Minggu, 16 September 2018

Panah Kekasih 3 Tamat (Pendekar Pedang Amarah)

=============

baca juga
Panah Kekasih 3 Tamat (Pendekar Pedang Amarah)

Cuaca diluar hutan cerah dan terang benderang.
Walaupun Liong Hau-jin dan Lim Ciu-kok merasa berat hati untuk berpisah, namun perpisahan tetap berlangsung.
Dalam pergaulan selama empat puluh sembilan hari, persahabatan mereka berempat sudah begitu mengental hingga dalam pergaulan sekarang, mereka sudah tak perlu basa basi lagi.
Berdiri dibawah sinar matahari yang cerah, Tian Mong-pek termenung berapa saat lamanya.
Dia merasa beban yang dipikul bertambah berat, meski manfaat yang diperoleh bertambah, tugas yang terbeban pun makin berat.
Tiba tiba ia menengadah, lalu teriaknya keras keras: "Hong Ji-siong, keluar kamu! Musuh yang sudah kau tunggu hampir tiga puluh sembilan tahun, kini sudah berdiri menantimu disini!" Teriak yang keras menembus awan dan menggaung ke empat penjuru.
Suasana tetap hening, tidak terdengar suara jawaban.
Cahaya matahari bersinar makin terang, menyinari pemuda yang dengan gagah berani menantang manusia paling terkenal dikolong langit, menantang duel busur sakti empat senar, menyinari pula pedang hitam yang tersoren dipinggangnya.
Oo0oo Ternyata ada orang berani menantang duel pemimpin dari tujuh manusia paling tersohor dikolong langit, Busur empat senar! Berita ini ibarat guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, seketika menggemparkan seluruh dunia persilatan.
Inilah berita besar yang pernah tersiar semenjak tiga puluh sembilan tahun berselang.
Sejak digetarkan oleh kemunculan panah kekasih yang penuh misteri dan horor, sudah lama dunia persilatan tenggelam dibalik kegelapan, dan kini, kabar berita itu bagaikan amukan gelombang dahsyat yang menghantam pesisir.
Karena kuatir Busur empat senar mencelakai rekan-rekannya yang masih tertinggal dalam hutan penyesat, maka sepanjang perjalanan, Tian Mong-pek selalu menyiarkan berita tentang ajakannya untuk berduel, dia minta orang nomor wahid ini datang mencarinya.
Keleningan yang bergoyang dileher sang kuda, perlahan lahan bergerak melewati wilayah Ou-pak.
Para jago dari wilayah Cou-yang, Han-shia, Siang-yang, Ging-bun.
Tang-yang, Yi-ciong dan Ui-leng-an pun berbondong bondong mengintil di belakang suara keleningan.
Berita tantangan berduel, mengikuti derap kaki kuda dan suara keleningan, dengan cepat tersebar ke empat arah delapan penjuru.
Namun tiada jawaban yang diterima, tiada berita yang mengabarkan kalau tantangan itu diterima.
Oo0oo Li-cuan ditepi propinsi Ou-pak, bukan merupakan sebuah kota yang ramai.
Tapi hari ini, tiba tiba saja kota itu menjadi sangat ramai.
Gerombolan kuda dengan penunggang yang kekar, berbondong bondong memasuki kota itu, membuat kota kecil yang biasa sepi, mendadak menggelembung dan jadi ramai sekali.
Hampir setiap penunggang kuda yang muncul selalu bertubuh kekar, bernama tersohor dan merupakan orang kenamaan diseputar wilayah itu.
Tapi mereka semua hanya merupakan taburan bintang yang ikut meramaikan kecerian malam ini, sebab rembulan yang sedang purnama justru berada diatas pelana seekor kuda berkeleningan emas.
Dialah Tian Mong-pek! Semua orang berdatangan karena ingin menghantar kepergian Tian Mong-pek untuk berduel.
Kota kecil yang dihari biasa selalu sepi dan tenang, tampaknya tak sanggup menerima pembengkakan serta rangsangan yang berlebihan, akibatnya suasana mulai gaduh, mulai tak tenteram.
Hampir semua arak wangi yang disimpan dalam gudang, nyaris terkuras habis hanya dalam semalaman.
Topik pembicaraan yang paling ramai diangkat para pendekar pun tak jauh dari sepak terjang Tian Mong-pek.
Namun disaat untuk ke empat kalinya mereka menghormati Tian Mong-pek dengan arak, dijumpai Tian Mong-pek dan Ui Hau sudah lenyap tak berbekas, yang tertinggal hanya secarik kertas.
"Menghantar ribuan li, biarlah berakhir pada malam ini, perjalanan berikut susah dan penuh rintangan, setelah berpisah kini, semoga akan bertemu lagi lain waktu." Dengan menempuh perjalanan paling cepat, Tian Mong-pek dan Ui Hau telah melewati tapal batas dan tiba di Sik-ciok. Jalan raya dipagi hari terasa sepi dan hening, hanya suara keleningan yang terdengar makin nyaring.
"Mau menginap" Atau melanjutkan perjalanan?" tanya Tian Mong-pek tiba tiba.
"Lanjutkan perjalanan." sahut Ui Hau lantang.
Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya: "Begitu memasuki wilayah Suchuan, hati siaute bagaikan terbakar api, kalau bisa detik ini juga aku bisa bertemu Ho bersaudar a." Tian Mong-pek menghela napas sedih, dia tutup dan tidak berbicara.
Setelah tarik napas panjang, sambil menggertak gigi kembali Ui Hau berkata: "Kalau tak bisa bertemu Ho bersaudara, dengan cara apa pun kita harus temukan musuh besar itu dan mencincangnya hingga hancur berkeping." "Setelah memasuki wilayah Suchuan, jejak musuh pasti akan bermunculan .
. . . . . .." Belum selesai bicara, terlihat ada dua ekor kuda berlarian kencang melewati jalanan dihadapan mereka.
Kedua orang penunggang kuda itu berpakaian ketat, menggembol golok dipinggang, mengenakan topi rumput lebar dan wajahnya penuh berdebu.
Kontan Ui Hau berkerut kening, tampaknya segera akan mengumbar hawa amarah.
Diam diam Tian Mong-pek mencegahnya mengumbar amarah, terlihat kedua orang itu, satu dari kiri, yang lain dari kanan, dengan cepat melintas lewat dari sisi kuda Tian Mong-pek, sementara empat mata yang tersembunyi di balik topi lebar, tiada hentinya mengamati wajah Tian Mong-pek serta Ui Hau.
Menanti kedua ekor kuda itu sudah melintas lewat, tak tahan Ui Hau mengumpat: "Bangsat, akhirnya muncul juga, hm, kalau bisa, ingin kutarik mereka dari kudanya dan menghajar habis habisan, kenapa toako mencegahku?" Biarpun usianya lebih tua, tapi panggilan "toako" tak pernah dapat berubah.
Dengan suara berat sahut Tian Mong-pek: "Ke dua orang itu tak lebih hanya pencoleng kecil pencari berita, tidak pantas bagi kita berdua untuk menghajarnya." "Paling tidak kita bisa melampiaskan rasa dendam kita." "Sebelum orang lain mencari kita, lebih baik kita jangan turun tangan dulu, toh sekarang kita sudah berada di wilayah Suchuan, masa takut tak ada orang datang mencari gara gara?" Akhirnya Ui Hau menghela napas panjang, katanya: "Bila toako berkata begitu, baiklah kita lakukan seperti kehendakmu!" Tian Mong-pek tersenyum dan tidak bicara lagi.
saat inilah, dari belakang tubuh mereka kembali terdengar suara derap kaki kuda.
Ternyata ke dua orang penunggang kuda tadi balik kembali, sewaktu melewati disamping Tian Mong-pek berdua, salah seorang diantaranya kembali berpaling mengamati pemuda itu sekejap.
II "Lihat apa, minta dihajar .
. . . .. umpat Ui Hau sambil siap mengejar.
"Perubahan sudah didepan mata, tak lama pasti ada orang mencari gara gara, kita musti lebih waspada, kenapa musti terburu napsu?" cegah Tian Mong-pek dengan suara dalam.
Dia tetap duduk tenang di pelananya dan sama sekali tidak bereaksi.
"Toako, kau benar benar tenang." Bisik Ui Hau sambil tertawa getir.
"Baru saja kupelajari ketenangan semacam ini." sahut Tian Mong-pek tertawa.
Belum lama mereka berdua melanjutkan perjalanan, tiba tiba muncul lagi empat ekor kuda, semua penunggang kuda berbaju ketat, menggembol golok dan mengenakan topi lebar yang dikenakan rendah.
Hanya saja mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, bahkan selalu mengintil di belakang mereka berdua.
"Toako . . . . . .." bisik Ui Hau. "Tunggu lagi." Kembali mereka melanjutkan perjalanan berapa saat.
Suatu ketika, Tian Mong-pek mendengar suara desisan kuda dari tepi jalan, menanti mereka sudah lewat, dari tepi jalan belakang pepohonan muncul lagi empat ekor kuda yang mengintil di belakang mereka berdua.
Kali ini Ui Hau menahan diri untuk tidak bicara.
Semakin jauh mereka melanjutkan perjalanan, suara derap kaki kuda yang ada dibelakang semakin banyak dan makin panjang.
Walaupun selama ini Ui Hau berusaha untuk tidak berpaling, namun ia sudah tak sanggup duduk tenang lagi diatas pelananya.
Menyaksikan Tian Mong-pek masih tetap bersikap begitu tenang, akhirnya Ui Hau menghela napas, katanya: "Toako, kalau dibilang ilmu menenangkan dirimu baru saja dipelajari, aku rasa terlalu cepat kau berhasil mempelajarinya." Tian Mong-pek segera tersenyum, katanya: "Bila kau sudah tak kuat menahan diri, kenapa tidak mencoba menengok ke belakang?" Belum habis dia berkata, Ui Hau sudah berpaling, tapi dengan cepat dia tarik napas dingin.
Ternyata rombongan yang mengintil di belakang kuda mereka berdua sudah mencapai dua puluhan ekor lebih, diantara debu yang beterbangan, tak terlihat seorangpun diantara mereka yang buka suara.
"Toako," bisik Ui Hau kemudian, "sudah mendekati tiga puluh orang, masih belum cukup?" "Hingga kini mereka belum turun tangan, itu berarti pentolan mereka belum datang, kita tak boleh bertindak gegabah, pura pura tidak melihat." "Aaai," Ui Hau menghela napas, "biarpun siaute berusaha berlagak tidak melihat, sejujurnya aku tak memiliki kesabaran seperti ini, moga moga saja piau-pacu mereka secepatnya muncul, kalau tidak siaute bisa gila lantaran cemas." Ketika secara diam diam ia mencoba melirik lagi ke belakang, ternyata kibaran kincir merah pada gagang golok rombongan itu sudah bertambah lebih banyak.
Pada saat itulah didepan sana muncul sebuah tenda dengan panji bertuliskan arak, tempat nongkrong minum arak.
"Didepan sana ada kedai arak, mari kita minum barang tiga cawan dulu." Ajak Tian Mong-pek.
"Tapi..... tapi . . . . .." tak tahan kembali dia berpaling.
Tian Mong-pek segera tertawa.
"Bukankah lebih bagus kalau kita bertarung dengan perut kenyang?" katanya.
Dia segera turun dulu dari kudanya dan masuk ke dalam kedai, terpaksa Ui Hau mengikuti dari belakang.
Tanpa mengurusi kudanya, Tian Mong-pek sengaja berteriak keras: "Pelayan, kudaku itu adalah seekor kuda jempolan, kau harus merawatnya secara baik baik." Mendengar itu Ui Hau tertawa getir, pikirnya: "Dalam kedai sekecil ini, mana ada pelayan yang mengurusi kuda" Sudah jelas perkataan itu sengaja ditujukan kepada kawanan begal itu dan untuk membuktikan apa benar mereka bermaksud merampas kuda itu." Sewaktu menengok keluar, betul saja, tatapan mata kawanan lelaki kekar itu sedang tertuju kearah kuda jempolan itu, hanya sayang wajah mereka tersembunyi dibalik topi yang lebar sehingga tak jelas bagaimana perubahan mimik muka mereka.
Bab 37. Peristiwa diluar dugaan. Tak lama kemudian arak dan hidangan telah dihantar, puluhan lelaki berkuda itu masih berhenti diseberang jalan, walaupun ada yang telah turun dari kuda, namun tatapan mata mereka masih tetap diarahkan kemari.
Tian Mong-pek berlagak seolah tak ada manusia disekelilingnya, dia mulai bersantap dengan lahapnya, seakan dia anggap puluhan orang lelaki kekar itu sebagai orang mati saja.
II "Toako, ujar Ui Hau tergagap, "bukan siaute takut, tapi kalau suruh aku bersantap dibawah tatapan puluhan pasang mata, sejujurnya siaute tak mampu untuk menelannya." "Bila kau anggap mereka sebagai kucing atau anjing, sudah pasti dapat bersantap dengan nikmat." Kata Tian Mong-pek tertawa.
Ui Hau tertegun, tiba tiba sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, betul, betul sekali .
. . . . . .." Diapun angkat cawannya dan meneguk isinya hingga habis, setelah itu bisiknya lagi: "Toako begitu gagah perkasa, siaute tak boleh bikin malu dirimu!" "Saudara yang hebat." Puji Tian Mong-pek sambil tertawa nyaring.
"Dengan kepandaian siaute sekarang, bukan persoalan untuk menghadapi puluhan orang lelaki macam begitu, tapi dalang mereka sudah pasti tak bisa dibandingkan dengan mereka." Kembali Tian Mong-pek tertawa.
"Jika tak mampu melawan, apa salahnya menggunakan batok kepala ini untuk memberi selamat atas kesetiakawanan Ho toako, kalau tidak minum arak sekarang, kenapa kita musti bermuram durja terus?" "Hahaha, betul, betul sekali .
. . . .." Ui Hau angkat cawannya dan kembali meneguk secawan.
Sejak kapan pemilik kedai pernah menyaksikan manusia-manusia aneh semacam ini" Sejak awal mereka sudah terpaku kaku lantaran ketakutan, apalagi setelah melihat kehadiran puluhan orang lelaki kekar yang mengawasi dari seberang jalan, mereka merasa lututnya jadi lemas dan tak sanggup berdiri lagi.
Hingga puas dengan minuman araknya, Tian Mong-pek baru berjalan keluar dari kedai, langsung menatap tajam wajah para lawannya.
Serentak puluhan orang lelaki kekar itu berpaling ke arah lain.
Melihat itu, Tian Mong-pek segera berseru sambil tertawa nyaring: "Hahaha, jagoan semacam itu mah tak pantas bagi ku untuk melayani, saudaraku, ayoh jalan, tontonan bagus masih ada di depan sana, buat apa kita lama menunggu di tempat ini?" Ditengah gelak tertawa nyaring, Tian Mong-pek dan Ui Hau segera melompat naik keatas kudanya dan meneruskan perjalanan.
Dengan kemampuan ke dua ekor jempolan itu dalam berlari, hanya dalam waktu sekejap, mereka sudah berada berapa kaki dari tempat semula.
Serentak kawanan lelaki itu berlompatan naik ke atas kuda masing masing, lalu diiringi suara suitan, mereka melarikan kudanya untuk mengejar dari belakang.
Lari kuda Tian Mong-pek ibarat naga terbang di langit, tidak sampai setengah jam kemudian, ia sudah meninggalkan kawanan lelaki kekar itu jauh di belakang, bukan saja membuat mereka bermandikan keringat, kuda kuda tunggangan pun ikut berbuih.
Menanti kawanan lelaki kekar itu sudah tak mungkin menyusul, sambil tersenyum Tian Mong-pek baru memperlambat lari kudanya.
Tak lama kemudian terdengar suara gulungan ombak di depan sana, ternyata mereka telah tiba di pantai timur sungai Kiam-kang.
Ditepi pantai berlabuh sebuah perahu, berapa orang lelaki kekar duduk berkumpul diujung perahu, ketika mendengar suara keleningan yang nyaris, paras muka mereka serentak berubah, sambil melompat bangun, perhatian mereka dialihkan ke arah timur.
Saat inilah Tian Mong-pek dan Ui Hau sudah tiba ditepi pantai, lelaki diujung perahu segera berteriak: "Silahkan kalian berdua naik ke atas perahu, sudah lama kami menantikan kedatangan kalian." "Hati hati toako," bisik Ui Hau dengan suara berat, "besar kemungkinan dalam perahu sudah disiapkan sesuatu yang tak beres." Tian Mong-pek tertawa tergelak, katanya: "Hahaha, apa yang perlu ditakuti" Sekalipun harus mendaki bukit golok menyeberangi lautan api, aku tetap akan melewatinya.
Masa sumgai Kiam-kang yang begitu cetek dapat menenggelamkan kita berdua?" Sambil melompat turun, dia tuntun kudanya naik ke atas perahu.
Sorot mata berapa orang itu mengawasi terus manusia dan kuda itu tanpa berkedip.
Dengan wajah berubah, tegur Tian Mong-pek: "Lihat apa" Ayoh cepat jalankan perahumu." Tampaknya kawanan lelaki itu dibikin terperanjat, serentak mereka membubarkan diri.
Tak lama setelah Ui Hau naik ke atas geladak, perahu itu sudah bergerak meninggalkan pantai, sementara puluhan lelaki penunggang kuda telah tiba pula ditepi pesisir.
Terdengar pemimpin dari penunggang kuda itu berteriak keras: "Saudaraku yang ada di perahu, kami telah menghantar tamu agung sampai disini, urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab kalian." Seorang lelaki berjenggot hitam yang ada diatas perahu segera menggapaikan tangannya seraya menyahut: "Tak usah kuatir saudaraku, kami tak akan melakukan kesalahan, lagipula di seberang sana sudah siap orang orang yang bertugas menyambut kedatangan tamu agung kita!" Pemimpin para penunggang kuda itu tertawa sambil manggut-manggut, dari dalam sakunya tiba tiba ia mengeluarkan sebuah tabung besar, ketika dibuka penutupnya, seekor merpati pos segera terbang keluar dan meluncur ke pantai seberang.
Berubah paras muka Ui Hau, serunya dengan gusar: "Jumawa betul kawanan bajingan itu, ternyata tanpa tedeng aling aling, mereka berani berbincang dihadapan kita berdua." Tian Mong-pek tertawa dingin, dengan tangan kanan menggenggam gagang pedang, tangan kiri memegang tali les kuda, dia berdiri tanpa bergerak.
Sementara itu kawanan lelaki kekar yang berada diatas perahu tiada hentinya mencuri pandang kearah manusia dan kuda itu, tidak jelas apa yang mereka bisikkan.
Perlu diketahui, Ui Hau dibesarkan di wilayah utara yang jauh dari sungai, dia sama sekali tak mengerti ilmu berenang.
Ketika menyaksikan gulungan ombak di sungai, tiba tiba kepalanya terasa pening, perasaan hatinya jadi tegang sekali.
Tiada hentinya dia mencoba menghibur diri sendiri, gumamnya: "Untung toako pandai berenang, kalau tidak .
. . . . .." "Darimana kau tahu kalau aku pandai berenang?" tanya Tian Mong-pek sambil tersenyum.
Sambil tertawa paksa kata Ui Hau: "Bila toako tak pandai berenang, kenapa bisa bersikap begitu tenang?" "Dugaanmu keliru besar." Ui Hau tertegun, diam diam ia merasa semakin terkejut hingga tanpa sadar keringat dingin membasahi tubuhnya.
II "Toako, besar amat nyalimu, gumamnya, "tahu begini, mungkin aku benar-benar tak berani naik ke atas perahu.
Seandainya kita sampai dibuang orang ke dalam sungai, mungkin manusia yang akan mengurusi layon kita pun tak ada." Tian Mong-pek tersenyum, ujarnya dengan suara dalam: "Coba kau lihat berapa orang lelaki kekar itu, siapa diantara mereka yang begitu bernyali berani turun tangan dihadapan kita berdua?" Ui Hau masih merasa agak deg degan, ketika mencoba memandang sekelilingnya, dia saksikan perahu itu telah menyeberangi tengah sungai dan kini sedang melaju ke tepi pantai.
Dipantai seberang, diantara pita merah yang berkibar terhembus angin, betul saja, terlihat dua puluhan orang penunggang kuda bersenjata golok yang sedang menunggu kedatangan mereka.
Begitu perahu berlabuh, dua orang lelaki diatas perahu segera berjalan mendekat, tampaknya ingin membantu Tian Mong-pek untuk menuntunkan kudanya.
Berkilat sorot mata Tian Mong-pek, hardiknya: "Kalian sangka kamu berhak untuk memegang kuda ini" Cepat mundur!" Dua orang itu saling bertukar pandang, akhirnya tanpa bicara mereka mengundurkan diri.
Melihat itu, dengan bangga Ui Hau tertawa terbahak-bahak, teriaknya: "Hahaha .
. . . .. sekarang kalian baru melihat keangkeran toako ku bukan?" Setelah menepuk bahu lelaki itu, diiringi gelak tertawa nyaring dia melangkah ke tepi pantai.
Begitu kakinya menginjak daratan, perasaan hati pun ikut menjadi lega.
Begitu melihat mereka berdua menginjak daratan, salah seorang dari penunggang kuda itu kembali melepaskan seekor burung merpati pos.
Seorang lagi diantaranya segera berjalan ke hadapan Tian Mong-pek, membungkuk memberi hormat dan berkata: "Silahkan tamu agung naik kuda, sudah lama cayhe menanti disini dan siap membawa jalan untuk kalian berdua." "Hmm, sungkan amat majikan kalian." Dengus Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Lelaki itu tundukkan kepalanya tidak berani bicara.
Ui Hau semakin keheranan, pikirnya: "Tak disangka orang orang ini bersikap begitu hormat kepadaku, dibalik kesemuanya ini, entah rencana busuk apa yang sedang mereka siapkan?" Terdengar Tian Mong-pek membentak lirih: "Berangkat!" Sambil bicara, dia melompat naik keatas kudanya.
Diantara hembusan angin yang kencang, ke dua puluhan orang penunggang kuda itu tetap berjalan mengelilingi Tian Mong-pek berdua dengan radius jarak tertentu.
Setelah berjalan berapa saat, tak tahan Ui Hau mengayunkan cambuknya sambil membentak gusar: "Minggir, memang kau sangka tuanmu bakal kabur?" Campuknya melayang ke depan, menghajar tubuh orang yang berada disisinya.
Terkena hajaran dibahunya, lelaki itu hanya tertawa getir tanpa membalas, cepat dia menarik kudanya berjalan sedikit lebih jauh.
Pada saat inilah, dari arah depan muncul seekor kuda yang dilarikan kencang.
Ditengah debu yang beterbangan, terlihat kuda itu berbulu hitam pekat tanpa warna lain, si penunggang kuda pun mengenakan baju berwarna hitam.
Ketika menyaksikan kejadian tadi, tiba tiba dia menekan pelana kudanya sambil melambung ke udara, bentaknya: "Siapa yang begitu berani bersikap kurangajar terhadap saudara kami?" Sepasang lengannya dipentangkan dan langsung menerkam ke arah Ui Hau.
Menyaksikan datangnya serangan, Ui Hau segera tertawa keras.
"Hahaha.... kenapa sekarang baru datang" sudah lama yaya mu menunggu!" Sepasang kakinya manggapet diatas kuda, sambil berdiri diatas pelana, dia balas melancarkan satu pukulan kearah manusia berbaju hitam itu.
Begitu sepasang tangan saling beradu, kedua belah pihak sama sama meluncur turun ke tanah.
"Bocah keparat, besar amat tenagamu." Teriak Ui Hau dengan kening berkerut.
Manusia berbaju hitam itu bercambang lebat, beralis tebal dan bermata besar, sambil melotot sekejap kearah Ui Hau, teriaknya pula nyaring: "Rasakan sebuah pukulanku lagi." Sambil mengayun kepalan, dia langsung sodok dada Ui Hau.
Sementara itu kawanan penunggang kuda itu telah berhenti, paras muka Tian Mong-pek ikut berubah.
Terdengar lelaki yang termakan cambuk tadi merentangkan lengannya sambil berteriak keras: "Toaya, harap hentikan seranganmu, mereka berdua adalah tamu agung ji-kongcu serta nona ke tiga." Manusia berbaju hitam itu tertegun, dia segera menarik kembali serangannya sambil melompat mundur, sesudah mengamati Tian Mong-pek berdua dari atas hingga ke bawah, tanyanya: "Apakah mereka berdua?" Lelaki itu manggut manggut dan tidak menjawab.
Kembali manusia berbaju hitam itu mendengus, sekali lagi dia melompat keatas kudanya sambil berkata ketus: "Melihat wajah adikku, kuampuni dirimu kali ini." "Apa katamu?" umpat Ui Hau gusar, "siapa yang kenal dengan adikmu?" Meskipun dia sudah siap melancarkan serangan balasan, namun lelaki berbaju hitam itu sudah berada diatas punggung kudanya, diiringi suara bentakan, dia larikan kudanya meninggalkan tempat itu.
"Apa apaan kamu?" kembali Ui Hau memaki, "siapa yang kenal dengan majikanmu?" "Apakah kalian berdua belum tahu kalau majikanku adalah .
. . . . .." Belum sempat lelaki itu menjelaskan, sekonyong-konyong dari arah depan sana terdengar lagi suara derap kaki kuda disertai debu yang beterbangan.
"Tampaknya majikanku telah datang!" seru lelaki itu lagi sambil tertawa.
Tian Mong-pek maupun Ui Hau merasakan hatinya bergetar, tanpa sadar mereka meraba gagang senjata masing masing.
Ke dua puluhan orang penunggang kuda itupun serentak menyingkir ke dua sisi jalan, membuka sebuah jalan tembus dibagian tengah.
Sekilas pandang, terlihat kedua sisi jalan dijepit oleh kawanan lelaki kekar bersenjata golok, didepan terlihat debu beterbangan, sedang dibagian belakang pun tampak ada puluhan ekor kuda sedang bergerak mendekat.
Merasa dirinya terkepung ditengah ratusan orang jago bersenjata golok, Tian Mong-pek merasa darah panas dalam rongga dadanya bergolak, baru saja dia siap mencabut pedangnya untuk bertarung mati matian melawan musuh besar yang telah membunuh Ho bersaudara .
. . . .. sekonyong-konyong dari balik debu yang beterbangan didepan sana, terdengar seseorang berseru nyaring: II "Ji-kongcu tiba .
. . . . . . .. Serentak semua penunggang kuda melompat turun dari pelananya.
Ditengah sorak sorai yang gegap gempita, terlihat seseorang melarikan kudanya makin mendekat.
Dia mengenakan baju sutera yang mahal, ilmu berkudanya amat mahir, sedari kejauhan dia sudah berdiri diatas pelana dan pentangkan sepasang tangannya seraya berseru: "Apakah saudara Tian yang datang" Kau sungguh membuat siaute menunggu dengan hati menderita." Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, dengan keheranan Ui Hau sudah bertanya: "Kenapa dia adalah sahabat toako?" Dalam waktu singkat, orang berbaju sutera itu sudah meluncur tia persis dihadapan Tian Mong-pek.
Begitu melihat wajah si pendatang, kontan Tian Mong-pek berseru: "Wah, ternyata saudara Tong." Ternyata penunggang kuda berbaju sutera itu tak lain adalah Hek-yan-cu dari keluarga Tong di Siok-tiong (Suchuan), satu kejadian yang sama sekali diluar dugaan, membuat pemuda itu untuk sesaat tak mampu bicara.
Terlihat Hek-yan-cu rentangkan sepasang tangannya dan berseru sambil tertawa nyaring: "Sejak berpisah di padang rumput, hingga kini dua, tiga bulan sudah lewat, saudara Tian, kehadiranmu memang sedikit agak terlambat." Belum sempat Tian Mong-pek bicara, Ui Hau sudah melompat ke hadapan Hek-yan-cu dan membentak: "Jangan membuat hubungan dulu dengan toako, apakah Lau-san-sam-gan terluka ditangan anak buahmu?" "Betul, tapi .
. . . . . .. Sambil membentak, Ui Hau lontarkan satu pukulan ke depan, hardiknya: "Bocah keparat, sekalipun kau adalah sahabat toako, kali ini aku tak dapat mengampuni dirimu." Dengan cekatan Hek-yan-cu berkelit dari pukulan itu, serunya sambil goyangkan tangannya berulang kali: "Hengtai jangan menyerang dulu, saat ini tiga bersaudara Ho berada di Il rumahku dan dalam keadaan baik baik .
. . . . . .. "Hengtai jangan menyerang dulu, saat ini tiga bersaudara Ho berada di rumahku dan dalam keadaan baik baik .
. . . . . .." "apa" Kau bilang mereka belum mati?" teriak Ui Hau sambil menghentikan serangan.
Kembali Hek-yan-cu tertawa.
"Sejak siaute mendapat tahu kalau kuda Ci-ki-lin (Kilin ungu) berada ditangan saudara Tian, aku telah menganggap Ho-heng dan Kim toako sebagai tamu agung, sedikit pun tak berani kurang adat." "Jadi kuda ini sebetulnya milik keluargamu?" tanya Ui Hau agak tertegun.
"Hahaha, kalau sejak dulu tahu kalau Tian-heng yang ambil, tak bakal ada urusan seperti ini." "Kalau kuda ini milik keluargamu," teriak Ui Hau, "bisa saja kalian memintanya kembali, karena hal ini merupakan perbua tan yang benar dan terbuka, kenapa kamu semua harus kasak kusuk mencurigakan dan main sembunyi?" Hek-yan-cu si walet hitam tertawa getir.
"Sejujurnya, dibalik kuda ini terdapat sebuah rahasia yang tak boleh diketahui orang lain, itulah sebabnya anggota perguruan kami mengenakan kain kerudung hitam, tampaknya mereka sudah membuat kesalahan terhadap hengtai?" Ui Hau tertawa dingin.
"Tak heran kalau jurus ilmu silat yang mereka gunakan berasal dari satu aliran, ternyata mereka adalah anggota perguruan keluarga Tong yang tersohor di kolong langit, andaikata aku tidak kabur lebih cepat, mungkin aku .
. . . . . .." Dalam pada itu Tian Mong-pek sudah turun dari kudanya, dia tak ingin perdebatan berlangsung lebih jauh, tukasnya sambil tertawa: "Saat itu siaute sedang memburu waktu, sehingga tanpa sadar telah merampas kuda milik saudara Tong, tindakanku ini benar benar keterlaluan." Lalu sambil menyerahkan tali les kudanya, dia melanjutkan: "Sekarang kukembalikan kuda ini kepada sang pemilik, harap saudara Tong II memaafkan kesalahanku .
. . . . .. Hek-yan-cu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kita adalah saudara sendiri, kenapa musti dipilah sedetil itu" Dalam istalku masih terdapat banyak kuda jempolan yang melebihi CQFKZJJZ, silahkan saudara Tian tetap menunggangnya." Mendadak dia menghentikan tertawanya dan berbisik: "Tapi kedatangan saudara Tian memang terlalu lambat, bukan saja membuat tiga bersaudara keluarga Ho jadi panik, siaute pun ikut tak enak badan." "Apakah ada sesuatu urusan yang hendak saudara Tong sampaikan kepada siaute?" Hek-yan-cu memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya: "Tempat ini tak cocok untuk bicara, setibanya dirumahku nanti, siaute pasti akan sampaikan." seperti tak sengaja, dia terima tali les kuda dari tangan Tian Mong-pek dan menambahkan seraya tertawa: "Kuda tunggangan siaute itu belum tentu berada dibawah kemampuan C2FEiJ1b, saudara Tian tak usah menampik, silahkan diterima." Ketika ia memberi tanda, seorang lelaki segera menuntun kuda tunggangan miliknya, sementara dia sendiri sudah melompat naik keatas punggung Ci-kilin milik Tian Mong-pek.
Menyaksikan hal ini, kembali Tian Mong-pek berpikir: "Bila ditubuh kuda ini tidak tersimpan rahasia besar, mustahil Hek-yan-cu akan memintanya kembali secepat itu .
. . . . . .." Ingatan lain kembali melintas, pikirnya: "Sebetulnya antara aku dan dia tak bisa dibilang punya hubungan, tapi kalau dilihat dari mimik mukanya sekarang, kelihatan kalau dia mempunyai urusan besar yang ingin disampaikan kepadaku, kejadi an aneh apa lagi yang bakal terjadi?" Sementara dia masih melamun, terdengar Ui Hau sudah berteriak berulang kali: "Cepat jalan, cepat jalan, kalau sampai ke tiga orang Ho toako mengalami sesuatu, kaupun jangan harap bisa hidup tenang." Hek-yan-cu tersenyum.
"Rumahku berada tak jauh dari sini, sebentar lagi hengtai bakal bertemu dengan tiga bersaudara Ho." Tak sabar menanti, Ui Hau telah mencemplak kudanya lari menuju ke depan.
Puluhan orang lelaki kekar itu serentak naik kuda dan bergerak maju, baik waktu melompat turun dari kuda, maupun sewaktu naik, mereka tidak menimbulkan suara kegaduhan apapun, hal ini membuktikan kalau disiplin anggota perguruan keluarga Tong memang bukan nama kosong.
Sepanjang jalan, Hek-yan-cu jalan bersanding disamping Tian Mong-pek, wajahnya selalu dihiasi senyuman, biarpun Ui Hau berulang kali menyulut amarahnya, dia seakan tidak memasukkannya ke dalam hati.
Melihat ini, Tian Mong-pek merasa makin tercengang, pikirnya: "Tempo hari, Hek-yan-cu menunjukkan sikap yang be gitu congkak dan jumawa, kenapa hari ini berubah begitu sungkan" Sebenarnya karena urusan apa dia minta bantuanku?" Rombongan kuda bergerak ke depan, debu beterbangan di angkasa diiringi suara derap kuda yang ramai, meski pelbagai kecurigaan menyelimuti pikiran Tian Mong-pek, untuk sesaat dia merasa tak leluasa untuk mengajukan pertanyaan.
Setelah berjalan lebih kurang satu jam kemudian, orang yang berlalu lalang sepanjang jalan bertambah banyak dan ramai, wajah mereka rata rata gagah dan angker, nyaris hampir sebagian besar merupakan jago-jago persilatan.
Tatkala bertemu Hek-yan-cu, mereka segera menjura dan menyapa dari jauh, ada pula yang melirik Tian Mong-pek berapa kejap kemudian berbisik-bisik.
Dari dialek mereka, bisa diketahui kalau rombongan jago itu berasal dari empat penjuru.
Tak tahan Tian Mong-pek berkata: "Baru sekali ini siaute datang kemari, tak disangka wilayah Suchuan begitu ramai." "Teman-teman datang kemari karena ingin kondangan dan memberi selamat." "Perkawinan siapa?" "Berapa hari lagi siaute akan menikah." Jawab Hek-yan-cu sambil menghela napas panjang.
"Waah, kionghi, kionghi." Seru Tian Mong-pek sambil menjura, tapi sesaat kemudian tak tahan tanyanya lagi, "hari perkawinan hengtai sudah didepan mata, semestinya kau merasa gembira, kenapa malah menghela napas panjang?" Sekali lagi Hek-yan-cu menghela napas panjang, tiba tiba dia menghampiri Tian Mong-pek dan berbisik: "siaute berharap saudara Tian bisa membantuku." "Soal apa?" "Ikatan perkawinan ini terjadi karena paksaan yang membuat siaute sukar bicara, padahal siaute sudah punya tambatan hati lain, bila saudara Tian mau bersimpatik kepada siaute, semestinya bicaralah sedikit untukku." "Urusan ini adalah urusan keluarga hengtai, mana mungkin siaute bisa bicara banyak?" kata Tian Mong-pek keheranan.
Hek-yan-cu segera tertawa lebar, katanya: "Jangan lupa, tak sampai setengah bulan lagi, saudara Tian juga bakal .
. . . . . . . . .." Mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang dari arah depan.
Seseorang dengan suara yang nyaring berseru: "Lo-cou-cong (kakek moyang) ingin segera bertemu Tian siangkong, tolong tanya Ji-kongcu, kenapa kau tidak segera membawa Tian siangkong pulang." Dengan wajah berubah sahut Hek-yan-cu: "Lapor Lo-cou-cong, Tian siangkong segera tiba." Sambil berpaling, tambahnya: "Kita harus segera jalan, kalau sampai terlambat, siaute tak sanggup memikul tanggung jawab ini." Tian Mong-pek berkerut kening, rasa keheranan semakin mencekam hatinya.
Terlihat rombongan berkuda itu telah mempercepat larinya, diantara awan yang menggelayut di angksa, lamat lamat terlihat bayangan tanah perbukitan nan hijau.
Kembali mereka melakukan perjalanan selama setengah jam lebih, tiba tiba didepan sana mulai tampak sebuah bangunan prasasti yang dihiasi kain merah, tinggi bangunan itu mencapai tiga kaki.
Saat itu senja telah tiba, empat penjuru bangunan prasasti itu dihiasi lentera berwarna merah, cahaya yang terang menerangi huruf huruf besar yang tertera pada prasasti itu: "Perkawinan keluarga Tong dan keluarga Chin." Sesudah melewati bangunan prasasti, disepanjang jalan tampak tersedia meja dengan air teh dan handuk, disampingnya berjajar pula lelaki berbaju panjang yang siap melayani tamu.
Sewaktu melihat Hek-yan-cu dan Tian Mong-pek lewat dihadapan mereka, orang orang itu segera saling berbisik, bersamaan itu sekulum senyuman misterius pun tersungging dibibir mereka.
Tian Mong-pek tahu, perguruan keluarga Tong yang tersohor di wilayah Suchuan berada di depan mata.
Biarpun sudah lama ia mendengar pelbagai cerita tentang keheranan keluarga ini, namun belum pernah mendengar ada orang persilatan yang menyinggung tentang bentuk senjata rahasia andalan mereka.
Setelah tiba disini, tanpa terasa dia mulai merasa sedikit tegang.
Terlihat sebuah aliran sungai kecil meliuk dari atas tebing beraakhir di sebuah alur sungai yang deras, warna air terlihat kuning dan diantara arus yang bergerak, lamat lamat mengeluarkan segulung hawa panas.
Baru saja Tian Mong-pek merasa terheran-heran, sambil menuding Hek-yan-cu telah menjelaskan sambil tertawa: "Inilah yang disebut sumber air panas, apakah Tian-heng baru melihatnya pertama kali?" Sambil menuding sebuah gua besar dikejauhan, kembali katanya: "Ditempat itulah kami memproduksi senjata rahasia, memoles senjata rahasia dengan air yang berasal dari sumber air hangat merupakan rahasia perguruan kami." Ketika mengetahui bahwa senjata rahasia beracun dari perguruan keluarga Tong yang begitu menggetarkan sukma orang persilatan ternyata dibuat disitu, paras muka Tian Mong-pek tampak sedikit berubah.
Terdengar Hek-yan-cu berkata lebih jauh: "Kecuali murid langsung perguruan, bahkan telah angkat sumpah berat, siapa pun dilarang memasuki tempat pembuatan senjata rahasia.
Bila sempat nanti, tak ada salahkan kalau Tian-heng berkunjung ke sana." Kembali Tian Mong-pek tertegun, pikirnya: "Berulang kali dia mengatakan kalau tempat pembuatan senjata rahasia itu tak boleh dilihat orang, kenapa dia hendak mengajakku berkunjung ke sana?" Dalam pada itu Ui Hau sudah celingukan sambil berseru: "Sebenarnya tiga bersaudara Ho berada di mana" Kenapa hingga sekarang belum berjumpa dengan mereka?" Sambil tertawa Hek-yan-cu menuding kearah depan, sahutnya: "Setelah berada disini, bukan saja hengtai dapat berjumpa Lau-san- sam-gan, mungkin kau pun dapat bertemu dengan banyak jago dan orang gagah lain." Mengikuti arah yang ditunjuk, Tian Mong-pek serta Ui Hau segera menengok kesana.
Terlihat sebuah bangunan rumah terbuat dari batu yang sangat besar berdiri angker dibawah cahaya matahari senja, pepohonan lebat tumbuh mengelilingi bangunan itu, tampilannya luar biasa.
Didalam hutan pun dipenuhi lentera berwarna merah, seorang gadis berbaju merah berdiri tegak didepan hutan, begitu melihat kehadiran Tian Mong-pek bertiga,ia segera membalikkan badan dan beranjak pergi.
Sambil tersenyum Hek-yan-cu melompat turun dari kudanya, kepada seorang lelaki disisinya dia membisikkan sesuatu, lelaki itupun menuntun kuda Ci-kilin masuk ke dalam hutan.
Dalam pada itu suara gelak tertawa lamat lamat terdengar bergema dari balik rumah batu.
Sambil mengganteng tangan Tian Mong-pek, ujar Hek-yan-cu sambil tersenyum: "Saat ini, gedung utama rumahku sudah dipenuhi tamu undangan, mereka semua sedang menanti untuk menyaksikan kegagahan saudara Tian." Sambil bicara, dia sudah menarik tangan Tian Mong-pek dan masuk ke dalam gedung batu itu dengan langkah lebar.
Sambil mendengus seru Ui Hau: "Hmm, kau tidak biarkan aku pergi, aku tetap akan mengikuti dirimu." Ternyata bangunan batu itu tak ada dinding pagar, yang ada hanya sebuah serambi panjang yang mengelilingi empat penjuru, batu pilar yang besar sebagai penyangga bangunan memperlihatkan kalau gedung itu sudah amat kuno.
saat itu, bukan hanya serambi luar yang dihias indah, ruangan dalam gedung pun bermandikan cahaya lentera.
Delapan orang lelaki berjubah panjang berdiri berjajar didepan pintu, menyambut kedatangan tamu dengan penuh senyuman, begitu melihat Hek-yan-cu muncul dengan langkah lebar, serentak mereka berteriak: "Ji-kongcu tiba." Suara hiruk pikuk dalam ruangan pun seketika mereda dan menjadi hening.
Tian Mong-pek yang diseret Hek-yan-cu, tanpa terasa ikut melangkah masuk, dia merasa ada berapa ratus pasang mata serentak tertuju kearahnya, dalam gugup dan bingungnya, dia pun tundukkan kepala.
Lantai yang dilalui merupakan selembar permadani merah yang luar biasa panjangnya, langsung menghubungkan ujung ke ujung ruangan yang luas, sementara dikedua sisi penuh berdesakan manusia, tidak jelas ada berapa banyak jago silat yang hadir disitu.
Tatkala Hek-yan-cu menarik Tian Mong-pek melewati diatas permadani merah, lelaki berbaju hitam yang bermata besar tadi tampak datang menyambut mengiringi seorang kakek berusia lima puluh tahunan.
Tampak kakek berjubah panjang itu mengamati Tian Mong-pek dengan sorot matanya yang lebih tajam dari kilat, kemudian manggut manggut, berdiri berpangku tangan dan tidak bicara lagi.
Walaupun gerak geriknya lembut dan amat sopan, namun mimik mukanya menunjukkan keangkuhan yang luar biasa, khususnya sorot matanya yang lebih tajam dari pisau.




Sambil busungkan dada, Tian Mong-pek langsung menatap sorot matanya dan
Tampak kakek berjubah panjang itu mengamati Tian Mong-pek dengan sorot matanya yang lebih tajam dari kilat, kemudian manggut manggut, berdiri berpangku tangan dan tidak bicara lagi.
Walaupun gerak geriknya lembut dan amat sopan, namun mimik mukanya menunjukkan keangkuhan yang luar biasa, khususnya sorot matanya yang lebih tajam dari pisau.
Sambil busungkan dada, Tian Mong-pek langsung menatap sorot matanya dan sedikitpun tidak surut, dalam hati pikirnya: "Mungkinkah orang inil adalah ciangbunjin perguruan yang tersohor karena kehebatan senjata rahasianya?" Tiba tiba dia merasa ujung bajunya ditarik Hek-yan-cu, terdengar rekannya itu berkata sambil tertawa paksa: "Dia adalah ayahku." Tian Mong-pek segera menjura, serunya lantang: "Aku Tian Mong-pek dengan mengajak sute ku, Ui Hau sengaja datang kemari, pertama minta maaf karena telah mencuri kuda milik anda, kedua untuk menjenguk Lau-san-sam-gan tiga bersaudara Ho." Paras muka kakek berjubah panjang itu berubah hebat, sambil mengebaskan ujung bajunya, dia berpaling kearah lain, sedang pemuda berbaju hitam bermata besar itu mendelik besar, wajahnya kelihatan marah sekali.
"Tian-heng, kenapa kau tidak berlutut didepan ayah sambil memohon?" "Berlutut" Memohon apa?" paras muka Tian Mong-pek ikut berubah gusar.
Hek-yan-cu segera menghentakkan kakinya berulang kali, katanya: II "Aaai, Tian-heng, kau .
. . . .. apakah kau . . . . . .. Tiba tiba terdengar Ui Hau berseru sambil tertawa tergelak: "Saudara Ho, Kim toako, ternyata kalian benar-benar belum mati, benar benar berada disini, bikin siaute panik saja." Ketika Tian Mong-pek membalikkan badan, ia saksikan Lau-san-sam-gan serta Kim Eng sedang berjalan keluar dari kerumunan orang, sementara Ui Hau diiringi gelak tertawa nyaring telah maju memeluk.
Walaupun wajah mereka berempat menunjukkan rasa kaget bercampur girang, namun jelas kelihatan layu bercampur letih, ini menunjukkan kalau mereka baru sembuh dari luka parah, khususnya si Angsa liar perak Ho Kun-hiap, paras mukanya kuning kepucat-pucatan.
Tian Mong-pek maju sambil menggenggam tangan Ho Kun-hiap, dia tak tahu harus merasa terkejut, girang atau terharu, tenggorokannya terasa sesenggukan hingga tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Sebaliknya Ho Kun-hiap malah tertawa tergelak, serunya: "Hahaha, saudara Tian tak usah kuatir, berkat menebeng nama besar saudara Tian, selama berada disini kami cukup makan, cukup tidur, kehidupan kami nyaman sekali." "Tapi .
. . . .. tapi . . . . . .." Kembali Ho Kun-hiap menepuk bahunya dan berkata seraya tertawa: "Saudara Tian tak perlu mengatakan apa pun, justru ada satu kejadian mengagetkan yang hendak siaute sampaikan kepada Tian-heng." Tidak sampai Tian Mong-pek mengajukan pertanyaan, setengah berbisik katanya: "Saudara Tian, tahukah kau putri siapa yang bakal jadi pengantin saudara Tong?" Tian Mong-pek menggeleng.
"Perkawinan saudara Tong pun baru hari ini siaute ketahui." "Hahaha, Saudara Tian tak bakal menduga, ternyata pengantin wanita dari keluarga Tong tak lain adalah Chin Ki, putri tunggal si Tabib sakti Chin Siu-ang." Baru saja Tian Mong-pek melengak, Hek-yan-cu telah datang menarik bajunya sambil berbisik: "Sekarang ayahku sudah marah, saudara Tian, kenapa kau .
. . . .. II "Kalau ayahmu sampai marah, apa pula yang bisa siaute lakukan?" sahut sang pemuda.
Hek-yan-cu tertegun, dengan mata melotot dan wajah berubah, tanyanya: "Saudara Tian, kau benar-benar sudah lupa?" il "Lupa apa" Aku .
. . . . . . .. Belum sempat menyelesaikan perkataannya, tiba tiba dari belakang gedung batu terdengar seseorang berseru: II "Lo-cou-cong tiba .
. . . . . .. Lo-cou-cong tiba . . . . . . . . .. Suara teriakan itu bergema susul menyusul, dari tempat kejauhan beralih semakin dekat.
Suasana dalam gedung seketika berubah senyap, Hek-yan-cu ayah anak semuanya tundukkan kepalanya.
Terdengar seseorang dengan suara yang serak serak tua berseru: "Dimana, dimana .
. . . . . .." Menyusul kemudian terlihat Hui-hong-hong yang berbaju merah menyala dengan mendorong sebuah kereta beroda yang indah, muncul dari belakang gedung.
Kereta roda itu beralas bantal yang empuk, diatasnya duduk seorang kakek berambut putih berbaju indah yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, tangannya yang kurus bagai cakar ayam tiada hentinya menepuk sandaran tangan diatas kereta roda, membuat tumpukan gula gula ditangannya tergetar hingga berceceran sebagian.
"Dimana . . . . . .. dimana . . . . . . .." terdengar kakek itu bertanya berulang kali.
Hui-hong-hong segera bungkukkan badan, membisikkan sesuatu ke sisi telinga kakek itu, kemudian dia mendongak, memandang Tian Mong-pek sekejap sambil tersenyum, kemudian tundukkan lagi kepalanya.
Sementara itu si kakek berjubah panjang tadi telah membungkukkan badan memberi hormat dan menyapa sambil tertawa: "Lo-cou-cong, kenapa kau ikut keluar?" Kakek berambut putih itu sama sekali tidak memandang kearahnya barang sekejap pun, dia hanya sibuk mengambil gula gula dan dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara sorot matanya menatap Tian Mong-pek tanpa berkedip.
Walaupun seluruh badan orang ini tidak memancarkan hawa kehidupan, namun sorot matanya begitu tajam hingga membuat Tian Mong-pek merasa wajahnya berubah jadi merah padam, kendatipun begitu, dia tetap tak mau menunduk.
Terdengar kakek berambut putih itu bertanya: "Jadi kau yang telah merampas kuda Ci-kilin?" "Benar." Jawab Tian Mong-pek lantang.
"Setelah mencuri kuda milik keluarga kami, kau siap bagaimana?" Sementara Tian Mong-pek masih termenung, Hek-yan-cu sudah menjatuhkan diri berlutut sambil memohon: II "Lo-cou-cong, kalau tak tahu itu tak salah, dia .
. . . . . .. "Enyah, enyah," teriak kakek berambut putih itu gusar, "kau tak usah banyak mulut, makin jauh menggelinding dari sini makin baik." Paras muka Hek-yan-cu pucat pias bagai kertas, betul saja, ia segera mengundurkan diri.
Sambil busungkan dada sahut Tian Mong-pek lantang: "Aku orang she-Tian akan menanggung semua kesalahan karena mencuri kuda, tapi urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan tiga bersaudara Ho, bagaimana pula tanggung jawabmu setelah kalian melukai mereka?" Kakek berambut putih itu menatapnya berapa saat, mendadak ia tertawa terkekeh, lagi lagi diambilnya gula gula dan dimasukkan ke mulut, serunya sambil manggut-manggut: "Bagus .
. . . . . .. bagus . . . . . .." Sekonyong-konyong dia membentak nyaring: "Kena!" Tidak melihat tangannya melakukan gerakan apapun, tahu tahu muncul lima desingan angin tajam yang mengancam lima buah jalan darah penting ditubuh Tian Mong-pek.
Desingan angin tajam bagai jarum, cepat bagai sambaran kilat, nyaris semuanya itu tak dapat diikuti dengan pandangan mata.
Dalam terperanjatnya Tian Mong-pek buang bahu putar badan, menghindari dua titik yang menyambar tiba, kemudian sebuah tendangan menghalau satu titik dari bawah, sedang sepasang tangannya dengan disertai tenaga dalam penuh menyambut dua titik senjata rahasia terakhir.
Begitu cepat tubuhnya bergerak, reaksi yang dia lakukan pun sukar diikuti dengan pandangan mata.
Semua orang hanya merasakan pandangan mata jadi kabur, dua desingan angin tajam telah menyambar lewat dari sisi tubuh Tian Mong-pek, meluncur cepat melewati gedung utama dan terjatuh jauh diluar pintu.
Saat itu, Tian Mong-pek sudah menghimpun segenap tenaga Lak-yang-cinkang nya dalam telapak tangan, dia merasa tangannya jadi basah basah lengket, ternyata senjata rahasia yang disambit tak lain adalah lima potong gula-gula.
"Wah, hebat sekali ilmu melepaskan senjata rahasia yang dimiliki kakek II ini.
Pikirnya dengan terkesiap.
Dalam pada itu, para hadirin yang memenuhi ruangan pun merasa berubah paras mukanya, pikir mereka: "Seandainya aku berganti Tian Mong-pek, mungkin sulit untuk menghindari serangan ke lima potong gula gula itu." Terdengar kakek berambut putih itu tertawa terkekeh kekeh.
"Bagus, bagus sekali, dengan ilmu silat semacam itu, cucu perempuanku tak bakal menjanda.....
bagus, bagus!" Tian Mong-pek tertegun, dengan perasaan kaget serunya: II "Cianpwee, ini .
. . . . .. ini . . . . . . .. Sekarang pemuda ini baru teringat kalau Hui-hong-hong pernah suruh dia datang melamar, untuk sesaat dia jadi bingung dan tak tahu bagaimana harus membantah.
Sementara itu, si kakek berjubah panjang telah membungkukkan badan dan berkata sambil tertawa paksa: "Biarpun pemuda ini bagus, sayang wataknya kelewat jumawa, kelewat kurangajar, Lo-cou-cong tak perlu kelewat cepat mengambil keputusan." Mendadak kakek berambut putih itu menarik muka, sambil memukul sandaran keretanya berulang kali, umpatnya penuh amarah: "Sejak kapan kau yang mengambil keputusan atas urusan di keluarga Tong?" "Ananda tak berani .
. . . . . . .." "Kalau akau bilang baik tetap baik, siapa suruh kau banyak mulut, selama aku belum mati, akulah yang memutuskan semua persoalan di keluarga Tong ini, kalau ingin ambil keputusan, sumpahilah aku agar cepat mati." Orang tua berjubah panjang itu mundur berulang kali, katanya dengan kepala tertunduk: "Ananda tidak berani .
. . . . . . .." Sekalipun dia sudah berusia lanjut, tapi dihadapan orang tua ini, sikapnya tak ubah seperti anak kecil yang sedang dimarahi ayahnya.
Kakek berambut putih itu berpaling dan memandang lagi kearah Tian Mong-pek sambil tertawa terkekeh, tiba tiba ia menggapai sambil serunya: "Bocah muda, kau bagus sekali, cepat kemari makan gula gula." Tian Mong-pek masih tertegun, berdiri kebingungan.
"Kemari, ayoh kemari .
. . . . .." kembali kakek berambut putih itu menggapai.
Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, Hek-yan-cu yang berdiri dibelakangnya sudah diam diam mendorong, tanpa terasa pemuda itu maju ke depan, terpaksa dia terima gula gula itu dan dimasukkan ke dalam mulut.
Kembali kakek berambut putih itu tertawa terkekeh.
"Hahaha..... budak Hong, lihatlah, Lo-cou-cong mu sayang dirimu bukan," katanya, "dia sudah makan gula gula itu, dan kaupun tak usah gelisah lagi." ll "Lo-cou-cong, kau orang tua .
. . . . . .. seru Hui-hong-hong sambil tertawa manja, tiba tiba ia berpaling kearah Tian Mong-pek, serunya lagi sambil tertawa, "coba kau lihat dirimu, kenapa tidak menyembah dihadapan Lo-cou- cong." Sebenarnya gadis ini ingin sekali berlagak malu malu kucing, apa mau dikata karena kelewat gembira, untuk sesaat dia jadi tak tahu apa yang harus diperbuat.
Merah padam wajah Tian Mong-pek seperti kepiting rebus, dia gelisah bercampur gusar, serunya tergagap: "Ini .
. . . .. ini . . . . . .." Makin gusar hatinya, semakin susah bagi pemuda ini untuk berkata kata.
Gelak tertawa pun bergema diseluruh ruangan, para tamu mulai bersorak memberi selamat.
Ui Hau yang tidak tahu apa yang terjadi, tentu saja ikut datang sambil memberi selamat: "Kionghi toako .
. . . . . .." Waktu itu Tian Mong-pek sedang merasa amat mendongkol, hatinya makin jengkel setelah mendengar ucapan itu, teriaknya: "Minggir semua." Bentakan ini membuat Ui Hau kebingungan, tak habis mengerti, pikirnya: "Memang salah aku memberi selamat kepadanya?" Dipihak lain, kakek berambut putih itu sudah berkata sambil tertawa terkekeh: "Hahaha, biasa, anak kecil, takut malu, kenapa musti bersujud kepadaku." Lalu setelah menggapaikan tangannya ke empat penjuru, katanya lagi sambil tertawa: "Dua hari lagi, sesudah menikmati arak kegirangan cucuku, jangan lupa untuk menunggu sampai meneguk arak kegirangan cucu perempuanku sebelum pergi." Setelah memasukkan sepotong gula gula ke dalam mulut, lanjutnya: "Budak Hong, ayoh jalan, kau tidak malu untuk tetap menunggu di sini?" Hui-hong-hong mengiakan, cepat dia dorong kereta beroda itu dan kabur ke belakang gedung.
Serentak para tamu bangkit berdiri sambil berseru: "Kionghi Lo-cou-cong!" Saat itulah Tian Mong-pek seakan baru mendusin dari impian, dengan cemas teriaknya: "Locianpwee, harap tunggu sebentar." Sambil menggerakkan badan, dia siap melakukan pengejaran.
Tiba tiba bayangan manusia berkelebat lewat, orang tua berjubah panjang itu sudah menghadang jalan perginya sambil menegur: "Urusan perkawinan sudah ditetapkan, buat apa kau masih ingin mengejarnya?" Saking cemasnya, keringat membasahi seluruh badan Tian Mong-pek, katanya tergagap: "Aku.....
aku sama sekali belum pernah mengajukan lamaran, sejak kapan perkawinan ini ditentukan?" Orang tua itu tertawa dingin.
"Hmm, anggap saja rejeki mu baru membaik hingga Lo-cou-cong tertarik kepadamu, huuh, sudah keenakan dirimu, masih mau jual mahal?" "Apa maksud perkataanmu?" tegur Tian Mong-pek gusar.
Orang tua berjubah panjang itu menarik wajahnya.
"Jangan lupa, Tong Hong adalah putriku, dihadapan ayah mertua berani amat kau bicara begini?" Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun.
Dalam pada itu para hadirin telah maju mengerumun, teriakan pun mulai
Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun.
Dalam pada itu para hadirin telah maju mengerumun, teriakan pun mulai berkumandang: "Ayoh, menantu harus memberi hormat kepada Gak-hu tayjin....." Ada pula yang berteriak: "Cepat undang keluar Tong hujin, agar ibu mertua ikut menonton calon menantu yang ganteng dan gagah." Berada dalam keadaan begini, Tian Mong-pek benar benar dibuat gelisah tak bisa, marah pun tak mungkin, dia jadi serba salah, apalagi gelak tertawa dan sorak sorai dalam gedung pada hakekatnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara.
Pemuda berbaju hitam bermata besar itu ikut menepuk bahunya dan berkata sambil tertawa terbahak-bahak: "Aku adalah Thiat-pa-cu (macan tutul baja) Tong Pa, selanjutnya kita adalah famili sendiri." Sekali lagi gelak tertawa hadirin menggema diseluruh ruangan.
Menggunakan kesempatan ini, Hek-yan-cu menghampiri ayahnya sambil berbisik: "Kenapa tidak mengundurkan hari pernikahan ananda selama berapa hari, agar bisa dilangsungkan bersama adik?" Dengan gusar tegur kakek berjubah panjang itu: "Toako mu baru saja pulang melamar dari kota Hangciu, kini, pengantin wanita sedang dalam perjalanan, memang kau sangka hari perkawinan bisa diubah semau sendiri" Hm, dasar pikun!" Sambil menghela napas, Hek-yan-cu tertunduk lemas, wajahnya kelihatan amat sedih dan menderita.
Tiba tiba muncul seorang lelaki membawa sepucuk surat berwarna merah masuk ke dalam ruangan, katanya kemudian: "Didepan hadir Tu lo-enghiong yang memberi sumbangan sepuluh tahil dan datang untuk menyampaikan selamat." Kakek berjubah panjang itu menyambut kartu nama dan dibaca, wajah yang semula dingin kaku seketika terhias senyum kegirangan.
"Diapun telah datang?" serunya, "cepat undang masuk, cepat undang masuk.." Baru selesai dia berkata, dari luar pintu gedung sudah terdengar seseorang berteriak nyaring: "Li-huan-ciam Tu loenghiong dari tujuh tokoh ternama dunia persilatan hadir .
. . . . . . . .." "Wah Tu lo-enghiong pun ikut hadir!" serentak semua jago berpaling dengan hati bergetar.
Kakek berjubah panjang itu segera maju menjura sambil katanya: "Tidak tahu kalau Tu locianpwee telah hadir, maaf bila tidak menyambut dari jauh." Terlihat seorang kakek jangkung berbaju biru berjalan masuk diiringi para jago.
Walaupun senyuman menghiasi ujung bibirnya, namun sikap maupun mimik wajahnya kelihatan serius, mukanya kelihatan jauh lebih kurus dan tua daripada tahun berselang.
Tian Mong-pek merasa keheranan ketika dilihatnya orang tua itu datang seorang diri dan tidak tampak putri kesayangannya Tu Koan mendampingi.
Dengan langkah lebar dia maju mendekat, sapanya sambil memberi hormat: "Locianpwee." Begitu melihat pemuda itu, sekilas rasa girang melintas diwajah Tu Hun-thian yang murung, buru buru dia maju memapaki, katanya tertawa: "Tian lote, ternyata kaupun berada disini, apakah Koan-ji jalan bersamamu?" "Selama ini cayhe belum pernah bertemu nona Tu." Sahut Tian Mong-pek tertegun.
Senyuman diwajah Tu Hun-thian lenyap seketika, dia mengiakan lalu berjalan mengikuti kakek berjubah panjang itu dengan wajah murung, sama sekali tidak berpaling lagi ke arah Tian Mong-pek.
Menyaksikan tingkah lakunya yang menyerupai orang kehilangan sukma, Tian Mong-pek merasa makin kaget dan keheranan, tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar suara orang mendeham, ternyata Hek-yan-cu telah datang menghampiri.
Semenjak kehadiran Tu Hun-thian, paras muka Hek-yan-cu seketika berubah jadi tegang dan panik, saat inilah dia tarik ujung baju rekannya sambil berbisik: "Saudara tian, harap ikut aku." Tian Mong-pek memang ingin sekali berbincang dengannya, tanpa banyak bicara dia segera mengikuti di belakangnya.
Waktu itu, perhatian semua tamu yang hadir nyaris tersedot oleh kehadiran Tu Hun-thian, sehingga tak seorangpun yang memperhatikan mereka.
Hanya Ui Hau yang segera bertanya sambil tertawa get ir: "Toako, kenapa secara mendadak kau seperti orang kebingungan?" Sambil tertawa sela Ho Kun-kiat: "Biasanya, kalau orang sedang menghadapi kejadian yang menggembirakan, sikapnya pasti rada aneh.
Ayoh kita pergi minum arak, tak usah gubris dia lagi, biarkan saja mereka berdua berbincang bincang." Waktu itu, meja perjamuan telah dipersiapkan, Lau-san-sam-gan serta Kim Eng dan Ui Hau sekalian yang sudah lama terjun ke dunia persilatan, mempunyai teman lama yang cukup banyak.
Dengan cepat mereka sudah diseret untuk minum arak.
Tu Hun-thian ditempatkan pada meja utama, namun sikap dan gerak geriknya tetap serius, sinar matanya berulang kali bergerak kian kemari, seakan sedang mencari sesuatu.
Tian Mong-pek ditarik Hek-yan-cu menuju ke halaman belakang, saat itu malam sudah menjelang tiba, bintang bertaburan di angkasa.
Ternyata halaman belakang gedung keluarga Tong merupakan sebidang hutan yang amat lebat.
Hek-yan-cu menarik Tian Mong-pek masuk ke balik gunung-gunungan, kemudian ujarnya dengan nada ketakutan: "Saat ini, nyawa siaute sudah berada diujung tanduk, harap Tian-heng bersedia menolongku." "Bagaimana cara siaute menolongmu"' tanya Tian Mong-pek keheranan.
Setelah menghela napas panjang, kata Hek-yan-cu: II "siaute tidak boleh menikah dengan Chin Ki .
. . . . . .. Tergerak hati Tian Mong-pek, tanyanya tanpa sadar: "Jarak keluarga kalian berdua terpisah sejauh ribuan li, dihari biasa pun amat jarang berhubungan, kenapa secara tiba tiba bisa terjalin ikatan perkawinan?" Hek-yan-cu menghela napas panjang.
"Kelihatannya Chin Siu-ang ada butuh dengan keluargaku, maka berulang kali dia utus orang untuk mengajukan pinangan, ayahku tahu kalau dia merupakan satu satunya orang yang bisa memunahkan racun ganas akibat panah kekasih, tampaknya beliau pun berniat memperalat dirinya, maka ikatan perkawinan pun disetujui.
Tapi hal ini justru membuat siaute susah jadi orang." Tian Mong-pek tertawa getir, katanya: "Padahal saat inipun siaute merasa susah jadi orang, sewaktu adikmu minta aku datang melamarnya tempo hari, siaute masih menganggapnya sebagai II gurauan, siapa sangka .
. . . . . .. "Kini, urusan perkawinan hengtai sudah jadi kepastian, apa yang dikatakan Lo-cou-cong selamanya tak pernah dirubah.
Jadi dalam hal ini harap hengtai tak usah kuatir!" Tian Mong-pek tertegun, diam diam ia tertawa getir, pikirnya: "Bagaimana orang ini" Perkataanku tidak didengar secara baik baik, sekarang malah minta aku tak usah kuatir.
Apa bukan ingin aku jadi gila?" Tapi ingatan lain segera melintas, pikirnya lebih jauh: "Bagaimana pun, perkawinan ini hanya merupakan keinginan sepihak dan belum jadi kenyataan, paling kalau urusan jadi tak teratasi, aku bisa kabur secara diam diam dan memberi penjelasan lagi dikemudian hari." Berpikir sampai disini, tanpa terasa dia pun menjadi sedikit lebih lega.
Terdengar Hek-yan-cu berkata lebih lanjut: "Padahal siaute sudah mempunyai tambatan hati lain, bahkan sudah .
. . . .. aaai, sudah mengikat diri untuk sehidup semati .
. . . . .." "Siapakah nona ini" Apakah ayahmu tahu?" "Aaai, siaute bertemu dengan nona ini secara tak sengaja, kami jatuh cinta pada pandangan pertama, hingga kini, tak seorangpun anggota II keluargaku yang tahu .
.



. . . . .. "Kalau memang begitu, dengan cara apa siaute dapat membantu hengtai?" "Saudara Tian kenal juga dengan nona ini." "Siapa?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
Hek-yan-cu menghela napas panjang.
Il "Aaai, dia adalah putri Tu Hun-thian .
. . . . .. "Tu Kuan?" jerit Tian Mong-pek makin kaget.
Sambil menghela napas Hek-yan-cu manggut-manggut, dia tundukkan kepalanya tidak menjawab.
Tian Mong-pek segera menghentakkan kakinya berulang kali, serunya: "Bagaimana .
. . . .. bagaimana jadinya sekarang" Kini dia berada di mana?" Ketika terbayang kembali bagaimana Tu Koan jadi kehilangan kesadarannya gara gara jatuh cinta kepadanya, pemuda ini merasa cemas bercampur gelisah, dia pun mengambil keputusan, bagaimana pun, urusan ini harus diselesaikan hingga tuntas.
Dengan wajah merengek kata Hek-yan-cu: "Karena kuatir orang lain mengetahui kejadian ini, maka kusembunyikan dirinya didalam ruang rahasia kamar bacaku, hingga kini sudah hampir tiga bulan lamanya." "Cepat! Cepat bawa aku kesana." Seru Tian Mong-pek sambil menghentakkan kakinya berulang kali.
"Lusa adalah hari pernikahanku, pengantin wanita pun sedang dalam perjalanan, saudara Tian, bagaimanapun kau .
. . . . .. kau harus mencarikan akal." Sementara pembicaraan berlangsung, dia sudah mengajak Tian Mong-pek melewati gunung-gunungan.
Meskipun diluar Tian Mong-pek mengiakan berulang kali, padahal perasaan dan pikirannya amat kalut, dengan menghadapi persoalan semacam ini, bagaimana mungkin ia bisa temukan cara untuk menyelesaikannya" Ditengah kegelapan yang mencekam halaman, lentera merah memancarkan cahayanya di empat penjuru.
Para pelayan yang menyajikan hidangan dan arak silih berganti berjalan melewati jalan setapak itu.
Tian Mong-pek dengan mengintil di belakang Hek-yan-cu, menggunakan pepohonan sebagai tempat persembunyian, berjalan tanpa arah dalam halaman itu.
Dia merasa bangunan itu amat luas seakan tak bertepian, tidak jelas seberapa luas tempat ini" Setelah menghela napas, kembali ujar Hek-yan-cu: "Untung didepan sedang ada keramaian, kalau tidak, tidak seleluasa ini kita berjalan dalam halaman bangunan ini." Agak terkejut pikir Tian Mong-pek: "Sungguh tak disangka perguruan keluarga Tong di wilayah Siok-tiong memiliki pondasi yang begitu kokoh, dia bisa menjadi tenar selama hampir seratus tahunan, hal ini benar benar bukan diraih karena keberuntungan." Sementara mereka berbincang, kedua orang itu sudah berjalan hampir dua, tiga perminum teh lamanya.
Didepan mata terbentang sebuah kolam, disisi kolam tumbuh pepohonan liu yang rindang, diantara kerindangan pepohonan terlihat ada tiga empat buah bangunan mungil.
Pemandangan disana sungguh bagaikan sebuah lukisan.
"Disinilah tempatnya." Ucap Hek-yan-cu sambil masuk lebih dulu.
Dalam bangunan itu tiada cahaya api, yang ada hanya dua lentera yang digantung diluar pintu dan bergoyang terhembus angin.
Hek-yan-cu mendorong pintu, mengambil sebuah lentera dan melangkah masuk.
Perabot dalam ruangan indah dan mewah, disisi kiri merupakan sebuah ruang baca yang mungil dan tertata apik.
Ketika Hek-yan-cu menyulut lentera dalam ruangan, Tian Mong-pek ikut melangkah masuk.
Tapi ruangan itu kosong, tak tampak sesosok bayangan manusia pun.
"Dimana dia?" tanya Tian Mong-pek agak gugup.
Hek-yan-cu tersenyum. ll "Dalam ruangan ini masih ada sebuah ruang rahasia.....
Sambil berkata dia dorong sebuah rak buku dan dibaliknya muncul lagi sebuah pintu.
Cahaya lampu dibalik pintu amat lembut, sinar yang lembut menyinari sebuah tempat tidur yang indah, bau harum lamat lamat tersiar di udara, jelas kamar tidur seorang gadis.
Tiba tiba terdengar Hek-yan-cu menjerit kaget, tubuhnya mundur sempoyongan.
Tian Mong-pek ikut terkejut, tanyanya gugup: "Ke.....
kenapa dia?" Ketika Hek-yan-cu berpaling, paras mukanya tampak pucat pias, bisiknya gemetar: "Paaa....
pagi tadi, ketika siaute keluar, dia masih berada disini, sekarang.....
kenapa dia menghilang?" Tian Mong-pek mencoba melongok ke dalam, selimut dan seprei diranjang tampak amat kalut, gula gula, aneka buah berserakan dimana mana, namun tak terlihat bayangan Tu Kuan.
Pemuda itu semakin terperanjat, sambil mencengkeram bahu Hek-yan-cu, serunya: "Mung....
mungkinkah lantaran kesal ditempat ini, dia keluar untuk jalan jalan?" "Tidak mungkin, selama hampir dua bulan lebih berada disini, dia belum pernah keluar dari ruangan, saban hari dia hanya .
. . . . . . .." Bicara sampai disini, air matapun jatuh berlinang.
Menyaksikan mimik wajahnya yang mengenaskan, tanpa terasa Tian Mong-pek mengendorkan cengkeramannya.
Terdengar Hek-yan-cu berkata lebih lanjut: "Siaute hanya kuatir jejaknya ketahuan ayahku, kalau sampai begitu.....
mungkin dia..... dia....." "Apa jadinya kalau sampai ketahuan ayahmu?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Air mata berlinang semakin deras, kata Hek-yan-cu: "Hari perkawinan siaute sudah didepan mata, bila dia sampai ketahuan ayah, sudah pasti ayah tak akan membiarkan kehadirannya menggagalkan II perkawinan siaute .
. . . . .. "Betul," seru Tian Mong-pek terkejut, "ayahmu kejam dan telengas, kekejiannya sudah tersohor di seantero dunia, kau.....
mungkin saat ini kau hanya bisa memohon ayahmu, moga moga saja belum terlambat." "Mungkin Tian-heng belum tahu tabiat ayahku," ucap Hek-yan-cu dengan kepala tertunduk, "masih mendingan kalau siaute tidak pergi memohon, kalau sampai merengek kepadanya, mungkin apa yang dia lakukan akan jauh lebih keji." "Kalau kau tak berani, biar aku yang pergi bertanya." "Bila ayahku bersikeras menyangkal, apa pula yang akan Tian-heng lakukan?" Dengan perasaan panik bercampur gelisah, Tian Mong-pek hanya bisa menghentakkan kakinya berulang kali sambil menghela napas panjang.
"Andaikata terjadi sesuatu dengan dirinya, bagaimana mungkin aku Tian Mong-pek bisa menghadapi Tu Hun-thian?" "Hingga kini, kesadarannya masih .
. . . . .. masih kabur . . . . . .." kata Hek-yan-cu dengan air mata berlinang.
Mengetahui kalau gadis itu belum tersadar dari linglungnya, Tian Mong-pek merasa hatinya semakin sakit bagaikan diiris, kembali dia cengkeram bahu Hek-yan-cu sambil hardiknya: "Masa kau sama sekali tak punya akal?" Tiba tiba Hek-yan-cu jatuhkan diri berlutut, ujarnya: "siaute hidup dalam keluarga yang sarat dengan peratusan, sejujurnya aku tak bebas bergerak, tak bebas mengemukakan pendapat." Kemudian sambil menyeka air mata, lanjutnya: "Sekarang, selisih jarak dengan pernikahanku tinggal dua hari, mohon Tian-heng dalam dua hari ini berusaha untuk menemukan dirinya." "Kau suruh aku pergi ke mana untuk mencarinya?" "Dengan kedudukan Tian-heng dalam keluargaku saat ini, apalagi disukai Lo-cou-cong, gerak gerikmu pasti tak akan terikat peraturan, jika Thian mau menolong, siapa tahu kau dapat menemukannya kembali." Tian Mong-pek menghela napas panjang, pikirannya semakin kalut.
Sebenarnya dia ingin secepatnya terlepas dari urusan perkawinan yang membuatnya menangis tak bisa tertawapun tak dapat ini, tapi sekarang, Hek-yan-cu justru berharap dia menggunakan statusnya sebagai calon menantu untuk menemukan jejak Tu Kuan.
Sekalipun dia berniat menampik, namun bila teringat linglungnya Tu Kuan gara gara dirinya, jika gadis itu berpikiran waras, mana mungkin bisa terjadi peristiwa semacam ini" Untuk sesaat dia jadi serba salah, tapi urusan sudah jadi begini, keadaan memojokkan dirinya dan membuat ia tak punya pilihan lain, terpaksa untuk sementara dia harus menerima perkawinan yang menggelikan ini dan melanjutkan statusnya sebagai calon menantu kesayangan.
Kalau tak punya status istimewa ini, bagaimana mungkin dia bisa bergerak sembarangan didalam bangunan yang luas bagaikan samudra ini dan menemukan jejak Tu Kuan"
Bab 38. Perkawinan orang gagah dari dunia persilatan.
Sampai lama, lama kemudian, Tian Mong-pek baru mendongakkan kepalanya menghela napas panjang.
"Bila aku berhasil menemukan dia, tapi kau bersikap kejam lagi terhadapnya, apa yang akan kau lakukan?" "Tian-heng," teriak Hek-yan-cu girang, "jadi kau.....
kau bersedia membantu?" "Bersedia, tapi bila dikemudian hari kau sia-siakan dia lagi, biar harus mengejarmu sampai ke ujung langit, aku orang she-Tian tetap akan membunuhmu diujung pedangku." "Baik, baik, bila siaute tetap menyia-nyiakan dia, biar aku mati disambar geledek." "Bagus !" Sambil bangkit berdiri kembali Hek-yan-cu berkata: "Sebetulnya dalam halaman ini dipasang banyak perangkap dan jebakan, tapi dalam dua hari belakangan penjagaan akan diperlonggar, hanya ada satu tempat yang tak boleh Tian-heng kunjungi." "Mana?" Hek-yan-cu berjalan keluar dari ruangan, sambil menunjuk cahaya lentera ditempat ketinggian katanya: "Disana terdapat berapa buah bangunan yang merupakan tempat tinggal Lo-cou-cong, belakangan meski separuh badannya lumpuh hingga susah berjalan sendiri, namun ketajaman mata dan pendengarannya melebihi orang biasa.
Ilmu sakti It-jiu-ngo-am-gi (satu tangan lima senjata rahasia) yang pernah membawanya jadi tenar dikolong langit pun masih dikuasahi dengan sempurna, sehingga bila Tian-heng berada dalam radius tiga, lima kaki diseputar sana, kau musti lebih berhati-hati." "Apakah dia orang tua adalah Kim-pit-hud (Buddha berlengan emas) Tong Siong, Tong Bu-im yang telah mendirikan perguruan keluarga Tong pada lima puluh tahun berselang dan berhasil merobohkan Kanglam-su-kiam seorang diri?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
"Benar, memang dia orang tua.
Belakangan tabiat dia orang tua bertambah aneh, sekalipun ayahku sendiri, bila bertemu dia orang tua pun .
. . . . . .." Mendadak dari luar hutan Liu berkumandang suara tertawa merdu, lalu terdengar seseorang berseru: "Hei, kenapa kalian berdua kasak kusuk disana" Apakah sedang membicarakan persoalan yang tak boleh didengar orang lain?" Tian Mong-pek maupun Hek-yan-cu sama sama terperanjat, tampak Hui-hong-hong dengan memegang sapu tangan merahnya berjalan masuk ke dalam hutan.
Diam-diam Hek-yan-cu menyeka kering air matanya dan menjawab sambil tertawa paksa: "Hei pengantin baru, baru jadi pengantin masa kau sudah mengintil ketat suamimu" Bagaimana jadinya dikemudian hari?" "Kalau benar lantas kenapa" Matamu jadi merah?" sahut Hui-hong-hong sambil tertawa cekikikan.
Tian Mong-pek tertegun, sambil tertawa getir pikirnya: "Tak kusangka muka perempuan ini begitu tebal, ternyata berani mengakui secara terang terangan." Melihat Hui-hong-hong sedang mengerling kearahnya, buru buru dia melengos kearah lain.
Hui-hong-hong tertawa terkekeh, dengan goyangan pinggulnya yang genit, dia berjalan menuju ke depan Hek-yan-cu, kemudian katanya: "Kau tak perlu merah mata, sebentar lagi pengantin baru mu juga akan tiba." "Kau sudah minum arak." Tegur Hek-yan-cu dengan kening berkerut.
Il "Wah, tajam amat hidungmu .
. . . . .. sambil menutup bibirnya, Hui-hong-hong tertawa cekikikan.
Tiba tiba dia menggeleng, kembali ujarnya sambil tertawa, "Nah, hampir saja kelupaan, aku harus menyampaikan urusan penting kepadamu." "Urusan penting apa?" "Ayah sedang mencarimu dimana mana, katanya hendak dikenalkan dengan Li-hian-ciam (panah lepas dari busur) Tu locianpwee, kalau tidak segera kesana, hati hati makan gebukan." Berubah paras muka Hek-yan-cu, sambil balik badan dan menjura, serunya: "Panggilan ayah tak berani kubangkang, siaute segera ke sana." Diam diam ia memberi kerdipan mata kearah Tian Mong-pek kemudian buru buru berlalu.
"Hengtai, tunggu aku." Seru Tian Mong-pek gelisah.
Baru berjalan berapa langkah, ujung bajunya telah ditarik Hui-hong-hong.
Sambil menarik muka, Tian Mong-pek segera menegur: "Nona, jangan main tarik baju, kalau sampai ketahuan orang dan menjadi bahan pembicaraan, apa jadinya nanti?" "Hahaha, kalau ada orang luar, aku tak bakalan menggubris dirimu!" sahut Hui-hong-hong sambil tertawa cekikikan.
Setelah mengerling sekejap sekeliling tempat itu, kembali ujarnya sambil tertawa: "Sekarang, sekeliling tempat ini tak ada orang lain, kitapun sudah jelas statusnya, aku .
. . . . . .. aku tak tega untuk tidak datang mengurusimu." "Kalau begitu, silahkan nona bersikap lebih tega." Sambung Tian Mong-pek cepat.
Kontan Hui-hong-hong tertawa cekikikan.
"Aku tahu, kau kangen aku bukan" Maka sengaja aku beri kesempatan kepadamu untuk bermesrahan, daripada perasaan hatimu tergelitik gatal terus .
. . . . .." "Aku sangat nyaman, sama sekali tidak menderita." "Hihihi, kau ini memang .
. . . . .." kembali Hui-hong-hong tertawa cekikikan, "tak usah keras dimulut, memang aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan di dalam hati?" Tian Mong-pek tertegun, dia betul-betul dibuat tertawa tak bisa, menangispun tak dapat, pikirnya: "Dasar perempuan yang lagi mabuk asmara, cari penyakit buat diri sendiri, mungkin didunia ini tak ada orang kedua macam dirimu ini." Sementara itu Hui-hong-hong sudah cengkeram bajunya dengan tangan kiri dan menarik pergelangan tangannya dengan tangan kanan, ajaknya seraya tertawa genit: "Ayohlah ! " Dia mulai melangkah masuk ke dalam bangunan mungil itu.
"Mau apa nona?" tanya Tian Mong-pek melengak.
"Kita adalah calon suami istri, semisal mau bermesraan pun tidak jadi masalah, mau diketahui orang lain juga bukan urusan, kenapa kau musti takut?" Tak kuasa Tian Mong-pek ikut masuk ke dalam ruangan, berada dalam keadaan begini, dia tak bisa mengajaknya ribut atau mengumbar amarah, terlebih tak mungkin turun tangan menyakiti gadis itu, dalam hati dia hanya bisa mengeluh.
Dibawah cahaya lentera, paras muka Hui-hong-hong yang merah terlihat jauh lebih genit, jauh lebih merangsng daripada dihari biasa.
Kelihatannya gadis itu tujuh puluh persen berada dalam pengaruh arak, dia langsung tarik Tian Mong-pek masuk ke dalam kamar, ketika secara tiba tiba menyaksikan ruang rahasia dibalik rak buku, sambil tertawa geli serunya: "Alamak, tak disangka jiko memiliki tempat sebagus ini, ayoh kita duduk di dalam sana." Sambil merangkul tubuh Tian Mong-pek erat-erat, dengan sempoyongan ia berjalan masuk ke dalam ruang rahasia.
Peluh sebesar kacang kedele bercucuran membasahi wajah Tian Mong-pek, dia cemas bercampur panik.
II "Lepas tanganmu, pintanya, "aku janji tak akan pergi dari sini." Hui-hong-hong mengerlingnya berulang kali, lagi-lagi dia tertawa cekikikan.
"Aku mah tak kuatir kau bakal pergi, memang kau rela pergi begitu saja?" serunya.
Perlahan, dia pun melepaskan rangkulannya.
Diam-diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega.
Tampak Hui-hong-hong berjalan menuju ke depan cermin, disitu ia menoleh ke kiri dan kanan lalu tertawa lebar, setelah itu sambil berkerut kening dia pandang tubuh sendiri sambil merintih.
Menyaksikan tingkah laku gadis itu, Tian Mong-pek hanya bisa tertawa getir sambil gelengkan kepalanya berulang kali, baru saja akan ngeloyor pergi .
. . . . .. Tiba tiba terdengar Hui-hong-hong menghela napas panjang, sembari mengerling katanya: "Kau bisa mempersunting gadis semacam aku, sesungg uhnya terhitung rejeki mu memang bagus, bukan begitu?" "Betul, betul sekali, hokki ku memang sangat bagus." "Menurut kau, bagaimana paras mukaku?" tanya Hui-hong-hong lagi sambil picingkan mata.
"Cantik, amat cantik, hakekatnya cantik bagaikan burung hong." Sedang dalam hati, batinnya: "Apalagi kalau mulutmu lebih moncong, semakin mirip dengan seekor burung." Hui-hong-hong tertawa lebar, diambilnya sisir dari sisi cermin lalu menyisir rambutnya, mendadak seolah teringat akan sesuatu, teriaknya: "Aduhh.....
jangan jangan jiko menyembunyikan perempuan ditempat ini?" Tergerak hati Tian Mong-pek, cepat sahutnya: "Benar, ada seorang wanita." Kontan saja Hui-hong-hong tertawa cekikikan.
"Hihihi, tidak kusangka jiko yang penampilannya begitu sopan dan pakai aturan, ternyata perbuatannya begitu tak jujur, ke mana perginya perempuan itu" Aku jadi ingin sekali membandingkan wajahnya, bagaimana kalau dibandingkan aku?" "Tertinggal jauh kalau dibandingkan dirimu." "Sungguh?" seru Hui-hong-hong sambil melotot lebar dan tertawa, "darimana kau bisa tahu?" "Paras mukanya bukan saja sangat bersahaja, bahkan rada linglung." Hui-hong-hong melotot semakin lebar, teriaknya keras: "Darimana kau bisa tahu sejelas itu" Jangan jangan kau kenal dia" Terus terang beritahu aku, siapakah perempuan itu" Dimana ia sekarang?" Sengaja Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, padahal perempuan itu adalah saudara tua dalam suku ku, tapi sekarang aku sendiripun tak tahu kemana dia pergi?" "Jadi usianya lebih tua daripada dirimu?" "Tentu saja." I "Kalau begitu aku tak perlu kuatir,' seru Hui-hong-hong tertawa, "tak mungkin kau bisa menyukai seorang nenek." Kembali Tian Mong-pek menghela napas.
"Orang tua ku telah meninggal, didunia ini hanya dia seorang yang terhitung sanakku, bila dia bersedia hadir dalam perkawinan kita nanti, ooh, alangkah baiknya." "Itu mah gampang, akan kucari dirinya." "Ke mana akan kau cari?" "Asal dia masih berada dalam kebun ini, tanggung aku pasti akan menemukannya." "Sungguh?" seru Tian Mong-pek kegirangan, "hanya saja.....
hanya saja kalau lo-cou-cong sampai ikut tahu tentang hubungannya dengan kakakmu, urusan bisa semakin berabe." "Itu bukan masalah," janji Hui-hong-hong tertawa, "begitu ketemu, secara diam diam akan kuajak kemari, kau tak usah kuatir, dalam kebun ini, kecuali Lo-cou-cong, siapa pun aku tak takut." Tak tahan Tian Mong-pek tertawa lebar, pujinya: "Aku sudah tahu kalau kau memang seorang li-enghiong yang tak takut langit tak takut bumi, kecuali Lo-cou-cong, tak seorang pun bisa mengurusi dirimu." Dengan tatapan penuh rasa cinta Hui-hong-hong mengawasi wajah pemuda itu, tiba tiba ujarnya lagi sambil menghela napas: "Tapi.....
aku rada takut melihat sepasang matamu itu, sewaktu menatap aku, seolah kau melihat langsung tembus ke dalam hati." Tian Mong-pek mendeham berulang kali, cepat dia berpaling ke arah lain.
Tiba tiba Hui-hong-hong mulai melepaskan kancing baju sendiri, serunya sambil tertawa cekikikan: "Panas amat .
. . . . . . . . .." Lalu sambil menggapai kearah pemuda itu, ujarnya lagi manja: "Pinggangku agak linu, mau bukan pijitkan aku sebentar?" Sambil bicara, diapun merebahkan diri keatas ranjang.
Dibawah cahaya lentera, terlihat bajunya sebagian terbuka hingga tampak kulit badannya yang putih halus, sementara kerlingan matanya yang nakal, berulang kali menatap anak muda itu, sepasang pipinya berubah semerah gincu.
Buru buru Tian Mong-pek berpaling kearah lain, katanya: "Ini .
. . . . .." "Bagaimana pun, toh tinggal sehari lagi, bukan begitu?" rayu si nona sambil tertawa ringan.
Lagi-lagi dia melepas kancing bajunya, dengus napasnya mulai memburu.
"Ibu sering bilang, badanku lebih putih dari batu pualam, sepantasnya aku dipanggil Giok-hong-hong (burung hong pualam), bagaimana menurut kau?" Tian Mong-pek semakin tak berani berpaling, katanya dengan suara dalam: "Nona, disini .
. . . . . . .." Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar seseorang berteriak memanggil: "Tian siangkong, dimana kau" Ada banyak tamu sedang mencari mu untuk minum arak .
. . . . . .. Teriakan itu makin lama semakin mendekat, suaranya makin tambah nyaring.
Bagaikan mendapat pengampunan, buru buru Tian Mong-pek menyeka keringat sambil berkata: "Sudah kau dengar nona, terpaksa aku harus pergi." Hui-hong-hong membalikkan tubuh sambil bangkit berdiri, dengan jengkel ia mendepakkan kakinya berulang kali sambil menjerit manja: "Dasar setan berumur pendek, bukan tadi, bukan nanti, justru datang pada saat sekarang, bikin kacau semua urusanku." II "Tidak masalah, tidak masalah, masih ada kesempatan, sahut Tian Mong-pek cepat, "nona, jangan lupa dengan pesan yang kutitipkan padamu." Selesai berkata diapun berlarian keluar dari ruangan, sedikitpun tak berani menoleh.
Kini tinggal Hui-hong-hong seorang berdiri didepan cermin, mengawasi dirinya dengan termangu, gumamnya: "Setelah melihat tubuhku, masa dia tidak tertarik" Tidak tergerak hatinya?" Tiba tiba dia ambil cermin itu dan membantingnya keras keras ke lantai, dengan sempoyongan dia berjalan keluar dari ruangan, ketika terhembus angin sejuk, hawa arak pun memuncak ke otak, diiringi suara tertawa cekikikan, tubuhnya roboh terkapar di lantai.
Angin malam berhembus lewat, menyingkap bajunya yang terbuka, memperlihatkan dadanya yang putih mulut, birahi cinta yang sudah lama tersimpan, kini sudah tak mampu dibendung lagi.
Pada saat itulah, dari balik pepohonan terdengar suara langkah kaki manusia yang ringan.
Lalu terdengar seorang pemuda, dengan nada jengkel berkata: "Tian Mong-pek si bajingan cilik ini benar-benar dapet rejeki, sungguh menjengkelkan, kemanapun ku pergi, kenapa selalu bertemu dia" Bahkan setiap kali harus bersembunyi dan tak berani diketahui olehnya." "Kenapa harus gelisah?" sahut seseorang dengan suara yang tua serak, "cepat atau lambat ayah pasti akan carikan menantu yang bagus untukmu, agar kaupun bisa bergaya." "Aku sangka nona dari keluarga Tong ini sombong dan lagi tak cantik, pasti tak ada yang mau, melihat status keluarganya yang luar biasa, dengan susah payah aku menyusul kemari untuk manggaetnya, siapa tahu lagi lagi kedahuluan bajingan she-Tian itu.
Ayah, kenapa hal yang begitu sulit bagi kita untuk mendapatkannya, dia justru memperoleh tanpa membuang tenaga?" "Sabar.....
aaaai, tak usah gelisah .
. . . . .." Sementara pembicaraan berlangsung, dari balik hutan muncul dua sosok bayangan manusia, seorang tua dan seorang muda, mereka berdua mengenakan pakaian perlente.
Ternyata mereka tak lain adalah Hong Sin dan Hong It, ayah beranak.
Setelah diusir Siau Man-hong, kedua orang ini hidup bergelandangan dalam dunia persilatan, mencari kesempatan dimana-mana.
Kali ini, sebenarnya tujuan mereka datang ke sana adalah untuk meminang Hui-hong-hong, siapa sangka begitu kehadiran Tian Mong-pek, kesempatan itupun hilang dengan begitu saja.
Mereka tak berani muncul dihadapan Tian Mong-pek, takut jejaknya ketahuan pemuda itu, karenanya selama ini hanya bersembunyi kesana kemari.
Begitu mendengar Tian Mong-pek diundang ke depan untuk minum arak, kedua orang itupun segera menyelinap ke halaman belakang.
Kini, Hong sin yang bermata tajam telah menemukan tubuh Hui-hong-hong yang tergeletak setengah telanjang dibawah cahaya lentera, ketika menyaksikan dada si nona yang putih mulus, kontan sepasang mata Hong It melotot besar.
Hong Sin kembali celingukan kian kemari, yakin tak ada orang lain disitu, secepat kilat dia melompat maju ke depan dan memeriksa wajah si nona.
Begitu tahu siapa yang tergeletak disitu, dengan kaget bercampur girang teriaknya: "Aaah, nona Tong." "Kelihatannya nona cilik ini sedang mabuk," ucap Hong It sambil tertawa mesum, "tak nyana meski paras mukanya tidak cantik, namun perawakan tubuhnya begitu putih mulus dan montok." Satu ingatan melintas dalam benak Hong Sin, ujarnya kemudian sambil tertawa: "Ternyata Thian masih berpihak padaku, anak It, kesempatanmu telah tiba, tampaknya calon menantu keluarga Tong sudah bukan menjadi milik Tian Mong-pek." Setelah memeriksa lagi seputar tempat itu, perintahnya dengan suara
Setelah memeriksa lagi seputar tempat itu, perintahnya dengan suara dalam: "Cepat bopong dia masuk ke dalam hutan." Waktu itu Hong it sudah berjongkok dan siap menggerayangi tubuh si nona, mendengar perintah itu, dia mendongak sambil bertanya: "Buat apa dibopong?" "Buat apa?" umpat Hong Sin sambil tertawa, "masa untuk berbuat begituan pun musti ayah ajari?" Hong it jadi kegirangan setengah mati, serunya tertahan: "Ooh, aku tahu, aku tahu .
. . . .." "Baguslah kalau sudah tahu, ayoh cepat sedikit." II "Tapi....
urusan dikemudian hari . . . . . .. "Urusan dikemudian hari akan ayah atur sebaiknya, cepat lakukan, ayah akan menjaga untukmu...." Demi putranya, perbuatan apapun halal dia lakukan.
Dengan cepat Hong It membopong tubuh Hui-hong-hong dan lari menuju ke dalam hutan.
Hui-hong-hong yang tubuhnya dibopong seseorang, segera membuka sedikit matanya dan mendesis genit: "Aaah.....
kau sudah kembali?" Sambil pejamkan mata, tangannya mulai merangkul tubuh Hong It dan memeluknya erat erat.
Memandang bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dibalik pepohonan, Hong Sin menghembuskan napas panjang, gumamnya sambil gelengkan kepala dan tertawa: "Anak It, bocah dungu ini, tampaknya siklus rejekinya sudah mulai membaik." Tak lama kemudian, dari balik hutan terdengar suara napas terengah engah diikuti jeritan Hui-hong-hong: "Mong-pak, kau pintar sekali.....
addduh! Sakit . . . . . . . .." Menyusul kemudian terdengar gadis itu menjerit lagi: "Kau.....
kau bukan Tian . . . . . .. aduuuh!" Terdengar Hong It tertawa puas, dengan napas tersengkal katanya: "Kini, nasi sudah jadi bubur, kau sudah menjadi milikku, buat apa mencari dia lagi?" Yang terdengar kemudian adalah suara rintihan Hui-hong-hong, rintihan kesakitan, gadis itu sudah tak mampu berbicara lagi.
Sekulum senyuman puas tersungging diwajah Hong sin yang licik dan keji.
Oo0oo Sungai Tiang-kang, arus yang deras menghantar sampan dan perahu berlalu lalang.
Setelah senja hari itu, terlihat sebuah perahu berlayar menuju ke hilir lalu bersandar di bandara Pa-sian.
Sepanjang pesisir bandar Pa-sian, berjajar perahu nelayan dan perahu penyeberang, tapi perahu itu berbeda sekali, hampir semua kayunya baru, cat nya jelas dan mencolok, sehingga sekilas pandang sudah terlihat perbedaannya.
Ruang perahu tertata apik dan mewah, korden yang halus dengan manik manik disana sini menunjukkan kalau perahu itu milik seorang hartawan yang kaya.
Waktu itu belasan buah lampu tembaga, memancarkan cahayanya menerangi seluruh ruangan.




Seorang kakek berambut putih yang berwajah aneh, dengan mengenakan jubah yang lebar dan nyaman, sedang duduk disisi meja sambil bersantap dengan lahapnya.
Aneka macam hidangan yang lezat dan mewah memenuhi seluruh permukaan meja, begitu banyaknya hidangan yang berlimpah, boleh dikata belasan orang lelaki pun tak akan habis dimakan, tapi kakek itu menikmatinya seorang diri.
Dengan tangan kiri menggenggam paha ayam, tangan kanan memegang cawan, tiba tiba ujarnya sambil tertawa tergelak: "Lam-yan, anak Uh hanya berlatih silat dan tak ingin bersantap, apakah kaupun sedang menemaninya untuk berpuasa?" Baru selesai perkataan itu, dari balik tirai terdengar seseorang menyahut sambil tertawa merdu: "Biarpun anak Uh ingin secepatnya menguasahi ilmu silat, tapi masih butuh juga nasi untuk makan." Diantara goyangan tirai, terendus bau harum semerbak, dari balik ruangan muncul seorang wanita separuh baya berbaju putih yang cantik menggandeng seorang gadis cantik yang berdandan seperti seorang pria.
Tampak gadis itu memegang sejilid buku, ujung bajunya digulung tinggi tinggi, jari tangannya putih lentik, pada jari manisnya terlilit sebuah cincin pualam sebesar kelengkeng, dia tak lain adalah Siau Hui-uh.
Sedangkan kakek berambut putih dan wanita cantik itu tak lain adalah Kim Hui dan Lam-yan suami istri.
Setelah meninggalkan bukit Kun-lun, Kim Hui yang sudah lama merasakan penderitaan dan siksaan yang tiada batas merasakan hatinya amat lega, sepanjang jalan dia pun pusatkan perhatiannya untuk menikmati semua kemewahan duniawi.
Setelah mengambil harta karun peninggalan Tiong-tiau-jit-oh maka sebagian harta itu dijualnya .....
dengan harta yang berlimpah, bagaimana mungkin Kim Hui yang sudah lama hidup terasing, tidak manfaatkan kesempatan ini untuk menikmatinya" Terdengar Lam-yan berseru sambil tertawa: "Coba kau lihat tampangmu sewaktu makan." "Hahaha," Kim Hui tertawa tergelak, "sudah dua puluh tahun aku hidup kelaparan, kalau sekarang tidak menikmatinya dengan baik, bukankah aku jadi manusia paling tolol di dunia ini." Lam-yan yang duduk disampingnya tiba tiba menghela napas panjang, ujarnya: "Tapi uang yang kau gunakan berasal dari harta karun yang disembunyikan tujuh manusia jahat dari Tiong-tiau, bagaimana pun hatiku merasa tidak enak." Dengan mata mendelik dan wajah bersungguh-sungguh, ujar Kim Hui: "Kalau harta karun ini tidak kumanfaatkan, masa disuruh membiarkan saja terbengkalai ditengah gunung terpencil" Lagipula nama Tiong-tiau-jit-ok dimasa lalu meski busuk, tapi harta yang mereka rampok bukan berasal dari harta yang tak halal, terlebih pada saat ini, kecuali aku seorang yang bisa menikmati, siapa lagi yang bisa menggunakan harta tersebut?" II "Aaai, perkataanmu selalu mencari menangnya sendiri .
. . . . .. gumam Lam-yan sambil gelengkan kepala dan menghela napas.
Siau Hui-uh yang mengikuti pembicaraan tersebut segera bertepuk tangan, katanya sambil tertawa: "Perkataan dari engku memang selalu paling benar.
Semisal aku jadi engku pun, aku tetap akan melakukan hal yang sama." II "Aah kamu ini, omel Lam-yan tertawa geli, "kalau begitu terus gaya dan sepak terjangmu macam laki-laki, aku kuatir Tian siangkong betul betul tak berani meminangmu." Merah dadu sepasang pipi Siau Hui-uh, teriaknya dengan mulut cemberut: "Kalau dia tak mau aku, memang aku mau sama dia" A-ie, kalau kau menyinggungnya sekali lagi, aku tak bakal menggubris dirimu lagi." "Hahahaha," Kim Hui mendongak dan tertawa terbaha k-bahak, "bibi tak akan menyinggung, kuatirnya justru kau yang bakal mengungkit dia." Tiba tiba dari luar pintu terdengar suara langkah manusia, Kim Hui segera menegur: "Apakah Ong Sam yang beli arak sudah kembali" Kenapa lama sekali" Ayoh cepat, cepat suruh masuk." Belum habis berkata, seorang lelaki berbaju hijau sudah melangkah masuk.
Sambil membawa seguci arak, kata orang itu: "Bukannya hamba tidak segera kembali, hanya saja sulit mencari tempat II yang menyediakan arak.....
"Apa" Kota sebesar inipun susah mencari arak?" teriak Kim Hui gusar, "kau ingin menipu ku?" "Sebetulnya gampang untuk membeli arak disini," kata lelaki berbaju hijau itu sambil tertawa, "tapi belakangan, keluarga Tong yang tinggal di selatan Un-swan sedang menyelenggarakan pesta perkawinan, jadi semua arak dikota telah mereka borong." "Keluarga Tong dari Siok-tiong adakan pesta perkawinan" Darimana kau tahu?" Kembali lelaki berbaju hijau itu menjawab sambil tertawa: "Sebenarnya akan mengawinkan putra mereka, tapi kemarin datang lagi seorang pemuda dari.....
dari marga Tian, maka putri mereka pun akan dikawinkan." Tergerak hati Siau Hui-uh, serunya tanpa sadar: "Tian apa?" "Konon dia adalah seorang enghiong muda yang ganteng dan gagah, disebut II bernama Tian.....
Tian apa Mong . . . . . . . .. "Tian Mong-pek"' berubah paras Siau Hui-uh.
"Betul, betul, Tian Mong-pek .
. . . . .." sekujur badan Siau Hui-uh bergetar keras, sedemikian terpukul hatinya hingga kitab yang dipegang pun ikut terjatuh ke tanah, sesudah termangu-mangu cukup lama, mendadak dia tertawa kalap sambil berteriak: "Bagus sekali! Tian Mong-pek, ternyata kau akan menikah?" Kemudian setelah berhenti tertawa, dengan ganas dia mendelik kearah Ong Sam sambil berteriak: "Apa yang kau tertawakan?" Saking kagetnya Ong Sam segera meletakkan guci arak ke meja lalu tergopoh gopoh mengundurkan diri.
Lam-yan menghela napas panjang, baru saja akan menghibur, Kim Hui telah mencegahnya.
Tampak Siau Hui-uh dengan mata melotot berjalan mondar mandir dalam ruang perahu.
Kim Hui berlagak tidak melihat, pun tidak menggubris, dia hanya asyik minum arak.
Tampak Siau Hui-uh seperti orang gila, sebentar tertawa dingin, sebentar menggerutu, gumamnya: Il "Bagus, bagus, paling bagus kau segera menikah .
. . . . . .. Tiba tiba ia menubruk ke pangkuan Lam-yan dan mulai menangis tersedu- seduh, jeritnya: "Tidak bisa, tidak bisa, dia tak boleh menikah dengan orang lain!" Sambil memeluk kencang Lam-yan, air matanya jatuh bercucuran dengan deras.
Dengan sedih Lam-yan menghela napas, bujuknya sambil membelai rambut gadis itu: "Anak Uh, kau .
. . . . . . .." Akhirnya tak sepatah katapun bisa diucapkan karena air mata sendiri sudah ikut bercucuran.
Tiba tiba terdengar Kim Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, menggelikan, benar-benar menggelikan!" "Orang lain sedang sedih, kenapa kau malah mengatakan menggelikan?" tegur Lam-yan gusar.
"Kalau kekasih hati kabur ikut orang, seharusnya berusahalah untuk merebutnya kembali, kalau Cuma menangis, biar menangis sampai mati pun tak bakal kembali.
Sekarang kalian hanya tahunya menangis, bukankah hal ini sangat menggelikan?" "Kalau tidak menangis, memangnya masih ada cara lain?" "Tentu saja ada caranya, hanya sayang anak Uh kita tak suka orang menyinggung soal Tian Mong-pek, berarti dia pasti tak menyukai dirinya, kenapa aku musti repot repot pergi memikirkannya?" "Siapa bilang aku tidak menyukainya"' tiba tiba Siau Hui-uh mendongak sambil berteriak.
Kontan Kim Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, oooh.. oooh begitu rupanya, ternyata kau menyukai dirinya." Dari menangis Siau Hui-uh jadi tertawa, ujarnya: "Aku menyukainya, sangat menyukainya, bukankah engku pengen aku mengucapkan perkataan itu" Aku sudah mengatakannya sekarang, aku memang tak tahu malu!" Lam-yan ikut tertawa.
"Dasar budak bodoh, masa dia ingin mendengar pengakuanmu, kau lantas berkata jujur" Eei, apa akalmu" Cepat katakan." "Anak Uh, angkat wajahmu, aku ingin tanya, jika kitab pusaka ilmu silat yang kutulis direbut orang, apa yang akan kau lakukan?" "Tentu saja merebutnya kembali." "Hahaha, tepat sekali, andalkan kepandaianmu dan rebut kembali.
Begitu dengan buku, begitu pula dengan manusia.
Jangan lagi Tian Mong-pek belum naik ke pelaminan, biar sudah naik pelaminan pun, kau tetap harus merebutnya kembali.
Coba bayangkan saja bibimu diwaktu itu, bukankah diapun nyaris direbut orang" Kalau bukan aku merebutnya cepat, hehehe...
II mungkin . . . . . .. II "Aduh mak, kau . . . . .. kau.... dasar edan, umpat Lam-yan sambil tertawa, "masa perkataan semacam inipun kau ucapkan" Tapi anak Uh adalah anak gadis, mustahil bisa binal macam kau." Kim Hui melotot besar, teriaknya: "Bila ingin mencintai seseorang, cintailah secara blak-blakan, toh perbuatan semacam ini sah sah saja, apa bedanya antara lelaki dan wanita?" Siau Hui-uh tertegun berapa saat, tiba tiba diapun berseru dengan nada keras: "Betul! Bagaimana pun, aku tak akan membiarkan dia kawin dengan orang lain, aku bersumpah akan merebutnya kembali." "Hahaha, betul, betul sekali," sambil bertepuk tangan K im Hui tertawa tergelak, "begitu baru perkataan seorang wanita sejati, kalau bisanya hanya menangis tersedu, kau bukanlah Siau Hui-uh kami." Lam-yan hanya bisa gelengkan kepala meski gembira dihati kecil, tak tahan ujarnya sambil tertawa: "Hanya orang sejahat kau yang bisa menemukan ide gila macam begini, hei, kapan kalian akan berangkat!" "Sekarang juga." Jawab Siau Hui-uh.
Kembali Lam-yan tertawa geli.
'I' n "Waah.... kenapa jadi begitu terburu napsu "Hahaha," ujar Kim Hui pula sambil tertawa tergelak, "memang seharusnya berangkat sekarang juga, begini baru menghebohkan.
Bocah gadis macam anak Uh begitu cantik dan menawan, aku sendiripun sampai ikut menyukai, kalau Tian Mong-pek bukan orang tolol, dia seharusnya lari mendekat setelah bertemu anak Uh." Setelah meneguk habis tiga cawan arak, sambil menggebrak meja tambahnya: "Kalau dia tetap goblok, biar lohu memenggal batok kepalanya." Lam-yan hanya bisa gelengkan kepala sambil tertawa.
"Kalau anak Uh bergaul terus dengan dirimu, kelihatannya dia bakal berubah jadi latah dan sinting macam kau." Setelah menghela napas, dia bangkit berdiri dan berkata: "Kelihatannya, akupun terpaksa harus menemani kalian berdua untuk berkunjung ke sana." "Siapa suruh kau jadi bibiku dan bininya?" kata Siau Hui-uh tertawa.
"Dasar budak edan, sekarang sudah senang?" Dengan langkah lebar Kim Hui berjalan menuju ke ujung perahu, disana dia mulai menggeliat.
Ketika angin malam berhembus lewat, dia merasa semangatnya bangkit kembali, pikirnya: "Setelah bermalasan banyak hari, kalau tidak segera menggerakkan badan, mungkin tulang belulangku bakal kaku semua." Tiba tiba dari kejauhan terdengar suara ujung baju tersampok angin, walaupun suaranya amat lirih, namun dalam pendengaran Kim Hui dapat terdengar dengan sangat jelas.
Sebagaimana diketahui, sudah dua puluh tahun dia terjerumus dalam kawah berlumpur, dalam jangka waktu yang begitu lama, dia merasakan kesepian yang luar biasa, dalam kesepian yang mencekam itulah ia justru berhasil melatih ilmu mendengaran yang tajam.
Biar suara serangga yang berada puluhan kaki jauhnya pun, ia dapat mendengar dengan jelas, apalagi si pejalan malam ini meski bergerak sangat hati-hati, namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki belum terlalu tinggi.
Terdengar si pejalan malam itu menghentikan langkahnya setelah tiba ditepi sungai, lalu bergumam lirih: "Nona, aku hanya melaksanakan tugas, setelah mati, kau jangan salahkan aku." "Permainan sandiwara apa itu?" batin Kim Hui dengan kening berkerut.
Sebagaimana diketahui, saat ini semangatnya sedang bangkit, dia memang ingin sekali mencampuri urusan orang.
Tanpa banyak bicara dia menggerakkan tubuhnya dan siap meluncur ke depan.
ll "Engku, kau . . . . .. seru Siau Hui-uh. "Sstt, jangan berisik," kata Kim Hui, "ayoh ikut aku melihat keramaian." Sementara berbicara, dia sudah meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.
Terdorong rasa ingin tahu, Siau Hui-uh segera mengintil dari belakang.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang ini sangat luar biasa, dalam sekejap mata mereka sudah meluncur sejauh puluhan kaki lebih.
Tampak ditepi sungai yang sepi dan terpencil, tampak berdiri seseorang.
," kata Kim Hui, "ayoh ikut aku melihat keramaian." sementara berbicara, dia sudah meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.
Terdorong rasa ingin tahu, siau Hui-uh segera mengintil dari belakang.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang ini sangat luar biasa, dalam sekejap mata mereka sudah meluncur sejauh puluhan kaki lebih.
Tampak ditepi sungai yang sepi dan terpencil, tampak berdiri seseorang.
Kim Hui dan siau Hui-uh segera menyembunyikan diri dan mengamati gerak gerik orang itu dengan seksama.
Dipunggung orang itu terlihat sebuah buntalan yang amat besar, saat itu dia sedang membuka buntalan itu, ternyata didalamnya berisikan seorang gadis berbaju sutera yang terikat kencang kencang.
Orang itu menatap gadis itu sekejap lalu menghela napas panjang, sambil menggeleng dan tertawa, katanya: "suruh aku menenggelamkan gadis secantik bidadari macam kau, sejujurnya aku merasa amat tak tega." sementara berbicara, dia telah mengumpulkan berapa buah batu besar dan dimasukkan ke dalam buntalan itu, kemudian gumamnya lebih lanjut: "Tapi toaya ingin melenyapkan dirimu, jadi aku pun tak berdaya lagi." Gadis itu tidak bersuara, sepasang matanya yang terbelalak lebar mengawasi taburan bintang di langit dengan termangu, dia pada hakekatnya tidak memikirkan mati hidup sendiri.
"Gadis itu aneh sekali .
. . . . .." bisik Kim Hui keheranan.
"Ayoh jalan, kita tengok ke sana." Ajak Siau Hui-uh.
"Hahaha, kelihatannya kau jauh lebih suka mencampuri urusan orang ketimbang aku." Dalam terawanya, dia sudah melesat maju dengan kecepatan luar biasa.
Ternyata bayangan manusia itu adalah seorang lelaki berbaju hitam yang berusia tiga puluh tahunan, saat itu dia siap menjejalkan tubuh si nona ke dalam buntalan ketika secara tiba tiba mendengar suara desingan angin muncul dari langit.
Dalam kagetnya, belum sempat membalikkan badan, urat nadinya sudah dicengkeram oleh telapak tangan sekuat baja, kontan seluruh tenaganya lenyap tak berbekas.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau di dunia ini terdapat orang yang bisa menyerang secepat itu, dalam kagetnya dia membalikkan badan.
Tampak sepasang mata yang dingin menyeramkan bagaikan mata binatang buas sedang melotot kearahnya dengan garang.
Dalam ngerinya dia turunkan pandangan matanya, terlihat telapak tangan yang sedang mencengkeram urat nadinya itu penuh ditumbuhi bulu bulu panjang berwarna abu abu, tak ubahnya seperti cakar siluman iblis.
Kim Hui tertawa geli menyaksikan lelaki itu ketakutan, tegurnya dengan suara dalam: "siapa kau" Mengapa hendak mencelakai gadis itu?"\ Peluh dingin membasahi seluruh badan lelaki berbaju hitam itu, saking takutnya, sepasang giginya saling gemerutukan, seruny a tergagap: "Masalah ini .
. . . . .. masalah ini tak ada sangkut pautnya dengan hamba, hamba hanya melaksanakan perintah toaya." "siapa toaya mu?" "Tong .
. . . .. Tong..... Ti . . . . .. si tangan pencabut nyawa Tong Ti." "Apakah dia adalah anggota perguruan keluarga Tong?" tanya Kim Hui dengan kening berkerut.
sebagaimana diketahui, sudah lama ia tinggalkan dunia persilatan, kalau tidak, tak mungkin dia tidak mengenali nama orang tersebut.
"Dia adalah ciangbunjin perguruan keluarga Tong saat ini." Lelaki berbaju hitam itu menerangkan.
"siapa pula gadis ini" Mengapa Tong Ti hendak membunuhnya?" "Gadis ini punya hubungan gelap dengan sauya kami dan ketahuan loya, padahal sauya kami akan menikah, maka loya perintahkan hamba untuk membawanya ke tempat jauh dan menghilangkan jenasahnya, daripada kehadiran dia akan mengacaukan perkawinan sauya." sebetulnya dia termasuk orang yang cukup punya nyali, kalau berada dihari biasa, tak mungkin segampang itu dia mengaku, kalau bukan begitu, mana mungkin si Tangan pencabut nyawa Tong Ti menyerahkan urusan yang begini rahasia kepadanya" Tapi ditengah kegelapan malam yang begitu dingin, kemunculan Kim Hui yang bertubuh dan berwajah bagaikan binatang buas ini seketika membuatnya keder, seluruh keberaniannya hilang lenyap tak berbekas.
Oleh sebab itulah setiap pertanyaan yang diajukan Kim Hui, selalu dijawab secara jujur.
siau Hui-uh berdiri di belakang Kim Hui dan mengamati gadis itu lekat- lekat.
Ditengah kegelapan malam, terlihat nona itu memandang ke langit dengan wajah linglung, dia tidak berpaling, pun tidak memandang lawannya, seolah-olah semua yang terjadi saat itu sama sekali tak ada hubungan dengan dirinya.
Tergerak hati siau Hui-uh, tiba tiba jeritnya kaget: "Aah, rupanya dia." "Kau kenal gadis ini?" tanya Kim Hui seraya berpaling.
"Gadis ini adalah putri Tu Hun-thian, sewaktu berada dalam hutan bunga di Liu-tan-yan tempo hari, aku sempat berjumpa sekali dengannya.
Kenapa ayahnya tidak terlihat" sebetulnya gadis ini amat mencintai Tian Mong-pek, kenapa malah menjalin cinta gelap dengan keturunan keluarga saking kaget dan tercengangnya, dia hanya bergumam seorang diri tanpa memperhatikan perubahan wajah Kim Hui, dia tak tahu kalau sorot mata engku nya itu sudah berubah jadi beringas dan buas.
Menyaksikan mimik muka Kim Hui, lelaki berbaju hitam itu semakin ketakutan, bulu romanya bangkit berdiri.
sebaliknya Tu Kuan yang terikat kencang telah menurunkan pandangannya dan menatap Siau Hui-uh sekejap, tiba tiba sekulum senyuman menghiasi wajahnya.
"Tian Mong-pek, kau pun kenal dia?" tanyanya.
siau Hui-uh menghela napas sedih, ucapnya sambil tertawa getir: "Rupanya kaupun sudah lupa, hari itu .
. . . . . . .." Mendadak kembali Tu Kuan menghela napas panjang, air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan kepala tertunduk ia berbisik: "Tian Mong-pek .
. . . . .. aku tak akan bertemu kau lagi .
. . . . .." Menyaksikan air mata yang membasahi pipinya, timbul perasaan iba dalam hati siau Hui-uh, ujarnya sambil tertawa sedih: "Kini, kami telah selamatkan dirimu, kau masih berkesempatan untuk bertemu lagi dengan dirinya." "Aku tahu .
. . . . . .." Tu Kuan tertawa pedih, "tapi aku .
. . . .. aku sudah tak pantas untuk bertemu lagi dengan dirinya, aku.....
kini aku telah bersuami, sayang suamiku pun akan mengawini orang lain." siau Hui-uh tertegun, perasaan hatinya semakin sedih.
Membayangkan nasib tragis yang menimpa Tu Kuan, tiba tiba saja semangat menegakkan keadilan tumbuh kembali dihatinya, dengan lantang serunya: "Tidak masalah, aku akan membantu untuk merebut kembali suamimu." Tiba tiba terdengar Lam-yan berkata sambil tertawa: "Bagus sekali, kau bukan saja akan merebut kembali suami sendiri, bahkan akan membantu orang lain untuk merebut kembali suaminya....." Merah padam paras muka Siau Hui-uh, tiba tiba ia saksikan Kim Hui berdiri disitu dengan wajah mengerikan, dengan kaget jeritnya: "Engku!" sekujur tubuh Kim Hui bergetar, mendadak ia mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Tu Hun-thian wahai Tu Hun-thian, kau telah mencelakai diriku hingga mati tak bisa hiduppun susah, setelah lewat dua puluh tahun, tak disangka hari ini Thian memberi kesempatan kepadaku, membiarkan putrimu jatuh ke tanganku .
. . . . .." sepasang lengannya segera direntangkan, diantara suara ruas tulang yang gemerutuk, dia pentang ke sepuluh jari tangannya dan dihujamkan keatas batok kepala Tu Kuan.
secepat kilat siau Hui-uh menghadang jalan perginya sambil berteriak ngeri: "Engku, tidak boleh .
. . . .." "Kenapa tak boleh?" Kim Hui mencak mencak kegusaran, "ayahnya telah mencelakai aku, kenapa aku tak boleh mencelakainya?" Il "Tapi.....
tapi . . . . . .. "Biarpun ayahnya punya dendam dengan dirimu," ucap Lam-yan pula, "namun tak ada sangkut pautnya dengan gadis ini, jika kau berani menyentuhnya, sekarang juga aku akan mati dihadapanmu." Kim Hui tertegun, tiba tiba dia mencak mencak bagaikan hewan liar, rambutnya ditarik dan dijambak bagai orang gila, jeritnya: "Dua puluh tahun, dua puluh tahun, aku benciiiii .
. . . . . .." Walaupun wataknya beringas dan buas, namun sama sekali tak berani membangkang perkataan Lam-yan, dan dikolong langit saat ini, mungkin hanya Lam-yan seorang yang mampu membujuknya.
"Jika kau benci, seharusnya carilah Tu Hun-thian." Teriak Lam-yan keras.
sementara itu lelaki berbaju hitam tadi sudah berdiri terperangah, melongo seperti orang bodoh, selama hidup belum pernah ia jumpai lelaki sejelek ini tapi berilmu silat tinggi.
Biarpun pergelangan tangannya telah dilepas, namun tubuhnya tetap berdiri mematung, seakan sudah lupa untuk kabur, saat itulah tanpa sadar ia berteriak: II "Tu Hun-thian ada di keluarga Tong.....
Kembali tubuh Kim Hui bergetar keras, ia menghentikan mencak mencaknya dan berdiri melongo, kemudian sambil tertawa kalap jeritnya: II "Bagus, bagus sekali .
. . . . . .. sambil menuding Tu Kuan, lanjutnya: "Akan kubawa perempuan ini kehadapannya, akan kusuruh dia mengetahui semua keburukan yang dilakukan putrinya.
Hahaha... selama hidup tua bangka itu selalu bersih dan saleh, akan kulihat apa jadinya setelah II mengetahui keadaan putrinya .
. . . . . .. Tiba tiba dia cengkeram tangan lelaki berbaju hitam itu, bentaknya: "Kau ingin mati?" "Dirumah....
hamba.... hamba masih punya ibu yang tua .
. . . . .." jawab lelaki itu dengan wajah kecut.
"Hahaha, bila tak ingin mati, sekembalinya nanti jangan bilang kalau telah bertemu lohu, inipun demi kebaikanmu sendiri, kalau tidak, Tong Ti pun tak bakalan melepaskan dirimu." "setelah kembali nanti, akau hamba laporkan kalau nona Tu sudah mati .
. . . . .." "Begitu baru pintar, pergilah!" Pergelangan tangannya diayun, tubuh lelaki berbaju hitam itu seketika terlempar sejauh tiga kaki lebih dan bergulingan ditanah, buru buru dia merangkak bangun lalu melarikan diri terbirit birit.
Oo0oo Malam sudah kelam, bintang bertaburan diangkasa.
sebuah tiang bambu berdiri tegak diatas tanah lapang, bambu itu panjangnya mencapai tiga kaki dan disebut orang Ban-cu-lam-pian, cambuk selatan selaksa kaki.
Petasan yang panjang dipasang dari ujung tiang hingga mencapai permukaan tanah, ketika terhembus angin, petasan bergoyang tiada hentinya. Kemudian sumbu pun disulut api.
serentetan suara letusan mercon pun bergema menggetarkan langit.
Hari ini adalah malam menjelang perkawinan si walet hitam Tong Yan.
semakin larut malam, perkampungan keluarga persilatan yang tersohor dikolong langit karena senjata rahasia beracunnya ini tampak semakin ramai, diluar gedung batu telah didirikan puluhan barak panjang khusus untuk menampung tamu yang berdatangan dari empat penjuru.
sepanjang radius satu li, terlihat kereta berlalu lalang tiada putus, hal ini membuktikan bahwa ketenaran keluarga persilatan ini tak pernah surut semenjak ratusan tahun berselang.
sekeliling bangunan batu yang kuno, disetiap pelosok halaman.....
hampir setiap sudut tempat dipenuhi kawanan jago yang bersendang gurau, bau harum arak memenuhi angkasa.
Makin larut malam itu, bau harum arak semakin kental, suara tertawa dan canda pun makin ramai.
Namun dibalik perkampungan yang luas ini, ada dua tempat yang selalu hening, tiada suara hiruk pikuk.
Yang satu adalah gua batu yang lebar dan luas ditepi tebing, walaupun tak seorangpun dapat melihat keadaan dalam gua itu, tapi setiap orang tahu kalau tempat itu merupakan tempat paling penting bagi keluarga Tong untuk membuat senjata rahasia.
Didepan gua batu terlihat enam belas orang murid yang melakukan patroli dan ronda, wajah mereka serius dan keren, biarpun tidak membawa senjata tajam, namun dipinggang mereka, dibalik jubah panjangnya tampak kantung senjata rahasia yang besar.
Bisa ditebak isi kantung itu adalah senjata rahasia paling beracun dari keluarga Tong.
Dengan begitu ketatnya penjagaan, siapa pula yang berani mengusik misai harimau dengan memasuki gua tersebut" Tempat kedua adalah berapa buah bangunan yang berada diatas tebing, walaupun tempat ini tak terlihat orang meronda, namun suasana disitu benar benar amat hening.
Tempat ini tak lain adalah tempat tinggal Lo-cou-cong, Kim-pit-hud sang Buddha berlengan emas sudah amat tersohor dijagad raya, siapa yang berani datang mengganggu" Malam sudah larut, bangunan yang megah itu sudah terbenam dibalik cahaya bintang, dari balik jendela terbias cahaya lentera yang nyaman, keramaian dan suara hiruk pikuk duniawi telah tersingkir diluar jendela.
Pada saat inilah, ditengah daerah terlarang keluarga Tong tampak sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Dia berjalan menerobos pepohonan, langkahnya tidak menimbulkan suara, tapi sorot matanya lebih tajam dari cahaya bintang, orang itu tak lain adalah Tian Mong-pek.
Disisi hutan terlihat pula sesosok bayangan manusia yang sedang mengendap dibalik pohon, ia sentilkan jari tangannya berulang kali.
"saudara Tong disana?" tanya Tian Mong-pek.
Baru selesai bicara, Hek-yan-cu sudah melompat kehadapannya, menggenggam erat tangannya sambil bertanya: "Bagaimana saudara Tian, apakah sudah mendapat kabar tentang dia?" Tian Mong-pek menghela napas.
"sebenarnya aku telah berhasil membujuk adikmu untuk bantu mencari, siapa tahu dalam semalam, diapun tak terlihat bayangan tubuhnya." "Mungkin dia pun tahu malu sehingga sepanjang hari bersembunyi dalam rumah, saudara Tian, apakah kau sudah mencari di tempat lain?" Kembali Tian Mong-pek mengangguk.
"siaute telah berusaha mencari disetiap pelosok, tinggal tempat ini." "Jangan sekali kali kau masuk kemari." Cegah Hek-yan-cu dengan wajah berubah.
"Dengarkan baik-baik," ujar Tian Mong-pek dengan wajah serius, "sebentar lagi, diluar sana bakal menyulut rentengan mercon, tadi siaute sudah mencoba, suara mercon yang panjang baru berhenti setelah hitungan ke dua puluh satu, bahkan suara itu mendengung sampai disini.
Dalam waktu sekian ini, sudah cukup bagiku untuk melakukan pemeriksaan atas lima buah bangunan, dengan suara mercon yang mengacaukan pendengaran lo-cou-cong, asal langkahku lebih berhati hati, rasanya jejakku tak bakal sampai ketahuan." "Tapi .
. . . .. tapi . . . . .. hal ini kelewat bahaya." Kata Hek-yan-cu bermandikan keringat dingin.
Baru selesai dia berkata, dari kejauhan sana sudah terdengar suara rentetan bunyi mercon.
"Aku pergi dulu . . . . .." bisik Tian Mong-pek, tubuhnya seringan asap menyusup ke bawah wuwungan rumah.
Dengan bermandikan keringat, Hek-yan-cu pentangkan matanya lebar lebar sembari menghitung: II "Satu, dua, tiga .
. . . . . . .. Menanti hitungan mencapai angka dua puluh satu, betul saja, suara rentetan mercon telah berhenti.
sementara itu Tian Mong-pek sudah bergerak ke depan, menyusup diantara bangunan yang ada.
Tapi semua jendela tertutup rapat, hingga hitungan ke tiga belas, ia belum berhasil menemukan apapun.
sementara hatinya sedang gelisah, tiba tiba dari balik jendela terdengar suara kakek itu berteriak: "Omong kosong .
. . . .. ambilkan gula gula . . . . .. hal semacam ini tidak boleh dilakukan." Menyusul kemudian terdengar suara kakek berjubah panjang itu.....
si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berkata dengan suara rendah" "Tapi ikatan perkawinan ini sangat menguntungkan pihak kita, tapi dia bersikeras minta rumput pelumat impian sebagai mas kawin, ananda pun kehabisan daya." Waktu itu suara letusan mercon telah berhenti, Tian Mong-pek yang mendengar kata rumput pelumat impian, seketika menghentikan semua gerakannya, dia siap menyerempet bahaya untuk mendengarkan lebih lanjut.
Terdengar kakek itu berkata lagi: "Apapun yang terjadi, kita tak bisa menyerahkan rumput pelumat impian kepadanya, urusan lain bisa dirunding, tapi yang ini tidak! sudah tahu .
. . . . . . . .. ambilkan gula gula." ' seru Tong Ti.
Bab 39. Untuk melepas keleningan, carilah orang yang mengikatnya.
Kakek itu masih tetap mengunyah gula-gula, namun nada ucapannya semakin gusar.
"Tapi kenapa" Sumber bahan rumput pelumat impian sudah sangat minim, sedang senjata rahasia perguruan kita sangat membutuhkan bahan itu, buat apa orang she-Chin memerlukan rumput tersebut?" "Konon dia membutuhkan rumput itu untuk membuat obat pemunah Panah kekasih," sahut Tong Ti, "seandainya kita tidak berikan rumput itu, kemungkinan besar dia akan membatalkan urusan perkawinan." "Mau batal, biarkan saja batal." Teriak kakek itu gusar, "senjata rahasia merupakan darah dari perguruan kita, nyawa perguruan kita, urusan perkawinan terhitung apa" Kentut anjing, kentut anjing!" Semakin berbicara, dia semakin emosi: "Walaupun umat persilatan saat ini menganggap panah kekasih sebagai senjata rahasia paling hebat, namun kesemuanya itu hanya ilmu sihir dari golongan kiri, hanya pasir beracun dan sit-li beracun dari keluarga Tong merupakan nenek moyangnya segala jenis senjata rahasia beracun.
Nenek moyang sesungguhnya! Urusan apa pun yang ada dalam perguruan, harus mengutamakan senjata rahasia.
Inilah peraturan yang turun temurun dari nenek moyang kita, soal urusan perkawinan bocah, biarkan mereka urus sendiri." "Tapi para tamu undangan telah hadir .
. . . . . . . .." bisik Tong Ti tergagap.
"Tamu undangan, tamu undangan kentut, amgi! Amgi! Hanya senjata rahasia kita yang paling penting, tanpa senjata rahasia, apa artinya segala macam tamu undangan setan?" "Benar, benar .
. . . .. ayah, silahkan makan gula gula .
. . . . .." "Tidak mau, hmmm, hmmm, kau sangka orang she-Chin itu benar benar berani membatalkan perkawinan" Kalau dia berani mengatakan batal, akan kusuruh dia rasakan pasir beracunku." "Baik, baik .
. . . . . . .." "Bagus, semua perkataanku telah selesai, pergilah, Tian Mong-pek, masuk Il kau.
Tian Mong-pek terperanjat, hampir saja ia terjatuh dari atap rumah, mimpi pun dia menyangka dalam keadaan gusar, kakek itu masih dapat melacak jejaknya.
"Kreeek!" daun jendela terbuka, cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruangan.
Sambil menggigit bibir dan mengeraskan kepala, Tian Mong-pek melompat masuk lewat daun jendela.
Ternyata kamar itu luas sekali, tapi dalam ruangan yang luas itu hanya terdapat sebuah balai tidur yang besar, sebuah meja pendek dan tumpukan gula gula diatas meja itu.
Tong Ti benar benar sudah pergi dari situ.
Kakek berambut putih itu duduk santai diatas tempat tidurnya, dengan mata setajam kilat dia awasi Tian Mong-pek dan teriaknya keras: "Hahaha, besar amat nyalimu, suruh kau masuk, kau langsung saja masuk." Tian Mong-pek tertawa getir.
"Biar tidak berani masuk pun, tetap harus masuk kemari." sahutnya.
"Sudah kuduga sejak akal kalau kau bakal kemari.
Aku dengar kau sedang kasak kusuk dengan cucu kecil ku itu, apakah kau sedang membantunya menemukan kembali perempuan itu?" Tian Mong-pek terperanjat, pikirnya: "Tajam amat pikiran orang tua ini." Belum sempat menjawab, kakek itu kembali berteriak: "Benar tidak" Cepat katakan, benar tidak?" "Benar." Jawab Tian Mong-pek lantang.
Agaknya kakek itu yang dibikin tertegun, lama sekali dia melototi pemuda itu, mendadak jeritnya: "Hahaha, bocah muda, kau berani mengaku, ternyata kau berani mengakui?" "Kenyataan memang begitu, kenapa tak berani mengaku?" Sorot mata kakek itu semakin garang, bentaknya: "Tahukah kau, dosa apa yang telah kau langgar dengan sembarangan mengintip ruanganku ini?" "Apa pun dosanya, akan kupikul seorang diri." "Seandainya kau kemari karena dipaksa dia, mungkin hukumanmu dapat diperingan, kalau tidak.....
hhmm, hhhm....." Sambil membusungkan dadanya jawab Tian Mong-pek: "Aku datang secara sukarela, sama sekali tak ada hubungannya dengan dia, bila aku tak mau kemari, siapa pun tak ada yang bisa memaksa diriku." Sekali lagi kakek itu melotot dengan garang, mendadak ia tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, anak muda, ambilkan gula gula.....
cepat, kau pun makan sepotong." Tanpa berpikir panjang Tian Mong-pek mengambilkan gula gula untuk kakek itu kemudian mengambil lagi sepotong untuk dirinya.
"Jangankan gula gula," demikian ia berpikir, "biar racun yang mematikan pun tetap akan kumakan." Dengan cepat dia jejalkan gula gula itu ke dalam mulut, mengunyahnya lalu ditelan.
Tampak kakek itu pejamkan matanya sambil asyik mengunyah gula gula, sembari mengunyah, dia mengangguk berulang kali, seakan sudah lupa kalau Tian Mong-pek masih berada didepan mata.
Tian Mong-pek berusaha tetap sabar, diapun tidak berbicara.
Angin berhembus masuk lewat jendela, menggoyangkan lidah api lentera diatas meja.
Mendadak kakek itu angkat tangannya dan mengayun perlahan, tidak terasa ada hembusan angin, tahu tahu kedua belah daun jendela itu sudah menutup sendiri.
"Wah, sempurna amat tenaga dalam yang dimiliki kakek ini." Pikir Tian Mong-pek sambil menarik napas dingin.
Kalau berbicara soal kedahsyatan tenaga pukulan, tentu saja Lan Toa-sianseng orangnya, tapi pukulan kakek ini tidak menimbulkan suara, tatapan matanya seperti tak bertenaga, kelembutan serangannya belum pernah disaksikan Tian Mong-pek selama ini.
Tampaknya kakek itu sedang dirundung banyak masalah, setelah menutup jendela, kembali dia termenung sambil bergumam: "Rumput pelumat impian, kenapa dia buru buru menginginkan rumput pelumat II impian .
. . . . . . .. Tian Mong-pek kebingungan, mendengar gumaman itu, dia tak mampu menjawab.
Setelah jendela ditutup, dari dalam ruangan mulai terendus bau amis darah yang tawar, dalam kagetnya pemuda itu memandang sekejap sekeliling ruangan.
Ia segera menemukan kalau diatas sepasang kaki kakek itu terbungkus selapis kulit berbulu, kalau dilihat dari warnanya, kulit itu seolah baru saja disayat hidup hidup dari tubuh kambing atau anjing.
Hanya saja karena kakek itu duduk bersila, maka kalau tidak diperhatikan, susah ditemukan hal itu.
Kelihatannya sepasang kaki kakek itu sudah terserang rematik yang parah sehingga sama sekali tak mampu bergerak.
Sementara dia masih berpikir, tiba tiba terdengar kakek itu menghela napas seraya berkata: "Saat minum obat sudah tiba." Sepasang tangannya segera bertepuk perlahan, demikian perlahan sampai Tian Mong-pek yang berdiri dihadapannya pun mendengar suara itu lembut sekali.
Meski kedengaran lembut dan perlahan, ternyata suara itu terdengar hingga tempat yang jauh sekali.
Tak lama kemudian terdengar suara derap kaki kuda makin mendekat, lalu terlihat tirai disingkap orang, diluar pintu telah berdiri Hui-hong-hong yang sepanjang hari ini tak pernah tampilkan diri.
Dia menuntun tali les kuda, tapi begitu melihat Tian Mo ng-pek, gadis itu seketika menghentikan langkahnya.
"Dasar budak bodoh," umpat kakek itu sambil tertawa, "dia sudah menjadi orang sendiri, kenapa masih ingin menghindar?" Diam diam Tian Mong-pek tertawa getir, namun mau tak mau dia harus menyapa sambil tertawa.
Siapa tahu Hui-hong-hong langsung berjalan masuk, gadis itu sama sekali tidak melirik kearahnya.
Tian Mong-pek sangat keheranan, tapi dia lebih tercengang ketika melihat kuda yang dituntun gadis itu ternyata tak lain adalah kuda Ci-kilin.
Hanya saja kuda jempolan ini sama sekali tak bersemangat, semua kegagahannya dimasa lalu kini sudah sirnqa, ketika bertemu Tian Mong-pek, agaknya kuda itu masih mengenalnya hingga meringkik lirih.
Dengan perasaan tak habis mengerti pikir Tian Mong-pek: "Orang tua ini mau minum obat, kenapa dia datang menuntun kuda?" Terlihat Hui-hong-hong dengan tangan kiri membawa baki kumala, tangan lain mencabut tusuk konde dari rambutnya, tiba tiba dia tusuk pantat kuda itu dalam-dalam.
Kelihatannya kuda itu sudah dibikin hilang rasa sakitnya dengan obat bius, ternyata tusukan itu tidak menimbulkan kesakitan, setelah cabut keluar tusuk kondenya, dengan baki kumala Hui-hong-hong menerima cucuran darah yang mengalir keluar dari pantat kuda.
Tak lama kemudian, baki kumala itu sudah dipenuhi dengan darah segar.
Kembali Hui-hong-hong mengambil selembar koyo dan "Plakk!" ditempelkan diatas mulut luka di pantat kuda, sedang baki penuh berisikan darah itu dihantar ke hadapan si kakek.
Dengan segera orang tua itu menerima baki kumala itu dan dengan sekali tegukan, dia minum habis semua darah segar itu.
Menyaksikan kejadian ini, Tian Mong-pek berdiri tertegun dengan mata terbelalak, untuk sesaat dia tak mampu bersuara, pikirnya: "Tak heran kalau cahaya kuda ini semakin layu dan kusut, tapi....
kenapa orang tua ini harus minum darah kuda?" Terdengar orang tua itu berseru sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, kuda, wahai kuda, terpaksa aku harus menyiksa mu." Kemudian sambil berpaling kearah Tian Mong-pek, tanyanya: "Kau merasa agak sakit hati bukan?" "Betul, kau memiliki begitu banyak kuda, kenapa harus minum darah kuda ini?" "Hahaha, anak kecil tahu apa" Aku orang tua membutuhkan waktu tiga tahun untuk memelihara kuda ini menjadi kuda obat, kalau tidak kuminum darahnya, lantas darah itu untuk apa?" "Kuda obat?" tanya Tian Mong-pek tercengang.
"Selama tiga tahun terakhir, rerumputan yang dimakan kuda ini merupakan obat mujarab yang mimpi pun orang biasa tak mungkin mendapatkannya, setelah menikmati kemanjaan selama tiga tahun, sepantasnya kalau sekarang sedikit agak menderita." Tian Mong-pek segera tersadar tentang apa yang terjadi, pikirnya: "Tak heran kalau semua anggota keluarga Tong memandang kuda ini begitu berharga dan berusaha untuk merebutnya kembali, aku rasa kakek ini pasti mengalami cau-hwe-jit-mo sewaktu berlatih semacam ilmu berhawa dingin sehingga latihan yang berlebihan membuat hawa racun menyusup ke dalam tulang.
Kini, dia berusaha dengan segala cara untuk mengusir hawa dingin dalam kakinya.
Tapi... kalau memang kuda ini adalah kuda obat, mengapa dibiarkan berlarian di jalan raya?" Terdengar kakek itu berkata lagi dengan suara keras: "Sepanjang hari kau berlalu lalang dalam dunia persilatan, pernah dengar tentang wilayah dalam kangouw yang disebut Hui-pun(baskom api)?" "Belum pernah." "Ditengah wilayah baskom api, hidup seorang tabib yang bernama Leng Yok-su, pernah dengar?" Kembali Tian Mong-pek menggeleng.
Kakek itu segera tertawa terbahak-bahak, ujarnya: "Hahaha, ternyata pengetahuanmu cupat sekali, masa sampai tokoh manusia yang begitu hebat dan wilayah yang begitu hebat pun belum pernah tahu." Sesudah berhenti sejenak, tiba tiba tanyanya lagi: "Kalau rumput pelumat impian tentunya sudah pernah mendengar bukan?" Tergetar hati Tian Mong-pek mendengar pertanyaan itu, tanyanya tanpa sadar: "Apa hubungannya rumput pelumat impian dengan wilayah Baskom api?" Kakek Tong tertawa.
"Yang disebut wilayah baskom api jauh berada di daerah Sinkiang, orang luar menyebutnya sebagai negeri Turfan, tempat itu selain rendah bahkan panas sekali, biar sudah berendam dalam air dingin pun kau masih bisa berkeringat, bagi orang awam, mungkin hidup sehari pun sudah tak tahan, tapi semangka dan anggur yang dihasilkan wilayah ini manisnya bagai madu, bila teringat soal ini, aku si orang tua akan menelan air liur." "Klukukl" betul saja, orang tua ini benar-benar menelan air liur.
Sesaat kemudian baru lanjutnya: "Thian memang maha agung, setiap ciptaannya selalu aneh dan sukar diterima dengan nalar, walaupun rumput pelumat impian merupakan benda beracun bersifat dingin, tapi tumbuhan ini justru tumbuh dan hidup di wilayah terpaling dan terkering, tapi kalau tiada Leng Yok-su si manusia aneh ini yang menanam dan memeliharanya, mungkin berapa tahun lagi rumput tersebut akan menjadi barang langka." "Tokoh macam apa pula Leng Yok-su itu?" kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak.
Kakek itu tertawa terbahak.
"Orang ini bermarga Leng bernama Tam, sesuai dengan namanya, dia adalah batu arang dingin dibawah baskom api, selain keras, anehnya bukan kepalang.
Kalau orang lain selalu mencari tempat tinggal yang nyaman, maka dia justru hidup di Baskom api yang merupakan wilayah terendah, wilayah terpanas.
Kalau orang lain memelihara bunga yang indah, dia justru menanam rumput pelumat impian yang paling beracun dan paling jelek.
Dia pun tak pernah berhubungan dengan orang persilatan, tapi asal ada orang berani mengacau di wilayah baskom api, tanggung tak satu pun yang bisa keluar dari situ dalam keadaan hidup." "Karena apa dia menanam rumput pelumat impian?" tanya Tian Mong-pek terheran-heran.
"Tujuannya tidak membiarkan orang lain pergi menanamnya, kalau orang memintanya, jangan harap dia akan memberi.
Sekalipun orang ini aneh, tapi justru cocok sekali dengan seleraku, oleh karena itu setiap kali keluarga Tong kami membutuhkan rumput pelumat impian, walaupun terkadang banyak terkadang sedikit, namun aliran pengirimannya tak pernah putus, bukan hanya begitu, setelah dia tahu kakiku terserang racun hawa dingin, dia pun menanam kembali berapa jenis obat obatan di wilayah Baskom api untuk mengobati sakitku.
"Hanya sayangnya, bahan obat obatan tersebut bukan saja tak bisa tumbuh ditanam ditanah, bahkan akan menjadi layu setelah terhembus angin, begitu layu, semua kasiatnya akan lenyap.
"Akhirnya dia pun mendapat ide untuk mengkonsumsikan bahan obat obatan itu kepada kuda, agar kuda itu berubah jadi kuda obat, kemudian oleh utusan yang kukirim, kuda obat itu dituntun balik kemari.
Hahaha, kalau bukan gara gara kuda obat ini, mungkin hari ini kau si bocah muda pun tak bakal bisa bertemu aku si orang tua." Dia bercerita dengan begitu bangganya, tapi setelah berbicara sampai disini, napasnya mulai tersengkal.
Tak seorangpun yang tahu, napas yang tersengkal itu memang disengaja atau napasnya memang putus" Tian Mong-pek sendiripun tergerak hatinya oleh kisah cerita itu, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, hanya saja yang dia pikirkan adalah sangkut paut antara panah kekasih, rumput pelumat impian dengan Leng Yok-su.
Tiba tiba terdengar kakek itu bergumam: "Sayangnya, Leng Yok-su sudah enggan menanam rumput itu lagi, tampaknya dikemudian hari, rumput pelumat impian benar-benar akan menjadi barang langka yang tak ternilai harganya .
. . . . . . .." "Kecuali Leng Yok-su, apakah tak ada orang lain yang menanam rumput ini?" mendadak Tian Mong-pek bertanya.
"setahuku, masih ada satu orang lagi yang menanam." "Siapa?" tanya Tian Mong-pek dengan perasaan tegang.
Sebagaimana diketahui, tanpa rumput pelumat impian, tak mungkin panah kekasih bisa dibuat, itu berarti orang yang menanam rumput itu pasti mempunyai hubungan yang luar biasa dengan pembuat panah kekasih.
Kakek itu tertawa. "Menyinggung tentang orang ini, diapun terhitung makhluk aneh, sebetulnya dia merupakan sepasang saudara kembar yang lahir pada saat yang sama, namun setelah tumbuh dewasa, watak dan perangai mereka berbeda, apa mau dikata mereka pun pada saat yang sama jatuh cinta pada seorang wanita yang sama.
"Ceritanya, perempuan itupun terhitung seorang mak hluk aneh, hatinya keji, telengas dan buas, perbuatan jahat apapun sanggup dia lakukan.
Gara gara perempuan ini, dua bersaudara itu boleh dibilang sudah kenyang menderita, tapi pada akhirnya mereka berhasil membuat perempuan itu terharu, namun kesulitan dan masalah masih muncul terus sepanjang tahun." Dia seakan berbicara sangat asyik hingga kisah itu ditutukan tanpa jedah.
"Bayangkan saja, perempuan itu hanya mempunyai satu badan, mana mungkin bisa mengawini dua bersaudara sekaligus" Akhirnya sang lotoa bersedia mengalah, siapa tahu sang loji tetap bersikeras menampik.
"Karena dua bersaudara itu saling mengalah, akhirnya tak seorangpun diantara mereka yang menikahinya, tapi mereka pun tak rela membiarkan perempuan itu kawin dengan orang lain, maka mereka pun membawa kabur perempuan ini.
"Dimasa lalu, biarpun perempuan ini akan romantis, tapi saat inipun dia sudah matikan perasaan, secara sukarela hidup bersama dua bersaudara itu, selama dua puluh tahunan belum pernah turun gunung selangkahpun.
"Tapi para musuh perempuan itu berhasil juga melacak tempat persembunyian mereka, rombongan demi rombongan berdatangan menyatroni dua bersaudara itu.
"Sayang ilmu silat yang dimiliki dua bersaudara ini kelewat tinggi, tak seorangpun musuh yang menyatroni berhasil pulang dengan selamat.
Namun "Sayang ilmu silat yang dimiliki dua bersaudara ini kelewat tinggi, tak seorangpun musuh yang menyatroni berhasil pulang dengan selamat.
Namun belakangan, kabar berita mereka bertiga sudah mulai sirna dari dunia persilatan, mungkin sudah tak ada yang berani naik gunung mencari gara gara." Tiba tiba satu ingatan melintas lewat dalam benak Tian Mong-pek, tanyanya tanpa sadar: "Apakah perempuan itu gemar mengenakan gaun merah" Apakah dua bersaudara itu adalah Kun-lun-siang-coat?" Kakek Tong tertegun, tapi segera tertawa tergelak.
"Hahaha, tidak nyana dengan usiamu yang masih muda, tak sedikit Bu-lim cianpwee yang kau ketahui, bahkan sampai kisah tentang si ular merah bergincu pun tahu dengan jelas." Bayangan bukit Kun-lun, tingkah laku serta setiap ucapan perempuan berbaju merah itu, dengan cepat melintas kembali dalam benak Tian Mong-pek.
"Aah benar," demikian ia berpikir, "kalau memang dimasa lampau perempuan itu mempunyai julukan si ular merah bergincu, tentu saja Kun-lun- siang-coat menyangka akupun termasuk keturunan dari para musuh besar perempuan itu dimasa lampau yang datang mencari balas ketika aku bertanya kepada mereka untuk minta seekor ular beracun berwarna merah, beruntung sekali .
. . . . . . ..aaai! sudah pasti Yo Swan sudah tahu tentang pantangan dari dua bersaudara itu hingga sengaja mengajarkan perkataan itu kepadaku, agar aku membuat gusar mereka." Biarpun dia sudah sadar tentang intrik busuk Yo Swan, namun bila teringat perhatian dan kasih sayang Yo Swan kepadanya, terlepas pura pura atau sungguhan, hatinya tetap menaruh perasaan terima kasih kepadanya.
Tampaknya kakek itu kembali terjerumus ke dalam kenangan lama, dengan wajah senyum tak senyum gumamnya: "Entah sampai dimana kehebatan Lak-yang-ciang-hoat milik Kongsun Thian-heng saat ini?" Seolah memahami akan sesuatu, tanya Tian Mong-pek: "Apakah rumput pelumat impian sama sepergi bunga seruni Giok-hu-han-kiok, dibutuhkan tenaga Kun-lun-lak-yang-ciang agar bisa tumbuh ditanah?" "Betul, darimana kau bisa tahu?" "Aaai," Tian Mong-pek menghela napas, "tak lama berselang, boanpwee sempat bertemu dengan mereka." Berkilat sepasang mata kakek itu, kelihatannya dia jadi tertarik, sambil tepuk tangan katanya: "Tidak gampang untuk berjumpa dengan mereka, apakah hingga kini mereka bertiga masih tinggal bersama?" "Mereka bertiga membuat pondok masing masing diwilayah yang sama," sahut Tian Mong-pek, "tapi ketiga buah bangunan itu hanya memiliki satu pintu masuk, jadi mereka bertiga pun hanya bisa masuk keluar melalui satu pintu." "Hahaha, betul, dua bersaudara itu sembari saling mengalah, mereka pun saling bersiaga, kuatir ada satu pihak yang berhubungan lebih mesra, tak nyana kedua orang ini sampai tua pun tak bisa mengubah perangi muda nya." Setelah tertawa terbahak-bahak, mendadak tanyanya lagi: "Sejak dulu, Kongsun Thian-heng dengan si ular bergincu adalah sepasang kekasih yang sering ribut, apakah sampai sekarang pun belum pudar perselisihan mereka?" Kembali Tian Mong-pek terbayang bagaimana perempuan berbaju merah itu minta dia untuk menghancurkan ladang bunga seruni milik Kongsun Thian-heng, tak kuasa sahutnya sambil tertawa keras: "Tampaknya, bukan saja belum mereda, bahkan pertikaian mereka semakin menghebat." "Betul, betul," seru si kakek sambil bertepuk tangan, "si ular bergincu gemar warna merah, paling benci warna kuning, karen a itulah Thian-heng si tua bangka itu sengaja menanam bunga seruni kuning untuk membuatnya mendongkol." Agaknya kakek itu sedang mengenang kembali kejadian masa lalu yang menggembirkan, sekali lagi ia tertawa terbahak bahak.
Mendadak sambil menghela napas dengan nada berat, katanya: "Moga-moga saja kecuali menanam bunga seruni, diapun tidak lupa menanam rumput pelumat impian." "Rasanya belum pernah kulihat dia menanam rumput pelumat impian." Kata Tian Mong-pek setelah berpikir sejenak.
"Hahaha, bocah cilik tahu apa, sekalipun si tua bangka itu sudah tanam rumput pelumat impian, dapat dipastikan dia tak akan membiarkan bocah cilik macam kau untuk melihatnya." Tian Mong-pek berpikir: "Karena ada orang kedua yang bisa menanam rumput ini, berarti semua suplay rumput pelumat impian yang dipakai untuk membuat panah kekasih, belum pasti seluruhnya diperoleh dari Leng Yok-su." Kalau dilihat dari mimik muka kakek ini kemudian dipikirkan dengan seksama, terasa kalau diantara Kun-lun-siang-coat, si ular bergincu, Lan Toa-sianseng, kokcu lembah Kaisar, Leng Yok-su, Tiau-yang hujin, Liat-hwe-hujin serta kakek dari keluarga Tong seolah mempunyai ikatan yang rumit dan ikatan rumit ini sedikit banyak menyangkut rahasia Panah kekasih, hanya saja hubungan tersebut kelewat ruwet dan rumit sehingga untuk sesaat sulit dipilah.
Apalagi dalam hubungan yang amat pelik ini, ditambahkan pula budi dendam dengan Tujuh manusia terkenal serta satu-satunya orang yang bisa memunahkan racun panah kekasih, Chin Siu-ang.
Untuk sesaat dia merasa pikirannya sangat kalut, tiba tiba teriaknya: "Lo-cou-cong, tahukah kau siapa lagi yang bisa mendapat rumput pelumat impian hasil tanam Leng Yok-su?" Sambil tertawa kakek Tong menggeleng.
"Orang ini aneh sekali wataknya, dia hanya mempunyai lohu seorang teman." "Bagaimana kalau minta secara halus tak bisa, diambil secara paksa?" "Hahaha, hanya dewa yang bisa merebut barang miliknya, dia lebih suka melumat dan memunahkan seluruh rumput pelumat impian daripada membiarkan orang lain berhasil merebut sebatang." Tian Mong-pek jadi sangat terperanjat, gumamnya: "Aneh, sungguh aneh, kalau begitu rumput pelumat impian yang digunakan untuk membuat panak kekasih, berasal dari tempat tinggal Kun-lun-siang- coat?" Dia begumam dengan nada tak jelas, kakek itu hanya sempat mendengar kata aneh, segera teriaknya: "Apa yang aneh" Hei, apa yang kau katakan?" "Soal ini .
. . . .. soal ini . . . . . .." Selama ini Hui-hong-hong hanya berdiri ditepi ranjang tanpa menyela, saat itulah dia tertawa ringan seraya berkata: "Lo-cou-cong, hari ini kau terlalu banyak bicara, sudah waktunya untuk beristirahat!" Kakek itu tertegun, lalu gumamnya: "Betul, betul, sudah waktunya beristirahat." Memandang Tian Mong-pek sambil tersenyum, ucapnya: "Tak disangka, berbicang dengan kau si bocah cilik, justru mengingatkan aku dengan banyak sahabat lama." Sesudah menggeliat dan mengulapkan tangan, terusnya: "Pergilah, bila ada waktu jangan lupa datang mencari aku si orang tua." Setelah pejamkan mata, diapun merebahkan diri dan tidak bicara lagi.
Didalam hati meski Tian Mong-pek masih ada banyak persoalan yang ingin ditanyakan, namun sekarang, terpaksa dia harus memberi hormat sambil mengundurkan diri.
Keluar dari kamar, dia tertawa getir sambil berpikir: "Sama sekali tak kusangka, walaupun tujuan kedatanganku tidak tercapai, namun tanpa sengaja telah mendengar banyak rahasia, terlebih tak mengira kalau meski aku belum bertemu Tiau-yang hujin, tapi ditempat ini telah mendengar kisah cerita tentang Kun-lun-siang-coat dengan si ular bergincu." Tiba tiba ia mendengar seseorang memanggil dari belakang tubuhnya, ketika berpaling, Hui-hong-hong telah berjalan menghampiri.
Dengan girang pemuda itu bertanya: Il "Nona, apakah urusan yang kutitipkan kepadamu .
. . . . . .. Dengan cepat Hui-hong-hong menukas: "Tak usah kau tanyakan lagi masalah perempuan itu, kedatanganku kemari hanya ingin beritahu kepadamu, dia sudah pergi ke tempat yang jauh, siapa pun tak bakal menemukannya lagi." Nada suaranya dingin dan kaku, sama sekali hilang kelembutan dan kemsrahannya dimasa silam.
"Tapi . . . . . . .." Tian Mong-pek gelisah.
"Tapi apa" Hmm!" gadis itu mendengus sambil beranjak pergi dari sana.
"Aneh, sungguh aneh...." Tian Mong-pek tertawa getir, "kenapa perempuan ini berubah?" Sewaktu berjalan kembali ke balik pepohonan dimana Hek-yan-cu menunggu, bayangan tubuh rekannya itu sudah hilang tak berbekas.
Melihat itu ia jadi geli sendiri, pikirnya: "Biarpun si walet hitam ini bukan termasuk orang jahat, tapi jadi orang sangat penakut, tak punya wibawa, mungkin melihat aku tak kunjung kembali, saking takutnya dia sudah kabur duluan." Teringat Tu Kuan si gadis yang cantik dan lugu itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan si walet hitam, bahkan hingga kini kabar beritanya tak jelas, dalam hati dia sangat menyesal.
Dengan statusnya sebagai calon menanti, dia dapat berjalan ke manapun dalam halaman gedung keluarga Tong, para tamu yang melihat dirinya, ada yang segera berbisik bisik, ada pula yang menyapa sambil tertawa.
Terlihat dari belakang gunung-gunungan berjalan keluar dua sosok bayangan manusia, tapi begitu melihat Tian Mong-pek, mereka segera menarik badan, sayang Tian Mong-pek sedang dirundung masalah sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian atas hal ini.
Kedua orang yang berada dibelakang gunung-gunungan itu tak lain adalah Hong Sin dan Hong It ayah beranak.
Menyaksikan tingkah laku Tian Mong-pek yang tidak bersemangat, ujar Hong It sambil tertawa dingin: "Biasanya bangsat ini selalu bersemangat macam seekor naga, kenapa hari ini lemas mirip kucing penyakitan?" "Bisa jadi hatinya terluka bercampur keheranan gara gara nona Tong tidak lagi menggubrisnya, sayang diapun tak dapat menebak kenapa bisa jadi begitu?" kata Hong Sin tertawa.
"Tapi kita pun belum pernah bertemu nona Tong!" Hong Sin segera tertawa tergelak.
"Hahaha, tentu saja dia sangat malu untuk bertemu dengan mu, tak usah kuatir nak, kita tunggu saja sampai keluarga Tong menyelenggarakan pesta perkawinan, setelah tiba saat upacara nanti, ayahmu sudah punya cara untuk memaksa bajingan dari marga Tian itu untuk menyerahkan posisinya kepadamu, agar kaulah yang menjadi pengantin lelaki." Semakin dipikir dia merasa semakin bangga, akhirnya orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Kuatirnya sampai waktu itu, keadaan sudah terlalu terlambat." Kembali Hong Sin tertawa.
"Dasar anak bodoh, sampai saatnya nanti, asal aku umumkan didepan para enghiong dari seluruh kolong langit tentang hubungan cintamu dengan Tong Hong, masa Tian Mong-pek masih punya muka untuk melanjutkan perannya sebagai pengantin lelaki?" Sesudah tertawa terbahak-bahak, lanjutnya: "Hahaha, waktu itu nasi sudah jadi bubur, sekalipun Tong Ti lihay, terpaksa dia harus kawinkan putrinya denganmu, kenapa musti panik?" Hong It kegirangan setengah mati, pujinya: "Ayah memang pantas jadi Cukat Liang hidup, kalau orang macam bajingan Tian itu ingin memusuhi dirimu, dia pasti akan ketimpa sial besar." "Selama ini kau sudah banyak meraih keuntungan, sepanjang jalan, apa yang kau lakukan sudah cukup bagi Tian Mong-pek untuk memikul semua nama busuk." Mendengar itu, Hong It tertawa keras, tapi kemudian katanya dengan benci: "Yang paling menjengkelkan adalah mereka yang mencatut nama Tian Mong-pek untuk melakukan perbuatan baik, ayah, dapat kau tebak siapakah mereka?" "Kalau dilihat dari sepak terjang orang-orang itu, sudah pasti ilmu silatnya amat tinggi, bisa jadi itu semua hasil perbuatan Tu Hun-thian, Thian-ma hwesio atau Mong-mo si tua bangka sialan itu!" II "Betul-betul tua bangka yang pantas mampus, umpat Hong It, "kenapa sudinya orang orang itu merugikan diri sendiri dengan melakukan perbuatan yang tak bermanfaat, dasar tua bangka goblok, pikun, edan." "Pikun mah belum, hanya saja dimasa lampau mereka pernah salah menuduh Tian Mong-pek, kemudian mereka pun sudah tak berminat mencari nama besar, karena itu sepak terjang mereka pun dilakukan atas nama Tian Mong-pek." "Hmm, dasar berjiwa kere, sampai tua hampir mampus pun tak pernah bisa mengubah wataknya." Oo0oo Tian Mong-pek sudah kembali ke gedung halaman yang disiapkan keluarga Tong bagi dirinya, waktu itu Ui Hau dan Lau-san-sam-gan sekalian sedang meneguk arak ditengah ruangan.
Setiap kali berjumpa orang orang ini sedang minum arak, Tian Mong-pek selalu merasa girang bercampur takut, girang karena bertemu sahabat karib dan bakal minum arak lagi, takut kalau tak bisa lolos sebelum mabuk.
Melihat kehadirannya, Ui Hau sekalian segera maju mengerumun, seru mereka: "Kini Tian-heng adalah bakal menantu keluarga Tong, sudah sepantasnya kalau minum barang dua cawan." Tian Mong-pek hanya bisa mengeluh dalam hati, mau bicara tak ada gunanya, mau menampik pun tak mungkin, terpaksa cawan demi cawan arak masuk ke dalam perutnya, menjelang tengah malam, semua orang sudah tujuh-delapan puluh persen dipengaruhi air kata-kata.
Ui Hau mulai mengigau tak karuan, sedang Tian Mong-pek dalam keadaan mabuk pun sudah pergi tidur.
Menjelang fajar inilah tiba tiba anggota keluarga Tong membawa dua orang tamu untuk mereka.




Ho Kun-hiong dan Kim Eng yang usianya lebih tua selalu bertindak lebih hati-hati, biarpun mereka berdua pun ikut meneguk arak, namun selalu menjaga takaran.
Ketika mendengar suara, mereka segera maju menyambut.
Terlihat Tong Hok, pengurus rumah tangga gedung keluarga Tong berdiri
im Eng yang usianya lebih tua selalu bertindak lebih hati-hati, biarpun mereka berdua pun ikut meneguk arak, namun selalu menjaga takaran.
Ketika mendengar suara, mereka segera maju menyambut.
Terlihat Tong Hok, pengurus rumah tangga gedung keluarga Tong berdiri didepan undak-undakan dan berkata dengan hormat: "Kedua orang tuan ini datang secara terburu-buru dan bersikeras ingin bertemu Tian toaya, hamba tak berani membangkang hingga membawa mereka kemari." Dibawah cahaya lentera, Ho Kun-hiong serta Kim Eng menyaksikan ada dua orang lelaki tinggi kurus bagaikan bambu berdiri dihadapan mereka.
Perawakan tubuh kedua orang itu kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, rambutnya yang panjang dan kacau nyaris menutupi separuh muka mereka, yang terlihat hanya sepasang matanya yang berputar tajam.
Mimik muka kedua orang ini dingin kaku, sedikitpun tak menunjukkan perasaan, baju yang dikenakan adalah jubah kain blaco yang besar dan lebar.
Ho Kun-hiong dan Kim Eng bertukar pandangan sekejap, diam-diam mereka bergidik, meski sudah cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, belum pernah dijumpai manusia macam begini.
Bagaimana pun Kim Eng adalah seorang opas kenamaan, matanya tajam, tangannya lincah, biarpun hati kecilnya kaget, dia tetap maju menyambut sambil tertawa.
"Boleh tahu siapa nama kalian berdua?" Tidak menunggu hingga pertanyaan itu selesai, lelaki berbaju blaco yang disisi kiri sudah menukas: "Mana Tian Mong-pek?" "Ada urusan apa kalian mencarinya?" "Mana Tian Mong-pek?" ulang orang itu.
Kim Eng melongo, sambil tertawa paksa ujarnya: "Jelaskqan dulu maksud kedatangan kalian berdua, dengan begitu aku baru bisa memberi jawaban." "Mana Tian Mong-pek?" ulang orang itu.
Kedua orang ini selain berwajah dingin kaku, setiap ucapan yang keluarpun kaku dan dingin, bolak balik berbicara, yang diutarakan pun hanya "mana Tian Mong-pek", tiada perubahan mimik muka, apalagi senyuman.
Sekalipun Kim Eng bermata tajam, untuk sesaat sulit baginya untuk menebak asal usul mereka berdua, diapun tak bisa membedakan apakah kedua orang itu musuh atau sahabat, dia jadi melongo dan berdiri terperangah.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Ho Kun-hio ng, dia maju mendekat dan bisiknya: II "Busur empat senar .
. . . . . .. Kim Eng tergetar hatinya, tanpa sadar tubuhnya mundur dua langkah, sambil menatap kedua lawan, pikirnya: "jangan jangan memang dia yang datang?" Dalam pada itu dua orang lelaki berbaju blaco itu sudah berjalan melintas, Kim Eng ingin sekali maju menghadang, tapi sepasang lututnya terasa amat lemas, menanti ia melongok kembali, kedua orang itu sudah berjalan masuk ke ruang tengah.
Ho Kun-hiong segera menyelinap masuk, ibu jari dan jari tengah kanannya menyentil ke depan, "Pluuuk!" Ho Kun-kiat dan Ho Kun-hiap yang sedang meneguk arak pun segera menggebrak meja sambil melompat bangun.
Selama ini, mereka bertiga selalu menggunakan sentilan jari sebagai pertanda bila bertemu musuh, biarpun saat itu Ho Kun-kiat dan Ho Kun-hiap sudah dalam keadaan mabuk, tapi begitu mendengar suara sentilan, merekapun segera tersadar tiga puluh persen dari mabuknya.
Dengan gerakan cepat, dalam waktu singkat mereka bertiga sudah mengepung dua orang lelaki itu ditengah arena.
Ho Kun-kiat yang paling mabuk, tanpa banyak bertanya lagi, tangan kanannya langsung menyambar sebuah bangku dan ditimpuk kearah lelaki berbaju blaco itu.
Baru saja Ho Kun-hiap ikut menyambar bangku, tiba tiba tangannya terasa dingin, rupanya secara diam-diam Kim Eng telah selipkan sebilah golok panjang kepadanya.
Dengan senjata ditangan, dia ibarat harimau yang tumbuh sayap, sambil membentak tubuhnya menerjang ke muka.
Siapa sangka lelaki berbaju blaco itu sama sekali tak menengok kearah mereka, yang seorang menyambut datangnya sambitan bangku, sedang yang lain langsung berjalan menghampiri Ui Hau yang masih bersenandung.
Dalam senandungnya, tiba tiba Ui Hau mendongakkan kepalanya lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, rupanya kalian pun sudah datang!" Luput dengan bacokan pertama, Ho Kun-hiap segera menghentikan serangan berikut setelah mendengar gelak tertawa itu.
Ho Kun-kiat ikut tertegun, teriaknya kemudian: "Engkoh Ui Hau, apakah kau kenal dengan mereka berdua?" "Hahaha, kenal, kenal, kenal sekali, Li toako, Tio toako, cepat kemari, biar kuhormati kalian dengan tiga cawan arak." Sambil bicara dia angkat poci arak, sayang isinya segera tumpah diatas meja.
Ho Kun-hiap ikut tertawa terkekeh, katanya: "Kelihatannya toako pun sudah ikut mabuk, sembarangan mengirim tanda bahaya, tak disangka takaran minum toako masih kalah jauh dibandingkan siaute!" Ditengah gelak tertawa, dia ikut roboh ke lantai.
Il "Hahaha, ternyata kau pun sudah mabuk.....
seru Ho Kun-kiat sambil tepuk tangan, tiba tiba ia merasa ada bangku menyambar datang, begitu ditangkap bangku itu, tubuhnya pun ikut terjungkal ke lantai.
Dalam pada itu, sebenarnya Tong Hok sudah siap untuk minta bantuan, tapi setelah melihat rombongan orang mabuk itu, dia hanya bisa tertawa getir sambil gelengkan kepala.
"Ternyata tuan tuan ini sudah mabuk berat sampai kawan sendiripun tidak kenal?" Tanpa bicar lagi, diapun beranjak pergi.
Ho Kun-hiong dan Kim Eng hanya bisa saling bertukar pandangan.
Seusai mengembalikan lemparan bangku ke arah Ho Kun-kiat, dua orang lelaki berbaju belacu itu duduk disamping Ui Hau.
Lelaki yang disebelah kiri berkata: "Ui Hau, kau sudah mabuk, mana Tian Mong-pek?" "Hahaha, siapa bilang aku mabuk?" jawab Ui Hau sambil tertawa keras, "hei saudaraku, mari biar kuperkenalkan kalian dengan para sahabat, kedua II orang ini adalah .
. . . .. adalah . . . . .. Setelah memukul benak sendiri, teriaknya: "Hahaha, sudah teringat sekarang, Li toako adalah Siong-hong-kiam (pedang angin pohon siong), sedang Tio toako adalah Tiam-cong-kiam, ayoh kalian harus meneguk secawan arak." Begitu mendengar nama itu disebut, baik Ho Kun-hiong maupun Kim Eng sama-sama terperanjat.
Mereka segera maju memberi hormat, kata Kim Eng sambil menjura: "Sungguh tak disangka kalian berdua adalah Li Siong-hong, Li tayhiap dan Tio Beng-teng, Tio tayhiap, lama mendengar nama besar kalian, sungguh beruntung hari ini kita bisa saling berjumpa." Li Siong-hong yang ada disebelah kiri berkata: "Ui Hau sudah mabuk, mana Tian Mong-pek?" nada suaranya tetap dingin kaku.
Menyaksikan kelakuan tamnya, diam diam Kim Eng berpikir: "Padahal nama besar mereka amat tersohor, kenapa sikapnya begitu tak tahu diri?" Darimana dia tahu kalau kedua orang ini sudah banyak tahun terjebak dalam lingkaran kematian dihutan penyesat, rasa lapar dan dahaga yang harus diderita sepanjang hari membuat mereka sudah melupakan sama sekali tata kesopanan dan cara pergaulan.
Disisi lain, Ui Hau masih meneguk arak dengan buasnya, ketika menghabiskan lagi dua teko arak, dia terjatuh keatas meja lalu tertidur pulas.
Dalam keadan begini, dia tak sempat bertanya kenapa kedua orang itu tiba tiba meninggalkan hutan penyesat dan datang kesana.
Kim Eng tertegun, sewaktu mendongakkan kepala, dia jumpai kedua orang itu sedang menatap mukanya sambil menunggu jawaban, terpaksa sahutnya sambil tertawa getir: "Saudara Tian ikut mabuk." Li Siong-hong mendengus, dengan kaku dia duduk kembali.
"Apakah kalian berdua ada urusan penting?" kembali Kim Eng bertanya, "apa perlu kubangunkan dia?" "Memang orang mabuk bisa diajak bicara?" kata Li Siong-hong ketus.
Tiba tiba Tio Beng-teng bertanya: "LOfLjQ, sudah berapa lama kau tak pernah minum arak?" "Delapan belas tahun enam bulan delapan hari." "Kalau aku sudah sembilan belas tahun tiga bulan." Sebagaimana diketahui, sewaktu berada dalam hutan, kehidupan mereka benar benar tersiksa, sehari bagaikan setahun, tak aneh bila berlalunya sang waktu dapat mereka ingat dengan jelas sekali.
Kim Eng maupun Ho Kun-hiong tak pernah tahu tentang kedua orang ini, tak heran kalau mereka jadi tertegun dan melongo saking kaget dan herannya.
Menyaksikan mimik muka Tio Beng-teng meski tanpa ekspresi, namun matanya yang menatap cawan arak seolah begitu kesemsem, Kim Eng segera tahu kalau dimasa lalu, orang ini pastilah seorang setan arak, buru buru katanya sambil tertawa: "Setelah tidur sejenak, saudara Tian segera akan mendusin, bagaimana kalau cayhe temani kalian berdua minum arak sekedar buang waktu?" Cepat dia sediakan guci arak dan memenuhi teko yang tersedia.
"LOfLj, dimasa lalu kau bisa meneguk berapa banyak?" tanya Tio Beng-teng kemudian.
"Kalau sedang senang bisa satu guci, kalau lagi tak suka hati bisa dua guci." Jawab Li Siong-hong.
"Bisa menghabiskan dua guci sudah terhitung lumayan." Diam-diam Kim Eng tertawa geli, tanpa bicara lagi dia siapkan empat guci arak.
Maka mereka berempat pun duduk kembali sambil minum arak, Li Siong-hong maupun Tio Beng-teng tidak banyak bicara, terpaksa Ho Kun-hiong serta Kim Eng harus menemani mereka.
Sesungguhnya kedua orang ini sudah enam puluh persen mabuk, apalagi ditambah berapa cawan arak lagi, kepala mereka terasa mulai pening dan mual, tapi kuatir ditertawakan orang, maka mereka paksakan diri untuk tetap meneguk.
Tampak Li Siong-hong dan Tio Beng-teng meneguk arak dengan lahapnya, cawan demi cawan terkirim masuk ke perut, begitu seguci arak habis, guci berikut segera menyusul.
Kim Eng mulai berpikir: "Mereka berdua bisa minum seguci lebih sedikit, tapi bagaimana kami berdua dapat menandingi mereka?" Diam-diam dia lempar kerlingan kearah Ho Kun-hiong, maka setiap kali dua orang tamunya menghabiskan secawan, mereka berdua pun meneguk satu cicipan.
Terlihat Li Siong-hong makin minum wajahnya makin menghijau, sedang Li Beng-teng makin minum mukanya semakin merah, hingga matahari terbit, dari lima guci yang tersedia kini tinggal dua guci arak.
Saat itu Kim Eng sudah merasakan matanya berkunang-kunang, apalagi Ho Kun-hiong, tubuhnya sudah gontai siap roboh.
Pada saat itulah Tio Beng-teng baru buka suara: "Lo-lie, kau sudah minum berapa banyak?" "Mungkin tiga guci." Jawab Li Siong-hong.
"Aku pun minum tiga guci." Kim Eng yang mendengarkan agak tertegun, tiba tiba ia mendongak dan tertawa tergelak.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Tio Beng-teng.
Ujar Kim Eng sambil tertawa keras: "Disini hanya tersedia lima guci arak, tapi kalian berdua .....
menghabiskan enam guci! Hahaha.....
hahaha . . . . . .." Ho Kun-hiong sambil menggigit bibir ikut tertawa, tampak Tio Beng-teng dan Li Siong-hong saling berpandangan, tapi akhirnya semua orang tertawa tergelak.
Melihat itu, pikir Kim Eng: "Ternyata diantara sekian banyak orang, hanya takaran minumku yang paling Il II bagus..." dia angkat cawannya dan berseru, ayoh kita bersulang .
. . . . . .. Tiba tiba arak itu dia tuang ke lubang hidung.
Ho Kun-hiong tak kuasa menahan diri lagi, mereka berempat rebah dimeja sambil tertawa keras, begitu kerasnya hingga mangkut cawan ikut berdentingan.
Makin lama suara tertawa mereka makin lirih, akhirnya ke empat orang itu sama-sama tak bergerak lagi.
Menanti Tian Mong-pek mendusin dari mabuknya, ia saksikan dalam ruangan dipenuhi para pemabuk yang tidur tumpang tindih.
Sambil tertawa geli dia pun berjalan keluar dari kamar, siap mencari air dingin untuk mengusir dahaga.
Tapi begitu sampai didepan pintu, seketika dia hentikan langkahnya sambil bergumam: "Kenapa bisa bertambah dua orang?" Sesudah diteliti, baru diketahui mereka adalah Tio Beng-teng dan Li Siong-hong.
Saat ini, walaupun kepalanya terasa pening dan lidahnya terasa kering, namun pikirannya sudah segar kembali, begitu tahu siapa yang datang, ia jadi amat terperanjat, bila dalam hutan penyesat tidak terjadi perubahan, kenapa kedua orang itu bisa muncul disana" Dia mencoba membangunkan Tio Beng-teng, tapi orang itu hanya mengigau, dia coba lagi membangunkan Li Siong-hong, namun lelaki itupun hanya mendengkur, rupanya mereka sudah begitu mabuk hingga tak mungkin diajak berbincang.
Pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya, den gan gelisah pemuda itu berjalan mondar mandir dalam ruangan, pikirnya: "Kenapa dengan suhu" Kenapa mereka berdua bisa sampai di sini?" Tiba-tiba terdengar Tio Beng-teng merintih: "Air .
. . . .. air . . . . . . .." Tian Mong-pek kegirangan, cepat dia membalik tubuh rekannya sambil memanggil: "Saudara Tio, saudara Tio!" Tio Beng-teng membuka sedikit matanya yang sipit lalu tertawa bodoh: II "Hehehe....
kau disini rupanya, arak bagus....
arak wangi..... Sambil bergumam, tangannya kembali mengqeravanq c awan arak.
"Kenapa dengan suhu" Kenapa mereka berdua bisa sampai di sini?" Tiba-tiba terdengar Tio Beng-teng merintih: "Air .
. . . .. air . . . . . . .." Tian Mong-pek kegirangan, cepat dia membalik tubuh rekannya sambil memanggil: "Saudara Tio, saudara Tio!" Tio Beng-teng membuka sedikit matanya yang sipit lalu tertawa bodoh: "Hehehe....
kau disini rupanya, arak bagus....
arak wangi..... Sambil bergumam, tangannya kembali menggerayang cawan arak.
Buru buru Tian Mong-pek mencekal tangannya sambil berseru: "suhu .
. . . . .." "Suhu minta aku beritahu kepadamu.....
soal panah kekasih...." "Ada apa dengan panah kekasih?" "Untuk.....
untuk melepas keleningan .
. . . . .. carilah orang.... orang yang mengikatnya . . . . . . . .." Tian Mong-pek tertegun.
"Untuk melepas keleningan, cari orang yang mengikatnya" Untuk melepas keleningan, cari orang yang mengikatnya .
. . . . . . . .." Mendadak hatinya tercekat, peluh dingin membasahi tubuhnya.
Ketika memandang lagi kearah Tio Beng-teng, orang itu sudah roboh terkapar.
Tian Mong-pek tidak menggubris dirinya lagi, sambil bergendong tangan dia berjalan mondar mandir, sebentar memukul dada sendiri, sebentar tertawa keras, gumamnya: "Betul, betul, sudah pasti dia." Ho Kun-hiap yang mabuk duluan, kinipun sadar paling awal, melihat sikap pemuda itu, sambil mengucak mata dia berseru: "Tian.....
Tian-heng, kau sudah edan?" Tian Mong-pek melompat sambil mencengkeram bahunya, sambil tertawa keras serunya: "Saudara Ho.....
berita gembira..... berita gembira..... berita paling gembira . . . . . . . .." "Wah, ternyata mau jadi pengantin pun bisa begitu gembira?" Ho Kun-hiap tertawa tergelak.
"Pengantin apa, aku sudah tahu siapa pemilik panah kekasih itu." Tak terlukiskan rasa kaget Ho Kun-hiap, kontan semua mabuknya tersapu bersih, sambil melompat bangun dan melotot besar, jeritnya: "Siapa" Siapa" Siapa?" "Chin Siu-ang." Kontan Ho Kun-hiap jatuh terduduk.
"Dari..... darimana kau bisa tahu?" tanyanya.
"Waktu itu, pendeta berbaju abu dari kuil Kim-san-sie menemukan sejilid kitab rahasia yang berisikan catatan transaksi panah kekasih, dan orang yang berada di kamar hongtiang hari itu hanya Chin Siu-ang seorang, sudah pasti Chin Siu-ang yang kehilangan catatan rahasia itu sehingga dia mondar mandir diatas bukit dan tak mau pergi dari situ." "Kemudian?" "Dia sangat berkeinginan untuk mendapatkan rumput pelumat impian sehingga tak segan ditukar dengan putrinya, hal ini dikarenakan rumput pelumat impian merupakan bahan terpenting dalam pembuatan panah kekasih." "Hah, aku tak pernah tahu tentang hal ini, masih ada yang lain?" seru Ho Kun-hiap semakin terperanjat.
"Selain itu, Lim Luan-hong sebetulnya adalah pengikut dia, tapi secara tiba tiba pergi ke luar perbatasan untuk merampok dua bersaudara keluarga Tong, aaai .
. . . . . .. jejak lain masih terlalu banyak dan tak mungkin bisa dijelaskan satu per satu, pada mulanya aku hanya curiga, tak berani memastikan, tapi perkataan tadi telah menyadarkan aku, membuat aku jadi paham dan mengerti dengan semua permasalahan yang terjadi." "Perkataan apa?" "Untuk melepas keleningan, carilah orang yang mengikatnya.
Bangsat itu dapat menciptakan panah kekasih, sudah pasti hanya dia yang tahu bagaimana memunahkan racun panah kekasih." Peluh dingin mulai meleleh membasahi tubuh Ho Kun-hiap, ujarnya gemetar: "Betul-betul manusia berhati keji, dengan berbuat begitu, dia ingin membuat orang lain selamanya tak akan menduga ke dia, bahkan berusaha melindungi keselamatan jiwanya." "Bila kita pikirkan lebih seksama, hampir semua orang yang dia tolong adalah orang orang tak penting yang sama sekali tak menyangkut dirinya, sementara ayahku .
. . . . .. dia sengaja tak mau menolong ayahku, dia....
dia hanya manfaatkan kesempatan itu untuk menciptakan sandiwara, menciptakan dalang dibalik layar yang membingungkan semua orang, kapan dia berniat menolong orang" Sungguh kasihan, ada sementara umat persilatan yang tolol justru berusaha melindungi dan selamatkan nyawanya." "Sebentar lagi dia .
. . . .. dia akan datang kemari, Tian-heng, kau harus.....
harus lebih berhati-hati, jangan gugup, jangan sampai hilang kendali .
. . . . .." Dengan penuh kebencian sahut Tian Mong-pek: "Aku tahu, hari ini .
. . . . . . .." Sekonyong-konyong dari halaman luar terdengar ada orang berseru sambil tertawa keras: "Hahaha, saudara Tian, tak disangka kau sudah mabuk begitu hebat hingga ll sampai sekarang pun masih berjongkok di lantai .
. . . .. Dengan hati terperanjat Tian Mong-pek balik badan sambil berpaling, tampak Tong Pa sudah muncul sambil tertawa nyaring.
ll "Hahaha.... bagus, bagus sekali, serunya, "semua orang sudah mabuk hingga roboh, kelihatannya mereka tak bisa minum arak kegirangan hari ini." Lalu sambil menarik lengan Tian Mong-pek, dia menambahkan: "Beruntung saudara Tian masih sanggup berdiri, banyak tamu diluar sedang menunggumu!" Gelak tertawa orang ini amat nyaring, jauh berbeda dengan saudara saudaranya.
"siaute memang berniat keluar." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa paksa.
"Kalau begitu mau tunggu apa lagi, ayoh jalan! Saudara Ho, apakah kau masih mampu berjalan?" Buru buru Tian Mong-pek memberi tanda kerdipan mata kepada Ho Kun-hiap.
Sambil tertawa sahut Ho Kun-hiap: "Biarlah siaute tetap disini untuk merawat rekan rekan yang mabuk." "Hahaha, bagus, bagus sekali, belum lagi menikmati arak kegirangan, kalian sudah pada roboh .
. . . .." dengan menarik lengan Tian Mong-pek, pemuda itu segera beranjak pergi.
Diluar halaman yang luas dan lebar telah didirikan barak barak tenda yang besar, nyaris seluruh pelosok tempat telah dipenuhi para tetamu.
Bila ingin mencari orang ditengah kerumunan begitu banyak tamu, mungkin jauh lebih susah daripada mencari jarum di dasar samudra.
Para jago dan tokoh silat pelbagai wilayah yang tiba ditempat ini, segera merasakan bahwa status mereka sungguh amat kecil, ini dikarenakan terlalu banyak nama tenar yang tersebar ditempat itu.
Si tangan pencabut nyawa Tong Ti, ciangbunjin perguruan keluarga Tong, dengan pakaian yang indah menjumpai setiap tamu yang datang memberi selamat.
Tapi dari pihak pengantin wanita, si tabib sakti Chin Siu-ang nyaris tak pernah munculkan batang hidungnya, padahal ada begitu banyak tamu yang berharap bisa menjumpai wajahnya, ingin tahu sehebat apakah tabib sakti yang merupakan satu satunya tabib yang mampu memunahkan racun Panah kekasih itu.
Perlu diketahui, dunia persilatan waktu itu sudah dibikin ketakutan karena kemunculan panah kekasih, bagi mereka yang pernah menyaksikan kehebatan racun panah kekasih, walaupun takut, keadaan mereka masih mendingan, tapi bagi orang orang yang belum pernah melihat kehebatan panah kekasih, nyaris semua berita sensasi yang tersebar ditelan mentah mentah, hal ini membuat rasa takut dan horor mereka terhadap panah kekasih bertambah mengental.
Ketika mendapat surat undangan yang dibagikan Tong Ti, sebenarnya banyak diantara tamu yang tak berani hadir, namun berhubung pada surat undangan tercantum pula nama si Tabib sakti Chin Siu-ang, dalam hati merekapun berpikir, sekalipun keracunan, paling tidak masih ada yang akan mengobati, kenapa harus gugup dan sangsi" Karena itulah semua orang pun berbondong bondong menghadiri pesta perkawinan ini, kalau bukan begitu, mana mungkin gedung keluarga Tong dipenuhi begitu banyak tamu" Oleh sebab itu kehadiran si Tabib sakti Chin Siu-ang justru merupakan pusat perhatian dari semua jago yang hadir.
Tapi kini, tengah hari sudah lewat, bayangan tubuh Chin Siu-ang masih belum terlihat.
Tiba tiba terjadi kegaduhan ditengah para tetamu, entah siapa, ada yang berseru sambil menuding: "Coba lihat, orang yang datang bersama Thiat-pacu adalah calon menantu keluarga Tong, Tian Mong-pek." Ada pula yang segera berteriak: "Tian Mong-pek" Wah, belakangan nama orang ini amat terkenal dalam dunia persilatan, hanya saja perangainya susah ditangkap, terkadang baik terkadang jahat, perbuatan macam apa pun pernah dia lakukan." Kemudian terdengar pula ada yang berkata sambil tertawa: "Sobat, mungkin kau belum tahu, sesungguhnya Tian Mong-pek adalah seorang lelaki sejati, semua perbuatan jahat yang terjadi sesungguhnya dilakukan orang lain." Ditengah hiruk pikuknya suara pembicaraan, sorot mata semua orangpun sama sama tertuju kearah Tian Mong-pek.
Tian Mong-pek sendiri dengan sorot mata yang tajam berusaha menemukan jejak Chin Siu-ang, tapi setelah tahu kalau orang yang dicari belum tiba, bahkan tandu pengantin wanita pun belum muncul, perasaan hatinya jadi sedikit kecewa.
Biarpun begitu, rasa tegang masih menyelimuti hatinya, karena setiap saat sebuah serangan mematikan mungkin akan terjadi.
Tong Pa menarik pemuda itu menuju ke depan Tong Ti, setelah memberi hormat, diapun menariknya berkeliling ruangan untuk diperkenalkan kepada semua hadirin, jelas pemuda ini ikut merasa bangga karena kepopuleran calon adik iparnya ini.
Berada ditengah kerumunan tetamu, Tian Mong-pek berusaha tampil dengan senyuman dikulum, padahal perasaan hatinya murung dan berat, nyaris kata kata pujian dari orang lain, tak satupun yang sempat mampir ditelinganya.
Tiba tiba dari tengah kerumunan orang banyak muncul sebuah tangan, dengan cepat cakar besinya mencengkeram pergelangan tangannya, dalam kagetnya tak kuasa tubuh Tian Mong-pek terseret keluar dari kerumunan.
Setelah berjalan berapa langkah, dia baru tahu kalau orang itu adalah Tu Hun-thian.
Padahal ada begitu banyak jago yang ingin berbincang dengan pemuda ini, tapi siapa pula yang berani mencegah ulah si panah lepas dari busur ini" Tampak paras muka Tu Hun-thian sedingin salju, setelah menarik Tian Mong-pek kesudut ruangan yang sepi, tegurnya dengan nada ketus: "Apakah kau akan menikah?" "soal ini .
. . . .." Tian Mong-pek tertawa getir.
"Karena akan menikah maka kau sudah tidak menggubris anak Kuan?" lanjut Tu Hun-thian.
Teringat kalau hingga kini kabar berita Tu Kuan masih belum jelas, Tian Mong-pek tertunduk sedih, tak mampu bicara.
Kembali Tu Hun-thian berkata: "Gara gara mencari kau, malam-lama anak Kuan minggat dari sisiku, hingga kini kabar beritanya tak jelas, mati hidupnya tak diketahui, bila dalam keadaan begini kau tetap ingin menikah, bukankah perbuatanmu lebih rendah dari seekor binatang?" Kontan Tian Mong-pek mengerutkan dahinya, hawa amarah timbul dalam hati, tapi begitu teringat kalau dirinya memang ikut bertanggung jawab atas kejadian ini, ujarnya setelah menghela napas panjang: "Siapa bilang aku akan menikah?" Tu Hun-thian tertegun.
"Tapi Tong . . . . . . . .." "Selama hidup, aku orang she-Tian tak bakal menikah dengan nona Tong." Tegas sang pemuda.




Dengan termangu Tu Hun-thian mengawasi wajah anak muda itu, meski timbul rasa heran, tapi dia tahu pemuda ini selalu pegang setiap perkataannya, apa yang telah diucapkan, sampai mati pun tak akan berubah.
Ketika dia mengatakan tak akan menikah dengan Tong Hong, biarpun ada golok atau kapak yang menempel ditepi kepalanya pun, jangan harap orang bisa memaksanya kawin dengan Tong Hong.
Berpikir begitu, sekulum senyuman kembali tersungging dibibir Tu Hun-thian, tiba tiba ia mengeluarkan secarik kertas dan katanya: "Ambillah." Ketika diterima, terbaca diatas kertas itu bertuliskan: "Hang Beng suami istri dari perkampungan Hang-ke-cung kota Un-ciu, pada malam bulan tiga tanggal dua belas nyaris tewas dikerubuti kawanan laknat, istri Tio Tiang-hong dari Che-tong kota Ka-heng, pada bulan II limanyaris mati .
. . . . . . . .. Dibawahnya tertera rentetan catatan nama, waktu dan kejadian yang menimpa seseorang.
Membaca kesemuanya itu, Tian Mong-pek jadi keheranan, tanyanya: "Apa itu?" "Mereka yang tercatat namanya disana adalah orang orang yang pernah kau selamatkan jiwanya, bila suatu waktu kau membutuhkan mereka, asal diperintah, mereka siap terjun ke lautan api naik ke bukit golok untuk membantumu." "Tapi....
tapi aku belum pernah berjumpa dengan orang orang itu, apakah cianpwee tidak keliru?" Sewaktu mendongak kembali, Tu Hun-thian sudah pergi meninggalkan dirinya.
Lama sekali pemuda ini berdiri termangu, akhirnya diapun paham dengan duduknya persoalan, pikirnya: "Sudah pasti Tu locianpwee dengan mencatut namaku telah selamatkan nyawa II orang orang itu .
. . . . . .. Tiba tiba terjadi lagi kegaduhan, terlihat berapa orang berteriak sambil bertepuk tangan: "Pengantin perempuan, cepat keluar, kalau malu malu, sampai kapan urusan baru selesai?" Sorak sorai itu bergema amat nyaring, tepuk tangan dan teriakan berkumandang saling menyusul.
Dalam waktu singkat terdengar orang orang dalam gedung berteriak: II "Pengantin perempuan, cepat keluar.....
mau sampai kapan . . . . . . .. Rupanya para tamu sudah tak sabar menanti kehadiran pengantin wanita sehingga kegaduhan mulai terjadi.
Bab 40. Kado perkawinan orang gagah dunia persilatan.
So-hun-jiu, si tangan pencabut nyawa Tong Ti dan Thiat-pa-cu (macan tutul baja) Tong Pa ayah dan anak berunding beberapa saat, mendadak Tong Pa melompat naik keatas meja, sambil rentangkan sepasang lengannya dia berseru: "Saudara sekalian .
. . . . . . . .." Pada dasarnya suara orang ini memang nyaring, begitu berteriak, suara gaungannya seketika menggetarkan seluruh ruangan.
Betul saja, begitu dia berteriak, para tamu pun mulai tenang kembali, terdengar seseorang berseru dari kejauhan: "Kalau Tong toako masih tetap menyembunyikan pengantin wanita, apakah hal ini tidak kelewatan?" Kembali para tamu tertawa terbahak-bahak.
Dengan suara keras teriak Tong Pa: "Hingga sekarang pengantin wanita belum datang, masa ji-te ku saja tidak gelisah, kalian justru yang gelisah duluan.
Bukankah hal ini sama artinya sang kaisar tidak panik, si thaykam mati dulu lantaran gelisah?" Kembali ada orang berteriak: "Kelihatannya Tong toako sedang bikin ulah, sudah jam berapa sekarang, masa pengantin wanita belum tiba" Jangan jangan sang mertua yang tidak tega melepaskan anak putrinya?" Kali ini gelak tertawa semakin nyaring, orang orang diluar gedung pun berdesakan berusaha masuk ke dalam.
Tong Pa goyangkan tangannya berulang kali, serunya: "Pengantin wanita betul-betul belum tiba, siaute sudah utus orang untuk menyusul, baiklah, begitu pengantin wanita datang nanti, pasti akan kuatur untuk bertemu kalian lebih dulu." Dengan adanya janji ini, suasana pun menjadi reda kembali.
Rupanya Chin Siu-ang meski sudah tiba di wilayah Suchuan, tapi lantaran jam baik untuk pertemuan belum tiba, pengantin laki dan pengantin wanita pun harus tinggal terpisah, maka keluarga Tong telah memborong rumah penginapan Kun-te dikota keresidenan sebagai tempat tinggal mereka.
Kini, sekalipun suasana dalam gedung telah berhasil diatasi, namun orang yang paling gelisah masih tetap Tian Mong-pek.
Dia berniat untuk membongkar rahasia Chin Siu-ang dihadapan para jago dari seluruh kolong langit, kemudian membunuhnya untuk melampiaskan rasa dendam kesumatnya, untuk itu, dia telah sembunyikan pedang baja nya dibalik jubah panjang yang dikenakan.
Tanpa terasa saat menyulut lentera dalam gedung pertemuan telah tiba.
Kasak kusuk dan suara bisikan mulai tersebar diantara para jago, semua orang berusaha menebak apa sebab pengantin wanita belum juga muncul.
Maka kembali ada orang berteriak keras: "Kalau pengantin wanita belum datang, suruh pengantin laki keluar dan minum arak dulu dengan kami." Walaupun nama besar Tong Ti amat tersohor dalam dunia persilatan, namun saat ini diapun dibikin tak berdaya, terpaksa sambil meredakan kegelisahan para tetamunya, dia perintahkan orang untuk memanggil Tong Yan.
Pikir Tian Mong-pek: "Jika Hek-yan-cu adalah seorang lelaki sejati, dia seharusnya menemukan Tu Kuan lebih dulu, kemudian meski harus kawin lari, dia pun harus siap II melakukannya .
. . . . . .. Siapa tahu belum selesai dia berpikir, Tong Yan dengan pakaian pengantin dan wajah amat jengah, ditemani Tong Pa sudah muncul ditengah ruangan.
Para tamu pun mulai menyapa dan menghormati arak kepadanya.
Tiba tiba terlihat seorang lelaki berbaju sutera berlarian masuk dengan tergesa gesa dan langsung menuju ke hadapan Tong Ti.
"Apakah pengantin wanita sudah berangkat?" Tong Ti segera bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, para hadirin segera jadi tenang kembali dan memasang telinga dengan seksama.
Siapa tahu lelaki itu setelah celingukan kesana kemari, akhirnya dia tempelkan bibirnya disisi telinga Tong Ti dan membisikkan sesuatu, paras muka Tong Ti berubah seketika, tergopoh gopoh dia berjalan menuju ke ruang belakang.
Para jago makin tercengang, makin gaduh, sementara Tong Pa dan Tong Yan hanya menjura ke empat penjuru, sedang Tian Mong-pek mengernyitkan alis matanya dengan perasaan kuatir.
Dengan langkah cepat si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berlarian menuju ke ruang belakang, disitu Buddha berlengan emas Tong Bu-im yang duduk di kursi roda sedang memukul pegangan keretanya dengan wajah penuh amarah.
sedemikian gusarnya orang tua ini, sampai makan gula gula pun lupa, begitu melihat Tong Ti muncul, kontan umpatnya: "Apakah orang dari marga Chin itu sedang mengajak kita bergurau" Kenapa tandu pengantin belum juga tiba" Bila ia benar benar akan membatalkan perkawinan ini, Hmm! Hmm!" Tangannya diayun, gula gula yang berada dipegangan kursi pun rontok semua ke lantai.
Biarpun Tong Ti menjagoi dunia persilatan, namun setelah melihat ayahnya gusar, terpaksa ia berdiri sambil tahan napas, tak berani lagi bersuara.
Lewat berapa saat kemudian, Tong lojin kakek Tong baru berkata lagi dengan suara dalam: "Ada urusan apa lagi, cepat katakan!" Dengan kepala tertunduk ujar Tong Ti: "Menurut laporan dari keluarga Chin sana, tandu pengantin sudah berangkat sejak tadi, namun saudara kita yang berputar disekitar tempat itu tak pernah melihat ada bayangan dari tandu pengantik." "Apa?" teriak Tong lojin gusar, "memangnya tandu pengantin itu bisa naik ke langit atau masuk ke dalam bumi" Hmm, hmm, sudah pasti lantaran kita menolak memberi rumput pelumat impian, tua bangka Chin telah membawa kabur putrinya." "Tapi .
. . . .." "Tapi apa" Kaulah yang menentukan urusan perkawinan ini, dalam keadaan begini, bagaimana kita akan memberi pertanggungan jawab kepada para tamu" Betul betul bikin malu saja." Tong Ti semakin tak berani buka suara.
"Selewat hari ini," kembali Tong lojin berkata, "kalian ayah beranak tiga orang segera membawa delapan belas orang murid pergi mengejar orang she-Chin itu, biarpun harus mengejar sampai ke ujung langit atau ke dasar samudra pun kalian tetap harus mengejar, kalau gagal menemukan, termasuk kau pun tak usah kembali." "Ananda terima perintah." Tong lojin mendengus dingin, tiba tiba panggilnya: "Hong-ji .
. . . . .. Hong-ji . . . . . . .." Tong Hong dengan wajah murung berjalan keluar, kelihatan kalau dia baru saja menangis, air mata masih membasahi ujung matanya, sayang Tong lojin tidak terlalu perhatian, sambil menepuk sandaran tangan, perintahnya: "Cepat, dorong aku keluar." Waktu itu para tamu undangan yang hadir dalam ruangan sedang gaduh, tiba tiba terdengar seseorang berseru keras: "Lo-cou-cong tiba!" Seketika suasana jadi hening kembali.
Perlu diketahui, posisi dan status Buddha berlengan emas dalam dunia persilatan amat tinggi dan terhormat, bicara soal tingkatan diantara para jago, sebagian besar dari mereka masih terhitung anak murid atau cucu muridnya, dapat dipastikan, tak seorangpun berani bikin gaduh setelah mengetahui kemunculannya.
Dengan sorot mata yang tajam Tong lojin menyapu sekejap seputar ruangan, para jago segera merasakan mata yang tajam dari orang tua itu seakan sedang melotot kearahnya, tanpa sadar semua orang menunduk dan tak berani beradu pandangan.
Terdengar Tong Lojin berkata lagi: "Pengantin wanita tak bakal datang." Para jago sama-sama terperanjat, mereka tak kuasa menahan diri lagi, kegaduhan kembali terjadi.
"Apa yang diributkan?" bentak Tong Lojin lagi, "tenang, tenang, biarpun pengantin perempuan tak jadi datang, kalian masih bisa menikmati arak kegirangan, duduk semua dengan tenang." Ada orang yang tak tahan berteriak: "Kalau pengantin perempuan tak datang, arak kegirangan siapa yang mau diminum?" Tong Lojin mendongakkan kepala dan tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, gagal minum arak kegirangan dari Tong Yan, arak kegirangan dari Tong Hong pun sama sekali, toh cucu menantu lohu sudah tiba sejak awal." Ketika mendengar Chin Siu-ang dan putrinya gagal datang, sebetulnya Tian Mong-pek sudah terperanjat, kini dia semakin gelagapan.
Tong Yan sendiri berdiri mematung, entah dia sedang terkejut atau gembira.
Sebaliknya paras muka Tong Hong berubah hebat, sorot matanya berputar kian kemari memandang kawanan jago.
"Bagus, bagus," teriak para tamu sambil bertepuk tangan dan tertawa keras, "arak kegirangan dari nona Hong pasti jauh lebih wangi...." Hong Sin yang berada jauh ditengah kerumunan para tamu segera menjawil putranya sambil berbisik: "Sudah waktunya, kau boleh tampil keluar!" Hong It tertegun, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, tiba tiba dari kejauhan terdengar seseorang berteriak keras: "Tandu pengantin wanita tiba." Kembali terjadi kekalutan diantara para tamu undangan, ayah beranak dari keluarga Tong saling bertukar pandangan, Tong Hong menundukkan kepalanya, sementara Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, tangannya mulai meraba gagang pedang.
Terlihat kawanan jago mulai menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan tembus.
Delapan orang lelaki bertelanjang dada yang hanya mengenakan kaus singlet terbuat dari serat emas dan memperlihatkan otot badannya yang kekar, menggotong sebuah tandu kecil dan berlari masuk.
Dibawah cahaya lampu yang terang benderang, terlihat tubuh ke delapan orang lelaki itu bersinar keemasan dengan sepatu yang berkilauan, dandanannya aneh tapi indah.
Tandu itupun sangat indah dengan warna emas yang mencolok, dibalik tirai yang terbuat dari untaian mutiara, duduk seorang wanita cantik dengan kopiah yang indah.
silau mata para hadirin ketika menyaksikan kesemuanya itu, pikir mereka: "Royal amat Chin Siu-ang." secara diam diam Tian Mong-pek mulai menggeser, mendesak ke depan kerumunan dan menanti kemunculan dari musuh besarnya, Chin Siu-ang.
Dengan suara keras teriak Tong Lojin: "Terhitung peraturan apa ini, masa ada tandu yang langsung digotong ke tengah ruangan, hmm, hmmm, berontak, benar benar berontak, ayoh cepat berhenti, bimbing keluar pengantin wanitanya." Empat orang dayang segera maju ke depan, menyingkap tirai dan membimbing keluar sang pengantik wanita, biarpun mukanya tertutup kain merah sehingga tak jelas raut mukanya, tapi dari potongan badannya yang ramping, tinggi semampai, bisa diduga dia pastilah seorang wanita cantik.
"Cepat menyembah langit dan bumi, upacara perkawinan segera dimulai." Perintah Tong Lojin.
"Tapi mana Cin-ge-ang (besan)?" tanya Tong Ti tergagap.
"Salah sendiri kalau tidak datang, memang begitu banyak orang harus menunggu dia seorang?" "Betul, betul, cepat menyembah langit dan bumi." Teriak para tamu sambil bertepuk tangan.
Ada berapa orang tamu segera mendorong Tong Yan agar berdiri berjajar dengan pengantin wanita, dengan pakaian mereka yang indah dan perawakan tubuh yang serasi, kedua orang ini memang merupakan pasangan sejoli yang pas.
Para jago mulai bersorak memuji, wajah Tong Lojin mulai dihiasi senyum gembira, hanya Tong Yan yang berdiri tertunduk dengan sikap acuh tak acuh.
Tian Mong-pek ikut menjadi gusar setelah melihat itu, pikirnya: "Kalau sekarang dia menikah, lantas bagaimana dengan Tu Kuan?" Tapi untuk sesaat diapun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba tiba terdengar ada orang berteriak keras: "Bagaimana pun, perkawinan nona Hong telah terjadwal, kenapa tidak dirayakan sekalian pada hari yang sama?" Usul itu seketika mendapat tanggapan dari seluruh hadirin, tempik sorak kembali bergema gegap gempita.
"Hahaha, itupun bagus.....
itupun bagus." sahut Tong Lojin sambil tertawa tergelak.
Setiap perkataan orang tua itu ibarat titah seorang kaisar yang tak boleh dibantah, begitu selesai bicara, sambil tertawa tergelak Tong Pa segera menarik tangan Tian Mong-pek.
Dalam kagetnya, pemuda itu hanya bisa berdiri tertegun.
Belum sempat bereaksi, orang orang yang berada disekitarnya telah merubung maju dan menyeretnya keluar.
Perlu diketahui, kawanan jago silat ini sudah terbiasa bertindak latah, tidak pakai aturan dan bertindak semau sendiri, karena itu dalam masalah tata cara perkawinan pun, mereka tak pakai aturan, terlebih Lo-cou-cong sudah setuju.
Karena itulah tak heran semua orang ingin menggunakan kesempatan itu untuk menciptakan suasana yang lebih ramai.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gusar, tahu tahu badannya sudah diseret orang hingga tampil ke depan.
Buru buru Hong Sin mendorong putranya sambil berseru: "Cepat, cepat, kenapa kau masih belum keluar." Biarpun Hong It berwatak bajingan dan banyak melakukan perbuatan laknat, tak urung sepasang kakinya terasa lemas juga setelah menghadapi kejadian ini, bisiknya ragu: "Ke.....
keluar....." apakah tidak apa apa .
. . . ..?" "Dasar bocah goblok," umpat Hong Sin gusar, "siapa yang berani makan itik yang sudah matang dikukus?" Dia tarik tangan Hong It dan siap menerobos keluar dari kerumunan orang.
Tiba tiba terdengar dua bentakan bergema di angkasa, suara bentakan itu hampir bersamaan, tapi satu berasal dari timur, yang lain berasal dari barat, satu adalah suara kakek tua, yang lain adalah suara yang merdu dan bening.
Kedua orang itu sama-sama membentak: "Tian Mong-pek tidak boleh menikah." Lagi-lagi para jago dibuat terperanjat.
"Siapa yang berani mengacau?" bentak Tong Lojin gusar.
Terlihat kerumunan tamu yang ada disebelah timur tiba tiba bertumbangan ke kiri kanan dan terbuka sebuah jalan lewat.
Begitu pula dari sebelah barat, terlihat kerumunan manusia bertumbangan dan buru buru memberi jalan lewat.
Ditengah kekalutan, tampak seorang kakek berwajah saleh melompat keluar dari tengah kerumunan manusia sebelah timur, begitu meluncur ke depan lilin pengantin, bentaknya: "Tian Mong-pek, apakah ucapanmu masih bisa dipercaya?" Kawanan jago yang mengenali kakek itu kontan menjerit: 'I, u "Aaah, panah yang lepas dari busur Nama besar yang cukup menggetarkan sukma ini seketika menghisap perhatian semua hadirin, dengan begitu orang jadi melupakan orang yang berada disebelah barat.
Tong Lojin ikut melongo ketika melihat orang yang tampil adalah Tu Hun-thian, kemudian sambil tertawa dingin tegurnya: "Tua bangka Tu, dengan susah payah aku si orang tua menyelenggarakan pesta perkawinan, apakah merah matamu?" Tu Hun-thian tidak menggubris, dia hanya mengawasi Tian Mong-pek dengan mata melotot.
Sepintar apa pun, tertegun juga Tian Mong-pek menghadapi perubahan situasi ini, untuk berapa saat dia tak tahu harus berkata apa" "Sebelum menemukan putriku, jangan harap kau bisa menikah." Kembali Tu Hun-thian berseru.
Tak terkirakan rasa gusar Tong Lojin, teriaknya: "Bagus, kau .
. . . .. kau . . . . .. berani betul kau merampas calon cucu menantuku?" Sekonyong-konyong terdengar pengantin perempuan itu berteriak keras: "Ayah!" Kemudian ia menubruk ke dalam pelukan Tu Hun-thian.
Perubahan ini semakin diluar dugaan siapa pun, saking kagetnya, kawanan jago itu sampai tak mampu bersuara, mereka hanya bisa berdiri dengan mata terbelalak mulut melongo sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Gemetar tubuh Tong Lojin menyaksikan semua adegan itu, teriaknya: "Seee...
sebenarnya apa yang terjadi?" Tu Hun-thian sendiripun merasa kejadian ini diluar dugaan, sementara dia masih tertegun, pengantin wanita itu telah menarik lepas kain cadarnya sehingga terlihat wajah aslinya, ternyata dia tak lain adalah Tu Kuan.
Dengan tubuh bergetar Tong Yan mundur tiga langkah, wajahnya pucat pias.
Sedang Tong Lojin segera berteriak: "Tu Hun-thian, sebetulnya pengantin wanita ini putrimu atau putrinya tua bangka Chin?" Tu Hun-thian tidak ambil peduli, dia peluk Tu Kuan erat erat, dengan air mata berlinang bisiknya: "Kuan-ji .
. . . .. Kuan-ji..... ke mana saja kau selama ini, tahukah kau....
II ayah sangat merindukan dirimu .
. . . . .. "Bagus sekali," teriak Tong Lojin, "putrimu bukan saja ingin menyamar sebagai cucu menantuku, kaupun ingin merebut cucu menantu laki ku, akan kulihat apa yang kau andalkan?" Berkerut alis mata Tu Hun-thian, sambil mendorong Tu Kuan, katanya dengan nada berat: "Anak Kuan, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kau duduk dalam tandu pengantin orang lain?" Tu Kuan tertawa linglung, belum sempat dia menjawab, dari arah barat sudah terdengar seseorang berteriak: "Lohu yang menghantar kemari." Suaranya rendah tapi nyaring, membuat kendang telinga semua orang terasa sakit.
Kerumunan tamu yang ada disebelah barat serentak menyingkir ke samping, seorang kakek berjubah sutera, seorang wanita cantik berbaju indah dan seorang gadis cantik berdandan lelaki berjalan masuk dengan langkah lebar.
Gadis itu mengenakan jubah ungu yang halus dan indah, rambutnya dikonde dengan tusuk konde kumala, sebilah kipas emas berada ditangannya, mata yang bening, hidung yang mancung, bibir yang mungil membuat kecantikannya bak bidadari dari kahyangan.
Biarpun para jago cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, namun selama ini belum pernah berjumpa dengan gadis yang begini cantik, untuk sesaat semua orang memandang dengan bodoh, bahkan sampai ayah beranak dari keluarga Tong pun ikut terperana hingga lupa bicara.
Tak terlukiskan rasa kaget dan girang Tian Mong-pek setelah menyaksikan
Biarpun para jago cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, namun selama ini belum pernah berjumpa dengan gadis yang begini cantik, untuk sesaat semua orang memandang dengan bodoh, bahkan sampai ayah beranak dari keluarga Tong pun ikut terperana hingga lupa bicara.
Tak terlukiskan rasa kaget dan girang Tian Mong-pek setelah menyaksikan kehadiran ke tiga orang ini.
Dengan hati tergetar Tu Hun-thian ikut berteriak: "Hah, nona Siau, ternyata kau." Tiga orang yang barusan muncul tak lain adalah manusia tak berusus Kim Hui suami istri serta Siau Hui-uh.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tong Yan jadi keder dan ketakutan, diam diam ia berusaha kabur dari situ.
"Berhenti!" tiba tiba terdengar suara bentakan nyaring, suara itu bagaikan guntur yang membelah bumi.
Bersamaan dengan menggemanya suara bentakan, Kim Hui sudah melambung ke udara dan menerkam Tong Yan.
Dalam takutnya cepat tong Yan mengayun tangannya ke belakang, siapa tahu belum sempat serangannya dilontarkan, pergelangan tangannya sudah dicengkeram orang, rasa sakit yang luar biasa membuat anak muda itu menjerit keras.
"Hei sii..... siapa orang ini" Hajar dia." Teriak Tong Lojin sambil bertepuk tangan.
Tanpa banyak bicara, Tong Pa melontarkan satu pukulan mengancam belakang lengan Kim Hui.
Siapa tahu belakang punggung Kim Hui seakan tumbuh mata, satu kebasan ke belakang membuat Tong Pa tak sanggup berdiri tegak, dia merasa ada satu kekuatan besar menghantamnya, membuat dia terhuyung lalu roboh terjungkal.
Menyaksikan betapa dahsyatnya kekuatan lawan, bahkan dalam satu pukulan berhasil merobohkan si macan tutul baja yang terhitung hebat diantara jago muda, tak kuasa para jago berseru memuji: "Ilmu silat hebat .
. . . . .." Tapi begitu Kim Hui berpaling dan memperlihatkan sinar matanya yang buas bagai binatang serta wajahnya yang mengerikan, terutama gigi runcingnya seakan hendak menggigit mangsanya, para jago kembali merasa bergidik, sorak sorai pun seketika terhenti sampai tengah jalan.
Kim Hui menyeret tubuh Tong Yan ke hadapan Tong Lojin serta Tu Hun-thian, kemudian teriaknya: "Hei orang she-Tu, bukankah kau ingin bertanya kepada lohu kenapa menghantar putrimu dalam tandu pengantin?" "Benar!" Tu Hun-thian dan Kim-pit-hud serentak menjawab.
"Hahaha," Kim Hui tertawa keras, "ini dikarenakan putrimu sudah punya hubungan pribadi dengan bocah she-Tong itu, kalau lohu tidak menghantar naik tandu pengantin, lantas siapa yang akan naik?" "Omong kosong!' kembali Tu Hun-thian dan Tong Lojin berteriak hampir berbareng.
"Hahaha, kalau kalian berdua tak percaya, tuh, yang laki maupun yang perempuan sudah hadir disini, tanyakan saja kepada mereka." "Anak Kuan, kau?" tanya Tu Hun-thian.
"Tong Yan, kau?" teriak Tong Lojin pula.
Ternyata suara Tong Bu-im jauh lebih lantang, maka Tu Hun-thian pun tutup mulut.
Terdengar Tong Lojin bertanya lagi: "Benarkah kau telah melakukan perbuatan ini?" Paras muka tong Yan pucat bagai mayat, sepasang kakinya menggigil takut, sahutnya terbata bata: "A.....
ananda . . . . .." "Tak usah dilanjutkan, kelihatannya kejadian ini memang benar." Kembali Tong Lojin menukas.
"Ti.... tidak . . . . .." "Tidak apa?" hardik Kim Hui sambil memperkencang cengkeramannya.
"Aduuuh...." seketika Tong Yan kesakitan setengah mati, "tidak...
tidak salah . . . . .." Para jago merasa terkejut, keheranan bercampur gembira, sebaliknya si Tangan pencabut nyawa Tong Ti merasa kehilangan muka, tak kuasa dia tampar wajah Tong Yan keras keras.
"Hei, kenapa kau memukulnya?" tegur Tong Lojin.
sekujur tubuh Tong Ti gemetar keras saking gusarnya.
"Binatang..... binatang, kau telah membuat malu keluarga Tong, akan kuhajar kau hingga mampus." Kembali tangannya melayang, siap menggampar wajah putranya.
"Tahan!" tiba tiba Tong Lojin membentak.
"Ayah," seru Tong Ti tertegun, "kau.....
kau . . . . .. Sambil tertawa terbahak-bahak kata Tong Lojin: "Putri tua bangka Tu jauh lebih bagus ketimbang putri si tua bangka Chin, bocah ini bisa memperistri nona Tu, hal ini merupakan rejekinya, kenapa II harus kau pukul?" Tong Ti melengak, Tong Yan melongo, apalagi para jago yang hadir.
Sebaliknya Tian Mong-pek segera mengacungkan jempolnya dan diam diam memuji: "Orang tua ini memang manusia hebat, cara kerjanya tegas dan bijaksana." Kembali Tong Lojin berkata sambil tertawa tergelak: "Tu Hun-thian, kita salah biarlah salah, bagaimana kalau dari kesalahan kita bina hubungan keluarga" Cucu keluarga tong rasanya tak akan membuat putrimu jadi malu." Tu Hun-thian memandang wajah Tu Kuan, melihat putrinya tertawa dengan air mata mengembang di mata, diapun menghentakkan kakinya dengan gemas sambil mengeluh: "Yaa sudahlah!" Kembali Tong Lojin tertawa terbahak bahak.
"Yan-ji, kenapa tidak segera bersujud memberi hormat?" perintahnya.
Tong Yan terkejut bercampur girang, dengan penuh rasa takut ditengoknya wajah sang ayah sekejap.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti termenung berapa saat, akhirnya dia pun berkata sambil menghentakkan kakinya: "Terlalu enakan buat kau si bocah tak tahu diri." Tong Yan amat girang, buru buru dia menjatuhkan diri berlutut dan benar benar bersujud tiga kali.
Tu Hun-thian menghela napas panjang, dia hanya bisa pejamkan mata dan tidak lagi menengok kearahnya.
Saat inilah para tamu baru bisa tertawa keras, dalam waktu singkat suasana pun jadi hiruk pikuk.
"Tu Hun-thian, apakah kau masih punya anak perempuan?" tiba tiba Tong Lojin bertanya sambil tertawa.
Tu Hun-thian melengak, tapi segera jawabnya sambil tertawa ewa: "Satu pun sudah lebih dari cukup." Biarpun tadi ia diliputi rasa gusar dan kaget yang luar biasa, tapi bila teringat keadaan putrinya saat ini, bisa menjadi menantu keluarga Tong sesungguhnya sudah merupakan satu berkah yang luar biasa, maka perasaan hati pun mulai menjadi tenang kembali.
Terdengar Tong Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus, untung kau hanya punya seorang anak gadis, itu berarti kau 'I' a tak bakal merebut calon cucu menantu laki ku Gelak tertawanya penuh diliputi rasa bangga, jelas orang tua ini sangat menyukai Tian Mong-pek.
Siapa tahu belum habis dia tertawa, kakek berbaju sutera itu sudah tertawa pula, serunya: "Mungkin si tua bangka Tu tak akan merebut, sayangnya masih ada orang lain yang akan merebutnya." Gelak tertawanya lebih nyaring ketimbang Tong Bu-im, lebih bangga.
"Siapa yang berani merebut cucu menantuku?" tanya Tong Lojin dengan wajah berubah.
Tampak perempuan cantik berdandan pria itu berjalan mendekat sambil tersenyum, setelah menjura, jawabnya: "Aku!" Satu gelombang baru reda, gelombang lain kembali timbul, para jago merasa terkejut bercampur tercengang, Tian Mong-pek kaget bercampur girang, sedang Tong Ti si Tangan pencabut nyawa kaget bercampur gusar, hanya Kim Hui yang tertawa terbahak-bahak, tertawa penuh rasa bangga.
Setelah melengak berapa saat, tanya Tong Lojin sambil tertawa tergelak: "Kau" Kau akan merebut calon cucu menantuku" Hahaha .
. . . .." Mungkin saking gelinya, dia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk.
"Betul, memang aku." Tandas Siau Hui-uh sambil tersenyum.
"Hahahaha, aku orang tua hidup sampai delapan puluh tahun, baru pertama kali ini kujumpai kejadian semacam ini, hei nona cilik, berapa usiamu tahun ini?" "Diatas sepuluh tahun, dibawah enam puluh tahun." "Hahaha, masih begitu muda belia sudah ingin buru buru kawin" Lebih baik pulang saja, orang semacam kau tak perlu takut tidak laku kawin." "Baik," kata Siau Hui-uh sambil tersenyum, "kami akan pulang, tapi calon cucu menantu mu akan pulang bersama kami." Belum pernah para jago menjumpai gadis muda selatah itu, selain heran, mereka pun geli, tiba tiba terdengar seseorang berseru sambil tertawa keras: "Nona, lebih baik pulang saja ikut aku!" Siau Hui-uh tertawa dingin.
"Siapa yang ingin mengajak aku pergi" Silahkan keluar." Para jago tertawa terbahak-bahak, tak ada yang menjawab.
"Ayoh keluar," kembali Siau Hui-uh berseru, "kenapa musti malu?" Terlihat seorang lelaki berbaju indah didorong orang hingga tampil ke depan.
Gelak tertawa kembali bergema dari empat penjuru, teriak orang orang itu: "Ong Beng, kemana kau simpan nyalimu dihari hari biasa" Ayoh keluar!" II "Kemari, cepat kemari, biar kulihat macam apa wajahmu.
Kata si nona. Orang itu mengenakan baju sutera yang indah, wajahnya putih pucat, jenggotnya pendek, matanya berputar kian kemari dengan liar, bisa diduga dihari biasa dia memang orang yang romantis.
Saat ini dengan andalkan nyali karena mabuk, ia benahi bajunya lalu berjalan keluar dan memandang Siau Hui-uh sambil cengengesan.
"Siapa namamu?" tanya si nona.
"Hehehe, aku Ong Beng, berkat perhatian dan sanjungan sahabat dunia persilatan, mereka memanggilku Hong-liu-phoa-an, padahal aku tak berani menerima kata romantis." Maksudnya dia suka sekali disamakan dengan Phoa An, seseorang yang dianggap sebagai lelaki paling ganteng dimasa lalu.
Tong Lojin hanya menonton dengan senyum dikulum, sedang Tian Mong-pek tahu, orang itu bakal merasakan pil getir ditangan si nona, tapi setelah melihat bentuk wajah orang ini, dia tahu orang seperti itu biasanya bukan tergolong orang baik, maka diapun tidak berusaha untuk mencegah.
Terdengar Siau Hui-uh berkata: "Padahal gampang sekali bila ingin jalan bersama aku .
. . . .." Perlahan dia membuka tangannya, melepaskan cincin kumala hijau dari jari tangan dan diletakkan diatas telapak, katanya: "Asal kau dapat mengambil cincin ini dari telapak tanganku, aku pun akan ikut kau." Melihat jari tangannya yang putih bersih bagai salju, dalam hati para jago berpikir: "Orangnya begitu lembut, mana mungkin tangannya begitu bertenaga" Jangan jangan dia sudah tertarik dengan Ong Beng sehingga sengaja bicara begitu." Seketika Ong Beng merasakan hatinya gatal saking girangnya, sambil cengar cengir tegasnya: "Sungguh?" "Tentu saja sungguh," hardik Kim Hui, "tak usah banyak bicara lagi, cepat lakukan!" Agak merinding hati Ong Beng melihat wajahnya yang seram, tapi setelah memandang lagi jari tangan Siau Hui-uh yang lentik, tak tahan diapun berjalan mendekat sambil mengulurkan tangannya.
"Cepat!" seru Siau Hui-uh tertawa.




Tiba tiba Ong Beng melancarkan satu cengkeraman, gerak geriknya lincah dan enteng, serangan itupun dilakukan cepat dan tepat sasaran, dia tahu pihak lawan pasti akan menggunakan ki-na-jiu untuk menghadapi serangannya.
Siapa sangka pandangan matanya tiba tiba jadi kabur, si nona yang ada dihadapannya mendadak hilang tak berbekas, baru saja hatinya terkesiap, dari arah belakang sudah terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "Cincin nya berada disini, apa yang sedang kau comot?" Sambil tarik napas Ong Beng berputar badan secara tiba tiba, siapa tahu si nona sudah menyelinap lagi ke belakang tubuhnya, kejadian ini berlangsung berulang kali, betapa pun dia mencoba bergerak lebih cepat, jangan lagi merampas cincin itu, menjawil ujung baju lawanpun tak mampu.
Dalam waktu singkat semua jago dibuat terkesiap, siapa pun tidak menyangka kalau gadis lemah lembut itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Senyuman diwajah Buddha berlengan emas Tong Bu-im pun hilang lenyap seketika.
Orang tua ini dijuluki orang sebagai tanpa bayangan, bisa diduga ilmu meringankan tubuhnya dimasa lalu luar biasa hebatnya, tapi setelah menyaksikan ginkang gadis itu, dia baru kaget karena kehebatannya sedikitpun tidak berada kehebatannya dimasa muda dulu.
Tiba tiba Ong Beng menghentikan langkahnya, sambil tertawa getir ia berseru: II "Nona, aku mengaku .
. . . . .. Tahu tahu tubuhnya gontai dan "Bruuuk!" roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata sejak berputar kesana kemari tadi, kepalanya sudah terasa pening dan matanya berkunang, tak heran begitu ia berhenti berputar, badannya langsung terjerembab ke tanah.
"Hahaha, jangan sungkan sungkan, kenapa malahan bersujud?" ejek Siau Hui-uh sambil tertawa.
Perlahan-lahan Ong Beng merangkak bangun, dalam ke adaan begini mana berani banyak bicara lagi, dengan sempoyongan ia segera melarikan diri.
Para hadirin pun saling berpandangan tanpa bicara, bahkan bernapas keraspun tak berani.
Terdengar Tong Lojin menghela napas panjang, katanya: "Gadis yang begini cantik, pintar dan gagah betul-betul jarang dijumpai, coba kemari, biar kulihat lebih cermat." "Mau dilihat silahkan saja melihat." Dengan langkah santai Siau Hui-uh berjalan menghampiri.
"Aaai, dasar mata tua, sudah semakin rabun, coba majulah lebih dekat, biar aku dapat melihat lebih jelas." Pinta kakek itu.
Kembali Siau Hui-uh bergerak maju, katanya sambil tertawa: "Kau orang tua sudah mempunyai cucu menantu, apalagi yang hendak kau Il lihat.....
toh cucu menantu mu jauh lebih cantik daripada diriku.....
Tiba tiba terlihat kakek itu menggerakkan tangannya, tidak tampak gerakan itu sangat cepat, tahu tahu telapak tangan Siau Hui-uh sudah berhasil ditangkap.
Kembali para jago dibuat kaget, padahal gerakan tubuh Siau Hui-uh sudah terhitung sangat cepat, tapi kenyataannya dia gagal menghindari serangan si kakek cacat itu hingga tertangkap.
Dalam gusarnya, Kim Hui siap menerjang maju, tapi begitu melihat Siau Hui-uh ditangkap, dia kuatir orang tua itu melukainya, maka niat untuk maju pun segera diurungkan.
Siau Hui-uh sendiripun diam-diam merasa terperanjat, tapi paras mukanya sama sekali tak berubah, katanya sambil tertawa enteng: "Ooh, rupanya kau orang tua pun ingin pergi ikut aku" Kalau tidak, kenapa ikutan merebut cincinku?" "Siapa yahg perintah kau datang kemari?" hardik Tong Lojin sambil tarik muka.
"Aku datang sendiri, masa harus disuruh orang?" "Lohu sudah hidup hampir delapan puluh tahun, belum pernah mataku kemasukan pasir, kalau minta aku percaya bahwa kau si nona cilik datang untuk merebut cucu menantuku, mungkin hanya orang buta yang percaya." Para jago yang hadir ikut kasak kusuk membicarakan masalah ini, mereka merasa ketajaman mata orang tua itu luar biasa, sudah pasti gadis muda ini datang karena perintah seseorang dan sengaja he ndak mencari gara gara dengan keluarga Tong.
Perlu diketahui, masyarakat masa itu masih sangat kolot dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita, sekalipun dia anggota persilatan, tak mungkin ada gadis muda yang begitu latah, berani datang untuk merebut suami orang, tak heran kalau semua orang tak percaya.
Siau Hui-uh memandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba tiba serunya sambil tertawa: "Tian Mong-pek, kemari kau." Tian Mong-pek tertegun, akhirnya dia menyahut dan tampil ke depan.
"Coba jawab, benarkah kita .
. . . . . . .." tiba tiba Siau Hui-uh melancarkan sebuah pukulan ke arah Tong Lojin, sekalipun tangan kanannya dicengkeram, namun tangan kirinya masih bisa digunakan sekehendak hati.
Waktu itu pandangan mata Tong Lojin sudah terpecah oleh penampilan Tian Mong-pek, sedikit saja lengah, sebuah telapak tangan yang putih mulus telah muncul dihadapannya, sekalipun tenaga pukulannya tidak berat, namun dengan status dan posisinya sekarang, mana boleh ia biarkan serangan itu mengenai sasaran"
Waktu itu pandangan mata Tong Lojin sudah terpecah oleh penampilan Tian Mong-pek, sedikit saja lengah, sebuah telapak tangan yang putih mulus telah muncul dihadapannya, sekalipun tenaga pukulannya tidak berat, namun dengan status dan posisinya sekarang, mana boleh ia biarkan serangan itu mengenai sasaran" Diiringi bentakan keras, pergelangan tangannya digetarkan, tubuh Siau Hui-uh seketika dilemparnya ke depan, melewati batok kepala para jago dan meluncur ke depan.
Sungguh hebat tenaga lemparan orang tua itu, kuatir kejatuhan tubuh Siau Hui-uh, tergopoh gopoh para jago menyingkir ke samping.
Siapa tahu . . . . . .. "Wesss!" orang merasa pandangannya silau, tahu tahu Siau Hui-uh sudah terbang balik kehadapan orang tua itu, ujarnya sambil tertawa: "Kalau kau mampu menangkapku lagi, anggap saja kau memang hebat." Padahal tenaga bantingan itu sangat dahsyat, dalam kenyataan, si nona bukan saja tak terbanting, tubuhnya malahan meluncur balik ke posisi semula.
Sambil tertawa dingin seru Tong Ti: "Ilmu ginkang yang hebat, biar aku orang she-Tong menjajal kemampuanmu." Siapa sangka belum sempat dia melangkah, Tong Bu-im kembali sudah tertawa keras, serunya: "Bagus, bagus, ternyata putri dari lembah kaisar, nyaris lohu salah lihat." Rupanya ilmu meringankan tubuh Ing-hong-hui-liu (menyongsong angin membalik pohon liu) yang baru saja digunakan Siau Hui-uh tak lain adalah ilmu simpanan lembah kaisar, di kolong langit dewasa ini, tiada perguruan lain yang sanggup menggunakannya.
Terperanjat juga Siau Hui-uh begitu tahu orang tua itu berhasil menebak asal usulnya hanya dalam sekali pandangan, teriaknya: "Betul, tapi kedatanganku kali ini adalah atas inisiatip aku sendiri, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan ayahku." Setelah mendengar "lembah kaisar" disinggung, para jago semakin tak berani bersuara.
Kembali orang tua itu tertawa dingin, katanya: "Siau Ong-sun wahai Siau Ong-sun, kau telah merebut kekasih hati lohu dimasa lalu, apakah hari ini kau masih ingin merampas cucu menantuku?" Tiba tiba dengan suara lantang dia berseru: "Tian Mong-pek, kau segera melakukan akad nikah dengan anak Hong, barang siapa berani mengacau, hadiahkan senjata rahasia perguruan kita kepadanya, anak Ti, siap." "Siapkan senjata rahasia!" bentak Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, tubuhnya mundur selangkah, tangannya menyingkap jubah panjang, ternyata dibaliknya merupakan pakaian ringkas, lima buah kantung kulit macan tergantung dipinggangnya.
Ditengah bentakan tadi, dari empat penjuru segera bermunculan delapan belas orang lelaki kekar, mereka semua mengenakan pakaian ringkas warna hitam, dipinggang masing masing pun tergantung empat-lima buah kantung kulit.
Begitu melihat kesiagaan keluarga Tong meski dalam pesta perkawinan, bahkan menunjukkan reaksi yang begitu cepat, para jago baru sadar bahwa nama besar keluarga Tong yang bisa bertahan selama banyak tahun, ternyata memang bukan nama kosong.
Ke delapan belas orang lelaki kekar itu tak lain adalah Tong-bun- cap-pwe-hong (delapan belas tawon dari keluarga Tong), kini mereka bersiaga di empat penjuru gedung, biarpun belum melakukan suatu tindakan, namun tak seorangpun dari para jago yang berani bertindak sembarangan.
Siau Hui-uh sendiripun tidak menyangka urusan bakal berubah sedrastis itu, diapun tak mengira kalau antara orang tua ini masih terikat dendam lama dengan ayahnya.
"Waah.... dengan perbuatanku hari ini, bukankah sama halnya menambah kesulitan bagi ayah?" demikian dia berpikir, untuk sesaat diapun ikut berdiri mematung.
Sejak Tong Ti mempersiapkan serangan hingga kini, semua berlangsung hanya dalam waktu singkat.
"Tian Mong-pek," bentak Kim Hui, "cepat jawab, kau ingin menjadi menantunya keluarga Siau atau menantunya keluarga Tong" Katakan saja, tak usah takut." Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, sambil tertawa dingin Tong Lojin telah berkata: "Tian Mong-pek sudah pasti akan jadi menantu keluarga Tong kami, budak Hong, ayoh keluar, siap siap upacara pernikahan." Dengan kepala tertunduk Hui-hong-hong berjalan keluar, tiba tiba ujarnya sambil angkat kepala: "Aku tak akan menikah dengan dia." "Kau.....
kau sudah gila?" hardik Tong Bu-im gusar.
"Aku tak akan menikah dengan dia." Kembali Hui-hong-hong mengulang, tatapan matanya lurus, mimik mukanya kaku tanpa ekspresi, tapi hampir setiap orang yang hadir seolah tidak menyangka kalau dia bakal berkata begitu.
"Kenapa . . . . .. kenapa . . . . . .." tanya Tong Bu-im.
Dari balik kerumunan orang banyak terdengar seseorang menyahut sambil tertawa ringan: "Mungkin dalam hal ini hanya cayhe yang bisa jelaskan." Hong Sin sambil menggandeng tangan Hong It berjalan keluar dari balik kerumunan tamu.
Begitu melihat siapa yang tampil, baik Lam-yan maupun Siau Hui-uh sama sama berseru kaget: "Hah, kalian berdua pun berada disini?" Hong Sin segera memberi hormat kepada mereka berdua dan ujarnya seraya tertawa: "Selamat bertemu hujin, selamat berjumpa nona." Dia tarik tangan Hong It menuju ke hadapan Tong Bu-im, lalu katanya: "Anak It, cepat bersujud dihadapan Lo-cou-cong." "Manusia macam apa kau?" bentak Tong Bu-im gusar, "siapa yang menjadi Lo-cou-cong mu?" Hong Sin tertawa, katanya: "Putraku Hong It lah yang sesungguhnya menjadi cucu menantu cianpwee, mereka berduapun sudah mengikat janji untuk hidup bersama, karena itu pula nona Hong tak bakal mau menikah dengan orang lain, bukan begitu nona Hong?" "Kentut .
. . . .. kentut..... budak Hong, kau . . . . . .." Tapi begitu melihat Tong Hong hanya berdiri tertunduk dengan air mata berlinang, bergetar perasaan hatinya, dia tahu dibalik kejadian ini pasti sudah terjadi sesuatu, rasa kaget, mendongkol, cemas, gusar membuat telapak tangannya tertahan di udara.
Begitu pula dengan si Tangan pencabut nyawa, paras mukanya pucat pasi bagai mayat.
Kawanan jago yang hadir dalam ruangan pun terperangah, melongo, tercengang, suasana jadi hening, sepi sekali.
Akhirnya Tong Bu-im menghela napas panjang, ujarnya perlahan: "Baik, baiklah .
. . . .. pasangan yang kalut, pasangan yang kacau..." "Ayah, ini .
. . . . . . .." paras muka Tong Ti berubah.
Tong Bu-im mengulapkan tangannya.
"Kau sangka aku tidak kenal dengan ayah beranak dua orang ini?" tanyanya ketus.
Tong Ti tak berani menyahut, tapi paras mukanya yang pucat kini telah menghijau, jelas amarahnya sudah memuncak.
II "Budak Hong, kemari kau.
Panggil Tong Bu-im. Burung Hong api Tong Hong berjalan mendekat dengan tubuh kaku.
"Kau pun kemari." Undang kakek itu lagi.
Hong Sin segera mendorong tubuh Hong It sambil bisiknya: "Lo-cou-cong memanggilmu, cepat kesana." Rasa girang sudah menghiasi raut mukanya, dalam sa ngkaan dia, kali ini dia berhasil menggaet burung hong untuk putranya.
"Budak Hong," kembali Tong Bu-im berkata, "apakah kau bersedia kawin dengan dia?" Air mata bercucuran membasahi wajah Tong Hong, tapi akhirnya dia mengangguk.
"Bagus," ucap Tong Bu-im, "Hong It, kemari kau.....
coba lebih dekat lagi . . . . . .." Tiba tiba tangannya menyambar ke depan, bayangkan saja, sambaran yang sedemikian cepatnya sampai Siau Hui-uh pun tak sanggup berkelit, bagaimana mungkin Hong It dapat menghindar" Baru saja hatinya bergidik, sepasang tangannya sudah jatuh dalam cengkeraman orang tua itu.
Kembali Buddha berlengan emas mengebaskan tangannya, tubuh Hong It seketika mencelat ke tengah udara.
Tapi sebelum tubuhnya melambung, sepasang kakinya kembali sudah terjatuh ke dalam cengkeraman Tong Bu-im, lalu .
. . . .. "Kraaak! Kraaak!" Hong It menjerit kesakitan, tahu tahu sepasang kakinya sudah dipatahkan orang tua itu.
"Kau..... Kau . . . . . .." jerit Hong Sin kaget.
Tong Hong ikut menjerit, tubuhnya langsung roboh terkulai ke tanah, tak sadarkan diri.
Dengan wajah kaku tanpa ekspresi, ujar orang tua itu ketus: "Wajah putramu penuh kelicikan dan buas, dikemudian hari bisa mati dibantai orang, sekarang aku sengaja menghancurkan sepasang kakinya, asal dikemudian hari bisa jaga kelakukan dan tidak lagi berbuat jahat, meski cucu perempuanku kawin dengan orang cacat, rasanya jauh lebih baik daripada masih muda sudah menjanda." Biarpun nada suaranya dingin kaku, namun kedengaran agak gemetar.
Saat itu para jago sudah dibuat tertegun atas kekejian orang tua ini, tak seorangpun yang bisa menangkap niat baik dibalik tindakan tegasnya itu.
Hanya Tian Mong-pek dan Tu Hun-thian sekalian yang diam diam kagum, biarpun mereka berdua amat membenci kebusukan hati ayah beranak itu, tapi kini hanya bisa berpikir sambil menghela napas: "Asalkan dikemudian hari mau bertobat, yaa sudahlah." Tiba tiba mereka teringat kalau apa yang dilakukan orang tua itu, bukankah bermaksud agar para musuhnya bersedia mengampuni kesalahannya dan tidak mencari balas" Teringat hal ini, mereka merasa makin kagu, dia tahu inilah tindakan yang dilakukan orang tua itu untuk melindungi cucu perempuannya. Perlu diketahui, dalam situasi dan keadaan seperti ini, sudah tak mungkin bagi Tong Hong untuk kawin dengan orang lain, karenanya selain berbuat begitu, memang sudah tak ada cara lain lagi.
Hong Sin berdiri mematung, air mata berlinang membasahi pipinya yang mulai berkeriput, katanya: "Lo-cou-cong, sekalipun kau berharap ia bertobat, kenapa .
. . . . .." Sambil membopong tubuh Hong It, air matanya bercucuran makin deras.
"Apa yang kulakukan kali ini bukan saja telah selamatkan dia, juga selamatkan dirimu," kata Tong Bu-im, "kalau tidak, cepat atau lambat suatu hari nanti, nyawamu bakal hilang ditangan putramu ini." Mengawasi putranya yang tak sadarkan diri, Hong Sin sudah tak mampu berbicara lagi.
"Pa-ji, kemari," teriak Tong Bu-im, "bangunkan adikmu." Tong Pa menurut dan membangunkan Tong Hong.
Kembali perintah Tong Bu-im: "Geledah semua senjata rahasia yang ada ditubuhnya." Tong Pa tertegun, tapi dengan cepat dia lepas kantung kulit yang tergembol dipinggang Tong Hong, meski dengan tangan gemetar.
Tong Ti segera melompat ke depan, serunya dengan wajah berubah: "Ayah!" Tong Bu-im sama sekali tidak menengok kearah mereka berdua, ujarnya dengan suara keras: "Semua sahabat dikolong langit, dengarkan baik baik, mulai detik ini Tong Hong adalah anggota keluarga Hong, dengan keluarga Tong kami sudah sama sekali tak ada sangkut paut lagi, selanjutnya bila mereka suami istri melakukan perbuatan jahat atau kesalahan, silahkan teman teman turun tangan untuk membasminya, aku Tong Bu-im tak akan campur tangan." "Kau .
. . . .." jerit Hong Sin dengan wajah berubah, "kau mengusir II dia .
. . . . .. Tong Bu-im tertawa dingin, katanya: "Bukankah yang diinginkan putramu adalah orangnya" Kini lohu sudah serahkan orangnya kepadamu, apa lagi yang kau kehendaki" Cepat bawa mereka pergi dari sini!" Bagaikan diguyur dengan satu tong air dingin, Hong Sin berdiri tertegun, berulang kali dia atur rencana dan siasat busuk, tujuannya agar putra sendiri bisa masuk ke kalangan yang terhormat, bisa menonjolkan diri.
Siapa sangka semua rencana busuknya berhasil dibongkar orang tua yang cerdas, bahkan bukan saja rencananya gagal total, putranya malah jadi orang cacat.
Untuk sesaat Hong Sin merasa ujung kepala hingga ujung kakinya dingin bagaikan es, dia mencoba berpaling kearah Tong Ti, berharap orang tua itu mau mintakan ampun bagi putrinya.
Siapa tahu si Tangan pencabut nyawa hanya membungkam dengan wajah hijau membesi, apalagi Tong Pa, dia sama sekali tak berani bersuara.
Tampak Tong Bu-im pejamkan matanya dan berkata lagi: "Sampai lohu membuka mata kembali, bila melihat kalian bertiga masih berada disini, jangan harap kalian bertiga bisa pergi lagi." Biarpun perkataan itu disampaikan secara datar dan tenang, namun terselip hawa dingin yang sukar dilukiskan dengan kata.
Hong Sin termangu berapa saat, akhirnya sambil menggigit bibir dia bopong Hong It lalu menengok Tong Hong.
Waktu itu Tong Hong sudah mendusin, ia pun berlutut memberi hormat kepada Tong Bu-im serta Tong Ti, setelah itu diiringi isak tangis yang amat sedih berlari keluar dari ruangan.
Hong Sin mengintil dari belakang, wajahnya diliputi perasaan benci dan dendam yang luar biasa.
Para jago pun segera membuka sebuah jalan bagi mereka, dalam waktu singkat ke tiga orang itu sudah keluar dari gedung, isak tangis Tong Hong pun lambat laun makin menjauh sebelum akhirnya hilang dari pendengaran.
Pada saat inilah air mata terlihat mengembang dalam kelopak mata orang tua itu, sedang si Tangan pencabut nyawa berpaling ke arah lain, mengawasi sepasang lilin diatas altar dan sampai lama sekali tidak berpaling.
Suasana dalam ruang gedung hening sepi tak kedengaran sedikit suara pun, Tong Pa sambil memegang kantung amgi milik adiknya menatap kosong ke tempat kejauhan, air mata tampak meleleh membasahi pipinya.
Sekonyong-konyong terdengar Tong Lojin tertawa terbahak-bahak, lalu katanya: "Sepasang pengantin baru sudah pergi, masih ada pasangan pengantin batu disini, aah, cepat hidangkan arak dan sayur, biar aku menyulang teman teman dengan arak kegirangan." Para tamu kembali duduk ke tempat masing masing dan arakpun segera diedarkan, namun sesudah menyaksikan peristiwa yang sama sekali diluar dugaan tadi, siapa yang benar benar masih bisa gembira" Dengan langkah lebar Siau Hui-uh berjalan menuju ke depan orang tua itu, katanya: "Kau orang tua perlu tahu, kedatanganku hari ini betul betul karena keinginanku sendiri, ayah sama sekali tak tahu.
Dengan tatapan termangu Tong Bu-im mengawasi gadis itu sekejap lalu mengawasi pula Tian Mong-pek, setelah tertawa getir katanya: "Perduli barang bagus seperti apa pun, aku selalu gagal merebutnya dari Siau Ong-sun." Disisi lain, Tu Hun-thian telah menghampiri pula Siau Hui-uh dan berkata: "Terima kasih banyak nona karena kau telah membantu menemukan II putriku .
. . . .. Sambil tertawa dingin tukas Kim Hui: "Bukan hanya menemukan kembali, kalau bukan lohu turun tangan menolong, putrimu sudah dibuang orang ke dalam sungai untuk umpan ikan." Berubah paras muka Tu Hun-thian, teriaknya: "Kenapa caramu berbicara begitu tak tahu sopan?" "Hahaha.
Tu Hun-thian, masa kau sudah tak kenal lohu?" kata Kim Hui sambil tertawa keras.
Tu Hun-thian tertegun, dia mencoba mengamati dengan seksama, terasa mimik muka orang ini mirip sekali dengan binatang buas, selama hidup belum pernah ia jumpai tokoh silat semacam ini.
Perlu diketahui, paras muka asli Kim Hui seperti puluhan tahun berselang telah hilang lenyap, bukan saja telah terjadi perubahan drastis, bahkan istri sendiripun tak dapat mengenalnya, apa lagi Tu Hun-thian" Suara tertawa Kim Hui semakin keras, katanya: "Tua bangka yang tak sanggup menjaga putri sendiri, tua bangka tak kenal mampus, bangsat tua, makhluk tua .
. . . . . . . .." Semua rasa benci dan dendamnya yang tertimbun hampir dua puluh tahun seketika dilontarkan semua lewat umpatan itu, kemudian caci maki pun makin menghebat.
Tu Hun-thian yang dimaki orang jadi tertegun, biarpun hatinya gusar tapi dia jadi gelagapan sendiri hingga tak mampu bersuara.
Perlu diketahui, sepanjang hidup dia adalah orang kenamaan, sejak kapan dia pernah diumpat orang semacam ini" Tong Bu-im tak kuat menahan gusarnya, dia ikut berteriak: "Hei monyet tua, tahukah kau siapa yang sedang kau maki?"
Bab 41. Bunga terbang memenuhi ruangan.
II "Yang kumaki adalah besan putrimu, seru Kim Hui, "hei makhluk tua, kalau merasa tidak puas, kenapa tidak sekalian maju?" Terjadi kegemparan diantara para jago, semua orang menganggap orang ini pasti sudah sinting, berada dalam ruang pertemuan keluarga Tong, ternyata berani bersikap kurang ajar terhadap Tong Bu-im, bukankah sama artinya sedang mencari kematian" Tiba tiba Si tangan pencabut nyawa Tong Ti membalikkan badan, wajahnya dingin menyeramkan, telapak tangan Tong-bun-cap-pwee-hong (delapan belas lebah dari perguruan Tong) serentak merogoh ke dalam kantong senjata rahasia, siap melancarkan serangan mematikan.
Siapa tahu kembali Tong Bu-im tertawa terbahak bahak, katanya: "Aku si orang tua sudah hidup sampai kini, boleh dikata setiap tahun bertemu kejadian aneh, tapi belum sebanyak hari ini." Sambil menuding Siau Hui-uh, lanjutnya sambil tertawa: "Seorang gadis perawan dari keluarga baik baik, datang kerumah orang untuk merebut menantu, kejadian ini sudah aneh, ternyata masih ada orang dirumah keluarga Tong di Suchuan, memaki aku si orang tua dan Tu Hun-thian, hahaha....
kalau kejadian ini diceritakan keluar, mungkin tiada orang yang mau percaya." "Kenapa tak ada orang yang percaya" Tu Hun-thian itu manusia macam apa" Kenapa pula kalau maki dia" Tua bangka tak tahu mampus, makhluk aneh .
. . . .." Tiba tiba pandangan mata terasa kabur, Tu Hun-thian dengan tubuh yang kurus sudah melompat kehadapannya, paras yang semula pucat, kini muncul cahaya kemerahan.
Deretan tamu yang berdiri dipaling depan jadi tegang, ramai ramai mereka mundur ke samping.
Menyaksikan musuh yang selama dua puluhan tahun selalu terbayang, selalu terkenang dan tak pernah dilupakan itu kini berdiri dihadapannya, Kim Hui menggertak gigi makin kencang, dalam keadaan begini dia malah tak sanggup berbicara.
Tian Mong-pek sendiri meski tak ingin kedua orang ini bertarung, namun diapun sadar bahwa rasa benci dan dendam ini sulit diurai, merasa cemas pun tak ada gunanya, maka diapun ikut berdiam diri.
Dalam keheningan, yang terdengar hanya suara gigi Kim Hui yang gemerutukan, sama sekali tak terdengar suara lain.
Lam-yan merasa kasihan dan sedih ketika menyaksikan sikap suaminya, kepada Tu Hun-thian ujarnya: "Kau jangan salahkan dia bila memakimu, membencimu, karena kau telah mencelakainya hingga hidup dia kelewat menderita." Bagaimanapun cinta kasih suami istri memang amat dalam, dia bukannya menyalahkan Kim Hui yang dimasa lalu banyak melakukan kejahatan, sebaliknya malah menyalahkan orang lain.
Tu Hun-thian tertegun ketika mendengar teguran itu, tanyanya keheranan: "Kapan aku pernah celakai dirimu?" "Kau....
kau tidak.... tidak kenali aku lagi....." bagus!" teriak Kim Hui.
Tiba tiba sepasang tinjunya disodok ke depan, setelah membuat gerak setengah lingkaran busur, secara terpisah menohok jalan darah tay-yang-hiat dikening lawan.
Jurus ini mirip sekali dengan ilmu Siang-dong-jiu dari partai utara, tapi kedahsyatan dan keampuhannya justru merupakan salah satu jurus dari ilmu Bu-ciong-cap-jit-si (tujuh belas gerakan tak berusus) yang diandalkan Kim Hui dimasa lalu, japitan sepasang kepalangnya persis seperti japitan dari kepiting.
Tu Hun-thian segera bersalto diudara menghindari ancaman tersebut, dengan wajah berubah, jeritnya kaget: "Kau adalah malaikat tak berusus Kim Hui?" Biarpun sudah tak mengenal wajah Kim Hui, namun keanehan jurus serangannya, sampai mati pun tak bakal dia lupakan.
"Hahaha, betul, apa yang kau katakan betul sekali," sahut Kim Hui sambil tertawa seram, "kau pasti tak mengira bukan kalau aku Kim Hui ternyata belum mati ditanganmu?" Tiong-tiau-jit-ok (tujuh orang jahat dari Tiong-tiau) sudah mati banyak tahun, kalangan muda dunia persilatan sudah tidak banyak yang mengenali nama malaikat tak berusus, tapi bagi angkatan tua, nama tersebut seketika membuat tangan dan kaki mereka berubah jadi dingin kaku.
Tong Bu-im ayah beranak pun segera tunjukkan wajah tercengang, sebaliknya Tong Pa yang tidak kenal asal usul Kim Hui, dia hanya tahu penghinaan yang diperolehnya tadi, kontan teriaknya: "Peduli siapapun dirimu, jangan coba coba bikin onar dalam perguruan keluarga Tong." Cambuk lemasnya digetar, dengan jurus Kuan-jit-tiang-hong (bianglala menembus sang surya), ujung cambuk yang tegang lurus langsung menyodok jalan darah Hian-ki-hiat didada Kim Hui.
Sudah hampir dua puluh tahun dia tekuni ilmu Leng-coa-san-pian (cambuk ular lincah) ini, dalam harapannya, kepandaian itu bisa merebut kembali kehilangan wajahnya tadi.
Tangan pencabut nyawa Tong Ti cukup tahu akan kekejian Kim Hui, dalam kagetnya dia menjerit: "Pa-ji, tidak boleh." Ketika menyusul ke muka, keadaan sudah terlambat.
Terdengar Kim Hui tertawa latah, tubuhnya berputar, dia balik cengkeram ujung cambuk pemuda itu.
Kuatir dengan keselamatan jiwa putranya, Tong Ti segera menjerit keras: "Saudara Kim, ampuni jiwanya." "Hahaha," Kim Hui tertawa keras, "jangan kuatir manusia she-Tong, aku tak bakal mencabut nyawa angkatan muda." Tidak jelas jurus serangan apa yang digunakan, tahu tahu Tong Pa sudah terlempar jauh dan terjungkal ke tanah.
Sekarang para hadirin baru tahu kalau kehebatan silat manusia aneh ini tak terlukiskan dengan perkataan.
Tiba tiba Tu Hun-thian melepas jubah panjangnya, lalu dengan suara dalam berkata: "Orang she-Kim, kalau memang dirimu, kita pun tak perlu banyak bicara, toh pertarungan mati hidup tak mungkin bisa terhindarkan." "Tepat sekali, terhitung kau si setan tua belum pikun." "Tapi hari ini merupakan pertarungan antara kau dan aku, terlepas siapa menang siapa kalah, kau tak boleh sembarangan turun tangan melukai orang lain." "Hahaha, bagus, kita tetapkan begitu." Kata Kim Hui sambil tertawa makin keras.
Selama ini Tu Kuan hanya mengawasi ayahnya dengan mata terbelalak lebar, tiba tiba ia tertawa bodoh sambil berkata: "Bagus.....
hore bagus sekali, ayah lagi lagi mau menghajar orang, kali ini jangan salah pukul lagi!" Biarpun otaknya kurang waras, namun dihati kecilnya selalu teringat akan peristiwa Tu Hun-thian yang salah melukai Tian Mong-pek tempo hari, tak heran semua orang jago melongo ketika secara tiba tiba dia mengucapkan perkataan itu.
Hanya Tu Hun-thian dan Tian Mong-pek yang merasa sedih sekali, perlahan Tu Hun-thian membalikkan tubuh dan menengok kearah putrinya.
Ia sadar, pertarungannya hari ini merupakan pertempuan untuk menentukan mati hidup, sepanjang hidup ia sudah malang melintang dalam dunia persilatan, sekalipun harus mati hari ini, tak ada yang perlu disesalkan.
Tapi sayang putrinya masih muda, sekarang pun linglung tak sadar, tidak jelas bagaimana masa depannya nanti, kalau dipikir kembali, memang dialah penyebab putrinya jadi begini.
Berpikir demikian, diapun menghela napas panjang, kepada Tong Bu-im dia memberi hormat, lalu katanya: "Kehidupan putriku .
. . . . .. selanjutnya kuserahkan kepada cianpwe." Oleh karena putrinya dipersunting cucu Tong Bu-im, otomatis dia harus menyebut orang tua itu sebagai cianpwee.
Berkilat sorot mata Tong Bu-im, tanyanya: "Kau benar benar akan beradu jiwa dengannya?" Tu Hun-thian manggut manggut.
Saat itulah Kim Hui berseru sambil tertawa: "Jadi lelaki jangan lemah seperti perempuan, cepat maju dan hantar kematianmu!" Sambil menggigit bibir, Tu Hun-thian membalikkan badan.
Kim Hui kembali tertawa aneh, cepat dia tanggalkan jubah panjangnya.
Tiba tiba terdengar Lam-yan memanggil dengan lirih: "Kim Hui .
. . . . . . . " Kim Hui tertegun, perlahan ia berpaling.
Air mata menggenangi kelopak mata Lam-yan, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia hanya berpesan: "Kau.....
kau harus hati hati." Kepalanya tertunduk dan tidak lagi menatap kearahnya.
Tiba tiba Kim Hui jadi teringat, sejak dia kawin mendapat dirinya, sepanjang hidup selalu terlunta lunta dan tak tenteram, dengan susah payah akhirnya hari ini mereka dapat menikmati kehidupan yang nyaman, tapi sekarang dia harus beradu jiwa dengan orang lain, masih mending kalau menang, bila kalah, bukankah dia akan sia siakan seluruh kehidupannya" Perasaan ini kontan membuat hatinya cengeng, tapi sesudah menatap Tu Hun-thian sekejap, tiba tiba serunya sambil tertawa seram: "Kau tak usah kuatir, aku tak bakal mati." "Hmm, belum tentu begitu." Ejek Tu Hun-thian sambil tertawa dingin.
"kalau tak percaya, coba saja." Seru Kim Hui gusar.
Kedua orang itu saling mempersiapkan diri, situasi ibarat anak panah yang sudah berada di gendawa, setiap saat dapat dilepas.
Orang orang diseputar arena menyingkir jauh jauh, mereka sadar, pertempuran yang bakal berlangsung pasti luar biasa.
Tiba tiba terdengar Tong Bu-im membentak: "Tu Hun-thian, cepat menyingkir." Sementara Tu Hun-thian masih tertegun, kereta roda Tong Bu-im telah bergerak maju.
Dengan nada berat seru Tu Hun-thian: "Dendamku dengan dia sedalam lautan, tak seorangpun dapat mengurai, buat apa cianpwee ikut campur?" Setelah mengerdipkan matanya, teriak Tong Bu-im: "Kau hanya tahu kalau dendam kesumatmu dengan dia tak mungkin diurai, lantas bagaimana pula dengan perselisihan aku si orang tua dengan dia?" "Perselisihan apa antara cianpwee dengan dia?" Sambil memukul pegangan tangan kursi rodanya, ujar Tong Bu-im gusar: "Makhluk tua ini telah melukai cucuku, memaki aku, kalau dibilang tak ada perselisihan denganku, lantas dia berselisih dengan siapa?" "Kalau begitu biarlah kuselesaikan semua hutangku terlebih dulu, baru cianpwee cari dia untuk bikin perhitungan." "Omong kosong, jika kau berhasil membunuhnya, lantas aku si orang tua harus bikin perhitungan dengan siapa?" "Jadi .
. . . .. jadi . . . . . .." untuk sesaat Tu Hun-thian jadi tertegun.
Tong Bu-im tidak ambil peduli lagi, sambil menuding Kim Hui, serunya: "Orang she-Kim, karena kau sudah berani bersikap jumawa disini, beranikah menerima senjata rahasia ku?" "Jangankan baru satu tangan, sepuluh tanganpun tidak masalah, asal kau berhasil melukai seujung rambutku, anggap saja aku Kim Hui yang kalah." "Bagusl" seru Tong Bu-im sambil bertepuk tangan, tiba tiba sambil menarik muka, sepatah demi sepatah kata ujarnya, "siapkan senjata rahasia." Walaupun hanya ucapan yang singkat, namun setiap patah kata diutarakan dengan tandas.
Setiap jago yang hadir didalam ruangan menarik napas dingin, semua orang tahu bahwa cianpwee dari keluarga Tong ini merupakan jago senjata rahasia nomor wahid dikolong langit, serangan yang dilancarkan sudah pasti luar biasa.
Serentak orang orang yang berdiri disekeliling dan belakang Kim Hui membubarkan diri, tak lama tempat itu sudah bersih dari manusia.
Walaupun tadi Tong Pa terbanting cukup keras dilantai, kini dia lari paling cepat, tak lama kemudian dari ruang belakang dia sudah membawa sebuah kantung kulit macan yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran biasa.
Biarpun warna kulit kantung itu sudah mulai memudar sehingga kelihatan cukup antik, namun berhubung benda ini menjadi milik Tong Bu-im dimasa jayanya dulu, maka dalam pandangan orang banyak, kantung antik itu seakan membawa daya pengaruh iblis yang sukar dilukiskan dengan kata, cukup sekali pandang, mereka tak berani lagi memandang untuk kedua kalinya.
Begitu memegang kantung kulit itu, tubuh Tong Lojin yang semula loyo, seketika dipenuhi tenaga kehidupan, ditatapnya Kim Hui dengan sorot mata tajam, lalu tanyanya: "Apakah kau sudah siap?" Kim Hui tertawa seram.
"Kalau ingin menyerang, silahkan saja turun tangan." sahutnya.
Biarpun dia sempat tertawa latah, sedikit banyak hati kecilnya mulai merasa tegang, tanpa sadar dia mundur setengah langkah.
Sambil tetap menatap wajah lawannya, kembali orang tua itu berkata dingin: "Tahukah kau, dalam enam puluh tahun terakhir, sudah berapa banyak jago persilatan yang tewas oleh senjata rahasia yang ada didalam kantung ini?" Tidak menunggu Kim Hui menjawab, dia telah melanjutkan: "Sejak enam puluh tahun berselang, ketika lohu menggunakan darah segar dari Hoa-yang-ji-pa untuk memuja dewa, selanjutnya dalam pertarungan di Cwan-tang aku berhasil melukai lima harimau dari keluarga Li, kemudian seorang diri menerjang Tay-heng, dengan ilmu pasir dingin hujan bunga memenuhi angkasa kubantai Tay-heng-kun-to, kemudian ditengah badai salju di bukit ci-lian-san ku bunuh tiga beruang dari Kwan-gw a .
. . . . . . . .." Hampir setiap nama yang dia sebut, tak satupun bukan jago silat yang pernah menghebohkan dunia persilatan waktu itu, semuanya merupakan tokoh kelas wahid jaman itu.
Para jago yang memenuhi ruangan dapat merasakan, dibalik sorot matanya, dibalik setiap ucapannya, tersimpan hawa napsu membunuh yang luar biasa, setiap kali dia berbicara sepatah kata, para jago merasakan tubuh mereka ikut gemetar.
Kim Hui sendiri, biarpun dia yakin ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat lihay, tak sejenispun senjata rahasia didunia ini yang mampu melukainya.
Tapi kini, keyakinannya sedikit ikut goyah, perasaan hatinya terasa ikut goncang.
Hampir seluruh hadirin sudah dibuat tertegun oleh perkataan orang tua itu, ibarat orang mabuk, mereka tertegun, terperana, melongo dan terbelalak.
Tampak jari tangan Tong Bu-im yang kurus dan panjang, dengan lembut membelai ukiran diatas kantung kulitnya, kembali dia berkata: "Sejak terjun ke dalam dunia persilatan hingga kini, belum pernah kulukai jago tanpa nama, tapi setiap kali berhasil merobohkan seseorang maka lohu akan tinggalkan satu tanda diatas kantungku ini, bila dihitung sampai sekarang, sudah ada seratus dua puluh tujuh goresan yang tertinggal, tak nyana hari ini bakal bertambah lagi dengan satu goresan.
Kim Hui wahai Kim Hui, hati hati kau, lohu segera akan turun tangan."
Tampak jari tangan Tong Bu-im yang kurus dan panjang, dengan lembut membelai ukiran diatas kantung kulitnya, kembali dia berkata: "Sejak terjun ke dalam dunia persilatan hingga kini, belum pernah kulukai jago tanpa nama, tapi setiap kali berhasil merobohkan seseorang maka lohu akan tinggalkan satu tanda diatas kantungku ini, bila dihitung sampai sekarang, sudah ada seratus dua puluh tujuh goresan yang tertinggal, tak nyana hari ini bakal bertambah lagi dengan satu goresan.
Kim Hui wahai Kim Hui, hati hati kau, lohu segera akan turun tangan." Tiba tiba ia membentak: "Kena!" Ditengah bentakan yang menggelegar bagai suara geledek, para jago merasakan jantung mereka berdebar keras, pandangan mata terasa kabur, pada hakekatnya tak seorangpun yang dapat melihat orang tua itu melepaskan senjata rahasianya.
Tampak Kim Hui membentak nyaring, tiba tiba badannya melejit ke udara, bersalto beberapa kali ditengah udara dan tiba tiba hilang lenyap entah ke mana.
Didepan ruang gedung terdengar serentetan suara dentingan, lalu terlihat jarum perak berjatuhan ke lantai.
Sebelum jarum itu menyentuh lantai, tak seorangpun dari kawanan jago yang hadir disana dapat melihat bayangan dari senjata rahasia itu.
Selewat dua kali bentakan, suasana didalam ruangan berubah jadi hening dan sepi sekali.
Berapa orang yang bernyali kecil, saat itu sudah jatuh terduduk dilantai karena ketakutan, sementara mereka yang bernyali lebih besar, merasakan tubuh mereka gemetar keras, peluh dingin membasahi seluruh badan.
Lam-yan merasa kepalanya pening, dia tak berani membuka matanya.
Tian Mong-pek merasa jantungnya berdebar keras, sedang Siau Hui-uh tanpa sadar telah menggenggam kencang tangan Tian Mong-pek, telapak tangan mereka berdua jadi basah, basah karena keringat dingin.
Dalam pada itu paras muka kakek itu tanpa ekspresi, kaku dan tenang.
Tiba tiba dari atas tiang penglari, kurang lebih tiga kaki diatap ruangan, berkumandang suara tertawa keras.
"Hahaha, bagus, senjata rahasia yang amat cepat, sayang belum berhasil melukai aku Kim Hui." "Turun kau." Teriak si kakek.
"Baik, turun, aku turun .
. . . .." Kim Hui tertawa keras.
Bagaikan burung walet dia segera meluncur turun.
Padahal diruangan itu hadir beratus pasang mata, ternyata tak satupun diantara mereka yang melihat sejak kapan ia sudah melompat naik keatas tiang penglari.
Berubah juga paras muka Tu Hun-thian setelah mengetahui ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Kim Hui mengalami kemajuan yang amat pesat.
Sambil pejamkan matanya kata orang tua itu: "Coba kau perhatikan, ada apa di ujung bajumu sebelah kiri dan kanan." Kim Hui terperanjat, ketika ditengok, ternyata diujung bajunya sebelah kiri dan kanan masing masing tertancap tiga batang jarum perak, dalam kagetnya dia berseru: "Ini.....
ini . . . . . .." "Ini terhitung apa?" tanya orang tua itu tersenyum, matanya tetap terpejam.
Sesudah tertegun sesaat, jawab Kim Hui sambil menghela napas panjang: "Terhitung aku sudah kalah." "Bagaimana kalau sudah kalah .
. . . . . .." Belum selesai perkataan itu, tiba tiba terdengar Siau Hui-uh berseru lantang: "Itu tidak adil." Tiba tiba orang tua itu membuka matanya, sinar setajam petir memancar keluar dari balik mata itu, katanya: "Kenapa tidak adil" Bukankah sebelum melepaskan senjata rahasia, aku sudah memberitahukan." Siau Hui-uh maju lagi selangkah, teriaknya: "Tapi sebelum kau lepaskan senjata rahasia, dengan segala obrolan kau sudah mengacaukan konsentrasinya, tentu saja tak bisa dibilang kau berhasil meraih kemenangan karena menggunakan senjata rahasia." Orang tua itu memandangnya berapa kejap, lalu tertawa terbahak bahak.
"Hahaha... bocah perempuan, kau tahu apa?" Siau Hui-uh mendengus, katanya: "Aku hanya tahu, jurus Bunga terbang memenuhi ruangan yang cianpwee barusan gunakan meski hebat, tapi kalau tidak menggunakan akal muslihat, jangan harap kau bisa menyentuh seujung rambut engku ku." Orang tua itu tersenyum, katanya: "Aku mau tanya, bagaimana dengan ilmu silat yang dimiliki ayahmu?" "Bukan aku yang jadi putrinya ingin memuji kehebatan dia orang tua, kehebatan ilmu silat ayahku sudah menjago seluruh kolong langit, siapa pun tahu akan hal ini." "Dengan ilmu silat yang dimiliki ayahmu, dapatkah ia merobohkan engku mu dalam sepuluh gebrakan?" "Tentu saja mungkin .
. . . . .." "Tapi jika ayahmu menyerang disaat dia tak siap, sudah pasti engku mu bakal dirobohkan bukan?" Siau Hui-uh jadi gusar, teriaknya: "Ayahku adalah seorang lelaki sejati, tak mungkin dia akan menyerang dikala orang lain tak siap." orang tua itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, itulah dia, tentu saja ayahmu tak akan menyerang disaat orang tak siap.
Ini dikarenakan yang dia andalkan adalah kepalan dan kaki, sementara yang kuandalkan adalah senjata rahasia.
Diurai dari kata am-gi, senjata gelap atau senjata rahasia, artinya senjata ini hanya bisa digunakan disaat orang lain tidak siap, kalau tidak, bagaimana mungkin dapat melukai orang yang berilmu silat tinggi" Coba bayangkan saja, ayahmu saja tak mungkin bisa melukai Kim Hui dalam sepuluh gebrakan, bagaimana mungkin aku si orang tua dapat saling berhadapan dengan Kim Hui dan berhasil melukainya" Tentu saja aku musti kacaukan dulu konsentrasinya." II "Tapi .
. . . . . .. II "Bocah perempuan, ujar orang tua itu lagi lembut, "kau harus mengerti, mengacau konsentrasi orang serta melepas senjata rahasia sesungguhnya merupakan dua masalah yang tak mungkin terpisahkan, orang yang dapat melepaskan senjata rahasia harus pandai pula mengacukan konsentrasi orang, begitu pikiran orang mulai kalut, disaat itulah kau akan menyerang, kalau tidak begitu, senjata rahasia hanya dapat melukai mereka yang berilmu silat cetek dan mustahil dapat melukai jagoan ampuh semacam Kim Hui, kalau bukan begitu, bagaimana mungkin aku si orang tua dapat menempati urutan dalam dunia persilatan dan bertahan hampir puluhan tahun" Oleh karena itu disaat Kim Hui harus berjaga atas serangan senjata rahasiaku, dia harus mewaspadi dulu usahaku untuk mengacau konsentrasinya, disinilah letak rahasia dari ilmu senjata rahasia dan merupakan kunci kesuksesan dari senjata rahasia.
Bocah perempuan, kau harus ingat baik baik apa yang telah kuucapkan hari ini." Para jago yang hadir dalam ruangan hanya bisa saling bertukar pandangan, dalam hati mereka merasa sangat kagum.
Tanpa terasa Siau Hui-uh ikut menundukkan kepalanya sambil berpikir: "Benar juga, secepat apapun orang melepaskan senjata rahasia, tak mungkin dia mampu melukai jagoan setangguh engku, jika senjata rahasia tak sanggup melukai jago lihay, bukankah semua jago senjata rahasia yang ada didunia ini tak mungkin bisa menjadi jagoan tangguh dunia persilatan" Aaai, teori ini sangat jelas dan gamblang, kenapa belum pernah terpikir olehku" Dan kecuali orang tua ini, tak mungkin orang lain mau menjelaskan." Tian Mong-pek ikut menghela napas, detak jantungnya tiba tiba tambah cepat, dia jadi teringat kembali dengan kata kata Chin Mo-cuan, ketua perkumpulan panji kain putih menjelang ajalnya.
Orang tua itu pernah berkata begini: " .
. . . .. bagian paling rahasia dari panah kekasih adalah hubungannya deng kartu kematian Si-sin-tiap.....
bila ingin mewaspadai panah itu, bukan disaat panah itu dilepaskan melainkan disaat menerima kartu Si-sin-tiap, jika menunggu sampai panah dilepas, segalanya akan terlambat .
. . . .. dengan pengalamanku dalam ilmu meringankan tubuh, begitu melihat panah kekasih, tubuhku segera melompat menghindar, namun tak urung terkena panah juga .
. . . .. Tatkala ucapan itu dijajarkan dengan penjelasan dari Tong Bu-im tadi, II dengan cepat pemuda itu jadi paham akan duduknya masalah.
"Sudah pasti Si-sin-tiap digunakan sebagai benda pengacau konsentrasi orang, sama seperti apa yang dikatakan Tong Lojin hari ini, sedang Chin Mo-cuan bisa terkena panah, alasannya pasti sama seperti hari ini Kim Hui termakan jarum perak, ditinjau dari sini dapat disimpulkan bahwa panah kekasih sesungguhnya bukan benda yang menakutkan dan teori yang digunakan sesungguhnya telah diketahui Tong Bu-im." Berpendapat begitu, rasa ngeri dan takutnya terhadap panah kekasih pun seketika berkurang banyak.
Terdengar orang tua itu bertanya lagi sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, sudah tunduk bocah perempuan?" "Bukan hanya dia yang tunduk," teriak Kim Hui, "aku Kim Hui pun merasa tunduk dengan kehebatan ilmu senjata rahasiamu, tapi kedatanganku hari ini adalah untuk mencari balas, bukan beradu silat, biar aku tunduk kepadamu, tetap akan kucari dia." "Kalau kau sudah tunduk dengan orang lain," ejek Tu Hun-thian sambil tertawa dingin, "tidak seharusnya bertarung ditengah ruang upacara perkawinan orang, jika ingin adu nyawa, kita adu nyawa di luar sana." "Bagus, ayoh jalan." "Bila kau ingin dia pergi dari sini, seharusnya tunggulah setelah dia II menghadiri upacara perkawinan putrinya.
Kata orang tua itu. Tiba tiba Kim Hui mencak mencak, bentaknya: "Kenapa dia harus melihat putrinya naik ke pelaminan" Gara gara dia celakai lohu, sampai saat inipun aku tak sempat melihat wajah putriku." Orang tua itu mendengus.
"Aku tak ingin mencampuri urusan dendam kesumat antara kalian berdua, tapi sebelum upacara perkawinan selesai diselenggarakan, siapa pun jangan harap bisa pergi dari sini." Kim Hui rentangkan sepasang lengannya sambil melotot garang kearah orang tua itu, tapi sekejap kemudian ia menghela napas.
"Baik, baiklah, kalian cepat selenggarakan akad nikah." Sambil tersenyum kakek itu segera bertepuk tangan.
"Musik 2 " Dengan usianya yang sudah uzur, dia selalu berharap pesta perkawinan yang diselenggarakan hari ini dapat berjalan dengan lancar, dapat menyaksikan cucu sendiri menikah, sudah pasti merupakan harapan setiap orang tua.
Para pemusik meski masih ketakutan dengan semua peristiwa yang terjadi disana, tapi tetap memainkan alat musik dengan muka murung.
Begitu musik dimainkan, suasana kegembiraan pun berangsur pulih kembali didalam ruangan itu.
Siapa tahu tiba tiba dari luar gedung berlarian masuk dua orang lelaki, mereka lari dengan tergopoh, wajahnya diliputi rasa panik dan kaget.
"Urusan apa membuat kalian gugup?" tegur Tong Ti dengan wajah berubah.
Dengan napas tersengkal kata lelaki itu: "Tandu pengantin dari keluarga Chin telah tiba, sekarang telah berada di .
. . . . . .." Dia hanya mengucapkan perkataan itu, karena kata selanjutnya tenggelam dibalik teriakan kaget para jago.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti terbelalak, putranya, Tong Yan kelihatan gugup dan panik, bahkan sedikit gelagapan.
Bahkan Tu Hun-thian sendiripun ikut tertegun, dengan termangu dia awasi putrinya.
Andaikata Chin Ki betul-betul telah datang, bukankah Tu Kuan bakal gagal jadi pengantin" Tong Bu-im terlebih kaget bercampur marah, selama melang melintang dalam dunia persilatan, banyak kejadian aneh yang pernah dia alami, tapi kejadian yang berlangsung hari ini, hampir semuanya berada diluar dugaan.
"Ayah," bisik Tong Ti sambil bungkukkan badan, "bagaimana baiknya sekarang?" ll "Tua bangka sialan, cucu kura kura, umpat Tong Bu-im dengan gusar, "disaat harus datang, dia justru tak datang, tak ingin dia datang, dia justru muncul semaunya sendiri." Pada dasarnya tabiat orang tua ini memang bertemperamen tinggi, begitu marah, semua umpatan kasar pun dilontarkan, tapi sesudah diucapkan, dia baru teringat kalau usianya sudah lanjut dan tak pantas mengumbar kasar kasar didepan anak cucu.
Maka sambil tertawa katanya: "Bagaimana baiknya" Hm, terpaksa harus keluar dulu untuk melihat keadaan." Sambil berkata, dia mendorong kursi rodanya dan menuju ke ruang depan.
Buru buru para jago menyingkir memberi jalan, pikir mereka: "Biarpun arak kegirangan kali ini kurang bisa dinikmati, namun keramaiannya sungguh memuaskan pandangan mata." Semua orang ingin tahu, ketika seorang pengantin lelaki kedatangan dua orang pengantin wanita, bagaimana penyelesaian akhir dari persoalan ini" Tanpa banyak bicara, semua orang pun ikut meluruk keluar, siapapun tak mau ketinggalan.
Tian Mong-pek sudah meraba gagang pedangnya dan digenggam kencang.
Dalam pada itu si walet hitam Tong Yan dengan mengenakan pakaian pengantin menarik Tu Kuan berdiri di sudut ruangan, dia tak bernyali untuk menghadapi masalah, pun tak bernyali untuk melarikan diri.
Semakin dilihat Tian Mong-pek merasa semakin jengkel, namun karena musuh besar berada didepan mata, diapun enggan mencampuri urusan lain.
Dengan satu lompatan, dia melewati atas kepala para tamu dan menuju ke pintu keluar.
Baru saja berdiri tegak, tiba tiba terasa desingan angin bergetar disisi tubuhnya, lalu terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "Keramaian kali ini bakal tambah seru...." Ternyata Siau Hui-uh sudah ikut menyusul keluar.
Tian Mong-pek ingin sekali melempar senyuman kearahnya, apa mau dikata rasa tegang yang mencekam, membuat dia tak sanggup tersenyum.
Dibawah cahaya lampu, terlihat beberapa orang menggotong sebuah tandu pengantin, diatas tandu itu bertuliskan: "Perkawinan keluarga Chin" Tapi tandu yang digotong hanya satu, sedang pengikutnya kebanyakan adalah orang dusun yang disewa keluarga Chin.
"Apa yang terjadi?" terdengar banyak orang berbisik keheranan,"kenapa tak nampak Chin Siu-ang?" Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: "Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga
Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: "Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga munculkan diri" Belum pernah kujumpai manusia busuk macam dia." "Mungkin dia jadi kebingungan karena belum pernah nikahkan anak putrinya." Kata Tong Ti.
Bagaimana pun, perkawinan ini atas prakarsa dirinya, jadi mau tak mau dia harus bantu untuk mengatakan yang baik tentang Chin Siu-ang.
II "Perkataan apa itu, umpat Tong Bu-im marah, "sekalipun belum pernah makan daging babi, seharusnya pernah melihat babi berjalan .




. . . .. eeei, kenapa tandu itu tidak berhenti dan mau diangkut ke dalam rumah?" Sambil menggerutu, lelaki dusun itupun menghentikan tandunya didepan pintu.
Salah seorang diantaranya segera berkata: "Selama hidup belum pernah aku menggotong tandu pengantin semacam ini, ngotot minta kami berkeliling satu lingkaran dulu sebelum dibawa kemari." Sambil berkata, dia ambil saputangan dan mulai menyeka keringat ditubuhnya.
"Siapa yang suruh kalian berkeliling satu lingkaran?" tanya Tong Ti dengan wajah berubah.
"Chin loya." "Dimana dia sekarang?" "Tadinya masih mengintil di belakang tandu, tapi dalam sekejap orangnya sudah hilang, hamba sekalian tak berani ambil keputusan maka harus menunggu lama lagi sebelum menggotong tandu ini kemari." Tong Bu-im mendengus dingin.
"Sok misterius!" umpatnya, diapun memberi tanda sambil katanya lagi, "coba bimbing keluar orang yang ada didalam tandu, tanya dia, apakah ayahnya sudah kena penyakit sinting?" Siau Hui-uh yang mendengar perkataan itu segera berbisik sambil tertawa: "Coba lihat, tua bangka itu tidak bilang bimbing keluar pengantin wanita itu, tapi bilang bimbing keluar orang itu, kelihatannya dia lebih penuju pada Tu Kuan." Ketika berpaling, dia saksikan Tian Mong-pek berdiri melongo seperti orang yang kehilangan sukma, tampaknya dia sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan.
"Hei," tegur Siau Hui-uh keheranan, "kenapa kau?" ll "Aaai, Chin Siu-ang .
. . . . . .. Mendadak terdengar jeritan kaget berkumandang di empat penjuru, perempuan yang bertugas membuka tirai tandu itu tampak mundur sempoyongan lalu jatuh terduduk ke lantai.
Ternyata begitu tirai tandu disingkap, dari dalam tandu muncul tubuh seseorang yang langsung roboh ke depan.
Dalam waktu singkat semua orang jadi kaget, teriakan tertahan bergema disana sini.
Sewaktu tubuh orang itu diperiksa, ternyata badannya sudah dingin kaku, ternyata orang yang berada didalam tandu itu bukan pengantin wanita, melainkan sesosok mayat yang mengenakan pakaian pria.
Ditengah kekalutan, Tong Bu-im membentak gusar: "Rekan mana yang merah mata melihat keluarga Tong menyelenggarakan pesta perkawinan sehingga datang mengajak bergurau" Anak Ti, coba ditengok." Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti melompat baju ke depan mayat itu dan memeriksanya.
Dalam waktu singkat terlihat paras mukanya berubah hebat, sambil menuding kearah mayat itu, jeritnya dengan gemetar: "Panah kekasih .
. . . . .. Chin Siu-ang . . . . . .. panah kekasih . . . . . .." Dengan satu lompatan Tian Mong-pek meluncur ke samping mayat itu lalu memeriksanya dengan seksama.
Terlihat mayat itu kurus kering berwajah pucat, kedua pipinya cekung tanpa daging, kalau bukan Chin Siu-ang lantas siapa lagi" Setelah diamati lagi, terlihat diatas dada Chin Siu-ang, orang yang selama ini dianggap Tian Mong-pek sebagai pemilik panah kekasih, terhujam dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, satu lagi berwarna hitam.
Rasa kaget yang mencekam hati Tian Mong-pek kali ini benar-benar tak terkirakan, sedemikian terperananya hingga suara pekikan dari empat penjuru yang begitu keras bagai gelombang tsunami pun sama sekali tak terdengar olehnya.
Entah berapa lama kekalutan itu berlangsung, dia masih berdiri kaku, tak bergerak, matanya tak berkedip.
Dengan kaget Siau Hui-uh menatap pemuda itu, diapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi" Darimana gadis itu bisa menyelami kepedihan hatinya" Satu satunya jejak yang berhasil dia lacak dengan susah payah, kini hilang lenyap dengan begitu saja.
Dengan hilangnya jejak tersebut, bukan pekerjaan yang gampang baginya untuk menelusuri kembali siapakah pemilik panah kekasih.
"Karena dia mati oleh panah kekasih, berarti dalangnya pasti bukan dia." Gumamnya.
Sementara itu Tong Bu-im sedang menginterogasi para lelaki pemikul tandu.
Dengan ketakutan jawab lelaki itu: "Chin loya perintah kami sekalian untuk tidak segera menggotong masuk tandu ini tapi berputar putar dulu di empat penjuru, dia pun mengintil dibelakang tandu sambil menengok kesana kemari, kemudian hamba sekalian menggotong tandu ini ke belakang bukit sebelah sana, tiba tiba dia minta hamba sekalian pergi minum teh dan beristirahat, sejujurnya hamba sekalian memang merasa sangat lelah, maka....
maka kami pun pergi." Tempat yang ditunjuk adalah bayangan bukit sebelah depan, tempat itu tak lain adalah gua rahasia tempat keluarga Tong meramu senjata rahasia.
Dengan wajah berubah Tong Bu-im memandang kearah Tong Ti, katanya sambil tertawa dingin: "Jangan jangan tua bangka itu dengan memakai tandu pengantin sebagai alasan, dia bermaksud ke sana untuk mencuri rumput pelumat impian?" "Tapi....
tapi rumput pelumat impian tidak berada disana!" sahut Tong Ti.
"Goblok," umpat Tong Bu-im makin gusar, "darimana dia tahu kalau rumput pelumat impian tidak berada disana" Sudah pasti dia sangka rumput pelumat impian disimpan dalam gua tempat meramu senjata rahasia." Tong Ti menundukkan kepalanya, tidak berani membantah.
Sesudah mengatur napas yang tersengkal, kembali lelaki penggotong tandu itu berkata: "Sewaktu hamba sekalian balik ke sana seusai minum teh, tandu masih berada disitu, tapi Chin loya sudah pergi, waktu itu hamba sekalian memutuskan untuk menunggu sampai kedatangannya kemudian baru ambil keputusan, tapi setelah ditunggu lama dan langit semakin gelap, kami mulai kuatir kalau pengantin yang ada dalam tandu mulai cemas, terpaksa tandu pun kami gotong kemari.
"Dalam perjalanan, hamba sekalian pernah bertanya kepada sang pengantin dalam tandu, tapi tak pernah ada jawaban, hamba sangka pengantinnya malu, enggan menjawab, jadi sama sekali tak heran, namun.....
namun hamba sekalian tak pernah mengira kalau pengantin perempuan yang ada dalam tandu, tiba tiba telah berubah jadi sesosok mayat!" Tong Bu-im menghela napas panjang, katanya: "Tak heran kalau orang lain tak berhasil menemukan tandu itu, ternyata tandu berada dibelakang gunung, sudah pasti orang lain tak akan menemukan, hanya saja .
. . . .. hanya saja . . . . . .." Setelah memukul sandaran kereta rodanya kuat kuat, dia meneruskan: "Kenapa si tua bangka Chin bisa mati" Dia mati ditangan siapa" Kenapa diatas dadanya .
. . . .. diatas dadanya terhujam dua batang panah kekasih?" Tian Mong-pek terlebih bingung, makin dipikir dia semakin bertambah bodoh, dengan segala akal muslihat Chin Siu-ang berusaha mendapatkan rumput pelumat impian, dia mirip sekali dengan pemilik panah kekasih.
Tapi sekarang, dia justru mati karena panah kekasih, itu berarti .
. . . .. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, pikirnya" "Jangan jangan semuanya ini hanya siasat comberet emas lolos dari kepompong dari Chin Siu-ang, dia sembarangan mencari sesosok mayat, didandani seperti wajah dirinya, agar orang persilatan menyangka dia sudah mati, kemudian secara diam diam melanjutkan perbuatan terkutuknya?" Makin dipikir dia merasa dugaan itu semakin masuk akal, batinnya: "Asal kuperiksa mayat itu dengan seksama, bukankah segera akan diperoleh jawabannya?" Ketika berpaling lagi, ternyata mayat itu sudah digotong pergi.
Tampak Tong Pa dengan wajah murung berjalan dari sisinya, cepat Tian Mong-pek menariknya dan bertanya: "Tahukah saudara Tong, jenasah Chin Siu-ang telah digotong pergi ke mana?" Waktu itu Tong Pa sendiri sedang dirundung banyak persoalan, diapun tidak bertanya mengapa pemuda itu menanyakan hal tersebut, jawabnya: "Lo-cou-cong merasa kehadiran mayat diruang ini sangat mengganggu pemandangan, aku diperintah untuk menggotongnya ke dalam gua didepan sana." Tempat yang dia tunjuk tak lain adalah gua rahasia dimana keluarga Tong meramu senjata rahasia.
Buru buru Tian Mong-pek mengucapkan terima kasih dan segera berlalu.
Waktu itu tak seorang jago pun yang memperhatikan gerak geriknya, mereka sedang memperbincangkan peristiwa yang baru terjadi, hanya Siau Hui-uh seorang yang mengamati terus gerak gerik pemuda itu.
Timbul rasa heran dihati kecilnya setelah melihat gerak geriknya yang misterius, baru saja dia hendak mengintil, tiba tiba lengannya ditarik orang.
Dalam kaget dan gusarnya, nona itu berpaling, ternyata Lam-yan.
Dengan wajah panik dan tak tenang kata Lam-yan: "Uh-ji, engku .
. . . .. engku mu ke mana?" Siau Hui-uh tertegun, balik tanyanya: "Tu.....
Tu Hun-thian?" "Tu lo-enghiong juga tak terlihat, pasti mereka berdua telah pergi secara diam-diam untuk bertarung, aaai, kali ini mereka pasti akan bertarung mati hidup." Dari mukanya yang murung, jelas menampilkan perasaan kuatirnya yang berlebihan.
"Tenang," hibur Siau Hui-uh, "dengan kungfu yang dimiliki engku, tak mungkin dia akan kalah." Lam-yan menghela napas panjang.
"Aaai, kungfu engku mu memang bagus, tapi ilmu silat Tu Hun-thian pun tidak jelek, bila salah seorang diantara mereka salah turun tangan.....
aaai, apalagi meski dia melukai Tu lo-enghiong pun, keadaan akan bertambah runyam." "Bibi tak usah gugup," kembali hibur Siau Hui-uh sambil tertawa paksa, "karena buru buru ingin berkelahi, sudah pasti mereka tak perlu jauh, asal kita periksa empat penjuru, jejak mereka pasti akan ditemukan." Oleh karena mengurusi masalah disini, terpaksa urusan lain harus dikesampingkan, meski dia heran dengan gerak gerik Tian Mong-pek yang aneh, setelah melihat kegelisahan Lam-yan, terpaksa dia pergi menemani bibinya.
Oo0oo Dengan menelusuri jalan setapak, dalam waktu singkat Tian Mong-pek sudah menemukan sumber air panas, ketika menelusuri aliran sungai itu, dalam waktu singkat gua karang yang menyerupai hewan buas itu sudah muncul dibalik kegelapan.
Cahaya penerangan diseputar tempat itu tidak seterang ruang pesta, diantara hembusan angin malam, terlihat bayangan manusia berjalan mondar mandir melakukan perondaan, ternyata penjagaan disana amat ketat.
"Siapa?" dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak nyaring.
Diantara kilauan cahaya golok, empat lima orang telah muncul mengepung.
Tian Mong-pek segera memberi hormat sambil memperkenalkan diri: "Aku, Tian Mong-pek." Para peronda segera mengendorkan kewaspadaannya, menanti Tian Mong-pek mengemukakan maksud kedatangannya, meski orang orang itu merasa keheranan, tapi lantaran tahu kalau belakangan Tian kongcu menjadi orang kesayangan Lo-cou-cong, maka tak seorangpun berani membangkang.
Salah seorang diantaranya segera berkata sambil tertawa: "Kami semua pun merasa kehadiran mayat itu sangat mengganggu suasana, maka jenasahnya kami gotong ke dalam gua sana.
Bila Tian siangkong ingin melihat .
. . . . .. eeei... Ong jite, coba kalian berdua hantar Tian siangkong ke situ!" Setelah menyampaikan rasa terima kasih, cepat pemuda itu mengintil dibelakang mereka melewati sebuah pintu besi dan tiba di tebing yang gelap.
Dalam tebing itu, diantara pepohonan pendek dan semak terdapat sebuah tandu, didalam tandu itulah jenasah Chin Siu-ang berbaring.
Sambil menuding dari kejauhan, kedua orang itu segera menghentikan langkahnya.
Tian Mong-pek tahu, kedua orang ini pasti enggan menuju ke situ, maka buru buru katanya sambil tertawa: "Aku hanya ingin menengok apa penyebab kematian orang itu, tidak perlu merepotkan kalian berdua lagi." Memang itulah yang diinginkan mereka berdua, setelah berbasa basi, merekapun segera berlalu.
Dihari pernikahan yang baik, siapapun pasti enggan melihat mayat, tidak terkecuali lelaki lelaki kasar itu.
Dengan langkah lebar Tian Mong-pek berjalan mendekat, jantungnya berdebar keras, tiba didepan tandu, dia angkat mayat itu, terasa jari tangannya sedikit agak gemetar.
Cepat pemuda itu tenangkan hatinya, meminjam cahaya bintang ditambah ketajaman matanya yang melebihi orang lain, dia periksa mayat itu dengan seksama.
Sekarang ia dapat melihat dengan pasti, mayat itu memang mayat Chin Siu-ang, bukan samaran orang lain.
Untuk sesaat dia merasa amat kecewa, tak tahan pemuda itu menghela napas panjang, perlahan dia membaringkan kembali mayat dari Chin Siu-ang itu ke dalam tandu.
Sekonyong-konyong . . . . . .. mayat Chin Siu-ang yang baru saja dibaringkan tiba tiba melejit bangun, lengan kanannya langsung menghantam jalan darah cian-keng-hiat di bahu kanan pemuda itu, deruan angin yang kencang menandakan serangan itu dahsyat.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek mencelat ke udara dan mundur sejauh berapa
Untuk sesaat dia merasa amat kecewa, tak tahan pemuda itu menghela napas panjang, perlahan dia membaringkan kembali mayat dari Chin Siu-ang itu ke dalam tandu.
Sekonyong-konyong . . . . . .. mayat Chin Siu-ang yang baru saja dibaringkan tiba tiba melejit bangun, lengan kanannya langsung menghantam jalan darah cian-keng-hiat di bahu kanan pemuda itu, deruan angin yang kencang menandakan serangan itu dahsyat.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek mencelat ke udara dan mundur sejauh berapa kaki, kendatipun dia berkelit cukup cepat, tak urung bahunya tersapu sedikit, segera timbul rasa sakit dan panas yang luar biasa.
Masih untung belakangan ilmu silatnya peroleh kemajuan yang pesat, coba berganti setahun yang lalu, berada dalam situasi tak siap begini, niscaya ia sudah mampus kena serangan.
Sesudah melancarkan sebuah pukulan, "mayat" Chin Siu-ang tidak melanjutkan serangannya, lagi lagi dia berbaring ke tempat semula.
Tian Mong-pek berdiri kaku dengan hati tak karuan, rasa kaget dan ngerinya tak terkirakan, pikirnya: "Jangan jangan Chin Siu-ang memang belum mati?" Tapi barusan dia sudah periksa tubuh mayat itu, dengan mata kepala sendiri dia buktikan kalau Chin Siu-ang sudah mati bera pa saat, ingatan lain segera melintas: "Jangan jangan dia bangkit dari mati dan berubah jadi mayat hidup?" Berpikir begitu, peluh dingin serasa bercucuran membasahi jidatnya, coba berganti orang lain, saat itu mungkin sudah kabur dari situ dan tak berani lagi tinggal disana.
Tapi Tian Mong-pek memang pemuda nekat, nyalinya lebih keras dari baja, sesudah termangu sesaat, tiba tiba ujarnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, Chin Siu-ang, sewaktu masih hidup aku tak takut kepadamu, masa setelah mati, aku harus takut" Mari, mari, mari, kita bertarung sekali lagi." Dengan satu gerakan cepat dia loloskan pedang bajanya lalu menyongsong dengan langkah lebar.
Sekalipun nyalinya besar, saat ini langkahnya sangat berhati hati, tangannya yang menggenggam pedang pun mulai dibasahi oleh keringat dingin.
Oo0oo Sudah seluruh pelosok ruangan dilacak Siau Hui-uh dan Lam-yan, ketika berjumpa Tu Kuan, sambil tertawa tanya Lam-yan: "Nona Tu, tahukah ayahmu berada dimana?" Tu Kuan membelalakkan matanya lebar lebar, katanya sambil tertawa: "Ayahku.....
nona baik, Tian Mong-pek juga orang baik, aduh ayah, kau jangan lukai dia." Tiba tiba dia menutup wajahnya sambil menjerit.
Buru buru Tong Yan mendekati sambil menghibur, dengan sapu tangan dia seka air mata diwajahnya.
Sebaliknya Siau Hui-uh dan Lam-yan berdiri melongo, tertegun, keheranan.
Dari jawaban Tu Kuan yang melantur, kedua orang itu tahu bahwa tekanan batin yang diderita gadis ini selama banyak waktu, membuat pikirannya kalut, tanpa terasa timbul perasaan iba dihati.
Namun mereka sedikit terhibur setelah melihat kasih sayang yang diperlihatkan Tong Yan kepadanya.
Pikir mereka: "Bagaimana pun, akhirnya dia telah peroleh pasangan yang menyayanginya." Mereka berdua saling bertukar pandangn lalu diam diam meninggalkan tempat itu.
"Cepat!" ujar Lam-yan kemudian cemas, "harus cepat! Kalau tidak, jika mereka berdua suka adu jiwa, tak seorangpun yang dapat melerai." "Mau bertanya orang, belum tentu orang bisa menjawab, lebih baik kita beradu keberuntungan diluar sana, siapa tahu malah bisa menemukan jejak mereka." Karena tak punya pandangan lain, terpaksa Lam-yan keluar dari gedung pertemuan.
Pikir Siau Hui-uh kemudian: "Saat itu ruang depan sedang kacau balau, sudah pasti mereka melalui ruang belakang." Maka mereka berdua pun menuju ke ruang belakang, setelah periksa berapa tempat, dari balik halaman terlihat ada berapa orang sedang berjalan keluar, Siau Hui-uh segera menghampiri untuk mencari kabar.
Siapa sangka berapa orang itu berwatak aneh, bukan saja tidak menggubris, bahkan berlalu begitu saja sambil gelengkan kepala, mereka pergi terburu buru, seolah ada urusan penting yang harus segera dikerjakan.
Biarpun mendongkol, namun dalam situasi seperti ini, Siau Hui-uh enggan jadi gara gara, mana dia tahu kalau berapa orang itu sesungguhnya sahabat karib Tian Mong-pek, yakni Ho Kun-hiong dan rekan rekannya.
Ho Kun-hiong sendiripun tidak tahu kalau gadis itu adalah Siau Hui-uh, mereka sedang mencari Tian Mong-pek.
Coba kalau berapa orang itu bertanya kepada Siau Hui-uh, niscaya mereka akan mengetahui ke mana Tian Mong-pek pergi.
Sayang berapa orang itu baru sadar dari mabuk, kepala mereka pasih pening, gara gara membuang kesempatan inilah, mereka jadi kesulitan menemukan jejak rekannya.
Sesudah pergi jauh, Ho Kun-hiong baru teringat kalau gadis itu agak aneh, mereka baru merasa kalau gadis itu mirip sekali dengan Siau Hui-uh seperti yang dituturkan Tian Mong-pek, sayang waktu itu Siau Hui-uh sudah pergi jauh.
Saat ini, kecuali Siau Hui-uh, memang tak seorangpun yang mengetahui jejak Tian Mong-pek, sedang Siau Hui-uh harus menemani Lam-yan mencari Kim Hui, untuk sementara waktu urusan pemuda itupun jadi terabaikan.
Oo0oo Dengan pedang hitam dalam genggaman, Tian Mong-pek menghampiri tandu itu dengan langkah lebar.
Tiba tiba terdengar "mayat" didalam tandu itu tertawa dingin, kemudian menegur: "Tian Mong-pek, besar amat nyalimu, apakah kau benar benar datang untuk menghantar kematian?" Ditengah hembusan angin malam, ternyata mayat itu dapat berbicara, kejadian ini betul betul satu peristiwa yang menakutkan.
Tergerak hati Tian Mong-pek, setelah berhasil menenangkan hati, dengan pedang digenggam makin kencang, dia melompat maju ke depan tandu.
Mendadak mayat itu melayang ke udara, dengan cakar setannya mencengkeram tubuh pemuda itu.
Tian Mong-pek segera menggetarkan pedangnya sambil melambung, setelah berjumpalitan dan melewati tubuh mayat itu, bentaknya: "Ke mana mau pergi?" Pedang bajanya dibacok ke bawah, bukan membacok mayat itu sebaliknya malah membelah tandu pengantin.
Rupanya sejak awal dia sudah menduga, pasti ada orang bersembunyi dalam tandu itu dan menggunakan tubuh mayat itu untuk membokongnya.
Bagi seorang jago yang memiliki tenaga dalam sempurna, bukan hal yang sulit untuk menyerang dari balik suatu benda.
Karena itulah gempuran yang dilakukan mayat tadi disertai kekuatan yang menakutkan.
Siapa sangka bukan saja ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek sudah mengalami kemajuan pesat, nyalinya pun besar, akhirnya siasat licik itu berhasil dibongkar.
saat ini pedangnya telah disertai tenaga murni, apalagi menyerang dari tengah udara, kekuatannya benar benar ibarat guntur yang membelah bumi, apalagi pedang hitam itu merupakan senjata mustika yang tajam.
Dimana pedang itu menyambar, tandu pengantin itu seketika terbelah jadi dua bagian, "kraaak!" diantara percikan hancuran kayu, betul saja, dari balik tandu muncul sesosok bayangan manusia.
Gerakan tubuh bayangan manusia itu cepat tak terkirakan, terdengar ia menghardik: "Pedang bagus!" Tubuhnya melambung ke udara, dalam sekali lompatan dia sudah berada sejauh tiga kaki lebih.
Kuatir disaat tubuhnya meluncur ke bawah, pihak lawan melancarkan serangan, Tian Mong-pek kembali memutar pedangnya melindungi badan, setelah itu baru angkat muka.
Terlihat bayangan manusia itu sudah berdiri diatas dahan pohon yang melintang diatas tebing karang, ujung bajunya berkibar terhembus angin, tubuhnya bergoyang mengikuti lenturan dahan, sayang tak terlihat jelas raut mukanya.
Melihat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki lawan ternyata sudah mencapai taraf yang luar biasa, diam diam Tian Mong-pek merasa terperanjat, segera bentaknya: "Hei sobat, tak usah berlagak jadi setan lagi, masa kau tak berani bertemu orang?" "Kalau ingin bertemu, ikuti aku!" sahut bayangan itu sambil tertawa dingin.
Sekali mengebas bajunya, dia sudah meluncur sejauh empat lima kaki dari posisi semula, begitu ujung kakinya menutul tanah, kembali badannya melambung.
Selama bergerak, dia seolah kuatir Tian Mong-pek tak mampu mengikuti, beberapa kali dia menggapai sambil tertawa dingin.
Setelah berada dalam situasi seperti ini, Tian Mong-pek semakin bertekad untuk menyelidiki masalah ini hingga tuntas, dia besumpah, biar harus mengejar sampai ujung langit atau dasar samudra pun, dia harus berhasil mengejarnya.
Gerakan tubuh mereka berdua sama sama amat cepat, setelah mengitari tanah perbukitan, makin lama mereka menuju ke tempat yang makin terpencil.
Namun Tian Mong-pek tetap bergeming, dia mengintil terus dengan ketat.
Seperminum teh kemudian, tibalah mereka di belakang bukit.
Pada saat itulah tiba tiba bayangan manusia itu berhenti berlari dan membalikkan badan, dibawah cahaya bintang, terlihat orang itu mengenakan jubah warna abu abu, mukanya pucat keabu abuan, dingin dan kaku.
Setelah diamati lebih seksama, pemuda ini segera merasa kalau orang itu tampaknya mengenakan topeng kulit manusia, tapi ketika diamati lebih teliti, ternyata otot wajahnya dapat bergerak, wajah orang ini tak ubahnya seperti wajah sesosok mayat.
Tian Mong-pek segera menghentikan langkahnya, rasa bergidik tiba tiba muncul dari dalam hatinya, dengan suara keras bentaknya: "Kau.....
sebenarnya siapa kau?" "Kau tidak kenal aku?" orang berjubah abu-abu itu balik bertanya.
"Hmm, diantara sobatku, tak seorang pun yang beraninya berlagak jadi setan." "Jika tak kenal aku, kenapa dimana mana kau sebar tantangan kepadaku?" kata orang berjubah abu abu itu ketus.
Tergetar hati Tian Mong-pek.
"Jadi kau.... kau adalah Busur empat senar Hong Ji-siong?" Kembali manusia berjubah abu abu itu tertawa dingin.
"Kalau memang berani menantang aku berduel, kenapa setelah bertemu aku jadi kaget" Jangan jangan mulai takut?" Dia mendongakkan dan tertawa keras, suaranya bergetar keras membuat ranting dan daun diseputar sana berguguran.
Sedikit banyak Tian Mong-pek terperanjat juga setelah bertemu dengan pemimpin dari tujuh manusia tersohor, tokoh silat yang paling disegani di kolong langit.
Tapi dengan cepat hawa amarah memenuhi benaknya, dengan marah bentaknya: "Dasar Hong Ji-siong, tak disangka kau adalah manusia kurcaci yang tak bisa dipercaya dan tak berbudi, beraninya main bokong, jika tadi aku tewas ditanganmu, bukankah .
. . . . .." "Sudah sewajarnya bila kau mampus ditanganku." Tukas Hong Ji-siong ketus.
Il "Kurangajar, umpat Tian Mong-pek semakin gusar, "sudah lupa kau dengan sumpah yang pernah kalian ucapkan didepan suhu dia orang tua" Atau mungkin kau memang berniat ingkari sumpahmu?" "Tak pernah kulupakan, tak pernah kuingkari." II "Kalau memang begitu, kenapa kau .
. . . . .. Hong Ji-siong tertawa dingin, selanya: "Sumpah itu hanya berlaku disaat Jit-ci-sin-ang (kakek sakti berjari tujuh) masih hidup, bila dia belum mampus, tentu harus kutaati, kalau orangnya sudah modar, apa lagi yang musti kupegang?" "Apa.....
apa kau bilang?" tanya Tian Mong-pek dengan hati bergetar.
Hong Ji-siong tertawa latah.
"Hahaha, gurumu sudah mampus, masa kau belum tahu" Masa Tio Beng-teng dan Li Siong-hong tidak memberitahukan kepadamu?" Semenjak melihat kemunculan Li Siong-hong dan Tio Beng-teng, Tian Mong-pek sudah tahu kalau dalam hutan penyesat telah terjadi perubahan, tapi dia tak mengira kalau gurunya sudah mati.
"Jadi kau yang telah mencelai dia orang tua?" jeritnya.
Kembali Hong Ji-siong tertawa dingin.
"Sebelum dia mati, aku tak bakal ingkari sumpah, kalau bukan begitu, mungkin sejak dulu dia sudah mati, buat apa musti menunggu sampai hari ini?" Tian Mong-pek sadar, apa yang dia katakan memang betul, kembali bentaknya: "Lalu siapa yang telah mencelakai dia orang tua?" Gelak tertawa Hong Ji-siong semakin keras.
"Hahaha, kau ingin tahu siapa yang mencelakainya" Hehehe.....
hahaha, setelah kukatakan, mungkin kaupun tak akan percaya." "Siapa.....
siapa dia?" bentak Tian Mong-pek sambil menggigit bibir.
Hong Ji-siong hanya mendongakkan kepala sambil tertawa seram, sama sekali tak menjawab.
Suara tertawanya sangat aneh, mimik mukanya juga aneh, orang tidak tahu apakah dia sedang bangga atau kecewa, sedih atau gembira.
Perlu diketahui, selama hampir dua puluh tahunan, dia jarang sekali bertemu matahari, karena itulah paras mukanya seperti orang mati, apalagi ketika tertawa, suara tertawanya sangat menggidikkan hati.
Mendengar suara tertawanya begitu aneh, Tian Mong-pek mersa gusar bercampur keheranan, dia tak bisa menebak apa yang menjadi penyebab kematian gurunya, diapun tak paham kenapa tertawa Hong Ji-siong begitu aneh.
Perlahan-lahan Hong Ji-siong berhenti tertawa, dengan mata yang menyeramkan ditatapnya Tian Mong-pek tanpa berkedip.
Sorot mata orang ini sangat menakutkan, ditengah kegelapan malam, mata itu seperti mata iblis, memancarkan sinar keabuan yang menggidikkan.
Dengan suara keras, sepatah demi sepatah kata dia berkata: "Aku beritahu kepadamu, yang mencelakai dia adalah dirinya sendiri."
Bab 42. Guntur penentu mati hidup.
Merasa semangat orang tua itu dalam mempertahankan hidup begitu kuat, mana mungkin Tian Mong-pek percaya kalau dia telah mencelakai diri sendiri, dengan penuh amarah umpatnya: "Kentut, kau .
. . . . . .." "Hahaha, kau tidak percaya?" ejek Hong Ji-siong sambil tertawa terkekeh.
"Tentu saja tidak percaya." "Kalau begitu aku beritahu, si tua bangka yang tak mati diracun, tak mampus dibikin lapar itu telah mampus gara gara kekenyangan makan." Tian Mong-pek merasa bergidik, bulu kuduknya pada berdiri, ia merasa mual dan ingin muntah.
Hong Ji-siong tertawa menyeringai, katanya lagi: "Kau suruh orang menghantar arak dan daging, ternyata kedua orang itu sangat penurut, tak sampai sehari, arak dan daging sudah mengalir masuk ke dalam hutan.
Padahal keinginan orang orang dalam hutan untuk makan arak dan daging sudah membuat mereka nyaris gila, begitu melihat arak daging, mata mereka mulai memerah, sekuat tenaga mereka melahap, tampang mereka .
. . . . . .. hahaha, persis seperti anjing kelaparan yang berebut tahi." "Tutup mulut!" bentak Tian Mong-pek.
Melihat pemuda itu amat sedih, Hong Ji-siong bercerita makin semangat.
Terdengar ia tertawa terbahak-bahak, terusnya: "Hahaha, biarpun pengetahuan tua bangka itu luas, biarpun ilmunya hebat, tapi setelah melihat arak dan daging, cara makannya tak berbeda dengan kuli kasar pendorong gerobak.
Siapa sangka kelaparan yang diderita selama puluhan tahun, membuat lambung dan ususnya jadi lemah dan tipis, bagaimana mungkin bisa menahan makanan berminyak" "Sekalipun dia belajar ilmu sepanjang tahun, sayang ilmunya tak bisa dilatih hingga membuat perut dan ususnya jadi kebal, terlebih usianya sudah ibarat lentera kehabisan minyak, setelah makan minum sepuasnya, tak sampai setengah hari dia mulai muntah berat, lalu lewat setengah hari kemudian nyawa pun ikut melayang.
"Hahaha, sebelum mati dia bahkan masih sempat tertawa tergelak, mengatakan dia mati dengan gagah, mati dengan nyaman.
Mungkin disaat mampus, dia telah merasakan kenyaman yang luar biasa, hahaha...
paling tidak bisa mati sebagai setan kekenyangan." Biarpun kisah itu sangat beralasan, namun ketika diucapkan dari mulut Hong Ji-siong, Tian Mong-pek merasa hatinya kecut dan teramat sedih.
Melihat kepedihan hatinya, gelak tertawa Hong Ji-siong makin menjadi, terusnya: "Sekal dulu hingga kini,belum pernah ada jago silat yang mati karena kekenyangan, tak disangka dia telah menjadi pembuka sejarah yang akan dikenang sepanjang masa.
Hahaha, sepanjang hidupnya, dia begitu senang membuat karya yang mengejutkan, tak nyana setelah mati pun dia tetap mengejutkan orang banyak, anggap saja apa yang menjadi pengharapannya selama ini telah terkabulkan.
Dikemudian hari pabila ada orang akan menulis sejarah dunia persilatan, setelah menulis sampai disini, bisa dipastikan mereka akan menambahkan berapa patah kata pujian." Tak terlukiskan rasa sedih dan gusar Tian Mong-pek setelah mendengar ejekan dan gurauan yang dituturkan orang itu dengan nada menghina, sambil membentak, dia ayun pedangnya melancarkan terjangan.
Kembali Hong Ji-siong tertawa seram.
"Hahaha.... sudah tak tahan untuk segera berangkat mampus" Hehehe, Jit-ci-sin-ang telah mampus, manusia semacam kau memang tak perlu hidup lagi didunia ini .
. . . . .. aduh, pedang bagus!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka berdua telah saling menyerang sebanyak lima, enam gebrakan, ketika membentak terakhir tadi, bentakan itu merupakan pujian atas jurus Lui-teng-pun-huat (Letusan nyaring guntur membelah) yang digunakan pemuda itu.
Tampak hawa pedang yang memancar ibarat gulungan ombak ditengah badai, menciptakan beribu lapis gulungan yang menyapu ke depan bersama sama, bacokan itu memang tak ubahny seperti guntur yang membelah bumi, tak heran Hong Ji-siong bersorak memuji meski mereka sedang bertarung.
Tian Mong-pek sadar, bila hari ini dia gagal membinasakan orang ini, maka dia sendiri yang bakal tewas ditangannya, dia lebih takut lagi jika adik perempuannya tiba tiba menyusul kesana, oleh sebab itulah dia berharap serangan kilat bisa mempercepat selesainya pertarungan.
Sebaliknya Hong Ji-siong ingin tahu sampai dimana ketangguhan kungfu pemuda ini, setiap serangan yang dilancarkan nyaris merupakan jurus tipuan, sama sekali bukan gempuran sesungguhnya.




Siapa sangka belasan jurus kemudian, serangan pukulan ditangan kiri, serangan pedang ditangan kanan Tian Mong-pek makin lama semakin menggencet, berapa gebrakan kemudian ia telah berhasil paksa Hong Ji-siong berada di posisi bawah angin.
Perlu diketahui, meskipun berbicara soal ilmu silat, tenaga dalam serta pengalaman, dia masih belum mampu melampui Busur sakti empat senar, namun pengalaman yang diperolehnya selama banyak tahun, keaneka ragaman ilmu silat yang diperoleh, keganasaran dari Lan Thian-jui, kelembutan dari lembah kaisar, kehebatan dari Lak-yang-sin-kang, kelincahan dan kegesitan dari Jit-ci-sin-ang, membuat pemuda itu benar benar nyaris sempurna.
Ketika seluruh jenis ilmu silat itu dipersatukan, hasilnya sudah begitu dahsyat, apalagi saat ini, dada dan pikirannya diliputi hawa amarah, setiap serangan yang dilancarkan selalu merupakan serangan mematikan, bisa dibayangkan betapa mengerikannya setiap ancaman yang dilontarkan.
Hong Ji-siong sendiri, ketika melihat musuhnya yang masih muda belia ternyata memiliki ilmu silat yang mampu menandingi tujuh orang ternama dari dunia persilatan, kenyataan ini membuat hatinya sangat terperanjat.
Tapi yang membuat dia lebih kaget adalah daya kekuatan yang berhasil dipancarkan pemuda itu didalam ilmu pedngnya,kemampuan semacam ini boleh dibilang jarang dijumpai dalam dunia persilatan, bahkan sanggup membuat musuhnya keder lebih dulu sebelum pertarungan dimulai.
Dalam kaget dan ngerinya, diapun berpikir: "Jika diberi waktu sepuluh tahun lagi, orang ini pasti akan merajai dunia persilatan, sampai waktunya, tak akan ada umat persilatan yang sanggup menandingi kehebatannya." Berpikir sampai disini, diapun semakin mantab ambil keputusan untuk membunuh Tian Mong-pek pada hari ini juga.
Hong Ji-siong memang orng yang angkuh dan selalu pandang tinggi kemampuan sendiri, kalau bukan karena wataknya ini, bagaimana mungkin dia begitu tega mengurung gurunya selama banyak tahun dan dibiarkan mati tak bisa hiduppun susah.
Dalam waktu sekejap, jurus serangannya segera berubah, setiap serangan, setiap gerakan yang digunakan hampir semuanya telengas dan keji.
Situasi saat ini meski tidak sama bila dibandingkan dengan kegarangan dari Lan Toa-sianseng maupun kelembutan dari Kokcu lembah kaisar, namun kebuasan jurus serangannya dan kekejian arah sasarannya, tak satupun bisa ditandingi Lan Toa-sianseng maupun kokcu lembah kaisar.
Banyak diantara jurus serangan yang tak mungkin dilakukan orang lain karena tak tega, dia justru menggunakannya berulang kali, bahkan selalu mencecer daerah yang mematikan.
Biarpun selama ini Tian Mong-pek pernah menjumpai banyak sekali jago tangguh yang telah menambah pengetahuan serta pengalamannya, namun semua jago tangguh yang dijumpai selama ini merupakan para enghiong yang jujur dan berhati bersih, tak pernah mereka mau menggunakan jurus licik yang bisa menurunkan derajat dan status sendiri.
Berbeda sekali dengan manusia macam Hong Ji-siong, bukan saja manusia ini licik dan berhati busuk, jurus keji macam apapun digunakan tanpa tedeng aling aling, seperti misalnya berusaha meremas kelamin atau menendang ginjal, perbuatanya tak mencerminkan kalau dia adalah seorang tokoh silat terhormat.
Dua puluh gebrakan kemudian, Tian Mong-pek mulai merasa bahwa jurus serangan semacam ini ternyata jauh lebih sulit dihadapi , walaupun diam diam dia mengutuk lawannya yang tak pedulikan status sendiri, dalam hati diapun harus mengakui bahwa kepandaian semacam ini sesungguhnya merupakan satu aliran tersendiri.
Bila membandingkan ilmu silat dengan kaligrafi, maka ilmu silat dari Lan Toa-sianseng adalah gaya tulisan yang keras, tegas dan tandas, sedang ilmu silat dari pemilik lembah kaisar lebih cenderung gaya tulisan yang luwes, penuh liukan dan lincah.
Sebaliknya ilmu silat dari Hong Ji-siong ibarat gaya tulisan orang kasar, biarpun penuh liku liku tapi terkesan curang dan ambil jalan pintas.
Biarpun berada dalam posisi sulit, anak muda itu tetap melancarkan serangan berantai dengan mengerahkan seluruh kekuatannya dalam pedang, sekalipun dia sadar bukan tandingan lawan, namun makin bertarung dia semakin berani, betul betul mencerminkan kegagahan seorang jagoan muda dunia persilatan.
Melihat kenekatan pemuda itu, Hong Ji-siong semakin terkejut, tiba tiba katanya sambil tertawa dingin: "Orang mengatakan kalau Tian Mong-pek adalah enghiong muda yang luar biasa, tapi setelah bertemu hari ini, ternyata kemampuanmu hanya begitu saja.: Tian Mong-pek balas tertawa dingin.
"Kau tak usah memasani hatiku agar kubuang pedang ini dan bertarung tangan kosong melawanmu, mungkin saja aku tak akan menggunakan pedang disaat bertarung melawan orang yang bertangan kosong, tapi terhadap kau, murid murtad yang telah membunuh guru sendiri, aku tak bakal berbuat begitu." Sekali lagi Hong Ji-siong merasa terperanjat.
"Kelihatannya dia sudah mempunyai pengalaman buruk dalam hal ini, sehingga sekarang berubah lebih pintar!" Tebakannya memang benar sekali, kali ini Tian Mong-pek belajar dari pengalaman.
Sebagaimana diketahui, sewaktu berada didalam gua pembuat panah kekasih, Tian Mong-pek pernah ditipu orang untuk melepas pedang hitamnya, tapi kemudian pedang itu malah digunakan lawan sehingga nyaris dia mengalami celaka.
Pepatah mengatakan: bodoh untuk pertama kali, kesalahan berada pada dirimu, bodoh untuk kedua kalinya, kesalahan berada pada diri sendiri.
Biarpun watak Tian Mong-pek polos dan jujur, namun dia bukanlah orang bodoh yang mau tertipu untuk kedua kalinya.
Gagal dengan siasat busuknya, jurus serangan yang digunakan Hong Ji-siong semakin keji.
Biarpun bicara soal pengalaman dan ilmu silat dia masih berada diatas Tian Mong-pek, namun bukan pekerjaan yang gampang untuk menghabisi nyawa pemuda itu, karena itulah tadi dia sempat berusaha gunakan akal licik, agar bisa menghemat banyak tenaga.
Dalam waktu singkat belasan jurus kembali berlalu, makin lama jurus serangan yang digunakan Hong Ji-siong semakin keji dan telengas, namun tenaga perlawanan dari Tian Mong-pek makin lamapun semakin bertambah kuat.
Ternyata saat ini dia telah menggabungkan ilmu silat dari Lan Toa-sianseng serta Kokcu lembah kaisar, dua tokoh maha sakti dari dunia persilatan itu menjadi satu kekuatan, dengan gerakan yang kuat serta perubahan yang cepat dan gesit, dia hadapi lawannya.
Hanya sayang pengalamannya masih cetek, penggabungan pun baru dilakukan pertama kali, hal ini membuat serangannya kurang begitu lancar.
Namun setelah bertarung sekian lama menghadapi lawan setangguh Hong Ji-siong, apalagi dia melawan dengan sekuat tenaga, lambat laun pembauran dari dua jenis ilmu silat ini makin lama semakin hapal dan lues, apalagi setelah dia menggabungkan pula ilmu Lak-yang-sin-kang, posisi yang semula terdesak, sedikit demi sedikit berhasil di stabilkan kembali.
Dengan sorot mata yang tajam Hong Ji-siong coba mengamati wajah pemuda itu, terlihat musuhnya telah memusatkan seluruh konsentrasi sehingga mimik mukanya macam orang sedang mabuk kepayang, dia sadar, ilmu silat lawan sedang bertambah maju.
Ditengah hembusan angin malam dan cahaya bintang, tampak bayangan pedangnya menyelimuti angkasa, desingan angin tajam serasa menyayat badan.
Semakin melihat Hong Ji-siong merasa semakin terperanjat, tiba tiba dia gunakan jurus Cun-hong-jut-tong (angin semi mulai bergerak), tubuhnya berjumpalitan di udara dan mundur sejauh dua meter lebih.
Jurus Cun-hong-jut-tong yang dia gunakan ini sebetulnya hanya jurus pancingan, setelah itu dibelakangnya akan menyusul serentetan serangan berantai yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk berganti napas.
Siapa sangka setelah menggunakan jurus itu, bukannya maju dia malah mundur, satu langkah yang melanggar teori ilmu silat yang benar, coba berganti dihari biasa, belum tentu Tian Mong-pek akan merasa keheranan.
Tapi sekarang, Tian Mong-pek sedang mencurahkan seluruh konsentrasinya untuk mengikuti setiap perubahan dari ilmu silatnya, melihat tindakan lawan yang menyimpang dari kebiasaan itu, dia jadi tertegun dibuatnya.
Didalam waktu yang teramat singkat itulah, tubuh Hong Ji-siong kembali melambung, lagi lagi dia lancarkan serangan dengan jurus Cun-hong- jut-tong, hanya kali ini gerakan dilakukan secepat sambaran petir.
Tian Mong-pek segera membalikkan badan mengunci serangan lawan dengan jurus Sip-li-tiang-ti (bendungan panjang sepuluh li).
Perlu diketahui, jurus Cun-hong-jut-tong yang digunakan lawan sesungguhnya merupakan pertanda awal datangnya serangan, karena itu Tian Mong-pek harus menggunakan jurus pertahanan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Siapa tahu, begitu menggunakan jurus tadi, lagi lagi Hong Ji-siong berjumpalitan di udara dan mundur sejauh dua meter.
Sebenarnya dalam posisi begini, Tian Mong-pek bisa manfaat peluang untuk merangsek maju dan merebut posisi diatas angin, apa mau dikata jurus pertahanan yang digunakan kelewat rapat, sehingga untuk sesaat sulit baginya untuk berganti jadi jurus serangan.
Dalam kaget dan gusarnya, sekali lagi dia dibuat tertegun.
Hong Ji-siong pun menggunakan kesempatan itu untuk menerjang maju, sepasang tangannya menyerang berulang kali, angin pukulan menderu tiada putus, lagi lagi dia gunakan jurus Cun-hong-jut-tong.
Bayangan tubuhnya sebentar maju sebentar mundur, persis seperti setan gentayangan, hal ini tidak sampai membuat Tian Mong-pek keheranan, yang aneh adalah ternyata dia sudah tiga kali menggunakan jurus Cun-hong- jut-tong.
Dalam pertempuran antara jago lihay, jarang sekali ada orang menggunakan satu jurus yang sama sebanyak tiga kali, bahkan mungkin belum pernah ada di dunia ini, tak heran bila Tian Mong-pek dibuat keheranan.
Dia tak dapat menebak siasat busuk apa yang sedang dipersiapkan Hong Ji-siong, sejujurnya dia sudah habis kesabarannya, dia pun kuatir Hong Ji-siong akan mundur lagi setelah maju, bila jurus pertahanan yang digunakan kelewat rapat, bukankah dia akan kehilangan lagi peluang untuk merangsek maju" Berpikir sampai disitu, dia tidak sangsi lagi, pedang dan tangan kosong digunakan bersama, dengan jurus Ban-li-hui-hong (bianglala terbang selaksa li) dia lancarkan serangan mematikan.
Tampak pedangnya merangsek ke depan sedang pukulan tangan kosongnya dalam posisi bertahan, serangan secepat petir, bertahan bagai bukit karang, satu kombinasi posisi menyerang dan bertahan yang hebat.
Meskipun jurus ini hebat, sayang mempunyai satu kelemahan besar, oleh karena dalam satu posisi mempunyai dua tujuan, tanpa sadar dia telah membagi kekuatan tubuhnya menjadi dua bagian pula.
Oleh sebab itu, jurus semacam ini tak akan menghabiskan serangan yang mematikan, mustahil memberikan pertahanan yang stabil, andaikata menghadapi musuh biasa, mungkin gerakan ini masih boleh dipakai, tapi saat ini adalah pertarungan melawan musuh tangguh, tidak seharusnya dia gunakan jurus ini, terutama menghadapi musuh yang memiliki tenaga dalam lebih dahsyat.
Dengan menggunakan jurus ini, sama artinya dengan memberi peluang bagus untuk lawan.
Tujuan Hong Ji-siong memang ingin membuat lawannya habis kesabaran dan mengeluarkan jurus semacam ini, dalam girangnya dia tidak mundur lagi,
Tujuan Hong Ji-siong memang ingin membuat lawannya habis kesabaran dan mengeluarkan jurus semacam ini, dalam girangnya dia tidak mundur lagi, sepasang tangannya bagai ular berbisa langsung menyerobot masuk ke balik cahaya pedang tianmjongpek.
Jurus Hun-kong-tui-im (memecah cahaya mengejar bayangan) ini meski hebat, namun seandainya Tian Mong-pek tidak memperlihatkan titik kelemahan, diapun tak berani menggunakan jurus berbahaya ini.
Dalam kagetnya, terlambat bagi Tian Mong-pek untuk memperbaiki posisi, seketika itu juga sikutnya terasa kaku, pedangnya tak mampu digenggam lagi, pedang yang berat itu segera terjatuh ke tanah.
Waktu itu sepasang tangan Hong Ji-siong sudah menerobos masuk melewati posisi terbuka di depan dada pemuda itu.
Walau berada dalam situasi kritis, Tian Mong-pek tidak menjadi kalut, telapak kirinya segera menangkis, sayang kekuatan yang ada dalam tangannya tinggal separuh, bagaimana mungkin bisa membendung serangan Hong Ji-siong yang dilancarkan sepenuh tenaga itu" Ketika sepasang tangan saling beradu, "Blaaam!" Tian Mong-pek merasakan tubuhnya tergoncang keras, tangannya kehilangan kekuatan, hawa darah dalam dadanya bergolak keras, tak kuasa lagi badannya roboh terjengkang.
Namun Hong Ji-siong tidak membiarkan tubuhnya roboh terjungkal, dengan jurus Kim-si-huan-ti-jiu (serat emas membelit tangan) tangan kanannya balik menggaet dan mencengkeram urat nadi di pergelangan tangan Tian Mong-pek, sementara tangan kirinya membacok tenggorokannya.
Dalam posisi sambungan tulang tangan kanannya terlepas, tangan kiri dicengkeram lawan, Tian Mong-pek sudah kehilangan tenaga perlawanan, tampaknya jika bacokan itu dilanjutkan, pemuda itu segera akan menemui ajalnya.
Tian Mong-pek sadar, kini dia sudah tak mampu memberi perlawanan, mau berkelit pun tak mungkin, terpaksa dia pejamkan mata menanti kematian.
Oo0oo Lam-yan dan Siau Hui-uh sudah berputar satu lingkaran, mereka belum juga menemukan jejak Kim Hui maupun Tu Hun-thian, hal ini membuat Lam-yan jadi panik dan cemas sekali.
Buru buru Siau Hui-uh menghibur: "Engku maupun Tu Hun-thian adalah orang orang berusia enam, tujuh puluh II tahunan, mana mungkin mereka akan beradu nyawa" Siapa tahu .
. . . . . . .. Setelah tersenyum, lanjutnya: "siapa tahu mereka berdua sengaja mencari tempat yang jauh dari manusia untuk adu kepandaian, siapa menang siapa kalah tak sampai diketahui orang lain." "Aai," Lam-yan menghela napas, "kau tahu apa" Tu Hun-thian punya julukan panah yang terlepas dari busur, artinya apa yang sudah diperbuat tak akan ditarik kembali, sekali mereka bertarung, kalau belum ada yang mati tak bakal berhenti." "Tapi usia mereka .
. . . . .." "Kau pernah dengar orang berkata bukan, jahe itu makin tua semakin pedas, bila wataknya begitu, sampai matipun tak akan berubah, sedang engkumu, II dia .
. . . . . .. Sesudah menghela napas, diapun berhenti bicara.
Tentu saja Siau Hui-uh juga mengerti, setelah engku nya merasakan penderitaan selama puluhan tahun, rasa dendamnya tak mungkin bisa mereda sebelum sakit hatinya terbalaskan.
Ketika mereka berdua melanjutkan perondaan, tiba tiba dari balik pepohonan terdengar seseorang mendesis: "Hei!" "Siapa?" bentak Siau Hui-uh dan Lam-yan serentak.
Orang dibalik semak itu tidak menjawab, terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat menuju kearah kegelapan, gerakannya lincah dan cepat.
Menyaksikan hal itu, Siau Hui-uh segera berbisik: "Kejar!" Gadis ini memang besar nyalinya, begitu mendapat sedikit petunjuk, tentu saja dia tak mau melepaskan begitu saja, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia melakukan pengejaran.
Terpaksa Lam-yan mengintil dari belakang.
Tampak bayangan manusia yang berada didepan itu bergerak diantara pepohonan bagaikan burung walet, terkadang dia tampilkan diri seakan sedang menanti Siau Hui-uh serta Lam-yan/ Setelah bergerak kurang lebih seperminum teh kemudian, suasana disekeliling tempat itu semakin sepi dan terpencil, pepohonan makin lebat tapi rumput dan bebungahan makin minim, sudah jelas mereka telah keluar dari lingkungan tempat tinggal keluarga Tong.
Tiba tiba bayangan manusia itu melambung ke tengah udara, lalu lenyap tak berbekas.
Siau Hui-uh dan Lam-yan tak mau menyerah begitu saja, mereka melanjutkan pencarian, tapi bayangan manusia itu sudah tidak muncul lagi, yang terdengar adalah suara bentakan yang lamat lamat dari balik hutan lebat.
Tergerak hati mereka berdua, kini mereka tidak lagi mencari jejak bayangan manusia itu tapi bergerak menuju ke asal munculnya suara bentakan.
Tak selang berapa saat, mereka saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bertarung sengit.
Kedua sosok bayanga manusia itu berlompatan bagaikan naga sakti, ketika berhenti bagaikan batu karang, ternyata mereka tak lain adalah Tu Hun-thian dan Kim Hui.
Sambil berteriak Siau Hui-uh dan Lam-yan melompat maju, tapi Tu Hun-thian dan Kim Hui masih terlibat pertarungan sengit, hal ini membuat kedua orang wanita ini tak sanggup melerai.
Suasana disekeling hutan itu amat kacau, ada tujuh delapan batang pohon yang bertumbangan, kelihatannya untuk mencari tempat bertarung, mereka telah merobohkan batang batang pohon itu sehingga terbuka sebuah lapangan luas.
Pepohonan yang tumbuh diempat penjuru meski tidak ikut tumbang, namun ranting dan dedaunan berguguran dimana mana, jelas hal ini disebabkan terkena getaran angin pukulan mereka yang luar biasa.
Selain pepohonan yang tumbang tadi, diatas permukaan tanah pun berserakan senjata rahasia yang berkilauan, namun jumlahnya tidak banyak, karena kedua orang ini bukan jagoan yang termashur karena mengandalkan senjata rahasia.
Cukup ditinjau dari arena pertempuran yang kacau, bisa dibayangkan betapa sengitnya pertarungan tadi, namun baik Kim Hui maupun Tu Hun-thian tampak masih segar, sama sekali tak terlihat letih atau kehabisan tenaga.
Aliran ilmu silat yang diandalkan kedua orang ini, yang satu lembut dan penuh perubahan, sedang yang lain keras dan mapan, untuk sesaat siapa pun jangan berharap bisa menempati posisi diatas angin.
Ternyata selama berada dalam rawa rawa berlumpur, meski Kim Hui berhasil melatih ilmu yang aneh dan sakti, namun terhadap Tu Hun-thian, ia tetap menaruh perasaan jeri.
Sebaliknya Tu Hun-thian selalu memandang lawan sebagai bekas musuh yang pernah dikalahkan, ketika bertarung semangat dan keberaniannya tetap berkobar.
Oleh karena itu walaupun bicara soal ilmu silat Tu Hun-thian bukan tandingan Kim Hui, tapi keberanian dan wibawa Tu Hun-thian memaksa Kim Hui bertarung seimbang.
Tatkala Siau Hui-uh dan Lam-yan tiba disana, kedua belah pihak sedang bertempur sengit sengitnya.
Dengan suara lengking, Lam-yan segera menjerit: "Kim Hui, aku mohon, kau yangan berkelahi lagi!" Baik Tu Hun-thian maupun Kim Hui, mereka sama sama terperanjat, agaknya kedua orang itu tidak menyangka ada orang yang bisa temukan tempat itu.
Dengan cepat Tu Hun-thian melepaskan satu serangan tipuan lalu mundur berapa langkah.
"Kau mengaku kalah?" tegur Kim Hui.
Tu Hun-thian tertawa dingin.
"Tunggu sampai bala bantuanmu tiba semua, lohu baru akan turun tangan lagi." Berubah paras muka Kim Hui, teriaknya penuh amarah: "Kentut!" Mendadak dia patahkan sebatang ranting pohon lalu mematahkan jadi dua.
"Kau..... mau apa kau?" tanya Lam-yan dengan wajah berubah.
"Bila ada yang membantuku, aku segera akan mengaku kalah, bila tidak mentaati sumpah, biar sama seperti ranting ini!" Dia sambit kedua ranting itu hingga menancap diatas tanah.
Berubah paras muka Lam-yan, tubuhnya jadi lemas hingga bersandar di pohon.
Sedang Siau Hui-uh segera berputar biji matanya kemudian bertanya: "Apa yang harus dilakukan mereka yang mengaku kalah?" Sedang dalam hati berpikir: "Bila dua ekor harimau bertarung, pasti ada yang terluka, bila tak ingin mereka berdua beradu nyawa, lebih baik paksa Kim Hui untuk mengaku kalah, daripada membuat Lam-yan sedih." Terdengar Tu Hun-thian menjawab sambil tersenyum: "Orang yang mengaku kalah harus bunuh diri didepan lawannya." Siau Hui-uh tertegun, dia tak mampu berbicara lagi.
Kembali Tu Hun-thian berkata sambil tertawa keras: "Hebat kamu Kim Hui, setelah lewat dua puluh tahun, akhirnya watakmu mulai berubah, tidak lagi menjadi budak yang mencari menang dengan andalkan jumlah banyak, mari, mari, mari, kuhormati kau dengan satu kepalan." Swesss! Sebuah pukulan tinju langsung dikirim ke bahu kiri lawan.
Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini hampir seimbang, karena itu siapa pun enggan menyerempet bahaya dengan menghantam dada lawan.
Begitu pukulan itu dilontarkan, kedua orang itu tidak bicara lagi, pertempuran sengit kembali berkobar.
Puluhan gebrakan kemudian, situasi dimedan pertempuran semakin garang, angin pukulan yang menderu deru membuat kawasan hutan itu seolah sedang dilanda angin topan.
Tiba tiba terdengar Lam-yan menghela napas panjang, serunya keras: "Jika kau tidak segera berhenti, biar aku mati dihadapanmu saja!" Biasanya kata jimat itu sangat manjur hasilnya.
Siapa tahu Kim Hui bukannya menghentikan serangan, dia malah menjawab sambil tertawa keras: "Hahaha, kali ini ancamanmu itu tidak manjur." "Apa kau bilang?" teriak Lam-yan gusar, "kalau tidak percaya biar aku mati dulu dihadapanmu." Gelak tertawa Kim Hui semakin keras.
"Hahaha, pertarungan kali ini merupakan pertarungan mati hidup, bila aku menghentikan serangan, belum tentu si tua bangka Tu akan berhenti menyerang, artinya aku bakal mati dihajar dia.
Masa kau tega membiarkan aku mati?" Lam-yan tertegun, dia tak bisa bersuara lagi.
Sebagaimana diketahui, kata jimat kaum wanita terhadap suaminya, paling banter hanya ancaman kematian, begitu kata jimat ini tidak manjur, Lam-yan pun kehabisan daya.
Siau Hui-uh pun sangat gelisah, dia hanya menghela napas tanpa sanggup berbuat apa apa.
Dengan andalkan jurus serangan dan gerakan tubuh yang aneh, lambat laun Kim Hui berhasil merebut posisi diatas angin, ternyata semangat tempurnya semakin berkobar, apalagi berada dihadapan Lam-yan, dia semakin ingin mempamerkan kebolehannya.
Tu Hun-thian sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan, diapun sudah menjumpai banyak jago lihay, tapi belum pernah sekali pun menjumpai gerakan tubuh seaneh yang dimiliki Kim Hui.
Makin bertempur hatinya makin terkejut, semangat tempurnya jadi melemah, begitu melemah, dia semakin tak mampu melawn.
Ketika melihat Kim Hui melontarkan satu pukulan, Tu Hun-thian tidak berusaha menghindar, diapun memapaki serangan itu dengan satu pukulan.
"Blaaam!" begitu empat tangan saling beradu, dengan cepat melengket satu dengan lainnya.
Dengan terjadinya keadaan ini, paras muka Lam-yan serta Siau Hui-uh berubah hebat, mereka sadar bila kedua orang ini mulai beradu tenaga dalam, maka akan semakin sulit untuk melerainya.
Jangan lagi kedua orang itu, Kim Hui sendiripun ikut terperanjat, dia tak mengira kalau Tu Hun-thian bakal nekad melakukan tindakan tersebut.
Sebab siapapun tahu, bila dua jago saling beradu tenaga dalam maka sebelum ada yang mati tak mungkin bisa berhenti dan tak bisa dilerai siapa pun, bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan kedua belah pihak sama sama terluka.
Bagi yang kalah, sudah pasti mati, sedang yang menang pun paling tidak akan terluka parah.
Darimana mereka tahu kalau Tu Hun-thian sebagai jagoan yang pernah menjagoi dunia persilatan memiliki pengalaman yang luar biasa, bagaimana mungkin orang yang berpengalaman tidak bisa membedakan mana yang berbahaya mana yang tidak, tindakan kali ini memang sengaja dia lakukan karena punya maksud lain.
Dia sadar, bicara soal gerakan tubuh, jelas dia bukan tandingan Kim Hui, bila pertarungan dilanjut maka pihaknya yang akan kalah, daripada begitu mending dia beradu nasib dengan mengambil langkah berbahaya ini.
Begitu pertempuran berlangsung, Lam-yan dan Siau Hui-uh dibikin semakin terkesiap.
Tampak paras muka kedua orang itu makin lama semakin bertambah serius, peluh yang membasahi jidat pun makin lama semakin bertambah banyak.
Mendadak . . . . .. tubuh kedua orang itu terlihat lebih pendek berapa inci, setelah diamati, baru diketahui ternyata kaki mereka berdua sudah mulai amblas ke dalam tanah.
Lam-yan menggenggam pergelangan tangan Siau Hui-uh erat-erat, dia nyaris tak berani melihat lagi, sedang Siau Hui-uh pun membelalakkan matanya tanpa berkedip, peluh dingin telah membasahi tubuh mereka berdua.
Mereka sadar, walaupun Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah tidak lagi menggerakkan tubuhnya, namun situasi bertambah gawat, setiap saat kemungkinan besar ada seorang diantara mereka yang bakal roboh terluka.
Berbicara soal ilmu gerakan tubuh, biarpun Kim Hui jauh lebih sempurna ketimbang Tu Hun-thian, tapi bicara soal tenaga dalam, dia masih belum
Mereka sadar, walaupun Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah tidak lagi menggerakkan tubuhnya, namun situasi bertambah gawat, setiap saat kemungkinan besar ada seorang diantara mereka yang bakal roboh terluka.
Berbicara soal ilmu gerakan tubuh, biarpun Kim Hui jauh lebih sempurna ketimbang Tu Hun-thian, tapi bicara soal tenaga dalam, dia masih belum bisa mengungguli tenaga dalam yang dilatih Tu Hun-thian selama puluhan tahun, latihan yang dilakukan selama berada dalam rawa rawa lumpur hanya mampu membuat dia tak cepat kalah.
Oleh sebab itu siapa yang bakal roboh dalam pertarungan sengit ini masih merupakan tanda tanya besar.
Oo0oo Tangan kanan Hong Ji-siong telah berhasil mencengkeram urat nadi Tian Mong-pek, waktu itu telapak tangan kirinya sudah siap membabat ke bawah.
Pada saat yang amat kritis itulah, mendadak terdengar seseorang membentak keras: "Hong Ji-siong, coba lihat siapa dia?" Suara bentakan itu keras dan nyaring, tanpa berpaling Tian Mong-pek sudah tahu kalau dia adalah Ui Hau.
Ujung jari Hong Ji-siong sudah menempel diatas tenggorokan Tian Mong-pek, asal dia mengerahkan tenaga, niscaya anak muda itu bakal tewas.
Tapi bentakan itu membuat dia mau tak mau harus berpaling.
Begitu melihat apa yang berada didepan mata, paras mukanya berubah hebat.
Tampak seorang lelaki kekar dengan tangan kiri mencengkeram pergelangan tangan seseorang, golok ditangan kanan dipalangkan di leher orang itu, sedang berjalan dari balik bukit dengan langkah lebar.
Terdengar lelaki itu membentak lagi: "Bila kau menghendaki nyawa adikmu, lepaskan dulu Tian toako ku." Lelaki itu tak lain adalah Ui Hau, sedang orang yang berada dalam ancaman Ui Hau tak lain adalah Hong San-hoa, adik perempuan Hong Ji-siong.
Terlihat perempuan itu mengenakan jubah abu abu dengan rambut panjang terurai dipundak, tapi wajahnya seperti orang mati, tak mampu meronta atau berkutik.
Rupanya disaat Hong Ji-siong sedang menanti kedatangan Tian Mong-pek, Hong San-hoa telah memancing keluar Ui Hau, rencana mereka, pada saat yang bersamaan mereka akan menyerang Tian Mong-pek serta Ui Hau dan berusaha membinasakannya.
Mimpi pun Hong Ji-siong tidak menyangka kalau adiknya bisa jatuh ketangan lelaki kasar itu, menghadapi perubahan yang sama sekali tak terduga ini, biar dia banyak akal pun tak urung wajahnya berubah jadi pucat pasi.
Sejak awal Tian Mong-pek sendiripun sudah curiga kenapa tidak tampak Hong San-hoa, dia kutir perempuan itu mencari gara gara dengan Ui Hau, tapi sesudah menyaksikan kejadian ini, diapun ikut tercengang.
Melihat orang lain dibuat terkejut oleh kehadirannya, Ui Hau merasa amat bangga, katanya kemudian sambil tertawa keras: "Sudah kau dengar perkataanku tadi" Kenapa kau masih belum membebaskan Tian toako?" Melihat adiknya tertunduk tanpa bicara tanpa bergerak, Hong Ji-siong tahu dia pasti menderita luka dalam, terdorong rasa kuatirnya akan keadaan saudaranya, dengan keras teriaknya: "Bebaskan dia lebih dulu." Tian Mong-pek tahu orang itu licik dan buas, baru saja akan menjerit: "Jangan dilepas." Siapa tahu Ui Hau sudah berseru sambil tertawa: "Kalau aku sudah bebaskan dia dan ternyata kau tidak membebaskan Tian toako, lantas bagaimana aku" Hahaha....
Ui toaya mah ogah kau tipu!" Tian Mong-pek jadi girang mendengar jawaban ini, pikirnya: "Tak disangka Ui lote ku ini telah berubah semakin pintar." Darimana dia tahu kalau Ui Hau bisa berbicara begitu karena sudah mendapat petunjuk dari orang pintar.
Tampak Hong Ji-siong mengerutkan dahinya, jelas dia merasa serba salah.
Tadi dia sempat menyaksikan kehebatan kungfu Tian Mong-pek, dia tahu bila membebaskan pemuda itu, sama halnya dengan membebaskan harimau pulang gunung, sebaliknya kalau tidak dilepas, bagaimana caranya menyelamatkan nyawa adiknya" sudah puluhan tahun mereka kakak beradik hidup bersama, hubungan batin mereka jauh lebih kental daripada hubungan persaudaraan lainnya, menyaksikan keadaan Hong San-hoa, sejak tadi dia sudah merasa sedih bagaikan diiris iris.
Sementar itu Ui Hau sudah memandang kearah Tian Mong-pek sambil mengerdipkan mata, dia seakan sudah yakin kalau kemenangan berpihak dirinya, dengan hati yang riang kembali desaknya: "Ayoh cepat.....
cepat memberi jawaban." Berputar biji mata Hong Ji-siong, mendadak katanya sambil tertawa dingin: "Aku berhasil menaklukan Tian Mong-pek dengan andalkan kepandaian, sementara kau berhasil membekuk adikku dengan akal licik, apakah pertukaran semacam ini disebut adil?" Dia percaya kungfu yang dimiliki Ui Hau tidak sebanding dengan Hong San-hoa, maka sengaja dia berkata begitu dengan harapan bisa memancing perasaan ingin menangnya.
Siapa tahu kembali Ui Hau tertawa terbahak, ejeknya: "Dasar tua bangka yang tak tahu malu.
Memangnya kau berhasil mengungguli Tian toako dengan andalkan ilmu silat" Hahaha, tiga jurus Cun-hong- jut-tong yang kau gunakan memangnya bukan siasat licik?" Hong Ji-siong tertegun, pikirnya: "Jangan jangan orang ini memang orang pintar yang berlagak bodoh .
. . . . . .." Begitu melihat keadaan Hong San-hoa semakin layu dan menderita, dalam sakit hatinya muncul pikiran keji dihati orang ini, bentaknya: "Aku akan bebaskan Tian Mong-pek, tapi bersamaan waktu kaupun harus lepas tangan!" Diam diam dia kerahkan tenaga dalamnya siap melukai Tian Mong-pek, agar pemuda itu terluka parah dan selama hidup cacat tubuh.
Siapa tahu belum sempat dia turun tangan, kembali Ui Hau membentak nyaring: "Akupun perlu memberitahukan dirimu lebih dulu, jangan coba coba main setan, asal jari tanganmu mengerahkan sedikit tenaga, aku akan menjagal adikmu terlebih dulu." Diam diam Hong Ji-siong menghela napas, pikirnya: "Yaa sudah, tak disangka penampilan orang ini tampaknya polos dan jujur, ternyata dia ulet sekali." Setelah mengendorkan tangannya dan mundur berapa langkah, serunya: "Bagaimana?" "Anggap saja kau memang pintar, kami bukanlah orang yang ingkar janji." Sambil mengendorkan kelima jari tangannya, ia berseru: "Cepat kau ambil adikmu!" Tidak sampai dia menyelesaikan perkataannya, Hong Ji-siong sudah melompat maju dan memayang tubuh Hong San-hoa.
Tapi begitu tahu seluruh tubuh adiknya lemas tak bertenaga, dengan gusar teriaknya: "Kau.....
kau lukai dia?" "Hmm, siapa yang melukai dia,' I sahut Ui Hau sambil tertawa dingin, "sejak awal dia sudah terluka parah, tadi, tidak seharusnya menggunakan hawa murni untuk melukai aku, siapa sangka gagal mencelakai orang, diri sendiri yang celaka." Hong Ji-siong menggertak gigi menahan amarah yang meluap, dengan penuh kebencian dia menatap wajah Ui Hau, lalu menatap pula Tian Mong-pek, katanya kemudian: "Baik, kita bertemu setahun yang akan datang." Dengan membopong tubuh Hong San-hoa, ia siap meninggalkan tempat itu.
Andaikata Hong San-hoa belum terluka, dia masih bisa mengajaknya bertarung lagi, tapi dengan kondisi Hong San-hoa saat ini, dia sadar kalau mereka bukan tandingan lawannya, terpaksa dengan membawa dendam ia berlalu.
Kembali Ui Hau berseru dengan lantang: "Dengan kepandaian silat yang dimiliki kalian berdua, sebenarnya dapat melakukan banyak perbuatan yang baik dan angkat martabat sendiri, tapi kalian justru karena rasa dengki dan rakus, ingin jadi jago nomor satu serta melakukan perbuatan yang mencelakai orang lain maupun mencelakai diri sendiri.
Tahukah kalian, dalam jagad raya yang begini luas, masih terdapat banyak jago yang sanggup mengalahkan kalian berdua, apalagi ombak belakang mendorong ombak didepannya, angkatan muda akan selalu bermunculan.
Terlebih sekarang, sudah sejak lama tak ada umat persilatan yang menganggap kalian sebagai jago nomor wahid lagi." Sebetulnya Hong Ji-siong sudah membalikkan badan, tapi kini tak tahan dia berpaling lagi, dengan wajah hijau membesi, bentaknya: "Siapa yang berani tidak mengakui aku Hong Ji-siong sebagai jago nomor satu dikolong langit?" Walaupun dia licik dan banyak akal, namun rasa ingin menangnya kelewat kental sehingga paling tak tahan bila dipanasi hatinya.
Sambil tertawa ujar Ui Hau: "Hanya orang yang sanggup membongkar rahasia panah kekasih baru bisa disebut jago nomor satu dikolong langit, bila tak puas, silahkan ikut memperebutkannya, kalau tidak, kuanjurkan lebih baik cuci tangan saja untuk hidup mengasingkan diri." "Benda apa itu panah kekasih?" dengus Hong Ji-siong sambil tertawa dingin, "akan kubongkar rahasia ini untuk membuktikan aku tetap paling hebat." Kemudian sambil membopong adiknya, ia berlalu dengan langkah lebar.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur keheranan, dia tak menyangka Ui Hau dengan berapa patah katanya berhasil membujuk Hong Ji-siong untuk ikut memusuhi panah kekasih, dia tak tahu sejak kapan rekannya ini berubah jadi pintar.
Setelah Hong Ji-siong pergi jauh, Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri lagi, ujarnya sambil tersenyum: "Pepatah biang, berpisah tiga hari, segala sesuatu dapat berubah.
Tak kusangka baru berpisah setengah hari, kau sudah berubah jadi manusia hebat, bukan saja berhasil mengungguli Hong San-hoa, datang selamatkan diriku, ini masih belum mengherankan, yang lebih aneh lagi adalah perkataanmu barusan, aku tak mengerti darimana kau bisa berbicara begitu?" Sebagaimana diketahui, hubungannya dengan Ui Hau memang istimewa sehingga dia tak merasa perlu untuk berterima kasih atas pertolongannya.
Siapa tahu baru selesai dia bicara, Ui Hau telah tertawa terbahak bahak.
"Hahaha.... toako, kau sangka perkataanku tadi benar benar merupakan hasil pemikiranku?" Tian Mong-pek tertegun, katanya keheranan: "Perkataan muncul dari mulutmu, masuk ke telingaku, aku mendengar semuanya dengan sangat jelas, kalau bukan kau yang bicara, lantas siapa?" "Setiap perkataan yang siaute katakan tadi, sesungguhnya sudah didiktekan orang lain disisi telingaku, hanya saja dia orang tua menyampaikan dikte nya memakai ilmu coan-im-jip-pit sehingga kalian tak ada yang menyadari." "Lantas siapa yang mendikte mu?" tanya Tian Mong-pek semakin keheranan.
Belum sempat Ui Hau menjawab, dari balik kegelapan terdengar seseorang menyahut: "Aku!" Terlihat seorang berbaju kuning berjalan keluar dari balik kegelapan, walaupun bibirnya tersenyum namun wajahnya dingin kaku tanpa ekspresi.
Tian Mong-pek merasa kaget bercampur girang, teriaknya: "cianpwee, rupanya kaupun sudah datang?" Orang berbaju kuning itu tak lain adalah Kokcu lembah kaisar, Siau Ong-sun.
Ujarnya lagi sambil tersenyum: "Semua orang sudah pergi, dalam lembah jadi sepi, tentu saja akupun ikut keluar, hanya saja kau berada didepan sementara aku mengintil dari belakang." Ui Hau menghela napas panjang.
"Andai cianpwee tidak datang, hari ini Ui Hau sudah pasti mati!" katanya.
"Bagaimana ceritanya?" tanya Tian Mong-pek terkejut bercampur girang.
"Sewaktu sadar dari mabuk, kau sudah tak terlihat, orang lainpun tergeletak disana sini, aku merasa tenggorokanpun panas, teko air teh kosong semua .
. . . . .." "Aku yang telah menghabiskan air dingin itu." Ujar Tian Mong-pek sambil tersenyum.
Ui Hau ikut tertawa. "Aku tahu, maka akupun membawa teko menuju belakang, maksudnya mau mencari air dingin, tiba tiba dari kejauhan kulihat ada sesosok bayangan manusia sedang menggapai kearahku." "Apakah orang itu adalah Siau locianpwee?" Ui Hau menggeleng.
"Bukan," katanya, "orang itu mempunyai rambut sepanjang bahu, jubah panjangnya lebar, didalam kegelapan aku tak bisa melihat dengan jelas siapa dia, sehingga untuk berapa saat aku tak tahu harus berbuat apa" Setelah tersenyum, lanjutnya: "Pada saat itulah Siau locianpwee mulai ajak aku berbicara dengan ilmu coan-im-jip-pit, mula mula aku kaget setengah mati." "Apa yang dikatakan dia orang tua?" "Mula mula dia orang tua memperkenalkan diri dan minta aku mengikuti saja dengan perasaan lega, toako kan tahu, aku memang bukan bangsa bernyali kecil, maka akupun mengikuti." Mendengar sampai disini, tak tahan Tian Mong-pek dan Kokcu lembah kaisar tertawa geli.
Ujar Ui Hau lebih lanjut: "Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bayangan manusia itu hebat, dia membawaku berkeliling cukup lama sebelum tampilkan diri, begitu tahu kalau dia adalah perempuan dari marga Hong, akupun bertanya apa dia mencari aku untuk beradu senjata rahasia?" Sebagaimana diketahui, Ui Hau adalah orang kasar yang tak pernah memperhatikan urusan secara detil, karenanya dia bukannya menegur kenapa Hong San-hoa mengingkar sumpah dengan datang mencarinya, malahan dia mengajak orang untuk beradu ilmu.
Karena Hong San-hoa memang berniat akan lenyapkan dia, tentu saja perempuan itupun tidak banyak bicara.
Tenaga dalamnya memang sudah menderita luka, namun masih berlebihan untuk mengungguli Ui Hau.
Siapa sangka Ui Hau justru mendapat bantuan Siau Ong-sun secara diam diam, dengan ilmu coan-im-jip-pit tiada hentinya dia memberi petunjuk jurus serangan, sehingga berulang kali dia berhasil merebut posisi diatas angin. Siapa sangka Ui Hau justru mendapat bantuan Siau Ong-sun secara diam diam, dengan ilmu coan-im-jip-pit tiada hentinya dia memberi petunjuk jurus serangan, sehingga berulang kali dia berhasil merebut posisi diatas angin.
Dalam kaget dan gusarnya, tiba tiba Hong San-hoa melancarkan serangan mematikan, serangkaian serangan berantai memaksa Ui Hau mundur ke sudut mematikan, saking cepatnya dia berganti jurus hingga Siau Ong-sun tak sempat memberi petunjuk.
Tapi perempuan itu tidak tahu kalau Siau Ong-sun sedang bersembunyi dibalik kegelapan .
. . . .. Terdengar Ui Hau berkata: "Perempuan gila itu mendesak aku ke sudut bukit yang sempit, melihat wajahnya ditengah kegelapan malam, dia benar benar menyerupai setan perempuan.
"Waktu itu sebetulnya aku merasa sedikit terperanjat, melihat sepasang tangannya menyodok tiba, sedang akupun sudah tak mungkin bersembunyi lagi, terpaksa dengan keraskan kepala kusambut datangnya serangan itu.
Siapa tahu disaat tanganku menyentuh telapak tangannya, tiba tiba dari belakang tubuhku muncul pula sebuah tangan yang segera menempel punggungku.
"Menyusul kemudian dari balik tanganku muncul satu gulung kekuatan yang besar, akupun tak tahu dari mana munculnya kekuatan itu, tahu tahu nenek sihir itu sudah terpental hingga mencelat ke belakang.
Hahaha, dia sangka kekuatannya masih mengungguli diriku, maka dia sengaja mengajak aku beradu kekerasan, siapa sangka di belakangku ada orang yang mendukung." Tian Mong-pek tahu, sudah pasti Siau Ong-sun telah menggunakan ilmu khikang sebangsa Li-san-ta-gou (memukul kerbau dari balik bukit) untuk menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangan Ui Hau, lalu meminjam tangan Ui Hau untuk mengalahkan Hong San-hoa.
Terdengar Ui Hau berkata lebih lanjut sambil tertawa: "Dalam keadaan linglung dan tak habis mengerti aku telah mengalahkan dia, saat itulah Siau locianpwee suruh aku menggusurnya datang kemari, setiba II disini, akupun melihat kau dan .
. . . . . .. II "Kejadian selanjutnya aku sudah tahu, dan kau .
. . . .. ucap Tian Mong-pek sambil tertawa.
Ui Hau segera tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, dan aku tak perlu cerita lagi." Kokcu lembah kaisar ikut tertawa tergelak, ujarnya: "Dua bersaudara keluarga Hong bukan manusia sembarangan, sedang pemilik panah kekasih pun susah dihadapi, kali ini aku memang sengaja mengkompori Hong Ji-siong agar mau berseberangan dengan dia, paling tidak bisa menambah musuh tangguh bagi lawan, aku rasa tindakan seperti inilah yang paling tepat, menghadapi racun dengan racun, kalau tidak .
. . . ..aaak, sampai kapan rahasia ini baru terbongkar masih sukar diramalkan, kedatanganku turun gunung kali inipun berniat untuk menemukan kunci dari rahasia besar itu, siapa sangka.....aaai!" "Kenapa?" tak tahan Tian Mong-pek bertanya.
Siau Ong-sun tertawa getir, ujarnya: "Begitu turun gunung, akupun berhasil menemukan satu petunjuk, tentu saja aku tak mau melepaskan begitu saja, siapa tahu setelah dilacak sampai sumbernya, ternyata tempat itu adalah tempat tinggalmu di Hangciu." "Haah" Tapi .
. . . . . .." Tian Mong-pek berseru tertahan.
Dengan cepat Siau Ong-sun menukas: "Aku berhasil menemukan sebuah rumah, ternyata banyak sekali orang yang mengawal dan melindungi keluarga itu, apa mau dibilang ternyata para pengawal itu hanya golongan rendah, akupun menotok jalan darah mereka satu per satu, betul saja, didalam bangunan itu kutemukan berapa buah ruang rahasia .
. . . . .." Sebagaimana diketahui, Siau Ong-sun sangat menguasahi ilmu pat-kwa serta ahli dalam ilmu perangkap, perduli bangunan seperti apapun, asal disana terdapat ruang rahasia atau alat rahasia, tak satupun yang bisa mengelabuhi matanya.
Terdengar dia berkata lebih lanjut: "Dalam ruang rahasia itu, kutemukan banyak sekali buku transaksi rahasia, ternyata semua transaksi itu berhubungan dengan jual beli panah kekasih, hanya saja aku tidak menemukan jejak pemilik rumah." "Tapi kawanan pengawal yang melindungi bangunan itu .
. . . .." teriak Ui Hau. Kembali Siau Ong-sun tertawa.
"Betul, akupun menginterogasi para pengawal itu, siapa sangka mereka semua tak ada yang tahu kejadian sebenarnya, malahan diantara mereka terdapat anggota perguruan panji kain." Tian Mong-pek jadi teringat dengan kemampuan Siau Ong-sun untuk mendiktesi kebohongan, dia tahu asal orang itu sudah diinterogasi, jangan harap ada rahasia yang bisa disimpan.
Diapun teringat kembali dengan kejadian di pesisir telaga Tay-ou, ketika bersama Siau Hui-uh dan ikan hiu besar menghadapi serbuan para jago dari perguruan panji kain.
Sewaktu mengetahui kalau raja naga dari telaga See-ou Lu Tiang-kiat masuk menjadi anggota perguruan panji kain, hatinya sudah merasa keheranan, sekarang dia baru tahu, rupanya Lu Tiang-kiat telah menjadi begundalnya Chin Siu-ang, sedang Chin Siu-ang lah yang secara diam diam membeli orang orang panji kain dengan niat menguasahi wilayah telaga Tay-ou dan memperkokoh posisi panah kekasih.
Ditinjau dari sini bisa disimpulkan, walaupun Chin Siu-ang bukan pemilik panah kekasih, dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemilik panah kekasih .
. . . . .. Ketika melihat pemuda itu mulai termenung, Siau Ong-sun segera bertanya: "Apakah kau tahu, siapa pemilik rumah itu?" "Chin Siu-ang!" jawab Tian Mong-pek tanpa pikir panjang.
Sejak awal dia memang sudah menduga, hanya selama ini tidak yakin, setelah ketambahan bukti dari Siau Ong-sun, dia yakin dugaannya tak mungkin meleset.
"Ooh, ternyata kaupun sudah tahu, sayang....
aaai, dia sudah mati!" "Kematian orang ini kelewat aneh," ujar Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "bayangkan saja, dia adalah tokoh penting didalam organisasi panah kekasih, kenapa justru mati terkena panah kekasih?" Siau Ong-sun segera tersenyum.
"Sudah sewajarnya begitu," katanya, "andaikata dia tidak mati karena panah kekasih, hal mana justru terasa janggal, sudah kau pahami teori ini?" Tian Mong-pek berpikir berapa saat, tak lama kemudian ia berseru tertahan: "Aah, betul! Bisa jadi karena rahasianya sudah ditemukan cianpwee, tentu saja pemilik asli panah kekasih tak bisa membiarkan dia tetap hidup." "Dengan kematiannya, bukan saja seluruh petunjuk yang kita temukan selama ini jadi terputus, yang membuat orang jadi semakin tak habis mengerti adalah kenapa dia mati oleh panah kekasih.
siasat melenyapkan saksi yang mereka lakukan betul betul keji dan sempurna." Teringat kalau musuh besarnya ternyata adalah gembong iblis yang buas, keji dan licik, Tian Mong-pek merasa semakin masgul, tanpa terasa paras mukanya ikut berubah.
Kembali Siau Ong-sun berkata: "Karena harus mengejar Chin Siu-ang, maka akupun menyusul sampai disini, bergabung dalam orang banyak, biarpun kalian tidak melihat aku, aku justru dapat menyaksikan kalian." Dengan senyum tak senyum dia menambahkan: "Aku lihat Hui-uh si bocah itu makin lama semakin latah, meski hatiku risau, tapi setelah melihat kungfu mu maju semakin pesat, hatiku pun ikut gembira." "Kalau bukan kehadiran cianpwee tadi, mungkin aku sudah tewas ditangan Il orang.
Kata Tian Mong-pek sambil tertawa.
"Tiga jurus cun-hong-jut-tong yang dia gunakan memang luar biasa sekali, jangankan kau, akupun belum tentu mampu mematahkan, apalagi dengan usiamu sekarang ternyata sanggup melawan pemimpin dari tujuh manusia kenamaan, kemampuan ini pantas digembirakan, pantas diberi selamat." Sambil berkata, orang tua ini memandang Tian Mong-pek sambil tersenyum penuh arti, buru buru pemuda itu menundukkan kepala dengan tersipu.
Menyaksikan adegan ini, tanpa terasa Ui Hau jadi teringat dengan perkataan "mertua memandang menantu, makin dipandang semakin seru", tak tahan dia pun tertawa terbahak bahak.
Sambil tertawa Siau Ong-sun segera menegur: "Kau jangan tahunya hanya tertawa disini, cepat tengok tiga bersaudara Ho, mereka sangat setia kawan, ketika melihat kau hilang dan tidak ditemukan, sudah pasti akan gelisah setengah mati." "Tapi bagaimana dengan me.....
toako ku?" Hampir saja dia menyebut "menantumu", masih untung ucapan itu berhasil ditahan, kendatipun gelak tertawanya semakin menjadi, siapapun tak tahu apa yang sedang dia tertawakan.
Melihat suara tertawanya aneh, tanpa terasa Siau Ong-sun ikut tertawa, katanya: "Toako mu masih harus ikut aku nonton keramaian, tapi sudah tak bakal membahayakan, pergi saja dengan hati tenang!" Ditengah gelak tertawa, Ui Hau sama sekali tak mendengar apa yang dikatakan, dia hanya tahu beranjak pergi sambil tertawa.
"Keramaian apa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Aku masih ingat, bukankah kau paling senang melihat jago lihay sedang bertarung?" Tergerak hati Tian Mong-pek, serunya: "Maksudnya Tu locianpwee melawan Kim locianpwee?" Siau Ong-sun tertawa sambil manggut manggut.
"Betul, begitu mereka berdua bertarung, walaupun tidak seramai pertarunganku melawan Lan Thian-jui, namun jauh lebih ganas dan berbahaya." Tiba tiba ia menghentikan tertawanya dan melanjutkan: "Kepergianku kali ini bukan Cuma nonton keramaian, kaupun bertanggung jawab untuk memisahkan mereka berdua, jangan biar kan kedua orang itu benar benar bertarung sampai salah satu terluka, sementara aku.....
aaai, sejujurnya aku tak ingin bertemu Kim Hui, karena itu dalam kejadian ini aku tak boleh tampil, semuanya tergantung bagaimana kamu nanti." Ternyata bayangan manusia yang memancing Lam-yan serta Siau Hui-uh tadi tak lain adalah orang tua ini, kalau tidak, siapa yang memiliki ilmu meringankan tubuh setangguh itu.
Mengetahui bahwa semua tingkah laku orang orang itu tak bisa mengelabuhi orang tua ini, Tian Mong-pek merasa sangat kagum, pikirnya: "Kepandaian orang tua ini memang luar biasa dan sukar dilampaui siapa II pun.
Maka mereka berduapun bergerak cepat menuju ke arena pertarungan antara Kim Hui melawan Tu Hun-thian.
Tiba tiba Tian Mong-pek teringat akan tabiat serta dendam kesumat yang terjalin antara kedua orang itu, dengan kening berkerut katanya: "Sekarang, kedua orang cianpwee itu sudah bertempur, bagaimana caraku untuk memisahkan?" "Orang lain tak mungkin bisa memisahkan, tapi asal kau mengucapkan sepatah kata, mereka segera akan berpisah." Jawab Siau Ong-sun.
"Berkata apa?" "Kau cukup bertanya kepada Kim Hui, inginkah dia bertemu dengan putri kandungnya?" "Aaah betul," Tian Mong-pek menghela napas kagum, "setelah mendengar pertanyaan ini, Kim locianpwee pasti tak akan bertarung lagi, tentu saja dia tak ingin keburu mati sebelum berjumpa dengan putri kandungnya." Siau Ong-sun tertawa, lanjutnya: "Selanjutnya kau bertanya kepada Tu Hun-thian, tanya dia, apakah ingin kesadaran putrinya pulih kembali" Bila ingin, tak usah melanjutkan pertarungan dan segera berangkat menuju telaga Tong-ting, aku akan mencarinya ditengah jalan nanti dan merundingkan persoalan ini." Tian Mong-pek segera bertepuk tangan kegirangan.
"Betul, betul sekali, bila didunia ini masih ada urusan yang bisa membujuk si panah yang lepas dari busur, mungkin hanya urusan ini saja.
Tapi..... tapi bagaimana dengan putri Kim locianpwee .
. . . . ..?" "Hoa Hui dan Siau Man-hong berada tak jauh dari sini, sepanjang jalan mereka berdua masih suka menarik perhatian orang, tak sampai separuh hari, jejak mereka pasti akan ketahuan.
Tak lama tibalah mereka didepan sebuah hutan yang lebat dan gelap, ujar Siau Ong-sun kemudian: "Saat ini, mereka berdua pasti sedang bertarung sengit dalam hutan, pergilah cepat, akupun harus pergi dari sini." "Cianpwee hendak ke mana?" dengan perasaan berat tanya pemuda itu.
"Hahaha, ujung langit tepi samudra, kemana pun aku akan pergi, tapi setiap saat kitapun dapat berjumpa lagi, bila bertemu Hui-uh nanti.....
II uhuukk, aaai . . . . . .. Tiba tiba dia mengebaskan ujung jubahnya lalu berkelebat pergi dari sana.
Kembali Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Sepak terjang orang tua ini benar benar bagaikan naga sakti di langit, II bikin orang tak bisa menduga duga .
. . . .. Tapi sayang, walaupun Siau Ong-sun berpengetahuan luas, namun dia tak bisa meramalkan kejadian masa mendatang, seandainya dia mengetahui perkembangan selanjutnya dari peristiwa ini, mungkin dia tak akan pergi dengan terburu buru.
Angin malam berhembus kencang, taburan bintang dilangit sudah mulai redup, malam yang panjang sudah berada diujung jalan.
Begitu memasuki hutan lebar, Tian Mong-pek segera tahu bahwa perhitungan Siau Ong-sun meski bagus, namun tetap ada sedikit keteledoran.
Andaikata Tu Hun-thian dan Kim Hui masih tetap bertarung sengit, maka berapa patah kata dari Tian Mong-pek mungkin bisa menghentikan kedua orang itu.
Tapi sekarang, telapak tangan Tu Hun-thian dan Kim Hui telah saling menempel satu dengan lainnya, mereka berdua sama sama telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertarung, dalam keadaan begini, ibarat mereka sudah lupa diri, lupa keadaan, sudah tak mungkin lagi bisa membujuk mereka untuk sudahi pertempuran.
Apalagi jika benar benar ada orang yang tergerak hatinya, bukan saja segera akan mengalami cau-hui-jip-mo, salah salah tubuhnya akan segera terhantam oleh pukulan lawan dan menemui ajalnya.
Tian Mong-pek cukup menguasahi rahasia tenaga dalam, diapun sangat paham dengan situasi saat ini, setelah menyaksikan pemandangan itu, mana mungkin dia bisa berteriak" Untuk berapa saat, pemuda itu hanya bisa berdiri tertegun.
Dia tak tahu mengapa bisa begitu .
. . . .. mungkin hal ini dikarenakan jaraknya dengan hari keberhasilan sudah semakin dekat, nyawanya jadi begitu berharga .
. . . .. ia sadar, dirinya belum siap untuk mati.
Ia tak berani membuka matanya, tapi hawa dingin semakin kental, kelopak matanya makin lama semakin berat .
. . . . .. Pada saat itulah, dari luar hutan meluncur datang sesosok bayangan manusia, bergerak bagai sukma gentayangan, sama sekali tidak menimbulkan suara, sepasang matanya yang tajam sedang mengawasi noda darah di tubuh pemuda itu.
Tian Mong-pek tidak merasa apa apa, selang sesaat terlihat sebuah tangan yang putih diulurkan ke depan, mengarah keatas kepalanya.
Dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu, jelas dia adalah seorang jago lihay, padahal waktu itu Tian Mong-pek sudah terluka parah, bila pukulan itu sampai dilanjutkan, mana mungkin dia bisa hidup terus" Siapa tahu, tangan itu hanya berputar satu lingkaran diatas kepala Tian Mong-pek, hanya diturunkan secara perlahan lalu membelai rambutnya yang kusut.
Dengan perasaan kaget Tian Mong-pek membalikkan badan, terlihat sesosok bayangan manusia berdiri dibawah pohon, kabut putih yang kental seolah telah menyatu dengan pakaiannya, dengan rambutnya.
Walaupun saat ini dia sudah tak mampu melihat dengan jelas, namun dia tak pernah akan melupakan sepasang mata orang itu yang besar dan bening, tak tahan tegurnya: "Uh-ji, mau apa datang kemari?" Bayangan manusia itu tak lain adalah Siau Hui-uh, terlihat dia menutup matanya dengan lembut, dengan wajah senyum tak senyum, bisiknya: "Uh-ji.....
Uh-ji . . . . .. panggillah sekali lagi." Tian Mong-pek menarik muka, menggunakan sisa kekuatan yang dimiliki teriaknya: "Siau Hui-uh, kenapa kau kemari" Kau perempuan yang tak tahu malu, buat apa kau mengikuti aku terus?" Dia cukup mengerti tabiat Siau Hui-uh, dalam anggapannya, dampratan itu pasti akan membuatnya berang dan pergi, dengan begitu meski akhirnya dia harus tewas disini, gadis itu tak perlu merasa sedih.
Siapa tahu, Siau Hui-uh malah menghela napas sedih, katanya lembut: "Kalau ingin memaki, makilah, tapi mau maki seperti apapun, aku tak bakalan pergi." Tian Mong-pek termangu, dia berusaha meronta bangun, teriaknya: "Kalau kau tak pergi, biarlah aku yang pergi." "Kalau kau pergi, aku akan mengikuti dibelakangmu." "Kau! Kau!" Tian Mong-pek berusaha merangkak bangun, sayang dia memang sudah tak sanggup menahan diri, sepasang kakinya jadi lemas, tubuhnya kembali roboh ke tanah.
Sambil tertawa pedih ujar Siau Hui-uh: "Kau tak usah memaksakan diri lagi, semua masalah telah kuketahui dengan jelas .
. . . .. kau . . . . .. perasaan hati mu pun aku tahu." "Kau tahu apa?" berubah paras muka Tian Mong-pek.
"Kau takut aku sedih, tak ingin aku tahu kalau kau terluka parah, maka sengaja bersikap dingin kepadaku, paksa aku tinggalkan dirimu, tapi.....
tapi....." Tiba tiba ia jadi sesenggukan: "Tapi luka itu .
. . . .. harus kau rasakan gara gara aku, mana mungkin aku...
aku . . . . .." Terlihat sekujur badannya gemetar keras, kata berikut tak sanggup dilanjutkan.
Tian Mong-pek merasa hawa panas menggelora dihatinya, tanpa pedulikan apa pun, tiba tiba dia genggam tangan Siau Hui-uh yang putih.
Siau Hui-uh mendesis manja, diapun jatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Selama ini mereka berdua belum pernah memperlihatkan perasaan masing masing, begitu saling berpelukan, semuanya sudah tak terbendung lagi.
Kedua orang itu saling berpelukan dengan hangat, air mata dingin yang membasahi pipi, hati yang membara bagai api, kedua orang itu seolah lupa waktu, lupa keadaan, lupa diri.....
Suasana amat hening, kabut putih semakin menebal, entah berapa lama sudah lewat.....
Akhirnya terdengar Siau Hui-uh berkata: "Setelah kupikir pikir, kau bukanlah manusia semacam itu, terlepas bagaimana jalan pemikiran orang lain, tapi selama aku belum bertanya hingga jelas, aku belum merasa puas." Setelah tertawa merdu, lanjutnya: "Oleh karena itulah, peduli apa yang kau pikirkan, aku tetap menyusul kemari, asal dapat mendengar kau menyebutku Uh-ji, peduli amat dengan omongan orang lain." Kembali berapa saat lewat, bisiknya lagi: Il "Tian....
Tian . . . . . .. Gadis itu bingung, dia tak tahu bagaimana harus menyebut pujaan hati yang berada dalam pelukannya kini, maka setelah tertawa lanjutnya: "Aku tak peduli apa yang mau kupakai untuk memanggilku, bagiku, asal kau mau memanggilku Uh-ji.....
ooh alangkah bahagia hatiku.
Eei, kenapa kau tak bicara?" Perlahan dia angkat kepalanya, tapi tiba tiba gadis itu menjerit kaget.
Diremangnya cuaca pagi, terlihat paras muka Tian Mong-pek pucat bagai mayat, sepasang matanya terpejam rapat, rupanya anak muda itu sudah jatuh tak sadarkan diri.
Buru buru dia periksa napasnya, terasa dengus napasnya sudah berubah sangat lemah.
Tak terlukiskan rasa kaget Siau Hui-uh saat ini, dia mencoba memanggil berulang kali, namun Tian Mong-pek tidak menjawab.
Air mata pun tak terbendung lagi, berderai membasahi pipinya.
Tak sempat lagi menyeka air matanya, dia bopong tubuh Tian Mong-pek, tergesa gesa lari keluar dari hutan, dia hanya berharap bisa secepatnya tiba di gedung keluarga Tong dan mencari orang untuk selamatkan jiwa Tian Mong-pek.
Siapa sangka kabut tebal di pagi itu luar biasa pekatnya, didalam gugup dan paniknya, gadis itu mulai tersesat, bukannya menuju ke arah gedung keluarga Tong, sebaliknya makin berjalan semakin menjauh.
Semakin gadis itu gugup, semakin kalut pikiran dan perasaannya, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Tiba tiba dari balik kepekatan kabut, terdengar suara langkah yang berat, kemudian terdengar suara seorang kakek sedang berseru: "Anak It, anak It, kau harus pertahankan diri, bangkitkan semangatmu." Begitu tahu kalau suara itu berasal dari Hong Sin yang licik dan kejam, Siau Hui-uh merasa tercekat, pikirnya: "Kedua orang ayah dan anak ini sudah membenci Tian Mong-pek hingga merasuk tulang sumsum, sekalipun aku tidak takut menghadapinya, tapi lebih baik keadaanku tak sampai ketahuan mereka." Padahal terhadap orang tua yang licik ini, dia masih menaruh prasangka jelek dan kewaspadaan tinggi, biarpun diwaktu biasa dia tak takut menghadapinya, tapi kini, Tian Mong-pek sedang menderita luka parah, yang terpenting sekarang adalah secepatnya mendapatkan pertolongan.
Kalau sampai waktunya terbuang untuk mencari pengobatan, bukankah dia akan menyesal sepanjang waktu" Berpikir sampai disitu, dia tidak ragu lagi, diam diam mundur berapa langkah dari sana.
Ketika tubuhnya sudah mundur sejauh berapa puluh kaki dari posisi semula, mendadak terdengar lagi suara langkah kaki manusia.
Dari balik tebalnya kabut, kembali terdengar suara seseorang berkata sambil tertawa: "Sun-heng, sungguh tak disangka Langit membantu kita dengan memberi kabut yang begini tebal, hal ini akan membuat gerak gerik kita semakin bertambah leluasa." Suara itu seperti suara wanita, tapi nadanya justru membawa hawa aneh yang menggidikkan, tapi begitu masuk ke telinga Siau Hui-uh, jantungnya kontan berdebar keras.
"Aaah, Liu Tan-yan!" Sekalipun terhadap manusia laki bukan perempuanpun tidak ini dia menaruh dendam yang merasuk tulang, namun dalam keadaan begini, diapun tak berani mencari gara gara, maka sambil menghimpun tenaga murni, lagi lagi dia berjalan menuju ke arah lain.
Dalam posisi terjepit oleh dua pihak yang tak ingin dijumpai, gadis itu tak lagi bisa mengenali arah dan jalanan, yang diharapkan sekarang hanyalah tidak bersua dengan kawanan iblis keji itu, tak heran diapun berlarian tanpa tujuan yang pasti.
Setelah berjalan lebih kurang seperminum teh, dari arah depan secara lamat lamat terlihat muncul bangunan rumah, ketika semakin dekat, segera terlihat kalau tempat itu adalah sebuah kelenteng kecil, didepan pintu tertera papan nama dengan tulisan yang besar: "Rumah abu keluarga Tong" Diam diam Siau Hui-uh menghembuskan napas lega, akhirnya ditemukan juga satu tempat untuk bersembunyi, biarpun jarak dari gedung keluarga Tong cukup jauh, namun masih berada dalam lingkaran kekuasaan keluarga besar itu.
Cepat dia lari masuk, tapi baru saja kakinya melangkah ke pintu rumah abu, lagi lagi perasaan hatinya tercekat.
Dibalik tebalnya kabut, didepan rumah abu, diatas undakan batu, membujur kaku dua sosok mayat, kalau ditinjau dari dandanan mayat itu, ternyata mereka adalah anak murid perguruan keluarga Tong.
Biarpun Siau Hui-uh bukanlah gadis yang sangat teliti, namun berhubung saat ini dia sedang menggendong Tian Mong-pek, ia tak berani bertindak gegabah, cepat gadis itu menghindari pintu utama dan menerobos masuk melalui jendela samping.
Ilmu meringankan tubuh dari Lembah kaisar memang luar biasa, sekalipun dia sedang membopong seseorang, namun gerakan tubuhnya sama sekali tidak menimbulkan suara.
Daun jendela dirumah abu itu sangat besar dan kuat dan terlapis kertas berwarna putih, menggunakan kukunya gadis itu membuat satu lubang lalu mengintip ke dalam.
Rumah abu keluarga Tong memang lain daripada yang lain, ruang pemujaan tertata apik dan rapi, semua meja abu terbuat dari kayu cendana yang kelihatan masih baru, jelas tempat itu baru saja direnovasi.
Didepan meja altar, dibawah lampu lentera, duduk mematung seseorang, pakaiannya kusut, rambutnya tak karuan, seolah sudah lama tak pernah mandi, wajahnya kusut dan layu, keningnya berkerut, mukanya sangat murung.
sebuah buli arak yang besar tergeletak disisi tubuhnya, dia sedang memandang kearah kejauhan dengan mendelong, sedang mulutnya komat kamit bergumam tiada hentinya: "Bagus, bagus, kau sudah dinikahkan .
. . . .. sudah dinikahkan....." Kembali orang itu angkat buli araknya dan meneguk dengan lahap.
Dari tingkah lakunya, meskipun orang ini kelihatan kusut bagai gelandangan, namun dari mimik mukanya Siau Hui-uh dapat menduga kalau dimasa lampau dia adalah seorang yang romantis, tampaknya saat ini dia sedang dirudung duka karena kekasihnya dinikahkan dengan orang lain.
Untuk sesaat gadis itu tak bisa menduga siapa gerangan orang ini dan apa yang harus dilakukan.
Pada saat itulah, Tian Mong-pek yang berada dalam pelukannya mulai merintih.
Dalam terperanjatnya Siau Hui-uh tak sempat perhatikan lagi gerak gerik didalam ruangan, cepat ia tundukkan kepala sambil memeriksa keadaan luka pemuda itu.
Siapa sangka disaat itulah, "Kreeek!" daun jendela dihadapannya tiba tiba terbuka lebar.
Lelaki dekil tadi tahu tahu sudah berdiri tegak didepan jendela, wajahnya masih tampak linglung.
Dengan kaget Siau Hui-uh mundur selangkah, bentaknya: "Siapa kau?" "Siapa pula dirimu?" balas orang itu ketus, tapi ketika melirik orang dalam pelukan si nona, tiba tiba wajahnya berubah, serunya tertahan: "Tian Mong-pek!" "Kau kenal dia?" tak tahan Siau Hui-uh bertanya kaget.
Orang itu tidak menjawab, tiba tiba mimik mukanya kelihatan gugup dan agak panik, setelah melirik sekeliling tempat itu sekejap, ujarnya dengan suara dalam: "Nona, cepat bopong masuk saudara Tian." "Tapi .
. . . . .." Siau Hui-uh kelihatan ragu.
II "Aku adalah sahabat lama saudara Tian, ujar orang itu panik, "sama sekali tak berniat jahat, nona, masuklah dengan hati lega, cepat! Cepat! Kalau terlambat urusan bisa gawat." Dari mimik wajahnya, Siau Hui-uh tahu kalau orang itu tak bermaksud jahat, cepat dia melompat masuk.
Siapa tahu tiba tiba orang itu memegang lengannya, dengan marah tegur Siau Hui-uh: "Mau apa kau?" "Silahkan nona .
. . . . .." Baru perkataan itu diucapkan, dari luar rumah abu sudah terdengar lagi suara gelak tertawa, suara itu dingin tapi genit, tak lain berasal dari manusia siluman Liu Tan-yan.
Kembali paras muka orang itu berubah, cepat bisiknya: "Cepat ikuti aku bersembunyi." Lagi lagi Siau Hui-uh merasa terkesiap, dalam waktu yang singkat inilah satu ingatan melintas dalam benaknya: "Sebenarnya siapakah orang ini" Dia musuh atau teman" Kalau satu golongan dengan Liu Tan-yan, kenapa dia kelihatan begitu takut" Kenapa pula dia mau membantu aku" Kalau bukan satu golongan dengan Liu Tan-yan, darimana dia bisa tahu kalau orang itu bakal datang kemari?" Tapi situasi dan kondisi tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir, karena tak punya pilihan lain, terpaksa dia biarkan lengannya ditarik orang itu lari menuju ke dalam.
Setelah berlarian ke depan meja altar, dia singkap kain diatas meja altar sambil berbisik: "Nona cepat masuk, aku akan duduk didepan meja untuk melindungi." Sambil menggigit bibir Siau Hui-uh menerobos masuk ke bawah meja altar, tiba tiba ia merasa tangannya dijejali sebuah benda.
"Obat itu obat mujarab untuk mengobati luka....." bisik orang itu lagi.
Kain altar segera diturunkan.
"Obat itu obat mujarab untuk mengobati luka....." bisik orang itu lagi.
Kain altar segera diturunkan.
Siau Hui-uh segera merasa pandangan matanya jadi gelap, saat itulah suara langkah manusia telah tiba didepan rumah abu.
Liu Tan-yan masih menyanggul rambutnya tinggi keatas, gaun panjangnya menyentuh tanah, ketika berjalan pinggulnya berlengg ak lenggok, mukanya dihiasi senyuman jalang, sulit bagi orang luar untuk membedakan dia itu lelaki atau wanita.
Disampingnya adalah seorang lelaki berjubah panjang, mukanya putih bersih tanpa jenggot, dipunggungnya menggotong sebuah buntalan besar yang tampaknya cukup berat, senyuman selalu menghiasi bibirnya, dia tak lain adalah Sun Giok-hud.
Lelaki bertubuh dekil itu masih tetap duduk di depan altar bagaikan patung, tangannya menggenggam buli arak, sewaktu bertemu kedua orang itu, dia berlagak seolah tidak melihat, bahkan melanjutkan minum arak.
Sambil tertawa genit Liu Tan-yan berjalan menuju ke depannya, lalu sapanya seraya tertawa: "Saudara Lim, kau tampak begitu santai, minum arak seorang diri, II waah.....
benar benar antik..... benar benar indah..... Tiba tiba dia rampas buli arak itu, paras mukanya seketika berubah sedingin salju, terusnya: "Tapi aku minta kau datang kemari, memangnya hanya bermaksud mengundang kau minum arak?" Lelaki dekil itu tertawa ewa, tidak menjawab.
"Jangan lagi yang lain," ujar Liu Tan-yan lagi, "bukankah sudah berulang kali aku berpesan, kenapa hingga kini kedua sosok mayat di undakan itu belum juga dikubur" Meskipun dalam dua hari ini keluarga Tong sedang menyelenggarakan pesta kawin sehingga tempat ini agak kendor penjagaannya, tapi bila kau paparkan kedua mayat itu di depan pintu, memangnya disangka orang lain sudah buta semua" Lim Luan-hong wahai Lim Luan-hong, kelihatannya kau memang tak pernah pandang sebelah mata kepadaku." Ternyata lelaki dekil itu tak lain adalah Lim Luan-hong, tapi jago kenamaan dari Kanglam ini sama sekali tidak bicara maupun bergerak walau dihina dan dicemooh orang, dia seakan sudah tertegun hingga jadi bodoh.
Sun Giok-hud yang berada disampingnya cepat melerai, katanya: "Gara gara perkawinan nona Chin, selama berapa hari ini saudara Lim sudah dibuat makan tak enak, tidur tak nyenyak, buat apa saudara Liu menyalahkan dia." Berputar biji mata Liu Tan-yan, sahutnya sambil tertawa terkekeh: "Hahaha, siapa yang menyalahkan dia, aku hanya men gajaknya bergurau, bayangkan saja Chin Siu-ang si tua bangka pikun itu, bukannya ambil saudara Lim sebagai menantu, dia justru berikan putrinya kepada orang luar, bukan begitu saudara Lim"' Berubah paras muka Lim Luan-hong, namun dia tetap bersabar, justru karena cinta kasihnya kepada Chin Ki, selama ini dia bersedia meninggalkan segala sesuatu dan bersusah payah untuk Chin Siu-ang.
Sementara itu Sun Giok-hud telah meletakkan buntalan besar itu ke lantai, ketika Liu Tan-yan memberi kerdipan mata kearahnya, tiba tiba Sun Giok-hud berkata sambil tertawa: "Tapi saudara Lim tak usah sedih, coba kau lihat apakah ini?" Perlahan-lahan dia membuka buntalan itu, tak tahan Lim Luan-hong ikut melirik.
Ternyata isi buntalan itu adalah pengantin wanita yang berbaju pengantin dan bekopiah indah, saat itu sepasang matanya terpejam rapat, mukanya merah, tampaknya dia dalam keadaan tak sadarkan diri.
Kalau bukan Chin Ki, lantas siapa lagi" Dalam waktu singkat, ia merasa hatinya bergetar keras, tak tahan lagi tubuhnya melompat bangun sambil menjerit kaget.
Melihat itu, Liu Tan-yan serta Sun Giok-hud segera tertawa terbahak bahak.
"Saudara Lim," ujar Sun Giok-hud sambil tertawa, "coba lihat, bukankah kami bersaudara sangat setia kawan" Tahu kalau kau mencintai nona Chin, maka tak segan kami menyerempet bahaya dengan menculiknya dari dalam kamar pengantin." Lim Luan-hong berdiri terperangah, mulutnya melongo, matanya terbelalak, untuk berapa saat dia awasi berapa orang itu tanpa mampu berbicara, dia tak tahu apa yang dilihatnya sekarang merupakan kenyataan atau hanya fatamorgana.
"Sungguh..... sungguhkah semuanya ini?" tanyanya gemetar.
u ? "Siapa bilang bukan sungguh?" sahut Liu Tan-yan sambil tertawa, Sl wanita cantik sudah membujur disini, bila saudara Lim tak percaya, mari, mari mari, coba rabalah badannya." Dengan gemetar Lim Luan-hong ulurkan tangannya, tak baru diulur setengah jalan, cepat dia telah menariknya kembali.
"Aduh mak, takut apa?" ejek Liu Tan-yan sambil tertawa, "kalau kau takut Il meraba, biar aku yang meraba .
.



. . . .. Diiringi gelak tertawa, dia langsung meraba tubuh Chin Ki.
Berubah paras muka Lim Luan-hong, tiba tiba sepasang kepalannya mengepal kencang.
Siau Hui-uh yang berada dibawah meja altar, meski berada dalam kondisi berbahaya, namun dengan wataknya yang tidak takut langit tidak takut bumi, diam diam dia mengintip dari bawah altar, apa yang dilihatnya membuat gadis itu heran bercampur kaget.
Ketika melihat Lim Luan-hong mengepalkan sepasang tinjunya kencang kencang, dia jadi kegirangan, gadis ini berharap lelaki itu bisa menyerang secara tiba tiba dan membinasakan liutanyang.
Siapa tahu pada saat itulah mendadak terdengar suara jeritan ngeri yang berkumandang datang secara lamat lamat, suara itu makin lama semakin mendekat.
"Ada orang datang." Dengan wajah berubah seru Sun Giok-hud.
Liu Tan-yan segera membungkus kembali buntalan itu, serunya: "Mayat diluar .
. . . . .." Belum selesai bicara, Lim Luan-hong dan Sun Giok-hud sudah melompat keluar dari rumah abu.
Mereka berdua seorang satu membopong masuk mayat itu.
"Sembunyikan dibawah meja altar .
. . . .." seru Sun Giok-hud.
Baru Siau Hui-uh merasa terperanjat, sambil tertawa dingin Lim Luan-hong sudah berkata: "Memang kau sangka tempat itu bisa dipakai untuk sembunyikan benda?" Sun Giok-hud melongo, katanya: II "Meskipun bukan tempat persembunyian yang baik, tapi.....
"Ikut aku!" potong Lim Luan-hong.
Dia langsung menuju ke ruang belakang dan sembunyikan mayat itu dibelakang pintu.
Benar saja, Sun Giok-hud segera mengikuti dibelakangnya.
Melihat itu, Lim Luan-hong menghembuskan napas lega, peluh dingin tanpa terasa membasahi tangannya.
Siau Hui-uh yang menyaksikan semuanya itu sebentar merasa girang, lalu murung, kemudian kaget dan diikuti merasa gugup, biar begitu matanya tak tahan untuk tetap mengintip keluar.
Saat itulah terlihat ada tiga orang berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.
Hong Sin berjalan didepan sambil membopong putranya Hong It, sementara Hui-hong-hong mengikuti dari belakang.
Terlihat Hong It merintih dan menjerit kesakitan, jelas walau berada dalam keadaan tak sadar, dia masih tak tahan dengan rasa sakit yang luar biasa.
Paras muka Hong Sin hijau membesi, begitu masuk segera teriaknya lantang: "Berikan tempat ini, kami ada orang sedang sakit." Orang ini memang terbiasa berbuat jahat, apalagi dia anggap tempat seperti ini tak mungkin ada jago silat, karena itu sikapnya langsung jumawa dan garang.
Liu Tan-yan bertiga sama sekali tak bergerak, bahkan seolah tidak melihat kehadirannya.
Dengan mata melotot bentak Hong Sin penuh amarah: "Hei keparat, kau tidak mendengar?" Dengan langkah lebar dia maju menghampiri kemudian langsung menendang tubuh Sun Giok-hud.
Sambil tersenyum Sun Giok-hud berkelit ke samping.
Hong Sin baru kaget setelah melihat gerakan tubuh lawan sangat gesit dan cepat, belum sempat bereaksi, tiba tiba sikutnya terasa kesemutan, jalan darah Ci-ti-hiat dilengannya tahu tahu sudah dicengkeram orang.
Terendus bau harum semerbak menusuk penciuman, ternyata orang yang mencengkeram lengannya adalah seorang wanita.
Biarpun dia tak sempat berkelit gara gara sedang membopong orang, namun kecepatan gerak wanita ini sungguh mengejutkan.
Biarpun dia adalah jago kawakan yang luas pengetahuannya, hingga detik terakhir ia tak sempat melihat dengan jelas, jurus apa yang telah digunakan perempuan itu.
Tentu saja sang permpuan tak lain adalah Liu Tan-yan.
Saat itu sambil tertawa ringan ejeknya: "Empek tua, apa yang kau katakan tadi" Bisa diulang sekali lagi?" Karena tertotok jalan darahnya, pecah nyali Hong Sin, sahutnya tergagap: "Tii.....
tidak apa apa....." "Aduh mak, ada orang sakit" Minta aku minggir dari sini?" ejek liutanyang lagi.
"Tii..... tidak perlu," jawab Hong Sin sambil tertawa paksa, "biar lohan pakai sudut ruangan saja." Sambil tertawa terkekeh Liu Tan-yan melepaskan cengkeramannya.
Dengan sempoyongan Hong Sin mundur berapa langkah, lalu dengan gemas melotot sekejap kearah Tong Hong, jelas dia jengkel kenapa gadis itu tidak turun tangan membantu.
Tapi paras muka Tong Hong tanpa ekspresi, dia seakan akan tidak menyaksikan apapun.
Waktu itu Hong It kembali jatuh pingsan karena kesakitan, Hong Sin yang sayang anak buru buru membubuhkan obat di lukanya.
Tong Hong duduk tanpa bergerak, meski masih sekelompok namun ia duduk sedikit jauh dari kedua orang itu.
Lim Luan-hong duduk dimuka altar sambil mengawasi buntalan itu dengan termangu.
Tiba tiba Sun Giok-hud membisik Liu Tan-yan: "Tahukah kau siapa ke tiga orang itu?" Sambil tersenyum Liu Tan-yan manggut manggut, sahutnya: "Lihat saja nanti, akan kupermainkan budak jelek itu." Terdengar suara rintihan kembali berkumandang, Hong It tersadar kembali dari pingsannya.
Dengan air mata bercucuran kata Hong Sin: "Anak baik, anak sayang .
. . . .. tak usah menjerit lagi, sebentar lagi kau tak akan merasa sakit." "Aaduh.....
aduh . . . . .. mana perempuan jelek itu?" jerit Hong It.
"Dia berada disana.....
aaaai, bedebah, bedebah .
. . . .." Sambil meronta dan mencakar sana sini, umpat Hong It kalang kabut: "Perempuan jelek, perempuan sialan, suamimu bakal mampus, kenapa kau tidak datang menengok" Mampus dimana kau?" Tong Hong sama sekali tak bicara maupun bergerak, dia seakan jadi dungu.
Kembali Hong It mengumpat: "Hanya tua bangka setan busuk macam dia yang bisa melahirkan perempuan jelek macam kau.....
aduh..... perempuan busuk." Berkilat sorot mata Liu Tan-yan, tiba tiba dia berjalan menghampiri, tegurnya: "Bisa lebih tenang?" "Manusia busuk macam apa dirimu, kau .
. . . .." belum selesai Hong It mengumpat, mulutnya sudah ditutup tangan ayahnya.
"Nona jangan gusar," buru buru Hong Sin minta maaf sambil tertawa, "dia sedang kesakitan." Liu Tan-yan tertawa dingin.
"Kalau dia ribut sekali lagi, sudah tahu apa akibatnya?" "Tahu, tahu .
. . . . . .." Cepat Hong Sin membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Hong It, biarpun tak terdengar apa yang dikatakan, bisa diduga ia sedang membujuk anaknya agar tak bersuara.
Liu Tan-yan segera berjalan menuju ke depan Tong Hong, katanya sambil tertawa: "Enci Tong, bagaimana kalau kutemani kau mengobrol?" Walaupun Tong Hong enggan menggubris, tapi melihat ia sudah membantu dirinya, wajah pun cantik dan senyumannya lembut, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya.
"Darimana kau tahu kalau aku bermarga Tong?" tanyanya.
Melihat pertanyaannya ditanggapi, buru buru Liu Tan-yan duduk disampingnya, katanya sambil tertawa: "Enci Tong adalah pendekar wanita yang tiada dua nya dikolong langit, bukan saja aku sudah lama mendengar namamu, bahkan merasa kagum sekali." Ucapan ini digunakan sangat pas, kontan Tong Hong merasa senang sekali.
Tapi begitu terbayang semua kegagahan dan keglamorannya dimasa lalu, kini tinggal kenangan, tak tahan kembali dia menghela napas panjang.
Menggunakan kesempatan itu Liu Tan-yan duduk lebih dekat, katanya sambil menghela napas: "Enci Tong, kau tak perlu berkeluh kesah, orang selalu bilang: gadis cantik bernasib jelek.
Hanya perempuan yang dungu dan jelek yang bernasib bagus.
Padahal paras enci Tong begitu cantik bak bidadari dari 'I' n kahyangan .
. . . .. aaai Sambil menghela napas panjang, dia mulai merangkul Tong Hong.
Beberapa patah kata itu semakin menusuk perasaan Tong Hong, ia merasa hatinya kecut, rasa sedih makin meluap.
"Gadis cantik bernasib jelek .
. . . .. " kata kata ini diucap berulang kali, tiba tiba serunya dengan air mata bercucuran: "Adik, aku .
. . . . . . . ." Dia malah menubruk ke dalam pelukan Liu Tan-yan.
Cepat cepat Liu Tan-yan memeluk tubuhnya semakin kencang, sembari membelai rambutnya, diam diam dia melirik kearah Sun Giok-hud sambil membuat muka setan.
Sun Giok-hud segera mengacungkan jempolnya sambil tertawa.
Tangis punya tangis, tiba tiba Tong Hong merasa tubuhnya yang berada dalam pelukan perempuan cantik itu makin lama terasa makin lemas, dia
Tangis punya tangis, tiba tiba Tong Hong merasa tubuhnya yang berada dalam pelukan perempuan cantik itu makin lama terasa makin lemas, dia merasa seolah ada banyak semut sedang merangkak disekujur badannya, merah padam selembar wajahnya.
Dia kaget, malu tapi nyamannya tak terkirakan, dia merasa tak tega untuk menampik rabaan tangan lawan, isak tangis pun entah sejak kapan telah berubah jadi rintihan lirih: II "Adikku.....
kau..... aaai..... kau . . . . .. kau . . . . .. Siau Hui-uh yang bersembunyi dibawah altar merasa malu bercampur gusar setelah menyaksikan adegan ini, tanpa terasa dia terbayang kembali sewaktu dirinya dipermainkan manusia siluman itu dulu, kalau bisa, dia ingin sekali menghajar banci itu hingga mampus.
Kalau bukannya saat ini ada Tian Mong-pek, mungkin sedari tadi dia sudah menerjang keluar .
. . . .. di dunia ini, hanya ada satu alasan yang bisa membuat Siau Hui-uh tak kuasa mengendalikan hawa amarahnya.
Waktu itu Liu Tan-yan sedang merasa bangga bercampur geli, ia jumpai tubuh Tong Hong sedang menggeliat sambil tiada hentinya beringsut ke sudut ruangan, sikapnya yang berkelit dengan malu malu, kulit tubuhnya yang putih bersih membuat birahinya mulai timbul.
Tanpa terasa dia ikut bergeser, bisiknya lirih: "Enci Tong, aku amat menyukaimu, kenapa ku begitu cantik, adikku .
. . . .." Tiba tiba matanya melihat sesuatu, seketika dia menghentikan ucapannya.
Ternyata dari bawah meja altar muncul sebuah alas sepatu yang kecil, sudah jelas sepatu seorang gadis.
Dibawah altar ternyata ada yang bersembunyi, kenyataan ini jauh diluar dugaannya.
Namun dia sama sekali tidak menunjukkan sesuatu reaksi, sambil mulutnya tetap mengumbar kata kata jorok, tubuhnya seakan tak sengaja mulai bergeser kearah meja altar.
Tiba tiba kaki kanannya bergerak, secepat kilat menendang alas sepatu itu.
Sekalipun terhalang alas sepatu, namun ketepatannya mengincar jalan darah sungguh luar biasa, tendangan itu dengan telak menghajar jalan darah Pek-swan-hiat di telapak kaki Siau Hui-uh.
Begitu jalan darahnya terkena, Siau Hui-uh menjerit kaget.
Liu Tan-yan segera melompat bangun, menjungkir balikkan meja altar, begitu melihat siapa yang berada disitu, dia jadi tertegun, tapi kemudian serunya sambil tertawa keras: "Hahaha, ternyata kau!" Perubahan ini sungguh diluar dugaan siapa pun, ketika Hong Sin ayah beranak, Tong Hong dan Sun Giok-hud melihat Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh bersembunyi dibawah meja, mereka merasa terkejut bercampur girang.
Sebaliknya Lim Luan-hong ketakutan sampai wajahnya berubah jadi pucat pasi, untuk sesaat dia hanya duduk tertegun.
Terdengar Liu Tan-yan berkata lagi sambil tertawa terkekeh: "Nona Siau, ternyata kita memang berjodoh, banyak hari tak bertemu, aku benar benar rindu kepadamu." Biarpun separuh badan Siau Hui-uh tak mampu bergerak, namun dia tetap mengumpat dengan gusar: "Bajingan tengik, laki bangsat, banci busuk .
. . . . . .." Nona ini memang tak pandai memaki, umpatan tersebut bukan saja membuat Liu Tan-yan tak jadi marah, dia malah tertawa makin keras.
Serunya sambil bertepuk tangan: II "Hore, bagus amat makianmu, ayoh maki lagi .
. . . .. Sun Giok-hud sendiripun merasa geli dengan makian gadis itu, dia ikut tertawa tergelak.
Siau Hui-uh benar benar sangat gusar, mendadak teriaknya lantang: "Tong Hong, hati hati, dia itu lelaki." Bergetar tubuh Tong Hong, sambil menuding serunya: "Kau....
kau . . . . . .." Teringat apa yang baru saja dilakukan kedua orang itu, Hong It jadi bertambah gusar, makinya: "Bagus sekali! Perempuan busuk, rupanya kau ingin mengenakan topi hijau untuk suamimu." Merah padam selembar wajah Tong Hong, sambil melompat bangun, dia lepaskan satu pukulan ke tubuh Liu Tan-yan.
"Aduh mak!" jerit Liu Tan-yan sambil berkelit, "enci Tong, baru saja kita bermesraan, masa sekarang sudah memusuhi aku!" Dengan enteng dia berkelebat ke samping.
Dengan kepandaian yang dimiliki Tong Hong, mana mungkin dia bisa menjawil ujung baju lawan, dalam cemas dan gusar, tangannya segera merogoh ke kantung senjata rahasia, dia lupa kalau kantung itu sudah dirambas balik oleh Tong Lojin.
Hong Sin memandang sekejap situasi diseputar sana, tiba tiba dia melompat bangun dan menangkap pergelangan tangan Tong Hong.
Gadis itu sama sekali tak mengira kalau mertua nya bakal turun tangan kepadanya, tak sempat berkelit, tangannya sudah kena dicengkeram.
Terdengar Hong Sin berkata sambil tertawa: "Budak bodoh, toh orang lain tidak merugikan seujung rambutmu, kenapa musti jadi sewot" Ayoh duduk!" "Kau.....
kau . . . . . .." Dihari biasa, dia selalu menganggap diri sendiri banyak akal dan cerdas, tapi setelah menjumpai masalah sekarang, gadis ini baru sadar kalau dia sama sekali tak berdaya.
Tong Hong benar benar penurut dan segera duduk, dia hanya bisa menangis tersedu sedu.
Sayangnya, sekeras apapun isak tangisnya, sudah tak ada orang yang menggubrisnya lagi.
Hong Sin segera memberi hormat kepada Liu Tan-yan, katanya sambil tertawa paksa: "No.....
aah, hengtai, sekarang kau berhasil menangkap dua orang itu, boleh tahu akan diapakan mereka?" "Wah soal inipun tak bisa kuputuskan sendiri." Jawab Liu Tan-yan sambil tertawa.
"Kenapa?" "Saudara Lim yang sembunyikan kedua orang itu, jadi mau diapakan, kita harus mendengarkan keputusannya .
. . . .. bukan begitu saudara Lim?" Bergidik hati Lim Luan-hong, dengan wajah berubah katanya tergagap: "Soal ini .
. . . . .. soal ini . . . . . .." Seakan tak sengaja, Liu Tan-yan berjalan menuju kesamping buntalan itu, tangannya sambil menekan diatasnya, ia berkata sambil tertawa: "Bila saudara Lim bilang lepaskan kedua orang itu, aku segera akan membebaskannya." Lim Luan-hong tahu, asal tekanan tangannya disertai dengan tenaga, niscaya Chin Ki yang berada dalam buntalan akan segera menemui ajalnya.
Mulutnya jadi tergagap, sudah pasti dia tak berani mengatakan "bebaskan".
Mendadak Liu Tan-yan menarik muka, katanya lagi: "Sebaliknya bila saudara Lim mengatakan tidak dibebaskan, siaute segera akan membunuh mereka berdua." sekujur tubuh Lim Luan-hong gemetar keras, namun dia tetap tak mampu memberi jawaban.
Melihat itu, sambil bertepuk tangan seru Hong Sin: "Bagus, bagus sekali, memang sepantasnya dibunuh, tapi setelah kedua orang itu terbunuh, jangan biarkan siapapun tahu kalau kita yang habisi nyawa mereka, kalau tidak, kokcu lembah kaisar .
. . . .." "Kalau ingin membunuh, silahkan saja bunuh, buat apa cerewet terus?" bentak Siau Hui-uh.
Liu Tan-yan kembali tertawa terkekeh.
"Hahaha, masa segampang itu" Mana aku tega secepat itu membunuhmu .
. . . . . .." Kembali dia ulur tangannya untuk meraba tubuh Siau Hui-uh.
Tampaknya kali ini sudah tak ada orang yang bisa mencegah ulahnya lagi.
Siau Hui-uh merasa gelisah bercampur gusar, dia mulai mencaci maki.
Tiba tiba . . . . .. dari luar rumah abu kembali terdengar suara langkah kaki manusia.
Terdengar seseorang dengan suara yang melengking dan aneh berkata: "Budak cilik itu benar benar mirip watakku, sekalipun hendak mencari 'I' u bocah she-Tian, sepantasnya kalau beritahu kami terlebih dulu Begitu mendengar suara itu, Siau Hui-uh jadi kegirangan, tapi belum sempat berteriak, tangan Liu Tan-yan yang sedianya akan meraba tubuhnya, tahu tahu sudah menotok tiga buah jalan darah di bawah bahu serta iga kirinya, membuat gadis itu tak sanggup bersuara lagi.
"Makhluk tua itu . . . . .." bisik Hong Sin dengan wajah berubah.
"Kim Hui!" seru Sun Giok-hud pula dengan wajah berubah.
"Darimana kau bisa tahu kalau dia?" tanya Liu Tan-yan.
"Asal suara itu pernah kudengar satu kali, selama hidup tak pernah akan kulupakan lagi.
Semenjak berhasil meloloskan diri dari gunung Kun-lun, setiap kali bertemu Kim Hui, dia ibarat bertemu ular berbisa.
Liu Tan-yan segera berkerut kening, cepat dia sembunyikan Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek ke bawah meja altar, ketika berpaling lagi, ternyata Sun Giok-hud sudah kabur melalui jendela.
"Ooh, dasar budak penakut!" umpatnya dihati.
Setelah memandang sekejap seputar tempat itu, dia segera duduk diatas buntalan dan katanya sambil tertawa dingin: "Jika ada yang datang, saudara Lim harus keluar untuk menghadapinya!" Melihat banci itu duduk diatas badan Chin Ki, biarpun dihati kecilnya Lim Luan-hong merasa jengkel, namun dia tak berani membangkang.
Hong Sin sambil terbatuk batuk segera duduk di belakang Tong Hong, tangannya menekan jalan darah Thian-leng-hiat ditubuhnya.
Orang ini memang licik dan jahat, dia kuatir Tong Hong tiba tiba berubah pikiran dengan menunjukkan tempat persembunyian Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek, maka dia turun tangan menguasahinya terlebih dulu, agar gadis itu tak berani buka suara secara sembarangan.
Menyaksikan hal ini, Liu Tan-yan segera tersenyum, dasar dua orang licik yang sama sama busuk hatinya, merasa tindakannya mencocoki selera, kedua orang itupun segera saling memuji.
Terdengar hembusan angin, Kim Hui sambil menarik Lam-yan sudah berjalan masuk, teriaknya: "Hei, apakah kalian yang berada disini punya mata?" Melihat telapak tangan Liu Tan-yan tiada hentinya bergeser diatas buntalan, terpaksa Lim Luan-hong maju menyambut, jawabnya sambil tertawa paksa: "Lapor orang tua, orang disini punya mata semua." "Kalau punya mata, apakah tadi melihat ada nona berusia delapan, sembilan belas tahun yang mengenakan baju lelaki lewat dari sini?" bentak Kim Hui.
"Tiii..... tidak ada." Dengan kecewa Lam-yan menghela napas.
Kembali Kim Hui berpaling kearah Hong Sin ayah beranak serta Tong Hong, teriaknya lagi: "Apakah kalian bertiga pun tidak melihat dia?" Hong Sin memperkencang cengkeraman tangannya, setelah itu baru sahutnya sambil tertawa: "Bila melihat nanti, pasti akan kuberitahukan kepada kau orang tua!" Tong Hong hanya terduduk sambil tundukkan kepala, dia seperti orang bodoh, padahal biar Hong Sin tidak mencengkeram lebih kuat pun, dia juga belum tentu akan buka suara.
Siau Hui-uh yang berada dibawah meja altar tak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, khususnya setelah mendengar ucapan dari Kim Hui suami istri, dia sadar, asal dirinya bersuara sedikit saja, niscaya jiwanya akan tertolong.
Apa mau dikata keempat buah jalan darahnya sudah tertotok, sekarang keadaannya ibarat orang mati, sedang Tian Mong-pek masih tak sadarkan diri, kalau tadi dia berharap pemuda itu jangan mendusin atau merintih, maka sekarang dia justru berharap pemuda itu segera sadar kembali.
Sayang Tian Mong-pek tidak mau menuruti keinginannya.
Untuk sesaat rasa gelisahnya tak dapat dilukiskan dengan perkataan.
Biarpun dimulut dia berkata ingin mati secepatnya, hati kecilnya justru rada takut mati, khususnya saat ini, cinta kasihnya terhadap Tian Mong-pek terlihat baru saja mencapai titik puncak, dia betul betul tak rela bila harus mati sekarang.
Namun saat inilah Kim Hui telah berkata lagi sambil menghela napas: "Mari kita pergi, bila anak Uh berada disini, aku yakin mereka tak mungkin berani berbohont." Menyusul kemudian terdengar hembusan angin berlalu, agaknya mereka sudah beranjak pergi.
Dalam posisi begini, kecuali menunggu mati, apa lagi yang bisa dilakukan Siau Hui-uh.




Melihat Kim Hui sudah pergi jauh, Hong Sin baru meninggalkan Tong Hong dan berjalan menuju ke hadapan Liu Tan-yan, karena situasi berbahaya sudah lewat, kedua orang itu merasa amat bangga hingga tanpa terasa saling berpandangan sambil tertawa terbahak bahak.
Dengan mulut membungkam Lim Luan-hong membalikkan badan, ia merasa tubuhnya limbung, pikirannya kosong, dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba tiba ia saksikan Tong Hong menggunakan kesempatan disaat semua orang tidak menaruh perhatian menerobos masuk ke bawah meja altar.
Saat ini hanya Lim Luan-hong seorang yang mengetahui perbuatannya ini, tergerak hatinya, tapi dia tak bicara apapun.
Lewat berapa saat kemudian, dari bawah meja altar kembali terdengar suara gemerutuk.
Tampaknya Liu Tan-yan masih belum merasakan, sambil menatap Lim Luan-hong, ujarnya seraya tertawa: "Sungguh tak nyana kepandaian saudara Lim dalam berbohong luar biasa, sudah menipu aku, berhasil pula menipu Kim Hui, tapi saudara Lim, II sebenarnya saat ini .
. . . .. "Kraaak!" kembali terdengar suara aneh dari bawah me ja altar.
Sekarang Liu Tan-yan dan Hong Sin baru merasakan akan hal ini, ketika berpaling, Tong Hong sudah lenyap tak berbekas.
Berubah paras muka kedua orang itu, cepat mereka membalik meja altar, namun dibawah meja tidak terlihat siapapun, Tian Mong-pek, Siau Hui-uh maupun Tong Hong sudah lenyap begitu saja.
Dengan adanya kejadian ini, bukan saja Liu Tan-yan dan Hong Sin jadi sangat terkejut, Lim Luan-hong sendiripun merasa tercengang, tak habis mengerti.
Memangnya ke tiga orang itu punya sayap, bisa terbang ke langit, atau menerobos masuk ke dalam tanah" Kalau dilihat dewa persembahan yang ada diatas meja altar, jelas terbuat dari batu granit yang lebih keras dan baja, biar dibacok dengan senjata mustika pun, tampaknya benda itu belum tentu bisa rusak.
Liu Tan-yan dan Hong Sin saling bertukar pandangan, mereka merasa terkejut bercampur gusar.
Lewat berapa saat kemudian, tiba tiba Hong Sin berseru sambil bertepuk tangan: "Aah betul, orang keluarga Tong memang paling suka berlagak sok misterius, tempat ini adalah rumah abu keluarga Tong, sudah pasti disini dilengkapi pintu rahasia." "Dugaanmu betul sekali." sahut Liu Tan-yan dingin.
"Tombol rahasia menuju ke lorong bawah tanah itu tentu berada dibawah situ, berarti bunyi "krak" tadi berasal dari pintu rahasia yang mereka buka." Liu Tan-yan tertawa dingin, jengeknya: "Hmm, kalau tak ada menantumu, si budak bermarga Tong, bagaimana mungkin Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh bisa tahu letak tombol rahasia menuju lorong bawah tanah." Menyaksikan hawa membunuh yang melapisi wajahnya, Hong Sin segera sadar kalau orang ini sedang melimpahkan amarah kepadanya, buru buru katanya sambil tertawa paksa: "Perkataan hengtai memang betul sekali, sebagai anggota keluarga Tong, sudah pasti budak itu mengetahui tombol rahasia di tempat ini.
Bila kutemukan nanti, lohan pasti akan serahkan kepada hengtai biar hengtai jatuhkan hukuman yang setimpal kepadanya." "Hmm!" Liu Tan-yan mendengus, "bagaimana caramu untuk menemukannya?" "Tombol rahasia itu pasti berada disekeling tempat ini, lohan tak percaya kalau tak bisa menemukannya." Dia tak berani lagi memandang kearah Liu Tan-yan, tapi segera sibuk melakukan pencarian.
Terkejut juga Lim Luan-hong menyaksikan kemampuan Hong Sin menganalisa peristiwa itu, seolah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, namun dalam hati dia berharap pencarian itu tidak membuahkan hasil.
Perlahan-lahan dia mulai bergeser mendekati buntalan itu.
Liu Tan-yan ikut melakukan pencarian, tiba tiba ujarnya sambil tertawa dingin: "Bila ada yang ingin menggunakan kesempatan ini kabur sambil membawa buntalan, aku jamin dia tak akan mampu berlari sejauh sepuluh langkah." Tercekat hati Lim Luan-hong, tubuhnya yang sedang bergeser mendekati buntalan itu seketika dihentikan, dengan termangu dia hanya bisa mengawasi buntalan itu dari kejauhan, perasaan yang sedih membuat dia ingin sekali menangis tersedu.
Bab 44. Pertarungan naga melawan harimau.
Pada saat itulah, dari tengah halaman kembali terdengar suara langkah manusia, berapa orang lelaki kekar berbaju biru yang membawa keranjang bambu langsung masuk ke dalam.
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, teriaknya: "Apakah rumah abu ini ada pemiliknya?" Liu Tan-yan serta Hong Sin tidak berniat menjawab, hanya Lim Luan-hong yang menggeleng dengan bingung: "Tidak ada." "Kalau kalianpun hanya menggunakan tempat ini sebagai tempat beristirahat, aku rasa sekarangpun sudah beristirahat cukup, silahkan 'I, u keluar semua Biarpun perkataan itu disampaikan secara sopan, tapi mimik mukanya menunjukkan keangkuhan.
Waktu itu, Hong Sin serta Liu Tan-yan sedang berusaha menemukan tombol rahasia, sudah jelas mereka enggan diusir pergi begitu saja hanya karena berapa patah kata, khususnya Liu Tan-yan, saat itu hawa amarahnya butuh tempat pelampiasan.
Tiba tiba ia membalikkan tubuh, sambil tertawa dingin berjalan menuju ke hadapan lelaki berbaju biru itu, kemudian sambil bertolak pinggang bentaknya: "Kau yang menggelinding pergi dari sini!" Lelaki berbaju biru itu jadi tertegun melihat kegalakan "perempuan" itu.
Menggunakan kesempatan disaat lelaki itu masih tertegun, tiba tiba Liu Tan-yan mencengkeram pergelangan tangannya lalu dilontarkan keluar.
Tak kuasa tubuh lelaki berbaju biru itu berputar mengikuti ayunan tangannya.
Saat itulah Liu Tan-yan kembali mencengkeram ikat pinggangnya seraya membentak: "Kalau kusuruh kau menggelinding, lebih baik segeralah menggelinding." Sepasang tangannya mengangkat lalu melempar, tubuh lelaki seberat ratusan kati itu seketika terangkat dan terlempar keluar.
Tiga orang lelaki berbaju biru lainnya jadi gempar.
Sambil tertawa dingin kembali ucap Liu Tan-yan: II "Kenapa kalian masih .
. . . . . . . .. Siapa sangka, belum selesai dia bicara, tubuh lelaki itu sudah melayang balik ke posisi semula.
Kali ini Liu Tan-yan dibuat tertegun, dia sangka kepandaian silat orang itu sangat hebat sehingga begitu dilempar keluar, segera mental balik.
Namun sesudah diamati lebih cermat, baru diketahui kalau tubuh lelaki itu sudah dibopong oleh seorang kakek berjenggot lebat dan menghantarnya kembali.
Orang tua itu berbadan bungkuk, empat anggota badannya panjang lagi besar, jenggotnya kaku bagai kawat baja, wajahnya keren penuh wibawa, dengan matanya yang galak bagai mata harimau, orang tua itu melotot ke arah Liu Tan-yan sambil berteriak keras: "Kau yang barusan turun tangan?" Suara orang ini keras bagai geledek, membuat kendang telinga terasa sakit.
Begitu melihat kemunculan orang tua itu, paras muka Hong Sin seketika berubah, tanpa bicara dan mencari kesempatan lagi, dia langsung membopong tubuh Hong It lalu diam diam kabur dari dalam ruangan.
Liu Tan-yan sendiri, meski menduga kalau orang tua ini punya asal usul yang hebat, namun dia tidak masukkan dihati, jawabnya sambil tertawa dingin: "Tentu saja aku, kalau tak percaya, akan kubuktikan dengan melempar satu orang lagi." Kakek bungkuk itu segera rentangkan sepasang lengan, rambutnya berdiri semua bagai landak, kesepuluh jari elangnya direntangkan siap mencakar ke depan.
Namun tiba tiba dia tarik kembali serangannya, dengan garang bentaknya: "Enyah, enyah, memandang kau hanya seorang wanita, lohu tak akan menyerangmu." Belum sempat Liu Tan-yan menjawab, tiba tiba Lim Luan-hong berpaling dan berkata sambil tertawa: "Siapa bilang saudara Liu adalah wanita, dia tak lebih hanya lelaki yang menyamar jadi perempuan." "Sungguh?" seru kakek bungkuk itu agak tertegun.
Liu Tan-yan tahu kalau Lim Luan-hong berniat menggunakan siasat untuk mengadu mereka berdua, segera sahutnya sambil tertawa dingin: "Orang itu sudah hampir mampus, tentu saja perkataannya benar." Mendengar perkataannya penuh mengandung rasa benci dan dendam, Lim Luan-hong merasa hatinya terkesiap.
Sementara itu kakek bungkuk tadi sudah mendongakkan kepalanya tertawa keras, katanya: "Hahaha, bocah keparat, kau memang hebat." Telapak tangan bajanya selebar kipas, secepat kilat mencengkeram ke depan.
Dengan cekatan Liu Tan-yan berkelit, jari tangannya yang lentik balas mengancam urat nadi orang tua itu.
Tampaknya orang tua itu tak sempat mengubah gerakan, dia tak mampu menghindari ancaman tersebut.
Liu Tan-yan jadi girang, bentaknya: "Lebih baik kaupun menggelinding pergi dari sini!" Telapak tangannya dibalik, dari kibasan berubah jadi cengkeraman, dia ancam urat nadi lawan, lalu sepasang lengannya mengayun, dia berniat melempar orang tua itu ke luar ruangan.
Dengan tenaga dalamnya yang sempurna, bisa dibayangkan kekuatan daya lemparnya mencapai ratusan kati.
Siapa tahu tubuh kakek itu masih tetap berdiri ditempat semula, sepasang kakinya seolah tumbuh akar baja, biarpun Liu Tan-yan telah mengerahkan segenap kekuatan, ibarat capung angkat tonggak kayu, sama sekali tak bergerak.
Dalam terperanjatnya, dia baru sadar telah bertemu musuh tangguh.
Sambil tertawa keras, kakek itu berseru: "Kau yang menggelinding dari sini!" Sepasang lengannya digetar, tahu tahu ukuran tubuhnya telah membesar berapa kali lipat.
Liu Tan-yan merasa pergelangan tangan lawan tiba tiba membesar satu kali lipat, pembesaran yang membuat dia tak mampu lagi menggenggamnya, baru saja akan lepas tangan untuk berganti jurus, tahu tahu satu kekuatan yang maha dahsyat telah mengalir keluar dari balik tangan lawan.
Kekuatan yang muncul ibarat gulungan ombak samudra yang sedang dilanda topan, dahsyatnya bukan kepalang.
Baru saja Liu Tan-yan menjerit kaget, tahu tahu tubuhnya sudah tergulung oleh kekuatan maha dahsyat itu sehingga tak ampun badannya terlempar keluar dari jendela.
"Blaaam!" ia terjatuh sejauh belasan kaki dari posisi semula, begitu keras bantingan itu membuat seluruh tulang belulangnya terasa sakit seperti retak.
Didalam kaget dan gusarnya, dia merogoh ke dalam saku siap menyerang dengan senjata rahasia, namun ketika melihat mimik muka si kakek yang sedang tertawa keras itu mirip malaikat dari langit, tiba tiba ia teringat akan seseorang.
Dengan hati tercekat ia semakin tak berani mencari masalah, sambil menggertak gigi dia merangkak bangun, lalu dengan terhuyung huyung kabur dari situ.
Kakek bungkuk itu segera berpaling kearah Lim Luan-hong, tegurnya: "Dia sudah pergi, kenapa kau belum pergi?" Terkejut bercampur gembira ujar Lim Luan-hong: "Aku segera .
. . . . .." Mendadak pandangan matanya jadi gelap, sesosok bayangan manusia yang tinggi besar melangkah masuk ke dalam ruangan, menghadang cahaya sang surya yang memancar dari luar pintu.
Dia mengucak matanya sambil memperhatikan lebih seksama, terlihat bayangan manusia itu mengenakan jubah biru yang terbuat dari kain kasar, wajahnya senyum tak senyum tapi sinar matanya tajam dan penuh wibawa.
Biarpun bayangan manusia ini hanya sekali dijumpai, namun selama hidup tak pernah akan terlupakan, tak kuasa lagi dengan perasaan kaget bercampur girang dia jatuhkan diri berlutut, serunya gembira: "Lan Toa-sianseng .
. . . . . .." Baru nama itu disebut, bayangan manusia yang tinggi besar itu sudah tiba didepan mata dan membangunkannya.
"Hahaha, sahabat lama bertemu, buat apa musti banyak adat." Katanya.
Lim Luan-hong tak berani membangkang, sambil bangkit berdiri katanya lagi: "Berpisah banyak tahun, tak disangka kegagahan kau orang tua masih seperti sedia kala, sungguh salut, sungguh menggembirakan." "Hahaha," Lan Toa-sianseng tertawa tergelak, "biarpun banyak tahun tak bersua, lohu belum melupakan ruang Kanglam-bu-su-tong yang kau bangun dibalik tanaman liar, Thiat loji, tempat itu sangat bagus, kau pernah ke sana?" Kakek bungkuk itu tak lain adalah si bungkuk baja.
Saat itulah dia baru tertawa keras sambil berkata: "Ternyata kalian berdua saling mengenal, hampir saja lohu melukai orang sendiri." "Thiat loji," kata Lan Toa-sianseng lagi sambil menunjuk Lim Luan-hong, "tak disangka ternyata kau adalah manusia kasar, masa tidak kenal dengan pemilik gedung Kanglam Bu-su-tong yang paling indah di seantero Kanglam.: "Hahaha, apakah Kanglam Busu-tong yang terkenal karena pasangan lian nya yang berbunyi: Pedang kenamaan mengikuti jago, mengunjungi pendekar naik ke loteng ini" biarpun lohu belum pernah ke sana, namun pernah kudengar orang membicarakan soal ini." "Hahaha, dasar orang udik, kau hanya tahunya lian kuno, padahal sudah muncul hasil karya baru." "Karya baru apa?" "Banyak tahun berselang, ketika lohu naik ke loteng itu dalam keadaan mabuk, lagi lagi aku diloloh tuan rumah dengan tujuh kati arak tua.
Dalam mabukku, akupun menulis sepasang maha karya yang luar biasa." "Kalau begitu coba kau bacakan." Dengan wajah serius kata Lan Toa-sianseng: "Dengarkan baik baik, waktu itu aku menulis begini: kalau ingin berkelahi silahkan pergi, kau ingin minum arak naik ke loteng ini." Mula mula si bungkuk baja tertegun, tapi kemudian tak tahan ia tertawa terbahak bahak, serunya sambil menggeleng: "Tulisan semacam itupun dianggap lian" Hahaha, mungkin tulisan bocah berusia tiga tahun jauh lebih bagus daripada tulisanmu itu!" Lan Toa-sianseng bertepuk tangan sambil tertawa keras, serunya: "Dibilang kau orang udik, ternyata kau memang udik, padahal tulisan lian itu sesuai dengan keadaan dan tertulis sangat jelas, apa yang jelek" Daripada tulisan yang susah dibaca, sepuluh orang yang membaca, ada sembilan yang tak paham dengan arti tulisan itu." Mendengar pembicaraan kedua orang itu, Lim Luan-hong merasa semua kemasgulannya ikut tersapu bersih, tanpa terasa dia ikut tertawa tergelak.
Dalam pada itu kawanan lelaki berbaju biru itu telah mengeluarkan sayur dan hidangan dari dalam keranjang lalu menatanya dengan rapi.
Si bungkuk baja segera gelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa: "Aku ogah berdebat dengan kau si tua bangka, mumpung disini tak ada orang, cepat makan daging dan arak, setelah itu kita baru bertarung dengan puas." Tanpa buang waktu, dia segera duduk dan mulai makan minum dengan lahap.
"Bertarung apa"' tanya Lim Luan-hong tertegun.
"Dimasa lalu, si tua bangka ini punya sedikit masalah denganku, selalu ingin menang dari diriku, sepanjang jalan aku direngeki terus sampai tak bisa istirahat dengan baik, aaai, sudah harus menempuh perjalanan, sepanjang jalan harus melayaninya bertarung, coba bayangkan, apa tidak susah." Kata Lan Toa-sianseng sambil tertawa.
Sambil meneruskan daharnya, kata si kakek bungkuk sambil tertawa: "Kalau bukan karena sudah bikin janji dengan saudara cilik Tian, kita tak perlu melakukan perjalanan, cari satu tempat, bertarung sampai puas, baru pergi setelah menang kalah ketahuan." Begitu mendengar kata "Saudara cilik Tian", tergerak hati Lim Luan-hong, tapi belum sempat berbicara, kembali Lan Toa-sianseng sudah berkata sambil tertawa nyaring: "Tentukan menang kalah apa" Biarpun aku takut kau jengkel, tak ingin membuat kau sekali lagi menderita kalah, tapi jangan harap kau bisa menangkan aku." "Apa kau bilang?" teriak kakek bungkuk itu gusar, "jadi kau sengaja mengalah, tak ingin mengungguli aku?" Lan Toa-sianseng hanya tertawa terbahak bahak, dia makan minum dengan lahapnya dan tidak menjawab lagi.
"Tua bangka jahat," bentak si bungkuk baja marah, "bila tak bisa ditentukan siapa menang siapa kalah, hari ini siapapun tak boleh pergi dari sini." Pergelangan tangannya digetar, sekerat tulang ayam yang berada digenggamannya segera disambit ke depan.
Jangan dilihat hanya sekerat tulang ayam, tapi berada ditangannya, kekuatan yang terpancar sungguh menakutkan.
Terdengar desingan angin tajam membelah bumi, Lan Toa-sianseng berkelit ke samping, tulang ayam itu segra menghantam diatas dinding hingga menimbulkan percikan bunga api.
Menyaksikan hal ini, Lim Luan-hong merasa sangat terperanjat, untuk sesaat dia hanya bisa melongo.
Sementara itu si bungkuk baja telah pentang lengannya dan melancarkan serangan bertubi tubi, dalam waktu singkat cawan dan poci hancur berantakan, arak dan daging berserakan.
Kalau Lim Luan-hong merasa terkejut, sebaliknya kawanan lelaki berbaju biru itu tampaknya sudah terbiasa dengan kondisi begini, mereka terlihat tenang tenang saja.
Tadinya, Lim Luan-hong berencana untuk mengatakan kalau baru saja Tian Mong-pek berada disitu, namun begitu si bungkuk baja dan Lan Toa-sianseng mulai bertempur, diapun kehilangan peluang untuk buka suara.
Terdengar seluruh ruangan dipenuhi angin yang mendesing, Lim Luan-hong merasa tubuhnya seolah terjebak ditengah hujan badai, bukan Cuma pakaiannya yang tergulung, sekujur tubuh pun ikut gemetar.
Biarpun dia sendiri gila silat, sepanjang hidup selalu terbuai oleh ilmu silat, namun selama hidup belum pernah ia saksikan pertarungan sesengit ini, adu kepandaian sebagus ini.
Akhirnya dia mulai mabuk oleh situasi yang terpampang, bukan saja sudah lupa kalau ingin membicarakan soal Tian Mong-pek, bahkan Chin Ki yang terbungkus dalam buntalan pun sudah terlupakan.
Oo0oo Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh masih berada di liang bawah tanah, seharusnya mereka dapat menyaksikan keadaan diluar sana dengan jelas.
Sejak melihat kemunculan Lan Toa-sianseng dan si Bungkuk baja, mereka berdua segera tahu kalau keadaan berbahaya sudah lewat, sewajarnya mereka segera tampilkan diri, lalu mengapa hingga sekarang belum juga melakukan satu tindakan" Ternyata ketika Siau Hui-uh mendengar Kim Hui sudah pergi jauh, dia tahu nasibnya tinggal tunggu mati, untuk sesaat dia merasa amat sedih.
Namun ketika mendengar suara napas Tian Mong-pek yang begitu lirih, meski dalam hidup mereka tak bisa bersatu, namun paling tidak mereka bisa mati bersama, hati kecilnya merasa sedikit terhibur.
Disaat pikirannya sedang diombang ambingkan keadaan itulah, tiba tiba dibawah meja menyusup masuk seseorang, dia tak lain adalah Tong Hong.
Disaat pikirannya sedang diombang ambingkan keadaan itulah, tiba tiba dibawah meja menyusup masuk seseorang, dia tak lain adalah Tong Hong.
Menyaksikan hal ini, dia jadi keheranan, pikirnya: "Mau apa budak ini menyusup kemari?" Semenjak tahu kalau Tong Hong pernah paksa Tian Mong-pek untuk menikah dengannya, dalam hati kecil gadis ini selalu menaruh kesan jelek terhadapnya, istilah "Budak jelek" pun tanpa sadar melekat dihati kecilnya, Cuma tak sampai diutarakan keluar.
Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas, terlihat Tong Hong menekan beberapa kali di atas batu diseputar altar, lalu secara tiba tiba muncul sebuah liang bawah tanah yang gelap.
Baru saja Siau Hui-uh merasa kaget, Tong Hong sudah menarik kedua orang itu untuk sama sama menggelinding masuk ke dalam liang rahasia itu.
Ternyata didalam liang beralaskan lempengan baja.
Waktu itu Siau Hui-uh belum bisa bergerak, begitu terguling ke bawah, dia segera merasakan badannya linu dan sakit, bersamaan itu lubang batu dilantai atas sudah menutup kembali.
Gua itu gelap gulita hingga susah melihat jari tangan sendiri, Siau Hui-uh terkejut bercampur girang, hanya saja badannya terasa sakit, coba kalau bukan jalan darahnya sudah tertotok, mungkin dia sudah mengaduh sedari tadi.
Lewat berapa saat lagi terdengar suara "Craaat!" tiba tiba muncul cahaya terang, rupanya Tong Hong sudah menyulut korek api.
Cepat Siau Hui-uh menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ternyata mereka telah berada disebuah ruang bawah tanah yang tertata rapi, empat dinding terbuat dari batu granis, diatas dinding tergantung sebuah lentera tembaga.
Tong Hong dengan tangan kiri memegang korek api, tangan kanan memeluk kencang tubuh Tian Mong-pek.
Melihat itu Tian Mong-pek jadi jengkel, batinnya: "Bagus sekali, dasar budak jelek, tahunya hanya peluk dia, tidak peduli aku sudah jatuh dan sakitnya setengah mati." Tapi bila teringat nyawanya baru saja ditolong gadis itu, amarahnya seketika padam, sorot mata yang menatap Tong Hong pun mulai disisipi senyuman.
Tong Hong sama sekali tidak menatapnya, dia baringkan Tian Mong-pek ke lantai kemudian menyulut lentera yang lain, setelah itu baru membalikkan tubuh dan melepaskan berapa tendangan untuk membebaskan jalan darah Siau Hui-uh yang tertotok.
Biarpun jalan darah Siau Hui-uh sudah terbebas, namun tubuhnya yang ditendang terasa sakit sekali, maka begitu melompat bangun, umpatnya dengan marah: "Budak jelek, memangnya kau tak punya tangan?" Umpatan "budak jelek" sangat menyakiti hati Tong Hong, selama ini dia menganggap dirinya cantik dan paling benci disebut "Jelek", saking gusarnya tiba tiba saja dia melelehkan air mata.
Siau Hui-uh tertegun, amarahnya segera mereda, buru buru katanya lagi sambil tertawa paksa: "Aku yang salah, kau sudah menolong aku, membebaskan jalan darahku, seharusnya aku berterima kasih kepadamu, tolong jangan marah." Tong Hong tidak menggubris, dengan mata melotot diawasinya wajah lawan, makin dilihat dia merasa kecantikan lawan sepuluh kali lipat melebihi dirinya, air mata pun meleleh keluar makin deras.
"Benar, aku memang budak jelek." Katanya.
Selama hidup, baru pertama kali ini dia merasa wajahnya jelek, kata "budak jelek" pun baru sekali ini meluncur dari mulutnya, bisa dibayangkan betapa sedih dan terhinanya gadis itu.
Sekarang Siau Hui-uh baru sadar kalau umpatannya telah menyakiti hati gadis itu, sambil tertawa paksa katanya lagi: "Tadi aku hanya bergurau saja padamu, padahal kau sama sekali tidak jelek.....
aaai, coba lihat, ayahku pun sering memaki aku budak bau, padahal badanku harum, kapan pernah bau, nona baik, perkataan ku tadi ll bukan sungguhan .
. . . . .. Namun bagaimana pun dia memberi penjelasan, Tong Hong hanya melotot tanpa berkedip, dia bahkan tidak menggubris perkataannya.
Tiba tiba terdengar Tian Mong-pek merintih, dalam keadaan apa boleh buat, Siau Hui-uh pun sangat menguatirkan keadaan luka Tian Mong-pek, akhirnya sambil menghela napas dia menengok anak muda itu.
Terlihat ia gigit bibir dengan wajah pucat pias.
Siau Hui-uh merasa kecut hatinya, mendadak ia teringat dengan obat pemberian Lim Luan-hong, karena disitu tak ada air, setelah ragu sejenak akhirnya gadis itu berkata: "Nona Tong, tolong jangan mentertawakan aku." Cepat dia masukkan obat itu ke dalam mulut dan mengunyahnya, setelah itu suap demi suap dia masukkan ke mulut Tian Mong-pek.
Masih mending kalau dia tidak memanggil tadi, begitu dipanggil, Tong Hong pun berpaling, otomatis diapun menyaksikan sikapnya yang begitu mesra.
Dibawah cahaya lentera, terlihat wajahnya penuh air mata, jelas gadis itu merasa sangat kuatir, pada dasarnya dia memang cantik, terbias oleh cahaya lentera saat ini, wajah Siau Hui-uh terlihat semakin menawan hati.
Kesemuanya ini membuat Tong Hong semakin tak percaya diri, semakin malu, rasa malu pun berubah jadi dengki, tiba tiba serunya sambil gigit bibir: "Mumpung kalian masih hidup, cepatlah bermesraan dulu!" Siau Hui-uh tertegun, walaupun air mata masih meleleh, ucapnya sambil tertawa paksa: "Nona baik, tolong jangan marah, setelah keluar dari sini nanti, kami pasti akan berterima kasih kepadamu.' Tong Hong tertawa dingin.
"Kita.... hmm, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini." Katanya.
"Apa.... apa kau bilang?" tanya Siau Hui-uh kaget.
Kembali Tong Hong tertawa dingin.
"Ditempat ini tak ada rangsum, tiada air, jangan harap bisa hidup lewat setengah bulan, kita akan mati bersama sama!" "Kau....
masa kau tak tahu cara untuk keluar dari sini?"\ Dengan sorot mata penuh kebencian sahut Tong Hong sepatah demi sepatah kata: "Betul, akupun tak tahu bagaimana cara keluar dari sini.
Dinding batu itu tebalnya setengah meter, siapapun jangan harap bisa membukanya." Setelah kaget berapa saat, Siau Hui-uh melompat bangun, mencengkeram bahunya dan menjerit: "Kau tahu.....
kau pasti tahu." Cengkeram dibahu Tong Hong itu menimbulkan rasa sakit hingga merasuk tulang, tapi perempuan itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, aku memang tahu bagaimana cara keluar dari sini, tapi sengaja tidak beritahu kepadamu." "Kee....
kenapa kau begitu kejam" Kau ingin mencelakai aku, mencelakai Tian Mong-pek, masa kau sendiripun sudah tak ingin hidup?" Tong Hong tertawa semakin kalap.
"Hahaha, buat apa aku tetap hidup" Sudah sejak lama aku ingin mati, kalau tak bisa kawin dengan Tian Mong-pek, kau pun jangan harap bisa mengawininya, lebih baik kita bertiga mati bersama sama!" Dari ucapan dan suara tertawanya yang menyerupiai orang gila, Siau Hui-uh sadar kalau ancaman itu bukan gertak sambal saja, tak urung bergidik juga hatinya.
"Kalau tidak kau katakan, akan kusuruh kau rasakan dulu siksaan hidup." Akhirnya dia membentak gusar.
Sambil mengangancam dia perkencang cengkeramannya.
Semakin merasakan rasa sakit yang menyayat hati, suara tertawaq Tong Hong semakin nyaring.
Terdengar ia berseru sambil tertawa seram: "Bagus, bagus sekali, ayoh lebih bertenaga .
. . . . .. hahaha, salah aku kenapa kelewat bodoh, kenapa tadi tidak meninggalkan dirimu diluar II saja .
. . . . . . .. Teriakan itu membuat Siau Hui-uh tertegun, tanpa terasa cengkeramannya mengendor.
"Ayoh turun tangan!" tantang Tong Hong setengah menjerit, "kenapa tidak segera turun tangan?" Dengan gemas Siau Hui-uh menghentakkan kakinya berulang kali, terpaksa dia lepaskan perempuan itu dan berjalan menuju ke depan dinding batu.
Tiba tiba ia jumpai ada dua lembar batu kristal tertempel diatas dinding, batu kristal itu mirip sekali dengan tombol rahasia.
Dalam girangnya dia pegang batu kristal itu lalu memutarnya, namun kedua lembar batu tadi sama sekali tak bergerak, ketika mencoba melongok ke dalam, pemandangan diatas ruang rumah abu pun terpampang dengan jelas didepan mata.
Ternyata orang yang membangun ruang bawah itu telah membuang banyak pikiran dan tenaga dimasa lalu untuk memasang dua pipa tembaga diatas dinding batu itu, dibagian atas, tengah dan bawah pipa masing masing dipasang batu kristal berbentuk cekung dan cembung yang dipakainya untuk memantulkan cahaya.
Dari pantulan sinar inilah, orang yang berada diruang bawah dapat menyaksikan keadaan diluar dengan amat jelas.
Dalam kaget dan girangnya, Siau Hui-uh tidak mengalihkan lagi pandangan matanya dari atas lempengan batu kristal itu.
Waktu mengintip, saat itu si bungkuk baja sedang melempar keluar tubuh Liu Tan-yan, menyaksikan hal ini Siau Hui-uh jadi kegirangan, dia sangka tuan penolong telah datang, maka dia pun mulai berteriak.
Asal jeritan itu berhasil terdengar diluar sana, si bungkuk baja pasti akan menggunakan segala cara untuk selamatkan dirinya.
Sayang ruang batu itu berada dibawah tanah, dinding batu pun tebal dan kuat, biar Siau Hui-uh menjerit sampai habis tenaga pun, orang yang berada diatas sama sekali tidak mendengar apa apa.
Dalam kondisi begini, biar dia gelisah dan cemas pun sama sekali tak ada gunanya.
Sambil tertawa terkekeh Tong Hong segera mengejek: "Hahaha.
Menjeritlah, ayoh menjeritlah sekuat tenaga, sayangnya, biar tenggorokanmu sampai jebol pun tak bakal ada yang datang menolongmu, lebih baik duduk tenang saja sambil menunggu kematian." Dengan perasaan bergidik, Siau Hui-uh jatuh terduduk, tapi saat ini dia masih mempunyai secerca harapan, dia berharap Lim Luan-hong mau memberitahukan jejaknya, sudah pasti si bungkuk baja akan berusaha untuk menolong mereka.
Waktu itu, dari luar rumah abu kembali muncul dua sosok manusia.
Kedua orang itu mengenakan jubah hijau, bercelana sebatas lutut, mengenakan kaus kaki putih dan membawa tongkat yang panjangnya mencapai delapan depa, berwarna hitam pekat dan kelihatan sangat berat, tidak jelas benda itu terbuat dari apa.
Biarpun kedua orang itu berperawakan tinggi besar, namun tongkat yang mereka bawa panjangnya satu kali lipat dari tubuh mereka berdua.
Punggung mereka berdua menggembol buntalan, kepalanya mengenakan topi caping bambu, topi ini bentuknya sangat aneh, sepintas mirip keranjang yang menutupi wajah asli mereka berdua.
"Tok, tok," dengan berpegangan pada tongkat mereka berjalan mendekat, empat mata mereka yang berada dibalik topi bambu berkilauan tajam, langkahnya kuat dan gesit, jelas merupakan jago persilatan.
Suara pertarungan yang berlangsung dalam rumah abu, lamat lamat bergema mengikuti hembusan angin.
Begitu mendengar suara itu, kedua orang itu saling bertukar pandangan.
Salah seorang diantaranya segera berkata: "Didalam sana ada orang berkelahi?" Suara orang ini kasar, tapi tampaknya berusia tidak terlalu tua.
Rekannya ikut pasang telinga, sesaat kemudian sahutnya: "Orang yang sedang berkelahi memiliki ilmu silat yang tangguh, mari kita tengok ke dalam." Orang ini suaranya lebih tua, dari suara pertarungan ia sudah dapat menilai tinggi rendahnya kungfu seseorang, jelas pengetahuannya sangat luas.
Tanpa banyak bicara lagi kedua orang itu berjalan memasuki ruang rumah abu.
Bagi orang yang belajar silat, biasanya mereka akan sangat kegirangan bila melihat ada orang sedang bertarung, apalagi Lan Toa-sianseng maupun si bungkuk baja sedang bertarung habis habisan.
Begitu menyaksikan jalannya pertarungan, kedua orang itu merasa berat hati untuk meninggalkan tempat itu, mereka segera mundur ke sudut ruangan dan mengikuti jalannya pertarungan seksama.
Waktu itu semua konsentrasi sedang tertuju ke arena pertarungan, sehingga tak seorangpun yang memperhatikan kehadiran kedua orang ini.
Terlebih Lim Luan-hong, dia mengepal tinjunya kuat kuat, tontonan ini membuat dia seolah lupa daratan.
Tampak jurus serangan yang dilancarkan bungkuk baja cepat dan gencar, setiap jurus disertai kekuatan yang mampu membelah bukit, serangan demi serangan dilancarkan cepat dan berantai.
Sebaliknya jurus serangan dari Lan Toa-sianseng lebih mengutamakan kekuatan, dia lebih banyak bertahan daripada menyerang, siapa pun tahu kalau jagoan ini belum mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki.
Si bungkuk baja bukan jago sembarangan, tentu saja dia tahu akan hal ini, sambil menyerang, umpatnya berulang kali: "Hidung kerbau gadungan, kalau ingin berkelahi, ayoh tarung sepuasnya, kalau menyisihkan sebagian tenaga, kau bukan manusia." Lan Toa-sianseng segera tertawa terbahak bahak.
"Hahaha.... kalau mampu paksa aku mengerahkan segenap tenaga, itu baru punya kemampuan.
Apa gunanya mulutmu berkoar koar terus?" "Baik!" seru si bungkuk baja gusar.
Sepasang kepalan yang dilontarkan lurus ke depan, begitu tiba ditengah jalan tiba tiba tangan kiri ditarik, tangan kanan dilontarkan, ukuran lengannya tiga inci lebih panjang dari ukuran biasa.
Jurus ini disebut Ci-siau-pi-tiang (satu naik satu turun) yang merupakan jurus ampuh dari ilmu thong-pit-kun andalannya.
Pihak lawan jelas melihat kalau serangan itu tak akan menggapai sasaran karena kurang panjang, tahu tahu pukulan sudah mendarat dengan telak, bikin orang susah menduga dan susah menghindar, apalagi kepalan dari si bungkuk baja ini bertambah panjang tiga inci.
Biarpun kungfu Lan Toa-sianseng sangat tangguh, tak urung dia kaget juga, cepat tubuhnya mundur tiga langkah.
Terdengar angin tajam bagai sayatan pisau menyambar ujung bajunya, dari
Biarpun kungfu Lan Toa-sianseng sangat tangguh, tak urung dia kaget juga, cepat tubuhnya mundur tiga langkah.
Terdengar angin tajam bagai sayatan pisau menyambar ujung bajunya, dari sini bis diketahui betapa cepat dan gelisahnya sewaktu mundur.
"Mundur yang bagus," bentak si bungkuk baja, "coba lihat yang ini." Sepasang kepalannya melancarkan tiga serangan berantai, kepalannya sebentar panjang sebentar pendek, hampir semua ancamannya diluar dugaan.
Lim Luan-hong sekalian berubah wajah saking cemasnya, diam diam mereka menguatirkan keselamatan Lan Toa-sianseng.
Siapa tahu diiringi gelak tertawa keras, kembali Lan Toa-sianseng berhasil menghindari ke tiga jurus serangan itu.
Manusia berjubah hijau itu tampak gatal tangan, tiada hentinya dia mengetukkan toyanya dilantai sambil bersorak, sebagai orang yang berilmu, dia merasa kesepian ketika melihat ada jago lihay sedang bertarung di hadapannya.
Tiba tiba si bungkuk baja berjumpalitan di udara dan meluncur dihadapannya, dengan marah bentaknya: "Kami berdua sedang berkelahi disini, kenapa kau mengacau dengan ketukan tongkatmu?" Orang berjubah hijau itu mendengus dingin, katanya: "Kalau sudah kalah, jangan lampiaskan kejengkelanmu kepada orang lain, lebih baik mundur saja, biar aku mewakilimu untuk berkelahi." Melihat orang itu begitu berani bicara demikian meski sudah mengetahui kalau ilmu silat yang dimiliki Lan Toa-sianseng dan si bungkuk baja sangat hebat, Lim Luan-hong sekalian jadi tercengang, mereka anggap orang ini sudah bosan hidup.
Si bungkuk baja pun tertegun, tapi segera teriaknya gusar: "Ternyata kaupun gatal tangan dan pengen berkelahi" Lohu tak boleh menyia-nyiakan harapanmu." Lan Toa-sianseng segera menyela sambil tertawa: "Hei, pertarungan kita belum usai, buat apa kau mencari gara gara dengan orang lain?" "Tidak masalah," kata orang berjubah hijau itu sambil tertawa, "kau sudah mengalah, tapi dia tak sadar, biar aku beri pelajaran kepadanya." Sepasang lengannya digetarkan, lalu membuang buntalan dipunggungnya ke tanah.
Rekannya cepat mencegah: "Suhu, buat apa kau orang tua .
. . . . . .." Dia kuatir gurunya kalah, apalagi kalah tanpa alasan yang jelas, bukankah hal ini bisa menimbulkan penasaran" Orang berbaju hijau itu tertawa terbahak-bahak.
"Sudah puluhan tahun aku belum pernah bertemu musuh tangguh, kalau bisa bertarung hingga puas pada hari ini, menang kalah bukanlah masalah." "Keparat, kemarilah!" bentak si bungkuk baja marah.
Baru saja dia akan melepaskan satu pukulan, tiba tiba terdengar desingan angin lewat dari sisinya, ternyata Lan Toa-sianseng sudah menyerobot ke depan.
Manusia berjubah hijau itu tertawa keras.
"Hahaha, bagiku yang penting bisa berkelahi, mau dengan siapa sama saja." Kakinya mundur selangkah, tiba tiba tongkat panjangnya menghantam dada Lan Toa-sianseng.
Pukulan tongkat itu sangat cepat, sekalipun gerakan ular berbisa keluar dari sarang pun tak bisa dibandingkan dengan gerakan ini.
Orang bilang: sekali seorang ahli turun tangan, orang segera akan tahu dia berisi atau tidak.
Dari permainan toyanya, semua orang tahu kalau orang ini mempunyai asal usul yang luar biasa.
"Hei hidung kerbau gadungan, cepat mundur." Bentak si bungkuk baja samking cemasnya.
Kembali Lan Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... sudah jelas dia mau mewakilimu menantang aku berkelahi, terus apa urusannya dengan kau?" Padahal dia kuatir si bungkuk baja kalah ditangan orang, maka dia berebut untuk maju duluan.
Dia tak bisa meraba apakah jurus serangan lawan tipuan atau bukan, dia tak berani gegabah, dalam waktu singkat kedua kepalannya melancarkan tiga jurus serangan, ke tiga jurus serangan ini lebih banyak tipuan daripada serangan nyata, dia memang berniat menjajaki kemampuan musuh.
Tampak manusia berjubah hijau itu memutar toyanya sedemikian rupa sehingga tongkat yang panjang itu tercipta puluhan kuntum bunga serangan.
Jurus Boan-thian-hoa-yu (seluruh angkasa hujan bunga) yang ia gunakan semakin membuktikan kalau orang berjubah hijau itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
"Serangan bagus!" bentak Lan Toa-sianseng, dia merangsek maju dan berusaha menyerang duluan.
Begitu tahu kalau lawannya adalah seorang musuh tangguh yang jarang dijumpai dalam hidupnya, dia merasa semangatnya bangkit, jiwa melawan pun tumbuh, tampak kepalannya ibarat harimau yang lepas dari sangkar melepaskan pukulan bertubi tubi.
Kakek berjubah hijau itu tak mau kalah, toyanya dimainkan ibarat naga sakti mengubek samudra, dalam sekejap mata mereka bertarung seimbang.
Tak sabar menyaksikan pertarungan itu, tiba tiba si bungkuk baja membentak: "Mau mundur tidak kau?" Sambil melompat maju, dia langsung melepaskan satu pukulan tinju ke tubuh Lan Toa-sianseng, sementara sepasang kakinya menendang manusia berjubah hijau itu.
Baik Lan Toa-sianseng maupun manusia berjubah hijau itu sama sama terperanjat, masing masing balas melepaskan satu pukulan.
Dalam sekejap mata, ke tiga orang jago tangguh itu terlibat dalam pertarungan sengit.
Manusia berbaju hijau itu dengan andalkan toyanya, si bungkuk baja dengan andalkan sepasang kepalannya saling menyerang satu sama lain, bahkan terkadang mengancam Lan Toa-sianseng, hal ini menyebabkan pertarungan yang melibatkan ke tiga orang itu jadi makin seru.
Lim Luan-hong sekalian merasa terkejut bercampur girang, girang karena dia merasa dapet rejeki karena bisa menyaksikan pertarungan naga dan harimau yang teramat seru ini.
Yang mengejutkan adalah kepandaian yang dimiliki manusia berjubah hijau itu ternyata sebanding dengan Lan Toa-sianseng, kalau dilihat dari gerak geriknya yang penuh misterius, namun enggan memperlihatkan wajah asli, sementara ilmu toyanya ganas dan telengas, nyaris semuanya merupakan jurus mematikan, biar Lim Luan-hong berpengetahuan luas pun, untuk sesaat dia tak bisa menebak siapa gerangan orang ini.
Terdengar manusia berjubah hijau itu tertawa terbahak-bahak, katanya: "Hahaha, bagus, bagus, pertarungan hari ini benar benar membuat hatiku puas." Pergelangan tangannya digetarkan, ia segera ciptakan bunga toya yang memenuhi angkasa.
"Betul, bertarung tiga orang jauh lebih menarik daripada bertarung dua orang." Imbuh si bungkuk baja.
Sedang Lan Toa-sianseng berkata sambil tertawa lantang: "Menarik, menarik, benar benar menarik, tapi .
. . . .. Thiat loji, apakah sekarang kau sudah berhasil menebak, siapa gerangan sobat yang ikut membuat keramaian ini?" "Asal bisa bertarung, peduli amat siapa dia." sahut si bungkuk baja.
"Hahaha.... percuma kau berkelana selama ini, masa siapakah sobat inipun belum bisa kau tebak" Memang matamu sudah dipatuk burung?" "Kalau memang sudah tahu, kenapa tidak kau sebut." Teriak si bungkuk baja gusar.
"Baik, akan kuberitahu, dia adalah .
. . . .



.." Mendadak manusia berjubah hijau itu tertawa keras, tukasnya: "Tak gampang bertemu dengan kalian hari ini, lebih baik kita bertarung sampai puas, seusai bertarung, masing masing jalan ke tujuan sendiri, apa gunanya menyebut nama?" "Betul juga perkataanmu." sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa.
Setelah melancarkan dua serangan, kembali katanya: "Sudah lama kudengar kalau ilmu kerasmu sangat hebat, setelah bertemu hari ini, paling tidak kau harus tinggalkan berapa jurus ilmu sejati mu, agar mereka dari angkatan muda bisa terbuka matanya." Sementara berbicara, jurus serangan yang digunakan sudah semakin dahsyat.
"Betul sekali." Sahut orang berjubah hijau itu, serangan toya nya tampak makin tajam.
Si bungkuk baja jadi gusar, bentaknya: "Kenapa kalian berdua main tebak umpet terus, hmm, kalau tidak kau sebut, Il lohu akan mulai memaki .
. . . .. Belum lagi ucapannya selesai, mendadak dari luar pintu berlari masuk dua orang manusia.
Mereka adalah seorang lelaki seorang wanita, mereka bergandengan masuk dengan wajah gugup dan panik, mereka semakin terkejut ketika menjumpai dalam ruangan ada orang sedang bertarung.
Namun setelah ragu sejenak, akhirnya mereka tetap beringsut masuk ke dalam, jelas hal ini dikarenakan jalan mundurnya sudah terputus, sehingga meski melihat ada jago lihay sedang bertarung, mereka bersikeras tetap masuk ke dalam.
Lan Toa-sianseng, manusia berjubah hijau dan si Bungkuk baja sedang bertarung sengit, mereka sama sekali tidak menghentikan pertarungan.
Sebaliknya Lim Luan-hong yang menjumpai kehadiran kedua orang itu segera menegur: "Saudara Li, kenapa kaupun sampai disini?" Tak terkirakan rasa girang kedua orang itu setelah berjumpa Lim Luan-hong, cepat mereka lari masuk.
Sang pria segera menggenggam tangan Lim Luan-hong sambil memohon dengan napas tersengkal: "Saudara Lim, selamatkan aku." Ternyata kedua orang ini adalah Li Koan-eng dan Beng Li-si, untuk menghindari kejaran Go Jit, selama ini mereka kabur kesana kemari menyelamatkan diri.
Kalau pada awalnya, dengan kecerdasan mereka berhasil mempermainkan Go Jit, tapi Go Jit bukanlah tokoh silat sembarangan, semakin dikejar jarak mereka semakin dekat, semakin lama pengejaran pun makin ketat.
Dalam keadaan begini, Li Koan-eng jadi gelagapan, begitu mendengar keluarga Tong di propinsi Suchuan sedang selenggarakan pesta perkawinan, mereka berdua pun langsung kabur ke Siok-tiong dengan harapan menyelinap ditengah orang banyak bisa lolos dari pengejaran.
Siapa tahu, sebelum mereka berdua mencapai gedung keluarga Tong, Go Jit sudah tiba di belakang mereka.
Dalam gugupnya, kedua orang itupun melarikan diri tanpa memilih arah, akhirnya tibalah mereka ditempat itu dan tak disangka bertemu dengan Lim Luan-hong.
Ketika di kota Hangciu, dia sudah kenal dengan Lim Luan-hong, maka sewaktu melihat kegugupan rekannya, diapun bangkit sambil berkata: "Silahkan saudara Li istirahat sejenak, kalau prajurit datang kita bendung, takut apa?" Li Koan-eng menghentakkan kakinya berulang kali seraya berkata: "Kita tak mampu membendung orang ini, saudara Lim, cepat carikan aku tempat, biar siaute bersembunyi dulu, kalau tidak, siaute bakal .
. . . . . .." Pada saat yang bersamaan itulah mendadak terdengar suara gelak tertawa yang keras, bagaikan gulungan angin puyuh tahu tahu Go Jit sudah menerobos masuk ke dalam ruangan.
sekujur tubuh Li Koan-eng gemetar keras, paras mukanya pucat pias bagai mayat, sementara Beng Li-si ketakutan sampai bibirnya membiru, peluh dingin membasahi seluruh tubuh mereka.
Siapa sangka, pada saat itulah, ketika gelak tertawa latah Go Jit belum usai, tiba tiba dari sisi samping muncul sebuah toya panjang yang langsung menghantam bahunya.
Pukulan toya itu ganas dan cepat, baru saja Go Jit mendengar desingan suara, toya panjang itu sudah berada didepan mata.
Cepat dia berkelit sambil bentaknya gusar: "Siapa yang berani mencari gara gara dengan aku?" Ternyata orang yang melancarkan serangan itu adalah murid orang berjubah hijau itu.
Menyaksikan perubahan yang tak terduga ini, semua orang berteriak kaget, sementara Li Koan-eng dan Beng Li-si merasa terkejut bercampur girang.
Tampak orang itu memegang toya sambil berdiri menghadang didepan Go Jit, mendadak dia ungkit topi bambunya dengan ujung toya, lalu bentaknya: "Coba lihat siapakah aku?" Go Jit melihat orang itu berusia muda, bermata besar, beralis tebal tapi memancarkan sinar kebencian, seakan dia punya dendam yang dalam dengan dirinya, namun dia sendiri sama sekali tak kenal siapakah orang itu.
Sebaliknya Lim Luan-hong dan Li Koan-eng yang menjumpai wajah orang itu kontan kegirangan setengah mati, serunya tanpa sadar: "Saudara Yo, ternyata kau!" Rupanya orang ini adalah si Tombak baja Yo Seng.
Terdengar si tombak baja Yo Seng membentak dengan nyaring: "Kenapa" sudah tidak kenal dengan aku" Sewaktu berada di rumah Chin Siu-ang tdi kota Hangciu waktu itu, pukulanmu nyaris membuat aku kehilangan nyawa, hari ini aku akan membalas dendam." Go Jit agak tertegun, tiba tiba ia mendongakkan kepala dan tertawa keras: "Hahaha, sepanjang hidup, aku Go Jit sudah banyak melukai orang, mana mungkin kuingat manusia tanpa nama macam kau .
. . . . .." Setelah menghentikan tertawanya, dia membentak lebih jauh: "Mengingat kau berani mencari balas terhadap si golok tanpa sarung, lohu akan mengalah tiga jurus untukmu, silahkan maju!" "Siapa yang kesudian," bentak si tombak baja Yo Seng nyaring, "serahkan nyawamu." Toya panjangnya digetar, dengan cepat tercipta puluhan bunga toya yang segera mengurung seluruh tubuh Go Jit.
II "Bagus, ejek Go Jit sambil tertawa dingin, "ternyata kungfu mu sudah mengalami kemajuan." Dengan cekatan dia menghindar ke samping, sementara sinar matanya dengan benci melotot kearah Li Koan-eng serta Beng Li-si.
Li Koan-eng sadar, biarpun saat ini dia sedang bertempur melawan orang lain, namun asalkan dia menggerakkan badan, niscaya Go Jit akan menubruk kearahnya tanpa peduli resiko apapun, maka saking takutnya dia malah tak berani sembarangan bergerak.
Dalam waktu singkat Yo Seng telah melancarkan tiga jurus serangan, meskipun ilmu silatnva sudah maju pesat, namun dia masih bukan tandingan
Dalam waktu singkat Yo Seng telah melancarkan tiga jurus serangan, meskipun ilmu silatnya sudah maju pesat, namun dia masih bukan tandingan dari salah satu anggota Tujuh manusia paling ternama ini.
Go Jit sendiri ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan ini, agar dia bisa segera membuat perhitungan dengan Li Koan-eng serta Beng Li-si, melihat tiga jurus serangan lawan sudah lewat, serunya sambil tertawa kerasw: 'I' n "Bocah keparat, enyah kau Sepasang tangannya langsung menerobos pertahanan toya lawan dan menghantam keras.
Dalam serangan ini, dia sudah sertakan kekuatan penuh, tentu saja Yo Seng tak berani menyambut dengan kekerasan, cepat dia tarik kembali toyanya sambil berkelit.
"Mau kabur ke mana kau?" bentak Go Jit.
Pergelangan tangannya dibalik, dia cengkeram ujung toya lawan, membentotnya kuat kuat dan setelah itu dia berniat menghabisi nyawa Yo Seng.
Siapa sangka belum sempat tenaganya dikerahkan, dari iga sebelah kanan sudah menyambar datang sesosok bayangan toya, bukan saja angin serangannya kuat, jurus serangan yang digunakan pun sangat tepat.
Dalam posisi begini, Go Jit harus selamatkan diri sehingga tak sempat lagi melanjutkan niatnya untuk melukai lawan, tubuhnya melejit ke udara lalu berjumpalitan, meski berhasil lolos dari ancaman toya, tak urung hatinya terkejut juga, dia tak menyangka kalau disana hadir jagoan tangguh.
Ketika berpaling, terlihat seorang lelaki berjubah hijau yang mengenakan topi caping bambu, berdiri menghadang didepan Yo Seng.
Disudut lain, terlihat ada dua orang masih bertempur tiada hentinya, namun karena gerakan tubuh mereka sangat cepat sehingga dia tak sempat melihat wajah aslinya.
Go Jit jadi kaget setengah mati, dia tak mengira didalam ruang rumah abu itu bisa berkumpul begitu banyak jago tangguh.
Setelah menghimpun tenaga, bentaknya: "Siapa kau, apakah datang untuk mencari balas?" Orang berjubah hijau itu tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, aku tak punya dendam sakit hati denganmu, hanya pepatah bilang, guru murid sehati, karena kau berhasil mengungguli muridku, terpaksa yang jadi guru harus tampilkan diri." Dalam waktu singkat dia telah lancarkan tiga serangan toya, serangan atas menggunakan jurus Soat-hoa-kay-teng (bunga salju melapisi atap), serangan tengah menggunakan jurus Giok-tay-heng-yau (sabut kumala melintang dipinggang), sedang serangan bawah menggunakan jurus Ku-siu-boan-keng (pohon layu akar melingkar).
Meskipun hanya terdiri dari jurus serangan biasa, namun sewaktu digunakan orang berbaju hijau itu, kehebatannya menjadi berlipat ganda.
Terlihat bayangan toya menggulung tiada hentinya, tongkat sepanjang dua meter itu tiba tiba berubah seperti sabuk angkin sepanjang ratusan kaki yang melingkar dan menggulung Go Jit dengan ketatnya.
Dipihak lain, saat itu si bungkuk baja sedang bertarung dengan asyiknya ketika tiba tiba orang berbaju hijau itu keluar dari arena, serta merta jurus serangan dari Lan Toa-sianseng ikut mengendor.
Maka setelah bertarung berapa jurus kemudian, si bungkuk baja kehilangan selera.
Sambil tertawa ujar Lan Toa-sianseng: "Lebih baik kita sudahi dulu pertarungan diantara kita berdua, ayoh kita tengok ke sana, coba lihat ilmu silat si golok tanpa sarung lebih canggih atau ilmu silat si Tombak tanpa bayangan yang lebih hebat." "Aaah, betul, betul," si bungkuk baja berseru tertahan, "dia adalah si Tombak tanpa bayangan Yo Hui, tak heran kalau jurus serangan yang dia gunakan hampir semuanya merupakan jurus ilmu tombak, meski yang digunakan adalah toya panjang." Melihat dirinya telah salah bicara hingga buka rahasia orang, Lan Toa-sianseng ikut tertawa geli, katanya: "Jika dia bepergian dengan membawa tombaknya yang sepanjang dua meter, bukankah sama artinya pasang merek ditubuh sendiri" Manusia mana di dunia persilatan yang tidak kenal dia" Coba kalau dia tidak membawa toya dan berlagak seperti pendeta perantauan, orang pasti akan menebak identitasnya dengan gampang." II "Bagus, bagus sekali, gumam si bungkuk baja kemudian, "golok tanpa sarung, tombak tanpa bayangan, dua dari tujuh manusia ternama sudah muncul disini, tampaknya hari ini aku bakal merasa puas sekali .
. . . .." Mendadak dia berjumpalitan dan maju ke depan.
Dipihak lain, paras muka Go Jit segera berubah hebat setelah manusia berjubah hijau itu melancarkan berapa jurus serangan, serunya sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, aku kira siapa, ternyata saudara Yo, sejak kapan kau ganti memakai toya?" Sebagaimana diketahui, ketika memperebutkan urutan nama tujuh manusia tersohor tempo hari, mereka berdua pernah bertempur sengit selama berapa hari di gunung Hoa-san, tak heran kalau Go Jit segera dapat menebak asal usulnya setelah bertarung berapa jurus.
Si Tombak tanpa bayangan Yo Hui ikut tertawa tergelak, katanya: "Hahaha, sudah kuduga, tak bakal bisa mengelabuhi dirimu." Go Jit tahu, pertarungan yang bakal berlangsung berikut sudah jauh berbeda dengan tadi, karena kuatir Li Koan-eng dan Beng Li-si menggunakan kesempatan itu melarikan diri, segera katanya sambil tertawa terkekeh: "Saudara Yo, sudah lama kita tak bersua, masa begitu bertemu langsung bertarung habis habisan" Jangan sampai membuat kaum muda yang melihat mentertawakan kesempitan pikiran kita berdua." "Hahaha," Yo Hui balas tertawa keras, "sebetulnya aku enggan ribut dengan kau, siapa suruh kau menghajar muridku, jadi paling tidak akupun harus membalas dua tiga pentungan, dengan begitu aku baru bisa memberi pertanggungan jawab kepada sang murid." Waktu itu Go Jit sedang mengeluh karena gagal meloloskan diri dari cengkeraman lawan, siapa tahu pada saat itulah tiba tiba muncul lagi seseorang dari tengah udara.
Dia sangka orang itu adalah pembantu Yo Hui, hatinya makin tercekat.
Tak disangka orang itu melancarkan serangan secara bertubi tubi, bukan saja ditujukan kepadanya, serangan itupun diarahkan ke tubuh Yo Hui.
Dalam gusar dan kagetnya, bentak Go Jit penuh amarah: "Darimana datangnya orang edan, sudah bosan hidup?" Si bungkuk baja tertawa tergelak.
"Hahaha, lohu datang untuk ikut meramaikan suasana, Yo Hui, daripada bertarung satu lawan satu, bukankah lebih menarik jika empat orang berlibat pertarungan bersama?" Tiba tiba dia balik tubuh sambil mengirim satu pukulan ke arah Lan Toa-sianseng.
"Hahaha, menarik, menarik," Yo Hui tertawa tergelak, "mari kita berempat tarung bersama, agar angkatan muda terbuka matanya." Sambil berkata dia membalik toyanya, melepaskan serangan pula ke tubuh Lan Toa-sianseng.
Menghadapi serangan dua orang jago lihay sekaligus, biar Lan Toa-sianseng tak ingin bertarungpun, kini dia tak bisa menghindar, sahutnya kemudian: "Hahaha, kalau ingin bertarung, ayoh tarung sampai puas!" Dengan cepat diapun terlibat dalam pergumulan.
Menyaksikan berapa orang jago tangguh itu kembali terlibat dalam pertarungan sengit, Lim Luan-hong merasa terkejut bercampur tertawa, ia merasa hari ini dirinya benar benar mujur.
Begitu empat orang jago lihay itu terlibat dalam pertempuran sengit, angin pukulan, bayangan toya segera memenuhi seluruh ruangan rumah abu, Lim Luan-hong sekalian kini terdesak hingga harus mundur ke sudut ruangan.
Beberapa kali Li Koan-eng dan Beng Li-si ingin manfaatkan kesempatan itu untuk kabur, apa mau dikata mereka sudah terkurung disudut ruangan sehingga makin tak berani bertindah gegabah.
Terasa hawa dingin menyesakkan napas, angin pukulan membuat baju mereka ikut berkibar.
Si Tombak baja Yo Seng tak ikut terlibat dalam pertarungan ini, namun matanya melotot terus kearah Beng Li-si dengan tatapan gusar, sebab dia memperoleh penghinaan dimasa lalu, tak lain gara gara ulah perempuan ini.
Tiba tiba terdengar Yo Hui membentak keras: "Buntalan siapa yang menghalangi jalan, bawa pergi!" Tongkatnya langsung mencukil kearah buntalan ditanah.
Baru sekarang Lim Luan-hong teringat dengan Chin Ki yang masih terbalut dibalik buntalan.
Menyaksikan ayunan toya Yo Hui yang begitu dahsyat, ia sadar, jika pukulan itu dilanjutkan, pasti Chin Ki akan kehilangan nyawa, dalam terperanjatnya, tanpa sadar dia menjerit lengking.
Oo0oo Ketika Lan Toa-sianseng, bungkuk baja dan manusia berjubah hijau itu pada awalnya terlibat pertempuran, Tian Mong-pek telah tersadar dari pingsannya.
Kejadian ini segera membuat Siau Hui-uh dan Tong Hong jadi terkejut bercampur gembira.
Ternyata obat mujarab yang diberikan limlunhong kepada Siau Hui-uh merupakan hasil ramuan dari Chin Siu-ang, meski orang ini tidak berjiwa menolong, namun ilmu pertabiban yang dikuasahi sangat luar biasa.
Obat yang diramu ini meski tak punya kemampuan untuk menghidupkan orang mati, namun untuk mengobati luka dalam sudah bukan masalah lagi.
Tian Mong-pek yang baru tersadar dan melihat disampingnya ketambahan si burung hong api, dia jadi kaget bercampur keheranan, tentu saja dia tahu kalau selama dirinya tak sadarkan diri, beberapa kali jiwanya berada diujung tanduk, dia semakin tak menyangka kalau obat yang telah mengobati lukanya merupakan hasil ramuan dari Chin Siu-ang.
Siau Hui-uh dan Tong Hong segera merubung maju, mereka berdua sama sama melotot, ketika akhirnya Tong Hong berpaling kearah lain, Siau Hui-uh baru bertanya: "Apakah keadaanmu sudah jauh lebih baikan?" Orang yang baru mendusin dari pingsan sudah jelas kondisinya jauh lebih baikan, meski pertanyaan itu omong kosong, tak urung memperhatikan juga perhatiannya yang besar.
Tian Mong-pek merasa sangat berterima kasih, setelah tertawa dia meronta untuk duduk.
Melihat pemuda itu bisa duduk sendiri, Siau Hui-uh merasa makin kegirangan.
Memandang bayangan punggung Tong Hong, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Bagaimana ceritanya kita bisa sampai disini" Kenapa nona Tong berada disini juga?" Biarpun duduk membelakangi mereka, Tong Hong dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas.
Mendengar kemesraan yang diperlihatkan Siau Hui-uh kepada Tian Mong-pek, Il apalagi menyebut mereka sebagai "kita dan menyebut dia sebagai "nona Tong", gadis itu merasa hatinya kecut, meski menggigit bibir kencang kencang, tak urung air matanya jatuh bercucuran.
Siau Hui-uh merasa hatinya hangat, setelah melempar senyuman manis, sahutnya: "Panjang untuk menceritakan hal ini, mari kita tengok dulu keramaian diluar sana." Ketika melihat kondisi luka Tian Mong-pek sudah membaik, tentu saja gadis ini tak tega untuk beritahu kalau mereka sudah tiada harapan keluar dari ruang rahasia ini.
Sementar itu, diapun mulai tertarik untuk menyaksikan kelanjutan pertarungan antara Lan Toa-sianseng bertiga, maka sambil memayang Tian Mong-pek ke depan kaca kristal, katanya sambil tertawa: "Coba kau intip keluar, tanggung setelah itu tak bakalan mau berpindah tempat lagi." Begitu melihat keadaan diluar, benar saja, Tian Mong-pek jadi kegirangan.
Suasana terasa hening, suara bentakan maupun angin pukulan yang ramai diluar sana sama sekali tak terdengar di ruang bawah, biarpun Tian Mong-pek merasa agak kecewa, namun segera dia sudah melupakan hal itu.
Tampak jurus serangan yang digunakan Lan Toa-sianseng sekalian banyak variasi dan luar biasa, kalau dihari biasa Tian Mong-pek tak mungkin akan memperhatikan secara detil, namun sekarang, dalam suasana yang sepi, dengan cepat ia sudah dibikin mabuk kepayang dan lupa daratan.
Pepatah mengatakan: Yang menonton biasanya yang jelas.
Biarpun Lan Toa-sianseng sekalian merupakan tokoh persilatan, namun karena mereka secara pribadi terlibat dalam pertarungan itu, tak urung perasaannya ikut terpengaruh.
Terkadang dalam jurus lawan meski tampak ada titik kelemahan, mereka justru tidak melihatnya, berbeda dengan Tian Mong-pek yang mengikuti jalannya pertempuran dengan hati tenang, hampir semua kelemahan itu terlihat dengan jelas.
Dengan menonton pertarungan ini, bukan saja Tian Mong-pek berhasil memahami perubahan jurus dari ke tiga orang jagoan itu, bahkan sangat menguasahi setiap titik kelemahan yang ada.
Sampai kemudian Li Koan-eng dan Beng Li-si menerjang masuk, meski tak terdengar apa yang mereka katakan, namun dari mimik muka mereka yang gelisah dan panik, pemuda itu tahu kalau Go Jit telah menyusul tiba.
Namun kemudian dia tak menyangka kalau si Tombak baja Yo Seng akan muncul disitu, pertarungan sengit yang kemudian melibatkan ke empat jagoan lihay ini membuat anak muda ini semakin mabuk.
Kemudian ketika melihat orang berbaju hijau itu mencongkel buntalan dilantai dan Lim Luan-hong melompat bangun dengan kaget, Tian Mong-pek pun berpikir dengan keheranan: "Apa gerangan isi buntalan itu?" Jika Tian Mong-pek tahu kalau isi buntalan itu adalah Chin Ki, sudah pasti dia akan menjerit sekeras kerasnya.
Sebab Chin Ki adalah putri kesayangan Chin Siu-ang, sedikit banyak dia seharusnya tahu urusan tentang ayahnya, kini Chin Siu-ang sudah mati, itu berarti kunci paling utama untuk membongkar rahasia panah kekasih berada ditangan Chin Ki.
Bila sekarang dia tewas oleh tongkat si Tombak tanpa bayangan, bukankah akan ada banyak rahasia yang terkubur bersamanya"
Bab 45. sepasang burung Wan-yo menjalin kasih.
Siapa sangka baru saja toya milik tombak tanpa bayangan menyentuh buntalan itu, tiba tiba dia menarik kembali senjatanya sambil berbalik badan.
Rupanya serangan dari si bungkuk baja telah menghajar punggungnya, membuat dia mau tak mau harus balik badan melindungi keselamatan sendiri.
Lim Luan-hong jatuh terduduk dilantai, jantungnya berdebar keras, peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya, dia merasa sepasang kakinya lemas tak bertenaga, untuk sesaat tak sanggup lagi bangkit berdiri.
Saat itu,, meskipun keempat jagoan lihay itu masih terlibat dalam pertarungan sengit, padahal situasinya sangat berbeda.
Ternyata Lan Toa-sianseng tidak punya kesan buruk terhadap si bungkuk baja, karenanya semua jurus serangan yang dilancarkan hampir semuanya tertuju ke arah Go Jit serta Yo Hui, sama sekali tidak menyentuh si bungkuk baja.
Sebaliknya sasaran si bungkuk baja justru tubuh Lan Toa-sianseng, biarpun dia memukul dan menendang kearah Go Jit serta Yo H ui, namun serangan yang mematikan hampir semuanya diarahkan ke tubuh Lan Toa-sianseng.
Sedangkan Yo Hui dan Go Jit tidak peduli siapa musuhnya, setiap ada peluang langsung melancarkan serangan.
Semakin bertarung Yo Hui semakin keranjingan, tongkatnya sebentar ke timur sebentar ke barat menciptakan segumpal bayangan abu abu, siapa pun yang dekat dengan ujung tongkatnya, langsung dihadiahkan satu serangan.
Konsentrasi Go Jit saat itu hampir semuanya tertuju pada Li Koan-eng serta Beng Li-si, dia sama sekali tak berminat untuk melanjutkan pertarungan, apa mau dikata dia terikat oleh serangan lawan, maka yang dilakukan saat ini adalah berusaha secepatnya lepas dari cengkeraman lawan, otomatis serangan balasan yang dilancarkan jadi tidak serius.
sasaran dan tujuan dari ke empat orang itu berbeda, dengan sendirinya tenaga yang digunakan ikut berbeda, kasihan Lan Toa-sianseng, kalau orang lain satu lawan dua, maka dia justru harus menghadapi serangan satu lawan tiga.
Namun tokoh maha sakti ini memang memiliki kelebiha n yang luar biasa, meski harus menghadapi serangan tiga jago sekaligus, serangan yang dilancarkan tetap Cepat dan ganas, sedikitpun tidak menunjukkan kelemahan.
Pertarungan ke empat orang itu dilakukan sangat Cepat, begitu pertempuran dimulai, ratusan jurus lewat dengan Cepat, coba kalau ruang rumah abu itu bukan terbuat dari batu granis, mungkin sejak tadi sudah hancur berantakan.
Sekalipun begitu, keadaan dalam ruangan toh berantakan tak karuan, semua kerapian dan keindahan semula kini sudah lenyap tak berbekas.
Tiba tiba Go Jit membuka titik kelemahan lalu menerobos keluar dari arena pertarungan, secepat kilat dia menubruk Li Koan-eng serta Beng Li"si yang bersembunyi disudut ruangan.
Baru saja Beng Li-si menjerit kaget, telapak tangan Go Jit diiringi tertawa menyeringai sudah mencengkeram kearah dadanya.
"Aku akan beradu nyawa denganmu." Bentak Li Koan-eng.
Antara dia dengan Beng Li-si sudah tumbuh benih cinta sejati, tak heran dia langsung menerjang maju tanpa perhitungkan resiko sendiri.
Siapa tahu baru saja badannya bergerak, Go Jit telah menarik kembali tangannya, ternyata tongkat panjang si Tombak tanpa bayangan Yo Hui telah menyapu ke belakang tubuhnya.
Sapuan ini telah disertai segenap kekuatan yang dimiliki, kekuatannya mencapai radius berpa kaki, biar kungfu Go Jit lebih hebatpun,sesudah mendengar desingan angin yang menyambar, dia jadi terkesiap, buru buru badannya berjumpalintan sambil mundur.
"Blaaam!" toya ditangan si Tombak tanpa bayangan Yo Hui menyapu diatas altar membuat hatu granis disana hancur berserakan, keadaan sangat menakutkan.
sambil memutar kembali toyanya, bentak Yo Hui: "Tempat disini kelewat sempit, kalau ingin bertarung lebih mantab, lapangan diluar sana lebih lebar." "Betul, sudah seharusnya keluar sana." Kata si bungkuk baja sambil tertawa.
"Edan, siapa yang mau keluar bersamamu?" umpat si golok tanpa sarung Go Jit gusar.
Hampir bersamaan waktu teriak si bungkuk baja serta Go Jit: "Tidak maupun, kau tetap harus keluar." Toya panjang serta sepasang telapak tangan baja mereka serentak menghajar ke tubuh Go Jit.
Sekalipun enggan, namun setelah dipaksa kedua orang jago lihay itu, dia kehabisan daya, diiringi umpatan yang membabi buta, tubuhnya tetap dipaksa keluar dari ruangan.
Kungfu yang dimiliki ke empat orang ini memang luar biasa, begitu keluar dari rumah abu, gerakan tubuh mereka jadi leluasa, terdengar deruan angin pukulan dan umpatan marah bergema silih berganti, tak lama kemudian suara itu semakin jauh.
Cepat si Tombak baja Yo Seng menyusul kearah sumber suara itu.
Lim Luan-hong sendiripun dibikin mabuk oleh suguhan tontonan menarik ini, hampir saja dia ikut menyusul keluar, tapi baru berapa langkah, mendadak ia teringat dengan Chin Ki yang berada dalam buntalan, cepat dia berjalan kembali.
Li Koan-eng serta Beng Li-si lebih lebih tak berani menyusul.
Hanya Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh yang berada dalam ruang bawah tanah ingin mengikuti hasil pertarungan itu, sayang mereka tak bisa keluar dari situ.
Beberapa orang lelaki kekar yang dibawa Lan Toa-sianseng pun sudah siap menyusul keluar untuk nonton kermaian, tapi baru tiba didepan pintu, seakan berjumpa sesuatu, mendadak mereka mundur dan masuk kembali.
Terdengar dari luar pintu seorang wanita berseru lantang: "Apakah kau melihat dengan jelas?" seorang pria segera menjawab: "Hamba melihat dengan jelas sekali, tidak bakal salah." Dari suaranya yang tua dan berat, bisa dikenali itulah suara dari Hong Sin.
"Hmm, kalau salah akan kukuliti tubuhmu!" ancam perempuan itu.
Tiba tiba teriaknya lantang: "Siau-Lan, kumohon kali ini janganlah kabur lagi, mau bukan" Aku sudah mencarimu kemana-mana." Sesosok bayangan manusia segera menyelinap masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang wanita berbaju merah padam dan rambutnya disanggul tinggi, Tian Mong-pek segera mengenalinya sebagai Liat-hwee hujin.
Begitu masuk ruangan dan tidak melihat Lan Toa-sianseng, paras muka Liat-hwee hujin berubah hebat, mendadak dia melihat ada murid Lan Toa-sianseng disana, segera dicengkeramnya salah satu dari mereka sambil membentak: "Mana gurumu?" Ternyata dia berniat mengintil Lan Toa-sianseng, apa mau dikata jejak Lan Toa-sianseng ibarat naga dilangit, mana mungkin ia mau direcoki terus" Karena tak berdaya maka diapun mencari kesana kemari, ketika melihat para jago sedang berkumpul di Siok-tiong, diapun ikut menyusul kesitu.
Kebetulan Hong Sin memang berniat menggunakan perempuan ini untuk menyingkirkan Lan Toa-sianseng, dengan begitu ia bisa mencari jejak Tian Mong-pek serta Tong Hong, tentu saja dengan senang h ati dihantarnya perempuan itu sampai disana.
Waktu itu, Lim Luan-hong baru saja membuka buntalannya, agaknya beberapa orang lelaki itu cukup tahu akan kehebatan nyonya yang satu ini, mereka tak berani tidak menunjukkan jejak gurunya, namun tak berani pula untuk mengatakan.
Dari gelagat berapa orang itu, Liat-hwee hujin segera tahu kalau Lan Toa-sianseng pasti berada disana, maka dia memperketat cengkeramannya sambil mengancam: "Mau kau katakan tidak?" Sejak tadi lelaki itu sudah bermandikan keringat dingin, kini tak tahan lagi dia menjerit kesakitan.
Jerit kesakitan itulah yang tiba tiba bisa didengar Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh dengan jelas.
Rupanya sapuan toya dari si Tombak tanpa bayangan Yo Hui keatas meja persembahan tadi secara kebetulan telah mengenai salah satu tombol rahasia ruang bawah tanah itu, walaupun dengan kekuatannya tak sempat menghancurkan lapisan batu granis, namun pintu lorong yang tertutup rapat segera retak dan pecah, dari retakan itulah suara itu menyusup masuk.
Tiga orang yang berada dibawah ruang rahasia jadi terkejut, tapi berbarengan itu Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek merasa girang.
Baru saja mereka berdua siap berteriak minta tolong, mendadak dari luar pintu muncul lagi berapa orang.
Yang pertama adalah Hong Sin yang membopong putra kesayangannya, sedang tiga orang dibelakangnya merupakan orang yang sama sekali tak disangka Tian Mong-pek.
orang didepan bersanggul tinggi, bermata bening dan mengenakan baju serba putih, dia adalah So Kin-soat.
So Kin-soat bisa jalan bersama Liat-hwee hujin, kejadian ini sudah membuat Tian Mong-pek terkejut, yang membuatnya lebih kaget adalah perempuan berbaju hitam yang mengintil dibelakang So Kin-soat dan berwajah persis seperti Liu Tan-yan, kemudian disampingnya adalah pemuda berbaju panjang yang menjadi suaminya.
Wajah kedua orang itu tampak lesu dan sedih, mereka mengintil di belakang So Kin-soat dengan sikap amat takut.
Sebetulnya Tian Mong"pek sudah merasa kalau So Kin-soat itu sangat misterius, namun setelah melihat ketiga orang itu menempuh perjalanan bersama, satu ingatan segera melintas, pikirnya: "Apa gerangan hubungan mereka bertiga?" Namun ia tutup mulutnya rapat rapat dan berusaha agar tidak bersuara.
Siau Hui-uh sangka yang datang adalah Liu Tan-yan, dia tidak kenal So Kin-soat, disangka perempuan itu adalah pembantunya yang balik untuk mencari gara gara, sudah pasti dia semakin tak berani bersuara.
Akhirnya lelaki itu tak kuat menahan sakit, katanya dengan suara gemetar: "Suhu berada diluar.....
sedang bertarung dengan orang, asal hujin mencari di empat penjuru, pasti akan ditemukan." "Omong kosong, siapa yang berani bertarung melawannya?" teriak Liat-hwee hujin keras.
"Konon mereka adalah orang orang dari Tujuh manusia tersohor di kolong langit .
. . . .." "Hah, mereka" Cepat bawa aku ke sana." Seru Liat"hwee hujin dengan wajah berubah.
Kepada So Kin-soat katanya pula sambil tertawa: "Adikku, mau ikut bersamaku?" So Kin-soat segera tertawa terkekeh.
"Kalau sudah ditemukan, buat apa aku?" sahutnya.
"Cis, sialan." Umpat Liat-hwee hujin tanpa berubah jadi merah wajahnya, "tunggu saja disini, aku segera akan kembali." Kemudian dia paksa beberapa orang lelaki itu untuk menghantar.
Melihat perempuan itu sudah jauh, paras muka So Kin-soat baru berubah jadi dingin menyeramkan, kepada Hong Sin katanya: "Kau tak pernah berbuat kebaikan, kenapa hari ini membawaku kemari" Ada permainan setan apa lagi?" "Hamba.....
hamba tidak berani." Jawab Hong Sin dengan kepala tertunduk rendah.
Kelihatannya dia takut sekali terhadap perempuan ini.
"Kalau memang begitu, kenapa tidak segera menggelinding pergi." Bentak so Kin-soat sambil tertawa dingin.
"Turut.... turut perintah." Jawab Hong Sin, tapi matanya mengawasi terus meja altar, meski enggan meninggalkan tempat itu namun diapun tak berani membangkang, akhirnya sambil membopong putranya mundur dari situ.
II "Dasar tua bangka sialan, umat Siau Hui-uh dalam hati, "suka cari gara II gara .
. . . .. Sebaliknya Tian Mong-pek merasa keheranan, pikirnya: "Kenapa orang orang ini begitu takut terhadap So Kin-soat?" Lambat laun wajah So Kin-soat menjadi lembut kembali, sambil menengok kearah Li Koan-eng dan Beng Li-si, ujarnya perlahan: "Kenapa kalian berdua belum pergi" Memangnya mau menunggu sampai golok tanpa sarung Go Jit kembali kemari?" Bergetar sekujur tubuh Li Koan-eng, serunya agak kaget: "Boanpwee tidak kenal hujin, darimana hujin bisa mengetahui urusan boanpwee?" Perlu diketahui, kejadian ini meski bukan rahasia pribadi, namun jarang orang persilatan mengetahui akan kejadian ini.
So Kin-soat tertawa hambar, ujarnya: "Masih banyak sekali urusan yang tidak diketahui orang lain tapi kutahu semuanya." Biarpun perkataannya lembut dan halus, namun tersisip daya pengaruh yang tak terlukis dengan kata.
Belum sempat Li Koan-eng bicara, Beng Li-si sudah menggenggam tangannya sambil berbisik: "Ayoh pergi.....
cepat kita pergi!" Tangan dan kakinya sudah mendingin, suaranya gemetar, jelas dia merasa sangat ketakutan.
Kedua orang itu tidak bicara lagi, buru buru mereka memberi hormat lalu berlalu dengan langkah lebar.
"Berhenti!" tiba tiba So Kin-soat berseru lagi.
"Apakah hujin masih ada pesan?" tanya Li Koan-eng sambil menghentikan langkahnya.
"Selama Go Jit belum mati, mereka tak bakal melepaskan kalian berdua, padahal manusia semacam Go Jit tidak gampang mati, biar jagad sangat luas, kalian berdua akan kabur sampai dimana?" Li Koan-eng dan Beng Li-si saling bertukar pandangan, mereka sadar, ucapan itu tidak bohong, biar jagad amat luas, sulit bagi mereka untuk mencari tempat persembunyian yang aman, untuk sesaat kedua orang itu jadi tertegun.
Tiba tiba So Kin-soat tertawa lagi, dari sakunya dia mengeluarkan sebuah lencana bambu, katanya kemudian: "orang yang patut dikasihni, cepat ambil tanda pengenalku ini, pergilah ke kaki bukit Kun-san di telaga Tong-ting, carilah seorang nelayan yang mempunyai perahu besar bercat kuning, mereka akan membawa kalian menuju ke tempat yang sangat aman, setelah sampai disitu .
. . . . . .." Sesudah tertawa angkuh, terusnya: "Jangankan baru seorang golok tanpa sarung Go Jit, biar ada sepuluh, seratus orang Go Jit pun, jangan harap bisa melukai kalian berdua lagi!" Mendengar perkataan itu, Li Koan-eng dan Beng Li-si jadi kegirangan setengah mati, cepat mereka berdua berlutut sambil mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih hujin atas budi kebaikanmu." setelah menerima lencana bambu, buru buru mereka berlalu dari situ.
Walaupun Tian Mong-pek ingin sekali melihat bentuk lencana bambu itu, sayang jaraknya terlampau jauh, susah baginya untuk melihat dengan jelas.
Hal ini membuat perasaan hatinya semakin keheranan, dia merasa sepak terjang So Kin-soat amat misterius, dia masih ingat, So Kin-soat pun pernah suruh dia pergi ke bukit Kun-san di telaga Tong-ting untuk mencarinya, kalau dibayangkan kembali, hal ini semakin membuatnya curiga.
Tempat macam apakah bukit Kun-san di telaga Tong-ting itu" Dalam pada itu, secara diam diam Lim Luan-hong sudah membopong buntalan dan siap mencari kesempatan untuk kabur.
siapa tahu sepasang mata So Kin-soat yang tajam sedang memperhatikan gerak geriknya, melihat wajah Chin Ki yang nongol diluar buntalan, tiba tiba serunya: "Kalian berdua tunggu sebentar." "Apakah.....
apakah hujin ada petunjuk?" tanya Lim Luan-hong agak tertegun.
II "Lim Luan-hong, ujar So Kin-soat sambil tersenyum, "masa kau tidak kenal aku?" Lim Luan-hong makin terkejut.
"Dari... darimana hujin bisa tahu namaku?" tanyanya.
"Mungkin kau tidak kenal aku, tapi aku kenal kau." Kata So Kin-soat sambil tertawa, sesudah menghela napas, lanjutnya, "masih banyak orang yang tidak kenal, aku kenal semuanya." Lim Luan-hong melongo, terperangah, untuk sesaat dia hanya bisa membungkam.
Terdengar So Kin-soat berkata lagi sambil menghela napas: "Ini dikarenakan orang yang kukenal kelewat banyak, itulah sebabnya Liat-hwee hujin mengajakku untuk mencari orang, kau bilang sangat merepotkan bukan?" Lim Luan-hong tak tahu bagaimana harus menjawab, dia hanya menyahut agak tergagap: "Benar.....
benar....." Tiba tiba So Kin-soat melotot kearah perempuan berbaju hitam dan suaminya dan berkata dingin: "Justru karena itu, apapun yang kalian berdua lakukan, aku pasti tahu, kemanapun kalian pergi, akupun akan temukan kalian." Perempuan berbaju hitam dan pemuda berjubah panjang itu sama sama tertunduk lesu, wajah mereka menghijau, bibirnya pucat, jelas kedua orang itu sangat ketakutan.
Pada mulanya, Lim Luan-hong mengira perempuan berbaju hitam itu adalah Liu Tan-yan, tapi setelah melihat sikapnya sekarang, tanpa terasa dia memandang dengan mata melotot.
Tiba tiba terasa pandangan matanya kabur, So Kin-soat telah berdiri dihadapannya sambil menegur: "Ini urusan pribadi rumah tanggaku, masa kau ingin mendengarkan terus?" Terkesiap hati Lim Luan-hong, buru buru sahutnya sambil tertawa paksa: "soal ini....
soal ini ..... aku tidak berani.... biar aku menyingkir saja dari sini." sambil membopong Chin Ki, dia siap ngeloyor pergi dari situ.
Kembali So Kin-soat tertawa dingin, katanya: "Tapi.
Bila kubiarkan kau keluar sekarang, nanti aku harus ke mana mencarimu?" "soal ini .
. . . . . .. "Karena kau tak boleh mendengarkan, pun tak boleh keluar sana, aaai, II tampaknya aku harus menyiksamu.....
Tiba tiba dia melancarkan serangan secepat kilat, secara beruntun menotok lima buah jalan darahnya.
Tian Mong-pek dapat menyaksikan dengan sangat jelas, kecepatan serangannya bukan saja tidak berada dibawah kemampuan para jago, bahkan keras lembut digunakan bersana.
Namun yang lebih aneh lagi adalah dengan kungfunya yang begitu lihay, kenapa tak punya nama dalam dunia persilatan" Meski kaget dan keheranan, ia tak berani bersuara.
Terdengar So Kin-soat menghela napas panjang, panggilnya: "Koan-ji, kemari kau." Dengan kepala tertunduk pemuda berbaju panjang itu mendekat.
Ujar So Kin-soat lagi: "Bukan aku tak punya perasaan sehingga selalu menghalangi perkawinan kalian, hanya saja .
. . . .. aaai, aku menaruh pengharapan yang terlalu tinggi kepada kalian berdua, kau....
apakah kalian berdua tidak memahami niatku ini?" Bicara sampai disitu, matanya jadi merah, hampir saja air matanya jatuh berlinang.
Terlihat dada pemuda itu naik turun tak menentu, jelas dia sedang mengalami gejolak perasaan yang luar biasa, tiba tiba panggilnya: "Ibu .
. . . . .." Kembali Tian Mong-pek merasa terperanjat, dia sama sekali tak menyangka kalau kedua orang itu adalah ibu dan anak.
Dengan wajah gelap kembali So Kin-soat berkata sambil tertawa dingin: "Ibu, hmm, hmm, bagus, ternyata kau masih mengenali aku sebagai ibumu." Pelbagai perubahan berkecamuk diwajahnya, siapapun tak bisa meraba apa yang sedang dipikirkan.
"Ananda tidak berani .
. . . . . .." pemuda itu tertunduk lesu.
"Kalau kau masih mengakui aku sebagai ibumu, kenapa masih melukai perasaanku" Dengan susah payah kukirim kau masuk lembah kaisar, kenapa
"Kalau kau masih mengakui aku sebagai ibumu, kenapa masih melukai perasaanku" Dengan susah payah kukirim kau masuk lembah kaisar, kenapa II kau .
. . . . .. Mendengar sampai disini, Tian Mong-pek merasa telinganya mendengung, sekarang dia baru mengerti apa yang telah terjadi, pikirnya" "Rupanya pemuda itu bisa menyusup masuk ke dalam lembah, semuanya ini karena ide So Kin-soat, tak heran kalau pemuda ini bukan saja tahu Cara untuk masuk ke dalam lembah, diapun tahu dengan jelas semua masalah rumah II tanggaku, rupanya So Kin-soat yang beritahu kepadanya.
Semakin didengar, ia merasa sepak terjang So Kin-soat semakin misterius, susah diduga dia itu baik atau jahat.
Ketika menengok ke samping, dilihatnya paras muka Siau Hui-uh pun telah berubah.
Sementara mereka masih termenung, pemuda berjubah panjang dan gadis berbaju hitam itu sudah jatuhkan diri berlutut.
Kembali So Kin-soat melotot kearah gadis berbaju hitam, ujarnya: "Aku telah pelihara kalian dua bersaudara jadi manusia, itu kulakukan dengan tak mudah, bagaimanapun, kau tidak seharusnya menghianati aku." II "Ananda benar benar tak bisa mengendalikan diri, ucap gadis itu dengan air mata berlinang, "semoga kau orang tua bersedia memandang diatas bocah itu dengan mengabulkan permintaan kami!" So Kin-soat mendengus.
"Hmm, anak, kau telah melahirkan anak untuk anak Koan, sekarang mau gunakan alasan itu untuk memeras aku?" "Ananda tidak .
. . . .." "Tak usah banyak bicara lagi!" bentak So Kin-soat, tiba tiba ia bertepuk tangan sambil memanggil, "kau boleh masuk sekarang!" Sesosok bayangan manusia melangkah masuk ke dalam ruangan, ternyata dia adalah Liu Tan-yan.
Siau Hui-uh tutup mulutnya, nyaris dia menjerit kaget, begitu pula dengan Tian Mong-pek.
Dari perkataan So Kin-soat tadi, bisa disimpulkan kalau Liu Tan-yan dan gadis berbaju hitam itu sebenarnya adalah saudara kembar, dan kedua orang bersaudara inipun dipelihara So Kin-soat semenjak kecil.
Sekarang terbukti Liu Tan-yan ada hubungannya dengan panah kekasih, berarti So Kin-soat .
. . . . .. Waktu itu Liu Tan-yan sudah memberi hormat sambil melapor: "Ananda telah melaksanakan tugas dengan melakukan peninjauan ke sana, hingga kini para tamu di keluarga Tong masih berhura hura dan belum bubar." Rupanya setelah kabur dari rumah abu, ditengah jalan ia berjumpa dengan rombongan So Kin-soat, perempuan itupun perintahkan dia untuk menyelidiki suasana di gedung keluarga Tong, karena itulah hingga kini baru menyusul kemari.
"Selama berapa tahun terakhir kau selalu berkelana diluar," kata So Kin-soat lagi, "tahukah kau apa yang telah dilakukan adikmu serta Koan"ji?" "Ananda kurang jelas." sambil tertawa dingin kata So Kin-soat: "Adikmu telah melakukan perbuatan yang sangat keterlaluan, paling tidak kau ikut bertanggung jawab, bagaimana akan kau tegur, lebih baik kuserahkan saja kepadamu!" Belum habis dia berkata, paras muka Liu Tan-yan telah berubah, hanya saja dia tak berani menyela.
Saat inilah dia baru putar mata sambil berbisik: "Didalam sana masih ada orang yang bersembunyi." "siapa" Dimana?" bentak So Kin-soat dengan wajah berubah.
Liu Tan-yan segera membisikkan sesuatu ke sisi teling anya, kemudian tampak So Kin-soat dengan sepasang matanya yang tajam mulai mengawasi meja persembahan itu dengan seksama.
Walaupun Tian Mong-pek tahu kalau saat itu dia masih belum menemukan jejaknya, tak urung bergidik juga hatinya, dia merasa dibalik mata perempuan itu seolah tersembunyi dua bilah pisau yang tajam.
Tiba tiba terdengar Siau Hui-uh menjerit kaget: "Chin.....
Chin . . . . .." Ternyata selama ini dia tidak menaruh perhatian, hingga sekarang baru melihat separuh tubuh Chin Ki yang muncul dari balik buntalan.
Tian Mong-pek terlebih kaget, bisiknya: "Kenapa .
. . . .. kenapa dia bisa berada disini?" "Buntalan itu dibawa oleh Liu Tan-yan dan Sun Giok-hud." Tian Mong-pek semakin terperanjat, pikirnya: "Kalau begitu, jangan jangan Chin Siu-ang dibunuh oleh kedua orang itu" Mereka masukkan jenasah Chin Siu-ang ke dalam tandu pengantin kemudian menculik Chin Ki dan membawanya kemari." Namun situasi yang dihadapi tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak berpikir.
Terdengar So Kin-soat berkata dengan suara dalam: "Koan-ji, selama berada di lembah kaisar, ilmu yang kau pelajari pasti banyak bukan?" Pemuda berjubah panjang itu hanya tundukkan kepala, tidak berani menjawab.
Kembali So Kin-soat berkata: "Siau Ong-sun berpengetahuan sangat luas, diapun menguasahi ilmu perangkap dan alat rahasia, aku percaya tak sedikit yang telah kau pelajari, inilah saatmu untuk mempraktekkan apa yang telah kau pelajari itu." Belum sempat pemuda itu menjawab, Siau Hui-uh yang berada di ruang bawah tanah telah berseru kaget: "Ilmu perangkap dan alat rahasia yang dimiliki ayah tiada duanya dikolong langit, asal bangsat itu berhasil belasar sepersepuluh nya saja, tidak sulit baginya untuk menemukan jalan masuk kemari, sekarang kita sudah mendengar rahasianya yang tak ingin diketahui orang luar, bila sampai ditemukan, aku kuatir .
. . . . . .." sambil gigit bibir tiba tiba ia berhenti bicara.
Sementara itu Tian Mong-pek menyaksikan pemuda itu sudah berjalan menuju ke meja altar, hatinya makin panik dan ngeri.
Tiba tiba terdengar Tong Hong bertanya dengan suara dingin: "Tian Mong-pek, kau dapat berjalan?" Tian Mong-pek tahu, dibalik pertanyaan itu pasti tersisip maksud lain, sahutnya girang: "Nona Tong, apakah .
. . . . . .." "Di dalam ruang bawah tanah ini masih ada jalan tembus, bila mampu berjalan, tak ada salahnya akan kuajak keluar dari sini." Kemudian setelah tertawa dingin, tambahnya: "Biarpun aku tak rela membiarkan orang lain kawin denganmu, namun akupun tak ingin menyaksikan kau mati ditangan orang lain." sambil bicara, dia mengerling sekejap kearah Siau Hui-uh yang seolah olah berkata begini: "sampai saat yang kritis, toh hanya aku yang bisa menolong, sedang kau?" Siau Hui-uh bukan orang bodoh, tentu saja dia mengerti apa yang dimaksud, namun gadis ini enggan menanggapi, cepat dia melengos kearah lain.
Tian Mong-pek tidak mempedulikan lagi urusan cinta segi tiga, serunya kegirangan: "Terima kasih nona." "Tapi aku tidak tahan kalau melihat kau dibopong orang lain." Ucap Tong Hong.
"Luka ku sudah mulai sembuh, aku mampu berjalan sendiri." Sahut Tian Mong-pek tertawa.
"Kalian berdua boleh pergi, aku tak ikut." Tiba tiba Siau Hui-uh berteriak keras.
"Kau..... kau....." Tian Mong-pek terperanjat.
sambil tertawa dingin ujar Siau Hui-uh: "orang lain sedang menolongmu, aku ogah menerima kebaikannya.....
hmm, biar nyali mereka lebih besarpun, belum tentu mereka berani melukai putri dari kokcu lembah kaisar." Tian Mong"pek terperangah, saking herannya dia sampai melongo dengan mata terbelalak, dia tak habis mengerti kenapa gadis tersebut bersikap begitu.
Tapi begitu melihat Tong Hong sedang mendongakkan kepala sambil tertawa dingin tiada hentinya, diapun segera paham.
"Ooh, ternyata begitu." Maka diapun berkata lantang: "Kalau harus pergi, kita bertiga pergi bersama, kalau tak mau pergi, kita bertiga sama sama tidak pergi." Kontan saja Siau Hui-uh merasakan hatinya jadi manis.
Pada saat itulah tiba tiba dari batu granit bagian atas terdengar suara gemerincing, dengan wajah berubah segera serunya: "Aduh celana, bangsat itu sudah berhasil menemukan tombol rahasia." "Yaa, kelihatannya memang begitu." Sahut Tian Mong"pek sambil menghela napas.
"Kalau begitu kau....
cepat pergi, kalau tidak bakal terlambat." Desak Siau Hui-uh sambil menghentakkan kakinya.
"Kalau harus pergi, kita pergi bertiga, kalau tidak....." Siau Hui-uh benar benar girang bercampur terharu, katanya kemudian: "Yaa sudah, ayoh jalan, ayoh jalan, akan kutemeni dirimu .
. . . .. Tapi belum selesai bicara, tak tahan dia sudah tertawa cekikikan.
"Nah begitu baru betul....." kata Tian Mong-pek tertawa, "nona Tong, mari kita pergi!" Selama kedua orang itu berbincang, Tong Hong sengaja tidak menengok kearah mereka, namun perasaan hatinya betul betul jengkel dan mendongkol.
Waktu itu sebetulnya dia sudah gigit bibir dan bertekad tak akan menolong, namun begitu mendengar kata yang begitu lembut: "mari kita pergi", kata "kita" langsung membuat perasaan hatinya jadi lembek kembali.
Akhirnya setelah menghela napas sedih, gumamnya: "Aaai.....
musuh cinta.... musuh cinta . .



. . .." setelah meraba dinding batu yang datar berapa saat, benar saja, sebuah pintu segera terbuka.
Melihat itu, Tian Mong-pek menghela napas panjang, katanya: "sungguh tak disangka alat rahasia dari keluarga Tong benar benar sempurna..." Dia berusaha bangkit, tapi baru berjalan berapa langkah, tubuhnya sudah terhuyung dan roboh kembali.
Tak tahan Siau Hui-uh serta Tong Hong sama sama memayangnya, tapi setelah saling bertukar pandangan, merekapun sama sama lepas tangan.
sambil tertawa getir, dengan sempoyongan Tian Mong-pek masuk ke ruang rahasia.
"Silahkan nona Siau." Kata Tong Hong sambil tertawa dingin.
Siau Hui-uh pura pura tidak mendengar, dia langsung menerobos masuk ke dalam.
Waktu itu dari atas meja altar telah terbuka sebuah celah, dengan wajah berubah Tong Hong segera menyelinap masuk, tangannya menekan lagi diatas dinding, celah tadipun segera tertutup rapat tanpa meninggalkan jejak.
Saat itu terdengar suara So Kin-soat yang lembut sedang berseru: "Tian kongcu, nona Siau, pintu sudah terbuka, silahkan kalian berdua segera keluar!" sudah jelas dia takut kalau dalam ruangan masih ada jebakan lain, sehingga tak berani masuk secara sembarangan, tapi saat itu Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek sudah menyingkir ke balik dinding batu, tak mendengar lagi suara panggilannya.
Dibelakang dinding granit merupakan sebuah lorong bawah tanah, dikedua sisi dinding penuh dengan lampu tembaga yang memancarkan cahaya.
Lorong itu berliku liku dan dalamnya tak terukur, dari kokohnya bangunan disana dapat diduga kalau tempat itu luar biasa.
"Aaai, sungguh tak disangka ditempat ini masih terdapat dunia lain." Puji Tian Mong-pek sambil menghela napas.
"Kesemuanya ini dibangun oleh ayahku." Jawab Tong Hong sambil menunjukkan perasaan bangga.
Pada mulanya Tian Mong-pek menganggap si Tangan pencabut nyawa Tong Ti hanyalah manusia biasa yang tak punya kemampuan apa apa, setelah mendengar perkataan itu, dia baru sadar bahwa orang itu sangat lihay hanya penampilannya saja yang bersahaja.
sambil mencibir kata Siau Hui-uh: "Huh, biarpun tempat ini bagus, tapi kalau dibandingkan lembah kaisar....
hehehe.... masih ketinggalan jauh, rasanya tak perlu kujelaskan pun kau sudah tahu." Tong Hong jadi marah, serunya: "Kalau kau anggap tempat ini jelek, lebih baik tak usah kau lewati." Siau Hui-uh berkerut kening, tapi sebelum mengucapkan sesuatu, Tian Mong-pek sudah membentak: "Sst, diam!" Sebetulnya dia sengaja membentak karena kuatir dua orang itu timbul cekcok mulut, siapa tahu baru saja Siau Hui-uh dan Tong Hong tutup mulut, dari lorong sebelah depan sudah terdengar suara langkah manusia yang rendah dan berat.
Ke tiga orang itu berubah wajah dan cepat bersembunyi dibalik kegelapan, ketika mengintip keluar, terlihat ada tiga orang sedang berjalan mendekat dari lorong bawah tanah sisi lain, orang yang berjalan dipaling depan tak lain adalah si Tangan pencabut nyawa Tong Ti.
Tentu saja ke tiga orang itu tidak menduga kalau dalam lorong bawah tanah yang rahasia itu masih ada orang lain, karenanya mereka meneruskan langkahnya tanpa perhatian, otomatis tidak mengetahui jejak dari Tian Mong"pek bertiga.
Namun apabila ke tiga orang itu berjalan lurus ke depan, niscaya jejak Tian Mong-pek bertiga susah lolos dari pengamatan mereka.
Tian Mong-pek mengerti, mengintip rahasia orang lain merupakan perbuatan yang tak pantas, jika si Tangan pencabut nyawa Tong Ti mengetahui kehadirannya disitu, sudah pasti dia akan dicap sebagai mata mata.
Kalau sampai begitu, biar dia melakukan pembelaan dengan Cara apapun, sudah pasti tak ada gunanya.
Diam diam dia genggam tangan Siau Hui-uh, mereka berdua merasa peluh dingin telah mengucur keluar.
Tentu saja mereka tak tahu kalau Tong Hong jauh lebih ketakutan hingga peluh bercucuran bagai hujan.
siapa tahu, ketika berjalan sampai separuh jalan, tiba tiba Tong Ti menghentikan langkahnya dan menekan sesuatu diatas dinding, ternyata didalam lorong rahasia itu dilengkapi pula dengan ruangan rahasia.
Siapa tahu, ketika berjalan sampai separuh jalan, tiba tiba Tong Ti menghentikan langkahnya dan menekan sesuatu diatas dinding, ternyata didalam lorong rahasia itu dilengkapi pula dengan ruangan rahasia.
Terdengar suara gesekan lirih, Tong Ti bertiga sudah menyelinap masuk ke dalam, namun dinding itu tidak merapat, menyisakan secerca cahaya lentera yang memancar keluar dari balik ruang rahasia.
Tian Mong-pek bertiga saling bertukar pandangan, biarpun tidak berkata-kata, mereka mempunyai pikiran yang sama: Bila mereka bertiga ingin keluar dari lorong rahasia, artinya harus melewati pintu rahasia tersebut, namun tak dijamin jejak mereka tidak ketahuan Tong Ti.
sebaliknya bila harus menunggu disana, mereka pun tak tahu sampai kapan Tong Ti baru tinggalkan tempat itu.
Apalagi pemuda berjubah panjang tadi berhasil menemukan pintu masuk diatas meja altar, itu berarti menemukan jalan masuk menuju lorong bawah tanah ini sudah tinggal masalah waktu.
Berpikir bolak balik, ke tiga orang itu jadi bingung dan berdiri kaku, didepan tiada jalan, di belakang pasukan musuh mengejar, lalu apa yang harus dilakukan sekarang" Terdengar suara dari si Tangan pencabut nyawa Tong Ti lamat lamat berkumandang keluar dari balik ruang rahasia, katanya" "Kentongan pertama nanti kalian berdua segera berangkat, hantar kotak ini sampai di Kun-san tepi telaga Tong-ting, sepanjang jalan tak boleh mencari gara gara, terlebih minum arak sampai mabuk, mengerti?" Biarpun suaranya rendah, karena suasana disekeliling tempat itu hening, Tian Mong-pek bertiga dapat mendengar dengan sangat jelas.
Sekali lagi Tian Mong-pek merasa terkesiap, pikirnya: "Lagi lagi bukit Kun-san ditepi telaga Tong-ting, jangan jangan Tong Ti punya hubungan dengan So Kin-soat?" Terdengar dua orang itu mengiakan dengan sikap hormat.
Kembali Tong Ti berkata: "Urusan ini mempunyai kepentingan yang luar biasa, sewaktu berangkat nanti, ingat, jangan sampai diketahui orang ke tiga." "Hamba akan berhati hati." Sahut salah seorang diantaranya.
"Aku tahu kalian berdua cekatan dan pintar, karena itulah urusan penting ini kuserahkan kepada kalian.
Tapi bila kamu berdua sampai gagal melaksanakan tugas, lebih baik jangan pulang menghadap aku dalam keadaan hidup." "Hamba paham." Kembali Tong Ti menambahkan: "Kotak itu sudah disegel, jadi kalian berdua jangan mencoba untuk mengintip, bila berhasil sukses, kalian boleh ambil lima ratus tahil dari bukit Kun-san untuk berfoya foya, tak perlu buru buru pulang." "Terima kasih loya." Seru kedua orang itu kegirangan.
"Sekarang akan kubuatkan sepucuk surat dan kalian berdua bawa serta, kemudian kalian boleh menunggu disini bersama aku hingga kentongan pertama nanti, disini ada arak, kalian berdua boleh minum sesukanya." Kembali kedua orang itu menyahut dengan hormat, menyusul kemudian terdengar suara orang menulis surat .
. . . . .. Tian Mong-pek merasa ngeri, curiga bercampur girang, girang karena secara tak disengaja telah mendengar rahasia itu, curiga apa gerangan benda yang ada didalam kotak, mengapa punya sangkut paut dengan masalah besar dan mengapa harus dikirim ke bukit Kun-san di tepi telaga Tong-ting" Ngeri karena bila Tong Ti tahu kalau dia sudah mendengar rahasia ini, sudah pasti tak bakal melepaskan dirinya dengan begitu saja.
Kalau sampai begitu, bukankah kondisinya akan bertambah bahaya" Maka bagaimana pun juga, kehadirannya disana tidak boleh sampai ketahuan Tong Ti.
Sesudah berpikir berulang kali, diapun ambil keputusan, ketimbang ambil resiko dengan menanti disitu bahkan harus bersiap menghadapi kejaran So Kin-soat, jauh lebih baik menyerempet bahaya dengan menerjang keluar dari situ, karena kesempatan untuk lolos jauh lebih besar.
Diam diam dia menjawil lengan Siau Hui-uh, dilihatnya gadis itu sedang menatap balik kegelapan dengan mata bersinar.
Tian Mong-pek tertawa geli, dia tahu jalan pikiran gadis itu persis sama seperti pikirannya, mereka berdua saling bertukar pandangan sekejap, begitu seia sekata, tanpa banyak bicara lagi diam diam mereka mulai bergeser maju.
Tong Hong sangat terkejut, namun dia tidak berusaha menghalangi, tanpa bicara dia mengikuti di belakang mereka berdua.
Dengan hati hati ke tiga orang itu berjalan sampai disisi pintu ruang rahasia, terdengar dari balik ruangan seseorang sedang berkata: "Loya, silahkan minum secawan." Mendadak Siau Hui-uh gigit bibir, dia bopong tubuh Tian Mong-pek lalu memberi tanda kepada Tong Hong.
Tong Hong pun gigit bibir, mereka bertiga serentak menerjang kearah luar.
Saat itu si Tangan pencabut nyawa Tong Ti yang berada dalam ruang rahasia sedang siap menulis surat, ketika melihat bayangan berkelebat diluar pintu, dia segera membuang pit sambil membentak: "Celaka! Diluar ada orang, kejar!" Dengan kecepatan luar biasa dia langsung menyelinap keluar dari pintu, betul saja, didepan sana ia jumpai ada dua sosok bayangan manusia menyelinap lewat, hanya saja tidak terlihat jelas siapakah mereka" Kedua orang lainnya ikut melompat keluar, paras muka mereka berubah jadi pucat pias.
Dengan suara berat ujar Tong Ti: "Rencana terjadi perubahan, cepat ambil kotak itu dan segera ikut aku berangkat, diluar sudah disiapkan penjagaan, siapapun kedua orang itu, jangan harap bisa lolos dari sini." Sementara berbicara, tubuhnya sama sekali tak berhenti, secepat angin dia melakukan pengejaran.
Sementara itu Siau Hui-uh bertiga telah tiba diujung lorong, Tong Hong segera maju ke depan, sayang dalam gugup dan paniknya, untuk sesaat dia gagal menemukan tombol rahasia itu.
Terdengar suara bentakan Tong Ti makin lama semakin mendekat, hampir saja jantung Siau Hui-uh melompat keluar dari dadanya, dia telah memandang keselamatan Tian Mong-pek jauh lebih penting dari keselamatan nyawa sendiri.
"Aah, ketemu." Tiba tiba Tong Hong berbisik.
"Cepat.... cepat....." bisik Siau Hui-uh kegirangan.
Tampak jari tangan Tong Hong gemetar keras, dia seolah kehilangan seluruh tenaganya untuk menekan tombol rahasia itu, sementara suara kejaran Tong Ti sudah semakin mendekat.
Siau Hui-uh merasa pandangan matanya jadi gelap, ternyata peluh dingin telah membasahi matanya.
Tiba tiba cahaya terang melintas, pintu keluar telah terbuka.
Bagaikan mendapat pengampunan, Siau Hui-uh bertiga segera melompat keluar dari bawah lorong.
Tapi begitu memandang keadaan disekeliling sana, kembali mereka bertiga mengeluh.
"Aduh celaka!" Rupanya disekeliling lapangan terlihat ada puluhan lelaki bersenjata golok yang sedang melakukan patroli diseputar sana, hanya saja kawanan lelaki itu tidak mengira kalau musuh bakal keluar dari lorong bawah tanah, maka tubuh dan pandangan mereka terarah keluar dan tidak sampai melihat kehadiran Siau Hui-uh bertiga.
Dibagian depan sana, meski tak ada pasukan ronda, namun terdengar suara ringkikan kuda serta kerumunan kuda dalam jumlah yang banyak.
Perlu diketahui, sebagian besar tamu undangan yang datang kondangan di keluarga Tong, hampir semuanya menunggang kuda, tempat ini merupakan istal tempat menampung kuda kuda para tamu yang datang dari empat penjuru.
Bisa dibayangkan betapa berjubelnya istal tersebut sehingga mustahil bagi awam untuk melewatinya.
oleh karena itulah biarpun disitu tak ada pasukan ronda, namun keadaannya jauh lebih berbahaya.
Siau Hui-uh menyapu sekejap seputar sana, dengan cepat dia sadar kalau dari muka belakang sudah terkepung musuh, untuk bisa lolos dari sana hari ini, jelas jauh lebih susah daripada naik ke langit.
Terdengar Tong Ti yang masih berada dalam lorong bawah tanah berteriak keras: "Jangan biarkan mata mata itu lolos." Serentak kawanan penjaga itu menoleh dengan kaget, lalu sambil meloloskan senjata serentak menyerbu maju.
Tong Hong kuatir identitasnya dikenal orang, ternyata dia tidak berusaha kabur ataupun menyongsong kedatangan musuh, sebaliknya menutupi wajahnya dengan tangan.
Siau Hui-uh terlebih tak berani melepaskan tubuh Tian Mong-pek, tiba tiba dia menjejakkan kaki lalu menerjang ke tengah kerumunan kuda.
Tong Hong yang terdesak pun tak punya pilihan lain, dalam keadaan begini, liang berisi kobaran api pun akan dilompati, apalagi hanya gerombolan kuda, cepat dia menyusul dari belakang.
Dalam pada itu Tong Ti sudah muncul keatas permukaan, segera bentaknya: "Kedua orang itu kabur menuju ke tengah gerombolan kuda, rupanya mencari jalan kematian, cepat perintahkan pemanah untuk bersiap sedia, jangan lepaskan seorangpun." seorang lelaki kekar segera berteriak: "Dalam istal kuda tersusup mata mata, para pemanah siap perintah di empat penjuru, asal ada yang berusaha kabur dari dalam istal, segera lepas panah." Istal kuda itu hanya dibatasi dengan tali, sebetulnya tiada penjaga disekelilingnya, tapi begitu perintah diturunkan,dari empat arah delapan penjuru segera bermunculan bayangan manusia.
Siau Hui-uh sendiripun sadar kalau dia sudah kabur masuk ke jalan buntu, tapi saat ini takada pilihan lain baginya, maka keputusannya kalau bisa bersembunyi sesaat, kenapa tidak dicoba.
Namun dia cukup paham akan kelihayan senjata rahasia keluarga Tong, maka gadis itu berusaha untuk menghindari berjalan diatas punggung kuda.
Begitu masuk ke tengah gerombolan kuda, diapun menyusup ke bawah perut.
Sebagaimana diketahui kawanan kuda yang parkir ditempat itu luar biasa banyaknya, diantara rerumputan, kotoran kuda berserakan dimana mana, bau busuk sangat menusuk penciuman.
Mereka bertiga yang sembunyi dibawah perut kuda merasa kepanasan, sumpek, bau bercampur kuatir dan takut, bahkan setiap saat harus waspada agar tubuh mereka tidak terinjak kawanan kuda itu, bisa dibayangkan rasa mereka waktu itu tak terlukiskan dengan kata.
Padahal sejak kecil Siau Hui-uh sudah hidup manja, belum pernah dia alami siksaan semacam ini.
Namun demi Tian Mong-pek, demi luka yang diderita pemuda itu, dia seolah sudah melupakan semua penderitaan, sudah tidak merasakan semua siksaan, berulang kali dia bantu pemuda itu menyeka keringat, bahkan sambil bertanya: "Apakah kau sudah baikan" Apakah kau tahan dengan udara dan bau seperti ini?" Tian Mong-pek merasa sangat terharu, dia jadi sesenggukan hingga tak sanggup menjawab.
sebaliknya Tong Hong segera mendengus sambil berkata: "Tidak tahan dengan bau disinipun harus tahan." Siau Hui-uh tahu, nona itu lagi lagi dibakar api cemburu, dia berlagak tidak mendengar, katanya lembut: "Apakah lukamu masih sakit" Atau sudah baikan?" "Toh akhirnya bakal mati," kembali Tong Hong mengejek sambil tertawa dingin, "lukanya membaik atau tidak, sudah tak penting lagi." Siau Hui-uh sama sekali tidak memandang kearahnya, dengan badan sendiri dia lindungi Tian Mong-pek, lalu ujarnya lagi: "Kalau kau sudah tak tahan dengan bau disini, lebih baik.....
lebih baik bau badanku saja, bagaimana pun tubuhku jauh lebih harum daripada kotoran kuda." Dia berusaha untuk tertawa, namun dalam situasi dan kondisi seperti ini, mana mungkin dia bisa tertawa" Bukan senyuman yang muncul, sebaliknya air mata justru berlinang membasahi wajah Tian Mong-pek.
Pada awalnya, Tian Mong-pek menganggap gadis ini binal dan latah, sama sekali tak disangka ternyata ia begitu halus, hangat dan lembut, tak tahan sahutnya sambil menghela napas: "Sudah seharusnya aku berterima kasih kepada kotoran kuda ini." "Apa.....
apa kau bilang?" "Kalau bukan lantaran kotoran itu, mana mungkin kau bersikap begitu lembut kepadaku." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa paksa.
Kontan saja Siau Hui-uh tertawa.
"Masa dahulu aku tidak lembut?" Perlahan dia bersandar ditubuh Tian Mong-pek dan tidak mau bangun lagi.
Ringkikan kuda di empat penjuru bertambah ramai, hawa pembunuhan terasa makin pekat, namun bagi mereka berdua, disaat cinta kasih mulai mengalir keluar untuk pertama kalinya, situasi dan kondisi saat ini justru surga bagi mereka, ringkikan kuda pun telah berubah jadi musik dewa.
sampai lama, lama kemudian, Tian Mong-pek baru berkata lagi sambil menghela napas: "Watakku memang tidak baik, dulu, aku sering menyiksamu, tapi dikemudian II hari.....
dikemudian hari . . . . .. Mendadak dia teringat kembali kalau situasi yang mereka hadapi saat ini sangat berbahaya, mana mungkin ada dikemudian hari" Karenanya kata selanjutnya tidak diteruskan lagi.
Tangisan Siau Hui-uh semakin menjadi, namun dia semakin rapat bersandar ditubuh pemuda itu.
Mendadak terdengar Tong Hong menghela napas dengan nada getir, lalu gumamnya: "Masih menyinggung soal dikemudian hari, bagiku, asal ada kesempatan sesaat saja untuk merasakan hal seperti ini, biar segera mati pun aku ikhlas." Gadis itu membayangkan kembali nasib yang menimpa dirinya selama ini, biarpun sejak kecil hidup manja, apa pun yang diharapkan segera terwujud, padahal dia benar benar merasa kesepian, tak heran kalau tak tahan dia mengungkap suara hati sendiri setelah menyaksikan kasih cinta kedua orang itu.
Siau Hui-uh jadi termangu, diam diam pikirnya: "Orang lain sangka dia yang hidup dalam keluarga kenamaan pasti gembira dan bahagia.
siapa sangka nasibnva begitu memedihkan dan tragis?"
Siau Hui-uh jadi termangu, diam diam pikirnya: "orang lain sangka dia yang hidup dalam keluarga kenamaan pasti gembira dan bahagia, siapa sangka nasibnya begitu memedihkan dan tragis?" Berpikir begitu, tanpa terasa tumbuh rasa simpatik dihati kecilnya, ia segera berpaling, menyeka air mata dan berkata: II "Kemarilah kau, mari kita bertiga .
. . . . .. Tiba tiba Tong Hong menarik muka, katanya sambil tertawa dingin: "Kalian berdua ibarat memetik kecapi dibawah pohon pare, mencari kegembiraan ditengah kepahitan, aku mah ogah menemani, toh kita semua bakal mati, lebih baik manfaatkan kesempatanmu untuk bermesraan!" Siau Hui-uh menghela napas panjang.
"Aaai, aku tahu, sesungguhnya kau adalah orang yang sangat sangat baik dan mulia, hanya sering sengaja mengucapkan kata kata yang bikin sakit hati orang, siapa pula yang tahu ketika kau mengucapkan perkataan tadi, sesungguhnya hatimu jauh lebih sedih daripada orang lain" Tapi sekarang kau tak bakal bisa membohongi aku, aku tahu, biar setiap katamu dingin, padahal hatimu itu hangat." Tong Hong tertegun, sepasang matanya mulai berkaca kaca, mendadak teriaknya keras: "Siapa bilang hatiku hangat, hatiku.....
hatiku sudah mati sejak dulu." Biarpun suaranya keras, namun tak dapat menutupi kepedihan hatinya.
Tak tahan Siau Hui-uh membelai bahunya sambil berbisik: II "Nona Tong, kau .
. . . . .. "Pergi, pergi . . . . .." teriak Tong Hong lagi sambil memukul tanah, "aku....
aku tak ingin kau mengasihani aku .
. . . .. tak mau siapa pun mengasihani aku .
. . . .." Akhirnya dia mendekam ditanah dan menangis tersedu sedu.
Suara teriakan dan bentakan yang berasal dari empat penjuru terdengar makin lama semakin santar, ringkikan kuda yang ramai membuat suasana ibarat genderang perang yang dipukul bertalu talu, ditambah lagi hembusan angin barat yang kencang, isak tangis Tong Hong yang memilukan, benar benar membuat suasana disana tak terbayangkan.
Tiba tiba terdengar Tian Mong"pek menjerit kaget: "Celaka, kawanan kuda mulai bubar." Dengan kaget Siau Hui-uh berpaling, betul saja, kawanan kuda itu sudah makin menyebar keluar, jelas orang orang keluarga Tong telah melepas tali batas kadang kuda itu.
"Menyedot air menangkap ikan .
. . . . . .. satu siasat yang betul betul keji." Gumam Tian Mong-pek lagi.
Siau Hui-uh tercekat, sedang Tong Hong segera bertanya: "Apa itu menyedot air menangkap ikan?" "Bila air dalam kolam disedot keluar hingga kering, bukankah ikan didalam kolam jadi tak bisa bergerak dan terpaksa ditangkapi nelayan satu per satu." "Aaah betul," sahut Tong Hong seperti baru paham, "bila mereka mengusir kawanan kuda itu dan sang kuda sudah bubar, bukankah tempat persembunyian kita jadi terbuka dan menunggu ditangkap." Sebetulnya gadis itu merasa gembira karena berhasil menebak maksud dari siasat itu, tapi begitu teringat kalau orang yang bakal tertangkap adalah dirinya, hilang sudah semua rasa gembiranya.
Dengan sedih ia tertunduk dan tidak berbicara lagi.
Lama sekali ke tiga orang itu terbungkam, mendadak Tian Mong"pek menghela napas sambil bergumam: "Alangkah baiknya kalau ada api." Siau Hui-uh memandang sekejap sekeliling tempat itu, melihat kawanan kuda yang berkumpul kelewat padat hingga untuk membubarkan mereka jadi sangat lambat, diapun manggut manggut sambil menghela napas.
"Benar, kalau ada api, urusan pasti beres." Tong Hong melongo tak habis mengerti, tak tahan tanyanya: "Teka teki apa yang sedang kalian mainkan?" Sahut Siau Hui-uh sambil tertawa getir: "Jika kita bisa membuat kawanan kuda itu lari kesetanan, maka dengan menempel dipunggung mereka, kita bisa manfaatkan situasi kacau itu untuk kabur, meski mereka sangat lihay, mustahil orang orang itu bisa menghadang larinya kuda, apalagi kuda disini begitu banyak, dengan kekuatan kita tiga....
dua orang, ingin membuat kuda kuda itu panik rasanya seperti membuang batu ditengah samudra, menimbulkan riak pun tak sanggup, tapi....
tapi bila ada api . . . . .. asal ada api..... aaai!" sambil menghela napas Tong Hong gelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya: "selama ini aku sangka diriku ini pintar, siapa tahu bila dibandingkan II kalian, aku jadi lemot (lemah otak), tapi .
. . . . . .. Mendadak ia tertawa, katanya lagi: "Namaku ini Hui-hong-hong si burung hong api, jelas namaku bukan asal nama." "Jadi kau punya api?" tanya Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek kegirangan.
Tong Hong manggut manggut, dari dalam saku dia mengeluarkan sepuluh butir peluru berwarna hijau sebesar kelereng, katanya: "Beruntung senjata rahasia ini merupakan hasil ramuanku sendiri, karena itu tidak sampai mereka sita." Bicara sampai disitu dia agak sesenggukan, tapi dengan cepat lanjutnya: "Asal kita lempar ke atas tanah, akan muncul lidah api diseputar sana." Siau Hui-uh menerima beberapa butir peluru itu, katanya kegirangan: "Tempat ini dipenuhi rumput kering dan kotoran kuda, begitu api berkobar, siapa pun jangan harap bisa memadamkannya kembali." Pada saat itulah dari luar arena terdengar seseorang membentak keras: "Kalian tak bakal lolos, lebih baik menyerahkan diri saja secara baik baik, dengan begitu locu sekalian masih akan memberi sedikit kenyaman kepada kalian, kalau tidak, hehehe....
dosa kalian bakal semakin besar." Kawanan manusia itu mengira Siau Hui-uh sekalian sudah menjadi ikan dalam jaring, karenanya siapa pun enggan menyerempet bahaya dengan menelusuri kawanan kuda, mereka memilih lebih baik menunggu diluar arena sambil menyaksikan buronannya terperangkap.
Namun sayang kawanan kuda yang berkumpul disitu kelewat banyak, area tanah pun kelewat kecil, sehingga membubarkan kuda kuda itu berjalan sangat lamban.
Mungkin saja orang orang keluarga Tong tak ingin kawanan kuda itu jadi kaget dan panik, sehingga tak berani membubarkan terlalu Cepat.
II "Kalian Cepat naik keatas kuda, cepat....
cepat..... seru Tong Hong. setelah membantu Tian Mong-pek naik ke punggung kuda, tiba tiba Siau Hui-uh bertanya: "Kami naik kuda, bagaimana dengan kau?" Tong Hong tertawa sedih, katanya: "Ditempat ini ada begitu banyak kuda, bila api muncul dibagian belakang, yang bagian depan belum tentu tahu.
Dengan menung gang dipunggung kuda, bila kawanan kuda dibagian depan tiba tiba melambat, kalian tetap tak bakal bisa kabur, jadi aku harus menyulut api juga dibagian belakang." "Mana boleh begitu, kalau harus pergi, kita pergi bersama." seru Siau Hui-uh sambil menghentakkan kakinya.
"Betul, kalau harus pergi, kita pergi bersama." Imbuh Tian Mong-pek.
Tong Hong menggeleng, katanya sambil tertawa sedih: "Bisa mendengar perkataan kalian ini, aku sudah merasa puas sekali, selama hidup aku hanya tahu memikirkan diri sendiri, sekarang sudah saatnya untuk memikirkan orang lain." "Tapi...
tapi....." "Cepat, cepat pergi, aku tidak masalah.
Pepatah bilang: sekejamnya seekor harimau, dia tak akan menerkam anak sendiri.
Sekalipun aku berhasil ditangkap ayah, masa dia betul betul akan membunuhku?" Siau Hui-uh merasa perkataan itu ada benarnya juga, apalagi ia saksikan kawanan kuda disana sudah mulai menipis hingga diarea tengah sudah muncul lapangan seluas berapa kaki, maka katanya setelah sangsi sejenak: "Kalau begitu, kami.....
kami....." "Kalau masih belum pergi, kalian ingin kita bertiga benar benar mati bersama?" seru Tong Hong jengkel.
Tiba tiba air mata jatuh berlinang membasahi wajah Siau Hui-uh, katanya: II "sudah berulang kali kau selamatkan kami.....
aku.... aku..... Mendadak iganya jadi kaku, ternyata Tong Hong sudah menotok jalan darahnya.
Terdengar Tong Hong berkata: "setelah berpisah hari ini, semoga lain waktu dapat bersua kembali, asal kalian jangan.....
jangan lupa . . . . . .. Cepat dia menarik seekor kuda dan menghantar Siau Hui-uh serta Tian Mong-pek ke atas punggung binatang itu.
II Nona Tong..... seru Tian Mong-pek panik.
Tong Hong berlagak tidak mendengar, sambil menggigit bibir, dia lempar berapa butir peluru hijau itu ke tanah, seketika itu juga terjadi kebakaran hebat diatas padang rumput, ringkikan kuda bertambah ramai, suasana jadi gaduh.
Kuda yang ditarik Tong Hong ikut meringkik sambil angkat kaki depannya, nyaris Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek terjatuh dari atas pelana.
saat itulah Tong Hong menepuk bebas jalan darah ditubuh Siau Hui-uh lalu menghantam perut sang kuda.
Diiringi ringkikan kesakitan, kuda itu segera berlarian kalap menuju ke depan.
"Pergilah," teriak Tong Hong, "sampai jumpa lain waktu....." Air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Begitu jalan darahnya bebas, Siau Hui-uh tak sempat memikirkan yang lain, dia segera peluk tubuh Tian Mong-pek erat erat.
Sebenarnya dia masih berniag menunggu, tapi kuda itu sudah berlarian kalap dan susah dikendalikan tadi, dari arah belakang dia hanya mendengar seruan dari Tong Hong, lalu suasana kegaduhan pun mulai terjadi....
Kobaran api dibagian belakang makin lama semakin membesar, jelas Tong Hong tiada hentinya menyebar senjata rahasia apinya, mungkin dia ingin menggunakan jilatan api yang panas itu untuk melumat kesedihan hatinya.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berdiri dengan sikap dingin tapi serius, dia mengatur anak buahnya membubarkan kuda, menyiapkan jala untuk menangkap buronan.
Jaring yang dia siapkan sesungguhnya merupakan sebuah jaring senjata rahasia, murid keluarga Tong yang menggembol golok, hampir semuanya menggembol kantung senjata rahasia dipinggangnya, isi kantung itu jelas merupakan senjata rahasia paling mematikan.
Sekawanan lelaki kekar lainnya, walaupun belum mendapat pelajaran senjata rahasia, namun mereka semua dilengkapi dengan busur beracun bikinan khas keluarga Tong.
Busur yang sering dipakai suku Biau untuk berburu diwilayh itu tak lain merupakan busur sejenis yang digunakan keluarga Tong.
Bukan saja amat beracun, harimau ganas pun tak tahan bisa terkena bidikan, bila manusia biasa yang tersambar lecet, tak sampai berapa saat, sang korban pasti akan tewas mengenaskan.
Meski bukan senjata andalan keluarga besar ini, namun keganasan busur beracun mereka betul betul menakuskan.
sambil bergendong tangan seru si Tangan pencabut nyawa Tong Ti: "Jangan biarkan mata mata itu lolos, mati hidup mereka harus ditangkap." Belum selesai dia bicara, tiba tiba dari balik lorong rahasia dibelakangnya terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "siapa itu mata matanya?" Tong Ti sangat terperanjat, Cepat dia membalikkan tubuh sambil membentak: "siapa?" "Masa kau sudah tidak kenali suaraku lagi?" "Hah, kau?" seru Tong Ti tercengang.
setelah memandang sekeliling tempat itu sekejap, bentaknya: "Perketat penggeledahan, jangan sampai lolos!" Kemudian dia langsung melompat masuk ke lorong bawah tanah.
Tampak So Kin-soat sambil tersenyum manis bersandar didinding pintu masuk, sepasang tangannya yang putih lentik meraba ikat pinggangnya yang warna warni dengan lembut.
"Kenapa kau kemari?" bisik Tong Ti, jelas perasaan hatinya bergolak hingga suara pun jadi serak.
"Kenapa aku tak boleh kemari?" "Tahu kalau kau akan datang.....
aaai, tadi aku telah perintahkan dua orang murid andalanku untuk segera menghantar barang itu ke tempatmu." "Masih bisa dikejar?" senyuman dibibir So Kin-soat tiba tiba lenyap.
"Tak terkejar lagi, aaai....
semua ini kelewat kebetulan." Tong Ti menghela napas.
"Sebenarnya aku datang karena benda itu, Koan-ji pun sudah kutemukan, coba kalau bukan dia, tak mungkin kutemukan jalan masuk menuju ke lorong rahasiamu ini!" "Ooh, diapun datang, dimana sekarang?" Tong Ti berseru tertahan.
"Masih ada yang lain lagi, aku melarang mereka ikut kemari." "Kalau begitu kaupun Cepat kembali," bisik Tong Ti dengan suara berat, "kalau sampai ketahuan murid perguruanku, urusan jadi tak leluasa, tengah malam nanti aku akan berusaha untuk bertemu lagi dengan mu." So Kin-soat tertawa.
"Aku tahu . . . . .. tahukah kau, siapakah dua orang mata mata yang berhasil kabur lewat tempat ini" Aaai, selama hidup jangan harap kau bisa menebaknya." "siapa mereka" Cepat katakan." "Tian Mong-pek, Siau Hui-uh serta putri kesayanganmu itu." Sekujur tubuh Tong Ti bergetar keras, setelah tertegun berapa saat, katanya dengan benci: "Aku sedang heran, kenapa orang lain bisa memasuki lorong bawah tanahku, ternyata perempuan rendah itu yang berhianat, pagar makan tanaman." Belum selesai dia bicara, tiba tiba dari luar lorong terden gar orang berteriak panik: ll "Api....
api..... kebakaran..... Menyusul kemudian terdengar kekalutan diluar, teriakan manusia, ringkikan kuda, derapan kaki yang ramai menggema diseluruh penjuru.
Berubah paras muka Tong Ti, bisiknya: "Hati hati jejakmu.
Cepat dia melompat keluar dari lorong, kemudian sambil rentangkan lengan, teriaknya lantang: "Siapkan senjata rahasia, perhatikan punggung kuda, lebih baik bunuh setiap ekor kuda yang dijumpai daripada membiarkan mereka kabur dari sini .
. . . . .. Sekalipun ditengah suara kegaduhan, teriakan itu terdengar nyaring dan jelas.
Bab 46. Cinta ditengah api yang membara.
Kobaran api yang membara membakar seluruh permukaan padang rumput, ringkikan kaget kawanan kuda, ibarat air yang menjebol bendungan, menggulung keluar sedahsyat ombak samdra.
Anak murid keluarga Tong dengan tangan kanan menggenggam golok, tangan kiri mengenakan sarung tangan kulit menjangan, berteriak keras: "Lebih baik bidik mati kuda kuda itu daripada membiarkan mereka kabur dari sini." Anak panah beracun segera siap dibidikkan.
Tapi sayap asap dan api membumbung tinggi ke angkasa, debu dan pasir beterbangan menyelimuti udara, membuat mata terasa pedas dan susah melihat, jangan lagi memeriksa apakah dipunggung kuda ada orangnya, mendengar suara teriakan pun amat sulit.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti menghentakkan kakinya berulang kali karena jengkel, tiba tiba dengan gerakan It-hong-jiong-thian (bangau sakti tembus ke langit) dia melesat ke udara.
Disisi tebing bukit berdiri sebuah tiang bendera yang terbuat dari bambu, tingginya empat kaki, diujung tiang terikat selembar panji berwarna kuning yang berkibar terhembus angis, pada panji itu bertuliskan: "Area pemeliharaan kuda" Itulah petunjuk bagi para tamu yang datang kondangan untuk memparkirkan kuda tunggangannya.
Berada ditengah udara, Tong Ti bersalto beberapa kali, dengan menggunakan ilmu Ti-hun-jiong (tangga menuju awan) yang merupakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, dia melompat naik sampai setinggi empat kaki dan mencapai puncak tiang.
Sejauh mata memandang, ia saksikan kawanan kuda bagaikan air bah mengalir keluar dengan kecepatan luar biasa.
Biarpun asap api menyelimuti angkasa, namun dengan berdiri dipuncak tiang, ia dapat menyaksikan semua pemandangan dibawah dengan jelas.
Tiba tiba terlihat kilatan cahaya yang memantul dari salah seeekor kuda, dalam sekilas pandang, dia tahu, cahaya itu berasal dari pantulan baju sutera.
"Ada disana." Tong Ti segera berteriak kegirangan.
Serentak para murid keluarga Tong bereaksi, beribu ribu batang anak panah serentak dibidikkan kearah yang ditunjuk.
Terdengar desingan angin tajam membelah angkasa dan menggema tiada putusnya.
Begitu serangan hujan panah berlalu, pemandangan ditempat itu terlihat semakin mengerikan, kawanan kuda didepan yang terkena panah seketika roboh berserakan dimana mana dan tak mampu bangun, sementara rombongan kuda di belakangnya menerjang makin tak terkendali.
Kuda kuda yang terluka pun langsung terinjak hingga hancur tak karuan.
Suara hujan panah, jilatan api yang membara, hembusan angin yang semakin kencang, ditambah suara bentakan dan ringkikan kesakitan kuda kuda yang sekarat, semuanya ini membentuk satu pemandangan yang mengerikan.
Berapa orang murid keluarga Tong mulai tak tega, mereka mulai mengendorkan serangan, bahkan ada yang telah menghentikan serangannya, tapi Tong Ti justru tertawa makin keras, membuat suasana bertambah mencekam.
Ternyata sebagai ahli senjata rahasia kenamaan, dia memiliki ketajaman mata yang luar biasa, dalam jarak tiga kaki sanggup membidik lalat yang terbang.
Sejak tadi dia sudah melihat kalau kuda yang membawa kilatan baju sutera itu telah terkena panah dan roboh ke tanah, dalam keadaan begitu, biar si penunggang kuda memiliki kemampuan yang luar biasa pun, dapat dipastikan tubuhnya akan terinjak hingga remuk.
"Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek," seru Tong Ti sambil tertawa seram, "jangan salahkan aku bertindak keji dan telengas, siapa suruh kau mencampuri urusanku" Siapa suruh kau selidiki rahasia lohu?" Terlihat anak buah perguruannya mulai melarikan diri ke empat penjuru, ternyata ada berapa orang diantaranya yang mati terinjak kuda, hanya saja jeritan ngeri mereka menjelang kematian sudah tertelan oleh ringkikan kuda yang ramai sehingga tak ada yang mendengar.
Menyaksikan kejadian itu, rekan rekannya jadi pecah nyali dan ketakutan setengah mati, biarpun Tong Ti sudah turunkan perintah tegas, namun bagaimana pun menyelamatkan nyawa jauh lebih penting.
Oleh karena itu tanpa pedulikan perintah lagi, mereka tinggalkan senjata rahasia dan kabur ke empat penjuru.




Bangkai kuda kini sudah membukit, memandang kesemuanya itu, rasa puas melintas diwajah Tong Ti, dia sangat yakin, mayat Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh pasti berada diantara tumpukan bangkai kuda.
Sedari tadi, diapun melihat masih ada sesosok bayangan manusia ditengah lautan api yang melepas api kemana"mana, dia tahu, bayangan manusia itu pasti bayangan putrinya, rasa gusar dan benci semakin menggelora dihatinya.
Ketika melihat jilatan api menggulung ke empat penjuru dan tampaknya telah menggulung pula tubuh putrinya, Tong Ti sama sekali tak bertindak, bahkan niat untuk menolongpun tak ada.
"Paling bagus kalau mati terbakar .
. . . . .. paling bagus kalau mati II terbakar .
. . . . .. gumamnya. Bila disampingnya ada orang yang mendengar ucapan itu, mengetahui kalau dia begitu tega membiarkan putri sendiri mati terbakar, mungkin orang akan bergidik dan ngeri.
Untung saja dia berada dipuncak tiang bendera, disana hanya ada dia seorang.
Dalam pada itu para pelayan dan anggota keluarga Tong telah berdatangan dari empat penjuru, ada yang segera mlempar tali laso untuk menangkap kuda, ada pula yang berusaha memadamkan api.
Tapi padang rumput saat itu sudah terbakar, bagaimana mungkin kebakaran sebesar ini dapat dipadamkan dalam waktu singkat" Kembali ke lorong bawah tanah, Tong Ti menjumpai So Kin-soat berada disitu, maka katanya: "Sudah mati." So Kin-soat sama sekali tidak menunjukkan rasa sedih atau ngeri setelah menyaksikan peristiwa yang luar biasa itu, malah sambil tersenyum balik tanyanya: "Apanya yang mati?" "Mereka bertiga sudah mati." So Kin-soat berkerut kening, setelah termenung lama sekali baru katanya: "Baguslah kalau sudah mati." Masih banyak tamu undangan yang belum bubar, mereka berbondong bondong mendatangi tempat kejadian ketika dikejutkan oleh terjadinya kebakaran, namun apa yang mereka lihat hanya sebatas pemandangan yang mengerikan, sementara apa yang telah terjadi sama sekali tak mengerti.
Ui Hau, Lau-san-sam-gan maupun Tio Beng-teng sekalian tidak tampak diantara para tamu, hanya saja, karena berapa orang itu bukan pusat perhatian, tentu saja tak seorangpun yang memperhatikan mereka.
Kuda yang lari tunggang langgang telah menghalangi jalan lewat para jago, sementara kehadiran para jagopun menghalangi jalan lewat kuda kuda itu, akibatnya suasana bertambah kacau, bahkan ada yang mulai berteriak memanggil kuda tunggangan sendiri.
Sebagaimana diketahui, kebanyakan jago silat telah menganggap kuda tunggangan sebagai rekan sendiri, setelah melihat situasi sekarang, meski merasa kaget namun yang terutama adalah mereka sedih karena kehilangan kuda kesayangannya.
Tong Pa sebagai putra ke tiga keluarga Tong ikut merasa gelisah dan panik, peluh telah membasahi seluruh tubuhnya, dia berlarian ke sana kemari sambil membujuk para tamu agar tidak panik, setelah itu tanyanya kepada salah seorang anak buahnya: "Apa yang telah terjadi" Darimana sumber api itu muncul?" "Hamba juga tidak tahu," jawab lelaki itu gugup, "hanya saja loya .
. . . .." "Loya ada dimana?" Lelaki itu segera menuding kedepan, belum sempat berbicara, Tong Pa sudah melompat pergi, sebab secara lamat lamat dia telah melihat bayangan tubuh ayahnya menyelinap ke bawah tanah lalu menghilang.
Biarpun selisih jarak mereka tidak terlalu jauh, namun terhalang oleh gerombolan manusia dan kuda.
Menanti Tong Pa tiba ditempat itu dengan susah payah, tampak ayahnya sedang berdiri disana sambil bergendong tangan, tidak terlihat ada liang disitu.
Tong Pa jadi melongo, tanyanya: "Ayah, kemana kau tadi?" "Aku selalu berdiri disini, justru mau tanya kepadamu, sudah ke mana saja?" sahut Tong Ti dingin.
"Jangan jangan mataku kabur?" gumam Tong Pa kemudian sambil mengusap matanya.
Sejak kecil dia sudah berlatih tekun ilmu senjata rahasia, ketajaman matanya boleh dibilang luar biasa, kendatipun sedang gugup, tak mungkin matanya sampai kabur dan salah lihat.
Hanya saja kendatipun timbul kecurigaan dihatinya, ia tak berani bertanya.
Pada saat itulah dari kejauhan terdengar suara gelak tertawa yang nyaring, lalu seseorang berseru: "Lebih baik kita hentikan dulu pertarungan ini, siapa yang mampu memadamkan api, dia baru dianggap enghiong sejati." Suara tertawa itu nyaring memekik telinga, tapi suara bentakan itupun bagai suara guntur.
Baru saja para jago berpaling dengan tercengang, tampak empat sosok bayangan manusia telah meluncur ke tengah area kebakaran, kehadiran mereka ibarat malaikat yang turun dari langit.
Begitu melihat gerakan tubuh ke empat orang itu, paras muka Tong Ti berubah makin hebat, segera serunya: "Anak Pa, mari kita tengok ke sana, coba lihat siapa yang datang?" Pemikiran itu sama persis seperti apa yang dipikirkan para jago, siapa pun ingin tahu siapa gerangan yang memiliki ilmu silat dan keberanian sebesar itu.
Terlihat ditengah jilatan api yang membara, empat sosok bayangan manusia bergerak bagai bintang di langit dan bergerak ke empat penjuru, dimana tempat yang mereka singgahi segera terdengar angin kencang berhembus dan kobaran api pun seketika padam.
Para jago tahu, ke empat orang itu sedang menggunakan hawa murni yang luar biasa untuk memadamkan kobaran api yang membara itu, kontan saja demonstrasi ini membuat semua orang kaget bercampur kagum, sorak sorai pun bergema gegap gempita.
Semakin nyaring suara orang bersorak sorai, semakin lemah kobaran api yang tersisa.
Tiba tiba ditengah kobaran api terdengar seseorang berseru: "Aneh, disini ada orang." "Sudah terpanggang matang?" tanya yang lain.
"Aneh, orang itu belum mati." Berubah paras muka si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, ketika melihat ada sesosok bayangan manusia melompat keluar dari tengah api, Tong Ti segera berteriak: "Cianpwee mana yang telah datang" Tong Ti ada disini." Baru selesai dia berteriak, sesosok bayangan manusia telah berdiri dihadapannya, dia adalah seorang kakek bungkuk, sebagian rambutnya telah terbakar tapi sorot matanya setajam pisau.
Ketika dilihatnya orang yang berada dalam gendongan orang itu tak lain adalah putrinya, Tong Hong, diam diam Tong Ti merasa gelisah, hanya saja kepanikan itu tak sampai ditunjukkan diwajah.
Cepat dia memberi hormat seraya berseru: II "Terima kasih atas pertolongan cianpwee .
. . . .. Belum selesai dia bicara, kakek bungkuk itu telah serahkan tubuh Tong Hong ke dalam pelukannya.
"Nih, gendong kamu." Lalu dia balik badan dan menerjang masuk lagi ke tengah kobaran api.
Rupanya setelah mendengar teriakan dari Lan Toa-sianseng tadi: "siapa yang bisa padamkan api, dialah enghiong."....
kakek bungkuk ini segera memusatkan konsentrasinya untuk memadamkan api, sementara urusan lainpun tak dicampuri lagi.
Saat itu kobaran api sudah melemah, kuda yang panik pun sudah mereda, dalam waktu singkat para anggota keluarga Tong berhasil memadamkan api yang tersisa.
Si kakek bungkuk itu tak lain adalah si bungkuk baja, menanti dia balik badan dan melihat kobaran api telah padam sementara Lan Toa-sianseng sekalian bertiga sudah melompat keluar dari area kebakaran, dengan jengkel dia hentakkan kakinya seraya berseru: "Kenapa apinya sudah padam?" "Apa jeleknya kalau api telah padam?" sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa keras.
"Kalian bertiga yang telah padamkan api itu, bukankah kalian bertiga yang jadi enghiong?" teriak bungkuk baja marah.
"Dasar tua bangka yang pengen menangnya sendiri," kata Lan Toa-sianseng sambil tertawa, "masa kau tak tahu kalau selamatkan nyawa manusia jauh lebih hebat daripada memadamkan api, apalagi dalam hal padamkan kebakaran tadi, kaupun turut ambil bagian." Mendengar perkataan itu, bungkuk baja baru merasa gembira, katanya tertawa: "Nah, begitu baru pantas .
. . . .. kalau toh tak ada yang menang dan kalah, lebih baik kita berempat lanjutkan perkelahian." "Sayang perkelahian inipun tak mungkin lagi." Sahut Lan Toa-sianseng tertawa.
Sewaktu bungkuk baja berpaling, betul saja, si Tombak tanpa bayangan Yo Hui serta si golok tanpa sarung Go Jit telah lenyap tak berbekas, sementara suasana disekitar sana masih gaduh, tak mungkin mereka terkejar lagi.
Rupanya ke empat orang itu bertarung kelewat asyik hingga dari bukit depan bertempur sampai belakang bukit, saat itulah Lan Toa-sianseng melihat ada kebakaran, diapun mengusulkan untuk menolong api.
Menanti kebakaran sudah padam, Go Jit yang memikirkan Beng Li-si dan Li Koan-eng terus menerus, tentu tak mau tinggal disana lebih lama, diapun gunakan kesempatan itu untuk kabur.
Si tombak tanpa bayangan Yo Hui dan si tombak baja Yo Seng bukan saja mempunyai hubungan guru dan murid, bahkan mereka masih famili, Yo Seng yang selama ini dendam dengan luka parahnya dulu, tentu saja enggan melepaskan Go Jit begitu saja, maka mereka pun meninggalkan Lan Toa-sianseng berdua.
Agak berubah wajah Lan Toa-sianseng ketika melihat gadis berbaju hitam itu membopong Tong Hong, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tak sampai diucapkan.
Siapapun tak sempat melihat antara si Tangan pencabu t nyawa Tong Ti dengan So Kin"soat telah saling bertukar kerdipan mata yang aneh, siapapun juga tak ada yang melihat perubahan mimik wajah Lan Toa-sianseng.
Hanya Liat-hwee hujin yang tampak sangat gembira, katanya sambil tertawa: "Siau-lan, sudah lama kita tak bertemu, seharusnya kita mencari tempat untuk mengobrol, kau ha dialihkan sehingga yang menjadi sasaran tembak pun bukan arah mereka.
Kabut tebal menyelimuti seluruh udara, kedua orang itu tak berani buka mata, mereka serahkan nasib pada kehendak Thian.
Kini yang terdengar adalah suara hiruk pikuk yang makin lama makin lirih, makin berkurang dan akhirnya suasana terasa hening .
. . . .. Sambil menghembuskan napas, saat itulah Siau Hui-uh baru berani buka mata, tampak masih ada belasan ekor kuda lain yang berlarian tak menentu.
Rupanya anak buah keluarga Tong hanya memusatkan perhatian pada sasaran, dengan begitu mereka tidak memperhatikan sisi lain, karena itulah ada belasan ekor kuda yang berhasil kabur, sementara sifat kuda suka menggerombol, maka kuda kuda itupun tidak berpisah terlalu jauh.
Setelah terjadi kepanikan, kawanan kuda itu kabur menuju ke bukit yang sepi, Siau Hui-uh menghela napas panjang, tiba tiba ia merasa Tian Mong-pek yang berada dalam rangkulannya belum bergerak, ternyata luka parahnya belum sembuh, didalam kegugupan tadi, pemuda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.
Dalam kagetnya sekuat tenaga Siau Hui-uh menarik bulu kuda, niatnya untuk menghentikan lari kuda itu, Sayang kuda yang sedang panik itu berlari terus dengan kencangnya, bukan usaha gampang untuk menghentikannya.
Entah berapa lama lagi kuda itu berlarian, akhirnya karena tak tahan dengan sakit pada luka badannya, kuda itu mulai memperlambat larinya dan tertinggal dari rombongan kuda lain.
Begitu tertinggal dari rombongan, Siau Hui"uh pun segera berhasil mengendalikan kuda itu.
Terlihat kuda itu meringkik tiada hentinya, darah segar telah membasahi bulu binatang itu.
sambil menghela napas gumam Siau Hui"uh: "Wahai kuda, jangan salahkan aku, kau telah selamatkan kami tapi kau II sendiri yang terluka.....
Dengan perasaan sedih dia belai bulu kuda itu.
Dalam pada itu sang surya telah tenggelam dilangit barat dan menyisakan cahaya keemasan, akhirnya Siau Hui-uh menemukan sebuah selokan kecil, disitulah dia turun dari kudanya.
Disebuah tanah berumput yang rindang, Siau Hui-uh membaringkan tubuh Tian Mong"pek, merobek ujung bajunya dan mulai membasahi jidat pemuda itu.
Kemudian diapun meneguk berapa teguk air selokan, memandang suasana yang begitu hening, diapun menghela napas, dengan lembut dicucinya noda darah ditubuh kuda itu.
Entah berapa saat kemudian, akhirnya Tian Mong-pek tersadar kembali, diam diam dia awasi semua gerak gerik si nona itu tanpa bersuara.
Ia merasa, setelah mengalami pelbagai peristiwa, tabiat gadis itu sudah banyak berubah, menyaksikan bayangan tubuh gadis kesukaannya berubah lembut, selembut matahari disenja itu, tanpa terasa pemuda itupun termenung .
. . . . . .. Akhirnya Siau Hui-uh berpaling, kebetulan ia melihat Tian Mong-pek dengan matanya yang bening, wajahnya yang pucat sedang menatap kearahnya.
Gadis inipun terperana. Lama, lama sekali mereka berdua saling bertatap mata, siapapun tak bersuara, karena keheningan yang luar biasa justru lebih unggul dari seribu kata.
Akhirnya gadis itu tertawa jengah, dengan kepala tertunduk tanyanya: "Sejak kapan kau mendusin?" "Belum lama." "Merasa haus?" "Aku sudah lupa apakah merasa haus." Siau Hui-uh mendongakkan kepalanya tapi segera tertunduk kembali, pipinya jadi semerah buah tomat.
Setelah lolos dari musibah, mereka berdua sama sama merasakan bahwa nada bicara lawan berubah jadi begitu lembut, kerlingan mata jadi begitu lembut, bahkan cahaya senja dan aliran sungai pun ikut berubah jadi sangat lembut.
Mereka berdua sangat menikmati kelembutan itu dan berharap setiap saat setiap waktu selalu begitu, kendatipun dihati merekapun tersisip kemasgulan, namun siapa pun enggan mengutarakan.
" 0 0 o n u n u " 0 \\ ' ? ' II I a yang lain, dengan begitu pakaian yang tersisa ditubuh kedua orang itu tinggal pakaian ringkas warna hitam yang kebetulan mirip dengan kuda hitam yang mereka tunggangi.
Berada dipunggung kuda, kedua orang itu tak berani bergerak, mereka hanya mendengar suara sambaran anak panah yang beterbangan melewati atas kepala, untung saja sasaran sudah dialihkan sehingga yang menjadi sasaran tembak pun bukan arah mereka.
Kabut tebal menyelimuti seluruh udara, kedua orang itu tak berani buka mata, mereka serahkan nasib pada kehendak Thian.
Kini yang terdengar adalah suara hiruk pikuk yang makin lama makin lirih, makin berkurang dan akhirnya suasana terasa hening .
. . . .. Sambil menghembuskan napas, saat itulah Siau Hui-uh baru berani buka mata, tampak masih ada belasan ekor kuda lain yang berlarian tak menentu.
Rupanya anak buah keluarga Tong hanya memusatkan perhatian pada sasaran, dengan begitu mereka tidak memperhatikan sisi lain, karena itulah ada belasan ekor kuda yang berhasil kabur, sementara sifat kuda suka menggerombol, maka kuda kuda itupun tidak berpisah terlalu jauh.
Setelah terjadi kepanikan, kawanan kuda itu kabur menuju ke bukit yang sepi, Siau Hui-uh menghela napas panjang, tiba tiba ia merasa Tian Mong-pek yang berada dalam rangkulannya belum bergerak, ternyata luka parahnya belum sembuh, didalam kegugupan tadi, pemuda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.
Dalam kagetnya sekuat tenaga Siau Hui-uh menarik bulu kuda, niatnya untuk menghentikan lari kuda itu, Sayang kuda yang sedang panik itu berlari terus dengan kencangnya, bukan usaha gampang untuk menghentikannya.
Entah berapa lama lagi kuda itu berlarian, akhirnya karena tak tahan dengan sakit pada luka badannya, kuda itu mulai memperlambat larinya dan tertinggal dari rombongan kuda lain.
Begitu tertinggal dari rombongan, Siau Hui"uh pun segera berhasil mengendalikan kuda itu.
Terlihat kuda itu meringkik tiada hentinya, darah segar telah membasahi bulu binatang itu.
sambil menghela napas gumam Siau Hui"uh: "Wahai kuda, jangan salahkan aku, kau telah selamatkan kami tapi kau II sendiri yang terluka.....
Dengan perasaan sedih dia belai bulu kuda itu.
Dalam pada itu sang surya telah tenggelam dilangit barat dan menyisakan cahaya keemasan, akhirnya Siau Hui-uh menemukan sebuah selokan kecil, disitulah dia turun dari kudanya.
Disebuah tanah berumput yang rindang, Siau Hui-uh membaringkan tubuh Tian Mong"pek, merobek ujung bajunya dan mulai membasahi jidat pemuda itu.
Kemudian diapun meneguk berapa teguk air selokan, memandang suasana yang begitu hening, diapun menghela napas, dengan lembut dicucinya noda darah ditubuh kuda itu.
Entah berapa saat kemudian, akhirnya Tian Mong-pek tersadar kembali, diam diam dia awasi semua gerak gerik si nona itu tanpa bersuara.
Ia merasa, setelah mengalami pelbagai peristiwa, tabiat gadis itu sudah banyak berubah, menyaksikan bayangan tubuh gadis kesukaannya berubah lembut, selembut matahari disenja itu, tanpa terasa pemuda itupun termenung .
. . . . . .. Akhirnya Siau Hui-uh berpaling, kebetulan ia melihat Tian Mong-pek dengan matanya yang bening, wajahnya yang pucat sedang menatap kearahnya.
Gadis inipun terperana. Lama, lama sekali mereka berdua saling bertatap mata, siapapun tak bersuara, karena keheningan yang luar biasa justru lebih unggul dari seribu kata.
Akhirnya gadis itu tertawa jengah, dengan kepala tertunduk tanyanya: "Sejak kapan kau mendusin?" "Belum lama." "Merasa haus?" "Aku sudah lupa apakah merasa haus." Siau Hui-uh mendongakkan kepalanya tapi segera tertunduk kembali, pipinya jadi semerah buah tomat.
Setelah lolos dari musibah, mereka berdua sama sama merasakan bahwa nada bicara lawan berubah jadi begitu lembut, kerlingan mata jadi begitu lembut, bahkan cahaya senja dan aliran sungai pun ikut berubah jadi sangat lembut.
Mereka berdua sangat menikmati kelembutan itu dan berharap setiap saat setiap waktu selalu begitu, kendatipun dihati merekapun tersisip kemasgulan, namun siapa pun enggan mengutarakan.
Bab 47. Penunggang kuda menyampaikan berita mengagetkan.
"Boanpwee sekalian memang bermaksud datang ke bukit Kun-san untuk melihat keadaan." Teriak Siau Hui-uh keras.
Menyaksikan cara berbicara si kakek yang sengaja diulur dan ragu, dia merasa jengkel bercampur mendongkol.
Tapi kakek itu seakan tidak merasa, malah ujarnya lagi dengan lembut: "Dengan keberanian serta tekad kalian berdua, tiada urusan yang tak mungkin di dunia ini, tapi dalam perjalanan menuju bukit Kun-san, lebih baik kalian berdua lebih waspada dan hati hati." Siau Hui-uh segera mendengar kalau dibalik perkataan itu mengandung maksud yang mendalam, baru saja akan bertanya lagi, orang tua itu sudah menyela: "Apa yang bisa lohu katakan hanya sampai disini, semoga kalian berdua bisa jaga diri baik baik, dunia persilatan dimasa depan pasti akan menjadi dunia kalian, hanya sayang belum tentu lohu dapat menyaksikan, nasib tragis telah menimpa keluargaku .
. . . . .." Lambat laun perkataannya bertambah lirih, sekulum senyuman sedih menghiasi bibirnya.
Tapi sejenak kemudian tiba tiba teriaknya: "Tapi keluarga Tong mempunyai landasan dan fondasi yang kokoh, jangan harap ada yang bisa memusnahkannya." Ketika berbicara hari ini, dia selalu tampak murung dan sedih, hanya ketika menyampaikan perkataan tersebut, semangatnya baru pulih kembali sebagai seorang pemimpin sebuah perguruan besar.
Tian Mong-pek tahu, kakek ini pasti sedih dan kalut pikirannya karena perbuatan Tong Ti, ujarnya kemudian dengan hormat: "Bila cianpwee masih ada urusan penting lain, boanpwee tak berani mengganggu, pasti akan kusimpan nasehat cianpwee dan berjalan di jalur yang benar." Orang tua itu manggut manggut.
"Sudah seharusnya begitu, pergilah.
Bila lain hari .... aaai, mana mungkin masih ada lain hari." Sambil ulapkan tangannya, diapun berseru: "Angkat tandu, pulang." Dia tidak lagi memandang kearah Tian Mong-pek maupun Siau Hui-uh, sebaliknya kedua orang itu mengawasi terus tandu itu hingga lenyap dari pandangan .
. . . . .. "Orang tua ini kelihatan agak berubah." Kata Siau Hui-uh kemudian dengan kening berkerut.
Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Sudah pasti pikirannya sedang terganjal masalah besar dan masalah itu ada hubungannya dengan kotak yang dikirim Tong Ti ke bukit Kun-san, tapi anehnya, kenapa perkataan terakhirnya tadi seakan membawa firasat II jelek .
. . . .. Tapi setelah tertawa katanya: "Dengan kungfu yang dimiliki, tak mungkin dia akan menghadapi mara bahaya, atau mungkin tadi aku salah dengar." Ketika mereka berdua membayangkan kembali pengalamannya selama berapa hari ini, semua kejadian seolah berada dalam impian buruk, hingga kinipun masih terasa keringat dingin di telapak tangan mereka, tapi hari ini, rahasia yang berhasil mereka dengar justru banyak sekali.
Setelah berunding sejenak, mereka putuskan, hadangan dan mara bahaya apapun yang bakal dijumpai sepanjang jalan, mereka harus pergi ke bukit Kun-san.
Hanya satu hal yang membuat Siau Hui-uh kuatir adalah luka yang diderita Tian Mong-pek.
Bila dilihat dari begitu parahnya luka yang diderita, apakah bisa sembuh seperti sedia kala masih menjadi tanda tanya besar, padahal luka semacam ini semakin lama tertunda akan semakin sulit diobati, tapi dalam waktu yang begini singkat, harus pergi ke mana untuk menemukan orang yang bisa mengobati lukanya" Oo0oo Tong Bu-im tidak masuk lewat halaman muka, dia langsung menuju ke tempat tinggalnya.
Tong Pa, Tong Yan berdiri berjajar didepan pintu, wajah mereka tampak berat dan serius.
Begitu melihat kemunculan orang tua itu, mereka berdua segera maju berbareng.
Kata Tong Pa: "Ayah ada di dalam .
. . . .." Wajahnya bukan Cuma berat dan serius, bahkan amat sedih, ternyata secara lamat lamat ia mendapat tahu kalau ayahnya sedang pergi mengejar Tian Mong-pek, maka diapun melapor ke Lo-cou-cong.
Siapa tahu setelah menyampaikan laporan itu, ia saksikan Lo-cou-cong sangat gusar, hal ini membuatnya jadi menyesal.
Terdengar Tong Bu-im berseru dengan marah: "Aku tahu ayahmu berada di dalam, memang dia berani tak datang" Yan-ji, bukannya menjadi pengantin yang bahagia, mau apa kau kemari?" "Lapor Lo-cou-cong, cucunda .
. . . . .." Tong Yan tertunduk lemas.
"Tak usah bicara lagi, cepat kembali ke kamar pengantinmu, aku orang tua masih menunggu akan menggendong buyut .
. . . .. petugas tandu mundur, Pa-ji, bimbing aku masuk." Merah padam selembar wajah Tong Yan, bersama lelaki penggotong tandu, diapun mundur dari situ.
Sementara Tong Pa membimbing orang tua itu masuk, tampak Tong Ti sedang berlutut lurus didepan tempat duduk orang tua.
Dengan wajah serius orang tua itu mengulapkan tangannya.
"Pa-ji, kaupun mundur." Perintahnya.
Tong Pa seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi setelah memandang ayahnya, Tong Ti sekejap, diapun tutup mulut, selesai membimbing orang tua itu ke tempat duduknya, dia memberi hormat kemudian mengundurkan diri.
Kakek itu duduk sambil pejamkan mata, dia tidak bicara, tangannya meraba sisi bangku tiada hentinya.
Buru buru Tong Ti menyodorkan gula gula dan meletakkan disisi tangannya, orang tua itu mengambil sebiji, dua biji dan mulai mengunyah .
. . . .. sepasang matanya tetap terpejam.
Tong Ti sendiripun tidak bicara, dia hanya berlutut tanpa bergerak.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba tiba orang tua itu menegur: "Mengapa tidak bicara?" "Ayah belum buka suara, ananda tak berani bicara." Jawab Tong Ti dengan kepala tertunduk.
Mendadak orang tua itu membuka matanya, sinar tajam segera memancar keluar, bentaknya: "Kenapa tak berani berbicara" Kau tak mampu bicara apa apa lagi bukan?" "Ananda .
. . . . .." "Apa itu ananda, II umpat orang tua itu, "kau ini anak siapa" Kau hanya seorang bedebah, bangsa tikus, budak anjing, keledai goblok, binatang yang tak berbakti .
. . . . . .." Tampak dadanya naik turun dengan napas ngos-ngosan, jelas perasaan hatinya sedang marah sekali, menyusul kemudian ujarnya kembali: "Katakan, katakan, apa isi kotak itu?" "Rumput pelumat impian." Orang tua itu tertegun, tapi sejenak kemudian serunya sambil tertawa seram: II "Dasar binatang, ternyata kau cukup jujur .
. . . . .. "Ananda tidak berani membohongi kau orang tua." Kakek itu membentak gusar, dengan rambut pada berdiri saking marahnya dia mengumpat: "Kau.....
kau tidak membohongi aku" Coba jawab, kenapa kau berikan rumput pelumat impian itu untuk si perempuan lonte?" Sambil bicara, dia menggebrak meja kecil disampingnya hingga hancur berantakan, gula gula yang berada disana pun ikut berserakan.
"So Kin-soat bukan perempuan lonte, dia dan ananda....." "Aku tahu hubunganmu dengan dia, kau sangga aku tidak tahu sama sekali?" tukas orang tua itu semakin geram, "tapi tahukah hubungan dia dengan orang lain" Dia....
bukan saja dia itu lonte, pada hakekatnya dia adalah perempuan jalang, tak ada kata lebih pantas bagi perempuan hina itu, lihat saja, pemimpin persilatan, ciangbunjin, piau-pacu mana yang tak pernah dirayu dan digaetnya" Lelaki mana yang tak pernah naik ranjang dengn dirinya" Kau sangka hanya dirimu seorang" Kalau tak percaya tanya II saja kepada orang lain, bahkan si tua bangka yang paling aneh pun .
. . . . .. "Ayah mengetahui dengan begitu jelas, jangan jangan .
. . . . .." "Apa kau bilang?" jerit orang tua itu.
"Ananda tidak bilang apa apa." "Penghianat, pemberontak, tahukah kau untuk apa dia minta rumput pelumat impian?" "Ananda tidak tahu." "Kalau tidak tahu, kenapa kau berikan kepadanya?" "Karena dia minta, ananda pun berikan kepadanya, bila dia minta yang lainpun, ananda tetap akan berikan kepadanya." Jawab Tong Ti tenang.
ll "Binatang, besar amat nyalimu .
. . . .. kau . . . . . . .. Mendadak kulit mukanya mulai mengejang, sambil menuding putranya, dia menjerit: Il "Kau .
. . . .. kau.... kau....



kau . . . . . . .. Tiba tiba tubuhnya melejit dari tempat duduknya, dengan sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan, dia serang tenggorokan Tong Ti.
Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat.
Tampaknya Tong Ti sudah menduga sampai ke situ, cepat tubuhnya berkelit, dengan gerakan Ie-heng-huan-wi (menggeser badan berganti tempat) dia menghindar sejauh tujuh, delapan langkah dari posisi semula.
Masih melambung di udara, orang tua itu mengayunkan tangannya, tujuh titik cahaya perak melesat keluar dari balik bajunya.
Tanpa berpaling, lagi lagi Tong Ti menghindar sejauh berapa langkah ke samping.
"Taaak, taaak, taaak .
. . . .." terdengar serangkaian bunyi nyaring, tujuh titik cahaya perak itu sudah menancap diatas dinding pintu hingga tembus dari baliknya.
"Kau berani!" bentak orang tua itu, "jangan kabur .
. . . . .." Kembali tangannya menekan permukaan tanah lalu menerjang ke depan.
Tapi saat itu Tong Ti sudah kabur keluar dari pintu ruangan.
Ternyata sepasang kaki kakek itu cacat total, dia tak mampu merangkak bangun, "Blukkk!" tubuhnya kembali terjatuh ke lantai, mukanya pucat, peluh dingin membasahi seluruh wajahnya, sekujur badan gemetar keras.
Terdengar Tong Ti yang berada diluar pintu berkata lagi dengan tenang: "Ananda telah mencampurkan bubuk pencabut sukma pemutus usus didalam gula gulamu, bila kau orang tua mengerahkan tenaga dalam lagi, racun itu akan bekerja lebih cepat." Dia masih berbicara dengan nada sangat menghormat, penuh perhatian, tapi siapapun yang mendengarnya akan bergidik, akan berdiri semua bulu romanya.
"Kenapa kau harus berbuat begitu?" tanya si kakek dengan nada gemetar.
II "Tidak apa apa, hanya .
. . . . . .. Mendadak nada suaranya meninggi, jeritnya: "Sudah cukup aku hidup menderita, sudah cukup aku tersiksa oleh kendali dan kekuasaanmu, biarpun kau telah serahkan posisi ciangbunjin kepadaku, namun segala urusan tetap kau yang putuskan, sejak k ecil hingga tua, kapan aku pernah diberi wewenang untuk memutuskan sendiri keinginanku?" Setelah tertawa seram, lanjutnya: "Tapi mulai sekarang aku harus memutuskan sendiri, aku ingin menjadi Bu-lim bengcu yang mengendalikan seluruh umat persilatan di dunia ini, ingin lebih kuat sepuluh kali lipat daripada dirimu." Dengan sedih orang tua itu termangu, mimik mukanya berubah jadi begitu hambar, begitu mengenaskan, katanya sambil tertawa pedih: "Tidak kusangka ambisi mu begitu besar, tapi.....
tapi kau salah besar." "Hahaha, salah besar" Kesalahan apa yang telah kulakukan" Kau....
justru kau sudah hidup lebih dari cukup!" "Betul, aku sudah hidup lebih dari cukup, peristiwa apa pun didunia ini sudah pernah kulihat." Tiba tiba hawa amarahnya memuncak, bentaknya nyaring: "Tapi belum pernah kujumpai binatang tak berbakti yang begitu keji, begitu buas dan tak punya perasaan macam kau." "Padahal, asal kau tidak sok kuasa, tidak sok menekan aku, tak mungkin aku akan berbuat begini." Kata Tong Ti.
Kulit muka orang tua itu mulai mengejang, peluh semakin deras bercucuran, jeritnya: "Kau hanya mengingat hal seperti itu, apakah kau tak pernah mengingat kebaikanku untukmu .
. . . . .." Berdiri diluar pintu, Tong Ti bungkam tidak bicara.
Dengan nada gemetar kembali orang tua itu berkata: "Sewaktu masih kecil dulu, kau paling nakal, bencana dan keonaran apapun yang kau lakukan diluaran sana, selalu kubela dan kulindungi, suatu kali kau digigit ular berbicara, aku.....
aku nyaris gila saking gemasnya, tiga hari tiga malam tak bisa tidur nyenyak, tak bisa makan enak, selalu mendampingimu ditepi ranjang, mengobati luka racunmu, apa.....
apakah kau sudah melupakan semua kejadian ini....." dengan susah payah kau tumbuh dewasa, melihat kau menjadi begitu sopan dan penurut, aku merasa sangat gembira, amat puas, siapa sangka.....
siapa sangka kau . . . . . .." Tiba tiba ia berhenti bicara, air mata ikut berlinang membasahi pipinya.
Tong Ti sendiripun bermandikan keringat, tubuhnya ikut gemetar, tiba tiba teriaknya sambil menggigit bibir: "Kalau kau begitu sayang dan memanjakan aku semasa kecil dulu, setelah dewasa kenapa kau begitu menakn aku?" "Setelah menjadi seorang ciangbunjin, aku takut watak lamamu kambuh lagi, karenanya aku selalu menekan dan mengendalikan dirimu, tapi.....
tapi aku salah, semasa kau masih kecil dulu, aku tidak seharusnya menyayangimu, memanjakan dirimu." Bicara sampai disini dia tutup mulut, Tong Ti sendiripun tidak bersuara lagi.
Lewat berapa saat kemudian, paras muka orang tua itu mulai berubah jadi semu kehitaman, saat itulah kembali dia bergumam: "Membesarkan tapi tidak mendidik, mendidik tapi tak ketat, aku salah....
semua ini kesalahanku . . . . . .." Sambil membesut peluh dingin yang membasahi jidatnya, kata Tong Ti: "Bagaimana pun, setelah kau pulang ke langit nanti, aku pasti akan menyelenggarakan upacara penguburan yang paling megah untukmu, agar setelah mati, kaupun memperoleh penghormatan yang paling tinggi." "Bagus, kau memang anak yang berbakti." Kata orang tua itu tertawa sedih.
"Tapi, untuk itu kau harus serahkan dulu semua benda mustika warisan keluarga kepadaku, kaupun harus serahkan jarum sakti kiu-thian-sip-te- lo-hou-sin-ciam, penggaris jit-kiau-pat-ji-ie, tali ngo-sin-lak-sut, gelang sam-huan-su-kou yang tiada duanya dikolong langit kepadaku." "Bagus, akan kuserahkan padamu, kemari, ambillah!" Dengan cepat Tong Ti mundur selangkah, kemudian mundur lagi berapa langkah, katanya: "Katakan dulu dimana kau sembunyikan semua barang mustika itu, setelah kau berpulang nanti, akan kuambil sendiri barang barang itu." "Hahaha .
. . . .. sampai sekarangpun kau masih takut kepadaku?" kakek itu tertawa menyeramkan.
Tong Ti tidak menjawab, dia hanya bungkam dalam seribu bahasa, jelas wibawa orang tua itu masih membuatnya takut.
"Hahaha . . . . .." kembali orang tua itu tertawa seram, "kau begitu yakin dan percaya diri, masa tak akan kuserahkan kepadamu....." "Kau pasti tak akan rela menyaksikan senjata rahasia keluarga Tong yang Il tiada duanya dikolong langit itu ikut musnah bersama kematianmu .
. . . . . .. "Hahaha..... anak baikku, ternyata kau memang dapat membaca suara hatiku, bila kubawa mati jarum sakti itu, para leluhur keluarga Tong pasti akan menyalahkan aku karena telah menghancurkan wibawa perguruan .
. . . .. kotak mustika itu berada dalam jepitan roda keretaku, tidak susah untuk menemukan, anakku yang baik, ambillah sendiri.....
anakku yang baik . . . . . . . . .." Suara tertawanya makin lama semakin keras, lalu secara tiba tiba terhenti dan senyap.
Jago pedang yang paling tangguh akhirnya tewas diujung pedang, tokoh senjata rahasia beracun yang pernah menggetarkan kolong langit, jagoan
Jago pedang yang paling tangguh akhirnya tewas diujung pedang, tokoh senjata rahasia beracun yang pernah menggetarkan kolong langit, jagoan yang selama hidup pernah membunuh banyak orang karena senjata rahasia beracunnya, Tong Bu-im, pada akhirnya tewas juga oleh senjata rahasia beracun.
Inikah suratan takdir" Setelah lewat setengah jam kemudian, si Tangan pencabut nyawa Tong Ti baru berani masuk ke dalam ruangan, ia jumpai tubuh orang tua itu masih duduk tegak, biji matanya melotot keluar, baru memandang sekejap, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin.
Diantara lapisan tempat duduk kusi roda, ia temukan sebuah kotak kayu cendana, akhirnya senjata rahasia yang pernah diandalkan leluhur keluarga Tong untuk menjagoi kolong langit terjatuh ke tangan Tong Ti.
Ia bopong jenasah orang tua itu, membaringkan diatas ranjang, lalu dengan saputangan dia seka noda darah ditubuhnya dan merapatkan matanya yang melotot.
Kendatipun dia bernyali besar, tak urung gemetar juga sepasang matanya, tubuh menggigil keras, giginya saling beradu, dengan wajah pucat pasi ia berlutut didepan pembaringan.
Kembali lewat setengah jam kemudian, para tamu un dangan yang belum membubarkan diri menyaksikan si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, dengan baju serba hitam dan kepala tertunduk lesu, berdiri didepan ruang utama keluarga Tong.
Melihat wajah orang ini amat sedih, bahkan masih terlihat noda air mata yang belum mengering di kelopak matanya, para jago merasa amat terkejut bercampur keheranan, mereka segera sadar, dalam keluarga Tong pasti sudah terjadi peristiwa luar biasa.
Terdengar Tong Ti berkata dengan suara berat: "Ayah telah berpulang .
. . . . . .." Setelah menyampaikan kata kata itu, diapun sesenggukan dan tampaknya tak sanggup lagi mengucapkan kata berikut.
Para tamu undangan amat terperanjat, sedang Tong Pa merasa pandangan matanya jadi gelap, seketika itu juga ia jatuh tak sadarkan diri.
Maka kain merah segera diturunkan dan berganti kain putih, sebagian besar jago dunia persilatan ikut menghela napas sedih untuk keluarga Tong, mereka tidak menyangka dalam tiga hari, keluarga besar dunia persilatan ini berulang kali mengalami kejadian besar.
Para tamu undangan yang semula datang untuk minum arak kegirangan pun kini berubah jadi undangan yang ikut berkabung, panggung pengantin berubah jadi panggung berkabung.
Ujar Tong Ti kemudian: "Sebagai putra seorang manusia, meski tak bisa berbakti kepada orang tua disaat beliau masih hidup, setelah meninggal pasti akan berbakti semampu mungkin, Tong Ti telah putuskan untuk selenggarakan upacara perkabungan yang terbaik untuk mendiang ayahku, agar dia orang tua bisa beristirahat dengan tenang dialam baka.
Aku percaya, diantara para hadirin, kalau bukan merupakan sahabatku Tong Ti, pasti merupakan teman mendiang ayahku, dengan memberanikan diri Tong Ti berharap, kalau bisa tinggallah disini selama tujuh kali tujuh, empat puluh sembilan hari, pulanglah setelah jenasah mendiang ayah masuk ke liang lahat.
Hanya saja, Tong Ti tak dapat melayani sendiri para tamu karena adanya kesedihan ini, hanya putraku Tong Pa dan Tong Yan yang akan melayani." Kata kata itu ditulis dengan jelas diatas kertas berkabung dan dibacakan para pelayan disetiap sudut ruangan, tentu saja para kerabat yang mendengar perkataan itu, baik yang punya hubungan akrab atau tidak, merasa tidak leluasa untuk berpamitan dengan begitu saja.
Sejak itu, Tong Ti tak pernah tampilkan diri, para jago menyangka dia kelewat sedih hingga pikirannya kalut dan tak mampu melayani para tamunya, tapi semua orang dapat memaklumi dan memaafkannya.
Kemudian para jagopun mendapat kabar kalau Tong Ti telah mengunci diri didalam ruang tempat tinggal mendiang ayahnya sambil merenung diri, kecuali seorang pelayan yang setiap hari menghantar air putih serta makanan berpantang, bahkan Tong Pa dan Tong Yan pun sulit untuk bertemu.
Para undangan pun merasa semakin kagum, mereka tak mengira si Tangan pencabut nyawa Tong Ti begitu berbakti kepada orang tuanya.
Dua hari kemudian, tiba tiba dari arah timur muncul empat orang lelaki berbaju putih yang menunggang kuda cepat, wajah mereka dipenuhi pasir dan debu, namun mimik muka menunjukkan wajah gembira.
Mereka tidak mengenakan kopiah, hanya dahinya terikat kain putih selebar dua inci, namun mereka pun belum tahu tentang berita kematian Tong Bu-im, sudah jelas kedatangannya bukan lantaran hendak berkabung.
Sebagian besar tamu yang ada didalam gedung keluarga Tong tidak terlalu memperhatikan kehadiran ke empat orang itu, diantaranya hanya dua puluhan orang yang segera maju menyambut dengan wajah berubah.
Tong Pa yang menyaksikan kejadian ini, meski merasa agak tercengang, namun ia merasa kurang leluasa untuk mencari tahu.
Terdengar ke empat orang berbaju putih itu berseru dengan nada berat: "Ciangbunjin baru telah muncul .
. . . . .. diperintahkan untuk berkumpul di II .
. . . .. Keng-ciu....... Suara selanjutnya rendah dan berat, Tong Pa sendiri tidak mendengar terlalu jelas.
Tapi ke dua puluhan orang itu segera menunjukkan sikap gembira, buru buru mereka masuk ke dalam dan segera memohon kepada Tong Ti untuk berpamitan.
Tong Pa sadar, mereka pasti berasal dari suatu perguruan rahasia dan saat ini sedang menghadapi urusan penting.
Tentu saja dia tak leluasa untuk mencegah, katanya sambil memberi hormat: "Karena sedang sedih, ayah tak dapat bertemu dengan siapa pun, bila kalian ada urusan penting, boanpwee pun tak berani menahan lebih lama .
. . . . .." Sebagai orang yang berpakaian kabung, diapun berlutut ditanah memberikan penghormatan.
Ke dua puluhan orang itu serentak membalas hormat kemudian tergesa gesa meninggalkan tempat itu.
Yang aneh, biarpun ke dua puluhan orang itu berasal dari perguruan yang sama, namun satu dengan lainnya tidak saling mengenal, tapi semuanya kenal dengan ke empat orang lelaki berbaju putih itu.
Kenapa bisa begitu" Biarpun Tong Pa merasa heran, tapi saat ini dia sudah tak punya kesempatan lagi untuk berpikir lebih cermat.
Oo0oo Saat itu, Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh sudah tiba di kota Kang-leng.
Dari wilayah Siok-tiong menuju telaga Tong-ting, semua orang pasti melewati kota Kang-leng, hanya saja kalau ingin mengambil jalan pintas maka mereka harus melewati banyak jalan perbukitan.
Mengingat luka yang diderita Tian Mong-pek, Siau Hui-uh memutuskan untuk lebih baik mengambil jalan berputar.
Kota Kang-leng, jaman dulu disebut kota Keng-ciu, merupakan sebuah kota yang strategis dan menjadi ajang perebutan semua negara besar, karena itu tak heran kalau kotanya makmur dan berkembang.
Kalau menurut keinginan Tian Mong-pek, paling dia mencari sebuah penginapan kecil yang agak sepi dan terpencil diluar kota.
Tapi Siau Hui-uh yang sejak kecil sudah biasa dimanja, dia justru mencari rumah penginapan terbesar didalam kota, bahkan memborong satu halaman penuh.
Tian Mong-pek cukup sadar akan penderitaan si nona sepanjang jalan yang harus menginap di penginapan kecil, dia tak tega menampik keinginannya, maka setelah membersihkan badan dan isi perut, pemuda itu pun tiduran di bangku, enggan bergerak lagi.
Dengan manja Siau Hui-uh menemaninya sepanjang hari, kegelisahan dan kepanikan yang harus diderita sepanjang hari membuat gadis ini tambah kurus dan pucat.
Sementara mereka berdua sedang duduk termenung, tiba tiba dari luar halaman terdengar suara roda kereta serta ringkikan kuda yang bergema tiba.
Menyusul kemudian tampak sang pelayan mengetuk pintu dan berkata sambil tertawa paksa: "Entah mengapa, tiba tiba penginapan kami kedatangan banyak sekali teman dunia persilatan, orang orang itu liar dan galak, bila kekkoan tak ada urusan, lebih baik cepatlah beristirahat, daripada membuat gara gara dengan mereka." Dari potongan tubuh dan dandanan mereka berdua, pelayan rumah penginapan itu mengira mereka adalah sepasang suami istri dari keluarga kaya, karena itu dia sengaja datang memberi nasehat.
Masih mending kalau tidak mendengar perkataan ini, begitu tahu, Siau Hui-uh segera merasa tak tenang, tapi setelah memandang Tian Mong-pek sekejap, kembali ia duduk dengan kepala tertunduk.
"Apakah kau ingin keluar untuk melihat?" tanya Tian Mong-pek kemudian sambil tersenyum.
Siau Hui-uh manggut manggut, katanya lagi: "Aku temani kau, luka mu .
. . . . .." "Bagus juga kalau ingin melihat keadaan, tapi jangan sampai mengagetkan mereka." "Aku hanya keluar lihat sebentar, kau beristirahatlah dulu!" Setelah menuangkan secawan teh panas, bagaikan hembusan angin, diapun beranjak pergi.
Waktu itu cahaya lentera dihalaman luar redup, Siau Hui-uh berdiri dibawah sebatang pohon besar, tampak rombongan demi rombongan lelaki berjubah panjang berjalan masuk dari pintu penginapan menuju halaman sebelah timur.
Walaupun mereka mengenakan baju panjang, tapi siapapun segera akan mengenali orang orang itu sebagai umat persilatan, namun begitu tiba diluar halaman sebelah timur, serentak mereka menghentikan langkah.
Lewat berapa saat kemudian, dari balik halaman muncul seorang dayang yang muda dan berkata: "Bila kalian ingin menyambangi hujin, masuk empat empat, tapi harus melangkah dengan perlahan, mengerti?" Padahal mereka adalah kawanan lelaki kekar, tapi sikapnya terhadap dayang cilik itu sangat menghormat, maka ada empat orang segera melangkah masuk ke dalam halaman.
Sisanya menunggu diluar halaman dengan tenang, tak seorangpun berani berisik, tak selang berapa saat, tampak empat orang pertama keluar dengan kepala tertunduk, diganti dengan empat orang berikut.
Sekalipun Siau Hui-uh tidak mengenali kawanan sahabat persilatan itu, tapi dari gerak gerik mereka, sudah jelas orang orang itu bukan termasuk manusia tanpa nama, namun anehnya, sikap mereka terhadap orang didalam halaman sangat takut dan jeri.
Semakin dilihat gadis itu merasa semakin keheranan, tak tahan dia balik ke dalam kamar dan berkata kepada Tian Mong-pek: "Tidak jelas siapa hujin yang tinggal di dalam halaman itu, apakah kau bisa menebaknya?" Dengan kening berkerut Tian Mong-pek berpikir sejenak, kemudian katanya: "Kalau dilihat dari gayanya, mungkinkah dia adalah Tiau-yang hujin .
. . . .." atau mungkin enci Siau Man-hong .
. . . .." aaai, aku tak bisa menebaknya." II "Mungkinkah So .
. . . .. "Aah, betul, kemungkinan besar dia." "siapa tahu dari antara sahabat Bu-lim itu, ada yang kau kenal?" "Apakah kau minta aku keluar untuk melihat kawanan jago itu berasal dari mana" Dengan begitu kau bisa menebak siapa hujin yang ada dalam halaman?" Sambil tersenyum Siau Hui-uh manggut manggut, tapi kemudian katanya lagi sambil menghela napas: "Tapi urusan orang, apa sangkut pautnya dengan kita?" Setelah duduk kembali, ujarnya dengan lembut: "Lebih baik kau beristirahat dulu!" Dari helaan panas si nona, Tian Mong-pek segera tahu kalau gadis itu ingin sekali segera memecahkan teka teki ini, hanya saja karena menguatirkan lukanya, maka dia sengaja berkata begitu.
Gadis yang diwaktu biasa tak pernah memikirkan orang lain, sekarang ternyata sangat menguatirkan keselamatannya, Tian Mong-pek merasa berterima kasih bercampur gembira.
Maka sambil tertawa katanya: "apa salahnya kalau secara diam diam aku mengintip?" "Kau....
kau benar benar akan mengintip?" Siau Hui-uh kegirangan.
Sambil tertawa Tian Mong-pek manggut manggut.
"Tapi aku hanya mengijinkan kau mengintip sebentar dan segera kembali, jangan mengusik ketenangan orang lain." Pesan si nona.
Pesan itu tak lain adalah pesan Tian Mong-pek kepadanya tadi, tentu saja pemuda itu jadi kegelian.
Maka mereka berdua pun bersembunyi dibawah pohon besar, untung pohon itu besar dan rindang, apalagi perhatian para jago pun terpusat ke dalam halaman, sehingga tak seorang pun yang menemukan jejak mereka.
Tian Mong-pek mengintip dari belakang pohon, dia saksikan kawanan jago itu sebagian besar berdiri membelakanginya dan hampir semua berdiri dengan kepala tertunduk, ada empat orang yang baru keluar dari halaman, namun masih berdiri diluar dan tak berani meninggalkan tempat itu.
Begitulah empat orang keluar, empat orang berikut masuk, biarpun keluar masuk berjalan cepat, tapi bungkusan atau kotak yang dibawa sewaktu masuk, tidak terlihat lagi ketika keluar.
Diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Kalau ditinjau dari keadaan ini, jangan jangan nyonya didalam halaman itu adalah kepala rampok, sementara teman teman persilatan datang menghantar upeti?" Namun setelah dipikir bolak balik, diapun tak bisa menebak siapa gerangan kepala rampok ini, kecuali dia adalah So Kin-soat.
Berpikir sampai disitu, dia semakin bertekad untuk mencari tahu, apalagi Siau Hui-uh, dia seolah sudah lupa dengan pesannya sendiri tadi.
Tiba tiba Tian Mong-pek menemukan kalau ada orang yang berpaling diantara para jago itu, paras mukanya cukup dikenal tapi lupa siapakah dirinya.
Ketika dilihat dari dari bayangan punggungnya, orang itu berperawaan kurus kecil dan pendek, sepasang lengannya lebih panjang dari lutut, kalau bukan karena dia berjalan dibelakang orang lain, mungkin Tian Mong-pek tak akan mengenalnya.
Begitu menyaksikan ciri khas orang ini, Tian Mong-pek segera teringat akan seseorang, ternyata orang ini adalah naga mega Sun Kiu-si.
Tian Mong-pek cukup tahu kalau Sun Kiu-si adalah hartawan kaya raya, dia tersohor dikalangan putih dan tak mungkin bekerja sebagai gerombolan Liok-lim.
Dengan begitu dia semakin membuktikan kalau dugaannya tadi keliru, tapi kalau mereka bukan kawanan Liok-lim, kenapa bergerombol disitu dan sama sama mengirim upeti untuk seorang "Hujin?" Seusai beranjang sana, para jago itu tak berani berlalu, dengan tertib mereka berdiri berjajar didepan pintu halaman dan seakan menunggu perintah dari nyonya itu.
Tak selang berapa saat kemudian, dayang tadi muncul kembali, Siau Hui-uh segera berbisik: "Dialah dayang yang muncul tadi." Begitu melihat wajah dayang itu, paras muka Tian Mong-pek berubah, ditatapnya nona itu tanpa berkedip.
Dengan keheranan Siau Hui-uh segera bertanya: "Aneh, yang lain kau tak kenal, masa malah kenal dengan dia?" Saking kagetnya, Tian Mong-pek sudah tak mampu berbicara lagi, dia memandang dayang itu tanpa berkedip, berapa kali dia mengucak mata sendiri, seakan curiga kalau matanya sudah rabun.
Sambil menggigit bibir Siau Hui-uh segera berbisik lagi: "Coba lihat tampangmu itu, kalau bukan dayang itu masih kecil, mungkin aku benar benar sudah cemburu." "Kenapa dia....
dia adalah Siau-cui?" "Siapa itu Siau-cui" Jangan jangan dia adalah dayang kekasih lamamu?" Tiba tiba saja dia menggigit telinga pemuda itu.
Tian Mong-pek kaget, tapi setelah menghela napas katanya: "Siau-cui adalah budak rumahku." Perkataan ini sama sekali diluar dugaan Siau Hui-uh, setelah tertegun katanya sedih: "Kalau Siau-cui adalah budakmu, berarti Hujin itu adalah istrimu?" "Siapa bilang aku punya istri .
. . . .." aku benar benar merasa II keheranan.....
kata Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
Tampak Siau-cui membawa keranjang bambu, dari dalam keranjang dia membagikan semua yang hadir sebuah benda, benda itu tak besar bentuknya tapi tak jelas apakah itu.
Kemudian terdengar siau-cui berkata lagi: "Hujin telah istirahat, kalian boleh kembali, jangan satu per satu, jangan mengagetkan hujin." Para jago mengiakan dan segera mengundurkan diri dengan teratur.
Kebetulan Sun Kiu-si berjalan dipaling belakang.
Menunggu Siau-cui sudah masuk ke dalam halaman dan Sun Kiu-si belum pergi jauh, cepat Tian Mong-pek bertepuk tangan sambil memanggil: "Sun Kiu-si, saudara Sun." Dengan wajah keheranan bercampur kaget Sun Kiu-si berpaling sambil menghentikan langkahnya.
"Saudara Sun, masih ingat aku"' tanya Tian Mong-pek sambil berjalan keluar dari balik hutan.
Saudara Sun, masih ingat aku"' tanya Tian Mong-pek sambil berjalan keluar dari balik hutan.
Belum selesai bicara, Sun Kiu-si sudah melompat mendekat sambil teriaknya: "Saudara Tian, kenapa kau bisa disini?" "Panjang untuk diceritakan, bila ada waktu silahkan saudara Sun ikut aku ke dalam kamar." Setelah berada dalam kamar, dengan mata yang tajam Sun Kiu-si mengamati kedua orang itu, tiba tiba katanya sambil tertawa: "Apakah saudara Tian hendak mengundang siaute minum arak kegirangan?" Tian Mong-pek kuatir Siau Hui-uh marah oleh kelancangan rekannya, siapa tahu gadis itu malah tertunduk dengan wajah memerah, bukan saja tidak marah, malah sedikit kelihatan gembira.
"Nona ini adalah . . . . .." kata Sun Kiu-si sambil tertawa.
"Dia adalah nona Siau, Siau Hui-uh dari lembah Kaisar." Sun Kiu-si jadi kaget, senyumannya membeku, lewat sesaat kemudian ia baru berkata agak gagap: "Cayhe....
maafkan bila aku lancang, nona.....
nona....." Tian Mong-pek tidak menyangka kalau nama lembah kaisar memiliki daya pengaruh sebesar itu, melihat dia ketakutan, buru buru katanya: "Aku sengaja memanggil hengtai, karena ingin menanyakan sesuatu." "Katakan saja saudara Tian." Kali ini Sun Kiu-si tak berani bergurau, wajahnya serius.
"Jauh jauh hengtai datang kemari, sebenarnya karena urusan apa, yang ada dalam halaman itu .
. . . . .." Tiba tiba Siau Hui-uh ikut angkat kepala, selanya sambil tertawa: "Apakah orang yang ada dalam halaman itu adalah nyonya Tian Mong-pek?" Ternyata dia masih kuatir, takut Tian Mong-pek benar benar telah beristri.
Dalam hati Tian Mong-pek tertawa geli, tapi diluar ujarnya serius: "Saudara Sun tak usah gubris gurauan nona Siau, sebetulnya hujin mana yang ada dalam halaman itu?" Sun Kiu-si segera memperlihatkan wajah serba salah, dengan kening berkerut dan wajah murung sahutnya: II "Soal ini.....
soal ini . . . . .. "Memang ada yang pantas dirahasiakan?" tegur Siau Hui-uh, "Kalau ingin bicara, cepat katakan!" Setelah tertawa getir ujar Sun Kiu-si: "Sebenarnya urusan ini susah untuk dikatakan, tapi saudara Tian adalah ksatria sejati, bila tidak kujawab, bukankah aku jadi manusia kurcaci?" "Betul!" sambung Siau Hui-uh sambil tertawa, "kalau bicara ragu ragu, bukan manusia kurcaci lantas apa?" Sebenarnya Tian Mong-pek mengira Siau Hui-uh itu lembut, tapi setelah mendengar ucapannya, diapun tertawa getir, pikirnya: "Ternyata dia hanya lembut terhadapku, sedang terhadap orang lain masih sama saja." Tampak Sun Kiu-si semakin murung, wajahnya bingung, tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal, jelas dia sudah dibikin kepala pusing oleh ulah gadis ini.
II "Terus terang saudara Tian, akhir Sun Kiu-si berkata, "sebenarnya aku adalah anggota panji kain putih .
. . . .." "Ooh, mengerti aku sekarang," sela Siau Hui-uh, "berarti orang yang tinggal dalam halaman itu adalah istri ciangbunjin mu.....
kalau begitu aku pun . . . . . .." Sambil tersenyum dia melirik Tian Mong-pek sekejap, kata "merasa lega" akhirnya tidak sampai diucapkan.
Sun Kiu-si bukan jago kemarin sore, sejak awal dia sudah menangkap maksudnya, iapun merasa geli dan gelengkan kepala.
"Kenapa geleng kepala?" kembali gadis itu menegur, "apakah rambutmu ada kutunya?" Sun Kiu-si mendeham berapa kali, kemudian katanya: "Sebenarnya perguruan kami ibarat sebaskom pasir, sejak kematian Chin lo-ciangbunjin, keadaan semakin kacau, tapi kini, ketua baru telah ll muncul .
. . . .. Tian Mong-pek berseru kaget, tapi cepat katanya: "Coba dilanjutkan." "Sejak muncul ketua baru, ternyata dia bercita cita membangun kembali citra perguruan, lagipula dia gagah dan pandai, karena itu semua anggota perguruan sangat menaruh hormat kepada hujin ini." Tian Mong-pek segera melompat bangun, tak tahan bentaknya: "Siapa nama ciangbunjin baru mu" Apakah dia memiliki panji kain putih peninggalan Chin locianpwee?" Sun Kiu-si terperanjat mendengar bentakan itu, pikirnya sambil tertawa getir: "Jangan jangan Tian tayhiap terlalu lama berkumpul dengan nona Siau hingga sekarang berubah sedikit sinting" Kalau tidak, kenapa dia teriak teriak karena urusan perguruanku?" Namun diluar ia tak berani berayal, jawabnya: "Biarpun cayhe tidak mengetahui apa isi surat wasiat yang diterima ketua baru, namun yang dia pegang adalah panji kain putih peninggalan Chin lo ciangbunjin serta kitab pusaka perguruan." "Panji itu tidak palsu?" "Biarpun panji kami hanya berupa selembar kain putih, namun setelah direndam dalam air akan muncul warna bunga, mana mungkin orang lain bisa memalsukan?" Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar dan ia terduduk kembali di bangku.
Sudah jelas dia masukkan panji kain putih serta kitab pusaka panji kain ke dalam sebuah gua di bukit Mo-kan-san, kecuali atas petunjuknya, sulit bagi orang lain untuk menemukannya.
Tapi selama ini dia selalu tutup mulut, lalu darimana ketua baru itu bisa memperolehnya" Melihat sikap pemuda itu, Sun Kiu-si semakin keheranan.
Tiba tiba Siau Hui-uh bertanya: "Apakah dayang yang melayani ciangbun hujin mu bernama Siau-cui?" "Darimana nona bisa tahu"' tanya Sun Kiu-si keheranan.
"Tahukah kau Siau-cui itu dayang siapa?" Dengan kebingungan Sun Kiu-si menggeleng.
Sambil menuding kearah Tian Mong-pek, seru Siau Hui-uh: "Dayang keluarganya." "Bee...
benarkah itu?" tanya Sun Kiu-si keheranan.
"Sejak kecil dia dibesarkan dikeluarga ku, sudah pasti tak bakalan salah!" Sun Kiu-si jadi tertegun berapa saat, setelah berpikir sejenak, ujarnya: "Jangan jangan .
. . . .. jangan jangan Siau-cui meninggalkan keluarga Tian dan bergabung dengan ciangbun hujin untuk melayaninya." "Aku sudah banyak waktu belum pernah pulang, kemungkinan besar bisa begitu.....
tapi bagaimana wajah ciangbun hujin mu itu" Apakah hengtai bisa beritahu?" "Orangnya halus, lembut, cerdas dan cantik bagaikan bidadari." "Berapa usianya"' tanya Siau Hui-uh.
Mendengar pertanyaan mereka semakin aneh, meski dihati merasa curiga, Sun Kiu-si tak berani tidak menjawab, sahutnya: "Berusia dua puluh tahunan, hampir sebaya dengan nona." Dengan kening berkerut pikir Tian Mong-pek: "Kalau baru berusia dua puluh tahunan, berarti dia bukan Tiau-yang hujin, bukan juga Siau Man-hong, lalu siapakah dia" Kenapa siau-cui bisa ikut dia?" Dengan mata yang bening Siau Hui-uh segera mengerling kearah pemuda itu, katanya lembut: "Cantik bagaikan bidadari, berusia dua puluh tahunan, adakah manusia semacam ini dirumahmu?" Tian Mong-pek menggeleng, setelah berpikir keras, gumamnya: II "Siapakah dia .
. . . .." kenapa . . . . . .. Sun Kiu-si mendeham berapa kali, katanya: "Andaikata aku tidak tahu kalau saudara Tian adalah seorang kstatria sejati, aku pasti akan keheranan, kenapa saudara Tian bertanya begitu banyak?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya: "Tak heran kalau hengtai tercengang .
. . . .. aai, alangkah baiknya jika aku dapat berjumpa dengan ciangbunjin serta ciangbun hujin perguruanmu." II "Sayang.....
aaai . . . . .. gumam Siau Hui-uh. Apa yang dipikirkan mereka berdua tidak jauh berbeda, seandainya Tian Mong-pek tidak terluka, tentu dia bisa melompat keatas atap rumah dan mengintai secara diam diam, asalkan dapat melihat wajah orang itu, tidak sulit untuk menebak keadaan sebenarnya.
Tapi kini Tian Mong-pek terlka, sekalipun Siau Hui-uh bisa pergi mengintai, sayang diapun tidak kenal.
Tiba tiba berkilat mata Tian Mong-pek, ujarnya cepat: "Apakah hengtai bisa mengajak siaute untuk pergi menjumpai mereka?" "Ciangbunjin kami tak pernah bertemu orang dengan wajah asli, sepanjang hari dia selalu mengenakan kain kerudung putih, apalagi mereka suami istri berdua memang tak ingin bertemu tamu asing." "Asal hengtai mau berusaha .
. . . .." Sun Kiu-si menghela napas panjang, ujarnya: "Dengan budi kebaikan saudara Tian terhadap sahabat persilatan, sepantasnya bila cayhe pun berusaha untukmu, hanya saja .
. . . .. kenapa" Kenapa saudara Tian ingin bertemu mereka?" Tian Mong-pek menatap rekannya sesaat, kemudian sahutnya: "Kenapa" Aku tak bisa menjelaskan sekarang, tapi saudara Sun tak usah kuatir, alasan dan tujuanku lurus dan bersih, semuanya demi menegakkan keadilan dalam dunia persilatan." Melihat kegagahan anak muda itu, Sun Kiu-si segera tertunduk dengan wajah termangu, akhirnya dia berkata sambil menghela napas: "Seandainya berganti orang lain, urusan ini teramat sulit, tapi terhadap saudara Tian, aku percaya seratus persen." "Mohon petunjuk." "Ciangbunjin telah turunkan perintah kepada seluruh anggota perguruan, agar berkumpul di kota Keng-ciu.
Yang hadir saat ini merupakan rombongan pertama yang kebetulan berada di gedung keluarga Tong .
. . . .." Ternyata ke empat orang lelaki berbalut kain putih dikepala yang muncul di gedung keluarga Tong merupakan utusan khusus dari perguruan kain putih, asal dia adalah anggota perguruan, dari dandanannya segera akan mengenali.
Terdengar Sun Kiu-si berkata lebih jauh: "Biarpun anggota perguruan kami banyak, tapi yang dicari ciangbunjin kali ini hanyalah orang orang yang punya nama dalam dunia persilatan, tempat yang dipakai untuk pertemuan pun merupakan rumah dari seorang anggota kami di kota Keng-ciu.
Aku rasa didalam dua tiga hari mendatang pasti akan berdatangan saudara lainnya, mereka semua mengenakan kain kerudung II muka .
. . . . . .. Tanpa terasa Siau Hui-uh jadi teringat dengan ulahnya mempermainkan anggota perguruan kain putih di tepi telaga Tay-ou, tanpa terasa ia tertawa geli.
II "Bagus sekali, seru Tian Mong-pek kegirangan, "asal saudara Sun mau beritahu waktu dan alamat pertemuan, aku akan menyusup masuk dengan mengenakan jubah putih kain cadar." "Sayangnya, ciangbunjin baru kami bukan saja cerdas dan hebat bahkan cara bekerjanya sangat teliti, jumlah yang harus hadir sudah pasti bahkan setiap orang memiliki sebuah lencana tanda pengenal." Sambil berkata, dia mengeluarkan sebuah lencana bambu yang kedua sisinya mempunyai ukiran bermotif bunga, mungkin benda inilah yang dibagikan siau-cui tadi.
Kembali Sun Kiu-si menjelaskan: "Lencana bambu ini memang bisa dipalsukan, tapi nama yang tercantum diatasnya bisa dilacak dari "Dasar samudra", yang dimaksud "dasar samudra" adalah buku keanggotaan partai." "Setiap pendatang harus tunjukkan lencana bambu yang bernama, ketika masuk pintu, nama dicocokkan ke buku keanggotaan....aaai, cara ini memang II sangat teliti.
Kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
"Terjang saja ke dalam, peduli dengan lencana dan nama." Usul Siau Hui-uh." "Bagi orang lain mungkin harus memaksa masuk, tapi tidak perlu bagi saudara Tian." Ujar Sun Kiu-si tertawa.
"Mohon petunjuk." "Tidak sedikit anggota perguruan kami yang berhutang budi kepada saudara Tian, asal kau memberi instruksi, mereka pasti akan mempersembahkan lencananya secara sukarela." I "Bagus sekali,' seru Siau Hui-uh, "kalau begitu tolong carikan dua buah untuk kami." "Menurut apa yang kuketahui, disini adir Kang Tiong-cu serta Tio San-kun, mereka pasti bersedia menyerahkan tanda pengenalnya, akan kupanggil mereka berdua kemari." "Bagaimana dengan kau" Kenapa tidak kau serahkan lencana mu?" tanya si nona.
Sun Kiu-si segera tertawa.
"Aku ingin mengikuti kalian berdua untuk menonton keramaian, selain itu bisa membantu untuk melindungi identitas kalian." Setelah memberi hormat, cepat dia mohon diri.
Tian Mong-pek sadar, yang dimaksud berhutang budi pastilah merupakan hasil perbuatan kebajikan yang dilakukan Tu Hun-thian sekalian atas nama dirinya, diam diam ia tertawa getir.
Dua hari kemudian, ditengah malam yang buta, diluar kota Keng-ciu, diluar sebuah gedung yang luas terlihat bayangan manusia bergerak, mereka mengenakan jubah putih, berkain kerudung putih dan bergerak bagaikan sukma gentayangan.
Gedung bangunan itu merupakan gedung angker yang tersohor di kota Keng-ciu, sudah lama terbengkalai, bahkan pejalan kaki pun enggan melewati daerah sekitar sana.
Tapi saat ini, bukan saja terlihat banyak bayangan manusia yang bergerak, dibalik gedung pun lamat lamat terdengar suara manusia serta cahaya lentera.
Kentongan ke tiga kemudian, bayangan putih yang berlalu lalang semakin jarang, saat itulah terlihat tiga orang manusia berbaju putih bergerak dari dalam kota.
Langkah kaki mereka amat cepat, salah satu diantara nya berkata: "Dengan datang sedikit terlambat dan pertemuan sudah dibuka, kalian berdua pun bisa terhindar dari komunikasi dengan anggota lain." "Cara saudara Sun memang bagus sekali." Kata rekan yang lain.
Sementara dalam pembicaraa, mereka bertiga sudah tiba didepan pintu gedung.
Dari dalam bangunan segera terdengar seseorang menegur: "Siapa?" Ke tiga orang itu menjawab: "Angin menderu hujan berderai, hanya panji kain yang tiada duanya." Pintu gerbang segera terbuka, ke tiga orang itu segera menyusup masuk.
Salah satu dari enam manusia berkerudung yang berjaga dibelakang pintu segera menegur: "Kalian bertiga datang terlambat, tunjukkan tanda pengenal." Ke tiga orang itu segera menunjukkan lencana bambunya, setelah diteliti sejenak, seru orang itu: "Sun Kiu-si, Kang Tiong-cu, Tio San-kun." Rekannya segera mencocokkan nama itu dengan kitab keanggotaan, kemudian sahutnya: "Betul, silahkan." Ke tiga orang itu melewati halaman yang terbengkalai menuju ruang depan, disana berdiri lagi seorang petugas yang sekali lagi memeriksa lencana tanda pengenal, setelah itu dia baru membukakan pintu sambil berkata: "Silahkan." Dua orang yang menyamar sebagai Kang tiong-cu serta Tio San-kun itu tak lain adalah Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh.
Kini mereka baru bisa menghembuskan napas lega sambil berpikir: "Ternyata pemeriksaan mereka ketat sekali." Menyaksikan cara kerja sang ciangbunjin baru yang begitu teliti dan cermat, dalam hati Tian Mong-pek merasa kuatir, dia semakin ingin tahu siapa gerangan orang itu.
Cahaya lentera menerangi seluruh gedung pertemuan, jendela di empat penjuru tertutup dengan lapisan kain hitam, saat itu sudah ada ratusan orang yang duduk bersila ditengah ruangan, mereka semua mengenakan kain kerudung putih hingga sukar dikenali wajahnya.
Tampaknya tadi Sun Kiu-si kelewat banyak curiga, sebab saat ini, meski pertemuan belum dimulai namun hampir semua yang hadir duduk dengan serius, tak seorang pun yang buka suara atau berbincang bincang.
Ke tiga orang itu segera mencari sebuah sudut untuk duduk, tak lama kemudian kembali ada lima, enam orang yang masuk ke dalam ruangan.
Karena tak ada pekerjaan lain, iseng Siau Hui-uh mencoba menghitung yang hadir, ternyata semuanya berjumlah seratus tujuh puluh tujuh orang, anehnya sejak awal hingga kini, tak terdengar seorangpun yang bersuara.
Bab 48. Badai di Pertemuan kota Keng-ciu.
Pada saat itulah dari belakang aula tiba tiba muncul seorang kakek bungkuk berambun putih, dia membawa sebuah kemoceng (pembersih debu dari bulu ayam), begitu sampai didepan dua kursi yang ada dalam aula, orang tua itu mulai membersihkan debu disekelilingnya.
Gerak gerik orang tua itu selain lamban, wajahnya layu sama sekali tak bersemangat, walaupun sedang membersihkan debu, matanya justru setengah terpicing seperti mengantuk sekali.
Melihat kemunculan orang itu, para jago segera berpikir: "Jangan jangan kakek inipun seorang jago lihay dunia persilatan yang sengaja menyamar jadi begini, kalau tidak kenapa ciangbunjin menggunakan orang semacam dia jadi pelayannya?" Sebaliknya Tian Mong-pek yang melihat orang tua itu jadi sangat terperanjat.
"Kenapa dia bisa berada disini?" pikirnya.
Ternyata kakek itu tak lain adalah orang tua yang menjadi kusir kereta dan menghantar perempuan bernama Ping-ji itu pulang ke Kanglam.
Berapa hari berselang Tian Mong-pek sudah keheranan ketika bertemu Siau-cui, setelah hari ini bertemu kakek itu, dia semakin terperangah, dia tak habis mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tiba tiba terdengar suara dentingan nyaring.....
"Traang, traaang....." begitu suara genta berbunyi, semua orang yang hadir dalam ruangan serentak berdiri serius, Tian Mong-pek tahu sudah pasti ciangbunjin telah datang.
Ketika menengok ke depan, tampak Siau-cui dan seorang bocah berbaju putih muncul dari balik ruangan, ditangan mereka berdua masing masing membawa sebuah nampan kumala.
Pada nampan pertama terletak panji kain putih sedang pada nampan kedua berisi kitab pusaka perguruan kain putih.
Karena terlalu jaraknya, sulit bagi Tian Mong-pek untuk memeriksa apakah benda itu palsu atau tidak.
Begitu melihat kemunculan kedua buah benda mustika itu, serentak para jago yang hadir sama sama berlutut dan menyembah hingga mencium tanah, tak seorangpun berani angkat kepala.
Sebenarnya Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh enggan berlutut, tapi pikir mereka kemudian: "Apa salahnya kalau ikut berlutut untuk dua benda peninggalan bulim cianpwee?" Kedua orang itu segera saling berpandangan lalu sama sama berlutut.
Tiba tiba terdengar seseorang berseru dengan suara berat: "Saudara semua, dipersilahkan berdiri." Meskipun suaranya parau dan berat tapi menggema diseluruh ruangan, jelas tenaga dalamnya sempurna.
Tampak seorang lelaki dan seorang wanita bersama sama tampil ke depan ruangan, yang lelaki berbaju panjang tapi tidak memiliki lengan kiri, Tian Mong-pek merasa terperanjat bercampur keheranan, dia tak mengira kalau ciangbunjin perguruan kain putih yang baru merupakan seorang berlengan tunggal.
Sedang yang perempuan berdandan indah dengan baju yang halus, wajahnya cantik rupawan.
Cukup dalam sekilas pandangan, Tian Mong-pek merasa jantungnya berdebar keras, ternyata ciangbun hujin tak lain adalah Peng-ji, si nona yang dibeli Hok Tiong-peng dan dihadiahkan kepada dirinya.
Ping-ji menjadi ciangbunji hujin" Siapa pula sang ketua berlengan buntung itu" Darimana dia bisa menemukan rahasia panji kain putih" Dalam sekejap pelbagai persoalan berkecamuk dalam benaknya, membuat pemuda itu termangu.
Tiba tiba lengannya terasa sakit, ternyata Siau Hui-uh telah mencubitnya keras keras.
Cubitan ini sungguh keras, nyaris membuat Tian Mong-pek menjerit kesakitan.
Ketika berpaling, tampak Siau Hui-uh sedang menatapnya tajam tajam, seolah sedang berkata: "Kau sudah mabuk karena kecantikan ciangbun hujin itu?" Dalam pada itu para jago sudah duduk kembali dengan serius, sementara sang ketua berlengan buntung dengan mata yang tajam memandang kesana kemari, sampai lama sekali tak berbicara.
Ketika sorot mata Tian Mong-pek beradu dengan sorot matanya, tiba tiba muncul satu perasaan bergidik dalam hatinya, belum pernah ia saksikan manusia semacam ini.




Tiba tiba ciangbunjin berlengan tunggal itu mengangkat tinggi panji kain putih sambil berseru: "Berpekik bagaikan hembusan angin, panji kain putih tiada duanya dikolong langit....
kini kupimpin perguruan ini dan akan memberi komando ke empat penjuru." Sorak sorai yang gegap gempita segera bergema memenuhi seluruh ruangan.
saat itulah Tian Mong-pek dapat mengenali kalau panji tersebut memang panji asli yang diserahkan Chin Mo-cuan kepada dirinya.
Kembali ketua berlengan buntung itu berseru dengan bangga: "Sejak lama perguruan kita tercerai berai, betapa gembiraku setelah menyaksikan seluruh kekuatan inti perguruan dapat berkumpul kembali disini, mulai sekarang kita harus menggalang persatuan dan selamanya II tidak tercerai berai lagi .
. . . .. Kembali para jago bertepuk tangan sambil bersorak sorai.
Terdengar sang ketua berkata lebih jauh: "Dengan kemampuan saudara kita semua, asal mau bersatu padu, tidak sulit untuk menandingi kemampuan siau-lim, Bu-tong, Kun-lun maupun II Kay-pang .
. . . .. Tiba tiba seorang lelaki disisi kiri bangkit berdiri dan berkata dengan hormat: "Lapor ciangbunjin, tecu He Kong-peng ingin menyampaikan sesuatu." Orang ini berperawakan tinggi besar, suaranya keras bagai genta, sebagian besar jago mengenalinya sebagai jago kota Keng-ciu, si golok guntur dan halilintar.
"Katakan." Ujar sang ketua.
"Tujuan utama perguruan panji kain putih adalah menggalang persatuan dan persaudaraan antar anggota, bukan bermaksud mencari nama dan posisi dalam dunia persilatan, apalagi membunuh dan bertikai .
. . . . . .. "Kau sangka aku tidak mengetahui tujuan perguruan dan butuh petunjuk dari Hee tayhiap?" tukas sang ketua ketus.
"Tecu tidak berani, tapi .
. . . .." "Anggota perguruan kita banyak orang pintar dan berbakat, kenapa tak boleh ikut berperan dalam dunia persilatan, kau sangka milik siapa dunia persilatan saat ini" Apakah kau rela dijajah dan berada dibawah orang lain?" bentak sang ketua gusar.
Perkataan ini sangat gagah dan tegas, kontan para jago merasakan darah panas bergolak, sekali lagi sorak sorai yang nyaring bergema diseluruh ruangan.
Terdengar seseorang berseru: "Perkataan ciangbunjin benar, biarpun kita hanya menggalang persaudaraan, apa salahnya ikut merebut posisi dalam dunia persilatan.
Hee toako, lebih baik duduk lah!" Melihat orang itu dengan berapa patah kata sudah mampu membangkitkan semangat para jago, Tian Mong-pek sadar, orang ini punya kemampuan luar biasa, tapi anehnya dia selalu merasa orang ini licik dan banyak akal, pikirnya: "Chin locianpwee serahkan panji kain sakti kepadaku, aku tak boleh menyia-nyiakan harapannya." Terdengar sang ketua berkata lagi: "Bila saudara sekalian bersedia mendukung diriku, akupun akan berusaha dengan sepenuh tenaga.
Almarhum Chin cianpwee....." Tiba tiba ia berhenti bicara.
Serentak para jago bangkit berdiri begitu mendengar nama almarhum ketua mereka disebut, hal ini menunjukkan rasa hormat mereka yang luar biasa.
Menanti semua orang sudah duduk kembali, ketua berlengan tunggal itu baru berkata lagi: "Ketika almarhum ketua Chin menyerahkan tanggung jawab ini kepadaku, aku pun pernah angkat sumpah dihadapannya untuk melaksanakan tiga hal." "Ke tiga hal yang mana?" "Tiga tugas yang diserahkan dia orang tua kepadaku menjelang ajalnya, pertama minta aku untuk membawa semua anggota perguruan untuk setia sampai mati demi perjuangan perkumpulan kain putih." "Setia sampai mati!" teriak para jago.
Berkilat sepasang mata ketua berlengan tunggal itu, lanjutnya: "Kedua, minta aku memimpin semua saudara seperguruan untuk membalas budi kepada seseorang." "Boleh tahu cianpwee mana yang telah melepas budi untuk dia orang tua?" "Orang itu tak lain adalah So hujin dari bukit Kun-san, kebetulan belakangan ini so hujin memang butuh tenaga bantuan." "Inilah kesempatan bagi kami untuk balas budi, kami tak akan menyia nyiakan kesempatan tersebut." Kembali para jago berteriak.
Tian Mong-pek segera saling bertukar pandangan dengan Siau Hui-uh, mereka sama sama terperanjat, pikirnya: "Tak disangka orang inipun antek So Kin-soat, tapi kenapa bisa mendapatkan panji kain putih dan memperistri Ping-ji?" Siau Hui-uh segera menarik tangan Tian Mong-pek dan berbisik: "Apakah So Kin-soat mengetahui tempat kau menyimpan panji pusaka itu?" Ternyata selama dua hari ini dia selalu membicarakan hal yang berhubungan dengan perguruan ini.
"Tidak tahu." sahut sang pemuda.
Terdengar ketua berlengan buntung itu berseru lagi: "Tugas ke tiga dan ini yang paling penting adalah membalaskan dendam bagi dia orang tua, tugas yang berlaku untuk setiap anggota perguruan." Kehebohan segera terjadi diantara para jago, teriak mereka: "siapakah bajingan itu" Siapa yang telah mencelakai dia orang tua?" "Dia adalah Tian .
. . . . . .. Mong . . . . .. Pek!" Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek mendengar ucapan itu, sejak ketua berlengan buntung itu menyampaikan banyak cerita bohong, dia sudah tahu kalau manusia ini jahat dan licik, apalagi setelah mendengar dia menuduh dirinya sebagai pembunuh Chin Mo-cuan, bahkan menganggap So Kin-soat sebagai tuan penolong Chin Mo-chuan, dia semakin yakin kalau dibalik kesemuanya itu tersisip intrik dan rencana besar lainnya.
Masih untung dia hadir didalam pertemuan ini dan ada kesempatan untuk membongkar rahasianya, kalau bukan begitu, apa jadinya" Berpikir begitu diapun siap bangkit berdiri untuk membongkar kebohongan itu.
Tiba tiba ia merasa Siau Hui-uh menarik lengannya dan menulis ditelapak tangannya: "Kau ingin mencari mati?" Kini Tian Mong-pek baru teringat kalau selama dua hari ini meski kekuatannya telah pulih namun belum bisa menggunakan tenaga murni.
Jika sekarang dia bangkit berdiri, memang tak usahnya seperti menghantar kematian, dalam gelisah dan gusarnya, peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam pada itu suasana dalam ruangan telah terjadi kekalutan, nama Tian Mong-pek sudah terlalu termashur dalam dunia persilatan belakangan, boleh dibilang tak ada yang tidak mengenalnya.
Segera terdengar seseorang berseru: "Konon Tian Mong-pek itu seorang ksatria sejati, mana mungkin dia yang mencelakai ketua Chin?" Tapi ada pula yang berseru: "Tian Mong-pek tak menentu wataknya, sebentar melakukan kebaikan sebentar melakukan kejahatan, jangan jangan ketua Chin memang dicelakainya." Dengan seksama ketua berlengan buntung itu mengikuti setiap komentar yang diucapkan para anggotanya, tiba tiba katanya dengan suara dalam: "Bila bertarung satu lawan satu, sudah pasti Tian Mong-pek bukan tandingan ketua Chin, sayang dia menggunakan siasat licik untuk menjebaknya, coba aku tidak datang tepat waktu hingga membuatnya kabur, mungkin mayat ketua Chin sudah tercecer ditengah gunung dan tiada tempat kubur.
Kecuali aku, So hujin menyaksikan pula kejadian ini." Perkataan itu bukan saja disampaikan dengan rapi bahkan setiap katanya disisipi niat keji yang mengerikan, seolah olah dia memang menaruh dendam kesumat dengan pemuda itu.
Para jago mulai goyah hatinya, kini hampir semua orang percaya dengan uraian itu, hawa amarah dan dendam pun menyelimuti perasaan setiap orang.
Kembali Tian Mong-pek merasa terkesiap, pikirnya: "Peristiwa terbunuhnya Chin locianpwee oleh ayah beranak Hong Sin hanya diketahui So Kin-soat dan aku, jika So Kin-soat bersikeras menuduh akulah pembunuhnya, bukankah para jago dari perguruan kain putih akan semakin yakin kalau aku lah pembunuh Chin locianpwee?" Siau Hui-uh merasa tangannya yang digenggam mulai gemetar dan basah oleh keringat dingin, ia tahu pemuda itu selain marah juga sedih, hanya saja situasi dan kondisi sekarang tidak memungkinkan dia untuk melampiaskan keluar.
Sun Kiu-si yang duduk disisinya ikut merasa tak tenang, ia tampak mulai gelisah.
Tiba tiba si Golok halilintar Hee Kong-peng bangkit berdiri, teriaknya dengan lantang: "Tian tayhiap pernah selamatkan nyawaku, kalau dibilang dia telah melakukan perbuatan terkutuk ini, aku tak akan percaya.
Bila kalian tidak percaya dengan kebesaran hati Tian tayhiap, kenapa tidak tanyakan saja kepada Kang Tiong-cu toako serta Tiok San-kun, Tio toako." "Dengan selamatkan dirimu, memangnya dia tak bisa mencelakai orang lain?" dengus sang ketua dingin, "orang ini tak menentu wataknya, setiap orang tahu kalau dia terkadang jahat terkadang baik." II "Soal ini.....
soal ini..... "Kenapa" Kau sangka aku berbohong?" hardik ketua buntung itu gusar.
"Soal ini . . . . .." kembali Hee Kong-peng tertunduk, mendadak ia menjerit kesakitan lalu roboh ke tanah, darah segar bercucuran dari balik kain kerudung putihnya.
Kembali para jago terkejut, siapapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tapi Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh dapat menyaksikan dengan jelas sekali, disaat Hee Kong-peng menundukkan kepalanya tadi, berapa batang senjata rahasia segera meluncur keluar dari balik baju ketua berlengan buntung itu.
Senjata rahasia itu berwarna hitam, ketika dilepas dia sama sekali tidak menggerakkan tangan maupun bahu, tak heran kalau seluruh jago yang hadir, kecuali Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh, tak ada yang melihat hal ini.
Tampak Hee Kong-peng mencakar muka sendiri sambil menjerit: II "Kang Tiong-cu, Tio....
san-kun.... kalian.... kalian..... Tiba tiba tubuhnya mengejang keras kemudian tidak bergerak lagi, darah yang meleleh dari balik kain kerudungnya seketika berubah jadi hitam pekat.
Sampai menjelang ajalnya dia masih menyalahkan Kang Tiong-cu serta Tiok San-kun yang tidak mau tampil membela Tian Mong-pek, tentu saja dia tak tahu kalau dua orang yang dimaksud sama sekali tidak hadir dalam gedung itu.
Ketika orang yang berada disampingnya membuka kain penutup kepalanya, dengan cepat mereka mundur berapa langkah dengan sempoyongan.
Ternyata raut mukanya telah berubah jadi ungu kehitaman.
Selama hidup belum pernah para jago menyaksikan senjata rahasia sekeji ini, untuk sesaat mereka saling berpandangan dengan rasa kaget.
Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek segera mengenali senjata rahasia itu sebagai milik keluarga Tong, tapi kenapa orang keluarga Tong bisa memasuki perguruan panji putih, kenapa bisa mengawini Ping-ji" Tian Mong-pek semakin bingung dan tidak habis mengerti.
Dalam pada itu ketua berlengan buntung itu sudah menyapu seluruh ruangan sambil membentak: "Siapa yang bernama Kang Tiong-cu dan Tio San-kun?" "Aduh celaka!" pekik Tian Mong-pek berdua dengan kaget.
Apalagi Sun Kiu-si, saking cemasnya dia sampai gemetar keras, mimpi pun tak disangka urusan bisa berkembang jadi begitu.
"Apakah mereka berdua telah hadir?" kembali ketua berlengan buntung bertanya.
"Mereka hadir." Jawab petugas penerima tamu.
"Kalau sudah hadir, kenapa tidak segera berdiri?" bentak ketua berlengan tunggal itu gusar.
Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh segera bangkit berdiri.
"Tecu Tio San-kun." Kata Tian Mong-pek dengan kepala tertunduk.
Dia merasa sepasang matanya yang bengis dan jahat itu bergerak diatas wajahnya, meski terhadang kain kerudung namun hatinya tetap bergidik.
Siau Hui-uh ikut berseru sambil memperserak suaranya: "Cayhe adalah Kang Tiong-cu." "Tio San-kun, angkat wajahmu, tatap mataku." Perintah sang ketua lagi dingin.
Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek mengangkat kepalanya, sorot mata merekapun saling bertemu, sampai lama sekali....
suasana dalam gedung berubah jadi sepi dan hening.
Tian Mong-pek merasa sorot mata lawan bukan saja menimbulkan perasaan bergidik, bahkan memunculkan sedikit kenangan baginya, membuat dia seperti teringat akan sesuatu.
Tapi pemikiran itu berubah jadi kabur...
susah diraba, namun ada satu hal yang pasti, dia merasa sinar mata itu sangat dikenal.....
sangat dikenalnya . . . . .. Mendadak Tian Mong-pek bergidik, bulu romanya bangkit berdiri.
Pada saat yang bersamaan itulah mendadak ketua berlengan satu itu membentak keras: "Tian Mong-pek!" Kemudian sambil memberi tanda, teriaknya: "Bangsat inilah Tian Mong-pek! Dia telah membunuh Tio San-kun, merampas tanda pengenalnya dan menyusup kemari, saudara sekalian, cepat tangkap bangsat itu!" Para jago merasa terkejut, gusar dan tercengang, kegaduhan pun segera terjadi.
Perubahan ini terjadi kelewat mendadak, sekalipun para jago yang hadir merupakan jago kawakan yang banyak pengalaman, tak urung dibuat gelagapan juga.
"Traaang!" tiba tiba terdengar suara nyaring.
Ternyata Siau-cui telah menjatuhkan baki kumalanya karena kaget, sementara ciangbun hujin, Ping-ji yang semula tersenyum manis, kinipun tampak terperanjat.
Dengan cepat Siau Hui-uh menarik Tian Mong-pek ke sudut ruangan dan menghadang dihadapannya.
Dalam pada itu Tian Mong-pek masih berdiri melongo, gumamnya berulang kali: "Dia.....
dia . . . . .. kenapa bisa dia . . . . .. II Dipihak lain, ketua berlengan buntung itu sudah mengibarkan panji pusaka sambil membentak: "Aku perintahkan semua anggota perguruan untuk segera turun tangan, tangkap hidup atau mati merupakan satu pahala besar, siapa berani membangkang, bunuh!" Bagaikan air bah, kawanan jago dari perkumpulan panji putih segera menyerbu maju, bentak mereka: "Tian Mong-pek, bangsat laknat, kembalikan nyawa ketua partai kami serta nyawa Tio San-kun, Tio toako kami." Siau Hui-uh segera melepas pula kain kerudung mukanya hingga terlihat wajahnya yang cantik.
Sekali lagi para jago dibikin tertegun.
Dengan garang bentak Siau Hui-uh:
Sekali lagi para jago dibikin tertegun.
Dengan garang bentak Siau Hui-uh: "Siau Hui-uh dari lembah kaisar berada disini, siapa yang berani turun tangan?" Ternyata kata lembah kaisar memiliki pengaruh yang luar biasa, serentak para jago menghentikan langkahnya.
Tapi ada juga yang berteriak: "Kembalikan nyawa ketua kami." "Sun Kiu-si," dengan gusar Siau Hui-uh membentak, "kenapa kau masih membungkam?" Terpaksa Sun Kiu-si melepas kain kerudungnya sambil berkata gagap: "Kang tiong-cu dan Tio San-kun belum .....
belum mati, mereka menyerahkan tanda pengenal itu dengan sukarela .
. . . .." "Sun Kiu-si, kau berani berhianat?" bentak ketua berlengan buntung gusar.
Sekujur tubuh Sun Kiu-si gemetar keras, seketika ia dibikin terbungkam.
Bagi umat persilatan, tuduhan sebagai penghianat merupakan dosa yang luar biasa, sekalipun dia menghormati Tian Mong-pek, namun sebab kematian Chin Mo-chuan yang sebetulnya hingga kini belum terungkap.
Ketika mengetahui Kang Tiong-cu dan Tio san-kun belum mati, amarah para jago sedikit mereda.
Mendadak ketua berlengan buntung itu bersuit nyaring, dari luar pintu segera menerobos masuk belasan lelaki berbaju putih, begitu menyerbu ke dalam, serentak mereka mengurung Siau Hui-uh dan melancarkan serangan bertubi tubi.
Sekalipun ilmu silat yang digunakan berapa orang itu merupakan tenaga gwakang, namun kungfunya cukup tangguh.
Kalau dihari biasa Siau Hui-uh tak pernah pandang sebelah mata, namun sekarang dia harus melayani dengan serius, apalagi harus melindungi keselamatan Tian Mong-pek, posisinya jadi amat dirugikan.
Kembali ketua berlengan buntung itu membentak: "Bunuh mereka berdua, jangan biarkan hidup." Begitu melihat Tian Mong-pek tidak turun tangan, sedang Siau Hui-uh berulang kali harus melindungi keselamatannya, dia segera tahu kalau pemuda itu sudah terluka, hatinya makin girang.
Serangan dari kawanan lelaki berbaju putih itu makin gencar, angin pukulan menderu deru, kepungan semakin ketat.
Tergerak hati Siau Hui-uh, tiba tiba bentaknya: "Apa hubungan kalian dengan Lan Toa-sianseng?" "Hahaha, kau sangka dirimu pantas menyebut nama Lan Toa-sianseng?" ejek ketua buntung itu tertawa seram.
Dari ucapan tersebut, tanpa sadar dia telah mengakui kalau ada hubungan dengan Lan Toa-sianseng.
Siau Hui-uh semakin keheranan, kalau senjata rahasia yang digunakan berasal dari keluarga Tong, sedang anak buahnya berasal dari istana au-sian-kiong, lalu siapakah orang ini" Ketika mencoba melirik kearah Tian Mong-pek, dia jumpai pemuda itu masih berdiri terperangah dengan wajah tak habis mengerti.
Gumamnya: "Tidak mungkin .
. . . . .. kenapa dia memutar balikkan fakta dan bicara II bohong .
. . . .. tapi jelas dia telah bersikap begitu .
. . . .. Siau Hui-uh tahu, pemuda itu pasti sedang menghadapi masalah pelik yang tak bisa dipecahkan, meski dia ikut prihatin, namun tekanan yang diterima dari arena pertarungan makin lama semakin berat.
Tampak kedua belas orang lelaki itu membagi diri jadi empat kelompok, tiga orang setiap kelompok melancarkan serangan secara bergilir.
Ketika kelompok pertama selesai melancarkan tiga pukulan, rombongan kedua segera menggantikan posisi kelompok pertama dan kembali melancarkan serangan.
Ketika mencapai rombongan ke empat maka rombongan pertama kembali menggantikan posisinya, begitu seterusnya, seranganpun dahsyat bagai gulungan ombak samudra.
Sesungguhnya jurus pukulan yang dimiliki kedua belas orang itu tidak canggih, yang hebat justru kerja sama mereka.
Semakin bertarung, ke dua belas orang lelaki itu semakin bersemangat, sorot mata ketua berlengan buntung pun semakin gembira, tiada hentinya dia berteriak: II "Jangan biarkan mereka hidup, jangan biarkan mereka hidup.....
"Yaa sudahlah!" diam diam Siau Hui-uh menghela napas, ia sadar bukan pekerjaan yang mudah untuk kabur dari kepungan ke dua belas orang itu, yang bisa dia lakukan sekarang hanya bertahan sekuat tenaga.
Sadar akan situasinya yang gawat, tiba tiba Siau Hui-uh tertawa keras, serunya: "Mong-pek, persoalan apa yang membuat kau kebingungan" Tidak perlu dipikirkan lagi." Tian Mong-pek tertegun sambil mendongak, serta merta dia melepas kain kerudung mukanya.
Sambil tertawa kembali Siau Hui-uh berseru: "Bagaimanapun hari ini kita bakal mati bersama, bisa mati berdampingan denganmu, hal ini merupakan anugerah dari Thian, peduli amat dengan II persoalan yang tak bisa kau pecahkan.....
Tiba tiba Tian Mong-pek menjerit: "Mengerti aku sekarang." "Baguslah kalau sudah mengerti." Siau Hui-uh tertawa tergelak, tiba tiba bentaknya: "Tahan!" "Dasar apa mau berhenti?" ejek sang ketua.
"Sejak berkenalan, aku jarang berkumpul dengan dia, biarkan kami berdua bicara dulu sebelum mati, kalau tidak....." "Kalau tidak kenapa?" "Kalau tidak, aku akan biarkan dia mati duluan kemudian baru berusaha membantai berapa puluh orang anak buahmu." Bentak Siau Hui-uh.
Dengan sekuat tenaga dia lancarkan tujuh buah serangan berantai.
Ke tujuh buah serangan itu menggunakan ilmu simpanan dari lembah kaisar, sekalipun tak dapat menjebol serangan berantai lawan, paling tidak cukup membuat pihak musuh kalang kabut.
Diam diam para jago merasa kagum juga dengan kehebatan gadis muda ini, tanpa terasa mereka memandang kearah ketua buntung itu dengan harapan sang ketua mau mengabulkan permintaannya.
Setelah termenung sejenak, akhirnya sang ketua berseru: "Berhenti!" Serentak ke dua belas orang itu menghentikan serangannya, gelombang ancaman pun seketika membuyar.
Siau Hui-uh tertawa terkekeh.
"Hahaha, anggap saja kau cerdas .
. . . .." Lalu sambil berpaling kearah Tian Mong-pek, bisiknya lirih: "Mong-pek .
. . . . .. Mong-pek . . . . .. Mong-pek . . . . . . .." Baru tiga kali panggilan, air matanya sudah jatuh berlinang, tiba tiba dia peluk pemuda itu erat erat sambil berbisik: "Aku sangat gembira, ternyata kita dapat mati bersama pada saat yang berbareng." Biarpun ucapan itu disampaikan sambil tersenyum, namun nadanya lebih mengenaskan daripada suara tangisan.
Sikap semacam ini kontan menimbulkan rasa iba dihati para jago, mereka ikut sedih dan segera berpaling kearah lain.
Sun Kiu-si terlebih sedih, dia sampai tak berani angkat kepalanya.
Sementara Ping-ji dan Siau-cui saling berpelukan, mereka seakan terperanjat, seperti juga ikut trenyuh.
Dalam pada itu Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek sudah duduk disudut ruangan sambil berpelukan mesra, mereka bukan saja tidak menggubris soal mati hidup, bahkan terhadap musuh tangguh di empat penjuru pun seolah tidak melihat.
Setelah menghela napas panjang kata Tian Mong-pek: "Tahukah kau .
. . . . . .." Belum habis ia berkata, Siau Hui-uh sudah tutup mulutnya sambil berbisik: "Tak usah banyak bicara, mari kita duduk dulu dengan tenang, kemudian....." Setelah tertawa sedih, lanjutnya: "Setelah kupikirkan bolak balik, rasanya susah bagi kita pergi meloloskan diri hari ini, toh hidup itu sengsara, bila dapat mati bersama dengan tenang, hal ini justru merupakan rejeki kita, tak usah pusing lagi dengan urusan duniawi .
. . . . . .." Merasakan belaian tangannya yang halus, bau harum dari tubuhnya yang semerbak, Tian Mong-pek merasakan hatinya sedih, pikirnya: "Tak disangka dia begitu baik terhadapku, kalau bukan menghadapi kejadian sulit, tak mungkin dia akan perlihatkan kasih sayangnya .
. . . . . .. aaai, tapi.... tapi dalam kejadian hari ini, aku benar benar tak bisa mati dengan meram." Sesudah menggigit bibir, akhirnya dia berkata dengan suara berat: "Ketua berlengan satu itu adalah Yo Swan." "Yo....
Yo Swan" Bukankah dia sudah mati?" tanya Siau Hui-uh dengan tubuh gemetar.
"Lan Toa-sianseng yang mengatakan kepadaku kalau Yo Swan sudah mati, walaupun tidak menyaksikan sendiri tapi aku selalu mempercayainya, siapa tahu.....
siapa tahu . . . . .." "Masa dengan status Lan Toa-sianseng, dia....
dia pun bisa membohongimu?" "Tahu orangnya, tahu wajahnya, belum tentu tahu hatinya, kalau bukan kusaksikan sendiri penampilan Yo Swan pada hari ini, aku masih percaya kalau Lan Toa-sianseng tak akan membohongi aku." "Ti....
tidak salah lihat?" "Sejak bertatap mata dengan orang berlengan satu itu, hatiku langsung tercekat, pada mulanya kusangka nyaliku jadi kecil, kenapa begitu bertemu orang jadi ketakutan....
tapi . . . . .. tapi sekarang aku sudah tahu penyebabnya, sebab aku selalu menganggap dia sudah mati dan tiba tiba mata orang mati sedang melotot kearahku, tentu saja aku merasa takut, terlebih .
. . . .. terlebih orang mati ini sudah berulang kali mencoba mencelakaiku.....
membuat aku menderita . . . . .. membuat aku tersiksa . . . . . .." Sambil gigit bibir akhirnya dia berhenti bicara.




Siau Hui-uh berseru tertahan.
"Aaah, tak heran kalau diapun segera mengenalimu begitu bertatap mata, kalau kedua belah pihak tidak saling mengingat hingga merasuk tulang, mana mungkin bisa saling mengenal hanya lewat tatapan mata?" "Benar, aku akan teringat akan dirinya sampai mati, selama hidup tak akan melupakan dirinya, bila bukan dia, siapa yang bisa mengenali diriku" Aaai, mungkin inilah kemauan takdir." "Sejujurnya....." bisik Siau Hui-uh, "akupun akan segera mengenalimu, II cukup dari tatapan mata.....
Maksudnya, diapun sudah mengingat Tian Mong-pek hingga ke lubuk hatinya yang terdalam.
Tian Mong-pek tertawa sedih, katanya: "Semula aku tak habis mengerti, panji kain putih itu sudah kusembunyikan begitu rahasia dan tak mungkin ditemukan orang, sekarang aku sudah mengerti." "Apakah kau pernah beritahukan tempat penyimpanan itu kepada Yo Swan?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Ketika pertama kali berkenalan, kusangka dia adalah seorang ksatria, pernah kuminta tolong dia untuk menyelesaikan harapan Chin locianpwee menjelang ajalnya, waktu itu sebenarnya aku hendak mengajak dia ke sana, tapi tidak sempat menjelaskan letaknya secara terperinci.
Tapi dia memang pintar, mungkin dari percakapan denganku dia berhasil mengorek banyak keterangan.
Tadi, aku masih mengira dia sudah mati hingga tidak sampai berpikir ke dia, begitu aku sadar kalau dia masih hidup, akupun jadi mengerti semua keterkaitannya." Siau Hui-uh cukup sadar akan kesetiaan Tian Mong-pek dengan janjinya dan dia percaya pemuda itu tak akan menyebutkan tempat penyimpanannya dengan jelas, karena terhadap dirinya pun, pemuda itu tetap pegang rahasia.
Namun kenyataannya dia telah memberitahukan rahasia ini kepada Yo Swan, dari sini bisa diketahui, sesungguhnya dia amat mempercayai Yo Swan, siapa sangka Yo Swan justru bersikap sebaliknya.
Berpikir sampai disini, rasa benci Siau Hui-uh terhadap Yo Swan merasuk hingga ke tulang sumsum, diapun menaruh perasaan iba terhadap Tian Mong-pek, tak tahan dia membelai wajahnya.
Kembali Tian Mong-pek berkata: "Sampai detik ini, aku masih tak percaya kalau Lan Toa-sianseng bakal berbohong kepadaku, hingga aku saksikan ilmu pukulan penghancur ombak yang digunakan kawanan lelaki itu ternyata merupakan ilmu ciptaan Lan Thian-jui." "Pukulan penghancur ombak" Aaai, sebuah nama yang aneh, ilmu silat yang aneh, kalau tidak menjumpai sendiri, aku tak percaya kalau dikolong langit terdapat pukulan semacam ini." "Andaikata secara tidak sengaja Lan Toa-sianseng tidak bercerita tentang asal usul ilmu pukulan penghancur ombak, mungkin akupun tak tahu.
Aaaai, bukan saja dia tidak membunuh Yo Swan, bahkan membohongi aku, tampaknya kejadian ini berubah makin rumit, siapa tahu....
siapa tahu Lan Toa-sianseng memang sealiran dengan So Kin-soat" Sewaktu Lan Toa-sianseng tiba tiba datang menolong aku ketika terjebak dalam gua rahasia pembuatan panah kekasih, sebenarnya aku merasa berterima kasih sekali, tapi sekarang baru merasakan adanya keanehan." "Keanehan apa?" sela si nona.
"Bayangkan saja, gua itu sangat rahasia letaknya, jika Lan Toa-sianseng tidak sering lewat kesitu, masa segampang itu dia menemukannya" Kalau dia hapal dengan daerah sana, bukankah sama artinya dia terlibat langsung dengan rahasia panah kekasih, atau mungkin dialah dalang sesungguhnya" Terlebih saat dia datang menolong, justru disaat nyawaku diujung tanduk.
Bukankah kejadian ini kelewat kebetulan?" Perkataan itu membuat Siau Hui-uh terkesiap, tangan kakinya sampai dingin semua.
Kembali Tian Mong-pek berkata: "Bukannya aku ingin membalas air susu dengan air tuba, tapi kejadian sudah berkembang jadi begini, mau tak mau pikiranku pun melayang ke sana." Siau Hui-uh menghela napas panjang.
"Aaai, nama besar Lan Toa-sianseng sudah tersohor di seantero jagad, seandainya ia berbuat begitu .
. . . .. sikapnya dihari biasa benar benar mengerikan." Tiba tiba katanya lagi: "Senjata rahasia yang digunakan Yo Swan tadi merupakan senjata rahasia dari keluarga Tong, mula mula kusangka dia murid Tong Ti, kalau dipikirkan sekarang, bisa jadi senjata rahasia itu merupakan pemberian Tong Ti kepada So Kin-soat, kemudian So Kin-soat menyerahkan lagi ll kepadanya .
. . . .. Para jago yang duduk di empat penjuru ikut terbungkam, mereka sangka kedua orang itu sedang berpacaran, siapa sangka kalau apa yang dibicarakan justru merupakan sebuah rahasia besar dunia persilatan.
Tiba tiba terdengar seseorang membentak nyaring: "Sudah selesai pembicaraan kalian berdua?" Tian Mong-pek segera berbisik: "Hari ini, salah satu dari kita harus bisa kabur dari sini, jika kita mati bersama, rahasia ini akan selamanya ikut terkubur." "Kau...
kau suruh aku kabur seorang diri?" "Benar." "Kau....
kau kejam," seru Siau Hui-uh dengan air mata bercucuran, "kau sangka aku bisa hidup terus tanpa dirimu" Atau mungkin kau....
kau belum tahu" Kau...
kau....." Tian Mong-pek merasa hatinya sakit bagaikan diiris iris, sambil menahan air matanya agar tidak meleleh, katanya lagi: "Bila kau tak bisa kabur, matipun aku tak meram." "Baik," tiba tiba Siau Hui-uh menyeka air matanya, "setelah kabur hari ini, akan kusampaikan rahasia ini ke seluruh dunia, kemudian....
aku... aku akan menemanimu." Tian Mong-pek sadar keputusan gadis itu sudah bulat, dia semakin sedih, bisiknya sambil membelai rambutnya: "Kenapa....
kenapa harus begini?" Siau Hui-uh tertawa sedih.
"Masa... masa kau belum paham dengan perasaanku" Masa kau masih perlu bertanya" Kalau kau suruh aku hidup seorang diri, kaulah orang yang paling keji di dunia ini." Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, kalau memang begitu, kau baru boleh mati setelah menyampaikan rahasia ini kepada orang yang paling tangguh dalam dunia persilatan." "Kenapa?" "Kalau bukan orang paling tangguh, mana mungkin bisa menghadapi Lan Thian-jui?" Siau Hui-uh termenung sejenak, kemudian jawabnya: "Baiklah, aku berjanji." Setelah mendengar persetujuan gadis itu, Tian Mong-pek baru merasa lega hatinya.
Tiba tiba ia teringat dengan dua bersaudara busur sakti empat senar, bukankah selama hidup merekapun mencari orang tertangguh di kolong langit namun gagal menemukannya, bagaimana mungkin Siau Hui-uh bisa menemukannya"
Tiba tiba ia teringat dengan dua bersaudara busur sakti empat senar, bukankah selama hidup merekapun mencari orang tertangguh di kolong langit namun gagal menemukannya, bagaimana mungkin Siau Hui-uh bisa menemukannya" Siapa sangka Siau Hui-uh pun berpikir: "Dia sengaja bicara begitu karena tak ingin aku mati, memang disangka aku tak tahu" Asal kuberitahukan rahasia ini kepada ayah dan engku, aku bisa segera mati, dengan tenaga gabungan mereka berdua, masa tak bisa dianggap jago nomor wahid?" Begitulah kedua orang itu sama sama berpikir demi pasangannya, pelukan merekapun makin kencang, siapa pun tak ingin segera dipisahkan.
Bisik Tian Mong-pek kemudian: "Aku akan menarik perhatian mereka, sementara kau berusaha untuk lolos dari sini." "Traang, traaang," tiba tiba dua bilah pisau belati dilemparkan ke samping tubuh mereka berdua, lalu terdengar ketua berlengan satu itu membentak: "Kalau kuberi hanya sebilah golok, mungkin kalian berdua lagi lagi akan saling berebut." Setelah mendongakkan kepala dan tertawa seram, lanjutnya: "Tapi sekarang telah kusediakan dua bilah pisau, jadi kalian berdua bisa mati bersamaan waktu, hahaha.....
lihatlah, aku cukup memperhatikan perasaan kamu berdua." Tian Mong-pek segera menyambar pisau belati itu dan bangkit berdiri, setelah maju berapa langkah, tiba tiba tegurnya sambil tertawa: "Yo toako, siapa yang telah mengutungi lengan kirimu?" Sekujur badan ketua berlengan satu itu bergoncang keras, bentaknya: "Siapa.....
siapakah Yo toako mu?" "Hahaha, kau bisa kenali siaute, masa siaute tak dapat mengenali dirimu?" Tiba tiba Ping-ji, ciangbunhujin itu menyela: "Kalau sudah dikenali lantas kenapa" Yo Swan, biarlah dia saksikan wajahmu sebelum meninggal." Tiba tiba dia menarik lepas kain kerudung muka sang ketua.
Sepasang suami istri itu berdiri sangat dekat, tindakan inipun dilakukan mendadak dan diluar dugaan, tak heran kalau kain kerudung muka sang ketua segera tersingkap.
Betul juga, dia tak lain adalah Yo Swan.
Tian Mong-pek tidak tahu apakah perbuatan Ping-ji itu berniat baik atau jahat, kontan dia tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, bagus! Bagus, ternyata memang Yo toako." Paras muka Yo Swan hijau membesi, serunya dingin: "Biarpun kita pernah angkat saudara, tapi ditegakkannya keadilan dan kebenaran, hari ini terpaksa aku putus hubungan dengan dirimu." Begitu tahu kalau Tian Mong-pek dan ketua mereka pernah angkat saudara, kembali para jago dibuat terkejut.
Tiba tiba Yo Swan merobek ujung bajunya sambil berteriak: "Aku tak boleh membela kepentingan pribadi demi urusan orang banyak, mulai sekarang aku putus hubungan dengan dirimu." "Bagus," kata Tian Mong-pek sedih, "begitu baik toako kepadaku, tak disangka toako justru putuskan hubungan persaudaraan terlebih dulu." Sekalipun licik dan keji, tak urung muncul juga rasa malu diwajah Yo Swan, tapi segera bentaknya: "Tak usah banyak bicara lagi, kau ingin bunuh diri atau kami harus turun tangan?" Tian Mong-pek jadi gelisah ketika dilihatnya Siau Hui-uh belum berniat melarikan diri, tiba tiba katanya sambil tertawa: "Siaute hanya ingin mati ditangan toako." Sambil berkata, dia mulai melangkah maju.
Entah karena takut dengan ilmu silatnya atau karena sudah melihat ada hal yang tidak beres, ternyata tak seorangpun dari kawanan jago itu yang berusaha menghalangi.
"Gampng saja kalau kau ingin mati ditanganku." Kata Yo Swan, mendadak dia angkat tangannya .
Walaupun Siau Hui-uh tahu kalau Tian Mong-pek pasti mati, tak urung dia berteriak juga: "Hati hati dengan senjata rahasia." Kematian Hee Kong-peng tadi membuat gadis ini meningkatkan kewaspadaannya.
Terlebih dia tahu kalau pemuda itu tak punya kemampuan untuk berkelit, dalam kagetnya tampak setitik cahaya hitam sudah melesat kearah ulu hati Tian Mong-pek.
Siau Hui-uh segera merasakan lututnya jadi lemah hingga badannya roboh ke tanah.
Para jago ikut menjerit kaget, sementara paras muka Ping-ji berubah jadi pucat pasi, hampir saja roboh terjungkal.
Siapa tahu ketika senjata rahasia itu menghantam ulu hati Tian Mong-pek, terdengar suara dentingan nyaring lalu senyap, sedang pemuda itu masih berjalan ke depan seolah tiada kejadian apapun.
Para jago kembali terperanjat, Siau Hui-uh bersorak girang sementara Yo Swan jadi terkesiap.
Ternyata Tian Mong-pek menganggap pedang hitamnya kelewat mencolok mata sehingga selama sakit tak berani digantung ditubuhnya, diapun enggan berpisah dengan senjata itu hingga diam diam menyembunyikan didepan dada, dibalik jubah panjangnya.
Tentu saja para jago tidak menyangka kalau pedang hitam itulah yang telah menahan senjata rahasia Yo Swan, mereka sangka bukan saja ilmu silat Tian Mong-pek belum punah, bahkan memiliki ilmu maha sakti.
Mereka jadi semakin ketakutan hingga mundur berulang kali, semakin tak ada orang yang berani turun tangan, Sambil tertawa seram teriak Tian Mong-pek: "Jangan jangan toako tak tega turun tangan?" Sebagaimana diketahui, anak murid perguruan panji kain putih selama ini tersebar di empat penjuru, mereka tak pernah mempunyai hubungan yang akrab dengan sang ketua.
Sebaliknya nama harum Tian Mong-pek sudah tersebar ke seantero jagad, pelbagai alasan yang disatukan inilah membuat orang semakin tak berani turun tangan.
Yo Swan segera tertawa seram, serunya: "Bagus, bagus sekali, aku memang tak tega untuk turun tangan." Baru saja dia akan melancarkan serangan lagi, tiba tiba siau-cui si dayang menubruk maju ke depan dan menggigit lengannya.
"Budak sialan, lepas tangan." Teriak Yo Swan gusar.
Mendadak Ping-ji ikut tertawa keras, katanya: "Dia tak akan lepas tangan, kau telah membantai seluruh anggota keluarga Tian Mong-pek, seharusnya termasuk diapun harus kau bunuh." Suara tertawanya melebihi isak tangis, sangat menusuk perasaan.
Tian Mong-pek terkesiap, nyaris dia jatuh tak sadarkan diri, sekalipun dia sudah tak punya sanak famili, namun semua pegawai yang ada dirumah merupakan pembantu lama yang hubungannya melebihi saudara sendiri.
Tampak Yo Swan melotot kearah Ping-ji dengan gusar, umpatnya: "Kau....
kau sudah edan, cepat tutup mulut." Tangannya menekan ke bawah, langsung menotok ke atas jalan darah kematian di kepala siau-cui, maksudnya biar gadis itu terhajar lepas.
Siapa tahu meski Siau-cui sudah mati, darah segar meleleh dari mulutnya, namun giginya masih menggigit kencang kencang, biar ditabok seperti apapun, sulit bagi Yo Swan untuk melepaskan diri.
Menyaksikan peristiwa ini, kembali para jago dibuat terkejut dan bergidik.
Kembali Ping-ji berteriak sambil tertawa seram: "Kau telah membantai seluruh keluarga Tian Mong-pek, karena melihat wajahku lumayan maka kaupun telah menggagahi diriku....." "Tutup mulut." Hardik Yo Swan gusar.
Walaupun dia ingin melepaskan diri dari gigitan siau-cui, apa daya lengannya tinggal satu dan lengan yang digigitpun merupakan lengan tunggalnya, ditambah lagi gigitan orang mati jauh lebih kencang dari apapun.
Bukan saja Yo Swan gagal melepaskan diri, mau melancarkan serangan dengan senjata rahasia pun tak mampu, terpaksa sambil menyeret jenasah siau-cui, dia berusaha menghajar Ping-ji.
Akibatnya gerak gerik Yo Swan jadi sangat terganggu, ditambah Ping-ji memiliki ilmu ginkang yang bagus, untuk sesaat sulit baginya untuk membentuk perempuan itu.
Dengan cepat ke dua belas orang lelaki kekar itu maju membantu, siapa tahu Siau Hui-uh kembali menghadang mereka.
Sesungguhnya ilmu silat yang dimiliki kedua belas orang itu tidak mampu menandingi Siau Hui-uh, apalagi ilmu pukulan penghancur ombaknya tak mampu digelar, otomatis kekuatan mereka semakin melemah.
Tampak Siau Hui-uh bergerak kian kemari bagaikan sukma gentayangan, tak sampai berapa saat sudah berapa orang diantaranya yang tertotok jalan darahnya.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur girang, sayang dia tak punya tenaga untuk membantu hingga untuk sesaat hanya berdiri melongo.
Sun Kiu-si berdiri disisi Tian Mong-pek, jelas dia berniat untuk memberi perlindungan.
Terdengar Ping-ji berseru lagi sambil berkelit: "Walaupun tubuhku masih suci, tapi sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan kotor, banyak ilmu merayu yang berhasil kupelajari, sungguh menggelikan kau masih menganggap diriku sebagai gadis suci, baru dirayu berapa kata, semalam kemudian sudah tak tega membunuhku....." Saat itu, dia sudah berhasil kabur ke tengah kerumunan para jago, Yo Swan semakin tak mampu mengejarnya, sedang para jago pun enggan turun tangan terhadap ciangbun hujin.
Dengan marah teriak Yo Swan: "Dimana para anggota perkumpulan panji kain" Melihat ketua kalian dihina, kenapa tak ada yang turun tangan?" Para jago tertegun, ada satu dua orang siap turun tangan.
Perlu diketahui, bagi orang persilatan, seorang ketua partai adalah segalanya, sekalipun dia adalah orang jahat dan kejam, mereka tak akan membiarkan ketuanya dihina orang, bila ketua menghadapi bahaya, mereka pun wajib melindungi.
Peraturan semacam ini sudah berlaku ribuan tahun, karena itu pula Siau Hui-uh berdua tak bisa berbuat banyak.
Baru saja Tian Mong-pek merasa terperanjat, tiba tiba terdengar Ping-ji berseru sambil tertawa terkekeh: "Siapa bilang kau masih seorang ciangbunjin" Mana tanda pengenal panji kain putih mu?" Yo Swan terperanjat, ia merasa keringat dingin membasahi punggungnya.
Tampak Ping-ji mengayunkan tangannya, panji kain putih segera berkibar.
Rupanya dia sudah merampas tanda kebesaran itu, dan Yo Swan tidak pernah menyangka istrinya akan berhianat.
Dengan amarah yang memuncak bentak Yo Swan: "Dasar perempuan rendah sialan, besar amat nyalimu, tak kusangka berani amat kau mencuri panji kebesaran itu.
Saudara sekalian, bekuk dulu perempuan sialan itu." Kembali para jago siap melancarkan serangan.
Dengan lantang teriak Ping-ji: "Panji kain berada ditanganku, akulah ciangbunjin, siapa berani turun tangan?" Untuk kesekian kalinya para jago menghentikan aksinya.
Dengan marah teriak Yo Swan: "Dia telah mencuri panji kain itu, aku tetap sebagai ciangbunjin, siapa berani membangkang perintahku?" "Betul, aku memang mendapatkan panji ini dengan mencuri, memangnya kau tidak mendapatkan dengan mencuri" Saudara sekalian, cepat tangkap bajingan she-Yo itu!" Para jago dibikin kebingungan, untuk sesaat mereka tak tahu harus menuruti perintah siapa.
Tiba tiba terdengar seseorang berseru: "Mana Him toako" Cepat ambilkan keputusan!" Yang mereka panggil sebagai Him toako bernama Him Ceng-hiong, dia adalah seorang yang jujur dan adil.
Seseorang segera menyahut sambil bangkit berdiri, dia berperawakan tinggi besar, ketika melepas kain kerudungnya, terlihat rambutnya telah beruban.
Setelah berpikir sejenak, diapun berkata: "Bagaimana pun, kita harus persilahkan hujin untuk menyelesaikan dulu perkataannya, kemudian baru mengambil pertimbangan." Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Cukup adil dan bijaksana perkataan orang ini, tak heran kalau para jago mempercayainya." Benar saja, para jago segera memberikan dukungannya.
Yo Swan tak berdaya, terpaksa ujarnya dengan wajah hijau membesi: "Baik, baik, silahkan kalian bicara, jangan menyesal kalau nanti akan kulaksanakan peraturan perguruan." Tiba tiba terdengar seseorang erteriak: "Memangnya orang yang menentang pendapat juga harus dihukum sesuai peraturan?" Orang ini punya hubungan yang akrab dengan Hee Kong-peng, saat ini dia tak dapat mengendalikan lagi emosinya.
Dengan gemas Yo Swan melotot kearahnya, tapi dia tak banyak bicara lagi.
Yang harus dilakukan sekarang adalah berusaha melepaskan diri dari gigitan siau-cui yang telah jadi mayat, sebagai orang yang licik, tentu saja dia tak ingin menimbulkan kerusakan besar ditubuh mayat tersebut, karena hal ini bisa menimbulkan protes dan antipatik banyak orang.
Terdengar Ping-ji berkata lebih jauh: "Tahukah kau, kenapa aku tetap bertahan hidup walaupun kesucianku telah kau gagahi" Bahkan sebaliknya dengan pelbagai cara kuberusaha merayu dan memikat hatimu" Aku mengerti, pada awalnya kau tak percaya, terkadang memberi aku kesempatan untuk kabur, ada kalanya sengaja tidur mendengkur, bahkan sengaja meletakkan senjata disampingku, hm, tapi aku tidak berusaha kabur, pun tidak berusaha membunuhmu, melihat kau tertidur, akupun menyelimuti badanmu, melihat kau mabuk, aku pun membuatkan kuah penyadar mabuk." Sesudah tertawa terkekeh, lanjutnya: "Aku tahu, kau selalu mengawasi setiap gerak geriku, lama kelamaan kau baru percaya kalau aku telah mencintaimu, rela mengikutimu sepanjang masa." Suara tertawanya makin lama semakin kencang, lanjutnya: "Sekarang aku katakan, aku sengaja berbuat begitu karena ingin menanti peristiwa seperti hari ini, menyaksikan kau mampus ditanganku!" Yo Swan menggertak gigi saking geramnya, tiba tiba bentaknya nyaring: "Biarpun kau sudah bicara ngaco belo, tapi Tian Mong-pek terbukti sudah membunuh ketua Chin, dendam kesumat ini harus dibalas." Dengan suara gemetar Tian Mong-pek segera berseru: "Chin locianpwee tewas oleh panah kekasih, akulah yang telah mengebumikan jenasahnya, dia orang tua pula yang menyerahkan panji kain putih itu kepadaku." "Kentut!" jerit Yo Swan, "aku yang telah mengubur chin cianpwee, saudara sekalian, jangan sampai ditipu bajingan itu." Para jago semakin kebingungan, mereka tak tahu harus percaya dengan perkataan siapa.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, teriaknya: "Kalau kau bilang dirimu yang telah mengubur jenasah Chin locianpwee, tahukah kau pakaian apa yang dikenakan dia orang tua ketika meninggal" Dimana pula jenasahnya dikuburkan?" Yo Swan kaget setengah mati, sahutnya agak tergagap: "Tentu saja di.....
di tebing Mo-kan-san." Karena mendapatkan rahasia panji kain putih itu di tebing bukit Mo-kan-san, dia sangka kuburan Chin Mo-chuan pasti berada diseputar sana.
"Kentut busuk," umpat Tian Mong-pek sambil tertawa keras, "untung saja aku tak pernah memberitahukan kepadamu dimana kukubur jenasah Chin locianpwee, bila saudara sekalian tak percaya, silahkan .
. . . . . .." Ketika mendengar sampai disitu, mendadak Him Ceng-hiong berteriak lantang: "Kami percaya penuh." Begitu kejadian sudah terungkap, mana benar mana salah sudah menjadi jelas, serentak para jago membentak nyaring: "Tian tayhiap tak akan berbohong." Menyaksikan keadaan ini, Yo Swan menghela napas panjang.
"Aaai, tak kusangka .
. . . . .." Mendadak dia tertawa seram sambil membentak: "Mampus semuanya!" Dia mengayunkan puluhan titik cahaya hitam yang langsung menyerang ke tubuh Ping-ji, Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh, sementara dia sendiri sudah menerobos keluar dari pintu utama.
Tapi entah mengapa, sewaktu keluar dari pintu, mendadak terdengar lagi suara jeritan ngeri sebelum tubuhnya lenyap dari pandangan mata.
Ternyata pada saat itu dia telah berhasil menghancurkan gigitan di lengannya dengan tenaga dalam, hanya saja dengan sengaja membiarkan tetap menempel dilengannya.
Begitu dia melepaskan senjata rahasia secara tiba tiba, benar saja, Tian Mong-pek bertiga sama sekali tak menyangka akan hal ini, sementara para jago pun tak sempat menjerit kaget, apalagi datang memberi bantuan"
Bab 49. Diselimuti kabut keraguan.
Sudah cukup lama Siau Hui-uh bertarung melawan kedua belas orang lelaki kekar itu, meski sekarang telah berhenti bertarung, namun jaraknya dengan Tian Mong-pek tidak terlalu dekat, apalagi dia sedang repot mengurusi keselamatan sendiri, bagaimana mungkin bisa turun tangan untuk menolong orang lain" Pada saat itulah Tian Mong-pek merasakan datangnya satu kekuatan besar dari belakang, kekuatan yang membuat tubuhnya melambung tanpa sadar, senjata rahasia yang mengancam tiba seketika melesat lewat dari bawah alas kakinya kemudian lenyap tak berbekas.
Dalam kerepotan, dia melihat tubuh Ping-ji ikut melayang ke udara, sedang dari bawah kakinya menyambar lewat cahaya gelap bagai awan, sedang Siau Hui-uh tahu tahu menjerit lalu roboh terjungkal.
Diantara ke tiga orang itu, sesungguhnya hanya Siau Hui"uh seorang yang tak mungkin terkena senjata rahasia, hanya dia seorang yang dapat menghindar atau memukul rontok senjata rahasia itu, siapa tahu justru hanya dia yang terluka.
Kini para jago baru menjerit kaget, ada diantaranya yang bermata tajam pun baru dapat melihat dengan lebih jelas.
Ternyata dibelakang tubuh Tian Mong-pek serta Ping-ji selalu menempel seseorang, hanya saja karena orang itu mengenakan jubah putih maka siapapun tidak menaruh perhatian kepadanya.
Hingga senjata rahasia dilancarkan, tiba tiba kedua orang itu mendorong tubuh Tian Mong-pek dan Ping-ji hingga terpental, sementara tangan yang lain dipakai untuk menggulung senjata rahasia itu ke balik bajunya.
Para jago dapat melihat kalau tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu sudah mencapai tingkat yang luar biasa, sekarang mereka baru tahu kalau kedua orang itu bukan anggota perguruan panji kain.
Tapi yang lebih aneh lagi adalah Siau Hui"uh ternyata tidak berusaha menghindar, ia membiarkan senjata rahasia itu menghajar tubuhnya.
Suasana didalam gedung kontan jadi kacau, begitu kakinya menginjak tanah, tanpa berpikir lagi kenapa badannya bisa mencelat, Tian Mong-pek menjerit kaget kemudian langsung berlarian menghampiri Siau Hui-uh.
Dua orang yang berada dibelakang Ping-ji ikut melambung pula ke udara dan melayang turun disamping Siau Hui-uh.
Salah seorang diantaranya segera membopong tubuh Siau Hui-uh sambil bisiknya: "Anak Uh....
anak Uh . . . . . .." Sewaktu tutup kepalanya dilepas, ternyata dia adalah Siau Ong-sun, kokcu dari lembah kaisar.
Sedangkan orang yang lain ikut melepas penutup kepalanya, dia adalah Tu Hun-thian.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menyangka kalau kedua orang Bu-lim cianpwee ini bakal muncul disini, dalam kagetnya belum sempat dia bertanya lebih jauh, Cepat dia menubruk ke sisi Siau Hui-uh.
Tampak Siau Ong-sun dengan mata berlinang berbisik: "Ayah tidak turun tangan lebih Cepat, ayah telah mencelakaimu, tapi.....
tapi... kenapa kau tidak berusaha menghindari senjata rahasia itu?" Walaupun pengetahuannya luas, menguasahi ilmu pertabiban, namun ia tak berani memberi pertolongan secara sembarangan karena tidak mengetahui sifat racun itu.
Maka dia totok dulu empat buah jalan darah penting ditubuh Siau Hui-uh, namun karena rasa kuatir yang berlebihan, peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Siau Hui-uh membuka matanya, melihat ayahnya hadir disitu, dengan rasa girang ujarnya lirih: "Kalau dia.....
dia tak bisa menghindar, apa gunanya aku berkelit, kami.....
kami ingin mati bersama, kalau membiarkan dia berangkat seorang diri .
. . . .. dalam perjalanan menuju ke alam baka pasti akan kesepian....." mana mungkin aku tega .
. . . . ..?" Remuk redam perasaan Tian Mong-pek mendengar ucapan itu, saking sedihnya dia sampai tak mampu berkata kata.
Tu Hun"thian menghentakkan kakinya berulang kali, para jago tertunduk sedih, bahkan Ping-ji pun ikut menangis tersedu.
"Bocah bodoh," kata Siau Ong-sun, "dia....
dia tidak terkena senjata rahasia!" "Dia....
dia tidak . . . . . .." Siau Hui-uh segera berpaling memandang Tian Mong-pek, tiba tiba badannya gemetar lalu jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan ayahnya.
Siau Ong-sun merasa amat menyesal, katanya: "Kenapa aku tidak turun tangan sejak awal, sebaliknya malah melatih kalian.
Aaai, kalau sejak tadi sudah turun tangan, mana mungkin akan terjadi peristiwa ini?" Baru selesai dia berkata, tiba tiba dari atas kepala terdengar seseorang berkata sambil menghela napas: "Benar, kalau kau turun tangan sejak awal, tentu lebih baik, tapi...
sekarang pun belum terlambat." Dengan kaget semua orang mendongakkan kepala, tampak diatas tiang penglari muncul empat buah kaki berkaus putih, dari jubahnya yang abu abu dapat diketahui kalau mereka semua adalah pendeta.
Suara itu lembut, halus tapi tajam, ketika para jago masih kaget, Tu Hun-thian telah berseru: II "Sobat .
. . . .. saudara . . . . .. taysu..... hujin . . . . . .. secara beruntun dia ganti panggilan sampai empat kali, namun semuanya merasa kurang pas, akhirnya dia berteriak: "siapa kau?" "Coba kau tebak?" sahut orang diatas tiang penglari sambil tertawa.
"Saat ini pikiranku sedang kalut," ujar Siau Ong-sun dengan suara dalam, "bila kau adalah sahabat, bukan musuh, tolong jangan mempermainkan lagi." Maksud dari perkataan itu: "Kalau masih mempermainkan, berarti mencari penyakit buat diri sendiri." "Turut perintah!" sahut orang diatas tiang penglari, disusul kemudian terlihat dua sosok bayangan abu abu melayang turun ke bawah.
Kedua orang itu mengenakan lhasa dengan tangan membawa tasbeh, ternyata dua orang nikouw, yang disebelah kiri tampak sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput.
orang yang disebelah kanan, meski sudah berusia lanjut namun masih terlihat sisa kecantikannya.
Baru saja Tian Mong-pek merasa kedua orang nikouw itu seperti agak dikenal, Siau Ong-sun telah berseru: "Kau.....
kenapa kau jadi rahib?" Sesosok bayangan wanita cantik berbaju merah segera melintas dalam benak Tian Mong-pek, setelah diamati, diapun ikut menjerit kaget: "Tiau-yang hujin!" "Omintohud," nikouw itu merangkap tangannya sambil tersenyum, "Tiau-yang hujin sudah mati, yang ada sekarang tinggal Coat"hong nikouw." Dengan wajah sedih Siau Ong-sun segera memberi hormat, katanya: "Tak disangka sahabat lama telah mengikuti ajaran Budha, melihat keberhasilan ini, aku sungguh ikut merasa gembira." Dia seperti akan mengucapkan sesuatu, namun tenggorokannya terasa tersumbat dan tak mampu dilanjutkan.
Coat"hong taysu atau Tiau-yang hujin terlihat sedih, namun Cepat dia berkata sambil tersenyum: "Kokcu mendoakan yang baik, pinni mengucapkan banyak terima kasih." Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap lalu masing masing melengos kearah lain, semua perasaan cinta dan benci yang membelit mereka hampir puluhan tahun, seolah sudah menguap dan hilang dalam sesaat itu.
Nikouw yang ada disebelah kiri segera berkata: "Buddha maha pengasih, ternyata suci benar benar sudah terbuka pikirannya." Biarpun usia orang ini lebih tua, ternyata posisinya hanya sebagai adik seperguruan.
Coat"hong taysu segera tertawa, katanya: "Bukankah sumoay pun telah berhasil membuka pikiranmu?" "Biarpun aku berhasil melepaskan diri dari pintu cinta jauh didepan suci, namun tidak secepat apa yang suci raih .
. . . .." Seakan terbayang kembali masa lalu, perlahan dia tundukkan kepalanya.
"Duuu, apa itu lebih dulu, belakangan, tak ada yang Cepat, tak ada yang lambat....." bentak Coat"hong taysu.
Kata "Duu" merupakan teguran yang dalam kalangan Buddha disebut "kemplangan diatas kepala" Nikouw berjubah abu abu itu tampak kaget, buru buru dia merangkap tangannya didepan dada seraya menyahut: "Benar!" setelah itu sambil tersenyum kearah Tian Mong-pek, tanyanya: "Tian sicu, sudah tidak kenal dengan pinni?" Tian Mong-pek tertegun.\ "Ini....
ini....." "Coba perhatikan lagi." Kata Coat"hong taysu pula.
Tian Mong-pek segera mengamati lebih seksama, mendadak hatinya kembali merasa kaget, sesosok tubuh semampai berbaju merah melintas dalam benaknya, tak tahan lagi dia menjerit kaget: "Ular merah .
. . . . . . .." Walaupun dia sudah mengenali nikouw berjubah abu abu itu sebagai ular merah bergincu yang pernah dijumpai di puncak bukit Kun-lun, namun pada akhirnya perkataan itu tak sampai selesai diutarakan.
Nikouw itu kembali tertawa.
"Omintohud, ular merah bergincu sudah mati, yang ada dalam dunia ini tinggal Miat-hong nikouw, yang ada sekarang jubah lhasa, bukan lagi baju berwarna merah." Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gembira, dia tahu perselisihan cinta antara dua bersaudara Kongsun dengan dirinya yang sudah menyiksa hampir puluhan tahun, memang sudah sepantasnya terselesaikan.
Dengan wajah bersungguh-sungguh diapun berkata: "Kionghi taysu." Miat"hong taysu tertawa.
"Andaikata Coat"hong suci tidak berkunjung ke bukit Kun-lun dan membawa aku menyeberangi samudra kesedihan, mungkin hingga hari ini aku belum bisa lolos dari urusan cinta." Coat"hong taysu ikut tertawa.
"Membawa kau menyeberang mah gampang, mau membawa dua bersaudara Kongsun itu susahnya melebihi naik ke langit, namun kalau dilihat watak mereka berdua, setelah hari ini menjadi murid Buddha, selamanya mereka akan tetap menjadi murid Buddha.....
Tian sicu, mereka berdua titip pesan kepada pinni untuk disampaikan kepadamu, bunga seruni giok-hu-han-kiok sudah tak perlu ditanam lagi, bila ada waktu nanti, jangan lupa untuk berkunjung ke kuil Mong-cing-sie di bukit Kun-lun dan menengok seorang pendeta yang bernama Mong-cing dan satu lagi bernama Mong-sin." Tian Mong-pek menyahut dengan hormat, perasaan hatinya makin trenyuh, pikirnya: "Tak heran kalau sudah lama aku tak mendengar kabar tentang Tiau-yang hujin, rupanya setelah mencukur rambut jadi nikouw, diapun berkunjung ke II bukit Kun-lun untuk menyadarkan rekan lainnya .
. . . .. Terbayang dua bersaudara Kongsun yang bersifat keras dan lembut, tapi kenyataannya berhasil disadarkan, sudah jelas hal ini bukan pekerjaan mudah, bisa dibayangkan betapa sulitnya perjalanan Coat-hong taysu waktu itu.
Terdengar Siau Ong-sun berkata sambil menghela napas sedih: "Tak kusangka kau .
. . . .. taysu berhasil dengan usahanya, dan berhasil membujuk orang untuk bertobat.
Hanya saja, apakah taysu dapat selamatkan pula putriku?" Coat"hong taysu segera tertawa, sahutnya" "Kalau berganti masa lalu, pinni tak berani berjanji, tapi setelah hari ini mendapat seorang ahli racun sebagai adik seperguruan, pinni yakin luka putrimu bukan masalah." Siau Ong-sun dan kegirangan.
II "Terima kasih taysu .
. . . . .. serunya. Dia cukup tahu akan kehebatan si ular merah bergincu dalam melepaskan racun, ditambah lagi dengan ilmu pertabiban dari Tiau-yang hujin, rasanya tiada racun didunia ini yang tak dapat mereka punahkan.
Tiba tiba terdengar Siau Hui-uh menjerit keras lalu tersadar dari pingsan, serunya gemetar: "Dia tidak mati.....
akupun tak ingin mati . . . . .. akupun tak ingin II mati .
. . . .. Meskipun luka yang diderita Tian Mong-pek sudah bukan masalah, namun jeritan yang menyayat hati itu seketika membuat hatinya jadi kecut, buru buru bisiknya lembut: "Kau.....
kau tak bakal mati." "Kau...
kau berbohong.... aku tahu.... aku . . . . .." air mata berlinang membasahi wajah Siau Hui-uh.
Miat"hong taysu segera membelai rambutnya dan berkata lembut: "Thian itu maha pengasih, bukan saja kau telah mengenakan baju berlapis, sekarang berjumpa pula dengan kami, mana mungkin kau bisa mati?" "Sungguh.....




aku tak akan mati?" tanya nona itu sambil mendongak.
"Tentu saja sungguh," Coat-hong taysu tertawa ramah, "asal Siau sicu dan Tian sicu merelakan kau untuk berpisah berapa waktu dan menyerahkan kau II kepada kami .
. . . . . .. Belum habis ucapan itu, Tian Mong-pek sudah menyela: II "Tentu saja boanpwee rela .
. . . .. II Mendadak ia merasa penggunaan kata "rela kurang pas, dengan wajah memerah, diapun tertunduk malu.
II "Kalau begitu, merepotkan taysu berdua.
Kata Siau Ong-sun. Mendadak terlihat tubuh Miat"hong taysu menyelinap ke hadapan Ping-ji, sepasang tangannya bergerak Cepat mencengkeram pergelangan tangannya.
"Traaang!" sebilah pisau belati segera terlepas dari genggaman Ping-ji.
II "Lepas tangan....
lepas tangan..... seru Ping-ji gemetar, "tolong jangan mm"sahL" "Kau masih begitu muda, kenapa ingin mati?" "Apakah aku masih bisa hidup....." apakah aku masih bisa hidup" Biarpun aku adalah orang yang dibeli orang lain untuk diberikan kepada Tian kongcu, tapi aku sudah masuk ke dalam keluarga Tian, berarti aku sudah menjadi milik Tian kongcu, tapi aku sudah dinodai bajingan siluman, hanya dengan kematian aku baru bisa mencuci bersih noda ini.
Taysu, tolong lepaskan aku?" Sebetulnya para jago merasa kagum kepada gadis ini setelah menyaksikan kegagahan dan kecerdasannya tadi, melihat dia berniat bunuh diri, dengan perasaan kaget kembali semua orang mengerumuninya.
Cepat Tian Mong-pek menghampirinya.
sambil menutupi wajah sendiri, seru Ping-ji: "Tian kongcu, Ping-ji sudah tak punya muka bertemu denganmu, kau....
lebih baik kau cepatlah pergi!" "Kenapa kau malu bertemu dia?" tanya Miat-hong taysu, "toh dia tak bakal pandang rendah dirimu." "Betul," sambung Tian Mong-pek, "aku merasa sangat berhutang budi kepada nona, bila terbesit pikiran memandang rendah diri nona, aku lebih rendah dari binatang." Tapi isak tangis Ping-ji makin menjadi.
"Terserah apapun yang dikatakan kongcu, aku .
. . . .. aku tak mungkin mengikuti kongcu lagi, hanya nona Siau yang paling pantas mendampingi kongcu." Sejak awal Siau Hui-uh sudah menaruh kesan baik terhadap gadis ini, dia semakin iba setelah mendengar ucapan itu, meski tubuhnya tak mampu bergerak, namun katanya: "Kau tak usah bicara bodoh lagi, kenapa kau tak pantas?" "Nona Siau, tolong jangan bicara lagi, aku hanya berharap kau bisa hidup bersama Tian kongcu hingga ratusan tahun, untuk itu Ping-ji sudah senangnya bukan main." Siau Hui-uh merasa berterima kasih bercampur sedih, untuk sesaat dia tak tahu harus bicara apa.
Mendadak Him Ceng"hiong bangkit berdiri dan berseru: "Sekalipun hujin tak mau lagi menikah dengan Tian kongcu, tapi sekarang kau adalah ciangbunjin perguruan panji kain, mana boleh mati?" "Ucapan Him toako tepat sekali." Para jago segera berteriak hampir berbareng.
Ping-ji tertawa sedih, katanya: "Ucapanku tadi sebenarnya mengandung maksud ganda, perguruan panji kain putih sesungguhnya milik Tian kongcu, hanya Tian kongcu yang pantas menjabat ciangbunjin dari perguruan panji kain putih." "Bila aku berniat jadi ketua perguruan, sejak sebelum Chin locianpwee meninggal, tawaran itu pasti telah kuterima .
. . . .. nona, kau berhasil membongkar rencana busuk Yo Swan, berhasil selamatkan nama baik perguruan panji kain putih dari perbuatan kaum durjana, bila arwa Chin locianpwee tahu di surga, dia pasti akan mewariskan perguruan ini kepadamu." Kembali semua jago memberi dukungan.
"Betul sekali," kata Him Ceng"hiong dengan hormat, "hujin telah berkorban demi perguruan ini, selain hujin, siapa yang pantas jadi ciangbunjin perguruan panji kain putih ini?" "Aku....
aku tak lebih hanya seorang pelacur murahan, sekarang....sekarangpun aku telah ternoda, dengan statusku yang begini rendah, apa pantas menjadi ketua perguruan besar ini?" "siapa yang mengatakan kau rendah, dialah yang sebenarnya orang paling rendah," sela Miat-hong taysu dengan suara dalam, "menurut pendapatku, perempuan perempuan yang menganggap dirinya suci pun pasti akan angkat kepala bila bertemu dengan kau." "Tepat sekali perkataan taysu!" seru para jago.
"Apalagi bicara soal status rendah, di dunia ini tiada orang lain yang lebih rendah daripada diriku dimasa lalu, bukankah hingga kini aku masih hidup segar bugar?" "Perkataan sumoay tepat sekali!" ujar Coat"hong taysu pula, "menurut pendapatku, watak bocah ini banyak kemiripan dengan watakmu dimasa lalu, kenapa tidak kau terima saja menjadi muridmu!" "Nona Ping-ji, bersediakah?" tanya Miat-hong taysu sambil tertawa.
Belum sempat Ping-ji menjawab, Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh telah mewakilinya menjawab: "Tentu saja bersedia .
. . . . .." Tapi kemudian mereka berdua saling berpandangan lalu tertawa.
"Nona Ping-ji, kenapa kau belum berlutut?" seru Siau Hui-uh.
Belum sempat Ping-ji menjawab, Tian Mong"pek dan Siau Hui-uh telah mewakilinya menjawab: ll "Tentu saja bersedia .
. . . . .. Tapi kemudian mereka berdua saling berpandangan lalu tertawa.
"Nona Ping-ji, kenapa kau belum berlutut?" seru Siau Hui-uh.
Tampaknya Ping-ji bertekad ingin mengabdi pada Budd ha, ia segera berlutut sambil serunya: "Taysu....
ooh! Bukan . . . . .. suhu, bila kau orang tua bersedia menerima Ping-ji menjadi muridmu, Ping-ji tidak akan mati." Miat-hong taysu segera tertawa.
"Baiklah anak manis .
. . . .. kau boleh ikut aku selama berapa tahun, setelah itu bila kau bersedia meneruskan jabatanmu sebagai ketua II perguruan .
. . . . . .. "sebagai murid Miat-hong taysu, dia sangat pantas menjadi ketua perguruan panji kain putih, aku rasa semua pasti akan mendukungnya." Sambung Siau Ong-sun sambil tertawa.
Para jago jadi kegirangan, serentak mereka memberikan dukungannya.
Tiba tiba Siau Hui-uh menyela: "Apakah murid Miat-hong taysu pantas juga menjadi putri angkat ayahku?" "Dasar budak cilik," ujar Siau Ong-sun sambil tertawa, "baru saja orang bilang kau pantas mendampingi Tian kongcu, sekarang kau ingin angkat dia sebagai adik angkat, tak tahu malu." Gelak tertawa segera menggema dalam ruangan.
Siau Hui-uh malu bercampur girang, serunya manja: "Ayah, aku.....
aku . . . . . .." Perasaan senangnya merasuk sampai ke dasar hati, membuat gadis ini hampir saja melupakan lukanya.
II "sudah, tak usah membuang waktu lagi, seru Miat-hong taysu, "sebetulnya kau bersedia tidak menerimanya?" "Wah, pendeta yang lihay, mana berani aku menampik." "Omintohud, siancay, siancay, dibagian yang mana pinni jadi lihay .
. . . .." Gelak tertawa para jago pun semakin ramai.
Diiringi gelak tertawa yang ramai, Ping-ji menyembah dihadapan Siau Ong-sun, hawa pembunuhan serta kepedihan yang semula menyelimuti ruangnpun seketika berubah jadi suasana gembira.
Entah sedari kapan kakek tukang sapu itu muncul disitu, tiba tiba dia ikut bertepuk tangan sambil tertawa, mata yang sepanjang tahun selalu kelihatan mengantuk, kini telah terbuka sangat besar.
Dengan lantang Him Ceng-hiong berseru: "Perguruan kami bisa dipimpin murid Coat-hong taysu serta putri Kokcu lembah kaisar, jelas kejadian ini merupakan satu kegembiraan yang luar biasa, hari ini kita harus merayakannya." "Betul." seru para jago serentak.
"Begini saja, biar boanpwee yang menjadi bandar untuk menyiapkan arak serta hidangan, ditempat ini juga akan kuundang cianpwee sekalian untuk minum hingga puas, untuk taysu berdua pun tak ada salahnya untuk mencicipi arak pantang." I "Tawaran ini biar pinni terima dihati saja," ujar Coat-hong taysu sambil tertawa, "tapi luka yang diderita nona Siau sudah tak bisa ditunda lagi, pinni harus segera mohon diri." Mendengar perkataan itu, tentu saja para jago tak berani menahan lagi, serentak katanya: "Semoga hujin segera kembali untuk menata perguruan, biarlah saat itu kami baru menghormati taysu berdua dengan arak." I "Pasti akan kuterima nanti," sahut Miat-hong taysu tertawa, "tapi sekarang pinni masih ada berapa urusan yang ingin minta tolong Him sicu, apakah Him sicu bersedia mengabulkan?" "Katakan saja taysu." Sahut Him Ceng-hiong dengan hormat.
"Untuk sementara waktu biar pinni bawa serta kitab pusaka dari panji kain putih, sementara Him sicu harus mengatur perguruan ini untuk sementara waktu, segala urusan putuskan saja sesuai dengan jalan pikiranmu." "Terima perintah!" Melihat orang itu menjawab secara singkat tapi tandas, Miat-hong taysu segera tahu kalau orang ini tak pernah omong kosong dan betul betul merupakan seorang lelaki sejati.
Diapun merasa amat lega, karena paling tidak urusan perguruan panji kain putih telah terselesaikan.
Mendadak terdengar Ping-ji berkata: "Aku pun ingin memohon satu urusan." "Silahkan memberi perintah, hamba tak berani menerima kata mohon." Kata Him Ceng-hiong penuh hormat.
Ping-ji tertawa, sambil menuding kakek tukang sapu itu katanya: "Dia pun merupakan orang yang lolos dari cengkeraman maut Yo Swan, aku berharap kau bisa baik baik merawatnya, jangan biarkan dia kelewat banyak minum arak." "Baik!" Saking terharunya, titik air mata membasahi wajah kakek itu.
Kembali Coat-hong taysu berkata kepada Siau Ong-sun sambil tertawa: "Pinni akan membawa pergi putri kandung kokcu, sedang sumoay pun akan membawa putri angkatmu, apakah kokcu tidak keberatan?" "Tidak, tidak, pasti tidak keberatan." Sahut Siau Ong-sun sambil tertawa.
"Hahaha, ternyata kokcu pun pandai merendah." seru Coat-hong taysu tertawa.
"Masih untung dia masih punya seorang menantu yang bakal menemani, pasti tak akan kesepian." Sela Tu Hun-thian tiba tiba sambil tertawa.
Kakek yang dihari biasa selalu serius, saat ini timbul juga niatnya untuk menggoda.
Kontan saja paras muka Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh berubah jadi semu merah.
"Baiklah," kata Coat-hong taysu kemudian sambil berpaling ke arah Siau Hui-uh, "mari kita berangkat!" "Ke mana?" tanya Siau Hui-uh tertegun.
"Ke mana lagi, tentu saja kau harus menyampaikan salam perpisahan kepadanya!" Wajah Siau Hui-uh bertambah merah.
"siapa yang akan berpamitan .
. . . .." biar begitu, kerlingan matanya toh diam diam diarahkan kepada Tian Mong-pek.
II "Hanya aku yang tahu suara hati cici .
. . . . .. seru Ping-ji sambil tertawa.
"Coba katakan." Kata Coat-hong taysu.
"Tak lama lagi, cici toh bakal berjumpa lagi dengan cihu, tentu saja dia harus berlagak sok tak kepikiran, coba kalau tidak....
hehehe.... masa kau orang tua tidak melihat sikapnya barusan .
. . . .. bila kau tidak membiarkan mereka berdua bermesraan dulu, mungkin .
. . . . .." Diapun segera menirukan gayanya yang garang.
Tapi sebelum selesai bicara, dia sudah tertawa terpingkal pingkal.
\\ II "Cerewet..... umpat Siau Hui-uh, "kau...
kau . . . . .. Dalam kondisi lemah, malu dan geli, dia tak mampu melanjutkan kata katanya.
Begitulah, para jago baru kembali duduk setelah menghantar kepergian Coat-hong taysu sekalian yang berlalu sambil mengajak Siau Hui-uh serta Ping-ji.
Siau Ong-sun, Tu Hun-thian maupun Tian Mong-pek menghembuskan napas lega.
Setelah duduk berapa saat, pemuda itu baru bertanya mengapa Siau Ong-sun berdua bisa tiba disana" Ujar Tu Hun-thian: "Sesudah berpisah dengan kau hari itu, betul saja tak sampai dua hari aku berhasil menyusul Siau kokcu.....
hahaha..... padahal Siau kokcu lah yang sedang mencari aku dijalanan itu." "Setelah cianpwee berhasil mengejarnya.....
berhasil mengejarnya . . . . .." sela Tian Mong"pek tak sabar.
Sambil tersenyum kata Siau Ong-sun: "Lebih baik saat ini kau masih memanggil aku sebagai kokcu saja, aku yakin panggilan gak-hu (ayah mertua) masih belum berani kau gunakan." Kontak gelak tertawa menggema dalam ruangan.
Terbongkar rahasia hatinya, merah padam paras muka Tian Mong-pek, katanya: "Setelah cianpwee berhasil mengejar...Gak.....
Gak-hu, penyakit putrimu pasti sudah pulih kembali bukan." sebagai pemuda yang keras kepala, semakin orang mengatakan ia tak berani memanggil Gak-hu, pemuda ini justru makin sengaja menggunakannya.
Tu Hun-thian dan Siau Ong-sun saling bertukar pandangan sambil tertawa, sementara para jago segera bertepuk tangan sambil bersorak sorai.
Ujar Tu Hun-thian kemudian: "Setelah berunding dengan Gak-hu mu, aku merasa lebih baik penyakit putriku tak usah disembuhkan saja." "Kenapa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
Sekilas bayangan gelap melintas diwajah Tu Hun-thian, sahutnya sambil menghela napas: "Terkadang, ada sementara orang akan merasa jauh lebih menderita disaat sadar ketimbang sewaktu masih linglung." Ucapan itu mengandung maksud yang sangat dalam, tapi Tian Mong-pek segera menangkap maksudnya, dia jadi sedih dan ikut menundukkan kepala.
Bayangkan saja, andai Tu Kuan tersadar dari linglungnya, melihat kekasih hatinya telah menjadi menantu orang lain, sedang dia sendiri justru menjadi bini orang lain, penderitaan semacam ini mungkin akan jauh lebih berat dan sukar ditahan oleh siapapun.
Daripada begitu, bukankah jauh lebih baik membiarkan dia tetap linglung tapi kehidupannya lebih aman tenteram, mungkin dia akan jauh lebih bahagia.
sebetulnya maksud Tu Hun-thian dengan menjelaskan keadaan tersebut adalah agar Tian Mong-pek tidak merasa bersalah, tapi begitu Tian Mong"pek memahami keadaan yang sebenarnya, rasa bersalah serta penderitaannya malah semakin bertambah.
Melihat mimik wajah pemuda itu, Tu Hun-thian segera bertanya sambil tertawa: "Apa yang kau sedihkan" Anak Kuan bisa melewati hidupnya dalam ketenteraman, kau seharusnya ikut gembira." II "Tapi....
tapi . . . . . .. "Hahaha, jelek jelek Tong Yan masih terhitung putra seorang tokoh dunia persilatan, dia sangat pantas mendampingi anak Kuan.
Lohu merasa puas sekali bisa mendapat menantu macam dia." Melihat kebesaran jiwa tokoh persilatan ini, Tian Mong-pek merasa kagum dan berterima kasih, tanpa terasa dia pun jatuhkan diri berlutut.
Selama ini Siau Ong-sun hanya duduk sambil tersenyum, tiba tiba selanya: "Barusan aku sudah terima seorang putri angkat, maukah saudara Tu menerima pula seorang putra angkat?" Tu Hun-thian tertegun, tapi dia segera menangkap maksudnya, tak kuasa dia tertawa terbahak bahak. "Hahaha, mana berani lohu terima penghormatan seperti ini....
mana II berani..... Biar bicara begitu, matanya mengawasi terus Tian Mong-pek, sejujurnya dia merasa sangat bersedia, hanya menunggu pemuda itu menyampaikan niatnya sendiri.
sudah pasti Tian Mong-pek paham, pikirnya: "Aku sudah banyak bersalah terhadap dia ayah dan anak, bisa jadi anak II angkatnya, paling tidak bisa mengurangi rasa bersalahku....
Tanpa ragu lagi dia pun menyembah sambil berseru: "Ayah diatas, terimalah penghormatan dari ananda." Dengan hormat sekali diapun menyembah sembilan kali.
Dimasa lalu, dia tak pernah sudi berlutut dihadapan orang lain, tapi kali ini dia bersujud dengan hati ikhlas.
Para jago kembali bertepuk tangan sambil bersorak sorai, sementara Him Ceng-hiong buru buru menghidangkan sayur dan arak.
Tu Hun-thian kegirangan setengah mati, sambil tertawa terbahak bahak serunya: "Hahaha, bagus, bagus, selama ini lohu menyesal karena tak berputra, tak disangka menjelang masuk tanah, aku berhasil menerima seorang putra yang jauh lebih ampuh dari diriku." Dipegangnya lengan Tian Mong-pek lalu diamati berapa kejap, dia memandang seolah baru kali pertama bertemu pemuda itu, tentu saja hal ini membuat Tian Mong-pek jadi rikuh.
Terdengar Tu Hun-thian berkata lagi: "Bagus, anak baik, lelaki sejati .
. . . . .. aai, jika almarhum istriku dapat menyaksikan kejadian hari ini, dia....
dia pasti akan sangat kegirangan." Rasa girang, terharu dan terima kasih membuat orang tua ini meski masih tertawa, namun air matanya telah bercucuran, tangannya gemetar keras, jelas hatinya sedang bergolak.
Tian Mong-pek sendiripun merasa darah panas bergolak dihatinya, dia ikut sesenggukan hingga tak mampu bicara.
Siau Ong-sun menonton dari samping sambil tersenyum, dari balik mata yang bening terlihat pula cahaya air mata, rupanya kakek inipun dibuat trenyuh oleh adegan didepan mata.
Saat itulah Him Ceng-hiong melompat naik keatas mimbar dan berseru lantang: "sebetulnya kami persiapkan kalangan ini dengan harapan akan terbentuk pertahanan yang lebih kokoh dari dinding baja, susah bagi orang lain melewatinya, siapa sangka .
. . . .." Sambil menuding kearah Siau Ong-sun sekalian, terusnya: "Tapi bagi berapa orang Bulim cianpwee ini, ternyata tempat seperti ini sama seperti tempat bebas tanpa hambatan, bisa pergi datang dengan leluasa, kenyataan ini sebetulnya membuat siaute merasa sedih sekali." Sesudah membusungkan dada, dengan suara yang lebih nyaring terusnya: "Tapi hari ini, andaikata bukan kehadiran berapa orang cianpwee ini, mungkin perguruan panji kain putih sudah berantakan tak karuan, ditempat inipun tak mungkin bisa diselenggarakan banyak kejadian yang menggembirakan.
Oleh sebab itu kesedihan kami kini telah berubah jadi kegembiraan, sekarang juga akan siaute perintahkan untuk menghidangkan arak dan sayur, kami berharap locianpwee sekalian mau meneguk arak bersama kami." Perkataan itu segera disambut dengan tempik sorak para hadirin.
"Ucapan Him toako betul sekali .
. . . . .." teriak para jago, "tapi kalau hanya satu tegukan rasanya masih terlalu kurang, bukan begitu Him toako?" "Hahaha, betul, betul, satu cawan kelewat sedikit, mari kita menghabiskan tiga ratus cawan." Sambil tersenyum ujar Siau Ong-sun: "Yang mampu menghabiskan tiga ratus cawan hanya dewa arak Li Tay-pek, tapi kalau hanya menyuguhi secawan arak untuk para jago, rasanya hal ini kelewat pelit, tidak mirip ucapan seorang jago persilatan, Him tayhiap,
sambil tersenyum ujar Siau Ong-sun: "Yang mampu menghabiskan tiga ratus cawan hanya dewa arak Li Tay-pek, tapi kalau hanya menyuguhi secawan arak untuk para jago, rasanya hal ini kelewat pelit, tidak mirip ucapan seorang jago persilatan, Him tayhiap, tadi kau sudah salah bicara, maka sepantasnya dihukum dulu dengan tiga cawan arak." Him Ceng"hiong tertawa keras.
"Hahaha, sebutan locianpwee bikin cayhe malu saja, bagaimana pun, biar harus matipun cayhe akan habiskan ke tiga cawan arak itu .
. . . .." Sekonyong-konyong terdengar suara desingan angin tajam melesat lewat dari atas kepala para jago, menyusul kemudian....
duuk, duuk, duuk! Terdengar tiga benturan bergema dari atap bangunan.
Terlihat tiga batang panah panjang berwarna perak melesat masuk lewat jendela dan berjajar menancap diatas tiang penglari, bukan saja batang panah berwarna keperak perakan, ukuran panah pun panjangnya istimewa.
Seketika gelak tertawa berhenti, suasana jadi senyap.
Kecuali Siau Ong-sun yang tetap duduk tenang, seolah tak pernah terjadi sesuatu, para jago lainnya, paling tidak ada sebagian yang berubah paras mukanya.
Him Ceng"hiong segera tampil ke depan jendela, bentaknya sambil memberi hormat: "Sobat mana yang telah datang berkunjung" Boleh tahu ada urusan apa?" Padahal semua orang tahu bahwa kekuatan daya bidik ke tiga batang panah panjang itu sangat mengerikan, tapi kini, tanpa takut sedikitpun dia berdiri didepan jendela, seolah tidak kuatir menjadi sasaran tembak lawan, keberanian semacam ini benar benar luar biasa.
Terdengar dari luar jendela, dibalik kegelapan, seseorang segera menjawab: "Sahabat yang berada dalam ruangan, kedatangan kami bersaudara tidak membawa niat jahat, hanya ingin masuk ke dalam ruangan saja." Nada suara itu penuh kekuatan, jelas ilmu silat yang dimiliki sangat tangguh, dari bayangan yang bergerak dibalik kegelapan, bisa dilihat pula bahwa yang hadir bukan hanya tiga sampai lima orang saja.
"Ada urusan apa?" tanya Him Ceng"hiong tetap membusungkan dada.
"Ada seorang pria dan seorang wanita dari perguruan kami telah berhianat dan mencuri benda mustika milik perguruan, oleh sebab itu kami ingin menggeledah, apakah kedua orang itu berada bersama kalian." Mendengar perkataan itu, Him Ceng"hiong kembali tertawa keras, katanya: "Sobat sekalian, kalian enggan menyebut identitas tapi bersikeras ingin masuk untuk melakukan penggeledahan, apakah kalian tidak merasa bahwa tindakanmu kelewat pandang rendah semua orang yang berada disini!" Orang diluar jendela segera tertawa seram, katanya: "setelah menjumpai Liang-gin-toh-hun-sam-ciam (tiga panah perak pencabut sukma) namun masih belum bisa menebak asal usul kami, hal ini harus disalahkan kalian yang punya mata tak berbiji." Begitu perkataan itu disampaikan, para jago pun ramai ramai mulai berbisik.
"Lambang dari perguruan manakah tiga panah perak pencabut sukma itu?" "siaute sudah banyak tahun berkelana dalam dunia persilatan, namun belum pernah mendengar soal ini!" "Thio losam, ilmu meringankan tubuhmu paling bagus, coba kau naik keatas untuk mencabut panah itu dan memeriksanya." Tian Mong-pek dan Tu Hun-thian ingin bertindak, tapi segera dicegah Siau Ong-sun, maka merekapun duduk kembali sambil mengikuti setiap perubahan.
Coba kalau bukan begitu, dengan watak mereka berdua, sudah pasti sedari tadi sudah turun tangan.
Tampak seorang lelaki kurus kering segera melompat keatas tiang penglari, ternyata ilmu ginkang yang dimiliki cukup hebat.
Begitu tiba diatas tiang penglari, diapun mencabut ke tiga anak panah itu satu per satu, setelah diperiksa sejenak, diapun melompat turun kembali sambil berkata: "siaute tak dapat mengenali asal usul panah perak ini." Seseorang yang berada disisinya segera mengambil panah itu dan diperiksanya berapa saat, kemudian dengan kening berkerut katanya pula: "Diatas panah ini tak ada tulisan, pun tak ada lukisan....
aaah, agak istimewa bentuk panah ini." "Dimana letak keistimewaannya?" tanya seseorang.
"Panah ini berbentuk kepala ular, jangan jangan milik anggota kay"pang yang biasa menangkap ular....
aaah, bukan, bukan, ada yang tahu asal usul panah itu?" Him Ceng"hiong selama ini hanya mengawasi gerak gerik diluar jendela, katanya tiba tiba: "Disini hadir Siau dan Tu locianpwee, kenapa kalian tidak minta petunjuk beliau?" "Aah, betul, betul," sahut orang yang memegang anak panah itu sambil II menggeleng, "sudah seharusnya sejak tadi .
. . . .. Belum selesai ia berkata, tampak wajah Thio Lo-sam, orang yang mencabut panah dari tiang penglari itu mulai mengejang keras, dengan sinar mata ketakutan teriaknya: "Ce.....
celaka..... aku . . . . . .." "Kenapa kau?" tanya para jago kaget.
Tenggorokan Thio losam hanya naik turun, tak sepatah katapun sanggup diucapkan, sepasang lengannya bergoncang kian kemari namun persendiannya sudah kaku sehingga tak mampu ditekuk.
Terlihat butiran keringat sebesar kacang kedele bercucuran membasahi jidatnya, seluruh bentuk mukanya berubah, kini dia tampak menyeringai menyeramkan.
Para jago merasa terperanjat, dengan mata terbelalak dan mulut melongo mereka awasi setiap perubahan dengan mulut terbungkam, tak seorangpun tahu apa yang harus diperbuat, pun tak ada orang yang berusaha menolong.
Pada saat inilah Siau Ong-sun yang selama ini duduk tak bergerak melompat ke depan dengan kecepatan tinggi, mula mula dia totok dulu jalan darah di telapak tangan yang memegang ke tiga batang panah, kemudian menotolong jalan darah cian-keng-hiat di sepasang bahunya, setelah itu dia menotok pula empat belas buah jalan darah penting lainnya serta dua belas jalan darah diseputar jantung.
Kecepatan geraknya tak terkirakan, dalam waktu singkat ke tiga batang panah panjang itu sudah terjatuh ke tanah.
Dengan wajah serius Siau Ong-sun bungkukkan badan untuk memungut anak panah itu.
Para jago segera berteriak kaget: "Panah itu pasti telah dilumuri racun hebat, hati hati kokcu, jangan sampai tersentuh." "Betul, panah ini beracun bahkan sifat racunnya sangat ganas dan mampu merambah urat nadi melalui kulit badan, sayangnya racun semacam ini belum tentu mampu melukai diriku." Perlu diketahui, kekuatan yang terhimpun dalam tangannya luar biasa, boleh dibilang kebal dan tak mempan dibakar, jangan lagi obat beracun, ketajaman golok serta bara api pun jangan harap bisa melukai sepasang tangan bajanya.
Para jago yang menyaksikan hal ini merasa terkejut bercampur kagum.
Tampak Siau Ong-sun memperhatikan anak panah itu berapa saat, kemudian sambil menggeleng dan menghela napas katanya: "Aku tak dapat mengenali asal usul panah perak ini, saudara Tu...." "Biar kuperiksa." Sela Tu Hun-thian.
Ia tak berani tekebur, diambilnya selembar handuk untuk membungkuk tangannya, kemudian baru menerima panah perak itu.
Namun setelah diperiksa berapa saat, terlihat keningnya berkerut kencang setelah itu menggeleng berulang kali.
Melihat itu Siau Ong-sun menghela napas panjang, ujarnya: "Sudah lama saudara Tu berkelana dalam dunia persilatan, selama puluhan tahun hampir seantero jagad telah dilewati, jika saudara Tu pun tak mampu mengenali asal usul panah perak ini, mungkin...." Dia menghela napas dan tidak bicara lagi.
Him Ceng"hiong terlihat sangat gelisah, tanyanya: "Bagaimana dengan keadaan luka kedua orang itu?" "setelah berhasil mencegah menjalarnya racun itu ke dalam tubuh, mungkin jiwa mereka tidak berbahaya lagi, tapi lengannya....
aaai!" Siau Ong-sun menghela napas panjang.
Bagi orang yang belajar silat, kehilangan lengan jauh lebih menderita daripada kehilangan nyawa, tanpa terasa para jago jadi sedih bercampur marah, teriak mereka kemudian: "Peduli siapa mereka, ayoh kita serbu keluar dan beradu jiwa dengan mereka." Pada saat itulah, dari luar jendela kembali terdengar Seseorang berseru sambil tertawa dingin: "setelah memberi kalian cukup waktu, apakah kamu semua masih belum bisa menebak asal usul kami?" Dengan gusar bentak Him Ceng-hiong: "Kawanan tikus yang tak berani tampil diri, mana mungkin toaya sekalian ll bisa mengenali kalian .
. . . .. Mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar tiba, "Sreet!" sebutir mutiara yang ada dikopiah Him Ceng"hiong telah terhajar hingga putus jadi dua.
Kecepatan serta daya serangan itu tak terlukiskan dengan kata.
Biar Him Ceng"hiong seorang lelaki sejatipun, tak urung berubah hebat paras mukanya.
Kembali orang diluar jendela berseru sambil tertawa seram: "Bila panah tadi mengarah tenggorokanmu, sekarang nyawamu sudah melayang.
Tapi tujuan perguruan setan bengis hanya ingin menggeledah murid murtad, kami tak ingin mencelakai nyawamu." Terdengar seorang yang lain menambahkan: "Bila tahu diri, lebih baik segera buang senjata dan membiarkan berapa orang saudara kami masuk dan melakukan penggeledahan.....
kami beri kalian waktu setengah perminum teh lagi .
. . . . .." Orang yang pertama tadi kembali berkata: "sampai waktunya, bila tiada jawaban dari kalian maka kami akan melepaskan panah bersama sama, jangan harap kalian bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup." "Perguruan setan bengis?" bisik Siau Ong-sun dengan kening berkerut, "saudara Tu, pernah mendengar tentang perguruan ini?" "Belum pernah! Jawab Tu Hun-thian sambil menggeleng, setelah termenung sejenak, katanya lagi, "tapi kalau perguruan ini punya sedikit nama saja, seharusnya aku pasti tahu .
. . . .." Dengan kening berkerut kembali ujar Siau Ong-sun: "Senjata rahasia mereka sangat ganas, kenapa tak berani masuk kemari II melainkan hanya gertak sambal dari luar jendela" Jangan jangan....
setelah menyapu sekejap seputar tempat itu, tambahnya: "Jangan jangan jumlah mereka tak banyak, jago yang lihay pun sedikit hingga yang bisa dilakukan hanya gertak sambal?" Hampir semua jago yang hadir merupakan jago kawakan yang pernah berkelana hampir puluhan tahun, setelah mendengar perkataan Siau Ong-sun ini, mereka jadi tersadar.
"Betul." "Sayang luka dalamku belum sembuh," sela Tian Mong-pek sambil menghela napas, "kalau tidak.....
kalau tidak.... aaai!" "Kalau tidak, kau akan menyerbu keluar paling dulu bukan?" sambung Siau Ong-sun sambil tersenyum.
II "Kalau tidak, sejak tadi aku sudah menyerbu keluar.
Kata Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
"serbu keluar . . . . .. serbu keluar . . . . . .." teriak para jago.
"Jangan gegabah," cegah Siau Ong-sun dengan nada dalam, "musuh ditempat gelap, kita ditempat terang, bila menyerbu keluar, pasti akan jatuh korban dipihak kita, apalagi.....
menurut pendapatku, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu." "Sesuatu apa?" "Aku belum bisa menebak apa itu," kata Siau Ong-sun setelah termenung sejenak, "tapi tak ada salahnya untuk diselidiki.....
Him tayhiap, harap mundur selangkah, biar aku berbicara dengan dia." "Turut perintah!" Him Ceng"hiong segera mundur dari posisinya.
Saat itulah dari luar jendela kembali melesat masuk tiga batang panah panjang, lalu dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak: "Batas waktu sudah habis .
. . . . .." "Harap tunggu sejenak lagi, aku ingin minta petunjuk dulu." Ujar Siau Ong-sun.
"Setuju atau tidak terserah kau, apa lagi yang ingin ditanyakan?" jawab orang diluar jendela sambil tertawa dingin.
"Apakah sobat sekalian datang dari bukit orang Biau" Apakah perguruan setan bengis merupakan partai yang pernah menghajar Tiam-cong-pat-kiam hingga terluka parah?" Orang diluar jendela itu termenung sejenak, kemudian tertawa seram.
"Hahaha. Ternyata kau punya pengetahuan luas, dugaanmu tepat sekali, bahkan sampai urusan Tiam-Cong-pay yang pernah dihancurkan pun tahu dengan jelas." Para jago saling bertukar pandangan dengan perasaan tak habis mengerti, pikir mereka: "Pengetahuan kokcu lembah kaisar memang mengagumkan, akhirnya dia teringat juga dengan asal usul perguruan setan bengis." Sebaliknya Tu Hun-thian berpikir dengan keheranan: "Sejak kapan di wilayah Tin"lam muncul perguruan setan bengis, kapan pula Tiam-cong-pat-kiam dihajar orang sampai terluka parah" Kalau sampai peristiwa yang menggetar sukma ini pernah terjadi dalam dunia persilatan, kenapa aku tak pernah tahu?" Biarpun pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya, namun tak sepatah kata pun yang diucapkan.
Tampak sinar mata Siau Ong-sun berkilat, tampaknya ia semakin yakin dengan dugaannya, dengan suara dalam segera katqanya: "Tiam-cong-pat-kiam yang begitu tangguh pun keok ditangan partai kalian, cayhe mana berani membangkang perintah?" "jadi kau setuju?" "Betul, dipersilahkan kalian mengutus orang untuk melakukan penggeledahan." Para jago semakin melongo, kali ini mereka berdiri dengan mata terbelalak, tidak tahu permainan setan apa yang sedang dilakukan Bulim cianpwee ini, masa seorang Kokcu dari lembah kaisar bakal bersikap hormat dan takut kepada orang lain" Tapi karena kokcu lembah kaisar sudah setuju, tentu saja orang lain tak berani membantah, hanya Tu Hun-thian Vang tahu, sudah pasti tindakan Siau
Tapi karena kokcu lembah kaisar sudah setuju, tentu saja orang lain tak berani membantah, hanya Tu Hun"thian yang tahu, sudah pasti tindakan Siau Ong-sun ini dilandasi dengan sesuatu tujuan.
Betul saja, Siau Ong-sun segera berjalan menuju ke sisi Tu Hun"thian dan membisikkan sesuatu.
Sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tu Hun"thian, sahutnya sambil manggut-manggut: "Bagus sekali, bagus sekali, akan segera kulakukan." Dalam pada itu orang diluar jendela telah berkata lagi sambil tertawa keras: "Anggap saja kau tahu diri dan akhirnya setuju .
. . . . . .. Tio samte, Chin sute, ikut aku masuk ke dalam, Ong jite, Sik ngo-te, Go jite, Thio patte bawa ke tujuh puluh dua orang ksatria kita tunggu dilu ar, sementara saudara yang lain lakukan perondaan di empat penjuru, jangan biarkan orang lain masuk kemari." Menyusul kemudian terdengar serentetan suara mengiakan.
Mendengar itu, para jago semakin terperanjat, pikir mereka: "Begitu banyakkah jagoan dari perguruan setan bengis yang datang kemari?" Hanya Siau Ong-sun tetap tersenyum, dia seakan menganggap kejadian yang serius dan menegangkan ini sebagai kejadian yang menggelikan, hal ini menimbulkan tanda tanya besar dalam benak para jago.
Tapi begitu melihat ada tiga sosok bayangan manusia muncul dari balik kegelapan, senyuman diwajah Siau Ong-sun lenyap seketika, ia berubah jadi tegang dan serius, seolah telah berubah jadi seseorang yang lain.
Ke tiga sosok bayangan manusia itu adalah tiga lelaki berbadan jangkung dan bertubuh lincah, mereka mengenakan pakaian ketat berwarna hitam, wajahnya mengenakan topeng setan terbuat dari tembaga, dipinggangnya tergantung kantung senjata rahasia, tangan kanannya mengenakan sarung tangan kulit menjangan berwarna hitam, sepintas memandang, gerak gerik mereka sangat aneh.
Orang yang bernyali kecil segera merasa bergidik, bulu kuduk tanpa terasa bangkit berdiri.
Dengan cepat ke tiga orang itu menerobos masuk melalui jendela.
Orang yang berada dipaling depan segera berkata: "Bila sobat sekalian pegang janji, akupun tak akan membuat keonaran, kalau tidak .
. . . .. hmm, hmm, bagaimana akibatnya, aku rasa tak usah dijelaskan pun kalian sudah mengerti." "Mana mungkin kami sekalian punya nyali sebesar itu, tak mungkin berani ingkar janji." Jawab Siau Ong-sun.
"Bagus, apakah sobat adalah liongtau disini" Boleh tahu siapa namamu?" tanya manusia berbaju hitam bertopeng setan itu.
Dengan kepala tertunduk rendah jawab Siau Ong-sun: "Aku hanya seorang bu-bing-siau-cut, malu untuk menyebut nama.
Anggota kami semua sudah berkumpul disini, silahkan kalian bertiga melakukan penggeledahan." Orang orang berbaju hitam bermuka setan itu serentak melangkah masuk, sorot mata mereka bersama sama memandang Tian Mong-pek sekejap, sekilas senyuman seakan melintas dalam pandangan itu, tapi dengan cepat mereka menggeledah kearah lain.
Para jago berdiri tegak tanpa bergerak, namun hawa amarah jelas menghiasi wajah mereka, hanya Tu Hun"thian yang tak kelihatan jejaknya, tak tahu sejak kapan dia sudah pergi.
Tanpa berhenti ketiga orang manusia berbaju hitam itu berjalan mengelilingi para jago, mereka tidak memeriksa dengan seksama, pun tidak melihat dengan jelas, apalagi ketika melalui didepan Tian Mong-pek, mereka seolah tidak memperhatikan sama sekali.
Situasi yang pada awalnya tampak begitu tegang dan serius, ternyata dilalui mereka secara main main, hal ini semakin membuat para jago semakin tak mengerti.
Akhirnya ke tiga orang itu berhenti ditepi jendela, salah seorang diantaranya berkata sambil tertawa: "Ternyata penghianat perguruan kami tak ada disini, kamipun tak ingin mengganggu lebih jauh." "Apakah kalian akan menggeledah sekali lagi?" tanya Siau Ong-sun sambil tertawa.
"Tidak usah, niat baik sahabat kami terima dihati saja....
." Tiba tiba ke tiga orang itu mengayunkan tangannya bersama, puluhan titik cahaya hitam yang lembut, bagaikan hujan badai langsung mengancam tubuh Tian Mong-pek.
Serangan itu cepat bagai kilat dan sama sekali tak terduga sebelumnya, membuat orang susah untuk menghindar.
Para jago sangat terperanjat, mereka sangka kali ini Tian Mong-pek pasti akan kena serangan dan sulit lolos dari kematian.
Ini dikarenakan Tian Mong-pek pribadi sudah tidak memiliki kekuatan untuk menghindar, orang lainpun tak sempat lagi untuk memberi pertolongan.
Siapa tahu tindakan keji dari manusia berbaju hitam bertopeng setan ini sudah berada didugaan Siau Ong-sun, karena itu jauh sebelumnya dia sudah membuat persiapan.
Tampak tubuhnya bergerak cepat, tangannya digetarkan dan terlihat seutas tali pinggang berwarna kuning yang panjangnya mencapai berapa kaki, bagaikan naga sakti di angkasa tahu tahu berubah jadi satu lingkaran dan menggulung ke arah puluhan titik cahaya hitam tadi.
Ketika hamburan cahaya hitam tadi masuk ke balik lingkaran tersebut, mendadak seakan terhisap oleh satu kekuatan yang maha besar, semua gerakan terhenti sama sekali , sementara lingkaran ikat pinggang kuning itu makin lama semakin mengecil dan akhirnya beratus batang senjata rahasia selembut rambut itu sudah tergulung semua jadi satu.
Mimpi pun manusia berbaju hitam bertopeng setan itu tak menyangka kalau seorang "bu-beng-siau-cut" ternyata memiliki ilmu silat yang begitu luar biasa.
Menurut rencana semula, begitu serangan bokongan mereka berhasil, ke tiga orang itu segera akan meloncat keluar dari jendela dan melarikan diri, tapi kini, mereka malah terperana hingga sama sekali tak mampu bergerak.
"Bajingan tengik yang tak tahu malu, jangan biarkan mereka kabur." Umpat para jago sambil meluruk maju ke depan.
Manusia berbaju hitam bertopeng setan itu kembali membentak, selapis cahaya tajam lagi lagi tersebar dari tangannya.
Sayang Siau Ong-sun sudah menerobos maju ke depan para jago, sekali lagi ikat pinggang kuningnya menggulung, semua ancaman senjata rahasia itu dengan gampang tersapu lenyap.
Perlu diketahui, Siau Ong-sun merasa sangat prihatin selama ini ketika melihat ragam senjata rahasia beracun yang beredar dalam dunia persilatan makin lama semakin banyak, sepak terjang mereka makin jumawa dan ngawur.
Oleh karena itu diapun menciptakan satu kepandaian khusus yang dilatihnya dengan tekun untuk mematahkan serangan senjata rahasia.
Dengan dasar tenaga dalamnya yang sudah dilatih puluhan tahun, begitu disalurkan ke dalam ikat pinggang itu, seketika timbullah lingkaran udara tak berwujud dalam lingkaran yang diciptakan, senjata rahasia macam apapun, begitu membentur pusaran hawa sakti itu, ibarat terhisap besi semberani, seketika lenyap tak berbekas.
Menyaksikan kemahiran dan kehebatan ilmu silat itu, para jago pun bersorak sorai memuji.
Dalam keadaan begini, orang berbaju hitam itu mana berani bertarung lebih jauh" Cepat dia gerakkan tubuh siap melarikan diri melalui jendela.
Tiba tiba dari luar jendela terdengar seseorang menegur sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, hendak ke mana kalian bertiga" Aku si panah yang lepas dari busur Tu Hun"thian sudah lama menunggu disini." II Begitu julukan "Panah yang lepas dari busur diucapkan, orang berbaju hitam itu tampak terkejut, sang pemimpin segera berteriak keras: "Kau sangka perguruan setan bengis gampang dianiaya" saudara sekalian, lepas panah." Tu Hun-thian tertawa makin keras: "Hahaha, ke delapan saudara dan ke tujuh puluh dua orang ksatriamu kalau dikumpulkan paling banter hanya lima orang, sayangnya mereka sudah kubereskan semua." Orang berbaju hitam itu semakin kaget, tapi sambil keraskan kepala ancamnya sambil tertawa: "Budak busuk, besar amat nyalimu, bila hari ini kau berani melukai seujung rambut saudaraku, dikemudian hari perguruan setan bengis pasti akan datang menuntut balas, akan kubunuh kalian seakar akarnya." Biarpun dia berlagak sok menyeramkan, sayang suara tertawanya sudah kedengaran mulai gemetar.
"Perguruan setan bengis?" kata Siau Ong-sun sambil tertawa, "didunia ini mana ada perguruan setan bengis?" Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, lanjutnya sambil tersenyum: "Sejak mereka menyebut diri sebagai perguruan setan bengis, aku sudah mulai curiga kalau nama perguruan itu merupakan hasil ciptaan mereka untuk membohongi kita, hanya saja belum berani memastikan.
Padahal di wilayah Tin-lam sama sekali tak ada bukit yang bernama bukit manusia Biau, sementara Tiam-Cong-pat-kiam sudah meninggal sejak enam puluh tahun berselang, sungguh menggelikan kawanan tolol ini masih beraninya mengaku." Mendengar sampai disini, tak tahan para jago tertawa terbahak bahak.
sambil tersenyum Siau Ong-sun berkata lebih lanjut: "Sejak itu aku segera tahu kalau panah perak berkepala ular serta perguruan setan bengis hanya merupakan rekayasa mereka untuk berbohong, tujuannya hanya untuk menutupi identitas mereka yang sebenarnya, sampai kemudian dia menggertak kalau masih ada delapan saudara dan tujuh puluh dua ksatria, kesemuanya hanya bertujuan agar kita semakin ketakutan, agar kita tidak menyulitkan mereka disaat mereka bertiga melakukan penggeledahan, maka akupun sambut rencana busuk mereka dengan berlagak pilon, ingin kulihat permainan apa lagi yang hendak mereka lakukan." Sekarang para jago baru sadar apa yang telah terjadi, tiba tiba terdengar seseorang bertanya: "Siapakah sebenarnya kawanan tolol ini?" "Mereka tak lain adalah anak buah dari Tong Ti." Kembali para jago tertegun, lewat sesaat kemudian baru terdengar seseorang berkata sambil menghela napas: "Tak heran kalau sifat racun yang digunakan dan senjata rahasia yang mereka pakai begitu menakutkan." Walaupun orang tak bisa melihat bagaimana perubahan wajah manusia berbaju hitam bertopeng setan itu, namun tampak jelas rasa takut yang memancar dari balik matanya.
"Oo..... omong kosong, siapa..... siapa yang anak buah Tong Ti?" "Masih mau menyangkal" Cepat mengaku." Hardik Tu Hun"thian sambil menarik muka.
"Tiii..... tidak ada . . . . .. tidak ada yang perlu diakui." Seru orang berbaju hitam itu ketakutan.
Biarpun masih ingin bersikeras menyangkal, namun ucapannya justru mulai gemetar dan menunjukkan rasa ketakutan yang makin mengental.
sambil tersenyum kata Siau Ong-sun: "Karena mereka enggan mengaku, biar aku yang mewakili mereka memberi penjelasan .
. . . .. ketika si Tangan pencabut nyawa Tong Ti tahu kalau Tian Mong-pek telah mendengar rahasianya, tentu saja dia berniat hendak membunuhnya, ini dikarenakan nama Tian Mong-pek sangat tersohor, hubungannya mencapai seantero jagad, maka dia tak berani membunuh secara blak blakan, karena itulah diapun sengaja memerintahkan anak buahnya mengenakan topeng tembaga, menyaru sebagai murid perguruan setan bengis untuk melakukan pembokongan, dengan begitu bila usahanya berhasil, kalian bisa cuci tangan bukan?" Pertanyaan terakhir jelas ditujukan kepada manusia berbaju hitam itu, namun mana berani manusia berbaju hitam itu menjawab.
Mendengar penjelasan ini, kontan saja para jago mengumpat, kata mereka sambil menghela napas: "Benar benar siasat keji, bila Tian tayhiap sampai tewas ditangan mereka, sudah pasti sanak keluarganya akan mencari pihak perguruan setan bengis untuk membalas dendam, saat itu asal mereka memusnahkan panah perak berkepala ular serta topeng setan tembaga hijau, perguruan setan bengis pun seketika akan lenyap dari dunia ini.
Lalu sanak keluarganya harus ke mana mencari mereka?" Perlahan Siau Ong-sun berkata: "Mereka anggap senjata rahasia yang diandalkan sangat tangguh, mereka pun sangka Tian Mong-pek berjalan seorang diri, karena itu mereka bagi kekuatannya jadi berapa kelompok untuk melakukan pengejaran, siapa tahu Tian Mong-pek sudah sampai disini bahkan dikelilingi begitu banyak jago silat .
. . . .." "Darimana mereka tahu kalau Tian tayhiap sudah sampai disini?" ada orang yang tak tahan menyela, "sekalipun ada anak buah perguruan panji putih yang bekerja sebagai mata mata keluarga Tong, seharusnya tidak secepat itu berita ini sampai ke tangan mereka!" "Alasannya amat sederhana .
. . . .." kata Siau Ong-sun, "biarpun Yo Swan si bajingan itu berhasil kita hajar sampai terluka dan sebelum kabur lewat pintu belakang masih menjerit kesakitan, namun beruntung dia tidak mati, sementara waktu itu kita sudah sibuk memeriksa keadaan luka Uh-ji, dengan manfaatkan kesempatan inilah dia berhasil kabur.
Tapi kemudian ia berjumpa dengan para pengejar dari keluarga Tong, dari mulut dialah Tian Mong-pek diketahui berada disini.
Aku duga siasat busuk ini pasti berasal dari otak Yo Swan, sebab target mereka hanya Tian Mong-pek seorang.
Akan tetapi setelah melihat posisi Tian Mong-pek, mau tak mau terpaksa mereka berlagak melakukan pemeriksaan dan mundur ke samping jendela.
Niatnya, begitu berhasil dengan serangan bokongannya, mereka segera akan melompat jendela untuk kabur, asal tidak tertangkap, tak bakal ada yang bisa membongkar rencana busuk ini, sayangnya .
. . . . .." sambil tersenyum dia menghentikan perkataannya.
Tu Hun"thian tertawa tergelak, sambungnya: "Sayangnya mereka telah bertemu dengan kokcu lembah kaisar yang dapat menduga kejadian secara tepat, jauh sebelum mereka bertindak, siasat busuk mereka sudah ketahuan terlebih dulu." Kini para jago semakin paham, mereka baru mengerti apa yang dibisikkan Siau Ong-sun ke telinga Tu Hun"thian waktu itu, sudah pasti dia diminta membasmi sisa komplotannya yang tertinggal diluar dan memutuskan jalan mundur mereka.
Bab S0. Budi dari sahabat lama. Mendengar Siau Ong-sun dapat membeberkan semua keadaan seolah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ke tiga orang berbaju hitam itu merasa terkejut bercampur kagum, butir keringat menetes keluar membasahi topeng tembaga hijau yang menutupi wajahnya.
Tiba tiba terdengar salah seorang diantaranya berseru dengan nada benci: "Bajingan benar manusia yang bernama Yo Swan, ternyata dia tidak menerangkan kalau kokcu lembah kaisar berada disini, kalau tidak, mana mungkin kami tiga bersaudara berani menyatroni kemari." Siau Ong-sun tertawa, katanya: "Tidak bisa salahkan dia, karena dia sendiripun tidak tahu kalau aku II berada disini .
. . . . . .. Sesudah berpaling memandang Tian Mong-pek sekejap, lanjutnya dengan suara dalam: "Dari sini bisa disimpulkan kalau antara Yo Swan dengan Tong Ti pasti sudah menjalin kontak, hanya tidak diketahui apakah Lan Toa-sianseng sudah mengetahui kejadian ini?" Dengan nada dendam kata Tian Mong"pek: "Menurut pendapatku, meskipun Lan Thian-jui, So Kin-soat dan Tong Ti seolah saling tidak terkait, padahal diam diam mereka sudah menjalin persekongkolan." Orang berbaju hitam yang menjadi pimpinan itu berkilat matanya, tiba tiba ia berseru: "Dugaan Tian kongcu tepat sekali, sebenarnya semua urusan ini merupakan hasil rancangan Lan Toa-sianseng secara diam diam." Suasana seketika jadi gaduh, para jago dan pendekar yang hadir disana saling berbisik membicarakan hal ini, siapa pun tak menyangka Lan Toa-sianseng yang begitu tersohor ternyata secara diam diam telah merancangkan rencana busuk itu.
Padahal sejak awal Tian Mong-pek sudah mencurigai Lan Toa-sianseng, setelah mendapat bukti sekarang, dia semakin gusar.
Hanya Siau Ong-sun seorang yang tetap tenang, tampaknya dia sedang berpikir dan sama sekali tak terpengaruh oleh perkataan itu.
"Yo Swan si bajingan tengik itu kini berada dimana?" tanya Him Ceng-hiong dengan suara dalam.
"Setelah memberi petunjuk arah jalan, dengan membawa luka dia segera pergi, bahkan kami sempat mengirim dua orang saudara untuk menghantarnya, mungkin saat ini sudah pergi entah kemana." Sahut orang berbaju hitam itu.
"Lantas si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berada dimana?" tanya Tu Hun-thian.
Lelaki berbaju hitam itu menghela napas panjang, sahutnya dengan kepala tertunduk: "Lo"cou-cong kami baru saja meninggal dunia, situasi dalam perguruan mengalami perubahan besar, saat ini dia sedang berada dirumah untuk berkabung." Saat ini Tian Mong-pek baru mendengar kabar kematian Tong Bu-im, hatinya tergetar, pikirnya: "Ternyata firasat jelekku menjadi kenyataan, Tong Lojin benar benar telah mati .
. . . . .." Siau Ong-sun menghela napas panjang, ujarnya: "Bu-im lojin adalah seorang pendekar hebat, tak nyana begitu cepat dia pergi .
. . . . .. padahal dunia persilatan sedang dirundung masalah, II aaai .
. . . . .. Sampai disitu dia berhenti bicara dan tertunduk sedih.




Setelah terhening berapa saat, ujar Tu Hun-thian: "Dalam situasi dan kondisi semacam ini, ternyata Tong Ti masih berada dirumah.
Kenyataan ini sungguh membuat orang sukar percaya." Tiba tiba dari antara para jago ada yang menimbrung: "Cayhe bisa membuktikan kalau apa yang dia katakan memang benar, baru saja cayhe tinggalkan gedung keluarga Tong .
. . . . .." Secara ringkas diapun menuturkan keadaan dalam gedung keluarga Tong waktu itu.
Tu Hun"thian mendengus dingin, katanya: II "Tak disangka Tong Ti masih tahu untuk berkabung .
. . . .. sambil menunjuk keluar jendela, tambahnya: "Diluar jendela tergeletak lima orang, ditambah tiga ora ng disini, apa yang hendak kita lakukan terhadap mereka?" Thio losam yang tergeletak disamping, saat itu sudah setengah sekarat, mendengar pertanyaan itu, kontan teriaknya: "Bunuh mereka .
. . . . .. bunuh mereka . . . . .." Suasana jadi gaduh, ada sebagian jago menyatakan setuju, ada pula yang menolak.
Dengan suara keras Him Ceng-hiong berseru: "Lebih baik kokcu yang putuskan soal ini, kita semua tak boleh bertindak gegabah." Siau Ong-sun berpikir sejenak, kemudian katanya: "Orang orang inipun bekerja karena perintah atasan, bukan atas dasar kemauan sendiri, menurut pendapatku, lebih baik biarkan saja mereka pergi, bagaimana menurut saudara Tu?" Biarpun Thio Lo-sam sekalian merasa tak sependapat, namun mereka tak berani buka suara.
Setelah tersenyum, ujar Tu Hun-thian: "Karena kokcu berbelas kasian, sedang akupun bukan termasuk manusia gemar membunuh .
. . . . . .. tanggalkan kantung senjata rahasia mereka, biarkan mereka pergi!" Seolah mendapat pengampunan, begitu mendengar keputusan tersebut, kawanan manusia berbaju hitam itu segera menanggalkan kantung senjata rahasia masing masing, kemudian sesudah menjura, tanpa bicara lagi segera beranjak pergi.
"Jangan lupa dengan rekan rekan kalian diluar jendela....." teriak Tu Hun-thian.
Lalu sesudah tersenyum, katanya lagi: "Aku rasa orang orang itu pastilah murid atau cucu murid Tong Ti, ada baiknya dibebaskan semua." Perlu diketahui, pengalamannya dalam dunia persilatan boleh dibilang nomor satu, dari sepak terjang orang orang itu, dia tahu kalau mereka hanyalah orang orang berilmu rendah, kalau bukan begitu, tak mungkin semudah itu membebaskan mereka semua.
Terdengar dari luar jendela bergema suara batuk batuk, lalu terlihat delapan sosok manusia melompati pagar dengan tergopoh gopoh.
Tanpa menghentikan langkahnya, ke delapan orang manusia berbaju hitam itu berlarian sejauh dua li lebih dan kemudian berhenti didalam sebuah hutan.
Lelaki berbaju hitam yang menjadi pimpinan itu berseru: "Gotong dia keluar." Dua orang anak buahnya mengiakan dan melompat ke balik pepohonan yang lebat, dari situ mereka menggotong keluar seseorang.
Terlihat orang itu sangat lemah, napasnya lirih, ternyata dia bukan lain adalah Yo Swan.
Ternyata pengakuan orang berbaju hitam itu yang mengatakan dia sudah dibawa jauh hanya kata kata bohong, dia hanya sembunyikan Yo Swan dibalik pepohonan, hanya saja karena terkena hawa malam, kini lukanya bertambah parah.
Begitu melihat orang berbaju hitam itu kembali dengan selamat, dia jadi kegirangan, tanyanya dengan napas terengah: "Suu....
sudah berhasil?" Pemimpin kawanan manusia berbaju hitam itu tertawa dingin, ujarnya: "Kau jangan bertanya aku dulu, aku mau tanya, sudah berapa tahun sejak So Kin"soat menunjuk kau masuk ke perguruan Au"sian"kiong?" Nada suaranya berat dan tegas, dibandingkan dengan sikap hormatnya yang menjawab setiap pertanyaan yang diajukan tadi, dia seolah merupakan dua orang yang berbeda.
"Rasanya sudah hampir belasan tahun." Jawab Yo Swan setelah tertegun.
"Hmm, diwaktu biasa, kau selalu pintar, pandai bekerja, kemampuanmu tiga kali lipat melebihi orang lain, tapi selama belasan tahun, pernahkah kau berhasil melaksanakan satu tugas besar?" Diatas wajah Yo Swan yang pucat pias, segera terlintas perasaan ngeri dan ketakutan, serunya gemetar: \\ .
. . . .. tapi dalam setiap tugas, siautit selalu berusaha dengan sepenuh tenaga, hanya Thian tidak membantu aku, setiap kali urusan hampir berhasil, tahu tahu saja gagal total, toa....
toasiok, kau toh sudah tahu tentang semua permasalahan ini!" Orang berbaju hitam itu tertawa dingin.
"Hmm, aku hanya tahu kalau kau sok pintar, padahal sama sekali tak berguna." "Tapi....
tapi tadi....." "Tadi.....
Hmm, Hmm, kenapa tadi?" tukas orang berbaju hitam itu gusar, "kalau bukan aku sengaja berlagak berilmu cetek dan bersikap bungkuk bungkuk macam budak, mungkin tubuhku saat ini sudah dicincang Siau Ong-sun dan Tu Hun"thian jadi delapan keping." "Hah" Siau Ong-sun juga berada disana" Siautit benar benar tidak mengetahui akan hal ini." "Masalah apapun kau tidak tahu, buat apa tetap hidup terus" Apalagi dengan keadaanmu sekarang, mungkin untuk hidup terus juga susah." "Toa....
toasiok," rengek Yo Swan, "mohon kau orang tua sudi membawa serta diriku, jangan biarkan aku tetap tinggal disini, dikemudian II hari .
. . . .. dikemudian hari aku pasti akan membantu kau orang tua .
. . . .. Tapi begitu melihat sorot mata orang berbaju hitam itu dingin bagaikan es, dia semakin bergidik, kata seterusnya langsung membeku di tenggorokan dan tak sanggup lagi dilanjutkan.
Dengan pandangan menyeramkan orang berbaju hitam itu menatapnya, topeng setan tembaga hijau itu tampak berkilauan ditengah kegelapan malam, mimik muka semacam itu betul betul mengerikan hati.
Tiba tiba dia angkat telapak tangannya.....
"Toasiok, kumohon, ampuni aku.....
ampuni aku!" jerit Yo Swan ketakutan.
Jeritan ngeri yang memilukan hati, terdengar begitu menyayat ditengah kegelapan malam.
Sayang manusia berbaju hitam itu tak pernah tergerak hatinya, telapak tangannya tetap dilanjutkan menghantam ke bawah, katanya sambil tertawa seram: "Kau sudah cacat, isi perutmu juga sudah terluka parah, percuma hidup terus di dunia ini, lebih baik toasiok beri kepuasan untukmu!" satu pukulan dahsyat langsung dihantamkan keatas dada Yo Swan.
Yo Swan segera menjerit ngeri: "Tong Ti, kau....
kau . . . . .." Sepasang kakinya mengejang, nyawa nya putus seketika.
Begitulah nasib pemuda yang licik dan berhati busuk itu, bukan tewas ditangan orang yang telah dicelakai, sebaliknya malah mampus ditangan orang sendiri.
Jeritan ngerinya yang terakhir kali, dipenuhi perasaan benci yang mendalam serta perasaan penyesalan.
Orang berbaju hitam itu segera menendang jenasah Yo Swan ke dalam semak belukar, setelah itu dia baru melepas topeng setan tembaga hijaunya dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa terbahak: "Siau Ong-sun, sekarang kau pasti sudah mengenali diriku bukan!" Ditengah kegelapan malam, terlihat wajahnya kurus kering dan menyeramkan, dia tak lain adalah Tong Ti.
Orang lain menyangka dia masih berada dalam ruang rahasia sambil berkabung, siapa yang tahu kalau dia justru sudah berada disini" Ke tujuh orang manusia berbaju hitam lainnya berdiri dengan muka serius, saking takutnya, mereka sampai tak berani menghembuskan napas panjang.
Terdengar Tong Ti bergumam: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, walaupun hari ini aku tak dapat membunuhmu, tapi asal aku berhasil tiba lebih dulu di bukit Kun-san, kau toh tetap tak bisa meloloskan diri." Waktu itu, Tu Hun"thian sedang mengobati luka racun panah dari Thio Lo-sam berdua, sementara Siau Ong-sun telah masuk ke dalam ruang rahasia untuk mengobati luka dalam Tian Mong-pek.
Keadaan luka yang diderita Tian Mong-pek teramat susah untuk diobati, andaikata dia tidak bertemu Siau Ong-sun tepat waktu, mungkin seluruh ilmu silat yang dimiliki tak dapat pulih kembali seperti sedia kala.
Tapi kini dia telah bertemu Siau Ong-sun yang tiba tepat waktu, itu berarti keadaan lukanya sudah tidak menguatirkan lagi, Siau Hui-uh tahu akan kemampuan ayahnya, maka diapun dapat pergi dengan perasaan lega.
Kendatipun begitu, Siau Ong-sun dan Tian Mong-pek tetap membutuhkan waktu satu harian penuh sebelum dapat keluar dari ruang rahasia, saat itu wajah Siau Ong-sun tampak sayu dan letih, sebaliknya wajah Tian Mong-pek jauh lebih ceria daripada sebelumnya.
Para jago pun menyambut kesembuhan itu dengan riang gembira.
Hingga keesokan hari ke tiga, ketika fajar baru saja menyingsing, Siau Ong-sun, Tu Hun"thian serta Tian Mong-pek baru berangkat meninggalkan tempat itu.
Him Ceng-hiong dengn memimpin para jago menghantar hingga satu li lebih sebelum berpisah.
Dalam pada itu Siau Ong-sun bertiga melakukan perjalanan diiringi gurauan dan perbincangan, sekalipun tidak dilakukan dengan terburu buru, namun dengan ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, perjalanan itu terhitung cukup cepat.
Setelah berjalan lebih kurang satu li, tiba tiba Tian Mong"pek menemukan satu kejadian yang aneh, serunya tanpa sadar: "Apa itu?" Siau Ong-sun dan Tu Hun-thian memiliki ketajaman mata yang luar biasa, mereka pun segera melihat keanehan itu.
Terlihat dua baris semut putih bergerak Secara rombongan ditepi jalan, satu rombongan berjalan memasuki semak belukar, sementara barisan yang lain merangkak keluar dari semak.
Kawanan semut itu aneh bentuknya, bentuk tubuh mereka sebesar beras ketan, satu kali lipat lebih besar dari semut pada umumnya, bahkan sewaktu merangkak, gerakannya cepat sekali.
Tanpa terasa mereka bertiga menghentikan langkahnya.
"Dibalik semak itu pasti ada yang aneh," ujar Tian Mong-pek, "coba ananda tengok ke dalam sana." sambil berkata, dia segera melompat masuk ke balik semak belukar.
Siau Ong-sun saling bertukar pandangan sekejap dengan Tu Hun"thian.
II "saudara Tu, ujar Siau Ong-sun kemudian, "pengetahuanmu amat luas, sudah pasti tahu bukan apa nama dari semut jenis itu?" "Semut pemakan mayat!" Tiba tiba terdengar Tian Mong-pek menjerit kaget sambil mundur tiga langkah, badannya kelihatan limbung.
Buru buru Tu Hun"thian bertanya: "Apakah didalam semak ada sesosok mayat?" Ketika Tian Mong-pek berpaling, terlihat wajahnya pucat pias bagai mayat, rasa ngeri dan seram terpancar dari matanya.
"Mayat itu . . . . .. mayat itu adalah.... adalah . . . . .." Dari mimik mukanya, Siau Ong-sun serta Tu Hun"thian segera tahu kalau jenasah yang berada dalam semak belukar itu tentu seseorang yang dikenal, dengan kening berkerut mereka berdua ikut melompat masuk ke dalam semak.
Diantara semak belukar, terlihat sesosok mayat membujur kaku disitu, walaupun mayat itu sudah digigit ribuan semut pemakan bangkai hingga hancur tak karuan, namun raut mukanya masih dapat dikenal, dia tak lain adalah Yo Swan.
Kedua orang itu merasa terperanjat, untuk sesaat mereka pun berdiri termangu.
sambil menghela napas dengan nada berat, ujar Tu Hun-thian: "siapa menanam kebusukan, akhirnya harus menuai kebusukan pula, bocah ini keblinger karena kepintarannya, terakhir toh dia harus menerima akhir yang tragis." Ketika berpaling, dilihatnya Siau Ong-sun sedang menghentakkan kakinya berulang kali sambil tertawa getir, katanya: "Tak kusangka kita berdua tetap tertipu oleh muslihat orang lain." "Tertipu siapa .
. . . . .." tanya Tu Hun"thian dengan kening berkerut, tapi setelah berpikir sejenak, sahutnya, "Aah, betul, Tong Ti, sudah pasti pemimpin dari rombongan manusia berbaju hitam itu adalah penyamaran dari Tong Ti." Kembali Siau Ong-sun tertawa getir.
"Sayang kita telah teledor saat itu dan tidak perintahkan mereka untuk melepas topengnya, aaai, setelah melepas harimau kembali ke gunung, kerepotan yang bakal kita hadapi pasti akan semakin banyak." Bagaimana pun, kedua orang ini adalah jago-jago berpengalaman, pandangan serta analisa mereka jauh melebihi orang awam, dari keadaan mayat Yo Swan, mereka segera dapat menebak duduk perkara yang sebenarnya.
Tian Mong-pek tampak sangat sedih, dia tak tega menyaksikan keadaan Yo Swan yang mengenaskan, pintanya dengan kepala tertunduk: II "Ananda mempunyai satu permintaan .
. . . . .. Belum sampai dia mengajukan permintaannya, Siau Ong-sun telah menyela: "Biarpun Yo Swan licik dan jahat, kematiannya kelewat mengenaskan, apakah kau hendak mengubur jenasahnya?" II "Bagaimana pun, ananda pernah angkat saudara dengan dia, ucap Tian Mong-pek sedih, "sekalipun dia .
. . . . . .." sambil menghela napas Tu Hun-thian memotong: "Meskipun dia tega kepadamu, namun kau tak boleh kehilangan rasa setia kawan .
. . . .. aaai, baiklah. Kau sulut api terlebih dulu disekeliling jenasahnya." "Kenapa harus memasang api?" tanya Tian Mong-pek tertegun.
"Kalau tidak dibakar, bagaimana caramu untuk mengusir kawanan semut putih itu?" "Memalukan!" pikir Tian Mong-pek, maka diapun menyulut api disekitar semak belukar itu, dengan menggunakan asap yang tebal dia usir kawanan semut putih itu, kemudian ditengah hutan ia menggali sebuah liang dan mengubur jenasah Yo Swan.
Tu Hun-thian memandang Siau Ong-sun sekejap, ujarnya kemudian sambil menghela napas: "Sepanjang hidup Yo Swan banyak melakukan kejahatan, tapi ia dapat berkenalan dengan seorang sahabat macam Tian Mong-pek, boleh dibilang hal ini merupakan satu keberuntungan baginya."
"Sepanjang hidup Yo Swan banyak melakukan kejahatan, tapi ia dapat berkenalan dengan seorang sahabat macam Tian Mong-pek, boleh dibilang hal ini merupakan satu keberuntungan baginya." Setelah memberi hormat tiga kali didepan gundukan tanah liat, dengan sedih Tian Mong-pek baru melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan mereka sama sekali tak berhenti, tak sampai dua hari, pemandangan alam sebelah utara telaga Tong-ting telah muncul didepan mata.
Sejauh mata memandang, terlihat bayangan bukit bersembunyi dibalik awan tebal.
Mereka bertiga pun mencari menginap dan menangsal perut.
Saat itulah tiba tiba Siau Ong-sun berkata sambil menghela napas: "Dalam hati kecilku selalu terganjal satu masalah yang sangat mencurigakan, kalau tidak diselidiki, rasanya tak lega hatiku." "Apakah dikarenakan urusan Lan .
. . . . .." tanya Tu Hun-thian sambil tersenyum.
"Benar," sahut Siau Ong-sun sambil menghela napas, "tapi untuk menyelidiki urusan ini, tenagaku seorang masih terlalu minum, apakah saudara Tu bersedia membantuku?" "sudah seharusnya begitu .
. . . .. aai, Lan Thian-jui adalah seorang pendekar besar, kalau sampai dia benar benar melakukan perbuatan yang bodoh, hal ini patut disesali." Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya: "Ketika hari itu orang berbaju hitam itu mengatakan kalau segala sesuatu ini merupakan perencanaan yang dilakukan Lan Thian-jui, aku pun pernah menaruh rasa marah dan benci kepada Lan Toa-sianseng ini, tapi sekarang kita sudah tahu kalau orang berbaju hitam itu adalah Tong Ti, tentu keadaan jadi berbeda, sebab apa yang dibeberkan Tong Ti bisa jadi merupakan siasat membolak balikkan fakta." Walaupun perkataan ini seolah menjelaskan kepada Siau Ong-sun, padahal yang benar dia sedang menerangkan kepada Tian Mong-pek.
Anak muda itu segera menghela napas panjang, katanya: "Walaupun ananda merasa bahwa semua pertanda tampaknya mengarah pada Lan Toa-sianseng, padahal siapa yang tidak berharap kalau segala sesuatunya ini hanya salah paham .
. . . . .. Namun begitu teringat kalau ada berapa kejadian dilengkapi dengan bukti dan tak mungkin merupakan satu kesalah pahaman, kembali anak muda itu menghela napas.
Sejujurnya hingga kini dia masih menaruh perasaan kagum atas kegagahan Lan Toa-sianseng, dia tak tega menyaksikan nama besar pendekar ini bakal hilang dengan begitu saja.
Bagaimana mungkin Siau Ong-sun tidak mengetahui suara hatinya, setelah menghela napas katanya: "Persahabatanku dengan Lan Thian-jui sudah berlangsung hampir lima puluh tahun lamanya, bagaimana pun, aku pun berharap semuanya itu salah." "Benar." Sahut Tian Mong-pek dengan kepala tertunduk.
"Kini lukamu telah sembuh, kemampuanmu sudah mampu untuk mendobrak telaga naga sarang harimau, besok kau bisa naik gunung seorang diri, bertindaklah sesuai keadaan .
. . . . .." Sesudah memandang Tu Hun"thian sekejap, lanjutnya: "Sekarang juga kita berdua harus berangkat." Setelah kepergian kedua orang tua itu, Tian Mong-pek mulai putar otak memikirkan masalah itu, hampir semalaman dia tak mampu tidur nyenyak.
Menjelang tengah malam, tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda bergerak lewat dari luar jendela.
Derap kaki kuda itu sangat ramai, sudah jelas bukan hanya terdiri dari satu ekor.
Karena susah tidur, timbul rasa ingin tahu dihati kecil Tian Mong-pek, dia berniat mencari tahu apa yang terjadi, apalagi tak jauh dari sana terletak bukit Kun-san, siapa tahu para penunggang kuda itu ada hubungannya dengan panah kekasih.
Berpikir begitu, dengan cepat dia betulkan pakaian, menyoren pedang hitamnya lalu melompat keluar, dalam berapa lompatan kemudian ia sudah melihat gulungan debu kuda didepan sana.
Tian Mong-pek segera mengintil dari belakang, biarpun ilmu meringankan tubuhnya hebat, namun terasa sulit untuk mengejar kawanan kuda itu, masih untung berada ditengah malam yang hening sehingga dia dapat mengejar dengan mengikuti arah suara.
Sepertanak nasi kemudian, selisih jarak mereka bertambah jauh, kini yang terdengar hanya suara derap kuda yang sayup sayup dibawa angin.
Dasar Tian Mong-pek memang keras kepala, tentu saja dia tak mau balik ditengah jalan.
Tenaga dalamnya saat ini amat sempurna, biar berlarian sepuluh li lagipun bukan masalah baginya.
Siapa tahu pada saat itulah suara derap kaki kuda yang berada didepan sana tiba tiba berhenti, suasana jadi sangat hening.
Tian Mong-pek tidak parah semangat, sambil menghimpun tenaga ia meluncur terus ke depan.
Lebih kurang seratusan kaki kemudian, terlihat cahaya riak menggulung didepan mata, ternyata dia sudah tiba di tepi telaga Tong-ting.
Dibawah pohon ditepi telaga, terlihat puluhan ekor kuda bergelimpangan ditanah, mulut mereka berbuih putih, tampaknya kuda kuda itu dipacu terus hingga kelelahan dan kini tinggal menunggu ajalnya.
Ketika menengok lagi ketengah telaga, terlihat ada tiga buah perahu besar sedang berlayar ke tengah telaga, kini jaraknya sudah berada puluhan kaki dari tepi pantai, sedang arah mereka adalah bukit Kun-san.
Tian Mong-pek tiba selangkah lebih lambat, bukan saja gagal melihat tampang puluhan orang penunggang kuda itu, diapun gagal melihat manusia mana saja yang ada diatas perahu.
Tapi dia yakin antara puluhan orang penunggang kuda itu dengan perahu besar pasti punya hubungan yang erat dengan So Kin-soat yang berada diatas bukit Kun-san.
Untuk sesaat dia merasa amat sedih dan masgul.
Jauh memandang bukit Kun-san, yang tampak hawa kabut dan awan yang tebal, berada disudut manakah So Kin"soat saat ini" Dimanakah letak jalan masuk menuju ke perbukitan itu" Tian Mong-pek sedikitpun tak paham.
Apalagi dia tahu bahwa sepanjang jalan menuju ke sana telah disiapkan begitu banyak perangkap dan jebakan, kemungkinan besar sebagian besar perangkap itu dipersiapkan untuk menghadapi dirinya.
Bila Tian Mong-pek menerjang masuk secara sembarangan, mungkin sebelum bertemu So Kin-soat, dia sudah mati duluan.
Kalau sampai begini, bukankah dia bakal menyesal sepanjang masa" Saat itu fajar sudah mulai menyingsing di ufuk timur, kabut tipis menyelimuti permukaan telaga Tong-ting.
Sejauh mata memandang, terlihat telaga Tong-ting yang luasnya mencapai delapan ratus li itu terasa begitu luas, hembusan angin pagi yang menerpa riak, terlihat persis seperti percikan hujan dari tengah angkasa.
Tian Mong-pek berdiri termangu disisi telaga, mengawasi pemandangan alam yang begitu indah, dia tak tahu harus merasa murung atau girang.
sampai lama, lama kemudian, ia merasa bajunya mulai basah oleh embun pagi, namun perasaan sedih justru mengalir keluar dari lubuk hatinya.
Akhirnya setelah menghela napas panjang, dia berlutut diatas tanah dan bergumam: "Suhu, walaupun tecu tak dapat mengubur jenasah kau orang tua, namun disaat iblis bengsi berhasil ditumpas, aku pasti akan menyambangi kuburanmu.
Aku tahu, kau orang tua penuh welas asih, tentunya tak akan menyalahkan tecu bukan.
Biarlah layonmu untuk sementara diurusi Ui Hau II sekalian.....
sambil bergumam, air mata jatuh bercucuran.
Sesudah tundukkan kepala termenung berapa saat, kembali bisiknya: "Ayah, dendam kau orang tua adalah dendam seluruh umat persilatan di dunia ini, ananda tak pernah sehari pun melupakannya, demi kau orang tua, demi seluruh umat persilatan dikolong langit, ananda bersumpah akan membongkar rahasia iblis jahat itu, harap kau orang tua tak usah kuatir." Doa itu diucapkan dengan tekad yang bulat, jelas pemuda ini telah mengubah dendam pribadi menjadi dendam masyarakat, mengubah amarah jadi kekuatan.
Lewat berapa saat kemudian, terdengar dia kembali berkata: "Nona Tong, budi kebaikanmu tak pernah kulupakan.....
Chin locianpwee, urusanmu telah kuserahkan kepada orang yang dapat dipercaya, sampai detik terakhir, perguruan panji kain putih tak pernah terjatuh ke tangan kaum laknat....
tapi..... tapi Kiong locianpwee, aku merasa amat bersalah II kepada kau orang tua, karena aku gagal menjaga Ling-ling .
. . . . . .. Tanpa terasa dia membayangkan kelucuan Kiong Ling-ling, kemudian membayangkan pula nasib Kiong Ling-ling yang mengenaskan .
. . . .. Tian Mong-pek merasa bajunya telah basah, entah basah karena embun pagi ataukah karena air mata.
Kabut tipis diatas permukaan telaga semakin tebal, secerca cahaya terang mulai muncul diufuk timur, tiba tiba diantara sayupnya angin pagi, terdengar suara seorang wanita sedang menangis.
suara tangisannya memilukan hati, ditengah remang-remangnya sinar pagi, suara itu terdengar lebih menusuk perasaan.
Tapi saat itu masih menjelang fajar, ditepi telaga yang begini terpencil, kenapa bisa muncul suara tangisan gadis muda" Jangan jangan dia adalah gadis lemah yang baru saja dirogol orang" Mungkinkah gadis berhati lembut sedang memprotes ketidak adilan kehidupan di dunia ini" Jiwa kependekaran Tian Mong-pek seketika tumbuh, dia seolah sudah melupakan kepedihan sendiri, dengan langkah cepat ditelusurilah arah dimana berasalnya isak tangis tadi.
Makin berjalan, dia semakin mendekati perbukitan Kun-san, meski alur tanah sudah mulai mendatar, namun disana sini masih terlihat gundukan kecil, seperti taburan bintang yang mengelilingi rembulan.
Dibelakang sebuah gundukan bukit kecil, terlihat asap tipis mengepul ke angkasa dan tersebar ke empat penjuru.
Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, dia bertiarap diatas gundukan tanah itu sambil melongok ke bawah.
Terlihat dua orang gadis berbaju kabung sedang berlutut ditepi telaga, didepan mereka terdapat sebuah hiolo kecil yang me mbakar dupa wangi.
Isak tangis itu ternyata berasal dari dua orang gadis ini, asap yang tipis, bau harum yang lembut menciptakan satu gambaran indah yang misterius.
Tian Mong-pek tertegun, pikirnya sambil menghela napas: "Tak disangka, didunia ini masih terdapat orang yang sedang bersedih hati seperti aku, sepagi ini sudah bersembahyang ditepi telaga.
Kalau dilihat kepedihan mereka, sudah pasti yang dikenang adalah orang yang paling dikasihi .
. . . .. aaai, bisa membuat orang lain begitu sedih, sudah pasti dia adalah orang yang luar biasa .
. . . . .. bisa ditangisi gadis semacam ini, biarpun orang itu sudah mati, terhitung dia cukup punya rejeki." Meskipun wataknya keras dan angkuh, pemuda ini termasuk orang yang melankonis, melihat orang lain sedih, hati pun ikut merasa pedih.
Dua orang itu memiliki bahu yang putih, pinggang yang ramping dan memiliki rambut hitam yang panjang, terurai di belakang bahu.
Orang yang disebelah kiri, bertubuh lebih kurus dan lemah, isak tangisnya yang paling memedihkan hati, terdengar ia berbisik dengan nada gemetar: II "Tian Mong-pek, paman Tian, semoga arwahmu beristirahat tenang .
. . . . . .. Tian Mong-pek merasa amat terperanjat, nyaris dia terguling dari atas gundukan tanah, mimpi pun dia tak menyangka kalau dialah yang sedang dikenang dua orang gadis itu.
Terdengar gadis itu berkata lagi dengan gemetar: "Sepanjang hidup, kami tak akan bisa melupakan dirimu, kau telah mati.....
hidupku pun jadi tak menarik, aku .
. . . .. kalau bisa aku ingin sekali menemanimu mati, tapi aku .
. .



. .. aku justru tak boleh mati.....
tak boleh mati . . . . . .." sambil membelai permukaan tanah, dia menangis makin sedih.
Dari sini terlihat sekali luapan rasa cinta kasihnya yang begitu murni, begitu sejati.
Menyaksikan kesemuanya itu, Tian Mong-pek merasa hatinya makin kecut, kalau bisa dia ingin benar benar mati, agar bisa ditukar dengan air mata dari cinta sejati .
. . . . . .. Tapi dia masih hidup segar bugar didunia ini, isak tangis itu, ucapan itu, dia merasa amat dikenal, amat dekat dihatinya, seolah berasal dari seseorang yang baru saja dikenang.
Mendadak satu ingatan melintas, tak tahan lagi teriaknya keras: "Ling-ling, kau kah?" Terlihat kedua orang gadis itu membalikkan tubuh dengan badan gemetar, wajah mereka masih dibasahi air mata, mata pun masih merah bengkak karena banyak menangis.
Ternyata orang yang disebelah kiri adalah Kiong Ling-ling yang sudah banyak tahun tak ada kabarnya, sementara gadis yang ada disebelah kanan adalah Siau-lan, si gadis kebun yang jatuh cinta kepada Tian Mong-pek waktu berada di kebun Ban-hoa-wan di lembah kaisar.
Tian Mong-pek segera berlarian menuruni bukit kecil itu, sambil rentangkan lengannya, dia berseru: "Ling-ling, paman Tian belum mati .
. . . . .." Perasaan hatinya sangat tergoncang, kalau bisa, dia ingin merangkul tubuh Kiong Ling-ling dan memeluknya erat.
Siapa tahu Kiong Ling-ling dan Siau-lan mundur satu langkah, dengan mata melotot seru Siau-lan: "Kau....
kau belum mati?" Tiba tiba ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, lalu kabur dari situ.
Tian Mong-pek jadi tertegun, tanyanya bingung: "Ke....
kenapa jadi begini?" sambil menyeka air mata, sahut Kiong Ling-ling sambil tertawa paksa: "Mungkin dia.....
dia menjadi malu, maka.....
maka langsung kabur." Tiba tiba saja nada suaranya berubah jadi sangat tenang, seakan isak tangis tadi bukan berasal dari dia.
Perlu diketahui, walaupun perawakan tubuhnya kurus dan lemah, namun wataknya amat keras, sama seperti Tian Mong-pek, sampai matipun tak mau mengaku kalah, kalau tidak, mana mungkin dia lebih suka ditusuk yaya nya dengan pedang daripada berbicara, lebih suka hidup menggelandang daripada mendapat perlindungan dalam lembah Kaisar.
Bila Tian Mong-pek mati, dia rela menemani pemuda itu untuk pergi mati, tapi setelah tahu kalau Tian Mong-pek masih hidup, dia tak ingin pemuda itu mengetahui kalau dia sangat mencintainya.
Ini dikarenakan ia sudah tumbuh dewasa, sudah menjadi gadis remaja, gadis dengan pemikirannya, gadis dengan perasaan cintanya, karena dia tahu yang sangat dicintai Tian Mong-pek adalah orang lain, bukan dirinya.
Penjelasannya bagi Siau-lan, sesungguhnya merupakan suara hatinya pula, sudah barang tentu Tian Mong-pek tak dapat memahami perasaan halus gadis gadis muda itu.
Untuk sesaat Tian Mong-pek jadi tertegun, dia tak habis mengerti kenapa gadis gadis itu, yang satu langsung kabur, yang lain langsung bersikap dingin, seolah yang mereka tangisi tadi bukan dirinya, seperti juga mereka merasa tak senang karena melihat dirinya belum mati.
Pikirnya sambil tertawa getir: II "Mungkin mereka sangat berharap aku benar benar sudah mati....
Berpikir begitu, tanpa sadar katanya: "Aaai, mungkin aku memang jauh lebih baik mati beneran daripada hidup." Kiong Ling-ling merasa kecut hatinya.
"Paman Tian," pikirnya, "benarkah kau tak tahu bagaimana perasaan Ling-ling kepadamu" Aaai, kau telah memiliki tambatan hati, mungkin lebih baik selamanya kau tak usah tahu." Setelah tertawa hambar, dengan kepala tertunduk tanyanya: "Apakah bibi Siau baik baik saja?" Seandainya Tian Mong-pek mengetahui perasaan hatinya, seharusnya diapun dapat menangkap nada sedih dibalik pertanyaan itu, namun dikarenakan ia enggan menunjukkan perasaan hatinya yang sejati, terpaksa Tian Mong-pek hanya menjawab: "Baik." Walaupun dia merasa Kiong Ling-ling semakin tumbuh besar, diapun dapat merasakan sikap terhadap dirinya yang semakin dingin dan hambar, melihat raut mukanya yang makin cantik, sudah jauh dari wajah kurus seorang bocah cilik dimasa lalu, pemuda ini ikut merasa gembira, kata nya lagi sambil tertawa: "Ling-ling, beritahu paman, kenapa kau bisa sampai disini?" "Tak lama setelah aku dan enci siau"lan kabur dari lembah kaisar, belum lama hidup bergelandangan, kami telah bertemu dengan seseorang yang berhati sangat baik." Dia sama sekali tidak mengungkit bagaimana dia bersama Siau-lan hidup menderita karena kedinginan dan kelaparan, diapun tidak menyinggung seandainya Siau-lan tidak memiliki ilmu silat, mereka berdua telah diperkosa orang.
Ini dikarenakan dia tak ingin Tian Mong-pek merasa sedih karena dia, merasa bersalah karena dia.
Hanya jawabnya hambar: "Melihat kami berdua sangat mengenaskan, nyonya yang baik hati itupun membawa kami pulang kemari." "Disini" Di bukit Kun-san?" tergerak hati Tian Mong-pek.
"Betul, dia mengajak kami naik ke Kun-san dan tinggal di sebuah perkampungan .
. . . . . .. "Apakah nvonva yang baik hati itu adalah So Kin-soat?" tanya Tian
"Betul, dia mengajak kami naik ke Kun-san dan tinggal di sebuah perkampungan .
. . . . . .." "Apakah nyonya yang baik hati itu adalah So Kin-soat?" tanya Tian Mong-pek makin terperanjat.
Melihat perubahan wajah pemuda itu, Kiong Ling-ling ikut terperanjat, tanyanya gemetar: "Paaa....
paman, dari mana bisa tahu" Apakah paman juga kenal dia?" Tian Mong-pek menghentakkan kakinya berulang kali, tak mampu mengucapkan apapun, hanya pikirnya: "Mereka datang dari bukit Kun-lun, kenapa So Kin-soat bisa bertemu dengan mereka?" setelah berpikir lebih lanjut, diapun segera sadar, pikirnya: "Aah benar, rumput pelumat impian yang digunakan untuk membuat panah kekasih, meski sebagian besar dipasok Tong Ti, namun selama Tong Lojin masih hidup, tentu saja Tong Ti tak berani secara terus terang mengirim seluruh pasokan rumput pelumat impian kemari, dia paling hanya bisa mencuri sebagian kecil, padahal kebutuhan panah kekasih makin lama semakin banyak, produksi mereka kian hari kian meningkat, sudah pasti pasokan rumput pelumat impian yang dibutuhkan semakin tekor.
"setelah Tong Ti dan So Kin-soat melakukan perundingan, merekapun hanya bisa pergi ke Lam-jiang untuk mencari Leng Yok-su, menggunakan melemahan dari Leng Yok-su, melancarkan serangan yang lembut dan mesra.
"Pernah selama sekian waktu dunia persilatan tidak nampak jejak So Kin-soat, ini dikarenakan dia sedang pergi ke Lam-jiang.
"Benar saja, akhirnya Leng Yong-su terpikat oleh kecantikan wajahnya, produksi rumput pelumat impian pun mulai dipasok kepada perempuan itu, inilah sebab kebutuhan Tong Lojin untuk rumput pelumat impian makin hari makin bertambah sedikit." Tian Mong-pek jadi teringat kembali dengan perkataan Tong Lojin kepadanya ditengah malam buta waktu itu, kenapa pengiriman rumput pelumat impian untuk perguruan keluarga Tong makin lama semakin bertambah sedikit, kenapa Leng Yok-su enggan menanam rumput itu lagi.
Sebenarnya dia tak habis mengerti dengan semua alasan itu, tapi sekarang dia jadi paham semua.
"Kemudian Leng Yok-su sadar kalau cinta kasih So Kin-soat terhadapnya ternyata palsu, dalam gusarnya, diapun enggan menanam rumput pelumat impian lagi, ketika sumber pasokan rumput beracun itu tiba tiba terhenti, panah kekasih pun tak bisa diproduksi lagi.
"Kemudian Leng Yok-su menyumbangkan sisa rumput yang dimiliki untuk Tong Lojin, dalam cemas dan paniknya, Tong Ti pun menyerempet bahaya pergi mencuri rumput tersebut dan perintahkan orang untuk mengirim ke bukit Kun-san.
Sewaktu So Kin-soat bertemu Ling-ling dan siau-lan, sudah pasti saat itu dia sedang dalam perjalanan pulang ke bukit Kun-san setelah berkunjung ke Lam-jiang.
"Selama ini, dia selalu berkeinginan memupuk kekuatan sendiri, setelah melihat bakat dari Ling-ling, sudah pasti dia tak akan melepaskannya, maka kedua orang itu dibawa pulang ke bukit Kun-san." Berpikir begitu, semua teka teki yang meragukan pemuda itupun seketika terbongkar.
Terdengar Kiong Ling-ling berkata: "So hujin adalah orang baik, paman .
. . . .. kau bukan sedang marah kepadanya bukan?" Tiba tiba Tian Mong-pek menarik gadis itu, menatap wajahnya lekat lekat, lalu sepatah demi sepatah kata ujarnya: "Pernahkah paman membohongimu?" "Belum pernah." "Maukah kau mempercayai perkataan paman?" Kelihatannya Kiong Ling-ling segera dibuat tertegun oleh tingkah lakunya yang aneh, oleh pertanyaannya yang aneh, matanya terbelalak lebar, namun dia hanya bisa mengangguk, tak sanggup berbicara sepatah kata pun.
"Kalau begitu, paman beritahu." Ujar Tian Mong-pek, "So Kin-soat adalah perempuan paling kejam, paling licik, paling busuk didunia ini, dia sedikitpun tidak baik." Sepasang mata Kiong Ling-ling terbelalak makin besar, penuh diliputi rasa kaget, penuh diliputi rasa curiga, heran, tak percaya .
. . . .. Disaat ia hidup menggelandang, So Kin-soat telah menampung dirinya, memberi makan, pakaian dan hidup yang nyaman, mewariskan ilmu silat kepadanya .
. . . .. Dihari hari biasa So Kin-soat selalu tersenyum lembut kepadanya, setiap kata, setiap ucapannya penuh kasih sayang.....
Sejak kecil Kiong Ling-ling kehilangan orang tuanya, hidup berkelana ikut kakeknya, setelah mengalami pelbagai peristiwa, belum pernah ia rasakan kehidupan yang nyaman dan bahagia.
Walaupun Tian Mong-pek mencintainya, melindunginya, namun bagaimana pun dia adalah seorang lelaki.
Siau Hui-uh pun sangat baik terhadapnya, tapi watak Siau Hui-uh mana bisa dibandingkan dengan kelembutan So Kin-soat" Dalam lubuk hati Kiong Ling-ling yang paling dalam, dia telah menganggap So Kin-soat sebagai orang yang paling dikasihi, bahkan telah menggantikan posisi seorang ibu didalam hatinya.
Tapi sekarang, Tian Mong-pek telah melukiskan sosok ibu yang penuh kasih sayang itu menjadi seorang wanita yang teramat keji dan busuk, perubahan yang amat besar itu muncul secara mendadak, membuat gadis itu, secara kejiwaan, tak bisa menerima dengan begitu saja.
Kembali Tian Mong-pek berkata dengan lembut: "Ling-ling, percayalah kepada paman, tak mungkin paman akan membohongimu, So Kin-soat bukan saja keji dan telengas, dia....
dia lah dalang utama dalam pembuatan panah kekasih." Sekujur tubuh Kiong Ling-ling bergetar keras, air mata telah jatuh berlinang membasahi pipinya, tak tahan, dia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan dan menangis tersedu"sedu.
Dengan lembut Tian Mong-pek membelai rambutnya yang hitam, katanya: "Ling-ling, aku tahu kau baik sekali, tak pernah tega untuk mencelakai orang yang pernah memberi kebaikan kepadamu, tapi usiamu masih muda, ketahuilah, banyak orang meski baik kepadamu pada tampilannya, namun maksud tujuannya sangat keji.
Demi seluruh umat persilatan di dunia ini, seharusnya kau busungkan dada, bantu paman untuk menyingkap rahasia paling besar dari dunia persilatan.....
Ling-ling, bersediakah kau menjawab berapa buah pertanyaan dari paman?" Air mata membasahi seluruh wajah Kiong Ling-ling, p erasaan hatinya dipenuhi siksaan, sedih dan serba salah.
Sejujurnya dia tak tega menghianati So Kin-soat, tapi Tian Mong"pek adalah enghiong sejati yang menjadi panutan hatinya selama ini, setiap perkataannya yang begitu tegas, membuat orang lain mau tak mau harus menurutinya.
Untuk sesaat, perasaan hatinya dipenuhi keraguan, kebimbangan, sulit baginya untuk ambil keputusan.
setelah menghela napas, kembali ujar Tian Mong-pek: "Bila keberatan, paman tak akan memaksamu, kau.....
kau harus baik baik jaga diri, paman harus pergi .
. . . . . .." Dengan sedih dia membalikkan badan.
Tiba tiba Kiong Ling-ling angkat wajahnya dan memanggil: II "Paman Tian .
. . . .. Terkejut bercampur girang, Tian Mong-pek membalikkan badan.
"Kau . . . . . .." Sambil menyeka air mata, kata Kiong Ling-ling: "Ling-ling percaya dengan perkataan paman, bila paman ingin ajukan pertanyaan, asal Ling-ling tahu, pasti akan kujawab." "Kau benar benar bersedia?" "Biarpun usia Ling-ling masih muda, tak tahu urusan, tapi setiap kata yang telah Ling-ling ucapkan, selamanya tak akan disesali kembali." Meskipun tubuhnya yang kurus dan lemah tiada hentinya gemetar ditengah hembusan angin pagi, namun sikap dan mimik mukanya menunjukkan ketegasan, dalam pandangan Tian Mong-pek, tubuhnya yang kecil kurus itu sesungguhnya jauh lebih tinggi besar daripada siapapun.
setelah termenung lama sekali, Tian Mong-pek baru bertanya: "Kau pernah bertemu Lan Thian-jui?" "Pernah." "Pernahkah datang ke bukit Kun-san?" "Bukan hanya datang, mungkin saat ini masih berada diatas bukit." Bergetar sekujur tubuh Tian Mong-pek, sambil mengepal tinju, dia termenung berapa saat, kemudian baru katanya lagi: "Tahukah kau, bagaimana hubungannya dengan So Kin-soat?" Kiong Ling-ling berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Selama berada dihadapanku, mereka berdua selalu berhubungan dengan penuh tata kesopanan, tapi suatu hari, tanpa sengaja aku melihat mereka berdua sedang ribut sengit gara gara satu urusan, kemudian So....
So hujin menangis sedih sambil berkata: "Baik, apakah kau sudah melupakan .
. . . ..", belum selesai perkataan itu diucapkan, Lan Toa-sianseng segera memotong: "Baik, aku kabulkan permintaanmu." Tapi kelihatan sekali kalau dia sangat marah, bahkan sempat membanting cawan keatas lantai." Walaupun dia tidak menerangkan secara jelas, namun dari pembicaraan tadi sudah terlihat jelas bahwa Lan Toa-sianseng memang mempunyai hubungan yang luar biasa dengan So Kin-soat.
Dengan jengkel seru Tian Mong-pek" II "Bagus, bagus sekali .
. . . . .. Mendadak tanyanya lagi: "Bagaimana caraku untuk pergi ke perkampungan milik So Kin-soat" Apakah sepanjang jalan penuh jebakan?" "Perkampungan yang ditinggali So hujin bernama Cian-liong-san-ceng (Perkampungan naga mendekam), dikelilingi tiga puncak bukit disekitarnya, didepan perkampungan terdapat benteng bambu yang susah dilewati karena alam yang berbahaya, konon disekeliling perkampungan disiapkan banyak pasukan, khususnya dalam dua hari terakhir, penjagaan ditempat itu makin ketat.
Jika ingin menuju ke tempat tinggalnya, hanya bisa lewat jalan air, melalui pintu benteng pertama, setelah melewati benteng air akan muncul pemandu jalan yang akan menghantar jalan setapak yang langsung menuju ke perkampungan." "Selain itu, apakah .
. . . . .." Tian Mong-pek berkerut kening.
"Selain itu, masih ada lagi sebuah lorong rahasia yang langsung berhubungan dengan paviliun penerima tamu ditengah bukit, tapi jarang sekali ada yang mengetahui lorong rahasia itu." "Apakah kau tahu?" tanya Tian Mong-pek girang.
Kiong Ling-ling tertunduk lemas, sahutnya setelah menghela napas sedih: "Barusan aku datang kemari dengan melewati lorong bawah tanah itu." Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur girang, pintanya: "Ling-ling, cepat ajak paman melewati lorong rahasia itu....." Tiba tiba ia teringat akan sesuatu, bila Kiong Ling-ling mengetahui lorong bawah tanah itu, berarti So Kin-soat memang sangat mempercayai gadis ini, dengan watak si nona, seharusnya dia tak akan tega membiarkan orang yang begitu percaya kepadanya merasa sedih dan kecewa.
Kini, bila dia minta petunjuk cara lewat lorong rahasia itu, bukankah sama halnya dengan memaksakan kehendak" Sekalipun dia setuju, sudah pasti hati kecilnya merasa sangat sedih.
Selama hidup, Tian Mong-pek hanya tahu memikirkan nasib orang lain dan jarang memikirkan diri sendiri, sekarang, mana dia tega membuat gadis malang itu bertambah sedih" Berpikir sampai disitu, seketika itu juga ia berhenti bicara.
Kiong Ling-ling angkat wajahnya dan menatap pemuda itu sampai lama sekali, kemudian dia baru berkata sambil menghela napas sedih: "Aku tahu, paman pasti tak tega bikin aku sedih, karena itu tidak kau lanjutkan perkataanmu, tapi.....
Ling-ling pun tak tega membuat paman sedih .
. . . .. paman, ikutilah aku!" Walaupun hanya berapa patah kata, namun mengandung maksud dalam yang tak terhingga.
Tian Mong-pek merasa hatinya jadi kecut, dia tak tahu harus tertawa atau menangis, tiba tiba serunya dengan lantang: "Paman berani angkat sumpah, tak sepatah kata pun kutuduh So Kin-soat dengan tuduhan palsu, asal dikemudian hari So Kin-soat mau bertobat, paman akan memandang pada wajahmu, tidak akan mencelakai jiwanya." Kiong Ling-ling tertawa sedih, tanpa bicara lagi dia berjalan menuju ke kaki bukit.
Terlihat gerakan tubuhnya lincah, enteng dan indah, hanya dalam waktu yang singkat, ilmu silatnya telah peroleh kemajuan pesat.
Jelas selama ini dia rajin berlatih dan kecerdasan otaknya luar biasa.
Mengikuti di belakang tubuhnya, Tian Mong-pek merasa semakin sedih dan terharu, ketika tiba dikaki bukit, tiba tiba dari balik semak belukar terlihat ada sebuah lempengan besi berwarna hitam.
Kalau bukan diajak Kiong Ling-ling, biar dicari selama setahun pun belum tentu Tian Mong-pek akan menemukan lempengan besi itu.
Tampak Ling-ling menyingkap lempengan besi itu ke samping, didalamnya tampak sebuah lorong bawah tanah.
Biarpun lorong itu lembab dan gelap, namun setiap jarak berapa kaki tergantung sebuah lentera tembaga, lentera itu tampak basah oleh minyak, sudah jelas lorong itu sering dilewati orang.
Kembali Tian Mong"pek berpikir: "Tempat tinggal So Kin-soat dinamai naga mendekam, entah butuh berapa banyak waktu dan tenaga untuk membangun lorong rahasia semacam ini.
Dari sini bisa dibuktikan kalau ambisinya memang besar.
Seorang wanita bisa menciptakan maha karya sebesar ini, perencanaan secermat ini dan organisasi massa seluas ini, bahkan semuanya bisa dilaksanakan secara tertutup dan rahasia, hal ini semakin membuktikan bahwa dia memang perempuan luar biasa dengan kelebihan mengagumkan." Lambat laun lorong rahasia itu semakin mendaki ke atas, entah berjalan berapa saat kemudian, tiba tiba Kiong Ling-ling berbisik: "Jalan keluar lorong berada disini." Diatas mereka kembali muncul sebuah lempengan besi, lempengan itu berada berapa kaki diatas langit langit lorong, untuk mendaki keatas, dihubungkan dengan sebuah tangga besi.
"Apakah diluar sana ada penjaganya?" tanya Tian Mong-pek.
Belum sempat Kiong Ling-ling menjawab, tiba tiba terdengar suara tertawa yang memekikkan telinga berkumandang masuk ke dalam lorong dari atas, begitu keras suara tertawa itu membuat Tian Mong-pek merasa kendang telinga nya sakit.
Ditinjau dari kemampuan orang itu mengirim suara tertawanya hingga tembus lempengan besi, bisa diduga, tenaga dalam yang dia miliki pasti menakutkan.
Bab S1. Kawanan naga dari telaga Tong-ting.
"Diatas ada orang." Seru Tian Mong"pek kaget.
"Di mulut keluar lorong bawah tanah ini terdapat tempat untuk II bersembunyi, ujar Kiong Ling-ling sambil berkerut kening, "mari, biar Ling-ling temani paman untuk menengok dulu keatas, kita lihat siapa yang berada disana." Mereka berdua menaiki tangga besi, keluar dari lorong bawah tanah.
Kini Tian Mong-pek baru tahu, ternyata bagian atas dari lorong bawah tanah itu merupakan sebuah kuburan, didepan kuburan berdiri sebuah tugu batu yang secara persis menutupi jalan keluar lorong.
Batu prasasti itu lebar dan tinggi besar, cukup untuk bersembunyi tiga sampai lima orang, sekeliling sana merupakan pepohonan yang rindang, hal ini membuat orang yang bersembunyi dibelakang prasasti menjadi jauh lebih aman.
setelah melirik sekejap seputar tempat itu, kembali Tian Mong-pek merasa terperanjat.
Ternyata disamping kuburan merupakan sebuah jalan setapak yang melingkar dari bawah gunung menuju ke atas, dikedua sisinya merupakan pepohonan yang rintang, disebuah tanah dasar terdapat pavilion bersegi delapan, posisi pavilion itu membelah jalan setapak tadi jadi dua bagian.
Ini berarti setiap orang yang ingin naik gunung, harus melewati dulu pavilion tersebut.
Saat itu, didepan pavilion bersegi delapan itu berdiri tujuh, delapan belasan orang, hal ini membuat perjalanan orang yang mau naik ke puncak bukit jadi terhalang.
Dalam pavilion, diatas meja batu, berdiri seorang kakek tinggi kekar yang mengenakan baju warna biru, dia tak lain adalah Lan Toa-sianseng yang tersohor diseantero jagad.
Saat itu, para jago yang berkumpul didepan pavilion sudah diliputi rasa gusar, ada yang mengepal tinjunya, ada pula yang menggenggam gagang senjata, situasi sudah amat kritis, ibarat anak panah yang sudah diatas gendawa, siap bertempur melawan Lan Toa-sianseng.
Tampaknya orang yang menjadi pimpinan rombongan masih dapat mengendalikan ketenangan, tegurnya dengan nada berat: "Lan Toa-sianseng, namamu sudah tersohor diseluruh k olong langit, hari ini, kenapa kau harus melakukan perbuatan seperti ini?" Orang ini berperawakan kurus kering, sinar matanya tajam, biarpun usianya masih pertengahan namun sikap serta pandangannya sangat terlatih, dalam sekilas pandang dapat diketahui kalau dia adalah jago silat kelas satu.
"Apa yang telah lohu lakukan?" bentak Lan Toa-sianseng.
Dengan suara lantang ujar pendekar berusia pertengahan itu: "Sejak tadi sudah cayhe ungkap, berdasarkan penelusuran kami sekalian puluhan orang yang telah menelusuri enam puluh tiga propinsi di utara maupun selatan, dapat disimpulkan bahwa dalang dari panah kekasih berdiam di perkampungan Cian-liong-san-ceng ini, tapi sekarang Lan Toa-sianseng berusaha menghalangi jalan pergi kami, bukankah hal ini sangat membingungkan?" Lan Toa-sianseng segera mendongakkan kepala dan tertawa nyaring.
"Hahahaha, lohu hanya tahu bertugas menjaga tempat ini, siapapun dia, karena urusan apa kedatangannya, jangan harap bisa naik ke puncak bukit, urusan kan sangat sederhana, apa yang membuat kalian bingung?" Terperanjat hati para jago setelah mendengar penegasan ini.
Tiba tiba terdengar seseorang berkata dengan nada nyaring: "Lan Toa-sianseng, apa sebabnya kau berbuat begini" Tolong beri sedikit penjelasan." Orang ini mengenakan jubah seorang tosu, rambutnya disanggul keatas dan menyoren pedang, wajahnya bersih dan gagah.
Kembali Lan Toa-sianseng tertawa keras.
"Hahaha, lohu hanya tahu melakukan pekerjaan yang kusukai, apa yang kusuka, akan kulakukan, siapapun jangan harap menca mpuri urusan lohu, apalagi memberi penjelasan kepada angkatan muda macam kalian." Tosu muda itu jadi gusar, serunya: "Sejak awal kami sudah curiga, bisa jadi anda mempunyai hubungan rahasia dengan panah kekasih, setelah kejadian hari ini, terbukti kalau kecurigaan kami memang benar.
"Kalau benar lantas kenapa?" "Jangan jangan kaulah dalang dari panah kekasih." Bentak tosu muda itu makin marah.
Lan Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha . . . . .. dasar angkatan muda . . . . . . .. dasar angkatan muda....." "Jadi kau sudah mengakui?" desak tosu itu.
"Hahaha.... silahkan saja kau masukkan semua kejahatan yang pernah terjadi dikolong langit dalam bon hutang lohu, memang kau sangka lohu takut?" "Bagus! Bagus!" teriak tosu muda itu semakin gusar, "ternyata kau tak pandang sebelah mata pun terhadap semua orang di kolong langit, menganggap semua orang di jagad ini sebagai kanak kanak, kecuali manusia macam kau, mana ada orang lain yang bisa membuat senjata rahasia sekeji panah kekasih" Sekarang aku baru mengerti!" "Sreet!" dia cabut keluar pedangnya, kemudian setelah berhenti tertawa, sepatah demi sepatah kata ucapnya: "Giok-khong-cu dari Bu-tong-pay datang minta petunjuk!" Tadi, walaupun dia sangat marah, tapi setelah mencabut pedang ditangan, sikapnya segera berubah jadi serius, sepasang mata tertuju ke ujung pedang, selangkah demi selangkah dia berjalan menuju ke pavilion segi delapan.
Perasaan hati para jago ikut bergolak.
Perlu diketahui, tosu muda ini merupakan jago pedang angkatan muda dari Bu-tong-pay, meskipun usianya masih muda, ilmu pedangnya sudah mencapai taraf yang luar biasa.
Tapi bila dia harus dibandingkan dengan Lan Toa-sianseng, pendekar nomor satu dari dunia persilatan yang sudah puluhan tahun menggetarkan sungai telaga, jelas kemampuannya masih ketinggalan jauh.
Itulah sebabnya diam diam para jago menguatirkan keselamatan jiwanya.
Pendekar berusia pertengahan itu segera menyingkir ke samping memberi jalan, pesannya: "Waspada dan hati hati hiante." Giok-khong-cu mengangguk, pergelangan tangannya bergetar, "Nguung!" pedangnya segera menampilkan suara dengungan bagai pekik naga.
"Lan Thian-jui!" serunya lantang, "sekalipun kau tidak turun, aku tetap akan turun tangan." Berkilat sinar mata Lan Toa-sianseng, bujuknya: "Tidak gampang untuk mencari nama, lebih baik mundurlah!" Dari nada suaranya, jelas timbul perasaan sayang dihati jago tua ini, dia tak tega membiarkan jago muda ini keok ditangannya.
Berkenyit alis mata Giok-khong-cu, pedangnya yang mendengungkan pekikan naga tiba tiba menyiratkan selapis cahaya berwarna hijau kebiru-biruan, dia langsung babat dada Lan Toa-sianseng.
Serangan ini mengandung kekuatan yang terpendam, walaupun merupakan ilmu pedang yang disertai tenaga dalam, namun sama sekali tidak benar benar membacok dada Lan Toa-sianseng.
Tampaknya tosu muda ini hanya bermaksud paksa Lan Toa-sianseng turun dari meja, karena itu meski ujung pedangnya menggurat, namun masih ada selisih jarak satu inci dari tubuh lawan.
Lan Toa-sianseng sama sekali bergeming, katanya lagi dengan suara dalam: "Bila kau mampu paksa lohu turun dari meja ini, anggaplah aku yang kalah dan terserah apa keputusanmu nanti." "Baik!" sahut Giok-khong-cu gusar.
Begitu kata "baik" diucapkan, pedangnya telah berubah jadi bianglala dan melancarkan belasan babatan, terlihat cahaya kehijauan menyelimuti angkasa, setiap tusukan, setiap babatan hampir semuanya mengancam bagian mematikan ditubuh Lan Toa-sianseng.
Para pendekar menonton jalannya pertempuran dengan wajah tegang, setiap kali tusukan yang secara jelas menusuk ke tubuh Lan Toa-sianseng, entah mengapa, hanya sedikit Lan Toa-sianseng miringkan badan, tusukan itu mengenai sasaran kosong.
Saat itu, para jago yang berada di empat penjuru sudah dipaksa mundur berapa langkah oleh pekatnya hawa pedang, namun Lan Toa-sianseng bagaikan malaikat langit masih tetap duduk diatas meja batu, sama sekali tak bergerak.
Berubah paras muka pendekar berusia pertengahan itu, tiba tiba serunya dengan lantang: "Bila ditinjau dari beradu kepandaian, Giok-khong toheng sudah dianggap kalah, tapi pertempuran hari ini adalah demi kesejahteraan seluruh umat persilatan, meskipun sepanjang hidup aku Lok Tiau-yang belum pernah cari kemenangan dengan andalkan jumlah banyak, terpaksa hari ini harus melanggar kebiasaan ini." Ditengah suara bentakan, dia telah meloloskan tongkat rotan lemas sepanjang dua meter.
Begitu tangannya bergetar, tongkat lemas itu seketika menjadi tegang, ujung tongkat segera membiaskan sepuluh kuntum bunga tongkat yang disertai desingan angin tajam menyerang ke tubuh Lan Thian-jui.
Ternyata pendekar berusia pertengahan ini tak lain adalah jagoan dari wilayah barat-laut yang disebut orang Say-sang tayhiap (pendekar perbatasan) Lok Tiau-yang.
Sebenarnya dia bersama Jin-gi-oh suhiap merupakan sahabat sehidup semati, sejak Oh Thian-ling tewas di dusun It-jin-cun, sumur Tian-sui-cing, Lok Tiau-yang segera mengumpulkan kawanan jagoan kolong langit termasuk Giok-khong-cu dari Bu-tong-pay untuk melacak rahasia panah kekasih dan balaskan dendam bagi Oh Thian-ling.
setelah melalui pelacakan selama banyak tahun, boleh dibilang mereka peras otak banting tulang habis habisan, akhirnya dalam perjalanan menuju kuil Kim"san-sie, tanpa sengaja mereka menemukan buku transaksi dari panah kekasih.
setelah melalui pelacakan lagi yang ketat, akhirnya diketahui bahwa sumber rahasia dari panah kekasih ternyata berada dipuncak gunung Kun-san di telaga Tong-ting.
Sedang kitab transaksi rahasia itu tak lain adalah benda petaka yang menyebabkan kematian hwesio beralis abu abu dari kuil Kim-san-sie.
Ternyata lapisan atas kitab transaksi itu terbuat dari kulit ular api yang tahan dibakar, meskipun semua benda peninggalan hongtiang kuil Kim-san-sie telah dibakar habis, tapi kitab transaksi rahasia ini masih tetap dalam keadan utuh.
Waktu itu Tian Mong-pek sudah pergi, sedang Lok Tiau-yang sekalian kebetulan naik gunung, oleh karena para pendeta dari kuil Kim-san-sie menaruh kepercayaan penuh terhadap Lok Tiau-yang dan Giok-khong-cu sekalian, akhirnya mereka serahkan kitab rahasia transaksi itu kepada mereka.
Hanya sayangnya, walaupun didalam buku transaksi itu dapat ditemukan banyak petunjuk, namun sama sekali tidak dicantumkan nama dari pemilik panah kekasih.
Tentu saja pertama tama Lok Tiau-yang sekalian pergi mencari Chin Siu-ang, waktu itu meskipun Chin Siu-ang sudah berangkat ke Siok-tiong, namun dari tempat tinggal keluarga Chin, mereka berhasil menemukan banyak petunjuk bahkan tahu dengan pasti kalau panah kekasih yang dijual Chin Siu-ang selama ini ternyata berasal dari bukit Kun-san dan bukan bikinan Chin Siu-ang sendiri.
Maka para jago yang berjiwa pendekar ini serentak meluruk ke gunung Kun-san.
siapa sangka disana mereka bertemu dengan Lan Toa-sianseng yang bertugas menjaga bukit.
Mula mula mereka terperanjat dan tidak percaya, karena selama ini Lan Toa-sianseng dianggap seorang pendekar sejati, mereka pun tidak percaya kalau Lan Toa-sianseng bisa punya hubungan dengan panah kekasih.
Tapi setelah kejadian berkembang, mau tak mau mereka harus mempercayai hal tersebut.
Kini, setelah Lok Tiau-yang ikut turun tangan, kawanan pendekar lain pun tidak ragu lagi.
Terdengar suara senjata diloloskan dari sarung, cahaya tajam berkilauan didepan pavilion sudut delapan, dalam waktu singkat puluhan jenis senjata bersama-sama menyerang ke tubuh Lan Toa-sianseng.
Tiba tiba Lan Toa-sianseng membentak nyaring: "Tahan!" Dengan cepat dia bangkit berdiri.
Bentakan itu ibarat guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, mau tak mau para pendekar jadi tergetar.
"Kalian benar benar tidak menuruti peraturan dunia persilatan?" bentak Lan Toa-sianseng.
Perawakan tubuhnya yang tinggi besar, kini terlihat menakutkan setelah dia bangkit berdiri diatas meja.
Giok"khong-cu tertawa dingin, jengeknya: "Buat apa bicara soal peraturan dunia persilatan denganmu?" Sreeet, satu bacokan diarahkan sepasang kaki lawan.
Lan Toa-sianseng segera rentangkan sepasang lengannya sambil membentak gusar: "Baik!" Tiba tiba dia angkat kakinya lalu menginjak pedang Giok-khong-cu yang sedang menyambar secepat kilat.
sebilah pedang baja yang kuat, seketika terinjak hingga patah jadi tiga bagian.
Dalam kaget dan gusarnya, Lok Tiau-yang menggerakkan tongkat rotannya menyambar tubuh bagian bawah lawan.
Giok-khong-cu sendiri, meski kalah tidak sampai jadi kalut, kembali dia merangsek, kutungan pedangnya sekali lagi melancarkan tiga buah serangan berantai.
Biarpun orang ini tampak lemah lembut, tapi begitu turun tangan, keberanian dan kegagahannya sungguh mengagumkan.
Terdorong oleh serangan juang itu, serentak para jago meluruk maju ke depan pavilion.
Lan Toa-sianseng membentak keras, dia melompat turun dari atas meja, dengan tangan kiri dia cengkeram ujung tongkat Lok Tiau-yang, kaki kanan menendang sebilah golok panjang, tangan kanan membabat pergelangan tangan Giok-khong-cu, kemudian satu putaran badan ia sudah menendang tubuh seseorang hingga terpental sejauh satu kaki.
Semua serangan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Selama semua peristiwa itu berlangsung, Tian Mong-pe k yang bersembunyi dibelakang batu prasasti berapa kali ingin turun tangan, tapi selalu dicegah Kiong Ling-ling.
Tapi sekarang dia sudah tak mampu menahan sabar lagi, tanpa pedulikan tarikan tangan Kiong Ling-ling, dia berpekik panjang lalu melambung ke udara, berjumpalitan berapa kali dan meluncur ke arah pavilion.
Semua serangan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Selama semua peristiwa itu berlangsung, Tian Mong"pek yang bersembunyi dibelakang batu prasasti berapa kali ingin turun tangan, tapi selalu dicegah Kiong Ling-ling.
Tapi sekarang dia sudah tak mampu menahan sabar lagi, tanpa pedulikan tarikan tangan Kiong Ling-ling, dia berpekik panjang lalu melambung ke udara, berjumpalitan berapa kali dan meluncur ke arah pavilion.
Suara pekikan yang menusuk telinga serta ilmu mering ankan tubuh yang luar biasa segera mencekam hati semua orang, bukan saja para jago dibuat tertegun, bahkan Lan Toa-sianseng pun ikut menghentikan serangan.
Tapi dalam sekilas pandang ia sudah mengenali bayangan tubuh Tian Mong-pek, tegurnya sambil tertawa keras: II "Aku kira siapa, ternyata saudara cilik .
. . . . .. Dengan cepat Tian Mong-pek melayang turun dihadapannya, paras mukanya waktu itu kaku sama sekali tak ada senyuman.




"Masa kaupun ikut mencurigai aku?" kembali Lan Toa-sianseng menegur dengan kening berkerut.
"Kenapa Yo Swan belum mati?" tanya Tian Mong-pek dengan suara dalam, "kenapa kau bisa menemukan gua rahasia tempat meramu panah" Kenapa kau tidak membiarkan orang orang ini melewati jalan gunung" Aku harap kau bisa memberi penjelasan." Lan Toa-sianseng mengamatinya berapa saat, mendadak ia mendongak dan tertawa keras lagi.
"Hahaha, lohu tak ingin memberi penjelasan atas semua persoalan ini dan tak sudi memberi penjelasan." "Kau harus memberi penjelasan." Tegas Tian Mong-pek.
"Kalau tak mau, lantas kenapa?" Tian Mong"pek mengamati wajahnya beberapa saat, mendadak dia berpaling kearah lain, seolah tak ingin melihat wajahnya lagi, hanya dari balik bajunya perlahan-lahan dia meloloskan sebilah pedang hitam.
Sekalipun wajahnya sangat tenang, namun hatinya sangat goncang, karena dia lebih suka siapapun di dunia ini yang menjadi pemilik panah kekasih, daripada orang itu adalah Lan Toa-sianseng.
Selama ini dia hanya berharap Lan Toa-sianseng mau memberi penjelasan, berharap kejadian ini hanya sebuah salah paham, karena dia lebih suka bermusuhan dengan siapapun, daripada bermusuhan dengan Lan Toa-sianseng.
Sejujurnya, dia tak tega dan tak ingin mengetahui kalau orang tua yang dihormati dan disayangi ini ternyata adalah seorang gembong iblis yang pantas mati, musuh besar yang harus dibantai hingga tewas.
Tapi sekarang, urusan telah berkembang jadi begini, dia tak punya pilihan lain.
Sinar mata Lan Toa-sianseng sendiripun berkilauan, tubuhnya yang tinggi besar gemetar tiada hentinya, jelas pendekar nomor satu didunia ini pun merasakan hatinya amat goncang.
Kawanan jago pun tampaknya ikut merasa iba oleh situasi yang dihadapi dua orang jagoan itu, untuk berapa saat semua orang hanya memandang dengan sayu, tak seorangpun yang buka suara.
"Apakah kau ingin bertarung melawan lohu?" akhirnya Lan Toa-sianseng bertanya dengan nada dalam.
"Pertarungan mati hidup, rasanya tiada pilihan lain." Jawab Tian Mong-pek tanpa berpaling.
Mendadak Lan Toa-sianseng melontarkan satu pukulan, membuat meja batu hijau itu hancur berkeping.
"Baik!" kata Lan Toa-sianseng kemudian, "mari kita mulai!" Tian Mong-pek menggetarkan badannya lalu berputar arah, serunya lantang: "Memandang pada hubungan kita dimasa lampau, hari ini akan mengalah tiga jurus untukmu." "Hahaha, bagus!" sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa keras, "tak kusangka masih ada orang yang berani mengalah tiga jurus untuk aku Lan II Thian-jui.
Bagus..... bagus . . . . .. Suara tertawanya sangat keras hingga menusuk pendengaran, sampai lama sekali masih mendengung di udara.
Suara tertawa ini meski menusuk pendengaran, namun sama sekali tiada perasaan gembira, sebaliknya yang ada hanya rasa sedih dan marah.
Paras muka para jago semakin berubah, sebab hingga sekarang mereka baru tahu kalau pemuda angkuh yang sedang dibakar api kemarahan ini tak lain adalah Tian Mong-pek yang belakangan sangat menggemparkan sungai telaga.
Lok Tiau-yang paling kuatir, teriaknya tanpa terasa: II "Keponakan Tian, kau .
. . . . .. Tian Mong-pek membungkuk sambil memberi hormat, ujarnya dengan serius: "Lok cianpwee adalah sahabat karib paman ke empat ku, sampai matipun kesetiakawanan ini tidak memudar, boleh dibilang kau adalah seorang lelaki sejati, terimalah hormat dari keponakanmu." "Aku.....
aku . . . . .." saking sedihnya Lok Tiau-yang sampai sesenggukan dan tak mampu bicara.
"Aku berharap paman Lok dan cianpwee sekalian, dengan mengingat pada mendiang ayahku dan mendiang pamanku, hari ini jangan mencoba membantu diriku." Terenyuh perasaan hati para jago melihat kegagahan pemuda ini, gejolak darah panas membuat mereka tak sanggup berbicara.
Terlebih Lok Tiau-yang, dengan air mata bercucuran dia mundur berapa langkah, gumamnya: II "Lelaki sejati .
. . . .. lelaki sejati . . . . .. Dengan sorot matanya yang lebih tajam dari kilat, Lan Toa-sianseng menyapu sekejap wajah Tian Mong"pek, tiba tiba katanya sambil tertawa latah: "Kau benar benar akan mengalah tiga jurus untuk lohu?" "Tentu saja." "Dengan kepandaian silatmu, sebenarnya kau masih bisa bertahan berapa waktu, tapi bila kau mengalah, hehehe.....
lohu anjurkan, lebih baik tak usah mengalah!" "Terlepas mati hidup kalah menang, Tian Mong"pek tak sudi menjadi orang rendah yang menjilat ludah sendiri." Sambil meluruskan ujung pedangnya, ia berkata lagi serius: "Silahkan turun tangan." Walaupun para jago merasa kagum dan salut atas kegagahan pemuda ini, tak urung diam diam mereka menghela napas.
Sebab siapapun tahu, pertarungan antara jago tangguh, seringkali ditentukan oleh selisih jurus, bila dalam tiga jurus posisi Tian Mong-pek dipaksa berada dibawah angin, niscaya dia akan menderita kekalahan.
Tentu saja Tian Mong-pek juga menyadari akan hal ini, terbayang disaat Lan Toa-sianseng bertarung melawan Kokcu lembah kaisar waktu itu, untuk memperebutkan satu jurus pun harus dilewati dalam pertarungan yang sengit.
Kedahsyatan dan kehebatan pertarungan itu tak pernah akan dilupakan Tian Mong-pek, bahkan bila dibayangkan kini, dia seolah melihat semua adegan itu mengulang didepan mata.
Tampak Lan Toa-sianseng mengayun tangannya, tiba tiba dia melancarkan tiga serangan berantai.
Biarpun ke tiga serangan itu ada yang awal, ada yang belakangan, tapi seolah dilancarkan pada saat yang bersamaan, dalam waktu singkat seluruh tubuh Tian Mong-pek sudah terkurung dibawah bayang bayang lawan.
Tian Mong-pek sendiri meski tahu kalau serangan awal yang dilancarkan lawan pasti dahsyat, namun diapun tidak mengira kalau serangannya begitu menakutkan, kini ia baru terperanjat.
Siapa tahu ke tiga jurus serangan dari Lan Toa-sianseng ini walaupun kelihatan cepat dan dahsyat, ternyata serangan itu tidak disertai tenaga pukulan.
Berada dalam kondisi tanpa tekanan apa pun, Tian Mong"pek segera mengayun pedangnya dan mendobrak kepungan lawan.
Ditengah sorak sorai para jago, terdengar Lan Toa-sianseng berseru sambil tertawa keras: "Hahaha, bocah muda, ternyata boleh juga kepandaianmu" Tian Mong-pek tersenyum kecut, dia tak tahu bagaimana perasaan hatinya sekarang.
Perlu diketahui, jika dalam ke tiga serangannya tadi Lan Toa-sianseng sertakan tenaga penuh, dalam kondisi tertekan hebat oleh tenaga pukulannya, mana mungkin pedang Tian Mong-pek dapat bergerak sekehendak hati" Dan kini, serangan yang dilancarkan Lan Toa-sianseng seolah tanpa perasaan, tapi dalam kenyataan dia telah meninggalkan perasaan yang mendalam, hal mana bukan saja membuat Tian Mong-pek mendapat kesempatan untuk menyerang, bahkan telah selamatkan mukanya, bagaimana mungkin dia tidak merasa berterima kasih.
"Andaikata dia kejam dan jahat, kenapa begitu baik sikapnya kepadaku?" demikian pemuda itu berpikir.
Sayang situasi dan keadaan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir lebih jauh.
Ditengah suara tertawa yang memekik telinga, pedang hitam ditangannya telah membentuk bukit pedang yang berlapis lapis.
Diantara kibaran ujung baju Lan Toa-sianseng yang terhembus angin, dia pun melancarkan berapa kali serangan balasan.
Pertempuran sengit yang terjadi kini berbeda sekali dengan keadaan tadi, biarpun para jago tahu kalau Tian Mong-pek adalah ja go hebat, mereka tak menyangka kalau ilmu pedang yang dimiliki telah mencapai tingkat sehebat itu.
Tampak pedang hitam ditangannya diputar bagai mempermainkan rerumputan, aliran ilmu pedangnya meski ringan dan lincah, namun tak bisa menutupi kekuatan besar yang disertakan dalam memutar senjata berat itu.
Giok-khong-cu adalah jago pedang nomor wahid dari kalangan muda, tapi setelah menyaksikan kehebatan ilmu pedang yang dimiliki Tian Mong-pek, tanpa sadar rasa sedih melintas diwajahnya.
Dalam waktu singkat puluhan jurus sudah lewat, biarpun ilmu pedang Tian Mong-pek cepat dan lincah, namun tubuh Lan Toa-sianseng yang tinggi kekar dapat berkeliaran ditengah cahaya pedang itu dengan leluasa.
Sekarang para pendekar baru tahu, biarpun ilmu silat keras dari Thian-jui tojin sangat menggetarkan kolong langit, namun kecepatan dan kelincahan gerakan tubuhnya sangat mengejutkan hati.
Bersamaan itu, para jago pun merasakan, meski ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek sangat lihay, namun dia masih bukan tandingan dari tokoh nomor wahid itu.
II "Sayang . . . . .. sayang . . . . .. gumam Giok-khong-cu. Dia merasa sayang karena Tian Mong"pek tidak membiarkan orang lain ikut campur dalam pertempuran ini, kalau tidak, walaupun sekarang posisi pemuda itu berada dibawah angin, itupun karena kepandaiannya selisih satu tingkat.
Apabila ada orang lain yang ikut membantu, sudah pasti Lan Toa-sianseng bisa dibinasakan seketika.
Kini, Tian Mong-pek harus bertarung seorang diri, dilihat dari posisinya, jelas lebih banyak celakanya daripada selamat.
Terlebih Lok Tiau-yang, dia menghela napas tiada hentinya, dengan sedih ujarnya: "Anak baik .
. . . .. lelaki sejati, masih muda belia sudah mampu bertarung ratusan jurus melawan Lan Toa-sianseng, aaai....
ada berapa orang didunia ini macam dia?" Para pendekar lainnya hanya bisa saling bertatap muka, rasa sedih menyelimuti wajah mereka.
Dalam waktu singkat puluhan gebrakan kembali lewat, kini ada sementara jago yang tak tega lagi untuk menonton jalannya pertarungan, mereka melengos kearah lain.
Melihat situasi semakin kritis, Giok-khong-cu segera membisik Lok Tiau-yang: II "Kita harus ambil keputusan sesuai keadaan, apa perlu .
. . . .. Biarpun perkataan itu berhenti ditengah jalan, namun jelas maksudnya untuk turun tangan membantu.
Setelah termenung sejenak, Lok Tiau-yang menghela napas sedih, katanya: "Tadi, dia sudah berkata sangat jelas, jika kita bersikeras membantu, II kuatirnya .
. . . . . .. Diiringi helaan napas dia menengok lagi ke tengah arena.
Kini permainan pedang Tian Mong"pek sudah semakin bebal dan berat, peluh mulai membasahi jidatnya, jelas ia sudah tak mampu bertahan lebih lama.
Kembali Lok Tiau-yang menghela napas panjang, ujarnya: "Biarpun ilmu pedang yang dimiliki keponakan Mong"pek sangat hebat, sayang sewaktu bertarung, dia kekurangan semangat serta keberanian hiante, kalau tidak .
. . . . .." I "Aaai, pendapat saudara tepat sekali," sahut Giok-khong-cu sambil menghela napas pula, "namun bagaimanapun, aku betul betul tak tega menyaksikan jago muda ini tewas di medan laga hari ini." Sambil bicara, jago pedang dari Bu-tong ini telah mencabut keluar sebilah pedang pendek dari sakunya.
Lok Tiau-yang tahu, pedang pendek ini dia persiapkan untuk melakukan pertarungan mati hidup.
Setelah Giok-khong-cu mencabut pedang pendeknya, niscaya dia akan turun tangan sekali lagi tanpa pedulikan segala resiko.
Berkilat mata Lok Tiau-yang, katanya kemudian: "Selama hidup, Jin-gi-su-hiap selalu menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, baiklah, sekalipun hari ini aku bakal diomeli orang, tak mungkin lagi bagiku untuk berpeluk tangan saja." "Memang seharusnya begitu." Seru Giok-khong"cu kegirangan. Mereka berdua sama sama bergerak dan menerjang kearah Lan Toa-sianseng.
Kebetulan Tian Mong-pek menyaksikan gerak gerik mereka, tiba tiba bentaknya: "siapapun dilarang membantu aku." Bentakan itu ibarat guntur yang membelah bumi, seketika itu juga membuat Giok-khong-cu berdua menghentikan langkahnya.
Lan Toa-sianseng tertawa terbahak bahak, serunya: "saudara cilik, buat apa berlagak sok pahlawan, lebih baik suruh mereka maju bersama, memang disangka lohu takut?" Tian Mong-pek makin gusar, teriaknya: "Bila ada yang membantuku hari ini, sekarang juga aku akan mati duluan disini." Watak dasar pemuda ini memang berangasan, walaupun belakangan sifat itu sudah banyak berkurang, namun setelah tertimbun begitu lama tanpa ada kesempatan untuk melampiaskan keluar, maka begitu amarahnya membara saat ini, seluruh ganjalan itupun diluapkan keluar.
Menyaksikan amarah pemuda itu, Giok-khong-cu dan Lok Tiau-yang hanya bisa menghela napas, terpaksa mereka mengundurkan diri.
"Kau benar benar ingin begini?" tanya Lan Toa-sianseng.
"Benar!" menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki, dia lancarkan satu tusukan.
"Kau benar benar ingin begini?" tanya Lan Toa-sianseng.
"Benar!" menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki, dia lancarkan satu tusukan.
Terdengar angin pedang menderu bagai sapuan angin topan.
Para pendekar yang berada di empat penjuru merasakan tubuh mereka dingin karena sambaran hawa pedang pemuda itu, hawa pedang yang menggidikkan nyaris membuat semua orang tak sanggup membuka matanya.
Terlihat alis mata dan rambut Lan Toa-sianseng ikut berdiri bagai landak tersapu hawa pedang itu, sambil menggeser posisi, teriaknya sambil tertawa keras: "Bagus, serangan pedangmu ini cukup berarti." Sepasang kepalannya segera disodok langsung mengancam dada Tian Mong-pek.
Ketika Tian Mong-pek berkelit ke samping, terdengar...."Braaak!" paviliun segi delapan yang berada dibelakangnya sudah roboh sebagian termakan oleh angin pukulan itu.
"Bagus!" puji Tian Mong-pek, kembali dia lancarkan sebuah tusukan.
Lan Toa-sianseng melambung ke udara dan melesat sejauh satu meter lebih, dimana cahaya pedang itu berkelebat, "Braaak!" lagi lagi sebuah tiang penyangga paviliun segi delapan itu berbabat kutung oleh kilatan cahaya pedang itu.
Dalam waktu singkat separuh bagian bangunan paviliun itu sudah roboh ke tanah, ditengah debu dan pasir yang beterbangan, cahaya pedang berubah jadi bianglala hitam sedang sepasang kepalan menimbulkan angin topan, lima gebrakan berlalu dengan cepat.
setelah lima jurus lewat, pepohonan dan bebatuan di empat penjuru tampak roboh dan tumbang tak karuan, keadaan sangat runyam, sementara para jago pun sudah terdesak hingga mundur sejauh belasan kaki, semuanya berdiri melongo dengan mata terbelalak.
Kendatipun mereka sudah lama berkenala dalam dunia persilatan, namun belum pernah menyaksikan kungfu yang demikian hebat dan dahsyat.
Kembali Tian Mong-pek melancarkan serangan secara bertubi tubi, biarpun jurus yang digunakan bukan yang terbaik, namun semangat dan keberaniannya bikin keder siapapun.
Lan Toa-sianseng dipaksa mundur sejauh tujuh langkah oleh serangan bertubi tubi itu, diantaranya dia hanya sempat membalas tiga serangan.
Tentu saja para pendekar tidak tahu kalau sesungguhnya Tian Mong-pek bisa menggunakan hawa pedangnya untuk meraih kemenangan, namun karena dia merasa berterima kasih dengan sikap Lan Toa-sianseng tadi, sehingga tanpa terasa keganasan pada hawa pedangnya ikut punah.
Namun setelah hawa amarah berkobar, serangannya tidak pilih kasih lagi, bahkan dia seolah sudah melupakan keberadaan diri sendiri, segenap hawa darah dan semangat yang dimiliki telah disalurkan ke dalam pedang hitamnya.
Lagi lagi dia melancarkan tujuh buah serangan sekaligus.
Lan Toa-sianseng dipaksa mundur lagi sejauh tujuh langkah, pakaian yang dikenakan kini menggelembung besar.
Menyaksikan kehebatan anak muda itu, tak tahan para pendekar bersorak sorai memuji.
Ditengah sorak sorai yang gegap gempita itulah, mendadak Lan Toa-sianseng membentak keras: "Tahan!" Suara bentakan ini jauh lebih menakutkan daripada suara guntur yang membelah bumi, Tian Mong-pek segera menarik kembali pedangnya, paras muka yang pucat berubah jadi merah darah, tanyanya: "Ada apa?" Lan Toa-sianseng tidak menjawab, dia rentangkan tangannya, melucuti pakaian bagian dadanya hingga terlihat ototnya yang kuat, kembali bentaknya: "Ambilkan martilku!" Para pendekar tidak tahu perintah itu ditujukan kepada siapa, baru dia membentak, dari belakang paviliun balik semak belukar tiba tiba muncul empat lelaki berbaju biru.
Keempat orang itu menggotong sebuah martil besar, itulah martil baja tanpa tanding yang diandalkan Lan Toa-sianseng selama ini untuk merajai dunia persilatan.
Kembali Lan Toa-sianseng mendongakkan kepalanya tertawa keras, ujarnya: "selama hidup sudah beratus kali lohu menghadapi pertempuran baik besar maupun kecil, tapi belum pernah semantab hari ini, baiklah, hari ini aku harus bertarung sepuasnya melawan dirimu." setelah menerima martil raksasanya, dia menambahkan: "Mari ! " "Baik, mari!" sahut Tian Mong-pek.
Waktu itu, meski para jago sudah mengetahui kalau diatas bukit itu terdapat banyak perangkap, namun pertarungan yang akan berlangsung merupakan pertarungan yang sulit dijumpai dalam seratus tahun terakhir, tak seorangpun yang berniat untuk mengurusinya.
Para jago merasa pandangan matanya kabur lalu terdengar suara angin menderu, siapa pun tak ada yang melihat dengan jelas bagaimana kedua orang itu melancarkan jurus pertama, tahu tahu kedua orang itu sudah bertempur seru.
Desingan angin makin lama semakin nyaring, ranting dan daun berguguran, mereka yang bernyali kecil segera pejamkan mata sambil mundur lagi sejauh berapa kaki, mereka yang bernyali besar dibuat bingung oleh hawa pedang dan angin puyuh yang menggidikkan, pada hakekatnya siapa pun tak dapat melihat dengan jelas jurus serangan yang digunakan dua orang itu.
Lok Tiau-yang merasa terkejut bercampur girang, sambil berpegangan pada bahu Giok-khong-cu ujarnya berulang kali: "Bagimana....." bagaimana....." sepanjang hidup empat pendekar jin-gi suhiap selalu mengutamakan setia kawan dan kebajikan, masa tak punya keturunan?" Giok-khong-cu menghela napas, katanya: "selama ini pinto selalu berpendapat bahwa ilmu pedangku kosen dan hebat, sukar dicarikan tandingan di dunia ini, siapa tahu saudara Tian .
. . . . . .. siapa tahu saudara Tian .
. . . . .." Dia mengulang perkataan itu sampai berapa kali, namun tak sanggup melanjutkan kata selanjutnya, karena dia memang tak bisa menemukan kata pujian yang paling cocok untuk melukiskan kehebatan hawa pedang dari Tian Mong-pek.
Mendadak terdengar suara bentrokan keras diikuti suara getaran yang menggoncang bumi.
Para jago merasakan kendang telinga mereka amat sakit, bahkan ada yang terpental hingga roboh terjungkal.
Ternyata Tian Mong-pek telah menggunakan pedang hitamnya untuk menangkis pukulan martil Lan Toa-sianseng.
Martil itu disebut martil langit, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan serangan itu.
Tapi Tian Mong-pek telah menyambut serangan itu, meski pedangnya tak sampai terlepas tangan, tak urung dia merasakan lengannya jadi linu dan sakit, coba kalau selama berada dalam hutan penyesat tenaga dalamnya tidakp peroleh kemajuan pesat, mungkin sekarang untuk mengangkat tanganpun tak mampu.
Lan Toa-sianseng segera tertawa lantang, serunya: "Hei anak muda, kau memang hebat, dalam lima puluh tahun terakhir, belum pernah ada orang yang mampu menyambut pukulan martil lohu dengan keras lawan keras, bagus! Rasakan satu pukulan martil lagi." "Biar sepuluh martil pun apa salahnya!" bentak Tian Mong-pek, dia menggetarkan pedangnya dan kembali membacok.
Lan Toa-sianseng angkat martilnya menangkis, lagi lagi terjadi benturan dahsyat.
Paras muka para jago berubah, bahkan Lok Tiau-yang dan Giok-khong-cu pun ikut mundur sejauh satu meter lebih, meski kaget dihati, namun mereka tetap bersorak sorai.
Hanya Tian Mong-pek yang merasa getir dihati, dalam getaran terakhir, dia sudah merasakan lengannya linu dan kaku, telapak tangannya mati rasa, sulit baginya untuk menyambut satu serangan berikut.
"Bagus!" seru Lan Toa-sianseng, "sambut satu serangan lagi." Biarpun Tian Mong-pek tahu kalau dirinya sudah tak sanggup, namun dia tetap ngotot membentak: "Mari ! " sambil paksakan diri angkat kembali pedang hitamnya, perlahan dia mengalirkan hawa murninya, terasa satu aliran panas mengalir dari lengan menuju ke telapak tangan, tangan yang semula kaku seketika mulai timbul rasa.
Ternyata dia berniat untuk pertaruhkan diri dalam pertarungan berikut, untuk itu segenap hawa murninya digerakan dan tanpa sengaja diapun menggerakkan Lak-yang-sin-ciang yang sejak dipelajari belum pernah digunakan secara serius.
Sebagaimana diketahui, semenjak mendapat pedang mustika, serta merta Tian Mong-pek jadi melupakan ilmu pukulan sakti ini, dia sama sekali tak tahu kalau Lak-yang-sin-ciang merupakan tenaga pukulan paling keras yang ada dikolong langit.
Begitu hawa murni itu terpancing keluar, dengan cepat kekuatan itu menutupi segenap kekurangan dari pemuda itu, hal ini disebabkan dia telah mempelajari pelbagai ilmu dalam banyak kesempatan, kalau bukan begitu, bagaimana mungkin dia mampu bertanding melawan Lan Toa-sianseng" Tian Mong-pek jadi sangat kegirangan begitu tahu rasa kaku dan kesemutan pada lengannya telah lenyap, sambil menggerakkan pedangnya, kembali dia lancarkan serangan.
Lagi lagi Lan Toa-sianseng menggunakan martilnya balas melancarkan serangan.
"Traaangg!" suara bentrokan dahsyat kembali bergema di angkasa, percikan bunga api menyebar ke empat penjuru, diantara batu kayu yang beterbangan, para pendekar merasa dirinya seolah tuli, tidak mendengar suara apapun.
Ternyata kendang telinga mereka sudah dibuat kaku oleh suara benturan itu, membuat mereka jadi tuli untuk sesaat, dari sini dapat dibayangkan betapa dahsyatnya benturan tadi.
Tiba tiba terdengar martil ditangan Lan Toa-sianseng dengan membawa desingan tajam meluncur ke udara, ketika Lan Toa-sianseng berjumpalitan mundur sejauh tiga kaki, martil andalannya tampak tersisa setengah.
Sebagaimana diketahui, pedang hitam andalan Tian Mong-pek adalah sebilah pedang mustika, kendatipun martil langit terbuat dari baja murni, namun sesudah puluhan jurus, kepala martil terbabat juga hingga kutung.
Potongan martil itu mencelat sejauh puluhan kaki, terjatuh dibelakang tebing, suara jeritan ngeri segera berkumandang dari balik gunung, rupanya ada orang yang bersembunyi disana terhajar potongan martil itu hingga hancur berantakan.
Untuk berapa saat Lan Toa-sianseng mengawasi kutungan martilnya dengan termangu, sesaat kemudian tiba tiba ia berseru sambil tertawa keras: "Hahaha, bagus! Bagus! Puas! Puas!" Biarpun Tian Mong-pek terlindung oleh pelbagai ilmu sakti, namun setelah melalui belasan bentrokan, ia sudah dibikin terengah engah hingga tak sanggup berbicara.
Kendatipun begitu, dia segera meronta bangun setelah mendengar tantangan itu.
"Ayoh..... ayoh kita mulai lagi." "Kau .
. . . . . . . . " Belum selesai Lan Toa-sianseng berbicara, dari atas tebing setinggi tujuh kaki, mendadak meluncur tiba dua sosok bayangan manusia, tubuh mereka yang melambung tak ubahnya seperti malaikat turun dari langit.
Belum sempat semua orang melihat jelas wajah kedua orang itu, Lan Toa-sianseng sudah berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha, bagus, Siau Ong-sun, kaupun sudah datang, bagus sekali kedatanganmu!" orang yang satunya lagi adalah Tu Hun-thian, walaupun sewaktu menginjak tanah sama sekali tak menimbulkan suara, namun keindahan gerakan tubuhnya masih kalah dari Siau Ong-sun.
Terkejut bercampur girang, Tian Mong-pek segera maju menyambut.
sambil tertawa Siau Ong-sun segera menyapa Lan Toa-sianseng: "Sejak berpisah, baik baikkah kau?" Lan Toa-sianseng tidak menjawab sapaan itu, ujarnya langsung: "Bagus sekali kedatanganmu, lohu adalah pemilik panah kekasih, lohu pula yang membuat senjata itu untuk mencelakai orang, kini aku sudah tak tahan lagi, apapun yang akan kalian lakukan terhadap lohu, terserah kamu semua." Perkataan itu disampaikan santai dan tenang, Tian M ong-pek yang mendengar jadi terperanjat, pikirnya: "Sungguh sempurna tenaga dalamnya, bila aku musti bertarung lebih jauh, mana mungkin ada harapan untuk menang?" Untuk sesaat dia merasa menyesal bercampur malu sendiri, darimana dia tahu kalau julukan sebagai pendekar nomor satu bukan diraih Lan Toa-sianseng karena keberuntungan, apalagi dalam puluhan tahun ini dia berlatih makin tekun, tenaga dalamnya saat ini sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.
Walau begitu, dengan kemampuan dirinya, ternyata sa nggup bertarung sengit melawan Lan Toa-sianseng, peristiwa semacam ini sudah merupakan satu kejadian langka yang sukar dipercaya para pendekar.
Semenjak pertarungan ini, nama besar si pedang amarah Tian Mong-pek pun mulai menggetarkan kolong langit.
Ketika para jago mendengar ucapan dari Lan Toa-sianseng itu, perasaan hati mereka semakin terjadi gejolak, suara pembicaraan pun bergema dari sana sini.
Tiba tiba terdengar Siau Ong-sun berkata dengan lantang: "Aku Siau Ong-sun berani menggunakan nyawaku se bagai jaminan, bahkan Lan Toa-sianseng bukan pemilik panah kekasih, saudara Lan, kau pun tak usah mewakili orang lain untuk memikul dosa ini." semua jago berdiri tertegun, suara hiruk pikuk terhenti seketika.
Perlu diketahui, status kokcu lembah kaisar didalam dunia persilatan amat tinggi, bobot dari setiap ucapannya tak bisa dibandingkan dengan orang biasa.
Rasa terima kasih segera melintas diwajah Lan Toa-sianseng, tapi di mulut dia tetap berkata sambil tertawa latah: "Keliru, keliru, siapa bilang aku sedang memikul dosa orang lain" Kenapa harus memikul dosa orang?" Siau Ong-sun menghela napas panjang.
"Mengapa harus pikul dosa orang, tentu dibalik semuanya ini ada penyebabnya, apakah Lan-heng berharap siaute ungkap semua alasanmu?"
Siau Ong-sun menghela napas panjang.
"Mengapa harus pikul dosa orang, tentu dibalik semuanya ini ada penyebabnya, apakah Lan-heng berharap siaute ungkap semua alasanmu?" Berubah paras muka Lan Toa-sianseng.
Say-sang tayhiap Lok Tiau-yang segera tampil ke depan, katanya: "Boanpwee Lok Tiau-yang, ada satu urusan ingin bert anya kokcu, apakah boleh kusampaikan?" "katakan saja Lok tayhiap." Jawab Siau Ong-sun sambil tersenyum.
Setelah menyapu sekejap sekeliling arena, dengan lantang Lok Tiau-yang berkata: "Urusan telah berkembang jadi begini, pabila kokcu tidak menjelaskan latar belakang dari Lan Toa-sianseng yang pikul dosa orang, mungkin para enghiong dari seluruh kolong langit tidak akan merasa puas." "Kalau tidak puas lantas kenapa?" teriak Lan Toa-sianseng berang.
"Lan-heng tak usah emosi dulu .
. . . . . .. sudah sewajar nya bila Lok tayhiap ingin tahu alasan serta latar belakangnya, tapi masalah ini panjang untuk diceritakan, lagipula .
. . . . .." Tiba tiba dari kejauhan terdengar seseorang melanjutkan: "Lagipula daripada dia yang bicara, jauh lebih cocok bila pnnie yang menjelaskan." Suara itu nyaring dan melengking, mirip suara seorang wanita.
Mula mula Tian Mong"pek menyangka Coat-hong taysu dan Miat"hong taysu yang datang, tapi dari nada "pinnie" yang diucapkan, dia merasa suara itu seperti tak dikenal, pemuda ini jadi keheranan, siapa gerangan nikow itu" Tampak tiga sosok bayangan manusia muncul dari balik perbukitan, dua diantaranya adalah Coat-hong taysu dan Miat-hong taysu, sedang nikow yang seorang lagi berperawakan tinggi, bermata tajam, gerak geriknya mirip seorang taysu.
Setelah diamati setengah harian, Tian Mong-pek baru mengenali, ternyata dia adalah Liat-hwee hujin.
Liat-hwee hujin cukur rambut jadi nikouw" Mimpipun Tian Mong-pek tak pernah membayangkan kejadian ini.
Siau Ong-sun serta Lan Toa-sianseng pun segera memperlihatkan wajah kaget dan tak percaya.
Dengan nada terperanjat seru Tu Hun-thian: "Liat-hwee hujin, kau .
. . . .. kau . . . . . .. "Omintohud!" Liat"hwee hujin segera merangkap tangannya didepan dada dan tertawa, "Liat-hwee hujin sudah mati, yang hidup didunia saat ini tinggal Toan-hong nikow, Lan Thian-jui, sekarang kau sudah tak perlu kuatir lagi bukan?" Biarpun dia berdandam seorang nikouw, namun sewaktu berbicara masih terasa kalau dia bukan seorang pendeta.
Tanpa terasa Lan Toa-sianseng tertawa getir.
Memandang Coat"hong taysu dan Miat"hong taysu, Siau Ong-sun berkata: "Siancay, siancay, tak disangka kalian berdua lagi-lagi berhasil menyadarkan satu orang." "Tidak gampang adikku menyadarkan diriku," sahut Liat-hwee hujin sambil tertawa, "tapi dia seharusnya adalah adikku, namun sekarang malah jadi suci ku, aku jadi sangat dirugikan." Coat-hong taysu hanya tersenyum tanpa menjawab, berapa hari tak berjumpa, wajahnya tampak sudah dilapisi sinar kesucian, jelas ilmu kebatinannya telah peroleh kemajuan pesat.
Perlu diketahui, didalam kalangan agama Buddha, urutan berdasarkan siapa yang menjadi anggota duluan, oleh sebab itu yang muda bisa jadi guru, yang tua bisa jadi murid, hal semacam ini lumrah dikalangan Buddha.
Toan-hong taysu atau Liat-hwee hujin menyapu sekejap wajah para jago, setelah tertawa ujarnya: "Sesudah terpotong pembicaraan tadi, hampir saja pnnie lupa untuk menjelaskan masalah Lan Thian-jui pikul dosa orang lain." "Kami semua siap mendengarkan." Kata Lok Tiau-yang.
Setelah memandang Lan Thian-jui sekejap, ujar Toan-hong taysu: "Bila urusan ini tidak dijelaskan, sudah pasti kalian akan menaruh curiga, pinni pun akan tertekan, terlebih Lan Thian-jui, karena selama hidup dia harus memikul kesalahan orang lain.
Maka setelah dipikir bolak balik, pinni putuskan untuk membeberkan masalah ini hingga tuntas." Walaupun perkataan itu ditujukan para pendekar, sesungguhnya ucapan itu khusus ditujukan Lan Toa-sianseng.
Mendengar itu, Lan Toa-sianseng mendengus dingin dan tidak buka suara lagi.
Terdengar Toan-hong taysu berkata lebih lanjut: "Kami kakak beradik dua orang memiliki tabiat yang berbeda, adikku lembut dan polos, dialah perempuan idaman Lan Thian-jui, hanya sayang orang yang dicintai adikku bukan dia melainkan Siau Ong-sun, sebaliknya tabiatku kasar dan berangasan, justru akulah yang mencintai Lan Thian-jui, seluk beluk dibalik kesemuanya ini rumit untuk diceritakan." Begitu dia bercerita tempat kisah asmara yang melibatkan empat pendekar kenamaan dunia persilatan, para pendekar segera mendengarkan dengan seksama.
Tian Mong-pek pun segera berpikir: ll "Ternyata beginilah kisah cinta mereka berempat.....
Tampak paras muka Siau Ong-sun maupun Lan Toa-sianseng terlintas warna merah gelap, sekalipun mereka tahu kalau Liat-hwee hujin akan membeberkan rahasia itu, namun tidak menyangka akan disampaikan didepan orang banyak secara gamblang.
Toan-hong taysu berlagak seolah tidak melihat, kisahnya lebih lanjut: "Hanya saja sifat adikku lembut dan halus, walaupun mencintai Siau Ong-sun, namun dia tak berani berterus terang, walau tidak mencintai Lan Thian-jui, diapun tak mau bersikap kelewat dingin, tentu saja Lan Thian-jui bukan orang bodoh, ketika patah hati, setiap hari dia lari ke arak untuk mabuk mabukan.
Saat itulah ada seorang wanita jalang yang bertampang halus suci mendekatinya, biarpun Lan Thian-jui adalah seorang enghiong, namun dalam kondisi patah hati, akhirnya dia tak berhasil lolos dari serangan cinta mautnya." Lan Toa-sianseng mendeham berulang kali, dia membalikkan badan siap berlalu dari situ.
"Lan Thian-jui," Toan-hong taysu segera menegur," bila saat ini kau angkat kaki, berarti kau bukan seorang lelaki sejati." Ucapan tersebut membuat Lan Toa-sianseng gusar tak bisa, tertawa pun tak mungkin, terpaksa dia menghentikan langkahnya.
Toan-hong taysu bercerita lebih lanjut: "Namun perempuan jalang itu bukan benar-benar mencintai Lan Thian-jui, dia sengaja berbuat begitu karena sejak awal sudah punya ambisi untuk merajai dunia persilatan, untuk mengatur jalan mundurnya kelak, dia ingin menggaet setiap tokoh kenamaan dalam dunia persilatan untuk mau berkomplot dengan dirinya, dengan begitu bila kelak dia melakukan perbuatan laknat atau keji, para jago kenamaan itu bukan saja tak akan menyulitkan dirinya, bahkan akan berusaha melindungi keselamatan jiwanya." Kembali para jago menjerit kaget.
Tian Mong-pek segera jadi paham, pikirnya: "sudah pasti perempuan siluman itu adalah So Kin-soat, demi bercapainya ambisi pribadi, dia tak segan menjual tubuh dan sukma sendiri, tak segan merusak keharmonisan rumah tangan orang lain, ayah dan ibu ku pun tersiksa gara gara ulahnya." Ia merasa perasaan sedih dan gusar berkecamuk didalam dada, untuk berapa saat pemuda ini tak ingin berpikir lebih jauh.
Kembali Toan-hong taysu melanjutkan: "Tapi siluman wanita ini, meski merusak banyak lelaki, dalam hati kecilnya dia hanya memiliki seorang kekasih, orang itu tak lain adalah si Tangan pencabut nyawa Tong Ti." Sekarang para jago baru tahu bahwa persoalan ini te rnyata ada sangkut pautnya dengan perguruan keluarga Tong di Siok-tiong, kegaduhan kembali terjadi, sampai lama sekali sukar tenang kembali.
Toan-hong taysu berkata lagi: "Oleh karena Tong Ti sudah lama ditekan dan diinjak ayahnya, Tong Bu-im, diapun berkeinginan untuk menciptakan sebuah karya sendiri yang menggemparkan dunia, maka kedua orang itupun bersatu padu.
Setelah melewati perjuangan selama banyak tahun, akhirnya mereka berhasil menciptakan panah kekasih, senjata rahasia yang paling beracun.
Agar dunia persilatan jadi kacau, agar umat persilatan saling curiga dan menduga, mereka sengaja menjual senjata rahasia itu secara diam diam, mereka pun menciptakan Chin Siu-ang sebagai satu satunya orang yang mampu memunahkan racun panah kekasih, agar semua umat persilatan menganggap Chin Siu-ang sebagai satu satunya bintang penolong, dengan begitu semua orang tak bakal curiga kalau dialah pelaksana dari semua intrik busuk ini." Kegaduhan kembali terjadi, para pendekar semakin ramai membahas persoalan itu.
Toan-hong taysu melanjutkan dengan lantang: "Tapi akhirnya, tiada kertas yang dapat membungkus api, dikolong langit tiada rahasia yang selamanya tak mungkin bisa terbongkar, mula mula rahasia Chin Siu-ang ketahuan terlebih dahulu, merekapun tak segan untuk segera membinasakan Chin Siu-ang, sedang Lan Thian-jui, semenjak peristiwa Yo Swan, diapun secara lamat lamat mulai menduga rahasia dibalik kesemuanya ini.
Bukan hanya satu kali dia ingin membujuk siluman perempuan itu untuk menghentikan praktek jahatnya, namun sampai mati siluman perempuan itu tak pernah mau mengaku." Lan Toa-sianseng mendongakkan kepalanya memandang awan di angkasa, namun dadanya naik turun, bahkan kian lama kian bertambah keras, jelas hatinya saat itupun sedang bergolak keras.
Setelah tarik napas, Toan-hong taysu berlata lagi: "Namun setelah peristiwa semakin berkembang, akhirnya mau tak mau siluman wanita itu harus mengaku, Lan Toa-sianseng pun segera datang kemari untuk menegur perbuatan busuknya, siapa tahu siluman wanita itu justru menggunakan affair mereka dimasa lalu mencoba mengancam dia, minta dia untuk menutupi semua rahasianya, kalau tidak dia akan beberkan kejadian yang memalukan ini kepada umum.
Lan thian-jui adalah lelaki yang tinggi gengsinya, dia memandang mukanya sangat penting, lebih baik mati daripada kehilangan muka.
Yaaa begitulah, watak takut kehilangan muka itulah yang mencelakai dia jadi begini." Kini, semua jago baru mengerti duduknya perkara, teriak mereka ramai ramai: "Sembilan puluh persen wanita siluman itu adalah so Kin-soat." "Tutup mulut!" tiba tiba Lan Toa-sianseng membentak keras.
Dengan sorot mata tajam dia melotot ke arah Toan-hong taysu, Toan-hong taysu pun segera melotot kearahnya.
"Darimana kau bisa mengetahui semua kejadian ini dengan begitu jelas?" tanya Lan Toa-sianseng kemudian.
"Kau benar benar tidak tahu?" tanya Toan-hong taysu, "baiklah, kalau begitu aku beritahu, semua kisah ini kuketahui dari Siau Ong-sun." Kontan Lan Toa-sianseng mendelik kearah Siau Ong-sun, tapi Siau Ong-sun hanya gelengkan kepala sambil menghela napas, orang tua ini hanya tertawa getir.
I "Kau tak usah melototi orang lain," ujar Toan-hong taysu lagi, "orang berbuat begitu demi kebaikanmu, ketika semua orang mencurigaimu, hanya Siau Ong-sun seorang yang percaya kepadamu bahkan tak segan menyerempet bahaya untuk melakukan penyelidikan diatas gunung, akhirnya dari mulut orang lain dia berhasil mendapat tahu enam puluh persen rahasiamu, sedang sisanya yang empat puluh persen adalah hasil dugaan sendiri.
Dia tahu watakmu yang lebih baik mati daripada mengaku salah, terlebih tak mungkin akan menceritakan rahasia semacam ini, padahal rahasia ini penting sekali untuk dibicarakan.
Karena takut bila dia yang bercerita akan membuat kau kehilangan muka, terpaksa semua rahasia ini diceritakan dulu kepadaku.
Tapi sekarang, akupun tidak tahan untuk tidak menyampaikan kepadamu." II "Tapi .
. . . . .. ucap Lan Toa-sianseng. Siau Ong-sun segera menghela napas, ujarnya: "Lan-heng benar benar pintar sewaktu, pikun sesaat, masa kau ingin merusak nama baikmu hanya dikarenakan perbuatan khilaf yang pernah dilakukan pada saat masih muda dulu?" Lan Toa-sianseng termangu berapa saat, tapi akhirnya dia mendongakkan kepala dan menghela napas panjang.
"Aaai, yaa sudahlah .
. . . . . .." Tiba tiba ia membalikkan badan, menepuk bahu Tian Mong-pek dan ujarnya: "Saudara cilik, sekarang kau sudah tahu duduknya perkara, akupun akan beritahukan satu hal lagi kepadamu, sesungguhnya Yo Swan adalah titipan So .
. . . .. aaai, dia yang minta aku menerimanya sebagai murid.
Ketika hari itu aku mendapat tahu kalau dia jalan bersamamu, akupun paksa dia untuk memberitahukan jejakmu, saat itulah aku baru tahu kalau kau sudah terjebak dalam gua rahasia, sebetulnya aku ingin langsung membantainya, tapi mengingat perempuan itu, akhirnya aku tak tega sehingga paksa dia untuk angkat sumpah berat yang melarang dia berkelana lagi dalam dunia persilatan, bahkan mengutungi lengannya.
Hanya saja, hingga waktu itu aku masih belum menyangka kalau.....
kalau perempuan itu adalah.....
dalang panah kekasih . . . . .. aiii!" Sekarang Tian Mong"pek sudah tahu duduknya perkara, yang tersisa sekarang hanya rasa menyesal serta rasa malu terhadap diri sendiri, dia tak tahu harus bicara apa, maka ucapnya tergagap: "Aku.....
aku . . . . .." Kembali Lan Toa-sianseng menepuk bahunya sambil berkata: "Biarpun kau telah mencurigai diriku, tapi aku tak pernah marah, kau pun tak usah bersedih hati, andai berganti aku, mungkin rasa curigaku jauh lebih tebal ketimbang dirimu .
. . . . .." Semakin didengar, Tian Mong"pek merasa semakin terharu, akhirnya air mata bercucuran membasahi pipinya.
sambil menghela napas, kembali Lan Toa-sianseng berkata: "sayang Yo Swan si binatang itu berani melanggar sumpah.
Aaai! Ketika aku mendengar sumpahnya waktu itu, seharusnya aku sudah bisa menduga kalau dia memang berniat melanggar sumpahnya." "sumpah berat apa yang dia ucapkan?" tanya Siau Ong-sun tiba tiba.
"Dia bilang, kalau melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan, maka dia akan mati dimakan jutaan semut.
Mana ada semut makan manusia" Bukankah sumpah itu hanya gurauan saja?"
Bab S2. Badai telah berlalu. Mendengar itu, Tian Mong"pek merasa hawa dingin muncul dari dasar hatinya, sampai lama sekali tak sanggup berbicara.
Siau Ong-sun menghela napas panjang, secara ringkas diapun mengisahkan keadaan disaat Yo Swan menemui ajalnya.
Lan Toa-sianseng ikut merasa bergidik, gumamnya: "Jaring hukum langit memang tak akan membiarkan orang berdosa lolos .
. . . . . .." Sesaat kemudian dia menjura kearah Siau Ong-sun sambil ujarnya: "Kunci dari suatu persahabatan terletak pada saling mengertian, karena kau sudah tahu tentang aku, maka akupun tak akan banyak bicara, daripada salah kaprah." "Memang seharusnya begitu." Jawab Siau Ong-sun tersenyum.
II "Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu .
. . . . .. "Kenapa harus pergi?" "Kau sangka masih pantas aku tetap tinggal disini?" tanya Lan Toa-sianseng sedih.
Siau Ong-sun termenung berapa saat, dia sadar, seandainya para jago mengerubuti So Kin-soat, padahal dia tak dapat membantu perempuan itu, diapun tak dapat berpangku tangan saja, Cara terbaik hanyalah menyingkir jauh jauh.
Maka diapun tidak menghalangi lagi, hanya ujarnya setelah menghela napas: "Setelah berpisah hari ini, entah ke mana kau akan pergi" Terlebih sampai kapan kita baru akan bertemu kembali?" Lan Toa-sianseng tertawa nyaring.
"Hahaha, jagad raya begini luas, dimana pun pasti akan menampung diriku, II empat samudra begitu besar, setiap saat kita akan bertemu lagi .
. . . . . .. Dia mengulapkan tangannya ke arah Toan-hong dan Coat-hong, lalu membuang separuh gada bajanya ke tanah dan ujarnya lagi sambil tertawa keras: "Saudara cilik, mulai sekarang, dunia persilatan adalah dunia kekuasaanmu .
. . . . . . .." Belum selesai suara tertawanya, bayangan tubuh orang itu sudah berada dikejauhan sana.
Sampai lama kemudian, Tian Mong-pek merasa seolah suara tertawa itu masih mendengung disisi telinganya, dia seakan masih melihat kegagahannya tampil didepan mata.
Dia cukup paham, mau ke mana pun Lan Toa-sianseng pergi, dia pasti dapat membangun kembali dunianya.
Menyaksikan bayangan tubuh tokoh sakti itu makin menjauh, para jago ikut merasa trenyuh dan sedih, bahkan Coat-hong taysu yang sudah lama hidup sebagai pendeta pun, saat ini menunjukkan mimik sedih.
Apalagi Toan-hong taysu, sinar matanya mirip orang yang sedang mabuk, beberapa kali dia berniat melakukan pengejaran, namun akhirnya diurungkan.
Entah lewat berapa lama kemudian, Tian Mong-pek baru berjalan ke hadapan Coat-hong taysu, dia nampak sangsi, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu, namun akhirnya tak sepatah kata pun yang diucapkan.
Coat-hong taysu memandangnya sekejap, lalu tersenyum.
"Kau ingin menanyakan kabar berita dia?" tanyanya.
Yang dimaksud dia, tentu saja Siau Hui-uh.
Tak usah sebut namapun, Tian Mong"pek mengetahui sangat jelas.
Melihat dia mengangguk, meski tanpa berkata-kata namun rasa cinta yang begitu dalam terpancar dari balik matanya, kembali Coat-hong taysu tertawa.
"Dia pasti datang." Sahutnya.
Dibalik senyuman itu terselip rasa sedih yang mendalam, seakan dia sedang merasa pedih memikirkan duka yang menimpa dirinya.
"Apakah dia.... dia . . . . . .." tanya Tian Mong-pek tergagap.
Sekonyong-konyong dari empat penjuru berkumandang suara sumpritan yang aneh, dari balik bukit karang pun lamat lamat terdengar suara senjata diloloskan dari sarung serta suara orang berlarian.
Biarpun para jago sudah menduga kalau disekeliling perbukitan itu pasti tersembunyi jebakan, tak urung berubah juga paras muka mereka sekarang.
Say-sang tayhiap Lok Tiau-yang pasang telinga dan mendengarkan berapa saat, kemudian serunya dengan nada berat: "Paling tidak ada empat ratusan orang yang bersembunyi disekeliling tempat ini." Hampir sepanjang hidup dia berkelana dalam dunia persilatan, pengalamannya luar biasa, ternyata dari suara langkah manusia, ia dapat menebak jumlah lawan.
Walaupun Siau Ong-sun dan Tu Hun-thian merupakan tokoh silat yang hebat, namun mereka amat jarang berkelana dalam dunia kangou, sepak terjang mereka pun ibarat naga sakti yang kelihatan kepala, tak kelihatan ekor, karena itulah dalam hal ini, mereka tak bisa melebihi kemampuan Lok Tiau-yang.




II "Empat ratus orang .
. . . .. gumam Siau Ong-sun setelah bertukar pandangan sekejap dengan rekannya.
II \\ "Pasukan musuh begitu banyak, kata Tu Hun-thian pula, aku kuatir .
. . . . . .. aai, kalau bantai mereka hingga habis mah gampang, tapi untuk memukul mundur orang orang itu, mungkin lebih sulit dari mendaki ke langit." Ucapan ini kedengarannya agak benturan, padahal mengandung maksud yang mendalam, sebab kalau suruh jago jago kenamaan ini menghadapi kawanan kurcaci, sejujurnya mereka tak akan tega untuk turun tangan.
setelah menghela napas kata Siau Ong-sun: "Bukan hanya begitu, ditinjau dari suara langkah mereka, diantara ke empat ratusan orang ini, banyak yang merupakan jago kelas satu.
Dengan jumlah kekuatan yang kita miliki, bukan hal gampang untuk membunuh habis mereka semua." Mendadak terdengar Tian Mong-pek berseru: "Disana ada orang .
. . . .. aaah, kelihatannya Li Koan"eng serta Beng Li-si, kenapa mereka bisa berada disini?" Baru selesai bicara, Li Koan"eng dan Beng Li-si telah berlari mendekat, wajah mereka tampak gugup bercampur panik, dengan napas tersengkal teriaknya: "Tian.....
Tian-heng, cepat..... cepat kabur kebawah bukit!" "Belum lagi naik gunung, masa harus turun kembali?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
Li Koan"eng menghela napas, katanya: "So....
So hujin telah menyiapkan banyak jebakan diseputar bukit, pada lapisan pertama pun dijaga empat ratusan orang, bila harus naik gunung, aku kuatir .
. . . . . .." "Betul," Beng Li-si menimpali, "disaat kami berdua sudah terpojok hingga tak ada tempat untuk melarikan diri, So hujin telah menampung kami berdua, budi kebaikan ini berat bagaikan bukit, tapi Tian....
Tian tayhiap begitu baik kepada kami berdua, budi kebaikan mu melebihi apa pun, itulah sebabnya dengan mempertaruhkan keselamatan jiwa, kami datang kemari untuk memberi kabar.
Tian tayhiap, sekalipun kau ingin membasminya, toh tidak harus dilakukan pada hari ini." "Selama berdiam berapa hari diatas gunung," kembali Li Koan"eng berkata, "sedikit banyak kami sudah mengetahui sebagian rahasianya, biarpun dia II pantas mati, tapi kesempatan masih banyak, Tian-heng, kau .
. . . . . . .. Selama ini Tian Mong-pek hanya mendengarkan tanpa bicara, saat itulah dia menyela dengan lantang: "Setelah tiba disini, sudah tiada jalan kembali bagi kami semua, sekalipun harus mati dalam pertarungan, kami tetap akan bertarung hingga titik darah penghabisan." Kawanan jago yang sejak awal sudah memendam rasa gusar, sontak bersorak sorai setelah mendengar ucapan itu.
Sambil tersenyum seru Tu Hun-thian: "Tian Mong-pek memang tidak malu menjadi menantunya kokcu lembah kaisar." "Tampaknya aku sama seperti dirimu, sudah menjadi anak panah yang terlepas dari busur, tidak mungkin balik lagi." Seru Siau Ong-sun sambil tersenyum.
Mereka berdua pun saling berpandangan sambil tersenyum, jelas mereka merasa bangga akan kejantanan Tian Mong"pek.
Sebaliknya paras muka Li Koan"eng serta Beng Li-si justru berubah hebat.
Belum sempat mereka berdua mengucapkan sesuatu, tiba tiba dari bawah bukit terdengar seseorang berteriak nyaring: "Siau lotoa .
. . . . . .. Siau toako . . . . . . . .." Menyusul kemudian, terlihat sesosok bayangan manusia berlarian mendekat, gerakan tubuhnya ternyata tidak berada dibawah kemampuan Lan Toa-sianseng.
"Siapa orang ini?" seru Lok Tiau-yang dengan wajah berubah.
Siau Ong-sun maupun Tian Mong-pek segera mengenali orang itu sebagai si Bungkuk baja, yang lebih aneh lagi, ternyata si bungkuk baja menggendong seseorang dipunggungnya.
"Aku berada disini." Sahut Siau Ong-sun.
Si Bungkus baja segera bergerak mendekat, teriaknya: "Siau lotoa, kau .
. . . .. cepat kau tolong dia, orang ini hampir mati, selain kau, sudah tak ada lagi yang bisa menolong." Dengan kesempurnaan tenaga dalamnya, ternyata dia bicara dengan napas tersengkal, jelas orang tua ini sudah menempuh perjalanan jauh.
"siapa yang terluka" Cepat baringkan dia." Ucap Siau Ong-sun.
"Coba lihat, siapakah orang ini." Sambil berkata, si bungkuk baja itu membaringkan tubuh orang tadi ke tanah.
Jeritan kaget pun seketika berkumandang dari empat penjuru, bahkan jeritan terkeras berasal dari Li Koan"eng serta Beng Li-si.
Ternyata orang yang terluka parah ini tak lain adalah Mo-siau-to Go Jit, salah satu diantara tujuh tokoh ternama dalam dunia persilatan.
Dalam kenyataan, orang ini sudah terluka parah, hal semacam ini sama sekali diluar dugaan siapapun.
"Hah, dia?" seru Siau Ong-sun dengan wajah berubah, "siapa yang telah melukainya?" II "Siapa lagi, si bungkuk baja menghela napas, "kecuali tombak tanpa bayangan, masih ada siapa lagi" Tapi si Tombak tanpa bayangan pun berhasil dilukai oleh senjata tajamnya, aku rasa luka yang ia derita tidak lebih ringan daripada dirinya." "Dimana Yo Hui sekarang" Bagaimana ceritanya sehingga kau bertemu mereka?" Si bungkuk baja menghela napas.
"Sewaktu menjumpai mereka berdua, kedua orang ini sudah bertarung mati matian dan semuanya terluka parah, hanya Yo Seng, murid Yo Hui yang melindungi dari samping, waktu itu jika Yo Seng berniat membunuh Go Jit, sesungguhnya dapat dia lakukan semudah membalik tangan, tapi ternyata dia memang tak malu disebut seorang lelaki sejati, ternyata tak mau gunakan kesempatan itu untuk membokong, begitu melihat aku tiba disana, diapun segera membopong gurunya dan pergi dari situ, bahkan sempat memohon kepadaku, bagaimana pun aku harus selamatkan Go Jit, agar dikemudian hari dia berkesempatan untuk balas dendam dengan tangan sendiri, aaai .
. . . .. bocah itu memang punya nyali." "Lalu, kenapa kau bisa sampai disini?" Si Bungkuk baja melirik Tian Mong-pek sekejap lalu tertawa, katanya: "Kekasih hati saudara cilik kitalah yang beritahu." Karena Siau Hui-uh sudah dapat berbicara, itu menandakan luka yang dideritanya telah sembuh.
Biarpun secara diam-diam Tian Mong-pek merasa lega, tak urung tanyanya juga: "Dimana cianpwee bertemu dia" Kenapa dia belum juga naik gunung?" "Tempat dimana Go Jit dan Yo Hui terluka adalah tepi telaga Tong-ting, nona Siau pun sedang berpesiar ditempat itu, kelihatannya dia sedang menunggu orang." "Dia menunggu .
. . . . . .." tiba tiba Tian Mong-pek merasa pertanyaannya terlalu berlebihan, dengan wajah memerah cepat dia membungkam.
"Siapa yang ditunggu putriku?" akhirnya Siau Ong-sun mewakilinya bertanya.
"Nantipun kau bakal tahu sendiri." Kata Coat-hong taysu sambil tersenyum.
Si bungkuk baja menghela napas panjang, katanya: "Berhubung aku mendapat titipan pesan yang harus segera dilaksanakan, begitu tahu Siau lotoa berada digunung, maka buru buru aku menyusul kemari.
Kecuali Siau lotoa, siapa lagi yang bisa mengobati luka Go Jit" Siapa sangka meski Go Jit sudah setengah pingsan, dia bersikeras tak mau naik gunung, bahkan masih mengigau tiada hentinya: "Tolong bawa aku mencari Sisi, biar harus matipun aku harus bertemu terakhir kalinya dengan Sisi.".
aku tak tahu siapakah Sisi, maka tanpa menggubris igauannya lagi segera kubawa diA naik gunung." Tiba tiba sekujur tubuh Beng Li-si gemetar keras, diantara biji matanya yang bening terlihat butiran air mata, sambil menggigit bibir ia tundukkan kepala .
Siau Ong-sun menghela napas panjang.
"Aaai, buat apa . . . . .. semuanya ini buat apa?" Diapun mendahulukan menolong orang dengan memeriksa sekujur tubuh Go Jit dengan seksama, kemudian mencekokkan berapa butir pil ke dalam mulutnya.
"Apakah lukanya masih bisa ditolong?" tanya si bungkuk baja.
Kembali Siau Ong-sun menghela napas panjang.
"Aaai, walaupun nyawanya tertolong, namun ilmu silat yang dimiliki.....
mungkin sejak kini..... aiii." Dia tidak melanjutkan perkataannya, namun maksud dari ucapan itu sudah jelas.
Ketika semua orang tahu bahwa jago silat yang tersohor namanya diseantero jagad ini bakal kehilangan seluruh ilmu silat yang dipelajarinya selama puluhan tahun, ketika kehidupannya yang penuh keaneka ragaman pengalaman bakal sirna dengan begitu saja, mereka sadar, andai Go Jit harus memilih, mungkin dia lebih suka mati dengan begitu saja.
sebagai orang yang belajar silat, para jago dapat merasakan betapa terpukulnya perasaan hati mereka ketika mengetahui ilmu silatnya punah.
Setelah menelan pil mustajab pemberian Siau Ong-sun, Go Jit mulai tersadar dari pingsannya, namun dia masih juga bergumam: "Sisi .
. . . .. Sisi..... dimana kau?" Sebenarnya Tian Mong-pek menganggap Go Jit itu seorang lelaki sombong dan suka bertindak semena-mena, tapi setelah menyaksikan cinta kasihnya yang tak pernah padam, terenyuh juga perasaan hatinya, dia jadi tak tega dan segera melengos kearah lain.
Akhirnya Beng Li-si tak kuasa menahan diri, dia menubruk tubuh Go Jit sambil menangis tersedu-sedu.
"Aku berada disini .
. . . . .. aku berada disini . . . . . .." sahutnya sambil Akhirnya Beng Li-si tak kuasa menahan diri, dia menubruk tubuh Go Jit sambil menangis tersedu-sedu.
"Aku berada disini .
. . . . .. aku berada disini . . . . . .." sahutnya sambil terisak.
Perlahan Go Jit membuka matanya yang sayu, begitu melihat wajah Beng Li-si yang sayu, sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya.
II "Kau..... kau jangan pergi . . . . . . .. II "Sisi tak akan pergi .
. . . .. selama hidup Sisi akan mendampingi mu .
. . . . .. bisik Beng Li-si lirih. "Bagus . . . . .. bagus . . . . . .." akhirnya Go Jit tersenyum, dia ulurkan tangan, seolah hendak meraba wajah perempuan itu, tapi baru diangkat sudah terjatuh kembali, ia jatuh tak sadarkan diri.
Biar begitu, senyum ketenangan masih menghiasi wajahnya, sampai lama belum juga hilang.
Li Koan-eng berdiri mematung tak bergerak, mukanya pucat bagai kertas.
Beng Li-si membalikkan tubuhnya berjalan kehadapan lelaki itu, katanya dengan air mata bercucuran: "Toako, aku.....
aku tak bisa ikut kau lagi, aku.....
aku . . . . .. aku...." "Aku mengerti." Jawab Li Koan-eng sambil tertawa sedih.
"Kau . . . . . . .. baiklah kalau tahu . . . . . . . .." Mereka berdua saling bertukar pandangan sekejap dan tidak bicara lagi, tidak pula memandang untuk kedua kalinya, seakan seluruh perasaan cinta, seluruh perasaan sedih, semuanya telah berakhir dalam pandangan tadi.
Beng Li-si bangkit berdiri, menjura kepada Siau Ong-sun, lalu sambil membopong Go Jit, dengan kepala tertunduk katanya: "Karena harus merawat lukanya, boanpwee tak dapat menyumbangkan tenaga lagi untuk berbakti kepada cianpwee, sekarang juga boanpwee akan turun .
. . . .. gunung . . . . .." Sewaktu mengucapkan kata terakhir, isak tangis pun meledak.
Diwaktu Go Jit masih berjaya dalam dunia persilatan, tanpa peduli keselamatan sendiri perempuan ini berusaha melarikan diri dari sisinya, tapi kini, disaat Go Jit sudah sekarat, ibarat orang yang sudah setengah mati, dia justru meninggalkan semua masalah untuk pergi bersamanya.
Tampak Beng Li-si dengan membopong Go Jit, diiringi isak tangis yang amat sedih berlarian turun gunung.
Perasaan hati para jago jadi kacau balau tak karuan, siapa pun tak bisa melukiskan bagaimana perasaan hatinya saat ini, entah siapa, ada yang bergumam sambil menghela napas: II "Aaai, perempuan .
. . . .. perempuan . . . . . .. Memang begitulah seorang perempuan, kaum lelaki selamanya tak pernah bisa menembusi hati seorang wanita.
Tian Mong-pek menepuk bahu Li Koan-eng dan katanya sambil menghela napas: "saudara Li, kau .
. . . . . . .. Air mata sudah mengembang dalam kelopak mata Li Koan-eng, tapi dia tak ingin hal ini terlihat orang, sambil mendongak dan tertawa keras, ujarnya: "Kini, aku orang she-Li sudah hidup seorang diri, tanpa beban tanpa keluarga, sudah saatnya untuk bertarung mati matian melawan kaum laknat." II "Lelaki sejati .
. . . . .. puji Tian Mong-pek. Tiba tiba ia teringat akan beban sendiri yang harus dipikul dipundaknya, lalu teringat pula Kiong Ling"ling, Cepat dia berlarian menuju ke belakang batu prasasti.
Dibelakang batu prasasti tidak tampak bayangan Kiong Ling-ling, mulut lorong bawah tanah telah tertutup rapat.
Dalam kagetnya pemuda itu berteriak keras: "Ling-ling .
. . . . .. Ling-ling . . . . . . .." Tiba tiba sinar matanya menangkap sesuatu, berapa coretan tulisan yang tertinggal di belakang batu prasasti, goresan itu entah dibuat dengan ujung pisau atau tusuk konde, walaupun lamat lamat namun masih bisa dibaca dengan jelas, tulisan itu berbunyi begini: "Paman Tian, Ling-ling tak punya muka untuk berjumpa lagi dengan So hujin, Ling-ling pergi, sejak kecil Ling-ling sudah mampu menjaga diri, kepergianku kali ini akan kugunakan untuk berlatih ilmu silat, balaskan dendam untuk yaya.




Paman tak perlu kuatir, Ling-ling hanya berharap paman dan nona Siau bisa hidup bahagia, untuk itu Ling-ling sudah merasa puas sekali." Selesai membaca tulisan itu, Tian Mong-pek merasa matanya jadi kabur karena air mata, gumamnya sedih: Dia tahu, Kiong Ling-ling pasti sudah pergi melalui lorong bawah tanah, tapi kini mulut lorong sudah tertutup dan tak mungkin bisa dibuka lagi, diapun tak mungkin bisa mengejarnya, apalagi biar terkejar pun belum tentu gadis itu akan balik.
Dengan murung dibelainya goresan yang tertera diatas batu prasasti, dalam hati dia berdoa untuk Ling"ling, berharap gadis bernasib jelek ini bisa terbebas dari perjalanan takdir yang tragis, berharap dikemudian hari dirinya masih dapat berjumpa dengannya, berharap pada saat itu dia sudah menjadi perempuan yang cantik, melewati kehidupan yang lebih bahagia .
. . . . . .. Thian maha adil, pengharapannya pasti akan terkabul suatu saat nanti.
Sekonyong-konyong genderang peperangan bergema dari empat penjuru, berapa ratus manusia bermunculan dengan senjata terhunus, dibawah kilauan cahaya putih yang menusuk mata, seketika hawa pembunuhan yang kental menyelimuti langit dan bumi.
Tian Mong-pek segera membuang jauh perasaan sedihnya, dengan semangat berkobar dia melompat ke depan dan berseru dengan suara dalam: "Daripada membiarkan mereka menyerang kemari, lebih baik kita yang menyerang ke sana!" "Betul." Sahut para jago gegap gempita.
"Tampaknya memang harus begitu," ujar Siau Ong-sun pula sambil menghela napas, "apakah taysu bertiga .
. . . . . .." Tidak menunggu ia menyelesaikan ucapannya, Toan-hong taysu sudah menukas: "Biarpun kami sudah meninggalkan urusan duniawi, tapi dalam masalah ini kami tetap akan mencampuri, adikku....
aah bukan, suci, benar bukan perkataanku?" "Biarpun hidup di kalangan Buddha, bukan berarti kami sudah lupa cara untuk menundukkan iblis." Jawab Coat-hong taysu.
"Bagus!" ucap Siau Ong-sun, "saudara Tu dan aku dengan membawa Mong-pek maju paling muka, taysu bertiga menjaga barisan belakang, Lok tayhiap pimpin para jago berada di posisi tengah, hati hati, jangan sampai barisan depan dan barisan belakang kehilangan kontak." "Kami akan mentaati pimpinan cianpwee." Jawab Lok tiau-yang.
Tian Mong-pek segera mengayun pedang bajanya sambil berteriak: "Serbu!" Begitu selesai berseru, dia langsung menerjang ke dalam barisan lawan.
Pertempuran berdarah pun segera berlangsung, suara teriakan, suara pembunuhan bergetar hingga langit, dibawah cahaya matahari, beratus ratus bilah senjata saling membacok saling menusuk, keadaan sangat mengerikan.
Siau Ong-sun, si bungkuk baja, Tu Hun-thian Siang-jiu-khong-khong bergerak kian kemari bagai naga sakti, mereka berkelebat ditengah ratusan senjata yang berkilauan, tak selang berapa saat, banyak musuh telah tergeletak dengan posisi jalan darah tertotok.
Sementara pedang baja ditangan Tian Mong-pek menyambar kian kemari, setiap kali pedangnya berkelebat, terdengar suara senjata yang terpapas kutung diikuti jerit kesakitan.
Kendatipun dia berusaha mengampuni jiwa mereka, tak ingin mencelakai nyawa musuh, namun pedangnya yang kelewat tajam memang tak mungkin dibendung siapa pun.
Tak selang berapa saat, sudah ada berapa orang yang menjadi cacat diujung pedangnya, percikan darah membuat baju Tian Mong"pek nyaris berubah jadi merah.
Biarpun kehebatan ke empat orang ini susah dibendung , akan tetapi para jago dibawah pimpinan Say-sang tayhiap harus melakukan pertempuran yang luas biasa melawan tekanan dari ratusan bilah senjata, pertempuran berlangsung alot dan sengit.
Tak lama pertempuran sengit berlangsung, pakaian yang dikenakan para jago telah berubah jadi merah karena darah, ada yang ternoda oleh percikan darh musuh, namun ada pula yang ternoda oleh darah sendiri yang mengucur dari mulut luka.
Coat-hong taysu, Miat-hong taysu serta Toan-hong taysu meski dimasa lalu merupakan iblis wanita yang membunuh orang tanpa berkedip, namun setelah masuk kalangan Buddha, tak mungkin lagi bagi mereka untuk menciptakan terlalu banyak pembunuhan.
oleh karena itu mereka hanya mengintil di belakang para jago, begitu melihat ada yang terancam nyawanya, mereka segera turun tangan menolong, coba kalau bukan begitu, paling tidak ada setengah dari para jago sudah tewas diujung senjata lawan.
Kendatipun demikian, masih tetap ada dua orang terbacok oleh senjata musuh hingga tewas dalam keadaan mengenaskan.
Perlu diketahui, dengan kekuatan dua puluhan orang melawan ratusan musuh, sekalipun kungfu mereka selisih jauh pun masih tetap bukan tandingan, apalagi diantara ratusan orang itu, banyak diantaranya merupakan jago jago lihay yang sudah banyak tahun dibina So Kin-soat.
Oleh karena sebagian besar kawanan jago itu pernah berhutang budi kepada So Kin-soat, maka kini, mereka pun rela jual nyawa untuk perempuan itu.
Semisal saja Li Koan-eng dan Beng Li-si sekalian, coba kalau bukan dikarenakan situasi khusus, sekarang pun mungkin mereka masih akan berbakti untuk perempuan itu.
sambil melancarkan serangan tiada hentinya, dalam hati Siau Ong-sun menghela napas, pikirnya: "So Kin-soat memang tak malu disebut seorang pemimpin sejati, cukup ditinjau dari kemampuannya untuk membeli dukungan orang, dapat dibayangkan bagaimana kemampuan sebenarnya yang dia miliki." Tu Hun-thian sendiripun mempunyai pikiran yang sama setelah melihat pihak lawan tak ada yang mau mundur atau keder hatinya, kendatipun korban yang berjatuhan sudah amat banyak.
Tian Mong"pek berniat menyerbu naik ke puncak bukit, namun diapun mau tak mau harus berbalik arah selamatkan rekan yang terjebak dalam keadaan bahaya, oleh karena itu walaupun sudah bertempur sepertanak nasi lamanya, dia masih gagal untuk menembus kepungan.
Waktu itu, korban yang jatuh dipihak lawan sudah mencapai enam tujuh puluhan orang lebih, tapi berhubung jumlah mereka banyak, semangat tempurnya masih tetap tinggi.
Sebaliknya dari pihak sendiri walaupun hanya empat, lima orang yang jadi korban, namun para jago sudah mulai menunjukkan wajah letih dan tak sanggup bertahan lebih lama.
Jangan lagi kawanan jago lain, Giok-khong-cu yang gagah berani pun kini mulai sayu matanya dan bermandikan keringan.
Dengan mengerahkan sepenuh tenaga Tian Mong-pek menerjang ke samping Siau Ong-sun, setelah membabat kutung lengan kanan seorang lawan, ujarnya dengan nada berat: "Jika kita masih belum berhasil menerjang ke puncak bukit, mungkin So Kin-soat sudah melarikan diri." "Dia memang berniat membasmi semua orang yang mengetahui rahasia panah kekasih diatas bukit ini, dalam keadaan begini tak mungkin dia akan melarikan diri, justru yang kutakuti .
. . . . .." Siau Ong-sun menghela napas panjang, Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya: "Ketika kita menyelesaikan pertempuran berdarah disini, sekalipun mampu menyerbu ke puncak bukit, saat itu sudah pasti kita telah lelah dan kehabisan tenaga, mana mungkin mampu menembusi berapa buah perangkap yang dia pasang di belakang sana?" Setelah menggulung lepas dua bilah golok panjang, Tu Hun-thian ikut berkata dengan sedih: "Sekalipun ada orang berhasil menembusi barikade manusia ini, mungkin disaat bertemu So Kin-soat nanti, dia sudah tak sanggup menggenggam senjatanya lagi, mana mungkin bisa menantangnya untuk berduel?" Dalam hati Tian Mong-pek ikut menghela napas, tapi diluaran, dengan penuh semangat katanya: "Sekalipun begitu, kita tetap harus menerjangnya selangkah demi selangkah." Kembali pedang bajanya menyambar kian kemari, kali ini dia turun tangan tanpa ampun.
Sesudah berlangsungnya pertempuran berdarah ini, jago lawan yang berilmu agak lemah kebanyakan sudah rontok satu demi satu, yang tersisa kini nyaris merupakan jago jago berkepandaian tinggi.
Say-sang tayhiap Lok Tiau-yang sudah bermandikan keringat bercampur darah, tongkat rotan ditangannya sudah penuh noda darah, selama berkelana puluhan tahun dalam dunia persilatan, belum pernah ia jumpai pertarungan besar sesengit ini.
Pedang pendek ditangan Giok-khong-cu sudah gumpil sebagian, ketika seseorang menyerjang kearahnya, ia langsung membabat dengan pedangnya, namun senjata nya yang gumpil sudah tak sanggup merobek pakaian lawan.
Menggunakan kesempatan disaat ia tertegun, orang itu melancarkan sebuah bacokan lagi ke wajahnya.
Giok-khong-cu berpekik panjang, sambil membuang pedang pendek miliknya, dia cengkeram pergelangan tangan lawan.
Saat itu juga kedua orang itu saling mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, Giok-khong-cu menghentak dengan sekuat tenaga, "Kraaak!" ternyata pergelangan tangan lawan berhasil dia patahkan jadi dua.
Melihat itu Lok Tiau-yang tertawa terbahak-bahak, pujinya: "Saudaraku, bagus sekali tindakanmu!" Belum selesai ia tertawa, punggungnya terasa dingin lalu sakit sekali, ternyata satu sayatan golok telah mendarat dipunggungnya.
Dalam kagetnya Giok-khong-cu segera menyusul tiba, tapi Lok Tiau-yang telah membalikkan badan sambil menggulung mata golok lawan dengan tongkat rotannya, satu pukulan tinju langsung mendarat didada lawan, diiringi jerit kesakitan, matilah orang itu seketika.
"Kau tidak apa apa?" tanya Giok-khong-cu.
"Hanya satu luka bacokan, tidak terhitung seberapa." Sahut Lok Tiau-yang.
Belum selesai bicara, tiba tiba tubuhnya gontai dan tak sanggup berdiri tegak.
Cepat giok-khong-cu merangkul tubuhnya, lalu dengan menggunakan golok hasil rampasan, dia mainkan segulung cahaya senjata untuk melindungi diri serta tubuh Lok Tiau-yang.
Begitu menyaksikan keadaan mereka berdua sudah mengenaskan, serentak pihak lawan maju menyerang dengan sekuat tenaga.
Berubah paras muka Lok Tiau-yang, bisiknya:
Berubah paras muka Lok Tiau"yang, bisiknya: "Sau....
saudaraku, jangan pedulikan aku, cepat .
. . . .. cepat pergi dari II sini....
Sambil menggigit bibir Giok-khong-cu bertahan sekuat tenaga, dia sama sekali tidak menjawab.
Peluh sebesar kacang kedele telah membasahi seluruh badan Lok Tiau-yang, sambil menahan sakit katanya lagi: "Sau....
saudaraku, aku.... aku tak sanggup bertempur lagi, cepat lepaskan aku." Giok-khong-cu tertawa seram, teriaknya: "Walaupun hari ini aku sudah bertekad untuk bertempur sampai titik darah penghabisan, tapi aku tak akan membiarkan toako mati II dihadapanku .
. . . . . . .. Disaat yang kritis itulah mendadak terdengar suara suitan panjang berkumandang tiba.
Disusul kemudian terdengar seseorang berteriak lantang: "Siau lotoa, Tian Mong-pek, aku si orang tua serta Thian-ma toa-hwesio datang." Terlihat dua sosok bayangan manusia meluncur tiba dari tengah udara, kehadiran mereka ibarat panglima langit yang turun dari kahyangan.
Rupanya mereka adalah Mo Mok-ngo serta Thian-ma hwesio.
Baru saja tubuh mereka meluncur datang, sudah ada dua orang dari pihak lawan yang menjerit kesakitan.
Siau Ong-sun segera tertawa terbahak"bahak.
"Hahaha.... bagus sekali kedatangan kalian .
. . . . .. bagus sekali kedatangan kalian!" Baru selesai bicara, kembali terdengar ada orang berteriak keras: "Tian Mong-pek, saudara Tian, si ikan hiu besar dengan membawa seluruh saudara dari telaga Tay-ou datang membantu mu." Kontan Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, sambil tertawa keras serunya pula: "Hahaha....
bagus sekali kedatangan kalian .
. . . . .. bagus sekali kedatangan kalian!" Begitu mendengar suara derap kaki yang keras bagai tambur perang bergerak mendekat, dengan riang teriak Lok Tiau"yang: "Saudaraku, kali ini kita semua tak perlu mati." Diantara bayangan manusia kilatan golok, tampak ratusan orang lelaki kekar bertelanjang dada menyerbu maju dengan garangnya.
Lelaki pertama yang berjalan didepan berperawakan tinggi besar, tangannya membawa senjata trisula yang amat besar, kehadirannya ibarat harimau buas yang keluar dari sangkar.
Orang itu tak lain adalah Ikan hiu besar, pemimpin para jago dari telaga Tay-ou.
"Ikan hiu besar, baik baikkah kau?" dari kejauhan Tian Mong-pek berseru.
II "Hahaha, bagus, bagus sekali, sahut ikan hiu sambil tertawa nyaring, "sehabis kubantai kawanan binatang ini, akan kuajak kau meneguk tiga ratus cawan arak." Walaupun kedua orang itu terpisah oleh ratusan bilah golok, namun pembicaraan dilakukan amat santai.
Selang berapa saat kemudian, terdengar si ikan hiu berkata lagi: "Kawanan budak dari panji kain putih lagi lagi muncul dibawah bukit dengan mengenakan topi putih, coba kalau bukan ingin cepat cepat kemari, pasti akan kuajak mereka untuk berkelahi." Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur girang, katanya sambil tertawa: "Untung kau tak sampai berkelahi dengan mereka, kalau tidak bukankah air bah menenggelamkan kuil raja naga, orang sendiri gon tok gontokan dengan orang sendiri." II "Ooh, jadi kawanan budak itu .
. . . . . . .. ikan hiu keheranan. Tiba tiba terdengar seseorang berseru dengan suara yang nyaring penuh tenaga: "Siau locianpwee, Tian tayhiap, Him Cin"hiong beserta seluruh saudara dari perguruan panji kain datang untuk menyumbangkan tenaga kami." Ditengah teriakan riuh rendah, terlihat ratusan orang lelaki berjubah putih, berkopiah putih yang aneh, dengan mengayunkan senjata masing masing melibatkan diri dalam pertempuran, keangkeran mereka sama sekali tidak berada dibawah kehebatan para jago dari telaga Tay-ou.
Dengan hadirnya dua kelompok kekuatan besar ini, posisi pun berubah drastis, anak murid perkampungan cian-liong-san-ceng mulai kalut, paras muka mereka mulai dicekam rasa kaget dan takut.
Coat-hong taysu sekalian bertiga pun mengebaskan jubahnya sambil mengundurkan diri, setelah melihat situasi sekarang tidak butuh mereka bertiga untuk turun tangan lagi, mereka enggan ikut melibatkan diri.
Siau Ong-sun segera berseru: "Minta tolong taysu bertiga untuk tinggal disini mempertahankan posisi, Mo lojin serta Be taysu, Tu-heng, Thiat lote serta Mong-pek ikut aku menyerbu naik keatas puncak gunung." II "Tidak usah kuatir cianpwee, seru si ikan hiu sambil tertawa nyaring,"serahkan saja kawanan binatang ini kepada aku si ikan hiu besar." Senjata trisulanya digetarkan, tubuh seorang lawan segera bertambah dengan tiga lubang luka tusukan.
"ayoh jalan!" seru Tian Mong-pek dengan semangat tempur berkobar.
"Biar aku si bungkuk yang membuka jalan." Teriak si bungkuk baja sambil menerjang duluan.
"Bagaimana dengan aku?" tiba tiba terdengar seseorang bertanya sambil tertawa merdu.
Suara itu begitu dikenalnya membuat Tian Mong-pek tanpa sadar berpaling, terlihat seseorang menerjang ditengah bacokan golok menuju ke sisinya dan saat itu sedang menatap kearahnya sambil tersenyum manis.
Seandainya bukan berada ditengah kancah pertempuran, mungkin tanpa pedulikan segala sesuatu Tian Mong-pek akan menubruk dan memeluknya.
Tapi kini, walaupun gejolak rasa girangnya tak terkirakan, dia hanya bisa berkata: "Hui.....
uh, kau..... kapan kau tiba disini?" Tak urung tangan mereka berdua saling bersentuhan juga, dan sentuhan ini seketika menambah semangat tempur Tian Mong-pek berapa bagian.
"Semenjak berpisah, lukaku segera membaik," ujar Siau Hui-uh sambil tertawa, "saat itu baru tahu kalau suhu telah menyebar undangan ke seluruh dunia persilatan, maka begitu tiba disini, aku pun menunggu Mo toapek dan ikan hiu sekalian dibawah bukit kemudian baru naik bersama, hanya kau.....
kau . . . . .. sampai aku berada disisi mu pun kau masih belum tahu." Biarpun sedikit manja, namun tetap lembut dan hangat.
"Aku..... aku....." Tian Mong-pek hanya bisa tertawa bodoh.
Mendadak Thian-ma Hwesio menepuk bahunya dan berkata sambil tertawa: "Anak muda, ayoh jalan, kalau ingin mengobrol, besok pun belum terlambat, apalagi sesudah esok, masih ada banyak hari esok yang menunggu kalian!" Dengan dipimpin si bungkuk baja, para jago berangkat menuju ke puncak bukit, karena hampir semuanya merupakan jago kelas satu dari dunia persilatan, gerak langkah mereka jadi cepat sekali.
Ketika tiba disebuah lembah curam yang empat penjuru dikelilingi tebing karang, ujar si bungkuk baja: "Jika So Kin"soat menyiapkan batu cadas dan balok kayu ditempat ini, kita bakal celaka, beruntung tidak." Mendadak dari atas bukit terdengar seseorang berteriak: "Tian Mong-pek, balok kayu segera akan datang, kalian tunggulah saat kematian!" Terlihat dua orang berdiri berjajar diatas tebing, mereka tak lain adalah pemuda bertubuh jangkung serta adik kembaran dari Liu Tan-yan, Liu King-si suami istri.
Tian Mong-pek tahu kalau dia masih teringat dengan hubungan masa lalu, walaupun caranya berbicara agak garang, padahal secara sengaja memperingatkan kepadanya agar cepat pergi, maka setelah menjura buru buru dia berlalu dari sana.
Dalam waktu singkat semua orang sudah keluar dari wilayah berbahaya, dari arah belakang mendadak terdengar suara getaran yang menggoncang seluruh permukaan bumi, rupanya kayu batok telah berjatuhan.
Andaikata sejak tadi Liu King"si sudah perintahkan untuk melepas balok balok kayu itu, tak bisa dibayangkan bagaimana akibatnya.
setelah berjalan seperminum teh kemudian, jalan depan terhadang oleh sebuah jurang yang dalamnya mencapai ratusan kaki dan lebarnya puluhan kaki, hanya ada jembatan tali yang menghubungkan tepi sini dengan tepi seberang.
Walaupun semua orang tahu kalau jembatan ini sangat berbahaya, namun hanya jalan itu merupakan satu satunya penghubung, sehingga mau tak mau harus dilalui.
Dengan langkah yang berhati hati semua orang menyeberangi jembatan gantung itu, mereka sadar, apabila jembatan ini terputus ditengah jalan, maka mereka semua akan terkubur didasar jurang.
Menanti semua orang sudah menyeberang lewat dan menyeka peluh dingin, tiba tiba terlihat dibawah jembatan gantung itu bergelantungan puluhan sosok mayat.
Seorang lelaki dengan golok terhunus, berdiri linglung disitu, darah segar membasahi goloknya, sekujur tubuh orang itupun berpelepotan darah, bila golok itu diayun ke bawah, niscaya jembatan gantung itu akan putus jadi dua.
Semua orang merasa tertegun dan keheranan, tak seorangpun yang tahu mengapa orang itu tak pernah mengayunkan goloknya untuk memutuskan jembatan tersebut.
Tian Mong-pek segera mengenali orang yang berdiri linglung itu tak lain adalah Lim Luan-hong, pendekar romantis yang tersohor di wilayah Kanglam masa lalu.
Sudah jelas So Kin-soat telah perintahkan orang untuk berjaga disitu, begitu melihat para jago menyeberangi jembatan, mereka segera diperintahkan untuk membacok putus jembatan tali ini.
Beruntung sekali diantara orang yang menjaga tempat itu terdapat Lim Luan-hong, rupanya dialah yang telah menghabisi rekan rekannya sendiri.
Tampak wajah Lim Luan-hong basah oleh darah, sinar matanya redup, nyaris sulit dikenali lagi kegagahannya dimasa lalu.
Dia sama sekali tidak memandang kearah para jago, hanya mulutnya yang komat kamit menggerutu: "Chin Ki sudah mati .
. . . .. Chin Ki sudah mati . . . . .. kalian pergilah..... II kalian pergilah . . . . . .. Para jago sadar kalau dia sedang disiksa karena cinta, selain berterima kasih, semua orang ikut merasa sedih, namun dalam keadaan begini tak ada waktu lagi bagi mereka untuk menghibur.
Maka setelah mengucapkan terima kasih, kembali mereka lanjutkan perjalanan ke atas.
Tampaknya So Kin-soat merasa yakin kalau ke tiga jebakan mautnya berhasil menghentikan serbuan para jago, karena itu selanjutnya sudah tiada jebakan dan perangkap lagi.
setelah berjalan tak seberapa lama, tibalah para jago di depan sebuah perkampungan yang sangat luas.
Bila berganti dihari biasa, setibanya disitu para jago pasti akan mempertimbangkan apakah dalam perkampungan terdapat jebakan atau tidak" Bagaimana cara memasuki kampung itu.
Tapi saat ini, semua orang merasa darah panas sedang mendidih, tak seorangpun yang mempedulikan semua kekuatiran itu.
Tanpa menghentikan langkah, semua orang menyerbu masuk dengan penuh semangat, ternyata seluruh perkampungan kosong melompong, tak tampak seorang manusia pun, bisa jadi semua penghuni nya telah dikerahkan ke medan pertempurn.
Ketika para jago meluruk ke halaman depan, tiba tiba dari balik gedung utama terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "Wah, ada tamu agung datang berkunjung, kenapa tidak kabari aku lebih dulu, agar aku menyambut kedatangan kalian dengan upacara besar." So Kin-soat dengan wajah penuh senyuman diiringi Tong Ti muncul dengan langkah lebar.
Kemunculan para jago yang demikian cepat, sedikit banyak membuat perempuan ini terperanjat, namun perasaan itu sama sekali tak ditampilkan di wajahnya, malahan dengan penuh kesopanan dan senyuman ramah menyambut kedatangan tamunya.
Dengan cepat para jago menerobos masuk ke dalam ruangan, paras muka hijau membesi, siapa pun ingin melihat permainan busuk apa yang bakal diperlihatkan So Kin-soat, karenanya tak ada yang mau buka suara.
Ternyata So Kin-soat memang sangat cerdik, tidak menunggu orang lain mengajukan pertanyaan, dia sudah berkata duluan sambil tertawa: "Didepan kalian aku tak akan bicara bohong, oleh karena kalian sudah tiba disini, bila aku masih main sembunyi dan sok rahasia, sudah pasti diriku sendiri yang bakal malu.
Kalau ada pertanyaan, silahkan diajukan, selama kuketahui, pasti akan dijawab sejujurnya.
Aku percaya kalian adalah para enghiong dan cianpwee, apalagi Siau locianpwee sebagai tokoh utama dunia persilatan, aku percaya kalian pasti tak akan bersikap kelewat kasar kepadaku." Perkataan ini singkat tapi jelas, meski kalah namun tidak menyerah, meski lembut membawa keras, betul betul ucapan yang manis.
Kendatipun para jago amat membenci dan mendendam dirinya, mau tak mau harus kagum juga dengan sikap dan perkataannya sehingga siapa pun enggan menunjukkan sikap kasar.
setelah menjura, kata Siau Ong-sun: "Bila hujin adalah seorang pemimpin hebat, tentu kami semua pun tak akan perlakukan hujin sebagai orang awam, hanya saja ada sementara masalah, walaupun sudah tahu namun masih butuh jawaban langsung darimu." "Kalau begitu tanya saja." Ucap So Kin-soat sambil tertawa.
"Apa benar hujin adalah pemilik panah kekasih?" sepatah demi sepatah kata tanya Siau Ong-sun.
"Betul." Jawab So Kin-soat tertawa.
Biarpun para pendekar sudah mengetahui akan hal ini, tak urung hati mereka bergetar juga setelah mendengar jawabannya yang langsung dan tegas.
Terlebih Tian Mong-pek, dia merasa darah panas menggelora dalam dadanya, kalau bisa dia ingin segera cabut pedangnya dan menyerang.
Tapi tangannya segera digenggam Siau Hui-uh erat erat, bisiknya: "Mau menyerang pun tunggu sampai pembicaraan selesai." Terdengar Siau Ong-sun berkata lagi:
"Apa benar hujin adalah pemilik panah kekasih?" sepatah demi sepatah kata tanya Siau Ong-sun.
"Betul." Jawab So Kin-soat tertawa.
Biarpun para pendekar sudah mengetahui akan hal ini, tak urung hati mereka bergetar juga setelah mendengar jawabannya yang langsung dan tegas.
Terlebih Tian Mong-pek, dia merasa darah panas menggelora dalam dadanya, kalau bisa dia ingin segera cabut pedangnya dan menyerang.
Tapi tangannya segera digenggam Siau Hui-uh erat erat, bisiknya: "Mau menyerang pun tunggu sampai pembicaraan selesai." Terdengar Siau Ong"sun berkata lagi: "Ternyata hujin memang tegas, tapi masih ada satu permintaan lagi, mohon petunjuk dari hujin.
Sebetulnya panah kekasih memiliki daya pikat seperti apa" Kenapa dapat membuat orang diseluruh kolong langit tergoncang?" So Kin"soat tersenyum, sahutnya: "Memang menarik sekali untuk membicarakan persoalan ini, aku harus memecahnya menjadi berapa bagian sebelum diterangkan." Sebetulnya para pendekar sudah berulang kali membicarakan persoalan ini, mereka pun sudah membicarakannya berulang-ulang, namun tak pernah mendapat jawaban, begitu dia berjanji akan menjelaskan, semua orang pun pasang telinga baik-baik.
setelah menarik napas panjang, cerita So Kin"soat: "Sewaktu masih kecil, aku sudah sering mendengar orang cerita tentang kisah para jago persilatan yang merajai kangouw dimasa lalu, tapi belum pernah mendengar ada perempuan yang jadi jagoan.
Maka akupun mulai bercita-cita ingin menjadi raja wanita dalam dunia persilatan.
"Hingga aku menginjak dewasa kemudian dan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Tong Ti, cita cita itu baru mulai memudar dari ingatanku.
"Andaikata perkawinanku dengan Tong Ti terwujud waktu itu, mungkin urusan hanya sampai disitu.
Siapa tahu disaat aku berpacaran dengan Tong Ti, ternyata Tong Bu-im telah menentukan perkawinan bagi Tong Ti, dalam hal ini tentu saja Tong Ti tak berani melawan perintah ay ahnya.
"Dalam keadaan gusar, akupun bertekad akan mewujudkan cita citaku dimasa kecil dulu, dengan gunakan pelbagai cara dan akal, kubikin banyak jago lihay kelas satu dari dunia persilatan tunduk dibawah gaunku, agar membuat mereka tak berani melawanku dikemudian hari, setiap kali berpisah dengan satu orang, aku selalu membuat perjanjian dengannya untuk membuat satu kode rahasia sebagai tanda penghubung, sehingga dikemdian hari bila mereka melihat tanda rahasia itu, sama seperti bertemu aku.
"setelah lewat puluhan tahun, jago lihay yang punya hubungan denganku sudah tak terhitung banyaknya, akupun berhasil mendapatkan satu resep obat racun yang amat jahat, maka akupun mulai membuat panah kekasih.
"Panah kekasih selain sangat beracun, sebetulnya tak ada rahasia lain, maka akupun berusaha dengan segala akal untuk menambah kemisteriusannya, sengaja kubuat panah itu berwarna merah dan hitam dan sengaja baru muncul disaat bulan purnama.
"Mengenai alat pegas dan tehnik pembidikan dari panah kekasih, semuanya merupakan hasil karya Tong Ti, senjata rahasia keluarga Tong sudah tersohor di seantero jagad, menjadi jaminan mutu membiarkan dia yang mengurus semua peralatan itu.
Yang lebih hebat lagi adalah alat bidik yang terpasang dibuat dari baja lembek, itulah sebabnya ketika dibidikkan, sama sekali tidak menimbulkan suara.
"Inti rahasia dari kesemuanya ini terletak pada Si-sin-tiap (surat undangan dewa kematian), walaupun setiap lembar surat undangan sama, padahal pada sisi matanya sama sekali berbeda, seperti yang kukatakan diatas, aku mempunyai tanda rahasia penghubung yang berbeda dengan setiap jago lihay, sedang mata yang ada pada lukisan tengkorak itu terbuat dari phospor, maka begitu panah kekasih terbentuk, akupun mulai melakukan pembunuhan terhadap para jago lihay yang pernah punya hubungan intim denganku.
"Begitu mereka menerima surat undangan dewa kematian yang aneh, mereka pasti akan tertegun, kemudian ketika menemukan tanda rahasia yang kusembunyikan dibalik sepasang mata tengkorak, merekapun kembali tertegun, menggunakan kesempatan disaat mereka tertegun inilah, senjata rahasia membidik keluar tanpa menimbulkan suara, dan rupanya caraku ini berhasil.
"Berhubung dimasa lampau mereka pernah berhubungan denganku, jelas hal ini merupakan ganjalan dihati mereka, wajar bila mereka kehilangan kesadaran dan kewaspadaan begitu menjumpai kode rahasia itu.
"Berapa bulan kemudian, sudah ada puluhan orang jago persilatan yang mati oleh panah kekasih, dengan cepat nama panah kekasih pun tersebar ke empat arah delapan penjuru, ditambah lagi semua perbuatan yang sengaja kulakukan, membuat benda itu tambah menakutkan dan menambah daya teror yang luar biasa.
"Pada saat inilah kuperintahkan Chin Siu"ang secara diam diam menjual panah kekasih kepada umum, orang orang yang ingin menuntut balas secara rahasia semuanya merupakan langgananku.
"Tentu saja sin-si-tiap yang mereka gunakan sudah tanpa tanda rahasia, tapi dalam anggapan orang persilatan waktu itu, mereka menganggap panah kekasih serta Sin-si-tiap memiliki daya iblis yang luar biasa.
"oleh karena itu orang yang menerima sin-si-tiap pasti akan jadi gugup, begitu mereka gugup, dengan sendirinya tubuh mereka gampang terbidik senjata rahasia.
"Tentu, diantara sekian banyak korban, ada berapa orang yang luput dari maut, namun semua orang sudah tertanam pandangan mengerikan tentang benda ini, begitu satu tersiar ke sepuluh, sepuluh ke seratus, kemisteriusan panah kekasih makin lama makin hebat, orang yang berusaha keras membeli panah kekasih pun makin lama semakin banyak! "Karena orang yang membeli panah semakin banyak, korban yang tewas akibat panah kekasih pun semakin banyak, hal inipun berlangsung terus menerus.
"Maka setiap orang mulai berubah muka bila menyinggung soal panah, sedang mereka yang membeli panah kekasih ku pun sedikit banyak akan menambah bumbu disana sini hingga kemisteriusan senjata itu makin menakutkan .
. . . . .. dari sinilah daya pengaruh iblis panah kekasih tumbuh dan tersebar.
"Aaai, ada sementara hal meski menjadi tak berharga sama sekali setelah terbongkar, namun bila rahasia ini tak dibongkar, siapa yang bisa yakin kalau dirinya telah berhasil menebak rahasia itu!" Ternyata secara gamblang dan terus terang dia bongkar semua rahasia yang ada, hal ini membuat para jago hanya bisa berdiri melongo dan tak mampu bersuara.
"Dimana Tong Hong, nona Tong?" tiba tiba Siau Hui-uh bertanya.
"sudah mati, dibunuh Tong Ti, bukan saja dia telah membunuh putri sendiri, diapun membunuh ayahnya, kesemuanya ini dia lakukan demi aku." Berubah hebat paras muka para pendekar, siapa pun tidak menyangka Tong Ti begitu kejam dan buas.
Tong Ti sendiri hanya berdiri tanpa ekspresi, dia seolah sudah kaku, mati rasa.
"Bagaimana dengan mendiang ayahku .
. . . . .." bentak Tian Mong-pek.
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan perkataannya, So Kin-soat telah menukas: "Aku pula yang telah membunuh Tian Hua-uh." Tian Mong-pek membentak gusar, dia siapkan pedang dan maju menyerang.
"Anak muda, duduklah dulu," ucap So Kin-soat perlahan, "karena aku sudah tak mampu membendung kalian, sejak awal akupun sudah tak berniat hidup terus, tak usah kau bersusah payah untuk turun tangan sendiri." Dia melirik sekejap kearah Tong Ti, lalu melanjutkan: "Aku dan Tong Ti merupakan otak dari semua kejahatan ini, memang sudah sepantasnya kami mati, apalagi disaat kematian, ada begitu banyak tokoh terkenal yang akan mengiringi kematian kami, hal ini benar benar merupakan satu kehormatan bagiku." "Apa kau bilang?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
So Kin-soat tertawa terkekeh.
"Dalam radius satu li disekeliling perkampungan, telah kutanam bahan peledak yang hebat, sumbu peledak berada diluar perkampungan dan khusus dijaga orang kepercayaanku, asal kuturunkan perintah, kita semua bakal hancur berkeping keping.
Inilah pengaturanku yang terakhir dalam tiga puluh tahun ini, sebetulnya tak berniat untuk digunakan, tapi karena urusan sudah jadi begini, terpaksa aku harus menggunakannya juga.
Hahaha, setelah kalian berada disini, biar punya sayap pun jangan harap bisa keluar lagi." Suara tertawanya begitu menyeramkan, tak ubahnya seperti tangisan setan.
Biarpun para pendekar bernyali baja, tak urung berubah juga paras muka mereka.
Ujar Siau Ong"sun kemudian: "Masa orang yang menyulut sumbu peledak pun tak ingin hidup?" So Kin-soat tertawa menyeringai, ejeknya: "Ke empat orang ini mengajukan diri secara sukarela untuk melaksanakan tugas ini, sebab bila kalian tak mati, pada akhirnya mereka berempat bakal mampus ditangan kalian, daripada begitu, mereka memilih lebih baik mati bersama.
"Dengan memakai nyawa Hong Sin, Hong It, Liu Tan-yan dan Sun giok-hud, bisa ditukar dengan nyawa Siau Ong-sun, Tu Hun-thian, bungkuk baja dan Mo Mong-ngo, tentu saja hitungan sangat menguntungkan.
Aku dan Tong Ti sudah menikmati semua kenikmatan yang ada, sedang Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh seperti matahari yang baru terbit, nyawa kami bisa ditukar dengan nyawa mereka pun hitungannya amat menguntungkan.
Terlebih disini masih ketambahan Thian-ma Hwesio yang tersohor, hahahah .
. . . . . .." seluruh ruang gedung bergema suara tertawanya yang menyeramkan, sementara para jago hanya bisa terbungkam.
Tiba tiba So Kin-soat bangkit berdiri, setelah tertawa menyeramkan, jeritnya: "Panah kekasih telah habis, kamipun sudah habis, lepas....
lepas..... II lepassss . . . . . .. Dalam waktu singkat para pendengar merasa kepala mereka jadi pening, setiap orang menantikan datangnya suara ledakan yang membelah bumi .




. . . . .. Siapa sangka walaupun So Kin-soat sudah berteriak tiga kali, suasana di empat penjuru tetap tenang tanpa terjadinya sesuatu.
Para pendekar merasa terkejut bercampur girang, sebaliknya paras muka So Kin-soat dan Tong Ti berubah hebat, tiba tiba mereka melompat mundur lalu kabur menuju ke pintu sebelah belakang gedung.
"Jangan biarkan dia menyulut sumbu." Bentak Siau Ong-sun.
Belum selesai suara bentakan itu, para pendekar sudah bergerak melakukan pengejaran.
Dengan ilmu meringankan tubuh berapa orang itu, meski berangkat belakangan, namun hampir pada saat yang bersamaan sudah melesat lewat dulu dari pintu belakang, mendahului So Kin-soat serta Tong Ti.
Ternyata diluar pintu adalah sebuah ruang rahasia kecil, ditengah ruangan terdapat gambar pat-kwa, berapa puluh sumbu peledak terakit rapi disana, tapi semuanya sudah basah kuyup karena diguyur air.
Bayangan tubuh Hong Sin sekalian sudah lenyap tak nampak batang hidungnya, tapi diatas dinding tertulis berapa huruf dengan tinda hitam: "Maaf So hujin, kami masih belum ingin mati, dikemudian hari kami pasti akan baik-baik bersembunyi sambil menanti datangnya kesempatan, kamilah yang telah membasahi sumbu peledak itu, karena kami kuatir masih belum keluar dari radius ledakanmu disaat So hujin telah menyulutnya.
Tian Mong-pek, Siau Ong-sun, hari ini kami telah selamatkan nyawa kalian, jangan melupakan budi kebaikan ini.
So hujin, Tong Ti, sampai jumpa lain waktu, selamat tinggal! Tertanda: Sun Giok"hud, Liu Tan-yan, Hong Sin dan Hong It." selesai membaca tulisan itu, para pendekar bersorak sorai karena gembira, sementara So Kin-soat dan Tong Ti mati kutu, tak mampu berkutik lagi.
"So Kin"soat," hardik Tian Mong-pek, "kau .
. . . . . .." Tiba tiba tampak So Kin-soat mengayunkan sepasang tangannya, satu tangan menepuk dada Tong Ti sementara tangan yang lain menghantam ulu hati sendiri, teriaknya sambil tertawa terkekeh: "Tak seorangpun mampu membunuhku .
. . . . . .." Belum selesai dia tertawa, tubuh mereka berdua sudah terkapar diatas tanah.
Tampak sebatang anak panah berwarna merah menghujam di ulu hati So Kin"soat, sedang sebatang panah pendek berwarna hitam menghujam di hati Tong Ti.
Sepasang kekasih yang aneh itupun akhirnya tewas diujung panah kekasih yang penuh misterius.
Penutup. Masalah besar telah tuntas, banyak pendekar kenamaan hidup mengasingkan diri, badai dahsyat yang sempat menggetarkan sungai telaga pun mulai tenang kembali, meski masih ada satu dua yang masih lolos.
Tapi, dari dulu hingga kini, kapan dunia persilatan bisa betul betul tenang penuh kedamaian" Kim Hui maupun Lam Yan suami istri tak pernah muncul di bukit Kun"san, tapi datang kabar, ternyata Hoa Hui dan Siau Man-hong suami istri secara tiba tiba lenyap tak berbekas, disaat matahari terbenam masih ada orang melihat mereka berdua, tapi dalam semalaman mereka telah lenyap entah ke mana, seakan sudah tertelan bulat bulat oleh iblis jahat.
Kim Hui suami istri bersumpah akan mencari mereka biar sampai ke ujung dunia pun, karena harus menemukan jejak kedua orang ini, maka mereka tak bisa menyusul datang.
Lau-san-sam-gan dan Ui Hau muncul dengan mengawal layon Mi-lim lojin.
orang tua hutan sesat, Tian Mong-pek dengan pakaian berkabung menjaga layon orang tua itu berapa waktu.
Akhirnya dengan dukungan Siau Ong-sun, Tu Hun-thian, kakek bungkuk, Coat-hong, Hui-hong dan Toan-hong tiga orang taysu serta dihadiri para jago dari bendera kain, para jago dari telaga Tay-ou serta para orang gagah dari seluruh dunia persilatan, Tian Mong-pek menikah dengan Siau Hui-uh.
Disaat hari pernikahan, mereka menerima tiga buah kado perkawinan yang unik dan hebat.
Kado pertama adalah sebuah busur yang telah kehilangan empat senar.
Kado kedua adalah segumpal rambut berwarna hitam pekat.
Kado ke tiga berupa sebuah martil raksasa terbuat dari emas murni, menurut penilaian mereka yang pakar dan berpengalaman seperti Lok Tiau"yang dan Tu Hun-thian, martil raksasa yang terbuat dari emas murni ini bukan hasil produksi daratan Tionggoan, melainkan dibuat di sebuah wilayah diluar samudra.
TAMAT 




Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments