Cerita Silat Jawa 8 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Jawa 8 Toliongto
- Cersil Indo 7 Toliongto
- Cersil Jawa 6 : To Liong To
- Cerita Silat Mandarin 5 :Pedang Langit dan Golok P...
- Cerita Silat Populer Ke 4 : Toliongto
- Cersil Romantis Mandarin : Toliongto 3
- Cerita Silat Menggairahkan : To Liong To 2
- Cersil Top Banget : To Liong To Pendekar Bukie 1
- Kumpulan Cerita Silat Cersil Kembalinya Pendekar R...
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Ilmu
silat Boe tong bersumber dari Siauw lim. Jika hari ini kedua
belah pihak tukar menukar ilmu, maka dikemudian hari,
orang orang yang tidak tahu duduknya persoalan, akan
mengatakan, bahwa meskipun ilmu silat Boe tong
bersumber dari Siauw lim, Siauw lim pay pun pernah
memperoleh pelajaran dari Thio Cinjin. Sebagai Ciang
boenjin dari Siauw lim pay, desas desus yang semacam itu
benar-benar tidak bisa di pertanggung jawabkan oleh Siauw
ceng."
Diam-diam Sam Hong menghela napas. Ia merasa
menyesal, bahwa Kong boen Taysoe, salah seorang dari
empat pendeta suci, bisa mempunyai pemandangan yang
sedemikian sempit. Akan tetapi karena kedatangannya
adalah untuk meminta bantuan orang, maka sebisa-bisanya
ia menahan sabar dan tidak menegur. "Sam wie adalah
Seng Ceng (Pendeta suci), selalu menaruh belas kasihan
terhadap segenap umat manusia" Katanya dengan suara
memohon: " Jiwa anak ini tergantung atas selembar rambut.
Maka itu, dengan mengingat welas asihnya Sang Buddha,
siauwtoo memohon pertolongan dan untuk itu, siauwtoo
berterima kasih tidak habisnya."
Kong tie tertawa dingin. "Benar, memang benar seorang
beribadat harus menaruh belas kasihan kepada, ummat
manusia," katanya dengan tawar. "Tapi berapa banyak
murid Siauw lim telah binasa didalam tangan Thio Coei
697
San Thio Ngo hiap dan isterinya? Karena mereka berdua
sudah membunuh diri sendiri, kamipun tidak mau menarik
panjang urusan ini. Kalau mau ditarik panjang, kalau kami
mau bersendirian, bahwa satu jiwa harus dibayar dengan
satu jiwa pula, maka anak inipun harus diserahkan untuk
membayar hutang."
Semenjak tadi, Boe Kie yang berdiri disamping kakek
gurunya sudah naik darah. Sebegitu jauh, sedapat dapatnya
ia menekan hawa amarahtnya. Sekarang begitu mendengar
disebutkanaya ayah ibunya, ia tak bisa menahan sabar lagi.
"Thay soecouw," katanya dengan suara nyaring,
"hweeshio hweeshio ini telah melaksanakan kematiannya
ayah dan ibuku. Aku lebih suka lantas mati sekarang
daripada memohon pertolongan mereka!"
"Diam!" bentak Sam Hong. "Dihadapan orang orang tua,
tak boleh kau ngaco-belo. Kematian ayah dan ibumu tiada
sangkut pautnya dengan pendeta pendeta suci itu."
Boe Kie tidak berani membuka mulut lagi. Tapi sebagai
seorang yang beradaat angkuh, diam-diam ia mengambil
keputusan untuk menolak pertolongan para pendeta itu,
andaikata pertolongan itu mau diberikan.
Selagi Sam Hong menohon dan memohon lagi, tiba-tiba
terdengar suara tindakan kuda dan lima orang penunggang
kuda kelihatan mendatangi. Orang yang berjalan paling
depan bertubuh tinggi besar dan beroman garang,
macamnya seperti satu pagoda besi. Begitu tiba didepan Lip
soat teng, ia menahan les dan berseru: "Bagus!"
Teriakan "bagus!" itu bagaikan suara halilintar, sehingga
semua orang terkejut.
Sambil mengawasi Kong boen, orang itu berkata: "Bwee
Ciok Kian dari Boe san pang ingin bertemu dengan Hong
698
thio Siauw lim Sie. Harap kalian sudi melaporkannya."
Kata kata itu yang diucapkan secara biasa, kedengaran
sangat keras dan menusuk telinga. Rupanya, sebab memiliki
suara keras yang wajar, ditambah dengan daya Lweekang,
maka suaranya begitu hebat.
Mendengar nama Bwee Ciok Kian, Boe Kie lantas saja
ingat peristiwa yang dialaminya pada dua tahun berselang,
yaitu waktu ia menghajar Ho Losam yang telah
mengancamnya dengan ulat berbisa. Melihat kegarangan
orang itu, ia lalu bersembunyi dibelakang sang kakek guru,
karena kuatir dikenali.
Kong boen mengerutkan alis. Ia yakin, bahwa tujuan
Bwee Ciok Kian adaiah untuk menyelidiki tempat
sembunyinya Cia Soen. Mengingat begitu, ia jadi lebih
mendongkol terhadap Coei San dan isterinya yang
dianggapnya sudah menyebar bibit penyakit. "Ada urusan
apa tuan mencari Hong thio kuil kami?"
Bwee Ciok Kian segera melompat turun dari
tunggangannya, dan menjawab seraya merangkap kedua
tangannya: "Aku ingin menyelidiki kediamannya seorang."
"Seorang, pendeta tidak mencampuri urusan luar, ia
hanya membaca kitab dan bersembahyang," kata Kong tie.
"Jika Bwee Pangcoe ingin menyelidiki kediaman seseorang,
Siauw lim sie bukan tempatnya."
"Bolehkah aku mendapat tahu, siapa adanya Taysoe ?"
tanya Ciok Kian.
"She dan nama adalah sesuatu yang berada di luar badan
dan seseorang boleh menggunakan ilmu apapun jua," jawab
Kong tie secara menyimpang.
"Hai! Nama saja Taysoe sungkan memberitahukan," kata
Bwee Ciok Kian dengan suara keras. "Kalau begitu,
699
perjalananku ke Siong san percuma saja."
Mendadak Kong tie mendapat serupa pikiran "Belum
tentu percuma." katanya. "Bukankah Pangcoe ingin
menyelidiki tempat kediaman Kim mo Say ong Cia Soen ?"
"Benar, puteraku yang sulung telah dibinasakan oleh Cia
Soen" jawabnya, "Jika Taysoe dapat memberi petunjuk,
segenap anggauta Boe san pang akan berterima kasih tidak
habisnya."
"Kedatangan Pangcoe dihari ini dan diwaktu ini adalah
kebetulan sekali," kata Kong tie. "Jika datang kemarin atau
datang besok, kedatangan Pangcoe akan percuma saja"
Mendengar itu, bukan main girangnya Bwee Ciok Kian.
"Terima kasih atas petunjuk Tay-soe." katanya.
"Dalam dunia hanya seorang yang tahu tempat
bersembunyinya Kim mo Say ong Cia Soen," kata Kong tie
dengan suara perlahan "Orang itu yalah saudara kecil yang
berdiri disitu. Dia adalah putera dari Thio Coei San, Thio
Ngohiap, dari Boe tong pay." Seraya berkata begitu, ia
menuding Boe Kie.
Waktu Bwee Ciok Kian baru datang, Boe Kie ketakutan
dan bersembunyi dibelakang Thio Sam Hong. Tapi
sekarang, melihat bahaya sudah tidak dapat dielakkan lagi
dan juga mendengar disebutkannya nama ayahnya, ia jadi
nekat. Ia merasa, bahwa sikap pengecut sangat menurunkan
keangkeran mendiang ayahnya. Ia segera maju ke depan
seraya berkata: "Bwee Pangcoe, kau sungguh tidak
mengenal malu !"
Semua orang terkesiap. Siapapun juga tak pernah
menduga, bahwa bocah kurus kering itu mempunyai nyali
yang begitu besar.
"Bocah ! Apa kau mau mampus!" bentak Bwee Ciok
700
Kian.
Boe Kie keder, tapi sambil mengempos semangat, ia
berkata: "Dua tahun lebih yang lalu kau telah menyuruh
seorang yang barnama Ho Loosam menyamar sebagai
murid Kay pang dan Ho Loosam itu telah coba menawan
aku. Benarkah begitu? Mengapa kau menggunakan nama
Kay pang ? Benar-benar kau tidak mengenal malu!"
Paras muka Bwee Ciok Kian merah padam. Ia
mengangkat tangannya, dan lalu menggaplok Boe Kie.
Sebab kuatir membinasakan si bocah, ia hanya
menggunakan sebagian tenaganya, tapi biarpun begitu,
tenaganya yang memang besar sudah pasti tak akan dapat
disambut oleh anak itu.
Boe Kie ingin melompat mundur, tapi sudah tidak
keburu lagi sebab tenaga telapak tangan Bwee Ciok Kian
sudah "menutup" seluruh tubuhnya dan napasnya lantas
saja menyesak. Karena tiada jalan, ia terpaksa mengangkat
tangannya untuk menangkis.
Mendadak, ia merasa dari punggungnya masuk semacam
hawa yang halus dan hangat. Sesaat itu tangannya sudah
kebentrok dengan tangan Bwee Pangcoe. "Plak!" tubuh
Bwee Ciok Kian terhuyung tiga tindak dan sesudah
mengerahkan tenaga Ciang kin toei, barulah ia bisa berdiri
tetap.
Bukan main rasa gusar dan malunya Bwee Pangcoe.
Mukanya yang merah padam berubah seperti warna hati
babi. Dengan mata seolah-olah mengeluarkan api, ia
menacap wajah Boe Kie.
Waktu Ho Loosam melaporkan kecelakaan yang
menimpa atas dirinya, ia tidak mau percaya. Sekarangpun,
bahkan sesudah mengalaminya sendiri, Ia masih tidak
percaya, bahwa bocah seperti Boe Kie mempunyai tenaga
701
yang begitu hebat. Tafsiran satu-satunya yalah anak itu
memiliki ilmu siluman.
Tapi para pendeta suci dari Siauw lim sie mengerti sebab
musabab dari kejadian yang aneh itu. Mereka tahu, bahwa
Thio Sam Hong telah membantu cucu muridnya dengan
ilmu Kat tee Coan kang (ilmu mengoperkan tenaga).
Dengan menggunakan ilmu tersebut, tangan Boe Kie
menyerupai sebatang tongkat yang, digunakan oleh Thio
Sam Hong untuk menangkis serangan lawan. Kat tee Coan
kang bukan ilmu yang terlalu sukar dipelajari. Tapi
penggunaan yang begitu bagus, sehingga tidak dapat dilihat
lawan, sungguh-sungguh luar biasa. Diam-diam ketiga
pendeta suci mengakui, bahwa mereka tidak mampu
melakuan apa yang dilakukan oleh Thio Sam Hong.
Dilain saat, Bwee Ciok Kian sudab membentak pula:
"Setan kecil! Sambut lagi pukulanku !" Ia mengempos
semangat dan menghantam dada Boe Kie dengan sepenuh
tenaga. Sambaran tenaga itu sedemikian hebat, sehingga
pakaian semua orang jadi bergoyang-goyang. Para pendeta
yang kena disambar angin pukulan, merasa dada mereka
menyesak dan buru-buru mengarahkan Lwee kang untuk
memunahkan tenaga itu.
Selama beberapa tahun Thio Sam Hong menutup diri
untuk merenungkan ilmu silat dan Ilmu Thay kek kang,
yang digubahnya sendiri sangat berbeda dengan Lweekang
dari partai mana pun jua. Ia menggunakan kelemahan
untuk melawan kekerasan, yang diam untuk menindas yang
bergerak, yang sedikit untuk merebohkan yang banyak,
yang kecil untuk menjatuhkan yang besar dan apa yang
paling diutamakan yalah ilmu "meminjam tenaga,
memukul tenaga."
Melihat pukulan Bwee Ciok Kian yang sehebat itu, Sam
Hong jadi mendongkol. "Kau sungguh kejam," katanya
702
didalam hati. "Terhadap anak yang masih begitu kecil, kau
turunkan tangan yang begitu berat. Jika aku tidak berada
disini, bukan kah Boe Kie akan bancur luluh?" Buru-buru ia
menempelkan telapak tangannya dipunggung Boe Kie dan
suatu daya Lweekang yang mahal dahsyat, yang dipatahkan
dari latihan hampir seratus tahun, lantas saja menerobos
masuk kedalam tubuh si bocah.
Sementara itu, Boe Kie sudah menyambut pukulan si
raksasa dengan mengangkat tangan kanan nya mendorong
dengan tangan kirinya, yaitu dengan menggunakan jurus
Kian liong Cay tian
"Plak!". kedua lengan tangan kebentrok, disusul dengan,
"aaah!", teriakan Bwee Ciok Kian yang tubuhnya terpental
keluar bagaikan layangan putus. Sebelum orang tahu apa
yang terjadi, badan si raksasa sudah jatuh diatas cabang
pohon siong tua yang tingginya kira-kira lima tombak dari
muka bumi. Begitu jatuh, si raksasa melupakan malu dan
berteriak-teriak dengan ketakutan.
Meskipun hebat tenaga Sam Hom adalah tenaga
"lembek", sehingga Bwee Ciok Kian tak terluka sedikitpun
jua. Tapi ia tidak berani melompat turun, karena tidak
mengerti ilmunya mengentengkan badan. Maka itu dengan
jantung berdebar keras, ia memeluk cabang pohon itu eraterat.
Semua orang menyaksikan kejadian itu dengan rasa
heran bercampur geli. Dua orang sebawahan Bwee Pangcoe
yang mahir dalam ilmu ringan badan, lantas saja bergerak
untuk menolong pemimpinnya.
Sementara itu, Sam Hong kelihatan bicara bisik bisik
dikuping Boe Kie yang manggut-manggutkan kepalanya. Si
bocah lantas saja menjemput sebutir batu kecil dan lalu
menyentilnya kearah cabang pohon yang sedang dipeluk
703
Bwee Pangcoe. Batu itu terbang dengan mengeluarkan
bunyi mengaung, "Tak".... cabang yang dipeluk si raksasa
patah dan tubuhnya yang seperti pagoda besi segera ambruk
kebawah! Boe Kie melompat dan menepuk punggung si
korban.
Waktu melayang jatuh, Ciok Kian merasa pasti, bahwa
ia akan terluka berat. Tapi diluar dugaan, ia dipapaki
dengan tepukan dan badannya lantas ngapung lagi keatas.
Selagi melayang kebawah untuk kedua kalinya, ia berniat
menggunakan gerakan Lee hie hoan sin (Ikan gabus
membalik badan) agar ia bisa hinggap ditanah diatas kedua
kakinya. Tapi heran sungguh, tepukan Boe Kie membuat
kaki tangannya lemas semua, sedikitpun tak dapat
digerakkan. Demikianlah, ia jatuh ambruk dan sesudah itu,
barulah ia dapat merangkak bangun.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa itu semua adalah
perbuatan Thio Sam Hong. Begitu bangun terdiri, ia
mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Enghiong
kecil, aku merasa takluk terhadapmu." Sehabis berkata
begitu, buruburu ia menyemplak kudanya dan mengajak
orang orangnya turun gunung secepat-cepatnya.
Kong boen dan yang lain-lain kaget tak kepalang. Sudah
lama mendengar kelihayan Thio Sam Hong, tapi baru
sekarang mereka menyaksikannya dan apa yang barusan
dipertunjukkan oleh pendiri Boe tong pay itu adalah lebih
hebat dari pada dugaan maka. Kong boen sebenarnya tak
sudi saling menukar ilmu, tapi sesudah melihat kelihayan
Sam Hong, ia berkata dalam hatinya: "Biar pun aku berlatih
lima puluh tahun lagi, aku tak akan dapat menandinginya.
Ia ternyata memiliki ilmu yang luar biasa, ia berkepandaian
jauh Iebih tinggi dari pada aku, sehingga kalau toh aku
tukar-menukar dengannya, aku tak rugi."
Memikir begitu, in lantas saja bertanya: "Thio Cinjin,
704
apakah ilmu Kat te Coan kang itu didapat dari Kioe yang
Cin keng?"
"Bukan," jawabnya. llmu ini dinamakan Thay kek kang,
adalah ciptaan Siauwtoo. Aku yang telah menggubahnya
dengan semacam ilmu pukulan yang diberi nama Thay kek
loan Sip sam sit (Tigabelas jurus ilmu pukulan Thay kek)
dan ilmu pukulan itu tiada sangkut pautnya dengan Kioe
yang Cin keng. Manakala Thaysoe sudah menolong cucu
muridku, aku tidak akan berlaku pelit dan bersedia untuk
merundingkan ilmu pukulan itu bersama-sama kalian."
Kong boen melirik Kong tie yang lantas saja
mengangguk. "Kalau begitu, baiklah," katanya, "Kami akan
membuka rahasia Kioe yang Cin keng kepada Thio
Kongcoe. Akan tetapi, kami hanya menurunkan ilmu itu
kepada Thio Kongcoe seorang dan Thio Kongcoe tidak
dapat mengajarkannya lagi kepada siapapun jua.
Disamping itu, Thio Kongcoe juga tidak boleh
menggunakan ilmu tersebut untuk bertempur dengan
murid-muridnya Siauw Iim sie. Dalam kedua perjanjian ini,
kamimenuntut sumpah yang berat dari Thio Kong coe"
Thio Sam Hong jadi girang sekali. "Boe Kie, kedua
syarat itu boleh diterima baik," katanya, "Ayolah, kau boleh
bersumpah !"
Tapi anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku
tidak mau bersumpah dan akupun tak sudi belajar ilmu
mereka," katanya.
Sang kakek guru terkejut, tapi ia lantas saja mengerti
perasaan anak itu. Ia tahu, bahwa Boe Kie beradat keras
dan lebih suka mati daripada memohon-mohon di hadapan
musuhnya. Maka itu, ia lantas saja menuntun anak itu dan
mengajaknya keluar Lip soat teng.
Sesudah terpisah agak jauh dari pendeta-pendeta Siauw
705
lim tie, ia berkata: "Anak, waktu mau berangkat, kau sudah
berjanji akan menerima pelajaran dari Siauw lim pay.
Mengapa sekarang ini kau justeru melanggar janji?"
"Mereka ingin aku bersumpah untuk tidak menggunakan
ilmu Kioe yang Cin keng terhadap murid-murid Siauw lim
sie," jawabnya. "dengan adanya sumpah itu, cara
bagaimana dibelakang hari aku bisa membalas dendam
sakit hatinya kedua orang tuaku"
"Kalau sekarang ini kau menolak pelajaran Kioe yang
Cin keng, dalam tempo setahun, kau akan meninggal
dunia," kata sang kakek guru. "Sesudah mati, bagaimana
kau bisa menuntut balas? Didalam dunia terdapat banyak
sekali ilmu silat yang sangat lihay. Jika nanti kau sudah
berhasil, kau bisa membales sakit hati dengan menggunakan
ilmu silat yang lain. Tak perlu kau menggunakan ilmu Kioe
yang Cin keng. Kalau sudah mencapai puncak ke
sempurnaan, ilmu manapun jua cukup untuk membalas
sakit hatimu."
Sesudah memikir sejenak, Boe Kie berkata "Baiklah, aku
turut perintah Thay soehoe." Mereka segera kembali ke Lip
soat teng. Boe Kie lantas saja menekuk lutut dan berkata
dengan suara nyaring: "Hari ini teecoe Thio Boe Kie
menerima pelajaran Kioe yang Cin keng dari pendeta suci
Siauw lim pay, dengan tujuan untuk mengobati luka.
Teecoe berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut
kepada orang lain dan juga tidak akan menggunakan ilmu
itu untuk bertempur dengan murid-murid Siauw lim sie.
Kalau teecoe melanggar janji, biarlah teecoe mati
membunuh diri sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh
ayah dan ibuku."
Sebagaimana diketahui, pada waktu baru terlahir, Boe
Kie telah diberikan kepada Cia Soen dan ia menggunakan
she Cia. Coei San dan isteri nya ingin menunggu putera
706
yang kedua guna menyambung turunan koluanga Thio.
Sesudah kedua suami isteri itu binasa dan mereka tak punya
anak yang lain, maka atas anjuran Lian Cioe, Lie Heng dan
lain-lain paman, Boe Kie menggunakan lagi she Thio.
Sesudah bersumpah, Boe Kie bangun berdiri.
"Dibelakang hari aku akan menggunakan lain ilmu untuk
membasmi hweeshio-hweeshio itu," pikirnya dengan
mendongkol.
Kong boen Thaysoe lantas saja merangkap kedua
tangannya dan memuji: "Siancay, siancay Siauw siecoe
(tuan kecil) telah bersumpah terlampau berat!" Ia berpaling
kearah Thio Sam Hong dan berkata pula: "Kami akan
mengajak Siauw sie coe kedalam kuil untuk memberikan
pelajaran Sin kang. Tapi bagaimana dengan Thay kek Sip
sam sit?"
"Aku minta kertas dan perabot tulis, dan di sini serta
sekarang juga aku akan menulis Thay kek sip sam sit serta
bagian-bagian Kioe yang Cinkeng yang dikenal olehku,"
jawabnya.
"Kalau begitu, baiklah," kata Kong boen yang lalu
memberi hormat dan kemudian bersama yang lainnya,
kembali kekuil dengan mengajak Boe kie.
Sambil berjalan, bukan main rasa mendongkolnya Boe
Kie. "Kioe yang kang Boe tong belum tentu kalah dari Kioe
yang kang Siauw lim" Pikirnya. "Kalau Thay Soehoe hanya
menukar Kioe yang kang dengan Kioe yang kang, itu baru
namanya adil. Tapi kamu mau ditambahkan juga dengan
Thay kek koen Sip sam sit. Di samping itu, sesudah
mempelajari Kioe yang kang Boe tong, kamu boleh
turunkan ilmu itu kepada orang lain dan juga boleh
menggunakannya terhadap murid murid Boe tong. Tapi
pihak Boe tong tidak boleh. Inilah sangat tidak adil. Karena
707
gara garaku seorang, Song Soepeh, Jie Soepeh dan yang
lain-lain tidak akan bisa mengangkat kepala lagi. Hai!
Bagaimana baiknya ?" la sangat berduka, tapi ia tidak berani
membantah perintah sang kakek guru.
Setibanya di dalam kuil, Kong boen mengantar kan Boe
Kie kesebuah kamar kecil. "Siauw Siecoo mengasolah
disini," katanya. "Aku akan segera mengirim orang untuk
mengajar ilmu kepadamu." Sehabis berkata begitu, ia
mengebas dangan tangan jubahnya dan jalanan darah
Sweehiat (jalanan darah yang jika tertotok menyebabkan
tidur pulas) Boe Kie lantas saja tertotok.
Kong boen Taysoe adalab salah seorang dari empat
pendeta suci dari Siauw lim sie. Tak usah dikatakan lagi, ia
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Begitu tertotok
jalan darahnya, Boe Kie segera pulas dan menurut
perhitungan, ia baru akan tersadar empat jam kemudian.
Tapi Kong boen tak tahu, bahwa anak itu memiliki
Lweekang luar biasa yang diturunkan oleh Cia Soen. Dan
karena adanya Lweekang itu kedudukan jalan darahnya
bisa berpindah-pindah. Dua tahun berselang, pada waktu ia
dibawa oleb penculik yang menyamar sebagai serdadu
Goan, jalan darah Ah hiatnya (jalan darah gagu) telah
ditotok. Tapi toh, ia masih dapat berteriak "ayah!"
Sekarangpun demikian. Baru pulas beberapa saat, ia sudah
tersadar kemball.
Sesudah ingatannya pulih, ia mendengar suara Kong tie
yang berkata: "Thio Tah tah adalah guru besar dari sebuah
partai sehingga kalau dia sudah menyanggupi, ilmu yang
ditulisnya pasti tidak palsu. Andaikata dia sengaja tidak
menulis terang, sesudah mempelajarinya, aku merasa pasti
kita akan mengerti."
Kecurigaan Boe Kie lantas saja timbul. Ia kuatir kalaukalau
pendeta-pendeta itu mau berlaku licik. Maka itu, ia
708
lantas saja memeramkan kedua matanya dan pura-pura
pulas.
Tapi kecurigaan itu sebenarnya tidaklah perlu. Biarpun
perhubungan antara Siauw lim dan Boe tong sudah agak
renggang, tapi Kong boen, Kong tie dan Kong seng adalah
pendeta suci yang tak akan merusak nama baik Siauw lim
sie dengan akal bulus.
"Thay kek Sip sam sit dan Boe tong Kioe yang kang yang
ditulis Thio Sam Hong sudah pasti tak palsu," kata Kong
boen. "Akan tetapi, kita sendiri belum pernah mempelajari
Siauw lim Kioe yang kang. Apakah untuk kepentingan
orang luar, kita harus memohon-mohon dihadapan Goan
tin?"
Boe Kie kaget. la tidak pernah menduga bahwa pendeta
pendeta suci itu belum pernah mempelajari Siauw lim Kioe
yang kang. Kekuatirannya lantas saja timbul. Ia kuatir
mereka turunkan ilmu palsu.
Sementara itu, Kong tie sudah berkata pula: "Soeheng,
kau adalah Ciang boen Hong thio (pemimpin partai dan
pemimpin kuil). Maka itu, menurut pendapatku,
perintahmu tak dibantah oleh Goan tin, tindakanmu ini
adalah untuk memperkaya Siauw lim pay dan bukan guna
kepentingan sendiri."
Kong Soen menghela napas. "Kalau Kong Kian Soeheng
masih hidup, kita boleh tak usah menhadapi kesukaran ini,"
katanya dengan suara meyesal. Sesudah berhenti sejenak, ia
berkata pula "Sam soetee, pergilah kau membawa Sek
thungku (tongkat timah) dan memberi perintah kepada
Goan tin, supaya ia turunkan ilmu Kioe yang kang kepada
pemuda she Thio itu."
"Baiklah," kata Kong tie.
709
Sebagaimana diketahui, waktu dulu Kak wan menghafal
Kioe yang Cin keng ada tiga orang yang mendengarnya,
yaitu Thio Sam Hong, Kwee Siang dan Boe sek Siansoe.
Belakangan Kioe yang kang yang diperkembangkan oleh
Thio Sam Hong dinamakan Boe tong Kioe yang kang, yang
diperkembangkan Kwee Siang dikenal sebegai Go bie Kioe
yang kang, sedang yang diperkembangkan oleh Boe sek
Siansoe yalah Siauw lim Kioe yang kang.
Karena sangat sulit, maka dalam tiap partai hanya
beberapa orang saja yang mewarisi ilmu itu. Dalam
kalangan Siauw lim sie, tak pernah ada seorang pun yang
memiliki tujuh puluh dua macam ilmu silat. Jumlah yang
mempelajari Siauw lim Kioe yang kang lebih sedikit lagi.
Dari jaman Boe sek sampai pada Kong kian, dalam setiap
turunan hanyalah seorang saja yang belajar dalam ilmu
tersebut. Mengapa? Karena, di samping memiliki banyak
sekali ilmu, murid-murid Siauw Lim sie selalu menganggap
Kak wan Taysoe sebagai murid pemburon, sehingga
biarpun Kioe yang kang sangat tinggi mutunya, sedikit
sekali yang suka mempelajarinya.
Hanya untuk menjaga supaya ilmu itu tidak menjadi
hilang, maka pada setiap turunan selalu ada seorang murid
yang mempelajarinya.
Pada jaman itu didalam kalangan Siauw lim sie hanya
murid penutup (murid yang diterima paling belakang) dari
Kong kian Taysoe yang mengerti Siauw Lim Kioe yang
kang. Tapi murid itu, yang bernama Goan tin, aneh sekali
adatnya. Ia tidak persudi keluar dari kamarnya dan kecuali
tiga pendeta suci, tak seorangpun dalam kuil yang di ladeni
olehnya.
Menurut kebiasaan, setiap tahun murid-murid Siauw lim
sie dijajal kepandaiannya oleh ketiga pendeta suci. Semua
murid mengambil bagian. Hanya Goan tin seorang yang
710
saban-saban mengatakan sakit, entah benar, entah bohong,
sehingga oleh karenanya, tak seorangpun yang tahu cetek
dalamnya kepandaiannya. Dan sekarang, karena Kioe yang
kang hanya dimiliki Goan tin seorang dan harus diturunkan
olehnya kepada Boe Kie, tidaklah heran kalau Kong boen
bertiga merasa sangsi.
Beberapa saat kemudian Kong tie kembali dan berKata
Goan tin sungguh aneh. Dia mengatakan, bahwa sesudah
mengabdi pada Sang Buddha, ia juga tidak mau bertemu
dangan orang luar, tapi karena Hong thio sudah
mengeluarkan perintah, maka ia bersedia untuk mengajar
ilmu dengan cara Kay tiang Coan tang (Mengajar ilmu
dengan teraling tirai).
"Sesukanyalah," kata Kong boen. "Soetee, bawalah
pemuda ini kepada Goan tin. Sesudah itu, perintah
pengurus dapur mengantarkan sebuah meja perjamuan ke
Lip soat teng. Biar bagaimanapun jua, Thio Sam Hong
adalah pemimpin dari sebuah partai besar dan kita tidak
boleh tidak berlaku hormat."
Sementara itu, Boe Kie terus berlagak pulas. Sesudah
lewat sekian lama, barulah datang seorang pendeta kecil
yang membawa makanan dan sesudah ia selesai bersantap,
pendeta itu lantas saja berkata: "Siauwsiecoe, ikutlah aku."
"Kemana?" tanyanya.
"Hong thio memerintahkan aku membawamu kepada
seseorang."
"Kepada siapa ?" tanya lagi Boe Kie.
"Hong thio memesan supaya aku jangan banyak bicara."
jawabnya.
Boe Kie mengeluarkan suara dihidung. Diam diam ia
mentertawai Kong boen bertiga, sebab ia sendiri sudah
711
tahu, bahwa ia bakal dibawa kepada Goan tin Hweshio.
Tanpa menanya lagi, ia lalu mengikuti pendeta kecil itu.
Sesudah melewati belasan gedung dan banyak pekarangan,
sehingga Boe Kie merasa sangat kagum akan luas dan
megahnya Siauw lim sie, barulah mereka tiba disebuah
bangunan kecil yang dikurung dengan pohon pohon siong
dan pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil
itu berseru: "Siauwsiecoe sudah tiba!"
"Masuk," demikian terdengar suara seseorang.
Boe Kie lantas saja mendorong pintu dan bertindak
masuk, sedang si pendeta kecil lalu mengunci pintu.
Si bocah mengawasi kesekitarnya. Kamar itu ternyata
sebuah kamar kosong. Kecuali selembar tikar ditengah
tengah, tidak terdapat apapun jua.
Sesudah mendengar bahwa Goan tin akan memberi
pelajaran dengan cara "Kay tiang Coan kang", ia menduga
bahwa dalam kamar itu dipasang semacam tirai. Di luar
dugaan, kamar itu bukan saja kosong melompong, tapi juga
tidak mempunyai lain pintu sehingga tak dapat ditebak dari
mana datangnya suara manusia yang barusan. Selagi ia
terheran-heran tiba-tiba terdengar pula suara itu: "Duduk!
Dengarlah aku segera menghafal Siauw lim Kioe yang
kang. Aku hanya akan menghafal satu kali. Terserah
kepadamu, berapa banyak yang bisa diingat olehmu. Hong
thio telah memerintahkan aku memberi pelajaran itu
kepadamu. Aku menurut perintah. Tapi apa kau mengerti
atau tidak adalah urusanmu sendiri."
Boe Kie memasang kuping. Sekarang barulah ia tahu
bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan Goan tin
hweeshio berdiam dikamar sebelah. Pada hakekatnya,
mengirim dari alingan tembok bukan kepandaian luar biasa.
712
Siapapun jua dapat melakukannya. Apa yang luar biasa
yalah suara Goan tin kedengarannya tegas sekali, seperti
juga ia bicara berhadap hadapan. "Lweekang pendeta itu
sungguh hebat," kata Boe Kie didalam hati.
Sesaat kemudian, oraag itu berkata perlahan lahan:
"Tubuh berdiri tegak, kedua tangan yang dirangkapkan
ditaruh didada, hawa tenang, semangat dipusatkan, hati
tenteram, paras muka mengunjuk sikap menghormat. Inilah
jurus pertama yang dinamakan Wie hok Yan couw (Wie
Hok mempersembahkan gada). Ingatlah!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula : "Kedua
tumit kaki ditancapkan diatas bumi. Kedua tangan
dipentang keluar dengan rata. Hati tenang hawa tentaram
mata membelalak mengawasi kedepan mulut ternganga. Ini
jurus kedua, Hoen tan Hang mo couw ( Memikul gada
untuk menakluki siluman ). Kau ingatlah."
Seterusnya ia menghafal jurus ketiga, keempat kelima
sampai pada jurus keduabelas. Mengenai jurus keduabelas,
ia berkata: "Jurus ini dinamakan Tiauw wie Yauw tauw
(Mengibas buntut, menggoyang kepala), dengan Kouwkoat
seperti berikut: Lutut lurut, lengan dilonjorkan, mendorong
dengan tangan sehingga mengenakan bumi. Mata
membelalak, menggoyangkan kepala, semangat dipusatkan
sehingga menjadi satu. Sesudah itu melempangkan tubuh
dan menjejak tanah dengan kaki, mengendurkan bahu,
memanjangkan lengan, menyabet tujuh kali kekiri kanan
dan sekarang sudah selesai Ilmu Kioe yang Ie kin, dikolong
langit tiada tandingan."
Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit
tiada tandingan", ia membentak: "Siapa mencuri
mendengar diluar? Masuk!"
"Brak!" pintu terpental dan sesosok tubuh manusia jatuh
713
ngusruk. Orang itu bukan lain daripada si pendeta kecil
yang tadi mengantar Boe Kie kekamar itu. Dia jatuh
meringkuk, kedua matanya meram dan pada mukanya
terlihat rasa sakit yang hebat. Boe Kie terkejut buru-buru ia
menghampiri untuk membangunkannya.
"Kau urus saja urusanmu sendiri," kata orang dikamar
sebelah, "Sekarang kau memerlukan semua kekuatan
otakmu untuk mengingat-ingat Kouw koat yang barusan
dihafal olehlu. Tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Dua belas jurus itu sudah diingat olehku seanteronya,"
kata si bocah.
"Apa benar? Coba kau hafal," kata Goan tin. Di dengar
dari nada suaranya, ia merasa heran bukan main.
Boe Kie lantas saja menghafal Kouw koat yang barusan
diturunkan kepadanya, dari jurus pertama Wie hok Hian
couw sampai Tiauw wie Yauw tauw, jurus kedua belas.
Benar saja, dalam hafalan itu, tak satu perkataanpun yang
salah.
Untuk sejenak Goan tin tak dapat mengeluarkan sepatah
kata. Waktu menerima perintah Kong boen untuk
mengajarkan Kioe yang kang kepada orang luar, ia
mendongkol dan jika mungkin, ia tentu sudah menolak.
Akan tetapi, peraturan dalam kuil Siauw lim sie selalu
dipegang keras dan perintah seorang Hong thio, merangkap
Ciangboenjin, tidak boleh dilanggar. Di samping itu,
perintah Kong boen hanya berbunyi "mengajar anak itu"
dan bukan "mengajar anak itu sampai dia paham". Maka
itu, menurut anggapannya, jika ia menghafal Kouw koat
cepat-cepat, paling banyak si bocah
akan ingat satu dua perkataan. Tapi diluar semua
perhitungannya, Boe Kie sudah berhasil memasukkan
Kouw koat selengkapnya kedalam otaknya. Ia merasa
714
kagum bukan main, karena kecerdasan dan bakat yang
begitu luar biasa sungguh jarang terdapat dalam dunia ini.
Melihat si pendeta kecil terus meringkuk dilantai, Boe
Kie merasa sangat tidak tega dan segera bertanya: "Siansoe,
apakah kedosaannya Siauw soehoe ini ?"
"Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu,"
jawabnya, tawar. "Aku telah menggunakan Kim kong Sian
ciang untuk mengajar adat kepada nya. Jangan kuatir.
Dalam beberapa saat, ia akan sembuh kembali." Ia berdiam
sejenak dan kemudian berkata lagi. "Aku tak tahu, mengapa
Hong thio memerintahkan aku memberi pelajaran Kioe
yang Sin kang kepadamu. Aku tidak tahu siapa namamu
dan kaupun tak usah tanya namaku. Aku tidak tahu ilmu
apa yang sudah pernah dipelajari olehmu. Akan tetapi, aku
merasa kagum akan kepintaranmu. kemudian hari, kau
mempunyai harapan yang tidak terbatas. Maka itu, aku
berniat untuk membantu kau, untuk membuka Kie king Pat
meh (pembuluh darah) diseluruh tubuhmu, supaya kalau
nanti kau berlatih dengan Kioe yang Sin kang, kau tidak
usah mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Boe Kie sempat menjawab, mendadak tembok
berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu! Boe Kie
kaget tak kepalang, ia mencelat dari tempat duduknya dan
berseru dengan suara tertahan: "Kau ...kau!..." Itulah
kenyataan yang terlalu mustahil ! Tapi, dengan matanya
sendiri, ia menyaksikan, bahwa tembok yang tebal itu sudah
berlubang karena sodokan tangan Goan tin, seolah-olah
tembok tidak lebih daripada tahu yang empuk.
"Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak
tanganku." memerintah Goan tin. "Aku tidak tahu she dan
namamu, akupun tidak tahu kau murid siapa. Hari ini kita
bertemu dan jodoh kita habis sampai disini."
715
Tahu maksud orang yang sangat baik. Pandangan Boe
Kie terhadap Goan tin lantas berubah. "Terima kasih atas
bantuan Siansoe," katanya seraya melonjorkan tangannya
dan menempelkan telapak tangannya ketangan si orang
aneh.
"Kendurkan tulang tulang dan otot-otot dalam tubuhmu
dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan," kata pula
Goan tin.
"Baiklah," kata Boe Kie. Sesaat kemudian, dari kedua
telapak tangan Goan tin keluar semacam hawa hangat yang
terus menembus ketelapak tangannya, terus naik kelengan
dan bahu. Hawa itu halus bagaikan selembar benang, tapi ia
dapat merasakan nyata sekali dan perlahan-lahan hawa
tersebut masuk kepembuluh darah.
Jika menemui rintangan dan tidak dapat segera
menembus, bawa itu berubah lemas dan menerjang
berulang-ulang sehingga rintangan ditembuskan. Sesudah
lewat delapan pembunuh darah besar hawa itu makin cepat
jalannya hingga Boe Kie merasa matanya berkunangkunang,
kepalanya terputar-putar dan berapa kali, ia seperti
mau jatuh tenguling.
Akan tetapi dari telapak tangan si orang aneh keluar
semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan Boe
Kie melekat keras pada telapak tangan Goan tin dan ia tak
sampai tenguling. Dilain saat, ia merasakan seluruh
badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia tentu sudah
kabur dan membuka baju untuk menerjun kedalam lautan
es disekitar Pang hweeto.
Sesudah lewat sekian lama, bawa panas itu
meninggalkan tubuhnya dan kembali ketelapak tangan
Goan tin. Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari
lubang itu, Goan tin berkata dengan suara dingin : "Kau
716
pergilah!"
Boe Kie melongok melalui lubang itu, tapi yang
dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi si orang aneh,
ia lantas saja berkata: "Terimakasih banyak atas budi
Siansoe yang sangat besar."
Sehabis berkata begitu, ia menekuk kedua lututnya.
Mendadak lengan Goan tin muncul lagi di lubang itu dan
mengibasnya. Hampir berbareng, tubuh Boe Kie terpentaI
dan jatuh diluar pintu. Orang itu ternyata sungkan
menerima kehormatan si bocah.
"Pergi kau beritahukan Hong thio, bahwa pelajaran Kioe
yang Sin kang telah diturunkan semua kepada Siauw siecoe,
juga bahwa Siauwsiecoe mempunyai peringatan yang
sangat kuat dan semua pelajaran itu sudah diingat olehnya."
"Baiklah," kata si pendeta kecil yang sudah tersadar dan
dengan muka pucat lalu berjalan keluar dari kamar itu.
Boe Kie mengikuti dan mereka berdua lantas saja
meninggalkan kuil. Diberbagai ruangan mereka bertemu
dengan banyak pendeta yang semua berjalan dengan
menundukkan kepala dan tanpa mengeluarkan sepatah
kata.
Didalam kuil terdapat ribuan orang, tapi suasana tetap
tenang dan sunyi. Boe Kie merasa kagum dan berkata
dalam hatinya: "Memang pantas sekali jika Siauw lim sie
dikenal sebagai pemimpin dari Rimba Persilatan." Jika
dibandingkan dengan keadaan di kuil Siauw lim sie, Giok
hie koan seolah-olah sebuah pasar, dimana semua orang
bergerak dan berbicara secara bebas dan merdeka. Hal ini
sudah terjadi karena, pertama, agama Tookauw memang
menganjurkan hidup bebas, dan kedua, sebab Thio Sam
717
Hong sendiri seorang yang beradat sederhana dan
sembarangan.
Setibanya mereka di Lip soat teng, Thio Sam Hong
sudah menulis tigapuluh lembar lebih tapi masih menulis
terus.
Melihat kerelaan dan pengorbanan guru besar itu Boe
Kie merasa terharu, dan dengan air mata berlinang linang,
ia berseru: "Thay soehoe!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Kioe yang
kang Cap jie sit sudah seluruhnya diturunkan kepada anak
oleh Siansoe,"
Sang kakek guru girang. "Bagus," katanya sambil
tertawa.
Sesudah menulis lagi beberapa lama, Thio Sam Hong
sudah menyelesaikan apa yang mau ditulisnya. Pendeta
yang melayani segera balik kekuil untuk memberi laporan
dan tidak lama kemudian, Kong boen, Kong tie dan Kong
seng datang di Lip soat teng, diikuti oleh seorang pemuda
yang berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Pemuda itu
mengenakan thungsha (jubah panjang) dan ia ternyata
seorang murid Siauw lim sie yang tidak menyukur rambut.
Thio Sam Hong merasa heran. Ia tahu bahwa menurut
peraturan Siauw Lim sie, sebelum lulus seorang murid
bukan pendeta tidak boleh keluar dari pintu kuil. Bagi
seorang biasa masuk di Siauw lim sie bukan gampang, tapi
keluar dari kuil itu lebih sukar lagi. Apa maksudnya Kong
boen mengajak seorang murid bukan pendeta? Tanpa
merasa, ia mengawasi pemuda itu yang jangkung kurus,
panjang lengannya dan pendek kakinya, sedang kedua
matanya bersinar terang, sehingga tidak dapat ditebak,
bahwa ia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa.
718
"Kami telah membuat Thio Cinjin banyak capai," kata
Kong boen sambil merangkap kedua tangannya.
Sam Hong bersenyum. "Terima kasih atas belas kasihan
Hong thio Soe heng, sehingga jiwa anak ini bisa ditolong,"
jawabnya sambil membungkuk. Sehabis berkata begitu, ia
menyodorkan tiga puluh lembar tulisan itu dan lalu berkata
pula: "Thay kek boen dan Sip sam sit dan Boe tong Kioe
yang kang semua sudah ditulis disini. Aku harap Sam wie
Soeheng suka memberi petunjuk petunjuk dan bahwa aku
sudah berani memperlihatkan kebodohanku dihadapan
kalian, kuharap kalian jangan mentertawai."
Kong boen menyambuti dan tanpa melihat lagi, ia segera
menyerahkan tulisan itu kepada pemuda yang berdiri
dibelakangnya. Si pemuda segera membacanya dengan
teliti, selembar demi selembar.
Sambil mencekal tangan Boe Kie, Sam Hong segera
meminta diri.
"Dalam kedatangan kalian, loolap sebenarnya harus
mengundang kalian berdiam disini beberapa hari, dan
bahwa loolap tidak dapat berbuat begini hatiku merasa
sangat tidak enak." kata Kong boen. "Maka sebagai
gantinya loolap hanya bisa mengundang Thio Cinjin
meneguk tiga cawan arak untuk mengunjuk hormat kami."
Pendeta arak dan kedua orang berilmu itu lantas saja ber
sama-sama mengeringkan tiga cawan dengan beruntun.
Sesudah itu Kong been, Kong tie dan Kong seng pun
turut memberi selamat jalan dengan tiga cawan arak.
Sesudah selesai, Sam Hong dan Boe Kie segera memberi
hormat dan memutar badan untuk berlalu. Sebelum
bertindak, sekonyong-konyong pemuda jangkung kurus itu
berkata: "Soepeh, ilmu silat yang ditulis Thio Cinjin tidak
berbeda dengan pelajaran kita. Semua yang telah dibaca
719
olehku, aku sudah belajar dari Soehoe."
Sam Hong terkejut.
"Omong kosong !" bentak Kong been, "Thay kek Sip sam
sit adalah mustika Boe tong pay yang digubah oleh Thio
Cinjin sendiri. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau
sudah pernah belajar ilmu itu?"
Si pemuda segera menyerahkan tulisan Thio Sam Hong
itu kepada Kong boen dan berkata: "Soepeh lihat saja
sendiri."
Kong boen menyambuti dan lalu membalik-balik
beberapa lembar dan kemudian menyerahkannya kepada
Kong tie dan Kong seng. Kedua pendeta itu juga membalikbalik
beberapa lembar. "Soeheng, benar saja ilmu ini masih
termasuk dalam lingkungan ilmu Siauw lim sie," katanya
dengan suara perlahan.
Sam Hong kaget bercampur gusar. Thay kek Sip sam sit
adalah hasil jerih payahnya selama tigapuluh tahun dan
baru pada tahun yang lalu, ilmu itu menjadi sempurna.
Intisari daripada ilmu itu ialah dengan kelemahan melawan
kekerasan, dengan bergerak lebih dulu. Azas-azas tersebut
justeru sebaliknya daripada azas azas ilmu silat Siauw lim
sie. Disamping itu, walaupun bersumber dari Kioe yang Cin
keng gubahan Tat mo Loo couw, Boe tong Kioe yang kang
sudah ditambah dengan banyak perobahan yang keluar dari
otaknya Sam Hong. Maka itulah, mendengar kata-kata si
pemuda dan Kong tie, guru besar itu jadi sangat
mendongkol. Tapi dilain saat, ia sudah dapat menebak
sebab musabab dari sikap Siauw lim. Ia mengerti, bahwa ia
kuatir dikatakan menerima pelajaran dari Bee tong pay
maka pendeta-pendeta suci itu sudah mengeluarkan siasat
tersebut.
Sementara itu, sambil mengangsurkan tulisan tulisan itu
720
kepada Sam Hong, Kong boen berkata: "limu silat Boe tong
bersumber dari Siauw Lim. Benar saja, apa yang ditulis
Thio Cinjin tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami."
Sam Hong tertawa. "Apa yang telah ditulis oleh si orang
she Thio, sedikitpun aku tidak merasa menyesal," katanya.
"Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan tidak
berharga. Jika Samwie tidak memerlukannya, sebaiknya
dibuang saja." Ia tidak menyambuti gabungan kertas itu
yang diangsurkan kepadanya.
"Dari kata-katamu, Thio Cinjin, rupanya kau tidak
percaya akan pengutaraan kami itu," kata Kong tie. Ia
berpaling kepada si pemuda seraya berkata pula: "Yoe
Liang, coba kau halal Thay kek Sip sam sit dan Kioe yang
kang yang diturunkan olehku kepadamu "
"Baiklah," jawab pemuda itu yang lantas saja menghafal
tulisan Sam Hong selengkapnya, sehuruf pun tidak ada
yang ketinggalan.
"Thay soehoe, orang itu menghafal dengan membaca
tulisanmu," Boe Kie menyelak. "Dan sekarang mereka
mengatakan, ilmu Thay soehoe tiada berbeda dengan ilmu
mereka. Sungguh tak mengenal malu"
Sam Hongpun tahu. Ia tertawa besar dan sambil
mengawasi pemuda itu, ia berkata: "Selagi ketiga pendeta
suci mengajak aku minum arak, tuan sudah menghafalkan
dua macam ilmu silatku. Kepintaran dan kecerdasan itu
tidak dimiliki Sam Hong. Boleh aku mendapat tahu she dan
nama tuan yang besar?"
"Cianpwee jangan memuji begitu tinggi," jawabnya.
"Boanpwee she Tan, bernama Yoe Liang."
"Saudara Tan," kata pula guru besar itu dengan suara
sungguh-sungguh. "Dengan kecerdasanmu, apapun jua
721
yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil. Aku hanya
mengharap, kau jangan mengambil jalan yang salah.
Dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin
mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan
kejujuran kita memperlakukan orang lain, dengan
kerendahan hati, kita membatasi diri."
Melihat sinar mata orang tua itu yang tajam bagaikan
pisau, Yoe Liang bergidik. Tapi dilain saat ia menjadi
mendongkol dan berkata dengan suara kaku: "Terima kasih
atas petunjuk Thio Cinjin. Tapi Boanpwee adalah murid
Siauw lim dan boan pwee mempunyai Soepeh, Soehoe dan
Soesiok untuk mengajar boanpwe."
"Benar," kata Sam Hong sambil tertawa. "Memang aku
si tua yang terlalu rewel."
Sesaat itu, Kong tie mengangsurkan gabungan kertas itu.
Hampir berbareng dengan itu si pendeta terhuyung dan Yoe
Liang yang berdiri didampingnya segera coba memeluknya.
Tapi tenaga Kong tie besar luar biasa dan pemuda itu yang
kena didorong, lantas saja terpental keluar pendopo dan
jatuh ditanah.
Dalam mengirim Lweekang itu, Sam Hong hanya
menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang tidak
berniat jahat. Maka itu, begitu mengerahkan Lweekang
kebagian kakinya, Kong tie sudah bisa berdiri tegah. Sam
Hong bersenyum seraya berkata: "Itulah ilmu dari Thay kek
Sip sam sit. Sekarang terbukti, bahwa walaupun kalian
berdua paham akan ilmu itu, tapi kalian belum mempunyai
tempo untuk berlatih. Selamat tinggal !" Dengan sekali
mengibas tangan, diudara beterbanganlah kepingankepingan
kertas yang sangat halus, yaitu kertas yang berisi
ilmu Thai kek dan Boe tong Kioe yang kang. Sambil
menuntun tangan Boe Kie, tanpa menengok lagi ia
meninggalkan Siauw sit sat.
722
Kong boen bertiga saling mengawasi dengatl mulut
ternganga. Mereka merasa kagum dan takluk akan
kepandaian orang tua itu. Disamping itu, merekapun
merasa agak menyesal. "Ilmu itu begitu lihay," kata Kong
boen didalam hati."Apa Yoe Liang sudah menghafakan
seanteronya? Jika satu huruf saja yang kelupaan, Siauw lim
akan menderita kerugian besar."
Malam itu didalam rumah penginapan Sam Hong
menyuruh Boe Kie berlatih menurut Kouw koat yang
diturunkan oleh Goan tin. Karena tidak ingin mendengar
dan melihat cara berlatihnya si bocah, ia sendiri tidur
disebuah kamar lain. Sebagai seorang yang berilmu tinggi,
jika ia melihat cara bersemedhi dan gerak-gerakannya serta
mendengar jalan pernapasan cucu muridnya itu, ia sudah
bisa mengetahui rahasia Siauw lim Kioe yang-kang.
Selama berada dalam perjalanan pulang, iapun belum
pernah menanyakan kemajuan Boe Kie. Meskipun ketiga
pendeta suci Siauw lim pay berpemandangan agak sempit,
akan tetapi mereka adalah orang-orang ternama dalam
kalangan Rimba persilatan sehingga ia percaya, mereka
tidak akan memberi pelajaran palsu.
Berselang beberapa hari, paras muka Boe kita sudah
berubah agak merah sehingga sang kakek guru jadi merasa
girang sekali. Sam Hong tahu, bahwa Boe Kie sudah
memiliki Kioe yang kang dari Boe tong dan Siauw lim yang
saling menambah kekurangan masing-masing. Ia percaya
penuh, bahwa kedua macam Kioe yang kang itu akan
cukup kuat untuk mengusir racun dingin Hianbeng Sin
ciang yang mengeram dalam tubuh si bocah.
Hari itu, mereka tiba ditepi sungai Han soei dan lalu
menyewa perahu untuk menyeberang.
Dengan rasa terharu, Sam Hong ingat pengalamannya
723
yang lampau. Ia ingat kesengsaraan dulu, pada waktu ia
kabur dari Siauw lim sie dan mau menyeberang sungai itu.
Waktu usianya tidak banyak berbeda dengan usia Boe Kie
sekarang.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa pada akhirnya ia
bisa menjadi pendiri Boe tong pay yang sekarang berdiri
berendeng dengan Siauw lim pay. Keadaan Boe Kie dihari
ini lebih bagus dan lebih unggul daripada diwaktu dulu. Ia
percaya, bahwa dikemudian hari, kedudukan bocah itu
akan lebih tinggi daripadanya. Mengingat begitu, tanpa ia
merasa ia bersenyum dan hatinya bunga.
Mendadak, lamunannya disadarkan oleh teriakan Boe
Kie: "Thay soehoe!.... Aku....aku..:." Suaranya
bergemetaran dan mukanya pucat pasi. Sam Hong
terkesiap. Muka anak itu merah dan pada warna kemerahmerahan
itu terdapat sinar hijau. "Thay soehoe!" teriak Boe
kie. "Aku....aku tak tahan!" Badannya bergoyang-goyang.
Dengan cepat tangan kiri sang kakek guru mencekal
pengelangan tangan Boe Kie sedang telapak tangan
kanannya ditempekan dijalan darah Leng-tay hiat
dipunggung si bocah. Tapi begitu lekas ia mengirim tenaga
dalam untuk membantu Boe Kie melawan racun dingin itu,
sekali lagi ia terkesiap karena Lweekangnya lantas saja
menerobos masuk ke Kie keng Pat meh. Boe Kie
mengeluarkan teriakan menyayat hati dan lalu pingsan.
Kaget orang tua itu bagaikan disambar halilintar. Buruburu
ia menotok untuk menutup dua belas Thay hiat
dibadan Boe Kie.
"Mengapa Kie keng Pat meh terbuka?" tanyanya didalam
hati. "Dengan terbukanya pembuluh darah, racun bisa
lantas masuk kedalam isi perut dan kalau sudah masuk
disitu maka sudah tentu tak akan bisa dibuyarkan lagi."
724
Sesudah berusia lebih dari satu abad dan sesudah
ilmunya menecapai puncak kesempurnaan, guru besar itu
tenang luar biasa. Tapi kali ini, ia tak dapat
mempertahankan ketenangannya. Jantungnya berdebar
keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya "Apa bisa
jadi, Siauw lim Kioe yang kang sedemikian hebat, sehingga
dalam beberapa hari saja ilmu itu sudah dapat membuka
pembuluh darah ?" Ia tanya lagi dirinya sendiri. "Tidak
mungkin! Pasti tidak mungkin ! Lie Heng dan Seng Kok
sudah berlatih belasan tahun, tapi latihan itu masih belum
cukup untuk membuka pembuluh darah."
Dengan Lweekangnya yang sangat tinggi, jikamau, Sam
Hong bisa membantu kedua muridnya untuk membuka
Kie-keng pat-meh. Akan tetapi, dalam memberi pelajaran,
ia selalu berpendirian bahwa sesuatu yang didapat dengan
latihan sendiri adalah lebih berhanga daripada yang
diperoleh atas bantuan orang. Dalam mengajar semua
muridnya dia tak mau tergesa-gesa. Ia membiarkan murid
murid itu berlatih sendiri dan maju dengan per lahan tapi
tentu.
Waktu itu, perahu yang ditumpangi mereka tiba ditengah
tengah sungai dan karena terdampar ombak, kendaraan air
yang kecil itu terombang ambing kian kemari tiada bedanya
seperti hati Thio Sam Hong yang bergoncang keras.
Beberapa saat kemudian, Boe Kie tersadar. Sesudah
keduabelas Tayhiatnya ditotok, racun dingin tidak bisa
masuk kedalam isi perutnya, akan tetapi, karena itu, ia tak
dapat menggerakkan badan.
Sekarang Sam Hong tidak menggubris lagi soal pantas
atau tidak pantas.
"Nak, bagaimana isi Siauw lim Kioe yang kang yang
diturunkan kepadamu?" tanyanya. "Mengapa semua
725
pembuluh darahmu jadi terbuka?"
"Yang membuka yalah Goan tin Siansoe," jawabnya. "Ia
mengatakan bahwa ia membantu supaya aku bisa berhasil
terlebih siang dalam latihan Kioe yang Sin kang."
"Tapi bagaimana ia jadi membantu kau?" tanya Sam
Hong, tergesa-gesa.
Boe Kie segera menceriterakan cara bagaimana ia
mendengar pembicaraan antara Kong boen dan Kong tie,
cara bagaimana Goan tin memberi pelajaran dengan
teraling tembok dan cara bagaimana pendeta aneh itu sudah
membantunya dalam membuka Kie keng Pat mah.
Untuk beberapa lama sang kakek guru tidak
mengeluarkan sepatah kata. "Kalau pembuluh darahmu
perlu dibuka dengan segera, apakah aku tidak dapat
melakukan itu?" katanya dengan suara perlahan. "Apa
maksud baik atau sengaja dia bermaksud jahat?"
"Goan tin Siansoe telah mengatakan berulang ulang
bahwa ia tak tahu she dan namaku, ia tak tahu rumah
perguruanku dan akupun tidak perlu tahu she dan
namanya," menerangkan Boe Kie.
"Goan tin .... Goan tin ...." Sam Hong berkata, seperti
pada dirinya sendiri, "Belum ... belum pernah aku
mendengar nama begitu diantara jago-jago Siauw lim sie.
Hm ... Ia tak tahu namamu, tak mengenal partaimu. Kalau
begitu, ia tak tahu perhubungan antara aku dan kau. Kalau
begitu, bantuannya itu, keluar dari hati yang baik."
Sesudah berkata itu, Sam Hong lalu menanyakan Kouw
koat Siauw Lim Kioe yang kang. Boe Kie lantas saja
menghafal, mulai dari jurus Wie hok Hian couw. Baru saja
ia menghafal sampai jurus ketiga. Ciang to Thian boen
(Dengan telapak tangan menyangga pintu langit), sang
726
kakek guru sudah berkata: "Cukup! Tak usah kau
menghafal terus. Tujuanku hanyalah untuk mengetahui
tulen palsunya ilmu yang diturunkan kepadamu. Mulai dari
sekarang, kau tidak boleh memberitahukan Siauw lim Kioe
yang Sin kang kepada siapapun jua. Kau mesti ingat, bahwa
kau tidak boleh melanggar sumpahmu yang sangat berat
"Baik," jawabnya sambil mengawasi muka sang kakek
guru, karena Sam Hong telah mengucapkau kata-kata itu
dengan suara gemetar. Ia melihat bahwa dalam kedua mata
orang tua itu mengembang air. Sebagai seorang yang sangat
pintar, ia mengerti, bahwa sang kakek guru sudah tak punya
harapan untuk menolong jiwanya lagi.
Mendadak, serupa ingatan berkelebat dalam otaknya.
"Thay Soehoe," katanya: "Apakah aku masih bisa bertahan
dan bisa pulang ke Boe tong san dengan masih bernyawa?"
"Jangan kau berkata begitu," jawab guru besar itu sambil
menahan mengucurnya air mata. "Biar bagaimanapun jua,
Thay soehoe akan berdaya untuk menolong jiwamu "
"Kalau aku masih bisa bertemu muka dengan Jie
Shapeh, aku sudah merasa puas," kata pula Boe Kie.
"Mengapa begitu?" tanya sang kakek guru.
"Sebab sesudah tidak bisa hidup, anak ingin membuka
rahasia Siauw lim Kioe yang kang ke pada Jie Shapeh"
jawabnya.
"Anak mengharap supaya dengan menggunakan Kioe
yang kang dari Boe tong dan Siauw lim, Shapeh akan dapat
menyembuhkan kaki tangannya yang bercacad. Sesuai
dengan sumpah anak akan menggorok leher sendiri seperti
yang telah dilakukan ayah, supaya dengan begitu, anak
dapat menebus sebaglan kecil dari ke dosaan ibu."
Bukan main rasa kaget dan terharunya Sam Hong. Tak
727
pernah ia menduga, bahwa bocah sekecil Boe Kie bisa
mempunyai pikiran begitu: "Ah ! ... Jangan kau .... bicara
.... yang tidak-tidak." katanya dengan suara parau.
"Hari itu, aku sudah mengerti duduknya persoalan," kata
Boe Kie. "Dengan menggunakan jarum beracun, ibu telah
melukakan Jie Shapeh sehingga Shapeh bercacad untuk
seumur hidupnya. Itulah sebabnya, mengapa ayah telah. .
.."
Sam Hong tak dapat mempertahankan diri lagi. Air
matanya lantas saja mengucur deras, sehingga membasahi
jubah pertapaannya. "Kau. .... kau tak boleh....memikir
yang tidak-tidak." katanya sambil menangis sedu-sedan.
Sesaat kemudian, sesudah menenteramkan hatinya, ia
berkata pula dengan suara angker: "Seorang laki laki harus
berjalan dijalanan lurus. Kau sudah berjanji, dengan disertai
sumpah berat, untuk tidak memberitahukan pelajaran
Siauw lim Kioe yang kang kepada siapapun jua. Janji itu
harus dipegang sampai pada akhirnya. Andaikata benar kau
bakal mati, aku juga tidak boleh berlaku licik."
Boe Kie terkejut. Ia mengawasi sang kakek guru dengan
mulut ternganga, akan kemudian manggut kan kepalanya.
Semenjak kecil sehingga pulang ke Tionggoan, Boe Kie
hidup bersama-sama kedua orang tua dan ayah angkatnya,
So So dan Cia Soen, memang bukan manusia yang bersih,
tapi bahkan Coei San sendiri belum pernah memberi
pelajaran bathin kepadanya. Maka itulah, ia belum
mengerti soal kehormatan dalam Rimba Persilatan.
Sekarang untuk pertama kali, ia menerima nasehat dari
kakek gurunya.
Dilain saat, Sam Hong berkata pula dalam hatinya:
"Sesudah tahu, bahwa jiwanya tidak bakal tertolong lagi,
anak itu rela membunuh diri guna menolong Thay Giam.
728
Jiwa yang sedemikian adalah sesuai dengan jiwa seorang
pendekar Rimba Persilatan."
Memikir begitu, ia lantas berniat memberi sedikit pujian
kepada Boe Kie, tapi, belum sampai ia membuka mulut,
sudah terdengar teriakan seseorang: "Hentikan perahu!
Serahkan anak itu! Kalau kau tidak menurut, jangan
katakan aku kejam." suara itu nyaring luar biasa, suatu
pertanda bahwa orang yang berteriak memiliki Lweekang
yang sangat tinggi.
Sam Hong bersenyum lebar. "Siapa yang bernyali begitu
besar. berani memerintahkan aku menyerahkau cucu
muridku ?" katanya didalam hati.
Ia mendongak dan melihat sebuah perahu kecil yang
didayung oleh seorang lelaki brewokan dan dengan
badannya, orang itu melindungi dua orang anak kecil, satu
lelaki dan satu perempuan. Dibelakang perahu kecil itu
mengejar sebuah perahu yang lebih besar, yang ditumpangi
oleh empat orang-orang Hoan ceng (Pendeta bukan
golongan Han) dan tujuh delapan perwira Mongol yang
mendayung perahu.
Lelaki brewokan itu bertenaga sangat besar dan
perahunya laju pesat sekali. Tapi perahu yang mengejar
didayung oleh orang yang jumlahnya jauh terlebih banyak,
sehingga makin lama jarak antara kedua perahu itu jadi
semakin pendek.
Beberapa saat kemudian, tampak ke empat Hoan ceng
dan perwira-perwira Mongol itu mulai melepaskan anak
panah.
Sekarang Sam Hong tahu, bahwa yang dimaui oleh
orang-orang itu adalah kedua anak kecil yang dilindungi
oleh si orang brewokan. Selama hidup, ia paling benci
serdadu-serdadu Mongol yang berbuat sewenang-wenang
729
terhadap orang Han dan seketika itu juga, didalam hatinya
timbut niatan untuk menolong. Tapi ia segera mengurung
kan niatannya itu, karena ia sendiri harus melindungi Boe
Kie yang sedang menderita penyakit berat. Disamping itu,
jarak antara perabunya dan kedua perahu yang sedang ubarubaran
itu masih terlalu jauh, sehingga biarpun ingin, ia tak
akan keburu menolong mereka.
Tapi dilain saat terjadi perkembangan yang di luar
dugaan. Dengan tangan kiri tetap mendayung perahu,
tangan kanan si brewok mengibas anak anak panah yang
menyambar dengan penggayuh yang satunya lagi. Tanpa
merasa, Sam Hong bersorak dan berkata dalam hatinya:
"Orang itu memiliki kepandaian luar biasa. Cara bagaimana
aku bisa mengawasi kecelakaan yang menimpa dirinya
seorang gagah dengan berpeluk tangan?" Ia lantas saja
berpaling kepada situkang perahu seraya berkata: "Coan kee
(tukang perahu), dayunglah perahumu kearah kedua perahu
itu!"
Si tukang perahu kaget tak kepalang. Sambil mengawasi
si kakek dengan mata membelalak ia berkata : "Loo too
ya... kau ... kau ... jangan guyon-guyon!"
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa mengeluarkan
sepatah kata, Sam Hong menyentak dayung dan dengan
sekali menggayuh, kepala perahu sudah terputar.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan menyayat hati.
Teriakan itu keluar dari mulutnya salah seorang anak yang
lelaki yang punggungnya tertancap sebatang anak panah.
Dalam kagetnya, si brewok membungkuk untuk
memeriksa luka anak laki-laki tersebut itu, dan selagi ia
membungkuk, dua batang anak panah mengenakan pundak
dan punggungnya. Ia mengeluar kan teriakan tertahan.
Badannya bengoyang-goyang dan dayung yang dicekalnya
730
jatuh ke air, sehingga perahunya lantas saja berhenti. Sesaat
kemudian perahu yang mengejar sudah menyandak dan
semua pengejar Ialu melompat keperahu si brewok. Tapi
dia laki-laki sejati. Biarpun dikurung oleh begitu banyak.
musuh, secara nekat-nekatan in melawan dengan tangan
kosong,
"Orang gagah, jangan takut !" teriak Thio Sam Hong.
"Aku akan datang menolong kau!" Sambil menggenjot
tubuhnya, ia melontarkan dua lembar papan ke air, kaki
kirinya menotol papan pertama, kaki kanannya papan
kedua dan bagaikan seekor burung raksasa, ia hinggap
diatas perahu. Selagi ia melompat, dua orang perwira
dengan berbareng melepaskan anak panah, tapi kedua anak
panah itu terpental dengan kibasan tangan. Begitu lekas
kedua kakinya menginjak geladak perahu, ia menghantam
dengan telapak tangan kirinya dan dua Hoan ceng,
terpental setombak lebih, akan kemudian tercebur didalam
air. Melihat kelihayan si kakek, semua orang kaget bukan
main; "Bangsat tua! Mau apa kau?" bentak perwira yang
memimpin rombongan.
"Anjing Tat coe !" Sam Hong balas mencaci. "Lagi - lagi
kamu mencelakakan rakyat baik baik. Pergi!'
"Kau tahu siapa mereka?" tanya si perwira. "Mereka
adalah anak-anaknya penghianat dari Mokauw (agama
siluman). Hong siang telah mengeluarkan firman untuk
membekuk mereka!"
Mendengar "penghianat dari Mokauw", Thio Sam Hong
rupanya terkejut juga. "Apakah mereka orang-orangnya
Tincoe Cioe Coe Ong?" Tanyanya didalam hati. Ia
menengok kepada sibrewok dan bertanya: "Apa benar?"
Dengan tubuh berlumpuran darah dan sambil memeluk
mayat anak lelaki itu, ia menangis dan berkata:
731
"Siauwcoekong (majikan kecil)... Siauw coekong binasa
dipanah oleh meraka.. "
Si kakek jadi makin kaget. "Apakah anak itu puteranya
Cioe Coe Ong?" tanyanya pula.
"Benar," jawabnya "Aku sudah gagal menunaikan
tugasku. Biarlah aku mati bersama sama".
Perlahan-lahan ia menaruh mayat di atas geladak perahu
dan kemudian menubruk perwira Mongol itu. Tapi, sebab
lukanya terlalu berat dan kedua anak panah itu belum
dicabut dari pundak dan punggungnya, maka begitu
melompat, ia roboh kembali. Nona kecil itu, yang
lengannya tertancap sebatang anak panah, menangis dan
sesambat: "Koko! Koko !... "
Didalam hati, Sam Hong merasa menyesal bahwa ia
sudah mencampuri urusannya Cioe Coe Ong. Akan tetapi,
karena sudah terlanjur, ia tak bisa mundur ditengah jalan.
Maka itu, ia menengok kepada siperwira dan berkata:
"Anak itu sudah binasa dan mereka berdua telah mendapat
luka berat, sehingga tak lama lagi merekapun akan turut
binasa. Kalian sudah berpahala besar. Pergilah!"
"Tidak bisa!" kata perwira itu. "Kami mesti memenggal
kepala ketiga orang itu."
"Perlu apa kalian berlaku begitu kejam ?" kata pula Sam
Hong.
"Siapa kau? Mengapa kau berani campur campur arusan
kami ?" tanya siperwira dengan aseran.
Sam Hong tertawa. "Siapa yang bisa menolong sesama
manusia, haruslah dia menolong," jawabnya. "Segala
urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia di
kolong langit."
732
Perwira itu melirik kawan-kawannya. "Siapa adanya
Tootiang dan di mana letak kuil mu?" tanyanya.
Mendadak, dua perwira lain mengangkat golok dan
menyabet pundak Sam Hong. Kedua senjata itu
menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit,
sungguh sukar untuk mengelakkannya. Tapi dengan hanya
sekali miringkan badan, guru besar itu sudah kelit senjata
musuh. Hampir berbareng, Sam Hong mengeluarkan kedua
tangannya yang lalu ditempelkan di punggung kedua
penyerang itu. "Pergilah !" Bentaknya seraya mendorong
dan tubuh kedua perwira itu lantas saja "terbang", akan
kemudian jatuh di atas perahu mereka sendiri.
Sesudah puluhan tahun Sam Hong belum pernah
bertempur dan hari ini ia sebenarnya menghadapi jago-jago
pilihan dari kaizar Mongol. Semua jago itu kaget tak
kepalang, sebab pihak mereka sedikitpun tak dapat berkutik.
Mendadak, seperti orang ingat sesuatu, pemimpin
rombongan menatap wajah Sam Hong dengan mulut
ternganga dan kemudian berkata dengan suara putus-putus:
"Kau ... kau .. apa kau bukan ..."
"Aku adalah seorang yang biasa membunuh Tat coe,"
kata sikakek seraya mengibas dengan lengan jubahnya.
Hampir berbarengan semua orang itu merasakan satu
sambaran angin dan dada mereka menyesak, sehingga
mereka tidak dapat mengetuarkan sepatah katapun. Dilain
saat, dengan muka pucat mereka berdulu dulu
meninggalkan perahu itu dan sesudah menolong kedua
Hoan ceng yang tercebur diair, mereka kabur secepat
mungkin dengan ramai-ramai mendayung perahu.
Melihat sibrewok dan nona cilik itu dilukakan dengan
anak panah beracun, Sam Hong segera mengeluarkan obat
pemunah racun. Sesudah itu ia mendayung perahu kecil
733
Itu, mendekati perahunya sendiri. Baru saja ia mau
memapah sibrewok untuk berpindah keperahunya, orang
itu sudah melompat dengan memeluk mayat dan tangan
lain menyekel tangan si nona kecil.
Sam Hong manggut-manggutkan kepala. "Benar-benar
laki-laki sejati," pujinya. "Meskipun sudah menderita luka
berat, ia tetap menunjuk kesetiaan kepada majikan kecilnya.
Aku tak merasa menyesal sudah menolongnya."
Ia sendiri lalu melompat balik keperahunya, dimana ia
segera mencabut anak panah yang menancap ditubuh si
brewok dan si gadis cilik. Sesudah menaruh obat luka dan
membalut luka itu,
Sam Hong tidak lantas mendarat, karena ia menghadapi
keadaan yang agak sukar. Boe Kie yang kedua belas Thay
hiatnya ditotok, tidak bisa berjalan sendiri, sedang si
brewok dan sinona kecil itu adalah pemburonan yang
sedang dicari oleh kaki tangan kaizar Mongol. Jika mereka
menginap di Loa ho kouw, Sam Hong merasa agak berat
untuk melindungi tiga orang itu. Sesudah mengasah otak
beberapa saat, ia merogoh saku bajunya, dan ia
mengeluarkan beberara tahil perak yang lalu diserahkan
kepada si tukang perahu.
"Saudara" katanya sambil bersenyum. "Aku ingin
meminta pertolonganmu untuk membawa mereka ke Thay
peng tiam supaya mereka bisa menginap disitu."
Si tukang perahu sebenarnya sangat ketakutan tapi
melihat jumlah uang yang begitu besar, ia lantas saja
manggut-manggut kepala.
Si brewok buru-buru berlutut diatas geladak perahu dan
berkata: "Budi Loo tooya yang sangat besar tak akan dapat
dibelas oleh Siang Gie Coen."
734
Sam Hong membangunkan orang itu seraya berkata
"Siang Enghiong, tak usah, tak usah kau jalankan peradatan
besar."
Tiba-tiba ia terkejut, sebab waktu tangannya menyentuh
tangan Siang Gie Coen, ia merasa tangan itu dingin luar
biasa. "Siang Enghiong apakah kau mendapat luka di dalam
badan ?" tanyanya.
"Benar", jawabnya sambil mengangguk. "Dengan
membawa kedua majikan kecil ini, Siauw jin (aku yang
rendah) berangkat dari Sin yang untuk pergi ke Selatan. Di
sepanjang jalan empat kali siauwjin bertempur dengan kuku
garuda (kaki tangan kaizar) yang dikirim oleh Tatcoe. Dada
dan punggungku telah terkena pukulan seorang Hoan
ceng."
Sam Hong segera memeriksa nadi Siang Gie Coen dan
mendapat kenyataan, bahwa denyutan nadi sudah lemah
sekali. Kemudian ia membuka baju si brewok dan begitu
melihat lukanya, ia terkejut, karena luka itu sudah bengkak
dan sangat berat. Ia mengerti, bahwa tanpa memiliki
kekuatan badan yang luar biasa, Siang Gie Coen tentu
sudah tidak dapat bertahan lagi. Ia segera mempersilahkan
Gie Coen mengaso digubuk perahu dan melarangnya
banyak bicara.
Mereka tiba di Thay pang kiam diwaktu malam. Sam
Hong lantas saja pergi ke kota untuk membeli obat-obatan
yang kemudian segera dimasak dan diberikan kepada Siang
Gie Coen dan sinona kecil.
Gadis itu, yang baru berusia kira-kira sepuluh tahun dan
yang paras mukanya mengunjuk, bahwa sesudah besar ia
bakal jadi seorang wanita yang luar biasa cantik, duduk
terpaku disamping mayat kakaknya. Melihat begitu, Sam
Hong merasa kasihan dan menanya dengan suara lemah
735
lembut: "Nona, siapa namamu?"
"Aku, Cioe Tit Jiak", jawabnya. "Bolehkah aku
mendapat tahu nama Too tiang?"
Rasa simpathi guru besar itu jadi makin besar karena
dalam kedukaannya, anak itu masih tetap agung dan sopan.
"Aku, Thio Sam Hong." jawabnya.
"Ah!" demikian terdengar teriakan Siang Gie Coen yang
lantas bangun duduk. "Kalau begitu Tootiang adalah Thio
Cinjin dari Boe tong san! Tak heran jika Tootiang memiliki
kepandaian yang begitu tinggi. Aku merasa sangat
beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu muka dengan
Sian tiang (dewa)"
"Jangan gunakan istilah dewa", kata si kakek seraya
bersenyum. "Aku hanya berumur lebih panjang dari
manusia kebanyakan Siang Enghiong, tidurlah. Jangan
banyak bergerak supaya lukamu tidak terbuka lagi."
Melihat kegagahan Siang Gie Coen dan sopan santunnya
Cioe Tit Jiak, Sam Hong merasa senang sekali. Tapi begitu
mengingat bahwa mereka itu adalah orang-orang dari
golongan sesat, hatinya lantas saja berubah dingin. "Jie wie
mendapat luka berat dan tidak boleh banyak bicara."
katanya dengan suara tawar.
Dulu, Thio Sam Hong sebenarnya tidak begitu
menghiraukan perbedaan antara golongan sesat dan lurus.
lapun pernah mengatakan kepada Coei San, bahwa "ceng"
(lurus besar) dan "sia" (sesat kotor) sukar dibedakan. Kalau
berhati tidak baik, murid murid dari partai lurus bersih bisa
melakukan perbuatan jahat, sedang murid-murid dari partai
yang katanya sesat kotor dapat melakukan perbuatan mulia,
jika hati mereka bersih. Ia juga pernah mengatakan, biarpun
angkuh dan beradat aneh, In Thian Ceng dari Peh bie kauw
adalah laki laki yang bertanggung jawab atas segala
736
perbuatan nya.
Akan tetapi, semenjak Coei San membunuh diri ia
membenci Peh bie Kauw. Ia menganggap, bahwa
kebinasaan Coei San dan kecelakaan Jie Thay Giam adalah
gara-gara Peh bie kauw. Walaupun ia masih dapat
menahan sabar dan tidak menuntut balas terhadap In Thian
Ceng, tapi didalam hatinya sudah terdapat kebencian yang
sangat terhadap partai golongan "sesat".
Cioe Coe Ong adalah murid terutama golongan Bie lek
cong dari "agama" sesat. Beberapa tahun yang lalu. Cioe
Coe Ong telah memberontak di Wan cioe dan mengangkat
dirinya sendiri menjadi "kaizar", dengan kerajaan yang
dinamakan "Cioe". Tapi bala tentaranya telah dibasmi habis
oleh tentara Goan, dan ia sendiri ditangkap dan di hukum
mati.
Bie lek cong dan Peh bie kauw mempunyai hubungan
erat. Waktu Cioe Coe Ong memberontak, In Thian Ceng
telah memberi banyak bantuan dari Ciat kang timur.
Bahwa Thio Sam Hong sudah menolong Siang Gie Coen
dan Cioe Tit Jiak, adalah karena didorong oleh rasa
kesatriaan dan juga sebab pada waktu turun tangan, ia
masih belum tahu siapa adanya mereka itu.
Sekarang, mengingat nasib dua orang muridnya, tanpa
merasa ia menghela napas panjang. Tak lama kemudian, si
tukang perahu sudah selasai masak dan menaruh empat
macam makanan dengan daging ayam, daging babi, ikan
dan sayur, bersama sebakul nasi dan diatas sebuah meja
kecil.
Sam Hong segera menyilakan kedua tamunya makan
lebih dulu, sebab ia sendiri ingin manyuapkan Boe Kie yang
tidak bisa bergerak. Atas pertanyaan Siang Gie Coen, ia
menerangkan sebab musababnya.
737
Karena hatinya berduka, Boe Kie tidak bisa makan
banyak. Baru saja menelan satu dua suap, ia sudah
menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba tiba Tit Jiak mengambil mangkok nasi dan sumpit
dari tangan Sam Hong. "Too tiang, kau makan lebih dulu.
Biar aku saja yang menyuapkan Toako," katanya.
"Aku sudah kenyang," kata Boe Kie.
"Toako, jika kau tak mau makan, Too tiang jadi kesal
dan iapun tidak akan mau makan," kata si nona dengan
halus. "Apa kau tega membiarkan orang tua itu kelaparan?"
Boe Kie merasa perkataan gadis itu ada benarnya juga.
Maka, waktu Tit Jiak mengangsurkan sendok nasi
kemulutnya, ia lalu membuka mulut data memakannya.
Dengan hati-hati, si nona kecil mencabut tulang-tulang ikan
dan ayam dan pada setiap sendok nasi, ia menambahkan
kuah daging, sehingga menimbulkan napsu makan dan
tidak lama kemudian, Boe Kie sudah menghabiskan
semangkok nasi.
Melihat begitu, Sam Hong merasa terhibur, Diam-diam
ia merasa bahwa dalam sakitnya yang begitu berat, Boe Kie
memang harus dirawat oleh seorang wanita yang halus budi
pekertinya. Semeatara itu, Siang Gie Coen makan dengan
bernapsu. Ia telah menghabiskan semangkok sayur dan
empat mangkok nasi, tapi daging dan ikan tidak disentuh
olehnya.
Dilain pihak, meskipun ia seorang toosoe, Sam Hong
sendiri makan makanan berjiwa. Melihat nafsu makan
Siang Gie Coen, ia segera menawarkan daging dan ikan
kepada tamunya itu.
"Thio Cinjin," kata si brewok, "Sebagai orang yang
memuja Po sat, aku tidak makan makanan berjiwa."
738
"Ah ! Aku lupa," kata Sam Hong.
Dalam kalangan "agama siluman", peraturan paling
dipegang keras sekali. Anggauta "agama" itu setiap hari
hanya diperbolehkan makan satu kali dan dilarang makan
makanan berjiwa. Peraturan itu sudah berjalan sedari jaman
kerajaan Tong. Oleh sebab sepanjang masa pemerintah
selalu berusaha untuk membasminya, sedang orang-orang
Rimba persilatan juga memandangnya rendah, maka
anggauta-anggauta "agama" sesat sangat berhati hati dalam
segala sepak terjangnya. Mereka tidak makan makanan
berjiwa karena dilarang "agama" nya tapi terhadap dunia
luar, mereka selalu mengatakan, bahwa mereka ciacay
(hanya makan sayur sayur) sebab menyembah Po sat atau
Sang Buddha. Mereka tidak berani mengakui siapa
sebenarnya mereka.
"Thio Cinjin, kau adalah penolong jiwaku," kata Siang
Gie Coen sesudah selesai bersantap. "Sesudah kau tahu
siapa adanya aku, akupun tak perlu menggunakan tedengtedeng
lagi. Aku adalah seorang anggauta Beng kauw yang
mengabdi kepada Beng coen. Agama kami dibenci oleb
kerajaan, dipandang rendah oleh partai-partai persilatan
yang lurus dan bahkan diejek oleh orang-orang "sejalan
hitam" (kawanan perampok). Tapi Thio Cinjia sendiri,
malah sesudah mengetahui asal usul kami, masih rela
menyodorkan tangan untuk menolong kami. Budi yang
sangat besar itu tak akan dapat dibalas."
Pemimpin besar dari "agama" sesat itu dinamakan "Moni",
sedang para penganut memanggitnya dengan panggilan
"Beng coen". Mereka menamakan "agama" mereka sebagai
"Beng kauw." (Agama terang), sedang orang luar memberi
nama "Mo kauw" atau Agama siluman.
Sam Hong mengawasi Gie Coen dengan mata tajam dan
berkata: "Siang Enghiong...."
739
"Lo too ya," memutus Gie Coen, "janganlah kau
menggunakan kata-kata enghiong. Panggil saja namaku,
Gie Coen."
"Baiklah," kata guru besar itu sambil mengangguk. "Gie
Coen, berapa usiamu sekarang?"
"Baru masuk duapuluh tahun," jawabnya.
Sam Hong mengawasi pemuda itu. Ia kelihatannya
banyak lebih tua lantaran berewoknya yang tebal. Dari
suara dan gerak-geriknya, ia memang masih muda sekali.
Sam Hong manggut-manggutkan kepalanya. "Kau baru
saja masuk usia dewasa, masih muda sekali," katanya.
"Biarpun kau sudah masuk kedalam agama sesat, masih
belum terlalu dalam. Jika kau mau memutar kepala, masih
belum terlambat. Aku ingin mempersembahkankan dengan
beberapa perkataan dan aku harap kau tidak menjadi
gusar."
"Ajaran Tootiang tentulah juga berharga seperti emas
dan batu kumala," kata pemuda itu sambil membungkuk.
"Mana bisa aku merasa gusar?"
"Baiklah", kata guru besar itu. "Aku ingin menasehati
supaya kau cepat-cepat mencuci hari dan mengubah muka
supaya kau segera meninggalkan agama yang sesat itu.
Manakala kau tidak mencela Boe tong pay yang ilmunya
cetek, aku akan memerintahkan supaya muridku yang
kepala, yaitu Song Wan Kiauw, menerima kau sebegai
murid. Dihari kamudian kau akan bisa mengangkat muka
dan tidak seorangpun berani memandang rendah lagi
kepadamu."
Song Wan Kiauw adalah kepala dari Boe tong cit hiap
dan namanya telah menggetarkan seluruh Rimba
Persilatan. Bagi ahli silat yang biasa untuk menemuinya
740
saja, sudah bukan gampang. Dalam beberapa tahun yang
belakangan, baru Boe tong Cit hiap mulai menerima murid.
Tapi dalam penerimaan murid itu selalu dilakukan
pemilihan dan penyaringan yang sangat keras. Hanyalah
orang orang yang berbakat dan beradat baik barulah di
terima menjadi anggauta Boe tong pay. Siang Gie Coen
adalah seorang anggauta "agama" sesat. yang dipandang
jijik oleh masyarakat seumumnya. Maka itu tawaran Thio
Sam Hong merupakan juga rezeki luar biasa pemuda itu.
Tapi, diluar dugaan, Gie Coen menjawab dengan sikap
hormat: "Bahwa aku, Siang Gie Coen telah mendapat
penghargaan yang begitu tinggi dari Thio Cinjin, bukan
main rasa terima kasihku. Akan tetapi, sesudah menjadi
anggauta Beng kauw seumur hidup aku tak berani
membelakangi agamaku itu"
Sam Hong coba membujuk lagi, tetapi pemuda itu tetap
menolak dengan hormat dan tegas. beberapa saat
kemudian, dengan rasa menyesal, ia lalu mendukung Boe
Kie seraya berkata: "Kalau begitu, biarlah kita berpisahan
disini saja," Dalam kata-kata perpisahan itu, ia malah tidak
mengucapkan perkataan, "sampai bertemu lagi," yang
lazimnya digunakan.
Sebelum tuan penolong itu meninggalkan perahu, sekali
lagi Siang Gie Coen menghaturkan terima kasih dengan
berlutut.
"Thio Toako," kata si nona cilik kepada Boe Kie, "setiap
hari kau harus makan kenyang kenyang, supaya Loo too-ya
jangan jengkel."
Air mata Boe Kie lantas saja mengembang dan dengan
suara putus-putus ia menjawab: "Terima kasih untuk
kebaikanmu.... Tapi aku hanya bisa makan nasi beberapa
hari saja."
741
Bukan main rasa dukanya kakek guru itu. Ia mengangkat
lengannya dan menggunakan tangan jubah untuk menyusut
air mata cucu muridnya.
"Apa?" menegas Tit Jiak dengan suara kaget
"Kau...kau..."
"Nona kecil, hatimu sangat mulia," kata Sam Hong,
"Aku mendoakan supaya dibelakang hari kau jalan
dijalanan yang lurus"
"Terima kasih atas nasehat Loo too-ya," jawab Cioe Tit
Jiak.
"Thio Cinjin," tiba-tiba Gie Coen berkata, "kau memiliki
Lweekang dan kepandaian yang sangat tinggi. Biarpun luka
saudara kecil itu sangat berat, aku percaya kau akan dapat
menyembuhkannya."
"Benar," kata Sam Hong yang tanpa dilihat Boe Kie,
sudah menggoyangkan tangan kirinya sebagai keterangan
kepada Gie Coen, bahwa lukanya bocah itu tidak dapat
diobati lagi.
Gie Coen terkejut. "Thio Cinjin," katanya pula, "aku
sendiri telah mendapat luka yang sangat berat dan sekarang
aku justeru ingin meminta pertolongan dari seorang tabib
malaikat. Mengapa Thio Cinjin tidak mau mencoba-coba?"
Thio Sam Hong menundukkan kepala. "Semua
pembuluh darahnya telah terbuka, sehingga racun dingin
bisa membuyar dan masuk kedalam perutnya," katanya
dengan suara perlahan. "ia tidak akan dapat disembuhkan
dengan memakai obat biasa dan didalam dunia, tak
seorangpun bisa mengobatinya."
"Tapi," kata Siang Gie Coan, "tabib malaikat yang
dimaksudkan olehku memiliki kepandaian luar biasa tinggi,
sehingga kata orang ia malah mampu menghidupkan
742
mayat."
Sam Hong terkejut dan mendadak saja, ia ingat satu
orang. "Apakah yang dimaksudkan olehmu bukan Tiap-kok
Ie sian?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Kalau begitu, Tootiang pun
mengenal Ouw Soepehku."
Guru besar itu kelihatan agak bersangsi. Memang sudah
lama ia mendengar nama Tiap kok le Sian Ouw Ceng Goe
yang dipandang rendah oleh orang Rimba Persilatan. Ia
mempunyai adat yang sangat aneh. Kalau orang yang sakit
atau terluka anggauta "agama"nya, ia segera menolongnya
dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran
apapun jua. Tapi, kalau yang memohon pertolongan bukan
pengikut "agama", biarpun dibayar dengan laksaan tail
emas, ia tak akan meladeni.
"Aku lebih suka Boe Kie mati dari pada menyerahkan
nya kepada orang dari agama sesat itu," katanya didalam
hati.
Melihat kesangsian Sam Hong, pemuda itu dapat
menebak apa yang dipikirnya dan ia lantas saja berkata:
"Thio Cinjin, meskipun Ouw Soepeh biasanya menolak
untuk mengobati orang luar, tapi karena Thio Cinjin telah
menolong jiwa Cioe Kouw nio, ia pasti akan membuat
kecualian. Andaikata ia menolak, Gie Coen pasti tak mau
mengerti."
Sam Hong menghela napas dan berkata dengan suara
duka: "Mengenai kepandaian Ouw Sinshe, sudah lama aku
mendengarnya. Hanya sayangnya, racun dingin yang
mengeram didalam tubuh Boe Kie sekarang ini tidak akan
dapat disembuhkan dengan obat biasa...."
"Thio Cinjin!" teriak Gie Coen. "Mengapa kau begitu
743
bersangsi? Kalau diobati oleh Soepehku, paling banyak
saudara kecil itu tidak sembuh. Kalau kekiri mati,
kekananpun mati, perlu apa Tootiang memikir panjang?"
Sebagai orang yang beradat polos, ia bicara segala apa
yang berkelebat diotaknya.
Mendengar "kekiri mati, kekananpun mati", hati guru
besar itu bergoncang keras. "Apa yang dikatakan olehnya
memang tidak salah," pikirnya. "Menurut penglihatanku,
paling banyak Boe Kie bisa bertahan dalam tempo sebulan
lagi." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata: "Gie Coen,
baiklah, aku minta pertolonganmu. Akan tetapi, sebelum
pertolongan diberikan, aku ingin menjelaskan terlebih dulu,
bahwa Sinshe tidak boleh membujuk atau memaksa Boe
Kie masuk kedalam agama kalian. Disamping itu, jika Boe
Kie benar menjadi sembuh, Boe tong pay tidak
menanggung budi agama kalian."
"Thio Cinjin," kata Gie Coen, "dengan berkata begitu,
kau jadi memandang terlalu rendah kepada orang-orang
kami." Ia berpaling kepada Cioe Tit Jiak dan berkata puta:
"Cioe Kauwnio, aku ingin kau mengikut Thio Cinjin untuk
sementara waktu. Apa kau suka?"
Sebelum si nona menjawab, Sam Hong sudah
mendahului: "Apa?"
"Aku tahu bahwa Thio Cinjin tidak suka pergi kepada
Ouw Soepehku," kata Gie Coen. "Dapat dimengerti, bahwa
lurus dan sesat tidak bisa berdiri berendeng. Thio Cinjin
adalah seorang guru besar pada jaman ini. Cara bagaimana
Thio
Cinjin bisa meminta pertolongan dari seorang anggauta
agama sesat? Disamping itu, adat Ouw Soepeh juga aneh
sekali. Jika ia bertemu dengan Thio Cinjin, mungkin sekali
Ia tidak berlaku sopan santun, sehingga pertemuan itu bisa
744
berakibat sebaliknya daripada apa yang diharap. Maka itu,
menurut pendapatku, sebaiknya saudara Thio dibawa
olehku sendiri. Tapi, akupun mengerti, bahwa Thio Cinjin
merasa sangsi untuk menyerahkan saudara Thio kepadaku.
Maka itulah, aku minta Cioe Kouwnio berdiam di Boe tong
san untuk sementara waktu. Nanti, sesudah saudara Thio
sembuh, aku akan mengantarkannya ke Boe tong san dan
sekalian mengambil pulang Cioe Kouwnio. Dengan
perkataan yang lebih tegas, aku ingin minta Cioe Kauwnio
mengikut Thio Cinjin untuk dijadikan semacam
tanggungan."
Dalam pergaulannya selama puluhan tahun, Thio Sam
Hong selalu berterus terang dan menaruh kepercayaan
kepada orang-orang Rimba Persilatan. Akan tetapi, Thio
Boe Kie adalah turunan tunggal dari muridnya yang
tercinta, sehingga memang benar ia sangat bersangsi untuk
menyerahkannya kepada seorang dari kalangan "agama"
sesat.
Sebelumnya guru besar itu sempat menjawab, Siang Gie
Coen sudah berkata pula "Cioe Cie Ong, Cioe Toako,
adalah seorang yang bener-benar luhur pribudinya. Sesudah
gagal dalam gerakannya di Sin yan, duapuluh tiga anggauta
keluanganya telah dibinasakan oleh Tat-coe. Bahkan ibu
Toako yang sudah berusia tujuhpuluh delapan tahun, tidak
luput dari kebinasaan. Sesudah bertempur mati-matian,
barulah aku dapat menolong seorang putera dan seorang
putrinya. Tak dinyana, Siauw kongcoe telah binasa
terpanah musuh sehingga Kauwnio merupakan turunan
yang satu-satunya dari Ciao Toako. Sebagai salah seorang
pemimpin Beng kauw, Cioe Toako mempunyai banyak
musuh. Bukan saja Tat coe, tapi musuh musuh lainnya pun
akan menyukarkan Thio Cinjin jika mereka tahu, bahwa
Cioe Kauwnio berada di Boe tong..."
745
Tanpa merasa Sam Hong tertawa. Sebelum ia
menyanggupi untuk menerima Cioe Tit Jiak, pemuda yang
polos itu sudah memperingatkannya. Ia berdiri bengong
beberapa saat. Memang juga, lain jalan tidak ada, kekiri
mati, kekananpun mati, jalan satu-satunya yalah mencoba
coba kepandaian Tiap-kok Ie sian. Mengingat begitu, ia
lantas saja berkata: "Gie Coen baiklah. Aku akan merawat
Cioe Kauwnio baik baik dan kaupun harus merawat Boe
Kie sebaik baiknya. Sesudah anak itu sembuh, kuharap kau
lekas-lekas datang di Boe tong san."
"Thio Cinjin tak usah kuatir," jawabnya dengan suara
lantang. "Aku pasti akan menunaikan tugas dengan
sepenuh tenaga"
Sehabis berkata begitu, ia melompat kedarat dan
membuat sebuah lubang ditanah dengan ujung golok,
kemudian, sesudah membuka semua pakaian yang
menempel dimayat majikan kecilnya, ia lalu menguburnya
dalam keadaan telanjang.
Sesudah itu, bersama Cioe Tit Jiak, ia memberi hormat
didepan kuburan. Nona Cioe menangis sedih, sedang ia
sendiri berdiri tegak sambil menahan mengucurnya air
mata.
Mayat bocah itu dikubur dalam keadaan telanjang
adalah sesuai dengan kebiasaan Bang kauw. Menurut
"agama" itu, seorang manusia yang dilahirkan kedalam
dunia dengan tidak memakai pakaian, haruslah berpulang
ke alam baka dalam keadaan begitu juga. Sam Hong yang
tidak tahu sebab musabab penguburan yang aneh itu, hanya
menhela napas dengan perasaan, bahwa sepak terjang
orang-orang "agama" sesat benar-benar sesat.
Pada keesokan paginya, sambil menuntun Tit Jiak, guru
besar itu berpisahan dengan Gie Coen dan Boe Kie.
746
Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Boe Kie
menganggap sang kakek guru seperti kakeknya sendiri.
Sekarang secara mendadak kakek guru itu
meninggalkannya, sehingga tanpa tertahan lagi, air
matanya mengucur deras.
"Boe Kie," kata Sam Hong sambil mengusap usap kepala
anak itu. "Sesudah kau sembuh Siang Toako akan
membawa kau pulang ke Boe tong. Kita hanya berpisahan
untuk beberapa bulan dan kau tak perlu bersusah hati."
Anak itu yang kaki tangannya sudah tidak bisa bergerak
akibat totokan sang kakek guru, hanya manggutmanggutkan
kepala, sedang air matanya mengucur.
Melihat begitu, nona Cioe segera kembali keperahu. Ia
mengeluarkan sehelai sapu tangan kecil dari sakunya dan
lalu menyusut air mata Boo Kie. Ia bersenyum dan sesudah
memasukkan sapu tangan itu ditangan baju Boe Kie,
barulah ia melompat balik kedarat.
Hati Sam Hong bergoncang. "Nona kecil itu, sangat
cantik dan dihari kemudian, ia pasti akan menjadi seorang
wanita yang ayu luar biasa," pikirnya. "Sesudah Boe Kie
sembuh, aku tidak boleh membiarkan mereka bertemu
muka lagi. Jika mereka sampai saling menyinta, hikayat
Coei San mungkin akan terulang lagi."
Dengan hati duka, Boe Kie mengawasi bayangan sang
kakek guru yang menuju ke arah barat sambil menuntun
tangan nona Cioe, yang tidak berhentinya mengulapulapkan
tangan, sehingga bayangannya menghilang
diautara pohon-pohon.
Sesaat itu, hati si bocah mencelos, benar-benar ia merasa
hidup sebatang kara dalam dunia yang lebar ini dan air
matanya kembali mengucur.
747
Gie Coen mengerutkan alis. "Saudara Thio, berapa
usiamu?" tanyanya.
"Dua belas tahun," jawabnya.
"Hm... " Gie Coen mengeluarkan suara di hidung. "Usia
dua belas tahun bukan anak anak lagi. Apa kau tak malu,
menangis? Waktu aku berusia duabelas tahun, aku sudah
menerima pukulan ratusan kali, tapi tidak setetes air mata
keluar dari mataku. Seorang laki-laki sejati hanya boleh
mengucurkan darah, tak boleh mengucurkan air mata.
Kalau kau terus menangis seperti bayi, aku akan hajar kau."
Melihat kegarangan si brewok, Boe Kie jadi agak keder.
"Baru saja Thay soehoe pergi, kau sudah begitu galak."
pikirnya. "Entah berapa besar kesengsaraan yang bakal
diderita olehku." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata
dengan suara nyaring. "Aku menangis karena merasa sedih
harus berpisahan dengan Thay soehoe. Aku belum pernah
menangis sebab pukulan. Mau pukul boleh kau pukul.
Kalau hari ini kau memukul aku satu kali, dihari kemudian
nanti aku akan membalas sepuluh kali."
Gie Coen tertawa terbahak-bahak, "Bagus! Bagus !"
katanya. "Itulah perkataan seorang laki laki. Kau begitu
liehay, tak berani aku memukul kau."
"Mengapa ? Aku sedikitpun tidak bisa bergerak," kata si
bocah.
"Kalau hari ini aku memukul kau, dikemudian hari,
sesudah kau memiliki kepandaian tinggi, bagaimana aku
kuat menerima sepuluh kali pukulanmu ?" jawabnya.
Boe Kie tertawa. Ia merasa bahwa meskipun garang,
Siang Toako bukan seorang jahat.
Dengan mengunakan perahu, mereka menuju ke Han
kouw dan sesudah tiba di Han kouw, Gie Coen menyewa
748
lain perahu dan berlayar kealiran sebelah bawah dari
Tiangkang timur.
Tiap kok, atau selat kupu kupu, tempat tinggal Tiap kok
Ie sian terletak di pinggir telaga Lie san ouw, sebelah utara
propinsi An hoei. Sebagaimana diketahui, dari Han kouw
sampai di Kioe kang, sungai Tiang kang mengalir kejurusan
tenggara. Sesudah melewati Kioe kang, sungai itu
membelok kearah timur laut dan masuk ke propinsi An
hoei.
Boe Kie berlayar dengan perasaan duka. Ia ingat bahwa
pada dua tahun berselang, ia pernah berlayar di sungai
Tiangkang bersama sama kedua orangtuanya dan pa man
Jie Lian Cioe. Selama dalam pelayaran, ia gembira bukan
main, tetapi sekarang, kedua orang tuanya sudah meninggal
dunia secara mengenaskan, kaki tangannya tidak bisa
bergerak dan ia sendiri berada dalam rawatan seorang
sahabat baru dalam perjalanan untuk memohon
pertolongan kepada seorang aneh. Antara kedua pelayaran
itu terdapat perbedaan seperti langit dan bumi. Ia bersedih,
tapi sebisa bisa ia menahan mengucurnya air mata, karena
kuatir ditertawai olen Siang Toakoo.
Setiap hari, pada Coe sie (antara jam 11 malam dan jam
1 lewat tengah malam) dan Ngo sie (antara jam 1 siang
sampai jam 1 lohor), racun dingin mengamuk dalam
tubuhnya. Sambil mengertak gigi dan menggigit bibir, ia
menahan sakit, sehingga bibirnya sampai tertuka akibat
gigitan. Di samping itu, makin hari serangan racun makin
hebat.
Pada suatu hari mereka tiba di Kwa po, sebelah bawah
Cip keng (sekarang Nan king). Dengan mendukung Boe
Kie, Gie Coen mendarat dan lalu menyewa kereta untuk
meneruskan perjalanan ke utara. Beberapa hari kemudian,
mereka tiba di Beng Kong, di sebelah timur Hong yang.
749
Gie Coen tahu bahwa Soepehnya yang beradat aneh itu
paling tidak senang tempat tinggalnya di ketahui orang.
Maka itu, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira
dua puluh li dari Lie san ouw, ia segera turun dari kereta
dan sambil menggendong Boe Kie, lalu melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki.
Tapi diluar dugaannya, baru saja ia berjalan kurang lebih
satu li badannya lemas dan napasnya tersengal-sengal. Ia
terkejut dan mengerti, bahwa itulah akibat dari luka yang
dideritanya karena pukulan im ciang dari dua pendeta
asing.
Boe Kie merasa sangat tidak tega. "Siang Toa ko."
katanya. "Jalan saja perlahan-lahan. Jangau kau merusak
badan."
"Celaka sungguh!" kata Gie Coan dengan gusar.
"Menurut kebiasaan, sekali lari aku bisa melalui seratus li.
Apakah pukulan kedua pendeta bangsat itu sedemikian
hebat, sehingga aku tidak dapat berjalan lagi?" Dengan
amarah yang meluap-luap ia berjalan terus. Baru jalan
puluhan tombak, ia merasa tulang-tulangnya seperti mau
copot. Tapi Siang Gie Coen seorang keras kepala dan keras
hati. Sambil mengertak gigi, ia maju terus, setindak demi
setindak.
Dengan kemajuan yang sangat lambat itu, sampai malam
barulah mereka melalui separuh perjalanan. Jalanan
gunung yang berbelit belit dan turun naik menambah
penderitaan pemuda itu.
Akhirnya, waktu tiba disebuah hutan ia tak dapat
bertahan lagi. Perlahan-lahan ia menaruh Boe Kie diatas
tanah dan kemudian, ia merebahkan diri untuk mengaso. Ia
mengeluarkan kue phia dari sakunya dan membagi kue itu
kepada Boe Kie untuk menangsal perut.
750
Sesudah mengaso kira-kira setengah jam, Gie Coen
bangun berdiri untuk meneruskan perjalanan, tapi Boe yang
merasa kasihan terhadapnya, berkeras untuk mengaso
semalaman dihutan itu. Sesudah berpikir sejenak, ia merasa
pendirian si bocah ada benarnya juga. Andaikata, mereka
bisa tiba dirumah Ouw Ceng Goe pada malam itu, sang
Soepeh yang beradat aneh mungkin bergusar karena
diganggu tidurnya dan kalau dia bergusar, mungkin sekali
dia akan menolak untuk mengobati. Memikir begitu, ia
lantas saja menyetujui usul Boe Kie.
Mereka tidur dengan menyender dikaki sebuah pohon
besar. Kira-kira tengah malain, racun dingin mengamuk lagi
dan Boe Kie memanggil keras. Karena sungkan
mengganggu Gie Coen yang sudah capai lelah, ia menahan
sakit sambil menggigit bibir.
Selagi ia bergulat melawan racun dingin itu, sekonyongkonyong
terdengar suara beradunya senjata, disusul dengan
suara bentakan seorang: "Mau lari kemana kau?"
Bentakan, disusul pula dengan teriakan beberapa orang
lain.
"Cegat ditimur ! Cepat ! Supaya dia masuk kehutan!"
"Bangsat gundul itu tidak boleh dilepaskan ! Cegat!"
Hampir berbareng terdengar tindakan sejumlah orang
yang menuju kearah hutan.
Dengan kaget Siang Gie Coen tersadar. Satu tangannya
segera menghunus golok, lain tangan mendukung Boe Kie,
siap sedia untuk melarikan diri sambil bertempur.
"Siang Toako, kurasa mereka bukan maui kita," bisik
Boe Kie.
Gie Coen mengangguk. Di dalam hati ia sudah
751
mengambil keputusan, bahwa meskipun mesti membuang
jiwa, ia akan coba melindungi keselamatan bocah itu.
Hanya ia merasa menyesal, bahwa sesudahb mendapat
luka, ilmu silatnya sekarang sudah musnah seanteronya.
Mereka mengintip dari belakang sebuah pohon besar.
Mereka melihat berkelebat-kelebatnya bayangan orang
tujuh delapan orang sedang mengurung dan mengerubuti
satu orang. Karena gelap, mereka tak tahu siapa adanya
orang-orang itu. Mereka hanya tahu, bahwa orang yang
dikepungnya melawan dengan tangan kosong dan bahwa
orang itu lihay luar biasa, sehingga biarpun dikerubuti, ia
masih dapat membela diri secara bagus sekali.
Sesudah bertempur beberapa lama, setindak demi
setindak, orang-orang itu mendekati tempat
bersembunyinya Gie Coen berdua. Pada waktu sang
rembulan muncul dari alingan awan hitam mereka melihat,
bahwa orang yang dikepung yalah seorang pendeta yang
berusia kira-kita lima puluh tahun, tubuhnya kurus
jangkung data mengenakan jubah pertapaan serba putih.
Dipihak pengepung terdapat pendeta, imam, seorang lelaki
yang memakai pakaian koan kee (pengurus rumah tangga)
dan dua orang perempuan. Makin lama Gie Coen makin
merasa heran. Delepan pengurung itu masing masing
memiliki kepandaian tinggi. Dua orang pendeta yang satu
bersenjata Sian thung dan yang lain memegang golok
menyerang dengan pukulan-pukulan yang disertai
sambaran angin dahsyat, sehingga daun-daun pohon
meluruk jatuh kebawah.
Si imam, toosoe yang bersenjatakan pedang panjang,
aneh gerak-gerakannya. Sebentar ia melompat kekiri,
sebentar kekanan. Sedang pedangnya yang menggetar tak
henti-hentinya mengeluarkan sinar berkeredepan.
Lelaki yang berpakaian seperti koan kee, kate kecil
752
tubuhnya. berguling-guling ditanah dan menyerang bagian
bawah sipendeta jubah putih dengan menggunakan ilmu
golok Tee tong To hoat. Kedua goloknya terputar putar
bagaikan sebuah bola yang menggelinding di tanah.
Kedua wanita itu, yang bertubuh langsing dan masing
masing mencekal sebatang pedang, juga menyerang dengan
pukulan pukulan yang sangat lihay.
Selagi bertempur hebat, salah seorang wanita mendadak
memutar badan, sehingga separuh mukanya disoroti sinar
rembulan.
"Kie Kouwnio!" seru Boe Kie dengan suara tertahan.
Wanita itu bukan lain daripada Kie Siauw Hoe, tunangan
In Lie Heng. Tadi melihat pendeta si jubah putih dikerubuti
oleh begitu banyak orang, Boe kie merasa mendongkol
terhadap pihak pengepung. Tapi sekarang sesudah melihat
Kie Siauw Hoe, pandangannya berubah dan ia
menganggap, bahwa pendeta itu manusia jahat.
"Delapan orang mengerubuti satu orang, terlalu tak
mengenal malu." Gie Coen berkata seorang diri. "Siapa
mereka?"
"Yang wanita dari Go bie pay," bisik Boe Kie, "Hm...
dua pendeta itu orang Siauw Lim sie." Sesudah mengawasi
pertempuran beberapa saat, dia berkata pula "Si toosoe
orang Koen loan pay. Lihatlah! Pukulan Tay mo Hoei soe
(Tay mo Hoe see artinya Pasir beterbangan di gurun pasir)
itu sungguh amat hebat. Itulah pukulan simpanan dari
Koen loen pay. Tapi siapakah lelaki yang menggunakan
ilmu silat Tee tong To hoat?"
"Apa bukan dari Khong tong pay ?" tanya si brewok.
"Bukan," jawabnya. "Dalam Tee tong to hoat Khong
thong pay, orang halus menggunakan sebatang golok yang
753
dicekal di tangan karan, dan sebatang toya ditangan kiri.
Orang itu menggunakan sepasang golok."
Mendengar keterangan si bocah, Siang Gie Coen merasa
kagum. "Setiap murid Boe tong benar-benar
berpengetahuan luas," pikirnya. Tapi ia tak tahu bahwa
pengetahuan itu didapat Boe Kie bukan dari Boe tong tapi
dari ayah angkatnya.
Sebagaimana diketahui, di dalam tekad untuk membalas
sakit hatinya, Cia Soen telah mempelajari hampir semua
ilmu-ilmu silat yapg dikenal didalam Rimba Persilatan.
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya, akan
tetapi pendeta jubah putih itu masih tetap dapat
mempertahankan diri. Tubuhnya berkelebat kelebat
bagaikan kilat, tenaganya dahsyat luar biasa, sedang
gerakan tangannya hampir tak bisa dilihat tegas, karena
terlampau cepat.
Tiba-tiba terdengar bentakan salah seorang: "Gunakan
senjata rahasia !"
Si kate kecil dan si imam lantas saja melompat keluar
dari gelanggang pertempuran, disusul dengan
menyambarnya nyambrnya peluru serta Hoei to (golok
terbang) ke arah si pendeta. Diserang secara begitu, dia
mulai keteter.
"Pheng Hweeshio !" bentak si imam. "Kami bukan maui
jiwamu, perlu apa kau nekad-nekadan? Serahkan Pek Kwie
Sioe dan kita akan berpisahan sebagai sahabat."
Siang Gie Coen terkesiap, "Pheng Hweeshio" bisiknya.
Boe Kie pun tidak kurang kagetnya. Waktu berada
dalam perjalanan pulaing ke Boe tong bersama kedua orang
tuanya dan Jie Lian Cioe ia pernah mendengar, bahwa Pek
Kwie Sioe adalah orang Peh bie kauw satu satunya yang
754
bisa pulang dengan selamat dari pulau Ong poan San. Dan
murid murid Koen loan juga terlolos dari kebinasaan, tapi
mereka hilang ingatan karena teriakan Cia Soen. Maka itu,
selama belasan tahun, dalam pertempuran dangan Peh bie
kauw tujuan jago-jago berbagai partai adalah untuk
mendesak supaya Pek Kwie Sioe memberitahukan dimana
adanya Cia Soen
"Apakah Pheng Hweeshio segolongan dengan ibuku?"
tanya Boe Kie didalam hati.
Sementara itu, Pheng Hweeshio sudah menjawab dengan
suara Iantang: "Pak Tancoe sudah dilukakan berat oleh
kamu. Jangankan aku dan dia-masih sama-sama orangorang
segolongan, terhadap orang luar sekalipun, aku tak
bisa mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan."
"Omong apa kau!" bentak si imam. "Mengawasi
kebinasaan dengan berpeluk tangan? Kau tahu, tujuan kami
bukan mengnendaki jiwanya. Kami hanya menyelidiki
tempat bersembunyinya seorang."
"Kalau kamu mau menyelidiki dimana adanya Cia Soen,
mengapa kamu tidak mau pergi kepada Hong thio Siauw
lim sie?" tanya si pendeta.
"Tutup bacotmu!" bentak si pendeta Siauw lim. "Apa kau
tidak tahu, bahwa itu hanya tipu busuk dari perempuan
siluman In So So?"
Mendengar disebutkannya nama mendiang ibunya, Boe
Kie merasa bangga agak bercampur duka."Hm .... sesudah
meninggal dunia, ibu masih bisa membuat kalian semua
pusing kepala," katanya di dalam hati
Sambil bicara, pertempuran berlangsung terus dengan
dahsyatnya. Si toosoe mengajak, bicara dengan tujuan
untuk memecah pemusatan pikiran Pheng Hweeshio. Tapi
755
pendeta itu yang cerdas otaknya dan tinggi ilmu silatnya,
tidak kena diakali. Biarpun mulutnya bicara,
kewaspadaannya sedikitpun tidak jadi berkurang. Tapi,
karena jumlah musuh terlalu besar dan musuh-musuh itu
pun bukan sembarang orang, maka ia tetap tidak berhasil
dalam usahanya untuk menerjang keluar dari kepungan.
Sekonyong-konyong, si imam yang melepaskan senjata
rahasia dengan berdiri diluar gelanggang, berteriak:
"Celaka! Senjata rahasia habis!" berbareng dengan teriakan
itu, semua kawannya menggulingkan diri ditanah dan lima
batang golok terbang menyambar bagaikan kilat. Ternyata
kata kata "senjata rahasia habis" adalah semacaan isyarat
supaya semua orang bergulingan untuk menyingkirkan diri
dari sambaran lima batang Hoeito yang menyambar dalam
bentuk bunga bwee.
Dalam keadaan biasa, dengan menundukkan kepala,
membungkuk, melompat kedepan atau menjengkangkan
diri, Pheng Hweeshio akan dapat mengelakkan lima golok
itu yang menyambar dadanya. Tapi sekarang, sebab sambil
bergulingan, keenam musuhnya juga menyerang dengan
senjata mereka, maka bagian bawah badannya tertutup
semua.
Boe Kie mencelos hatinya.
Mendadak tubuh Pheng Hweeshio meleset keatas kirakira
setombak tingginya, dan lima buah golok terbang lewat
di bawah kakinya. Tapi, meskipun senjata rahasia sudah
dielakkan, Sianthung dan golok kedua pendeta Siauw lim
serta pedang dari toesoe Koen loan pay sudah manyambar
lututnya dengan berbareng. Sesaat itu tubuh Pheng Hwee
shio masih di tengah udara, sehingga, mau tidak mau, ia
terpaksa menggunakan pukulan yang berbahaya dan
membinasakan.
756
"Ptak!", telapak tangan kirinya menghantam kepala
seorang pendeta Siauw lim dan dengan sekali menjambret,
tangan kanannya sudah merampas golok pendeta itu, yang
lalu digunakan untuk menangkis Sianthung. Dengan
meminjam tenaga dari bentrokan kedua senjata itu,
badannya "terbang" beberapa tombak jauhnya. Pendeta
Siauw lim yang ditepuk kepalanya, sudah binasa seketika
itu juga. Sambil berteriak-teriak, tujuh kawannya mengubar
Pheng Hweeshio.
Di lain saat, badan Pheng Hweeshio kelihataan
bergoyang-goyang, hampir-hampir jatuh terguling, dan
ketujuh musuhnya lantas saja mengurung.
Sambil memutar Sianthung, si pendeta Siauw lim
menerjang dan berteriak "Pheng Hweeshio! Kau
membinasakan Soeteeku. Mari kita mengadu jiwa !"
"Lututnya sudah kena Sia wie kauw (Gaetan buntut
kalajengking. semacam senjata rahasia) !" teriak si toosoe
Koen loen. "Tak lama lagi, dia akan mampus keracunan!"
Benar saja, tindakan Pheng Hweeshio kelihatan limbung
dan perlawanannya terhadap si pendenta Siauw lim, sudah
kalut.
"Celaka!" bisik Siang Gie Coen. "Ia adalah guru Cioe
Toako. Bagaimana aku harus menolongnya?"
Boe Kie tahu, bahwa si brewok adalah manusia yang
tidak bisa menonton kecelakaan kawan sambil berpeluk
tangan. Biarpun dirinya sendiri terluka berat, ia masih mau
menolong orang. Andai kata ia sampai menerjang keluar, ia
hanya akan mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma. Tibatiba
Boe Kie mendapatkan serupa ingatan dan ia lantas saja
berkata: "Siang Toako, kau ingin menolong Pheng
Hweeshio bukan?"
757
"Tidak bisa tidak ditolong!" jawabnya. "Ia kena senjata
beracun, Tapi, aku sendiri .... aku sendiri ...."
"Aku mempunyai serupa daya untuk memulihkan
tenagamu," memutus si bocah. "Kau akan bisa bertahan
selama setengah jam, tapi dengan demikian, kau akan
merusak tenaga dalammu."
Sesudah mendengar keterangan si bocah mengenai limu
silat berbagai partai, Gie Coen percaya, bahwa anak yang
sangat pintar itu adalah murid istimewa dari Thio Sam
Hong, sehingga ia tidak menyangsikan omongan itu.
"Untuk menolong jiwa manusia, aku rela merusak tenaga
dalamku sendiri."
"Ambillah dua butir batu yang tajam," bisik Boe Kie.
Gie Coen segera melakukan apa yang diminta. "Apa ini
boleh?" tanyanya sambil mengangsurkan kedua batu itu.
"Boleh," jawab si bocah sambil mengangguk. "Dengan
tajamnya batu, totoklah samping pahamu, dibawah
pinggang."
"Disini?" tanya Gie Coen sambil menunjuk samping
pahanya.
"Lebih bawah sedikit," kata si bocah. "Ya! benar disitu.
Kesebelah dikit, setengah coan. Bagus! Nah, sekarang
totoklah."
Si berewok lantas saja menotok paha kanannya dengan
batu itu dan hampir berbareng, ia merasa pahanya
kesemutan.
"Inilah ilmu yang dinamakan Tie sin Tah hiat hoat (ilmu
menotok jalan darah untuk mempertinggi semangat),"
menerangkan Boe Kie. "Totoklah paha kirimu."
Si berewok agak bersangsi. Walaupun belum pernah
758
belajar, ia tahu bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat
ilmu Tiam hiat yang dapat melumpuhkan anggauta badan
manusia. Akan tetapi, meskipun mengingat itu, ia tetap
percaya omongan Boe Kie, karena menurut anggapannya,
sebagai sebuah partai persilatan yang namanya
menggetarkan dunia, Boe tong pay tentunya juga
mempunyai cara-cara yang lain dari pada yang lain.
Demikianlah, ia segera menotok lagi pada paha kirinya.
Tapi, di luar dugaan, begitu paha kirinya tertotok,
separuh badannya, mulai dari pinggang ke bawah, tidak
dapat digerakkan pula.
Sementara itu, sesudah melompat beberapa tombak
jauhnya, Pheng Hweeshio lalu roboh di tanah.
"Saudara Thio!" kata si brewok dengan bingung.
"Mengapa.... badanku seperti mati separoh ?"
Boe Kie tertawa geli di dalam hati, karena Siang Gie
Coen sudah tertipu, tapi ia pura pura kaget dan
mengeluarkan seruan tertahan: "Celaka! Kau tidak mengerti
Tiam hiat, mungkin sekali kau salah dalam menggunakan
tenaga. Tunggulah sebentar."
Siang Gie Coen bukan seorang tolol. Di lain saat ia
sudah mengerti, bahwa ia terjebak oleh muslihat si bocah
nakal. Tapi iapun tahu, bahwa dengan berbuat begitu, Boe
Kie bermaksud baik sekali. Ia tidak dapat berbuat lain
daripada menghela napas dengan perasaan mendongkol
tercampur geli.
Pheng Hweeshio menggeletak di tanah tanpa bengerak,
seolah olah ia sudah menghembuskan napasnya yang
penghabisan. Akan tetapi biarpun begitu, musuh musuhnya
masih belum berani mendekati.
"Kouw Soetee, cobalah kau menimpuk lagi dengan dua
759
buah golok terbangmu, untuk mencoba-coba," kata si
toosoe Koen loen pay.
Too jin yang dipanggil "Kouw Soetee," segera mengayun
tangan kanannya dan dua Hoeito menyambar, yang satu
menancap di pundak kanan Pheng Hweeshio, sedang yang
lain mengenakan paha kirinya. Tapi pendeta jubah putih itu
tetap tidak bergerak, suatu bukti, bahwa dia benar benar
sudah binasa.
"Sayang ! Sayang dia sudah mati," kata si too soe Koen
loen. "Sekarang sukar diselidiki, dimana dia
menyembunyikan Pek Kwie Sioe."
Semua lalu mendekati "mayat" Pheng Hweesio.
Mendadak, mendadakan saja, terdengar Suara "plak...
plak.... plak ...." lima kali beruntun, dan lima orang roboh
terguling! Hampir berbareng, dengan semangat bergelora,
Pheng Hweeshio bangun berdiri, dengan pundak dan paha
masih tertancap golok.
Ternyata, sesudah kena senjata beracun dan yakin,
bahwa jiwanya tidak akan dapat ditolong lagi, Pheng
Hweesio lalu pura-pura mati. Begitu lawannya mendekati,
ia segera menghantam lima orang musuh lelaki dengan
pukulan Ngoheng ciang. Ia sengaja mengampuni dua orang
lawan wanita, yaitu Kie Siauw Hoe dan Soecienya yang
bernamar Teng Bin Koen.
Dalam kagetnya, kedua murid Go bie pay itu melompat
mundur. Mereka melihat, bahwa kelima kawannya
muntahkan darah dan dua antaranya yang Lweekangnya
agak lemah, sudah jatuh berlutut. Sesudah mengeluarkan
banyak tenaga, tubuh Pheng Hweeshio pun bergoyanggoyang.
"Teng Kouwnio, Kie Kouwnio!" teriak si too soe Koen
760
loen. "Tikamlah bangsat gundul itu!"
Antara sembilan orang yang tadi bertempur, seorang
pendeta Siauw lim sudah binasa, sedang Pheng Hweeshio
dan lima lawannya mendapat luka berat, sehingga hanya
Teng Bin Koen dan Kie Siauw Hoe yang tidak kurang suatu
apa.
Mendengar teriakan si toosoe Koen loen, Teng Bin Koen
segera mengangkat pedang dan menyabet kaki si pendeta.
Pheng Hweeshio mengeluh. "Karena merasa kasihan
terhadap orang perempuan, aku tidak berlalu kejam
terhadap kamu, tapi tidak dinyana, rasa kasihanku berbalik
mencelakakan diriku sendiri" katanya didalam hati. Ia
meramkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.
Tiba-tiba terdengar suara "trang!" suara benturan senjata.
Pheng Hweeshio membuka mata dan mendapat kenyataan,
bahwa yang menolongnya ialah Kie Siauw Hoe.
"Eh, mengapa kau begitu?" tanya Teng Bin Koen dengan
kaget.
Nona Kie tertawa. "Soecie," katanya. "Pheng Hweeshio
tidak berlaku kejam terhadap kita dan kitapun tidak boleh
membunuh dia."
"Aku juga bukan mau mengambil jiwanya," kata Teng
Bin Koen. "Aku hanya ingin memaksa supaya dia
memberitahukan tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
"Dia telah keracunan hebat, paling dulu kita harus
memunahkan racun itu," kata Kie Siauw Hoe seraya
mendekati si toosoe Koen loen dan berkata: "Saudara See
leng, berikanlah obat pemunah Sie wie kauw kepadaku."
Too ho (nama sebagai orang pertapaan) dari toojin itu
ialah See leng coe, sedang toojin yang melepaskan golok
761
terbang bernama See ciat coe dan mereka kedua duanya
adik sepenguruan See hoa coe.
"Belenggu dulu padanya," kata See leng coe. "Hweeshio
ltu banyak akal bulusnya...." Ia bicara dengan napas
tersengal-sengal karena pukulan Ngo beng ciang telah
membuatnya terluka berat.
Kie Siauw Hoe mengangguk dan sesudah mengambil
seutas tambang, ia menghampiri Pheng Hweeshio. "Pheng
Taysoe" katanya dengan suara lemah lembut, "aku mohon
maaf untuk kekurangan ajarku."
Karena tak ada jalan lain, mau tak mau si pendeta
membiarkan kaki tangarnya dibelenggu.
Sesudah itu barulah See leng coe mengeluarkan obat
yang lalu diserahkan kepada nona Kie dengan
memberitahukan juga cara-cara menggunakannya. Siauw
Hoe lalu mencabut dua Hoeito yang menancap dipundak
dan paha Pheng Hweeshio dan kemudian menaruh obat
dilubang-lubang.
"Pheng Hweeshio!" bentak Teng Bin Koen. "Soe moyku
berhati murah dan sudah menotong jiwamu. Sekarang
beritahukanlah dimana adanya Pek Kwie Sioe."
Peng Hweeshio tertawa terbahak-bahak. "Teng
Kouwnio," katanya, "dengan berkata begitu, kau
memandang aku terlalu rendah. Thio Ngohiap dari Boe
tong pay lebih suka bunuh diri daripada memberitahukan
tempat tinggal saudara angkatnya. Pribudi Thio Ngohiap
yang luhur itu dikagumi sungguh oleh Pheng Eng Giok.
Maka itu biarpun aku bukan seorang ternama, aku ingin
mengikut perbuatan Thio Ngohiap."
Mendengar itu, bukan main rasa bangganya Boe Kie.
Kematian Coei San sangat disayangkan oleh orang-orang
762
Rimba Persilatan dan mereka menganggap, bahwa
kebinasaan Thio Ngohiap adalah karena menikah dengan
seorang wanita "siluman" dari partai yang sesat. Sebagai
anak yang cerdas, Boe Kie tahu, bahwa dalam omong
omong antara kakek guru dan para pamannya, mereka
sangat berduka akan kematian ayahnya, tetapi mendongkol
terhadap mendiang ibunya. Tapi dari semua pembicaraan
yang pernah didengarnya, belum pernah ada seorang yang
mengutarakan rasa hormat begitu besar terbadap ayahnya
seperti pengutaraan Pheng Hweeshio.
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Dengan menikah
dengan perempuan siluman, Thio Coei San seperti juga
sudah buta matanya," katanya. "Dia sendiri juga yang rela
menjadi seorang hina dina. Apa orang begitu pantas dibuat
contoh? Boe tong pay...."
"Soecie!" memutus Kie Siauw Hoe.
"Jangan kuatir," kata sang kakak sepenguruan "Aku tak
akan menyeret nama In Liok hiap," Ia mengibas pedangnya
yang lalu ditudingkan kemata kanan si pendeta. "Kalau kau
tidak bicara, lebih dulu kutusuk mata kananmu." Ia
mengancam dengan suara bengis. "Kemudian kutikam
mata kirimu. Sesudah itu, kusodok kuping kanan dan
kuping kirimu dan akhirnya kupapas hidungmu. Tapi kau
tak usah kuatir. Biar bagaimanapun juga, aku tak akan
mengambil jiwamu." Ujung pedang yang berkilauan dan
menggetar tak hentinya itu hanya terpisah setengah dim
dari mata kanan Pheng Hweeshio.
Tetapi Pheng Hweeshio sedikitpun tidak menjadi gentar.
Dengan mata tak berkedip, ia berkata: "Sudah lama
kudengar, bahwa Biat coat Soethay dari Go bie pay seorang
kejam. Sekarang aku mendapat kenyataan, bahwa si murid
tidak banyak berbeda dengan sang guru. Hari ini Pheng Eng
Giok sudah jatuh kedalam tanganmu dan kau boleh berbuat
763
sesukamu."
"Bangsat gundul!" teriak Teng Bin Koen. "Kau berani
menghina guruku?" Dengan sekali mendorong pedangnya,
mata kanan Pheng Hweeshio sudah menjadi buta dan
kemudian ia menempelkan ujung pedang dikelopak mata
kiri si pendeta.
Tapi pendeta itu tertawa terbabak-babak sedang mata
kirinya yang terbuka lebar menatap muka musuhnya.
Ditatap begitu, dengan sinar mata yang berkeredepan,
jantung Teng Bin Koen memukul keras. "Kepala gundul !"
bentaknya pula. "Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu.
Kau bukan anggauta Peh bie kauw, tapi mengapa kau rela
membuang jiwamu untuk manusia seperti Pek Kwie Sioe ?"
"Biarpun aku menerangkan kepadamu tentang caracaranya
seorang kesatria, kau tentu tak akan mengerti."
jawabnya dengan suara duka.
Melihat paras muka si pendeta yang seolah-olah
memandang rendah kepadanya, Teng Bin Koen meluap
darahnya dan sekali lagi ia menggerakkan pedang untuk
menusuk mata kiri Pheng Hweeshio.
Dengan cepat Kie Siauw Hoe menangkis dengan
senjatanya. "Soecie. Dia keras kepala dan biar
bagaimanapun jua, ia pasti tidak akan membuka mulut,"
katanya. "Meskipun dibinasakan tiada guna nya."
"Dia mencaci Soehoe sebagai seorang kejam, maka
biarlah dia menyaksikan kekejamanku." kata Teng Bin
Koen. "Siluman Mo kauw semacam dia hanya bisa
mencelakakan manusia baik-baik. Maka itu, jikalau kita
menyingkirkannya dari muka bumi ini berarti kita terbuat
baik terhadap sesama manusia,"
"Tapi tidak bisa disangkal, bahwa dia seorang gagah
764
yang tidak takut mati," Siauw Hoe coba membujuk lagi.
"Soecie, menurut pendapatku, sebaiknya kita memberi
ampun kepadanja."
"Tidak bisa !" bentak sang kakak sepenguruan "Dua
Soeheng dari Siauw lim pay yang satu binasa, satu terluka.
Sedang dua Tootiang dari Koen loen Pay mendapat luka
barat, sedang dua saudara dari Hay see pay terluka lebih
hebat juga. Apa tangannya tidak cukup kejam ? Sekarang
biarlah aku menusuk mata kirinya. Sesudah itu, baru kita
menanyakan lagi tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat pedangnya lantas
menyambar mata kiri Pheng Hweeshio.
Sekali lagi Kie Siauw Hoe menangkis pedang Soecienya.
"Soecie," katanya dengan suara memohon. "Dia sudah
tidak bisa melawan lagi dan jika kita menganiaya dia, aku
kuatir partai kita akin mendapat nama jelek dalam Rimba
Persilatan."
Teng Bin Koen mendelik. "Minggir! Jangan perdulikan
aku," bentaknya.
Kie Siauw Hoe kelihatan bingung dan berkata pula:
"Soecie.... "
"Jangan rewel!" Memutus Bin Koen. "Kalau kau
menganggap aku sebagai kakak seperguruan, kau harus
mendengar omonganku."'
"Baiklah," kata nona Kie.
Sekali lagi pedang Teng Bin Koen menyambar mata kiri
Pheng Hweeshio. Kali ini ia menggunakan tiga bagian
tenaga Lweekang. Iapun mengerakkan tenaga dalam.
"Trang!" kedua senjata kebentrok dan kedua saudari
sepenguruan terhuyung beberapa tindak.
765
Teng Bin Koen marah besar, "Soemoay !" bentaknya.
"beberapa kali dengan mati-matian kau melindungi pendeta
siluman itu. Apa sebenarnya maksudmu ?"
Kie Siauw Hoe tertawa, "Aku hanya ingin meminta
supaya Soecie jangan menganiayanya." jawabnya dengan
sabar, "Jikalau kita ingin menyelidiki dimana tempat
sembunyinya Pek Kwie Sioe, kita hanya bisa menanyakan
nanti secara perlahan lahan."
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Huh ! Apakah kau kira
aku tak tahu jalan pikiranmu ?" tanyanya dengan nada
mengejek. "Berapa kali In Liokhiap dari Boe tong pay
mendesak supaya kau menikah dengannya. Mengapa kau
selalu menolak dengan memberikan rupa-rupa alasan?
Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari
rumahmu ?"
"Soecie itu adalah urusan soemoay pribadi," kata nona
Kie "Mengapa Soecie jadi menyebut nyebut hal itu ?"
Sang kakak mengeluarkan suara dihidung. "kita sama
tahu." katanya. "Di hadapan orang luar, memang kurang
baik jika aku membuka topengmu. Huh! Badanmu berada
di Go bie, tapi hatimu di pihak Mo kauw !"
Mendengar perkataan itu, Siauw Hoe gusar tak kepalang,
sehingga paras mukanya berubah pucat. "Aku selalu
menghormati kau sebagai seorang kakak dan belum pernah
aku berbuat kesalahan terhadapmu," katanya dengan suara
gemetar "Tapi mengapa hari ini kau menghina aku
sedemikian hebat?"
"Kalau benar-benar hatimu tidak condong, kepada Mo
kauw, coba tusaklah mata kiri pendeta siluman itu." kata
Teng Bin Koen.
"Soecie," kata nona Kie dengan suara duka.
766
"Sebagaimana kau tahu, semenjak jaman Siauw ong-sia
Kwee Soecouw (Kwee Siang), di dalam partai kita terdapat
banyak sekali wanita yang tidak mau menikah seumur
hidupnya. Oleh karena mengagumi kemuliaan mendiang
guru besar kita, siauwmoaypun telah mengambil keputusan
untuk tidak menikah. Siauwmoay menganggap, hal itu hal
yang lumrah saja. Mengapa Soecie mendesak begitu hebat
?"
"Sudah! Aku tak suka dengar segala omonganmu!"
bentak Bien Koen. "Jika kau tidak mau menikam mata
pendeta siluman itu, aku akan mencopoti topengmu."
Mendengar ancaman itu, Siauw Hoe kelihatannya tak
berani berkeras lagi. "Soecie," katanya dengan suara halus,
"aku memohon kepadamu, soecie, dengan mengingat
kecintaan antara sesama saudara sepenguruan, janganlah
kau mendesak aku terlalu hebat."
Wanita she Teng itu tertawa. "Aku bukan memaksa kau
mengerjakan pekerjaan yang sulit," katanya, "Sebagaimana
kau tahu, Soehoe telah memerintahkan kita untuk
menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cie
Soen. Sekarang, pendeta itu adalah orang satu-satunya yang
bisa memberi penerangan kepada kita, tapi dia bukan saja
sungkan membantu kita, malah sudah melukakan juga
kawan-kawan kita. Kalau aku menikam mata kanannya dan
kau menikam mata kirinya, bukankah merupakan suatu hal
yang sangat wajar ? Mengapa kau merasa segan tidak mau
turun tangan ?"
"Hati siauw moay lembek, tidak bisa turun tangan,"
jawabnya.
"Apa? Hatimu lembek ?" menyindir Teng Bin Koen.
"Soehoe sering memuji kau sebagai murid yang ilmu
pedangnya hebat dan adatnya keras. Sangat menyerupai
767
adat soehoe sehingga beliau mempunyai niatan untuk
mengangkat kau sebagai akhliwarisnya. Mana boleh hatimu
lembek ?"
Apabila dua saudara bertengkar, maka hal itu akan
sangat membingungkan orang-orang yang
mendengarkannya, karena mereka tak mengetahui sebab
musabab yang sebenarnya dari percekcokan antara
keduanya. Sesudah mendengar perkataan Teng Bin Koen
yang paling belakangan, barulah mereka bisa meraba-raba.
Rupanya, Ciang boen jin Go Bie pay Biat coat Soethay
sangat menyayang Kie Siauw Hoe dan berniat untuk
mengangkat murid itu menjadi ahli warisnya. Hal ini
kelihatannya sudah menimbulkan rasa jelus dalam hati
Teng Bin Koen yang entah sudah memegang rahasia apa
dari adik sepenguruannya sekarang ingin menghilangkan
muka nona Kie di hadapan orang banyak.
Boe Kie yang menyaksikan kejadian itu dari tempat
bersembunyinya, merasa gusar sekali. Ia ingat perlakuan
nona Kie yang sangat baik terhadapnya pada hari itu, pada
harian kedua orang tuanya membunuh diri. Ia bergusar dan
berduka. Kalau dapat, ia ingin sekali menerjang keluar dan
menggaplok muka si wanita she Teng yang tidak mengenal
kasihan.
"Kie Soemoay, aku ingin mengajukan Iagi satu
pertanyaan," kata Teng Bin Koen. "Pada tiga tahun
berselang, Soehoe telah mengumpulkan semua murid
dipuncak Kim teng, dipuncak gunung Go bie san dengan
maksud untuk mengajar ilmu pedang Bit kiam dan Coat
kiam kepada semua saudara sepenguruan kita. Coba jawab.
Kenapa kau tidak hadir dalam pertemuan besar itu?
Mengapa beliau jadi begitu gusar sehingga beliau
mematahkan pedangnya sendiri dan mengatakan bahwa
dunia tidak akan mengenal lagi kedua ilmu pedang itu?"
768
"Ketika itu, siauwmoay tiba-tiba mendapat sakit berat di
Kam cioe, sehingga tak bisa bangun," jawabnya. "Hal ini
siauwmoay sudah memberitahukan kepada Soehoe.
Mengapa Soecie menanyakan pedang itu?"
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Hmm!" ia mengeluarkan
suara dihidung. "Kau bisa memperdayai Soehoe, tapi tak
dapat mengabui aku. Aku masih ingin mengajukan sebuah
pertanyaan. Tapi jika kau menikam mata si kepala gundul,
pertanyaan itu tidak diajukan olehku."
Kie Siauw Hoe menundukkan kepala. Ia berduka bukan
main. "Soecie," katanya dengan suara perlahan, "apakah
kau tidak ingat Iagi kecintaan antara sesama saudara
sepenguruan?"
"Kau mau tikam atau tidak?" tanya sang kakak dengan
bengis
"Soecie, kau tak usah kuatir," kata nona Kie dangan
suara memohon. "Andaikata aku mau di jadikan ahliwaris
oleh Soehoe, aku tentu akan menolak."
"Bagus" bentak Tang Bin Koen dengan gusar. "Dengan
berkata begitu, kau seperti juga mau mengatakan, bahwa
aku menerima budimu yang besar. Cobalah kau unjuk.
Dibagian mana yang aku kalah dari kau? Aku tidak perlu
menerima budimu ! Tidak perlu kau mengalah! Eh!
Katakan sekarang. Kau mau tikam atau tidak?"
"Jika Siauwmoay bersalah, Soecie boleh menegur atau
menjatuhkan hukuman dan Siauwmoay akan menerimanya
dengan segala senang hati," kata Siauw Hoe. "Disini
terdapat sahabat-sahabat dari lain partai, sehingga kumohon
Soecie jangan mendesak terlalu...." berkata sampai disitu, ia
tidak dapat meneruskan perkataannya, karena air matanya
sudah mulai mengucur.
769
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Huh! Jangan kau
berlagak sedih, sedang didalam hati kau mencaci aku,"
ejeknya. "Pada tiga tahun yang lalu, apa benar-benar kau
mendapat sakit di Lam cioe? Perkataan dapat memang tak
salah, tapi bukan mendapat sakit, hanya mendapat anak !"
Mendengar kata-kata yang sehebat itu, Kie Siauw Hoe
mengeluarkan teriakan menyayat hati. Ia memutar badan
dan terus kabur sekeras-kerasnya. Tapi Teng Bin Koen juga
sudah menduga lebih dulu, lantas saja mengubar dan
mencegatnya
"Soemoay, lebih baik kau tikam mata kiri pendeta
siluman itu," katanya sambil mengibas pedang. "Jika kau
tetap membantah, aku akan menanya siapa adanya ayah
anak itu dan aku akan menanya, mengapa sebagai murid
dari sebuah partai yang lurus bersih, kau melindungi
seorang pendeta siluman dari agama Mokauw secara begitu
mati-matian"
"Kau .... kau .... minggir!" bentak nona Kie dengan napas
tersengal-sengal.
Sambil menudingkan pedang didada adik seperguruan
itu, Teng Bin Koen membentak: "Jawab pertanyaanku:
Dimana kau titip bayimu ? Kau adalah tunangan In Lie
heng, In Liokhiap, tapi mengapa kau melahirkan anak ?"
Kata kata itu, mengejutkan semua orang. Bahkan Boe
Kie yang masih kecil juga merasa, bahwat Kie Siauw Hoe
telah dituduh melakukan perbuatan hebat yang
menyinggung kehormatan In Lie Heng.
Paras muka nona Kie berubah pucat bagaikan kertas dan
ia menerjang untuk coba meloloskan diri. Diluar
dugaannya, Teng Bin Koen membuktikan ancamannya.
Dengan sekali menyodok, pedangnya amblas di lengan
Siauw Hoe, sehingga ujung pedang mengenakan tulang.
770
Sambil menahan sakit, nona Kie terpaksa menghunus
senjatanya dengan tangan kiri.
"Soecie," katanya dengan suara parau, "jikalau kau
mendesak terus, aku terpaksa akan berlaku kurang ajar."
Teng Bin Koen merasa, bahwa sesudah ia membuka
rahasia si adik sepenguruan, tentu akan berusaha untuk
membinasakannya guna menutup mulutnya. Maka itu,
dengan mengetahui, bahwa bekal ilmu silatnya masih kalah
dari Siauw Hoe, dia segera mengambil suatu keputusan
untuk turun tangan lebih dulu. Sesudah menikam lengan si
adik dalam serangan susulan, ia menusuk kempungan
Siauw Hoe.
Melihat Soecienya menyerang pula dengan pukulan yang
membinasakan, sambil menahan sakit, nona Kie menangkis
dengan pedang yang dicekal dalam tangan kirinya. Di lain
saat mereka sudah bertempur seru dengan gerakan-gerakan
yang luar biasa cepat.
Semua orang yang ada di situ adalah ahli-ahli silat yang
berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena semua sudah
mendapat luka berat, mereka tak berdaya untuk
memisahkannya. Diam-diam mereka merasa kagum akan
lihaynya ilmu pedang Go bie pay, yang dikenal sebagai
salah satu dari empat partai besar dalam Rimba Persilatan.
Kie Siauw Hoe bertempur dengan lengan kanan terus
mengucurkan darah.
Beberapa kali Kie Siauw Hoe menerjang dengan pukulan
hebat, dalam usaha untuk mundurkan Soecienya supaya ia
bisa melarikan diri, tapi usahanya selalu gagal. Ia gagal
karena tidak biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri
dan juga karena, sesudah mengeluarkan banyak darah,
tenaganya berkurang. Untung juga, Teng Bin Koen
selamanya merasa jerih terhadap adik seperguruannya,
771
sehingga ia tidak berani terlalu mendesak. Ia berkelahi
dengan hati-hati sekali sambil menunggu lelahnya Siauw
Hoe. Memang juga, makin lama tindakan nona Kie jadi
makin limbung dan gerakan-gerakannya makin lambat.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, lengan kanan Siauw Hoe
kembali tertikam dan darah mengucur makin deras.
"Kie Koauwnio!" tiba-tiba Pheng Eng Giok berteriak.
"Tikamlah mataku! Kie Kouwnio, budimu yang sangat
besar tak akan dapat dibalas oleb Pheng Eng Giok !"
Memang juga, rasa terima kasihnya Pheng Hweeshio
tidak dapat dilukiskan lagi. Bahwa, dengan menempuh
bahaya Siauw Hoe melindungi seorang musuh, sudah
merupakan suatu perbuatan yang sukar dilakukan.
Dan dalam usaha untuk melindungi musuh, ia telah
dicaci dengan kata-kata yang menodakan nama baik
seorang wanita, nama baik yang dipandang lebih penting
daripada jiwa.
Tapi kalau sekarang Siauw Hoe menurut perintah dan
menusuk mata Pheng Hweesbio, Teng Bin Koen juga tak
akan memberi ampun kepadanya. Kakak seperguruan itu
mengerti bahwa kalau sekarang dia tidak membinasakan si
adik seperguruan ia seperti juga menanam bibit penyakit
untuk dikemudikan hari.
Teng Bin Koen menyerang Siauw Hoe. Pheng Hweeshio
yang melihat itu segera berteriak "Teng Bin Koen. kau
sungguh manusia tak kenai malu! Tak heran jika orang
Kang ouw memberi gelaran Tok chioe Boe yam kepadamu.
Sekarang aku menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa
hatimu benar jahat seperti ular dan kalajengking. Huh !
Mukamu jelek seperti muka Boe yam! Jika semua wanita
separti kau, semua lelaki dunia tentu buru-buru mencukur
rambut !"
772
Sebenarnya, biarpun tidak bias disebut cantik, Teng Bin
Koen bukan seorang wanita yang jelek. Pheng Hweeshio
sudah sengaja mencaci begitu dan memberi gelaran "Tok
chioe Boe yam" kepadanya untuk menolong Kie Siauw
Hoe. Ia tahu bahwa seorang wanita bisa mata gelap, jika
disinggung kejelekan mukanya. Ia mengharap supaya
dalam gusarnya, Teng Bin Koen membunuh ia sendiri dan
Kie Siauw Hoe bisa mendapat kesempatan untuk melarikan
diri.
Tapi wanita she Teng itu ternyata bukan manusia tolol.
Ia berpendapat, bahwa sesudah membinasakan adik
seperguruannya, ia masih mempunyai banyak tempo untuk
mengambil jiwa pendeta itu. Maka itulah, tanpa meladeni
cacian orang, ia terus menyerang dengan hebat.
"Dalam dunia Kang ouw, siapakah yang tak tahu
kesucian Kie Liehiap," teriak pula Pheng Hweeshio. "Teng
Bin Koen, sekarang aku mau membuka rahasiamu. Kaulah,
manusia muka jelek, yang sebenarnya maui In Lie Heng !
Karena In Liokhiap tidak meladeni, kau memfitnah Kie
Liehiap. Ha ha ha! Tulang pipimu begitu tinggi ! Mulutmu
sebesar panci! Kulitmu kering dan kuning, sedang badanmu
kurus jangkung seperti gala jemuran! Ha ha ha ! In Liokhiap
yang begitu tampan mana mau mengambil kau sebagai
isterinya? Kau sebenarnya harus lebih sering berkaca ...."
Meskipun pintar, Teng Bin Koen kalap juga. Mendengar
sampai disitu, ia tidak dapat mempertahankan
ketenangannya lagi. Ia melompat sambil mengayun pedang
yang diturunkan kemulut Pheng Hweeshio.
Memang benar tulang pipi nona Teng agak tinggi,
mulutnya agak besar, kulitnya agak hitam sedang badannya
agak jangkung. Tapi kekurangan-kekurangan itu, yang tidak
banyak, tidak terlihat nyata, jika tidak diperhatikan.
773
Tapi Pheng Hweeshio yang bermata tajam sudah bisa
melihat itu semua dan ia lalu mengejek secara berlebihlebihan.
Apa yang membuat Teng Bin Koen kalap ialah
disebut-sebutnya nama In Lie Heng, yang belum pernah
dikenal olehnya.
Mendadak dari dalam hutan berkelebat satu bayangan
manusia yang sambil membentak keras, mengadang
didepan Pheng Hweeshio, sehingga pedang Teng Bin Koen
yang tengah menyambar menancap tepat dilehernya.
Hampir berbareng tangan orang itu menghantam dan
"buk!" mengenakan dada Teng Bin Koen yang lantas saja
terhuyung beberapa tindak dan mulutnya memuntahkan
darah. Pedang yang dilepaskan oleh nona Teng tetap
menancap dileher orang itu yang rupanya sudah tak bisa
hidup lebih lama lagi.
See Leng coo maju dua tindak dan mengawasi orang itu.
"Pek Kwie Sioe" teriaknya.
Orang itu memang Pek Kwie Sioe, Tancoe dari Hian boe
tan.
Sesudah terluka berat, ia mendapat tahu, bahwa untuk
melindungi dirinya, Pheng Hweeshio telah dikepung oleh
orang-orang Siauw lim, Koen loan, Go bie dan Hay see
pay. Maka itu, dengan sekuat tenaga ia datang ketempat
pertempuran dan menggantikan Hweeshio itu untuk
menerima tikaman Teng Bin Koen. Tapi pukulannya yang
terakhir masih hebat luar biasa, sehingga beberapa tulang
rusuk Teng Bin Koen menjadi patah.
Sesudah menenteramkar hatinya. Kie Siauw Hoe lalu
merobek tangan bajunya untuk membalut luka dilengannya
dan kemudian, dengan pedangnya, ia memutuskan
tambang yang membelenggu kaki tangan Pheng Hweeshio.
Sesudah itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memutar
774
badan dan berjalan pergi.
"Kie Kouwnio, tahan!" seru si pendeta, "Terimalah
hormatnya Pheng Hweeshio."
Buru-buru Kie Slauw Hoe melompat kesamping untuk
menolak pemberian hormat pendeta itu yang berlutut
ditanah.
Begitu bangun berdiri si pendeta segera menjemput
pedang See long coe dan berkata: "Manusia yang sudah
merusak nama baik Kie Kouw nio tidak boleh dibiarkan
hidup terus."
Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang dan
menikam tenggorokan Teng Bin Koen.
Bagaikan kilat nona Kie menangkis pedang itu. "Dia
adalah kakak seperguruanku," katanya "Biarpun dia tidak
menyintai aku, aku sendiri tak bisa tidak mengenal pribudi."
"Kalau sekarang tidak dibunuh, dibelakang hari dia bisa
menyebabkan munculnya banyak kesukaran bagi Kie
Kouwnio," kata si pendeta.
Air mata Siauw Hoe lantas saja mengucur. "Aku seorang
wanita yang bernasib paling buruk dalam dunia ini,"
katanya dengan suara sedih: "Biarlah, biarlah aku
menyerahkan saja segala apa kepada nasib. Pheng Soehoe,
jangan kau melukakan Soe cieku!"
"Perintah Kie Lihiap sudah tentu tidak akan dilanggar
olehku," kata Pheng Hweeshio sambil membungkuk.
"Soecie, kuharap kau bisa menjaga diri baik baik" kata
Kie Siauw Hoe dengan suara perlahan-lahan kemudian,
sesudah memasukkan pedangnya kedalam sarung, ia segera
berlalu tanpa menengok lagi.
Sesudah nona Kie pergi jauh, Pheng Hweeshio segera
775
berkata kepada See leng coe dan yang lain lain : "Aku
siorang she Pheng sebenarnya tidak mempunyai
permusuhan apapun jua dengan kamu sekalian. Akan
tetapi, fitnah hebat yang dilontar kan oleh si perempuan she
Teng telah didengar oleh kamu semua. Kalau cerita ini
sampai tersiar diluaran, bagaimana Kie Kouwnio bisa
berdiri terus diatas bumi ini? Maka itu, tak bisa aku
membiarkan kamu hidup terus. Hal ini sudah terjadi
lantaran terpaksa dan aku harap kamu jangan menyalahkan
aku."
Sehabis berkata begitu, dengan beruntun ia menikam See
leng coe, See ciat coe, seorang pendeta Siauw lim dan dua
jago Hay see pay. Kemudian barulah ia menggores muka
Teng Bin Koen dengan pedangnya, sehingga wanita she
Teng itu menjadi kalap, tapi tidak bisa berbuat banyak,
karena ia sudah terluka hebat. "Bangsat gundut !" teriaknya.
"Jangan kau menyiksa aku ! Bunuhlah !"
Pheng Hweeshio tertawa nyaring: "Aku tidak berani
membunuh perempuan jelek yang kulitnya kering dan
mulutnya lebar," ejeknya. "Kalau kau mampus aku kuatir
begitu lekas rohmu masuk di akhirat, berlaksa laksa setan
akan kabur kedunia sebab ketakutan. Akupun kuatir Giam
Loo Ong berak-berak bahna kagetnya !"
Sehabis berkata begitu, ia tertawa nyaring dan
melemparkan pedang ditanah dan sesudah menanggul
mayat Pek Kwie Sioe, ia menangis keras akan kemudian
berlalu dengan tindakan cepat.
Untuk beberapa lama Teng Bin Koen mengaso dengan
napas tersengal-sengal. Kemudian deegan menggunakan
sarung pedang sebagai tongkat, iapun berlalu dengan
tindakan limbung.
Peristiwa yang hebat itu telah disaksikan semua oleh
776
Siang Gie Coen dan Boe Kie. Sesudah Teng Bin Koen
berlalu, barulah mereka menarik napas lega.
"Siang Toako," kata Boe Kie. "Kie Kouwnio adalah
tunangan In Lioksiok. Perempuan she Teng itu
mengatakan, mendapat anak. Siang Toako, bagaimana
pendapatmu, apa benar atau tidak'?"
"Dia omong kosong, jangan dipercaya!" jawabnya.
"Benar!" kata Boe Kie. "Kalau bertemu In Liok siok, aku
akan memberitahukan kekurang ajaran perempuan she
Teng itu, supaya Lioksiok bisa menghajarnya."
"Jangan! Jangan !" cegah Gie Coen tergesa gesa. "Hal itu
kau sekali-kali tidak boleh memberitahukan In Lioksiok.
Kau mengerti!"
"mengapa?" tanya si bocah.
"Omongan-omongan yang tidak sedap itu tidak boleh
diberitahukan kepada siapapun juga," jawabnya. "Ingatlah.
Kau tidak boleh bicara dengan siapapun juga."
Boe Kie mengangguk sambil mengawasi muka Gie
Coen. Beberapa saat kemudian, ia berkata pula: "Siang
Toako, apa kau kuatir tuduhan Teng Bin Koen suatu
kenyataan ?"
Gie Coen menghela napas. "Tak tahu," jawabnya.
Pada keesokan paginyaq jalanan darah Gie Coen yang
tertotok terbuka sendirinya dan ia lalu mendukung Boe Kie,
siap sedia untuk meneruskan perjalanan. Sambil mengawasi
mayat mayat yang menggeletak ditanah, ia berkata didalam
hati: "Sesudah belasan tahun, Cia Soen menghilang, tapi
karena gara-garanya, orang-orang Rimba Persilatan masih
terus mengorbankan jiwa. Hai! Sampai kapan urusan ini
baru menjadi beres ?"
777
Sesudah banyak mengasoh, sebagian tenaga Gie Coen
pulih kembali. Rasa sakit dalam badannya banyak
berkurang dan ia bisa berjalan terlebih cepat. Sesudah
melalui beberapa li mereka bertemu jalanan raya. Gie Coen
agak terkejut. "Ouw Soe peh berdiam di tempat yang sepi.
tapi mengapa aku bertemu dengan jalanan raya?" tanyanya
di dalam hati. "Apa nyasar?"
Baru saja ia mau mencari penduduk dusun untuk
menanyakan, tiba tiba terdengar suara tindakan kuda dan
empat orang serdadu Mongol mengubar dari belakang.
"Lekas jalan! Lekas jalan!" teriak mereka sambil mengacung
acungkan senjata seolah olah menggebah binatang.
"Tak dinyana aku mesti mati ditempat ini," mengeluh
Gie Coen. Karena lukanya, ilmu silatnya sudah musnah
semua. Sekarang ia malah tidak dapat melawan seorang
serdadu Mongol biasa.
Maka itu sambil menahan amarah, ia terpaksa berjalan
terus.
Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan sejumlah
penduduk yang juga digiring oleh serdadu serdadu Mongol.
Dalam hati mereka lantas saja muncul sedikit harapan.
Sekarang ternyata, bahwa serdadu-serdadu itu sedang
memperlihatkan kekejamannya terhadap rakyat jelata dan
bukan mereka yang dijadikan bulan-bulanan.
Melihat bahaya, Boe Kie segera berbisik: "Siang Toako,
lekas kau berlagak jatuh dan buang golokmu."
Gie Coen tersadar. Sesudah berjalan beberapa tindak
lagi, ia pura-pura terpeleset dan menggulingkan diri
dirumput sambil melepaskan golok yang disisipkan
dipinggangnya. Sesudah itu, ia merangkak bangun dan
berjalan lagi dengan napas tersengal sengal. Selagi ia lewat
didepan seorang perwira Mongol, seorang Han yang jadi
778
juru bahasa berteriak: "Bangsat! Kau sungguh tidak tahu
adat. Lekas berlutut dihadapan Tayjin!"
Mengingat Cioe Coe Ong serumah tangga telah
dibinasakan oleh tentara Mongol, darah Siang Gie Coen
lantas saja naik tinggi dan biarpun mesti mati, ia tak sudi
menekuk lutut. Ia jalan terus dengan berlagak tuli. Seorang
serdadu Mongol mengudak dan menyapu kakinya sehingga
ia jatuh terguling.
"She apa kau?" bentak si juru bahasa.
Sebelum Gie Coen sempat memberi jawaban, Boe Kie
sudah mendahului berkata: "She Cia, dia kakakku"
Serdadu itu lalu menendang punggung Boe Kie seraya
membentak: "Pergi!"
Bukan main gusarnya Gie Coen. Sambil merangkak
bangun, ia bersumpah didalam hati, bahwa sebegitu lama ia
masih hidup, ia akan berusaha dengan seantero tenaganya
untuk mengusir bangsa Mongol dari daerah Tionggoan.
Dalam keadaan tidak berdaya, buru-buru ia mendukung
pula Boe Kie dan berlalu cepat-cepat. Baru berjalan
beberapa puluh tombak, tiba tiba mereka mendengar
teriakan teriakan menyayat hati. Mereka menengok dan
melihat puluhan rakyat sedang dibunuh oleh tentara
Mongol.
Sepanjang sejarah, selama penjajahan kerajaan Goan
(Mongol), rakyat banyak memberontak. Belakangan,
seorang pembesar tinggi Mongol telah mengeluarkan
perintah untuk membunuh orang orang Han, yang she
Thio, Ong, Lauw, Lie dan Tio. Semuanya lima she. Pada
jaman itu, orang she Thio, Ong, Lauw dan Lie yang paling
banyak terdapat di Tionggoan, sedang she Tio adalah she
dari kaizar-kaizar Song. Maka itu, menurut jalan pikiran si
pembesar Mongol, bangsa Han akan runtuh semangatnya
779
jika orang-orang dari kelima she itu dibunuh. Untung juga,
perintah yang sangat kejam itu cepat diketahui oleh kaizar
Mongol yang segera mengeluarkan larangannya. Tapi
sementara itu, banyak juga orang Han yang dibunuh mati.
Gie Coen tidak berani berdiam lama lama lagi dan lalu
berjalan secepat cepatnya. Sesudah melalui beberapa
mereka bertemu dengan seorang penjual kayu bakar dan
mereka lalu menanyakan dimana letaknya Ouw tiap kok.
Orang itu meng gelengkan kepala. Tapi Gie Coen segera
mengetahui, bahwa Soepehnya mesti berdiam disekitar
tempat itu.
Dengan sabar ia lantas saja mencari-cari. Di sepanjang
jalan mereka melihat ratusan macam bunga yang menghiasi
daerah pegunungan itu. Tapi sesudah menyaksikan
peristiwa yang menyedihkan itu, mereka tak punya
kegembiraan Iagi untuk menikmati pemandangan alam
yang sangat indah.
Sesudah membelok dibeberapa tikungan, disebelah
depan menghadang sebuah tembok gunung dan jalanan
putus disitu. Selagi mereka kebingungan, mendadak muncul
beberapa ekor kupu-kupu yang terbang masuk kesebuah
gerombolan pohon-pohon kembang.
"Tempat ini dinamakan Ouw tiap kok, atau Selat Kupukupu,"
kata Boe Kie. "Apa tidak baik kita mengikuti kupukupu
itu?"
"Baiklah," kata Gie Coen yang lalu turut masuk
kegerombolan pohon itu.
Sesudah melewati gerombolan pohon bunga, mereka
bertemu dengan sebuah jalanan kecil yang tertutup rumput
hijau. Setelah berjalan beberapa jauh, jumlah kupu kupu
yang beterbangan disekitar situ jadi makin banyak. Hidung
mereka mengendus harumnya bunga-bunga. Kembang780
kembang yang tumbuh disekitar situ sangat berbeda dengan
apa yang terlihat ditempat lain. Makin jauh mereka maju
kupu-kupu makin tidak takut manusia. Mereka terbang
mendekati seolah olah menyambut kedatangan tamu-tamu
dan hinggap dikepala, dipundak, dilengan Gie Coen dan
Boe Kie.
Gie Coen dan Boe Kie jadi bersemangat, karena mereka
tahu, bahwa mereka sudah berada dalam selat Ouw tiap
kok.
Lewat tengah hari, mereka melihat tujuh-delapan rumah
gubuk dipinggir sebuah solokan yang airnya`jernih.
Didepan, dibelakang dan dikiri kanan setiap gubuk ada
dikurung dengan kebun kembang yang terawat baik.
Gie Coen berlari-lari kedepan gubuk-gubuk itu dan
berkata dengan suara menghormat: "Teecoe Siang Gie
Coen ingin berjumpa dengan Ouw Soepeh."
Selang beberapa saat, dari sebuah gubuk keluar seorang
kacung yang berkata: "Masuklah."
Sambil mendukung Boe Kie, Gie Coen segera bertindak
masuk. Disatu sudut dari ruangan tengah kelihatan berdiri
seorang lelaki setengah tua yang berparas agung. Ia ternyata
sedang menilik seorang kacung yang lagi memasak obat.
Seluruh ruangan itu penuh dengan macam-macam daun
obat yang aneh aneh. Buru-buru Gie Coen menaruh Boe
Kie diatas kursi dan lalu berlutut di hadapan orang itu,
"Ouw Soepeh, Gie Coen memberi hormat," katanya.
Boe Kie mengawasi orang itu yang tentulah juga bukan
lain daripada Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe.
Tabib malaikat itu manggut-manggutkan kepalanya dan
berkata : "Urusan Cioe Coe Ong, aku sudah tahu. Itulah
nasib. Mungkin sekali, rejeki Tatcoe masih belum habis dan
781
agama kita belum sampai waktunya untuk bisa memperoleh
kemakmuran"
Sehabis berkata begitu, ia memegang nadi Gie Coen dan
membuka baju pemuda itu. Sambil mengawasi dada si
berewok, ia berkata: "Kau kena pukulan Ciat sim ciang dari
Hoan ceng. Pada hakekatnya, pukulan itu tidak sukar di
obati. Tapi sesudah terpukul, kau menggunakan terlalu
banyak tenaga, sehingga hawa dingin menyerang
jantungmu dan sebagai akibatnya, aku memerlukan agak
lebih banyak tempo untuk menyembuhkannya." Sesudah
memberi penjelasan, ia meraba-raba sekujur badan Gie
Coen.
"Dengan siapa kau bertempur tadi malam?" tanya Ceng
Goe secara tiba-tiba. "Dengan murid Boe tong pay?"
"Tidak," jawabnya.
Sang paman segera meraba-raba kedua paha Si brewok.
Sekonyong-konyong paras mukanya berubah dan
membentak: "Gie Coen! Tujuh delapan tahun kita tidak
pernah bertemu muka. Sekali bertemu, kau coba
memperdayai Soepehmu. Sudahlah! Aku tidak bisa
mengobati lukamu. Pergi!"
Gie Coen jadi bingung. "Ouw Soepeh," katanya, "mana
berani aku mendustai kau? Dengan sesungguhnya,
sepanjang malam aku tidak pernah bertempur dengan
siapapun jua. Tenagaku sudah habis semua. Andaikata aku
ingin, akupun tidak bisa berkelahi!"
"Omong kosong!" bentak sang paman guru "Terangterang,
Hoan tiauw hiat dikedua pahamu telah ditotok
orang. Dan totokan itu dilakukan dengan ilmu menotok
dari Boe tong pay. Tempo nya yalah antara Coe sie dan Tio
sie," (Coe sie antara jam 11 malam dan jam 1. Tio sie
Antara jam 1 dan jam 3 pagi).
782
Mendadak si brewok tertawa. "Ah ! Kalau begitu, yang
dimaksudkan Soepeh yalah jalanan darah yang ditotok
olehku sendiri," katanya. Dengan ringkas ia lalu
menceritakan kejadian semalam.
Waktu Gie Coen menuturkan cara bagaimana ia sudah
diabui Boe Kie, Ceng Goe melirik bocah itu dan waktu ia
menceritakan cara bagaimana mata kanan Pheng Hweeshio
telah ditusuk oleh Teng Bin Koen, sang paman guru
menghela napas berulang ulang dan berkata: "Pheng Eng
Giok Hweeshio adalah seorang gagah sejati dari agama
kita. Biarpun kita tidak segolongan dengan dia, tapi kita
harus mengaku, bahwa dia itu seorang manusia yang jarang
terdapat dalam dunia ini. Kalau begitu ditusuk, ia bisa
segera datang kepadaku, mungkin sekali mata kanannya
tidak sampai menjadi buta. Tapi sekarang sudah tidak dapat
diobati lagi."
Ia menengok kepada Boe Kie dan berkata pula: "Dari
mana kau belajar ilmu Tiam Toat Boe tong pay?"
"Soepeh." kata Gie Coen, "saudara kecil itu adalah
putera Thio Ngohiap dari Boe tong pay."
Ouw Ceng Goe kaget dan paras makanya lantas saja
berubah gusar. "Murid Boe tong pay?" la menegas, "Perlu
apa kau membawa dia kemari?"
Gie Coen lantas saja menuturkan cara bagaimans Thio
Sam Hong telah menolong dia dan puteri Cioe Coe Ong
waktu mereka diubar-ubar oleh kaki tangannya kaizar Goan
disungai Han soei. Sesudah selesai bercerita, ia akhirnya
berkata: "Sesudah menanggung budi yang begitu besar
teecoe memohon supaya Soepeh suka membuat kecualian
dan sudilah Soepeh menolong jiwa saudara kecil ini."
Sang paman guru mengeluarkan suara dihidung, "Gie
Coen, kau sungguh seorang yang royal dengan janji783
janjimu," ejeknya. "Hem.... yang ditolong Thio Sam Hong
adalah kau, bukan aku. Lagi kapan aku pernah membuat
kecualian dalam kebiasaanku?"
Gie Coen segera berlutut dan manggutkan kepalanya
berulang-ulang. "Soepeh." katanya, "ayah saudara kecil itu
adalah seorang laki-laki sejati yang lebih suka menggorok
leher dari pada menjual sahabat. Dia sendiri, meskipun
masih kecil, mempunyai jiwa seorang kesatria. Teeeoe
menjamin, bahwa dia seorang baik."
"Apa? Orang baik?" Ceng Goe mengejek pula. "Ada
berapa banyak orang baik dalam dunia? Kalau dia bukan
murid Boe tong pay, masih tidak apa. Dia murid sebuah
partai yang lurus bersih, mengapa dia harus meminta
pertolongan dari agama sesat ?"
"Ibu saudara Thio adalah puteri Peh bie Eng ong In
Kauwcoe," kata Gie Coen. "Dengan demikian, dapatlah
dikatakan, separuh badannya adalah dari agama kita."
Mendengar keterangan itu, hati Ouw Ceng Goe tergerak
juga: "Oh, begitu. Kau bangunlah." kataanya, "Dia putera
In So So dari Peh bie kauw. Kalau begitu lain urusan." Ia
lalu mendekati Boe Kie dan berkata dengan suara hangat.
"Anak, aku selamanya mentaati peraturan bahwa aku tidak
akan menolong orang orang dari partai lurus bersih. Ibumu
adalah anggauta dari agama kita. Tapi sebelum mengobati,
aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembih, kau harus
pulang ketempat kakekmu, yaitu Peh bie Eng ong ln
Kauwcoe, dan kau harus masuk kedalam agama Peh bie
kauw. Dengan lain perkataan, kau harus meninggalkan
partai Boe tong pay"
Sebelum Boe Kie menjawab, Gie Coen sudah
mendahului. "Soepeh, hal itu tidak bisa kejadian. Sebelum
menyerahkan saudara Thio kepada Teecoe, Thio Sam Hong
784
Thio Cinjin sudah mengatakan terang terangan, bahwa kita
tidak boleh memaksa dia masuk kedalam agama kita dan
juga andaikata dia sembuh, Boe tong pay tidak
menanggung budi dari agama kita"
Kedua mata Ouw Ceng Goe lantas saja mendelik dan
darahnya naik, "Huh ! Manusia apa Thio Sam Hong !"
bentaknya. "Dia begitu memandang rendah kepada kita,
perlu apa kau membantu dia. Anak, bagaimana
keputusanmu sendiri ?"
Boe Kie mengerti bahwa ia sedang menghadapi soal mati
atau hidap. Sesudah kakek gurunya tidak berdaya untuk
menolong harapan satu-satu nya ialah Ouw Ceng Goe. la
tahu, kalau ia tidak dapat meluluskan apa yang diminta
oleh Tiap kok Ie Sian, jiwanya pasti tak akan bisa ditolong
lagi. Ia sendiri sebenarnya masih tak tahu apa kejelekan
atau kebusukan "agama" sesat yang begitu di benci oleh
sang kakek guru dan semua paman pamannya. Tapi karena
ia sangat mencintai dan menghormati kakek gurunya, maka
ia lantas saja mengambil keputusan, bahwa ia lebih baik
mati dari pada melanggar pesanan orang tua itu.
Tanpa bersangsi lagi, dengan suara lantang ia menjawab.
"Ouw Sinshe, ibuku ialah Hio coe dari Peh bie kauw dan
aku pribadi menganggap bahwa Peb bie kauw adalah
agama baik. Akan tetapi, sebab Thay soehoe melarang aku
masuk kedalam Mo kauw dan aku sendiri sudah
menyanggupi, maka sebagai laki laki, tak dapat aku
menarik pulang janjiku itu. Jika kau tak sudi mengobati
aku, akupun tidak bisa berbuat apa apa. Kalau lantaran
takut mati, aku menurut apa yang diminta olehmu, maka
aku akan menjadi seorang manusia yang tidak mempunyai
kepercayaan, dan dari pada jadi manusia semacam itu,
lebih baik aku berpulang ke alam baka."
Ouw Ceng Goe mendongkol bukan main. "Gie Coen,"
785
katanya. "Bawa, dia pergi! Didalam rumah Ouw Ceng Goe
tidak boleh ada orang mati lantaran sakit."
Gie Coen jadi bingung. Ia mengenal benar adat
Soepehnya Jika ia telah berkata "tidak", perkataannya tidak
bisa diubah lagi.
"Saudara kecil," katanya dengan suara membujuk.
"Biarpun Mo kauw agak berbeda dengan partai-partai yang
lurus bersih, akan tetapi, semenjak jaman kerajaan Tong
sampai sekarang, dalam kalangan kami setiap turunan
selalu muncul orang gagah sejati. Apa pula kakek luarmu
adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw sedang ibumu sendiri
Hio coe dari agama tersebut. Saudara kecil, luluskanlah
permintaan Ouw Soepeh. Di hari kemudian aku akan
bertanggung jawab dihadapan Thio Cinjin."
"Baiklah," kata Boe Kie. "Siang Toako, ketuklah tulang
punggungku yang kedelapan dan ketiga belas dengan kuku
jarimu, ketuklah beberapa kali"
Gie Coen menjadi girang dan lalu melakukan apa yang
diminta. Di luar dugaannya begitu kedua tulang
punggungnya diketuk, si bocah lantas saja menggerakkan
kedua kakinya. Ia bangun berdiri seraya berkata kepadanya
"Siang Toako. Kau telah berbuat apa yang kau bisa.
Dibelakang hari Thay Soehoe tak bisa menyesalkan kau." Ia
memutar badan dan berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Si brewok kaget. "Mau kemana kau?" teriaknya.
"Kalau aku mati di Ouw tiap kok, bukankah nama Tiap
kok Ie sian akan menjadi rusak?" jawabnya. Sambil berkata
begitu, ia kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan.
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Nama Kian sie Poet
kioe Ouw Ceng Goe sudah kesohor di kolong langit."
786
katanya. "Bukan baru satu orang yang roboh binasa diluar
rumahnya." (Kian sie Poet kioe artinya Melihat kebinasaan
tetap tidak menolong).
Tanpa menghiraukan perkataan Soepehnya, Gie Coen
segera mengubar. Mereka kedua duanya sama sama
mendapat luka, tapi luka Cie Goan banyak lebih enteng dan
tenaganya pun banyak lebih besar. Maka itu, dalam
beberapa saat saja ia sudah bisa menyandak Boe Kie yang
lalu dipeluknya dan dibawa balik kerumah paman guruya.
Dengan kedua tangan belum bisa bergerak, si bocah
tidak berdaya lagi.
"Ouw Soepeh apa benar benar kau tidak mau
menolong?" tanya Gie Coen dengan napas tersengal sengal.
"Apa kau tidak tahu, bahwa aku bergelar Kian sie Poet
kioe?" Sang paman balas menanya. "Perlu apa kau melit
melit?"
"Tapi apakah Soepeh bersedia untuk mengobati luka
didalam tubuhku?" tanya pula Siang Gie Coen.
"Tentu." jawabnya.
"Bagus!" kata si brewok girang. "'Teecoe telah berjanji
kepada Thio Cinjin nntuk menolong saudara kecil ini.
Sesudah memberi janji itu, tee coe tak mau orang-orang
partai sana mengatakan bahwa murid-murid Mo kauw tidak
boleh dipercaya. Maka itu, begini saja, Teecoe tak usah di
obati oleh Soepeh, tapi teecoe memohon supaya Soepeh
sudi mengobati saudara kecil dengan demikian, satu ditukar
dengan satu dan Soepeh tidak jadi rugi."
"Kau tahu bagaimana hebatnya Ciat sim ciang ?" tanya
sang paman guru dengan paras sunguh-sungguh. "Sesudah
kena pukulan itu, jika didalam tempo tujuh hari, kau
mendapat pertolongan seorang tabib kelas satu, maka
787
lukamu akan menjadi sembuh. Sesudah lewat tujuh hari,
hanya jiwamu yang dapat ditolong, sedang ilmu silatmu
akan musna seanteronya. Sesudah lewat empat belas hari,
tak satu tabibpun yang akan bisa menolong jiwamu."
"Ya, itulah karena meskipun melihat kebinasaan, Soepeh
tidak sudi menolong," jawabnya, "Teecoe rela mati dan
takkan merasa menyesal."
"Aku tak sudi ditolong olehmu!" teriak Boe Kie. "Tak
sudi! Kau mengerti?" la menengok kearah siberewok dan
berkata: "Siang Toako, apa kah kau rasa Boe Kie manusia
rendah? Kau menukar jiwamu dengan jiwaku. Andaikan
aku hidup, aku akan hidup menderita. Tak bisa ada
kejadian begitu !"
Gie Coen adalah laki-laki tulen. Tanpa mengeluarkan
sepatah kata lagi, ia membuka tali pinggangnya yang lalu
digunakan untuk membelenggu kaki tangan Boe Kie dan
kemudian mengikatkan kesebuah kursi.
"Lepas ! Lepas !" teriak bocah itu. "Kalau kau tidak
lepas, aku akan mencaci."
Si berewok tidak menggubris.
"Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe!" teriak Boe Kie.
"Kau sungguh seperti kerbau tolol! Kau lebih rendah
daripada binatang. Aku sedih, bahwa didalam Mo kauw
terdapat manusia yang tidak bersifat manusia. Dan kau
masih begitu tak mengenal malu, kau masih ada muka
untuk membujuk aku masuk kedalam agamamu. Entah
dosa apa yang ditumpuk oleh delapan belas leluhurmu,
sehingga pada akhirnya, mereka mendapat turunan seperti
kau, manusia yang lebih rendah dari pada anjing dan babi !"
Sesudah selesai mengikat Boe Kie, Gie Coen segera
berkata : "Ouw Soepeh, saudara Thio, selamat tinggal! Aku
788
sekarang ingin mencari tabib."
"Di seluruh propinsi An hoei tidak terdapat tabib yang
pandai," kata Ceng Goa. "Dan didalam tujuh hari, belum
tentu kau bisa keluar dari propinsi ini."
Si brewok tertawa terbahak-bahak. "Aku mempunyai
Soepeh melihat kebinasaan, tak sudi menolong," katanya.
"Dan kau mempunyai Soetit (keponakan murid) yang tidak
mengenal mampus." Seraya berkata begitu, dengar tindakan
lebar ia berjalan keluar.
"Ouw Ceng Goe !" bentak Boe Kie. "Kalau kau tidak
mengobati Siang Toako, satu hari kau pasti akan binasa
didalam tanganku ! Aku...aku.."
Ia tidak dapat meneruskan perkataannya, karena ia
sudah pingsan.
Ceng Goe mengeluarkan suara dihidung. "Tak perlu kau
mampus diluar rumahku," katanya seraya mengambil
sebatang daun obat yang lain di timpukkan kearah Gie
Coen. Batang daun obat itu menyambar bagaikan kilat dan
mengenakan tepat dilutut si berewok, yang tanpa
mengeluarkan suara, segera roboh terguling dan tidak bisa
bangun lagi.
Memang aneh sungguh adat Ouw Ceng Coe. Kalau dia
kata "tidak" tetap tidak, kalau dia "mau", dia tetap mau.
Perkataan Boe Kie yang paling belakang, yakni aneaman
"kalau kau tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau pasti
akan binasa didalam tanganku", agak mengejutkan hatinya.
Melihat kegagahan Boe Kie dan mengingat bahwa anak itu
murid Thio Sam Hong, ia merasa bahwa ancaman itu
bukan ancaman kosong. Ia seorang yang sangat berhatihati.
Sesudah memikir sejenak berkata dalam hatinya:
"Biarlah, kedua-duanya tidak ditolong olehku. Perduli apa
jika di Ouw tiap kok bertambah dengan dua setan
789
penasaran"
Sesudah menimpuk Gie Coen, ia segera membuka ikatan
Boe Kie dan mencekal kedua pergelangan tangan anak itu
untuk dilontarkan sejauh jauhnya keluar.
Mendadak Ceng Goe terkejut, karena denyutan nadi si
bocah sangat luar biasa. Ia segera memeriksa lebih teliti dan
rasa kagetnya bertambah tambah.
"Apakah bocah sekecil dia sudah bisa membuka Kie
keng Pat meh" tanyanya dalam hati. "Puluhan tahun aku
berlatih, tapi belum dapat aku membuka pembuluh
darahku. Oh, aku tahu! Tak salah lagi, inilah akibat
bantuan Thio Sam Hong. Dia rupanya sangat sayang bocah
itu dan rela mengorbankan sebagian Lweekangnya."
Ia lalu membuka pakaian Boe Kie dan memeriksa
seluruh badannya. Sesudah itu, ia menekan tantian, dada,
embun-embunan dan hati si bocah. Akhirnya ia tertawa
dingin seraya berkata : "Thio Sam Hong berlagak pintar,
tapi dia jadi bodoh. Lantaran menyayang, dia
mencelakakan cucu muridnya. Jikalau Kie keng Pat meh
anak ini belum terbuka, jiwanya masih dapat ditolong. Tapi
sekarang, racun dingin sudah buyar dan masuk ke dalam isi
perutnya. Kecuali dewa, manusia biasa tak berdaya lagi.
Huh huh! Kata orang, Boe tong Thio Sam Hong
berkepandaian luar biasa tinggi. Tapi menurut
penglihatanku, dia goblok berlapis dungu."
Beberaga saat kemudian, Boe Kie tersadar, dan melihat
Ouw Ceng Goe sedang mengawasi api dapur obat dengan
mata membelalak, sedangkan Siang Gie Coen masih juga
menggeletak di jalanan berumput, diluar rumah. Keadaan
begitu sunyi senyap untuk beberapa lama, tak seorangpun
membuka mulut.
Ouw Ceng Goe adalah seorang tabib yang telah
790
mencurahkan seluruh penghidupannya untuk mempelajari
ilmu ketabiban. Kalau dia senang dengan mudah dia dapat
menyembuhkan penyakit yang aneh-aneh. Oleh karena itu,
ia mendapat gelaran "Ie sian," atau "Tabib Dewa."
Tapi, ia sekarang menghadapi racun yang sangat langka,
yaitu racun dingin dari pukulan Hian beng Sin ciang. Apa
yang lebih luar biasa lagi, yalah pembuluh darah dari orang
yang terkena racun itu, terbuka semuanya, sehingga racun
tersebut sudah masuk kedalam perutnya.
Sebagaimana diketahui, dalam dunia ini, orang orang
sangat sukar mendapat lawan yang setimpal. Seorang ahli
catur jempoan sukar mendapat lawan yang seimbang. Jika
menemui lawan begitu, ia bisa lupa makan dan lupa tidur.
Seorang ahli hitung juga pasti tak akan menyerah kalah
sebelum dapat memecahkan teka teki hitungan yang sulit.
Hal yang sama sekarang dihadapi oleh Ouw Ceng Coe.
Penyakit Boe Kie merupakan tantangan baginya. Ia
sungkan mengobati Boe Kie tapi tantangan itu terlalu hebat
untuk bisa dielakkan dengan begitu saja.
Tanpa merasa, ia mengasah otak, Beberapa lama, ia
mengasah otak, tanpa berbasil. Akhirnya dengan geregetan,
ia berkata didalam hatinya: "Baiklah. Lebih dulu aku akan
menyembuhkan penyakitnya. Aku pasti bisa
menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh, masih banyak
tempo untuk membinasakannya."
Sesudah memeras pikiran sejam lebih, ia mengeluarkan
dua belas kepingan kecil tembaga dari sakunya. Sambil
mengerahkan Lweekang, ia menancapkan kepingankepingan
logam tembaga itu di Tiongkie hiat (sebelah
bawah tantian), di Thian touw hiat (sebelah bawah leher),
di Cian keng hiat (dipundak) dan dilain lain jalan darah
disekujur badan Boe Kie. Sesudah kepingan tembaga itu
ditancapkan, maka duabelas Keng siang meh terputus
791
hubungannya dengan Kie keng Pat meh. Keng siang meh
ialah hati, paru paru, nyali ginjal, usus besar, usus kecil dan
lain lain, ialah dua belas macam isi perut dalam tubuh
manusia.
Sesudah Keng siang meh terputus hubungannya dengan
Kie keng Pat meh, maka racun dingin yang sudah masuk
kedalam isi perut Boe Kie tidak bisa naik lagi kepembuluh
darah dan untuk sementara, tidak berbahaya lagi.
Sesudah membuka semua jalanan darah yang tertotok di
kaki tangan Boe Kie, dengan menggunakan batang rumput
Tin ngay, Ouw Ceng Goe lalu membakar In boen hiat dan
Tiang hoe hiat dipundak sibocah. Kemudian, ia lalu
membakar berbagai jalanan darah dari lengan sampai
dijempol tangan, seperti Thian hoe hiat, Hiap pek hiat, Cek
tek hiat dan sebagainya. Setiap pembakaran disaban jalanan
darah mengurangi racun dingin yang mengeram dalam isi
perut Boe Kie. Tapi cara itu, yaitu menggunakan hawa
panas untuk melawan hawa dingin, menimbulkan kesakitan
luar biasa dan penderitaan Boe Kie lebih hebat dari pada
waktu mengamuknya racun dingin itu.
Tanpa mengenal kasihan, si tabib malaikat membakar
terus dengan batang Tin ngay yang menyala nyala. Sesudah
selang beberapa lama, tubuh si bocah penuh dengan totol
totolan hitam akibat pembakaran itu.
Boe Kie yang keras kepala sedikitpun sungkan
memperlihatkan kelemahannya. Jangankan berterlak
kesakitan, merintihpun tidak. Sebaliknya dari itu, ia masih
bisa bicara dengan sang tabib sambil bersenyum senyum.
Meskipun tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi sesudah
belajar ilmu Tiam hiat dari Cia soen, ia paham akan
letaknya berbagai jalanan darah disekujur badan manusia.
Maka itu, waktu Ouw Ceng Goe bicara tentang soal
792
ketabiban sambil membakar jalanan darahnya, sedikitsedikit
ia masih bisa melayaninya, Kadang kadang
berdasarkan pengetahuannya akan ilmu Tiam hiat, ia malah
memberi tafsiran atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang tepat. Hal ini menggembirakan sangat hati Tiap kok Ie
sian. Sebagaimana diketahui, ia hidup menyendiri disebuah
selat yang terpencil dari dunia luar. Manusia yang
mengawaninya hanya kacung kacung yang membantunya
mencari daun obat atau memasak obat. Maka dapatlah
dimengerti kalau sekarang kegembiraannya timbul sebab ia
bisa bicara dengan seorang yang kelihatannya mengerti
akan apa yang dibentangkan olehnya.
Setelah beberapa ratus jalanan darah yang bersangkut
paut dengan Keng sian meh selesai di bakar, siang sudah
berganti dengan malam. Tak lama kemudian, seorang
kacung membawa nasi dan sayur yang lalu ditaruh diatas
meja dan kemudian ia membawa juga barang santapan
keluar rumah untuk diberikan kepada Siang Gie Coen yang
masih terus menggeletak diatas rumput.
Malam itu si berewok tidur diudara terbuka. Waktu tiba
temponya untuk mengaso, tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Boe Kie berjalan keluar rumah dan membaringkan
dirinya diatas rumput, disamping Toako, sebagai tanda
bahwa ia bersamaan nasib dengan si berewok.
Ouw Ceng Goe tidak memperdulikan, ia malah berlagak
tidak melihat perbuatan Boe Kie. Tapi didalam hati, diamdiam
ia merasa heran dam kagum akan cara-caranya bocah
cilik Itu.
Pada keesokan harinya, si tabib malaikat menggunakan
tempo setengah hari untuk membakar "hiat" dari Kie keng
Pat meh. Keng siang meh adalah seperti sungai yang terus
mengalir tak henti-hentinya, sedang Kie keng Pat meh
seolah-olah telaga atau lautan yang menerima semua aliran
793
itu. Maka itu, usaha untuk mengusir racun dingin yang
berkumpul di Kie keng Pat meh banyak sukar daripada
usaha mengusir racun itu dari Keng Pat meh.
Sesudah selesai membakar berbagal "hiat" dari Kie keng
pat meh, Ceng Goe segera memerintahkan kacungnya
memasak semacam ramuan obat yang kemudian lalu
diberikan kepada Boe Kie. Obat itu dingin sifatnya dan
dalam usaha babak kedua itu ia menggunakan dingin
membasmi dingin. Sehabis makan obat itu, Boe Kie
mengigil hebat, tapi sesudah serangan itu mereda, ia
merasakan badannya banyak lebih baik, lebih nyaman dan
lebih segar.
Di waktu lohor si tabib malaikat meneruskan usahanya
dengan menusuk berbagai jalanan darah Boe Kie dengan
mengunakan jarum emas. Selagi diobati dengan rupa rupa
daya Boe Kie coba membujuk Ceng Goe, supaya dia suka
mengobati Gie Coen, tapi orang aneh itu tidak meladeni
dan hanya berkata: "Gelar Tiap kok ie sian untukku
sebenarnya kurang tepat dan aku tidak menyuka julukan
itu. Gelar Kian sie Poet kioe barulah menyenangkan
hatiku."
Sambil berkata begitu, ia menusuk Ngo kit hiat, diantara
pinggang dan paha dengan jarum emas nya. Jalanan darah
itu adalah tempat bertemunya Siauw yang dan Tay yang.
"Tay meh dalam tubuh manusia merupakan pembuluh
darah yang paling aneh," kata Boe Kie. "Ouw Sinshe, apa
kau tahu bahwa ada beberapa orang yang tidak mempunyai
Tay meh ?"
Ceng Goe kaget. "Omong kosong ! Tak bisa jadi!"
bentaknya.
Memang benar, Boe Kie hanya bicara sembarangan.
Tapi ia berkata pula. "Ouw Sinshe, dunia ini luas sekali dan
794
didalam dunia terdapat banyak yang aneh aneh. Apalagi
menurut katanya orang, Tay meh sebenarnya tidak
memegang peranan penting dalam tubuh manusia."
"Aku mengakui, bahwa Tay meh adalah pembuluh darah
yang agak aneh," kata sitabib. "Tapi jutsa besar, jika orang
mengatakan, babwa Tay meh tidak berguna besar. Dalam
dunia terdapat banyak tabib tolol yang tidak mengerti
kegunaan dan pentingnya Tay meh. Aku mempunyai sejilid
Kitab Tay meh. Kau bacalah sendiri,"
Ia segera masuk kedalam dan keluar lagi dengan
membawa sejilid Buku tipis yang ditulis dengan tulisan
tangannya sendiri, dan lalu menyerabkan kepada si bocah.
Boe Kie membuka halaman yang pertama, dimana
tertulis seperti berikut: "Dua belas Keng siang meh dan Kie
keng cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya
Tay meh yang terletak di samping kempungan, mengalir
dengan memutari pinggang, seperti juga sehelai ikatan
pinggang. Dalam beberapa kitab pengobatan terdapat
keterangan, bahwa Tay meh mempunyai empat hiat atau
enam hiat. Itu semua salah. Tay meh sebenarnya
mempunyai sepuluh hiat, dua di antaranya kadang kadang
muncul, kadang kadang menghilang, sehingga sukar sekali
dapat diraba"
Boe Kie membaca terus dengan teliti dan diam diam
mengingat-ingat semua apa yang dibacanya.
Tiba-tiba ia teringat peristiwa Tan Yoe Liang yang coba
mengabui kakek gurunya. Kitab Tay meh itu tidak seberapa
banyak isinya dan apa yang tertulis didalamnya ternyata
sangat mudah dimengerti, sehingga jika dibandingkan
dengan Kouw koat ilmu silat, kitab tersebut sepuluh kali
lebih mudah dihafal.
Sesudah selesai membaca, si bocah lalu mengembalikan
795
kitab itu kepada Ouw Ceng Gee. "Kitab itu sudah pernah
dibaca olehku," katanya dengan suara tawar. Pada waktu
berusia tigapuluh tahun, Thay soehoe pernah menulis Coe
hak Tay meh Jip boen Cian swee, yang bersamaan isinya
dengan hubungan itu. Entah Thay soehoe yang menelad
(peep: what is menelad?" keteranganmu atau kau yang
menyontoh gubahan Thay soehoe,"
Ouw Ceng Goe tercengang, akan kemudian marah besar.
"Tahun ini aku baru berusia lima puluh satu tahun,"
katanya didalam hati. "Kau mengatakan, bahwa Thio Sam
Hong menulis buku itu waktu ia berusia tiga puluh tahun
dan karena ia sekarang sudah berumur seratus tahun lebih,
maka ia menulis itu pada tujuhpuluh tahun berselang.
Dengan lain perkataan lagi, akulah yang sudah mencuri
buah kalamnya Thio Sam Hong. Kurang ajar! Kitab Taymeh
itu adalah hasil jerih-pajahku dan belum pernah
didapat oleh siapapun jua dalam dunia ini. Kurang ajar !
Kau mengatakan Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee,
sudah 'Coe hak', 'Jip boen', sudah 'Jip boen', 'Cian swee'
lagi! Kunyuk kecil ini benar-benar kurang ajar!" (Coe hak,
artinya pelajaran permulaan, Jip boen adalah pendahuluan,
Cian swee berarti perundingan yang cetek, tidak
mendalam).
Dalam gusarnya, ia menancapkan jarum emas dalamdalam
di pinggir jalanan darah, sehingga darah lantas saja
keluar berketel ketel. Boe Kie kesakitan, hampir-hampir ia
berteriak, tapi sambil menggigit bibir, ia menahan rasa sakit
itu. "Kalau kau tidak percaya, biarlah aku menghafal Coe
hak Tay meh Jip boen Cian swee itu, yang digubah oleh
Thay Soehoe," katanya dengan tenang.
"Baiklah !" bentak Ceng Goe. "Kalau salah sehuruf saja,
tahu sendiri, aku akan segera mengambil jiwamu "
Selama di Pheng hwee to, semenjak berusia tima tahun,
796
Boe Kie telah dipaksa menghafal Kouw koat ilmu silat oleh
ayah angkatnya. Salah sedikit saja, ia digaplok oleh ayah
angkat yang galak itu. Maka itulah, sesudah berlatih selama
lima tahun, ia boleh dikatakan sudah menjadi ahli dalam
ilmu menghafal. Akan tetapi, mendengar ancaman Ouw
Ceng Goe in keder juga. Ia yakin, bahwa orang aneh itu
dapat membuktikan ancamannya. Diam diam ia merasa
menyesal, bahwa ia berguyon guyon secara melampaui
batas. Tapi sekarang ia sudah tidak bisa mundur lagi.
Sambil mengempos semangat untuk mengumpulkan semua
tenaga otak nya, ia mulai menghafal dengan suara nyaring :
"Duabelas Keng siang meh dan Kie keng Cit meh semua
mengalir dari atas kebawah. Hanya Tay meh, yang terletak
disamping kempungan, mengalir memutari pinggang,
seperti sehelai ikatan pinggang..."
Makin lama, ia makin bersemangat dam akhirnya ia
mendapat menyelesaikan hafalan itu dengan sempurna.
Bukan main kagetnya Ceng Goa. Untuk beberapa saat,
ia mengawasi si bocah dengan mata membelalak. "Sungguh
luar biasa" pikirnya. "Anak itu mempunyai bakat Kwee bak
poet bong, Manusia yang seperti dia sukar dicari keduanya
didalam dunia," Kwee bak poet bong artinya begitu melihat
tidak bisa lupa Iagi.). Ia tak tahu, bahwa dalam kuil Siauw
lim sie terdapat Tan Yoe Liang yang kecerdasannya tidak
berada di sebelah bawah Boe Kie.
Sesudah hilang kagetnya, tanpa merasa ia memuji:
"Pintar! Kau sungguh pintar !" Sehabis berkata begitu, ia
segera menusuk sepuluh "hiat" dari Tay meh Boe Kie
dengan jarum emasnya.
Sehabis mengaso sebentar, Ceng Goe mendapat ingatan
untuk mencoba lagi. "Disamping kitab Tay meh, aku
memiliki kitab Coe ngo Ciam cie keng," katanya. "Coba
797
kau lihat. Apakah Thio Sim Hong juga sudah pernah
menggubah kitab yang seperti itu ?"
Ia segera masuk kedalam dan keluar lagi dengan
membawa 12 jilid kitab tulisan tangan.
Boe Kie segera membalik-balik lembarannya. Setiap
halamannya penuh huruf-huruf kecil yang menerangkan
kedudukan jalanan darah, beratnya timbangan obat, waktu
dan cetek dalamnya tusukan jarum emas. Semua
diterangkan dengan jelas sekali, "Untuk membaca dua belas
jilid sedikitnya memerlukan tempo tiga atau empat hari,"
pikirnya.
"Bagaimana aku dapat menghafal dalam tempo cepat?
Biarlah aku coba saja mencari ilmu untuk mengobati luka
Siang Toako." Dengan cepat ia membalik-balik lembaran
kitab-kitab itu dengan hanya memperhatikan judulnya.
Waktu memeriksa jilid kesembilan, dibagian Ciang siang
Cie hoat (Cara mengobati luka pukulan telapak tangan), ia
melihat petunjuk-petunjuk untuk mengobati luka Tiat see
ciang, Tok ciang, Kay san ciang dan sebagainya. Waktu ia
meneliti lagi sampai di halaman seratus delapanpuluh,
barulah ia bertemu dengan cara pengobatan luka terkena
pukulan Ciat sim ciang.
Ia jadi sangat girang. Ia lalu membaca dan mempelajari
apa yang tertulis disitu. Ia mendapat kenyataan bahwa
keterangan mengenai pukulan itu diberikan jelas sekali, tapi
cara mengobatinya sangat sederhana dan ringkas. Mengenai
itu hanya ditulis seperti berikut "Turun tangan mulai dari
Cie kiong hiat, Tiong tseg hiat. Koan goan hiat dan Thian
tie hiat. Sesudah itu, memberi obat dengan melihat
perubahan Im yang dan Ngoheng, meninjau lima hawa
udara yaitu: dingin, panas, kering, basah dan angin dan
memperlihatkan lima perasaan girang, gusar, jengkel,
banyak pikiran dan bersemangat dari si sakit."
798
Dalam ilmu pengobatan Tionghoa terdapat banyak
perubahan dan tidak ada peraturan yang tentu. Untuk
mengobati serupa penyakit si tabib biasa memberi obat
dengan memperhatikan hawa udara, siang atau malam,
lelaki atau perempuan, besar atau keci dan sebagainya.
Sementara itu, sesudah membaca beberapa kali, Boe Kie
berkata dalam hatinya: "Yang paling penting yalah coba
menolong Siang Toako. Aku tidak boleh mengejek tabib
malaikat ini."
Di bagian terakhir Ciang siang Cie hoat, ada tertulis
Hian beng Sin ciang. Kehebatan pukulan itu diterangkan
jelas, tapi dibagian cara pengobatan tertulis: "Tidak ada."
Ia lalu menutup kitab itu dan dengan sikap hormat
menaruhnya diatas meja. "Dalam ilmu silat, Ouw Sinshe
tidak dapat menandingi Tay soehoe, tetapi di dalam ilmu
ketabiban, Tay Soe hoe tidak bisa melawan Ouw Sinshe,"
katanya, "Coe ngo ciam cie keng luas dan dalam, Tay
Soehoe tak akan dapat menggubah kitab seperti itu. Akan
tetapi, mengenai pengobatan pukulan telapak tangan, apa
yang dipelajari Ouw Sinshe belum dapat melampaui
pelajaran Tay Soehoe."
Sehabis berkata begitu, ia segera menghafal Ciang Siang
Cie hiat yang terdiri dari mengobati seratus lebih macam
pukulan telapak tangan, dan dalam menghafal itu, tidak
sehuruf pun yang salah atau ketinggalan. Akhirnya ia
berkata: "Luka boanpwee akibat pukulan Hian beng Sin
ciang tak dapat diobati oleh Tay soehoe. Mungkin sekali
Ouw Sinshepun tidak berdaya"
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Tak usah kau
memanaskan hatiku," katanya. "Kau saksikan saja sendiri
apa benar aku tidak berdaya. Tapi sesudah aku
menyembuhkan kau, belum tentu kau bisa hidup lama."
799
Walaupun Boe Kie pintar luar biasa, ia tidak mengerti
maksud sebenarnya dari perkataan si tabib yang ingin
membinasakannya sesudah menyembuhkannya, supaya
sesuai dengan kebiasaannya, bahwa ia tidak pernah
menolong orang yang diluar lingkungan "agama" sesat.
Dengan tujuan satu-satunya untuk menolong Siang Gie
Coen. sibocah lantas saja berkata: "Ouw Sinshe, jika
boanpwee tidak bisa hidup lama, boanpwee ingin sekali bisa
membaca lagi kitab Coe ngo Ciam cie keng yang sangat luar
biasa itu."
Ouw Ceng Goe tidak lantas menjawab. Sesudah
menimbang sejenak, ia menganggap tidak halangan jika ia
meluluskan permintaan itu, sebab biar bagaimana juapun,
bocah itu tidak akan bisa keluar dari Ouw tiap kok dengan
masih bernyawa.
Ia mengangguk seraya berkata "Boleh, kau boleh
membaca sesukamu."
Biarpun adatnya aneh, tidak dapat disangkat lagi bahwa
Ouw Ceng Goe adalah salah seorang manusia luar biasa
yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas. Hanya
sesudah masuk kedalam "agama" sesat, ia membenci
manusia biasa dan lebih membenci lagi orang orang Rimba
Persilatan yang menjadi anggauta dari partai-partai lurus
bersih. Makin lama, adatnya jadi makin aneh dan ia hidup
menyendiri ditempat yang terpencil. Tapi, sebagai manusia
biasa kadang-kadang ia merasa manyesal, bahwa ia tidak
mempunyai kawan untuk bersama-sama merundingkan
atau mempelajari ilmu ketabiban dan iapun merasa sangat
kesepian. Oleh sabab itu, maka kedatangan Boe Kie, yang
sangat pintar dan yang kagum akan kepandaiannya, pada
hakekatnya menyenangkan hatinya yang kosong sunyi.
Sesudah mendapat perkenan, siang malam Boe Kie
800
mempelajari isi kitab-kitab Ceng Goe. Sering sering ia lupa
makan dan lupa tidur. Ia bukan saja membaca belasan
macam kitab yang ditulis oleh Ouw Ceng Goe sendiri, tapi
juga banyak kitab lain, sepetti Oay Tee Lweekang, Hoa To,
Lwee ciauw touw, Cian kim ek dan sebagainya. Tujuan si
bocah yang sesungguhnya, tidak dapat ditebak oleh Ouw
Ceng Gee yang menganggap, bahwa karena tidak mengerti
kitab gubahannya sendiri, maka Boe Kie yang sungkan
menanya secara langsung, sudah membongkar kitab-kitab
ketabiban kuno untuk mencari penjelasannya.
Beberapa hari telah lewat. Selama beberapa hari itu, Boe
Kie telah bisa menghafal banyak kitab, akan tetapi, ilmu
pengobatan yang dalam dan luas mana bisa
dipahamkannya dalam beberapa hari saja? Ia menghitung
hitung dan ternyata ia sudah berdiam di Ouw tiap kok
enam hari lamanya.
Ia jadi bingung. Menurut katanya Ouw Ceng Goe, jika
didalam tempo tujuh hari, Cie Coen bisa mendapat
pertolongan tabib yang pandai, maka lukanya akan sembuh
seanteronya. Jika lewat tujuh hari, andaikata bisa sembuh,
ilmu silat Gie Coen akan musnah semuanya. Dan sekarang,
si berewok sudah menggeletak diluar rumah enam hari
enam malam lamanya. Apakah ia akan bisa menolong jiwa
Siang Toako?
Hari itu turun hujan besar dan Gie Coen separuh
terendam diair, tapi sang paman guru tak
menghiraukannya. Melihat begitu, Boe Kie mendongkol
bukan main dan didalam hati, ia mencaci si tabib malaikat
yang berhati kejam.
Malamnya hujan turun makin besar. Kilat menyambar
nyambar, diiringi guntur dan petir yang menggetarkan
bumi. Boe Kie tak bisa mempertahankan diri lagi. Sambil
mengertak gigi, ia berkata dalam hatinya. "Biarpun aku
801
mesti membunuh Siang Toako, tak dapat aku mengawasi
penderitaannya dengan berpeluk tangan." Dari laci obat
Ouw Ceng Goe, ia segera mengambil delapan batang jarum
emas dan lalu menghampiri Gie Coen.
"Siang Toako," katanya dengan suara parau, "Selama
beberapa hari siauwtee telah mempelajari kitab-kitab Ouw
Sinshe dan biarpun belum mengerti benar, tapi karena
keadaan memaksa, siauwtee ingin coba menggunakan
jarum untuk mengobati Toako. Andaikata terjadi kejadian
yang tidak di harapkan, siauwteepun tidak bisa hidup
sendirian dalam dunia ini."
Gie Coen tertawa terbabak bahak. "Saudara kecil jangan
kau mengatakan begitu," katanya. "Lekas gunakan jarum
itu. Kalau kau berhasil, Soe peh akan merasa malu sekali.
Andaikata aku mati, aku memang lebih suka mati daripada
berendam dikobakan ini."
Dengan tangan gemetar Boe Kie mencari jalan darah Gie
Coen dan kemudian menancapkan sebatang jarum emas di
Koan goan hiat. Tapi, begitu ditacapkan, jarum itu bengkok
dan tidak bisa masuk terus ke dalam daging.
Hal ini bisa dimengerti, karena bukan saja si bocah
belum pemah menggunakan jarum tersebut, tapi jarum
itupun lemas luar biasa, sehingga untuk memasukkannya ke
dalam daging, orang harus menggunakan Lweekang yang
tinggi. Boe Kie terpaksa mencabutnya lagi. Menurut biasa,
jika jarum masuk tepat di jalanan darah, darah tidak keluar.
Tapi sekarang, sebab si bocah menusuk salah, maka begitu
jarum tercabut, darah Gio Coen lantas saja keluar berketelketel.
Koan goan hiat yang terletak dikempungan manusia,
merupakan salah satu "hiat" yang paling berbahaya.
Melihat darah merembas keluar tak hentinya, Boe Kie jadi
bingung.
802
Sekonyong-konyong di belakangnya terdengar suara
orang tertawa berkakakan. Ia menengok dan melihat Ouw
Ceng Goe yang berdiri sambil menggendong tangan,
dengan paras muka berseri seri.
"Ouw Sinshe," kata Boe Kie dengan suara bingung.
"Koan goan hiat Siang Toako mengeluarkan darah.
Bagaimana baiknya ?"
"Tentu saja aku tahu bagaimana baiknya," jawabnya.
"Tapi perlu apa aku memberitahukan kau ?"
"Ouw Sinshe, mengapa kau begitu kejam?" kata Boe Kie
dengan suara keras: "Begini saja. Satu jiwa ditukar dengan
satu jiwa. Tolonglah Siang Toako. Sesudah kau menolong,
aku akan segera binasa dihadapanmu."
"Kalau aku kata tidak, tetap tidak," kata Ceng Goe
dengan suara tawar. "Aku hanya Kian sie Poet kioe Ouw
Ceng Goe. Aku bukan Boe siang (setan yang biasa
membetot jiwa orang). Kalau kau mampus, sedikitpun tiada
sangkut pautnya dengan aku. Andaikata sepuluh Boe Kie
mati, akupun tidak akan menolong satu Siang Gie Coen."
Boe Kie mengerti, tiada gunanya ia memohon mohon
lagi. Ia tahu, bahwa ia tak akan bisa menggunakan jarum
emas itu yang terlampau lemas. Mencari jarum baja atau
jarum besi sudah tidak keburu lagi.
Sesudah memikir sejenak, buru buru ia mematahkan
sebatang bambu. Dengan menggunakan pisau, ia membuat
beberapa biting bambu dan kemudian, tanpa memikir lagi ia
menancapkannya di Cie kiong, Siong tong, Koen goan dan
Tian tie hiat.
Sesaat kemudian Gie Coen muntahkan darah hitam
beberapa kali.
Boe Kie jadi bingung. Sesudah menusuk jalanan darah
803
orang, ia tak tahu apa penyakitnya jadi lebih enteng atau
lebih berat. Ia mengawasi muka Ouw Ceng Goe dan
melihat, bahwa, meskipun sikapnya acuh tak acuh, paras
muka sitabib malaikat menunjuk rasa kagum. Ia sekarang
tabu, bahwa usahanya yang pertama telah berhasil dan
hatinya girang.
Buru-buru ia masuk kedalam rumah dan sambil
membaca beberapa kitab, ia mengasah otak untuk coba
menulis surat obat. Ia tahu obat apa bisa digunakan untuk
menyembuhkan penyakit apa, tapi ia belum pemah melihat
macamnya obat itu dan juga tidak mengerti, berapa banyak
si sakit barus diberikan. Sesudah berpikir beberapa lama
dengan nekat ia lalu menulis surat obat yang lalu
diserahkan kepada sikacung tukang masak obat dengan
berkata: "Masaklah obat ini"