Cersil Langka Laka 11 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil Langka Laka 11 Toliongto
- Cerita Silat Mandarin Online 10 Toliongto
- CerSil Langka Antik 9 Toliongto
- Cerita Silat Jawa 8 Toliongto
- Cersil Indo 7 Toliongto
- Cersil Jawa 6 : To Liong To
- Cerita Silat Mandarin 5 :Pedang Langit dan Golok P...
- Cerita Silat Populer Ke 4 : Toliongto
- Cersil Romantis Mandarin : Toliongto 3
- Cerita Silat Menggairahkan : To Liong To 2
- Cersil Top Banget : To Liong To Pendekar Bukie 1
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Kioe Tin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat
kemudian, ia menengok kea rah Siauw Hong dan berkata
“Antar dia ke kamar mandi dan berikan pakaian baru.”
“Baik,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Boe Kie merasa berat untuk meninggalkan ruangan itu.
Waktu tiba di ambang pintu, tanpa sadar ia merasa
menengok ke belakang dan melirik Kioe Tin. Apa mau,
pada detik itu, si nona pun sedang mengawasi dia, sehingga
tanpa tercegah lagi, dua pasang mata segera beradu. Si nona
tertawa dan rasa jengahnya Boe Kie tak dapat dilukiskan
lagi. Semangatnya terbang, kakinya tersandung balok yang
melintang di tengah pintu dan roboh terguling. Karena
lukanya belum sembuh, bukan main sakitnya. Tapi, tanpa
mengeluarkan suara, buru-buru ia bangun dan berdiri,
Siauw Hong tertawa geli. “Hm, siapapun yang melihat
Siocia, dia pasti roboh,” katanya. Tapi, kau…kecil-kecil
matamu sudah seperti mata culik.
Boe Kie jadi makin malu. Ia berjalan secepat mungkin.
Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong
Siauw Hong berkata.
“Eh, mau kemana kau? Apakah kau mau pergi ke kamar
1002
Tai Tai?”
Si bocah menghentikan tindakannya. Di sebelah depan ia
melihat sebuah kamar dengan tirai jendela sulam. Sekarang
ia mengerti, bahwa karena bingung dan terburu-buru, ia
sudah mengambil jalanan yang salah. Siauw Hong sangat
jahil, sesudah si bocah berada di depan kamar buku nyonya
majikan, barulah ia mengejek.
Boe Kie menunduk tanpa mengeluarka sepatah kata. Ia
malu dan mendongkol.
“Aku akan mengantarkan kau jika kau berkata “Siauw
Hong cici, tolonglah aku,” kata si jahil.
Mau tak mau Boe Kie berkata, “Siauw Hong cici…..”
“Ada apa?” Tanya Siauw Hong.
“Tolonglah aku, antarlah aku keluar dari jalanan yang
salah ini.” Jawabnya.
“Nah! Benar begitu!” kata si jahil sambil tertawa.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kamar si
bocah.
“Siocia memberi perintah, supaya bocah ini mandi, kau
berikan pakaian baru kepadanya,” kata Siauw Hong kepada
Kiauw Hok.
“Baik, Baik!” jawabnya dengan sikap hormat.
Melihat sikap Kiauw Hok, Boe Kie menduga bahwa
Siauw Hong bukan dayang biasa, sedikitnya ia mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pelayan atau dayang
biasa. Disaat lain, lima enam pelayan lelaki menghampiri
dan merebut mengajak omong dengan menggunakan
penggilan “Siauw Hong cici.” Tapi dia tidak meladeni.
Tiba-tiba Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan
1003
menjura kepada Boe Kie.
Si bocah kaget. “E-eh, mengapa?....” tanyanya.
“Tadi kau berlutut dihadapanku dan sekarang membalas
hormat,” jawabnya sambil memutar badan dan terus
berjalan pergi.
Kepada kawan-kawannya Kiauw Hok segera
menceritakan bagaimana Boe Kie berlutut di hadapan
Siauw Hong yang dianggapnya Coe Kioe Tin. Cerita itu
ditambah bumbu sedap, sehingga semua orang tertawa
terpingkal-pingkal. Tapi Boe Kie tak jadi gusar. Di dalam
hatinya, ia telah mengingat wajah nona Coe, gerakgeriknya,
dan perkataan-perkataannya.
Sesudah mandi, Kiauw Hok menyerahkan satu stel
pakaian kain hijau padanya, yaitu pakaian pelayan. Sambil
bengong, ia mengawasi pakaian itu. “Sungguh celaka!”
katanya di dalam hati. “Aku belum jadi pelayan, bagaimana
aku bisa pakai pakaian begitu?” jika menuruti adat ia tentu
sudah menolak. Tapi di lain saat ia mendapat lain pikiran
“kalau Siocia memanggil aku dan melihat aku masih
mengenakan pakaian rombeng. Ia tentu akan jadi gusar.”
Pikirnya, “Apa salahnya andai kata aku benar jadi
pelayannya?” Memikir begitu, jadi tenang dan tanpa
berkata suatu apa, ia segera memakai pakaian itu.
Tapi panggilan si nona yang ditunggu-tunggu tak
kunjung datan. Jangankan Kioe Tin, Siauw Hong pun tak
kelihatan mata hidungnya. Boe Kie hanya dapat
membayang-bayangkan wajah nona Coe. Ia merasa, bahwa
di dalam dunia yang lebar ini, tak ada wanita yang secantik
dia. Ia ingin sekali pergi ke bagian gedung itu untuk melihat
si nona atau mendengar suaranya yang merdu dari
kejauhan. Tapi ia tidak berani, karena sudah beberapa kali
Kiauw Hok memesan, supaya, kalau tidak dipanggil, tidak
1004
boleh masuk ke ruang belakang, karena bisa diserang
kawanan anjing.
Dengan cepat satu bulan sudah berlalu. Luka-luka Boe
Kie sudah sembuh seluruhnya. Hanya pada muka dan
tangannya terdapat bekas-bekas gigitan yang tak bisa hilang.
Tapi ia tak jadi jengkel. Sebaliknya daripada jengkel setiap
kali melihatnya, ia ingat bahwa luka itu adalah akibat
gigitan anjing si nona. Hatinya merasa senang.
Sementara itu, racun dingin yang masih mengeram
dalam badannya mengamuk dalam setiap waktu tertentu,
yaitu sekali setiap tujuh hari, yang satu lebih hebat dari
yang lain. Hari itu, racun dingin menyerang pula. Ia rebah
di ranjang dengan selimut, badannya menggigil, giginya
gemetaran. Waktu Kiauw Hok masuk dan melihat si bocah
berada dalam keadaan begitu, ia tidak jadi heran.
“Sebentar, kalau sudah mendingan, kau bangun dan makan
semangkok bubur panas.” Katanya. “Nih, ini pakaian baru
hadiah dari Tai Tai untuk melewati tahun baru. Sesudah
berkata begitu, ia menaruh satu bungkusan di atas meja.
Kira-kira tengah malam barulah serangan racun mulai
mereda. Ia bangun dan membuka bungkusan itu yang berisi
baju kulit kambing baru. Ia girang, tapi iapun tahu, bahwa
baju itu adalah baju untuk pelayan, sehingga, dengan
demikian ia sudah dianggap sebagai pelayan dari keluarga
Coe.
Pada hakikatnya Boe Kie beradat kasar dan kenyataan
itu tidak dianggap sebagai hinaan olehnya. “ Tak dinyana
aku berdiam di sini sampai sebulan lebih dan sekarang
tahun baru kembali berada di depan mata,” katanya di
dalam hati. “Ouw Shinshe mengatakan bahwa aku tak bisa
hidup lebih daripada satu tahun lagi. Inilah tahun baru
penghabisan yang dapat dilewati olehku.
1005
Seperti umumnya terjadi pada setiap keluarga hartawan.
Dalam menghadapi tahun baru, Keluarga Coe pun repot
bukan main. Pelayan-pelayan membersihkan dan mencat
rumah dan perabotan. Beberapa hari sebelum tiba tanggal
satu, mereka sudah memotong babi, kembing, dan ayam
untuk merayakan tahun yang baru. Boe Kie membantu apa
yang bisa dibantunya. Ia mengharap harian tahun baru
lekas-lekas dating. Pada hari itu, semua orang akan
menghaturkan selamat tahun baru kepada Laoya dan Tai
Tai dan ia merasa pasti, ia akan bisa bertemu lagi dengan
nona Coe. Ia mengambil keputusan, bahwa melihat lagi
wajah Coe Kioe Tin, ia akan berlalu dengan diam-diam dan
menyembunyikan diri di gunung yang sepi supaya ia bisa
mati tanpa diketahui manusia.
Dengan sambutan petasan, tibalah harian Go Antan
(tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan imlek). Dengan
dipimpin CongKoan (pengurus Rumah Tangga) semua
pelayan lelaki, berikut Boe Kie, pergi ke Toa Thia untuk
memberi selamat tahun bau kepada tuan dan nyonya
rumah. Di tengah-tengah ruangan itu duduk sepasang
suami isteri setengah tua dan kira-kira 80 pelayan serentak
berlutut di hadapan mereka. Suami isteri itu tertawa girang.
“Bangunlah, kamu sudah banyak capai.” kata mereka yang
lalu memerintahkan dua pembantu pengurus rumah
memberi hadiah. Boe Kie juga mendapat bagiannya, satu
bungkusan merah yang bersih empat tail perak. Tapi bukan
itu yang diharap-harapkan. Ia merasa menyesal bukan
main, karena nona Coe tidak kelihatan mata hidungnya.
Sambil mencekal bungkusan uang, ia berdiri bengong.
Tiba-tiba di luar terdengar suara yang nyaring dan
merdu. “Piauw Ko, tahun ini siang-siang ini kau sudah
datang.” Suara itu adalah suara Coe Kioe Tin (Piauw Ko
Kakak sepupu)
1006
“Untuk memberi selamat tahun baru kepada Koe Koe
dan Koe Bo, bagaimana aku berani datang terlambat?”
Kata seorang lelaki sambil tertawa. (Koe Koe Paman,
saudara lelaki dari ibu, Koe Bo bibi isteri Koe Koe)
Boe Kie merasa mukanya panas. Jantungnya melonjaklonjak,
tangannya mengeluarkan keringat. Sesudah
mengharap-harap selama dua bulan, baru sekarang ia
mendengar suara si nona. Semangatnya terbang dan ia
berdiri terpaku.
Dilain saat terdengar suara seorang wanita lain.
“Memang suko terburu datang kemari, aku tak tahu entah
ia datang untuk memberi selamat kepada kedua orang itu,
entah untuk memberi selamat kepada Piauw Moay.”
Sehabis berkata begitu, wanita itu tertawa geli. (Soeko
kakak seperguruan. Piauw Moay adik perempuan sepupu)
Hampir berbareng, tiga orang muda berjalan masuk dan
semua pelayan-pelayan buru-buru menyingkir untuk
membuka jalan. Hanya Boe Kie yang masih terus berdiri
seperti orang hilang ingatan dan kakinya baru bergerak
sesudah tangannya diseret Kiauw Hok.
Dari ketiga orang muda itu, yang berjalan di tengah
adalah seorang pemuda. Sedang Coe Kioe Tin berjalan di
sebelah kiri. Ia mengenakan baju bulu yang berwarna
merah sehingga kecantikannya jadi lebih mencolok. Di
sebelah kanan pemuda itu berjalan seorang wanita lain.
Usia mereka kira-kira sebaya, semuanya belum mencapai
dua puluh tahun.
Begitu mereka masuk, mata Boe Kie terus mengincar
Nona Coe. Tidak memperdulikan yang lain. Ia seperti juga
tidak melihat dua orang muda yang lain, tidak melihat cara
bagaimana memberi selamat tahun baru dan tak mendengar
apa yang dikatakan mereka. Dimatanya hanya kelihatan
1007
seorang, yaitu Nona Coe Kioe Tin.
Dalam usia yang masih muda, masih kekanak-kanakan
Boe Kie sebenarnya masih belum tentu apa artinya cinta
antara lelaki dan perempuan. Iapun bukan manusia yang
kemaruk akan paras cantik. Tapi dalam hidupnya seorang
manusia tertarik yang pertama kali terhadap kecantikan
seorang wanita selalu memberi akibat yang hebat. Sebagai
manusia, Boe Kie pun tidak kecuali. Disampint itu pada
hakekatnya, Boe Kie mempunyai perasaan halus dan
mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap sesama
manusia, tak perduli lelaki atau perempuan, tua atau muda.
Maka itu dapatlah dimengerti begitu bertemu dengan Coe
Kioe Tin yang sangat cantik dan mempunyai pengaruh luar
biasa atas dirinya, Boe Kie jadi seperti hilang ingatan. Di
dalam hatinya sama sekali tidak terdapat pikiran yang tidaktidak.
Tidak! Sedikitpun tidak! Ia hanya merasa beruntung
jika bisa melihat wajah si nona, mendengar suara si nona
yang sangat merdu.
Sesudah mendapat hadiah, pelayan-pelayan yang lain
lantas saja bubar.
Sesudah berbincang-bincang beberapa lama Coe Kioe
Tin berkata, ”ayah, ibu, aku ingin jalan-jalan bersama
Piauw Ko dan Ceng Moay.”
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan
ketiga orang muda tersebut lantas saja bertindak ke luar dan
pergi ke halaman belakang.
Tanpa merasa Boe Kie mengikuti dari jauh. Pada hari
raya yang penting itu, tak ada orang yang
memperhatikannya. Semua pelayan bersuka ria, berjudi,
dan sebagainya. Sekarang baru Boe Kie melihat nyata,
bahwa pemuda itu berparas sangat tampan dan dalam hawa
udara yang sangat dingin, ia hanya mengenakan jubah
1008
panjang warna kuning dari sutra tipis. Sehingga dapatlah
diketahui bahwa ia memiliki Lweekang yang tinggi. Wanita
yang satunya mengenakan baju bulu warna hitam,
badannya langsing, gerak-geriknya memikat, suaranya
lemah lembut dan cara-caranya halus. Mengenai
kecantikan, ia tak kalah dari Coe Kioe Tin. Tapi di mata
Boe Kie, tiada manusia yang dapat menandingi nona Coe
yang dipandangnya seakan-akan seorang Dewi.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawatawa.
“Tin Ci,” kata wanita itu, “kau pasti sudah
memperolah banyak ilmu It Yang Ci. Bolehkah kau
memperlihatkan kepada adikmu?” (It Yang Ci semacam
ilmu menotok dengan jari tangan dari It Teng Taysu)
“Ah! Jangan kau menggoda aku,” kata Kioe Tin. Biar
aku berlatih sepuluh tahun lagi, mana bisa aku menandingi
Lan Hoea Hoed Hiat Chioe dari keluarga Boe.” (Lan Hoea
Hoed Hiat Chioe ilmu menotok jalan darah dengan lima
jari tangan yang dipentang seperti Lan Hoa atau bunga
anggrek)
Pemuda itu tertawa,”Sudahlah! Kalian tak usah saling
merendahkan diri,” katanya. “siapakah yang tidak
mengenal Soat Leng Siang Moay yang sangat lihai?” (Soat
Leng Siang Moay Sepasang saudara perempuan dari bukit
salju)
“Aku belajar dan berlatih sendirian saja.” Kata Kioe Tin.
“ Mana bisa aku menyusul kemajuan kalian dua saudara
seperguruan yang setiap detik bisa saling berdamai dan
berlatih bersama-sama.”
Wanita muda itu tidak menjawab, ia hanya bisa
tersenyum sambil monyongkan mulutnya, seperti juga ia
mengakui kebenarannya nona Coe.
Sebab kuatir Kioe Tin jadi gusar, pemuda itu buru-buru
1009
berkata, “ah, sebenarnya tidak begitu. Kau mempunyai dua
orang guru Koe Koe dan Koe Bo. Di bawah pimpinan
kedua orang tua, itu keaadaanmu banyak lebih baik
daripada kami berdua.”
“Kami!....kami!.....” nona Coe menggerutu. “Kecintaan
antara saudara seperguruan memang lebih hebat daripada
kecintaan antara saudara sepupu. Baru saja aku bergurau
dengan Ceng Moay, kau sudah membantunya dengan matimatian.”
Sehabis berkata begitu ia memutar badan.
Pemuda itu tertawa, “Piauw Moay disayang, Soe Moay
juga disayang,” katanya. “aku tidak memilih kasih.”
Nona Coe memutar pula badannya dan berkata, “Piauw
Ko kudengar gurumu menerima lagi seorang murid
perempuan. Apa benar?”
“Benar,” jawabnya.
Wanita yang dipanggil “Ceng Moay” rupanya masih
ingin menggoda nona Coe. Ia tersenyum seraya berkata.
“Tin Ci, Soemoay kecil itu sangat cantik parasnya. Bukan
saja cantik, dia pandai bicara dan sangat menarik hati.
Setiap hari dia mengikat Soe Ko dengan macam-macam
permintaan. Minta diajar ini, diajar itu, kalau nanti kau
bertemu dengannya, kau sendiri tentu akan mencintai dia..”
“Apa?” menegas Kioe Tin dengan suara dingin. “Apa
dia lebih cantik dari Ceng Moay?”
“Mana bisa aku menandingi Siauw Soe Moay itu,”
jawabnya. “Hanya Tin Ci yang dapat ditandingi
dengannya.”
“Aku bukan lelaki tampan yang kemaruk akan paras
cantik,” kata nona Coe. “Bagaimana kau bisa mengatakan
aku akan mencintai Siauw Soe Moay itu?”
1010
Mendengar perkataan yang menghantam dirinya,
pemuda itu lantas saja tertawa dan berkata, “Piauw Moay,
bolehkan kau mengajak kami melihat jenderal penjaga
pintu? Makin lama mereka pasti makin lihai.”
Coe Kioe Tin lantas jadi girang. “Baiklah!” jawabnya. Ia
segera berjalan ke arah Han Kong Ki, Boe Kie tetap
mengikuti dari kejauhan.
Begitu tiba, nona Coe segera memerintahkan pelayan
perawat anjing untuk melepaskan semua binatang itu.
Melihat kawanan anjing yang galak angker, pemuda
tersebut memuji tak henti-hentinya sehingga Kioe Tin jadi
lebih bunga hatinya.
“Ceng Moay” tertawa geli sambil menutup mulutnya
dengan tangan. “Soe Ko” katanya “pangkat apa yang
dikehendaki olehmu, Koan Koen atau Piauw Ki?”
Pemuda itu terkejut. “Apa katamu?” tanyannya.
“Kau begitu memperhatikan kata Tin Ci,” jawabnya.
“Apakah tak layak jika Tin Ci memberi pangkat Koan Kun,
Ciang Koen atau Piauw Ki Ciangkoen kepadamu? Hanya
kau harus berhati-hati jangan sampai dicambuk.
Sebagaimana diketahui, Kioe Tin memberi nama-nama
pangkat jenderal kepada anjing-anjingnya. Sehingga dengan
begitu si nona mengejek Soe Ko-nya dan
mempersamakannya dengan seekor anjing.
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah.
“Jangan ngaco belo!” bentaknya dengan suara mendongkol.
“Kau mencaci aku sebagai anjing, bukan?”
“Ceng Moay” tersenyum. “Jenderal-jenderal itu selalu
berdampingan dengan wanita cantik, mereka menggoyanggoyang
buntutnya, mengambil hati dan mereka merasa
beruntung,” katanya. “Apa tak enak hidup begitu?”
1011
Paras muka Kioe Tin lantas saja berubah.
“Ceng Moay, kurasa aku tak berdosa terhadapmu,”
katanya dengan suara dongkol, “mengapa pada hari tahun
baru ini, kau menghinaku?”
Ceng Moay memperlihatkan paras muka heran “E-eh!”
katanya. “Aku datang kemari untuk memberi selamat tahun
baru. Mngapa kau mengatakan aku menghina kau?”
Nona Coe mengeluarkan suara di hidung. Mengingat
persahabatan yang sangat erat antara leluhur kedua
keluarga, biarpun darahnya meluap, ia sebisa-bisanya
menahan saabr. Ia menengok kepada pemuda itu dan
berkata, “Piauw Ko, Kuminta kau suka jadi juru
penimbang. Apakah aku yang berbuat kesalahan terhadap
Boe Sio Cia, atau Boe Sio Cia yang sengaja cari-caru
urusan, cari-cari ribut denganku.”
Pemuda itu jadi serba salah. Ia tahu, ia tak boleh
membantu piauw Moay dan juga tak boleh menyokong Coe
Moay. Mereka berdua adalah anak-anak yang biasa
dimanja-manjakan. Gadis-gadis yang sempit
pemandangannya. Tak perduli pihak manapun yang
dibenarkan olehnya, ia bakal jadi berabe sekali. Maka itu,
jalan yang paling selamat adalah berkelit, ia ketawa dan
berkata, “Piauw Moay, sudah lama kita tak ketemu. Perlua
apa tarik urat? Eh, ilmu silat apa yang kau paling belakang
dapat dari Koe Koe. Bolehkah kau memperlihatkan kepada
Kami?”
“Berapa hari yang lalu Thia-thia telah mengajariku
semacam Pit Hoat,” katanya. “Aku masih belum paham
dan kuharap Ceng Moay dan Piauw Ko suka memberi
petunjuk. (Pit Hoat semacam gaya menulis huruf Tiongkok)
“Ceng Moay? Dan pemuda itu menepuk-nepuk tangan.
“Bagus!” kata “Ceng Moay” “Tin Ci jangan kau terlalu
1012
merendahkan diri. Ayolah supaya kami bisa menambah
pengalaman.”
Nona menggapai dan pelayan perawat anjing segera
mengambil sepasang Poan Koan Pit yang tergantung di
tembok.
Boe Kie melihat bahwa di tembok itu tergantung ruparupa
senjata, tapi yang paling banyak adalah Poan Koan
Pit. Seperti juga sebuah petunjuk bahwa Coe Sio Cia biasa
menggunakan senjata itu. Ayah Boe Kie, Thio Coei San,
bergelar Gin Kauw Tiat Hoa dan ia seorang ahli dalam
menggunakan Poan Koan Pit. Dulu, kalau membicarakan
ilmu silat dengan puteranya, ia banyak sekali merundingkan
hal-hal yang mengenai gaetan (kauw) dan Poan Koan Pit.
Oleh karena itu, Boe Kie mempunyai pengetahuan yang
agak mendalam tentang kedua senjata itu. “Ayah pernah
mengatakan bahwa dalam Rimba Persilatan, jarang sekali
ada wanita yang mampu menggunakan Poan Koan Pit,”
pikirnya. “Dilihat begini, ilmu silat Coe Sio Cia sudah
sampai tingkatan tinggi,” kalau tadi ia kesengsem karena
kecantikan si nona, sekarang ia kagum dan takluk karena
Kioe Tin dapat menggunakan senjata istimewa yang biasa
digunakan oleh mendiang ayahnya.
Sambil mengibas Poan Koan Pit yang dicekal dalam
tangan kirinya, Kioe Tin berkata, “Ceng Moay mari temani
aku. Pit Hoat ini tidak dapat dilatih oleh seorang saja.”
“Ceng Moay” tahu bahwa nona Coe mempunyai
maksud tidak baik. Ia menggelengkan kepala seraya
berkata, “Kepandaianku masih terlalu rendah. Mana biasa
aku melayani Tin Ci?”
Nona Coe mendesak berulang-ulang, tapi dia tetap
menolak.
Melihat begitu, si pemuda perlahan-lahan menghampiri
1013
dan sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata,
“Piauw Moay, biar aku saja yang menemani kau. Aku
hanya mengharap kau menaruh belas kasihan. Kalau ujung
Pit nyasar ke jalan darah Tian Tiong atau Pak Hwee. Tahun
ini Wie Pek tak bisa minum arak tahun baru. (Tian Tiong
dan Pak Hwee adalah jalan-jalan darah yang sangat
penting. Sekali tertotok, orang bisa binasa)
Mendengar perkataan yang mengandung pujian itu, hati
nona Coe jadi senang sekali. Sambil tertawa ia membentak,
“Jangan rewel! Jagalah!” Pit kiri menyambar ke bawah, pit
kanan ke atas. Benar-benar ia menghantam Pak Hwee Hiat
di embun-embunan dan Tian Tiong Hiat di dada pemuda
itu.
Wie Pek tidak bergerak, seolah-olah ia tahu, bahwa si
nona tidak bakal menotok sungguhan. Tapi kedua senjata it
uterus menyambar bagaikan kilat dan dilain detik ujung
senjata hanya terpisah satu dim dari dua jalan darah
tersebut.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak terdengar
suara “trang!” dan kedua pit terpental balik. Kecepatan
bergeraknya Wie Pek sungguh luar biasa bagaimana ia
menghunus pedang dan bagaimana ia menangkis tak bisa
dilihatnya.
“Bagus!” teriak nona Coe sambil melintangkan kedua
senjatanya yang segera menyambar bagaikan dua helai sinar
putih.
Boe Kie menonton dengan penuh perhatian. Ia ingat,
bahwa mendiang ayahnya pernah mengatakan Poan Koan
Pit adalah senjata untuk menotok jalan darah. Tapi karena
bentuknya menyerupai Pit, maka dalam senjata itu
mengandung sifat-sifat Boen. (ilmu surat) Keunggulannya
ialah mudah digunakan dan indah gerakannya. Tapi di
1014
dalam pertempuran mati-matian, manfaatnya masih kalah
setingkat dengan senjata lain, misalnya golok atau tombak.
Sesudah memperhatikan beberapa lama, ia mendapat
kenyataan bahwa nona Coe benar-benar mahir dalam
menggunakan Poan Koan Pit yang menyambar-nyambar ke
delapan penjuru dalam gerakan-gerakan yang sangat indah.
Tiba-tiba hatinya berdebar-debar. “Ah! Pit Hoat itu
menyerupai dengan In Thian To Liong Kang dari
ayahku,”katanya dalam hati. “Ilmu silat nona Coe juga
berdasarkan Soe Hoat (Soe Hoat – seni menulis huruf-huruf
bagus)
Dilain pihak, ilmu pedang Wie Pek tidak juga cukup
lihai. Tapi karena Boe Kie tidak mengerti Kiam Hoat, maka
dia tak dapat melihat kebagusannya ilmu pedang itu. Ia
hanya tahu bahwa makin lama pemuda itu jadi makin
terdesak.
Sesudah bertempur sekian jurus, pit kiri Nona Coe tibatiba
menyambar dari kanan ke kiri, sedangkan pit kanan
menyabet dari atas ke bawah.
“Celaka!” seru Wie Pek sambil melompat mundur. Kioe
Tin sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Ia
melompat pit kanan menyambar mata. Itulah pukulan yang
lihai dan sukar dielakkan.
“Tahan!..” teriak Wie Pek, “Aku menyerah kalah! Harap
Sio Cia sudi mengampuni jiwaku…”
Bukan main girangnya si nona. Ia tertawa seraya
berkata, “Piauw Ko kau bukan kalah sungguhan. Kau
hanya mengalah..,” sehabis berkata begitu, ia mengangkat
kedua senjatanya yang lalu dilemparkan ke tembok. “Blas!”
kedua Pit itu amblas di tembok, hanya beberapa dim yang
berada di luar tembok.
Boe Kie terkesiap. Ia tak nyana, bahwa wanita yang
1015
kelihatannya lemah memiliki Lweekang yang begitu tinggi
dan tenaga yang begitu besar. “Bagus!” Ia berteriak tanpa
merasa.
Sudah lama ia berdiri di situ, tapi ketiga orang muda itu
tidak memperhatikannya. Sekarang, begitu bersorak,
mereka menengok dan mengawasinya. Melihat, bahwa yan
sorak hanya seorang pelayan, Kioe Tin tidak
memperdulikan. Ia rupanya sudah melupakan Boe Kie.
Sambil menengok kepada Wie Pek, ia berkata, “Piauw Ko,
pit hoat tadi banyak sekali kekurangannya. Kumohon
Siauw Ko sudi memberi petunjuk.”
Wie Pek tertawa, “Piauw Moay, ilmu silatmu bukan saja
hebat, tapi juga sangat indah gerakannya, apa namanya?”
“Coba Kau tebak,” kata nona sambil tolak pinggang.
Wie Pek menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gata.
“Koe Koe adalah turunan asli Soe Hoat,” katanya.
“Menurut pendapatku ilmu silat itu berdasarkan Soe Hoat.”
“Benar!” seru Nona Coe sambil menepuk-nepuk tangan.
“Pintar juga kau Piauw Ko. Tapi Soe Hoat apakah itu?”
“Piauw Moay yang baik, jangan kau coba-coba menguji
aku,” kata Wie Pek. “Tidak,…aku tak tahu.”
Melihat sikap si nona terhadap Wie Pek, Boe Kie merasa
sangat berduka. Ia merasa dirinya kecil. Ia merasa bersaing
dengan pemuda tampan itu. Sungguh beruntung jika ia bisa
mendapatkan kesempatan untuk menindih saingan itu.
Maka itulah, begitu mendengar pengakuan Wie Pek
darahnya lantas saja bergolak dan tanpa merasa ia berteriak,
“Tay Kang Tong Ki Hoat!”
Coe Kioe Tin adalah turunan Coe Coe Liu. Nona si Boe
itu, yang dipanggil “Ceng Moay” oleh nona Coe, adalah
turunan Boe Sam Tong, namanya Boe Ceng Eng. Ia adalah
1016
turunan Boe Siu Boen, salah seorang putra Boe Sam Tong.
Boe Sam Tong dan Coe Coe Liu ialah menteri merangkap
murid It Teng Taysoe, sehingga ilmu silat mereka berasal
dari satu sumber. Akan tetapi, sesudah lewat seratus tahun
lebih, ilmu silat antara kedua keluarga itu agak berbeda.
Misalnya Boe Toen Ji dan Boe Sioe Boen telah mengangkat
Kwee Ceng, Kwee Tayhiap sebagai guru. Maka itu, biarpun
mereka juga paham akan ilmu totok It Yang Ci, tapi ilmu
totok itu agak menyerupai cara-cara yang keras untuk dari
ilmu silat Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong.
Wie Pek ialah saudara sepupu Coe Kioe Tin. Pemuda itu
berguru kepada ayah Boe Ceng Eng. Ia seorang pemuda
yang berparas tampan, beradat baik dalam lemah lembut
cara-caranya, sehingga ia dicintai oleh kedua gadis cantik
itu.
Usia nona Coe dan nona Boe kira-kira sebaya, samasama
cantik, sama-sama pintar dan ilmu silat merekapun
kira-kira standing. Maka itu, orang Rimba Persilatan di
sekitar Koen Loen San memberi gelar Soat Leng Siang
Moay (Sepasang Saudara perempuan dari Bukit Salju)
kepada mereka.
Dalam mencintai Wie Pek, Coe Kioe Tin lebih berani
mengutarakan rasa cintanya. Tapi Boe Ceng Eng yang
pemalu bisa menarik keuntungan, yaitu karena belajar
bersama-sama, makanya bisa lebih banyak bergaul dengan
pemuda itu daripada nona Coe.
Mendengar seruan “Tay Kang Tong Ki Hoat,” ketiga
orang muda itu terkejut. Sebagai orang-orang yang Boen
Boe Song Coan (mengerti ilmu surat dan ilmu silat) Wie
Pek dan Ceng Eng bukan tak tahu, bahwa ilmu silat nona
Coe berdasarkan Tay Kang Tong Ki Hoat. Mereka hanya
tidak mau menyebutkannya, supaya nona itu jadi lebih
senang hatinya.
1017
Pada waktu itu, Boe Kie baru berusia kira-kira lima belas
tahun. Tanpa sesuatu yang luar biasa, baik dari muka,
maupun dari potongan badannya. Maka itu, Wie Pek dan
Boe Ceng Eng segera menduga, bahwa ia adalah pelayan di
lapangan berlatih silan dan sudah mendengar nama ilmu
pukulan itu.
Tapi Coe Kioe Tin sendiri tahu, bahwa hal tiu tak akan
bisa kejadian. Oleh karena, setiap kali mengajar ilmu silat,
ayahnya tak pernah mengijinkan hadirnya siapapun jua
dalam lapangan berlatih. “Apakah ia mencuri
belajar?”tanyanya di dalam hati. Memikir begitu, ia lantas
saja membentak, “Hei! Siapa namamu? Bagaimana kau
tahu ilmu silatku dinamakan Tay Kant Tong Ki Hoat?”
Mendengar si nona menanyakan namanya, Boe Kie
merasa sangat berduka.
“Bukankah aku sudah memberitahukan Kau?” pikirnya.
“Kalau begitu, kau sedikitpun tak memperhatikan aku,” ia
lantas menjawab “Namaku Thio Boe Kie, aku hanya bicara
secara sembarangan.”
“Oh,…..sekarang aku ingat,” kata Kioe Tin.
“Kau adalah bocah yang pernah digigit oleh anjinganjingku,”
ia lebih jadi bercuriga, sebab ia lantas saja ingat
bahwa dengan sekali pukulan saja, anak itu telah
menghancurkan kepala “Co Ciangkun” sehingga dia pasti
memiliki ilmu silat yang tidak boleh dipandang enteng.
“Apakah dia seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh
ayahku?” tanyanya di dalam hati. “Tanpa mencuri, anak
yang begitu kecil tak mungkin mengenal ilmu silat yang
paling diandalkan oleh ayahku.”
Tapi, baru saja ia berniat untuk menyelidiki lebih lanjut,
tiba-tiba ia melihat Wie Pek dan Boe Ceng Eng sedang
bicara bisik-bisik sambil duduk berendeng. Rasa cemburu
1018
lantas saja timbul dalam hatinya dan ia tidak
memperdulikan Boe Kie lagi. “Ceng Moay!” teriaknya.
“aku dan Piauw Ko sudah memperlihatkan keburukan
kami. Kuharap kaupun suka mempertunjukkan ilmu
silatmu yang tinggi.”
Entah disengaja, entah tidak, Wie Pek dan Boe Ceng
Eng tidak meladeni teriakan itu.
Kioe Tin naik darah, “Biarpun Pit Hoatku sangat
sederhana, tapi belum tentu ilmu silat keluarga Boe bisa
melawannya,” katanya dengan suara dingin.
Nona Boe mengangkat kepalanya dan membalas dengan
suara yang sama dinginnya. “Soe Ko-koe tahu, bahwa kau
seorang yang mau menang sendiri sehingga ia sengaja
mengalah terhadapmu, Hm!....Tapi kau tergirang-girang.”
“Siapa mau dia mengalah?” bentak Kioe Tin dengan
keras. “Dapatkah dia memecahkan pukulan Siang Koat
Kwi Goan?” (Siang Koat Kwi Goan – Dua Ranggon
terangkap menjadi satu. Jurus terakhir Kioe Tin yang
menyebabkan menyerahnya Wie Pek)
“Kau kira kami berdua manusia-manusia tolol yang
tidak mengenal syair?” Syair-syair Tay Kang Tong Ki dari
Souw Pong To?” Tanya Ceng Eng. “Kalau Soe Ko tidak
mengenal ilmu silatmu, mengapa ia justru menyerah kalah
pada akhiran sebaris syair? Ia menyerah pada detik kau
mengakhiri huruf “goat” (rembulan) dari baris syair yang
berbunyi “It Coen Hoan Cioe Kang Goat” mengertikah kau
sekarang? (It Coen Hoan Cioe Kang Goat –
mempersembahkan secawan arak kepada rembulan_
Coe Kioe Tin tertegun. Pertanyaan Boe Ceng Eng tak
dapat dibantah. Memang Wie Pek menyerah waktu
mengakhiri tulisan huruf “goat” dengan jurus Siang Koat
Kwi Goan. Kalau benar begitu, ia sendiri yang jadi manusia
1019
tolol!
Ia merasa malu bukan main dan dari malu ia menjadi
gusar. “Kenal memang mungkin kau kenal, tapi apa kau
bisa memecahkannya?” tanyanya dengan suara keras. “Bisa
jadi Piauw Ko sengaja mengalah terhadapku.
Hm!..memang tak sukar menggoyangkan lidah. Lihatlah!
Pelayan dalam rumahku pun mengenal pukulan itu.”
Muka Boe Ceng Eng merah padam, bahwa gusarnya.
“Soe Ko aku pulang saja!” katanya dengan suara gemetar.
“Orang sudah mempersamakan aku dengan pelayan. Perlu
apa kau berdiam lama di rumah ini?”
Wie Pek tertawa dan berkata, “Soe Moay, Piauw Moay
hanya berguyon, jangan kau menganggap bersungguhsungguh.
Di rumahmu pelayan kotor seperti dia tak
terhitung berapa banyaknya.”
Mendengar perkataan yang menghina itu, Boe Kie panas
hatinya.
“Bagus! Kau menghina pelayanku?” kata Kioe Tin.
“Ceng Moay, biarpun kau berkepandaian tinggi, belum
tentu kau bisa menjatuhkan dia dalam tiga jurus.”
“Hm! Apa kau kira pelayan baumu mempunyai harga
untuk melayaniku?” nona Boe menjawab. “Tin Ci kau
terlalu menghinaku.”
Sampai disitu Boe Kie tak dapat menahan sabar lagi.
“Boe Kouwnio!” teriaknya. “Apa kau bukan manusia? Boe
Kouwnio, janganlah kau menganggap dirimu sebagai
manusia yang terlalu mahal!”
Walaupun darahnya meluap, untuk menghina si bocah,
Ceng Eng melirikpun tidak. Ia berpaling kepada Wie Pek
dan berkata, “Soe Ko, kau lihatlah kurang ajarnya pelayan
bau itu. Apa kau masih tetap berpeluk angina?”
1020
Melihat sikap mohon dikasihani dari si nona, hati
pemuda itu lantas saja lemas. Antara kedua gadis itu, ia
sebenarnya tidak memilih kasih. Akan tetapi, di dalam hati
kecilnya, ia mempunyai perhitungan sendiri. Gurunya,
yaitu ayah Boe Ceng Eng, mempunyai kepandaian yang
tinggi. Ia merasa, bahwa apa yang akan didapatkannya,
takkan lebih daripada sebagian atau dua bagian kepandaian
sang guru. Maka itu, apabila ia ingin memiliki kepandaian
istimewa, tidak bisa ia harus mengambil hati nona Boe.
Maka itulah, dia seraya tersenyum lantas saja berkata.
“Piauw Moay, apa benar pelayanmu mempunyai
kepandaian tinggi? Bolehkah aku mengujinya?”
Kioe Tin mengerti, bahwa kakak itu coba membela Ceng
Eng. Ia mau menolak tapi dalam otaknya mendadak
berkelabat serupa ingatan.
“Aku memang ingin tahu asal usul bocah itu,” pikirnya.
“Biarlah Piauw Ko yang paksa dia membuka rahasianya,”
berpikir begitu, ia lantas berkata
“Baiklah, sebenarnya aku sendiri tak tahu murid siapa
dan dari partai mana.”
“Apakah pelajaran bocah itu bukan didapat dari sini?”
Tanya Wie Pek dengan perasaan heran.
Kioe Tin menengok ke arah Boe Kie dan berkata, ”Eh,
coba beritahukan Siauw Ya, nama guru dan partaimu.”
Mendengar perkataan si nona, Boe Kie lantas saja
berpikir. “Kamu begitu menghina aku, mana bisa aku
memberitahukan nama kedua orang tuaku dan Thay
Soehoe? Selain begitu, akupun belum pernah mempelajari
ilmu silat Boe Kie Pay secara sungguh-sungguh.” Dengan
adanya itu, ia menjawab, “Semenjak kecil, kedua orang
tuaku sudah meninggal dunia dan aku bergelandangan
1021
dalam dunia Kang Ouw. Aku belum pernah belajar ilmu
silat, hanya ayah angkatku yang pernah memberi satu dua
petunjuk kepadaku. Mata Gi Hoe buta, sehingga iapun tak
tahu, apa latihanku benar atau salah.”
“Siapa nama ayah angkatmu? Dari partai mana dia?”
Tanya Kioe Tin.
Boe Kie menggelengkan kepala. “Aku tak bisa
memberitahukan,” jawabnya.
Wie Pek tertawa nyaring. “Masakah kita bertiga tidak
bisa mengorek rahasianya?” katanya sambil menghampiri
Boe Kie dan berkata pula.
“Bocah coba kau sambut tiga pukulan,” seraya berkata
begitu, ia melirik nona Boe sambil tersenyum, seolah-olah
ia mau mengatakan bahwa ia akan memberi pelajaran keras
kepada bocah itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya si
nona.
Dalam soal cinta, seseorang yang sedang mabuk cinta
selalu memperhatikan gerak-gerik dari orang yang dicintai.
Lirikan dan senyuman Wie Pek tidak terlepas dari mata
Coe Kioe Tin yang lantas timbul rasa cemburunya. Melihat
Boe Kie bersangsi untuk menyambut tantangan itu. Ia
menggapai dan setelah anak itu mendekati, ia berkata
dengan suara perlahan, “Sebagaimana kau sudah melihat
Piauw Ko memiliki kepandaian tinggi, kau tentu tak bisa
menang. Tapi, asal kau bisa menyambut tiga pukulannya,
kau membikin mukaku jadi terang,” sehabis berkata begitu,
ia menepuk-nepuk pundak si bocah untuk memberi
semangat.
Boe Kie juga tahu, bahwa ia bukan tandingan pemuda
itu. Ia mengerti bahwa jika ia turun ke gelanggang, ia hanya
akan menjadi korban. Jadi semacam lelucon untuk
menggembirakan hati. Tapi begitu lekas ia berdiri
1022
dihadapan si cantik, pikirannya kalut. Sesudah diajak bicara
dengan suara lemah lembut dan ditepuk-tepuk apa pula
sesudah mengendus bau yang sangat harum, otaknya butak
dan ia tak dapat berpikir lagi. “Sio Cia memerintahkan
supaya aku membikin terang mukanya dan aku tak toleh
mengecewakannya,” katanya di dalam hati dan seperti
orang linglung, ia segera mendekati Wie Pek.
“Bocah, sambutlah!” kata pemuda itu sambil menampar.
Pukulan itu cepat luar biasa dan muka Boe Kie lantas saja
terpeta lima jari tangan yang berwarna merah. Sesudah
tahu, bahwa anak itu bukan mendapat pelajaran dari
keluarga Coe, sehingga ia tidak bisa dianggap menghina
pamannya sendiri. Ia sudah turun tangan tanpa sungkansungkan.
Meskipun tidak mengerahkan Lweekang ia
menampar dengan sepenuh tenaga.
“Boe Kie, lawan!” teriak Nona Coe.
Semangat si bocah terbangun, dengan cepat ia meninju
Wie Pek mengegos sambil berseru. “Bagus! Masih ada dua
jurus,” dengan sekali melompat, ia sudah berada di
belakang Boe Kied an sebelum si bocah keburu memutar
badan, leher bajunya sudah kena dicengkeram. Sambil
mengangkat badan Boe Kie tinggi-tinggi Wie Pek tertawa
terbahak-bahak dan kemudian membantingnya keras-keras
di lantai. Kasihan Boe Kie! Janggut dan hidungnya lantas
saja mengucurkan darah.
Seraya menepuk-nepuk tangan, Boe Ceng Eng tertawa
cekikikan. “Tin Ci,” katanya, “Bagaimana? Apakah ilmu
silat keluarga Boe masih boleh dilihat?”
Paras muka Kioe Tin merah padam. Ia malu bercampur
gusar. Ia tak bisa membantah pertanyaan saingannya, sebab
jika ia mencela ilmu silat keluarga Boe, ia sudah
menyinggung perasaan Wie Pek.
1023
Sementara itu, Boe Kie sudah merangkak bangun dan
dengan jantung berdebar-debar, ia melirik Kioe Tin.
Melihat paras muka si cantik, ia lantas saja berkata dalam
hatinya. “Sudahlah! Biarpun hilang jiwa, aku mesti
menolong Sio Cia.”
“Piauw Moay,” kata Wie Pek sambil tertawa. “Silat
kucing pincang bocah itu masih tak punya, mana bisa kau
bicara tentang partainya?”
Tiba-tiba Boe Kie menerjang dan menendang
kempungannya.
“Aduh! Gagah benar Kau?” ejek Wie Pek sambil
mengelak dan menangkap kaki kanan Boe Kie yang lalu
dilontarkan dengan menggunakan tiga bagian Lweekang.
Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, badan si
bocah melesat kea rah tembok. Untung juga, selagi masih
berada di tengah udara, dengan menggunakan seluruh
tenaganya ia masih keburu memutar tubuh sehingga hanya
punggungnya yang terbentur tembok. Tapi biarpun begitu,
ia merasa sakit bukan main dan roboh di kaki tembok tanpa
bisa lantas bangun.
Dalam kesakitan hebat, hatinya masih memikirkan muka
Coe Kioe Tin yang harus ditolong. Tiba-tiba ia mendengar
suara si nona, “Sudahlah! Ayo kita pergi ke taman bunga!”
di kuping Boe Kie suara itu penuh rasa malu dan jengkel.
Entah darimana datangnya, mendadak Boe Kie merasa
tenaganya pulih. Ia melompat bangu dan bagaikan kalap, ia
menubruk dan menghantam Wie Pek dengan telapak
tangannya.
Kali ini ia memukul dengan jurus Kang Liong Yu Hwi
(Penyesalan Sang Naga) dari Hang Liong Sip Pat Ciang
(delapan belas jurus ilmu silat menaklukkan naga),
semacam Ciang Hoat (ilmu silat dengan menggunakan
1024
telapaka tangan) yang paling lihai di seluruh rimba
persilatan. Dahulu dengan mengandalkan ilmu tersebut,
Ang Cit Kong dan Kwee Ceng telah menjagoi di kolong
langit. Hanya saying apa yang didapat Cia Soen hanya
kulitnya saja, sedang yang diperoleh Boe Kie lebih-lebih tak
karuan macam pengaruh pukulan itu belum ada
sepersepuluh dari Kang Liong Yu Hwi yang asli. Tapi
walaupun begitu pukulan itu mengeluarkan sambaran angin
yang luar biasa dan begitu tangan Wie Pek terbentur tangan
Boe Kie, badannya bergoyang-goyang dan ia terpaksa
mundur setindak. Ia kaget, sedangkan Boe Ceng Eng
mengeluarkan seruan tertahan.
Pada seratus tahun lebih lalu, leluhur Boe Ceng Eng,
yaitu Boe Sioe Boen, telah berguru kepada Kwee Ceng, tapi
sesudah belajar banyak tahun, ia masih belum juga dapat
menyelami intisari dari pada Hang Liong Sip Pat Ciang.
Boe Liat, ayah Boe Ceng Eng, masih dapat menjalankan
jurus-jurus dari ilmu silat itu, tapi seperti anak cucu Boe
Sioe Boen yang lainnya, iapun tidak berhasil mengeluarkan
pengaruh dahsyat Hang Liong Sip Pat Ciang. Selama
belasan tahun, nona Boe sering melihat ayahnya berlatih
sendirian sambil mengasah otak. Tapi sebegitu jauh, orang
tua itu masih juga belum berhasil. Dari zaman Boe Sioe
Boen sampai Boe Ceng Eng sudah ada lima turunan. Pada
setiap turunan, anggota-anggota keluarga Boe berusaha
keras untuk menyelami intisari ilmu itu, tapi semua usaha
mengalami kegagalan.
Kegagalan itu bukan karena tumpulnya otak keluarga
Boe. Apa seorang dapat menyelami Hang Liong Sip Pat
Ciang atau tidak, tiada sangkut paut dengan kecerdasan
otak. Bukan saja begitu, bahkan ada petunjuk, bahwa makin
cerdas otak seseorang, makin sukar ia memiliki ilmu itu.
Contohnya, Kwee Ceng tumpul dan Oey Yong pintar luar
1025
biasa. Tapi yang berhasil adalah Kwee Ceng, sedang Oey
Yong tetap gagal. Dalam mengajar orang-orang muda,
Kwee Ceng tidak menyembunyikan apapun jua. Tapi
kaitannya adalah, diantara orang-orang tingkatannya lebih
muda seperti Yo Ko, Yeh Loe Ci, Kwee Hoe, Kwee Siang,
Kwee Loh Po, Boe Sioe Boen dan Boe Toen Jie, tak
satupun yang bisa berhasil dengan sempurna. Bahwa pada
zaman belakang Hang Liong Sip Pat Ciang sudah tidak
dikenal lagi dalam rimba persilatan, mungkin adalah karena
sebab-sebab itu.
Wie Pek yang tak kenal jurus itu sudah menangkis
dengan tangannya dan begitu lekas tangannya beradu
dengan tangan Boe Kie, ia merasakan lengannya kesemutan
dan dadanya menyesak. Cepat-cepat ia mundur setindak
kemudian ia melompat maju sambil menghantam
punggung Boe Kie dengan tinjunya. Tanpa memutar tubuh,
si bocah mengibaskan tangannya ke belakang dengan
menggunakan jurus Sin Liong Pa Bwee (Naga Malaikat
menyabetkan ekor) Melihat sambaran tangan yang luar
biasa, Wie Pek berkelit, tapi tak urung pundaknya kena
disapujuga dengan tiga jari tangan. Meskipun pukulan itu
tidak hebat, tapi Coe Kioe Tin dan Boe Ceng Eng sudah
melihat, bahwa dalam jurus itu, Wie Pek sekali lagi kena
dikalahkan.
Mana dia rela menerima hinaan itu dihadapan wanitawanita
cantik? Waktu menantang Boe Kie, seorang anak
tanggung yang sama sekali bukan tandingannya, pemuda
itu hanya ingin mempermainkan si bocah untuk
menyenangkan hati Boe Ceng Eng. Maka itu, ia hanya
menggunakan dua atau tiga bagian. Tapi diluar dugaan,
dua kali beruntun ia jatuh dibawah angin, Darahnya lantas
saja naik dan ia membentak. “Setan kecil! Apa kau tidak
takut mati?” seraya membentak, ia meninju dengan jurus
1026
Tiang Kang Sam Tiap Long (tiga gelombang sungai
TiangKang) sesuai dengan namanya, jurus itu mengandung
tiga gelombang tenaga. Apabila lawan menangkis
gelombang pertama dengan sepenuh tenaga, maka ia akan
binasa, atau sedikitnya terluka berat dengan gelombang
tenaga kedua dan ketiga akan menyerang tanpa didugaduga.
Waktu memukul, Wie Pek telah menggunakan seluruh
tenaga Lweekangnya. Tapi, karena pada hakikatnya ia
memang bukan seorang jahat yang berhati kejam. Maka
biarpun sedang gusar, ia menahan gelombang tenaga yang
ketiga.
Dilain pihak, begitu melihat serangan dahsyat, Boe Kie
segera menghempas semangat dan menangkis dengan
pukulan terhebat yang dimilikinya yaitu Kiam Liong Boet
Yong (naga yang bersembunyi jangan digunakan) Sambil
miringkan tangan kirinya, ia menyambut dengan Lweekang
yang aneh, yaitu setengah berkumpul, setengah buyar,
separuh bersembunyi, separuh keluar. Wie Pek terkesiap,
gelombang pukulannya yang pertama amblas seperti batu
amblas di dalam laut. Hampir berbareng dengan suara
“Krek!” Tulang lengan kanannya patah. Untung juga
karena menaruh belas kasihan ia menahan tenaga
gelombang ketiga. Jika tidak, mereka berdua sama-sama
terluka berat.
Coe Kioe Tin dan Ceng Eng mengeluarkan teriakan
kaget dan serentak mengeluarkan teriakan kaget dan
serentak lagi menghampiri Wie Pek. “Taka pa-apa,”
katanya sambil meringis.
Dengan berbaring, kedua nona itu menumpahkan
kegusaran di atas kepala Boe Kie. Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, mereka memukul badan dan menghantam
dada si bocah. Boe Kie yang belum hilang kagetnya sebab
1027
melihat akibat pukulannya, tidak bergerak dan tinju kedua
gadis itu tepat mengenai dadanya, ”Uh!” dengan badan
bergoyang-goyang ia muntahkan darah!
Dada si bocah sakit, tapi hatinya lebih sakit. “Dengan
mati-matian aku berkelahi untuk membuat mukamu
terang,” katanya didalam hati. “Tapi waktu aku menang,
kau berbalik memukul aku.”
“Tahan!” teriak Wie Pek.
Kedua gadis itu tidak memukul lagi.
Dengan paras muka pucat. Wie Pek mengayun tangan
kirinya dan menghantam Boe Kie. Boe Kie yang dengan
melompat jauh berhasil menyelamatkan dirinya.
“Piauw Ko,” kata nona Coe, “kau sudah terluka, perlu
apa kau meladeni anak yang kurang ajar itu? Aku yang
salah. Sebenarnya tak boleh aku mengadu kau dengannya.”
Dia seorang gadis yang beradat tinggi. Kalau bukan melihat
akibat dari perbuatannya, tak gampang-gampang ia mau
mengaku bersalah.
Tapi diluar dugaan, Wie Pek jadi makin gusar. Ia tertawa
dingin seraya berkata, “Piauw Moay, pelayanmu benarbenar
lihai. Kau sendiri mana bersalah? Tapi aku masih
merasa penasaran.” Ia mendorong Kioe Tin dan lalu
menerjang Boe Kie.
Si bocah mau melompat mundur, tapi Boe Ceng Eng
yang berdiri di belakangnya segera mendorong
punggungnya sehingga tinju Wie Pek mampir tepat di
hidungnya yang lantas saja bocor.
Dalam sekejab Boe Kie sudah dikepung oleh tiga orang
dan tujuh delapan pukulan dengan beruntun jatuh di
badannya. Beberapa kali ia muntah darah, tapi sebagai
manusia kepala batu, dengan nekat ia melawan terus. Ia
1028
menggunakan segala macam ilmu silat yang dimilikinya.
Silat Cia Soen, ilmu kedua orang tuanya, pukulan-pukulan
Boe Tong Pay dan berkelahi bagaikan harimau edan.
Walaupun Lweekangnya masih sangat cetek, tapi karena
kenekatannya ditambah dengan pukulan-pukulan dari ilmuilmu
silat yang sangat tinggi, seperti Hang Liong Sip Pat
Ciang, maka untuk sementara waktu ia masih dapat
mempertahankan diri.
“Bocah Bau!” caci Coe Kioe Tin. Binatang dari mana
kau? Sungguh berani kau mengacau di tempat ini. Apa kau
sudah bosan hidup?”
Sementara Wie Pek yang tangannya makin lama makin
sakit sungkan berkelahi lebih lama lagi. Sambil
mengerahkan seluruh Lweekang di tangan kiri, ia
menghantam bagaikan kilat. Melihat pukulan yang dahsyat
itu, Boe Kie yang terlalu lelah jadi putus harapan. Ia
mengeluh dan memejamkan kedua matanya untuk
menunggu kebinasaan.
Tapi sebelum tangan Wie Pek turun di badannya, tibatiba
terdengar bentakan menggeledek.
“Tahan!” satu bayangan kuning berkelabat dan
menangkis tangan pemuda itu yang sedang menyambar.
Begitu tangannya tertangkis, Wie Pek terhuyung beberapa
tindak dan kemudian terjengkang. Tapi gerakan orang itu
yang mengenakan jubah kuning cepat luar biasa. Dengan
sekali meloncat, ia menjaga punggung pemuda itu yang
lantas saja bisa berdiri tegak.
“Ayah!” teriak Kioe Tin.
“Coe PehPeh!” seru nona Boe.
“Koe Koe!” kata Wie Pek dengan napas tersengal-sengal.
Orang yang menolong Boe Kie bukan lain Coe Tiang
1029
Leng, ayah Coe Kioe Tin. Begitu lekas tulang lengan Wie
Pek patah, seorang perawat anjing buru-buru melaporkan
kepada sang majikan yang lantas saja datang ke tempat
pertempuran. Untuk beberapa saat, Coe Tiang Leng
menyaksikan “kegagahan” putrinya dan dua orang muda
itu dan pada detik yang berbahaya ia memberi pertolongan.
Melihat keberanian dan kegigihan Boe Kie, orang tua itu
merasa kagum.
Dengan paras muka merah padam dan mata mendelik, ia
mengawasi putrinya, Wie Pek, dan Boe Ceng Eng.
Mendadak tangannya melayang, menampat muka putrinya.
“Bagus!” katanya dengan suara menyeramkan. “Makin
lama anak cucu keluarga Coe jadi makin tak karuan
macam! Dengan mempunyai anak semacam kau,
bagaimana aku ada muka untuk bertemu dengan leluhurku
di dunia baka?”
Coe Kioe Tin adalah anak biasa dimanja. Jangankan
digebuk, dicacipun belum pernah. Tapi sekarang ia
ditampar di depan banyak orang, bahkan di depan
kecintaannya. Tamparan itu cukup keras untuk membuat
kepalanya pusing. Sesudah pusing hilan, “Uh!” ia menangis
keras.
“Diam!” bentak sang ayah. Bentakan itu disertai
Lweekang sudah menggetarkan seluruh ruangan, sehingga
debu pada jatuh dari atas balok. Si nona takut bukan main
dan ia tak berani menangis terus.
“Semenjak dahulu, keluarga Coe hidup bagaikan
kesatria,” kata sang ayah. Leluhurmu, Coe Lioe Kong,
mengabdi kepada It Teng Taysoe dan jadi perdana menteri
dari negeri Tayli Kok. Belakangan beliauw Bantu
melindungi kota Siang Yang dan namanya menggetarkan
seluruh dunia. Lihatlah! Betapa gagahnya leluhurmu itu!
1030
Tak nyana anak cucunya tidak karuan macam. Sampai
kepada aku, Coe Tiang Leng, aku punya anak seperti
cecongormu! Tiga orang dewasa mengerubuti seorang anak
kecil! Bukan saja begitu, kamu bahkan coba mengambil
juga jiwa anak itu! Malu tidak kau?” ia bicara dengan suara
berapi-api dengan nada menyeramkan. Walaupun cacian
ditunjukkan kepada Kioe Tin, Wie Pek dan Ceng Eng pun
kena terseret, sehingga dengan muka kemerah-merahan,
mereka tak berani mengangkat kepala.
Mendengar dan melihat semua itu, Boe Kie merasa
takluk dan kagum terhadap orang tua itu.
Coe Tiang Leng benar-benar marah besar. Dari pucat
mukanya berubah merah, dari merah berubah kuning,
sedang badannya gemetara. Tak satupun antara ketiga
orang pemuda itu yang berani bersuara atau berkisar.
Sambil menundukkan kepala, mereka berdiri bagaikan
patung.
Melihat bengkaknya pipi nona Coe Kioe Tin dan
sikapnya yang penuh ketakutan, Boe Kie merasa sangat tak
tega dan ia segera berkata
“Looya, dalam hal ini Sio Cia sama sekali tak bersalah,”
Tiba-tiba ia terkejut karena suaranya hampir tak
kedengaran, akibat dari pukulan Wie Pek pada
tenggorokannya.
“Saudara kecil, kau mengenal Hang Liong Sip Pat
Ciang,” kata Coe Tiang Leng. “Apakah kau murid Kay
Pang?” (Kay Pang Partai pengemis)
Boe Kie yang sungkan memberitahukan asal-usulnya
lantas saja mengangguk.
Sambil mengawasi puterinya dengan sorot mata gusar.
Orang tua itu berkata pula, “ilmu pukulan itu diturunkan
1031
oleh Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong yang pada zaman itu
telah menggetarkan seluruh rimba persilatan di sebelah
selatan dan utara sungai besar. Dengan keluarga kita,
keluarga Coe dan Boe, beliauw mempunyai hubungan yang
sangat erat,” ia menengok kepada Boe Ceng Eng dan
berkata pula, Kwee Ceng, Kwee Tayhiap, adalah guru
leluhurmu, Sioe Boe Kong. Sesudah mengenali bahwa
pukulan yang dikeluarkan oleh saudara kecil itu ialah Hang
Liong Sip Pat Ciang, mengapa kau masih juga turun
tangan!” ia bicara dengan suara keras dan tidak sungkansungkan
lagi sehingga Boe Kie sendiri jadi merasa sangat
tidak enak.
Sesudah menyuruh seorang pelayan mengambil obat
luka, orang itu menanyakan hal ihwal kedatangan Boe Kie
dan cara bagaimana ia sampai mendapat kedudukan
seorang pelayan di dalam gedungnya. Coe Kioe Tin tak
berani berdusta dan lalu menceritakan cara bagaimana Boe
Kie digigit anjing sebab coba menyembunyikan seekor kera
kecil dan cara bagaimana ia sudah menolongnya.
Darah sang ayah meluap lagi. Begitu lekas si nona selesai
menutur, ia membentak dengan suara menggeledek.
“Bagus! Saudara kecil itu adalah sahabat dari Kay Pang dan
kau sudah berani mati untuk memberi kedudukan pelayan
kepadanya. Huh-Huh! Kalau hal ini sampai terdengar
diluaran, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang gagah
dalam kalangan Kang Ouw? Mereka pasti akan mengatakan
bahwa Kian Koen It Pit Coe Tiang Leng adalah manusia
yang tidak mengenal pribadi. Aku membiarkan kau
memelihara anjing-anjing itu dengan anggapan, bahwa kau
memeliharanya hanya untuk main-main. Tapi siapa nyana,
kau sudah mengumbar binatang-binatan itu untuk
mencelakakan orang. Budak kecil! Jika untuk mengambil
jiwa kecilmu, mana aku ada muka untuk bertemu pula
1032
dengan orang-orang gagah dalam rimba persilatan?” Ia
mencaci dengan mata berapi-api dan nona Coe mengerti,
bahwa sang ayah dapat membuktikan ancamannya.
Dengan muka pucat dan badan gemetaran, buru-buru ia
menekuk lutut seraya berkata dengan suara parau. “Thiathia,
anak….. anak tidak berani berbuat itu lagi…….”
Melihat bahaya, Wie Pek dan Ceng Eng pun segera
berlutut dan memohon supaya orang tua itu sudi
mengampuni puterinya.
Boe Kie segera maju mendekati seraya berkata,
“Looya…..”
“Saudara kecil, jangan kau memanggil Looya
kepadaku,” kata Tiang Leng dengan suara lebih sabar.
“Aku hanya lebih tua sekian tahun daripadamu dan paling
banyak kau boleh memanggil Cianpwee kepadaku.” (Looya
Tuan Besar, panggilan untuk majikan atau orang
berpangkat. Cianpwee orang yang tingkatannya, atau
usianya lebih tinggi)
“Baiklah,” kata si bocah. “Coe Cianpwee, dalam hal ini
tak dapat kita menyalahkan Sio Cia. Dengan sebenarbenarnya,
Sio Cia tak tahu menahu waktu aku digigit
anjing.”
“Kau lihatlah,” kata Coe Tiang Leng. “Dia masih begitu
kecil, tapi sudah begitu lapang dada. Kalian bertiga masih
tak dapat menandingi seorang bocah seperti dia. Pada Hari
Tahun baru, lebih pula karena Boe Kouwnio tamu kami,
menurut adat aku tak boleh mengunjuk kegusaran. Akan
tetapi, aku tidak bisa berpeluk tangan, sebab perbuatanmu
terlalu gila dan tiada berbeda dengan perbuatan manusia
hina. Sekarang, sesudah saudara kecil ini memintakan
ampun, kamu bangunlah.”
Dengan kemalu-maluan, Wie Pek bertiga lantas bangkit.
1033
“Lepaskan semua anjing jahat itu!” bentak Coe Tiang
Leng sambil menengok kepada tiga perawat anjing yang
berdiri di satu sudut. Mereka mengiyakan dan buru-buru
menjalankan perintah.
Melihat paras muka ayahnya yang menyeramkan dank
arena tak tahu apa yang akan diperbuat oleh orang tua itu,
nona Coe jadi lebih ketakutan. “Thia!” serunya dengan
suara parau.
Sang ayah tertawa dingin. “Kau memelihara anjinganjing
jahat untuk mencelakai manusia,” katanya.
“Baiklah, sekarang perintahkan anjing-anjingmu untuk
menggigit aku.”
Si nona menangis, “Thia, anak sudah tahu kesalahan
sendiri,” ratapnya.
Orang tua itu hanya mengeluarkan suara di hidung.
Mendadak ia melompat ke gerombolan anjing itu sambil
mengayunkan kedua tangannya. “Plaak…Plaak…
Plaak…Plaak…” empat ekor anjing roboh dengan kepala
remuk.
Semua orang terkesiap, mereka mengawasi dengan
mulut ternganga.
Kaki tangan Coe Tiang Leng menyambar-nyambar dan
badannya bergerak bagaikan kilat. Dalam sekejab mata, tiga
puluh ekor anjing sudah rebah di lantai tanpa bernyawa
lagi. Jangankan melawan, laripun mereka tak keburu lagi.
Wie Pek dan Boe Ceng Eng kaget bercampur kagum.
Walaupun tahu, bahwa orang tua itu berkepandaian tinggi,
mereka tak nyana kepandaiannya setinggi itu.
Sesudah melampiaskan kegusarannya, Coe Tiang Leng
lalu mendukung Boe Kie yang dibawa ke kamarnya sendiri.
Tak lama kemudian Coe Hujin (nyonya Coe) dan Kioe Tin
1034
datang menengok dengan membawa semangkok obat.
Sebagai akibat gigitan anjing karena mengeluarkan
terlalu banyak darah. Biarpun lukanya sudah sembuh,
badan Boe Kie sebenarnya masih sangat lemah. Maka itu,
luka-luka hebat yang dideritanya sekarang sudah membuat
ia pingsan berulang-ulang dan selama beberapa hari ia
berada dalam keadaan pingsan. Berkat rawatan yang teliti,
akhirnya ia tersadar. Begitu lekas sebagian tenaganya pulih,
ia sendiri segera menulis surat obat dan menyerahkannya
pada pelayan dan meminta supaya ia diberi obat menurut
resep itu. Obat itu ternyata sangat mujarab dan
kesehatannya kembali denga cepat sekali. Melihat
kepandaian si bocah dalam ilmu pengobatan, penghargaan
Coe Tiang Leng jadi lebih besar.
Sementara itu, Coe Kioe Tin kelihatannya sudah sadar
akan kesalahannya dan untuk menebus dosa ia merawat
Boe Kie seperti kakak merawat adik kandung sendiri.
Selama dua puluh hari lebih, seringkali ia menemani si
bocah di samping pembaringan sambil bercakap-cakap,
meniup seruling, atau menyanyi.
Sesudah Boe Kie bisa berjalan, pergaulannya dengan si
nona jadi makin akrab.
Menurut peraturan keluarga Coe, pagi2 belajar silat, sore
belajar surat. Ilmu silat keluarga tersebut mempunyai
sangkut paut yang sangan erat denga Soe hoat (seni menulis
surat indah). Mungkin tinggal seorang memiliki Soe Hoat,
makin tinggi pula ilmu silatnya.
Untuk mempelajari ilmu surat, Coe Kioe Tin
mempunyai sebuat kamar tulis yang kecil, dengan hiasan
idah. Ditembok sebelah timur tergantung selembar tulisan
sajak, buah kalam penyair Touw Bok, sedang tembok
sebelah utara diantara dua lukisan san soei (pemandangan
1035
alam) terdapat tulisan Si Hie tiap, karya Hway-so
Hweeshio.
Setiap kali berlatih menulis huruf2 indah Kiao Tin selalu
mengajak Boe Kie dan memberi petunjuk2. Dengan duduk
berhadapan mereka belajar bersama sama. Kalau cape
mereka berhenti menulis dan beromong omong sambil
tertawa tawa.
Dalama latihan ilmu silatpun; keluarga Coe
memperlakukan bocah itu sebagai seorang anggota
keluarga. Coe Tiang Leng memperbolehkan Boe Kie turut
serta dalam ruangan latihan dan tempo2 menyuruh anak itu
berlatih bersama sama putrinya. Ilmu silat keluarga Coe
dan silat yg dikenal Boe Kie agak berbeda. Akan tetapi,
pada hakekatnya ilmu silat diseluruh dunia bersuber satu,
maka sesudah memperhatikan beberapa kali, Boe Kie dapat
mengikuti latihan tanpa banyak kesukaran. Toang Leng dan
putrinya tidak berlaku pelit mereka mengajar si bocah
dengan sungguh hati.
Semenjak meninggalkan pulau Peng Hwee To, Boe Kie
selalu hidup dalam penderitaan. Baru sekarang ia dapat
mencicipi penghidupan tenteram yang bahagia.
Tanpa merasa satu bulan setengah sudah lewat. Hati iut
pada pertengahan Jie-gwee selagi Kioe Tin dan Boe Kie
berlatih menulis huruf 2 indah tiba2 Siauw Hong masuk
seraya berkata.
"Siocia, Yauw Jie-ya sudah kembali dari Tiong goan."
(Jie-ya Tuan kedua)
Si nona kegirangan. Sambil melempar pit, ia berteriak.
"Bagus! Aku sudah menunggu setengah tahun lebih." Ia
menarik tangan Boe Kie mari kita menemui Yauw Jie-siok,
aku tak tahu, apa ia membeli barang2 yang kupesan." (Jiesiok
Paman kedua).
1036
Dengan berlari mereka pergi ke kota thia (ruangan
tengah).
"Siapa Yauw Jie-siok?" tanya si bocah.
"Ia adalah saudara thia thia," jawabnya "Namanya Yauw
Ceng Coen, berglear Cian Lie Toei hong (Dalam seribu li
mengejar angin). Tahun yang lalu ayah telah meminta
padanya pergi ke Tiong goan untuk mengantarkan beberapa
rupa barang. Aku memesan supaya ia membeli yan cie dan
puput dari Hang cie, jarum sulam, benang dan gambar2
lukisa dari Souw cioe, pit bak, contoh2 huruf dan buku2.
Aku tak tahu, apa ia perhatikan pesanku itu."
Coe-kee-choeng (Perkumpulan keluarga Coe) terletak di
See hek (Wilayah barat) dalam lingkungan gunung Koe
Loen san. Alat2 kecantikan, buku2, perabot tulis dan
sebagainya yang diperlukan oleh nona Coe tak bisa didapat
dalam jarak ribuan lie. Tempat itu terpisah berlaksa lie dari
daerah Tiong-goan sedang sekali pulang perlu memerlukan
tempo dua tiga tahun. Maka itulah, saban ada orang yang
mau pergi ke Tiong-goan, Coe Kioe Tin selalu memesan ini
atau itu dalam jumlah yang besar.
Tapi begitu tiba diambang pintu, mereka terkejut karena
mendengar suara tangisan. Dengan hati berdebar debar
mereka bertindak masuk. Hati mereka mencelos sebab
melihat Coe Tiang Leng sekang berlutut dilantai sambil
berpelukan dan menangis dengan seorang lelaki kurus
jangkung yang mengenakan pakai berkabung.
"Yauw Jie-siok!" teriak Kioe Tin seraya menubruk.
Sang ayah menyapu air matanya dan berkata dengan
suara parau. "Ah Tin jie! Toa in jien (tuan penolong besar)
kita Nyonya... Thio Ngo... ya... telah meninggal dunia!"
"Tapi... tapi bagaimana bisa begitu?" tanya si nona
1037
dnegan mata membalak. "Bukanlah, sesudah menghilang
sepuluh tahun In kong (paduka penolong) sudah kembali?"
Lelaki setengah tua yang mengenakan pakaian
berkabung itu Coan-lie Toei hong Yauw Ceng Coan
menengok seraya berkata dengan suara terputus putus.
"Kita yang berdiam ditempat jauh... sukar mendapat warta.
Sesudah ku tiab di Tiong-goan baru kutahu, bahwa... bahwa
Tio Iajin bersama Thio Hoejin sudah meninggal dunia pada
kita2 empat tahun berselang dengan.... Dengan membunuh
diri sendiri! Aku mendapat warta itu sebelum mendaki Boe
tong san. Atku tidak percaya. Belakangan sudah tiba di boe
tong san dan bertemu dengan Song Toa hiap Jie hiap
barulah kutahu bahwa warta itu bukan cerita kosong...
Hai!"
Betapa besar rasa kaget Boe Kie dapatlah dibayangkan.
Sesudah mendengar keterangan itu ia tidak bersangsi lagi,
bahwa yang dinamakan sebagai "Toa-injin Thio Ngoya"
adalah ayahandanya sendiri, melihat kesedihan Coe Tiang
Leng, Yau Ceng Coan dan Coe Kioe Tie, yang jg turut
mengucurkan air mata hampir2 ia melompat menubruk dan
memperkenalkan diri sendiri. Tapi ia segera mengurungkan
niatannya sebab kuatir tidak dipercaya dan orang bahkan
bisa menduga jelek atas dirinya.
Beberapa saat kemudian Coe Hoejin muncul dengan di
papah oleh seorang budak dan sambil menangis ia
mengajukan banyak pertanyaan kepada Yauw Ceng Coan.
Karena sedang ditindih dengan kedukaan, Yauw Ceng
Coen sampai lupa untuk menjalankan peradatan kepada
gie-so nya (istri dari saudara angkat). Ia segera menuturkan
cara bagimana Thio Coei San bersama istrinya telah binasa
dengan membunuh diri.
Sambil seraya menggigit gigi, sebisa bisa Boe Kie
menahan rasa sedihnya. Tapi biarpun begitu, ia tidak dapat
1038
mencegah mengucurnya air mata. Hanya karena semua
orang bersedih hati mereka tidak memperhatikan tangisan si
bocah.
Sekonyong-konyong tangan Coe Tiang Leng berkelebat
dan .... "prak!".... sebuah meja delapan persegi somplak.
"Jie-tee!" katanya dengan suara keras. "Dengan tegas dan
dengan jelas, aku minta kau memberitahukan namanya
oran2 yg telah naik ke Boe tong dan endesak begitu rupa
sehingga In Kong terpaksa membunuh diri."
"Sesudah mendapat tahu tentang kebinasaan In Kong,
sebenarnya aku harus buru2 pulang untuk memberi laporan
kepada Taoko," kata Yauw Ceng Coan"Tapi sebab ingin
mengetahui nama musuh2 itu, maka aku lalu menyelidiki.
Belakangan kudengar, bahwa disamping tiga pendeta suci
dari Siauw Lim Pay, jumlah musuh bukan sedikit. Perlahan
lahan aku mengumpulkan keterangan sehingga oleh
karenanya aku pulang sangat terlambat." Sesudah itu ia
segera menyebutkan nama2 semua orang yg turut hadir
dalam peristiwa berdarah di Boe tong san.
"Jie-tee," kata Coe Tiang Leng dengan sudar duka,
"Mereka itu adalah jago2 terutama dalam Rimba persilatan
dan satupun tak akan dapat ditandingi oleh kita. Tapi budi
Thio Ngoya berat seperti gunung, sehingga biarpun badan
kita menjadi tepung, kita mesti jg coba membalas sakit hati
Nyonya".
"Tak salah apa yg dikatakan Taoko," kata Yauw Ceng
Coan. "Jiwa kita telah dihidupkan pula oleh Thio Ngoya
dan sesudah itu kita bisa menyambung umur selama
belasan tahun, adalah sepantasnya saja kalau sekaang kita
membuang jiwa demi kepentingan Ngoya. Siauw-tee hanya
merasa menyesal, bahwa siaw-tee tidak dapat mencari
putera Ngoya. Alangkah baiknya jika kita berhasl
mencarinya dan mengajak ia kesini supaya kita dapat
1039
merawatnya seumur hidup."
Mendengar itu, Coe Hoejin segera minta penjelasan lebih
lanjut mengenai putranya Coei San. Yauw Ceng Coan
menyatakan, bahwa sebegitu jau diketahuinya, putera tuan
penolong itu, telah mendapat luka berat dan pergi kesuatu
tempat untuk berobat. Bahwa sepanjang keterangan anak
itu batu berusia kira2 sembilan tahun dan bahwa Thio Sam
Hong berniat untuk mengangkat dia sebagai Ciang boenjin
Boe tong pay dibelakagn hari.
Coe Tiang Leng dan istrinya merasa sangat girang dan
mereka segera berlutut untuk menghaturkan terima kaish
kepada Langit dan bumi, atas belas kasihan yang sudah
dilimpahkan kepada suami istri Thio Coei San, yang biar
bagaimanapun jg, ternyata sudah mempunyai turunan.
"Taoko jinson yang usianya ribuan tahun benar, soat-lian
dari gunung Thian san, emas hitam pisau dan lain2 barang
yg di titipkan Toako sudah aku serahkan kepada Thio
Kongcu," kata pula Yauw Ceng Coan.
Sang kakak mengangguk dan berkata. "Kau benar, aku
setuju dengan tindakanmu itu."
"Tin jie," kata Coe Tiang Leng berpaling kepada
puterinya, "kau boleh menceritakan kepada saudara Thio,
cara bagaimana keluarga kita telah ditolong oleh Thio
Ngoya".
Kioe Tin segera menuntun tangan Boe Kie dan
mengajaknya pergi ke kamar ayahnya. "itlah dia!" kata si
nona sambil menunjuk sebuah lukisan yang di gantung di
tengah2 tembok. Di samping gambar itu terdapat tulisan
yang berbunyi seperti berikut. "Gambar peringatan
mengenai pertolongan yang diberikan oleh Tuan penolong
Thio Coei San."
1040
Membaca nama mendiang ayahnya, air mata Boe Kie
lantas saja berlinang linang.
Lukisan itu memperlihatkan sebidang lapangan rumput
di pedusunan, dimana terdapat seorang pemuda gagah
dnegan tangan kiri memegang gaetan perak dan tangan
kanan bersenjata Poan koan-pit yang sedang pertempuran
melawan lima musuh. Boe Kie lantas saja mengenali,
bahwa pemuda itu adalah mendiang ayahnya sendiri.
Diatas tanah tergeletak dua orang yang terluka berat, satu
Coe Tiang Leng Mansatu lagi Yauw Ceng Coan. Didekat
mereka terdapat dua orang lain yang sudah binasa. Disudut
sebelah kiri kelihatan berdiir seorang wanit muda yg dengan
paras muka ketakutan, sedang memeluk satu bayi
perempuan. Wanita muda itu adalah Coe Heojin. Boe Kie
mengawasi si bayi yang pada pojok mulutnya terdapat
setitik tahi lalat dan lantas tahu, bahwa bayi itu bukan lain
daripada Coe Kioe Tin sendiri. Kertas dari lukisan itu
sudah kuning dan sudah usia sedikit belasan tahun.
Kioe Tin lantas saja menceritakan sejarah lukisan itu.
Tak lama sesudah ia terlahir, ayahnya melarikan diri
kedaerah sebelah barat untuk menyingkir dari seorang
musuh yang sangat lihai. Tapi ditengah jalan, mereka
dicandak oleh rombongan musuh. Dua orang adik
seperguruan ayanya binasa dalam pertempuran, sedang
orang tua itu sendiri dan Yauw Ceng Coan sudah roboh
dengan luka berat. Pada detik2 yang sangat berbahaya,
secara kebetulan Thio Coei San lewat disitu dan segera
memberi pertolongan dengan memukul mundur musuh2
itu. Menurut perhitungan, kejadian itu telah terjadi pada
waktu sebelum Coei San menghilang selama sepuluh tahun.
Sesudah selesai menutur, si nona berkata pula dengan
paras muka berduka. "Karena berada di tempat jauh, warta
tentang kembalinya Thio In Kong baru didapat kami pada
1041
tahun2 yang lalu. Sebab sudah bersumpah untuk tidak
menginjak lagi wilayah Tionggoan, ayah terpaksa meminta
san dengan membawa beberapa rupa barang antaran. Siapa
nyana..." Bicara sampai disitu seorang kacung masuk dan
memberitahukan; bahwa si nona harus segera pergi ke
ruang sembahyang. Cepat cepat Kioe Tin menukar pakai
putih dan bersama Boe Kie ia segera pergi ke ruang
belakang, dimana sudah diatur sebuah meja sembahyang
dengan lengpay yang tertulis seperti berikut. "Kedudukan
roh yang angker dari Tuan Penolong Thio Thayhiap Coei
San dan Thio Hoejin." Begitu mereka masuk, Coe Tiang
Leng bersama istrinya dan Yauw Ceng Coan sudah berlulut
didepan meja sembahyang sambil menangis sedih dan
merekapun lantas saja berlutut di belakang ketiga orang tua
itu.
Sambil mengusap-usap kepala Boe Kie, Coe Tiang Leng
berkata dengan suara terharu. "Saudara kecil, bagus... Thio
Thayhiap adalah seorang kesatria, seorang laki2 jarang
tandingan dalam dunia yg lebar ini. Walupun kau tidak
mengenalnya, bukan sanak dan bukan kadang, tapi
memang pantas sekali jika kau mengunjuk hormat
kepadanya."
Boe Kie menunduk, supaya orang tua itu tidak melihat
matanya yang mengembang air. Ia merasa, bahwa sekarang
ia lebih2 tidak dapat mengakui, bahwa ia adalah putera
Thio Coei San, Yauw Ceng Coan mendapat keterangan
yang tidak begitu tepat dan mengatakan bahwa ia baru
berusia kira2 sembilan tahun. Jika ia membuka rahasianya
sebagai putera Thio Coei San, merekapun belum tentu akan
percaya.
"Toako," kata Yauw Ceng Coan denga suara perlahan,
"bagaimana dengan Cia-ya...?"
Coe Tiang Leng batuk2 dan meliriknya. Yauw Ceng
1042
Coan mengerti maksud kakaknya, ia mengangguk sedikit
dan berkata pula, "Bagaimana dengan cia-gie? Apa Toako
mau mengumumkan perkabungannya?"
"Kau putuskan saja sendiri." Jawabnya.
Boe Kie jadi heran, "Tadi terang2 kudengar Cia-ya,"
katanya dalam hati. "Mengapa sekarang jadi cia-gie? Apa
Cia-ya dimaksudkan sebagai ayah angkatku?" (Cia ya bearti
tuan Cia sedang cia-gie yalah pemberitahuan tentang
perkabungan).
Malam itu Boe Kie tak bisa tidur. Di depan matanya
kembali terbayang kejadian2 dimasa silam, pada waktu ia
masih berada di pulau Peng hwee-to bersama kedua
orangtuanya dan ayah angkatnya. Keesokan paginya,
berbareng dengan suara tindakan, hidungnya mengendus
bebauan harum dan sesaat kemudian, Coe Kioe Tin masuk
dengan membawa paso air cuci muka.
Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun seraya berkata.
"Tin cie... mengapa... mengapa kau..."
"Semua pelayan dan budak sudah pergi," jawabnya "Apa
halangannya jika aku melayani kau sekali dua kali?"
Bukan main rasa herannya si bocah. "Tapi, mengapa...?"
tanyanya.
"Sudah lama Thia-thia menyuruh mereka pergi," kata si
nona. "Setiap orang diberikan uang dan disuruh pulang,
karena ... karena rumah ini sangat berbahaya." Ia berdiam
sejenak dan kemudian berkata pua, " Sesudah kau cuci
muka ayang ingin bertemu dengamu."
Dengan hati tak enak, buru2 Boe Kie mencuci muka dan
sesudah itu, ia menyisir rambut dengan dibantu oleh si
nona, yang kemudian mengajaknya pergi ke kamar buku
Coe Tiang Leng. Dalam gedung itu terdapat seratus lebih
1043
pelayan dan budak, tapi sekarang, satupun tak kelihatan
mata hidungnya.
Begitu lekas mereka masuk ke dalam kamar buku, Coe
Tiang Leng segera berkata. "Saudara Thio aku menghargai
kau sebagai seorang laki2 sejati dan sebenarnya aku ingin
menahan engkau berdiam disini sampai sembilan atau
sepuluh tahun. Tapi karena terjadinya satu perubahan luar
biasa, maka kita terpaksa harus segera berpisah. Saudara
Thio, kumohon kau tidak menjadi kecil hati." Sambil
mengangkat dulang yang berisi duabelas potong emas,
duabelas potong perak dan sebliah pedang pendek, ia
berkata pula, "Inilah sedikit tanda mata dari kamu bertiga
suami-oistir dan anakku. Kamu harap saudara Thio suka
menerimanya. Kalau loohoe masih bisa hidup terus,
dibelakang hari kita akan bisa bertemu pula..." Karena
terharu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
Boe Kie mundur setindak dan seraya membungkuk, ia
berkata dengan suara nyaring. "Coe pehpeh, biarpun masih
kecil dan tak punya guna, siauwtit bukan manusia yang
takut mati. Pada saat keluarga Coe Pehpeh menghadapi
marabahaya; biar bagaimanapun jug siauwtit tak akan
menyingkir seorang diri. Walaupun siauwtit tak bisa
membantu Pehpeh dan Ciecie, tapi siauwtit ingin hidup
atau mati bersama-sama kaliah." Coe Tiang Leng coba
membujuk berulang2, tapi si bocah tetap pada
pendiriannya.
Akhirnya sesudah kewalahan, orang tua itu menghela
napas seraya berkata. "Hai! Anak kecil memang tidak tahu
bahaya. Sekarang aku terpaksa menceritakan persoalannya
kepadamu. Tetapi kalu lebih dahulu harus bersumpah,
bahwa kau tak akan membocorkan rahasia ini dan jg katu
tidak akan mengajukan pertanyaan apapun jua."
Boe Kie segera berlutu dan mengucapkan sumpahnya.
1044
"Langit menjadi saksi, bahwa aku tidak akan membocorkan
atau mengajukan pertanyaan mengenai keterangan yang
akan diberikan oleh Pehpeh. Jika aku melanggar janji ini
biarlah aku binasa dengan badan dicincang laksaan golok,
badanku hancur dan namaku busuk."
Dengan terharu Coe Tiang Leng membangunkan Boe
Kie. Ia melongok keluar jendela dan kemudian melompat
ke atas genting untuk menyelidiki kalau2 ada musuh yang
bersembunyi. Sesudah itu, barulah ia kembali ke kamar
buku dan bicara bisik2. “Kau hanya boleh mendengar apa
yang dikatakan olehku, tapi tidak boleh mengajukan
pertanyaan, sebab tembok ada kupingnya.”
Boe Kie mengangguk.
“Kemarin Yauw Jie-tee pulang dengan membawa
seorang lain,” bisik orangtua itu. “Orang itu she Cia
bernama Soen, bergelar Kim-mo Say ong…”
Boe Kie terkesiap, badannya bergemetaran.
“Cia tayhiap intu adalah saudara angkat Thio In-kong,”
Coe Tiang Leng melanjutkan penuturannya. “Ia
bermusuhan hebat dengan banyak partai dan tokoh rimba
persilatan. Bahwa Tho Inkong suami-istri sampai
membunuh diri adalah karena tidak mau memberitahukan
dimana tempat bersembunyinya saudara angkat itu. Aku
sendiri tak tahu, cara bagaimana Cia thayhiap akhirnya bisa
pulang ke Tionggoan dan begitu kembali, ia segera
mengamuk dan membinasakan banyak orang untuk
membalas sakit hatinya Thio Inkong. Tapi biar
bagaimanapun gagah pun jua; satu orang tak akan bisa
melawan musuh yang berjumlah besar, sehingga akhirnya
ia mendapat luka berat.”
“Yauw Jie-tee adalah seorang yang pintar dan berhati2.
Ia berhasil menolong Cia Thayhiap dan membawanya
1045
kemari. Rombongan musuh terus mengejar dan menurut
dugaan, tak lama lagi mereka akan datang kesini. Kami
sudah pasti tak akan bisa melawan mereka. Tapi aku sudah
mengambil keputusan untuk membalas budi dan bersedia
untuk binasa dalam melindungi Cia Tayhiap. Tapi kau
sendiri tak punya sangkut paut dengan urusan ini. Maka
dari itu, perlu apa kau turut membuang jiwa? Saudara Thio
hanya ini saja yang dapat kukatakan. Sekarang masih ada
tempo, kau pergilah lekas2! Begitu lekas rombongan musuh
tiba, batu giok akan hancur dan kau tak akan keburu
menyingkir lagi.”
Boe Kie mendengar itu dengan jantung memukul keras.
Ia kaget bercampur girang. Mimpi pun ia tak pernah mimpi,
bahwa ayah angkatnya bisa datang disitu. Tanpa merasa ia
berkata. ‘Dimana…”
Coe Tiang Leng memekap mulutnya seraya berbisik.
“Sit! Musuh lihay luar biasa. Sedikit saja tidak hati2, jiwa
Cia Tayhiap bisa melayang. Apa kau lupa sumpahmu?”
Si bocah manggutkan kepalanya.
“Saudara Thio,” kata pula orang tua itu, “aku sudah
bicara seterang2nya. Aku menganggap kau sebagai sahabat
dan aku telah membuka rahasia hatiku. Sekarang, kau
berangkatlah.”
“Sesudah mendengar penuturan Coe pehpeh aku lebih2
tak akan menyingkirkan diri,” kata si bocah dengan suara
tetap.
Coe Tiang Leng menghela napas,” Ayolah! Kita harus
bertindak sekarang jg,” katanya Ia segera bertindak keluar
pintu dengan di ikuti oleh Kioe Tin dan Boe Kie.
Coe Hoejin dan Yauw nCeng Coan sudah diluar pintu
dan disamping mereka terdapat beberapa bulatan besar,
1046
seperti orang mau merantau ke tempat jauh. Boe Kie
menengok kesana sini tapi ita tak melihat ayah angkatnya.
Coe Tiang Leng segera mengeluarkan bahan api dan
menyalakan obor yang lalu digunakan untuk menyulut
pintu tengah. Dalam sekejap, api merembet keatas.
Ternyata gedung yang besar itu sudah di siram dengan
minyak tanah.
Semenjak dahulu diwilayah See-hek, di daerah
pegunungan Thuansan dan Koen Loen, terdapat sumber
sumber minyak tanah yang sering mengalir keluar bagian
air mancur. Perkampungan Coe kee chung hampir satu li
panjangnya yang terdiri dari rumah rumah besar. Tapi
denga n menggunakan minyak, dalam sekejap mata,
seluruh perkampungan sudah berubah menjadi lautan api.
Boe Kie mengawasi berkobarnya api dengan perasaan
terharu. “Harta yang dikumpulkan Coe Pehpeh dengan
susah payah selama bertahun-tahun dalam sekejap menjadi
tumpukan puing,” katanya didalam hati. “Dan itu semua
demi kepentingan ayah angkat. Laki laki gagah seperti Coe
pehpeh sungguh sukar dicari tandingannya didalam dunia.”
Malam itu Coe Tiang Leng dan istrinya, Koe Tin dan
Boe Kie mengindap didalam sebuah gua. Dengan senjata
terhunus, lima orang murid yang dipercaya menjaga diluar
gua, dbawah pimpinan Yauw Ceng Coan, pada hari ketiga,
api kebakaran baru menjadi padam. Untung juga musuh
belum tiba. Malam itu, Coe Tiang Leng mengajak semua
orang meninggalkan gua dan masuk kedalam sebuah
terowongan dibawah tanah yang sangat panjang. Sesudah
berjalan beberapa lama, mereka bertemu dengan beberapa
kamar batu dimana terdapat makanan, air dan sebaginya.
Tapi hawa disitu sangat panas.
Melihat Boe Kie menyusut keringat tak henti hentinya,
Kioe Tin tertawa dan bertanya. “Adik Boe Kie, adalah kau
1047
tahu, mengapa hawa disini terlalu panas? Dapatkah kau
menebak, di mana berada kita sekarang?”
Tiba2 bocah mengendus bau asap dan ia lantas saja
tersadar, “ Ah!” katanya. “Kita berada dibawah Coe-keechung”.
“Kau sungguh pintar,” memuji si nona sambil tertawa.
Boe Kie merasa sangat kagum. Dengan siasat bumi
hangus, musuh pasti tidak akan menduga bahwa Cia Soen
sebenaranya bersembunyi dibawah tempat kebakaran dan
mereka tentu akan mengubar ketempat lain.
Diantara kamar2 batu itu ada sebuah yang pintunya -
pintu besi – ditutup rapat. Boe Kie menduga, bahwa ayah
angkatnya berada dalam kamar tersebut, tapi, biarpun
sangat ingin bertemu dengan orang tua itu, ia tidak berani
menanyakan atau bertindak sembarangan. Ia mengerti,
bahwa setiap tindakan yang ceroboh dapat berakibat hebat.
Setelah berdiam disitu kira kira setengah hari, hawa
panas perlahan lahan mulai mereda. Baru saja Coe Tiang
Leng dan yang lain2 menggelar selimut untuk mengaso,
sekonyong konyong terdengar suara tindakan kuda
mendatangi dari sebelah kejauhan. Tak lama kemudian,
kuda kuda itu sudah berada diatas tempat persembunyian
mereka.
“Api sudah padam lama, bangsat Coe Tiang Leng pasti
sudah kabur ketempat lain dengan membawa Cia Soen,”
demikian terdengar suara seorang. “Ayolah, ubar!” Sesaat
kemudian, terdengar suara kaki kuda yang makin lama jadi
makin jauh. Ternyata, terowongan tersebut dan Coe keeching
dihubungkan dengan sebatang pipa besi, sehingga
setiap suara dimuka bumi bisa didengar jelas dalam lorong
dibawah tanah.
1048
Pada malam itu, lima rombongan musuh lewat diataas –
rombongan Koen loen-pay, kie-keng pang dan dua
rombongan terdiri dari tujuh delapan sampai belasan orang
dan mereka semua mencari Cia Soen dengan menggunakan
perkataan perkataan yang hebat2.
“Kalau Giehoe belum buta dan tidak terluka bangsat
cecurut itu tidak dipandang sebelah mata olehnya,” kata
Boe-Kie didalam hati.
Sesudah kelima rombongan itu lewat, Yauw Ceng Coau
segara menyumbat lubang pipa dengan sepotong kayu,
supaya suara dalam terowongan tidak sampai terdengar
diatas. Sesudah itu, ia berkata dengan suara perlahan. “Aku
ingin menengok Cia Tay-hiap.”
Coe Tiang Leng mengangguk dan Yauw Ceng Coan
segera memutar alat rahasia dipinggir pintu besi yang
perlahan lahan lantas terbuka. Dengan membawa lampu
minyak tanah, Ia masuk kedalam kamar itu.
Sesaat itu, Boe Kie tidak dapat menahan sabar lagi, ia
berbangkit, menghampiri pintu dan mengawasi ke dalam. Ia
melihat seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar sedang
tidur meringkuk dan muka menghadap kedalam. Air mata
si bocah lantas saja berlinang linang.
“Cia Tayhiap,” bisik Yauw Ceng Coan, apa kau merasa
enakan? Mau minum?”
Mendadak angin menyambar dan lampu padam. Hampir
berbareng terdengar suara “buk!” tubuh Yauw Ceng Coan
terpental keluar dan jatuh dilantai.
“Manusia2 dari Siauw Lim pay, Koen loen pay, Khong
tong pay!” demikian terdengar Cia Soan. “Mari! Mari! Apa
kamu kira Kim-mo Say-eng Cie Soen takut kepadamu?”
“Celaka!” seru Coe Tiang Leng. “Cit Tayhiap kapal” Ia
1049
mendekati seraya berakata. “Cia Tay hiap, kami adalah
sahabat2, bukan musuh”.
Cia Soen tertawa terbahak bahak, “Sahabat2?” ia
menegas. “Apa kau mau menipu aku dnegan omongan
manis2?” Ia berjalan keluar dengan tindakan lebar dan
sekonyong2 menghantam dada Coe Tiang Leng telapak
tangannya. Pukulan itu disertai lweekang hebat luar biasa,
sehingga lampu minyak tanah yang ditaruh ditengah2
terowongan berkedip2.
Coe Tiang Leng tidak menangkis ia mengegoa dan
melompat mundur. Setelah pukulannya melesat, Cia Soen
melompat dan meninju Coe Hoejiu. Nyonya itu tidak
mengerti ilmu silat, hingga, kalau kena, jiwa pasti
melayang. Pada saat yang sangat berbahaya, Coe Tiang
Leng dan putrinya melompat dan menangkis pukulan itu.
Melihat kejadian yang tidak diduga duga, Boe Kie berdiri
terpaku dan mengawasi denagn mata membelalak.
Sementara itu, sambil menggeram bagaikan binatang
terluka, Cia Soen menyerang dengan kedua tanganya, tapi
Coe Tiang Leng tidak berani balas menyerang dan hanya
berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berkelit kesana
sini. Satu waktu, karena egosan Coe Tiang Leng, pukulan
Kim-mo Say ong, menghantam dinding terowongan yang
dibuat daripada batu. Begitu kena, batu besar itu hancur
dan muncrat berhamburan. Semua orang terkesiap mereka
tak duga Cia Soen memiliki lweekang yg begitu dahsyat.
Kalau pukulan itu mampir di tubuh manusia, biarpun tidak
mati, orang itu pasti terluka berat.
Dengan rambut terurai, sinar mata berkilat kilat dan
muka berlepotan darah, Cia Soen terus menyerang seperti
harimau edan dan mulutnya mengeluarkan suara ha-ha hoho
yang membangunkan bulu roma. Makin lama ia
1050
mengamuk makin hebat, sehingga semua orang merasa
sangat berkuatir, sedang Coe Hoejin sendiri berdiri di satu
sudut dengan dilindungin oleh putrinya.
Satu ketika, karena terdesak, Coe Tiang Leng
mendorong sebuah meja untuk menahan terjangan si kalap.
Bagaikan kilat Cia Soen menghantam dengan kedua
tinjunya. “Prak!” meja itu hancur luluh.
Boe Kie bingung bukan main. Ia berdiri dipinggir
dinding dan mengawasi kejadian itu dengan mulut
ternganga. Ia kaget tercampur heran karena orang itu
ternyata bukan ayah angkatnya, Kim-mo San-ong Cia Soen.
Kedua mata ayah angkatnya buta, tapi orang itu tidak
kurang suatu apa.
Sekonyong-konyong, ketika Coe Tiang Leng berdiri
membelakangi dinding, si kalab menghanta. Ia tidak bisa
berkelit lagi, tapi ia tetap tidak mau menangkis. “Cia
Tayhiap!” teriaknya. “Aku bukan musuh, aku tak akan
membalas seranganmu.”
Orang itu tidak menghiraukan telapak tangannya terus
menyambar ke dada Coe Tiang Leng “Buk!”, badan Coe
Tiang Leng bergoyang2 dan paras mukanya berubah pucat.
“Cia Tayhiap apa sekarang kau sudah percaya?” tanyanya.
“Anjing! Sambut pukulanku!” caci si kalap.
Ia meninju, “Uah!” Coe Tiang Leng muntahan darah.
“Kau adalah gie heng (saudara angkat) dari Thio Inkong,”
katanya dengan suara parau. “Biarpun mati, aku tak akan
balas menyerang.”
Orang itu tertawa terbahak2, “Bagus!... bagus!” teriaknya
bagaikan orang gila. “Kau tidak membalas artinya ajalmu
sudah sampai.” Suaranya berkata begitu kedua tangannya
menyambar2 dan mengenakan dada serta perut Coe Tiang
1051
Leng. Sesaat kemudian, sambil mengeluarkan teriakan
menyayat hati Coe Tiang Leng roboh terkulai. Tapi si kalap
masih belum puas. Ia menubruk sambil mengayun tinjunya.
Pada detik yang sangat berbahaya, Boe Kie melompat
dan dengan mati2 an menangkis pukulan itu. Begitu
lengannya kebentrok dengan tinju si kalap, ia merasa
dadanya menyesak. Tapi, tanpa mempedulikan bencana, ia
menudin dan berteriak. “Kau! … kau bukan Cia Soen! …
kau bukan…”
Orang itu gusar. “Tahu apa kau, setan kecil?” bentaknya
sambil menendang. Boe Kie mengegos dan berteriak pula.
“Kau bukan Cia Soen! … kau menyamar sebagai Cia
Soen.”
Mendengar teriakan Boe Kie, perlahan2 Cie Tiang Leng
merangkak bagus. “Kau… kau bukan Cia Soen?” serunya
dengan suara parau. “Kau menipu aku?. Tiba2 badannya
bergoyang2 “Uah!” mulutnya menyemburkan darah yang
secara kebetulan menyambar tepat pada muka orang itu.
Hampir berbaring, tubuhnya jatuh ngusruk kedepan dan
dengan menggunakan kesempatan itu, dialah dan
tangannya bergerak dan jerijinya menotolk Sin hong hi at,
dibawah tetek si kalap.
Sesudah terluka berat. Coe Tiang Leng bukan
tandingannya orang itu. Tapi ia berhasil menolohg jalan
darah si kalap karena totokan it yang cie itu dikirim secara
diluar dugaan.
Dalam bidang ilmu totok, It yang cie tiada keduanya.
Biarpun berkepandaian tinggi, orang itu tidak berdaya lagi.
Sambil menggeram, ia terguling Coe Tiang Leng segera
mengirim dua totokan susulan, tapi sesudah itu, ia sendiri
roboh tanpa ingat orang lagi. Coe Kioe Tin dan Boe Kie
buru2 mendekati dan mengangkat tubuh orang tua itu.
1052
Selang beberapa saat, perlahan-lahan Coe Tiang Leng
tersadar. Ia mengawasi Boe Kie dan berkata dengan suara
terputus-putus. “Apa… apa benar… dia… dia bukan Cia
Soan?”
“Coe Pehpeh, sekarang aku mesti berterus terang,” kata
si bocah. “Orang yang dinamakan Inkong olehmu adalah
ayahku sendiri, sedang Kim-mo Say-ong Cia Soen adalah
ayah angkatku. Tidak! Aku tidak bisa salah mengenali.”
Coe Tiang Leng menggeleng-geleng kepalanya.
“Kedua mata Giehoe buta, tapi mata orang itu melek,”
menerangkan Boe Kie. “Mata Gie hoe buta sebelum
mendarat Peng hwee to jadi kejadian itu tidak diketahui
oleh siapapun dua. Orang itu menyamar sebagai Giehu,
tapi ia tak tahu kenyataan tersebut.”
Cie Kie Tin menarik tangannya. “Adik Boe Kie apa
benar kau puteranya tuan penolong kami?” tanyanya
dengan suara terharu. “Bagus! Sungguh bagus!”
Tapi orang tua itu masih tetap tidak percaya.
Karena terpaksa, Boe Kie segera menceritakan mengapa
ia sampai datang digunung Koen Loen. Yauw Ceng Coan
menanyakan hal ilhwal kejadian di Boe tong yang berbuntut
dengan kebinasaan kedua orang tuanya dan pertanyaan2 itu
telah dijawab dengan ringkas dan terang oleh Boe Kie.
Semua orang, kecuali Coe Tiang Leng, tidak bersangsi
lagi. Hanya orang tua itu yang masih menggoyanggoyangkan
kepalanya dan mengawasi muka si bocah
dengan sorot mata pertanyaan. “Kalau dia berdusta, kita
akan berdosa terhadap Cia tayhiap,” katanya dengan suara
perlahan.
Tiba2 Yauw Ceng Coan mencabut pisau belatinya dan
sambil menuding mata kanan orang itu, ia membentak,
1053
“Sahabat! Kim mo Say ong Cia Soan buta kedua matanya.
Kalu kau mau menyamar sebagai dia, penyamaran itu
harus mirip betul. Biarlah hari ini aku tolong membutakan
kedua matamu. Sahabat! Aku, si orang she Yauw, telah
ditipu olehmu. Kalau saudara kecil itu tidak berada disini,
bukankah secara tolol Coe Taoko akan mengantarkan
jiwa?” sehabis berkata begitu, ia menggerakkan tangannya,
sehingga ujung pisau hampir menempel dengan mata si
penipu.
Orang itu tertawa terbahak2. “Jika kau mempunyai
nyali, bunuhlah aku,” tantangnya. “Apa kau kira Kay paychioe
Ouw Pa manusia pengecut?” (Kay pay chioe si tangan
yg bisa membelah tugu butu.
“Oh!” kata Coe Tiang Leng dengan suara kaget. “Kaypay
chiu Ouw Pa! Hm!...Kalau begitu kau anggota Khong
tong-pay.”
“Benar!” teriak Ouw Pa. “Semua partai dalam dunia
persilatan sudah tahu, bahwa Coe Tiang Leng mau
membalas sakit hatinya Thio Coei San. Siapa yang turun
tangan lebih dulu, dia yang menang.”
“Kau sungguh jahat!” bentak Yauw Ceng Coan. Ia
mengangkat pisaunya dan lalu menikam ulu hati orang itu.
“Jie-tee, tahan!” cegah Coe Tiang Leng seraya mencekal
tangan adiknya. “Kalau dia benar Cia Tayhiap, biarpun
mati kita berdua masih tidak dapat menebus dosa.”
“Bukankah saudara kecil ini sudah memberi keterangan
yang cukup jelas?” kata Yauw Ceng Coan, “Toako, jika kau
terus ragu, kita tak akan bisa menghindar lagi dari bencana
besar.”
Tapi sang kakak menggelengkan kepalanya. “Aku lebih
suka mati dicincang ribuan golok daripada mengganggu
1054
selembar rambut saudara angkatnya Thio In Kong,”
katanya.
“Coe Pehpeh, orang itu sudah pasti bukan ayah
angkatku,” kata Boe Kie. “Sebagai seorang yang bergelar
Kim-mo Say-ong (Raja singa bulu emas), rambut Giehoe
berwarna kuning. Tapi orang itu berambut hitam.”
Sesudah berpikir beberapa saat, Coe Tiang Leng
manggutkan kepalanya. Ia menuntun tangan Boe Kie
seraya berkata, “Saudara kecil, ikut aku.” Mereka keluar
dari kamar batu, keluar dari terowongan dan kemudian
pergi ke bawah sebuah tebing, di belakang tanjakan.
Dengan duduk di samping Boe Kie di atas sebuah batu
besar, Coe Tiang Leng berkata, “Saudara kecil, kalau orang
itu bukan Cia Tayhiap, kita mesti segera membinasakan
dia. Tapi sebelum turun tangan, perasaan raguku harus
dihilangkan lebih dulu. Bagaimana pendapatmu? Apakah
pendirianku benar atau salah.”
“Sikap itu adalah karena Coe Pehpeh menghormati ayah
dan Giehoe,” kata Boe Kie. “Tapi orang itu sudah pasti
bukan Giehoe. Coe Pehpeh, kau boleh tidak ragu lagi.”
Orang tua itu menghela napas. “Naik,” katanya, “Di
waktu masih muda, aku seringkali diperdayai orang. Hari
ini aku tidak mau balas menyerang sehingga aku mendapat
luka berat. Hal itu terjadi sebab aku salah menilai orang.
Salah boleh sekali, tetapi tidak boleh sampai dua kali.
Urusan ini adalah urusan besar. Soal mati atau hidupku tak
menjadi soal. Biar bagaimanapun juga, aku harus
melindungi keselamatanmu dan keselamatan Cia Tayhiap,
supaya hatiku lega. Akan tetapi, aku tak berani membuka
mulut.”
Bukan main terharunya Boe Kie. “Coe Pehpeh, demi
kepentingan ayah dan Giehoe, kau sudah membakar rumah
1055
dan harta benda sendiri,” katanya. “Bukan saja begitu, tapi
Coe Pehpeh sendiripun sampai mendapat luka berat.
Apakah aku masih harus meragukan kejujuranmu.
Mengenai keadaan Giehoe, biarpun Pehpeh tak
menanyakan aku sendiri memang ingin memberitahukan
bagaimana kedua orang tuaku bersama Cia Soen telah
diombang-ambingkan ombak sehingga mendarat di pulau
Peng hwee-to, bagaimana mereka berdiam di pulau itu
selama sepuluh tahun dan bagaimana kedua orang tuaku
dan Cia Soen mengangkat saudara. Tentu saja sebagian
kejadian itu tidak dialami olehku sendiri dan aku
mendengarnya dari kedua orang tuaku.”
Coe Tiang Leng adalah seorang yang berpengalaman
dan berhati-hati. Ia tidak mudah percaya cerita orang. Tapi
sesudah mendengar penuturan Boe Kie, ia tidak ragu lagi.
Sesudah membuang napas lega, ia mendongak dan berkata
dengan suara bersyukur, “Inkong! Inkong! Sebagai roh yang
angker, kau tentu mengetahui semua perasaanku. Selama
aku, Coe Tiang Leng, masih hidup, aku pasti akan
memelihara dan mendidik saudara Boe Kie sampai menjadi
orang. Tapi musuh terlalu banyak. Maka itu, aku mohon
Inkong melindungi.” Setelah berkata begitu, ia berlutut dan
manggutkan kepala berulang-ulang. Bukan main sedihnya
Boe Kie, ia bersedih dan berterima kasih dan segera berlutut
di samping orang tua itu.
Sesudah bangkit, Coe Tiang Leng berkata,” Sekarang
aku tak ragu lagi. Hai! Koen loen pay!...Siauw lim
pay!...semua berjumlah besar. Saudara kecil, sebenarnya
aku ingin mempertaruhkan jiwaku untuk memberikan
perlawanan guna membinasakan musuh-musuh itu untuk
membalas budinya Inkong. Tapi sekarang keadaan berubah.
Menurut pendapatku, tugas untuk memelihara anak yatim
piatu adalah lebih penting daripada membalas sakit hati.
1056
Hal yang sekarang dipikirkan olehku adalah mencari
tempat untuk menyembunyikan diri. Tempat ini sudah
cukup jauh dari dunia pergaulan tapi musuh-musuh kita
masih bisa datang sampai ke sini. Di mana…di manakah
kita bisa mencari tempat yang lebih aman?” Ia diam sejenak
dan kemudian berkata pula, “Cia Tayhiap berdiam seorang
diri di pulau Peng hwee-to. Selama beberapa tahun ia tentu
merasa sangat kesepian. Hai! Cia Tayhiap begitu menyintai
Inkong. Aku hanya berharap, bahwa suatu waktu aku akan
bisa bertemu muka dengan dia. Kalau harapan ini bisa
terwujud biarpun mati, aku akan mati dengan rela.”
Boe Kie, jadi lebih berduka. Tiba-tiba dalam otaknya
terlintas ingatan dan ia segera berkata, “Coe Pehpeh,
apakah tidak baik kita beramai-ramai pergi ke Peng hweeto?
Selama di pulau itu, aku hidup bahagia. Tapi begitu
pulang ke Tiong-goan, semua lantas saja berubah. Apa yang
disaksikan dan dialami olehku adalah pembunuhanpembunuhan
dan peristiwa-peristiwa berdarah.”
Coe Tiang Leng menatap wajah si bocah. “Saudara kecil,
apa benar kau ingin kembali ke Peng hwee-to?” tanyanya.
Ditanya begitu Boe Kie tidak segera menjawab, karena
tiba-tiba saja ia ragu. Ia ingat bahwa ia bakal mati dalam
waktu yang tak terlalu lama. Ia ingat pula, bahwa
perjalanan ke Peng hwee-to penuh bahaya sehingga belum
tentu mereka bisa mencapai jarak tersebut. “Tidak pantas
aku menyeret-nyeret seluruh keluarga Coe Pehpeh ke
jalanan yang penuh bahaya,” pikirnya.
Melihat keraguan itu, Coe Tiang Leng segera saja
berkata seraya mengusap-usap kepala Boe Kie, “Saudara
kecil, kau dan aku bukan orang luar. Kau harus
memberitahukan apa yang dipikir olehmu sejujur-jujurnya.
Apakah kau berniat kembali ke Peng hwee-to?” Ia berkata
begitu dengan suara sungguh-sungguh, dengan nada
1057
memohon.
Karena pengalaman pahit getir, di dalam hatinya, Boe
Kie sudah merasa sangat sebal untuk berkelana lebih lama
dalam dunia Kang-ouw yang kejam dan berbahaya. Kalau
sebelum mati ia bisa bertemu muka lagi dengan ayah
angkatnya, kalau ia bisa mati dalam pelukan Giehoe itu, ia
sungguh merasa sangat beruntung. Berpikir begitu,
perlahan-lahan ia manggutkan kepalanya.
Coe Tiang Leng tidak bicara lagi dan dengan menuntun
tangan si bocah, ia kembali ke kamar batu. Begitu bertemu
dengan Yauw Ceng Coan, ia berkata, “Sekarang tidak usah
diragukan lagi bahwa orang itu manusia jahat.”
Yauw Ceng Coan mengangguk dan dengan memegang
pisau, ia segera masuk ke dalam kamar rahasia.
Sesaat kemudian, dalam kamar terdengar teriakan yang
menyayat hati dan waktu Yauw Ceng Coan keluar lagi,
pisau yang dipegangnya berlumuran darah.
“Tempat persembunyian kita ini sudah diketahui musuh
dan kita tak dapat tinggal lebih lama lagi,” kata Coe Tiang
Leng. Semua orang segera meninggalkan terowongan dan
sesudah berjalan duapuluh li lebih, sesudah melewati dua
puncak gunung, tibalah mereka di sebuah lembah. Sesudah
berjalan lagi beberapa lama, mereka bertemu sebuah pohon
kwi yang sangat besar dan di bawah pohon berdiri empat
lima rumah kecil.
Waktu itu fajar sudah mulai menyingsing. Semua orang
lantas saja masuk ke dalam sebuah rumah di mana terdapat
cangkul, luku golok dan alat-alat pertanian lain. Di samping
itu, di dalam rumah tersebut juga terdapat dapur dengan
perabot masak yang serba lengkap serta bahan makanan
yang tidak sedikit. Boe Kie segera mengerti, bahwa untuk
menjaga kedatangan musuh-musuhnya Coe Tiang Leng
1058
sudah membuat dan melengkapi rumah itu, sebagai
persiapan kalau-kalau ia perlu menyingkirkan diri.
Begitu tiba, orang tua itu yang mendapat luka berat
segera rebah di ranjang untuk mengaso, sedang Coe Hoe
Jin mengeluarkan pakaian sepatu dan ikat kepala petani
dari dalam peti pakaian lalu membagikannya kepada semua
orang. Dalam sekejap anggota-anggota keluarga yang kaya
raya itu sudah mengenakan pakaian petani yang kasar.
Setelah berdiam beberapa hari berkat obat turunan yang
sangat mujarab, kesehatan Coe Tiang Leng mendapat
kemajuan yang sangat pesat. Untung musuh tidak mengejar
sampai di situ, sehingga mereka bisa hidup dengan
tenteram. Mereka mempersiapkan barang-barang untuk
melakukan perjalanan jauh. Boe Kie mengerti bahwa
persiapan itu adalah untuk pergi ke pulau Peng hwee-to
guna membalas budi.
Malam itu ia tak bisa tidur, pikirannya melamun,
membayangkan hal-hal yang akan terjadi di pulau itu nanti.
Ia akan bisa berkumpul dengan Coe Kiu Tin, Coe Pehpeh,
Yauw Jie Siok dan ayah angkatnya dengan kehidupan yang
bahagia, tanpa penindasan dari penjajah Goan.
Mengingat itu semua, hatinya jadi gembira. Sampai
tengah malam, ia masih bolak-balik di atas pembaringan.
Tiba-tiba ia mencium bau wangi dan satu bayangan
manusia kelihatan berkelabat, ternyata bayangan itu adalah
Coe Kiu Tin, mendadak wajah Boe Kie berubah merah.
Perlahan-lahan si nona mendekati pembaringan dan
berbisik, “Adik Boe Kie, apa kau sudah tidur?”
Sesaat kemudian ia merasa mukanya diraba-raba oleh si
nona yang rupanya mau menyelidiki apa ia benar-benar
sudah tidur.
1059
Boe Kie kaget bercampur girang, malu bercampur takut,
tapi ia tetap pejamkan mata dan berpura-pura tidur, dan
mengharap supaya Kiu Tin buru-buru keluar. Semenjak
baru bertemu, ia memuja si nona bagaikan seorang Dewi, ia
sudah merasa beruntung kalau setiap hari bisa bertemu
dengan gadis cantik itu. Dalam jiwanya yang masih bersih,
pemujaan itu bebas dari segala pikiran yang bukan-bukan.
Ia bahkan tidak pernah membayangkan atau memikirkan
untuk mengambil nona Coe sebagai istrinya. Maka itulah,
kedatangan Kiu Tin ditengah malam buta sangat
membingungkan hatinya.
“Apakah Tin-jie ingin membicarakan sesuatu yang
sangat penting denganku?” tanyanya dalam hati. Baru saja
berpikir begitu, mendadak ia merasa dadanya kesemutan
karena di bagian Tiat tiong hiat telah ditotok. Hampir
berbarengan, jalan darah yang lain pada Kian tin, Sin cong,
Kie tie serta Hoan tiauw hiat juga tertotok.
Itu kejadian yang sungguh diluar dugaan! Siapa sangka si
nona menyatroni untuk menotok jalan darahnya? Tapi
dilain saat, ia mendapat satu ingatan lain. “Aha! Tin-jie
tentu ingin menjajal kewaspadaan diwaktu tidur,” pikirnya.
“Besok, waktu akan membuka jalan darahku, ia tentu
mentertawai aku. Hmm, kalau aku tahu begitu, tentu
melompat bangun untuk mengagetkannya.”
Dilain pihak, sesudah menotok jalan darah Boe Kie,
perlahan-lahan Kiu Tin membuka jendela dan melompat ke
atas genteng.
“Paling baik aku membuka jalan darahku dan menakutnakuti
dnegan menyamar sebagai setan,” pikir Boe Kie.
Seraya tertawa geli, ia segera mengerahkan Lweekang dan
coba membuka jalan darah yang tertotok dengan
menggunakan ilmunya Cia Soen. Tapi totokan si nona
adalah totokan It-yang-cie yang sangat hebat dan sesudah
1060
berdeging kira-kira setengah jam, barulah ia berhasil
membuka jalan darahnya.
Berhasilnya Boe Kie adalah karena pertama Lweekang
nona Coe masih sangat rendah dan kedua, Kiu Tin
memang hanya ingin menotok perlahan sebab sungkan
melukai si bocah. Kalau totokan It-yang-cie diberikan
seorang ahli berkepandaian tinggi, biarpun Boe Kie sepuluh
kali lipat lebih hebat, ia tak akan dapat membuka jalan
darahnya.
Begitu terbebas, cepat-cepat Boe Kie memakai pakaian
luar dan melompat ke atas genting dari jendela. Sambil
berlari-lari ia menyusul ke arah jalanan yang tadi diambil
oleh si nona. Tapi apa yang ditemukan hanya gunung
kosong yang sunyi senyap, dengan pohon-pohon yang
kadang-kadang mengeluarkan suara kresekan karena ditiup
angin.
Sesudah mengejar beberapa lama dengan rasa kecewa, ia
menghentikan langkahnya. Tapi dilain saat ia berpikir lain,
“Perlu apa aku membalas. Sekarang Tin-jie sangat
menyayangi aku, tapi kalau malam ini aku membalasnya,
mungkin sekali ia akan berbalik membenci aku.” Berpikir
begitu, hatinya jadi tenang kembali.
Waktu itu adalah permulaan musim semi. Bunga di
lembah itu sudah mulai mekar dan menyiarkan bebauan
yang sangat harum. Kesunyian malam dan pemandangan di
sekitar gunung itu mendatangkan banyak kenangan dari
masa lampau. Karena memang tak bisa tidur, Boe Kie tidak
segera kembali, perlahan-lahan ia berjalan di sepanjang
pinggiran sebuah selokan. Salju di tanjakan sudah mulai
melumut dan air yang mengalir di selokan bercampur
kepingan-kepingan es.
Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong di
1061
dalam hutan sebelah kiri terdengar suara tawa seorang
wanita. Boe Kie terkesiap sebab suara itu adalah suara Kiu
Tin.
“Apakah Tin-jie sudah melihat aku?” tanyanya dalam
hati.
Tiba-tiba terdengar bentakan si nona. “Piauw ko, jangan
rewel kau! Apa kau minta dihajar?” bentakan itu disusul
dengan tawa seorang lelaki yang bukan lain adalah Wie
Pek.
Boe Kie terkejut, jantungnya memukul keras dan
kepalanya seperti diguyur dengan air es. Sekarang ia
mengerti. Ia mengerti, bahwa Kiu Tin menotok jalan
darahnya bukan untuk bercanda, tapi untuk mencegah
terbukanya rahasia pertemuan itu. Ia menghela napas dan
berkata dalam hatinya. “Ya! Aku mesti tahu diri. Aku tak
lebih dan tak kurang daripada seorang bocah miskin yang
tak punya tempat berteduh. Baik dalam ilmu silat, aku
berada jauh di bawah Wie Siang Kong. Di samping itu
mereka adalah saudara sepupu dan merupakan pasangan
yang cocok, yang satu cantik yang satu tampan.”
Mengingat begitu, hatinya menjadi lebih tenteram dan
sambil menghela napas, ia segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak, di sebelah belakang terdengar suara langkah
kaki. Hampir berbarengan dengan bergandengan tangan,
Wie Pek dan Kiu Tin muncul dari dalam hutan. Karena
sungkan bertemu dengan dia, buru-buru Boe Kie
bersembunyi di belakang satu pohon besar. Pada saat itu,
langkah kaki yang mendatangi dari sebelah belakang sudah
mendekati.
“Thia…,” seru Kiu Tin, suaranya gemetar seperti orang
ketakutan.
Orang itu ternyata Coe Tiang Leng. Ia rupanya gusar
1062
dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia membentak,
“Bikin apa kau di sini?”
Kiu Tin mencoba menekan rasa takutnya dan dengan
tawa yang dipaksakan ia menjawab.
“Sudah lama kami tidak pernah bertemu dan malam ini,
kebetulan Piauw ko datang, anak datang menyusul kemari
untuk mengobrol.”
“Kau terlalu berani mati,” kata sang ayah dengan suara
yang mendongkol. “Kalau Boe Kie tahu.”
“Anak sudah menotok lima jalan darahnya dan sekarang
ia sedang tidur nyenyak,” kata si nona.
“Coe Pehpeh juga sudah tahu, bahwa aku menyayangi
Tin-cie,” kata Boe Kie dalam hati, “…kuatir aku berduka.
Ia tak tahu, bahwa biarpun sayang, aku tak punya maksud
yang lain. Hai!...Coe Pehpeh kau sungguh baik
terhadapku.”
Tapi perkataan Coe Tiang Leng yang selanjutnya
menerbitkan rasa heran dalam hati Boe Kie.
“Meskipun begitu, kita harus berhati-hati supaya ia tak
lihat sesuatu yang mencurigakan,” kata orang itu.
Kiu Tin tertawa. “Ah! Anak kecil tahu apa,” katanya.
“Tin-moay,” kata Wie Pek, “Aku mau pulang, aku
kuatir suhu menunggu-nunggu aku.”
Si nona kelihatannya merasa berat untuk segera berpisah.
“Biar ku antar pulang,” katanya.
“Mari kita pergi bersama-sama,” kata sang ayah. “Aku
ingin bicara dengan gurumu untuk pergi ke Peng hwee-to,
kita harus membuat persiapan yang seksama.” Sehabis Coe
Tiang Leng berkata begitu, dia segera menuju ke arah barat.
1063
Boe Kie jadi makin heran. Ia tahu, bahwa guru Wie Pek
adalah Boe Liat, ayahnya Boe Ceng Eng. Didengar dari
perkataan Coe Tiang Leng, sepertinya Boe Liat bersama
putrinya dan Wie Pek bakal turut pergi ke Peng hwee-to.
Mengapa hal itu belum pernah didengar olehnya? Ia kuatir,
sebab bila soal Cia Soen diketahui terlalu banyak orang
kemungkinan bocornya rahasia akan menjadi sangat besar.
Sesudah berpikir sejenak, tiba-tiba ia ingat perkataan Coe
Tiang Leng yang mengatakan “kita harus berhati-hati
supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan”. Ia curiga
dan dilain saat, ia ingat pula hal lain yang lebih
mencurigakan. Ia ingat, bahwa gambar mendiang ayahnya
yang digantung di rumah keluarga Coe. Ayahnya
dilukiskan sebagai seorang yang bermuka panjang,
sedangkan muka ayah sebenarnya bundar telur.
Paras muka Boe Kie mirip dengan Coei San, tapi
potongan muka mereka sangat berlainan. Muka si anak
persegi panjang, muka sang ayah bundar telur, dengan
lancip di bagian janggutnya. Coe Tiang Leng mengatakan
bahwa gambar itu telah dilukis olehnya sendiri pada belasan
tahun yang lalu. Walaupun begitu dan andaikata orang tua
itu tidak pandai melukis, tidak mungkin ia membuat
kesalahan dalam melukis potongan muka tuan
penolongnya. Apa yang dilukis Coe Tiang Leng pada
hakekatnya Boe Kie dalam usia dewasa.
“Aha! Ada lagi yang mengherankan,” kata si bocah
dalam hatinya. “Bentuk Poan koan-pit yang bisa digunakan
Tia tia mirip dengan pit dan gagangnya, sangat pendek.
Tapi Poan koan-pit dalam lukisan itu adalah Poan koan-pit
biasa. Sebagai seorang ahli Poan koan-pit, bagaimana Coe
Pehpeh bisa melukis salah?”
Mengingat itu semua, Boe Kie menjadi bingung dan
ketakutan. Di dalam hati kecilnya sudah menduga-duga
1064
sebab musebab keanehan-keanehan itu. Akan tetapi,
dugaan itu terlalu hebat, sehingga ia tidak bisa meneruskan
taksirannya itu. “Ah! Tak boleh aku berpikir yang gila-gila,”
ia menghibur dirinya sendiri. “Coe Pehpeh begitu sayang
aku dan aku tak pantas menduga yang tidak-tidak. Paling
baik aku pulang dan tidur. Kalau dia tahu bahwa aku
menguntit dia, bisa-bisa jiwaku melayang.”
Mengingat jiwa melayang, tiba-tiba ia menggigil. Ia
sendiri tak tahu, mengapa ia menjadi begitu ketakutan.
Sesudah berdiri terpaku beberapa lama tanpa terasa ia
melangkah ke arah jalanan yang dilalui oleh Coe Tiang
Leng bertiga. Sekonyong-konyong di sebuah hutan yang
agak jauh ia melihat sinar api yang berkelap-kelip, sebagai
tanda, bahwa di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah
orang. Dengan jantung berdebar keras, ia menuju ke arah
sinar api dengan langkah ringan.
Setibanya di belakang rumah itu, sesudah menentramkan
hati, ia mengendap-endap menghampiri jendela dan
melongok ke dalam. Ternyata memang benar Coe Tiang
Leng bertiga berada dalam ruangan itu. Mereka duduk
menghadap jendela dan sedang bicara dengan dua orang
yang duduk membelakangi jendela sehingga muka mereka
tak dapat dilihat oleh Boe Kie. Tapi yang satu seorang
wanita, mungkin sekali Boe Ceng Eng, sedang yang satunya
lagi adalah seorang pria bertubuh tinggi besar. Dengan
penuh perhatian, sambil manggut-manggut lelaki itu tengah
mendengar penuturan Coe Tiang Leng tentang bagaimana
mereka harus menyamar sebagai pedagang kemudian
berlayar dari pantai Shoatang.
“Aku benar tolol,” kata Boe Kie dalam hatinya, “Orang
itu mungkin sekali Boe Chung Coe. Sebagai seorang
sahabat Coe Pehpeh, ini adalah kejadian lumrah diantara
sahabat karib. Mengapa aku jadi begitu ketakutan?”
1065
“Thia, bagaimana kalau kita tidak bisa cari pulau itu dan
juga tidak bisa pulang kembali?” tanya wanita itu yang
ternyata memang Boe Ceng Eng.
Sekarang Boe Kie mendapat kepastian, bahwa lelaki itu
adalah Boe Liat.
“Kalau takut, kau boleh tak usah ikut,” jawab sang ayah.
“Di dalam dunia ini, tanpa berani menempuh kesukaran,
manusia takkan bisa memperoleh sesuatu yang berharga.”
“Ayahku sering pergi ke Tiong-goan dan ia pasti tahu
racun yang baik,” kata pemuda itu. “Kita bisa minta
bantuan ayah.”
Sesaat Boe Liat bangkit seraya menepuk pundak Kiu
Tin, ia berkata, “Tin-jie.” Tiba-tiba ia menengok dan Boe
Kie melihat tegas mukanya. Ia terkesiap, karena orang itu
adalah manusia yang sudah menyamar sebagai ayah
angkatnya.
Sekarang semua menjadi jelas. Dipukulnya Coe Tiang
Leng hingga muntah darah, teriaknya yang menyayat hati
dan sebagainya hanyalah sandiwara belaka. Agar sandiwara
itu kelihatan sungguh-sungguh, mereka harus menggunakan
Boe Liat yang memiliki kepandaian tinggi.
“Tin-jie, kau sendiri harus menjalankan perananmu baikbaik,”
kata Boe Liat sambil tertawa, “Selama dalam
perjalanan, kau harus baik terhadap setan kecil itu. Kau
harus menjaga supaya ia tidak tersadar.”
“Thia, kau harus meluluskan satu permintaanku,” kata
Kiu Tin.
“Permintaan apa?” tanya sang ayah.
“Kau menyuruhku melayani setan kecil itu dan kau tak
tahu, betapa besar penderitaanku,” jawabnya. “Dari sini ke
1066
Peng hwee-to masih jauh sekali. Selama itu, entah berapa
besar kedongkolan yang harus ditelan olehku. Maka itu aku
minta supaya sesudah kau dapat merebut To liong-to kau
ijinkan aku untuk membacok mampus setan kecil itu!”
Mendengar kata-kata yang sekejam itu, mata Boe Kie
gelap hampir ia roboh. Lapat-lapat ia mendengar suara Coe
Tiang Leng, “Sebenar-benarnya kita tak pantas
menjalankan tipuan ini terhadap dia. Di samping itu dia
juga bukan orang jahat. Kurasa membinasakan Cia Soen
dan merampas To liong-to, cukuplah kalau kita
membutakan kedua matanya dan meninggalkan dia di
pulau itu.”
“Coe Toako adalah seorang yang welas asih dan
perkataanmu itu membuktikan bahwa kau memang seorang
ksatria,” puji Boe Liat.
Coe Tiang Leng menghela napas. “Kita terpaksa
menjalankan tipuan ini karena tak ada lagi jalan yang lebih
baik,” katanya. “Boe Jie tee, sesudah berlayar, perahumu
harus berada agak jauh dari perahuku. Kalau terlalu dekat,
anak itu bisa curiga. Tapi kalau terlalu jauh, hubungan kita
bisa terputus. Maka itu kau harus memilih anak buah dan
pengemudi yang pandai.”
Boe Kie merasa kepalanya pusing. Ia mengasah otak
untuk memecahkan banyak pertanyaan. “Aku belum
pernah memperkenalkan diri, tapi bagaimana mereka bisa
menebak asal-usulku?” tanyanya dalam hati.
“Hm…mungkin sekali karena aku sudah menggunakan
ilmu Boe tong-pay dan Hang lion Sip pat ciang waktu
melawan Wie Pek dan kedua perempuan itu. Coe Pehpeh
seorang cerdas dan berpengalaman luas. Rupanya, begitu
melihat ilmu silatku, ia sudah bisa menebak asal-usulku.”
Beberapa saat kemudian, ia berkata pula dalam hatinya.
1067
“Ia tahu, bahwa kedua orang tuaku lebih suka mati
daripada membuka rahasia. Ia menaksir bahwa jika
menggunakan kekerasan, ia tak akan bisa mengorek dari
mulutku. Maka itu, ia menggunakan siasat membakar
rumah sendiri dan menjalankan tipu Kouw-jiok-kee
(menyakiti diri sendiri), sehingga tanpa meminta, aku sudah
membuka rahasia Peng hwee-to. Ah!...Coe Tiang Leng!
Coe Tiang Leng! Tipumu sungguh beracun!”
Sementara itu, Coe Tiang dan Boe Liat sudah mulai
membicarakan rencana pelayaran, Boe Kie tak berani
mendengar lebih jauh dan dengan sangat hati-hati, ia lalu
meninggalkan rumah itu. Sambil memasang kuping, ia
berjalan selangkah demi selangkah. Ia tahu, bahwa kedua
orang tua itu memiliki kepandaian yang sanggat tinggi,
sehingga sedikit saja ia bertindak salah, mereka segera bisa
mendengarnya. Sesudah terpisah belasan tombak, barulah
ia berani berjalan lebih cepat. Dalam ketakutan ia tak
memilih jalanan. Ia terus mendaki tanjakan dan menuju ke
sebuah hutan lebat. Selama kurang lebih satu jam ia berlarilari
seperti orang kalap, tanpa berani mengaso.
Waktu fajar menyingsing, ia berada di dalam hutan dari
sebuah puncak yang tertutup salju. Dengan napas tersengalsengal
ia menhentikan langkah dan menengok untuk
melihat kalau-kalau ada yang mengejar.
Tiba-tiba ia mengeluh karena di jalanan yang barusan
dilewatinya, yang tertutup dengan salju, terdapat tapaktapak
kakinya sendiri. Daerah barat (See hek) adalah daerah
yang hawanya sangat dingin dan biarpun waktu itu sudah
masuk musim semi, salju di gunung-gunung masih belum
lumer. Semalam, dalam ketakutannya, ia tak berani jalan di
tanah datar dan sudah mendaki puncak itu. Tapi dengan
berbuat begitu, ia malah sudah membuka rahasia sendiri.
Pada saat itu, dari sebelah kejauhan sekonyong-konyong
1068
terdengar geram kawanan serigala yang menakutkan. Boe
Kie berdiri di atas batu karang yang sangat curam.
Mendengar suara itu, ia mengawasi ke bawah. Ternyata, di
dasar lembah terdapat tujuh-delapan serigala yang sedang
meronyang-ronyang kearahnya dan menyalak tak hentihentinya.
Kawanan binatang itu kelihatannya kelaparan
dan ingin menubruk dirinya untuk mengganjal perut. Tapi
ia berdiri di tempat aman yang terpisah jauh dari mereka.
Ia memutar kepala dan mengawasi keberapa jurusan.
Mendadak sekali ia terkesiap. Matanya yang jeli melihat
bergeraknya lima bayangan manusia di sebuah tanjakan. Ia
tahu, bahwa mereka rombongan Coe Tiang Leng yang
sedang mengejar dirinya. Dari jauh mereka kelihatannya
berjalan sangat perlahan, tapi ia mengerti, bahwa dalam
tempo satu jam, mereka akan tiba di tempat dimana ia
sekarang berdiri.
Sesudah menentramkan hatinya, Boe Kie segera
mengambil satu keputusan, “lebih baik aku mati dimakan
serigala daripada jatuh ke dalam tangan mereka,” katanya
dalam hati.
Untuk sejenak ia berdiri bengong. Ia ingat bahwa dengan
setulus hati ia mencintai Kioe Tin sebagai seorang adik
mencintai kakak sendiri. Sungguh tak dinyana wanita yang
begitu cantik mempunyai hati yang begitu kejam. Ingat
begitu, ia malu campur duka. Cepat-cepat ia melompat dan
masuk ke dalam hutan dengan berlari. Karena hutan
terdapat rumput-rumput tinggi,
maka meskipun masih ada salju, tapak-tapak kakinya
sukar terlihat. Sesudah lari beberapa lama, mendadak racun
dingin dalam tubuhnya mengamuk lagi. Ia tidak kuat
berjalan terus. Rasa lelah dicampur dengan kesakitan hebat.
Apa boleh buat, ia merangkak masuk ke dalam gerombolan
alang-alang dan menjumput sebutir batu tajam dari atas
1069
tanah. Ia sudah mengambil keputusan bahwa Coe Tiang
Leng mengejar sampai di situ dan cepat menemukan tempat
persembunyiannya, ia akan membunuh diri dengan
menghantam Tay Yang Hiatnya
dengan batu itu.
Sesudah mengambil keputusan itu, hatinya jadi lebih
tenteram. Didepan matanya lantas saja terbayang
kehidupan bahagia selama 2 bulan lebih dalam rumah
Tiang Leng dan peringatan yang sedap itu telah
mendatangkan kedukaan terlebih besar dalam hatinya.
“Pendeta Siau Lim Sie mencelakakan aku, tapi hal itu tidak
usah dibuat heran.” Pikirnya. Orang-orang Kong Tong Pay,
Hwa San Pay dan Kun Lun Pay telah membalas budi
dengan kejahatan, tapi itupun tak perlu dihiraukan. Tapi
Tin Cie… aku mencintainya dengan sepenuh hati!... ah!
Bukankah ibu pernah memesan aku pada waktu ia mau
menghembuskan napas yang penghabisan? Mengapa aku
melupakan pesan itu.
Sebagaimana diketahui, sebelum mati In So So telah
memesan Boe Kie supaya anak itu berhati-hati terhadap
perempuan. Menurut So So, makin cantik wanita, makin
pandai menipu orang.
Dengan air mata berlinang-linang, anak itu berkata
dalam hatinya. “Waktu mengucapkan pesan itu, pisau
sudah menancap di dada ibu. Dengan menahan sakit, ibu
sudah memesan aku, tapi aku sendiri sedikitpun tidak
memperdulikan pesan itu. Kalau aku tidak mengerti ilmu
membuka jalan darah, tipu busuk Coe Tiang Leng dan
kawan-kawannya sudah pasti tidak akan
diketahui olehku dan aku menuntun mereka ke Peng
Hwee To untuk mencelakakan Gie Hu.”
Sesudah hatinya lebih tenteram, ia bisa memikir secara
1070
lebih terang. Ia segera dapat melihat latar belakang dari
tindakan-tindakan Coe Tiang Leng. Sesudah menduga,
bahwa ia adalah putera Thio Coei San, si orang she Coe
lalu membinasakan kawanan anjing, sebagai tindakan
pertama untuk mendapat kepercayaan.
Sesudah itu, dia berlaku manis-manis sampai akhirnya
membakar gedung sendiri. Biarpun termusnahnya rumahrumah
itu harus disayangkan, akan tetapi harta benda
tersebut tidak berarti banyak jika disbanding dengan To
Liong To, senjata mustika yang dapat membuat pemiliknya
menjadi seorang termulia dalam rimba persilatan.
Waktu masih berada di pulau, aku sering melihat Gie Hu
duduk bengong sambil memeluk golok itu,” kata Boe Kie
dalam hati. “Tapi selama sepuluh tahun, ia masih juga
belum bisa menembus rahasia golok itu. Coe Tiang Leng
adalah seorang yang pintar luar biasa dan kecerdasan
otaknya lebih lihai daripada Gie Hu. Jika To Liong To
sampai jatuh ke tangannya, apa yang tak dapat ditembus
Gie Hu, mungkin sekali dapat dipecahkan olehnya.”
Sesaat itu, suara tindakan kaki sudah terdengar tegas,
sebagai tanda bahwa rombongan pengejar sudah masuk ke
dalam hutan.
“Bocah itu pasti bersembunyi di hutan ini,” bisik Boe
Liat. “Tak mungkin dia kabur ke tempat lain…”
“Ssst!” Tiang Leng memutuskan perkataannya. Sesaat
kemudian ia berkata pula dengan suara keras. “Hai! Entah
apa kesalahan Tin Jie…. Aku sungguh sangat kuatir. Ia
masih begitu kecil dan kalau sampai terjadis sesuatu atas
dirinya, biarpun badanku hancur luluh, aku masih belum
bisa menebus dosa.” Suara itu dikeluarkan dengan nada
parau, seperti juga benar-benar
ia bersusah hati. Akan tetapi, bagi Boe Kie perkataan1071
perkataan itu membangunkan bulu roma.
Dilain saat, Boe Kie mendengar suara beberapa orang
memukul alang-alang dengan tongkat. Ia rebah sambil
menahan nafas dan tidak berani berkutik. Untung juga,
hutan sangat luas dan mereka tidak dapat ke tempat
persembunyian si bocah.
Sesudah berusaha beberapa lama tanpa berhasil, tiba-tiba
Coe Tiang Leng membentak keras-keras, “Tin Ji, apakah
yang sudah dperbuat olehmu sehingga saudara kecil kabur
ditengah malam buta?”
Kioe Tin kaget, tapi ayahnya segera memberi isyarat
dengan kedipan mata. Dari tempat sembunyinya, Boe Kie
melihat kedipan itu.
“Aku hanya berguyon dan sudah menotok jalan
darahnya,” jawab si nona.
“Tidak dinyana, adik Boe Kie menganggap salah.”
Sehabis berkata begitu, ia berteriak, “Adik Boe Kie!
Dimana kau? Lekas keluar! Tin Cie ingin menghaturkan
maaf kepadamu.”
Tapi tentu saja teriakan itu tidak mendapatkan jawaban.
Tiba-tiba terdengar suara tangisannya, “Thia, jangan!
Jangan pukul aku…” ratapnya.
“Aku tidak sengaja… tidak sengaja…”
Coe Tiang Leng mencaci-caci sedang puterinya
menangis keras sambil meratap, seperti juga sedang dihajar
keras. Melihat sandiwara itu Boe Kie menghela nafas
panjang. “Jika aku belum mendapat bukti dari
kepalsuannya, sudah pasti aku akan melompat ke luar,”
pikirnya.
Karena yakin bahwa Boe Kie bersembunyi dalam hutan
1072
itu, mereka bersandiwara terus, yang satu memaki dengan
kata-kata hebat, yang lain mengeluarkan teriakan-teriakan
menyayat hati.
Dengan kedua tangan, Boe Kie menutup kupingnya, tapi
suara sesambat si nona masih tetap terdengar. Sebisa
mungkin ia coba mengeraskan hati, tapi akhirnya ia tak
dapat bertahan lagi. Sesudah mengambil keputusan nekat,
tiba-tiba ia melompat keluar dan berteriak. “Tak usah kamu
melangsungkan permainan gila itu! Apa kamu kira aku tak
tahu segala tipu busukmu?”
Melihat munculnya Boe Kie, Coe Tiang Leng beramai
jadi girang, “Aha! Ini dia!” seru mereka.
Dilain pihak sesudah mencaci, Boe Kie segera berlari
bagaikan kalap. Coe Tiang Liat lantas saja mengejar.
Sebelum melompat keluar, si bocah sudah mengambil
keputusan untuk meninggalkan dunia yang kejam ini.
Seperti seekor kijang, ia kabur ke arah tebing dengan
melompat ke jurang yang dalam. Tapi Coe Tiang Leng
memiliki ilmu ringan badan yang banyak lebih tinggi
daripadanya. Maka itu, baru saja ia tiba di atas tebing, si
orang she Coe sudah menyandaknya lalu menjambret
belakang bajunya.
Pada detik itu, kaki kanannya sudah menginjak tempat
kosong dan separuh badannya sudah berada di atas jurang.
Begitu Coe Tiang Leng menjambret punggungnya, kaki
kirinya melompat dan badannya menubruk ke depan. Coe
Tiang Leng tak pernah menduga bahwa bocah itu
sedemikian nekat. Karena Boe Kie melompat dengan
sepenuh tenaga, ia turut terbetot. Sebagai seorang yang
berkepandaian tinggi. Jika pada saat itu ia melepaskan
cekalannya, dengan mudah ia akan dapat menolong diri.
Akan tetapi ia mengerti, bahwa
1073
melepaskan anak itu berarti sama dengan melepaskan To
Liong To. Selama kurang lebih dua bulan dengan susah
payah ia sudah menjalankan tipunya, bahkan ia sampai
mengorbankan gedung dan harta bendanya. Apakah ia
harus melepaskan golok mustika yang sudah berada di
depan mata?
Seluruh tubuh Boe Kie sekarang berada di atas jurang, di
tengah udara!....
“Celaka!” Coe Tiang Leng mengeluh dengan hati
mencelos. Tangan kirinya menyambar ke belakang dengan
harapan bisa mencekal tangan Boe Liat yang turut mengejar
tapi pada detik itu tangan Boe Liat masih terpisah kira-kira
satu kaki.
Ternyata tenaga penarik To Liong To lebih dahsyat
daripada ancaman bencana. Coe Tiang Leng tetap
mencekal baju si bocah itu dan…. Mereka berdua tergelincir
ke dalam jurang yang di dalamnya berlaksa tombak!
Sayup-sayup terdengar teriakan Kioe Tin dan Boe Liat.
Sesaat kemudian segala apa tidak terdengar lagi, kecuali
menderunya angin….
Coe Tiang Leng mengerti bahwa kalau jatuh di dasar,
badan akan hancur lebur. Ia adalah seorang yang sudah
kenyang mengalami topan dan gelombang. Maka dalam
menghadapi kebinasaan ia tak jadi bingung.
Badan mereka melayang ke bawah dengan cepatnya…
Jarak antara kedua dinding jurang tidak begitu lebar dan
selagi melayang jatuh beberapa kali, Coe Tiang Leng
melihat pohon-pohon yang tumbuh di dinding dan cabangcabang
melonjor ke luar. Beberapa kali ia menjambret tapi
selalu gaga. Paling belakang, jambretannya kena, tapi sebab
tenaga jatuhnya mereka terlampau hebat maka, dengan
1074
mengeluarkan suara “krekek,” cabang siong itu yang
sebesar lengan patah dari pohonnya.
Walaupun begitu, kejadian ini merupakan pertolongan.
Biarpun cabang itu patah, jatuhnya mereka jadi tertahan
dan Coe Tiang Leng tentu saja sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik itu. Dengan meminjam tenaga, ia
mengangkat kedua kakinya dengan gerakan Ouw Liong
Jiauw Cu (Naga Hitam Melibat Tiang), ia memeluk dahan
dengan kedua betisnya. Dilain saat ia sudah mengangkat
tubuh Boe Kie dan mendudukkannya di atas sebuah
cabang, tapi tangannya tetap mencekal baju si bocah, sebab
ia kuatir anak itu akan melompat lagi.
Melihat ia bakal mati dan tetap tak bisa terlolos dari
tangan si orang she Coe. Boe Kie berduka bukan main dan
berkata dengan suara membenci, “Coe PehPeh, biar
bagaimana hebat kau menyiksa aku, jangan harap aku akan
menuntun kau ke tampat persembunyian Gie Hu.”
Ketika itu Coe Tiang Leng sendiri sudah duduk di atas
satu cabang. Ia mendongak ke atas. Mereka ternyata sudah
jatuh terlalu dalam. Apa yang dilihatnya hanyalah langit.
Sedang Boe Liat dan yang lain sudah tak kelihatan
bayangannya. Walaupun bernyali besar, ia menggigil dan
dahinya mengeluarkan keringat dingin.
Sesudah menentramkan hatinya, ia tertawa dan berkata,
“Saudara kecil, apa katamu? Aku tidak mengerti, janganlah
kau memikir yang tidak-tidak.”
“Segala tipu busukmu sudah kuketahui.” Jawabnya
mendongkol. “Sekarang segala tipumu sudah tidak berguna
lagi. Andaikata kau memaksa aku untuk mengantar kau ke
Peng Hwee To, aku bisa menunjuk jalan dengan
sembarangan supaya kita sama-sama mampus dimakan
1075
lautan. Apa kau kira aku takut berbuat begitu?”
Coe Tiang Leng mengerti, bahwa ancaman itu bukan
omong kosong. Ia tahu, bahwa terhadap Boe Kie yang
nekat, ia tidak bisa menggunakan kekerasan.
Orang satu-satunya yang bisa menaklukkan si bocah
adalah puterinya sendiri. Mamikir begitu, ia lantas saja
mengerahkan Lweekang dan berteriak, “Kami selamat!
Jangan khawatir!”
Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah.
“Kami selamat!... Kami selamat!... Jangan khawatir!...”
Tiba-tiba Coe Tiang Leng ingat sesuatu, “Celaka!” ia
mengeluh, “Aku tidak boleh berteriak begini di gunung
salju.”
Hampir berbareng, gumpalan-gumpalan salju putih
meluruk turun dari dinding jurang. Untung juga salju tidak
begitu tebal. Sehingga tidak membahayakan. Tapi Coe
Tiang Leng tidak berani berteriak lagi. Ia menghela nafas
dan sambil mengawasi keempat penjuru, ia mengasah otak
untuk mencari jalan keluar. Ke bawah, jurang itu belum
kelihatan dasarnya dan andaikata mereka bisa turun sampai
ke dasar jurang, disitu belum tentu ada jalan keluar. Untuk
memanjat ke atas dari dinding yang satu, sukar dapat
dilakukan, karena dinding batu itu bukan saja sangat curam
tapi juga ditutup salju licin. Maka itu, jalan satu-satunya
adalah coba memanjat ke atas dari tebing-tebing yang lain,
yang tidak begitu terjal.
Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara
membujuk, “Saudara kecil, jangan kau mencurigai aku
secara membuta tuli, Biar bagaimanapun jua, aku tidak
akan memaksa kau untuk mencari Cia Sun. Kalau aku
menggunakan kekerasan, biarlah aku mati terpanah laksaan
1076
anak panah dan mati tanpa mempunyai kuburan.”
Sumpah yang begitu berat itu bukan sumpah kosong. Ia
tahu, bahwa ia memang tidak bisa memaksa anak yang
kepala batu itu. Kemungkinan satu-satunya hanyalah
membujuk atau menipu supaya si bocah mau
membantunya dengan suka rela.
Dilain pihak, mendengar sumpah itu, hati Boe Kie jadi
lebih lega.
“Sekarang kita harus berusaha untuk menyelamatkan diri
dengan memanjat tebing.” Kata Coe Tiang Leng pula.
“Tapi kau tidak boleh melompat ke bawah lagi. Kau
mengerti?”
“Kalau tidak memaksa aku, akupun tak perlu mencari
mati.” Jawabnya.
Coe Tiang Leng mengangguk dan mengeluarkan pisau
yang lalu digunakan untuk mengeset kulit pohon. Dengan
kulit pohon itu, ia membuat tambang yang kedua ujungnya
lalu diikatkan ke pinggang sendiri dan ke pinggang Boe Kie.
Sesudah itu, perlahan-lahan dan hati-hati mereka memanjat
ke atas, ke arah sinar matahari.
Usaha mereka itu diliputi dengan tanda tanya.
Bagaimana kesudahannya? Apakah mereka akan menemui
keselamatan atau kecelakaan? Entahlah, apa yabg dapat
diperbuat hanyalah maju selama masih bisa maju.
Tebing itu sendiri sukar dipanjat. Ditambah dengan salju
yang sudah membeku menjadi es, licinnya luar biasa,
sehingga setiap tindakan diliputi dengan bahaya besar. Dua
kali Boe Kie terpeleset dan ia tentu sudah tergelincir ke
bawah, kalau tidak ditolong Coe Tiang Leng. Sebaliknya
daripada berterima kasih, ia jadi mendongkok dan
mengejek dalam hatinya.
1077
“Tua bangka! Kalau kau tidak mengiler pada To Liong
To, tak nanti kau baik hati.”
Sesudah memanjat setengah hari, mereka bukan saja
lelah, tapi capai. Tapi sikut, lutut, dan kaki merekapun
berlumuran darah, akibat goresan es yang tajam. Perlahanlahan
curamnya tanjakan berkurang. Mereka tidak perlu
merangkak lagi. Setindak demi setindak, mereka maju
dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama kemudian, mereka
sudah berada di atas tanjakan
yang berdiri bagaikan sebuah sekosol besar.
Tiba-tiba Coe Tiang Leng mengeluh! Dengan mata
membelalak dan mulut ternganga, ia mengawasi ke depan,
ke lautan awan. Ternyata, mereka berdiri di atas tanah
datar yang seperti panggung dan tiga penjuru panggung itu
berbatasan dengan kekosongan. Luasnya tanah datar itu
ratusan ombak persegi, tapi ke atas tak ada jalan, ke
bawahpun begitu juga. Mereka
terjebak di kotak buntu. Apa yang lebih celaka lagi, di
tanah datar itu hanya terdapat salju, salju yang putih
bagaikan kapas tanpa pepohonan. Tanpa makhluk hidup
yang dapat digunakan untuk menangsal perut.
Tapi Boe Kie sendiri berbalik girang. Ia tertawa dan
berkata. “Coe PehPeh, kau sudah mengeluarkan banyak
tenaga, tapi hasilnya kita tiba di tempat ini. Kalau sekarang
orang memberikan To Liong To kepadamu, apakah golok
itu dapat menolong Kau?”
“Jangan rewel!” Bentak Coe Tiang Leng dengan gusar.
Ia segera menjumput salju yang lalu ditelannya untuk
menghilangkan rasa haus dan kemudian bersila untuk
mengaso. “Biarpun letih, sekarang tenagaku masih cukup,”
pikirnya. “Kalau menunggu sampai besok, mungkin aku tak
1078
bisa keluar lagi dari kurungan ini.” Berpikir begitu, ia lantas
saja bangkit dan berkat, “Tidak guna kita berdiam lamalama
di sini. Kita harus kembali ke jalanan tadi dan coba
mencari jalan keluar lain.
“Tapi aku sendiri merasa senang untuk berdiam terus di
sini.” Kata si bocah sambil menyeringai.
“Kau gila,” bentak Coe Tiang Leng. “Di sini tak ada
makanan apapun jua. Apa kau mau mati kelaparan?”
Si bocah tertawa geli. “Bukankah bagus sekali jika kita
tak makan makanan manusia?” katanya.
“Dengan begitu, kita bisa mensucikan diri dan mungkin
sekali bisa menjadi dewa yang suci!”
Bukan main gusarnya Coe Tiang Leng, tapi sebisa
mungkin ia menahan nafsu amarahnya, sebab ia khawatir
anak kepala batu itu akan jatuh ke bawah.
“Baiklah,” katanya, “Kau mengaso di sini dan aku akan
coba mencari jalan keluar. Tapi ingat! Kau tak boleh
mendekati tebing. Sekali jatuh, kau mampus.”
“Tak perlu kau memikirkan soal mati hidupku,” kata
Boe Kie sraya tertawa. “Hm!... sampai sekarang kau masih
mimpi, bahwa aku sudi mengantar kau ke pulau Peng Hwee
To. Terang-terangan aku menasihati kau, jangan kau mimpi
terlalu muluk.”
Coe Tiang Leng merasa dadanya seolah-olah mau
meledak, tapi ia tak mau menjawab ejekan itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera turun ke
bawah lagi dan setibanya di pohon siong yang tadi, ia lalu
merambat ke dinding jurang di seberang. Dinding itu lebih
curam dan lebih berbahaya, tapi tanpa Boe Kie, ia malah
bisa memanjat lebih cepat. Kurang lebih setengah jam
1079
kemudian, ia mencapai di puncak dan ia mengeluh karena
puncak itu merupakan puncak yang buntu.
Sekali lagi ia berdiri di atas tebing yang berbatasan denan
kekosongan. Lama ia berdiri di situ sambil menghela nafas
berulang-ulang dan kemudan dengan putus harapan ia balik
ke tanah datar yang seperti panggung dimana Boe Kie
sedang menunggu.
Begitu melihat paras mukanya, tanpa bertanya Boe Kie
tahu, bahwa orang tua itu gagal dalam usahanya. “Sesudah
kena Hian Beng Sin Ciang, aku sendiri akan segera mati,”
katanya dalam hati. "Mati di sini atau di tempat lain tak
banyak bedanya. Tapi Coe PehPeh sebenarnya seorang
kaya raya yang hidup beruntung. Hanya karena ia temaba
akan To Liong To, sekarang ia harus menemani aku mati di
sini. Sungguh kasihan.”
Semula ia sangat membenci orang tua itu yang telah
menjalankan tipu busuk terhadap dirinya. Dalam
menghadapi kebinasaan, ia malah sudah mengejeknya
dengan perkataan-perkataan menusuk. Tapi sekarang,
sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar jurang itu
tidak terdapat jalan keluar dan setelah melihat kedukaan
Coe Tiang Leng, ia berbalik merasa kasihan. “Coe
PehPeh,” katanya dengan suara halus. “Kau sudah berusia
lanjut dan kau sudah mencicipi kebahagiaan hidup.
Andaikata kau mati sekarang, kau tidak pantas merasa
menyesal. Sudahlah, tak guna kau menyesal.”
Mendengar bujukan itu, dengan sorot mata berapi orang
tua itu melirik si bocah. Ia berlaku sangat manis terhadap
Boe Kie hanya karena mempunyai harapan, bahwa anak itu
akan mengantarkannya ke pulau Peng Hwee To. Tapi
sekarang, sesudah ternyata bahwa ia tidak akan bisa
meloloskan diri lagi dan yang menjadi gara-gara adalah si
bocah sendiri, darahnya lantas saja meluap. Dengan sorot
1080
mata bersinar pembunuhan, ia menatap wajah Boe Kie
dengan sikap seperti binatang buas.
Melihat begitu, si bocah jadi ketakutan. Sambil berteriak,
ia bangkit dan terus kabur.
“Biantang! Mau lari kemana kau?” bentak Coe Tiang
Leng sambil menubruk. Ia bertekat untuk membekuk Boe
Kie dan sesudah menyiksanya sepuas hati, barulah mau
membinasakannya.
Tanpa menghiraukan bahaya Boe Kie menyerosot ke
bawah. Tiba-tiba ia melihat lubang besar yang gelap, seperti
gua atau terowongan. Tanpa memikir panjang, ia segera
masuk ke dalam lubang itu. “Breeet!” kaki celananya kena
dijambret Coe Tiang Leng dan robek sebagian. Dengan
cekat ia terus berlari. Saban Coe Tiang Leng mendekati, ia
berbalik dan menghantam dengan pukulan Sin-Leng, ilmu
silat si bocah itu masih kacek terlalu jauh.
Tapi Sin Liong Pa Bwee bukan pukulan biasa, sehingga
walaupun berkepandaian tinggi, Coe Tiang Leng tidak
berani terlalu mendesak secara ceroboh. Sambil
membungkuk, ia terus mengejar dengan hati-hati.
Dengan tindakan limbung dan tersandung berulangulang,
Boe Kie terus kabur di terowongan yang gelap itu.
Tiba-tiba kepalanya membentur dinding batu, sehingga
matanya berkunang-kunang. Ia mengerti, bahwa sesudah
tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dirinya, orang tua itu,
yang sudah kalap, bisa melakukan perbuatan sangat kejam.
Ia bukan takut disiksa mati, tapi ia tidak mau mati disiksa.
Maka itu ia terus lari. Untung juga terowongan tersebut
makin jauh makin sempit, sehingga sesudah merangkak
puluhan
tombak, lubang itu hanya sebesar tubuhnya yang kecil
dan Coe Tiang Leng tidak bisa masuk sampai di situ.
1081
Sesudah merangkak lagi beberapa tombak, sekonyongkonyong
Boe Kie melihat sinar terang, ia girang bukan
main dan sambil menempos semangat, ia maju dengan
sekuat tenaga.
Coe Tiang Leng bingung bercampur gusar. “Saudara
kecil, sudahlah! Aku tak akan mencelakakan kau,” serunya.
Tapi si bocah tentu saja tidak menghiraukannya. Dalam
gusarnya, Coe Tiang Leng mengerahkan Lweekang dan
menghantam dinding dengan kedua tangannya. Tapi batu
itu keras luar biasa sehingga bukan saja kedua tangannya
sakit, tapi nafsunya pun agak menyesak. Ia mencabut pisau
dan coba mencakil batu, tapi baru beberapa goresan, pisau
itu patah.
Bagaikan kalap, ia mengerahkan tenaga dalam ke kedua
pundaknya dan lalu memasukkan tubuhnya ke dalam
lubang. Tapi inipun tidak menolong, bahkan dadanya sakit
bukan main.
Dengan nafas tersengal-sengal, ia coba menggeser
mundur tubuhnya.Diluar dugaan, badannya terjepit keras.
Maju tak dapat, mundurpun tak bisa. Semangat Coe Tiang
Leng terbang. Dengan mengerahkan seantero tenaganya, ia
menggeser tubuh dan kali ini berhasil. Tapi dadanya sakit
bukan main dan ternyata salah sebuah tulang rusuknya
patah.
Sementara itu, Boe Kie terus merangkak maju. Makin
jauh, sinar di depan kedua matanya silau karena tertumbuk
sinar matahari. Ia meramkan kedua matanya dan
menenteramkan jantungnya yang memukul keras. Perlahanlahan
ia membuka lagi kedua matanya dan ia melihat
sebuah lembah yang indah luar biasa, dengan pohon-pohon
bunga yang beraneka warna.
Boe Kie bersorak karena girangnya. Dengan cepat ia
1082
merangkak keluar dari terowongan itu. Lubang terowonga
terpisah kira-kira setombak dari bumi dan dengan sekali
melompat, kakinya sudah hinggap di atas rumput yang
empuk. Hampir berbareng, hidungnya mengendus
harumnya bunga-bunga, matanya melihat buah-buah masak
yang tergantung di pohon-pohon, sedang kupingnya
mendengar kicaunya sejumlah burung.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa di ujung
terowongan itu terdapat dunia yang bagaikan surga. Tanpa
memperdulikan luka-lukanya, ia berlari-lari untuk
menyelidiki keadaan lembah itu. Sesudah melalui dua li
lebih, ia berhadapan dengan puncak gunung yang
menghadang di tengah jalan. Ternyata lembah itu dikitari
dengan lereng-lereng gunung yang sangat curam dan
rupanya tempat seindah itu belum pernah diinjak
manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, Boe Kie
memandang ke seputarnya. Ternyata lereng-lereng yang
curam itu tak mungkin dipanjat manusia. Sekali lagi ia
berada dalam kurungan.
Tapi si bocah tidak menghiraukan itu semua. Ia merasa
beruntung kalau ia bisa mati di tempat yang seindah itu. Ia
mengawasi tujuh-delapan kambing hutan yang tidak takut
manusia sedang makan rumput dengan sikap tenang. Diatas
pohon-pohon terdapat sejumlah kera kecil yang bermain
dengan penuh kegembiraan. Ia mendapat kenyataan, bahwa
di tempat itu tidka terdapat binatang buas. Mungkin sekali
binatang-binatang seperti harimau yang badannya berat
tidak bisa melewati puncak-puncak yang terjal.
“Langit menaruh belas kasihan atas diriku,” kata Boe
Kie dalam hati. “Langit sudah menyediakan tempat yang
seperti surga ini untuk dijadikan kuburanku,” perlahanlahan
ia kembali ke mulut terowongan.
1083
“Saudara kecil… saudara kecil…“ demikian terdengar
seruan Coe Tiang Leng. “Keluar! Keluarlah! Kau bisa mati
di dalam lubang.”
Boe Kie tertawa terbahak-bahak. “Coe PehPeh, kau
salah!” teriaknya. “Tempat ini seperti surga indahnya.” Ia
lalu memanjat pohon dan memetik beberapa buah yang
tidak dikenal. Ia mencium-cium buah itu yang harum
baunya, kemudian menggigitnya. Aduh, luar biasa!
Garingnya melebihi buah Tho, wanginya melebihi buah
apel, sedang manisnya lebih menang dari bauh Leci. Sambil
melontarkan salah sebuah ke dalam lubang, Ia berteriak,
“Coe PehPeh, sambut! Makanan enak datang!”
Karena terbentur-bentur batu, waktu tiba di depan Coe
Tiang Leng, buah itu sudah bonyok. Ia menjemputnya dan
lalu memasukkannya ke dalam mulut. Benar-benar enak!
Tapi ia lebih menderita, buah itu malah membangunkan
nafsu makannya. “Saudara kecil, tolong berikan beberapa
biji lagi,” ia memohon.
Si bocah tertawa besar. “Kau harus menerima nasib,”
ejeknya. “Tapi manusia yang sejahatmu memang pantas
mati kelaparan. Kalau kau mau makan lebih banyak,
ambillah sendiri.”
“Badanku terlalu besar, tak bisa masuk,” kata Coe Tiang
Leng.
“Belah badannya menjadi dua potong!” ejek pula si
bocah.
Coe Tiang Leng menghela nafas. Ia tak nyana bahwa
bukan saja rencana hancur, tapi ia sendiri mesti mati di
tempat itu. Ia tak mau memohon lagi dan dengan darah
yang meluap-luap, ia mencaci, “Binatang! Meskipun dalam
gua itu terdapat buah, tapi apa buah-buahan itu bisa
mencukupi keperluan untuk seumur hidupmu? Aku mati di
1084
sini, tapi kau juga akan mampus dalam
beberapa hari. Hm!... Aku mati kaupun mampus.”
Boe Kie tak menghiraukannya. Sesudah makan belasan
buah, perutnya kenyang dan ia lalu merebahkan diri di atas
rumput untuk mengaso.
Selang beberapa lama, tiba-tiba si bocah melihat
keluarnya asap dari lubang terowongan. Ia mengerti, bahwa
itulah perbuatan Coe Tiang Leng yang coba
mencelakakannya dengan membakar ranting-ranting pohon
siong. Ia ketawa geli dan berlagak batuk-batuk.
“Saudara kecil!” teriak Coe Tiang Leng. “Keluarlah!
Aku bersumpah tak akan mengganggu kau.”
Si bocah pura-pura teriak keras, seperti orang mau
pingsan. Sesudah itu, ia pergi ke tempat lain tanpa
memperdulikan lagi si orang she Coe.
Dengan hati riang, ia berjalan ke jurusan barat. Sesudah
melalui dua li lebih, ia melihat sebuah air tumpah yang
turun ke bawah dari dinding batu ke sebuah kolam. Air itu
adalah salju yang melumer dan di bawah sorotan matahari
kelihatannya indah sekali seolah-olah seekor naga giok.
Dengan rasa kagum, ia mengawasi kolam itu, yang biarpun
terus menerima air dari
atas, tidak menjadi luber. Ia tahu, bahwa di bawah
kolam itu terdapat selokan yang mengalirkan air ke tempat
lain.
Sesudah menikmati pemandangan itu beberapa lama, ia
menunduk dan melihat kaki tangannya yang kotor lantaran
kena Lumpur di terowongan.
Ia segera pergi ke pinggir kolam, membukakan sepatu
dan kaos kaki dan lalu memasukkan kedua kakinya ke
1085
dalam air. Mendadak seraya berteriak “Aduh,” ia
melompat bangun. Mengapa? Karena air itu dingin luar
biasa. Begitu menyentuh air, kakinya sakit, dan lebih sakit
daripada disiram air mendidih. Ketika diperiksa, kedua
kakinya ternyata sudah merah bengkak. Ia
mengawasi sambil meleletkan lidah. “Heran! Sungguh
mengherankan!” katanya di dalam hati. Diwaktu kecil
selama beberapa tauhun di pulau Peng Hwee To dan sudah
biasa dengan hawa dingin tapi belum pernah bertemu
dengan air yang sedingin itu. Yang lebih luar biasa adalah,
walaupun dingin, air itu tetap tidak membeku.
Ia mengerti, bahwa di dalam air itu mengandung sesuatu
yang aneh. Ia mundur beberapa tindak dan mengawasinya
sambil mengasah otak. Sekonyong-konyong terdengar suara
“Krok-krok!” dan dari dalam kolam melompat keluar tiga
kodok warna merah. Kodok itu kodok raksasa, badannya
kira-kira empat kali lipat lebih besar dari kodok biasa.
Begitu berada di
daratan, dari badan mereka mengepul uap putih, seperti
uap yang keluar dari es.
Melihat keanehan binatang itu. Sifat kekanak-kanakan
Boe Kie lantas saja timbul. Ia ingin menangkap salah seekor
untuk dibuat main. Perlahan-lahan ia mendekati,
menubruk, dan menekap yang satu dengan tangannya, tibatiba
ia terkejut. Begitu telapak tangannya menyentuh kulit
yang licin, ia merasa semacam hawa hangat menembus
kulit dan terus naik ke lengannya.
Diluar dugaan, binatang itu galak dan bertenaga besar.
Dia memberontak dan begitu melepaskan diri dari cekalan,
dia menggigit lengan kanan Boe Kie sekeras-kerasnya.
Si bocah terkesiap. Cepat-cepat ia menyekal badan kodok
itu dengan tangan kirinya dan membetotnya. Tapi tak
1086
dinyana, binatang itu mempunyai gigi yang sangat tajam,
sehingga kalau dibetot terus, bagian daging lengannya akan
turut copot.
Sesaat itu, kedua kodok yang lain menyambar bagaikan
kilat dan menggigit kedua kaku Boe Kie. Seumur hidup, ia
belum pernah bertemu dengan kodok yang seganas itu.
Dalam kagetnya, ia mengerahkan Lweekang dan menepuk
kodok yang menggigit lengannya. Perut binatang itu pecah
dan tangannya belepotan darah yang berhawa panas.
Ia membungkuk dan lalu membinasakan kedua kodok
yang menggigit kakinya. Perlahan-lahan ia membuka mulut
binatang itu dan melemparkannya di tanah. Tapi kaki dan
lengannya sudah lukan dan memperlihatkan tapak-tapak
gigi. Dengan hati mendongkol, ia mengawasi ketiga kodok
itu. “Binatang!” cacinya. Semua makhluk anjing menggigit
aku dan sekarang kamu. Kebetulan perutku lapar, biarlah
aku gegares dagingmu. Aku mau lihat, apa sesudah berdiam
di dalam perutku, kamu masih bisa menghina aku.”
Sehabis mengomel, ia segera mencari cabang-cabang
kayu kering dan lalu menyalakan api. Ketiga kodok itu lalu
dikeset kulitnya dan dipanggang di atas perapian. Tak lama
kemudian hidungnya mendengus daging yang sangat
wangi. Tanpa memperdulikan segala apa, ia segera
memasukkan sepotong betis kodok ke dalam mulutnya. Ia
tersenyum sambil menarik nafas
panjang-panjang. Daging itu ternyata sangat lezat, lebih
lezat daripada daging apapun juga. Dalam sekejab, ketiga
kodok itu sudah ketinggalan tulangnya saja.
Berselang kira-kira samakanan nasi, semacam hawa
panas mendadak naik ke atas dari dalam perut si bocah. Ia
merasa nyaman bukan main, seolah-olah badannya di
dalam kolam air hangat.
1087
Ia tak tahu, bahwa kodok itu adalah semacam binatang
aneh di dalam dunia.
Dia hidup ditempat yang sangat dingin, tapi sifatnya
adalah panas. Tanpa sifat yang aneh itu, tak mungkin ia
hidup didalam kolam dingin. Kalau dagingnya dimakan
orang biasa, orang itu akan segera mati dengan
mengeluarkan darah dari hidung, mulut dan kupingnya.
Tapi Boe Kie bukan orang biasa karena didalam tubuhnya
mengeram racun dingin dari Hian Beng Sin Ciang. Racun
dingin itu kebentrok dengan racun panas dari sang kodok
dan racun panas buyar, racun dinginpun ikut mereda.
Tapi Boe kie sendiri tak tahu terjadinya kejadian yang
sangat kebetulan itu. Ia merasa sekujur tubuhnya lelah dan
letih, rasa mengantuk menguasai dirinya. Tapi ia tidak
berani tidur disitu sebab kuatir diserang kodok lain. Maka
itu sambil menguatkan badan dan hati ia meninggalkan
tempat itu. Baru berjalan kira-kira satu li, ia tidak dapat
mempertahankan diri lagi dan lalu rebah pulas diatas tanah.
Ketika ia sadar, rembulan sudah berada ditengah tengah
angkasa. Ia merasa bahwa didalam perutnya terdapat
semacam bola hangat yang bergerak-gerak dan
menggelinding kian kemari. Ia mengerti, bahwa daging
kodok itu mempunyai zat-zat luar biasa untuk menambah
tenaga. Ia merasa semangatnya bertambah dan tenaga
dalamnya jadi lebih besar. Ia segera duduk bersila dan
mengerahkan Lweekang, dengan niatan mendorong hawa
hangat itu ke dalam pembuluh pembuluh darahnya. Tapi
sesudah berusaha beberapa kali, ia tidak berhasil bahkan
kepalanya puyeng dan ulu hatinya enek.
Ia menghela nafas dan berkata dalam hatinya. “Tak
mungkin aku bernasib begitu baik. Kalau hawa hangat itu
bisa menembus masuk berbagaipembuluh darah, bukankah
itu berarti bahwa racun Hian Beng sin ciang sudah dapat
1088
dipunahkan”.
Baik juga, sebab ia tidak terlalu berharap hidup, ia tidak
merasa kecewa. Pada keesokan tengah hari, ia merasa
perutnya lapar. Ia lalu mengambil sebatang ranting pohon
yang kemudian digunakan untuk mengaduk air di kolam
dingin. Beberapa saat kemudian, ranting itu sudah digigit
tiga empat kodok. Perlahan-lahan ia mengangkatnya keatas
dan lalu membinasakan binatang-binatang itu dengan
menggunakan batu. Sekali lagi ia membuat perapian dan
membakar daging kodok yang lalu digunakan untuk
menangsal perut.
Karena merasa bahwa ia akan bisa hidup beberapa lama
lagi, maka ia lalu membuat semacam dapur dan menaruh
cabang cabang kering di dalamnya, supaya ia tidak sabansaban
harus membuat api.
Sebagai seorang yang pernah hidup di pulau Peng Hwee
To, Boe Kie sudah bisa menolong diri sendiri. Maka itu,
hidup sebatang kara ditempat tersebut tidak menjadi susah
baginya. Ia mengambil tanah liat dan membuat paso tanah,
kemudian menganyam rumput untuk membuat tkar. Ia
bekerja sampai kira-kira magrib dan tiba-tiba ia ingat Coe
Tiang Leng yang sekarang mestinya sudah kelaparan
setengah mati. Maka itu, ia memetik satu buah dan
melemparkannya ke dalam lobang terowongan.
Ia tidak memberi daging kodok panggang sebab kuatir
Coe Tiang Leng bertambah tenaga dan bisa menggempur
dinding terowongan. Kekuatiran si bocah ternyata sudah
menyelamatkan jiwa orang she Coe. Kalau Boe Kie
memberikan kodok itu, ia sudah pasti sudah melayang
jiwanya.
Beberapa hari sudah lewat tanpa terjadi sesuatu yang
luar biasa. Hari itu, selagi Boe Kie membuat sebuah dapur
1089
tanah, tiba-tiba ia mendengar pekik seekor kera yang
menggenaskan hati. Cepat-cepat ia memburu kearah suara
itu. Ternyata seekor kera kecil sedang melompat-lompat
sambil memekik-mekik dengan tiga ekor kodok merah
mengigit punggungnya, sedang dua ekor yang lain sudah
melompat keluar dari dalam air. Si kera bergulingan di
tanah dan membanting-banting dirinya, tapi kodok-kodok
itu terus menggigit erat-erat dan menghisap darah yang
menjadi makanannya. Boe Kie melompat dan mencekal
lengan kiri kera itu yang lalu dibawa ke tempat lain yang
jauh dari kolam dingin itu. Sesudah berada ditempat yang
lebih aman, batulah ia membinasakan ketiga kodok itu.
Jiwa kera itu tertolong,tapi tulang lengan kanannya patah.
“Aku sangat kesepian, ada baiknya jika bisa mendapat
kawan seekor kera”, katanya didalam hati. Memikir begitu,
ia segera mengambil dua potong ranting pohon dan sesudah
menyambung tulang yang patah, ia segera menjepitnya
dengan kedua ranting itu. Kemudian ia memetik beberapa
macam daun obat yang lalu ditumbuk dan ditorehkan pada
tulang yang patah itu. Biarpun ia tidak mendapat daundaun
obat yang mujarab, tapi berkat kepandaiannya dalam
ilmu menyambung tulang, maka dalam tempo kira-kira
seminggu, tulang itu sudah menyambung pula.
Kera kecil itu mengenal budi. Pada keesokan harinya, ia
membawa banyak bebuahan dan memberikannya pada Boe
Kie. Belum cukup sepuluh hari, lengan yang patah itu
sudah sembuh seanteronya.
Kejadian itu telah mengubah cara hidup Boe Kie.
Sesudah disembuhkan, si kera rupanya memberitahukan
kepada kawan kawannya dan tak lama kemudian, Boe Kie
sudah menjadi tabib dari kawanan binatang di lembah
tersebut. macam binatang datang minta pertolongannya tapi
yang paling banyak adalah sebangsa kera.
1090
Si bocah melakukan tugas baru itu dengan segala senang
hati. Sesudah mendapat pengalaman pahit getir, ia
mendapat kenyataan bahwa diantara binatang ada yang
lebih mengenal budi daripada manusia.
Satu bulan telah berlalu. Setiap hari ia makan daging
kodok dan ia merasa sangat girang bahwa seranganserangan
racun dingin yang datang pada waktu-waktu
tertentu, makin lama jadi semakin enteng.
Pada suatu pagi, ia tersadar karena mukanya diraba oleh
tangan berbulu. Dengan kaget ia melompat bangun.
Ternyata, tangan itu tangan seekor kera putih besar yang
mendukung seekor kera kecil dan tengah berlutut
disampingnya. Kera kecil itu adalah kera yang tulangnya
pernah disambung olehnya. Kera kecil berbunyi “cit-cit catcat”
sambil menunjuk-nunjuk perut kera putih itu yang
mengeluarkan bau tak sedap.
Ia mengawasi dan ternyata, bahwa di perut kera itu
terdapat borok yang bernanah. Ia tertawa dan manggut2kan
kepala. “Baik, baik!” katanya. “Aku akan menolong”.
Si kera putih mengangsurkan tangan kirinya yang
mencekal buah tho dan dengan hormat memberikannya
kepada Boe Kie. Buah itu besar luar biasa. Kira-kira sebesar
tinju.
Boe Kie merasa kagum, karena belum pernah ia melihat
buah tho sebesar itu. “Ibu pernah bercerita bahwa di
gunung Koen Loen terdapat dewa See Ong Bo yang sering
mengadakan pesta buah tho dengan mengundang para
dewa dan dewi,” pikirnya. “Cerita tentang See Ong Bo
mungkin cerita bohong, tapi bahwa Koen Loen san
memiliki Siantho (buah tho dewa) adalah suatu kenyataan.”
Seraya tersenyum ia menerima hadiah itu. “Aku
biasanya tidak menerima bayaran, “ katanya. “Biarpun kau
1091
tidak membawa siantho, aku pasti akan menolong.”
Sehabis berkata begitu,ia mengangsurkan tangannya dan
menyentuh borok itu. Tiba-tiba ia terkejut.
Mangapa?
Borok itu sendiri yang berbentuk bundar, hanya bergaris
kira-kira setengah cun. Apa yang hebat ialah daging di
sekitarnya keras bagaikan batu dan bagian yang keras
puluhan kali lipat lebih besar daripada boroknya sendiri.
Dari kitab-kitab ketabiban, Boe Kie belum pernah
membaca borok yang seperti itu. Ia merasa, bahwa jika
bagian yang keras menjadi busuk dan bernanah, binatang
itu tak akan dapat disembuhkan lagi. Tapi waktu
memegang nadi si kera, ia menjadi lebih heran lagi, karena
denyutan nadi tidak menunjukan adanya bahaya. Ia segera
menyingkap bulu yang panjang di perut binatang itu untuk
diperiksa lebih teliti. Begitu melihat ia terkesinap, sebab
bagian yang keras itu berbentuk empat persegi dan
dipinggirannya terlihat bekas jaitan benang.
Tak dapat disangkal lagi bahwa jahitan itu adalah
perbuatan manusia. Walaupun pintar, binatang kera tak
bisa menjahit.
Sesudah memeriksa, Boe Kie mengerti, bahwa borok itu
disebabkan oleh benda keras itu. Benda itu menonjol keluar
dan menggencet pembuluh darah. Sehingga darah tak bisa
mengalir leluasa, otot-otot menjadi rusak dan
mengakibatkan borok yang tidak bisa sembuh. Maka itu,
untuk menyembuhkannya, ia harus mengeluarkan benda itu
dari perut si kera.
Soal membedah tidak jadi soal, sebab berkat ajaran Ouw
Ceng Goe, ia sudah mahir dalam ilmu itu. Yang menjadi
soal ialah tak punya pisau dan obat obatan. Sesudah
mengasah otak beberapa lama, ia mencari sepotong batu
1092
tipis dan lalu menggosoknya sampai tajam. Sesudah itu,
dengan menggunakan pisau tersebut, perlahan ia memotong
perut si kera, di bagian bekas jahitan.
Kera itu yang sudah berusia sangat tua, ternyata
mengerti maksud pembedahan itu. Meski merasakan
kesakitan hebat, ia tidak bergerak sedikitpun jua dan
menahan sakit sambil mengeluarkan rintihan tak lama
kemudian, Boe Kie sudah memotong bagian atas dan
bawah bekas jahitan itu. Dengan hati hati ia lalu membuka
kulit perut yang sudah dipotong dan…….loh! Di dalamnya
terdapat bungkusan kain minyak.
Dengan rasa heran yang sangat besar, ia mencabut dan
menaruh bungkusan itu ke tanah dan buru buru menutup
lagi kulit yang terbuka untuk dijahit. Baru sekarang ia ingat
bahwa ia tak punya jarum dan benang. Tapi si bocah tidak
kekurangan akal. Ia segera mengambil gigi kodok merah
yang tajam dan membuat lubang-lubang di pinggiran kulit.
Sesudah itu dengan menggunakan serat kulit kayu ia
membuat benang dan dengan demikian, biarpun tidak
sempurna ia berhasil menjahit perut si kera, yang rubuh
pingsan karena mengeluarkan terlalu banyak darah.
Selesai membedah, Boe Kie segera mencuci bungkusan
kain minyak yang berlepotan darah dan membukanya.
Ternyata didalam bungkusan terdapat empat jilid kitap
yang sangat tipis. Karena terbungkus rapat, maka biarpun
sudah beberapa lama di dalam perut kera, kitap-kitap itu
masih utuh. Diatas kertas terdapat huruf2 yang tidak
dikenal Boe Kie. Ia lalu membalik-balik lembaran dan
ternyata, bahwa diantara barisan2 huruf yang tidak dikenal
terdapat juga huruf2 Tionghoa.
Dengan hati berdebar2, Boe Kie lalu membacanya. Ia
mendapat kenyataan, bahwa isi kitab adalah pelajaran
untuk melatih pernafasan dan tenaga dalam. Tiba2
1093
jantungnya melonjak.
Ia membaca tiga baris huruf yang sudah dikenalnya. Ia
segera ingat bahwa huruf-huruf itu terdapat dalam pelajaran
Siauw-lim Kioe yang kang, yang pernah dipelajarinya
dalam kuil Siauw Liem Sie. Tapi waktu ia membaca terus,
lanjutannya berbeda dengan pelajaran itu. Ia membuka lagi
dan membaca beberapa halaman secara sepintas lalu. Sekali
ia terkesinap, sebab, ia kembali menemukan tiga baris huruf
yang sudah dihafalnya, yaitu pelajaran Boe Tong Lweekang
Sim hoat yang diturunkan oleh mendiang ayahnya sendiri.
Jantung Boe Kie memukul keras. “Kitab apa ini?”
tanyanya dalam hati. “Mengapa ada Siauw lim Kioe yang
kang dan ada juga Boe Tong Lweekang Sim hoat?” Tibatiba
ia ingat cerita yang diturunkan oleh Taysoehoe (Thio
Sam Hong) pada waktu orang tua itu mau mengajaknya
pergi ke Siauw lim sie. Cara bagaimana pada sebelum
meninggal dunia. Kak Wan taysoe telah menghafal Kioe
Yang cin keng dengan didengari oleh Thaysoehoe, Kwee
siang Kwee Liehiap dan Boe Sek taysoe yang masing2
mendapat sebagian dari pada kitab itu, sehingga di
kemudian hari Boe Tong, Goe Bie dan Siauw Lim pay bisa
menjagoi dalam rimba persilatan.
“Apakah kitab ini Kioe Yang Cin Keng yang dahulu di
curi orang?” pikirnya. “Benar! Tak salah taysoehoe pernah
mengatakan bahwa Kioe Yang Cin Keng ditulis diantara
barisan barisan huruf dari kitap Leng Keh Keng, huruf2
yang lugat legot itu tentulah juga sansekerta.
Tapi…..tapi mengapa kitab itu berada dalam perut
kera????
X X X
Kitab itu memang juga Kioe yang Cin keng, tapi pada
zaman itu, tak seorangpun tahu cara bagaimana bisa
1094
menyasar kedalam perut seekor kera.
Pada sembilan puluh tahun lebih yang lalu. Siauw Siang
Coe dan In Kek See telah mencuri kitab itu dari Cong Kek
Sek di kuil Siauw Lim Si. Mereka diubar oleh Kak Wan
taysoe, seorang pendeta yang bertugas menjaga kamar
perpustakaan itu dan waktu kabur sampai di gunung Hwa
San mereka tidak dapat meloloskan diri lagi. Secara
kebetulan, mereka mempunyai seekor kera dan dalam
keadaan terdesak, mereka mendapat akal. Mereka
membedah perut binatang itu dan menyembunyikan
keempat jilid Leng Keh Keng didalam perut si kera.
Belakangan Kak Wan, Yo Ko dan yang lain lain
menggeledah badan mereka tapi kitab itu saja tidak bisa
didapatkan. Akhirnya mereka dilepaskan dan
diperbolehkan berlalu bersama2 kera itu. (Mengenai hal ini,
bacalah Sin Tiauw Hiap Lu).
Demikianlah selama hampir satu abad, tak seorangpun
tahu dimana adanya Kioe Yang Cin Keng. Hal ini sudah
merupakan sebuah teka-teki besar dalam rimba persilatan.
Dari Hwa San, bersama-sama kera itu Siauw Siang Coe
dan In Kek See kabur ke wilayah See hek. Karena saling
mencurigai sebab masing2 kuatir dirinya akan dibinasakan
kalau yang lain sudah lebih dahulu memahamkan isi kitab
itu, maka baik Siauw Siang Coe, maupun In Kek See tidak
berani bertindak lebih dahulu untuk mengambil kitab itu
dari perut kera. Waktu tiba di puncak Keng Sin Hong,
gunung Koen Loen, mereka “saling makan” dan akhirnya
kedua2nya binasa. Mulai dari waktu itu, rahasia Kioe Yang
Cin Keng tidak diketahui lagi oleh manusia manapun jua.
Ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya lebih tinggi
setingkat dari In Kek See. Tapi sesudah terluka di puncak
Hwa San, tenaganya banyak berkurang dan waktu
bertempur dengan In Kek See, ia mati lebih dulu.
1095
Waktu mau melepaskan napasnya yang penghabisan In
Kek See telah bertemu dengan Koen Loen Sam seng Ho
Ciok Too. Pada saat itu ia merasa agak menyesal akan
perbuatannya dan ia meminta supaya Ho Ciok Too pergi ke
Siauw Lim Sie dan memberitahukan Kak Wan bahwa kitab
Leng Keh Keng berada di dalam perut seekor kera. Tapi
dalam keadaan lupa ingat karena terluka berat suaranya
tidak terang sehingga perkataan “keng cay kauw tiong”
(kitab berada dalam kera) didengar Ho Ciok Too sebagai
“kim cay yoe tiong” (emas berada dalam minyak).
Untuk menepati janji. Ho Ciok Too pergi ke Tionggoan
untuk menyampaikan perkataan In Kek See kepada Kak
Wan, yang tentu saja tidak mengerti apa maksudnya.
Kunjungan Ho Ciok To ke Siauw Lim Si itu telah
menimbulkan gelombang hebat, yang akhirnya
mengakibatkan berdirinya Boe Tong Pay dan Go Bie Pay.
Kera itu ternyata bernasib baik, dengan memakan buah
siantho yang luar biasa dan mendapat hawa murni dari
langit dan bumi, biarpun sudah berumur hampir seabad
kecuali bulunya yang berubah jadi putih, dia masih tetap
kuat dan sehat. Hanya karena ada ganjelan besar perutnya
kadang-kadang sakit pada tempat menyimpan kitab. Borok
yang tak bisa hilang akhirnya, secara luar biasa, dia bertemu
dengan Boe Kie. Bagi si kera pertemuan itu berarti
hilangnya penyakit diperut, bagi Boe Kie suatu berkah.
X X X
Latar belakang peristiwa itu tentu saja tak bisa di tembus
Boe Kie. Sesudah mengasah otak beberapa lama tanpa
berhasil, ia segera menjemput buah tho hadiah si kera dan
memasukkannya ke dalam mulut. Buah itu harum dan
manis luar biasa, melebihi buah apapun jua yang pernah
dimakannya dilembah itu.
1096
Setelah perutnya kenyang, didalam hati si bocah berpikir.
“Thaysoehoe pernah mengatakan, bahwa jika aku dapat
memiliki Kioe Yang Sin Kang dari Siauw Lim, Boe Tong
dan Goe Bie, racun dingin dalam tubuhku mungkin bisa
diusir keluar. Akan tetapi, Sin Kang dalam ketiga partai itu
hanya dapatkan dari kitab Kioe Yang Cin Keng. Manakala
benar kitab ini kitab Kioe Yang Cin Keng dan aku
mempelajari seluruhnya, maka sin kang yang dimiliki
olehku akan melebihi sin kang dari ketiga partai itu. Tapi
sudahlah! Perlu apa kita memikir panjang panjang. Disini
aku tak punya pekerjaan, biarlah aku mempelajarinya.
Andaikata kitab itu tak berguna, atau berbahaya, paling
banyak aku mati”. Memikir begitu, ia lantas saja
memasukkan jilid pertama dalam sakunya dan menaruh
ketiga jilid lainnya di tanah yang kering dan kemudian
menindihnya dengan batu yang besar. Ia berbuat begitu,
sebab kuatir kitab2 itu dicuri dan di robek si kera yang
nakal.
Paling dahulu, ia menghafal isi kitab dan kemudian
setindak demi setindak ia berlatih menurut pelajaran itu.
Selama belajar ia masih ingat, bahwa andaikata pelajaran
itu bisa menghilangkan racun dalam tubuhnya, ia akan
tetap terkurung di dalam lembah seumur hidup. Maka itu,
ia belajar dan berlatih dengan pikiran tenang dan tak
tergesa-gesa…berhasil hari ini baik, berhasil besokpun baik
juga. Tapi, justru karena ketenangan itulah, ia mendapat
kemajuan yang sangat pesat. Belum cukup empat bulan, ia
sudah dapat melayani ilmu-ilmu yang tertulis dalam jilid
pertama.
Dahulu pada waktu Tat Mo Couw See mengubah Kioe
Im dan Kiu Yang Cin Keng, ia sengaja mengubahnya
sedemikian rupa, sehingga nilai kedua kitab itu sama tinggi
dan yang satu menutup dari kekurangan dari yang lain. Kiu
1097
Yang mengutamakan melatih ilmu pernafasan dan caracara
memperpanjang umur, sedang Kiu Im mementingkan
Ilmu-ilmu silat yang merobohkan lawan. Mengenai
Lweekang, Kioe Yang lebih unggul, tapi dalam jurus-jurus
silat yang aneh dan luar biasa, Kioe Im-lah yang lebih lihai!
Dahulu, waktu Tau Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong
mencuri jilid kedua dari Kioe Im Cin Keng, mereka telah
berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang luar biasa, yang
tak terdapat pada Kioe Yang Cin Keng. Akan tetapi
seseorang yang menyelami Kioe Yang Cin Keng dan sudah
melatih diri menurut pelajaran itu sampai puncak yang
tinggi, maka orang itu takkan dapat ditaklukkan dengan
pukulan atau ilmu silat yang manapun jua.
Sementara itu, setelah menyelesaikan latihan jilid yang
pertama. Boe Kie mendapat kenyataan, bahwa ia sudah
dapat hidup lebih lama daripada batas waktu yang disebut
oleh Ouw Ceng Goe. Sebaliknya daripada binasa, bukan
saja ia tetap sehat, tapi jangka waktu antara serangan racun
dingin juga makin panjang dan penderitaannya selama
serangan makin lama makin berkurang. Ia mendapat
kenyataan, bahwa hawa dalam tubuhnya dapat mengalir
dengan leluasa. Sekarang ia hampir tak bersangsi lagi,
bahwa kitab itu benar Kioe Yang Cin Keng adanya. Jikalau
bukan, tapi tetap tidak dapat disangkal, bahwa pelajaran
kitab itu mempunyai khasiat yang besar untuk kesehatan
badan.
Sesudah jilid pertama, ia mulai mempelajari jilid kedua.
Karena saban-saban makan daging kodok merah dan
buah tho luar biasa yang dibawa oleh si kera putih, maka
baru saja ia mempelajari sebagian kecil dari jilid kedua,
racun dingin didalam tubuhnya sudah terusir seanteronya.
Menurut pantas, sesudah racun dingin menghilang,
dimakannya terus daging kodok merah akan
1098
mengakibatkan lain keracunan. Tapi syukur berkat latihan
Kioe Yang Cin Keng yang sudah agak maju, dan berkat
buah tho yang mempunyai khasiat menolak racun, maka
racun “panas” dari daging kodok bukan saja tidak
membahayakan, tapi malah membantunya dalam
mempercepat dimilikinya Sin kang.
Setiap hari, disamping belajar dan berlatih serta
bermain2 dengan kawanan kera, Boe Kie memetik buah2an
untuk menangsal perut dan saban kali mau makan, ia selalu
membagi separuhnya kepada Coe Tiang Leng yang berdiam
diluar terowongan. Ia hidup bebas dan riang gembira dan
penuh kepuasan, tapi Coe Tiang Leng sendiri mengalami
kesengsaraan yang tidak enteng. Dengan hidup atas belas
kasihan Boe Kie, siang malam orang tua itu berdiam diatas
“panggung” yang tertutup salju dan saban bertemu dengan
musim dingin, hebatnya penderitaan sukar dilukiskan
dengan kalam.
Sesudah berlatih dengan pelajaran jilid ketiga Boe Kie
sudah tak takut lagi dengan hawa dingin. Kalau lagi
gembira ia menerjun dan mandi didalam kolam dingin.
Dengan mengalirnya hawa “tulen” diseluruh tubuh, begitu
lekas kulitnya tersentuh air dingin, secara wajar tubuhnya
lalu mengeluarkan tenaga menolak. Gigi kodok merah
memang sangat tajam, tapi pada waktu itu, tajamnya gigi
tak bisa melukai lagi badannya.
Tapi makin tinggi pelajaran Kioe Yang Cin Keng jadi
makin sulit dan kemajuannyapun jadi makin perlahan.
Untuk menyelami jilid ketiga, ia harus menggunakan tempo
kurang lebih setahun. Sedang jilid yang terakhir, yaitu jilid
keempat, memerlukan waktu dua tahun lebih.
Pada suatu malam Boe Kie membuka halaman terakhir
dari jilid terakhir. Ia girang bercampur terharu. Sudah
empat tahun lebih ia berdiam di lembah itu, dari bocah, ia
1099
sudah menjadi pemuda yang bertubuh jangkung. Selama
itu, mungkin sekali di dalam dunia sudah terjadi perubahan
perubahan besar yang tidak diketahui olehnya.
Dengan banyaknya memperoleh pengalaman pahit getir
selama yang dirasakannya, maka penghidupan di lembah
lebih nyaman bagi Boe Kie. Tidak ada hasrat untuk terjun
ke dalam pergaulan, dimana Boe Kie mengganggap banyak
manusia yang pandai berpura-pura dan ia lebih senang
bergaul dengan kera kera yang umumnya mempunyai sifat
yang polos, yang menyenangkan dan dapat diajak bermain
sebagai kawan sejati.
Dengan Lweekang yang sangat dalam, Boe kie telah
hidup dalam dunianya sendiri. Banyak masalah dan
persoalan yang sesungguhnya mengganggu hatinya, sering
Boe Kie terangsang oleh keinginan2 untuk terjun dalam
dunia persilatan lagi, dalam dunia pergaulan, namun
perasaan2 seperti itu ditindasnya. Dan banyak pula orang2
yang berkenan di hatinya yang memiliki budi kebaikan
terhadap dirinya, tapi sayang sekali perasaan takut terhadap
lingkungan pergaulan diantara manusia2 yang pandai
berpura2 itulah yang menyebabkan Boe Kie akhirnya
memutuskan untuk berdiam selamanya didalam lembah itu.
Demikian kisah Boe Kie kami tutup sampai disini untuk
bagian kesatu. Untuk mengikuti perkembangan yang terjadi
selanjutnya terhadap diri Boe Kie, pengalaman2 yang aneh
dan luar biasa, dapat anda mengikutinya pada bagian kedua
dari kisah Boe Kie, yang merupakan kelanjutannya.
Manusia memang sering mengalami peristiwa2 yang
berlawanan dengan kehendak hatinya, berlawanan dengan
keinginannya, bertentangan dengan kemauannya. Dan
peristiwa2 yang terjadi itu memang sering kali terjadi diluar
jangkauan dan kehendak manusia, sebab akhirnya harus
diakui yang menentukan adalah Thian (Tuhan) yang maha
1100
kuasa.
Demikian juga yang terjadi di diri Boe Kie. Walaupun
dia sesungguhnya bermaksud untuk hidup tenang tentram
di lembah itu, hidup dengan penug bahagia, jauh dari sifat2
buruk dan berpura2 dari manusia2 yang pandai sekali
bersandiwara dalam hidup ini, tetapi rupanya Thian
menghendaki lain, sehingga akhirnya Boe Kie akan terlibat
dalam beberapa peristiwa yang hebat, yang akhirnya
memaksa Boe Kie harus menyerah terhadap keadaan, yang
akhirnya akan memaksa Boe Kie harus mengakui bahwa
manusia hidup di dunia ini memang harus bermasyarakat.
Seperti di ketahui oleh pembaca didalam kisah Boe Kie
bagian kesatu, Boe Kie berada dilembah yang
menyenangkan bagi hatinya, ditemani oleh kawanan kera2.
kawanan kera itu merupakan sahabat yang menyenangkan,
disamping itu merupakan kawan2 yang memiliki sifat2
yang masih murni dan polos, bebeda dengan manusia2
yang pernah dikenal oleh Boe Kie, yang pandai sekali
berpura pura.
Dalam setengah tahun ini, kalau hatinya senang, Boe Kie
sering mengikuti kawanan kera memanjat lereng gunung
yang curam dan bermain2 disitu sambil memandang
lembah2 yang berada jauh dibawah. Dengan memiliki
kepandaian yang sekarang dimiliki, kalau mau dengan
mudah ia akan dapat keluar dari kurungan itu. Ia dapat
memanjat tebing2 yang tidak dapat dipanjat oleh lain
manusia. Tapi ia justru tidak mau. Sesudah mendapat
banyak pengalaman pahit getir dan bertemu dengan banyak
manusia yang pandai berpura2, hatinya jadi dingin. “Perlu
apa aku masuk lagi ke dalam dunia pergaulan untuk
mencari kepusingan?” pikirnya. “Aku sudah merasa puas
dengan hidup disini sampai hari tua.”
Hari itu dengan Lweekangnya yang sangat dalam, ia
1101
mengorek sebuah lubang yang dalamnya kurang lebih 3 kali
di batu karang. Disamping mulut terowongan. Sesudah itu,
ia membungkus keempat jilid Kioe Yang Sin Kang, In Keng
dari Ouw Ceng Goe dan Tok Keng dari Ong Lan Kouw
dengan menggunakan kain minyak yang dikeluarkan dari
perut kera putih. Ia masukkan bungkusan kitab2 itu dalam
lubang yang lalu ditutupnya dengan batu2 dan tanah.
“Karena jodoh yang sangat luar biasa, aku mendapatkan
kitab itu dari perut seekor kera, “ katanya dalam hati.
“entah kapan dan entah siapa yang akan datang disini lagi
dan menggali keluar kitab2 yang ditanam olehku.” Sambil
mengerahkan Lweekang, ia segera menulis enam huruf
diatas batu dengan jerijinya. “Tempat Thio Boe Kie
menyimpan kitab.”
Selama belajar dan berlatih, karena repotnya. Ia sama
sekali tidak merasa kesepian. Tapi pada malam itu, sesudah
menyelesaikan pelajaran dengan hasil yang gilang
gemilang, ia merasa suatu kekosongan dalam hatinya dan
ingin sekali bertemu dengan seorang manusia lain untuk
beromong2. “disini waktu aku boleh tak usah takuti Coe
Peh peh,” pikirnya. “biar sekarang aku coba menemui dia.”
Memikir begitu, ia lantas saja melompat naik ke lubang
terowongan dan berlutut untuk mencoba merangkak
masuk. Tapi lubang itu ternyata terlalu kecil untuk
badannya. Pada empat tahun yang lalu, ia baru berusia lima
belas tahun dan tubuhnya masih kurus kecil. Tapi sekarang
dalam usia 19 tahun, ia telah menjadi seorang dewasa dan
badannya sudah berubah banyak. Tapi Boe Kie, sesudah
mendalami Kioe Yang Cin Keng, dapat diatasi olehnya. Ia
segera menarik nafas dalam2 dan mengeluarkan ilmu Siok
Koet Kang (ilmu mengerutkan tulang2). Dengan ilmu itu,
daging dan otot2 antara tulang2 mengerut, sehingga
tulang2nya dapat dikatakan berkumpul menjadi satu.
Dengan demikian dia dapat masuk kedalam terowongan.
1102
Waktu ia tiba dimulut terowongan, Coe Tiang Leng
sedang tidur pulas sambil bersandar di sebuah batu besar. Ia
menepuk pundak orang tua itu lantas saj tersadar. Bukan
main kagetnya Coe Tiang Leng. Ia melompat bangun dan
sambil mengawasi Boe Kie dengan mata membelalak, ia
berkata dengan suara terputus putus. “Kau…kau”.
“Coe Peh Peh,” kata Boe Kie seraya tersenyum. “Benar,
aku Boe Kie”.
Coe Taing Leng kaget tercampur girang, mendongkol
tercampur benci. Sesudah mengawasinya beberapa lama,
barulah ia berkata pula, “kau sudah besar sekali.
Hm….Mengapa selama bertahun2, kau tak pernah keluar
biarpun aku memohon berulang2?”
Sebab takut dipukul olehmu,” jawabnya. Mendadak Coe
Tiang Leng menyambar pundak Boe Kie dengan gerakan
Kin na cioe. “Sekarang kau tak takut lagi?” bentaknya.
Tiba2 ia merasa telapak tangannya panas, lengannya
bergemetar dan ia terpaksa melepaskan cengkramannya.
Tapi walaupun begitu, dadanya sakit dan menyesak. Ia
mundur beberapa tindak dan berkata dengan suara parau.
“Kau.. ilmu apa itu?”
Sesudah memiliki Kioe yang sin kang, inilah untuk
pertama kalinya Boe Kie menjajalnya. Ia sendiri baru tahu
hebatnya ilmu tersebut. Dengan hanya menggunakan dua
bagian tenaga, Coe Tiang Leng seorang ahli silat kelas satu
sudah dapat dijatuhkan. Kalau ia mengerahkan seluruh
tenaga mungkin sekali lengan orang tua itu sudah menjadi
patah. Ia girang bukan main dan sambil mengawasi muka si
tua, bertanya seraya tersenyum, “Coe Pehpeh, bagaimana
pendapatmu? Apa ilmuku cukup lihay?”
“Ilmu apa itu?” Coe Tiang Leng mengulangi
pertanyaannya.
1103
“Akupun tak tahu, mungkin Kioe yang Sin kang,”
jawabnya.
Coe Tiang Leng terkesiap. “Bagaimana kau bisa
mendapat ilmu itu?” tanyanya pula.
Boe Kie berterus terang. Ia segera menceritakan cara
bagaimana ia mendapat kitab luar biasa itu dari perut
seekor kera dan cara bagaimana ia kemudian
mempelajarinya dan melatih diri.
Penuturan itu sudah membangkitkan rasa jelus dan gusar
dalam hati si tua. “Empat tahun lebih aku menderita hebat
di puncak ini, tapi setan kecil itu sudah dapat mempelajari
sinkang yang tiada tandingannya di dunia,” pikirnya. Dia
sama sekali tak ingat bahwa segala penderitaannya itu
adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Tapi sebagai
manusia palsu ia bukan saja dapat menindih amarahnya,
tapi juga bisa melihatkan muka berseri-seri. Dimana adanya
kitab itutanyanya sambil bersenyum. “Apa boleh kulihat?”
“Boleh,” jawabnya. Ia menganggap, bahwa biarpun bisa
melihat, si tua takkan bisa menghafalisi kitab dalam tempo
cepat. “Tapi aku sudah memendamnya di dalam lubang,
besok saja aku membawanya kemari.”
“Kau sudah begini besar, bagaimana kau bisa keluar dari
lubang yang sempit itu?” tanya pula Coe Tiang Leng.
“Lubang itu sebenarnya tak terlalu sempit,” kata Boe
Kie. “Dengan mengerutkan badan dan menggunakan
sedikit tenaga aku bisa lewat.”
“Apa akupun dapat lewat disitu?” tanya si tua dengan
mata menyala. “Bagaimana pendapatmu? Apa bisa?
Boe Kie manggut2 kan kepalanya. “Kurasa dapat”
jawabnya. “Besok boleh mencoba. Sesudah melewati
terowongan terdapat sebuah lembah yang besar dan indah
1104
dengan bebuahan yang dapat menangsal perut”. Ia tahu
bahwa dengan tenaga sendiri, Coe Tiang Leng tak akan bisa
lewat di terowongan itu. Tapi melihat sikap si tua yang
sangat manis dan penuh dengan rasa menyesal ia jadi
kasihan lantas saja ambil keputusan untuk memberi
bantuan. Ia merasa, bahwa dengan menggunakan sinkang
akan dapat menggencet tulang pundak dada dan pinggul si
tua supaya bisa lewat di terowongan yang sempit.
“Saudara kecil, kau sungguh baik,” kata si tua. “Seorang
koencoe memang tidak menaruh dendam. Aku pernah
melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas terhadapmu
dan kuharap kau suka memaafkan”. Seraya berkata begitu,
ia menyoja seraya membungkuk.
Buru-buru Boe Kie membalas hormat. “Coe pehpeh
jangan kau memakai terlalu banyak peradatan,” katanya.
“Besok kita bersama-sama mencari daya upaya untuk
keluar dari kurungan ini.”
Coe Tiang Leng jadi sangat girang. “Apakah masih ada
jalan untuk keluar dari sini?” tanyanya.
“Kawanan kera bisa keluar masuk dan kitapun pasti
bisa” jawabnya.
Untuk beberapa saat Coe Tiang Leng mengawasi Boe
Kie. “Tapi… tapi mengapa kau tidak coba meloloskan diri
terlebih siang dan menunggu sampai sekarang?” tanyanya.
Boe Kie bersenyum, “Sebegitu jauh aku tidak berani
coba keluar dari sini karena kuatir dihina orang lagi,”
jawabnya. “Tapi sekarang mungkin aku tak perlu berkuatir
lagi. Di samping itu akupun ingin menengok Thaysoehoe,
para Soepeh dan Soesiok.
Si tua berkakakan dan sambil menepuk-nepuk
tangannya. “Bagus! Bagus!” Sambil menunjuk
1105
kegirangannya ia mundur satu dua tindak. Mendadak
kakinya menginjak tempat kosong. Tubuhnya limbung
dan.. jatuh ke bawah!
Boe Kie mencelos hatinya. Ia melompat ke pinggir tebing
dan berteriak, “Coe pehpeh! Coe pehpeh..!”
Dari bawah terdengar suara rintihan perlahan. Boe Kie
girang. Ia mendapat kenyataan bahwa Coe Tiang Leng
jatuh di atas sebuah pohon Siong yang terpisah hanya
beberapa tombak dari atas tebing. Si tua rupanya mendapat
luka yang agak berat, karena badannya rebah di cabang
tanpa bergerak. Dengan kepandaian yang sekarang
dimilikinya, ia dapat menolong orang tua itu. Dengan
mudah ia bisa melompat turun dan kemudian melompat
naik dengan mendukung tubuh si tua. Demikianlah, sambil
menyedot napas panjang-panjang, ia melompat turun ke
arah cabang yang sebesar lengan.
Tak dinyana, pada waktu telapak kakinya hanya terpisah
kira-kira setengah kaki, cabang itu mendadak jatuh ke
bawah! Meskipun memiliki Sin-kang yang luar biasa, Boe
Kie adalah seorang manusia biasa dan bukan seekor burung
yang bisa terbang kian kemari di tengah udara. Ia terkesiap
dan badannya terus meluncur ke bawah..!
Di lain detik, selagi tubuhnya melayang jatuh, ia
tersadar. “Celaka sungguh! Sekali lagi aku diakali oleh
bangsat tua Coe Tiang Leng! Cabang itu dipegang olehnya
dan pada saat aku hampir hinggap di atasnya, ia lalu
melepaskannya”. Tapi sadarnya sudah terlambat.
Memang benar jatuhnya Boe Kie adalah akibat
permainan gila dari si tua. Sesudah berdiam empat tahun
lebih di atas “panggung” itu, dia mengenal setiap pohon,
setiap rumput dan setiap batu di sekitar tempat itu. Dengan
berlagak jatuh dan berlagak terluka, ia sudah menghitung
1106
pasti bahwa Boe Kie yang hatinya lemah akan coba
menolong dan benar saja akal busuknya telah berhasil.
Ia tertawa terbahak-bahak dengan girangnya dan
kemudian lalu naik ke atas dengan memanjat sebatang oyot
yang terdapat pada siong itu. “Dahulu aku gagal untuk
menembus terowongan itu,” katanya dalam hati. “Mungkin
tulangku patah karena aku terburu nafsu dan menggunakan
tenaga terlalu besar. Badan setan kecil itu banyak lebih
besar daripada tubuhku, tapi ia bisa keluar masuk. Kalau
dia besar akupun bisa. Sesudah mengambil Kioe-yang Cin
keng aku bisa mencari jalan pulang dari lembah itu.
Perlahan lahan aku akan mempelajari isi kitab dan melatih
diri, sehingga aku menjadi seorang ahli silat yang tiada
tandingannya dalam dunia ini. Ha..ha..! Ha ha ha…!
Makin dipikir, ia jadi makin girang dan dengan bibir
tersungging senyuman, ia masuk di terowongan itu.
Sesudah merangkak beberapa lama, ia tiba di bagian
terowongan di mana pada empat tahun berselang,
tulangnya patah. Dalam usahanya untuk menerobos
terowongan itu, dalam pikiran Coe Tiang Leng hanya
dikuasai oleh suatu pendapat yaitu; Boe Kie bertubuh lebih
besar daripadanya, sehingga kalau Boe Kie bisa, iapun bisa.
Pendapat itu pada hakekatnya tidak salah. Tapi ada sesuatu
yang tidak diketahui olehnya. Ia tak tahu bahwa sesudah
menyelami Kioe yang Cin keng, Boe Kie mempunyai
serupa ilmu luar biasa, yaitu Siok koet kang, yang dapat
mengkerutkan tulang-tulang.
Sambil mengerahkan jalan pernafasannya, sejengkal
demi sejengkal ia merangkak maju. Dengan tidak banyak
susah, ia bisa maju kira2 setombak lebih jauh daripada
tempat terdahulu. Tapi sampai di situ, ia mandek. Sesudah
mengeluarkan banyak tenaga, ia tetap tidak bisa maju.
Ia mengerti, bahwa jika menggunakan tenaga Lweekang,
1107
hasilnya akan bersamaan dengan kejadian pada empat
tahun berselang dan tulangnya bakalan patah lagi. Maka
itu, sesudah mengasah otak, ia segera melepaskan sisa hawa
yang terdapat di dalam dadanya. Benar saja badannya lebih
kecil dua dim dan ia bisa maju kira kira tiga kaki. Sampai di
situ, ia mandek lagi karena lubang yang terbuka masih
terlalu kecil untuk tubuhnya yang sudah sangat diperkecil.
Lebih celaka lagi, karena di dalam dada sudah ada hawa
udara, ia merasa sesak nafas dan jantungnya berdebar keras.
Di lain saat, kedua matanya berkunang-kunang.
Ia mengenal bahaya. Ia segera mengambil keputusan
untuk mundur.
Tapi… ia ternyata tak bisa mundur lagi!
Waktu maju ia bisa menggunakan tenaga dengan
bantuan kedua kakinya yang menendang dinding batu yang
tidak rata. Tapi dalam usahanya untuk mundur kembali, ia
tak punya pegangan yang dapat digunakan untuk
meminjam tenaga. Kedua tangannya yang diluncurkan ke
depan hampir tergencet di antara dinding terowongan
sehingga tidak bisa memberi bantuan apa jua.
Sekarang, barulah si tua ketakutan. Ia tahu bahwa ia
akan mati konyol. Keringat dingin membasahi pakaiannya.
Ia bingung bercampur heran bercampur takut. “Mana bisa
begini?” tanyanya di dalam hati. “Badan bocah itu lebih
besar daripada badanku. Mengapa dia bisa aku tidak bisa?
Mana bisa begitu?”
Ya! Dalam dunia ini memang banyak hal yang anehaneh.
Demikianlah, Coe Tiang Leng yang pintar dan Boen boe
song coan (pandai ilmu surat dan ilmu silat) tergencet di
lubang, maju tak dapat, mundurpun tak bisa.
1108
Di lain pihak, bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya, Boe Kie terus melayang ke bawah. “Boe Kie…!
Boe Kie…!” ia mengeluh. “Kau sungguh tolol. Kau sudah
tahu Coe Tiang Leng manusia licik, tapi toh kau masih juga
kena diperdayai. Boe Kie..! kau memang pantas mampus
diakali orang!”
Sambil menyesali diri sendiri, ia berusaha untuk
menolong jiwanya. Ia menggerakkan tenaga dan melompat
ke atas untk memperlambat kecepatan jatuhnya. Tapi mana
ia bisa berhasil. Dengan tubuh di tengah udara, tanpa
sesuatu yang dapat digunakan untuk landasan, badannya
terus meluncur ke bawah dengan dahsyatnya. Di lain saat ia
merasa matanya sakit karena tertumbuk dengan sinar salju
di atas bumi.
Bagi Boe Kie detik itu adalah detik yang memutuskan
detik antara mati dan hidup. Pada detik itu ia melihat
gundukan salju. Tanpa memikir panjang panjang lagi, tanpa
menghiraukan benda apa yang diliputi salju itu, ia segera
mengerahkan Lweekang dan menjungkir balik ke arah
tumpukan salju. “Blus!” kedua kakinya menjeblos dan
dengan berbareng ia mengerahkan Kioe yang Sin kang
untuk melompat ke atas dengan meminjam tenaga berbalik
dari tumpukan salju itu. Tapi tenaga jatuhnya dari tempat
yang begitu tinggi dahsyat bukan main, lebih dahsyat dari
tenaga yang dikerahkannya. Ia merasakan kesakitan hebat
karena kedua tulang betisnya telah patah dengan berbareng.
Walaupun terluka hebat, otaknya masih terang. Ia
mendapat kenyataan bahwa ia jatuh di tumpukan rumput
dan kayu bakar. “Sungguh berbahaya!” pikirnya. “Kalau
lapisan salju terdapat batu-batu besar, jiwaku tidak bisa
tertolong lagi.
Dengan menggunakan kedua tangan, perlahan-lahan ia
merangkak keluar dari tumpukan rumput itu dan
1109
merebahkan diri di atas tanah yang tertutup salju. Sesudah
memeriksa lukanya, ia menarik nafas panjang2 dan lalu
menyambung tulangnya yang patah. “Tanpa bergerak,
paling sedikit aku memerlukan tempo sebulan untuk bisa
berjalan lagi, katanya dalam hati. “Tapi selama itu, dari
mana aku bisa mendapat makanan untuk menangsal
perut?” Ia tahu, bahwa tumpukan rumput itu adalah
miliknya seorang petani sehingga tempat itu mesti terdapat
rumah orang. Semula ia ingin berteriak untuk meminta
pertolongan. Tapi ia mengurungkan niatnya karena
mengingat, bahwa di dalam dunia terdapat banyak manusia
jahat, sehingga jika teriakannya memancing kedatangan
seorang jahat ia bisa jadi lebih celaka lagi. Memikir begitu,
ia segera mengambil keputusan untuk rebah terus di situ
sambil menunggu tersembuhnya pula tulang-tulang yang
patah.
Tiga hari telah lewat. Makin lama rasa lapar menerjang
kian hebat. Tapi ia tetap tidak berani bergerak, sebab sekali
bergerak ia bisa jadi seorang pincang seumur hidupnya.
Maka itulah, ia terpaksa menelan salju untuk menangsal
perutnya yang keroncongan. Selama tiga hari itu, berulangulang
ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhatihati,
supaya tidak sampai kena diakali oleh orang jahat.
Pada hari keempat, diwaktu malam selagi ia melatih diri
dengan mengerahkan Kioe yang sin kang, kupingnya tiba2
menangkap suara menyalaknya anjing. Makin lama suara
itu jadi makin dekat dan didengar dari suaranya, mungkin
sekali beberapa ekor anjing tengah menguber binatang buas.
“Apakah anjing2 itu miliknya Kioe Tien cie?” tanyanya
dalam hati. “Semua anjing Tin cie sudah dibinasakan oleh
Coe pehpeh, tapi sesudah berselang beberapa tahun, ia bisa
mendidik anjing-anjing baru.”
Ia memasang kuping dan mengawasi ke arah suara itu.
1110
Tak lama kemudian ia lihat bayangan seorang yang lari
bagaikan terbang dengan diuber oleh tiga ekor anjing.
Orang itu kelihatannya sudah lelah sekali, tindakannya
limbung, tapi dalam ketakutan, ia lari terus dengan matimatian.
Boe Kie bergidik karena ia ingat pengalamannya
pada beberapa tahun yang lalu.
Ia ingin sekali memberi pertolongan, tetapi tak dapat
sebab tulang betisnya belum tersambung. Di lain saat, ia
mendengar teriakan menyayat hati dari orang itu yang
roboh di tanah dan diterkam oleh pengejar-pengejarnya.
“Anjing bangsat! Kemari kamu!” teriak Boe Kie dengan
gusar.
Anjing2 itu ternyata mengerti omongan manusia.
Dengan serentak mereka tinggalkan si korban dan
menghampiri Boe Kie. Begitu mengetahui bahwa pemuda
itu adalah seorang yang tidak dikenal, mereka segera
menyalak dan menubruk. Buru buru Boe Kie mengerahkan
Sin kang yang memang ingin dijajalnya. Dengan telunjuk,
bagaikan kilat ia menotok hidung ketiga binatang itu, yang
tanpa bersuara lagi roboh binasa. Boe Kie kaget sebab baru
sekarang ia menginsyafi lihaynya Kioe-yang Sin kang.
Mendengar rintihan perlahan dari orang yang barusan
digigit anjing, Boe Kie segera bertanya, “Saudara, apa kau
terluka berat?”
“Aku… aku… tak bisa ditolong lagi…” jawabnya.
“Tulang betisku patah, aku tak dapat mendekati kau,”
kata Boe Kie. “Coba kau kemari, aku mau periksa lukamu.”
Dengan nafas tersengal-sengal orang itu merangkak ke
arah Boe Kie. Tapi baru maju beberapa langkah, ia roboh
dan tak bisa bergerak lagi.
“Toako, di bagian mana kau terluka?” tanya Boe Kie.
1111
“Di dada… di perut…” jawabnya dengan suara lemah.
Boe Kie kaget, sebab didengar dari suaranya orang itu
tidak akan bisa mempertahankan diri lagi. “Mengapa
Toako diserang kawanan anjing bangsat itu?” tanyanya
pula.