Senin, 20 Agustus 2018

CersilPopuler Si Rajawali Sakti 1

CersilPopuler Si Rajawali Sakti 1
=======



SI RAJAWALI SAKTI
Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Zaman Lima Dinasti ( 907 - 960 ) merupakan jaman yang amat buruk di Negeri Cina.
Dalam masa setengah abad itu perebutan kekuasaan terjadi, perang antara bangsa
sendiri yang terpecah belah membuat negeri itu berganti-ganti dinasti sampai lima
kali, berganti-ganti dinasti berarti berganti-ganti pula Kaisar dan berubah-ubah pula
peraturan. Akibatnya hanyalah kebingungan, ketakutan, dan penderitaan bagi rakyat
jelata. Perang adalah hasil dari mereka yang berada di atas saling memperebutkan
kekuasaan. Mereka saling memperkuat kedudukan dirinya dengan cara mengupah
para perajurit dan menghimpun mereka dalam pasukan-pasukan, atau ada pula
yang membujuk rakyat Jelata dengan janji-janji muluk sehingga rakyat yang bodoh
terbius dan mengira bahwa semua bujukan itu benar sehingga kelak mereka akan
hidup makmur. Pasukan pasukan yang diberi upah dan rakyat yang terkena bujukan
lalu berperang mati-matian untuk dia atau mereka yang berkuasa.
Mereka yang kalah perang akan mati bersama pemimpin mereka yang menjadi
dalangnya. Bagaimana mereka yang menang perang, sisa dari mereka yang mati siasia?
Pasukan-pasukan yang membela si pemenang tentu saja menerima hadiah agar
mereka menjadi semakin setia membela sang pemimpin dan kaki tangannya.
Adapun rakyat kecil yang mengharapkan kemakmuran tetap saja seperti biasa dan
semua janji muluk hanya menjadi mimpi belaka. Memang kemenangan
mendatangkan kemakmuran, akan tetapi bagi siapa? Yang jelas, bagi para pemimpin
yang mendapatkan kedudukan tinggi, yang ketika masih berjuang memperebutkan
kekuasaan, mengatas-namakaei rakyat. Setelah menang, maka agaknya mereka
sajalah yang dimaksudkan dengar rakyat itu, sedangkan rakyat kecil sudah tidak
masuk hitungan lagi. Tetap saja menderita.
Tidak ada rakyat, kecuali mereka yang terbius janji-janji, yang suka berperang,
apalagi berperang di antara bangsa sendiri. Yang mencetuskan perang adalah
mereka yang sedang memperebutkan kekuasaan yang sesungguhnya bukan lain
adalah memperebutkan harta. Kekuasaan itu sesungguhnya adalah harta .atau lebih
tepat, melalui kekuasaan urang dapat memperoleh harta. Kalau kekuasaan tidak
dapat mendatangkan harta yang menjadi sarana tercapainya kesenangan duniawi,
pasti tidak akan ada yang memperebutkan kekuasaan!
Dinasti terakhir yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Kerajaan Chou (951 - 960).
Kaisar Chou Ong adalah seorang kaisar yang tua dan lemah lahir batinnya. Dia yang
menjadi kaisar, namun kekuasaan yang berlaku adalah kekuasaan para pembesar.
Mereka itu ber-lumba untuk mengumpulkan harta dunia banyaknya, dan untuk itu,
mereka menghalalkan segala cara. Korupsi, sogok menyogok, penindasan,
pemerasan terjadi di mana-mana. Hukum yang berlaku seolah hukum rimba, siapa
kuat dia berkuasa dan menang. Terjadilah kekacauan di mana-mana dan para
penjahat bermunculan merajalela. Dalam keadaan seperti ini, kembali rakyat kecil
yang menderita. Gerombolan-gerombolan perampok beraksi, terutama di daerah
dan kota atau dusun yang jauh dari kota raja.
Pada suatu hari di musim semi tahun 958, dusun Ki-bun sebelah selatan Hang-chou
mendapat giliran tertimpa malapetaka. Pada pagi hari itu, segerombolan perampok
yang terdiri dari sekitar lima puluh orang, menyerbu dusun itu. Mereka adalah lakilaki
yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata bertubuh
kekar dan bersikap kasar dan bengis. Gerombolan perampok ini sudah mengganas di
mana-mana, bahkan sekarang berani mengganggu dusun Ki-bun yang tidak berada
jauh dari kota Hang-chou. Pemimpin mereka terdiri dari tiga orang. Mereka sudah
terkenal di dunia hitam dengan julukan Tiat-pi Sam wan (Tiga Lutung Bertangan
Besi) yang merupakan kakak beradik seperguruan. Yang pertama adalah Yong Ti,
berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan dia terkenal lihai
sekali dengan senjatanya berupa sebatang tombak baja. Orang ke dua bernama Oh
Kun, usianya tiga puluh tujuh tahun, bertubuh tegap tinggi dengan muka penuh
brewok dan dia juga lihai dan terkenal dengan senjatanya siang-to (sepasang golok).
Adapun saudara seperguruan termuda bernama Joa Gu, berusia tiga puluh lima
tahun, bertubuh gendut agak pendek dengan wajah bundar kekanakan. Joa Gu ini
pun lihai dengan senjatanya berupa sepasang kapak.
Setengah tahun yang lalu, sekelompok kecil dari gerombolan ini yang hanya terdiri
dari sembilan orang secara liar tanpa pemimpin pernah mengganggu Ki-bun. Akan
tetapi mereka dibuat kocar-kacir karena ada Si Tiong An yang tinggal di dusun itu. Si
Tiong An adalah seorang bekas guru silat yang mengungsi ke dusun itu dari kota raja.
Sebagal seorang murid Siauw-lim-pai, Si Tiong An cukup lihai dan dialah yang
menghajar sembilan orang anak buah gerombolan itu sehingga mereka luka-luka
dan melarikan diri.
Hal itu akhirnya diketahui Tiat-pi Sam-wan. Tiga orang pimpinan ini menjadi marah
sekali dan pada pagi hari itu mereka menyerbu dusun Ki-bun bukan hanya untuk
merampok penduduk dusun, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam
kepada Si Tiong An.
Begitu memasuki dusun Ki Bun, lima puluh orang anak buah perampok itu mulai
beraksi. Segera terdengar jerit tangis para wanita berbaur dengan suara gelak tawa
para perampok. Barang-barang yang sekiranya berharga dirampok habis-habisan,
para pria yang berani melakukan perlawanan dibacok roboh. Gadis-gadis dan
wanita-wanita muda tidak dapat melepaskan diri dari gangguan para perampok yang
sadis dan kejam.
Tiga orang Tiat-pi Sam-wan memang membiarkan anak buah mereka berpesta ria.
Mereka bertiga langsung saja menuju ke rumah Si Tiong An yang di dusun itu
disebut Si Kauwsu (Guru Silat Si). Pada saat itu, Si Tiong An dan isterinya yang
sedang berada di dalam rumah, mendengar suara ribut-ribut. Maklum bahwa
mungkin ada bahaya mengancam penduduk karena pada masa itu bukan hal aneh
kalau ada gerombolan penjahat mengacau di dusun-dusun, Si Tiong An cepat
mengambil dua batang pedang mereka. Yang sebatang dia berikan kepada isterinya.
"Di mana Han Lin?" tanya Si Tiong An kepada isterinya.
"Dia tadi mengantar dagangan kue ke pasar."
"Ah, mari kita cari dia dulu. Dia harus dilindungi." kata Si Tiong An kepada isterinya
dan mereka berdua segera keluar dari rumah. Akan tetapi begitu muncul di depan
rumah, mereka melihat di pekarangan rumah mereka terdapat tiga orang yang
berdiri berjajar dengan sikap bengis. Dan mereka juga mendengar jerit tangis dan
teriakan-teriakan. Dari kanan kiri, tanda bahwa gerombolan mulai mengganas dan
mengganggu penduduk:!
Sementara itu, tiga orang kepala perampok tertegun ketika mereka memandang
kepada isteri Si Tiong An. Tak mereka sangka di sebuah dusun kecil seperti Ki-bun ini
terdapat seorang wanita yang demikian montok, denok d jelita! Memang pasangan
suami isteri ini lain daripada penduduk Ki-bun. Si Tio An sendiri yang berusia sekitar
tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-Iaki yang tampandan gagah, bertubuh
tegap. Adapun isterinya, adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik
jelita, tubuhnya masih denok langsing seperti seorang gadis sembilan belas tahun.
Akan tetapi wanita yang cantik dan lembut ini pun tidak dapat dipandang ringan. Ia
bukan seorang lemah karena walaupun ia hanya mendapat bimbingan dan latihan
dari suaminya, ia sudah mahir membela diri dengan iimu silat pedang yang cukup
lihai.
Melihat tiga orang laki-laki berdir menghadang di pelataran rumah, suami isteri itu
tidak merasa gentar. Yang mereka khawatirkan adalah anak tunggal mereka, yaitu Si
Han Lin. Anak itu berusia sepuluh tahun dan pagi itu dia membantu ibunya yang
membuat kue, mengantarkan dagangan kue itu kepada para warung langganan di
pasar. Tadinya, nyonya Si hendak mencari anaknya, akan tetapi melihat tiga orang
itu yang agaknya berbeda dari para perampok biasa, ia merasa perlu untuk
membantu suaminya menghadapi mereka.
Ha-ha-ha, apakah kamu ini yang brrnama Si Tiong An dan beberapa bulan yang lalu
telah berani memukuli sembilan orang anak buah kami?" kata Yong yang tinggi
besar bermuka hitam.
"Anak buah kalian datang merampok dan mengganggu penduduk di dusun ini, tentu
saja aku menghajar mereka karena mereka jahat." kata Si Tiong An.
"Ah, begini saja!" kata Joa Cu yang gendut sambil tersenyum menyeringai
memandang kepada Nyonya Si. "Kami sudahi saja urusan itu asalkan isterimu yang
bahenol ini mau ikut dengan kami dan melayani kami selama sebulan. Ba gaimana?"
"Jahanam!" Nyonya Si membentak da ia sudah meloncat ke depan sambil
menggerakkan pedangnya menyerang Si Gendut yang kurang ajar itu.
"Tranggg.............!" Pedang wanita itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan
ketika pedang itu tertangkis oleh sebatang tombak baja yang panjang dan besar.
"Biar kutangkap perempuan ini. Kalian bunuh dia!" kata Yong Ti sambil
menggerakkan tombaknya mendesak Nyonya yang melawan mati-matian.
Ketika Si Tiong An hendak membantu isterinya, Oh Kun dan Joa Gu sudah
menghadang dan mengeroyoknya. Si Tion An memutar pedangnya dan begitu
mereka berkelahi, murid Siauw-lim-pai it maklum bahwa sekali ini dia menghadapi
lawan yang berat. Baru orang tinggi tegap brewokan itu saja sudah memilik tenaga
dan kecepatan yang sebanding dengan dia, apalagi dibantu oleh Si Gendut yang
bersenjata sepasang kapak. Sebentar saja dia pun terdesak oleh sepasang golok dan
sepasang kapak itu.
Nyonya Si sama sekali bukan lawan Yong Ti, orang pertama dari Tiat-pi Sam wan. Dia
adalah orang yang terpandai di antara tiga kakak beradik seperguruan itu.
Tombaknya yang panjang dan berat itu bergerak dengan kuat dan ganas sekali.
Biarpun Nyonya Si melawan dengan nekat dan mati-matian, namun baru lewat
belasan jurus, pedangnya terpental lepas dari tangannya ketika beradu dengan
tombak lawan. Bahkan ia terhuyung, terdorong oleh tenaga lawan yanng kuat.
Sebelum ia sempat menghindarkan diri, tangan kiri Yong Ti yang besar dan panjang
itu menyambar dan mencengkeram otot di pundak Nyonya Si, membuat wanita itu
terkulai dan kehilangan tenaga. Di lain saat, sambil tertawa-tawa Yong Ti sudah
memanggul tubuh wanita itu di atas pundak kirinya, lalu dengan tombak di tangan
kanan, dia membantu dua orang sutenya (adik sepergurunnya), meluncurkan
tombaknya menyamar ke arah punggung Si Tiong An.
Si Kauwsu sedang terdesak oieh dua orang lawannya. Mendengar berdesingnya
tombak yang menyerang dari belakang, dia cepat memutar tubuhnya sambil
menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg...........!" Pedangnya terpental saking kuatnya tombak itu beradu dengan
pedang. Si Tiong An dapat menghindar dari serangan itu, akan tetapi melihat
isterinya dipondong Yong Ti, dia terkejut sekali.
"Lepaskan isteriku!" bentaknya dan dengan nekat dia menerjang Yong Ti untuk
menolong isterinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Oh Kun dan Joa Cu untuk
berbareng menyerang dari kanan kiri. Golok dan kapak menyambar dan sekali ini,
karena perhatiannya tertuju kepada isterinya, kurang cepat Si Tiong An melindungi
dirinya dan sebatang golok Oh Kun mengenai pahanya.
Si Tiong An terhuyung dan darah mengucur dari pahanya yang terluka. Oh Kun dan
Joa Gu semakin ganas menyerangnya dan Si Tiong An terpaksa memutar pedang
melindungi dirinya. Kini gerakannya kurang cepat karena paha kirinya telah terluka
sehingga dia terdesak hebat.
Melihat ini, Yong Ti merasa tidak perlu membantu kedua adik seperguruannya lagi
dan sambil tertawa dia lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh
Nyonya Si yang mulai dapat tergerak dan meronta-ronta. Namun, makin kuat ia
meronta, semakin senang hati Yong Ti karena dia merasakan betapa tubuh yang
lunak itu kini bergerak-gerak hidup, tidak seperti tadi diam saja seperti memanggul
mayat. Rontaan Nyonya Si tidak ada artinya lagi kepala perampok yang bertubuh
kokoh kuat itu, bahkan ketika kedua tangan wanita itu memukuli punggungnya, dia
semakin senang, merasa seolah punggungnya dipijat-pijat. Ketika Yong Ti yang
memondong wanita itu melewati pasar yang berada di ujung dusun, pasar yang kini
menjadi sepi karena orang-orang yang berada di situ sudah berlari-larian ketakutan,
seorang anak laki-laki memandangnya dengan mata terbelalak. Anak ini berusia
sepuluh tahun dan dia memegang sebuah keranjang yang sudah kosong. Dia adalah
Si Han Lin, putera tunggal Si Tiong An yang tadi mengantar dagangan kue buatuan
ibunya kepada warung-warung di pasar. Dia mendengar akan adanya peram pok
yang menyerang dusun itu dan ketik, semua orang melarikan diri meninggalkai
pasar, dia pun keluar dan hendak pulang Han Lin adalah seorang anak yang tabah.
Dia percaya kepada ayah ibunya yang di tahu memiliki kepandaian silat yang
tangguh, terutama ayahnya. Dia menyaksikan pula ketika beberapa bulan yang lalu
ayahnya menghajar sembilan orang perampok yang mengacau dusun mereka.
Akan tetapi ketika dia berjalan hendak pulang, dia melihat Yong Ti yang memanggul
ibunya. Melihat ibunya meronta-ronta dalam pondongan laki-laki tinggi besar muka
hitam yang membawa tombak itu, dan mendengar ibunyi menjerit-jerit, Han Lin
terkejut dan cepat dia membuang keranjang kosongnya lalu mengejar. Yong Ti
melangkah dengan lebar dan cepat sehingga Han Lin harus berlari untuk dapat
mengejarnya. Sambil tersenyum menyeringai karena senang Yong Ti keluar dari
pintu gerbang dusun, tidak peduli lagi akan anak buahnya karena di sana sudah ada
dua orang sute yang menjadi wakilnya. Dia ludah ingin sekali bersenang-senang
degan tawanannya yang cantik bahenol.
Tiba-tiba Han Lin yang sudah dapat mengejarnya dan berada di belakangnya
berseru.
"Lepaskan Ibuku, jahanam!!" Anak itu dengan nekat lalu melompat dan menubruk
dari belakang, menangkap kedua lengan ibunya dan menariknya agar terlepas dari
panggulan raksasa muka hitam itu.
Yong Ti terkejut. Dia memutar tubuhnya sambil menggerakkan kaki menendang.
"Bukkk........!" Tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak ketika terkena
tendangan kaki Yong Ti yang besar dan kuat. Kepala perampok itu marah sekali
melihat bahwa yang memakinya hanyalah seorang anak laki-laki kecil. Maka dia lalu
melangkah maju menghampiri dengan tombak di tangan.
"Bocah setan, mampuslah engkau makinya dan dia mengangkat tombaknya, hendak
dihujamkan ke tubuh Han Lin yang masih belum bangkit karena tadi tertendang dan
terbanting.
Pada saat tombak itu meluncur, tiba-tiba dengan sekuat tenaga Nyonya meronta
sehingga terlepas dari panggulan dan secepatnya ia menubruk puteranya.
"Han Lin..........!"
"Creppp........!"
Nyonya Si menjerit sambil mendekap anaknya. Yong Ti terbelalak melihat betapa
tombak yang tadinya hendak hujamkan ke tubuh anak itu ternyata menancap di
punggung Nyonya Si yang menubruk anaknya!
"Ibu........, Ibu...........!" Han Lin merangkul ibunya, pakaiannya kebanjiran darah
ibunya yang punggungnya tertembus tombak
"........Han Lin........" Nyonya Si han dapat mengeluarkan kata-kata itu, la terkulai dan
tewas.
"Ibuuu..........!"
Setelah terkejut melihat wanita itu oleh tombaknya, Yong Ti menjadi marah bukan
main. Dicabutnya tombak-dan dengan wajah bengis dia memandang kepada Han Lin
yang masih mngis dan merangkul mayat ibunya.
"Bocah setan!" Dia membentak dansekali lagi tombak itu diangkatnya untuk
dihujamkan ke tubuh kecil itu.
"Siancai (damai)..........!'' Terdengar seruan lembut dan tiba-tiba tombak itu terus
dari tangan Yong Ti. Tentu saja kepala perampok itu terkejut bukan main. tidak
melihat sesuatu dan mendengarkan orang kecuali suara tadi. Bagaimana mungkin
tiba-tiba tombaknya direnggut lepas dari pegangannya? Padahal, tenaga sepuluh
orang belum tentu akan mampu merenggut tombaknya terlepas dari tangannya. Dia
hanya merasakan ada tenaga yang tak dapat dilawannya menarik tombak itu
sehingga terlepas dari tangannya. Dia cepat memutar tubuh dan melihat seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus terbungkus kain
putih yang milibat-libatkan, kakinya mengenakan sandal kulit kayu. Rambutnya yang
panjang dan bercampur uban itu dibiarkan tergerai sampai ke punggung. Jenggot
dan kumisnya rapih dan seperti rambut dan pakaiannya tampak bersih. Wajahnya
yang kurus masih tampak tampan dan lembut, sepasang matanya lembut dan mulut
yang berada di balik kumis itu selalu tersenyum ramah. Dia memegang tombal milik
Yong Ti dan sambil menggelengkat kepalanya dia berkata halus.
"Benda pembunuh ini mendatangkan kekejaman di hati manusia, sungguh
menyedihkan..........." Kemudian dia menggunakan jari-jari tangannya, menekuknekuk
tombak itu dan terdengar suara berdetakan ketika tombak itu patah-patah.
Hal ini dilakukan demikian mudahnya seolalah dia mematah-matahkan sehelai lidi
saja!
Setelah membuang potongan-potongan tombak itu, dia memandang ke arah Han Lin
yang masih memeluk ibunya sambil menangis. Kembali kakek itu menggeleng kan
kepalanya.
"Anak baik, lepaskan Ibumu.Jangan gangganggu perjalanannya kembali ke asalnya.
Marilah, Nak, bangkitlah." menjulurkan tangannya memegang tangan Han Lin dan
tiba-tiba saja Han Lin menurut, bangkit walaupun dia masih memandang ke arah
tubuh ibunya dengan bercucuran air mata. Sementara itu, Yong Ti sudah meniatkan
kesadarannya kembali. Tapi dia nya memandang bengong seperti dalam mimpi,
hampir tidak percaya betapa kakek itu demikian mudahnya mematah-mematahkan
tombak bajanya yang amat kuat! Kini, kemarahannya membutakan hatinya,
membuat dia tidak mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang manusia
yang amat sakti. Sambil menggereng seperti seekor beruang dia lalu menerjang dan
memukul ke arah kepala kakek itu. Yang dipukul agaknya tidak tahu karena dia
sedang menunduk dan memandang wajah Han Lin sambil mengelus rambut kepala
anak itu.
"Jangan pukul ....!!" Han Lin yang melihat kakek itu dipukul cepat melompat dan
dengan kepalanya dia menumbuk ke arah perut Yong Ti!
"Bukkk!" Tubuh Han Lin terpental ketika kepalanya menumbuk perut kepala
perampok itu. Yong Ti melanjutkan pukulannya ke arah kepala kakek baju putih,
mengerahkan seluruh tenaganya karena dia ingin sekali pukul meremukkan kepala
kakek itu.
"Wuuuttttt !" Dia memukul sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terhenti beberapa
sentimeter di atas kepala kakek itu, seolah tertahan sesuatu yang tidak tampak,
yang lunak namun kuat sekali!
Yong Ti kembali terkejut, heran akan tetapi juga penasaran sekali, tidak percaya apa
yang telah terjadi. Dia kini mengerahkan tenaga ke arah kedua tagannya dan dengan
gencar melakukan pukulan ke arah kepala, muka, dada dan lambung kakek itu.
Kedua tangannya, bergerak cepat sekali seolah tangan itu menjadi delapan, namun
semua pukulan tidak mengenai tubuh kakek yang berdiri diam dan hanya
memandang sambil tersenyum. Semua pukulan itu, seperti mental, terhenti
sebelum mengenai tubuh kakek itu, berhenti terhalang sesuatu yang tidak tampak
namun kuat sekali!
Han Lin yang sudah bangkit lagi, melihat pula kejadian ini dan dia yang sudah
mendengar banyak cerita ayahnya tentang orang-orang sakti, segera dapat
menduga bahwa penolongnya itu tentulah porang yang amat sakti. Dia lalu
mendekati jenazah ibunya dan berlutut sambil mengelus wajah ibunya yang seperti
orang tidur namun tampak demikian cantik dan tenang.
Pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk dan lima puluh orang anak buah
perampok, dipimpin oleh Oh Kun dan Joa, bermunculan dari pintu gerbang dusun
yang baru saja mereka merampok habis-habisan. Mereka melihat Yong Ti memukuli
seorang kakek yang berdiri tanpa bergerak dandua orang kepala rampok itu segera
berlari menghampiri sambil mencabut senjata mereka. Melihat betapa Yong Ti
memukuli namun tak sebuah pun pukulan dapat mengenai tubuh kakek berambut
panjang itu, Oh Kun dan Joa Gu tanpa diperintah lagi segera menyerang dengan
senjata mereka. Kun membacokkan dua buah goloknya arah kepala dan leher,
sedangkan Joa Gu menyerang dengan sepasang kapaknya arah dada dan perut.
"Wuuuttttt......... ting-ting-ting-ting........!!!
Empat buah senjata itu seolah bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat
sehingga terpental dan terlepas dari kedua tangan Oh Kun dan Joa Gu!
Tentu saja dua orang kepala perampok ini terkejut bukan main. Mereka
menggunakan tangan untuk memukul di kaki untuk menendang seperti yang
dilakukan Yong Ti, akan tetapi semua pukulan dan tendangan itu tidak pernah
mengenai sasaran, tertahan sesuatu, sebelum menyentuh tubuh kakek itu seolah
tubuh itu dilindungi perisai yang tidak tampak namun yang kuat sekali!
Dalam kemarahan dan penasaran, juga ketakutan yang membuat dia menjadi
semakin kejam, Yong Ti berseru kepada anak buahnya.
“Keroyok dan bunuh Kakek ini!"
Ketakutan memang menimbulkan kekejaman, atau lebih tepat lagi, kekejaman
timbul karena rasa takut akan keselamatan diri sendiri. Untuk menyelamatkan diri
sendiri, seseorang akan tega untuk membunuh semua orang yang menjadi ancaman
bagi dirinya. Hati, akal pikiran yang dikuasai nafsu daya rendah pembentuk dan
membesar-besarkan sifat sehingga kalau aku-nya terancam itu terganggu, timbullah
rasa takut yang berkembang menjadi kemarahan dan kekejaman.
Lima puluh orang anak buah perampok itu pun segera menyerang kakek itu seperti
semut-semut hendak mengeroyok seekor kupu. Akan tetapi, senjata mereka
terpentalan dan ketika kakek itu menggerakkan tangan mendorong, tubuh merek
berpelantingan seperti daun-daun kering dihembus angin yang amat kuat! Tidak
terkecuali, tubuh Tiat-pi Sam wan yang terkenal jagoan itu terpelanting dan
terguling-guling di atas tanah. Mereka tidak terluka, akan tetapi mereka menjadi
semakin ketakutan dan akhirnya, tiada yang memberi komando, mereka semua,
lima puluh tiga orang itu, lari tukang pukang, bahkan mereka meninggalkan barangbarang
yang tadi mereka rampok dari rumah para penduduk dusun ki-bun!
Setelah mereka semua melarikan diri, Han Lin yang teringat akan ayahnya, lalu
bangkit dan berkata kepada kakek itu. Dia sudah mendapat pendidikan ayahnya
tentang sopan santun di dunia persilatan, maka ia menjatuhkan diri berlutut ketika
bicara. "Lo-cian-pwe, mohon pertolongan Lo-cian-pwe terhadap Ayah saya dan para
penduduk Ki-bun."
"Mari kita lihat!" Kakek itu berkata lu menggandeng tangan Han Lin dan memasuki
pintu gerbang dusun. Di mana-wma terdengar wanita menangis karena hilangan
harta benda maupun karena tadi diganggu anggauta perampok yang kurang ajar dan
melanggar kesusilaan.
Han Lin menggandeng tangan kakek itu diajak menuju ke rumahnya. Ketika tiba di
depan pekarangan rumah, dia melihat beberapa orang tetangga berkumpul,
mengelilingi mayat Si Tiong An. Melihat ayahnya menggeletak dengan tubuh penuh
luka dan sudah tewas, Han Lin menjerit dan lari menubruk mayat itu.
"Ayaaahhh............! Ayah.............Ibu................ahhh.......... mengapa kalian
meninggalkan aku............?” Dia menangis tersedu-sedu memeluk mayat ayahnya
sehingga pakaiannya makin banyak dilumuri darah.
Kiranya tadi Si Tiong An yang sudah luka dan terdesak oleh Oh Kun dan Joa Gu,
terpaksa roboh ketika banyak anak buah perampok ikut mengeroyok, memang
berhasil merobohkan beberapa orang anggauta perampok, akan tetapi dia sendiri
akhirnya roboh dengan tu penuh luka dan tewas.
Sebuah tangan memegang pundak Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin merasa ada
tenaga yang mengangkatnya berdiri.
"Anak baik, seperti juga Ibumu, Ayahmu tidak boleh kau halangi perjalanann menuju
ke alam asalnya. Semua telah terjadi dan apa yang telah terjadi tidak dapat diubah
lagi." Suara kakek itu dengan lembut menghibur, akan tetapi mengandung wibawa
kuat yang membuat Han Lin sadar sehingga dia dapat menghentikan tangisnya
Kakek itu lalu memandang kepada banyak orang yang berdatangan memenuhi
pelataran rumah keluarga Si itu.
"Studara-saudara, harap kalian jangan ribut. Semua perampok telah terusir pergi
dan mereka meninggalkan barang-barang kalian di luar dusun. Pergilah kaliandan
ambil kembali barang-barang kalian, dan jangan lupa agar membawa jenazah Ibu
anak ini ke sini untuk diurus sebagaimana mestinya."
Mendengar ini, semua penduduk yang laki-laki berbondong keluar dari dusun. Dan
benar saja, mereka menemukan semua barang yang dirampok itu berada di situ,
berhamburan. Mereka lalu mengmbili barang-barang itu, dibawa masuk ke dusun
dan empat orang tetangga memikul jenazah Nyonya Si, dibawa pulang ke rumah
Keluarga Si
.
Sementara mereka tadi pergi keluar dusun, kakek itu mengangkat jenazah Si Tiong
An, membawanya masuk ke dalam rumah bersama Han Lin dan merebahkah
jenazah itu ke atas dipan. Kemudian dia duduk di atas kursi dan Han Lin yang
kehilangan ayah ibu itu duduk di atas lantai, di depannya.
"Anak baik, siapakah namamu dan siapa pula Ayahmu yang tewas ini?"
"Lo-cian-pwe, nama saya Si Han Lin dan Ayah nama Si Tiong An. Sekarara Ayah dan
Ibu telah tewas terbunuh rampok, saya .......... saya .......... menjadi yatim piatu,
hidup seorangdiri..........." Han Lin menahan tangisnya dan mengusap dua titik air
mata yang turun ke atas pipanya.
"Engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?"
Han Lin menggelengkan kepalanya.
"Siancai! Sekarang, setelah Ayah Ibumu tewas dan engkau hidup seorang diri apa
yang akan kau lakukan selanjutnya?”
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Han Lin lalu berlutut di depan kaki kakek itu
dan menangis. "Lo-cian-pwe” kalau Lo-cian-pwe sudi menerimanya ingin ikut Locian-
pwe, biarlah saya jadi pelayan Lo-cian-pwe. Bawalah saya, Lo-cian-pwe..........!!"
Kakek itu membiarkan Han Lin berlutut dan menyembah-nyembah di depan kakinya.
Dia menoleh untuk melihat keadaan dalam rumah itu. Agaknya orang anak itu hidup
dalam keadaan yang cukup baik, pikirnya.
"Han Lin, kalau engkau ingin hidup ikut denganku, syaratnya mungkin berat
bagimu."
"Katakanlah, Lo-cian-pwe, apa syaratnya? Saya pasti akan memenuhi semua
permintaan Lo-cian-pwe." Han Lin sudah berhenti menangis dan mengangkat muka
memandang kakek itu dengan mata merah dan bengkak karena terlalu banyak
menangis.
"Syaratnya, engkau harus tahan menderita, hidup serba melarat bersamaku, dan
engkau harus tinggalkan rumah dan semua isinya ini. Kalau engkau benar-benar
hendak ikut denganku, rumah dan isinya ini akan kuserahkan kepada para penduduk
dusun ini. Selain itu engkau harus pergi denganku sekarang juga dan menyerahkan
urusan pemakaman orang tuamu kepada para penduduk."
Han Lin terkejut dan bingung. "cian-pwe, apakah saya tidak boleh menunggu sampai
selesai pemakaman kedua orang tuaku?"
"Terserah kepadamu, Han Lin. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekarang aku akan
pergi meninggalkan tempat ini. Terserah kepadamu hendak ikut denganku atau
tidak."
Sebelum Han Lin menjawab, empat orang tetangga yang mengangkut
jenazahNyonya Si telah tiba dan jenazah itu dibaringkan di sebelah jenazah Si Tiong
An.
Melihat jenazah ayah ibunya, kembali Han Lin menangis sambil berlutut depan
pembaringan.
"Han Lin, bagaimana, apakah engkau hendak ikut dengan aku atau tidak?
Pertanyaan yang lembut itu menyadarkan Han Lin dan dia harus mengakui
kelemahannya, kembali menangisi kematian ayah ibunya yang menurut kakek hanya
menghalangi kepergian mereka. Maka dia menjawab tegas.
"Lo-cian-pwe, saya ikut!" Lalu dia memberi hormat dengan berlutut di depan dipan
dan berkata. "Ayah dan Ibu, ampunilah anakmu yang tidak sempat mengurus
jenazah Ayah dan Ibu karena anak harus ikut dengan Lo-cian-pwe........" Dia menoleh
kepada kakek itu, "Maaf, Lo-Cian-pwe, siapakah nama Lo-cian Pwe? Saya akan
memperkenalkan kepada ayah dan Ibu."
Kakek itu tersenyum. "Orang-orang menyebut aku Thai Kek Siansu."
"Ayah dan Ibu, anakmu harus ikut dengan Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu. Ayah dan
Ibu, pergilah dengan baik dan doakanlah anakmu agar menjadi anak yang baik." Dia
memberi hormat delapan kali lalu bangkit berdiri, memandang kepada Thai Kek
Siansu dengan sikap tegas.
"Lo-cian-pwe, saya sudah siap!"
Thai Kek Siansu tersenyum dan mengelus kepala anak itu. "Anak yang baik,
panggillah semua orang agar berkumpuldi sini."
"Baik, Lo-cian-pwe!" Setelah berkata demikian, dengan sigap dan cepat ke keluar
dari rumah dan memanggil semua orang agar datang berkumpul di pelataran
rumahnya. Semua orang yang sudah mendengar akan munculnya kakek pakaian
putih yang secara aneh membantu para perampok meninggalkan semua barang
rampasan di luar dusun, berbondo-bondong datang berkumpul.
Setelah semua penduduk berkumpul termasuk Lurah Thio yang menjadi kepala
dusun di situ, Thai Kek Siansu mengandeng tangan Han Lin, berdiri di pendapa dan
berkata kepada mereka. Suaranya halus dan lirih saja, akan tetapi anehnya, semua
orang sampai yang berdiri paling jauh dapat mendengar bisikan itu dengan jelas!
"Saudara-saudara penduduk Ki-Bun. Anak Si Han Lin ini telah kehilangan Ayah
Ibunya dan menjadi yatim piatu tidak memiliki sanak keluarga lain."
"Kami mau memeliharanya!"
"Biarkan aku yang menjadi pengganti orang tuanya!"
Banyak orang meneriakkan kesanggupan mereka untuk menerima Han Lin. Hal ini
membuktikan bahwa anak itu memang disuka oleh para penduduk yang amat
menghormati ayah ibu anak itu. Tiba-tiba Han Lin berkata dengan suara lantang.
"Para Kakek, Paman dan Bibi! Terima kasih atas kebaikan hati dan penawarankalian.
Akan tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk ikut bersama Lo-cian-pwe Thai
Kek Siansu ini!"
Thai Kek Siansu tersenyum lalu berkata. "Saudara-saudara sekalian telah mendengar
sendiri. Han Lin ingin ikut bersamaku, maka atas namanya kami serahkan rumah dan
seisinya kepada kalian. Harap Saudara Lurah mengaturnya dan juga mengadakan
upacara sembahyang dan mengatur pemakaman suami isteri Si Tiong An dengan
sebaiknya, Nah, kami berdua akan pergi sekarang.”
Setelah berkata demikian, semua orang menjadi berisik karena saling bicara sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba me reka semua tersentak dan berhenti bicara karena ada angin
bertiup kencang dan ketika mereka memandang ke pendapa kakek dan anak itu
telah lenyap!
Semua orang, dipelopori Lurah Thio menjatuhkan diri berlutut untuk menghormat
kepergian kakek itu dan semenjak saat itu, nama Thai Kek Siansu menjaj pujaan
penduduk dusun Ki-bun. Bukan hanya menjadi pujaan, bahkan menjadi pelindung,
karena kalau ada gerombolan penjahat hendak mengganggu dusun itu dan
mendengar bahwa Thai Kek Sianu menjadi pelindung dusun Ki-bun dan mendengar
pula betapa gerombolann yang dipimpin oleh orang-orang sakti seper Tiat-pi Samwan
juga dihajar sehingga lari ketakutan oleh Thai Kek Siansu mereka tidak jadi
mengganggu karena takut!
oooOOooo
Si Han Lin yang baru berusia sepuluh tahun itu sejak kecil sudah diberi pelajaran
dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-Pai oleh ayahnya sehingga dia memiliki tubuh yang
kuat walaupun agak kurus. Dia sudah banyak mendengar cerita Ayahnya tentang
kisah para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan gurunya pernah
bercerita tentang ("orang yang amat sakti seperti Tat Mo-couwsu yang nama
aselinya Buddhi Dharma, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa dan yang
pertama-tama menembangkan ilmu silat di Siauw-lim-Akan tetapi ketika dia
digandeng oleh Thai Kek Siansu keluar dari rumahnya, dia merasa tubuhnya seperti
melayang sehingga dia merasa heran bukan main. Apalagi ketika dia melihat betapa
tahu-tahu dia sudah berada di luar dusun Ki-bun! Dia masih digandeng dan biarpun
berrdua kakinya melangkah namun dia tidak merasakan menginjak tanah, melainkan
seperti melayang dan meluncur. Dengan cepat sekali kakek itu membawanya
mendaki bukit dan setelah tiba di puncak bukit, baru kakek itu berhenti dan
melepaskan tangan yang digandengnya.
Begitu dilepaskan oleh Thai Kek Siar su, Han Lin cepat menjatuhkan diri berlutut
didepan kakek yang sudah duduk bersila di atas sebuah batu besar.
"Lo-cian-pwe, saya mohon kepada Lo cian-pwe agar suka menerima saya sebagai
murid."
"Han Lin, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"
"Karena Lo-cian-pwe adalah seorang yang amat sakti dan amat pandai. Saya ingin
mempelajari semua ilmu yang Lo cian-pwe kuasai."
"Han Lin, ketahuilah bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini. Tidak ada orang
sakti! Yang Maha Sakti dan Maha Pandai itu hanyalah Tuhan! Kalau aku manusia
mengaku sakti dan pandai, itu hanya membual saja, bualan yan sombong dan
kosong!"
"Akan tetapi saya melihat sendiri Lo cian-pwe tanpa bergerak sudah mampu
mengusir para perampok itu. Bahkan tidak ada perampok yang dapat menyerang Locian-
pwe, semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh Lo-cian-pwe. Apakah itu
tidak sakti namanya?"
Thai Kek Siansu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Bukan aku yang sakti
atau pandai, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang membuat aku terbebas dari
semua serangan adalah kekuasaan Tuhan, bukan kesaktianku.Kalau kekuasaan
Tuhan bekerja melindungiku, siapakah yang akan mampu menggangguku? Biar Iblis
dan Setan sekalipun tidak mungkin dapat mengganggu seseorang yang dilindungi
kekuasaan Tuhan. Manusia tidak ada yang pintar. Kalau dia dapat lakukan sesuatu,
itu adalah karena iluin yang menganugerahi dengan kemampuannya itu. Bagaimana
orang dapat mengaku pintar kalau tidak mampu menghitung rambut di kepalanya
sendiri, tidak mampu menghentikan tumbuhnya rambut dan kukunya sendiri? Yang
Maha Pandai hanya Tuhan dan yang dianugerahkan kepada manusia sesungguhnya
hanya sedikit dan terbatas sekali. Karena itu bukalah matamu, Han Lin. Guru Sejati
adalah Tuhan sendiri dan Dia telah memberimu hati akal pikiran untuk belajar dan
ilmu-ilmu itu telah diberikan Tuhan dengan berlebihan melalui segala sesuatu yang
terdapat di alam maya pada ini. Hidup ini adalah belajar, sampai kita mening galkan
dunia ini."
Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja agak sukar mengunyah dan menelan
makanan batin yang mendalam itu, akan tetapi Han Lin yang cerdik mencatat
dalam ingatannya.
"Lo-cian-pwe, tanpa bimbingan Lo cian-pwe bagaimana mungkin saya akan dapat
mengerti semua itu? Karena itulah maka saya mohon untuk menjadi murid Lo-cianpwe."
Kakek itu mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah, Han Lin, kalau itu sudah menjadi tekadmu, aku akan membimbingmu,
asalkan engkau percaya dengan penuh keyakinan akan adanya Thian yang
menguasai seluruh alam semesta dan sekalian isinya, termasuk dirimu."
"Saya percaya akan adanya Tuhan, suhu." kata Han Lin dengan penuh semangat dan
gembira.
"Dan engkau rela berserah diri kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa pamrih, dan kau
menerima segala sesuatu yang menempa dirimu dan di luar kekuasaanmu untuk
menghindarinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Maukah engkau berserah
diri sedalam itu kepadaNya sehingga mati pun akan kau terima dengan suka rela
kalau hal itu memang diKehendakiNya?"
"Saya bersedia untuk berserah diri kepada Tuhan, Suhu." kata pula anak itu dengan
mantap.
Dengan wajah riang Thai Kek Siansu tertawa mendengar kesanggupan anak itu.
suara tawanya lembut dan merdu, akan tetapi ketika kakek itu tertawa dan
menengadahkan kepalanya, Han Lin mendengar suara seperti ada halilintar
menggeluduk dari jauh dan begitu kakek itu kini henti tertawa, suara menggeluduk
di diatas itu pun berhenti.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking di angkasa. Han Lin terkejut, apalagi suara itu
disusul suara berkelepaknya sayap yang cukup keras. Dia mengangkat muka,
berdongak ke atas dan mata anak itu terbelalak. Seekor burung yang luar biasa
besarnya melayang dan mengelilingi puncak bukit itu. Belum pernah selama
hidupnya Han Lin melihat burung sebesar itu. Dari bentuknya dia mengenal sebagai
burung rajawali yang pernah dilihatnya, akan tetapi biasanya burung rajawali tidak
seberapa besar, sampai besar seperti seekor ayam jantan. Akan tetapi burung yang
melayang-layang besar sekali, kedua kakinya itu saja sebesar lengan orang dewasa
dan kepala sebesar kepala kambing!
"Ho-ho, Tiauw-cu (Rajawali), engkau mengenal suara tawaku dan datang
.menyusulku ke sini? Ha-ha, Rajawali yang baik, turunlah dan jangan sungkan, ini
adalah muridku bernama Si Han Lin.
Aneh sekali! Rajawali raksasa itu seolah mengerti akan kata-kata Thai Kek Siansu. Dia
meluncur turun dan hingga di atas tanah tak jauh dan batu yang diduduki kakek itu.
Setelah rajawali itu turun, baru Han Lin melihat bahwa burung itu memang besar
sekali, ketika berdiri di situ, dia lebih tinggi daripada dirinya sendiri!
Melihat Han Lin memandang dengan heran, kagum dan juga takut, Thai Kek Siansu
berkata sambil tersenyum. "Han Lin, ketahuilah bahwa Tiauw-liu ini adalah seekor
Rajawali Sakti yang telah langka. Dahulu, induk burung ini merupakan sahabat
baikku yang kujumpai di puncak Awan Biru, satu di antara puncak-puncak di
Pegunungan Himalaya. Induk Rajawali Sakti itu merupakan sahabat lamaku yang
setia dan baik sekali. Akan tetapi sekarang ia telah tiada dan ini adalah anak
tunggalnya yang masih muda. Burung ini amat langka, Han Lin, dahulu hanya
terdapat di Pegunung Himalaya, itu pun hanya sedikit dan sekarang entah masih ada
berapa ekor yang masih hidup. Tiauw-cu ini sudah lima tahun tinggal bersamaku di
Puncak Cin-ling-san dan engkau lihat, ketika aku meakukan perjalanan merantau dan
sudah meninggalkannya selama hampir tahun, kini dia menyusul dan berhasil
menemukan aku di sini."
"Wah, dia hebat sekali, Suhu!" kata Han Lin girang dan dia pun menghampiri burung
rajawali itu dan mengelus bulu halus di sayapnya. Burung itu mengerakkan
kepalanya dan mengelus rambut kepala Han Lin dengan paruhnya yang runcing
melengkung dan hitam mengkilat itu.
"Ha, bagus sekali! Tiauw-cu ini agaknya juga suka kepadamu, Han Lin, biasanya
nalurinya tidak akan salah memilih!"
Han Lin memang kagum sekali mengamati burung rajawali itu baik-baik dari kepala
sampai ke kaki. Paruh burung itu besar dan kokoh kuat, melengkung dengan ujung
runcing tajam. Lehernya penuh bulu tebal dan di atas kepalan tampak jambul
berwarna putih. Bulu burung itu keabu-abuan dengan sedikit titik-titik keemasan di
bagian sayap dan ekornya. Tubuhnya juga kokoh dan keras dan kedua kakinya yang
sebesar lengan manusia dewasa itu tampak kering dan dan seperti baja, bersisik dan
jari-jarinya mekar dengan kuku-kuku yang runcing melengkung pula.
"Han Lin, engkau pulanglah lebih dulu ke Cin-ling-san bersama Tiauw-cu. Aku masih
mempunyai beberapa urusan dan harus berpisah darimu. Engkau pulanglah dulu ke
Cin-iing-san. Bersihkan pondok kita di sana, rawat tanaman sayur-sayuran.Tunggu
aku di sana sampai aku pulang"
"Suhu, bagaimana teecu (murid) dapat pergi ke Cin-ling-san? Teecu tidak tahu mana
pegunungan itu dan teecu tidak pernah melakukan perjalanan jauh. Betapa jauhnya
tempat itu, Suhu?"
“Jangan khawatir, Tiauw-cu akan menemani dan mengantarmu sampai di sana."
"Baik, Suhu!" kata Han Lin penuh mangat. "Berapa harikah teecu harus berjalan kaki
menuju ke sana? Teecu siap berangkat sekarang juga!"
Thai Kek Siansu mengelus jenggotnya dan tersenyum. Hatinya merasa senang
melihat semangat besar dan keberanian muridnya ini yang siap mencari Cin-ling-san
walaupun tidak tahu tempatnya dan tanpa memiliki sedikit pun uang bekal!
"Kalau engkau berjalan kaki, kukira dalam waktu setengah tahun engkau baru akan
sampai di sana, Han Lin."
Anak itu terbelalak memandang gurunya. "Setengah tahun? Suhu maksudnya
enam bulan, seratus delapan puluh hari? Wah, begitu jauhnya............!"
Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha. engkau akan tiba tak selama itu, Han Lin. Paling
lama dua hari engkau dapat tiba di pondok kita di Puncak Cemara di Pegunungan
Cin-ling-san. Tiauw-cu akan mengantarmu ke sana."
"Tiauw-cu akan mengantar teecu dapat dua hari tiba di sana? Akan tetapi Tiauw-cu
dapat berlari secepat itu teecu yang tidak dapat dan akan tertinggal jauh............."
"Dia akan terbang, Han Lin."
"Dia dapat terbang, Suhu, akan tetapi teecu............."
"Engkau duduk di atas punggurgnya Han Lin!"
"Teecu? Dibawa terbang...............? Suhu, mana teecu berani? Bagaimana kalau
tertergelincir dan terjatuh?" Han Lin bergidik membayangkan dia terjatuh dari
punggung burung itu setelah diterbangkan tinggi.
"Nah, lihat baik-baik dan amati dirimu sendiri, Han Lin. Mulai saat ini engkau harus
membuka mata baik-baik dan terutama lebih dulu mengamati dirimu sendiri
sebelum engkau mengamati apa yang berada di luar dirimu. Lihatlah, apakah rasa
takut di dalam batinmu itu? Dari mana timbulnya perasaan takut dan ngeri itu? Coba
rasakan dan jawab!"
Han Lin memang masih kecil namun memiliki kecerdasan dan kematangan
pertimbangan yang lebih daripada anak-anak biasa berusia sekitar sepuluh tahun
berdiam diri, mencoba untuk menelusuri perasaannya sendiri. Tadinya dia sama
sekali tidak mempunyai perasaan takut,akan tetapi mendengar bahwa dia harus naik
ke punggung rajawali yang akan membawanya terbang, dia membayangkan dirinya
tergelincir dan terjatuh, maka timbullah rasa ngeri takut itu.
"Suhu, kalau teecu tidak salah, rasa takut itu muncul dipikiran teecu setelah teecu
membayangkan kalau teecu tergelincir dan terjatuh dari punggung Tiau-cu ketika
dibawa terbang."
"Nah, berarti bahwa rasa takut muncul dari ulah pikiranmu yang membayangkan
hal-hal tidak enak yang belum terjadi. Pikiran bagaimana kalau nanti ataubagaimana
kalau nanti begitulah yang mendatangkan rasa takut. Dengan datangnya rasa takut
maka bijaksanaan kita pun goyah dan miring. Mengapa memikirkan hal-hal yang
belum terjadi, yang hanya menimbulkan rasa takut? Mengapa pula membayangkan
masa lalu yang hanya mendatangkan rasa sedih dan dendam kemarahan? Yang tidak
penting adalah menghadapi saat itu, saat demi saat dengan penuh kewaspada.
Engkau harus menaati perintah guru kalau aku sudah menyuruhmu menunggang
Tiauw-cu, engkau harus taat dan yang penting bagimu melakukan hal ini, sekarang
ini, dengan baik dan benar. Kalau engkau melaksanakan apa pun yang terjadi
dengan baik dan benar saat ini, maka sudah cukuplah itu. Selanjutnya pun yang
terjadi harus kau hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, waspada saat ini, saat
demi saat, urusan kemudian serahkan saja kekekuasaan Tuhan yang tidak dapat
dirubah oleh siapapun juga. Nah, sekarang baiklah dan jangan takut, Tiauw-cu akan
mengantarmu sampai ke Puncak Cemara, Bukankah begitu, Tiauw-cu?"
Rajawali besar itu mengangguk-anggukkan kepala seolah dia mengerti dan selalu,
mengeluarkan suara kwak-kwak, lalu menekuk kakinya, mendekam di dekat Han Lin!
Sebagai putera tunggal seorang guru Silat murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya Han
Lin telah dibekali dasar-dasar sebagai seorang yang jantan dan tabah, mendengar
ucapan gurunya yang walau agak sukar namun dapat dia mengerrti itu, tanpa ragu
lagi Han Lin lalu melompat naik ke punggung burung yang amat besar itu. Punggung
itu ternyata lebar dan dia dapat duduk dengan enak.
"Cengkeram bulu lehernya. Bulu itu kuat dan kalau merasa pening, membukuklah
saja dan rebah menelungkup atas punggung Tiauw-cu " kata Thai Siansu.
"Baik, Suhu. Harap Suhu doakan a teecu tidak jatuh!" kata Han Lin san memegang
bulu-bulu leher dengan ketangannya.
Rajawali raksasa itu bangkit berdiri mengeluarkan suara seolah berpamit pada Thai
Kek Siansu, lalu mengembangkan kedua sayapnya sambil meloncat atas dan
terbanglah dia dengan indah, ke atas. Han Lin merasa seolah-olah jantungnya copot
dan tinggal di bawah. Cepat dia memejamkan matanya membungkuk,
menyembunyikan muka dalam bulu-bulu yang lembut dan hangat itu.
Thai Kek Siansu berdiri di atas batu sambil mengikuti terbangnya Tiauw-Cu dengan
pandang matanya sampai buram.
itu menjadi sebuah titik hitam yang makin menjauh. Dia menghela napas panjang.
Dia telah menerima seorang anak laki-laki sebagai murid. Hal ini berarti bahwa
biarpun dia tidak pernah dan tidak akan mengikatkan batin dengan siapa atau
apapun, namun harus mempertanggung jawabkan keputusan yang telah diambilnya.
Dia mempunyai murid, maka dia harus membimbing murid itu agar kelak menjadi
manusia yang dekat dengan Sang Sumber dan menjadi penyalur berkat Tuhan Yang
Maha Kuasa, menyalurkan semua bekat itu untuk orang lain yang membutuhkah.
Kemudian kakek itu menuruni bukit dan biarpun tampaknya hanya melangkah
lambat saja, namun dalam waktu sebentar saja dia telah tiba di kaki bukit.
oooOOooo
Di luar kota Lok-yang sebelah timur di tepi sungai, terdapat sebuah perbukitan
memanjang dan sebuah di antara bukit-bukit itu disebut Bukit Naga Kecil karena
bentuknya seperti kepala naga. Bentuk ini sebetulnya hanya batu karang, numun
dilihat dari jauh tampak beberapa batu karang itu seperti mulut dan kepala naga.
Bukit yang gersang karena terdiri dari batu karang sehingga tanahnya tidak subur.
Jarang ada orang mendaki bukit! karena memang tidak ada apa-apanya yang
berharga. Tidak ada tumbuh-tumbuh-berharga, tidak ada pula hewan buruan besar.
Akan tetapi pada suatu hari, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang
hangat, muncul dari celah-celah dua buah bukit, tampak seorang hwesio (pendeta
Buddha) memegang tongkat pendetatanya dan menggunakan tongkat itu untuk
menopangnya ketika dia mendaki ke atas Bukiit. Hwesio itu seorang kakek berusia
sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kasar dan perutnya amat gendut.
Kepalanya gundul, hanya ditumbuhi sedikit rambut. Dia mengenakan jubah hwesio,
dari tetapi berbeda dengan para hwesio di negeri itu yang biasanya memakai
berwarna kuning atau merah mu dilibat-libatkan di tubuh mereka secara sederhana
sekali, hwesio ini mengenakan jubah longgar yang berkotak-kotak dengan hiasan
bunga, dan celananya berwarna warna kuning. Kedua kakinya yang besar
mengenakan sandal yang aneh bentuk! dan terbuat daripada kain tebal dengan
bagian bawah dari kayu. Hwesio ini bukan orang sembarangan karena dia adai
seorang pendeta Buddha yang datang-daerah Tibet dan di dunia barat, yaitu sekitar
Tibet, Sin-kiang, bahkan sama ke Nepal, namanya terkenal sebagai seorang pendeta
yang sakti. Dia berjuluk Thong Leng Lo-su, tidak mengguna nama para Lama di Tibet
karena dia adalah berbangsa Han (Pribumi Cina). Karena merasa tidak cocok dengan
pelajaran Agama Buddha aliran Tibet, memisahkan diri dan meninggalkan Tibet lalu
merantau ke Timur, atau kembali Cina. Wajahnya yang tampak penuh sennyum dan
ramah itu cocok benar dengan perutnya yang gendut sehingga dia mirip Patung Jilai-
hud! Setelah tiba di atas puncak Bukit Naga Kecil yang datar, Tiong Leng Losu
mencari sebuah batu sebesar perut kerbau yang banyak berseraikan di tepi sebuah
jurang. Dia menguakkan tongkatnya dengan perlahan kearah batu itu.
"Ceppp!" tongkat itu menusuk batu sedemikian mudahnya seolah dia bukan
menusuk batu melainkan menusuk benda yang lunak! Batu yang tertusuk tongkat
itu dia bawa ke tengah dataran puncak bukit, melepaskannya dan melihat
permukaan batu itu tidak rata, dia lalu menggunakan telapak tangan kiri dengan jarijarinya
yang gemuk untuk mengusap permukaan batu. Sedikit debu mengebulkan
permukaan batu itu kini menjadi halus seperti dibubut! Kemudian dia meniup
permukaan batu sehingga permukaan batu bersih dari debu yang terkena remukan
batu, lalu duduk bersila di atas batu, meletakkan tongkatnya bersandar pada batu
yang didudukinya lalu memejamkan kedua matanya, duduk bersamadhi. Tubuhnya
duduk tegak lurus dan sedikit pun tidak bergerak sehingga dia tampak perti sebuah
patung!
Tak lama kemudian muncul seorag bertubuh gemuk pendek dari jurusan lain
mendaki bukit itu. Kakinya yang pendek-pendek itu bergerak cepat dan tubuhnya
meluncur ke atas dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya
seolah berubah menjadi bayang-bayang dan tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak.
Dia tersenyum melihat Thong Leng Losu duduk tenggelam dalam siu-lian (samadhi)
dan dia pun menghampiri batu-batu besar yang berserakan dekat lereng. Dia
memilih batu terbesar dan begitu mencabut pedang yang tergantung punggung,
tampak sinar hijau bergulung-gulung di sekitar batu itu dan batu-batu kecil disertai
debu berhamburan. Hanya sebentar saja, batu besar itu kini telah berubah menjadi
sebuih kursi yang seolah dipahat halus dan bentuknya indah! Hal ini menunjukkan
betapa hebatnya ilmu pedang orang pendek itu. Dia berusia sekitar lima puluh
tahun, tubuhnya yang gemuk pendek membuat dia tampak seperti serba bulat.
Pakaiannya longgar sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai para pertapa.
Orang ini pun bukan orang sembarangan. Dia bernama Liong Gi Cin-jin dan di dunia
persilatan, terutama didaerah timur, dia terkenal nama julukan Tung Kiam-ong (Raja
pedang Timur). Dia seorang yang tekun mempelajari agama Khong-kauw (Confuiism)
dan bertahun-tahun dia merantau di sepanjang kota pantai Timur untuk
menyebar-luaskan pelajaran Khong-hu-Im.
Baru saja dia menduduki kursinya yang diletakkan dalam jarak lima tombak dari
tempat duduk Thong Leng Losu, tiba-tiba dari arah lain tampak seorang munusia
seperti seekor burung melayang naik ke puncak itu. Dia bukan terbang, namun
gerakannya yang cepat ditambah tubuhnya yang lebar itu mengembang seperti
sayap burung membuat ia seperti melayang naik dan dengan cepat dia sudahberada
di puncak bukit. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih,
tubuhnya tinggi kurus. demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak.
Jubahnya longgar sekali, berwarna kuning, dan sebuah kebutan berbulu putih
panjang terselip di pinggangnya. Dengan tenang dia memandang ke kanan kiri,
tersenyum melihat dua orang pertama yang sudah duduk atas batu. Dia pun
menghampiri batu-batu di tepi jurang dan memilih batu. Melihat ada batu yang
panjang, menggunakan kebutannya untuk dihantamkan ke tengah batu itu.
Bagaikan pisau tajam memotong agar-agar, kebutan itu membelah batu panjang dan
bekas potongan itu demikian rata dan halus seolah batu itu dipotong dengan benda
ya amat tajam. Kemudian, bulu-bulu. kebutannya itu membelit sebuah di antara
potongan batu itu dan dengan gerakan lembut batu itu terangkat dan terlontar atas,
ke arah tempat dua orang itu duduk! Dia lalu meluncur cepat kedepan dan ketika
batu itu melayang turun, menggunakan kebutannya untuk menangkap batu dan
diletakan dalam jarak lima tombak dari dua orang yang lain dan kini Mereka duduk
saling berhadapan membentuk titik ujung segi tiga. Orang ketiga ini mudah
diketahui bahwa dia seorang Tosu (Pendeta Agama To) dari pakaian pendetanya
yang berwarna serba kuning. Dia pun terkenal di dunia persilatan sebagai seorang
datuk besar dari Selatan. Julukannya di dunia kang-ouw Ialah Lam-liong (Naga
Selatan).
Tiga orang kakek ini biarpun amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang
sakti, namun mereka jarang mencampuri urusan dunia ramai, dan tidak pernah
mempunyai murid. Mereka lebih tekun menyebarkan pelajaran agama masingmasing.
Thong Leng Losu menyebarku pelajaran Agama Buddha, Tiong Gi Ki-jin
menyebarkan Agama Khong-kauw, dan Louw Keng Tojin menyebarkan Agama Tokauw.
Tidak seperti para tokoh agama yang menjadi pimpinan kuil agama masingmasing,
tiga orang datuk ini lebih suka bekerja sendiri, merantau dan tidak pernah
menetap di suatu tempat atau tinggal di sebuah kuil.
Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi Cinjin
mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang itu
lalu berkata dengan lembut.
"Selamat berjumpa, Saudara-saudara!” Betapa bahagianya bertemu dengan
sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh!
"Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih mengandung
aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat. Pinceng (aku) merasa
kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas penghormatan itu.
"Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah cara
hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin memang
sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan." kata Louw Keng
Tojin sambil tersenyum.
"Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi (Anda
Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk menjadikan orangorang
menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan tetapi mari kita lihat,
bagaimana keadaan dunia ini? Padahal, semua manusia di empat penjuru
sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang perebutan kekuasaan
yang mengorbankan nyawa banyak orang? Beginilah kalau manusia tidak menaati
peraturan.Kalau semua rakyat mengikuti dan menaati pelajaran agama kami dan
mengutamakan bakti, anak-anak berbakti kepada orang tuanya, rakyat berbakti
kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi semua pertentangan dan keributan
kekuasaan ini."
"Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati
peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin banyak
terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh miusia, seperti juga senjata dibuat manusia
dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu dipergunakan manusia untuk
kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Peraturan juga demikian,
kenyataannya, peraturan dijadikan senjata bagi manusia untuk kepentingan dan
keuntungan masing-masing. Tahukah dan sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa
dosa dilakukan manusia justeru karena adanya peraturan? Dosa adalah pelanggaran,
dan justeru peraturan itu menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan,
tidak akan ada pelanggaran atas dosa!"
"Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin tidak
akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian kehidupan
manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan duka. Saat Buddha
telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan manusia dari duka. Manusia
tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama dia belum melaksanakan apa yang
disabdakan oleh Sang Buddha. Empat Kenyataan yang disadari benar bahwa
terdapat adanya Duka, sebab dari Duka, menghentikan Duka, dan Jalan untuk
menghentikan Duka. untuk itu Sang Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama,
Lima Petunjuk, Sepuluh Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau
semua manusia mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari
Sengsara dan duka."
Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng Losu.
Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum siapa yang
melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan baik dan
sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin
mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw yang
dianutnya.
"Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan dapat
membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang baimanapun.
Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia namun selalu
berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-ikan berenang
dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia, namun tidak
kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena mereka semua itu hidup sesuai
dengan To. Alam mengatur segala sesuatu dengan tertib, akan tetapi aturan
perbuatan manusia malah menimbulkan kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa
campur tangan manusia, karena Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak
seperti manusia yang mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng
Tojin mempertahankan teori agamanya.
Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori kebenaran
agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan suasana panas
yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya mereka saling
mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan menyembah benda mati
berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama Khong-kauw dicela karena hanya
mengurus soal manusia dan duniawi. Louw Keng Tojin dicela karena agamanya
hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata, mengkhayal dan seperti mimpi, sama
sekali tidak mempedulikan urusan manusia hidup di dunia.
Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-masing
berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun dari atas
batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!
"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti kalian
menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami teriak Tiong Gi
Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut pedangnya dan tampak
sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-nyambar kearah batu yang tadi
diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar sedikit suara, akan tetapi ketika sinar hijau
itu kembali ke tangan Tiong Gi Cinjin, batu itu runtuh dan berantakan, telah
terpotong-potong seperti mentimun dirajang pisau yang amat tajam!
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdeng Louw
Keng Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba bagaikan
benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi diduduki dan
kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu itu terpukul bulu
kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang" kembali ke tangan
Louw Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu silatnya, juga mahir ilmu
sihir.
"Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami.
Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak memiliki
belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini menghampiri lima
buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya dan dia menempelnempelkan
pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali dan menjadi utuh.
Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!
Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan. Mereka
semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama masing-masing
secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-kitab suci mereka.
Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan mati-matian, kalau perlu
berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat menenangkan diri tidak
membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena maklum bahwa itu ditentang
atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.
Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan
serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka
merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong Cinjin
juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang kebutannya. Di
dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong penasaran dan marah
hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar agama masing-masing tidak
mau melakukannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan suara
itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas semua katakatanya.
Intinya adalah Api Suci
yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya
yang hanya mengaburkan
pandangan mata?"
Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang yang
berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh kewibawaan
lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan dari hati. Tahulah
mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang luar biasa dan seperti
dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan sikap hormat.
Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang mereka
bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan mereka sehingga
mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.
"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang dapat
diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang dapat
diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu ketidakbenar
Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala sesuatu tercakup
dalamnya!"
Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput. Anehnya
tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk bersila di atas
tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu mengenai kakek itu dan
mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengucapkan
salam hampir bersamaan.
"Selamat datang, Thai Kek Siansu!"
Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat
berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"
Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai Kek
Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua mukanya
terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali menyanyikan syair yang
amat terkenal di antara para tokoh agama dan para sastrawan di Zaman itu. Syair itu
adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang penduduk Daerah Yong-ji di Propinsi
Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus ujian negara. Ketika orang Chao
menyerang ibukota Kerajaan Tang dia mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun
dia mengundurkan diri bertapa. Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian
pangkat oleh Kaisar Dinasti yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu dengan
suara lembut.
"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"
Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi
hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian
menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur
menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan
tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara keheningan
dalam diri yang tidak pernah berhcnti akan tetapi hanya dapat didengar orang yang
benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal pikiran, suara itu
terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang mendengarnya mungkin tidak
sama daya penangkapnya dengan orang lain. Ada yang mengatakan seperti
gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun, atau seperti gelora air lautan yang
dahsyat, atau seperti ombak berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi
pendengaran itu, biar telinga ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara
keheningan, suara kehidupan, membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya
Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal diam.
"Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat kami bertiga
sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas tentang keadaan
rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi perebutan kekuasaan
yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan semua itu dan juga agama
kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat menanggulangi semua itu dan
mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi manusia, khususnya bangsa kita yang
terpecah belah oleh perebutan kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah
kami dengar akan kebijaksanaannya."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun
mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.
.
"Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan mengapa
kita harus mendengar petunjuk orang lain? Kita bersama adalah manusia, kehidupan
ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi petunjuk dan kepada siapa?
Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain, karena apa pun juga yang kita percaya
dan lakukan, kalau menurut petunjuk orang lain, adalah palsu. Bagaimana kalau
petunjuk itu salah. Maka, karena kita berempat sama-sama mengalami kehidupan
ini, apakah tidak lebih baik kalau kita sama-sama pula mengamati dan
mempelajarinya?"
Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu. Akan
tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak mendapatkan
kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka jalan dan kami
harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan dan penyelidikan ini,
agar kami bertiga tidak saing bertumbukan."
Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.
Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki tentang
Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai kebenaran dalam
Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam Agama kami masingmasing,
maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana kita dapat melihat
kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"
"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran? Kebenaran yang
diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan yang
dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati tanpa tirai itu.
Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama ada pelajaran untuk
menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan demikian? Semua Agama
mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama yang mengajarkan agar
umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar manusia di waktu hidupnya
berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir hayatnya. Akan tetapi Agama
juga memiliki sejarah dan upacara-upacara masing-masing yang tentu saja diakui
benarannya secara mutlak oleh umat Sayang sekali, seperti yang Sam-wi perlibatkan
tadi, Sam-wi tidak melihat kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup dalam
kebaikan, melainkan Sam-wi bersitegang membela upacaranya yang berbeda.
Mengapa Sam-wi tidak menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada
umat masing-masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup
berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan dalam
kehidupan manusia di dunia
"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat kebenaran,
akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan betapa umat
beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi seorang penipu
dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu.
"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak sekali
orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng Tojin
membela agamanya.
"Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama Budha
yang menjadi pembunuh?"
Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat
mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali.
"Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw
menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang penipu
yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang agama To, dia
tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada penjahat mengaku
beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga hanya mengaku-aku saja
dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-benar beragama Khong-kauw,
tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu dilarang oleh agamanya. Demikian
pula, seorang pembunuh mengaku agama Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan
mengaku-aku saja karena kalu dia benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak
berani membunuh karena itu dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah
jelas. Bukanlah agama yang tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak
benarlah kalau Agama saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau
salah menurut pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama
adalah Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu."
Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu berkata.
"Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan tetapi mengapa
hampir seluruh rakyat meengaku beragama, dan semua agama mengajarkan
kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, Akan tetapi
kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang, permusuhan, kejahatan dan
kekacauan yang menyengsarakan rakyat?"
Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan mereka
bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian.
"Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita renungkan.
Mengapa demikian? Kenyataannya adalah bahwa umat beragama sekarang ini
hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang saling berbeda, dan
jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-masing yang sesungguhnya
sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua pelajaran itu?" kata Thai Kek Siansu.
"Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang
menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!" kata Tiong Gi Cinjin dan seorang
pendeta lainnya mengangguk menyetujui.
Pada saat itu, tiba-tiba ada sinar-sinar hitam menyambar bagaikan kilat arah empat
orang itu! Kiranya sinar-sinar itu adalah empat batang anak panah berwarna hitam
yang dilepas dengan kekuatan dahsyat menyerang empat orang yang sedang
bercengkerama.
"Sing-sing-sing-sing.......... !!"
Sebatang anak panah menyambar arah tengkuk Thong Leng Losu. Akan tetapi
hwesio ini diam saja, tidak tahu ataukah memang sengaja diam saja, tidak mengelak
maupun menangkis.
"Tukkk !!" Anak panah itu tepat mengenai tengkuk dan patah menjadi dua, jatuh di
belakang tubuhnya!
Sebatang anak panah lain menyambar ke arah lambung kanan Tiong Gi Cinjin.
Pendeta Khong-kauw ini pun seolah tidak mengacuhkannya. Tangan kanannya
hanya bergerak ke kanan tanpa menengok dan ditang anak panah itu telah terjepit
di antara jari tengah dan telunjuknya!
Sebatang anak panah lain menyambar kepala Louw Keng Tojin. Pendeta To ini
menoleh dan meniup ke arah sinar hitam itu dan anak panah itu tiba-tiba
menyimpang dan meluncur ke atas, terputar-putar di atas. Louw Keng Tojin
mengikat tangan kirinya menggapai dan bagaikan hidup anak panah itu melayang
turun ke arah tangan tosu itu yang mengkapnya!
Adapun sebatang anak panah yang menyambar ke arah dada Thai Kek Siansu
tampaknya seperti akan tepat mengenai kisaran, akan tetapi setelah dekat sekali
dengan dadanya, anak panah itu jatuh ke tanah seolah-olah tertahan sesuatu yang
tdak tampak!
Empat orang tua yang amat lihai itu memungut anak panah dan mengamatinya.
"Omitohud, bangsa Khitan selalu berusaha menguasai negeri ini dan mamerkan
kepandaian mereka memanah kata Thong Leng Losu mengamati anak panah yang
tadi mengenai tengkuk dan patah menjadi dua.
"Orang-orang yang melakukan penyerangan secara curang adalah pengecutpengecut
dan orang-orang seperti tidak ada harganya, sebangsa Siauw-Jin (Orang
Rendah). Sepantasnya kalau diberi hajaran agar mereka itu sadar dan kembali ke
jalan kebenaran." kata Tiong Cinjin dengan suara dan sikap keren namun tetap
tenang.
"Ha-ha-ha, harimau-harimau tidak akan mempedulikan ulah para tikus kata Louw
Keng Tojin.
Sementara itu, Thai Kek Siansu diam saja, hanya tersenyum karena dia ingin melihat
apa yang akan dilakukan tiga orang tokoh agama yang berbeda itu terhadap orangorang
yang menyerang dengan curang itu. Dia hanya memandang ke empat penjuru
karena maklum bahwa puncak di mana mereka berempat duduk itu telah dikepung
banyak orang!
"Saudara-saudara yang datang, kalau ada urusan dengan kami berempat, mengapa
tidak langsung naik saja ke sini dan bicara dengan kami?" kata Thai Kek Siansu
dengan suara lirih, namun suaranya dapat terdengar orang yang berada di kaki bukit
sekalipun karena gelombang udara yang didukung tenaga sakti dari batin yang kuat
itu memiliki gelombang yang dahsyat.
Kini bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, lalu mereka berkumpul di
depan Thai Kek Siansu. Tiga orang pendeta itu pun menggunakan tenaga sakti
mereka sehingga tanpa menggerakkan tubuh, mereka yang duduk bersila itu
berputar menghadap ke arah para pendatang itu. Sedikitnya ada tiga puluh orang
Khitan berdiri di situ dan di depan mereka terdapat lima orang yang agaknya
menjadi pimpinan mereka.
Yang pertama adalah seorang suku bangsa Khitan. Hal ini jelas tampak pada
pakaiannya. Dia memang seorang di antara para kepala suku Khitan bernama Kailon,
berusia lima puluh tahun, ber tubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung
sebuah busur dan belasan batang anak panah, di pinggangnya tergantung sebuah
golok dan di lengan kirinya menempel sebuah perisai. Kailon tampak gagah perkasa
sebagai seorang panglima perang yang kokoh kuat.
Agaknya yang menjadi juru bica rombongan yang datang itu adalah Ce In Hosiang
karena diaJah yang menjaw didahului tawa yang membuat perutn yang gendut itu
bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha-ha, Thai Kek Siansu, sungguh merupakan kejutan besar yang
mengherankan dan menyenangkan dapat bertemu denganmu di tempat ini. Terus
terang saja, kami naik ke bukit ini karena mendengar akan adanya pertemuan antara
Thong Leng Losu, Tiong Ci Ci jin, dan Louw Keng Tojin. Siapa tahu sini kami bertemu
dengan Thai Kek Sia su yang kami sangka sebelumnya bahkan seorang manusia
sepertimu ini tidak akan pernah muncul di dunia ramai! Kalau datang untuk
menjumpai tiga orang tokoh besar ini karena pada saat ini bangsa kita
membutuhkan semua tenaga orang sakti untuk mengakhiri semua perang saudara
dan perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami ingin minta bantuan
mereka bertiga agar mendukung pemerintahan baru yang kokoh, kuat dan yang
akan menyejahterakan kehidupan rakyat jelata. Akan tetapi Saudara Kailon kepalasuku
Khitan ini yang menjadi sekutu kami dan yang akan membantu bangsa kami,
masih menyangsikan kemampuan mereka bertiga. Maka kami setuju bahwa dia akan
menguji kalian dengan serangan anak panah karena kami yakin hal itu tidak akan
membahayakan kalian. Dan ternyata dugaan kami benar. Serangan anak panah itu
tidak ada artinya. Kalian benar-benar sakti dan orang-orang seperti kalian inilah yang
kami butuhkan untuk mendukung dan memperkuat perjuangan kami."
Thai Kek Siansu mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah, kiranya kalian berempat
termasuk golongan orang-orang yang mendahulukan kepentingan bangsa daripada
kepentingan sendiri dan merupakan pejuang-pejuang. Kalau pilihan kali seperti itu,
baik-baik saja. Akan tetapi kalau Su-wi ingin mengajak orang lain, sudah sepatutnya
kalau orang yang diajak itu sependapat dan mau. Maka, aku persilakan kepada
mereka bertiga ini untuk menjawab ajakan kalian tadi."
Thong Leng Losu memandang kcpada Ceng In Hosiang, lalu tertawa dan berkata,
"Ha-ha, Ceng In Hosiang, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, apakah engkau tidak
menyadari bahwa mendukung pemerintahan baru juga sama dengan menyulut api
peperangan antara bangsa sendiri dan perang adalah pencetusan dari dendam
kebencian? Tentu engkau tidak lupa akan sabda Sang Buddha bahwa "Kebencian
takkan pernah dapat dihentikan oleh kebencian pula dalam dunia Ini. Kebencian
hanya dapat dihentikan dengan Kasih. Ini adalah hukum yang berlaku sejak dahulu
kala. Nah, apakah kini engkau akan menyebarkan kebencian hingga timbul perang
dan bunuh membunuh antar bangsa sendiri? Pinceng jelas tidak mau ikut!" Tiong Gi
Cinjin juga berkata kepada para pendatang itu.
"Aku pun tidak bisa ikut! Semua orang adalah saudara kita sendiri, apakah kita harus
saling membunuh hanya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan? Kalau
kalah, kita yang hancur, kalau menang, para pemimpinlah yang akan memetik buah
kemenangan itu yang berupa kemakmuran dan kesenangan duniawi. Tidak, aku
tidak mau ikut!'
"Siancai! Dua orang sahabatku ini berpendirian cocok dengan pinto! Bertindak
kejam dan dalam hati mengandung kebencian, itulah syarat orang untuk perang.
Bunuh membunuh tidaklah cocok dengan agama dan kepercayaanku. Pinto juga
tidak mau ikut!"
Empat orang pendatang itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Kemudian
terdengar suara tawa yang aneh dan tawa itu disambut suara menggelegar di udara!
Hong-san Siansu Kwee Cin Lok agaknya mendemonstrasikan kedahsyat tenaga
saktinya.
"Ha-ha-ha-ha, sepanjang yang kami dengar, tiga orang pendeta yang bertemu di
puncak ini, biarpun dari tiga macam agama, namun mereka adalah orang-orang
Pribumi Han yang gagah perkasa, yang berjiwa patriot pahlawan bangsa. Sekarang,
kalian bertiga menolak untuk berjuang membantu berdirinya kerajaan yang akan
melenyapkan semua perang saudara ini dan menyejahterakan rakyat melihat
hadirnya Thai Kek Siansu di sini, kami mengerti bahwa tentu kalian bertiga telah
terpengaruh olehnya. Thai Kek-Siansu, tepat dan benar bukan penilaianku ini?"
Thai Kek Siansu tersenyum. "Hong-Siansu Kwee Cin Lok, boleh saja engkau
berpendapat sesuka hatimu. Akan tapi jelas, tiga orang saudara yang kaliaan bujuk
itu tidak setuju dan tidak mau membantu kalian. Setiap orang berhak untuk
mempunyai pendapat sendiri dan engkau tidak boleh memaksanya, engkau adalah
Hong-san pangcu (Ketua Hong-san-pang), ketua sebuah perkumpul-tentu saja ingin
memajukan perkumpulannya dan memiliki cita-cita besar hingga apa yang kau
putuskan dan lakukan tentu berdasarkan pamrih mencapai cita-cita itu. Silakan saja,
akan tetapi jangan memaksa orang lain!"
"Thai Kek Siansu, sudah lama aku mendengar namamu sebagai seorang yang tidak
mau mencampuri urusan dunia. Kalau engkau yang menolak campurtangan dalam
urusan mendirikan kerajaan baru yang akan memimpin rakyat dengan bijaksana ini,
kami dapat mengerti. Akan tetapi kalau engkau mempengaruhi orang-orang lain, itu
merupakan perbuatan dosa terhadap rakyat!" kata Hong-san Pangcu marah.
"Aih, Pangcu (Ketua), siapakah rakyat itu dan siapa pula aku ini? Aku rakyat. Setiap
pejuang menggunakan rakyat sebagai alasan, semua mengatar demi rakyat jelata,
akan tetapi apa kenyataannya? Selama lima abad ini, berganti-ganti ada kerajaan
baru sampai lima kali dan mereka semua ketika sedang berjuang merebut
kekuasaan mengunakan nama rakyat, demi kesejahtera rakyat, akan tetapi lihat, apa
buktinya? Yang jelas semua itu demi kesejahteraan para pimpinan pemberontak itu
sendiri. Setelah perjuangan berhasil, para pimpinan itu hidup makmur, berkuasa,
dan kaya raya sedangkan rakyat jelata tetap miskin sengsara."
"Thai Kek Siansu, engkau keterlaluan. Agaknya engkau menjadi sombong karena
merasa hebat dan sakti sendiri, tidak ada yang akan berani mengganggumu? Hendak
iihat sampai di mana kehebatan dan kesaktianmu!" kata Hong-san Pang-cu Kwee Cin
Lok garang dan dengan muka merah karena marah.
"He-he, Hong-san Pang-cu, agaknya engkau lupa bahwa tidak ada manusia yang
sakti di dunia ini. Aku tidak sakti, engkau juga tidak sakti, kalau engkau memiliki
sedikit kemampuan, hal itu adalah karena engkau diberi oleh Yang Maha Mampu.
Engkau mendapat kesaktian karena berkat Yang Maha Sakti, akan tetapi kalau kau
pergunakan dalam kesesatan, berarti engkau menjadi alat Yang Maha Sesat atau
Setan. Tenang dan buang semua api kemarahan yang membutakan mata hatimu
itu."
Mendengar teguran dari Thai Kek Siansu ini, Kwee Cin Lok ketua Hong-San-pang ini
menjadi semakin marah. "Manusia sombong, sambutlah ini kalau engkau memang
sakti!" Ketua Hong-san-Pang itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan
sinar kuning dan begitu dia melontarkan pedang itu ke atas, pedang itu seakan-akan
hidup dan terbang menuju ke arah Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila.
Pedang itu berputar-putar di sekitar atas kepala kakek itu, semakin cepat sehingga
berubah menjadi sinar kuning. Ketika Kwee Cin Lok menggerakkan tangannya ke
arah pedang terbangnya. itu, sinar kuning meluncur dan menyerang kepala Thai Kek
Siansu!
Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin dan Louw Keng Tosu hanya duduk bersila dan
menonton saja. Mereka juga ingin menyaksikan kehebatan Thai Kek Siansu yang
sudah lama mereka dengar akan kesaktiannya.
Akan tetapi Thai Kek Siansu diam saja, tidak membuat gerakan untuk melawan atau
menghindarkan diri. Dia hanya memejamkan kedua matanya mulutnya tersenyum.
Ketika sinar kuning itu meluncur turun menghujam kepalan dan tinggal beberapa
senti jaraknya tiba-tiba pedang itu terpental seolah tertolak oleh tenaga yang
lembut kuat sekali. Akan tetapi sungguh aneh, pedang itu seperti dipegang dan
digerakkan oleh tangan yang tidak tampak, menyerang lagi secara bertubi dengan
tusukan dan bacokan ke arah seluruh tubuh Thai Kek Siansu. Namun hasilnya sia-sia,
bagian tubuh manapun yang diserang tidak dapat disentuh pedang itu yang selalu
terpental.
Ilmu ini merupakan puncak tenaga Liku karena bukan tenaga yang dikerahkan oleh
Thai Kek Siansu, melainkan ada tenaga lain yang seolah melindunginya. Orang dapat
menggunakan semacam ilmu sihir untuk mendapat perlindungan seperti itu, akan
tetapi tenaga yang melindungi itu ditimbulkan oleh sihir itu hanya kuat menahan
serangan orang yang lebih rendah tingkat kepandaiannya atau dari serangan senjata
biasa yang tidak ampuh. Akan tetapi, yang menyerang Thai Kek Siansu adalah
seorang tokoh besar, ketua Hong-san-pang, yang terkenal memiliki Imu silat dan
ilmu sihir yang tinggi, juga pedangnya bukan pedang biasa, melainkan pedang
pusaka yang terbuat dari logam yang ampuh.
Akhirnya pedang kuning itu terbang kembali ke tangan Hong-san Pang karena ditarik
kembali oleh pemiliknya. Hong-san Pangcu Kwee Cin Lok atau yang berjuluk Hongsan
Siansu ini segera maklum bahwa dia berhadapan dengan orang tingkat
kepandaiannya amat tinggi mungkin lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang
gurunya sendiri. Maka dia lalu menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat.
"Thai Kek Siansu ternyata memang amat bijaksana dan sakti. Kami mengaku kalah
dan amat kagum. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dan maafkan kalau kami
mengganggu ketenteraman di sini Setelah berkata demikian, Kwee Cin Lok
membalikkan tubuh dan menuruni puncak itu. Tiga orang temannya, Ceng In
Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu juga tahu diri. Mereka tahu bahwa antara
mereka, yang paling lihai dan boleh diandalkan adalah Hong-san Pangcu. Melihat
teman yang lihai ini sama sekali tidak berdaya melawan Thai Kek Siansu, mereka
maklum bahwa mereka semua pun tidak akan ada yang mampu mengalahkan Thai
Kek Siansu, apalagi disitu masih ada tiga orang datuk lain yang juga lihai. Maka
setelah menjura sebagai permintaan maaf, mereka pun mengikuti jejak Kwee Cin
Lok meningkalkan tempat itu menuruni bukit.
Akan tetapi Kailon, tokoh Khitan itu, mengerutkan alisnya dan dia tidak ikut pergi
seperti empat orang datuk yang datang bersamanya di puncak itu. Dia masih merasa
penasaran dan menganggap empat orang tokoh kangouw itu penakut, mereka,
bersama beberapa orang pimpinan daerah yang berambisi, telah bersekutu dan
berniat menggulingkan Dinasti Chou yang dipimpin Kaisar Chou Ong yang sudah tua
dan lemah, dan mendirikan Kerajaan baru. Akan tetapi dalam usaha mereka untuk
menghubungi dan menarik para datuk dunia persilatan, baru saja mereka mulai di
puncak itu, setelah gagal dan empat orang itu bahkan m elarikan diri! Betapa
pengecutnya! Sebagai seorang yang biasa berperang, Kailon tidak akan pergi
sebelum bertempur.
"Hemmm, kalian berempat tidak mau membantu, berarti tentu kelak hanya akan
menentang kami! Yang tidak membantu berarti musuh yang harus binasakan!"
Setelah berkata demikian, memberi aba-aba kepada tiga puluh orang anak buahnya.
Mereka lalu menerjang sambil berteriak-teriak dengan garang. Kailon sendiri sudah
maju dan menyerang Thai Kek Siansu dengan goloknya yang besar dan berat.
Sedangkan tiga puluh orang anak buahnya menyerbu dan menyerang tiga orang
pendeta yang masih duduk bersila itu dengan senjata mereka.
Thong Leng Losu tertawa dan memutar tongkatnya. Tampak sinar biru menyambarnyambar
dan terdengar bunyi nyaring ketika senjata para penyerang bertemu sinar
biru dari toya yang dipegang Thong Leng Losu. Senjata mereka terpental dan
terlepas dari tangan sehingga mereka terkejut apalagi merasa betapa telapak tangan
mereka nyeri panas dan lecet-lecet. Mereka yang menyerang Tiong Gi Cinjin juga
disambut sinar hijau menyambar-nyambar dan senjata patah-patah bertemu dengan
pedang sinar hijau itu. Demikian pula mereka yang menyerang Louw Keng Tojin.
Senjata mereka bertemu kebutan dan dilibat lalu direnggut lepasl dari tangan
mereka. kemudian, tiga orang pendeta itu mendorong-dorongkan tangan mereka
dan tiga puluh orang itu terjengkang dan terguling-guling seperti daun-daun kering
disapu angin.
Sementara itu, Kailon sudah menyerangkan goloknya kearah tubuh Thai kek Siansu.
Akan tetapi seperti halnya anak-anak panah tadi, juga seperti yang terjadi pada
pedang terbang Hong-san Pag-cu, golok Kailon tidak dapat menyentuh kulit. Makin
kuat Kailon membacokkan goloknya, semakin kuat pula golok itu terpental dan
akhirnya, begitu Thai Kek Siansu menggerakkan tangan menolak, tubuh tokoh Khitan
ini terjengkang jauh ke belakang dan terbang roboh. Baru dia menyadari bahwa i
tidak akan mampu mengalahkan kakek itu dan melihat betapa semua anak buahnya
juga kehilangan senjata dan bergelimpangan, dia lalu memberi aba-aba kepada
mereka dan larilah mereka seri turun puncak bukit.
Setelah mereka semua pergi, Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin, dan Lo Keng Tojin
tertawa, sedangkan Thai Kek Siansu hanya tersenyum namun mengeleng-gelengkan
kepalanya.
"Terbuktilah bahwa segala macam perbuatan, yang disebut baik maupun buruk,
apabila keluar dari hati akal pikiran, sudah pasti menyembunyikan pamrih demi
kesenangan dan keuntungan sendiri." katanya.
Tiong Gi Cinjin memandang kepada Thai Kek Siansu dan dua orang lainnya juga
memandang. Kini bertiga mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu dari Thai Kek
Siansu sehingga mereka merasa kagum sekali.
"Siansu," kata Tiong Gi Cinjin, "mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang terputus
oleh gangguan tadi. Kita bica tentang Inti semua pelajaran Agama aku mengatakan
bahwa inti semua pelajaran itu sama, yaitu menuntun manusia untuk berbuat
kebaikan."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang. "Kalau sudah diakui bahwa semua
pelajaran Agama adalah sama, yaitu mengajarkan agar semua umatnya berbuat
kebaikan, mengapa di antara Agama masih ada saling menyalahkan dan
membenarkan pihak sendiri? Kita mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu?
apakah yang dinamakan Kebaikan itu? Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada
kesalahan. Kalau ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk sefihak,
mungkin saja jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan yang dilakukan
menurut hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi, melainkan perbuatan
yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya kesenangan
atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-macam. Pamrih itu
bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan sanjungan, atau perasaan
bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa kemuliaan dan kesenangan di akhir
kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu
dengan pamrih agar mendapat imbalan sesuatu yang menyenangkan dan
menguntung Maka, perbuatan kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka,
sama sekali bukan kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka
perbuatan baik itu pun belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik,
akan tetapi disertai janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga
perbuatan-perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya
mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi perebedaan,
yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah yang dijanjikan itu."
Tiga orang itu saling pandang. Baru sekarang mereka mendengar uraian seperti itu
dan mendengar uraian itu, diam-diam mereka terkejut dan menyadari mengapa
para umat beragama seringkali saling bermusuhan. Mereka tidak dapat membantah
apa yang dikatakan Thai Kek Siansu karena mereka merasa ditelanjangi dan melihat
kenyataan yang sebenarnya.
“Siancai! Kalau begitu kenyataannya, lalu apakah yang dinamakan kebaikan itu,
Siansu?" tanya Louw Keng Tojin dan dua orang lainnya mendengarkan dengan
penuh perhatian karena mereka pun ingin mendengar jawaban Thai Kek Siansu atas
pertanyaan yang amat penting ini.
Thai Kek Siansu berkata lembut, “Sam-wi harap menaruh perhatian yang
sungguhnya. Seperti telah kukatakan, Kalau Sam-wi hanya mendengar kemudian
menurut apa yang kukatakan, maka Sam-wi tidak akan menemukan Kebenaran
Sejati. Aku pun bukan guru yang harus diturut atau dicontoh. Mari kita bersama,
dengan pikiran kosong dan tidak menggunakan tirai dengan warna kepercayaan kita
masing-masing agar pandangan kita sama dan seperti apa adanya, tanpa praduga
dan prasangka, tanpa penilaian. Nah, seperti yang telah kita dapatkan dalam
percakapan kita tadi, perbuatan baik yang datang dari pelajaran menimbulkan
pamrih demi kesenangan, kebaikan, atau keuntungan diri sendiri. Kalau kita berbuat
sesuatu dan kita menilai sendiri sebagai kebaikan, maka kebaikan itu condong palsu
dan menyembunyikan pamrih. Akan tetapi perbuatan apa juga yang berlandaskan
Inti dari semua yang dinamakan pelajaran kebaikan, adalah perbuatan yang
berlandaskan Kasih. Kasih tidak dapat dipelajari, tidak dapat disengaja, dapat dibuatbuat!
sungguhnya, Inti dari semua Agama adalah Kasih ini, bukan cinta berahi, bukan
cinta terhadap sesuatu atau seseorang yang menyenangkan hati, karena cinta
seperti itu bukan yang dimaksudkan dengan Kasih itu! Cinta mempunyai kebalikan,
yaitu Benci. Namun Kasih cinta mempunyai kebalikan, tidak memilih tidak disengaja,
tidak dibuat! Dapatkah Sam-wi melihat ini? Dapatkah Sam-wi melihat kenyataan
tentang palsunya cinta dalam hati manusia, cinta pada umumnya disanjung dan
dipuja manusia pada dewasa ini?"
"Omitohud, pinceng dapat melihatnya dan jelas, Siansu. Cinta adalah suatu perasaan
yang ditujukan kepada benda atau orang yang dapat menyenangkan atau
menguntungkan diri kita. Biasanya, Kalau engkau menyenangkan atau
menguntungkan aku, engkau kucinta. Sebaliknya kalau engkau menyusahkan atau
merugikan aku, engkau kubenci!" kata Thong gi Losu.
"Memang pada umumnya tak dapat disangkal demikian," kata Tiong Gi Cinjin. "Akan
tetapi ada cinta yang. sejati, yang mungkin ini yang disebut Kasih oleh Thai Kek
Siansu, yaitu cinta seorang ibu kepada anaknya. Siapa dapat menyangkal
kemurniannya cinta seorang ibu kepada anaknya?" kata Tiong Gi Cinjin. "Karena,
pelajaran terpenting agama kami prialah Hauw (Bakti). Seorang anak haruslah
berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya!"
"Cinta seorang ibu memang lebih murni daripada cinta-cinta manusia yang lainnya,"
kata Thai Kek Siansu. "Akan tetapi bagaimanapun juga, walaupun tipis, teorang ibu
masih memiliki pamrih, memiliki harapan agar anaknya itu berbakti kepadanya,
menyenangkan hatinya masih terdapat kemungkinan cinta berubah menjadi benci
kalau si anak kelak menjadi jahat kepadanya. Ada Kasih yang lain lagi, yang tidak
dapat samakan dengan cinta manusia yang timbul dari hati akal pikiran, karena
sedikit banyak itu mengandung pamrih."
"Siancai!" kata Louw Keng Tojin "Pinto menjadi penasaran sekali, Thai Kek Siansu.
Mari kita selidiki bersama apa sesungguhnya Kasih yang maksudkan itu?"
Thai Kek Siansu memejamkan mata sejenak sebelum menjawab dengan halus "Mari
kita sama-sama mengamatinya. Kita lihat bunga-bunga mawar dan bunga teratai,
mereka memberi keharuman dan keindahan yang dapat dinikmati siapapun juga,
yang terpelajar tinggi maupun yang tidak, yang berkedudukan tinggi maupun yang
rendah, yang kaya maupun yang miskin, pendeta maupun penjahat, kaisar maupun
pengemis. Keharuman dan keindahan diberikan kepada siapapun juga tanpa
pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa pamrih mendapatkan imbalan! Mari me lihat
matahari yang memberi daya hidup, kehangatan, penerangan, kepada siapa saja dan
apa saja tanpa pilih bulu, juha tanpa pamrih apa pun. Kalau kita mau membuka mata
melihat di seluruh permukaan bumi dan di langit maupun di dalam tanah, akan
tampaklah semua itu, yang memberi tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih.
Bukankah itu indah sekali? itulah Kasih yang sejati. Kasih itu Penyalur berkat. Kasih
itu memberi tanpa menuntut imbalan. Kasih itu merupakan pohon yang banyak
sekali buahnya, dan buahnya inilah yang disebut kebajikan atau perbuatan baik.
Kalau ada Kasih dalam diri kita, maka perbuatan apa pun yang kita lakukan, sudah
pasti baik dan benar! Karena segala macam perbuatan baik itu merupakan buah dari
Kasih. Dapatkan orang melakukan hal yang menyengsarakan orang lain kalau ada
Kasih? Kasih itu menjauhkan segala macan dengki, iri, cemburu, marah, dendam,
angkara murka, dan Kasih itu melebur si-aku yang selalu ingin menang sendiri. Nah,
bukankah Inti atau Api yang dibutuhkan manusia pada umumnya itu Adalah Kasih
ini? Kalau ada Kasih bersemayam dalam diri, orang tidak perlu diajar untuk berbuat
baik lagi karena Kasih akan membuahkan segala perbuatan baik. Kasih tidak
merusak, melainkan membangun."
Tiga orang pendeta itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya masing-masing
dan termenung.
"Omitohud, satu di antara pelajaran dalam agama pinceng juga mengajarkan agar
ada Kasih di hati kita. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa semua perbuatan,
kalau tidak didasari Kasih adalah perbuatan yang tidak baik dan kalau pun ada yang
kelihatan baik, kebaikan itu hanya palsu belaka?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Thong Leng Losu. Mari kita lihat saja bersama. Aku
hanya melihat dengan jelas bahwa kalau ada dalam hati sanubari kita, maka
perbuatan kita itu wajar bahwa si pelaku yang sudah disemayami kasih itu tidak
akan melihat perbuatan itu sebagai suatu kebaikan, melainkan kewajaran. Siapa
yang telah memiliki jiwa yang bersatu dengan Kasih, maka kita akan memandang
semua orang dengan tidak membeda-bedakan, akan selalu merasa ikut bahagia
kalau melihat orang lain, siapa saja, berbahagia. Akan tetapi akan ikut bersedih dan
merasa kasihan kalau melihat orang lain, siapa saja, menderita sehingga rasa kasihan
dari Kasih ini akan menggerakkannya untuk menolong orang yang sedang menderita
Itu."
"Hemmm, sekarang aku dapat melihat lebih jelas, Siansu. Akan tetapi bagaimana
mungkin kita mendapatkan Kasih itu tanpa campur tangan hati dan akal pikiran?"
tanya Tiong Gi Cinjin.
"Kalau menurut Agama pinceng, degan jalan bersamadhi akan dapat mencapai
keadaan itu."kata Thong Leng Losu.
"Kalau menurut Agamaku, dengan hidup selaras dengan Tao, selaras dengan hukum
Alam, karena Kasih yang engkau maksudkan itu bukan lain adalah Tao itu sendiri,
Siansu!" kata Louw K engTojin. "Aku ingat bahwa yang dimaksudkan itu cocok
dengan pelajaran Tokau (Agama To/Tao), bahwa Kasih itu tentu dengan sendirinya
ada setelah orang mengosongkan diri dan tidak mempun kehendak pribadi.
Beginilah pelajara itu." Louw Keng Tojin lalu memejamkan mata dan menyanyikan
atau mendeklamasikan sajak pelajaran dalam Kitab Tao te-cing (To-tek-khing).
"Langit dan Bumi itu Abadi
karena mereka tidak hidup untuk
diri sendiri.
Inilah sebabnya orang bijaksana
membelakangkan dirinya karena itu dirinya tampil ke depan
Dia mengesampingkan dirinya
karena itu dirinya menjadi utuh.
Karena dia tidak mempunyai kehendak
Pribadi
maka pribadinya menjadi sempurna."
"Ah, aku jadi teringat akan ayat pertama dari Kitab Agama kami yaitu Kitab Tiongyong,"
kata Tiong Gi Cinjin tertengan wajah berseri. "Yang dimaksudkan Thai Kek
Siansu dengan Kasih itu menurut perkiraanku adalah Seng, watak aseli karunia Thian
(Tuhan) yang diberikan kepada manusia." Pendeta Khong-kauw ini lalu membacakan
ujar-ujar dalam Kitab Tiong-yong.
"Karunia Thian adalah Seng (Watak Aseli),
bertindak selaras dengan Seng itulah Tao
berbuat menurut aturan Tao ialah Agama."
Thai Kek Siansu mengangguk-angguk. "Semua pendapat itu boleh-boleh saja, yang
penting Sam-wi benar-benar mengerti dan menghayatinya, bukan hanya merupakan
teori pelajaran belaka. Tidak ada artinya sama sekali menghafal semua filsafat di
dunia ini tanpa mempraktekkannya dalam kehidupan. Jauh lebih baik membiarkan
diri dituntun dan dibimbing oleh Kasih yang pasti tidak menyimpang dari apa yang
dikehendaki Thian."
"Akan tetapi bagaimana cara mendapatkan kasih itu?" Tiga orang itu bertanya
dengan berbareng.
"Tidak ada cara untuk mendapati Kasih itu," kata Thai Kek Siansu. "Dia datang
sendiri apabila kita selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuas berserah diri
sepenuhnya, bukan hanya lahiriah berupa pengakuan belaka, melainkan dengan
seluruh jiwa. Kalau Kasih sudi bersemayam dalam jiwa kita, maka Kasih yang juga
dapat disebut Kekuasaan Thian itu akan membimbing kita. Nafsu Daya Rendah atau
Setan akan kehilangan pengaruhnya terhadap jiwa kita dan Kasih merupakan
karunia yang akan menyelamatkan jiwa kita dari kehancuran dan penyelewengan.
Dengan adanya Kasih dalam hati, maka apa pun yang kita lakukan bukan
dikemudikan oleh si-aku (ego) yang mencengkeram hati akal pikiran kita, melainkan
merupakan buah dari Kasih sehingga langkah kita dalam hidup merupakan berkat
bagi orang-orang lain.”
"Akan tetapi bagaimana kita tahu bahwa sudah ada Kasih dalam hati kita, kasih yang
sejati dan bukan dari hati akal pikiran?" tanya Tiong Gi Cinjin.
"Hanya kalau hati mudah tergetar penuh iba kepada orang lain yang menderita, hati
sudah amat peka sehingga lupa merasakan penderitaan orang lain tanpa orang itu
mengatakannya, selalu siap terdorong oleh perasaan kasihan untuk membantu dan
mengangkatnya dari penderitaan, tanpa diboncengi pamrih tertentu, tanpa ingin
diketahui orang, tidak merasa bahwa perbuatannya itu baik, dan merasa bahagia
melihat orang lain bahagia dan dapat merasakannya, maka itu merupakan satu di
antara tanda-tanda yang paling mudah diketahui bahwa Kasih mulai bersemayam
dalam jiwanya."
"Omitohud, dalam keadaan seperti itu, manusia telah mencapai tujuan terakhir."
kata Thong Leng Losu.
"Seseorang akan benar-benar menjadi seorang Kuncu (Budiman) yang bijaksana kata
Tiong Gi Cinjin.
"Kalau semua orang memiliki Kasih seperti itu, dunia akan menjadi indah tiada
kebencian, tiada permusuhan, tiada perang, semua manusia saling mengasih, Sorga
dapat dirasakan di dunia dalam kehidupan sekarang!" kata Louw Keng Tojin.
Tiba-tiba terdengar suara bercuit dari atas, hanya sayup-sayup suaranya Thai Kek
Siansu tersenyum.
"Ah, Tiauw-cu (Rajawali) agaknya datang mencari dan menjemputku." katanya.
Tiga orang pendeta itu memandang keatas dan tampak seekor burung rajawa masih
tinggi di atas, hanya tampak kecil. Akan tetapi burung itu melayang sambil
mengelilingi bukit itu, makin lama semakin rendah.
"Suhu, teecu menyusul Suhu!" terdengar suara seorang anak laki-laki. Burung itu
hinggap di dekat Thai Kek Siansu dan Si Han Lin, anak itu, la melompat turun dari
punggung rajawali yang sudah mendekam, lalu dia berlutut di depan Thai Kek
Siansu.
"Suhu, maafkan kalau teecu menyusul karena teecu melihat Tiauw-cu seperti
gelisah. Maka teecu berkata kepadanya bahwa kalau dia ingin mencari Suhu, Teecu
ingin ikut. Dia mengangguk dan mendekam, maka teecu lalu ikut dengannya mencari
Suhu."
Tiga orang pendeta itu memandang kepada Han Lin dengan penuh perhatian.
"Omitohud! Engkau telah mempunyai seorang murid, Siansu?"
"Thai Kek Siansu, mengapa engkau yang tidak mau mencampuri urusan dunia
mengambil seorang murid?" tanya Tiong Gi Cinjin menyusul pertanyaan Thong Leng
Losu tadi.
"Puluhan tahun tekun mempelajari ilmu, untuk apa kalau tidak dimanfaatkan?
Karena aku sendiri tidak mempunyai minat mencampuri urusan dunia, maka biarlah
apa yang sudah kupelajari kutinggalkan kepada seorang murid agar dia dapat
memanfaatkannya. "kata Thai Kek Siansu sambil tersenyum, menjawab pertanyaan
dua orang pendeta itu.
"Siancai........... ucapan Siansu ini menyadarkan pinto (aku)! Pinto sendiri belum
mempunyai murid, dan usia pinto! makin lama semakin tua. Apakah semua yang
pinto pelajari selama bertahun-tahun harus pinto bawa mati pula? Pinto juga ingin
mengambil murid, Siansu kata Louw Keng Tojin.
"Omitohud, dulu pinceng (aku) mencela para saudara di Siauw-lim-pai karena
mempunyai banyak murid yang dilath ilmu silat. Sekarang pinceng menyadari dan
akan mencontoh Thai Kek Siansu akan mencari seorang murid yang baik!” kata
Thong Leng Losu.
"Ah, kalau begitu mari kita bertiga melanjutkan kesalah-pahaman kita bertiga tadi
dengan perlumbaan yang lebih bermanfaat, yaitu kita turunkan apa yang kita
pernah pelajari kepada murid masing-masing dan kita lihat kelak, murid siapa yang
paling berguna bagi tanah air dan bangsa!" kata Thong Gi Cinjin.
"Bagus, ini baru perlumbaan dan persaingan yang menarik karena hasilnya pasti
akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Biarlah aku, atau kalau tidak diwakili
muridku, yang kelak menjadi saksi keberhasilan kalian bertiga." kata Thai Kek Siansu.
"Sekarang, aku pamit, harap Sam-wi maafkan karena aku harus pergi."
Setelah berkata demikian, Thal Kek Siansu mengangkat tubuh Han Lin, dibawanya
naik ke atas punggung rajawali yang masih mendekam, duduk berboncengan
dengan Han Lin di depan dan dia di belakang.
"Tiauw-cu, mari kita pulang!" kata Thai Kek Siansu.
Rajawali itu mengeluarkan bunyi nyaring, bangkit berdiri, mengembangkan
sayapnya yang lebar, lalu kedua kakinya yang kokoh kuat itu mengenjot tubuhnya,
lalu terbanglah dia ke atas dengan cepatnya.
Tiga orang pendeta itu bangkit berdiri Han memandang dengan kagum.
"Omitohud, Thai Kek Siansu dapat menjinakkan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) yang hidup
di daerah Himalaya dan kini amat langka itu! Sungguh luar biasa sekali!" Thong Leng
Losu berseru. Sebagai seorang yang puluhan tahun berkelana di daerah Tibet dan
Pegunungan Himalaya dia tahu tentang rajawali yang langka itu.
"Siancai! Pinto sendiri sudah menjinakkan seekor harimau yang dapat pula jadikan
seperti kuda tunggangan, tetapi tidak ada artinya dibanding dengan Rajawali Sakti
itu. Mengagum sekali!" kata Louw Keng Tojin.
Setelah mereka sepakat untuk mas masing mencari seorang murid, tiga orang
pendeta itu lalu meninggalkan puncak bukit itu dan saling berpisah.
oooOOooo
Terjadi peristiwa penting di istana Kerajaan Chou. Kaisar Chou Ong yang sudah
berusia tujuh puluh lima tahun dan memang sudah selama beberapa tahun tidak
bergairah mengurus pemerintahan dan hanya menyerahkan kepada para pejabat
tinggi yang membantunya, kini menyerahkan mahkota kerajaan kepada puteranya
yang masih kecil berusia tujuh tahun di bawah bimbingan Sang Permaisuri, ibu
pangeran itu. Hal ini sebetulnya amat tidak disetujui sebagian besar para pejabat
tinggi, terutama para panglima karena mereka tahu bahwa sewaktu Kaisar Chou Ong
masih menjadi kaisar pun, pemerintahan sudah dikuasai oleh Sang permaisuri dan
para pejabat tinggi yang bersaing menumpuk harta kekayaan pribadi. Apalagi
sekarang, kaisarnya masih kanak-kanak dan kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan Permaisuri dan kaki tangannya, para pejabat tinggi yang korup. Maka sudah
dapat dibayangkan betapa akan buruk akibatnya bagi rakyat. Pemerintahan lemah,
pemberontakan dan kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan para pembesarnya
hanya sibuk memperebutkan kekayaan yang tidak halal.
Pada waktu itu, ada seorang jenderal atau panglima dari Kerajaan Chou yang
terkenal gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap kerajaan. Dialah yang
terkenal memimpin pasukannya menghancurkan pemberontakan-pemberon takan.
Panglima ini bernama Chao Kuang Yin, seorang yang berusia hampir lima puluh
tahun. Dia berasal dari Chou, sebuah kota di sebelah selatan Peking, sejauh kurang
lebih empat puluh li (mil). Chao Kuang Yin ini keturanan orang-orang yang
menduduki jabatan penting pada masa Dinasti Tang dan dinasti-dinasti berikutnya
pada zaman Lima Dinasti yang kini diakhiri dengan Dinasti Chou.
Ketika Kaisar Chou Ong menyerahkan mahkotanya kepada pangeran yang masih
kecil, Chau Kuang Yin termasuk di antara para pejabat tinggi yang merasa tidak
setuju. Akan tetapi dia seorang yang setia kepada kerajaan, maka biarpun hatinya
merasa tidak setuju, tidak mau menyatakan dalam sikap atau ucapannya. Para
pimpinan baru kerajaan yang dikepalai Permaisuri tahu bahwa Chao Kuang Yin
merupakan seorang panglima yang tidak menyukai mereka dan amat berbahaya,
maka ketika terdapat gerakan dan ancaman dari bangsa Khitan, Permaisuri
memerintahkan Chau Kuang Yin untuk membawa tentaranya ke utara untuk
mengusir bangsa yang men gancam itu.
Panglima Chao Kuang Yin tentu saja menaati perintah ini. Akan tetapi para
pembantunya, para panglima dan perwira pembantunya, diam-diam merasa
penasaran. Mereka tahu betapa lemahnya kedaan pemerintahan yang dikuasai
Permaisuri dan para pejabat tinggi yang korup itu. Setelah mereka berhasil menyisir
para pengacau Khitan, para panglima dan perwira pembantu mengadakan
persekongkolan. Mereka bersepakat bulat untuk mengadakan pemberontakan dan
pengangkat panglima mereka Chao Kuang Yin sebagai kaisar baru! Akan tetapi para
perwira itu tahu benar bahwa Panglima Chao Kuang Yin yang amat setia dan pasti
tidak mau melakukan pemberontakan, maka mereka bersepakat untuk
memaksanya! Demikianlah, pada suatu malam, ketika pasukan berhenti dalam
perjalanan kembali ke kotaraja, belasan orang perwira memasuki tenda di mana
Panglima Chao Kuang Yin tidur. Panglima ini terkejut ketika dia terbangun, dia telah
dikepung belasan orang perwira pembantunya dengan pedang terhunus!
"Hei, apa yang kalian lakukan ini?” Chao Kuang Yin melompat turun dari tempat
tidurnya, sama sekali tidak takut walaupun ditodong belasan batang pedang oleh
para perwira yang mengepungnya. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
melawan belasan orang perwira itu. Biarpun dia seorang ahli perang, pandai
mengatur barisan dan menggunakan siasat perang, namun ilmu silatnya tidak selisih
banyak dengan seorang perwira pembantunya. Dikeroyok belasan orang itu, tentu
dia tidak akan mampu menang.
Seorang perwira mengeluarkan sebua jubah kuning dengan gambar naga dan
burung Hong. "Thai-ciangkun (Panglima Besar), kami hanya mohon agar ciangkun
suka mengenakan jubah yarng telah kami persiapkan ini."
"Hei, apakah kalian sudah gila?" Cha Kuang Yin memandang jubah itu dengan mata
terbelalak. "Jubah kuning dengan gambar-gambar ini hanya boleh dipakai seorang
kaisar!"
Para perwira itu lalu menceritakan apa kehendak yang telah mereka sepakati
bersama, yaitu mengangkat Chao Kuang Yin menjadi kaisar baru untuk
menggantikan kaisar kanak-kanak yang baru diangkat oleh Kaisar Chou Ong.
"Tidak, aku tidak mau memberontak! Chao Kuang Yin menolak keras.
"Maaf, Thai-ciangkun. Kalau engkau menolak, terpaksa kami akan membunuhmu
dan mengangkat calon kaisar lain karena engkau tentu akan menentang rencana
kami!"
Chao Kuang Yin tidak takut menghadapi ancaman maut. Akan tetapi di berpikir.
Kalau aku dibunuh lalu mereka mengangkat kaisar lain pasti akan terjadi
pembantaian di kota raja, seperti yang terjadi pada setiap pemberontakan dan
pergantian kekuasaan. Tidak, dia harus mencegah malapetaka yang akan
menyengsarakan rakyat itu! Dan caranya tidak mungkin dilakukan dengan kekerasan
karena dia tidak akan menang menghapi mereka yang ingin mengambil alih kuasaan
kaisar itu. Dia harus menggunakan akal yang halus dan terbaik.
Chao Kuang Yin menghela napas panjang. "Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu
syarat aku mau menerima pengangkatan kalian sebagai kaisar baru."
Para perwira itu serentak ingin mengetahui apa syarat yang diminta Panglima Besar
mereka. Chao Kuang Yin dapat menduga bahwa mereka ini mengangkatnya belum
tentu didasari rasa kagum kepadanya, melainkan lebih banyak kemungkinan karena
didorong kepentingan pribadi. Tentu mereka mengharapkan kalau pemberontakan
ini berhasil, mereka akan mendapatkan bagian pahalanya!
"Aku mau menjadi kaisar baru akan tetapi kalian harus bersumpah dulu bahwa
kalian akan menaati semua perintahku sebagai kaisar!"
Para perwira itu serentak menyatakan sumpah mereka bahwa mereka akan
mematuhi semua perintah Chao Kuang Yin sebagai kaisar mereka! Demikianlah,
dengan mengenakan pakaian sebagai seorang kaisar, Chao Kuang Yin memimpin
balatentaranya kembali ke kota raja. Dan memerintahkan agar pasukannya tidak
melakukan kekerasaan, tidak mengganggu para pembesar dan rakyat.
Sang Permaisuri yang mewakili puteranya, kaisar yang masih kecil, tidak melihat
jalan lain kecuali menyerah. Apalagi ternyata bahwa Chao Kuang Yin m enggunakan
taktik lunak, seluruh keluarga istana tidak ada yang diganggu. Mereka dibiarkan
hidup seperti biasa, hanya mendapatkan tempat tinggal di luar istana. Bahkan hanya
para pejabat yang benar-benar brengsek dan melakukan kejahatan saja yang
dihukum. Yang kesalahannya tidak amat besar diampuni dan yang kesalahannya
hanya sedikit masih diperbolehkan memegang jabatan yang dengan janji sumpah
bahwa mereka akan memperbaiki kelakuannya.
Setelah menjadi kaisar baru, Chao Kuang Yin mendirikan kerajaan baru, yaitu Dinasti
Sung dan dia memakai nama Kaisar Sung Thai Cu (960 - 976). Bukan hanya Kaisar
Sung Thai Cu mengambil alih kekuasaan, mengganti Dinasti Chou dengan Dinasti
Sung tanpa kekerasan sehingga tidak mengorbankan perang dan tidak ada yang
terbunuh, juga dia menggunakan taktik akhirnya dengan gemilang. Dia maklum
bahwa pihak yang membahayakan adalah para perwira yang dulu mengangkatnya
menjadi kaisar dengan paksa. Mereka yang memiliki ambisius besar itu mungkin saja
sewaktu-waktu mengulangi perbuatan mereka yang sama untuk memberontak dan
menjatuhkannya, menggantinya dengan seorang kaisar baru lagi! Maka dia
memanggil dua belas orang perwira itu, menjamu mereka dengan makan minum
dalam sebuah pesta diantara mereka sendiri Kemudian setelah mereka makan
minum sepuasnya, Kaisar Sung Thai Cu berkata.
"Para perwira yang berjasa! Setelah kini semua cita-cita kita terlaksana dan aku
menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung yang kita dirikan, setiap malam aku tidur
dengan gelisah kalau aku memikirkan dengan sangsi dan ragu, sampai dimanakah
kesetiaan kalian kepadaku?"
Para perwira itu terkejut dan saling pandang, lalu seorang dari mereka yang paling
tua, usianya enam puluh tahun berkata.
"Sribaginda, mengapa Paduka berkata demikian? Tentu saja hamba semua setia
kepada Paduka. Bukankah selama ini hamba semua selalu menaati semua perintah
Paduka?"
Kaisar Sung Thai Cu menghela napas sebelum menjawab. "Yang mengganjal dalam
hati kami adalah kalau kami terringat akan perbuatan kalian ketika memaksa aku
menjadi kaisar baru. Sekarang, seandainya kalian melakukan lagi hal itu pada
seseorang untuk menjadi kaisar baru menggantikan aku, apakah orang itu dapat
menolaknya?"
Kembali para perwira itu saling pandang dan perwira tua yang mewakili mereka
segera berkata, "Sribaginda Kaisar Yang Mulia, percayalah kepada hamba sekalian.
Tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi kaisar dan kalau dulu hamba sekalian
memilih Paduka, hal itu karena Padukalah satu-satunya calon yang memenuhi syarat
untuk menjad kaisar!"
"Dengarlah, para pembantuku yan baik Syak wasangka dan praduga merupakan hal
yang amat berbahaya bagi kedua pihak. Untuk mengatasi hal ini di antara kita, aku
telah mempunyai rencana yang amat baik. Kita semua sudah semakin tua dan
melihat jasa-jasa kalian, sudah sepatutnyalah kalau kalian kini hidup dalam keadaan
sejahtera dan bahagia penuh kedamaian, tidak perlu memusingkan urusan negara.
Maka, sebabaiknya, kalian mengajukan permohonan mengundurkan diri dan kalian
semua akan kami berikan tanah, tempat tinggal yang memadai dan harta benda
yang cukup. Selain itu, kita dapat memperdekat hubungan dengan ikatan-ikatan
keluarga saling menjodohkan keturunan kita sehingga kita menjadi sebuah keluarg
besar di mana tidak akan ada lagi curiga-mencurigai dan syak wasangka yang buruk.
Bagaimana pendapat kalian?"
Dua belas orang perwira itu tentu saja merasa setuju dan merasa terhormat sekali.
Mereka lalu mengajukan permohonan berhenti dari kedudukan mereka dengan
berbagai alasan. Kemudian Kaisar Sung Thai Cun memenuhi janjinya. Mereka semua
diberi tanah dan gedung tempat tinggal, diberi harta secukupnya sehingga mereka
hidup dengan tenang. Mereka bagaikan harimau-harimau yang berbahaya akan
tetapi telah diberi makan lebih dari cukup sehingga kekenyangan dan tidak ada
semangat sama sekali untuk menyerang pemelihara mereka!
Taktik Kaisar Sung Thai Cun ini mendatangkan akibat yang amat baik, dan
merupakan awal yang baik sekali bagi kebesaran Kerajaan Sung sehingga dapat
mengakhiri jaman di mana perebutan kekuasaan terjadi tiada hentinya. Mendengar
akan kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cun, yang menjadi kaisar dari Dinasti Sung yang
baru tanpa ada peperangan, tanpa pembunuhan, maka banyak daerah yang tadinya
memisahkan diri dan berdiri sendiri, menakluk kepada Kerajaan Sung. Pertama
daerah Nan Ping (Hupei) dan Shu (Secuan) yang menakluk. Mereka diterima dengan
baik oleh Kaisar Sung Thai Sun, bahkan para pemimpinnya diberi kedudukan dalam
pemerintahan Kerajaan Sung. Melihat kebijaksanaan ini banyak daerah yang
menakluk. Bahkan di daerah yang tadinya selalu memberontak yaitu Nan Han
(Katon) dan Nan Tang (daerah sepanjang Sungai Yangce) hanya mengadakan
perlawanan lemah saja sehingga mereka dapat mudah dikuasai pasukan Sung. Para
pemimpinnya juga diampuni dan diberi kedudukan yang layak.
Demikianlah, Kerajaan Sung merupakan kerajaan Pribumi Han yang mengembalikan
kebesaran kerajaan dari dinasti-dinasti terdahulu.
Nama besar Chao Kuang Yin yang menjadi pendiri Dinasti Sung dengan menjadi
kaisar pertama sebagai Kaisar Sung Thai Cui selalu dikenang dan dicatat dalam
sejarah sebagai tauladan.
ooOOoo
Akan tetapi, setiap ada penguasa baru, betapa banyak pun pendukungnya, pasti ada
saja yang menentang. Pihak pendukung biasanya disebabkan karena munculnya
penguasa baru atau dinasti baru itu menguntungkan. Sebaliknya, mereka yang
menentang juga disebabkan arena adanya penguasa baru itu merugikan dirinya.
Di antara mereka yang merasa dirugikan tentu saja adalah para pembesar yang
tadinya dengan mudah dapat menumpuk harta kekayaan pada waktu Kerajaan Chou
belum dijatuhkan. Juga para hartawan yang kini menjadi berkurang penghasilan
mereka karena kerja sama mereka dengan para pejabat tinggi terputus, mereka
tidak senang kepada pemerintah Sung yang baru. Ada pula sanak keluarga para
pejabat tinggi yang dihukum penjara karena menyalahgunakan kekuasaannya di
dalam pemerintahan yang lalu, tentu saja merasa sakit hati dan mereka mudah
dibujuk dan dibakar oleh mereka yang merencanakan pemberontakan terhadap
kerajaan yang baru.
Pemimpin golongan pemberontak itu adalah seorang pangeran Kerajaan Chou yang
telah runtuh. Dia seorang pangeran yang masih terhitung keponakan dari mendiang
Kaisar Chou Ong yang baru saja meninggal tidak lama setelah Kerajaan Chou jatuh
dan Kerajaan Sung belum diri. Dahulu dia menjadi seorang panglima yang bertugas
di Selatan. Namanya adalah Pangeran Chou Ban Heng, seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun yang tinggi besar dan gagah per kasa. Dia memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi, karena pangeran yang menjadi panglima ini adalah murid
Hong-san Sial su Kwee Cin Lok yang menjadi Hong san-pangcu (Ketua Perkumpulan
Horw san-pang). Sebetulnya, dialah yang dahulu didukung oleh Ceng In Hosiang,
Kwan Su, Im-yang Tosu, Kwee Cin Lok, dan kepala suku Khitan yang bernama Kailon
itu, yang mempunyai niat memberontak terhadap pamannya sendiri, yaitu Kaisar
Chou Ong. Pangeran Chou Ban Heng memang diam-diam mengadakan persekutu
dengan suku bangsa Khitan agar membantunya merebut kekuasaan. Akan tetapidia
belum berani bertindak karena Kerapian Chou mempunyai Panglima Chuo Kuang Yin
yang setia. Maka dia menunda-nunda niatnya dan hendak memperkuat dulu
kedudukannya dengan mencari dukungan orang-orang sakti. Untuk keperluan itulah
maka lima orang pendukungnya yang lihai itu membujuk para pendeta yang
mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil itu. Akan tetapi usaha mereka
membujuk itu gagal dan mereka bahkan meninggalkan puncak itu dan Kailon yang
mengerahkan anak buahnya bahkan terpaksa melarikan diri. Maka, ketika Panglima
Chao Kuang Yin mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Sung, tentu saja
Pangeran Chou Ban Heng menjadi marah dan penasaran sekali. Dia yang bertugas di
Selatan dengan pasukannya lalu tidak mau kembali ke kotaraja melainkan
memperkuat kedudukannya di Lembah Sungai Yang-ce di seberang Selatan.
Akan tetapi, kebijaksanaan pemerintah baru Kerajaan Sung yang dipimpin Kaisar
Sung Thai Cu sudah tersiar sampai selatan Sungai Yangce. Banyak pimpinan
pemberontak menakluk tanpa perang, dan banyak pula para bekas perwira Kerajaan
Chou yang tadinya mendukung Pangeran Chou Ban Heng, mengundurkan diri dari
persatuan pemberontak itu. Para perajuritnya juga kurang bersemangat untuk
melawan ketika pasukan Sung datang mengadakan pembersihan ke selatan. Maka
setelah terjadi pertempuran berturut-turut selama tiga bulan, pasukan yang
dipimpin Pangeran Chou Ban Heng kalah dan banyak perajuritnya melarikan diri.
Usaha pemberontakan itu gagal sama sekali.
Akan tetapi, yang pecah dan menghilang hanyalah para perajuritnya. Adapun para
pemimpinnya, Pangeran Cho Ban Heng dan sekutunya, masih ada. Mereka berhasil
lolos dan melarikan diri.
Pada suatu malam, di dalam sebuah hutan yang sunyi terpencil di lembah Sungai
Yangce, beberapa orang mengadakan pertemuan di sebuah pondok kayu yang masih
baru. Pondok yang sederhana sekali dan dibangun dengan terburu-buru. Di tengah
ruangan pondok itu terdapat sebuah meja bundar yang cukup besar dan di sekeliling
meja duduk bercakap-cakap beberapa orang dengan serius. Di atas tergantung dua
buah lampu yang besar sehingga ruangan itu cukup terang.
Yang duduk menghadap keluar adalah orang laki-laki yang berpakaian seperti
seorang bangsawan, tubuhnya tinggi besar, dengan kumis dan jenggot tebal pendek
dan rapi, wajahnya tampan gagah namun sinar matanya membayangkan kekerasan
hati. Inilah Pangeran Chou Ban Heng yang pasukannya telah dipukul cerai-berai oleh
pasukan Sung yang mengadakan pembersihan. Dia ditinggalkan para perajurit dan
perwira pengikutnya, akan tetapi para datuk persilatan masih setia dan kini duduk
dihadapannya. Mereka adalah Ceng In Hosiang, hwesio Sauw-lim-pai yang gemuk
pendek, Kang-Lam Sin-kiam Kwan In Su yang tampan, yang Tosu tokoh berasal dari
utara, dan Kwee Cin Lok yang berjuluk Hongsan Siansu atau Hongsan Pangcu (Ketua
Hongsan-pang). Hong-san Siansu ini adalah guru dari Pangeran Chou Ban Heng maka
dia paling dihormati di antara para tokoh persilatan itu.
Ketika terjadi pertempuran, empat orang datuk ini memang tidak mau terlibat
karena bagi para datuk itu, amat merendahkan diri kalau mereka ikut beramai-ramai
bertempur dalam perang. Kin Pangeran Chou Ban Heng mengundang mereka untuk
mengeluh akan kegagalannya dan minta bantuan dan nasihat mereka. Empat orang
datuk itu mendengarkan laporan Pangeran Chou yang mengakhiri semua laporannya
dengan ucapannya dengan nada sedih dan penasaran. Ucapannya dia tujukan
terutama kepada gurunya, yaitu Hongsan Siansu.
"Suhu dan Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga Orang Tua Perkasa) yang terhormat tentu
memaklumi betapa sedih dan penasaran rasa hati saya. Kita yang susah payah
menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerinta Paman Chou
Ong yang brengsek dan korup, ternyata didahului oleh Si Jahanan Chao Kuang Yin
yang sekarang menjadi kaisar dan mendirikan Kerajaan Sung yang baru. Padahal,
sayalah orangnya yang berhak duduk di singgasana sebagai eorang pangeran, bukan
dia. Dia itu hanya seorang jenderal, tidak berhak sama sekali karena dia bukan
keluarga istana! Karena itu, sekarang saya mohon Suhu dan Sam-wi Lo-cian-pwe
sudi memberi nasihat, bagaimana selanjutnya saya harus berbuat untuk dapat
merampas tahta kerajaan dari tangan Chao Kuang Yin?"
"Saya kira tidak ada jalan lain kecuali diam-diam menyusun kekuatan baru,
pangeran. Saya kira di daerah Cekiang dan Shansi masih terdapat banyak orang yang
belum takluk kepada Kerajaan Sung. Pangeran dapat menyusun kekuatan dan
bekerjasama dengan pihak mereka. Kalau sudah memiliki balatentara yang kuat,
baru kita bergerak menyerang." kata Kwan In Su.
"Siancai!" kata Im Yang Tosu. "Pinto (aku) setuju dengan usul Kanglam Sinkiam. "Dan
jangan lupa untuk menghubungi Saudara Kailon. Dia dapat mengerahkan bangsa
Khitan untuk memperkuat barisan kita."
Pangeran Chou Ban Heng tampak gembira dan mendapat harapan baru.
"Bagaimana pendapat Suhu?" tanyanya kepada suhunya, Hong-san Siansu Kw Cin
Lok.
Sejak tadi Hongsan Siansu mendengarkan dengan alis berkerut, lalu dia berkata.
"Pangeran,usul dari Kanglam Sim kiam dan Im Yang Tosu itu memang baik dan saya
setuju. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan tidak gegabah atau terburu-buru
sekali ini, agar jangan sampai gagal lagi. Sebaiknya, kita menggunak Hong-san-pang
sebagai pusat pergerakan sehingga tidak mencolok dan tidak menimbulkan
kecurigaan. Dari sana kita menyusun kekuatan. Sementara Paduka menyusun
kekuatan, kita juga secara diam-diam harus memperdalam ilmu silat, terutama
sekali putera Paduka harus diberi gemblengan yang mendalam. Dengan demikian,
seandainya usaha Paduka Pribadi menemui kegagalan, kelak putera paduka akan
dapat melanjutkan cita-cita mulia membangun kembali Kerajaan Chou ini
menjatuhkan Kerajaan Sung."
Pangeran Chou Ban Heng mengangguk-an gguk setuju. Dia memandang kepada
Ceng In Hosiang yang sejak tadi hanya diam saja, lalu bertanya.
"Lo-suhu, bagaimana pendapatmu? sejak tadi Lo-suhu belum memberi saran, harap
Lo-suhu suka memberi petunjuk."
Ceng In Hosiang yang bertubuh gendut itu tersenyum lebar akan tetapi dia
menggelengkan kepalanya yang bulat. “Omitohud, apa yang dapat pinceng (aku)
katakan? Cita-cita kita dahulu adalah untuk mengganti pimpinan kerajaan yang
kotor dan menyengsarakan rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi Paduka
didahului Chao Kuang Yin yang berhasil mengambi alih kekuasaan. Cara yang
diambilnya demikian bijaksana sehingga mengambil-alihan kekuasaan itu tidak
menimbulkan perang. Kemudian, ternyata setelah dia mendirikan Kerajaan Sung dan
menjadi Kaisar Sung Thai Cu, dia juga bijaksana dan menaklukkan banyak
pemerintah daerah tanpa perang. Dia menghukum mereka yang dahulu menjadi
pembesar korup dan menjalani pemerintahan, dengan tertib dan bersih ini berarti
bahwa cita-cita kita sud tercapai. Mengapa kita harus memusuhi dan merebut
kekuasaan dari tangan orang yang bijaksana itu? Merebut kekuasaan berarti perang
dan hal itu hanya menyengsarakan rakyat. Tidak, Pangeran pinceng tidak setuju dan
tidak mungkin dapat membantu usaha pemberontak ini. Sebaiknya sekarang juga
pinceng mohon pamit dan mengundurkan diri."
Setelah berkata demikian, Ceng in Hosiang bangkit berdiri dari kursinya dan setelah
menjura dengan hormat kepada Pangeran Chou Ban Heng, dia lalu keluar dari
pondok itu. Melihat ini, Pangeran Chou memberi isarat dengan tangannya dan
Hongsan Siansu segera bangkit dan keluar, diikuti oleh Kanglam Si kiam dan Im Yang
Tosu.
Ceng In Hosiang keluar dari pondok dan ketika dia tiba diluar, dimana terdapat
sebuah lampu gantung yang memberi penerangan remang-remang, tiba-tib
berkelebat tiga sosok bayangan dan di depannya telah berdiri tiga orang datuk yang
tadi duduk di dalam pondok, pelihat mereka yang berdiri di depannya Ceng In
Hosiang tersenyum;
"Omitohud, kalian bertiga juga mengambil keputusan seperti yang pinceng ambil?
Bagus, dengan begitu kita telah mengambil jalan benar dan mencegah terjadinya
perang dan bunuh membunuh antara bangsa sendiri." Akan tetapi Hongsan Siansu
berkata dengan suara kaku. "Ceng In Hosiang, engkau telah lari dari kerja sama kita,
berarti engkau telah menjadi pengkhianat. Kelak engkau tentu hanya akan menjadi
penghalang bagi perjuangan kami, karena itu, seorang pengkhianat seperti engkau
sudah sepatutnya dibinasakan!"
Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan lagi kepada hwesio itu untuk
menjawab, Hongsan Siansu sudah nenyerang dengan tamparan tangan kanan yang
dahsyat ke arah kepala Ceng In Hosiang yang gundul. Pukulan ini hebat bukan main.
Jangankan hanya kepala manusia, batu karang pun akan pecah berantakan terkena
Thai-lek-jiu ini. Akan tetapi Ceng In Hosiang adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai
yang lihai. Dia maklum akan hebatnya tamparan itu, maka sambil mengerahkan
tenaga sakti, dia menangkis dengan ilmu Thiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi).
"Wuuuttt........... dukkkkk!!" Dua tenaga dahsyat bertemu melalui kedua lengan itu
dan tubuh Ceng In Hosiang terdorong mundur tiga langkah. Diam-diam dia harus
mengakui bahwa tenaga sakti Hongsan Siansu amat kuat. Akan tetapi harus
waspada karena pada saat itu, angin dahsyat menyambar dari samping. Cepat dia
merendahkan tubuhnya untuk mengelak.
"Singgggg............ !" Sinar pedang seperti kilat menyambar lewat atas kepalanya.
Ternyata Kang-lam Sinkiam Kwan In yang menyerangnya dengan pedangnya yang
lihai!
Ceng In Hosiang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dia tetap waspada. Ketika ada
sinar hitam menyambar dari sebelah kanannya, dia sudah menggerakan tongkat
atau toyanya untuk menangkis.
"Tranggggg..........!" Toya itu menangkis sehelai sabuk kulit naga yang tadi digerakkan
Im Yang Tosu untuk menyerangnya.
Ceng In Hosiang maklum bahwa dirinya berada dalam ancaman bahaya maut. Dia
dikeroyok tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang tidak kalah lengan
tingkatnya. Bahkan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Hongsan Siansu lebih tinggi.
Baru tenaga sinkangnya tadi ketika dia menangkis, membuktikan bahwa Ketua
Hong-san-pai itu kuat sekali.
Kembali pedang dan sabuk kulit naga dari Kwan In Su dan Im Yang Tosu menyambar.
Ceng In Hosiang cepat memutar toyanya menangkis, akan tetapi karena dua orang
datuk itu menyerang berbareng, dia harus menghadapi dua tenaga kuat sehingga
tangkisannya itu biarpun dapat menghindarkan serangan lawan, tetap saja
membuat tubuhnya terhuyung kebelakang.
Pada saat itu, ada sinar kilat menyambar dari atas ke arah lehernya. Cepat sekali
pedang itu menyambar dari atas dan itu adalah hui-kiam (pedang terbang) dari
Hongsan Siansu yang dapat terbang digerakkan dengan kekuatan gelombang pikiran.
Ceng In Hosiang cepat mengelak namun kurang cepat sehingga bukan lehernya yang
terbabat, melainkan pundak kirinya. Dia menahan keluhannya dan cepat melompat
untuk melarikan diri karena pundaknya telah terluka dan mengeluarkan darah.
"Bukkk!" Ketika dia menangkis pedang Kang-lam Sin-kiam Kwan In Su yang
menyambar, dia terkena pukulan sabuk kulit naga dari Im Yang Tosu, tepat pada
punggungnya sehingga dia merasa seolah isi dadanya berantakan! Rasa nyeri, panas
dan pedih membuat Ceng In Hosiang terjengkang roboh. Akan tetapi tokoh
Siauwlimpai ini memiliki tubuh yang terlatih dan kuat. Dia masih dapat bertahan lalu
cepat bergulingan menjauhi lawan, dan setelah mendapat kesempatan, dia
menggunakan toyanya menekan tanah dan dia pun melompat dengan lompatan
Hui-niau-touw-lim (Burung Terbang Masuk Hutan) dan menghilang dalam kegelapan
nalam.
Tiga orang itu tidak dapat melakukan pengejaran karena malam amat gelap dan
berbahayalah mengejar seorang selihai Ceng In Hosiang dalam kegelapan itu. Besar
kemungkinan yang mengejar akan mendapat serangan mendadak dan celaka.
Karena yakin bahwa hwesio itu telah menderita luka parah dan sulit untuk dapat
hidup, mereka lalu masuk kembali ke dalam pondok dan melanjutkan perundingan
mereka.
Petunjuk Hongsan Siansu tadi disepakati. Mereka menggunakan Hong-san di mana
Hong-san-pang berada sebagai pusat pergerakan mereka. Setelah terjadi
kesepakatan ini, Pangeran Chou Ban Heng lalu menyuruh seorang anggota Hongsan-
pang yang menjadi pengawal untuk memanggil puteranya.
Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun
memasuki pondok itu. Dia adalah Chou Kian K i, putera tunggal Pangeran Chou Ban
Heng. Chou Kian Ki yang berusia lima belas tahun ini bertubuh tegap da wajahnya
tampan. Sejak kecil dia tela digembleng oleh kakek gurunya sendiri yaitu Hong-san
Sian-su sehingga dalam usia lima belas tahun dia telah memiliki tingkat ilmu silat
yang cukup lihai. Juga dia menerima pelajaran bun (sastra) dari ayahnya. Kian Ki
memang cerdas sekal Dia bukan hanya tangkas dan lihai dala ilmu silat, akan tetapi
jug menguasai kesusastraan. Gerak geriknya lembut seperti seorang sastrawan
muda sehingga orang yang tidak mengenalnya tentu tidak menyangka bahwa Chou
Kongcu Ki seorang ahli silat yang lihai.
Setelah duduk, Kian Ki menerima penjelasan ayahnya akan semua kesepakatan yang
dibicarakan di situ.
"Mulai sekarang, engkau harus mempelajar i ilmu-ilmu dari Lo-cian-pwe Kwan ln Su
dan Lo-cian-pwe Im Yang Tosu agar kelak engkau dapat melanjutkan cita-cita kami."
Pangeran Chou mengakhiri kata-katanya.
Karena dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka mendengar ini, Kian K i
segera maju dan berlutut di depan kaki kedua orang datuk itu sambil menyebut
"Suhu".
Demikianlah, mulai hari itu, di Hong-san diadakan usaha untuk membangun kembali
Kerajaan Chou untuk merampas tahta kerajaan dari tangan Kaisar Sung Thai Cu.
Semua kegiatan ini terselubung dengan adanya Hong-san-pang yang memang sudah
lama berdiri sehingga tidak ada yang menaruh curiga.
ooOOoo
Ceng In Hosiang yang terluka parah itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk
melarikan diri. Malam itu gelap sekali sehingga dia lari tersaruk-saruk, beberapa kali
terjatuh dan menubruk pohon. Akan tetapi karena maklum bahwa sekali terkejar
dan tertangkap, pasti tidak akan diampuni, dia berusaha berlari terus, terkadang
dengan merangkak. Dia dapat bertahan sampai pagi hari dan akhirnya dia roboh
terguling di sebuah dusun kecil dan pingsan!
Seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun keluar dari dusun itu menggiring
tiga ekor kerbau yang akan digembalakannya ke padang rumput tak jauh dari dusun.
Anak laki-laki yang bertubuh tinggi namun kurus itu terkejut melihat seorang kakek
gundul berjubah lebar dan tangannya memegang tongkat atau toya, menggeletak
telentang di atas tanah. Tadinya anak itu mengira bahwa Ceng In Hosiang adalah
seorang pendeta yang sedang tidur, akan tetapi ketika melihat darah melumuri
pakaiannya yang berwarna kuning, anak itu lalu menghampir i dan berjongkok. Dia
melihat betapa jubah pendeta itu robek di bagian pundak kirinya dan dari robekan
tu darah berlepotan. Biarpun dia seorang bocah dusun, namun dia pernah melihat
seorang hwesio lewat di dusunnya, maka tahulah dia bahwa kakek gemuk pendek Ini
adalah seorang pendeta hwesio.
"Losuhu, Losuhu, bangunlah..........!" anak Itu menggoyang-goyang pundak kanan
Ceng In Hosiang. Akan tetapi hwesio yang sedang pingsan itu tidak bergerak dan
tidak membuka matanya yang terpejam.
Akhirnya anak itu dapat menduga bahwa hwesio itu tentu pingsan. Tadinya dia
merasa ngeri karena mengira hwesio itu mati, akan tetapi karena dada yang bidang
itu masih bernapas, dia mengira bahwa tentu pendeta itu pingsan. Pernah dia
melihat orang pingsan di dusunnya dan dia pernah mendengar pula bahwa orang
pingsan dapat dibuat sadar dengan siraman air. Dia segera lari pergi untuk
mengambil air dengan sebuah ember yang memang selalu dia bawa untuk
memandikan kerbau-kerbaunya setelah kenyang membiarkan mereka makan di
padang rumput siang nanti. Kemudian setelah mengisi ember itu dengan air, dia
kembali ke situ dan tanpa ragu lagi dia lalu menyiramkan air pada muka dan kepala
Ceng In Hosiang.
Hwesio itu gelagapan dan membuka! matanya, menggoyang kepalanya daan bangkit
duduk, lalu mengeluh karena; merasa betapa pundaknya panas pedih dan dadanya
terasa sesak. Ingatlah dia akan segala yang terjadi, maklum bahwa dia terluka.
Kemudian dia melihat anak yang berdiri di dekatnya, seorang anak laki-laki berusia
sekitar sebelas tahun yang matanya bersinar terang akan tetapi pakaiannya butut,
kasar dan tambal-tambalan. Dia melihat pula betapa anak itu masih memegang
sebuah ember yang basah dan tahulah dia bahwa anak itu yang tadi
menyadarkannya dengan siraman air.
Ceng In Hosiang tersenyum, memandang anak itu. "Engkaukah yang menyiram muka
dan kepalaku dengan air?"
Anak itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut memberi hormat kepada hwesio itu.
"Losuhu, maafkan aku. Aku melihat Losuhu rebah telentang dan aku mendengar
bahwa orang pingsan dapat sadarkan dengan siraman air, maka aku menyiram muka
Losuhu dengan air."
Melihat anak itu agaknya ketakutan, Ceng In Hosiang tertawa.
"Ha-ha, jangan takut. Pinceng berterima kasih kepadamu, anak baik. Siapakah
namamu?"
"Namaku Liu Cin, Losuhu."
Ceng In Hosiang mengamati wajah anak itu. Wajah yang terang dan bentuknya
gagah, pikirnya. Sepasang mata yang bersinar tajam dan tampak jujur.
"Di mana tempat tinggalmu dan siapa Ayah Ibumu?"
"Orang tuaku............ mereka sudah tiada, Losuhu. Aku bekerja di rumah Kepala
Dusun sebagai pembantu dan mengurus kerbau-kerbaunya "
Hemmm, anak yatim piatu. Ceng In Hosiang menyeringai karena merasa nyeri di
dalam dadanya. Agaknya pukulan sabuk kulit naga dari Im Yang Tosu telah
mendatangkan luka dalam di dadanya.
"Kenapa, Losuhu? Apakah Losuhu sakit.......?" Anak itu mendekat dengan khawatir.
Melihat perhatian anak itu, Ceng Hosiang tersenyum. Dia lalu duduk sila dan
berkata. "Liu Cin, engkau sudah menolongku. Maukah engkau menolong lagi?"
"Apa yang dapat kulakukan untukmu, Losuhu?" tanya Liu Cin penuh kesediaan untuk
menolong.
"Aku hendak bersamadhi mengobat lukaku. Jagalah di sini dan jangan biar pun
siapapun mengganggu samadhiku. Maukah engkau melakukan hal itu?"
"Tentu saja, Losuhu. Aku akan mernjagamu dan melarang siapapun menganggumu
bersamadhi." kata Liu Cin.
Karena kalau tidak segera diobati, lukanya dalam dada dapat menjadi semakin
parah, Ceng In Hosiang lalu bersila dan memejamkan mata, lalu mengatur
pernapasan dan mempergunakan hawa murni untuk mendorong keluar hawa
beracun akibat pukulan sabuk kulit naga dan menyembuhkan luka dalam yang
dideritanya.
Liu Cin duduk tak jauh dari hwesio itu untuk menjaganya. Tidak lama kemudian
datang seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian mentereng, dikawal tiga orang lakilaki
tinggi besar yang membawa Kolok. Melihat mereka, Liu Cin membelalakkan
matanya dan ketakutan akan tetapi dia tetap tidak mau meninggalkan
penjagaannya. Laki-laki kurus itu bukan lain adalah Kepala Dusun Kui-cun di situ dan
tiga orang itu adalah para pengawal atau tukang pukulnya. Pada waktu itu, setiap
orang kepala dusun berlagak seolah-olah seorang raja kecil di desanya. Dia merasa
sebagai orang yang paling berkuasa di dusun itu, segala kehendaknya merupakan
hukum bagi para penduduk. Memang banyak kepala dusun yang bijaksana dan
menjadi pelindung bagi rakyat di dusunnya, akan tetapi tidak kurang banyaknya
kepala dusun yang berlagak sebagai raja! Kepala Dusun Kui-cun ini pun merupakan
seorang di antaranya. Dengan adanya tiga orang, pengawal yang pandai ilmu silat
dan ber tubuh kuat, maka tidak ada seorang pun di dusun itu yang berani
menentang semua kehendaknya. Ketika kedua orang tua Liu Cin tewas dalam
kekacauan ketika terjadi perang dan Liu Cin menjadi yatim piatu, Lurah Dusun Kuicun
itu berlagak baik budi dengan menampung nak itu dan diberi pekerjaan. Akan
tetapi sesungguhnya dia hanya memeras tenaga anak itu, disuruh menggemba
kerbau, mengurus semua ternaknya, membersihkan kandang dan hampir tidak
pernah menganggur. Dan semua itu hanya untuk memperoleh semangkok nasi.
Bahkan pakaian yang dipakai Liu Cin juga butut dan bertambal karena dia tidak
diberi pakaian pengganti lain.
Pada pagi hari itu, Lurah Ci yang dikawal tiga orang tukang pukulnya keluar dari
dusun untuk memeriksa tanaman sawahnya yang luas. Akan tetapi ketika tiba di luar
dusun, dia melihat tiga ekor kerbaunya yang gemuk-gemuk itu berkeliaran seorang
diri dan dia tidak melihat adanya Liu Cin yang ditugaskan menggembala kerbaukerbau
itu. Marahlah Lurah Ci dan dia lalu mencari anak itu. Ketika dilihatnya anak
itu sedang duduk di bawah pohon, di dekat seorang wesio yang duduk bersila,
kemarahannya memuncak.
"Bocah jahanam!" bentaknya sambil melangkah menghampiri, diikuti tiga orang
tukang pukulnya. "Engkau gentong nasi tak mengenal budi! .Tiap hari makan akan
tetapi disuruh menggembala kerbau malah bermain-main di sini!"
"Chung-cu (Lurah)........... Lo-ya (Tuan).......... saya tidak main-main, saya sedang
menjaga Losuhu yang sedang bersamadhi ini. Kerbau-kerbau itu sedang makan
rumput, sebentar akan kumandikan di sungai."
"Cerewet! Siapa yang memberimu makan? Aku atau Hwesio Gundul ini?" bentak
Sang Lurah dan dia lalu menggerakkan kakinya.
"Bukkk..........!" tubuh anak itu terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit dan segera
menghampiri lagi hwesio itu dan duduk di dekatnya, menahan rasa nyeri di pipinya
yang lecet karena terguling-guling tadi.
"Setan cilik!" Lurah Ci semakin marah, karena melihat Liu Cin kembali duduk dekat
hwesio itu dan terutama sekali karena kakinya terasa nyeri ketika menendang anak
itu tadi. Kebetulan yan dia tendang adalah tulang lutut Liu Cin sehingga kakinya kini
terasa berdenyut-denyut menendang tulang yang keras.
"Hwesio ini tentu telah mempengaruhi Liu Cin sehingga anak ini menjadi berani
menentangku. Hwcsio ini mungkin orang jahat yang akan mengacau dusun kita. Heh,
hwesio gendut, cepat kau pergi! menyingkir dari sini!"
Akan tetapi hwesio itu tidak mempedulikannya dan tetap saja duduk melakukan siulian
(meditasi).
"Hei, hwesio tua! Apakah engkau tuli? Pergi cepat dari sini, engkau kularang berada
di sini!" kembali Lurah Ci membentak. Dia tadi menendang Liu Cin akan tetapi
betapa marah pun, dia tidak berani menendang hwesio gendut itu.
"Lo-ya, saya mohon, biarlah Losuhu ini bersamadhi sejenak di sini karena dia sedang
berusaha mengobati luka-lukanya." kata Liu Cin.
"Apa? Engkau membela hwesio ini? Apamu sih hwesio ini? Bocah setan, cepat pergi
sana urus kerbau-kerbaunya, kalau tidak aku akan mengusir kamu!" Ketika melihat
Liu Cin tetap saja duduk, lurah itu dengan marah membentak ke-ada tiga orang
tukang pukulnya.
"Cepat kalian seret hwesio ini, usir dia agar pergi dari sini. Biar aku yang nenyeret
anak setan ini!"
Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki tinggi besar itu melangkah maju, sambil
tersenyum mengejek mereka mendekati Ceng In Hosiang. Dengan kasar dua orang
di antara mereka memegang lengan Ceng In Hosiang, seorang memegang lengan
kanan dan orang kedua memegang lengan kiri.
"Hayo pergi, hwesio jembel!" mereka menghardik dan mulai menarik sekuat tenaga.
Akan tetapi tubuh hwesio itu sama sekali tidak bergerak! Dua orang tukang pukul itu
merasa heran dan mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot dan
menarik, akan tetapi makin kuat mereka menarik, semakin kokoh tubuh hwesio itu,
seperti sebuah batu besar, sama. sekali tidak dapat digerakkan!
"Jangan! Jangan ganggu Losuhu ini........ Tiba-tiba Liu Cin lari dan memegai lengan
seorang di antara dua tukang pukul itu dan ditarik-tariknya agar melepaskan hwesio
itu.
Melihat ini, tukang pukul ketiga menjadi marah dan sekali tangannya menampar,
tubuh Liu Cin terpelanting keatas. Setelah menampar Liu Cin, tukang pukul itu yang
marah melihat dua orang rekannya belum juga mampu menarik hwesio gendut itu,
cepat menghampiri dan berkata.
"Biar kutendang dia menggelinding dari sini!" Dari belakang tubuh hwesio itu,
kakinya menendang.
"Bukkk!" Akan tetapi kakinya seperti menendang sebuah karung penuh beras Sama
sekali tubuh itu tidak bergerak sedikit pun, apalagi menggelinding seperti yang
dikatakan tukang pukul itu. Dia merasa penasaran sekali dan kembali dia
menendangi punggung hwesio itu bertubi-tubi.
"Bukkk-bukkk-bukkk..........!"
Liu Cin yang sudah bangkit, melupakan rasa nyeri di pipinya dan dia lari
menghampiri tukang pukul yang menendangi punggung hwesio itu, lalu memegang
lengannya dan menarik-nariknya.
"Jangan! Jangan tendangi Losuhu ini! Kasihan, dia sudah terluka, dia sakit.........!!"
Tukang pukul yang menendang-nendangi punggung hwesio itu menjadi semakin
marah. Dia merasa heran, penasaran dan malu sekali bahwa tendangannya yang
bertubi-tubi seolah tak dirasakan sama sekali oleh hwesio itu, sebaliknya kaki-kirinya
menjadi nyeri dan sepatunya pecah-pecah, kakinya bengkak-bengkak. Maka, melihat
anak itu menarik-nariknya, dia mengalihkan sasaran tendangannya.
"Bocah setan, kalau dia tidak boleh ditendang, engkau yang akan kutendang1" Dan
dia mengayun kakinya, dengan seayalnya menendang ke arah perut Liu Cin! Kalau
tendangan itu mengenai perut anak itu, dapat menyebabkan kematiannya.
"Wuuuttt....... krekkkkk!!" Adouuww..........!" Si penendang itu terpelanting,
mencoba bangkit, berloncat-loncatan dengan sila kaki, jatuh lagi dan menangis
mengaduh-aduh sambil memegangi kaki kanannya yang tadi menendang ke arah Lui
Cin. Kiranya sebelum kaki itu mengenai perut Liu Cin, ada toya menyambar dan
menyambut tulang kering kaki itu sehingga tulang kaki itu patah-patah!
Lurah Ci yang tidak tahu apa yang terjadi, mengira Liu Cin mengguna batu atau apa
menyerang tukang pukulnya. Dia memaki dan menangkap lengan Liu Cin.
Pada saat itu, Ceng In Hosiang telah tadi menggunakan tangan kiri yang direnggut
lepas dari tukang pukul yang memeganginya dan menggerak toya untuk memukul
kaki tukang pukul yang menendang Liu Cin, kini setelah lengan kirinya ditangkap lagi,
cepat menggerakan kedua lengannya sehingga dua orang tukang pukul yang
memegang kedua lengannya itu terbawa dan saling bertumbukan.
"Desssss.........!!" Dua orang itu berteriak lalu roboh pingsan setelah kepala mereka
saling beradu sehingga agaknya mereka berdua menderita gegar otak! Sementara
itu, ketika Lurah Ci menagkap kedua lengan Liu Cin, anak itu ronta-ronta, akan tetapi
tentu saja dia kalah kuat dan tidak mampu melepaskan keduua lengannya. Biasanya,
Liu Cin tidak berani bahkan takut sekali terhadap kepala dusun ini, karena tidak
pernah ada yang membelanya. Akan tetapi sekarang, melihat ada hwesio luar biasa
membelanya dan merobohkan tiga orang tukang pukul, rasa takutnya seketika
menghilang dan dia cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kanan
Lurah Ci yang memegangnya, menggigit sekuat tenaga.
"Waduhhhhh..........!" Lurah Ci berteriak kesakitan sehingga terpaksa dia melepaskan
pegangannya. Melihat kulit tangannya bekas tergigit dan berdarah, dia semakin
marah.
"Bocah setan...........!" Dia memaki dan menghampiri Liu Cin dengan muka beringas
dan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencekik anak itu.
Melihat ini Lui Cin lalu berlari memapaki dan menyeruduk ke arah perut Lurah Ci.
“Bukkk.............. bresss........!" Diseruduk perutnya, Lurah Ci yang sama sekali tidak
pernah mengira anak yang biasanya menurut itu berani melakukan hal itu,
terjengkang roboh! Dia memaki-maki merangkak bangkit, lalu mencabut pedang
yang selalu tergantung di pinggangnya, pedang yang biasanya dia pamerkan bagai
pedang pusaka yang keramat! lalu menghampiri Liu Cin dengan penuh kemarahan,
dengan pedang terangkat. Tentu saja anak itu merasa tidak berdaya, akan tetapi dia
tidak mau memperlihatkan rasa takut dan hanya berdiri memandang lurah itu
dengan sepasang mata bersinar.
Pada saat Lurah Ci membacokkan pedangnya, tiba-tiba ada dua benda kecil
menyambar dan tepat mengenai kedua kakinya, di bawah lutut.
"Tuk! Tuk!" Lurah Ci menjerit, pedangnya terlepas dari tangannya dan diapun roboh
terguling, mengaduh-aduh dan kedua tangannya sibuk meraba kedua kakinya.
Ternyata tulang kering di bawah betisnya patah terkena sambaran dua buah batu
yang tadi dilontarkan Ceng Hosiang!
Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya, setelah dua orang yang geger otak tadi
siuman, kini hanya mengaduh-aduh. Bahkan dua orang yang kepala diadu tadi
menangis seperti anak kecil agaknya gegar otak membuat mereka bersikap aneh.
Ceng In Hosiang masih duduk bersila dan kini dia saling pandang dengan Lui Cin.
Karena ingin mengetahui watak anak itu, Ceng In Hosiang berkata pada Liu Cin, "Lui
Cin, orang-orang ia sudah banyak menyusahkanmu, sekaran engkau boleh
melakukan apa saja sesukamu terhadap mereka. Kini engkau mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam. Lakukanlah sesukamu!"
Liu Cin memandang kepada empat orang itu satu demi satu, kemudian berkata.
"Loya, Lurah Kiu-cun dan kalian! bertiga Paman yang menjadi pengawalnya, sekali ini
kalian mendapatkan pelajaran dari Losuhu ini. Dia masih bersikap, lunak dan
mengampuni kalian berempat, akan tetapi kalau lain kali kalian masih kejam dan
sewenang-wenang terhadap penduduk dusun, pasti Losuhu ini akan datang lagi dan
menghancurkan kepala kalian, bukan hanya kaki kalian!"
Melihat anak itu hanya mengeluarkan peringatan ini dan sama sekali tidak
membalas dendam, Ceng In Hosiang merasa kagum dan juga girang sekali.
"Liu Cin, sekarang engkau bebas dari ancaman mereka. Engkau sekarang boleh pergi
sesuka hatimu." katanya.
Tiba-tiba Liu Cin berlari menghampiri hwesio itu dan menjatuhkan diri berlutut di
depannya. "Losuhu, saya sudah tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai
rumah, ke mana saya harus pergi? Lo-suhu, perkenankanlah saya untuk ikut dengan
Losuhu saja, biar saya dapat membantu dan merawat Losuhu yang sedang sakit."
"Omitohud!" Ceng In Hosiang berseru akan tetapi di dalam hatinya dia merasa
senang sekali. Dia telah berhasil mengobati luka dalam tubuhnya dan dia memang
ingin sekali mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Selama ini dia belum pernah
mempunyai murid dan begitu bertemu dengan anak itu, timbul keinginannya untuk
mengambilnya sebagai murid, apalagi melihat sifat-sifat yang baik dipunyai Liu Cin.
Juga anak yatim piatu dan sekarang malah sudah mohon sendiri untuk menjadi
muridnya.
"Anak baik, tahukah engkau bahwa menjadi muridku bukan merupakan kehidupan
yang enak bagimu? Selain pinceng miskin tidak memiliki apa-apa, juga engkau akan
melakukan perjalanan jauh yang amat sukar dan berat, selain itu engkau harus pula
tekun berlatih dan hal ini pun amat berat dan tidak menyenangkan."
"Losuhu, betapa berat pun, saya akan melaksanakan dengan senang hati. Saya tidak
mungkin dapat hidup seperti yang sudah-sudah menjadi sapi perahan di rumah
kepala dusun dan menerima penghinaan setiap hari dari semua orang. Kalau Losuhu
tidak sudi menerima saya sebagai murid atau pelayan, saya akan pergi ke mana
saya, asalkan tidak harus hidup di dusun ini."
Ceng In Hosiang masih ingin menguji watak anak itu. "Omitohud, agaknya lebih baik
kalau engkau pergi ke mana pun engkau kehendaki, Liu Cin. Pinceng helum dapat
menerimamu sebagai murid."
Mendengar ini, wajah Liu Cin berubah pucat dan dia lalu bangkit berdiri dan lari
sambil menahan isak tangis karena kekecewaannya. Ceng In Hosiang mengikutinya
dengan pandang mata, kemudian menghela napas panjang dan dia pun bangkit
berdiri. Dia memandang kepada lurah Ci yang masih merintih-rintih tidak mampu
bangkit berdiri, lalu mengambil sebungkus obat dari saku jubahnya.
"Kalian ini orang-orang berhati kejamdan jahat. Ancaman Liu Cin tadi bukan gertak
kosong belaka. Kalau engkau sebagai lurah dan tiga orang kaki tanganmu ini tidak
mengubah watak kalian dan masih bersikap kejam dan sewenang-wenang terhadap
rakyat dusun, pinceng pasti akan datang memberi hukuman seperti yang dikatakan
anak tadi. Pakai obat luar ini dan kembalilah ke jalan benar!" Dia melemparkan
bungkusan obat itu kepada Lurah Ci, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya lenyap
dari situ. Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya terkejut dan maklum bahwa
mereka tadi berhadapan dengan seorang hwesio yan amat sakti. Mereka menjadi
ketakutan dan sejak hari itu, mereka benar-benar bertobat dan mulai mengubah
sikap dan watak mereka.
Liu Cin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus sampai
napasnya terengah-engah dan akhirnya saking lelah dan kehabisan napas, tubuhnya
tidak kuat lagi bertahan dan di terguling roboh. Dia menelungkup di atas tanah
berumput. Tubuhnya berdenyut-denyut, lelah bercampur lapar dan haus ditambah
rasa nyeri bekas tendanga Lurah Ci dan tamparan tukang pukul tadi. Akan tetapi
perasaan campur aduk itu kini terasa nyaman setelah dia menelungkup di atas
tanah. Tubuhnya terasa sejuk terkena rumput-rumput yang gemuk dan basah bekas
embun, dan alangkah harumnya bau tanah dan rumput. Ah, dia tak ingin bangun
lagi, biarlah dialah dia rebah begini selamanya! Liu Cin memejamkan matanya, akan
tetapi dia kini membayangkan wajah hwesio tua yang telah menolongnya,
membayangkan penolakan hwesio itu kepalanya. Tak terasa lagi kedua matanya
mencucurkan air mata karena kecewa dan kesal. Apa yang dapat dia lakukan? Ke
mana dia akan pergi? Apa yang akan dimakannya untuk menghentikan rontaan
dalam perutnya yang lapar? Apakah tidak lebih baik kalau dia mati saja menyusul
ayah ibunya? Tiba-tiba dia teringat beberapa tahun yang lalu ketika seorang
tetangga mati menggantung diri karena putus asa telah bertahun-tahun menderita
sakit berat. Ayahnya dahulu berkata bahwa bunuh diri merupakan perbuatan
seorang pengecut yang berdosa besar! Selagi hidup tidak boleh putus asa, harus
berdaya upaya, berikhtiar untuk mengatasi semua kesulitan dalam kehidupan!
Teringat akan ini, Liu Cin bangkit duduk, memaki diri sendiri yang tadi putus asa dan
ingin mati saja. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat tumbuh-tumbuhan sayur
yang dapat dimakan. walaupun biasanya sayur itu dimasak dan diberi bumbu lebih
dulu. Dia bangkit dan memetik daun yang muda lalu memakannya. Tidak selezat
kalau dimasak dan dibumbui, akan tetapi setidaknya dapat dimakan dan mengurangi
rasa perih lambungnya.
Dia berjalan lagi, tak pernah berhenti dan pada sore hari itu dia tiba di tepi sungai
yang amat lebar. Sungai Ya ce! Dia pernah mendengar cerita ayah tentang sungai
yang amat luas ini sekarang baru dia berhadapan dengan sungai itu. Akan tetapi dia
menjadi bingung. Perjalanannya terhalang sungai yang demikian lebarnya. Akan
tetapi, dia berkata kepada dirinya sendiri, andaika ada perahu penyeberangan, dia
pun tidak mampu membayar biaya penyeberangan. Lagi pula, menyeberang pun dia
hendak pergi ke manakah?
Berpikir demikian, Liu Cin lalu menyusuri pantai sungai itu menuju ke kiri, ke arah
Barat. Akan tetapi baru beberapa li (mil) dia berjalan, kakinya sudah tidak kuat
melangkah lagi dan dia pun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon,
merebahkan badan di atas rumput tebal tian tertidur saking lelahnya.
Liu Cin tertidur setengah pingsan sampai lama dan ketika akhirnya dia terbangun,
dia melihat kegelapan menyelimutinya sehingga sejenak dia menjadi panik. Digosokgosoknya
kedua matanya yang tidak dapat melihat apa-apa, dengan hati takut dia
mengira bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Akan tetapi ketika dia
mengarahkan pandang matanya ke atas, dia melihat bintang-bintang bertaburan di
langit, maka tahulah dia bahwa hari telah menjadi malam. Hatinya merasa lega. Dia
tidak buta, dan ternyata dia telah tertidur sampai malam.
Kesunyian malam yang diisi musik lembut dari bunyi jengkerik dan belalang,
membuat suasana menjadi seram. Dia teringat akan dongeng tentang setan dan
hantu, maka Lui Cin mulai menggigil. Kemudian dia menyadari bahwa dia menggigil
bukan hanya karena rasa takut melainkan karena hawa malam yang amat dingin. Dia
pun teringat akan binatang binatang malam yang buas. Siapa tahu di tempat sunyi
ini terdapat binatang buas. Teringat akan ini, Liu Cin lalu memanjat pohon besar itu
dan duduk di atas cabang, tinggi diatas pohon. Dia tidak boleh tidur, dia akan
bergadang semalam suntuk karena kalau dia tertidur, ada bahayanya dia akan
terjatuh. Dia duduk di antara ranting dan cabang, daun-daun pohon itu dan semakin
larut malam hawanya semakin dingin. Rasa takut semakin mencengkeram hati Liu
Cin sehingga dia menggigil dan merangkul batang yang menjulang di depannya
seolah mencari perlindungan.
Teringat akan semua cerita yang pernah didengarnya tentang hantu-hantu
mendatangkan perasaan ngeri dan takut dan orang yang ketakutan selalu
membayangkan hal-hal menyeramkan yang belum terjadi. Pendengaran yang
terpengaruh rasa takut membuat apa pun yang didengarnya menjadi seram
bunyinya. Bunyi binatang malam yang tadinya terdengar merdu dan lembut, kini
berubah Menjadi seperti suara iblis menjerit-jerit. suara gemersik air terdengar
seperti para setan dan hantu sedang bercakap-cakap dan berbisik-bisik,
membicarakan dirinya! Juga pandang mata terpengaruh, bayangan-bayangan kini
membentuk gambaran-gambaran mengerikan, seperti gambaran, hantu-hantu,
apalagi karena bayangan itu bergerak-gerak oleh angin, bahaya yang datang dari
binatang-binatang hanya remang-remang sehingga segala sesuatu tampak
menakutkan, Bahkan erasaan badan juga terpengaruh rasa takut. Ketika ada
beberapa ekor semut merayap ke kakinya, Liu Cin hampir menjerit dan menepuknepuk
kaki itu, sama sekali tidak ingat akan semut karena dia membayangkan bahwa
itu adalah jari-jari hantu yang menggerayangi kakinya.
"Losuhu........!" Dia mengeluh. Dahulu, kalau dia merasa sedih dan bingung, hati dan
mulutnya selalu mengeluh dan menyebut nama ayah ibunya yang sudah tiada. Akan
tetapi sekarang tiba-tiba di teringat akan hwesio yang pernah menolongnya itu dan
otomatis mulutny menyebut hwesio itu.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berdesir kuat dan matanya melihat bayangan
putih-putih melayang dari pohon di depan ke arah pohon di mana di berada!
Bayangan putih itu kemudian hinggap di atas ujung cabang, hanya sekitar dua
tombak jauhnya. Cabang itu bergoyang-goyang sehingga tubuhnya pun ikut
bergoyang. Liu Cin ketakutan setengah mati dan dia merangkul kuat kuat cabang di
depannya agar jangan jatuh karena pingsan. Kemudian terdengar suara dari arah
bayangan putih itu.
"Liu Cin...........!" Suara itu memanggil dan suaranya terdengar demikian
menyeramkan, bukan seperti suara manusiai demikian parau, dalam, dan
mendatangkan hawa dingin.
"Liu Cin, jadilah muridku dan engkau akan menjadi Hantu yang sakti, tidak adalagi
yang mengganggumu, bahkan engkau boleh mencuri apa saja yang kau sukai, boleh
membunuh dan menyiksa siapa saja yang kau benci. Engkau akan hidup senang!
Hayo, katakan bahwa engkau mau menjadi muridku, ha-ha-ha !"
Setan, dia setan, pikir Liu Cin yang hampir pingsan saking takutnya. Dia Raja setan!
Akan tetapi dia tidak mau mencuri, apalagi membunuh. Dia tidak mau menjadi
hantu yang menakutkan orang. dia tidak berani menjawab, hanya mengelengkan
kepalanya kuat-kuat!
Dengan mata terbelalak Liu Cin melihat betapa tiba-tiba bayangan putih itu
melayang dan terdengar suara tawanya yang menyeramkan. Bayangkan itu hinggap
di puncak pohon dan terdengar lagi uaranya
.
"Liu Cin, besok pagi engkau turunlah dari sini, berlututlah di depan pohon ini sebagai
muridku! Engkau akan kuberi banyak emas dan juga kesaktian. Kalau engkau tidak
mau melakukannya, kau akan kubunuh!" Kemudian terdengar lagi suara tawa dan
bayangan itu berkelebat lenyap.
Liu Cin semakin ketakutan. Apalagi mengingat bahwa kalau besok dia tidak mau
berlutut pada pohon ini mengaku murid, dia akan dibunuh! Berlutut pada pohon ini?
Kalau begitu, yang muncul tadi tentulah Hantu Pohon ini! Ingin sekali dia turun dari
pohon dan melarikan diri, akan tetapi saking takutnya kedua kakinya terasa lumpuh
dan tak dapat digerakkan.
"Losuhu............. Losuhu, tolonglah saya. ......... Liu Cin merintih perlahan. Setelah dia
beberapa kali menyebut hwesio penolongnya itu, degup jantungnya agak tenang
dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dengan hati-hati dan perlan-lahan
seolah-olah takut kalau kalau Hantu Pohon terbangun dan melihat niatnya
melarikan diri, dia mulai menuruni pohon itu. Akhirnya dia dapat turun dan berdiri di
atas tanah. Lalu, tanpa menoleh lagi dia segera lari sekuatnya.
Akan tetapi baru beberapa langkai dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangar putih yang
menghadang di depannya dan suara yang menyeramkan itu memanggil. "Liu
Cin........!"
Saking kaget dan takutnya karena dia yakin bahwa itu tentulah Setan Penjaga Pohon
yang menghadangnya, Liu Cin jatuh terjerembab di atas tanah, menelungkup,
menyembunyikan mukanya di antara rumput-rumput dan tubuhnya menggigil,
mulutnya tanpa disadarinya berseru, "Losuhu, tolooonggggg......!" Dan dia pun
pingsan!
Ceng In Hosiang yang gemuk pendek itu tertawa senang. Dia menghampiri,
membungkuk lalu mengangkat tubuh Liu Cin yang pingsan, memanggulnya dan dia
lari dengan cepatnya.
"Ha-ha-ha, anak baik! Muridku yang baik............!"
Sejak saat itu, Liu Cin menjadi murid Ceng In Hosiang yang semalam sengaja menguji
anak itu. Ternyata Liu Cin tidak terpikat oleh harta dan kesaktian dari iblis yang
harus dia gunakan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, anak itu memiliki
bakat dan watak yang baik.
ooOOoo
Lima tahun cepat sekali lewat sejak Si Han Lin menjadi murid Thai Kek Siansu di
Puncak Cemara, sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin-ling san. Waktu
memang akan melesat bagaikan tatit kalau tidak diperhatikan. Juga Sang Waktu
amat perkasa, segala sesu dilahapnya .sehingga akhirnya semua a' tunduk dan
menyerah kalah.
Selama lima tahun, Si Han Lin y dulu berusia sepuluh tahun ketika diba Thai Kek
Siansu, telah menerima pendidikan yang dipelajari dan dilatih! dengan tekun. Anak
ini memang cerdas dan tahu diri, rajin sekali sehingga gurunya merasa senang. Dia
mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat. Juga Thai Siansu mengajarkan ilmu sastra
sehingga Han Lin bukan saja pandai membaca menulis, bahkan dia dapat membaca
kitab-kitab kuno, filsafat-filsafat para arif bijaksana di jaman dahulu, bahkan pandai
pula menuliskan huruf indah dan merangkai kata-kata menjadi sajak.
Setelah kini hidup terbebas dari tekanan-tekanan, muncullah watak aseli Han Lin,
yaitu watak yang gembira dan suka humor, lincah jenaka. Hal ini tidak dilarang oleh
Thai Kek Siansu karena kakek itu selalu mengingatkan muridnya bahwa hidup ini
merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Anugerah itu haruslah dinikmati
dan disyukuri, bukan hanya di mulut dan dalam pikiran, namun kalau orang merasa
bersyukur dan bahagia, sudah tentu hal itu mendatangkan kegembiraan dan gairah
hidup. Kegembiraan dan gairah hidup inilah yang membuat seseorang, terutama
yang masih muda, menjadi lincah jenaka dan suka bercanda. Segala sesuatu atau
segala
peristiwa diterima dengan hati yang selalu bersyukur dan memuji keagungan dan
kemurahan Tuhan, dipandang dari sudut yang selalu cerah.
Setelah kini berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu bicara tentang
kehidupan, membuka mata batin muridnya agar melihat kenyataan-kenyataan
dalam hidup. Han Lin juga mulai mengajukan banyak pertanyaan akan hal-hal yang
terjadi dalam kehidupan kepada gurunya. Karena dia sering turun gunung untuk
menjual hasil tanaman rempah-rempah bahan obat yang mereka tanam di puncak,
kemudian pendapatan penjualan itu dibelikan segala kebutuhan hiduf mereka,
bahan makanan dan pakaian maka Han Lin mendapat banyak kesempatan untuk
melihat kehidupan manusia di dusun-dusun yang terdapat di kaki Pegunungan Cinling-
san.
Pada suatu pagi, Han Lin berlatil silat tangan kosong di dalam taman di belakang
pondok. Setelah dia berada di puncak sebagai murid Thai Kek Siansu anak ini
membantu gurunya menanan sayur mayur dan rempah-rempah bahan obat, juga
dia membuat sebuah taman bunga. Dengan gerakan yang lembut dari indah Han Lin
berlatih silat. Dia hanys mengenakan celana tanpa baju. Tubuhnya yang tegap
walaupun kurus tampak berkilau oleh keringat karena dia telah berlatih silat sejak
fajar menyingsing tadi.
Setiap kali berlatih silat, Han Lin selalu ingat akan ucapan gurunya tentang Ilmu silat.
"Ilmu silat adalah perpaduan antara keindahan dan kesehatan. Keindahan seni tari,
keindahan gerak seni bela diri, kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Tanpa
adanya empat unsur itu, Ilmu silat akan menjadi buruk, kasar dan condong
mengarah perbuatan jahat dan sesat."
Han Lin selalu teringat akan ucapan mi, maka kalau dia berlatih ilmu silat, ke empat
unsur itu seolah menyatu dalam dirinya. Dia selalu bergerak dengan lembut dan
indah namun di balik keindahan itu terdapat pertahanan atau perlindungan diri yang
kuat. Tubuhnya terasa segar dan sehat, dan jiwanya tenang tenteram penuh damai
karena pikiran atau lengkapnya, hati akal pikirannya bagaikan air telaga yang dalam,
diam tidak terdapat banyak keriput yang dapat menimbulkan gelombang.
Tiba-tiba terdengar bunyi pekik burung rajawali. Han Lin menghentikan latihannya
dan sambil menengadah memandang burung raksasa itu melayang turun, dia
berseru.
"Tiauw-ko (Kakak Rajawali)! Turunlah, mari kita berlatih sebentar!"
Burung rajawali itu menukik tu dan hinggap di depan Han Lin. Han Lin telah menjadi
seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun yang bertubuh tegap dan
berwajah tampan dan manis. Kulitnya agak gelap karena dia banyak bekerja di
ladang dan tempat terbuka setiap hari mandi cahaya matahari.
Burung rajawali itu adalah seekor burung yang langka, amat besar dan memiliki
kekuatan yang hebat. Seekor harimau pun tidak berdaya melawannya. Kedua
kakinya memiliki cakar yang tajam melengkung runcing seperti baja, juga paruhnya
amat kuat, mampu beradu dengan senjata terbuat dari baja yang ampuh tanpa
menjadi rusak. Kedua macam senjata ini masih ditambah denga kibasan kedua
sayapnya yang amat kuat dan mampu meremukkan batu gunung. Selain itu,
gerakannya juga amat cepat apalagi karena dia memiliki sayap yang kuat sehingga
dia mampu berkelebat seperti seekor burung kecil yang gesit.
Mendengar ajakan Han Lin, rajawali itu lalu mengembangkan sepasang sayapnya,
menegakkan kepalanya seolah-olah dia sudah siap memasang kuda-kuda untuk
melayani Han Lin berlatih dan bertanding!
Han Lin tertawa. "Ha-ha, Tiauw-ko, engkau sekarang menjadi sombong, ya? Aku
memang selalu kalah kalau latihan bertanding denganmu dan agaknya engkau mulai
sombong dan memandang ringan padaku! Akan tetapi hati-hati kau sekali ni, Tiauwko.
Aku mungkin dapat mengalahkanmu!"
Rajawali itu menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya dan dia mengeluarkan
suara lirih yang nadanya seperti mentertawakan Han Lin. Memang sejak kecil Han
Lin selalu bermain-main dengan rajawali itu, setelah dia mulai kuat, dia pun berlatih
silat melawannya. Akan tetapi dia selalu kalah. Rajawali itu amat sayang kepadanya,
maka belum pernah melukainya dan kalau mengalahkannya, hanya membuat Han
Lin jatuh bangun!
Melihat sikap burung itu, kembali Han Lin tertawa. Dia sudah mulai dapat
mempelajari dan mengenal cara buru itu menyerang dan menjatuhkannya. Dan
mencatat semua itu dan makin lama-makin dapat memperpanjang waktu
pertandingan sebelum akhirnya dia dikalakan.
"Nah, awas sambut seranganku ini!” katanya dan dia mulai menyerang dengan
pukulan tangan kiri ke arah pangkal leher rajawali, disusul dorongan tangan kanan
ke arah dada. Rajawali itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan ke arah lehernya
luput dan sayap kirinya menangkis dorongan tangan kanan Han Lin.
"Bukkk!" Han Lin terpental akan tetapi dengan memutar tubuh dia mematahkan
tenaga dorongan tangkisan sayap yang kuat itu dan tiba-tiba kakinya menendang,
susul menyusul dengan kedua kakinya. Kini rajawali itu menangkis dan mengelak
sambil mundur karena serangan Han Lin datang bertubi-tubi. Burung itu mencoba
untuk balas menyerang dengan totokan paruhnya dan kibasan kedua sayapnya.
Akan tetapi dengan amat gesit Han Lin melangkah berputar-putar dengan gerakan
langkah Jiauw-pouw-poai sin sehingga dia selalu dapat mengelelak dan membalas
dengan serangan gencar!
Pertandingan berlangsung dengan hebatnya. Makin lama, gerakan mereka semakin
cepat dan kini hawa pukul atau serangan mereka mendatangkan angin yang
membuat pohon-pohon dekat situ seperti dilanda angin ribut.
“Ha-ha, Tiauw-ko, sekali ini engkau kalah!" Han Lin mendesak terus. Akan tetapi
tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara lalu tubuhnya melayang ke atas dan dari
atas dia mulai menyerang Han Lin!
Han Lin melawan sekuat kemampuannya. Akan tetapi sekarang keadaannya
berbalik. Han Lin mulai terdesak karena kalau dia hanya menggunakan empat
senjata, yaitu sepasang tangan dan sepasang kakinya, rajawali itu menggunakan lima
senjata, yaitu, sepasang cakar, sepasang sayap, dan sebuah paruhnya! Repotlah Han
Lin harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari atas itu dan lebih payah lagi, kini
dia sama sekali tidak dapat memanfaatkan kedua kakinya untuk menyerang karena
rajawali itu berada di atasnya. Terpaksa dia hanya mengelak dan menangkis saja dan
akhirnya, sebuah kebutan sayap mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting
dan ter guling-guling!
"Ark! Ark! Rajawali itu bersuara di turun hinggap di dekat Han Lin, mengunakan
kepalanya untuk membantu pemuda itu bangkit berdiri. Han Lin bermandikan
keringatnya, akan tetapi dtt tersenyum dan merangkul leher rajawali itu.
"Baiklah, aku mengaku kalah, Tiauw-ko, akan tetapi lain kali engkau berhati-hatilah
terhadapku!"
Tiba-tiba rajawali itu mendekam dan mengangguk-anggukkan kepala ke suatu arah.
Maklumlah Han Lin bahwa itu pertanda bahwa gurunya sudah muncul. Memang
rajawali memiliki penglihatan dan pendengaran yang amat peka sehingg dapat
mengetahui lebih dulu akan kedatangan Thai Kek Siansu.
Han Lin membalikkan tubuhnya lalu memberi hormat dengan berlutut. "Suhu.........."
"Bangkitlah.dan mari duduk di bangku itu, Han Lin." kata Thai Kek Siansu. Han lin
bangkit, lalu mengenakan bajunya dan mendahului suhunya menghampiri bangku
dan dibersihkannya bangku itu dengan sapu tangannya sebelum gurunya duduk.
Setelah mereka duduk di sebuah bangku panjang, Thai Kek Siansu mengamati
muridnya dan dia berkata lembut.
"Han Lin, apakah yang ingin kau tanyakan pagi ini?"
"Banyak, Suhu. Akan tetapi teecu (murid) mohon Suhu suka menjelaskan, mengapa
sejak kecil teecu dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan kepada Suhu setiap
seminggu sekali?"
"Karena orang mempelajari kehidupan hanya dengan bertanya, Han Lin. Kita harus
selalu waspada dan peka akan lingkungan kita, dan kita harus selalu
mempertanyakan dan menyelidiki segala hal yang belum kita mengerti benar. Hanya
dengan kewaspadaan dan pertanyaan, penyelidikan, kita akan menjadi mengerti
akan makna kehidupan ini. Siapa suka bertanya, dia akan bertambah pengertian.
Yang tidak mau bertanya hanya orang yang sombong dan merasa pintar sendiri yang
begitu sudah pasti tidak akan mendapatkan kemajuan dalam kewaspadaa nya. Nah,
sekarang, apa yang ingin kau tanyakan? Engkau sekarang sudah mulai dewasa, tentu
pertanyaanmu juga lebih dewasa lagi."
"Suhu, ketika teecu memperhatikan kehidupan orang-orang di dusun dan kota teecu
melihat betapa banyaknya orang yang menderita kesengsaraan. Banyak wajah yang
tampak keruh, di mana-mana orang mengeluh tentang hidupnya yang tidak bahagia.
Kebanyakan orang diliputi perasaan hidupnya dan juga khawatir, bahkan ada yang
takut menghadapi kehidupan. Mengapa demikian, Suhu? Teecu sudah terbiasa
selalu merasa bahagia gembira seperti yang Suhu maksudkan bahwa hidup
merupakan anugerah Tuhan yang patut dinikmati dan disyukuri. Maka, melihat
keadaan para penduduk dusun, terutama yang di kota teecu merasa heran dan juga
kasihan."
"Han Lin, segala macam perasaan itu sesungguhnya muncul dari pikiran manusia
sendiri. Hati akal pikiran mencintakan aku yang sesungguhnya hanya mengaku-aku
dan permainan pikiran yang dikuasai nafsu, sehingga segala sesuatu berputar di
sekitar si-aku itu. Kalau pikiran mengenang apa yang telah terjadi, yang merugikan
aku, muncullah luka karena merasa iba diri, merasa betapa aku yang paling
sengsara. Kalau hati akal pikiran membayangkan masa depan, membayangkan
sesuatu yang belum terjadi, sesuatu yang tidak enak yang mungkin akan
menimpaku, maka muncullah perasaan khawatir dan takut. Takut kalau-kalau aku
terganggu, dirugikan atau disakiti. Kalau orang dapat menerima apa pun yang terjadi
seperti apa adanya, tanpa ada penilaian dari si-aku yang selalu menilai apakah hal
itu menguntungkan atau merugikan diri sendiri, maka tidak akan ada perasaan yang
dipengaruhi kepentingan si-aku yang selalu ingin benar sendiri, menang sendiri,
enak sendiri."
"Lalu, bagaimana sebaiknya, Suhu?" "
“Hidup adalah saat ini, saat demi saat, yang lalu tidak perlu diingat ingat sehingga
mengganggu perasaan, yang belum terjadi juga tidak ada gunanya dibayangkan.
Saat inilah hidup kita, yang penting saat ini harus benar, kalau sasuai demi saat kita
tidak menyimpang dan kebenaran, maka akhirnya pun pasti benar. Seperti pernah
kubicarakan denganmu, Han Lin, kebenaran sejati hanya datang dengan sendirinya
sebagai buah Kasih yang telah menyelimuti diri. Memikiran hal lalu dan masa
mendatangi hanya memperkuat si-aku dan nafsu yang mengaku-aku itu akan
merupakan lawan yang dapat menutupi Sinar Kasih."
"Kalau kita hanya menerima apa adanya, hanya pasrah kepada Tuhan, berarti kita
malas dan tidak melakukan apa-apa, Suhu?"
"Tentu saja kalau ada yang berpendapat demikian, itu merupakan suatu kebodohan.
Kemalasan merupakan dosa! Tuhan telah memberi semua perlengkapan, kaki
tangan akal budi dan semua sarana untuk hidup, tentu saja harus dikerjakan semua
itu! Tuhan telah megaruniakan tanah, air, hawa, sinar matahari, bibit padi, semua itu
tidak dapat dibuat manusia dan sudah disediakan begitu saja, akan tetapi semua itu
tidak akan menghasilkan makanan kalau tidak dipadukan dengan usaha kita untuk
mengerjakannya. Usaha atau ikhtiar itu merupakan kewajiban kita, untuk
menggunakan semua perlengkapan itu guna memenuhi kebutuhan hidup. Akan
tetapi ikhtiar tidak menjamin keberhasilan. Kita harus berikhtiar sekuat kemampuan
kita, itu kewajiban hidup, namun harus pula dilandasi kepasrahan kepada Tuhan
karena hanya Kekuasaan Tuhan yang menentukan dan mengatur segala sesuatu di
alam maya pada ini."
Demikianlah, setelah menjadi seorang pemuda remaja, Han Lin yang oleh Thai Kek
Siansu setiap minggu diharuskan mengajukan pertanyaann tentang hidup dan isi
kehidupan, kini mulai mengajukan pertanyaan yang lebih berat dan berisi. Ketika
masih kanak-kanak dulu, pertanyaannya pun sudah menuju kearah hal hal yang
dilihatnya di dunia ini dan yang tidak dimengertinya. Misalnya tentang segala
tumbuh-tumbuhan dan binatang dari mana datangnya dan siapa pembuatnya.
Tentang angin, tentang awan, siapa yang mengatur semua itu. Hal-hal seperti ini
dulu sebelum dia bertemu dengan Thai Kek Siansu, tidak pernah dia pikirkan, apalagi
dia bicarakan dengan orang lain. Sejak kecil itu, mulailah dia dituntun oleh Thai Kek
Siansu untuk menyadari akan keagungan dan kebesaran Tuhan, akan kekuasaan-Nya
yang tidak terbatas. Juga akan kemampuan manusia yang amat terbatas, bahwa
tanpa anugerah Tuhan, manusia sesungguhnya tidak dapat melakukan apa pun.
Tiba-tiba rajawali yang masih mendekam tak jauh dari situ sejak tadi, seolah-olah
mengerti apa yang sedang dibicarakan, bangkit berdiri dan mengeluarka suara
seperti berkokok. Agaknya kepekacapannya yang luar biasa membuat dia dapat
merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar. Banyak binatang yang tidak mampu
mempergunakan hati akal pikiran memiliki indera lain yang dapat merasakan apabila
ada hantu datang. Misalnya anjing yang melolong di malam hari tanpa sebab
tertentu, atau ayam-ayam yang ribut berkokok bersahut-sahutan tanpa sebab
tertentu. Mereka itu merasakan danya sesuatu yang tidak wajar, yang tidak dapat
dirasakan manusia biasa.
Melihat sikap rajawali, Thai Kek Siansu terdiam dan memejamkan matanya. Dia
adalah seorang manusia yang jiwanya telah terbuka, tidak lagi tertutup nafsu daya
rendah sehingga kepekaan yang bagi orang lain sudah tertutup hawa nafsu, telah
kembali dimilikinya. Setiap orang manusia, sejak dilahirkan telah disertai kepekaan
seperti pada mahluk lain, dan ini dapat dibuktikan pada diri anak-anak kecil yang
kepekaannya masih belum tertutup hawa nafsu. Anak-anak bayi dapat merasakan
apabila terjadi sesuatu yang tidak wajar, tidak sebagaimana mestinya, apalagi yang
membahayakannya. Bahkan dia dapat merasakan kasih sayang atau pun kebencian
orang kepadanya. Akan tetapi makin besar, kepekaan itu semakin pudar dan
menghilang, yang sebenarnya bukan menghilang, melainkan tertutup oleh nafsunafsu
daya rendah yang mulai mempengaruhi dan menguasai dirinya.
Tiba-tiba ada angin bertiup menggoyang pohon-pohon dan Han Lin melihat betapa
Thai Kek Siansu bangkit dari duduknya lalu berlutut menghadap ke timur sambil
memberi hormat.
"Susiok (Paman Guru), selamat datang!"
Han Lin yang selalu menganggap gurunya sebagai panutan, melihat gurunya
berlutut, cepat ikut berlutut pula di belakang gurunya. Dia tidak melihat adanya
orang akan tetapi mendengar ucapan gurunya dia tahu bahwa tentu gurunya
memberi hormat kepada seorang yang menjadi paman guru dari Thai Kek Siansu.
Angin datang bertiup semakin kuat dan tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan orang
dan 'tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek yang tubuhnya dilibat-libat kain
putih. Kakek itu bertubuh tinggi kurus, lebih tinggi daripada Thai Kek Siansu,
pakaiannya seperti yang dipakai Thai Kek Siansu. Melihat rambut, kumis dan jenggot
panjangnya semua sudah putih, dapat diduga bahwa kakek itu tentu sudah tua
sekali, sedikitnya delapan puluh tahun usianya. Sinar matanya tajam, kulitnya putih
halus akan tetapi pada saat itu, sinar mata itu mengandung kemarahan dan kulit di
antara dua alisnya berkerut, menandakan bahwa kakek tua renta itu sedang marah.
Kakek itu memandang kepada Thai Kek Siansu, lalu kepada Han Lin.
"Thai Kek Siansu, siapakah pemuda remaja ini?" terdengar suaranya bertanya.
"Su-siok, dia adalah Si Han Lin, murid tunggal teecu." jawab Thai Kek Siansu dengan
lembut dan tenang. Kemudian dia menoleh kepada Han Lin. "Han Lin, beri hormat
kepada Susiok-couw (Paman Kakek Guru) Thian Beng Siansu."
Han Lin segera memberi hormat sambil berlutut. "Susiok-couw, teecu Si Han Lin
menghaturkan hormat."
Akan tetapi dengan suara mengandung kemarahan kakek itu berkata. "Thai Kek,
engkau tahu bahwa aku tidak pernah mempunyai murid dan tidak pernah mengakui
cucu murid! Akan tetapi engkau telah melanggar sumpah mendiang Suheng (Kakak
Seperguruan) Thian Gi Siansu Engkau telah mengambil murid, larangan utama yang
telah kau langgar. Agaknya engkau mencontoh perbuatan mendiang gurumu yang
tidak benar. Maka, sekarang engkau harus mencontoh pula pertanggungan
jawabnya menebus kesalahan itu dengan membunuh diri! Aku hanya datang
menjadi saksi pelaksanaan peraturan yang menjadi wasiat Keluarga Kok. Nah,
lakukanlah penebusan dosa itu!"
Dengan sikap tenang Thai Kek Siansu berkata "Maafkan teecu. Susiok. terpaksa
teecu tidak dapat melakukan perbuatan bunuh diri. Teecu tidak berani karena hal itu
merupakan dosa besar."
"Siancai............!" Kakek tua renta itu berseru. "Engkau berani mengatakan bahwa
bunuh diri itu dosa? Bukankah gurumu juga membunuh diri untuk menebus
kesalahannya itu?"
"Suhu telah melakukan bunuh diri dan itu adalah suatu dosa besar, Susiok. Sayang
ketika hal itu terjadi, teecu tidak berada di sana. Kalau teecu ada, sudah pasti teecu
akan mencegahnya."
"Murid durhaka! Kau bilang memenuhi sumpah Keluarga Kok itu berdosa? Apakah
melanggar larangan menerima murid yang menjadi peraturan Keluarga Kok itu
bukan dosa yang lebih hebat lagi?"
"Maaf, Susiok. Menurut teecu, peraturan larangan menerima murid itu memang
tidak tepat, maka teecu juga tidak menyalahkan bahwa mendiang Suhu telah
menerima murid. Hanya teecu menyesal mengapa Suhu begitu patuh kepada
peraturan yang keliru itu sehingga melakukan dosa besar dengan membunuh diri."
"Murid murtad! Berani engkau mencela peraturan Keluarga Kok yang suci?" setelah
membentak demikian, kakek tua renta itu mendorong dengan tangan kirinya. Dari
telapak tangannya itu mencuat sinar putih menghantam tubuh Thai Kek Siansu dan
tubuh Thai Kek Siansu terlempar dan jatuh terguling-guling!
Melihat ini, Han Lin meloncat menghadang karena kakek tua renta itu melangkah
dan mengejar Thai Kek Sians agaknya hendak menyerang lagi.
"Suslokcouw! Jangan pukul Suhu!!"
Melihat pemuda remaja itu menghadangnya, Thian Beng Siansu mengibaskan ujung
kain pembalut tubuhnya sambil berseru.
"Minggir kau.........!"
Angin yang amat kuat menyambar ka arah Han Lin ketika ujung kain itu di kebutkan
dan biarpun Han Lin sudah siap, mengerahkan tenaga dan bahkan mencoba untuk
mengelak dengan melompat ke samping, tetap saja tubuhnya disambar angin kuat
dan dia pun terlempar dan terbanting jatuh sejauh tiga tombak!
Terdengar bunyi melengking dan burung rajawali itu agaknya marah melihat Thai
Kek Siansu dan Han Lin diserang kakek tua renta. Dia sudah menggerakkan sepasang
sayapnya, terbang meluncur dan menyerang Thai Beng Siansu! Akan tetapi kakek
tua renta itu kembali menggerakkan ujung kain putih itu dan angin yang kuat
menyambar dari samping.
"Wuuuttttt.......... bresssss........ !" Tubuh raawali yang besar itu pun terlempar dan
terbanting jatuh!
Han Lin dan rajawali itu bangkit lagi dan siap menyerang kakek tua renta yang
agaknya akan menghampiri Thai Kek Siansu.
"Tiauw-cu! Han Lin! Jangan kurang ajar, hentikan gerakan kalian!" Thai Kek Siansu
yang sudah bangkit duduk bersila itu berseru, kemudian dia berkata kepada Thian
Beng Siansu.
"Susiok, maafkan mereka berdua yang hanya ingin membela teecu."
"Hemmm, aku tidak mau melukai siapa pun. Akan tetapi engkau harus menebus
dosa dan membunuh diri, Thai Kek!"
"Teecu tetap tidak berani melakukan itu, Susiok, karena hal itu merupakan dosa
yang besar sekali terhadap Tuhan! Hidup mati teecu berada di tangan Tuhan,
siapapun tidak berhak mengakhiri! hidup setiap orang yang menjadi wewenang Dia
yang memberi hidup!"
‘Murid murtad, kalau engkau tidak mau membunuh diri untuk menebus dosamu,
terpaksa aku akan membinasakanmu Untuk memenuhi sumpah Keluarga Kok yang
besar!" Setelah berkata demikian, dia melangkah menghampiri Thai Kek Siansu yang
masih duduk bersila. Thai Kek Siansu yang duduk bersila itu meundukkan muka dan
memejamkan mata, pasrah sepenuhnya kepada Tuhan untuk menerima apa yang
akan terjadi dengan dirinya.
Setelah berdiri dekat Thai Kek Siansu, kakek tua renta itu menggerakkan tangan
kirinya, menampar ke arah kepala Thai Kek Siansu. Tangan kiri itu memancarkan
cahaya kilat yang menyambar ke arah kepala yang menunduk itu.
"Syuuuttt........... tarrr!" Kilat itu menyambar ke arah kepala Thai Kek Siansu
yang menunduk, akan tetapi setelah tinggal kurang dari sejengkal sinar itu terpental!
Thai Kek Siansu masih tetap menundukkan muka dengan mata terpejam, seolah
tidak tahu bahwa dirinya diserang dengan pukulan maut tadi. Kakek tua renta itu
terkejut dan matan terbelalak heran, seolah tidak percaya. Dia lalu menyembah
dengan kedua tangan umtuk menghimpun tenaga dalan sepasang tangannya,
kemudian dia menghantamkan kedua tangan itu dari kanan kiri ke arah kepala Thai
Kek Siansu.
"Wuuuuutttt ......... blarrrrr !" Kembali dua sinar kilat yang menyambar da kedua
telapak tangan Thian Beng Siansu ke arah kepala Thai Kek Siansu, setelah dekat
sekali dengan kepala itu, terpental keras sehingga tubuh kakek tua renta itu ikut
terdorong ke belakang. Dia terkejut bukan main akan tetapi sebagai seorang yang
memiliki tingkat ilmu yang sudah amat tinggi, dia tahu benar bahwa dia tidak akan
mampu membinasakan keponakan muridnya ini. Dia tidak perlu mencoba lagi.
Mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali.
"Thai Kek! Murid durhaka dan sesat! Ternyata engkau telah demikian jauh tersesat
sehingga engkau telah mempelajari ilmu sesat dari Iblis!"
Thai Kek Siansu membuka kedua matanya dan dia bangkit berdiri, menjura dengan
membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat
kepada Thian Beng Siansu, lalu menjawab dengan lembut. "Su-siok, ilmu sesat yang
dari Iblis adalah ilmu yang digunakan untuk mencelakai orang lain. Ilmu yang bekerja
untuk melindungi diri dan orang lain dari bencana dan kejahatan adalah ilmu dari
Tuhan Yang Maha Kuasa."
Han Lin yang sejak tadi merasa penasaran akan sikap dan tindakan kakek tua renta
yang dia anggap tidak pantas dan keterlaluan, juga kejam itu, tak dapat menahan
dirinya lagi. Apalagi melihat gurunya tadi diserang.
"Lo-cian-pwe, saya tidak mau menyebutmu Susiok-couw karena engkau melarang
adanya murid. Tidak ada murid berarti tidak ada guru dan tidak ada pula paman
kakek guru. Saya melihat hal yang aneh sekali dalam peraturan hukum yang
diadakan nenek moyang gurumu, yaitu Keluarga Kok seperti yang kau katakan tadi!
Lucu, aneh dan tidak masuk diakal, juga tidak adil dan diadakan seenak perutnya
sendiri!"
Thai Kek Siansu mengangkat alis mendengar ucapan muridnya itu, akan tetapi dia
tahu benar bahwa Han Li bukan bicara sekedar untuk bersikap kurang ajar. Anak itu
cerdik sekali, maka tentu dia mempunyai alasan yang kuat untuk berkata seperti itu.
Dan dia pun yakin bahwa seorang yang memiliki tingkat kepandaian setinggi
susioknya, yang melebihi tingkat para datuk, pasti malu dan tidak mau merendahkan
martabat untuk membunuh seorang pemuda remaja. Maka dia pun hanya
tersenyum saja.
"Huh, Thai Kek, engkau juga memungut seorang bocah jahat untuk menjadi
muridmu! Anak muda tak sopan, mengapa engkau mengatakan ucapan jahat itu?"
"Saya tidak bicara sembarangan atau hendak bersikap kurang ajar dan jahat, Locianpwe!
Coba saja engkau renungkan. Keluarga Kok yang mulia dan terhormat itu
melarang dan menyalahkan Suhu yang menerima murid, bahkan katanya tadi Sukong
(Kakek Guru) telah dipaksa bunuh diri ketika menerima Suhu sebagai murid.
Akan tetapi, kenapa mereka sendiri mempunyai murid? Buktinya, nah, sekarang ada
Locian-pwe dan ada Suhu, bukankah kalian berdua ini juga keturunan murid
Keluarga Kok? Kalau begitu, seharusnya Keluarga Kok itu membunuh diri sendiri. Ini
baru adil! Karena kalau mereka tidak pernah menerima murid, tentu tidak ada pula
Suhu yang menerima saya sebagai murid. Coba Lo-cian-pwe pikir baik-baik, apakah
saya ini bicara ngawur dan tidak sopan?"
Mendengar ucapan pemuda remaja dengan suara lantang dan fasih itu, Thian Beng
Siansu tertegun dan tidak mampu menjawab. Sejak dulu, dia hanya menaati
peraturan hukum Keluarga Kok itu tanpa berpikir atau mempertimbangkan lagi,
percaya dengan membuta begitu saja.
"Han Lin, diamlah dan jangan bersikap seperti itu terhadap Susiok!" kata Thai Kek
Siansu dan Han Lin cepat memberi hormat kepada suhunya.
"Baik, dan maafkan teecu, Suhu."
Thai Kek Siansu berkata kepada Thia Beng Siansu dengan sikap hormat dai suara
lembut. "Susiok, semula teecu memang tidak pernah mempunyai pikiran menerima
murid walaupun kematian mendiang Suhu karena bunuh diri itu masih membuat
hati ini merasa penasaran. Kemudian mengingat bahwa teecu semakin tua, teecu
pikir akan sia-sia belaka selama puluhan tahun teecu mempelajari semua ilmu kalau
tidak dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan. Karena teecu sendiri
tidak ingin mencampuri urusan., manusia di dunia yang semakin kacau, maka teecu
pikir sebaiknya teecu wariskan semua yang telah teecu pelajari kepada seseorang
agar murid itu kelak dapat memanfaatkan semua ilmu itu. Dengan demikian maka
kelak nama Keluarga Kok juga akan terangkat karena ilmu dari mereka telah
bermanfaat bagi manusia di dunia. Itulah sebabnya teecu lalu mengambil Si Han Lin
ini sebagai murid tunggal."
Thian Beng Siansu maklum bahwa kalau dia bersitegang, dia hanya akan membuat
dirinya mendapat malu. Menggunakan kekerasan tidak mampu melukai murid
keponakannya, dan berdebat kata-kata pun agaknya dia akan kalah oleh pemuda
remaja yang lincah itu. Maka dia mengebutkan ujung kain putih itu seperti orang
membersihkan debu dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.
Sampai beberapa lamanya Thai Kek Siansu dan Si Han Lin berdiri diam, masih
terkesan mendalam akan kemunculan kakek tua renta itu. Bahkan rajawali itu juga
mendekam di atas tanah dan diam saja.
Kemudian Han Lin yang masih merasa penasaran bertanya kepada gurunya. "Suhu,
apa artinya semua peristiwa tadi? Teecu tahu benar bahwa Suhu adalah seorang
yang bijaksana, maka sepantasnya kalau paman-guru lebih bijaksana lagi. Akan
tetapi mengapa Su-siok-couw bersikap demikian keras bahkan tega hendak
membunuh Suhu?"
"Su-siok Thian Beng Siansu adalah orang yang terlalu kukuh menaati peraturan dari
perguruan tanpa mempertimbangkan benar tidaknya peraturan kuno itu. Saking
taatnya, maka dia pun lupa bahwa ketaatannya itu dapat saja mendorongnya untuk
bertindak kejam, sebetulnya dia bukanlah seorang yang berwatak jahat, akan tetapi
dia lebih tepat dikatakan lemah sehingga tidak mempunyai pendirian dan
pertimbangan sendiri, hanya mengukuhi peraturan yang ada."
"Akan tetapi mengapa Keluarga Kok yang menurunkan ilmu-ilmu yang juga diwarisi
Suhu sampai teecu mengeluarkarkan peraturan yang demikian aneh? Kalau mereka
sendiri mempunyai murid, mengapa mereka melarang para muridnya mengajarkan
kepada orang lain dan menuntut mereka bersumpah untuk bunuh diri kalau
mengambil murid?"
Thian Kek Siansu menghela napas panjang. "Peraturan itu diadakan sebagai akibat
dari peristiwa yang terjadi ketika aku masih belum menjadi murid Suhu Mungkin aku
masih kecil. Ketika kepala keluarga dari Keluarga Kok yang mendapatkan ilmu-ilmu
itu mengajarkan ilmu-munya kepada seorang murid, setelah murid itu menjadi
pandai dan menguasai hampir seluruh ilmu Keluarga Kok, timbul niatnya yang jahat,
yaitu hendak menjadi jago silat nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa dirinya
hanya dapat ditandingi oleh gurunya, maka pada suatu hari dia menyerang Sang
guru untuk membunuhnya. Kalau gurunya mati berarti dialah yang menjadi jagoan
nomor satu! Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gurunya masih menyimpan sebuah
ilmu yang belum diajarkan kepadanya, maka ketika berkelahi, Si murid itu kalah dan
tewas. Nah, sejak itulah Keluarga Kok mengadakan peraturan, melarang para murid
lain untuk mengajarkan ilmu mereka kepada orang lain. Kakek gurumu tidak
menyetujui peraturan itu dan diam-diam dia mengambil aku sebagai murid. Akan
tetapi setelah aku tamat belajar, hal itu ketahuan sehingga Kakek Gurumu dihukum
dan disuruh membunuh diri. Sekarang, Susiok-couwmu mengetahui bahwa aku
mengambilmu sebagai murid, maka dia datang dengan niat untuk menghukum aku
dan karena aku tidak mau membunuh diri, dia yang akan membunuhku sebagai
ketaatannya kepada hukum Keluarga Kok."
"Akan tetapi tadi teecu melihat hal yang teecu tidak mengerti, Suhu. Susiok couw itu
lihai bukan main sehingga bukan hanya Suhu yang tadi dibuatnya terlempar, juga
teecu dan Tiauw-ko terlempar tanpa menderita luka."
"Susiokcouw-mu tidak ingin membunuh engkau dan Tiauw-cu, kalau ingin
membunuh, kalian berdua tentu kini sudahi tewas."
"Akan tetapi, Suhu. Ketika dia menyerang Suhu dengan dahsyat, sehingga tangannya
mengeluarkan kilat, mengapa serangannya tidak dapat mengenai tubuh Suhu dan
terpental? Apakah ini berart Suhu lebih sakti daripada Susiok-couw?"
"Tidak, Han Lin. Ilmu yang dikuasa Susiok itu sudah mencapai tingkat tinggi Kalau dia
menghajarku tanpa niat mem bunuh, melawan pun kiranya aku akan kalah. Akan
tetapi begitu dia bermaksud" membunuhku, semua pukulannya tidak mengenai
tubuhku walaupun aku sama sekali tidak melawan. Aku hanya berserah diri kepada
Tuhan dan ternyata Kekuasaan Tuhan melindungiku. Kalau Kekuasaan Tuhan
melindungiku dan Tuhan tidak menghendaki aku mati, jangankan hanya serangan
dari Susiokcouw-mu, biarpun serangan dari seluruh alam semesta pasti tidak akan
mampu membunuhku. Yang menentukan mati hidupnya seseorang adalah Tuhan
sendiri."
Mulai saat itu, sejak berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu membimbing
Han Lin untuk berserah diri kepada Kekuasaan Tuhan. Dengan penyerahan yang
tulus ikhlas, lahir batin, meniadakan aku yang dibentuk oleh nafsu hati akal pikiran,
maka Tuhan dengan kekuasaanNya yang tidak terbatas akan membuka semua hawa
nafsu yang menutupi jiwanya sehingga jiwa itu dapat menerima Sinar Terang dari
Tuhan yang membersihkan jiwa raga sehingga siap menerima kontak kembali
dengan Jiwa Agung yang dari Tuhan.
ooOOoo
Si Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun. Selama
sepuluh tahun dia tinggal di Puncak Cemara di Pegunungan Cin-ling-san bersama
Thai Kek Siansu. Selama sepuluh tahun itu dia telah menimba banyak ilmu dari
gurunya. Bukan hanya ilmu silat tinggi yang kini dikuasainya, melainkan juga sastra,
seni musik, dan terutama sekali kewaspadaan dan penghayatannya tentang
kehidupan yang benar. Bahkan dia telah menjadi seorang manusia berbahagia yang
selalu menerima bimbingan Tuhan melalui jiwa raganya yang sudah peka.
Kebahagiaan ini terpancar dari wajahnya yang selalu riang, membuatnya menjadi
seorang pemuda yang jenaka, lincah dan tidak pernah dipengaruhi emosi perasaan.
Dalam keadaan bagaimanapun juga, dia selalu merasa berbahagia kar ena tak
pernah kehilangan pegangan, tak pernah lepas hubungannya dengan Yang Maha
Kuasa. Akan tetapi, bukan berarti bahwa dia menjadi seorang manusia istimewa.
Sama sekali tidak, karena sesuai dengan petunjuk gurunya, dia hidup normal dan
seperti manusia biasa dengan segala macam kelemahan dan persoalannya walaupun
persolan itu hanya mempengaruhi jasmaninya belaka, hanya kulit tidak menyentuh
isi. Rohaninya sama sekali tidak terpengaruh.
Han Lin yang berusia dua puluh tahun itu bertubuh tinggi tegap, tampak biasa saja
walaupun di balik semua yang biasa itu terdapat sesuatu yang luar biasa. Kulit
tubuhnya agak gelap namun bercahaya dan bersih, membayangkan kesehatan.
Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Matanya tajam lembut namun
jenaka, mulutnya yang agak kecil itu selalu tersenyum manis. Sikapnya lincah jenaka
dan dia memandang dunia dengan cerah. Pakaiannya bersih namun sederhana.
Pada pagi hari itu, Thai Kek Siansu yang kini berusia sekitar enam puluh tahun dan
duduk bersila di atas batu di depan pondok, memanggilnya. Han Lin menghadap dan
berlutut di depan guru nya. Di antara guru dan murid ini terdapat hubungan batin
yang amat erat seperti ayah dan puteranya sendiri.
"Han Lin, aku memanggilmu karena ada sebuah tugas yang kuharap engka dapat
melakukannya."
“Teecu siap melakukan semua perintah Suhu!" kata Han Lin dengan girang karena
setiap perintah gurunya memberi semangat kepadanya karena itu berarti bahwa dia
dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dia tahu bahwa kalau
gurunya memerintahkan sesuatu, pasti bukan untuk kepentingan gurunya,
melainkan untuk kepentingan! orang lain.
"Han Lin, di negara yang luas ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu
silat yang tinggi. Seperti juga ilmu-ilmu lain di dunia ini, sesungguhnya ilmu diberikan
Tuhan kepada manusia untuk dipakai sebagai alat menyejahterakan kehidupan di
bumi. Akan tetapi kebanyakan orang lupa diri dan bahkan banyak yang
menggunakan ilmu untuk mencapai tujuan guna kepentingan dan keuntungan diri
sendiri. Ada yang dipakai melakukan kejahatan, mengandalkan kekuatan ilmunya,
memaksakan kehendak memeras dan menindas orang lain, ada yang melakukan
perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Ada yang mempergunakan ilmu
untuk mencari nama besar, untuk mengangkat diri sendiri sebagai yang terkuat atau
terpandai sehingga terjadi persaingan dan permusuhan. Yang amat menyedihkan,
bahkan di antara para datuk dan guru besar ilmu silat, setiap tahun mereka
mengadakan pertemuan di Puncak Thaisan dan di sana mereka saling berlumba
mengadu ilmu silat untuk memilih seorang yang paling tangguh untuk diberi julukan
Thian-he-te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Untuk
memperebutkan gelar atau julukan ini, orang-orang itu berlumba mengadu
kepandaian dan sering dalam pertandingan itu terdapat banyak yang terluka bahkan
ada yang sampai tewas. Biasanya, dulu setiap tahun akan mendatangi Puncak
Thaisan untuk menjadi pengamat dan mencegah terjadinya bunuh membunuh. Akan
tetapi karen mereka itu sulit disadarkan dan biarpun tidak lagi setahun sekali,
namun beberapa tahun sekali pasti terjadi perebutan seperti itu. Sekarang aku tidak
mau lagi mencampuri, namun dalam hati aku selalu merasa menyesal mengapa
orang-orang pandai bersikap seperti itu. Nah, pertemuan seperti itu akan diadakan
pada permulaan musim semi dan tahun ini terjatuh sekitar satu bulan lagi. Maka,
aku ingin engkau mewakili aku mengamati dan mencegah terjadinya bunuh
membunuh dan menyadarkan mereka akan kosong dan bodohnya kebiasaan
bersaing dan berebut gelar nomor satu itu."
"Wah, Suhu, jadi teecu harus pergi ke Puncak Thaisan sekarang, mewakili Suhu?"
seru Han Lin dengan girang. Dia seringkali disuruh turun gunung untuk menjual
rempah-rempah dan menukarkannya dengan bahan kebutuhan hidup mereka. Akan
tetapi belum pernah dia pergi demikian jauhnya. Baru membayangkannya saja dia
sudah merasa amat gembira!
"Han Lin, engkau belum pernah pergi jauh dan engkau belum tahu jalan ke Thaisan.
Oleh karena itu, biarlah Tiauw-cu yang mengantarmu. Engkau tentu masih ingat
akan nama para datuk besar dan ciri-ciri mereka seperti yang kugambarkan
kepadamu, bukan?"
“Teecu masih ingat semua, Suhu."
"Bagus, sekarang berkemaslah. Bawa semua pakaianmu untuk bekal pengganti
dalam perjalanan dan sisa uang penjualan rempah-rempah dalam almari itu
bawalah. Engkau memerlukan uang dalam perjalananmu, untuk membeli makanan
dan kalau perlu membayar rumah penginapan."
"Baik, Suhu!" Dengan girang dan menari-nari pemuda itu memasuki pondok dan
menaati perintah gurunya. Tak lama kemudian dia keluar lagi menggendong sebuah
buntalan berisi pakaian dan seKantung uang perak. Ketika dia tiba diluar, rajawali itu
telah mendekam di depan Thai Kek Siansu yang bicara kepadanya.
"Tiauw-cu, engkau harus mengantar Han Lin ke Puncak Thai-san."
Rajawali itu mengeluarkan suara lirih dan mengangguk-anggukkan kepalanya.! Han
Lin berlutut di depan suhunya.
"Suhu, apakah teecu harus berangkat sekarang bersama Tiauw-ko?"
"Ya, berangkatlah, Han Lin, dan bawalah ini. Kuberikan ini padamu!" Thai Kek Siansu
mengambil sebuah pedang dengan sarungnya dari balik lipatan kain yang melibat
tubuhnya. Han Lin memandang heran. Dia tidak pernah melihat gurunya mempunyai
pedang! Bahkan ketika dia mempelajari ilmu silat pedang, gurunya dan dia
menggunakan sebatang! ranting pohon. Dia memang tidak membutuhkan pedang
karena ilmu silat yang diajarkan gurunya, dapat dimainkan dengan benda apa pun.
Maka, kini tiba-tiba gurunya memberi sebatang pedang kepadanya. Tentu saja dia
menjadi heran sekali.
"Suhu, Suhu memberi teecu sebatang pedang. Untuk apakah pedang ini, Suhu?" Dia
bertanya sambil menerima pedang itu dengan kedua tangannya.
Thai Kek Siansu tersenyum. "Pedang ini bernama Pek-sim-kiam (Pedang Hati Putih),
Han Lin. Pedang hanyalah alat, sebagai pembantu tangan. Tidak ada bedanya
dengan anggota badanmu. Apakah engkau juga bertanya untuk apakah tanganmu,
kakimu atau anggauta badanmu yang lain? Pedang ini bukan untuk mencelakai atau
membunuh orang, melainkan untuk perlengkapan melindungi dirimu. Jangan dikira
hanya senjata saja yang disebut jahat. Tangan pun dapat dipergunakan untuk
kejahatan. Jahat tidaknya sebuah benda tergantung dari dia yang menggunakannya.
Dan pedang ini masih bersih, belum pernah melukai orang. Bahkan namanya selalu
mengingatkan pemegangnya agar selalu berhati putih, bersih dari niat kotor."
Han Lin ingin melihat dan perlahan-lahan mencabut pedang itu dari sarungnya.
Ternyata pedang itu memang putih, putih seperti kapas, seperti kapur atau seperti
salju! Bersih dan indah sekal sampai mengkilap, tidak ada cacat sedikit pun.
"Terima kasih, Suhu. Teecu akan menjaga baik-baik pedang ini."
Setelah memberi hormat dengan berlutut sekali lagi dan gurunya memberi isarat
dengan tangan agar dia berangkat Han Lin lalu naik ke punggung; rajawali dan
berkata.
"Tiauw-ko, mari kita pergi!" Suaranya terdengar riang gembira. Rajawali itu juga
mengeluarkan suara melengking panjang lalu mengembangkan sayapnya dan
terbang membubung tinggi.
ooOOoo
Agaknya sudah menjadi kelemahan manusia sejak dahulu untuk selalu merasa paling
hebat. Karena itu, tiada hentinya manusia bersaing untuk saling mengungguli. Sejak
anak-anak sekalipun manusia sudah mempunyai keinginan untuk menonjolkan diri
berupaya agar dirinya diperhatikan dan dikagumi. Setiap orang mencari sesuatu
untuk dapat membuat dirinya "lebih" daripada orang lain, baik Itu kelebihan dalam
kepandaian, kekayaan, kekuasaan, keelokan rupa, bahkan kelebihan dalam apa yang
mereka namakan kebajikan! Bahkan untuk dapat memperoleh sebutan "yang
ter......" mereka tidak segan menggunakan cara apa pun.
Penyakit batin atau kelemahan ini pun agaknya merasuk ke dalam hati dan pikiran
para datuk persilatan. Karena itu, setiap tahun atau kalau yang datang tidak lengkap,
diundur setiap dua atau tiga tahun sekali, para datuk persilatan dari empat penjuru
datang berkumpul di Puncak Thai-san. Dahulu, pada permulaannya, pertemuan
antara para datuk persilatan itu hanya merupakan pertemuan untuk mempererat
persahabatan dan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing. Akan
tetapi sejalan dengan pergolakan dalam negeri di mana timbul perebutan
kekuasaan, maka hal ini menular kepada para datuk. Mereka itu masing-masing
berpihak sehingga terpecah belah. Kalau dulu merupakan pertemuan yang rukun,
kemudian berubah menjadi persaingan dan mulailah mereka saling
mempertandingkan ilmu silat masing-masing dan akhirnya ditentukan pemilihan
jagoan nomor satu dalam setiap pertemuan seperti itu di Puncak Thai-san.
Pertandingan yang didorong keinginan untuk menjadi yang terlihai ini terkadang
mengakibatkan jatuhnya korban yang terluka parah bahkan ada yang! tewas dalam
pibu (adu ilmu silat) itu.
Kemudian, belasan tahun yang lalu, muncul Thai Kek Siansu di dalam pertemuan itu.
Thai Kek Siansu melerai dan mencegah terjadinya pertandingan perebutan
kedudukan jagoan nomor satu ini. Dia menasihatkan mereka, bukan hanya dengan
kata-katanya yang mendalam dan mengandung kasunyatan, namun juga karena
semua yang merasa dirinya paling jagoan, ternyata tidak berdaya menghadapi Thai
Kek Siansu. Pengaruh Thai Kek Siansu yang disegani semua datuk ini berhasil
mengubah pertemuan yang biasanya berakhir dengan pibu yang buas, menjadi
pertemuan yang rukun seperti semula. Bahkan perkumpulan atau aliran silat
terbesar seperti Siauwlimpai, Bu-tongpai, Kunlunpai dan Gobipai mengirim wakil
mereka untuk hadir dalam pertemuan yang bersifat mempererat persahabatan dan
bertukar pikiran dengan rukun itu. Akan tetapi, setelah Thai Kek Siansu mengambil
Han Lin sebagai murid sepuluh tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menghadiri
pertemuan itu. Maka, kembali terpengaruh perebutan kekuasaan di pemerintahan
dan pemberontakan-pemberontakan, penyakit itu kambuh pula dalam batin para
datuk dan pendekar persilatan. Terjadilah lagi persaingan dan melihat ini, para wakil
atau utusan partai-partai persilatan besar mengundurkan diri dan tidak mau terlibat
dalam perebutan itu.
Beberapa tahun kemudian, karena pada setiap pertemuan yang melakukan pibu
yang sifatnya saling memperebutkan kedudukan sebagai yang terlihai, hanyalah
para datuk tua yang itu-itu juga, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk
menghentikan persaingan antara kaum tua itu. Mereka lalu mengubahi peraturan,
yaitu dalam setiap pertemuanl itu, yang memperebutkan sebutan Thian-te-he Te-it
Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia) bukan lagi para datuk tua, melainkan
murid-murid mereka, yaitu para pendekar muda yang usianya dibatasi, paling tua
berusia empat puluh tahun. Semua sepakat dan tidak ada yang berani melanggar,
karena yang melanggar! tentu akan dikeroyok oleh semua pihak yang sudah
memutuskan hal itu.
Kemudian, berkembang keadaan yang tidak bersih lagi. Yang melakukan pej rebutan
pendekar silat terlihai bukarj hanya terdiri dari para pendekar. Bahkan para tokoh
sesat mulai ikut masuk. Penjahat jahat yang kejam dan ganas menganggap diri
mereka sebagai "pendekar silat" pula dan ikut memperebutkan julukan itu Akhirnya,
pada tahun-tahun terakhir, yang diperebutkan bukanlah "pendekar silat nomor
satu" melainkan "orang lihai nomor satu" sehingga tidak ada pemisahan lagi antara
para pendekar bersih dan golongan hitam atau golongan sesat. Peraturan perebutan
yang terlihai itu pun diadakan dan sudah berjalan selama beberapa tahun. Peraturan
itu adalah siapa yang terpilih sebagai jagoan, pada pemilihan mendatang akan diadu
dengan pemenang dari semua calon baru. Semua jago yang diadu, baik laki-laki
maupun perempuan, berusia tidak lebih dari empat puluh tahun, bahkan biasanya
yang jagoan masih lebih muda lagi. Yang usianya lebih tua, sampai empat puluh
tahun, kalau bukan kalah tenaga, juga yang merasa dirinya memiliki tingkat tinggi
merasa malu kalau harus memperebutkan gelar jagoan dengan orang-orang muda.
Pada pagi hari pada tahun itu, seperti biasa banyak orang-orang dunia persilatan
yang mendaki Gunung Thai-san untuk menghadiri pertemuan perebutan kejuaraan
silat itu. Sudah dua tahun sang juara memegang gelarnya karena tahun kemarin
yang hadir hanya sedikit sehingga pemilihan dibatalkan. Tahun ini ternyata banyak
yang datang sehingga sebelum hari menjadi siang, di Puncak Thaisa n sudah
berkumpul hampir seratus orang dari berbagai golongan.
Para datuk tua yang hadir hanya, sebagai "botoh" saja. Mereka tidak ikuj dalam
pemilihan, melainkan mengajukan murid-murid pilihan mereka. Kalau murid mereka
menang, berarti nama mereka juga naik dan dihormati. Mereka yang membuka
perguruan, kalau muridnya menang berarti uang banyak masuk karena tentu banyak
yang ingin menjadi mul ridnya, biarpun harus membayar mahal.
Seperti biasa, dalam pertemuan seperti itu, yang seolah bertindak sebagai "tuan
rumah", walaupun tanpa ada hidangan, adalah sang juara atau Thian-he Te-it Buhiap
dengan para pendukungnya dan biasanya juga ditemani gurunya. Pihak tuan
rumah ini tentu datang lebih dulu dan mereka berkumpul di pinggir tanah datar
yang menonjol lebih tinggi dari sekelilingnya sehingga merupakan sebuah panggung.
Di atas tanah tinggi seperti panggung inilah pertandingan silat diadakan sedangkan
tamu-tamu yang menonton berdiri di sekeliling tanah tinggi itu.
Yang akan mempertahankan diri sebagai sang juara yang merebut kedudukan atau
gelar juara itu dua tahun yang lalu, adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun
yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan kokoh. Dia sudah duduk di situ,
di sebelah seorang kakek yang menjadi gurunya. Semua orang tahu bahwa laki-laki
muka hitam itu juaranya, memandang kepada dua orang ini dengan penuh
perhatian, karena Si Muka Hitam itulah yang akan mempertahankan gelarnya,
menandingi penantangnya, yaitu yang terlihai di antara para penantang yang datang
pada hari itu.
Guru sang juara itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun.
Tubuhnya tinggi besar, kumis dan jenggotnya panjang, masih berwarna hitam,
demikian pula rambutnya yang panjang dan digelung ke atas. Mukanya yang
berbentuk persegi itu berwarna merah, sepasang mata lebar bersinar tajam
mencorong, hidungnya besar dan bibirnya tebal. Wajah itu tampak menyeramka
karena tampak garang dan angkuh. Pakaiannya mewah, dari sutera halus yang
mahal dan di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Dia adalah
datuk yang amat terkenal di sepanjang pantai Laut Timur yang hanya dikenal dengan
julukan Tung Hai tok (Racu Lautan Timur). Dia termasuk datuk kau sesat. Semua
penjahat, dari gerombolan perampok, bajak laut, semua maling dari tukang pukul,
mereka semua tunduk dari takut kepada Tung Hai-tok dan setiap bulan mereka yang
berpenghasilan besar mengirimkan semacam "upeti" kepadanya. Dengan demikian,
mereka tidak akan mendapat teguran atau gangguandari datuk sesat itu. Bahkan
kalau mereka ada yang terganggu oleh para pendekar yang menentang kejahatan,
mereka dapat lapor dan minta tolong kepadanya. Tung Hai-tok tentu akan mengirim
beberapa orang muridnya untuk membela mereka menghadapi para pendekar yang
berani menentang golongan sesat itu. Tung Hai-tok memiliki beberapa puluh murid,
bahkan membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Tung-hai-pang
(Perkumpulan Lautan Timur) di mana muridnya yang paling lihai menjadi ketuanya.
Dia sendiri hanya menjadi penasihat atau ketua kehormatan.
Ketua Tung-hai-pang itu adalah murid utamanya yang kini menjadi Thian-he Te-it
Bu-hiap! Murid datuk itu, yang juga menjadi Ketua Tung-hai-pang, bernama Boan Su
Kok, kini berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh, mukanya hitam
dan wajahnya lebih seram daripada wajah gurunya yang sudah tua. Wajah Boan Su
Kok itu membayangkan keganasan dan kekejaman. Sinar matanya yang mencorong
itu seperti sinar mata orang yang sedang marah. Dua tahun yang lalu, ketika dia
merebut gelar jagoan nomor satu, dia bertanding sebagai penantang melawan
juaranya pada waktu Itu dan dengan kejam dia telah membunuh lawannyal Semua
orang yang kini menghadiri pertemuan itu telah mendengar akan kelihaian dan
kekejaman Boan Su Kok yang agaknya hendak mempertahankan gelarnya dengan
mati-matian. Sebetulnya, bagi orang-orang yangj tingkat kepandaiannya sudah amat
tinggi sehingga patut menerima gelar Thian-te-he Te-it Bu-hiap, tentu saja dapat
mengatur gerakan sendiri dan dapat menahan pukulannya sehingga tidak sampai
membunuh lawan. Kalau orang dengan tingkat setinggi itu dalam pi-bu membunuh
lawan, hal itu memang disengaja atau ketika bertanding dia dipengaruhi nafsu
amarah yang mendorongnya untuk membunuh. Karena itu, ketika para hadirin itu
memandang ke arah Boan Su Kok yang duduk di atas panggung tanah di samping
gurunya, ada yang memandang dengan sinar mata jerih dan takut, akan tetapi ada
pula yang memandang dengan mata membenci dan marah.
Setelah matahari naik tinggi dan tidak ada lagi tamu yang datang, Tung Hai-tok yang
duduk di atas bangku mengangkat tangan kanannya ke atas dan semua orang yang
tadinya ribut bicara sendiri-sendiri dengan teman atau rormbongan mereka terdiam
dan semua orang memandang ke arah kakek itu.
"Sobat-sobat sekalian, sekarang pertandingan dapat dimulai. Mereka yang ingin
mengikuti pertandingan diharap maju dan naik ke depan kami!"
Biarpun semua ketika mendaki gunung banyak orang muda yang ingin ikut untuk
memperebutkan gelar juara tahun itu, akan tetapi setelah berada di puncak dan
melihat sikap Tung Hai-tok dan Si Juara, Boan Su Kok, banyak yang mengundurkan
diri karena gentar. Apalagi di bawah panggung tanah tinggi itu, di belakang guru dan
murid itu, berkumpul belasan orang yang pakaiannya seragam biru, pakaian para
murid Tung-hai-pang. Banyak pula para tokoh kangouw melarang murid mereka
yang tadinya ingin ikut bertanding karena mereka mengenal betapa lihai dan
kejamnya datuk Si Racun Lautan Timur yang menjadi guru Si Juara itu.
Hanya ada empat orang muda yang berlompatan naik ke tanah tinggi itu dan berdiri
tegak di depan Si Juara dan gurunya. Ketika meloncat mereka mem perlihatkan gaya
masing-masing dan ternyata mereka memiliki gerakan yang cukup lincah dan ringan,
menunjukkan bahwa mereka berempat telah memiliki, tingkat gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang cukup tinggi.
Melihat yang maju hanya empat orang, padahal pada tahun-tahun yang lalu
sedikitnya ada sepuluh orang, Boan Su Kok bangkit berdiri dari tempat duduknya,
bertolak pinggang dan berseru lantang dengan suara yang mengandung
kesombongan.
"Hanya empat orang ini? Mana para pendekar yang lain? Apakah sekarang tidak ada
lagi orang gagah ataukah kalian merasa takut? Kalau begitu, untuk apa kalian datang
ke sini?" Dia lalu menggapai dengan tangannya dan dua orang anak buah Tung-haipang
melompat naik ke atas panggung. Boan Su Kok lalu memerintahkan mereka
untuk melakukan undian. Seperti biasa, mereka yang maju untuk ikut bertanding
akan bertanding satu lawan satu dan untuk itu pasangan bertanding mereka diundi.
Karena ada empat orang peserta, maka akan dilakukan pertandingan satu lawan
satu. Dua orang pemenangnya akan diadu dan pemenangnyalah yang berhak untuk
menjadi penantang, melawan sang juara.
Karena para partai persilatan besar tidak ada yang mau ikut, maka sebagian besar
yang hadir adalah perkumpulan-perkumpulan silat kecil, itu pun kebanyakan dari
golongan sesat. Para pendekar jarang mau ikut karena melihat betapa pemilihan itu
kini kotor sifatnya dan menanamkan kebencian, dendam dan permusuhan. Orang
memperebutkan kedudukan juara dengan pamrih agar bukan hanya namanya
terkenal dan dikagumi, juga agar dia disegani dan memiliki pengaruh besar di dunia
kangouw. Apalagi dalam pibu itu sudah tidak dipakai peraturan umum di dunia
kangouw. Biasanya di antara para pendekar terdapat peraturan tidak tertulis yang
merupakan semacam etika bahwa dalam pertandingan pi-bu (adu silat), baik dengan
tangan kosong maupun dengan senjata, harus menjaga serangan agar jangan sampai
membunuh lawan. Bahkan melukai pun kalau mungkin dihindarkan atau hanya luka
ringan saja. Akan tetapi dalam pertandingan di Puncak Thaisan itu, seolah-olah
pertandingan sampai mati atau pembantaian bagi yang kalah.
Empat orang peserta itu, yang dua orang adalah murid-murid tokoh kangouw yang
sesat, akan tetapi yang dua orang lagi adalah orang-orang golongan pendekar.
Ketika diadakan undian, kebetulan dua orang dari golongan sesat itu bertemu
dengan dua orang muda pendekar.
Pertandingan pertama dilaksanakan dan ternyata pemuda berusia dua puluh tiga
tahun yang berpakaian serba kuning, murid dari Hoa-san-pai yang datang sendiri
tanpa sepengetahuan para pimpinan Hoa-san-pai, dengan mudah mengalahkan
lawannya. Murid Hoa-san-pai ini tidak mau melanggar etika pibu di dunia persilatan
dan dia hanya mengalahkan lawannya tanpa melukai berat apalagi membunuhnya.
Demikianlah pula pertandingan ke dua, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang
datang bersama gurunya yang dikenal sebagai tokoh kangouw yang baik, setelah
bertanding selama tiga puluh jurus melawan pemuda dari golongan sesat, dia dapat
merobohkan lawan tanpa membunuhnya! Para penonton bersorak memuji karena
dua orang pemuda yang menang itu benar-benar memiliki gerakan silat yang indah
dan tangguh, dan terutama melihat mereka berdua menang tanpa membunuh atau
mencederai berat lawan yang mereka kalahkan.
Kini menurut peraturan pertandingan, dua orang pemenang itu berhadapan, dan
mereka akan memperebutkan'tempat sebagai penantang tunggal terhadap Boan Su
Kok, Sang Juara. Murid Hoa-san-pai yang berpakaian serba kuning itu mengangkat
kedua tangan depan dada sebagai salam dan dia memperkenalkan diri.
“Sobat, sebelum kita menguji kemampuan kita, perkenalkan, aku bernama The Lun,
seorang murid Hoa-san-pai yang mengikuti pertandingan ini untuk mencari
pengalaman."
Lawannya juga membalas salam itu sambil tersenyum senang. Dia tadi juga melihat
betapa lawannya yang menang dalam pertandingan pertama, tidak bertindak kejam
terhadap lawannya.
"Sobat The Lun yang gagah, aku bernama Lai Ceng Gun dan seperti jua engkau, aku
menaati perintah guruku untuk menguji kemampuan sendiri dan mencari
pengalaman di sini." The Lun memandang kepada seorang laki-laki setengah tua,
berusia sekitar lima puluh tahun yang tadi duduk bersama lawannya Laki-laki itu
adalah guru dari Lai Ceng Gun, di dunia kangouw terkenal sebagai Ciong Kauwsu
(Guru Silat Ciong) yang memiliki ilmu silat tinggi. Ciong Hoat, guru itu, tersenyum
pula dan mengangguk anggukkan kepalanya ketika melihat calon lawan muridnya
memandang kepadanya.
"Hei, kalian datang ke sini bukan untuk mengobrol, melainkan untuk pi-bu.. Hayo,
mulailah bertanding!" tiba-tiba Boan Su Kok bangkit berdiri dan membentak dengan
alis berkerut dan mata mencorong.
Mendengar ini, dua orang muda yang saling berhadapan itu menoleh dan
memandang kepada sang juara itu. Diam-diam mereka merasa tidak suka melihat
sikap Boan Su Kok yang demikian angkuh dan galak.
"Sobat Lai, mari kita mulai!" kata The Lun yang memasang kuda-kuda. Lai Ceng Gun
mengangguk dan mereka lalu mulai saling serang dengan seru. Ternyata dua orang
pemuda ini memang lihai dan gerakan mereka gesit dan cepat sehingga sebentar
saja tubuh mereka sudah berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Ilmu silat
tangan kosong Hoasanpai memang indah dipandang dan mengandung tenaga yang
terselubung gerakan lembut. Sebaliknya, ilmu silat yang dimainkan Lai Ceng Gun
adalah ilmu silat keturunan keluarga Ciong yang merupakan ilmu silat yang
bersumber dari aliran campuran antara Siauwlimpai dan silat dari daerah Hunam
yang sifatnya keras. Maka terjadilah pertandingan yang amat seru. Namun setelah
lewat tiga puluh jurus, tampaklah bahwa ting kat kepandaian Lai Ceng Gun masih
lebih tinggi sedikit dibandingkan lawannya. The Lun mulai terdesak oleh serangan Lai
Ceng Gun yang dilakukan dengan gencar. Dia sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk membalas Terutama serangan kedua kaki Lai Cen Gun yang amat
berbahaya karena tendangan seperti itu merupakan andalan Siauwlimpai Utara. The
Lun hanya mampu mengelak atau menangkis dan mengandalkan kelincahannya
untuk menghindarkan diri.
Akan tetapi, setelah tahu benar bahwa kalau dilanjutkan pun dia pasti akari kalah,
The Lun lalu melompat jauh ke belakang, mengangkat tangan depan dada lalu
berkata.
"Sobat Lai Ceng Gun, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian murid!
Hoasanpai ini lalu melompat turun dari atas tanah tinggi.
Sementara itu, Lai Ceng Gun dengan ramah berkata, "Sobat The Lun, terima kasih,
engkau telah mengalah." Dia pun turun dan menghampiri gurunya, ingin
melepaskan lelah lebih dulu karena dia sudah dua kali berturut-turut bertanding.
Akan tetapi Boan Su Kok sudah melompat dari bangkunya ke tengah panggung
tanah tinggi. Agaknya untuk memamerkan tubuhnya yang kokoh, dia
membusungkan dadanya, memandang ke arah Lai Ceng Gun dan berteriak.
"Orang she Lai! Engkau yang menjadi penantang tunggal dan harus bertanding
melawan aku untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Thian-he Te-it-Bu-hiap
tahun ini. Hayo naiklah dan tandingi aku!"
Dari tempatnya di bawah, Ciong Kauwsu berseru dengan suaranya yang lantang
bergema. "Muridku Lai Ceng Gun baru saja bertanding berturut-turut dua kali, sudah
sepantasnya kalau dia beristirahat sejenakl"
"Ho-ho, kalau sudah berani datang ke sini, kenapa takut lelah? Ataukah takut
melawanku? Kalau takut, pergi saja dari.sini!" kata Boan Su Kok dengan nada
sombong.
Mendengar ucapan yang sombong itu Ciong Kauwsu menjadi merah mukanya Akan
tetapi sebelum dia mengeluarkar ucapan marah, muridnya berkata, "Sudah lah,
Suhu, biar teecu melawannya dan hendak teecu lihat bagaimana kelihaian Si
Sombong itu." Setelah berkata demikian, tubuhnya melompat dan malayang ke atas
tanah tinggi, berhadapan dengari Boan Su Kok.
"Boan Su Kok, aku telah siap menandingimu!" kata Lai Ceng Cun.
Boan Su Kok mencabut siangkiam (sepasang pedang) yang tergantung di
punggungnya, memegang dengan kedua tangannya lalu memainkan sepasang
pedang itu sehingga tampak dua sinar menyambar-nyambar dan menari-nari di
depannya.
"Lai Ceng Gun, hayo cabut senjatamu dan tandingilah siangkiamku ini!" tantang
Boan Su Kok.
Lai Ceng Gun menggelengkan kepalanya. "Boan Su Kok, aku datang ke sini untuk
menguji ilmu silat, bukan untuk berkelahi. Aku tidak mau menggunakan senjata."
"Ha-ha-ha! Pendekar macam apakah ini yang tidak berani melihat darah mengalir?
Orang she Lai, kita bukan anak kecil yang hanya main-main. Mari bertanding
sungguh-sungguh dan kita buktikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam
pertandingan ini. Siapa yang patut mendapatkan gelar Jagoan Nomor Satu!" Boan Su
Kok kembali mempermainkan sepasang pedangnya sehingga terdengar bunyi
berdesing.
"Aku tetap tidak mau menggunakan senjata. Aku hanya mau bertanding
menggunakan kaki tanganku saja." kata Lai Ceng Gun kukuh.
"Ha-ha-ha! .Saudara-saudara para pendekar gagah perkasa! Lihat penantangku ini
takut menghadapi senjataku!"
"Boan Su Kok, aku sama sekali tidak takut. Aku tetap akan menghadapimu dengan
tangan kosong. Kalau engkau begitu pengecut untuk melawan aku yang bertangan
kosong dengan senjata, silakan.
Aku tidak takut!"
Sepasang mata sang juara itu melotot dan sinarnya mencorong.
"Keparat kurang ajar! Kau bilang aku pengecut? Lihat, aku akan meremukkan
kepalamu dengan kedua tanganku!" Dia melemparkan sepasang pedangnya ke arah
belakangnya. Sepasang pedang itu meluncur cepat ke arah Tung Hai-tok, guru Si
Juara itu. Dengan tenang, sambil terkekeh, Tung Hai-tok menyambut sepasang
pedang muridnya itu dengan kedua tangan lalu meletakkannya di depannya.
Demonstrasi yang dilakukan guru dan murid ini saja sudah memperlihatkan betapa
lihainya mereka berdua itu.
Boan Su Kok sudah memasang kuda-kuda dengan sikap dibuat-buat agar tampak
gagah, lalu dia membentak, "Bocah she Lai, bersiaplah untuk mampus!"
Secara tiba-tiba dia telah menyerang dengan gerakan dahsyat. Agaknya Boan Su Kok
hendak memperlihatkan ketangguhannya dengan merobohkan lawan secepatnya,
maka begitu menyerang dia telah menggunakan pukulan ampuh sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Lai Ceng Gun yang bertubuh sedang
itu adalah seorang pemuda yang tabah dan tenang. Dia telah mengusai ilmu yang
diajarkan gurunya dan karena dia membantu gurunya sebagai pelatih utama para
murid gurunya, maka latihan setiap hari itu membuat gerakannya menjadi matang.
Dengan cepat dan tangkas dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki
dari samping. Melihat betapa lawannya bukan saja dapat mengelak akan tetapi
secara kontan dengan langsung membalas serangannya, Boan Su Kok tidak berani
memandang rendah. Dia pun melompat ke samping lalu cepat dia mendorongkan
tangan kanan untuk mencengkeram leher lawan. Juga cengkeraman ini merupakan
serangan maut. Lai Ceng Gun dengan gesit miringkan tubuhnya. Akan teapi Boan Su
Kok yang haus kemenangan itu, .dengan semangat menggebu telah menyusul
dengan serangan pukulan tangan dari atas ke arah kepala lawan!
Lai Ceng Gun maklum akan kehebatan pukulan ini. Kalau dia mengelak, terdapat
bahaya tangan yang meluncur dari atas itu akan mengejar kepalanya, maka cepat
dia mengerahkan tenaga pada lengan kanannya untuk menangkis tangan, kiri lawan
yang menghantam kepalanya dari atas.
"Wuuuuttttt......... dukkk!!" Dua lengan bertemu dan keduanya tergetar sampai
merasa betapa lengan mereka terpental dan nyeri. Akan tetapi Boan Su Kok yang
menjadi marah kini mendorongkan; tangan kanannya ke arah dada lawan!
Lai Ceng Gun cepat menyambut dengan dorongan tangannya pula. Dua telapak
tangan kanan dan kiri bertemu.
"Desss........... !" Akibatnya, tubuh Lai Ceng Gun mundur dua langkah, akan tetapi
tubuh Boan Su Kok yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang sampai empat
langkah! Hal ini menunjukkan bahwa Lai Ceng Gun memiliki sin-kang yang lebih
kuat. Bukan main marahnya Boan Su Kok. Kekalahannya dalam adu tenaga tadi tidak
dapat disembunyikan dan semua yang menonton pasti tahu bahwa dia kalah kuat!
Maka dengan marah dia lalu menerjang maju sambil mengeluarkan teriakan
melengking. Lai Ceng Gun menyambutnya dengan sikap tenang.
Kembali mereka bertanding, saling serang dengan seru sehingga para penonton
merasa tegang. Tingkat kepandaian silat mereka memang tidak berselisih banyak.
Kalau Lai Ceng Gun menang kuat tenaga saktinya, ilmu silatnya tidak seganas yang
dimainkan Boan Su Kok sehingga kedua kelebihan pada diri masing-masing ini
membuat pertandingan itu ramai dan seru bukan main.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum tampak ada yang menang dalam pibu itu.
Boan Su Kok yang tahu bahwa kalau mengadu tenaga sakti secara langsung dia yang
akan rugi, kini tidak mau mengadu tenaga secara langsung. Sepak terjangnya ganas
dan buas, bagaikan seekor singa terluka yang marah. Akan tetapi Lai Ceng Gun
tarrpak tenang dan gerakannya mantap, pertahanannya kokoh bagaikan bagaikan
batu karang.
"Remuk kepalamu!" Boan Su Kok membentak dan kepalan tangannya yang sebesar
kepala manusia itu mendorong dan menyambar ke arah kepala Lai Ceng Gun. Murid
Ciang Kauwsu atau yang di Hunam terkenal dengan sebutan Hunam Taihiap
(Pendekar Dari Hunam) itu cepat mengerahkan tenaga untuk menyambut yang
berarti hendak mengadu tenaga. Boan Su Kok sudah merasa gentar untuk mengadu
tenaga, maka cepat dia menarik kembali tangannya yang memukul. Kesempatan itu
dipergunakan Lai Ceng Gun untuk menggunakan tangan yang terbuka menampar
pundak lawan.
“Wuuuttttt.......... plakkk!!” Tubuh Boan Su Kok terhuyung ke belakang dan mukanya
berubah semakin hitam. Orang ini memang tidak tahu diri. Kalau dia tidak dibuat
mata gelap oleh kemarahan, tentu dia tahu bahwa Lai Ceng Gun memang sengaja
tidak mau mencelakainya. Kalau pukulan atau tamparan tangan tadi mengenai leher
atau dadanya, tentu keselamatannya terancam maut. Baru tenaga tamparan itu saja
sudah dibatasi, kalau dikerahkan semua, tentu tulang pundaknya sudah remuk. Akan
tetapi Lai Ceng Gun membatasi tenaganya sehingga tamparan pada pundak tadi
hanya membuat Boan Su Kok terhuyung-huyung dan tidak terluka sama sekali.
Boan Su Kok marah sekali dan bagaikan seekor binatang buas, dia menggereng dan
sudah menerjang dengan tubrukan nekat. PukulanBoan Su Kok kearah dadanya
dihindarkannya dengan menari tubuhnya ke belakang sehingga pukulan itu tidak
sampai. Akan tetapi tiba-tiba saja ada benda kecil mencuat dari bawah lengan Boan
Su Kok.
"Wuuuttt........ crattt............ !!" Tangan Boan Su Kok memang tidak mencapai
sasaran, akan tetapi dari bawah lengannya, tersembunyi di dalam lengan bajunya,
tiba-tiba mencuat sebatang pisau dan pisau ini mengenai dada Lai Ceng Gun!
Biarpun tidak terlalu dalam, namun pisau itu telah melukainya sehingga tubuh Lai
Ceng Gun terhuyung ke belakang.
"Heiii........... curang ..........!" Hunan Taihiap melompat ke atas panggung tanah
tinggi.
"Jangan mencampuri!" Tiba-tiba Tung Hai-tok juga melayang ke tempat itu dan
begitu tangannya didorongkan ke arah Ciong Kauwsu, angin pukulan yang dahsyat
menyambar. Ciong Hoat, Pendekar Hunan itu cepat menyambut dengan dorongan
tangannya. Dua tenaga sakti jarak jauh saling bertemu.
"Wuuuttt............ desss........ !" Tubuh guru silat Ciong terdorong ke belakang. Dia
terkejut dan cepat turun kembali karena tidak ingin bermusuhan dengan Tung Haitok
yang amat lihai. Tadi pun dia sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri
atau mengeroyok. Dia hanya ingin protes karena Boan Su Kok bermain curang,
menggunakan senjata rahasia dalam pertandingan. Sambil tertawa Tung Hai-tok
juga melompat kembali ke tempat duduknya.
Boan Su Kok yang melihat lawannya sudah terluka, kini tanpa banyak cakap lagi
sudah menerjang dengan pukulan mautnya setelah pisau itu otomatis masuk dan
bersembunyi kembali ke dalam lengan baju.
"Remuk kepalamu!" bentaknya sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah
kepala Lai Ceng Gun yang masih sempoyongan dan tangannya mendekap dada yang
luka mengucurkan darah.
"Wuuush........... plakkk! Ahhhhh........... !" Boan Su Kok melangkah ke belakang
dengan kaget dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya karena tangan
kanannya terasa panas sekali. Dia terkejut dan heran, akan tetapi terutama sekail
marah bukan main melihat bahwa yang menangkis pukulannya tadi adalah seorang
gadis cantik yang berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek kepadanya.
Lai Ceng Gun yang baru saja diselamatkan oleh gadis yang tiba-tiba muncul dan
menangkis pukulan Boan Su Kok tadi, menoleh kepada gurunya dan Ciong Kauwsu
memberi isarat dengan tangan agar dia turun. Pemuda itu lalu melompat turun dan
gurunya segera memeriksa luka di dadanya, lalu mengajaknya pergi dari situ.
Setelah mengamati gadis itu, Boan Su Kok hampir tidak percaya bahwa gadis itu
yang tadi menangkis pukulannya. Gadis itu bertubuh sedang, ramping dengan
pinggang kecil namun tubuhnya sintal dan padat dengan lekuk lengkung yang
menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dikuncir ke belakang dan diikat pita
merah. Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut melingkar-lingkar.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya runcng. Sepasang matanya yang kedua
ujungnya meruncing ke atas itu bersinar-sinar seperti bintang. Mulutnya selalu
membayangkan senyum sinis, dengan bibir yang selalu merah basah tanpa gincu,
hidungnya kecil mancung lucu. Pakaiarnnya serba hitam sehingga kulit lengan, Juga
lehernya, tampak semakin putih mulus. Setelah kini melihat gadis itu ternyata amat
cantik, apalagi mulut yang mungil itu tersenyum-senyum kepadanya, Boan Su Kok
merasa semangatnya seperti melayang meninggalkan tubuhnya. Dia bukanlah
seorang yang mata keranjang, akan tetapi melihat gadis secantik ini, seperti seorang
dewi, laki-laki mana yang tidak akan terpesona? Akan tetapi dia dapat menenangkan
hatinya dan dia pun melangkah maju sambil tersenyum menyeringai sehingga
mukanya makin menyeramkan. Giginya tampak mengkilap berada di tengah
wajahnya yang berkulit hitam arang itu.
"Nona, apakah engkau hendak mengikuti pi-bu? Menurut peraturannya, untuk
menjadi penantangku engkau harus mengikuti pertandingan awal, mengalahkan
para peserta lainnya lebih dulu. Kalau engkau keluar sebagai pemenangnya, barulah
engkau berhak menjadi penantangku"
"Gadis itu bertolak pinggang. "Aku tidak ingin' mengikuti pibu, aku hanya ingin
menantang siapa yang berani mengaku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap di sini!
Karena aku baru datang, maka aku tidak tahu siapa yang menjadi juara yang akan
mempertahankan gelarnya."
"Akulah juaranya, Nona. Aku, Boan Su Kok, dua tahun yang lalu merebut gelar
Jagoan Nomor Satu dan sampai sekarang belum terkalahkan. Akulah sang juara!"
Suara Boan Su Kok terdengar penuh kebanggaan dan dia membusungkan dadanya
yang bidang dan kokoh.
Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tertawa bebas lepas, tidak seperti para gadis lain di
jaman itu kalau tertawa, tanpa suara dan menutupi mulut dengan tangan. Gadis ini
tertawa terbahak seperti seorang laki-laki, bertolak pinggang, menengadahkan muka
dan membuka mulut lebar-lebar, tubuhnya terguncang ketika tertawa.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh................ !!"
Boan Su Kok terpesona memandang mulut yang terbuka itu. Kalau sepasang bibir
yang tipis dan penuh itu berwarna merah, ketika mulut itu terbuka, tampak rongga
mulut yang lebih merah lagi dan ujung lidah yang runcing dan merah muda. Mulut
yang menggairahkan dan suara tawa itu pun merdu seperti suara nyanyian.
Boan Su Kok merasa penasaran juga mendengar ada suara tawa pula menyambut
tawa gadis itu dari mereka yang hadir. Suara tawa gadis itu demikian bebas dan jelas
disebabkan oleh perasaan yang geli dan merasa lucu sehingga suara tawa seperti itu
mudah menular, membuat orang-orang lain ikut tertawa walaupun mereka tidak
tahu apa gerangan yang ditertawakan gadis itu!
"Nona, kenapa engkau tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya Boan Su Kok
penasaran.
Mendengar pertanyaan ini, tawa gadis itu semakin menjadi. Kemudian, diselingi
mara tawa geli, ia memandang ke empat juru dan berkata kepada mereka yang
menonton di situ.
"Haiii........... kalian semua mendengar itu? Monyet Muka Hitam ini menjadi
Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia?
Ohhh tidak..........., heh-he-heh!" la menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Boan
Su Kok dan terkekeh lagi.
Boan Su Kok tadi terpesona oleh kecantikan gadis itu, biarpun, sekarang marah, dia
masih dapat menahan kemarahannya bahkan kini dia membalas penghinaan itu
dengan bujukan. "Nona, aku merasa kasihan dan sayang sekali kalau sampai engkau
mati atau terluka dalam pertandingan, maka jauh lebih baik engkau yang cantik ini
menjadi isteriku saja karena aku juga belum bensteri!"
Gadis itu tidak menghentikan senyumnya yang kini tampak mengejek. "Boan Su Kok,
Monyet Muka Hitam, jadi engkau belum mempunyai isteri? Kebetulan sekali, aku
mempunyai peliharaan seekor lutung hitam, kiranya akan sepadan sekali kalau
menjadi isterirnu!"
Kembali terdengar orang tertawa walaupun dengan hati merasa khawatir akan
keberanian gadis rnuda belia itu. Gadis itu baru mulai dewasa, paling banyak
delapan belas tahun usianya, akan tetapi berani sekali menghina dan
mempermainkan seorang yang amat tangguh dan kuat seperti Boan Su Kok!
Boan Su Kok yang memang pada dasarnya bukan seorang mata keranjang, kini tidak
dapat menahan kemarahannya lagi. Rasa kagum dan berahinya seketika lenyap,
terganti kemarahan yang mendatangkan nafsu membunuh. Mukanya kini berwarna
hitam sekali, matanya mencorong seperti api membara dan hidungnya mendengusdengus
seolah hidung seekor sapi yang marah dan mengeluarkan uap!
"Gadis kurang ajar! Kau tidak tahu orang mengalah dan bersikap baik kepadamu!
Engkau memang patut dihajar dan jangan bersambat kalau aku merusak
kecantikanmu dan membuat engkau berubah menjadi buruk rupa. Hiaaaaahhh.....!"
Boan Su Kok sudah menerjang dengan ganasnya, bagaikan seekor harimau
menubruk kelinci, dia menerkam dengan kedua tangannya membentuk cakar
harimau untuk menangkap dan mencabik-cabik kulit putih mulut itu.
"Aih, Monyet Muka Hitam menjadi gila dan ngamuk!" Gadis itu mengejek dan
dengan gerakan yang ringan luar biasa bagaikan seekor burung terbang taja dara itu
sudah mengelak sehingga tubrukan Boan Su Kok mengenai tempat kosong. Dengan
gerakan cepat dan mulutnya mengeluarkan gerengan buas Boan Su Kok sudah
membalikkan tubuh dan menyerang bertubi-tubi dengan cengkeraman, pukulan,
diseling tendangan kakinya yang panjang.
"Haiiit, luput!. Hemmm, gerakanmu lamban sekali, Monyet Hitam! Apakah engkau
belum makan?" Gadis itu dengan lincahnya mengelak dan tubuhnya seolah berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata.
Semua serangan yang dilakukan oleh Boan Su Kok dengan gencar dan bertubi-tubi
itu sama sekal tidak pernah dapat menyentuh ujung baj gadis itu sehingga Boan Su
Kok menja semakin marah dan penasaran!
Setelah serangan gencar itu berlangsung dua puluh jurus lebih, tiba-tiba gadis yang
masih selalu mengelak disertai suara tawa dan ejekan yang memanaskan hati,
berseru.
"Monyet hitam rasakan ini!" Ia kini dengan gerakan yang luar biasa cepatnya
membalas, tangan kanannya meluncur dan dua jari tangan kanan itu menyambar
dan menusuk ke arah mata lawan. Boan Su Kok terkejut dan tentu saja dia tidak
ingin matanya ditusuk jari sehingga buta Maka cepat dia mengangkat kedua tangan
untuk menyambut tusukan itu sambil miringkan tubuh ke kanan.
"Wuuuttttt........... plakkk!" Tubuh Boan Su Kok terputar saking kerasnya tamparan
yang mendarat di pipi kanannya. Kiranya serangan tusukan ke arah mata tadi hanya
pancingan belaka karena begitu Boan Su Kok menangkis dan memiringkan tubuh ke
kanan, tangan kiri gadis itu dengan jari-jari terbuka menampar dan menghantam
pipi kanan Si Muka Hitam.
Demikian kuatnya tamparan itu sehingga Boan Su Kok merasa seperti, diumbar
halilintar dan tubuhnya terputar hampir terpelanting. Ketika dia dapat berdiri tegak
kembali, tangan kanannya meraba pipinya yang menjadi bengkak dan giginya
sebelah kanan ada yang tanggal. Juga ujung bibir sebelah kanan pecah berdarah.
Jagoan itu menggereng. Matanya mencorong buas dan kemarahannya sudah
memuncak.
"Jahanam, kubunuh kau..............!!" geramnya.
"Hi-hik, monyet hitam tolol seperti ini menjadi Pendekar Silat Nomor Satu? Kamu
menari saja di pasar tentu mendapatkan uang!" ejek gadis itu dan begitu Boan Su
Kok menubruk, tubuhnya menghindar ke kiri dan kaki kanannya mencuat dengan
kecepatan kilat.
"Ngekkk!" Kaki yang kecil itu menendang ulu hati lawan dan Boan Su Kok terengahengah.
Napasnya menjadi sesak dan lambungnya terasa pedih dan nyeri. Akan tetapi
dia tidak mempedulikan rasa nyeri itu dan menyerang lagi men babi buta..
Akan tetapi kini gadis Itulah yangj menyerangnya bertubi-tubi dan gerakannya
sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali tamparan dan tendangannya mengenai
sasarann dengan tepat.
"Plak-plak-bukkk............!" Beberapa kali tubuh Boan Su Kok dihajar sehingga kini
pipi kirinya juga bengkak dan perutnya mulas terkena tendangan kaki mungil itu!
"Keparat, mampus kau!" Boan Su Kok masih dapat memaki dengan suara pelo
(pelat) sehingga terdengar lucu. Banyak penonton yang sejak tadi tertawa melihat
betapa Boan Su Kok dihajar beri kali-kali dan dipermainkan oleh gadis yang amat
lincah dan lihai itu. Akan tetapi kini mereka memandang dengan mata terbelalak
dan hati tegang karena Boan Su Kok menyerang lagi dengan lebih nekat dan buas.
Ketika dia memukul dengan tangan kanan ke arah dada, gadis itu menarik tubuhnya
ke belakang, akan tetapi tiba-tiba tampak benda berkilat mencuat dari bawah
lengan kaitan yang memukul itu. Boan Su Kok telah menggunakan lagi senjata
rahasia, pisau yang disembunyikan di dalam lengan baju di bawah lengan. Dengan
menggunakan per (pegas) pisau itu dapat digerakkan mencuat keluar atau ditarik
kembali.
Agaknya ini yang dinanti-nanti oleh gadis itu. la tadi sudah melihat sendiri betapa
Boan Su Kok merobohkan penantangnya secara curang, dengan menggunakan
senjata rahasia itu. Maka kalau tadi ia hanya memberi tamparan dan tendangan,
yang dilakukan dengan tenaga terbatas, ia memang menanti agar lawannya
menggunakan senjata rahasianya itu. Begitu pisau itu mencuat mengancam
dadanya, ia cepat mengelak ke kanan. Boan Su Kok menyambutnya dengan pukulan
tangan kiri yang juga mengeluarkan senjata rahasia itu.
Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan seruan melengking, kedua tangannya bergerak
secepat kilat menotok kedua pundak lawan. Seketika Boan Su Kok merasa kedua
lengannya lumpuh dan sebelum dia dapat mencegahnya, dua tangan gadis itu telah
menyambar ke arah pergelangan kedua tangannya.
"Krek-krekkk!" Dua buah pisau itu telah dicabut dan kini berada di tangan gadis itu.
"Manusia curangi" Gadis itu memaki, kini suaranya tidak main-main lagi dan begitu
ia menggerakkan kedua tangannya, dua buah pisau itu meluncur dan menancap di
kedua pundak Boan Su Kok! Jagoan bermuka hitam ini mengaduh, akan tetapi
sebuah tendangan menyambar ke arah dadanya.
"Bukkk!" Tubuh tinggi besar itu terpental dan jatuh tepat di depan kaki gurunya,
yaitu Tung Hai-tok!
Semua orang terkejut sekali, juga kagum. Mereka yang memang tidak suka kepada
Boan Su Kok, bertepuk tangan riuh rendah. Akan tetapi pada saat itu, Tung Hai-tok
mengeluarkan gerengan dan suara yang menggetarkan jantung para pendengarnya
dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah melayang ke depan gadis itu. Sementara
itu, para anggautaTung-hai-pang menolong Boan Su Kok yang pundaknya tertusuk
sepasang pisaunya sendiri.
Gadis remaja itu agaknya merupakan seorang tokoh baru yang bagaikan seekor
burung muda baru belajar terbang menjelajahi dunia persilatan. Maka agaknya ia
belum mengenal datuk Lautan Timur ini dan memandangnya dengan senyum
ampuh. Sikapnya yang lincah, pemberani dengan mukanya yang cantik itu membuat
mimik yang lucu sungguh menarik hati para penonton. Ia memandang Tung Hai-tok
dengan sepasang mata bintangnya disipitkan, senyumnya manis sekali dan ia
berkata lantang.
"Wah, ini ada Cukong (Boss) kaya raya datang! Kalau engkau akan memberi hadiah
besar atas kemenanganku, ketahuilah bahwa aku tidak menginginkan uangmu.
Kalau hendak mengumumkan aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, aku pun tidak
butuh gelar itu. Aku datang hanya ingin nonton dan tadi melihat sang juara begitu
sombong dan curang, maka aku naik dan menantangnya!"
Tung Hai-tok adalah seorang datuk besar. Ribuan orang kangouv, terutama golongan
sesat, di sepanjang pantai Laut Timur merasa segan dan takut kepadanya. Maka,
tentu saja menghadapi seorang gadis muda belia seperti ini, dia merasa akan
merendahkan nama besarnya kalau dia menggunakan kekerasan menghajarnya
walaupun dia marah sekali melihat murid utamanya tadi dirobohkan dan dilukai.
Derjgan menahan sabar Tung Hai-tok yang berdiri tegak berkata kepada gadis itu.
Suaranya lantang dan menggelegar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan
mukanya yang persegi merah dan tampak bengis menyeramkan.
"Heh, bocah perempuan yang kurang ajar! Engkau berani melukai muridku dan
bersikap sombong mengejek aku! Hayo katakan siapa namamu dan siapa pula nama
gurumu!!"
Gadis itu tersenyum manis, agaknya sedikitpun tidak gentar menghadapi kakek yang
gagah perkasa, menyeramkan dan penuh wibawa itu. Dengan lagak seperti orang
berkenalan biasa, gadis itu berkata, suaranya nyaring merdu dan senyumnya ramah.
"Perkenalkan, namaku Song Kui Lin, adapun nama guruku tidak perlu kusebutkan
karena beliau tidak mempunyai urusan dengan siapapun di sini. Dan engkau sendiri
siapakah, Wan-gwe (Orang Kaya)?" Ucapannya begitu ramah dan wajar, sama sekali
tidak bernada menggoda atau mengejek.
Tung Hai-tok mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia memperlihatkan
kemarahannya kepada gadis yang masih kekanak-kanakan ini? Dia ingin menggertak
gadis muda belia itu dengan memperkenalkan namanya yang amat terkenal,
terutama di daerah timur.
"Dengar baik-baik, Nona Muda! Aku adalah Tung Hai-tok (Racun Laut Timur)!"
Diam-diam gadis itu terkejut karena gurunya pernah menceritakan dan
memperkenalkan nama para datuk dan tokoh besar dunia kangouw. Akan tetapi
dasar ia seperti burung muda baru pertama kali terbang menjelajahi keluar sarang,
ia seakan tidak tahu tingginya gunung dan luasnya samudera.
"Ah, kiranya Paman ini adalah Si Racun Laut Timur yang terkenal itu? Wah, senang
sekali aku dapat berkenalan denganmu, Paman Racun!" Lagaknya seperti bicara
dengan seorang kawan lama saja dan hal ini memang bukan dibuat-buat karena
gadis ini memiliki watak yang lincah, terbuka dan bebas. Akan tetapi tentu saja
datuk itu merasa dilecehkan.
"Bocah lancang! Kalau engkau tidak bermaksud merebut gelar, jangan membikin
kacau di sini. Hayo cepat kau turun dan pergi dari sini!"
Gadis yang bernama Song Kui Lin itu mengerutkan sepasang alisnya. "Aih-aih,
kenapa engkau mengusir aku? Apakah puncak ini rumahmu? Apakah Gunung
Thaisan ini milikmu? Sang Dewa Penjaga Gunung saja tidak pernah mengusirku,
bagaimana engkau dapat mengusirku, Paman Racun?"
Betapapun sabarnya hati Tung H i tok, karena kesabarannya itu hanya paksaan,
akhirnya dia marah juga.
"Bocah setan, kalau engkau tidak segera turun, aku akan mendorongmu pergi dari
sini!"
Gadis itu membelalakkan matanya yang indah dan bertolak pinggang. Satu di antara
watak Song Kui Lin adalah bahwa ia akan berbalik bersikap keras kalau orang main
paksa padanya.
"Aih-aih, lihat itu Si Cukong! Mau main paksa, ya? Bagaimana kalau aku tidak mau
turun?"
"Kalau begitu, pergilah!" Tung Hai-tok mendorongkan tangan kirinya dengan telapak
tangan terbuka menghadap ke arah Kui Lin. Gadis itu memang telah siap, maka
begitu kakek itu mendorongkan tangan kirinya, ia. menyambut dengan kedua
tangannya yang ia dorongkan ke depan.
"Wuuussshhhhh ........... desss!!" Tubuh Kui Lin terdorong mundur sampai ia
terhuyung beberapa langkah.
"Pergilah!" kata Tung Hai-tok.
Akan tetapi Kui Lin dengan keras kepala menjawab. "Aku tidak mau pergi!"
"Hemmm, agaknya engkau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, Tung
Hai-tok mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghimpun tenaga karena dia
hendak melakukan pukulan jarak jauh yang lebih dahsyat lagi.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun berwibawa. "Tahan.......... !" Dan terdengar
kelepak sayap burung Seekor burung rajawali raksasa meluncur turun dan hinggap di
atas tanah tinggi itu, tepat di antara Tung Hai-tok dan Song Kui Lin.
Si Han Lin yang berada di punggung burung itu cepat melompat turun. Dialah yang
tadi berseru melihat dari atas betapa kakek itu hendak melakukan serangan.
Beberapa orang yang hadir, begitu melihat burung itu, berseru. "Rajawali
Sakti.............!"
"Benar, Sin-tiauw muncul, berarti Thai Kek Siansu datang!"
Ketika Song Kui Lin melihat burung rajawali, ia cepat menghampiri dan mengamati
burung itu dari depan, belakang, kiri dan kanan. Ia tampak terheran-heran dan
kagum bukan main. Ia sama sekali tidak memperhatikan Si Han Lin yang berdiri
menentang pandang mata Tung Hai-tok yang marah.
"Aih, hebat sekali rajawali ini!" serunya, lalu gadis itu menghampiri Han Lin dan
bertanya. "Hei, sobat, apakah engkau hendak menjual rajawali ini? Berapa
harganya? Kalau boleh aku ingin membelinya!"
Han Lm yang tadinya memperhatikan Tung Hai-tok, kini perhatiannya beralih dan
melihat gadis itu dan mendengar pertanyaannya, dia tersenyum geli. Bukan main
gadis ini, pikirnya. Baru saja terbebas dari ancaman maut di tangan kakek muka
merah itu, kini sudah lupa lagi dan ingin membeli rajawalinya, seolah tidak pernah
terjadi sesuatu yang mengancam nyawanya!
"Adik yang baik "
"Ihhh! Siapa adikmu? Aku bukan adik mu dan engkau bukan kakakku! Kalau engkau
kakakku, rajawali ini tidak perlu kubeli, cukup kuminta saja!" gadis itu memotong,
galak.
Han Lin tertawa. Ha-ha, baiklah Nona. Rajawali ini tidak kujual, mana ada orang
menjual sahabat baiknya? Dia itu sahabat baikku yang setia dan kami saling
menyayang. Biar dibeli segunung emas pun tidak akan kujual."
"Hemmm, menarik sekali! Dia bisa membawaku terbang, ya? Bolehkah aku mencoba
menungganginya agar aku dibawa terbang?"
"Boleh saja kalau dia mau." kata Han Lin sambil tersenyum. Dia maklum bahwa
kecuali dia dan Thai Kek Siansu, tidak ada orang lain yang dapat menunggangi
punggung Tiauw-ko (Kakak Rajawali) karena burung itu pasti tidak mau. Biarlah gadis
liar ini membuktikannya sendiri karena kalau dia menolak, bukan tidak mungkin
gadis itu akan marah dan membuat ulah.
“Terima kasih, engkau baik sekali!" Kui Lin berseru girang lalu dengan gayanya yang
lincah ia melompat. Gerakannya ringan sekali dan ia sudah melompat ke atas
punggung rajawali yang cukup tinggi karena burung itu tidak mendekam seperti
kalau hendak ditunggangi Han Lin.
"Rajawali, terbanglah! Bawa aku terbang!" Kui Lin berseru setelah ia duduk di
punggung burung raksasa itu. Akan tetapi rajawali itu diam saja.
Gadis yang liar itu memang memiliki niat bahwa kalau ia sudah dibawa terbang, ia
akan membawa minggat burung itu. Kalau tidak boleh dibeli, ya dibawa kabur saja,
pikirnya. Akan tetapi burung itu tidak mau terbang.
"Hayo terbang! Kalau engkau tidak mau terbang, kucabuti bulumu!" Kui Lin
menggertak dan ketika burung itu tetap diam saja ia mulai mencabut beberapa helai
bulu di leher burung itu. Tiba-tiba rajawali itu terbang ke atas. Kui Lin bersorak
girang, akan tetapi setelah burung itu terbang setinggi pohon dia lalu jungkir balik!
Tentu saja Kui Lin terkejut bukan main dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya
jatuh ke bawah. Karena tidak menyangka dan terkejut, gadis it sama sekali tidak siap
maka ia terjatu tanpa dapat mengatur keselmbangannya sehingga terjatuh dengan
kacau, kaki tangannya bergerak-gerak sehingga ia ketakutan dan menjerit.
Agaknya rajawali sengaja melemparkan Kui Lin ke arah tempat berdirinya tadi dan
tubuh gadis yang melayang turun dengan kacau itu agaknya akan menimpa Han Lin!
Dengan tenang sambil tertawa Han Lin bergerak dan kedua lengannya dapat
menyambut tubuh Kui Lin sehingga gadis itu terjatuh ke dalam pondongannyai tidak
sampai terbanting ke atas tanah.
Kui Lin segera meronta dan turun, lalu membalik dan melihat rajawali telah berdiri
lagi di situ dengan sikap tenang dan dari bawah terdengar orang-orang tertawa
menyaksikan penstiw a lucu ketika gadis itu jatuh tadi, ia membanting-banting kaki
kanannya dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak marah.
"Kamu jahat!" bentaknya dan ia lalu melompat jauh, turun dari panggung tanah
tinggi itu dan melarikan diri. Han Lin menghela napas panjang, merasa iba karena dia
tahu bahwa gadis itu agaknya merasa malu ditertawakan banyak orang.
Sementara itu, Tung Hai-tok yang sejak tadi hanya melihat dan marah karena
merasa dirinya tidak dipedulikan, setelah gadis itu pergi, dia membentak pemuda
itu.
"Orang muda lancang! Siapa engkau berani mencampuri urusanku dan berani
menghalangi aku membunuh gadis liar tadi?"
Han Lin mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan, bukan
hanya kepada Tung Hai-tok, akan tetapi juga kepada semua orang karena dia
memberi hormat sambil menghadap ke empat penjuru.
"Lo-cian-pwe dan Saudara sekalian yang berkumpul di sini. Saya datang memenuhi
perintah Suhu Thai Kek Siansu yang tidak sempat datang sendiri. Suhu ingin saya
menyampaikan kepada Saudara sekalian penyesalan beliau bahwa kini pemilihan
gelar Thian-he Te-it Bu-hiap bukan lagi pertemuan persahabatan untuk memperluas
pengalaman, melainkan menjadi ajang permusuhan. Pi-bu yang di Adakan menjadi
tempat perkelahian yang menjatuhkan korban. Hal ini amat tidak baik sehingga para
pimpinan aliran persilatan besar semua mengundurkan diri. Maka Suhu minta agar
pertandingan seperti ini dibubarkan dan ditiadakan saja, demi menjaga kerukunan
antara para tokoh kang-ouw."
Mendengar ini, Tung Hai-tok tertawa rgelak. Suara tawanya itu jelas dilakukan
dengan pengerahan tenaga sakti sehingga mendatangkan gelombang suara yang
menggetarkan jantung mereka yang berada di puncak itu. Demikian kuatnya suara
itu menggetarkan jantung sehingga hanya mereka yang memiliki tingkat tinggi saja
yang kuat bertahan dengan mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi jantung
mereka. Akan tetapi mereka yang kurang kuat tenaga dalamnya, cepat menutupi
kedua telinga dengan tangan lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Bahkan ada
yang tergulin roboh, biarpun sudah menutupi kedut telinga dan dari celah-celah jari
tangai yang menutupi telinga menetes darah yang keluar dari telinga mereka!
Han Lin juga merasakan getaran itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sakti dan
berkata. "Lo-cian-pwe, jangar melukai orang-orang yang tidak bersalah apa-apa."
Tiba-tiba terdengar bunyi pskik melengking. Itu adalah suara burung rajawali yang
melengking sambil mendongak ke atas. Suara lengkingan panjang itu menutup suara
tawa kakek itu. Tung hal-tok menghentikan tawanya dan ber kata kepada Han Lin.
"Bocah sombong, engkau anak kecil kemarin sore bicara seolah-olah engkau menjadi
seorang datuk yang berkedudukai tinggi! Engkau mewakili gurumu, Thai Kek Siansu?
Huh, ada urusan apakah Thai Kek Siansu dengan kami? Kalau dulu tidak mau ikut
pesta pemilihan ini, tida perlu banyak cakap. Aku Tung Hai-tol sama sekali tidak
takut kepada Thai Kek Siansu, apalagi kepada muridnya. Dia atau engkau tidak
berhak mengatur kami. Hayo engkau dan burungmu itu cepat pergi dari sini, kalau
tidak aku akan menghajarmu dan membunuh burungmu!"
Han Lin memandang kakek itu dan dia teringat akan nama ini yang pernah disebut
oleh gurunya sebagai seorang datuk sesat di daerah timur. Tadi di atas punggung
rajawali dia melihat betapa kakek ini dengan pukulannya yang amat dahsyat
mengancam keselamatan gadis muda belia itu, maka tahulah dia bahwa kakek ini
amat lihai akan tetapi juga kejam.
"Ah, kiranya Locianpwe adalah datuk timur yang terkenal itu. Terimalah hormat saya
dan salam dari Suhu karena Suhu memesan agar saya menyampaikan salamnya
kepada semua orang gagah yang berkumpul di sini. Locianpwe memang tidak
semestinya takut kepada Suhu karena Suhu tidak ingin ditakuti. Suhu hanya
menginginkan agar semua pihak di dunia persilatan hidup dengan akur dan
mempergunakan kepandaian mereka untuk membela nusa dan bangsa menegakkan
kebenaran dan keadilan sehingga kehidupan manusia di dunia in sejahtera dan
berbahagia. Suhu hanya ingin agar saya melerai dan menghenti kan semua
pertikaian yang terjadi di sini dan mulai sekarang tidak ada lagi perebutan gelar yang
hanya membawa perpecahan dan perebutan, menimbulkan dendam dan
permusuhan."
Ucapan itu membuat semua orang terdiam dan ada yang mengangguk-anggukkan
kepala. Sebagian besar dari mereka mengetahui siapa adanya Thai Ke Siansu yang
mereka anggap sebagai seorang dewa yang amat sakti. Merek merasa segan dan
tidak berani karen maklum bahwa selama ini mereka belum pernah mendengar ada
datuk atau tokoh kang-ouw yang mampu menandingi kesaktian Thai Kek Siansu.
Agaknya Tung Hai-tok tahu akan hal ini dan dia menjadi semakin penasaran dan
marah.
"Si sombong Thai Kek Siansu sungguh tidak memandang muka orang! Disangkanya
aku ini siapa? Begitu berani dia memandang rendah aku, mengirim seorang anak
kemarin sore untuk memberi wejangan kepadaku! Hai orang muda sombong, sekali
lagi aku peringatkan, cepat engkaudan burungmu pergi dari sini atau aku akan turun
tangan membinasakan kalian!"
"Locianpwe Tung Hai-tok, Suhuku selalu bilang bahwa yang berhak mencabut
kehidupan seseorang adalah yang memberi kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha
Kuasa. Engkau tidak pernah memberi kehidupan kepada saya dan Tiauw-ko,
bagaimana mungkin engkau hendak mencabut kehidupan kami dan membinasakan
kami?"
"Bocah sombong1. Kaukira aku tidak mampu membunuh kalian berdua! Nah,
terimalah kematianmu!!" Tiba-tiba Tung Hai-tok melompat ke depan dan
mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Han Lin. Angin pukulan yang
dahsyat sekali menyambar ke arah Han Lin. Pemuda ini telah menerima ilmu yang
paling dalam yang dapat dimiliki manusia, yaitu penyerahan diri kepada Yang Maha
Sakti. Akan tetapi Thai Kek Siansu memesani kepadanya bahwa kalau segala usaha
dan ikhtiar sendiri tidak mampu menang gulangi keadaan, tidak mampu melindungi
diri maka dasar dari semua keadaan dirinya yang sudah mengandung penyerahan
diri sepenuh iman itu yang akan bekerja. Penyerahan diri sepenuhnya membuat
dirinya seolah tidak ada, yang ada hanya Kekuasaan Tuhan yang melindunginya
sehingga tidak ada apa pun mampu mengganggunya kecuali kalau Tuhan
menghendaki demikian. Dia tidak boleh hanya pasrah begitu saja tanpa berusaha..
Karena itu, walaupun pada dasarnya dia selalu berserah diri kepada Kekuasaan!
Tuhan, namun melihat Tung Hai-tok menyerangnya, dia pun menggunakan llmuilmu
yang telah dipelajarinya dari Thai Kek Siansu. Dia pun cepat mengerahkan
tenaga dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya.
"Syuuuuuttt.......... blarrrrr........... !" Dua tenaga sakti tingkat tinggi bertemu di udara
dan seluruh keadaan sekeliling tempat itu tergetar hebat. Tung Hai mengeluarkan
seruan kaget dan dia rpaksa melangkah mundur tiga kali. wajahnya yang merah
menjadi semakin merah, matanya mencorong penuh perasaan marah dan
penasaran. Dia merasa malu bahwa serangannya yang dia lakukan sepenuh tenaga
tadi, yang memang dilakukan untuk membunuh Si Han Lin, dapat ditolak mundur
oleh orang muda yang pantas menjadi cucunya itu! Karena tadi ketika menyerang
dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya dan ternyata pemuda itu dapat
menandinginya, dia tidak mau mengulangi lagi serangan dengan pukulan jarak jauh.
Tiba-tiba dia mencabut sepasang pedangnya yang berada di punggung dan sekali
melontarkan Siang-kiam (sepasang pedang) itu, tampak dua sinar meluncur ke arah
Han Lin. Ternyata sepasang pedang itu merupakan Hui-siang-kiam (sepasang pedang
terbang) yang bukan hanya dapat dilontarkan dan digunakan menyerang lawan dari
jauh, akan tetapi juga dikendalikan oleh kekuatan sihir sehingga sepasang pedang itu
seolah hidup dimainkan sepasang tangan yang tidak tampak!
Semua orang yang melihat permainan sihir yang berbahaya itu memandang dengan
hati tegang. Akan tetapi Han Linmemandang dengan sikap tenang saja, Ketika
sepasang pedang yang menjadi sinar itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan
tampak sinar terang ketika! pedang Pek-sim-kiam telah berada di tangannya. Pedang
itu biasanya memang dia simpan di balik jubahnya sehingga! tidak tampak dari luar.
Terjadilah pertandingan yang aneh dan menarik. Bagaikan benda-benda hidup! dua
batang pedang itu menyerang dengari gerakan cepat dan bertùbi-tubi ke arah
bagian tubuh Han Lin yang berbahaya. Namun, pemuda itu dengan amat tenangnya
menggerakkan pedangnya menangkisi semua serangan itu. Gerakannya juga cepat
sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang yang bergulung-gulung
menyelimuti dirinya dan menghalau semua sambaran sepasang pedang lawan itu.
Terdengar bunyi berkerontangan berulang-ulang dan tampak bunga api
berhamburan merupakan penglihatan yang amat indah menank.
Pada saat itu, Boan Su Kok yang telah sadar betul, walaupun luka-luka di pundaknya
membuat dia tidak dapat melakukan kekerasan, memberi isarat kepada para anak
buah Tung-hai-pang untuk maju mengeroyok Han Lin yang agaknya masih kuat
melindungi dirinya terhadap serangan sepasang pedang terbang gurunya. Mendapat
perintah ini, sedikitnya dua puluh orang anggauta Tung-hai-pang dengan pedang di
tangan. menyerbu naik panggung.
Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok Han Lin, tiba-tiba terdengar
teriakan rajawali dan burung itu sudah terbang dan menyambar mereka yang
hendak mengeroyok Han Lin. Para anak buah Tung-hai-pang terkejut dan mereka
mencoba untuk melawan dan menyerang rajawali itu dengan pedang mereka. Akan
tetapi hal ini membuat rajawali itu semakin marah. Paruhnya yang kokoh kuat Itu
mematuk-matuk, sepasang kakinya mencakar dan sepasang sayapnya menampar.
Dua puluh lebih anak buah Tung dai-pang itu berpelantingan dan tidak ada sebatang
pedang pun yang mampu melukai burung rajawali itu!
Sementara itu, Han Lin mulai mengerahkan tenaganya dan begitu dia menangkis,
dua batang pedang-terbang itu terpental jauh! Melihat ini, Tung Hai tok terkejut dan
cepat menarik kembali sepasang pedangnya yang segera terbang ke arah dirinya.
Dia menangkap pedangnya dan menyimpan kembali. Melihat betapa anak buah
Tung-hai-pang dibuat kocar-kacir oleh burung rajawali sedangkan serangannya
sendiri terhadap pemuda itu agaknya menemui kegagalan karena ternyata pemuda
itu tangguh sekali, Tung Hai-tok yang tidak ingin kehilangan muka karena dikalahkan,
lalu berkata lantang.
"Orang muda, katakan kepada Thai Kek Siansu bahwa lain waktu kami akan
membuat perhitungan dengannya!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat
turun dari tanah tinggi dan pergi, diikuti Boan Su Kok dan para anak anggauta Tunghai-
pang.
Rajawali melayang turun dan hingga di depan Han Lin lalu mendekam. Han Lin
melompat ke atas punggungnya dan ketika burung itu terbang, dia berseru kepada
mereka semua yang memandan kagum. "Harap Cu-wi (Anda sekalian) bubar dan
jangan mengadakan perebut gelar kosong ini lagi, yang hanya mendatangkan
permusuhan dan kekaccuan!"
Tungguuuuul" terdengar seorang berseru. "Siauw-eng-hiong (Pendekat Muda),
katakan kepada kami, siapa namamu?"
Si Han Lin tidak menjawab karena dia tidak ingin memperkenalkan namanya. Akan
tetapi, entah mengapa, tiba-tiba burung rajawali itu yang berbunyi dengan suaranya
yang nyaring melengking seolah menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia terbang
tinggi dan melayang pergi.
Mendengar ini, orang-orang itu berbisik-bisik, "Sin-tiauw, Sm-tiauw (Rajawali
Sakti)........!” Mulai saat itu, mereka memberi julukan kepada pemuda penunggang
rajawali yang tidak mereka ketahui namanya itu sebagai Sin-tiauw Eng-hiong
(Pendekar Rajawali Sakti)! Dan sejak itu, tidak ada lagi pertandingan di Puncak
Thaisan untuk memperebutkan gelar Jagoan Nomor Satu.
ooOOoo
Kakek bertubuh pendek gemuk yang mengenakan jubah seperti pendeta itu duduk
bersila di depan pondoknya yang sederhana. Pondok itu berada di puncak bukit di
Lembah Sungai Yangce. Usianya sekitar enam puluh tahun, namun wajahnya masih
tampak sehat belum banyak hiasan keriput. Kakek ini adalah Tiong Gi Cinjin, seorang
pertapa penganut Agama Khong-hu-cu (Confucianism). Dalam bagian depan kisah ini
kita sudah bertemu dengan Tiong Gi Cinjin, seorang di antara tiga pendeta yang
mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil, kemudian muncul pula Thai Kek
Siansu menemui mereka bertiga, berbincang-bincang tentang agama dan
kehidupan.
Kemudian, melihat Thai Kek Siansu memiliki seorang murid, tiga orang pendeta itu
pun mengambil keputusan untuk masing-masing mengambil seorang murid sebagai
pewaris ilmu-ilmu yang mereka kuasai.
Ketika Tiong Gi Cinjin bertemu dengan. Ong Su, masih termasuk keluarga Kerajaan
Chou yang sudah jatuh, dan melihat puterinya, hatinya tertarik untuk mengambil
anak perempuan berusia sepuluh tahun itu sebagai muridnya.
Ong Su yang masih berdarah bangsawan karena ayahnya dahulu adalah seorang
pangeran Kerajaan Chou, tadinya menjabat sebagai Pejabat Tinggi Kebudayaan. Dia
seorang sastrawan dan penganut Agama Khonghucu, maka dia mengenal baik Tiong
Gi Cinjin. Bahkan antara mereka terdapat hubungan yan akrab. Ketika Kerajaan Chou
jatuh di ganti Kerajaan Sung yang baru, biarpun Sung Thai Cu memperlakukan
keluarga Kerajaan Chou dengan baik, namun On Sun pergi dari kota raja dan tinggal
kota Nan-king.
Ong Su hanya memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Ong Hui Lan.
Ketika anak perempuan itu berusia sembilan tahun dan Tiong Gj Cinjin yang mencari
murid datang berkunjung ke rumah Ong Su dan melihat anak itu, hatinya tertarik.
Dia melihat betapa Ong hui Lan yang berusia sembilan tahun itu memiliki tulang dan
bakat yang baik sekali, juga anaknya sopan dan pendiam. Maka dia lalu minta
kepada sahabatnya agar menyerahkan Ong Hui Lan menjadi murid tunggalnya.
Karena keluarga itu percaya sepenuhnya kepada Tiong Gi Cinjin, maka ayah dan ibu
Ong Hui Lan tidak merasa keberatan. Anak itu lalu dibawa Tiong Gi Cinjin ke tempat
tinggalnya, yaitu di puncak sebuah bukit tanpa nama di Lembah Yangce. Selama
sepuluh tahun Hui Lan digembleng gurunya, diberi pelajaran silat, sastra, dan
pelajaran agama Khong-hu-cu. Setiap tahun sekali anak itu diberi kesempatan
pulang ke Nan-king menjenguk orang tuanya.
Demikianlah, setelah menjadi mur id Tiong Gi Cinjin selama sepuluh tahu Ong Hui
Lan kini menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Pada pagi hari itu, Tiong Cinjin duduk di
depan pondoknya dan tak lama kemudian Ong Hui Lan keluar dari pondok.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu tampak segar bagaikan setangkai bunga
mawar tersiram embun, la baru saja mandi dan bertukar pakaian setelah fajar
menyingsing tadi, seperti kebiasa annya sehari-hari, berlatih silat di kebun belakang.
Ong Hui Lan telah menguasai banyak ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali ia
memiliki ilmu pedang yang hebat. Gurunya, Tiong Gi Cinjin terkenal dengan julukan
Tung Kiam-ong (Raja Pedang Timur), maka tentu saja ia memperoleh pelajaran ilmu
pedang yang hebat.
Biarpun sejak berusia sembilan tahun Hui Lan tinggal bersama Tiong Gi Cinji dan
menganggap guru itu seperti ayahnya sendiri, namun tetap saja Hui Lan amat
menghormati gurunya. Ini adalah berkat pelajaran dalam Agama Khonghucu yang
menekankan hauw (bakti) kepada orang Tua dan guru. Ada empat macam Hauw
yang diajarkan Tiong Gi Cinjin kepada muridnya. Pertama adalah bakti kepada Tuhan
berupa ibadat kepadaNya. Kedua ialah bakti kepada orang tua dan guru berupa
kelakuan yang baik dalam kehidupan agar menjunjung tinggi dan mengharumkan
nama mereka. Ke tiga adalah bakti kepada negara dengan jalan menaati semua
ketentuan hukum negara, dan ke empat bakti kepada sesama manusia baik dengan
cara menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan
menentang yang jahat.
Melihat gurunya duduk di atas bangku didepan pondok, Hui Lan segera maju dan
berlutut memberi hormat. Akan tetapi Tiong Gi Cinjin memegang lengannya dan
ditariknya bangkit sambil berkata. "Duduklah di bangku, Hui Lan, aku ingin bicara."
Hui Lan bangkit dari duduk. Gadis ini memiliki kecantikan yang lembut. Wajahnya
bulat dan cemerlang seperti bulan purnama, gerak-geriknya lembut dan tegas.
Wataknya pendiam, matanya lembut namun tajam. Kulitnya putih mulus dan
tubuhnya ramping. Pakaiannya sederhana namun bersih. Dengan gerakan lembut
dan sopan ia lalu duduk berhadapan dengan gurunya, siap mendengarkan yang akan
dibicarakan gurunya. Ia rasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap
gurunya.
"Hui Lan, tahukah engkau sudah berapa lamanya engkau ikut deng diriku
mempelajari ilmu di sini?"
"Suhu, yang selalu mencatat hal itu adalah Ibu, dan ketika teecu baru pulang
setahun yang lalu, Ibu mengatakan bahwa teecu sudah sembilan tahun belajar ilmu
di sini. Maka, teecu kira sekarang teecu sudah sepuluh tahun belalajar di sini."
Tiong Gi Cinjin mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum. "Ibu betul, Hui
Lan. Sudah sepuluh tahun engkau belajar ilmu. Usiamu sekarang sudah sembilan
belas tahun. Engkau bukan anak-kanak lagi, sudah dewasa dan kukira sekarang
sudah tiba saatnya bagimu untuk memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari
dengan tekun dan penuh semangat. Nah, berkemaslah, Hui Lan. Engkau boleh
meninggalkan bukit ini dan sekali ini, aku tidak mengantarmu pulang ke Nan-king
karena aku sendiri akan merantau setelah selama sepuluh tahun berdiam di sini.
Pergunakanlah semua Ilmu itu sebaik-baiknya seperti yang telah berulang-ulang aku
nasihatkan kepadamu."
Terharu juga hati gadis itu mendengar bahwa ia harus berpisah dari gurunya yang
disayangnya seperti kepada ayahnya sendiri.
"Suhu sekarang sudah semakin tua. Teecu anjurkan agar Suhu sudi tinggal saja
bersama kami sekeluarga sehingga teecu dapat melayani Suhu."
Tiong Gi Cinjin tersenyum lebar, sinar matanya membayangkan kesukaan hatinya
mendengar ucapan muridnya itu. "Terima kasih, Hui Lan. Akan tetapi, sudah jenuh
aku tinggal mengeram diri dalam rumah. Aku ingin bebas lepas seperti burung di
udara, ingin merantau ke manapun hati dan kaki membawaku. Kalau sudah kenyang
berkelana, mungkin aku akan mengunjungi rumah orang tuamu. Sampaikan saja
salamku kepada ayah bundamu."
"Kalau begitu, Suhu, perkenankan teecu menghaturkan terima kasih atas semua
budi kebaikan Suhu yang telah Suhu limpahkan kepada teecu selama ini!" Hui Lan
menjatuhkan diri berlutut .dan memberi hormat kepada gjrunya. Tiong Gi Cinjin
membiarkan muridnya memberi hormat menyatakan terima kasihnya. Kemudian dia
berkata lembut. “
"Hui Lan, sekarang berkemas dan berangkatlah. Ceng-hwa-kiam (Pedang Bunga
Hijau) itu kuberikan padamu. Pergunakanlah sebaik mungkin."
Hui Lan memasuki pondok berkemas, membawa pedang milik suhunya yang biasa ia
pakai berlatih silat pedang. Ketika ia keluar lagi, gurunya sudah tidak ada.
"Suhu.........!" Ia memanggil dan dari jauh di bawah puncak terdengar jawaban suara
gurunya.
"Hui Lan, pulanglah ke Nan-king!” Selamat berpisah, muridku yang baik!"
Hui Lan terharu dan sambil mengerahkan tenaga khikang ia berseru ke arah
datangnya suara gurunya itu. "Suhu, harap menjaga diri Suhu baik-baik!"
Setelah merenung sejenak, memandangi sekeliling puncak yang telah menjadi
tempat tinggalnya selama sepuluh tahun, Hui Lan lalu turun bukit itu, hendak
melakukan perjalanan kembali ke rumah orang tuanya di Nan-king.
Biasanya, setiap satu dua tahun sekali, kalau ia pergi ke Nan-king menjenguk orang
tuanya, ia selalu ditemani gurunya dan selama itu, ia tidak pernah menemui
halangan atau gangguan apa pun dalam perjalanan. Akan tetapi sekali ini lain. Ia
melakukan perjalanan seorang diri dan pada jaman itu, seorang wanita, apalagi
kalau dia seorang gadis muda dan cantik pula, melakukan perjalanan seorang diri
mengandung ancaman bahaya besar. Seorang wanita seorang diri tentu akan diincar
para perampok, dan gadis muda yang cantik tentu membangkitkan nafsu jahat
seorang laki-laki mata keranjang.
Tentu saja Hui Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia bukan seorang gadis yang
lemah dan pendidikan yang diterimanya selama sepuluh tahun oleh Tiong Cinjin
membuat ia menjadi seorang gadis perkasa yang tidak takut menghadapi ancaman
apa pun dan dari siapa pun juga.
Setelah turun dari bukit itu, ia m lakukan perjalanan menyusuri Sung Yangce menuju
ke timur. Selama dala perjalanan ini, ia tidak mengalami ganguan walaupun setiap
bertemu orang- orang, terutama para pria, ia tentu men jadi pusat perhatian.
Agaknya sikapnya yang pendiam, garis mulutnya yang keras dan matanya yang lurus
memandang ke depan tidak pernah lirak-lirik ke sana sini, terutama sekali karena
ada pedang tergantung di punggungnya, membuat orang-orang tidak berani
bersikap sembarangan untuk menggoda Hui Lan.
Seperti pada tahun-tahun yang lalu kalau ia melakukan perjalanan ke Nanking
bersama suhunya, sore itu Hui Lan juga berhenti di kota Kiang-jung untuk
melewatkan malam. Ia pun menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Lokan
yang sudah menjadi langganannya. Tahun lalu bersama gurunya ia pun bermalam di
rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ia memperoleh kamar di loteng.
Pelayan yang sudah mengenalnya segera menyambutnya dan laki-laki setengah tua
yang pandai bersikap manis terhadap para tamunya, segera melayaninya dengan
ramah.
Setelah mandi dan bertukar pakaian, Hui Lan turun dari loteng dan memasuki rumah
makan yang berada di lantai bawah dan di depan. Pelayan rumah makan yang juga
sudah mengenalnya, segera mempersilakan gadis itu duduk di meja yang masih
kosong. Ketika Hui Lan menanti datangnya makanan yang dipesannya, seorang lakilaki
berusia sekitar empat puluh tahun menghampirinya dan membungkuk dengan
hormat sambil menegur dengan ramah.
"Selamat datang, Nona. Apakah Nona sekali ini tidak bersama Lo-cian-pwe Tiong Gi
Cinjin? Biasanya, Nona datang bersama guru Nona, mengapa sekarang Nona datang
sendiri saja?"
Ong Hui Lan memandang laki-laki itu dan alisnya berkerut. Laki-laki setertgal tua itu
bermuka seperti tikus, matanya yang sipit itu saling berpisah jauh sehingga dia
tampak licik sekali. Baru melihat mukanya itu saja, Hui Lan mempunyai perasaan
tidak suka kepada orang ini. Wajah seorang penjilat yang licik dari curang, pikirnya.
Akan tetapi karena orang itu bersikap hormat, ia menjawa juga.
"Aku datang sendiri. Engkau siapa?"
"Aih, Nona agaknya lupa kepada saya. Saya A Gun, pengurus rumah penginapai
merangkap rumah makan Lok-an ini Nona dan guru Nona adalah langganan kami
yang baik.”
Pelayan yang menyiapkan makanan yang dipesan Hui Lan, datang menghidangkan
makanan itu di atas meja. Melihat itu, A Gun berseru, "Ah, kenapa engkau hanya
menghidangkan minuman biasa? Tunggu, Nona, kami harus menghormati Nona
sebagai langganan kami yang baik. Akan saya ambilkan minuman anggur simpanan
kami!" Setelah berkata demiikian, A Gun pergi dengan langkah cepat sehingga Hui
Lan tidak keburu mencegah atau menolak.
Gadis itu mulai makan nasi dan lauk yang dipesannya. Selagi ia makan, pengurus
muka tikus itu datang lagi membawa sebuah guci kecil dan dua cawan kosong.
“Nona, ijinkan saya atas nama perusahaan kami menyuiangi Nona sebagai
fK'nghormatan dan selamat datang!" Dia menuangkan anggur yang berbau harum
ke dalam dua buah cawan itu dan menyerahkan secawan minuman itu kepada Hui
Lan dengan sikap hormat.
Karena orang bersikap hormat, Hui Lan merasa tidak enak untuk menolak. Ia
menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih. Aku menerima penghormatan
secawan minuman ini, akan tetapi selelah kuminum, harap tinggalkan aku dan
jangan menggangguku lagi!"
"Ah, baik, Nona. Silakan minum dan maafkan saya!" A Gun mengangkat cawannya
dan mengajak gadis itu minum. Agar orang itu tidak mengganggu lag Hui Lan juga
minum anggur manis dari cawannya. Minuman itu tidak terlalu keras dan selain
berbau harum, juga manis. Setelah minum, ia mengembalikan cawan itu kepada A
Gun.
"Terima kasih, Nona baik sekali! kata A Gun sambil membawa pergi guci arak dan
dua buah cawan itu.
Hui Lan melanjutkan makannya, kemudian ia membayar harga makanan da setelah
membersihkan mulutnya, ia langsung duduk bersila di atas pembaringan Dua jam
kemudian gadis itu sudah tidur pulas.
Gadis perkasa itu walaupun berilmu tinggi namun masih miskin pengalaman. Ia
bahkan tidak curiga ketika malam tadi sehabis makan ia merasa mengantuk dan
lemas sekali. Ia hanya mengira bahwa perjalanan sehari tadi membuat ia merasa
lelah dan perasaan lemas itu mungkin karena perpisahannya dengan gurunya
memang mendatangkan keharuan dan agak merasa kehilangan. Maka ia sama sekali
tidak mencurigai sesuatu.
Lewat tengah malam, keadaan sunyi karena semua orang sudah tidur nyenyak
hingga tidak ada orang mendengar ketika ada sebuah kereta memasuki pekarangan
rumah penginapan Lok-an. Di belakang kereta itu berjalan lima belas orang yang
rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang laki-laki tinggi kurus,
demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak, turun dari kereta itu yang
dihentikan oleh saisnya.
Seorang laki-laki keluar dari rumah penginapan itu menyambut Si Kurus. Orang itu
adalah A Gun yang menjadi pengurus rumah penginapan berikut rumah makan itu,
yang tadi malam menemui Hui Lan dan memberi minum secawan anggur kepada
gadis itu. A Gun memberi hormat kepada laki-laki kurus Itu.
"Bagaimana, A Gun? Arak dariku sudah diminumnya?" tanya orang itu.
"Sudah, Thaiya (Tuan Besar)............., sudah diminum akan tetapi hanya secawan
saya tidak dapat membujuknya untuk minum lebih."
"Secawan, sudah cukup untuk membuat ia tidur pulas. Hayo bawa kami ke
kamarnya!" Orang itu menoleh dan memberi isarat kepada tiga orang anak buahnya
untuk ikut. Mereka berempat la mengikuti A Gun menuju ke loteng d setelah tiba di
depan kamar Hui Lan, Gun lalu mengeluarkan sebuah kunci dan membuka daun
pintu kamar itu.
Lampu dalam kamar itu masih bernyala karena agaknya Hui Lan tid sempat
memadamkannya saking kuatnya kantuk menguasainya semalam. Dengan hati-hati
orang kurus itu masuk kamar diikuti tiga orang anak buahnya yang memegang
sebatang golok terhunus. A Gun sendiri tidak berani masuk, dan mengintai dari luar
pintu dengan hati tegang dan. takut-takut.
Setelah tiba di tepi pembaringan yang kelambunya juga tidak ditutup, mereka
melihat Hui Lan masih tidur nyenyak, tertelentang dengan pakaian dan sepatu masih
lengkap. Agaknya ia tidak sempat pula melepaskan sepatu dan berganti pakaian
ketika akan tidur. Laki-laki kurus itu tersenyum menyeringai dan mencoba untuk
menggoyangkan pundak Hui Lan, sedangkan tiga orang anak buahnya sudah siap
menyerang kalau gadis itu terbangun. Namun, Hui Lan tidak terbangun seolah
berada dalam keadaan pingsan. Ternyata obat bius yang terdapat dalam secawan
arak yang diminumnya semalam amat kuat.
"Aduh cantiknya................"
"Tubuhnya indah..............."
"Kulitnya putih mulus..............."
Laki-laki kurus Itu menoleh dan memandang kepada tiga orang anak buahnya
dengan merah. "Tutup mulut kalian dan jangan bicara atau berbuat kurang ajar
kepada gadis ini. Ia akan kuserahkan kepada Tong Taijin (Pembesar Tong) yang tentu
akan suka menukarnya dengan puluhan tail uang emas!"
Mendengar ini, tiga orang itu terdiam. Mereka pun girang mendengar kemungkinan
menerima hadiah uang perak dari Pembesar Tong yang terkenal royal kalau melihat
gadis cantik.
Laki-laki kurus itu adalah seorang kepala perampok berjuluk Sin-to Hui-Houw
(Macan Terbang Golok Sakti) yang terkenal di sekitar daerah kota Kian-jung,
terutama di sepanjang Sungai Yance seberang selatan. Dia memiliki sekit tiga puluh
orang anak buah dan setiap pedagang, baik yang lewat sungai maupun darat,
melewati daerah itu, harus membayar semacam pajak kepadanya kalau tidak ingin
diganggu. Sin-to Hui-houw tidak pernah mendapat tentangan pasukan penjaga
keamanan karena mempunyai hubungan erat dengan pembesar di kota itu. Boleh
dibilang semua pembesar di situ telah menerima "upeti" dari kepala perampok ini.
Selain merampok dan menggar siapa yang tidak mau membayar sumbangan
paksaan atau pajak berupa uang gerombolan ini juga tidak segan-segan mengganggu
wanita-wanita muda. Sin-to Hui-Houw menjadi "pemasok" gadis-gadis mulia dan
cantik bagi para pembesar yang memiliki kesenangan menambah isi "harta" mereka.
Maka, tidaklah mengherankan apabila kehadiran Ong Hui Lan di kota Kiang-jung
menarik perhatian kepala perampok itu. Akan tetapi ketika melihat bahwa gadis itu
yang setiap tahun datang kesitu ditemani Tiong Gi Cinjin, kepala perampok itu
menjadi jerih. Dia sudah mendengar akan kesaktian Tiong Gi Cin-Jin, maka biarpun
Pembesar Tong yang perrnah melihat Hui Lan dan tergila-gila menyuruh dia
mendapatkan gadis itu untuknya,'kepala perampok kurus itu belum juga berani
mengganggu Hui Lan. Akan tetapi diam-diam dia memesan kepada A Gun, pengurus
rumah penginapan Lok-an yang juga menjadi kaki tangannya untuk memberitahu
apabila gadis itu muncul di hotelnya.
Demikianlah, ketika mendengar laporan A Gun bahwa Hui Lan datang dan sekali ini
datang seorang diri, cepat kepala perampok itu memberinya sebuah guci arak berisi
anggur yang sudah di campuri obat bius kuat, untuk mengusahakan agar Hui Lan
dapat terbius Sin-to Hui-houw memang memiliki seorang guru yang ahli racun dan
ilmu silatnya cukup tinggi.
Merasa yakin bahwa Hui Lan benar benar terbius dan seperti orang pingsan! Si Colok
Sakti itu mengeluarkan tali hitam terbuat dari sutera yang amal kuat, lalu mengikat
kedua pergelangan tangan dan kaki gadis itu. Kemudian dua orang anak buahnya
mengangkat tubuh Hui Lan yang pingsan, dibawa keluar dani dimasukkan ke dalam
kereta. Kepala perampok itu masuk pula ke dalam kereta yang lalu dijalankan oleh
kusir ke eta dan di belakang kereta berjalan lima belas orang anak buah perampok
untuk mengawal kereta. Peristiwa itu berlangsung cepat dan tak seorang pun tamu
hotel itu tahu, bahkan ketika kereta itu berjalan keluar kota, tidak menarik
perhatian. Apalagi pada saat it semua penghuni kota Kiang-jung sudah tidur.
Obat bius yang membuat Hui Lan tertidur pulas itu memang kuat sekali. sampai pagi
Hui Lan belum juga terbangun dari tidurnya yang tidak wajar.
Sementara itu, Sin-to Hui-kouw menahan kereta itu di depan pondoknya di lengah
hutan di tepi sungai dan segera mengirimutusan kepada Pembesar Tong yang
bertempat tinggal di kota Hun-Iam, sebelah timur kota Kiang-jung di mana dia
bekerja sebagai seorang kepala keamanan. Markas pasukannya berada di Kiangjung,
akan tetapi dia sendiri tinggal di Hun-lam, di mana dia memiliki sebuah gedung
indah yang juga menjadi tempat peristirahatan atau tempat bersenang-senang
karena isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di sebuah rumahnya yang merangkap
kantornya di kota Kiang-jung. Di Hun-lam inilah Tong Tai-jin menyimpan selirselirnya
di mana dia sering mengadakan pesta pora bersama teman-temannya yang
sebagian besar merupakan rekan-rekannya atau sahabatnya, baik dari kalangan para
hartawan atau pun para tokoh persilatan yang mendukungnya. Hidupnya seperti
seorang raja saja dan memang pada waktu itu, setiap pembesar daerah yang
berkuasa, merupakan raja kecil yang memiliki pemerintahan dan hukum sendiri,
bahkan memiliki pasukan sendiri yang mendukungnya dan melaksanakan "hukum"
yang diadakan untuk membela kepentingannya
Mendengar berita bahwa Si Golok Sakti telahberhasil menawan Ong Hui Lan, gadis
yang membuatnya tergila-gila itu, Pembesar Tong menjadi girang bukan main. Dia
sudah melakukan penyelidikan tentang Ong Hui Lan dan menyuruh orang
membayangi ketika tahun lalu gadis itu pergi ke Nan-king. Dia tahu bahwa gadis itu
adalah puteri dari Ong Su, bangsawan Kerajaan Chou, bekas Kepala Kebudayaan
Pemerintah Chou yang telah jatuh. Maka dia semakin berbesar hati. Tentu mudah
saja menghadapi Keluarga Ong itu kalau mereka berani menentangnya. Mereka itu
dapat ia tuduh sebagai kaki tangan Kerajaan Chou yang sudah jatuh, yang menjadi
pemberontak! Kalau sampai sekarang Tong Taijin belum bisa mendapatkan gadis itu
adalah karena semua jagoannya mundur teratur ketika melihat Tiong Cinjin bersama
gadis itu. Akan tetapi sekarang gadis itu sendirian dan sudah tertawan oleh Si Golok
Sakti yang kini mempersilakan dia datang sendiri untuk menjemput kekasihnya yang
baru itu. Bagaikan seekor srigala mencium darah dari daging yang lunak, Tong Koo,
yaitu nama Pembesar Tong, menjilati bibirnya sendiri.. Kemudian dia lalu
mengumpulk lima belas orang perajurit pengawal dan mengajak jagoan-jagoan
andalannya, yaitu tiga orang yang dikenal sebagai Sun Hen-te (Tiga kakak beradik
Sun) yang merupakan tiga orang laki-laki gagah berusia antara tiga puluh sampai
empat puluh tahun dan terkenal memiliki ilmu pedang yang amat tangguh.
Sebetulnya mereka ini bukan penjahat dan pernah menjadi murid-murid Thian-sanpai.
Mereka menjadi pengawal-pengawal bayaran dari Tong Koo karena pembesar
itu memberi mereka upah yang tinggi dan selalu royal dengan hadiah-hadiah.
Bahkan mereka bertiga mendapatkan hadiah sebuah rumah yang cukup besar dan
mewah.
Demikianlah, pagi itu Pembesar Tong dikawal oleh lima belas orang perajurit
dipimpin tiga Sun Heng-te naik kereta menuju ke hutan di mana Sin-to Hui-Houw
menanti dengan tawanannya yang masih rebah pulas di dalam keretanya.
Pada saat itu, jauh di udara, burung rajawali yang ditunggangi Sin Han L in melayang
dan mengikuti rombongan Pembesar Tong itu.
Seperti kita ketahui, Han Lin dan rajawali itu meninggalkan Thai-san. Karena pemuda
itu ingin menggunakan kesempatan itu untuk berlalang-buana sebelum kembali ke
Puncak Cemara di Cin-ling-san, maka dia menyuruh rajawali itu mengambil jalan
memutar ke selatan.
Mula-mula dia tertarik melihat rombongan kereta yang dikawal pasukan kecil yang
melihat pakaiannya adalah para perajurit kerajaan. Akan tetapi tiga orang yang
berpakaian preman dan duduk dengan tegak dan gagah di atas kuda masing-masing,
jelas bukan perajurit. Han Lin tertarik sekali dan dia menyuruh Rajawali membayangi
dari atas. Ketika rombongan memasuki hutan di tepi sungai Yang-ce, sebuah hutan
yang lebat Han Lin menyuruh rajawali terbang rendah dan tetap membayangi
mereka dari pohon ke pohon.
Sementara itu, rombongan Tong Tai jin kini telah tiba di depan pondok, disambut
dengan muka tersenyum-senyum oleh Sin-to Hui-houw.
"Kiong-hi (selamat), Taijin! Taijin akan mendapatkan apa yang telah lama Taijin
idam-idamkan!" kata Sin-to H houw.
"Bagus, mana gadis itu?" tanya Tong Taijin yang berperut gendut dan bermuka
bopeng (burik cacar).
"la masih tidur pulas dalam kereta saya, Taijin. Boleh Taijin ambil dan pindahkan ke
kereta Taijin sekarang."
"Apa........... apa ia tidak berbahaya? Bukankah katamu ia murid seorang datuk yang
lihai?"
"Jangan khawatir, Taijin. Sekarang ia telah terbius dan apabila ia sadar, kaki
tangannya terbelenggu kuat. la tidak akan mampu melawan dan tidak berdaya lagi."
kata Sin-to Hui-houw sambil tertawa. "Mari lihatlah sendiri, Taijin."
Tong Koo, pembesar gendut bopeng itu, mengikuti kepala perampok menghampiri
kereta di mana Hui Lan rebah tak berdaya. Setelah tirai kereta disingkap dan melihat
gadis itu telentang dan tidur pulas, air liur memenuhi mulut Tong Taijin. Dia
menoleh kepada tiga saudara Sun Hengte yang mengikutinya Untuk menjaga
keselamatan majikan itu.
"Angkat ia ke keretaku!" katanya.
Tiga orang Saudara Sun itu bukanlah orang-orang jahat. Mereka hanya beringas
mengawal dan menjaga keselamatan Tong Koo dan mereka belum pernah
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kegagahan mereka. Murid-murid
Thian-san-pai ini menjadi pengawal Tong Koo hanya karena tertarik akan upah dan
hadiah yang banyak. Maka mendengar majikan mereka menyuruh mengangkat
seorang gadis yang agaknya pingsan itu dan memindahkannya ke kereta majikan
mereka, ketiganya saling pandang dengan ragu. Akan tetapi karena memindahk
seorang gadis pingsan bukan perbuat jahat, mereka akhirnya melakukannya. Dua
orang dari mereka menggotong tubuh Hui Lan ke kereta Tong Taijin.
Dari puncak sebatang pohon besar Han Lin melihat dan mendengar apa yang terjadi
di bawah itu. Dia mengerutkan alisnya dan biarpun dia belum memiliki banyak
pengalaman dan tidak pernah melihat kejahatan macam itu, namun nalurinya
mengisaratkan kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang tidak beres di bawah itu dan
bahwa gadis yang kelihatan pingsan atau tidur dan sedang dipindahkan itu agaknya
membutuhkan pertolongan.
Akan tetapi karena orang-orang yang berada di bawah itu belum melakuka sesuatu
yang jahat dan dia belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi, siapa berada di pihak
benar ataupun salah maka Han Lin menahan diri dan hanya menonton dengan
penuh kewaspadaan.
Sementara itu, hawa racun pembius itu mulai menguap dan meninggalkan Hui Lan.
Ia mulai sadar dan sejenak ia bingung. Akan tetapi gadis yang cerdik ini segera
teringat bahwa semalam ia minum anggur lalu terserang rasa kantuk, kini tahu-tahu
ia digotong orang dalam keadaan kaki tangan terbelenggu. Maka tabulah ia bahwa
ia menjadi korban kejahatan. Melihat banyaknya orang disekitar tempat itu, Hui Lan
berhati-hati dan pura-pura masih pingsan. Ia membuka sedikit matanya dan
mengamati mereka yang dekat dengannya. Dilihatnya bahwa pedangnya kini
tergantung di pinggang seorang laki-laki tinggi kurus yang mempunyai golok
tergantung di punggung, itu orang inilah yang menangkapnya selagi ia tidur dan
merampas pedangnya. Pada saat itu, seorang laki-laki gendut muka bopeng berusia
sekitar lima puluh tahun mendekatinya, lalu meraba pipinya dan berkata.
"Ha, engkau akan menjadi selirku terbaru dan tersayang, Manis............!"
Hui Lan tidak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi. Akan tetapi ia cerdik dan
memaklumi bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang mempunyai anak
buah puluhan orang dan agaknya di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu
silat tangguh. Maka ia tid ak mau sembarangan mengeluarkan kata kata. Ia harus
memperhitungkan keadaannya. Ketika dua orang yang menggotongnya itu, yang
agaknya memiliki tenaga kuat, memasukkan dan meletakkan tubuhnya dalam kereta
kemudian Si Gendut Muka Bopeng itu juga masuk dan duduk di dekat tempat ia
direbahkan telentang, mulailah Hui Lan menghimpun tenaga saktinya, perlahanlahan
membiarkan tenaga saktinya bergerak menyusup ke seluruh tubuhnya,
kemudian mengumpulkannya ke dalam kedua pergelangan tangan dan kakinya.
Pada saat itu, agaknya Tong Koci pembesar gendut bopeng itu melihat ia mulai
bergerak. Pembesar Tong membungkuk dan mendekatkan mukanya pada muka Hui
Lan, hendak menciumnya dari berkata.
"Manisku, engkau sudah sadar? Mari ikut aku pulang dan bersenang-senang............"
Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan suara pekik melengking yang amat nyaring dan
belenggu kaki tangannya putus! Tangannya mendorong dan Tong Koo berteriak
karena tubuhnya terlempar keluar dari tandu lalu terbanting jatuh ke atas tanah.
Hanya terdengar bunyi "ngekkk!" dan pembesar itu tak bergerak lagi karena jatuh
pingsan!
Tentu saja keadaan di situ menjadi gempar! Orang-orang tidak tahu apa yang telah
terjadi dan mengapa tahu-tahu Pembesar Tong itu terlempar keluar dari Kereta.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan keluar dari kereta dan bayangan itu
bukan lain adalah Hui Lan. Begitu keluar dari kereta, gadis perkasa ini langsung saja
melompat dan menerjang ke arah Sin-to Hui-houw, tangan kirinya dengan dua jari
meluncur ke arah pasang mata kepala perampok tinggi kurus itu. Gerakan Hui Lan
amat cepat dan tidak terduga sehingga Sin-to Hui-Houw yang banyak pengalaman
itu pun terkejut bukan main dan cepat menarik tubuhnya kebelakang dan kedua
tangannya bergerak melindungi matanya yang terancam buta! Akan tetapi pada saa
itu, tangan Hui Lan telah bergerak cepat ke arah pinggang kepala perampok itu dan
tahu-tahu pedang Ceng-hwa-kiam milik gadis itu yang tadi dirampas oleh Sin-to Huihouw
kini telah kembali tangan Hui Lan!
"Keparat! Tangkap gadis liar ini!" Sin to Hui-houw berseru sambil mencabut
goloknya. Lima belas orang anak buahnya juga mencabut golok dan mengepung Hui
Lan. Bahkan juga lima belas orang per jurit pengawal Pembesar Tong sudah
mencabut pedang dan ikut pula mengepung. Mereka marah melihat majikan atau
atasan mereka dilempar keluar kereta. Hanya tiga bersaudara Sun Hente saja yang
berdiri diam dan ragu. Ketika diangkat menjadi pengawal Tong Taijin, mereka sudah
mengatakan kepada majikan mereka itu bahwa mereka tidak maudiperintah
melakukan kejahatan dan pekerjaan mereka hanyalah melindungi Pembesar Tong.
Tadi mereka terpaksa tidak dapat mencegah majikan mereka dilempar keluar karena
hal itu sungguh terjadi tanpa ada yang menyangkanya, tadi, begitu melihat Tong
Taijin terlempar keluar, mereka bertiga cepat Menghampiri dan memeriksa.
Ternyata Tong Taijin tidak menderita luka parah, Hanya terkejut dan terbanting
sehingga jatuh pingsan. Mereka mengangkat tubuh pembesar itu dan
merebahkannya di dalam kereta, dan kini mereka bertiga lalunya menonton karena
sebagai murid-murid Thian-san-pai mereka merasa malu kalau harus mengeroyok
seorang gadis remaja bersama lima belas orang anggauta perampok yang dipimpin
Sin-to Hui-houw yang lihai, ditambah pula dengan lima belas orang perajurit
pengawal pembesar kerajaan!
Sementara itu, Hui Lan berdiri tegak, alisnya berkerut, mulutnya membayangkan
kemarahan, sepasang mata yang Indah Itu mencorong, dan pedangnya telah
dihunus dan melintang depan dada, mengkilat kehijauan.
"Gadis Liar, menyerahlah engkau sebelum kami menggunakan kekerasan!" bentak
Sin-to Hui-houw dengan na kemenangan karena dia telah mengepu gadis itu dengan
tiga puluh orang anak buahnya dan perajurit.
"Manusia-manusia busuk, penge hinai" Kalian menangkap aku dengan cara yang
curang dan kotor, menggunakan pembius! Hai, manusia-manusia rendah budi,
sebelum aku memberi hajaran ke kepada kalian, katakan, mengapa kali melakukan
kejahatan ini kepadaku!"
Pertanyaan ini tidak ada yang menjawabnya karena Sin-to Hui-houw sendiri tidak
mempunyai alasan yang kuat. Dia melakukan penangkapan atas diri Hui Lan hanya
atas perintah Tong pembesar yang mata keranjang dan yang tergila-gila kepada
gadis itu. Keadaan menjadi sunyi karena pertanyaan gadis itu tidak terjawab. Sin-to
Hui-houw yang melihat tiga orang Sun Heng-te diam saja, bahkan tidak mau ikut
mengepung padahal mereka adalah pengawal-pengawal Tong Taijin, segera berseru.
"Sam-wi Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja? Jawablah pertanyaan gadis ini,
mewakili Tong Taijin!"
Seorang di antara tiga bersaudara itu, yang tertua, menggelengkan kepala dan
mennjawab lirih. "Kami juga tidak tahu karena kami hanya menjadi pengawal, tidak
tahu betul akan urusan Tong Taijin ngan kalian atau dengan Nona ini."
Tiba-tiba Tong Taijin yang gendut itu Menjulurkan kepalanya keluar dari kereta. "Sun
Heng-te, kenapa kalian diam saja? Tangkap gadis itu! la adalah seorang mata-mata
pemberontak! Ketahuilah kalian semua bahwa ia adalah Ong Hui Lian, puteri dari
Ong Su bekas Kepala kebudayaan Kerajaan Chou dan masih anggauta keluarga
istana Chou. Nah, gadis ini sebagai keturunan keluarga Kerajaan Chou tentu menjadi
mata-mata sisa orang-orang Chou yang memberontak!Karena itulah aku
menangkapnya!" Dia berhenti sebentar untuk menenangkan pernapasannya yang
terengah-engah. "Hayo kalian semua bergerak, tangkap mata-mata itu, hidup atau
mati!"
Mendengar ini, semua orang bergerak menyerang Hui Lan yang berada dalam
kepungan. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebatan, didahului si
pedang yang hijau bergulung-gulung dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan
senjata para pengeroyok beterbangan beberapa orang pengeroyok roboh dengan
lengan terluka goresan pedang atau roboh terkena tamparan tangan kiri atau
tendangan kedua kaki mungil Hui Lan Kehebatan gerakan gadis ini sungguh
mengejutkan semua orang. Dalam waktu singkat saja sepuluh orang di antara tiga
puluh orang anak buah yang mengeroyok itu telah roboh! Sisanya menjadi jera dan
menjaga jarak.
Kini tiga orang kakak beradik Sung Heng-te setelah mendengar ucapan Tong Taijin
lalu mencabut pedang dan maju menghadapi Hui Lan Sin-to Hui-houw juga
menggunakan goloknya menyerang sehingga Hui Lan kini dikeroyok empat orang
yang memiliki ilmu silat cukup tangguh. Akan tetapi para anak buah kini hanya
mengepung dari jauh dan merasa jerih untuk ikut maju menyerang setelah sepuluh
orang rekan mereka roboh.
Han Lin yang mengintai dari puncak pohon bersama rajawalinya, kagum bukan main.
Kini dia tahu bahwa gadis itu ditangkap dengan obat bius dan dituduh menjadi
mata-mata, kini dikeroyok. Akan tetapi gadis itu lihai sekali sehingga Han Lin menjadi
kagum dan tahu bahwa dia harus membantu dan melindungi gadis Itu. Mudah
diketahui siapa yang jahat dalam peristiwa itu. Puluhan orang laki-laki mengeroyok
seorang gadis! Hal ini saja sudah memudahkan Han Lin siapa yang harus dibelanya.
Akan tetapi melihat sepak terjang gadis itu, dia hanya menonton dengan kagum dan
bersiap untuk menolong kalau gadis itu terancam bahaya.
Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Kini Hui Lan menghadapi lawanlawan
yang cukup tangguh. Empat orang pengeroyoknya tidak dapat disamakan
dengan puluhan anak buah yang tadi mengeroyoknya. Ilmu pedang tiga orang
bersaudara Sun Heng-te amat lihai, karena Thian-san-pai memang terkenal dengan
ilmu pedangnya. Adapun Sin-to Hui houw tentu saja ahli bermain golok sehingga dia
mendapat julukan Si Golok Sakti (Sin-to).
Gadis itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat. Ini pun tidak aneh Ong Hui Lan
adalah murid tunggal dari Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tu Kiam-ong (Raja Pedang
dari Timur) dan sudah mewarisi ilmu pedang dengan baik ditambah lagi ia bersilat
dengan Ceng hwa-kiam yang bersinar hijau. Tubuhnya berubah menjadi bayangan
yang dilindungi gulungan sinar hijau sebagai perisai. Bukan saja ia mampu
menghalau empat senjata lawan dengan sambaran sinar hijau yang menangkis,
bahkan ia pun mampu membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Berulang-ulang terdengar bunyi berdentang dan tampak bunga api berpijar ketika
sinar hijau itu bertemu dengan senjata empat orang pengeroyok.
Han Lin yang menonton dari atas pohon, harus mengakui bahwa ilmu pedang gadis
itu sudah mencapai tingkat yang tinggi dan permainan pedangnya sungguh indah,
mengandung kelembutan, namun memiliki daya tahan yang amat kuat. Karena
melihat betapa gadis itu dapat mengimbangi pengeroyokan empat orong itu, Han
Lin tidak mau turun tangan membantu.
Tiba-tiba terdengar Sin-to Hul-houw berseru nyaring.
"Suhu...........! Bantulah aku...........!!"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban. Si Golok Sakti berseru mengulangi
perkataannya sampai tiga kali, barulah terdengar jawaban dari dalam pondok.
"Murid tolol! Bersama tiga orang mengeroyok seorang gadis muda masih tidak
mampu mengalahkannya, betapa memalukan!" Suara itu terdengar parau dan dari
dalam pondok muncullah seorang kakek yang usianya sekitar tujuh puluh tahun,
mukanya penuh keriput dan tubuhnya kurus sekali, pakaiannya serba hitam dan dia
memegang sebatang tongkat hitam yang mirip Ular.
Begitu tiba di depan pondok dia langsung saja menyerang Hui Lan yang sudah
dikeroyok empat orang itu dengan tongkat ularnya. Dari atas Han Lin melihat betapa
serangan kakek bongkok ini dahsy sekali. Walaupun tubuhnya kurus dan bon kok,
namun ketika menyerang, gerakann mengandung tenaga dahsyat dan dari ujung
tongkat ularnya itu tampak sinar menghitam. Han Lin terkejut, apalagi melihat gadis
itu melompat ke belakang dengan kaget dan segera terdesak oleh empat orang yang
mengeroyoknya. Baru satu kali serangan saja kakek itu telah dapat membuat Hui
Lan terkejut mundur dan didesak para pengeroyoknya. Han Lin maklum bahwa kini
keadaaan gadis itu terancam bahaya, maka dia pun segera melayang turun diikuti
rajawali yang mengeluarkan pekik dahsyat.
Semua orang yang berada di bawah terkejut. Pada saat itu, Hui Lan terdesak dan
kakek kurus bongkok yang lihai itu, yang bukan lain adalah guru Sin-to Hui-houw
berjuluk Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) sudah mendorongkan tangan kirinya ke
arah Hui Lan yang sedang memutar pedang melindungi dirinya dari sambaran empat
batang senjata pengeroyoknya. Uap hitam menyambar keluar dari telapak tangan
kiri kakek itu.
"Syuuttt........... blarrr......... !" Uap hitam terdorong dan terpental kembali ke tangan
Ban tok Mo-ko yang menjadi terkejut sekali sekali dan dia sudah melompat ke
belakang dan mengeluarkan seruan melengking.
"Tahan semua............ !!" Seruannya membuat muridnya, Sin-to Hui-houw, dan tiga
Sun Heng-te menahan senjata mereka dan berlompatan ke belakang dekat kain
bongkok itu.
Hui Lan memandang kepada pemuda yang berdiri di dekatnya. Alisnya berperut. Ia
tahu bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu telah membantunya dan hal ini
membuat ia tidak senang. Ia tidak membutuhkan bantuan dan merasa masih
sanggup melawan semua pengeroyoknyal Mendengar kelepak sayap burung, semua
orang memandang ke atas dan burung rajawali itu kini menyambar turun dan
hinggap di atas cabang pohon yang tumbuh dekat tempat Han Lin berdiri.
Kini Ban-to Mo-ko sambil menatap tajam wajah pemuda itu, berkata, "Ho-ho, bocah
lancang! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami" Dia mengangkat
tongkat ularnya dan menudingkan tongkat ke muka Han Lin "Apakah engkau sudah
bosan hidup, berani menentang aku Ban-tok Mo-ko?"
Han Lin pernah mendengar nama ini sebut gurunya sebagai seorang di antara datukdatuk
sesat. "Lo-cian-pwe," katanya hormat. "Saya tidak ingin menentang siapa pun
tanpa sebab. Akan tetapi tadi saya melihat Nona ini dikeroyok puluhan orang lakilaki
gagah, kemudian malah Lo-cian pwe sebagai seorang datuk ikut mengeroyok.
Hal ini sungguh berlawanan dengan keadilan di dunia persilatan, maka terpaksa saya
datang untuk melerai menghentikan pengeroyokan yang tidak adil dan curang ini."
Mendengar ini, Ban-tok Mo-ko tampak malu dan rikuh sekali sehingga dia tidak
dapat segera menjawab, hanya berani ah-uh-uh saja seperti orang bingung.
"Heh, orang muda*" tiba-tiba terdengar suara dari dalam kereta. Tong Koo yang
bicara dengan keren. "Engkau gegabah, berani mencampuri urusan negara!
Ketahuilah, gadis ini adalah seorang mata-mata pemberontak, ia keturunan keluarga
Kerajaan Chou. Maka kami hendak menangkapnya. Kalau engkau membelanya,
berarti engkau ingin menjadi pemberontak pula!"
Diam-diam Han Lin terkejut. Kalau benar apa yang dikatakan orang gendut muka
bopeng yang melihat pakaiannya seperti seorang pembesar itu, keadaannya menjadi
gawat! Satu di antara nasihat-nasihat gurunya adalah bahwa dia sebaiknya tidak
membantu para pemberontak yang hanya menimbulkan kekacauan dan perang
yang akibatnya pasti menyengsarakan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang
perebutan kekuasaan antara orang-orang yang haus akan kedudukan dan
kekuasaan.
"Maaf, Nona. Benarkah engkau seorang pemberontak?" Han Lin memandang gadis
itu dan bertanya
.
Hui Lan cemberut. "Jahanam gendut bopeng itu bicara bohong! Aku memang masih
ada hubungan kekeluargaan dengan para bangsawan Kerajaan Chou, akan tetapi
aku bukan pemberontak dan tidak Ingin memberontak. Kalau memberontak
terhadap jahanam Itu, memang benar. Dia telah menyuruh kaki tangannya
menangkapku dengan obat bius dengan niat kotor dan hina. Orang macam dia
hanya mengotorkan dunia saja patut dihukum. Setelah berkata demikian, dengan
gerakan cepat sekali seperti seekor bur ung tubuhnya sudah melompat dan
meluncur ke arah kereta.
Empat orang perajurlt yang berada dekat kereta cepat mengangkat pedang
menyambut Hui Lan, akan tetapi begitu sinar hijau berkelebatan, empat orang itu
terpelanting roboh dengan lengan teri dan pedang mereka terlempar.
"Tolonggg.............. tolooonggggg........... " Tong Koo menjerit-jerit sambil berusaha
melarikan diri setelah turun dari kereta akan tetapi sebuah tendangan membuat dia
terjungkal dan ketika sinar hijau pedang di tangan Hui Lan menyambar pembesar itu
berkaok-kaok dengan suara sengau dan menutupi mukanya yang sudah tidak
memiliki bukit hidung. Hidungnya telah dibabat putus oleh pedang Hui Lan sehingga
mengeluarkan banyak darah. Sejak saat itu Si Hidung gelang Tong Koo harus diubah
julukannya menjadi Si Hidung Buntung!
Melihat ini, ributlah para pengawal dan anak buah perampok. Sin-to Hui-houw, tiga
orang Sun Heng-te, dan juga Ban-tok Mo-ko berlompatan hendak menyerang Hui
Lan. Bahkan anak buah mereka yang masih ada sekitar dua puluh orang itu sudah
menggerakkan senjata untuk mengeroyok.
Akan tetapi Han Lin berkata kepada burung rajawali yang bertengger di atas pohon.
"Tiauw-ko, lindungi gadis itu!" Dia sendiri lalu melompat dan berada dekat Hui Lan.
Ketika Ban-tok Mo-ko menyerang dengan tongkat ularnya, Han Lin cepat menangkis
dengan Pek-sim-kian. yang telah dicabutnya.
"Trakkkkk............. !!" Tongkat ular itu terpental dan Ban-tok Mo-ko menjadi semakin
marah. Kini dia menujukan serangan-serangannya kepada Han Lin. Dia bukan hanya
menyerang dengan tongkat, akan tetapi juga dengan pukulan tangan kiri yang
mengandung racun dan tendangan kakinya. Namun, semua serangannya itu dapat
digagalkan oleh Han Lin dengan tangkisan dan elakan. Yang membuat kakek
bongkok itu terkejut adalah ketika dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu
berani menangkis tangan beracunnya dengan tangan pula dan agaknya sedikit pun
hawa beracun tangannya tidak mempengaruhi pemuda itu! Bahkon setiap kali
beradu senjata atau tangan dia terdorong ke belakang sampai terhuyung, tanda
bahwa dia kalah banyak dalam kekuatan tenaga sakti.
Melihat gurunya agaknya kewalaha Sin-to Hui-houw segera datang membantunya.
Han Lin dikeroyok dua, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang pengeroyokan itu
sama sekali tidak membuat dia sibuk, bahkan dia masih dapat membagi
perhatiannya untuk mengamati keadaan gadis itu.
Hui Lan kini dikeroyok tiga bersaudara Sun. Tadi, ketika dikeroyok empat orang saja,
ia mampu mengimbangi mereka, maka kini setelah Sin-to Hui-houw
meninggalkannya untuk mengeroyok pemuda itu tentu saja ia yang hanya dikeroyok
tiga orang berada di pihak yang lebih unggul". Ketika dua kelompok perajurit dan
anak buah perampok itu, sebanyak dua puluh orang, mulai maju mengeroyok Hui
Lan, tiba-tiba rajawali itu menyambar dari .atas. Tadi ketika Han Lin menyuruh
rajawali itu melindungi gadis itu, burung itu terbang tinggi dan kini dia menyambar
dan menyerang dua puluh orang yang sudah mengurung dan hendak [mengeroyok
Hui Lan. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan biar mereka berusaha untuk
melawan dan menyerang rajawali yang mengamuk itu, namun usaha mereka sia-sia
belaka karena pedang dan golok mereka terpental dan tubuh mereka
berpelantingan, terkena pukulan sepasang sayap, sepasang cakar dan serangan
paruh burung itu. Mereka menjadi jerih dan tidak berani melawan lagi, bahkan
mereka lalu lari meninggalkan tempat itu.
Pembesar Tong Koo masih merintih-rintih sambil menutupi hidungnya dengan dua
tangan yang sudah berlepotan darah. Tidak ada seorang pun yang melolongnya
karena semua anak buahnya lari ketakutan. Sementara itu, Sin-to Hui-Houw sibuk
sendiri membantu gurunya mengeroyok Han Lin dan mereka berdua juga mulai
bingung karena semua serangan mereka sama sekali tidak pernah meryentuh tubuh
pemuda itu. Tiga orang saudara Sun yang mengeroyok Hui Lan juga terdesak hebat.
Akhirnya, seorang dari mereka terpelanting oleh tendangan kaki kanan Hui Lan,
sedangkan orang kedua terguling dengan luka sabetan ujung pedang di pahanya.
Orang ke tiga terpaksa menjauhkan diri, merasa tidak kuat melawan seorang diri.
Melihat keadaan mereka yang jelas menderita kekalahan, Ban-tok Mo-ko yang licik
maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia sendiri akan sulit untuk dapat menyelamatkan
diri dari pemuda yang amat lihai itu. Maka ketika dia mendapat kesempatan, dia
berseru kepada muridnya.
"Mari kita pergi!" Dia melompat belakang diikuti Sin-to Hui-houw. Tiba-tiba kakek
bongkok itu melemparkan sesuatu ke arah Han Lin dan Hui Lan.
"Nona, lari!" seru Han Lin dan cepat dia meluncur dan menyambar lengan Hui Lan,
dibawanya melompat jauh meninggalkan tempat itu.
Terdengar ledakan dan tampak hitam mengebul memenuhi tempat itu sehingga
menjadi gelap dan tercium bau yang amat keras dan busuk. Dari tempat yang agak
jauh pun Hui Lan masih dapat mencium bau busuk itu dan cepat menahan napas
dan semakin menjauh, telah yakin betul bahwa asap itu memang mengandung
racun yang amat jahat, Han Lin lalu menggunakan kedua tangannya untuk
mendorong ke depan Ada angin pukulan yang menyambar ke depan dan meniup
gumpalan asap hita itu. Melihat ini Hui Lan membantunya dengan pukulan jarak
jauh sehingga asap itu membuyar dan tertiup angin pukul dua orang muda perkasa
itu. Kemudia angin datang membantu dari samping dan ternyata burung rajawali itu
pun mengkibas-ngibaskan kedua sayapnya, menimbulkan angin dan gumpalan asap
itu segera tertiup pergi dan membubung ke atas.
Setelah asap hitam beracun yang dilepas Ban-tok Mo-ko melalui bahan peledak itu
menghilang dan tempat itu menjadi terang kembali, Hui Lan dan Han Lin melihat
bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang tadi mengeroyok tinggal. Agaknya
semua orang sudah melarikan diri ketika terdapat tabir asap hitam menutupi
pandangan main tadi.
Karena sudah jelas bahwa pihak musuhtidak ada lagi, kini Hui Lan mengalihkan
perhatiannya kepada pemuda yang telah membantunya dan burung rajawali besar
itu. Ia merasa kagum melihat burung itu yang tadi membantunya dengan gagah,
membuat para anak buah yang mengeroyoknya berpelantingan. Juga diam-diam ia
merasa kagum kepada pemuda yang tampan, lembut dan tampak Masa seperti
orang yang tidak memiliki kepandaian silat, namun yang ia tahu memiliki ilmu yang
lihai sekali seringga mampu mengalahkan kakek bongkok kepala perampok tadi.
Setelah kini saling berhadapan dan perhatiannya tidak terbagi, Han Lin mendapat
kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang lembut, dan sinar matanya
menunjukkan ketegaran hati dan keberanian luar biasa. Han Lin teringat akan gadis
cantik dan lihai yang muncul dalam pertandingan perebutan gelar di Puncak Thaisan.
Dia merasa heran betapa dalam waktu yang tidak lama, berturut-turut dia
bertemu dengan dua orang, gadis muda belia yang demikian lihai. Gadis pertama di
Puncak Thai-san itu pun cantik jelita, lincah jenaka dan agak liar, akan tetapi ilmu
silat juga hebat. Sayang dia tidak tahu si nama gadis itu dan dari aliran perguruan
mana. Kini, dia bertemu lagi dengan seorang gadis muda belia yang cantik dan juga
lihai. Dibandingkan dengan gadis pertama, sikap gadis ini jauh berbeda. Kalau yang
pertama lincah jenaka,liar, gadis ke dua ini pendiam dan lembut, namun memiliki
wibawa yang kuat. Keduanya juga memiliki keberanian mengagumkan. Dia tidak
ingin melihat gadis Ini pergi tanpa berkenalan lebih dulu, maka Han Lin lalu
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan berkata lembut,
sambil tersenyum ramah.
"Maafkan aku, Nona. Setelah kita saling berjumpa dalam keadaan luar biasa ini dan
bersama-sama melawan orang-orang tadi, ingin aku memperkenalkan diri. Namaku
Si Han Lin dan kalau boleh, aku ingin mengenal namamu yang terhormat."
Hui Lan adalah murid Tiong Gi Cin-jin, seorang pertapa penganut Agama Khong-hucu
yang mengutamakan sikap susila dan sopan santun, cepat membalas
penghormatan itu. Akan tetapi. suaranya tidak begitu ramah karena ia masih curiga
apakah pemuda ini benar-benar me miliki Iktikad baik karena selama ini yang ia
temui adalah kenyataan betapa sebagian besar laki-laki berniat kurang ajar terhadap
wanita dan kalau ada ya bersikap sopan / lemah lembut, sikap ini pun hanya
merupakan cara mereka untuk merayu!
"Aku tidak ingin berkenalan dan tadi pun aku tidak minta bantuanmu untuk
melawan mereka, maka aku tidak merasa berhutang budi kepadamu. Akan tetapi
karena engkau sudah memperkenalkan nama, kalau engkau ingin mengetahui
namaku, aku adalah Ong Hui Lan."
Han Lin tersenyum. Gadis ini benar-benar bersikap tegas, akan tetapi juga angkuh!
"Terima kasih, Nona Ong. Aku tinggal di Puncak Cemara di Cin-ling-san, dan engkau
tinggal di manakah, Nona?"
Hui Lan mengerutkan alisnya. Baru saja bertemu, sudah bertanya nama dan setelah
diberitahu, kini tanya alamat lagi. Apa sih maunya pemuda ini? Aka tetapi
mendengar pemuda itu tinggal di Puncak Cemara, di Cin-ling-san, ia ter ingat akan
pemberitahuan gurunya bahwa ada seorang sakti bernama Thai Kek Siansu yang
tinggal di sana dan orang sakti itu memiliki sebuah burung rajawali raksasa, la
mengerling ke arah rajawali Itu, lalu menjawab sambil lalu.
"Aku Tinggal di Nan-king."
"Nona Ong, apa yang sesungguhnya terjadi tadi? Mengapa engkau ditawan oleh
mereka dan siapakah mereka itu?"
Sambil mengerutkan alisnya Hui Lan menjawab. "Sudahlah, mau apa sih bertanyatanya?
Aku harus mengejar mereka untuk memberi hajaran keras agar mereka
menjadi jera dan bertaubat untuk melakukan perbuatan curang dan jahat!"
Melihat gadis itu hendak pergi, Han Lin cepat berkata. "Nona Ong, lawan yang sudah
melarikan diri tidak perlu dikejar lagi. Memberi maaf adalah jauh lebih baik daripada
membalas dendam."
Hui Lan yang tadinya sudah memutar tubuh, kini menghadapi lagi pemuda Itu,
alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Kebaikan harus dibalas kebaikan
pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal agar si
jahat menjadi jera. Kalau semua orang seperti engkau, mudah memaafkan para
penjahat, dunia akan semakin kacau karena para penjahat berpesta pora, tidak takut
berbuat jahat karena pasti akan dimaafkan oleh orang-orang seperti engkau Setelah
berkata demikian, Hui Lan melompat jauh dan berlari cepat rneninggalkan Han Lin
yang berdiri tertegun. Akan tetapi dia lalu tersenyum geli. Bukan main Ong Hui Lan
itu! Begitu yakin bahwa kekerasan akan dapat menertibkan mereka yang tersesat
dan suka berbuat jahat.
Dia teringat akan pengertian yang ditanamkan gurunya ke dalam sanubarinya,
pengertian yang telah membuka mata batinnya untuk melihat kenyataan dalam
kehidupan ini. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari, dilatih, apalagi dipaksakan
dengan kekerasan. Kebaikan yang direkayasa seperti itu hanya akan melahirkan
orang-orang munafik yang melakukan apa yang dinamakan kebaikan karena merasa
takut, atau karena ingin mendapatkan "sesuatu" sebagai imbalan jasa kebaikan yang
dia lakukan. Sesuatu itu dapat berupa pujian, kebanggaan nama besar, balas jasa,
baik dari manusia atau pun dari Tuhan. Dengan demikian, apa yang dia lakukan
sebagai kebaikan hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu yang baginya
bernilai lebih, terutama lebih menyenangkan atau lebih menguntungkan, sebagai
tujuan akhirnya! Kebaikan bukanlah kebaikan lagi kalau menjadi tujuan.
Kalau ada Kasih dalam diri, maka apa pun yang dilakukannya, sudah pasti baik bagi
orang lain, tanpa dia menganggap bahwa apa yang dia lakukan adalah perbuatan
baik. Kalau ada seorang ibu menimang-nimang anaknya, ia sama kali tidak merasa
melakukan perbuatan baik. Kalau ada orang melihat orang lain dalam kesusahan lalu
timbul perasaan iba dan segera menolongnya, dia pun tidak menyadari bahwa dia
melakukan perbuatan baik. Perbuatan spontan seperti ini, demi kepentingan orang
lain, muncul dari dalam sebagai bunga dan buah dari pohon kasih.
Sebatang pohon mengeluarkan bunga dan buah di mana saja dia berada, tanpa
maksud untuk melakukan suatu kebaikan juga tidak ditujukan kepada siapa pun
juga. Keharuman bunga dan buahnya tersiar ke mana-mana, dapat dinikmati siapa
saja, juga tidak apa-apa andai tidak ada yang menikmatinya. Demikianlah Kasih yang
terdapat dalam sebuah benda di alam maya pada. Sinar matahari pun bersinar
memberi kehangatan dan kehidupan kepada siapa saja tanpa bermaksud untuk
memberi kebaikan, maka sekali tidak mempunyai tujuan bagi orang lain maupun
bagi dirinya diri. Keadaan dirinya, seperti apa nya, itulah apa yang disebut kebenaran
atau kebaikan, keharumannya bukan sengaja diharum-harumkan, karena mereka
sudah harum. Dirinyalah keharuman sendiri, apa adanya, wajar.
"Kuek-kuek-kuek..........!" Rajawali berbunyi dan Han Lin tersenyum.
"Maaf, Tiauw-ko, aku tenggelam dalam lamunan sampai lupa padamu." lalu
menghampiri rajawali itu yang mendekam dan setelah Han Lin lompat ke atas
punggungnya, rajawali itu mengeluarkan seruan girang lalu dia pun terbang.
ooOOoo
Pada suatu hari, di tanah datar yang rada di puncak di mana perkumpulan Hong-sanpai
berada, tampak seorang muda sedang berlatih silat seorang diri. Tanah datar itu
terletak di bagian bekang perkampungan Hong-san-pai yang berada di Puncak Hongsan.
Hawa udara pagi itu dingin sekali, akan tetapi pemuda yang berlatih silat tangan
kosong itu hanya memakai celana panjang tanpa baju sehingga tubuhhya dari
pinggang ke atas telanjang. Tampak tubuh yang kokoh, kuat, dengan otot-otot
tersembul dan tubuh itu penuh keringat karena sudah sejak pagi sekali dia berlatih
silat. Pemuda itu selain bertubuh kokoh kuat dan tegap, Juga berwajah tampan
gagah. Rambutnya hitam dan panjang, digelung keatas dan diikat sutera merah.
Mukanya terbentuk persegi sehingga tampak jantan. Sepasang matanya tajam
mencorong dan terkadang tampak bengis namun bola mata yang bergerak-gerak
cepat itu membayangkan kecerdikan. Mulutnya selalu dihias senyum sinis seperti
orang mengejek dan memandang rendah apa saja yang dilihatnya.
Tiba-tiba dia menghentikan latihan lalu menghapus keringatnya dengan sehelai kain.
Pemuda itu adalah puteraPangeran Chou Ban Heng, yaitu Chou Kian Ki. seperti telah
kita ketahui, Chou Kian Ki dilatih ilmu silat oleh tokek gurunya sendiri, yaitu Hongsan
Siansu yang menjadi gurunya. Kemudian dia menerima gemblengan dari tokohtokoh
atau datuk yang mendukung gerakan ayahnya, yaitu selain digembleng kakek
gurunya Hong-san Siansu, pun dilatih oleh K wan In Su yangberjuluk Kanglam Sinkiam
dan Im Yang Tosu yang selain ilmu silat, juga memiliki ilmu sihir. Kini, usia Chou
Kian Ki sudah dua puluh lima tahun dan dia amat tekun mempelajari ilmu silat tinggi
sehingga tingkat kepandaiannya sudah dapat mengimbangi tingkat guru-gurunya!
Dia bahkan dapat menggabungkan ilmu silat dari Hong-san Siansu, Kwan In Su, dan
Im Yang Tosu.
Chou Kian Ki memanggil para anggauta Hong-san-pai yang kebetulan berada tak
jauh dari situ. Sepuluh orang murid Hong-san-pai menghampirinya.
"Pergunakan senjata kalian dan keroyoklah aku. Aku sedang melatih gabungan Tiga
Silat Sakti. Jangan ragu, seranglah dengan sungguh dan. kerahkan seluruh tenaga
kalian!"
Sepuluh orang murid itu sudah tahu akan kelihaian Chou Kian Ki dan sudah seringkali
mereka mengeroyok dan dibuat jatuh bangun oleh pemuda itu. Merek-ragu bukan
takut melukai Kian Ki, sebaliknya ragu karena tidak ingin terluka
"Hayo cepat lakukan! Mengapa kalian diam saja?" bentak Kian Ki.
"Chou Kongcu (Tuan Muda Chou), kasihanilah kami. Kami takut terpukul dan tewas
dalam latihan ini." kata seorang di antara mereka.
"Bodoh kalian! Biarpun dengan mudah aku akan mampu membunuh kalian, akan
tetapi mengapa aku harus membunuh Kalian, adalah anggauta Hong-san-pai anak
buah sendiri. Aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat serang aku!"
Para anggauta itu takut kepada Kia K i karena kalau putera pangeran ini melapor
kepada Hong-san Pang-cu, ketua mereka, yaitu Hong-san Sian-su, merek tentu akan
mendapat marah besar. Mereka saling pandang dan terpaksa mengeluarkan senjata
masing-masing. Ada yang memegang toya (tongkat), ada yang memegang golok dan
ada pula yang mencabut pedang.
"Kongcu, kasihanilah kami dan jangan memukul terlampau keras!" kata seorang dari
mereka dan sepuluh orang itu lalu mengepung dan mulai menyerang Kian Ki dengan
senjata mereka. Dari pengalaman mereka maklum bahwa mereka harus menyerang
dengan sungguh-sungguh karena biasanya, yang main-main dan tidak bersungguhsungguh
akan menerima pukulan paling keras.
Setelah sepuluh orang itu serentak menyerang, Kian Ki bergerak dengan cepat dan
kuat. Tubuhnya bergeser kesana sini, menangkis dan mengelak sambil memainkan
jurus-jurus campuran tiga macam ilmu silat yang telah dia gabungkan. Akibatnya
hebat. Golok dan Pedang yang tajam dia sambut dengan lengan begitu saja dan
senjata-senjata Para pengeroyok itu ada yang patah dan sebagian pula terlempar,
disusul terpentalnya sepuluh orang itu seolah-olah disambar oleh kekuatan dahsyat
yang tak tampak.
"Bagus! Engkau telah rr»emperoleh banyak kemajuan dalam ilmu silat gabungan
yang kau rangkai itu, Kian Ki!”
Chou Kian Ki cepat memutar tubuhnya dan tiga orang gurunya itu sudah berdiri di
situ. Hong-san Siansu Kwee Cin Lok yang juga menjadi Hong-san-pangcu, Kanglam
Sin-kiam Kw'an In Su, dan Im Yang tosu. Segera dia memberi hormat dan berkata
kepada Hong-san Siansu yang sesungguhnya merupakan kakek gurunya.
"Berkat bimbingan Sukong (Kakek Guru) dan Jiwi Suhu (Guru Bertiga)!"
"Bersiaplah, dan pertahankan diri baik-baik! Kami bertiga akan mengeroyokmu!"
kata Hongsan Siansu dan be sama Kwan In Su dan Im-yang Tosu dia lalu maju dan
tiga orang guru itu Ialu menyerang dan mengeroyok murid mereka.
Kian Ki yang maklum bahwa biarpun tiga orang tua itu hanya mengujinya namun
mereka menyerang dengan sun guh-sungguh sambil mengerahkan tenaga mereka
sehingga biarpun seandainya di terkena serangan tidak sampai tewas setidaknya dia
akan menderita luka yang cukup nyeri. Maka dia pun mengerahka seluruh tenaga
dan mainkan ilmu silai gabungan itu, melakukan perlawanan mati-matian! Dia bukan
hanya mempertahankan diri, akan tetapi juga membala dengan serangan-serangan
yang cukup berbahaya.
Tiga orang tua Itu merasa gembira sekali dan mereka menyerang dengan sungguhsungguh
. karena mereka sudah sepakat bahwa ujian ini merupakan ujian terakhir.
Tidak ada yang dapat mereka ajarkan lagi kepada Kian Ki. Mereka sudah bersepakat
tadi bahwa kalau pun mereka itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus terhadap
serangan mereka bertiga, maka dianggap lulus.
Dan ternyata Chou Kian Ki memang hebat sekali. Dia bukan saja mampu bertahan,
bahkan dia dapat membalas dan sempat beberapa kali membuat Kwan In Su atau
Im-yang Tosu terdesak mundur! Setelah lewat lima puluh jurus Hongsan Siansu
berseru, "Cukup!" Dan dia bersama dua orang guru lain lompat ke belakang.
Dengan tubuh penuh keringat akan tetapi pernapasannya tidak terengah-engah
Chou Kian Ki berdiri menghadap tiga orang gurunya dan bertanya kepada kakek
gurunya.
"Bagaimana, Su-kong. Apakah masih banyak kekurangan teecu?"
"Hebat, Kian Ki, engkau telah lulus ujian terakhir! Kini tidak ada lagi yang dapat kami
ajarkan kepadamu!" kata Hongsan Siansu dengan gembira sekali.
"Siancai! Pinto sendiri kiranya tidak akan mampu mengalahkanmu, Kian Ki!" kata Imyang
Tosu.
"Kami benar-benar bangga kepadamu, muridku! Tidak sia-sia kami mengemblengmu
dengan tekun. Engkau tidak mengecewakan, bahkan membuat kami merasa bangga
sekali. Kalau masih ada perebutan gelar Thian-te Te-it Bu-hiap, kami yakin engkau
akan keluar sebagai juaranya." kata Kwan In Su. "Bahkan tanpa mengujimu pun aku
tahu benar bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai frngkat tertinggi sehingga kelak
engkau berhak memakai gelar Kiam-ong (Raja ledang)!"
Mendengar ucapan tiga orang gurunya Itu, Kian Ki yang memang memiliki dasar
watak tinggi hati dan angkuh, tersenyum dan wajahnya yang tampan dan jantan itu
berseri-seri, sepasang matanya bersinar dan dia mengangkat dadanya yang bidang
dengan perasaan puas dan yakin bahwa tidak ada orang mura lain di dunia ini yang
akan mampu menandinginya!
"Sukong dan Jiwi Suhu, teecu tidak ingin memperebutkan gelar yang tidak ada
artinya itu. Teecu akan membantu perjuangan Ayah dan melanjutkan sampai
tercapai cita-cita Ayah, yaitu menumbangkan pemerintahan Sung dan membangun
kembali Kerajaan Chou. Ayah atau teecu yang kemudian menjadi kaisar Kerajaan
Crìoul!"
Ucapan itu terdengar nyaring penuh wibawa sehingga tiga orang itupun tertegun
kagum, seolah mendengar murid mereka itu mengucapkan sumpah.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dan empat orang itu terkejut bukan Bahkan belasan
orang murid Hong-san-pai yang berada di situ semua terpelanting dan menutupi
telinga mereka dengan kedua tangan karena suara tawa yang aneh itu mengandung
getaran yang amat hebat. Seolah-olah ada jarum-jarum runcing memasuki telinga
mereka!
ChouKianKi dan tiga orang gurunya cepat mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi telinga dan jantung mereka sehingga tidak sangat tersiksa oleh getaran
suara tawa Itu. Suara tawa itu seolah terdengar dari atas mereka!
"Ha-ha-ha, manusia-manusia sombong dan picik! Baru dapat memiliki kepandaian.
seperti itu saja sudah bercita-cita menumbangkan Kerajaan Sung? Ha –ha-ha bodoh
dan sombong! Suara itu pun terdengar dari atas. Akan tetapi tidak ada orang di
dekat situ, juga di atas tidak tampak ada mahluk hidup.
Chou Kian K i yang tadi merasa paling hebat, tentu saja kini merasa terhina dan
direndahkan. Dia marah sekali dan sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, dia
berseru.
"Hei, engkau setan ataukah manusia? kalau manusia keluarlah dan jangan
bersembunyi seperti seorang pengecut Hadapilah dan lawan aku kalau memang kau
memiliki kepandaian, jangan hanya menjual omong kosong sambil ber sembunyi!!"
Hongsan Siansu dan dua orang kawannya merasa menyesal atas kesombongan
murid mereka karena mereka bertiga yang lebih berpengalaman dapat menduga
bahwa yang bersuara itu adalah seorang yang memiliki sin-kang amat kuat.
"Huh, bocah sombong. Engkau ini siapakah telah membuka mulut lebar hendak
menumbangkan Kerajaan Sung dan hendak menjadi kaisar kerajaan Chou yang
sudah runtuh?"
"Aku Chou Kian K i, keluarga istana Kerajaan Chou. Ayahku adalah Pangeran Chou
Ban Heng, keturunan mendiang Kaisar Chou Ong yang berhak menjadi Kaisar
Kerajaan Chou! Hayo, perlihatka dirimu kalau engkau berani!"
Tiba-tiba bertiup angin dan dari jauh tampak sesosok bayangan melayang datang!
Ternyata orang ini tadi bicara dari tempat jauh dan ini saja membuktikan
kehebatannya. Setelah tiba di depan mereka, kakek itu berdiri sambil memandang
mereka satu demi satu dan mulutnya tersenyum mengejek.
Empat orang dan para anggauta Hong-san-pai memandang kepada kakek yang baru
datang itu dengan mata terbelalak Dia sudah tua sekali, rambut, jenggot, dan
kumisnya sudah putih semua, mengkilap seperti benang-benang sutera putih.
Pakaiannya juga dari kain putih yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Usia kakek Ini
tentu sudah mendekati seratus tahun, sedikitnya sembilan puluh lima tahun!
Melihat kakek itu sudah demikian tua dan kemunculannya demikian aneh, timbul
juga perasaan segan di hati Chou Kian Ki sehingga dia diam saja, hanya memandang
dengan heran. Adapun Hong-san Siansu dan dua orang rekannya yang sudah
memiliki banyak pengalaman, walaupun tidak mengenal siapa adanya kakek tua
renta itu, mereka dapat menduga bahwa yang datang adalah seorang datuk yang
sakti.
Hongsan Siansu lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan
berkata lembut. "Saudara tua, selamat datang di Hong-san-pai dan perkenankan
kami memperkenalkan diri. Aku adalah ketua Hong-san-pai berjuluk Hong-san
Siansu. Ini adalah dua orang rekanku, Kanglam Sin-kiam Kwan In Su, dan lm Yang
Tosu. Pemuda ini adalah putera Pangeran Chou Ban Heng, bernama Chou Kian Ki
dan dia menerima pelajaran dan kami bertiga. Kaiau boleh kami mengatahui,
siapakah nama Saudara tua yang mulia dan terhormat?"
Melihat sikap Hongsan Siansu yangbaik, kakek itu mengangguk-angguk. "Memakai
nama apa pun juga, aku tetap saja begini. Akan tetapi kalau kalian ingin tahu, sebut
saja aku Thian Beng Siansu."
Tiga orang datuk itu mengingat-ingat akan tetapi rasanya belum pernah mereka
mendengar akan nama ini.
"Terimalah hormat kami, Siansu yang mulia. Kalau Siansu hendak memberi petunjuk
kepada murid kami, silakan dan kami akan berterima kasih sekali." kati pula Hongsan
Siansu dengan sikap hormat
"Aku tadi lewat dan kebetulan melihat dan mendengar apa yang terjadi sini. Aku
tertarik mendengar bahwa pemuda ini demikian bersemangat hendak membangun
kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan Kerajaan Sung. Aku kagum akan
semangatnyang yang besar. Akan tetapi setelah aku melihat kepandaiannya, aku
kecewa. Dengan kepandaian serendah itu, bagaimana mungkin dia akan
membangun kembali Kerajaan Chou? Hmmm, dia akan jatuh sebelum dia mulai!"
Mendengar ucapan yang sangat memandang rendah ini, Hongsan Siansu dan tiga
orang rekannya menjadi penasaran juga. Apalagi Chou Kian Ki. Dia mengerutkan
alisnya dan kemarahannya bangkit kembali. Akan tetapi melihat sikap guru-gurunya
amat hormat kepada kakek tua renta itu, dia pun memaksa dirinya bersikap hormat.
"Locianpwe, mungkin Locianpwe adalah seorang yang memiliki kesaktian yang amat
tinggi, akan tetapi Locianpwe terlalu memandang rendah kepada saya dan guru-guru
saya."
"Tidak ada yang memandang rendah karena memang kepandaianmu masih rendah,
belum cukup untuk dipakai bekal merampas mahkota kerajaan."
"Locianpwe, Sukong Hongsan Siansu, Suhu Kanglam Sin-kiam dan Suhu Im yang Tosu
tadi telah maju bersama mengeroyok saya dan mereka menyatakan bahwa saya
telah lulus ujian, dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Sekarang Locianpwe
mengatakan bahwa kepandaian saya masih rendah, apakah Locianpwe dapat
membuktikan hal ini?"
"Ho-ho, tentu saja! Sekarang aku ak mengujimu, kalau engkau mampu bertahan
terhadap seranganku sampai lebih dari lima jurus, berarti penilaianku tidak salah.
Bagaimana?"
Kian Ki menjadi penasaran dan marah sekali. Kakek ini terlalu memandang rendah
kepadanya. Tiga orang gurunya saja, secara berbareng menyerangn sampai lima
puluh jurus, dia masih mampu bertahan. Sekarang kakek itu akan mengalahkannya
sebelum lima jurus Tidak mungkin!
"Baik, Locianpwe. Saya sudah siap seranglah!" tantang Kian Ki sambil memasang
kuda-kuda yang kokohdan gagah.
Tiga orang datuk itu pun tertawa sekali. Mereka juga merasa yakin bahwa Kian Ki
pasti mampu bertahan sampai lima jurus. Apa sih kepandaian kakek tua itu maka dia
sesombong itu? Mana mungkin mampu mengalahkan Kian Ki sebelum lima jurus?
"Bagusi Sekarang sambutlah serangan pertama ini!" kata Thian Beng Siansu dan
legitu tangan kirinya bergerak, ujung kain pembalut tubuhnya meluncur, menjadi
sinar putih menyambar kearah KianK i. Pemuda itu sudah siap siaga. Dengan. amat
waspada dia melihat datangnya serangan pertama itu dan cepat dia mengelak
dengan loncatan ke kiri sambil menggerakkan tangan kanan menangkis sinar putih
itu.
"Wuuuttttt......... desssss.........!!" Kilatan putih itu menyambar lambat saja, akan
tetapi ketika ditangkis lengan Kian Ki, pemuda itu merasa seolah dia menangkis
benda keras yang kuat sekali sehingga tubuhnya terpental dan terbanting roboh
sampai dua tombak! Akan tetapi dia merasa penasaran dan cepat dia sudah
melompat berdiri dan kini dialah yang balas menyerang karena serangan dahsyat
merupakan pertahanan yang baik pula. Kalau dia yang menyerang terus, maka tentu
kakek itu tidak sempat menyerang dan dengan demikian dia dapat lolos dari lima
jurus serangan!
"Haiiiiittttt........!" Hebat sekali serangan Kian Ki. Dia menggunakan jurus terampuh
dan mengerahkan seluruh tenaganya. Tubuhnya menerjang dengan lompatan ke
atas dan meluncur ke arah kakek itu dengan kedua lengannya bergerak menyerang.
Tangan kanan menghantam dari atas ke arah kepala lawan sedangkan tangan kiri
menotok ke arah dada Dua serangan beruntun kedua tangannya ini meluncur cepat
sekali dan dilakuka dengan tenaga dahsyat sehingga mendatangkan angin pukulan
dahsyat.
Hongsan Siansu terkejut. Dia tah bahwa serangan yang dilalukan Kian Ki itu
merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Bagaimanapun juga, dia tidak
menghendaki cucu muridnya membunuh kakek aneh ini. Akan tetapi, untuk
mencegahnya sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia bersama dua orang
rekannya memandang dengan hati tegang.
"Plakkkk ............ tukkkkk............... desss............... !” Pukulan tangan kanan Kian Ki
tepat mngenai kepala kakek itu, juga totokan jari tangan kirinya mengenai dada,
akan tapi kakek itu seolah tidak merasakannya dan sebaliknya, tangan kirinya
mengebut dan ujung kain itu membuat tubuh Kian Ki kembali terpental lebih jauh
lagi.
Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Kini mereka yakin bahwa kakek tua itu
memang memiliki kesaktian tinggi.
"Kian Ki, engkau telah kalah!" seru Hogsan Siansu kepada cucu muridnya.
Akan tetapi bagaimana mungkin Kian Ki yang memiliki watak tinggi hati itu mau
menyerah? Dia merasa penasaran sekali dan cepat dia meloncat bangun,
menggoyang kepala beberapa kali untuk mengusir kepeningannya. Dia tahu bahwa
menyerang bahkan lebih berbahaya, maka dia cepat berseru.
"Locianpwe, saya belum mengaku kalahl Baru dua jurus berjalan dan saya masih
mampu bertahan. Silakan Locianpwe menyerang tiga jurus lagi, akan saya
pertahankan!" tantangnya.
"Ho-ho, semangatmu memang boleh akan tetapi kebodohannya bertambah! Nah,
ini seranganku ke tiga, sambutlah!” Setelah berkata demikian, Thian Beng Siansu
bergerak maju. Sungguh hebat kedua kakinya sama sekali tidak tampak bergerak
akan tetapi tubuhnya meluncur ke depan seolah-olah dia berdiri di atas roda yang
didorong ke depan! Kini kedua tangan kakek itu yang bergerak ke depan, sama sekali
tidak menggunakan ujung kain. Ada angin menyambar dahsyat dari kedua tangan
itu.
Kian Ki cepat mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa sulit untuk
menghindarkan serangan itu dengan mengelak. Dia menggunakan kedua tangannya
menangkis sambil siap mencengkeram dan menangkap lengan kakek itu. Dipikirnya
kalau dia dapat menangkap lengan kakek itu, tentu dia akan dapat membuat kakek
itu tidak berdaya karena berapa sih kekuatan otot seorang tua renta seperti itu?
Akan tetapi betapa kagetnya ketika kedua tangannya bertemu lengan yang lembek
seperti ular dan licin pula sehingga tangkisan dan cengkeramannya meleset, lalu
tiba-tiba saja dia tidak mampu bergerak karena sudah tertotok. Dia jatuh terduduk
dan tidak mampu bergerak karena tubuhnya terasa lemas dan lumpuh!
Thian Beng Siansu tertawa, kemudian menghampiri Kian Ki dan tangan kanannya
lalu memukul ke arah dada pemuda itu. Dia setengah berjongkok dan tangan
kanannya itu dengan jari-jari terbuka menempel pada dada Kian Ki. Wajah pemuda
itu berubah merah sekali dan dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap!
Melihat ini, tiga orang datuk itu terkejut. "Jangan bunuh murid kami!" teriak Kanglam
Sin-kiam Kwan In Su sambil menjulurkan tangan hendak menangkap pundak kiri
Thian Beng Siansu. Akan tetapi kakek tua renta itu cepat menggerakkan tangan
kirinya dan menangkis tangan Kwan In Su. Pedang Sakti Kanglam ini terkejut karena
merasa betapa tangannya menempel pada tangan kakek itu dan betapapun dia
berusaha menarik tetap saja tidak dapat terlepas dan lebih kaget lagi dia ketika
merasa betapa tenaga saktinya yang dia kerahkan meluncur keluar dari tangannya
seperti sedot."
Im Yang Tosu yang melihat betapa Kwan In Su tampak kaget, dapat menduga bahwa
rekannya itu kalah tenaga maka dia pun cepat menempelkan tangannya pada
punggung Kwan In Su untuk membantunya dengan tenaga saktinya. Akan tetapi dia
pun terkejut sekal karena tenaga sakti yang dia salurkan lewat tangannya itu
bagaikan besi menempei pada semberani, melekat dan dia merasa betapa tenaga
saktinya tersedot keluar! Dia. mencoba untuk menarik tangannya atau menahan
tenaganya, namun sia-sia sehingga dia terkejut sekali, mukanya berubah pucat.
"Hongsan Siansu, bantu kami........ !" tanya sambil mencoba untuk menarik
membanjirnya tenaga saktinya keluar seperti tersedot oleh kekuatan yang amat
hebat.
Hongsan Siansu menempelkan tangannya di punggung Kanglam Sin-kiam Kwun In
Su, di sebelah tangan Im Yang Tosu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan
tetapi, lagi-lagi tangan ketua Hong-tan-pai ini melekat dan tenaga saktinya
membanjir keluar tanpa dapat ditahannya lagi!
Tubuh Chou Kian K i yang menerima tenaga sakti dari empat orang itu kini
berkelojotan dan mukanya semakin merah, uap yang mengepul dari ubun-ubun
kepalanya semakin tebal. Dia seperti sedang sekarat akan tetapi tetap dalam
keadaan duduk karena seolah-olah dadanya melekat pada tangan Thian Beng Siansu
sehingga tertahan dan tidak dapat terguling. Tubuhnya berkelojotan dan tersentaksentak
seperti dimasuki aliran listrik!
Tiga orang datuk itu merasa tubuhnya lemas. Dengan gelisah mereka merasakan
betapa tenaga sinkang mereka yang dihimpun selama bertahun-tahun itu
membanjir keluar tanpa dapat mereka cegah. Kalau hal ini berlangsung lama,
mereka akan kehabisan tenaga dan menjadi orang-orang tua yang loyo tanpa
tenaga!
Tak lama kemudian setelah tenaga sakti mereka sudah lebih dari setengahnya
tersedot, tiba-tiba Kian Ki yang masih berkeiojotan itu mengeluarkan bentakan
nyaring seperti suara seekor binatang buas dan kedua tangannya didorong ke arah
tubuh empat orang kakek tua.
"Aaarrggghhhhh ............ blarrr.............. !" Tubuh empat orang kakek itu terpental
dan terlempar sampai tiga empat tombak jauhnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat
tinggi, biarpun tubuh mereka terasa lemah kehabisan tenaga, mereka dapat
mengatur keseimbangan tubuh mereka sehingga mereka jatuh terduduk, tidak
sampai terbanting.
Biarpun tubuh mereka lemas karena sebagian besar tenaga sakti mereka hilang, tiga
orang kakek itu bangkit di mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Kwan In Su
mencabut pedangnya, Im Yang Tosu melolos sabuk kulit ularnya, dan Kwee Cin Lok
atau Hongsan siansu juga mencabut pedangnya. Mereka bertiga menghampiri dan
mengepung kakek tua renta yang kini setelah tadi terlempar, juga duduk bersila itu.
"Orang jahat, apa yang telah kau lakukan???" bentak Hongsan Siansu sambil
mengancam dengan pedangnya. Dua orang rekannya juga sudah mengancam
dengan senjata mereka. Thian Beng Siansu membuka mata, senyum mengejek lalu
berkata, "Orang-orang tolol, aku telah menyempurnakan dan membantu kalian
membentuk seorang murid yang kelak akan dapat kalian banggakan, dan kalian
bertiga hendak membunuh aku? Hmrnmm, apa kalian kira dengan sisa tenaga kalian
itu kalian akan mampu membunuhku? Bodoh, tanpa ada yang membunuh pun,
setelah selesai apa yang hendak kulakukan, aku akan mengakhiri hidupku sendiri.
Aku masih harus menyempurnakan gerakan ilmu silatnya agar tenaga yang sudah
terhimpun dalam dirinya dapat dipergunakan sebaiknya."
Mendengar ini, baru tiga orang Itu menyadari apa yang telah terjadi. Mereka bertiga
segera menoleh dan memandang ke arah murid mereka. Kini Kian Ki tidak
berkelojotan lagi, melainkan duduk bersila dengan tegak seperti sebuah arca dan
wajahnya tampak tenang dan berseri, sama. sekali tidak memperl lihatkan tanda
kesakitan. Kini mereka maklum bahwa kakek tua renta Ini tadi bukan berniat
membunuh KianKi melainkan menyalurkan tenaga saktinya untuk dipindahkan ke
tubuh murid itu. Ketika mereka bertiga hendak mencegah otomatis tenaga sakti
mereka yang di kerahkan untuk menarik lengan kakek itu ikut tersedot. Hal ini
berarti bahwa Kiai Ki telah menerima tenaga sakti dar imereka berempat! Kalau
mereka masmg-masing merasa kehilangan sebagian besar tenaga sakti mereka,
dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga sakti yang di pindahkan ke dalam diri
Kian Ki! Pantai saja tadi, dalam keadaan tidak sadar karena seperti "mabuk" atau
sekarat dibanjiri tenaga sakti demikian banyaknya, sekali dorong dia dapat membuat
mereka berempat terpental!
Kalau begitu, engkau hendak menurunkan ilmumu kepada murid kamu Chou Kian
Ki? Akan tetapi mengapa, Thian Beng Siansu? Mengapa engkau lang sama sekali
tidak kami kenal, juga jidak dikenal Chou Kian Ki, tiba-tiba tidak mengajarkan
ilmumu kepadanya, bahkan telah memindahkan tenaga saktimu dan tenaga sakti
kami kepadanya?"
Kakek tua itu menghela napas panjang, kambil memejamkan matanya, dia bicara
berlahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Aku telah berdosa melanggar larangan dan sumpah. Aku adalah pewaris ilmu
Keluarga Kok karena itu aku harus mati. Akan tetapi sebelum itu, aku harus
melengkapi dulu dosaku, yaitu mengajarkan ilmu Keluarga Kok kepada muridku,
yaitu pemuda yang menjadi murid kalian itu. Biar aku mati untuk dia karena hanya
dia yang akan mampu kelak memenuhi hukum Keluarga Kok."
Thian Beng Siansu berhenti sebentar untuk menghela napas panjang dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Siansu yang tadi bersama rekan-rekan
merasa terkejut bukan main, untuk kata dengan hormat.
"Ah, kiranya Locianpwe adalah waris ilmu Keluarga Kok yang terkenal sebagai ilmu
dewa itu!" kata Hong Siansu yang kini menyebut locianpwe kepada Thian Beng
Siansu, sebutan untuk menghormat orang yang memiliki tingkat dan kedudukan
lebih tua dan tinggi dalam dunia persilatan. "Akan tetapi artinya melanggar sumpah
dan dosa kami menerima murid, dan mengapa pula cianpwe seolah sengaja
melakukan langgaran itu?"
"Ada seorang murid pewaris ilmu keluarga Kok yang melanggar larangan itu dan aku
tidak berhasil membunuhn Karena itu aku sengaja mengambilmu dan
mengorbankan nyawa karena melanggar sumpah, agar murid itu kelak
menyempurnakan tugasku, yaitu membunuh murid yang melanggar sumpah itu."
Pada saat itu, Kian Ki telah berhasil mengendalikan tenaga sin-kang yang amat kuat
yang tadi memenuhi tubuhnya. Dia berhasil menghimpun tenaga itu ke dalam
tiantan (pusat di perut bawah) sehingga kesadarannya kembali dan dia sempat
mendengar ucapan Thian Beng Siansu. Hatinya merasa girang bukan main. Kakek
sakti itu mampu mengalahkannya dalam waktu beberapa gebrakan saja dan hal ini
saja sudah cukup baginya untuk merasa tunduk dan kagum, juga mendorong
keinginannya untuk berguru kepada kakek sakti itu. Apalagi setelah dia menyadari
bahwa kakek itu telah menyalurkan dan memindahkan sinkangnya kepadanya,
bahkan telah menyedot dan memindahkan pula sebagian besar tenaga sakti ketiga
orang gurunya. Maka kini cepat dia menghampiri dan berlutut di depan Thian Beng
Siansu.
"Teecu Chou Kian Ki mohon petunjuk agar kelak teecu pantas menjadi murid Suhu
Thian Beng Siansu dan dapat meraih cita-cita teecu'."
Thian Beng Siansu tersenyum lemah Sebagian besar tenaganya sudah hilang
dipindahkan ke dalam tubuh Kian Ki dan karena usianya sudah hampir seratus
tahun, maka kehilangan sebagian besar sin-kangnya itu membuat tubuhnya menjadi
lemah dan lemas.
"Chou Kian Ki, tenaga sakti yang besar dalam tubuhmu itu tidak akan banyak
gunanya apabila tidak disertai penguasaan ilmu silat yang tinggi dan yang sesuai
dengan penggunaan tenaga sin-kang yang besar. Aku dapat mengajarkan ilmu silat
itu kepadamu, ilmu. silat pusaka Keluarga Kok, akan tetapi dengan dua syarat yang
harus kau pegang teguhdengan janji sumpah."
"Teecu sanggup dan bersedia, Suhu Harap Suhu menjelaskan apakah dua syarat
yang Suhu perintahkan itu!" katai Kian Ki dengan tegas.
"Pertama, engkau tidak boleh mengajarkan ilmu pusaka Keluarga Kok kepada
siapapun dan kalau engkau melanggar larangan ini, engkau harus membunuh diri
seperti yang kulakukan. Ke dua, telah menguasai ilmu pusaka Keluarga Kok, engkau
harus mencari dan menghukum mati pewaris ilmu Keluarga Kok yang telah
melakukan pelanggaran, yaitu Thai Kek Siansu dan murid-muridnya! Nah, berjanjilah
dengan sumpah!"
Dengan suara lantang dan tegas Kian Ki bersumpah. "Aku Chou Kian Ki, bertumpah
di depan Suhu Thian Beng Siansu bahwa setelah mempelajari ilmu pusaka Keluarga
Kok, kelak aku tidak akan mengajarkan ilmu itu kepada seorang murid. Dan kedua,
aku bersumpah akan mencari dan menghukum mati Thai Kek Siansu dan muridmuridnya
karena dia telah bersalah melanggar sumpah Keluarga Kok."
Thian Beng Siamu mengangguk-angguk senang. Akan tetapi Hongsan Siansu yang
merasa khawatir bukan main mendengar Kian Ki bersumpah untuk membunuh Thai
Kek Siansu, kakek yang amat sakti itu, lalu bertanya.
"Locianpwe, apakah Thai Kek Siansu itu juga pewaris ilmu Keluarga Kok?"
"Dia adalah keponakan muridku. "Dia melanggar hukum telah mempunyai murid,
maka harus dibunuh. Karena aku sudah tua dan tidak dapat melaksanakan hukuman
itu, maka aku tugaskan Kian untuk membunuhnya dan untuk itu, aku rela berkorban
nyawa."
Sejak saat itu, Thian Beng Sian tidak mau membuka mulut untuk bicara lagi. Semua
pertanyaan tidak dijawabnya dan dia hanya tekun menurunkan ilmu silat warisan
leluhur Keluarga Kok kepada Chou Kian Ki. Selama enam bulan dia melatih dengan
tekun sampai Kian benar-benar dapat menguasai ilmu silat yang dapat dimainkan
dengan tanga kosong maupun dengan senjata.
Pada suatu pagi mereka mendapatkan Thian Beng Siansu telah mati dalam
kamarnya, mati dalam keadaan tubuh bersila. Cepat Hongsan Siansu memeriksa
tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka dia
mati karena kehabisan napas dan melihat betapa dadanya mengembung besar maka
dia dapat menduga bahwa kakek itu mati karena bunuh diri dengan menahan napas
sampai putus! Kini mengertilah mereka semua mengapa Thian Beng Siansu
mengatakan bahwa dia rela berkorban nyawa. Dia sengaja melanggar sumpah
Kelurga Kok, sengaja mengambil Kian Ki sebagai murid, kemudian dia melakukan
bunuh diri. Hal ini dia lakukan agar ada yang lain yang mewakilinya untuk
menghukum Thai Kek Siansu dan murid-muridnya yang dianggap melanggar sumpah
keluarga Kok! Setelah menerima pemindahan tenaga sakti dari empat orang kakek
sakti, kemudian menguasai ilmu silat pusaka leluhur Keluarga Kok, tentu saja tingkat
kepandaian Kian Ki naik tinggi sekali! jauh lebih tinggi daripada tingkat semua
gurunya. Sayang sekali bahwa ketinggian hati dan kesombongannya juga naik
tingkatnya menjadi tinggi sekali!
Pada waktu itu, Pangeran Chou Ban 'eng sudah kembali ke kota raja. Me ului bekas
kerabat Kerajaan Chou yang lasih tinggal di kota raja dan bukan saja tidak diganggu
Kaisar Sung Thai Cu bahkan mereka diperlakukan dengan diberi kebebasan bekerja,
berdagang ataupun menerima jabatan, akhirnya Pangeran Chou Ban Heng dapat
diterima oleh kaisar Sung Thai Cu dan diampuni setelah berjanji bahwa dia.tidak
akan mengadakan pemberontakan dan tidak lagi ingin mendirikan kembali Kerajaan
Chou.
Karena Pangeran Chou Ban Heng dahulunya adalah seorang panglima daerah
Selatan, maka oleh Kaisar Sung Thai Cu dia diberi pangkat sebagai penasihat
Angkatan Perang Kerajaan Sung. Sunguhpun pangkat ini membuat dia tidak aktip
dalam ketentaraan, hanya duduk kantor, namun setidaknya membuat terpandang
sebagai orang yang berpengalaman di bidang ketentaraan dan ia dipercaya oleh
Kaisar Sung Thai Cu.
Tentu saja Pangeran Chou Ban Heng tidak pernah menghilangkan cita-cita untuk
membangun kembali Kerajaan Chou agar dia dapat menjadi kaisar baru kerajaan
Chou. Akan tetapi karena rasanya akan sukar untuk melakukan pemberontakan
melalui perang, berhubung sulitnya menghimpun pasukan yang besar dan kuat,
maka dia mengambil jalan atau menggunakan cara lain. Dia mencari kedudukan dan
pengaruh dengan memegang kedudukan yang lumayan tingginya, Dia akan
menghimpun kekuatan dari dalam, kalau mungkin menyalakan api pemberontakan
dari dalam, yaitu dari kotaraja dengan dukungan para pejabat tinggi, Dan terutama
sekali mencari kesempatan untuk dapat membunuh Kaisar atau menggantikan
Kaisar Sung Thai Cu dengan cara lain yang dapat dia pengaruhi, Demikianlah, dengan
tekun Pangeran Chou Ban Heng membuat persiapan rahasia,bagaikan seekor labalaba
merajut jaring untuk menangkap dan menjebak korbannya.
ooOOoo
Hutan itu lebat sekali. Hutan-hutan di daerah Pegunungan Ceng-lim-san memang
terkenal lebat dan di situ terdapat banyak binatang hutan. Karena itu, banyak
pemburu yang berdatangan untuk berburu binatang. Saking luasnya hutan-hutan di
situ, maka selalu tampak bunyi dan seorang pemburu jarang bertemu dengan orang,
apalagi dengan pemburu lain. Yang paling disukai para pemburu adalah banyaknya
binatang kijang di hutan-hutan itu.
Pada suatu pagi, dua orang laki-laki muda berjalan di dalam hutan. Masing-masing
memanggul seekor kijang yang merupakan hasil buruan mereka. Mereka membawa
busur dan anak panah, juga dipinggang mereka bergantung golok, pakaian mereka
dari kulit menunjuki bahwa mereka adalah pemburu. Seorang dari mereka bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, tubuhnya berotot melinglingkar dibawah kulit,
kepalanya juga besar dengan mata melotot dan tampak gagah walaupun wajah itu
tidak dapat dibilang tampan.Usianya tentu sekitar empat puluh tahun. Orang kedua
masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun wajahnya tampan dan kulitnya putih.
"Paman, aku sudah lelah sekali. Sekali.Semalam hampir tidak tidur dan kita sudah
berrjalan jauh." keluh yang muda.
Pamannya, yang bertubuh tinggi besar Menjawab. "Ah, Dusun Kui-cu tak jauh lagi,
paling banyak tinggal lima mil lagi. lebih baik cepat-cepat sampai ke sana, kita dapat
makan, mandi, dan mengaso, kita boleh tidur sepuasnya, A Cin!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita, merdu namun mengandung penuh teguran.
Alhhh, kalau sudah lelah dan mengantuk, jangan dipaksa. Kasihan Si Tampan ini!"
Dua orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh ke kanan. Mereka terbelalak
dan merasa bulu tengkuk mereka berdiri meremang. Yang berdiri di lepan mereka
adalah seorang wanita muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya dan
mengenakan pakaian mewah.Wanita itu cantik sekali,kecantikan yang amat
menonjol karena ditambah dengan polesan bedak dan gincu, sesungguhnya wajah
itu memang sudah cantik manis. Namun ia pesolek sekali, bukan saja rambutnya
yang diminyaki dandigelung rapi dihias bunga-bunga berwarna merah,wajahnya
yang berbentuk bulat telur itu, yang pada dasarnya sudah putih bersih ditambah lagi
dengan bedak dan pipinya diberi yanci tipis sehingg kemerahan, bibirnya yang
bentuknya indah dan seolah menantang itu semakin merah oleh gincu, juga
pakaiannya dari sutera berkembang yang mewah, tubuhnya yang langsing itu masih
mengenaka perhiasan dari emas permata! Pantasnya wanita ini adalah seorang
puteri istana Karena itu, paman dan keponakan itu merasa ngeri. Mana mungkin ada
puteri istana tiba-tiba saja muncul di dalam hutan lebat seperti ini? Gadis cantik itu
pasti bukan manusia, melainkan siluman Pada masa itu, hampir semua orang
percaya akan adanya siluman-siluman, yaitu setan berujud hewan seperti serigal
rase, anjing, babi, dan sebagainya yang dapat berganti wujud menjadi wanita cantik
yang suka menggoda pria untuk kemudian dijadikan korbannya!
Akan tetapi hanya sebentar saja dua orang pemburu itu merasa seram. Mereka
adalah pemburu-pemburu yang sudah biasa berkeliaran dalam hutan-hutan lebat,
sudah sering menghadapi ancaman bahaya dari binatang-binatang buas. Mereka
bukan orarg-orang lemah, maka setelah dapat mengatasi kekagetan mereka, lakilaki
bertubuh tinggi besar yang menjadi paman itu membentak sambil mencabut
goloknya.
"Siluman jahat! Jangan ganggu kami!" Karena merasa yakin bahwa dia berhadapan
dengan siluman, dia mengancam dengan goloknya agar siluman itu menjadi takut
dan meninggalkan mereka. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan takut
bahkan tersenyum manis sekali. Karena menganggap bahwa wanita itu tentu
siluman, senyum yang amat manis ini bagi laki-laki tinggi besar itu bahkan tampak
menyeramkan sekali, Akan tetapi si keponakan yang muda, yang namanya disebut A
cin tadi, memandang dengan kagum dan terpesona. Belum pernah dia melihat
seorang gadis secantik itu!
"Hi-hik," Gadis itu terkekeh sehingga mulutnya agak terbuka, memperlihatkan
rongga mulut dan ujung lidah yang kemerahan dan deretan gigi putih berkilauan.
"Kalau aku siluman dan mengganggumu, engkau mau apa?"
Merasa ditantang, laki-laki tinggi besar itu menjadi marah. "Aku akan mengirim kau
ke neraka!" bentaknya da dia sudah menyerang dengan goloknya Serangannya
cukup dahsyat karena dia adalah seorang pemburu yang terbiasa hidup keras
menghadapi banyak tantangan. Tenaganya besar dan gerakannya tangkas ditambah
nyali yang besar. Ketika dia menyerang, gerakan goloknya yang menyambar kuat
menimbulkan suara bersiutan.
Akan tetapi gadis cantik itu dengan tenang menghadapi serangan pemburu itu.
Hanya dengan sedikit gerakan ringan saja ia sudah dapat mengelak dari serangkaian
serangan terdiri dari tiga kali bacokan dan dua kali tendangan.
"Cukup! Berhentilah menyerang atau engkau akan mati!" wanita itu berseru sambil
menyentuh satu di antara tiga tangkai bunga penghias rambutnya.
Akan tetapi pemburu yang merasa sasaran dan mengira bahwa dengan jurus
mengelak berarti "siluman" itu takut kepadanya, menyerang lagi dengan lebih
ganas.
"Mampuslah!" bentak wanita itu dan Ungan kirinya yang mencabut setangkai bunga
merah dari rambutnya bergerak. Nampak sinar merah menyambar dan pemburu itu
menjerit, goloknya terlepas ban tubuhnya roboh terjengkang dan tewas seketika.
Keponakannya memandang dan melihat betapa di dahi pamannya, tepat di antara
sepasang alisnya, menancap bunga merah yang agaknya disambikan wanita itu.
Acin, pemburu muda itu, memandang kepada Si Wanita dengan mata terbelalak dan
muka pucat. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya sama sekali untuk melawan. Dia
sendiri belajar silat dari pamannya. Pamannya yang jauh lebih tangguh darinya dia
saja begitu muda roboh dan tewas di tangan siluman ini, apa lagi dia!
"Jangan............. jangan bunuh aku..............!" katanya sambil melangkah mundur.
Wanita itu melangkah maju mengha pirinya. "Jangan takut, pemuda tampan Siapa
yang akan membunuhmu? Saya kalau engkau dibunuh.Kalau engkau memenuhi
keinginanku dan mencintaku, engkau akan kubebaskan dan kuberi hadiah emas.
Akan tetapi kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku dan engkau akan
mati seperti Pamanmu itu Sudah ada dua orang pemuda yang terpaksa kubunuh
karena menolak dan menghinaku, jangan engkau menjadi yang tiga. Mari kita pergi
bersenang-senang.. Wanita itu lalu menggandeng tangan Acin yang tidak berani
menolak. Dia merasakan telapak tangan yang hangat halus, mencium bau harum
yang keluar dari tubuh wanita itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan diajak pergi
meninggalkan tempat itu.
"Tapi......... tapi ........ jenazah Pamanku.......... “ Acin menoleh, memandang mayat
pamannya dengan gelisah.
"Mayat itu? Biar saja, nanti tentu ada binatang yang memakannya. Atau engkau
lebih senang mati disini?”
"Tidak, tidak! Aku.............. "
"Hayolah dan jangan banyak menolak membuat aku marah." Wanita itu merangkul
pinggang pemuda itu dengan mesra dan menariknya pergi dari situ. Sambil
merangkul ketat dengan mesra wanita itu menggandeng Acin keluar dari hutan.
Setelah keluar dari hutan dan tiba jalan umum yang sepi, di sana terdapat sebuah
kereta kecil dengan dua berkuda. Dua ekor kuda itu dilepas ditambatkan pada
batang pohon dimana mereka sedang makan rumput.
"Mari, Sayang. Bantu aku memasang kuda-kuda itu." kata wanita cantik sambil
melepaskan rangkulannya setelah untuk kesekian kalinya ia mencium pemuda itu.
Acin adalah seorang pria yang normal dan sehat, akan tetapi dirangkul, dicium
dengan sikap mesra oleh seorang wanita muda yang demikian cantik, dia sama
sekali tidak merasa terangsang. Bagaimana mungkin kalau ia mengingat betapa
wanita itu telah membunuh pamannya? Sampai sekarang ia masih menganggap
bahwa wanita itu adalah siluman dan menurut dongeng yang sering Dia dengar,
siluman yang berujud wanitu cantik suka mempermainkan pria muda dan
menghisap darah mereka sampai kering. Dia akan mati kehabisan darah! Tentu saja
dia sama sekali tidak terangsang, betapapun hangat, lembut dan harum tubuh
wanita itu.
Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, terpaksa Acin membantu wanita Itu
memasang kuda di depan kereta. Kemudian wanita itu naik ke atas kereta, duduk di
depan memegang kendali.
"Hayo, naiklah dan duduk di sebelahku sini" Wanita itu berkata.
"Saya......... saya......... tinggal di sini saja............" Acin berkata ketakutan.
"Apa? Engkau membantah?" Tiba-tiba wanita itu menggerakkan cambuk kudanya.
"Tarrrrr...........!" Ujung cambuk itu melecut ke arah Acin.
"Aduhhhhh........!" Acin berteriak dan meraba lehernya. Lecutan itu mengiris kulit
lehernya sehingga mengeluarkan sedikit darah! Terasa perih dan membuat Acin
semakin ketakutan.
"Maaf, saya .............. saya tidak membantah.............."
"Hayo naik, cepat!" bentak wanita itu.
Acin tidak berani membantah lagi. Dengan tubuh gemetar dia naik ke atas kereta
dan duduk di sebelah wanita itu seperti yang diisaratkannya. Wanita itu
menjalankan dua ekor kuda itu dan menoleh kepada Acin sambil tersenyum.
"Kasihan engkau............ ! Sakitkah..........?" Acin tidak berani bersuara, hanya
mengangguk.
Wanita itu lalu mendekatkan mukanya dan mencium leher Acin yang lecet sehingga
ada sedikit darah membas bibirnya, la menjilat darah di bibirnya itu dan tampak
senang.
"Selanjutnya turutilah semua perintahku dan cintailah aku maka engkau akan
senang. Maukah engkau?"
Acin hanya dapat mengangguk-angguk merasa ngeri melihat wanita itu menjilati
darah yang berada di bibirnya, ia mencium lehernya tadi. la Siluman, pasti siluman
yang suka minum darah, demikian pikirnya dan dia menggigil.
Karena wanita itu duduk rapat sehingga tubuh mereka berdempetan maka ia dapa
merasakan ketika tubuh pemuda Itu menggigil.
"Engkau kedinginan?"
Acin menggelengkan kepalanya.
"Kekasihku yang tampan, kenapa engkau diam saja? Hayo jawab, siapa namamu?"
"Saya............ saya Liong Cin ..............."
"Nama yang gagah, segagah dan sekaligus orangnya. Namaku Lai Cu Yin, orangorang
menyebutku Ang-hwa Niocu (Nona Bunga Merah), tapi engkau boleh
memanggil aku Yin-moi (Dinda Yin)........... he-heh!" Gadis itu tersenyum lebar,
memperlihatkan lidahnya yang ujungnya meruncing dan merah.
"Aku senang engkau menurut dan mau mencintaku. Dua orang pemuda dusun yang
berani menolakku telah kubunuh, kalau engkau, yang bersikap baik dan mencinta,
seperti para pemuda lain sudah-sudah tentu akan kubebaskan kuberi hadiah."
Karena sikap wanita itu mesra ramah, rasa takut Liong Cin atau yang biasa disebut
Aon, berkurang walau dia masih merasa ngeri kalau harus jadi kekasih siluman!
"Maafkan saya, Niocu.........., saya akan dibawa kemanakah?" Dia memberanikan diri
bertanya.
"Liong Cin, sudah kukatakan agar engkau memanggil aku Yin-moi, bukan Niocu
(Nona). Aku mempunyai sebuah pondok diluar dusun, kita pulang sana dan
bersenang-senang."
Pada saat itu, terdengar seruan lantang. "Iblis betina, kembali engkau telah
membunuh orang yang tidak bersalah dalam hutan itu! Akhirnya kutemukan juga
engkau dan sudah saatnya engkau menerima hukuman!" Kemudian muncul seorang
laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, berpakaian sederhana dan kain kasar.
Sikapnya gagah, wajahnya ganteng dan jantan. Dia memegang sebatang toya yang
dipegang melintang di depan dada. Sepasang matanya yang tajam memandang Anghwa
Niocu dengan marah.
Ang-hwa .Niocu menahan kudanya dan telah kereta berhenti, ia segera meloncat
dan melayang dengan gerakan ringan, hinggap di depan pemuda yang memegang
toya itu. Sejenak mereka berdua saling pandang. Ang-hwa Niocu, terenyum
mengejek, sama sekali tidak genntar bahkan memandang tubuh yang kokoh dari
pemuda itu dengan kagum, pemuda yang usianya sekitar dua puluh ya tahun dan
begitu melihatnya, gairah berahi telah bangkit dalam hati wanita sesat itu.
"Aih-aih, datang-datang engkau memaki orang! Siapa sih engkau, orang muda yang
gagah, dan mengapa pula engkau memaki aku padahal kita belum pernah saling
berjumpa dan tidak mempunnyai urusan apa pun?" Suara Ang-hwa locu merdu dan
ketika bicara, sepasangnya yang jeli indah itu mengerling tajam dan bibirnya
bergerak-gerak dengan manis penuh daya tarik dan tanpa tangan.
"Siluman betina Ang-hwa Niocu! memang kita berdua belum pernah saling bertemu,
akan tetapi jangan dikira bahwa di antara kita tidak.ada urusan apa pun Iblis betina,
sejak engkau membunuh pemuda di kota Gak-ciu, aku telah mencari dan mengikuti
jejakmu. Dengan keji engkau membunuh pula dua orang pemuda yang tidak mau
menuruti nafsu iblismu, kemudian di dalam hutan itu aku melihat jenazah seorang
laki-laki pula. Aku yakin bahwa pemuda yang diatas kereta itu juga menjadi
korbanmu!”
Mendengar ini, Ang-hwa Niocu tertawa manis, mulutnya terbuka dan karena
tawanya bebas maka seluruh wajahnya tampak ikut tertawa.
"Hemmm, orang muda, engkau salah paham. Siapakah namamu dan mengepa
engkau mengejar-ngejar aku?”
"Namaku Bu Eng Hoat dan memang aku secara pribadi tidak mempunyai
permusuhan denganmu. Akan tetapi di Gak-ciu aku mendengar akan kejahatanmu.
Engkau mengambil harta milik orang dan tidak segan membunuh kalau mendapat
perlawanan. Engkau menggoda pria-pria muda dan kalau mereka menolak, engkau
Membunuhnya. Aku mendengar engkau pembunuh seorang pemuda di Gak-ciu dan
sejak itu aku mengambil keputusan untuk mencari dan membunuhmu! Ternyata di
sepanjang jalan engkau menyebar kejahatan, membunuhi laki-laki muda, Maka aku
sekarang setelah menemukanmu, harus membunuhmu!"
"Hi-hi-hik, Bu Eng Hoat, engkau muda dan gagah. Semua yang kulakukan itu sama
sekali bukan urusanmu, mengapa engkau mencampuri? Sayang kalau engkau nanti
mati pula di tanganku, lebih baik mari ikut kami bersenang-senang. Aku membunuh
orang bukan tanpa alasan. Mereka berani menolak dan menghinaku, maka sudah
sewajarnya kalau aku membunuh mereka!"
"Ang-hwa Niocu, sejak kecil aku mempelajari ilmu dan semua itu kupelajari dengan
maksud agar dapat kupergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,
menentang kejahatan, membasmi iblis iblis jahat macam engkau!"
"Wah, kiranya engkau ini seorang pendekar, ya? Bu Eng Hoat, sekali lagi
kuperingatkan engkau. Mari kau ikut denganku bersenang-senang daripada eragkau
mati di tanganku!" Berkata demikian wanita itu menghunus pedangnya yang
mengeluarkan sinar kemerahan.
"Huh, perempuan tidak tahu malu Lebih baik aku mati daripada harus menuruti
kemauanmu yang rendah!" Bu Eng Hoat memasang kuda-kuda dengan toyanya.
Bu Eng Hoat adalah seorang pendekar berusia dua puluh dua tahun yang baru
sekitar setahun terjun ke dunia kang-ouw dan bertindak sebagai seorang pendekar
gagah perkasa pembela kebenaran dan keadilan, selalu menentang para penjahat
dengan penuh keberanian. Ke tika dia mendengar tentang Ang-hwa Niocu yang
melakukan banyak kekejaman, apalagi membunuhi para pemuda yang tidak sudi
menuruti kehendaknya yang kotor, dia marah sekali dan segera melakukan
penyelidikan dan pengejaran. Pendekar muda yang bertubuh tinggi besar dan
berwajah ganteng dan jantan itu adalah murid tunggal dari Thong Leng losu yang
sudah kita kenal. Thong Leng losu adalah seorang di antara tiga orang kakek yang
melakukan pertemuan di Bukit Naga Kecil, berbantahan tentang agama dan lain-lain
kemudian dilerai oleh Thai Kek Siansu. Melihat betapa Thai Kek Siansu mempunyai
seorang murid, Thong Leng Losu, seperti dua yang rekannya yang lain, segera
mencari seorang murid pula. Pilihannya jatuh kepada Bu Eng Hoat, seorang anak
yatim piatu berusia dua belas tahun yang hidup bagai seorang pengemis karena
korban perang saudara. Selama sembilan tahun dia menggembleng muridnya itu
dan setahun yang lalu, dia mengutus muridnya untuk memanfaatkan semua
pelajaran itu dengan bertindak sebagai seorang pendekar.
Kini Ang-hwa Niocu menjadi marah bukan main. Tadinya, kalau bisa, ia membujuk
pemuda yang bertubuh kokoh kuat ini agar ia dapat bersenang-senang dengan dua
orang pemuda itu. Akan tetapi Bu Eng Hoat bukan saja menolaknnya bahkan
memaki-makinya. Keramahannya kini berubah menjadi kemarahan.
"Kalau begitu, engkau lebih suka mampus daripada bersenang-senang. Setelah
berkata demikian, cepat sekali bergerak dan pedangnya berkelebat, bagai sinar
kemerahan menyerang Bu Eng Hoat dengan dahsyat!
"Tranggggg........!" Tongkat itu atau toya itu merupakan senjata andalan Eng Hoat.
Gurunya adalah seorang pendeta Buddha aliran Tibet yang terkenal dengan ilmu
toyanya. Biasanya, para pendeta tidak suka menggunakan senjata apalagi senjata
tajam karena hal itu tidak sesuai dengan pelajaran agama mereka yang menghindari
semua kekerasan. Toya itu tadinya adalah semacam tongkat yang dipergunakan
para hwesio untuk membantu mereka dalam perjalanan, terutama kalau melalui
jalan yang sukar, seperti pendakian gunung, jalan yang berbatu-batu dan lain-lain.
Juga dapat mereka pergunakan untuk melidungi dirinya dari serangan binatang
buas. Dan toya itu akhirnya menjadi senjata andalan setelah selama berabad-abadan
mengalami perubahan dan kemajuan berupa silat toya.
Ang-hwa Niocu kagum juga ketika merasa betapa tenaga dalam toya yang
menangkis pedangnya cukup kuat. Akan letapi, setelah wanita itu kini menyerang
bertubi-tubi, Bu Eng Hoat terdesak. Ilmu silat pemuda itu sebetulnya sudah cukup
tinggi dan kokoh kuat. Sebagai murid tunggal Thong Leng Losu dia telah mewarisi
ilmu-ilmu dari pendeta itu. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan lawan yang
tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Terutama sekali dalam ilmu gin-kang
(meringankan tubuh), dia masih kalah sehingga wanita itu dapat bergerak lebih
cepat. Pedang itu berkelebatan menyambar-nyambar menjadi sinar yang bergulunggulung.
Terpaksa Bu Eng Hoat mencurahkan semua tenaga dan ilmu kilatnya untuk
bertahan dan melindungi dirinya. Toyanya berputar cepat menyelimuti seluruh
tubuhnya menjadi semacam perisai yang kokoh kuat sehingga dimanapun juga
pedang itu menyerang selalu dapat tertangkis oleh toya. Akan tetapi, setelah lewat
tiga puluh jurus lebih, Bu Eng Hoat terdesak karena dia sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk balas menyerang.
Ang-hwa Niocu tadinya setelah melihat betapa ia lebih unggul, seperti main-main
karena ia masih mempunyai harapan kalau-kalau Bu Eng Hoat mau menuruti
kehendaknya. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah kereta dan melihat bahwa
Liong Cin tidak berada lagi di atas kereta, ia menjadi marah sekali. Tahulah ia bahwa
Liong Cin diam-diam menggunakan kesempatan selagi ia bertanding melawan Bu
Eng Hoat, melarikan diri. Tentu saja sukar, bahkan agaknya tidak mungkin ia dapat
menemukan la pemburu yang tidak ia ketahui di mana tempat tinggalnya itu. Kini
kemarahnya ia tumpahkan kepada Bu Eng Hoa yang dianggap telah menyebabkan
kehilangan Liong Cin.
"Jahanam Bu Eng Hoat, sekali lagi engkau kuberi kesempatan! Engkau mau
menyerah atau tidak?"
"Tidak sudi!" jawab Bu Eng Hoat.
"Trang-cringgg...........!" Bunga api kembali berpijar ketika toya itu menangkis
sambaran pedang.
"Kalau begitu mampuslah kau!!" Dengan kemarahan meluap Ang-hwa Niocu lalu
mengerahkan semua kepandaiannya untuk menyerang lebih gencar lagi sehingga Bu
Eng Hoat menjadi terkejut dan kini dia bukan saja tidak mampu balas Menyerang,
bahkan dia terpaksa harus diundur karena desakan sinar pedang itu amat hebat dan
mengancam keselamatan nyawanya.
Ketika keadaan Bu Eng Hoat amat gawat dan pangkal lengan kirinya bahkan lelah
terkena sambaran sinar pedang hingga kulitnya robek berdarah, tiba-tiba muncul
seorang pemuda lain yang bertubuh tinggi tegap. Pemuda ini memegang sepasang
tongkat pendek yang dia mainkan seperti siangkiam (sepasang pedang).
"Tak-tak-tranggg..........!" Sepasang tongkat pendeknya itu menyambar di antara dua
orang yang sedang bertanding sekaligus menangkis pedang dan toya Otomatis dua
orang yang sedang bertanding itu terkejut dan masing-masing melompat ke
belakang. Akan tetapi Ang-hwa Niocu yang tadinya marah melihat ada orang
mencampuri urusannya menggagalkan ia menumpahkan kemarahannya kepada Bu
Eng Hoat yang hampir kalah, ketika memandang kepada orang yang datang melerai,
wajahnya menjadi berseri. Yang datang adalah seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tidak kalah ganteng dan
gagah dibandingkan Bu Eng Hoat!
"Hemmm, orang muda, siapakah engkau yang datang mencampuri urusan kami yang
sedang bertanding?" tegur Ang-hwa Niocu dengan senyum manis.
Pemuda yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu adalah Liu Cin. Seperti
telah kita ketahui, sekitar puluh tahun yang lalu, ketika Ceng In Hosiang hwesio
tokoh Siauw-limpai itu dilukai lalu dikejar oleh Kanglam Sin-Kiam Kwan In Su, Im
Yang Tosu, dan Hongsan Siansu, melarikan diri dan akkhirnya jatuh pingsan, dia
ditolong oleh seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang kemudian menjadi
murid tunggalnya. Anak itu adalah Liu Cin, seorang anak yatim-piatu lain yang juga
menjadi korban perang saudara. Setelah digembleng selama sepuluh tahun oleh
Ceng In Hosiang, Liu Cin lalu dilepas oleh Ceng In Hosiang, diperbolehkan turun
gunung dan merantau untuk menambah pengalaman dan memanfaatkan semua
pelajaran yang telah diterimanya dari gurunya. Oleh Ceng In Hosiang, Liu Cin sudah
diberi banyak pelajaran tentang cara hidup seorang pendekar dan dia diharuskan
menjaga sepak terjangnya sebagai murid yang mewarisi ilmu silat Sia Lim-pai agar
jangan sampai mencemarkan nama besar dan nama baik perguruan silat terbesar
itu. Kalau sampai dia menyeleweng dari jalan benar, maka bukan hanya Ceng In
Hosiang yang akan mencari dan menghukumnya, bahkan semua tokoh Siau lim-pai
yang terdapat di mana-mana pasti akan menghukumnya. Selain diajar watak-watak
seorang pendekar budiman juga Liu Cin diberitahu tentang tokoh-tokoh dunia
persilatan yang terkenal baik mereka yang termasuk golongan putih (pendekar)
ataukah golongan hitam (pe jahat).
Akan tetapi, setelah merantau berapa bulan saja, tentu Liu Cin belum banyak
mendapatkan pengalaman sehingga ketika dia melerai perkelahian antar Ang-hwa
Niocu dan Bu Eng Hoat, dia berhati-hati agar jangan melukai seorang di antara
mereka. Dia tidak berani berpihak karena dia tidak tahu apa urusannya yang
membuat pemuda dan gadis itu bertanding, siapa berada di pihak benar atau salah.
Maka setelah tadi menangkis kedua senjata mereka dengan sepasang tongkat
pendeknya, Liu Cin melompat kebelakang dan ketika gadis cantik itu bertanya
kepadanya dengan sikap ramah dan senyum manis otomatis perasaan hatinya
berpihak kepada wanita itu! Hal ini tidak mengherankan karena agak sukar menduga
seorang gadis secantik dan selembut itu berada di pihak yang bersalah! Kalau sang
gadis cantik bersikap ramah dan manis seperti itu, di tempat yang sepi, bertanding
melawan seorang laki-laki, siapapun akan condong berpihak kepada wanita!
Dia merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan kepada
wanita itu lalu menjawab. "Saya bernama Liu Cin dan maafkan kalau saya tadi
lancang melerai Ji-wi (Anda berdua) yang sedang rkelahi. Saya yang kebetulan lewat
disin dan melihat Ji-wi berkelahi, tidak Ingin melihat seorang wanita terluka, apalagi
menjadi korban dan tewass di tangan seorang laki-laki." Lalu dia memandang
kepada Bu Eng Hoat dan bertanya dengan nada menegur. “saya kira seorang laki-laki
tidak pantas untuk berusaha membunuh seorang wanita muda!"
Bu Eng Hoat tentu saja menjadi marah sekali. Tadi dia terdesak hebat dan nyaris
celaka di tangan iblis betina itu. Masih untung dia hanya mengalami lecet di pangkal
lengan kirinya. Kini seorang pemuda yang tampaknya lihai yang dapat dia ketahui
dari cara pemuda itu melerai dan menangkis senjata mereka berdua. Akan tetapi
pemuda yang baru tiba ini tampaknya berpihak kepada Ang-hwa Niocu. Hai ini dapat
diduga dari nada bicaranya!
"Sobat!" katanya gemas. "Engkau agaknya tidak tahu dengan siapa engkau
berhadapan! Ketahuilah bahwa wanita adalah Iblis Betina Ang-hwa Niocu yang suka
mempermainkan pria dan sudah banyak membunuh laki-laki muda. Iblis betina ini
sudah sepatutnya dibasmi agar jangan mengganggu para pria dan mengotorkan
dunia!"
"Liu-enghiong (Pendekar Liu), jangan percaya obrolan manusia palsu ini! Dia yang
hendak kurang ajar dan merayu aku, ketika aku tidak sudi dan menolaknya, dia
malah hendak merampas kereta dan kudaku. Nah, siapakah di antara kami yang
jahat?" kata Ang-hwa Niocu dengan suara merdu sambil menudingkan pedangnya
ke arah muka Bu Eng Hoat.
Pemuda murid Thong Leng Losu ini miliki watak yang keras. Mendengar ucapan Anghwa
Niocu yang memutarkan kenyataan itu, menuduh balik padanya, membuat dia
tidak dapat menahan diri lagi.
"Iblis betina jahanam!" bentaknya dan dia sudah menerjang lagi dengan nekat,
menggunakan toyanya untuk menusuk kearah dada Ang-hwa Niocu. Gadis ini
dengan gerakan ringan sengaja melompat belakang Liu Cin seolah, minta
perlindungan. Liu Cin cepat menggerakkan sepasang tongkatnya sambil maju
menangkis serangan Bu Eng Hoat.
"Jangan menghina seorang wanita!" bentak Liu Cin sambil mengerahkan tenaganya
menangkis.
"Dukkkkk!!" Dua orang pemuda itu terdorong ke belakang. Mereka terkejut dan
maklum bahwa tenaga mereka seimbang. Bu Eng Hoat semakin mendongkol.
Pemuda yang baru datang ini jelas berpihak kepada Ang-hwa Niocu. Dia bukan
seorang yang bodoh dan nekat tanpa perhitungan. Dia tahu bahwa melawan
pemuda ini saja sudah merupakan lawan yang tidak mudah dikalahkan, padahal tadi
melawan Ang-hwa Niocu dia terdesak dan mungkin sekarang sudah terluka atau
tewas kalau pemuda itu tidak muncul. Maka kalau sekarang dia nekat melawan
keduanya, sama saja dengan bunuh diri. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri
secepatnya.
Melihat Bu Eng Hoat melarikan diri, Ang-hwa Niocu tertawa terkekeh-kekeh. ''Hehe-
hi-hi-hik, bocah sombong, baru Memiliki ilmu kepandiaan sebegitu saja sudah
berani menggangguku!"
Melihat wanita cantik itu tertawa terkekeh-kekeh seperti itu, Liu Cin yang masih
belum banyak pengalamannya itu memandang heran, sampai bengong. Belum
pernah dia melihat seorang gadis secantik dan sepesolek itu, juga belum pernah
melihat ada wanita, apalagi yang masih begitu muda, tertawa sebebas itu.
Ang-hwa Niocu kini memandang Liu Cin dan sambil tersenyum manis dan mata
dimainkan sehingga tampak memikat, dan mengangkat kedua tangan didepan dada
lalu membuat gerakan membungkuk dengan gemulai, ia berkata suaranya merdu
merayu.
"Liu-enghiong, terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu
dengan cara apa aku harus membalas budimu yang sebesar gunung ini"
Wajah Liu Cin berubah agak merah mendengar ucapan yang merayu ini. "Aih Nona,
aku sama sekali tidak menyelamatkan nyawamu. Kulihat tadi bahwa eng'kau sama
sekali tidak terancam bahaya, bahkan engkau yang mendesak orang itu. Aku hanya
datang melerai."
"Ah, agaknya engkau tidak tahu, enghiong. Orang jahat seperti itu biasanya memiliki
banyak kawan. Kalau engkau tidak segera datang membuat dia melarikan diri, tentu
kawan-kawannya akan datang mengeroyokku. Engkau telah menyelamatkan aku
dan aku berterima kasih sekali!"
"Sudahlah, Nona, tidak perlu terlalu dilebih-lebihkan perbuatanku yang tiada artinya
itu. Nona telah mengetahui namaku, sebaliknya, kalau boleh aku mengetahui,
siapakah namamu?"
"Namaku adalah Lai Cu Yin dan duta kangouw menyebutku Ang-hwa Niocu. Aku
merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Liu-enghiong."
"Aku pun senang berkenalan denganmu, Nona Lai."
"Pertemuan antara kita yang terjadi secara kebetulan ini membuat kita menjadi
sahabat, bukan? Bolehkah aku meng-ggapmu sebagai seorang sahabat baik?" "Tentu
saja, Nona Lai! Aku merasa terhormat menjadi sahabatmu."
Ang-hwa Niocu tersenyum lebar, wajahnya yang cantik itu berseri gembira, selama
dua tahun lebih ia menjadi liar dan suka memburu dan mempermainkan pria untuk
memuaskan nafsu berahinya, belum pernah ia mendapatkan seorang pendekar.
Biasanya, ia hanya dapat mempermainkan pemuda-pemuda lemah dengan
menggunakan paksaan. Kini, bertemu dengan seorang pendekar seperti Liu Cin, ia
ingin memperoleh pemuda gagah ini sebagai kekasihnya tanpa mengunakan
paksaan, melainkan dengan sukarela. Ia merindukan belaian seorang laki laki yang
jantan yang mencintanya, bukan yang melakukan karena takut atau terpaksa. Maka
ia mencoba untuk menaklukkan Liu Cin dengan cumbu rayu.
"Aih, sungguh lucu dan tidak enak didengar kalau di antara sahabat baik mesti
memanggil dengan sebutan sungkan seperti engkau menyebut Nona pada seolaholah
aku ini seorang yang asing bagimu."
Liu Cin tersenyum. "Lalu aku har menyebut bagaimana?"
"Tidak perlu pakai nona-nonaan! berapakah usiamu sekarang?"
"Dua puluh satu, hampir dua puluh dua tahun."
"Ah, kalau begitu mungkin aku lebih muda setahun atau kurang," kata Ang-hwa
Niocu yang sesungguhnya sudah beri usia dua puluh lima tahun, akan tetapi tentu
saja ia juga pantas berusia dua puluh satu tahun karena memang pandai menjaga
dan merias diri sehingga tampak jauh lebih muda. "Maka, lebih baik dan lebih akrab
kalau kusebut engkau Cin-Ko (Kakak Cin) dan engkau menyebut aku Yin-moi (Adik
Yin). Bagaimana, setujukah engkau, Cin-ko?"
Liu Cin merasa girang sekali. Dia adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil hidup
sengsara. Ketika berusia sebelas tahun, baru dia terbebas dari belenggu
kesengsaraan seorang anak miskin yang tertindas, yaitu ketika diambil murid oleh
Ceng In Hosiang. Akan tetapi dari kehidupan seorang anak yang miskin dan papa,
penuh penderitaan, dia memasuki kehidupan terpencil dan sepi, setiap hari selain
melayani suhunya, juga dia harus berlatih silat dengan tekun dan keras. Boleh
dibilang dia tidak pernah merasakan kehangatan hubungan persahabatan. Juga
setelah dia turun gunung, dia menemukan banyak kejahatan dan belum sempat
bertemu seorang yang baik kepadanya. Kini dia bertemu dengan seorang gadis yang
selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga yang demikian ramah, baik dan akrab
sekali sikapnya.
'Tentu saja aku setuju, Yin-moi!" sebutan itu demikian ringan diIndahnya juga
demikian mesra rasanya, membuatnya terharu karena ia tidak pernah memiliki
saudara, apalagi saudara wanita dan belum pernah mempunyai seorang sahabat
wanita.
"Ah, aku senang sekali, Cin-ko. lum pernah aku memiliki seorang sahabat pria yang
begini gagah perkasa dan baik hati sepertimu!"
"Wah, jangan terlalu memuji, Yi-moi. Aku pun terus terang saja selama hidupku
belum pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau dan aku masih merasa
heran bagaimana seorang gadis seperti engkau mau bersahabat dengan seorang
miskin dan tidak punya apa-apa seperti aku."
"Wih, sudahlah tidak perlu lagi bersungkan-sungkan, Cin-ko. Sebetulnya engkau
datang dari mana dan hendak kemana?"
"Setelah beberapa bulan yang lalu aku disuruh turun gunung oleh guruku...........”
"Siapakah nama gurumu yang mulia? Beliau tentu seorang datuk yang sakti."
"Suhu adalah Ceng In Hosiang, seorang pendeta Siauwlimpai. Aku disuruh turun
gunung dan aku merantau, tadinya aku berniat pergi ke kota raja untuk melihat
keadaan kota raja, akan tetapi mendengar akan keramaian kota Pao-ting, aku ingin
mengunjungi kota itu lebih dulu. Ketika lewat di sini aku melihat perkelahian tadi."
"Aih, sungguh kebetulan sekalil Ini g dinamakan jodoh! Aku sendiri sedang dalam
perjalanan menuju ke Pao-ling dan tujuanku terakhir memang kota raja Peking!
Maka, kalau saja engkau sudi melakukan perjalanan bersamaku, kita dapat pergi ke
sana bersama, Cin-ko!" kata gadis itu dengan girang.
"Ah, tentu saja aku senang sekali, Yin-moi, dan terima kasih!"
"Nah, naiklah ke keretaku, Cin-koi. Sekarang ada engkau yang tentu suka
menggantikan aku menjadi kusir!"
Liu Cin tertawa senang. Mereka berdua menaiki kereta dan Liu Cin memegang
kendali kereta setelah membantu gadis itu memasang dua ekor kuda, sedangkan
gadis itu duduk di sampingnya Kereta bergerak cepat menuju ke timur, ke arah kota
Pao-ting.
Liu Cin merasa betapa jantungnya berdebar aneh ketika karena kereta bergoyang,
tubuhnya bersentuhan dan terkadang merapat dengan tubuh Ang-hwa Niocu yang
duduk disampingnya. Dia merasakan tekanan tubuh yang lembut dan hangat,
mencium bau harum dan rambut dan tubuh wanita itu. Pengalaman yang baru
pertama kali dalam hidupnya dia rasakan ini membuat jantungnya berdegup dan dia
merasa bingung dan tegang.
Akan tetapi sekali ini Ang-hwa Nioc sengaja tidak menuruti gejolak berahinya.
Biasanya, berdekatan dengan orang laki-laki muda yang menggairahkan hatinya, ia
langsung merangkul dan merayu. Akan tetapi ia maklum bahwa Liu Cin adalah
seorang pendekar muda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman bergaul
dengan wanita. Masih seoorang perjaka, maka ia tidak mau membikin pemuda itu
terkejut dan takut, la tidak mau kehilangan Liu Cin, juga tidak ingin menggunakan
paksaan atau kekerasan kepada pemuda ini. la menginginkan Liu Cin mencintanya
dengan sukarela. Lama ia merindukan cinta kasih tulus seorang pria, tanpa paksaan,
dan bukan hanya tertarik oleh kecantikannya belaka. Karena itu ia membatasi diri,
walaupun sentuhan-sentuhan yang terjadi kepada badan mereka karena duduk
bersanding dan kereta berguncang di jalan yang kasar itu cukup membuat nafsu
berahinya berkobar.
Baru sekarang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin benar-benar haus kasih sayang sejati
seorang pria. Karena itu, ketika dalam perjalanan itu Liu Cin bertanya tentang
riwayatnya, ia mau menceritakan. Lai Cu Yin dibawa lari oleh ibu kandungnya keluar
dari Ko-le-kok (Korea), mengungsi ke daerah pedalaman Cina bagian utara. Ibu
kandungnya adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang menjadi isteri
seorang jenderal di kerajaan Ko-le kok. Karena sakit hati melihat jenderal yang
menjadi suaminya itu mulai menyia-nyiakannya setelah ia berusia empat puluh
tahun, dengan mengambil semakin banyak selir muda dan tidak mempedulikannya.
Leng Kin, wanita itu tergoda oleh seorang perwira muda dan menjalin hubungan
cinta gelap dengan perwira itu. Akan tetapi setelah hubung an itu berjalan setahun,
sang perwira juga meninggalkannya. Bukan itu saja, perwira itu membuat laporan
palsu kepada suaminya bahwa ia telah melakukan penyelewengan. Suaminya marah
dan hendak menghukumnya, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, Leng Kin dapat
menyelamatkan diri dan pergi membawa lari puterinya, Cu Yin yang baru berusi
sepuluh tahun. Mula-mula ia hanya lari keluar dari lingkungan keluarga bangsawan
dan berhasil membunuh perwira yang telah mengkhianatinya. Kemudian karena
menjadi buronan, ia membawa puterinya lari keluar dari daerah Ko-le-kok memasuki
daerah Cina bagian Timur Laut.
Di sana dia bertemu dengan seorang pendekar yang usianya lima puluh tahun,
bernama Lai Koan, kemudian menjadi Isteri pendekar itu. Cu Yin yang berusia lima
puluh tahun itu lalu memakai nama marga Lai dari ayah tirinya. Akan tetapi
pernikahan itu pun hanya bertahan selama satu tahun karena setelah terjadi
keributan di perbatasan yang menimbulkan permusuhan antara bangsa Ko-le-kok
dan bangsa Cina, Lai Koan mulai membenci isterinya yang berbangsa Ko-le-kok.
Apalagi dia mendengar akan riwayat isterinya yang sebagai isteri telah melakukan
penyelewengan. Mereka bertengkar dan berpisah.
Sejak saat itu, Leng Kin membenci kaum pria. Ia memperdalam ilmu silatnya dan
mempelajari ilmu silat banyak aliran sehingga ia menjadi seorang datuk wanita yang
lihai dan di daerah Timur Laut dikenal dengan julukan Hwa Hwa Mo-li. Ia
mempunyai seorang murid wanita yang usianya lima tahun lebih tua dan Lai Cu Yin.
Muridnya ini juga seorang anak yatim piatu, akan tetapi ketika menjadi murid Hwa
Hwa Mo-li, ia telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang memiliki
ilmu silat cukup tinggi. Gadis ini bernama Pek Bian Ci seorang gadis peranakan
Mancu/Han. Maka, ketika menjadi murid Hwa Hwa Mo-li Leng Kin, ia menjadi lihai
sekali Ia mewarisi semua ilmu Hwa Hwa Mo-li karena ia memang berbakat baik
sekali dan ia juga amat disayang gurunya karena ia merupakan murid yang taat
tekun dan setia. Hwa Hwa Mo-li yang membenci pria itu bahkan berhasil membuat
Pek Bian Ci bersumpah bahwa ia tidak akan membiarkan seorang laki-lak
menyentuhnya. Kalau ada yang menyentuhnya maka laki-laki itu harus dibunuhnya.
Kalau terdapat pertikaian antara pria dan wanita, ia harus membantu wanita itu,
tidak peduli wanita itu bersalah! Pendeknya, Hwa Hwa Mo-li berhasil mewujudkan
kebenciannya terhadap pria yang telah banyak menyakiti hatinya dalam diri Pek Bian
Ci!
Sejak kecil Lai Cu Yin juga dijejali perasaan benci terhadap pria. Pendeknya pria
adalah musuh mereka dan harus dibenci, kalau perlu dihukum mati!
Ketika Lai Cu Yin berusia dua puluh liga tahun dan Pek Bian Ci dua puluh delpan
tahun, pada suatu hari Hwa Hwa moli Leng Kin meninggal dunia karena menderita
sakit yang ditimbulkan oleh sakit hatinya terhadap pria. Setelah ia meninggal dunia,
yang melanjutkan tinggal di Puncak Ang-hwa-san (Bukit Bunga Merah) adalah Pek
Bian Ci yang setia kepada gurunya itu.Lai Cu Yin yang wataknya lebih lincah, tidak
betah tinggal lebih lama di puncak bukit sunyi itu dan turun bukit untuk merantau.
Sucinya (Kakak seperguruannya) memesan dengan keras agar sumoi (adik
seperguruan) itu ingat akan sumpah dan pesan Ibunya, yaitu tidak boleh menikah
dengan Laki-laki manapun!
Akan tetapi, berbeda dengan watak Pek Bian Ci yang keras seperti batu, Lai Cu Yin
memiliki watak lincah gembira, bahkan romantis. Ia tidak dapat menghilangkan rasa
sukanya kepada pria, bahkan ia dicengkeram nafsu berahi yang berkobar. Karena itu,
setelah ia turun gunung dalam usia dua puluh tiga tahun ia bagaikan seekor kuda
binal lepas kendali! Ia suka bermain cinta dengan pemuda yang menarik hatinya.
Akan tetapi ia pun memegang sumpah ibu kandungnya untuk tidak menikah dengan
seorang laki-laki. Bahkan perasaan sakit hati dan bencinya terhadap pria masih tetap
ada Maka mulailah Lai Cu Yin menjadi budak nafsu berahi dan sekaligus budak
dendam kebencian! Mulailah ia dengan petualangannya yang mengerikan. Kalau ada
seorang pemuda tampan yang menggairahkan hatinya, ia akan mengejar dan
berusaha menjadikan pemuda itu kekasihnya. Kalau pemuda itu menolak, ia merasa
terhina dan langsung membunuhnya. Akan tetapi kalau pemuda itu mau
melayaninya dengan senang ia akan membebaskannya setelah bergaul beberapa
hari dan merasa bosan. Bahkan ia memberi hadiah emas kepada pemuda itu! Selain
itu, Lai Cu Yin juga tidak segan-segan untuk mengambil harta siapa saja kalau
membutuhkannya!
Setelah ia mulai dengan petualanganya, mulai terkenal pulalah julukannya, yaitu
Ang-hwa Niocu. Ia disebut Ang hwa karena ia selalu memakai tiga tangkai bunga
merah di rambutnya, bunga-bunga yang dapat dipergunakannya sebagai senjata
rahasia. Sejak dulu ia senang memakai bunga merah sebagai hiasan rambut dan di
bukit tempat tinggalnya memang terdapat banyak bunga merah, karena itu bukit itu
dinamakan Ang-hwa-san. Suci-nya, Pek Bian Ci, adalah seorang ahli tentang racun
dan jahat, dan gadis itu berhasil meramu obat
yang dapat membuat setangkai bunga berrtahan sampai berbulan-bulan tanpa layu
karena telah mengering namun masih tetap baik bentuk dan warnanya.
Demikianlah riwayat singkat Ang-Hwa Niocu Lai Cu Yin. Akan tetapi ketika ia
menceritakan riwayatnya kepada Liu Cin, ia tidak menceritakan hal-hal yang buruk
dari ibunya maupun dirinya sendiri! Liu Cin hanya mendengar bahwa ibu gadis ini
adalah gurunya sendiri, berbangsa Ko-le-kok dan sekarang sudah meninggal dunia.
Setelah Cu Yin selesai bercerita, Liu Cin menghela napas panjang. "Ah, kasihan
engkau, Yin-moi. Jadi Ayahmu yang di Ko-le-kok seorang jenderal dan sek rang sudah
meninggal dunia, demikian pula Ibumu? Engkau masih begini muda sudah yatim
piatu! Melihat ilmu silat yang demikian lihai, tentu mendiang Ibumu seorang wanita
yang sakti!"
"Ah, biasa saja, Cin-ko. Engkau seorang murid Siauwlimpai, tentu ilmu silatmu hebat
karena aku mrndengar bahwa aliran Siauwlimpai merupakan aliran persilatan paling
tua dan paling hebat. Sekarang giliranmu menceritakan riwayatmu, Cin-ko." Liu Cin
merasa betapa pinggul dan dada gadis itu merapat pada tubuhnya sehingga terasa
kelembutan kehangatannya. Dia menganggap hal itu terjadi karena guncangan
kereta dan merasa senang sekali!
"Aih, apa sih yang menarik tentu diriku, Yin-moi? Aku ini seorang anak yatim piatu
yang miskin sejak kecili Kalau aku tidak bertemu Suhu Ceng Hosiang dan diambil
murid, mungkin Aku sudah mati kelaparan atau tersiksa orang jahat. Orang tuaku
yang juga miskin telah meninggal dunia sebagai korban perang, dan sejak kecil aku
sudah hidup sebatang kara. Suhu menganjurkan aku merantau untuk
menegakkankebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar dan disuruh mencari
pekerjaan yang baik di kota raja. Itulah riwayatku, sama sekali tidak ada yang
menarik."
"Bagiku amat menarik, Cin-ko. Engkau seorang pendekar muda yang gagah perkasa,
jujur dan sederhana. Sungguh aku senang sekali dapat melakukan perjalanan
bersamamu."
Dengan cerdik Ang-hwa Niocu dapat merasakan betapa pemuda itu mulai tertarik
kepadanya, mulai merasa senang bersentuhan dan berdekatan dengannya. Akan
tetapi ia tidak terlalu mendesak, khawatir kalau hal itu akan mengejutkan hati
pemuda yang masih hijau ini. Akhirnya mereka memasuki kota Pao-ting yang ramai.
Orang-orang di kota itu merasa heran melihat sepasang muda-mudi dengan kereta
mereka, yang mengherankan adalah bahwa gadis itu amat cantik dan berpakaian
mewah sebagai seorang gadis bangsawan kaya akan tetapi yang duduk di
sampingnya walaupun juga seorang pemuda tampan gagah, namun pakaiannya
sederhana dan dari kain kasar, menunjukkan bahwa dia bukan seorang pemuda
hartawan.
Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin menyuruh Liu Cin menuju ke sebuah rumah penginapan
besar bernama Ai-koan. Setelah menyerahkan kereta dan kuda agar diurus oleh
pelayan, ia mengajak Liu Cin memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan
itu untuk menyewa kamar?
"Cin-ko, kita sewa satu atau dua buah kamar?" tanya Cu Yin sambil lalui seolah
pertanyaan itu biasa saja dan tidak mempunyai maksud tertentu. Ia memandang
wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Liu Cin menjadi kebingungan. Dia memang masih mempunyai sedikit uang, akan
tetapi tentu tidak akan cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar berikut makan
malamnya. Dan sebagai seorang prla, tentu amat memalukan kalau mengharapkan
uang sewa kamar dan makan malam ditanggung oleh wanita! Akan tetapi dia
berwatak jujur, maka biarpun mukanya merah dia menjawab.
"Yin-moi, uangku tinggal sedikit. Tentu tidak cukup kalau untuk menyewa dua buah
kamar, belum lagi nanti membayar makan malam."
Cu Yin tersenyum. "Aih, Cin-ko, mengapa mengkhawatirkan hal itu? Aku yang akan
membayarnya, jangan khawatir tentang uang. Aku membawa banyak. Nah, sebuah
atau dua buah kamar?" Wanita itu mulai menguji hati pemuda itu.
"Tentu saja dua buah kamar, Cin-moi. Akan tetapi........., kalau itu terlalu mahal........
biar sebuah kamar saja untukmu. Aku dapat tidur di dalam kereta."
Melihat keraguan pemuda itu, Lai Cu Yin yang ingin memikat hati Liu Cin cepat
berkata dengan sikap sopan dan tahu susila. "Wah, mana mungkin aku membiarkan
engkau tidur di kereta, Cin-ko. Juga, kalau kita tinggal sekamar, hal itu tentu akan
menimbulkan dugaan yang tidak-tidak dan melanggar kepantasan dan tata susila.
Kita sewa dua buah kamar saja, seorang satu. Aku yang akan membayar semua
pengeluaran selagi kita melakukan perjalanan berdua."
Hati Liu Cin menjadi lega. Tadi mendengar mereka menyewa sebuah kamar sehingga
mereka akan tinggal beli sama saja sudah membuat jantungnya berdebar tidak
karuan. Tak dapat dia membayangkan apa akan jadinya kalau mereka tidur sekamar.
Kepada seorang pelayan setengah tua yang menyambut mereka, Cu Yin minta diberi
dua buah kamar yang berdampingan. Pelayan itu agaknya mengenal C uYin. Dia
memberi hormat dan berkata dengan gembira.
"Selamat datang, Nona. Ketika Nona bermalam di sini dahulu, Nona masih
meninggalkan sisa kembalian uang pembayarang Nona dan belum sempat kami
berikan karena Nona terburu-buru pergi.”
"Ah, tidak mengapa, Paman. Sisa uang itu boleh untuk Paman saja, untuk tambah
kebutuhan di rumah."
Pelayan itu berulang-ulang memberi hormat. "Ah, banyak terima kasih, Nona. Nona
telah memberi banyak hadiah kepada para pelayan di sini. Nona sungguh murah hati
dan suka menolong kami yang miskin."
"Sudahlah, Paman. Jangan ganggu kami, kami lelah dan ingin segera mandi lalu
makan sore ini."
Pelayan itu mengundurkan diri setelah Menunjukkan dua buah kamar yang
berdampingan. Diam-diam Liu Cin semakin Kagum. Dia mendapatkan bukti sebuah
sifat baik lagi dari gadis itu, yaitu bahwa Lai Cu Yin ini suka menolong orang dan
murah hati!
Ketika mereka makan dalam rumah tuakan di bagian depan rumah penginapan Itu,
setelah mereka mandi dan bertukar pakaian, dalam ruangan makan itu terlihat
beberapa meja lain yang ditempati para tamu. Liu Cin maklum betapa pandang mata
semua tamu pria di ruangan Itu, secara berterang atau pun diam-diam melirik,
ditujukan kepada Cu Yin dengan sinar mata kagum. Diam-diam dia merasa bangga
sekali karena dialah duduk dekat gadis itu, dialah yang jadi sahabat Cu Yin!
Selagi mereka makan minum dengan hidangan yang bagi Liu Cin terlalu mewah
karena belum pernahdia makan dengan hidangan lauk pauk sebanyak itu, tiba-tiba
pandang mata Liu Cin yang tajam dapat menangkap sikap dua orang laki-laki yang
mencurigakan. Mereka adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan
yang lain seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Dari sikap mereka, juga
dari pedang yang mereka bawa dan kini mereka letakkan di atas meja, Liu Cin dapat
menduga bahwa dua orang itu tentulah orang kangouw yang melakukan perjalanan
berhenti melewatkan malam di Pao-ting. Akan tetapi ketika mereka memandang ke
arah Lai Cu Yin dengan sinar mata tajam kemudian saling berbisik-bisik sikap mereka
jelas sedang membicarakan Cu Yin, Liu Cin menjadi curiga.
"Yin-moi," dia berbisik. "Dua oral laki-laki di sana itu agaknya sedang
membicarakanmu. Apakah engkau mengenal mereka7"
Cu Yin sambil makan mengerling kearah dua orang itu, lalu ia melanjutkan makan
dan berbisik pula. "Cin-ko, jangan pedulikan mereka. Kebanyakan laki-laki itu
memang tidak baik dan jahat, setidaknya kurang ajar. Aku kecualikan engkau Cin-ko,
akan tetapi jarang ada laki-laki sebaik engkau."
Karena Cu Yin tidak mempedulikan lagi dua orang itu, maka Liu Cin juga melanjutkan
makan dengan enak dan lahapnya. Setelah selesai makan, Cu Yin mengajak pemuda
itu keluar berjalan-jalan. Ketika mereka keluar dari rumah makan, ternyata dua
orang laki-laki tadi telah pergi.
Biarpun Liu Cin merasa malu dan menolak, namun dengan sangat Cu Yin membujuk
dan memaksanya agar suka menerima beberapa potong pakaian baru yang oleh
gadis itu dibeli dari sebuah loko pakaian di kota itu.
"Cin-ko, sudah kukatakan bahwa aku mempunyai banyak uang dan kulihat engkau
perlu memiliki beberapa potong pakaian baru untuk bekal dalam perjalanan,
Pakaian yang baik itu amat penting, Cin-ko karena orang-orang akan menilai tinggi
dan menghargainya. Kalau kita mengenakan pakaian murah dan buruk, belum apaapa
orang sudah memandang rendah."
Sebetulnya Liu Cin tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi dia merasa tidak
enak untuk membantah atau menolak. Pula, agaknya gadis itu tahu akan warna
kesukaannya. Semua pakaian yang dibelinya berwarna serba kuning!
Bagaikan seekor laba-laba mulai memasang jerat, Cu Yin mulai memikat hati Liu Cin
dengan sikapnya yang baik sehingga pemuda itu menganggapnya seorang gadis yang
cantik, ramah, baik budi, dan sopan!
Malam itu, mereka tidur di kamar masing-masing dan tidak terjadi sesuatu yang
mencurigakan hati Liu Cin. Pemuda ini sama sekali tidak tahu betapa Lai Cu Yin
gelisah tidak mudah pulas di kamarnya, membayangkan betapa di kamar sebelah
pemuda yang menarik hatinya berada seorang diri dan ia membiarkannya tanpa
diganggu.Belum pernah melakukan kesabaran seperti ini pada laki-laki lain.
ooOOoo
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik cukup tinggi dan mereka sudah
mandi, tukar pakaian dan sarapan, Lai Cu Yin dan Liu Cin melanjutkan perjalanan
mereka menuju ke utara, ke ko raja. Liu Cin mengenakan pakaian baru yang
semalam dibelikan Cu Yin dan dan tampak semakin ganteng.
Ketika kereta sudah keluar dari ko Pao-ting dan tiba di jalan yang sepi tiba-tiba dari
balik pohon-pohon berlompatan lima orang laki-laki dan mereka berdiri
menghadang di tengah jalan dengan sikap bengis dan di tangan mereka terdapat
senjata. Ada yang memegang toya sebanyak dua orang, dan tiga yang lain
memegang pedang.
"Berhenti!!" bentak seorang di antar mereka yang paling tua.
Liu Cin yang menjadi sais menghentikan kudanya. Dia memandang kepada Cu Yin
dan gadis ini tersenyum mengejek. "Huh, gerombolan perampok menjemukan sudah
bosan hidup!"
Liu Cin kini mengamati lima orang itu. Dari pakaian mereka dapat diketahui bahwa
mereka adalah orang-orang kang-ouw, akan tetapi dia tidak setuju dengan pendapat
Cu Yin bahwa mereka perampok. Mereka tidak tampak kasar dan kotor seperti para
perampok. Ketika melihat dua orang di antara mereka, dia terkejut karena dia
mengenal wajah mereka. Mereka itulah dua orang yang dia lihat di rumah makan
dan mereka memandang dengan sinar mata marah kepada Cu Yin!
Dengan sikap tenang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin sudah melompat turun dari atas
kereta dengan gerakan ringan dan tanpa mencabut pedangnya.
"Hei, siapa kalian dan apa maksud kalian menghadang kereta kami?"
"Iblis betina! Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau telah membunuh adikku dua
pekan yang lalu dan sekarang engkau harus menebusnya dengan nyawamu!' bentak
seorang di antara mereka, yaitu laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunyang dilihat
oleh Liu Cin di rumah makan bersama laki-laki tertua yang kini agaknya memimpin
rombongan lima orang itu.
"Aih, betulkah? Yang mana adikm itu? Sudah terlalu banyak penjahat kubunuh maka
aku tidak ingat satu persatu. Kalau adikmu itu terbunuh olehku berarti dia jahat dan
kalau engkau hendak membelanya dan menyusulnya untuk menemaninya di neraka,
majulah!" tantang Ang-hwa Niocu sambil mencabut pedangnya. Ia tidak menjawab
bohong karena memang ia tidak tahu siapa yang dimaksudkan mereka.
"iblis betina keji, mampuslah engkau. Laki-laki tua yang bersenjata toya iti
menyerang Cu Yin dengan gerakan cepat dan kuat. Namun Cu Yin yang sudah siap
siaga dengan ringan melompat kesamping untuk menghindar. Akan tetapi pada saat
itu, empat orang laki-laki lainnya sudah mengepung. Laki-laki berusia tiga puluh
tahun yang tadi menuduh Cu Yin membunuh adiknya juga bersenjata toya dan
dialah yang paling bernafsu, menyerang dengan sengit. Tiga orang lain yang
bersenjata pedang kini juga mengeroyok. Cu Yin yang berada di tengah segera
memutar pedangnya. Tampak sinar merah bergulung-gulung ketika ia memutar
pedang melindungi dirinya yang dihujani serangan lima orang pengeroyok itu.
Liu Cin yang tidak mengerti apa urusannya, tadinya diam saja. Akan tetapi melihat
Cu Yin dikeroyok lima orang dan biarpun gadis itu dapat melindungi dirinya dengan
gerakan pedangnya yang hebat, dia merasa tidak semestinya dia membiarkan
sahabatnya dikeroyok seperti itu. Yang membuat dia tadi agak sangsi adalah karena
dia melihat betapa dua orang yang semalam dia lihat di rumah makan dan yang
keduanya menggunakan senjata toya, ternyata menyerang dengan permainan silat
toya dari Siauwllmpai!
"Tahan senjata!!" Akhirnya Liu berseru dan dia melompat dari atas kereta dan
menyerbu ke dalam perkelahiai menggunakan dua batang tongkatn untuk
membantu Cu Yin menangkisi senjata para pengeroyok.
Merasa betapa tangkisan sepasang tongkat itu kuat sekali, para pengeroyok terkejut
dan menahan senjata karena tidak mengenal pemuda ini tidak tahu dia akan berdiri
di pihak si apa
"Cuwi (Anda sekalian) adalah lima orang laki-laki gagah. Apakah tidak malu
mengeroyok seorang gadis muda? Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan baikbaik."
kata Liu Cin.
"Bicara baik-baik dengan gadis muda Huh, ia ini iblis betina yang amat jahat
pembunuh keji! Mau bicara apa lagi?” bentak laki-laki yang menuduh Cu Yin
membunuh adiknya lalu dia menyerang lagi, tidak peduli lagi kepada Liu Cin. Paman
gurunya, yaitu laki-laki setengah tua yang juga bersenjata toya, cepat membantunya
mengeroyok Cu Yin. Liu Cin terpaksa maju dan menyambut tiga orang lain yang
bersenjata pedang. Terjadilah perkelahian yang hebat. Cu Yin dikeroyok dua orang
bersenjata toya dan Liu Cin menghadapi pengeroyokan tiga orang yang bersenjata
pedang.
Liu Cin mendapat kenyataan bahwa tiga orang pengeroyoknya bukan merupakan
lawan berat. Kalau dia menghendaki, dia akan dapat merobohkan mereka dengan
cepat. Akan tetapi dia masih ragu dan merasa tidak enak untuk merobohkan tiga
orang yang belum dia ketahui kesahannya itu. Dia tidak khawatir akan keselamatan
Cu Yin karena tadi pun dia sudah melihat betapa Cu Yin dengan mudah menahan
pengeroyokan lima orang. Gadis itu memiliki tingkat ilmu silat yang lebih tinggi
daripada dua orang pengeroyoknya. Yang dia khawatirkan adalah kaiau-kalau Cu Yin
melakukan pembunuhan. Dia harus tahu lebih dulu apa kesalahan dua orang murid
Siauwlimpai Itu! Bagaimanapun juga, walaupun dia bukan murid dari Kuil Siauwlimsi,
namun gurunya adalah tokoh Siauwlim maka dia pun dapat dibilang seorang murid
Siauwlimpai itu pula. Ini sebabnya dia tidak mau melawan dua orang murid
Siauwlimpai itu dan memilih melawan tiga orang yang lain, yang bersenjata pedang
dan tidak memiliki ilmu silat aliran Siauwlimpai.
"Yin-moi, jangan bunuh orang......!" Liu Cin berseru untuk ke dua kalinya kepada Cu
Yin.
Sebetulnya, kalau menuruti kehendaknya sendiri, Cu Yin ingin membunuh lima
orang laki-laki yang berani menentangnya. Kalau ia tidak bersama Liu Cin semua
pengeroyok itu tentu sudah di bunuhnya. Akan tetapi ia khawatir hal itu akan
mendatangkan rasa tidak senang dalam hati Liu Cin, maka sampai sekian lamanya ia
masih belum mau merobohkan dua orang lawannya.
Kini mendengar seruan Liu Cin untuk ke dua kalian, ia lalu mencabut dua tangkai
bunga merah dari rambut kepalanya dengan tangan kiri dan dua kali ia
menggerakkan tangan kiri, sinar merh meluncur dan dua orang pengeroyoknya
mengaduh lalu berlompatan ke belakang. Pundak mereka terkena bunga merah
yang meluncur cepat tadi dan setangkai bunga itu menancap di pundak mereka,
menembus baju dan kulit, terasa pedih dan panas. Sementara itu, melihat tiga orang
temannya yang berpedang juga kewalahan dan terdesak oleh Liu Cin, dua orang
murid Siauwlimpai itu berseru kepada tiga orang temannya yang segera
berlompatan ke belakang.
Laki-laki berusia lima puluh tahun itu kini memandang kepada Liu Cin dan bertanya,
"Orang muda, bukankah engkau seorang murid Siauwlimpai? Siapa namamu?"
"Namaku Liu Cin dan siapa guruku tidak perlu kukatakan." jawab Liu Cin.
"Sahabatku ini berjuluk Siauwlim Enghiong (Pendekar Siauwlim)!" kata Cu Yin sambil
tersenyum.
Laki-laki setengah tua itu lalu berkata, "Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi
lain kali kami akan membuat perhitungan!" Setelah berkata demikian, dia
membalikkan tubuhnya dan pergi diikuti empat orang yang lain.
Setelah mereka pergi. Cu Yin dan Ll Cin kembali duduk di atas kereta yang segera
dijalankan melanjutkan perjalanan mereka.
"Yin-moi, mengapa engkau mengatakan kepada mereka bahwa aku seorang
pendekar Siauwlimpai?"
"Kenapa, Cin-ko? Tidak keliru, bukan Engkau memang seorang enghiong (pendekar)
dari Siauwlimpai." kata Cu Yi sambil tersenyum. Hatinya senang karena lagi-lagi
pemuda ini membelanya ketika ia dikeroyok lima orang itu. Ini baginya merupakan
pertanda bahwa Liu Cin mulai "ada hati" kepadanya.
"Dua orang itu juga murid Siauwilm pai, Yin-moi. Aku dapat mengenal llmu toya
mereka ketika mereka mengeroyokmu."
"Akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih rendah, Cin-ko."
"Biarpun begitu, jelas mereka itu murid Siauwlimpai, maka aku merasa heran sekali
bagaimana engkau dapat dimusuhi murid-murid Siauwlimpai. Hal Ini tentu saja
membuat hatiku merasa tidak enak, karena bagaimanapun juga mereka adalah
saudara-suadara seperguruan denganku, walaupun aku tidak mengenal mereka."
"Hemmm, Cin-ko, agaknya engkau memang belum banyak pengalaman di dunia
kangouw. Ketahuilah bahwa nama aliran tidak menjamin seorang murid itu mesti
baik. Banyak saja murid perguruan besar yang menjadi penjahat dan biarpun
saudara seperguruanmu kalau mereka jahat, apakah engkau juga akan
membelanya?"
Liu Cin memang tidak pandai bicara dan dia sudah mulai percaya sepenuhnya
kepada Cu Yin, maka dia menerima semua keterangan gadis itu.
Di sepanjang perjalanan menuju ke kota raja itu, Cu Yin selalu bersikap ramah, akrab
dan terkadang mesra namun masih dalam batas kesopanan sehingga Liu Cin mulai
merasa bahwa gadis itu mencintanya dan dia pun amat tertarik karena gadis itu
bersikap demikian lembut, ramah, dan baik hati. Bahkan di sepanjang perjalanan,
sering Cu Yin dengan sengaja membagi-bagi uang kepada penduduk dusun yang
miskin sehingga pemuda itu menjadi semakin kagum!
Pada suatu hari mereka berhenti sebuah dusun yang cukup ramai dan seperti biasa,
kembali mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan, menyewa dua buah
kamar. Baru saja Liu Cin memasuki kamarnya dan melepas sepatu lalu merebahkan
diri di atas pembaringan sambil membayangkan wajah Lai Cu Yin yang kini benarbenar
telah memikatnya,daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar.
Dengan kaki telanjang Liu Cin turun dari pembaringan dan membuka dauri pintu. Cu
Yin berlari masuk sambil menangis! Tentu saja Liu Cin menjadi terkejut, heran dan
khawatir. Dia menutupkan daun pintu agar tangis gadis itu tidak terdengar atau
terlihat orang lain dari luar. Kemudian dia menghampiri Cu Yin yang sudah duduk di
tepi pembaringan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak dan
pundaknya bergoyang-goyang.
Karena khawatir dan bingung, Liu Cin lupa akan kepantasan dan tanpa dia sadari dia
pun duduk di sebelah Cu Yin, memegang pundaknya dan bertanya dengan halus dan
khawatir. "Yin-moi, ada apakah? Kenapa engkau menangis, Yin-moi? Apa yang
terjadi.............?"
Mendengar suara pemuda itu dan merasa betapa pundaknya dipegang, dengan
sentuhan mesra, tiba-tiba Cu Yin merangkul dan menangis di pundak pemuda itu.
Tangisnya mengguguk dan sedih sekali. Liu Cin tentu saja terkejut dan juga rikuh dan
bingung, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak?
"Yin-moi, katakanlah, kenapa engkau menangis sesedih ini? Apa yang
terjadi...........?" Dia merasa betapa air mata gadis itu merembes dan menembus
bajunya, membasahi kulit pundaknya. Dia merasa terharu sekali.
Cu Yin masih terisak-isak. Akan tetapi isaknya makin berkurang dan ia akhirnya
melepaskan rangkulannya dan kedua tangan menggosok-gosok kedua mata dengan
kedua tangannya. Ketik tangannya diturunkan Liu Cin melihat mata yang indah itu
kini agak kemerahan dan pipinya masih basah.
Kemudian Cu Yin menundukkan pandang matanya dan dengan suara masih diselingi
isak tertahan ia berkata, suaranya gemetar dan lirih.
"Cin-ko........ besok siang.......... besok siang kita sudah akan tiba di kota raja..........."
Liu Cin menjadi semakin heran. "Kalau begitu, kenapa? Bukankah memang tujuan
kita ke kota raja, Yin-moi? Mengapa engkau bersedih?"
“.............. setelah tiba di sana.......... kita ............ kita akan berpisah.......... engkau
akan ........... tinggalkan aku.............. hu-hu-hu-huuuh............” Kembali Cu Yin
merangkul dan kini ia menangis tersedu-sedu di dada Liu Cin!
Kembali Liu Cin gelagapan, akal tetapi dia merasa tidak tega untuk melepaskan
rangkulan gadis itu yang membuat dia menjadi serba salah dan tida karuan rasanya.
Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya panas dingin ketika merasa betapa tubuh
gadis itu melekat pada tubuhnya, pakaian penutup tubuh itu terasa seolah tidak ada.
"Tapi....... tapi, Yin-moi, sudah semestinya kita berpisah. Akan tetapi persahabatan
kita tidak akan pernah hilang........." Dia mencoba untuk menghibur, diam-diam
merasa heran sekali mengapa perpisahan yang sudah semestinya terjadij itu
demikian menyedihkan hati Cu Yin.
“……. uhu-huuuh....... aku........ aku akan mati kalau kau tinggalkan, Cin-ko.......... aku
aku cinta padamu, Cin-ko.......... jangan kau tinggalkan aku........" Cu Yin menangis
lagi.
Jantung dalam dada Liu Cin semakin berdegup kencang "Yin-moi, aku juga sayang
padamu........"
"Cln-ko.......!!" Dan dengan tarikan kuat, Cu Yin merebahkan diri telentang di atas
pembaringan sambil tetap merangkul leher Liu Cin sehingga pemuda itu pun ikut
pula jatuh rebah di atas tubuh wanita itu. Sejenak mereka berdekapan, lalu tiba-tiba
Liu Cin sadar bahwa perbuatan itu tidak layak dan tidak baik, melanggar tata susila
yang diajarkan gurunya kepadanya. Maka cepat dia melepaskan rangkulan wanita
itu dan bangkit duduk, menarik napas panjang untuk meredakan gelora dalam
hatinya.
"Cin-ko........." Cu Yin memanggil dengan suara yang merdu dan ruyu dan terengahengah.
Liu Cin menoleh dan memandang Wanita itu rebah telentang dengan gaya yang
amat memikat sehingga dia cepat mengalihkan lagi pandang matanya dan
memandang ke lain jurusan.
"Cln-ko, kenapa engkau menjauhkan diri."
"Yin-moi, apa yang kita lakukan ini tidaklah benar. Salah dan buruk sekali!"
"Tapi, Cin-ko, bukankah engkau juga sayang padaku? Bukankah engkau mencintaku
seperti aku mencintamu?" suara wanita itu kini lebih keras dan mengandung
tuntutan dan penasaran.
"Yin-moi, cinta bukan berarti harus melakukan perbuatan yang melanggar
kesusilaan."
“Cin-ko!" Suara Cu Yin kini terdengar kaku dan ia pun bangkit duduk di sebelah Liu
Cin. "Apa maksudmu dengan melanggar kesusilaan? Kita saling mencinta apa
salahnya bermesraan dan melampiaskan perasaan cinta kita?"
"Yin-moi, kita adalah sahabat, sama sekali tidak boleh melakukan perbuatan yang
hanya boleh dilakukan suami isteri.”
"Kita bisa menjadi suami isteri! Aku mau menjadi isterimu, Cin-ko!"
Liu Cin menghela napas dan bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi tetap
tidak berani menentang pandangan mata Cu Yin.
"Yin-moi, pernikahan bukanlah urusan semudah itu. Harusdilakukan dengan
persetujuan orang tua........."
"Akan tetapi kita sudah yatim piatu Tidak perlu mendapat restu orang tua lagi. Kita
dapat begitu saja menjadi suami isteri atas persetujuan kita sendiri!"
Liu Cin bangkit berdiri. "Tidak, Yin moi. Aku masih mempunyai guruku yang menjadi
wakil orang tuaku. Hal ini harus dibicarakan dulu dengan guruku, aku tidak berani
melanggar. Nah, tidurlah, Yin-moi dan tenangkan hatimu. Jangan bicarakan hal itu
lagi sekarang, tidurlah karena besok pagi pagi kita harus melanjutkan perjalanan ke
kota raja. Selamat tidur, Yin-moi." Setelah berkata demikian, Liu Cin membuka daun
pintu dan memberi isarat dengan sikap hormat agar gadis itu suka kembali ke
kamarnya sendiri.
Cu Yin hampir tidak percaya. Ia merasa sudah berhasil memikat Liu Cin dan yakin
bahwa pemuda itu cinta padanya dan memiliki gairah terhadap dirinya. Akan tetapi
setelah ia hampir yakin usahanya berhasil, tiba-tiba saja pemuda itu menolaknya!
Bangkit kemarahan dalam hatinya. Kalau bukan Liu Cin yang bersikap menolak
seperti itu, pasti ia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, ia tidak mau
membuat ribut di rumah penginapan yang tentu akan menarik perhatian karena
pemuda itu tentu akan melawan dan tidak begitu mudah dibunuh. Selain itu, juga ia
merasa sayang kalau pemuda itu dibunuh begitu saja. Sudah sekian lamanya ia
bersabar dan berusaha menalukkannya. la berhasil membuat pemuda itu jatuh cinta
kepadanya, akan tetapi sama sekali tidak berhasil merayunya untuk melayani nafsu
berahinya.
Tanpa bicara lagi la lalu berlari keluar dari kamar itu dan kembali ke dalam
kamarnya. Liu Cin menghela napas panjang, setengah lega setengah menyesal harus
smenolak ajakan Cu Yin yang telah menjatuhkan hatinya. Pelajaran tentang
kesusilaan yang ditanamkan dalam batinnya telah tumbuh kuat sehingga
menyelamatkannya dari perbuatan yang melanggar sendi-sendi kesusilaan yang
dijunjung tinggi oleh gurunya. Akan tetapi, dia benar-benar terguncang karena hawa
nafsu juga berkobar dalam dirinya, maka dia cepat bersila di atas pembaringannya
untuk bersamadhi dan memadamkan api berahi itu.
Pada keesokan harinya, ketika Liu Cin keluar dari kamarnya setelah mandil dan tukar
pakaian, dengan heran dia melihat Liu Cin sudah duduk di ruangan depan, sudah
mandi dan mengenakan pakaian baru, dan diam-diam dia merasa heran karena
sejak tadi dia sendiri merasa gelisahdan salah tingkah merenuangkan pertemuannya
pagi itu dengan Cu Yin, akan tetapi dia melihat Cu Yin berwajah cerah, bahkan
berseri-seri, biasanya tersenyum manis dan matanya pun sama sekali tidak
memperlihatkan tanda habis menangis. Ia tidak tampak sedih, marah, atau malu,
seolah semalam tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Di samping rasa
heran, juga Liu Cin diam-diam merasa lega dan bersukur karena sikap gadis itu
benar-benar mengusir semua kegelisahannya.
"Selamat pagi, Cin-ko." katanya sambil tersenyum. Wajahnya tampak berseri seperti
orang yang merasa puas dan serang.
"Selamat pagi, Yin-moi. Sepagi ini engkau sudah selesai berkemas rupanya." Liu Cin
melihat betapa buntalan pakaian dan pedang gadis itu sudah diletakkan di atas meja
di dekatnya. "Kalau begitu, aku juga harus berkemas!"
"Cepatlah, Cin-ko. Kita sarapan dulu di rumah makan sebelah timur penginapan ini,
lalu kembali mengambil kereta dan melanjutkan perjalanan."
Liu Cin mengemasi pakaiannya. Mereka berdua lalu pergi ke rumah makan yang
pagi-pagi sudah buka karena biasa melayani orang-orang sarapan pagi di situ. Mejamejanya
penuh dan masih untung mereka mendapatkan sebuah meja kosong yang
baru saja ditinggalkan tamu.
Mereka makan bubur ayam dan minum teh hangat. Setelah selesai sarapai dan
hendak membayar, tiba-tiba percakapan orang-orang dari meja sebelah menarik
perhatian mereka.
"Apa? Engkau belum mendengarnya Sungguh, semalam ada siluman rase (musang)
mengambil korban dua orang pemuda!" kata seorang laki-laki gemuk kepada
temannya yang kurus.
"Benar, kami juga mendengar berita menyeramkan itu " kata seorang tamu lain yang
duduk di meja sebelah kiri bersama dua orang temannya.
"Aku yang menjadi saksi hidup bahwa berita itu memang benar, bukan kosong
belaka!" tiba-tiba seorang laki-laki tua kurus yang penuh keriput berkata sambil
mengangguk-angguk. Semua orang, termasuk Liu Cin dan Lai Cu Yin, memandang
kepada orang tua itu. Laki-laki tua itu tampak gembira. Dia adalah model orang tua
yang suka berceloteh dan bangga kalau dapat menceritakan berita yang belum
diketahui orang lain sehingga semua perhatian ditujukan kepadanya, seolah dia yang
menjadi pahlawan dalam apa yang dia ceritakan.
"Bagaimana ceritanya, Lo-pek (Paman tua)?" tanya beberapa orang.
Kakek itu memasang gaya ketika semua orang memandang kepadanya dengan
penuh perhatian, seolah pandang mata mereka semua bergantung pada bibirnya
yang kering.
.
"Malam tadi seperti kalian semua tahu, malam tidak hujan akan tetapi bulan
sepotong memberi cahaya yang menyeramkan dan udaranya amat dingin sehingga
aku sendiri tidak mempunyai niat untuk keluar dari rumah......"
Aih, ceritakan tentang siluman rase itu, Lo-pek!" cela seseorang.
"Tidak sabaran benar sih, engkau!" Kakek itu cemberut.
"Biarkan dia bercerita." Orang lain mencela orang yang memotong cerita
tadi."Lanjutkan, Lo-pek!"
"Akan tetapi pada tengah malam aku mendengar burung hantu terbang lewat
rumahku dan mengeluarkan bunyi yang menyeramkan itu. Nah, pada keesokan
paginya, pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing, aku teringat bahwa saluran air
ke sawahku belum dibuka bendungannya. Aku lalu pergi di bawah sinar bulan
reman-remang menuju ke sawah di luar dusun. Nah, di sana, di dekat gubuk besar
yang kita bangun bersama di tepi sawah itu, dalam keremangannya sinar bulan, aku
melihat seorang wanita cantik sekali terbang......."
"Ihhh!" Beberapa orang berseru ngeri. Pada jaman itu, semua orang percaya bahwa
apa yang disebut siluman rase adalah siluman yang suka beralih rupa menjadi
wanita yang sangat cantik dan biasanya suka menggoda laki-laki.
"Lo-pek, bagaimana engkau tahu bahwa ia itu wanita cantik kalau cuacanya tidak
begitu terang?" tanya seseorang.
Kakek itu tampak marah. "Hemmm, tua-tua begini mataku masih awas dan aku
sudah biasa melihat dalam gelap. Tampak jelas ia seorang wanita, tubuhnya ramping
menggairahkan dan wajahnya cantik jelita seperti dewi! Jelas ia seorang wanita
muda yang cantik sekali, aku berani bersumpah! Wanita itu pergi seperti terbang
saja. Tubuhnya seperti melayang di atas tanah dan tak lama kemudian ia sudah
menghilang. Karena merasa ngeri, aku lalu berlari pulang, tidak jadi membuka
bendungan air. Lalu tadi aku mendengar ramai-ramai orang meributkan bahwa di
gubuk itu ditemukan mayat dua orang pemuda, yaitu Ang Kongcu (Tuan Muda Ang)
putera kepala dusun kita dan seorang temannya, Si A-lok! Tentu dua orang pemuda
itu menjadi korban Siluman Rase yang kulihat sebagai puteri cantik itu!"
Tampak jelas betapa hampir semua orang bergidik dan ketakutan.
Liu Cin saling pandang dengan Cu Yin dan melihat wajah gadis itu juga tampak
ketakutan. Dia merasa penasaran. "Lo-pek, apa buktinya bahwa dua orang itu
terbunuh oleh wanita yang kau anggap siluman rase itu?"
Kakek Itu memandang kepada Liu Cin dan berkata, "Ah, agaknya engkau bukan
penduduk sini, ya? Sudah jelas mereka menjadi korban siluman rase. Mendengar
ribut-ribut itu aku segera berlari ke sana dan aku melihat sendiri dua mayat pemuda
itu. Jelas mereka berdua dibunuh oleh siluman rase."
"Bisa saja dia terbunuh oleh orang jahat seperti perampok misalnya." bantah Liu Cin,
"Tidak mungkin! Pakaian mereka masih lengkap berada di gubuk ita dan uang di
saku baju Ang Kongcu masih utuh. Bukti lain yang tidak dapat diragukan lagi, dua
orang pemuda itu mati dalam keadaan telanjang bulat"
"Ihhh........!!" Banyak mulut berseru dan bergidiklah mereka yang berada di situ.
Bahkan yang sedang makan membatalkan makannya karena merasa muak.
"Tepat seperti dalam cerita tentang siluman rase. Mereka itu tentu diculik siluman
yang menjadi wanita cantik, dipaksa untuk bercinta kemudian darah mereka dihisap
sampai habis. Buktinya, dua orang pemuda itu mati tanpa ada luka sama sekalil"
Kembali semua orang bergidik dan satu demi satu segera meninggalkan rumah
makan karena merasa ngeri dan ada yang hendak membuktikan sendiri. Banyak
orang berbondong menuju ke luar dusun di mana dua mayat itu ditemukan.
Liu Cin dan Cu Yin juga keluar dari rumah makan itu. Mereka mengambil kereta dari
rumah penginapan. Setelah kereta mereka keluar dari dusun itu, Cu Yin berkata,
"lhhh, ngeri benar cerita mereka tadi..........!"
"Mungkin dilebih-lebihkan," kata Liu Cin. "Bisa saja dibunuh orang yang balas
dendam dengan pukulan mematikan, kemudian mereka ditelanjangi agar tersiar
bahwa pembunuhnya adalah iblis."
Cu Yin diam saja. Ia tidak merasa menyesal membunuh dua orang pemudi itu. Sejak
bergaul dengan Liu Cin, ia telah menahan-nahan gelora nafsunya dan malam itu
merupakan puncaknya ketika ia ditolak oleh Liu Cin. Maka kumatlah penyakitnya
dan diam-diam ia mencari mangsanya. Sebetulnya dengan senang hati dua orang
pemuda itu menuruti kemauannya. Ia terpaksa membunuh mereka pada keesokan
paginya karena ia tidak ingin mereka itu membuka rahasianya sehingga terdengar
oleh Liu Cin. Ia sudah terlanjur bersikap sebagai seorang gadis terhormat dan sopan
di depan Liu Cin dan mengharapkan cintanya.
Mereka melanjutkan perjalanan dani Liu Cin sama sekali tidak mencurigai Cu Yin
walaupun hatinya merasa heran melihat Cu Yin yang malam tadi ia buat kecewa itu
kini bersikap manis seperti biasa.
ooOOoo
Ong Hui Lan melangkah dengan tenang dan la melamun. Perjalanannya sudah tiba
dekat tujuan, yaitu kota raja. Ia melakukan perjalanan dari Nan-king menuju ke kota
raja untuk memenuhi perintah ayahnya.
Ong Su, ayah Ong Hui Lan, adalah seorang bangsawan Kerajaan Chou yang dulu
menjadi Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou. Setelah Kerajaan Chou jatuh, dia tidak
mau membantu pemerintah baru Kerajaan Sung dan pindah ke Nan-king di mana dia
menjadi pengajar sastra bagi anak-anak para hartawan dan bangsawan.
Ketika puteri tunggalnya, Ong Hui Lan, sudah selesai belajar ilmu silat dari Tiong Gi
Cln-jin dan kini menjadi seorang gadis yang bukan saja ahli sastra akan tetapi juga
ahli silat tingkat tinggi, Ong Su mengutus puterinya untuk pergi ke kota raja dan
membantu perjuangan Pangeran Chou Bun Heng yang bercita-cita membangun
kembali Kerajaan Chou!
Sebetulnya Hui Lan tidak ingin membantu Pangeran Chou Ban Heng yang hendak
memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, karena gurunya sudah
menasihatnya agar ia jangan melibatkan diri dalam perang saudara yang dicetus kan
orang-orang yang saling memperebut kan kekuasaan. Akan tetapi Ong Su marah
melihat puterinya merasa ragu dan tidak ingin pergi.
"Hui Lan, ingatlah! Agama kita meng ajarkan bahwa manusia hidup haruslah
mengutamakan Hauw (Berbakti)! Bakti pertama kepada Thian (Tuhan) telah kau
lakukan dengan selalu berusaha menjadi manusia yang baik budi. Bakti ke dua
kepada orang tua dan ini dapat kau lakukan dengan menuruti semua pengarahan
orang tua, mengangkat tinggi nama darah kehormatan orang tua dan
menyenangkan hati orang tuamu. Kini bakti ke tiga yang belum kau lakukan, yaitu
bakti kepada negara! Kita adalah warga dari Kerajaan Chou, karena itu bagi kita,
negara adalah Kerajaan Chou yang telah dirampas oleh pemberontak yang sekarang
mendirikan Kerajaan Sung. Sekarang! Pangeran Chou Ban Heng sedang berusaha
untuk berjuang membangun kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan kerajaan
pemberontak Sung. Pangeran Chou Ban Heng adalah keponakan mendiang Kaisar
Chou Ong, dan dengan kita masih ada hubungan saudara misan, biarpun agak jauh.
Nah, sekarang, setelah engkau memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat),
sudah menjadi tugasmu untuk berbakti kepada negara dengan membantu
perjuangan Pangeran Chou Ban Heng dan sekaligus berbakti kepada orang tua
karena menjunjung tinggi nama dan kehormatan ayahmu."
"Akan saya taati perintah Ayah, akan tetapi dengan satu ketentuan bahwa kalau di
kota raja saya disuruh melakukan perbuatan yang jahat dan menyimpang dari
kebenaran, saya akan menolaknya, Ayah.,"
"Tentu saja, anakku. Jangan khawatir, Pangeran Chou Ban Heng bukanlah seorang
jahat. Dia seorang patriot yang setia terhadap Kerajaan Chou kita. Ini kuberi
sesampul surat, berikanlah kepada Pangeran Chou Ban Heng dan engkau tentu akan
diterima dengan senang."
Demikianlah, Ong Hui Lan berangka ke kota raja. Setelah tiba di kota raja mudah saja
dia menemukan tempat tinggal pangeran yang dicarinya, yang ketika itu telah
menjadi seorang pejabat tinggi, yaitu Penasehat Angkatan Perang! Sebutannya kini
bukan lagi pangeran, melainkan jenderal, yaitu Chou Coanswe (Jenderal Chou). Siang
hari itu ia tiba di depan pintu gerbang pekarangan gedung Chou Goanswe. Dua
orang perajurit pengawal yang berjaga di gardu dekat pintu gerbang segera
menghadangnya. Karena belum tahu dengan siapa mereka berhadapan, dan melihat
sikap gadis cantik itu yang demikian gagah, dua orang perajurit itu bersikap hati-hati
dan sopan, tidak berani mengganggu walaupun mata mereka memandang kagum
dan bagaikan pandang mata anjing kelaparan.
"Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang ke sini?" tanya seorang dari
mereka.
"Aku datang dari Nan-king, hendak menyampaikan surat dari Ayah Ong Su kepada
Paman Pangeran Chou Ban Heng."
"Pangeran Chou........? Ah, maksudmu Jenderal Chou Ban Heng, Nona?"
"Benar, aku ingin menghadap Paman Jenderal Chou, membawa surat dari Ayah Ong
Su di Nan-king, harap laporkan kepada beliau." Hui Lan sengaja tidak
memperkenalkan namanya karena ia anggap tidak perlu memperkenalkan namanya
kepada para perajurit.
Mendengar gadis cantik itu menyebut kepada atasan mereka, dua orang perajurit
jaga itu tentu saja tidak berani bertanya lebih lanjut. Mereka mempersilakan Hui Lan
duduk menunggu di bangku depan gardu, dan seorang dari mereka lalu melaporkan
tentang kedatangan gadis itu ke dalam gedung.
Ketika itu, Pangeran Chou Ban Heng yang kini lebih umum disebut Jenderal Chou
sedang berbincang-bincang dengan puteranya. Chou Kian Ki telah menyusul ayahnya
di kota raja dan sudah sekitar dua pekan berada di gedung ayahnya. Juga tiga ofang
gurunya, Kanglam Sin-kiam Kwan ln Su, Im Yang' Tosu, dan Hongsan Siansu Kwee Cin
Lok kini telah berada dikota raja. tinggal di dalam gedung Jenderal Chou. Tiga orang
tokoh kangouw ini pun duduk dalam ruangan itu, ikut membicarakan tentang citacita
Jenderal. Chou untuk membangun kembali Kerajaan Chou, kini dengan
mengambili siasat dan cara lain. Dulu dia terang-terangan memberontak dan
menyusun pasukan, akan tetapi karena kalah dan gagal, kini dia sengaja mendekati
Kaisar dan menerima pekerjaan menjadi Penasehat Angkatan Perang sambil
menanti kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya.
Mendengar laporan perajurit jaga bahwa ada puteri Ong Su dari Nan-king hendak
menghadapnya, Jenderal Chou menjadi girang. Tentu saja dia ingat akan Ong Su,
bekas Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou, seorang yang amat setia kepada: Kerajaan
Chou sehingga kini lebih suka mengungsi ke Nan-king daripada harus bekerja pada
pemerintahan baru Ong Su itu masih terhitung saudara misannya. Maka dia lalu
menyuruh puteranya, Chou Kian Ki untuk keluar dan menyambut kedatangan puteri
Ong Su itu.
Kian Ki segera keluar dan setelah tiba di pintu gerbang, dia tercengang melihat
seorang gadis yang cantik, pakaiannya rapi akan tetapi tidak mewah dan sikapnya
agung, duduk di atas bangku.
Kian Ki menghampiri dan segera bertanya. "Apakah Nona lni puteri Paman Ong Su
dari Nan-king?"
"Benar, saya puterinya. Siapakah Kong-cu (Tuan Muda)?" tanya Hui Lan sambil
bangkit berdiri dan memandang pemuda tinggi tegap berpakaian mewah dan
berwajah jantan dan tampan itu.
Kian Ki segera mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat. "Ah,
kiranya Ong Siocia (Nona Ong). Selamat datang di rumah kami! Aku adalah Chou
Kian Ki, putera Jenderal Chou. Mari, silakan masuk untuk bertemu dengan ayah,
Nona."
"Terima kasih," kata Hui Lan dan mereka berdua segera berjalan menuju gedung.
Setelah memasuki ruangan yang luas itu dan berhadapan dengan Jenderal Chou Hui
Lan segera memberi hormat dengan sikap lembut dan sopan.
"Paman, saya Ong Hui Lan memenuh perintah ayah untuk menyampaikan surat ini
kepada Paman." katanya sambil menyerahkan surat itu.
"Hui Lan, aku ingat pernah melihatmu di rumah ayahmu dahulu belasan tahun yang
lalu. Engkau masih kecil ketika itu. Duduklah, Hui Lan." kata Jenderal Chou, senang
dan kagum melihat keponakannya yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa
yang cantik dan gagah.
"Terima kasih, Paman."
Kian Ki cepat mengambilkan sebuah kursi untuk gadis itu dan ditaruhnya kursi itu
berhadapan dengan dia. Selagi ayahnya membaca surat, Kian Ki memperkenalkan
tiga orang gurunya.
"Nona............ eh, karena kita masih saudara misan, sebaiknya aku menyebutmu
piauw-moi (adik misan perempuan), bagaimana pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?"
Hui Lan tersenyum. Kakak misannya ini selain gagah sekali juga ternyata bersikap
sopan dan ramah. 'Tentu saja aku setuju, Ki-ko (Kakak Ki)."
"Nah, Lan-moi, perkenalkan, mereka ini adalah tiga orang guruku. Ini Suhu Kanglam
Sinkiam Kwan In Su, yang ini Suhu Im Yang Tosu, dan yang itu adalah Suhu Hongsan
Siansu Kwee Cin Lok."
Hui Lan segera memberi hormat kepada mereka bertiga yang mereka balas sambil
tersenyum kagum. Gadis itu bukan hanya cantik, akan tetapi juga gagah. Dari gerakgeriknya
yang lembut namun mengandung tenaga dan sinar matanya yang tajam itu
saja dapat diketahui bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan.
Jenderal Chou tertawa senang setelah membaca surat dari Ong Su. Surat itu
menyatakan bahwa Ong Su menawarkan puterinya yang telah selesai belajar ilmu
silat untuk membantu Jenderal Chou mencapai cita-cita luhur mereka sebagai
penerus bangsa Chou!
"Bagus, bagus!" Dia tertawa dan berseru gembira sehingga yang selain
menghentikan percakapan dan memandang jenderal itu. "Ong Hui Lan, menurut
ayahmu engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi! Siapa yang melatihmu dan
berapa lama engkau mempelajari ilmu silat?'
"Guru saya adalah Tiong Gi Cinjin, Paman dan saya belajar selama sepuluh tahun."
jawab Hui Lan.
Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tung-kiam-Ong (Raja Pedang Timur)?" Hongsan Siansu
Kwee Cin L ok berseru. "Ah, kalau begitu Nona Ong tentu memiliki ilmu pedang yang
hebat sekali!!"
Juga Kanglam Sinkiam Kwan In Su dan Im Yang Tosu sudah mendengar akan nama
besar Raja Pedang Timur itu, maka mereka juga memuji. Mendengar ini, tentu saja
Jenderal Chou menjadi semakin gembira.
"Ah, ingin sekali aku melihatnya!! Kian Ki, engkau uji ilmu pedang misanmu ini!"
Kian Ki tersenyum senang. Pemuda ini setelah menerima gemblengan mendiang
Thian Beng Siansu, bahkan menerima pengoperan tenaga sakti dari Thian Beng
Siansu dan tiga orang gurunya, menjadi lihai bukan main. Bukan hanya lihai ilmu
silatnya, akan tetapi juga memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Wataknya yang
pada dasarnya memang tinggi hati itu menjadi bertambah sombong. Akan tetapi di
depan gadis ini dia tidak bermaksud menyombongkan kepandaiannya melainkan
ingin memamerkannya. Sambil tersenyum dia menghampiri gadis itu.
"Lan-moi, mari kita memenuhi keinginan ayahku, kau perlihatkan ilmu pedangmu
yang tentu hebat sekali mengingat bahwa gurumu adalah Raja Pedang."
Sebetulnya Hui Lan tidak ingin memamerkan Ilmu pedangnya. Kalau saja ayahnya
tidak menyuruh ia membantu pangeran itu, dan kalau pangeran yang menjadi
pamannya itu tidak menyatakan ingin melihat ilmu pedangnya, tentu ia tidak mau
diajak menguji kepandaian oleh Kian Ki.
Terpaksa la bangkit berdiri, lalu menjura kepada Jenderal Chou dan berkata,
"Kemampuan saya masih terbatas dan dangkal, harap Paman tidak mentertawakan
saya." Kemudian kepada Kian Ki ia berkata, "Ki-ko, harap jangan terlalu
mendesakku."
Kian Ki tersenyum dan mundur ke tengah ruangan yang lebih lebar. "Lan moi, jangan
terlalu merendahkan diri. Siapa tahu, aku malah yang akan terdesak olehmu.
Bagaimanapun juga, kita hanya main-main, bukan?" Pemuda itu lalu mencabut
pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat. Kiranya pedangnya berwarna hitam
legam. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang bernama Hek-kang-kiam (Pedang
Baja Hitam),! sebatang pedang pemberian kepala suku Khitan kepada Pangeran
Chou yang kemudian diberikan kepada Kian Ki.
Ong Hui Lan juga mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau berkelebat. Cenghwa-
kiam (Pedang Bunga Hijau) itu adalah pemberian Si Raja Pedang Tiong Ci Cinjin
kepada muridnya ini.
"Wah, itu pasti Ceng-hwa-kiam!" seru Hongsan Siansu kagum. "Po-kiam (pedang
pusaka) yang hebat. Kian Ki, hati-hati, jangan adukan pedang terlampau kuat,
khawatir akan merusak kedua pedang pusaka itu!"
"Lan-moi, silakan!" kata Kian Ki sambil memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki
ditekuk, tubuh miring menghadapi gadis itu, tangan kiri digenggam dengan jari
telunjuk dan tengah menuding ke depan, diletakkan tangan itu di depan dada,
sedangkan tangan kanan mengangkat pedang ke atas, pedang hitamnya menunjuk
ke bawah melalui atas kepala, dan matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum
sehingga dia tampak gagah sekali.
"Silakan, Ki-ko. Engkau yang manguji, bukan?" kata Hui Lan yang juga sudah
memasang kuda-kuda dengan tijbuh tegak, kaki kanan diangkat sebatas betis,
tangan kiri menunjuk ke atas dan pedangnya menunjuk ke depan, menghadapi
pemuda itu.
"Akan tetapi aku laki-laki, Lan-moi, tidak pantas kalau aku menyerang dulu. Mulai
dan seranglah!" tantang Kian Ki.
"Baik. maafkan aku. Ki-ko!" kata Hul Lan dan ia pun bergerak dengan cepat sekali,
mulai memainkan pedangnya untuk menyerang. Pedangnya berkelebatan
membentuk gulungan sinar hijau ketika ia menyerang secara susul menyusul dan
bersambung-sambung, membuktikan bahwa ilmu pedangnya memang Istimewa dan
berbahaya sekali.
"Bagus!" seru Kian Ki memuji. Bukan pujian kosong karena dia memang kagum
sekali. Ilmu pedang gadis itu memang hebat. Terpaksa dia menggerakkan tubuhnya
mengelak akan tetapi karena pedang hijau itu menyerang secara sambung
menyambung, tak mungkin dia mengelaki terus karena elakannya akan membuat
serangan itu tidak pernah putus. Dia lalu menangkis, akan tetapi karena maklum
akan kekuatan sendiri, dia membatasi tenaganya.
"Cringgg ...........!” Bunga api berpijar dan Hui Lan terkejut ketika merasa betapa
tangannya tergetar hebat sehingga serangannya terhenti.
"Lihat seranganku, Lan-moi" Kian Ki Balas menyerang dan mereka lalu serang
menyerang dengan hebat. Mula-mula pertandingan pedang itu masih dapat diikuti
pandang mata dan tampak betapa keduanya memainkan pedang masing-masing
dengan mahir sekali sehingga Jenderal Chou berkali-kali bertepuk tangan dan
berseru memuji. Juga tiga orang tokoh kangouw itu memuji ilmu pedang Hui Lan. Si
Pedang Sakti dari Kanglam sendiri, Kwan In Su, diam-diam harus mengakui bahwa
dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi ilmu pedang gadis itu!
Gerakan keduanya makin lama semakin cepat sehingga lewat lima puluh jurus,
bayangan mereka tidak tampak! tertutup oleh dua gulungan sinar pedang hijau dan
hitam. Tampak indah sekali dan pasti akan menegangkan bagi mereka yang ilmu
silatnya masih belum cukupi tinggi yang tidak dapat mengikuti gerakan mereka
secara jelas dan mengira bahwa dua orang itu bertanding mati-matian. Akan tetapi
tiga orang tokoh kangouw dan juga Jenderal Chou yang menyaksikan pertandingan
itu melihat betapa walaupun ilmu pedang gadis itu memang hebat, namun kalau
Kian Ki menghendaki dan menggunakan tenaga sakti sepenuhnya, tentu dia dapat
mengalahkan Hui Lan. Mereka yang tahu akan kehebatan sinkang pemuda itu
maklum bahwa dia memang mengalah terhadap Hui Lan. Hal ini membuat Jenderal
Chou merasa girang dan timbul niat dalam hatinya untuk menjodohkan puteranya
dengan gadis itu! Selain gadis itu cantik, juga putera bangsawan Chou yang setia,
memiliki mantu seperti itu amat menguntungkan. Hui Lan dapat menjadi seorang
pembantu yang boleh diandalkan!
"Sudah cukup, berhentilah!" Jenderal Chou berseru dan dua gulungan sinar pedang
itu pun menghilang, dua orang muda itu sudah melompat ke belakang.
Kian Ki menyimpan pedangnya dan berkata kepada Hui Lan sambil tersenyum.
"Hebat, Lan-moi! Kiam-hoatmu sungguh hebat, aku kagum sekali!"
Hui Lan juga sudah menyimpan pedangnya dan ia menjawab sejujurnya. "Ki-ko,
terima kasih, engkau hanya mengalah. Dibandingkan kepandaianmu apa yang
kupelajari beium seberapa."
Jenderal Chou memuji gadis itu lalu menyuruh Kian Ki mengajak Hui Lan kedalam
untuk diperkenalkan dengan Nyonya Chou dan beberapa orang selir jenderal itu.
Mulai saat itu, Hui Lan diterima sebagai anggauta keluarga dan juga pembantu yang
memperkuat kedudukan Jenderal Chou, pangeran yang bercita-cita untuk merebut
tahta kerajaan dan membangun kembali Kerajaan Chou itu.
Keluarga Chou merasa senang melihat Hui Lan yang pandai membawa diri, tahu
sopan santun dan terpelajar itu. Ketika] Chou Klan Ki menyatakan persetujuannya
sepenuhnya akan niat ayahnya menjodohkan dia dengan Hui Lan karena ia memang
telah tertarik dan jatuh cinta kepada gadis itu, seluruh keluarga menjadi semakin
senang. Segera Jenderal Chou menyuruh isterinya untuk menyampaikan niat
keluarga itu kepada Hui Lan.
Baru dua pekan berada di gedung Jenderal Chou, pada suatu sore, Nyonya Chou
memasuki kamar Hui Lan. Dengan hati-hati ia lalu menyampaikan keinginan hati
keluarganya untuk menjodohkan Kian Ki dengan Hui Lan dan minta tanggapan gadis
itu tentang niat keluarganya.
Hui Lan yang duduk berhadapan dengan Nyonya Chou terkejut mendengar ini. Ia
menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Ia sendiri merasa kagum
terhadap kakak misannya itu, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang tinggi,
juga seorang pemuda yang telah menguasai ilmu bun (sastra). Akan tetapi tentu saja
ia sama sekali tidak mengira bahwa keluarga Chou berniat untuk menjodohkan Chou
Kian Ki dengan dirinya. Sebagai seorang gadis yang berbakti kepada orang tuanya,
ditanya tentang tanggapannya terhadap niat itu, ia menjawab kepada Nyonya Chou
sambil menundukkan muka.
"Bibi, tentang perjodohan, tentu saja saya serahkan sepenuhnya kepada orang tua
saya. Harap Bibi dan Paman membicarakan urusan itu kepada orang tua saya. Saya
hanya menaati keputusan mereka."
Jenderal Chou segera mengirim utusan ke Nan-king membawa suratnya kepada Ong
Su untuk mengajukan pinangan secara kekeluargaan. Keluarga Ong tentu saja
merasa senang dan bangga sekali langsung menyatakan persetujuan mereka
Demikianlah, biarpun belum diresmikan dan belum diadakan pertemuan antara
kedua pihak, setelah menerima persetujuan Ong Su, Hui Lan telah menjadi calon
jodoh Chou Kian Ki! Akan tetapi karena belum dilakukan pinangan secara resmi, Kian
Ki dan Hui Lan bersikap biasa seperti saudara misan, walaupun mereka tahu bahwa
mereka adalah calon jodoh masing-masing.
ooOOoo
Kaisar Sung Thai Cu, pendiri Kerajaan Sung dan sebagai kaisar pertama ternyata
merupakan seorang pemimpin sejati. Bekas panglima yang dulu bernama Panglima
Chou Kuang Yin ini benar-benar memiliki sikap bijaksana dan melaksanakan politik
yang lunak dan mengusahakan perdamaian. Dia sungguh berbeda dari para
pimpinan sebelumnya.
Sepanjang Jaman Lima Dinasti (907 -960) selama setengah abad negara menjadi
ajang perebutan kekuasaan. Sampai lima kali terjadi penggantian kerajaan yang
masing-masing hanya bertahan beberapa tahun saja. Hal ini adalah karena para
pemimpin yang tadinya berjuang menumbangkan kekuasaan Kerajaan atau Kaisar
yang dianggap tidak bijaksana dan lalim, semula memang mengajak rakyat jelata
untuk berjuang menumbangkan Kaisar yang lalim. Setelah perjuangan berhasil baik
walaupun mengorbankan banyak sekali nyawa rakyat dan menimbulkan banyak
kejahatan, si pemimpin mendirikan kerajaan baru dan menjadi-Kaisar, maka sejarah
pun berulang. Orapg yang tadinya menjadi pemimpin yang gagah, yang berjuang
atas nama rakyat, setelah berhasil dan menjadi Kaisar, menjadi, lupa diri! Kekuasaan
dan harta benda membuatnya lupa akan dasar perjuangan mereka semula. Mereka
menjadi mabuk kekuasaan sehingga bertindak sewenang-wenang karena merasa
paling berkuasa, mabuk kesenangan duniawi, menumpuk harta kekayaan. Orangorang
yang dekat dengan Kaisar yang baru sanak keluarganya dan sahabat-sahabat
yang kesemuannya merupakan penjilat-penjilat, diberi kekuasaan. Maka berpesta
poralah mereka itu, sekelompok orang yang berkuasa, menjilat atasan dan menekan
bawahan. Maka, dalam beberapa tahun saja terjadi lagi pemberontakan untuk
menggulingkan kekuasaan kaisar yang lalim itu.
Akan tetapi setelah Jenderal Chou Kuang Yin mendirikan Kerajaan Sung dan dia
menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu (960-976), terjadi perubahan besar.
Kaisar Sung Thai Cu sama sekali tidak mabuk kekuasaan, tidak menjadi congkak dan
angkuh, tidak haus akan kesenangan dunia, tidak melakukan penindasan dan tidak
memperkaya diri sendiri atau keluarganya. Dia bertindak adil, bahkan murah hati
terhadap mereka yang tadinya menentang berdirinya Kerajaan Sung.
Sikap inilah yang membuat sebagian besar rakyat mendukungnya. Karena kalornya
bersih, maka dengan sendirinya para pembantunya juga bertangan bersih karena
takut kepada Kaisar yang pasti akan menghukum pembantunya yang bertangan
kotor. Sebaliknya kalau Kaisarnya bertangan kotor, dengan sendirinya para
pembantunya juga bertangan kotor dan atasan tidak akan berani menegur bawahan
karena sama-sama kotor. Jelaslah bahwa pemerintahan yang. bersih hapus dimulai
dari atas! Bawahan tidak membutuhkan pelajaran saja dalam hal kebersihan,
melainkan terutama sekali membutuhkan tauladan! Dahulu, para kaisar sebelum
Sung Thai Cu, para atasan itu amat tidak bijaksana bahkan licik. Mereka menuntut
agar bawahan mereka bersih padahal mereka sendiri kotor sekali. Mana mungkin
berhasil ajakan berbersih-bersih?
Kaisar Sung Thai Cu memberi tauladan yang amat baik. Sebagian besar para menteri
dan panglimanya mencontoh! sikapnya. Karena itulah maka Kerajaan Sung tidak
seperti kerajaan-kerajaan sebelumnya, yang berganti-ganti karena! selalu timbul
pemberontakan. Menurut sejarah, Kerajaan Sung dapat bertahan sampai tiga ratus
tahun lebih!
Namun, seperti biasa dikatakan orang, tiada gading yang tak retak, atau lebih tepat
lagi, tidak ada manusia dan hasil usahanya yang sempurna. Demikian pula dalam
pemerintahan Kaisar Sung Thai Cu. Memang sebagaian besar para menteri dan
pembantunya terdiri dari orang-orang yang setia dan jujur, tidak suka melakukan
tindakan korupsi. Akan tetapi, ada saja kecualinya. Yaitu mereka yang merasa tidak
puas dengan keadaannya, mereka yang dikuasai nafsunya menghendaki yang lebih.
Biarpun mereka ini tidak berani terang-terangan melakukakn korupsi dan
pelanggaran, namun diam-diam mereka mencari kesempatan. Orang-orang seperti
inilah yang berhasil digaet oleh Pangeran Chou Ban Heng untuk mendukung
ambisinya. Selain mereka yang ingin mencari keuntungan yang dijanjikan oleh
Jenderal Chou itu, juga terdapat mereka yang sehaluan dengan Jenderal Chou, yaitu
mereka yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Chou yang telah jatuh. Bagi
mereka, usaha membangun kembali Kerajaan Chou merupakan kewajiban yang
harus mereka perjuangkan. Mereka sama sekali tidak menganggap bahwa usaha
membangun Kerajaan Chou dan menumbangkan Kerajaan Sung itu sebagai
pemberontakan. Sama sekali mereka bukan memberontak, melainkan mengambil
kembali kekuasaan yang sudah dirampas oleh Jenderal Chou Kuang Yin yang
mereka-anggap pemberontak.
Jenderal Chou tidak mau bertindak gegabah. Dia sudah cukup sabar menyusun
kekuatan, kini bukan merupakan pemberontakan dari luar menggunakan pasukan,
melainkan pemberontakan dari dalam! Pada suatu malam Jenderal Chou
mengadakan pertemuan dengan para pendukungnya. Dia tidak bodoh, tidak maui
menggunakan gedungnya sebagai pusat berkumpulnya kelompok yang sehaluan itu.
Dia memilih sebuah rumah peristirahatan milik seorang panglima di luar kota untuk
berkumpul mengadakan pertemuan. Sebagai Penasehat Angkatan Perang, tentu saja
dia berhubungan dekat dengan para panglima, maka kalau dia berkunjung ke rumah
peristirahatan Panglima Coa, hal itu tentu saja wajar dan tidak menimbulkan
kecurigaan.
Malam itu yang berkumpul di rumah peristirahatan yang terjaga ketat olehi anak
buah Panglima Coa, ada belasan orang. Jenderal Chou sendiri, diikuti Chou Kian Ki
dan Ong Hui Lan, tiga orang guru Kian Ki yaitu Kanglam Sin-kiam Kwan In Su yang
berusia enam puluh tahun, I m Yang Tosu juga berusia! enam puluh tahun, dan
Hongsan Siansu Kwee Cin Lok berusia enam puluh tahun lebih. Hadir pula Panglima
Coa sendiri sebagai tuan rumah, beberapa orang pembesar sipil dan militer. Mereka
berkumpul di sebuah ruangan yang cukup luas dan tertutup, pada luar ruangan itu
terjaga ketat sehingga tidak akan ada orang luar melihat atau mendengarkan rapat
pertemuan Itu.
Pertama-tama Perwira Cu melaporkan kepada Jenderal Chou. Perwira Cu ini
bertugas sebagai pemimpin para mata-mata atau penyelidik yang disebar di seluruh
kota raja.
"Seorang anak buah melaporkan bahwa beberapa hari yang lalu muncul seorang
tokoh kangouw wanita yang terkenal sekali karena kelihaiannya. Ia berjuluk Anghwa
Niocu dan menurut keterangan mereka yang mengetahui, Ang-hwa Niocu ini
seorang petualang besar yang datang dari utara. Kabarnya ia keturunan puteri
Kolekok yang sakti dan yang dulu pernah menggegerkan kerajaan Chou yang
berjuluk Hwa Hwa Moli."
"Ah, aku dulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Mo-li. Akan tetapi ia telah tewas
dalam perang. Jadi yang kau ceritakan itu puterinya?" kata Hongsan Siansu.
"Benar, Siansu. Ia seorang gadis, usianya sekitar dua puluh lima tahun dan cantik
sekali, juga ilmu silatnya tinggi. Menurut para penyelidik, sekarang ini ia datang di
kota raja bersama seorang pemuda yang tampaknya menjadi sahabat baiknya.
Pemuda itu pun merupakan seorang yang lihai, murid Siauwlimpai bernama Liu Cin
berjuluk Siauwlim Eng-hiong, agaknya menjadi sahabat baik Ang-hwa Niocu."
"Siapa nama aseli Ang-hwa Niocu itu?" tanya Jenderal Chou karena dia merasa
tertarik.
"Ampun, Goan-swe (Jenderal), para penyelidik belum dapat mengetahui namanya
karena ia selalu menggunakan nama julukannya."
"Panglima Cu, cepat engkau pergi, cari tahu namanya dan sedapat mungkin, bujuk ia
agar mau memenuhi undanganku ke sini. Juga murid Siauwlimpai itu."
"Baik, Goanswe." Perwira Cu memberi hormat dan meninggalkan gedung Itu.
Pertemuan rapat itu dilanjutkan dan Jenderal Chou berkata dengan suaranya yang
lantang dan tegas.
"Saudara sekalian! Kita sudah sepakat bahwa kita tidak mungkin tinggal diam saja
melihat betapa Panglima Chou Kuang Yin merebut tahta kerajaan, mendirikan
Kerajaan Sung yang baru dan dia mengangkat diri sendiri menjadi Kaisar Sung Thai
Cu. Pengkhianatan ini harus dihukum. Akan tetapi kita pun menyadari bahwa belum
tiba waktunya bagi kita untuk merebut tahta kerajaan dan membangun kembali
Kerajaan Chou dengan menggunakan kekerasan atau pemberontakan. Untuk itu,
kekuatan kita belum cukup besar, tidak akan mampu mengalahkan pasukan Sung.
Karena itu, satu-satunya cara terbaik hanyalah melakukan penggerogotan kekuatan
lawan dari dalam. Kita memperkuat diri dari dalam dengan jalan mengusahakan agar
rekan-rekan kita bisa mendapatkan kedudukan yang terpenting dalam
pemerintahan Kerajaan Sung. Kita tarik mereka yang merasa tidak puas dengan
Kerajaan Sung untuk menjadi sekutu kita, sedangkan kita usahakan agar para
pejabat yang setia kepada Kaisar Sung Thai Cu disingkirkan. Dengan demikian,
perlahan-lahan kita membuat kedudukan Kaisar Sun menjadi lemah dan kita sendiri
semakin kuat. Kita juga undang semua tokoh d dunia kangouw untuk memperkuat
kedu dukan kita. Kita sokong mereka yang membuat kekacauan di daerah-daerah
agar rakyak menderita, karena kahau rakyat menderita maka akan timbul perasaan
tidak suka kepada pemerintah Kerajaan Sung. Setelah keadaan Kerajaan ini mulai
lemah, dan kita semakin kuat, maka akan tiba saatnya kita mengerahkan kekuatan
dan mengambil alih kekuasaan. Sekarang aku minta tanggapan dan pendapat
kalian."
Rata-rata mereka semua menyatakan setuju dengan rencana itu. Seorang diantara
mereka, panglima sebuah pasukan keamanan, berkata.
"Maaf, Chou Coanswe. Kalau kita membiarkan terjadinya kerusuhan dan kekacauan,
tentu saya sebagai panglima pasukan keamanan akan dipersalahkan karena menjaga
keamanan adalah tugas saya. Bahkan Goanswe sebagai Penasehat Angkatan Perang
tentu juga akan mendapat teguran dari Sribaginda Kaisar."
"Ah, Lai Ciangkun, kita harus cerdik. Kita yang membuat kerusuhan itu dengan
mengerahkan orang-orang kangouw sehingga kerusuhan yang terjadi tentu di
daerah yang berada di luar jangkauan kita secara cepat. Dan kekacauan itu
berpindah-pindah sehingga tidak mungkin menyalahkan fcita. Kita juga mengadakan
aksi pembersihan, akan tetapi yang kita bersihkan adalah mereka yang menentang
kita dan yang setia kepada Kaisar Sung. Orang-orang rimba persilatan yang
mendukung Kaisar Sung harus kita tentang dan kalau perlu dibinasakan dengan dalih
bahwa merekalah yang menimbulkan pengacauan dan kerusuhan itu. Adapun
orang-orang kangouw yang setia kepada Kerajaan Chou dan mendukung kita harus
kita rangkul dan kita ajak bekerja sama."
"Saya mengerti, Chou Coanswe. Akan tetapi kalau mereka itu menanyakan
imbalannya?" tanya pula Panglima Lai.
"Harta dan kedudukan! Itulah imbalannya. Jangan mereka khawatir, kalau
perjuangan kita berhasil, mereka pasti akan kami beri kedudukan dan harta
kekayaan yang ditimbun oieh Kerajaan Sung aka dibagi rata!" Jenderal Chou
berhenti sebentar lalu memandang kepada semua orang dan bertanya. "Bagaimana,
apakah masih ada yang ada menanggapi dan bertanya? Silakan, jangan ragu karena
rapat ini memang diadakan untuk kita perbincangkan bersama perjuangan kita ini."
Semua orang terdiam, agaknya tidak ada yang hendak bertanya lagi. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara yang halus merdu.
"Maaf, Paman. Saya ingin mengeluarkan pendapat saya setelah mendengar semua
pembicaraan tadi." Yang bicara adalah Ong Hui Lan dan semua orang menoleh dan
memandang kepadanya.
"Bagus, Hui Lan! Memang sebaiknya setiap orang mengeluarkan pendapat masingmasing
karena itulah gunanya diadakan rapat seperti ini. Katakanlah, apa
pendapatmu?"
"Paman, saya sungguh tidak setuju dengan rencana yang Paman bicarakan tadi.
Suhu selalu mengajarkan kepada saya bahwa dalam segala urusan, kita tidak boleh
bertindak curang! Kalau kita berhadapan dengan musuh dan melawannya, kita harus
melawan secara gagah. Kalah menang bukanlah masalah, akan tetapi yang penting,
kita harus bertindak benar dan gagah, tidak menggunakan cara yang licik dan
curang. Maka, terus terang saja, Paman, cara-cara yang tadi direncanakan itu sama
sekali tidak sejalan dengan semua yang telah saya pelajari!"
Tentu saja semua orang yang berada di situ terkejut bukan main mendengar ucapan
gadis itu. "Nona Ong........!" seru Hongsan Siansu dengan suara menegur. "Ini bukan
urusanmu, engkau tidak boleh mencampuri..........."
"Siapa yang mencampuri? Kalau aku tidak boleh bicara, lalu mengapa aku diajak ikut
berunding di sini?" bantah Ong Hui Lan dengan suara yang masih lembut, walaupun
sepasang alisnya berkerut.
"Lan-moi, ingat bahwa ayahmu menyuruh engkau membantu perjuangan. ayahku."
kata Chou Kian Ki mengingatkan.
"Memang benar dan aku pun siap membantu. Ki-ko, akan tetapi kalau harus
melakukan kecurangan, terpaksa aku tidak dapat membantu."
"Eh-eh........ tenang dulu, agaknya ada.kesalah-pahaman di sini........" kata Jenderal
Chou sambil mengangkat tangan menghentikan perdebatan itu. Kemudian dia
berkata kepada Hui Lan dengan sikap manis budi dan suaranya lembut. "Hui Lan,
anak baik, agaknya engkau belum mengenal seluk-beluknya perjuangan. Engkau
tahu bahwa kita semua sedang berjuang untuk membangun kembali Kerajaan Chou
yang telah dijatuhkan oleh Sung Thai Cu yang dulu juga seorang panglima Chou
bernama Chou Kiang Yin, bukan?"
“Saya tahu, Paman."
"Sepuluh tahun Kerajaan Chou kita dijatuhkan dan sekarang kita berusaha untuk
merebut kembali dan membangun Kerajaan Chou. Nah, dalam semua pertentangan
seperti ini, sudah biasa kalau orang mempergunakan siasat! Siasat untuk mencapai
kemenangan, Hui Lan.Yang kau sebutkan sebagai kecurangan itu sesungguhnya
hanyalah siasat belaka dan itu sama sekali tidak salah."
Hui Lan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Paman, dalam siasat seperti itu akan
jatuh korban orang-orang yang tidak bersalah dan itu bertentangan dengan
pendirian saya. Saya hanya membantu tindakan yang benar dan adil, dan tidak
mungkin saya mencampuri apalagi membantu tindakan yang tidak adil dan tidak
benar karena dengan demikian saya akan menjadi penjahat. Maafkan, Paman,
baiknya saya tidak mencampuri perundingan ini." Gadis itu lalu keluar di ruangan
persidangan dan kembali ke kota raja, langsung ke gedung Pangeran Chou!
Suasana menjadi sunyi sekali setetah Hui Lan pergi. Akhirnya Jenderal Chou
menghela napas panjang dan bergumam seperti bicara pada diri sendiri. "Ahhh,
anak yang masih hijau dan tidak tahu tentang perjuangan.........." Dia lalu menyuruh
para petugas untuk menjaga di luar ruangan itu agar jangan ada yang
mendengarkan, terutama Hui Lan. Setelah pintu ditutup dan ruangan itu dijaga ketat
di bagian luarnya, Jenderal Chou berkata
.
"Ahhh, tidak kusangka gadis yang sudah kuanggap anak sendiri, yang telah menjadi
calon mantuku, kini malah menjadi penghalang besar. Apa yang harus kita lakukan?"
"Goan-swe, dalam perjuangan, setiap penghalang, dari manapun datangnya dan
siapapun orangnya, harus dienyahkan! kata Hong-san Siansu sambil mengerutkan
alisnya. Dia merasa khawatir sekali bahwa gadis itulah yang kelak akan
menggagalkan semua siasat yang telah mereka rencanakan.
"Tidak! Aku tidak setuju!" Tiba-tiba Chou Kian Ki berkata tegas. "Ia adalah calon
isteriku, bagaimana mungkin ia harus dienyahkan?"
"Kalau hal itu tidak dapat dilakukan karena Chou Kongcu mencinta calon isterinya,
harus dicari jalan lain yang akan dapat memaksa Nona Ong mau membantu kita dan
tidak akan menjadi penghalang," kata pula Hongsan Siansu dengan sabar. "Saya
akan mencari jalan terbaik dan berilah saya waktu selama beberapa hari untuk
merenungkan dan mencari jalan terbaik, Goanswe."
"Baiklah, Suhu. Kita akhiri persidangan ini sekarang dan harus secepatnya Suhu
memberi tahu kalau sudah menemukan cara yang terbaik untuk mengatasi
gangguan ini." kata Jenderal Chou. Pertemuan itu dibubarkan dan Jenderal Chou
memesan kepada puteranya agar tidak menyinggung soal perjuangan itu kepada Hui
Lan. Juga kepada semua keluarga dia perintahkan agar bersikap biasa dan ramah
kepada gadis calon mantunya itu
Hui Lan yang tadinya setelah persidangan itu dan meninggalkan pulang gedung
Pangeran Chou merasa risau tidak enak hati, perlahan-lahan pulih kembali
perasaannya setelah sikap semua keluarga itu kepadanya tidak berubah dan tetap
baik. Diam-diam ia pun menyadari bahwa siasat atau akal itu memang masuk akal
kalau dipergunakan mereka yang berjuang, akan tetapi tetap saja berlawanan
dengan suara hatinya. Biarlah kalau mereka mau melakukan siasat itu, ia tidak akan
turut campur!
ooOOoo
Dua hari kemudian, Panglima Cu kepala pasukan keamanan kota raja itu datang
menghadap Jenderal Chou Ban Heng mengantar Ang-hwa Niocu dan Liu Cin yang
berhasil dia ajak ke gedung Jendera! Chou. Mula-mula Liu Cin tidak tertuju karena
gurunya berpesan kepadanya agar dia tidak mencampuri urusan pemerintahan dan
tidak melibatkan diri dengan urusan para bangsawan dan pejabat tinggi, melainkan
hanya bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang si jahat membela yang
benar, menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi dengan pandainya Anghwa
Niocu Lai Cu Yin membujuk dan merayunya. Karena diam-diam Liu Cin yang
masih lugu dan percaya sepenuhnya kepada wanita itu telah tertarik oleh gadis
cantik dan lihai yang dianggapnya juga seorang pendekar wanita itu, akhirnya dia
mau ikut juga.
Jenderal Chou dan puteranya, Chou Kian Ki, didampingi pula oleh Hongsan
Siansu,menyambut mereka di ruangan tamu. Dengan wajah berseri bangga,
Panglima Cu yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, setelah memberi hormat
dan mereka semua duduk, berkata.
"Goanswe, inilah pendekar wanita Ang Hwa Niocu dan pendekar Siauwlimpai Liu
Cin, telah bersedia memenuhi undangan Goanswe."
Jenderal Chou mengangguk lalu memberi isarat agar Panglima Cu meninggalkan dua
orang tamu itu bersama dia, puteranya, dan gurunya. Panglima iti memberi hormat
dan mengundurkan diri.
Sementara itu, kalau Liu Cin duduk dengan tenang menghadapi Jenderal Chou Ang
Hwa Niocu dengan wajah berseri memandang ke sekeliling, melihat prabot an dan
hiasan kamar tamu yang mewah itu. Kemudian dia memandang pihak tuan rumah
satu demi satu, akan tetapi yang terakhir pandang matanya bertemu dan bertaut
dengan pandang mata Chou Kian Ki, dan bibirnya tersenyum manis sekali penuh
daya pikat!
"Selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita) dan Enghiong (Pendekar). Perkenalkan,
kami adalah Jenderal Chou Ban Heng, Penasehat Angkatan Perang Kera jaan Sung,
dahulu kami adalah pangeran Kerajaan Chou. Dan ini adalah putera kami bernama
Chou Kian Ki." Dia menunjuk puteranya. "Siapakah she (marga) dan nama Jiwi
(Kalian berdua) yang terhormat?"
"Saya bernama Lai Cu Yin, Jenderal." jawab Cu Yin sambil memberi hormat.
"Saya bernama Liu Cin, Taijin (sebutan Pembesar)." kata murid Siauwlimpai itu,
sederhana.
"Kami mendengar bahwa Lai Lihiap berjuluk Ang Hwa Niocu, dan Liu Enghiong
berjuluk Siauwlim Enghiong. Benarkah?"
"Aih, itu hanya julukan orang-orang saja, Goanswe."
"Jangan merendahkan diri, Lihiap. Kalau kami tidak salah dengar Lihiap adalah puteri
mendiang Hwa Hwa Moli yang namanya amat terkenal dahulu. Pasti Lihiap memiliki
ilmu silat yang lihai sekali, dan Liu Enghiong sebagai murid Siauwlimpai juga
merupakan jaminan akan kehebatan ilmu silatnya."
"Taijin, cukuplah puji-pujian itu. Saya hanya ingin sekali mendengar, apa maksud
Taijin mengundang kami datang menghadap ke sini?" tanya Liu Cin yang tidak
senang mendengar puji-pujian yang dianggapnya berlebihan itu. Lai Cu Yin yang
sebaliknya senang sekali dipuji-puji seorang pejabat tinggi dengan wajah berseri
melirik tajam kepada Liu Cin untuk menegurnya,. akan tetapi Liu Cin pura-pura tidak
melihatnya.
"Ah, agaknya engkau seorang pendekar yang terbuka dan jujur tanpa basa-basi, Liu
Enghiong. Kami suka watak jantan seperti itu. Baik, Liu Enghiong dan Lai Lihiap.
Terus terang saja, kami mempunyai hubungan luas dengan para pendekar. Kami
senang berhubungan dan bersahabat dengan para pendekar yang kami tahu selalu
membela kebenaran dan keadilan demi rakyat jelata. Oya, perkenalkan, beliau ini
adalah guru dan penasehat kami yang berjuluk Hongsan Siansu." Jenderal Chou
berkata sambil memperkenalkan kakek itu.
Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin berseru kaget. "Ah, sudah lama saya mendengar nama
besar Siansu. Bukankah Siansu adalah ketua dari Hongsan-pang?"
Kakek itu mengangguk membenarkan. "Dan saya juga pernah mengagumi
kehebatan mendiang ibumu, Hwa Hwa Moh."
"Akan tetapi apakah yang Taijin inginkan dari kami berdua?" Liu Cin bertanya lagi.
"Apa yang kami inginkan? Kami menganjak kalian berdua untuk bekerja sama."
"Mengerjakan apakah, Taijin?"
"Apalagi kalau bukan menentang yang korup dan jahat, yang menyengsarakan
rakyat? Kami mengajak kalian berdua untuk melakukan pekerjaan besar guna
menentang yang jahat dan membela rakyat, menegakkan kebenaran dan keadilan."
kata Jenderal Chou.
"Aih, cita-cita Coanswe itu mulia sekali dan tentu saja kami suka sekali membantu,
asal saja kami mendapat imbalan yang memuaskan karena kami berdua adalah
orang-orang yatim piatu, perantau yang tidak mempunyai apa-apa." kata Ang Hwa
Niocu Lai Cu Yin.
Liu Cin terkejut dan mukanya berubah merah mendengar ucapan gadis itu yang
dianggapnya memalukan. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, ia tidak
mau menyangkal dan berkata dengan tak sabar lagi.
"Harap Taijn jelaskan, pekerjaan apa yang Taijin maksudkan, sehingga Taiji mengajak
kami untuk melakukannya."
"Begini, Liu Enghiong. Sebagai seorang pejabat tinggi kami melihat betapa
banyaknya terdapat pembesar pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat
dan yang melakukan korupsi berlumba mengumpulkan kekayaan untuk dirinya
sendiri. Nah, kami ingin mengajak para pendekar seperti kalian berdua untuk
menentang dan memberantas mereka."
"Akan tetapi, Taijin sebagai seorang pejabat tinggi bukankah dapat bertindak untuk
menghukum atau memecat mereka? Mengapa membutuhkan orang-orang biasa
seperti kami?" Biarpun tidak sangat cerdik, bahkan lugu dan sederhana, namun Liu
Cin selalu ingin bertindak sesuai dengan apa yang dia pelajari dari gurunya. Apa yang
dikemukakan Jenderal Chou itu adalah urusan pemerintah, dan gurunya melarang
dia terlibat dalam urusan pemerintah.
"Ah, tidak semudah itu,Enghiong! Mereka itu pun memperkuat diri dengan
memelihara jagoan-jagoan. Kalau kami bertindak menurut jalur hukum pemerintah,
mereka pasti mampu membela diri secara hukum pula. Banyak pula di antara
mereka yang dekat hubungannya dengan Sribaginda Kaisar dan kalau mereka
mengandalkan pengaruh Sribaginda, tentu kami tidak dapat berkutik. Karena Itulah
kami hendak melawan mereka dengan cara kami sendiri. Nah, bagaimana pendapat
Ji-wi? Kalau Ji-wi menerima penawaran kami, Ji-wi boleh tinggal di gedung kami ini
dan segala keperluan Ji-wi kami cukupi, juga kalau Jiwi memerlukan uang......."
"Cukup, Taijin. Saya belum dapat memberi keputusan apakah saya dapat menerima
ajakan itu. Setidaknya saya harus mempelajari dulu dan melihat perkembangannya
selama beberapa hari ini. Setelah saya selidiki dan ternyata apa yang Taijin tawarkan
itu cocok, tentu saja akan menerimanya. Sekarang saya mohon pamit, saya akan
kembali ke rumah penginapan."
"Eeit, nanti dulu, Cin-ko. Aku belu menyatakan pendapatku kepada Chou Goanswe."
kata Cu Yin
.
"Ha-ha, benar sekali. Bagaimana kalau menurut pendapatmu, Lihiap? Apak engkau
menerima tawaranku?" tanya Jenderal Chou.
"Goanswe. harap jangan sebut saya Lihiap, Sebut saja namaku, Cu Yin." kata gadis
itu sambil tersenyum manis. Sejak tadi ia bermain-mata dengan Chou Kian Ki, dan
baru sekarang Jendera Chou melihat betapa manisnya gadis itu kalau tersenyum dan
memandang dengan sinar mata demikian jeli dan memikat.
"Ha-ha, baiklah, Cu Yin. Nah, katakan, bagaimana tanggapanmu atas tawaran kami?"
"Saya setuju sekali dan siap menerima tawaran itu dengan senang, Goanswe." kata
Lai Cu Yin, kemudian ia berkata kepada Liu Cin, "Cin-ko, mengapa engkau harus
berpikir-pikir lagi? Tawaran ini sungguh baik sekali dan kita terima saja!"
"Tidak, Yin-moi, aku tidak tergesa-gesa. Aku harus mempertimbangkan dulu baikbaik."
"Baiklah, Liu Enghiong. Engkau boleh mempertimbangkannya dulu selama bebepa
hari sebelum mengambil keputusan. Akan tetapi engkau tidak perlu kembali ke
rumah penginapan. Engkau dan Nona Cu Yin boleh tinggal di sini. Dengan tinggal di
sini tentu engkau akan lebih mudah untuk menyelidiki apa yang kami tawarkan tadi,
bukan?"
"Benar sekali itu, Cin-ko! Kita tinggal vaja di sini dan engkau boleh melihat dulu
perkembangannya selama beberapa hari. Akan tetapi aku sudah menerimanya dan
siap membantu Jenderal Chou!" kata Cu Yin dengan gembira. Tentu saja Cu Yin
menerima uluran tangan Jenderal Chou untuk menjadi pembantunya itu bukan
tertarik oleh janji pemberian harta dan kedudukan. Sama sekali ia tidak
menginginkan harta yang dapat ia ambil kapan saja dari siapa saja yang memilikinya,
la menerima ajakan itu, pertama karena begitu bertemu Chou Kian Kl timbul
gairahnya dan ia melihat pula betapa di situ terdapat banyak perajurit pengawal
yang tadi dilihatnya dan mereka itu masih muda-muda dan gagah!
Mendengar gadis itu sudah menerimanya, Liu Cin menjadi serba salah. Kalau
memang tujuan Jenderal Chou itu baik yaitu menentang para pembesar yang korup,
jahat dan lalim, tentu saja pekerjaan itu tidak berlawanan dengar sikapnya. Dia
minta waktu hanya untuk menyelidiki agar hatinya merasa yakin bahwa tindakannya
benar. Dan kini jenderai Chou menawarkan agar dia untuk sementara tinggal di situ
selama belum mengambil keputusan dan hal ini di dukung oleh Lai Cu Yin!
"Akan tetapi pakaian kita masih sana.........." Dia berkata ragu.
"Aah, itu masalah kecil sekali, Liu Enghiong!" kata Jenderal Chou. "Sekara juga aku
akan menyuruh seorang perajurit mengambil barang-barang kalian yang berada di
sana!" Tanpa memberi kesempatan kepada Liu Cin untuk membantah, jenderal itu
sudah memanggil pengawal dan memerintahkannya mengambil barang-barang milik
Lai Cu Yin dan Liu Cin.
Setelah petugas itu pergi, Hongsan Siansu yang sejak tadi diam saja, berkata.
"Goanswe, gadis dan pemuda ini terkenal sebagai pendekar-pendekar yang lihai.
Biasanya, kalau Goanswe menerima seorang pembantu, kita perlu mengetahui lebih
dulu sampai di mana kelihaiannya. Maka, bagaimana kalau saya lebih dulu menguji
kepandaian mereka?"
"Su-kong (Kakek Guru) benar, Ayah!" kata Chou Kian Ki. "Biar aku yang menguji
kelihaian Nona Lai Cu Yin!"
Jenderal Chou mengangguk senang. "Baik sekali kalau begitu," Dia lalu memandang
kepada Cu Yin dan Liu Cin. "Bagaimana, apakah kalian bersedia untuk diuji ilmu
kepandaian silat kalian?"
Sebelum Liu Cin sempat menjawab, Cu Yin sudah bangkit dan menghampiri Chou
Kian Ki, memberi hormat dan berkata, "Saya akan senang sekali menerima pelajaran
dan petunjuk dari Chou Kong-cu!" Berkata demikian, gadis itu mengerling tajam dan
tersenyum manis sekali.
Sejak tadi, Kian Ki telah menangkap kerling dan main mata dari Lai Cu Yin. Dia sendiri
adalah seorang pemuda tampan gagah yang sudah berpengalaman bergaul dengan
wanita. Tentu saja melihat gerak gerik Cu Yin, pemuda ini maklum bahwa gadis itu
dapat dijadikan penghibur dengan mudah. Bukan berarti bahwa dia jatuh cinta
kepada Lai Cu Yin karena cintanya hanya kepada Ong Hui Lan. Akan tetapi dia juga
tertarik dan bangkit gairahnya melihat sikap Cu Yin yang memikat dan memang
gadis Korea ini memiliki kecantikan yang Khas dan menggairahkan hatinya. Maka
ketika Hongsan Siansu mengajukan usul untuk menguji ilmu silat dua orang tamu itu,
dia segera mengajukan dirinya untuk menguji kepandaian Cu Yin.
Kini, melihat Cu Yin sudah menghampirinya dan siap untuk diuji olehnya, Kian Ki
tersenyum senang. Ingin juga dia melihat sampai di mana ilmu silat gadis yang genit
menggemaskan yang rambutnya dihias tiga tangkai bunga merah dan menurut
penyelidikan Panglima Cu katanya memiliki ilmu silat yang lihai ini. Dia segera
bangkit berdiri dan membalas penghormatan Cu Yin lalu berkata.
"Nona Lai Cu Yin, mengingat akan namamu yang besar, sepatutnya engkaulah yang
mengalah dan jangan terlalu keras menekanku." Dia lalu menunjuk ke tengah
ruangan tamu itu yang memang cukup luas untuk dipergunakan berlatih silat
berpasangan. Sambil tersenyum Kian Ki dan Cu Yin lalu melangkah ke tengah
ruangan itu dan keduanya diam-diam merasa gembira karena masing-masing
memandang rendah lawannya. Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin menduga bahwa sehebathebatnya,
seorang putera bangsawan tinggi yang dulunya seorang Pangeran
Kerajaan Chou, tentu tingkat kepandaian silat pemuda itu biasa-biasa saja. Ilmu silat
harus dipelajari dengan tekun, penuh kesungguhan dan harus tahan menderita.
Seorang pemuda bangsawan yang biasanya hidup serba mewah dan enak, mana
mungkin dapat menekuni iimu itu sampai tingkat tinggi? Sebaliknya, Kian Ki yang
percaya kepada kemampuannya sendiri, juga memandang rendah lawan. Seorang
gadis yang demikian cantik, sampai di mana sih kekuatannya?
Setelah mereka saling berhadapan di tengah ruangan itu, keduanya saling pandang
dan masing-masing merasa kagum sehingga seperti orang lupa apa yang akan
dilakukan, mereka hanya berdiri saling pandang dan tersenyum. Setelah agak lama,
Jenderal Chou berseru.
"Mengapa kalian tidak segera mulai? Mau menunggu apa lagi?"
"Oya.......... Nona Lai, engkau hendak pi-bu (adu ilmu silat) dengan tangan kosong
atau dengan senjata?"
"Apakah Kongcu menghendaki aku terluka berdarah?" tanya Lai Cu Yin dengan sikap
manja.
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu, mari kita main-main sebentar dengan silat tangan kosong saja."
Setelah berkata demikian, Cu Yin memasang kuda-kuda dengan manisnya. Kedua
tumit kakinya diangkat, tubuhnya tegak akan tetapi lutut ditekuk, kaki kiri sedikit ke
depan, kedua lengan dikembangkan seperti seekor burung hendak terbang. Dengan
kuda-kuda seperti ini, keindahan tubuhnya tampak nyata, dengan pinggul menonjol
dan dada membusung, seperti menantang!
Kian Ki memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. Kuda-kuda itu amat
manis, juga gagah dan dia tidak mengenal kuda-kuda dari aliran silat darimana itu.
Hal ini tidaklah aneh karena memang ilmu silat yang dikuasai Ang Hwa Niocu Lai Cu
Yin itu ia dapatkan dari mendiang ibunya sendiri dan ilmu silatnya bercampur
dengan ilmu bela diri tradisi Korea.
"Chou Kongcu, aku sudah siap, mulailah!" tantang Cu Yin.
Dengan gerakan sembarangan saja tanpa pengerahan tenaga sepenuhnya Kian Ki
mulai menyerang dengan kedua tangannya hendak menangkap kedua pundak gadis
itu sambil berseru, "Sambut seranganku, Nona!"
Akan tetapi dengan gerakan lincah sekali Cu Yin mundur ke belakang dan sedetik
kemudian kakinya sudah mencuat menendang ke arah lutut kiri pemuda itu.
"Ciaaat............!" bentaknya. Tendangan secepat kilat dan Kian Ki merasa betapa ada
hawa menyambar kuat ke arah kakinya. Dia mulai merasa kagum kar ena gerakan
mengelak sambil langsung membalas serangan itu menunjukkan bahwa gadis itu
bukan ahli silat sembarangan saja. Dan tendangannya begitu cepat dan kuat. Akan
tetapi dia pun girang karena gadis itu tidak menendang bagian tubuhnya yang
lemah, melainkan menendang ke arah lututnya yang tentu saja tidak mendatangkan
bahaya. Dia cepat melompat ke kanan sehingga tendangan itu luput. Akan tetapi
dengan cepat Cu Yi mengejar dan kini tangan kanannya mencengkeram ke arah dada
lawan.
Karena ingin menguji kekuatan gadis itu, Kian Ki tidak mengelak, melainkan
menangkis sambil mengerahkan separuh tenaganya. Separuh tenaga saja sudah
amat kuat dan cukup dapat menjatuhkan lawan tangguh.
"Wuuuttttt........ dukkk........!!" Bukan main kagetnya hati Cu Yin ketika lengannya
ditangkis dan bertemu dengan lengan dengan tangan pemuda itu. Ia merasa betapa
lengan bertemu dengan lengan yang lembut lunak, akan tetapi yang membuat
seluruh tubuhnya tergetar hebat sehingga ia terpaksa harus melangkah mundur!
Tahulah gadis ini bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki
tenaga sakti luar biasa kuatnya. Kalau saja tahu bahwa tenaga Kian Ki baru
setengahnya saja dikerahkan! Cu Yin menjadi semakin kagum dan makin
bernafsunya untuk menjadikan putera pangeran Ini sebagai kekasihnya! Akan tetapi
masih harus menguji lagi, maka sambil mengeluarkan seruan melengking ia
menyerang lagi, kini serangannya bertubi-tubi dan hebat sekali, terkadang amat
dahsyat sehingga Kian Ki sendiri menjadi terkejut! Dia merasa kagum juga girang.
Gadis ini hebat! Dapat merasakan bahwa ilmu kepandaian gadis ini bahkan lebih
tinggi daripada tingkat yang dimiliki Ong Hui Lan, tunangannya!
Dalam hatinya Kian Ki membayangkan, alangkah senangnya kalau dia dapat
mengambil gadis ini menjadi selirnya, atau isterinya yang kedua. Dia mencinta Ong
Hui Lan, akan tetapi dia tertarik dan suka kepada Lai Cu Yin yang dapat menjadi
penghibur dan juga pembantu yang boleh diandalkan!



Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments