lengah dan tetap waspada menjaga kemungkinan
musuh menyergap selagi mereka beristirahat.
Perhitungan Maya memang tepat. Benar saja, menjelang tengah malam, datanglah para penjaga lereng
utara yang mengabarkan bahwa ia menyaksikan gerakan barisan besar yang datang dari utara. Mereka
datang dengan jalan kaki dan memasang obor, bahkan tidak menimbulkan suara berisik, tanda bahwa
mereka hendak menyergap tempat istirahat mereka secara mendadak. Berita itu diterima dengan kaget
oleh para perwira dan anak buah mereka yang berada di situ. Mereka sudah meloncat bangun menyambar
senjata tajam masing-masing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya membentak, “Mengapa kalian? Panik? Lupakah akan nasehatku bahwa kepanikan ini merupakan
jalan menuju kekalahan? Dengarkan siasatku!”
Ia menuding kepada empat orang pembantu berturut-turut. “Kalian berempat, cepat membawa pasukan
diam-diam meninggalkan puncak dari jurusan selatan, barat dan timur, lalu bersembunyi dan menanti
sampai ada tanda keleneng segera mengepung puncak! Dan kelian berempat,” ia menuding kepada empat
orang perwira lain. “Dalam jarak tiga ratus meter dari sini, pasanglah tali-tali atas di tanah satu kaki
tingginya, hubungkan tali itu dengan keleneng-keleneng kuda yang dipasang di atas pohon. Cepat kalian
delapan orang lakukan perintahku ini.”
Delapan orang perwira itu memberi hormat dan berlari ke luar. Maya memandang kepada dua orang
perwiranya. Ia tersenyum dengan sepasang matanya berkilat tertimpa sinar api unggun. “Dan kalian
berdua kumpulkan pasukan pengawalku ke sini, buat api unggun yang besar, nyalakan semua lampu
penerangan, bawa dua guci arak wangi, guci besar itu, dan suruh para pengawal membawa alat tetabuhan
dan mainkan musik di sini!”
Perintah itu terdengar aneh sekali sehingga beberapa detik lamanya kedua orang perwira itu memandang
pimpinan mereka sambil melongo.
“Cepat!” Maya membentak, dan berulah dua orang itu bergegas pergi melakukan perintah.
Tak lama kemudian tampak api unggun yang besar dan terdengarlah bunyi musik yang-khim, gembreng
dan suling memecahkan kesunyian puncak bukit itu, dan bau arak wangi memenuhi udara. Para pengawal
yang jumlahnya dua puluh orang itu bermain musik sambil bernyanyi-nyanyi, akan tetapi hati mereka
berdebar-debar tegang dan mata mereka melotot ketika melihat Maya menyiram-nyiramkan arak wangi di
tempat itu sehingga bau arak itu menyengat hidung!
Pasukan Maut diam-diam telah melakukan gerakan cepat, dan tanpa mengeluarkan suara meninggalkan
puncak bukit seperti yang diperintahkan Maya. Ketika mereka mendengar suara musik dan nyanyian,
mencium bau arak wangi dari puncak, mereka melongo dan saling pandang. Sudah gilakah pemimpin yang
hebat itu?
Pasukan disuruh lari turun puncak, hal ini dapat dimengerti untuk menghindarkan sergapan pihak musuh
yang besar jumlahnya. Akan tetapi, pemimpin mereka tinggal di puncak, hanya ditemani oleh dua puluh
orang pengawal, dua orang perwira dan prajurit-prajurit yang terluka siang tadi, kini berpesta pora minum
arak wangi dan bernyanyi-nyanyi bermain musik! Akan tetapi delapan orang perwira itu, setelah empat
orang selesai memimpin pasukan memasang tali dan kelenengan, percaya penuh kepada panglima
mereka dan dengan diam-diam mereka siap melakukan gerakan mengurung puncak.
Kalau prajurit Pasukan Maut terheran-heran mendengar bunyi musik nyanyian dan mencium bau arak
wangi, sebaliknya para panglima, perwira dan prajurit Yucen menjadi girang sekali. “Bersenang-senanglah,
berpestalah karena kemenanganmu siang tadi,” pikir mereka puas, “dan berpestalah untuk kematian kalian
karena sebentar lagi kalian akan terbasmi habis,” demikian pikir mereka sambil melakukan gerakan
mengurung puncak, merayap dengan hati-hati.
Pasukan mereka terdiri dari lima ratus orang pilihan dan mereka sudah memperhitungkan bahwa lima ratus
orang tentara musuh tentu telah berkurang dalam perang tadi, dan selain kelelahan juga mereka itu mabuk
kemenangan dan lengah.
Pengurungan mereka telah dekat dengan puncak. Perintah berbisik telah dikeluarkan panglima yang
membagi-bagi pasukan kubu-kubu lawan. Dari tempat mereka sudah tampak api unggun besar di depan
kemah panglima, tampak bendera panglima musuh berkibar di atas kemah besar dan ketika mereka
merayap maju lagi, tampak bayangan orang bermain musik, bernyanyi-nyanyi, bahkan ada yang menarinari.
Mereka tidak mau menyerang dengan anak panah karena keadaan terlalu gelap, dan itu hanya akan
membikin musuh sempat mempersiapkan diri. Mereka hendak menyerbu diam-diam dan tinggal
dunia-kangouw.blogspot.com
menyembelihi saja musuh yang sedang enak-enak tidur atau yang sudah mabuk arak wangi! Hal ini sudah
diperhitungkan Maya ketika dara perkasa ini mengatur siasatnya.
Tiba-tiba para prajurit Yucen yang berjalan di depan mengeluarkan suara perlahan dan disusullah oleh
bunyi kelenengan riuh rendah. Kaget dan paniklah para prajurit Yucen karena mengira ada banyak kuda
datang menyerang mereka. Dan pada saat itu, semua lampu penerangan di puncak padam, bahkan api
unggun juga padam. Selagi para prajurit Yucen bingung dan masih belum tahu mengapa tiba-tiba banyak
kelenengan berbunyi dan mengira bahwa musuh menyerang dengan naik kuda, Pasukan Maut sudah
mengurung dari bawah dan pada saat itu melengkinglah suara merdu seorang wanita, melengking nyaring
seperti datang dari langit.
”Pasukan Maut yang gagah perkasa. Serbu...!!”
Barulah pasukan Yucen itu menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang dari atas puncak dan
mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita yang menurut cerita prajurit Yucen yang
melarikan diri memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari
puncak, melainkan dari bawah, dari belakang mereka!
Terjadilah perang tanding yang jauh lebih hebat mengerikan dari pada tadi, akan tetapi lebih celaka lagi
akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka berada dalam keadaan panik dan siasat mereka hancur
sehingga mereka berada di pihak yang diserang. Keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka ini,
yang membuat keadaan menjadi berbalik secara tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu tidak
sempat lagi memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan mempertahankan diri secara
kacau-balau dan mencari selamat sendiri-sendiri!
Di lain pihak, tentara Pasukan Maut yang bergerak secara terpimpin dan teratur, ditambah kegembiraan
mereka karena baru sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat pimpinan mereka, tumbuh semangatnya
dan terjadilah penyembelihan besar-besaran seperti yang semula direncanakan pasukan Yucen, akan
tetapi sekarang merekalah yang menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya!
Banyak di antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga yang terjun
ke jurang dan tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan hanya ada dua ratus orang saja yang
sempat melarikan diri menerobos kepungan musuh dan terus lari sipat-kuping ke bawah bukit!
Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung sampai pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya
mendapat kenyataan bahwa dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga ratus
orang musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun tidak semua tewas dan masih ada
yang dapat tertolong karena hanya menderita luka-luka saja! Kemenangan yang membesarkan hatinya dan
hati anak buahnya itu sekali ini benar-benar dirayakan mereka dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau
menceritakan pengalaman masing-masing dalam pertempuran semalam!
Maya membawa pasukannya turun bukit dan beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang
luas sehingga mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat dilanjutkan dengan
semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di depan pasukannya, kadang-kadang membiarkan
pasukannya lewat sambil dia mengucapkan kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga
semua anak buahnya merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka yang
ketika panglima di atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata terang-terangan,
“Hidup Maya Li-ciangkun! Kami siap mati membelamu!”
Maya tersenyum mengangguk dan berkata dengan suara merdu, “Aku pun siap mati membela Pasukan
Maut! Setiap orang dari Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku sendiri!” Tentu saja ucapan
panglima wanita remaja yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai gembira.
Ketika pasukan pada beberapa hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan berhenti. Maya
yang sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju ke depan. Kiranya di depan pasukannya
menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan keningnya dan memerintahkan perwiranya mengurus hal
itu. Akan tetapi sampai agak lama pasukan masih belum bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan
cepat ia menuju ke bagian depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan para penggembala domba,
bahkan terjadi perkelahian. Maya terkejut, cepat ia menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang
perwira roboh dan terluka, dia marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan lari ke depan.
Dilihatnya bahwa para perwiranya sedang berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik
sekali menyaksikan kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya dia itu pemimpinnya,
seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang
pecut kulit hitam, lengan kiri memondong seekor anak domba.
Gerakan penggembala muda ini hebat dan cepat sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar ganas,
merobohkan dua orang perwira sekaligus dan yang masih menandinginya adalah Kwa-huciang, seorang di
antara perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang bersenjata pedang dan kini terjadilah pertandingan
antara kedua orang itu.
Maya menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan kegagahan pemuda
penggembala muda itu. Setelah bertanding belasan jurus, tiba-tiba penggembala yang melawan Kwahuciang
sambil memondong domba itu berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang, lalu dibetot
hingga perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh terpelanting dan kini
penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas dada Kwa-huciang sambil berkata nyaring,
“Hayo lekas perintahkan pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!”
“Eh, galak amat!” Maya berseru sambil melompat maju. “Penggembala berbau domba, kau sombong sekali.
Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para perwiraku?”
Penggembala domba itu menengok dan kelihatan tercengang lalu menjawab, “Domba kami banyak yang
terinjak mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami sedang makan rumput, mengapa
pasukan kalian mengganggu? Mengapa tidak mengambil jalan memutar? Lihat, domba kecil ini sampai
patah kakinya!” Ia menoleh ke arah domba yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada
Maya sambil bertanya, “Eh, engkau ini prajurit wanita, mau apa?”
Maya tersenyum. “Orang kasar, agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba dari pada dengan
manusia.”
“Tentu saja! Apa sih baiknya manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi serigala.
Domba-domba adalah makhluk yang lemah, selalu mengalah dan...”
“Dan engkau lupa bahwa kau sendiri juga seorang manusia!” Maya memotong. “Ataukah barang kali
engkau ini pun seekor domba yang menyamar manusia?”
Pemuda itu gelagapan, merasa kalah bicara maka ia membentak, “Kau siapa dan mau apa?”
“Aku adalah panglima Pasukan Maut ini!” jawab Maya dengan sikap kereng.
Tiba-tiba penggembala domba yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang mampu
bernapas lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang-guncang dan mukanya
memandang langit.
“Ha-ha-ha-ha! Panglimanya seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan cantik! Pasukan
macam apa ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah dari pada domba!”
Kwa-huciang marah sekali. Dia sudah bangkit duduk dan kini ia bangun sambil membentak, “Penggembala
kurang ajar! Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?”
Akan tetapi Maya menggoyang tangan berkata, “Kwa-huciang, kau mundurlah dan biar aku sendiri yang
memberi hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah! Engkau kira bahwa engkau sudah paling
jempolan setelah mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang sudah kelelahan dan kehabisan
dunia-kangouw.blogspot.com
tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan tetap berdiri di sini, sedikit pun tidak akan memindahkan
kedua kakiku. Kau boleh menyerangku, kalau sampai aku merubah kedudukan kedua kakiku, aku
mengaku kalah padamu!”
“Kalau hanya mengaku kalah saja apa gunanya bagiku?” Pemuda itu membantah dan memandang Maya
penuh selidik, seolah-olah ia dapat merasa bahwa biar pun hanya seorang wanita muda, panglima itu
agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak berkepandaian tinggi, mana mungkin bersikap demikian
takabur?
Kembali Maya tersenyum. “Eh, pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merubah kedudukan kakiku, selain
aku mengaku kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan memutar dan akan kuganti
harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi bagaimana kalau kau tidak mampu
merubah kedudukan kakiku malah kau akan roboh olehku kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kau
pertaruhkan?”
Mata yang lebar penuh kepolosan itu terbelalak. “Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus
olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut dan menyembah seratus kali
kepadamu!”
“Kalau hanya disembah seratus kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?” Maya membalas
bantahan pemuda penggembala itu.
Pemuda itu kembali merasa kalah bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis
jelita yang perkasa itu. “Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin, hanya menjadi buruh menggembala
domba bersama teman-temanku, gajinya sebulan dimakan dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk
dipertaruhkan!”
Maya mengangguk-angguk. “Engkau punya banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu,
kejujuran, kesetiaan. He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku merobohkan
engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka menjadi seorang perwira Pasukan
Mautku!”
Pemuda penggembala itu mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun hasrat
hatinya menjadi perwira atau prajurit. Akan tetapi, ditantang seperti itu, dia menjadi penasaran. Pula, kalau
benar panglima wanita muda ini dapat merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua kaki,
berarti panglima ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali menjadi pembantu
panglima dewa atau dewi!
“Baiklah! Nah, rasakan lihainya pecutku!” Penggembala itu melangkah maju menghampiri Maya, pecutnya
ia gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil yang nyaring.
Ketika sinar hitam pecut itu melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan
gerakan ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri dan... pecut itu sudah berada di tangannya, yaitu
ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat betapa ujung pecutnya tadi seolah-olah
tertarik oleh sesuatu sehingga terbang ke arah tangan panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya
sebelum dipakai menyerang sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan
dengan membetot keras.
Maya tersenyum. “Aku hanya menahan sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu
melepaskan dombamu. Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!”
Bukan main heran hati penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang yang dapat
bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Maka ia pun
tidak menjadi sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya perlahan domba yang dipondong lengan kirinya. Maya
juga melepaskan ujung pecut itu dan memandang tersenyum melihat pemuda itu mulai menghampirinya,
dengan gerak langkah satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau menghampiri
calon mangsanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini. Pakaiannya kasar sederhana,
kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut
melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari terbuka dan telapak tangan
menghadap langit, sepasang matanya yang lebar memandang tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap
seorang ahli silat yang kuat!
Sementara itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di
tempat yang liar sehingga untuk menjaga keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah
mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap
hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada
justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah. Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut,
dan wanita-wanita.
Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki ilmu
kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka yang lemah. Pula, karena
keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang rendah. Maka dia tidak
segera menerjang secara ngawur, apa lagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh
jurus, maka setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar.
Mengingat pula akan janji wanita muda itu tidak akan merubah kedudukan kedua kakinya, maka Si
Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang dari
belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu tentu akan membalik tubuh dan
dengan sendirinya tentu akan merubah kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat
sebelah kaki. Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!
Ia lalu menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang adalah kedua kaki Maya!
Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus
ke sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau
mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu
tangan dara itu tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak!
Akan tetapi Maya sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu
sambil mengerahkan sinkang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya
mendorong dengan pukulan jarak jauh.
“Brettt... dessss...! Auggghhh...!” Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan tetapi
sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang mengandung Im-kang amat kuat
itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke
belakang dan dia menggigil!
Para perwira dan prajurit bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya
mengangkat tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu, “Engkau
sudah kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan
oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba.”
Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di
depan Maya sambil berkata, “Saya Cia Kim Seng adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan
mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah
dengan taruhan nyawa!”
Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan prajurit. “Para perwira dan prajurit
Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira pembantuku,
sebagai seorang anggota pasukan kita yang jaya!”
Terdengar sorak-sorai riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri
pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan seorang rekan.
Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa beruntung berada di tengah-tengah pasukan
yang demikian kuat dengan seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng,
menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka, “Eh, eh,
apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?”
“Kalau engkau masuk menjadi anggota Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami
mohon diterima pula menjadi anggota pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!” kata seorang di
antara mereka.
Maya tertawa gembira, “Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku.
Aku menerima kalian!”
Para penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan
jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua
orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim
Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari
penggembala menjadi prajurit Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?
Di sepanjang jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa
‘muridnya’ ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan besar, keringanan tubuh,
dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala itu ternyata menjadi prajurit-prajurit yang baik dan
kuat. Di sepanjang perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri dari
pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan yang tadinya hanya
tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan
ketika dia berangkat.
Pada suatu hari, pasukan telah tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di
tempat itu karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ, menanti beberapa orang
utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu.
Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para prajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah
pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah petunjuk-petunjuk Maya.
Yang mengagumkan adalah Kim Seng, karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam
latihan dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini
merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan orang
yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!
Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih, “Li-ciangkun, saya
melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan
tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor.”
Sepasang alis Maya berkerut. “Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita
geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang
menyuruhnya memata-matai keadaan kita.”
Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan di antara para pasukan, diam-diam Maya
bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan
para prajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut
dengan hormat dan gembira karena ke mana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah
terhadap semua prajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi, biar pun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap
saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah matamata
itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak
diketahui para prajurit yang demikian banyaknya? Kalau dia mencampurkan diri dengan para prajurit, hal
itu tidaklah mungkin karena para prajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang menyelundup. Untuk
itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para prajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya
mereka ketahui sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja,” kata Kwa-huciang, kepala
perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
“Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng,” bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya
yang keras hati itu tersinggung. “Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat ini
tentu dia berada di dalam kemahku sendiri.”
“Hahhh...?” Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
“Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?” tanya Kim Seng.
Maya tersenyum, “Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku
dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki
keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!”
Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya,
tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di
luar pintu kemah masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat
orang memasuki kemah itu.
Selagi para perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu
menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara keningnya berkerut tanda bahwa dia
sedang mengerahkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba wanita sakti ini berdongak memandang langit-langit
tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas.
Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu
dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah
ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga,
tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang tersenyum
mengangguk.
Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring, “Mata-mata keparat, turunlah!” bentakan ini
disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
“Brettt!” Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh
seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan
pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.
“Cringgg...!” Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar.
Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim
Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung
terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya. Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang
berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandaian Kim Seng sekali
pun.
Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat
dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh
Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan.
Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak
menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah
Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya, “Engkaukah yang bernama Maya?”
Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya
tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang
lain. Ia menjawab, suaranya dingin, “Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!”
Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut
yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang
wajahnya jelita seperti dewi. Maya..., Maya..., tadinya kukira mengenal nama ini... hemm, apakah engkau
puteri...”
Maya memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar, “Seorang gagah tidak mengandalkan
kepandaian bicara! Engkau siapakah dan mengapa engkau menyelundup seperti maling ke sini?”
“Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang
terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan
Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai
seperti dewi!”
Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia
mengenal seorang di antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan
tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia
pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui
bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan
Sung.
“Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?”
Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru, “Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...”
“Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?”
Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka, “Subo... Subo
telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya
dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, di samping kuburan Suhu...”
Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada
orang Mongol. “Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...”
Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk. “Suhu... Suhu... meninggal dunia karena duka dan... sakit...”
Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah
ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan,
agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apa lagi ketika mendengar pemimpin mereka
menyebut ‘bibi’ kepada pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka
dengar.
Melihat ini, Maya memandang mereka dan berkata, “Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah Puteri
Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung,
Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Ada pun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam.”
Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini
mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan
keponakan dari Mutiara Hitam!
“Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm... betapa aneh dan
mengagumkan.”
Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara
Hitam kalau saja di sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak
menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu... engkau mau apa?”
“Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin
mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu,
hemmm..., baiklah aku pergi saja!”
“Tahan!” Maya membentak, menahan kemarahannya.
Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapa pun juga, Ji Kun adalah murid bibinya,
jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai.
Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya
cita-citanya.
Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh. “Engkau mau apa?” tanyanya, sikapnya
congkak sekali.
“Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi
Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau
mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu
pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian
sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus
mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang di antara pembantu-pembantuku.
Bagaimana?”
“Li-ciangkun! Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan
Maut!” Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah, bahkan Kim Seng
segera berkata,
“Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?”
Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan
percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa, “Sudah adil!
Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu
ini aku tentu akan menang!”
“Sombong!” bentak Kim Seng dan bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.
“Menggelindinglah kalian!” tiba-tiba Can Ji Kun membentak.
Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua tangannya mendorong dengan tenaga sinkang-nya yang
ampuh. Kim Seng kena disambar pukulan sinkang, terhuyung-huyung ke belakang sedangkan sepuluh
orang perwira lainnya terguling roboh! Kesombongan Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak.
“Ji Kun, ternyata engkau hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang gagah!” bentak
Maya. “Majulah!”
Ji Kun berseru nyaring, kini kedua lengannya dilonjorkan mengirim pukulan sinkang ke arah Maya. Maya
mengerahkan sinkang-nya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut dorongan
kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.
“Desss!” dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke belakang
sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan sinkang melawan hawa
dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata terbelalak.
Maya masih berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang maklum bahwa yang
bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri mepet pada kemah dan menonton dengan
mata di buka lebar-lebar, tentu saja dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Can Ji Kun merasa penasaran sekali. Sinkang-nya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari sumoi-nya,
turun gunung dan malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan dunia penjahat karena kelihaian
dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun. Tidak pernah ada lawan yang mampu menandingi
kekuatan sinkang-nya, apa lagi ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan kedua tangannya hanya dilawan
dengan sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia
lalu menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya mengeluarkan
bunyi berkerotakan ketika sinkang-nya bekerja.
“Wut-wut... plak-plak...!” Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini malah sampai lima
langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang bergerak cepat melakukan pukulan-pukulan
dahsyat tadi kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak halus itu namun yang mengandung tenaga
mukjizat yang membuatnya tergetar, kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.
Rasa penasaran dan malu membuat Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia
mengeluarkan suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat, menerjang maju dan
menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum. Biar pun mulutnya tersenyum, akan tetapi Maya
bersikap tenang dan hati-hati sekali menyaksikan gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus serangan yang
dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh buah jari tangan pemuda itu bergerak-gerak
melakukan totokan dan cengkeraman.
Itulah jurus yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling
luar biasa dari Mutiara Hitam, yaitu Cap-sha Sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)! Menghadapi serangan ini,
Maya maklum bahwa dia tidak boleh lengah. Dia lalu mempergunakan ginkang-nya, tubuhnya berkelebat
cepat sekali, mengelak ke sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga tampak
gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung yang menolak dan menangkis semua
serangan lawan.
Ji Kun makin marah dan tiba-tiba ia merubah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti tadi ketika
ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar seperti gasing mengejar lawan dan dari
putaran itu kadang-kadang kedua tangannya mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangkasangka.
Inilah jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara Tiga
Belas Jurus Sakti!
Maya terkejut sekali. Akan tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah digembleng secara tekun
dan hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus aneh ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri tegak,
tidak menghiraukan bayangan tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada waktu tampak berkelebatnya
lengan tangan dari putaran itu menyambar, dia memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan
dorongan dengan tenaga saktinya.
Ketika Ji Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap lawannya yang lihai, tiba-tiba
tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya. Sebagai murid seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa
lawannya menggunakan ginkang yang amat hebat, yang lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, maka
cepat ia membalikkan tubuh. Dan memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di belakangnya.
Cepat Ji Kun melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan menggeledek
yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang perwiranya seketika merasa kakinya
lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi terdorong ke belakang dan hampir saja
ia roboh terbanting kalau tidak cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan
tetapi wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika
murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya!
Melihat ini Maya terkejut sekali dan menegur, “Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan senjata? Belum
terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini takkan terlawan olehmu dan mungkin hanya
mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan dapat menandingiku?”
“Kalau kau belum mengalahkan pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!” jawab Can Ji Kun
dengan keras kepala.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya menghela napas. Untuk mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak mudah. Dia maklum bahwa
biar pun kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun ilmu silatnya masih berada di atas tingkat Ji Kun, demikian
pula ginkang dan sinkang-nya. Hanya melihat pedang itu, dia merasa ngeri.
“Pedangmu dahsyat dan mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku takut
menghadapi pedangmu. Marilah!” Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah mencabut pedang
panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai pemberian Bu-tai-ciangkun sendiri. Sebuah pedang
yang amat baik, terbuat dari pada baja biru, akan tetapi bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di
tangan Ji Kun.
“Awaslah terhadap seranganku ini, Maya!” Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju, didahului oleh
sinar putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.
Maya tidak menjawab, melainkan mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya menusuk mata
kaki lawan. Serangan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya
sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke dada Maya.
Ji Kun mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin sekali Menteri Kam Liong yang ia
dengar memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Mutiara Hitam, maka dia pun mengerahkan seluruh
tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan
dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw Lam.
Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa biar pun dalam hal pengalaman masih kalah jauh oleh Menteri
Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat Maya malah lebih tinggi dari pada tingkat menteri putera
Suling Emas itu karena dara ini adalah penghuni Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek
Siansu!
Menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum sekali dan
memuji kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang. Terutama sekali pedang pusaka di tangan Ji Kun
membuat ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa maut yang menggetar dan dingin sekali. Kalau saja
sinkang-nya tidak sudah amat kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh getaran itu yang akan
mengacaukan permainan pedangnya. Dia pun tak berani mengadukan pedangnya dengan pedang lawan,
dan ketika Ji Kun mendesaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya mengelebatkan pedang
menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.
“Takkk!” Maya terkejut bukan main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang seolah-olah
mempunyai daya tarik atau daya sedot yang mukjizat! Dan kesempatan ini dipergunakan Ji Kun untuk
menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala Maya! Maya mengelak cepat.
“Breet!” Robek dan putuslah ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji Kun
tersenyum girang dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang pusaka itu selain mempunyai
wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot. Pengetahuan ini membuat dia memutar otak mencari
akal.
Ketika untuk kesekian kalinya sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim tusukan,
kembali ia menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena pertemuan langsung itu mungkin
sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan, dia berani menangkis dari samping.
Dia sengaja menangkis dari atas sehingga ketika pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada
di atas pedang lawan dan sebelum Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak,
Maya telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sinkang yang membentuk hawa
pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya bukan kepalang, yang oleh Han Ki disebut pukulan
Swat-im Sin-jiu!
Tubuh Ji Kun seperti terkena aliran halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari tangannya. Dia
berusaha mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah tubuhnya terguling, dan hanya jatuh
duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan matanya, mengerahkan hawa murni untuk
melindungi isi dadanya yang terserang hawa dingin luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak ada yang bergerak, semua terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang belum
pernah mereka saksikan selama hidup mereka.
Maya menyimpan pedangnya, membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu
dan tangannya menggigil. “Bukan main...!” serunya sambil menggeleng kepala. Memegang pedang itu, ia
merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang amat kejam!
Can Ji Kun membuka matanya dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya
bahwa ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan
menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata, “Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah
perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini.”
Bayangan khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit
berdiri, menyimpan pedangnya dan berkata, “Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo.”
“Ahhh... sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu,” kata Maya perlahan, kemudian
sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya, “Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah engkau
akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?”
Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab, “Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid
yang baik dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan mengingkari
janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.”
Sebelas orang perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking
girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia
akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!
“Ji Kun, mulai sekarang engkau menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang.
Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan Hwa. Di
manakah dia sekarang?”
Diingatkan kepada Ok Yan Hwa, sumoi-nya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya
(betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram. “Aku tidak tahu. Kami saling berpisah setelah
Suhu meninggal dunia dan turun gunung.”
Mungkin karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi
hati orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua murid bibinya itu dan
bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan hati pembantu barunya ini, maka dia tidak
bertanya lebih banyak.
Pada keesokan harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang
menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas, yang tadinya hendak
menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke
selatan, telah lebih dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara
Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan
Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan.
Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua belas orang pembantunya. “Karena sudah jelas bahwa barisan
Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku akan melanjutkan
gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Butai-
ciangkun yang masih menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh
orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!”
“Baik!” jawab Can Ji Kun yang segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa surat laporan
Maya dan berangkat pada hari itu juga ke timur. Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke barat.
“Sayang kita tidak tahu pasti ke mana mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak ada yang
mengenal baik daerah ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Li-ciangkun, harap jangan khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak akan keliru
kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke selatan.”
Maya tercengang. Banyak hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala
domba ini! “Mengapa kau berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak terdapat
barisan Sung?”
“Jalan mundur satu-satunya yang paling lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan
dengan barisan Yucen yang kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat terdapat pasukanpasukan
Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan Sung, akan tetapi mengingat keadaan
Sung yang makin lemah dari pada menghadapi barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi
pasukan Sung. Maka kiranya tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa barisan Mancu itu tentu
mengundurkan diri ke selatan.”
Maya mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si Penggembala domba ini
memiliki pemandangan yang luas dan cerdik. “Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke selatan.”
Pada keesokan harinya berangkatlah pasukan itu menuju ke selatan dan ketika para penyelidik memberi
pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke
selatan, Maya makin kagum terhadap pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat
sunyi, karena sebagian besar penduduk mengungsi dari daerah yang dilanda perang itu.....
********************
Kita kembali mengikuti perjalanan dan pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu gerak tangan kilat dan gerak
kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung dan lengan kirinya juga buntung. Kedua ilmu silat yang
amat aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung.
Ilmu silat ini memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek itu, bahkan
sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki
tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacat saja sudah begitu hebat, apa
lagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu silat
yang tingkatnya jauh lebih tinggi pula. Di samping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua
ilmu itu!
“Bagus! Lihiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna! Andai kata aku sendiri yang melatih
dengan kaki tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!” Lu Gak, demikian nama kakek itu tertawa
puas.
Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali ia minta agar kakek itu
beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek
itu buruk sekali! Kini biar pun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya memburu.
“Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat.”
“Baiklah... baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil tempat di
kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami kedua pihak di mana terdapat pula
kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah aku Lihiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan
mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata terpejam.”
“Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan lancar,” jawab Siauw Bwee dan hatinya lega
menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok.
Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, biar pun tidak berkaki dan hanya berlengan satu,
namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke atas tanah. Akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini
bukan lawan kaum kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan telah berkumpul seluruh anggota kaum kaki
buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka
dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung.
Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati!
Pihak yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan tahun depan,
akan tetapi ada kalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga semua anggota saling serang
merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak korban di kedua pihak.
Kedua pihak telah mengajukan lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi sebelum
pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah meloncat ke tengah-tengah
antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat
tersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau
kemunculannya akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan
tugas hidupnya!
Melihat munculnya Siauw Bwee yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini
pernah bentrok, kedua kaum cacat itu menjadi terkejut dan marah.
“Bocah pengecut!” bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah
‘membunuh’ gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin kacau anak
buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata
selama bertahun-tahun itu pun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang
ilmunya tinggi itu berada di situ!
“Mau apa engkau?” bentak The Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya
karena teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak berpihak kepada siapa pun.
Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum
mengejek dan suara bernada dingin, “Kalian ini orang-orang tua, sudah bercacat tubuhnya akan tetapi
masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu haus
darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara
seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini masih
juga dilanjutkan?”
“Eh, bocah setan. Mau apa engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkutpautnya
dengan dirimu?” bentak Liong Ki Bok.
“Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan denganmu!” bentak pula The Bian Le.
Siauw Bwee tertawa, “Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya
saling bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian besikap seperti hendak bersatu! Alangkah
akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah
dengan hidup berdampingan secara damai kalian dapat saling tolong-menolong?”
“Banyak cerewet!” The Bian Le berteriak, “Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga
tidak boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara kami musnah,
barulah akan terhenti!”
“Wah, wah! Memang aku tahu bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak
orang baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi murid saja sudah
terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau
kakinya, yang didapat hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara
sendiri!”
“Engkau terlalu menghina kami!” teriak Liong Ki Bok.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Perempuan keparat!” The Bian Le membentak.
Siauw Bwee mengangkat kedua tangan ke atas. “Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang
seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja
mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri
dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian
boleh melanjutkan permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanakkanak
kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan merubah menjadi persaudaraan.
Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu mengalahkan aku kalau bisa!”
Dua orang ketua itu tertegun. Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka
berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga memperlengkap
kekurangan mereka.
“Nona, jangan main-main!” teriak Liong Ki Bok.
“Engkau mencari mampus!” teriak pula The Bian Le.
“Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jeri mengeroyok aku?”
“Keparat! Siapa takut?” Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
“Kalau begitu, kalian menerima taruhanku?” tanya Siauw Bwee dengan girang.
Kedua orang ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah
sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
“Aku terima!” kata Liong KI Bok.
“Marilah!” kata The Bian Le.
“Bagus! Nah, seranglah!” Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di
kanan kiri.
Liong Ki Bok sudah menggerakkan kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat.
Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The
Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan yang dahsyat!
Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka dan perkembangannya, tahu pula
cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek. Makin diserang, makin cepat
ia mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah.
Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan
kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking cepatnya. Demikian pula The Bian Le
seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang menghujankan tendangan dengan gerak kaki yang indah
dan rapi.
“Dukk!” Kedua orang ketua itu terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki
tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The Bian Le
sudah kena ditepuk!
“Nah, bukankah ilmu kalian seperti ilmu kanak-kanak?” Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena
kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan
pemecahan rahasia kedua ilmu mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan
kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya
setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan gerakan mereka! Setelah
bertanding selama seratus, jurus, akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok
thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua itu
mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh!
Siauw Bwee bertolak pinggang. “Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi
janji?”
Liong Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw
Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum
cacat itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua
mereka membentak mereka supaya mundur.
“Aku mengaku kalah. Nona lihai sekali, akan tetapi... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak
tangan kilat kami?” kata Liong Ki Bok.
“Hal itu tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji untuk
menghentikan permusuhan!”
Tiba-tiba The Bian Le berseru, “Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah.
Sampai lain tahun!” Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang anak buahnya, pergi
dengan wajah muram dan penasaran!
“Kami memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk kali ini!” kata pula Liong Ki Bok, yang juga
berloncatan pergi diikuti semua anak buahnya.
Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya
berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil menghentikan permusuhan di
antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara
teriakan keras dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak
roboh dengan mata mendelik!
“Lu-locianpwe!” Siauw Bwee cepat memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa kakek
itu terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh yang hanya berlengan
satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek itu setelah sadar lalu mengeluh panjang dan
menggeleng kepalanya.
“Keras kepala... keras kepala mereka itu... Lihiap...!”
“Aku akan menghajar mereka, Locianpwe. Akan kupaksa mereka!” Siauw Bwee berkata gemas, maklum
bahwa kakek ini merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa kedua kaum itu masih saja tidak
mau menghentikan permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah gagal!
Akan tetapi, dengan napas terengah-engah kakek itu berkata, “Percuma, Lihiap... Ahh...! Kiranya hanya
Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka mata mereka bahwa semua
permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik...”
“Tenanglah, Locianpwe. Yang paling penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahanlahan
kita mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu.”
“Aihh, kau baik sekali, Lihiap. Akan tetapi mereka, aahhh...” Dan kakek itu lalu menangis terisak-isak!
Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan kakek itu yang telah menurunkan ilmu
silat yang luar biasa kepadanya. Dengan sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga hari kemudian, selagi Siauw Bwee menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat ke luar dan tampaklah semua anggota kedua kaum
bercacat itu berkumpul di luar pondok dan saling memaki.
“Sudah jelas betapa rendah dan curangnya Si Lengan Buntung!” teriak seorang nenek berkaki buntung
sambil menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang memandang marah. “Siapa lagi
kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan bantuan gadis setan itu? Orang she Lu adalah
seorang di antara kaummu, tentu membantu kalian!”
“Tutup mulutmu yang kotor!” bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan telunjuk lengan
tunggalnya kepada rombongan kaki buntung, “Gadis itu pernah berada di tempat kalian, tentu dia telah
membantu kalian menculik ketua kami!”
Mendengar ini Siauw Bwee yang baru keluar berseru, “Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?”
Semua orang menengok dan ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando saja mereka kedua
pihak telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee.
Dara perkasa ini terkejut dan heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan, menyambarnyambar
laksana burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga terdengarlah orang-orang
mengaduh disusul robohnya belasan orang berturut-turut! Untung bagi mereka bahwa Siauw Bwee masih
menaruh kasihan, menganggap mereka itu orang-orang keras kepala yang bodoh dan dimabok dendam,
maka dia masih menahan tenaganya dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
“Tahan... Apakah kalian telah gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua...!”
Siauw Bwee melompat ke dekat pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan pintu,
menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum cacat itu memandang
Lu Gak dan seorang kakek lengan buntung berkata,
“Lu-supek, Suhu The Bian Le telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona
ini?”
“Juga ketua kami diculik oleh Nona ini!” berkata seorang tokoh kaki buntung.
Lu Gak menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hemm... kalian sudah gila semua, gila oleh dendam
permusuhan sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta. Apakah kalian melihat
sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?”
“Kemarin pagi ketua kami menyatakan hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat
rawa melawan ketua lengan buntung,” demikian kakek yang berkaki buntung bercerita, “Kami dilarang
turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan di antara kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar
jangan diketahui oleh Nona ini yang melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang,
maka terpaksa kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami tiba di dekat rawa, kami bertemu
rombongan lengan buntung yang juga mencari ketua mereka. Akan tetapi kedua pihak kami hanya
mendapatkan lengan baju yang buntung dari ketua lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak
kelihatan mayat di situ, berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan
Nona ini?”
Tiba-tiba Siauw Bwee melangkah maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah mundur.
Mereka jeri terhadap Siauw Bwee yang luar biasa lihainya. “Permusuhan di antara kalian telah
menimbulkan banyak mala-petaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah satu-satunya orang yang sadar
dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya?
Membuntungi kedua kakinya! Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah
jalan yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan kalian datang pula
menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa besar rasa sayang Locianpwe ini kepada
kedua kaum yang gila, agaknya aku akan senang untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalatlalat
busuk yang hanya mengotori dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian
sehingga ketua kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku berjanji untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka bersumpah untuk menghapus permusuhan dan
bekerja sama membantu aku mencari mereka?”
Orang-orang kedua rombongan saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.
“Ingat, orang yang dapat menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku akan berusaha
mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua kalian. Akan tetapi bersumpahlah lebih dulu bahwa
semenjak saat ini, semua dendam di antara kalian telah habis dan kalian tidak akan saling bermusuhan lagi,
bagaimana, sanggupkah?”
Hening sejenak dan terdengar mereka semua berbisik-bisik. Kemudian, kakek kaki buntung memelopori
teman-temannya, “Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup asal ketua kami diselamatkan!”
Siauw Bwee tersenyum. Memang pihak kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya,
“Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan mencari dan menyelamatkan
Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!”
“Kami... kami sanggup dan bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami diselamatkan!”
Akhirnya nenek lengan buntung berseru.
Siauw Bwee masih belum puas. Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan di antara mereka dan
siapa tahu kalau nanti ketua mereka telah berada di tengah mereka, permusuhan akan dilanjutkan.
“Bagaimana kalau kelak ternyata bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan
permusuhan?”
Hening pula sejenak dan tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan penuh
perhatian berkata, “Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian menaati kehendak ketua kalian
yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih nekat saling bermusuhan dan tidak menaati janji dengan
Khu-lihiap, kita hancurkan saja mereka yang menjadi sarang dan bibit permusuhan.”
“Akurr...!” Kini semua anggota kedua kaum itu berteriak.
Wajah Siauw Bwee berseri, “Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap
meninggalkan lengan baju dan tongkat!”
Berangkatlah mereka menuju ke rawa di mana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok burungburung
liar. Ketika mereka tiba di tepi rawa di mana mereka menemukan tongkat Liong Ki Bok dan lengan
baju The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke sekitarnya dan dia mengerutkan kening. Rawa itu amat luas
dan tidak tampak tempat yang kiranya dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal orang yang menculik
kedua orang ketua itu. Dia merasa heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik, tentu tidak
disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat. Tempat terbuka luas seperti rawa ini, mana
mungkin dipakai menawan orang?
Dia memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan tempat sarang maut dan
teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok
burung, yaitu Cia Cen Thok si bekas ‘mayat hidup’ dan pemuda Gobi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok
Sun. Tentu mereka itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau... dikeroyok ular.
Siauw Bwee bergidik.
“Lihiap, ke mana sekarang kita mencari mereka?” Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan semua
orang kini memandang kepada Siauw Bwee.
Siauw Bwee menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka, yang sejak tadi mengerutkan alisnya dan
memandangi daerah rawa yang luas, berkata, “Ahh, aku tahu! Tidak salah lagi...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang kini memandang kakek itu dan Siauw Bwee bertanya, “Di mana mereka menurut
pendapatmu, Locianpwe?”
Semua orang diam mendengarkan jawaban kakek itu, “Kedua orang sute itu kalau diculik orang tentu
disembunyikan di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk maksud itu dan satu-satunya
tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!”
Orang-orang kedua kaum cacat itu saling pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai
kelihatan murung dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu, kecuali jika
diadakan pibu! Namun melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak pergi menuju ke kuil tua, mereka mengikuti
dari belakang.
“Lihat itu...” Siauw Bwee berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda
beterbangan di atas kuil.
“Kelelawar-kelelawar siang!” Anggota kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan
langkah. Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah kuil. Kedua rombongan
maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah takut-takut.
Siauw Bwee lebih dulu tiba di kuil dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menembus
ke halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang mengejutkan hatinya. Liong
Ki Bok dan The Bian Le rebah telentang di atas rumput, agaknya terluka dan tertotok. Dua orang kakek itu
terbelalak memandang ke arah ratusan kelelawar yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara
seperti sekumpulan anjing dan kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak
berdaya itu!
Melihat ini, Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat mengeluarkan suara
melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini Siauw Bwee segera teringat. Melihat kakek itu dengan
susah payah mengerahkan tenaga khikang, ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan
mengandung getaran hebat. Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri
dengan terbang membubung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu makin bingung,
bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara melengking yang begitu dahsyatnya.
Tiba-tiba di luar kuil terdengar suara tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan suara
gedebak-gedebuk orang berkelahi.
“Locianpwe, harap menjaga agar binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu
memaksa diri. Aku akan melihat keluar!” Tubuh dara perkasa itu sudah berkelebat ke luar kuil dan apa
yang dilihatnya membuat ia terbelalak keheranan.
Puluhan orang-orang anggota kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua orang yang
tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah belasan orang anggota kedua kaum itu
roboh tewas, banyak pula yang terluka dan kedua orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja rawa! Lebih banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa
kelelawar!” teriak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat saja, tubuhnya
penuh lumpur.
“Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran
rawa-rawa!”
Siauw Bwee menahan napas melihat orang kedua yang pakaiannya robek-robek tidak karuan hampir
telanjang itu. Seperti orang pertama, rambutnya riap-riapan, tubuhnya penuh lumpur dan mata mereka itu
merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian mereka luar biasa sekali. Mereka bersilat seperti
orang ngawur saja akan tetapi setiap tangan mereka bertemu dengan anggota-anggota kedua kaum yang
mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cia Cen Thok, Liem Hok Sun...!” Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran. “Semua
orang mundur, jangan melawan mereka!”
Mendengar seruan ini dan karena memang takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu,
anak buah kedua kaum cacat itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya Siauw Bwee saja yang
berhadapan dengan dua orang gila. Ia menoleh dan berkata kepada orang-orang itu. “Ketua kalian selamat,
di halaman belakang!” Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.
“Cia Cen Thok, Liem Hok Sun, apa yang kalian lakukan ini?” Siauw Bwee memberanikan diri menegur
dengan hati gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak waras lagi dan
tidak normal.
“Ha-ha-ha!” Kedua orang itu tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.
“Cia Cen Thok! Liem Hok Sun! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!”
“Ha-ha-ha! Korban lunak untuk para dewa kelelawar!” Tiba-tiba Cia Cen Thok yang tertawa-tawa itu
menyerang hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak.
Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka semua
beracun! Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri
dari pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan kelelawar-kelelawar itu sehingga
menjadi gila dan selain gila, tubuh mereka menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua
orang gila itu telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat sekali!
Pada saat Siauw Bwee mengelak dan mengandalkan ginkang-nya agar jangan sampai kulit tubuhnya
tersentuh tangan-tangan beracun itu, para anggota kedua kaum telah memapah ke luar ketua mereka,
mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil menonton pertandingan yang dahsyat
mengerikan itu. Mereka tidak membantu karena ketua mereka berkata, “Dua orang itu korban kelelawar,
tubuh mereka beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan mereka!”
Siauw Bwee harus menggunakan seluruh kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu.
Yang menyulitkannya adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena maklum bahwa dua
orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa mungkin dia tega untuk membunuh mereka?
Inilah yang menyulitkan, karena kedua orang itu menyerangnya dengan nafsu membunuh. Setelah menjadi
korban gigitan kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga gerakan mereka
menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai dari pada sebelum gila.
Bukan main ramai dan serunya pertandingan itu. Biar pun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan
cepat sekali, akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa bagian
pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet cakaran tangan Hok Sun sehingga
mengeluarkan darah. Rasa gatal dan panas pada pundaknya membuat Siauw Bwee maklum bahwa dia
telah terkena racun. Terpaksa dia harus mengerahkan sinkang-nya dan dengan hawa murni itu dia
mendesak hawa beracun di pundaknya sehingga tidak menjalar lebih luas.
Ketika ia agak lengah karena melirik ke arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok
dengan tendangan yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya.
“Desss!” tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah!
Dua orang gila itu terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan seperti dua
ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa pahanya panas sekali, maka cepat ia
menggunakan sinkang melindungi darahnya. Melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas. Gila
atau tidak, mereka itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia robohkan tentu akhirnya
dia sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka menubruk maju Siauw Bwee mengerahkan sinkangnya
dan menyambut tubuh mereka dengan tendangan kedua kakinya!
“Bukk! Bukk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang gila itu berteriak seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar ke belakang dan mereka
bergulingan menekan perut yang rasanya seperti diremas-remas! Mereka kini meringis dan Siauw Bwee
sudah melompat bangun, kepalanya pening akibat bau racun dan tubuhnya agak terhuyung. Akan tetapi
hatinya merasa kasihan sekali melihat dua bekas kawan yang gila itu meraung-raung kesakitan. Namun
kedua orang itu kini sudah bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya.
Siauw Bwee terkejut. Kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Dia harus membagi sinkang untuk
melindungi tubuhnya dari kedua lukanya, luka di kulit pundak dan kulit pahanya. Tendangan Cen Thok tadi
merobek celananya di paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan keracunan pula bertemu dengan kaki
Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu sudah menyerbu lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan
Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan.
Tubuh kedua orang gila itu seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi biru, tubuh
mereka menggigil dan mereka bergulingan sampai jauh, kemudian berhasil merangkak bangun dan
melarikan diri sambil berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki buntung dan
seorang anggota lengan buntung cepat menolongnya, memegang kedua lengannya menuntunnya
memasuki kuil tua.
“Lepaskan aku...,” Siauw Bwee berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya
dan tidak bergerak-gerak.
Para anggota kedua kaum itu mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersemedhi menghimpun tenaga dan
hawa murni untuk mengobati luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian Le
memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee. Mereka pergi ke ruangan
depan di mana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa bersatu dan lenyaplah rasa permusuhan
di antara mereka setelah kedua pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir
mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan demi untuk mendamaikan mereka!
Mereka tidak mau meninggalkan Siauw Bwee dan beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk dan
pergi lagi ketika melihat Siauw Bwee masih tetap bersemedhi. Malam tiba dan para anggota kedua kaum
itu menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu menjadi tempat tinggal nenek
moyang mereka yang saling bermusuhan. Kini tampaklah suasana yang mengharukan di mana seorang
kaki buntung dan seorang lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu halaman kuil!
Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling membicarakan kedua ilmu
mereka, membuka rahasia gerak kilat masing-masing!
Setelah malam tiba dan lampu penerangan dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di
pundak dan pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah karena ia terlampau
banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran racun-racun berbahaya itu, sehingga ketika bangkit
ia mengeluh dan terhuyung. Kemudian dengan terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggota kaki
buntung dan lengan buntung.
“Mana kedua ketua kalian?” tanyanya ketika ia dipapah ke luar.
Kedua orang kakek itu sudah menyambutnya dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw Bwee,
mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu! “Terima kasih kami haturkan
kepada Lihiap yang sudah menolong kami!” kata The Bian Le yang berlutut dan mengangkat sebelah
tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Terima kasih sekali, terutama karena Lihiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah
untuk mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami bersatu sebagai
saudara-saudara seperguruan,” kata Liong Ki Bok.
Bukan main girangnya hati Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini biar pun ditebusnya dengan
bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang karena mengingat betapa akan bahagianya rasa hati
Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya, “Mana dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang ketua itu saling pandang, “Siapakah yang Lihiap cari?” tanya Liong Ki Bok.
”Hemmm, betapa kalian telah melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian!
Mana Locianpwe Lu Gak?”
“Ahh...!” Barulah semua orang teringat, akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.
”Lekas, jemput dia di pondoknya!” Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu menyuruh
mereka karena dia sendiri masih terlalu lemah.
Dua orang kakek itu cepat pergi sendiri dan tak lama kemudian mereka datang dengan wajah berduka
sambil memanggul tubuh yang hanya berlengan satu dan yang sudah tak bernyawa itu!
Hati yang duka dari Siauw Bwee berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu
Gak. Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya saking girangnya
menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang dengan hati girang dan rasa girang yang
berlebihan menyerang jantungnya dan membuatnya mati dalam keadaan penuh bahagia! Jenazah Kakek
Lu dikubur di halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah.
Siauw Bwee berkata dalam pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh, “Kuharap saja kalian
akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk permusuhan dan membuntungi kaki
dan lengan orang. Anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai lambang perdamaian abadi.”
Siauw Bwee diantar oleh semua anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu itu, diberi pakaian, kuda
dan bekal secukupnya. Kedua ketua itu berlinang air mata ketika Siauw Bwee melambaikan tangan
sebagai ucapan selamat tinggal, meninggalkan tempat yang takkan dapat ia lupakan itu karena di situ dia
telah mengalami hal-hal yang hebat.
Setelah meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan mencari ibunya. Akan
tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar berita dari seorang perwira Sung bekas
sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri mengungsi itu telah meninggal dunia karena
sakit sesudah mendengar bahwa suaminya gugur. Siauw Bwee sempat mengunjungi kuburan ibunya,
bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan ibunya di dusun sunyi sampai beberapa hari.
Karena mendengar keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin barisan besar
ke utara untuk melawan para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu di perbatasan utara, dia lalu
melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara. Kebenciannya terhadap musuh besar itu meningkat karena
dia menganggap bahwa kematian ibunya pun disebabkan oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan
setiap saat teringat dengan hati penuh rindu kepada suheng-nya, Kam Han Ki, kini melakukan perjalanan
dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya menjadi pendiam dan kurang gembira.....
********************
Kota-kota dan dusun-dusun daerah utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi
menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi karena selain tidak tahu harus
pergi ke mana, juga mereka merasa sayang untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka.
Ada pula yang menyuruh keluarganya saja pergi mengungsi. Karena banyak warung, toko dan restoran
tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan toko merupakan usaha yang amat baik dan
menguntungkan.
Warung-warung nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat itu sewaktu-waktu
kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan bangkunya butut, tembok-tembok rumahnya tidak
dikapur dan makanan yang disediakan pun amat sederhana, walau pun harganya sama sekali tidak
sederhana, melainkan harga pukulan!
Bagi restoran-restoran di dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang
kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat dusun itu. Para prajurit yang
makan-makan di restoran tidak berani berbuat sewenang-wenang dan selalu membayar karena pemilikdunia-
kangouw.blogspot.com
pemilik restoran itu dengan cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan mengirim hidanganhidangan
yang lezat. Selama ini, juga dengan adanya rumah-rumah makan itu mereka mendapat
kesempatan untuk sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak bayar dan semua restoran tutup, tentu
mereka akan kehilangan.
Pada suatu pagi, Panglima Maya dan sebelas orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup
besar di kota dekat tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta para
perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu dilayani penuh hormat. Para pengawal
cukup duduk di ruangan bawah saja dan mereka menghadapi meja sambil bersendau-gurau. Karena para
pemimpin mereka berada di loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dan
bersendau-gurau saling menggoda.
Tiba-tiba delapan orang prajurit pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu menghentikan
sendau-gurau mereka dan semua mata memandang ke arah pintu restoran, mulut mereka tersenyumsenyum.
Siapa orangnya yang tidak akan terpesona menyaksikan seorang dara jelita memasuki restoran
itu dengan langkah tegap dan lenggangnya menggiurkan itu?
Dara itu masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning dengan leher baju biru
seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh debu dapat diduga bahwa dia baru datang dari
perjalanan jauh. Wajah dara ini cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk
indah, kerlingnya tajam dan menyentuh birahi. Ketika seorang pelayan menghampirinya, dara itu mengulur
sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh lengan Si Pelayan sambil berkata, “Cepat sediakan nasi,
lauk-pauk seadanya dan minuman teh panas!”
Para prajurit tertawa-tawa gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani dan ramah, berani
memegang lengan seorang pelayan laki-laki tanpa sungkan-sungkan lagi.
“Wah, sayang bukan lenganku...!” terdengar seorang prajurit berkata sambil mengelus-elus tangannya
sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya.
Dara itu tidak peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng. Para prajurit
itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh oleh dara baju kuning itu seketika menjadi
pucat, tubuhnya gemetar dan setelah dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan
yang dipesan, sikapnya amat hormat dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang prajurit dari
meja yang telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang belum dilayani.
Seorang prajurit dari meja kosong menggebrak meja, “Apa ini? Pelayan, kami memesan lebih dulu, kenapa
melayani orang yang datangnya belakangan? Apa kau kira kami tidak membayar?”
“Ha-ha-ha!” Seorang prajurit dari meja yang sudah dilayani tertawa, “Kenapa mencak-mencak? Kalau
mukamu cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu! Ha-ha-ha!” Temantemannya
tertawa dan empat orang prajurit yang belum dilayani itu makin marah.
“He! Pelayan! Ke sini kau kalau mau tahu rasanya pukulan perajurlt-prajurit Pasukan Maut!”
Pelayan itu berdiri dengan kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja telah menuangkan
teh ke dalam cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si Pelayan, “Pelayan, jangan layani
anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama sekali yang menggunakan nama Pasukan
Maut, tentu lebih tidak baik lagi!”
Mendengar ini, empat orang prajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja gadis itu,
mengurung dari empat penjuru. Seorang di antara mereka yang berada di belakang gadis itu mencabut
golok dan berkata, “Eh, engkau perempuan kang-ouw merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau
memang pedangmu lebih tajam dari mulutmu yang manis!”
Gadis itu masih memegang cawan teh panas, menunda minumnya dan, matanya yang indah bergerak
melirik ke kanan kiri dan depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Prajurit yang berada di depannya sudah membentak, “Engkau sungguh kurang ajar, datang-datang minta
dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda cantik, kami masih mengalah dan hanya ingin
menegur pelayan. Kenapa kau memaki kami? Penghinaan itu baru lunas kalau kau membayar dengan
sebuah ciuman dari bibirmu yang ma... oughhh...!” Prajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
mukanya sudah kena siraman air teh panas yang telah ‘meloncat’ dari cawan yang dipegangi dara itu.
Tiga orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan tetapi dari dalam cawan itu
kini air teh ‘meloncat’ ke tiga penjuru, ke kiri kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang prajurit
yang menjadi gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan tetapi juga karena percikan air
yang mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum menusuk!
Empat orang prajurit lain menjadi marah menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan
mengusap-usap mata seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.
“Tentu dia mata-mata musuh! Serang! Bunuh...!”
Dara itu bangkit berdiri, tangannya meraih ke depan dan sebuah piring melayang-layang terbang
menyambar empat orang prajurit itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang prajurit itu roboh
dengan lengan mereka berdarah karena ketika mereka menangkis, lengan mereka tergores piring yang
karena berpusing itu menjadi tajam melebihi pisau!
Akan tetapi tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara, kemudian berdesing turun menyambar kepada dara
itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget, menangkap piring, dan meletakkannya di atas meja. Dia lalu
menoleh ke arah anak tangga menuju loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang wanita cantik dan
gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu memandang tajam dan kakinya menendang
meja di depannya sehingga meja itu terlempar jauh. Agaknya dia tahu bahwa dia kedatangan lawan
tangguh, maka ingin mencari tempat yang luas untuk menghadapi pengeroyokan.
Ketika para perwira lari-lari turun dari loteng dan para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru,
“Tahan! Mundur semua! Aku mau bicara... dengan dia!”
Dara itu telah siap, berdiri dengan tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang
juga tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka berhadapan dan saling
pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat karena masing-masing seperti telah mengenal.
Ketika Maya melihat gagang pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan segera menegur,
“Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?”
Dara itu kelihatan kaget sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya, “Bagaimana engkau bisa
tahu?”
Maya tersenyum lebar, “Kalau benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa
kepadaku!”
Dara perkasa itu memang benar Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan teringat,
lalu berkata, “Dan engkau agaknya Maya...”
“Benar, Yan Hwa, kebetulan sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak mengenal
wanita perkasa! Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta maaf!”
Mendengar bahwa dara baju kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun, delapan orang
prajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata, “Lihiap, mohon sudi
mengampuni kami yang bermata tapi seperti buta!”
Akan tetapi Ok Yan Hwa yang berwatak angkuh tidak mempedulikan mereka, apa lagi karena ia tertarik
dan terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari ‘Can-huciang!’
“Apa maksudmu, Maya? Benarkah Suheng berada di sini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Yan Hwa. Dia adalah seorang di antara pembantu-pembantuku yang utama.”
“Suheng? Ah, mana mungkin Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?”
Maya mengerti bahwa dalam hal keangkuhan gadis itu tidak kalah oleh suheng-nya. Maka ia pun berterus
terang dan tersenyum, “Dia menjadi perwira pembantuku karena kalah taruhan.”
Yan Hwa mengerutkan alisnya, memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar mata
marah karena mengira bahwa Maya bicara main-main, “Maksudmu?”
“Dia telah mengadu kepandaian melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan
meninggalkan kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut, dan kalau dia yang kalah dia akan
membantuku dan menjadi perwiraku.”
Yan Hwa membelalakkan matanya yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang. Ketidak-percayaan
membayang jelas di wajahnya, “Aku tidak percaya. Mana dia?”
“Dia sedang bertugas ke pantai timur, menjalankan perintahku.”
“Hemmm..., aku lebih tidak percaya lagi.”
“Bahwa dia menjadi perwira pembantuku?”
“Aku tidak percaya bahwa dia telah kalah olehmu!”
“Namun kenyataannya demikianlah, Yan Hwa. Karena suheng-mu sudah menjadi pembantuku, bagaimana
kalau engkau juga membantu aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung yang telah menewaskan
Menteri Kam Liong kakak subo-mu, kita membasmi tentara Yucen, dan terutama sekali kita membasmi
bangsa Mongol yang telah membunuh subo-mu. Bagaimana?”
Sejenak Yan Hwa diam memutar pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suheng-nya, karena rindu
dan juga karena ingin melihat apakah sekarang, setelah merantau sekian lamanya, dia sudah dapat
menundukkan suheng-nya itu.
“Aku tetap tidak percaya bahwa Suheng telah kalah olehmu.” Ia mengamati wajah Maya yang amat cantik
jelita itu. Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang
begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu! “Kalau benar Suheng menjadi perwira
pembantumu, aku lebih percaya kalau dia lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu.”
Wajah Maya menjadi merah, akan tetapi ia tetap tersenyum dan berkata dengan ejekan yang disengaja,
“Yan Hwa, engkau tetap angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak percaya, bagaimana kalau kita pun
mengadakan pertaruhan seperti yang telah dilakukan suheng-mu?”
“Engkau menantangku?” Sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
“Bukan menantang, murid bibiku yang manis, melainkan aku mengajak engkau berjuang bahu-membahu,
dan untuk meyakinkan hatimu maka marilah kita mencoba kepandaian, tentu saja kalau kau berani.”
“Singggg...!” Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut pedangnya.
Jantung Maya berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa terheran-heran. Mengapa mendiang bibinya
yang terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang sakti dan gagah perkasa suka memiliki dua buah
pedang seperti yang diwariskan kepada Ji Kun dan Yan Hwa ini? Pedang di tangan Yan Hwa mempunyai
wibawa yang sama dengan Pedang Iblis Jantan milik Ji Kun.
“Engkau menerima pertaruhan ini?” dia bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yan Hwa mengangkat pedangnya, tegak lurus di depan dahinya. “Maya, aku telah bersumpah demi
kehormatan nama suhu dan subo, pedangku ini hanya akan menghirup darah orang-orang jahat. Baru
sekarang tercabut ke luar dari sarungnya bukan untuk membasmi penjahat. Akan tetapi ketahuilah, sekali
pedang ini tercabut, dia tidak akan kembali ke sarungnya sebelum menghirup darah. Karena itu, katakan
bahwa engkau membohong, bahwa Suheng tidak pernah kau kalahkan, dan aku akan menyimpannya
kembali dan pergi dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah penjahat di lain tempat yang
kudapatkan.”
Maya tersenyum. “Yan Hwa, engkau tidak memalukan menjadi murid mendiang Bibi Mutiara Hitam.
Engkau seorang pendekar, akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam hatimu. Aku tidak pernah
membohong, dan biar pun aku tidak memiliki sebatang pedang pusaka sekeji pedangmu itu, namun aku
tidak takut menghadapinya.” Sambil berkata demikian perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan
membuka jubah luarnya yang ia lemparkan kepada Cia Kim Seng.
Bekas penggembala domba ini menerima jubah dan dia bersama para perwira lain kini mencari tempat
yang enak buat menonton pertandingan yang akan terjadi. Para prajurit pengawal sudah menjauh-jauhkan
meja kursi di dalam restoran itu sehingga ruangan restoran yang cukup luas itu kini menjadi sebuah arena
pertandingan yang dapat diduga akan terjadi dengan dahsyat dan seru.
“Maya, bersiaplah engkau!” Sebelum gema suara ini habis, tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah berkelebat ke
depan didahului sinar putih berkilat yang menyilaukan mata.
Diam-diam Maya kagum. Kiranya Yan Hwa memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan dari pada Ji Kun,
maka ia bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas dengan tusukan pedangnya dari
samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang pusakanya, maka dia menyabetkan pedangnya
untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya dengan maksud merusak pedang lawan.
“Bagus!” Maya memuji dan meloncat tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah kakinya. Dari atas,
jubah Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya mengancam ubun-ubun kepala lawan.
Hebat bukan main gerakan Maya ini, selain indah juga amat sukar dilakukan sehingga para perwira
pembantunya memuji.
Juga Yan Hwa kagum sekali, akan tetapi watak dara ini tidak ada bedanya dengan watak suheng-nya. Dia
tahu bahwa Maya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya kalau
Maya dapat mengalahkan suheng-nya, atau dia dengan Pedang Iblis Betina di tangannya!
Maka serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan dengan merendahkan tubuh lalu
menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika serangan Maya itu luput dan panglima wanita ini sudah
berjungkir balik lagi membuat salto dan kakinya menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan Hwa sudah
berkelebat lagi, sinar pedangnya berubah seperti payung, merupakan gulungan yang bundar dan dari
gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang dan mengandung hawa panas!
Maya makin kagum. Harus ia akui bahwa dalam hal kecepatan gerak dan ilmu pedang, ternyata Yan Hwa
ini tidak kalah oleh suheng-nya, bahkan mungkin lebih berbahaya serangan-serangannya. Maka dengan
hati kagum, gembira namun juga waspada dia mengimbangi permainan lawan dengan gerakannya yang
lebih cepat lagi. Dia berlaku hati-hati, tidak pernah pedang mereka bentrok secara langsung. Paling-paling
hanya bersentuhan sedikit dan bergeseran, namun itu pun sudah membuat pedangnya mengeluarkan api
dan kadang-kadang hampir dapat tersedot dan menempel! Hanya dengan sinkang-nya yang kuat saja dia
dapat mencegah pedangnya melekat pada pedang lawan.
Mata para perwira, apa lagi para prajurit sudah berkunang-kunang karena silau menyaksikan sinar kilat
pedang Yan Hwa berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah lewat tanpa ada yang tampak
terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh Maya. Kalau ia mau, dengan sinkang-nya yang amat
tinggi dan kuat, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya dengan pukulan yang membahayakan bagi
keselamatan Yan Hwa, namun dia tahu bahwa jika dia mengalahkan Yan Hwa dalam waktu singkat, tentu
hati dara yang angkuh ini akan tersinggung.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Yan Hwa, inikah Siang-bhok Kiam-sut dari mendiang Bibi? Hebat bukan main...!” Maya cepat mengelak
karena kembali ada sinar kilat menyambar ke arah lehernya.
“Singggg! Wuuuusssshhhh!”
Diam-diam Yan Hwa terkejut dan juga kagum sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar amat hebat
kepandaiannya. Ilmu pedangnya aneh dan dalam hal ginkang, Maya bahkan melampaui tingkatnya! Seperti
juga Ji Kun, dia terheran-heran mengapa bocah yang dahulu ikut bersama Panglima Khu Tek San itu kini
telah menjadi seorang yang begini lihai. Tentu Menteri Kam Liong, kakak subo-nya yang kabarnya lebih
lihai dari subo-nya itu yang menjadi gurunya.
“Maya, engkau pun hebat! Agak berkurang ketidak-percayaanku. Akan tetapi aku belum kalah!” kata Yan
Hwa yang sudah menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak menguras semua kepandaiannya
untuk mencapai kemenangan.
Maya maklum bahwa untuk menundukkan orang seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia lalu
mengeluarkan suara melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan sedemikian cepatnya sehingga
Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan pandang matanya berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar
pedang pusakanya sehingga tubuhnya terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat.
Menghadapi pertahanan seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya hanyalah memancing agar
pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi kecepatannya dan menahan serangannya. Melihat
bahwa gerakan Maya tidak secepat tadi, Yan Hwa juga berhenti melindungi tubuh dan ia mendapat
kesempatan untuk menyerang lagi dengan tusukan kilat ke dada Maya.
“Bagus!” Maya memuji, pedangnya menangkis dari samping.
“Trakk! Pedangnya menempel dan tersedot oleh Li-mo-kiam.
Melihat kini lawan berani mengadu pedang sehingga tertempel oleh pedang pusakanya, Yang Hwa
menjadi girang sekali dan melanjutkan pedangnya yang sudah membikin tak berdaya pedang lawan itu
untuk menusuk ke perut. Kesempatan ini yang dipergunakan Maya. Ia melepaskan pedangnya,
membanting diri ke kiri dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah ia mengirim pukulan sinkang ke arah
lengan tangan Yan Hwa yang memegang pedang.
“Aiiihhh...!” Yan Hwa memekik.
Pedangnya yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh dan tubuhnya menggigil kedinginan,
rasa dingin yang terus menjalar ke dalam dadanya. Ia maklum bahwa dia telah terkena pukulan sinkang
yang amat kuat dan berbahaya, maka tanpa mempedulikan sesuatu ia lalu duduk bersila dan mengatur
napas.
Maya telah melompat dan sekaligus menyambar dua buah pedang yang saling menempel itu. Dengan
tenaga sinkang ia melepaskan pedangnya yang tersedot dan menempel pada Li-mo-kiam, menyarungkan
pedangnya dan mengamat-amati pedang Yan Hwa dengan penuh kengerian.
Yan Hwa membuka matanya, lega bahwa lukanya tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena pukulan
seperti itu, agaknya dia akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan menggunakan
pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin dia dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini
dia percaya penuh. Jangankan baru dia atau suheng-nya, bahkan mendiang suhu-nya atau subo-nya
sekali pun agaknya belum tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian hebatnya.
Maya menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima
dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. “Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya.
Suheng dan aku bukanlah tandinganmu.”
Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata, “Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah
bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap
takluk. “Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.”
Maya tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika
mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan
menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih
dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat
menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri.
Maya menghela napas, “Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu dan pedang
Ji Kun adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau salah
mempergunakannya dapat menimbulkan mala-petaka hebat.”
Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu.
Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji
Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka,
dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa mau pun terhadap Ji Kun kelak.
Para perwira dan prajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan
mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini
membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.
Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas
daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik
bahwa di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui
barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan
Cia Kim Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.
Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan
penyelidikan ke depan. “Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang
menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu,” kata Yan Hwa di tengah jalan.
Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri. Biar pun dalam ilmu silat wanita ini amat angkuh dan
keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia menjawab,
“Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu.”
“Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga.”
Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang
rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng
mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana
terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan
diri ke sini itu.
Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, “Awas belakangmu!”
Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika
mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga
kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.
“Kita lari...!” Cia Kim Seng berteriak.
“Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!” Yan Hwa berseru karena ia melihat
penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, tampak merangkak paling depan seorang lakilaki
berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Lakilaki
ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia
memimpin barisan serigala itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-huciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia
pemimpinnya!” Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam
Si Kepala Gundul.
Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa
dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit! Yan Hwa merasa ngeri,
akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan
kakinya terayun menendang dari samping.
”Desss!” tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu.
Akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah
bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor serigala
menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi
binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.
Yan Hwa sempat melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut
ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan. Keadaannya benar terancam bahaya. Yan
Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan
untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ketika laki-laki gundul itu
menerjangnya, ia lalu miringkan tubuh, dari samping ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah
di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.
“Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!” Ia mengancam dan
jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!
“Aduhhh..., ampun... lepaskan aku...!”
“Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!”
Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan...
serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!
Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. “Bunuh saja manusia serigala itu!”
katanya marah.
“Ampun...!” Si Laki-laki gundul berkata.
“Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau
kami butuhkan!” bentak Yan Hwa.
“Baik... baik..., aku berjanji...!”
Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan
memandang dengan gentar. “Ceritakan, siapa kau?”
“Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku... sejak kecil bermain-main
dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...”
“Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi
kalau kau tidak mau, lihat ini!” Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu
itu.
Muka Theng Kok menjadi pucat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. “Aku menurut...
menurut...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu
yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan
tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.
Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan
pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu
begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata,
Pangeran...!”
Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,
“Siapa yang memimpin barisan ini?”
“Panglima Durbana, Pangeran!” jawab perwira itu penuh hormat.
“Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?”
“Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami
terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah
bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...”
“Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur
dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!”
“Baik, Pangeran!” Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.
Ok Yan Hwa memandang ‘rekannya’ itu penuh takjub. “Jadi kau... kau... seorang Pangeran Mancu...?”
Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata, “Benar,
Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan
sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Mayaciangkun.”
Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah
kaki di depan Pangeran Bharigan.
“Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung?!” Pangeran itu menegur dengan
suara marah.
“Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apa lagi
dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantu-pembantunya yang berkepandaian tinggi.”
Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa. ”Ok-li-huciang. Harap kau
suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan
bantuan segera.”
“Baik, Cia... eh, Pangeran Bharigan.” Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan
tempat itu.
Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan
para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma
Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu.
Mendengar penuturan itu Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma
Kiat, berada di depan!
“Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala
domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara
Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh
orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan
yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima
Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.
Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng
dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.
“Hemm..., kiranya engkau di sini?” terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah
melepaskan wajah sumoi-nya.
“Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?” Ok Yan Hwa menjawab
pula. Suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi
yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda
tampan itu.
Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung saat itu mereka sedang sibuk menghadapi serbuan ke tempat
musuh, maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa,
kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena
dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara
menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi
kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan
Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari
depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian
hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu
dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat.”
Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.
“Jangan khawatir, Si Tua Bangka keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!” kata Ji Kun sambil
meraba gagang pedangnya.
“Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!” Yan Hwa tidak
mau kalah.
Maya tersenyum. “Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian aku tidak akan memberi ampun
kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos.”
Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya
lalu tersenyum dan berkata, “Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan
menjelang senja nanti kita berangkat.”
Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang
dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang
mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia
melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas
sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta!
Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm... diam-diam Maya makin terheran-heran
mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar,
juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua
orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan
seperti seorang pria dan wanita. Hemmm... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia
merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta?
Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa.
Sedangkan dia sendiri... dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suheng-nya! Ah, betapa pun juga, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua!
Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan
mata semua anggota pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas!
Akan tetapi... apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu
dari dalam kepalanya, lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan
diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal
Suma Kiat.
Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan kini
langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apa lagi ketika mendengar bahwa mereka kini
dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantupembantunya
yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya
menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama
menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.
Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan
perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat
tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apa lagi, di sampingnya terdapat
pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya
sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya
semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya.
Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari
pada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan
juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan
kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang kedua yang dapat ia andalkan adalah muridnya
sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu
Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya karena dikeroyok pasukan pengawal,
Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi.
Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang
timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan
bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya.
Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara
misannya sendiri. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya,
menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa
pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan
melakukan perbuatan yang amat jahat (baca cerita MUTIARA HITAM).
Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, sukar sekali untuk dapat mengenal
kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri
sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali ‘ter’ lagi karena
dia mempunyai perasaan lebih dari pada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling
benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain.
Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi
terbiasa dan mabok, tanpa disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan
akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu
berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi
agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri
sendiri.
Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting dari pada menilai diri orang lain dengan
kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI
DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal,
dunia-kangouw.blogspot.com
baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk
mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya.
Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu
merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan
mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa
senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi.
Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh hubungan cinta antara
Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya,
bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya!
Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati
orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak
orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biar pun dengan kepandaian dan kedudukannya dia berhasil
mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.
Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri
Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan
itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang
memimpin pasukan untuk membasmi para pemerontak.
Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat
diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama
pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguh pun dia selalu berhati-hati meneliti para
pembantu di kanan kirinya, kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri
Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.
Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera
mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali.
Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira
dan tentaranya. Sehari itu pula dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil
memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan
dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi
gerak-gerik musuh.
Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah
dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali
semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka. Apa lagi karena pasukan Mancu
ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan
telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu. Yang didengar oleh Suma Kiat dari para
penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan
mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit.
Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya, “Biarkan mereka hari ini.
Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka
kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak prajurit. Biarkan prajurit-prajurit kita beristirahat. Tentu
mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita siap untuk menyambut dan
menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!”
Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah
menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu,
membawanya ke pembaringan.
Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata, “Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka
menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita
bersenang-senang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa. “Ah, mengapa engkau pusingkan
hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan
mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut,
seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!” Ia memeluk
dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat
memabokkan jenderal tua itu.
Akan tetapi sepasang alis wanita itu agak mengerut. Dia tidak melayani pencurahan kasih sayang
suaminya dengan sepenuh hati karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya
penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah
direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin!
Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan.
Menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya
berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua, akan tetapi sebenarnya secara diam-diam
dia cerdik. Setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan
malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan dari pada suaminya!
Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi orang muda
muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal wajah
cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya
dan menikmati cinta kasih birahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada
Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu birahi seperti dia tertarik
kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu?
Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah
mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta
dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma
Kiat, sebab dia sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan Sang
Panglima!
Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah
mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri
tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu birahinya
yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi dia tidak mau peduli,
yang penting tidak menyolok di depan matanya!
Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun
menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada
beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur
rencana. Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi,
yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek
San. Mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San.
Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diamdiam
mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apa bila keadaan memungkinkan.
********************
Kita tinggalkan dulu dua pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita
mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan.....
Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki
segala-galanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang
saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah
menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa,
bahkan melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain
sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu birahi besar dan seorang pria yang tidak
akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang suka
melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang
Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang
mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya, membentuk watak yang mengerikan dalam hati
pemuda tampan ini.
Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah
tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan
dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang
menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya
mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani
cintanya!
Dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu benar-benar jatuh
cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali
meninggalkan wanita itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah
hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk perut
dengan gunting untuk membunuh diri. Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki Jaihwa-
sian!
Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya
sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena
pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya karena cintanya
putus. Cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian
pengalamannya yang kedua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya mendatangkan rasa kebencian hebat
kepada kaum wanita!
Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian,
yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh nafsu
birahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci!
Dia memperkosa wanita, menyakiti hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri,
bahkan ada kalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia
anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun telah
mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah
diperkosanya dan ditinggalkannya!
Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh
sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah
memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya
orang India menaklukkan ular dengan suling, mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun
dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita, untuk membuat korbannya mabok dan bangkit
gairah birahinya.
Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang
dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan kesukaannya
mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga
menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia
kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah
matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang ‘play boy’ besar yang tiada
tandingannya.
Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biar pun dari jarak jauh, dia dapat
menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacat celanya hanya
dengan melihat dari belakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan
melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perutnya mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki
restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap
meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang
wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli
silat tingkat tinggi!
Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis
itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik.
Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan dari cara mereka
duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yang lumayan.
Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang
berbeda.
Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang
matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi
matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru,
rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat
bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan
hati siapa yang memandang, indah tidak membosankan.
Ada pun gadis kedua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama.
Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing manis. Mulutnya yang
kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambarnyambar
seperti kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti
kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai
menggelora membuih di pantai.
Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya
memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang, ibarat bunga
dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas
tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka
bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya
sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguh pun sifat mereka berlawanan.
Melihat seorang pemuda tampan dan gagah memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru
membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat
dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan karena dia tidak
ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan
makanan dan minuman.
Kedua orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum
dalam hatinya. Biar pun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya
dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak
percuma dia memiliki sinkang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam
pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
“Suci, kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu
seorang penjahat yang berbahaya...,” bisik gadis baju merah kepada gadis baju biru.
“Hemm, melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau
betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!” bisik Si Kakak Seperguruan.
Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan
berteriak kepada pelayan, “Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan manis!”
Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang kepadanya. Dua pasang mata
bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya
membuang muka lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya
benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan kemanisan seperti
arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang, sikap yang
akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan
mereka. Pasti!
“Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar mau pun
penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu
berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari
kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwihwa-
san.”
“Baiklah, Suci.”
Kedua orang gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan.
Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati.
Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang
lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid
Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu birahinya.
“Setelah makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal
di perjalanan,” kata pula gadis baju biru.
“Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?”
“Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita
menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda.”
“Akan tetapi tidak melelahkan, Suci...”
“Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal
uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah,
jangan rewel...”
Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan
beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran diikuti pandang mata dua
orang murid perempuan Siauw-lim-pai, akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.
“Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang
pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...”
“Sumoi!”
Sumoi-nya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. “Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah
dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa, dan selama bertahuntahun
kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita
memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati? Betapa pun juga, kelak kita tentu
akan bertemu jodoh, Suci...”
“Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!”
Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang suci-nya dengan mata berseri. “Suci,
maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda
yang gagah dan tampan, mengapa kau katakan melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan
terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Lakilaki
boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di
dunia-kangouw.blogspot.com
luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik
kepada pria yang memenuhi selera hati kita dan...”
“Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!”
“Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan
halus gerak-geriknya...”
“Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!” Si Gadis Baju Biru lalu bangkit
berdiri, diikuti sumoi-nya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan.
“Hitung semua berapa!” kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya.
Dia mengenal sumoi-nya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji seorang
pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak tahu malu!
Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata, “Sudah
dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.”
“Sudah dibayar? Oleh sahabat yang mana?” gadis baju biru bertanya.
Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum. “Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik
sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...”
Gadis baju biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi
sumoi-nya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata, Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu sungkan.
Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja.” Ia menarik tangan suci-nya keluar dari restoran itu.
“Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!” Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar
dari restoran.
“Aihhh, mengapa Suci marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima
kasih malah dimaki-maki?” Sumoi-nya mencela.
“Sumoi!” Suci-nya membentak marah dan melototkan matanya yang bening. “Apakah harga diri
kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?”
“Eh-eh... mengapa Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak
mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri
dan kehormatan?”
Suci-nya menghela napas panjang. “Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu
terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis
mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu,
engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis pria.”
“Suci...”
“Sudahlah! Mari kita ke hotel!”
Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan kedua yang membikin Sang
Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar
oleh ‘sahabat’ itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh ‘sahabat’ itu kepada
mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoi-nya membisikkan bahwa kalau Sang
Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih memalukan
lagi?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita terima dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya
kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu
kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?”
“Hemm... malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi.”
Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat. “Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi
meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi.” Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju
biru menerima sampul dengan alis berkerut.
“Wah, sampulnya berbau harum!” bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati suci-nya
yang merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut ke luar sehelai kertas. Tulisan yang
terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang singkat:
Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Lihiap berhati-hati
kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring homatnya Sahabat Ji-wi.
Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi
merah. “Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak
kekurang-ajarannya!”
Biar pun berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoi-nya mengajak dia melanjutkan perjalanan
dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu
membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.
Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi,
sedangkan sumoi-nya bernama Kim Cui Leng. Keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-limpai
di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai! Biar pun baru selama lima tahun mereka
digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai, maka mereka
mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil
dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.
Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di
sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka
akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan pemuda tampan gagah itu membuat
hati Liang Bi merasa tidak enak sungguh pun sumoi-nya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji
kebaikan hati pemuda tampan itu.
Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali. ”Untung kita
berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati,” kata Cui Leng yang teringat
akan isi surat pemberi kuda.
“Huh, siapa percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia
muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!” jawab Liang Bi marah.
“Eh, eh...! Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan
harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?”
Muka Liang Bi menjadi merah. “Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan kekurangajarannya,
kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!”
“Awas, Suci...!” Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang
meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan
tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda
tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan melompat
ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan
berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah
mereka.
“Kau masih tidak percaya, Suci?” Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.
Namun suci-nya menjawab kaku, “Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok
ini, tentu dialah kepalanya!”
Akan tetapi gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang ternyata bukan dipimpin
pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya
penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan
kiri. Ada pun semua anggota perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali
hitam. Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.
“Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka
adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita
berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!” Perampok kedua yang bertahi lalat di ujung hidungnya
tertawa.
“Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua
orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak akan mengganggu
kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwihwa-
san,” kata perampok kesatu yang matanya merah.
“Keparat yang bosan hidup!” Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya.
“Jangan sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan
telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang tangan
membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan
kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!”
“Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu sumoi-nya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan
panas. Biar suci-nya itu untukmu, lebih cocok.”
“Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang. Hemm..., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!”
”Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!” bentak Cui Leng.
“Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!” kata Liang Bi yang sudah
menerjang maju diikuti sumoi-nya yang sudah marah sekali.
Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan
memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu,
dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para
pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di
depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu
merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua
orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak
buah mereka mengeroyok.
Andai kata dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata
mereka itu, Liang Bi dan Cui Leng akan mudah membasmi mereka. Akan tetapi kiranya dua orang kepala
rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun
terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Atas perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua
orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua
orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan talitali
itu akan melibat tubuh mereka berdua. Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka
memutar pedang menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar
ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar
pedang.
Biar pun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera
dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang
mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan
tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini
menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke
atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.
“Crokkk!” Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu
menggerakkan pedang mengamuk. Biar pun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun
menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan
beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh.
Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena
kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok.
Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan sute-nya, yaitu
perampok bertahi lalat, menghadapi Cui Leng, juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan matimatian
terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan,
terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu
harus bersilat dengan hati-hati.
Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah
tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan
ginkang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkan lagi beberapa orang
anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa
itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup
itu amat lihai, nafsu birahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini
mereka menyerang untuk membunuh. Namun Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar. Pedang mereka
berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang
pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi
mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara
langsung dari depan, kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin
yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Liang Bi dan pundak kanan Cui
Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang
melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga
mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka
pahanya kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan
pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat
datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung
semakin ketat sambil berteriak-teriak.
“Tangkap mereka hidup-hidup!” teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian
lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok
sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biar pun sudah terluka,
namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi. Namun
keadaan mereka makin payah, karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus
menjalar ke seluruh tubuh mereka. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka dapat menduga bahwa
tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa
khawatir sekali.
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras.
Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggota perampok.
“Ular...! Ular...!”
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor
ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka! Ketika mereka
memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang
suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular
itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk
dan golok di tangan.
“Tar! Tar!” Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu
mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renpgut kedua batang cambuk itu putus
tengahnya!
Dua orang kepala rampok makin marah. Golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser
kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang
kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah. Pemuda itu melakukan semua itu dengan
tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup. Kini dengan tenangnya ia
menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah
mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya. Betapa pun
juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam waktu sebentar saja robohlah
semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Sebagian roboh oleh pedang
kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan ‘lagu’ sulingnya dan meniup suling dengan
suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendekpendek
ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Ada pun Liang Bi dan Cui Leng cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan
mengerahkan sinkang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang
terkena senjata rahasia.
“Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya,” terdengar Suma Hoat
berkata.
Liang Bi dan Cui Leng membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua
dengan mata berseri.
“Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!”
kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata, “Terima kasih atas pertolongan Kongcu.”
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya
untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan
tetapi Liang Bi tetap memandang dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di
sana.”
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, “Terima kasih, tidak usahlah.
Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...”
“Aihhh...! Ji-wi terluka? Aduh celaka...” Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!”
tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin, “Tidak mengapa, Kongcu. Kami sanggup mengobatinya dengan sinkang...”
“Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biar
pun dapat dilawan dengan sinkang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat
muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak.
Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas
menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang tidak
mempunyai sinkang, tentu akan tewas dalam waktu dua belas jam. Ji-wi yang memiliki sinkang tinggi akan
dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang
kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok, dan aku akan
mengobati Ji-wi.”
“Suci...,” Cui Leng memandang suci-nya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa
racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol
merah!
Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat, “Terima
kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri lukaluka
kami.”
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata, “Agaknya Ji-wi Lihiap
merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang
dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan
hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi... aku akan menanti di dalam
hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu
tidak mengakibatkan cacat pada muka Ji-wi. Selamat berpisah.” Ia lalu membalikkan tubuh dan
meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap,
bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
“Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana
kalau muka kita menjadi bopeng?” Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah bayangan
pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah adiknya. “Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau
hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacat hatinya. Aku masih tidak percaya
kepada orang itu. Sinar matanya mengandung kepalsuan.”
“Suci, aku...!”
“Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita
mesti cepat bersemedhi menghimpun hawa murni dan menggunakan sinkang untuk melawan racun!”
Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan semedhinya dan memejamkan kedua mata,
sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam semedhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas
orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru suci-nya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya
untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa
murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacat
dunia-kangouw.blogspot.com
bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan
terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa suci-nya telah ‘pulas’ dalam semedhi, Cui Leng tak dapat
menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan suci-nya memasuki hutan
dengan maksud menjelang pagi, sebelum suci-nya sadar kembali dari semedhi, dia akan kembali ke situ
sehingga kepergiannya tidak diketahui suci-nya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena
rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung
berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum
amat tampannya.
“Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Lihiap suka datang...”
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu. “Aku... aku hendak minta
obat... aku tidak mau menjadi bopeng...”
“Tentu saja! Sayang, sekali kalau Lihiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana suci-mu, mengapa tidak
datang?”
“Dia... dia tidak mau, dia... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku
akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar
perintahnya. Dia galak sekali.”
“Masuklah Lihiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa
perampok telah kuusir pergi.”
Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan
duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata, “Lihiap, orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat
diberi obat dan jarum itu dicabut ke luar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di
bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?”
Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali. “Di... sedot...? Akan tetapi aku... aku terluka di sini...” dia
menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat, “Biarlah kucabut
dan kusedot sendiri lukanya, baru kau obati.”
Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan tersenyum. “Lihiap, mana mungkin engkau menyedot luka di
tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan... ah, sungguh aku orang yang tidak beruntung,
selalu dicurigai. Agaknya Lihiap juga masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah
menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk
yang lain. Terserah kepada Lihiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa.”
Pemuda itu membalikkan tubuh, membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian
sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi
kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan.
Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak
gemetar, “Baiklah... Kongcu... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa boleh buat, aku tidak
sudi menjadi bopeng.”
Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi
Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata, ”Engkau tidak usah khawatir,
Lihiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang
pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud baik.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan
arak dia berkata dengan sembarangan, “Harap kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum
obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun.”
Ia menanti sampai Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah
dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada
bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum
yang beronce merah, terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.
“Aku sudah siap, Kongcu,” kata gadis itu perlahan.
“Baik, sekarang minumlah dulu obat ini.” Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada
gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis itu terbatuk. “Ughh-ughh...! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti
arak yang sudah amat tua!” serunya sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.
“Memang obat itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Lihiap. Sudah disimpan
puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!”
Cui Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari
tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara
kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.
“Aihhh!” Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.
“Sakit sedikit, Lihiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?” Sambil
bertanya demikian Suma Hoat mengangkat muka dan memandang.
Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian
tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng
menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia
merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini
sekarang luar biasa tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?
Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk, “Lakukanlah...”
Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat
itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di
dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar
dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia
ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu.
Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih
yang menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian
menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan
perasaan yang menggelora di hatinya. Tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam,
mulutnya agak terbuka, terengah memberi jalan ke luar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan
dadanya yang bergelombang.
Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. ‘Arak obat’ yang diberikannya tadi sudah bekerja baik.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah
obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila di hati wanita dan tentu saja
seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung
hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya,
melainkan naik ke leher.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap,
bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya dapat
mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali.
Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua
lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya
terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan
sepatutnya menjadi jodohnya!
Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu. Satusatunya
percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
“Kekasihku, siapakah namamu?”
Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu,
Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih, “Namaku
Kim Cui Leng... dan kau, Koko...?”
“Panggil saja aku Hoat.”
“Hoat-ko... aku cinta padamu...”
Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang
pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui
dengan sebuah huruf ‘Hoat’ saja! Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali,
masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah seorang ‘Jai-hwa-sian’ yang pandai merayu, tentu saja
Cui Leng benar-benar jatuh!
Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma
Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu.
Suma Hoat memeluknya. “Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah
engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?”
“Tidak...! Tidak...! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...”
Suma Hoat menciuminya. “Mengapa menangis?”
“Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!”
Suma Hoat tertawa, “Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauwlim-
pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kau kira.
Lihat ini!” Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai.
“Plak! Plak!” terdengar suara dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak, melihat betapa
telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis
telapak tangannya.
“Eh... itu... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!” serunya kagum.
“Dan lihat ini!” Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan...
“Wuuuuttt!” guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak
araknya!
“Wah, Koko...! Sinkang-mu hebat bukan main!”
“Nah, masih takutkah engkau? Biar suci-mu datang, dia tidak dapat mengganggumu, apa lagi
membunuhmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, namaku akan ternoda, Koko, bagaimana baiknya...?” Wajah gadis itu menjadi pucat.
“Karena ketahuan suci-mu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan
agar suci-mu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. dengan demikian, engkau mempunyai teman
dan dapat saling menyimpan rahasia!”
“Kau...!” Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu
menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga,
tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
“Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan?
Tidak ada yang memaksa! Aku adalah seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun.
Aku mengusulkan agar suci-mu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar
rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?”
Cui Leng terisak. “Kau... kau... mata keranjang!”
“Ha-ha-ha!” Suma Hoat tertawa. “Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi
kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik! Dan suci-mu juga cantik
jelita, sungguh pun tidak sepanas engkau. Bagaimana?”
Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui suci-nya bahwa dia telah
menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa
aman. Akan tetapi, kalau suci-nya juga ‘terjun’ dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja
mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing.
“Jadi kau... kau tidak akan memperisteri aku?”
“Moi-moi? Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka
sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk
mengambilmu sebagai isteri.”
“Mengapa?” dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.
“Mengapa? Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana,
maukah engkau membiarkan aku membujuk suci-mu agar keadaannya sama denganmu ataukah harus
kutinggalkan engkau begini saja?”
“Tidak, jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kau kehendaki kepada suci kalau... kalau... itu
merupakan satu-satunya jalan...”
Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah, Suma Hoat tertawa,
merangkul dan memondong Cui Leng. “Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir?
Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!”
Dia membawa Cui Leng lari ke luar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang
itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran
penuh kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng
kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan Suma
Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.
“Sumoi...!”
Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah suci-nya yang
sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak
ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Liang Bi ketika ia mencari sumoinya
dan mendapatkan sumoi-nya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan
telanjang bulat seperti itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Lihiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman.
Tanggalkan pakaianmu!” kata Suma Hoat.
Saking bingung dan takutnya melihat suci-nya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya,
“Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko...!”
“Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk!” dengan kemarahan
meluap Liang Bi mencabut pedangnya. “Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!”
“Suci...!”
“Tenanglah, Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!” Setelah berkata demikian, sekali melompat tubuh
Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.
Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang
laki-laki dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki dewasa bertelanjang bulat berdiri di depannya, tentu
saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia
hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan
teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.
Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria
yang telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu dan dengan
mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang bertubi-tubi.
“Ah, Nona yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoi-mu dan aku
sama-sama menikmati cinta kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah engkau
membunuh aku yang tidak berdosa?” Suma Hoat membujuk sambil mengelak dengan mempergunakan
ginkang-nya yang tinggi.
“Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!”
Liang Bi menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang
telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.
Kembali Suma Hoat mengelak. “Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk
mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!”
Ucapan merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Liang Bi makin berkobar.
Kalau pria ini mencinta sumoi-nya, bagaimana sekarang di depan sumoi-nya berani mengeluarkan katakata
mencintanya?
“Keparat biadab!” Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar
menyilaukan yang menyambar-nyambar.
“Aduh, cantik dan gagah sekali engkau!” Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak.
Tiba-tiba Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung sepatu.
Suma Hoat terguling!
“Mampuslah engkau!” Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak
dari tusukan yang bertubi-tubi.
“Suci...!” Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak
peduli, terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya karena
tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat
ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh Suma Hoat mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah
memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis
itu. Liang Bi menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya begitu erat. Ia
menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka
roboh di atas tanah berumput, pedang terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika
merasa betapa lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!
“Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau...!” Suma Hoat berbisik-bisik.
“Bunuh aku...! Bunuh saja aku...!” Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa jijik dan
ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja Suma Hoat tidak ingat bahwa Liang Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak
ingat untuk menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat dan di
tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya!
Kalau dia memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama
baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa
paksaan sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoi-nya, sehingga mereka
akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian, dia akan dapat meninggalkan
mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan
pihak Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
Melihat Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui
Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran. “Suci-mu keras hati, akan tetapi aku harus
menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku, akan tetapi
engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi kebaikanmu.”
Cui Leng tak dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali
perbuatannya, akan tetapi betapa pun juga harus dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia
merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau sucinya
sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika siuman dari pingsannya, Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup
bersih dan megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang berpakaian rapi,
bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir pembaringan. Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu
tersenyum memandangnya ketika ia membuka mata.
“Jahanam...!” Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega
bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma Hoat tersenyum. “Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bimoi,”
Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu.
Liang Bi membuang muka dengan gerakan kasar. “Jangan sentuh aku! Lebih baik kau bunuh saja!”
teriaknya dan dua butir air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya.
“Aihh, sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan mencelakakanmu. Aku cinta
padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah
cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti aku saling
mencinta?”
“Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kau permainkan! Aku
lebih baik mati dari pada melakukan perbuatan terkutuk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Suma Hoat tertawa dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi. Liang Bi
meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali tidak tergerak hatinya
oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan perbuatannya.
“Hemm, engkau benar keras hati dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!”
Pemuda yang kalau berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu mengambil
secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan. “Kau minumlah arak obat ini, manis!”
“Tidak sudi! Engkau telah menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama
sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap sendiri rasa gatal dan
panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi
bopeng, buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!” Liang Bi membuang
muka ke samping.
Akan tetapi sambil tertawa Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari
tangannya yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke dalam mulut
dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memakimaki.
“Binatang! Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!”
ia meronta-ronta dan memandang penuh kebencian kepada Suma Hoat yang tertawa-tawa.
Suma Hoat hanya duduk dan memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja.
Liang Bi menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang, pandang
matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya
telah kemasukan racun dan ia akan mati. Akan tetapi ia tidak peduli.
Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan
rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda
itu yang kelihatan amat tampan dan menggairahkan. Namun karena pada dasarnya dia tidak sudi
melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia
memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis itu.
“Suci, mengapa Suci tidak mau menurut? Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku... aku cinta padanya
dan kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya!”
Mendengar suara sumoi-nya ini, Liang Bi membuka mata dan menoleh. “Perempuan hina! Perempuan
rendah! Orang macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya untuk
hidup!”
Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa, “Leng-moi,
suci-mu lebih suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk memilih hidup dan
bersenang, ha-ha-ha!”
Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng ke atas pembaringan di mana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia
mulai membelai Cui Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain cinta!
Biar pun Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini
dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati suci-nya dan dia amat memerlukan suci-nya ikut
terjun dalam permainan yang akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun menurut saja.
Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap
terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang muka, namun
telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan di dalam tubuhnya makin menghebat,
nafsu birahinya menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya
sekuat tenaga untuk melawan godaan yang datangnya dari dalam.
Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa kali ia menoleh, membuang mata
dan memandang mereka. Kalau sudah tidak kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
dipejamkan. Ia merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, “Bunuhlah aku... bunuhlah... ahhh, terkutuk
kalian... bunuhlah aku...!” Lalu diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas
kedua pipinya.
Suma Hoat melakukan perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan hati Liang Bi. Ia turun
dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya. “Bimoi... aku pun
mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi... kau menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia...”
Jari tangannya membelai dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun
dia menggigit bibir dan menggeleng kepala dengan mata dipejamkan, tak kuasa menjawab. Suma Hoat
menjadi jengkel. Belum pernah ia menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak
obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak!
“Hemmm, kau berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!” Ia lalu menotok tubuh Liang Bi,
melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
“Hoat-ko...!” Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh
suci-nya. “Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai di mana keteguhan dan kekerasan hatinya!”
Pemuda itu membawa tubuh Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia
mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan mata
terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alangalang
dan rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap mendekati
Liang Bi!
“Hoat-ko...!” Cui Leng menjerit.
Akan tetapi Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan
sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak menakut-nakuti Liang Bi. Yang
menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa suci-nya itu paling jijik dan takut melihat ular.
Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja suci-nya menjadi takut setengah mati. Mata Liang
Bi terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.
Suma Hoat menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu
dekat. “Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit
saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!”
Liang Bi sudah tertotok, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, “Bunuhlah
aku! Aku tidak sudi!”
Suma Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Liang Bi
yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu, taring
yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar membuat ia
hampir pingsan saking takutnya. Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan
terbebas dari ancaman ular-ular ini!
Dia menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoi-nya. Akan tetapi dia mengeraskan
hatinya, bertekad lebih baik mati dari pada menyerah dan terperosok ke dalam pecomberan yang berupa
perbuatan melanggar susila yang terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang
gagah, kehormatan seribu kali lebih berharga dari pada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai seorang
pendekar wanita yang bersih dari pada hidup sebagai seorang perempuan ternoda!
“Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” ia berteriak.
Sinar yang buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan
janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu
mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas tanah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Crat-crat-crat!”
Sinar putih menyilaukan mata itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di
tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam
sekarat.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments