Kamis, 27 April 2017

Cersil Mandarin Online 25 Toliongto

Cersil Mandarin Online 25 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Mandarin Online 25 Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Mandarin Online 25 Toliongto
Si nona cilik menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak
pernah mengenal Yo Ciecie sebelum pertemuan di hari itu,”
jawabnya. “Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan
membawa tongkat bambu ini Ong tiangloo membawa ibu
dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan aku bertemu
dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo
terluka. Beberapa hari kami naik kereta, naik gunung Ong
toako tidak bisa berjalan lagi dan merangkak di tanah.
Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo
berteriak teriak. Belakangan datang seorang ciecie kecil
yang memakai baju hitam. Belakangan datang Yo ciecie
yang berbicara lama dengan Ong toako dan meneliti
tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan ibu
pingsan. Yo ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama
sama delapan ciecie kecil yang memakai baju putih dan
baju hitam.” Sebab masih kecil, keterangan Soe Hong Sek
tak terang dan Boe Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang
diinginkan dari mulutnya.
Boe Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua
orang membungkam.
Akhirnya Coan kang tiangloo berkata, “Thio Kauwcoe,
putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di
tempat kami!” Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis
2278
yang lantas masuk ke dalam dengan tindakan cepat.
Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie.
“Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan besarmu!”
teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana
boleh jadi ia sudi datang di sarang kawanan pengemis bau?
Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See tian (dunia
baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan
terhadapku.”
Boe Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji
pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru
ia bangkit dan menyambut, “Han toako,” katanya, “aku
berada di sini. Selama beberapa hari kau banyak
menderita.”
Melihat Boe Kie, Han Lim Jie terkesiap. Dengan
kegirangan yang meluap luap sedetik kemudian ia berlutut
dan berkata, “Thio Kauwcoe, benar benar kau berada di
sini!… bunuhlah pengemis pengemis bau itu!”
Sambil tertawa Boe Kie membangunkannya. “Han
toako,” katanya dengan terharu. “Para tiangloo ditipu
orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa
sudah menjadi terang. Dengan memandang mukaku,
kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa yang sudah
terjadi.”
Sesudah bangun berdiri dengan mata melotot Han Lim
Jie mengawasi para tokoh pengemis. Ia ingin mencaci
untuk melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah
mendengar perkataan Boe Kie, ia terpaksa menahan sabar.
“Thio kauwcoe,” kata Cie hoat tiangloo. “Kunjunganmu
membikin terang muka partai kami. Kami ingin
mengundang kalian dalam sebuah perjamuan sederhana
untuk menyambut Thio Kauwcoe dan menghaturkan maaf
kepada Kouwnio serta Han toako.” Ia berpaling kepada
2279
seorang murid dan berkata pula, “Lekas sediakan meja
perjamuan!”
Murid itu lantas saja mengiakan.
Karena memikir ayah angkatnya dan ingin bicara banyak
dengan Cioe Cie Jiak, Boe Kie tak punya kegembiraan
untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua
tangannya ia berkata, “Aku menghaturkan banyak terima
kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa membuang
buang waktu karena perlu mencari Gie hoe. Di lain hari aku
mau datang berkunjung pula. Kuharap kalian suka
memaafkan untuk penolakan ini.”
Tapi Coan kang Tiangloo dan yang lain2 tidak mau
mengerti sehingga Boe Kie terpaksa juga menerima
undangan itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang
kembali menghaturkan maaf dan berjanji akan menyebar
murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Soen.
Begitu lekas mendapat warta baik, mereka akan segera
melaporkan kepada Beng kauw, kata mereka. Untuk
kebaikan itu, Boe Kie menghaturkan banyak terima kasih.
Biarpun berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia
sedikitpun tidak mengunjuk kesombongan. Ia bahkan
sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum
dan takluk. Sesudah bersantap, Boe Kie bertiga segera
berpamitan. Para pengemis mengantar mereka sampai
sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka berpisahan
dengan hati berat.
Dengan menunggang kuda kuda hadiah Kay pang, Boe
Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie meneruskan perjalanan ke
selatan dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku
sangat hormat. Ia tidak berani merendengkan kudanya
dengan Boe Kie dan Cie Jiak dan hanya mengikuti dari
belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Boe Kie dan Cie
Jiak seperti seorang pelayan.
2280
Boe Kie merasa sangat tidak enak. “Han Toako,”
katanya, “biarpun kau seorang anggota agama kita, kau
hanya diharap mendengar segala perintahku dalam urusan
urusan yang resmi. Dalam pergaulan pribadi sehari hari,
kita adalah orang orang yang sepantar, yang berkedudukan
sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam
dalamnya aku sangat menghormati kepribadianmu.”
Han Lim Jie kelihatan bingung dan jengah. “Dengan
setulus hati aku yang rendah berdiri sama tinggi dengan
Kauwcoe?” Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa
aku mendapat kesempatan untuk melayani Kauwcoe.”
“Aku bukan Kauwcoe,” kata Cie Jiak sambil tersenyum.
“Kau jangan mengunjuk kehormatan yang begitu besar
terhadapku.”
“Coe kouwnio bagaikan seorang dewi,” jawabnya.
“Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah dua patah kata
dengan Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur
hidup. Siauwjin hanya kuatir, sebagai manusia kasar
siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang
ajaran, siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan.”
Mendengar kata kata memuja itu yang tulus ikhlas,
sebagai manusia biasa, diam diam Cie Jiak merasa girang.
Sambil berjalan Boe Kie menanya Cie Jiak, cara
bagaimana dia ditangkap oleh orang orang Kay pang. Si
nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Boe Kie
meninggalkan rumah penginapan untuk menyelidiki siasat
Kay pang, badan Cia Soen bergemetaran dan mulutnya
ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya,
tapi tidak berhasil. Cia Soen seolah olah tidak mengenalnya
lagi. Dia melompat dan kemudian roboh pingsan. Pada saat
itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay pang yang lantas
menerobos masuk ke dalam kamar. Sebelum keburu
2281
menghunus pedang, jalan darahnya sudah ditotok.
Kemudian bersama Cia Soen, ia dibawa ke Louw liong.
Mendengar keterangan itu, Boe Kie manggut
manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang sudah tahu,
bahwa sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah
angkatnya mendapat serupa penyakit kalap dan kadang
kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya
ayah angkat itu sekarang?”
“Kota raja adalah tempat berkumpulnya macam macam
manusia,” kata Boe Kie akhirnya. “Kurasa, dalam
perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja
untuk menyelidiki. Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong
Wie hong aku bisa mendapat keterangan berharga.”
Cie Jiak tertawa, “Ke kota raja?” ia menegas dengan
nada mengejek. “Apa benar benar kau hanya ingin
menemui Wie It Siauw?”
Boe Kie mengerti maksud tunangannya, sehingga paras
mukanya lantas saja berubah merah. “Memang belum tentu
kita bisa menemui Wie heng,” jawabnya. Tujuan kita
adalah mencari Giehoe, kalau kita bisa bertemu dengan
Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Soe, sedikit banyak
kita akan mendapat bantuan.”
“Kukenal seorang yang pintar luar biasa,” kata Cie Jiak
sambil tersenyum. “Dia seorang wanita cantik. Jika kau cari
dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang
seperti Yo Co soe atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa
menyaingi kepintaran nona cantik itu.”
Boe Kie pernah menceritakan pertemuannya dengan Tio
Beng di kelenteng Biek lek hoed, tapi tak urung ia kena
disindir juga. “Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio
dan setiap ada kesempatan, kau selalu mengejek aku,”
katanya dengan suara jengah.
2282
Cie Jiak tertawa, “Apa aku atau kau yang tidak pernah
melupakan dia?” tanyanya. “Apa kau rasa kutak tahu
rahasia hatimu?”
Boe Kie adalah seorang yang polos dan jujur. Ia
menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk hidup sebagai
suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di
hadapan tunangannya itu. Maka itu dengan memberanikan
hati ia lantas saja berkata, “Ada satu hal yang aku harus
beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar.”
“Kalau pantas gusar, aku akan gusar, kalau tak pantas
gusar, aku pasti tak akan gusar,” jawabnya.
Boe Kie menjadi lebih jengah. Di hadapan tunangannya
pernah bersumpah untuk membunuh Tio Beng guna
membalas sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan
nona Tio, bukan saja ia tidak turun tangan, ia bahkan jalan
bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang yang tidak
biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di kota kecil dan waktu
itu matahari sudah mulai menyelam ke barat. Mereka
segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah
makan Boe Kie mengurut punggung Cie Jiak untuk
memperlancar aliran darah. “Hiat” yang tertotok sudah
terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya
darah masih kurang lancar. “Ilmu menotok Kay pang
memang istimewa,” kata Boe Kie di dalam hati. “Cie Jiak
angkuh dan sungkan minta pertolongan, sedang orang yang
menotok berlagak lupa. Hmm… kawanan pengemis itu
mati matian mau coba menolong muka. Sesudah kalah,
mereka ingin memperhatikan keunggulan dalam tiamhoat.”
Karena hawa udara panas, sesudah diurut, Cie Jiak
berkata, “Mari kita jalan jalan di luar.”
2283
“Baiklah,” kata Boe Kie.
Dengan Boe Kie menuntun tangan si nona, mereka
berjalan sampai di luar kota. Ketika itu sang surya sudah
menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama
lagi, mereka lalu duduk di bawah sebuah pohon.
Di situlah antara kesunyian dan pemandangan alam
yang indah, Boe Kie lalu menuturkan segala
pengalamannya – cara bagaimana ia bertemu dengan Tio
Beng di kelenteng Bie lek hoed, cara bagaimana ia menemui
jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan
Song Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar
obor dari Louw liong, sampai di Louw liong lagi. Sesudah
selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia
berkata dengan suara sungguh sungguh. “Cie Jiak, kau
adalah tunanganku dan tak bisa aku menyimpan saja apa
yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui
Giehoe dan mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan
Giehoe. Ketika itu aku sudah bercuriga. Sekarang, makin
kupikir, makin kutakut.” Waktu mengucapkan perkataan
perkataan paling belakang suara bergemetar.
“Kau takut apa?” tanya Cie Jiak.
Boe Kie merasa, bahwa kedua tangan tunangannya
dingin seperti es dan juga bergemetaran.
“Kuingat, bahwa Giehoe mempunyai semacam penyakit
kalap dan kalau lagi kumat ia tak ingat segala apa,”
jawabnya.
“Dalam kekalapannya, ia pernah melakukan sesuatu
yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga kedua matanya
buta. Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehoe coba
membunuh ayah dan ibu. Sungguh mujur, pada detik yang
sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara tangisanku
itu telah menyadarkannya. Ah!… aku kuatir.. ku kuatir…”
2284
“Kuatir apa?”
Boe Kie menghela nafas. “Sebenarnya aku tak boleh
membuka rahasia hatiku ini kepada siapa pun jua,” katanya
dengan suara hampir tak kedengaran. “Aku.. aku… kuatir
piauwmoay… dibunuh… oleh Giehoe…”
Bagaikan dipagut ular, Cie Jiak melompat bangun.
“Apa?” tanyanya dengan suara parau. “Cia tayhiap seorang
ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia
membunuh In Kouwnio?”
“Aku hanya berkuatir,” kata Boe Kie. “Aku merasa
syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku itu tidak benar.
Tapi… andai kata benar Gie hoe membunuh Piauw moay,
ia melakukan itu dalam keadaan tidak sadar. Hei!..
Semua… gara gara bangsat Seng Koen.”
Cie Jiak menggeleng gelengkan kepalanya. “Tak bisa, tak
bisa jadi,” katanya. “Apakah racun Sip hiang Joad kin san
juga ditaruh oleh Gie hoe? Darimana Gie hoe mendapat
racun itu?”
Boe Kie tak menyahut. Kedua matanya mengawasi ke
tempat jauh. Ia tak dapat menembus kabut tebal yang
menyelimuti teka teki itu.
“Boe Kie Koko,” kata Cie Jiak dengan suara dingin.
“Dengan macam macam cara kau berusaha untuk
melindungi Tio Beng.”
“Kalau Tio Kouwnio benar2 pembunuhnya, mengapa ia
berkeras ingin menemui Giehoe dan ingin bicara
dengannya?” kata Boe Kie.
Si nona tertawa dingin. “Tio kouwnio pintar luar biasa,”
katanya. “Andai kata ia bertemu dengan Gie hoe, ia pasti
mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri.” Tiba tiba
nada suara Cie Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan
2285
suara lemah lembut. “Boe Kie koko, kau seorang yang
sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau
bukan tandingan Tio Kouwnio.”
Boe Kie menghela nafas pula. Ia mengakui benarnya
perkataan Cie Jiak. Sambil memegang tangan si nona, ia
berkata, “Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti
hidup dalam siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan
harus curigai ayah angkatku sendiri. Aku hanya
mengharap, bahwa sesudah Tat coe bisa diusir pergi, aku
akan bisa hidup ber-sama2 kau di pegunungan yang sepi,
jauh dari pergaulan, jauh dari manusia lain.”
“Kurasa tak mungkin,” kata Cie Jiak. “Kau adalah
Kauwcoe dari Beng kauw. Apabila, atas berkah Tuhan, Tat
coe bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan
Beng kauw. Mana bisa kau menikmati penghidupannya
yang tenteram itu?”
“Kepandaianku tak cukup untuk menjadi Kauwcoe dan
akupun sebenarnya tak ingin menjadi kauwcoe. Jika di
kemudian hari beban Kauwcoe Beng Kauw terlalu berat,
maka aku harus menyerahkan kedudukan itu kepada orang
yang lebih pandai.”
“Kau masih berusia muda, kalau sekarang
kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa menambah
pengetahuanmu? Mengenai aku sebagai Ciang boen Go bie
pay, akupun mempunyai pikulan yang sangat berat. Soehoe
telah menyerahkan cincin besi Ciang boen kepadaku
dengan pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami.
Maka itulah, andaikata kau benar2 menyembunyikan diri di
pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk menuntut
penghidupan begitu.”
Waktu melihat cincin itu di tangan Tan Yoe Liang, aku
bingung bukan main. Kukuatir akan keselamatanmu. Kalau
2286
punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie
Jiak, siapa yang memulangkannya kepadamu?”
“Song Ceng Soe Siauw hiap.”
Mendengar disebutkannya nama Song Ceng Soe, jantung
Boe Kie memukul keras. “Song Ceng Soe sangat baik
terhadapmu bukan?” tanyanya.
“Mengapa kau menanya begitu?” menegas si nona. Ia
menangkap nada luar biasa dalam suara tunangannya.
“Tak apa2,” jawabnya. “Kutahu bahwa Song Soeko
sangat mencintai kau. Dia rela mengkhianati partai dan
ayah kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman
seperguruan sendiri. Tak usah dikatakan lagi, terhadapmu
dia baik luar biasa.”
Cie Jiak menengadah dan sambil mengawasi sang
rembulan yang baru muncul di sebelah timur, ia berkata
dengan suara perlahan. “Jika perlakuanmu terhadapku
separuh saja dari perlakuannya, aku sudah merasa sangat
puas.”
“Aku bukan Song Soeko. Jika untukmu aku harus
melakukan perbuatan put hauw dan put gie (tidak berbakti
dan tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua
aku takkan dapat melakukannya.
“Untukku tak bisa melakukan segala apa. Di pulau kecil
kau pernah bersumpah akan membunuh perempuan
siluman itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi
setelah bertemu muka, kau melupakan semua sumpahmu.”
“Cie Jiak, manakala terbukti bahwa To Liong to dan Ie
thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio dan piauwmoay
dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya.
Tapi apabila tak berdosa, aku tentu tak mengambil jiwanya.
Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan sumpah
2287
itu.”
Cie Jiak membungkam.
“Mengapa kau diam saja? Apa aku salah?” tanya Boe
Kie.
“Tidak!” jawabnya. “Aku sendiri sedang memikiri
sumpahku sendiri yang diucapkan di hadapan Soehoe di
menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa
waktu menerima lamaranmu, aku tak memberitahukan
sumpah itu kepadamu secara terang-terangan.”
Boe Kie terkejut. “Kau… kau… sumpah apa?” tanyanya.
“Di hadapan Soehoe, aku telah bersumpah bahwa jika di
hari kemudian aku menikah dengan kau, maka roh kedua
orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka,
bahwa roh Soehoe akan menjadi setan jahat yang akan
terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan menjadi
manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan
menjadi pelacur!”
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Ia berdiri terpaku dan
badannya menggigil. Sesudah lewat beberapa lama dan
sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. “Cie
Jiak, sumpah itu tak boleh dianggap sungguh2. Gurumu
sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu sebab ia
anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri
sebagai manusia jahat yang tak mengenal malu. Kalau ia
tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan menyuruh kau
bersumpah begitu.”
Air mata si nona lantas mengucur. “Tapi… tapi… ia
sudah tak tahu lagi,” katanya. Tiba-tiba ia menubruk Boe
Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan
kepalanya di pangkuan pemuda itu.
Sambil mengusap usap rambut tunangannya, Boe Kie
2288
berkata. “Cie Jiak, apabila roh gurumu benar-benar angker,
ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benarbenar
seorang penjahat cabul, jahanam yang tidak
mengenal malu?”
“Sekarang memang belum, tapi siapa tahu karena
dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau tidak menjadi
manusia yang tidak mengenal malu?”
Mau tak mau Boe Kie tertawa. “Ah, Cie Jiak!” katanya.
“Kau menilai aku terlalu rendah. Apakah kau mengharap
mempunyai suami manusia jahat?”
Si nona mengangkat kepalanya. Kedua matanya masih
basah, tapi sinarnya sinar tertawa. “Tak malu kau!”
bentaknya dengan suara perlahan. “Apa kau sudah menjadi
suamiku?” Kalau kau terus bersahabat dengan perempuan
siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu. Siapa berani
memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng
Soe yang rela melakukan perbuatan terkutuk karena gara
gara paras cantik?”
Boe Kie menunduk dan mencium dahi tunangannya.
“Siapa suruh kau begitu cantik?” katanya. “Inilah salahnya
kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang
terlalu cantik, sehingga kaum pria mabok otaknya.”
Mendadak saja, di belakang pohon dalam jarak kira-kira
tiga tombak terdengar suara tertawa dingin. “Huh..huh!…”
Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia
yang kabur dengan kecepatan kilat.
Cie Jiak melompat bangun. “Tio Beng!…” serunya
dengan suara parau.
Suara tertawa itu, memang suara wanita, tapi Boe Kie
masih bersangsi, apakah benar Tio Beng? “Perlu apa dia
menguntit kita?” tanyanya.
2289
“Lantaran dia mencintai kau!” jawabnya dengan gusar.
“Mungkin kau berdua diam diam sudah berjanji untuk
bertemu di sini guna mempermainkan aku.”
Boe Kie bersumpah keras keras, membantah terkaan
tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan darah meluap. Tibatiba
karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi.
Dengan tangan kiri memeluk pundak, Boe Kie menyeka
air mata tunangannya dengan tangan baju kanannya.
“Mengapa kau menangis?” tanyanya dengan suara lemah
lembut. “Kalau aku menjanjikan Tio Kouwnio datang di
sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku dikutuk langit
dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia
dan kutahu bahwa dia berada dekat, mana boleh jadi aku
mengucapkan kata kata cinta terhadapmu? Bukankah
dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?”
Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia
menghela nafas dan berkata. “Boe Kie koko, hatiku sangat
tidak tenteram.”
“Mengapa?”
“Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio
Beng pun tentu tak bisa mengampuni aku. Baik dalam ilmu
silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat
menandinginya.”
“Aku melindungi kau dengan segenap tenagaku. Kalau
dia berani melanggar selembar rambut isteriku, aku pasti
takkan mengampuni dia.”
“Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah
saja. Apa yang ditakuti olehku adalah, karena disiasatkan
olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku.
Kalau aku mati cara begitu, aku mati dengan penasaran,
dengan mata melek.”
2290
“Kau benar sudah gila!” kata Boe Kie dengan tertawa.
“Berapa banyak manusia sudah mencelakai aku, berbuat
kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka.
Mana boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?” Ia membuka
bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka tusukan pedang,
ia berkata pula, “Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam
tusukanmu, makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu.”
Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar,
Cie Jiak meraba raba tanda luka itu. Sekonyong-konyong
mukanya berubah pucat. “Tikaman dibalas dengan
tikaman…” katanya dengan suara parau. “Di belakang
hari… andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan
penasaran lagi…”
Buru2 Boe Kie memeluk si nona. “Sudahlah Cie Jiak!”
katanya. Kita harus lekas2 cari Gie hoe supaya orang tua
itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau
senang, kau boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku
takkan merasa menyesal.”
Sambil menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, Cie
Jiak berbisik, “Aku mengharap, bahwa sebagai laki laki
sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini.”
Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh
kasih, di antara sinar rembulan yang putih bagaikan perak.
Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah
penginapan.
Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka
meneruskan perjalanan ke selatan. Pada suatu magrib,
tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan
bahwa rakyat di seluruh kota sedang sibuk membersihkan
rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat hio to
(meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah
penginapan dan menanya seorang pelayan mengenai
2291
kerepotan itu.
“Kedatanganmu sungguh kebetulan,” kata si pelayan.
“Kalian mempunyai rejeki besar, besok adalah hari arak
arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar).”
“Arak arakan apa?”
“Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar),
kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali. Tujuan Hong
shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie.
Malam ini kalian harus tidur siang siang dan besok bangun
pagi pagi.”
“Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana
Giok tek tian untuk mendapat tempat yang baik. Kalau
untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw
(permaisuri), Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan
puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai rakyat jelata
kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah
Hong siang dengan mata sendiri?”
Bukan main mendongkolnya Han Lim Jie. Tanpa bisa
menahan sabar lagi, ia lantas saja mengeluarkan suara di
hidung. “Huh!… manusia apa kau!” bentaknya. “Kau
pengkhianat yang tak mengenal malu, yang mengakui
musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya melihat
muka kaisar Tat coe?”
Si pelayan kaget. Ia menatap muka Han Lim Jie dengan
mulut ternganga. Akhirnya sambil menuding ia berkata.
Kau!… kau… perkataan memberontak! Apa kau tak takut
potong kepala?”
“Kau seorang Han, tapi kau begitu mendewa-dewakan
kaisar Tat coe,” kata Han Lim Jie. “Kau sungguh tak
mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!”
Melihat sikap Han Lim Jie yang galak garang, si pelayan
2292
tidak berani berkata apa apa lagi. Ia memutar badan dan
berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan
darah di punggungnya. “Dia tentu banyak mulut dan kalau
dia dibiarkan pergi, kita mungkin ditangkap,” katanya.
Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si pelayan ke
kolong ranjang dan berkata pula. “Biar dia kelaparan
beberapa hari. Kita baru lepaskan dia waktu mau
meninggalkan kota ini.”
Tak lama kemudian pengurus rumah penginapan
berteriak teriak memanggil pelayan itu yang sedang
mengaso di kolong ranjang. “A Hok! A Hok! Kemana kau?
Ambil air untuk tamu kamar nomor tiga!”
Sambil menahan tertawa, Han Lim Jie menepuk meja,
“Hei! Lekas sediakan makanan dan arak!” bentaknya. Tuan
besarmu sudah lapar!”
Makanan dan minuman diantarkan oleh seorang pelayan
lain yang datang dengan menggerutu. “Si A Hok tentu
kabur untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enakenakan,
aku yang capai.”
Pada keesokan paginya, baru tersadar Boe Kie sudah
dengar ramai ramai. Ia keluar dan melihat ribuan rakyat,
lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke
jurusan utara dengan mengenakan pakaian baru. Semua
orang riang gembira. Di antara gelak tertawa, terdengar
pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi
keramaian tahun baru.
Tak lama kemudian Cie Jiak pun turut keluar. “Mari kita
nonton,” ajaknya.
“Kita pernah bertempur dengan boesoe gedung Jie lam
ong,” kata Boe Kie. “Aku kuatir kita akan dikenali. Kalau
mau menonton, kita harus menyamar.”
2293
Bersama Han Lim Jie, mereka lalu mengenakan pakaian
orang dusun dan kemudian menuju ke Hong shia bersama
sama rombongan rakyat.
Ketika itu baru masuk Sin sie (jam tujuh sampai jam
sembilan pagi), tapi di dalam dan di luar Hong shia sudah
penuh dengan manusia. Dengan Boe Kie sebagai pembuka
jalan, mereka maju dengan perlahan. Akhirnya mereka
berdiri menunggu di bawah payon sebuah gedung besar, di
luar pintu Yan coen boen.
Tak lama kemudian, di sebelah kejauhan terdengar suara
gembrengan dan tambur. “Sudah datang! Mereka datang!”
teriak rakyat yang menunggu sambil memanjangkan leher
mereka. Suara itu makin lama jadi makin keras sehingga
terlihatlah rombongan pertama dari arak-arakan itu.
Mereka terdiri dari 108 orang yang bertubuh tinggi besar
dan mengenakan seragam hijau. Tangan kiri mereka
memegang sebuah gembereng besar dan tangan kanan
memukulnya dengan menurut irama.
Hebatnya suara 108 gembereng dapat dibayangkan.
Rombongan gembereng diikuti rombongan tambur yang
terdiri dari 30 orang. Di belakang mereka mengikuti
tetabuhan – ada rombongan pi-poe (semacam gitar) dari See
hek, rombongan terompet dari Mongol dan sebagainya.
Jumlah anggota rombongan2 itu berkisar antara seratus
orang lebih sampai seribu. Sesudah rombongan musik,
muncul dua bendera sutera yang sangat besar. Yang satu
dengan huruf “An pang Hoe kok” (menenteramkan dan
melindungi negara), yang lain dengan “Tin sia Hok mo”
(menindih yang kotor, menakluki siluman). Kedua bendera
itu dikawal oleh 400 serdadu Mongol – di depan 200, di
belakang 200, yang menunggang kuda putih dan memegang
macam macam senjata. Melihat keangkeran itu, rakyat
bersorak sorai tak henti-hentinya.
2294
Melihat Boe Kie, Han Lim Jie terkesiap. Dengan
kegirangan yang meluap luap sedetik kemudian ia berlutut
dan berkata, “Thio Kauwcoe, benar benar kau berada di
sini!… bunuhlah pengemis pengemis bau itu!”
Sambil tertawa Boe Kie membangunkannya. “Han
toako,” katanya dengan terharu. “Para tiangloo ditipu
orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa
sudah menjadi terang. Dengan memandang mukaku,
kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa yang sudah
terjadi.”
Sesudah bangun berdiri dengan mata melotot Han Lim
Jie mengawasi para tokoh pengemis. Ia ingin mencaci
untuk melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah
mendengar perkataan Boe Kie, ia terpaksa menahan sabar.
“Thio kauwcoe,” kata Cie hoat tiangloo. “Kunjunganmu
membikin terang muka partai kami. Kami ingin
mengundang kalian dalam sebuah perjamuan sederhana
untuk menyambut Thio Kauwcoe dan menghaturkan maaf
kepada Kouwnio serta Han toako.” Ia berpaling kepada
seorang murid dan berkata pula, “Lekas sediakan meja
perjamuan!”
Murid itu lantas saja mengiakan.
Karena memikir ayah angkatnya dan ingin bicara banyak
dengan Cioe Cie Jiak, Boe Kie tak punya kegembiraan
untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua
tangannya ia berkata, “Aku menghaturkan banyak terima
kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa membuang
buang waktu karena perlu mencari Gie hoe. Di lain hari aku
mau datang berkunjung pula. Kuharap kalian suka
memaafkan untuk penolakan ini.”
Tapi Coan kang Tiangloo dan yang lain2 tidak mau
mengerti sehingga Boe Kie terpaksa juga menerima
2295
undangan itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang
kembali menghaturkan maaf dan berjanji akan menyebar
murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Soen.
Begitu lekas mendapat warta baik, mereka akan segera
melaporkan kepada Beng kauw, kata mereka. Untuk
kebaikan itu, Boe Kie menghaturkan banyak terima kasih.
Biarpun berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia
sedikitpun tidak mengunjuk kesombongan. Ia bahkan
sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum
dan takluk. Sesudah bersantap, Boe Kie bertiga segera
berpamitan. Para pengemis mengantar mereka sampai
sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka berpisahan
dengan hati berat.
Dengan menunggang kuda kuda hadiah Kay pang, Boe
Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie meneruskan perjalanan ke
selatan dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku
sangat hormat. Ia tidak berani merendengkan kudanya
dengan Boe Kie dan Cie Jiak dan hanya mengikuti dari
belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Boe Kie dan Cie
Jiak seperti seorang pelayan.
Boe Kie merasa sangat tidak enak. “Han Toako,”
katanya, “biarpun kau seorang anggota agama kita, kau
hanya diharap mendengar segala perintahku dalam urusan
urusan yang resmi. Dalam pergaulan pribadi sehari hari,
kita adalah orang orang yang sepantar, yang berkedudukan
sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam
dalamnya aku sangat menghormati kepribadianmu.”
Han Lim Jie kelihatan bingung dan jengah. “Dengan
setulus hati aku yang rendah berdiri sama tinggi dengan
Kauwcoe?” Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa
aku mendapat kesempatan untuk melayani Kauwcoe.”
“Aku bukan Kauwcoe,” kata Cie Jiak sambil tersenyum.
“Kau jangan mengunjuk kehormatan yang begitu besar
2296
terhadapku.”
“Coe kouwnio bagaikan seorang dewi,” jawabnya.
“Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah dua patah kata
dengan Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur
hidup. Siauwjin hanya kuatir, sebagai manusia kasar
siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang
ajaran, siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan.”
Mendengar kata kata memuja itu yang tulus ikhlas,
sebagai manusia biasa, diam diam Cie Jiak merasa girang.
Sambil berjalan Boe Kie menanya Cie Jiak, cara
bagaimana dia ditangkap oleh orang orang Kay pang. Si
nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Boe Kie
meninggalkan rumah penginapan untuk menyelidiki siasat
Kay pang, badan Cia Soen bergemetaran dan mulutnya
ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya,
tapi tidak berhasil. Cia Soen seolah olah tidak mengenalnya
lagi. Dia melompat dan kemudian roboh pingsan. Pada saat
itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay pang yang lantas
menerobos masuk ke dalam kamar. Sebelum keburu
menghunus pedang, jalan darahnya sudah ditotok.
Kemudian bersama Cia Soen, ia dibawa ke Louw liong.
Mendengar keterangan itu, Boe Kie manggut
manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang sudah tahu,
bahwa sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah
angkatnya mendapat serupa penyakit kalap dan kadang
kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya
ayah angkat itu sekarang?”
“Kota raja adalah tempat berkumpulnya macam macam
manusia,” kata Boe Kie akhirnya. “Kurasa, dalam
perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja
untuk menyelidiki. Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong
Wie hong aku bisa mendapat keterangan berharga.”
2297
Cie Jiak tertawa, “Ke kota raja?” ia menegas dengan
nada mengejek. “Apa benar benar kau hanya ingin
menemui Wie It Siauw?”
Boe Kie mengerti maksud tunangannya, sehingga paras
mukanya lantas saja berubah merah. “Memang belum tentu
kita bisa menemui Wie heng,” jawabnya. Tujuan kita
adalah mencari Giehoe, kalau kita bisa bertemu dengan
Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Soe, sedikit banyak
kita akan mendapat bantuan.”
“Kukenal seorang yang pintar luar biasa,” kata Cie Jiak
sambil tersenyum. “Dia seorang wanita cantik. Jika kau cari
dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang
seperti Yo Co soe atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa
menyaingi kepintaran nona cantik itu.”
Boe Kie pernah menceritakan pertemuannya dengan Tio
Beng di kelenteng Biek lek hoed, tapi tak urung ia kena
disindir juga. “Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio
dan setiap ada kesempatan, kau selalu mengejek aku,”
katanya dengan suara jengah.
Cie Jiak tertawa, “Apa aku atau kau yang tidak pernah
melupakan dia?” tanyanya. “Apa kau rasa kutak tahu
rahasia hatimu?”
Boe Kie adalah seorang yang polos dan jujur. Ia
menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk hidup sebagai
suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di
hadapan tunangannya itu. Maka itu dengan memberanikan
hati ia lantas saja berkata, “Ada satu hal yang aku harus
beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar.”
“Kalau pantas gusar, aku akan gusar, kalau tak pantas
gusar, aku pasti tak akan gusar,” jawabnya.
Boe Kie menjadi lebih jengah. Di hadapan tunangannya
2298
pernah bersumpah untuk membunuh Tio Beng guna
membalas sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan
nona Tio, bukan saja ia tidak turun tangan, ia bahkan jalan
bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang yang tidak
biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di kota kecil dan waktu
itu matahari sudah mulai menyelam ke barat. Mereka
segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah
makan Boe Kie mengurut punggung Cie Jiak untuk
memperlancar aliran darah. “Hiat” yang tertotok sudah
terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya
darah masih kurang lancar. “Ilmu menotok Kay pang
memang istimewa,” kata Boe Kie di dalam hati. “Cie Jiak
angkuh dan sungkan minta pertolongan, sedang orang yang
menotok berlagak lupa. Hmm… kawanan pengemis itu
mati matian mau coba menolong muka. Sesudah kalah,
mereka ingin memperhatikan keunggulan dalam tiamhoat.”
Karena hawa udara panas, sesudah diurut, Cie Jiak
berkata, “Mari kita jalan jalan di luar.”
“Baiklah,” kata Boe Kie.
Dengan Boe Kie menuntun tangan si nona, mereka
berjalan sampai di luar kota. Ketika itu sang surya sudah
menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama
lagi, mereka lalu duduk di bawah sebuah pohon.
Di situlah antara kesunyian dan pemandangan alam
yang indah, Boe Kie lalu menuturkan segala
pengalamannya – cara bagaimana ia bertemu dengan Tio
Beng di kelenteng Bie lek hoed, cara bagaimana ia menemui
jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan
Song Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar
obor dari Louw liong, sampai di Louw liong lagi. Sesudah
2299
selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia
berkata dengan suara sungguh sungguh. “Cie Jiak, kau
adalah tunanganku dan tak bisa aku menyimpan saja apa
yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui
Giehoe dan mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan
Giehoe. Ketika itu aku sudah bercuriga. Sekarang, makin
kupikir, makin kutakut.” Waktu mengucapkan perkataan
perkataan paling belakang suara bergemetar.
“Kau takut apa?” tanya Cie Jiak.
Boe Kie merasa, bahwa kedua tangan tunangannya
dingin seperti es dan juga bergemetaran.
“Kuingat, bahwa Giehoe mempunyai semacam penyakit
kalap dan kalau lagi kumat ia tak ingat segala apa,”
jawabnya.
“Dalam kekalapannya, ia pernah melakukan sesuatu
yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga kedua matanya
buta. Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehoe coba
membunuh ayah dan ibu. Sungguh mujur, pada detik yang
sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara tangisanku
itu telah menyadarkannya. Ah!… aku kuatir.. ku kuatir…”
“Kuatir apa?”
Boe Kie menghela nafas. “Sebenarnya aku tak boleh
membuka rahasia hatiku ini kepada siapa pun jua,” katanya
dengan suara hampir tak kedengaran. “Aku.. aku… kuatir
piauwmoay… dibunuh… oleh Giehoe…”
Bagaikan dipagut ular, Cie Jiak melompat bangun.
“Apa?” tanyanya dengan suara parau. “Cia tayhiap seorang
ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia
membunuh In Kouwnio?”
“Aku hanya berkuatir,” kata Boe Kie. “Aku merasa
syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku itu tidak benar.
2300
Tapi… andai kata benar Gie hoe membunuh Piauw moay,
ia melakukan itu dalam keadaan tidak sadar. Hei!..
Semua… gara gara bangsat Seng Koen.”
Cie Jiak menggeleng gelengkan kepalanya. “Tak bisa, tak
bisa jadi,” katanya. “Apakah racun Sip hiang Joad kin san
juga ditaruh oleh Gie hoe? Darimana Gie hoe mendapat
racun itu?”
Boe Kie tak menyahut. Kedua matanya mengawasi ke
tempat jauh. Ia tak dapat menembus kabut tebal yang
menyelimuti teka teki itu.
“Boe Kie Koko,” kata Cie Jiak dengan suara dingin.
“Dengan macam macam cara kau berusaha untuk
melindungi Tio Beng.”
“Kalau Tio Kouwnio benar2 pembunuhnya, mengapa ia
berkeras ingin menemui Giehoe dan ingin bicara
dengannya?” kata Boe Kie.
Si nona tertawa dingin. “Tio kouwnio pintar luar biasa,”
katanya. “Andai kata ia bertemu dengan Gie hoe, ia pasti
mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri.” Tiba tiba
nada suara Cie Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan
suara lemah lembut. “Boe Kie koko, kau seorang yang
sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau
bukan tandingan Tio Kouwnio.”
Boe Kie menghela nafas pula. Ia mengakui benarnya
perkataan Cie Jiak. Sambil memegang tangan si nona, ia
berkata, “Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti
hidup dalam siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan
harus curigai ayah angkatku sendiri. Aku hanya
mengharap, bahwa sesudah Tat coe bisa diusir pergi, aku
akan bisa hidup ber-sama2 kau di pegunungan yang sepi,
jauh dari pergaulan, jauh dari manusia lain.”
2301
“Kurasa tak mungkin,” kata Cie Jiak. “Kau adalah
Kauwcoe dari Beng kauw. Apabila, atas berkah Tuhan, Tat
coe bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan
Beng kauw. Mana bisa kau menikmati penghidupannya
yang tenteram itu?”
“Kepandaianku tak cukup untuk menjadi Kauwcoe dan
akupun sebenarnya tak ingin menjadi kauwcoe. Jika di
kemudian hari beban Kauwcoe Beng Kauw terlalu berat,
maka aku harus menyerahkan kedudukan itu kepada orang
yang lebih pandai.”
“Kau masih berusia muda, kalau sekarang
kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa menambah
pengetahuanmu? Mengenai aku sebagai Ciang boen Go bie
pay, akupun mempunyai pikulan yang sangat berat. Soehoe
telah menyerahkan cincin besi Ciang boen kepadaku
dengan pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami.
Maka itulah, andaikata kau benar2 menyembunyikan diri di
pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk menuntut
penghidupan begitu.”
Waktu melihat cincin itu di tangan Tan Yoe Liang, aku
bingung bukan main. Kukuatir akan keselamatanmu. Kalau
punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie
Jiak, siapa yang memulangkannya kepadamu?”
“Song Ceng Soe Siauw hiap.”
Mendengar disebutkannya nama Song Ceng Soe, jantung
Boe Kie memukul keras. “Song Ceng Soe sangat baik
terhadapmu bukan?” tanyanya.
“Mengapa kau menanya begitu?” menegas si nona. Ia
menangkap nada luar biasa dalam suara tunangannya.
“Tak apa2,” jawabnya. “Kutahu bahwa Song Soeko
sangat mencintai kau. Dia rela mengkhianati partai dan
2302
ayah kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman
seperguruan sendiri. Tak usah dikatakan lagi, terhadapmu
dia baik luar biasa.”
Cie Jiak menengadah dan sambil mengawasi sang
rembulan yang baru muncul di sebelah timur, ia berkata
dengan suara perlahan. “Jika perlakuanmu terhadapku
separuh saja dari perlakuannya, aku sudah merasa sangat
puas.”
“Aku bukan Song Soeko. Jika untukmu aku harus
melakukan perbuatan put hauw dan put gie (tidak berbakti
dan tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua
aku takkan dapat melakukannya.
“Untukku tak bisa melakukan segala apa. Di pulau kecil
kau pernah bersumpah akan membunuh perempuan
siluman itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi
setelah bertemu muka, kau melupakan semua sumpahmu.”
“Cie Jiak, manakala terbukti bahwa To Liong to dan Ie
thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio dan piauwmoay
dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya.
Tapi apabila tak berdosa, aku tentu tak mengambil jiwanya.
Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan sumpah
itu.”
Cie Jiak membungkam.
“Mengapa kau diam saja? Apa aku salah?” tanya Boe
Kie.
“Tidak!” jawabnya. “Aku sendiri sedang memikiri
sumpahku sendiri yang diucapkan di hadapan Soehoe di
menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa
waktu menerima lamaranmu, aku tak memberitahukan
sumpah itu kepadamu secara terang-terangan.”
Boe Kie terkejut. “Kau… kau… sumpah apa?” tanyanya.
2303
“Di hadapan Soehoe, aku telah bersumpah bahwa jika di
hari kemudian aku menikah dengan kau, maka roh kedua
orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka,
bahwa roh Soehoe akan menjadi setan jahat yang akan
terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan menjadi
manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan
menjadi pelacur!”
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Ia berdiri terpaku dan
badannya menggigil. Sesudah lewat beberapa lama dan
sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. “Cie
Jiak, sumpah itu tak boleh dianggap sungguh2. Gurumu
sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu sebab ia
anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri
sebagai manusia jahat yang tak mengenal malu. Kalau ia
tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan menyuruh kau
bersumpah begitu.”
Air mata si nona lantas mengucur. “Tapi… tapi… ia
sudah tak tahu lagi,” katanya. Tiba-tiba ia menubruk Boe
Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan
kepalanya di pangkuan pemuda itu.
Sambil mengusap usap rambut tunangannya, Boe Kie
berkata. “Cie Jiak, apabila roh gurumu benar-benar angker,
ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benarbenar
seorang penjahat cabul, jahanam yang tidak
mengenal malu?”
“Sekarang memang belum, tapi siapa tahu karena
dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau tidak menjadi
manusia yang tidak mengenal malu?”
Mau tak mau Boe Kie tertawa. “Ah, Cie Jiak!” katanya.
“Kau menilai aku terlalu rendah. Apakah kau mengharap
mempunyai suami manusia jahat?”
Si nona mengangkat kepalanya. Kedua matanya masih
2304
basah, tapi sinarnya sinar tertawa. “Tak malu kau!”
bentaknya dengan suara perlahan. “Apa kau sudah menjadi
suamiku?” Kalau kau terus bersahabat dengan perempuan
siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu. Siapa berani
memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng
Soe yang rela melakukan perbuatan terkutuk karena gara
gara paras cantik?”
Boe Kie menunduk dan mencium dahi tunangannya.
“Siapa suruh kau begitu cantik?” katanya. “Inilah salahnya
kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang
terlalu cantik, sehingga kaum pria mabok otaknya.”
Mendadak saja, di belakang pohon dalam jarak kira-kira
tiga tombak terdengar suara tertawa dingin. “Huh..huh!…”
Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia
yang kabur dengan kecepatan kilat.
Cie Jiak melompat bangun. “Tio Beng!…” serunya
dengan suara parau.
Suara tertawa itu, memang suara wanita, tapi Boe Kie
masih bersangsi, apakah benar Tio Beng? “Perlu apa dia
menguntit kita?” tanyanya.
“Lantaran dia mencintai kau!” jawabnya dengan gusar.
“Mungkin kau berdua diam diam sudah berjanji untuk
bertemu di sini guna mempermainkan aku.”
Boe Kie bersumpah keras keras, membantah terkaan
tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan darah meluap. Tibatiba
karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi.
Dengan tangan kiri memeluk pundak, Boe Kie menyeka
air mata tunangannya dengan tangan baju kanannya.
“Mengapa kau menangis?” tanyanya dengan suara lemah
lembut. “Kalau aku menjanjikan Tio Kouwnio datang di
sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku dikutuk langit
2305
dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia
dan kutahu bahwa dia berada dekat, mana boleh jadi aku
mengucapkan kata kata cinta terhadapmu? Bukankah
dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?”
Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia
menghela nafas dan berkata. “Boe Kie koko, hatiku sangat
tidak tenteram.”
“Mengapa?”
“Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio
Beng pun tentu tak bisa mengampuni aku. Baik dalam ilmu
silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat
menandinginya.”
“Aku melindungi kau dengan segenap tenagaku. Kalau
dia berani melanggar selembar rambut isteriku, aku pasti
takkan mengampuni dia.”
“Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah
saja. Apa yang ditakuti olehku adalah, karena disiasatkan
olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku.
Kalau aku mati cara begitu, aku mati dengan penasaran,
dengan mata melek.”
“Kau benar sudah gila!” kata Boe Kie dengan tertawa.
“Berapa banyak manusia sudah mencelakai aku, berbuat
kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka.
Mana boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?” Ia membuka
bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka tusukan pedang,
ia berkata pula, “Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam
tusukanmu, makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu.”
Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar,
Cie Jiak meraba raba tanda luka itu. Sekonyong-konyong
mukanya berubah pucat. “Tikaman dibalas dengan
tikaman…” katanya dengan suara parau. “Di belakang
2306
hari… andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan
penasaran lagi…”
Buru2 Boe Kie memeluk si nona. “Sudahlah Cie Jiak!”
katanya. Kita harus lekas2 cari Gie hoe supaya orang tua
itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau
senang, kau boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku
takkan merasa menyesal.”
Sambil menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, Cie
Jiak berbisik, “Aku mengharap, bahwa sebagai laki laki
sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini.”
Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh
kasih, di antara sinar rembulan yang putih bagaikan perak.
Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah
penginapan.
Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka
meneruskan perjalanan ke selatan. Pada suatu magrib,
tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan
bahwa rakyat di seluruh kota sedang sibuk membersihkan
rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat hio to
(meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah
penginapan dan menanya seorang pelayan mengenai
kerepotan itu.
“Kedatanganmu sungguh kebetulan,” kata si pelayan.
“Kalian mempunyai rejeki besar, besok adalah hari arak
arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar).”
“Arak arakan apa?”
“Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar),
kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali. Tujuan Hong
shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie.
Malam ini kalian harus tidur siang siang dan besok bangun
pagi pagi.”
2307
“Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana
Giok tek tian untuk mendapat tempat yang baik. Kalau
untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw
(permaisuri), Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan
puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai rakyat jelata
kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah
Hong siang dengan mata sendiri?”
Bukan main mendongkolnya Han Lim Jie. Tanpa bisa
menahan sabar lagi, ia lantas saja mengeluarkan suara di
hidung. “Huh!… manusia apa kau!” bentaknya. “Kau
pengkhianat yang tak mengenal malu, yang mengakui
musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya melihat
muka kaisar Tat coe?”
Si pelayan kaget. Ia menatap muka Han Lim Jie dengan
mulut ternganga. Akhirnya sambil menuding ia berkata.
Kau!… kau… perkataan memberontak! Apa kau tak takut
potong kepala?”
“Kau seorang Han, tapi kau begitu mendewa-dewakan
kaisar Tat coe,” kata Han Lim Jie. “Kau sungguh tak
mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!”
Melihat sikap Han Lim Jie yang galak garang, si pelayan
tidak berani berkata apa apa lagi. Ia memutar badan dan
berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan
darah di punggungnya. “Dia tentu banyak mulut dan kalau
dia dibiarkan pergi, kita mungkin ditangkap,” katanya.
Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si pelayan ke
kolong ranjang dan berkata pula. “Biar dia kelaparan
beberapa hari. Kita baru lepaskan dia waktu mau
meninggalkan kota ini.”
Tak lama kemudian pengurus rumah penginapan
berteriak teriak memanggil pelayan itu yang sedang
mengaso di kolong ranjang. “A Hok! A Hok! Kemana kau?
2308
Ambil air untuk tamu kamar nomor tiga!”
Sambil menahan tertawa, Han Lim Jie menepuk meja,
“Hei! Lekas sediakan makanan dan arak!” bentaknya. Tuan
besarmu sudah lapar!”
Makanan dan minuman diantarkan oleh seorang pelayan
lain yang datang dengan menggerutu. “Si A Hok tentu
kabur untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enakenakan,
aku yang capai.”
Pada keesokan paginya, baru tersadar Boe Kie sudah
dengar ramai ramai. Ia keluar dan melihat ribuan rakyat,
lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke
jurusan utara dengan mengenakan pakaian baru. Semua
orang riang gembira. Di antara gelak tertawa, terdengar
pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi
keramaian tahun baru.
Tak lama kemudian Cie Jiak pun turut keluar. “Mari kita
nonton,” ajaknya.
“Kita pernah bertempur dengan boesoe gedung Jie lam
ong,” kata Boe Kie. “Aku kuatir kita akan dikenali. Kalau
mau menonton, kita harus menyamar.”
Bersama Han Lim Jie, mereka lalu mengenakan pakaian
orang dusun dan kemudian menuju ke Hong shia bersama
sama rombongan rakyat.
Ketika itu baru masuk Sin sie (jam tujuh sampai jam
sembilan pagi), tapi di dalam dan di luar Hong shia sudah
penuh dengan manusia. Dengan Boe Kie sebagai pembuka
jalan, mereka maju dengan perlahan. Akhirnya mereka
berdiri menunggu di bawah payon sebuah gedung besar, di
luar pintu Yan coen boen.
Tak lama kemudian, di sebelah kejauhan terdengar suara
gembrengan dan tambur. “Sudah datang! Mereka datang!”
2309
teriak rakyat yang menunggu sambil memanjangkan leher
mereka. Suara itu makin lama jadi makin keras sehingga
terlihatlah rombongan pertama dari arak-arakan itu.
Mereka terdiri dari 108 orang yang bertubuh tinggi besar
dan mengenakan seragam hijau. Tangan kiri mereka
memegang sebuah gembereng besar dan tangan kanan
memukulnya dengan menurut irama.
Hebatnya suara 108 gembereng dapat dibayangkan.
Rombongan gembereng diikuti rombongan tambur yang
terdiri dari 30 orang. Di belakang mereka mengikuti
tetabuhan – ada rombongan pi-poe (semacam gitar) dari See
hek, rombongan terompet dari Mongol dan sebagainya.
Jumlah anggota rombongan2 itu berkisar antara seratus
orang lebih sampai seribu. Sesudah rombongan musik,
muncul dua bendera sutera yang sangat besar. Yang satu
dengan huruf “An pang Hoe kok” (menenteramkan dan
melindungi negara), yang lain dengan “Tin sia Hok mo”
(menindih yang kotor, menakluki siluman). Kedua bendera
itu dikawal oleh 400 serdadu Mongol – di depan 200, di
belakang 200, yang menunggang kuda putih dan memegang
macam macam senjata. Melihat keangkeran itu, rakyat
bersorak sorai tak henti-hentinya.
BOE KIE mendongkol bukan main. Ia menganggap
penduduk kota raja tidak mengenal malu dan melupakan,
bahwa negara mereka dijajah orang.
Baru saja kedua bendera itu lewat didepan Boe Kie, dari
sebelah barat tiba-tiba menyambar dua helai sinar putih
kearah tiang bendera. Sinar itu adalah sinar golok terbang
yang masing-masing terdiri dari tujuh batang. Walaupun
tiang bendera itu besar, tapi kedua tiang itu tidak dapat
bertahan dari serangan tujuh golok, sehingga di lain saat
kedua-duanya patah dan roboh bersama sama benderanya.
Keadaan lantas saja berubah kalut. Belasan orang terguling
2310
tertimpa tiang.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu turut mengejutkan
Boe Kie dan Cie Jiak. Han Lim Jie kegirangan dan tanpa
merasa mulutnya terbuka untuk. bersorak. Untung juga
sebelum suaranya keluar mulutnya keburu ditekap Cie Jiak.
Boe Kie tahu, bahwa golok terbang itu dilepaskan oleh ahli
silat kelas satu, hanya sayang ia tak lihat siapa yang
melepaskannya.
Empat ratus serdadu Mongol yang melindungi bendera
gusar tercampur takut. Secara serampangan mereka
menangkap tujuh delapan orang yang segera dibinasakan
ditempat itu juga.
Han Lim Jie meluap darahnya. "Binatang!" cacinya
dengan suara tertahan. Yang melepaskan golok sudah
kabur, yang dibinasakan rakyat tidak berdosa".
"Sst! Han Toako!" bisik Cie Jiak. "Kita mau nonton,
bukan mau bikin ribut".
Han Lim Jie manggutkan kepalanya dan tidak berani
buka suara lagi.
Sesudah ribut ribut sebentar dari belakang datang lagi
rombongan-rombongan tetabuhan. Rakyat mulai bersoraksorak
pula dan kejadian tadi yang mengenaskan segera
dilupakan orang.
Dibelakang rombongan tetabuhan yang kedua itu
mengikuti rombongan-rombongan wayang, seperti wayang
po-tee-hie dan lain-lain, dan selewatnya, rombongan
wayang muncullah kereta-kereta hias yang ditunggutunggu.
Setiap kereta ditarik kuda pilihan dan diatas kereta
terdapat pemuda-pemudi dengan bermacam-macam
pakaian yang menggambarkan ceritera-ceritera atau
dongeng jaman dahulu, seperti "Pek-Nio nio merendam
2311
Kim san," "Tong Som Cong mengambil kitab suci di See
thian". "Tong Beng pesta di istana rembulan dan
sebagainya.
Disaban kereta terdapat sehelai bendera suram dengan
nama pembesar yang mempersembahkannya. Makin ke
belakang kereta itu makin indah dan pembesar-pembesar
yang namanya tertera di bendera juga makin tinggi
pangkatnya.
Dengan mendapat tempik sorak gegap gempita, keretakereta
lewat satu demi satu. Tiba-tiba suara tetabuhan yang
mengiring setiap kereta berubah secara menyolok yang
diperdengarkan sebuah lagu kuno. Boe Kie melihat, bahwa
di kereta yang sedang mendatangi tertancap sehelai bendera
putih, dengan tulisan. "Cioe Kong Lioe hong Koan coan (
Cie Kong membuang Koan Siok dan Coa Siok ). Di kereta
itu terdapat seorang pria setengah tua yang memegang
peranan Cioe Kong dan disampingnya berduduk seorang
kanak-kanak yang mengenakan pakaian raja yaitu Raja Yan
seng ong. Dua orang lain yang mengenakan pakaian
sebagai Koan Siok dan Coa Siok, berbisik-bisik satu sama
lain dan menuding-nuding Cioe Kong. Dibelakang kereta
tersebut mengikuti lain kereta dengan bendera dengan
tulisan yang berbunyi: "Ong Bong Kee-jin Kee Gie" (Ong
Bong berlagak jadi manusia budiman) "Ong Bong" di kereta
itu, yang mukanya dipoles bedak putih, sedang membagi
bagian uang kepada beberapa rakyat miskin, Di belakang
kedua kereta itu mengikuti empat bendera dengan tulisan
yang merupakan sajak.
"Cioe Kong pernah dicaci.
Ong Bong pernah dipuja.
Kalau waktu itu mereka mati,
Tulen palsunya yang tahu siapa?"
2312
Membaca sajak itu. Boe Kie manggut-manggut
manggutkan kepala. "Benar,“ pikirnya. "dalam dunia ini,
salah atau benar, hitam atau putih, sukar sekali bisa
diketahui. Cioe Kong seorang nabi, tapi, waktu membuang
Koan Siok dan Coa Siok orang menuduhnya sebagai
pengkhianat yang ingin merebut tahta kerajaan. Ong-bong
seorang menteri dorna. Tapi semula pada waktu ia
merendahkan diri dan menghormat rakyat ia dipuji. Inilah
apa yang dikatakan sesudah berjalan jauh, barulah kita tahu
seekor kuda, sesudah diuji lama. barulah kita mengenal hati
manusia. Orang yang menerangkan kedua kereta itu bukan
sembarang orang. Ia termenung. Ia ingat segala pengalaman
yang akhir-akhir ini. Ia ingat duga-dugaannya dalam sebuah
teka-teki yang ditutup kabut. Manusia apa sebenarnya Tio
Beng? Apa dia membunuh atau tidak membunuh In Lee?
Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh suara gembereng
pecah. Ia menengadah dan melihat sebuah kereta yang
ditarik oleh dua kuda kurus. Berbeda dari yang lain, kereta
itu polos tanpa hiasan apapun jua.
Beberapa orang tertawa mengejek. "Masakah kereta
begitu turut diarak?" kata seorang.,
Tapi waktu kereta ita mendekati, Boe Kie terkesiap. Ia
terkesiap karena diatas kereta, disebuah dipan, bersila
seorang tinggi besar yang rambutnya kuning, dan kedua
matanya meram. Siapa lagi, kalau yang digambarkan bukan
Kim-mo Say ong Cia Soen? Disamping "Cia Soen" berdiri
seorang wanita cantik yang memegang cangkir teh.
Keayuan wanita itu belum menyamai Cie Jiak, tapi pakaian
dan geriknya tidak berbeda dari nona Cioe.
“Cioe Kouwnio, dia mirip kau!" bisik Han Lim Jie
dengan suara kaget.
Cie Jiak tidak menyahut, Boe Kie menengok dan melihat
muka si nona yang pucat pasi dan dada yang turun naik. Ia
2313
tahu bahwa tunangannya sedang bergusar. Ia mencekal
tangan orang yang dingin bagaikan es.
Kereta yang disebelah belakang masih memperlihatkan
ceritera "Cia Soen Cie Jiak“, Cie Jiak menotok punggung
"Cia Soen" dan kemudian mengangkat pedang untuk
membunuh oraug tua itu. "Benar! benar!Bunuh dia!" teriak
beberapa orang.
Kereta ketiga masih juga cerita "Cia Soen Cie Jiak"
Enam tujuh orang mengenakan pakaian pengemis sedang
menahan 'Cia Soen dan Cie Jiak.“
Boe Kie tak merasa sangsi lagi, bahwa ketiga kereta itu
dibuat atas suruhan Tio beng, untuk menghina
tunangannya. Ia membungkuk, menjemput enam butir batu
kecil dan menimpuk
Hebat sungguh timpukan itu! Setiap batu mampir tepat
di mata kanan setiap kuda dan batu itu terus masuk ke otak,
sehingga sesudah berbenger dan berjingkrak-jingkrak, enam
ekor kuda itu lantas saja roboh binasa. Keadaan berubah
kalut. Kecuali Cie Jiak dan Han Liem Jie, tak seorangpun
mendapat tahu timpukan dari dalam tangan bajunya.
Nona Cioe menggigit bibirnya, "Boe Kie koko,” katanya,
perempuan siluman itu . . .. terlalu, terlalu menghina
aku....." Ia tak bisa meneruskan suaranya yang parau dan
badannya agak bergemetaran.
Dengan rasa kasihan, Boe Kie mencekal tangan
tunangannya. "Cie Jiak," katanya dengan suara membujuk,
perempuan itu memang dapat melakukan apa pun jua. Kau
jangan ladeni. Asal aku mencintai kau, orang luar tak akan
bisa berbuat sesuatu apa."
Cie Jiak mengangguk. Lewat beberapa saat mendadak ia
berkata. "Ah, sekarang ku ingat! Hari itu Giehoe sehat-sehat
2314
saja dan tiba-tiba ia bergemetaran, lalu roboh. Sesudah
roboh mulutnya ngaco. Apa tak bisa jadi.....perempuan
siluman itu bersembunyi di rumah penginapan dan
melepaskan senjata rahasia terhadap Gie hoe?"
"Kurasa tak mungkin" jawab Boe Kie.
"Kalau itu perbuatannya aku rasa tak akan keburu
menyusul ke kelenteng Bie tek-hoed. Mungkin juga
kerajaan Hian beng Jie loo.
Sementara itu sejumlah serdadu Mongol sudah datang
dan menyingkirkan bangkai2 kuda supaya arak-arakan
tidak terhalang.
Boe Kie dan Cie Jiak tak punya kegembiraan lagi untuk
menonton kereta-kereta hias lewat tanpa diperhatikan
mereka. Sesudah kereta hias, datanglah rombongan pendeta
yang mengenakan jubah merah, diikuti oleh 2000 serdadu
Gie lim koen yang bersenjata tombak dan 3000 serdadu
pilihan yang bersenjata gendewa dan anak panah.
Kemudian, diantara asap hio yaag mengepul keatas,
berjalan rerotan joli dengan patung-patung malaikat,
semuanya 360 patung. Dengan paling dulu joli Kwan
teeSeng koen (Kwan Kong ). Rakyat menyambut rerotan itu
dengan mengucapkan doa, banyak diantaranya berlutut
ditanah.
Akhirnya, sesudah lewatnya barisan yang membawa
alat-alat upacara, seperti kim koa (labu emas), kim toei
(martil emas) dan sebagainya, rakyat bersorak, "Hongsiang!
Hongsiang!" teriak mereka.
Sebuah joli besar yang ditutup dengan sutera kuning dan
digotong oleh 32 sie wie baju sulam kelihatan mendatangi.
Joli itu joli kaisar. Boe Kie mengawasi dengan mata tajam.
Ia mendapat kenyataan, bahwa kaisar itu pucat mukanya
dan suatu tanda dari pelesir dan arak yang tidak mengenal
2315
batas. Putera mahkota mengikuti dengan menunggang
kuda. Dengan menggendong gendewa tertawa emas, putera
kaisar itu kelihatan gagah dan angker dan cocok untuk
menjadi sesorang putera Mongol.
“Kauwcoe," bisik Han Lim Jie, "mengapa kau tidak mau
menggunakan kesempatan ini untuk membinasakan kaisar
Tat coe itu?"
"Hm!" jawabnya. Ia tidak bisa lantas mengambil
keputusan dan lalu menimbang-nimbang baik tidaknya.
"Dengan membinasakan dia Kauwcoe menyingkirkan
satu bahaya bagi rakyat," bisik pula Han Lim Jie. "Biarpun
dia banyak pengawalnya2, mana bisa menghalangi
serangan Kauwcoe."
Mendadak, seorang yang berdiri disebelah kiri Boe Kie,
berbisik. "Tidak boleh! Jangan!"
Boe Kie terkejut dan melirik orang itu, seorang penjual
obat setengah tua . Sekonyong-konyong dia mengacungkan
kedua jempolnya dan membuat tanda obor didepan
dadanya. "Pheng Eng Giok menghadap kepada Kauwcoe,"
bisiknya.
Boe Kie kegirangan dan berkata dengan suara tertahan.
"Kau! ... Pheng ..."
Pandai sungguh Pheng Hweeshio menyamar, sehingga
Boe Kie yang berdiri disampingnya tidak dapat
mengenalinya.
"Disini bukan tempat bicara," bisik Pheng Eng Giok.
"Kauwcoe tidak beleh binasakan kaisar Tat coe."
Boe Kie tahu, bahwa pembantunya itu mempunyai
pemandangan yang sangat luas. Ia mengangguk dan
mencekal tangannya erat-erat, sebagai tanda rasa girangnya.
2316
Kaisar dan putera mahkata diiringi oleh barisan Gie lim
koen dengan kekuatan 3000 orang dan rerotan yang terakhir
adalah berlaksa rakyat jelata yang mengenakan pakaian
beraneka-warna. "Mari lihat Hong houw Nio nio dan Kong
coe Nio nio!" seru beberapa orang sambil menggapai
sahabat atau kenalannya.
"Aku ingin sekali lihat mereka," kata Coe Jiak kepada
Boe Kie. Ia mengangguk dan bersama Pheng Eng Giok dan
Han Lim Jie, mereka lalu menuju ke arah Giok tek tian,
bersama-sama rerotan rakyat. Tak lama kemudian mereka
melihat tujuh buah loteng indah yang dihias secara indah
pula. Dibawah loteng dijaga oleh sepasukan Gie lim koen
bersenjata rotan yang digunakan untuk mengusir rakyat
yang datang terlalu dekat. Dengan tak banyak susah Boe
Kie berempat mendesak ke depan. Di loteng yang di
tengah-tengah berduduk sang kaisar disebuah kursi naganagaan
dengan diapit oleh dua orang permaisurinya yang
berbadan gemuk dan berpakaian mewah. Putera mahkota
duduk di sebelah kiri, sedang yang duduk di sebelah kanan
seorang wanita muda yang berusia kira-kira dua puluh
tahun.
"Dia tentulah puteri kaisar," kata Boe Kie di dalam hati
sambil mengawasi loteng kedua yang terletak disebelah kiri.
Tiba-tiba jantungnya mengetuk lebih keras, karena di
loteng ini berduduk Tio Beng yang mengenakan baju bulu
dan perhiasan mahal. Di tengah-tengah loteng itu berduduk
seorang raja muda yang berparas agung dan bukan lain
daripada Kuhkun Temur, ayahanda Beng-beng Koencoe.
Kuhkun Temur, kakak Tio Beng kelihatan berjalan di sisi
loteng dengan tindakan seperti tindakan harimau.
Dengan mata mendelong Cie Jiak mengawasi kedua
permaisuri yang mewah itu. Tanpa merasa ia maju
beberapa tindak dan melewati perbatasan yang
2317
diperbolehkan untuk rakyat jelata. Seorang anggota Gie lim
koen segera menyabet dengan rotannya.
Bagaikan kilat Cie Jiak menangkap ujung rotan. Dengan
mudah ia akan dapat merobohkan serdadu itu, tapi sejenak
kemudian ia melepaskan cekalannya dan mundur, akan
kemudian menghilang diantara orang banyak.
Ketika itu didepan loteng mulai diadakan latihan barisan
Thian mo Thia tin oleh rombongan Han ceng (pendeta
asing). "Tin" yang diperlihatkan di keluarga kaisar benarbenar
hebat dengan perubahan-perubahan yang sangat
aneh, sehingga saban-saban mendapat sambutan yang
gegap gempita dari berlaksa rakyat. Tapi Cie Jiak tidak
tertarik oleh latihan itu. Sesudah mengawasi Tio Beng
beberapa lama, ia menghela napas, dan berkata. "Mari kita
pulang."
Setibanya di rumah penginapan, Pheng Eng Giok
memberi hormat kepada Boe Kie sebagai mana layaknya
dan masing-masing lalu menceriterakan pengalamannya.
Pheng Hweeshio yang baru kembali dari Hway see ternyata
tak tahu kalau Cia Soen sudah pulang ke Tiong goan. Ia
memberitahu, bahwa Coe Goan Cang, Cie Tat dan Siang
Gie Coen telah memperoleh banyak kemajuan sehingga
Beng kauw sangat disegani.
Pheng Taysoe," kata Han Lim Jie sesudah Pheng Eng
Giok selesai menutur. "Apabila tadi kita melompat untuk
naik ke loteng dan membunuh kaisar Tat coe itu, bukankah
dengan demikian kita menyingkirkan satu bencana bagi
rakyat?"
Pheng Hweeshio menggeleng-gelengkan kepala, “Kaisar
bebodoran itu justru pembantu kita yang sangat berharga,”
jawabnya. "Mana boleh kita membunuh dia?"
"Han Heng tee" kata Pheng Eng Giok sambil tersenyum,
2318
"kaisar itu tolol, kejam dan doyan pelesir. Paling belakang
dia memerintahkan penggalian sungai Hong ho. Rakyat
sangat menderita dan bergusar. Mengapa saudara-saudara
kita sudah memperoleh hasil-hasil baik di medan perang?
Apa benar tentara rakyat serba kekurangan bisa melawan
tentara Mongol yang gagah perkasa? Sebab musabab dari
kemenangan kita ialah karena rakyat sudah. membenci Tat
coe. Dalam setiap pertempuran, rakyat membantu kita.
Kaisar tolol itu tak bisa menggunakan orang-orang pandai,
Jenderal yang seperti Jie Lam ong selalu dihalang-halangi
dan dicurigai. Kaisar bebodoran itu kuatir, bahwa kalau
pahalanya sudah terlalu besar, raja muda tersebut akan
merebut kerajaan. Maka itu perlahan-lahan dia mengurangi
kekuasaan Jie Lam ong atas ketentaraan dan mengangkat
jenderal-jenderal tolol untuk memimpin tentara, sehingga
biarpun gagah perkasa, pasukan-pasukan Mongol sering
kalah dalam medan perang. Inilah sebabnya mengapa aku
mengatakan bahwa kaisar Tat coe itu pembantu kita yang
sangat berharga."
Han Lim Jie tersadar. Ia manggut-manggutkan
kepalanya dan merasa kagum akan pandangan Pheng Eng
Giok yang sangat jauh.
"Apabila kita membunuh kaisar Tat coe itu, putera
mahkota akan menggantikannya" kata pula Pheng
Hweeshio. "Meskipun bodoh, dia tentu tak sebodoh
ayahnya. Jika dia bisa menggunakan panglima-panglima
yang pandai usaha kita bisa gagal seanteronya.''
"Syukur sekali Taysoe berada disini" kata Boe Kie.
"Kalau tidak, mungkin aku sudah menyerang dan merusak
urusan besar."
"Kauwcoe adalah seorang yang sangat penting dan
memikul tugas berat untuk mengusir kekuasaan Tat coe"
kata Pheng Eng Giok. "Maka itu Kauwcoe tak boleh
2319
menempuh bahaya secara sembrono. Seorang kaisar selalu
dijaga keras dan diantara pengawalnya terdapat banyak
orang yang berkepandaian tinggi. Meskipun gagah,
Kauwcoe belum tentu bisa melawan mereka yang
berjumlah sangat besar."
Boe Kie mengangkat kedua tangannya dan berkata. "Aku
merasa sangat berterima kasih untuk nasihat Taysoe dan
aku berjanji akan memperhatikannya."
Cie Jiak menghela napas. "Memang kau juga tidak boleh
sembarangan menerjang bahaya" katanya. Di hari
kemudian sesudah usaha kita berhasil, kursi naga tentu
akan diduduki oleh Thio Kauwtjoe."
Han Lim Jie bertepuk tangan. "Benar!“ serunya dengan
suara perlahan.
"Thio Kauwcoe jadi Hongtee. Cioe Kouwnio jadi Hong
houw. Pheng dan Yo coesoe sebagai Yoe sin siang."
Muka nona Cioe lantas saja berubah merah. Ia
menunduk dengan sikap kemalu-maluan tapi sinar ujung
matanya menandakan bahwa ia merasa girang sekali.
Dengan sikap bingung Boe Kie sendiri buru-buru
menggoyang-goyangkan kedua tangannya. "Han Hengtee,
perkataanmu itu tak boleh dikeluarkan lagi!" katanya
dengan suara sungguh-sungguh. "Aku hanya bertujuan
untuk menolong rakyat dari penderitaan, sesudah berhasil
aku akan segera mengundurkan diri. Aku sedikitpun tak
kemaruk akan kekayaan dan kedudukan tinggi."
Pheng Eng Giok tertawa. "Kauwcoe mempunyai
kepandaian dan kebijaksanaan yang jarang tandingan"
katanya, "Kalau waktunya tiba andaikata Kauwcoe mau
menolak, Kauwcoe takkan bisa menolak. Dahulu, Tio
Kong In pun belum pernah mimpi akan menjadi kaisar." (
2320
Ti Kong In adalah, pertama dari kerajaan Song)
„Tidak bisa!“ kata Boe Kie. „Bila dalam usaha ini hatiku
bercabang dan mempunyai angan-angan untuk keuntungan
pribadi, biarlah langit dan bumi mengutuk aku, biarlah aku
mati secara tidak baik!“
Mendengar penolakan yang disertai sumpah itu, paras
muka Cie Jiak lantas saja berubah. Ia melongok keluar
jendela dan berkata, „Pemimpin Beng Kauw menjadi kaisar
bukan kejadian yang terlalu luar biasa. Dahulu ayahku
mengangkat diri sendiri sebagai raja. Kalau berhasil,
bukankah ayah sudah menjadi Hong-tee?“
"Ya, hanya sayang Cioe Coe Ong Cioe Soeheng gagal
dalam usahanya,“ kata Pheng Eng giok dengan suara duka.
„Kalau berhasil, Cioe Kouwnio sudah menjadi Kong coe
Nio-nio.“
Cie Jiak tertawa dingin. “Mm!....." Ia mengeluarkan
suara di hidung. „Apakah keistimewaan Koen coe dari Jielam
ong? Tapi toh ada yang mengawasinya tanpa berkedip
dan mendewi-dewikannya. Kalau aku jadi lelaki dan aku
mau menikah dengan keluarga kaisar sendiri, kalau bisa
menjadi Hoe-ma barulah boleh dibuat bangga. (Hoe ma
adalah Menantu lelaki dari seorang kaisar)
Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie yang menafsirkan
perkataan Cie Jiak sebagai guyonan, lantas saja tertawa
terbahak-bahak. Tapi Boe Kie sendiri bukan main rasa
jengahnya. „Cie-Jiak sangat halus budi pekerti, tapi
mengapa ha ri ini ia mengeluarkan kata-kata itu?" pikirnya.
"Mungkin sekali waktu tadi aku mengawasi Tio
Kouwnio, Cie Jiak merasa tak senang. Tapi... ah! ...
Perkataannya itu hanya membuktikan kecintaannya
terhadapku."
2321
Sementara itu Pheng Eng Giok melaporkan hasil-hasil
gerakan Beng Kauw dalam keseluruhannya. Ia mengatakan
bahwa biarpun sering juga menderita kekalahan di medan
perang tapi tenaga kekuatan Beng kauw makin lama jadi
makin besar! Hanya sayang dalam Rimba Persilatan masih
terdapat partai-partai yang merasa jelus atau mengiri,
persatuan yang sempurna belum tercapai. Maka itu kata
Pheng Eng Giok alangkah baiknya jika bisa diadakan
pertemuan dan musyawarah besar antara orang-orang
gagah Rimba Persilatan. Apabila tercapai persatuan yang
kokoh, maka usaha mengusir Tat-coe pasti akan terwujud.
"Taysoe benar," kata Boe Kie. "Nanti sesudah bertemu
dengan Yo-CoSoe, kita akan berdamai lebih jauh."
Sesudah makan malam Boe Kie berkata, "Aku dan
Pheng Taysoe ingin jalan-jalan sambil mendengar-dengar
halnya Giehoe." Ia menengok kepada Han Lim Jie dan
berkata pula: "Han Heng-tee, kau dan Cie Jiak tak usah
mengikut. Kalian mengaso saja." Ia tidak mau mengajak
Han Lim Jie sebab kuatir saudara yang berangasan itu
menerbitkan onar.
Sesudah keluar dari rumah penginapan, mereka
berpencaran, yang satu mengambil jalan ke barat, yang lain
ke timur dan berjanji akan pulang ke penginapan sebelum
jam dua lewat tengah malam.
Boe Kie yang menuju ke barat memasang mata dan
kuping. Tapi apa yang didengarnya hanya omong-omongan
rakyat tentang keramaian siang tadi dan cerita-cerita
ngawur tentang pemberontakan Beng kauw. Ia tak
mendapat sesuatu yang penting. Ia berjalan dengan
menuruti mau nya kaki, makin lama jalan jadi makin sepi.
Tiba-tiba jantungnya memukul keras karena ia mendapat
kenyataan, bahwa ia berada didepan sebuah rumah makan
kecil, dimana dahulu ia pernah minum arak bersama-sama
2322
Tio Beng. “Mengapa aku bisa datang kesini? Apa lantaran
aku selalu tidak dapat melupakan Tio Kouwnio?" tanyanya
didalam hati.
Pintu rumah makan itu separuh dirapati, di dalam tidak
terdengar suara, seperti juga tiada tamunya. Ia mendorong
pintu dan bertindak masuk. Seorang pegawai kelihatan
tertidur sambil mendekam di meja. Ia terus masuk kedalam.
Ternyata, pada sebuah meja di suatu sudut berduduk
seorang tamu yang sedang bersantap dengan muka
menghadap kedalam, dibawah penerangan sebatang lilin.
Hati Boe Kie berdebar-debar sebab ia segera mengenali,
bahwa meja itu adalah dimana ia pernah minum arak
bersama nona Tio.
Sebab mendengar tindakan, tamu itu mendadak
berbangkit dan menengok dan ... orang itu bukan lain dari
pada Tio Beng sendiri!
Untuk sejenak kedua-duanya berdiri terpaku dan Keduaduanya
mengeluarkan seruan kaget.
"Kau! ... mengapa kau datang kesini?" kata Tio Beng.
Suaranya bergemetaran. Sebagai tanda dari goncangan
hatinya.
„Aku keluar jalan-jalan dan kebetulan lewat disini dan
tak dinyana......" kata Boe Kie sambil mendekati. Melihat
seperangkat piring mangkok dan sepasang sumpit didepan
si nona, ia berkata pula "Apa kau sedang menunggu
seseorang ?"
Tio Beng lantas bersemu dadu. "Tidak" jawabnya. "Dua
kali kita pernah minum arak di sini dan kau duduk
dihadapanku. Maka itu ... maka itu ... kuperintahkan
pelayan menyediakan piring mangkok itu."
Boe Kie merasa sangat berterimakasih. Ia lihat empat
2323
tempat macam sayur di meja dan ke empat macam sayur itu
tidak berbeda dengan sayur yang pernah dimakannya
bersama sama nona Tio.
Tak kepalang rasa terharunya Boe Kie. Tanpa merasa ia
memegang tangan si nona dan berkata dengan perlahan.
"Tio Kouwnio .... "
"Aku hanya merasa menyesal ..." kata si nona,
"menyesal aku terlahir dalam keluarga raja muda Mongol
yang menjadi musuhmu ...“
Pada saat itulah, di luar jendela mendadak terdengar
"heh-heh," suara tertawa dingin, dan serupa benda
menyambar lilin yang lantas saja menjadi padam. Boe Kie
dan Tio Beng mengenal bahwa suara itu suara Cie Jiak.
Mereka jadi serba salah keluar salah, berdiam diruangan
yang gelap itupun salah. Dalam detik itu, di atap rumah
terdengar suara berkeresekan dan bagaikan angin, Cie Jiak
sudah berlalu.
"Apa benar kau sudah bertunangan sama dia?" bisik Tio
Beng.
"Benar," jawabnya. "Aku tidak boleh berdusta.“
"Hari itu waktu bersembunyi dibelakang pohon,
kudengar perkataan-perkataanmu yang penuh kecintaan,
yang manis seperti madu. Ketika itu, aku ingin lantas mati,
aku tak mau hidup lebih lama lagi di dunia ini. Aku tertawa
dingin dua kali. Sekarang ia membalasnya. Tapi . . . tapi . . .
dari mulutmu aku tidak pernah mendengar sepatah katapun
yang bisa menghibur hatiku ..."
"Tio Kouwnio, sebenarnya aku tidak boleh datang kesini
lagi, tidak boleh bertemu muka lagi dengan kau. Aku sudah
mengikat janji dan aku tak pantas melakukan sesuatu yang
dapat membangkitkan rasa dukamu. Tio Kouwnio ibarat
2324
pohon kau bercabang emas dan berdaun kemala. Mulai dari
sekarang kau harus melupakan aku ...."
Tio Beng memegang tangan Boe Kie dan mengusap-usap
tanda bekas luka dibelakang tangan itu. "Luka ini karena
gigitanku." katanya, "Biarpun ilmu silatmu tinggi, biarpun
ilmu ketabibanmu tinggi, tak bisa kau menghilangkan tanda
luka dalam hatiku?" Sehabis berkata begitu, ia menatap
wajah Boe Kie dengan air mata yang tak bisa dilukiskan.
Sekonyong-konyong kedua tangaanya memegang kepala
Boe Kie dan ia . . .. menggigit bibir pemuda itu sehingga
mengeluarkan darah! Sesudah itu ia mondorong dan
melompat keluar dari jendela. "Penjahat cabul! Aku benci
kau!... aku benci kau ...“ serunya.
o)0o-dw-o0(o
SESUDAH Boe Kie dan Pheng Eng Giok berlalu, Han
Lim Jie berkata "Cioe Kouwnio, kau tidurlah siang-siang."
Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan pergi ke
kamarnya sendiri.
Cie Jiak tertawa, “Han Toako," katanya. "Mengapa kau
begitu takut? Duduk omong omong sebentar saja kau tidak
mau."
"Tidak ! tidak!" jawabnya. Ia mempercepat tindakannya,
masuk ke kamarnya dan lalu menapal pintu.
Sambil rebah diatas pembaringan batu, ia
membayangkan kecantikan dan kehalusan Cie Jiak yang
dipandangnya seperti dewi. Tak lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam mendadak pintu terketuk. Ia
melompat bangun dan bertanya, "Siapa?"
"Aku,“ demikian terdengar suara Cie Jiak. "Buka pintu!
Aku ingin bicara denganmu."
2325
Han Lim Jie melompat turun dari pembaringan,
membuka tapal pintu dan menyalakan lilin. Dengan kaget
ia lihat kedua mata si nona yang merah dan sikapnya yang
luar biasa. "Cioe Kauwnio, kau . . . kau. . . kenapa?"
tanyanya. Untuk sejenak ia berdiri terpaku dan kemudian
sambil lari keluar ia berkata, "Aku mau ambil air." Tak
lama kemudian ia masuk lagi dengan membawa sepaso air.
"Kau . . . cucilah mukamu," katanya.
Cie Jiak tidak menyahut. Ia hanya menggelengkan
kepalanya dan mengawasi api lilin dengan mata
mendelong. Mendadak air matanya mengucur. Han Lim Jie
kaget bercampur bingung, ia tak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
Lama juga nona Cioe berdiri bengong seperti orang
linglung. Tiba-tiba ia tersadar dan mengeluh dengan suara
perlahan.
"Cioe Kouwnio, siapa yang menyakitimu?" tanya Han
Lim Jie. "Beritahukanlah kepadaku. Si orang she Han akan
tikam dia."
Cie Jiak tetap membungkam. Sambil menghela napas, ia
bertindak keluar dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesudah
duduk beberapa lama, ia keluar lagi.
Han Lim Jie jadi makin bingung. Tak lama kemudian
kentong berbunyi tiga kali. "Mengapa Kauwcoe dan Pheng
Taysoe belum juga balik?" tanyanya didalam hati, "Tak
lama ada jalan lain dari pada tunggu pulangnya mereka."
Walaupun berkuatir, ia tidak berani menengok si nona yang
sudah masuk lagi ke kamarnya. Ia lalu merebahkan diri di
pembaringan.
Dalam keadaan setengah tidur, sekonyong-konyong ia
mendengar suara gedubrukan di kamar Cie Jiak, seperti
jatuhnya kursi. Ia melompat bangun dan berlari-lari ke
2326
kamar nona Cioe. Dengan bantuan sinar rembulan, dari
luar jendela ia lihat bayangan sesosok tubuh manusia yang
bergelantungan dan bergoyang-goyang dengan perlahan.
Dengan hati mencelos ia berteriak "Cioe Kouwnio ! ... Cioe
Kouwnio ..."
Ia menolak pintu, tapi pintu ditimpal dari dalam. Tanpa
memikir panjang lagi, dengan seantero tenaga, ia
mendorong pintu dengan pundaknya, sehingga timpal pintu
patah. Ia masuk ke dalam dan segera menyalakan lilin.
Cocok dengan dugaannya, nona Cioe menggantung diri
dengan seutas tambang yang diikatkan pada balok rumah
dengan lehernya sendiri. Bagaikan kalap, ia melompat
tinggi, menjambret tambang dan menarik sekuat-kuatnya,
sehingga tambang itu putus. Dengan tangan bergemetaran,
ia mendukung tubuh si nona dan merebahkannya diatas
pembaringan. Seperti disambar halilintar, ia mendapat
kenyataan, bahwa nona Cioe sudah tidak bernapas! "Cioe
Kouwnio !.... Cioe Kouwnio !..." ia sesambat.
Tiba-tiba diluar kamar terdengar suara seorang. "Han
Toako, ada apa?" Orang itu lantas masuk kedalam dan dia
bukan lain daripada Boe Kie sendiri. Melihat tunangannya,
bukan main kagetnya, pemuda itu. Buru-buru ia membuka
ikatan tambang pada leher Cie Jiak dan meraba dadanya.
Untung juga jantungnya masih berdenyut. "Masih bisa
ditolong," katanya dengan suara lega. Ia lalu mengurut
punggung Cie Jiak dan mengirim Kioeyang Cin khie
kedalam tubuh si nona.
Beberapa saat kemudian Cie Jiak berteriak, "Uah!" dan
lalu menangis. Ia membuka matanya dan begitu melibat
Boe Kie ia berkata "Biar aku mati! Aku lebih baik mati!"
Mendadak ia lihat bibir Boe Kie yang berdarah dan
bertanda tapak gigi, darahnya lantas saja bergolak dan
dengan sekuat tenaga ia menggaplok.
2327
Han Lim Jie terkesiap. Ia berdiri terpaku dan mengawasi
dengan mata membelalak. Pihak mana yang harus diambil
olehnya? Di satu pihak Kauwcoe yang dipujanya, dilain
pihak calon nyonya Kauwcoe yang juga dipandangnya
seperti dewi. Selagi kebingungan mendadak pundaknya
ditepuk orang. Ia menengok dan ternyata orang itu bukan
lain dari pada Pheng hweeshio. "PhengTay soe" katanya
dengan suara girang. "Lekas bujuk Cioe Kouwnio!"
Pheng Eng Giok tertawa. "Bujuk apa?” tanyanya. "Mari
kita keluar".
"Tidak bisa! Mereka akan berkelahi! Cioe Kouwnio
bukan tandingan Kauwcoe," kata si tolol.
Pheng Eng Giok tertawa terbahak bahak. "Han Heng-tee,
apakah kita berdua bisa menandingi Kauwcoe?" tanyanya.
"Aku berani pastikan dengan seorang diri Cioe Kouwnio
akan mendapat kemenangan." Seraya berkata begitu, ia
memberi isyarat dengan kedipan mata dan lalu menarik
taagan Han Lim Jie.
Sementara itu, sesudah menggapelok tunangannya, Cie
Jiak lalu membanting diri di pembaringan dan menangis
tersedu-sedu. Boe Kie duduk di pinggir ranjang dan sambil
mengusap-usap pundak si nona, ia berkata dengan suara
lemah lembut. "Sungguh mati aku tidak berjanji dengan dia
untuk mengadakan pertemuan di situ. Hal itu telah terjadi
karena kebetulan saja."
"Justa! Bohong! Aku tidak percaya!"
Boe Kie menghela napas. "Cie Jiak, apa kau tak ingat
riwayat Cioe Kong dan Ong Bong?" tanyanya. "Dalam
dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian kebetulan yang
bisa menimbulkan salah mengerti".
Si nona bangun duduk. "Kau sungguh kejam!" teriaknya.
2328
"Koencoe Nio nio-mu menghina aku dengan sajaknya dan
kau bahkan menyebut-nyebutnya lagi. Lihat bibirmu! Apa
kau tak malu?" Sehabis berkata begitu, mukanya sendiri
berubah merah.
Boe Kie mengerti, bahwa ia takkan dapat membela diri.
Jalan satu-satunya ia harus bersabar. Melihat muka
tunangannya yang kemerah-merahan, lehernya yang masih
bertanda bekas ikatan tambang dan matanya yang merah, di
dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingat,
bahwa jika tidak keburu ditolong oleh Han Lim Jie,
tunangannya itu pasti sudah binasa. Mengingat begitu,
dengan rasa terharu ia segera memeluk. Cie Jiak coba
memberontak, tapi Boe Kie terus memeluk erat-erat dan
mencium dahinya.
Lama ia memeluk dan Cie Jiak pun tidak memberontak
lagi. Tiba-tiba ia merasa jengah sendiri. Perlahan-lahan ia
melepaskan pelukannya dan berkata. "Cie Jiak, kau
tidurlah. Besok kita bicara lagi. Kalau aku berani menjustai
kau lagi dan diam-diam mengadakan pertemuan dengan
Tio Kouwnio, kau boleh bunuh aku."
Si nona tidak menjawab. Ia terus menangis dengan
perlahan. Makin dibujuk, ia menangis makin keras.
Akhirnya Boe Kie bersumpah, bahwa ia tidak akan
berkhianat dan bahwa ia masih tetap mencintai si nona
deagan segenap jiwa.
"Aku tak mempersalahkan kau, aku hanya merasa
menyesal akan nasibku yang buruk..." kata Cie Jiak dengan
suara hampir tak kedengaran.
"Diwaktu masih kecil, kita bersama-sama bernasib
buruk," kata Boe Kie. "Dengan Tat coe yang berkuasa,
seluruh rakyat bernasib buruk. Nanti sesudah Tat coe
terusir, kita akan hidup beruntung."
2329
Tiba-tiba Cie Jiak mengangkat kepalanya dan berkata
dengan suara sungguh-sungguh, "Boe Kie Koko, kutahu
kecantikanmu terhadapku. Ku tahu ini semua karena garagara
bujukan si perempuan siluman... bukan kau yang
berhati bercabang. Tapi ... tapi ... dengan sebenarnya aku
tak bisa menjadi isterimu. Aku ingin mati. Tapi si Han Lim
Jie menolong aku. Sesudah gagal satu kali, aku tak berani
mencoba untuk kedua kali. Aku... akan mengikuti contoh
Soehoe, aku akan mencukur rambut dan menjadi pendeta.
Ya! Ciang ... boenjin dari Gobie pay memang biasanya
seorang wanita yang tidak menikah.“
"Mengapa kau mempunyai pikiran begitu ? Apakah kau
bergusar terhadap Tio Kouwnio karena kau anggap Tio
Kouwnio memberi petunjuk, bahwa kaulah yang sudah
mencelakai ayah angkatku ?"
"Apa kau percaya ?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau tidak percaya, baguslah. Siapapun juga tak akan
percaya."
"Tapi mengapa kau terus berduka?"
Cie Jiak menggigit bibirnya. "Karena ... karena ...“
katanya. Sehabis mengatakan dua kali perkataan "karena",
ia memalingkan mukanya ke jurusan lain. "Boe Kie Koko,"
katanya pula dengan suara parau. "Sebenarnya kau lebih
baik tidak pernah bertemu dengan aku. Mulai dari
sekarang, kau jangan ingat-ingat lagi diriku. Kau boleh
menikah dengan Tio Kouwnio atau dengan wanita lain.
Aku . . . aku tak perduli ..." Mendadak kedua kakinya
menjejak pembaringan dan tubuhnya melesat keluar dari
jendela dan kemudian hinggap diatas rumah.
Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga bahwa
2330
tunangannya memiliki ilmu mengentengkan badan yang
begitu. Sesaat itu ia tidak sempat memikir panjang-panjang
lagi dan segera menguber.
Si nona kabur ke jurusan timur. Boe Kie mengejar
dengan mengambil jalan mutar dan dengan cepat, ia sudah
menghadang didepan. Sebab tidak keburu menghentikan
tindakannya, Cie JiaK menubruk Boe Kie yang segera
memeluknya, mereka berada di dekat sungai kecil. Boe Kie
lalu mendukung tunangannya ke sebuah batu besar di
pinggir sungai. "Cie Jiak," katanya dengan suara halus,
"Suami isteri harus sama-sama senang dan sama-sama
susah. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga. Ganjelan
apa yang sedang dipikir olehmu. Bilanglah! ... kau
bilanglah..."
Sambil menyesapkan kepalanya di dada Boe Kie, si nona
menangis tersedu-sedu. "Aku ... aku ...." katanya terputusputus.
"Kehormatanku sudah dirusak orang! ... Aku sudah
ternoda ... Aku ... aku sudah ... hamil! Bagaimana aku bisa
menikah dengan kau?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong.
Boe Kie terpaku ia merasa kepalanya puyeng dan matanya
berkunang-kunang.
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri. "Itulah sudah
nasibku," katanya. "Kau harus bisa melupakan aku."
Boe Kie tidak menyahut. Ia menatap wajah tunangannya
dengan mata membelalak. Ia tak percaya kupingnya sendiri.
Si nona menghela napas. Ia memutar badan dan berlalu.
Boe Kie melompat dan seraya mencekal tangan
tunangannya, ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa ....
bangsat Song Ceng Soe?"
Cie Jiak mengangguk. Dengan air mata berlinang-linang
2331
ia berkata, "Aku ditotok dan aku tidak bisa melawan ... "
Pada detik itu juga Boe Kie sudah mengambil keputusan.
Ia memeluk Cie Jiak dan berkata dengan suara halus. "Cie
Jiak, itu semua bukan salahmu. Sesudah beras menjadi
bubur, jengkelpun tiada gunanya. Cie Jiak karena
penderitaanmu itu, aku lebih mencintai kau, aku lebih
merasa kasihan terhadapmu. Besok kita berangkat ke Hway
see dan mengumumkan kepada saudara-saudara agamaku,
bahwa kita akan segera menikah. Mengenai anak dalam
kandunganmu, anggap saja, bahwa anak itu adalah anakku
sendiri. Cie Jiak, bagiku kau masih tetap suci, kau tetap
putih bersih, karena segala kejadian itu adalah diluar
kemauanmu."
"Perlu apa kau menghibur aku? Aku sudah ternoda.
Mana bisa aku menjadi hoe jin (isteri) dari seorang
Kauwcoe?"
"Cie Jiak, dengan berkata begitu kau memandang rendah
kepadaku Thio Boe Kie seorang laki-laki tulen.
Pemandanganku berlainan dengan pemandangan orang
biasa. Andai kata, karena khilaf, kau terpeleset dan jatuh,
aku masih bisa melupakan segala kesalahanmu. Apalagi
dalam hal ini, dimana bencana sudah datang diluar
keinginanmu?"
Bukan main rasa berterima kasihnya Cie Jiak. "Boe Kie
Koko," katanya, "apa benar kau begitu mulia? Kukuatir kau
menjustai aku."
"Kecintaanku ... kebaikanku terhadapmu, kau akan tahu
dihari kemudian. Pada hakekatnya, sekarang ini aku belum
berbuat baik terhadapmu."
Si nona menangis makin sedih. "Boe Kie Ko ko ... "
bisiknya, "gugurkan saja kandungan ku dengan
menggunakan obat ... "
2332
"Tidak boleh!" kata Boe Kie. "Menggugurkan kandungan
adalah perbuatan berdosa. Selain begitu, hal itu bisa
menusuk kesehatan badanmu." Waktu berkata begitu,
didalam hatinya tiba-tiba muncul perasaan sangsi. Cie Jiak
berada dalam tangan Kay pang hanya kira-kira sebulan
lamanya. Apa bisa jadi dia sudah hamil? Diam diam ia
memegang nadi tunangannya. Tidak! Ia tidak mendapatkan
tanda-tanda kehamilan. Tapi ia tidak mau menanya lebih
terang, Ia mahir dalam ilmu ketabiban, tapi kepandaian itu
terbatas dalam bidang luka-luka dan penyakit karena
keracunan. Dalam penyakit kalangan wanita, ia tak punya
banyak pengetahuan.
"Kalau anak ini perempuan masih tak apa," kata pula
CieJiak. "Tapi kalau lelaki... Jika di hari kemudian kau
menjadi hong tee (kaisar ) apakah dia harus menjadi tay coe
( putera mahkota )? Ah! ... sebaiknya, digugurkan saja
untuk menghilangkan bibit penyakit."
"Cie Jiak," kata Boe Kie dengan suara kaku, "perkataan
hong tee kuharap jangan disebut-sebut lagi. Aku seorang
anak kampungan. Sedikitpun aku belum pernah mimpi,
belum pernah mempunyai keinginan uutuk naik ditahta
kerajaan. Apabila perkataanmu didengar oleh saudarasaudara
kita mereka akan anggap aku sebagai manusia yang
mengejar kekuasaan dan hati mereka akan menjadi dingin".
"Aku bukan mau paksa kau menjadi hongtee. Tapi kalau
sudah takdir, biarpun mau menolak? Kau memperlakukan
aku secara begitu mulia. Aku harus berusaha untuk
membalasnya. Cioe Cie Jiak seorang wanita lemah, tapi
kalau ada kesempatan mungkin sekali aku masih bisa
memberi sedikit bantuan supaya kau menjadi kaisar.
Ayahku gagal dalam usahanya dan menemui kebinasaan.
Dahulu aku menjadi kong coe ( puteri seorang kaisar ).
Siapa tahu di hari nanti aku akan menjadi seorang hong
2333
houw (permaisuri)?“
Mendengar perkataan yang sungguh-sungguh itu Boe
Kie jadi tertawa. "Cie Jiak," katanya, "kemuliaan seorang
hong houw belum tentu bisa menandingi kemuliaan
Tiangboenjin dari Go bie pay. Sudahlah, hauw Nio-nio!
Hamba mohon Hong houw Nio-nio sudi beristirahat!"
Awan kedukaan lantas saja membuyar dan sambil
tertawa, kedua orang muda itu mengakhiri pembicaraan
mereka.
Pada keesokan paginya, sesudah membuka jalan darah
pelayan yang mengaso dikolong ranjang, Boe Kie meminta
Pheng Eng Giok berdiam dikota raja tiga hari lagi untuk
mendengar-dengar Cia Soen, sedang dia sendiri bersama
Cie Jiak dan Han Lim Jie lalu berangkat ke-Hway see.
Perjalanan mereka tidak menemui rintangan. Setibanya
didaerah Shoatang mereka sudah bisa menyaksikao
kekalahan tenlara Mongol yang terus mundur dengan
kerusakan besar. Sedapat mungkin Boe Kie bertiga
menyingkir dari kelompok-kelompok musuh yang besar
jumlahnya dengan mengambil jalan kecil. Belakangan
mereka bertemu dengan seorang serdadu Goan yang kasar
dan lalu membekuknya. Dari serdadu itu, mereka
mengetahui, bahwa Han San Tong dengan beruntun
mendapat beberapa kemenangan besar dan berhasil merebut
beberapa tempat yang penting. Mereka sangat girang dan
meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Mulai perbatasan Soatang Anhoei kekuasaan sudah
berada dalam tangan tentara rakyat Beng Kauw. Diantara
tentara itu ada yang mengenal Han Lim Jie dan dia buruburu
melaporkan kepada Goan swee hoe (gedung panglima
besar). Maka itulah pada waktu Boe Kie bertiga masih
berada dalam jarak tigapuluh li dari kota Hauwcoe, mereka
2334
sudah dipapak oleh Han San Tong yang mengajak Coe
Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen, Teng Jie Thong Ho
dan lain-lain panglima. Pertemuan itu sudah tentu sangat
menggirangkan semua orang.
Sesudah Han San Tong mempersembahkan secawan
arak kepada Boe Kie dengan diiringi tetabuhan perang dan
sepasukan tentara yang mengenakan pakaian perang
mentereng serta bersenjata lengkap, rombongan itu masuk
kedalam kota Hauwcoe. Dengan menunggang kuda, Cie
Jiak mengikuti dibelakang Boe Kie. Di sepanjang jalan ia
menengok ke kanan dan ke kiri dengan perasaan bangga.
Meskipun belum menyamai arak-arakan Hong tee dan
Hong hauw dikota raja, iring-iringan itu sudah cukup
memuaskan hatinya.
Setibanya dikota, safu demi satu para jenderal dan
perwira menghadap dan memberi hormat kepada Boe Kie.
Malam itu diadakan pesta besar. Mendengar puteranya
ditolong oleh sang Kauwcoe sekali lagi secara resmi Han
San Tong menghaturkan terima kasih.
Selama beberapa hari dengan beruntun datanglah Yoe
Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan
Hoejin Swee Poet Tek, Cioe thian, kelima Ciang kie soe
dari Ngo-heng-kie dan lain-lain pemimpin Beng kauw.
Mereka datang dari pelbagai tempat sebab mendengar warta
tentang itu. Beberapa hari itu tak putus-putusnya diadakan
pesta-pesta untuk menyambut para pemimpin itu. Lewat
beberapa hari lagi tibalah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw
dan Pheng Eng Giok.
Kepada Boe Kie Pheng Hweeshio melaporkan bahwa ia
sama sekali tak mendengar sesuatu tentang Cia Soen.
Waktu mendapat gilirannya, Wie It Siauw berkata,
“Selagi berkelana di Hopak, aku bertemu dengan Ciang
2335
pang Liong tauw yang sedang menjalankan tugas kurang
baik bagi agama kita. Aku lagi guyon-guyon dengannya.
Waktu itu aku belum tahu, bahwa Cia Heng sudah kembali
di Tiong goan. Kalau tahu aku pasti akan menyelidiki di
kalangan Kay pang karena sangat mungkin Cia heng jatuh
di tangan mereka." Boe Kie segera memberitahu bahwa Cia
Soen memang pernah ditangkap oleh Kay pang tapi
kemudian bisa melarikan diri. Iapun menuturkan segala
pengalamannya dalam usaha mencari ayah angkatnya itu.
Hoan Yauw dan In Thian Cheng adalah orang-orang
yang berakal budi, tapi merekapun tak bisa menembus
kabut yang meliputi hilangnya Kim mo Sai ong.
“Kita masih belum bisa meraba asal-usul nona baju
kuning itu,” kata Hoan Yauw.
"Kalau kita mengusut dari nona itu, mungkin sekali kita
akan berhasil dalam usaha mencari Ceng heng.
Tapi siapakah yang menaruh tanda-tanda obor dari
Louw Liong Kauwcoe mengejar sampai di Louw liong
lagi?” tanya In Thian Cheng. "Bisa jadi orang itu
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hilangnya
Cia heng."
Diantara pemimpin-pemimpin Tjeng Kauw terdapat
banyak yang berpengalaman luas. Tapi tidak seorangpun
yang bisa menebak siapa adanya si baju kuning. Mereka
hanya bisa membujuk Boe Kie dengan mengatakan bahwa
ditinjau dari sepak-terjangnya si baju kuning sama sekali
tidak mengandung niat kurang baik.
Boe Kie pun tidak berdaya. Ia hanya bisa
memerintahkan sejumlah anggota Ngo heng kie pergi ke
berbagai tempat untuk mengadakan penyelidikan.
Dalam beberapa perternpuran, biarpun mendapat
2336
kemenangan, tentara Beng kauw menderita juga kerusakan
yang tidak kecil. Maka itu mereka memerlukan waktu dua
tiga bulan untuk memperbaiki apa yang rusak,
mengumpulkan serdadu baru dan mengaso.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu Pheng Eng
Giok turut menyaksikan percobaan membunuh diri dari
Cioe Cie Jiak. Meskipun tak tahu latar belakangnya, ia
mengerti, bahwa diantara pemuda dan pemudi yang sedang
bercintaan memang sering terjadi gelombang atau ributribut,
Disamping itu, HoanYauw dan beberapa orang lain
juga tahu adanya perhubungan yang agak luar biasa
diantara Boe Kie dan Tio beng.
Apabila Kauwcoe mereka sampai menikah dengan
seorang puteri Mongol, maka kejadian ini sudah tentu akan
memberi akibat buruk bagi usaha menggulingkan
pemerintahan Goan. Maka itulah, sesudah berdamai,
mereka menarik kesimpulan, bahwa jalan yang paling baik
adalah membujuk Boe Kie supaya melangsungkan upacara
pernikahan dengan Cie Jiak secepat mungkin. Mereka
menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang paling
tepat, karena peperangan justeru sedang ditunda.
Waktu mereka mengajukan usul, Boe Kie lantas saja
mengiakan. In Thian Ceng lantas saja mencari hari dan
segera ditetapkan, bahwa hari pernikahan Boe Kie dan Cie
Jiak jatuh pada Sha gwee Cap-go (Bulan tiga tanggal 15).
Tak usah dikatakan lagi, seluruh anggota Beng kauw
bergirang dan repot mempersiapkan segala sesuatu untuk
pesta pernikahan itu.
Pada waktu itu nama Beng kauw telah menggetarkan
seluruh Tiongkok. Disebelah timur, Han San Tong
menduduki kota-kota penting di wilayah Hway-see.
Disebelah barat, Cie Coen Hoei telah mengalahkan tentera
2337
Mongol dalam pertempuran-pertempuran di sebelah utara
Ouwpak dan selatan Holam. Maka itulah, begitu lekas
warta tentang pernikahan Thio Kauw coe disiarkan, segera
orang-orang gagah dari Rimba persilatan mulai datang -
kian lama makin banyak, sehingga seolah-olah
melimpahnya air banjir. Koen loen pay, Kong tong pay dan
beberapa partai lain, yang dikenal sebagai partai lurus hati,
sebenarnya tidak begitu akur dengan Beng kauw. Tetapi
sesudah tokoh-tokohnya ditolong Boe Kie di Bin hoat sie,
partai-partai tersebut rata-rata berhutang budi.
Disamping itu, Cioe Cie Jiak adalah Ciangboenjin dari
Go-bie-pay yang mempunyai kedudukan tinggi dalam
Rimba Persilatan. Walau pun tidak datang sendiri, para
ciang-boen-jin partai-partai itu mengirim wakil ke Hauw
cioe untuk membawa barang antaran. Thio Sam hong
sendiri tidak bisa datang. Sebagai bingkisan, orang tua itu
menulis empat huruf "Kee-jie-,Kee-hoe," (Suami isteri yang
baik ) diatas selembar sutera. Sutera itu bersama jilid kitab
Thay Kek-koen yang ditulis sendiri, diserahkan kepada
Song Wan Kiauw. Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang juga
mendapat tugas untuk pergi ke Hauw coe guna memberi
selamat dan doa restu kepada sepasang mempelai itu.
Waktu itu Yo Poet Hwie sudah menikah dengan In Lie
Heng dan ia mengikut ke Hauwcioe, begitu bertemu,
dengan girang Boe Kie berseru, "Lok-Soe-cim!“
Muka Yo Poet Hwie lantas saja berubah merah. Ia
menarik tangan Boe Kie dan lalu menuturkan segala
pengalamannya semenjak meraka berpisahan. Ia girang
tercampur terharu.
Sebab kuatir Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe
menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai Thay
soepeknya, maka Boe Kie lalu memerintahkan Wie It
Siauw pergi ke Boe-tong san sebagai wakilnya untuk
2338
menghaturkan terima kasih kepada Thio Sam Hong.
Kepada Ceng ek Hok ong, Boe Kie menceritakan sapak
terjang Song Ceng Soe yang sudah membinasakan Boh
Seng Kok dan berniat untuk mencelakai Thio Sam Hong. Ia
memesan, supaya sesudah bertemu dengan Thio Sam
Hong, Wie It Siauw harus menemani Jie Thay Giam dan
Thio Siong Kee untuk berjaga-jaga terhadap tipu muslihat
Tan Yoe Liang. Sesudah Song Wan Kjuuw bertiga kembali
di Boe tong san, barulah Wie It Siauw pulang.
Mendengar penuturan itu, paras muka Ceng ek Hok ong
berubah merah padam. "Atas nasihat Kauwcoe, Wie It
Siauw tidak berani mengisap lagi darah manusia," katanya
dengan suara gusar. "Tapi jika bertemu dengan kedua
penjahat itu, aku pasti akan mengisap habis darah mereka."
"Terhadap Tan Yoe Liang, Wie heng boleh berbuat
sesuka hati," kata Boe Kie. "Tapi Song Ceng Soe adalah
putera tunggal Song Toasoepeh dan ia selalu dianggap
sebagai calon ciangboenjin dari Boe tong pay. Kalau dia
berdosa, biarlah Boe tong pay sendiri yang menghukumnya.
Dengan memandang muka Song Toa soepeh, Wie heng
tidak boleh melanggar selembar rambutpun." Wie It Siauw
mengiakan dan segera berpamitan.
Pada Sha gwee Ceecap ( bulan tiga tanggal sepuluh ),
sejumlah murid wanita Go-bie tiba di Hauwcioe dengan
membawa antaran. Teng Bin Koen sendiri tidak muncul.
Lima hari kemudian tibalah hari pernikahan. Pagi-pagi
sekali orang sudah berdandan dan mengenakan pakaian
yang sebaik-baiknya. Upacara sembahyang kepada Bumi
dan Langit itu segera akan dilakukan di gedung hartawan
terkaya di kota Hauwcioe, Gedung itu dihias seindahindahnya.
Yang menjadi cu hun (yang memegang peranan
orang tua) pengantin lelaki adalah In Thian Ceng, sedang
2339
Siang Gie Coen menjadi cu hun pengantin perempuan. Tiat
koan Toojin mendapat tugas untuk menjaga keselamatan
kota Hauw cioe selama pesta. Guna menjaga merembasnya
musuh, dia harus mengatur penjagaan diseluruh kota yang
dilakukan oleh sejumlah murid Beng kauw pilihan. Diluar
kota dijaga oleh Tong Ho yang memimpin satu pasukan
tentara. Pagi itu sebagai tamu terakhir datang wakil-wakil
Siauw Lim pay dan Hwa san yang membawa barang
antaran.
(Begitu tiba waktu Sia sie ( antara jam tiga dan lima sore
), terdengarlah bunyi meriam sebagai tanda dimulainya
upacara pernikahan.
Yo Siauw dan Hoan Yauw mengundang semua tamu
masuk di toa-thia ( ruangan besar). Tak lama kemudian,
diapit oleh In Lie Heng dan Han Lim Jie, Boe Kie keluar
dengan diiring suara tetabuhan dan hampir berbareng, Cie
Jiak juga masuk ke ruangan upacara dengan dikawani oleh
delapan murid wanita Go bie. Kedua mempelai lantas saja
berdiri berendeng.
"Sembahyang kepada langit!" teriak pemimpin upacara.
Baru saja Boe Kie dan Cie Jiak mau berlutut tiba-tiba
diluar pintu terdengar bentakan yang merdu, "Tahan !” Di
lain detik, seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau
muda sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Wanita itu
bukan lain daripada Tio Beng.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu mengejutkan semua
orang. Tokoh-tokoh Beng kauw dan berbagai partai
persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia
Kang ouw, tidak pernah mimpi, bahwa Tio Beng berani
datang seorang diri ke tempat ini. Beberapa orang yang
beradat berangasan lantas saja bergerak untuk menyerang.
"Tahan dulu!" bentak Yo Siauw. Sambil menyoja para
2340
tamu, ia berkata pula. "Hari ini adalah hari paling
beruntung dari Kauwcoe kami dan Ciangboenjin Go biepay.
Tio-Kouwnio datang berkunjung dan beliau adalah
tamu kami. Dengan memandang muka Go-bie-pay dan
Beng kauw, kami mohon kalian suka melupakan ganjalan
lama untuk sementara waktu jangan melakukan sesuatu
yang tidak pantas terhadap Tio Kouwnio." Sehabis berkata
begitu, ia memberi isyarat kepada Swee Poet Tek dan
Pheng Eng Giok dengan kedipan mata. Kedua kawan itu
mengerti maksudnya. Mereka segera meninggalkan ruangan
itu dan menyelidiki jumlah jago-jago yang mungkin dibawa
Tio Beng.
"Tio Kouwnio, kau duduklah sambil menyaksikan
pernikahan," kata Yo Siauw pula. "Sesudah upacara, kami
akan mengundang Tio-Kouwnio untuk turut minum arak
kegirangan."
Tio Beng tersenyum. "Aku hanya ingin bicara beberapa
patah dengan Thio Kauwcoe," katanya. "Sehabis bicara,
aku akan segera berlalu."
"Sesudah upacara, nona boleh bicara." kata Yo Siauw.
"Sesudah upacara, sudah terlambat." jawabnya.
Yo Siauw dan Hoan Yauw saling mengawasi. Mereka
mengerti, bahwa Tio Beng sengaja datang untuk mengacau
dan biar bagaimana pun jua, mereka harus mencegah,
supaya pesta itu tidak menjadi gagal. Yo Siauw lantas saja
maju dua tindak. "Tio Kouwnio," katanya dengan suara
menyeramkan. "Sebagai tuan rumah kami tidak ingin
bertindak secara melanggar kepantasan dan kami
mengharap, bahwa sebagai tamu, Tio Kouwnio juga bisa
menghormati diri sendiri.” Ia telah mengambil keputusan,
bahwa jika Tio Beng rewel, ia akan menotok jalan
darahnya.
2341
Si nona menengok kepada Hoan Yauw dan berkata,
"Kauw Taysoe orang mau turun tangan terhadapku. Apa
kau tak menolong ?"
"Koencoe," kata bekas orang sebawahan itu. "Di dalam
dunia sering terjadi kejadian yang tak cocok dengan
kemauan kita. Dalam hal ini kuharap Koencoe tak
memaksakan sesuatu yang tak bisa dipaksakan lagi."
Si nona tertawa manis. "Tapi aku mau paksa juga,"
katanya. Ia berpaling kearah Boe Kie dan berkata pula.
"Thio Boe Kie, kau adalah pemimpin Beng kauw. Sekarang
aku mau tanya. Apakah perkataan seorang lelaki sejati tetap
dipertahankan atau tidak?"
Begitu Tio Beng muncul, Boe Kie sangat berkuatir. Ia
hanya berdoa supaya Yo Siauw berhasil membujuknya
supaya dia lantas berlalu. Mendengar pertanyaan itu
jantungnya memukul keras. Ia tak dapat menjawab lain dari
pada "Tetap dipertahankan."
“Hari itu,” kata Tio Beng, ketika aku menolong jiwa In
Lioksiokmu, kau telah berjanji akan melakukan, tiga rupa
pekerjaan untukku. Bukankah benar begitu?"
"Benar. Kau ingin pinjam lihat To liong to. Kau bukan
saja sudah melihat, kau bahkan sudah mencuri golok
mustika itu."
Selama beberapa puluh tahun jago-jago Kangouw gagal
dalam usaha mencari golok mustika itu. Maka itu, begitu
mendengar bahwa To liong to sudah jatuh ke tangan Tio
Beng, mereka lantas saja menjadi gempar.
"Dimana adanya To liong to hanya diketahui oleh Kim
mo Say ong Cia Taihiap," kata Tio Beng. "Kau boleh tanya
ayah angkatmu sendiri
Kembalinya Cia Soen ke Tionggoan belum diketahui
2342
oleh banyak orang. Keterangan Tio Beng sangat
mengejutkan dan suara ramai-ramai lantas saja berhenti.
"Siang malam aku memikiri dimana adanya Giehoe,”
kata Boe Kie. "Jika kau tahu, aku mohon kau sudi
memberitahukan kepadaku."
Si nona tertawa. '"Kau sudah berjanji akan melakukan
tiga pekerjaan, asal saja tidak bertentangan dengan
kesatriaan dalam Rimba Persilatan," katanya. "Mengenai
permintaan untuk pinjam lihat To liong to dapat dikatakan
sudah dipenuhi olehmu. Walaupun golok itu belakangan
hilang, aku tak bisa mempersalahkan kau. Sekarang
permintaanku yang kedua. Thio Boe Kie di hadapan para
orang gagah kau tidak boleh hilang kepercayaan."
"Pekerjaan apa yang harus aku lakukan?" tanya Boe Kie.
"Tio Kouwnio," sela Yo Siauw. "Mengenai janji
Kauwcoe kami yang bersyarat itu, bukan saja Kauwcoe
kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw
turut memikul tanggungan untuk menunaikannya. Tapi
sekarang adalah saat yang sangat penting, saat
bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcoe kami
dengan pengantinnya. Maka itu, aku harap soal ini ditunda
untuk sementara waktu dan janganlah Kouwnio merintangi
upacara yang sedang berlangsung." Kata-kata yang terakhir
itu diucapkan dengan nada keras.
Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. Ia seolah-olah tidak
memandang sebelah mata kepada Kong beng Co soe yang
tersohor, "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada
Kauwcoe-mu terlebih penting lagi dan tidak boleh ditunda,”
katanya dengan suara ogah-ogahan. Tiba-tiba ia maju
beberapa tindak dan berbisik di kuping Boe Kie
"Permintaanku yang kedua ialah hari ini kau tak boleh
menikah dengan Cioe Kouwnio !"
2343
BoeKie tertegun. "Apa?" ia menegas.
"Itulah pekerjaanmu yang kedua," jawabnya "Yang
ketiga aku akan berikan belakangan."
Biarpun bisik-bisik, setiap perkataan nona Tio didengar
tegas oleh Cie Jiak, Song Wan Kiauw, In Lie Heng dan
delapan murid Go bie yang mengiring pengantin
perempuan. Mereka semua terkejut dan paras muka mereka
lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu lantas saja
siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina
Ciang boen-jin mereka.
"Permintaanmu tidak bisa diturut olehku,'' kata Boe Kie.
"Kuharap kau suka memaafkan."
"Apa kau mau membatalkan janjimu sendiri?"
Ia menolak pintu, tapi pintu ditimpal dari dalam. Tanpa
memikir panjang lagi, dengan seantero tenaga, ia
mendorong pintu dengan pundaknya, sehingga timpal pintu
patah. Ia masuk ke dalam dan segera menyalakan lilin.
Cocok dengan dugaannya, nona Cioe menggantung diri
dengan seutas tambang yang diikatkan pada balok rumah
dengan lehernya sendiri. Bagaikan kalap, ia melompat
tinggi, menjambret tambang dan menarik sekuat-kuatnya,
sehingga tambang itu putus. Dengan tangan bergemetaran,
ia mendukung tubuh si nona dan merebahkannya diatas
pembaringan. Seperti disambar halilintar, ia mendapat
kenyataan, bahwa nona Cioe sudah tidak bernapas! "Cioe
Kouwnio !.... Cioe Kouwnio !..." ia sesambat.
Tiba-tiba diluar kamar terdengar suara seorang. "Han
Toako, ada apa?" Orang itu lantas masuk kedalam dan dia
bukan lain daripada Boe Kie sendiri. Melihat tunangannya,
bukan main kagetnya, pemuda itu. Buru-buru ia membuka
ikatan tambang pada leher Cie Jiak dan meraba dadanya.
Untung juga jantungnya masih berdenyut. "Masih bisa
2344
ditolong," katanya dengan suara lega. Ia lalu mengurut
punggung Cie Jiak dan mengirim Kioeyang Cin khie
kedalam tubuh si nona.
Beberapa saat kemudian Cie Jiak berteriak, "Uah!" dan
lalu menangis. Ia membuka matanya dan begitu melibat
Boe Kie ia berkata "Biar aku mati! Aku lebih baik mati!"
Mendadak ia lihat bibir Boe Kie yang berdarah dan
bertanda tapak gigi, darahnya lantas saja bergolak dan
dengan sekuat tenaga ia menggaplok.
Han Lim Jie terkesiap. Ia berdiri terpaku dan mengawasi
dengan mata membelalak. Pihak mana yang harus diambil
olehnya? Di satu pihak Kauwcoe yang dipujanya, dilain
pihak calon nyonya Kauwcoe yang juga dipandangnya
seperti dewi. Selagi kebingungan mendadak pundaknya
ditepuk orang. Ia menengok dan ternyata orang itu bukan
lain dari pada Pheng hweeshio. "PhengTay soe" katanya
dengan suara girang. "Lekas bujuk Cioe Kouwnio!"
Pheng Eng Giok tertawa. "Bujuk apa?” tanyanya. "Mari
kita keluar".
"Tidak bisa! Mereka akan berkelahi! Cioe Kouwnio
bukan tandingan Kauwcoe," kata si tolol.
Pheng Eng Giok tertawa terbahak bahak. "Han Heng-tee,
apakah kita berdua bisa menandingi Kauwcoe?" tanyanya.
"Aku berani pastikan dengan seorang diri Cioe Kouwnio
akan mendapat kemenangan." Seraya berkata begitu, ia
memberi isyarat dengan kedipan mata dan lalu menarik
taagan Han Lim Jie.
Sementara itu, sesudah menggapelok tunangannya, Cie
Jiak lalu membanting diri di pembaringan dan menangis
tersedu-sedu. Boe Kie duduk di pinggir ranjang dan sambil
mengusap-usap pundak si nona, ia berkata dengan suara
lemah lembut. "Sungguh mati aku tidak berjanji dengan dia
2345
untuk mengadakan pertemuan di situ. Hal itu telah terjadi
karena kebetulan saja."
"Justa! Bohong! Aku tidak percaya!"
Boe Kie menghela napas. "Cie Jiak, apa kau tak ingat
riwayat Cioe Kong dan Ong Bong?" tanyanya. "Dalam
dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian kebetulan yang
bisa menimbulkan salah mengerti".
Si nona bangun duduk. "Kau sungguh kejam!" teriaknya.
"Koencoe Nio nio-mu menghina aku dengan sajaknya dan
kau bahkan menyebut-nyebutnya lagi. Lihat bibirmu! Apa
kau tak malu?" Sehabis berkata begitu, mukanya sendiri
berubah merah.
Boe Kie mengerti, bahwa ia takkan dapat membela diri.
Jalan satu-satunya ia harus bersabar. Melihat muka
tunangannya yang kemerah-merahan, lehernya yang masih
bertanda bekas ikatan tambang dan matanya yang merah, di
dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingat,
bahwa jika tidak keburu ditolong oleh Han Lim Jie,
tunangannya itu pasti sudah binasa. Mengingat begitu,
dengan rasa terharu ia segera memeluk. Cie Jiak coba
memberontak, tapi Boe Kie terus memeluk erat-erat dan
mencium dahinya.
Lama ia memeluk dan Cie Jiak pun tidak memberontak
lagi. Tiba-tiba ia merasa jengah sendiri. Perlahan-lahan ia
melepaskan pelukannya dan berkata. "Cie Jiak, kau
tidurlah. Besok kita bicara lagi. Kalau aku berani menjustai
kau lagi dan diam-diam mengadakan pertemuan dengan
Tio Kouwnio, kau boleh bunuh aku."
Si nona tidak menjawab. Ia terus menangis dengan
perlahan. Makin dibujuk, ia menangis makin keras.
Akhirnya Boe Kie bersumpah, bahwa ia tidak akan
berkhianat dan bahwa ia masih tetap mencintai si nona
2346
deagan segenap jiwa.
"Aku tak mempersalahkan kau, aku hanya merasa
menyesal akan nasibku yang buruk..." kata Cie Jiak dengan
suara hampir tak kedengaran.
"Diwaktu masih kecil, kita bersama-sama bernasib
buruk," kata Boe Kie. "Dengan Tat coe yang berkuasa,
seluruh rakyat bernasib buruk. Nanti sesudah Tat coe
terusir, kita akan hidup beruntung."
Tiba-tiba Cie Jiak mengangkat kepalanya dan berkata
dengan suara sungguh-sungguh, "Boe Kie Koko, kutahu
kecantikanmu terhadapku. Ku tahu ini semua karena garagara
bujukan si perempuan siluman... bukan kau yang
berhati bercabang. Tapi ... tapi ... dengan sebenarnya aku
tak bisa menjadi isterimu. Aku ingin mati. Tapi si Han Lim
Jie menolong aku. Sesudah gagal satu kali, aku tak berani
mencoba untuk kedua kali. Aku... akan mengikuti contoh
Soehoe, aku akan mencukur rambut dan menjadi pendeta.
Ya! Ciang ... boenjin dari Gobie pay memang biasanya
seorang wanita yang tidak menikah.“
"Mengapa kau mempunyai pikiran begitu ? Apakah kau
bergusar terhadap Tio Kouwnio karena kau anggap Tio
Kouwnio memberi petunjuk, bahwa kaulah yang sudah
mencelakai ayah angkatku ?"
"Apa kau percaya ?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau tidak percaya, baguslah. Siapapun juga tak akan
percaya."
"Tapi mengapa kau terus berduka?"
Cie Jiak menggigit bibirnya. "Karena ... karena ...“
katanya. Sehabis mengatakan dua kali perkataan "karena",
2347
ia memalingkan mukanya ke jurusan lain. "Boe Kie Koko,"
katanya pula dengan suara parau. "Sebenarnya kau lebih
baik tidak pernah bertemu dengan aku. Mulai dari
sekarang, kau jangan ingat-ingat lagi diriku. Kau boleh
menikah dengan Tio Kouwnio atau dengan wanita lain.
Aku . . . aku tak perduli ..." Mendadak kedua kakinya
menjejak pembaringan dan tubuhnya melesat keluar dari
jendela dan kemudian hinggap diatas rumah.
Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga bahwa
tunangannya memiliki ilmu mengentengkan badan yang
begitu. Sesaat itu ia tidak sempat memikir panjang-panjang
lagi dan segera menguber.
Si nona kabur ke jurusan timur. Boe Kie mengejar
dengan mengambil jalan mutar dan dengan cepat, ia sudah
menghadang didepan. Sebab tidak keburu menghentikan
tindakannya, Cie JiaK menubruk Boe Kie yang segera
memeluknya, mereka berada di dekat sungai kecil. Boe Kie
lalu mendukung tunangannya ke sebuah batu besar di
pinggir sungai. "Cie Jiak," katanya dengan suara halus,
"Suami isteri harus sama-sama senang dan sama-sama
susah. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga. Ganjelan
apa yang sedang dipikir olehmu. Bilanglah! ... kau
bilanglah..."
Sambil menyesapkan kepalanya di dada Boe Kie, si nona
menangis tersedu-sedu. "Aku ... aku ...." katanya terputusputus.
"Kehormatanku sudah dirusak orang! ... Aku sudah
ternoda ... Aku ... aku sudah ... hamil! Bagaimana aku bisa
menikah dengan kau?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong.
Boe Kie terpaku ia merasa kepalanya puyeng dan matanya
berkunang-kunang.
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri. "Itulah sudah
2348
nasibku," katanya. "Kau harus bisa melupakan aku."
Boe Kie tidak menyahut. Ia menatap wajah tunangannya
dengan mata membelalak. Ia tak percaya kupingnya sendiri.
Si nona menghela napas. Ia memutar badan dan berlalu.
Boe Kie melompat dan seraya mencekal tangan
tunangannya, ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa ....
bangsat Song Ceng Soe?"
Cie Jiak mengangguk. Dengan air mata berlinang-linang
ia berkata, "Aku ditotok dan aku tidak bisa melawan ... "
Pada detik itu juga Boe Kie sudah mengambil keputusan.
Ia memeluk Cie Jiak dan berkata dengan suara halus. "Cie
Jiak, itu semua bukan salahmu. Sesudah beras menjadi
bubur, jengkelpun tiada gunanya. Cie Jiak karena
penderitaanmu itu, aku lebih mencintai kau, aku lebih
merasa kasihan terhadapmu. Besok kita berangkat ke Hway
see dan mengumumkan kepada saudara-saudara agamaku,
bahwa kita akan segera menikah. Mengenai anak dalam
kandunganmu, anggap saja, bahwa anak itu adalah anakku
sendiri. Cie Jiak, bagiku kau masih tetap suci, kau tetap
putih bersih, karena segala kejadian itu adalah diluar
kemauanmu."
"Perlu apa kau menghibur aku? Aku sudah ternoda.
Mana bisa aku menjadi hoe jin (isteri) dari seorang
Kauwcoe?"
"Cie Jiak, dengan berkata begitu kau memandang rendah
kepadaku Thio Boe Kie seorang laki-laki tulen.
Pemandanganku berlainan dengan pemandangan orang
biasa. Andai kata, karena khilaf, kau terpeleset dan jatuh,
aku masih bisa melupakan segala kesalahanmu. Apalagi
dalam hal ini, dimana bencana sudah datang diluar
keinginanmu?"
2349
Bukan main rasa berterima kasihnya Cie Jiak. "Boe Kie
Koko," katanya, "apa benar kau begitu mulia? Kukuatir kau
menjustai aku."
"Kecintaanku ... kebaikanku terhadapmu, kau akan tahu
dihari kemudian. Pada hakekatnya, sekarang ini aku belum
berbuat baik terhadapmu."
Si nona menangis makin sedih. "Boe Kie Ko ko ... "
bisiknya, "gugurkan saja kandungan ku dengan
menggunakan obat ... "
"Tidak boleh!" kata Boe Kie. "Menggugurkan kandungan
adalah perbuatan berdosa. Selain begitu, hal itu bisa
menusuk kesehatan badanmu." Waktu berkata begitu,
didalam hatinya tiba-tiba muncul perasaan sangsi. Cie Jiak
berada dalam tangan Kay pang hanya kira-kira sebulan
lamanya. Apa bisa jadi dia sudah hamil? Diam diam ia
memegang nadi tunangannya. Tidak! Ia tidak mendapatkan
tanda-tanda kehamilan. Tapi ia tidak mau menanya lebih
terang, Ia mahir dalam ilmu ketabiban, tapi kepandaian itu
terbatas dalam bidang luka-luka dan penyakit karena
keracunan. Dalam penyakit kalangan wanita, ia tak punya
banyak pengetahuan.
"Kalau anak ini perempuan masih tak apa," kata pula
CieJiak. "Tapi kalau lelaki... Jika di hari kemudian kau
menjadi hong tee (kaisar ) apakah dia harus menjadi tay coe
( putera mahkota )? Ah! ... sebaiknya, digugurkan saja
untuk menghilangkan bibit penyakit."
"Cie Jiak," kata Boe Kie dengan suara kaku, "perkataan
hong tee kuharap jangan disebut-sebut lagi. Aku seorang
anak kampungan. Sedikitpun aku belum pernah mimpi,
belum pernah mempunyai keinginan uutuk naik ditahta
kerajaan. Apabila perkataanmu didengar oleh saudarasaudara
kita mereka akan anggap aku sebagai manusia yang
2350
mengejar kekuasaan dan hati mereka akan menjadi dingin".
"Aku bukan mau paksa kau menjadi hongtee. Tapi kalau
sudah takdir, biarpun mau menolak? Kau memperlakukan
aku secara begitu mulia. Aku harus berusaha untuk
membalasnya. Cioe Cie Jiak seorang wanita lemah, tapi
kalau ada kesempatan mungkin sekali aku masih bisa
memberi sedikit bantuan supaya kau menjadi kaisar.
Ayahku gagal dalam usahanya dan menemui kebinasaan.
Dahulu aku menjadi kong coe ( puteri seorang kaisar ).
Siapa tahu di hari nanti aku akan menjadi seorang hong
houw (permaisuri)?“
Mendengar perkataan yang sungguh-sungguh itu Boe
Kie jadi tertawa. "Cie Jiak," katanya, "kemuliaan seorang
hong houw belum tentu bisa menandingi kemuliaan
Tiangboenjin dari Go bie pay. Sudahlah, hauw Nio-nio!
Hamba mohon Hong houw Nio-nio sudi beristirahat!"
Awan kedukaan lantas saja membuyar dan sambil
tertawa, kedua orang muda itu mengakhiri pembicaraan
mereka.
Pada keesokan paginya, sesudah membuka jalan darah
pelayan yang mengaso dikolong ranjang, Boe Kie meminta
Pheng Eng Giok berdiam dikota raja tiga hari lagi untuk
mendengar-dengar Cia Soen, sedang dia sendiri bersama
Cie Jiak dan Han Lim Jie lalu berangkat ke-Hway see.
Perjalanan mereka tidak menemui rintangan. Setibanya
didaerah Shoatang mereka sudah bisa menyaksikao
kekalahan tenlara Mongol yang terus mundur dengan
kerusakan besar. Sedapat mungkin Boe Kie bertiga
menyingkir dari kelompok-kelompok musuh yang besar
jumlahnya dengan mengambil jalan kecil. Belakangan
mereka bertemu dengan seorang serdadu Goan yang kasar
dan lalu membekuknya. Dari serdadu itu, mereka
2351
mengetahui, bahwa Han San Tong dengan beruntun
mendapat beberapa kemenangan besar dan berhasil merebut
beberapa tempat yang penting. Mereka sangat girang dan
meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Mulai perbatasan Soatang Anhoei kekuasaan sudah
berada dalam tangan tentara rakyat Beng Kauw. Diantara
tentara itu ada yang mengenal Han Lim Jie dan dia buruburu
melaporkan kepada Goan swee hoe (gedung panglima
besar). Maka itulah pada waktu Boe Kie bertiga masih
berada dalam jarak tigapuluh li dari kota Hauwcoe, mereka
sudah dipapak oleh Han San Tong yang mengajak Coe
Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen, Teng Jie Thong Ho
dan lain-lain panglima. Pertemuan itu sudah tentu sangat
menggirangkan semua orang.
Sesudah Han San Tong mempersembahkan secawan
arak kepada Boe Kie dengan diiringi tetabuhan perang dan
sepasukan tentara yang mengenakan pakaian perang
mentereng serta bersenjata lengkap, rombongan itu masuk
kedalam kota Hauwcoe. Dengan menunggang kuda, Cie
Jiak mengikuti dibelakang Boe Kie. Di sepanjang jalan ia
menengok ke kanan dan ke kiri dengan perasaan bangga.
Meskipun belum menyamai arak-arakan Hong tee dan
Hong hauw dikota raja, iring-iringan itu sudah cukup
memuaskan hatinya.
Setibanya dikota, safu demi satu para jenderal dan
perwira menghadap dan memberi hormat kepada Boe Kie.
Malam itu diadakan pesta besar. Mendengar puteranya
ditolong oleh sang Kauwcoe sekali lagi secara resmi Han
San Tong menghaturkan terima kasih.
Selama beberapa hari dengan beruntun datanglah Yoe
Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan
Hoejin Swee Poet Tek, Cioe thian, kelima Ciang kie soe
dari Ngo-heng-kie dan lain-lain pemimpin Beng kauw.
2352
Mereka datang dari pelbagai tempat sebab mendengar warta
tentang itu. Beberapa hari itu tak putus-putusnya diadakan
pesta-pesta untuk menyambut para pemimpin itu. Lewat
beberapa hari lagi tibalah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw
dan Pheng Eng Giok.
Kepada Boe Kie Pheng Hweeshio melaporkan bahwa ia
sama sekali tak mendengar sesuatu tentang Cia Soen.
Waktu mendapat gilirannya, Wie It Siauw berkata,
“Selagi berkelana di Hopak, aku bertemu dengan Ciang
pang Liong tauw yang sedang menjalankan tugas kurang
baik bagi agama kita. Aku lagi guyon-guyon dengannya.
Waktu itu aku belum tahu, bahwa Cia Heng sudah kembali
di Tiong goan. Kalau tahu aku pasti akan menyelidiki di
kalangan Kay pang karena sangat mungkin Cia heng jatuh
di tangan mereka." Boe Kie segera memberitahu bahwa Cia
Soen memang pernah ditangkap oleh Kay pang tapi
kemudian bisa melarikan diri. Iapun menuturkan segala
pengalamannya dalam usaha mencari ayah angkatnya itu.
Hoan Yauw dan In Thian Cheng adalah orang-orang
yang berakal budi, tapi merekapun tak bisa menembus
kabut yang meliputi hilangnya Kim mo Sai ong.
“Kita masih belum bisa meraba asal-usul nona baju
kuning itu,” kata Hoan Yauw.
"Kalau kita mengusut dari nona itu, mungkin sekali kita
akan berhasil dalam usaha mencari Ceng heng.
Tapi siapakah yang menaruh tanda-tanda obor dari
Louw Liong Kauwcoe mengejar sampai di Louw liong
lagi?” tanya In Thian Cheng. "Bisa jadi orang itu
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hilangnya
Cia heng."
Diantara pemimpin-pemimpin Tjeng Kauw terdapat
2353
banyak yang berpengalaman luas. Tapi tidak seorangpun
yang bisa menebak siapa adanya si baju kuning. Mereka
hanya bisa membujuk Boe Kie dengan mengatakan bahwa
ditinjau dari sepak-terjangnya si baju kuning sama sekali
tidak mengandung niat kurang baik.
Boe Kie pun tidak berdaya. Ia hanya bisa
memerintahkan sejumlah anggota Ngo heng kie pergi ke
berbagai tempat untuk mengadakan penyelidikan.
Dalam beberapa perternpuran, biarpun mendapat
kemenangan, tentara Beng kauw menderita juga kerusakan
yang tidak kecil. Maka itu mereka memerlukan waktu dua
tiga bulan untuk memperbaiki apa yang rusak,
mengumpulkan serdadu baru dan mengaso.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu Pheng Eng
Giok turut menyaksikan percobaan membunuh diri dari
Cioe Cie Jiak. Meskipun tak tahu latar belakangnya, ia
mengerti, bahwa diantara pemuda dan pemudi yang sedang
bercintaan memang sering terjadi gelombang atau ributribut,
Disamping itu, HoanYauw dan beberapa orang lain
juga tahu adanya perhubungan yang agak luar biasa
diantara Boe Kie dan Tio beng.
Apabila Kauwcoe mereka sampai menikah dengan
seorang puteri Mongol, maka kejadian ini sudah tentu akan
memberi akibat buruk bagi usaha menggulingkan
pemerintahan Goan. Maka itulah, sesudah berdamai,
mereka menarik kesimpulan, bahwa jalan yang paling baik
adalah membujuk Boe Kie supaya melangsungkan upacara
pernikahan dengan Cie Jiak secepat mungkin. Mereka
menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang paling
tepat, karena peperangan justeru sedang ditunda.
Waktu mereka mengajukan usul, Boe Kie lantas saja
mengiakan. In Thian Ceng lantas saja mencari hari dan
2354
segera ditetapkan, bahwa hari pernikahan Boe Kie dan Cie
Jiak jatuh pada Sha gwee Cap-go (Bulan tiga tanggal 15).
Tak usah dikatakan lagi, seluruh anggota Beng kauw
bergirang dan repot mempersiapkan segala sesuatu untuk
pesta pernikahan itu.
Pada waktu itu nama Beng kauw telah menggetarkan
seluruh Tiongkok. Disebelah timur, Han San Tong
menduduki kota-kota penting di wilayah Hway-see.
Disebelah barat, Cie Coen Hoei telah mengalahkan tentera
Mongol dalam pertempuran-pertempuran di sebelah utara
Ouwpak dan selatan Holam. Maka itulah, begitu lekas
warta tentang pernikahan Thio Kauw coe disiarkan, segera
orang-orang gagah dari Rimba persilatan mulai datang -
kian lama makin banyak, sehingga seolah-olah
melimpahnya air banjir. Koen loen pay, Kong tong pay dan
beberapa partai lain, yang dikenal sebagai partai lurus hati,
sebenarnya tidak begitu akur dengan Beng kauw. Tetapi
sesudah tokoh-tokohnya ditolong Boe Kie di Bin hoat sie,
partai-partai tersebut rata-rata berhutang budi.
Disamping itu, Cioe Cie Jiak adalah Ciangboenjin dari
Go-bie-pay yang mempunyai kedudukan tinggi dalam
Rimba Persilatan. Walau pun tidak datang sendiri, para
ciang-boen-jin partai-partai itu mengirim wakil ke Hauw
cioe untuk membawa barang antaran. Thio Sam hong
sendiri tidak bisa datang. Sebagai bingkisan, orang tua itu
menulis empat huruf "Kee-jie-,Kee-hoe," (Suami isteri yang
baik ) diatas selembar sutera. Sutera itu bersama jilid kitab
Thay Kek-koen yang ditulis sendiri, diserahkan kepada
Song Wan Kiauw. Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang juga
mendapat tugas untuk pergi ke Hauw coe guna memberi
selamat dan doa restu kepada sepasang mempelai itu.
Waktu itu Yo Poet Hwie sudah menikah dengan In Lie
Heng dan ia mengikut ke Hauwcioe, begitu bertemu,
2355
dengan girang Boe Kie berseru, "Lok-Soe-cim!“
Muka Yo Poet Hwie lantas saja berubah merah. Ia
menarik tangan Boe Kie dan lalu menuturkan segala
pengalamannya semenjak meraka berpisahan. Ia girang
tercampur terharu.
Sebab kuatir Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe
menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai Thay
soepeknya, maka Boe Kie lalu memerintahkan Wie It
Siauw pergi ke Boe-tong san sebagai wakilnya untuk
menghaturkan terima kasih kepada Thio Sam Hong.
Kepada Ceng ek Hok ong, Boe Kie menceritakan sapak
terjang Song Ceng Soe yang sudah membinasakan Boh
Seng Kok dan berniat untuk mencelakai Thio Sam Hong. Ia
memesan, supaya sesudah bertemu dengan Thio Sam
Hong, Wie It Siauw harus menemani Jie Thay Giam dan
Thio Siong Kee untuk berjaga-jaga terhadap tipu muslihat
Tan Yoe Liang. Sesudah Song Wan Kjuuw bertiga kembali
di Boe tong san, barulah Wie It Siauw pulang.
Mendengar penuturan itu, paras muka Ceng ek Hok ong
berubah merah padam. "Atas nasihat Kauwcoe, Wie It
Siauw tidak berani mengisap lagi darah manusia," katanya
dengan suara gusar. "Tapi jika bertemu dengan kedua
penjahat itu, aku pasti akan mengisap habis darah mereka."
"Terhadap Tan Yoe Liang, Wie heng boleh berbuat
sesuka hati," kata Boe Kie. "Tapi Song Ceng Soe adalah
putera tunggal Song Toasoepeh dan ia selalu dianggap
sebagai calon ciangboenjin dari Boe tong pay. Kalau dia
berdosa, biarlah Boe tong pay sendiri yang menghukumnya.
Dengan memandang muka Song Toa soepeh, Wie heng
tidak boleh melanggar selembar rambutpun." Wie It Siauw
mengiakan dan segera berpamitan.
Pada Sha gwee Ceecap ( bulan tiga tanggal sepuluh ),
2356
sejumlah murid wanita Go-bie tiba di Hauwcioe dengan
membawa antaran. Teng Bin Koen sendiri tidak muncul.
Lima hari kemudian tibalah hari pernikahan. Pagi-pagi
sekali orang sudah berdandan dan mengenakan pakaian
yang sebaik-baiknya. Upacara sembahyang kepada Bumi
dan Langit itu segera akan dilakukan di gedung hartawan
terkaya di kota Hauwcioe, Gedung itu dihias seindahindahnya.
Yang menjadi cu hun (yang memegang peranan
orang tua) pengantin lelaki adalah In Thian Ceng, sedang
Siang Gie Coen menjadi cu hun pengantin perempuan. Tiat
koan Toojin mendapat tugas untuk menjaga keselamatan
kota Hauw cioe selama pesta. Guna menjaga merembasnya
musuh, dia harus mengatur penjagaan diseluruh kota yang
dilakukan oleh sejumlah murid Beng kauw pilihan. Diluar
kota dijaga oleh Tong Ho yang memimpin satu pasukan
tentara. Pagi itu sebagai tamu terakhir datang wakil-wakil
Siauw Lim pay dan Hwa san yang membawa barang
antaran.
(Begitu tiba waktu Sia sie ( antara jam tiga dan lima sore
), terdengarlah bunyi meriam sebagai tanda dimulainya
upacara pernikahan.
Yo Siauw dan Hoan Yauw mengundang semua tamu
masuk di toa-thia ( ruangan besar). Tak lama kemudian,
diapit oleh In Lie Heng dan Han Lim Jie, Boe Kie keluar
dengan diiring suara tetabuhan dan hampir berbareng, Cie
Jiak juga masuk ke ruangan upacara dengan dikawani oleh
delapan murid wanita Go bie. Kedua mempelai lantas saja
berdiri berendeng.
"Sembahyang kepada langit!" teriak pemimpin upacara.
Baru saja Boe Kie dan Cie Jiak mau berlutut tiba-tiba
diluar pintu terdengar bentakan yang merdu, "Tahan !” Di
lain detik, seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau
2357
muda sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Wanita itu
bukan lain daripada Tio Beng.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu mengejutkan semua
orang. Tokoh-tokoh Beng kauw dan berbagai partai
persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia
Kang ouw, tidak pernah mimpi, bahwa Tio Beng berani
datang seorang diri ke tempat ini. Beberapa orang yang
beradat berangasan lantas saja bergerak untuk menyerang.
"Tahan dulu!" bentak Yo Siauw. Sambil menyoja para
tamu, ia berkata pula. "Hari ini adalah hari paling
beruntung dari Kauwcoe kami dan Ciangboenjin Go biepay.
Tio-Kouwnio datang berkunjung dan beliau adalah
tamu kami. Dengan memandang muka Go-bie-pay dan
Beng kauw, kami mohon kalian suka melupakan ganjalan
lama untuk sementara waktu jangan melakukan sesuatu
yang tidak pantas terhadap Tio Kouwnio." Sehabis berkata
begitu, ia memberi isyarat kepada Swee Poet Tek dan
Pheng Eng Giok dengan kedipan mata. Kedua kawan itu
mengerti maksudnya. Mereka segera meninggalkan ruangan
itu dan menyelidiki jumlah jago-jago yang mungkin dibawa
Tio Beng.
"Tio Kouwnio, kau duduklah sambil menyaksikan
pernikahan," kata Yo Siauw pula. "Sesudah upacara, kami
akan mengundang Tio-Kouwnio untuk turut minum arak
kegirangan."
Tio Beng tersenyum. "Aku hanya ingin bicara beberapa
patah dengan Thio Kauwcoe," katanya. "Sehabis bicara,
aku akan segera berlalu."
"Sesudah upacara, nona boleh bicara." kata Yo Siauw.
"Sesudah upacara, sudah terlambat." jawabnya.
Yo Siauw dan Hoan Yauw saling mengawasi. Mereka
2358
mengerti, bahwa Tio Beng sengaja datang untuk mengacau
dan biar bagaimana pun jua, mereka harus mencegah,
supaya pesta itu tidak menjadi gagal. Yo Siauw lantas saja
maju dua tindak. "Tio Kouwnio," katanya dengan suara
menyeramkan. "Sebagai tuan rumah kami tidak ingin
bertindak secara melanggar kepantasan dan kami
mengharap, bahwa sebagai tamu, Tio Kouwnio juga bisa
menghormati diri sendiri.” Ia telah mengambil keputusan,
bahwa jika Tio Beng rewel, ia akan menotok jalan
darahnya.
Si nona menengok kepada Hoan Yauw dan berkata,
"Kauw Taysoe orang mau turun tangan terhadapku. Apa
kau tak menolong ?"
"Koencoe," kata bekas orang sebawahan itu. "Di dalam
dunia sering terjadi kejadian yang tak cocok dengan
kemauan kita. Dalam hal ini kuharap Koencoe tak
memaksakan sesuatu yang tak bisa dipaksakan lagi."
Si nona tertawa manis. "Tapi aku mau paksa juga,"
katanya. Ia berpaling kearah Boe Kie dan berkata pula.
"Thio Boe Kie, kau adalah pemimpin Beng kauw. Sekarang
aku mau tanya. Apakah perkataan seorang lelaki sejati tetap
dipertahankan atau tidak?"
Begitu Tio Beng muncul, Boe Kie sangat berkuatir. Ia
hanya berdoa supaya Yo Siauw berhasil membujuknya
supaya dia lantas berlalu. Mendengar pertanyaan itu
jantungnya memukul keras. Ia tak dapat menjawab lain dari
pada "Tetap dipertahankan."
“Hari itu,” kata Tio Beng, ketika aku menolong jiwa In
Lioksiokmu, kau telah berjanji akan melakukan, tiga rupa
pekerjaan untukku. Bukankah benar begitu?"
"Benar. Kau ingin pinjam lihat To liong to. Kau bukan
saja sudah melihat, kau bahkan sudah mencuri golok
2359
mustika itu."
Selama beberapa puluh tahun jago-jago Kangouw gagal
dalam usaha mencari golok mustika itu. Maka itu, begitu
mendengar bahwa To liong to sudah jatuh ke tangan Tio
Beng, mereka lantas saja menjadi gempar.
"Dimana adanya To liong to hanya diketahui oleh Kim
mo Say ong Cia Taihiap," kata Tio Beng. "Kau boleh tanya
ayah angkatmu sendiri
Kembalinya Cia Soen ke Tionggoan belum diketahui
oleh banyak orang. Keterangan Tio Beng sangat
mengejutkan dan suara ramai-ramai lantas saja berhenti.
"Siang malam aku memikiri dimana adanya Giehoe,”
kata Boe Kie. "Jika kau tahu, aku mohon kau sudi
memberitahukan kepadaku."
Si nona tertawa. '"Kau sudah berjanji akan melakukan
tiga pekerjaan, asal saja tidak bertentangan dengan
kesatriaan dalam Rimba Persilatan," katanya. "Mengenai
permintaan untuk pinjam lihat To liong to dapat dikatakan
sudah dipenuhi olehmu. Walaupun golok itu belakangan
hilang, aku tak bisa mempersalahkan kau. Sekarang
permintaanku yang kedua. Thio Boe Kie di hadapan para
orang gagah kau tidak boleh hilang kepercayaan."
"Pekerjaan apa yang harus aku lakukan?" tanya Boe Kie.
"Tio Kouwnio," sela Yo Siauw. "Mengenai janji
Kauwcoe kami yang bersyarat itu, bukan saja Kauwcoe
kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw
turut memikul tanggungan untuk menunaikannya. Tapi
sekarang adalah saat yang sangat penting, saat
bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcoe kami
dengan pengantinnya. Maka itu, aku harap soal ini ditunda
untuk sementara waktu dan janganlah Kouwnio merintangi
2360
upacara yang sedang berlangsung." Kata-kata yang terakhir
itu diucapkan dengan nada keras.
Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. Ia seolah-olah tidak
memandang sebelah mata kepada Kong beng Co soe yang
tersohor, "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada
Kauwcoe-mu terlebih penting lagi dan tidak boleh ditunda,”
katanya dengan suara ogah-ogahan. Tiba-tiba ia maju
beberapa tindak dan berbisik di kuping Boe Kie
"Permintaanku yang kedua ialah hari ini kau tak boleh
menikah dengan Cioe Kouwnio !"
BoeKie tertegun. "Apa?" ia menegas.
"Itulah pekerjaanmu yang kedua," jawabnya "Yang
ketiga aku akan berikan belakangan."
Biarpun bisik-bisik, setiap perkataan nona Tio didengar
tegas oleh Cie Jiak, Song Wan Kiauw, In Lie Heng dan
delapan murid Go bie yang mengiring pengantin
perempuan. Mereka semua terkejut dan paras muka mereka
lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu lantas saja
siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina
Ciang boen-jin mereka.
"Permintaanmu tidak bisa diturut olehku,'' kata Boe Kie.
"Kuharap kau suka memaafkan."
"Apa kau mau membatalkan janjimu sendiri?"
“Aku berjanji akan melakukan tiga pekerjaan yang
diminta olehmu asal saja pekerjaan itu tidak melanggar
‘hiap gie’. Aku dan Cioe Kouwnio telah setuju untuk
menjadi suami istri. Apabila aku menurut kemauanmu,
maka aku melanggar ‘gie’”.
Tio Beng tertawa dingin, “Kalau kau menikah dengan
dia, berarti kau melakukan perbuatan “put-hauw put-gie”,
katanya. “Pada waktu arak-arakan di Hong-shia, apakah
2361
kau tidak lihat gambaran cara bagaimana ayah angkatmu
diakali orang?”
Boe Kie meluap darahnya, “Tio Kouwnio!” bentaknya.
“Hari ini aku menghormati kau dan mengalah terhadapmu
karena kau adalah tamuku. Tapi kalau kau terus ngacobelo,
janganlah kau salahkan aku.”
Si nona tidak menggubris ancaman itu, “Apa benar kau
tidak mau melakukan pekerjaan kedua itu?” tanyanya
dengan suara tenang.
Boe Kie adalah orang yang berhati lemah. Tiba-tiba saja
ia ingat bahwa sebagai seorang koencoe yang mempunyai
kedudukan tinggai, Tio Beng rela memperlihatkan muka
sendiri dan meminta ia membatalkan pernikahan. Hal ini
pada hakikatnya merupakan satu bukti dari rasa cinta yang
tak terbalas. Mengingat itu tanpa terasa ia berkata dengan
suara lemah lembut.
“Tio Kouwnio…urusan sudah jadi begini…kau
mundurlah. Thio Boe Kie adalah seorang anak kampong.
Bagaimana cara…bagaimana cara…,” ia tidak dapat
meneruskan perkataannya.
“Baiklah,” kata si nona, “Tapi lihat! Apa ini?” Ia
membuka tangan kanannya dan menyodorkannya ke
hadapan Boe Kie. Begitu melihat, Boe Kie terkejut. Dengan
badan gemetaran ia berkata dengan suara terputus-putus,
“Ah!...ini….”
Tio Beng buru-buru menutup lagi telapak tangannya dan
memasukkan benda itu ke dalam sakunya. “Sekarang,
terserah kepada kau, apa kau suka melakukan pekerjaan
kedua itu atau tidak,” katanya seraya memuta badan dan
berjalan keluar.
Benda apa yang dilihat Boe Kie dan mengapa ia begitu
2362
kaget, tidak diketahui oleh orang lain. Cie Jiak sendiri yang
berdiri berendeng tidak bisa melihatnya karena mukanya
terhalang sutra merah.
“Kalau kau mau, kau boleh ikut aku,” kata Tio Beng
sambil terus berjalan.
“Tio Kouwnio!...tunggu dulu…segala hal dapat
didamaikan.”
Tapi si nona tidak meladeni.
Tiba-tiba Boe Kie memburu. “Baiklah!” teriaknya. “Aku
setuju untuk menunda pernikahan!”
Tio Beng menghentikan langkahnya.
“Kalau begitu ikut aku!” katanya.
Boe Kie maju dua langkah dan berhenti lagi. Ia
menengok ke arah Cie Jiak dan mengawasi nona Cioe
dengan sorot mata menyesal dan meminta maaf. Ia
kelihatannya seperti mau memberi penjelasan tapi Tio Beng
sudah berjalan keluar dengan langkah lebar. Keadaan
sangat mendesak dan ia harus mengambil keputusan cepat.
Di lain detik sambil menggertak gigi ia mengejar Tio Beng.
Baru saja ia memburu sampai di ambang pintu,
disampingnya mendadak berkelabat bayangan merah dan
orang lain sudah menerjang Tio Beng dari belakang.
Hampir bersamaan dari bawah tangan baju yang berwarna
merah menyambar lima jari tangan ke batok kepala si nona
Tio. Serangan itu adalah serangan yang membinasakan
yang dikirim secepat kilat. Yang menyerang tidak lain
adalah pengantin perempuan.
“Sungguh hebat! Dari mana Cie Jiak mendapat pukulan
itu?” pikir Boe Kie.
Biarpun sudah mempelajari macam-macam ilmu silat,
2363
Tio Beng tidak berdaya lagi. Pada detik yang sangat
berbahaya tanpa berpikir lagi Boe Kie melompat dan
meraih pergelangan tangan Cie Jiak. Nona Cioe menyikut
dengan sikut kirinya. “Duk!”, sikut it mampir tepat di dada
Boe Kie. Walaupun dilindungi Kioe-yang Sin-kang, Boe
Kie terhuyung dan darahnya bergolak, sebab tenaga
benturan itu bukan main kuatnya. Melihat pemimpinnya
menghadapi bahaya, Hoan Yauw melompat dan
mendorong pundak Cie Jiak. Dengan gerakan luar biasa si
nona ngebut pergelangan tangan Hoan Yauw dengan jarijari
tangannya dan segera Hoan Yauw separuh badannya
merasa kesemutan sehingga ia tidak bisa menyerang lagi.
Dengan adanya rintangan itu, Tio Beng sudah maju
setengah langkah sehingga batok kepalanya lolos dari
pukulan. Tiba-tiba ia merasakan sakit hebat karena lima jari
tangan Cie Jiak sudah menancap di pundak kanannya di
dekat leher.
Sambil mengeluarkan teriakan kaget, Boe Kie
mendorong calon istrinya. Dengan telapak tangan kiri Cie
Jiak membabat pergelangan tangan Boe Kie dan kemudian
dengan tubuh tidak bergerak ia mengirim pukulan berantai,
semuanya delapan pukulan. Mau tak mau Boe Kie
melindungi diri dengan Kian-koen Tay lo-ie.
Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata,
seluruh ruangan pesta sunyi senyap dan jago-jago Rimba
Persilatan menyaksikannya. Sambil menahan nafas Tio
Beng roboh dan darah mengucur dari lima lubang di
pundaknya.
Dilain saat Cie Jiak menghentikan serangannya. “Thio
Boe Kie!” bentaknya, “Sekarang kau benar-benar sudah
mabuk oleh perempuan siluman itu dan kau menyianyiakan
aku!”
2364
“Cie Jiak!” kata Boe Kie dengan suara memohon,
“Kuharap kau bisa membayangkan penderitaanku.
Menikah dengan kau sedikitpun Thio Boe Kie tidak merasa
menyesal. Aku hanya mohon supaya pernikahan ini
ditangguhkan untuk sementara waktu.”
“Sesudah pergi, kau jangan kembali lagi,” kata Cie Jiak
dengan suara dingin.
Sementara itu Tio Beng sudah bangun berdiri. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia berjalan keluar dengan darah
mengucur di pundaknya.
Orang-orang gagah yang hadir di situ sudah kenyang
menyaksikan kejadian-kejadian luar biasa dalam dunia ini,
tapi peristiwa berdarah semacam itu, saat dua jago
perempuan berebut suami adalah pengalaman yang pertama
kali.
Tiba-tiba Boe Kie membanting sebelah kakinya, “Cie
Jiak!” katanya dengan suara parau. “Budi Giehoe
terhadapku besar bagaikan gunung…kecintaannya
mendalam seperti lautan…Oh Cie Jiak! Kuharap kau
mengerti perasaanku….” Sehabis berkata begitu ia
menguber Tio Beng. In Thian-Ceng, Yo Siauw, Song wan
Siauw Song Wang Kiauw In Lie Heng dan lain-lain yang
tak tahu latar belakang kejadian itu tidak berani bergerak.
Saat semua orang kebingungan, tiba-tiba Cie Jiak
merobek sutra merah yang menutup kepalanya. “Tuantuan,
lihatlah!” teriaknya dengan suara nyaring. “Dia sudah
mengkhianati aku. Mulai hari ini, Cioe Cie Jiak dan orang
she Thio itu putus hubungan.” Seraya berkata begitu, ia
mengangkat coe koa dari kepalanya, mencengkeram
segenggam mutiara dan melemparkan cu khoa itu,
kemudian sambil menggertakkan gigi dengan kedua
tangannya ia meremas mutiara itu menjadi hancur seperti
2365
tepung dan jatuh ke lantai. “Jika aku tidak bisa mencuci
hinaan di hari ini, biarlah badanku hancur seperti mutiara
ini!” katanya dengan bernafsu. (Coe koa topi perhiasan
bertata mutiara)
Baru saja In Thian Ceng dan lain-lain mau mencoba
membujuk supaya ia bersabar dan menunggu kembalinya
Boe Kie yang tentu akan memberi penjelasan, Cie Jiak
sudah merobek pakaian pengantinnya dan melontarkannya
ke lantai, kemudian dengan gerakan yang indah ia
melompat ke atas genteng. In Thian Ceng dan kawankawannya
mengejar tapi si nona sudah lari jauh ke arah
Timur. Semua orang merasa kagum karena ilmu ringan
tubuh Cie Jiak ternyata tak berada di bawah Ceng ek Hok
ong Wie It Siauw. Karena tak sanggup mengejar, Yo Siauw
dan yang lainnya terpaksa kembali ke toathia.
Demikianlah karena pengacauan Tio Beng, pesta yang
meriah itu berakhir secara menyedihkan dan memalukan
Beng Kauw. Para tamu yang datang dari jauh tentu saja
merasa kecewa dan mereka mencoba menebak benda apa
yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie. Dari
perkataan Boe Kie, mereka menebak bahwa benda itu tentu
mempunyai hubungan dengan Cia Soen tapi tak
seorangpun bisa menebak tepat teka-teki itu.
Sesudah berdamai, delapan murid Go Bie segera
berpamitan. In Thian Ceng menghaturkan maaf dan
mengatakan bahwa ia akan membawa Boe Kie ke puncak
Go Bie untuk sekali lagi minta maaf dan kemudaian
melangsungkan upacara pernikahan yang tertunda itu. Ia
menyatakan harapannya agar persahabatan antara Go Bie
pay dan Beng Kauw tak menjadi terganggu. Para murid Go
Bie memberi jawaban samar-samar yang penuh rasa
dongkol dan mereka segera pergi untuk mencari Cie Jiak.
Benda apakah yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe
2366
Kie?
Benda itu adalah rambut manusia yang berwarna kuning
emas. Begitu melihat Boe Kie segera mengenali bahwa
rambut itu adalah rambut ayah angkatnya. Warna kuning
rambut itu berbeda dari warna kuning orang asing adalah
akibat dari latihan Lweekang yang luar biasa. Dapatlah
dimengerti bahwa begitu melihat rambut tersebut Boe Kie
segera menarik kesimpulan bahwa ayah angkatnya jatuh ke
tangan Tio Beng atau setidak-tidaknya si nona tahu di mana
adanya sang Giehoe.
Kecintaan Boe Kie terhadap Cia Soen tak berbeda dari
kecintaan seorang putra kandung terhadap ayah
kandungnya sendiri. Baginya di dalam dunia ini tak ada hal
yang lebih penting daripada keselamatan orang tua itu. Ia
kuatir bahwa jika ia melangsungkan upacara pernikahan
dengan Cie Jiak, dalam kegusarannya Tio Beng sgera
membunuh atau menyakiti Giehoenya. Di hadapan para
tamu ia tak bisa memberi penjelasan yang jelas. Di antara
tamu-tamu itu kecuali orang-orang Beng Kauw dan Boe
Tong pay sebagian besar ingin mencari Cia Soen baik untuk
membalas sakit hati maupun untuk merebut To Liong To.
Maka itu ia merasa sangat berdosa terhadap Cie Jiak demi
keselamatan sang ayah angkat, ia tak dapat berbuat lain
daripada menyusul Tio Beng.
Begitu keluar dari gedung pesta, ia lihat Tio Beng lari-lari
dengan darah menetes di sepanjang jalan. Ia mengempos
tenaga dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat
kemudian ia menghadang di depan si nona. “Tio
Kauwnio,” katanya, “Janganlah kau memaksa aku untuk
menjadi manusia tak berbudi yang akan di tertawai oleh
segenap orang gagah.”
Tio Beng terluka sangat berat. Dengan memusatkan
seluruh tenaganya, ia bisa juga mempertahankan diri.
2367
Begitulah melihat Boe Kie ia berkata dengan suara parau.
“Kau!...kau…” Karena mengeluarkan suara, pemusatan
tenaganya buyar dan sesaat itu juga, ia jatuh terguling.
Boe Kie membungkuk dan bertanya, “Di mana Giehoeku?”
“Bawalah aku untuk menolongnya,” jawab si nona,
“Aku akan menunjuk jalan.”
“Apa jiwanya terancam?” tanya Boe Kie pula.
“Giehoe-mu…dia…jatuh ke tangan Seng Koen!...,”
jawabnya.
Mendengar nama Seng Koen, hati Boe Kie mencelos. Ia
sudah tahu bahwa dalam pertempuran di Kong Beng teng,
manusia jahat itu hanya berlagak mati. Manusia itu
berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Dengan ayah
angkatnya, ia mempunyai permusuhan hebat. Jika sang
Giehoe jatuh ke dalam tangannya, dapatlah dibayangkan
betapa hebatnya bahaya yang mengancam jiwa orang tua
itu.
“Seorang diri, kau tak…tak…akan bisa menolong,” kata
Tio Beng pula, “Panggillah Yo Siauw…dan…yang lainlain….”
Seraya berkata begitu, ia menuding ke jurusan
Barat. Tiba-tiba kepalanya terkulai dan ia pingsan.
Hati Boe Kie seperti dibakar. Dengan tergesa-gesa ia
merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk
membalut luka si nona Tio. Sesudah itu ia menggapai
seorang anggota Beng Kauw yang kebetulan lewat dijalanan
itu. “Lekas kau beritahukan kepada Yo Co-soe bahwa
dengan membawa sejumlah pembantu, ia harus segera
menyusul aku ke jurusan barat,” pesannya. “Ada tugas
sangat penting yang perlu dikerjakan segera.” Orang itu
membungkuk dan segera berlalu dengan berlari-lari untuk
2368
menyampaikan pesan tersebut.
Sedikitpun Boe Kie tidak mau membuang-buang waktu.
Dengan mendukung Tio Beng itu ia segera lari ke pintu
kota dan minta segera disediakan seekor kuda pilihan.
Perwira yang menjaga pintu tidak berani membangkang
dan begitu kuda dituntun keluar, Boe Kie segera melompat
ke punggungnya dan mengaburkan ke jurusan barat.
Sesudah melalu belasan lie, tiba-tiba Boe Kie merasa
bahwa badan Tio Beng yang didukungnya makin lama
menjadi semakin dingin, ia memegang nadinya yang
ternyata sudah lemah. Ia kaget dan segera memeriksa luka
si nona. Dengan hati mencelos ia lihat lima lubang yang
sudah warna ungu hitam, suatu tanda bahwa nona Tio kena
racun yang sangat hebat. Sebagai murid Go Bie, bagaimana
Cie Jiak bisa memiliki ilmu yang begitu beracun?” tanyanya
di dalam hati. “Pukulannya yang hebat luar biasa bahkan
lebih hebat daripada Biat Coat Soethay sendiri. Sungguh
mengherankan.” Ia tahu bahwa jika tidak segera mendapat
pertolongan, Tio Beng akan binasa. Tapi ia sendiri tidak
membawa obat pemunah racun. Sesudah berpikir beberapa
saat, ia melompat turun dari punggung kuda dan dengan
mendukung si nona, ia segera mendaki sebuah gunung yang
terletak di sebelah kiri. Sambil memanjat dai
memperhatikan rumput-rumput untuk mencari daun obat
yang bisa memunahkan racun. Tapi sesudah beberapa saat,
sepohonpun tidak dapat ditemukan olehnya.
Dengan bingung ia berjalan terus. Mulutnya komatkamit
memohon pertolongan Tuhan. Tiba-tiba hatinya lega
sebab di sebelah kanan di dekat sebuah air tumpah, ia lihat
empat lima pohon yang kembangnya merah dan kembang
itu obat pemunah racun. Cepat-cepat ia meletakkan Tio
Beng di tanah. Sesudah melompati dua selokan, ia tiba di
sisi tumpahan. Tapi baru saja ia membungkuk untuk
2369
memetik bunga merah itu, dibelakangnya terdengar
bentakan seorang wanita, “Tahan!”
Ia menengok dan melihat tiga wanita yang berdiri di
seberang selokan. Ia mengenali bahwa salah seorang di
antaranya yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan
jubah pendeta, adalah Ceng hoe, murid Go Bie pay. Dua
yang lain, yang berusia muda dan mengenakan baju hitam
juga murid Go Bie tapi ia tak tahu namanya.
Dengan tangan memegang pedang terhunus, Ceng hoei
membentak, “Thio Kauwcoe! Ada apa kau datang ke sini?”
Boe Kie tidak segera menyahut. Ia terus memetik tiga
kuntum bunga merah yang segera dimasukkan ke dalam
mulutnya. “Ceng hoei Soethay,” katanya sambil
mengunyah kembang, “Apa kau membawa Hoed kong Kie
tok tan?” Hoed kong Kie tok tan adalah pil obat Go Bie pay
untuk memunahkan segala jenis racun dan mempunyai
khasiat lebih besar daripada bunga yang sedang
dikunyahnya. Ia tahu bahwa kalau turun gunung, hampir
setiap murid Go Bie pay selalu membawa obat mujarab itu.
“Perlu apa kau bertanya!” kata Ceng hoei.
“Tio Kouwnio kena racun hebat dan aku mohon supaya
Soethay sudi menghadiahkan tiga butir untuk
mengobatinya,” jawabnya.
Ceng hoei mendelik. “Perempuan siluman itu adalah
penjahat yang sudah membinasakan guruku,” katanya
dengan suara keras. “Semua murid Go Bie ingin merobek
kulitnya dan makan dagingnya. Hm!...Mereka kena racun
yang sangat hebat? Itulah akibat dosanya sudah melewati
takaran. Thio Kauwcoe, aku ingin tanya. Hari ini adalah
pernikahanmu dengan Ciangboen jin kami. Mengapa begitu
dibujuk perempuan siluman itu, kau…kau meninggalkan
ruang pesta? Di mana kau mau menempatkan muka
2370
Ciangboen jin kami, di mana kau menempatkan Go Bie pay
kami?”
Boe Kie menyoja. “Ceng hoei Soethay,” katanya, “Aku
perlu segera menolong jiwa manusia, aku sangat menderita
tapi tak bisa menceritakan penderitaanku sekarang. Aku
mohon kalian sudi memberi maaf. Kecintaanku pada Cie
Jiak tak akan berubah sampai mati. Langit dan bumi
menjadi saksinya.”
Ceng hoei hanya menafsirkan bahwa orang yang mau
ditolong adalah Tio Beng. Ia tak tahu bahwa selain Tio
Beng, Boe Kie pun perlu menolong Cia Soen. Maka itu ia
jadi lebih gusar. “Biarpun kau merasa perlu untuk
menolong dia sepantasnya kau harus menunggu sampai
selesai upacara pernikahan,” katanya, “Ha! Kau pandai
sekali bersilat lidah!”
Karena pengobatan atas diri Tio Beng tidak boleh
tertunda, Boe Kie tidak mau banyak bicara lagi. Ia
melompat mendekati nona Tio, merobek baju di bagian
pundak dan lalu menaruh bunga merah yang sudah
dikunyah di atas luka. Ia menyadari bahwa daging di sekitar
luka sudah bengkak dan berwarna lebih hitam. Ia kaget dan
sangat kuatir, kalau nona itu sampai binasa di samping rasa
duka dan menyesal, iapun tak akan bisa mencari ayah
angkatnya lagi. Tanpa petunjuk Tio Beng, dia mau mencari
di mana di dunia ini? Mungkin ayah angkatnya itu akan
binasa di tangan Seng Koen.
Selagi ia membalut luka dengan tangan gemetar, tiba-tiba
ia merasakan sambaran angin dan sebatang pedang
menikam dirinya. Tanpa menoleh, Boe Kie menyambut
dengan tangan kirinya…tiga jari tangannya mendorong
badan pedang dan serangan itu dapat dipunahkan. Dalam
menangkis serangan yang dikirim oleh Ceng hoei, Boe Kie
menggunakan ilmu yang istimewa. Kalau perhitungannya
2371
salah sedikit saja, tiga jari tangannya akan putus. Jangankan
tanpa melihat, dengan berhadap-hadapan saja seorang ahli
silat biasa tak akan berani menggunakan pukulan itu.
Sesudah pedangnya terdorong, Ceng hoei segera
mengerahkan tenaga pukulan untuk mengirim serangan
susulan. Diluar dugaan tenaga dorongan Boe Kie belum
habis dan dirinya sendiri turut terdorong sehingga ia
terhuyung beberapa langkah.
Ia tahu bahwa ia bukan tandingan Boe Kie. Tapi, karena
merasa bahwa hari ini Go Bie pay sudah mendapat hinaan
besar dan juga karena Tio Beng adalah musuh besar
partainya maka ia tidak mau menyerah begitu saja. Musuh
besar itu sudah kena racun hebat dan jika ia bisa
menghalang-halangi pertolongan Boe Kie, ia mungkin akan
bisa membalas sakit hati tanpa menggunakan pedang.
Berpikir begitu ia segera berteriak, “Kwa Soemoay, Auw
Soemoay, majulah!”
Kedua gadis remaja itu segera menghunus pedang dan
menerjang.
Boe Kie tertawa getir. “Dengan kalian bertiga aku sama
sekali tidak punya permusuhan,” katanya. “Mengapa kalian
mendesak begitu hebat?” Sambil berkata begitu ia
menangkis semua serangan dengan tangan kirinya sedang
tangan kanannya terus membalut luka.
Ketiga wanita itu menyerang sehebat-hebatnya tapi
dengan Kian koen Tay lo ie Sin kang, Boe Kie berhasil
menyelamatkan dirinya dari setiap serangan. Tiba-tiba Ceng
hoei membentak keras dan pedangnya menikam Tio Beng.
“Ah!” seru Boe Kie sambil menyentil badan pedang dengan
jarinya. “Trang!” Ceng hoei merasa telapak tangannya
terbeset dan pedangnya terpental ke tengah udara kemudian
patah dua dan jatuh ke tanah.
2372
Ceng hoei jadi kalap, ia melompat dan menotok
punggung Boe Kie pada hiat yang membinasakan. Biarpun
sabar, Boe Kie mendongkol juga. Ia menangkis dan
mendorong dengan keras sehingga tubuh niekouw itu
terpental dan jatuh tanpa ampun. Melihat kakak
seperguruannya roboh, si gadis she Kwa dan she Auw tidak
berani menyerang lagi.
Ketika itu Boe Kie sudah selesai membalut luka. Ia
menyadari bahwa nafas Tio Beng jadi makin lemah dan
hawa hitam makin menjalar. Ia tahu bahwa bunga merah
itu tidak bisa menolong banyak. Dengan terpaksa ia
menoleh ke Ceng hoei dan berkata dengan suara memohon,
“Ceng hoei Soethay, kau adalah murid Sang Buddha yang
selalu bertindak berdasarkan kasih. Kumohon kau sudi
memberi tiga butir Hoed kong Kie tok tan, jika kau sudi
meluluskan, seumur hidup aku takkan melupakan budimu
yang sangat besar.”
“Kau mimpi!” bentak Ceng hoei, “Jika kau menolong
perempuan siluman itu kau pun menjadi musuh besar dari
partai kami.”
Sedari tadi si gadis she Auw ingin sekali mencoba
membujuk Boe Kie tapi ia belum begitu berani membuka
suara. Sekarang ia tak bisa tahan lagi. “Thio Kauwcoe,”
katanya, “Aku dan Cioe Soecie begitu…begitu…baik.
Mengapa…mengapa…karena perempuan siluman itu…kau
jadi begitu? Sebaiknya kau kembali ke Cioe Soecie….” Ia
tidak bisa meneruskan perkataannya dan mukanya berubah
merah.
“Terima kasih atas maksud nona yang sangat baik,”
jawab Boe Kie. “Tapi aku tidak bisa melihat kebinasaan
dengan berpeluk tangan.” Sementara itu hawa hitam di
sekitar pundak Tio Beng sudah jadi lebih hebat. “Nona,”
katanya pula, “Apakah kau sudi menghadiahkan tiga butir
2373
Hoed kong Kie tok tan kepadaku? Nona, kau tolonglah,
Thio Boe Kie pasti membalas budimu.”
Nona she Auw itu berhenti, merasa kasihan dan segera
merogoh saku. Tapi melihat paras muka Ceng hoei yang
penuh kegusaran, ia tidak berani mengeluarkan pil itu.
“Auw Soemay,” bentak Ceng hoei. “Apa kau lupa sakit
hati kita? Jika kau serahkan pil itu aku akan binasakan
kau!”
“Ceng hoei Soethay!” bentak Boe Kie. “Kalau kau
sendiri tak sudi, akupun tidka memaksa tapi mengapa kau
menghalang-halangi orang lain.”
Ceng hoei tidak menyahut, sambil menaruh kedua
tangannya di dada, ia mundur selangkah demi selangkah,
“Auw Soemay, Kwa Soemay, berangkat!” serunya.
Melihat si pendeta mau kabur dalam hatinya Boe Kie
segera muncul keinginan untuk merampas obat. “Ceng hoei
Soethay,” katanya, “Apabila kau tetap tidak mau
menolong, kau jangan salahkan aku.” Seraya berkata
begitu, ia merangsek, Ceng hoei angkat tangan kirinya dan
tangan kanannya menyambar dari bawah tangan kiri, Boe
Kie miringkan muka untuk menghindari pukulan itu sedang
tangan kirinya menotok jalan darah di pundak Ceng hoei.
Begitu tertotok, bagian atas badan pendeta itu tidak bisa
bergerak lagi tapi dengan nekad ia menendang betis Boe
Kie.
Tendangan itu mampir tepat pada sasarannya tapi ia
mendadak merasa Yong coan hiat dibawah kakinya panas,
seluruh tubuhnya kesemutan dan ia berdiri terpaku.
“Thio Kauwcoe, jangan lukai Soecieku!” teriak si gadis
she Auw.
2374
“Tidak, sedikitpun aku tidak berniat mencelakai Soeciemu,”
jawabnya, “Tapi tolonglah ambil obat dari sakunya.”
“Auw Soemay!” bentak Ceng hoei. “Murid Go Bie boleh
mati tidak boleh dihina. Aku mau lihat kalau kau berani
ikut perintahnya.” Diancam begitu, si nona tidak berani
bergerak.
Sekarang Boe Kie tidak lagi menghiraukan adat istiadat
antara pria dan wanita. Ia segera merogoh saku Ceng hoei.
Fui! Ceng hoei menyembur dengan ludahnya, Boe Kie
miringkan kepalanya sambil menarik keluar tiga botol
kristal. Saat itu gadis she Kwa mendadak menikam dari
belakang.
Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan ujung pedang
menikam angin. Sesudah itu ia membuka tutup tiga botol
itu dan memeriksa isinya. Kemudian ia mengambil dan
mengunyah tiga butir Hoed kong Kie tok tan. Sesudah pil
itu hancur, yang separuh ia masukkan ke mulut Tio Beng
dan separuh lagi ia taburkan di lubang luka. Karena kuatir
tak cukup ia segera memasukkan botol obat ke dalam
sakunya. “Maaf!” katanya seraya membuka jalan darah
Ceng hoei. Akhirnya dengan mendukung Tio Beng ia lari
ke jurusan barat.
Boe Kie menoleh dan melihat berkelabatnya sehelai sinar
hijau. Ia terkesiap karena tangan kiri memegang pedang,
Ceng hoei sudah membacok putus lengannya sebatas
pundak. Ia segera sadar bahwa perbuatan nekad itu adalah
karena gerakannya sendiri. Tadi wkatu menangkis tikaman
si gadis she Kwa, secara tidak sengaja menyentuk kulit
tulang pi peo (tulang di antara lengan dan pundak) niekauw
itu. Sebagai seorang pendeta wanita yang suci bersih
sentuhan dari seorang pria dianggapnya sebagai suatu
hinaan dan kejadian yang sangat memalukan. Dalam
gusarnya ditambah dengan adatnya yang berangasan dan
2375
keras ia sudah memutuskan lengan kanannya sendiri, muali
dari bagian yang disentuh Boe Kie.
Sesudah melakukan perbuatan nekad itu dengan darah
mengucur badan Ceng hoei bergoyang-goyang tapi dengan
menggigit gigi ia mempertahankan diri supaya tidak roboh.
Boe Kie kembali dan sesudah meletakkan Tio Beng di
tanah, bagaikan kilat ia memberi tujuh totokan kepada
Ceng hoei untuk menghentikan keluarnya darah.
“Bangsat Mo Kauw, pergi!” bentak si niekauw.
Mendadak di sebelah kejauhan tiba-tiba terdengar suara
suitan dan si nona she Kwa segera mengeluarkan sebuah
suitan bambu yang lalu ditiupnya. Boe Kie tahu bahwa
itulah tanda Go Bie pay untuk mengumpulkan kawan.
Dilain saat, tujuh delapan orang sudah kelihatan
mendatangi sambil berlari-lari.
Boe Kie merasa bahwa datangnya bantuan itu jiwa Ceng
hoei tak perlu dikuatirkan lagi. Maka itu buru-buru ia
mendukung Tio Beng dan terus kabur.
Sesudah kira-kira tiga puluh li, mendadak terdengar
suara rintihan Tio Beng yang baru saja tersadar, “Apa…apa
aku masih hidup?” tanyanya.
Boe Kie girang, “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
“Pundakku sangat gatal,” jawabnya, “Hai!...Cioe
Kouwnio sungguh hebat.”
Boe Kie lalu merebahkannya di tanah dan memeriksa
pula lukanya. Ia sadar bahwa warna hitam belum berubah
hanyak ketukan nadi si nona sudah lebih keras daripada
tadi. Ia sekarang tahu bahwa Hoed kong Kie tok tan tidak
cukup kuat untuk melawan racun itu. Sesudah berpikir
sejenak, ia segera menghisap lubang luka itu menarik racun
2376
ke mulutnya membuangnya ke tanah. Sambil menahan bau
amis yang sangat tajam, ia mengisap racun itu dan
menyemburkannya berulang-ulang.
Sambil mengusap-usap rambut Boe Kie, Tio Beng
bertanya dengan rasa terima kasih yang sangat besar, “Boe
Kie Koko, apa kau bisa menebak latar belakang peristiwa
ini?”
Boe Kie tidak menjawab, beberapa saat kemudia ia
sudah mengisap habis semua racun dan pergi ke kolam
untuk berkumur. Ia kembali dan sesudah duduk di samping
nona Tio ia balik bertanya, “Latar belakang apa?”
“Cioe Kauwnio adalah murid sebuah partai lurus bersih.
Tapi mengapa ia memiliki ilmu yang sesat itu?”
“Akupun merasa sangat heran, siapa yang sudah
mengajarnya?”
Tio Beng tertawa, “Tak bisa lain, orang dari penjahat Mo
Kauw,” katanya.
Boe Kie pun turut tertawa. “Di dalam Mo Kauw
terdapat banyak sekali kepala iblis,” katanya. “Tapi
diantara mereka tak ada yang memiliki ilmu begitu. Hanya
Ong yang bisa menghisap darah manusia dan ilmu Thio
Boe Kie yang bisa menghisap pundak manusia yang agak
mirip dengan ilmu itu.”
Dengan penuh rasa bahagia, Tio Beng menyandarkan
kepalanya di dada Boe Kie, “Boe Kie Koko,” bisiknya.
“Hari ini aku sudah mengacaukan pernikahan. Apa kau
marah?”
Sungguh aneh, pada waktu itu sebaliknya daripada
berduka, Boe Kie merasa senang. Kecuali memikirkan Cia
Soen, ia bahkan merasa tenang dan beruntung. Mengapa
bisa begitu? Ia sendiri tak tahu sebab musebabnya tapi ia
2377
tentu saja merasa malu untuk memberitahukan si nona
perasaan hatinya yang sebenarnya. “Tentu saja aku marah,”
jawabnya. “Di kemudian hari aku pun akan mengacaukan
pernikahanmu.”
Muka Tio Beng segera berubah dadu, “Jika kau berani,
aku akan bunuh kau,” katanya tersenyum.
Mendadak Boe Kie menghela nafas.
“Mengapa kau menghela nafas?”
“Entah siapa yang pada penitipan dahulu telah
melakukan perbuatan mulia sehingga dalam penitisan
sekarang ia begitu beruntung untuk menjadi Koen bee ya.”
(Koen bee ya suami seorang putri raja muda)
“Sekarang masih ada waktu untuk kau sendiri
melakukan perbuatan mulia,” kata si nona.
Jantung Boe Kie memukul keras, “Apa?” tegasnya.
Tapi si nona segera memalingkan kepala ke jurusan lain
dan tidak menyahut.
Sesudah pembicaraan tiba pada titik itu, mereka merasa
jengah utnuk berbicara lagi. Sesudah mengaso, Boe Kie lalu
menaruh obat baru pada lubang luka dan kemudian sambil
mendukung nona Tio ia meneruskan perjalanan ke jurusan
barat.
Malam itu mereka tidur dibawah langit dan pada
keesokan paginya mereka tiba di sebuah kota kecil. Karena
Tio Beng masih sangat lemah dan belum bisa menunggang
kuda maka Boe Kie hanya membeli seekor kuda untuk
ditunggang berdua.
Sesudah berjalan lima hari, mereka tiba di daerah Holam.
Pada hari keenam, selagi enak jalan di sebalah depan
tiba-tiba kelihatan debu mengebul dan tak lama kemudian
2378
mereka mendengar suara kaki kuda yang sangat ramai.
Mereka tahu bahwa itu pasukan angkatan darat Mongol.
Boe Kie buru-buru minggir dan menahan tunggangannya di
sisi jalan.
Pasukan itu terdiri dari beberapa ratus serdadu dan tak
memperdulikan Boe Kie dan Tio Beng. Sesudah mereka
lewat, di sebelah belakang mengikuti sekelompok
penunggang kuda yang tidak teratur.
Tiba-tiba Boe Kie mengeluh, “Celaka!” dan buru-buru
melengos ke jurusan lain.
Apa yang dilihatnya tidak lain adalah Sin cian Pat hiong,
delapan jago panah itu adalah bawahan Tio Beng. Ia bukan
takut tapi ia tahu bahwa jika ia dikenali mereka dia bakal
berabe sekali.
Kelompok itu yang terdiri kira-kira dua ratus orang lewat
tanpa memperhatikan Boe Kie dan Tio Beng yang di sisi
jalan. Sesudah mereka lewat, Boe Kie segera memutar
tangannya untuk meneruskan perjalanan.
Mendadak terdengar suara kaki kuda dan tiga
penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Begitu melihat
orang-orang itu, Boe Kie terkesiap. Orang yang ditengahtengah
yang menunggang kuda putih mengenakan pakaian
sulam dan topi emas sedangkan dua orang yang
mengapitnya Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.
Secepat mungkin Boe Kie mencoba memutar kepala
kuda, tapi sudah terlambat. “Koen coe Nio nio!” teriak Ho
Pit Ong, “Jangan takut!” Sehabis berteriak begitu ia bersiul
keras dan kelompok Sin cian Pat hiong segera kembali.
Dilain saat Boe Kie dan Tio Beng sudah dikurung.
Dengan perasaan ragu Boe Kie mengawasi si nona.
Apakah Tio Beng sudah lebih dulu mengatur datangnya
2379
bala bantuan ini? Tapi hatinya langsung lega sebab si nona
sendiri kelihatannya bingung. Ia memastikan bahwa nona
itu tidak menjual dia.
“Koko,” seru Tio Beng, “Sungguh tak sidangka bisa
bertemu dengan kau di tempat ini! Apa Thia-thia baik?”
Mendengar perkataan “Koko” (kakak) Boe Kie segera
mengawasi pemuda yang mengenakan pakaian sulam. Ia
segera mengenali bahwa dialah Kuh-kuh Temur, kakak Tio
Beng yang dikenal juga dengan nama Han Ong Po-po. Di
kota raja ia sudah pernah bertemu dengan pemuda
bangsawan itu tapi karena ia mencurahkan seluruh
perhatian kepada Hian beng Jie-loo maka ia tidak
memperhatikan kakak Tio Beng itu.
Melihat adiknya, Ong Po-po kaget bercampur girang. Ia
tidak mengenali Boe Kie. “Kau…kau…! Mengapa?...,”
katanya.
“Koko,” kata Tio Beng, “Aku dibokong musuh dan
mendapat luka beracun. Untung ditolong oleh Thio
Kauwcoe, tanpa pertolongannya aku tak akan bisa
berjumpa lagi dengan Koko.”
“Siauw ong-ya, dia tidak lain adalah Kauwcoe Mo
Kauw, Thio Boe Kie,” bisik Lok Thung Kek.
Sudah lama Ong Po-po mendengar nama Boe Kie. Ia
menduga bahwa adiknya bicara begitu karena diancam,
maka itu ia segera memberi tanda dengan kibasan tangan.
Melihat tanda itu, Hian beng Jie-loo segera mendekat dan
empat anggota Sin cian Pat hiong segera memasang anak
panah gendawa yang ditujukan ke punggung Boe Kie.
“Thio Kauwcoe,” kata Ong Po-po, “Kau adalah
pemimpin suatu agama dan seorang gagah terkenal.
Dengan menghina adikku bukankah akan ditertawai oleh
2380
semua orang? Lepaskan adikku! Hari ini aku ampuni
jiwamu.”
“Koko, mengapa kau berkata begitu,” kata Tio Beng.
“Sebaliknya dari menghina, Thio Kongcoe telah melepas
budi padaku.”
Ong Po-po masih menganggap bahwa adiknya berada
dibawah tekanan. “Thio Kauwcoe!” teriaknya, “Biarpun
kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi, kau tidak
akan bisa melawan jumlah yang besar. Lepaskanlah adikku!
Hari ini kita berdamai, Ong Po-po tidak akan melanggar
janji, kau tidak usah kuatir.”
Boe Kie merasa demi keselamatan Tio Beng, nona itu
memang lebih baik mengikuti kakaknya supaya bisa diobati
oleh tabib-tabib pandai daripada ikut ia terlunta-lunta.
Maka itu ia segera berkata, “Tio Kauwnio, kakakmu sudah
dating, sebaiknya kita berpisah saja. Aku hanya memohon
agar kau memberitahukan di mana ayah angkatku berada
supaya aku bisa mencarinya. Tio Kauwnio, di kemudian
hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu.”
Sehabis berkata begitu, ia merasa sangat berduka dalam
hatinya.
Jawaban Tio Beng diluar dugaan. “Jika aku belum
memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap karena
mempunyai maksud yang dalam,” katanya, “Aku hanya
berjanji akan membawa kau ke tempat itu tapi aku tak bisa
memberitahukan tempat itu kepadamu.”
Boe Kie kaget. “Kau belum sembuh dan ikut aku sangat
tidak baik bagi kesehatanmu,” katanya, “Paling baik kau
ikut kakakmu.”
Tapi si nona menggelengkan kepala, sambil mengawasi
Boe Kie dengan sinar mata berduka ia berkata, “Kalau kau
tinggalkan aku, kau tidak akan dapat mencari Cia Tayhiap.
2381
Aku percaya bahwa aku akan sembuh dalam waktu singkat.
Aku yakain bahwa melakukan perjalanan adalah baik untuk
kesehatanku. Kalau aku pulang ke Ong hoe aku bisa mati
jengkel.”
“Siauw ong-ya,” kata Boe Kie kepada Ong Po-po,
“Cobalah kau bujuk adikmu.”
Ong Po-po merasa sangat heran tapi sesaat kemudian ia
berkata dengan suara tawar, “Kau jangan bercanda! Aku
tahu jari tanganmu memegang hiat yang membinasakan
adikku. Kau paksa dia untuk bicara begitu.”
Melihat dirinya masih dicurigai, Boe Kie melompat
turun dari tunggangannya.
Selagi ia melompat turun, dua anggota Sin cian Pat
hiong mengira ia mau menyerang Ong Po-po segera
melepaskan anak panah ke punggungnya. Untuk
memperlihatkan kepandaiannya ia mengibas dengan Kian
koen Tau lo ie Sin kang. Kedua anak panah iu terpental
balik dan tepat menghantam kedua gendewa yang segera
menjadi patah. Kalau tidak lekas berkelit, kedua orang
itupun pasti sudah terluka berat. Melihat kepandaiannya
yang luar biasa itu kecuali Hian beng Jie-loo, semua orang
termasuk Ong Po-po sendiri merasa kagum sekali.
“Tio Kauwnio,” kata Boe Kie, “Sebaiknya kau pulang
dulu untuk berobat, setelah kau sembuh kita bisa bertemu
lagi.”
Tapi si nona menggelengkan kepalanya. “Tidak,”
jawabnya, “Tabib di Ong hoe mana bisa menandingi kau?
Thio Kongcoe, kalau menolong orang, kau harus menolong
sampai akhir.”
Mendengar perkataan adiknya, Ong Po-po kaget
bercampur gusar. Saat itu Boe Kie berdiri agak jauh dari
2382
Tio Beng maka Ong Po-po segera menoleh ke Hian beng
Jie-loo dan berkata, “Tolong kalian lindungi adikku. Ayo
berangkat!”
“Baik!” jawab mereka yang lalu mendekati Tio Beng.
“Lok Hi Jie we Sian seng!” kata si nona dengan nyaring,
“Ada satu urusan penting yang harus diselesaikan olehku
dan Thio Kauwcoe. Tenaga kami berdua justru tak cukup
maka kuminta kalian sudi untuk membantu.”
Kedua kakek itu melirik Ong Po-po. “Sepak terjang
kepala siluman Mo Kauw selalu menyeleweng dan
Koencoe Nio nio tidak boleh mendekati dia,” kata Lok
Thung Kek, “Paling baik Koencoe Nio nio ikut Siauw ongya.”
Alis si nona berdiri. “Apa sekarang Jie wie hanya mau
menuruti perkataan kakakku dan tak sudi lagi mendengar
perkataanku?” tanyanya dengan marah.
“Ajakan Siauw ong-ya adalah untuk kebaikan Koencoe
Nio nio sendiri,” kata Lok Thung Kek sambil tertawa,
“Nasihatnya keluar dair hati yang mencintai.”
Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. “Koko,”
katanya, “Atas seijin Thia-thia aku berkelana di dunia Kang
ouw, kau tak usah kuatir. Aku bisa menjada diri sendiri jika
bertemu Thia-thia sampaikanlah hormatku.”
Ong Po-po tahu bahwa si adik sangat disayang oleh ayah
mereka dan sebenarnya ia tidak berani terlalu mendesak
tapi perginya adik seorang diri dengan Boe Kie biar
bagaimanapun juga tak dapat diijinkan olehnya. Melihat si
adik sudah mengedut tali untuk segera berangkat, ia segera
menghadang dan berkata, “Hian moay, Thia-thia akan
segera tiba di sini. Kau tunggulah sebentar, beritahukan
dulu Thia-thia sebelum kau berangkat.”
2383
“Begitu Thia-thia datang aku tentu dihalangi,” kata si
nona, “Koko aku tidak ikut campur urusanmu kaupun
jangan ikut campur urusanku.”
Ong Po-po melirik Boe Kie, melihat pemuda yang gagah
dan tampan romannya itu dan mendengar perkataan
adiknya, ia tahu si adik sudah cinta. Tapi Beng Kauw telah
memberontak dan Kauwcoe Beng Kauw adalah kepala
pemberontak. Ia gusar bercampur bingung. Terang-terang
adiknya sudah dipengaruhi oleh kepala pemberontak itu.
Bencana yang dihadapi bukan bencana kecil, demikian
pikirnya.

Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru