Rabu, 26 April 2017

Cersil Jawa 6 : To Liong To

Cersil Jawa 6 : To Liong To Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Jawa 6 : To Liong To
Lian Cioe bersangsi. Sesudah memikir sejenak, ia
menjawab: "Tak dapat aku meluluskan permintaanmu. Tapi
aku berjanji, bahwa aku sendiri tak akan membunuh
Giehoemu"
Boe Kie mengawasi Jiehiap dengan mata membelalak
dan air matanya berlinang-linang.
Waktu fajar menyingsing, mereka tiba disebuah kota
kecil, dimana mereka mengaso setengah harian dan
diwaktu lohor segera meneruskan perjalanan.
Selang beberapa hari, tibalah mereka dikota Hankouw.
Hari itu selang mendekati kota Anlok. Ditengah jalan
mereka bertemu dengan belasan orang yang lari lintang
pulang dari sebelah depan.
Begitu bertemu dengan rombongan Lian Cioe mereka
berteriak-berteriak: "Balik! Balik! Jangan menuju terus!
Disebelah depan serdadu Tat coe (serdadu Mongol, Goan)
sedang membunuh dan merampok".
Sambil mengawasi So So, salah seorang berkata "Kau
sungguh berani mati. Kalau bertemu dengan mereka, kau
bakal celaka."
564
"Ada berapa banyak?" tanya Lian Cioe,
"Belasan orang," jawabnya dan mereka segera lari terus
kejurusan timur.
Musuh terbesar dari Boe tong Cit-hiap ialah serdadu
Goan yang sering berbuat sewenang-wenang terhadap
rakyat. Dalam mendidik murid-muridnya, Thio Sam Hong
memegang peraturan keras dan selamanya melarang muridmurid
itu sembarangan turun tangan. Tapi jika menghajar
serdadu Goan yang sedang merampok atau membunuh
rakyat, mereka bukan saja tidak ditegur malah dipuji. Maka
itu, mendengar rombongan musuh hanya berjumlah belasan
orang, Lian Cioe lantas saja mengeprok tunggangannya dan
maju kedepan diikut oleh Coei San bertiga.
Benar saja, sesudah berjalan kira-kira tiga mereka
mendengar sesambat rakyat. Belasan serdadu yang
bersenjata golok dan tombak tengah mengunjuk
kegarangannya dan diatas tanah sudah menggeletak
beberapa mayat.
Bukan main gusarnya Coei San. Ia menyerang dan
melompat dari punggung kuda. Sebelum kedua kakinya
hinggap dibumi, tinjunya menghantam dada seorarg
serdadu yang mau menenteng satu anak kecil. Tanpa
mengeluarkan suara serdadu itu roboh ditanah. Kawannya
gusar dan menikam punggung Coei San dengan
tombaknya.
Coei San memutar badan dan ujung tombak hanya
terpisah kurang lebih setengah kaki dari dadanya. Sambil
bersenyum ia menangkap ujung senjata dan lalu
mendorongnya keras-keras, sehingga gagang tombak
menghantam dada serdadu itu yang lantas saja roboh
pingsan.
Melihat kelihaian Coei San, sambil berteriak teriak
565
belasan serdadu lantas saja mengurung. So So buru-buru
melompat turun dari tunggangannya. Ia merampas sebatang
tombak dan membinasakan dua orang musuh. Serdaduserdadu
itu jadi keder dan mereka lalu melarikan diri. Tapi
sambil lari disepanjang jalan mereka masih mengunjuk
kekejaman dan mrlukakan beberapa orang penduduk,
"Cegat! Cegatlah mereka!" teriak Lian Coei yang cudah
meluap darahnya. Seraya berkata begitu, ia mengubar dan
mencegat empat orang serdadu. Coei San dan So So pun
turut mengejar dan masing-masing memotong jalanan lari
dari sejumlah musuh.
Walaupun garang, serdadu Goan kebanyakan tidak
memiliki ilmu silat tinggi, sehingga Coei San dan So So
tidak kuatir akan keselamatan Boe Kie.
Boe Kie juga melompat turun dari punggung kuda.
Melihat paman dan kedua orang tuanya sedang mengamuk
diantara belasan musuh, ia kegirangan dan menepuk nepuk
tangan seraya berteriak-teriak: "Bagus! Bagus!"
Sokonyong-konyong, serdadu Goan yang tadi disodok
Coei San dengan gagang tombak dan roboh pingsan,
melompat bangun dan memeluk Boe Kie. Si bocah,
terkesiap lalu menghantam dengan pukulan Sin liong Pa
bwee. Karena melihat paman dan kedua orang tuanya
mengamuk tanpa mengenal kasihan lagi, ia menggunakan
pukulan itu dengan seantero tenaga.
Di luar dugaan serdadu Goan itu hanya mengeluarkan
suara "heh!" terlahan, badannya tidak bergenting dan
dengan sekali menotol tanah dan dengan kedua kakinya, ia
melompat keatas punggung kuda yang lalu dikaburkan
keras-keras.
Lian Cioe, Coei San dan So So kaget tak kepalaug, cepatcepat
mereka mengubar. Dengan beberapa lompatan
566
Jiehiap sudah menyandak dan tangan kirinya menghantam
punggung serdadu itu. Tanpa menengok, serdadu itu
menangkis. "Plak!", kedua tangan beradu. Lian Cioe merasa
tenaga musuh dahsyat luar biasa, seolah-olah gelombang
besar, sehingga dadanya menyesak, tubuhnya bergoyanggoyang
dan terhuyung beberapa tindak. Tunggangan
serdadu itu tak kuat bertahan, keempat kakinya
bergemetaran dan dia jatuh berlutut. Sambil mendukung
Boe Kie, serdadu itu melompat turun dan terus kabur
dengan menggunakan ilmu ringan badan. Dalam sekejap ia
sudah lari puluhan tombak jauhnya.
Melihat paras muka Lian Cioe yang pucat pasir Coei San
tahu, bahwa kakak seperguruan itu telah mendapat luka
yang tidak enteng.
Buru-buru in menghampiri dan memeluknya. Sementara
itu, dengan nekad So So mengejar terus, tapi musuh
berkepandaian tinggi, makin lama jarak antara mereka
makin jauh sehingga belakargan, sesudah membelok
disebuah tikungan, serdadu itu menghilang dari
pemandangan. Tapi So So yang sudah kalap mengejar
terus.
"Minta Teehoe balik." kata Lian Cioe dengan suara
perlahan. "Kita harus..... berusaha dengan perlahan"
"Bagaimana luka Jieko?" tanya si adik sambil menikam
dua serdadu yang menerjang dengan tombaknya.
"Tak apa-apa," jawabnya, "Yang paling penting
panggillah Teehoe."
Karena kuatir diantara sisa serdadu itu masih terdapat
orang pandai, Coei San segera mengubar kian kemari dan
sesudah mengusir mereka, barulah la melompat
kepunggung kuda dan menyusul isterinya.
567
Sesudah membedal tunggangannya belasan li, barulah ia
bertemu dengan So So yang tengah berlari-lari dalam
keadaan kalap dan dengan tindakan limbung, suatu tanda,
bahwa nyonya muda ini sudah kehabisan tenaga. Coei San
memeluknya dan menaikkannya kepunggung kuda.
Sambil menangis sedu-sedan, So So berkata "Anak kita
hilang ! Tidak kecandak ..... tidak kecandak....." Tiba-tiba
matanya mendelik dan ia pingsan dalam pelukan sang
suami.
Karena memikir keselamatan saudara seperguruannya,
cepat-cepat Coei San memutar kuda dan lari balik ketempat
tadi. Jauh-jauh ia melihat tiga serdadu Goan yang
bersenjata tombak sedang mendekati Lian Cioe. Biarpun
Soehengnaya duduk menyender dipohon ketiga serdadu itu,
yang sudah berkenalan dengan kelihayannya Jiehiap tidak
berani lantas menyerang.
"Tat-coe, serahkan jiwamu!" teriak Coei San sambil
menerjang dengan kaburkan tunggangannya. Dilain saat,
dua diantaranya sudah roboh, sedang musuh yang ketiga
lari lintang-pulang. Sambil membentak keras, Ngohiap
menimpuk dengan tombaknya. Dalam kegusarannya sebab
putranya diculik, Soehengnya terluka dan isterinya pingsan,
ia menimpuk dengan sepenuh tenaga. Tombak itu terbang
dengan mengeluarkan suara mengaung dan "jres!" serdadu
itu terpaku ditanah
Sementara itu, So So sudah mendusin. "Boe Kie!", ia
sesambat.
Sesudah menjalankan pernapasan beberapa lama, Lian
Cioe mengambil sebutir pel Thay it Tok beng tan yang lalu
ditelannya. Beberapa saat kemudian, pada mukanya terlihat
sinar merah. Ia membuka matanya seraya berkata perlahan
"Sungguh hebat tenaga orang itu!"
568
Coei San lega hatinya. Ia tahu, bahwa jiwa soe hengnya
sudah terlolos dari bahaya, tapi ia masih tidak berani
mengajak bicara. Perlahan-lahan Jie hiap bangun berdiri.
"Apa sudah tidak kelihatan bayangan bayangan lagi?"
tanyanya dengan suara perlahan.
"Jiepeh....bagaimana baiknya?' tanya si Tee hoe dengan
suara parau.
"Legakan hatimu, Boe Kie tidak kurang suatu apa,"
jawabnya. "Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Aku
merasa pasti bahwa seorang yang berkepandaian setinggi itu
tak akan mencelakakan anak kecil yang tidak berdosa."
Air mata So So kembali mengucur. "Tapi... tapi... Boe
Kie sudah diculik," katanya. Lian Cioe mengangguk. Ia
memeramkan kembali kedua matanya dan mengasah otak.
Sesaat kemudian, ia membuka, matanya seraya berkata:
"Aku tidak dapat menebak asal usul orang itu. Jalan satu
satunya kita harus menanyakan Soehoe."
So So bingung bukan main. "Jiepeh, yang paling penting
kita harus memikiri daya untuk merampas pulang Boe Kie,"
katanya memohon.
"Asal usul orang itu dapat diselidiki belakangan"
Lian Cioe tidak menyahut, ia hanya menggeleng
gelengkan kepala.
"So moay, Jieko mendapat luka berat, sedang orang itu
berkepandaian begitu tinggi," kata Coei San. "Andai kata
kita sekarang dapat mencarinya, kitapun tidak dapat
berbuat banyak,"
"Apa kita menyudahi dengan begitu saja ?" tanya si isteri
dengan suara mendongkol.
"Kita tak perlu cari dia," jawabnya. "Dialah yang pasti
569
akan cari kita."
So So adalah seorang wanita yang sangat pintar. Hanya
karena puteranya diculik, pikirannya kalut dan ia tidak
dapat berpikir dengan otak dingin. Mendengar perkataan
sang suami, ia tersadar dan mengerti maksud Coei San.
Serdadu Goan itu memiliki kepandaian begitu tinggi,
sehingga Lian Cioe sendiri sampai terluka. Dia pasti
seorang tokoh Rimba Persilatan yang menyamar. Jika mau,
sesudah Lian Cioe terluka, dia bisa membinasakan Coei
San bertiga. Tapi dia hanya menculik Boe Kie. Dari
kenyataan itu, dapatlah di tebak, bahwa tujuan orang itu
ialah ingin menekan, supaya Coei San dan isterinya mau
mem buka rahasia mengenai tempat sembunyinya Cia
Soen.
Coei San lalu mendukung dan menaikkan Jieko nya
keatas punggung kuda dan perlahan-lahan mereka
meneruskan perjalanan. Setibanya di An lok, mereka
menginap disebuah rumah penginapan kecil dan sesudah
bersantap, mereka segera mengunci pintu.
Lian Cioe segera bersila dan mengerahkan Lweekang
untuk mengobati lukanya. Coei San duduk didekatnya,
sedang So So menyender disebuah kursi panjang. Kira-kira
tengah malam, Lian Cioe turun dari pembaringan dan
berjalan perlahan lahan, memutari kamar, untuk
mengendorkan otot ototnya. "Ngotee." katanya. "Selama
hidup, kecuali Soehoe sendiri, belum pernah aku bertemu
dengan manusia yang memiliki Lweekang begitu hebat."
Pada waktu disodok dengan gagang tombak oleh Coei
San, "serdadu" itu berlagak pingsan sehingga Coei San
bertiga tidak memperhatikannya. Sekarang mereka
mengingat ingat wajah dan potongan badan orang itu.
Kalau tak salah, dia brewokan, tiada banyak bedanya
dengan kebanyakan serdadu Goan.
570
"Dia menculik Boe Kie pasti dengan tujuan untuk
menyelidiki Gieheng," kata So So. "Ah! Apakah anak itu
akan membuka rahasia?"
"Boe Kie pasti tidak akan membuka rahasia," kata sang
suami dengan suara tetap. "Kalau dia membuka rahasia, dia
bukan anak kita,"
"Benar," kata si isteri. " Dia parti tidak membuka
rahasia.,"
Tiba-tiba nyonya Coei San menangis pula.
"Mengapa kau menangis?" tanya sang suami.
"Kalau..... Boe Kie menutup ....... .mulut, penjahat itu
pasti akan ......mempersakitinya." jawabnya terputus-putus.
"Mungkin..... mungkin dia turunkan tangan beracun."
Coei San dan Lian Cioe menghela napas. "Batu kumala
yang tidak digosok, tidak akan jadi barang yang berguna,"
kata Coei San. "Biarlah dia merasakan sedikit penderitaan.
Mungkin sekali penderitaan itu banyak faedahnya dihari
kemudian."
Walaupun mulutnya berkata begitu hatinya sakit sekali.
Ia ingat bahwa pada saat itu Boe Kie sedang menderita
siksaan atau sedang tidur nyenyak di atas pembaringan.
Kalau dia sedang tidur nyenyak, dia tentu sudah membuka
rahasia dan sudah menjadi manusia yang tak punya pribudi.
"Dari pada jadi manusia rendah, lebih baik dia mati,"
kata Coei San didalam hatinya. Ia melirik isterinya yang
kelihatan berduka bukan main. Pada ke dua mata si isteri
terlihat sinar mohon belas kasihan. Jantungnya memukul
keras. Ia merasa. bahwa jika penjahat itu menekan So So
dengan mengancam jiwa Boe Kie mungkin sekali si-isteri
akan menakluk.
571
Ia menghela napas dan berkata "Jieko, bagaimana
keadaanmu? Apa kau merasa enakan ? "
Semenjak kecil, mereka berdua bersama-sama belajar
silat, sehingga yang satu sudah bisa rnembaca isi hati yang
lain. Melihat sikap dan mendengar pertanyaan si adik, Lian
Cioe sudah mengerti maksudnya. Ia mengerti, bahwa Coei
San kuatir penjahat itu akan rnenyateroni dan coba
menaklukkan So So dengan menyiksa Boe Kie. "Baiklah,
kita meneruskan perjalanan malam ini juga."
Sesudah membayar uang sewa kamar dan santapan,
mereka segera berangkat dan berjalan dengan mengambil
jalanan kecil. Mereka bukan takut mati. Yang dikuatirkan
yalah penjahat itu akan menyiksa Boe Kie didepan mata
mereka, untuk memaksa mereka membuka rahasia.
Mereka meneruskan perjalanan tanpa bertemu dengan
rintangan lagi. Tapi So So jatuh sakit karena duka, Coei San
segera menyewa dua kereta keledai untuk So So dan Lian
Cioe, sedang ia sendiri melindungi dengan menunggang
kuda.
Sesudah melewati Siangyang, pada suatu malam mereka
menginap disebuah rumah penginapan dikota Tay-pangliam.
Baru saja Coei San mengucapkan selamat malam
kepada Soehengnya dan ingin kembali kekamarnya, tibatiba
seorang lelaki menyingkap tira daa menyelonong
masuk.
Dia mengenakan baju hijau dan celana pendek, sedang
tangannya menyekal cambuk, sehingga macamnya seperti
seorang kusir kereta. Begitu masuk, dia mengawasi Lian
Cioe dan Coei San dengan mata melotot dan sesudah
tertawa dingin, lalu memutar badan berjalan keluar.
Coei San tahu, bahwa orang itu mengandung maksud
tidak baik. Sikap orang itu yang kurang ajar menggusarkan
572
sangat hatinya. Sesaat itu,
tirai kain yang didorong oleh orang itu, terayun kedepan
Coei San. Ia segera menangkap ujung tirai dan sambil
mengerahkan Lweekang, menimpuknya kepunggung orang
itu. "Ptak !" dia terhuyung, akan kemudian roboh dilantai.
Cepat-cepat dia bangun berdiri, "Penjahat-penjahat Boetong
pay !" bentaknya, "Sedang kebinasaan sudah berada
diatas kepalamu, kau masih mengunjuk keganasan !"
Mulutnya mencaci, tapi kakinya lari dan dari tindakannya
yang limbung, ia bukan terluka enteng.
Lian Cioe tidak mengatakan suatu apa.
"Jieko, apa tidak baik kita jalan terus?" tanya Coei San.
"Tidak!" jawab sang kakak deagan suara lantang. "Besok
pagi baru kita terangkat."
Coei San mengerti jalan pikiran kakak seperguruannya
dan semangatnya lantas saja meluap luap "Benar!" katanya.
"Dari tempat ini, dua hari lagi kita akan tiba digunung kita.
Biarpun kita tolol, tak dapat kita merosotkan derajat dan
keangkeran Boe tong pay. Di bawah kaki Boe tong san,
masa boleh kita lari ngiprit?"
Sang kakak bersenyum. "Sesudah orang tahu siapa kita,
biarlah mereka tahu, bagaimana murid murid Boe tong
menghadapi kebinasaan yang sudah berada diatas kepala,"
katanya dengan suara angkuh.
Lian Cioe lantas saja mengikut kekamar Coei San
dimana mereka duduk bersila diatas pembaringan batu
dengan berendeng pundak sambil memeramkan mata dan
menjalankan pernapasan. Malam itu, tujuh delapan orang
berkeliaran diluar kamar dan diatas genteng, tapi mereka
tidak berani menerjang karena merasa jerih terhadap nama
besarnya Boe tong pay.
573
Pada esokan harinya, meskipun duduk dikereta. Lian
Cioe memerintahkan supaya kusir menyingkap semua tirai,
sehingga ia dapat mengamat amati keadaan diseputarnya.
Sesudah meninggalkan Tay pong tiam beberapa li dari
sebelah timur kelihatan mengejar tiga penunggang kuda
yang kemudian mengintildebelakang kereta dalam jarak
belasan tombak.
Sesudah berjalan lagi beberapa li, disebelah depan
menunggu empat penunggang kuda. Begitu lekas
rombongan Lian Cioe lewat, mereka segera mengikuti dari
belakang. Beberapa lama kemudian, jumlah "pengiring"
bertambah lagi empat orang.
Kusir kereta jadi ketakutan. "Tuan, apakah mereka
penjahat?" Ia tanya Coei San dengan suara perlahan.
"Jangan takut," jawab Ngohiap. "Mereka bukan mau
merampas uang"
Kira kira tengah hari, jumlah yang mengikuti bertambah
lagi dengan enam orang. Pakaian mereka beraneka warna,
ada yang mewah dan ada yang buruk.
Mereka semua membekal senjata dan mengikuti tanpa
mengeluarkan sepatah suara. Dilihat dari potongan badan
mereka yang kecil, mungkin sekali mereka penduduk
Tiongkok Selatan. Sesudah lewat tengah bari, jumlah
mereka bertambah lagi dengan duapuluh satu orang.
Beberapa antaranya yang bernyali besar, mendekati kereta
sampai jarak kira-kira tiga tombak. Lian Cioe sendiri terus
duduk sambil meramkan mata, seolah-olah tidak
memperhatikan mereka.
Diwaktu magrib, dari sebelah depan mendatangi dua
penunggang kuda, yang satu seorang tua dengan jenggotnya
yang panjang, sedang yang lain seorang wanita muda yang
berparas cantik. Si kakek bertangan kosong, tapi wanita itu
574
bersenjatakan sepasang golok. Begitu tiba didepan kereta,
mereka segera menghadang ditengah jalan.
Coei San naik darahnya. Sambil mengangkat tangan ia
berkata: "Boe-tong Jie Jie dan Thio ngo numpang lewat
dijalanan ini. Dapatkah kami menanya she dan nama tuan
yang mulia?"
Orang tua itu bersenyum. "Dimana Cia Soen?" tanyanya.
"Jika kau sudi memberitahukan, kami pasti tidak akan
mengganggu murid2 Boe tong."
"Dalam hal ini, aku lebih dulu ingin meminta petunjuk
Insoe," jawab Coei San.
"Jie Jie terluka, Thio Ngo sebatang kara." kata si tua.
"Dengan sendirian, kau bukan tandingan kami." Seraya
berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan mengeluarkan
sepasang Poan koan pit (Senjata yang menyerupai pit, pena
Tionghoa), Senjata itu agak berbeda dengan yang biasa,
karena ujungnya berbentuk kepala ular.
Coei San bergelar Gin kauw Tiat hoa dan salah sebuah
senjatanya yalah Poan koan pit. Maka itu dapat dikatakan
ia mengenal semua jago yang menggunakan Poan koan pit.
Begitu melihat senjata si kakek, ia terkejut.
Waktu masih belajar silat, gurunya pernah cerita, banwa
dinegeri Ko lee (Korea) terdapat sebuah pay yang
menggunakan Poan koan pit berujung kepala ular. Silat
partai itu berbeda dengan silat Tiam hiat (menotok jalan
darah) yang di gunakan oleh ahli-ahli silat Tionggoan yang
menggunakan poan koan pit. Silat partai itu katanya licin
dan telengas. Partai tersebut dinamakan Sin liong pay
(Partai Naga malaikat), sedang salah seorang tokohnya she
Coan, tapi Thio Sam Hong sendiri tak tahu namanya.
Mengingat itu, ia lantas saja menyoja seraya berkata:
575
"Bukankah Cianpwee dari Sin liong pay di Ko lee?
Bolehkah aku mendapat tahu nama besar dari Coan Looy
coe?"
Orang tua itu, yang bernama Coan Kian Lam, bukan
lain daripada Ciangboenjin dari Sin Liong pay. Dengan
memberi hadiah besar, Pangcoe Sam kang pang di Lang
lam telah mengundangnya dari negeri Ko lee. Ia sebenarnya
ingin merahasiakan dirinya, tapi diluar dugaan, begitu
bertemu Coei San, rahasianya terbuka.
Sambil mengebas kedua pitnya, ia menjawab : "Loohoe
Coan Kian Lam "
"Sin liong pay dan Rimba persilatan dari wilayah
Tionggoan belum pernah berhubungan." kata Coei San
"Bolehkah aku mendapat tahu, apa kesalahan Boe tong pay
terhadad Coan Loo eng hiong ."
"Loohoe dan tuan memang tidak mempunyai
permusuhan apapun jua." kata si tua, "Kami, orang Ko lee,
juga tahu bahwa di Tionggoan terdapat Boe tong pay
dengan tujuh pendekarnya yaug selalu melakukan
perbuatan-perbaatan muila. Loohoe hanya ingin
mengajukan satu pertanyaan dimana tempat
persembunyiannya Cia Soen"
Biarpun cukup sopan, perkataannya sangat mendesak.
Disamping itu, begitu lekas ia mengebas kedua senjatanya,
orang-orang yang berkumpul di belakang kereta lantas saja
berpencaran dan mengurung dari sebelah kejauhan. Maka
itu, jadilah terang, bahwa jika mereka tidak mendapat
jawaban memuaskan, satu pertempuran tidak dapat dielak
kan lagi.
"Bagaimana jika aku menolak untuk menjawab?" tanya
Coei San
576
"Thio Ngohiap memiliki kepandaian tinggi, sehingga
biarpun berjumlah besar, kami tentu tidak dapat menahan
kau," kata sikakek. "Tapi Jie Jiehiap telah luka dan isterimu
sedang sakit. Dengan menggunakan kesempatan pada
waktu orang berada dalam bahaya, kami akan menahan
mereka berdua. Jika mau, Ngohiap boleh berlalu sekarang."
Ia bicara dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar dan
nadanya tajam, sehingga suaranya sangat menusuk kuping.
Mendengar kata-kata 'menggunakan kesempatan pada
watu orang berada dalam bahaya' kata-kata yang sangat
tidak mengenal malu, Coei San lantas saja berkata: "baik,
Kalau begitu, tak bisa lain daripada aku meminta pelajaran
dari Coan Loo enghiong. Tapi bagaimana, jika Coan Loo
enghiong menjadi pihak yang kalah dalam pertempuran?"
"Jika aku kalah, kawan-kawanku akan mengerubuti
kamu." jawabnya.
Coei San mengerti, tak guna bicara lagi. Tujuan satu
satunya adalah coba membekuk Coan Kian Lam, supaya
kawan-kawannya tidak berani menyerang. Ia segera
melompat turun dari tunggangannya dan waktu kedua
kakinya hinggap diatas bumi, tangan kirinya sudah
mencekal gaetan perak yang berkepala harimau, sedang
tangan kanannya memegang Poan koan pit.
"Kau tamu, maka aku mengundang kau menyerang lebih
dulu," kata Ngohiap.
Coan Kian Lam juga sudah turun dari kuda nya dan
sambil mengebas kedua senjatanya, ia melompat kesamping
Coei San.
"Hari ini aku dan So So bertempur demi kepentingan Gie
heng," pikir Coei San. "Sebagai saudara angkat, hal itu hal
yang wajar. Tapi Jie ko belum pernah mengenal Gie heng,
sehingga tidaklah pantas jika ia menerima hinaan karena
577
gara-gara Gie heng." Memikir begitu, ia lantas saja
mengambil suatu keputusan.
Sesaat itu, si tua sudah menotok dengan pit nya dan Coei
San lalu menangkis dengan hanya menggunakan dua
bagian tenaganya. Begitu kedua senjata kebentrok, badan
Thio ngohiap kelihatan bergoyang goyang. Kian Lam jadi
girang bukan main. Ia tak nyana pendekar Boe tong yang
begitu di sohorkan, sedemikian 'empuk'. Ia segera bertekad
untuk merubuhkan Ngohiap dalam pertempuran satu lawan
satu supaya dalam segebrakan saja, namanya bisa naik
tinggi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan.
Sambil membela diri, Coei San memperhatikan ilmu silat
musuh. la mendapat kenyataan si kakek gesit dan licin
gerakannya dan caranya menotok jalan darah berbeda
dengan ilmu totokan Tionggoan.
Sesudah bertempur beberapa lama, Coei San mengetahui
bahwa Poan koan pit musuh yang di cekel ditangan hanya
menotok jalanan jalanan darah dibagian punggung dari
Leng thay hiat kebawah, sedang Poan koan pit yang
disebelah kanan menotok jalanan jalanan darah dibagian
pinggang dan lutut seperti Ngo kie hiat, Wie to hiat, Kie
kauw biat dan lain lain,
"Soehoe pernah mengatakan, bahwa walaupun lihay,
Tiamhiat dari San liong pay tidak usah ditakuti," pikirnya.
"Hari ini baru aku melihat buktinya," Sesudah dapat
meraba ilmu silat musuh, pembelaan diri jadi makin
sederhana, karena ia hanya perlu menjaga jalanan-jalanan
darah tertentu yang dicecer dengan totokan totokan.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak
keras, cepat bagaikan kilat, Coei San menyerang dengan
Coretan huruf "Liong" (naga) dengan gaetannya "Srt!"
Ginkauw menggores jalan darah Hong say biat dilutut
578
kanan si tua.
Seraya mengeluarkan teriakan kesakitan, Kian Lam
berlutut. Seperti arus kilat, dengan menggunakan coretan
huruf "Hong" (tajam ), Ngohiap monotok belasan jalanan
darah, yaitu jalanan-jalanan darah yang biasa jadi bulan
bulanan sikakek sendiri.
"Sudahlah! Sudahlah!" mengeluh Kian Lam. "Andaikata
dia patung, aku masih tak mampu menotok belasan jalanan
darahnya dalam tempo sekejap mata. Celaka sungguh! Aku
bahkan masih belum pantas untuk menjadi muridnya!"
Seraya menempelkan Ginkauw di leher Kian Lam, Coei
San membentak: "Tuan tuan, mundurlah! Sesudah Coan
Loo eng hiong mengantar kami sampai dikaki Boe tong san,
aku akan membuka jalanan darahnya dan
mengembalikannya kepada kalian!" Ia merasa pasti, bahwa
orang orang yang mengepung akan segera mundur.
Tapi diluar dugaan, si wanita muda mengangkat
sepasang goloknya dan berteriak: "Serbu!"
"Tahan !" bantak Ngohiap. "Maju setindak lagi kakek ini
akan menjadi mayat !"
Wanita itu tertawa dingin. "Serbu!" teriaknya pula. Ia
mengeprak kuda dan menerjang, sedikitpun tidak
menghiraukan nasib Coan Kian Lam.
Wanita itu adalah salah seorang Tocoe dari Sam kang
pang dan tujuan mereka yalah menawan, Jie Lian Cioe dan
So So untuk memaksa Coei San memberitahukan tempat
sembunyinya Cia Soen. Coan Kian Lam seorang luar yang
hanya menjadi tamu, sehingga mati hidupnya tidak begitu
dihiraukan.
Coei San kaget bukan kepalang. Ia mengerti, bahwa tak
ada gunanya membunuh si kakek. Sesaat itu, tujuh delapan
579
orang sudah mengurung kereta So So, delapan sembilan
musuh mengepung kereta Lian Cioe, sedang ia sendiri
dikurung oleh si wanita bersama enam tujuh orang.
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba Lian Cioe berteriak
dengan suara nyaring: "Liok tee, beres kan Orang-orang
itu!"
Coei San tercengang. Apa kakaknya tengah
menggunakan siasat "kota kosong"?
Sekonyong- konyong ditengah udara terdengar siulan
yang panjang dan nyaring. "Ngoko! Setengah mati aku
memikir kau!" teriak seorang. Hampir berbareng dari atas
sebuah pohon besar melompat turun satu bayangan
manusia yang lantas saja menerjang sambil memutar
pedang. Orang itu memang bukan lain dari pada In Lie
Heng.
Hati Coei San meluap dengan kegirangan, "Liok tee !"
serunya.
Beberapa orang dari Sam kam pang segera menceggat
Lie Heng. Pedang Boe tong Liokhiap berkelebata kelebat
dibarengi dengan suara jatuhnya sejumlah senjata, karena
setiap kali pedang berkelebat ujungnya menggores jalanan
darah Sin boen hiat, dipergelangan tangan musuh.
Wanita itu gusar tak kapalang dan membentak: "Siapa
kau ?" Ia tak dapat bicara terus, sebab kedua goloknya
hampir berbareng jatuh di tanah.
"Ilmu Sin boen Sip sam kiam yang digubah Soehoe
sudah sempurna!" teriak Coei San kegirangan.
Sin boen Sip sam kiam atau "Tiga belas jurus pedang Sin
boen" terdiri dari tiga belas macam jurus yang berbeda beda
gerakannya, tapi setiap jurus mengarah jalanan darah Sin
boen Hiat dipergelangan tangan lawan. Pada sepuluh tahun
580
berselang, waktu Coei San berada di Boe tong san, Thio
Sam Hong pernah mengutarakan niatnya untuk menggubah
ilmu pedang tersebut. Tapi, karena adanya berbagai
kesukaran, pada waktu itu sang guru belum berhasil
mencapai maksudnya. Sekarang Coei San dapat melihat
kelihayan Sin boen Sip sam kiam.
Melihat gelagat tidak baik, wanita itu berseru "Angin
keras! Mundur!" Semua kawannya tantas saja kabur lintang
pukang, beberapa antaranya malah tidak keburu
menunggang kuda.
Sementara itu, Coei San sudah membuka jalanan darah
Coan Kian Lam yang tertotok. Ia menjemput kedua Poan
koan pit pecundangnya dan menyelipkannya dipinggang si
kakek. Dengan kemalu maluan, si tua buru-buru berlalu.
Sesudah memasukkan pedang kedalam sarung sambil
mencekal tangan kakak seperguruannya, Lie Heng berkata:
"Ngoko, aku sungguh menderita dalam memikiri nasibmu!"
Sang kakak tertawa. "Liok tee, kau sudah besar sekali,"
katanya. Waktu mereka berpisahan, In Lie Heng baru
berusia delapan belas tahun. Selang sepuluh tahun. adik
yang tadinya kurus kecil itu sudah berubah menjadi pemuda
jangkung yang tampan parasnya.
Sambil menuntun tangan Lie Heng, Coei San mengajak
adik itu menemui isterinya. So So yang tengah menderita
sakit yang tidak enteng manggut manggutkan kepala seraya
bersenyum, "Lioktee!" katanya dengan suara perlahan.
"Bagus!" kata Lie Hang. "Ngoso juga she In. Aku bukan
saja mendapat enso, tapi juga memperoleh kakak."
"Jieko sungguh lihay," kata Coei San. "Aku tak mimpi
kau bersembunyi dipohon, tapi ia sudah mengetahuinya."
Lie Heng lantas saja menuturkan cara bagaimana ia bisa
581
datang kesitu untuk menyambut kakaknya. Ternyata, pada
waktu Siehiap Thio Siong Kee turun gunung untuk
membeli barang guna perayaan ulang tahun gurunya, ia
telah bertemu dengan dua orang Kangouw yang sikapnya
sangat mencurigakan.
la curiga lalu menguntit mereka. Dengan mendengari
pembicaraan mereka, ia tahu, bahwa Coei San sudah
pulang dan sudah mempersatukan diri dengan Lian Cioe.
Disamping itu, ia juga tahu, bahwa Sam kang-pang dan
Ngo hong to ingin mencegat kedua saudara itu untuk
menanyakan tempat sembunyinya Cia Soen.
Cepat-cepat ia pulang ke Boe tong san, tapi di tempat
gurunya ia hanya bertemu dengan In Lie Heng seorang.
Mereka segera turun gunung untuk menyambut kedua
saudara itu. Sedikitpun mereka tidak merasa kuatir. Mereka
menganggap, bahwa orang dari partai-partai kecil tidak
akan bisa berbuat banyak terhadap Lian Cioe dan Coei San.
Tapi karena mereka ingin sekali bertemu dengan Coei San
selekas mungkin, maka mereka berjalan dengan secepatcepatnya,
mereka tak tahu tentang terlukanya Lian Cioe,
sebab kedua orang kangouw itu sama sekali tidak
membicarakannya.
Ditengah perjalanan Siong Kee mengusir orang pandai
dari Ngo hong to, sedang tugas menghajar orang orang Sam
kang pang diserahkan kepada In Lie Heng.
Lian Cioe menghela napas. "Kalau Sietee tidek
berwaspada, mungkin sekali hari ini Boe tong pay ambruk
namanya." katanya.
"Benar," menyambungi Coei San dengan suara jengah.
"Siauwtee sendiri pasti tak akan dapat melindungi Jieko.
Hai! Sesudah meninggalkan rumah perguruan sepuluh
tahun lamanya kepandaian Siauwtee sungguh-sungguh
582
kacek terlalu jauh dari saudara."
"Janganlah Ngoko berkata begitu," kata Lie Heng seraya
tertawa. "Barusan Ngoko telah memperlihatkan pukulan
yang sangat lihay waktu merobohkan si tua bangka dari Ko
lee kok. Sesudah kau pulang, Soehoe pasti akan
menurunkan berbagai ilmu kepadamu. Mengenai Sin boen
Sip sam kiam, sekarang juga siauw tee bersedia untuk
memberi penjelasan kepadamu."
Malam itu, mareka menginap disebuah rumah
penginapan di Sian Jan touw. In Lie Heng minta tidur
bersama sama Coei San. Permintaan itu disambut dengan
rasa girang oleh sang kakak, yang juga merasa sangat
kangen dengan adiknya itu.
Dalam runtunan Boe tong Cit hiap, Boh Seng Kok yang
berusia paling muda. Tapi walaupun berusia lebib muda,
lagak lagu Boh Seng Kok lebih tua dari pada Lie Heng.
Semenjak dulu, Coei San sangat mencintai Lie Heng yang
usianya tidak kacek seberapa dengannya dan mereka berdua
biasa bergaul rapat sekali.
"Ngotee sudah mempunyai isteri," kata Lian Cioe sambil
tertawa. "Jangan kau mempersarnakan dia seperti pada
sepuluh tahun yang lalu. Ngotee, pulangmu sungguh
kebetulan. Sesudah minum arak panjang umur dari Sohoe,
kau akan segera minum arak kegirangan (arak pesta
pernikahan) dari Lioktee."
Coei San girang tak kepalang. Ia menepuk nepuk tangan
dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Sungguh bagus. Siapa
pengantin perempuannya?" tanyanya.
Paras muka si adik lantas saja berubah merah.
"Mutiara (puteri) dari Kim pian Kie Loo eng hiong di
Hian yang," kata Lian Cioe.
583
"Bagus! Kalau Lioktee natal, Kim pian (cambuk emas)
akan menghantam kepalamu." katanya sambil tertawa geli.
Lian Cioe bersenyum, tapi pada mukanya berkelebat
sehelai sinar suram. "Kie Kouwnio menggunakan
pedang..." katanya. "Kuharap diantara wanita-wanita
bertopeng yang mencegat kita di tengah sungai, tidak
terdapat Kie Kouwnio."
Coei San kagat. "Kalau begitu ia murid Go bie?"
tanyanya.
Lian Cioe mengangguk seraya berkata "Waktu kita
bertempur dipinggir sungai, semua anggauta rombongan
Go bie berkepandaian biasa saja sehingga tak mungkin Kie
Kouwnio turut serta dalam rombongan itu. Jika ia berada
disitu untuk kepentingan Ngo teehoe, aku bisa berdosa
terhadap Liok teehoe dan orang bisa mengatakan aku
memilih kasih. Ngotee, Liok teehoe kita berparas cantik,
berkepandaian tinggi dan sebagai murid dari sebuah partai
yang tersohor, ia benar-benar merupakan pasangan yang
setimpal dengan adik kita ...."
Mendadak ia berhenti bicara, karena tiba-tiba ia ingat
bahwa In So So adalah puteri seorang pemimpin 'agama'
yang sesat, sehingga dengan memuji nona Kie, seperti juga
mengejek isterinya Coei San. Selagi mencari perkataan
untuk memperbaiki kesalahannya, sekonyong-konyong
datang seorang pelayan yang lantas saja berkata: "Jie ya,
ada beberapa orang, yang mengaku sebagai sahabatmu,
datang berkunjung "
"Siapa?" tanya Lian Cioe.
"Mereka memperkenalkan diri sebagai murid murid
Ngo-hong-to" jawab sipelayan. "Jumlahnya enam orang."
Lian Cioe bertiga terkejut. Apakah Siong Kee yang
584
bertanggung jawab untuk mengusir orang orang Ngo-hongto,
mendapat kecelakaan?
"Aku akan menemui mereka," kata Coei San yang kuatir
keselamatan Lian Cioe yang masih belum sembuh dari
lukanya.
"Undang mereka masuk," kata Jiehiap kepada si pelayan.
Beberapa lama kemudian, masuklah enam pria dan
seorang wanita. Coei San dan Lie Heng berdiri disamping
Lian Cioe siap sedia untuk menghadapi segala
kemungkinan. Tapi tamu-tamu itu kelihatan berduka
tercampur malu dan merekapun tidak membekal senjata.
Begitu masuk, seorang yang rupanya menjadi pemimpin
dan yang berusia kira-kira empat puluh tahun, merangkap
kedua tangannya dan berkata dengan sikap hormat:
"Apakah kalian Jie Jiehiap, Thio Ngohiap dan In Liok hiap
dari Boe-tong-pay? Aku, Ben Ceng Hooey, murid Ngohong-
to memberi hormat."
Lian Cioe bertiga lantas sajs membalas hormat. "Beng
Loosoe, selamat bertemu," kata Lian Cioe. "Kalian
duduklah."
Beng Ceng Hoey tidak lantas berduduk, tapi berkata
pula: "Partai kami yang berkedudukan di Ho tong, propinsi
San see, hanyalah sebuah partai kecil yang tidak ada
artinya. Sudah lama kami mendengar nama besarnya Thio
Cinjin dan Boe tong Cit hiap, hanya sebegitu jauh, kami
belum mendapat kesetempatan untuk bertemu muka. Hari
ini kami tiba dikaki Boe tong san. Menurut pantas, kami
haruslah naik gunung untuk menemui Thio Cinjin. Tapi
mendengar, bahwa beliau sudah berusia seratus tahun dan
selalu hidup dengan mengasingkan diri, kami orang-orang
kasar tidak berani mengganggu ketenteraman beliau. Kalau
nanti sudah pulang kegunung kami mengharap Sam wie
585
suka memberitahukan beliau, bahwa murid-murid Ngo
hong to memberi selamat dan berdoa agar beliau dikurniani
dengan rejeki dan umur panjang oleh Tuhan Yang Maha
kuasa."
Mendengar pemberian selamat kepada gurunya, Lian
Cioe yang duduk diatas pembaringan batu sebab lukanya
belum sembuh, buru-buru memegang pundak In Lie Heng
dan turun dari pembaringan.
"Terima kasih atas pemberian selamat dan doa itu,"
katanya seraya membungkuk.
"Sehagai penduduk kampung. kami seperti kodok
didalam sumur," kata pula Beng Ceng Hoey. "Kami tak
tahu bagaimana luasnya langit dan lebarnya bumi. Dengan
berani mati, kami datang ketempat kalian. Tapi dengan jiwa
yang sangat besar, para pendekar Boe tong berbalik
menolong kami, untuk itu kami berterima kasih tidak
habisnya. Kedatangan kami pertama untuk menghaturkan
terima kasih yang tak terhingga. Kedua untuk meminta
maaf dan kami memohon agar Sam wie tidak mencatat
kedosaan kami"
Sehabis berkata begitu, Beng Ceng Hoey kelihatan
bingung, seolah-olah merasa takut untuk bicara terus.
"Beng Loosoe boleh bicara saja tanpa ragu ragu," kata
Lian Cioe dengan manis.
"Terlebih dulu aku memohon janji Jiehiap, bahwa Boe
tong pay tak akan menggusari kami, supaya kami bisa
memberi laporan kepada soehoe," katanya.
Lian Cioe tersenyum. "Apakah kunjungan kalian untuk
menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cia
Soen?" tanyanya. "Kedosaan apa yang telah diperbuat Cia
Soen terhadap partai kalian?"
586
"Saudaraku, Beng Ceng Jin, telah binasa dalam tangan
Cia Soen !" jawabnya.
Lian Cioe kaget. "Oleh karena adanya kesukaran yang
tidak dapat diatasi kami tidak bisa memberitahukan kalian
mengenai tempatnya Cia Soen," katanya. "Tentang soal
menggusari kalian, baik lah jangan disebut-sebut lagi. Kalau
nanti kalian pulang dan bertemu dengan Ouw Loo yacoe,
katakanlah, bahwa Jie Jie, Thio Ngo dan In Liok
menanyakan kesehatan beliau."
"Kalau begitu, kami ingin meminta diri," kata Beng Ceng
Hoey. "Di hari kemudian, andaikata Boe tong pay
memerlukan tenaga kami, biarpun Ngo hong to bertenaga
sangat kecil, murid-murid Ngo hong to pasti tak akan
menolak tugas sebagai pesuruh."
Sehabis berkata begitu ia mengangkat kedua tangan,
diturut oleh kelima kawannya, dan kemudian meninggalkan
kamar itu.
Baru berjalan beberapa tindak, yang wanita mendadak
memutar badan dan lalu berlutut dilantai, "Aku yang
rendah sudah bisa mempertahankan kesucian diri berkat
pertolongan para pendekar Boe tong," katanya dengan
suara perlahan. "Selama hidup, aku tak akan melupakan
budi yang sangat besar ini."
Biarpun sangat kepingin tahu duduknya persoalan, tapi
mendengar perkataan "kesucian diri." Lian Cioe bertiga
tidak berani menanya lebih jelas. Sesudah berlutut beberapa
kali, ia lalu berjalan keluar untuk menyusul rombongannya.
Beberapa saat sesudah rombongan Ngo hong to berlalu,
tirai mendadak tersingkap dibarengi dengan masuknya
seorang yang segera menubruk dan memeluk Coei San.
"Sieko!" teriak Coei San, bagaikan kalap bahna
587
girangnya.
Orang itu yalah Siehiap Thio Siong Kee. Sesudah
berpelukan beberapa lama, Coei San berkata: "Sieko, kau
sungguh pintar dan berakal budi. Kau sudah berhasil
mengubah sikap orang orang Ngo-hong-to dari lawan
menjadi kawan."
"Ah! itulah sudah terjadi karena kebetulan saja", sang
kakak merendahkan diri.
Siong Kee lantas saja menuturkan latar belakang
kejadian itu.
Wanita cantik itu seorang she Ouw, puteri kedua dari
Ciangboenjin Ngo-hong-to. Suaminya ialah Beng Ceng
Hoey. Kali ini, kedua suami isteri bersama empat orang
Soetee dan Soetit telah datang di Ouwpak untuk
menyelidiki Cia Soen. Ditengah jalan mereka bertemu
dengan Tocoe Sam-kang-pang yang memberitahukan, Coei
San dari Boe-tong pay mengetahui dimana adanya Kim mo
Say-ong. Ouw-sie lantas saja mengusulkan untuk
membekuk Coei San guna memaksakan pengakuan.
Beng Ceng Seng biasanya sangat takut isteri, tapi kali itu
ia menolak. la mengatakan, bahwa murid Boe-tong-pay
lihay luar biasa, dan jalan yang paling baik yalah
menanyakan dengan memakai peradatan. Kalau tidak
diluluskan, coba mencari daya upaya lain. Ouw-sie kukuh
pada pendapatnya, ia mengatakan, bahwa jika Coei San
sudah pulang ke Boe-tong-san, mereka tak akan dapat
menangkapnya lagi.
Karena tidak sependapat, kedua suami isteri itu lantas
saja bercekcok, sedang kawan-kawannya yang lain tidak
berani campur mulut.
Ouw-sie jadi sangat gusar "Setan nyali tikus!" teriaknya.
588
"Kan usul itu untuk membalas sakit hati saudaramu, bukan
untuk kepentinganku. Hmmm! Kapan kau begitu takut
terhadap murid-murid Boe tong! Andai kata dia Thio Coei
San memberitahukan tempat sembunyinya Cia Soen,
apakah kau mempunyai nyali untuk mencari musuhmu.
Menikah dengan manusia nyali tikus benar-benar celaka
besar!"
Beng Ceng Hoey tidak berani bertengkar lagi, tapi ia
tetap tidak menyetujui usul isterinya untuk menggunakan
song-han-yo (obat pulas) guna membekuk Coei San dan So
So. Dalam gusarnya, malam itu, selagi suaminya pulas, ia
menghilang.
Nyonya muda itu pergi dengan niatan membekuk Coei
San dan So So supaya ia bias mengejek suaminya. Diluar
dugaan, gerak geriknya diketahui oleh seorang Tocoe dari
Sam kang pang. Melihat kecantikan Ouw Sie, Tocoe itu
mendapat pikiran jahat dan lalu menguntit, sehingga
akhirnya, bukan Coei San dan So So yang kena Bong han
yo, tapi, Ouw Sie sendiri.
Siong Kee yang terus mengintip gerak-gerik keenam
orang Ngo hong to, itu, lalu memberi pertolongan. Sesudah
dihajar dan diperingati keras, ia mengusir Tocoe Sam kang
pang itu. Pada Ouw sie, Siong Kee tidak memperkenalkan
nama. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah murid Boe
tong Pay.
Dengan malu besar, Ouw sie kembali kepada suaminya
dan menceritakan segala apa yang sudah terjadit. Dengan
demikian, Boe tong pay berbalik menjadi tuan penolong.
Sesudah berdamai, mereka segera mengunjungi Lian
Cioe bertiga untuk menghaturkan terima kasih dam
meminta maaf. Supaya Ouw sie tidak terlalu jengah,
sesudah mereka berlalu, barulah Siong Kee muncul.
589
"Menghajar Tocoe Sam kang pang itu memang bukan
pekerjaan sukar," kata Coei San. "Tapi tindakan Sieko yang
selamanya memberi kesempatan kepada orang-orang yang
berdosa, sangat sesuai dengan pendirian Soehoe."
Siong Kee tertawa. "Sesudah sepuluh tahun tak bertemu,
begitu bertemu Ngotee menghadiahkan topi tinggi
kepadaku." katanya.
Malam itu keempat saudara seperguruan tidur disatu
pembaringan dan mereka beromong-omong terus sampai
pagi.
Meskipun pintar dan berakal budi, Stong Kee tidak dapat
menebak siapa adanya orang yang menyamar seperti
serdadu Goan, menculik Boe Kie dan melukakan Lian
Cioe.
Pada esok paginya sesudah Siong Kee menemui So So,
mereka lalu meneruskan perjalanan. Sesudah menginap lagi
semalaman ditengah jalan, barulah mereka mulai
mendekati Boe tong san.
Sesudah berpisahan sepuluh tahun. Coei San kembali
kegunung itu yang menjadi tempat tinggalnya sedari kecil.
Mengingat bahwa ia akan segera bertemu dengan guru dan
saudara-saudaranya, biar pun isteri sakit dan anak hilang,
kegirangannya melebihi rasa dukanya.
Setibanya diatas gunung mereka melihat delapan ekor
kuda tertambat didepan kuil.
"Ada tamu," kata Siong Kee. "Kita masuk saja dari pintu
samping."
Sambil menuntun isterinya, Coei San beramai masuk
dari pintu samping. Melihat kembalinya Ngohiap, segenap
penghuni kuil dari imam sampai pesuruh jadi girang bukan
main. Begitu masuk, Coei San segera ingin menemui
590
gurunya, tapi kacung yang merawat sang guru
memberitahukan bahwa Thio Sam Hong masih menutup
diri. Karena itu, ia hanya bisa berlutut didepan kamar sang
guru.
Sesudah itu, ia pergi kekamar Jie Thay Giam. Kacung
yang menjaga Jie Samhiap berkata: "Samsoe siok pules.
Apakah mau dibanguni?"
Coei San menggoyangkan tangannya dan masuk
kedalam kamar dengan indap-indap. Dengan hati tersayat,
ia mengawasi kakak seperguruannya yang pucat dan perok
mukanya, dengan kulit membungkus tulang. Keangkeran
dan kegagahannya sepuluh tahun berselang sudah tak
kelihatan lagi bayangan bayangannya. Mengingat
pengalamannya yang dulu, bagaimana pada waktu baru
naik gunung, ia telah menerima banyak pelajaran dari
kakak itu, air mata Coei San lantas saja mengucur deras.
Sesudah mengawasi beberapa saat, sambil mendekap
muka ia berjalan keluar. "Mana Toasoepeh dan
Citsoesiok?" tanyanya kepada si kacung.
"Lagi menemani tamu di toathia (ruang besar),"
jawabnya.
Ia lalu pergi keruangan belakang untuk menunggu
Toasoeko dan Citsoeteenya. Tapi sesudah menunggu agak
lama, kedua saudara itu belum juga muncul. Kepada
seorang toojin yang membawa teh, ia menanya: "Siapa
tamu itu?"
"Kelihatannya seperti orang dari Piauwkiok," jawabnya.
Sesaat kemudian, In Lie Heng yang masih sangat kangen
pada saudaranya menyusul keruangan belakang dan Coei
San lantas saja menanyakan asal usul tamu itu.
"Tiga orang Cong piauw tauw," jawab si adik. "Yang
591
satu Kie Thian Pioe, Congpiauwtauw Houw-po-Piauwkiok
di Kim leng, yang satu lagi In Ho Congpiauwtauw Chinyang-
Piauwkiok di Thaygoan, yang ketiga Kiong Kioe Kee,
Congpiauwtauw Yan-in-Piauwkiok dikota raja."
Coei San terkejut. "Perlu apa mereka datang kemari?"
tanyanya. Ia tahu, bahwa dalam kalangan Piauwkiok
diwilayah Tionggoan, ketiga Piauw kiok itulah yang
mempunyai nama paling besar.
In Lie Heng tertawa. "Mungkin sekali ada piauw yang
kena dirampok dan si perampok sangat lihay sehingga
mereka minta pertolongan Toasoeko," jawabnya.
"Ngoko, selama beberapa tahun ini. Toasoeko makin
mulia sepak terjangnya. Kalau di Kong ouw terjadi sesuatu,
mereka lantas pada datang menemui Toasoeko."
"Toako memarg berhati mulia seperti Budha." kata Coei
San "la tak pernah merasa bosan untuk menolong sesama
manusia. Hai! Sesudah berpisahan sepuluh tahun, apa
Toasoeko tampak banyak lebih tua?"
Sesudah berkata begitu, hatinya seperti dibetot dan ia
tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Lioik tee," katanya,
"mari kita pergi kebelakang sekosol supaya aku bisa segera
melihat wajah Toako dan Cit tee."
Indap-indap ia masuk ke toa thia dan mengintip dari
belakang sekosol. Song Wan Kiauw dan Boh Seng Kok
yang sedang duduk dikursi tuan rumah tengah bicara
dengan tamu tamunya. Wan Kiauw mengenakan Jubah
iman, parasnya tenang, tiada banyak bedanya seperti dulu
hari, hanya rambut dibawah kundainya sudah berawarna
abu abu."
Toako itu sebenarnya bukan seorang toosoe, tapi karena
sang guru seorang toosoe dan juga sebab ia menetap
592
didalain kuil, maka kalau berada di kuil, ia kebanyakan
mengenakan jubah imam dan barulah menukar pakaian
biasa bila turun gunung.
Tubuh Boh Seng Kok jauh lebih jangkung dan besar
daripada sepuluh tahun berselang. Meskipun masih berusia
muda, mukanya penuh brewok, sehingga ia kelihatannya
lebih tua daripada Coei San.
Tiba tiba terdengar suara Boh Seng Kok yang keras:
"Toasoekoku tidak pernah menjusta, perkataannya satu -
satu. dua - dua. Apakah kalian masih tidak percaya?"
Coei San kaget. Adat Soetee itu yang berangasan
ternyata belum berubah. Mengapa ia bergusar?
la lalu mengawasi ketiga tamu itu. Mereka semua berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Yang satu kelihatan angker
dan garang, yang satunya lagi jangkung kurus, sedang yang
ketiga yang duduk dikursi paling buncit kelihatannya seperti
orang sakit. Dibelakang mereka berdiri lima orang lain,
mungkin murid murid mereka.
"Kami tentu tidak bisa menyangsikan perkataan Song
Toahiap," kata sijangkung kurus. "Tapi apakah kami boleh
mendapat tahu, kapan Thio Ngohiap akan pulang?"
Mendengar perkataan Thio Ngohiap, Coei San terkesiap.
"Apa mereka datang untuk menyelidiki Gieheng?" tanyanya
didalam hati.
Sementara itu, Boh Seng Kok sudah menjawab: "Biarpun
kami bertujuh berkepandaian sangat rendah, tapi dalam hal
menolong sesama manusia kami selalu tidak mau
ketinggalan. Kawan kawan dikalangan Kangouw telah
menghadiahkan kami dengan julukan Boe tong cit hiap.
Kami sebenarnya merasa malu mendapat julukan itu. Akan
tetapi, sesudah terlanjur menerimanya kami lebih berhatii
593
hati setiap tindakan kami. Thio Ngoko seorang yang halus
budi pekertinya baik adatnya dan seorang yang boen boe
coan cay. Maka itu, omong kosong jika Ngoko dituduh
membunuh keluarga Liong boen Piauw kiok."
Sekarang baru Coei San tahu maksud kedatangan tamutamu
itu.
"Nama besar Boe tong Cit hiap memang sudah dikenal
dalam Rimba Persilatan," kata orang yang sikapnya garang,
"Boh Cit hiap tak usah mengagulkan diri!"
Mendengar perkataan yang menusuk itu, Seng kok
segera berkata: "Apa sebenarnya keinginan Kie Cong piauw
tauw. Kau boleh bicara saja terang-terangan "
Orang itu, Kie Thian Pioe, lantas saja berkata dengan
suara gusar: "Aku tidak menyangsikan, bahwa Boe tong Cit
hiap omong satu-satu, omong dua-dua. Tapi, apakah
pendeta suci dari Siauw lim sie berjusta? Dengan mata
sendiri, pendeta Siauw lim telah menyaksikan cara
bagaimana keluarga Liong boen Piauw kiok tetah binasa
oleh Thio Ngo hiap...." Perkataan "hiap" diucapkan dengan
suara luar biasa nyaringnya dan nadanya mengejek.
Bukan main gusarnya In Lie Heng. Selagi ia mau
melompat keluar untuk menghadapi piauwsoe itu, Coei San
mencekal tangannya dan mengawasinya dengan sorot mata
berduka.
Si-adik tidak berani membantah. la kagum akan
kesabaran kakak seperguruannya.
Dengan mata berapi, Seng Kok berkata: "Ngoko
sekarang belum pulang, Boh Seng Kok dan Coei San mati
hidup bersama-sama."
Boh Seng Kok bangun berdiri. "Urusannya adalah
urusanku. Jika Sam wie ingin cari Coei San carilah aku.
594
Sam wie memastikan bahwa Ngoko sesudah membunuh
keluarga Liong boen Piauwkiok! Baiklah, pembunuhan itu
sama juga telah dilakukan olehku sendiri. Kalau mau
membalas sakit hati, balaslah kepadaku, Boh Seng Kok
adalah Thio Coei San, Thio Coei San adalab Boh Seng
Kok. Dalam kepintaran dan kepandaian, aku tak nempel
dengan saudaraku yang kelima itu. Maka boleh dikatakan,
untung besar kau bertemu dengan aku."
Kie Thian Pioe juga meluap darahnya. Ia melompat
bangun seraya membentak: "Kalau tujuan kami benar untuk
mengacau di Boe tong san, orang sedunia akan mentertawai
kami sebagai manusia-manusia yang tak tahu diri. Akan
tetapi, sakit hatinya keluarga Touw Tay Kim sehingga
sekarang belum terbalas. Hal itu tak dapat ditelan oleh
kami. Waktu naik kegunung, karena menghargai Thio
Cinjin, kami tidak berani membekal senjata. Sekarang
biarlah aku menerima kebinasaan dibawah kaki dan tangan
Boh Cit hiap." Sehabis berkata begitu, dengan tindakan
lebar ia berjalan ketengah ruangan.
Melihat pertempuran akan segera terjadi, Song Wan
Kiauw yang sedari, tadi terus membungkam, mencekal
tangan adiknya seraya berkata: "Dari tempat jauh kalian
datang kemari dengan membawa tuduhan bahwa Ngotee
telah membunuh keluarga Liong boen Piauwkiok. Untung
juga, tak lama lagi Ngotee akan pulang. Maka itu, menurut
pendapatku, sebaiknya kalian menunggu sampai Ngotee
kembali dan menanyakan soal-soal itu kepadanya sendiri."
Tamu yang seperti orang sakit, pemimpin Yan in
Piauwkiok Kiang Kioe Kee yang berakal budi, lantas saja
berkata: "Kie Congpiauwtauw, sabar. Duduklah dulu.
Memang juga, sebelum Thio Ngohiap pulang, urusan ini
sukar mendapat penyelesaian yang memuaskan. Sebaiknya
kita sekarang menemui Thio Cinjin untuk meminta
595
jawaban. Beliau adalah gunung Thay san atau bintang Pak
tauw dari Rimba Persilatan dan dihormati oleh segenap
orang gagah. Maka itu, tak mungkin beliau melindungi diri
murid sendiri tanpa melihat siapa yang benar siapa yang
salah,"
Perkataan itu yang diucapkan secara sopan, lihay bukan
main dan Boh Seng Kok tentu saja mengerti maksudnya.
"Guruku sedang menutup diri dan sampai sekarang belum
keluar " katanya. "Disamping itu, selama beberapa tahun
ini, segala urusan selalu diurus oleh Toa soeko dan kecuali
orang yang sangat kenamaan dalam Rimba Persilatan,
Soehoe boleh dikatakan tidak pernah menerima tamu."
Dengan berkata begitu, Boh Cit hap mau mengatakan,
bahwa ketiga Congpiauw tauw tersebut belum cukup tinggi
kedudukannya untuk berjumpa dengan Thio Sam Hong.
Tamu yang bertubuh jangkung kurus, yaitu In Ho dari
Chin-yang piauwkiok, tertawa dingin: "Urusan-urusan
dalam dunia memang sering terjadi secara kebetulan,"
katanya: "Secara kebetulan, kedatangan kami terjadi pada
saat Thio Cinjin sedang menutup diri. Tapi soal tujuh puluh
jiwa lebih dari keluarga Liong boen Piauwkiok sukar
dielakkan dengan alasan menutup diri."
Dengan perkataan yang sangat berat itu, buru-buru
Kiong Kioe Kee mengedipkan matanya.
Boh Seng Kok gusar tak kepalang. "Kau mau
mengatakan, bahwa guruku menutup diri karena merasa
jeri terhadap kamu?" bentaknya. In Ho tidak menjawab, ia
hanya tertawa dingin.
Biarpun sabar, hinaan terhadap gurunya yang sangat
dihormati umum, sangat mendongkolkan hati Song Wan
Kiauw. Selama banyak tahun, belum pernah ada orang
berani mengucapkan kata kata kurang ajar untuk alamat
596
Thio Sam Hong dihadapan Boe tong Cit hiap. Maka itu, ia
segera berkata dengan suara perlahan.
"Sam wie adalah tamu kami dan kami tidak berlaku
kurang sopan. Marilah kami mengantar kalian keluar dari
kuil ini."
Seraya berkata begitu, ia mengebas dengan tangan
jubahnya dan ........loh! tiga cangkir teh yang berada
dihadapan Kie Thian Pioe, In Ho dan Kiong Kioe Kee
serentak terbang dan kemudian perlahan-lahan turun
dihadapan Wan Kiauw.
ltulah pertunjukan Lweekang yang dahsyat luar biasa.
Begitu Wan Kiauw mengebas, Kie Thian Pioe bertiga
merasa dada mereka menyesak, tapi sejenak kemudian, rasa
sesak itu menghilang. Paras muka ketiga orang itu berubah
pucat bagaikan kertas. Mereka tahu bahwa jika mau Song
Toahiap dengan mudah dapat mengambil jiwa mereka
seperti orang membalik telapak tangannya sendiri.
Antara mereka, Kie Thian Pioe lah yang paling polos.
Sambil merangkap kedua tangannya ia berkata: "Terima
kasih atas belas kasihan Song Toahiap. Kami minta
permisi!"
Wan Kiauw dan Seng Kok mengantar tamunya sampai
diluar kuil.
"Cukuplah, kalian tak usah mengantar lebih jauh lagi,"
kata Kie Thian Pioe.
"Kami menghaturkan banyak terima kasih atas
kunjungan kalian," kata Wan Kiauw. "Dilain hari, kami
akan balas mengunjungi pianwkiok kalian di kotaraja, Thay
goan dan Kim leng."
"Itulah kehormatan yang kami tidak berani menerima."
sahut Kie Thian Pioe.
597
Selagi mereka meagucapkan kata kata sungkan, tiba tiba
datang orang setengah tua yang bertubuh kecil. "Sietee,
berkenalanlah dengan ketiga sahabat ini." kata Wan Kiauw.
Sesudah diperkenalkan sambil tertawa Thio Siong Kee
berkata: "Sungguh kebetulan Samwie datang di sini. Aku
justru ingin menyerahkan beberapa rupa barang." la
merogoh sakunya mengeluarkan tiga bungkusan kecil yang
lalu di bagikan kepada ketiga tamu itu.
"Barang apa ini?" tanya Kie Thian Pioe.
"Jangan buka disini," kata Siong Kee. "Sesudah turun
gunung, barulah kalian boleh membukanya."
Sesudah ketiga tamu itu berlalu, Boh Seng Kok berkata
dengan tergesa-gesa: "Sieko. Mana Ngo ko? Apa ia sudah
pulang?"
"Pergilah kau menemui Ngotee," kata Siong Kee seraya
bersenyum. "Aku dan Toako akan menunggu kembalinya
ketiga piauwsoe itu."
"Kembalinya ketiga piauwsoe?" menegas Seng Kok
dengan heran. "Mengapa begitu ?" Tapi, sebab ia ingin
lekas-lekas bertemu dengan Coei San tanpa menunggu
jawaban, ia lantas masuk dengan berlari-lari.
Benar saja, baru Boh Cithiap masuk kedalam, Kie Thian
Pioe bertiga sudah kembali dengan terburu-buru dan begitu
berhadapan dengan Wan Kiauw dan Siong Kee, mereka
berlutut. Wan Kiauw dan Siong Kee membalas hormat dan
membangunkan ketiga orang itu.
"Kemuliaan para pendekar Boe tong baru sekarang
diketahui aku, si orang she In." Kata In Ho. "Barusan aku
telah mengeluarkan kata-kata yang menghina Thio Cinjin
dan aku sungguh lebih hina dari pada anjing atau babi."
598
Sehabis berkata begitu, ia menggapelok mukanya sendiri
belasan kali, sehingga jadi bengkak dan matang biru.
"In Congpiauwtiauw adalah seorang laki-laki gagah yang
mempunyai cita-cita besar," kata Siong Kee. "Cita-cita
untuk merampas pulang, sungai dan gunung (negara) dari
tangan penjajah, mendapat sokongan sepenuhnya dan
segenap orang gagah diseluruh negeri. Bantuan sekecil itu
yang diberikan kami adalah selayaknya saja. Perlu apa In
Congpiauwtauw berlaku sampai begitu rupa?"
"Jiwa seluruh keluargaku telah ditolong oleh Coe hiap
(para pendekar)," kata pula In Ho.
"Selama lima tahun, aku seperti orang mimpi. Untuk
kedosaanku, aku harap beliau suka menghajar aku, supaya
hatiku jadi lebih enak."
Siong Kee tertawa. "Urusan yang sudah lewat sebaiknya
jangan disebut-sebut lagi," katanya. "Andai kata Soehoe
sendiri mendengar perkataan In Congpiauwtauw yang
sangat mulia, beliaupun tak merasa tersinggung," Tapi In
Ho yang masih merasa sangat malu, terus mencaci dirinya
sendiri.
Song Wan Kiauw yang tidak mengerti duduknya
persoalan, hanya mengeluarkan perkataan-perkataan
merendahkan diri. Selain In Ho, Kie Thian Pioe dan Kiong
Kioe Kee juga tak hentinya menghaturkan terima kasih.
Menurut penglihatan Wan Kiauw, Siong Kee bersikap
sangat manis dan hangat terhadap In Ho, tapi terhadap Kie
dan Kiong Congpiauwtauw, ia bersikap sedang-sedang saja.
Mereka bertiga memohon permisi untuk memberi hormat
didepan kamar Thio Sam Hong dan menghaturkan maaf
kepada Beh Sang Kok, tapi permintaan itu semua ditolak
dengan manis oleh Wan Kiauw berdua.
Sesudah ketiga orang itu berlalu, Siong Kee berkata
599
seraya menghela napas: "Biarpun mereka merasa sama
sekali tidak menyebutkan soal Liong boen Piauwkiok.
Dengan lain perkataan, budi tinggal budi, tapi urusan itu
masih belum beres."
Baru saja Wan Kiauw ingin meminta penjelasan, Coei
San sudah muncul sambil berlari-lari. Begitu berhadapan
dengan kakaknya, ia berlutut seraya berkata "Toako ....."
Song Wan Kiauw halus budi pekertinya. Walaupun
terhadap adik seperguruannya, apa pula dalam keadaannya
ini, seperti sekarang selagi hatinya berdebaran, ia tidak
dapat melupakan akal budinya itu, maka ia membalas
hormat sambil berlutut juga. la pun berkata "Ngo tee, oh
akhirnya kau pulang juga !"
"Ya, Toako," menyahut adik seperguruannya yang
nomor lima itu.
Coei San lantas menuturkan hal ikhwalnya semenjak
perpisahan mereka.
Boh Seng Kok yang tidak sabaran, menyelak: "Ngoko,
ketiga piauwsoe itu sangat kurang ajar, mereka tetap
menuduh kaulah yang membinasakan seantero keluarga
Liong boen Piauw kiok di Lim an, kenapa kau berlaku
demikian sabar dan tidak hendak pergi menghajar adat
kepada mereka ?"
Mendengar itu, Coei San menghela napas, romannyn
sangat berduka.
"Tentang soal, itu berliku-liku duduknya, tidak dapat
dituturkan dengan sepatah dua patah kata," katanya.
"Tunggu saja sampai Sha-ko sudah mendusin, nanti aku
menjelaskan semua. Bahkan aku masih hendak memohon
saudara-saudara membantu memikirkan suatu daya yang
sempurna."
600
"Jangan kuatir, Ngoko," berkata In Lie Hang. "Tidak
layak perbuatannya Liong boen Piauw kiok yang
mengantarkan Sha-ko pulang dalam keadaan bercacad
seumur hidupnya! Andai kata benar Ngoko telah
membinasakan seluruh keluarga nya, itulah disebabkan
kecintaan terhadap saudara sendiri. karena kemurkaanmu
pada satu saat...."
"Liok tee, kau ngaco !" bentak Lian Cioe. "kalau Soehoe
mendengar kata-katamu ini, pastilah kau bakal dikurung
selama tiga bulan! Membinasakan seantero keluarga, tua
dan muda, itu artinya memusnahkan satu rumah tangga,
perbuatan demikian itu mana dapat kita lakukan ?"
Kelima orang itu lantas mengawasi Thio Coei San,
roman siapa tampak sangat berduka.
"Keluarga Liong boen Piauw kiok itu, seorang pun tidak
ada yang kubunuh," berkata Coei Sani selang sesaat. "Aku
tidak berani melupakan ajaran Soehoe dan tidak berani juga
menyeret-nyeret semua saudara."
Mendengar ini lega hati mereka. Tadinya mereka
menyangsikan saudara seperguruan ini. Mereka tidak
percaya saudara mereka melakukan perbuatan sangat
terlengas itu. Tetapi pihak Siauw lim menuduh pasti
pembunuhan itu dilakukan Coei San dan mereka itu
mengatakan melihatnya dengan mata kepala sendiri, sedang
ketika piauwsoe tadi datang, Coei San tidak mangajukan
dirinya untuk menyangkal atau menegur mereka toh
bercuriga.
Tapi sekarang, sesudah mendengar pernyataan Coei San,
hati mereka lega. Mereka lantas berpikir. "Didalam urusan
ini tentu ada kesulitannya, akan tetapi tidak apalah asal
jangan dia yang melakukan pembunuhan. Biar bagian
apapun jua, akhirnya pasti soal itu akan dapat dibikin
601
terang dan didamaikan."
Kemudian Boh Seng Kok menanyakan tentang ketiga
piauwsoe itu.
"Diantara mereka bertiga, in Ho yang omongnya kasar
adalah yang perlakuannya paling baik," kata Siong Kee,
"diwilayah Shoa say dan Siam say, dia sangat tersohor,
Diam-diam dia telah berserikat dengan orang-orang gagah
dikedua propinsi itu, dengan tujuan untuk merobohkan
kerajaan Goan."
"Itulah bagus!" berseru Song Wan Kiauw berlima.
"Tidak disangka dia sedemikian bersemangat," kata Boh
Seng Kok dengan rasa kagum, "dia harus dihormati dan
dipuji Sieko, kau jangan bicara terus dulu, kau tunggu
sampai aku sudah kembali." Setelah berkata begitu, ia pergi
keluar sambil berlari lari.
Thio Siong Kee benar-benar berhenti menutur,
sebaliknya ia menanyakan Coei San tentang pulau Peng
hwee to.
Coei San lantas bercerita tentang si kera putih yang
cerdik luar biasa, sehingga keempat saudaranya menjadi
heran dan kagum.
"Sebenarnya kami berniat membawa pulang kera itu,"
kata Coei San pula. "Sesudah berlayar berapa hari, ia
agaknya tidak biasa dengan hawa udara yang hangat,
mendadak dia menerjun ke air, dan berenang kearah utara,
mungkin dia niat pulang kepulau Peng hwee to."
"Sayang, sayang," kata In Lie Heng.
"Kera sedemikian kecil, tetapi begitu kuat, itulah hebat,"
kata Wan Kiauw.
"Mungkin kera itu bukan bangsa kera asli," Coei San
602
mengutarakan dugaannya, "Mungkin dia berjenis tersendiri
disebabkan terlahirnya di pulau yang hawa udaranya sangat
luar biasa. "
Wan Kiauw mengangguk. "Mungkin," katanya.
"Ditanah pegunungan dan rimba-rimba kitapun terdapat
binatang binatang yang istimewa."
Selagi mereka bicara, Boh Seng Kok kembali dengan
berlari-lari. "Aku telah menyusul In Piauw soe untuk
menghaturkan maaf dan aku telah memujinya sebagai
seorang laki-laki sejati!" katanya.
Senang saudara-saudaranya mendengar keterangan itu.
Mereka memang telah menduga kemana perginya saudara
itu barusan. Sebagai seorang jujur, Boh Seng Kok tak
menghiraukan perjalanan maafnya itu, sebab kalau tidak, ia
bakal tidak dapat tidur tenang.
"Cit tee," kata In Lie Hang, "penuturan Sieko ditunda
sebab musti menantikan kau, tetapi ceritanya Ngoko
tentang si kera cerdik lebih menarik hati Iagi."
"Oh, begitu?" Seng Kok berjingkrak.
Siong Kee menyelak "Rencananya In Ho itu sudah
diatur rapi..."
"Sieko maaf," Seng Kok memotong, "tunggu
sebentar!...."
"Dasar Cit tee!" Coei San tertawa yang terpaksa
mengulangi ceritanya tentang si kera putih.
"Benar benar aneh, benar-benar aneh!" seru Seng Kok.
"Nah, Sieko giliranmu!"
Siong Kee bersenyum, ia berkata: "Rencana In Ho itu
sudah rapi, dia tinggal menanti harinya untuk bergerak
ditiga tempat ialah Thay goan, Thay tong dan Hoen yang.
603
Siapa tahu, diantara kawan serikat mereka, ada seorang
pengkhianatnya. Tiga hari sebelum bergerak, dia telah pergi
membuka rahasia kepada pihak Mongolia sambil
menyerahkan juga daftar nama-nama rancana gerakan In
Ho itu."
"Ah, itulah hebat!" seru Seng Kok.
"Tapi disana telah terjadi sesuatu yang kebetulan." kata
Siong Kee tertawa. "Ketika itu aku berada di Thay goan,
maksudku mencari Tiekoan Thay goan untuk mengajar
adat kepada nya. Pada tengah malam itu, aku mendapatkan
si Tiekoan asyik berbicara dengan si pengkhianat,
merundingkan cara untuk membeber rahasia itu kepada
kaizar serta daya untuk mengirim tentara guna menyapu
bersih kawanan pencinta negara itu. Tanpa ayal lagi, aku
melompat masuk dari jendela. Aku bunuh Tiekoan dan si
pengkhianat, kemudian aku merampas daftar nama-nama
rencana kerja itu yang terus dibawa pulang olehku ke
Selatan. Di pihak In Ho, orang bingung dan berkuatir sekali
karena lenyapnya daftar dan rencana mereka. Mereka
mengerti, bahwa selain kuatir mereka akan gagal, juga
mereka serta keluarga mereka terancam bahaya
kemusnahan. Mereka lantas bekerja mengirim orang untuk
memberi kisikan, agar keluarga mereka pada pergi
mengumpatkan diri. Celakanya, tindakan inipun mendapat
halangan, yaitu pintu kota telah ditutup dan pesuruhpesuruh
ini tidak dapat keluar dari kota."
"Besoknya pagi kekuatiran mereka ditambah dengan
tersiarnya berita pembunuhan atas diri Tie koan,
pembunuhan mana sangat menggemparkan, sebab
pembesar negeri mengambil tindakan menutup pintu kota
sambil berbareng melakukan penggledahan luas untuk
mencari dan membekuk si pembunuh gelap. In Ho semua
bagaikan rombongan semut di atas kwali panas. Mereka
604
terutama berkuatir akan keselamatan semua kawan mereka
dikedua propinsi. Untuk beberapa hari mereka hidup seperti
tersiksa. Selama itu tidak terjadi sesuatu dan sipembunuh
Tiekoanpun tidak kedapatan. Akhirnya, urusan menjadi
reda. Ketika mereka mengetahui bahwa sipangkhianatpun
terbunuh didalam kantor Tiakoan, mereka menduga ada
pertolongan tersembunyi untuk pihak mereka. Mereka tidak
tahu siapa penolong itu. Merekapun sama sekali tidak
menduga aku"
"Jadi yang tadi kau serahkan pada In Ho itu ialah daftar
nama-nama dan rencananya itu?"
"Benar." jawabnya.
"Bagaimana dengan Kiong Kioe Kee ?" Lie Heng tanya
pula. "Bagaimana Sie ko membahtu dia ?"
"Kioo Kee cukup-tinggi ilmu silatnya, hanya dalam hal
sifat, ia tidak dapat disamakan dengan In Ho," menyahuti
Siong Kee, "Pada enam tahun dulu ia mengantar piauw ke
propinsi Inlam. Setibanya di Koen beng is diminta
bantuannya membawa barang barang permata untuk
Pakkhia, harganya semua enampuluh laksa tail. Ia mesti
membawanya secara diam-diam. Tiba di propinsi Kang say,
is mendapat susah, ialah ditepi telaga Po yang ouw, ia
dicegat dan dikepung oleh tiga anggauta Poyang Soa gie,
empat orang gagah dari Po yang ouw, dan piauwnya
dirampas. Meskipun dia menjual harta bendanya semua,
tidak nanti Kioe Kee dapat mengganti kerugian. Inipun
mengenai nama baik dari Yan in Piauw kiok yang sangat
kesohor untuk wilayah utara. Karena kejadian itu, pasti
perusahaan Piauw kioknya bakal roboh. Selagi berada
dirumah penginapan, saking putus asa, ia nekad hendak
menghabiskan jiwanya sendiri. Po yang Soe gie bukan
orang Rimba Hijau, mengapa mereka merampas piauw itu?
Ini pun ada sebabnya. Saudara meraka yang tertua lagi
605
mendapat susah, saudara itu dikurung dalam penjara di
kota Lam Ciang, setiap waktu bisa menjalankan
hukumannya, hukuman mati. Dua kali Soe gie coba
menolong. Mereka membongkar penjara, dua kalinya gagal.
Akhirnya mereka terpaksa mencari uang, untuk menyogok
pembesar-pembesar di Lam ciang itu, cukup asal hukuman
kakak mereka diperenteng. Aku mendapat tahu perkara
mereka itu, aku tahu juga bahwa Po yang Soe gie orang
baik-baik. Aku lantas bekerja uptuk menolong kakak
mereka, supaya piauwnya Kioe Kee dikembalikan kepada
piauwsoe itu. Wajah Kioe Kee memuakkan dan cara
bicaranya juga tidak menyenangkan, tetapi ia belum pernah
melakukan sesuatu kejahatan dan iapun tidak pernah
mengganggu rakyat, maka aku pikir, ada baiknya juga aku
menolong jiwanya. Hanya dalam menolong dia, aku
meminta Po yang Soe gie jangan menyebut nyebut namaku.
Piauw itu dipulangkan, melainkan bungkusan sulamannya
yang aku tahan. Dan barusan aku memberikan pulang
bungkusan itu, maka kau tentulah telah mengerti sendiri." i
Lian Cioe mengangguk angguk.
"Bagus perbuatanmu itu, Sie tee." ia memuji. "Kiang
Kioe Kee itu dapat dimaklumkan dan Po yang Soe gie juga
tak ada celaannya."
"Eh, Sieko," tanya Seng Kok. "Barang apa itu yang kau
serahkan pada Kie Thian Pioe?"
"itulah sembilan biji Toan hoen Gouwkong piauw,"
jawabnya.
Jawaban ini membuat lima saudara itu terperanjat.
Untuk dunia Kang ouw, piauw itu ialah semacam senjata
rahasia yang kesohor sekali. Itulah senjata yang membikin
naik namanya Gouw It Beng dari Liang Cioe.
"Mengena piauw itu, aku bertindak dengan terlalu
606
berbesar hati," Siong Kee mengakui. "Kalau sekarang aku
mengingatnya, aku merasa bersyukur sekali bahwa aku
telah lolos dari marabahaya. Ketika itu Kie Thian Poe
mengantar piauw lewat dikota Tong kwan, diluar tahunya
ia berbuat keliru terhadap satu muridnya Gouw It Beng.
Dalam pertempuran, Thian Pioe merobohkan dan
melukakan parah murid orang itu. Setelah kejadian, baru
Thian Pioe menginsyafi bahwa ia telah menerbitkan onar.
Maka lekas-lekas ia menyelesaikan tugas nya sebab ia ingin
segera pulang ke Kim leng guna mengumpul kawan yang
bersedia menghadapi It Beng itu. Ia baru sampai di Lok
yang, ketika di sana ia dicandak It Beng. Maka tarjadilah
janji ,akan bertarung besoknya di luar pintu barat kota Lok
yang "
"Gouw It Beng lihay, tak ada disebawahan kita,
bagaimana Kie Thian Pioe dapat menandingi dia ?" tanya
In Lie Heng.
"Memang. Thian Pioe sendiri merasa bahwa ia tidak
unggulan melawan musuhnya, maka itu ia minta
bantuannya persaudaraan Kiauw dikota Lok yang itu,"
Siong Kee menerangkan. "Atas permintaan itu, pihak
parsaudaraan Kiauw menjawab: Kau bukan tahu sendiri,
Kie Toako, kami bukan lawan Gouw It Beng. Bukankan
kau hanya menghendaki kami membantu memberikan
suara saja? Baiklah, besok pagi kami pasti datang diluar
kota barat itu !"
"Persaudaraan Kiauw pandai menggunakan senjata
rahasia, dengan Thian Pioe dibantu meteka, artinya tiga
lawan satu, mungkin It Beng dapat dilawan bingga
berimbang kekuatannya," berkata Seng Kok. "Bagaimana
dengan Gouw It Beng, apakan ia mempunyai kawan atau
tidak ?"
"It Beng tidak punya kawan," kata Siong Kee. "Yang
607
aneh yalah dua saudara Kiauw itu. Pagi pagi sekali
besoknya Thian Pioe telah pergi kerumah mereka, terutama
untuk memastikan cara menghaadapi It Beng Ketika tiba, ia
bertemu dengan penjaga pintu yang berkata: Toaya dan
Jieya mempuayai urusan yang penting yang mendadak,
mereka telah pergi ke Tongcioe. Aku dipesan untuk
memberitahukan Kie Looya agar Looya tidak usah
menantikannya. Mendengar itu, Thian Pioe kaget dan
mendongkol bukan main. Beberapa tahun yang lalu, tempo
dua saudara Kiauw itu nampak kesukaran di Kanglam,
Thian Pioe telah membantunya, tetapi sekarang, mulut
mereka manis, kaki mereka ngacir. Thian Pioe menginsyafi
bahaya, tetapi ia tidak mau salah janji, dari itu ia kembali
kehotelnya untuk menulis pesan terakhirnya. Sesudah
memesan seperlunya kepada sekalian pembantunya,
seorang diri ia pergi keluar pintu kota barat."
"Semua kejadian itu tidak lolos dari mataku," Siong Kee
melanjutkan setelah berhenti sejenak. "Aku sudah lantas
pergi keluar pintu kota itu, Disana aku bercokol dibawah
sebuah pohon. Sengaja aku menyamar sebagai seorang
pengemis. Aku melihat It Beng dan Thian Pioe datang
saling susul, terus mereka bertempur. Baru beberapa jurus.
It Beng telah habis sabar, ia lantas menyerang dengan
sebatang piauwnya yang liehay. Thian Pioe putus asa, ia
meraimkan matanya menanti kebinasaan. Disaat itu aku
melompat maju. Aku menanggapi piauw maut itu. It Brng
kaget, heran dan gusar. Ia lantas saja menegur aku dan
menanya aku orang dari partay Pengemis atau bukan. Aku
tertawa saja, tidak menjawab: Dalam gusar dan
penasarannya, delapan kali beruntun ia menyerang aku
dengaa sepasang senjata rahasia nya itu, yang semua aku
tanggapi dengan berhasil. Dia benar-henar lihay. Sedang
aku, aku tidak berani menanggapi dengan menggunakan
ilmu silat kita. Aku takut ia mengenali aku.

Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru