baca juga
- Pusaka Gua Siluman 2
- Pusaka Gua Siluman 1
- Peninggalan Pusaka Keramat 2 Tamat
- Peninggalan Pusaka Keramat 1
- cersil Pengemis Tua Aneh Tamat
- Pendekar Tongkat dari Liong San
- Cersil Pendekar Pemabuk 3 Tamat
- Pendekar Pemabuk 2
- Cerita Mabuk Pendekar Pemabuk 1
- Cersil Keren Pendekar Gila dari Shantung
- Cersil Pendekar 6 Tamat
- Pendekar Cengeng 5
- Cerita Pendekar Cengeng 4
- Pendekar Cengeng 3
- Cersil Cengeng Pendekar Cengeng 2
- Cerita Silat Pendekar Cengeng 1
- Cersil Hoasan Tayhiap 1
- Cersil Pendekar Bunga Merah
- Pedang Ular Merah 3 Tamat
- Pedang Ular Merah 2
AUTHOR: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Penjajahan seperti tercatat di dalam sejarah negara manapun di permukaan bumi ini, tidak
pernah mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat bangsa yang dijajah.
Biarpun sudah menjajah Cina hampir seabad lamanya (1280-1368), kerajaan Goan-tiauw,
yaitu bangsa Mongol, tidak pernah membahagiakan sebagian besar rakyat Cina. Yang
makmur hanyalah orang-orang yang memperoleh kedudukan di pemerintahan, baik dia
bangsa Mongol sendiri maupun bangsa pribumi yang setelah mendapatkan kedudukan lalu
melupakan bangsanya sendiri, bahkan menjadi pemeras bangsanya sendiri demi kesenangan
diri pribadi. Para pejabat itu, dari pusat sampai ke daerah, mabok kesenangan dan untuk
membiayai kesenangan ini, mereka tidak segan-segan menindas rakyat dengan pemungutan
pajak yang besar, dengan pengerahan tenaga rakyat tanpa bayar dan sebagainya.
Rakyat, terutama rakyat kecil di pedesaan menderita hebat. Kalau hasil panen mereka baik
panen hasil tanaman di sawah ladang, maupun panen hasil penangkapan ikan di perairan,
sebagian dari hasil mereka masuk ke dalam gudang pejabat daerah, dan mereka masih untung
mendapatkan sisa hasil itu untuk dimakan sekeluarga mereka. Akan tetapi, celakalah kalau
alam tidak membantu mereka, kalau terjadi banjir atau musim kering yang lama. Dari sawah
ladang atau dari perairan mereka tidak memperoleh hasil, dan dari para pejabat mereka tidak
menerima bantuan, bahkan kesempatan itu dipergunakan oleh para tuan tanah dan para
pejabat untuk mengulurkan hutang kepada mereka dengan bunga yang akan mencekik leher
mereka di kala alam lebih ramah dan panen berhasil baik. Dalam keadaan seperti ini, banyak
rakyat kecil terpaksa mengorbankan puteri-puteri mereka yang berkulit bersih berwajah cantik
sebagai pembayaran hutang mereka kepada para tuan tanah dan pembesar, untuk dijadikan
selir mereka. Juga banyak anak laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat dikorbankan menjadi
hamba sahaya, seperti budak belian. Dalam keadaan seperti itu pula, banyak terjadi hal-hal
yang mengerikan. Ada keluarga yang terpaksa membunuh anak-anak sendiri, terutama yang
perempuan, karena tidak sampai hati melihat mereka itu mati kelaparan, dan untuk
meringankan keluarga! Ada pula yang menjual anak-anak mereka untuk menjadi budak,
dalam hal ini tentu saja kalau anak mereka itu sehat dan mungil.
Penjajah tetap penjajah. Mereka adalah bangsa lain yang menjajah demi kepentingan bangsa
lain. Kalaupun sekali waktu ada penjajah menunjukkan perhatian terhadap rakyat bangsa yang
dijajah, hal itu dilakukan hanya untuk mengelabui rakyat agar tunduk terhadap segala
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 2
peraturan dan perintah mereka. Pada hakekatnya mereka menguras seluruh kekayaan bangsa
yang mereka jajah, hasil tanah dan airnya, tenaganya, demi kemakmuran bangsa yang
menjajah itu sendiri.
Pemerintah kerajaan Mongol, seperti para penjajah lain di manapun juga, tidak pernah
berhasil mendapatkan dukungan rakyat. Makin banyak saja rakyat yang melakukan
perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan. Banyak bermunculan perkumpulanperkumpulan
yang selalu mengganggu keamanan, merampok dan menentang semua peraturan
yang dikeluarkan pemerintah. Pada permulaan abad ke empat belas, pemerintah kerajaan
Goan itu semakin lemah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan, terutama di bagian
selatan. Banyak daerah dikuasai para pemberontak.
Ketika musim kering yang berkepanjangan datang melanda Cina, banyak sekali rakyat kecil
yang meninggal dunia karena kelaparan. Ditambah lagi gerombolan-gerombolan perampok
dan pemberontak yang membutuhkan ransum, tidak segan-segan merampoki rakyat sendiri,
membuat penderitaan rakyat semakin hebat. Bencana kelaparan itu melanda pula sepanjang
Lembah Sungai Huai. Setiap hari terdengar ratap tangis keluarga yang ditinggalkan anggota
keluarga yang mati kelaparan atau juga mati oleh penyakit yang berjangkit di antara mereka.
Dan nampak setiap hari usungan mayat yang akan diperabukan atau dimakamkan.
Bencana hebat melanda keluarga Cu di sebuah dusun kecil di Lembah Sungai Huai. Pada
suatu malam, terdengar tangis sedih seorang anak laki-laki di sebuah rumah reyot mirip
gubuk. Yang menangis itu adalah Cu Goan Ciang, seorang anak laki-laki yang usianya sekitar
dua belas tahun, dan dia menangisi mayat ibunya yang baru saja meninggal dunia karena
kelaparan dan penyakit pula. Ayahnya sudah lebih dulu meninggal beberapa pekan yang lalu.
Seluruh keluarganya tewas, dan dua orang kakaknya, seorang adiknya, ayahnya, dan kini
ibunya. Seorang demi seorang mati karena kelaparan atau penyakit.
Anak laki-laki yang kurus kering itu, tinggal kulit membungkus tulang, yang mungkin juga
akan menyusul seluruh keluarganya, entah beberapa hari lagi, kini menangis meratap-ratap
dan memanggil ibunya. Tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang cekung karena
dia sudah kehabisan air mata. Tubuhnya yang kurus itu sudah tidak dapat diperas
mengeluarkan keringat atau air mata lagi sudah seperti sebatang pohon kering kerontang.
Beberapa orang tetangga datang menjenguk. Akan tetapi yang dapat mereka lakukan hanyalah
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Apa lagi yang dapat mereka lakukan?
Keadaan mereka tidak lebih baik dari pada keadaan keluarga Cu itu. Para tetangga prianya
hanya dapat bergeleng-geleng dan menghela napas, dan tetangga wanita hanya dapat ikut
menangis. Seseorang menganjurkan Cu Goan Ciang untuk minta bantuan hartawan Ji di
dusun itu, atau kepala dusun Koa. Hanya dua orang itulah yang hidup makmur dan kaya raya
di dusun itu. Hartawan Ji adalah seorang tuan tanah yang memiliki tanah yang luas sekali,
sedangkan kepala dusun Koa juga terkenal kaya raya dan memiliki banyak ternak.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cu Goan Ciang sudah berlutut di depan pintu rumah
gedung hartawan Ji. Para pelayan yang mendengar ratapannya bahwa dia datang untuk mohon
bantuan hartawan Ji karena ibunya, satu-satunya keluarga yang masih ada, meninggal dunia
semalam dan dia membutuhkan peti mati, ada yang menaruh iba dan melaporkan kepada Ji
wan-gwe (Hartawan Ji). Akan tetapi hartawan itu yang merasa jengkel karena merasa
diganggu di pagi yang cerah itu, mengerutkan alisnya setelah dia melihat anak itu.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 3
“Huh, kalau kami meminjamkan sebuah peti mati, lalu kapan dia akan dapat membayarnya?
Dia sendiri sudah kurus kering, dan mungkin beberapa hari lagi dia akan menyusul ibunya.
Tidak, aku tidak dapat membantu anak yang sudah mau mati ini.” Setelah berkata demikian,
dia masuk lagi ke dalam.
Cu Goan Ciang hanya dapat menangis tanpa air mata dan diapun tertatih-tatih pergi ke rumah
kepala dusun Koa, Koa-cung-cu (kepala dusun Koa) adalah seorang laki-laki berusia empat
puluh tahun yang tinggi kurus dan wataknya angkuh. Dia keluar ketika dilapori penjaga
bahwa anak laki-laki Cu datang menghadap sambil menangis untuk melaporkan kematian
ibunya.
“Hemm, ibumu mati kenapa engkau menangis di sini?” tanya Koa cung-cu dengan sikap acuh
dan angkuh.
Cu Goan Ciang atau yang biasa disebut Siauw Cu (Cu Kecil) segera berlutut dan membenturbenturkan
dahinya di atas tanah. “Taijin (orang besar), saya Siauw Cu mohon dikasihani, taijin
adalah kepala dusun kami, kepada siapa lagi saya dapat memohon pertolongan? Mohon
taijin memberi sebuah peti mati untuk jenazah ibu saya, dan saya akan suka bekerja
melakukan apa saja untuk membalas budi tai-jin...”
Pada saat itu, banyak orang yang sedang lewat, berhenti karena tertarik melihat peristiwa itu.
Melihat adanya banyak orang, Lurah Koa tersenyum dan memasang aksi sebagai seorang
dermawan besar, apa lagi karena di antara para penduduk dusun yang nonton itu terdapat
beberapa orang wanita muda. Lurah Koa memang terkenal mata keranjang dan suka berlagak
kalau dekat dengan wanita-wanita muda.
“Siauw Cu, engkau benar sekali datang kepadaku untuk minta bantuan. Baiklah, aku akan
memberi peti mati dan memperbolehkan engkau menggunakan tanah kuburan untuk
memakamkan jenazah ibumu. Selanjutnya, engkau kuberi pekerjaan menggembala kerbau.
Bagaimana, maukah engkau?”
Tentu saja Siauw Cu menjadi girang bukan main. Dia bukan hanya menerima pertolongan
untuk pemakaman ibunya, bahkan diberi pekerjaan sebagai penggembala kerbau. Cepat di
membentur-benturkan dahinya di tanah, menghaturkan terima kasih dan Lurah Koa
tersenyum-senyum sambil melirik ke sana sini dengan lagak seorang dewa penolong!
Kebaikan tidak mungkin dilatih. Tidak mungkin mengajar seseorang untuk menjadi baik.
Kebaikan yang dilatih, dipelajari dan disengaja, jelas bukanlah kebaikan lagi namanya.
Kebaikan yang dilakukan karena perhitungan hati akal pikiran hanyalah pekerjaan nafsu yang
menjadikan perbuatan baik itu sebagai sarana, sebagai cara untuk memperoleh sesuatu. Hasil
dari kebaikan yang disengaja itu mungkin balas jasa, atau nama baik, atau bahkan imbalan di
alam baka kelak. Dan kebaikan seperti ini adalah palsu, hanya dilakukan orang yang munafik
seperti Lurah Koa. Dia melakukan kebaikan terhadap Siauw Cu karena ingin memamerkan
“kebaikannya”, ingin dipuji.
Kebaikan adalah suatu sifat dari seseorang, seperti harum setangkai bunga, seperti kicau
seekor burung, sifat dari seseorang yang tidak dikuasai nafsu pada saat melakukannya. Kalau
hati terisi kasih sayang, maka akan muncul kebaikan dalam semua perbuatannya terhadap
orang yang dikasihi. Andai kata Lurah Koa merasa iba kepada Siauw Cu atau kepada siapa
saja tanpa perhitungan, maka dorongan atau landasan iba kasih ini dengan sendirinya
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 4
menjadikan perbuatannya terhadap Siauw Cu baik, tanpa dibuat menjadi baik, tanpa disengaja
dan tanpa disadari bahwa dia melakukan sesuatu yang baik.
Demikianlah, setelah selesai memakamkan ibunya, Siauw Cu meninggalkan gubuk kosong
yang berdiri reyot hampir roboh di tanah orang lain itu, dan mulailah dia bekerja sebagai
penggembala kerbau milik Lurah Koa.
Siauw Cu bekerja dengan rajin karena di tempat Lurah Koa itu setidaknya dia mendapatkan
makan kenyang dua kali sehari. Biarpun yang diberikan kepadanya hanya makanan
sederhana, namun cukup mengenyangkan sehingga dalam waktu beberapa bulan saja,
kesehatannya telah pulih, tubuhnya berisi daging dan otot dan karena pada dasarnya dia
memang tinggi tegap maka anak berusia dua belas tahun ini kelihatan seperti sudah berusia
lima belas tahun saja. Dia mendapatkan pula pakaian, walaupun dari kain kasar, namun dapat
berganti pakaian setiap hari. Bagi Siauw Cu, untuk sementara waktu semua itu cukuplah.
Pada hal, sejak kecil anak yang terlahir dari keluarga miskin ini mempunyai cita-cita yang
amat besar. Dia melihat kehidupan sengsara dan miskin di keluarganya, juga di keluarga para
petani lainnya, dan hal ini menimbulkan tekad di hatinya bahwa kelak dia harus dapat
mengubah keadaan hidup yang sengsara seperti ini.
Kerajaan Mongol yang dibangun di atas genangan darah dan mayat rakyat Cina, selalu
memerintah dengan tangan besi. Sudah menjadi watak bangsa nomad ini untuk bersikap keras
dan tegas, watak yang dibentuk nenek moyang mereka karena keadaan hidup yang serba sulit
dan keras di utara. Oleh karena itu, rakyat yang tertindas selalu terhimpit dan banyak di antara
rakyat yang memberontak. Namun selalu pemberontakan itu dapat dihancurkan pasukan
Mongol yang memang amat kuat dan pandai dalam perang itu.
Bagaimanapun juga, pemberontakan-pemberontakan itu memusingkan Kaisar Togan Timur
(1333-1368), kaisar terakhir dinasti Goan. Sikap pemerintahan keras yang dilakukan oleh
perdana menterinya, yaitu Menteri Bayan, tidak menolong keadaan bahkan membangkitkan
kemarahan dan kebencian rakyat yang bernyala-nyala sehingga setiap ada gerakan
pemberontakan di mana-mana mendapat sambutan dan dukungan rakyat jelata.
Menteri Bayan memang kejam dan keras, disamping kelicikan dan kecerdikannya. Dia
memerintah dengan tangan besi. Menteri Bayan inilah yang mengeluarkan peraturan yang
disetujui oleh Kaisar Togan Timur, yaitu larangan bagi rakyat pribumi untuk menggunakan
warna kuning emas pada pakaian mereka, melarang rakyat menggunakan bahasa Mongol,
bahkan melarang penggunaan kata atau huruf yang bermakna “kebahagiaan” dan “usia
panjang”. Bahkan kemudian, setelah mencatat nama keluarga para pemimpin pemberontakan
yang selama ini dapat dihancurkan, Menteri Bayan mengeluarkan usulnya yang amat kejam,
yaitu agar Kaisar memerintahkan pasukan di seluruh negeri untuk mencari dan membunuh
semua pribumi yang mempunyai nama keluarga Chang, Wang, Liu, Li dan Chao! Pada hal,
lima nama keluarga ini merupakan keluarga terbanyak di seluruh daratan Cina, sehingga andai
kata perintah itu dikeluarkan, usul Menteri Bayan itu diterima oleh kaisar, tentu akan ada
jutaan manusia dibantai dan lebih dari setengan jumlah rakyat akan habis binasa! Namun,
Kaisar Togan Timur tidak menerima usul ini.
Keadaan di seluruh daerah menjadi semakin kacau, kehidupan rakyat jelata semakin sengsara.
Kekacauan muncul di mana-mana sebagai akibat kurang berwibawanya pemerintah yang
tidak disuka oleh rakyat. Golongan-golongan sesat bermunculan, membentuk perkumpulanperkumpulan
yang bersaing, bukan saja untuk menentang kekuasaan pemerintah Mongol,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 5
namun celaka bagi rakyat, mereka bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dan wilayah di
mana mereka menindas rakyat. Memang demikian watak golongan sesat. Mereka menentang
pemerintah penjajah bukan karena panggilan darah patriot, bukan untuk membela rakyat,
bukan untuk membebaskan bangsa dan tanah air dari cengkeraman penjajah, melainkan untuk
kepentingan diri sendiri, untuk mencari kekuasaan dan kemuliaan. Maka, terjadilah bentrok
dan persaingan di antara mereka sendiri. Dan Menteri Bayan yang cerdik itu mempergunakan
keadaan ini untuk keuntungan pemerintahnya, yaitu sengaja dia mengirim orang-orang untuk
menyusup ke dalam perkumpulan-perkumpulan itu mengadu domba dan menyelewengkan
gerakan perjuangan menjadi gerakan persaingan antara gerombolan yang berebutan
kekuasaan!
Dalam keadaan tertindas seperti itu, mulailah rakyat giat mempelajari ilmu silat. Kalau
pemerintah menindas dan tidak ada lagi yang dapat diharapkan rakyat untuk melindungi
mereka, maka jalan satu-satunya adalah memperkuat diri untuk mempertahankan hidup. Dan
mereka harus kuat, maka di mana-mana orang gemar dan giat sekali mempelajari ilmu silat.
Di perkampungan sepanjang Lembah Sungai Huai, rakyatpun keranjingan belajar silat. Dan
guru-guru palsupun bermunculan. Mereka yang hanya tahu sedikit ilmu silat, lalu membuka
perguruan, membohongi penduduk dusun yang bodoh sehingga mereka mau membayar untuk
dapat berguru kepada guru-guru silat seperti itu. Dan kalau perlu rakyat makin memperkuat
ikatan pinggang mereka demi mampu membayar guru-guru itu untuk belajar silat.
Siauw Cu atau Cu Goan Ciang juga terkena demam silat. Dia memang seorang remaja, yang
bertubuh tinggi tegap dan memiliki pembawaan tubuh yang kuat, dengan daya tahan ulet
karena sejak kecil dia hidup dalam keadaan yang sukar, dan selain tenaganya besar dan
pemberani, dia juga cerdik dan berbakat. Mulailah dia ikut-ikut mempelajari ilmu silat yang
sedang mewabah di dusunnya. Dia berbakat besar dan memiliki daya ingat yang kuat
sehingga beberapa kali melihat saja seseorang melakukan gerakan silat, dia dapat menirunya
dengan baik.
Karena belajar ilmu silat merupakan mode yang sedang melanda di seluruh negeri, dan anakanak
sampai para pemuda akan merasa ketinggalan jaman kalau tidak ikut mempelajarinya,
maka dua orang anak laki-laki dari Lurah Koa yang berusia dua belas dan empat belas tahun
juga tidak mau ketinggalan. Bahkan Lurah Koa yang ingin membanggakan para puteranya,
sengaja mengundang seorang guru silat untuk mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Tengkauwsu
(guru silat Teng) adalah seorang guru silat yang kabarnya datang dari kota raja dan
pandai, dan dia menuntut bayaran tinggi kalau ada orang ingin menjadi muridnya karena
sudah pasti tidak akan mampu membayar upahnya. Akan tetapi, Lurah Koa membayarnya
dengan royal, bahkan memberi tempat tinggal kepada Teng-kauwsu. Karena keroyalan sang
lurah, maka guru silat Teng ini dengan penuh semangat mengajarkan ilmu silat kepada Koa
Hok dan Koa Sek, dua orang putera Lurah Koa itu.
Setiap sore, kalau Siauw Cu selesai menggiring puluhan ekor kerbau ke dalam kandangnya,
dia selalu menyapu pekarangan depan dan belakang. Dalam kesempatan inilah dia diam-diam
mengintai kedua orang putera lurah itu berlatih silat di kebun belakang, dipimpin oleh Tengkauwsu.
Dia merasa tertarik sekali, dan setiap kali dia melihat gerakan-gerakan silat itu dan
mendengarkan penjelasan Teng-kauwsu kepada dua orang muridnya yang agaknya bebal dan
sukar menguasai setiap jurus gerakan silat, maka pada malam harinya, di kamarnya dekat
kandang, Siauw Cu melatih diri dan mencoba untuk memainkan jurus-jurus yang dilihatnya
sore tadi. Hal ini berlangsung sampai berbulan lamanya tanpa kecurigaan Teng-kauwsu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 6
maupun kedua orang pemuda remaja putera lurah yang menganggap bahwa seorang anak
penggembala kerbau seperti Siauw Cu, mana mungkin ikut belajar silat? Apa lagi Siauw Cu
berada di situ untuk menyapu dan membersihkan pekarangan dan kebun.
Pada suatu sore yang cerah, seperti biasa Siauw Cu mengandangkan ternak yang
digembalanya, kemudian menyapu pekarangan dan kebun. Ketika dia menyapu kebun, diapun
mengintai ke arah dua orang putera lurah yang sedang berlatih silat dan agaknya sekali ini
guru silat Teng nampak kesal dan marah-marah.
“Bagaimana sih kalian ini? Sudah sebulan berlatih belum juga dapat menguasai sebuah jurus
tendangan saja?” katanya dengan nada tidak sabar lagi. Mendengar ini, Siauw Cu
menghampiri mereka sambil tetap menyapu, mengumpulkan daun kering yang banyak rontok
berhamburan di sekitar tempat itu. Dan diapun melihat betapa dengan susah payah, kakak
beradik Koa itu mencoba untuk melakukan jurus tendangan yang bagi mereka amat sukar itu.
Dan Siauw Cu meras heran. Jurus tendangan itu sudah dilatih sebulan lebih, bahkan dia sudah
beberapa kali mengintai dan mempraktekkannya di kamar tidurnya. Dia sudah dapat
melakukan jurus tendangan itu. Memang sukar, karena tendangan itu dilakukan dengan tubuh
berputar pada tumit kiri, sedangkan kaki kanan yang menendang membuat gerakan memutar,
menendang ke arah muka lawan dengan belakang kaki. Agaknya kedua orang kakak beradik
itu tidak dapat menguasai keseimbangan tubuh mereka, pikir Siauw Cu. Kedua tangan harus
dipentang dan ini merupakan pengatur keseimbangan tubuh.
“Coba kau, Koa Sek, kau ulangi lagi jurus itu. Ingat, sasaran tendangan berputar itu adalah
muka lawan dan kena atau tidak muka lawan oleh tendanganmu, kakimu harus berputar dan
berakhir dengan tubuh membuat kuda-kuda rendah untuk menjaga serangan balasan lawan,”
kata guru silat itu dengan suara mengandung kekecewaan dan kemarahan.
Koa Sek yang berusia dua belas tahun itu mencoba lagi. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan
perhatian kepada kakinya sehingga lupa mengatur keseimbangan tubuhnya dan ketika dia
sudah melakukan tendangan berputar, hampir dia terpelanting dan ketika mengakhiri
tendangan berputar, tubuhnya sampai berjongkok. Sang guru membanting kakinya.
“Salah! Keliru lagi, sungguh bodoh! Coba kau, Koa Hok!” katanya kepada putera lurah Koa
yang berusia empat belas tahun.
Koa Hok dengan sikap takut-takut karena telah beberapa kali diapun seperti adiknya, gagal
melakukan jurus tersebut, kini bersiap untuk mencoba lagi. Melihat itu, di luar kesadarannya
sendiri Siauw Cu yang merasa penasaran itu menghentikan pekerjaannya dan diapun berdiri
dan mengamati gerakan yang dilakukan Koa Hok. Kini Koa Hok mulai dengan jurus itu,
mula-mula tubuhnya membuat kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, kedua lutut ditekuk
dan kedua tangan dikepal di pinggang. Kemudian, kakinya menggeser, mengubah kuda-kuda
miring, lalu melangkah dua kali ke depan, dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan kaki
kanannya membuat gerakan berputar dalam tendangan yang kuat. Akan tetapi, tubuhnya
kehilangan keseimbangan seperti adiknya tadi dan biarpun dia dapat mengakhiri tendangan,
namun tubuhnya terhuyung.
“Celaka! Tendangan seperti itu akan membuat kedudukanmu lemah. Sekali sapu saja lawan
akan mampu merobohkanmu karena kaki kirimu lemah. Coba ulangi lagi!” kata sang guru
kepada Koa Hok yang mukanya menjadi merah dan hampir menangis.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 7
Pada saat dia akan membuat gerakan tendangan itu untuk kedua kalinya, tiba-tiba terdengan
seruan, “Twa-kongcu (tuan muda besar), kembangkan kedua lengan seperti burung rajawali
untuk mengatur keseimbangan tubuhmu!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya yang bicara itu adalah Siauw Cu dan anak ini,
dengan sapu di tangan, terkejut sendiri dan mukanya berubah merah. Dia telah bicara di luar
kesadarannya, terdorong oleh rasa penasaran melihat kakak beradik itu tidak dapat melakukan
gerakan jurus itu. Teng-kauwsu sendiri tercengang mendengar itu. Apa yang diucapkan
kacung itu sungguh tepat. Dia sendiri tidak melihat kelemahan kedua orang muridnya dan
baru sekarang dia melihat bahwa letak kesalahan yang membuat dua orang kakak beradik itu
gagal adalah gerakan kedua lengan yang kurang berkembang! Dan kacung itu begitu melihat
telah dapat menemukan kelemahan dan kesalahan mereka!
Koa Hok dan Koa Sek memandang marah. Mereka sebagai putera-putera lurah memang
berwatak tinggi hati dan sombong, selalu memandang rendah kepada orang lain, apa lagi
Siauw Cu yang menjadi penggembala dan kacung mereka.
“Siauw Cu, engkau sungguh lancang!” tegur Koa Hok.
“Siauw Cu, tutup mulutmu, engkau tahu apa sih?” tegur pula Koa Sek.
Akan tetapi guru silat itu menggapai ke arah Siauw Cu. Diapun tahu bahwa anak laki-laki
jangkung ini adalah kacung dan penggembala kerbau milik keluarga lurah.
“Siauw Cu, ke sinilah!” katanya memerintah.
Siauw Cu, dengan sapu masih di tangan, melangkah menghampiri dengan sikap menyesal
mengapa dia tadi lancang mulut. “Maafkan saya...” katanya dan siap menerima hukuman
karena dia merasa bersalah.
“Siauw Cu, mulutmu yang lancang perlu dihajar!” teriak Koa Hok yang marah karena merasa
malu di depan gurunya bahwa kacungnya berani memberi petunjuk kepadanya.
“Suhu, biar teecu (murid) yang menghajarnya!” kata pula Koa Sek marah dan dia sudah
melangkah maju menghampiri Siauw Cu, siap untuk memukul dan Siauw Cu juga diam saja,
siap pula menerima hukuman.
“Nanti dulu, jangan pukul!” kata Teng-kauwsu dan dia menghampiri Siauw Cu, lalu berkata.
“Siauw Cu, engkau berani memberi petunjuk berarti engkau dapat melakukan gerakan jurus
tendangan berputar tadi. Dapatkah engkau melakukannya?”
Siauw Cu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan mengangguk. Kakak beradik itu
berseru marah. “Sombong! Tidak mungkin engkau bisa! Kami saja yang sudah berlatih
selama sebulan belum dapat menguasainya, dan kau bilang dapat melakukannya?” bentak
Koa Hok.
Dia hendak menampar, akan tetapi gurunya mencegah. “Siauw Cu, kalau engkau mampu
melakukan gerakan jurus tendangan itu dua kali berturut-turut dengna benar dan baik, maka
engkau akan kami ampuni. Kalau engkau tidak mampu, akan kubiarkan kedua orang muridku
menghajar atas kelancangan mulutmu. Bagaimana, dapatkah engkau melakukannya?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 8
Tentu saja Siauw Cu tidak ingin dihajar. Setelah mengangkat muka memandang wajah tiga
orang itu bergantian, diapun mengangguk dan berkata tenang. “Akan saya coba
melakukannya.”
Guru dan dua orang muridnya itu tentu saja merasa heran dan tertarik sekali. Siauw Cu
melepaskan sapunya, lalu mengikatkan dua ujung bajunya di depan perut, melepaskan pula
sepasang sepatunya yang butut karena kalau dipakai menendang kuat, jangan-jangan sepasang
sepatu butut yang kebesaran itu akan terlepas dari kaki dan mengenai guru dan muridmuridnya
itu. Setelah itu, diapun melakukan gerakan jurus tendangan itu, seperti yang
seringkali dia latih di dalam kamarnya. Gerakannya tangkas dan kuat, dan ketika dia
melakukan tendangan, kedua lengannya berkembang seperti sayap rajawali dan tendangan
berputar itu kuat dan cepat, juga tegak dan dia melanjutkan dengan tendangan berikutnya,
diulang bukan hanya dua kali seperti yang diminta Teng-kauwsu, melainkan lima kali
berturut-turut dan diakhiri dengan kuda-kuda merendah dengan kedua tangan disilangkan
depan dada, berjaga-jaga!
Teng-kauwsu terbelalak. Gerakan itu memang belum sempurna, masih kaku, akan tetapi
sudah benar dan jauh lebih baik dibandingkan gerakan kedua orang muridnya!
“Siauw Cu, engkau pernah mempelajari ilmu silat di mana?” tanya Teng-kauwsu.
“Bagaimana saya dapat belajar ilmu silat? Saya tidak akan mampu membayar seorang guru.
Saya hanya ikut-ikut belajar dan melihat teman-teman berlatih.”
“Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau dapat melakukan gerakan jurus tendangan tadi?”
“Saya... saya hanya melihat kalau kedua kongcu berlatih, sambil menyapu kebun... maafkan
saya...”
Diam-diam guru silat itu merasa heran dan kagum. “Sudah, pergilah dan mulai sekarang
engkau tidak boleh mengintai lagi,” katanya kesal kepada dua orang muridnya yang bodoh.
Setelah Siauw Cu pergi, dia mengomel kepada dua orang murid itu. “Apakah kalian tidak
malu? Kalian yang kulatih, selama sebulan belum juga mampu melakukan gerakan jurus
tendangan tadi, sedangkan penggembala kerbau itu, hanya dengan mengintai saja mampu
melakukannya. Kalian kalah oleh kacung kalian!”
Omelan Teng-kauwsu ini membuat kakak beradik itu menjadi malu dan diam-diam mereka
menjadi marah sekali kepada Siauw Cu. Setelah mereka berdua kembali ke dalam rumah,
mereka kasak kusuk membicarakan Siauw Cu dan mengambil keputusan untuk menghajar
kacung yang membuat mereka merasa malu itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai condong ke barat, Cu Goan Ciang atau Siauw
Cu (Cu kecil) menggiring kelompok kerbau yang digembalakannya menuruni lereng bukit
yang ditumbuhi banyak rumput segar itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul kakak beradik Koa di
tempat sunyi itu dan dari sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka itu marah sekali.
“Berhenti dulu kau, jembel yang tak mengenal budi!” bentak Koa Hok.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 9
Tentu saja Siauw Cu merasa terkejut dan heran. “Twa-kongcu (tuan muda besar), ada
apakah?”
“Anak setan, engkau masih pura-pura bertanya setelah kemarin menghina kami depan suhu?”
kata pula Koa Sek.
Siauw Cu teringat dan menjadi semakin heran. Dia tidak merasa bersalah, kenapa kini
dikatakan tidak mengenal budi bahkan menghina?
“Nanti dulu, twa-kongcu, siauw-kongcu, apa salahku maka kalian marah-marah kepadaku?”
“Keparat kau!” Koa Hok memaki. “Kalau bukan ayah yang menolongmu, apakah engkau
tidak akan mati kelaparan?”
“Mayat ibumu tentu akan terlantar tidak dapat dikubur dan menjadi makanan anjing kalau
tidak dibelikan peti mati dan diberi tanah oleh ayahku!” teriak pula Koa Sek.
Wajah Cu Goan Ciang berubah kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan yang
ditahan-tahan. “Jangan kalian membawa-bawa nama mendiang ibuku yang tidak tahu apaapa.
Kalau aku dianggap bersalah, akulah yang bertanggung jawab dan tidak ada sangkutpautnya
dengan mendiang ibuku!”
Mendengar suara yang meninggi dari kacung penggembala itu dan melihat dia mengangkat
muka dan menegakkan badan, dua orang kakak beradik itu menjadi semakin marah dan
merasa ditantang.
“Eh, eh, engkau hendak melawan kami?” bentak Koa Sek, dan diapun sudah menerjang ke
depan dan menggunakan kepalan tangan kanan menjotos ke arah dada Siauw Cu.
“Dukk!!” Siauw Cu memiliki tubuh yang kuat dan biarpun pukulan itu tidak cukup keras
untuk dapat merobohkannya, namun karena dia menerimanya begitu saja tanpa mengelak atau
menangkis, diapun terhuyung ke belakang. Koa Hok tidak mau ketinggalan dan diapun
menerjang maju dan menampar muka Siauw Cu, mengenai dagunya dan membuat Siauw Cu
hampir terpelanting. Dan kedua orang kakak beradik itu lalu menghujankan pukulan dan
tendangan, membuat pakaian Cu Goan Ciang robek-robek dan muka dan tubuhnya babakbelur.
Akan tetapi, karena dua orang kakak beradik Koa itu terus saja memukulinya, akhirnya dia
merasa kesakitan juga. Mula-mula dia tidak melawan karena ingat bahwa dia berhadapan
dengan dua orang putera majikannya, akan tetapi rasa nyeri membuat dia lupa akan hal itu.
Nalurinya untuk mempertahankan diri dan menyelematkan nyawanya membuat Siauw Cu
tiba-tiba melakukan perlawanan. Ketika dia menerima tendangan kaki Koa Sek ketika
tubuhnya sudah terguling ke atas tanah, dia menangkap kaki itu dengan kedua tangannya, lalu
sekuat tenaga dia menarik dan memutar kaki itu. Tak dapat dicegah lagi, tubuh Koa Sek
terputar dan terbanting ke atas tanah. Siauw Cu menubruk dan menghantami muka anak itu
dengan kedua kepalan tangannya sampai muka itu berdarah-darah, dan Koa Sek yang tadinya
berteriak-teriak itu tidak lagi mengeluarkan suara.
Koa Hok yang melihat adiknya ditindih dan dipukuli, sejak tadi menghantami Siauw Cu,
namun penggembala itu tidak memperdulikan. Ketika sebuah hantaman di belakang telinga
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 10
kirinya datang dengan kerasnya, tubuh Siauw Cu terguling dan dia melepaskan tubuh Koa
Sek yang tak bergerak lagi. Koa Hok marah bukan main melihat keadaan adiknya yang
mukanya berlumuran darah dan agaknya pingsan itu maka diapun memperhebat serangannya
memukuli Siauw Cu sampai jatuh bangun.
Siauw Cu maklum bahwa putera majikannya yang dua tahun lebih tua darinya ini pasti tidak
akan mau mengampuninya dan mungkin akan membunuhnya. Diapun mempertahankan diri,
menggigit bibir menahan sakit dan bangkit berdiri. Ketika sebuah tendangan menyambar
perutnya, diapun teringat akan gerakan-gerakan silat yang pernah dipelajarinya dan dia
menangkis dengan lengannya. Kemudian, dia mulai melawan, mengelak, menangkis dan
balas menyerang. Namun, ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dipelajarinya secara liar tanpa
pengawasan maupun bimbingan guru, maka tentu saja tidak teratur dan diapun beberapa kali
harus menerima hantaman tangan Koa Hok yang lebih mahir bersilat. Ketika kepalanya mulai
terasa pening oleh pukulan-pukulan dan tendangan dan seluruh tubuhnya terasa nyeri,
teringatlah Siauw Cu akan jurus tendangan yang tidak dapat dilakukan dengan baik oleh
kedua orang kakak beradik itu. Dan tiba-tiba, setelah melihat kesempatan, tubuhnya lalu
membuat gerakan jurus tendangan itu. Kakinya berputar dan melayang menjadi tendangan
berputar yang kuat.
“Dess!!” Tendangan itu tepat mengenai muka Koa Hok dan sedemikian kerasnya sehingga
tubuh Koa Hok terjengkang ke belakang, terbanting keras dan tidak mampu bangkit lagi
karena kepalanya terbanting ke atas tanah keras sehingga diapun pingsan seperti adiknya.
Siauw Cu berdiri terbelalak memandang tubuh kakak beradik itu. Timbul perasaan takut dan
ngeri karena dia mengira bahwa dia telah membunuh Koa Hok dan Koa Sek, dan dia
membayangkan hukuman yang akan diterimanya sebagai pembunuh! Dia membunuh dua
orang putera lurah! Tentu dia akan disiksa, akan dihukum mati. Bayangan yang mengerikan
menghantuinya, dan perasaan takut mendatangkan tenaga baru dalam dirinya. Tanpa banyak
berpikir lagi, diapun segera lagi tunggang langgang seperti dikejar setan, meninggalkan dua
orang saudara yang masih menggeletak pingsan dan semua kerbaunya, lari menuju puncak
bukit, ke arah yang berlawanan dengan dusun tempat tinggalnya.
Malam tiba dan Siauw Cu berlari terus melewati puncak bukit. Malam itu di langit banyak
bintang dan muncul bulan sepotong sehingga biarpun dia belum pernah melintasi bukit, dia
dapat terus berjalan menuruni puncak bukit di sebelah sana. Tidak nampak atau terdengar
adanya orang-orang yang mengejarnya sehingga hatinya merasa lega dan setelah bulan
menghilang di langit barat dan cuaca menjadi gelap, diapun terpaksa berhenti dan tertidur di
bawah sebatang pohon besar di kaki bukit berikutnya.
Pada waktu fajar menyingsing, dia terbangun mendengar derap kaki kuda lapat-lapat seperti
menggugahnya. Dia teringat akan keadaannya, cepat bangkit dan ketika dia memandang ke
arah bukit yang semalam dia turuni, dia terkejut melihat bayangan beberapa orang
penunggang kuda menuruni lereng bukit itu. Tentu orang-orang yang mengejarnya, orangorangnya
Lurah Koa yang tentu marah sekali dan hendak menangkap dan menghukumnya!
Ketika terbangun tadi, dia merasa betapa tubuhnya nyeri semua, bahkan untuk bangunpun
terasa kaku dan nyeri. Akan tetapi begitu melihat para penunggang kuda itu, lupalah dia akan
semua rasa nyeri dan diapun sudah melompat dan lari mendaki bukit ke dua yang berada di
depannya. Dia berlari sambil menyusup-nyusup di balik semak-semak agar tidak nampak dari
jauh, tidak perduli betapa kulit tubuhnya yang sudah hampir tidak tertutup pakaian yang
robek-robek kini menjadi babak belur oleh semak belukar.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 11
Akan tetapi tentu saja larinya seorang anak berusia dua belas tahun, apa lagi yang sudah lukaluka
dan kelelahan, tidak mampu melawan cepatnya larinya kuda. Para pengejar itu semakin
dekat saja, membuat Siauw Cu menjadi semakin panik. Sepatunya telah terlepas dan terpental
entah ke mana, telapak kedua kakinya sudah melepuh, dia terpincang-pincang dan mukanya
pucat, tubuhnya gemetar saking lelahnya dan terasa nyeri di mana-mana. Oleh karena itu,
ketika di lereng bukit itu dia melihat sebuah bangunan kuil di depan, tanpa ragu lagi dia
berlari ke kuil itu. Melihat pintu depan pekarangan kuil itu terbuka, diapun berlari masuk,
mengejutkan beberapa orang hwesio yang sedang bekerja membersihkan pekarangan di pagi
hari itu.
“Heiii, siapa kau dan mau apa...” Akan tetapi pertanyaan itu dihentikan ketika hwesio itu
melihat Siauw Cu terguling roboh dan pingsan.
Ketika dia siuman, Siauw Cu mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar di kuil
itu, dan dia melihat seorang hwesio berusia lima puluhan tahun duduk di atas kursi sambil
memandangnya penuh perhatian. Dia mengeluh, bangkit duduk dan cepat dia turun dari
pembaringan dan berlutut di depan hwesio itu.
“Losuhu, saya mohon pertolongan suhu...”
“Omitohud... anak baik, siapakah engkau dan mengapa engkau berlari-lari dan luka-luka?”
suara hwesio itu lembut dan sikapnya ramah dan halus.
“Saya Cu Goan Ciang atau Siauw Cu, dari dusun Lembah Sungai Huai...” ia lalu
menceritakan tentang dirinya dan betapa dia berkelahi melawan dua orang putera majikannya
sehingga mereka roboh pingsan. Dia menceritakan sebab perkelahian dan hwesio itu
mendengarkan sambil mengangguk-angguk.
“Kalau saya tidak dihajar dan hampir dibunuh, tentu saya tidak berani melawan mereka, suhu.
Sekarang, saya dikejar-kejar dan tentu saya akan ditangkap dan dihukum, mungkin dibunuh.
Tolonglah saya, suhu...”
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan terdengar suara banyak orang di depan kuil. “Ah,
mereka telah tiba di depan kuil, suhu, tolonglah saya.” Siauw Cu meratap.
“Omitohud... jangan khawatir, Siauw Cu.” Hwesio itu mencabut sebatang pisau tajam dan
menghampiri Siauw Cu yang memandang terbelalak dengan wajah pucat.
“Engkau mau menjadi calon hwesio? Rambutmu harus dicukur habis.”
Sambil berlutut Siauw Cu mengangguk-angguk. “Saya mau... saya mau asal suhu
menyelamatkan saya...”
“Diamlah, pinceng (aku) akan mencukur rambutmu.” Dan diapun menggerakkan pisau yang
tajam itu. Luar biasa sekali, hwesio itu membabat rambut dari kepala Siauw Cu seperti
membabat rumput saja, dengan amat cepat dan rambut itupun sudah bersih, gundul dan
sedikitpun kulit kepala tidak terluka.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 12
“Nah, kau cepat pakai jubah ini,” katanya sambil melemparkan pakaian yang diambilnya dari
kotak besar. Siauw Cu cepat mengenakan pakaian yang longgar itu, jubah hwesio, kemudian
dia digandeng dan diajak memasuki sebuah ruangan di mana sudah duduk bersila belasan
orang anak yang sebaya dengan dia. Mereka sedang tekun menghafal kitab dengan suara lirih.
“Nak, kau duduklah di sini dan contoh mereka,” kata hwesio itu sambil menyerahkan sebuah
kitab, lalu keluar dari ruangan itu.
“Kami datang untuk bertanya apakah ada seorang anak laki-laki masuk dan bersembunyi
dalam kuil ini!” terdengar seruan seseorang di luar kuil. Hwesio itu, Lauw In Hwesio yang
menjadi kepala kuil, cepat keluar dan dialah yang menjawab karena para hwesio yang berada
di depan tidak berani menjawab.
“Omitohud, apakah yang terjadi? Cu-wi (anda sekalian) mencari siapakah? Di sini tidak ada
penjahat, tidak ada orang bersembunyi.”
“Kami mencari seorang anak laki-laki yang jahat sekali, losuhu. Dia telah melukai dua orang
putera kepala dusun kami. Dia jahat dan berbahaya, oleh karena itu, kalau dia berada di sini,
harap suhu suke menyerahkannya kepada kami.”
“Omitohud, di sini tidak ada anak laki-laki jahat, yang ada hanyalah para murid yang tekun
mempelajari kitab suci. Tidak ada orang jahat...” kata hwesio itu dengan suara tegas. Di dalam
hatinya, dia tidak merasa berbohong karena kini anak yang mengaku bernama Siauw Cu itu
telah menjadi muridnya, telah menjadi calon hwesio dan tentu saja bukan anak jahat! Jadi
keterangannya itu sama sekali tidak berbohong.
“Cari ke dalam kuil! Dia pasti bersembunyi di sini tanpa diketahui para hwesio!” terdengar
teriakan seorang di antara mereka.
“Losuhu, terpaksa kami akan melakukan penggeledahan ke dalam kuil. Siapa tahu anak itu
menyelundup masuk tanpa ada yang mengetahui,” kata pemimpin rombongan.
“Omitohud, sudah kami katakan tidak ada. Kalau hendak menggeledah, silahkan, akan tetapi
jangan mengganggu tempat-tempat sembahyang dan tidak mengganggu para murid yang
sedang berdoa, belajar ataupun bersamadhi.”
Orang-orang utusan Lurah Koa tidak berani bersikap sembarangan terhadap para hwesio.
Mereka tahu bahwa para hwesio itu selain dihormati penduduk, juga banyak orang-orang
pandai di antara mereka. Maka, mereka lalu mengadakan pencarian di dalam kuil. Ketika
melongok ke dalam ruangan di mana terdapat belasan orang anak berpakaian dan berjubah
pendeta, berkepala gundul, sedang tekun membaca kitab, mereka hanya melongok dan
mengamati sebentar saja. Semua anak di situ berkepala gundul, jelas tidak ada anak yang
mereka cari. Akhirnya, setelah yakin bahwa buronan mereka tidak berada di dalam kuil,
rombongan itu lalu meninggalkan kuil untuk mencari di tempat lain.
Setelah para pencari itu pergi, Siauw Cu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lauw In
Hwesio, menghaturkan terima kasih dan mohon agar dia diperkenankan menjadi murid di kuil
itu.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 13
“Omitohud, kedatanganmu seperti dituntun oleh Yang Mahakuasa saja, Siauw Cu. Ceritakan
riwayatmu dengan singkat agar kami dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat diterima
sebagai murid ataukah tidak.”
Siauw Cu lalu menceritakan keadaan dirinya, betapa keluarganya habis binasa oleh wabah
penyakit, dan betapa dia hidup sebatang kara di dunia ini, kemudian bekerja pada Lurah Koa
dan terjadi peristiwa perkelahian dengan kedua putera lurah itu.
“Sungguh, losuhu. Bagaimana mungkin teecu (murid) berani melawan kedua orang putera
lurah majikan teecu itu kalau saja teecu tidak terancam bahaya maut. Mereka memukuli dan
menendangi teecu dan sekiranya teecu tidak akan membela diri dan melawan, tentu mereka
akan membunuh teecu,” demikian dia mengakhiri ceritanya.
Lauw In Hwesio mengangguk-angguk. “Keadaanmu memang memungkinkan engkau kami
terima sebagai murid kuil ini. Akan tetapi, Siauw Cu, tahukan engkau kuil apa tempat tinggal
kita ini?”
“Teecu tidak tahu, suhu, mohon petunjuk.”
“Ini adalah sebuah kuil Siauw-lim!”
Siauw Cu terbelalak. Dia sudah banyak mendengar tentang Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim)
yang menjadi pusat orang-orang yang berilmu tinggi. Banyak pendekar silat yang terkenal
merupakn murid-murid dari Siauw-lim-pai! Maka diapun segera memberi hormat.
“Ahh, harap maafkan, karena teecu tidak tahu. Akan tetapi teecu merasa amat berbahagia
kalau dapat menjadi murid Siauw-lim...”
Lauw In Hwesio tersenyum, akan tetapi pandang matanya tetap tajam dan berwibawa.
“Engkau tahu, menjadi murid Siauw-lim-pai tidaklah mudah. Banyak orang datang untuk
minta menjadi murid, dan entah berapa ratus atau ribu orang kami tolak karena mereka tidak
berbakat, atau tidak bersemangat dan tidak tahan derita. Apa lagi murid yang menjadi calon
hwesio. Engkau harus berani dan mampu menjauhi segala macam kesenangan duniawi,
mencurahkan seluruh perhatianmu hanya kepada pembacaan kiab suci, berdoa, bermeditasi,
melakukan pekerjaan berat, dan berlatih silat. Semua ini harus kaulakukan setiap hari tanpa
mengeluh!”
“Teecu sanggup, suhu!”
“Omitohud, kita lihat saja nanti. Akan tetapi karena engkau datang seolah dituntun tangan
Yang Mahakuasa, kami tidak akan menolakmu, apa lagi engkau sudah menjadi gundul dan
mengenakan jubah hwesio. Kami menerimamu dan namamu tetap Siauw Cu. Akan tetapi,
kalau engkau tidak taat kepada peraturan yang berlaku di sini, setiap saat engkau akan
dikeluarkan dan tidak diperbolehkan lagi tinggal di sini.”
Siauw Cu menyanggupi sambil berlutut, hatinya girang bukan main karena dia mengharapkan
untuk menerima pelajaran dari kuil Siauw-lim-si yang termashur itu.
Badan, pikiran, dan jiwa merupakan tiga kesatuan yang menghidupkan manusia di permukaan
bumi ini dan ketiganya membutuhkan “makanan” agar dapat menjadi sempurna. Makanan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 14
bagi badan tentu saja kebutuhan hidup termasuk pangan, sandang, dan papan berikut segala
keperluan dalam kehidupan jasmani. Makanan bagi hati akal pikiran adalah pelajaran segala
macam ilmu agar kehidupan ini dapat terisi oleh pekerjaan dan perbuatan yang bermanfaat
bagi kehidupan dalam memenuhi segala kebutuhan. Adapun makanan bagi jiwa adalah
kebaktian kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.
Tiga kebutuhan pokok itu dapat diperoleh Siauw Cu dalam kuil Siauw-lim. Setiap hari dia
disuruh bekerja keras, merawat taman, membersihkan kuil, menyapu pekarangan, memikul
air, dan mencari kayu bakar. Pekerjaan yang amat berat namun baik sekali bagi badannya,
karena selain pekerjaannya itu menghasilkan kebutuhan hidup para hwesio, juga sekaligus
melatih badannya sehingga tubuhnya menjadi kuat. Bahkan cara-cara melakukan pekerjaan
itu tidak sembarangan saja, melainkan teratur, dengan cara-cara tertentu sehingga pekerjaan
itu sekaligus merupakan semacam latihan untuk memperoleh kekuatan dan juga keringanan
tubuh.
Setelah sehari penuh bekerja keras, pada malam harinya dia digembleng oleh para hwesio
untuk belajar membaca menulis, kemudian membaca kitab suci, berdoa dan bersamadhi.
Dalam hal makanan, Siauw Cu tidak kekurangan. Dia dapat makan sekenyangnya, walaupun
di kuil itu tidak pernah disuguhkan makanan yang berasal dari makhluk bernyawa, tidak
pernah ada daging, hanya nasi dan sayur-sayuran belaka. Juga tidak ada minuman keras
seperti arak atau anggur, yang ada hanya air putih jernih, atau air teh yang bening. Namun
banyak buah-buahan mereka makan karena kuil itu memiliki ladang sayur dan kebun buah
sendiri.
Keadaan itu cukup menyenangkan bagi Siauw Cu, untuk tahun-tahun pertama. Terutama
sekali karena dia dapat belajar membaca dan menulis. Ternyata dalam ilmu ini diapun amat
berbakat sehingga dalam waktu hampir dua tahun saja dia telah lancar membaca kitab-kitab
yang berat, juga tulisannya bagus dan kuat. Dan pandai pula membaca sastra, pandai pula
memecahkan arti dari sajak-sajak pasangan yang mengandung arti yang mendalam dan luas.
Hwesio ahli sastra yang bertugas mengajar di kuil itu merasa sayang kepadanya karena belum
pernah selama ini dia mendapatkan seorang murid sepandai Siauw Cu. Dan ketika di
perpustakaan kuil itu Siauw Cu menemukan kitab-kitab sejarah yang bercerita tentang
kepahlawanan dan perang, dia merasa amat tertarik dan hampir semua kitab tentang perang
dibacanya sampai habis.
Kalau dalam hal pelajaran sastra Siauw Cu merasa gembira dan puas, sebaliknya dia kecewa
sekali karena setelah bekerja keras selama dua tahun, belum juga dia diajar ilmu silat! Pada
hal, dia tahu bahwa Siauw-lim-si merupakan pusat pendidikan ilmu silat yang tinggi. Sering
kali dia termenung dan kalau dia melihat para murid yang sudah dilatih ilmu silat, dia
mengintai dan ingin sekali ikut berlatih. Namun, peraturan di situ amat kera, pernah dia
dihukum bekerja sampai jauh malam hanya karena dia berani mengintai para murid yang
berlatih ilmu silat.
Kini usianya sudah empat belas tahun dan bentuk tubuhnya sudah seperti seorang laki-laki
dewasa atau seperti yang sudah berusia delapan belas tahun. Wajahnya tampan dan
pembawaannya gagah dan berwibawa. Semenjak dia berada di kuil itu, belasan orang murid
calon hwesio yang sebaya dengan dia, semua tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai
pemimpin! Memang Siauw Cu memiliki pembawaan seorang pemimpin. Dia suka memberi
contoh, suka membantu dan bertanggung jawab sehingga para teman atau saudara
seperguruannya segan dan suka kepadanya, mencontoh dan membenarkan semua sikapnya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 15
Dan biarpun dia belum menerima pelajaran ilmu silat, namun tidak ada saudara seperguruan
yang berani menentangnya, biarpun mereka ada yang sudah mulai dilatih ilmu silat. Hal ini
adalah karena Siauw Cu memang memiliki bakat dan tubuh yang kokoh, tenaga yang besar
dan sedikit gerakan silat yang pernah dipelajarinya dan dilatihnya dahulu telah mendarah
daging pada tubuhnya. Pernah ada dua orang calon pendeta yang ingin merampas
pengaruhnya, dan di luar kuil, hanya disaksikan para calon pendeta, Siauw Cu bertanding
dikeroyok dua oleh mereka berdua dan akhirnya dua orang calon pendeta yang sudah setahun
berlatih silat itu dapat dia robohkan, dan sejak saat itu, tidak ada lagi calon pendeta yang
berani menentangnya. Dia disegani dan disuka karena dia tidak bersikap jagoan, melainkan
bersikap sebagai pemimpin.
Pada suatu sore, setelah menyelesaikan tugas pekerjaannya yang paling berat di antara para
rekannya, Siauw Cu memberanikan diri menghadap ketua kuil, yaitu Lauw In Hwesio. Dia
menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang sedang duduk bersila dan membaca kitab itu.
“Eh, Siauw Cu, ada keperluan apakah engkau menghadap pinceng?” tanya Lauw In Hwesio
dengan lembut.
“Maafkan teecu yang berani menghadap tanpa dipanggil, twa-suhu. Teecu hanya mohon
penjelasan mengapa sampai sekarang teecu belum juga diberi pelajaran ilmu silat. Teecu ingin
sekali berlatih silat, suhu.”
Mendengar ini, hwesio itu tertawa. “Omitohud, satu di antara penghalang bagi orang yang
ingin menguasai ilmu dengan sebaiknya adalah ketidaksabaran, Siauw Cu. Apakah engkau
sudah tidak sabar lagi?”
“Sama sekali tidak demikian, twa-suhu. Bukankah selama dua tahun ini teecu melaksanakan
segala perintah dan tugas dengan sebaiknya tanpa mengeluh dan tanpa bertanya-tanya? Kalau
sore ini teecu terpaksa bertanya bukan karena teecu tidak sabar lagi, melainkan karena teecu
ingin tahu dan ingin memperoleh kepastian apakah teecu di sini akan mempelajari ilmu silat
ataukah tidak.”
“Apa yang mendorongmu bertanya demikian?”
“Karena teecu melihat betapa para saudara lain yang sebaya dengan teecu, yang teecu lihat
tidak berbakat dan lemah, malah sudah mulai diajar berlatih silat.”
Lauw In Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, dengarkanlah. Siauw Cu karena engkau berhak
mengetahui. Jangan dikira bahwa selama ini pinceng tidak memperhatikanmu. Justeru engkau
yang kurang perhatian sehingga tidak melihat perkembangan pada dirimu. Engkau harus
menyadari bahwa keadaan dirimu sekarang dibandingkan dua tahun lalu sudah seperti langit
dengan bumi. Kiranya tidak ada penggemblengan ilmu silat di dunia ini yang dapat membuat
dirimu seperti sekarang ini selama dua tahun. Engkau sejak datang ke sini telah digembleng
dengan inti dan dasar dari semua ilmu silat!”
“Ehhh? Apa yang twa-suhu maksudkan? Teecu tidak mengerti...”
“Siauw Cu, di sini memang ada dua cara mengajarkan ilmu silat, dan ada dua macam murid
yang mempelajari ilmu silat. Yang pertama adalah calon para hwesio dan hwesio yang
memang berbakat untuk menjadi pendeta. Kepada mereka ini diajarkan ilmu silat yang khas
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 16
untuk menjaga kesehatan mereka sebagai olah raga, agar jasmani mereka segar dan sehat,
sesuai dengan rohani mereka yang digembleng melalui ajaran kerohanian. Kepada mereka ini,
ilmu silat yang diajarkan hanya gerakan-gerakan yang bermanfaat bagi kesehatan mereka saja
karena sebagai pendeta, mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan kekerasan. Adapun
yang ke dua adalah para murid yang bukan calon pendeta. Kepada mereka ini diajarkan ilmu
silat melalui penggemblengan jasmaniah, sejak dari awa; dan dari dasar. Karena itu pertama
kali, sebelum mengajarkan ilmu silat, tubuh si murid harus digembleng sehingga tubuh itu
menjadi kuat, seolah-olah kulitnya menjadi tembaga, ototnya menjadi kawat baja dan tulangtulangnya
menjadi besi. Murid seperti ini diharapkan kelak menjadi pendekar yang
mempertahankan kebenaran, membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat jahat.
Mengertikah engkau?”
Kalau tadinya pemuda berusia empat belas tahun itu murung dan penasaran, begitu
mendengar keterangan ini, wajahnya berubah cerah dan matanya bersinar-sinar.
“Suhu yang mulia, kalau begitu, teecu bukan seorang calon hwesio?”
Lauw In Hwesio menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Engkau tidak berbakat menjadi
pendeta, Siauw Cu. Engkau lebih berbakat menjadi pendekar atau pemimpin rakyat yang
menentang penindasan karena itulah, sejak semula engkau digembleng dengan pekerjaan
berat yang hasilnya akan membuat tubuhmu menjadi kuat.”
“Terima kasih, suhu! Mulai saat ini, teecu akan melakukan pekerjaan apa saja yang diberikan
kepada teecu dengan senang hati!”
Dan memang kenyataannya demikian. Kalau tadinya, pekerjaan berat itu dilakukan oleh
Siauw Cu walaupun secara baik namun dengan hati yang gundah dan kecewa, kini dia
melakukan pekerjaan itu dengan semangat yang meluap dan dengan wajah cerah gembira.
Kemajuannyapun pesat sekali sehingga akhirnya, mulailah dia dilatih dasar-dasar ilmu silat
oleh Lauw In Hwesio sendiri. Ketua kuil yang sakti ini maklum bahwa Siauw Cu memiliki
bakat besar dan tulang yang baik sekali, maka dia sendiri yang menangani penggemblengan
terhadap Siauw Cu. Seperti juga cara menggembleng tubuhnya agar kuat, ilmu silat yang
diajarkanpun akan terasa amat berat bagi orang yang tidak memiliki semangat membaja dan
tekad yang kokoh kuat. Baru pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja amat melelahkan kalau tidak
dapat dibilang menjemukan. Kuda-kuda itu harus kokoh kuat dan selalu diuji oleh Lauw In
Hwesio. Kalau dalam keadaan memasang kuda-kuda itu, tubuh Siauw Cu didorong dari arah
manapun secara tiba-tiba kedua kakiknya masih melangkah, satu di antara telapak kakinya
masih meninggalkan tanah, maka kuda-kuda itu dianggap masih belum kuat dan dia harus
berlatih terus. Latihannya, kadang Siauw Cu harus selalu dalam keadaan memasang kudakuda
yang kokoh kalau dia memasak air, mengipasi api sampai air itu mendidih. Ada kalanya
dia diharuskan dalam keadaan memasang kuda-kuda kalau dia membelahi kayu membuat
kayu bakar yang dapat berlangsung sampai berjam-jam! Pada mulanya, setelah latihan seberat
itu, berjongkokpun dia tidak mampu karena urat-urat di kakinya seperti telah berubah menjadi
kawat yang kaku dan keras!
Namun, akhirnya dia dapat menguasai kuda-kuda yang kokoh kuat sehingga kalau tiba-tiba
dia didorong dari manapun, kedua kakinya itu hanya bergeser tanpa ada yang terangkat dari
tanah.
Penggemblengan seperti itu dilakukan oleh Lauw In Hwesio selama bertahun-tahun sampai
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 17
pemuda itu berusia dua puluh tahun. Biarpun di kuil itu terdapat pula beberapa orang murid
bukan calon hwesio, namun tak seorangpun mampu menandingi Siauw Cu, baik dalam hal
ilmu silat maupun kekuatan. Bahkan makin nampaklah bakatnya untuk menjadi pemimpin
karena dalam segala peristiwa yang terjadi di kuil itu, kalau membutuhkan bantuan tenaga
para murid, Siauw Cu selalu diangkat menjadi pemimpin karena dia memang pandai
mengatur, penuh semangat, dan penuh prakarsa dan daya cipta.
Pada suatu malam terang bulan, ketika Siauw Cu sedang berlatih silat di taman bunga
belakang kuil yang dirawatnya, seorang diri dan tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba
sesosok tubuh manusia berkelebat dan terjun ke dalam lingkaran latihan silat menyerang
Siauw Cu. Pemuda ini segera mengenal suhunya, maka giranglah hatinya. Kemajuan besar
selalu didapatkannya kalau gurunya ini mau mengajaknya berlatih silat seperti itu. Diapun,
seperti selalu dianjurkan Lauw In Hwesio kalau berlatih, tidak bersikap sungkan lagi dan dia
mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaga karena maklum bahwa
gurunyapun akan bersungguh-sungguh untuk mengalahkannya! Jurus demi jurus mereka
keluarkan, saling serang dan saling desak. Diam-diam Lauw In Hwesio kagum sekali kepada
muridnya ini. Dia sendiri sudah tidak mampu mengalahkan muridnya karena semua jurus
dapat dilayani dengan baiknya oleh Siauw Cu, juga dalam hal tenaga, dia hampir tidak dapat
menandingi karena dia sudah tua sedangkan Siauw Cu sedang kuat-kuatnya! Mulailah hwesio
tua ini merasa lelah sekali dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia yang akan kalah.
Tiba-tiba hwesio tua itu mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama sekali.
Kini tubuhnya melayang dan berloncatan tinggi ke atas, lalu menyambar turun dengan
serangan yang amat dahsyat dan asing bagi Siauw Cu! Pemuda ini berusaha untuk
mempertahankan diri, namun dia hanya mampu bertahan selama sepuluh jurus saja
menghadapi ilmu silat aneh itu dan akhirnya dadanya dapat diterjang Lauw In Hwesio sampai
dia jadi terjengkang!
“Suhu, ilmu apakah yang suhu mainkan ini?” Tanpa memperdulikan dadanya yang agak nyeri
dan pinggulnya yang tadi menghantam tanah, Siauw Cu cepat menjatuhkan diri berlutut di
depan gurunya dan mengajukan pertanyaan itu. Gurunya berdiri terengah-engah, tersenyum
girang sekali.
“Omitohud... kalau pinceng (aku) tidak mempunyai ilmu simpanan tadi, tentu sudah kalah
olehmu, Siauw Cu.”
“Suhu! Selama ini teecu selalu mentaati karena teecu yakin bahwa suhu adalah seorang yang
berhati mulia, tidak pernah berbohong. Akan tetapi, suhu mengatakan bahwa semua ilmu silat
Siauw-lim-pai yang pernah suhu pelajari, telah suhu ajarkan kepada teecu semua. Akan tetapi
kenapa sekarang suhu mempunyai ilmu silat yang tidak teecu kenal?”
“Omitohud, berdosalah pinceng membohongimu, Siauw Cu. Pinceng tidak pernah berbohong
dan tidak akan berbohong. Memang sesungguhnyalah bahwa semua ilmu silat Siauw-lim-pai
yang pinceng kuasai, telah pinceng ajarkan kepadamu, tidak ada satupun yang tertinggal.
Kalau tadi pinceng mengeluarkan ilmu silat yang tidak kaukenal itu, adalah karena terpaksa.
Kalau tidak mengeluarkan ilmu simpanan itu, bagaimana mungkin pinceng dapat
mengatasimu? Akan tetapi, ilmu silat itu bukanlah ilmu silat aliran Siauw-lim-pai, karena
itulah maka tidak pinceng ajarkan kepadamu.”
“Ah, begitukah, suhu? Kalau begitu mohon suhu mengampuni teecu yang menyangka suhu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 18
berbohong tadi. Ilmu apakah itu tadi, suhu dan kenapa pula suhu menguasai ilmu silat yang
bukan Siauw-lim-pai, dan mengapa tidak diajarkan kepada teecu?”
“Ilmu silat itu memang bukan ilmu silat Siauw-lim-pai dan pinceng mendapatkannya secara
kebetulan saja.” Hwesio tua itu lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, ketika dia dan seorang
suhengnya berjalan-jalan di puncak pegunungan mereka berdua melihat seekor burung
rajawali yang besar sedang berkelahi dengan seekor harimau memperebutkan bangkai seekor
kijang. Perkelahian itu seru bukan main. Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio mengintai dan
menonton. Sebagai ahli-ahli silat Siauw-lim-pai, mereka berdua sudah mempelajari semua
ilmu silat Siauw-lim-pai dan mereka telah memiliki kepandaian yang matang dan tinggi. Di
Siauw-lim-pai terdapat bermacam ilmu silat, bahkan ada ilmu silat Bangau Putih, akan tetapi
ketika mereka berdua melihat perkelahian itu,mereka tertegun. Mereka juga menguasai ilmu
silat Houw-kun (Silat Harimau) yang gerakannya meniru gerakan harimau, akan tetapi kini
harimau itu tidak berdaya menghadapi burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas
dengan ganas dan dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, keduanya mencurahkan
perhatian dan mengingat semua gerakan rajawali ketika bertanding melawan harimau.
Akhirnya, harimau itu melarikan diri dengan tubuh luka-luka, dan rajawali itu menyambar
bangkai kijang, dibawa terbang untuk diberikan kepada anak-anaknya di sarangnya, entah di
mana.
Setelah melihat perkelahian hebat itu, Lauw In Hwesio dan suhengnya, Bouw In Hwesio,
berdua mulai merangkai ilmu silat berdasarkan gerakan rajawali ketika berkelahi melawan
harimau tadi. Dan akhirnya, setelah bersusah payah selama satu tahun, mereka berdua berhasil
merangkai sebuah ilmu silat baru, yaitu ilmu silat Rajawali Sakti. Karena ilmu itu bukan ilmu
keturunan dari Siauw-lim-pai, keduanya berjanji untuk menyimpan ilmu itu untuk mereka
berdua saja, dan bahkan merahasiakannya dari para murid Siauw-lim-pai yang lain. Di Siauwlim-
pai memang ada peraturan keras bahwa seorang murid tidak boleh mencampurkan ilmu
silat Siauw-lim-pai yang asli dengan ilmu lain, bahkan seorang murid Siauw-lim-pai tidak
boleh memainkan ilmu silat yang bukan Siauw-lim-pai. Peraturan kuno yang keras ini
mungkin diadakan demi menjaga kemurnian ilmu silat aliran itu.
“Demikianlah, Siauw Cu. Hanya kami berdua yang menguasai ilmu silat itu dan tadi terpaksa
pinceng mainkan untuk mengatasimu. Bagaimanapun juga, bagaimana mungkin pinceng
sebagai gurumu tidak mampu mengalahkanmu?”
Mendengar ini, Siauw Cu segera memberi hormat sambil berlutut. “Suhu, teecu mohon agar
suhu sudi mengajarkan ilmu silat Rajawali sakti itu kepada teecu.”
Lauw In Hwesio adalah seorang hwesio tua yang bukan saja pandai ilmu silat dan ilmu
keagamaan, akan tetapi diapun mempelajari ilmu perbintangan dan dia dapat meramalkan
bahwa muridnya ini berbeda dengan orang lain dan kelak akan dapat memperoleh kedudukan
tinggi sebagai seorang pemimpin.
“Siauw Cu, ilmu ini hanya dikenal oleh pinceng dan suheng Bouw In Hwesio yang sekarang
entah merantau ke mana. Pinceng dapat mengajarkan kepadamu, akan tetapi hanya dengan
dua syarat.”
“Apakah syarat itu, suhu?”
“Pertama, ilmu ini tidak boleh kaupergunakan untuk membantu pemerintah kerajaan penjajah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 19
Mongol. Ke dua, dalam mempergunakan ilmu Rajawali Sakti ini, engkau tidak boleh
mengaku sebagai murid Siauw-lim-pai.”
Siauw Cu yang memang tidak ingin menjadi hwesio, juga sama sekali tidak ingin mengabdi
kepada pemerintah penjajah yang telah menyengsarakan kehidupan rakyat jelata termasuk
mendiang kedua orang tuanya, tentu saja dapat menerima syarat itu dengan gembira.
“Baik, suhu. Teecu bersumpah untuk memenuhi kedua syarat itu!” katanya tegas dan gembira.
Demikianlah, selama berbulan-bulan Siauw Cu mempelajari dan melatih Sin-tiauw ciang-hoat
(Ilmu Silat Rajawali Sakti) itu dari gurunya dan setelah dia berhasil menguasainya dengan
baik, Lauw In Hwesio memanggilnya menghadap.
“Siauw Cu, kini tiba saatnya bagimu untuk terjun ke dunia ramai, mempergunakan semua
kepandaian yang selama ini dengan tekun kau pelajari di sini agar semua jerih payahmu tidak
sia-sia belaka. Akan tetapi ingat, engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang selain
mempelajari ilmu silat, juga memperoleh gemblengan dasar watak yang baik sebagai seorang
gagah dan budiman. Ingatlah selain bahwa Siauw-lim-pai menentang segala bentuk kejahatan,
dan bahwa engkau sebagai murid Siauw-lim-pai kalau sampai menyeleweng dan menjadi
jahat, kelak engkau akan hancur oleh para murid Siauw-lim-pai sendiri.”
“Teecu akan selalu ingat semua petunjuk, nasihat dan perintah suhu.”
Berangkatlah Siauw Cu meninggalkan kuil itu. Ketika menuruni lereng itu, beberapa kali dia
menengok ke arah bangunan kuno yang dikelilingi pagar tembok yang kehijauan karena
lumut itu, dan hatinya terharu. Delapan tahun yang lalu, dalam usia dua belas tahun, dia
melarikan diri dari kejaran anak buah Lurah Koa dalam keadaan luka-luka ke dalam kuil dan
diterima, dilindungi oleh para hwesio di situ, bahkan diterima menjadi murid oleh Lauw In
Hwesio. Andai kata tidak ada kuil itu dan para penghuninya, tentu dia tertangkap oleh anak
buah Lurah Koa dan mungkin saja dia akan dihajar sampai mati karena dia telah berkelahi
melawan dua orang putera lurah itu sampai mereka berdua roboh pingsan.
Dia tidak mendendam kepada mereka. Selama delapan tahun di kuil itu, dia sudah menerima
gemblengan lahir batin oleh Lauw In Hwesio sehingga dia merasakan benar, bukan hanya
mengerti, betapa dendam merupakan racun yang merusak diri sendiri. Dendam dapat
menghambat kemajuan lahir batin, dendam dapat mengeruhkan pikiran, bahkan mendorong
orang melakukan kekejaman dan kejahatan demi pelampiasan dendam. Dendam merupakan
satu di antara usaha setan untuk melumpuhkan manusia, untuk membuat manusia bertekuk
lutut kepada daya-daya rendah yang menguasai hati akal pikiran.
Tidak, dia tidak menaruh dendam kepada siapapun juga. Semua yang terjadi adalah sesuai
dengan garis. Tidak perlu mendendam, karena dendam itu sendiri akan merupakan awal dari
mata rantai karma yang tiada berkeputusan. Pengertian saja tidak akan ada gunanya tanpa
pelaksanaan, bagaikan bunga yang rontok sebelum menjadi buah. Yang terpenting adalah
pelaksanaannya, dan pelaksanaan inilah yang amat sukar karena bertentangan sengan
kekuasaan nafsu. Semua orang tahu belaka apa yang disebut perbuatan jahat, namun mereka
tidak mampu menahan nafsu yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu. Setiap
orang pencuri tahu belaka, mengerti bahwa mencuri itu tidak baik dan tidak sepantasnya
dilakukan, namun dorongan nafsu tak dapat mereka lawan dan merekapun mencuri,
berlawanan dengan pengetahuannya tadi. Demikian pula dengan pelaku perbuatan sesat
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 20
apapun. Pengetahuan saja tidak akan mampu melawan kekuasaan nafsu.
Tidak, aku tidak mendendam, demikian Siauw Cu yang menjenguk isi hatinya berkata penuh
keyakinan dalam hatinya. Dia memang hendak menuju ke kampung halamannya, tanah
tumpah darahnya, yaitu tempat di mana darah ibunya tertumpah ketika melahirkan dia. Dia
ingin menjenguk dan bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Selain itu, yang terpenting, dia
hendak melihat keadaan para warga dusun itu. Sudah adakah perubahan yang membaik
selama delapan tahun ini? Dia ingin melakukan sesuatu demi kesejahteraan hidup para warga
dusun yang dia tahu selama ini hidup dalam keadaan yang menyedihkan sekali, jauh di bawah
garis kemiskinan!
Apa yang dapat dia lakukan untuk mereka? Dia sendiri tidak tahu. Dia sendiri adalah seorang
pemuda miskin. Dia meninggalkan kuil tanpa bekal apapun, kecuali beberapa stel pakaian
sederhana yang terbuat dari kain kasar sederhana pula, seperti pakaian para pendeta di kuil.
Kepalanya tidak dicukur gundul seperti para murid yang menjadi calon pendeta, namun tetap
saja, ketika dia tinggal di kuil, pakaiannya sederhana sekali, disesuaikan dengan kehidupan
kuil. Tentu saja dia tidak dapat memberikan bantuan berupa benda kepada warga dusun. Dia
sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan, dan hal itu akan dilihatnya saja nanti
perkembangannya kalau dia sudah tiba di dusunnya.
“Suheng (kakak seperguruan)...! Perlahan dulu...!”
Seruan ini mengejutkan hati Siauw Cu. Cepat dia menahan langkahnya dan membalik.
Sesosok tubuh seorang pemuda berlari-lari dari belakang mengejarnya dan setelah dekat
diapun mengenal pemuda itu dan dia tersenyum.
“Heii, Shu-sute (adik seperguruan Shu)! Mau ke mana kau?” tanya Siauw Cu gembira.
Pemuda yang datang itu adalah Shu Ta, seorang di antara para murid di kuil itu yang bukan
calon pendeta, seperti juga dia. Bahkan Shu Ta ini tadinya seorang kacung kuil sudah bekerja
di kuil sebelum dia datang, akan tetapi Shu Ta yang sebaya dengannya, baru belajar silat
sesudah dia, maka Shu Ta menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan dia menyebutnya
sute (adik seperguruan). Dan biarpun dalam hal ilmu silat, sutenya itu biasa-biasa saja, tidak
terlalu menonjol, namun dalam hal kecerdikan, Siauw Cu sering kali dibuat kagum. Sutenya
ini mempunyai banyak sekali akal untuk mengatasi kesukaran dan sudah sering kali sutenya
meringankan beban pekerjaan mereka ketika berada di kuil menggunakan akalnya yang
banyak. Sutenya ini benar-benar amat cerdik dan kinipun dia tidak terlalu heran melihat
sutenya dapat keluar dari kuil, entah dengan cara bagaimana,
“Aku memang mengejarmu, suheng. Akupun meninggalkan kuil!” kata pemuda itu gembira.
Siauw Cu mengerutkan alisnya dan menatap wajah sutenya penuh perhatian dan teguran.
“Shu-sute, kau... minggat dari kuil?”
Pemuda itu tertawa dan walaupun usianya juga sekitar dua puluh tahun, namun dia nampak
seperti kanak-kanak ketika tertawa. “Ha-ha-ha, Cu-suheng, kaukira aku ini orang macam apa?
Aku sudah menerima budi yang berlimpah dari suhu dan para saudara di kuil Siauw-lim-si.
Untuk membalas budi itupun aku belum mampu, bagaimana mungkin aku berani minggat?
Tidak, suheng. Setelah mendengar suheng meninggalkan kuil, aku segera menghadap suhu
dan mohon perkenan suhu untuk turun gunung pula. Dan suhu sudah memberi ijin. Aku turun
gunung, keluar dari kuil dengan resmi, tidak minggat.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 21
“Begitu mudahnya? Akal apa yang kaupergunakan maka suhu dapat memberi ijin sedemikian
mudahnya kepadamu, sute?”
Shu Ta tertawa. “Aih, suheng. Terhadap suhu, mana aku berani main akal-akalan? Aku hanya
menceritakan kepada suhu tentang kesengsaraan rakyat jelata di bawah penindasan
pemerintah penjajah Mongol seperti yang banyak kita dengar dari rakyat di sekitar daerah ini,
dan aku menceritakan keinginanku untuk membantu rakyat, berjuan untuk menentang
pemerintah penjajah. Nah, suhu memberi restu dan mengijinkan aku keluar dari kuil.”
Siauw Cu mengangguk-angguk. Dia sudah tahu bahwa sutenya ini selalu bicara tentang
perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Diam-diam dia sendiripun menyetujui
sikap itu. Dia sendiripun membenci penjajah yang jelas menyengsarakan rakyat.
“Sute, cita-citamu memang baik sekali. Akan tetapi, hanya dengan tenagamu, atau katakanlah
tenaga kita berdua, bagaimana mungkin kita akan mampu menentang pemerintah yang
memiliki pasukan ratusan ribu orang banyaknya. Untuk menentang pemerintah penjajah, kita
harus menghimpun tenaga rakyat sebanyak mungkin dan untuk pekerjaan seperti itu,
bukanlah hal yang mudah. Setidaknya kita harus memiliki biaya yang besar, sedangkan kita
memiliki apa?”
“Memang benar pendapatmu, suheng. Akan tetapi, kalau memang kita memiliki kemauan
besar, memiliki semangat, kiranya pekerjaan itu tidaklah terlalu sukar, atau setidaknya bukan
hal yang mustahil. Mari kita bekerja sama untuk maksud itu, suheng.”
Siauw Cu menggeleng kepala. “Sebaiknya, kalau kita berpencar dan mencari pengalaman
lebih dahulu di dunia persilatan, sute. Kita melakukan penjajagan dan hubungan dengan
orang-orang kang-ouw, melihat bagaimana sikap mereka dan melihat kemungkinan untuk
menghimpun tenaga. Kelak, kalau tiba waktunya, kita dapat bergabung dan bekerja sama.”
Shu Ta mengangguk-angguk. “Pendapatmu baik dan tepat, suheng. Baiklah, mari kita
berlumba untuk menghimpun tenaga. Akan tetapi, sekarang suheng hendak ke manakah?”
“Aku hendak kembali dulu ke kampung halamanku, dusun Cang-cin untuk bersembahyang di
makam ayah ibuku.”
“Aih, dusunmu yang penuh kesengsaraan itu?” Shu Ta sudah pernah mendengar cerita Siauw
Cu tentang dusunnya, dan tentang keadaan suhengnya itu. “Kalau begitu, akupun ingin ikut
denganmu dan melihatnya, suheng.”
“Baik, sute. Mari kita pergi. Dusunku tidak terlalu jauh dari sini, hanya di balik bukit depan
sana itu.” Mereka lalu berjalan berdampingan menuruni bukit!
Para penghuni dusun Cang-cin sedang bekerja di sawah ladang, di luar dusun. Matahari telah
naik tinggi dan mereka semua memandang heran kepada dua orang pemuda yang berjalan
menuju ke dusun itu. Dusun di Lembah Sungai Huai itu merupakan dusun kecil yang tidak
pernah dikunjungi orang luar, maka kedatangan setiap orang asing tentu akan menarik
perhatian mereka. Itulah sebabnya, ketika dua orang pemuda itu melangkah perlahan
memasuki dusun, mereka semua memandang penuh perhatian dan keheranan.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 22
Pemuda pertama berusia dua puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya sederhana
namun sikapnya tegak anggun berwibawa. Langkahnya tegap, wajahnya tidak dapat dibilang
tampan, namun jantan dengan dagu yang membayangkan kekerasan hati, sepasang mata yang
mencorong tajam penuh semangat dan wibawa. Langkahnya bagaikan langkah harimau. Dia
menggendong sebuah buntalan kain kuning yang tidak seberapa lebar, buntalan yang terisi
beberapa stel pakaiannya. Pakaian yang menutupi tubuhnya amat sederhana, seperti pakaian
pendeta, hanya potongannya lebih ringkas.
Pemuda kedua sebaya, akan tetapi wajahnya tampan dan tubuhnya kekar. Pada wajahnya
mulai nampak rambut halus dan dapat dilihat bahwa kelak akan menjadi seorang laki-laki
tampan gagah berewok. Pandang matanya tidak terlalu tajam seperti pemuda pertama, akan
tetapi mata itu bergerak-gerak dengan lincah dan nampaknya dia cerdik sekali. Di
punggungnya juga terdapat buntalan pakaian, akan tetapi di pinggangnya tergantung sebatang
pedang dengan sarung pedang sederhana.
Mereka adalah Siauw Cu dan Shu Ta. Siauw Cu juga memandang ke arah para petani yang
bekerja di sawah ladang dan wajahnya cerah, sikapnya ramah terhadap mereka karena dia
maklum bahwa mereka adalah warga dusunnya. Akan tetapi, karena delapan tahun telah
lewat, tidak ada seorangpun di antara mereka yang dikenalnya atau mengenalnya. Ketika dia
meninggalkan dusun itu, usianya baru dua belas tahun, masih kanak-kanak, sekarang dia
kembali dalam usia dua puluh tahun lebih, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.
Yang membuat hati Siauw Cu gembira adalah melihat betapa sawah ladang itu penuh dengan
padi dan gandum yang subur. Agaknya kini keadaan dusun itu sudah makmur, pikirnya.
Mereka memiliki sawah ladang yang demikian subur, berarti mereka tidak akan menderita
kelaparan seperti ketika dia masih tinggal di dusun itu. Melihat para penghuni dusun bekerja
di sawah ladang yang subur, mendatangkan perasaan gembira di hati Siauw Cu dan diapun
mengajak sutenya untuk pergi ke tanah kuburan yang berada di pinggir dusun sebelah barat.
Tanah kuburan itu penuh dengan kuburan, lama dan baru. Ketika mereka tiba di tanah
kuburan, keduanya berhenti dan melihat dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi
besar membentak-bentak seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang tubuhnya kurus
dan agak bungkuk.
“Siang begini engkau sudah meninggalkan sawah, tua bangka tak tahu diri!” bentak seorang
di antara dua laki-laki tinggi besar itu.
“Kakek Coa, kalau engkau tidak cepat kembali ke sawah dan melanjutkan pekerjaanmu,
terpaksa kami akan menghajar dan menyeretmu biarpun engkau sudah tua dan
berpenyakitan!” kata orang ke dua.
“Apakah engkau ingin menyusul isterimu yang baru tiga hari mati?” bentak orang pertama.
Kakek itu tidak memperdulikan ancaman mereka, bahkan dia lalu menjatuhkan diri berlutut,
bertiarap di atas gundukan tanah kuburan yang baru itu dan menangis.
“Aku tidak sudi kembali ke sawah. Aku masih berkabung, aku ingin menemani isteriku...
bunuhlah aku kalian kehendaki!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 23
Dua orang tinggi besar itu saling pandang. Yang pertama yang kumisnya panjang masih
mencoba untuk membujuk kakek itu. “Kakek Coa, ingatlah, engkau tidak akan dapat
mengubur mayat isterimu tiga hari yang lalu, tidak akan mendapatkan peti mati dan tanah
kuburan ini kalau tidak atas pertolongan dan kedermawanan Ji wan-gwe (hartawan Ji). Juga
setiap hari, nasi siapa yang kaumakan? Untuk semua itu, Ji wan-gwe hanya minta engkau
bekerja di sawahnya, bukankah itu sudah adil?”
Tiba-tiba kakek itu bangkit dan biarpun tubuhnya kurus bungkuk, kini dia kelihatan penuh
semangat dan keberanian. “Pertolongan? Kedermawanan? Huh, kini aku tidak perduli lagi,
aku sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini, semua telah dirampas oleh Ji wan-gwe
dengan alasan membayar hutang berikut bunganya yang berlipat ganda. Semua milikku sudah
diambilnya, dan sekarang masih juga hendak memeras tenagaku yang sudah tua? Dia bukan
penolong, bukan dermawan, melainkan lintah darat, penjahat kejam yang bersembunyi di
balik kekayaannya!”
“Kakek Coa tua bangka yang bosan hidup! Berani kau memaki-maki Ji wan-gwe? Kalau tidak
ada beliau, kau sudah mati kelaparan!” teriak dua orang itu marah.
“Siapa bilang? Justeru karena ada dia, kami semua warga dusun terancam kelaparan. Sawah
ladang kami telah dirampasnya, tenaga kami diperas! Jahanam, setan busuk!”
Dua orang itu marah-marah dan sekali pukul, tubuh kakek itu terpelanting keras, namun
kakek itu masih memaki-maki dengan marahnya. Dua orang tukang pukul itu hendak
menghujankan pukulan lagi, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan sekali orang
itu menggerakkan tangan mendorong, dua orang tukang pukul terpental dan terjengkang
seperti dilanda badai. Mereka terkejut dan ketika memandangm mereka melihat seorang
pemuda tinggi tegap telah berdiri di depan mereka dengan mata mencorong. Pemuda lain
yang juga tegap sedang membantu kakek Coa bangun.
“Bocah setan, siapa kau berani mencampuri urusan kami? Apakah engkau minta dihajar
pula?” bentak tukang pukul yang kumisnya panjang.
Biarpun marah menyaksikan kekejaman dua orang tukang pukul itu dan mendengar
pertengkaran tadi, Cu Goan Ciang masih bersikap tenang. Dia hanya menghadapi kaki tangan
hartawan Ji, dua orang yang hanya melaksanakan tugas karena memang itu pekerjaannya,
walaupun pekerjaan itu jahat.
“Siap aku tidaklah penting. Kalian ini kaki tangan hartawan penghisap darah rakyat yang
patut dihajar! Pergilah dan jangan lagi mengganggu paman ini!”
Dua orang tukang pukul itu tentu saja tidak takut. Mereka mencabut golok dari pinggang.
Sudah terlalu sering golok itu mereka cabut untuk menakuti-nakuti orang, untuk mengancam
dan kalau perlu melukai atau membunuh. Karena golok itu merupakan modal mereka bekerja
dan dipercaya Ji wan-gwe, maka mereka selalu mengasah senjata itu sehingga nampak
berkilauan tajam.
“Orang muda, engkau dan kawanmu itu agaknya bukan penduduk dusun ini. Jangan
mencampuri urusan kami dan cepat pergi keluar dari dusun sebelum terlambat. Kami masih
mau memaafkan kalian karena sebagai orang luar, kalian tidak tahu akan keadaan di dusun
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 24
kami,” kata si kumis panjang.
Pada saat itu terdengar bentakan halus namun nyaring, suara orang wanita, “Apa lagi yang
terjadi di sini? Tanah kuburan adalah tempat yang suci, kenapa kalian begini tidak tahu sopan
dan aturan, ribut-ribut di tempat suci?”
Cu Goan Ciang dan Shu Ta menoleh, demikian pula kakek itu dan dua orang tukang pukul.
Ternyata yang menegur itu adalah seorang gadis yang berusia sekitar tujuh belas tahun. Shu
Ta terbelalak dan seperti terpesona melihat gadis yang wajah dan bentuk tubuhnya aduhai itu!
Wajah itu cantik manis dan bentuk tubuhnya menggairahkan, dengan, lekuk lengkung yang
sedang berkembang. Pakaiannya tidak terlalu mewah, namun jelas tidak sama dengan pakaian
para gadis petani. Pakaiannya juga putih mulus dan halus, tidak ada bekas pekerjaan berat.
Ketika dua orang tukang pukul yang galak itu melihat siapa yang menegur mereka, sungguh
aneh sekali, mereka kelihatan ketakutan dan sikap yang galak itu terbang entah ke mana,
berubah menjadi sikap menunduk dan menjilat. Mereka segera membungkuk-bungkuk
memberi hormat kepada gadis muda itu.
“Nona, maafkan kami. Bukan maksud kami membuat ribut di tanah kuburan, akan tetapi
kakek Coa ini yang keterlaluan. Begitu banyak dia berhutang budi kepada wan-gwe, akan
tetapi dia meninggalkan pekerjaannya dan berada di sini. Agaknya dia sudah lupa bahwa tiga
hari yang lalu, kalau tidak ada wan-gwe, dia tidak akan mampu mengubur mayat isterinya
dengan baik,” kata si kumis panjang.
Gadis itu mengerutkan alisnya, pandang matanya berkilat marah. “Huh, kiranya kalian adalah
tukang-tukang pukul menjemukan itu! Siapa bisa percaya omongan kalian? Kakek Coa,
ceritakan apa yang telah terjadi? Aku lebih percaya keteranganmu dari pada kata-kata mereka
ini.” Ketika menghadapi kakek Coa, suara nona muda itu terdengar lembut.
“Siocia, saya tidak menyangkal bahwa saya telah banyak memperoleh pinjaman uang dari Ji
wan-gwe. Akan tetapi semua pinjaman itu telah saya bayar dengan berlipat ganda sehingga
semua sawah ladang saya kini menjadi miliknya. Namun semua itu masih belum cukup dan
saya diharuskan bekerja di sawah ladang yang tadinya milik saya turun temurun. Karena saya
masih berkabung dan saya ingin menunggui kuburan isteri saya, maka saya hari ini belum
dapat bekerja di ladang. Akan tetapi dua orang ini datang dan hendak memaksa saya, bahkan
akan memukuli saya. Kemudian datang kedua pemuda ini yang menolong saya.”
Sepasang mata yang indah itu kini menyapu wajah Cu Goan Ciang dan Shu Ta. Melihat Cu
Goan Ciang yang berada di depan menghadapi dua orang tukang pukul, gadis itu bertanya,
“Sobat, apakah kalian hendak membela kakek Coa ini?”
“Kami selalu siap membela siapa saja yang ditindas kekuasaan jahat,” jawab Cu Goan Ciang
dengan sikap tenang.
Gadis itu tersenyum dan matanya bersinar-sinar. “Hemm, agaknya kalian berdua bukan orang
sini. Beranikah kalian melawan dua orang jagoan ini? Mereka itu kuat dan lihai!”
“Kenapa tidak berani?” Shu Ta yang kini menjawab sambil tersenyum mengejek ketika dia
melirik ke arah dua orang jagoan itu. “Jangankan hanya mereka berdua saja, biar ditambah
sepuluh orang lagi kami berani melawan mereka! Akan kutonjok hidungnya sampai berdarah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 25
dan kucabut kumis panjang itu!” Shu Ta memang berwatak lincah dan nakal, maka dia
sengaja mengejek si hidung besar yang akan ditonjok hidungnya dan si kumis panjang akan
dicabut kumisnya.
“Bagus!” Gadis yang lincah itu berseru gembira, “Kalau begitu, kenapa kalian tidak
bertanding saja? Dua lawan dua, sudah adil. Heii, kalian lepaskan golok kalian dan lawan dua
orang pemuda ini dengan tangan kosong saja. Baru sekarang aku melihat ada orang berani
melawan kalian, hendak kulihat sampai di mana keberanian dan kehebatan mereka ini!”
Sungguh aneh. Dua orang jagoan itu agaknya seperti mati kutu berhadapan dengan gadis itu
dan mereka mentaati perintahnya. Mereka melemparkan golok mereka ke atas tanah,
kemudiang keduanya menghampiri Shu Ta dan Cu Goan Ciang. Si kumis panjang
menghadapi Shu Ta sedangkan si hidung besar menghadapi Cu Goan Ciang. Gadis itu sendiri
lalu mendekati kakek Coa, seperti melindungi. Kakek Coa nampak khawatir. Dia tidak
mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan khawatir terhadap dua orang pemuda yang
mencoba untuk membelanya itu. Dia tidak ingin melihat mereka dihajar oleh dua orang
tukang pukul yang dia tahu amat kejam. Karena gelisah, wajahnya pucat dan kakinya
gemetar, lalu duduk di dekat kuburan isterinya.
Shu Ta maju menghadapi si kumis panjang yang matanya sipit dan agak juling itu. Dia
menggapai dengan tangan kirinya dan berkata, “Majulah, dan berikan kumismu kepadaku
untuk kucabuti!” Ejekan ini membuat si kumis panjang marah sekali.
“Bocah sombong, kuhancurkan kepalamu!” bentak si kumis panjang dan dia sudah menerjang
maju sambil mengirim pukulan bertubi-tubi. Akan tetapi gerakan orang kasar itu tentu saja
tidak ada artinya bagi pendekar muda murid Siauw-lim-pai itu. Dengan mudah Shu Ta
mengelak ke kanan kiri, kemudian ketika mendapat kesempatan baik, kakinya bergerak dan
ujung sepatunya mengenai perut si kumis panjang.
“Ngekkk!” Biarpun tendangan itu tidak dilakukan dengan terlalu kuat, cukup membuat si
kumis membungkuk memegangi perutnya dan saat dia membungkuk itulad dipergunakan oleh
Shu Ta untuk menyambarkan tangan ke depan dan... sekali renggut, kumis panjang itupun
jebol dan di atas bibir itu menjadi merah karena berdarah!
“Aduh... aduh...!!” Si kumis panjang menggereng, akan tetapi Shu Ta sudah melompat ke
dekat suhengnya yang masih terus menangkis dan mengelak dari serangan bertubi yang
dilakukan si gendut besar.
“Suheng, serahkan si hidung besar ini kepadaku!” kata Shu Ta dan diapun menyambut
serangan si hidung besar. Terpaksa Cu Goan Ciang mundur dan diapun kini menghadapi si
kumis panjang yang masih marah-marah dan menerjang membabi buta.
Cu Goan Ciang hanya ingin memberi pelajaran karena dua orang ini hanyalah kaki tangan
hartawan Ji. Yang kikir, kejam dan penindas rakyat adalah hartawan itu, sedangkan kaki
tangan ini hanyalah orang-orang yang berwatak rendah, demi mendapatkan upah mereka ini
tidak segan-segan melaksanakan perintah majikan mereka untuk bersikap keras dan kejam
terhadap penduduk dusun yang miskin. Maka, melihat si kumis panjang sudah kehilangan
kumisnya dan atas bibirnya berdarah, diapun mengakhiri perkelahian itu dengan sebuah
tendangan yang mengenai dada si kumis panjang.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 26
“Desss...!” Tubuh si kumis panjang terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah.
Pada saat yang hampir berbareng, Shu Ta sudah berhasil menonjok hidung besar lawannya
seperti yang dikatakannya tadi.
“Prottt!” Bukit hidung itu pecah dan berdarah, sedangkan tubuh si hidung besar terhuyung ke
belakang.
Terdengar orang bertepuk tangan. Kiranya gadis manis tadi yang bertepuk tangan memuji.
Dua orang tukang pukul itu menjadi marah bukan main. Mereka telah dihina orang di depan
nona mereka lagi, dan yang membuat mereka menjadi semakin mendongkol adalah karena
justeru nona majikan mereka itu memuji dan bersorak berpihak kepada dua orang pemuda
asing yang telah menghina mereka. Mereka segera mencabut golok yang tadi mereka lempar
ke tanah dan memutar golok itu di atas kepala, siap menyerang dua orang pemuda yang
nampak tenang-tenang saja.
“Bocah setan, mampus kau sekarang!” bentak bekas si kumis panjang itu karena sekarang dia
tidak berkumis lagi sambil memutar goloknya, sedangkan si hidung besar hanya
mengeluarkan suara tidak karuan karena suaranya menjadi bindeng seperti orang bicara
dengan hidung dijepit.
Akan tetapi sebelum dua orang pemuda itu menyambut, nampak bayangan berkelebat
didahului sinar terang dan terdengar suara berkerontangan. Dua orang jagoan itu berteriak
kaget dan terhuyung ke belakang dengan mata terbelalak karena golok di tangan mereka telah
buntung. Kiranya gadis manis itu yang tadi menyambut mereka dengan pedang di tangan,
sekali tangkis ia telah membikin buntung dua batang golok itu!
“Sudah kukatakan kalian tidak boleh menggunakan senjata golok, dan kalian masih berani
membangkang!” bentak gadis itu galak.
Dua orang jagoan tinggi besar itu menundukkan mukanya dan nampak ketakutan.
“Maafkan kami, nona,” kata yang kehilangan kumis panjang, sedangkan si hidung besar yang
remuk hanya menggumam saja.
“Sudahlah, pergi kalian dari sini. Menjemukan saja!” nona itu berseru galak dan bagaikan dua
ekor anjing yang ketakutan, dua orang itu segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ
sambil menunduk.
Cu Goan Ciang dan Shu Ta kagum sekali, terutama Shu Ta yang berwatak gembira. “Wah,
hebat sekali, nona. Sungguh tidak kusangka, di dusun yang sunyi ini terdapat seorang
pendekar wanita ahli pedang seperti nona!” katanya sambil memberi hormat. Siauw Cu diam
saja, hanya memandang dan tersenyum melihat sikap sutenya yang dianggapnya agak mencari
muka dengan pujiannya.
Sementara itu, kakek Coa memberi hormat kepada gadis itu dan berkata dengan suara
khawatir, “Siocia, terima kasih atas pertolonganmu, akan tetapi harap siocia sampaikan
kepada Ji wan-gwe bahwa bukan sekali-kali saya bermaksud untuk membangkang dan tidak
mau bekerja. Akan tetapi saya ingin berkabung di kuburan isteri saya sampai besok. Lusa pagi
saya pasti akan bekerja seperti biasa di ladang ayahmu, siocia (nona).”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 27
“Sudahlah, jangan khawatir, paman,” kata gadis itu dengan sikap acuh.
Mendengar ucapan kakek itu, Siauw Cu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong
ketika menyambar ke wajah gadis itu. “Jadi engkau ini puteri Hartawan Ji Sun?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan yang diajukan dengan suara yang kaku ini, gadis itu mengerutkan
alisnya dan balas memandang dengan kaku pula. “Benar, namaku Ji Kui Hwa, puteri
Hartawan Ji Sun. Habis mengapa?”
Siauw Cu tidak menjawab, melainkan menarik tangan Shu Ta dan tanpa memperdulikan lagi
kepada gadis itu, dia berkata, “Sute, mari kita pergi!” Diapun mengajak sutenya pergi ke
kuburan ayah dan ibunya yang berada di sudut kiri tanah kuburan itu. Gadis itu terbelalak,
kemudian alisnya berkerut karena ia mendongkol bukan main melihat sikap dua orang
pemuda itu, apa lagi sikap pemuda tinggi tegap yang memandang kepadanya dengan sinar
mata merendahkan. Tadinya, ia tertarik melihat dua orang pemuda yang mampu menghajar
dua orang tukang pukul ayahnya, dan ingin berkenalan. Akan tetapi melihat sikap pemuda
tinggi tegap itu, tentu saja ia merasa malu kalau harus mengejar mereka. Iapun membanting
kaki kirinya untuk melampiaskan kejengkelan hatinya, lalu meninggalkan tempat itu dengan
bersungut-sungut.
Setelah tiba di depan kuburan ayah ibunya, Siauw Cu menjatuhkan diri berlutut dan sampai
beberapa lamanya dia termenung dan terpekur. Hatinya diliputi keharuan melihat kuburan
ayah ibunya tidak terawat, penuh dengan rumput alang-alang menjadi seperti semak belukar.
Setelah menghormati kuburan orang tuanya sambil berlutut, dia lalu membersihkan kuburan
itu, mencabut rumput dan tumbuh-tumbuhan. Tanpa diminta, Shu Ta yang tadi ikut pula
berlutut memberi hormat, kini ikut pula membantu suhengnya membersihkan makam itu.
Kakek Coa yang tadi, datang terbungkuk-bungkuk menghampiri mereka. Dia memandang
kepada dua orang pemuda itu, lalu kepada kuburan yang kini sudah dibersihkan. “Siapa...
siapakah kalian? Ada hubungan apakah dengan keluarga Cu yang dimakamkan di sini?”
Cu Goan Ciang melangkah maju menghampiri kakek itu. Tentu saja sejak tadi, setelah
mendengar disebutnya nama keluarga kakek itu, dia teringat. Kakek ini dahulu merupakan
tetangga dan sahabat baik mendiang ayahnya. “Paman Coa, apakah paman lupa kepadaku? Ini
adalah kuburan ayah dan ibuku.”
Sepasang mata yang sayu itu terbelalak dan kakek itu mengamati Siauw Cu dari kepala
sampai kaki. “Ayah ibumu...? Kalau begitu... kau... kau adalah... Siauw Cu yang dulu itu?”
Shu Ta tertawa. “Paman yang baik, suheng bukan lagi Siauw Cu (Cu Kecil), melainkan
seorang pemuda dewasa, namanya Cu Goan Ciang.”
“Ah...ahhh... kami semua mengenalmu sebagai Siauw Cu. Bukankah engkau dahulu bekerja
kepada Lurah Koa, kemudian... kemudian engkau menjadi buruan yang dikejar-kejar? Siauw
Cu, kenapa engkau berani datang ke sini? Kalau sampai Lurah Koa mengetahui berbahaya
sekali bagimu. Sebaiknya engkau cepat pergi dari dusun ini!”
“Paman Coa, tenanglah dan mari kita duduk dan bicara. Aku bahkan ingin sekali mendengar
segala tentang dusun kita ini darimu. Paman, kita berdua tadi ketika memasuki dusun, melihat
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 28
para warga dusun, bekerja di sawah ladang yang subur. Agaknya keadaan di dusun ini sudah
berbeda dari dahulu, paman. Tentu warga dusun kini tidak begitu menderita lagi, dengan
memiliki sawah ladang yang subur itu...”
“Siapa memiliki sawah ladang subur? Tidak ada seorangpun di antara kami warga dusun yang
memiliki sebidang tanah lagi. Semua telah menjadi milik Hartawan Ji!” kata kakek Coa
dengan sikap marah.
“Ehhh? Bukankah di dusun ini terdapat kepala dusun? Apakah warga dusun tidak lapor
kepada lurahnya?” Shu Ta membantah penasaran.
“Lurah? Hemm, Koa cung-cu (Lurah Koa) yang kaumaksudkan, orang muda? Tidak ada
bedanya! Kalau hartawan Ji itu serigala, Lurah Koa adalah harimaunya. Kami semua warga
dusun diperas, diharuskan membayar pajak dan segala sumbangan lain oleh Lurah Koa.
Kemudian, kalau kami membutuhkan biaya, hartawan Ji yang mengulurkan tangan memberi
pinjaman yang bunganya mencekik leher. Akhirnya, setelah beberapa tahun lamanya, seluruh
milik kami jatuh ke dalam tangan hartawan Ji atau Lurah Koa.”
Cu Goan Ciang mengepal tinju. “Hemm, kalau begitu, sejak delapan tahun yang lalu, keadaan
di dusun ini masih sama saja dan tidak ada perubahan, paman?” tanyanya.
“Perubahannya ada, yaitu keadaan kami menjadi semakin buruk. Dusun ini menjadi milik
mereka berdua, dan kami semua hanya menjadi semacam budak belian mereka belaka, kami
menjadi tenaga kerja yang paling murah. Kemiskinan saja bagi kami sudah terbiasa, yang
lebih menyiksa adalah ulah para jagoan mereka yang suka mengganggu anak bini orang.”
Shu Ta menjadi marah. “Suheng, keadaan macam ini tidak boleh kita diamkan saja! Kita
harus turun tangan!”
Cu Goan Ciang juga marah, namun dia dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang.
“Bersabarlah dulu, sute. Kita harus mencari jalan terbaik untuk meluruskan yang bengkok,
menertibkan keadaan dan menolong mereka yang tertindas. Kalau hanya menuruti nafsu
amarah tidak akan mengobati penyakitnya. Paman Coa, kalau kaukatakan bahwa hartawan Ji
itu kikir dan kejam, hal itupun sejak dulu aku sudah mengetahui. Akan tetapi kulihat
puterinya tadi tidaklah nampak jahat.”
“Ah, memang Ji-siocia itu amat baik. Semua orang mengetahu itu dan mereka semua
menghormatinya. Bahkan Ji-siocia banyak membantu kami, walaupun hal itu dilakukan diluar
tahu ayahnya yang kikir dan kejam. Kalau tidak ada Ji-siocia, tentu keadaan kami akan lebih
parah lagi karena selain para jagoan yang suka mengganggu anak isteri orang, juga putera
tertua dari Lurah Koa seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita mana saja.
Akan tetapi, Ji-siocia selalu menentangnya sehingga mereka semua itu tidaklah terlalu
berani.”
“Putera Lurah Koa yang tertua, maksudmu Koa Hok, paman?”
“Benar, adiknya juga kejam, akan tetapi tidak suka mengganggu wanita.”
Setelah mendapatkan keterangan yang jelas tentang dua keluarga yang berkuasa di dusun itu,
Goan Ciang mengajak Shu Ta untuk meninggalkan tanah kuburan. Matahari telah naik tinggi.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 29
“Apa yang akan kaulakukan sekarang, suheng? Apakah akan kaubiarkan saja hartawan Ji dan
Lurah Koa merajalela di dusun ini dan menekan warga dusun?”
“Tentu saja tidak, sute. Aku pasti akan bertindak, akan tetapi sungguh tidak baik kalau kita
hanya menyerang dan menghajar mereka. Hal itu tidak akan menolong warga dusun, bahkan
sebaliknya, kelak mereka akan semakin digencet lagi sebagai balas dendam dua keluarga itu
terhadap kita. Kita harus mencari jalan yang paling baik, akan tetapi aku belum menemukan
jalan itu.”
“Ah, serahkan saja kepadaku, suheng. Aku mempunyai akal yang baik!” kata Shu Ta dan Cu
Goan Ciang gembira sekali. Dia percaya akan kecerdikan sutenya ini, dan tentu sekali ini
sutenya telah mempunyai akal yang amat baik. Mereka berhenti dan berunding, mengatur
siasat seperti yang direncanakan Shu Ta yang cerdik, kemudian melanjutkan perjalan menuju
ke rumah Lurah Koa.
Lurah dusun Cang-cin bernama Koa Tong Lun. Karena kedudukannya, dia merupakan orang
yang paling berkuasa di dusun kecil itu, dan dia merasa seolah dirinya seorang raja dan dusun
itu adalah negaranya, warga dusun adalah rakyat yang harus tunduk kepadanya. Segala
peraturan yang dibuatnya sendiri merupakan hukum yang harus ditaati, karena siapa berani
melanggar peraturan yang telah dia tetapkan, tentu akan berhadapan dengan pasukan kecil
terdiri dari dua losin orang yang merupakan pasukan keamanan baginya. Tentu saja sikapnya
terhadap warga dusun yang miskin itu amat kejam berbeda dengan sikapnya terhadap
hartawan Ji. Hartawan itu mempunyai tukang-tukang pukul, pula dengan hartanya, hartawan
itu dapat berbahaya bagi Lurah Koa, karena hartawan Ji mempunyai hubungan dengan para
pejabat yang lebih tinggi kedudukannya di kota. Oleh karena itu, kedua orang penting di
dusun ini, yang seorang penting karena kedudukannya, yang ke dua penting karena
kekayaannya, dengan sendirinya bergaul akrab, bahkan seolah menjadi sekutu menghadapi
rakyat yang mereka peras habis-habisan demi kepentingan dan kesenangan diri mereka sendiri
dan keluarga mereka.
Koa cung-cu (Lurah Koa) mempunyai tiga orang isteri, akan tetapi dari tiga orang isteri itu,
hanya isteri pertama yang mempunyai dua orang anak laki-laki yang bernama Koa Hok kini
berusia dua puluh dua tahun, dan Koa Sek yang berusia dua puluh tahun. Kedua orang anak
inilah yang delapan tahun lalu pernah berkelahi dengan Cu Goan Ciang, menyebabkan Goan
Ciang terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan akhirnya ditampung di kuil
Siauw-lim-si dan menjadi murid Lauw In Hwesio. Mereka berdua kini telah menjadi dua
orang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Koa Hok bertubuh tinggi besar dan kokoh
kuat, wataknya tinggi hati dan mata keranjang. Adapun adiknya, Koa Sek bertubuh tegap
langsing, pendiam, akan tetapi dia memandang remeh kaum wanita dan perangainya kejam
dan licik. Kakak beradik ini sejak kecil mempelajari ilmu silat dari guru-guru yang
didatangkan ayah mereka dari kota dan membayar tinggi sehingga kini mereka menjadi dua
orang pemuda yang pandai silat dan tidak ada seorangpun dari para pengawal ayah mereka
yang mampu menandingi dan mengalahkan mereka dalam ilmu silat. Tentu saja mereka
berdua menjadi kebanggaan Lurah Koa yang amat memanjakan mereka sehingga kakak
beradik ini malang-melintang di dusun itu. Biarpun Lurah Koa sudah sering membujuk,
namun kedua orang puteranya itu masih belum mau menikah, walaupun mereka, terutama
sekali Koa Hok, bukan pemuda-pemuda alim yang tidak suka bergaul dengan wanita.
Matahari sudah naik tinggi. Para petani sudah lebih dari empat jam bekerja di ladang, sejak
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 30
matahari terbit. Namun, Koa Hok dan Koa Sek masih mendengkur di kamar masing-masing
karena dua orang pemuda ini, seperti biasa, bergadang sampai jauh malam. Tidur malammalam,
bangun siang-siang, inilah kebiasaan mereka. Bekerja berat enggan, menghambur
uang seenaknya, itulah kesenangan mereka. Tidak mampu mencari namun pandai membuang.
Ketika memasuki dusun Cang-cin, Siauw Cu atau yang lebih tepat kita sebut Cu Goan Ciang
karena dia bukan anak kecil lagi, dan sutenya, Shu Ta melihat betapa dusun itu nampak sunyi.
Agaknya semua penduduk, besar kecil, pria dan wanita, semua bekerja di sawah ladang!
Semua tenaga di dusun itu dikerahkan untuk menggarap sawah ladang milik hartawan Ji dan
Lurah Koa, semua warga dusun bekerja keras demi menambah kekayaan mereka berdua.
Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu telah berdiri di depan sebuah rumah gedung besar
yang tidak pantas berdiri di dusun yang amat miskin itu, di antara rumah-rumah penduduk
yang amat sederhana dan buruk. Kandang kuda yang nampak di sebelah kiri agak ke belakang
dekat gedung itu saja sudah mengalahkan semua rumah warga dusun dalam hal keindahannya.
Goan Ciang berdiri dan tertegun. Ketika dia masih bekerja kepada Lurah Koa, gedung itu
belum sedemikian indahnya. Sungguh besar sekali kemajuan yang diperoleh lurah itu selama
delapan tahun ini.
Dua orang penjaga yang tadinya berada di gardu penjagaan depan gedung itu keluar dan
menghampiri dua orang pemuda yang berdiri di luar pintu gerbang.
“Haii! Kalian ini dua orang pemuda tidak bekerja di sawah ladang, malah berkeliaran di sini!”
bentak seorang di antara mereka. Sikap mereka galak dan mengancam sehingga mudah
diambil kesimpulan bahwa para petugas keamanan ini sudah biasa bersikap kasar dan
menindas terhadap warga dusun.
Sebelum Cu Goan Ciang atau Shu Ta menjawab, muncul seorang petugas lain dari dalam
gardu. Dia ini seorang yang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan mukanya penuh bekas
cacar atau bopeng. Usianya sekitar empat puluh tahun dan sikapnya angkuh sekali. Dari
pakaiannya dan pedang yang tergantung di pinggang, yang berbeda dari kedua orang pertama,
mudah diduga bahwa dia tentulah petugas yang lebih tinggi kedudukannya. Memang orang ini
adalah Bong Kit, kepala pasukan keamanan Lurah Koa yang jumlahnya dua losin orang itu.
Sebagai orang yang paling berkuasa di antara dua losing penjaga keamanan, tentu saja Bong
Kit sadar betul akan kepentingan dirinya, dan hal ini membuat dia berwatak sombong bukan
main. Bahkan dalam hal kesombongan, dia tidak mau kalah bersaing melawan majikannya.
“Ha, kalian tentu bukan penduduk sini. Siapa kalian dan mau apa berkeliaran di dusun ini?”
Bong Kit membentak dengan sikapnya yang sombong.
Sesuai dengan rencana yang sudah diatur bersama Shu Ta tadi, Goan Ciang menjawab dengan
tenang. “Kami adalah kenalan keluarga Koa cung-cu, dan kami datang berkunjung untuk
bicara dengan Lurah Koa.”
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu sahabat Lurah Koa, tentu saja Bong Kit dan kawankawannya
menjadi terkejut. Mereka tadi bersikap kurang hormat terhadap dua orang tamu
sahabat majikan mereka! Maka, berubahlah sikap mereka dan wajah Bong Kit yang buruk dan
menyeramkan itu, kini berubah cerah berseri dengan senyum menyeringai dia memberi
hormat.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 31
“Aih, kiranya ji-wi kong-cu (dua orang tuan muda) adalah tamu dari majikan kami. Kalau
begitu, silahkan masuk dan duduk di ruangan tamu, biar kami melaporkan kepada majikan
kami tentang kunjungan ji-wi (anda berdua).”
“Terima kasih,” kata Goan Ciang yang saling lirik dengan sutenya, diam-diam merasa geli,
juga girang bahwa siasat mereka berjalan dengan mulus.
Setelah mereka dipersilahkan duduk di ruangan tamu yang luas dan indah di sebelah kiri
beranda gedung itu, Bong Kit bertanya, “Siapakah nama ji-wi yang akan saya laporkan
kepada majikan kami?”
“Namaku Cu Goan Ciang dan dia ini bernama Shu Ta” kata Goan Ciang tanpa ragu lagi.
Seorangpun di dusun itu tidak yang tahu akan namanya, karena dahulu, semua orang
mengenalnya sebagai Siauw Cu (Cu Kecil) seperti semua anak di dusun itu yang hanya
dikenal nama kecil atau nama panggilannya saja.
Bong Kit meninggalkan mereka untuk melapor ke dalam. Tak lama kemudian, muncul Koa
cung-cu, diiringkan oleh Bong Kit yang agaknya bertugas pula sebagai pengawal pribadi di
samping mengepalai pasukan pengawal yang selosin orang banyaknya. Melihat munculnya
seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bersikap
angkuh, dengan pakaian rapi dan mewah seperti pakaian seorang menteri saja, Goan Ciang
segera mengenalnya sebagai Lurah Koa Tong Lun. Akan tetapi, lurah itu sendiri sama sekali
tidak mengenalnya dan setelah menatap wajah kedua orang tamu mudanya dengan penuh
perhatian, dia memberi isarat dengan tangan mempersilahkan kedua orang pemuda itu duduk,
kemudian terdengar sang lurah berkata dengan nada suara seperti seorang raja menegur
hamba sahayanya.
“Pengawal melaporkan bahwa kalian datang untuk bicara denganku dan bahwa kalian adalah
kenalanku. Pada hal, rasanya aku belum pernah melihat kalian. Apa maksud kalian berbohong
dan ingin menghadap kami?”
Goan Ciang memberi hormat sambil duduk. “Maafkan kami, paman...”
Sepasang alus yang jarang itu berkerut. “Apa kaubilang? Paman? Aku bukan pamanmu!”
Goan Ciang berpura-pura terkejut dan ketakutan. “Lalu... saya harus menyebut apa?”
“Hemm, aku penguasa di sini, semua orang menyebut aku taijin (orang besar) dan sebagai
tamu, engkaupun harus menyebut taijin kepadaku,” kata sang lurah dengan sikap angkuh.
Goan Ciang mengangguk-angguk. “Baiklah, maafkan kami, taijin karena kami belum tahu
akan peraturan itu. Biarpun kita belum pernah saling berkenalan, akan tetapi kami berdua
sudah mendengar nama besar Koa-taijin dan kami mendengar bahwa dalam masa yang tidak
aman ini, taijin membutuhkan bantuan orang-orang yang boleh diandalkan. Nah, kami berdua
adalah kakak beradik seperguruan yang baru saja tamat belajar silat dan kalau taijin dapat
menerima kami sebagai pengawal, maka kami tanggung bahwa keselamatan dan keamanan
taijin akan terjamin.”
Mendengar ucapan itu, Lurah Koa otomatis menengok dan memandang kepada Bong Kit.
Keduanya bertemu pandang dan wajah Bong Kit menjadi semakin buruk, kehitaman karena
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 32
dia marah sekali mendengar dua orang pemuda itu melamar untuk menjadi pengawal. Lurah
Koa lalu tertawa bergelak dan kembali memandang kepada dua orang pemuda itu.
“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang bocah sungguh tekebur. Keamananku sudah terjamin dan
tidak akan ada orang yang berani mengacau di dusun kami ini! Kami tidak membutuhkan
pengawal baru, karena kami sudah mempunyai dua losing orang pengawal yang amat kuat
dipimpin oleh Bong Kit ini, selain itu, juga dua orang putera kami adalah pendekar-pendekar
yang tak terkalahkan.”
Cu Goan Ciang kembali saling pandang dengan Shu Ta dan mereka tersenyum geli
mendengar kesombongan itu keluar dari mulut sang lurah. Memang sudah mereka
perhitungkan kemungkinan sambutan seperti itu, maka sesuai dengan rencana mereka, kini
Shu Ta yang menjawab. “Akan tetapi, Koa-taijin, bagaimana mungkin taijin mempercayakan
keselamatan taijin sekeluarga kepada dua losing orang pengawal yang dipimpin oleh seorang
macan ompong seperti itu? Ya, macan ompong. Memang kelihatannya saja dua losin orang
pengawal taijin itu ganas dan kuat, namun mereka itu hanyalah sekelompok macan ompong
yang tidak bertaring tidak berkuku lagi.”
“Bocah sombong! Berani engkau menghina pengawalku yang dua losin itu?” Lurah Koa
berseru marah sedangkan Bong Kit mengepal tinjunya yang besar sambil melotot kepada Shu
Ta.
“Koa-taijin,” kata Cu Goan Ciang. “Sute sama sekali tidak menyombongkan diri, tidak
membual atau menghina para pengawal taijin. Kalau muncul gangguan orang jahat di dusun
ini, pasti pengawal-pengawal taijin tidak akan berdaya dan keselamatan taijin sekeluarga akan
terancam. Untuk meyakinkan hati taijin, bagaimana kalau kami berdua mengadakan
percobaan untuk menguji penjagaan keamanan terhadap keluarga taijin?”
Lurah Koa berkerut dan matanya memandang tajam penuh selidik. “Percobaan apa yang
kaumaksudkan? Jagalah kata-kata kalian, atau aku akan menyuruh pengawal unutk
menangkap kalian dan menghajar kalian!”
“Sekali lagi, kami tidak bermaksud menghina, melainkan bicara sebenarnya, taijin. Percobaan
yang saya maksudkan adalah begini. Biarlah kami berdua berperan sebagai dua orang
penjahat yang datang untuk menangkap dan menculik dua orang putera taijin. Dua losin orang
pengawal itu boleh mencoba menghalangi, juga dua orang putera taijin boleh melawan. Kami
akan mengalahkan mereka dan menangkap dua orang putera taijin dan membawa mereka
menghadap taijin. Bagaimana?” kata Cu Goan Ciang.
Lurah Koa terbelalak, lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apakah kalian ini dua orang bocah
yang sudah gila? Kalian berdua akan menangkap dua orang putera kami dan mengalahkan
semua pengawalku dan dua orang puteraku. Kalian gila!”
“Kami gila atau tidak, kita sama lihat saja dalam percobaan ini, taijin,” kata Shu Ta.
“Akan tetapi, kalian dapat dihajar sampai mampus oleh para pengawal kami sebelum dapat
bertemu dua orang puteraku! Andai kata kalian dapat melampaui para pengawal, kalianpun
akan dihajar oleh dua orang puteraku yang lihai.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 33
“Koa-taijin, kami datang untuk minta pekerjaan, bukan untuk membuat ribut. Kami hanya
ingin membuktikan kemampuan kami dan membuktikan betapa lemahnya penjagaan para
pengawal taijin. Oleh karena itu, kami tidak akan mencelakai siapapun, dan kami juga tidak
akan melukai dua orang putera taijin.”
“Tapi ini berbahaya bagi kalian. Kalian dapat dihajar mampus oleh pasukan pengawal kami!”
“Kalau terjadi demikian, kami tidak akan penasaran, taijin,” kata pula Cu Goan Ciang.
“Taijin, serahkan saja dua bocah gila ini kepadaku untuk kuhancurkan mulut mereka yang
lancang sekarang juga!” kata Bong Kit yang sejak tadi hanya menahan kemarahannya. Kalau
saja dia tidak berada di depan majikannya, kalau dua orang bocah sombong itu bicara seperti
itu di luar tadi, tentu sejak tadi dia sudah turun tangan menghajar mereka.
“Koa-taijin,” kata pula Cu Goan Ciang dengan cepat. “Kami kira tidak ada yang merugikan
taijin dalam percobaan ini. Kalau kami gagal dan tidak mampu, sampai terbunuh oleh para
pengawal taijin, taijin tidak rugi dan kamipun tidak akan penasaran. Sebaliknya, kalau kami
yang menang, taijin mendapatkan kami sebagai pengawal yang dapat diandalkan, bukankah
taijin pula yang untung?”
Mendengar ucapan masuk di akal ini, Lurah Koa mengangguk-angguk. “Baiklah, kami
menerima usul percobaan ini! Bagaimana dan kapan dimulainya?”
Tentu saja Cu Goan Ciang dan Shu Ta yang mengatur siasat agar mereka dapat menaklukkan
lurah ini dengan halus, girang melihat siasat mereka berjalan dengan baik. “Sekarang juga,
taijin. Kami berdua akan keluar dari dusun, kemudian kami memasuki dusun melalui pintu
gerbang dan mulai saat itu, semua pengawal taijin boleh menghalangi kami. Kami akan terus
masuk dan mencoba untuk menangkap kedua orang putera taijin. Tentu saja merekapun boleh
bersiap siaga melawan kami. Bagaimana?”
Lurah Koa tertawa, juga kini Bong Kit tertawa, karena mereka menganggap dua orang
pemuda ini gila atau setidaknya juga terlalu sombong dan tidak tahu diri.
“Baik, baik, kita mulai sekarang juga. Nah, keluarlah kalian dari dusun ini agar kami dapat
membuat persiapan,” kata sang lurah.
Cu Goan Ciang dan Shu Ta lalu keluar dari gedung itu, terus berjalan cepat keluar dari dalam
dusun Cang-cin. Bong Kit mengumpulkan semua anak buahnya yang dua losing banyaknya
dan menceritakan bahwa ada dua orang pemuda gila yang melamar menjadi pengawal dan
kini menyombongkan diri untuk diuji, yaitu mereka mencoba untuk menculik dua orang
putera lurah dan akan menghadapi mereka semua sebagai lawan! Mendengar ini, dua losing
pengawal itu tertawa geli, akan tetapi juga marah karena mereka menganggap dua orang
pemuda itu sombong dan memandang rendah mereka. “Kalau kita mengeroyok mereka, kita
hajar mereka habis-habisan, bahkan kalau mereka mampuspun, Lurah Koa tidak akan marah
kepada kita,” kata Bong Kit kepada mereka.
Sementara itu, Cu Goan Ciang dan Shu Ta, seperti yang mereka rencanakan, keluar dusun dan
menemui warga dusun yang masih sibuk bekerja di sawah ladang. Kepada semua warga
dusun, mereka menyatakan bahwa mereka berdua akan menandingi pasukan pengawal Lurah
Koa, dan mereka berdua akan menaklukkan sang lurah agar kesewenang-wenangan dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 34
penindasan terhadap warga dusun itu dapat dihentikan. Dua orang pemuda itu menganjurkan
agar seluruh penduduk menjadi penonton dan menyaksikan bagaimana mereka berdua akan
mengalahkan semua pengawal, dan menangkap dua orang pemuda putera sang lurah.
Mendengar ini, tentu saja semua warga dusun menjadi terkejut bukan main. Apa lagi ketika
kakek Coa muncul dan dengan lantang berteriak memberitahu bahwa pemuda yang tinggi
tegap dan gagah itu adalah Siauw Cu, yang delapan tahu lalu kematian orang tuanya
kemudian menjadi penggembala ternak milik Lurah Koa dan kemudian melarikan diri karena
memukuli dua orang putera lurah itu dan menjadi buronan yang tak pernah dapat ditemukan
para kaki tangan sang lurah. Warga dusun kini mengenal Cu Goan Ciang sebagai Siauw Cu
dan merekapun semakin geger. Ada yang menjadi gembira dan penuh semangat mendukung
usaha Siauw Cu untuk membebaskan mereka dari penindasan, ada pula yang ketakutan, takut
kalau terbawa-bawa dan mereka akan menerima hukuman dari para pengawal yang galak dan
ganas. Akan tetapi, akhirnya sebagian besar warga dusun itu kembali ke dusun dan mengikuti
dua orang pemuda itu dari belakang untuk melihat apa yang akan terjadi.
Ketika dua orang pemuda murid Siauw-lim-pai itu memasuki pintu gerbang, seperti yang
sudah mereka duga, mereka dihadang oleh sekelompok penjaga keamanan yang jumlahnya
lima orang. Melihat kedua orang muda itum seorang di antara para penjaga memukul
kentungan dan berlari-larianlah para pengawal yang lain ke pintu gerbang itu. Kiranya, Bong
Kit telah membagi-bagi pasukannya untuk melakukan penjagaan di empat penjuru untuk
menghadang. Kiranya, dua orang pemuda itu memegang janji, masuk melalui pintu gerbang
dan tidak menggunakan akal menyelunduo seperti yang mereka khawatirkan. Karena bunyi
kentongan itu, maka sebentar saja Cu Goan Ciang dan Shu Ta yang sudah memasuki pintu
gerbang, terkepung oleh dua losin petugas keamanan yang dipimpin oleh Bong Kit yang
berdiri dengan garang, dengan senyum sinis karena dia yakin bahwa dua orang ini tidak
mungkin akan dapat menandingi anak buahnya yang dua losin orang banyaknya, apa lagi
hendak menculik dua orang kongcu yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada dia
sendiri.
“Ha-ha-ha-ha, bocah-bocah sombong. Hendak kulihat, apa yang dapat kaulakukan terhadap
kami dua puluh lima orang?” Dia melihat pula betapa semua warga desa berdatangan
memasuki pintu gapura dengan sikap takut-takut akan tetapi juga ingin tahu. Melihat ini,
Bong Kit tidak marah, bahkan dengan gembira dia berteriak kepada mereka, “Haiii, kalian
semua, kebetulan kalian pulang dan dapat melihat keramaian. Dua orang bocah lancang ini
ingin menjadi pengawal dan mengalahkan kami, ha-ha-ha. Kalian lihatlah betapa kami akan
menghajar mereka. Kalian boleh nonton dan nanti segera kembali ke sawah untuk bekerja!”
Melihat lagak Bong Kit, Shu Ta sudah hendak turun tangan, akan tetapi suhengnya berbisik,
“Tunggu dulu. Lihat siapa yang datang, biar mereka menyaksikan agar mereka menyadari
kekuatan kita.”
Shu Ta mengangkat muka memandang dan dia melihat betapa Lurah Koa datang bersama dua
orang pemuda yang berpakaian mewah dan berwajah tampan karena mereka itu pesolek.
Mudah diduga siapa dua orang pemuda itu. Tentulah dua orang putera Lurah Koa. Di
pinggang mereka berdua tergantung sebatang pedang dan langkah mereka dibuat-buat seperti
langkah seorang pendekar asli, mirip langkah harimau.
Lurah Koa telah tiba di situ dan melihat dua orang pemuda itu sudah dikepung semua anak
buahnya, diapun tersenyum mengejek. “Kalian sudah dikepung, dan di sini dua orang anakku
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 35
telah siap siaga. Bagaimana kalian hendak menculik mereka? Ingin sekali aku melihatnya!”
Inilah yang dikehendaki Cu Goan Ciang dan Shu Ta. Semua telah berkumpul di situ dan
warga dusun juga telah berkumpul untuk menjadi penonton dan saksi. Cu Goan Ciang
tersenyum, lalu berkata lantang. “Koa-taijin, lihatlah betapa semua anak buahmu tidak ada
gunanya. Dalam waktu singkat, aku dan sute akan mengalahkan mereka!”
Setelah berkata demikian, Cu Goan Ciang dan Shu Ta bergerak ke depan. Para tukang pukul
atau jagoan pengawal lurah itu menyambut dengan pengeroyokan. Mereka, dipimpin oleh
Bong Kit, selain memandang rendah dua orang pemuda itu, juga tentu saja merasa malu kalau
harus mengeroyok dua orang yang tidak bersenjata itu denggan menggunakan senjata tajam
pada hal jumlah mereka sudah demikian banyaknya.
Para warga dusun yang berkumpul di situ dan menjadi penonton dari jarak yang cukup jauh,
terbelalak dan merasa khawatir sekali. Bagaimana mungkin dua orang pemuda itu akan
mampu melawan para tukang pukul yang sedemikian banyaknya? Mereka sudah mengenal
benar keganasan dan kekejaman para tukang pukul itu. Tentu tak lama lagi kedua orang
pemuda itu akan terkapar di atas tanah, berlumur darah, mungkin tewas.
Akan tetapi, mereka semakin terbelalak dan menahan napas ketika melihat betapa setiap kali
dua orang pemuda itu bergerak, pasti ada pengeroyok yang terpelanting! Dalam beberapa
gebrakan saja, dua orang pemuda itu telah membuat delapan orang pengeroyok terlempar dan
terpelanting.
Bong Kit menjadi marah sekali kepada anak buahnya yang dianggapnya tidak becus. Sambil
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor beruang, dia sendiri terjun dan dengan tubuhnya
yang tinggi besar dia menerjang ke arah Goan Ciang. Kedua lengan yang panjang itu, dengan
kedua tangan terbuka, seperti hendak menerkam ke arah kedua pundak pemuda itu. Melihat
serangan yang hanya mengandalkan tenaga seperti seekor binatang buas ini, Cu Goan Ciang
mengelak ke samping dan pada saat tubuh lawan terjerumus ke depan, kakinya menyambar,
ujung sepatunya mencium sambungan lutut kanan dan tak dapat dicegah lagi, Bong Kit jatuh
berlutut. Sebelum dia mampu bangkit, sebuah tamparan hinggap di pundaknya dan Bong Kit
merasa seperti disambar petir, tubuhnya terpelanting keras dan sejenak dia menjadi pening.
Kalau saja Bong Kit bukan orang yang selalu mengandalkan kekerasan dan memandang
rendah orang lain, tentu dia akan menyadari bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh
lebih kuat dari padanya. Namun, dia biasanya selalu menang, selalu ditakuti orang, apa lagi
mengandalkan banyak anak buahnya. Setelah mengguncang kepala dan mengusir kepeningan
kepalanya, dia bangkit berdiri, mencabut pedangnya dan berteriak kepada anak buahnya untuk
membunuh dua orang pengacau itu!
Sudah ada sepuluh orang yang terpelanting dalam gebrakan pertama itu, maka para
pengeroyok itupun menjadi jerih dan begitu mendengar aba-aba Bong Kit yang telah
mencabut pedang, mereka semuapun mencabut senjata mereka. Ada yang memegang golok,
pedang, tombak, ruyung dan mereka kini mengepung dua orang pemuda itu dengan sikap
bengis dan mengancam. Mereka yang tadi terpelanting juga sudah bangkit dan siap menerjang
karena memang Goan Ciang dan Shu Ta tidak berniat melukai mereka.
Melihat betapa dua puluh lima orang itu sudah memegang senjata semua, Goan Ciang lalu
berteriak ke arah kepala dusun yang masih berdiri didampingi dua orang puteranya. “KoaRajawali
Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 36
taijin, lihatlah betapa tidak ada gunanya semua pengawal tai-jin, hanya mengandalkan
kekerasan saja tanpa memiliki kepandaian yang berarti!”
Mendengar seruan ini, tentu saja Bong Kit menjadi marah. Dia menggerakkan pedangnya dan
memberi isarat kepada para pengikutnya. Ributlah dua puluh lima orang itu mengepung dan
mengeroyok Goan Ciang dan Shu Ta. Dua orang pemuda ini maklum bahwa dikeroyok
demikian banyaknya orang yang memegang senjata tajam, mereka tidak boleh lengah.
Merekapun menggerakkan kaki tangan dan berkelebatan di antara para pengeroyok.
Terdengar teriakan-teriakan dan senjata-senjata itu terlepas dari tangan pemegangnya, jatuh
berkerontangan dan bagaikan serumpun alang-alang dibabat, dua puluh lima orang itu,
termasuk Bong Kit, berpelantingan dan jatuh bangun! Mereka sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk menyerang lagi karena didahului oleh gerakan dua orang muda itu yang
memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi.
Tentu saja Lurah Koa terbelalak dan terkejut bukan main. Apa lagi ketika dua bayangan itu
setelah merobohkan semua pengeroyok, tiba-tiba berkelebat dan tahu-tahu telah berada di
depannya.
“Maafkan ji-wi kong-cu (tuan muda berdua), kalian terpaksa menjadi tawanan kami!” kata
Goan Ciang.
Dua orang pemuda itu marah sekali. Biapun mereka juga terkejut melihat betapa dua orang
pemuda itu mampu merobohkan semua pengeroyok, namun mereka berdua bukan orangorang
lemah.
“Singgg...!” Keduanya sudah mencabut pedang masing-masing. Tadi mereka sudah
mendengar dari ayah mereka bahwa dua orang pemuda itu melamar sebagai pengawal dan
kini sedang diuji kemampuan mereka dengan dikeroyok dua puluh lima orang pengawal yang
hendak mencegah mereka berdua menawan kedua orang putera lurah!
“Hemm, jangan kira mudah menawan kami berdua!” bentak Koa Hok dan diapun sudah
menyerang Goan Ciang dengan tusukan pedangnya. Adiknya, Koa Sek, juga sudah memutar
pedang dan menyerang Shu Ta.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kesenangan adalah kekuasaan. Kekuasaan memungkinkan nafsu yang menguasai diri
manusia untuk mencapai segala yang dikehendakinya, dan mencapai segala yang dikehendaki
tentu saja mendatangkan kesenangan bagi diri pribadi. Kekuasaan juga membuat kira merasa
bahwa diri kita penting, berarti, menonjol. Tanpa ada kekuasaan atas siapa saja, baik atas
orang-orang yang berkedudukan lebih rendah dari pada kita, bawahan kita, keluarga kita,
anak-anak kita, tanpa adanya perasaan bahwa kita berkuasa atas mereka, maka hidup ini akan
terasa kosong, tidak ada artinya, sepi dan membosankan. Seperti juga milik atau kelebihan
yang lain pada diri kita, kekuasaan juga memabokkan, dapat membuat kita lupa diri dan
melakukan apapun demi untuk mempertahankan atau merampas kekuasaan itu. Kekuasaan,
seperti kelebihan lain, mengikat dan membelenggu kita kuat-kuat sehingga orang yang
memiliki kekuasaan tak dapat lagi melepaskan diri, bahkan tidak dapat lagi menikmati hidup
tanpa kekuasaan. Ada yang begitu kehilangan kekuasaan, orang merasa demikian kosong,
tidak berarti, duka dan sengsara. Ada pula yang mempertahankan kekuasaan dengan taruhan
nyawa. Demikian lemahnya kita kalau sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu sehingga segala
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 37
yang sesungguhnya hanya menjadi pelengkap hidup, seperti kekayaan, kedudukan, kekuasaan
dan sebagainya, kita jadikan yang terpenting, lebih penting dari pada nyawa!
Mendengar, bahwa mereka telah diterima sebagai pengawal, Cu Goan Ciang dan Shu Ta
memberi hormat dan Cu Goan Ciang berkata, “Terima kasih atas kepercayaan Koa-taijin.
Akan tetapi, kalau kami hanya diterima sebagai pengawal, lalu siapa yang akan menjadi
kepala atau komandan kami, orang yang lebih pandai dari kami?”
Lurah itu saling pandang dengan kedua orang puteranya, lalu menoleh kepada Bong Kit yang
hanya menunduk dengan muka merah karena dia sudah merasa kalah dan tidak lagi berani
berlagak.
“Baik, kalian berdua kami angkat menjadi kepala pengawal, memimpin dua puluh lima orang
pengawal kami yang sudah ada,” kata Lurah Koa.
Cu Goan Ciang mengangguk-angguk dan sesuai dengan rencana dia dan sutenya, dia lalu
berkata, “Baik, taijin. Kami berdua menerima pengangkatan itu, dan demi keamanan dusun
ini terutama keluarga taijin, kami berdua akan mengadakan peraturan baru. Untuk itu, kami
mohon taijin dan ji-wi kong-cu untuk berunding dengan kami di rumah taijin, sedangkan
kepada semua pengawal, kami perintahkan untuk berjaga di luar.”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lurah Koa menyewa tukang pukul, dan hal ini dia lakukan karena pertama, hartawan Ji
memiliki juga tukang-tukang pukul yang banyak dan kuat di samping puterinya yang lihai dan
banyak membikin pusing karena gadis itu terkenal suka menentang tindakan para tukang
pukulnya terhadap warga dusun. Dan kedua, hartawan itu telah menggunakan banyak
uangnya untuk menjalin persahabatan dengan para pembesar yang berkuasa di kota, maka
diapun tidak berani sembarangan bertindak takut akan turun tangannya para pejabat tinggi
yang akan melindungi hartawan Ji. Akan tetapi sekarang, dengan adanya dua orang pemuda
perkasa yang amat lihai ini, terbuka jalan baginya untuk memaksa hartawan Ji bertekuk lutut
dan mengakui kekuasaannya di dusun itu.
Koa Hok dan Koa Sek duduk di kanan kira ayahnya. Dua orang pemuda inipun mengamati
Cu Goan Ciang dan Shu Ta dengan penuh perhatian dengan hati yang kagum dan juga
penasaran. Tadinya, mereka berdua menganggap bahwa mereka berdua merupakan orangorang
paling jagoan di dusun itu. Kini, tidak disangka sama sekali, kebanggaan hati mereka
itu hancur lebur di tangan dua orang pemuda ini! Akan tetapi, untuk melampiaskan rasa
penasaran, mereka tentu saja tidak berani. Semua anak buah mereka telah kalah, juga mereka
berdua bukanlah lawan dua orang pemuda perkasa ini! Seperti juga jalan pikiran ayah mereka,
karena merasa tidak mungkin memaksakan kehendak mereka kepada dua orang pemuda ini,
mereka berniat untuk menarik mereka menjadi kawan yang setia dan yang menurut
permintaan mereka, dan seperti Lurah Koa, dua orang pemuda yang selalu dimanja itupun
memikirkan apa yang akan dapat mereka capai dengan bantuan dua orang pengawal baru ini.
“Nah, Cu Goan Ciang dan Shu Ta, setelah kalian kini menjadi pimpinan pasukan, berarti
menjadi tangan kanan kami, lalu apa yang akan kalian lakukan, peraturan apa yang akan
kalian adakan untuk menjamin keselamatan keluarga kami? Sebagai balas jasa, kalian akan
kami beri rumah tinggal yang indah, pakaian baru dan banyak, juga segala kebutuhan kalian
akan kami penuhi!” kata sang lurah dengan wajah berseri.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 38
“Koa-taijin, sebelum kami membuat peraturan baru, kami ingin mengingatkan taijin akna
keadaan taijin di sini. Taijin menjadi kepala dusun, menjadi lurah di sini karena adanya rakyat
atau warga dusun Cang-cin, bukan? Andai kata dusun ini kosong tidak ada penduduknya,
hanya keluarga taijin sendiri, apakah taijin akan tetap menjadi lurah?”
Pertanyaan yang diajukan Shu Ta ini membuat sang lurah dan dua orang puteranya terbelalak.
Pertanyaan yang amat aneh, belum pernah selamanya pertanyaan seperti itu terpikir oleh
mereka.
“Tentu saja tidak!” akhirnya lurah itu berkata sambil mengerutkan alisnya. “Seorang kaisar
sekalipun tentu tidak akan menjadi kaisar kalau tidak ada rakyatnya. Kenapa engkau
mengajukan pertanyaan seaneh itu? Apa maksudmu?”
Shu Ta tersenyum. “Tepat sekali, taijin. Bahkan seorang kaisarpun tidak akan menjadi kaisar
tanpa adanya rakyat. Berarti yang mengangkat kaisar, juga lurah, adalah rakyat. Tanpa ada
rakyat, takkan ada lurah, sebaliknya tanpa adanya lurah sekalipun, rakyat akan tetap hidup.
Bukankah begitu?”
Lurah itu semakin kecut hatinya, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat membantah. “Tentu
saja, andai kata aku tidak menjadi lurah, akupun menjadi rakyat biasa. Tapi apa maksudmu?”
“Begini, taijin. Pengertian ini jelas menunjukkan bahwa yang terpenting adalah rakyat. Lurah
diadakan untuk kepentingan rakyat, untuk mengatur keperluan rakyat, bukan sebaliknya,
bukan rakyat diadakan demi kepentingan lurah. Bukankah begitu?”
Kembali terpaksa Lurah Koa mengangguk-angguk. “Lalu?”
“Contohnya dusun Cang-cin ini. Kalau taijin sebagai lurah ingin hidup aman, harus rakyatnya
dulu dibikin aman hidup mereka, kalau lurahnya ingin makmur, harus rakyatnya dibikin
makmur dulu, kalau ingin senang, harus rakyatnya lebih dulu dibikin senang. Bagaimana
mungkin lurahnya hidup aman kalau kehidupan rakyatnya tidak aman?”
“Hemm, orang muda, apa sesungguhnya maksudmu? Bukankah dusun inipun dalam keadaan
aman? Rakyat di dusun ini tidak pernah diganggu penjahat. Mana ada penjahat berani masuk
ke sini? Akan kami hancurkan!”
Kini Cu Goan Ciang yang bicara. “Memang tidak ada penjahat dari luar masuk, taijin. Akan
tetapi di dalam dusun sendiri penuh dengan orang jahat!”
Mendengar ucapan Cu Goan Ciang itu, ayah dan dua orang anaknya itu saling pandang,
kemudian mereka terbelalak memandang kepada Goan Ciang dan hampir berbareng mereka
berseru, “Tidak mungkin! Mana ada orang jahat di sini?”
Goan Ciang tersenyum. “Mungkin bagi sam-wi (anda bertiga) mereka tidak jahat, akan tetapi
tanyalah kepada warga dusun. Dua puluh lima orang anggota pasukan keamanan itu
melakukan pemerasan, penindasan, penyiksaan, pemukulan bahkan tidak segan membunuh,
tidak segan mengganggu anak isteri warga dusun. Kalau perbuatan seperti itu bukan
perbuatan penjahat, lalu apakah harus dikatakan perbuatan baik?”
“Tapi mereka itu menjaga keamanan dan menghukum warga dusun yang melanggar
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 39
peraturan, tidak kami suruh melakukan kejahatan!” teriak sang lurah.
Goan Ciang tersenyum. “Mungkin taijin tidak menyuruh mereka, akan tetapi karena merasa
berkuasa, mereka bertindak sewenang-wenang. Orang-orang seperti mereka itu bagaikan
anjing-anjing liar, kalau majikannya tidak memuaskan hati, mereka akan membalik dan
menggerogoti majikan sendiri.”
“Ahhh...!” Wajah lurah itu berubah. Tak pernah terpikirkan olehnya akan kemungkinan para
tukang pukulnya itu membalik dan mengganggu dia dan keluarganya. “Lalu... lalu apa yang
harus kita lakukan?”
“Kita tadi telah sependapat bahwa yang terpenting adalah kehidupan rakyat, yaitu warga
dusun ini, taijin. Taijin harus memakmurkan mereka, barulah kehidupan taijin sekeluarga
akan makmur. Karena itu, pertama-tama yang akan kami berdua lakukan adalah
menyingkirkan orang-orang yang menindas rakyat, yaitu dua puluh lima orang pengawal itu.
Sekarang juga, kita harus memecat mereka dan mengusir mereka dari dusun ini.”
Tiga orang itu terbelalak. “Tapi... tapi... tanpa mereka... siapa yang akan menjaga keamanan?”
teriak sang lurah.
“Hemm, lupakah taijin akan peristiwa tadi? Dua puluh lima orang itu hanya bisa sewenangwenang
mengganggu rakyat atau warga dusun yang lemah dan tidak berdosa, akan tetapi
sekali menghadapi gangguan dari luar, baru kami berdua saja yang muncul, mereka sudah
tidak ada artinya! Orang-orang macam itu yang taijin andalkan untuk menjaga keselamatan
taijin sekeluarga?”
Lurah itu terpaksa mengangguk-angguk. “Tapi... tapi bagaimana kalau mereka menolok dan
mereka membalas dendam karena dipecat, lalu mengganggu dusun ini...?”
Shu Ta tertawa. “Ha-ha-ha, mana mereka berani, taijin! Biar mereka itu ditambah seratus
orang lagi, kalau mereka berani membikin kacau, akan kami hadapi berdua dan akan kami
tumpas sampai habis!”
“Nah, taijin tinggal memilih. Tetap menggunakan mereka dan kami akan pergi dari sini, atau
memecat mereka dan kami berdua membantu taijin?” tanya Goan Ciang.
“Terserah... terserah... silahkan, akan tetapi kalian yang memecat mereka, bukan kami...”
“Mari kita keluar dan melaksanakan keputusan pertama ini sekarang juga, taijin,” kata Cu
Goan Ciang. Terpaksa lurah itu bersama dua orang puteranya ikut keluar dan mereka berlima
berdiri di beranda depan. Cu Goan Ciang memberi isarat kepada dua puluh lima orang
petugas keamanan itu untuk berkumpul dan mendekat. Mereka datang berbondong dan
berkumpul di bawah anak tangga beranda, dipimpin oleh Bong Kit. Mereka siap menerima
perintah dari pimpinan baru itu. Kini mereka tidak merasa penasaran lagi, bahkan berbesar
hati karena merasa mempunyai dua orang pimpinan yang boleh diandalkan sehingga mereka
tentu akan lebih berani dalam sepak terjang mereka, lebih buas dari pada yang sudah-sudah.
“Kalian semua dengarlah baik-baik. Kami telah mengambil keputusan bahwa karena kami
tidak lagi membutuhkan tenaga kalian dua puluh lima orang, maka mulai detik ini kalian
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 40
dipecat. Kalian boleh membawa seluruh milik kalian dan hari ini juga kalian harus
meninggalkan dusun Cang-cin dan tidak boleh lagi memasuki dusun ini. Siapa berani masuk
akan berhadapan dengan kami dan akan dihukum berat. Nah, laksanakan!”
Tentu saja semua orang itu terbelalak dan terheran-heran, bagaikan disambar petir di siang
hari terang. Sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa akan terjadi perubahan yang
begini mendadak. Setelah terhenyak sejenak saking terkejut, mulailah mereka itu berisik dan
bicara sendiri riuh rendah, semua menyatakan sikap yang tidak mau menerima dan penasaran.
Melihat ini, Cu Goan Ciang mengeluarkan bentakan yang disertai tenaga khikang sehingga
terdengar lantang dan nyaring sekali, membuat lurah itu sendiri hampir terjengkang sehingga
cepat dirangkul kedua orang puteranya. “Diaaaamm!! Kalian tidak perlu merasa penasaran.
Sepantasnya kalian diusir dengan hajaran keras karena selama ini kalian tiada ubahnya
sekelompok perampok jahat yang mengganggu keamanan dusun ini! Koa-taijin masih berlaku
murah hati dan hanya memecat dan mengusir kalian. Kalau ada yang masih penasaran, boleh
maju dan menghadapi kami!”
Ditantang seperti itu, tentu saja tidak ada yang berani maju. Biarpun mereka merasa marah,
penasaran dan sakit hati, namun mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu
menandingi dua orang pemuda itu.
Shu Ta menyusulkan ancamannya. “Kalau di antara kalian ada yang merasa sakit hati dan
mendendam, lalu datang mengganggu dusun ini, kami tidak akan memberi ampun lagi dan
akan membunuh kalian!”
Para penghuni dusun itu hanya terbelalak dan terheran-heran melihat dua puluh kima orang,
dipimpin oleh Bong Kit, berbondong-bondong meninggalkan dusun Cang-cin sambil
membawa buntalan besar di punggung mereka dan di belakang mereka berjalan pula isteri dan
anak-anak mereka. Tidak kurang dari seratus orang, yaitu dua puluh lima orang tukang pukul
berikut keluarga mereka, meninggalkan dusun itu! Tentu saja di dasar hati mereka merasa
girang seperti melihat sekumpulan iblis meninggalkan dusun itu, akan tetapi juga terdapat
perasaan khawatir seperti yang dirasakan Lurah Koa kalau-kalau gerombolan tukang pukul itu
akan membalas dendam. Mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan,
berhati kejam sekali. Hanya hartawan Ji yang diam-diam merasa gembira. Kalau Lurah Koa
ditinggalkan semua tukang pukulnya, maka dialah yang berkuasa di dusun itu!
Mendengar betapa dua orang pemuda yang ia jumpai di kuburan itu kini menjadi pengawal
Lurah Koa dan mengalahkan dua puluh lima orang tukang pukul sang lurah, bahkan
kemudian memecat dan mengusir semua tukang pukul bersama keluarga mereka
meninggalkan dusun, diam-diam Ji Kui Hwa merasa kagum. Akan tetapi, teringat akan
peristiwa di kuburan, hatinya merasa tidak enak. Ia tahu bahwa ayahnya, sebagai hartawan di
situ yang mempunyai banyak sekali sawah ladang, juga mempunyai sedikitnya dua puluh
orang tukang pukul yang biasa bertindak kejam terhadap para petani. Ia sendiri sudah
seringkali menentang tukang-tukang pukul ayahnya sendiri, dan sudah sering membujuk
ayahnya agar jangan menyuruh tukang-tukang pukul itu bersikap keras kepada para petani,
namun selalu bujukannya tidak berhasil. Dan kini ia mulai merasa khawatir.
Ketika Kui Hwa menghadap ayahnya, dia melihat ayahnya sedang mengadakan pertemuan
dengan Ban Su Ti, kepala para tukang pukul ayahnya dan lima orang anak buahnya. Ban Su
Ti adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 41
berperut gendut, nampak kokoh kuat, dan dialah orang kepercayaan hartawan Ji yang
mengepalai kurang lebih dua puluh orang tukang pukul. Melihat wajah mereka yang nampak
tegang, Kui Hwa menduga bahwa mereka tentu sedang membicarakan peristiwa yang terjadi
pada Lurah Koa itu, dan mungkin juga karena laporan dua orang tukang pukul ayahnya yang
tadi dihajar oleh dua orang pemuda asing itu.
“Ayah, apakah ayah sudah mendengar tentang Lurah Koa...”
“Kami sedang membicarakan urusan itu. Kebetulan engkau datang, Kui Hwa. Duduk di sini,
aku ingin mendengar pendapatmu pula. Juga ingin bertanya kepadamu tentang peristiwa yang
terjadi di tanah kuburan tadi.”
Kui Hwa duduk di dekat ayahnya dan cemberut. “Dua orang pembantu ayah tadi keterlaluan.
Kakek Coa tidak bekerja di sawah hari ini karena dia berkabung di makam isterinya. Dua
orang itu hendak memaksanya bekerja bahkan lalu memukulinya. Ini sudah keterlaluan, ayah!
Andai kata tidak ada dua orang pemuda asing itu muncul, aku sendiri kalau melihatnya tentu
akan menghajar orang-orang kita sendiri.”
“Kui Hwa! Omongan apa yang kaukeluarkan itu? Kakek Coa dihajar karena dia memang
membandel dan sudah sepantasnya dia bekerja di sawah! Dia telah menerima banyak
pertolongan dariku. Bahkan ketika isterinya meninggal, siapa yang memberinya uang
sehingga dia dapat mengubur mayat isterinya dan membayar semua keperluan sembahyang?
Aku! Ketika terjadi musim kering, siapa yang memberi pinjaman kepadanya untuk makan
setiap hari dan untuk membeli benih padi? Aku! Tidakkah sudah sepatutnya kalau dia kini
bekerja untukku? Dia membandel, membangkang, sudah sepantasnya kalau dia dihajar!”
“Ayah, aku tahu semua itu. Aku tahu pula kakek Coa telah membayar dan melunasi semua
hutangnya kepadamu berikut bunganya yang berlipat kali lebih besar dari pada jumlah
pinjaman. Sawah ladangnya telah dibayarkan kepadamu, semuanya telah habis berpindah
tangan kepadamu. Ayah, sudah sepatutnya kalau sebagai seorang hartawan ayah menolong
penghuni dusun yang miskin, kenapa ayah ingin memperbesar kekayaan dengan jalan
memeras rakyat?”
“Apa kau bilang? Memeras rakyat? Kau tahu, yang kaumakan sejak engkau lahir, pakaiannmu
itu, perhiasan, semua isi rumah ini, semua itu adalah hasil usahaku! Itu yang kaukatakan hasil
pemerasan?”
Kui Hwa menarik napas panjang. Percuma saja mengingatkan ayahnya yang selalu merasa
benar sendiri. “Sudahlah. Ayah. Sekarang muncul dua orang pendekar muda itu di dusun kita.
Mereka telah menguasai Lurah Koa, mengusir semua tukang pukulnya. Nah, apa yang harus
ayah lakukan? Aku yakin bahwa mereka berdua pasti akan menentang semua sikap anak buah
ayah yang kadang terlalu keras terhadap penghuni dusun.”
“Justeru kami sedang membicarakan urusan itu. Kui Hwa, kiranya tidak percuma saja aku
mengeluarkan banyak sekali uang untuk mengundang guru-guru silat dari kota yang jauh dan
mendidikmu. Engkau harus menggunakan kepandaiannmu untuk membantu ayahmu.”
“Bantuan apa yang dapat kuberikan, ayah? Apa yang ayah rencanakan?” tanya Kui Hwa.
“Dengar, Kui Hwa. Peristiwa yang terjadi pada Lurah Koa itu justeru amat baik dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 42
menguntungkan kita. Kitalah yang terkuat di dusun ini sekarang, setelah Lurah Koa tidak
mempunyai anak buah lagi.”
“Tapi, ayah di sana ada dua orang pemuda itu...”
“Ji-siocia (nona Ji), urusan dua orang bocah itu, saya yang akan membereskan kalau mereka
berani banyak ulah di dusun ini,” kata Ban Su Ti si gendut dengan sikap sombong.
Kui Hwa memandang dengan alis berkerut dan mata marah. “Huh, siapa percaya bualanmu?
Dua orang suhengku (kakak seperguruanku), yaitu kakak beradik Koa saja tidak mampu
menandingi mereka. Apa lagi engkau! Melawan akupun engkau tak mampu menang!”
bentaknya.
“Tidak salah, siocia, kalau saya maju sendiri. Akan tetapi kalau anak buah saya lima puluh
orang, pasti kita akan dapat menghancurkan dua orang itu!” bantah Ban Su Ti.
“Lima puluh orang? Anak buahmu hanya dua puluh orang, dan aku sangsi apakah kalain
dapat mengalahkan mereka. Ingat, dua puluh lima orang anak buah Lurah Koa juga tidak
mampu mengalahkan mereka. Sudahlah, aku tidak percaya bualanmu. Ayah, bagaimana
rencana ayah? Kalau rencana itu baik, tentu aku akan membantumu.”
“Begini, Kui Hwa. Kesempatan baik ini tidak dapat kulewatkan begitu saja. Kita harus
memperkuat diri dan memperbesar kekuasaan sehingga kelak, akulah yang menggantikan
Lurah Koa menjadi orang yang paling berkuasa di sini.”
“Ayah...!!”
“Dengar dulu! Ban Su Ti akan segera menghubungi Bong Kit dan kawan-kawannya yang
telah diusir oleh Lurah Koa. Kita tarik mereka sehingga mereka akan memperkuat pasukan
pengawal kita. Kemudian, kita tundukkan dua orang pengawal baru dari Lurah Koa itu dan
dengan kekuasaan kita, mudah saja menggulingkan Lurah Koa yang kita anggap tidak mampu
lagi, dan aku menggantikan kedudukannya sebagai lurah di sini.”
“Ayah, untuk apa harus begitu? Apakah ayah ingin aku membantu ayah sehingga aku harus
bermusuhan dengan kedua orang suhengku sendiri?”
“Tidak bermusuhan, anakku. Kita bahkan membantu Lurah Koa untuk menyingkirkan dua
orang pemuda yang menekannya! Nah, setelah dua orang pemuda itu berhasil ditundukkan
atau diusir pergi, semua penghuni akan melihat betapa lemah dan tidak mampunya Lurah Koa
menjadi penguasa di sini, dan akulah yang lebih pantas. Aku yang akan menggantikannyaa
menjadi orang yang paling berkuasa dan paling kaya di dusun ini. Lurah Koa akan menjadi
pembantuku, dan seorang di antara kedua puteranya, kalau memang kau suka, dapat saja
menjadi mantuku.”
“Ihh, ayah!” Kui Hwa mengerutkan alisnya dan kedua pipinya menjadi merah. “Aku hanya
melihat mereka sebagai kakak seperguruan karena kebetulan saja Lurah Koa dan yang
mendatangkan seorang guru dari selatan untuk mengajar kami. Kalau ayah hendak
mengandalkan puluhan orang mengeroyok dua orang pemuda itu, aku tidak dapat
membantumu, ayah. Suhu pernah memesan agar aku yang sudah mempelajari ilmu silat
darinya, bersikap gagah dan tidak melakukan kecurangan. Mengeroyok dua orang dengan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 43
lima puluh anak buah? Huh, memalukan!”
Selagi hartawan Ji hendak membantah dan memarahi puterinya, tiba-tiba masuk seorang anak
buah dan segera memberi hormat kepada hartawan Ji, lalu berkata, “Saya mohon maaf kalau
mengganggu, akan tetapi saya hendak menyampaikan berita yang penting.”
“Cepat bicara!” hartawan Ji berkata.
“Seorang di antara kedua pemuda yang berada di rumah Lurah Koa, dia bernama Cu Goan
Ciang dan dia dahulu adalah anak dari dusun ini, dikenal dengan nama panggilan Siauw Cu,
bekas penggembala hewan milik Lurah Koa.”
“Ahhh!” hartawan Ji berseru dengan kaget dan heran, “Sekarang aku ingat. Siauw Cu, anak
yang kematian ayah ibunya, kemudian karena ditolong Lurah Koa lalu menjadi kacung yang
bekerja di sana!”
“Siapakah itu Siauw Cu, ayah?” Kui Hwa tertarik mendengar bahwa seorang di antara dua
pemuda yang lihai itu adalah anak yang berasal dari dusun ini.
“Dia dahulu, beberapa tahun yang lalu, adalah pemuda yatim piatu dari dusun ini. Miskin dan
tak berkeluarga. Dia bekerja pada Lurah Koa, akan tetapi pada suatu hari, dia berkelahi
dengan kedua orang putera Lurah Koa dan melarikan diri, dikejar-kejar anak buah Lurah Koa
karena dia memukuli dua orang anak lurah itu sampai pingsan. Namun, pengejaran itu tidak
ada hasilnya. Dan sekarang, dia muncul lagi dan mengacau di rumah keluarga Koa. Nah,
kaulihat, Kui Hwa. Dia anak yang jahat sekali. Ketika kecil ditolong Lurah Koa, bahkan
penguburan jenazah orang tuanya dibiayai oleh Lurah Koa, kemudian dia diambil sebagai
kacung, diberi pekerjaan sehingga dapat makan kenyang dan pakaian utuh. Akan tetapi apa
balasannya? Dia berkelahi dengan kakak beradik Koa, memukuli mereka sampai pingsan lalu
minggat. Sekarang, setelah dewasa, datang lagi dan membikin kacau keluarga Koa yang
pernah menolongnya!”
Terbakar juga hati Kui Hwa mendengar ini. Pemuda itu, seorang di antara dua pemuda itu,
sungguh tidak mengenal budi. “Yang manakah dia yang bernama Cu Goan Ciang atau Siauw
Cu itu? Yang brewokan atau yang tinggi?” Ia memandang kepada pelapor tadi.
“Yang tinggi tegap, nona.”
“Hemm, suatu waktu aku sendiri akan menghajarnya!” kata Kui Hwa.
“Kau bantu saja kami, Kui Hwa. Kelak kita serbu dan tangkap mereka, dan engkau boleh
menghajarnya sampai mati!”
“Tidak, ayah! Aku tidak mau menggunakan banyak orang melakukan pengeroyokan. Aku
tidak mau bertindak curang!” Setelah berkata demikian, dengan bersungut gadis itu
meninggalkan ayahnya.
Setelah semua tukang pukul berikut keluarga mereka pergi meninggalkan dusun Cang-cin, Cu
Goan Ciang dan sutenya mengajak Lurah Koa dan kedua orang puteranya masuk dan
bercakap-cakap di ruangan dalam. Setelah mereka berlima duduk mengelilingi meja besar dan
air teh, Goan Ciang memandang kepada ayah dan dua orang anak itu dengan sinar mata tajam,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 44
kemudian dia bertanya.
“Nah, sekarang Koa-cungcu (Lurah Koa) dan ji-wi kong-cu (kedua tuan muda), pandanglah
aku baik-baik dan coba ingat, apakah kalian bertiga tidak lagi mengenal aku?”
Ayah dan kedua orang anaknya itu terkejut dan terheran mendengar ucapan Cu Goan Ciang
yang mengubah sikapnya itu. Namun, mereka tetap tidak dapat mengingat siapa pemuda ini
sesungguhnya, sementara itu, Shu Ta hanya tersenyum dan minum tehnya, hanya menjadi
penonton saja.
Goan Ciang memandang kepada kakak beradik Koa yang kini telah menjadi dua orang
pemuda yang gagah itu. “Koa Hok dan Koa Sek, lupakah kalian ketika kalian mengeroyok
aku di luar dusun dahulu itu, ketika aku sedang menggembala ternak milik ayah kalian?”
Dua orang pemuda itu mengamati wajah Goan Ciang, kemudian mereka saling pandang dan
kejutan pada pandang mata mereka menandakan bahwa mereka mulai dapat mengingat dan
mengenal siapa pemuda tinggi tegap yang duduk di depan mereka itu.
“Kau... Siauw... Siauw Cu...?” kata mereka hampir berbareng.
Goan Ciang mengangguk sambil tersenyum, dan Lurah Koa yang tadinya tidak percaya
mendengar seruan dua orang puteranya, kini baru tahu bahwa memang benar pemuda ini
adalah Siauw Cu.
“Siauw Cu...! Kau... kau berani...” akan tetapi dia menghentikan kemarahannya ketika
bertemu pandang dengan mata Goan Ciang.
“Lurah Koa, sepatutnya aku harus menghukum engkau dan dua orang puteramu, akan tetapi
mengingat bahwa engkau pernah pula berbuat baik kepadaku dan kepada orang-orang di sini,
maka aku mengambil keputusan untuk memaafkanmu asal kalian dapat mengubah cara hidup
yang sesat ini. Engkau sebagai lurah dusun ini terlalu mabok akan kekuasaan dan kesenangan
sendiri, tidak perduli akan kesengsaraan rakyat penghuni dusun. Mereka sudah diperas dengan
pinjaman berbunga oleh hartawan Ji, dirampas sawah ladang mereka sebagai pembayaran
hutang, akan tetapi bukan saja engkau tidak perduli, bahkan engkau membebani mereka
dengan pajak paksaan yang besar, demi memperbesar kekayaanmu. Engkau dan hartawan Ji
berdua telah memeras dan menghisap darah penghuni dusun, seperti dua ekor lintah gemuk,
seperti dua ekor serigala buas.”
“Tapi... tapi... Siauw Cu. Bukankah aku yang menolongmu ketika ibumu meninggal dunia,
memberimu peti mati dan memberimu pekerjaan dan...”
“Engkau memberi peti mati hanya karena ingin kubalas dengan tenagaku yang bekerja
menggembala ternakmu. Mengapa tidak kautolong ketika keluarga ayahku dilanda kebinasaan
karena kelaparan? Engkau sebagai kepala dusun tidak bertanggung jawab! Dan tahukah
engkau kenapa kedua orang puteramu ini menggeletak pingsan di luar dusun itu?”
“Kata mereka... karena kaupukuli...”
“Bagus! Mereka sejak kecil belajar silat dan aku tidak boleh dekat, bagaimana mungkin aku
berani memukuli mereka? Ketahuilah, karena aku lebih cepat dapat menguasai ilmu silat,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 45
mereka membenciku dan ketika aku menggembala, mereka menghadangku dan merekalah
yang memukuli aku. Aku melawan dan mereka roboh pingsan. Dan engkau mengirim tukangtukang
pukulmu untuk mencari aku, dan andai kata aku dapat ditemukan dan ditangkap, tentu
engkau akan menyuruh tukang-tukang pukulmu untuk menyiksa dan membunuhku.”
“Ah, tidak... Siauw Cu...”
“Sudahlah, akupun tahu akan segala yang kaulakukan melalui tukang-tukang pukulmu. Akan
tetapi aku bukan datang untuk membalas dendam. Aku hanya ingin agar semua penindasan
terhadap penghuni dusun ini dihentikan!”
“Siauw Cu, maafkan kami,” kata pula Koa Hok, diikuti oleh adiknya, Koa Sek.
“Bagus, kalian minta maaf, berarti kalian menyadari akan kesalahan kalian. Kalian, adalah
pemuda-pemuda, jangan mengikuti jejak ayahmu yang kotor, bahkan kewajiban kalian untuk
mengingatkan ayah kalian. Sekarang, semua tukang pukul sudah kita usir. Selanjutnya, semua
sawah ladang yang pernah kausita, harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Dan
mengenai pajak, memang sudah semestinya penghuni dusun yang berpenghasilan, dikenakan
pajak untuk membangun dusun, akan tetapi jangan sekali-kali menekan dan sewenangwenang.
Kalau semua ini tidak segera dilaksanakan sekarang juga, kami berduapun tidak
dapat bersikap lunak.”
“Baiklah... akan kulaksanakan kehendakmu, Siauw Cu,” kata Lurah Koa.
“Lurah Koa, aku bukan anak kecil Siauw Cu lagi, namaku Cu Goan Ciang. Tidak enak
dipanggil Siauw Cu seolah aku masih seorang kanak-kanak. Nah, aku percaya bahwa engkau
akan bertindak jujur dan benar-benar hendak bertaubat. Oleh karena itu, pelaksanaan
pengembalian tanah sawah kepada para pemiliknya semula, kuserahkan kepada kakak beradik
Koa!”
“Suheng, mereka ini sudah terbiasa bertindak curang, bagaimana kalau pelaksanaan itu tidak
berjalan dengan seadilnya dan mereka menipu para petani?” tiba-tiba Shu Ta berkata.
“Tidak, sute. Mereka adalah dua orang pemuda yang tentu saja akan berani mengubah sikap
dan tindakan masa lalu yang keliru, dan memulai dengan kehidupan baru yang sesuai dengan
keadaan mereka. Pemuda-pemuda yang sudah mempelajari ilmu silat yang cukup baik, sudah
sepatutnya menjadi orang-orang gagah perkasa berwatak pendekar, tidak pantas menjadi
penjahat yang curang dan kejam!” kata Cu Goan Ciang sambil memberi isarat dengan
pandang matanya kepada Shu Ta. Diam-diam Shu Ta kagum kepada suhengnya. Suhengnya
ini, ternyata pandai bersiasat untuk membangunkan semangat orang, untuk memberi harapan
kepada orang agar dapat hidup lebih baik dan bermanfaat!
Perhitungan Goan Ciang memang tepat sekali dengan penyerahan tugas itu kepada dua orang
pemuda Koa itu. Dua orang pemuda itu, yang tadinya dengan munculnya Siauw Cu merasa
amat terpukul dan terbanting, merasa tidak berarti, kini mendapatkan kembali kepercayaan
diri mereka, merasa diri penting. Bahkan merekalah yang menghapus keraguan ayah mereka
yang tidak rela mengembalikan sawah ladang kepada penghuni dusun. Mereka berdua segera
membuat daftar, dan membuat pengumuman, memanggil para penghuni dusun yang
bersangkutan dan mengembalikan hak milik atas sawah ladang yang dahulu disita oleh kepala
dusun dari mereka sebagai pembayar hutang dan pajak.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 46
Gegerlah seluruh dusun! Dan mereka tahu bahwa semua ini berkat pembelaan Siauw Cu.
Mereka bersyukur sekali dan memuji-muji Siauw Cu sebagai dewa penolong. Akan tetapi
masih banyak di antara mereka yang masih merasa sengsara karena tertimbun hutang mereka
kepada hartawan Ji yang kini bahkan memaksa mereka membayar hutang dengan tenaga
mereka sebagai buruh tani tanpa bayar, hanya sekedar diberi makan! Juga mereka yang
dahulu terpaksa membayar hutang mereka berikut bunganya kepada hartawan Ji dengan
menyerahkan sawah ladang, kini masih belum mendapatkan kembali tanah mereka seperti
para penghuni yang menerima kembali tanah mereka dari Lurah Koa.
“Hidup Cu-taihiap (pendekar Cu)!” terdengar seruan orang-orang di dusun itu. Kehidupan di
hari itu seperti dalam suasana pesta, kecuali mereka yang masih tertindas oleh kekuasaan Ji
wan-gwe.
Dengan hati gembira Goan Ciang dan Shu Ta menyaksikan pengembalian tanah yang diatur
oleh kedua orang kakak beradik Koa, sedangkan Lurah Koa yang tidak berdaya ternyata jatuh
sakit! Dia tinggal di kamarnya saja, namun dia sudah benar-benar menyerah, bahkan diamdiam
dia menyesali semua sikap dan prilakunya selama ini. Dia terlalu gila kekuasaan, terlalu
mabok kemewahan dan juga dengan kekuasaannya dia mengumbar kesenangannya akan
wanita cantik, melakukan pemaksaan dan merampas anak isteri orang! Diam-diam diapun
merasa terhibur dan timbul harapannya melihat sikap dua orang puteranya yang memenuhi
permintaan Goan Ciang dengan rela dan sepenuh hati. Mudah-mudahan mereka tidak seperti
aku, pikirnya, agar kelak tidak harus memetik buahnya yang pahit seperti aku.
Ketika Goan Ciang dan Shu Ta sedang menyaksikan pengembalian tanah yang dilakukan dua
orang kakak beradik Koa, tiba-tiba datang beberapa orang dusun berlari-larian menghampiri
Cu Goan Ciang. Wajah mereka pucat dan napas mereka terengah, nampaknya mereka
ketakutan sekali.
“Cu-taihiap... celaka... sungguh celaka...” teriak mereka setelah tiba dekat.
Cu Goan Ciang dengan sikap tenang bertanya, “Harap paman sekalian tenang. Apakah yang
terjadi maka paman kelihatan begitu ketakutan?”
Shu Ta juga ingin tahu, demikian pula Koa Hok dan Koa Sek. Seorang di antara orang-orang
yang datang berlarian itu, mewakili teman-temannya dan berkata, “Hartawan Ji... dia... dia
mendatangkan lagi semua jagoan bekas anak buah Lurah Koa yang telah diusir keluar dusun.
Berbondong-bondong mereka datang dengan lagak sombong, di sepanjang jalan menendangi
penghuni yang menonton di sepanjang jalan dan kini mereka semua memasuki perumahan
hartawan Ji.”
Cu Goan Ciang mengerutkan alisnya dan Shu Ta menggeleng-geleng kepalanya, “Suheng,
jelas ini sebuah tantangan. Agaknya kita harus membersihkan penyakit kedua di dusun ini,
hartawan Ji!”
Cu Goan Ciang mengangguk, “Agaknya demikian, sute. Akan tetapi kita harus mendidik
penduduk agar dapat membela diri terhadap penindasan penjahat. Koa Hok dan Koa Sek,
kalian dengar laporan mereka tadi?”
Dua orang kakak beradik Koa itu mengangguk.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 47
“Kalau kalian sudah mendengar, lalu apa yang akan kalian lakukan?” tanya pula Goan Ciang.
Kakak beradik itu saling pandang, tertegun lalu memandang kembali kepada Goan Ciang.
“Apa yang dapat kami lakukan?” Koa Hok balas bertanya. “Kami tidak dapat berbuat apaapa.”
“Hemm, jawaban macam apa itu?” Kalian adalah putera-putera lurah di dusun ini yang
berkewajiban untuk mengatur dan menenteramkan dusun ini! Juga kalian adalah dua orang
pemuda yang sudah susah-payah mempelajari ilmu silat dan telah memiliki ilmu kepandaian
yang cukup untuk membuat kalian menjadi orang-orang gagah. Dan kini, melihat di dusun ini
terancam penindasan hartawan Ji yang mengumpulkan banyak penjahat sebagai anak buah,
kalian mengatakan tidak dapat berbuat apa-apa? Kalian harus bangkit dan menghadapi
ancaman bahaya bagi dusun itu, kalian harus menentangnya dan menghalau para penjahat dari
dusun ini!”
“Maksudmu... kami harus melawan paman Ji?”
Ketika Goan Ciang mengangguk, Koa Sek yang berseru kaget. “Tapi itu tidak mungkin.
Paman Ji adalah sahabat baik ayah dan kedua, mungkin dia akan menjadi ayah mertua
seorang di antara kami, ke tiga, puterinya itupun adalah sumoi (adik seperguruan) kami! Dan
ke empat, kami hanya berdua, bagaimanan mungkin menentang anak buah paman Ji yang
banyak apa lagi sekarang ditambah dengan bekas anak buah ayah?”
Cu Goan Ciang memandang tajam kepada kakak beradik itu, dan sementara itu, di situ sudah
berkumpul banyak sekali penduduk dusun yang ketakutan mendengar berita bahwa semua
tukang pukul Lurah Koa kini telah dipanggil oleh hartawan Ji. Kemudian Cu Goan Ciang
berkata dengan suara lantang dan pandang mata tajam.
”Koa Hok dan Koa Sek, dengar baik-baik, kujawab satu demi satu alasanmu tadi. Pertama,
kini hartawan Ji bukan lagi sahabat ayah kalian yang telah sadar, bukan lagi sekutu hartawan
Ji dalam memeras penghuni dusun. Ke dua dan ke tiga, seorang gagah selalu bertugas untuk
mempertahankan kebenaran dan keadilan, meluruskan yang bengkok dan membela yang lurus
tidak perduli calon mertua, tidak perduli sumoi sendiri, kalau tidak benar haruslah dihadapi
sebagai lawan. Yang dimusuhi bukanlah orangnya melainkan perbuatannya. Membela yang
melakukan kejahatan, sama saja dengan kita sendiri membantu kejahatan itu. Alangkah akan
baiknya kalau kalian dapat menyadarkan hartawan Ji seperti halnya ayah kalian. Kemudian ke
empat, untuk membela kebenaran dan keadilan, kenapa kalian harus takut menghadapi
puluhan orang anak buah hartawan Ji? Tengoklah, bukankah semua saudara kita di dusun ini
akan siap membantu kalian?” Cu Goan Ciang lalu menghadapi para penghuni dusun yang
berkumpul di situ, melihat dan mendengarkan, “Saudara-saudara sekalian, kalau kakak
beradik Koa bangkit melawan anak buah hartawan Ji, apakah kalian berani membantu mereka
demi keselamatan dusun kita dari penindasan?”
Serentak semua orang berteriak-teriak, “Berani! Berani!”
Cu Goan Ciang tersenyum. “Nah, mereka berani. Apakah kalian tidak berani, Koa Hok dan
Koa Sek?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu sama-sama tersenyum. “Tentu saja kami berani!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 48
Shu Ta bertepuk tangan. “Bagus! Mari kita hajar mereka!”
Ketika semua penduduk menyambut ajakan Shu Ta itu dengan sorak-sorai, Cu Goan Ciang
mengangkat kedua tangan ke atas minta perhatian dan semua orang berdiam diri,
memperhatikan. “Saudara sekalian! Mulai sekarang, kalian sebagai warga dusun haruslah taat
kepada Lurah Koa yang telah menyadari kekeliruannya di masa lampau. Dia diwakili oleh
dua orang puteranya yang gagah. Ingat, ketaatan kalian adalah demi menjaga keamanan dusun
kita sendiri. Kalau kalian, di bawah pimpinan dua saudara Koa, bersatu padu, kiranya tidak
mungkin ada gerombolan penjahat berani mengusik dusun kita, tidak ada yang berani
melakukan penindasan kepada kalian. Akan tetapi ingat, kalian menghadapi perampok,
haruslah bersikap benar dan menentang kejahatan. Jangan lalu kalian membalas dengan jalan
merampok pula sehingga tidak tahu lagi kita bedanya antara kalian dan para perampok. Dan
ingat pula, bukan maksudku mengajak kalian menjadi pembunuh kejam. Kita hajar mereka,
agar mereka bertaubat. Kita hajar kekuasaan sewenang-wenang dari hartawan Ji, bukan
hendak mencelakai dia dan keluarganya. Mengerti?”
“Mengerti!” teriak para penghuni dusun. Kalau mereka mendapatkan kembali tanah mereka,
tidak lagi ditindas dan dapat hidup aman dan tenteram di dusun mereka sendiri, hal itu sudah
cukup, lebih dari pada baik. Tentu saja mereka tidak mempunyai keinginan sedikitpun untuk
membalas dengan jalan merampok dan membunuh. Mereka bukan orang-orang jahat.
“Saudara sekalian, sekarang harap kalian mempersenjatai diri, bukan dengan senjata tajam,
melainkan alat-alat pemukul saja dari kayu, atau tongkat, apa saja yang dapat kita pakai untuk
melawan, akan tetapi bukan untuk membunuh!” terdengar Koa Hok berteriak lantang,
membuat Goan Ciang dan Shu Ta saling pandang dan tersenyum girang. Para penghuni itu
bersorak dan segera mereka berlari ke sana-sini untuk mencari alat pemukul.
“Bagus, dengan semangat kalian, aku yang kalian akan menang,” kata Goan Ciang kepada
kakak beradik itu.
“Terima kasih, Goan Ciang. Akan tetapi kami membutuhkan bantuan engkau dan sutemu,”
kata Koa Sek.
Tiba-tiba suasana menjadi tegang ketika nampak berkelebat sesosok bayangan dan di situ
telah berdiri seorang gadis yang bukan lain adalah Ji Kui Hwa! Gadis ini berdiri tegak dengan
wajah marah, sepasang matanya bersinar dan mulut yang manis itu kini cemberut.
”Sumoi...!!” Koa Hok dan Koa Sek berseru hampir berbareng. Dalam suara mereka saja sudah
diketahui bahwa kakak beradik ini sayang kepada sumoi mereka.
“Hok-suheng dan Sek-suheng, aku datang bukan untuk berurusan dengan kalian, melainkan
dengan orang yang bernama Siauw Cu! Yang mana dia?” Ucapan itu terdengar ketus dan
mata yang indah tajam itu mengamati Goan Ciang dan Shu Ta.
Goan Ciang melangkah maju menghadapi gadis itu. “Akulah yang dipanggil Siauw Cu,
nona.”
Sepasang mata itu berkilat dan mulut yang indah bentuknya itu tersenyum mengejek. “Bagus
jadi engkau yang bernama Siauw Cu, si sombong! Engkau dahulu adalah seorang anak dusun
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 49
ini, akan tetapi setelah minggat, kini engkau kembali ke sini, mengandalkan kepandaian untuk
mengacau! Jangan dikira bahwa semua orang takut padamu. Aku Ji Kui Hwa tidak takut!”
“Sumoi... tunggu dulu...!” seru Koa Sek sambil mendekati sumoinya. Akan tetapi, kibasan
tangan gadis itu membuat dia terpaksa mundur.
“Sek-suheng, jangan mencampuri urusanku dengan si sombong ini! Aku bahkan merasa heran
mengapa engkau akrab dengan pengkhianat ini!”
“Nona, apa sebabnya engkau mengatakan aku sombong, pengacau dan bahkan pengkhianat?”
Goan Ciang bertanya penasaran.
Kui Hwa berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga seolah ia hendak
mengukur pinggangnya yang ramping itu dengan jari kedua tangannya.
“Hemm, engkau masih bertanya? Engkau telah ditolong oleh Lurah Koa, sehingga selain
jenazah ibumu dapat dikubur selayaknya, juga engkau diberi pekerjaan menggembala ternak.
Engkau diberi makan dan pakaian secukupnya. Akan tetapi apa yang kaulakukan sebagai
balas budi? Engkau memukuli kedua suhengku ini sampai pingsan, lalu engkau melarikan
diri, minggat tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Setelah bertahun
menghilang, kini engkau kembali dan engkau membalas budi paman Lurah Koa dengan
menghinanya, bahkan membubarkan pasukannya dan membuat kekacauan di dusun ini!”
“Sumoi, nanti dulu!” kini Koa Hok yang berteriak dan di meloncat ke depan gadis itu,
menghalangi gadis itu menentang Goan Ciang. “Engkau mendapatkan keterangan yang
keliru! Memang Goan Ciang memukuli kami berdua sampai pingsan, akan tetapi itu
kesalahan kami berdua. Kami merasa iri karena kalah pandai darinya, maka kami sengaja
menghadangnya dan kami yang memukulinya untuk melampiaskan penasaran dan iri. Dia
hanya melawan untuk membela diri, dan setelah kami roboh, dia melarikan diri, takut akan
pembalasan ayah.”
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi Kui Hwa masih penasaran. “Kalau begitu, dia kini
datang untuk membalas dendam kepada kalian dan ayah kalian?”
“Tidak, sumoi!” kini Koa Sek yang bicara. “Goan Ciang datang untuk menyadarkan ayah dan
kami dari kekeliruan. Mungkin engkau sudah mendengar. Kami mengembalikan semua tanah
penduduk yang pernah dirampas ayah. Kami ingin menjadi pemimpin dan sahabat penduduk
dusun kita, bukan menjadi musuh mereka. Goan Ciang benar dan kami berterima kasih
kepadanya!”
Kui Hwa merasa kecelik, akan tetapi ia memang galak dan keras hati, tidak mau sudah begitu
saja. “Jadi kalian mengangkat dia sebagai pimpinan?”
“Dia memang patut menjadi pemimpin kita, sumoi. Dia lihai, bijaksana dan adil,
mengingatkan kami akan pesan suhu bahwa kita harus membela kebenaran dan keadilan,
membela yang lemah tertindas...”
“Huh, aku tidak mau percaya begitu saja sebelum merasakan sendiri kelihaiannya.”
“Sumoi!” Kakak beradik itu berseru kaget.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 50
“Cu Goan Ciang, majulah dan cabut senjatamu!” bentak Kui Hwa sambil mencabut
pedangnya.
“Sumoi, jangan...!” kembali kakak beradik itu berteriak.
Shu Ta menegur mereka. “Sudahlah, saudara Koa berdua, tidak perlu mencegahnya. Nona ini
benar. Sebelum berkenalan dengan orangnya, memang lebih baik kalau lebih dahulu
berkenalan dengan ketangguhannya!”
Setelah dua orang kakak beradik itu mundur Goan Ciang melangkah maju, lebih mendekati
gadis itu. “Baiklah, nona. Kalau nona ingin menguji kepandaian, majulah. Nona boleh
menggunakan pedangmu, dan aku akan menghadapimu dengan dua tangan kosong saja.”
“Sombong, aku bisa membunuhmu!”
“Apa boleh buat, kalau aku kalah dan terbunuh olehmu, takkan ada yang menyesal, silahkan!”
“Sumoi, kau takkan menang!” teriak kakak beradik Koa itu.
Mendengar ini, kemarahan Kui Hwa bagaikan api disiram minyak. “Bagus, Cu Goan Ciang,
kaulihat pedangku dan jaga serangan ini!” pedangnya berkelebat dan gadis itu sudah
menyerang dengan tusukan ke arah dada Goan Ciang. Kalau Goan Ciang berani menghadapi
gadis itu dengan tangan kosong, hal ini bukan karena dia sombong, melainkan karena dia
sudah tahu atau dapat memperhitungkan sampai di mana tingkat kepandaian sumoi dari kakak
beradik Koa yang sudah dia ketahui kepandaian mereka itu.
Tusukan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Goan Ciang dan sampai sepuluh jurus
serangan, dia selalu mengelak, membuat Kui Hwa menjadi semakin penasaran. Pada jurus
berikutnya, ketika pedang itu menyambar. Goan Ciang memapaki dengan gerakan kedua
tangan. Tangan kiri dengan berani menyambut bacokan pedang itu, dan jari-jari tangannya
mencengkeram pedang, lalu jari tangan kanannya bergerak menotok ke arah pergelangan
tangan yang memegang pedang. Kui Hwa mengeluh dan tangan kanannya seperti lumpuh. Di
lain saat, pedangnya telah dirampas Goan Ciang.
Akan tetapi, dasar dara ini seorang yang bandel dan tidak mau mudah mengalah, biar
pedangnya sudah dirampas, ia masih belum mau menerima kalah. Ia berteriak dan maju
sambil mengirim serangan dengan pukulan-pukulan. Goan Ciang hanya mundur sambil
menangkis dan ketika tangan kanan Kui Hwa memukulnya dengan jari terbuka, memukul
dengan dorongan telapak tangan, dia memapaki dengan telapak tangan kirinya.
“Dukkk!!” Tubuh gadis itu terjengkang roboh kalau saja Koa Hok tidak cepat menyambutnya
dari belakang dan mencegah gadis itu terbanting.
Wajah Kui Hwa menjadi merah sekali. “Sumoi, kami berduapun tidak mampu
menandinginya, apa lagi engkau seorang diri,” kata Koa Hok dan kini Kui Hwa yakin bahwa
ilmu kepandaian Cu Goan Ciang memang jauh lebih tinggi dari pada ilmunya, bahkan
mungkin lebih tinggi dari tingkat gurunya.
Pada saat itu, para penghuni dusun sudah berkumpul membawa kayu-kayu pemukul dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 51
jumlah mereka tidak kurang dari dua ratus orang. Agaknya seluruh penghuni dusun sudah
berkumpul sekarang, siap berperang! Melihat ini, Kui Hwa terkejut bukan main.
“Mau apa mereka itu? Suheng, apa yang hendak kalian lakukan?”
“Sumoi, penduduk dusun terancam, tidak tahukah engkau bahwa ayahmu telah memanggil
kembali dua puluh lima orang bekas anak buah ayah kembali ke dalam dusun ini dan agaknya
menjadi anak buah ayahmu?” kata Koa Hok.
Gadis itu bersungut. “Itulah yang membuat hatiku jengkel! Karena peristiwa di sini, ayah
menjadi marah dan dia mengumpulkan kekuatan, mengundang para jagoan yang diusir dari
sini. Bahkan aku sendiri tidak mampu mencegah, dan ketika aku memperingatkan ayah, dia
malah marah kepadaku, membuat aku jengkel dan aku mencari biang keladinya di sini!”
“Ah, engkau salah sangka, sumoi. Cu Goan Ciang adalah seorang pendekar yang hendak
membersihkan dusun ini dari gangguan dan berusaha agar kehidupan penghuni dusun menjadi
tenteram dan makmur. Kau ingat, sumoi, dia melakukan segala hal sesuai dengan nasihat guru
kita dahulu,” kata Koa Hok.
“Tapi, apa yang hendak kalian lakukan dengan para penduduk yang membawa alat pemukul
itu?”
“Kami hendak menyerbu ke tempat ayahmu, sumoi,” kata Koa Sek.
“Apa?? Kalian hendak menyerang ayah? Kalian hendal menghancurkan ayah, dan
membiarkan orang-orang ini untuk merampok harta benda ayah dan membunuh ayah
sekeluarga?” Wajah gadis itu berubah pucat, lalu menjadi merah sekali.
“Jangan salah sangka, sumoi. Lihat, ketika Cu Goan Ciang datang bersama sutenya, diapun
tidak mengganggu ayah sekeluarga, hanya ingin menyadarkan kami. Yang dia usir hanyalah
para tukang pukul ayah karena merekalah yang mengganas di dusun ini. Sekarangpun, kami
hendak menyerbu ke sana bukan untuk memusuhi ayahmu, melainkan untuk menghajar para
tukang pukul ayahmu dan bekas tukang pukul ayah kami yang bergabung ke sana. Terhadap
ayahmu, kami hanya ingin mengajak agar dia menyadari kesalahannya selama ini dan dapat
bekerja sama dengan kami untuk memakmurkan dusun kita.”
“Benar, sumoi,” kata Koa Sek menyambung ucapan kakaknya. “Kita laksanakan semua
nasihat guru kita dahulu. Kita tegakkan kebenaran dan keadilan, kita bela yang lemah
tertindas dan menentang yang lalim dan yang menindas orang lain seperti ayah kami dan
ayahmu. Kita harus menebus semua kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang tua
kita.”
Kui Hwa mengangguk-angguk. “Tapi... kalian berjanji tidak akan menyerang ayahku dan
keluargaku?”
“Kami berjanji!”
“Baik, kalau begitu, aku akan membantu kalian!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 52
Ucapan Kui Hwa itu disambut sorak-sorai para penduduk yang menjadi gembira bukan main.
Gadis itu memang mereka kenal sebagai seorang gadis yang wataknya baik, jauh berbeda
dengan ayahnya, bahkan sering membela mereka dari penindasan ayahnya sendiri. Ketika tadi
melihat gadis itu bertanding melawan Cu Goan Ciang, mereka merasa prihatin. Kini,
mendengar betapa gadis itu berpihak kepada mereka untuk mengusir semua tukang pukul dari
tempat tinggal ayahnya sendiri, tentu saja mereka semua merasa gembira bukan main dan
berbesar hati. Juga memandang muka gadis itu, merekapun tidak ingin mencelakai orang tua
gadis itu, dan semua kebencian mereka tumpahkan kepada para tukang pukul.
“Goan Ciang, apakah sekarang kita boleh berangkat?” tanya Koa Hok, Goan Ciang
mengangguk, gembira melihat betapa Koa Hok dan Koa Sek, kini dibantu Kui Hwa, siap
memimpin para penghuni dusun.
“Saudara sekalian,” teriaknya, “mari kita berangkat ke rumah hartawan Ji. Akan tetapi sekali
lagi ingat, kita tidak bermaksud membunuh, hanya mengusir para tukang pukul dari dusun ini
untuk selamanya. Jangan mengganggu keluarga Ji, jangan pula mengambil barang seperti
perampok. Aku sendiri yang akan menghukum siapa yang berani melanggar!”
Berangkatlah mereka berbondong-bondong menuju ke rumah keluarga Ji. Tentu saja berita ini
sudah sampai kepada hartawan Ji yang segera mengerahkan semua anak buahnya yang kini
berjumlah lebih dari lima puluh orang. “Hantam mereka! Hajar dan keroyok mereka, orangorang
tak tahu diri itu!” Teriak sang hartawan dengan penuh semangat. Anak buahnya juga
dengan penuh semangat menyerbu keluar dari rumah itu, dengan senjata di tangan dan penuh
semangat, penuh dendam. Kini mereka berbesar hati, merasa bahwa jumlah mereka banyak
sehingga mereka percaya bahwa Cu Goan Ciang dan adik seperguruannya takkan mampu
menandingi pengeroyokan banyak orang.
Dua rombongan bertemu di jalan raya. Betapa kagetnya hati para pimpinan gerombolan
tukang pukul itu ketika dari depan, datang bagaikan banjir, banyak sekali penghuni dusun
yang semua memegang pentungan! Jumlah mereka jauh lebih banyak, ada dua ratus orang!
Dan di depan mereka berjalan dengan gagahnya, bukan hanya Cu Goan Ciang dan Shu Ta,
melainkan juga Koa Hok, Koa Sek, dan juga nona majikan mereka sendiri, Ji Kui Hwa! Tentu
saja hal ini membuat mereka merasa jerih, akan tetapi sudah kepalang, mereka sudah
berhadapan dan dengan nekat para pimpinan tukang pukul, dikepalai Bong Kit yang tinggi
besar bermuka bopeng, dan Ban Su Ti yang pendek genduk, menggerakkan golok mereka
menyerbu sambil memberi aba-aba kepada anak buah mereka.
Dalam beberapa gebrakan saja, Cu Goan Ciang dan Shu Ta berhasil merobohkan Bong Kit
dan Ban Su Ti sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena tulang kaki mereka
patah-patah. Sementara itu, Koa Hok, Koa Sek dan Kui Hwa juga mengamuk. Para penghuni
dusun, biarpun tidak pandai silat, namun mereka itu rata-rata adalah para petani yang setiap
hari bekerja keras di bawah terik sinar matahari. Tubuh mereka kuat dan semangat mereka
besar karena mereka berkelahi untuk membela diri dan membebaskan diri dari penindasan.
Sebaliknya, para tukang pukul itu sudah jerih ketika melihat Cu Goan Ciang, Shu Ta, Koa
Hok, Koa Sek, dan Kui Hwa. Ditambah lagi jumlah besar dari semua penduduk yang
melakukan perlawanan, mereka menjadi semakin panik dan kocar-kacir, dihajar oleh para
penduduk dengan pukulan-pukulan kayu sampai mereka berteriak-teriak minta ampun. Tidak
ada seorangpun di antara mereka yang mampu meloloskan diri dari amukan penduduk dusun.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 53
Akhirnya, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala dengan kedua
tangan, minta-minta ampun!
“Cukup, semua mundur!” teriak Cu Goan Ciang dan para penduduk dusun itu cepat menahan
diri dan mundur, dengan sikap seperti para prajurit yang habis menang perang. Bahkan
mereka yang terluka terkena goresan senjata tajam lawan juga masih tetap bersemangat,
seolah darah mereka yang mengalir merupakan tanda yang membuat mereka bangga!
Cu Goan Ciang memandang kepada lima puluh orang lebih tukang pukul yang kini berlutut
semua, ada yang mengerang kesakitan, ada pula yang rebah pingsan karena pemukulan kayu
yang terlalu keras.
“Kalian ini orang-orang jahat yang agaknya tidak tahu diri! Apakah kami harus membunuh
dulu kalian agar kalian benar-benar bertaubat?”
Mereka menjadi ketakutan dan terdengar seruan mereka minta ampun. “Biarlah, sekali ini
kami memberi ampun. Kalian boleh pergi sekarang juga, cepat tinggalkan dusun ini dan siapa
di antara kalian yang berani memperlihatkan diri, tentu kaliaan akan dikeroyok semua
penduduk dan dibunuh dengan tubuh hancur lebur! Nah, pergi kalian dan bawa teman-teman
kalian yang pingsan dan terluka!” Berbondong-bondong, para tukang pukul itu meninggalkan
dusun, membawa keluarga mereka dan juga menggotong teman-teman yang terluka dan tidak
mampu berjalan. Suasana menjadi sunyi dan semua orang masih berdiri di jalan raya, di
depan rumah besar hartawan Ji yang daun pintunya tertutup semua.
Koa Hok menoleh kepada Cu Goan Ciang. Dia dan adiknya kini mempunyai perasaan yang
aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, yaitu perasaan bangga bahwa mereka
telah berhasil melakukan sesuatu yang baik dan gagah sesuai dengan keadaan mereka sebagai
putera seorang kepala dusun, dan sebagai laki-laki. Mereka merasa menjadi pendekar! “Apa
yang akan kita lakukan sekarang, Cu-taihiap?”
Goan Ciang tersenyum kepadanya. Baru sekarang Koa Hok menyebutnya taihiap dan diapun
tidak menanggapi sebutan ini. “Masih ada satu hal terakhir yang harus kita selesaikan,”
katanya sambil menoleh dan memandang kepada Kui Hwa, “yaitu menyadarkan hartawan Ji
dan untuk tugas ini, saya kira nona Ji lebih tepat untuk bertindak, kalau saja ia mau
melakukannya/”
Kui Hwa memandang kepada Goan Ciang, memandang kagum. Orang ini memang hebat,
pikirnya, dan selain pandai memimpin orang, juga tegas, jujur dan memegang janji. Tidak ada
tukang pukul yang dibunuh, dan rumah ayahnyapun tidak dijamah. “Baik, aku siap
melaksanakan tugas. Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan sikap yang tegas pula.
“Bagus, engkau sungguh nampak gagah perkasa, sumoi!” kata Koa Sek.
“Nona Ji, kami sudah berjanji padamu dan kita semua bersepakat untuk tidak mengganggu
ayahmu. Kami ingin agar dia, seperti juga Lurah Koa, menyadari kesalahannya ini dan
menjadi warga dusun yang baik.
Kami ingin menyadarkannya, oleh karena itu, engkau masuklah dan bujuklah mereka semua
keluar dan bicara dengan kami di halaman depan.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 54
“Baik akan kulaksanakan!” kata Kui Hwa tanpa ragu lagi dan iapun berlari memasuki
halaman rumah ayahnya yang luas. Goan Ciang, Shu Ta, Koa Hok dan Koa Sek juga
memasuki halaman, diikuti dari belakang oleh para penduduk dusun yang baru sekali ini
merasa gembira dan penuh harapan.
Kui Hwa memasuki ruangan depan rumahnya, akan tetapi daun pintunya terkunci dari dalam.
Ia mengetuk pintu dan berteriak memanggil ayah ibunya. Mendengar suara puteri mereka,
hartawan Ji memberi isarat kepada pelayan untuk membuka daun pintu. Pelayan wanita
membuka daun pintu, membiarkan Kui Hwa masuk, akan tetapi ia segera menutupkan
kembali daun pintu dengan mata terbelalak dan muka pucat melihat begitu banyaknya orang
memenuhi halaman rumah.
Begitu melihat puterinya, Nyonya Ji segera menubruk dan merangkul sambil menangis. Kui
Hwa merangkul ibunya seperti seorang ibu menghibur anaknya yang rewel. Sementara itu,
hartawan Ji mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah mendengar betapa puterinya ini membantu
pihak musuh, ikut menyerbu dan menghajar para tukang pukul sampai mereka semua kocarkacir
dan melarikan diri meninggalkan dusun.
“Kui Hwa, apa yang kaulakukan ini! Engkau menyerang dan memusuhi ayahmu sendiri?”
bentaknya dengan muka merah dan mata melotot.
Kui Hwa melepaskan rangkulan ibunya dan menghadapi ayahnya, “Ayah, mereka yang benar.
Memelihara tukang-tukang pukul itu mendatangkan penyakit. Mereka adalah orang-orang
jahat. Keluarga Lurah Koa sudah sadar dan mengubah jalan hidup mereka, hendak
membangun dusun kita dan memakmurkan kehidupan penghuninya. Saya mohon ayah juga
menyadari kekeliruan sikap hidup ayah yang sudah-sudah, tidak lagi menindas penghuni
dusun, melainkan mengulurkan tangan membantu mereka agar kehidupan di dusun ini
menjadi makmur, tenteram dan damai.”
“Huh, mereka itu hanya orang-orang malas yang kini bermaksud merampok harta kita!”
“Tidak, ayah. Buktinya setelah semua tukang pukul dienyahkan, tidak ada seorangpun dari
mereka mengganggu rumah ini. Mereka menanti di halaman, menanti ayah keluar agar dapat
bicara dengan mereka. Mari kita keluar, ayah.”
“Tidak! Tidak sudi aku bertemu dan bicara dengan para perampok itu! Engkau anak murtad!
Seharusnya engkau membela keluargamu, bukan malah membantu musuh menghancurkan
keluarga sendiri!”
“Aku tidak berpihak kepada musuh. Mereka bukan musuh kita, ayah. Yang mereka musuhi
adalah para tukang pukul. Mereka hendak menyadarkan ayah dari kekeliruan.”
“Sudahlah, aku tidak mau keluar. Hendak kulihat mereka mau apa?”
“Kalau begitu, biarlah aku tinggal di sini, mati hangus bersama seluruh keluarga kita.”
“Mati hangus? Apa maksudmu?” Hartawan Ji Sun memandang wajah puterinya dengan alis
berkerut.
“Kalau ayah tidak mau keluar, mereka akan membakar rumah ini untuk memaksa semua
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 55
keluarga keluar dan membiarkan rumah ini habis dimakan api. Kalau kita tetap tidak mau
keluar, berarti kita akan mati hangus di dalam sini.” Mendengar ucapan itu, Nyonya Ji dan
para pelayan menjerit.
Wajah hartawan itu menjadi pucat sekali. “Kau... kau anak murtad... anak durhaka...”
Kui Hwa menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Dengan kedua mata basah ia
berkata, “Ayah, bukan maksudku untuk murtad dan durhaka. Bahkan aku bermaksud baik.
Ayah, apa artinya harta bertumpuk kalau penghuni dusun ini hidup sengsara dan kita
dikelilingi musuh? Bukankah jauh lebih baik hidup tenteram dan damai, menggunakan
sebagian dari harta kita untuk menolong manusia lain dari kelaparan dan kesengsaraan? Kalau
ayah menganggap aku durhaka, terserah, akan tetapi Tuhan yang tahu bahwa bukan
maksudku untuk menjadi anak durhaka. Mari, ayah, mari kita keluar dan bicara dengan
mereka. Percayalah, sampai bagaimanapun, aku akan melindungi dan membela ayah.”
Setelah Kui Hwa membujuk, juga ibu gadis itu, akhirnya hartawan Ji mau keluar dari pintu
depan, mereka disambut sorak-sorai para penghuni dusun. Hartawan itu terbelalak pucat
melihat betapa dapat dibilang seluruh penduduk dusun itu, yang pria, hadir di halaman
rumahnya! Dan yang berada di depan adalah dua orang pemuda gagah bersama dua orang
pemuda Koa putera-putera Lurah Koa.
Koa Hok dan Koa Sek yang oleh Goan Ciang diserahi tugas memimpin penghuni dusun dan
bicara dengan hartawan Ji, segera melangkah maju dengan tegap dan sikap gagah, sampai
mereka berhadapan dekat dengan keluarga hartawan itu.
“Paman Ji, kami girang sekali bahwa paman suka keluar untuk bicara dengan kami,” kata Koa
Hok setelah mereka berdua memberi hormat kepada hartawan itu.
“Hemm, kalian berdua telah melupakan hubungan baik antara aku dan ayah kalian, dan kalian
membawa penduduk untuk menyerbu dan mengusir anak buahku. Mau bicara apa lagi?” tanya
hartawan itu dengan nada marah!
“Paman, justeru karena kami menyayang keluarga paman, maka kami melakukan ini. Ayah
kami telah menyadari kesalahannya selama ini, dan kami mengharap agar paman juga
menyadari. Ayah kami dan paman merupakan dua orang tokoh di dusun kita ini yang dapat
memperkuat dusun, memakmurkan kehidupan penghuni dusun, bukan menjadi dua orang
tokoh yang menekan dan menindas penghuni dusun. Dengan kekayaan kedua keluarga,
dengan kedudukan ayah sebagai kepala dusun, keluarga kita berdua dapat berbuat banyak
demi kebaikan dusun dan para penghuninya.”
“Apa yang harus kulakukan?” tanya hartawan itu dengan alis berkerut.
“Yang terpenting, paman menyadari bahwa menggunakan tukang-tukang pukul untuk
menindas penghuni dusun kita merupakan tindakan yang salah. Kalau paman sudah
menyadari, tentu paman tahu apa yang dapat paman lakukan. Hal itu kiranya dapat paman
tanyakan kepada puteri paman sendiri, sumoi Ji Kui Hwa.”
Mendengar ucapan itu, hartawan Ji menoleh kepada puterinya dan gadis itu dengan suara
lantang berkata, “Ayah, sekarang bukan waktunya lagi bagi ayah untuk menumpuk harta. Apa
artinya kaya-raya kalau hidup ini tidak tenteram dan dimusuhi semua penghuni dusun? Kita
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 56
dapat pertama-tama mengembalikan seluruh sawah ladang yang pernah ayah sita dari para
penduduk dusun, kemudian, kita memberi pinjaman kepada mereka berupa bibit dan lain
keperluan dengan janji pinjaman itu akan dikembalikan ketika panen, tanpa bunga! Dan kita
harus membantu penduduk yang benar-benar kekurangan, memberi mereka pekerjaan dengan
upah memadai.”
Hartawan itu terbelalak, seperti mimpi saja mendengar ucapan puterinya itu dan hatinya tentu
saja membantah, “Tapi... tapi...”
“Ayah, dengan cara itu, kita akan hidup tenang dan tenteram, menjadi sahabat baik seluruh
penghuni dusun! Dan kita tidak perlu lagi mempunyai tukang-tukang pukul. Kalau ada
gerombolan penjahat berani mengacau dusun kita, maka seluruh penduduk akan bangkit
melawan penjahat! Kita semua akan membangun dusun ini menjadi tempat yang makmur dan
tenteram! Atau ayah memilih menjadi hartawan yang diasingkan semua penduduk, kalau ada
gerombolan penjahat mengganggu kita, penduduk diam saja? Apakah ayah lebih senang
hidup di antara orang-orang yang membenci kita?”
Hartawan Ji menjadi pening tujuh keliling. Mendadak dia merasa betapa kepalanya pusing
dan tubuhnya gemetar, lemas, “Sesukamulah, Kui Hwa. Kau atur sajalah, aku tidak tahu lagi...
terserah kepadamu bagaimana baiknya saja...” dan dengan terhuyung diapun masuk ke dalam
dibimbing isterinya.
“Ayah telah setuju untuk bekerja sama! Seluruh tanah yang pernah disita ayah akan
dikembalikan kepada pemilik semula!” teriak Kui Hwa, disambut sorak-sorai para penduduk
dusun Cang-cin.
Dusun itu dalam suasana pesta, bukan pesta makan minum, melainkan pesta meriah yang
nampak di wajah, senyum, dan suara mereka. Orang bergembira ria dan merasa seperti orangorang
yang tiba-tiba saja dibebaskan dari hukuman berat. Dengan bijaksana, Cu Goan Ciang
lalu memancing persetujuan semua penghuni, termasuk Lurah Koa dan hartawan Ji, bahwa
mulai saat itu, kedudukan kepala dusun dipegang oleh Koa Hok dan dibantu oleh Koa Sek.
Kakak beradik ini bertugas untuk mengatur keamanan dan keadilan di dusun itu, menyusun
dan melatih para pemuda dusun sehingga terbentuk pasukan keamanan yang kuat untuk
menjaga keamanan dusun, menetapkan pajak yang adil dan uang pajak dipergunakan untuk
upah dan pembangunan dusun. Sedangkan urusan kesejahteraan dan perdagangan dusun itu
diserahkan kepada Ji Kui Hwa.
Diam-diam Shu Ta kagum bukan main melihat tindakan suhengnya yang tegas dan yang
demikian pandainya mengatur orang banyak sehingga dusun itu dalam sehari saja telah
berubah sama sekali keadaannya. Kalau tadinya, seolah-olah ratap tangis penghuni dusun
membubung ke angkasa mohon keadilan kepada Tuhan, kini ratap tangis itu berubah menjadi
tawa riang menghaturkan terima kasih kepada Tuhan. Setelah semua beres, beberapa hari
kemudian Cu Goan Ciang dan Shu Ta meninggalkan dusun Cang-cin, diantar oleh Koa Hok,
Koa Sek, Kui Hwa dan bahkan hampir seluruh penghuni dusun mengantar kedua orang
pemuda itu sampai keluar dari pintu gerbang dusun.
Setelah tiba di luar dusun dan semua pengantar kembali ke dusun, Shu Ta memandang kepada
suhengnya. “Suheng, selain bakatmu dalam ilmu silat amat baik, juga engkau berbakat untuk
menjadi pemimpin. Semua itu dapat kulihat ketika engkau mengatur dusunmu itu.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 57
“Ah, sute terlalu memuji. Semua itu kulakukan karena sejak kecil aku merasa prihatin sekali
menyaksikan kehidupan penghuni dusunku. Bahkan keluargaku sendiri habis karena
kehidupan yang menderita kekurangan. Andai kata kita berdua tidak datang dan mengatur
seperti itu, suatu ketika mungkin saja penduduk akan memberontak dan keluarga Koa dan Ji
akan menjadi korban penumpahan kebencian yang terpendam selama puluhan tahun.”
“Engkau benar, suheng. Tindakanmu itu, selain menolong keadaan hidup para petani miskin
di dusun itu, juga telah menyelamatkan keluarga Koa dan Ji. Mereka semua kini hidup
berbahagia dan aku yakin dusun itu akan menjadi sebuah dusun yang paling makmur di
seluruh daerah ini.”
“Mudah-mudahan begitu. Sekarang engkau hendak pergi ke mana, sute?”
“Seperti usulmu tempo hari, suheng, kita berpisah di sini dan mari kita berdua memperluas
pengalaman di dunia kang-ouw, menyelidiki keadaan dan menyusun kekuatan untuk
menentang pemerintah penjajah Mongol yang lalim.”
“Baik, sute. Selamat berpisah dan sampai berjumpa kembali.” Kakak beradik seperguruan itu
saling peluk, kemudian saling memberi hormat dan keduanya mengambil jalan masingmasing
di persimpangan itu.
Sungai Yang-ce merupakan sungai kedua sesudah sungai Kuning yang terbesar di seluruh
Cina. Sungai ini merupakan penampungan dari banyak sungai yang lebih kecil, mengalir
sejak ribuan kilometer dari barat, bermula dari dua sumber yang berada di pegunungan
Thang-la, yang bertemu menjadi sungai Chin-sa, mengalir turun ke selatan sampai ke propinsi
Yun-nan, kemudian membelok ke timur, menerima penumpahan banyak sungai seperti sungai
Cia-ling. Sungai Han-sui dan masih banyak lagi sungai yang lebih kecil sampai akhirnya tiba
di Nan-king dan memuntahkan airnya di sebelah timur Nan-king, ke laut Kuning. Karena
sungai ini melalui banyak propinsi, banyak kota dan dusun, maka tentu saja sungai ini
merupakan sarana pengangkutan dan lalu lintas yang teramat penting. Saking panjangnya
sungai ini disebut pula sungai Panjang.
Satu di antara kota yang dilalui sungai Yang-ce adalah kota Wu-han. Kota ini menjadi besar
dan ramai, satu di antara sebabnya adalah karena menjadi kota bandar sungai Yang-ce itulah.
Wu-han menerima kiriman barang-barang yang mengalir dari barat, dan mengirim barangbarang
dagangan ke timur, sampai ke Nan-king dan kota-kota lainnya.
Pada suatu pagi, Cu Goan Ciang memasuki kota Wu-han. Dia melakukan perjalanan dari
dusunnya menuju ke selatan dan baru sekarang dia melihat sebuah kota yang demikian ramai
dan besarnya seperti Wu-han. Beberapa kali dia berhenti dan bengong penuh kekaguman
memperhatikan bangunan besar yang indah atau taman yang rapi, toko-toko penuh dengan
barang yang serba aneh baginya. Rumah-rumah makan yang mengeluarkan uap yang sedap.
Namun, dia tidak berani masuk ke dalam sebuah di antara toko-toko atau rumah makan itu
karena memang dia tidak mempunyai uang. Ketika kakak beradik Koa hendak memberi bekal
kepadanya, dia menolak keras, demikian pula Shu Ta. Goan Ciang mempunyai hati yang
keras, yang tidak mau menerima pemberian begitu saja. Aku harus bekerja untuk mencari
uang pembeli makanan dan pakaian, pikirnya.
Sampai lama dia melihat para kuli angkut sedang memangguli dan membongkar muatan dari
atau ke perahu-perahu yang berlabuh di bandar sungai Yang-ce pinggir kota Wu-han. Ketika
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 58
dia melihat empat orang memanggul sebuah peti besar, dan mereka itu nampak terhuyung dan
hampir tidak kuat sehingga semua kuli yang lain merasa khawatir, Goan Ciang cepat
melompat maju mendekat, menyusup ke bawah peti di tengah-tengah, menggunakan kedua
lengannya menyangga peti lalu berteriak, “Kalian berempat lepaskan peti ini, biar kuangkat
sendiri!”
Empat orang yang tadinya sudah ketakutan akan terhimpit peti yang amat berat itu, ketika
tiba-tiba merasa betapa peti itu tidak lagi menekan pundak mereka, diangkat oleh kedua
tangan seorang pemuda yang tiba-tiba menyusup di tengah-tengah antara mereka, segera
melepaskan peti dan melompat ke samping sehingga kini peti itu diangkat sendiri oleh kedua
tangan Goan Ciang. Empat orang itu terbelalak, lalu terdengar seruan-seruan kagum ketika
Goan Ciang dengan tenang melangkah dan menurunkan peti itu ke tempat di mana barangbarang
bongkaran itu dikumpulkan. Meledaklah sorak dan tepuk tangan memujinya karena
semua orang merasa kagum bukan main. Peti itu hampir tak terangkat empat orang kuli yang
bertubuh kokoh kuat, namun pemuda yang tinggi tegap dan sederhana itu dengan mudahnya
mengangkat peti itu seorang diri, dan nampak ringan saja!
Setelah menurunkan peti itu, Cu Goan Ciang segera meninggalkan tempat itu karena
maksudnya tadi hanya hendak menyelamatkan empat orang kuli yang akan terhimpit peti, dan
melihat semua orang memujinya, dia tidak ingin berlama-lama di tempat itu.
“Heii, tunggu dulu, orang muda yang kuat!” terdengar seruan orang dan diapun menoleh.
Seorang pendek gendut berjalan setengah berlari terseok-seok menghampirinya, wajahnya
yang bulat itu penuh senyum lebar. Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun dan
pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang mandor kuli yang mengepalai rombongan kuli
yang bekerja di situ. Goan Ciang sudah mendengar bahwa di bandar itu terdapat ratusan orang
kuli, terbagi dalam beberapa kelompok atau rombongan dan masing-masing ada mandor atau
kepalanya yang mengatur dan membagi pekerjaan.
“Ada apakah, paman?” tanyanya.
Si gendut itu mengerutkan alisnya, agaknya tidak suka disebut paman. Dia masih merasa
terlalu muda untuk disebut paman, dan biasanya para kuli menyebutnya toako (kakak tertua),
sebutan yang juga merupakan sebutan kehormatan dalam suatu kelompok, karena toako
bukan saja berarti yang tertua, melainkan juga yang terkuat, terpandai dan biasanya yang
menjadi pemimpin disebut toako.
“Orang muda, maukah engkau bekerja kepada kami?”
“Bekerja apa?”
“Apa lagi? Aku adalah mandor kuli, tentu saja bekerja mengangkut barang-barang,
membongkar dan memuat di perahu-perahu yang berlabuh di sini.”
Goan Ciang berpikir sejenak. Memang dia membutuhkan uang untuk makan, dan dia harus
bekerja. “Kalau upahnya memadai...”
“Tentu saja! Kalau engkau mau mengangkat peti-peti seperti tadi seorang diri, kami akan
membayarmu lima belas keping sehari.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 59
Goan Ciang mengerutkan alisnya. Lima belas keping tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk
makan sehari saja. Lalu bagaimana dia dapat membeli pakaian? Bekerja seberat itu tentu
cepat menghabiskan pakaiannya. “Berapa upah mereka itu sehari?” katanya menunjuk kepada
para kuli yang sibuk bekerja.
“Sama saja, lima belas keping sehari.”
“Akan tetapi, aku dapat bekerja empat lima kali lipat dari mereka!”
“Baiklah, kuberi dua puluh lima keping untukmu, akan tetapi engkau harus bekerja dari pagi
sampai sore, hanya berhenti mengaso untuk makan di tengah hari seperti yang lain.”
Hemm, dua puluh lima keping, lumayan, pikir Goan Ciang. Diapun mengangguk dan
mulailah dia bekerja. Tenaganya memang besar, maka mandor itu merasa gembira bukan
main. Dengan menerima Goan Ciang bekerja di situ, dengan gaji kurang dari dua orang,
berarti dia untung besar. Dia dapat memasukkan di daftar gaji lima orang untuk pemuda itu,
karena memang hasil pekerjaannya sama dengan hasil pekerjaan lima orang.
Baru dua hari Goan Ciang bekerja di situ ketika terjadi peristiwa yang membuat dia
kehilangan pekerjaannya. Hari itu adalah hari gajian bagi rombongan kuli di mana dia
bekerja, yang terdiri dari dua puluh orang. Dalam dua hari bekerja, semua kuli menaruh
hormat kepada Goan Ciang yang pendiam dan bertenaga amat kuat, namun tidak sombong
atau berlagak itu. Setelah sore, pekerjaan dihentikan dan para kuli itu berdiri dalam antrian
untuk menerima gaji mereka yang dibagikan oleh si gendut yang duduk di atas bangku
menghadapi meja kecil dan di belakangnya berdiri dua orang tinggi besar yang berwajah
bengis. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang mengawal mandor itu. Tukang-tukang
pukul ini bertugas untuk menjaga agar para kuli tidak malas dan tidak melakukan pencurian
terhadap barang-barang yang diangkut, dibongkar dan dimuat di perahu-perahu.
Semua berjalan lancar ketika tiba giliran seorang kuli dan Goan Ciang yang menjadi orang
terakhir dan berdiri di belakang kuli itu. Kuli itu masih muda, berusia dua puluhan tahun,
kurus dan agak pucat tanda bahwa dia tidak sehat namun memaksakan diri bekerja karena
membutuhkan uang. Ketika tiba giliran si kurus itu, mandor gendut menghitung beberapa
keping uang sambil berkata, “Nah, ini gajimu untuk sepuluh hari!”
Orang muda itu menerima dan menghitungnya, dan dia berkata heran, “Eh, Lai-toako, kurasa
engkau salah menghitung. Kenapa dikurangi begini banyak? Mestinya aku menerima seratus
keping, bukan lima puluh!”
“Hemm, engkau sudah lupa barangkali? Potongan pajak lima puluh keping, dan potongan
yang lima puluh keping adalah untuk mengganti kerusakan barang dari peti yang kau angkut
seminggu yang lalu.”
“Tapi, toako, itu bukan kesalahanku. Peti itu sudah kutumpuk dengan baik, lalu ada anjing
yang berlari menubruk peti sehingga terguling. Bukan salahku kalau isinya ada yang rusak!”
“Tidak perduli! Yang jelas, pemiliknya minta ganti dan mana mungkin aku minta ganti
kepada anjing itu? Engkau yang mengangkut dan menaruh di situ, engkau pula yang harus
mengganti.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 60
“Tapi... aku butuh sekali uang ini, ibuku sakit dan...”
”Cukup, jangan banyak rewel, atau engkau ingin dihajar?” bentak mandor gendut itu dengan
muka merah dan mata melotot.
“Biarlah lain kali saja potongan itu, Lai-toako, sungguh mati, sekarang aku membutuhkan
uang itu untuk berobat ibuku...”
“Ibumu boleh mampus, apa sangkut pautnya denganku?” Si gendut itu memberi isarat kepada
dua orang tukang pukulnya. “Usir dia!”
Dua orang tukang pukul yang tinggi besar itu melangkah maju. Yang berjenggot lebat seperti
jenggot kambing bandot maju dan menangkap lengan kanan pemuda itu, lalu memutar lengan
itu sehingga si pemuda berteriak kesakitan. Tukang pukul ke dua, yang kepalanya botak, juga
maju dan mengamangkan tinjunya yang sebesar kepala kanak-kanak itu ke depan hidung si
pemuda yang menyeringai kesakitan karena lengannya masih dipuntir. “Kau ingin mukamu
kuhancurkan? Hayo cepat minggat dari sini!” bentaknya
Melihat ini, Cu Goan Ciang tidak sabar lagi. Dia melangkah ke depan dan sekali tangannya
bergerak, dia menangkap siku lengan kanan si jenggot yang sedang memuntir lengan pemuda
itu.
“Aduuuuhhhhh...!” Si jenggot itu berteriak-teriak karena merasa betapa lengan di bagian siku
seperti terjepit baja dan tulang lengannya seperti retak-retak rasanya, nyeri bukan main
sampai kiut-miut rasanya menusuk jantung. Terpaksa dia melepaskan lengan si pemuda, Cu
Goan Ciang tidak berhenti sampai di situ saja, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah
dagu si jenggot lebat dan sekali dia mencengkeram dan merenggut, jenggot itu jebol dan dagu
itu berdarah.
”Adoouuuhhhh... augghhhh...” Si jenggot yang kehilangan jenggotnya itu mengaduh-aduh
sambil memegangi dagunya yang berdarah, berjingkrak kesakitan.
Melihat ini, tukang pukul pertama yang kepalanya botak menjadi marah dan diapun sudah
mengayun tinjunya yang besar ke arah kepala Cu Goan Ciang. Cu Goan Ciang mengelak ke
samping, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan yang memukul itu, kemudian
dengan pengerahan tenaga, dia mendorong tangan yang terkepal itu sehingga memukul kepala
si penyerang itu sendiri. Kepalan yang besar itu kini memukul kepala yang botak.
“Takkk...!!” Si botak itu terpelanting dan ketika dia merangkak bangun, dia mengelus kepala
botaknya yang kini tumbuh benjolan sebesar telur angsa!
Cu Goan Ciang sudah melangkah maju. Melihat mandor gendut hendak melarikan diri,
tangannya dijulurkan dan dia menangkap orang itu, mencengkeram pada pundaknya sehingga
si gendut berteriak-teriak seperti kerbau disembelih.
“Aduhhh... aduhhhh... ampun, lepaskan aku... aughhhh...”
Goan Ciang memaksanya duduk kembali di atas bangkunya. Si gendut terpaksa duduk dan
tubuhnya menggigil, mukanya pucat. “Cu Goan Ciang... apa... apa yang kauinginkan...?”
tanyanya, suaranya tiba-tiba menjadi pelo dan gemetar saking takutnya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 61
“Apa artinya potongan pajak tadi? Sehari pajak lima keping, apa artinya ini?”
“Ahh... itu... itu sudah peraturan, aku hanya melaksanakan saja. Sudah menjadi aturan sejak
bertahun-tahun...”
“Aturan siapa itu? Gaji sehari lima belas keping, dipotong pajak lima keping? Ini perampokan
namanya! Hayo katakan, aturan siapa ini? Aturan yang kaubuat sendiri? Kuhancurkan
kepalamu!”
“Tidak, tidak...! Bukan aku... aku hanya mandor, eh, hanya pengawal, ini aturan yang telah
ditetapkan oleh Yo-loya (tuan besar Yo)...!”
“Tidak perduli aturan siapa, itu perampokan dan tidak boleh dilakukan! Hayo bayarkan
kembali seluruh pajak tadi kepada mereka semua, dan kerusakan barang itupun tidak boleh
dipotong. Cepat!!”
“Tapi... tapi...” si gendut itu mengambil kantung uang yang tadi telah disimpannya, akan
tetapi Goan Ciang merampasnya dan menaruh kantung uang itu ke atas meja, di mana masih
terdapat daftar para kuli, berikut alat tulis yang tadi dipergunakan untuk mencatat oleh si
gendut.
“Tidak ada tapi! Cepat bayar mereka tanpa dipotong pajak atau kerusakan barang!” bentak
Goan Ciang. Sementara itu, dua puluh orang kuli yang masih berkumpul di situ, memandang
dengan mata terbelalak. Tak mereka sangka bahwa kuli baru yang bertenaga besar itu
demikian beraninya, juga demikian perkasanya, sehingga segebrakan saja dapat menghajar
dua tukang pukul yang lihai dan kejam itu. Seorang kuli yang usianya sudah lima puluh tahun,
segera mendekati Goan Ciang.
“Cu-hiante... jangan mencaro gara-gara... mereka itu kuat sekali. Kalau sampai Yo-loya
mengetahui, engkau dapat celaka... lebih baik sekarang pergilah, larilah sebelum terlambat...”
Goan Ciang merasa jengkel sekali. Sikap pengecut inilah yang membuat orangnya diperas dan
ditindas! “Sudah, biarkan aku yang bertanggung jawab, paman. Engkau larilah kalau takut!”
katanya marah dan kuli itu yang bermaksud baik karena menyayangkan, kalau sampai Goan
Ciang celaka, mundur dan berkumpul lagi dengan teman-temannya.
Mendengar ucapan kuli tua itu, agaknya si gendut mendapatkan kembali semangatnya. Dia
bangkit berdiri, “Cu Goan Ciang, engkau boleh saja menghina dan memaksaku, akan tetapi
tunggu sampai Yo-loya datang! Engkau akan dicincang, dan dagingmu menjadi makanan ikan
sungai! Hayo, bunuh saja dia dengan golok kalian!” teriaknya kepada dua orang tukang pukul.
Si jenggot yang kehilangan jenggotnya dan si botak yang tumbuh tanduk itu memang merasa
penasaran dan sakit hati telah dipersakiti dan dipermalukan di depan banyak orang. Bahkan
rombongan kuli-kuli yang lain tertarik oleh keributan itu dan kini datang mendekat. Mereka
berdua mencabut golok dan bagaikan gila mereka menyerang Goan Ciang sambil
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan suara menggereng seperti dua ekor beruang marah.
Goan Ciang juga marah. Beberapa kali dia mengelak, menggunakan kegesitan gerakan
tubuhnya untuk menghindarkan diri dari sambaran dua batang golok itu. Ketika dia melihat
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 62
kesempatan baik, dia menggerakkan kedua tangannya, mengisinya dengan tenaga sin-kang
sekuatnya dan begitu kedua tangan itu bergerak menangkis dengan kedua lengan lawan,
terdengar suara “krakk-krakk” dan dua batang golok itu terpental, dan dua orang lawannya
juga terpelanting dan mengaduh-aduh tanpa mampu menggerakkan kedua lengan mereka
karena tulang-tulang lengan mereka telah patah-patah! Dengan wajah pucat dan mata
terbelalak mereka hanya mampu mengaduh-aduh, bahkan sukar untuk bangkit duduk karena
kedua lengan mereka terasa nyeri kalau digerakkan.
Si mandor gendut terkejut sekali, hendak melarikan diri, akan tetapi dua kali loncatang saja
sudah cukup bagi Goan Ciang untuk menangkap leher bajunya, mengangkat tubuh itu ke atas,
tangan kanan menampar ke arah mulut sehingga rontoklah semua gigi dalam mulut itu lalu
dia melontarkan tubuh gemuk pendek itu ke air sungai.
“Byurrr...!” Air muncrat dan mandor gendut itu dengan susah payah berenang ke tepi,
disambut tawa geli secara diam-diam oleh para kuli.
Dua orang tukang pukul itu melihat ini, lalu terkulai dan pura-pura pingsan! Goan Ciang
dengan tenang lalu duduk di bangku tadi, membuka kantung uang, memeriksa daftar dan
menghitung uang memenuhi gaji dua puluh orang itu termasuk si pemuda kurus dan dia
sendiri. Dia mengambil lima puluh keping, gajinya dua hari, dan membiarkan sisanya dalam
kantung di meja itu. Juga dia mencorat-coret daftar gaji itu, menuliskan angka-angka gaji
yang semestinya tanpa memotong dengan pajak dan lain-lain.
Para mandor dan tukang pukul rombongan lain tidak berani mencampuri ketika mereka
melihat kelihaian pemuda itu, akan tetapi diam-diam mereka melapor kepada majikan mereka.
Kuli yang bekerja di bandar itu berjumlah ratusan orang, terbagi dalam kelompok-kelompok.
Namun semua berada di bawah kekuasaan majikan yang disebut Yo-loya, namanya Yo Ci,
seorang hartawan yang juga menjadi kepala gerombolan penjahat yang merajalela di kota
Wu-han, terutama yang menguasai bandar itu. Yo Ci inilah yang mengadakan aturan pajak,
dan dia pula yang menentukan segalanya, dan para pelaksananya adalah mandor-mandor yang
dikawal dua orang tukang pukul. Begitu mendengar berita bahwa ada seorang pengacau di
bandar, Yo Ci marah dan diapun mengajak selosin pengawalnya cepat pergi ke bandar itu.
Ketika itu, Cu Goan Ciang sudah selesai membayarkan semua gaji dan dia berkata, “Mulai
sekarang, jangan mau membayar pajak. Kalian harus berani menentang kalau ada aturan yang
tidak adil, jangan diam saja ketakutan. Nah, sekarang kalian pulanglah.”
“Tapi, Cu-taihiap, kami takut. Bagaimana kalau Yo-loya marah? Kami pasti akan dihukum!”
kata seorang di antara mereka dan ternyata semua orang membenarkan ucapan itu.
“Aku yang bertanggung jawab! Aku tidak akan lari!”
“Bagus! Sungguh ucapan yang gagah sekali!” terdengar suara orang memuji dan mendengar
suara ini, semua kuli nampak ketakutan dan cepat mereka itu membungkuk dan memberi
hormat kepada orang yang bicara tadi. Goan Ciang memutar tubuh memandang.
Dia seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun, namun masih nampak tampan
dan muda, tubuhnya masih ramping dan kokoh. Seorang pria yang gagah, dengan pakaian
yang mewah pula, memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang dilapis emas, kepalanya
memakai topi bulat hitam. Di belakang orang ini nampak selosing orang yang berpakaian
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 63
seperti tukang-tukang pukul, pakaian ringkas dan mereka semua membawa pedang di
pinggang, seperti pasukan yang berpakaian seragam saja. Goan Ciang segera dapat menduga
bahwa tentu inilah yang disebut Yo-loya dan yang ditakuti semua orang. Inilah kepala dari
para penindas kuli itu.
“Bertanggung jawab atas perbuatannya adalah sikap seorang laki-laki. Mempergunakan
gerombolan tukang pukul untuk memeras dan menindas para pekerja miskin adalah sikap
seorang penjahat keji yang curang!” kata Goan Ciang dan pandang matanya dengan tajam
mengamati wajah pria itu.
Pria itu tersenyum, menghisap huncwenya dan mengepulkan asap tipis dari mulutnya,
sikapnya tenang dan juga mengandung ketinggian hati, seperti sikap seorang guru
menghadapi seorang muridnya.
“Hebat, engkau seorang pemuda yang hebat. Siapakah namamu, orang muda?” suaranya
berlogat selatan, namun cara dia bicara lembut dan sopan.
“Namaku Cu Goan Ciang, dan kalau tidak salah, engkau tentu yang disebut Yo-loya dan
ditakuti para kuli di sini, bukan?”
Orang itu mengangguk-angguk dan menyapu keadaan sekeliling. Hampir semua orang di situ,
baik kuli maupun pedagang, kini berada di situ dan menonton dengan wajah tegang dan
tertarik. Yo Ci sudah mendengar tentang kehebatan pemuda ini. Sayang kalau pemuda seperti
ini dibunuh saja. Alangkah baiknya kalau dapat ditarik menjadi anak buah, atau setidaknya
menjadi sekutunya. Juga, kalau sampai dia turun tangan di tempat umum dan dia kalau,
walaupun dia amat meragukan hal ini, hal itu akan merusak nama besarnya dan membuatnya
malu.
“Cu-sicu (orang gagah Cu), namaku Yo Ci dan aku merasa bergembira sekali dapat
berkenalan dengan seorang gagah sepertimu. Harap suka memaafkan orang-orangku yang
tidak tahu diri dan percayalah, aku akan membereskan semua kekeliruan di sini. Akan tetapi,
aku ingin membicarakan urusan di sini dengan sicu, dan kami persilahkan sicu untuk ikut
dengan kami agar kita dapat bercakap-cakap dengan leluasa di rumah kami. Silahkan, sicu.”
Cu Goan Ciang merasa heran akan sikap yang amat sopan dan ramah dari orang ini.
Bukankah majikan ini yang melakukan pemerasan terhadap para kuli itu, melalui anak
buahnya? Ketika dia menoleh dan bertemu pandang dengan kuli setengah tua yang tadi
memperingatkannya, dia melihat betapa orang itu menggeleng kepala sebagai tanda agar dia
menolak undangan itu. Akan tetapi justeru sikap kuli setengah tua itulah yang membuat dia
penasaran. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan majikan Yo ini kepada dirinya.
“Baik, mari kita bicara di rumahmu, Yo-loya,” katanya gagah. Diiringkan pandang mata
khawatir dan juga kagum oleh semua kuli yang bekerja di bandar itu, Goan Ciang mengikuti
rombongan Yo Ci dan para pengawalnya dan ternyata di luar bandar terdapat sebuah kereta
yang tadi dinaiki Yo Ci. Goan Ciang dipersilahkan ikut pula ke dalam kereta bersama
hartawan itu. Para pengawal menunggang kuda di kanan kiri dan belakang kereta yang
dilarikan menuju ke pusat kota Wu-han.
Rumah itu besar, megah dan mewah. Goan Ciang merasa dirinya kecil dan kotor ketika
memasuki rumah gedung mewah itu bersama Yo Ci. Belum pernah dia memasuki rumah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 64
semewah ini. Rumah Lurah Koa dan hartawan Ji di dusunnya menjadi tidak ada artinya
dibandingkan dengan rumah majikan di kota besar ini. Akan tetapi dengan tegak dia berjalan
mendampingi tuan rumah. Di ruangan dalam, Yo Ci sengaja menyuruh semua keluarganya
hadir dan dia memperkenalkan Gu Goan Ciang kepada keluarganya. Goan Ciang hanya
memandang sambil lalu saja dan membalas penghormatan mereka. Dia diperkenalkan kepada
empat orang isteri Yo Ci, dan tiga orang anaknya, yaitu dua orang puteri yang sudah remaja
dan seorang pemuda. Kemudian, setelah semua anggota keluarga diperkenalkan dan
mengundurkan diri, Goan Ciang sudah lupa lagi kepada mereka, baik nama maupun wajah
mereka, walaupun para isteri dan puteri tuan rumah itu merupakan wanita-wanita yang cantik
jelita. Dia memasuki ruangan tamu bersama tuan rumah dan di situ mereka bercakap-cakap.
“Cu-sicu, aku mendengar bahwa engkau menghajar beberapa orangku yang bertugas di
bandar. Memang ada di antara orang-orangku yang kasar dan kurang ajar, pantas untuk
dihajar. Akan tetapi kalau aku boleh mengetahui, mengapa engkau menjadi begitu marah?
Apa yang menjadi sebab perkelahian itu?”
Tak enak juga rasa hati Goan Ciang menghadapi majikan yang begini lembut dan sama sekali
berbeda dengan sikap mandor gendut dan tukang pukulnya. “Maafkan aku, Yo-loya...”
“Hemm, orang lain pantas menyebut aku loya (tuan besar), akan tetapi sebaiknya engkau
menyebut aku paman saja, sicu. Tak enak rasanya kausebut loya.”
“Baiklah, paman Yo. Maafkan aku yang naik darah melihat betapa mandor gendut itu
memotong semua gaji para kuli dengan lima keping, pada hal gaji mereka sehari hanya lima
belas keping. Lebih gila lagi, mandor itu memotong gaji seorang kuli sebanyak lima puluh
keping, katanya untuk mengganti barang rusak yang jatuh karena ditabrak anjing.”
Beberapa saat lamanya, Yo Ci diam saja dan menarik napas beberapa kali, lalu berkata, “Aku
mengerti perasaanmu, sicu. Memang sepintas lalu nampak betapa aturan yang kami tentukan
itu kejam dan memeras. Akan tetapi ketahuilah bahwa hal itu kami lakukan dengan terpaksa
karena kami harus membayar pajak besar kepada para pejabat pemerintah di kota ini. Semua
yang kami terima dari pajak itu tidak masuk ke kantong kami, melainkan ke kantong para
pejabat. Kami hanya pemungut pajak saja.”
“Kalau begitu, untuk apa diadakan mandor yang mengurusi para kuli? Biarkan mereka
bekerja sendiri dan menerima upah dari pemilik barang yang mereka bongkar dan muat.”
Yo Ci menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dilakukan, sicu. Kalau dibiarkan demikian,
tentu akan timbul kekacauan dan perkelahian di bandar. Mereka akan berebut muatan,
bersaing upah dan memperebutkan kekuasaan untuk menjadi kepala. Dengan adanya aturan
yang kami adakan, mereka semua dapat bekerja dan tidak pernah terjadi keributan.”
“Tapi mereka diperas namanya. Upah lima belas keping sudah terlalu kecil, tidak cukup untuk
hidup mereka yang sudah mempunyai anak-isteri, untuk diri sendiripun hanya cukup untuk
makan. Bagaimana mungkin dapat hidup kalau upah sekecil itu dipotong lima keping lagi? Ini
tidak adil! Untuk apa para pejabat itu diberi uang? Apakah itu sudah menjadi peraturan
pemerintah?”
Yo Ci menggeleng kepala. “Agaknya engkau tidak tahu, sicu. Setiap daerah mempunyai
penguasa dan dia yang menentukan peraturan sesuai dengan seleranya. Itulah wewenangnya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 65
Yang menentukan peraturan di bandar tentu saja penguasa bandar itu. Kami hanya membantu
kelancaran aturan itu, bahkan, dengan usaha kami ini, maka keamanan para kuli itu terjamin.”
Goan Ciang yang belum berpengalaman, mendengar hal seperti itu merasa penasaran bukan
main. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan menghadapi penguasa, yaitu pejabat
pemerintah? Seorang diri saja, bagaimana mungkin dia menentang kekuasaan pejabat yang
tentu mempunyai pasukan yang besar dan amat kuat? Sama dengan seekor capung hendak
merobohkan tembok.
Melihat pemuda itu termenung dengan alis berkerut tanda penasaran, Yo Ci lalu
menghiburnya. “Cu-sicu, semua orang juga merasa penasaran, akan tetapi apa yang dapat kita
lakukan terhadap pemerintah? Kalau engkau ingin melindungi para pekerja kasar itu,
bagaimana kalau engkau kuberi pekerjaan sebagai kepala dari seluruh mandor yang berada di
sana? Dengan adanya engkau yang menjadi kepala, semua mandor tentu tidak akan berani
berlaku curang dan tidak berani merugikan para pekerja di bandar. Dan kami akan memberi
upah besar kepadamu, juga rumah tinggal yang lengkap.”
Diam-diam Cu Goan Ciang terkejut mendengar penawaran yang amat menguntungkan dirinya
itu. Dari seorang pemuda miskin setengah gelandangan, tiba-tiba dia menjadi kepala semua
mandor dan mendapat upah besar dan rumah tinggal! Akan tetapi bukan itu yang dia cari.
Cita-citanya lebih besar dari sekedar menjadi kepala mandor!
“Cu-sicu, engkau tidak perlu tergesa-gesa menerima penawaranku. Engkau tinggallah dulu di
sini beberapa lamanya dan pertimbangkan baik-baik penawaranku tadi. Sementara itu, engkau
boleh mempelajari keadaan di bandar agar kalau engkau menerima tawaranku, seketika
engkau sudah menguasai keadaan dan hafal akan lingkungan di bandar.”
Cu Goan Ciang yang masih bimbang itu mengangguk. Akan tetapi, di dalam hatinya, dia
bukan minta waktu untuk mempertimbangkan penawaran kedudukan itu, melainkan minta
waktu agar dia dapat menyelidiki keadaan di bandar dan mendapat jalan bagaiman sebaiknya
untuk menolong nasib para pekerja kasar di sana.
Yo Ci lalu menjamu Goan Ciang dengan hidangan yang mewah, kemudian pelayan
mengantarnya ke sebuah kamar yang disediakan untuk dia selama tinggal di gedung itu.
“Kongcu,” kata pelayan itu, “di dalam almari itu terdapat pakaian yang sengaja disediakan
oleh Yo-loya untuk kongcu pakai.”
Setelah pelayan itu pergi, Goan Ciang berdiri tertegun, mengagumi kamar yang indah itu.
Bagaikan seorang anak kecil menemukan mainan baru, dia mencoba duduk di kursi yang
terukir itu, mencoba rebah di dipan yang lunak, dan membuka almari melihat dengan mata
terbelalak pakaian yang terbuat dari sutera halus, lengkap dan ketika dicobanya,
ukurannyapun tepat dengan tubuhnya!
Mulai hari itu, Goan Ciang tinggal di rumah Yo Ci, diperlakukan sebagai seorang tamu yang
terhormat. Setiap hari dia pergi meninggalkan rumah itu menuju ke bandar untuk melakukan
penyelidikan. Dia merasa heran sekali melihat betapa dua puluh orang pekerja yang kemarin
dibantunya, kini acuh saja melihatnya, bahkan membuang muka seolah tidak mengenalnya
lagi. Mandor gendut juga tidak ada, diganti seorang mandor yang kurus dan nampak ramah.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 66
Dalam pengamatannya, dia mendapat kenyataan bahwa semua pekerja itu bekerja dengan
tertib dan rajin, dan memang tidak pernah terjadi keributan di situ karena semua pekerja takut
kepada para pengawal atau tukang pukul. Dan memang keamanan terjaga, tidak ada barang
yang hilang, tidak pernah terjadi pencurian. Akan tetapi, dia melihat pula bahwa dalam segala
bidang diadakan uang pungutan atau semacam pajak yang besar. Hal ini dia ketahui ketika dia
mendekati para pemilik perahu. Biarpun takut-takut, para pemilik perahu inilah yang
menceritakan kepada Goan Ciang bahwa setiap orang pemilik perahu harus menyerahkan
sebagian dari hasil penyewaan perahunya kepada penguasa melalui anak buah Yo-loya.
Bukan hanya pemilik perahu yang dikenakan pajak, juga pemilik barang. Baik barang yang
masuk di bandar itu, maupun yang keluar, semua dikenakan pajak yang besar jumlahnya. Hal
ini,menurut tukang perahu, membuat pekerjaan mereka tidak lancar. Terpaksa tukang perahu
menaikkan tarip sewa perahum dan para pedagang menaikkan harga dagangan mereka. Inipun
secara sembunyi, karena kalau ketahuan nak buah Yo-loya, maka pajakpun akan dinaikkan
sesuai dengan kenaikan sewa perahu atau harga barang dagangan! Cu Goan Ciang melihat
betapa para pedagang, tukang perahu, sampai pekerja kasar semua sudah dicengkeram oleh
penguasa melalui anak buah Yo-loya, dan diperas habis-habisan!
Malam itu, setelah makan malam yang mewah seorang diri karena Yo-loya sedang keluar
rumah, Goan Ciang berjalan-jalan di taman bunga yang luas dan indah milik keluarga itu.
Kamarnya memang berada di samping, menembus taman sehingga dia dapat dengan leluasa
meninggalkan kamar untuk keluar rumah atau memasuki taman. Malam itu terang bulan,
udaranya juga hangat karena tidak ada angin dan terangnya bulan ditambah pula dengan
lampu-lampu gantung beraneka warna yang berada di taman.
Goan Ciang duduk di atas bangku dekan kolam ikan emas, termenung. Dia bingung
memikirkan keadaan bandar. Jelas bahwa semua orang, dari pedagang sampai pekerja kasar,
diperas oleh penguasa. Para pedagang dan tukang perahu masih dapat berusaha menutup
biaya pemerasan itu dengan menaikkan tarip sewa dan harga barang. Akan tetapi bagaimana
dengan para pekerja? Mereka tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menerima nasib. Juga,
kenaikan harga barang-barang itu akhirnya menimpa pula rakyat kecil yang
membutuhkannya, karena harganya otomatis menjadi mahal. Dia memikirkan peran yang
dipegang Yo Ci. Benarkah Yo Ci membantu para pekerja kasar, membantu para pemilik
perahu dan pedagang? Mengatur dan menertibkan keadaan agar mereka semua tidak diganggu
oleh penguasa setempat? Ataukah Yo Ci mempergunakan hubungannya dengan para
penguasa untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dari pemerasan itu? Membagi-bagi hasil
pemerasan dengan penguasa? Dia harus berhati-hati sebelum melihat buktinya. Anak buah Yo
Ci memang memperlihatkan kekerasan dan kekejaman, akan tetapi sikap Yo Ci baik sekali,
tidak seperti orang yang suka melakukan pemerasan.
Tiba-tiba Goan Ciang dikejutkan oleh suara tawa beberapa orang wanita. Dia hendak
menyelinap pergi, namun terlambat karena pada saat itu terdengar suara yang merdu, “Aih,
kiranya Cu-sicu yang berada di sini! Maafkan kalau kami mengganggu ketenanganmu, sicu!”
Cu Goan Ciang memandang dan dia mengenal wanita yang bicara itu. Isteri ke empat dari Yo
Ci. Isteri ke empat ini masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan cantik manis. Di
belakangnya berjalan lima orang gadis pelayan yang juga cantik-cantik berusia dari delapan
belas sampai dua puluh tahun, dengan pakaian pelayan namun tidak menyembunyikan
kecantikan wajah mereka dan kemolekkan tubuh mereka.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 67
“Saya yang minta maaf, toanio (nyonya besar), saya telah lancang memasuki taman
keluarga...”
“Aihh, sicu, mengapa begitu sungkan dan menyebutku toanio segala? Bukankah engkau
menyebut suamiku paman? Nah, sepatutnya engkau menyebutku bibi, akan tetapi karena usia
kita tidak berselisih banyak, lebih pantas kalau engkau menyebut aku enci. Namaku Yen Li,
kausebut aku enci Yen Li, bukankah lebih mesra?” Setelah berkata demikian, wanita cantik
selir tuan rumah itu mendekatinya, dengan berani memegang tangannya dan mengajaknya
duduk kembali di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Lima orang gadis pelayan itu sambil
tersenyum-senyum juga mengepungnya, ada yang menawarkan minuman ada yang
menawarkan manisan atau buah-buahan, semua dengan suara merdu dan merayu. Dikelilingi
enam orang wanita cantik itu, Goan Ciang merasa seolah tenggelam ke dalam air,
membuatnya gelagapan karena bau harum menyesakkan dadanya. Dia adalah seorang pemuda
yang selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita, dan kini enam orang wanita cantik
seolah saling berebut untuk menarik perhatiannya. Sentuhan jari tangan lembut, kerling tajam
memikat dan senyum semanis madu seperti membuat dia tenggelam.
Akan tetapi, Cu Goan Ciang adalah seorang laki-laki yang keras hati. Dia memiliki cita-cita
yang tinggi dan sebelum cita-citanya itu tercapai, dia tidak mau diganggu oleh godaan wanita,
apa lagi mengingat bahwa wanita ini adalah isteri muda tuan rumah. Sungguh memalukan
sekali kalau dia, sebagai tamu yang dihormati dan diperlakukan baik, kini mengkhianati tuan
rumah dengan menyambut uluran tangan kotor wanita itu.
“Maaf, tidak baik begini, aku mau pergi tidur!” katanya dan diapun cepat menyelinap,
melepaskan diri dari kepungan enam orang wanita itu dan berlari memasuki kamarnya dan
menutupkan daun pintu, menguncinya dari dalam. Terdengar langkah-langkah kaki lembut
mengejarnya dan kini daun pintu kamarnya diketuk-ketuk dari luar.
“Sicu, buka pintu, biarkan aku masuk, aku ingin bercakap-cakap denganmu!” terdengar suara
selir tuan rumah itu.
“Kongcu, bukalah, saya ingin melayani kongcu!” terdengar suara gadis pelayan, disusul katakata
bujukan dari para gadis pelayan yang lain.
Goan Ciang mengerutkan alisnya. “Bagaimana mungkin mereka begitu nekat? Andai kata
mereka adalah wanita-wanita tak bermalu, tentu tidak begitu caranya, tidak beramai-ramai
dan terang-terangan seperti itu.” Timbul kecurigaan di hati pemuda ini. Sungguh tidak wajar
sikap mereka, pikirnya, seperti diatur saja. Diatur oleh Yo Ci! Kalau tidak demikian, kiranya
selir itu tidak akan senekat itu. Andai kata tertarik kepadanyapun tentu melakukan usaha
hubungan secara rahasia agar tidak diketahui para isteri lain. Akan tetapi ini demikian terangterangan,
seolah selir itu dan lima orang pelayannya tidak takut ketahuan orang lain. Ini tidak
wajar!
Diapun mendekati pintu dan berkata dengan nada suara tegas, “Haii, kalian yang berada di
depan pintu, pergilah dan hangan menggangguku, atau aku akan pergi meninggalkan rumah
ini sekarang juga dan besok aku akan melapor dan protes kepada paman Yo Ci!”
Suara di luar itu berhenti, kemudian terdengar kaki-kaki ringan melangkah pergi dan mereka
bersungut-sungut. Terdengar oleh Goan Ciang cemoohan beberapa di antara mereka, “Huh,
laki-laki banci!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 68
Semenjak malam itu, Goan Ciang tidak pernah lagi diganggu wanita. Beberapa hari
kemudian, Yo Ci mengajak dia bercakap-cakap di ruangan dalam. Setelah menyuguhkan
anggur dan makanan kering, Yo Ci lalu membuka percakapan.
“Bagaimana, Cu-sicu? Setelah beberapa hari tinggal di sini dan melakukan penyelidikan ke
bandar, maukah engkau menerima tawaranku untuk bekerja membantuku? Aku akan memberi
kekuasaan sepenuhnya kepadamu.”
“Terima kasih, paman. Memang sudah saya lakukan penyelidikan dan saya sudah mengambil
keputusan.”
“Bagus!” seru Yo Ci gembira. Tadinya dia sudah marah merasa hampir putus asa karena
pemuda itu demikian keras hati. Bahkan pakaian selemari penuh yang disediakannya untuk
pemuda itu, tidak pernah dipakainya. Pemuda itu selalu memakai pakaian bekalnya sendiri
yang sederhana. Dan lebih dari itu, usahanya menggoda dan menjatuhkan pemuda itu di
bawah pengaruh kecantikan wanitapun gagal!
“Saya mau membantu paman, dengan syarat!”
“Apa syaratnya? Katakan! Berapa gaji yang kauminta? Akan kupenuhi.”
“Bukan itu, paman Yo. Syaratnya adalah agar tidak dikenakan pajak kepada para pekerja
kasar itu, dan para mandor tidak perlu membawa tukang pukul, tidak perlu dilakukan
kekerasan terhadap para pekerja kasar. Selain gaji mereka tidak dipotong, juga kalau mereka
sakit harus diberi biaya pengobatan dan diberi bantuan untuk mereka dapat makan selama
dalam sakit.”
“Tapi itu tidak mungkin!” Yo Ci mengerutkan alisnya dan pandang matanya berkilat marah.
“Kita harus membayar pajak kepada para penguasa, orang-orangnya pemerintah. Tanpa
memungut pajak dari para pekerja, bagaimana kita dapat membayar pajak kepada
pemerintah?”
“Paman, saya sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa paman sudah menyuruh orang
memungut pajak yang besar dari para pedagang pemilik barang yang dibongkar muat di
bandar, dan juga dari para juragan perahu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki modal,
cukup pantas kalau dikenakan pajak karena mereka memang mendapatkan keuntungan. Akan
tetapi, para pekerja kasar itu hanya bermodalkan tenaga badan, sungguh tidak adil kalau harus
diperas dan dikenakan pajak dan tidak dijamin kalau jatuh sakit dan tidak dapat bekerja.”
Yo Ci mengerutkan alisnya semakin mendalam, matanya bersinar marah. “Cu-sicu, aturan
yang kauajukan ini dapat membuat aku bangkrut! Ajukan syarat lain untuk dirimu sendiri,
kenapa engkau begitu membela para pekerja kasar itu? Tahukan engkau bahwa di antara
mereka itu banyak terdapat penjahat-penjahat kecil yang kalau tidak dikendalikan akan
menjadi pencuri, perampok dan pengacau yang jahat?”
“Paman, betapapun jahatnya seseorang, kalau dia sudah mau bekerja keras, hal itu
menunjukkan bahwa dia berusaha untuk kembali ke jalan benar. Karena itu, perlu ditunjang
agar jangan sampai mereka kembali terperosok ke dalam kejahatan. Kalau ditekan, bukan
tidak mungkin mereka akan kembali menjadi pencuri.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 69
Sebelum tuan rumah membantah, tiba-tiba masuk seorang pengawal melaporkan akan
kedatangan Bhong-Ciangkun (perwira Bhong). “Ah, persilahkan dia menunggu di ruang
tamu, sebentar lagi aku akan menyambutnya,” kata Yo Ci dan setelah pengawal itu pergi, Yo
Ci berkata kepada Goan Ciang, “Nah, terpaksa kita hentikan dulu percakapan kita, sicu. Yang
datang adalah perwira Bhong yang berkuasa di kota ini, bahkan dia penguasa yang ditugaskan
mengatur bandar. Kebetulan sekali, mari kuperkenalkan dengan dia.”
Sebetulnya Goan Ciang tidak ingin berkenalan dengan perwira pemerintah yang hendak
ditentangnya, akan tetapi untuk menolak, dia merasa tidak enak kepada Yo Ci. Pula, dia ingin
melihat dan mendengar apa hubungan tuan rumah ini dengan penguasa itu.
Ketika tiba di ruangan tamu dan diperkenalkan dengan tamu itu, Goan Ciang memandang
penuh perhatian. Perwira itu masih muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, tegap
tampan dan gagah, dengan pakaian yang gemerlapan, pedang tergantung di pinggang,
lagaknya angkuh ketika dia memandang kepada Goan Ciang dengan sikap merendahkan
karena Goan Ciang hanya berpakaian sederhana. Tiga orang pengawal yang tadinya berdiri di
belakang perwira itu, setelah menerima isarat, lalu keluar dari ruangan tamu.
“Paman Yo Ci, siapakah pemuda ini?” tanyanya Bhong-Ciangkun dengan sikap angkuh. Dari
lagak, bentuk wajah dan pakaiannya, Goan Ciang dapat menduga bahwa perwira ini, bukanlah
pribumi, setidaknya tentu keturunan Mongol kalau bukan Mongol asli.
“Perkenalkan, Ciangkun. Ini adalah saudara Cu Goan Ciang, calon pembantu saya, pembantu
utama yang dapat diandalkan. Cu-hiante, ini adalah yang terhormat Bhong-Ciangkun.”
Perwira itu hanya mengangguk, dan Goan Ciang juga tidak mengangkat kedua tangan,
melainkan membalasnya dengan anggukan biasa pula. Tidak sudi dia bersikap hormat dan
merendah terhadap seorang perwira Mongol!
Melihat sikap Goan Ciang, Yo Ci merasa tidak senang dan khawatir kalau perwira itu marah,
maka cepat dia mempersilahkan perwira itu untuk duduk. Seorang pelayan wanita datang
menyuguhkan minuman dan makanan. Melihat wanita muda itu, mata sang perwira menjadi
jalang dan pelayan itu mengingatkan dia akan sesuatu, maka katanya, “Paman, mana Nona
Yo? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya sehingga merasa rindu. Bolehkah aku bertemu
dan bercengkerama dengannya?”
Terkejutlah Goan Ciang. Permintaan itu sungguh tidak pantas sekali. Minta kepada tuan
rumah agar dapat bertemu dan bercengkerama dengan gadis puteri tuan rumah! Akan tetapi
agaknya Yo Ci sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum lebar.
“Nanti dulu, Ciangkun. Kita membicarakan urusan pekerjaan dulu, nanti Ciangkun boleh
bicara sepuasnya dengannya.” Ucapan ini saja sudah menunjukkan bahwa agaknya sang
perwira memang sudah bersahabat baik dengan puteri majikan itu! Dan teringatlah Goan
Ciang akan peristiwa pada malam hari itu. Dia menduga bahwa Yo Ci sengaja menyerahkan
selirnya kepadanya sebagai umpan. Orang yang berwatak seperti itu, bukan tidak mungkin
kalau juga mengumpankan puterinya sendiri kepada seorang penguasa seperti Bhong-
Ciangkun. Diam-diam Goan Ciang merasa jijik membayangkan betapa gadis puteri Yo Ci
yang cantik jelita itu dijadikan alat untuk menyenangkan hati sang perwira.
“Ha-ha-ha, baiklah, paman. Nah, urusan apa yang begitu penting sehingga paman
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 70
mengundang aku datang ke sini? Dan kenapa sobat Cu ini ikut hadir?”
“Justeru aku ingin bicara tentang saudara Cu Goan Ciang ini, Ciangkun. Dia adalah seorang
pemuda yang tangguh dan lihai, memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Karena itu, aku
ingin mengangkat dia menjadi pembantu utama untuk mengepalai semua mandor bandar agar
keamanan terjamin dan tidak ada mandor yang curang dan mengurangi penghasilan. Akan
tetapi dia mengajukan syarat...”
“Nanti dulu, paman. Saudara Cu ini apakah mampu untuk memimpin semua mandor dan
menjamin keamanan di sana? Dibutuhkan seorang yang benar-benar tangguh untuk pekerjaan
seperti itu, paman!” Pandang mata Bhong-Ciangkun kini penuh selidik menatap wajah Goan
Ciang, alisnya berkerut dan sikapnya penuh kesangsian.
Yo Ci tersenyum lebar. “Percayalah, Ciangkun. Sudah terbukti ketangkasannya, dan kalau
perlu boleh diuji. Akan tetapi, dia mengajukan syarat dan syarat itulah yang ingin kubicarakan
denganmu, minta pendapatmu bagaimana.”
“Hemm, apa syaratnya? Kalau gaji besar, mudah saja...”
“Justeru itulah, dia tidak menghendaki gaji besar dan lain kesenangan untuk dirinya sendiri.
Syaratnya adalah agar gaji para pekerja kasar di bandar diberikan penuh, tidak dipotong
pajak...”
“Apa?? Tidak mungkin! Kita makan apa kalau pajak itu dibebaskan?” seru perwira itu
melotot. Ucapan ini dicatat dalam hati oleh Goan Ciang karena ucapan itu mengungkapkan
bahwa pembayaran pajak atau pungutan pajak dari para pekerja kasar itu merupakan
penghasilan perwira ini! Yo Ci tidak berbohong ketika mengatakan bahwa pajak itu
disetorkan kepada penguasa, mungkin dibagi di antara mereka.
“Akan tetapi, Ciangkun. Para pekerja kasar itu hanya berpenghasilan lima belas keping sehari,
dan pajaknya lima keping, sungguh amat berat bagi mereka. Apakah tidak dapat dihapuskan,
atau setidaknya dikurangi agar jangan terlalu berat dan mereka bisa mendapatkan penghasilan
yang cukup untuk makan?”
Perwira itu menatap wajah Goan Ciang dengan sinar mata berkilat. “Kalau engkau ingin
bekerja pada paman Yo, kenapa mesti mencampuri urusan pemungutan pajak? Engkau
bekerja saja dengan baik, menerima upah yang besar dan urusan pajak serahkan saja kepada
kami. Engkau tinggal memerintahkan mandor untuk memotong gaji mereka, habis perkara!”
Wajah Goan Ciang mulai berubah merah. Perwira ini sungguh angkuh, sombong setengah
mati, memandang rendah sekali kepadanya dan belum apa-apa sudah menganggap dia
seorang bawahannya yang harus patuh kepadanya.
“Ciangkun, aku ingin bekerja kepada paman Yo, bukan kepadamu! Pula, syaratku itu tidak
boleh ditawar-tawar lagi. Diterima syukur, kalau tidakpun tidak apa-apa, aku tidak bekerja di
bandarpun tidak mengapa!”
“Cu-hiante, kenapa sikapmu begini? Ingat, engkau berhadapan dengan Bhong-Ciangkun,
penguasa bandar di Wu-han!” Yo Ci terpaksa menegur karena dia khawatir kalau sampai
perwira itu marah.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 71
“Paman, aku tidak perduli siapa dia. Siapapun dia, aku tidak sudi dipaksa untuk membantu
orang memeras dan menindas para pekerja kasar yang miskin itu!” kata Goan Ciang yang
sudah marah pula.
“Bocah sombong!” Perwira Bhong kini bangkit dari kursinya dan menudingkan telunjuknya
kepada muka pemuda itu. “Berani engkau bersikap seperti ini di hadapanku? Engkau ini
agaknya sekomplotan dengan para pekerja kasar itu, ya? Hendak memberontak, ya? Para
pekerja kasar itu seperti segerombolan anjing, kalau tidak diperlakukan dengan keras, mereka
akan banyak bertingkah! Kau hendak memimpin mereka memberontak terhadap pemerintah?”
Bukan main marahnya Cu Goan Ciang. Tanpa disadari, tangannya mencengkeram cawan arak
di depannya dan cawan itu menjadi ringsek! Diapun bangkit berdiri dan menentang pandang
mata perwira itu dengan mata mencorong. Melihat ini, tentu saja Yo Ci khawatir sekali kalau
sang perwira akan marah kepadanya dan menyalahkan dia karena dia yang menampung Goan
Ciang.
“Cu Goan Ciang, sungguh engkau mengecewakan hatiku. Engkau orang tidak berbudi.
Kurang baik bagaimana kami menerimamu sebagai tamu? Akan tetapi engkau tidak dapat
menghargai budi kebaikan kami, bahkan kini bersikap kurang ajar sekali terhadap Bhong-
Ciangkun yang kami hormati?”
Melihat betapa Yo Ci membela perwira itu dan menegurnya, Goan Ciang tersenyum
mengejek. “Majikan Yo, aku tahu bahwa selama beberapa hari ini engkau hanya ingin
membujukku. Engkau bahkan tidak segan untuk menyerahkan isterimu sebagai umpan untuk
merayuku! Akan tetapi, aku bukan orang sebodoh itu. Engkau baik kepadaku hanya untuk
membujuk agar aku suka menghambakan diriku kepadamu. Hemm, aku tidak sudi untuk
membantumu memeras para pekerja miskin dan menjadi antek perwira ini!”
“Keparat, engkau sungguh jahat!” Yo Ci berseru dan berteriak memanggil pengawal. Sepuluh
orang pengawal yang nampak bengis dan kuat membukan daun pintu dan berdiri di luar
kamar itu, siap untuk turun tangan apabila diperintah. Juga tiga orang pengawal perwira itu
sudah siap di ambang pintu.
“Sudahlah, aku tidak mau berurusan lagi dengan kalian,” kata Goan Ciang dan diapun
melangkah hendak keluar dari ruangan itu tanpa memperdulikan para pengawal yang berdiri
menghadang di pintu.
“Tangkap dia!” teriak Yo Ci kepada para pengawalnya.
Mendengar perintah ini, ketika Goan Ciang sudah tiba di luar kamar tamu, para pengawal itu
menghadang. Namun, Goan Ciagn menyelinap dan meloncat, lari ke dalam kamarnya.
Memang dia selalu sudah mempersiapkan buntalan pakaiannya, maka begitu memasuki
kamarnya, dia menyambar dan mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung, kemudian dia
keluar dari kamarnya melalui taman. Kiranya para pengawal sudah menghadang di sana,
bersama Yo Ci, Bhong-Ciangkun, dan tiga orang pengawal Bhong-Ciangkun. Tidak kurang
daari dua puluh orang sudah menghadangnya.
“Pemberontak, berlutut dan menyerahlah engkau!” teriak Bhong-Ciangkun sambil menghunus
pedangnya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 72
“Cu Goan Ciang, engkau telah bersalah terhadap pejabat pemerintah, menyerahlah!” bentak
pula Yo Ci yang kini sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mempergunakan tenaga
pemuda yang keras hati itu karena sia-sia saja dia membujuk, dan kini bangkit kemarahannya
mengingat bahwa pemuda ini pernah menghajar anak buahnya di bandar dan merugikannya.
“Aku tidak sudi menyerah!” bentak Cu Goan Ciang.
“Serang dia, bunuh dia!” Perwira Bhong yang sudah marah sekali itu berseru dan dia sendiri
yang memandang rendah Goan Ciang sudah menggerakkan pedangnya menyerang, disusul
oleh Yo Ci yang juga menyerang dengan menggunakan huncwenya. Ternyata serangan kedua
orang ini cukup hebat sehingga Goan Ciang cepat menggunakan kegesitannya untuk
mengelak. Akan tetapi dia disambut serangan belasan orang pengawal yang rata-rata memiliki
tenaga kuat dan ilmu silat yang lumayan tangguh.
Maklum bahwa dia berada dalam bahaya karena dikeroyok banyak lawan yang cukup tangguh
dan yang bermaksud untuk membunuhnya, Cu Goan Ciang segera mengeluarkan ilmu
andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat, ilmu rahasia yang dia pelajari dari gurunya, Lauw In
Hwesio ketua Siauw-lim-si. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan
tubuhnya melayang ke atas bagaikan seekor burung rajawali sehingga semua serangan lawan
luput dan ketika semua pengeroyok berdongak untuk mengikuti gerakan pemuda yang
melayang seperti burung itu, Goan Ciang menukik turun dan begitu dia menyambar dengan
kaki tangannya, empat orang pengeroyok roboh terpelanting seperti disambar petir.
Cu Goan Ciang mengamuk dan pengeroyokan semakin ketat karena para pengeroyok marah
melihat betapa pemuda itu telah merobohkan empat orang kawan mereka. Bhong-Ciangkun
mengeluarkan bentakan nyaring dan dia yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara
para pengawal, menerjang dengan pedangnya, mengerahkan tenaganya untuk memenggal
leher Goan Ciang.
“Singgg...!!” Ketika Goan Ciang mengelak, pedang itu menyambar luput dan mengeluarkan
suara berdesing. Sebelum Goan Ciang mampu membalas serangan perwira yang dibencinya
itu, para pengeroyok lain sudah menyerangnya dari berbagai penjuru, bahkan huncwe emas di
tangan Yo Ci ternyata lihai sekali melakukan totokan ke arah jalan darah di lehernya. Goan
Ciang kembali membentak dan melengking nyaring, tubuhnya berkelebatan gesit sekali dan
ketika dia melompat ke atas lalu menyambar bagaikan seekor rajawali, kembali dua orang
pengeroyok dapat dia robohkan!
Sekali ini yang roboh adalah pengawal Bhong-Ciangkun, maka perwira itu menjadi penasaran
dan marah. Pedangnya menyambar-nyambar ganas dan cepat ke arah tubuh Goan Ciang.
Karena huncwe di tangan Yo Ci juga menyambar-nyambar dengan totokannya dan semua
jalan keluar dihadang oleh sambaran senjata para pengeroyok lainnya, maka Goan Ciang agak
terdesak.
“Singgg... crokk...!” Pakaian di buntalan yang terletak di punggung Goan Ciang jatuh
berhamburan karena buntalan itu pecah terkena sabetan pedang di tangan Bhong-Ciangkun.
“Sekarang otakmu yang berhamburan!” Perwira yang merasa mendapat hati karena sudah
berhasil mendesak lawannya dan merobek buntalan pakaian, mendesak dengan ganasnya.
Goan Ciang sengaja menanti sampai pedang itu menyambar kepalanya. Dengan menarik
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 73
kepala ke belakang, pedang itu menyambar lewat. Secepat kilat dia mencengkeram
pergelangan tangan yang memegang pedang. Perwira itu berteriak kesakitan dan pedangnya
terlepas. Goan Ciang menyambar pedang itu dan sekali dia mengelebatkan senjata itu,
robeklah perut Bhong-Ciangkun yang mengeluarkan suara jeritan panjang lalu roboh mandi
darah!
Bukan main kaget dan marahnya Yo Ci melihat perwira itu roboh dan tewas. Dia membentak
nyaring, menyuruh anak buahnya mencari bala bantuan, dan dia sendiri memimpin para
pengawal untuk mengeroyok. Huncwenya menyambar-nyambar dan memang ilmu silat Yo Ci
cukup tinggi, lebih tinggi dari pada semua pengawalnya. Namun sekali ini Goan Ciang tidak
memberi hati lagi. Dia menggunakan pedang rampasannya untuk mengamuk. Pedang itu
lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dalam waktu sebentar saja,
para pengeroyok itu sudah kocar-kacir dan banyak yang roboh mandi darah. Yo Ci masih
bertahan dan kini dia, dibantu sisa pengawalnya, bertanding mati-matian melawan Goan
Ciang. Sebetulnya kalau dia menghendaki, Goan Ciang tentu sudah dapat merobohkan dan
membunuh Yo Ci. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh orang yang pernah menjadi tuan
rumah ini, hanya ingin merobohkan tanpa membunuh.
Pada saat itu, bermunculan banyak orang berpakaian seragam. Pasukan keamanan
pemerintah! Goan Ciang menjadi marah. “Yo Ci, engkau anjing penjilat penjajah!” bentaknya
dan begitu pedangnya diputar, huncwe di tangan Yo Ci terpental dan sebuah tendangan yang
keras mengenai dada Yo Ci, membuat dia terjengkang dan roboh pingsan! Setelah
merobohkan Yo Ci, Goan Ciang lalu melompat, merobohkan tiga orang penghadang dan lari
keluar dari taman, dikejar oleh banyak prajurit keamanan.
Gegerlah kota Wu-han di hari itu. Di mana-mana, para prajurit berlarian dan mencari-cari,
namun bayangan pemuda yang mereka cari itu lenyap. Para prajurit menggeledah semua
rumah dan kesempatan melakukan “pembersihan” ini mereka pergunakan seperti biasa, demi
keuntungan diri sendiri. Ketika menggeledah rumah-rumah orang, mereka waspada terhadap
barang-barang berharga yang kecil untuk disambar dan dimasukkan kantung, juga terhadap
gadis-gadis atau ibu-ibu muda yang cantik untuk digoda, dicolek, bahkan ada yang sempat
diperkosa! Seluruh kota menjadi geger. Semua orang kini mendengar bahwa pemuda yang
bernama Cu Goan Ciang telah membunuh Bhong-Ciangkun penguasa bandar, juga
membunuh banyak prajurit pengawal di rumah Yo Ci, majikan yang mengatur bandar.
Mendengar berita ini, banyak orang merasa puas dan gembira karena mereka semua rata-rata
pernah diperas oleh Bhong-Ciangkun dan Yo Ci. Akan tetapi banyak pula yang mengeluh
karena gara-gara pemuda itu, mereka menderita rugi, ada barang yang dirampas para prajurit
yang melakukan penggeledahan, ada pula perempuan yang diganggu. Bahkan para pekerja
kasar di bandar berdebar-debar penuh kekhawatiran karena mereka takut kalau-kalau para
pembesar menyalahkan mereka, mengingat betapa pemuda yang mengamuk itu pada mulanya
membela mereka di bandar.
Ke mana perginya Cu Goan Ciang? Dia tidak mempunyai seorangpun kenalan di kota Wuhan
yang ramai itu, dan kiranya akan sukar baginya untuk bersembunyi di dalam kota karena
puluhan orang prajurit melakukan penggeledahan, bahkan semua pintu gerbang kota Wu-han
dijaga ketat dan setiap orang yang keluar dari pintu gerbang diperiksa dan diamati.
Ketika Goan Ciang melarikan diri, menyelinap ke sana-sini, di antara rumah-rumah, ke sana
bertemu penjaga dan ke sinipun bertemu prajurit sampai dia terengah-engah kebingungan
karena pengejaran semakin rapat, tiba-tiba dia melihat serombongan orang mengiringkan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 74
sebuah joli yang dipanggul oleh empat orang. Rombongan itu terdiri dari enam orang wanita
dan enam orang pria, yang berjalan di belakang joli yang tertutup tirai merah.
Goan Ciang mendapat akal. Cepat dia lari ke rombongan itu dan menyusup ke tengah-tengah
di antara enam orang pria dan enam orang wanita. Dua belas orang itu memandang dan
nampak marah, akan tetapi dari dalam joli terdengara suara lembut seorang wanita.
“Sipa kau dan mau apa?”
“Aku mohon bantuan kalian untuk dibolehkan bersembunyi dalam rombongan ini, aku
dikejar-kejar pasukan keamanan!”
“Kenapa?”
Tidak ada gunanya berbohong. Untung-untungan, pikirnya. Kalau orang ini seperti Yo Ci,
menjadi antek pemerintah, tentu dia akan dikeroyok, akan tetapi kalau sebaliknya, mungkin
dia akan dibantu.
“Aku telah membunuh seorang perwira.”
Dua belas orang itu mengeluarkan seruan tertahan dan suara dalam joli berkata. “Ah, kiranya
engkau yang menggegerkan kota itu? Nah, engkau bersembunyilah ke sini, di dalam joli.
Turunkan joli!” perintahnya kepada para penggotongnya. Empat orang penggotong dan dua
belas orang pengikut itu menjadi terheran-heran ketika nona mereka membuka tirai merah joli
itu dan memberi isarata kepada Goan Ciang untuk memasuki joli! Joli itu kecil saja, kalau
ditumpangi dua orang tentu akan berhimpitan! Akan tetapi karena yang menyuruhnya adalah
pemilik joli, dan dia tidak melihat tempat lain yang lebih baik untuk bersembunyi, diapun
masuk ke dalam joli.
“Hayo, jalan kembali, tenang dan biasa saja, jangan panik,” kata wanita itu kepada para
penggotong dan para pengikutnya. Joli digotong lagi dan perjalanan dilanjutkan.
Cu Goan Ciang juga terkejut dan mukanya terasa panas, tentu berwarna merah sekali ketika
dia melihat bahwa yang menyuruh dia masuk ke joli yang kini duduk di sebelahnya, bahkan
duduk berhimpitan karena joli itu terlalu kecil untuk mereka berdua, adalah seorang gadis
yang cantik manis berusia kurang lebih delapan belas tahun! Gadis itu berwajah bulat telur,
sepasang matanya lebar dan jeli, senyumnya wajar dan pakaiannya dari sutera halus namun
riasan mukanya sederhana saja. Biarpun demikian, kesederhanaan itu justeru membuat
kecantikannya semakin menonjol. Keharuman yang lembut membuai Goan Ciang, dan dia
dapat merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh gadis itu yang duduk berhimpitan dengan
dia, beradu sisi pinggul dan paha. Selama hidupnya, belum pernah dia berdekatan dan akrab
dengan wanita dan sekali ini, dia duduk berhimpitan seperti itu. Tentu saja jantungnya
berdebar aneh dan dia seperti seekor tikus di sudut yang dihadapi kucing. Tidak berani
bergerak, bahkan kalau mungkin dia akan menghentikan pernapasannya.
Rombongan itu menuju ke pintu gerbang timur. Di tengah perjalanan, seregu prajurit
menghentikan rombongan itu. “Berhenti!” terdengar bentakan perwira regu itu. “Kami
bertugas menyelidiki setiap orang yang lewat di sini.” Tentu saja Cu Goan Ciang merasa
tegang. Celaka, pikirnya, pasti dia akan ditangkap. Yang membuat dia menyesal adalah
bahwa gadis dalam joli yang berusaha menolongnya ini akan terbawa-bawa. Maka, diapun
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 75
membuat gerakan hendak meloncat keluar, akan tetapi tiba-tiba telapak tangan yang lunak dan
hangat memegang pergelangan tangannya. Ketika dia menoleh ke kiri, hampir saja hidungnya
menyentuh pipi gadis itu saking dekatnya mereka berhimpitan. Gadis itu menggeleng kepala
perlahan sambil tersenyum. Senyum itu! Pandang mata itu! Goan Ciang menunduk, akan
tetapi biarpun dia tidak jadi meloncat keluar, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang, siap
melawan kalau sampai ketahuan dan akan ditangkap.
“Ciangkun, kami mengantar nona untuk ke luar kota,” seorang di antara pengawal rombongan
joli itu memberi keterangan kepada kepala regu prajurit.
“Kami harus memeriksa dengan ketat, karena ada seorang buruan melarikan diri!” jawab
perwira itu yang agaknya mengenal rombongan.
Gadis itu menguak tirai di sudut depannya dan menjenguk keluar. Ia tersenyum manis kepada
perwira itu dan suaranya terdengar halus, namun bernada teguran, “Ciangkun yang gagah,
apakah Ciangkun sudah mulai tidak percaya dan mencurigai kami dari Jang-kiang-pang?”
Melihat nona itu, si perwira cepat memberi hormat, “Aih, kiranya Kim Siocia (Nona Kim)
sendiri yang berada dalam joli. Harap maafkan kami karena kami bertugas untuk mencari
seorang pelarian!”
Gadis itu hanya kelihatan kepalanya terjulur keluar dari tirai joli, mengangguk-angguk. “Aku
sudah mendengara akan keributan itu. Bukankah yang kaucari itu orang yang telah
membunuh Bhong-Ciangkun? Betapa beraninya orang itu! Akan tetapi kenapa engkau
menghentikan rombongan kami, Ciangkun? Apa kaukira pembunuh itu berada di dalam joliku
yang kecil ini?”
“Aku tidak sebodoh itu, siocia! Akan tetapi, kami hanya ingin melihat, siapa tahu pembunuh
itu menyusup di antara para pengiring siocia.”
“Hemm, kalau begitu periksalah semua anak buahku. Kalau atasanmu mendengar bahwa
engkau mencurigai kami, tentu dia akan merasa tidak senang, dan ketua kami akan marah dan
penasaran, lalu melapor kepada atasanmu.”
Wajah perwira itu berubah. Dia sudah melihat bahwa di antara enam orang pengawal pria dan
empat orang laki-laki pemanggul joli, tidak terdapat pembunuh yang dicarinya.
“Maafkan kami, Kim Siocia. Kami hanya melaksanakan tugas dan sama sekali tidak
bermaksud mencurigai nona. Nah, silahkan rombongan nona melanjutkan perjalanan.”
Dengan sikap seperti orang marah gadis itu menutupkan tirai joli dan membentak
rombongannya untuk melanjutkan perjalanan. Joli dipanggul lagi dan rombongan itu
melanjutkan perjalanan.
“Terima kasih,” Goan Ciang berbisik. Dia hanya cukup menoleh saja untuk mendekatkan
mulutnya ke telinga gadis itu.
“Belum waktunya berterima kasih, kita masih belum keluar dari kota,” gadis itu berbisik
kembali.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 76
Benar saja. Di pintu gerbang, kembali rombongan itu dihentikan oleh para penjaga. Akan
tetapi, gadis itu dapat pula mengatasi dengan sikapnya yang galak dan menantang akan
melaporkan kepada panglima sehingga kepala penjaga menjadi takut dan membiarkan
rombongan itu lewat, apa lagi karena mereka tidak melihat adanya pelarian itu di antara para
pengiringnya. Gadis itu agaknya dikenal semua prajurit keamanan dan hal ini tidaklah
mengherankan. Perkumpulang Jang-kiang-pang (Perkumpulang Sungai Panjang) merupakan
perkumpulan yang amat terkenal. Para pemimpinnya memiliki hubungan dekat dengan para
pejabat tinggi di Wu-han. Dan gadis cantik itu merupakan orang ke dua dari pimpinan
perkumpulan itu karena ia adalah adik seperguruan sang ketua.
Setelah rombongan itu berhasil keluar dari pintu gerbang dengan selamat, bahkan sudah jauh
dari kota Wu-han, di dekat sebuah bukit, gadis itu menyuruh rombongannya berhenti. Joli
diturunkan dan Cu Goan Ciang keluar dari dalam joli, diikuti gadis itu. Kini mereka berdiri
berhadapan dan baru dapat saling pandang dengan jelas, tidak seperti di dalam joli tadi
walaupun saling berhimpitan, mereka merasa sungkan untuk saling bertatap muka karena
terlalu dekat. Setelah kini keduanya turun dan berdiri berhadapan, barulah Goan Ciang
melihat kenyataan betapa cantik manisnya gadis itu, terutama matanya yang jeli dan
memancarkan kecerdikan. Tubuhnya ramping padat dan agak tinggi bagi seorang wanita. Di
lain pihak, gadis itupun baru sekarang dapat melihat dengan jelas betapa gagah dan
anggunnya pemuda yang ditolongnya itu. Seorang pemuda yang masih muda, baru dua puluh
tahun usianya, namun pembawaannya sudah masak dan dewasa, dengan tubuh tinggi tegap,
tegak dan anggun berwibawa, bagaikan seekor burung rajawali yang gagah perkasa. Beberapa
lamanya mereka berdiri saling berpandangan tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya pandang
mata mereka saja saling mengagumi.
Akhirnya Goan Ciang merasa betapa janggalnya sikap mereka, saling pandang seperti itu
tanpa bicara. Dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada gadis
itu. “Aku Cu Goan Ciang telah berhutang budi dan nyawa kepadamu, nona. Aku tidak akan
melupakan budi kebaikan nona dan amat berterima kasih kepadamu. Kalau boleh aku
mengetahui, siapakah nama nona dan apakah nona seorang pemimpin dari sebuah
perkumpulan besar maka begitu dihormati oleh para prajurit penjaga keamanan?”
Melihat sikap Goan Ciang yang sopan, bicaranya yang lantang dan tegas, gadis itu tersenyum.
Iapun mengangkat kedua tangan depan dada untuk membalas penghormatan itu. “Cuenghiong
tidak perlu berterima kasih. Sudah sepantasnya kalau kita saling membantu, apa lagi
mengingat bahwa engkau seorang gagah yang berani menentang seorang perwira yang
bertindak sewenang-wenang. Kami sudah mendengar akan semua sepak terjangmu yang
membela kepentingan para pekerja kasar di bandar. Engkau membela para pekerja kasar yang
diperlakukan tidak adil oleh Yo Ci, bahkan engkau telah membunuh Bhong-Ciangkun,
penguasa bandar di Wu-han. Kami kagum kepadamu dan sudah selayaknya kalau kami
membantumu ketika engkau dikejar-kejar.”
“Nona terlalu memuji. Akan tetapi, engkau belum memperkenalkan diri, nona.”
“Namaku Kim Lee Siang, membantu suci yang bernama Liu Bi dan dijuluki Jang-kiang Sianli
(Dewi Sungai Panjang) memimpin perkumpulan kami Jang-kiang-pang. Markas kami berada
di lembah sungai Yang-ce.”
“Ah, kiranya nona Kim adalah seorang pemimpin perkumpulan besar. Pantas saja para
prajurit itu menghormatimu. Nah, harap nona suka menyampaikan terima kasihku kepada
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 77
ketua Jang-kiang-pang atas pertolongan yang diberikan kepadaku hari ini. Mudah-mudahan
lain kali aku akan dapat membalas budi itu. Sekarang, aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Engkau hendak pergi ke manakah, Cu-enghiong?”
“Ke mana saja nasib membawa diriku, nona. Yang jelas, aku tidak mungkin dapat tinggal di
Wu-han lagi.”
“Cu-enghiong, ketahuilah bahwa markas besar pasukan di Wu-han amat kuat dan mempunyai
banyak orang pandai. Mereka tentu tidak akan berhenti sebelum dapat menemukanmu dan
mereka pasti akan mengirim pasukan untuk melakukan pengejaran. Ke kota manapun engkau
pergi, tentu akan dikejar-kejar. Oleh karena itu, kalau engkau suka, sebaiknya engkau
bersembunyi dulu di tempat kami. Nanti setelah keadaan mereda dan tidak begitu hangat lagi,
pencarian terhadap dirimu mengendur, barulah engkau dapat melanjutkan perjalananmu.”
“Ah, aku hanya akan merepotkanmu saja, nona Kim.”
“Sama sekali tidak! Suci dan aku akan merasa girang menerimamu sebagai tamu kami. Kami
menghargai orang-orang gagah, apa lagi engkau sudah membuktikan bahwa engkau membela
para pekerja kasar di bandar. Tentu suci akan menghargaimu pula. Dan engkau akan lepas
dari ancaman bahaya pengejaran.”
Goan Ciang mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa gadis ini bicara benar. Kalau dia melarikan
diri, tentu ke manapun dia pergi, dia akan selalu terancam bahaya karena dia seorang pelarian
yang akan dikejar oleh pasukan keamanan. Memang sebaiknya kalau dia mendapatkan tempat
bersembunyi yang aman selama beberapa waktu. Dia dapat melihat bagaimana
perkembangannya. Kalau sekiranya dia tidak terlalu merepotkan orang, sebaiknya dia
bersembunyi di perkumpulan itu. Andai kata perkembangannya tidak enak, sewaktu-waktu
dia dapat pergi meninggalkan tempat itu.
“Baiklah, nona Kim. Dan kembali terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, dari sini biarlah
aku berjalan kaki saja,” katanya dan dia melihat betapa gadis itu nampak tersipu, tentu
teringat betapa tadi mereka duduk berhimpitan, seperti sepasang pengantin saja.
Kim Lee Siang mengangguk dan iapun memasuki jolinya, kemudian memerintahkan para
pemikul joli dan pengiringnya untuk bergerak cepat. Ketika para pemikul joli dan dua belas
orang pengiring itu mulai berlari, diam-diam Goan Ciang kagum. Ternyata bahwa mereka
semua, juga empat orang pemikul joli, bukan orang-orang sembarangan. Diapun mengikuti
dari belakang dan betapa cepatnyapun mereka berlari, Goan Ciang dapat mengikuti mereka.
Rombongan baru berhenti berlari ketika mereka tiba di depan pintu gerbang sebuah
perkampungan yang dikurung pagar tembok, di tepi sungai yang tinggi, merupakan tebing
sungai. Di situlah markas Jang-kiang-pang. Karena letaknya di tebing sungai, maka tempat itu
tidak pernah terancam banjir kalau musim hujan tiba dan air sungai meluap. Juga daerah
perbukitan itu memiliki tanah yang subur. Tidak nampak dusun lain di daerah itu. Agaknya
Jang-kiang-pang telah menguasai daerah itu sehingga tidak ada orang lain yang berani
menempati daerah itu.
Setelah tiba di pintu gerbang, joli diturunkan dan Kim Lee Siang keluar dari dalam joli.
Empat orang pemikul joli dan dua belas orang pengiringnya agak terengah dan mereka semua
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 78
menghapus keringat dari muka dan leher. Akan tetapi ketika Lee Siang mengerling kepada
Goan Ciang, ia melihat pemuda itu sama sekali tidak terengah dan tidak berkeringat, maka
diam-diam ia yang tadi sengaja hendak menguji pemuda itu, merasa kagum dan tersenyum
manis.
“Mari, Cu-enghiong, kita menghadap ketua kami. Kuperkenalkan kepada suciku,” katanya
dan Cu Goan Ciang mengangguk, lalu mengikuti gadis itu memasuki perkampungan yang
menjadi pusat perkumpulan itu. Setiap orang anggota perkumpulan, laki-laki dan wanita, yang
bertemu dengan Lee Siang, memberi hormat dengan sikap ramah, akan tetapi mereka semua
memandang kepada Goan Ciang dengan sinar mata curiga.
Gedung yang berada di tengah perkampungan itu, berbeda dengan bangunan-bangunan lain
yang berada di situ, selain besar juga megah. Ketika Cu Goan Ciang mendaki tangga di
samping Lee Siang dan tiba di ruanga luar, dia sudah melihat adanya perabot rumah yang
serba mewah, pot-pot kembang yang indah, meja kursi yang terukir, tembok yang dicat bersih
dan dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Dua orang wanita yang berpakaian
ringkas, agaknya merupakan pengawal rumah itu, segera menyambut mereka dan kedua orang
gadis manis itu memberi hormat kepada Lee Siang.
“Di mana pangcu (ketua)?” tanya Lee Siang kepada mereka.
Sambil mengerling ke arah Goan Ciang dengan pandang mata heran, seorang di antara dua
pengawal itu menjawab, “Siocia, pangcu sejak pagi tadi pergi ke hutan bambu kuning dan
pangcu memesan agar siocia cepat menyusul ke sana.”
Lee Siang terbelalak, nampak kaget sekali. “Apakah sudah datang tantangan dari mereka?”
“Agaknya demikianlah, siocia. Pangcu tidak menceritakan kepada kami hanya memesan agar
kami melakukan penjagaan ketat di sini, dan pangcu pergi bersama Ngo-liong Ci-moi (kakak
beradik lima naga).”
“Ah, kalau begitu aku harus cepat menyusulnya. Mari, Cu-enghiong, mari kita pergi, mungkin
aku membutuhkan bantuanmu. Nanti dalam perjalanan kuceritakan!” kata Lee Siang dan
iapun berlari keluar dari situ. Cu Goan Ciang hanya mengikuti saja, dan setelah tiba di luar
pintu gerbang, Lee Siang berlari cepat sekali. Goan Ciang kagum dan diapun mempercepat
larinya, menuju ke barat, menyusuri sungai Yang-ce yang lebar.
“Perlahan dulu, nona. Aku perlu mengetahui duduknya perkara sebelum dapat membantumu,”
kata Goan Ciang dan Lee Siang menghentikan larinya, akan tetapi masih berjalan terus,
didampingi oleh Goan Ciang. Sambil berjalan, gadis itu bercerita.
“Tidak ada waktu untuk bicara panjang lebar, Cu-enghiong. Di Bukit Kijang, tak jauh dari
sini, tinggal seorang tokoh kang-ouw she Kwa yang mengetuai perguruan silat Yang-ce Bukoan.
Beberapa bulan yang lalu, ketua Kwa meminang suci, akan tetapi ditolak keras oleh
suci sehingga mereka tersinggung dan selalu mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Dan
pernah ketua Kwa mengancam akan menantang suci untuk mengadu ilmu karena penolakan
suci dianggapnya suatu penghinaan. Nah, kukira sekarang ini suci menyambut tantangannya.
Kabarnya ketua Kwa itu lihai seklai, maka aku mengkhawatirkan keselamatan suci. Kuharap
engkau suka membantu kami kalau diperlukan.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 79
Goan Ciang mengangguk dan mengerutkan alisnya yang tebal. “Sungguh tidak tahu malu.
Pinangan ditolak mengapa lalu marah-marah dan menimbulkan permusuhan?” dia mengomel,
tak puas dengan sikap orang she Kwa itu.
Kini Lee Siang berlari lagi dan Goan Ciang juga tidak banyak bertanya. Mereka berlari cepat
dan tak lama kemudian mereka telah memasuki sebuah hutan. Mudah diduga bahwa inilah
yang dinamakan hutan Bambu Kuning karena di situ memang banyak tumbuh bambu kuning
di samping pohon-pohon lain.
Ketika mereka tiba ditengah hutan, di mana terdapat tempat terbuka dengan petak rumput
tebal, dan betapa kaget rasa hati mereka ketika melihat lima orang wanita rebah malang
melintang di tempat itu, dan suasana sepi sekali walaupun masih nampak bekas pertempuran
terjadi di tempat itu. Banyak darah melumuri rumput yang terinjak-injak, senjata tajam
berserakan.
“Ngo-liong Ci-moi...!” Lee Siang berseru kaget dan cepat ia menghampiri mereka. Ternyata
tiga orang di antara mereka telah tewas, seorang terluka parah dan seorang lagi terluka ringan,
akan tetapi tidak mampu bergerak karena dalam keadaan tertotok. Agaknya baru saja mereka
bertanding melawan musuh yang pandai.
Setelah membebaskan totokan kedua orang yang terluka itu Lee Siang cepat bertanya, “Apa
yang terjadi? Mana pangcu?”
Wanita yang terluka parah di dadanya merintih, “Pangcu... tertawan mereka... cepat tolong ia,
siocia...” Dan iapun terkulai dan tewas pula.
Lee Siang meloncat ke orang yang terluka ringan dan menguncangnya. “Siapa yang menawan
suci? Orang-orang Yang-ce Bu-koan?”
Wanita itu menangis lirih dan sudah bangkit duduk. “Pangcu ditawan Kwa-kauwsu (guru silat
Kwa), dan kami berlima dikeroyok belasan orang anak buahnya.”
Lee Siang bangkit berdiri, mukanya berubag merah dan ia mengepal tinju. “Keparat orang she
Kwa! Enci Ciu, cepat kau pulang dan kerahkan semua saudara kita untuk menyerbu Yang-ce
Bu-koan. Aku pergi dulu menolong suci!”
“Baik, siocia,” kata wanita itu yang masih menangisi empat orang saudaranya yang tewas.
Biarpun hatinya hancur karena belum sempat mengurus jenazah empat orang saudaranya,
terpaksa ia cepat berlari pulang untuk minta bala bantuan. Sementara itu, Lee Siang
menghadapi Goan Ciang.
“Cu-enghiong, kami menghadapi urusan besar. Aku akan mencoba untuk menolong suci.
Akan tetapi pekerjaan ini berbahaya sekali. Aku tidak berani memaksamu unutk membantu
tetapi kalau engkau sudi membantuku, aku akan berbesar hati dan berterima kasih sekali.”
“Nona Kim, kenapa berkata demikian? Bukankah katamu sudah sepatutnya kalau kita saling
bantu? Tentang bahaya, sudah sering aku terancam bahaya. Mari kita kejar mereka yang
menawan sucimu itu.”
Pandang mata gadis itu berkilat penuh harapan dan kegembiraan, lalu iapun meloncat dan kini
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 80
ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari cepat secepat mungkin. Namun, dengan
kagum ia melihat betapa pemuda itu selalu dapat mengimbanginya, bahkan nampaknya tidak
mengerahkan seluruh tenaganya.
“Nona, harap berhenti dulu,” tiba-tiba Goan Ciang berkata dan gadis itu menahan larinya,
berhenti dan memandang kepada pemuda itu. Ia mengusap keringat dari lehernya karena tadi
mengerahkan seluruh tenaga untuk berlari cepat.
“Ada apakah, Cu-enghiong?”
“Nona, kurasa amat ceroboh kalau kita hanya langsung saja mendatangi Yang-ce Bu-koan,
menghadapi mereka yang berjumlah banyak.”
Gadis itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah, “Aku tidak takut! Untuk menolong
suci, aku rela mempertaruhkan nyawaku! Apakah engkau merasa jerih? Kalau engkau takut,
biar aku sendiri yang akan menolongnya!”
Goan Ciang tersenyum. “Bukan takut, nona. Akan tetapi aku khawatir kita berdua akan gagal
kalau menghadapi demikian banyaknya lawan...”
“Aku tidak takut!” kembali Lee Siang berkata tegas.
“Bukan soal berani atau takut, nona. Akan tetapi, apa artinya kalau kita berdua gagal? Kita
mungkin tertangkap atau tewas, akan tetapi yang jelas, kegagalan, kita tidak akan menolong
sucimu itu. Lalu apa artinya usaha yang sia-sia itu?”
“Habis, bagaimana? Apakah aku harus berpangku tangan mendiamkan saja suci ditawan
mereka?”
“Tentu saja tidak, nona. Kita memang harus berusaha untuk menolong sucimu, akan tetapi
tidak secara ceroboh yang akhirnya bukannya berhasil malah membahayakan diri sendiri. Kita
harus mempergunakan akal agar dapat berhasil.”
Kalau tadinya wajah gadis itu muram dan marah, kini wajah itu beresri karena baru ia tahu
akan maksud pemuda yang dikaguminya itu. “Ah, engkau benar sekali, Cu-enghiong! Akan
tetapi akal apa yang dapat kita pergunakan untuk menolong suci?”
“Mulai saat ini, engkau harus menyebut aku twako dan aku menyebutmu siauw-moi agar
orang menduga bahwa di antara kita masih ada hubungan kekeluargaan. Kita datangi mereka
dan tentu mereka sudah tahu bahwa engkau adalah sumoi dari ketua Jang-kiang-pang, akan
tetapi mereka belum mengenalku. Nah, aku akan mengaku bahwa aku adalah seorang kakak
misan dari sucimu. Aku akan menuntut agar kalau kepala Yang-ce Bu-koan sungguh-sungguh
mencintai sucimu, dia harus mengajukan pinangan kepara aku sebagai walinya, agar
perjodohan itu dilakukan secara terhormat. Serahkan saja kepadaku kalau sudah berhadapan
dengan dia. Yang terpenting, kita dapat membebaskan sucimu terlebih dulu, bukan? Ini masih
jauh lebih mengandung harapan berhasil dari pada kalau kita menyerbu secara kekerasan.”
Wajah gadis itu bersinar-sinar penuh harapan dan kekaguman. “Ahhh, Cu-enghiong... ah,
maksudku, twako, siasatmu sungguh bagus sekali! Mudah-mudahan saja berhasil. Engkau
benar, yang terpenting adalah membebaskan suci lebih dahulu dari tangan mereka. Kalau suci
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 81
sudah bebas, hemm... mereka mau mengajak perang sekalipun, boleh!
“Nona... eh, siauw-moi, mulai sekarang biarlah aku yang nanti bicara dengan mereka. Engkau
mudah terpengaruh emosi sehingga dapat menggagalkan rencana kita.”
Lee Siang tersenyum dan dalam pandangan Goan Ciang, belum pernah dia melihat wajah
semanis itu. “Baiklah, toako.”
Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di satu-satunya dusun yang berada di lereng
Bukit Kijang. Di dusun itulah adanya perguruan silat Yang-ce Bu-koan (perguruan silat
sungai Yangce) yang mengambil namanya dari sungai besar yang mengalir di kaki bukit.
Semua penghuni dusun itu seolah-olah menjadi anggota perguruan itu karena mereka semua,
yang muda-muda, menjadi murid perguruan itu, di samping murid yang berdatangan dari kota
dan dusun lain. Karena itu, ketika penghuni dusun melihat munculnya Kim Lee Siang yang
mereka kenal sebagai sumoi dari ketua Jang-kiang-pang, suasana menjadi gempar dan
muncullah belasan orang jagoan perguruan itu, menghadang.
Melihat sikap mereka, Goan Ciang segera berkata dengan suara yang lantang dan berwibawa.
“Hemm, beginikah caranya orang-orang Yang-ce Bu-koan menyambut calon keluarganya?
Aku, Cu Goan Ciang, adalah kakak misan dari ketua Jang-kiang-pang Liu Bi yang sudah
yatim piatu, aku adalah walinya dan aku ingin bicara dengan Kwa-kauwsu tentang perjodohan
itu! Apakah pantas kalau aku disambut seperti seorang musuh?”
Mendengar ucapan yang lantang dan terdengara berwibawa itu, belasan orang jagoan Yang-ce
Bu-koan tertegun dan bimbang. Seorang di antara mereka lalu maju dan mengangkat kedua
tangan memberi hormat kepada Goan Ciang dan Lee Siang. Bagaimana juga, yang datang dari
Jang-kiang-pang hanya dua orang, tidak perlu ditakuti.
“Maafkan sikap kami, karena kedatangan ji-wi tanpa memberi kabar lebih dahulu, kami tidak
menyambut secara pantas. Kalau ji-wi hendak bicara tentang perjodohan, kami persilahkan jiwi
untuk mengikuti kami bertemu dengan suhu kami.”
Dengan sikap gagah Goan Ciang dan Lee Siang mengikuti mereka menuju ke sebuah
bangunan besar yang megah. Di depan bangunan itu terpancang sebuah papan nama
perkumpulan yang ditulis dengan huruf-huruf besar dan gagah “Yang-ce Bu-koan”.
Agaknya telah ada anggota perguruan silat itu yang telah memberi laporan kepada Kwakauwsu
(guru silat Kwa), karena ketika dua orang tamu itu tiba di depan rumah yang
pekarangannya luas, guru silat itu telah menyambut dan berdiri di atas lantai bertangga
dengan sikap gagah. Sambil melangkah maju menghampiri tuan rumah, Goan Ciang
memandang penuh perhatian. Guru silat itu memang gagah. Tubuhnya tinggi besar dengan
perut yang gendut, nampak kokoh seperti baru karang dan usianya sekitar empat puluh lima
tahun, matanya lebar bulat dan hidungnya besar, bibirnya tebal. Tidak tampan memang, akan
tetapi nampak jantan dan menyeramkan bagi lawan. Pakaiannya berwarna biru, potongannya
ringkas seperti pakaian ahli silat, dengan lengan baju digulung sampai ke siku sehingga
nampak sepasang lengan yang berotot dan berbulu dengan jari-jari yang panjang besar dan
kasar. Bukan penampilan yang dapat menarik hati wanita, maka Goan Ciang tidak heran
mengapa ketua Jang-kiang-pang menolah lamaran laki-laki ini.
Untung bahwa Goan Ciang sudah memesan kepada Lee Siang untuk diam saka dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 82
membiarkan dia yang bicara dengan guru silat itu, karena kalau saja tidak demikian, begitu
bertemu dengan Kwa-kauwsu, tentu Lee Siang akan langsung memakinya atau bahkan
menyerangnya untuk menuntut dibebaskannya sucinya. Gadis itu menahan diri dan diam saja.
Sementara itu, Kwa-kauwsu yang sudah mengenal Lee Siang mengetahui bahwa gadis itu
adalah sumoi dari ketua Jang-kiang-pang yang membuatnya tergila-gila, akan tetapi dia tidak
mengenal Cu Goan Ciang walaupun tadi dia sudah mendengar laporan bahwa Cu Goan Ciang
adalah kakak misan dari calon isterinya!
“Selamat datang, Nona Kim Lee Siang, atau lebih tepat kusebut adik Kim Lee Siang saja?
Dan siapakah saudara yang datang berkunjung?” Dia pura-pura tidak tahu dan bertanya
kepada Goan Ciang sambil merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.
Cu Goan Ciang membalas penghormatan itu sedangkan Lee Siang diam saja. Sambil
tersenyum ramah Goan Ciang berkata, “Aku bernama Cu Goan Ciang, dan aku adalah kakak
misan dari adikku Liu Bi yang sudah bertahun-tahuntidak kujumpai. Ketika aku datang
berkunjung, aku mendengar tentang peristiwanya dengan Yang-ce Bu-koan! Aku ingin sekali
bertemu dengan guru silat dari bu-koan ini untuk membicarakan urusan itu.”
“Akulah Kwa Teng atau disebut Kwa-kauwsu pemilik Yang-ce Bu-koan,” kata guru silat itu
sambil membusungkan dada. “Aku adalah calon suami nona Liu Bi ketua Jang-kiang-pang!”
“Ah, kalau begitu aku berhadapan dengan calon adik iparku!” kata Cu Goan Ciang sambil
memberi hormat lagi. “Akan tetapi aku mendengar bahwa telah terjadi keributan dan
perkelahian antara engkau dan adik misanku Liu Bi, benarkah itu? Dan engkau bahkan telah
menawannya? Bagaimana pula ini?”
Guru silat itu tertawa. “Ha-ha-ha, hanya ada sedikit perselisihan. Calon isteriku itu tadinya
memandang rendah kepadaku dan menantang untuk mengadu kepandaian dengan janji ia akan
mau menjadi isteriku kalau aku mampu mengalahkannya. Nah, ia telah kalah dan kini ia
sudah berada di sini, tinggal menanti dirayakannya pernikahan kami.”
Cu Goan Ciang mengerutkan alisnya. “Aih, Kwa-kauwsu, tindakanmu itu salah besar dan
hanya akan merugikan nama besarmu sendiri saja. Seyogyanya engkau tidak menyanderanya
dan setelah ia kalah, kalau engkau mengajukan pinangan secara terhormat, tentu kelak ia akan
menjadi isterimu yang setia dan baik. Sebaliknya kalau secara menyandera begini, apa akan
kata dunia kang-ouw? Engkau tentu dianggap sebagai seorang penculik dan pemaksa, dan
adik misanku tidak akan merasa terhormat, bagaimana akan dapat menjadi isterimu yang
mencinta? Juga, tentu para saudaranya akan memusuhimu dan permusuhan takkan pernah
berhenti, mengganggu ketenteraman hidupmu.”
Kwa-kauwsu tertegun. Tentu saja dia tahu akan hal itu. Akan tetapi tidak ada jalan lain
baginya. Mula-mula, dia mengajukan pinangan secara resmi terhadap ketua Jang-kiang-pang
yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi utusannya yang melakukan lamaran itu ditolak
bahkan dihina. Lalu dia membuat surat tantangan, menantang Nona Liu Bi untuk mengadakan
pi-bu (adu ilmu silat) di hutan bambu kuning. Dengan pengeroyokan para muridnya yang
jumlahnya jauh lebih banyak, dia berhasil merobohkan lima orang anak buah gadis ketua itu
dan menawannya, lalu membawanya pulang. Karena sudah dikalahkannya, dia akan memaksa
Liu Bi menjadi isterinya. Tentu saja dia sendiri tidak menyukai cara pernikahan seperti ini
yang mengandung paksaan, akan tetapi dia tidak melihat cara lain yang memungkinkan dia
menikah dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Dia sendiri seorang duda dan ketika
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 83
dia melihat ketua Jang-kiang-pang, seketika dia jatuh cinta dan tergila-gila.
“Hemm, saudara Cu, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan untuk dapat
menikah dengan Nona Liu Bi secara terhormat?”
“Kwa-kauwsu yang perkasa, aku adalah kakak misannya, satu-satunya keluarganya yang
lebih tua sehingga aku dapat mewakili kedua orang tuanya yang sudah tiada, dapat menjadi
walinya. Aku berhak membicarakan urusan perjodohannya dengan terhormat. Kalau secara
resmi engkau melamar Liu Bi kepadaku, lalu kuterima lamaran itu dan diadakan upacara dan
pesta pernikahan secara resmi, maka pernikahan itu akan terhormat dan engkau akan
mendapatkan seorang isteri yang baik dan penurut. Sebaliknya, kalau engkau menggunakan
cara paksaan seperti ini, bukankah keselamatanmu akan terancam setiap saat? Engkau seperti
mengawini seorang musuh besar yang tiap saat dapat saja membunuhmu.”
Kwa-kauwsu terbelalak. Tadinya dia mengira bahwa setelah ketua Jang-kiang-pang itu
menjadi isterinya, wanita itu akan tunduk kepadanya. Baru sekarang dia melihat kemungkinan
terjadinya hal yang diucapkan tamunya itu.
“Saudara Cu, dan engkau nona Kim, mari kita bicara di dalam kamar tamu. Silahkan!”
katanya dan sikapnya kini berubah ramah karena dia melihat bahwa tamunya ini agaknya
akan dapat menolongnya dari keadaan yang gawat itu. Tentu saja dia ingin memperisteri Liu
Bi secara wajar. Dia bukan pula penjahat yang suka memperkosa wanita, apa lagi Liu Bi yang
membuatnya tergila-gila dan dicintanya.
Cu Goan Ciang dan Kim Lee Siang melihat betapa tuan rumah masih bersikap waspada ketika
Kwa-kauwsu mengiringkan mereka masuk ke kamar tamu, sepuluh orang yang agaknya
menjadi murid atau pembantu utamanya, mengiringkannya dan ikut masuk ke kamar tamu.
Ketika Kwa-kauwsu mempersilahkan mereka berdua mengambil tempat duduk berhadapan
dengan guru silat itu, sepuluh orang itu berdiri berkelompok di sudut ruangan, berjaga-jaga.
Kalau mereka berdua menggunakan kekerasab terhadap tuan rumah, tentu sepuluh orang itu
akan maju mengeroyok, dan sebentar saja seluruh penghuni dusun itu akan mengepung
mereka.
Setelah kedua orang tamunya duduk, Kwa-kauwsu berkata sambil mengamati wajah Cu Goan
Ciang. “Apa yang kaukatakan tadi memang ada benarnya dan aku sendiri menghendaki agar
pernikahanku dengan Liu Bi dapat berlangsung secara wajar dan terhormat. Akan tetapi,
bagaimana kalau ia menolak pinanganku yang resmi seperti yang pernah ia lakukan?”
Cu Goan Ciang tertawa. “Aku mengenal betul watak adik misanku itu. Wataknya memang
keras dan angkuh, tidak mudah tunduk. Karena, ketika engkau mengajukan lamaran, di
pihaknya tidak ada walinya, maka ia merasa tersinggung dan menolak. Akan tetapi aku tahu
bahwa adikku Liu Bi itu hanya mau berjodoh dengan laki-laki yang gagah perkasa dan
mampu menandingi ilmu silatnya. Nah, kurasa engkau merupakan seorang pria yang cocok
sekali dan memenuhi syarat untuk menjadi suaminya.”
“Sebaiknya kalau engkau mengundan suci ke sini untuk bicara dengan kami, Kwa-kauwsu,”
kata Kim Lee Siang yang sejak tadi diam saja.
Guru silat itu memandang curiga kepada gadis manis itu. “Hemm, aku meragukan apakah ia
akan mau menerima pinanganku dengan baik.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 84
Cu Goan Ciang cepat berkata, “Kauwsu, kenapa engkau masih ragu? Aku yang menanggung
bahwa adikku itu pasti akan mau menerimanya. Aku yang akan membujuknya. Sebaiknya
kalai ia dipanggil ke sini agar dapat bicara denganku. Pula, kami bertiga berada di rumahmu,
di tengah dusunmu, tidak ada yang perlu kau khawatirkan!”
Kwa-kauwsu mengangguk-angguk, benar juga, pikirnya. Andai kata Liu Bi dan adik
seperguruannya ini mengamuk, dibantu oleh kakak misannya sekalipun, mereka bertiga tidak
mungkin dapat lolos dari pengepungan para muridnya. Dan pemuda yang jangkung tegap ini
agaknya bicara serius dan dapat dipercaya.
“Baiklah, akan kupanggil ia ke sini. Akan tetapi, kalau usaha kalian membujuknya tidak
berhasil dan ia tetap hendak menolak, terpaksa kami akan menawan kalian semua!” Kwakauwsu
memberi isarat kepada seorang pengawal yang segera memberi hormat dan keluar
dari ruangan itu.
Dengan hati berdebar tegang, Goan Ciang dan Lee Siang menunggu dan untuk
menenteramkan suasana, Goan Ciang berkata, “Kwa-kauwsu, kenapa masih mencurigai
kami? Kami datang dengan maksud baik, untuk mendamaikan perselisihan di antara adik
misanku dan engkau sebagai calon suaminya.”
Tak lama kemudian, pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka dan muncullah seorang wanita
muda yang cantik sekali. Cu Goan Ciang sendiri sampai tertegun melihat betapa cantiknya
gadis itu. Di belakang gadis itu, berjalan dua belas orang pengawal yang memegang golok.
Wajah gadis itu agak pucat, namun pandang matanya bersinar-sinar penuh keberanian. Ia
terbelalak heran melihat Lee Siang dan Goan Ciang.
“Suci! Aku dan Cu-toako datang untuk menolongmu!” Lee Siang berseru dengan sikap
gembira sekali melihat sucinya dalam keadaan selamat.
Dengan sikap wajar dan wajah gembira, Cu Goan Ciang bangkit berdiri memandang gadis itu
dan berseru, “Piauw-moi (adik misan), agaknya engkau lupa kepadaku! Tidak aneh karena
sudah lima tahun lebih kita tidak saling jumpa, piauw-moi, aku adalah Cu Goan Ciang, putera
bibimu!”
”Suci, aku sendiri hampir tidak mengenal lagi kepada Cu-toako ketika dia datang kemarin!”
kata Lee Siang dengan nada suara gembira.
Jang-kiang Sianli Liu Bi bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali tidak. Ia seorang tokoh
kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat cerdik. Kalau sampai ia dapat
tertawan oleh Kwa-kauwsu adalah karena ia sama sekali tidak menduga bahwa guru silat itu
demikian tergila-gila kepadanya sehingga tidak segan melakukan kecurangan dan
mengeroyoknya untuk mendapatkan dirinya, secara halus maupun kasar! Kini, mendengar
ucapan pemuda yang sama sekali tidak pernah dilihatnya itu dan ucapan sumoinya, iapun
mengerti bahwa siapapun adanya pemuda itu, tentu dia datang diajak sumoinya untuk
menolongnya. Ia lalu tersenyum, dan menghampiri Goan Ciang, memberi hormat dengan
ramah.
“Aih, kiranya Cu-piauwko yang datang bersama sumoi? Akan tetapi, apa yang dapat
kaulakukan piauw-ko? Aku telah menjadi tawanan Kwa-kauwsu!” Ia menoleh ke arah guru
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 85
silat itu dan memandang marah.
Cu Goan Ciang memang sengaja hendak mengulur waktu sambil menunggu datangnya bala
bantuan. Maka dia lalu memandang kepada Kwa-kauwsu. “Kwa-kauwsu, kalau kami
dibiarkan bertiga saja di sini, aku akan mencoba untuk membujuk dan mengingatkan,
menyadarkan piauw-moiku ini agar ia menyadari bahwa kini ia telah menemukan jodohnya
yang cocok dan serasi. Jangan khawatir, kami tidak akan membuat ulah macam-macam, pula,
bukankah engkau dengan seluruh anak buahmu dapat mengepung tempat ini dan kami sama
sekali tidak akan dapat melarikan diri?”
Kwa-kauwsu mengangguk-angguk, menganggap bahwa ucapan pemuda itu memang
beralasan. Tentu saja dia akan merasa berbahagia sekali kalau Liu Bi dengan suka rela suka
menjadi isterinya, bukan isteri paksaan yang kelak dapat membahayakan dirinya. Dia lalu
memberi isarat kepada para murid dan anak buahnya dan merekapun lalu meninggalkan Goan
Ciang, Lee Siang dan Liu Bi bertiga saja di dalam ruangan tamu itu. Tentu saja dia
mengerahkan murid-muridnya untuk mengepung ruangan itu dengan ketat.
Cu Goan Ciang yang sudah mengatur siasat dengan Lee Siang, lalau mulai membujuk
“piauwmoi” itu dengan kata-kata yang cukup lantang sehingga akan dapat terdengar oleh
orang yang melakukan pengintaian, sedangkan Lee Siang dengan berbisik memberitahu
sucinya, suaranya tertutup oleh ucapan Goan Ciang yang lantang, bahwa mereka bertiga harus
menanti sampai datangnya para anggota Jang-kiang-pang yang akan datang menyerbu,
barulah mereka bertiga akan mengamuk. Juga ia mengatakan dengan lirih bahwa pemuda itu
adalah seorang kenalan baru yang menjadi pelarian karena membunuh seorang perwira dan
kini hendak membalas budi karena telah ditolongnya ketika melarikan diri, memiliki
kepandaian yang boleh diandalkan.
Liu Bi yang cerdik melayani permainan sandiwara itu dan pura-pura menolak dengan suara
keras. “Dia telah mengeroyok dan menawanku, bahkan telah membunuh Ngo-liong Ci-moi
yang menjadi pembantu utamaku, bagaimana mungkin aku dapat menjadi isterinya?”
demikian antara lain dia berteriak.
“Piauw-moi, pikirkanlah baik-baik. Kesalahpahaman yang menimbulkan perkelahian itu
adalah karena engkau menolak lamarannya dengan keras sehingga Kwa-kauwsu merasa
terhina dan marah. Sudah wajar kalau dalam perkelahian jatuh korban. Bagaimanapun juga,
engkau diperlakukan dengan sopan dan baik, bukan?”
“Itu memang benar, akan tetapi aku... aku belum ingin menikah.”
“Piauw-moi, ingat bahwa arwah kedua orang tuamu tentu akan merasa tenteram kalau melihat
engkau menikah. Usiamu juga tidak terlalu muda lagi, sudah sepantasnya kalau engkau
menikah. Engkau dahulu selalu mengatakan kepadaku bahwa engkau hanya akan menikah
dengan seorang pria yang mampu menandingimu. Sekarang, Kwa-kauwsu bahkan telah
menawanmu. Dia memiliki kepandaian tinggi, juga perguruan silatnya besar, namanya cukup
dikenal dan disegani, selain itu, walaupun dia seorang duda, dia belum mempunyai keturunan.
Nah, mau apa lagi? Adapun tentang peristiwa perkelahian itu, aku yakin Kwa-kauwsu suka
meminta maaf dan akan mengajukan pinangan dengan resmi kepada aku sebagai walimu.”
Sengaja kedua orang ini berbantahan secara panjang lebar mengulur waktu. Tiba-tiba
terdengar ribut-ribut di luar, dan tiga orang itu mendengar dengan jelas teriakan-teriakan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 86
bahwa orang-orang Jang-kiang-pang datang menyerbu, bahkan mulai terdengar teriakanteriakan
perkelahian yang riuh rendah. Inilah saatnya mereka bergerak.
Lee Siang mencabut pedangnya. Ia sengaja membawa dua batang pedang dan ia menyerahkan
sebatang kepada sucinya yang diterima dengan gembira. Adapun Cu Goan Ciang sendiri
memang tidak membawa senjata.
Pada saat itu, pintu depan ruangan itu terbuka dan nampak Kwa-kauwsu dengan golok di
tangan, bersama belasan orang muridnya berdiri di luar pintu dan dia berteriak, “Liu Bi, Lee
Siang, dan Cu Goan Ciang! Orang-orang Jang-kiang-pang datang menyerbu. Apa artinya
ini?”
Sebelum Jang-kiang Sianli Liu Bi menjawab, Cu Goan Ciang mendahului dia dan dia berkata,
“Kwa-kauwsu, biarkan kami mencegah mereka. Ini tentu kesalahpahaman dari mereka yang
mengira bahwa ketua mereka diperlakukan tidak baik!”
Guru silat itu meragu, akan tetapi karena keadaan gawat, diapun mengangguk dan
memperingatkan, “Cu Goan Ciang, kalau kalian menipu kami, kalian akan kami bunuh!”
“Kita adalah antara calon keluarga sendiri, kenapa harus menipu?” katanya dan dia memberi
isarat kepada Lee Siang dan Liu Bi untuk mengikutinya keluar. Guru silat itu bersama belasan
orang muridnya lalu mengikuti dari belakang dan ternyata memang para anggota Jang-kiangpang
sudah mulai menyerbu sehingga terjadi perkelahian di pintu gerbang.
Kini, Liu Bi yang berseru nyaring kepada anak buahnya, “Tahan senjata!”
Melihat betapa ketua mereka dalam keadaan selamat, juga di situ terdapat pula Lee Siang,
para anggota Jang-kiang-pang mundur dan berteriak-teriak dengan gembira. Mereka terdiri
dari puluhan orang laki-laki dan wanita.
Liu Bi sekarang memimpin dan di sebelahnya berdiri Lee Siang dan Cu Goan Ciang. Para
anak buah Jang-kiang-pang berdiri di belakang mereka. Dengan mata berkilat kini Liu Bi
berdiri tegak, pedang di tangan kanan dan telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka Kwakauwsu.
“Orang she Kwa, engkau manusia curang tak tahu malu. Sekarang tinggal engkau pilih,
hendak mengadakan pertempuran mati-matian dan aku akan mengerahkan seluruh orangku
untuk membakar dan membasmi perkampunganmu, atau kita mengadu kepandaian secara
orang gagah tanpa ada pengeroyokan dan kecurangan lain!” Sikap ketua Jang-kiang-pang itu
gagah sekali.
Kwa-kauwsu marah bukan main dan memandang kepada Cu Goan Ciang. “Orang she Cu,
kiranya engkau telah menipu kami! Keparat busuk, siapa engkau sebenarnya?”
Goan Ciang tersenyum. “Kami tidak menipumu, Kwa-kauwsu, hanya mengimbangi siasatmu
yang licik. Aku bernama Cu Goan Ciang dan sahabat dari nona Kim Lee Siang. Engkau
menawan ketua Jang-kiang-pang dengan menggunakan kecurangan, melakukan
pengeroyokan. Nah, sekarang kami menantangmu untuk mengadu kepandaian sebagai orang
gagah, atau engkau lebih menginginkan diserang habis-habisan?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 87
Kini ketua Jang-kiang-pang baru tahu akan kecerdikan pemuda yang mengaku kakak
misannya itu yang ternyata mempergunakan siasat yang nampaknya mengalah dan lunak,
hanya untuk menanti datangnya bala bantuan.
“Cu-twako,” katanya dengan sikap manis dan tidak ragu-ragu menyebut pemuda itu twako,
“terima kasih atas bantuanmu. Akan tetapi tidak perlu twako terlibat, biar aku sendiri yang
akan menghajar pengecut Kwa ini. Hayo, Kwa Teng, kita bertanding satu lawan satu! Orang
macam engkau ingin memperisteri aku? Sungguh tidak tahu malu!”
Tentu saja Kwa-kauwsu marah bukan main. Dia telah dihina oleh Liu Bi di depan semua
muridnya. Pada hal tadinya dia sudah mengumumkan bahwa ketua Jang-kiang-pang akan
menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika dia mengeroyok ketua itu dengan para murid
andalannya, dia tahu bahwa Jang-kiang Sianli Liu Bi amat lihai dan kalau dia seorang diri
menandinginya, belum tentu dia akan menang. Untuk mengadakan pertempuran, biarpun
pihaknya memiliki anak buah yang lebih banyak, namun para anggota Jang-kiang-pang ratarata
lihai dan selain itu, yang amat berbahaya baginya adalah mengingat bahwa para pimpinan
Jang-kiang-pang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pejabat di Wu-han sehingga
kalau terjadi pertempuran, tentu pasukan keamanan pemerintah akan berpihak kepada Liu Bi.
Hal ini akan merupakan malapetaka baginya. Dia menjadi serba salah. Lalu dengan mata
melotot dia menghadapi Cu Goan Ciang.
“Orang she Cu! Engkau yang menjadi biang keladi dengan menipuku sehingga terjadi
pertentangan ini. Aku, Kwa Teng, menantang Cu Goan Ciang sebagai sama-sama laki-laki
untuk mengadu ilmu di sini, disaksikan oleh semua anak buah kedua pihak!”
“Kwa Teng, manusia curang! Yang bermusuhan adalah engkau dan aku! Cu-twako ini adalah
orang luar. Akulah yang akan menandingimu, bukan orang lain!” kata Liu Bi yang merasa
khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah karena ia tahu bahwa tingkat kepandaian
guru silat itu sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dengan ia sendiri. Akan tetapi,
biarpun Lee Siang sendiri belum pernah menguji ilmu kepandaian Goan Ciang, gadis ini
sudah melihat betapa pemuda itu dapat berlari cepat, bahkan memiliki tenaga lebih kuat dari
padanya. Maka iapun berkata dengan senyum bangga.
“Suci, biarkan Cu-twako memberi hajaran kepada manusia sombong dan curang itu!”
Mendengar ucapan sumoinya, Liu Bi percaya bahwa pemuda itu agaknya boleh diandalkan,
maka iapun tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, agaknya Kwa-kauwsu tidak berani
menantang aku, maka menantang Cu-twako. Biar aku menjadi penonton saja atau menunggu
siapa di antara pihak Yang-ce Bu-koan yang akan berani menantangku.”
Cu Goan Ciang lalu maju menghadapi ketua atau guru dari Yang-ce Bu-koan yang marah itu.
Guru silat itu memegang sebatang golok besar yang mengkilap saking tajamnya, akan tetapi
Goan Ciang tidak memegang senjata. Melihat ini, Lee Siang berkata, “Twako, pakailah
pedangku ini!”
Goan Ciang menoleh dan tersenyum kepadanya. “Tidak perlu, Siang-moi, terima kasih. Aku
tidak biasa menggunakan pedang atau senjata lain.” Tadinya dia dan Lee Siang saling
menyebut twako dan siauwmoi hanya untuk bersandiwara dan bersiasat kepada Kwa-kauwsu,
akan tetapi sekarang rasanya canggung kalau mengubah sebutan yang sudah akrab itu.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 88
Melihat betapa Cu Goan Ciang menghadapinya dengan tangan kosong, guru silat Kwa
menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah. “Orang she Cu, keluarkan senjatamu!”
tantangnya.
Cu Goan Ciang memandang kepadanya dengan sikap tenang. “Kwa-kauwsu, aku tidak perlu
menggunakan senjata menghadapimu. Aku bukan orang yang suka mempergunakan senjata
dan kekerasan untuk memaksakan kehendakku, apa lagi memaksa wanita yang tidak suka
untuk menjadi isteriku. Biar kulawan engkau dengan tangan kosong saja.”
“Manusia sombong! Keluarkan senjatamu atau jangan katakan aku curang kalau nanti
tubuhmu lumat oleh golokku ini!” Dia membentak sambil mengamangkan goloknya yang
besar, berat dan mengkilap.
“Majulah, Kwa-kauwsu. Dalam suatu pertandingan, kalah atau menang adalah hal wajar,
terluka atau matipun tidak perlu dibuat penasaran lagi. Aku sudah siap menghadapi golokmu
dengan tangan kosong!” kata Cu Goan Ciang pula. Memang pemuda ini, sejak menerima ilmu
Sin-tiauw ciang-hoat (Silat Rajawali Sakti), ilmu yang khas dari Lauw In Hwesio, tidak perlu
lagi mempergunakan senjata. Ilmu silat itu bahkan lebih cocok dimainkan dengan tangan
kosong, karena seperti gerakan seekor rajawali, tangan itu bukan hanya dapat dipergunakan
untuk memukul dan menotok, namun juga mencengkeram dan keampuhan tangan dari ilmu
itu tidak kalah hebatnya dibandingkan senjata yang bagaimanapun.
Kwa-kauwsu agaknya sekali ini ingin bersikap gagah. Dia memandang ke sekeliling dan
berkata dengan suara lantang. “Kalian semua menjadi saksi. Dia sendiri yang menantang
golokku dengan tangan kosong, dia sendiri yang mencari mati, jangan ada yang menyalahkan
aku nanti. Cu Goan Ciang, bersiaplah menyambut seranganku.”
Kedua orang itu saling berdiri berhadapan dan dengan sendirinya semua orang kedua pihak
membentuk lingkaran yang lebar dan bersikap di pihak masing-masing, menonton dengan hati
tegang. Guru silat itu memasang kuda-kuda yang gagah, dengan golok melintang di atas
kepala, siap untuk menyerang, sedangkan Cu Goan Ciang masih nampak santai saja, berdiri
tegak dan mengikuti gerakan lawan yang mengitarinya dengan sudut matanya. Sikap Goan
Ciang seperti seekor burung rajawali yang mengintai gerakan seekor ular yang mengitarinya
dan yang mengancamnya, demikian tenang namun waspada dan setiap jaringan syaraf di
tubuhnya menegang.
Setelah mengitari lawan sampai dua kali putaran, tiba-tiba Kwa-kauwsu mengeluarkan
bentakan nyaring, “Hyaaaatttt...!!” dan goloknya menyambar dari samping kanan Goan
Ciang, menyambar dari atas ke arah leher lawan. Terdengar bunyi berdesing diikuti sambaran
angin saking tajam dan cepatnya golok itu menyambar. Golok itu lenyap berubah menjadi
sinar terang yang menyambar, dan semua orang menahan napas karena agaknya akan sukar
menghindarkan diri dari bacokan golok sehebat itu.
“Singg....!” Golok itu mengenai tempat kosong karena dengan mudah dan ringannya tubuh
Goan Ciang telah mengelak dengan menggesek kaki ke samping. Namun, Kwa-kauwsu sudah
memutar pergelangan tangannya sehingga golok yang menyambar tempat kosong tadi kini
membalik dan menyambar ke arah pinggang Goan Ciang. Kembali Goan Ciang mengelak
dengan loncatan ke belakang dan sekali lagi golok itu menyambar, kini ke arah kedua kakinya
seperti orang membabat ilalang saja. Goan Ciang melompat ke atas dan mengembangkan
kedua tangannya seperti seekor burung rajawali terbang dan kini pemuda itu mulai
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 89
memainkan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwai. Bagaikan seekor burung rajawali
saja, tubuhnya berkelebatan dan berloncatan seperti terbang, cepat bukan main dan dari atas,
dari segala jurusan, dia membalas serangan lawan dengan tendangan, cengkeraman dan
totokan, membuat Kwa-kauwsu menjadi sibuk sekali karena biarpun semua serangan balasan
itu tidak mempergunakan senjata, namun bahanya tidak kalah dengan serangan senjata tajam.
Kini, baik Lee Siang maupun Liu Bi sendiri tercengang. Mereka berdua adalah dua orang
wanita gagah yang memiliki ilmu silat tinggi, sudah banyak pula melihat ilmu silat sehingga
mereka tadi mengenal dasar gerakan ilmu silat Siauw-him-pai. Akan tetapi setelah Goan
Ciang memainkan ilmu silat Sin-tiauw Ciang-hwat, mereka tercengang dan tidak mengenal
ilmu yang amat cepat gerakannya dan aneh, mirip gerakan seekor burung rajawali yang
menyambar-nyambar.
Sementara itu, Kwa-kauwsu dengan nekat dan membabi buta mencoba untuk membabat
bayangan tubuh yang berloncatan itu dengan bacokan goloknya. Diam-diam dia terkejut dan
menyesal mengapa dia tadi memandang rendah pemuda ini. Ternyata pemuda ini demikian
lihainya, dan baginya akan lebih menguntungkan kalau dia menandingi Jang-kiang Siang-li
Liu Bi sendiri dari pada melawan pemuda yang gerakannya lincah dan aneh ini. Akan tetapi
karena sudah terlanjur, dia hanya dapat bertindak nekat, mempergunakan keuntungannya
memegang golok sedangkan lawannya bertangan kosong, untuk menyerang dengan ganas dan
dahsyat.
Namun, semua bacokan dan tusukan golok itu tak pernah mengenai tubuh Goan Ciang,
sebaliknya, dua kali Kwa-kauwsu terhuyung karena pundaknya terkena tamparan ketika tubuh
Goan Ciang menyambar dari atas, kemudian punggungnya juga terkena tendangan. Walaupun
dua kali serangan itu membuat dia hanya terhuyung dan belum roboh, namun cukup membuat
hati Kwa-kauwsu menjadi semakin penasaran. Dia adalah seorang ahli silat yang
berpengalaman, bahkan di daerah itu dia dikenal sebagai guru silat yang pandai, mempunyai
banyak murid. Kalau sekali ini, dengan golok di tangan, dia sampai kalah melawan seorang
pemuda bertangan kosong, pada hal disaksikan oleh semua penghuni dusunnya dan oleh
semua anggota Jang-kiang-pang, maka namanya akan jatuh dan tentu dia akan menjadi bahan
ejekan orang di dunia persilatan.
“Mampuslah...!” Dia berteriak lantang dan secara nekat dan membabi buta dia menyerangkan
goloknya dengan bacokan kilat ke arah dada Goan Ciang. Melihat kenekatan lawan, Goan
Ciang merendahkan tubuhnya dan ketika golok lewat di atas kepalanya, secepat kilat
tangannya menotok ke atas, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah, tepat menotok jalan
darah di pergelangan tangan lawan.
“Tukk!” Kwa-kauwsu mengeluh dan terpaksa dia melepaskan goloknya karena tangan
kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh oleh totokan itu. Dia terkejut sekali dan cepat
menggulingkan tubuh agar jangan sampai tersusul serangan lawan. Tubuhnya bergulingan
menjauh, kemudian dia meloncat berdiri dan biarpun kini dia sudah tidak memegang senjata
lagi, dengan nekat dia lalu menerjang dan menyerang dengan tangan kosong!
Menggunakan golok besar saja dia tidak mampu menang, apalagi kini bertangan kosong. Dia
masih mencoba mengerahkan tenaga dan menyerang dengan dahsyat, namun tentu saja
dengan mudah serangannya dapat dipatahkan Goan Ciang, sekali ini bukan mengelak
melainkan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 90
“Dukkk!” Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, Kwa-kauwsu terdorong mundur sampai
beberapa langkah. Goan Ciang tidak memberi hati lagi, maju dan mengirim tendangan yang
membuat tubuh guru silat itu terjengkang. Pada saat itu, sepuluh orang murid utamanya maju
dengan golok di tangan mengeroyok Cu Goan Ciang. Melihat ini, Liu Bi dan Lee Siang juga
berlompatan maju dan pedang mereka segera mengamuk di antara sepuluh orang itu.
Guru silat Kwa sudah maju lagi, agak berbesar hati karena kini sepuluh orang murid
utamanya sudah membantu, dan dia sudah menyambar sebatang golok dari tangan seorang
muridnya. Namun, Goan Ciang ang merasa marah melihat kecurangan lawan yang
menggunakan pengeroyokan, sudah mendahuluinya dan sekali tangannya menyambar,
tangannya sudah menghantam dada lawan, membuat guru silat itu terbanting dan terjengkang
keras, muntah darah dan tidak dapat berdiri lagi, hanya bangkit duduk sambil mengerang
kesakitan.
Sementara itu, Lee Siang dan Liu Bi mengamuk dan dalam waktu singkat saja, kedua orang
gadis cantik itu sudah merobohkan sepuluh orang pengeroyoknya, dan mereka yang roboh
oleh pedang kedua wanita itu jelas tidak mampu bangun kembali karena mereka semua telah
tewas. Mayat sepuluh orang itu malang melintang dan kedua orang gadis itu, dengan pedang
di tangan siap untuk mengamuk atau mengerahkan anak buahnya.
“Orang she Kwa, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih hendak melanjutkan
pertempuran ini? Liu Bi menantang.
Kwa-kauwsu maklum bahwa pihaknya telah kalah. Kalau dia mengerahkan semua muridnya
untuk melawan, sama saja dengan menyuruh para murid itu membunuh diri. Dia sendiri sudah
tidak mampu melawan. Sepuluh orang murid kepala yang diandalkan telah tewas. Sedangkan
di pihak musuh terdapat pemuda yang amat lihai itu.
“Aku mengaku kalah.”katanya dengan lirih dan menundukkan mukanya.
Cu Goan Ciang maklum bahwa kalau dia tidak cepat bertindak, kekalahan ini akan
menimbulkan dendam yang berkelanjutang yang akhirnya hanya akan merugikan kedua
pihak, maka dia lalu berkata kepada guru silat itu. “Kwa-kauwsu, sebaiknya kalau
permusuhan ini diakhiri sampai di sini. Perjodohan tidak mungkin dapat dipaksakan. Engkau
telah membunuh empat orang pembantu utama pangcu dari Jang-kiang-pang di lain pihak,
sepuluh orang muridmu juga tewas. Habisi saja permusuhan ini dan anggap saja bahwa Nona
Liu Bi bukan jodohmu.”
Guru silat itu dengan wajah lesu dan masih menunduk, mengangguk dan berkata lemah, “Aku
mengaku kalah....”
“Nanti dulu, terlalu enak kalau hanya bergitu, “kata Liu Bi penasaran. “Kalau dia masih
tinggal di sini, aku tidak tanggu bahwa lain kali tidak akan terjadi bentrokan lagi karena kami
tentu tidak mudah melupan begitu saja penghinaan yang telah dia lakukan terhadap kami.”
“Hemmm, lalu apa yang kau kehendaki, pangcu?” tanya Cu Goan Ciang.
“Dia harus pergi dari sini dan membubarkan Yang-ce Bu-koan dan tidak pernah lagi
memperlihatkan mukanya di sini. Kalau hal itu tidak dia lakukan, terpaksa aku akan
membunuhnya!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 91
Cu Goan Ciang, mengerutkan alisnya. Memang harus dia akui bahwa guru silat itu telah
membuat kesalahan, namun hukuman yang dideritanya sekarang sudah cukup hebat. Sepuluh
orang muridnya tewas, niatnya memperisteri ketua Jang-kiang-pang gagal dan namanya pun
jatuh. Akan tetapi, Liu Bi menuntut yang lebih keras lagi, menunjukkan bahwa watak ketua
Jang-kiang-pang ini berwatak keras, tidak selembut watak Kim Lee Siang. Akan tetapi, dia
hanya orang luar dan urusan itu adalah urusan pribadi antara Liu Bi dan Kwa-kauwsu, maka
diapun tidak dapat mengambil keputusan.
“Bagaimana pendapatmu, Kwa-kauwsu?”
Guru silat itu mengangguk dengan wajah muram. “Hemm, kaukira aku masih sudi tinggal di
sini setelah aku kalah oleh bocah she Cu ini? Jangan khawatir, hari ini juga aku akan
membubarkan Yang-ce Bu-koan dan akan meninggalkan tempat ini.”
Legalah hati Goan Ciang. Kiranya guru silat ini sudah patah hati dan malu untuk tetap tinggal
di situ sehingga memudahkan apa yang dikehendaki Liu Bi, maka tidak akan menimbulkan
persoalan lagi.
Ketika dengan sikap ramah, Liu Bi mempersilakan Goan Ciang untuk singgah di
perkumpulannya untuk ikut merayakan kemenangan itu, dia hendak menolak, akan tetapi
ketika Lee Siang juga ikut mengundangnya, dia tidak dapat lagi menolak. Bagaimanapun
juga, dia tertarik sekali kepada Lee Siang dan dia ingin mengenal lebih dekat dua orang kakak
beradik seperguruan itu. Mereka ini merupakan tenaga-tenaga yang kuat dan baik sekali kalau
kelak dia membutuhkan persekutuan seperti yang dicita-citakannya. Demikianlah, diapun ikut
pulang bersama Liu Bi dan Lee Siang dan diperlakukan dengan sikap hormat oleh para
anggota Jang-kiang-pang yang menganggapnya sebagai seorang yang telah menyelamatkan
ketua mereka. Karena dia sendiri masih menjadi buronan pemerintah, maka Goan Ciang juga
tidak menolak ketika Lee Siang menyarankan agar untuk semetara dia bersembunyi di
perkumpulan itu.
Setelah tinggal di perkumpulan Jang-kiang pang selam dua minggu, hubungan Goan Ciang
dengan kedua orang kakak beradik seperguruan itu menjadi akrab dan kini dia mulai
mengenal betul watak kedua orang gadis itu. Dia semakin kagum kepada Lee Siang karenaa
biarpun gadis ini menjadi wakil pimpinan perkumpulang Jang-kiang-pang yang
mengutamakan kekerasan, namun pada hakekatnya Lee Siang adalah seorang wanita yang
berwatak pendekar yang gagah perkasa, bahkan dalam percakapannya dengan gadis itu, Goan
Ciang dapat menyelami watak Lee Siang yang sebetulnya patriotik karena gadis ini diamdiam
membenci penjajah Mongol, cocok dengan wataknya sendiri. Akan tetapi sebaliknya,
ketua Jang-kiang-pang, yaitu Jang-kiang Sian-li Liu Bi, adalah seorang wanita yang haus akan
kekuasaan dan kemewahan sehingga dia tidak segan-segan untuk membantu pemerintah
Mongol dan bersahabat baik dengan para pejabat tinggi.
Kedua orang gadis itu memang cantik. Bahkan kalau diukur tentang kecantikan, Liu Bi lebih
cantik dari Lee Siang karena Liu Bi pandai berhias, genit dan pandai sekali memikat hati pria,
pandai memainkan mata dan senyum memikat. Dan walau usianya sudah tiga puluh tahun,
namun Liu Bi nampaknya sebaya dengan suaminya yang baru berusia delapan belas tahun itu.
Namun, dalam hal ilmu kepandaian silat, ilmu mereka tidak banyak selisihnya, hanya ada satu
kelebihan Liu Bi, yaitu bahwa ia selain ilmu silat, juga memiliki keahlian dalam hal
penggunaan racun, ilmu yang tidak dipelajari oleh Lee Siang.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 92
Betapapun juga, ada rasa kagum dalam hati Goan Ciang terhadap Liu Bi. Wanita itu memang
genit dan bergaul akrab dengan para pejabat pemerintahan Mongol, akan tetapi ia bukan
golongan wanita cabul. Ia bahkan angkuh terhadap pria, bukan wanita murahan. Itulah
sebabnya pula mengapa sampai berusia tiga puluh tahun, ia belum mau menikah dan seperti
yang telah dilakukan terhadap Kwa-kauwsu, kalau ada pria berani meminangnya, ia selalu
menolak dengan cara yang kasar. Agaknya, di dunia ini tidak ada seorangpun pria yang cukup
pantas untuk menjadi suaminya!
Setelah tinggal di tempat itu selama belasan hari dan setiap hari bergaul dengan Lee Siang,
kalau bercakap-cakap selalu keduanya saling merasa cocok, kalau berlatih silat mereka saling
mengagumi, maka bukan hal yang aneh kalau mulai timbul perasaan aneh dalam hati kedua
orang muda ini. Perasaan yang dimulai pada saat pertama kali ketika mereka duduk
berhimpitan dalam joli itu, kemudian dipupuk oleh saling pengertian dan kecocokan hati dan
selera. Mulailah terdapat sesuatu yang lain dalam sikap mereka, dalam pandangan mereka,
dalam suara mereka kalau mereka saling berhadapan. Bahkan, tidak bertemu sebentar saja
timbul perasaan rindu dalam hati Goan Ciang terhadap Lee Siang.
Suatu senja yang indah di taman bunga belakang rumah besar Liu Bi yang juga menjadi
tempat tinggal Lee Siang dan di mana Goan Ciang menjadi tamu, Goan Ciang duduk di atas
bangku, berhadapan dengan Lee Siang, di dekat kolam ikan emas dan keduanya nampak
bercakap-cakap dengan asyik. Di antara percakapan mereka, nampak tatapan mata yang
mengandung sinar kemesraan, senyum yang membayangkan kebahagiaan hati.
“Engkau ingin tahu riwayatku, Siang moi. Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik.
Riwayatku hanya mendatangkan kenangan sedih saja,” kata Goan Ciang menjawab
pertanyaan gadis itu.
“Aih, twako, kita sudah saling kenal dengan akrab, bahkan menurut perasaanku seolah kita
telah menjadi sahabat baik selama bertahun-tahun. Tentu janggal sekali kalau aku tidak tahu
riwayat hidupmu, siapa engkau dan dari mana engkau berasal. Aku ingin tahu sekali, twako.
Akan tetapi kalau engkau berkeberatan menceritakan kepadaku, akupun tidak berani
memaksamu.”
“Siang-moi, terus terang saja, kepada siapapun juga aku tidak akan suka menceritakan
riwayatku yang penuh lembaran hitam. Akan tetapi kepadamu lain lagi, Siang-moi, Aku tidak
mau engkau menyangka aku tidak percaya kepadamu. Nah, dengarlah riwayat seorang yang
hanya satu kali ini saja menceritakan riwayatnya pada orang lain”
“Cu twako...! Jangan memaksa diri, kalau engkau merasa keberatan dan hendak
merahasiakan, akupun tidak suka memaksamu dan sunggu, aku tidak akan merasa kecewa...”
Goan Ciang tersenyum. Betapa lembut dan mulia hati gadis ini. “Aku tidak akan memaksa
diri, Siang moi. Kepadamu, aku tidak mungkin dapat menyimpan rahasia. Nah, dengarlah.
Aku adalah seorang yang berasal dari sebuah dusun Cang-sun, dusun yang terletak di lembah
suang Huai. Aku sudah yatim piatu, ayah ibuku meninggal dunia karena bahaya kelaparan dan
penyakit. Sejak kecil aku hidup miskin sampai makanpun tidak dapat kenyang setiap hari.”
Dengan ringkas namun jelas dan tidak menyembunyikan rahasia, Goan Ciang menceritakan
riwayatnya dengan perasaan seperti mencurahkan segala himpitan perasaan hatinya kepada
seseorang yang dipercaya sepenuhnya, bahkan yang menjadi tempat yang dianggap paling
aman untuk mencurahkan semua isi hatinya. Diceritakannya betapa dia pernah menjadi
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 93
penggembala ternak, kemudian menjadi kacung di kuil, menerima banyak penghinaan, lalu
belajar ilmu dari Lauw in Hwesio da n menjadi seorang gelandangan sampai dia tiba di Wuhan
dan dalam perkelahian membunuh Bhong-Ciangkun dan bertemu dengan Lee Siang yang
menolongnya.
“Nah, demikianlah riwayatku, Siang moi. Aku seorang pemuda dusun yang miskin dan
hina...”
”Cukup, twako. Riwayatmu menarika sekali dan engkau adalah seorang yang digembleng
oleh kehidupan sejak kecil. Pantas engkau kini menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin.
Aku kagum sekali padamu.”
Wajah Goan Ciang berubah merah karena di dalam hatinya, dia merasa gembira bukan main.
Tadinya dia khawatir kalau riwayatnya akan membuat gadis itu memandang remeh
kepadanya. Tidak tahunya gadis itu malah memujinya. Sungguh seorang gadis yang luar
biasa.
“Sekarang giliranmu, Siang moi. Setelah aku menceritakan pengalamanku, sudah sepantasnya
kalau engkaupun menceritakan riwayatmu kepadaku agar kita dapat lebih mengenal keadaan
diri masing-masing. Tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan.”
Lee Siang tersenyum, “Riwayatku juga tidak kalah suram dibanding riwayatmu, twako.
Biarpun engkau yatim piatu, namun engkau mendapat kesempatan pernah mengenal dan
melihat wajah ayah ibumu sebelum mereka meninggal. Aku lebih parah lagi dari itu karena
aku tidak pernah mengetahui bagaimana wajah ayah dan ibu kanduku.”
“Aduhh, kasihan sekali engkau, Siong moi!”kata Goan Ciang setulus hatinya.
Gadis itu tersenyum manis. “Tidak perlu dikasihani, twako. Aku sendiri sudah tidak
mempunyai perasaan iba kepada diri sendiri. Sejak bayi aku telah dijual oleh orang tuaku
kepada seorang keluarga kaya she Kim. Bahkan siapa nama keluarga ayahku yang asli,
akupun tidak tahu. Oleh keluarga yang membeliku, aku diberi nama Kim Lee Siang dan kami
tinggal di kota Nam-ki di selatan. Karena tidak tahu siapa nama keluarga ayah kandungku,
mana akupun menerima namaku itu sebagai nama sendiri sampai sekarang. Tadinya aku tidak
tahu bahwa aku bukan anak kandung keluarga Kim. Akan tetapi, setelah aku remaja, aku
mendengar rahasia itu dari seorang pelayan keluarga Kim, mejelang kematiannya. Bukan aku
saja yang mendengarnya, akan tetapi juga kakakku laki-laki, yaitu putera tunggal keluarga
Kim. Dan sejak itu sikapnya terhadap diriku berubah sama sekali.”
“Riwayatmu menarik sekali, Siang moi!”
“Ah, sebetulnya tidak ada yang menarik, hanya menyedihkan. Sejak kecil, aku dan kakak
angkat yang tadinya kuanggap kakak kandung itu, mempelajari ilmu silat dan karena dia
memang tidak berbakat, dia selalu kalah olehku. Setelah kami menjelang dewasa, ketika itu
aku berusia enam belas tahun dan dia berusia dua puluh tahun, pada suatu malam dia
mendengar bahwa aku bukan adik kandungnya, bahkan bukan apa-apanya, dia....dia mencoba
merayuku. Ketika kutolak, dia lalu nekat hendak memperkosaku.
“Hemmm....”Goan Ciang mengerutkan alisnya, membayangkan betapa kakak itu seorang
yang rendah wataknya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 94
“Aku melawan dan tanpa kusengaja, tahu-tahu aku telah membacoknya dengan pisau dan
membunuhnya.”
“Ahh...!” Goan Ciang terkejut.
“Sungguh mati, aku tidak sengaja membunuhnya, twako. Karena dia hendak memaksa aku
melawan dan aku menyambar sebatang pisau dan mengancamnya, untuk menakut-nakutinya
agar dia sadar dan tidak nekat. Akan tetapi dia agaknya sudah gila. Dia nekat bahkan
menyerangku, terpaksa aku melawan dan tanpa kusadari, pisau di tanganku sudah membacok
lehernya dan diapun tewas!” Gadis itu menghela napas panjang dan memejamkan mata,
seolah hendak mengusir kenangan itu.
“Tidak perlu terlalu disesalkan dan diingat, Siang moi. Bagaimanapun juga, engkau tidak
sengaja dan tidak bersalah. Dialah yang keterlaluan.” Goan Ciang menghibur.
Gadis itu membuka matanya dan memandang kepada Goan Ciang dengan sinar mata berseri.
“Terima kasih, twako. Setelah peristiwa itu terjadi, ayah dan ibu angkatku menjadi marah dan
bukan saja mereka tidak mengakuiku lagi dan mengusirku, bahkan hampir saja aku dikeroyok
dan dibunuh. Aku melarikan diri dan sejak itu aku hidup sebatang kara. Akhirnya aku
mendapatkan seorang guru silat yang sakti dan bersama suci Liu Bi aku memperdalam ilmu
silat. Dan sekarang aku menjadi pembantu suci yang menjadi ketua Jang kiang-pang. Berkat
pertolongan suci, maka aku seolah mendapatkan hidup baru karena ialah yang menolongku
ketika aku terlunta-lunta, dan ia pula yang minta kepada guru kami untuk menerimaku
sebagai murid. Ia melimpahkan kasih sayang kepadaku dan aku menganggap ia sebagai
pengganti keluargaku. Demikianlah riwayatku, twako, riwayat yang sama sekali tidak
menarik dan menyedihkan saja.”
“Kita berdua mempunyai latar belakang dan nasib yang tak jauh berbeda, Siang moi. Berapa
usiamu sekarang Siang moi?”
Gadis itu memandang kepada Goan Ciang sambil tersenyum. “Delapan belas tahun lebih.”
“Dan engkau belum mempunyai tunangan?”
“Apa, twako?” Gadis itu terbelalak heran.
“Maksudku, apakah engkau belum mempunyai calon jodoh, calon suami?”
Wajah itu kemerahan, tersipu dan ia menggeleng kepala, lalu bertanya, “Kenapa engkau
bertanya tentang itu, twako?”
Goan Ciang juga tersenyum, “Ah, hanya ingin tahu saja.”
Kini gadis itu menatap wajah Goan Ciang dengan penuh selidik, wajahnya sendiri berseri dan
senyumnya menggoda dan manis sekali. “Dan bagaiman engkau sendiri, twako? Berapa
usiamu dan apakah engkau belum menikah?”
Kini Goan Ciang yang tertegun dan mukanya berubah agak kemerahan. “Usiaku dua puluh
tahun lebih, Siang moi, dan aku belum...belum menikah dan belum mempunyai calon isteri.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 95
Akan tetapi, kenapa engkau bertanya tentang itu?”
“Mengapa? Hanya ingin tahu saja, twako, kata gadis itu, suaranya menirukan jawaban Goan
Ciang tadi. Pemuda itu tertawa, gadis itupun tertawa dan merekapun tertawa karena merasa
lucu. Akan tetapi, seperti permulaannya, tawa mereka itupun berhenti tiba-tiba dan mereka
saling pandang, seperti terpesona.
“Twako, kenapa engkau memandang seperti itu?”
“Dan engkau mengapa pula memandang seperti itu? Sinar matamu seperti menembus
jantungku rasanya.”
“Entahlah, aku.......” Lee Siang tak dapat melanjutkan, mukanya berubah merah sekali dan
iapun menundukkan mukanya. Goan Ciang bangkit berdiri, menghampiri dan berdiri di depan
gadis yang masih duduk di bangku itu dan dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa
dingin dan agak gemetar. Lee Siang mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh
keheranan, juga tersipu.
“Siang moi, kita berdua berasal dari tempat yang rendah, kita sebatang kara dan tidak berarti.
Maukah engkau mengarungi samudera kehidupan yang buas ini bersamaku, mencari pantai
bahagia untuk kita berdua?”
Sepasang mata yang jeli itu menyelidik. “Apa....maksudmu, twako?”
“Siang-moi, maukah engkau menjadi isteriku?”
Kini sepasang mata itu terbelalak kaget, akan tetapi Lee Siang tidak menarik kedua tangannya
yang masih digenggam Goan Ciang.
“Kenapa, twako? Kenapa engkau melamarku untuk menjadi isterimu? Kenapa?”
Goan Ciang menatap tajam dan tersenyum. “Siang moi, masih kautanya lagi kenapa aku ingin
engkau menjadi isteriku? Karena aku kagum padamu, karena aku cinta padamu, sejak kita
duduk di dalam joli itu. Maukah engkau, Siang moi?”
Goan Ciang menarika kedua tangan itu sehingga Lee Siang juga bangkit berdiri, saling
berhadapan, dekat, kedua tangan saling berpegang.
“Akupun kagum kepadamu, twako...” akhirnya gadis itu berbisik, mengaku sejujurnya.
“Dan cinta?”
Gadis itu harus mengangkat muka untuk menatap wajah Goan Ciang. Dua pasang mata saling
tatap, bertaut seperti saling menyelidiki. “Aku...aku tidak tahu...akan tetapi aku kagum dan
suka padamu...bukan mustahil inilah perasaan cinta itu....”
“Siang moi, jadi engkau..mau menjadi isteriku?”
Gadis itu mengangguk sambil tersenym dan saking girangnya Goan Ciang mendekap kepala
gadis itu sehingga muka Lee Siang seperti hendak dia benamkan ke dalam dadanya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 96
Tiba-tiba terdengar bentakan lembut, Siang moi...!”
Bagaikan diserang seekor ular, Lee Siang melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang dan
mereka berdua memutar tubuh dan melihat Liu Bi telah berdiri di situ dengan alis berkerut
dan sepasang mata memandang kepada mereka dengan tajam penuh selidik.
“Sumoi, apa yang kaulakukan ini?” kembali suara itu lembut menegur dan sinar mata itu
berkilat menyambar ke arah muka Lee Siang.
“Suci, aku...” gadis itu tergagap dan tersipu.
Sepasang alis yang indah bentuknya ditambah penghitam alis itu berkerut semakin dalam dan
sinar matanya menatap wajah kedua orang muda itu bergantian, lalu terdengar berkata,
“Begitu mudahnya? Sumoi, lupakah engkau bahwa aku adalah pengganti gurumu,
keluargamu, bahkan orang tuamu? Begitu saja engkau hendak menjadi isteri orang tanpa
memperdulikan aku?”
Lee Siang terkejut dan baru menyadari bahwa ia memang terlalu lancang mengikat janji
perjodohan dengan Goan Ciang tanpa memberi tahu kepada sucinya terlebih dahulu atau
setidaknya minta persetujuannya.
“Suci, maafkan....aku.....kami.....semua terjadi begitu tiba-tiba dan....”
“Sumoi, masuklah. Aku mau bicara denganmu!” kata Liu Bi dan sumoinya mengangguk,
mengerling kepada Goan Ciang lalu melangkah pergi meninggalkan taman, memasuki rumah
dengan patuh.
Kini Liu Bi berdiri berhadapan dengan Goan Ciang. Pemuda ini memberi hormat dan berkata,
“Pangcu, harap engkau suka memaafkan Siang moi. Ia benar, cinta kami begitu tiba-tiba,
dan...”
“Sudahlah, jangan bicarakan hal itu dahulu, Cu enghiong. Biarkan kami bicara dulu karena
urusan perjodohan amatlah penting dan tidak dapat diambil keputusan sedemikian mudahnya.
Engkau tentu mengerti apa yang kumaksudkan. Kami adalah wanita, harus memperhitungkan
baik-baik tentang perjodohan agar tidak menyesal kemudian.”
Goan Ciang mengangguk, “Aku mengerti, pangcu.”
“Nah, selamat malam, Cu-enghiong.” Ketua yang cantik itu lalu membalikkan tubuhnya dan
melangkah meninggalkan Goan Ciang yang masih berdiri terlongong sambil mengikuti
langkah sang ketua. Langkah yang gontai dan indah, lenggang seperti menari, membuat
pinggang yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti batang pohon itu tertiup angin, dan
pinggul yang menonjol seperti bukit itu menari-nari ke kanan kiri. Baru Goan Ciang
menyadari bahwa senja telah berubah malam dan diapun perlahan-lahan kembali ke kamarnya
di bagian belakang rumah besar itu.
“Sumoi, kenapa engkau begitu lancang, begitu mudah jatuh cinta kepada seorang laki-laki
yang belum kau kenal benar keadaannya?” di dalam kamarnya di mana ia memanggil
sumoinya itu, Liu Bi menegur Lee Siang.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 97
Gadis itu duduk di atas kursi dengan muka tunduk dan merah tersipu. “Suci, kami sudah
saling mencinta dan aku kagum kepadanya. Dia gagah perkasa, ilmu silatnya tinggi.”
“Sumoi, kau tahu berapa usiamu?”
“Delapan belas tahun lebih, suci.”
“Dan kau tahu berapa usiaku?”
“Kalau.....kalau tidak salah, suci pernah mengatakan usia suci tiga puluh tahun, wlaupun aku
tidak pernah dapat mempercayai karena suci kelihatan tidak lebih tua dari pada aku.”
“Nah, aku yang sudah tiga puluh tahun usiaku belum menikah? Apakah engkau benar-benar
sudah mencinta Cu Goan Ciang?”
“Sudah, suci.”
“Dan setelah engkau menikah dengan dia, engkau lalu akan ikut pergi dengan dia?”
Gadis itu mengangguk. “Cu-twako seorang yang hidup sebatang kara, kami berdua akan
bertualang bersama, membangun kehidupan baru dalam sebuah rumah tangga yang
berbahagia, suci.”
Tiba-tiba sikap ketua Jang-kiang-pang itu berubah. Wajahnya berseri gembira dan senyumnya
manis sekali. Ia merangkul sumoinya dan mencium kedua pipinya.
“Ah, aku ikut merasa gembira, sumoi! Aku senang sekali kalau engkau berbahagia.”
Tentu saja Lee Siang yang tadinya merasa khawatir mendapat teguran dan kemarahan
sucinya, kini menjadi girang bukan main, Ia balas merangkul dan kedua matanya basah.
“Terima kasih, suci. Engkau memang orang yang paling berbudi di dunia ini bagiku. Terima
kasih.”
“Aku harus memberi selamat kepadamu dan kita rayakan kebahagiaan ini dengan minum
anggur!” Liu Bi lalu pergi ke sebuah almari di mana tersimpan beberapa guci anggur yang tua
dan baik. Lee Siang yang mengetahui bahwa sucinya seorang peminum yang kuat, tersenyum.
Ia sendiri tidak begitu suka minum anggur keras seperti sucinya, akan tetapi sekali ini, untuk
merayakan kebahagiaannya dan untuk menyenangkan hati sucinya yang telah menyetujui
perjodohannya dengan Goan Ciang, ia siap untuk minum sampai mabok sekalipun.
Tak lama kemudian, di dalam kamar yang mewah dan diterangi lampu gantung berwarna
warni itu, dua orang pimpinan Jang-kiang pang sudah minum anggur dengan gembira.
Dengan setulus hati Liu Bi berkali-kali memberi selamat kepada sumoinya dengan
mengajaknya minum secawan anggur. Karena merasa telah memiliki tenaga sin-kang yang
kuat, maka mereka tidak mudah menjadi mabok. Biarpun demikian, tetap saja berkurang
kewaspadaan Lee Siang, apa lagi ia merasa terlalu gembira melihat sikap sucinya sehingga ia
tidak melihat ketika sucinya menaburkan bubuk putik dari dalam sebuah botol kecil ke dalam
cawan anggurnya, ketika kembali sucinya mengajaknya minum.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 98
Begitu minum habis secawan anggur yang sudah diberi bubuk putik di luar tahunya itu, tibatiba
Lee Siang merasa pening dan lemas. Ia terkejut sekali, memandang kepada cawannya,
lalu kepada sucinya. Nampak tubuh sucinya, seperti berputaran, demikian pula seisi kamar
itu.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan