Senin, 20 Agustus 2018

CersilKeren Sepasang Rajah Naga 3

CersilKeren Sepasang Rajah Naga 3




“Cu-Twako..., engkau... engkau kembali telah menyelamatkan aku dari kematian, Ah... kalau engkau tidak datang, tentu aku sudah tak bernyawa lagi...” Gadis itu merasa terharu dan tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Sin Cu. Tentu saja pemuda itu menjadi gugup dan di luar kesadarannya dia memegang kedua pundak gadis itu dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dan kedua tangan Sin Cu masih terletak di atas kedua pundak gadis itu. Setelah agak lama barulah dia merasakan betapa lunak dan hangat, juga lemah sekali kedua pundak itu. Cepat dia melepaskannya seolah kedua tangannya baru saja memegang bara api dan berkata dengan gugup. “Ah, maafkan aku... nona... eh Hui-moi...” kemudian dia dapat mengatasi kegugupannya dan berkata lebih tenang. “Hui-moi, sebaiknya kita cepat pergi meninggalkan tempat ini. Siapa tahu dia akan kembali membawa teman-teman sehingga engkau akan terancam bahaya.” “Akan tetapi, bagaimana dengan empat buah mayat ini, Twako? Kita tidak mungkin meninggalkan mereka begitu saja tanpa diurus.”
603
Bukan main kagumnya hati Sin Cu. Tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu akan diperkosa dan dihina oleh empat orang berandalan itu dan sekarang gadis itu bahkan memperhatikan jenazah mereka, agaknya telah melupakan sama sekali apa yang hendak dilakukan mereka tadi. Benar-benar seorang gadis yang berbudi mulia dan pemaaf, hal yang amat sukar dilakukan sembarang orang. “Engkau benar sekali, Hui-moi. Memang mereka sudah semestinya diurus, akan tetapi bukan kita yang mengurus. Mari kita pergi dan singgah di dusun terdekat itu untuk memberitahu kepada penduduk agar mereka yang mengurus empat jenazah ini. Kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya dan setelah berada di tempat aman, baru kita bicara.” Dalam cuaca yang remang-remang, hanya diterangi bulan sepotong, mereka pergi menuju ke dusun. Beberapa kali kaki Ouw Yang Hui tersandung. Di luar kesadarannya, Sin Cu selalu menangkap tangannya untuk mencegah agar Ouw Yang Hui tidak terjatuh. Akhirnya, karena jalan itu kasar dan cuaca tidak begitu terang Ouw Yang Hui yang memegang dan menggandeng tangan Sin Cu untuk mencari pegangan. Sin Cu merasa betapa lembut, halus dan hangatnya tangan itu yang membuat jantungnya berdebar tegang. Akan tetap dia segera menekan perasaannya dan mereka berjalan sampai tiba di dusun itu. Pada pintu rumah
604
pertama yang mereka temui, Sin Cu mengetuknya. Setelah berulang-ulang mengetuk, terdengar sapaan dari dalam. Suara seorang pria, kebetulan sekali, pikir Sin Cu. Kalau wanita yang menjawab tentu wanita itu akan ketakutan mendengar adanya pembunuhan. “Sobat, bukalah pintu. Aku adalah seorang yang kebetulan lewat dan aku menyaksikan peristiwa hebat yang sepatutnya diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini,” kata Sin Cu dengan suara tenang dan lembut. Agaknya suara ini yang menarik hati si penghuni rumah dan dia sgera membuka pintunya. Sin Cu berhadapan dengan seorang laki-laki berusía kurang lebih lima puluh tahun yang terbelalak heran melthat seorang pemuda bersama seorang gadis yang amat cantik berdiri di depan pintu rumahnya. “Ada apa? Apakah yang telah terjadı?” tanyanya heran. “Kami berdua kebetulan di sana, di luar dusun, di persawahan yang ada gubuknya itu terjadi kebakaran, Gubuk itu terbakar dan kami melihat empat orang sudah menjadi mayat di sana. Harap paman memberitahu kepada semua penduduk agar dapat melihat dan mengurus empat buah mayat itu.”
605
“Kebakaran? Pembunuhan? Siapa mereka?” “Kami tidak tahu, hanya melihat kebäkaran dan perkelahian. Sudahlah, paman, kami akan melanjutkan perjalanan!” Sin Cu menggandeng tangan Ouw Yang Hui lalu menarik gadis itu meninggalkan petani yang masih bergong dan bingung itu. Karena ingin menghindarkan diri dari pengejaran maka Sin Cu mengajak Ouw Yang Hui meningggalkan jalan raya, mengambil jalan setapak yang mendaki sebuah bukit. Setelah berada di lereng bukit, barulah dia berhenti. Di situ terdapat banyak batu-batu besar dan dia mengajak Ouw Yang Hui duduk di atas batu. Gadis itu tampak kelelahan sekali. Maklum, ia seorang gadis yang tidak biasa dengan pekerjaan berat, sudah melakukan perjalanan jauh dari kota raja, kemudian mengalami hal-hal yang amat meneğangkan dan menakutkan, di tambah pula diajak berjalan meninggalkan sawah itu oleh Sin Cu. la duduk di atas batu, menjulurkan kedua kakinya yang kelelahan dan menghela napas panjang. Belum pernah ia merasa demikian nikmatnya duduk dan menjulurkan kedua kaki! Padahal... ia duduk di atas batu yang kasar dan keras, di udara terbuka yang hawanya mulai dingin sekali dan di bawah penerangan bulan sepotong yang kadang tertutup awan yang
606
lewat sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini tidaklah mengherankan. Dalam keadaan lelah, orang akan menikmati istirahat sepenuhnya walaupun tempatnya beristirahat itu sederhana sekali... Orang yang kelaparan akan menikmati makan makanan yang paling sederhana sekalipun dan orang yang kehausan akan menikmati minuman air hujan sekalipun! Sin Cu membiarkan gadis itu beristirahat melepas lelah dan tidak mau mengganggunya dengan pertanyaan walaupun hatinya ingin sekali tahu mengapa gadis yang berjuluk Siang Bi Hwa dan menjadi pujaan banyak Kongcu hartawan dan bangsawan itu pergi sampai ke tempat sejauh ini pada malam hari seorang diri... “Cu-Twako,” akhirnya Ouw Yang Hui yang bertanya sambil mencoba untuk menatap wajah pemuda itu di bawah sinar yang remang-remang. “Bagaimana engkau dapat begitu kebetulan datang menolongku sewaktu aku terancam maut?” “Aku sedang dalan perjalanan menuju ke kota raja setelah pulang dari berkunjung ke Nam-Po. Tadinya aku berniat untuk mengunjungimu di Nam-Po, akan tetapi aku lalu mendengar akan adanya peristiwa keributan di rumahmu, bahkan aku mendengar bahwa Cia-Ma dibunuh orang dan engkau telah hilang. Aku lalu mencari jejakmu dan mencoba mencarimu di sepanjang jalan raya menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan, aku melihat kakek itu
607
merobohkan gubuk dan melihat dia membunuhi empat orang yang agaknya hendak berbuat keji terhadapmu. Ketika aku melihat kakek itu hendak membunuhmu, aku terkejut dan turun tangan membelamu. Begitulah, Hui-moi. Akan tetapi, siapakah kakek itu yang demikian lihai akan tetapi yang berkeras hendak membunuhmu?” Ditanya demikian, Ouw Yang Hui menangis tersedu-sedu dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, lalu berkata di antara tangisnya. “Dia... Dia, adalah... Ahh...! Dia adalah Ayah kandungku... !.” “Apaaa... Ayahmu...?.” Saking kagetnya, Sin Cu sampai terlompat bangun dari atas batu yang tadi didudukinya. Tentu saja dia kaget setengah mati dan juga heran. Bagaimana ada seorang Ayah, yang berkepandaian setinggi itu pula, hendak membunuh puterinya sendiri yang begitu baik, bijaksana dan cantik jelita? Apakah kakek itu sudah gila? “Tapi... tapi mengapa...? Apakah yang telah terjadi, Hui-moi? Kalau boleh aku mengetahui, ingin sekali aku mendengar riwayat hidupmu, Hui-moi. Aku tertarik sekali untuk mengetahui, tentu saja kalau engkau cukup percaya kepadaku untuk menceritakan riwayat hidupmu sampai peristiwa yang terjadi malam ini. Maukah engkau, Hui-moi? Kalau engkau keberatan untuk
608
menceritakannya, sudahlah, aku juga tidak berani memaksa padamu.” Ucapan Sin Cu demikian halus dan penuh iba sehingga menyentuh hati Ouw Yang Hui. Gadis itu menekan perasaannya dan menghentikan tangisnya. Setelah mengusap air matanya ia menatap wajah Sin Cu dengan mata merah dan pipi masih basah. “Cu-Twako, saat ini tidak ada siapapun yang dapat kuajak bicara dan yang kupercaya. Tentu saja engkau boleh mendengar riwayat hidupku yang penuh kesengsaraan. Ayahku adalah majikan Pulau Naga bernama Ouw Yang Lee dan berjuluk Tung-Hai-Tok (Racun Lautan Timur).” “Pria yang amat lihai tadi?” Ouw Yang Hui mengangguk. “Ketika aku berusia tujuh tahun lebih, malapetaka menimpa keluarga kami. Pulau Naga diserbu orang-orang jahat. Aku dan ibuku, juga enci Lan dan ibunya, kami berempat diculik dan dilarikan penjahat menyeberang lautan meninggalkan Pulau Naga. Setelah tiba didaratan besar, kami dipisahkan menjadi dua rombongan. Ibuku dan aku dibawa pergi seorang penjahat yang matanya buta sebelah, sedangkan enci Lan dan ibunya dibawa pergi seorang penjahat lain.”
609
“Maksudmu, Ayahmu mempunyai dua orang isteri dan dua orang anak perempuan?” “Benar, isteri-isterinya adalah ibuku dan ibu enci Lan. Setelah tiba di tengah jalan, aku dipisahkan dari ibuku. Ibuku dibawa pergi Si Mata Satu, dan aku dilarikan dengan kuda oleh seorang anak buahnya. Akan tetapi di tengah perjalanan, orang yang melarikan aku itu bertemu dengan dua orang laki-laki jahat lain dan dia terbunuh setelah mereka berkelahi. Aku lalu dibawa ke Nam-Po oleh dua orang laki-laki itu dan aku dijual kepada Cia-Ma. Semenjak itu aku diambil anak oleh Cia-Ma.” Ouw Yang Hui teringat akan kematian Cia-Ma dan ia mengeluh. “Kasihan sekali Cia-Ma.” “Kenapa engkau tetap tinggal bersama Cia-Ma dan tidak kembali ke Pulau Naga, Hui-moi?” “Bagaimana aku dapat kembali ke sana? Ketika hal itu terjadi, aku baru berusia tujuh tahun. Aku dipelihara dan dididik oleh Cia-Ma yang menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Setelah aku dewasa, aku tidak berani pulang ke Pulau Naga, tidak berani menernui Ayah ibuku karena aku merasa malu. Aku telah menjadi anak seorang mucikari, Cu-ko. Biarpun aku sendiri tidak pernah
610
melakukan perbuatan tidak senonoh, namun tetap saja aku anak mucikari dan aku takut untuk pulang kepada orang tuaku di Pulau Naga.” “Kemudian bagaimana, Hui-noi? Apa yang terjadi selanjutnya?” “Setelah dewasa, aku dikenal sebagai Siang Bi Hwa dan memang aku sengaja mengunakan nama itu untuk menyembunyikan nama keluargaku yang sebenarnya, agar tidak mencemarkan nama keluarga Pulau Naga. Aku tidak pernah menjual diri kepada para pemuda dan bangsawan, dan untuk menghilangkan kekecewaan mereka, terpaksa aku memenuhi permintaan mereka untuk membiarkan mereka menonton aku bermain musik dan bernyanyi. Sampai pada suatu hari terjadi kerusuhan yang dilakukan Su-Kongcu dan para jagoannya dan engkau muncul menolongku, Cu-ko. Akan tetapi peristiwa itu tidak berhenti di situ saja. Su-Kongcu datang lagi bersama lima orang jagoannya dan hendak memaksa dan menculik aku. Dan sungguh kebetulan pada waktu itu di sana terdapat Sribaginda Kaisar dan seorang pengawalnya.” “Sribaginda Kaisar datang ke rumah pelesir?” tanya Sin Cu heran. “Benar, Cu-ko. Beliau menyamar dan minta agar aku bermain musik. Dia menonton seperti biasa dari luar pintu tembusan
611
bersama pengawalnya. Pada saat itulah Su-Kongcu dan lima orang jagoannya masuk ke dalam taman. Akan tetapi dia dan lima orang jagoannya itu dihajar keras oleh pengawal Sribaginda Kaisar. Ketika Su-Kongcu mengenal Kaisar, dia dan anak buahnya minta-minta ampun. Nah, tahukah engkau siapa pengawal Kaisar itu, Cu-ko? Dia bukan lain adalah suhengku sendiri. Murid Ayahku yang katanya kini bahkan telah diangkat anak oleh Ayahku. Dia yang menceritakan bahwa dia bersama Ayah kini berada di kota raja.” Sin Cu mendengarkan penuh perhatian. “Ah, ceritamu menarik sekali, Hui-moi, dan sejak kecil engkau telah mengalami banyak hal yang menegangkan hati. Kemudian bagaimana, Hui-moi?” “Dari suhengku aku mendengar bahwa beberapa hari setelah diculik, ibuku pulang ke Pulau Naga diantarkan oleh seorang pendekar yang menolongnya. Akan tetapi Ayah malah cemburu dan hendak membunuh ibuku. Pendekar itu mencegahnya dan setelah mengalahkan Ayah, pendekar itu lalu membawa pergi ibuku. Sungguh aku merasa sedih sekali kalau memikirkan itu dan aku tidak tahu ke mana perginya ibuku.” “Pendekar itu siapakah, Hui-moi?”
612
“Menurut suhengku, namanya adalah Gan Hok San, seorang pendekar dari Siauw-Lim-Pai. Dan sore tadi... tiba-tiba.. Ayah muncul di rumah kami... agaknya dia diberitahu suhengku tentang keadaanku...” Gadis itu kembali teringat akan amukan Ayahnya dan menundukkan mukanya dengan sedih. Sin Cu membiarkan Ouw Yang Hui melepaskan kesedihannya. Dia hanya diam saja menunggu kelanjutan cerita yang menyedihkan itu. Akhirnya gadis itu memulihkan ketenangannya dan ia melanjutkan ceritanya, akan tetapi suaranya masih terseridat-sendat, “Sudahlah, Hui-moi, kalau sukar bagimu untuk menceritakan, jangan ceritaan” kata Sin Cu. Ouw Yang Hui menekan guncangan hatinya. “Aku harus menceritakan kepadamu, Cu-ko. Ayahku mengamuk. Dia memukul roboh para Kongcu yang sedang bertamu, dia menghancurkan perabot ruangan tamu dan ketika aku muncul, dia hendak membunuhku. Para penjaga keamanan yang datang ia robohkan sermua, bahkan dia... dia membunuh Cia-Ma! Aku lalu melarikan diri dari rumah itu, terus berlari keluar dari kota menuju ke utara. Aku terus berlari tanpa henti dalam kegelapan malam sampai aku bertemu dengan empat orang berandalan itu. Mereka menangkap aku dan pada saat mereka menyeret aku ke dalam gubuk, gubuk itu dirobohkan orang dari luar dan yang muncul
613
adalah Ayahku. Dia membunuh empat orang berandalan itu dan hendak membunuh aku pula sampaí engkau muncul menolongku...” Ouw YangHui menghentikan ceritanya dan ia menangis tersedu-sedu. Karena iba yang mendalam, timbul dorongan dalam hati Sin Cu untuk menghibur Ouw Yang Hui. Dia duduk di atas batu dekat gadis itu dan menaruh tangannya dengan lembut ke atas pundaknya. “Kasihan sekali engkau, Hui-moi.” Suara dan sentuhan tangannya ke pundak itu sedemikian lembutnya sehingga hati Ouw Yang Hui semakin nelangsa dan sedih. la merasa seperti seorang yang terombang-ambing di tengah lautan. Kehilangan pegangan dan mendadak ia seperti dapat meraih sebuah batu karang yang kokoh kuat untuk dijadikan pegangan dan sandaran. Dengan tangis yang semakin mengguguk ia merangkul dan menyandarkan mukanya di dada Sin Cu. Seperti dengan sendirinya dan otomatis kedua lengan Sin Cu memeluk tubuh gadis itu dan tangan kanannya mengusap-usap rambut yang hitam halus seperti benang-benang sutera itu. Pada saat itu Sin Cu sama sekali tidak dipengaruhi nafsu berahi. Keharuman lembut yang tercium olehnya, keluar dari tubuh gadis itu dan rabaan
614
tangannya yang bertemu tubuh yang lunak hangat dan rambut yang halus itu sama sekali tidak menggugah berahinya, bahkan mendatangkan rasa iba dan kemesraan yang mendalam. la seolah sedang memeluk seorang bayi yang membutuhkan perlindungan dan pembelaan. Nafsu berahi timbul dari pikiran yang membayangkan hal yang menggairahkan dan pada saat itu pikiran Sin Cu sama sekali tidak membayangkan hal-hal yang romantis, melainkan dipenuhi perasaan iba. Kenangan berkelebat dalam benaknya dan dia membandingkan nasib gadis ini dengan nasibnya sendiri. Dia telah kehilangan Ayah ibunya dan tidak tahu di mana adanya orang tuanya, masih hidup ataukah sudah mati. Yang diketahuinya hanya bahwa Ayah kandungnya bernama Wong Cin. Dia tidak tahu dari mana Ayahnya berasal dan tidak tahu pula kini tinggal di mana sehingga mencarinya amatlah sukar. Sedangkan gadis ini kehilangan ibunya. Akan tetapi lebih celaka dan menyedihkan lagi, Ayahnya yang masih hidup dan dijumpainya bahkan ingin membunuhnya! Hati siapa tidak akan hancur kalau Ayah kandung sendiri hendak membunuhnya? “Sudahlah, Hui-moi, tenangkan perasaanmu, kuatkan hatimu. Percayalah selama masih ada aku, tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan dapat menggangumu. Aku akan melindungi dan
615
membela dengan taruhan nyawaku, Hui-moi.” Karena ucapan itu keluar dari hatinya yang timbul rasa iba dan sayang yang mendalam, tanpa disadarinya Sin Cu memeluk lebih kuat. Ouw Yang Hui merasakan hal ini. Airmatanya sudah membasahi baju Sin Cu sehingga menembus ke dalam dan membasahi dada pemuda itu yang merasa seolah air mata itu meresap dan membasahi jantungnya. “Cu-ko...” bisik Ouw Yang Hui terharu. “Sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah merasa bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi dan hatimu mulia...” Sin Cu mendekap. Ouw Yang Hui menyandarkan mukanya di dadanya. Mereka berada dalam keadaan itu sampai tangis Ouw Yang Hui mereda. Bagaikan ada yang berbisik menegur dalam hati mereka, keduanya menyadari bahwa keadaan mereka itu tidak wajar dan tidak patut. Sin Cu dengan lembut melepaskan dekapannya dan Ouw Yang Hui dengan halus juga menarik kepala dan tubuhnya merenggang. Sejenak keduanya duduk bersanding di atas batu besar itu, menundukkan muka seolah malu terhadap diri sendiri, saling merasa rikuh dan salah tingkah. Bulan sepotong sudah mulai turun ke barat. Cuaca menjadi semakin gelap remang-remang. Hawa udara terasa dingin sekali menyusup tulang. Sin Cu melihat gadis itu agak menggigil kedinginan. Barulah dia
616
menyadari bahwa udara amatlah dinginnya dan tentu gadis yang tidak biasa menghadapi kekerasan alam itu menderita sekali. Dia melompat turun dari atas batu. “Aku akan membuat api unggun, Hui-moi. Kau duduk dulu di situ. Api unggun akan dapat mengusir hawa dingin dan nyamuk.” Dia lalu mengumpulkan daun dan kayu kering, kemudian membuat api unggun di dekat batu besar. Setelah api unggun bernyala, dia berkata kepada Ouw Yang Hui. “Turunlah, Hui-moi dan duduklah disini dekat api unggun,” katanya. Melihat batu yang diduduki itu agak tinggi sehingga amatlah sukar bagi Ouw Yang Hui untuk melompat turun, tanpa ragu lagi Sin Cu mendekat dan menjulurkan tangan untuk membantu gadis itu turun dari atas batu. Ketika jari jari tangannya bertemu dengan tangan gadis itu, Sin Cu merasa betapa kulit telapak tangan itu lunak dan lembut, hangat terasa getarannya sampai ke jantungnya. Pemuda yang selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita, dan selamanya belum pernah merasakan pengalaman seperti itu, menjadi berdebar-debar, tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Dia tak tahu bahwa Ouw Yang Hu juga mengalami hal yang sama, baru dan menegangkan. Gadis itu selamanya belum pernah berdekatan dengan pria, dan sekali ini hatinya tertarik sekali. Mereka duduk berdampingan menghadapi api
617
unggun. Sampai lama mereka duduk diam, merenung ke dalam nyala api unggun tidak berkata-kata. Akan tetapi mereka berdua merasa hangat lahir batin, merasa tenteram dan nyala api unggun itu tampak indah luar biasa sehingga mereka berdua kagum dan merasa heran mengapa meteka bwrdua tidak pernah melihat keindahan yang demikian menakjubkan dalam nyala api unggun itu sebelumnya. “Hui-moi...” suara lembut Sin Cu memecah kesunyian. Ouw Yang Hui menengok, memandang wajah pemuda itu dari samping. Sinar api unggun yang kemerahan bermain di atas pipi pemuda itu. “Ada apakah, Cu-ko?.” “Ketika engkau melarikan diri dari rumah Cia-Ma di Nam-Po, menempuh malam, ke manakah tujuanmu?” Sin Cu menoleh dan pandang mata mereka bertemu sejenak bertaut dan Ouw Yang Hui lalu meuruskan muka, memandang lagi ke nyala api. “Ke kotaraja, Cu-ko.” “Kenapa ke kotaraja, Hui-moi? Apa maksudmu pergi ke kota raja?” Sudah kuceritakan padamu tadi, Cu-ko, bahwa Sribaginda Kaisar pernah mengunjungi aku bersama suhengku. Sribaginda Kaisar amat baik kepadaku, Karena itu, dalam keadaan terancam bahaya
618
aku teringat kepadanya, dan hendak mohon pertolongan dan perlindungannya. Sin Cu mengangguk-angguk, mengerti, Hening sejenak, seolah masing-masing tenggelam ke dalam telaga pikirannya sendiri. Kemudian tanpa menoleh Sin Cu bertanya. “Besok pagi, kalau malam ini telah lewat, apakah engkau hendak melanjutkan niatmu pergi ke kota raja, Hui-moi?” Ouw Yang Hui termangu dan merenung memandang nyala api unggun sehingga nyala api bertambah besar. Setelah menarik napas panjang beberapa kali barulah ia menjawab. “Aku masih bingung, Cu-ko, apa yang harus kulakukan. Baru sekarang aku teringat bahwa Ayahku itu, tinggal di kota raja seperti penuturan suhengku. Kalau aku pergi ke sana, besar bahayanya aku akän bertemu dia sebelum dapat menghadap Sribaginda Kaisar, Juga aku ingat bahwa bagi seorang wanita biasa, tentu amat sukar untuk dapat menghadap Sribaginda kaisar, bahkan belum tentu aku diperkenankan Pula, andaikata dapat menghadap, apakah Sribaginda Kaisar sudi merepotkan diri mencampuri urusan pribadiku? Inilah yang membuat aku ragu dan bimbang.” Sin Cu mengerutkan alisnya dan termenung. Dia merasakan benar kebingungan gadis itu,
619
“Kalau begitu, apa rencanamu Hui-moi? Ke manakah engkau akan pergi besok?” “Aku tidak tahu, Cu-ko. Dapatkah engkau membantu aku ikut memikirkan bagaimana baiknya?” Sin Cu menjadi bingung. Dia sendiri adalah seorang yang hidupnya sebatang kara, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak pula mempunyai keluarga. Bagaimana Ia dapat membantu Ouw Yang Hui memecahkan persoalan itu? “Engkau tidak mempunyai keluarga dekat? Paman atau bibi, saudara misan misalnya.” Gadis itu menggeleng kepalanya. “Kami hidup seperti terasing di Pulau Naga. Ayah tidak pernah bercerita tentang saudara-saudaranya. Juga aku tidak tahu siapa saudara ibu kandungku”, kata Ouw Yang Hui dengan nada suara sedih. “Tempat tinggalku dahulu hanya di Pulau Naga, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi aku ke sana. Sedangkan tempat tinggalku yang kedua ialah rumah Cia-Ma, akan tetapi sekarang Cia-Ma telah meninggal dunia.” “Akan tetapi ibu kandungmu masih hidup, Hui-moi!” kata Sin Cu mengingatkan. “Menurut cerita suheng, ibu kandungku masih hidup dan pernah datang berkunjung ke Pulau Naga. Akan tetapi
620
Ayahku tidak mau menerimanya bahkan hendak membunuhnya sehingga ibu pergi lagi meninggalkan Pulau Naga. Aku sama sekali tidak tahu ke mana ia pergi dan di mana ia sekarang.” “Akan tetapi engkau pernah bercerita bahwa ibu kandungmu pergi meninggalkan Pulau Naga bersama seorang pendekar Siauw-Lim-Pai bernama Gan Hok San” “Benar,Memang benar, demikianlah cerita suheng. Akan tetapi tetap saja aku tidak tahu di mana adanya ibuku sekarang.” Hui-moi, mencari jejak ibumu tentu amat sulit karena ibumu adalah seorang wanita yang tentu tidak banyak orang mengenalnya. Akan tetapı kurasa mencari Gan Hok San tidaklah sesulit itu. Dia adalah seorang pendekar Siauw-Lim-Pai yang lihai, bahkan yang pernah mengalahkan Ayahmu ketika membela ibumu. Seorang pendekar seperti dia tentu dikenal di dunia kang-ouw dan kurasa akan mudah mencari tempat tinggalnya.” “Apa kaupikir ibuku tinggal bersama pendekar itu, Cu-ko?” “Aku tidak tahu, akan tetapi andaikata ibumu tidak tinggal bersama dia, setidaknya dia têntu tahu ke mana perginya ibumu. Bukankah, ibumu meninggalkan Pulau Naga bersama dia?”
621
“Jadi kau pikir, aku harus mencari pendekar Gan Hok San itu, Cu-ko?” “Kurasa begitulah. Tidak ada jalan lain bagimu karena satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menampungmu tentu hanya ibu kandungmu.” Ouw Yang Hui mengerutkan alisnya dan suaranya mengandung nada sedih ketika ia berkata, “Akan tetapi, Cu-ko. Aku hanya seorang wanita yang lemah, dan aku tidak membawa bekal apapun, uang tidak bahkan pakaianpun haya yang menempel di tubuhku ini, bagaimana aku dapat mencari seorang yang tidak kuketahu di mana tempat tinggalnya?” “Jangan khawatir, Hui-moi. Aku akan mengantar dan menemaninu mencari pendekar itu dan menpertemukan engkau dengan ibumu.” Ouw Yang Hoi menatap wajah pemuda itu. “Ahh, Cu-ko, aku akan merepotkanmu...” “Tidak, Hui-moi, Sudah menjadi kewajibanku untuk menolong siapa saja orang yang membutuhkan bantuan. Apa lagi di antara kita telah terjalin persahabatan. Engkau mau mengakui aku sebagai seorang sahabatmu, bukan?”
622
“Cu-ko, Aku... aku tidak tahu harus berkata apa..., engkau terlalu baik bagiku. Cu-ko, engkaulah satu-satunya harapan bagiku, satu-satunya gantungan di mana aku dapat berpegang.” kata Ouw Yang Hui terharu dan kedua matanya menjadi basah. Sin Cu merasa betapa hatinya lega dan girang sekali. “Sudahlah, Hui-moi, uluran tanganku untuk membantumu ini wajar saja jangan dilebih-lebihkan. Sekarang, mengaso dan tidurlah,. Besok kita mulai dengan perjalanan kita. Tidurlah, karena engkau tentu lelah dan mengantuk sekall. Biar aku yang berjaga di sini.” Sin Cu lalu meratakan daun kering untuk menjadi tilam agar gadis itu dapat merebahkan badan di atas tilam daun kering. Ouw Yang Hui yang memang sudah merasa lelah dan mengantuk sekali menurut lalu merebahkan tubuhnya miring menghadap ke api unggun. Betapapun juga, karena perutnya terasa lapar, ia merasa tersiksa. Beberapa kali perutnya berkeruyuk dan ini tidak lepas dari pendengaran Sin Cu yang tajam. Sin Cu cepat membuka buntalan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah bungkusan roti kering dan sebuah guci terisi air jernih. “Hui-moi, ini ada roti kering dan air, Makan dan minumlah.” Ouw Yang Hui bangkit duduk, la memandang bungkusan roti kering yang sudah terbuka itu. Wajahnya menjadi kemerahan.
623
“Cu-ko, aku tidak dapat makan kalau hanya sendirian, Aku malu...” Sin Cu tertawa. “Baiklah, mari kutemani. Akan tetapi maaf, yang ada hanya roti kering tanpa lauk pauk apapun.” “Ini sudah lebih dari cukup, Cu-ko, perutku memang sudah lapar sekali dan makan apa saja akan terasa lezat bagi perut yang lapar.” Mereka berdua lalu makan roti kering dan minum air jernih. Roti kering sederhana itu terasa lezat dan air jernih biasa itu terasa manis menyegarkan. Setelah membersihkan mulutnya, Ouw Yang Hui lalu merebahkan tubuhnya, miring membelakang api unggun dan sebentar saja pernapasannya yang lembut menandakan bahwa ia telah tertidur. Sin Cu duduk menghadapi api unggu dan termenung. Tiba-tiba pikirannya membayangkan gadis yang tidur di seberang api unggun itu dan terdengar suara dalam kepalanya. “Pandanglah ia! Lihatlah baik-baik gadis jelita itu!” Sin Cu mengangkat muka memandang Sebuah pemandangan yang menakjubkan Ouw Yang Hui tidur membelakanginya. Tangan kanannya dijadikan bantal. Yang tampak hanya belakang kepala, punggung, pinggul dan kaki belakang. Pakaiannya yang terbuat dari sutera halus itu seperti mencetak bagian belakang tubuh itu. Suara itu terdengar lagi.
624
“Lihat kulit leher di antara rambut hitam yang tersibak. Betapa putih mulus! Bagian lain tubuhnya yang tertutup tentu lebih putih mulus lagi, Lihat pinggangnya! Begitu ramping. Dan pinggulnya. Pernahkah engkau melihat pinggul yang lebih indah dari pada itu? Dan betisnya itu. Ah, ingatkah engkau betapa lunak lembut dan hangat tubuhnya ketika engkau tadi mendekapnya? Betapa harum lembut dan tubuhnya ketika ia bersandar di dadamu. la menangis dan bersandar di dada! Berarti ia suka kepadamu. Dekatilah! rangkullah ia. Pasti ia akan menerimamu dengan senang hati. la membutuhkan hiburan, membutuhkan kemesraan. Hayo, hampirilah ia. la sudah menunggumu!” “Plak! Plak!” Sin Cu menampar kedua pipinya dengan kedua tangannya. Panas rasanya kulit pipinya. “Gila!” Dia memaki dirinya sendiri. “Gila... gila... gila... tolol kau.” Suara itu bergema akan tetapi tidak muncul lagi. Sin Cu bungkit berdiri, menghampiri Ouw Yang Hui. Dilepasnya baju luarnya yang panjang dan diselimutkannya baju panjangnya itu ke atas tubuh Ouw Yang Hui. Setelah duduk kembali dan melontarkan pandangan, Sin Cu menghela napas lega, Karena kini tubuh bagian belakang Ouw Yang Hui yang tampak amat indah menggairahkan itu tidak tampak lagi, tertutup baju luarnya. Pada
625
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ouw Yang Hui telah terbangun dari tidurnya. la melihat dirinya diselimuti baju luar dan tahulah ia bahwa Sin Cu yang melakukannya. la merasa terharu sekali. Sambil menyerahkan kembali baju itu kepada pemiliknya, ia berkata, “Cu-ko, engkau membuat aku merasa rikuh sekali. Aku semalaman tidur dan engkau terjaga, bahkan engkau meminjamkan baju luarmu kepadaku. Aku tertidur dengan hangat sedangkan engkau berjaga dalam udara dingin.” “Ah, aku tidak pernah kedinginan, Hui-moi,” kata Sin Cu sambil memandang kagum. Dalam keadaan pakaian kusut dan rambut awut-awutan, Ouw Yang Hui bahkan tampak lebih cantik! “Aku selalu dekat dengan api unggun.” “Cu-ko, di mana aku bisa mendapatkan air untuk mandi?” Sin Cu tertegun. Dalam keadaan seperti itu gadis itu masih ingat untuk mandi pagi. Agaknya Ouw Yang Hui maklum akan keheranan Sin Cu. “Maafkan aku, Cu-ko. Bukan aku hendak bermanja-manja, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk mandi pagi. Kalau tidak mandi rasanya badanku tidak segar, tidak enak dan lesu. Akan tetapi kalau tidak ada air, apa boleh buat...” “Tentu ada, Hui-moi. Mari kita mencarinya. Aku tidak tega meninggalkanmu seorang diri di tempat sunyi ini selagi aku
626
mencari sumber air. Mari kita mencari bersama. Dalam hutan ini pasti ada sumber air. atau anak sungai yang airnya jernih.” Mereka lalu meninggalkan tempat itu. Sin Cu menggendong buntalan pakaian yang berisi pedangnya, lalu memadamkan sisa api unggun agar tidak menjalar dan membakar hutan. Setelah mencari beberapa lamanya, akhirnya mereka menemukan sebatang anak sungai yang airnya jernih. Ouw Yang Hui menjadi girang bukan main. Setelah Sin Cu pergi menjauhkan diri dan membelakanginya, tidak terlampau jauh agar dia tetap dapat melindungi gadis itu, Ouw Yang Hui lalu menanggalkan semua pakaiannya dan iapun memasuki air yang dalamnya sepinggang itu. Pada saat berkecimpung dalam air yang jernih dan sejuk segar itu, lenyaplah semua sisa duka yang menggerogoti hatinya. Yang terasa olehnya hanya kesegaran lahir batin dan merasa aman karena yakin bahwa Sin Cu yang berdiri membelakanginya di sana itu tentu akan melindunginya dari segala marabahaya. Setelah membersihkan tubuhnya, Ouw Yang Hui merasa menyesal juga karena ia tidak dapat berganti pakaian. Terpaksa ia kenakan kembali pakaiannya yang sudah kusut. la tidak dapat berhias diri, tidak dapat memakai bedak, bahkan tidak dapat menyisir rambutnya. la membiarkan rambutnya terjurai ketika ia menghampiri Sin Cu dan berkata lirih.
627
“Aku telah selesai mandi, Cu-ko.” Sin Cu memutar tubuhnya dan melihat Ouw Yang Hui dengan rambut terjurai itu menjadi kagum. Bagaikan setangkai bunga mawar bermandikan embun pagi. Begitu segar dan indah. “Engkau tidak mandi, Cu-ko? Kalau saja dia seorang diri, agaknya dia akan malas mandi dalam air yang dingin itu. Akan tetapi melihat Ouw Yang Hui begitu mementingkan kebersihan, dia merasa malu kalau tidak mandi. “Aku mau mandi, Hui-moi. Engkau tunggu di sini sebentar.” “Baik, Cu-ko. Aku akan ducduk di sini membelakangimu,” kata Ouw Yang Hui sambil tersenyum geli. la melihat kecanggungan dan kegugupan Sin Cu. Sin Cu menurunkan buntalan pakaiannya dan membawa satu stel pakaian bersih, dibawanya ke tepi anak sungai dan diapun mandi. Setelah masuk ke dalam air yang sepinggang dalamnya, barulah dia merasa betapa segarnya mandi di waktu pagi itu. Dia mandi dengan perasaan gembira. Kegembiraan yang secara aneh muncul karena kenyataan disana bahwa Ouw Yang Hui menunggunya! Dia selalu memandang kearah gadis yang duduk membelakanginya itu untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam gadis itu, Setelah puas mandi dan membersihkan tubuh, diapun naik ke tepi anak sungai dan mengenakan pakaian bersih, kemudian dia menghampiri Ouw Yang Hui.
628
“Wah, segarnya!” dia berkata di belakang Ouw Yang Hui. Gadis itu bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Melihat Sin Cu memakai pakaian bersih, ia berkata. “Aku iri kepadamu, Cu-ko. Engkau dapat berganti pakaian bersih, sedangkan aku tidak.” Melihat gadis itu tidak merias wajahnya seperti wanita lain, tiba-tiba Sin Cu mendapat sebuah pikiran yang dianggapnya amat baik. “Hui-moi, aku masih mempunyai pakaian bersih beberapa stel, bagaimana kalau engkau mengenakan pakaian bersih dariku?” “Ihh! Mana mungkin, Cu-ko? Lupakah engkau bahwa aku seorang wanita? Bagaimana dapat memakai pakaian pria? “Kenapa tidak, Hui-moi. Engkau tidak mencukur alismu seperti kebanyakan kaum wanita. Kalau engkau mengenakan pakaian pria, engkau akan menjadi seorang pemuda yang tampan sekali. Kurasa hal ini perlu sekali, Hui-moi. Kita akan melakukan perjalanan, mungkin sampai jauh. Kalau engkau muncul sebagai seorang gadis muda yang cantik jelita, tentu kita akan menghadapi banyak gangguan dan urusan. Akan tetapi sebaliknya kalau muncul sebagai seorang pemuda tampan, tidak akan ada yang mengganggumu. Bagaimana pendapatmu?” Ouw Yang Hui
629
mengerutkan alisnya. Belum pernah ia berpikir, mimpipun belum pernah, bahwa pada suatu hari la harus menyamar sebagai seorang pria! “Maksudmu, aku harus menyamar sebagai seorang pria?” “Hanya untuk sementara waktu saja, Hui-moi. Sampai engkau dapat bertemu kembali dengan ibumu. Ingat, dengan menyamar sebagai pria, engkau akan lebih leluasa dan bahaya yang mengancam dirimu akan menjadi berkurang, bahkan lenyap sama sekali.” “Dan engkau tidak akan bersusah pAyah lagi menjaga dan melindungiku, Cu-ko. Ah, baik sekali itu. Aku setuju, Cu-ko. Akan tetapi rambutku yang panjang ini...” “Mudah saja. Kau gelung rambut itu keatas, kemudian diikat dengan pengikat rambut.” “Dan lubang di daun telingaku?” “Dapat ditutup dengan tanah dicampur kapur atau ditutup rambut. Dibantu dengan sikapmu yang kau buat seperti sikap seorang pria, tak seorangpun akan mengetahui bahwa engkau seorang wanita.”
630
Sin Cu memilihkan sesetel pakaiannya yang terbaru, berwarna biru, dan memberikan pakaian itu kepada Ouw Yang Hui. Gadis itu menerimanya dan membawa pakaian itu kebalik semak belukar dan di sana ia berganti pakaian pria itu. Pakaian itu agak kebesaran sehingga terpaksa bagian lengannya yang kepanjangan digulung. Rambutnya ia gulung ke atas dan diikat sehelai kain pengikat rambut berwarna kuning. Setelah selesai sambil mematut-matut diri ia keluar dari balik semak-semak dan mendapatkan Sin Cu berdiri membelakangi semak-semak itu. Ia tersenyum senang. Biarpun semak belukar itu telah menyembunyikan dirinya, tetap saja Sin Cu membelakangi semak-semak itu. Betapa baik dan sopan tingkah laku pemuda itu. “Cu-ko, bagaimana pandanganmu, sudah pantaskah aku menjadi seorang pemuda?” Sin Cu memutar tubuhnya dan memandangi gadis yang kini menyamar pria itu. Dia tersenyum. Walaupun pemuda di depannya itu terlampau tampan, namun cukup menyembunyikan kewanitaan Ouw Yang Hui. Dia mengangguk puas. “Cukup baik, Hui-moi... eh, aku harus menyebut engkau Hui-te (adik laki-laki Hui) sekarang. Dan engkau memakai nama margaku saja dan mulai sekarang mengaku adikku bernama Wong Hui.”
631
“Baik, Cu-ko,” kata Ouw Yang Hui dengan girang. Sin Cu lalu mencari tanah liat dan mencampurnya dengan tanah kapur dan mengoleskan campuran itu untuk menutup bekas lubang di daun telinga Ouw Yang Hui. “Mari kita berangkat, Hui-te. Kita mencari dusun atau kota di mana kita dapat membeli makanan dan juga mencari pakaian yang sesuai ukuranmu.” “Engkau mempunyai uang Cu-ko,? kalau tidak cukup, ini perhiasanku dapat dijual untuk membeli pakaian dan untuk bekal perjalanan kita. Ouw Yang Hui mengeluarkan perhiasan terdiri dari sepasang gelang emas, kalung, giwang dan cincin yang tadi dilepasnya semua ketika ia berganti pakaian pria. “Aku masih mempunyai sedikit uang dan cukup untuk membelikan beberapa stel pakaian untukmu, Hui-moi. Simpanlah perhiasanmu itu.” “Tidak, Cu-ko. Engkau yang menyimannya untuk bekal. Kałau ada orang melihat aku menyimpan perhiasan wanita, tentu hal itu dapat membongkar rahasiaku.” Sin Cu tersenyum. “Engkau benar juga. Hui-moi.”
632
“Cu-ko, mulai sekarang jangan menyebut aku Hui-moi. Engkau lupa lagi. kalau terdengar orang lain, apa gunanya aku menyamar pria.” “Eh, ya. Maafkan, aku lupa, Hui-te. Mari kita berangkat. Mereka lalu berangkat menuju ke timur. Tujuan mereka memang mencari pendekar Gan Hok San di selatan, akan tetapi mereka mengambil jalan memutar ke timur agar jangan melalui kota Nam-Po. “Taijin, apa yang saya ceritakan itu adalah apa yang sebenarnya terjadi. Im-Yang-Kauw adalah sebuah perkumpulan yang berpihak kepada mereka yang menentang dan memusuhi Paduka. Merekalah yang memaksa saya dahulu mengabdi kepada Koan Ciangkun dengan maksud agar dengan membonceng pengaruh Koan Ciangkun saya dapat menentang Paduka. Baru seteiah Koan Ciangkun tewas dan saya mendapat kesempatan menghadap Taijin, saya tahu bahwa Im-Yang-Kauw itu keliru. Paduka adalah seorang pejabat tinggi yang baik dan bijaksana, juga amat setia kepada Sribaginda Kaisar.” Thaikam Liu Cin mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya yang pendek. Dia sedang duduk berunding dergan para jagoannya, yaitu Ouw Yang Lee, Hek Moko,Pek Moko, Im Yang Tojin dan Ouw Yang Song Bu.
633
“Hemm, begitukah? Im-Yang-Kauw ikut-ikutan menentangku? Berarti mereka menentang Kaisar! Mereka pemberontak!” Liu Cin mengepal tinju kanannya dengan marah. “Taijin, apa sukarnya untuk membasmi mereka? Taijin tinggal melapor kepada Sribaginda Kaisar bahwa Im-Yang-Kauw bermaksud memberontak agar dikirim pasukan untuk membasminya. Mudah sekali kata Ouw Yang Lee. “Tidak semudah itu,” kata Im Yang Tojin. “Harap taijin ketahui bahwa Im-Yang-Kauw adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat. Murid-murid atau anggauta yang berkumpui di pusat Im-Yang-Kauw saja ada seratus orang lebih, kesemuanya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang cukup tangguh. Di samping itu, di sana berkumpul pula tokoh-tokoh Im-Yang-Kauw, yaitu kakak-kakak dan adik-adik seperguruan saya yang jumlahnya belasan orang.” “Hemm, apa masalahnya? Kalau dikirim ratusan orang perajurit, ditambah kita berlima yang menandingi para tokoh Im-Yang-Kauw, mereka tentu akan dapat dibasmi. Apalagi kalau pasukan pengawal dari Liu Taijin dikerahkan, dipimpin Giam Ciangkun,” kata Hek Moko.
634
“Bagaimana kau pikir, Totiang, akan cukupkah itu untuk menghancurkan Im-Yang-Kauw?” tanya Thaikam Liu Cin kepada Im Yang Tojin. Im Yang Tojin menggelengkan kepalanya. “Masih sulit, Taijin. Bukan saya memandang rendah kepada rekan-rekan saya yang membantu Taijin. Akan tetap para tokoh Im-Yang-Kauw memiliki Im Yang Ngo Kiam-tin (Barisan Lima Pedang Im yang)! Dan barisan yang terdiri dari lima orang ini luar biasa lihainya. Bahkan banyak cadangannya sehigga kalau di antara lima orang itu ada yang roboh, seketika akan ada penggantinya. Amat sulit dikalahkan.” “Hemm, kalau begitu kita harus bertindak hati-hati dan jangan terburu nafsu,” kata Thaikam Liu Cin dengan alis berkerut. Thaikam yang amat licik ini sesungguhnya seorang pengecut, Mendengar tentang kehebatan Im-Yang-Kauw, hatinya segera mengecil dan nyalinya surut. “Harap Taijin tidak khawatir. Kami berdua sudah memberitahu bahwa Supek (Uwa Guru) kami akan datang. Dia sudah menerima penawaran kami untuk memperkuat barisan pembantu Taijin. Kalau ada dia, urusan membasmi Im-Yang-Kauw adalah urusan kecil!” kata Pek Moko.
635
“Heran sekali, bukankah dia sudah berjanji akan datang hari ini? Mengapa belum juga datang?” kata Hek Moko. Pada saat itu terdengar suara tawa bergelak. Semua orang terkejut dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada orang yang tertawa di ruangan itu. Pada hal suara itu demikian dekat seolah yang tertawa berada di antara mereka dalam ruangan itu. “Ha-ha-ha, Tho-Te-Kong (Malaikat Bumi) tidak pernah melanggar janji! Aku sudah datang.” “Supek” Hek Moko dan Pek Moko berseru dengan girang. Ada angin menerabas masuk ruangan dari pintu yang terbuka dan tiba-tiba saja di ambang pintu telah berdiri seorang laki-laki yang usianya tentu sudah mendekati tujuh puluh tähun. Tubuhnya kurus kering jangkung, rambut dan kumis jenggothya panjang dan sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih segar sehat seperti wajah kanak-kanak. Tubuhnya tertutup pakaian serba kuning yang longgar, kepalanya tertutup kopyah bulu domba dan kakinya memakai sepatu kulit. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat bambu kuning. Kakek ini muncul sambil menyeringai tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak bergigi lagi.
636
“Akan tetapi bagaimana engkau dapat masuk sampai di sini tanpa terhalang pintu besi dan pasukan pengawal?” Thaikam Liu Cin bertanya heran sekali. “Ha-ha-ha, Liu Taijin, Tidak ada pintu besi dan pasukan pengawal yang mampu menghalangi kalau The-Te-Kong memasuki suatu tempat. Menurut dua murid keponakanku ini, Hek Moko dan Pek Moko, Taijin membutuhkan bantuan saya, maka saya datang berkunjung.” “Benar sekali. Engkaukah yang berjuluk Tho-Te-Kong? Silakan duduk, kebetulan sekali kita sedang membicarakan sesuatu yang memerlukan bantuanmu,” kata Thaikam Liu Cin. Sambil tertawa, kakek itu lalu duduk dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia nyambar seguci arak dan minum dari guci itu seperti orang minum air saja. Im Yang Tojin, Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Bu memandang dengan takjub. Kakek tadi telah mendemonstrasikan tenaga khikang sehingga mampu mengirim suaranya sehingga suara itu sudah sampai diruangan itu sebelum orangnya muncul. dan dapat memasuki istana Thaikam Liu Cin tanpa diketahui para perajurit pengawal juga mampu melewati pintu-pintu besi, bukan merupakan hal yang mudah,jelas bahwa kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Im Yang Tojin, Ouw Yang Lee yang
637
sudah lama berkecimpung di dunia kangouw memang sudah pernah mendengar akan nama Tho-Te-Kong yang terkenal sebagai seorang sakti yang sudah lama tidak pernah muncul lagi di dunia kangouw, akan tetapi yang pada waktu dulu, dua puluhan tahun yang lalu pernah malang melintang di dunia kangouw. “Ha-ha-ha, benar sekali laporan Hek Pek Moko kepada saya, Liu Taijin, bahwa Taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana. Buktinya Taijin telah memaafkan cara saya, datang berkunjung seperti ini. Sekarang perintahkanlah apa yang harus saya lakukan untuk Taijin,” kata Tho-Te-Kong. “Sebelum kita bicara, kami ingin memperkenalkan dulu para pembantu kami ini kepadamu, Lo-Cianpwe (orang tua gagah). Hek Moko dan Pek Moko tentu sudah engkau kenal karena mereka adalah murid-murid keponakanmu sendiri. Totiang ini adalah Im Yang Tojin, seorang tokoh dari Im-yang- kauw. Yang itu adalah Sicu (orang gagah) Ouw Yang Lee yang berjuluk Tung-Hai-Tok, majikan Pulau Naga, dan yang muda itu adalah puteranya bernama Ouw Yang Song Bu. Lima orang ini telah menjadi para pembantu kami yang setia dan sekarang dengan kehadiran Lo-Cianpwe, maka kedudukan kita menjadi semakin kuat.” Tho-Te-Kong mengangguk-angguk ketika Im Yang Tojin, Ouw Yang Lee
638
dan Song Bu memberi hormat kepadanya atas perkenalan itu. Sikapnya seperti tidak acuh. “Apakah yang Taijin risaukan dan bantuan apa yang biasa saya berikan?” tanya kakek itu. “Kami baru saja menbicarakan tentang Im Yang Kauw yang bersikap meenentang dan memusuhi saya, Lo-Cianpwe. Dan menurut Im Yang Tojin, kedudukan. Im Yang Kauw itu kuat sekali. Di sana terdapat banyak tokoh Im Yang Kauw yang berkepandaian tinggi sehingga kekuatan pasukan dan lima orang pembantu kami mungkin akan mendapatkan kesulitan kalau melakukan penyerbuan kesana. Baru saja Hek Pek Moko mengatakan bahwa kalau ada Lo-Cianpwe yang membantu, maka tentu akan mudah membasmi perkumpulan yang menentang kami itu,” “Im Yang Kauw? Hmm, bukankah Im Yang Tojin ini tokoh Im Yang Kauw Bagaimana dia kini akan menentang perkumpulannya sendiri?” tanya Tho-Te-Kong sambil menatap wajah Im Yang Tojin dengan alis berkerut. “Memang benar saya seorang tokoh Im Yang Kauw, Lo-Cianpwe. Akan tetapi, setelah saya berdekatan dengan Liu Taijin, pandangan saya berlawanan dengan pandangan rnereka. Saya
639
menentang mereka yang memusuhi Liu Taijin, maka saya menceritakan semua rahasia Im Yang Kauw kepada Liu Taijin.” “Aku tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang murid keponakan ini sudah cukup baik. Engkau sendiri adalah tokoh Im Yang Kauw, dan akupun pernah mendengar akan nama besar majikan Pulau Naga yang masih dibantu oleh puteranya. Akan tetapi mengapa kau katakan bahwa Im Yang Kauw akan sulit kalian kalahkan? Apanya sih yang hebat pada Im Yang Kauw?” tanya kakek itu dengan nada memandang rendah. “Ceritakanlah tentang kehebatan Im Yang Kauw, Totiang, agar Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong dapat mengetahui dengan jelas,” kata Thaikam Liu Cin. “Tho-Te-Kong Lo-Cianpwe, tadi sudah saya ceritakan kepada Liu Taijin dan para rekan lain betapa kuatnya Im Yang Kauw. Selain mereka mempunyai seratus orang lebih anggauta yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, juga ada belasan orang Suheng dan Sute saya yang memiliki ilmu silat yang tingkatnya sudah tinggi. Yang amat sukar dikalahkan adalah kalau para Suheng dan Sute saya itu membentuk Im Yang Ngo Kiam-Tin, dan di samping semua kekuatan itu masih ada lagi ketua Im Yang Kauw, Yaitu Toa Suheng (kakak seperguruan tertua) Im Yang Siansu yang tingkat
640
kepandaiannya jauh melampaui tingkat semua Sutenya termasuk saya.” “Hua-ha-ha-ha, apa sih sukarnya menghancurkan Im Yang Ngo Kiam-Tin? Aku pernah mendengar tentang Im Yang Ngo Kiam-Tin (Barisan Pedang) itu. Tongkat bambuku ini akan memporak-porandakan kiam tin itu. Dan ketua Im Yang Kauw itupun serahkan saja kepadaku. Itu urusan kecil.” kata Tho-Te-Kong lalu dia minum lagi arak dari gucinya sehingga terdengar suara menggelegak. Melihat sikap yang congkak ini, Liu Thaikam mengerutkan alisnya dan dalam hatinya timbul keraguan. Biasanya orang yang bersikap sombong itu seperti gentong kosong. “Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong, sudah menjadi kebiasaan kami bahwa kalau kami menerima seorang pembantu baru, kami harus menguji dulu untuk melihat sampai di mana kemampuannya. Ujian ini berlaku bagi pembantu bagian Bun (Sastra) maupun Bu (Silat). Oleh karena itu, bagaimana pendapatmu kalauau kami menyuruh lima orang pembantu kami ini untuk menguji kepandaianmu agar hati kami dapat merasa yakin?” Dengan matanya yang bersinar tajam Tho-Te-Kong menyapu ke arah lima orang yang duduk di seberäng meja dan dia terkekeh.
641
“Heh-heh-heh-heh, boleh saja Taijin. Boleh saja, bahkan kalau mau ditambah beberapa orang lagi, silakan!” Pada saat itu terdengar suara melengking memasuki ruangan itu. “Tho-Te-Kong, tua bangka jelek! Di mana engkau?” semua orang terkejut, kecuali Tho-Te-Kong yang menyeringai mendengar suara itu. “Liu Taijin, ia adalah sahabat baikku berjuluk Cui-Beng Kui-Bo (Biang Hantu Pengejar Roh). Bolehkah ia masuk ke sini saya ajak untuk membantu Taijin?” tanya Tho-Te-Kong kepada Thaikam Liu in. Pembesar itu merasa girang sekali. Wanita berjuluk Cui-Beng Kui-Bo itu tentu juga lihai sekali. Makin banyak orang lihai membantunya, semakin baik dan semakin kuat kedudukannya. “Tentu saja boleh. Suruh ia masuk!” katanya gembira. Tho-Te-Kong lalu bangkit berdiri, menarik napas panjang lalu terdengar dia berteriak. Tidak terlalu lantang teriakan itu, namun getarannya menembus seluruh ruangan, bahkan terasa getaran itu mengguncangkan isi dada semua orang yang berada di situ. “Kui-Bo! Jangan sungkan-sungkan, masuklah ke sini, kami menunggumu!” Hening sejenak. Semua orang menanti datangnya wanita yang mempunýai julukan mengerikan itu.
642
Seperti kemunculan Tho-Te-Kong tadi, ada angin kuat menerpa masuk ruangan melalui daun pintu yang terbuka dan tiba-tiba saja di ambang pintu telah berdiri seorang wanita yang keadaannya menyolok sekali. Wanita itu bertubuh sedang dan montok. Usianya sudah hampir lima puluh tahun akan tetapi tampaknya ia baru berusia empat puluh tahunan. wajahnya tampak cantik karena, polesan tebal, berbedak dan bergincu. la tersenyum senyum dengan mata mengerling kesana kemari, genit bukan main. Rambutnya digelung keatas seperti wanita bangsawan, pakaiannya dari Sutera mahal dan tubuhnya memakai perhiasan gelang kalung giwang dan cincin yang mewah. Di punggungnya tampak sepasang pedang bersilang. Ketika pandang matanya bertemu dengan Thaikam Liu Cin, ia memandang penuh perhatian lalu bertanya. “Apakah saya berhadapan dengan Liu Taijin yang amat terkenal itu?” Thaikam Liu Cin mengangguk dan tersenyum. “Senang sekali bertemu denganmu, Kui-Bo. Silakan duduk,” kata pembesar itu yang dengan akrab menyebut Kui-Bo untuk menyenangkan hati tamu atau pembantu barunya. Cui-Beng Kui-Bo membungkuk untuk memberi hormat, lalu mengambil tempat duduk.
643
“Terima kasih, Taijin,” katanya dengan suara manja dan genit. Melihat sikap wanita ini, diam-diam Song Bu merasa ngeri dan juga muak. Seorang Nenek yang amat menakutkan, pikirnya. Tentu lihai sekali dan dari penampilannya saja dia dapat menduga bahwa Nenek itu tentu seorang yang kejam dan jahat sekali. Sejak tadi hati pemuda ini memang sudah merasa tidak enak dan tidak senang. Tadi dia mendengar akan ulah Ayah angkatnya yang mengamuk di Nam-Po dan mendengar bahwa Ouw Yang Lee telah membunuh Cia-Ma dan kabarnya Ouw Yang Hui telah melarikan diri entah ke mana. Dia merasa menyesul sekali dan menganggap perbuatan Ayah angkatnya itu kejam dan jahat sekali. Akan tetapi dia belum sempat menegur karena ada panggilan dari Liu Taijin sehingga terpaksa dia dan Ayah angkatnya datang menghadap bersama para jagoan lainnya. Kini melihat munculnya Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo, hatinya merasa makin tidak enak. Dia merasa seperti berada di antara orang-orang yang berbahaya dan jahat sekali. Bagaimanapun juga Song Bu memiliki dasar watak yang gagah, biarpun gemblengan yang didapatnya dari Ouw Yang Lee membuat dia menjadi keras hati, namun dalam sanubarinya masih terdapat pertimbangan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
644
“Kui-Bo, aku telah diterima untuk membantu Liu Taijin, dan engkaupun ku masukan juga. bagimana pendapatmu?,” tanya Tho-Te-Kong kepada Nenek yang diakuinya sebagai sahabat baik itu. Cui-Beng, Kui-Bo memandang kepada Liu Taijin. “Kalau Liu Taijin suka menerima ku sebagai pembantu, tentu saya senang sekali bekerja sama.” Liu Taijin adalah seorang yang amat cerdik. Melihat pemunculan Nenek itu seperti juga permunculan Tho-Te-Kong, tanpa diketetahui penjaga dan dapat masuk keruangan itu begitu saja, membuktikan bahwa kepandian Nenek itu juga sangat tinggi. “Kui-Bo, tadi baru saja kunyatakan kepada Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong bahwa sudah menjadi kebiasaan kami kalau menerima seorang pembantu baru harus melalui pengujian dulu dan aku mengusulkan agar Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong diuji kepandaiannya melawan lima orang pembantu pembantuku ini.” Liu Taijin menunjuk kepada lima orang pembantunya. Dengan sudut matanya Cui-Beng Kui-Bo mengerling kepada mereka berlima, kerlingan itu berhenti pada wajah Song Bu, menatap wajah pemuda itu dengan senyum genit. “Tho-Te-Kong, siapakah mereka ini tanya Nenek itu. Tho-Te-Kong tersenyum yang mukanya hitam dan mukanya putih adalah murid-
645
murid keponakanku yang berjuluk Hek Pek Moko. Yang lain tentu engkau pernah mendengar namanya. Totiang ini adalah Im Yang Tojin, seorang tokoh Im Yang Kauw. Yang tinggi besar gagah itu adalah Majikan Pulau Naga yang berjuluk Tung-Hai-Tok dan pemuda tu adalah puteranya. Mereka berlima yang akan mengujiku.” Cui-Beng Kui-Bo memandang kepada Liu Taijin. “Kalau begitu, sayapun mau uji oleh lima orang ini, Taijin,” katanya dengan nada memandang rendah. Diam-diam Thaikam Liu Cin merasa girang. Lima orang pembantunya itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat sekali. Kalau kakek dan Nenek ini masing-masing berani melawan mereka berlima, dapat dibayangkan betapa sakti mereka berdua itu. Akan tetapi Thaikam yang sudah berpengalaman inipun tahu betapa anehnya watak orang-orang kangouw (sungai telaga dunia persilatan) sehingga bukan tidak mungkin dalam pertandingan uji kepandaian itu mereka akan saling bunuh! Karena itu, karena merasa, sayang kalau sampai dia kehilangan seorang dari para pernbantunya itu, dia berkata, “Pertandingan ini hanya merupakan uji kepandaian, maka kami pikir tidak perlu kalian bertanding ilmu silat. Dapat diatur saja agar masing-masing memilih uji kecepatan atau uji tenaga.”
646
“Hi-hik, bagus sekali! Liu Taijin khawatir kalau sampai para pembantunya cedera atau tewas. Baiklah, aku memilih uji kecepatan saja. Itu saya melihat ada tanaman di pot.” la bangkit dan menghampiri sebuah pot besar di mana tumbuh sebatang tanaman bunga yang daunnya selebar tangan. la mengambil enam daun lalu kembali ke meja. “Kalian berlima, juga aku, masing-masing menyelipkan setangkai daun di baju bagian dada dan kalian berlima boleh mencoba untuk mengambil daun dari bajuku, sedangkan aku akan berusaha untuk mengambil daun daun dari baju kalian berlima. Kalau sampai daun dibajuku dapat terambil lebih dulu, aku mengaku kalah!” Liu Taijin mengangguk anggukkan kepalanya. “Perlombaan mengambil daun dari baju baik sekali untuk ujian kecepatan dan ketangkasan! Kami setuju. Akan tetapi antara kalian tidak ada yang diperbolehkan menyerang dengan pukulan.” Mereka semua setuju dan meja kursi lalu ditarik ke pinggir. Ruangan itu cukup luas untuk pertandingan adu kecepatan. Liu Taijin dan Tho-Te-Kong menonton dari sudut, duduk di atas kursi, Cui-Beng Kuibo lalu berdiri di tengah ruangan yang kosong, dengan setangkai daun terselip di kancing baju dadanya. la berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Tanpa menggerakkan
647
kepalanya hanya matanya yang berputar-putar, ia mengikuti gerakan lima orang penguji yang kini menghampirinya dan mengelilinginya. lima orang itupun memasang setangkai daun pada lubang kancing baju mereka. “Aku sudah siap, kalian boleh mulai” tantang Nenek itu sambil memperlebar senyumnya sehingga deretan giginya yang bersih lengkap itu tampak berkilau. Ouw Yang Lee pernah mendengar nama besar Cui-Beng Kui-Bo ini. Walaupun dia belum pernah bertemu dengan datuk wanita yang dulu amat terkenal di selatan itu, namun dia sudah mendengar bahwa wanita itu memiliki kesaktian. Kemunculannya dalam ruangan tamu istana Thaikam Liu Cin saja sudah membuktikan kesaktiannya. Ia sendiri rasanya tidak mungkin dapat memasuki ruangan itu tanpa diketahui para penjaga dan dapat melalui banyak pintu besi yang terjaga kuat. Kini, melihat wanita itu sudah siap, dia merasa penasaran. Dia Sendiripun bukan seorang lemah yang tidak terkenal sepanjang pantai Laut Timur. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja tangan kirinya menyambar ke arah daun yang menempel di baju Nenek itu. Sambaran tangannya luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya bayangan lengannya.
648
Namun ternyata Nenek itu lebih cepat lagi. Sebelum tangan itu tiba dekat dadanya, ia sudah mengelak dan sambaran tangan ke arah daun itu luput. Dari kanan kiri Hek Pek Moko cepat bergerak. Mereka berduapun merasa penasaran karena dipandang rendah datuk wanita itu. Kalau Supek (Uwa Guru) mereka yang memandang rendah, hal itu masih dapat mereka terima. Akan tetapi Cui-Beng Kui-Bo biarpun namanya sudah mereka kenal, namun mereka belum pernah menyaksikan kelihaiannya. Maka kini mereka berdua dengan gerakan tangkas dan berbareng menggerakkan tangan menyambar dari kanan kiri untuk merenggut setangkai daun dari baju Nenek itu. Mereka merasa yakin bahwa seorang dari mereka tentu akan berhasil. Namun, luar biasa sekali. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Nenek itu telah mengelak ke belakang sehingga sambaran tangan kedua orang itupun luput. “Haitt..!” Im Yang Tojin kini menerjang dengan kedua tangan membentuk cakar mencengkeram ke arah daun di baju Cui-Beng Kui-Bo. Kedua tangannya itu bergerak susul menyusul. “Plak! Dukk!” Kedua tangan yang mencengkeram itu bertemu dengan dua lengan Nenek itu yang menangkisnya sehingga kedua tangan Im Yang Tojin terpental ke kanan kiri. Pada saat itu, Song Bu menerjang maju. Patut diketahui bahwa setelah tinggal di kota
649
raja menjadi pembantu Thaikam Liu Cin dan dekat dengan rekan-rekan pengawal, ilmu silat Song Bu mengalami kemajuan pesat. Dengan sikapnya yang baik dan pandai membawa diri, Im Yang Tojin dan sepasang Hek Pek Moko dengan senang hati mau mengajarkan ilmu-ilmu andalan mereka. Im Yang Tojin mengajarkan Im-Yang Sin-Ciang, Pek Moko mengajarkan Pek-Tok-Ciang dan Hek Moko mengajarkan Hek-Tok-Ciang. Dengan demikian maka Song Bu menjadi lihai sekali, bahkan mungkin dia lebih lihai dari pada Ouw Yang Lee dan rekan-rekan lain yang menjadi jagoan Thaikam Liu Cin! “Lihat tanganku!” Song Bu berseru dan diapun menggerakkan tangannya merenggut ke arah daun di baju Cui-Beng Kui-Bo. Cepat dan kuat sekali gerakannya sehingga baju Nenek itu berkibar. Nenek itu terkejut, tidak mengira bahwa pemuda itu tidak kalah hebatnya dibandingkan para jagoan lain dan terpaksa ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri sambil mengibaskan tangannya. “Plakk!” Tangan kiri Song Bu bertemu dengan tangan kanan Nenek itu. Song Bu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan terpental ketika bertemu dengan tangan kecil Nenek itu.
650
“Bagus, engkau hebat juga, orang muda yang ganteng” Nenek itu memuji dengan sikap genit. Akan tetapi pada saat itu, lima orang pengeroyoknya telah maju lagi dan serangan datang dari beberapa penjuru untuk merenggut lepas daun dari bajunya. Namun, Cui-Beng Kui-Bo memperlihatkan ketangkasannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet dan setiap kali ada tangan yang hampir mengenai sasaran, la menggunakan kedua tangannya untuk menangkis. Thaikam Liu Cin yang sedikit banyak pernah belajar silat memandang dengan takjub. Dia tidak dapat mengikuti gerakan Nenek itu dengan pandang matanya karena terlalu cepat. Yang dilihatnya hanya bayangan yang berkelebatan di antara lima orang penyerang itu. Bahkan Tho-Te-Kong diam-diam dia memuji dalam hatinya. Pantas Nenek itu memilih ujian kecepatan karena ternyata ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali. Dia sendiri harus mengaku bahwa ginkang yang dikuasainya masih kalah dibandingkan dengan ginkang Nenek itu. Biarpun lima orang itu tidak menyerang dengan memukul, namun ujian itu hampir sama dengan pertandingan silat biasa. Nenek itu harus mempertahankan dan melindungi setangkai daun yang dijadikan rebutan oleh lima orang pengeroyoknya seolah-olah mereka itu semua menyerang ulu hatinya, tempat yang amat
651
berbahaya. Bahkan lima orang pengeroyok yang kesemuanya lihai itu kadang mempergunakan kaki untuk menendang ke arah dada untuk membuat daun itu terpentai agar dapat dirampas. Agaknya Cui-Beng Kui-Bo sengaja hendak mempertontonkan dan memamerkan kecepatannya. Ia hanya mengelak dan menangkis, melindungi daun di bajunya agar tidak terampas selama tiga puluh jurus. Tiba-tiba ia bergerak lebih cepat lagi. Liu Taijin melihat betapa bayangan yang berkelebatan itu seolah berubah menjadi banyak. “Sambut serangan balasanku” terdengar Nenek itu berseru dan tubuhnya bergerak jauh lebih cepat dari pada gerakan mereka. Tiba-tiba, secara berturut-turut Pek Moko melompat ke belakang disusul Hek Moko, Im Yang Tojin dan Ouw Yang Lee. Mereka berlompatan kebelakang wajah mereka kemerahan karena daun yang berada di baju mereka telah lenyap disambar tangan Cui-Beng Kui-Bo yang bagaikan kilat menyambar cepatnya! Kini hanya tinggal Song Bu yang masih “Melawannya”! Agaknya Nenek itu memang sengaja “Memberi muka” kepada pemuda yang menarik hatinya itu dan tidak begitu mendesaknya sehingga kalau yang lain sudah kehilangan daunnya, pemuda itu masih dapat mempertahankannya. Akan tetapi, jelas tampak oleh mereka semua bahwa Song Bu terdesak terus. Pemuda itu hanya mampu
652
mengelak dan menangkis, sedangkan bayangan Cui-Beng Kui-Bo yang seperti berubah menjadi banyak itu, Mengusap dagu, menowel pipi, meraba dada dan pundak, akan tetapi belum juga mengambil daun itu! Tentu saja Song Bu merasakan hal ini. Sudah beberapa kali dagunya diusap, pipinya ditowel, pundak dan dadanya diraba, bahkan dua kali pinggulnya dicubit. Dia tahu bahwa Nenek itu mempermainkannya tanpa dia ketahui apa maksudnya dan diapun tahu benar bahwa kalau Nenek itu menghendaki, tentu daun di dadanya juga sudah dapat direbut. Dia merasa penasaran dan marah, merasa dipermainkan, maka dia sengaja merenggut daun di bajunya dan melepaskannya jatuh ke atas lantai. Dia sendiri lalu melompat ke belakang! Cui-Beng Kui-Bo tersenyum lebar dan mengambil daun yang dijatuhkan Song Bu itu, kemudian dengan langkah bagaikan seekor harimau kelaparan, pinggulnya bergoyang-goyang, ia menghampiri meja Liu Taijin dan meletakkan lima tangkai daun itu ke atas meja. “Inilah, Taijin, lima helai daun dari baju mereka. Dan ini daun yang berada di bajuku masih ada.” la melepaskan daun dari bajunya dan menaruhnya di atas meja pula. Liu Taijin mengangguk-angguk sambil tersenyum.
653
“Engkau memang hebat sekali, Kui-Bo dan pantas untuk menjadi pembantu utamaku di samping Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong kalau dia mampu mengalahkan lima orang rekannya.” Diam-dian Song Bu merasa penasaran dan tidak puas. Dia memang harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia kalah jauh dibandingkan Nenek itu. Akan tetapi dia tentu tidak akan mengaku kalah dan menyerah begitu saja andaikata dia harus berkelahi melawan Nenek itu. Dia dapat mempergunakan banyak macam ilmu pukulan yang sudah dikuasainya untuk menyerang. Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menyatakan perasaan hatinya itu dan hanya dapat duduk diam dengan hati yang semakin tidak senang. Tho-Te-Kong bangkit berdiri dan mengambil sehelai daun dari atas meja dan berkata kepada Thaikam Liu Cin, “Liu Taijin, sekarang tiba giliran saya untuk diuji dalam hal kekuatan oleh lima orang ini. Saya juga akan menggunakan sehelai daun untuk ujian ini. Saya akan melontarkan daun ini ke atas, kemudian lima orang ini boleh mendorongnya dengan tenaga sinkang mereka dan saya akan mempertahankan dengan dorongan pula. Kami akan mengadu tenaga melalui daun itu sehingga siapa yang kalah atau menang akan mudah tampak.” Thaikam Liu Cin tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tertarik sekali. Pernah dia menyaksikan seorang ahli sinkang menggunakan dorongan
654
telapak tangan memadamaan belasan batang lilin yang bernyala, bahkan mendorong benda berat sampai terpental jauh tanpa menyentuhnya. Pertandingan mendorong daun satu lawan lima ini tentu menarik sekali. “Bagus, kami setuju. Pertandingan itu menarik dan tidak berbahaya. Kalian berlima, mulailah menguji tenaga Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong” katanya kepada lima orang jagoannya. Sambil tersenyum Tho-Te-Kong menghampiri tengah ruangan dan lima orang itupun melangkah ke tengah ruangan, berhadapan dengan kakek tinggi kurus itu. Lima orang itu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan terutama sekali Ouw Yang Lee dan Im Yang Tojin merasa penasaran. Kalau mereka berlima menyatukan tenaga sinkang, bagaimana rnungkin Tho-Te-Kong akan mampu menandingi mereka? Maka, tanpa dikomando, lima orang itu sudah memasang kuda-kuda dan diam-diam mengumpulkan dan mengerahkan sinkang mereka ke arah kedua telapak tangan. Melihat Lima orang itu telah siap. Tho-Te-Kong tersenyum dan dia berseru, “Kalian berlima boleh mendorong daun itu agar terbang membalik ke arahku” Dia lalu melontarkan daun hijau itu, ke atas kemudian diapun menyusul dengan kedua gerakan tangannya yang mendorong ke arah daun yang melayang turun itu. Pada saat itu
655
juga, lima orang itu sudah mendorongkan kedua telapak tangan masing-masing kearah daun. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah daun itu. Akan tetapi daun itu tidak bergerak karena dari arah berlawanan daun itupun didorong oleh sinkang (tenaga sakti) Tho-Te-Kong. Daun berhenti bergerak di tengah udara terjepit antara dua tenaga dahsyat yang berlawanan. Terjadilah adu tenaga yang seru. Bagi orang yang yang tidak mengerti, kalau melihat peristiwa ini tentu akan menjadi bengong terlongong dengan heran. Lima orang itu berdiri dengan memasang kuda-kuda dan kedua tangan mereka terjulur ke depan,telapak tangan menghadap ke depan ke arah sehelai daun yang diam tak bergerak di udara, dan dari arah yang berlawanan seorang kakek tua juga berdiri dengan kedua kaki di tekuk dan diapun menjulurkan kedua telapak tangan ke arah daun. Daun itu sendiri bergerak-gerak perlahan, kadang kearah kakek itu, dan kadang membalik kearah lima orang itu. Daun itu seperti didorong oleh tenaga yang tidak tampak, mundur maju. Thaikam Liu Cin dan Cui-Beng Kui-Bo menonton adu tenaga ini dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa tenaga lima orang yang disatukan itu amat hebat. Akan tetapi agaknya mereka tidak mampu mendorong daun itu ke arah Tho-Te-Kong. Maju mundurnya daun itu menunjukkan
656
bahwa tenaga mereka berlima itu tidak mampu mengalahkan tenaga sakti Tho-Te-Kong atau paling hebat hanya mampu mengimbanginya Perlahan-lahan dari ubun-ubun kepala lima orang itu mengepul uap, menunjukkan bahwa mereka berlima telah mengerahkan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi Tho-Te-Kong masih tersenyum dan keadaannya masih tegar seolah dia tidak mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Kedua telapak tangan Ouw Yang Lee tampak merah sekali karena dia telah menggunakan tenaga Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah), Kedua telapak tangan Song Bu lebih aneh lagi, kadang berwarna merah, kadang putih seperti kapur dan kadang hitam seperti arang! Hal ini karena dia menggunakan Ang-Tok-Ciang, Pek-Tok-Ciang (Tangan Racun Putih) dan Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam) yang dipelajarinya dari Ouw Yang Lee, Pek Moko dan Hek Moko secara bergantian. Kedua tangan Pek Moko tentu saja berwarna putih seperti kapur dan kedua tangan Hek Moko berwarna hitam seperti arang. Kedua telapak tangan Im Yang Tojin berwarna biasa saja, akan tetapi tangan kanannya mengandung hawa panas dan tangan kirinya mengandung hawa dingin. Dia telah mengerahkan tenaga dari Im-Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti Im Yang). Karena itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan lima orang itu. Tenaga sakti yang mendorong dari telapak tangan mereka
657
mengandung hawa panas, dingin dan beracun! Akan tetapi ternyata Tho-Te-Kong dapat menahan mereka berlima dengan sinkangnya yang amat kuat. Bahkan dia masih tersenyum dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara mendesis, perutnya yang kecil itu tampak bergerak-gerak keluar masuk dan kedua lengannya tergetar. Liu Taijin yang menonton dengan penuh perhatian melihat betapa daun itu kini mengepulkan asap seperti terbakar dan perlahan-lahan daun itu hancur menjadi abu, sehingga kini dua tenaga dari kedua fihak itu langsung bertemu tidak melalui apa-apa lagi. Dan akibatnya, lima orang itu terdorong mundur sampai beberapa langkah. Tho-Te-Kong masih berdiri seperti tadi, sama sekali tidak bergeser dari pasangan kuda-kudanya. Lima orang itu terkejut, maklum bahwa mereka telah kalah dan mereka lalu berlompatan ke samping melepaskan diri dari adu tenaga singkang itu. Tho-Te-Kong juga menyimpan tenaga kembali dan tertawa sambil menuju ke meja di mana Liu Taijin duduk. “Taijin sudah melihat dan puas dengan hasil ujian tenaga saya?” katanya. Liu Taijin mengangguk-angguk. “Bagus, engkau memang pantas menjadi pembantu utama kami, Lo-Cianpwe Tho-Te-Kong. Mari kita duduk berbincang-bincang
658
kembali.” Dia memberi isarat agar mereka mengatur meja kursi di tengah ruangan seperti tadi dan mereka lalu duduk mengelilingi meja. Liu Taijin bertepuk tangan tiga kali dan seorang pengawal yang tadinya berjaga di luar segera masuk. “Perintahkan para pelayan di dapur untuk mengeluarkan hidangan yang lengkap. Cepat!” Pengawal memberi hormat dan berlari keluar. Tak lama kemudian para pelayan wanita berdatangan membawa hidangan yang masih mengepul dan mereka lalu makan-minum dengan gembira sebagai sambutan selamat datang kepada Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo, Mereka membicarakan urusan Im Yang Kauw yang hendak mereka serbu dan akhirnya Liu Taijin berkata kepada mereka semua. “Sekarang, kami minta kalian bertujuh untuk menanti sampai kami menghadap Sri Baginda Kaisar dan melaporkan tentang Im Yang Kauw yang berniat memberontak! Kalau Sri Baginda sudah mengijinkan, kami akan mengerahkan dua ratus orang prajurit dengan para perwiranya dan kalian bertujuh membantu pasukan untuk membasmi lm Yang Kauw.” Tujuh orang itu menyanggupi dan mereka lalu bubaran. Untuk dua orang pembantu utama itu disediakan masing-masing sebuah kamar seperti para pembantu lainnya.
659
===================================================================================== Kesempatan yang ditunggu-tunggu dengan hati tak sabar oleh Song Bu tiba. Mereka berdua keluar dari ruangan tamu dan kini mereka berjalan berdampingan menuju kamar masing-masing yang bersebelahan. “Ayah, saya hendak bicara dengan Ayah.” Mendengar nada suara serius dalam kata-kata putera angkatnya, Ouw Yang Lee menoleh kepada Song Bu. “Hemm, hendak bicara apakah? Mari masuk ke kamarku.” Mereka berdua memasuki kamar dan setelah menutupkan daun pintu kamar itu, langsung saja Song Bu berkata, “Ayah, saya baru saja mendengar tentang kejadian di Nam-Po. Berita yang kudengar bahwa Ayah telah membunuh Cia-Ma dan mengejar-ngejar adik Ouw Yang Hui. Apakah Ayah juga membunuh Hui-moi pula?” Dengan muka cemberut Ouw Yang Lee berkata, “Sayang sekali aku tidak berhasil membunuh gadis pelacur yang sudah mencemarkan nama dan kehormatanku! Perempuan hina itu berhasil melarikan diri.” Dia tidak ingin menceritakan bahwa dia
660
telah kalah bertanding melawan seorang pemuda yang melindungi Ouw Yang Hui. Dia masih penasaran dan malu akan kekalahan itu. Dalam hatinya, Song Bu merasa lega dan senang mendengar bahwa Ayah angkatnya tidak berhasil membunuh Ouw Yang Hui yang telah berhasil melarikan diri. “Ayah telah bertindak keliru, kalau Ayah membenci dan hendak membunuh Hui-Moi.” Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang wajah pemuda itu dengan mencorong marah. “Apa? Kau salahkan aku yang hendak membunuh anak durhaka yang telah menjadi pelacur hina ituz.? la telah mencoreng mukaku sebagai Ayahnya dan mencemarkan namaku!” “Ayah memang salah, sama sekali salah. Hui-moi sama sekali bukan pelacur, ia seorang gadis yang baik, bijaksana dan terhormat...! “Lancang kau menyalahkan aku! la telah menjadi anak seorang mucikari, bukankah itu berarti bahwa ia menjadi seorang pelacur hina?” “Ayah keliru, salah sangka. Ia memang benar diambil anak oleh Cia-Ma, seorang mucikari. Hui-moi dahulu dijual oleh penculiknya
661
kepada Cia-Ma dan bukan kesalahannya kalau ia menjadi anak angkat seorang mucikari. Akan tetapi Cia-Ma mencintanya dan tidak ingin ia menjadi seorang pelacur. Cia-Ma bahkan mengundang guru-guru untuk mendidiknya menjadi seorang terpelajar dan halus budi. Tahukah Ayah bahwa Hu-moi terkenal di Nam-Po bahkan sampai di kotaraja sebagai seorang gadis penjelmaan dewi Kwan Im Pouwsat yang menolak selaksa tail perak untuk melayani seorang pria? la dipuji dan disanjung sebagai seorang gadis yang terhormat, cantik dan pandai.” “Aku tidak perduli. Tetap saja ia tinggal dirumah pelacuran, rumah kotor dan...! “Dengar dulu, Ayah. Tahukah Ayah bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menyamar dan mengunjungi rumah Cia-Ma, khusus untuk mendengarkan Hui-moi bermain musik dan bernyanyi? Bahkan terhadap Kaisar sendiri ia bersikap sopan dan hormat! dan tahukah Ayah bagaimana sikap Sri Baginda Kaisar terhadapnya? Sri Baginda juga kagum dan hormat kepada Hui-moi, bahkan menganugerahkan Hui-moi dengan janji akan memenuhi semua permintaan Hui-Moi.” Ouw Yang Lee terbelalak. “Sri Baginda Kaisar... Berkunjung kepadanya...?”
662
“Benar, Ayah. Karena saya sendiri yang mengawal Sri Baginda Kaisar ketika beliau berkunjung itu. Dan tahukah Ayah apa yang diminta oleh Hui-moi ketika Sri Baginda menjanjikan akan memenuhi segala permintaannya? la hanya minta agar Sri Baginda Kaisar menindak tegas dan menghukum para pejabat yang korup dan sewenang-wenang! Dan Ayah menuduh seorang gadis bijaksana seperti itu sebagai seorang pelacur?” Ouw Yang Lee benar-benar tertegun. Sampai lama dia tidak mampu bicara, masih takjub membayangkan betapa Kaisar sendiri berkunjung kepada Ouw Yang Hui dan menjanjikan akan memenuhi semua permintaan gadis itu. Kalau saja Ouw Yang Hui minta menjadi selir, tentu berarti dia akan menjadi mertua Kaisar! “Dan apakah Ayah tidak dapat membayangkan betapa marahnya Sri Baginda Kaisar kalau mendengar bahwa Ayah hendak membunuh gadis yang dikagumi beliau itu. Untung bahwa Ayah belum membunuhnya. Kalau Hui-moi sampai terbunuh Ayah dan Sri Baginda Kaisar mendengarnya, kemanakah Ayah hendak melarikan diri?” Ouw Yang Lee menjadi pucat mendengar ucapan ini. Dapat dia membayangkan kalau dia menjadi seorang pelarian, seorang buruan yang dikejar-kejar kemarahan Kaisar! “Ah, Song Bu! Kenapa baru sekarang kau ceritakan hal ini kepadaku?”
663
“Karena Ayah tidak mau mendengarkan. Baru saja saya menceritakan bahwa adik Ouw Yang Hui menjadi anak angkat Cia-Ma dan tinggal di sana, Ayah sudah marah-marah dan pergi mencarinya.” “Untung aku belum membunuhnya! Ah, akan tetapi ke mana larinya anak itu? Ketika aku mengejarnya, Ia... Ia dilarikan seorang pemuda yang lihai. Song Bu, engkau harus mencarinya sampai dapat! la dapat membantu kita untuk dimintakan kedudukan kepada Sri Baginda Kaisar! Cepat, Song Bu, carilah ia sampai dapat.” “Baik, Ayah. Akan tetapi bagaimana dengan penyerbuan ke Im Yang Kauw? Liu Taijin tentu akan mencari saya.” “Engkau tidak usah ikut. Dengan adanya Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo, kami sudah cukup kuat untuk membasmi Im Yang Kauw. Biar aku yang melapor dan minta ijin untukmu dan kukatakan bahwa engkau harus cepat pulang ke Pulau Naga untuk keperluan keluarga yang amat mendesak.” Song Bu memang merasa tidak senang untuk ikut menyerbu dan membasmi Im Yang Kauw bersama para jagoan itu, Dia menganggap Im Yang Tojin bertindak khianat terhadap
664
perkumpulannya sendiri. pengkhianatan dianggapnya sebagai tindakan pengecut dan diam-diam Song Bu sudah tidak suka. Apa lagi dengan munculnya orang orang seperti Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo yang sombong dan juga dia membenci Nenek yang genit itu. Maka, tugas mencari Ouw Yang Hui diterimanya dengan gembira sekali. Diapun mengkhawatirkan gadis itu, gadis yang menjadi sumoinya bahkan menjadi adik angkatnya, gadis yang menggetarkan jantungnya karena kecantikannya yang luar biasa dan kebijaksanaannya yang mengagumkan. Dia harus mencari dan menemukan Ouw Yang Hui dalam keadaan selamat dan kini diapun mendapat kesempatan untuk mencari Tok-Gan-Houw Lo Cit yang nenjadi dalang atas penculikan terhadap Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui bersama kedua orang ibu mereka. itu, mendengar perintah Ayah angkatnya untuk mencari Ouw Yang Hui, dia merasa girang sekali. “Kalau begitu, baiklah, Ayah. Saya berangkat malam ini juga,” katanya. Setelah berkata demikian, Song Bu lalu memasuki kamarnya dan berkemas. Dia membawa beberapa stel pakaian, membawa bekal uang yang banyak dia dapatkan sebagai gaji dan juga dari para pemuda bangsawan yang suka memberi hadiah kepadanya dan tidak lupa membawa pedang pemberian guru yang kini menjadi Ayah angkatnya, yaitu Toat-Beng Tok-Kiam. Setelah
665
berpamit dari Ayah angkatnya, berangkatlah Song Bu malam itu juga. Karena semua prajurit yang menjaga istana Thaikam Lui Cin súdah mengenalnya, maka dengan leluasa dia keluar dari istana, terus berjalan keluar dari kota raja menuju ke Nam-Po karena dia hendak menyelidiki dan mencari jejak Ouw Yang Hui dari kota itu. Thaikam Lui Cin dapat menerima alasan yang dikemukakan Ouw Yang Lee tentang tidak hadirnya Ouw Yang Song Bu. Ouw Yang Lee mengatakan bahwa ada keperluan keluarga yang amat mendesak dan penting sehingga dia mengutus puteranya untuk pulang dulu ke Pulau Naga. Liu Taijin tidak merasa kehilangan karena bukankah di situ sudah ada Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo yang amat lihai? Dengan mereka berdua ditambah Im Yang Tojin, Hek Pek Moko dan Ouw Yang Lee, semua berjumlah enam orang jagoan yang memimpin dua ratus prajurit, Liu Taijin merasa yakin bahwa Im Yang Kauw yang menentangnya akan dapat dibasmi dengan mudah. Setelah Kaisar mendengar laporan Thaikam Liu Cin tentang Im Yang Kauw di Kim-San yang hendak memberontak, tentu saja Kaisar mengijinkan Thaikam Liu Cin mengirim pasukan untuk menumpasnya, Lima hari kemudian Thaikam Liu Cin mengutus kepala pasukan pengawalnya, Giam Tit, untuk memimpin dua
666
ratus orang prajurit dan disertai enam orang jagoannya, pasukan itupun berangkat menuju ke Kim-San dengan menunggang kuda. Im Yang Kauw adalah sebuah perkumpulan agama yang merupakan pecahan dari agama To-Kauw. Im Yang Kauw mendasari ajarannya dengan keyakinan akan kekuasaan Im dan Yang (Positive dan Negative). kedua unsur Im dan Yang inilah yang memegang peran penting dalam segala hal yang ada didunia ini. Dua unsur yang berlawanan satu sama lain, akan tetapi Yang Maha Pencipta menciptakan segala sesuatu melalu bertemunya kedua unsur Im dan Yang, Wanita dan pria, gelap dan terang, bumi dan langit, buruk dan baik, pendeknya unsur Im dan Yang inilah, biarpun sifatnya berlawanan namun keduanya ini yang menggerakkan dunia dan kehidupan. Ada yang satu harus ada yang lain karena kalau yang satu tidak ada, maka yang lainpun tidak ada. Bahkan dalam diri manusia dialiri kedua unsur Im dan Yang ini, Kalau kedua unsur Im dan yang ini berimbang, maka manusianya akan sehat, sebaliknya kalau tidak berimbang maka kesehatannya akan terganggu dan muncullah penyakit. Mana mungkin ada siang kalau tidak ada malam? Mana bisa ada baik kalau tidak ada buruk dan tidaklah mungkin ada senang kalau tidak ada susah, demikianlah jalan perputaran Im dan Yang.
667
Seperti semua perkumpulan agama pada waktu itu, Im Yang Kauw juga melatih para muridnya dengan ilmu bela diri. Ilmu silat dipelajari bukan hanya untuk menjaga kesehatan, melainkan juga untuk memperkuat kedudukan mereka, untuk menjaga diri, dan dihubungkan pula dengan kesehatan batin. Yang menjadi ketua Im Yang Kauw pada waktu itu adalah seorang pria berusia enam puluh tahun yang berjuluk Im Yang Siansu Dia adalah seorang tokoh Im Yang Kauw yang memilikí ilmu kepandaian silat tinggi sekali, Orangnya sederhana, bertubuh sedang dan memelihara jenggot panjang sampai ke lehernya, Jubah pendetanya juga sederhana saja, dergan gambar bulatan Im Yang di dadanya, Ketua ini masih terhitung Suheng dari Im Yang Tojin yang kini menjadi seorang di antara pembantu-pembantu Thaikam Lui Cin, Im Yang Tojin sudah lima tahun diusir dari Im Yang Kauw karena dia dianggap berdosa melanggar pantangan berat dari Im Yang Kauw, yaitu dia berlaku jina melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di bawah gunung. Ketika hal ini diketahui, maka Im Yang Siansu lalu mengusirnya. Im Yang Tojin merasa malu sekali dan dia pun pergi ke kota raja. Biarpun dia telah melakukan penyelewengan berjina dengan isteri orang, namun día masih membawa sikap yang diambil oleh Im Yang Kauw, yaitu membela Kaisar dan menentang para pejabat korup dan lalim.
668
Karena itu dia menghambakan diri kepada Koan-Ciangkun, seorang panglima yang setia kepada Kaisar dan yang menentang Thaikam Liu Cin. Akan tetapi, ketika Koan-Ciangkun terbunuh olel Ouw Yang Lee, Im Yang Tojin dapat terbujuk oleh Liu Taijin dan akhirnya menjadi pembantu Thaikam yang besar kekuasaannya itu, Setelah melihat kekuasaan Thaikam itu kemudian, timbulah niat di hati Im Yang Tojin untuk membalas dendam kepada Im Yang Kauw yang telah mengusirnya. Maka dia membuka rahasia Im Yang Kauw yang menentang Thaikam Liu Cin sehingga Thaikam itu minta ijin Kaisar untuk mengirim pasukan ke Kim-San dan membasmi Im Yang Kauw. Pada waktu itu, Im Yang Kauw mempunyai tiga belas orang tokoh, Sebagai Toa-Suheng (kakak seperguruan tertua) adalah Im Yang Siansu yang kini menjabat kedudukan ketua. Sesudah Im Yang Siansu, lalu Thian Im Cu sehugai orang nomor dua dan Thian Tang Cu sebagai orang nomor tiga. Im Yang Tojin adalah murid urutan ke empat dan selebihnya, yang sembilan orang lagi, adalah para Tosu yang berada di bawahnya atau para Sutenya (adik seperguruan). Dengan kepergian Im Yang Tojin yang terusir dari situ, kini di Im Yang Kauw tinggal dua belas orang Tosu yang merupakan pimpinan. Selain dua belas orang Tosu pimpinan ini, terdapat
669
kurang lebih seratus sepuluh orang murid Im Yang Kauw yang tinggal di pusat Im Yang Kauw, yang berdiri di lereng Kim-San (Gunung Emas) itu. Pusat mereka itu merupakan sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok dan dalam perkampungan terdapat puluhan buah bangunan yang menjadi tempat tinggal para murid yang kesemuanya adalah pria. murid tidak diharuskan menjadi Tosu dan berpakaian biasa walaupun mereka semua tentu saja mempelajari ajaran agama lm Yang. Usia para murid itu dari dua puluh tahun sampai empat puluh tahun, Mereka bertani, akan tetapi yang menjadi penghasilan pokok mereka untuk memmenuhi kebutuhan hidup mereka adalah menggali biji emas yang terdapat di Kim-San. Walaupun tidak amat banyak, namun mereka dapat menemukan biji emas dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Pada suatu hari di satu siang Im Yang Siansu berunding dengan sebelas orang Sutenya. Ketua Im Yang Kauw ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, tampak sederhana namun berwibawa dan wajahnya tampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Disebelah kanannya duduk Thian Im Cu yang berusia lima puluh enam tahun dan di sebeiah kirinya duduk Thian Yang Cu yang berusia lima puluh tiga tahun. Adapun sembilan orang Sute lainnya yang lebih muda duduk berhadapan dengan
670
tiga orang ini Mereka membicarakan tentang berita yang mereka dengar dari kota raja bahwa Panglima Koan Tek yang setia kepada Kaisar itu telah terbunuh tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuhnya. Juga bahwa Pangeran Ceng Sin, sekeluarganya lolos dari kota raja dan entah ke mana tidak ada orang mengetahuinya, Para pimpinan Im Yang Kauw ini tahu bahwa Pangeran Ceng Sin adalah seorang pangeran muda yang menentang Thaikam Liu Cin. Juga mereka mendengar tentang tewasnya Panglima Kwee Liang sekeluarga yang dibantai penjahat ketika mereka melarikan diri dengan perahu untuk menghindarkan diri dari kekejaman Thaikam Liu Cin yang memang berrmusuhan dengan Kwee-Ciangkun. Dari seorang anak buah perahu yang berhasil berenang menyelamatkan diri, berita tentang terbunuhnya Panglima Kwee sekeluarga ini tersiar luas, Akan tetapi anak buah perahu itu tidak mengenal siapa dua orang pembunuh yang kejam itu. “Suasana di kota raja semakin kacau. para pembesar dan bangsawan yang setia kepada Kaisar dan memusuhi Thaikam Liu Cin. satu demi satu menjadi korban pembunuhan. Kita tidak dapat mendiamkan Thaikam yang jahat itu merajalela. Kerajaan akan menjadi lemah, para pejabat yang korup dan lalim akan semakin berkuasa dan rakyat yang akan menderita sebagai akibatnya, kata
671
Thian Im Cu yang terkenal berwatak keras. Tenang dan sabarlah, Suheng,” kata Thian Yang Cu yang lebih sabar. “Apakah yang dapat kita lakukan terhadap mereka? Thaikam Liu Cin memiliki kekuasaan besar sekali, bahkan seolah kemudi pemerintahan berada di tangannya. Para pejabat yang menjadi kaki tangan juga memiliki kedudukan tinggi. Kalau kita bergerak menentang mereka, mungkin saja kita difitnah dan dianggap akan memberontak terhadap Kerajaan.” “Habis, apakah kita harus tinggal diam saja melihat rakyat jelata menjadi korban dan uang negara dihambur-hamburkan mereka yang memegang kekuasaan?” bantah Thian Im Cu. “Sute Thian Yang Cu, kesabaran ada batasnya. Rakyat jelata yang lemah sekalipun kalau terlalu ditekan terus sekali waktu tentu akan bangkit melawan” “Sian-cai....! Harap kalian tidak bertengkar. Sute Thian Im Cu benar bahwa kita tidak harus tinggal diam melihat para Kan-Sin (Menteri Pengkhianat) merajalela. Memang kita harus membantu para Tiong-Sin (Menteri Setia) dan menentang para pejabat yang korup dan sewenang-wenang, tetapi Sute Thian Yang Cu juga benar bahwa kita harus berhati-hati karena kekuasaan para pengkhianat
672
itu besar sekali dan bisa saja kita akan dianggap pemberontak sehingga harus berhadapan dengan pasukan Kerajaan.” “Habis, kita harus berbuat bagaimana Toa-Suheng?” tanya dua orang Tosu itu berbareng dan semua orang memandang kepada ketua mereka. “Sebaiknya kita harus bertindak, akan tetapi secara rahasia. Kita secara berpencar datang ke kota raja dan kita menghambakan diri kepada para pembesar yang setia kepada Kaisar dan kita membantu gerakan mereka yang membela Kaisar dan menentang para pejabat yang menjadi kaki tangan Thaikam Liu Cin. Dengan cara demikian kita dapat melemahkan kekuasaan Thaikam itu dan berusaha menyadarkan Kaisar akan bahaya besar yang mengancam Kerajaan kalau Kaisar percaya dan menyerahkan segala urusan kepada Thaikam Liu Cin.” Pada saat itu, tiba-tiba tiga orang murid Im Yang Kauw berserabutan masuk. Wajah mereka pucat dan mata mereka terbelalak. “Hemm, apa yang terjadi? Kalian tampak begitu ketakutan” tegur Im Yang Siansu kepada tiga orang murid itu. “Ampunkan kami, Toa-Suhu (Guru Tertua),” kata seorang di antara mereka. kami hendak melapor bahwa ada sepasukan Kerajaan
673
yang datang ke arah perkampungan kita.” Dua belas orang Tosu itu bangkit berdiri dengan terkejut. “Di mana mereka sekarang dan berapa banyak jumlah mereka?” tanya Im Yang Siansu dengan suara masih tenang. “Mereka sudah tampak berada di lereng pertama dan jumlah mereka sedikitnya ada dua ratus orang. Kebetulan kami tadi berada di sana dan melihat kemunculan mereka, maka kami segera datang memberi kabar.” “Mari kita lihat” kata Im Yang Siansu dan mereka semua keluar dari ruangan itu dan langsung keluar untuk melihat dari sebuah tempat terbuka. sehingga mereka dapat memandang jauh ke bawah sampai ke kaki bukit. Dan benar saja. Mereka melihat serombongan pasukan berkuda sedang mendaki lereng pertama dan karena jalan mendaki itu tidak menuju ke lain tempat penting kecuali ke perpungan Im Yang Kauw, maka mudah diduga bahwa pasukan itu tentu sedang menuju ke perkampungan mereka. Im Yang Siansu menoleh kepada Thian Im Cu dan, berkata, “Sute (adik seperguruan), engkaù siapkanlah semua murid untuk berkumpul di pintu gerbang perkampungan, akan tetapi pesan agar jangan mereka lancang bergerak sebelum ada perintah dariku.”
674
“Baik, Suheng,” kata Thian Im Cu yang segera berlari memasuki perkampungan. “Dan engkau, Ji-Sute (adik seperguruan ke dua). Engkau persiapkan para Sute ini untuk sewaktu-waktu membentuk Im Yang Ngo Kiam-Tin dan menghadapi segala kemungkinan,” kata ketua itu kepada Thian Yang Cu. “Baik, Suheng.” Thian Yang Cu berkata dan diapun memberi isyarat kepada sembilan orang Sutenya dan mereka semua memasuki perkampungan untuk membuat persiapan. Im Yang Siansu sendiri juga masuk perkampungan untuk mengambil senjata pedangnya. Ketua Im Yang Kauw ini jarang membawa pedang, akan tetapi dalam keadaan darurat itu dia harus berjaga-jaga, maka ketika dia keluar kembali, sebatang pedang telah tergantung di punggungnya dan pinggangnyapun memakai tali pengikat pinggang. Para tokoh lain juga sudah mengadakan persiapan sehingga ketika pasukan Kerajaan yang berkuda itu tiba di depan pintu perkampungan, semua anggauta Im Yang Kauw yang berjumlah seratus orang lebih itu telah berkumpul di situ. Dua belas orang Tosu pimpinan Im Yang Kauw berdiri di luar pintu gerbang dengan sikap tenang dan waspada.
675
Im Yang Siansu mengerutkan alisnya dan memandang ke arah Im Yang Tojin yang tampak di antara enam orang berpakaian preman yang berada di samping perwira yang memimpin pasukan itu. Im Yang Tojin memandang kepada para pimpinan Im Yang Kauw itu dengan sikap tak acuh dan mulutnya bahkan tersenyum mengejek Im Yang Siansu tidak mengenal teman-teman Im Yang Tojin yang berpakaian preman, maka dia lalu menghadapi Giam Tit Ciangkun (Perwira Giam) yang sudah turun dari atas kudanya, diturut oleh semua jagoan yang menyertainya. Para perwira pembantu juga sudah memberi aba-aba dan para prajurit berloncatan turun darı atas kuda mereka dan sibuklah mereka menambatkan kuda mereka di batang batang pohon yang berada di depan perkampungan. Im Yang Siansu mengangkat kedua tangan di depan dada, dengan, sikap tenang dan hormat diapun berkata, “Ciangkun, Pinto adalah Im Yang Siansu, ketua Im Yang Kauw. Kalau boleh Pinto bertanya, apakah maksud kunjungan Ciangkun yang membawa pasukan Kerajaan ke tempat kami ini?” Giam-Ciangkun yang sudah mendapat pesan khusus dari Thaikam Liu Cin berkata dengan suara lantang. “Im Yang Siansu, aku adalah Panglima Giam Tit yang mendapat tugas dari atasan kami untuk menangkap kalian semua anggauta Im Yang Kauw, Karena itu, menyerahlah kalian dari pada kami
676
harus mempergunakan kekerasan untuk membasmi kalian!” Im Yang Siansu mengerutkan alisnya dan dengan tegas dia menjawab, “Giam-Ciangkun, siapa yang berkata bahwa kami harus ditangkap? Apa alasan dan sebabnya? Apa kesalahan kami?” “Hemm, Im Yang Siansu, masihkah engkau menanyakan hal itu? Kami diutus menangkap kalian semua karena kalian telah memberontak terhadap Kerajaan! Sri Baginda Kaisar sendiri yang mengutus kami!” “Tidak mungkin! Kami tidak pernah memberontak terhadap Kerajaan. Kalau benar Sri Baginda Kaisar yang mengutusmu, perlihatkan surat perintah dan surat kekuasaan yang diberikan kepada Sri Baginda Kaisar kepadamu!” “Perintah Sri Baginda Kaisar diberikan melalui Yang Mulia Liu Taijin. Inilah surat perintah dari Liu Taijin!” Giam Tit mengeluarkan segulung surat perintah, lalu membacanya dengan suara lantang. “Dengan ini kami, Kepala Urusan Istana Thaikam Liu Cin, atas nama Sri Baginda Kaisar, memerintahkan Panglima Giam Tit untuk melakukan penangkapan atau pembasmian terhadap anggauta Im
677
Yang Kauw yang berada di Kim-San dengan tuduhan bahwa perkumpulan itu bermaksud memberontak terhadap Kerajaan.” Tertanda: Thaikam Liu Cin. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri Im Yang Siansu. Maka kami anjurkan engkau dan semua anggauta Im Yang Kauw menakluk dan menyerah saja dari pada dibasmi habis.” “Tidak! Kami hanya tunduk kepada Sri Baginda Kaisar, tidak kepada Thaikam Liu Cin! Kami sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, akan tetapi kami menentang semua pembesar yang lalim dan korup. Apa buktinya kalau kami memberontak terhadap Kerajaan?” Tiba-tiba Tho-Te-Kong melangkah maju menghadapi ketua Im Yang Kauw. “Im Yang Siansu, semua orang di seluruh negeri tahu siapa Liu Taijin! Beliau adalah orang ke dua setelah Kaisar di istana dan menentang beliau sama saja dengan menentang Kaisar, Kalau engkau dan para pimpinan Im Yang Kauw hendak melawan mengandalkan ilmu kepandaian silat, kami berenam sudah mendapat tugas untuk menandingi kalian! Nah, apakah engkau nekat hendak melawan?”
678
“Kami tidak akan bermusuhan dengan siapapun, akan tetapi kami menolak untuk menyerah dan ditawan. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, tentu saja kami akan membela diri!” kata Im Yang Sian su sambil memandang tajam kakek tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu. “Ha-ha-ha, Im Yang Siansu, agaknya engkau hendak mengandalkan Im Yang Ngo Kiam-Tin yang kalian agulkan dan banggakan itu! Ha-ha, barisan pedang kalian itu tidak ada artinya bagi aku dan lima orang temanku ini!” “Hemm, jadi kalian ini jagoan-jagoan yang dikirim oleh Thaikam Liu Cin untuk membasmi kami? Sobat, siapakah kalian? Kami hanya mengenal seorang di antara kalian berenam, yaitu pengikhianat yang telah kami usir dari Im Yang Kauw itu!” Im Yang Siansu menuding ke arah Im Yang Tojin yang memandang dengan mata melotot kepada bekas Toa-Suhengnya. “Kalian ingin tahu siapa kami? Nah, buka telinga kalian baik-baik! Aku dikenal sebagai Tho-Te-Kong.” Kakek itu tersenyum lebar ketika melihat wajah-wajah yang tampak kaget dari para Tosu di depannya.
679
“Dan kalian tahu siapa Nenek ini? la adalah Cui-Beng Kui-Bo! Yang tinggi besar ini adalah Tung-Hai-Tok, majikan Pulau Naga dan dan orang yang pakaian dan mukanya berwarna hitam dan putih itu adalah Hek Pek Moko.” Im Yang Siansu dan para Sutenya benar benar terkejut karena nama-nama yang disebut kakek itu merupakan nama-nama yang sudah amat terkenal di dunia kangouw. Akan tetapi Im Yang Siansu dapat menenangkan hatinya. “Hemm, kiranya cuwi berlima adalah orang-orang yang terkenal di dunia kangouw dan sungguh mengherankan mendengar bahwa orang-orang berilmu tinggi seperti cuwi sekalian ini mau menghambakan diri pada seorang pejabat lalim seperti Thaikam Liu Cin. Kami tetap pada pendirian kami... Kami tidak merasa bersalah dan kalau kami hendak ditangkap, kami akan melawan.” “Bagus! Agaknya engkau hendak mengandalkan Im Yang Ngo Kiam-Tin itu! Keluarkanlah barisan itu, aku yang akan menghancurkannyal” kata Tho-Te-Kong sambil mengacungkan tongkat bambunya. Memang sesungguhnyalah bahwa Im Yang Siansu mengandalkan barisan lima pedang itu. Selama beberapa tahun akhir-akhir ini dia bahkan menurunkan ilmu barisan pedang ini kepada semua murid
680
sehingga ratusan orang lebih murid Im Yang Kauw itu kini mampu membentuk barisan-barisan terdiri dari lima orang berpedang! Sehingga semua barisan yang ada berjumlah dua puluh barisan lebih. Dan setiap barisan lima pedang ini memang lihai bukan main, sanggup menghadapi pengeroyokan lawan yang lebih besar jumlahnya. Akan tetapi tentu saja kelihaian para murid itu tidak menang jika dibandingkan dengan dua barisan Im Yang Ngo Kiam-Tin yang dipimpin oleh Thian Im su dan Thian Yang Cu. Mendengar tantangan Tho-Te-Kong itu, Im Yang Siansu memberi isyarat kepada Thian Im Cu dan orang ke dua dari Im Yang Kauw ini lalu melompat ke depan diiringi empat orang Sutenya. Mereka berlima mencabut pedang masing-masing dan berjajar menjadi sebuah barisan yang yang bersikap gagah sekali. Kaki kiri berlutut, tangan kiri menuding ke bawah dan dua jari telunjuk dan jari tengah menyentuh bumi, sedangkan pedang di tangan kanan diangkat tinggi ke atas kepala dan menunjuk ke langit. Inilah jurus pembukaan dari ilmu pedang Im-Yang Sin-Kiam (Pedang Sakti Im Yang)! Dan barisan pedang ini merupakan yang pertama dan yang terkuat di perkumpulan itu, yang dipimpin oleh Thian Im Cu. Tho-Te-Kong memandang barisan itu dan tertawa. “Ha-ha-ha, apa sih anehnya barisan lima pedang macam ini? Tidak ada artinya bagiku!” Dia melangkah maju menghampiri. Akan tetapi
681
baru selangkah dia maju, Cui-Beng Kui-Bo sudah berseru sambil terkekeh genit. “Heh-heh-heh, tunggu dulu, Tho-Te-Kong! Sudah lama aku mendengar tentang kehebatan Im Yang Ngo Kiam-Tin dan aku ingin sekali mencobanya! Biarlah yang ini kau berikan kepadaku!” Nenek itu dengan gerakan yang amat ringan melayang dan berhadapan dengan barisan lima pedang itu. Thian Im Cu yang memimpin Im Yang Ngo Kiam-Tin itu terkejut sekali menyaksikan tubuh Nenek itu yang melayang seperti dapat terbang saja. Maklumlah dia bahwa Nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Setelah berdiri di depan lima orang itu, Cui-Beng Kui-Bo lalu menggerakkan kedua tangannya ke punggung dan tiba-tiba saja tampak dua sinar berkilat dan kedua tangannya sudah memegang pedang yang mengkilat. Thian Im Cu memberi isyarat dengan gerakan pedangnya dan barisan itu lalu membuat gerakan mengepung dari lima penjuru. Cui-Beng Kui-Bo tersenyum, berdiri diam tak bergerak, akan tetapi telinga dan matanya dengan waspada memperhatikan gerakan lima orang lawannya. “Langit Bumi” tiba-tiba Thian Im Cu berseru dan lima orang itu lalu membuat gerakan menyerang dengan berselang-seling. kalau
682
yang seorang menyerang ke bagian bawah tubuh lawan, maka orang dišebelahnya menyerang bagian atas sehingga tubuh mereka tampak naik turun seperti ombak bergerak. “Hemm....!” Cui-Beng Kui-Bo memutar kedua pedangnya sehingga tampak dua gulungan sinar menjadi perisai yang melindungi seluruh tubuhnya. Terdengar suara nyaring berdentingan ketika pedang-pedang dari barisan itu tertangkis oleh sepasang pedang Nenek itu. Im Yang Ngo Kiam-Tin itu memang hebat sekali. Mereka menyerang terus silih berganti dan sambung menyambung sehingga Nenek itu hanya sibuk menangkis dan tidak memperoleh kesempatan sedikitpun untuk membalas. Akan tetapi Thian Im Cu juga maklum bahwa serangan bergelombang ini ternyata tidak mampu menembus perisai yang dibentuk oleh dua gulungan sinar. itu, bahkan tangan mereka berlima terasa panas dan nyeri kalau pedang mereka bertemu dengan pedang Cui-Beng Kui-Bo. Setelah lewat belasan jurus penyerangan yang memakai nama Langit Bumi itu tidak mampu menembus pertahanan lawan, Thian im Cu lalu berseru lagi memberi aba-aba kepada teman-temannya. “Api Air!” Lima orang itu mengubah gerakan. Kalau yang satu berguling ke atas tanah dan menyerang kaki Nenek itu, yang
683
berada di sebelahnya melompat tinggi dan menyerang kepala Nenek itu dari atas. Terkejut juga Cui-Beng Kui-Bo mendapatkan penyerangan seperti itu. Akan tetapi iapun menggunakan ginkangnya yang hebat untuk berloncatan ke sana sini dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Dengan cara menggerakkan tubuh dengan cepat sekali, jauh lebih cepat dari gerakan para pengeroyoknya, Nenek itu dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Kembali belasan jurus terlewat tanpa ada pedang para pengeroyok yang mampu menyentuh tubuh Nenek itu. “Keras Lunak!” Kembali Thian Im Cu memberi aba-aba dan gerakan barisan itu berubah lagi. Kalau yang satu menyerang dengan pengerahan tenaga kasar, yang lain mengerahkan tenaga sakti yang lembut namun berbahaya sekali. “Kosong Berisi” Kembali ada aba aba dari Thian Im Cu dan kini kelima orang itu membantu serangan pedang dengan tangan kosong yang memukul dengan pukulan Im-Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti Im Yang). Pukulan tangan kosong ini merupakan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Tiba-tiba Cui-Beng Kui-Bo yang menjadi agak terdesak oleh perubahan.perubahan gerakan barisan lima pedang itu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya
684
berkelebat cepat sekali. Hanya tampak bayangannya yang berkelebatan disusul dua sinar pedangnya yang menyambar-nyambar. Lima orang pengeroyok itu seolah berhadapan dengan banyak orang menjadi terkejut sekali karena merasa bukan hanya seorang lawan. Mereka seperti bukan mengeroyok lagi, melainkan dikeroyok karena dimana-mana tampak bayangan Nenek itu yang menyerang dengan pedangnya. Ramai dan seru bukan main pertandingan itu sehingga mereka yang menontonnya menjadi kagum bukan main. Im Yang Siansu menonton dengan alis berkerut. Dia maklum bahwa Yang Ngo Kiam-Tin bertemu lawan yang luar biasa tangguhnya. Dari gerakan Nenek itu maklumlah dia bahwa Nenek itu akan sukar dikalahkan oleh Kiam-Tin (Barisan Pedang) yang dipimpin Sutenya Thian Im Cu. Kalau dia sendiri yang memimpin barisan pedang itu, barulah mungkin akan mengalahkan Nenek itu. Akan tetapi sebelum dia maju, baru melangkah, Tho-Te-Kong sudah menghampiri dan menghadangnya. Agaknýa kakek ini dapat membaca niat ketua Im Yang Kauw itu. Dia tertawa dan mengetukkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya ke atas tanah. “Im Yang Siansu, aku pernah mendengar bahwa engkaulah satu-satunya murid Im Yang Kauw yang sudah mewarisi semua ilmu
685
dari para pendiri Im Yang Kauw. Karena itu agaknya hanya aku yang pantas menjadi lawanmu. Nah, kalau engkau tidak mau menyérah dan hendak melawan, majulah. Akulah tandingmu!” Im Yang Siansu tentu saja tidak dapat mengelak lagi. Dia terpaksa harus mengeraskan hatinya dan membiarkan barisan pedang pertama dari Im Yang Kauw itu menghadapi Cui-Beng Kui-Bo dan dia mengalihkan perhatiannya kepada kakek didepannya. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Tho-Te-Kong adalah seorang yang memiliki kesaktian, namun dia tidak merasa gentar. Apa yang dikatakan Tho-Te-Kong tadi mermang ada benarnya. Di antara semua saudara seperguruannya, hanya dialah yang telah menguasai ilmu-ilmu dari Im Yang Kauw sehingga tingkatnya paling tinggi dibandingkan tingkat para saudara seperguruannya. Bahkan jauh lebih tinggi. Biarpun dia tidak berani memandang rendah kepada Tho-Te-Kong, namun setidaknya dia tidak merasa gentar. Dia melihat betapa calon lawannya itu sudah memegang sebatang tongkat bambu kuning yang dia duga tentu merupakan senjatanya dan dia tahu bahwa senjata yang tampaknya amat sederhana itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Bagi orang yang tingkat ilmu silatnya sudah tinggi, makin sederhana senjata yang dipergunakannya, berarti semakin tinggilah tingkat ilmunya. Maka diapun meraba
686
punggungnya dan melolos sebatang pedang. Pedang itu bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang sudah turun temurun dipegang oleh ketua Im Yang Kauw. Begitu tercabut, tampak sinar gemilang menyilaukan mata, sesuai dengan nama pedang itu, Jit-Kong-Kiam (Pedang Sinar Matahari)! “Po-Kiam (Pedang Pusaka) yang bagus!” Tho-Te-Kong memuji. “Akan tetapi tidak ada senjata yang terlalu bagus untuk tongkatku ini! Maju dan mulailah, Im Yang sansu. Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!” Karena dia merasa sebagai pihak yang desak dan diserbu, maka Im Yang Siansu tidak merasa sungkan lagi. Diapun menekuk kaki kirinya, menuding dengan dua jari menyentuh tanah sedangkan pedangnya diacungkan ke arah langit. Kemudian. perlahan-lahan tangan kirinya diangkat, jarinya menuding ke arah tubuh Tho-Te-Kong. Ketika tangan kiri itu digetarkan, penuh dengan tenaga sakti, ada hawa meluncur ke depan, kearah Tho-Te-Kong! Itulah serangan tenaga sakti yang amat dahsyat dan dengan hawa itu saja Im Yang Siansu mampu merobohkan lawan yang tidak sangat kuat! Namun lawannya adalah seorang datuk besar yang puluhan tahun lalu pernah malang melintang di dunia kangouw. Getaran pada tangan kiri lawan itu dapat dikenalnya dan diapun membuat gerakan
687
mengebut dengan tangan kanan setelah memindahkan tongkat ke tangan kirinya. Dengan kebutan tangan itu dia telah menangkis hawa yang menyambar ke arahnya itu. Im Yang Siansu bangkit berdiri dan berseru, “Sambut pedangku!” Dia menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Gerakannya tampak lambat saja, namun serangan itu mengandung tenaga yang dahsyat dan pedang itu mampu menembus sebuah perisai baja yang kuat Tho-Te-Kong tidak berani memandang ringan serangan ini. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh juga dan dia tahu bahwa memandang rendah berarti telah mengundang kelengahan dan bahaya. Maka, diapun menggerakkan kaki ke kiri sehingga tubuhnya miring dan tongkatnya menyambut pedang lawan dari samping untuk menangkisnya. “Tranggg...!” Pedang itu terpental ketika tertangkis dari samping. Im Yang Siansu merasa betapa tangannya yang memegang pedang terguncang. Maklumlah dia bahwa lawannya adalah seorang ahli sinkang yang amat kuat. Pedang yang terpental itu membuat gerakan berputar dan membalik, merupakan bacokan ke arah leher Tho-Te-Kong. Gerakan ini amat indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan. Namun kakek itu merendahkan diri
688
untuk mengelakkan serangan dan mengangkat tongkatnya ke atas. Kembali pedang itu tertangkis dan dengan putaran cepat ujung tongkat itu menotok ke arah ulu hati lm Yang Siansu. Ketua Im Yang Kauw ini miringkan tubuh mengelak. Ketika tongkat itu menyambur ke arah kakinya, diapun melompat ke atas dan dari atas pedangnya menyambar, membacok kepala lawan. Tho-Te-Kong juga dapat mengelak dengan loncatan kecil ke kanan. Demikianlah, kedua orang sakti ini sudah saling serang dengan dahsyatnya. Biarpun gerakan mereka tampak tidak secepat gerakan Cui-Beng Kui-Bo yang dikeroyok barisan lima pedang, namun baik gerakan tongkat bambu kuning maupun gerakan pedang di tangan Im Yang Siansu mengandung tenaga sinkang kuat sekali sehingga kedua senjata itu mengeluarkan bunyi bercuitan ketika menyambar. Beberapa kali Im Yang Siansu menggerak-gerakkan pedangnya. Pedang itu memang dapat memantulkan sinar matahari seperti sebuah cermin. Pantulan sinar itu menyambar ke arah muka Tho-Te-Kong sehingga kakek ini menjadi silau dan dalam keadaan silau itu tiba-tiba Im Yang Siansu menyerang. Karena menggunakan kelebihan Jit-Kong-Kiam ini, Im Yang Siansu masih dapat mengimbangi desakan Tho-Te-Kong sehingga mereka bertanding dengan seru sekali.
689
Sebentar saja lima puluh jurus lewat dan keduanya saling desak dengan hebat. Sementara itu, Cui-Beng Kui-Bo yang dikeroyok lima semakin mendesak barisan lima pedang itu dan suatu saat, pedang kirinya dapat melukai pundak seorang pengeroyok. Sute dari Thian Im Cu ini mengeluh dan terpaksa dia melompat keluar dari barisan. Akan tetapi seorang sute lain telah melompat masuk ke dalam barisan untuk menggantikannya! Hal ini membuat Cui-Beng Kui-Bo menjadi marah dan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya kembali melukai paha seorang sute. Terpaksa yang terluka pahanya ini melompat keluar dan digantikan oleh seorang sute lainnya. Biarpun demikian, kecepatan gerakan Cui-Beng Kui-Bo membuat barisan lima pedang itu kewalahan dan mereka terdesak hebat dan barisan itupun mulai menjadi kacau gerakannya. Awan yang besar dan tebal menutupi matahari sehingga Im Yang Siansu tidak lagi dapat mempergunakan pedangnya untuk mernantulkan sinar matahari dan dalam keadaan demikian maka mulailah dia terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning di tangan lawannya. Tho-Te-Kong memang sakti dan ilmu silatnya hebat bukan main. Tongkatnya itu walaupun hanya terbuat dari bambu kuning, namun karena dimainkan dengan pengerahan sinkang sehingga tenaga sakti itu tersalur lewat tongkat bambu, menjadi
690
sebuah senjata yang ampuh sekali. Tongkat bambu itu berani beradu dengan pedang pusaka Jit-Kong-Kiam tanpa menjadi patah atau rusak. Kini sinar kuning dari tongkat itu semakin luas, bergulung-gulung mendesak sinar pedang bahkan beberapa kali nyaris melukai tubuh Im Ya Siansu. “Hossshhh...” Tiba-tiba Tho-Te-Kong mendengus dan sinar kuning tongkatnya menyambar dahsyat sekali, amat cepat dan kuat ke arah kepala Im Yang Siansu, Ketua Im Yang Kauw ini terkejut melihat datangnya serangan yang amat hebat itu, Dia tidak sempat lagi mengelak. Terpaksa dia menggerakkan pedangnya ke atas untuk menangkis. “Trangggg...” Demikian kuat dan berat datangnya pukulan itu sehingga biarpun Im Yang Siansu berhasil menangkis, tetap saja dia terhuyung. Dalam keadaan terhuyung ini, Tho-Te-Kong mengejar dengan tendangan berantai. “Wuuuttt... Dukkk..!” Tendangan pertama dapat dielakkan Im Yang Siansu, tendangan ke dua dapat ditangkis lengan kirinya, akan tetapi tendangan ke tiga datang menyusul dengan kuatnya. “Desss...!!” Ketua Im Yang Kauw itu terkena tendangan. Biarpun telah mengerahkan sinkangnya melindungi dada sehingga
691
tubuhnya tidak sampai mengalami luka dalam yang parah, namun tetap saja tubuhnya terjengkang dan roboh bergulingan. Tho-Te-Kong mengejar dan melompat ke depan, tongkat bambu kuningnya diangkat menghantam ke arah kepala Im Yang Siansu yang masih bergulingan. “Wuuutt...!” Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala ketua Im Yang Kauw itu dan dia tidak akan mampu menghindarkan diri lagi. “Plakkk...!” tongkat itu terpental bertemu dengan benda lunak yang amat lembut. Tho-Te-Kong terkejut dan melompat ke belakang. Di depannya telah berdiri orang yang tadi menangkis tongkatnya dengan telapak tangan. Seorang kakek yang usianya hampir tujuh puluh tahun, berpakaian kain kuning yang hanya dilibat-libatkan ditubuhnya seperti seorang pertapa. Rambutnya panjang berwarna putih digelung ke atas dan diikat dengan kain kepala berwarna putih. Wajah itu masih tampak muda dan segar sehat, selalu dihiasi senyum sehingga wajah itu tampak cerah dan membayangkan kesabaran yang mendalam. Namun sepasang matanya yang sudah dihias alis berwarna putih itu mencorong penuh daya yang amat kuat. Melihat kakek yang amat sederhana ini, Tho-Te-Kong terbelalak dan dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah.
692
“Demi segala iblis di neraka! Bukankah engkau Bu Beng Siauwjin si manusia hina? Dunia kangouw mengabarkan bahwa engkau telah mampus!” Kakek itu memang benar Bu Beng Siauwjin. Perlu diketahui bahwa Bu Beng Siauwjin adalah seorang tokoh besar dari Im Yang Kauw. Dia masih terhitung paman seperguruan dari Im Yang Siansu yang kini menjadi ketua Im Yang Kauw. Akan tetapi Bu Beng Siauwjin adalah seorang yang suka merantau, bertapa di pegunungan dan meluaskan pengetahuan dan memperdalam ilmu dalam perantauannya sehingga tidaklah aktip dalam perkumpulan agama Im Yang Kauw. “Tho-Te-Kong!” kata Bu Beng Siauwjin sambil tersenyum. “Andaikata aku sudah mati sekalipun, agaknya kalau melihat engkau bertindak sewenang-wenang di Im Yang Kauw, tentu aku akan bangkit dari kuburan untuk mencegah kejahatanmu.” “Sombong! Apa kau kira aku takut padamu?” bentak Tho-Te-Kong sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya. “Heh-heh-heh, memang tidak semestinya orang takut kepada orang lain, akan tetapi dia harus takut kepada Yang Maha Kuasa dan selalu waspada terhadap sepak terjangnya sendiri dalam kehidupan ini. Sampai sekarang aku melihat engkau masih menjadi hamba dari pada nafsu-nafsumu sendiri, Tho-Te-Kong.
693
Usia kita sudah lanjut. Tak lama lagi kita hidup di dunia ini. Apakah engkau masih juga belum insaf dan menyadari bahwa jalan yang kau tempuh adalah jalan sesat?” “Bu Beng Siauwjin, aku tidak butuh khotbahmu!” Setelah berkata demikian, Tho-Te-Kong lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang dengan dahsyat. Dengan tenang Bu Beng Siauwjin mengelak dan ketika tangan kirinya bergerak, ujung kain yang melibat tubuhnya menyambar ke depan, menotok ke arah pundak lawan, Tho-Te-Kong juga cepat mengelak dan balas menyerang. Kedua orang tua itu sudah saling serang dengan dahsyatnya. Biarpun Bu Beng Siauwjin menghadapi tongkat Tho-Te-Kong hanya dengan tangan kosong, namun kakek ini sama sekali tidak terdesak. Sementara itu, hati Im Yang Siansu merasa lega melihat munculnya paman gurunya yang tidak disangka sangkanya itu. Dia merasa yakin bahwa paman gurunya yang dia tahu amat sakti itu pasti akan mampu menandingi Tho-Te-Kong yang lihai. Dia sendiri lalu melihat ke arah Barisan Lima Pedang yang dipimpin Thian Im Cu. Sudah ada dua orang sutenya yang terluka dan digantikan orang lain. Sekarangpun lima orang sutenya itu terdesak oleh sepasang pedang di tangan Cui-Beng Kui-Bo yang memiliki gerakan cepat itu.
694
Dia lalu melompat masuk ke dalam barisan itu menyerukan seorang sutenya yang muda untuk keluar dari barisan. Kini barisan itu dipimpin sendiri oleh Im Yang Siansu, dibantu oleh Thian Im Cu. Tentu saja barisan itu menjadi lain sama sekali. Kini menjadi kuat bukan main, dan segera Cui-Beng Kui-Bo terdesak hebat. Melihat betapa dua orang andalannya, yaitu Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo telah bertemu dengan lawan yang amat tangguh, Ouw Yang Lee memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk menyerbu. Ouw Yang Lee mencabut pedangnya, diikuti Im Yang Tojin yang juga mencabut pedangnya dan Hek Moko bersama Pek Moko yang juga masing-masing menggunakan sebatang pedang. Juga Giam-Ciangkun mencabut pedangnya dan berseru kepada pasukannya. untuk bergerak maju. “Maju... Serbuuuuu...!” pasukan itupun bergerak maju. Melihat ini, Thian Yang Cu juga memberi isyarat kepada para sutenya. Terdengar teriakan-teriakan memberi aba-aba dan seluruh murid Im Yang Kauw yang sejak tadi memang sudah siap, otomatis membentuk barisan-barisan Im Yang Ngo Kiam-Tin sehingga terbentuklah seluruhnya dua puluh empat barisan Lima Pedang yang menyambut serbuan Ouw Yang Lee, kawan-kawannya dan pasukan kerajaan! Terjadilah pertepuran yang hebat didepan perkampungan Im Yang Kauw. akan tetapi ternyata bahwa
695
barisan-barisan lima pedang itu memang tangguh sekali. Biarpun masing-masing barisan yang hanya terdiri dari lima orang ini harus menghadapi pengeroyokan sepuluh orang perajurit, namun kerja-sama mereka begitu rapi dan kompak sehirngga para prajurit menjadi kewalahan. Bahkan Ouw Yang Lee, Im Yang Tojin, Hek Moko dan Pek Moko yang dihadapi oleh sembilan orang sute dari Im Yang Siansu merasa kewalahan sekali. Pertandingan antara Tho-Te-Kong melawan Bu Beng Siauwjin berlangsung dengan serunya. Namun setelah lewat lima puluh jurus, Tho-Te-Kong mulai terdesak hebat. Tamparan-tamparan telapak tangan Bu Beng Siauwjin yang bermain silat Thai-Yang Sin-Ciang membuat Tho-Te-Kong terpaksa main mundur. Pada suatu saat Tho-Te-Kong mendapatkan kesempatan dan dia menggerakkan tongkat bambu kuningnya menusuk sekuat tenaga ke arah ulu hati Bu Beng Siauwjin. Kakek ini tidak lagi mengelak melainkan menyambut tusukan tongkat itu dengan kekerasan pula. Dia menyambut dengan telapak tangan terbuka mempergunakan dan mendorong ke depan dengan pengerahan sinkang sekuatnya karena dia maklum bahwa serangan lawannya itu kuat sekall. “Wuuuuttt.. blaarr... !” Tongkat bambu kuning yang dipenuhi penyaluran tenaga sinkang itu patah-patah menjadi empat potong
696
dan tubuh Tho-Te-Kong terdorong ke belakang sampai tujuh langkah. Biarpun dia tidak roboh, namun ternyata dia telah terluka di bagian dalam dadanya karena benturan tenaga sakti tadi membuat tangannya sendiri terpental membalik dan melukai tubuhnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari mukanya yang berubah pucat sekali dan dia mengusap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah. Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan Cui-Beng Kui-Bo telah berada di dekat Tho-Te-Kong dalam keadaan agak terhuyung dan baju di pundaknya terobek dan berlepotan darah yang keluar dari luka di pundaknya. Nenek ini ternyata telah terluka oleh pedang di tangan Im Yang Siansu dan ia terpaksa meninggalkan Im Yang Ngo Kiam-Tin yang amat tangguh itu dengan melompat jauh dan tiba di depan Tho te-kong. Melihat keadaan masing-masing, tahulah mereka bahwa mereka berdua telah menderita kekalahan. “Kawan-kawan, kita pergi!” Tho-Te-Kong berseru dengan pengerahan khikang sehingga terdengar oleh semua orang karena suaranya mengandung getaran kuat. Seruan ini terdengar oleh Ouw Yang Lee, Im Yang Tojin dan Hek Pek Moko. Karena mereka berempat itu juga sedang terdesak
697
hebat, maka seruan itu tentu saja mereka terima dengan hati lega. Mereka lalu melompat jauh ke belakang dan mengejar Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo yang sudah melarikan diri terlebih dulu. Ditinggalkan enam orang jagoan yang diandalkan itu, tentu saja Giam Ciangkun menjadi gentar untuk menghadapi sendiri bersama pasukannya yang kewalahan menghadapi para barisan Lima Pedang yang tangguh itu. Maka diapun mengeluarkan aba-aba dengan nyaring memerintahkan pasukannya untuk mundur. Mendengar perintah ini pasukannya lalu keluar dari medan pertempuran sambil membawa teman-teman terluka dan yang tewas dalam pertempura itu. “Biarkan mereka pergi! Jangan kejar dan jangan serang” Teriak Im Yang Siansu kepada para muridnya. Mendengar perintah ini, para anggauta Im Yang Kauw itupun tidak ada yang bergerak dan membiarkan saja pasukan kerajaan itu melarikan diri dengan menunggang kuda dan ada pula yang, berlari karena ada sebagian kuda yang kabur ketika terjadi keributan pertempuran tadi. Para anggauta Im Yang Kauw segera menolong saudara-saudara mereka yang terluka dan ada lima orang di antara mereka yang tewas. Im Yang Siansu dan sebelas orang sutenya yang tidak cedera, di antara mereka hanya ada ermpat orang yang cedera ringan, maju menghampiri Bu Beng Siauwjin dan mereka memberi
698
hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada. “Supek, teecu (murid) bersama para sute menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada Supek karena tanpa bantuan Supek teecu sekalian tentu akan tewas di tangan mereka.” “Siancai(damai)...”! Kalau yang maha kuasa belum menghendaki kalian mati, siapa yang akan sanggup membunuh kalian.? Mari kita bicara di dalam saja,” kata Bu Beng Siauwjin dan setelah memesan para murid agar mengurus mereka yang terluka dan yang tewas, Im Yang Siansu dan para sutenya lalu mengikuti Bu Beng Siauwjin memasuki perkampungan dan Im Yang Siansu lalu mempersilakan paman gurunya untuk masuk ke rumah induk perkumpulan Im Yang Kauw. Setelah semua orang duduk mengelilingi meja besar, Bu Beng Siauwjin menyapu kedua belas orang murid keponakan itu dengan pandang matanya dan diapun bertanya. “Sudah belasan tahun aku tidak pernah berkunjung ke perkampungan ini, akan tetapi aku mendengar dari luaran bahwa selama ini Im Yang Kauw dapat menjaga nama baiknya. Bagaimana asal mulanya sehingga hari ini Im Yang Kauw diserbu
699
oleh pasukan kerajaan?” Im Yang Siansu menghela napas panjang. “Semua ini timbul karena ulah orang dalam kami sendiri, Supek. Beberapa tahun yang lalu, seorang dari kami melakukan penyelewengan, menjinai seorang wanita isteri penduduk dusun di bawah bukit. Teecu mengusirnya. Orang itu agaknya lari ke kota raja dan entah bagaimana dia dapat menjadi seorang pembantu Thaikam Liu Cin. Agaknya dialah yang menghasut dan melapor bahwa Im Yang Kauw bermaksud memberontak terhadap kerajaan. Tahu-tahu hari ini datang pasukan kerajaan itu yang dipimpin oleh enam orang jagoan pembantu Thaikam Liu Cin, dan di antara mereka adalah Im Yang Tojin, murid yang telah teecu usir itu.” Bu Beng Siauwjin mengangguk-angguk. “Tidak aneh. Hal seperti itu memang sudah sewajarnya, dapat menimpa siapapun juga.” “Akan tetapi, Supek. Mengapa hal itu dapat terjadi menimpa kita? Mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Mereka itu menjadi kaki tangan Thaikam Liu Cin dan menjadi jahat. Mengapa mereka mau saja diperalat Thaikam Liu Cin yang lalim?”
700
“Siancai...! Apakah kalian lupa akan kebenaran dalam pelajaran Im Yang Kauw.? Di dalam dunia ini, bahkan di alam semesta, unsur dua kekuatan mujijat yang saling berlawanan itu, Im dan Yang, selalu bekerja tiada hentinya. Tanpa ada yang satu, bagaimana dapat muncul yang lain? Tanpa adanya yang jahat, bagaimana kita dapat mengenal yang baik? Ahli-ahli pengobatan dapat menciptakan obat-obat yang manjur karena adanya penyakit-penyakit berat yang bermunculan. Agama-agama berkembang biak karena adanya dosa-dosa yang makin banyak dilakukan manusia. Bagaimana para pendekar dan patriot dapat bermunculan tanpa adanya para penjahat dan pejabat korup yang lalim? Di dunia ini ada dua unsur kekuatan yang saling bertentangan dan saling mengimbangi. Semua itu sudah wajar dan sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa Hanya tinggal kita manusia yang dikaruniai akal budi untuk memilih, hendak menghamba kepada unsur kekuatan yang baik atau kepada unsur kekuatan yang jahat.! Mengabdi kepada unsur yang baik berarti mengabdi kepada Kekuasaan Tuhan, sebaliknya mengabdi kepada unsur yang jahat berarti mengabdi kepada kekuasaan Iblis!” “Supek, tentu saja kita akan mengabdi kepada yang baik dan menumpas kepada yang jahat!” kata Thian Im Cu.
701
“Akan tetapi ingat, setiap tindakan kita tidak boleh sekali-kali didasari dendam atau kebencian. Semua perbuatan baik orang lain harus kita sambut dengan kebaikan pula, sedangkan perbuatan jahat orang lain tidak boleh kita sambut dengan kejahatan pula, melainkan kita sambut dengan rasa keadilan dan siap untuk memaafkan.” “Bagaimana kita dapat memaafkan perbuatan jahat, Supek?” tanya Thian Yang Cu. “Siapakah di antara kita yang tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan? Melakukan kejahatan adalah suatu penyakit dan penyakit itu dapat sembuh, sedangkan yang sehat saja sewaktu-waktu jatuh sakit. Karena kita semua tidak dapat terbebas dari pada dosa, maka inilah yang menjadi bekal kita untuk mudah memaafkan dosa orang lain. Ingat akan peran Im Yang dalam diri kita. Dua unsur yang berlawanan, kebaikan dan kejahatan, berlumba untuk menguasai kita. Manusia dipengaruhi kedua unsur baik dan jahat ini. Justeru karena kita mengandung unsur baik dan jahat inilah maka kita disebut manusia. Kalau hanya ada baik saja dalam diri kita, maka kita ini bukan manusia, melainkan malaikat. Sebaliknya kalau yang ada pada kita hanya jahat saja, maka kitapun bukan manusia melainkan iblis. Terserah kepada kita untuk memilih karena kita
702
sudah dianugerahi akal budi sehingga dapat melakukan pilihan, tinggal memilih untuk menurut yang baik atau yang jahat. Terserah kepada kita untuk menanam benih pohon buah anggur atau pohon buah beracun. Karena tidak dapat dihindarkan lagi, kita sendirilah yang kelak akan memetik dan memakan buah hasil tanaman kita sendiri.” Suasana menjadi hening setelah semua tokoh Im Yang Kauw mendengarkan ucapan sesepuh Im Yang Kauw yang sudah tidak aktip lagi itu. Semua yang diucapkan kakek itu adalah inti pelajaran agama mereka, dan ucapan itu hanya mengingatkan mereka saja agar semua pelajaran dalam agama bukan hanya merupakan teori belaka, melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Semua pelajaran agama merupakan anugerah dari Tuhan. Tuhan menurunkan wahyu berupa ajaran-ajaran agama untuk mengingatkan manusia, untuk membimbing manusia ke arah jalan kebenaran dan menjauhi kejahatan. Akan tetapi kalau semua ajaran itu menjadi teori belaka untuk dihafalkan dan tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka ajaran itu akan membuat kita menjadi munafik. Ajaran-ajaran itu hanya akan kita jadikan topeng belaka. Kita kenakan sebagai pakaian yang indah dan bersih untuk menutupi badan kita yang kotor. Jauh lebih baik mengenal hanya satu saja namun dihayati dalam kehidupan
703
sehari-hari, misalnya “Kasihilah sesamamu!” dari pada mengenal ribuan ayat akan tetapi sama sekali tidak dilaksanakan dalam kehidupan. “Supek, teecu mohon petunjuk. Apa yang harus teecu sekalian lakukan setelah terjadi penyerbuan pasukan kerajaan tadi?” tanya Im Yang Siansu dan semua sutenya mengangguk setuju dengan pertanyaan Itu. Semua mata ditujukan kepada Bu Beng Siauwjin dengan penuh perhatian. “Semua tindakan pasti berakibat. Tindakan kita yang keras tadipun pasti berakibat dan akibat itu tidak jauh berbeda sifatnya dengan sebab yang kita timbulkan. Andaikata kalian tadi tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan, andaikata kalian melarikan diri saja dan tidak melayani mereka bertempur, tentu akan lain akibatnya, Akan tetapi hal itu sudah kita lakukan. Mereka pasti tidak akan mau sudah begitu saja. Apa lagi Thaikam Liu Cin yang mengirim pasukan itu. Dia tentu akan mengirim pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dan menumpas Im Yang Kauw dengan tuduhan pemberontakan.” Kakek tua renta itu menghela napas panjang.
704
“Maafkan kami yang telah melibatkan Supek dalam pertempuran tadi. Akan tetapi, apakah yang harus kami lakukan sekarang,Supek?” tanya Im Yang Siansu. “Tidak ada jalan lain, Kalian harus membubarkan diri, meninggalkan perkampungan ini karena tidak lama lagi pasukan besar tentu akan datang menyerang. Kalian tidak mungkin dapat hidup aman lagi sebagai anggota Im Yang Kauw yahg tentu menjadi buronan pemerintah. Akan tetapi bagaimana teecu sekalian dapat bertugas sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan kalau tidak menjadi anggauta Im Yang Kauw?” bantah Thian Im Cu. “Untuk berjuang tidak hanya menjadi anggauta Im Yang Kauw secara terang-terangan,” kata Bu Beng Siauwjin. “Kalian dapat menyamar sebagai penduduk biasa dan di mana Kalian dapat membela kebenaran dan keadilan, Bahkan kalau ada yang mau, kalian dapat menyamar dan memasuki kota raja. Di sana kalian dapat bersiap menanti kesempatan untuk membantu Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin dan kawan-kawannya.” Tentu saja hati para murid kepala yang menjadi pimpinan Im Yang Kauw itu merasa sedih sekali. Akan tetapi merekapun maklum bahwa apa yang dikemukakan Siauwjin itu
705
memang merupakan satu-satunya jalan bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Kalau mereka bersikukuh mempertahankan Im Yang Kauw, sudah dapat dipastikan bahwa mereka semua pasti akan binasa. Bagaimana mungkin mereka dapat melawan pasukan kerajaan yang ribuan, bahkan laksaan orang jumlahnya. “Apa yang Supek katakan memang benar sekali dan itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Baiklah Supek, teecu, sekalian akan menaati nasihat Supek dan hari ini juga kami semua akan meninggalkan perkampungan ini”. kata Im Yang Siansu. Bu Beng Siauwjin menghela napas panjang. “Melihat keadaan dan tahu akan bahaya lalu menyelamatkan diri merupakan sebuah kebijaksanaan, Sebaliknya kalau nekat tanpa perhitungan, sehingga mati konyol merupakan kebodohan. Baiklah, sekarang aku harus pergi. Mudah-mudahan kebenaran akan selalu menerangi jalan hidup kalian.” Bu Beng Siauwjin lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perkampungan diikuti dan diantar oleh para pimpinan Im Yang Kauw sampai diluar pintu gerbang. Setelah kakek itu pergi, Im Yang Siansu dan para sutenya lalu memanggil dan mengumpulkan anggota Im Yang Kauw dan mengumumkan bahwa hari itu juga mereka semua harus pergi dan mengosongkan perkampungan Im Yang Kauw. Mereka diperkenankan mengambil jalan sendiri-sendiri dan dianjurkan
706
untuk tidak mengenakan pakaian yang ada tanda anggauta Im Yang Kauw demi keselamatan mereka sendiri. “Sebagai anggauta perkumpulan yang dimusuhi pasukan kerajaan kita harus menyamar, namun kita tetap berjuang untuk membela rakyat dan Sribaginda Kaisar, menentang para pembesar lalim yang dipimpin oleh Thaikam Liu Cin. Kita tidak akan berhenti berjuang sampai Sribaginda Kaisar menyadari bahwa beliau dipermainkan oleh Thaikam Liu Cin dan sampai pembesar laknat itu jatuh!” Demikian pesan Im Yang Siansu. Biarpun dengan hati sedih, semua anggauta Im Yang Kauw itu menaati perintah ketua mereka karena merekapun maklum bahwa setelah terjadi pertempuran hari itu, tentu Im Yang Kauw tidak aman lagi dan tempat itu pasti akan diserbu lagi oleh pasukan yang lebih besar jumlahnya. Im Yang Siansu Juga Menyamar dan berpisah dari para sutenya. Mereka mengambil jalan sendiri-sendiri dan menyembunyikan tanda Im Yang Kauw di balik baju penduduk biasa. Anak perempuan itu memiliki gerakan lincah sekali ketika ia bermain silat dibawah pohon Siong yang besar itu Mula-mula ia bersilat tangan kosong dengan jurus-jurus dari ilmu silat Bi-Jin Kun-Hoat (Ilmu Silat Wanita Cantik) yang memiliki gerakan lemah gemulai dan indah. Sehingga bagi yang tidak mengerti ilmu silat,
707
gerakan-gerakan itu seperti sebuah tarian yang indah. Padahal dalam gerakan-gerakan indah itu tersembunyi daya serangan yang amat berbahaya. Gerakan anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun itu memang lincah sekali. Kedua kakinya bergerak dalam langkah atau geseran yang kokoh kuat la seorang anak perempuan yang biarpun baru berusia sembilan tahun sudah tampak cantik mungil. Rambutnya, yang hitam panjang dikepang dua, ujungnya diikat pita sutera merah dan ketika ia bersilat, kedua kepangan rambut itupun bergerak ke kanan kiri dengan lucunya, Wajahnya berbentuk bulat telur, Sepasang matanyą dengan kedua ujung di kanan kiri agak menjungat ke atas Hidungnya kecil mancung dan mulutnya manis sekali. Dagunya meruncing dan biarpun tubuhnya masih kekanakan, namun sudah membayangkan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang gadis yang bertubuh ramping dengan pinggang yang kecil dan berkulit putih kuning. Setelah selesai memainkan ilmu silat tangan kosong Bi-Jin Kun-Hoat, Ia lalu mengambil sebatang pedang yang tadi diletakkannya di atas bangku yang berada di bawah pohon dan mulailah ia bersilat pedang. Seperti juga permainan silat tangan kosong tadi, silat pedangnya juga indah seperti menari-nari akan tetapi mengandung dasar yang kokoh kuat. Tak jauh dari tempat di mana anak
708
perempuan itu berlatih silat, yaitu dalam sebuah kebun di mana tumbuh banyak pohon buah dan tanaman bunga, terdapat sebuah rumah yang cukup besar. Anak perempuan itu demikian asyiknya berlatih silat pedang sehingga ia tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki berusia kurang lima puluh tahun keluar dari pintu belakang rumah itu yang menembus ke kebun. Laki-laki itu tampak gagah dan tampan, dengan jenggot pendek yang terpelihara rapi, tubuhnya sedang namun tinggi tegap dan sepasang matanya bersinar tajam. Laki-laki itu menghampiri anak perempuan yang sedang bersilat pedang dan berdiri di bawah pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Akhirnya anak perempuan itu berhenti bersilat. Napasnya agak memburu dan ia menyeka keringat di leher dan mukanya dengan sehelai saputangan dan ia meletakkan pedangnya di atas bangku. Pada saat itulah ia melihat laki-laki yang berdiri di situ dan wajahnya cerah oleh senyum manisnya. “lh, ayah berada di sini? Sudah lamakah, ayah?” “Sudah sejak tadi aku menonton gerakan silat pedangmu.” “Bagaimana, ayah? apanya yang kurang?”
709
“Sudah cukup baik, hanya saja pedangmu itu belum menyatu dengan tangan kananmu itu. Ingat, Li Hong, kalau engkau bersilat pedang, yang kau gerakkan itu bukanlah pedang lagi, melainkan anggaplah sebagai sebagian dari pada lenganmu seolah pedang itu bukan merupakan benda di luar tubuhmu melainkan menyatu dengan tanganmu. Mengerti?” Anak perempuan itu mengangguk. “Mengerti, ayah. Pria yang gagah perkasa itu adalah Gan Hok San, seorang pendekar besar Siauw-Lim-Pai yang tinggal di dusun Sia-Bun dilereng pegunungan Beng-San. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar Gan Hok San inilah yang telah menolong Sim Kui Hwa, istri ke dua dari Ouw Yang lee atau ibu Ouw Yang Hui dari tangan penculiknya. Setelah Gan Hok San mengalahkan Tok-Gan-Houw Lo Cit si penculik, dia lalu mengantar Sim Kui Hwa kembali ke Pulau Naga. Pendekar itu bermaksud untuk mengantar Sim Kui Hwa pulang. Akan tetapi Ouw Yang Lee tidak mau menerima kembali istri ke duanya, bahkan karena cemburu hendak membunuh Sim Kui Hwa. Gan Hok San mencegahnya sehingga timbul perkelahian di antara dia dan Ouw Yang Lee. Dalam sebuah perkelahian yang seru, akhirnya Gan Hok San dapat mengalahkan Ouw Yang Lee. Majikan Pulau Naga ini lalu mengusir isterinya dan terpaksa Sim Kui Hwa pergi dari
710
Pulau Naga, ditemani Gan Hok San. Pendekar ini merasa kasihan kepada Sim Kui Hwa bahkan jatuh cinta. setelah mengantar Sim Kui Hwa mencari Ouw Yang Hui tanpa hasil, akhirnya Gan Hok San mengajak wanita itu pulang ke rumahnya di lereng Beng-San. Akhirnya Sim Kui Hwa yang sudah tidak memiliki siapa siapa lagi di dunia ini menyerahkan diri kepada penolongnya dan mereka menjadi suami isteri. Setahun setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Gan Li Hong. Sekarang anak itu sudah berusia sembilan tahun dan sejak berusia lima tahun, Li Hong telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya. Pada pagi hari itu, Li Hong yang suka akan ilmu silat dan selalu tekun berlatih sudah berlatih silat seorang diri di kebun belakang rumahhya. Ketika ayahnya datang dan memberi petunjuk, iapun mendengarkan, dengan penuh perhatian. Ayah dan anak itu duduk di atas bangku panjang di bawah pohon Siong dan bercakap cakap. Hubungan mereka akrab penuh kasih sayang. Dapat dimaklumi bahwa Gan Hok San amat menyayang puteri tunggalnya ini. Dia baru menikah setelah berusia empat puluh tahun dan setahun kemudian isterinya melahirkan Li Hong. Tentu saja dia amat menyayang anak yang semata wayang ini. Li Hong juga amat sayang kepada ayahnya yang selalu bersikap penuh kasih
711
kepadanya. Selagi ayah dan anak ini bercakap-cakap tentang pelajaran ilmu silat, muncullah seorang wanita dari pintu belakang rumah itu. la adalah Sim Kui Hwa. Dalam usianya yang sudah empat puluh tahun, wanita ini masih tampak cantik jelita bertubuh ramping dan bersikap lembut dan anggun. Kulitnya masih putih mulus seperti ketika mudanya dulu, Sim Kui Hwa memang tergolong wanita cantik yang awet muda. Melihat suami dan anaknya bercakap-cakap di dalam kebun itu, ia segera menghampiri dan mendengarkan mereka berbicara tentang ilmu silat iapun menegur puterinya. “Li Hong, boleh saja engkau tekun berlatih silat, akan tetapi jangen lupakan pelajaranmu membaca dan menulis, katanya lembut lalu iapun ikut duduk di atas bangku panjang itu. Gan Hok San hanya tersenyum mendengar teguran isterinya kepada anaknya. Dalam mendidik anak tunggal mereka, suami isteri ini memang kompak sekali. Mereka tidak mau saling mencela di depan anak mereka sehingga bagi anak mereka apa yang diajarkan oleh seorang merupakan ajaran berdua pula. “lbu, aku lebih suka berlatih silat dari pada berlatih membaca dan menulis”
712
“Ah, tidak boleh begitu, Li Hong Pelajaran kesusasteraan juga teramat penting bagimu sebagai bekal menempuh hidup kelak,” kata Sim Kui Hwa. “Aku kelak ingin menjadi seorang pendekar yang tinggi ilmu silatnya, ibu. Dengan ilmu silat kelak aku dapat membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan,” kata Li Hong dengan sikap gagah sehingga tampak lucu. la seorang anak perempuan yang mungil dan cantik, lebih pantas bersikap lembut dari pada gagah-gagahan. “Itu memang benar, anakku. Akan tetapi apa artinya jadi pendekar kalau buta huruf? Apa artinya menjadi pendekar kalau engkau tidak tahu tentang agama dan budi pekerti? Engkau akan mudah tersesat, mudah terseret pengaruh buruk. Ilmu silat berguna untuk kekuatan jasmani, dan agama dan kesusasteraan berguna untuk kekuatan rohani. Engkau harus maju dan kuat dalam jasmani dan rohani untuk dapat menjadi seorang pendekar wanita yang budiman dan bijaksana.” Li Hong memandang kepada ayahnya seolah minta tanggapannya atas nasihat ibunya itu. Gan Hok San mengangguk-angguk dan berkata dengan tegas. “Ibumu bijaksana sekali, Li Hong. Apa yang dikatakannya itu semua benar belaka. Orang harus kuat jasmani dan rohaninya.
713
Kalau kuat jasmaninya saja akan tetapi rohaninya lemah, ia akan mudah tersesat. Sebaliknya kalau kuat rohaninya akan tetapi jasmaninya lemah, ia akan mudah terserang penyakit dan ancaman dari luar. Karena itu, Bun (Kesusasteraan) dan Bu (Olahraga) keduanya sama pentingnya kalau engkau ingin menjadi seorang pendekar wanita yang sehat lahir batin.” Li Hong tampak lega dan girang mendengar pendapat ayahnya dan ia tersenyum kepada ibunya. “Baiklah, ibu. Aku akan membaca kitab-kitab itu sekarang.” “Lihat itu, engkau masih berkeringat. Keringkan keringatmu lalu mandilah dulu. Setelah itu kita sarapan pagi, baru nanti engkau membaca kitab pelajaranmu,” kata Sim Kui Hwa. Ibu ini yang mendidik puterinya sendiri dalam ilmu membaça dan menulis. Mereka bertiga bergandeng tangan meninggalkan kebun dan kembali ke dalam rumah mereka. Li Hong membawa pedangnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih. Li Hong segera pergi mandi dan Sim Kui Hwa dibantu oleh seorang pelayan wanita sibuk di dapur mempersiapkan sarapan pagi untuk mereka sekeluarga. Gan Hok San duduk di ruangan depan, siap untuk berangkat ke ladang setelah makan pagi nanti. Gan Hok San hidup sebagai petani. Dia memiliki ladang yang
714
cukup luas dan menggarap sawah ladang itu dibantu beberapa orang buruh tani. Penghasilan sawah ladangnya cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya, bahkan membuat dia merupakan seorang yang berkeadaan cukup di dusun Sia-Bun itu. Sebagai seorang pendekar Gan Hok San dikenal dan dihormati di dusun itu karena dengan adanya pendekar ini, tidak ada penjahat yang berani mengganggu ketenteraman dusun Sia-Bun. Munculnya dua orang di pintu pagar pekarangannya menarik perhatian Gan Hok San. Jarang dia kedatangan tamu dari jauh atau yang tidak dikenalnya. Biasanya hanya para petani penduduk dusun Sia-Bun saja yang datang berkunjung untuk berbagai keperluan. Akan tetapi dia merasa tidak mengenal dua orang itu dan melihat keadaan dua orang yang memasuki pekarangannya itu, jelas bahwa mereka bukan penduduk dusun. Mereka adalah dua, orang pemuda yang tampan dan langkahnya halus. yang seorang lebih tinggi, tubuhnya sedang dan mukanya berbentuk bulat telur dengan rambut hitam gemuk. Alis matanya tebal berbentuk golok, matanya lembut namun mengandung kekuatan dan tajam. Hidungnya mancung dan mulutnya kecil tersenyum manis. Kulit muka, leher dan tangannya bersih. Pemuda yang ke dua, yang lebih kecil, amat tampan dan usianya masih tampak muda sekali, masih remaja. Akan tetapi sikapnya
715
yang lembut dan wajahnya yang manis dan tampan sekali amat menarik perhatian. Pakaian mereka sederhana saja, namun sikap dan pembawaan mereka jelas menunjukkan bahwa mereka berdua bukan dua pemuda petani atau dusun yang sederhana. Dua orang “Pemuda” itu adalah Wong Sin Cu dan Ouw Yang Hui yang menyamar sebagai seorang pria. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Wong Sin Cu membantu Ouw Yang Hui untuk mencari ibu kandungnya yang diketahui pergi dengan seorang pendekar Siauw-Lim-Pai bernama Gan Hok San. Mereka berdua merantau ke selatan sampai jauh dan Sin Cu bertanya-tanya kepada banyak tokoh kangouw di mana adanya pendekar Gan Hok San. Akan tetapi walaupun nama pendekar ini pernah terkenal, tidak ada yang dapat memberi keterangen kepadanya di mana kini pendekar itu tinggal. Sampai hampir enam bulan mereka berdua melakukan perjalanan. Hubungan antara mereka menjadi semakin akrab dan di sepanjang perjalanan, Ouw Yang Hui mengaku bernama Wong Hui, adik dari Wong Sin Cu. Ouw Yang Hui semakin kagum dan hormat kepada pemuda itu yang ternyata seorang pemuda yang selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya, Di lain fihak, Sin Cu juga semakin terpikat dan jatuh hati kepada gadis yang selain cantik jelita, juga memiliki kebijaksanaan dan baik budi, sikapnya
716
lembut. Akan tetapi keduanya menyimpan perasaan hati mereka dan biarpun mereka bersikap akrab namun tetap saja membatasi diri dengan kesopanan. Dalam perantauan yang berbulan-bulan itu, tentu seringkali mereka menghadapi gangguan dari orang-orang jahat, akan tetapi dengan itu silatnya yang tinggi, semua gangguan itu dapat ditanggulangi oleh Sin Cu. Melihat betapa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat, yaitu dasar-dasarnya dan memiliki kegesitan, Sin Cu lalu mengajarkan ilmu langkah ajaib Chit-Seng Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang) kepada Ouw Yang Hui. Gadis ini memang pada dasarnya memiliki kelemasan dan keluwesan, pandai pula menari sehingga ketika diajari ilmu langkah itu, ia dapat menguasainya tanpa banyak kesukaran. Lewat beberapa bulan kemudian setelah mereka melakukan perjalanan dan setiap ada kesempatan berlatih ilmu langkah, akhirnya Ouw yang Hui mahir ilmu Chit-Seng Sin-Po. Kini jangan harap seorang jagoan yang jahat dapat menangkap atau memukulnya dengan mudah karena ilmu langkah yang dikuasainya itu dapat membuat ia bergerak dengan gesit dan menghindarkan segala macam serangan kasar. Akhirnya Sin Cu mengambil keputusan untuk mengajak Ouw Yang Hui pergi ke pegunungan Sung-San di Propinsi Honan dan berkunjung ke kuil
717
Siauw-Lim-Si di pegunungan itu. Mereka berkunjung dan kepada para Hwesio yang berjaga di pintu gerbang mereka minta untuk diperkenankan menghadap ketua kuil. Mereka diperkenankan melewati pintu gerbang, akan tetapi ketika tiba di bangunan di mana ketua Siauw-Lim-Pai tinggal, mereka dihadang oleh seorang Hwesio penjaga. Hwesio penjaga yang sudah setengah tua itu ternyata waspada sekali. Setelah melihat Ouw Yang Hui, dia berkata dengan suara tegas. “Omitohud.! Kalian tidak boleh masuk. Nona ini menyamar pria, dan di sini tidak boleh ada wanita masuk!” Sin Cu terkejut dan cepat memberi hormat. “Suhu memang benar. Adik saya ini memang seorang wanita dan ia terpaksa menyamar sebagai pria agar tidak mendapat banyak gangguan dalam perjalanan. Kami datang jauh dari kota raja dan mohon bertemu dengan yang terhormat ketua Siauw-Lim-Pai untuk keperluan yang amat penting, Mohon diperkenankan menghadap.” “Omitohud, kedatanganmu membawa seorang wanita yang menyamar sudah mencurigakan, orang muda. Karena itu sebelum Pinceng (aku) dapat memperkenankanmu masuk menghadap ketua, katakanlah dulu siapa namamu dan apa keperluanmu minta
718
menghadap ketua agar Pinceng dapat melapor ke dalam dan menanti keputusan ketua, apakah engkau diperkenankan menghadap atau tidak.” Sin Cu kini maklum bahwa peraturan di Siauw-Lim-Pai amat ketat. Dia teringat akan gurunya yang pernah mengatakan bahwa gurunya merupakan sahabat baik dari para tokoh Siauw-Lim-Pai. Maka diapun lalu menjawab. “Terima kasih, Suhu. Nama saya Wong Sin Cu dan saya adalah murid dari Suhu Bu Beng Siauwjin. Saya mohon berjumpa dengan ketua Siauw-Lim-Pai untuk bertanya dimana saya dapat bertemu dengan seorang tokoh Siauw-Lim-Pai bernama Gan Hok San.” Mendengar disebutnya nama Bu Beng Siauwjin dan juga Gan Hok San, Hwesio itu mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi cerah. “Omitohud! Begitukah? Baik, silakan sicu menanti sebentar, akan Pinceng laporkan ke dalam.” Sin Cu dan Ouw Yang Hui duduk di atas bangku yang terdapat di luar bangunan itu. Tak lama kemudian Hwesio itu muncul kembali dan berkata, “Silakan Wong-sicu (orang gagah Wong) masuk, Lo-Suhu sudah menanti di ruangan depan. Akan tetapi nona ini harap menunggu saja di sini.” Sin Cu bangkit dan memandang kepada Ouw Yang Hui.
719
“Engkau tunggulah di sini sebentar.” Ouw Yang Hui yang tahu aturan itupun mengangguk dan tersenyum. Sin Cu melangkah masuk. Setelah tiba di ruangan depan, dia melihat seorang Hwesio tua, berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, kepalanya yang gundul memakai topi pendeta, jubahnya kuning dan dia memelihara jenggot panjang yang sudah putih semua. Hwesio tua itu duduk bersila di atas dipan dan biarpun sudah tua renta, namun sepasang matanya bersinar kilat ketika dia menatap ke arah wajah Sin Cu. Berhadapan dengan orang tua ini, Sin Cu merasa seperti berhadapan dengan gurunya. Hwesio tua ini mempunyai wibawa yang luar biasa, yang membuat dia tanpa disengaja bertekuk lutut. “Lo-Cianpwe, teecu Wong Sin Cu mengaturkan hormat,” katanya dengan sikap hormat. “Omitohud! Angkat mukamu dan jawablah, orang muda. Benarkah engkau murid Bu Beng Siauwjin?” suara Hwesio itu lembut sekali dan terdengar ramah. Sin Cu menurut. Dia mengangkat mukanya memandang wajah Hwesio itu dan menjawab, “Benar, Lo-Cianpwe. Suhu Bu Beng Siauwjin adalah guru teecu.” Tiba-tiba Hwesio tua itu menggerakkarn tangan kirinya dan telunjuknya menuding kearah Sin Cu. Suara bercicit terdengar dan serangkum hawa menyambar ke arah Sin Cu. pemuda itu terkejut
720
bukan main, mengenal itu sebagai serangan It-Yang-Ci yang sudah tinggi sekali tingkatnya, mampu menyerang dari jarak jauh mengandalkan tenaga sakti. karena maklum betapa hebatnya tenaga sakti It-Yang-Ci itu, Sin Cu tidak berani menyambut secara langsung. Dia menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan ketika bergulingan itu dia mengerahkan tenaga dan menggunakan It-Yang-Ci pula untuk menangkis dari samping. “Pyarrr...” Dua tenaga sakti bertemu dan serangan Hwesio itu ditangkis dari samping oleh tenaga Sin Cu. “Omitohuud... bagus sekali, kiranya It-Yang-Ci yang kutukar dengan Thai-yang Sin-ciang dari Bu Beng Siauwjin itu tidak sia-sia, bahkan sudah diturunkan kepada muridnya dengan baik sekali. Majulah, Sin Cu dan mari kita bicara. Pinceng yakin bahwa engkau memang benar murid Bu Beng Siauwjin,” kata Hwesio tua itu. “Pinceng adalah Hui Sian Hwesio, sahabat baik Suhumu.” Sin Cu merangkak dan duduk berlutut kembali seperti tadi. “Terima kasih, Lo-Cianpwe.” “Sudahlah, engkau bukan murid Siauw-Lim-Pai. Jangan berlutut terus. Bangkit dan duduklah di atas kursi itu agar lebih enak kita bicara.” Sin Cu bangkit dan memberi hormat lagi dengan
721
membungkuk sebelum duduk di atas sebuah kursi yang menghadap ke dipan yang diduduki Hwesio itu. “Nah, sekarang ceritakan kepada Pinceng, mengapa engkau mencari Gan Hok San? Dia adalah sute (adik seperguruan) Pinceng yang termuda, akan tetapi dia tidak mau menjadi seorang Hwesio. Bagaimanapun juga, dia tidak mengecewakan menjadi murid Siauw-Lim-Pai karena di dunia kang-ouw sepak terjangnya menjunjung nama baik dan kehormatan Siauw-Lim-Pai. Sekarang engkau mencarinya. Katakanlah, engkau mencarinya sebagai kawan atau lawan?” “Mana berani teecu memusuhi Gan-Taihiap, Lo-Cianpwe? Biarpun belum mengenalnya, teecu juga sudah mendengar bahwa beliau seorang pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Tidak, Lo-Cianpwe, teecu mencarinya bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Sebelas tahun kurang lebih yang lalu, seorang ibu muda dan puterinya telah diculik penjahat dan mereka berpisah. Ibu muda itu ditolong oleh Gan-Taihiap dan kini puterinya mencari ibunya yang terpisah darinya itu. Sahabat teecu yang menunggu di luar itulah puteri si ibu muda yang ditolong Gan-Taihiap. Karena kami tidak tahu di mana kini ibu muda itu, maka kami tidak mempunyai petunjuk lain kecuali menemui Gan-Taihiap dan bertanya kepadanya tentang ibu sahabat teecu itu.
722
“Omitohuud...! Jadi begitukah persoalannya? Wong-sicu, kalau begitu sudah sepatutnya kalau Pinceng memberi tahu kepadamu di mana sute Gan Hok San kini berada. Kalau dia belum pindah lagi, dia tinggal disebuah dusun yang disebut Sia-Bun, dan dusun itu berada di lereng pegunungan Beng-San. Nah, engkau carilah ke sana dan mudah-mudahan engkau dapat berjumpa dengannya. Dengan hati girang Sin Cu lalu menghaturkan terima kasih dan mohon pamit. Bersama Ouw Yang Hui dia lalu melakukan perjalanan langsung ke Beng-San dan pada pagi hari itu mereka berdua berhasil menemukan rumah Gan Hok San di dusun Sia-Bun, di lereng pegunungan Beng-San. Gan Hok San dapat menduga bahwa dua orang pemuda asing itu tentu mempunyai keperluan penting maka memasuki pekarangan rumahnya. Dia sebagai tuan rumah yang biasanya memang ramah, segera bangkit berdiri dan melangkah maju menyambut. Melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun menyambut kedatangan mereka. Sin Cu dan Ouw Yang Hui memandang penuh perhatian. Melihat sikap pria yang berpakaian sebagai petani itu demikian gagah, Sin Cu menduga bahwa tentu dia inilah pendekar Gan Hok San. Maka dia lalu melangkah maju menghampiri dan mengangkat kedua tangan di depan dada, diturut oleh Ouw Yang Hui.
723
“Maafkan kami berdua kalau kedatangan kami mengganggu, paman. Apakah ini rumah kediaman Taihiap Gan Hok San?” tanya Sin Cu dengan sikap hormat. Gan Hok San senang dengan sikap kedua orang pemuda itu. Tepat seperti yang dia duga. Dua orang pemuda ini jelas bukan pemuda dusun yang sederhana, melainkan dua orang pemuda terpelajar yang bersusila. “Benar sekali, orang muda,” jawabnya. Dengan wajah girang Sin Cu lalu berkata, “Kalau begitu, bolehkah kami berdua menghadap Taihiap Gan Hok San? Kami berdua mempunyai keperluan yang penting sekali untuk bicara dengan beliau.” Gan Hok San tersenyum. “Akulah Gan Hok San dan jangan sebut aku dengan Taihiap-Taihiap segala. Engkau tadi telah menyebut paman dan itu baik sekali, orang muda. Siapakah kalian berdua, Ah, mari, mari masuk dan duduklah agar lebih leluasa kita bicara!” katanya ramah. Sin Cu dan Ouw Yang Hui mengikuti pendekar itu memasuki ruangan depan dan mereka dipersilakan duduk berhadapan dengan dia, terhalang sebuah meja. “Nah, sekarang katakan siapa engkau, orang muda, dan siapa pula eh..., nona ini.” Sin Cu dan Ouw Yang Hui terkejut. Pandang mata
724
pendekar ini sungguh tajam. Sekali pandang saja sudah tahu bahwa Ouw Yang Hui adalah seorang wanita! “Maafkan kami, paman. Saya bernama Wong Sin Cu dan ia ini memang seorang gadis yang menyamar pria agar tidak terganggu dalam perjalanan. Namanya... Siang Bi Hwa,” kata Sin Cu yang sengaja menyebut nama baru Ouw Yang Hui seperti yang sudah mereka sepakati berdua untuk sementara merahasiakan nama aselinya. Dalam perjalanan, Ouw Yang Hui yang menyamar pria itu diaku sebagai adiknya bernama Won Hui. Akan tetapi di depan Gan Hok San yang seketika telah mengetahui bahwa Ouw yang Hui adalah seorang gadis yang menyamar pria, dia tidak merasa perlu untuk memperkenalkan nama samaran pria itu. “Lalu, apakah yang dapat kulakukan untuk kalian? Keperluan apakah yang membawa kalian datang berkunjung ke rumah kami.” “Maafkan kami, paman,” kata pula Sin Cu dengan lembut. “Sesungguhnya kami mencari seorang wanita bernama Sim Kui Hwa. Apakah ia berada di sini?” Mendengar pertanyaan ini, alis pendekar itu berkerut. Bermacam dugaan dan kecurigaan mengganggu hatinya.
725
“Kalau ia berada di sini, apa kehendak kalian?” Dia bertanya agak ketus karena bagaimanapun juga hatinya merasa tidak senang mendengar isterinya ditanyakan seorang laki-laki muda. “Ah... tidak ada apa apa paman,kami hanya ingin berjumpa dan bicara dengannya...!” kata sin cu agak gugup melihat tuan rumah tampaknya tidak senang. “Hemm.., begitukah? Baik, akan kupanggil ia ke sini.” Setelah berkata demikian, dia meninggalkan tamunya dan masuk kę ruangan dalam. Baru saja dia pergi, muncul seorang anak perempuan berusia sembilan tahun. Anak itu adalah Gan Li Hong yang sebetulnya sudah sejak tadi berada di luar ruangan tamu itu dan mendengarkan percakapan tadi. la melihat ayahnya keluar, lalu ia masuk kedalam ruangan itu dengan sikap lincah dan marah. la tidak ikut mendengarkan percakapan pertama sehingga tidak tahu bahwa pemuda tampan yang tampak masih remaja itu adalah seorang wanita. la melangkah maju menghadapi dua orang “Pemuda” itu dan bertolak pinggang, mengedikkan kepalanya. “Hei, kalian ini adalah pemuda-pemuda yang kurang sopan dan kurang ajar, ya?” Sin Cu dan Ouw Yang Hui saling pandang dengan membelalakkan mata, lalu keduanya tersenyum merasakan benar betapa lucunya keadaan itu. Mereka ditegur
726
seorang bocah yang menganggap mereka kurang sopan dan kurang ajar sehingga mereka menjadi bingung siapakah diantara mereka dan bocah itu yang dewasa dan siapa pula yang kanak-kanak! Mereka melihat betapa anak kecil berusia sembilan tahun itu memiliki sepasang mata yang mencorong penuh keberanian dan sikapnya gagah seperti seorang pendekar sungguhan, wajahnya mungil dan manis sekali sehingga sikap yang gagah-gagahan itu tidak menyeramkan melainkan lucu sekali. “Eh, anak yang manis, kenapa engkau marah-marah kepada kami? Mari sini kita berkenalan. Siapakah namamu, adik manis?” kata Ouw Yang Hui sambil tersenyum ramah dan menghampiri anak perempuan itu. “Nah-nah! Engkau merayuku, ya? Aku masih kanak-kanakpun engkau sudah merayu! Benar-benar yang dinamakan pemuda berandalan tak tahu malu adalah yang seperti kalian ini!” “Hemm, adik yang manis. Apa sebabnya engkau mengatakan kami pemuda berandalan yang tidak sopan dan kurang ajar?” tanya Ouw Yang Hui dengan heran. “Pernah kubaca dalam kitab bahwa kalau laki-laki minta bertemu dan bicara dengan wanita, itu namanya tidak sopan dan kurang
727
ajar. Kalian ini dua orang pemuda, tidak bicara dengan ayah malah mencari ibu. Bukankah itu tidak sopan? Kalian memang patut dihajar!” Tiba-tiba saja Gan Li Hong yang galak itu melayangkan tinjunya menyerang ke arah perut Ouw Yang Hui. Sekarang Ouw Yang Hui bukan gadis lemah seperti ketika ia masih menjadi Siang Bi Hwa di rumah Cia-Ma. la telah berlatih ilmu langkah Chit-Seng Sin-Po. Sekalipun seorang ahli silat kalau tidak yang pandai sekali jangan harap akan dapat mernukulnya, apalagi seorang gadis cilik seperti Li Hong. Dengan mudah saja Ouw Yang Hui mengelak dengan geseran kakinya, Melihat pukulan pertamanya luput, Li Hong menjadi semakin marah dan iapun sudah menyerang bertubi-tubi dengan kedua tangannya. Namun, sambil tersenyum Ouw Yang Hui melangkah ke sana-sini dan semua pukulan itu luput! “Li Hong, hentikan!” tiba-tiba terdengar bentakan dan Gan Hok San telah muncul dari pintu yang menembus ke dalam. Mendengar bentakan itu Li Hong menghentikan serangannya dan mundur mendekati ayahnya. Gan Hok San tadi telah menemui Sim Kui Hwa, isterinya. Ketika dia menceritakan kepada isterinya bahwa ada dua orang pemuda yang datang mencarinya, Sim Ku Hwa mengerutkan alisnya dan merasa heran,
728
“Dua orang pemuda? Aku tidak mengenal pemuda manapun. Apa maksudnya hendak bertemu denganku?” “Aku tidak tahu. Mereka tidak memberi tahukan keperluan mereka, hanya menyatakan ingin berjumpa dan bicara denganmu, “Ah, ini mencurigakan,” kata Sim Kui Hwa. “Siapa tahu mereka berniat buruk.” “Hemm, siapakah yang akan berniat buruk terhadapmu?” kata Hok San. “Ih, lupakah engkau akan sikap Ouw Yang Lee kepadaku? Tidak, aku tidak mau bertemu dengan mereka sebelum tahu lebih dulu apa yang mereka inginkan. Siapa nama mereka? “Pemuda itu bernama Wong Sin Cu sedangkan gadis yang menyamar pemuda itu bernama Siang Bi Hwa.” “Hemm, ada gadis menyamar pemuda lagi. Mereka itu mencurigakan, sebaiknya engkau selidiki lebih dulu dan tanyakan apa kehendak mereka yang sebenarnya.” Mendengar penolakan isterinya, Gan Hok San merasa bahwa isterinya benar juga. Maka diapun kembali ke ruangan tamu di mana dia melihat Li Hong sedang kalang kabut menyerang gadis yang menyamar sebagai
729
pria itu. Maka dia membentak Li Hong untuk menghentikan serangan-serangannya dan diapun melihat bahwa gadis berpakaian pria itu memiliki gerak langkah yang aneh sekali ketika menghindarkan diri dari serangan bertubi puterinya. Mengertilah dia bahwa gadis itu seorang yang memiliki ilmu silat yang aneh dan kecurigaannya yang bangkit setelah dia bicara dengan isterinya itu semakin membesar. “Li Hong, kenapa engkau menyerang orang?” bentak Gan Hok San kepada puterinya. “Mereka adalah pemuda-pemuda kurang ajar dan berandalan, patut dihajar, ayah!” kata Li Hong. “Tidak mengapalah, paman. Saya yang bersalah. Saya memuji-mujinya sebagai anak yang cantik manis dan ia marah, menganggap saya seorang pemuda kurang ajar dan ia menyerang saya. Adik ini sudah lincah dan gagah sekali, paman,” kata Ouw Yang Hui. “Bagaimana, paman? Apakah kami dapat bertemu dan bicara dengan Bibi Sim Kui Hwa?” tanya Sin Cu ketika melihat pendekar itu muncul seorang diri saja.
730
“Nanti dulu. Kalian ceritakan dulu apa keperluan kalian hendak bertemu dan bicara dengan Sim Kui Hwa. Sebelum kalian menceritakan apa keperluan kalian, ia tidak mau bertemu dengan kalian yang tidak dikenalnya.” Gan Hok San adalah seorang laki-laki gagah yang jujur, maka diapun mengatakan apa adanya. Ouw Yang Hui menoleh dan memandang kepada Sin Cu. Pemuda ini mengangguk dan berkata lirih, “Sebaiknya engkau ceritakan sajalah dengan terus terang.” “Silakan duduk dan bicaralah terus terang apa kehendak kalian,” kata Gan Hok San. Mereka duduk kembali. Li Hong juga dekat duduk dengan ayahnya, mendengarkan penuh perhatian. “Paman Gan Hok San,” kata Ouw Yang Hui dengan lembut, “saya mendengar bahwa paman telah menyelamatkan seorang wanita bernama Sim Kui Hwa dari tangan penjahat yang menculiknya. Kemudian paman menyelamatkannya dari ancaman majikan Pulau Naga dan paman membawnya pergi dari Pulau Naga. Sekarang kami datang untuk bertanya kepada paman dimana adanya Sim Kui Hwa itu? Kalau ia berada di sini, saya ingin bertemu dan bicara dengannya.” Gan Hok San mengerutkan alisnya, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
731
“Apakah engkau datang dari Pulau Naga?” tanyanya penuh kecurigaan. “Saya memang berasal dari Pulau Naga, paman.” “Dan kalian datang sebagai utusan Ouw Yang Lee untuk membunuh aku dan Sim Kui Hwa?” desak Gan Hok San. “Ayah, hajar saja mereka yang jahat ini!” Li Hong juga bangkit berdiri dan memasang kuda-kuda untuk siap menyerang. Sikapnya seperti seekor anak harimau yang siap mencakar dan menggigit, akan tetapi tidak berbahaya. Lucu sekali! Ouw Yang Hui Juga bangkit berdiri. “Ah, tidak sama sekali, paman! Saya saya...” Ouw Yang Hui tidak melanjutkan ucapannya melainkan terbelalak memandang kepada seorang wanita cantik yang muncul di pintu tembusan ke ruangan dalam itu. Wanita itu adalah Sim Kui Hwa. Dua orang wanita itu bertemu pandang, saling memperhatikan. Biarpun kini Ouw Yang Hui bukan anak perempuan berusia tujuh tahun lagi, melainkan seorang gadis berusia delapan belas tahun dan menyamar sebagai pria lagi, namun Sim Kui Hwa tidak pangling. Juga Ouw Yang Hui segera dapat mengenal ibunya yang baginya tampak masih seperti dulu, cantik dan anggun. Bagaikan tertarik oleh
732
kekuatan magnit kedua wanita itu melangkah maju saling menghampiri, bibir mereka bergerak gemetar menahan jerit tangis, seperti bendungan lemah menahan tekanan air bah. “ Ibuuuuu...!” “Hui-ji (anak Hui)... ah... Ouw Yang Hui...” Bendungan itu pecah diterjang banjir. Kedua orang itu lari saling mengharmpiri dan di lain saat mereka telah berhadapan. Ouw Yang Hui menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki ibunya sambil menangis tersedu-sedu. “Ibuuu... ahh ibuuu...!” Sim Kui Hwa menjatuhkan diri berlutut pula dan merangkul puterinya, mendekap kepala itu pada dadanya, menciuminya diantara banjir air mata. “Hui-ji , terima kasih Tuhan... Hui-ji anakku...!” gelora perasaan yang amat hebat, bahagia, terharu, dan iba menjadi satu, tidak tertahan oleh wanita yang berperasaan lembut itu. Sim Kui Hwa terkulai pingsan dalam rangkulan Ouw Yang Hui. “Ibuuu!” Ouw Yang Hui memeluk ibunya yang terkulai lemas. Melihat ini, Gan Hok San menghampiri dan menekan tengkuk isterinya beberapa kali. Sim Kui Hwa siuman kembali lalu merangkul puterinyä dan kedua orang wanita itu menangis. Sin Cu
733
memandang dengan mata basah. Dia merasa terharu sekali, teringat akan dirinya sendiri yang sudah tidak berayah-ibu. Dia memandang kepada Gan Hok San yang juga tampak terharu, dan memandang kepada Li Hong. Anak itu kelihatan terheran-heran dan bingung. Baik Sin Cu maupun Gan Hok San hanya memandang dan membiarkan ibu dan anak itu bertangis-tangisan karena hal itu memang perlu sekali bagi kedua orang wanita itu untuk melampiaskan segala gejolak perasan mereka. Setelah tangis mereka mereda, Gan Hok San berkata kepada mereka. “Sudahlah, sekarang kita masuk dan bicara di dalam.” Sim Kui Hwa bangkit dan merangkul anaknya. lbu yang berbahagia itu kini tersenyum dengan muka masih basah air mata sambil memandang wajah Ouw Yang Hui. “Ah, aku ingin melihat wajahmu yang sebenarnya, Hui-ji. Hayo kita masuk dan engkau berganti pakaian dulu. Engkau anak nakal, kenapa harus menyamar menjadi laki-laki segala?” la merangkul dan membawa Ouw Yang Hui masuk ke dalam, dikuti oleh Gan Hok San yang mengajak Sin Cu masuk. Li Hong yang tampaknya masih bingung itu mengikuti pula. Sin Cu dipersilakan duduk di ruangan dalam itu oleh Gan Hok San. Li Hong juga duduk di situ, memandang kepada Sin Cu. Anak ini masih kaget dan heran melihat pertemuan antara ibunya dan “Pemuda” yang sebenarnya
734
seorang gadis yang menyamar. Semua peristiwa ini tidak dimengertinya. Mengapa pemuda yang palsu itu menyebut ibu kepada ibunya? Siapakah ia? Dan siapa pula pemuda yang kini duduk berhadapan dengan ayahnya? “Sungguh aku tidak mengira sama sekali bahwa ia itu Ouw Yang Hui. Kalau dari tadi mengakui namanya, tentu aku tahu dan dapat memberitahukan ibunya.” “Maaf, paman. Memang telah kami sepakati bersama untuk menyembunyikan namanya sebelum ia bertemu dengan ibunya. Dan memang selama ini ia mempergunakan nama sebutan Siang Bi Hwa dan di waktu menyamar menggunakan nama pria Wong Hui sebagai adik saya.” Gan Hok San, menghela napas panjang. “Sungguh kami merasa berbahagia sekali akan pertemuan ini. Sudah bertahun-tahun aku mencoba untuk mencari jejaknya namun selalu tanpa hasil. Ibunya sampai hampir putus asa untuk dapat bertemu kembali dengannya.” “Ayah...” suara Li Hong melengking terbawa oleh rasa penasaran di hatinya. Gan Hok San memandang wajah Li Hong. “Ada apakah, Li Hong?”
735
“Ayah, sebetulnya siapakah Enci yang menyamar sebagai pemuda tadi? Kukira ia pemuda betulan, tidak tahunya seorang wanita. Aku menjadi malu sendiri atas sikapku tadi, Ayah.” “Nanti saja kau tanya sendiri kepadanya, Li Hong, atau engkau boleh tanyakan kepada Ibumu,” kata Gan Hok San dan pada saat itu dia menoleh ke arah pintu dan memandang terbelalak kepada seorang gadis cantik jelita yang muncul di pintu bersama isterinya. Ouw Yang Hui sudah berdandan sebagai seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari dari kahyangan! Bahkan Li Hong terlonjak dan berseru dengan kagum. “Wah...! Engkau cantik sekali...! Ibu, siapakah Enci ini sebetulnya?” Li Hong berlari dan menggandeng tangan Ibunya. Sim Kui Hwa tersenyum dan menuntun kedua orang puterinya itu dan mengajak mereka duduk mengelilingi meja besar. “Li Hong, ini adalah Encimu, namanya Ouw Yang Hui. Hui-ji, ini adalah adikmu yang nakal bernama Gan Li Hong.” “Enciku? Wah, aku bangga mempunyai Enci yang secantik ini!” kata Li Hong sambil berdiri lalu menghampiri Ouw Yang Hui. Ouw Yang Hui merangkulnya.
736
“Hong-moi (adik Hong), apakah engkau masih marah dan hendak memberi hajaran kepadaku?” tanyanya menggoda. “lhh, Hui-ci (Enci Hui), siapa marah kepadamu? Aku hanya marah kepada pemuda-pemuda yang berandalan. Aku malah minta maaf kepadamu, Enci.” Ouw Yang Hui mEncium pipi adiknya. “Tidak perlu minta maaf karena engkau tidak bersalah apapun kepadaku. Duduklah.” la menarik Li Hong duduk di atas kursi di sebelahnya. “Hui-ji, ini adalah Ayahmu. Aku telah menikah dengan penolongku ini sejak diusir dari Pulau Naga dan kami mempunyai seorang anak, ialah adikmu Li Hong ini.” Sebagai seorang gadis yang terpelajar dan berkelakuan baik berprIbudi tinggi, Ouw Yang Hui cepat bangkit dan memberi hormat kepada Gan Hok San. “Terimalah hormat saya, Ayah.” Gan Hok San memandang dengan wajah berseri-seri. “Waduh, tahu-tahu aku mempunyai seorang anak gadis yang sudah dewasa dan cantik jelita! Sungguh aku merasa berbahagia sekali dan engkau tentu akan dapat menjadi pembimbing yang baik bagi Li Hong adikmu, Hui-ji.” Ouw Yang Hui tersenyum dan hatinya girang bukan main. la memaklumi mengapa Ibunya kini menjadi
737
isteri pendekar ini setelah diusir bahkan akan dIbunuh Ouw Yang Lee. Gan Hok San ini memang seorang pendekar yang budiman dan baik budi, sikapnya juga amat ramah dan baik, menerimanya seperti anak sendiri. Sim Kui Hwa memandang kepada Sin Cu yang sejak tadi hanya duduk diam saja dan yang ikut berseri wajahnya menyaksikan pertemuan yang penuh kegembiraan dari keluarga itu. “Hui-ji, siapakah pemuda yang menemanimu ini?” tanya nyonya itu. “Ah, maaf, hampir aku lupa, Ibu. Dia itu adalah penolongku yang menyelamatkan aku dari bahaya maut dan yang begitu berbaik hati untuk mengantar aku mencarikan Ibu sampai dapat. Tanpa bantuannya, tidak mungkin kita akan dapat saling bertemu, Ibu.” Sim Kui Hwa yang juga berwatak lembut itu lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada Sin Cu. “Sicu (orang gagah), terimalah ucapan terima kasihku yang tak terhingga atas semua pertolonganmu terhadap anak kami Ouw Yang Hui.” Sin Cu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan itu.
738
“Ah, bibi yang baik, harap jangan bersikap sungkan. Apa yang saya lakukan sama sekali bukan pertolongan, melainkan sudah sewajarnya bagi saya untuk melakukan kewajiban. Hal seperti ini tentu telah dimaklumi benar oleh seorang pendekar besar seperti Paman Gan Hok San.” “Ha-ha-ha, engkau tentu seorang pendekar muda yang gagah dan budiman, Wong Sin Cu.” “Oh ya, aku malah lupa memperkenalkan namanya kepadamu, Ibu. Namanya Wong Sin Cu. Ayah malah sudah mengetahuinya ketika kami tadi memperkenalkan diri kepada Ayah,” kata Ouw Yang Hui sambil tertawa. Kini wajah Ibu dan anak itu dipenuhi tawa ria dan wajah mereka berseri penuh kebahagiaan. “Nah, sekarang tiba saatnya Enci Hui dan Ibu menceritakan semua ini kepadaku. Sejak tadi aku merasa heran dan bingung setengah mati,” kata Li Hong yang lincah. “Adikmu benar, Hui-ji. Kami semua juga ingin sekali mendengar apa yang telah kau alami selama ini. Bertahun-tahun aku setiap hari memikirkanmu, dan Ayahrnu ini juga sudah berusaha sekuat tenaga mencari jejakmu, namun tak berhasil,” kata Sim Kui Hwa.
739
“Nanti dulu!” tiba-tiba Gan Hok San berseru sambil mengangkat tangannya dan menoleh kepada isterinya. “Apakah tidak sebaiknya kalau kita lebih dulu makan pagi? Sin Cu dan Hui-ji tentu lelah dan lapar setelah melakukan perjalanan jauh.” “Ah, ya... Sampai lupa aku saking gembiranya. Hayo, Hui-ji dan Li Hong, kalian membantu aku di dapur,” kata Sim Kui Hwa. Dua orang anak perempuannya itu sambil tersenyum berdiri dan mengikutinya. Tak lama kemudian keluarga itu sudah duduk menghadapi meja makan dan mereka makan pagi dalam suasana gembira. Bahkan Sin Cu terbawa merasa gembira sekali melihat betapa wajah Ouw Yang Hui yang cantik jelita itu tampak merah semringah, cerah berseri-seri dan sepasang mata yang indah lembut seperti mata burung Hong itu bercahaya. Setelah makan pagi mereka duduk kembali ke ruangan dalam dan seorang pembantu wanita menyingkirkan bekas makan pagi dan membersihkan meja. Dengan suasana santai Ouw Yang Hui yang diharuskan menceritakan pengalamannya itu mulai bercerita. la menceritakan betapa ketika dalam usia tujuh tahun ia dipisahkan dari Ibunya dan dilarikan oleh seorang anak buah penculik, orang yang melarikannya itu di tengah jalan dihadang lalu dIbunuh oleh
740
dua orang laki-laki jahat lainnya. Kemudian ia dibawa oleh dua orang laki-laki itu ke kota Nam-Po dan di sana ia dijual, kepada seorang wanita bernama Cia-Ma, seorang mucikari. “Seorang mucikari??” pertanyaan dengan suara kaget ini keluar dari mulut Sim Kui Hwa dan Gan Hok San hampir berbareng. Terkejut dan ngeri rasa hati mereka mendengar bahwa Ouw Yang Hui terjatuh ke tangan seorang mucikari dan mereka tentu saja otomatis membayangkan yang bukan-bukan menimpa diri Ouw Yang Hui. Sebelum Ouw Yang Hui sempat menjawab, Li Hong memandang kepada Ibunya dan bertanya, “Ibu, mucikari itu apakah?” Pertanyaan ini terasa seperti todongan pedang di depan dada Sim Kui Hwa. la menjadi terkesiap, bingung dan iapun memandang kepada suaminya. Akan tetapi dari pandang mata suaminya ia tahu bahwa suaminya itu menjadi lebih bingung dari padanya. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan anak perempuannya yang baru berusia sembilan tahun tentang mucikari? Akan tetapi setelah mempertimbangkan sebentar, Sim Kui Hwa menjawab dengan lembut. “Mucikari adalah seorang wanita yang... tidak baik.” “Maksud Ibu, seorang wanita jahat?” Li Hong mengejar.
741
“Begitulah,” jawab Ibunya singkat. “Jahat bagaimana, Ibu? Suka mencurikah?” “Tidak, Li Hong,” jawab Ibunya lembut. “Kalau begitu, suka menipu?” “Ya, begitulah. Suka menipu orang,” jawab Sim Kui Hwa. “Sekarang diamlah, biar Encimu melanjutkan ceritanya. Ouw Yang Hui memaklumi kekagetan Ibu dan Ayah tirinya mendengar bahwa ia dijual kepada seorang mucikari, maka iapun lalu menerangkan dengan sejujurnya. “Cia-Ma itu baik sekali kepadaku, Ibu. Sejak aku tinggal bersamanya, ia menganggapku sebagai anaknya sendiri. la mengundang guru-guru sastra dan kesenian untuk mengajarku. Aku menjadi dewasa dan menguasai kesusasteraan dan kesenian, telah membaca kitab-kitab agama dan budi pekerti. Cia-Ma mengaturnya sehingga aku berada di tempat terhormat, bahkan dihormati semua Kongcu dari Nam-Po dan dari kota raja. Mereka tidak berani menggangguku dan hanya ingin mendengar aku bermain yangkim, meniup suling, dan bernyanyi. Bahkan
742
Sribaginda Kaisar dengan menyamar pernah berkunjung untuk mendengarkan aku bermain musik dan bernyanyi.” “Ahhhh...!” Sim Kui Hwa takjub akan tetapi di lubuk hatinya masih merasa khawatir. Anak gadisnya hidup di rumah seorang mucikari, di antara para gadis pelacur! Tentu saja ia khawatir bahwa puterinya itu tentu telah dijual oleh sang mucikari kepada para pria hidung belang. “Sesungguhnya, Ibu, harus kuakui bahwa Cia-Ma amat menyayangku, bahkan ia menjaga diriku mati-matian agar tidak sampai tergoda dan terganggu oleh para Kongcu yang menjadi langganannya. la mEncita-citakan agar aku kelak dapat berjodoh dengan seorang pemuda bangsawan yang baik dan mulia agar hidupku dapat menjadi terhormat dan mulia. Ketika aku hendak diganggu oleh seorang pemuda bangsawan yang berandalan, diam-dian kakak Wong Sin Cu ini membela dan menyelamatkanku. Itulah pertemuan dan perkenalan pertama dengan dia.”Ouw-ya Hui menoleh kepada Sin Cu yang menundukan muka. “Wong-sicu telah berbaik hati menolong anakku, sungguh aku berterima kasih sekali,” kata Sim Kui Hwa sambil memandang kepada pemuda itu.
743
“Ah, bibi, semua yang saya lakukan itu sudah menjadi kewajiban saya dan tidak ada artinya,” kata Sin Cu. “Kata-katamu itu menunjukkan kerendahan hatimu, sicu.” “Bibi, harap bibi tidak menyebut sicu kepada saya. Sebut saja nama saya seperti yang dilakukan oleh Paman Gan Hok San.” Sim Kui Hwa mengangguk. “Baiklah Sin Cu. Engkau adalah penolong dan sahabat baik Hui-ji, berarti merupakan orang dari kalangan kami sendiri. Lanjutkan ceritamu, Hui-ji.” “Seperti kukatakan tadi, Ibu, Sribaginda Kaisar dengan menyamar datang berkunjung untuk mendengarkan aku bermain musik dan bernyanyi. Ibu tentu tidak dapat menduga dengan siapa beliau itu datang berkunjung.” Sim Kui Hwa menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menduganya? Dengan siapakah beliau datang berkunjung, Hui-ji?” “Bayangkan kekagetan dan kegirangan hatiku, Ibu. Beliau datang bersama Suheng!”
744
“Ahh! Suhengmu di sana bersama Sribaginda Kaisar?” seru Sim Kui Hwa heran. “Benar, Ibu. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa munculnya Suheng yang mengenalku itu mendatangkan melapetaka bagiku.” “Mengapa begitu?” “Ternyata dia berada di kota raja bersama Ayah Ouw Yang Lee dan dia bercerita kepada Ayah tentang diriku. Pada suatu hari Ayah Ouw Yang Lee datang dan mengamuk di rumah Cia-Ma. Dia membunuh Cia-Ma yang tidak berdosa dan merobohkan para penjaga keamanan. Aku melarikan diri ke arah kota raja, maksudku untuk mohon pertolongan Sribaginda Kaisar. Akan tetapi Ayah dapat mengejarku dan dia bermaksud membunuhku, Ibu.” “Manusia berwatak iblis!” Sim Kui Hwa menyumpah. “Dulu dia hendak membunuh aku, kini hendak membunuh puterinya sendiri pula.” “Hui-ji, bagaimana engkau dapat lolos dari tangan Ayahmu?” tanya Gan Hok San yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
745
“Cu-ko inilah yang muncul dan menolongku, dan Cu-ko membawaku merantau untuk mencari Ibu. Berbulan-bulan kami merantau dan akhirnya dapat menemukan alamat Ibu disini maka hari ini kami dapat datang. Sekarang giliran Ibu untuk menceritakan pengalaman Ibu.” Sim Kui Hwa menghela napas panjang. “Tidak banyak yang dapat kuceritakan, semua sudah kau dengar dari Suhengmu. Aku ditolong dari tangan penculik oleh Ayah tirimu ini, kemudian kami berdua pergi ke Pulau Naga. Ayah tirimu ini mengantarkan aku pulang ke sana. Akan tetapi Ouw Yang Lee tidak mau menerimaku bahkan ingin membunuhku. Ayah tirimu ini mencegah sehingga terjadi perkelahian. Ayah tirimu menang dan membawaku keluar dari Pulau naga. Karena di dunia ini aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, akhirnya aku menikah dengan penolongku dan lahirlah Li Hong. “Wah,... kalau begitu aku dan Enci Hui satu Ibu berlainan Ayah! Aku pernah baca dalam buku dongeng bahwa kakak tiri itu jahat dan Hui-ci adalah kakak tiriku!” kata Li Hong. Ouw Yang Hui merangkul anak perempuan yang lincah dan manja itu. “Tidak semua kakak tiri, Ibu tiri atau Ayah tiri itu jahat, adikku. Buktinya, Ayah tiriku ini tidak jahat dan akupun tidak akan jahat
746
terhadapmu.” Pada saat itu terdengar suara nyaring dari luar rumah. “Gan Hok San, keluarlah. Akhirnya aku bisa mendapatkan tempat tinggalmu dan aku datang untuk menebus kekalahanku dahulu!” Wajah Sim Kui Hwa berubah! “Itu... dia...! dia Ouw Yang Lee.” Gan Hok San melompat berdiri dan berkata kepada mereka yang berada di situ, “Kalian semua berdiam di sini dan jangan keluar, berbahaya. Biar aku sendiri yang menghadapi dia!” Mendengar ucapan suaminya, Sim Kui Hwa lalu menghampiri Ouw Yang Hui dan merangkul anaknya itu. Mereka tahu bahwa mereka berdualah yang diancam untuk dIbunuh oleh Ouw Yang Lee yang kini berada di luar rumah mereka. Melihat Ibu dan Encinya saling rangkul dan tampak ketakutan, Li Hong berkata marah. “Biar aku membantu Ayah menghajar orang jahat yang datang!” “Hong-moi, jangan” Ouw Yang Hui melompat dan merangkul anak itu yang lalu didekapnya dan tidak dilepaskannya. “Dia itu berbahaya sekali, engkau dapat dIbunuhnya! “Aku tidak takut! Aku akan melawan dia!” Li Hong meronta.
747
“Li Hong, jangan begitu. Diam kau dan tinggal saja di sini bersama kami!” Sim Kui Hwa membentak. Biarpun bentakan Ibu itu lembut saja, namun seketika Li liong menjadi lemas. Anak ini biarpun galak dan keras hati, namun selalu tunduk dan taat kepada Ibunya. “Cu-ko..., tolonglah....!” kata Ouw Yang Hui lirih sambil memandang kepada Sin Cu. Pemuda itu mengangguk dan berkata kepada Sim Kui Hwa, “Bibi, jangan khawatir, saya akan membantu.” Setelah berkata demikian, Sin Cu melangkah keluar dari ruangan itu. Ketika Gan Hok San meninggalkan ruangan dalam, dia masuk ke kamarnya dan menyambar pedangnya yang digantungkan di punggung. Setelah itu baru dia keluar dari rumah. Di pekarangan rumah itu telah berdiri Ouw Yang Lee bersama seorang wanita yang tampaknya baru berusia empat puluh tahun, pesolek dan pakaiannya mewah, di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Wanita itu adalah Cui-Beng Kui-Bo yang sebetulnya sudah berusia enam puluh tahun. Ouw Yang Lee hendak membalas kekalahannya terhadap Gan Hok San, akan tetapi karena maklum bahwa musuhnya itu lihai sekali, maka dia minta bantuan nenek itu untuk menemaninya. Ouw Yang Lee bukan hanya datang untuk
748
menebus kekalahannya di Pulau Naga dahulu, akan tetapi juga untuk mencari Ouw Yang Hui yang mungkin saja telah menemukan Ibunya di tempat ini. Ouw Yang Lee memandang kepada Gan Hok San yang keluar dari pintu depan dengan mata mencorong karena marah. Dia bukan saja membEnci Gan Hok San yang pernah mengalahkannya, akan tetapi terutama sekali karena dia menganggap pendekar itu telah berjina dengan isterinya ketika Gan Hok San menolong isterinya Sim Kui Hwa itu. “Ah, kiranya engkau yang datang, Ouw Yang Lee” kata Gan Hok San dengan sikap tenang dan dia memandang kepada Cui-Beng Kui-Bo dengan penuh perhatian dan diam-diam diapun terkejut sekali. Pernah satu kali dia melihat nenek ini ketika belasan tahun yang lalu para datuk dunia kangouw mengadakan pertemuan di puncak Thai-San. “Hemm, kiranya Cui-Beng Kui-Bo juga datang bersamamu. Tidak tahu ada urusan apakah kalian berdua datang berkunjung?” “Gan Hok San! Aku datang untuk membuat perhitungan denganmu. Aku akan, menebus kekalahanku dahulu!” Ouw Yang Lee membentak marah.
749
“Ouw Yang Lee, sebetulnya diantara kita tidak ada permusuhan apapun, kenapa engkau mendesakku?” Akan tetapi tiba-tiba Ouw Yang Lee mengalihkan perhatiannya ke arah pintu karena pada saat itu di ambang pintu muncul Sim Kui Hwa dan Ouw Yang Hui! “Ha, bagus sekali, kalian ternyata berada di sini!” teriak Ouw Yang Lee. “Gan Hok San, kedatanganku ini hendak membunuh perempuan tak tahu malu Sim Kui Hwa dan untuk mengajak, pergi anakku Ouw Yang Hui!” “Ouw Yang Lee, engkau sungguh seorang laki-laki yang tidak tahu malu!” tiba-tiba Sim Kui Hwa berkata dan suaranya yang biasanya lembut itu kini terdengar penuh nada teguran. “Dahulu engkau sudah mengusirku dan tidak mau menerima aku sebagai isterimu, kenapa sekarang engkau malah mencariku?” “Ayah! Sungguh aku merasa malu mempunyai Ayah sepertimu!” kata pula Ouw Yang Hui. “Engkau hendak mencelakai kami Ibu dan anak. Aku tidak sudi ikut bersamamu!”
750
“Ouw Yang Lee, engkau sudah mendengar sendiri ucapan Ibu dan anak itu? Mereka sekarang bukan isteri dan anakmu lagi, melainkan isteri dan anakku. Aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku kalau engkau hendak mengganggu mereka, engkau harus melangkahi mayatku lebih dulu!” kata Gan Hok San dengan gagah, berdiri membelakangi dua orang wanita itu untuk melindungi mereka. “Bagus, kalau begitu kami akan membunuhmu dulu sebelum aku membunuh Sim Kui Hwa dan membawa pergi Ouw Yang Hui. Kui-Bo, hajar dan bunuh manusia sombong ini!” kata Ouw Yang Lee dan Cui beng Kui-Bo yang memang sudah tahu bahwa ia diminta untuk menandingi Gan Hok San, sambil tersenyum genit menggerakkan kakinya dan tubuhnya berkelebat kedepan Gan Hok San. Gerakannya cepat sekali bagaikan seekor burung terbang saja dan Gan Hok San yang melihat ini terkejut dan maklum bahwa wanita ini adalah seorang ahli ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat tangguh. Hatinya menjadi khawatir sekali, bukan khawatir akan keselamatan diri sendiri, melainkan khawatir akan keselamatan isterinya dan kedua orang anaknya, Ouw Yang Hui dan Gan Li Hong. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring.
751
“Tunggu dulu! Nenek jahat jangan ganggu Ayahku. Aku yang akan melawanmu!” Li Hong meloncat dari belakang Ibunya, tangan kanannya membawa sebatang pedang kecil yang biasa ia pakai berlatih silat.! Melihat kenekatan anak perempuannya yang hendak langsung menyerang Cui-Beng Kui-Bo, Gan Hok San terkejut dan cepat dia menangkap anaknya dan ditariknya mendekati isterinya. “Li Hong, jangan lancang! Berdiamlah di sini dan jaga Ibumu!” “Hi-hi-hik! Bagus sekali, singa betina kecil! Mau aku mengambilnya sebagai muridku!” Akan tetapi pada saat itu, Sin Cu keluar dari pintu dan menghadapi Gan Hok San sambil berkata. “Paman Gan Hok San, perkenankan saya mewakili Paman menandingi nenek itu.” Gan Hok San memandang kepada Sin Cu dan tampak ragu dan khawatir. Tentu saja dia tidak menghendaki orang lain menjadi korban untuk membelanya. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Cui-Beng Kui-Bo jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian Ouw Yang Lee dan bahkan dia sendiri rasanya akan sukar mengalahkan nenek itu. Pemuda ini tentu akan tewas kalau berani menghadapi nenek itu. Melihat keraguan Ayah tirinya, Ouw Yang Hui berkata,
752
“Ayah, Cu-ko memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia pasti akan mampu mengalahkan lawannya. Aku percaya kepadanya, Ayah.” Mendengar ucapan Ouw Yang Hui, biar pun hatinya masih merasa ragu dan khawatir, dia memandang pemuda itu. Pandang mata mereka bertemu dan, Gan Hok San melihat sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata naga! Dia lalu mengangguk. “Berhati-hatilah, Sin Cu,” katanya. sementara itu, ketika Ouw Yang Lee melihat Sin Cu, dia menjadi terkejut bukan main. Dia mengenal pemuda itu sebagai seorang yang pernah menolong Ouw Yang hui ketika dia hendak membunuh gadis itu dan dia telah merasakan sendiri betapa lihainya pemuda itu. Cui-Beng Kui-Bo tentu saja memandang rendah pemuda itu dan iapun tersenyum gembira melihat bahwa yang maju menandinginya adalah seorang pernuda yang tampan sekali. Wanita ini memang mata keranjang dan paling suka melihat pemuda-pemuda yang ganteng. lapun tidak ingin menggunakan sepasang pedangnya karena dengan tangan kosong akan lebih mudah baginya untuk mempermainkan pemuda tampan itu. Mereka berdiri saling berhadapan. Cui beng Kui-Bo tersenyum-senyum mengamati wajah pemuda itu dan Sin Cu juga memandang dengan penuh kewaspadaan karena dia dapat menduga bahwa orang yang diajak Ouw Yang Lee untuk
753
menandingi Gan Hok San tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. “Hi-hih, orang muda yang ganteng! Siapa namamu? Aku selalu harus mengetahui siapakah nama orang yang bertanding dengan aku Cui-Beng Kui-Bo.” “Nama ku Wong Sin Cu.” “Wong Sin Cu, orang muda yang tampan. Aku merasa sayang sekali kalau wajahmu yang tampan itu menjadi cacad kalau engkau bertanding melawanku. Karena itu, sudahlah, tidak perlu engkau membela Gan Hok San. Engkau jadilah saja muridku yang tersayang. Maukah engkau, Wong Sin Cu?” “Hei, nenek gila” Tiba-tiba Li Hong berteriak dari samping Ibunya yang memegangi tangannya. “Kakak Wong Sin Cu adalah seorang pemuda gagah perkasa, seorang pendekar. Tidak perlu engkau membujuk rayu dengan omonganmu yang jahat. Kalau memang engkau memiliki nyali, maju dan lawanlah dia!” Mendengar ucapan yang lantang itu, wajah Cui-Beng Kui-Bo menjadi merah dan ia memandang ke arah Li Hong dengan mata melotot.
754
“Anak setan! Tunggu saja nanti, akan kucabut keluar lidahmu dari mulutmu yang lancang itu!” teriaknya marah sekali. “Cui-Beng Kui-Bo, tidak perlu engkau marah-marah kepada seorang anak kecil. Kalau engkau tetap hendak membantu Ouw Yang Lee memusuhi Paman Gan Hok San yang tidak bersalah, marilah tandingi aku!” kata Sin Cu dengan sikap tenang. Untuk mengubah sikapnya yang tadi marah-marah tidak karuan seperti bukan sikap seorang datuk yang tenang, Cui-Beng Kui-Bo memandang kepada Sin Cu dan tersenyum, dIbuat semanis mungkin. “Wong Sin Cu, sebelum kita bertanding akan kuberitahukan kepadamu bahwa kalau engkau kalah dalam pertandingan ini, aku akan memaksamu ikut denganku untuk menjadi muridku.” “Bagaimana kalau engkau yang, kalah, nenek busuk?” kembali Li Hong berteriak. Sim Kui Hwa mendekap mulut anak itu dengan tangannya, akan tetapi pertanyaan itu sudah keluar. Untuk membela pertanyaan Li Hong tadi, Sin Cu membenarkan. “Benar sekali pertanyaan itu, bagaimana kalau engkau yang kalah, Kui-Bo?”
755
“Heh-heh,... mana mungkin aku kalah? Kalau aku kalah olehmu, aku akan pergi dan tidak akan datang mengganggumu lagi.” “Bagus, kalau begitu mari kita mulai,” kata Sin Cu yang sudah siap, walaupun, dia tidak memasang kuda-kuda khusus, hanya berdiri dengan sikap santai saja. Melihat pemuda itu tidak memasang kuda-kuda, Cui-Beng Kui-Bo mengerutkan alisnya. Sikap seperti itu, menghadapi pertandingarn dengan santai, merupakan sikap seseorang yang sudah yakin akan kemampuannya sendiri, seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sehingga dalam keadaan sikap tubuh bagaimanapun dia sudah menyembunyikan kewaspadaan dan ketahanan yang sempurna. Seperti biasa kalau menghadapi lawan yang memiliki kepandaian tinggi, Cui-Beng Kui-Bo mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah amat tinggi tingkatnya. Dengan keringanan tubuhnya yang membuat ia dapat bergerak cepat sekali, ia mampu mengatasi dan mengalahkan banyak lawan. “Sambut seranganku!” teriaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak dan berkelebat dengan cepat, kedua tangannya sudah melakukan serangan bertubi dan silih berganti. Serangan ini hebat bukan main karena cepatnya sehingga sukar dielakkan atau ditangkis. Kedua tangan nenek itu seolah telah berubah menjadi banyak. Akan tetapi Sin Cu menghadapinya dengan tenang sekali.
756
Dia menggunakan ilmu langkah ajaib Chit-Seng Sin-Po dan tubuhnya bergeser ke sana sini dan sungguh luar biasa, semua serangan yang datangnya seperti banjir itu tidak satupun yang mengenai tubuhnya! Sin Cu merasa heran sekali ketika mendapat kenyataan betapa serangan yang gencar itu sama sekali tidak berbahaya karena kedua tangan yang menyerang bertubi-tubi itu hanya membuat gerakan mengusap, mengelus, menyentuh, bahkan mencubit! Menyadari bahwa wanita itu hendak mempermainkannya dan membelainya, wajah Sin Cu berubah kemerahan. Di lain pihak, Cui-Beng Kui-Bo yang tadinya hendak main-main, juga merasa heran bukan main. Biarpun ia bukan menyerang dengan pukulan berbahaya, namun usapan, sentuhan dan cubitan tangannya itu amat cepat dan akan sukar untuk dielakkan. Akan tetapi tidak satu kalipun kedua tangannya mengenai sasaran. Semua serangannya itu luput dan tubuh pemuda itu bergerak cepat dengan geseran-geseran kaki secara aneh! Karena merasa dipandang ringan, Sin Cu merasa panas juga hatinya. Dia mencari kesempatan dan setelah mendapatkan lowongan, dia menangkis tangan kanan nenek itu dengan kuat, mengerahkan tenaga saktinya. “Dukkk...!” Cui-Beng Kui-Bo mengeluarkan seruan kaget dan tubuhinya terdorong mundur, lengannya terpental ketika bertemu
757
dengan lengan Sin Cu dan merasa betapa kulit lengannya itu panas bukan main. Kenyataan ini membuka mata nenek itu bahwa lawannya bukan hanya pandai mengelak secara aneh, akan tetapi juga memiliki tenaga sakti yang amat kuat. la merasa kecelik dan baru menyadari bahwa ia terlalu memandang ringan kepada seorang lawan yang sebetulnya tangguh sekali. “Bocah, kau tidak boleh diberi hati” bentak Cui-Beng Kui-Bo dan sekarang barulah ia menyerang dengan sungguh-sungguh. Kedua telapak tangannya menyambar-nyambar ganas dengan pukulan dan tamparan tangan terbuka. Sin Cu terkejut sekali ketika pEnciumannya menangkap bau harum yang kuat keluar dari kedua telapak tangan itu. Maklumlah dia bahwa lawannya mempunyai tamparan yang mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali. Dugaannya memang tepat karena pada saat itu, Cu beng Kui-Bo sudah tidak mau main-main lagi dan ia telah menyerang dengan ilmu andalannya, yaitu Hwa-Tok-Ciang (Tangan Racun Bunga) yang amat berbahaya. Sekali saja terkena tamparan telapak tangan yang mengandung hawa beracun itu, cukup untuk mencabut nyawa seseorang. Namun Sin Cu adalah seorang pemuda yang sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Bu Beng Siauwjin. Maklum bahwa lawannya mempunyai kedua tangan yang mengandung racun berbahaya,
758
diapun lalu mengerahkan Thai-Yang Sin-Ciang dan bersilat dengan aturan langkah Chit-Seng Sin-Po. Dengan begini dia mampu menghindarkan setiap serangan lawan dan membalas dengan tamparan dan pukulan tangan yang mengandung hawa panas! Melihat Cui-Beng Kui-Bo sudah ditandingi oleh pemuda yang ternyata mampu mengimbangi nenek lihai itu, Gan Hok San merasa heran, kagum dan lega. Tidak disangkanya bahwa pemuda yang datang mengantar Ouw Yang Hui itu ternyata seorang pemuda sakti! Dia lalu melangkah maju menghadapi Ouw Yang lee. “Ouw Yang Lee, temanmu Cui-Beng Kui-Bo sudah menemukan lawan. Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Kunasihatkan engkau agar kembali saja ke tempat asalmu dan jangan ganggu kami sekeluarga lagi. Atau apakah engkau ingin mengulangi lagi kekalahanmu dariku?” “Manusia sombong! Sekarang aku akan membunuhmu!” bentak Ouw Yang Lee yang sudah mencabut pedangnya. Dia menerjang maju, mendorongkan tangan kirinya dan memukul dengan ilmu Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah). Telapak tangan kirinya berubah merah dan pukulan ini dahsyat bukan main. Namun dengan gesitnya Gan Hok San sudah menggerakkan tubuh ke kiri untuk mengelak sambil terus berputar dan mencabut pedangnya.
759
Melihat pukulan tangan kirinya luput, Ouw Yang Lee sudah menyambung serangannya itu dengan serangan pedang yang menyambar ganas ke arah leher Gan Hok San. Pendekar ini mengayun pedangnya menyambut. “Trang.......!” pedang bertemu dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Kedua orang ini mundur dua langkah, kemudian mereka bergerak maju lagi saling serang dengan serunya. Sementara itu, Cui-Beng Kui-Bo menjadi semakin penasaran. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda tampan yang masih amat muda itu mampu menandinginya. Semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu, bahkan kalau pemuda itu membalas, kadang ia merasa terdesak! Apa lagi kalau pemuda itu menyerangnya dengan totokan satu jari yang ia tahu adalah ilmu totok It-Yang-Ci yang amat dahsyat dari Siauw-Lim-Pai! Pemuda itu bukan hanya mampu menandinginya, bahkan merupakan lawan berat yang amat berbahaya baginya. Kenyataan pahit ini hampir tak dapat ia mempercayainya kalau tidak mengalaminya sendiri. la yang selama puluhan tahun sudah terkenal sebagai datuk dari selatan yang jarang bertemu tandingan, kini terdesak oleh seorang pria yang masih amat muda dan sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw!
760
“Sratttt... Cringgg” Kedua tangan Cui-Beng Kui-Bo bergerak ke punggung, tampak sinar berkelebat ketika kedua tangannya mencabut sepasang pedangnya dan ia lalu mengadukan sepasang pedang itu sehingga terdengar bunyi nyaring dan tampak api berpijar. Akan tetapi ia masih ingat akan kedudukannya sebagai seorang datuk besar, maka ia tidak mau menyerang lawan yang masih bertangan kosong karena itu ia berseru, “Orang muda, keluarkanlah senjatamu dan lawanlah siang-kiam ku ini! Sin Cu telah merasakan kelihaian nenek itu. Dia tahu bahwa Cui-Beng Kui-Bo adalah seorang lawan yang tangguh sekali. Tadipun dia hanya baru dapat kadang-kadang mendesak dan kalau pertandingan tangan kosong itu dilanjutkan, dia tidak tahu entah dia akan dapat keluar sebagai pemenang atau tidak, dan andaikata dia dapat menang, hal itu akan makan waktu lama. Kini nenek itu membawa dua batang pedang, tentu ilmu silat sepasang pedangnya berbahaya sekali. Maka diapun tidak ragu-ragu lagi dan mencabut pedang yang tergantung di punggungnya. “Singgg...!” Tampak sinar putih berkelebat dan pedang Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) peninggalan mendiang Panglima Kwee Liang telah berada ditangan kanannya. Melihat betapa pemuda itu telah mencabut sebatang pedang berbentuk naga putih, Cui-Beng
761
Kui-Bo segera menggerakkan sepasang pedangnya dan membentak, “Lihat pedang” la sudah menyerang dengan dahsyat, sepasang pedangnya dengan cepat sekali berkelebat menyambar dari kanan kiri bagaikan kilat. Jurus menggunting dengan sepasang pedang itu telah menutup jalan keluar dari kanan dan kiri. Akan tetapi Sin Cu tidak menjadi gugup, dengan langkahnya yang aneh tubuhnya sudah mundur ke belakang dan sekali memutar pedangnya, gulungan sinar putih menjadi perisai dirinya. “Trang..., Cringgg...!” Sepasang pedang itu bertemu dengan Pedang Naga Putih dan Cui-Beng Kui-Bo merasa betapa kedua tangannya tergetar. Akan tetapi Sin Cu juga merasa tangannya tergetar. Nenek itu menjadi marah dan sambil berteriak melengking ia sudah menerjang lagi, kini sepasang pedangnya yang digerakkan dengan amat cepat telah membentuk dua gulungan sinar yang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung menerjang ke arah Sin Cu. Sin Cu membuat pertahanan yang kokoh kuat dengan pedangnya, bagaikan sebuah batu karang yang tidak bergeming diterjang ombak. Dia memainkan ilmu pedang rangkaian Bu Beng Siauwjin, ilmu pedang yang disesuaikan dengan pedang itu dan oleh kakek
762
sakti itu diberi nama Pek-Liong Kiam-Sut (Ilmu Pedang Naga Putih). Ketika Sin Cu memainkan ilmu pedang ini, pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang tebal, melayang-layang bagaikan seekor naga putih bermain-main di angkasa. Kadang-kadang terdengar bunyi denting nyaring kalau pedang kedua orang yang bertanding itu bertemu, disusul percikan bunga api. Terjadi pertandingan pedang yang amat seru. Akan tetapi pertandingan antara Ouw Yang Lee melawan Gan Hok San tidak berjalan seimbang. Setelah lewat seratus jurus, mulailah Ouw Yang Lee terdesak hebat. Tadinya, Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee majikan Pulau Naga ini mengira bahwa dia akan mampu menebus kekalahannya dahulu dari Gan Hok San karena selama ini dia telah berlatih setiap hari memperdalam ilmu silatnya. Tidak tahunya Gan Hok San juga berbuat serupa sehingga pendekar Siauw-Lim-Pai inipun rnengalami kemajuan. sehingga ketika kini bertanding lagi, tentu saja Gan Hok San lebih unggul setingkat dibandingkan Ouw Yang Lee. Setelah saling serang selama seratus jurus, Ouw Yang Lee kini terdesak hebat oleh permainan pedang Gan Hok San yang mantap dan kokoh. Ouw Yang Lee hanya dapat menangkis sambil main mundur, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas. Pada suatu saat, pedang di tangan Gan Hok San menyambar
763
ganas ke arah leher Ouw Yang Lee dalam jurus pedang Petir menyambar Lonceng Emas. “Singgg...!” Pedang itu membentuk sinar yang menyambar cepat dan kuat sekali. Ouw Yang Lee yang sudah terdesak, terkejut dan cepat dia menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya. menangkis pedang, akan tetapi tubuhnya terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Gan Hok San untuk mengejar tiga langkah dan mengayun kakinya menendang. “Wuuuttt... Desss!!” Lambung Ouw Yang Lee terkena tendangan. Tubuhnya terpelanting dan dia roboh bergulingan. Untung baginya Gan Hok San tidak bermaksud membunuhnya sehingga dia membatasi tenaga ketika menendang. Ouw Yang Lee tidak terluka parah namun dia cukup maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, akhirhya dia akan kalah dan mungkin tewas di tangan lawannya. Dia menoleh ke arah Cui-Beng Kui-Bo yang juga belum mampu merobohkan Sin Cu. Dia menjadi putus asa dan menyesal mengapa dia tidak mengajak Tho-Te-Kong ketika mendatangi Gan Hok San. Kalau kakek sakti itu ikut, tentu dia telah berhasil membunuh Gan Hok San sekarang dan Sim Kui Hwa, dan dapat memboyong Ouw Yang Hui ke kota raja dijadikan sarana mendapatkan kedudukan tinggi!
764
“Kui-bo, mari kita pergi!” teriaknya kepada Cui-Beng Kui-Bo sambil melompat jauh dan melarikan diri. Mendengar seruan ini dan melihat betapa rekannya yang mengajaknya ke tempat itu telah melarikan diri, tentu saja Cui-Beng Kui-Bo yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan keluarga Gan, tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan pertandingan. Selain lawan mudanya ternyata lihai bukan main, juga kawannya yang menjadi biang keladi perkelahian itu tidak ada lagi dan kalau sampai Gan Hok San mengeroyoknya, tentu ia akan celaka. Maka iapun melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri mengejar Ouw Yang Lee. Sin Cu hanya berdiri memandang lalu menyarungkan kembali pedangnya, tidak berusaha mengejar. Gan Hok San mengharmpiri Sin Cu. Juga Sim Kui Hwa dan kedua orang anaknya menghampiri pemuda itu. “Ah, ternyata engkau hebat sekali, Sin Cu. llmu silatmu begitu tinggi sehingga engkau mampu menandingi iblis betina yang amat lihai itu. Kalau tidak ada engkau yang membela, tentu kami semua akan celaka di tangan kedua orang jahat itu..” “Sungguh kami berterima kasih Sekali kepadamu, Sin Cu. Kami telah berhutang budi, berhutang nyawa kepadamu,” sambung Sim Kui Hwa.
765
“Aku bahkan telah berhutang nyawa dan budi berulang kali, Ibu. Dia juga pernah mencegah Ayah Ouw Yang Lee membunuhku dan dia telah mengalahkannya,” kata Ouw Yang Hui sambil memandang kepada Sin Cu dengan perasaan bangga sekali karena pemuda itu adalah sahabatnya dan ia yang telah membawa pemuda itu ke situ sehingga dapat menolong mereka. “Harap Paman sekalian tidak bersikap sungkan. Perbuatanku. tadi hanya sewajarnya saja. Bukankah kita harus saling menolong kalau yang satu terancam bahaya?” “Akan tetapi aku merasa khawatir sekali!” kata Sim Kui Hwa kepada suaminya. “Ouw Yang Lee itu seorang yang amat keras hati. Dia selalu menganggap diri sendiri yang paling tangguh dan dia tidak dapat menerima kekalahan. Kekalahannya yang kedua kalinya ini tentu tidak membuat dia jera. Pasti dia akan datang lagi, membawa teman-temannya yang lebih lihai.” Mendengar ini, Gan Hok Sam berkata, “Marilah kita masuk dan bicara di dalam untuk mempertimbangkan bagaimana baiknya” Mereka semua masuk ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja. Mereka semua tampak gelisah oleh ucapan Sim Kui Hwa tadi.
766
“Ayah,” kata Ouw Yang Hui kepada Gan Hok San. “Apa yang dikatakan Ibu tadi memang benar sekali. Bagaimana kalau mereka datang lagi dan menyerang kita?” “Hemm, takut apa? Bukankah di sini ada Ayah, dan terutama ada pula kakak Wong Sin Cu? Kalau ada kakak Sin Cu, biar mereka datang bersama beberapa orang jahatpun, pasti dia akan mampu menghajar mereka!” kata Li Hong dengan suaranya yang nyaring dan merdu. “Ah, Li Hong. Bagaimana Sin Cu dapat lama tinggal di sini? Tak lama lagi tentu dia telah pergi meninggalkan rumah kita,” kata Sim Kui Hwa. “Akan tetapi kenapa? Kenapa dia tidak tinggal saja di sini selamanya?” tanya pula anak itu sambil menoleh dan memandang kepada Sin Cu. “Hush, Li long, jangan bicara ngawur! Kakakmu Sin Cu bukan anggauta keluarga kita, bagaimana bisa tinggal di sini selamanya?” bentak Gan Hok San kepada anak perempuannya yang centil dan pandai berbantahan itu, Akan tetapi dibentak demikian itu, Li Hong tidak jadi mundur, bahkan ia lalu berkata kepada Ayahnya dengan suara lantang.
767
“Kenapa Kak Sin Cu tidak menjadi anggauta keluarga kita, Ayah? Kalau dia menjadi suami Enci Hui, tentu dia menjadi anggauta keluarga kita, menjadi kakak iparku! Kurasa mereka berdua setuju. Engkau setuju kalau menikah dengan Kak Sin Cu, bukan, Enci Hui?” Semua orang terkejut mendengar ucapan yang lancang ini dan seketika wajah Ouw Yang Hui menjadi merah sekali. Apalagi kalimat Li Hong terakhir yang bertanya kepadanya itu. Sejenak ia bingung, kemudian ia lari meninggalkan ruangan itu menuju ke ruangan belakang. la belum mengenal keadaan dalam rumah itu, maka ia tidak tahu di mana kamar Ibunya. la lari asal keluar saja dari ruangan itu, saking rikuh dan malunya! “Kak Sin Cu, engkau tentu mau menikah dengan Enci Hui, bukan?” Li Hong agaknya tidak melihat betapa Ayah Ibunya melotot kepadanya dan ia mengajukan pertanyaan itu kepada Sin Cu. Pemuda ini akan menghadapi serangan pedang yang berbahaya dengan lebih tenang dari pada menghadapi pertanyaan Li Hong itu. Diapun kebingungan, tidak tahu harus menjawab bagaimana, hanya menentang pandang mata Li Hong yang demikian terbuka dan jujur, sepasang mata kanak-kanak yang bening dan tajam, yang seolah mampu menjenguk ke dalam dadanya. Diapun memilih diam tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya, tersipu.
768
“Li Hong! Terlalu lancang mulutmu Hayo engkau masuk, cari Encimu dan minta maaf kepadanya!” Gan Hok San membentak dengan suara mengandung kemarahan. Sekali ini Li Hong menurut. la turun dari kursi, memandang Ayahnya, lalu membalikan tubuh dan bersungut-sungut meninggalkan ruangan itu, mencari Encinya di dalam. Suasuna menjadi hening di dalam ruangan itu. Sin Cu masih duduk menundukkan mukanya. Gan Hok San dan isterinya kadang-kadang saling pandang dan mereka pun merasa rikuh sekali kepada pemuda yang sudah berjasa besar menyelamatkan mereka semua itu. Kemudian Sim Kui Hwa teringat lagi akan kekhawatirannya dan memandang kepada Sin Cu yang masih menunduk. “Sin Cu, bantulah kami memikirkan apa yang terbaik yang dapat kami lakukan menghadapi ancaman mereka itu?” Ketika mengajukan pertanyaan ini Sim Kui Hwa sudah tidak ingat lagi akan usul yang keluar dari mulut kecil puterinya yang lancang tadi. Mendapat pertanyaan itu, Sin Cu mengangkat muka memandang kepada Sim Kui Hwa, kemudian kepada Gan Hok San. Setelah menghela napas panjang menenangkan kembali perasaannya yang tadi terguncang oleh ulah Li Hong, Sin Cu berkata dengan suara tenang.
769
“Apa yang dikhawatirkan bibi memang beralasan. Agaknya Ouw Yang Lee adalah seorang yang pendendam dan tidak dapat menerima kekalahan. Mungkin saja dia datang kembali dan membawa teman-teman yang lihai. Oleh karena itu menurut pendapat saya, jalan satu-satunya yang terbaik bagi. Paman adalah meninggalkan tempat ini, pindah ke tempat lain agar jangan sampai dapat ditemukan Ouw Yang Lee.” Gan Hok San mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Melarikan diri dengan ketakutan? Menjadi pelarian? Tidak, Sin Cu, itu bukan sikap seorang pendekar! Selama hidupku aku belum pernah melarikan diri dan bersembunyi ketakutan dari seseorang!” “Saya percaya itu, Paman. Saya sendiri juga tidak akan lari bersembunyi kalau menghadapi ancaman siapa saja, tetapi lupakah Paman bahwa ada suatu pendapat di antara para budiman bahwa keberanian tanpa perhitungan dan ngawur merupakan suatu kenekatan yang menjurus kepada kebodohan. Seorang bertangan kosong yang dikepung lima ekor harimau besar yang mengancamnya seyogianya melarikan diri memanjat pohon menyelamatkan diri, akan tetapi kalau dia nekat melawan sampai mati dengan tubuh terkoyak-koyak, apakah dia dapat dinamakan gagah perkasa? Apakah hal itu hanya membuktikan kebodohannya sehingga dia mati konyol? Orang-orang yang tadi
770
menyerang ke sini adalah orang-orang yang kejam dan buas melebihi harimau. Pula mereka yang terancam keselamatannya bukan hanya Paman, melainkan isteri dan anak-anak Paman. Apakah Paman hendak mempertaruhkan nyawa mereka, siap mengorbankan mereka demi berkukuh mempertahankan kegagahan yang sesungguhnya hanya merupakan kenekatan yang mengandung kebodohan?” Gan Hok San tertegun dan sampai lama tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Apa yang diucapkan pemuda itu tidak dapat di bantah kebenarannya. Akan tetapi, dia telah diakui sebagai seorang pendekar sakti dari Siauw-Lim-Pai sejak dia muda dan selama ini dia mempertahankan gelar pendekar Siauw-Lim-Pai itu. Bagaimana mungkin kini dia harus bersembunyi, lari terbirit-birit dan ketakutan karena ancaman seorang seperti Ouw Yang Lee? Dia menghela napas panjang dan berkata, “Sin Cu, aku mengerti apa yang kau maksudkan. Akan tetapi tahukah engkau bahwa bagi seorang pendekar, nama dan kehormatan lebih berharga dari pada nyawa? Sejak muda aku dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-Lim-Pai. Kalau sekarang aku melarian diri dari Ouw Yang Lee, dia pasti akan menyebarkan berita bahwa aku lari ketakutan. Hal itu bukan hanya akan menghancurkan nama dan kehormatanku, bahkan juga
771
mencemarkan nama besar Siauw-Lim-Pai. Bayangkan, seorang pendekar Siauw-Lim-Pai lari ketakutan menghadapi ancaman seorang musuh!” “Saya kira bayangan Paman itu berlebihan. Paman bukan melarikan diri karena takut, melainkan melarikan dan menyembunyikan keluarga Paman agar mereka terbebas dari ancaman maut. Pula, rasanya tidak mungkin Ouw Yang Lee berani menyebarkan kabar bohong itu. Dialah yang bertindak pengecut, bukan menghadapi Paman seorang diri satu lawan satu melainkan mengajak datuk-datuk sesat untuk menyerang Paman. Nama besar Siauw-Lim-Pai tidak akan tercemar karena Paman tidak melakukan hal yang tidak patut atau tercela. Paman hanya menyelamatkan keluarga Paman dari ancaman orang yang licik dan curang.” Gan Hok San menoleh kepada isterinya yang masih duduk sambil menundukkan mukanya. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Sim Kui Hwa merasa sedih dan menahan-nahan tangisnya dengan menundukkan mukanya. “Hwa-moi, bagaimana pendapatmu?” pendekar itu bertanya kepada isterinya. Pertanyaan suaminya itu menjebol pertahanan wanita itu dan iapun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Melihat hal ini, Gan Hok San terkejut bukan main dan dia memandangi isterinya dengan mata terbelalak
772
keheranan. Akan tetapi Sin Cu tenang saja melihat nyonya itu menangis karena dia sudah dapat menduga apa yang terkandung dalam hati nyonya itu ketika mendengar percakapan dia dan Gan Hok San. “Isteriku! Kenapa engkau menangis? Kenapa kau begini bersedih? Katakanlah, mengapa?” Gan Hok San bertanya sambil memegang dan mengusap pundak isterinya penuh kasih sayang. Biarpun dia mengenal isterinya sebagai seorang wanita yang sangat lembut dan peka rasa, namun belum pernah ia menangis sesedih ini. Sim Kui Hwa menggunakan saputangan untuk mengusap air matanya dan ia menahan tangisnya. Setelah agak reda isaknya, ia lalu memandang suaminya dengan mata merah dan berkata lembut. “Suamiku, engkau lakukanlah apa yang kau rasa baik..., kami bertiga siap kehilangan nyawa kami yang tidak berharga untuk menjaga nama dan kehormatanmu...” Suara yang lembut penuh kepasrahan itu dirasakan oleh Gan Hok San bagaikan sebatang pedang yang menusuk ulu hatinya. wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan dia mendekati dan memegang kedua tangan isterinya. “Aih, betapa bodoh aku! Betapa mementingkan nama dan kehormatan diri yang kosong sampai mengabaikan keselamatan
773
isteri dan anak-anak tercinta! Kui Hwa, maafkan aku. Sekarang aku menyadari bahwa sikapku tadi sungguh bebal dan hanya ingat diri sendiri. Engkau benar, Sin Cu. Aku harus menyelamatkan anak isteriku dari ancaman bahaya orang-orang yang kejam dan buas. Hentikan tangismu, isteriku. Mari kita berkemas. Sekarang juga kita akan pergi meninggalkan rumah ini!” Sim Kui Hwa sudah berhenti menangis dan ia memandang kepada Sin Cu dengan sinar mata berterima kasih. la merasa dirinya dan kedua orang anaknya dipentingkan dan disayang suaminya. “Baik, mari kita berkemas,” katanya dan ia sudah bangkit berdiri. “Nanti dulu, Hwa-moi. Duduklah dulu karena aku hendak membicarakan sebuah urusan yang amat penting dengan engkau dan Sin Cu,” kata Gan Hok San. Isterinya duduk kembali mendengar ucapan ini dan Sin Cu memandang pendekar itu dengan sinar mata bertanya. Ada hal penting apakah yang akan dibicarakan, pendekar itu dengannya? Karena merasa heran, maka diapun bertanya, “Paman, urusan penting apakah yang hendak Paman bicarakan dengan saya?”
774
“Sin Cu, kuharap engkau suka menjawab pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya karena biarpun kita baru saja saling bertemu, namun kami sudah menganggap engkau sebagai seorang penolong dan sahabat yang amat baik. Sin Cu, berapakah usiamu sekarang?” Tentu saja Sin Cu merasa heran dengan pertanyaan tentang usia ini. “Usia, Paman? Eh, usia saya kalau tidak salah tahun ini saya berusia dua puluh satu tahun.” “Dan apakah engkau sudah beristeri, Sin Cu?” Sin Cu tersenyum akan tetapi wajahnya menjadi kemerahan. Dia menggeleng kepala dan menjawab singkat. “Belum, Paman.” “Dan apakah engkau sudah ditunangkan oleh orang tuamu kepada seorang gadis?” Gan Hok San mengejar. Sin Cu masih belum mengerti ke arah mana pertanyaan bertubi itu dan menjawab sejujurnya, “Belum, Paman.” Kui Hwa kini mendengarkan dengan penuh perhatian karena ia sudah dapat menduga ke arah mana pertanyaan suaminya kepada pemuda itu. Mendengar jawaban itu, wajah Gan Hok San berseri.
775
“Dan siapakah orang tuamu, Apa pekerjaan Ayahmu dan di mana tempat tinggalnya?” Ditanya tentang orang tuanya, tiba tiba awan gelap menyelimuti wajah Sin Cu yang biasanya cerah itu. Pandang matanya redup dan dia menghela napas dalam untuk menenangkan hatinya sebelum menjawab. “Paman dan bibi, saya tidak tahu di mana adanya Ayah dan Ibu saya sekarang, Bahkan wajah merekapun saya tidak ingat lagi. Saya berpisah dari mereka sejak saya berusia tiga tahun dan yang saya ingat adalah bahwa Ayah saya bernama Wong Cin.” Gan Hok San saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua terkejut sekali mendengar ini dan Gan Hok San cepat berkata. “Ah, maafkanlah aku, Sin Cu. Aku tidak tahu akan hal itu. Maafkan aku kalau pertanyaanku tadi membuatmu bersedih.” “Tidak mengapa, Paman. Akan tetapi... mengapa Paman menanyakan tentang semua itu kepada saya?” Kembali suami isteri itu saling pandang dan dari pandang mata isterinya, Gan Hok San tahu bahwa isterinya telah mengerti ke mana tujuan pembicaraannya tadi. “Sin Cu, kita adalah orang-orang yang menghargai kejujuran, maka kami akan berterus terang saja, mudah-mudahan apa yang akan
776
kami katakan ini tidak akan menyinggung perasaannu. Ketahuilah, ucapan yang dikeluarkan secara lancang oleh anak kami Li Hong tadi berkesan mendalam di hati kami dan merupakan dorongan yang kuat menimbulkan keinginan hati kami untuk membuat usul Li Hong tadi menjadi kenyataan! Engkau belum terikat dengan wanita lain, oleh karena itu, jika engkau tidak berkeberatan dan dapat menyetujui, kami akan merasa berbahagia sekali untuk menjodohkan anak kami Ouw Yang Hui denganmu. Bagaimana pendapmu, Hwa-moi, engkau juga tentu setuju bukan?” Sim Kui Hwa mengangguk dengan tersenyum. “Tentu saja aku setuju sekali dan akan merasa berbahagia kalau Sin Cu. menjadi menantuku.” Sin Cu menunduk dan wajahnya berubah merah sekali. Jantungnya berdebar, tegang dan girang. Dia harus mengakui bahwa semenjak pertama kali bertemu Ouw Yang Hui, hatinya telah terpikat dan setelah mereka melakukan perjalanan bersama selama beberapa bulan sehingga dia mendapat kesempatan untuk mengenal gadis itu dari dekat, melihat sikap dan wataknya langsung dia jatuh cinta! Walaupun selama beberapa bulan itu dia tidak pernah menyatakan cintanya melalui kata-kata, namun melihat sikap gadis itu kepadanya, dia hampir yakin bahwa Ouw Yang Hui agaknya tidak akan menolak cintanya. Betapapun juga, dia masih ragu dan harus memperoleh
777
kepastian dulu dari mulut gadis itu apakah suka berjodoh dengannya. “Paman Gan Hok San, tadí Paman mengatakan bahwa Paman menghargai kejujuran. Baiklah, saya akan menjawab dengan sejujurnya kepada Paman dan bibi. Terus terang saja, saya merasa amat iba dan sayang kepada Hui-moi dan saya akan merasa berbahagia sekali untuk dapat hidup berdua dengan Hui-moi sebagai suami isteri dan melindunginya selama hidup saya. Akan tetapi, Paman dan bibi. Bagaimana mungkin kita membicarakan soal perjodohan Hui moi di luar sepengetahuannya? Saya kira yang terpenting adalah bagaimana tanggapan Hui-moi mengenai usul perjodohan ini. Saya baru berani menyatakan kesanggupan saya hanya suka apabila Hui-moi sendiri suka menerimanya.” Suami, isteri itu saling pandang dan keduanya mengangguk-angguk, kagum akan pendirian pemuda itu yang tidak mementingkan kesenangan sendiri. Pemuda lain yang jatuh cinta kepada Ouw Yang Hui tentu akan menerima usul itu dengan gembira tanpa memperdulikan lagi Ouw Yang Hui suka atau tidak dengan ikatan jodoh itu!
778
“Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?” tanya Gan Hok San kepada isterinya. Sim Kui Hwa tersenyum. “Sebelum aku menyatakan persetujuanku, aku sudah mempertimbangkannya dengan melihat sikap Hui-ji. Biarpun kami saling berpisah sejak ia berusia tujuh tahun dan baru hari ini saling bertemu kembali, akan tetapi aku belum melupakan wataknya yang pemalu. Ketika tadi Li Hong dengan lancang mengusulkan perjodohannya dengan Sin Cu, ia melarikan diri keluar dari ruangan ini, akan tetapi aku melihat ia tersenyum malu-malu. Kurasa ia tidak akan keberatan bahkan senang dengan ikatan jodoh ini. Betapapun juga, biarlah aku minta kepastian darinya sekarang juga.” Setelah berkata demikian Sim Kui Hwa meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang lembut. Setelah ditinggal berdua saja, Gan Hok San lalu berkata kepada Sin Cu. “Sin Cu aku melihat gerakanmu ketika melawan Cui-Beng Kui-Bo dengan tangan kosong tadi, sebelum aku bertanding derngan Ouw Yang Lee. Gerakanmu demikian aneh dengan langkah-langkah aneh engkau selalu dapat menghindarkan diri dari serangan nenek iblis itu. Kemudian, pernah aku melihat engkau mempergunakan serangan seperti gerakan It-Yang-Ci. Benarkah engkau mermpergunakan It-Yang-Ci?”
779
“Pandang mata Paman tajam sekali. Memang sebenarnyalah, saya pernah menyerang balik dengan It-Yang-Ci.” “Tidak aneh kalau aku mengenal jurus itu. Aku adalah murid Siauw-Lim-Pai! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menguasai It-Yang-Ci? Siapakah gurumu, Sin Cu?” “Guru saya adalah Bu Beng Siauwjin” Gan Hok San terbelalak. “Ahh...! Kakek aneh yang luar biasa itu? Aku pernah melihatnya satu kali ketika beliau datang berkunjung ke kuil Siauw-Lim-Si.” “Memang menurut pengakuan Lo-Cianpwe Hui Sian Hwesio ketua Siauw-Lim-Pai, Suhu adalah sahabat baik beliau.” “Pantas engkau memiliki ilmu yang demikian tinggi, Sin Cu. Dan engkau sudah mengenal Suheng Hui Sian Hwesio pula?” “Benar, Paman. Saya dan Hui-moi mencari Paman sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Agaknya sudah lama Paman tidak berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga para tokoh kang-ouw yang Saya tanya tidak tahu di mana Paman berada, kemudian saya pergi ke Siauw-Lim-Si dan bertanya kepada Lo-Cianpwe Hui San Hwesio. Dari beliau itulah saya mendapatkan alamat Paman di sini.”
780
“Ah, pantas kalau begitu. Jasamu besar sekali terhadap Hui-ji dan kami!” Gan Hok San menjadi semakin ramah dan mereka lalu bercakap-cakap tentang bermacam hal, terutama tentang dunia kangouw dan tentang keadaan kota raja dimana kekuasaan para menteri korup yang dikepalai oleh Thaikam Liu Cin merajalela. Sementara itu, Li Hong yang keluar dari ruangan mendapatkan Ouw Yang Hui duduk seorang diri di ruangan belakang. Anak itu menghampiri Encinya, memegang tangan gadis itu. “Engkau, Hong-moi?” Ouw Yang Hui merangkulnya. “Ah, Enci, Ayah dan Ibu menyuruh aku minta maaf kepadamu. Apakah aku bersalah kepadamu, Enci? Dan kalau aku bersalah,maukah engkau memaafkan aku?” Ouw Yang Hui merangkul dan mencium pipi yang kemerahan itu. “Ah, engkau tidak bersalah apa-apa, Li Hong. Tentu saja kalau engkau bersalah aku mau memaafkanmu, akan tetapi engkau tidak bersalah apa-apa.” “Ayah dan Ibu bilang aku lancang sekali ketika bicara tentang perjodohanmu dengan Kak Sin Cu.” Ouw Yang Hui tersenyum. “Tidak, engkau tidak lancang.”
781
“Enci, mari kita bicara di kamarku.” Anak itu menarik tangan Ouw Yang Hui dan mereka lalu masuk ke dalam kamar anak perempuan tu. Mereka duduk di tepi pembaringan dan Li Hong lalu berkata manja. “Enci Hui, Kak Sin Cu itu orangnya baik sekali, ya? Gagah perkasa pula. Engkau tentu mau menjadi isterinya, bukan? Kalau aku sudah dewasa seperti Enci, tentu aku mau menikah dengannya!” Ouw Yang Hui tertawa. “Kenapa engkau tidak menikah saja dengan dia, Hong-moi?” “Ih, aku masih anak kecil, Enci. Mana bisa? Kalau aku sudah dewasa nanti, tentu Kak sin cu sudah tua. Engkau yang lebih pantas menjadi isterinya, Hui-ci. Apakah engkau tidak suka kepadanya, Enci?” Melihat adik tirinya yang baru dijumpainya itu demikian terbuka dan jujur, Ouw Yang Hui merasa tidak enak kalau harus pura-pura lagi. la mengangguk dan berkata, “Aku suka sekali padanya, Hong-moi.” “Nah, kalau begitu engkau tentu mau menjadi isterinya, bukan?”
782
“Tentu saja aku suka, akan tetapi hal tidak semudah itu, Hong-moi. Tergantung juga kepada Kak Sin Cu apakah dia suka berjodoh dengan aku.” “Wah, aku akan benci dia kalau dia tidak suka! Engkau begini cantik jelita seperti bidadari, bagaimana mungkin Kak Sin Cu tidak suka padamu? Pula, bukankah Kak Sin Cu sudah mengantarmu mencari Ayah dan Ibu sampai dapat ditemukan? Dan dia sudah membela kita mati-matian. Aku berani memastikan bahwa dia tentu suka sekali kepadamu dan suka menjadi suamimu!” “Ah, engkau ini ada-ada saja, Hong moi. Orangnya belum menyatakan apa-apa engkau sudah berani memastikan!” kata Ouw Yang Hui sambil merangkul adiknya itu. Hatinya senang sekali dapat mengeluarkan isi hatinya kepada orang lain, biarpun orang lain itu hanya seorang anak perempuan. la senang sekali mempunyai seorang adik selincah itu, yang usul dan bicaranya sungguh sesuai dengan apa yang berada dalam hatinya! Daun pintu terbuka dari luar dan muncullah Sim Kui Hwa. Melihat kakak adik itu saling rangkul duduk di tepi pembaringan, hatinya merasa senang sekali. Hati Ibu mana yang tidak senang melihat kerukunan kakak beradik tiri ini? Tadinya ada sedikit was-was dalam hatinya bahwa tidak akan terdapat kecocokan dan kerukunan pada hati kedua orang bersaudara tiri itu.
783
“Wah, kiranya kalian berada di sini! Hui-ji, aku mencarimu sampai di belakang tadi, tidak tahunya engkau berada di kamar adikmu,” kata Sim Kui Hwa sambil masuk ke dalam kamar dan duduk di atas kursi dekat pembaringan. “lbu, Enci Hui biar tidur saja disini bersamaku. Kamar ini untuk kami berdua.” kata Li Hong. “Baiklah, kamar untuk Encimu harus dipersiapkan lebih dulu,” jawab Ibunya. “Ibu mencari aku?” tanya Ouw Yang Hui melihat pandang mata Ibunya kepada seperti mengandung sesuatu yang penting. “Ya, aku mencarimu, Hui-ji. Aku ingin membicarakan hal yang amat penting denganmu. Li Hong, engkau keluarlah biarkan aku bicara berdua dengan Encimu.” “lbu, biarlah adik Hong berada di sini, tidak apa ia ikut mendengarkan,” kata Ouw Yang Hui melihat adiknya cemberut mendengar Ibunya menyuruh ia ke kamar. “la masih kanak-kanak, Hui-ji,” bantah Sim Kui Hwa.
784
“Aku bukan kanak-kanak lagi, Usiaku sudah sembilan tahun Ibu!” kata Li Hong. “Biarlah, Ibu. Tidak ada rahasia antara aku dan Hong-moi. la kuanggap bukan kanak-kanak lagi. Kalau Ibu hendak bicara, harap bicara saja. Segala tentang diriku boleh diketahui Hong-moi.” Ouw Yang Hui membela adiknya dan gadis cilik itu merasa girang sekali, lalu memegang tangan Encinya dan memandang kepada Ibunya dengan sinar mata penuh kemenangan! “Ya sudahlah, akan tetapi engkau diam saja mendengarkan dan tutup mulut, Li Hong, jangan lancang,” Ibunya memperingatkan. Li Hong hanya mengangguk sambil tersenyum manis. “Nah, katakanlah, Ibu. Kepentingan apakah itu yang hendak Ibu bicarakan dengan aku?” “Begini, nak. Pertama-tama, dan hal ini Li Hong juga perlu mengetahui, bahwa kita semua harus cepat-cepat meninggalkan rumah dan dusun ini, pergi pindah ke tempat yang lebih aman. “Akan tetapi kenapa, Ibu?” tanya Ouw Yang Hui dan Li Hong hampir berbareng.
785
“Seperti kita bicarakan tadi, kita khawatir kalau-kalau Ouw Yang Lee membawa kawan-kawannya datang menyerbu kita lagi. Atas nasihat dari Sin Cu, akhirnya Ayah menyetujui untuk meninggalkan dusun ini dan pindah ke tempat lain. Akan tetapi kemudian Ayah kalian dan aku mempunyai keinginan untuk menjodohkan engkau dengan Sin Cu, Hui-ji.” “Nah, apa kataku tadi? Memang paling tepat sekali kalau Enci Hui menikah dengan Kak Sin Cu” sorak Li Hong gembira sambil mengguncang-guncang tangan Ouw Yang Hui yang masih dipegangnya. Sim Kui Hwa tersenyum. Anaknya yang satu ini memang lincah, nakal dan bandel, akan tetapi memiliki sifat gagah seperti Ayahnya. “Memang, Ayah kalian mendapatkan pikiran itu setelah tadi mendengar usul lancang Li Hong.” la mengaku. “Lancang, akan tetapi benar kan tidak apa-apa, Ibu?” anak itu membela diri. “Sekarang Ayahmu dan aku tidak mau mendahuluimu mengambil keputusan, Hui-ji. Aku ingin mendengar tanggapanmu akan hal ini.” “Ibu, yang penting adalah bagaimana tanggapan Kak Sin Cu,” kata Ouw Yang Hui lirih.
786
“Pemuda itu dengan sejujurnya telah mengakui bahwa dia mencintamu dan dengan senang hati akan menerima usul itu asalkan engkaupun menyetujuinya. Bagaimana pendapatmu, Hui-ji?” Ouw Yang Hui menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, Sesungguhnya berita itu tidak mengherankan hatinya karena dari sikap dan pandang mata serta tutur sapa Sin Cu terhadapnya selama ini sudah cukup jelas baginya bahwa pemuda itu amat mencintanya. Akan tetapi setelah hal itu dinyatakan secara berterang, ia menjadi tersipu malu juga. Melihat puterinya hanya menundukan muka sambil tersenyum simpul dan mukanya kemerahan, tidak menjawab, Sim Hwa mendesak. “Bagaimana, Hui-ji?, Setujukah engkau atau tidak kalau kami jodohkan dengan Sin Cu.?” Ouw Yang Hui masih diam saja. “Ibu... Enci Hui setuju! Setuju seratus prosen, Ia telah mengaku kepadaku bahwa ia mencinta Kak Sin Cu, Ibu.” tiba-tiba Li Hong berteriak. “Hong-moi!” Ouw Yang Hui berseru lirih sambil mencubit paha adiknya. Li Hong mengaduh, menggosok-gosok pahanya yang tercubit sambil menertawai Encinya.
787
“Bagaimana, Hui-ji? Katakanlah bagaimana tanggapanmu? Atau benarkah kata Li Hong tadi bahwa engkau juga cinta Sin Cu?” Sambil menundukkan mukanya menjadi semakin merah Ouw Yang menjawab lirih, “Aku... aku menyerahkan saja kepada keputusan Ibu dan Ayah...” Sim Kui Hwa mengangguk maklum. Jaman itu, kalau seorang gadis menyetujui sebuah pinangan, ia akan tersenyum dan menjawab malu-malu bahwa ia menurut saja keputusan orang tuanya, sebaliknya kalau ia menolak, ia akan menangis dan menyatakan masih belum ingin menikah dan berbagai alasan lain untuk menolak. Maka, sikap Ouw Yang Hui sudah jelas. “Hui-ji, urusan ini merupakan hal yang teramat penting. Karena itu, tahanlah rasa rikuh dan malumu dan mari kita semua keluar untuk mengadakan perundingan dengan Ayahmu dan Sin Cu bagaimana sebaiknya yang harus kita lakukan menghadapi ancaman Ouw Yang Lee.” Ouw Yang Hui agak ragu karena malu, akan tetapi Li Hong lalu memegang tangannya dan menarik-narik Encinya sehingga akhirnya gadis itu mau melangkah keluar kamar menuju ke ruangan dalam bersama Ibunya. Ketika memasuki ruangan itu, Ouw Yang Hui tidak berani mengangkat mukanya. la melangkah maju dituntun Li Hong sambil menundukkan mukanya. Sebetulnya, setelah seringkali memperlihatkan kepandaian bermain musik dan
788
bernyanyi ditonton oleh para pemuda bangsawan dan hartawan, Ouw Yang Hui bukan seorang gadis pemalu lagi. Akan tetapi sekali ini, menghadapi Sin Cu pemuda yang dikaguminya dan yang kelak diusulkan menjadi calon suaminya, Ia merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu. Kalau saja ia tahu bahwa pada saat ia memasuki ruangan itu Sin Cu juga selalu menundukkan mukanya. Dengan dituntun Li Hong, akhirnya Ouw Yang Hui duduk dan dengan nakal Li Hong sengaja menuntunnya sehingga tanpa disadarinya Ouw Yang Hui menduduki kursi yang tepat berada di sebelah kanan kursi yang di duduki Sin Cu! la baru tahu ketika sudut matanya melirik ke kiri dan mendapat kenyataan bahwa ia duduk berdampingan dengan pemuda itu. Akan tetapi ia telah terlambat untuk berpindah tempat duduk karena ia sudah duduk di atas kursi dan rasanya tidak pantas kalau berpindah. “Heii, Enci Hui dan Kak Sin Cu! Kenapa kalian berdua hanya menundukkan muka saja? Apakah kalian berdua tidak berani mengangkat muka dan saling memandang.?” Tentu saja kedua orang muda yang tanpa sengaja duduk saling berdampingan itu menjadi semakin tersipu dan dengan senyum-senyum malu mereka saling lirik, hanya sekali kerling saja lalu mata mereka menunduk kembali.
789
“Li Hong, jangan nakal dan menggoda mereka! Duduk diam dan dengarkan saja seperti seorang anak yang baik!” bentak Tan Hok San. “Baik, Ayah. Aku selalu menjadi anak yang baik, Ayah,” kata Li Hong dengan sikap nakal yang lucu. “Bagaimana, Hwa-moi?” tanya Gan Hok San kepada isterinya. Isterinya mengangguk. “Hui-ji tidak berkeberatan dan tidak menentang ikatan perjodohan itu,” jawabnya, tanpa mengatakan bahwa Ouw Yang Hui menerima atau menyetujui karena kata-kata itu tentu akan membuat gadis itu merasa lebih malu lagi. “Bagus kalau begitu. Nah, Sin Cu dan Hui-Ji, agaknya Tuhan telah menjodohkan kalian berdua. Kami telah mengambil keputusan untuk, menjodohkan kalian dan kalian berdua juga tidak berkeberatan yang berarti kalian menerima dengan baik ikatan perjodohan antara kalian ini. Sin Cu... sekarang kita tinggal membicarakan ketetapan hari pernikahan kalian berdua. Kami tidak perlu tergesa-gesa pindah dari dusun ini. Dengan adanya engkau di sini, kita tidak perlu takut lagi akan ancaman bahaya.
790
Kita berdua akan dapat menghalau ancaman orang-orang jahat itu!” “Maafkan saja, Parnan Gan Hok San dan Bibi, juga engkau, Hui-moi. Akan tetapi, terus terang saja saya belum dapat menentukan hari pernikahan saya sekarang.” “Akan tetapi kenapa, Sin Cu? Setelah kalian berdua menikah, baru kami bertiga akan pindah. Kami tidak mengkhawatirkan keselamatan Hui-ji lagi karena ada engkau yang akan melindunginya.” “Maafkan saya, Paman. Seperti telah saya ceritakan, kepada Paman tadi, saya harus lebih dulu mencari Ayah Ibu saya. Saya akan menjadi seorang anak yang tidak berbakti kalau saya menikah tanpa restu dan tanpa diketahui orang tua. Oleh karena itulah, Paman dan Bibi, saya terpaksa harus menangguhkan hari pernikahan saya sampai dapat menemukan Ayah dan Ibu saya. kalau tidak begitu saya akan selalu dihantui rasa bersalah dan tidak berbakti terhadap mereka.” “Akan tetapi...” Gan Hok San berkata penuh keraguan. “Sin Cu, kalau begitu berarti engkau akan meninggalkan kami untuk pergi mencari kedua orang tuamu. Engkau akan membiarkan kami
791
semua terancam bahaya maut di tangan Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya?” tanya Sim Kui Hwa dengan hati sedih. Melihat pemuda yang menjadi dambaan hatinya itu terdesak, tiba-tiba timbul semangat dan keberanian Ouw Yang Hui yang muncul dari kebijaksanaannya. “Ayah dan Ibu, apa yang dikemukakan Kak Sin Cu tadi memang benar sekali. Kita harus menghargai perasaan baktinya terhadap Ayah bundanya. Adapun mengenai ancaman Ayah Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya itu, bukankah Ayah dan Ibu sudah mengambil keputusan untuk pindah dari sini ke lain tempat yang aman?” “Itulah yang menjadi pemikiranku, Hui-ji. Manakah ada tempat yang aman bagi kita? Ke manapun kita pergi, tentu Ouw Yang Lee akhirnya akan dapat menemukan kita.” “Ayah, aku pernah pergi, berkunjung ke kuil Siauw-Lim-Si di pegunungan Sung-San propinsi Honan. Ayah adalah murid Siauw-Lim-Pai dan di sana terdapat banyak pendeta yang berilmu tinggi. Kalau kita pindah ke perkampungan atau dusun di lereng Sung-San, dekat kuil Siauw-Lim-Si, pasti aýah Ouw Yang Lee tidak akan berani mengganggu Ayah.” Gan Hok San menepuk pahanya.
792
“Ah, benar sekali! Bagaimana aku tidak berpikir sejauh itu? Engkau benar, Hui-ji. Selain kita dapat aman di sana, kita juga dapat berkebun dan bertani di tanah pegunungan yang subur itu dan aku bahkan dapat memperdalam ilmuku di sana. Engkau dan Li Hong juga harus belajar ilmu silat dengan tekun sehingga kalian dapat melindungi diri sendiri dari ancaman orang-orang jahat.” “Aku, sudah berlatih ilmu langkah dari Kak Sin Cu,” kata Ouw Yang Hui malu-malu. “Benarkah, Enci? Ah, engkau tentu hebat. Lain kali ajari aku, ya?” Li Hong berseru gembira. “Sudah, diamlah, Li Hong. Aku ingin bicara dengan Sin Cu, jangan ganggu dan dengarkan saja,” kata Gan Hok San kepada Li Hong, kemudian dia menoleh kepada Sin Cu dan berkata, “Baiklah, Sin Cu. Kami dapat menghargai niatmu menunda pernikahan sampai engkau berhasil menemukan orang tuamu. Akan tetapi kami menghendaki agar engkau dan Hui-ji lebih dulu terikat tali pertunangan sebelum kita berpisah agar perjodohan kalian sudah dipastikan. Engkau tidak keberatan, bukan?” Sin Cu merasa tidak enak untuk menolak. Dia memang jatuh cinta kepada Ouw Yang Hui sejak pertama kali bertemu dan tentu saja dia
793
menginginkan gadis itu menjadi jodohnya. Kalau hanya baru bertunangan saja, tentu Ayah Ibunya kelak tidak akan tersinggung dan dia percaya bahwa Ayah Ibunya adalah orang-orang bijaksana sehingga tidak akan melarang dia berjodoh dengan seorang gadis seperti Ouw Yang Hui. “Baiklah, kalau hanya untuk ikatan pertunangan, saya menurut kehendak Paman dan Bibi dan sebelumnya saya juga menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan dan budi kecintaan Paman sekeluarga terhadap diri saya yang sebatang kara ini.” “Bagus! Kita rayakan dulu pertunangan ini, baru kami pergi ke Sung-San!” seru Gan Hok San dengan gembira. Pertunangan itu dirayakan dengan pesta. Semua penduduk dusun Sia-Bun yang jumlahnya sekitar tiga ratus jiwa diundang. Karena keluarga itu memang hendak pindah, maka Gan Hok San menyembelih semua hewan ternak berupa sapi, ayam yang ada untuk berpesta bersama semua penghuni dusun itu. Maka upacara pertunangan itupun diadakan dan sepasang orang muda yang bertunangan itu melakukan sembahyang kepada Tuhan, Bersumpah untuk saling setia, disaksikan Bumi Langit. Pada keesokan paginya, Gan Hok San sekeluarga membagi-bagikan
794
barang barang mereka yang tidak dapat mereka bawa kepada penduduk dusun Sia-Bun yang kurang mampu, bahkan membagi-bagikan pula tanah ladang mereka kepada penduduk yang membutuhkan, memberikan rumahnya kepada pelayan wanita tua yang sudah bertahun-tahun melayani mereka. Para penduduk menjadi terheran-heran dan bertanya-tanya. Gan Hok San memberitahu mereka bahwa dia sekeluarga akan pindah ke kota raja di mana dia mendapatkan pekerjaan. Keterangan palsu itu dia berikan untuk menghilangkan jejak dan agar tidak ada seorangpun tahu bahwa dia sekeluarga akan pergi ke Sung-San dan Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya tidak akan dapat melacak jejak keluarganya. Setelah selesai membagi-bagikan semua harta kekayaan mereka yang tidak dapat mereka bawa serta, Gan Hok San sekeluarga meninggalkan dusun Sia-Bun dengan sebuah kereta. Barang-barang berharga yang dapat mereka bawa memenuhi kereta itu. Gan Hok San sendiri yang mengusiri kereta yang ditarik dua ekor kuda. Sim Kui Hwa, Ouw Yang Hui dan Gan Li Hong duduk di dalam kereta, sedangkan Sin Cu mengikuti dengan mengerahkan ginkang sehingga dia tidak tertinggal oleh larinya dua ekor kuda penarik kereta itu. Sin Cu mengambil keputusan untuk mengawal keluarga menuju Sung-San. Hatinya tidak akan merasa tenang
795
sebelum keluarga itu tiba di Sung-San dengan selamat dan hidup aman disana, dekat dengan kuil Siauw-Lim-Si. Di pesisir Laut Timur terdapat sebuah pegunungan memanjang dari utara selatan. Pegunungan di sepanjang pantai lautan ini merupakan bukit-bukit karang yang berkapur sehingga sebagian besar bukit-bukit di situ tanahnya tandus dan hanya ditumbuhi pohon-pohonan tertentu yang biasa tumbuh di tanah berbatu karang itu. Akan tetapi ada sebuah bukit dari pegunungan itu yang agaknya memiliki tanah yang lumayan subur sehingga bukit itu penuh dengan pohon dan tanaman lainya. Bukit yang cukup besar dan dipenuhi hutan belantara ini dikenal sebagai Houw-San (Bukit Harimau). Mungkin nama ini disebut orang karena pada waktu dahulu di bukit ini banyak harimaunya. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada lagi sisa harimau di situ. namun, tetap saja tidak ada pedusunan dibukit itu, bahkan tidak ada orang atau pemburu berani memasuki hutan-hutan pegunungan itu karena kini tempat itu dikenal sebagai tempat tinggal orang-orang yang lebih ganas dan berbahaya dari pada segerombolan harimau! Pedagang atau pelancong tidak ada yang berani lewat dekat bukit itu. semua orang sudah tahu bahwa bukit itu dihuni oleh segerombolan orang yang amat berbahaya dan jahat, orang-orang yang pekerjaannya hanya merampok atau
796
membajak di laut. Karena tidak ada orang yang berani tinggal di daerah Bukit Harimau itu, maka Houw-San seolah-olah menjadi milik gerombolan yang tinggal di lereng Houw-San, di antara hutan lebat. Gerombolan itu membuka hutan dan membangun sebuah perkampungan di lereng Houw-San. Sudah lebih dari dua puluh lima tahun mereka tinggal di perkampungan itu, dan kini perkampungan itu telah menjadi sebuah perkampungan yang cukup besar karena para anggauta gerombolan itu banyak yang telah beranak isteri. Jumlah para anggauta gerombolan itu kurang Lebih lima puluh orang dan bersama anak isteri mereka, perkampungan itu dihuni oleh tidak kurang dari dua ratus jiwa. Keadaan kehidupan mereka di perkampungan itu tampak biasa saja, seperti kampung kampung lain. Rata-rata mereka berkeadaan cukup. Hasil rampokan dan bajakan cukup besar untuk membiayai kebutuhan mereka. Akan tetapi kalau mereka berada di luar perkampungan mereka sendiri, apalagi kalau sedang bertugas merampok atau membajak, mereka merupakan orang orang yang amat kejam dan ganas melebihi harimau-harimau. Dengan mudah saja mereka membunuh korban mereka, menculik wanita untuk dipaksa menjadi isteri mereka, dan merampas harta milik orang sesuka hati mereka. Gerombolan yang sudah lama
797
terbentuk ini rata-rata berusia empat puluh tahun lebih. Hanya ada beberapa orang saja yang masih muda, yaitu para anggauta baru. pemimpin mereka tinggal di sebuah rumah terbesar di perkampungan itu, rumah yang cukup mewah. Dia bernama Lo Cit dan berjuluk Tok-Gan-Houw (Harimau Mata satu), seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang mukanya penuh brewok yang sudah berwarna dua. Usia Tok-Gan-Houw Lo Cit sudah mendekati enam puluh tahun, namun tubuhnya masih tampak kekar dan kokoh kuat. Dia terkenal lihai dengan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok yang besar dan berat lagi tajam. Setelah usianya semakin tua, Lo Cit tidak memimpin sendiri kalau anak buahnya melakukan perampokan. Akan tetapi kalau mereka menyerang sebuah perahu besar berisi banyak harta di Laut Timur, dia sendiri yang memimpin anak buahnya. Hasil bajakan ini biasanya besar sekali dan satu kali membajak, hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai berbulan- bulan. Untuk mengisi kekosongan di waktu menganggur, yaitu di waktu mereka tidak melakukan perampokan atau pembajakan,para anggauta gerombolan itu menggarap sawah ladang di sekitar lereng itu yang tanahnya cukup subur. Mereka menanam sayur dan pohon-pohon buah. Bahkan ada pula beberapa puluh ekor
798
sapi dan domba mereka ternakkan. Tok-Gan-Houw Lo Cit tidak mempunyai anak, juga tidak mempunyai isteri yang tetap. Setiap kali gerombolannya menangkap dan menculik wanita-wanita, dia memilih beberapa orang yang paling cantik. Akan tetapi dia seorang pembosan dan menganggap para wanita itu sebagai hiburan dan kesenangan belaka. Setelah merasa bosan, dia menyerahkan para wanita itu kepada anak buahnya, Pada waktu itu, dalam rumah Tok-Gan-Houw Lo Cit tidak ada wanitanya. Wanitą terakhir baru saja dia berikan kepada seorang anak buah yang dianggapnya berjasa, setelah dia mengeram wanita itu dalam rumahnya selama beberapa bulan. Pagi itu cuaca cerah dan suasana amat indahnya. Matahari pagi memandikan permukaan burni dengan cahayanya yang hangat menyehatkan dan menghidupkan. Burung-burung berkicau riang di pepohonan, seolah hari itu tidak akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Sebagian anggauta gerombolan itu sudah meninggalkan perkampungan dan bekerja di ladang yang berada di sekitar perkampungan itu. Para anggauta yang tinggal di perkampungan tinggal kurang lebih lima belas orang. Para isteri para anggauta gerombolan sibuk bekerja di dapur masing-masing atau sedang mencuci pakaian. Anak-anak bermain-main di pelataran rumah masing-masing. Teriakan dan tawa mereka menghidupkan
799
suasana di perkampungan itu, seolah perkampungan itu adalah perkampungan biasa yang dihuni para petani dusun yang hidup penuh damai. Akan tetapi keadaan di pintu gerbang perkampungan itulah yang membedakan perkampungan ini dengan perkampungan dusun para petani biasa. Di dekat pintu gerbang itu terdapat sebuah gardu penjagaan dan di situ ada enam orang anggauta gerombolan yang melakukan penjagaan secara bergiliran. Siang malam gardu itu dipergunakan oleh enam orang anggauta yang bertugas jaga. Gadis yang berjalan di atas jalan kasar yang dibuat gerombolan menuju ke perkampungan itu amat cantik dan tampak gagah, Langkahnya tegap seperti langkah seorang perajurit yang terlatih baik. Usianya sekitar sembilan belas tahun, Wajahnya berbentuk bulat dan berkulit putih sekali. Putih halus dan kemerahan menunjukkan tubuh yang sehat. Sepasang matanya lebar dan mempunyai sinar yang tajam dan penuh keberanian. Hidungnya mancung dan bentuk mulutnya manis sekali, dengan sepasang Bibir yang menggairahkan. Sebintik tahi lalat di dagunya menambah kemanisan wajah itu. Tubuhnya yang sedang mekar itu ramping agak montok. Pakaiannya berwarna merah muda, tidak mewah namun rapi ringkas bersih. Di punggungnya tampak sebatang pedang bersarung indah dan beronce kuning.
800
Gadis ini bukan lain adalah Ouw Yang Lan. Seperti kita ketahui, Ouw Yang Lan telah berkunjung ke Pulau Naga, akan tetapi Ouw Yang Lee, Ayah kandungnya dan Tan Song Bu yang kini telah diangkat anak oleh Ouw Yang Lee dan menjadi Ouw Yang Song Bu tidak berada di pulau karena telah pergi ke kota raja. Setelah gagal bertemu Ayahnya di Pulau Naga dan mendengar bahwa Ibu tirinya, Sim Kui Hwa diusir oleh Ayahnya dari Pulau Naga, Ouw Yang Lan lalu meninggalkan pulau itu dan kini tujuannya adalah mencari Tok-Gan-Houw Lo Cit, orang yang menjadi biang keladi penyerbuan ke Pulau Naga sehingga mengakibatkan ia dan Ouw Yang Hui beserta Ibu-ibu mereka tersingkir dari Pulau Naga. Dan pada pagi hari yang cerah itu iapun tiba di lereng Houw-San, memasuki hutan yang menjadi sarang gerormbolan yang dipimpin oleh Tok-Gan-Houw Lo Cit. la dapat menemukan sarang musuh besarnya ini setelah bertanya-tanya pada orang-orang dusun yang berada di kaki pegunungan Houw-San. Dari Ayah tirinya, Thai-Lek-Kui Ciang Sek, ia hanya mendengar bahwa sarang Tok Han-houw Lo Cit berada di lereng bukit. Akhirnya sampailah ia di depan pintu gapura perkampungan gerombolan itu. Tentu saja ia segera menarik perhatian orang-orang yang tinggal di perkampungan itu. Perkampungan itu merupakan tempat terasing. Tidak ada orang luar pernah datang
801
berkunjung. Tidak ada yang berani menkati perkampungan itu, bahkan memasuki hutan itupun tidak'ada yang berani. Maka kemunculan seorang gadis yang amat cantik di depan pintu perkampungan itu sungguh membuat orang merasa terheran heran. Enam orang anak buah gerombolan yang pada saat itu bertugas menjaga keamanan kampung dan berada di dalam gardu penjagaan, segera keluar dari gardu dan, mereka menghadang di depan pintu gapura ketika melihat gadis asing itu berjalan menghampiri pintu. Akan tetapi mereka tersenyum dan bersikap ramah, tidak seperti biasa kalau mereka menghadapi orang asing. Para anggauta itu terkenal sadis dan galak kalau menghadapi orang asing di luar penghuni perkampungan mereka sendiri. Akan tetapi kini mereka tersenyum ramah kepada Ouw Yang Lan karena gadis itu luar biasa cantiknya. Seorang di antara mereka yang hidungnya pesek hampir rata dengan pipinya mempergunakan kekuasaannya sebagai pemimpin penjaga untuk menghampiri Ouw Yang Lan dan berkata, “Hei, nona manis berhenti dulu.! Siapakah nona dan datang dari mana, Apa keperluan nona datang di perkampungan kami?”
802
“Twako, barangkali ia datang untuk mencari jodoh!” kelakar seorang anggauta regunya. Si hidung pesek tertawa. “Ha-ha, benarkah demikian? Kalau begitu kebetulan sekali karena baru saja aku menceraikan isteriku dan sudah kuserahkan kepada seorang rekan. Bagaimana kalau aku saja yang menjadi suamimu, nona?” “Kau harus bertindak cepat, Twako. kalau sampai dilihat Pangcu (Ketua), engkau tentu tidak akan kebagian!” kata pula seorang anak buah yang lain. Ouw Yang Lan sudah mengerutkan sepasang alisnya, akan tetapi ia masih dapat menahan kesabarannya karena ia tidak ingin berurusan dengan orang-orang kasar ini. “Katakanlah, apakah ini perkampungan gerombolan yang dipimpin oleh Tok-Gan-Houw Lo Cit?” tanyanya. “Wah, celaka, Twako! la sudah mengenal Pangcu, pasti engkau tidak akan kebagian!” kata seorang anąk buah. Akan tetapi si hidung pesek tidak melayani kelakar rekan-rekannya. Dia merasa heran bahwa seorang gadis asing mengenal Pangcunya dan timbul kecurigaannya, apa lagi melihat bahwa gadis ini tidak seperti gadis-gadis biasa. Gadis ini membawa pedang di punggungnya
803
dan sedikitpun tidak tampak ketakutan menghadapi mereka berenam. “Nona, engkau siapa dan dari mana?” “Tidak penting aku siapa dan dari mana.” Jawab dulu, apakah Tok-Gan-Houw tinggal di perkampungan ini?” “Tidak salah, ini perkampungan para pendekar yang dipimpin ketua kami, Tok-Gan-Houw Lo Cit,” kata si hidung pesek dengan bangga dan tanpa malu-malu menyebut perkampungan mereka sebagai perkampungan para pendekar. “Hemm, begitukah? Kalau begitu, biarkan aku lewat dan memasuki perkampungan. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Tok-Gan-Houw Lo Cit!” kata Ouw Yang Lan dengan tegas, Karena menduga bahwa gadis itu mungkin seorang kenalan ketua mereka enam orang penjaga itu tidak berani bersikap sembarangan lagi. Sementara itu,munculnya seorang gadis asing di pintu perkampungan menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang berada di perkampungan dan tak lama kemudian belasan orang anggauta lain telah berkumpul di pintu perkampungan. “Nona, tidak mudah begitu saja untuk bertemu dengan ketua kami! Nona harus mengatakan dulu kepada kami siapa nama nona,
804
datang dari mana dan apa keperluarnya nona ingin bertemu dengan Pangcu,” kata si hidung pesek dengan penuh gaya karena dia menjadi pusat perhatian para rekannya dan dialah yang berkuasa dalam penjagaan di situ. “Tidak perlu kalian tahu siapa aku dan apa keperluanku!” “Nona harus mengaku!” “Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?” Tanya Ouw Yang Lan. Si hidung pesek berseru kepada lima orang regu penjaga itu. “Kawan-kawan, nona ini mengacau, kita tangkap ia dan hadapkan kepada pancu!” Lima orang anak buahnya gembira mendengar perintah ini. Mereka semua, berenam, lalu menerjang ke depan untuk menyergap dan meringkus gadis cantik itu. Gatal-gatal hati dan tangan mereka untuk dapat menangkap dan mendekap, meringkus Ouw Yang Lan, merasakan kelembutan tubuh yang denok montok itu dengan tangan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis itu bergerak cepat sekali, kedua tangan dan kakinya sudah membagi-bagi tamparan dan tendangan bagaikan kilat menyambar dan berturut-turut enam orang itu berpelantingan dan roboh dengan, dada sesak, perut mulas atau muka bengkak!. Sebelum si hidung
805
pesek yang ditampar mukanya sehingga pipi kirinya membengkak dan hidungnya semakin tidak tampak lagi, itu sempat bangkit, ujung pedang di tangan Ouw Yang Lan sudah menempel di lehernya. Dia dapat merasakan ujung pedang yang runcing itu menodong kulit lehernya sehingga dia tidak berani bergerak lagi. “Kalau kalian maju mengeroyok, leher dia akan kupenggal lebih dulu!” bentak gadis itu kepada para anggauta gerombolan yang tampaknya hendak turun tangan ngeroyoknya. Lalu sambil menekan pedangnya ke leher si hidung pesek, ia berseru, “Ayo suruh seorang kawanmu pergi melapor pada Tok-Gan-Houw Lo Cit agar dia kesini menemuiku di sini!” Si hidung pesek yang ketakutan segera berkata kepada teman-temannya, “Cepat kalian lapor kepada Pangcu. Cepat...!.” Beberapa orang penjaga yang tadi terpelanting roboh dan menjadi jerih segera berlompatan lari memasuki perkampungan. Mereka langsung lari ke rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua mereka. Tok-Gan-Houw Lo Cit sedang duduk menghadapi meja yang dipenuhi makanan kecil dan air teh, dihidangkan oleh isterinya yang baru dua bulan tinggal di rumah itu. Isterinya itu seorang gadis manis yang diculiknya dari dusun yang jauh letaknya dari pegunungan itu dan dipaksa menjadi isterinya yang baru.
806
Karena ancaman disiksa dan dibunuh, gadis dusun yang tak berdaya itu menerima nasib. Air matanya sudah habis terkuras dan pagi itu melayani “Suaminya” dengan wajah dingin tanpa perasaan apapun, seperti mayat hidup saja tanpa semangat dan perasaan lagi. Ketika Lo Cit yang sedang minum air teh hangat itu melihat tiga orang anggautanya datang berlari-lari, dia mengerutkan alisnya dan membentak. “Hei, ada apa kalian berlari-lari seperti dikejar setan? Kalian tidak melihat aku sedang santai? Apakah kalian tidak menghormati aku lagi?” Tiga orang itu menjadi ketakutan dan serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap sang ketua yang terkenal galak dan kalau sudah marah dapat menurunkan tangan kejam itu. “Ampunkan kami, Pangcu. Kami hendak melapor bahwa di luar pintu perkampungan muncul seorang gadis yang mengamuk merobohkan kami enam orang penjaga dan kini mengancam akan membunuh kepala jaga. la menuntut agar Pangcu keluar menemuinya.” Tok-Gan-Houw Lo Cit memang memiliki watak yang keras dan galak sekali terhadap anak buahnya. Dan memang orang-orang kasar seperti anak buahnya itu baru menjadi taat kalau diperlakukan dengan keras. Mendengar laporan itu, dia menjadi marah dan membanting cangkir teh sehingga hancur berkeping-keping.
807
“Tolol! Menghadapi seorang gadis saja kalian tidak becus, tidak mampu menang darinya?” “la... ia lihai sekali, Pangcu. Kami berenam sudah mencoba untuk menangkapnya, akan tetapi kami berenam roboh dalam segebrakan saja.” “Ilmu silatnya tinggi, Pangcu.” “Goblok kalian! Orang macam apa gerangan gadis itu?” “la cantik jelita akan tetapi ilmu silatnya tinggi Pangcu.” “Hemm, cantik jelita dan lihai?” Si mata satu Lo Cit menggumam, matanya yang tinggal sebelah kanan itu termenung. Belum pernah dia mendapatkan seorang gadis yang cantik dan lihai pula. Agaknya wanita seperti itulah yang patut menjadi isterinya, bukan gadis-gadis dusun yang lemah bodoh seperti selama ini. “Siapa namanya? Dari mana ia datang” “la tidak mau mengakui namanya. hanya minta agar Pangcu sendiri yang keluar menemuinya.” Tok-Gan-Houw Lo Cit menoleh kepada isterinya yang sejak tadi hanya menundukkan, mukanya.
808
“Pergi kau ke kamar dan ambilkan golok besarku. Cepat!” isteri yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu berlari-lari kecil untuk ke dalam dan tak lama kemudian ia sudah kembali sambil membawa sebatang golok besar dengan kedua tangannya. la nampak sukar dan berat sekali membawa golok besar itu. Lo Cit bangkit berdiri, menyambar golok itu dari tangan isterinya, kemudian melompat keluar dan dengan langkah besar dia menuju ke pintu gerbang perkampungan. Ketika dia tiba di pintu gerbang dan keluar, dia melihat para anak buahnya yang belasan orang banyaknya berkumpul di dekat pintu gerbang seolah bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Maka melihat munculnya Lo Cit, belasan orang anak buah itu lalu menyingkir ke kanan kiri membuka jalan membiarkan sang ketua lewat. Lo Cit keluar dari pintu gerbang dan dia melihat seorang gadis yang amat cantik manis berdiri dengan kaki kiri menginjak punggung seorang anak buahnya yang berhidung pesek dan menjadi kepala jaga pada pagi hari itu dan gadis itu menodongkan pedangnya ke tengkuk orang yang diinjak punggungnya. Lo Cit terbelalak kagum, matanya yang tinggal sebuah itu bersinar-sinar. “Nona, siapakah engkau dan apa kehendakmu berkunjung ke perkampungan kami? Harap lepaskan dia,” kata Lo Cit dengan suara dan sikap yang bagi anak buahnya terasa aneh karena suara
809
itu halus dan sikapnya ramah sekali. Pada hal biasanya Lo Cit bersikap galak dan bersuara kasar terhadap siapapun. Ouw Yang Lan mengangkat muka menatap wajah Lo Cit. Melihat orang brewok tinggi besar itu bermata tunggal, ia lalu bertanya, “Engkaukah yang bernama Tok gan-houw Lo Cit?” la masih menginjakkan kaki kirinya pada punggung si hidung pesek. Lo Cit tersenyum lebar. “Benar sekali nona. Nona mencariku?” Mendengar jawaban ini, Ouw Yang Lan menggerakkan kakinya menendang si hidung pesek yang tadi diinjaknya sehingga tubuh orang itu terlempar bergulingan. la lalu melompat ke depan Lo Cit. Pedang Lo-Thian-Kiam (Pedang Pengacau Langit) tersembunyi di bawah lengannya dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Lo Cit. “Engkaukah yang sebelas tahun yang lalu menyerbu Pulau Naga, menculik dua orang wanita dan dua orang puterinya?” Wajah Lo Cit menjadi agak pucat mendengar ini. Akan tetapi dia segera dapat menekan perasaan hatinya yang terguncang, wajahnya menjadi merah kembali dan dia tersenyum.
810
“Peristiwa itu terjadi sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu dan aku sudah hampir lupa lagi. Kenapa engkau menanyakan hal itu? Siapakah engkau, nona manis?” “Tidak penting aku siapa, akan tetapi engkau boleh mengetahui bahwa aku datang untuk membunuhmu, mengenyahkan engkau dari permukaan bumi ini karena engkau hanya mengotori dunia dengan kejahatanmu yang bertumpuk-tumpuk!” Setelah berkata demikian, Ouw Yang Lan mengelebatkan pedangnya dan memegang pedang itu di depan dada, lurus menunjuk ke atas. Tok-Gan-Houw Lo Cit tertawa bergelak sampai mukanya berdongak dan perutnya terguncang. “Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Engkau, seorang gadis muda yang cantik jelita ini hendak membunuh aku? Ha-ha-ha, hentikan niatmu yang buruk itu, nona. Sayang kalau sampai kulitmu yang putih mulus dan halus lunak itu lecet, lebih sayang lagi kalau sampai engkau tewas bertanding melawan aku. Dari pada begitu, sayang, lebih baik engkau menjadi isteriku saja. Kita cocok sekali untuk menjadi suami isteri. Aku akan mengadakan pesta besar untuk merayakan pernikahan kita. Bukankah itu baik sekali? Ha-ha-ha-ha!” Suara tawa itu seperti bergema karena diikuti oleh para anak buahnya yang juga tertawa untuk menyenangkan hati ketua
811
mereka. Ouw Yang Lan memandang dengan mata penuh kebencian. “Lo Cit, tua bangka jahat, manusia berwatak iblis! Jangan banyak mulut, cabut golokmu itu dan lawan aku kalau engkau memang seorang laki-laki, bukan banci pengecut!” Merah juga muka Lo Cit mendengar tantangan yang disertai caci maki yang amat menghinanya itu. “Bocah sombong, engkau akan menjadi isteriku, mau atau tidak! Untuk menangkapmu, tidak perlu aku mempergunakan golok besarku!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia melakukan gerakan menubruk ke arah Ouw Yang Lan, seperti seekor harimau menerkam kelinci. Akan tetapi tubrukannya mengenai tempat kosong karena dengan lincah dan cepat sekali Ouw Yang Lan telah mengelak. Gadis ini telah menguasai hampir seluruh ilmu kepandaian Ayah tirinya. Thai-Lek-Kui Ciang Sek sehingga Lo Cit bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Akan tetapi karena ia memang ingin membunuh kepala gerombolan yang menjadi biang keladi, Ia dan Ouw Yang Hui bersama kedua ibu mereka harus meninggalkan Pulau Naga. Maka, biarpun lawannya tidak mempergunakan senjata golok besarnya, ia tetap menyerang dengan pedangnya
812
secara hebat sekali. Pedang yang dimainkan dengan ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut (ilmu Pedang Pengacau Langit) itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan kadang mengeluarkan kilat yang menyambar-nyambar. “Mampuslah!” Tiba-tiba sinar berkelebat menyambar ke arah leher Lo Cit. Serangan itu demikian kuat dan cepat sehingga Lo Cit terkejut bukan main. “Celaka...!” Teriaknya dan ia melemparkan tubuh ke samping untuk menghindarkan diri dari cengkeraman tangan maut itu. Akan tetapi ujung pedang masih sempat menggores pundak kirinya sehingga baju dan pundaknya robek. “Aduh!” Lo Cit bergulingan menjauh, sambil bergulingan itu dia mencabut golok besarnya. Dia melompat bangun dan berdiri sambil memutar golok. Dia melihat gadis itu berdiri dalam jarak tiga meter di depannya dengan pedang melintang depan dada dan mulut yang manis sekali itu tersenyum mengejek. “Lo Cit, bersiaplah engkau untuk mampus dan masuk ke dalam kerajaan iblis neraka jahanam.” Lo Cit marah bukan main. Pundaknya terluka dan rasa takut membuat dia menjadi marah sekali. Selama ini belum pernah dia
813
merasa takut. Kemarahannya memuncak dan dia tidak ingin lagi merangkul dan mendekap gadis cantik itu, melainkan hanya satu keinginannya, yaitu membunuh gadis yang amat berbahaya itu. “Perempuan setan! Engkaulah yang akan mampus, kucincang tubuhmu!” Sambil berkata demikian dia menggerakkan tangan kirinya memberi isyarat kepada belasan orang anak buahnya untuk maju mengeroyok. Kemudian dia sendiri sudah menggerakkan golok besarnya dan menyerang kalang kabut! “Traang... criing...!” dua kali golok besar bertemu pedang dan dua kali Lo Cit merasa betapa goloknya terpental dan tangan kanannya tergetar hebat. Belasan anak buahnya sudah mengeroyok Ouw Yang Lan dengan senjata golok mereka. Akan tetapi begitu Ouw Yang Lan memutar pedangnya, empat orang roboh dan golok mereka terpental ke sana sini. Mereka telah terluka walaupun tidak sangat parah. Memang Ouw Yang Lan tidak ingin membunuh para anak buah gerombolan itu. la hanya ingin membunuh Lo Cit. Melihat empat orang anak buahnya roboh, Lo Cit yang menjadi semakin gentar itu lalu mengamuk. Goloknya menyambar-nyambar ke arah tubuh Ouw Yang Lan, namun gadis ini mengelak dan menangkis. kakinya menendang dua kali dan robohlah dua orang pengeroyok lain.
814
Kemudian ia menggerakkan pedangnya yang menyambar nyambar di antara para anak buah gerombolan. Satu demi satu robohlah belasan orang anak buah gerombolan yang mengeroyoknya! Dan dengan langkah perlahan dan satu-satu kini Ouw Yang Lan menghampiri Lo Cit yang mundur dengan muka pucat dan matanya yang tinggal satu itu terbelalak ketakutan. Baginya, gadis cantik jelita itu kini bagaikan hantu yang mengancamnya. Hampir dia terjengkang ketika mundur-mundur dan kakinya menginjak tubuh seorang anak buah yang terluka. Yang terinjak itu otomatis mendorong dengan tangan sehingga kaki Lo Cit terjegal. Akan tetapi Lo Cit masih dapat melompat ke belakang. Kemudian, saking takutnya, dia lalu lari tunggang langgang. Ketika dia tiba di sebuah tikungan bukit keluar dari hutan, tiba-tiba ada bayangan merah muda berkelebat dan tahu-tahu Ouw Yang Lan sudah berdiri di depannya sambil tersenyum mengejek. “Kau...kau...!” dia menyerang dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. “Trangg....!” Golok itu terlepas dari pegangannya dan terlempar jauh. Lo Cit menggigil ketakutan dan dengan lemas diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gadis itu.
815
“Ampunkan saya nona... ampunkan saya, jangan bunuh saya.” “Hayo katakan apa yang telah, kau lakukan terhadap Ouw Yang Hui dan Ibu Sim Kui Hwa! Dimana mereka sekarang? Hayo katakan!” bentak Ouw Yang Lan sambil menodongkan pedangnya. Ujung pedang itu menembus kain baju dan menyentuh kulit dada Lo Cit. Kepala penjahat ini menjadi semakin ketakutan. Biasanya, dia berwatak kejam dan tidak mengenal kasihan kepada para korbannya, menyiksa dan membunuh orang sesuka hatinya. Akan tetapi setelah kini dia tidak berdaya dan terancam maut, dia menjadi begitu ketakutan sampai celananya menjadi basah! Mungkin sifat pengecut dan penakut itulah yang justeru membuat dia kejam dan dengan mudah membunuh orang orang yang dianggap sebagai musuh dan yang mungkin membahayakan dirinya. “Siapakah mereka itu, nona? Saya... saya tidak mengenal nama-nama itu,” ratapnya. Dia memang sudah melupakan nama nama itu. “Jahanam!. Jangan pura-pura tidak tahu, Engkau yang dulu, sebelas tahun yang lalu menyerbu Pulau Naga dan menculik dua orang wanita bersama anak-anak perempuan mereka! Engkau melarikan anak perempuan bernama Ouw Yang Hui dan ibunya!
816
Hayo cepat katakan di mana mereka kini berada atau akan kubuntungi kaki tanganmu!” Kini Tok-Gan-Houw Lo Cit teringat dan dia menjadi semakin ketakutan. Tahulah dia bahwa saat ini Pulau Naga membuat perhitungan, membalas dendam. Dia menjadi nekat. “Aku... aku... tidak tahu...!” Tiba-tiba dia melompat berdiri dan menyerang dengan cengkeraman tangan kanan ke arah muka dan tangan kirinya mencengkeram kearah perut. Serangan ini berbahaya sekali karena dilakukan dalam jarak dekat sekali. Namun, sejak tadi Ouw Yang Lan selalu waspada karena dia maklum betapa jahat dan curangnya Harimau Mata Satu itu. la melangkah mundur menghindarkan mukanya dari cengkeraman tangan kanan lawan, dan ketika tangan kiri Lo Cit mengejar ke arah perutnya, dia mengelebatkan pedangnya. “Crokk!” Lengan kiri Lo Cit sebatas siku terbabat pedang dan putus! “Aduh...” Lo Cit merintih sambil memegangi lengan yang buntung itu dengan tangan kirinya. Darah bercucuran dari lengan yang buntung itu. “Jahanam busuk! Hayo cepat katakan di mana ibu dan anak itu atau aku akan membuntungi semua anggauta tubuhnu,
817
menyiksamu sebelum membunuhmu!” Ouw Yang Lan menghardik. Rasa nyeri dan takut membuat Lo Cit menangis seperti seorang anak kecil, akan tetapi dia tidak berani lagi menyangkal, “Saya... saya... saya benar-benar tidak tahu mereka sekarang berada di mana....” katanya diantara ratap tangisnya. “Ketika itu, muncul seorang laki-laki yang merampas wanita itu dari tanganku... hanya itu yang kutahu...” “Hemm, dan di mana anak perempuan itu?” Ouw Yang Lan mendesak. “la... ia... dibawa pergi seorang pembantuku bernama Ji Tong dan... saya juga tidak tahu di mana mereka sekarang berada.” Ouw Yang Lan yakin bahwa penjahat itu tidak berbohong. la lalu menggerakkan pedangnya. Sinar berkelebat dan Tok-Gan-Houw Lo Cit roboh dengan kepala hampir putus dan tewas seketika. Para anak buah Lo Cit yang melihat betapa Lo Cit tewas dan para anak buah yang tadi berani maju mengeroyok juga sudah roboh semua, menjadi ketakutan dan tidak ada seorangpun berani mencoba untuk melawan. Mereka bahkan melarikan diri memasuki perkampungan mereka dan bersembunyi dalam pondok-pondok mereka. Ouw Yang Lan tidak memperdulikan lagi kepada mereka
818
dan ia lalu meninggalkan perkampungan gerombolan di Houw San itu, lalu menuju ke barat untuk pulang ke Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di pegunungan Thaisan. Para anak buah Tok-Gan-Houw Lo Cit berkabung. Jenazah ketua mereka itu sudah dimasukkan sebuah peti kayu tebal dan ditaruh di ruangan depan, semua anak buah mengadakan sembahyangan. Mereka seperti sekumpulan anak ayam kehilangan induk mereka, tampak gelisah dan bingung. Akan tetapi diam-diam mulai terjadi persaingan dalam hati mereka yang merasa memiliki ilmu silat tertinggi dan merasa berkuasa. Sudah terasa suasana persaingan itu di antara para anak buah sehingga suasananya menegangkan. Mereka semua dapat merasakan bahwa setelah jenazah ketua mereka itu dikubur, tentu akan terjadi perebutan dan perkelahian. Akan tetapi selama peti mati itu belum dikubur, agaknya para pembantu utama Lo Cit itu masih menahan diri dan merasa rikuh kalau harus ribut di depan peti mati ketua mereka. Mereka itu biasanya amat takut kepada Lo Cit sehingga biarpun ketua itu telah tewas, melihat peti matinya saja sudah menimbulkan perasaan takut di dalam hati mereka! Pagi itu, dua hari kemudian, semua orang sudah siap untuk membawa ke tanah pekuburan untuk mengubur jenazah Lo Cit. sebuah lubang besar telah digali di tanah kuburan yang berada di luar perkampungan gerombolan
819
yang berada di lereng Hou San (Bukit Harimau) itu. Sembahyangan terakhir dilakukan. Para pelayat, selain para anak buah, yang datang dari pedusunan di sekitar Bukit Harimau, satu demi satu juga sudah memberi penghormatan terakhir, Diantara mereka terdapat beberapa orang jagoan dan kepala gerombolan yang pernah menjadi kawan mendiang Tok-Gan-Houw Lo Cit. Di antara mereka terdapat dua orang kepala penjahat yang sebenarnya bukan semua datang melayat, melainkan hendak melihat keadaan dan melihat siapa yang akan menggantikan Lo Cit menjadi ketua gerombolan itu. Di balik pelayatan ini sebetulnya mereka menginginkan kedudukan ketua dari gerombolan yang cukup kuat itu. Apa lagi Lo Cit yang tidak mempunyai anak itu meninggalkan rumah dan harta benda yang cukup banyak di samping beberapa orang pelayan wanita dan isteri yang muda-muda dan cantik-cantik. Dua orang itu yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan terkenal dengan nama Hek-Kang-Jiu (Tangan Baja Hitam) Co Tek dan yang seorang lagi bertubuh kecil pendek membawa golok besar di punggungnya yang terkenal dengan nama Toat-Beng-To (Golok Pencabut Nyawa) Tung Kok. Setelah memberi hormat kepada peti jenazah, kedua orang ini dipersilakan duduk oleh para tokoh gerombolan yang mengenal dan menghormati mereka. Akhirnya para tamu yang datang
820
melayat tidak ada lagi dan orang-orang sudah bersiap-siap untuk mengangkat peti jenazah dan mengangkutnya ke tanah kuburan. Tiba-tiba muncul seorang tamu lagi sehingga pengangkatan peti jenazah ditangguhkan. Tamu ini adalah seorang pemuda tampan gagah. Akan tetapi semua orang memandang heran karena pemuda itu tidak segera memberi hormat kepada peti jenazah melainkan melayangkan pandang matanya kepada orang-orang yang berada di situ, Semua orang tentu saja merasa heran dan mengamati pemuda itu. Dia berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi kokoh. Mukanya bulat dan sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam seperti mata harimau. Hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan senyum mengejek. Alisnya hitam tebal dan rambutnya juga hitam panjang, disanggul dan dihias tusuk sanggul burung merak. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain biru dan di bawah buntalan terdapat sebatang pedang beronce kuning. Pemuda ini bukan lain adalah Tan Song Bu yang sudah berganti marga menjadi Ouw Yang Song Bu. Seperti diketahui, pemuda ini merasa tidak suka kepada Im Yang Tojin yang dianggapnya seorang pengkhianat partainya sendiri, juga tidak suka kepada To Te Kong dan Cui-Beng Kui-Bo yang dinilainya sombong. Maka dia gembira mendapat tugas dari Ayah angkatnya
821
pergi mencari Ouw Yang Hui dan tidak ikut rombongan jagoan Liu Thaikam itu yang hendak menyerbu dan membasmi Im-Yang-Kauw di Kim-San. Dia tidak tahu kemana harus mencari Ouw Yang Hui. Karena dia lebih dulu hendak mencari Tok-Gan-Houw Lo Cit yang dahulu menyerbu Pulau Naga dan yang menjadi biang keladi perginya Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui bersama ibu mereka dari Pulau Naga. Juga dia hendak bertanya kepada Lo Cit di mana adanya Sim Kui Hwa, ibu Ouw Yang Hui dan dimana pula adanya Ouw Yang Lan dan ibunya, yaitu Lai Kim. Demikianlah, pada pagi itu dia menemukan perkampungan gerombolan yang dipimpin Lo Cit, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya telah tewas dua hari yang lalu. Seorang tokoh gerombolan yang bertugas menerima tamu mewakili keluarga Lo Cit, segera maju menghampiri Song Bu dan bertanya dengan suara bernada tidak senang melihat pemuda itu datang tidak memberi hormat kepada peti jenazah. “Orang muda, engkau agaknya tidak datang untuk melayat. Siapakah engkau dan mau apa engkau datang ke sini?” Song Bu menyapu ke sekelilingnya, mencari-cari orang yang bermata satu. Yang dia ketahui tentang Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) Lo Cit hanyalah bahwa musuh besar itu hanya memiliki mata sebelah
822
karena yang satu lagi telah buta. Hanya sekilas saja dia memandang orang yang menegurnya, lalu dia menjawab, “Aku datang mencari Tok-Gan-Houw Lo Cit. Dimana dia?” Tentu saja semua orang menjadi heran dan tertarik. Pemuda itu mencari orang yang sudah mati dan yang kini berada di dalam peti mati! “Mau apa engkau mencari Tok-Gan-Houw Lo Cit?” tanya anggauta gerombolan itu, kini nada suaranya marah. Song Bu memandang wajah orang itu. “Mau apa? Mau kucongkel keluar matanya yang tinggal satu itu!” Semua orang terbelalak mendengar ucapan yang lantang ini. Betapa beraninya pemuda itu! Tokoh gerombolan yang mewakili keluarga Lo Cit itu juga terbelalak dan dia sudah marah bukan main. “Jahanam, engkau sudah bosan hidup!” Dia mencabut goloknya dan menyerang Song Bu dengan bacokan ke arah kepala pemuda itu, Song Bu miringkan tubuhnya dan ketika golok dan tangan itu lewat, dia menangkap pergelangan tangan yang memegang golok. Sekali tekan golok itu terlepas dari pegangan dan orang itu berteriak kesakitan karena tulang pergelangan tangannya remuk ketika dijepit jari-jarí tangan Song Bu.
823
“Engkau yang bosan hidup” kata Song Bu dan sekali tangannya menampar kepala Orang itu, terdengar suara “Prakk!” dan tubuh orang itu terpelanting dan dia roboh tak berkutik lagi karena kepalanya pecah ditampar tangan Song Bu! Empat orang rekan tokoh yang tewas itu marah dan sambil berteriak mereka berempat sudah berlompatan dan menyerang Song Bu dengan golok mereka. Song Bu menyambar golok yang terlepas dari tangan orang pertama tadi. Sekali dia memutar golok itu, tampak sinar bergulung-gulung disusul teriakan-teriakan lalu robohlah empat orang tadi dengan leher yang nyaris terpenggal! Empat orang lagi sudah menyerangnya. Namun mereka inipun hanya mengantar nyawa karena begitu golok di tangan Song Bu berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung, empat orang itupun roboh dan tewas! Keadaan menjadi sunyi dan mencekam. Tidak ada lagi anak buah gerombolan yang berani bergerak setelah melihat betapa delapan orang itu tewas dalam segebrakan saja. Melihat tidak ada lagi orang yang maju menyerangnya, Song Bu membuang goloknya yang berlepotan darah lalu menyapu sekelilingnya dengan pandang matanya yang kini mencorong. “Katakan di mana adanya si jahanam Lo Cit!” suaranya terdengar tenang dan lembut namun terasa oleh semua orang seperti ujung
824
pedang ditodongkan ke depan ulu hati mereka. Keadaan menjadi semakin sunyi dan menegangkan. Hek-Kang-Jiu Co Tek dan Toat-Beng-To Tung Kok yang sejak tadi menonton peristiwa itu, tak dapat menahan diri lagi. Dua orang yang berambisi menjadi ketua gerombolan yang baru melihat kesempatan baik untuk membuat jasa agar terpilih menjadi ketua baru. Serentak mereka mengenjot kaki, mereka sudah melayang, dan tiba di depan Song Bu. Gerakan mereka itu bagi para tamu dan anggauta gerombolan mendatangkan kagum karena menunjukkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi. Namun bagi Song Bu gerakan mereka bangkit dari kursi itu tampak masih lambat dan berat. “Orang muda, siapakah engkau yang sombong ini?” bentak Cong Tek. “Agaknya engkau belum mengenal aku!” bentak pula Tung Kok. Song Bu memandang kedua orang itu dengan sikap seperti seorang dewasa menghadapi dua orang anak nakal. “Hemm, kalian berdua ini siapa sih?” tanyanya dengan nada suara ringan. “Aku Hek-Kang-Jiu Co Tek!” jawab Co Tek sambil mengamangkan kedua tinjunya yang berwarna hitam legam, sesuai dengan nama
825
julukannya seolah kedua tangannya itu terbuat dari baja hitam, bukan kulit daging dan tulang. “Aku Toat-Beng-To Tung Kok” kata Tung Kok sambil mencabut goloknya yang terlalu besar dan berat tampaknya itu jika dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil pendek. Akan tetapi tangan kanannya itu menggerak-gerakan golok itu dan tampaknya ringan sekali. “Kalian berdua ini apanya Lo cit.” tanya pula Song Bu. “Aku tamu, juga calon Ketua perkampungan ini!” jawab Co Tek San sehingga terdengar oleh semua orang. “Aku juga tamu dan calon ketua perkampungan ini!” kata Tung Kok pula tidak kalah lantangnya. Semua anak buah gerombolan memandang heran dan saling toleh. Akan tetapi mereka hanya menonton, ingin melihat apakah dua orang tamu yang mengaku calon ketua itu akan mampu merobohkan atau rnengusir pemuda yang menghina ketua mereka yang sudah mati. “Ah, kiranya begitu? Kalau begitu, hayo katakan di mana ketua lama Tok-Gan-Houw Lo Cit!” Song Bu membentak.
826
“Sebentar lagi engkau mati, perlu apa bertanya-tanya lagi!” seru Co Tek San sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga dua tangannya menjadi semakin hitam legam. “Mampuslah!” bentak Toat-Beng-To Tung Kok dan si pendek kecil ini telah menerjang dengan goloknya. Di luar dugaan orang, si pendek kecil ini dapat menggerakkan golok besar yang tebal dan berat itu dengan cepat sekali. Golok itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung menyerang ke arah Song Bu. Hek-Kang-Jiu Co Tek tidak mau kalah atau kedahuluan saingannya, Dia juga sudah berseru nyaring dan menerjang dengan kedua tangannya yang kini membentuk cakar mencengkeram ke arah muka dan dada Song Bu. Menghadapi serangan maut kedua orang pengeroyoknya, Song Bu bersikap tenang saja. Dengan mudah dia menggerakkan tubuhnya mengelak dari sambaran golok dan ketika cengkeraman, kedua tangan Co Tek menyambar, dia menangkis lengan lawan ini dengan kibasan kedua tangannya. “Dukk-dukk!” Tubuh Co Tek terdorong ke belakang dan terhuyung ketika lengannya bertermu dengan tangan Song Bu. Dia terkejut sekali. Kedua lengannya itu sudah terisi tenaga sakti yang membuat kedua tangannya sekeras dan sekuat baja. Akan tetapi sekali tangkis saja pemuda itu dapat membuat dia terhuyung dan
827
kedua lengannya tergetar hebat! Serangan golok pertama yarng dielakan dengan mudah oleh pemuda itu membuat Tung Kok menjadi penasaran sekali, Ia memutar goloknya dan menyerang lagi lebih ganas. Namun kembali Song Bu mengambil langkah dan semua sambaran sinar golok yang bergulung-gulung itu tidak ada yang mampu menyentuh baju Song Bu, apalagi tubuhnya. Song Bu maklum bahwa dua orang lawannya ini cukup lihai. Dia tidak ingin memperpanjang perkelahian. Tiba-tiba dia melompat ke belakang, sengaja memancing agar dua orang lawannya mengejarnya. Ketika melihat mereka menerjangnya, dia mengerahkan tenaga saktinya seperti yang pernah dipelajarinya dari Hek Pek Moko yaitu tangan kirinya menggunakan pukulan Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam), sedangkan tangan kanannya menggunakan Pek-Tok-Ciang (Tangan Racun Putih). Dengan menekuk kedua lututnya, dia mendorongkan kedua tangannya yang dibuka ke arah dua orang lawan yang maju menerjangnya itu. “Wuuuttt... dess!... Dess!” Dua tubuh yang sedang, menerjang maju itu tiba-tiba tersentak dan terjengkang ke belakang lalu roboh dan tewas seketika. Co Tek Te-Kong tewas dengan muka berubah menjadi kehitaman dan Tung Kok tewas dengan muka berubah putih seperti dilumuri kapur! Semua orang terbelalak ngeri melihat
828
mereka itu, para anggauta gerombolan itu adalah orang-orang yang biasa melakukan kejaman dan kekerasan. Namun melihat sepak terjang pemuda itu mereka merasa ngeri dan ketakutan. Song Bu menyapu wajah orang-orang itu. Suasana menjadi sunyi sekali seolah-olah orang-orang itu tidak membuat suara dan menahan napas. Dia melihat seorang laki-laki tua, berusia sekitar lima puluh tahun berjongkok di dekat peti jenazah. Dia menggapai. “Engkau Paman tua, ke sinilah!” orang itu menjadi pucat dan menggigil. “Jangan takut. Aku tidak akan membunuhmu, asalkan engkau membuat pengakuan sejujurnya” kata pula Song Bu. Orang itu bangkit berdiri dan perlahan-lahan menghampiri Song Bu, diikuti dengan pandang mata oleh para anggauta gerombolan dan para pelayat. Dasar mereka adalah orang-orang jahat yang sudah biasa berbuat curang dan jahat, diam-diam ada lima orang anggauta gerombolan ahli panah yang menghampiri Song Bu dari arah belakang. Lima orang itu masing-masing memegang busur yang sudah dipasangi anak panah beracun. Dengan isyarat tangan, seorang dari mereka yang menjadi pimpinan memberi tanda dan berbareng mereka menarik tali busur dan melepaskan panah ke arah sasarannya, yaitu tubuh belakang Song Bu! “Wirrr...” Lima batang anak panah tmpak menjadi lima sinar meluncur cepat ke arah tubuh belakang Song Bu. Namun pemuda
829
ini telah mendapatkan gemblengarn para datuk yang berilmu tinggi. Biarpun matanya tidak melihat serangah anak panah dari belakang, namun pendengarannya amat tajam dan peka. Dia dapat menangkap suara angin yang diakibatkan luncuran lima batang anak panah itu. Dengan tenang namun sigap, dia melangkah ke samping dan memutar tubuh. Lima batang anak panah yang menyambar di sampingnya itu dia tangkap dengan menggerakkan tangan kanannya. Kemudian sekali tangan kanannya bergerak, lima batang anak panah itu menyambar ke arah lima orang yang melepaskan serangan tadi. Terdengar lima orang itu menjerit lalu roboh terjengkang dengan masing-masing tertusuk anak panah pada tenggorokan mereka. Tubuh mereka berkelojotan dan mereka tewas tak lama kemudian. Peristiwa ini membuat para anggauta gerombolan menjadi semakin takut. Song Bu bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Dia memandang kepada anggauta gerombolan yang tadi dipanggilnya dan yang kini sudah berdiri di depannya. “Paman, sudah berapa lama engkau menjadi anggauta gerombolan yang dipimpin oleh Lo Cit?” “Sudah lama, Taihiap, ada sekitar dua puluh tahun.”
830
“Hemm, kalau begitu engkau tentu telah mengikuti semua sepak terjang Lo Cit. terus terang, di mana adanya Lo Cit?” Orang itu memandang ke arah peti jenazah dan menjawab dengan gagap, “Di... di situ...” Dia menuding ke arah peti mati. Song Bu terkejut dan mengerutkan alisnya. Hatinya. kecewa. Tentu saja dia tidak perduli akan kematian penjahat itu, Akan tetapi dia mencari Lo Cit untuk memaksa penjahat itu mengaku di mana adanya Ouw Yang Lan bersama ibunya sekarang dan mungkin kepala gerombolan itu tahu di mana adanya Ouw Yang Hui dan ibunya. Ternyata orang yang hendak dimintai keterangan itu telah mati. Dia memandang ke arah peti mati dan tiba-tiba ia melangkah maju menghampiri peti jenazah yang amat tebal itu. “Braakkk...!” Tutup peti jenazah itu jebol terbuka dan terlempar ke bawah. Kini peti jenazah terbuka dan tampak jenazah Lo Cit rebah telentang di dalam peti. Lehernya hampir putus dan matanya yang tinggal sebelah kanan itu terbuka. Setelah melihat bahwa mayat itu bermata satu, percayalah Song Bu bahwa benar Lo Cit telah tewas dan jelaslah karena lehernya luka menganga. Karena jenazah itu mengeluarkan bau tidak sedap Song Bu mengajak anggota gerombolan tadi.
831
“Hayo ikut denganku” Laki laki itu menurut dan Song Bu melangkah keluar menjauhi rumah itu, setelah jauh sehingga dapat bernafas udara bersih, Song Bu berhenti, laki laki itu berhenti didepannya. “Paman... engkau sebagai anggota tentu mengetahui ketika pada kurang lebih sebelas tahun yang lalu Lo Cit melakukan penyerbuan ke pulau naga dan Lo Cit membawa dua orang anak perempuan bersama dua orang ibu mereka?” “Benar Taihiap, ketika itu saya juga ikut menyerbu ke pulau naga bersama teman-teman lainnya, karena yang ikut menyerbu ke pulau dengan Lo-Twako akhirnya tewas semua kecuali saya yang berada di pantai seberang pulau bersama teman-teman lainnya yang menunggu kereta dan kudanya di pantai daratan.” “Nah, yang ingin kuketahui, setelah Lo Cit mendarat bersama dua orang anak perempuan dan dua orang wanita itu, apa yang telah terjadi?, dengan siapa Lo Cit melakukan penyerbuan ke pulau naga sehingga berhasil menculik mereka?.” “Lo-Twako menyerbu dengan bantuan Thai Lek Kui Ciang Sek majikan Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di pegunungan Thai-San, yang kembali dari pulau naga hanya mereka berdua, sedangkan anak buah yang lainnya tidak kembali, mungkin mereka tewas semua di pulau itu. Mereka berdua membawa dua orang wanita
832
cantik dan dua orang anak perempuan. Setelah mendarat mereka berbagi tawanan itu, Lo-Twako membawa seorang wanita dengan anak perempuannya, sedangkan wanita yang satunya lagi bersama anak perempuannya dibawa pergi oleh Thai Lek Kui Ciang Sek.” “Dibawa kemana?” “Entahlah Taihiap, kami tidak ada yang tahu, mungkin ke tempat tinggalnya, dia majikan Pek-In-San di pegunungan Thai-San.” “Dan wanita beserta anak perempuannya yang dibawa pergi Lo Cit?” “Lo-Twako menyerahkan anak perempuan itu kepada seorang anak buahnya yang bernama Ji Tong yang kemudian diketahui terbunuh di tengah jalan dan anak perempuan itu hilang tidak diketahui ke mana perginya, Adapun wanita cantik itu dibawa pergi Lo-Twako, akan tetapi di tengah perjalanan wanita itu dirampas oleh seorang pendekar Siauw-Lim-Pai, kalau tidak salah bernama Gan Hok San. Nah, hanya itu yang saya ketahui, Taihiap. Selanjutnya saya sama sekali tidak pernah mendengar berita tentang dua orang wanita dan dua orang anak perempuannya itu.”
833
“Engkau tidak pernah mendengar tentang mereka itu sama sekali? Engkau benar-benar tidak tahu di mana dua orang wanita itu dan anak-anak perempuan mereka kini berada?” “Sungguh mati, Taihiap. Saya tidak tahu, Andaikata saya tahu, mengapa tidak saya beritahukan kepada Taihiap?” “Baik, engkau boleh pergi dan katakan kepada semua anggauta gerombolan itu untuk membubarkan gerombolan mereka. jangan ada yang berani melakukan kejahatan mengganggu penduduk dusun lagi, kalau tidak, kelak aku akan datang membunuh kalian semua.” “Terima kasih, Taihiap. Akan tetapi bolehkah saya mengetahui nama Taihiap agar dapat saya katakan kepada para teman sehingga mereka semua akan mentaati perintah Taihiap?” Song Bu enggan untuk memperkenalkan nama. Ouw Yang Lee, Ayah angkatnya yang pernah melihat rajah naga hitam di dadanya, pernah mengusulkan agar dia mempergunakan nama julukan yang sesuai dengan rajah naga di dadanya itu. Biarlah orang-orang itu yang akan memberinya nama julukan, pikirnya. Dia lalu membuka kancing bajunya dan membuka baju bagian depan memperlihatkan dadanya. Anggauta gerombolan itu terbelalak melihat rajah naga hitam yang seperti gerak-gerak hidup ketika dada yang besar dan
834
bidang itu bergerak dalam pernapasan, seolah naga hitam itu melayang di angkasa. “Hek-Liong Taihiap” serunya perlahan, lalu dia berlari kembali ke gedung induk di perkampungan itu. Song Bu mengancingkan kembali bajunya dan dia dapat menangkap dengan pendengarannya yang tajam suara mereka yang berada di rumah kematian itu. “Hek-Liong Taihiap (Pendekar Besar Naga Hitam)...! Song Bu tersenyum. Biarlah kalau mereka memberinya nama julukan, begitu. Julukan yang cukup baik dan sesuai dengan rajah naga di dadanya. Dia memang ingin menjadi seorang pendekar, seperti seekor naga hitam yang terbang melayang di angkasa, memperlihatkan kegagahannya. Akan tetapi dia teringat akan kedudukannya di kota raja. Dia menjadi pembantu Thaikam Liu! Dan rekan-rekannya adalah datuk-datuk jahat dan sombong. Dia teringat betapa tugasnya yang pertama kali adalah disuruh membunuh Pangeran Ceng Sin sekeluarga, pada hal Pangeran Ceng Sin adalah seorang bangsawan yang baik. Anak perempuannya yang bernama Ceng Loan Cin itu juga seorang anak pemberani yang berwatak gagah perkasa! Song Bu
835
meninggalkan Houw-San sambil termenung. Dia tidak akan bertindak sebagai pendekar kalau membiarkan dirinya menjadi kaki tangan Thaikam Liu Cin dan menjadi rekan orang-orang seperti Im Yang Tojin yang berkhianat terhadap Im Yang Kauw, Tho Te Kong yang sombong, Hek Pek Moko yang berwatak kejam, dan Cui-Beng Kui-Bo yang kejam dan cabul. Diapun merasa heran mengapa Ayah angkat dan juga gurunya itu mau bergaul dengan datuk-datuk macam itu dan mau pula menjadi kaki tangan Thaikam Liu Cin. “Aku harus meninggalkan mereka, harus mencari alasan untuk meninggalkan mereka,” pikirnya. “Sribaginda Kaisar demikian bijaksana dan baik, akan tetapi Thaikam Liu Cin agaknya tidak suka kepada Kaisar. Lebih baik aku mencari adik Ouw Yang Lan dan Ibunya. Lo Cit sudah mati Kini tinggal mencari Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang merupakan orang ke dua yang menyerbu Pulau Naga. Mudah-mudahan melalui Ciang Sek aku akan dapat menemukan Ouw yang Lan dan Ibunya.” Pikiran ini menambah semangat Song Bu dan mulailah dia melakukan perjalanan menuju pegunung Thai-San. Thai-Lek-Kui Sek sedang duduk berbincang-bincang dengan Lai Kim, isterinya. Majikan Bukit Awan Putih ini sudah berusia lima
836
puluh dua tahun, namun dia masih tampak gagah. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, mukanya yang merah itu masih belum dihias keriput, bahkan rambut kumis dan jenggotnya masih hitam. Adapun Lai Kim, wanita yang telah dua belas tahun menjadi isterinya itu, yang kini telah berusia empat puluh tiga tahun, juga masih tampak cantik dan bertubuh ramping. Tahi lalat di pipi kirinya menambah manis wajah wanita ini. Pada sore hari itu mereka bercakap-cakap tentang Ouw Yang Lan, puteri bawaan Lai Kim atau anak tiri Ciang Sek yang disayangnya seperti anak kandung sendiri. “SunggUh heran sekali anak itu!” kata Ciang Sek. “Sudah tiga bulan lebih ia pergi dan sampai sekarang belum juga pulang. Kemana saja perginya Lan-ji (anak Lan)?” “Aku juga merasa khawatir sekali kalau-kalau ia mengalami halangan. sebetulnya aku merasa tidak setuju sama sekali kalau ia pergi ke Pulau Naga. Ouw Yang Lee itu orangnya keras hati dan kejam sekali. Untuk apa anak itu pergi ke sana?” kata Lai Kim sambil mengerutkan alisnya. “Tidak perlu khawatir, isteriku. Lan-ji bukan gadis lemah. la mampu menjaga dan membela diri kalau ada bahaya mengancamnya. Pula, ia berhak mengunjungi pulau tempat lahirnya untuk menemui
837
Ayah kandungnya. la sudah dewasa dan aku tidak berhak melarangnya, apalagi ia pergi tanpa pamit.” “Akan tetapi ia masih belum banyak pengalaman, suamiku. Kuharap engkau suka menyusul dan mencarinya, mengajaknya pulang. Sungguh amat tidak baik bagi seorang gadis dewasa untuk berkeliaran seorang diri di dunia ramai yang banyak mengandung bahaya. Hatiku gelisah selalu. “Baiklah. Kita tunggu sampai tiga hari lagi. Kalau ia belum juga pulang, aku akan pergi menyusul dan mencarinya,” kata Ciang Sek, dan Lai Kim tersenyum lega. Suaminya ini memang amat sayang kepadanya dan puterinya dan diam-diam ia merasa bersukur. Alangkah jauh bedanya antara sikap Ciang Sek dan sikap Ouw Yang Le ketika masih menjadi suaminya dahulu. Ouw Yang Lee keras hati dan galak, mau menang sendiri dan menganggapnya sebagai pemuas napsu belaka. Sebaliknya dari Ciang Sek ia mendapatkan kasih sayang, penghargaan dan penghormatan. Pada saat itu terdengar daun pintu ruangan itu diketuk orarng dari luar. Ciang sek mengangkat muka memandang ke arah pintu dan berkata, “Siapa itu? Masuk sajalah.” Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus masuk. Dia adalah Gu Tian, berusia kurang lebih empat puluh lima
838
tahun. Gu Tian ini adalah Sute (Adik Seperguruan) dan juga pembantu utama Ciang Sek. “Ah, kiranya Gu-Sute! Duduklah, Sute. ada keperluan apakah?” “Maaf kalau aku mengganggu, Suheng dan Soso (Kakak Ipar). Saya hanya ingin memberitahu bahwa di luar rumah ada seorang tamu yang hendak bertemu dan bicara dengan Suheng.” “Hemm, siapakah dia dan apa kepentingannya hendak bertemu dan bicara denganku?” “Sudah kutanyakan hal itu kepadanya, Suheng. Akan tetapi dia tidak mau mengaku hanya berkata bahwa dia akan bicara dengan Suheng dan katanya Suheng pasti tahu siapa dia,” kata Gu Tian. “Kalau Suheng merasa terganggu dan tidak ingin menemuinya, biar aku yang akan mengusirnya.” “Tidak baik mengusir seorang tamu yang datang berkunjung,” kata Lai Kim kepada suaminya. “Kalau dia sudah datang ke sini, tentu ada keperluan penting dan sebaiknya kalau tamu itu ditemui dan ditanya apa keperluannya.” Dalam banyak hal, Ciang Sek yang biasanya berwatak keras itu menjadi lunak kalau sudah diingatkan isterinya tersayang. Dia memandang isterinya dan tersenyum lalu berkata kepada Gu Tian,
839
“Gu Sute, aku akan menemui tamu itu.” Dia lalu bangkit berdiri. “Biar aku ikut,” tiba-tiba Lai Kim berkata. “Entah mengapa, hatiku merasa tidak enak.” Isteri itupun bangkit dan menemani suaminya keluar dari rumah untuk menemui tamu yang tidak mau memperkenalkan diri kepada orang lain kecuali tuan rumah itu. Gu Tian juga mengikuti Suhengnya keluar. Setelah tiba di luar rumah, mereka melihat seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar berjenggot panjang dan sikapnya gagah. Melihat laki-laki itu, wajah Lai Kim berubah pucat dan tangan kirinya menutupi mulutnya agar tidak menjerit. la berseru lirih. “Ouw Yang Lee.” Ciang Sek terkejut mendengar isterinya menyebut nama itu. Walaupun dia pernah membantu Lo Cit menyerbu Pulau Naga, namun dia belum pernah bertemu dengan Ouw Yang Lee. Dia tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan majikan Pulau Naga itu. Dahulu itu dia hanya membantu Lo Cit yang menjadi sahabat lamanya. Kini mendengar bahwa laki-laki itu adalah bekas suami isterinya, tentu saja dia terkejut. Ouw Yang Lee menudingkan telunjuknya ke arah Lai Kim dan memaki, “Perempuan hina tak tahu malu!”
840
“Kiranya engkau ini Ouw Yang Lee majikan Pulau Naga?” kata Ciang Sek sambil melangkah maju menghadapinya. Lai Kim telah menjadi isteriku yang tersayang. Engkau tidak boleh merampasnya, juga tidak boleh memaki menghinanya Ouw Yang Lee tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, orang she Ciang! Engkau hadiahkan wanita itu dengan cuma-cuma kepadaku sekalipun aku tidak sudi menerimanya! Aku hanya ingin membunuh wanita tak tahu malu itu!” Lai Kim terisak dan ia lalu lari ke dalam rumah, tak tahan mendengar makian dan penghinaan Ouw Yang Lee. Ciang Sek marah bukan main. “Ouw Yang Lee, tutup mulutmu yang kotor! Engkau mengancam hendak membunuh isteriku? Boleh, akan tetapi langkahi dulu mayatku kalau engkau berani!” Ouw Yang Lee tertawa lagi. Suara tawanya mengandung sinkang yang kuat sehingga menggetarkan jantung orang-orang yang berada di situ. Kini anak buah Pek-In-San berdatangan dan pekarangan rumah itu penuh dengan mereka. “Ha-ha-ha-ha! Ciang Sek, percuma saja engkau berjuluk Thai-Lek-Kui kalau engkau hanya mengandalkan banyak orang untuk menghadapi lawan dengan, keroyokan. Engkau ternyata hanyalah seorang pengecut besar!” Ouw Yang Lee menertawakannya.
841
wajah Ciang Sek yang sudah kemerahan itu kini, menjadi semakin merah. Dia memandang kepada anak buahnya dan membentak mereka, “Kalian semua keluar dari pekarangan ini dan jangan mencampuri pertandingan antara kami berdua!” Para anak buah itu lalu keluar pekarangan dan hanya berdiri nonton dari kejauhan. Yang tinggal di pekarangan depan, rumah kini tinggal Ouw Yang Lee yang berhadapan dengan Ciang Sek, sedangkan Gu Tian berdiri agak mundur ke belakang. “Bagus, sekarang baru aku melihat bahwa Thai-Lek-Kui Ciang Sek adalah seorang laki-laki sejati! Akan tetapi hari ini engkau. harus menebus dosa-dosamu kepadaku dengan nyawamu. Engkau membantu Lo Cit menyerbu Pulau Naga. Engkau menculik isteri dan anakku, bahkan sekarang engkau, mengambil seorang isteriku menjadi isterimu. Semua itu hanya dapat ditebus dengan nyawamu!” Ouw Yang Lee mencabut pedang yang tergantung di punggungnya. “Ouw Yang Lee, aku tidak akan menyangkal perbuatan yang telah kulakukan dan aku berani bertanggung jawab. Aku membantu Lo Cit karena dia memang sahabatku dan engkau telah berulang kali menyerang dan menghinanya, membunuh banyak anak buahnya.
842
Kami menculik isteri-isteri dan anak-anakmu untuk memberi pelajaran atas kesombonganmu. Akan tetapi aku sama sekali tidak memaksa Lai Kim menjadi isteriku. Kami menikah atas dasar saling mencinta. Tidak perlu engkau mengancam karena aku sama sekali tidak takut akan ancamanmu. Mari kita selesaikan urusan di antara kita di ujung pedang!” Setelah berkata demikian, Ciang Sek juga mencabut pedangnya. Dua orang laki-laki yang sama tinggi besar dan gagahnya itu kini saling berhadapan, dengan pedang tajam mengkilap di tangan! Keduanya sama-sama maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang tangguh. Biarpun mereka belum pernah saling berkelahi, namun mereka sudah saling mendengar nama masing masing yang cukup terkenal di dunia kang-ouw. “Ciang Sek, bersiaplah untuk mampus!” seru Ouw Yang Lee sambil memasang kuda-kuda, tubuhnya merendah dengan kaki terpentang lebar, pedang di tangan kanan menuding ke arah muka lawan sedangkan dua jari tangan kiri menempel pada pergelangan tangan kanan. Inilah pembukaan dari ilmu pedang Coat-Beng Tok-Kiam (Pedang Racun Pencabut Nyawa). Sebagai seorang ahli racun yang berjuluk Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur), tentu saja pedang di tangan Ouw Yang Lee itu mengandung racun yang amat
843
berbahaya. Tergores sedikit saja yang menyayat kulit sudah cukup untuk merenggut nyawa lawan! “Engkau atau aku yang akan mati!” jawab Ciang Sek dan majikan Pek-In-San inipun sudah memasang kuda-kuda. Dia berdiri dengan kedua kaki rapat dan berjingkat, pedang di tangan kanan menuding ke atas dan tangan kiri menudingkan telunjuk dan jari tengah ke arah muka lawan. Ini adalah pembukaan dari ilmu silat pefang Lo-Thian Kiam-Sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit). “Haiiiit...” Tiba-tiba Ouw Yang Lee membentak dengan suara melengking dan pedangnya menyambar dengan dahsyatnya ke arah dada lawan dengan tusukan maut, “Singgg...” Pedang itu berdesing, namun tidak mengenai sasaran karena Ciang Sek sudah mengelak dengan menarik tubuh ke kiri dan diapun mengelebatkan pedangnya yang menyambar dari samping dengan bacokan ke arah leher Ouw Yang Lee. “Singgg...!” Akan tetapi pedang Ciang Sek inipun tidak mengenai sasaran karena Ouw Yang Lee sudah merendahkan tubuh sehingga pedang lewat di atas kepalanya. Sambil mengelak majikan Pulau Naga ini menusukkan pedangnya dari bawah ke arah perut lawan. Namun Ciang Sek sudah memutar balik
844
pedangnya dan menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. “Singgggg... trangggg...!! Bunga api berpijar ketika dua pedang bertemu dan keduanya terdorong ke belakang sampai beberapa langkah. Maklumlah kedua pihak bahwa tenaga lawan amat kuat dan boleh dibilang kekuatan mereka seimbang. Hal ini diam-diam mengejutkan Ciang Sek. Dia terkenal dengan julukan Thai-Lek-Kui (lblis bertenaga Besar) dan tadinya dia mengharapkan akan dapat mengatasi majikan Pulau naga itu dengan mengandalkan kelebihan tenaganya. Sekarang ternyata bahwa Ouw Yang Lee ternyata mampu menandingi tenaganya. Pertandingan dilanjutkan dan keduanya berhati-hati, akan tetapi juga mengeluarkan seluruh kemampuan mereka. Setiap serangan merupakan jangkauan maut. Gu Tian yang menonton dari samping merasa tegang dan khawatir. Biarpun tingkat kepandaiannya masih di bawah tingkat Ciang Sek, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dan maklum bahwa biarpun Suhengnya belum tentu kalah dan keadaan mereka masih seimbang, Namun lawan ternyata amat tangguh sehingga agaknya akan sukar bagi Suhengnya untuk keluar sebagai pemenang. Kini Ciang
845
Sek mengubah gerakannya. kalau tadi dia hanya mengandalkan permainan silat pedang Lo-Thian Kiam-Sut saja, kini dia menyelingi serangan pedangnya dengan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Puyuh). Dia menguasai ilmu tendangan yang hebat ini. Kedua kakinya dapat menendang secara berantai dan bertubi, sehingga dapat menyulitkan lawan. kadang-kadang kedua kakinya mencuat bergantian, seperti kilat menyambar ke arah tubuh lawan. Ouw Yang Lee terkejut dan terpaksa menghindar. Serangan kedua kaki lawan ini membendung serangannya sendiri sehingga dia lebih banyak diserang dari pada menyerang. Terkadang dia menangkis dengan lengan kirinya atau terpaksa mundur untuk menghindarkan diri dari serangan tendangan yang dahsyat itu. Ouw Yang Lee mulai terdesak dan diam diam Gu Tian merasa girang. Kalau dilanjutkan begitu, besar kemungkinan Suhengnya akan menang. Ouw Yang Lee yang sudah banyak pengalamannya itu menyadari akan hal ini. Dia mulai mengukur tenaga tendangan lawan itu dengan tangkisan lengan kirinya. Tendangan itu cukup kuat, akan tetapi dia yakin masih akan mampu menerima tendangan itu dengan lindungan kekebalannya. Sedikitnya, dia tidak akan terluka dalam oleh tendangan seperti itu, paling banyak akan menderita nyeri dan terpental. ía dapat mencuri kemenangan
846
dengan membiarkan tubuhnya tertendang. Diam-diam dia mengerahkan tenaga sakti beracun ke tangan kirinya sehingga tangan kiri itu dari jari-jari sampai ke siku berubah menjadi merah. Itulah ilmu Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah) yang menjadi ilmu andalannya. Dia harus mendahului dengan pukulannya sebelum tubuhnya terkena tendangan yang kuat itu. Saat yang dinanti-nanti tiba. Sebuah tendangan kaki kanan Ciang Sek dia elakkan ke kiri, kemudian tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan memutar. Pedang lawan membacok dari atas. Dia menggunakan pedangnya untuk menyambut pedang lawan sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel. Pedangnya seperti mengandung semberani, ketika dua pedang bertemu, dua pedang itu saling melekat dan mereka mengerahkan tenaga untuk saling dorong dengan pedang. Saat itulah tangan kiri Ouw Yang Lee memukul dengan telapak tangan ke arah dada lawan. Ciang Sek terkejut dan cepat dia menyambut dengan telapak tangan kirinya pula sambil mengerahkan Pek-In Ciang-Hoat (IImu Silat Awan Putih) yang sepenuhnya mengandung tenaga sakti. “Plakkk!” Kedua telapak tangan bertemu dan pada saat itu Ciang Sek yang merasakan telapak tangannya panas dan gatal sekali, menendang dengan kaki kanannya. Hal ini bahkan merugikannya
847
karena dengan pengerahan tenaga pada tendangannya, maka tenaga pada tangan kiri yang menyambut pukulan lawan itu berkurang. “Dessss...!” Tubuh Ouw Yang Lee terpental empat meter jauhnya akan tetapi dia tidak terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya dan hanya terhuyung. Wajahnya pucat menahan rasa nyeri pada dadanya yang tertendang tadi. Dia memang mengalami luka dalam, namun tidak parah. Di lain pihak, tubuh Ciang Sek hanya terdorong mundur lima langkah. Dia terhuyung, darah mengalir dari ujung bibırnya, matanya terpejam dan alisnya berkerut. Dia membuka mata memandang telapak tangan kirinya yang terasa panas dan gatal. Ternyata telapak tangan kirinya sudah berubah merah darah. Rasa nyeri menghimpit dadanya dan maklumlah dia bahwa dia menderita luka dalam yang hebat karena keracunan. Ciang Sek tidak kuat lagi dan diapun cepat duduk bersila dan mengerahkan pernapasan menghimpun hawa murni, seperti orang sedang bersamadhi. “Ha-ha, Ciang Sek! Sekarang engkau akan mati dan setelah itu, giliran wanita hina itu yang akan tewas di tanganku.” Ouw Yang Lee menghampiri Ciang Sek yang masih duduk bersila dengan pedang di tangan. Dia mengayun pedang membacok.
848
“Tranggg....!” Pedangnya terpental dan Ouw Yang Lee terhuyung ke belakang Ketika dia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah Gu Tian! Dari tangkisan tadi, tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini memiliki tenaga yang cukup kuat. Padahal dia sendiri sudah terluka dan tenaganya tidak mungkin dapat dikerahkan sepenuhnya sehingga kalau dia melawan, dia tidak akan menang. “Ouw Yang Lee, engkau menyerang orang yang sudah tidak mampu melawanmu. Datuk macam apa engkau ini!” Bentak Gu Tian yang siap dengan pedang di tangan. “Siapa engkau?” bentak Ouw Yang Lee sambil memandang dengan mata mencorong. “Aku Gu Tian. Thai-Lek-Kui Ciang Sek adalah Suhengku!” jawab Gu Tian. Makin yakinlah Ouw Yang Lee bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, dia tidak akan mampu mengalahkan Sute dari Ciang Sek yang tentu tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dari tingkat kepandaian Ciang Sek. “Hemm, baiklah. Lain hari aku akan kembali dan membasmi kalian semua!” katanya dan dia lalu memutar tubuhnya dan dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu. Setelah Ouw Yang Lee
849
meninggalkan tempat itu, baru Lai Kim berlari keluar menghampiri suaminya, yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. “Engkau... terluka...?” tanya Lai Kim sambil berlutut dekat suaminya. Ciang Sek membuka matanya, memandang isterinya dan tersenyum untuk menenangkan perasaan isterinya. Dia menghela napas panjang dan berkata, “Kepandaian dan tenaga kami seimbang diapun terluka, hanya tenaganya mengandung hawa beracun yang hebat...” Gu Tian dan Lai Kim membantu Ciang Sek bangun kemudian memapahnya masuk ke dalam rumah. Ciang Sek memasuki kamarnya dan merebahkan diri, dijaga oleh Lai Kim. Gu Tian lalu mempersiapkan obat yang mereka miliki sekedar untuk mencegah menjalarnya racun dan memperkuat daya tahan tubuh Ciang Sek. Untung bahwa Ciang Sek memiliki tubuh yang kuat dan juga tadi dia sudah melindungi dirinya dengan tenaga sakti. Walaupun dia terserang hawa pukulan Ang-Tok-Ciang, namun tidaklah terlalu gawat dan dengan latihan pernapasan dia dapat menahan hawa beracun itu dan sedikit demi sedikit mengusirnya keluar dari tubuhnya. “Aku membutuhkan waktu sedikitnya sepuluh hari untuk membersihkan hawa beracun dan memulihkan kesehatanku yang kukhawatirkan kalau sebelum sepuluh hari Ouw Yang Lee datang
850
lagi. Aku tentu tidak akan, mampu melawannya,” kata Ciang Sek kepada isterinya dan Sutenya. “Ahh, habis bagaimana baiknya?” Lai Kim berkata dengan nada khawatir. “Aku tidak mampu membujuknya agar menghentikan permusuhan ini, orangnya begitu keras kepala dan kejam...” Nyonya yang berwatak pemberani dan agak keras itu lalu mengepal tangan kanannya dan melanjutkan kata-katanya dengan nada marah. “Kalau saja aku memiliki kepandaian silat, tentu akan kulawan dia mati-matian!” “Harap Suheng dan Soso jangan khawatir. Kalau Ouw Yang Lee berani datang lagi, aku yang maju menandinginya!” Ciang Sek menggeleng kepala. “Sute, engkau akan kalah, dia lihai sekali.” “Kalau saja Lan-ji berada di rumah, tentu ia akan dapat membantu Gu-te (adik Gu) untuk melawan si jahat itu,” kata Lai Kim. “Hemm, engkau ingin anakmu melawan Ayah kandungnya sendiri?” kata Ciang Sek.
851
“Ouw Yang Lee hendak membunuh engkau dan aku. Tentu Lan-ji akan membela kita kata Lai Kim penuh semangat. “Harap Suheng tidak khawatir. Kalau anak Lan sudah pulang, tentu bersama dia kami akan dapat mengalahkan Ouw Yang Lee. Andaikata ia belum pulang dan Ouw yang Lee muncul, aku dapat menandinginya dan mengerahkan kurang lebih seratus orang anak buah kita. Hendak kulihat, apa yang mampu dilakukan Ouw Yang Lee menghadapi kekuatan kita?” “Gu-te benar. Kita akan melawan mati-matian. Kalau perlu kita mengerahkan seluruh kekuatan anak buah kita. Harap engkau tenangkan hatimu dan pulihkan kesehatanmu,” kata Lai Kim menghibur. Ciang Sek dan Lai Kim merasa gembira bukan main ketika dua hari kemudian Ouw Yang Lan muncul. Ketika ia melihat Ayah tirinya terluka dan mendengar cerita Ibunya tentang perbuatan Ouw Yang Lee yang bermaksud membunuh Ibunya dan Ayah tirinya, gadis itu marah bukan main. “Biarkan dia datang lagi! Aku yang akan menghadapi dan melawannya!” katanya marah. “Akan tetapi, Lan-ji. Dia adalah Ayah kandungmu sendiri,” kata Ciang Sek. Tidak perduli! Walaupun dia Ayah kandungku, kalau dia
852
hendak membunuh engkau dan Ibuku, berarti dia musuhku dan aku akan melawannya mati-matian!” kata Ouw Yang Lan. Engkau benar, anakku,” kata Lai Kim. Dan jangan khawatir, Gu-te dan para anak buah di sini akan membantumu mengusir, si jahat itu. Sekarang ceritakan bagaimana hasil perjalananmu.” “Aku sudah berlayar ke Pulau Naga akan tetapi tidak dapat bertemu dengan Ayah Ouw Yang Lee maupun Suheng Tan Song Bu. Aku lalu mencari Tok-Gan-Houw Lo Cit dan berhasil membunuh jahanam itu. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan adik Ouw Yang Hui yang kabarnya dibawa anak buah Lo Cit dan hilang tak tentu rimbanya. Adapun Ibu Sim Kui Hwa katanya ditolong oleh seorang pendekar. Akan tetapi akupun tidak tahu di mana dia berada sekarang. Karena itu aku lalu pulang. Menyesal sekali terlambat sehingga tidak dapat membantu Ayah Ciang Sek ketika menghadapi Ayah Ouw Yang Lee.” Mulai hari itu, Ouw Yang Lan membantu Gu Tian yang sejak kunjungan Ouw Yang Lee setiap hari, siang malam, melakukan penjagaan dan perondaan ketat. untuk menjaga keselamatan Suhengnya. Bahkan Ouw Yang Lan tidak hanya berjaga di dalam perkampungan, melainkan keluar dari perkampungan dan berkeliaran di sekitar Bukit Awan Putih untuk berjaga-jaga kalau ada musuh yang datang menyerbu.
853
Sepuluh hari telah lewat dan Ciang Sek telah berhasil mengusir hawa beracun pukulan Ang-Tok-Ciang dari tubuhnya. Dia sudah sehat kembali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, terjadi kegemparan. Beberapa orang anak buah yang bertugas jaga, pagi itu menemukan tanda-tanda yang aneh. Terdapat tanda tapak kaki yang amat dalam dari pekarangan rumah itu sampai ke ruangan belakang. Bahkan tapak kaki yang berada di lantai batu itu dalamnya tidak kurang dari setengah jengkal, seolah-olah kaki itu menginjak tanah liat, bukan menginjak lantài batu! Bukan ini saja yang aneh, akan tetapi ternyata tidak ada seorangpun melihat atau mengetahui ada orang memasuki rumah induk di tengah perkampungan itu. Seolah-olah ada seorang berkeliaran di dalam rumah itu tanpa ada yang mengetahuinya dan orang itu melangkah dengan kedua kaki yang mempunyai tenaga ribuan kati sehingga menekan lantai batu sampai begitu dalam. Ciang Sek, Gu Tian, dan Ouw Yang Lan dengan teliti memeriksa tapak-tapak kaki itu dan Ciang Sek mengerutkan alisnya, menghela napas panjang dan berkata, “Ini bukan dibuat oleh Ouw Yang Lee! Tidak mungkin dia melakukan ini. Tapak kaki seperti ini hanya akan mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu Ban-Kin-Lat (Tenaga Selaksa Kati), seorang yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Dan dia
854
sudah meninggalkan tapak seperti ini di rumah kita tanpa ada yang mengetahui, walaupun kita mengadakan penjagaan ketat siang malam. Ini menunjukkan bahwa orang itu benar-benar amat lihai.” “Akan tetapi apa artinya dia meninggalkan tapak kaki seperti ini, Ayah?” tanya Ouw Yang Lan penasaran. Ayah tirinya menghela napas panjang. “Biasanya, orang yang meninggalkan bukti kelihaiannya seperti ini merupakan peringatan atau ancaman bahwa dia akan datang kembali dengan niat buruk. Aku menduga keras bahwa orang ini adalah seorang datuk besar di dunia kang-ouw yang agaknya diundang oleh Ouw Yang Lee untuk memusuhi kita.” “Kita tidak perlu takut, Ayah!” kata Ouw Yang Lan marah. “Biarkan dia datang Kita lawan mati-matian!” “Tentu saja kita harus melawannya Lan-ji,” kata Ciang Sek sambil tersenyum senang melihat pembelaan anak tirinya yang demikian penuh semangat. “Akan tetapi orang ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Kita tidak boleh sembrono sebelum mengetahui apa sebenarnya yang dia kehendaki, Karena itu, kita harus menggunakan akal.”
855
“Akal apakah itu?” tanya Lai Kim yang merasa Khawatir mendengar percakapan antara suami dan anaknya. “Mendekatlah, hal ini harus dirahasiakan dan hanya kita berempat saja yang mengetahuinya,” bisik Ciang Sek. Lai Kim, Ouw Yang Lan dan Gu Tian lalu mendekat dan Thai-Lek-Kui Ciang Sek berbisik-bisik menceritakan akal yang direncanakannya. Pada hari itu, perkampungan Pek-In-San dalam suasana berkabung! Semua anggauta terkejut dan berduka atas kematian ketua mereka yang mendadak. Ciang Sek mati karena luka-lukanya setelah bertanding melawan Ouw Yang Lee. Jenazah diurus oleh Gu Tian dan anak isteri yang meninggal. Dimasukkan ke dalam sebuah peti mati tebal dan peti mati diletakkan di ruangan berkabung yang berada di depan. Semua anggauta perkampungan Pek-In-San berkabung dan bersembahyang. Para wanita keluarga para anggauta menangis. Inilah siasat yang dilakukan Ciang Sek. Dia pura-pura mati dan siasat ini bahkan tidak diketahui para anggautanya. Mereka mengira bahwa ketua mereka benar-benar tewas karena luka dalam akibat perkelahian melawan Ouw Yang Lee. Tentu saja peti jenazah itu tidak terisi jenazah, melainkan diisi batu-batu bata. Adapun Ciang Sek sendiri bersembunyi di dalam kamar dekat ruangan berkabung itu, siap siaga menanti kemunculan musuh.
856
Malam itu Ouw Yang Lan tidak berada di dalam ruangan berkabung. Semenjak petang, ia sudah meninggalkan perkampungan dan melakukan perondaan di sekeliling perkampungan, di hutan-hutan lereng Pek-In-San. la menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar dan pohon-pohon besar, mengintai dan menanti munculnya můsuh yang hendak mengacau perkampungan. Ketika meninggalkan perkampungan gadis ini menunggang kuda. Akan tetapi setelah tiba di hutan yang terletak di lereng bawah, ia menambatkan kudanya dan mengintai jalan yang menuju ke perkampungan itu. Jalan melewati hutan merupakan satu-satunya jalan menuju ke perkampungan Pek-In-San. Kalau ada orang hendak berkunjung, pasti akan lewat jalan itu. Malam itu bulan muncul dengan sinarnya yang cukup terang. Hal ini memang telah di perhitungkan Ouw Yang Lan. la dapat melakukan penghadangan karena terang bulan. Andaikata tidak waktu terang bulan, tentu ia tidak akan menghadang di situ, melainkan berjaga di perkampungan. Tiba-tiba hati Ouw Yang Lan berdebar tegang. Musuh yang dinanti-nantinya akhirnya muncul! la tidak dapat melihat dengan jelas muka orang yang berjalan perlahan mendaki lereng itu, tidak tahu apakah orang itu sudah tua ataukah masih muda. Akan tetapi
857
melihat pakaiannya, tahulah ia bahwa orang itu adalah seorang laki-laki. Tidak salah lagi. laki-laki itu tentulah musuh. Siapa lagi yang mendaki lereng hendak berkunjung ke perkampungan Pek-In-San kalau bukan musuh yang berniat jahat? Kalau orang baik-baik tentu tidak berkunjung di waktu malam seperti itu. Ouw Yang Lan teringat akan dugaan Ayahnya bahwa musuh yang telah meninggalkan tapak kaki itu tentu seorang yang lihai sekali. Maka iapun bersikap hati-hati dan otaknya yang cerdik bekerja. la harus menggunakan akal, seperti yang telah dilakukan Ayah tirinya Sekarang ini, pikirnya. Setelah mengambil keputusan, Ouw Yang Lan lalu keluar dari belakang semak-semak dan menghadang laki-laki yang berjalan perlahan dari depan itu. Laki-laki itu bukan lain adalah Song Bu!. Seperti kita ketahui, Song Bu berkunjung ke Bukit Harimau, ke perkampungan sarang gerombolan yang dipimpin Tok-Gan-Houw Lo Cit. Dia melihat Lo Cit sudah tewas dan dari anak buah gerombolan dia mendengar bahwa orang yang membantu Lo Cit menyerbu ke Pulau Naga, kemudian yang membawa pergi Ouw Yang Lan dan Ibunya adalah Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Oleh karena itu, dia lalu melakukan perjalanan menuju pegunungan Thai-San dan biarpun hari mulai gelap ketika dia tiba dipegunungan ini,
858
Dia melanjutkan pendakian karena dibantu sinar bulan yang cukup terang. Ketika dia melihat seorang yang melihat pakaiannya tentu seorang wanita muncul menghadang di depan, tentu saja Song Bu merasa heran sekali. Hari mulai malam dan di hutan yang sunyi di lereng itu muncul seorang wanita seorang diri. Tentu saja hal ini amat aneh. Dia segera mempercepat langkahnya menghampiri wanita yang tidak dapat dilihat mukanya dengan jelas. Akan tetapi setelah dekat, dalam cuaca yang remang-remang dia melihat bahwa wanita itu seorang gadis yang cantik sekali. Sebaliknya Ouw Yang Lan juga melihat bahwa orang yang ia anggap musuh itu adalah seorang pemuda yang tampan, walaupun wajahnya tidak dapat tampak dengan jelas. Ouw Yang Lan juga melangkah maju menyongsong orang itu sampai mereka berhadapan dekat. “Kenapa engkau bawa demikian banyak orang mendaki bukit ini?” tanya Ouw Yang Lan sambil menudingkan telunjuknya ke arah belakang pemuda itu. mendengar pertanyaan ini, tanpa curiga dan dengan otomatis Song Bu memutar tubuhnya untuk memandang ke arah belakangnya yang ditunjuk gadis itu. Pada saat itu, Ouw Yang Lan yang sejak tadi sudah siap, menggunakan Pek-In Ciang-Hoat (Ilmu Silat Awan Putih) sehingga tangannya bergerak seperti awan melayang tanpa menimbulkan suara angin dan tiba-tiba ia sudah menotok kedua pundak Song Bu.
859
“Uhh...” Song Bu terkejut, mengeluh dan terkulai roboh. Dia sama sekali tidak pernah mengira akan diserang secara begitu mendadak dan serangan totokan itu ternyata lihai sekali. Dia dapat merasakan betapa jari-jari tangan yang menotoknya itu mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat. Dia roboh telentang dan melihat betapa gadis itu membungkuk dan mengamatinya. “Nona, mengapa engkau menotokku?” Song Bu bertanya, penasaran. Dia masih dapat mengeluarkan suara dan bicara, akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangannya yang menjadi lemas dan lumpuh. “Engkau tentu utusan Ouw Yang Lee!” Ouw Yang Lan berkata dan suaranya terdengar ketus. Song Bu diam saja. “Hei! Tulikah engkau? Engkau tentu diutus oleh Ouw Yang Lee, bukan?” Ouw Yang Lan menghardik. “Jawab!” Song Bu menghela napas panjang. Seorang gadis yang galak bukan main, pikirnya, menduga-duga siapa gerangan gadis galak ini. “Ya, begitulah.” Akhirnya dia berkata. Memang benar bahwa kepergiannya dari kota raja karena disuruh oleh Ouw Yang Lee untuk mencari Ouw Yang Hui, kemudian dia menyelidiki tentang
860
Ouw Yang Lan dan Ibunya. Akan tetapi tak disangka-sangkanya, mendengar jawaban itu, tangan kanan Ouw Yang Lan bergerak menamparnya. “Plak! Plak!” Kedua pipinya telah ditampar. Tamparan tanpa mempergunakan tenaga, sinkang, akan tetapi cukup panas dan perih terasa pada mukanya. “Kenapa engkau memukulku, nona?” tanyanya penasaran. “Engkau tentu datang dengan niat menbunuh Thai-Lek-Kui Ciang Sek, bukan?” tanya lagi gadis itu. Song Bu menghela napas lagi. Dia belum tahu siapa gadis ini, akan tetapi, dia menjawab sejujurnya. “Mungkin saja. Akan tetapi, siapakah engkau, nona?” Gadis itu tidak menjawab, melainkan mengambil segulung tali sebesar jari tangan, tali yang sudah ia persiapkan kalau-kalau ia dapat menangkap musuh. Ujung tali itu ia ikatkan pada kedua pergelangan tangan Song Bu, kemudian diseretnya tubuh pemuda yang telentang dan terikat kedua tangannya itu. Tubuh Song Bu terseret di atas tanah. Pemuda itu tak berdaya karena tubuhnya tak dapat digerakkan. Dia melihat betapa gadis itu mampu menyeret
861
tubuhnya dengan mudah, menandakan bahwa gadis itu memiliki tenaga yang kuat. “Nona, kenapa nona galak terhadap aku?” Ouw Yang Lan sudah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon. la melepaskan ikatan kudanya lalu melompat ke atas punggung kuda. “Hemm, aku galak? Engkau tidak kubunuh masih untung!” jawabnya sambil menjalankan kudanya dan tubuh Song Bu terseret. “Nona, siapa sih engkau yang begini kejam kepadaku?” Song Bu bertanya sambil memandang gadis yang demikian cekatan ketika melompat ke atas punggung kuda. “Mau tahu aku siapa? Aku adalah puteri dari Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang hendak kau bunuh itu! Nah, sekarang engkau tahu mengapa aku menangkapmu seperti ini! Engkau memang patut dihajar” Diam-diam Song Bu terkejut. Puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek? Dan tadi dia sudah mengaku bahwa dia utusan Ouw Yang Lee yang hendak membunuh Ciang Sek! Betapa bodohnya. Diam-diam dia mengerahkan tenaga sinkangnya untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Ouw Yang Lan yang merasa yakin bahwa pemuda ini yang mengancam Ayah tirinya dan yang
862
meninggalkan tapak kaki itu,mulai melarikan kudanya agar, tawanannya itu semakin tersiksa. la tidak ingin, buru-buru membunuh musuh itu, melainkan hendak dihadapkan dulu kepada Ayah tirinya. Terserah kepada Ayah tirinya hendak diapakan orang itu. Mengingat betapa Ayah kandungnya sendiri, Ouw Yang Lee hendak membunuh Ibunya dan Ayah tirinya, ia menjadi marah dan merasa benci kepada Ayahnya sendiri. Tentu saja iapun membenci orang yang menjadi utusan Ayah kandungnya untuk membunuh Ibunya dan Ayah tirinya, bahkan mungkin Ayahnya yang keras hati dan kejam itu hendak membunuhnya. Kalau saja yang diseret dengan kuda itu bukan Song Bu, dalam keadaan tertotok dan terikat itu tentu akan menderita siksaan hebat dan tentu kulit punggungnya akan terkelupas! Namun, Song Bu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Begitu dia menahan napas mengerahkan sinkangnya, maka dia berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh totokan dan dia dapat menggerakkan lagi kaki tangannya. Setelah terbebas dari totokan, mudah saja bagi Song Bu untuk membikin putus tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya. Ouw Yang Lan sama sekali tidak tahu akan hal ini. la tidak sedikitpun pernah membayangkan bahwa orang yang telah
863
ditotoknya dan kedua pergelangan tangan diikatnya sekuat itu dapat membebaskan dirinya. Tiba-tiba saja dia merasa ada gerakan di belakangnya dan begitu ia menoleh, pundaknya telah tertotok dan diapun terkulai lemas. Song Bu sudah melompat dan duduk di belakang gadis itu lalu secepat kilat menotoknya sehingga kini Ouw Yang Lan yang lemas tak berdaya. Dia lalu merebahkan tubuh gadis itu menelungkup dan melintang dipunggung kuda, di depannya. Ouw Yang Lan tidak mampu bergerak, akan tetapi ia masih dapat mengeluarkan suara. la menjerit-jerit. “Lepaskan aku! Jahanam busuk, lepaskan aku!” Song Bu tertawa. “Kenapa aku harus melepaskanmu? Biar engkau tahu rasa!” Ouw Yang menjadi semakin marah. “Engkau anjing, kucing, tikus, monyet jelek busuk! Engkau laki-laki kejam, tak berjantung, berani engkau menghina dan menyiksaku?” “Ha-ha-ha, sayang malam hanya remang-remang dan tidak ada cermin di sini. Kalau saja engkau dapat bercermin, engkau akan melihat bahwa semua makianmu itu sepatutnya ditujukan kepada dirimu sendiri! Engkau tadi menotokku, mengikatku, menampar pipiku lalu menyeretku. Dan apa yang kulakukan sebagai pembalasan? aku hanya menotokmu dan memboncengkan
864
engkau di punggung kuda. Engkau masih enak karena aku tidak ingin menghina dan berlaku kejam terhadap wanita.” “Kau curang! Engkau menotokku dari belakang selagi aku tidak siap! Bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang dari kita roboh dan mampus!” “Hemm, apakah ketika engkau menotokku tadi juga tidak curang? Engkau mengalihkan perhatianku dan engkau menotok selagi aku tidak siap. Aku hanya menuntut balas dan engkau hanya membayar apa yang kau beli sendiri. Aku tidak membalas tamparanmu, tidak membalas penyiksaanmu kepadaku dengan menyeretku di atas tanah. Untuk semua itu, aku hanya minta kau bayar dengan pengakuan dan keteranganmu dan kuharap engkau masih mempunyai kejujuran untuk menjawab pertanyaanku.” Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang keras hati dan keras kepala, akan tetapi ia bukan orang bodoh. Melihat sikap pemuda yang kini menawannya, ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu bukan orang yang kurang ajar, sama sekali tidak mengganggunya, tidak menyentuhnya hanya membiarkan ia tertelungkup di punggung kuda di depannya dan semua ucapannya tadi tak dapat dibantahnya karena memang kenyataannya demikian, ia tadi telah mencurangi, menghina dan menyiksa pemuda itu dan kini apa
865
yang dilakukan pemuda itu sebagai pembalasan masih jauh lebih ringan dari pada apa yang telah ia lakukan tadi. Maka, mendengar ucapan pemuda itu, ia menjawab, walaupun suaranya masih ketus. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, katakan dulu mengapa engkau hendak membunuh Thai-Lek-Kui Ciang Sek?” “Tentu saja aku ingin membunuhnya karena dia telah melakukan dua kejahatan besar yang tidak dapat diampuni!” jawab Song Bu sambil menjalankan kuda seenaknya. Dia sudah menyelidiki perkampungan Pek-In-San dari penduduk dusun di kaki pegunungan dan sudah dapat mengira-ngirakan di mana letak perkampungan itu. “Hemm, kejahatan apa itu?” tanya Ouwyang lan. “Pertama, dia sudah membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit melakukan penyerbuan ke pulau Naga dan bersama Lo Cit dia menculik dua orang Ibu dengan dua orang puteriya. Itu dosa pertama dan yang ke dua, dia kemudian melarikan seorang Ibu dan puterinya, Aku akan membunuhnya karena kejahatannya itu.” “Dan engkau diutus Ouw Yang Lee untuk melakukan pembunuhan itu?”
866
“Ya dan tidak. Memang dia menyuruh aku mencari jejak anak isterinya yang diculik, akan tetapi kehendakku sendiri untuk mendatangi sarang Ayahmu. Eh, kenapa jadi terbalik begini? Aku yang hendak bertanya kepadamu, sekarang malah engkau yang banyak bertanya dan aku yang menjawab semua pertanyaanmu!” Song Bu mengomel. “Sekali lagi saja aku bertanya, setelah itu engkau boleh mengajukan pertanyaan dan aku akan menjawab sejujurnya.” Song Bu menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, dia tidak mungkin dapat bertindak keras terhadap seorang gadis. Bahkan menawannya dan membuatnya menelungkup didepannya di atas punggung kuda itupun rasanya sudan membuat dia tidak enak dan rikuh karena sebagian tubuh gadis itu menimpa ujung kedua lututnya. “Tanyalah, apa lagi yang ingin kau ketahui?” “Engkaukah yang malam kemarin mendatangi rumah kami dan meninggalkan tapak kaki dalam rumah kami?” “Hemm, jangan menuduh yang bukan-bukan. Baru malam ini aku tiba di sini dan sebelum ini belum pernah aku berkunjung ke
867
rumahmu! Sudahlah, sekarang giliranku bertanya, hanya satu pertanyaan saja akan tetapi engkau harus menjawab sejujurnya.” “Tanyalah!” kata Ouw Yang Lan, suaranya masih ketus. “Engkau adalah puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek, tentu engkau mengetahui di mana adanya Ibu dan puterinya yang diculik Ayahmu sebelas tahun yang lalu. Kalau Ayahmu telah mengganggu atau membunuh mereka, aku pasti akan membunuh Ayahmu!” “Hemm, siapakah nama Ibu dan anak itu?” Ouw Yang Lan masih bertanya untuk mendapatkan keyakinan walaupun ia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan penawannya itu adalah Ibunya dan ia sendiri. “Ibu itu bernama Lai Kim dan puterinya bernama Ouw Yang Lan,” jawab Song Bu. “Engkau tentu tahu di mana mereka sekarang, masih hidupkah atau sudah mati?” “Engkau ini siapa sih yang begitu memperhatikan nasib Ibu dan anak itu Siapa namamu?” tanya Ouw Yang Lan. “Namaku Tan Song Bu,” jawab Song Bu singkat dan semenjak dia merasa tidak senang dengan kedudukan Ouw Yang Lee yang
868
bekerja sama dengan orang-orang seperti Im Yang Tosu, Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo, apalagi ketika melihat Ouw Yang Lee hendak membunuh Ouw yang Hui, Song Bu tidak ingin lagi memakai marga Ouw Yang, tidak suka menjadi anak angkat datuk yang dianggapnya terlalu keras hati dan kejam itu. Hampir saja Ouw Yang Lan berteriak ketika mendengar bahwa pemuda yang menawannya itu adalah Song Bu, Suhengnya (Kakak Seperguruannya) sendiri! Akan tetapi ia diam saja karena masih merasa jengkel ditawan dan ditelungkupkan di atas punggung kuda seperti itu, tidak berdaya sama sekali. Dara inipun diam saja, hanya cemberut. “Hayo jawab, di mana adanya Ibu dan anak itu sekarang?” Song Bu mendesak melihat gadis itu diam saja.” “Kalau aku tidak mau menjawab engkau mau apa?” tantang Ouw Yang Lan, suaranya kaku. “Hemm..., engkau ini sungguh seorang gadis yang keras kepala dan licik! Semua pertanyaanmu yang bertubi kujawab, akan tetapi satu saja pertanyaanku engkau tidak mau menjawab, walaupun engkau sudah berjanji. Gadis macam engkau ini patut dihajar biar bertaubat!” Song Bu menghentikan kudanya. Mereka masih berada di dalam hutan.
869
“Kau... kau mau apa...? Ouw Yang Lan bertanya, takut juga melihat Song Bu mengangkat tubuhnya turun dari atas punggung kuda. Song Bu memondong tubuh itu dan merebahkannya telentang di bawah sebatang pohon besar. “Kau... mau apa kau...?” Kembali Ouw Yang Lan bertanya dengan muka pucat dan mata terbelalak. Akan tetapi setelah merebahkan tubuh Ouw Yang Lan dan membuat gadis itu ketakutan karena menyangka bahwa pemuda itu akan melakukan hal yang bukan-bukan, Song Bu bangkit berdiri. “Aku akan meninggalkan engkau di sini. Biar engkau dicabik-cabik dan dimakan harimau, atau ada ular besar yang akan membelit-belit tubuhmu dan menelanmu sedikit demi sedikit.” “Aku tidak takut!” Ouw Yang Lan berkata ketus. “Baik, aku akan senang melihat engkau dihampiri harimau, mukamu dijilat-jilati lebih dulu sebelum leher dan dadamu dicabik cabik dan dagingmu diganyang, darahmu dijilati. Aku ingin melihat tubuhmu dibelit belit dan dihimpit ular sampai tulang-tulangmu remuk sebelum tubuhmu ditelan perlahan-lahan.” Setelah berkata demikian, Song Bu melompat ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu meninggalkan Ouw yang Lan yang masih rebah
870
telentang di bawah pohon tidak mampu bergerak. Sebetulnya Ouw Yang Lan adalah seorang gadis pemberani yang tidak pernah mengenal takut. Akan tetapi tubuhnya yang tidak mampu digerakkan itu membuat ia merasa tidak berdaya sama sekali dan ini sedikitnya mengurangi keberaniannya. Apa lagi bila teringat akan ucapan Song Bu tadi dan tanpa disengaja ia membayangkan harimau besar yang mendekatinya. Lalu mendengus dan mencium-cium mukanya lalu menjilati seluruh mukanya dengan lidahnya yang kasar, besar, dan basah, kumisnya yang kasar menggelitiknya dan cakar yang runcing melengkung mencengkeram dadanya lalu merobek kulit dagingnya. la bergidik. Apa lagi ketika ia membayangkan seekor ular besar menghampiri. Tubuh ular yang licin dan dingin itu menggeleser di atas tubuhnya, menggeliat dan membelitnya, menghimpit makin lama semakin kuat sehingga ia sesak bernapas, tubuhnya terus dihimpit sampai tulang-tulangnya berkeretakan, kemudian moncong yang lebar itu menggigit dan menelan kepalanya yang masuk perlahan-lahan ke dalam perut ular! Hihh.. ! Kembali ia bergidik dan tak terasa lagi ia menangis! Ouw yang Lan yang tidak pernah cengeng itu, yang berhati baja, kini menangis terisak isak.
871
“Hu-huuuuuu... huuuu...!”la menangis dan air matanya membanjiri kedua pipinya tanpa la mampu menyusutinya. Tiba-tiba Song Bu muncul di situ. “Hem... engkau menangis ketakutan?” tanya Song Bu, suaranya mengejek karena dia senang sudah dapat mematahkan kekerasan hati gadis itu dan membuatnya menangis ketakutan. Begitu melihat munculnya Song Bu, tiba-tiba saja tangis Ouw Yang Lan berhenti dan mulutnya cemberut. “Aku tidak takut! Bunuhlah, aku tidak takut mati!” hardiknya. “Aku bukan orang yang begitu kejam membiarkan seorang gadis mati dimangsa binatang buas di hutan. Nah, sekarang katakanlah di mana adanya Nyonya Lai Kim dan puterinya. Setelah engkau menjawab sejujurnya, aku akan membebaskanmu dan membiarkan engkau pergi.” Biarpun tadi ia mengalami rasa takut yang mengerikan, namun begitu Song Bu muncul, kemarahannya mengalahkan rasa takutnya dan ia berkeras tidak mau bicara tentang Lai Kim dan Ouw Yang Lan seperti yang ditanyakan pemuda itu.
872
“Tidak usah bertanya kepadaku. Aku tidak dapat menjawab. Datanglah saja ke sana kalau engkau berani dan engkau akan mengetahui segala yang kau pertanyakan,” jawabnya singkat. “Katakan saja, apakah Ibu dan anak itu masih hidup?” desak Song Bu. “Aku tidak mau menjawab. Datang saja ke sana dan engkau akan tahu!” Song Bu mengerutkan alisnya. “Gadis kepala batu!” omelnya dan dengan agak kasar diapun memondong tubuh gadis itu, membawanya ke kuda dan seperti tadi, dia menelungkupkan tubuh Ouw Yang Lan melintang di atas punggung kuda. Kemudian dia naik ke atas punggung kuda dan menjalankan kudanya dengan hati gemas. “Hemm, kau kira aku tidak berani datang ke rumah Ayahmu? Kau lihat saja!.” Song Bu bukan hanya nekat tanpa perhitungan. Dia dapat menduga bahwa Pek-In-San tentu mempunyai banyak anggauta. Akan tetapi dia tidak takut karena dia sudah menawan puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek! Bahkan dia dapat mempergunakan gadis itu untuk memaksa Ciang Sek mengakui di mana adanya Lai Kim dan Ouw Yang Lan.
873
Peti jenazah yang berdiri di ruangan depan itu membuat suasana menjadi menyeramkan, Empat lampu gantung menerangi ruangan itu dan asap dupa yang mengepul menambah seram. Lai Kim, isteri Thai Lek-kui Ciang Sek duduk di atas sebuah kursi di belakang peti jenazah. Wanita yang usianya sudah empat puluh dua tahun ini masih tampak cantik dan ramping. Rambut dan pakaiannya kusut dan wajahnya tampak berduka. Kedukaan ini tidak dibuat-buat. Walaupun tentu saja ia tahu bahwa suaminya hanya pura-pura mati dan kini bersembunyi di dalam kamar, tidak berada di dalam peti jenazah itu, namun tetap saja hatinya dicengkeram kekhawatiran. la tahu bahwa keselamatan nyawa suaminya, bahkan juga dirinya sendiri dan puterinya Ouw Yang Lan, terancam bahaya maut. Gui Tian, Sute Ciang Sek yang juga menjadi pembantu utama, duduk di atas sebuah kursi lain dekat peti jenazah. Di atas lantai tampak belasan orang pembantu yang ikut menjaga peti jenazah dan di sekitar tempat itu terdapat pula puluhan orang anggauta yang berjaga sambil bersembunyi. Penjagaan itu amat kuat, namun tetap saja hati Gui Tian dan para anggauta Pek-In-San selalu tegang karena mereka maklum bahwa yang mengancam Pek-In-San adalah musuh yang amat tangguh. Sunyi sekali malam itu. Di perkampungan sendiri, rumah-rumah para anggauta sudah ditutup semua pintu dan jendelanya dan tidak
874
tampak seorangpun manusia di luar rumah. Suasana tegang mencekam. Semilir angin malam yang memasuki ruangan itu membuat api lampu bergoyang-goyang, menimbulkan bayang-bayang hitam bergerak menari-nari, suara kaki kuda memasuki pekarangan rumah itu membuat semua orang terbelalak. Mereka yang tadinya setengah mengantuk mendadak menjadi siap dan waspada. banyak pula yang meraba gagang golok dan pedang yang sudah dipersiapkan di punggung. Gu Tian juga bangkit berdiri dan menatap tajam ke arah pekarangan yang tampak dari ruangan depan itu. Lai Kim juga ikut berdiri dari kursinya. Penunggang kuda menjalankan kudanya sampai di luar ruangan depan yang menjadi ruangan berkabung itu. Sinar empat lampu dari ruangan itu menyinari muka si penunggang kuda sehingga semua orang, melihat bahwa dia seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lai Kim cepat melihat wajah pemuda itu dengan jelas dan seperti orang dalam mimpi, kedua kakinya melangkah maju menghampiri dan matanya tak pernah berkedip menatap wajah pemuda itu. Melihat ini, Gu Tian meràsa khawatir akan keselamatan Sosonya (Kakak Iparnya), maka diapun melangkah mendekatinya untuk menjaga kalau-kalau Sosonya diserang. Song Bu juga memandang wajah Lai Kim yang cantik dan ada tahi lalatnya di pipi kiri itu. Akan tetapi dia masih meragu dan melompat
875
turun dari atas punggung kuda. Lai Kim menghampiri dan ia melihat pula Ouw Yang Lan yang tergantung menelungkup di atas punggung kuda. “Kau... kau... bukankah engkau Song Bu”? Akhirnya wanita itu menegur sambi menatap wajah pemuda itu. Kini Song Bu tidak ragu-ragu lagi. “Subo... !'“ katanya sambil menghampiri dan memberi hormat kepada Lai Kim. “Bagaimana Subo dapat berada di sini?” Song Bu bertanya heran sambil memandang ke arah peti jenazah yang berada di ruangan itu. “Song Bu, mengapa Lan-ji itu? Apa yang kau lakukan terhadap Sumoimu (Adik Seperguruan) Ouw Yang Lan?” Wanita itu menudingkan telunjuknya ke arah gadis yang masih menelungkup melintang di atas punggung kuda. Mendengar ini Song Bu terbelalak dan menoleh ke arah gadis yang menjadi tawanannya itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis itu adalah Ouw Yang Lan! Sekarang ada cahaya lampu menerangi wajah gadis itu dan dia kini dapat mengenal wajah Ouw Yang Lan, walaupun kini bukan kanak-kanak lagi melainkan sudah menjadi seorang gadis dewasa, namun dia masih dapat mengenal wajah
876
yang cantik manis itu. Tahi lalat di dagu itupun masib teringat olehnya. “Sumoi Ouw Yang Lan...?” Dia berseru sambil melompat mendekati. Cepat dia menurunkan tubuh gadis itu dan membebaskan totokannya. “Lan-Sumoi, maafkan aku.” Akan tetapi begitu dapat bergerak, tangan kanan Ouw Yang Lan menampar muka Song Bu dan pemuda itupun tidak mengelak atau menangkis. “Plakk...!!” Pipi kiri Song Bu menjadi merah terkena tamparan itu. “Lan-ji…!” Lai Kim menegur puterinya dan Ouw Yang Lan menghampiri Ibunya. “Ibu, dia hendak membunuh Ayah Ciang Sek!” kata gadis itu. Kembali Song Bu terkejut bukan main. “Ayahmu...? Engkau menjadi anak Thai-Lek-Kui Ciang Sek?” Tentu saja Song Bu menjadi heran sekali. “Subo, apa artinya semua ini?” Dia memandang ke arah peti jenazah. “Dan siapa yang meninggal dunia ini?”
877
“Ini adalah peti jenazah Thai-Lek-Kui Ciang Sek, suamiku,” kata Lai Kim Sambil mengamati wajah pemuda itu. “Dia sudah mati dan... dan... Subo menjadi isterinya? Bagaimana pula ini...?” Song Bu semakin bingung mendengar bahwa Subonya (Ibu Gurunya) itu telah menjadi isteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang dahulu menculiknya. “Panjang ceritanya, Song Bu. Marilah masuk dan aku akan menceritakan semua ini kepadamu.” Nyonya itu memberi isyarat agar Song Bu ikut masuk ke ruangan sebelah dalam. Song Bu memandang kepada Ouw yang Lan dan kebetulan gadis inipun sedang memandang kepadanya. Melihat pemuda itu memandang, Ouw Yang Lan membuang muka dan cemberut. Song Bu lalu mengikuti mereka masuk ke dalam dan Gu Tian juga mengikuti mereka. Akan tetapi setelah mereka berada di ruangan sebelah dalam Lai Kim berkata kepada Gu Tian dengan lembut. “Gui-te (adik Gui), maafkan aku. Kuminta agar engkau suka menjaga peti jenazah di luar dan membiarkan aku dan Lan-ji bicara bertiga dengan Tan Song Bu.” Gu Tian yang sudah berpengalaman itu cukup bijaksana. Dia sebetulnya belum tahu siapa pemuda yang bernama Tan Song Bu itu, akan tetapi melihat sikap Lai Kim, dia dapat menduga bahwa hubungan antara Ibu dan anak itu dengan
878
pemuda itu tentu dekat sekali dan mereka tentu akan membicarakan hal-hal yang tidak boleh diketahui orang luar. Dia mengangguk lalu keluar lagi dari ruangan itu, duduk menjaga peti mati di ruangan depan. Lai Kim mempersilakan Song Bu duduk dan mereka bertiga duduk menghadapi sebuah meja bundar. “Nah, sekarang kita dapat bicara dengan leluasa. Song Bu, sebelum aku bercerita, lebih dulu ceritakanlah apa yang telah terjadi antara engkau dan Lan-ji tadi.” kata Lai Kim sambil memandang kepada anaknya dan Song Bu. Song Bu melirik kepada Ouw Yang Lan dan melihat gadis itu masih cemberut. Dia berkata lirih, “Subo, sebaiknya kalau Lan-Sumoi yang menceritakan.” Ouw Yang Lan mengerling kepadanya dan berkata ketus, “Tidak, engkau saja boleh melapor kepada Ibu.” Song Bu menahan senyumnya. Gadis itu agaknya menduga bahwa dia tentu akan melaporkan semua perbuatan gadis itu terhadap dirinya tadi. “Begini, Subo. Saya memang bermaksud untuk berkunjung ke Pek-In-San untuk menemui Thai-Lek-Kui setelah saya mendengar bahwa dahulu, Thai-Lek-Kui Ciang Sek membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit menyerbu Pulau Naga dan menculik Subo berdua dan kedua
879
adik Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui. Saya bermaksud untuk membalas dendam dan bertanya di mana adanya Subo dan adik Ouw Yang Lan. Ketika saya melakukan perjalanan mendaki pegunungan ini, tiba-tiba muncul Lan-Sumoi yang menotok dan merobohkan saya, Saya tidak mengenalinya karena cuaca remang-remang. Akan tetapi saya berhasil membebaskan totokan itu dan berbalik saya yang menawannya. Karena ia mengaku sebagai puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek, maka saya menawannya untuk memaksa Ciang Sek mengakui di mana adanya Subo dan Lan-Sumoi. Sungguh mati saya sama sekali tidak tahu bahwa yang saya tawan itu bukan lain adalah Lan-Sumoi sendiri. Baru saya ketahui setelah saya bertemu dengan Subo.” Setelah berkata demikian Song Bu kembali melirik ke arah Ouw Yang Lan dan dia melihat gadis itu memandang kepadanya dan wajah itu tidak cemberut lagi, bahkan bibir yang manis itu agak tersenyum. Agaknya hati gadis itu senang mendengar bahwa dia tidak menceritakan kepada Ibu gadis itu betapa Ouw Yang Lan tadi telah menawannya dan menyiksanya dengan menyeretnya. “Aku tadi sudah menduga bahwa orang yang kutawan itu tentu Suheng Tan Song Bu. Karena aku yakin bahwa dia datang diutus Ayah Ouw Yang Lee untuk membunuh Ayah Ciang Sek, Ibu dan aku sendiri, dan bahwa dialah orangnya yang meninggalkan tapak
880
kaki, maka aku menawannya dan hendak membawanya ke sini untuk dihukum. Tidak kusangka dia dapat membebaskan diri dari totokanku dan berbalik menawanku.” Gadis itu bicara kepada Ibunya, akan tetapi Song Bu merasa bahwa gadis itu memberi alasan kepadanya mengapa gadis itu tadinya menyiksanya. Hal itu dilakukan karena Ouw Yang Lan mengira bahwa dia akan membunuh keluarga itu termasuk Ouw Yang Lan dan Ibunya! Kini dia mengerti mengapa gadis itu bertindak begitu kejam kepadanya. Lai Kim memandang kepada Song Bu dengan sinar mata penuh selidik. “Song Bu, benarkah engkau hendak membunuh Ciang Sek, aku dan Ouw Yang Lan? Engkaukah yang kemarin malam datang ke sini dan meninggalkan tapak kaki yang dalam itu?” “Saya tidak pernah datang ke sini sebelum ini, Subo. Dan tentang niat membunuh itu. Sesungguhnya saya memang hendak membalas dendam kepada Ciang Sek yang sudah menyerbu Pulau Naga dan menculik Subo dan adik Ouw Yang Lan. Akan tetapi dia sudah mati dan ternyata Subo malah menjadi isterinya.” “Nah, dengarlah ceritaku, Song Bu. Ketika aku dan Ibu gurumu Sim Kui Hwa diculik bersama dua orang anak kami, aku memang dilarikan oleh Ciang Sek. Ditengah perjalanan aku dan Lan-ji
881
berhasil meloloskan diri ketika Ciang Sek pergi mencari air. Walaupun dia memperlakukan kami dengan baik, akan tetapi kami melarikan diri untuk pulang ke Pulau Naga. Akan tetapi ketika kami melarikan diri, kami ditangkap oleh tiga orang penjahat yang berniat jahat dan mesum kepada kami. Ciang Sek muncul menolong kami dan membunuh tiga orang penjahat itu. Terpaksa kami mengikutinya ke Pek-In-San. Ternyata kemudian bahwa dia memperlakuan kami dengan hormat dan baik sekali. sikapnya jauh lebih baik dari pada sikap Ouw Yang Lee yang selalu keras terhadap kami. Ciang Sek bahkan mengundang guru sastra dan mengajarkan silat kepada Ouw yang Lan, dan dia bersikap menghargai dan lembut kepadaku. Karena dia seorang duda maka dia berterus terang meminangku. Akupun menerima pinangannya dan kami menjadi suami isteri. Dia memperlakukan Ouw yang Lan seperti anak kandungnya sendiri. Kami berdua menikmati kehidupan yang lebih tenteram dan berbahagia di sini dibandingkan dengan kehidupan kami ketika berada di Pulau Naga. Sampai sebelas tahun kami hidup di sini dengan bahagia sampai datangnya malapetaka sepuluh hari yang lalu ketika tiba-tiba saja muncul Ouw Yang Lee dan dia berkeras hendak membunuhku. Saat itu Lan-ji sedang tidak berada di rumah dan andaikata ia ada, mungkin ia juga akan menjadi sasaran kemarahan Ouw Yang Lee. Suamiku, Ciang Sek, membelaku dan
882
dia lalu berkelahi melawan Ouw Yang Lee. Dia berhasil mengusir Ouw Yang Lee yang pergi sambil mengancam akan datang lagi membunuh kami. Mereka berdua sama-sama menderita luka dalam yang cukup parah.” “Kalau aku berada di rumah ketika itu, tentu aku akan melawan Ayah Ouw Yang Lee yang jahat dan kejam itu!” kata Ouw Yang Lan dengan gemas. Akan tetapi dia Ayah kandungmu sendiri, Lan-moi!” kata Song Bu terkejut. “Biarpun Ayah kandungku sendiri, kalau dia hendak membunuh Ibuku, dia jahat dan harus kutentang!” Song Bu menghela napas panjang, diapun sudah lama menyadari bahwa gurunya itu bukan seorang datuk yang berwatak baik. Dulupun dia hendak membunuh Sim Kui Hwa pada hal wanita itu ingin kembali pulang ke Pulau Naga. Sim Kui Hwa malah dianggap menyeleweng dengan laki-laki lain dan Ouw Yang Lee berkeras hendak membunuhnya. Kemudian Ouw Yang Lee juga bermaksud membunuh Ouw Yang Hui, anaknya sendiri. Di samping itu, masih ada kenyataan lain. Ouw Yang Lee menghambakan dirinya kepada Thaikam Liu Cin yang dia tahu benar merupakan seorang pembesar yang mempunyai niat jahat. Buktinya dia diperintahkan membunuh keluarga Pangeran Cheng Sin dan juga menyuruh para
883
jagoannya yang lain untuk melakukan pembunuhan terhadap pejabat tinggi dan bangsawan yang menentang kekuasaannya. Selain itu, Ouw Yang Lee juga menjadi rekan orang-orang berhati iblis seperti para jagoan yang menjadi pembantu Thaikam Liu Cin. “Ternyata Ouw Yang Lee tidak berhenti sampai di situ saja. Kemarin malam rumah kami kedatangan orang tanpa dapat diketahui para penjaga dan orang itu meninggalkan tapak kaki. Kau lihat di sana itu, bahkan dalam ruangan inipun dia meninggalkan tapak kaki yang dalam. Ini merupakan tanda ancaman bagi kami, Nyawa kami sekeluarga berada dalam ancaman maut.” Song Bu bangkit dari kursinya dan menghampiri tapak kaki yang terdapat di sudut ruangan. Dia terkejut melihat tapak kaki yang jelas itu di atas lantai batu, Tapak itu demikian dalamnya dan hal, itu hanya dapat dilakukan seorang yang memiliki sinkang yang amat kuat. Dia kembali duduk dan menghela napas panjang. “Suhu memang kejam sekali. Bahkan Subo Sim Kui Hwa ketika itu, beberapa hari setelah diculik juga kembali ke Pulau Naga diantar seorang pendekar Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi Suhu bahkan berkeras hendak membunuhnya. Untung ada pendekar Siauw-Lim-Pai yang membela dan mengalahkan Suhu sehingga Subo Sim Kui Hwa luput dari bahaya maut dan akhirnya pergi meninggalkan pulau karena diusir oleh Suhu. Dan sekarang saya
884
lihat Thai-Lek-Kui Ciang Sek..., eh, suami Subo... telah meninggal dunia. Tentu karena luka-lukanya bertanding melawan Suhu Ouw Yang Lee.” “Song Bu, aku bukan Subomu lagi. Aku bukan isteri Ouw Yang Lee lagi, karena itu jangan sebut aku Subo. Aku adalah isteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Engkau boleh sebut aku Bibi, kalau engkau suka.” “Baiklah, maafkan saya, Bibi.” “Song Bu, aKuilah terus terang secara jujur karena aku tadi mendengar ucapanmu seolah engkau tidak menyetujui sikap tindakan Ouw Yang Lee. Andaikata suamiku Ciang Sek masih hidup, apakah engkau juga berkeras hendak membunuhnya?” “Kalau engkau hendak membunuh Ayahku, engkau harus bunuh aku lebih dulu.” kata Ouw Yang Lan dengan sikap galak, sepasang matanya yang indah itu mencorong menatap wajah Song Bu. Song Bu menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Tadinya memang aku bermaksud untuk membunuhnya karena menganggap dia jahat menyerbu Pulau Naga dan menculik Subo eh, Bibi dan sumoi Ouw Yang Lan. Akan tetapi setelah ternyata dia menjadi suami Bibi dan Ayah Lan-moi yang baik, tentu saja saya
885
tidak akan memusuhinya. Akan tetapi untuk apa semua ini dibicarakan kalau sekarang dia sudah meninggal dunia?” “Bu-Suheng,” kata Ouw Yang lan. “Andaikata engkau berada di sini ketika Ayah Ouw Yang Lee hendak membunuh Ibu dan aku, apa yang akan kau lakukan? Apakah engkau akan membantu dia untuk membunuh Ibu, aku, dan Ayah Ciang Sek?” Dengan spontan Song Bu menggeleng kepalanya, “Tidak, sama sekali tidak bahkan aku akan menentang dan mencegahnya.” “Hemm, benarkah itu? Beranikah engkau bersumpah?” desak Ouw Yang Lan. “Lan-ji...!” Lai Kim menegur. “Biarlah, Ibu. Aku ingin yakin bahwa Bu-Suheng benar-benar akan membela kita dan menentang Ayah Ouw Yang Lee.” “Aku bersumpah akan menentang Suhu Ouw Yang Lee kalau dia berkeras hendak membunuh Bibi dan Lan-sumoi.”
886
“Juga kalau dia hendak membunuh Ayah Ciang Sek?” kejar Ouw Yang Lan. “Tapi... tapi... dia sudah meninggal dunia...” kata Song Bu terheran. “Tidak perduli, berjanjilah!” “Juga kalau dia hendak membunuh Paman Ciang Sek, aku akan menentangnya,” kata Song Bu, masih terheran-heran. Tiba-tiba muncul Ciang Sek dari balik pintu ruangan itu dan berkata dengan lantang. “Bagus! Aku sudah, mendengar sumpahmu dan aku percaya kepadamu, orang muda yang gagah.” Song Bu terkejut bukan main dan melompat bangkit dari kursinya dan berdiri memandang laki-laki gagah perkasa yang telah berdiri di depannya. Melihat Song Bu berdiri dan memandang kepadanya dengan kaget dan heran, Ciang Sek tertawa dan memperkenalkan diri. “Orang muda, ketahuilah, aku yang bernama Thai-Lek-Kui Ciang Sek, ketua Pek-In-San.” “Akan tetapi... Song Bu terbelalak dan menoleh ke arah pintu ruangan itu yang menembus ke ruangan depan.
887
“...peti... jenazah itu?” “Itu adalah siasat kami,” kata Ciang Sek. “Duduklah, orang muda, aku percaya kepadamu dan akan menceritakan tentang siasat itu.” Mereka duduk kembali dan Ciang Sek lalu bercerita. “Sepuluh hari yang lalu dalam pertandingan mengadu tenaga sakti melawan Ouw Yang Lee, aku menderita luka keracunan karena pukulan tangan merahnya.” “Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah)!” seru Song Bu. “Benar. Ouw Yang Lee juga terluka, akan tetapi lukanya tidak beracun. Selama sepuluh hari aku mengobati lukaku dan sekarang sudah sembuh sama sekali. Akan tetapi kemarin malam muncul tapak-tapak kaki itu di rumah kami. Engkau lihat sendiri. Tapak kaki itu hanya dapat dibuat oleh seorang yang lihai sekali, yang memiliki sinkang yang dahsyat. Ini tentu buatan orang yang ada hubungannya dengan Ouw Yang Lee. Aku lalu mengatur siasat ini, siasat yang hanya diketahui oleh kami sekeluarga yang tiga orang ini dan su-te Gu Tian saja. Bahkan para anak buahku tidak ada yang tahu bahwa ini hanya siasat dan mereka mengira bahwa aku benar-benar sudah tewas akibat perkelahian sepuluh hari yang lalu.”
888
“Akan tetapi kenapa harus menggunakan siasat ini, Paman?” Orang yang meninggalkan tapak kaki itu tentu amat lihai. Aku tidak sanggup menandinginya secara terbuka. Karena itu aku terpaksa menggunakan siasat ini. Kalau dia datang dan melihat peti jenazahku lalu merasa puas melihat aku mati dan pergi, kami terhindar dari bahaya maut. Andaikata dia nekat hendak mengganggu isteri dan anakku, kami akan, melawan mati-matian dan aku sudah mempersiapkan semua anak buahku yang berjumlah kurang lebih seratus orang.” “Kalau Suheng Tan Song Bu mau membantu menghadapi musuh, kita tidak perlu takut, Ayah,” kata Ouw Yang Lan. “Lan-ji, bagaimana mungkin Song Bu dapat membantu kita? Yang memusuhi kita adalah Ouw Yang Lee, gurunya sendiri!” “Aku juga puteri kandungnya, akan tetapi aku menentangnya karena dia jahat. Pula, Bu-Suheng sudah bersumpah akan menentang Ayah Ouw Yang Lee kalau dia hendak membunuh keluarga kita,” kata Ouw Yang Lan. Song Bu mengangguk dan berkata,
889
“Lan-sumoi benar. Saya akan menentang Suhu Ouw Yang Lee kalau dia dan teman-temannya hendak membunuh Paman, Bibi,dan Lan-sumoi.” “Terima kasih, Song Bu!” seru Lai Kim dengan girang. Terima kasih, Bu,Suheng dan maafkan sikapku tadi terhadapmu!” kata pula Ouw Yang Lan dengan gembira sekali. “Aku juga berterima kasih sekali padamu, Song Bu. Sekarang, siasat ini harus dilanjutkan seperti. yang telah direncanakan. Lan-ji, undang Gu-Sute kesini.” Ouw Yang Lan lalu membuka pintu dan keluar dari ruangan itu sambil menutupkan kembali pintu ruangan sehingga kemunculan Cang Sek dalam ruangan itu tidak terlihat Orang lain. Tak lama kemudian ia masuk kembali bersama Gu Tian. Orang tinggi kurus ini bernapas lega melihat Suhengnya duduk bersama Song Bu dan tampak akrab. Tadinya dia sudah merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu mempunyai niat buruk terhadap keluarga Suhengnya. “Duduklah, Sute. Kita akan membicarakan rencana siasat kita selanjutnya dan mari kuperkenalkan dengan Tan Song Bu yang sudah siap memperkuat kedudukan kita dan membantu kita.”
890
Setelah berkenalan mereka lalu mengadakan perundingan, kemudian Ciang Sek masuk bersembunyi lagi dalam kamarnya dan Song Bu keluar menyamar, sebagai seorang anak buah Pek-In-San, berjaga di ruangan berkabung menjaga peti jenazah bersama Gu Tian dan para pembantu lainnya. Malam itu ternyata tidak terjadi apa-apa. Tidak ada gangguan seperti yang dikhawatirkan. Song Bu dan Gu Tian masih duduk berjaga di ruangan itu. Lai Kim dan Ouw Yang Lan sudah pergi mengaso dalám kamar mereka. Song Bu dan Gu Tian juga mengaso sambil duduk bersila. Mereka berdua sudah terlatih mengaso seperti itu sebagai gantinya tidur. Sinar matahari, mulai menerangi tanah dan tak lama kemudian ruangan berkabung itu sudah dimasuki cahaya matahari. Lampu-lampu gantung sudah dipadamkan oleh para penjaga. Sepasang lilin besar masih bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah. Asap dupa masih mengepul dan baunya memenuhi, ruangan,bau harum yang khas. Para penjaga yang bertugas jaga di pintu gerbang perkampungan itu menjadi waspada ketika melihat seorang Kakek menghampiri pintu gerbang, Mereka memandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya, bertubuh tinggi kurus sehingga mukanya seperti tengkorak terbungkus kulit. Rambut
891
kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Jalannya agak terbongkok-bongkok dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning. Kakek itu bukan lain adalah Tho-Te-Kong! Ketika Ouw Yang Lee terluka karena bertanding melawan Thai-Lek-Kui Ciang Sek, Dia maklum bahwa seorang diri dia tidak akan mampu membunuh Lai Kim, apalagi membunuh Ciang Sek. Maka dia lalu mengundang rekannya yang sakti, iyalah Tho-Te-Kong. Tho-Te-Kong adalah seorang datuk sesat yang berwatak aneh. Ketika diminta tolong Ouw Yang Lee untuk membunuh Ciang Sek sekeluarga, dia tidak mau melaksanakan begitu saja. Sebagai seorang datuk besar, dia ingin lebih dulu menggertak membikin takut hati calon korbannya, Maka dia lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, memasuki rumah itu tanpa diketahui orang dan meninggalkan tapak kaki di lantai rumah itu dengan mengerahkan sinkang dan membuat kakinya menginjak lantai sampai amblas dan meninggalkan tapak kaki yang dalam. Setelah itu, barulah dua hari kemudian, pada pagi hari itu, dia datang berkunjung ke perkampüngan Pek-In-San. Tindakan ini untuk menunjukkan bahwa dia seoräng datuk besar yang berani, membiarkan musuh yang diancamnya untuk bersiap siap menghadapi penyerbuannya. dan Ketika dia tiba di pintu
892
gerbang dia melihat belasan orang anak buah Pek in-san menyambutnya dengan golok telanjang di tangan, diapun tersenyum mengejek. Dia senang karena musuh telah melakukan persiapan. Dia akan membasmi mereka semua. Lebih banyak lebih baik akan lebih memuaskan hatinya. Sambil tersenyum dia melangkah terbongkok-bongkok menghampiri sekelompok orang yang memandang kepadanya dengan sinar mata curiga itu. Para penjaga itu merasa curiga karena tidak mengenal Kakek itu, walaupun Kakek yang tua itu tidak tampak berbahaya dan bahkan tampak seperti orang tua yang lemah berpenyakitan. “Kakek tua, apakah engkau hendak datang melayat?” tanya komandan jaga. Tho-Te-Kong mengerutkan alisnya dan memandang heran. “Melayat? Apakah ada yang mati di perkampungan ini?” “Engkau datang dari manakah?” “Apakah engkau belum mendengarnya?” Tho-Te-Kong menyeringai, senang mempermainkan para penjaga yang sebentar lagi mungkin akan menjadi korban pembantaiannya itu.
893
“Aku datang dari jauh sekali, kebetulan lewat di sini dan ingin mengunjungi Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Bukankah dia ketua dari Pek-In-San ini?” “Justeru ketua kami Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang meninggal dunia, kek. Peti jenazahnya masih berada di ruangan berkabung kalau engkau ingin melayat dan memberi penghormatan terakhir.” Tho-Te-Kong membelalakkan matanya. “Apa..? Dia mati..? Akan tetapi kenapa?” Kepala jaga itu meragu untuk bercerita tentang sebab kematian ketuanya yang tadinya bertanding melawan musuh. Dia sakit sejak belasan hari yang lalu, kemarin dulu meninggal dunia. “Ah-ah, menyesal dan mengecewakan sekali. Aku harus melayat, harus bersembahyang di depan peti matinya!” katanya dan terbongkok-bongkok dia memasuki pintu gapura. Para penjaga itu tidak menarik curiga dan membiarkan Kakek tua renta itu menuju ke rumah induk tempat tinggal keluarga ketua mereka. Tho-Te-Kong tiba di ruangan berkabung, Dia memandang ke arah peti jenazah dan hatinya merasa kecewa sekali. Tidak ada gunanya dia menggertak. Ternyata Thai-Lek-Kui Ciang Sek telah tewas. Tentu telah terluka ketika bertanding melawan Ouw Yang Lee. Membunuh keluarganya tidak ada artinya baginya, tidak ada
894
harganya. Membunuhi orang-orang lemah tidak perlu menggunakan tangannya. seolah menggunakan golok besar untuk membunuhi banyak tikus. Munculnya Tho-Te-Kong mengejutkan hati Song Bu. Dalam pakaian seorang anggauta biasa dari Pek-In-San, dia tidak akan khawatir akan dikenali oleh Kakek itu. kini dia mengerti bahwa gurunya, Ouw yang Lee, agaknya minta bantuan Tho-Te-Kong untuk menghadapi Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Dia dapat menduga bahwa Kakek inilah yang telah meninggalkan tapak kaki di dalam rumah Ciang Sek. Dia tahu betapa lihainya Tho-Te-Kong sebagai jagoan nomor satu dari Thai-kam Liu Cin. Gu Tian adalah seorang kangouw yang sudah berpengalaman. Tidak seperti para anak buah yang melakukan penjagaan di pintu gerbang tadi, dia sama sekali tidak memandang rendah kepada Kakek tua renta itu. Dia tetap menaruh curiga. Tho-Te-Kong tidak memperdúlikan orang-orang yang berada di tempat itu. Dia lalu menghampiri peti jenazah sambil melangkah memutari meja sembahyang. “Ciang Sek... kenapa engkau keburu mati dan tidak menunggu kedatanganku?” Tho-Te-Kong mengeluh dan tangan kirinya menepuk-nepuk peti jenazah itu dari atas sampai ke bawah. Gu Tian menyalakan tiga batang hioswa (dupa biting) dan menghampiri, Tho-Te-Kong.
895
“Paman yang baik, apakah Paman ingin bersembahyang?” tanyanya sambil menyerahkan tiga batang hioswa itu. “Sembahyang? Oh-ho-ho, sembahyang? Ya baik, aku akan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Thai-Lek-Kui!” Dia menerima tiga batang hioswa itu lalu berdiri di depan meja sembahyang yang berada di depan peti jenazah. Setelah mengacung-acungkan tiga batang hioswa itu, dia lalu menggerakkan tangannya dan tiga batang dupa biting itu meluncur dan menancap ke atas peti! Biting-biting yang kecil dan lemah itu dapat menancap ke atas peti jenazah yang tebal, sungguh ini merupakan demonstrasi tenaga sakti yang amat kuat. “Heh-heh-heh, tenang-tenanglah engkau di neraka, Thai-Lek-Kui!” Tho-Te-Kong berkata lalu membalikkan tubuhnya dan terbongkok-bongkok dibantu tongkat bambu kuningnya meninggalkan ruangan itu dan keuar dari dalam rumah, terus keluar dari perkampungan itu. Gu Tian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk tidak mengganggu Kakek itu dan membiarkan pergi. Setelah, mendapat laporan dari para penjaga di pintu gerbang perkampungarn bahwa Kakek aneh itu benar-benar telah pergi jauh dan tidak tampak lagi, barulah Gu Tian dan Song Bu mendekati peti. Pada saat itu, Ouw
896
Yang Lan dan Ibunya juga keluar dari kamar mereka memasuki ruangan berkabung dan menghampiri peti jenazah. Gu Tian memberi perintah kepada para pembantu yang berada di ruangan itu agar keluar dari ruangan. Kini hahya tinggal Gu Tian, Song Bu, Ouw Yang Lan dan Lai Kim yang berada di dekat peti jenazah. Ouw Yang Lan memandang ke arah tiga batang hioswa yang menancap peti jenazah itu dengan mata terbelalak. Juga Gu Tian memandang dan menggeleng-geleng kepalanya. “Bukan main lihainya Kakek itu. Dapat melontarkan tiga batang hioswa ini sampai menancap di peti kayu yang begini kéras, sungguh hebat!” Sementara itu Song Bu meraba-raba peti jenazah dan dia berkata, “Berbahaya sekali...! Ouw Yang Lan dan Gu Tian cepat menengok kepadanya. “Apa yang kau maksudkan, Suheng?” “Tapak-tapak jari ini...” kata Song Bu sambil meraba-raba peti jenazah, “Jari Pelumat Tulang ini tentu menghancurkan semua isi peti jenazah tanpa merusak petinya.” Ouw Yang Lan dan Gu Tian ikut meraba raba dan setelah diraba baru terasa oleh mereka betapa ada lekukan-lekukan halus pada permukaan peti jenazah.
897
Sementara itu Lai Kim hanya memandang dengan muka pucat karena hatinya merasa ngeri. “Jari Pelumat Tulang?” tanya Ouw Yang Lan. “Benar. Dengan rabaan jari-jari saja, ilmu itu dapat meremukkan tulang dalam tubuh tanpa merusak kulit dan daging. Andaikata peti ini ada jenazahnya, maka dengan rabaan tadi, jenazah di dalamnya akan hancur tanpa merusak petinya.” “Hebat...! Keji sekali! Benarkah apa yang kau katakan Itu, Song Bu?”' Tiba-tiba Ciang Sek sudah berada di ruangan itu, Dia memang bersemuunyi dalam sebuah kamar yang menembus ruangan depan itu. Thai-Lek-Kui Ciang Sek menghampiri peti jenazah dan diapun ikut meraba- raba. “Benar, Paman. Akú yakin bahwa batu bata yang Paman taruh di dalam peti tentu sudah hancur semua,” kata Song Bu yang sudah mendengar keterangan Ciang Sek bahwa peti jenazah itu diisi dengan bata-bata sebagai pengganti dirinya. Ciang Sek lalu memegang tutup peti yang sudah terpaku rapat itu, mengerahkan tenaganya. Dia berjuluk Thai-Lek-Kui (Iblis Bertenaga Besar), Terdengar suara keras dan tutup peti itu terbuka, semua pakunya
898
ikut tercabut. Kini semua orang menjenguk ke dalam peti dan wajah mereka, kecuali Song Bu, berubah pucat dan mata mereka terbelalak. Benar seperti yang dikatakan Song Bu, semua batu bata dalam Peti jenazah itu telah hancur seperti dipukuli martil besi! “Gu-Sute, tutup lagi peti ini. Kita harus menguburnya hari ini juga!” kata Thai-Lek-Kui Ciang Sek dan suaranya mengandung kecemasan. Dia maklum bahwa Kakek yang datang berkunjung tadi adalah seorang yang memiliki kesaktian yang tidak akan terlawan olehnya walaupun dibantu Ouw Yang Lan dan Gu Tian sekalipun. Dia merasa seolah, kematian telah tergantung di atas kepalanya. Setelah Gu Tian menutup peti dan memakunya kembali sehingga rapat, mereka berlima lalu duduk untuk berunding. Melihat betapa Ciang Sek, Lai-Kim, dan Ouw Yang Lan tampak gelisah sekali, Song Bu berkata dengan nada suara menghibur. “Paman Ciang Sek, saya kira tidak perlu dikhawatirkan sekali akan ancaman orang itu. Bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang manusia dan dengan menyatukan tenaga, kukira kita akan dapat menandinginya.” Suheng, tahukah engkau siapa Kakek itu?” tanya Ouw Yang Lan. “Aku kenal baik siapa dia, sumoi. Dia berjuluk Tho-Te-Kong (Malaikat Bumi) dan Tak pernah mengatakan siapa namanya.
899
Pada waktu ini dia merupakan jagoan dan pembantu utama dari Thai-kam Liu Cin.” “Ahh! Jadi diakah yang berjuluk Tho-Te-Kong yang puluhan tahun yang lalu pernah menggegerkan dunia selatan?” seru Thai-Lek-Kui Ciang Sek dengan kaget. “Dan dia menjadi pembantu Thai-kam Liu cin yang jahat, korup dan berkuasa besar di kota raja itu?” “Bu-Suheng, bagaimana engkau dapat mengenal baik Kakek itu?” tanya Ouw yang Lan. Song Bu menghela napas. Dia belum menceritakan keadaan dirinya kepada Ouw Yang Lan dan Ibunya. Sekarang dia harus menceritakannya karena dia sudah mengambil keputusan untuk membela mereka. “Sumoi, sudah hampir setahun Suhu mengajak aku ke kota raja dan kami diterima sebagai semacam pengawal oleh Thai-kam Liu Cin. Kemudian datang Tho-Te-Kong itu dan seorang nenek berjuluk Cui-Beng Kui-Bo yang juga diterima sebagai pembantu. Tentu saja kedudukan mereka berdua itu menjadi terpenting karena keduanya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Sekarang Tho-Te-Kong agaknya membantu Suhu Ouw Yang Lee karena mereka masih rekan sepekerjaan.”
900
“Hemm, Song Bu. Aku melihat bahwa sikap dan sepak terjangmu seperti seorang pendekar. Mengapa engkau menghambakan diri kepada Thai-kam Liu Cin yang dibenci oleh semua tokoh dunia kangouw yang bersih?” “Itulah yang menyebabkan saya menjauh kan diri, Paman. Saya terpaksa karena ikut dengan Suhu. Akan tetapi melihat sepak terjang Suhu dan terutama sekali karena menjadi kecewa dan tidak ingin lagi membantu. Itulah salah satu sebab mengapa saya meninggalkan kota raja.” “Engkau mengatakan tadi bahwa kita dapat menandingi Tho-Te-Kong. Benarkah itu dan bagaimana caranya?” tanya Ciang Sek. Saya pernah disuruh menguji kepandainnya dan memang dia amat tangguh,Paman. Terutama sekali tenaga sinkangnya, amat kuat. Tidak mengherankan kaláu dia mampu meninggalkan tapak kaki di lantai batu dan dapat memukul hancur isi peti jenazah tanpa merusak petinya. Akan tetapi, kalau kita satukan tenaga, saya yakin dapat menandingi dia. Selain saya,dan-sumoi, Paman sendiri dan Paman Gu Tian masih ada seratus lebih anak buah Pek-In-San. Dengan kekuatan kita ini, saya kira akan dapat menandingi Tho-Te-Kong dan Suhu Ouw Yang Lee, sekiranya dia juga muncul.”
901
“Bagus kalau begitu. Ucapanmu membesarkan hati kami, Song Bu dan kami sangat bergantung kepada bantuanmu. Aku mengerti betapa berat bagi perasaanmu harus menentang guru sendiri dan untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih.” “Tidak perlu berterima kasih, Paman. Saya berdiri di antara Suhu Ouw Yang Lee dan Bibi Lai Kim bersama sumoi Ouw Yang Lan. Karena saya melihat bahwa dalam pertentangan ini pihak Suhu Ouw Yang Lee yang jahat dan bersalah, maka tentu saja saya membela sumoi dan Ibunya. Saya tidak mau terseret dan melakukan kekejaman dan kejahatan seperti yang dilakukan Suhu.” “Ah, terima kasih, Song Bu. Engkau sungguh seorang anák yang baik dan engkau telah menyelamatkan nyawa kami,” kata Lai Kim dengan suara terharu. “Bibi, belum tentu kalau saya dapat menyelamatkan Bibi sekeluarga. Bahkan mungkin saya sendiri akan menjadi korban kekejaman mereka. Yang penting dalam keadaan seperti ini, kita bersatu melawan mereka.” “Apa yang dikatakan Song Bu benar sekali. Sekarang kita harus mengatur begini. Gu-Sute, kita bawa peti jenazah ke tánah kuburan
902
hari ini juga. Aku dan Song Bu akan menyamar sebagai anak buah dan kerahkan semua anak buah untuk mengantar peti jenazah dan suruh semua orang bersiap-siap menghadapi pertempuran besar. Juga persiapkan sepasukan anak panah,pasukan tombak, pasukan pedang dan pasukan golok secara berlapis sehingga dapat melakukan pengeroyokan secara terukur kalau sampai terjadi perkelahian. Di tempat terbuka seperti tanah kuburan itu, kita dapat melakukan pengeroyokan dengan leluasa dan dapat mempersatukan tenaga. Andaikata tidak terjadi sesuatu di sana mungkin pihak musuh sudah merasa puas mengira aku telah mati. Namun, kita tetap waspada dan kalau tidak ada penyerangan kita kembali ke perkampungan dan membuat penjagaan yang sangat kuat agar jangan sampai kecolongan dan ada yang memasuki rumah ini tanpa ketahuan seperti kemarin malám. Nah, buatlah persiapan, kerahkan semua anak buah, kita bawa peti jenazah ke tanah kuburan dan menguburnya, sekarang juga.” “Baik, Suheng.” Gu Tian lalu keluar dari ruangan itu. Semua orang membuat persiapan. Ciang Sek yang oleh semua anak buahnya pun dikira sudah mati, lalu menyamar dengan memasang kumis dan jenggot palsu tambahan pada mukanya. Song Bu juga menyamar sebagai anak buah Pek-In-San. Gu Tian memerintahkan anak buahnya untuk berkumpul dan menbuat
903
persiapan untuk mengangkut peti jenazah ke tanah kuburan dan agar mereka semua siap dengan perlengkapan bertempur karena mungkin mereka akan diserang musuh. Dia maklum bahwa sekali ini mereka menghadapi lawan yang, amat sakti, maka dia membuat persiapan yang kuat. Dipersiapkannya pasukan panah, pasukan tombak, pasukan golok dan pasukan. pedang yang akan berjaga dan mengawal pemakaman itu secara berlapis. Setelah semua siap, pada siang hari itu juga berangkatlah semua anak buah Pek-In-San mengawal peti jenazah ke pemakaman. Yang tinggal di perkampungan hanya para wanità dan kanak-kanak. Gu Tian sendiri yang mengäwal para anak buah Pek-In-San itu. Thai-Lek-Kui Ciang Sek sendiri, Song Bu dan Ouw Yang Lan mengikuti dari belakang dengan sembunyi-sembunyi. Peti jenazah digotong sampai ke tanah kuburan dan diturunkan di atas tanah dekat lubang yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ketika Gu Tian membuat persiapan untuk melakukan upącara sembahyang terakhir di tanah kuburan sebelum peti jenazah dimasukkan lubang, muncul Kakek tinggi kurus yang membawa tongkat bambu kuning itu. Kemúnculán Tho-Te-Kong Sungguh mengejutkan semua orang karena dia muncul begitu saja. Juga Ciang Sek, Song Bu dan Ouw Yang Lan yang mengikuti rombongan Itu dari
904
belakang, terkejut melihat Kakek tinggi kurus itu tahu-tahu berada di dekat peti jenazah yang diletakkan di atas tanah. “Thai-Lek-Kui..., akhirnya engkau akan menjadi makanan cacing tanah jugal.” terdengar suara nyaring dan munculah Tung-hai-tok Ouw Yang Lee. Majikan Pulau Naga yang biarpun usianya sudah hampir, enam puluh tahun namun masih gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar itupun muncul di situ dengan cepatnya, berlari mendaki lereng itu bagaikan terbang saja cepatnya. Dia berdiri di samping Tho-Te-Kong. “Ho-ho-ho, sebelum dikubur, aku ingin melihat dulu bagaimana macamnya orang yang berjuluk Thai-Lek-Kui itu!” kata Tho-Te-Kong dan sekali tangan kirinya bergerak ke arah peti, terdengar suara keras dan tutup peti itu terlepas dan terlempar ke atas tanah sehingga peti jenazah terbuka dan semua anak buah Pek-In-San dapat melihat isi peti. Semua mata terbelalak dan semua mulut mengeluarkani seruan kaget ketika mereka melihat isi peti jenazah. Bukan jenazah Thai-Lek-Kui yang berada dalam peti jenazah melainkan tumpukan batu bata yang sudah hancur! Juga Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong memandang heran. Mereka tadinya mengira akan melihat jenazah, Thai-Lek-Kui yang rusak oléh serangan pukulan Tho-Te-Kong.
905
Tahulah mereka bahwa Thai-Lek-Kui belum tewas dan bahwa kematian itu hanyalah sebuah sandiwara belaka. Pada saat itu, berlapis-lapis anggauta Pek-In-San bergerak mengepung dua orang itu. Ciang Sek, Song Bu dan Ouw Yang Lan juga muncul dari belakang pasukan. Para anak buah Pek-In-San yang tadinya terheran heran, kini merasa girang melihat kenyataan bahwa ketua mereka sebetulnya tidak tewas. Ouw Yang Lee ketika melihat Song Bu berdiri di sebelah Thai-Lek-Kui Ciang Sek dan seorang gadis cantik, menjadi marah. “Song Bu, kenapa engkauu berada di sini bersama musuh besarku? Hayo engkau ke sini dan membantuku menghadapi mereka!” Song Bu menggeleng. “Suhu. Saya tidak bisa memusuhi Paman Ciang Sek.” Mendengar Song Bu menyebutnya Suhu, bukan Ayah, Ouw Yang Lee menjadi semakin marah. “Bedebah busuk engkau! Murid durhaka manusia tidak mengenal budi! Kalau aku tidak menyelamatkanmu, ketika engkau berusia tiga tahun engkau sudah menjadi mangsa ikan-ikan hiu! Kemudian aku merawat dan mendidikmu, bahkan mengangkatmu menjadi anak, dan seperti ini balasanmu? Engkau malah memihak musuhku? Keparat jahanam engkau” Ouw Yang Lee menudingkan
906
telunjuknya kepada pemuda itu. Mendengar ucapan itu, Song Bu merasa terdesak dan dia hanya menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Ucapan datuk itu memang ada benarnya dan harus dia akui bahwa selama ini Ouw Yang Lee bersikap baik sekali kepadanya. Datuk itu benar-benar mencintanya dan kalau dingat, dia sudah berhutang banyak budi kepada Ouw Yang Lee. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa Ouw Yang Lee dan Ibunya hidup berbahagia sebagai anak dan isteri Ciang Sek, bagaimana mungkin dia dapat membantu gurunya untuk memusuhi mereka? Sejak munculnya Ouw Yang Lee tadi, Ouw Yang Lan sudah memandang Ayah kandungnya itu dengan sinar mata mencorong marah. Dia marah dan membenci Ayahnya bukan hanya karena Ayahnya berusaha untuk membunuh Ayah tirinya, melainkan terutama sekali karena Ouw Yang Lee hendak membunuh Ibunya. Lebih-lebih lagi mendengar cerita Song Bu bahwa Ouw Yang Lee juga berusaha membunuh Ouw Yang Hui dan Ibunya. la menganggap Ayah kandungnya itu amat kejam dan keras hati. “Ouw Yang Lee, engkau munusia berhati kejam. Apakah engkau ingin membunuh aku juga?” tanya Ouw Yang Lan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Majikan Pulau Naga
907
itu. Ouw Yang Lee memandang gadis itu dengan penuh perhatian dan sepasang alisnya yang tebal berkerut. “Hemm, siapakah engkau?” “Manusia kejam, engkau tidak mengenal anakmu sendiri!” teriak Ouw Yang Lan. Ouw Yang Lee terbelalak, “Engkau... Ouw Yang Lan?” Mukanya menjadi merah. “Dan engkau menyebut namaku begitu saja, tidak mengakui aku sebagai Ayah kandungmu?” “Engkau sendiri hendak membunuh kedua Ibuku, hendak membunuh adik Ouw yang Hui, mungkin akan membunuh aku pula. Apakah aku harus mengakui iblis seperti engkau menjadi Ayahku? Tidak, aku tidak sudi menyebut Ayah padamu” Ouw Yang Lan memang seorang gadis yang keras hati dan galak sekali. Mungkin kekerasan hatinya tidak kalah dibandingkan Ayahnya, walaupun ia condong memihak yang benar dan sama sekali tidak memiliki watak jahat seperti Ayah kandungnya. Ouw Yang Lee menjadi marah bukan main. “Keparat! Engkaupun harus mati di tanganku!”
908
“Engkau yang akan mati di tanganku manusia busuk!” Ouw Yang Lan balas membentak, tak kalah ketusnya, sambil mencabut pedang Lo-Thian-Kiam dari punggungnya. Pada saat itu Gu Tian sudah memberi aba-aba kepada pasukan panah. Belasan orang yang sudah siap dengan busur dan panahnya lalu mementang busur dan melepas anak panah ke arah Ouw yang Lee dan Tho-Te-Kong. Dua orang datuk sakti ini menggunakan kedua lengan mereka untuk menangkisí hujan anak panah. Ouw Yang Lan melompat ke depan dan langşung menyerang Ouw Yang Lee dengan pedangnya. Ouw Yang Lee terkejut. Serangan anaknya itu hebat dan dahsyat sekali, sama sekali tidak boleh dipandang ringan. memang pada saat itu, tingkat kepandaian Ouw Yang Lan sudah hampir menyamai Ayah tirinya. Ouw Yang Lee cepat mencabut pedangnya dan menangkis sambil mengerahkdan tenaga saktinya. “Tranggg...!” Dua batang pedang terpental dan bunga api berpijar. Ouw Yang Lee semakin kaget. Ternyata Ouw Yang Lan juga memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga mampu menandinginya. Pada saat itu, pasukan tombak sudah menyerbu dan membantu Ouw Yang Lan mengeroyok Ouw Yang Lee. Sementara itu, maklum akan kelihaian Kakek yang dikenal baik oleh Song Bu sebagai Tho-Te-Kong, pemuda itu memberi isyarat
909
kepada Ciang Sek dan keduanya langsung menyerbu dan menyerang Tho-Te-Kong. Song Bu menggunakan sebatang pedang dan langsung dia menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedang Coat-Beng Tok-Kiam, sedangkan Ciang Sek menyerang dengan pedang pula, menggunakan ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut. Menghadapi serangan pedang dua orang itu, Tho-Te-Kong tidak berani memandang rendah. Dia melihat betapa gerakan pedang kedua orang penyerangnya itu amat dahsyat. Dia lalu memutar tongkat bambu kuningnya dan mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis. Kedua pedang terpental ketika bertemu tongkat bambu kuning. Akan tetapi Song Bu dan Ciang Sek bersikap hati-hati, menggunakan keringanan tubuh mereka untuk menyerang dari dua jurusan dan tidak memberi kesempatan kepada Kakek itu untuk menangkis pedang mereka. Mereka menghindarkan mengadu kekuatan. Sementara itu, pasukan pedang yang terdiri dari belasan orang sudah pula membantu mereka mengeroyok Tho-Te-Kong. Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong mengamuk. Mereka berdua maklum bahwa mereka terjebak dan dikepung puluhan orang anak buah Pek-In-San. Mereka berdua berhasil merobohkan beberapa orang anak buah Pek-In-San yang mengeroyok, akan tetapi mereka sendiri terdesak hebat.
910
Pengeroyokan Song Bu dan Ciang Sek ditambah belasan orang anak buah yang nekat itu membuat Tho-Te-Kong repot juga. Yang lebih repot adalah Ouw Yang Lee. Menghadapi Ouw Yang Lan seorang dia masih mampu menandingi bahkan mendesak. Akan tetapi Gu Tian maju menyerbu dan membantu gadis itu, ditambah belasan orang pasukan tombak yang juga dibantu pula beberapa orang pasukan golok. Ouw Yang Lee terdesak hebat dan terpaksa dia harus sering menghindarkan diri menjauhi Ouw yang Lan dan Gu Tian. Diapun sudah merobohkan beberapa orang anak buah Pek-In-San, akan tetapi dia sendiri terdesak hebat dan maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia akan terluka dan celaka. Ouw Yang Lee merasa menyesal dan penasaran sekali. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dibikin repot oleh puterinya sendiri! Juga dia marah sekali melihat betapa Song Bu bahkan membela Ciang Sek, musuh besarnya. Kini mengertilah dia bahwa isterinya, Lai Kim, agaknya telah diperisteri penculiknya sendiri. Diperisteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek dan Ouw Yang Lan menjadi anak tirinya dan juga muridnya. Benar-benar dia merasa penasaran sekali. Sinar pedang di tangan Ouw Yang Lan menyambar ke arah lehernya. Cepat bukan main sehingga dia tidak sempat menangkis karena pada saat itu pedangnya menangkis beberapa batang
911
tombak dan pedang di tangan Gu Tian. Terpaksa dia mengelak, namun gerakannya kurang cepat sehingga ujung pedang di tangan Ouw Yang Lan sempat melukai dan merobek baju di pundaknya berikut kulit pundak sehingga berdarah. Ouw Yang Lee mengeluarkan suara gerengan marah, tubuhnya berputar cepat dan kakinya menendang roboh dua orang anak buah Pek-In-San. “Tho-Te-Kong, kita pergil” teriak Ouw yang Lee dan dia memutar pedangnya sambil mendesak ke arah anak buah Pek-In-San. Anak buah Pek-In-San mundur dan kesempatan itu dipergunakan Ouw Yang Lee untuk melompat jauh dan melarikan diri. Melihat ini, Tho-Te-Kong juga memutar tongkatnya sehingga senjata itu berubah menjadi sinar kuning, mendesak ke arah para anggauta Pek-In-San. Beberapa orang anggauta Pek-In-San roboh terkena sambaran sinar kuning itu dan terpaksa mereka mundur berpencar. Tho-Te-Kong tertawa mengejek dan tubuhnya melesat jauh mengejar larinya Ouw Yang Lee yang menuruni lereng dengan cepat sekali. “Jangan kejar!” seru Ciang Sek yang tidak ingin kehilangan lebih banyak anak buah lagi. Ouw Yang Lan hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang Song Bu.
912
“Jangan kejar, Lan-moi. Kakek Tho-Te-Kong itu berbahaya sekali, bukan lawanmu.” Ouw Yang Lan memandang tangan pemuda itu yang memegang lengannya Song Bu baru menyadari bahwa tangannya masih memegang lengan gadis itu, seolah-olah jari-jari tangannya enggan untuk melepaskan lengan yang lembut lunak namun kuat itu. Setelah melihat betapa Ouw Yang Lan menatap tangannya, barulah dia sadar dan cepat dia melepaskan lengan itu. Thai-Lek-Kui Ciang Sek memerintahkan anak buahnya untuk mengurus belasan anak buahnya yang tewas atau terluka, kemudian dia mengajak Song Bu dan Ouw Yang Lan untuk pulang. Gu Tian memimpin anak buahnya untuk mengurus para korban itu. Lai Kim menyambut tiga orang itu dengan gembira sekali. Wajahnya masih tampak pucat, tanda bahwa kepergian mereka tadi membuat ia merasa gelisah sekali karena maklum bahwa mereka terancam oleh musuh yang amat lihai dan berbahaya. Ternyata kini suami dan anaknya pulang dalam keadaan selamat. mereka lalu merayakan peristiwa ini dengan pesta kecil. Gu Tian yang dianggap sebagai keluarga sendiri juga hadir dan mereka berempat duduk makan minum di ruangan makan. Setelah selesai makan minum, mereka duduk bercakap-cakap di ruangan dalam dan Lai Kim menyatakan kekhawatirannya.
913
“Hatiku masih tetap merasa gelisah. Hari ini kita masih untung karena ada Song Bu di sini yang membela, akan tetapi bagaimana kalau kelak Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya datang lagi untuk melaksanakan niat jahatnya membunuh kita?” “Jangan khawatir. Kukira Ouw Yang Lee tidak akan begitu sembrono untuk datang mengganggu lagi. Dia sudah gagal dua kali dan biasanya, orang yang sudah gagal dua kali tidak akan begitu bodoh mengulangi lagi kekalahannya. Selain itu, aku akan siap siaga, memperkuat penjagaan, memasang jebakan-jebakan sehingga tidak akan mudah orang mendaki Pek-In-San, betapa pandaipun dia,” kata Ciang Sek menghibur hati isterinya. “Kukira Paman Ciang Sek benar, Bibi. Saya mengenal siapa Kakek yang lihai tadi Dia adalah Tho-Te-Kong,” kata Song Bu. “Karena dia sibuk di kota raja sebagai pembantu utama Thaikam Liu Cin, saya kira dia tidak akan begitu banyak waktu dan leluasa untuk membantu Suhu Ouw Yang Lee menyerbu ke sini.” Thai-Lek-Kui Ciang Sek terkejut. “Tho-Te-Kong? Diakah datuk besar yang terkenal amat sakti itu? Pantas dia begitu lihai Akan tetapi, bagaimana dia yang terkenal angkuh itu mau membantu Ouw Yang Lee ?”
914
“Hal itu tidak mengherankan, Paman Ciang Sek. Suhu Ouw Yang Lee adalah juga seorang pembantu Thaikam Liu Cin, bahkan lebih dulu dari Tho-Te-Kong. Mereka adalah rekan sepekerjaan, sama-sama pembantu Thaikam Liu Cin. Tentu Suhu Ouw Yang Lee minta bantuan Tho-Te-Kong. Akan tetapi kegagalan ini tentu membuat Tho-Te-Kong enggan untuk membantu lagi. Selain itu, mereka tidak mungkin dapat berlama-lama meninggalkan tugas mereka di istana Thaikam Liu Cin.” Ciang Sek mengangguk-angguk. “Hemm, jadi mereka bekerja untuk Thaikam Liu in? Pantas kalau begitu. Thaikam Liu Cin adalah seorang pembesar yang berkuasa di istana, dia yang mempengaruhi Kaisar sehingga kekuasaannya besar sekali. kabarnya bahkan pembesar itu menyingkirkan banyak saingannya di kota raja.” “Hal itu memang benar sekali, Paman.” “Dan engkau sendiri, Suheng?” tanya Ouw Yang Lan. Song Bu memandang sumoinya dan menghela napas. “Terus terang saja, aku diajak Suhu meninggalkan Pulau Naga untuk bekerja kepada Thaikam Liu Cin di kota raja. Tadinya aku juga seorang di antara para pembantunya. Akan tetapi kemudian
915
aku melihat betapa jahatnya pembesar itu. Dia menggunakan orang-orang pandai untuk menyingkirkan dan membunuh para bangsawan dan pejabat tinggi lain yang tidak mau tunduk kepadanya. Dan aku melihat pula bahwa para datuk yang membantunya adalah orang-orang kangouw dari golongan sesat seperti Im Yang Tojin yang mengkhianati Im-Yang-Kauw, Hek Pek Moko sepasang manusia iblis yang amat kejam dan jahat itu, Giam Tit yang menjadi kepala pengawal Thaikam Liu Cin, kemudian muncul dua orang datuk besar itu, iyalah Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo. Karena merasa tidak suka dan tidak cocok, aku mengambil kesempatan ketika diutus Suhu untuk mencari adik Ouw Yang Hui, meninggalkan mereka dan aku mengambil keputusan untuk tidak kembali kepada Thaikam Liu Cin. Apalagi setelah peristiwa di sini bahwa secara terang-terangan aku menentang Suhu Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong.” “Suheng, apakah engkau sudah bertemu dengan adik Ouw Yang Hui dan Ibu Sim Kui Hwa?” tanya Ouw Yang Lan. “Aku belum bertemu dengan Subo Sim Kui Hwa, akan tetapi aku sudah dapat menduga di mana kira-kira ia berada dan aku akan pergi mencarinya. Aku mendapat keterangan ketika aku berkunjung ke Houw-San, tempat tinggal Tok-Gan-Houw Lo Cit dan anak buahnya.”
916
“Hemm, engkau ke sana juga, Suheng? Aku juga datang dan berhasil membunuh Lo Cit!” kata Ouw Yang Lan. “Ah, jadi engkaukah gadis yang katanya membunuh Lo Cit? Aku juga datang ke sana ketika mayat Lo Cit masih berada dalam peti mati. Tentu engkau sudah mendapat keterangan dari mereka di mana adanya Hui-moi dan Ibunya.” Ouw Yang Lan menggeleng kepalanya. “Aku mengancam Lo Cit akan tetapi di mengatakan tidak tahu, lalu aku membunuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu.” kata Ouw Yang Lan. “Dan dari siapa engkau mendengar tentang adik Hui dan Ibunya Suheng?” “Aku mendengar dari anak buahnya, juga sebelumnya Subo Sim Kui Hwa pernah kembali ke Pulau Naga.” “Ceritakanlah dengan sejelasnya Suheng. Lebih dulu tentang lbu Sim Kui Hwa,” kata Ouw Yang Lan dan Ibunya juga mendengarkan dengan hati tertarik. “Beberapa hari setelah terjadi penculikan atas dirimu, Hui-moi dan kedua Subo, Subo Sim Kui Hwa kembali ke Pulau Naga diantar
917
oleh seorang pendekar Siauw-Lim-Pai bernama Gan Hok San. Maksud Subo Sim Kui Hwa tentu saja untuk pulang ke Pulau Naga dan pendekar Gan Hok San adalah orang yang telah menolongnya dari tangan Lo Cit. Akan tetapi Suhu Ouw Yang Lee bukan saja tidak mau menerima Subo Sim Kui Hwa, bahkan dia berkeras hendak membunuhnya karena cemburu. Gan Hok San melindungi Subo Sim Kui Hwa sehingga terjadi perkelahian antara dia dan Suhu Ouw Yang Lee. Akhirnya Suhu Ouw Yang Lee kalah dan Subo Sim Kui Hwa yang tidak diterima pulang ke Pulau Naga lalu meninggalkan pulau dikawal oleh Gan Hok San. Semenjak itu sampai sekarang, sudah sebelas tahun lewat, aku tidak mendengar beritanya dari anak buah Lo Cit, aku yakin bahwa Subo Sim Kui Hwa tentu dapat ditemukan kalau aku dapat mencari Gan Hok San. Tentu dia tahu di mana adanya Subo Sim Kui Hwa.” “Engkau benar, Suheng. Kalau begitu peristiwanya, maka satu-satunya jalan untuk mencari Ibu Sim Kui Hwa hanyalah menemukan dan bertanya kepada Gan Hok San. Kalau dia itu tokoh Siauw-Lim-Pai maka jalan termudah adalah mencari keterangan ke Kuil Siauw-Lim-Pai di mana adanya tokoh itu.” “Ya, memang jalan itu yang akan kutempuh untuk mencari Subo Sim Kui Hwa,” kata Song Bu.
918
“Lalu bagaimana tentang adik Ouw Yang hui?” “Aku sudah bertemu dengan Hui-moi, baru beberapa pekan yang lalu di kota raja, la juga kini telah menjadi seorang gadis dewasa, Lan-moi.” “Hui-ji di kota raja? Bagaimana keadaannya? Apakah ia terpisah dari Ibunya?” tanya Sim Kui Hwa yang ikut mendengarkan dengan penuh perhatian. “Bibi, saya bertemu dengan Hui-moi di rumah pelesir.” “Ahh?? Apakah kau hendak mengatakan bahwa Hui-moi telah menjadi... menjadi...” Ouw Yang Lan tidak sampai hati untuk melanjutkan kata-katanya. “Tidak, Lan-moi, untung sekali tidak, Hui-moi sama sekali tidak menjadi gadis penghibur meskipun ia diangkat anak oleh pengelola rumah hiburan itu.” “Suheng, mau apa engkau berkeliaran ke rumah pelesir?” tiba-tiba Ouw Yang Lan memotong dan suaranya mengandung teguran. “Lan-ji...!” Sim Kui Hwa menegur. Pertanyaan puterinya itu dianggapnya tidak sopan.
919
“Tidak. mengapa, Bibi. Pertanyaan Lan-moi itu wajar saja. Akan tetapi, Lan moi, aku tidak pernah bermain dan berkeliaran ke rumah pelesir. Aku hanya satu kali pergi ke sana, itupun untuk mengawal Sribaginda Kaisar yang berkunjung ke rumah pelesir Pintu Merah di kota Nam-Po, tak jauh dari kota raja.” “Sribaginda Kaisar? Beliau berkunjung rumah pelesir?” tanya Ciang Sek terheran-heran. Memang luar biasa sekali kalau Kaisar berkunjung ke sebuah rumah pelesir. “Sebenarnya peristiwanya begini. Di seluruh kota Nam-Po, bahkan sampai ke kota raja tersiar berita bahwa di rumah pelesir Pintu Merah, di Nam-Po, terdapat seorang gadis yang luar biasa. la Puteri Cia-Ma pengelola rumah pelesir Pintu merah, terkenal dengan nama julukan Siang Bi Hwa. Siang Bi Hwa dikabarkan orang sebagai seorang gadis secantik bidadari yang tidak pernah mau melayani pria, biar diberi selaksa tail sekalipun. la pandai sekali bermain yangkim dan meniup suling, juga pandai bersajak dan bernyanyi. Karena tertarik oleh berita ini, pada suatu hari Sribaginda Kaisar, dengan menyamar tentu saja, mengajak aku untuk mengawalnya pergi berkunjung ke rumah pelesir itu. Siang Bi Hwa tidak pernah mau menemui pria, akan tetapi para tamu diperbolehkan menonton ia bermain musik dan bernyanyi di taman, ditonton dari pintu belakang. Nah, Sribaginda Kaisar berkunjung
920
untuk menonton ia bermain musik dan bernyanyi itulah. Akupun selama hidupku baru sekali itu meńgunjungi sebuah rumah pelesir, Lan-moi.” “Aku dapat menduga lanjutan ceritamu, Suheng! Tentu Siang Bi Hwa itu bukan lain adalah adik Ouw Yang Hui, bukan?” kata Ouw Yang Lan. “Dugaanmu tepat, Lan-moi. Begitu aku melihat gadis itu, aku segera mengenalnya. Akan tetapi aku diam saja dan baru lain hari aku berkunjung seorang diri ke rumah pelesir Pintu Merah dan menemuinya. Dan memang benar ia adalah adik Ouw Yang Hui. la menceritakan pengalamannya. Ketika ia terculik bersama Ibunya dibawa pergi Lo Cit, ia dipisahkan dari Ibunya dibawa pergi seorang anak buah Lo Cit. Dalam perjalanan, anak buah Lo Cit itu dibunuh oleh dua orang penjahat lain. Kemudian oleh dua orang penjahat itu, la dijual kepada Cia-Ma yang selanjutnya Cia-Ma mengambilnya sebagai anak. Menurut Hui-moi, ia diperlakukan dengan baik sekali dan penuh kesayangan, diberi pendidikan sastra dan seni sehingga setelah besar ia pandai menulis sajak, menyanyi, menari dan memainkan yangkim dan suling. Bahkan menurut Hui-moi, Cia-Ma tidak menyuruh ia melayani pria, bahkan melarang pria manapun mengganggunya. Cita-cita Cia-Ma bahkan
921
hendak menjodohkan Hui-moi dengan seorang laki-laki bangsawan yang terhormat dan bijaksana.” “Kasihan Hui-ji...” kata Lai Kim. “Tidak kasihan, Ibu. Bahkan adik Hui memperoleh pengalaman yang aneh luar biasa sekali, bahkan boleh dibilang ia beruntung sekali dijual kepada seorang seperti Cia-Ma itu. Kemudian bagaimana, Suheng?” “Aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Hui-moi kepada Suhu Ouw Yang Lee. Aku sungguh merasa menyesal setelah menceritakan hal itu. Di luar tahuku, Suhu Ouw Yang Lee pergi berkunjung ke rumah pelesir Pintu Merah di Nam-Po, lalu mengamuk. Dia membunuh Cia-Ma dengan orang-orangnya, dan hendak membunuh Hui-moi.” “Jahat sekali! Aku malu mempunyai Ayah sejahat itul” Ouw Yang Lan berteriak. “Jangan berpendapat demikian dulu, Lan-ji. Mungkin saja Ouw Yang Lee merasa malu mendengar puterinya menjadi anak angkat seorang pemilik rumah hiburan,” kata Ciang Sek.
922
“Tidak, Ayah. Aku sekarang yakin bahwa dia benar-benar seorang yang amat kejam dan jahat. Tidak saja dia bertekad untuk membunuh kedua orang isterinya, bahkan juga bertekad membunuh kedua orang anaknya! Teruskan, Suheng. Lalu bagaimana?” “Suhu bercerita kepadaku bahwa dia gagal membunuh Hui-moi karena ditolong seorang pemuda dan dia sendiri tidak tahu entah kemana perginya Hui-moi. Yang jelas, Hui-moi selamat dan tidak terbunuh.” “Syukurlah kalau Hui-ji selamat!” kata Lai Kim sambil menghela napas lega. “Akan tetapi entah bagaimana dengan nasib adik Sim Kui Hwa. Aku khawatir akan keadaannya.” “Aku juga merasa girang bahwa Hui-moi dapat terlepas dari ancaman maut. Akan tetapi kita tidak tahu ke mana ia pergi dan siapa pemuda yang menolongnya. Jangan-jangan dia seorang yang jahat pula. Betapa banyaknya orang jahat di dunia ini.” kata Ouw Yang Lan. “Suheng, apa... apakah sekarang engkau akan kembali ke kota raja dan bekerja sama dengan Ouw Yang Lee mengabdi kepada
923
Thaikam Liu Cin?” Song Bu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak akan kembali ke sana. Kalau aku kembali ke kota raja, tentu aku tidak akan lagi bekerja untuk Thaikam Liu Cin, melainkan untuk Sribaginda Kaisar. Bahkan aku akan membongkar semua rahasia busuk Liu Cin yang membunuhi banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar.” “Lalu kemana engkau hendak pergi setelah meninggalkan tempat ini?” Ouw Yang Lan mengejar. “Aku hendak mencari Hui-moi dan Subo eh... Bibi Sim Kui Hwa...!” “Bagus! Cocok sekali denganku! Ibu, Ayah, aku akan pergi dan ikut Suheng untuk mencari Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw yang Hui!” Ada sesúatu dalam nada suara puterinya itu yang meyakinkan hati Lai Kim bahwa tidak mungkin ia melarang niat gadis yang keras hati itu. Apa lagi kalau perginya puterinya itu bersama Song Bu yang memiliki kelihaian dan dapat dipercaya. “Hemm, ke manakah engkau hendak mencari mereka?” tanya pula Lai Kim.
924
“Nanti dulu, aku akan mengambil kertas dan alat tulis!” kata gadis itu yang sudah melompat dan lari meninggalkan ruangan itu. Tentu saja tiga orang itu menjadi heran dan saling pandang. Mereka sama sekali tidak dapat menduga apa maksud gadis itu mengambil kertas dan alat tulis! Ouw Yang Lan memasuki ruangan itu kembali dan ia sudah membawa dua lembar kertas dan dua mouw-pit (pena bulu). la memberikan sehelai kertas dan pena bulu kepada Song Bu sedangkan ia sendiri memegang sehelai kertas dan sebatang pena bulu. “Nah, Suheng. Engkau tuliskan jawaban pertanyaan Ibu tadi. Kemana engkau hendak mencari adik Ouw Yang Hui dan Ibunya”. Aku sendiripun akan menuliskan jawabanku di atas kertas ini dan nanti kita buat perbandingan.” Ciang Sek tertawa. “Ah, kiranya ingin melihat jawaban siapa yang paling tepat. Baik, kalian tulislah dan nanti aku yang membacanya dan menjadi wasitnya untuk menentukan siapa yang lebih tepat jawabannya. Song Bu juga tersenyum. Diapun ingin mengetahui pendapat gadis itu ke mana mereka harus mencari Ouw Yang Hui dan Ibunya. Maka diapun lalu duduk menghadapi meja di sudut ruangan itu agar terpisah dari Ouw Yang Lan. Mereka berdua menulis di meja masing-masing. Mereka menyelesaikan tulisan mereka hampir berbareng.
925
“Serahkan kepadaku, akan kubacakan!” kata Ciang Sek gembira sedangkan isterinya hanya tersenyum melihat ulah puterinya. Dua orang muda itu lalu menyerahkan tulisan mereka kepada Ciang Sek. “Aku akan membacakan tulisan Lan Ji lebih dulu,” katanya sambil membaca tulisan gadis itu dengan suara lantang. “Karena tidak diketahui ke mana Hui-moi pergi yang tidak meninggalkan jejak, maka yang harus dicari lebih dulu adalah lbu Sim Kui Hwa dan untuk mencarinya, harus diketahui di mana adanya Gan Hok San, Untuk mencarinya harus ditanyakan kepada Kuil Siauw-Lim-Si di Sung-San.” Song Bu memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak heran. Ciang Sek kini berkata. “Sekarang akan kubacakan tulisan Song Bu.” Lalu dengan lantang diapun membaca, “Belum tahu Hui-moi pergi ke mana maka lebih dulu mencari Bibi Sim Kui Hwa dengan menanyakan kepada Kuil Siauw-Lim-Si di Sung-San di mana tinggalnya Pendekar Gan Hok San.” Lai Kim tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan. “Aneh, hanya kata-katanya yang berbeda akan. tetapi maksudnya sama!” Ouw Yang Lan tersenyum.
926
“Ini menunjukkan bahwa aku dan Suheng harus bekerja sama dan tentu akan berhasil menemukan lbu Sim Kui Hwa. Setelah dapat menemukan Ibu Sim Kui Hwa barulah kami berdua akan mencari adik Ouw Yang Hui sampai dapat. Bukankah begitu, Suheng?” Song Bu hanya mengangguk. Tidak dapat dia membantah bahwa gadis itu memang cerdik dan juga memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi dan tangguh. Pula dia harus mengakui banwa dia merasa kagum terhadap sumoinya ini yang kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Akan tetapi, diam diam dia membandingkan Ouw Yang Lan dengan Ouw Yang Hui dan diapun harus mengakui bahwa hatinya telah terlebih dahulu tercuri oleh kelembutan dan kejelitaan Ouw Yang Hui. “Ibu, Ayah, aku ingin pergi bersama Suheng mencari Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui. Tentu Ibu dan Ayah menyetujui, bukan?” Ouw Yang Lan bertanya kepada mereka, walaupun dia yakin bahwa mereka pasti tidak akan menghalanginya. “Tadinyapun engkau sudah pergi sendiri mencari mereka. Kalau sekarang pergi bersama Song Bu, tentu saja hatiku lebih merasa tenang. Pergilah dan mudah-mudahan kalian dapat menemukan adik Sim Kui Hwa dan Ouw Yang Hui dalam keadaan selamat.” “Engkau pergilah dengan Song Bu, Lan-Ji. Akan tetapi dalam segala hal, taatilah petunjuk Song Bu dan jangan sembrono,
927
jangan asal nekat mengandalkan keberanian dan kekerasan hati. Ingat, di dunia kangouw banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang lihai dan berbahaya sekali. Peristiwa yang baru saja terjadi harap kau jadikan sebagai pelajaran dan membuatmu berhati-hati. Mudah-mudahan kalian berhasil dan kalau engkau pulang ke sini, berhati-hatilah. Kami akan memasang ranjau dan jebakan. Pergunakanlah jalan rahasia yang hanya diketahui kita bertiga dengan Pamanmu Gu Tian. Mempergunakan jalan lain amat berbahaya, engkau dapat terperangkap jebakan yang berbahaya.” “Baiklah, Ayah,” jawab Ouw Yang Lan. akan tetapi hati Ciang Sek masih khawatir sehingga. keberangkatan sepasang orang muda itu ditunda sampai besok, dan malam itu Ouw Yang Lan dan Song Bu disuruh melihat dan mempelajari peta bukit Pek-In-San untuk mengetahui di mana yang akan dipasangi jebakan-jebakan untuk mencegah masuknya orang-orang yang mempunyai niat buruk terhadap Pek-In-San. Melihat perangkap-perangkap itu, Song Bu sendiri rasa ngeri. Sungguh amat berhaya dan sedikit saja orang salah langkah dapat menyebabkan kematian yang mengerikan. Pada keesokan harinya, dua orang muda itu berangkat meninggalkan Pek-In-San. Song Bu membawa buntalan pakaiannya dan Ouw Yang Lan juga membawa sebuah buntalan yang terisi pakaiannya dan bekal uang
928
emas dan perak secukupnya. Gadis itu tampak gagah dengan pakaiannya yang ringkas, di punggungnya tergantung pedang Lo-Thian-Kiam pemberian Ayah tirinya. Gadis yang suka memakai pakaian serba putih dan kadang serba merah muda itu, kini mernakai pakaian merah muda. Pedang di punggungnya sebagian tertutup buntalan pakaian berwarna kuning. Tubuhnya yang padat tampak montok, akan tetapi pinggangnya ramping sehingga bentuk tubuhnya indah sekali. Ditambah kulitnya yang putih mulus membuat gadis ini tampak cantik jelita dan gagah menarik. Song Bu juga tampak gagah. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh, membayangkan tenaga yang kuat. Pakaiannya seperti biasa, mewah terbuat dari Sutera halus yang mahal. Pedangnya juga tergantung dipunggung, tertutup buntalan pakaiannya. Dua orang muda itu tampak serasi sekali. Pantas untuk menjadi kakak beradik, atau pantas pula untuk menjadi pasangan kekasih. Dengan langkah tegap keduanya menuruni lereng, keluar dari perkampungan Pek-In-San, Diantar sampai ke pintu gerbang perkampungan oleh Ciang Sek, Lai Kim dan Gu Tian. Sementara itu, pada hari itu juga para anak buah Pek-In-San sibuk mulai membuat dan memasang ranjau dan jebakan sehingga Pek-In-San menjadi sebuah tempat yang akan sukar sekali diserbu musuh. Selain pemasangan perangkap-
929
perangkap, juga mulai hari itu penjagaan selalu diperketat dan setiap saat pasti ada anak buah yang berjaga dan meronda sehingga rasanya tidak mungkin pihak musuh akan dapat memasuki perkampungan Pek-In-San dengan aman atau tidak diketahui. Kereta itu berjalan perlahan mendaki Bukit Bangau menuju ke pegunungan Sung-San yang tampak menjulang tinggi di depan. Dari Bukit Bangau ke Sung-San melalu padang rumput yang luas. Di kedua ujung padang rumput itu terdapat hutan-hutan yang lebat. Kereta itu sudah melewati lereng terakhir dan mulai memasuki padang rumput yang luas itu. Yang menjadi kusir kereta adalah Gan Hok San sendiri. Di dalam kereta yang penuh barang bawaan keluarga itu duduk Sim Kui Hwa, Li Hong dan Ouw yang Hui. Di belakang kereta berjalan seekor kuda yang ditunggangi Sin Cu. Dalam perjalanan itu Gan Hok San membeli seekor kuda untuk ditunggangi Sin Cu yang mengawal mereka menuju ke Sung-San. Tadinya Sin Cu menolak karena dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia menggunakan ilmu Bu-Eng-Kui (Setan Tanpa Bayangan) dan dia dapat bergerak cepat dan dapat mengimbangi larinya kuda yang menarik kereta. Akan tetapi Gan Hok San, Sim Kui Hwa dan juga Ouw Yang Hui mendesaknya
930
sehingga akhirnya dia mau juga menunggang kuda dan menjalankan kudanya di belakang kereta. Siang itu langit bersih. Tidak tampak awan sehingga matahari bersinar sepenuhnya. Udara menjadi amat segar, tidak terlalu dingin seperti biasa, juga tidak terlalu panas, menjadi nyaman sekali. Apalagi ada angin bersilir lembut sehingga hawa udaranya segar jernih dan sejuk. Suasana di padang rumput itu sepi, yang terdengar hanya derap kaki tiga ekor kuda, yaitu dua ekor yang menarik kereta dan seekor yang ditunggangi Sin Cu. Rumput yang gemuk subur dan setinggi lutut kuda, bergoyang-goyang seperti air laut berombak. Ouw Yang Hui dan Ibunya merasa lelah sekali. Belasan hari mereka melakukan perjalanan yang jauh, setiap hari diguncang dalam kereta. Juga Li Hong duduk melenggut, mengantuk di samping Ibunya. Gan Hok San yang maklum betapa isterinya dan anak tirinya itu kelelahan, ketika tiba di padang rumput yang berhawa segar itu berkata, “Hawa udaranya segar sekali. Bukalah tirai kereta agar kalian dapat merasakan sejuknya hawa udara.” Ouw Yang Hui membuka tirai di kanan kiri kereta dan udara berhembus masuk, terasa menyegarkan,
931
“Aih, nyaman sekali.” kata Sim Kui Hwa dan ia menggeliat seperti seekor kucing. Nyonya yang usianya sudah empat puluh satu itu masih memiliki bentuk tubuh yang ramping padat. Ouw yang Hui sendiri merasa segar dan timbul kegembiraannya. la merasa gembira dan berbagia sekali. Setelah mengalami banyak peristiwa yang mencekam dan menggelisahkan, di mana nyawanya terancam maut berulang kali, kini ia merasa aman dan bahagia sekali telah dapat berkumpul kembali dengan Ibu kandungnya, mendapat seorang Ayah tiri yang bijaksana dan baik, bertemu dengan seorang pendekar muda yang menumbuhkan cintanya, bahkan telah bertunangan dengan pemuda itu. Kini ia mendengar bunyi kaki kuda di belakang kereta dan biarpun tidak tampak, ia tahu bahwa Sin Cu menunggang kuda di belakang kereta, la merasa aman terlindung, merasa begitu berbahagia sehingga tanpa disadarinya, mulailah gadis itu bersenandung! Hati yang berbahagia dan gembira memang menimbulkan keinginan untuk bernyanyi. Suara kaki tiga ekor kuda itu seperti bunyi musik yang mengiringi nyanyian Ouw Yang Hui. Suasana yang hening di tempat itu membuat suara nyanyian dan suara kaki kuda terdengar jelas dan menonjol. Kedua suara itu begitu serasi dan sedap didengar. Sim Kui Hwa memandang wajah anaknya dengan mata basah karena
932
kagum, bangga dan terharu. Tak disangkanya bahwa puterinya sepandai itu bernyanyi, memiliki suara yang amat merdu pula. Juga Gan Hok San yang duduk di depan sebagai kusir terpesona dan kagum sekali. Banyak sudah pendekar ini mendengar wanita bernyanyi, akan tetapi sekarang dia mendengar suara nyanyian yang demikian merdu. Lebih-lebih lagi Sin Cu yang menunggang kuda di belakang kereta. Pemuda ini terpesona dan merasa seperti diayun-ayun dalam mimpi. Dia kagum dan merasa berbahagia sekali, Akan tetapi juga terharu karena gadis yang demikian cantik jelita, demikian hebat suaranya dapat menjadi calon isterinya. Dia merasa berbahagia sekali dan berjanji dalam hati sendiri bahwa dia akan melindungi gadis itu dengan seluruh jiwa raganya, akan membahagiakan hidup gadis yang sudah banyak mengalami kesengsaraan sejak kecilnya itu. Suasana hening itu demikian mencekam. Dunia seolah hanya diisi suara berketepaknya kaki kuda yang mengiringi suara nyanyian merdu. Tiga orang yang lain seperti hanyut. Rumput-rumput yang dihembus angin seperti berbisik-bisik melatar belakangi nyanyian itu dan menimbulkan suasana yang ajaib. Lama setelah Ouw Yang Hui menghentikan nyanyiannya, tiga orang pendengarnya itu seolah masih mendengar gema nyanyian itu dan suasana menjadi semakin
933
hening. Keheningan baru pecah ketika terdengar suara Gan Hok San. “Demi Tuhan! Nyanyianmu seperti nyanyian para bidadari di sorga, Hui-Ji.” “Aduh, enci Hui! Kukira tadi mimpi mendengar nyanyian indah, tidak tahunya ketika aku terbangun, engkau yang bernyanyi! Ayah benar, suaramu seperti suara bidadari sorga!” kata Li Hong sambil memegangi tangan Ouw Yang Hui. Sim Kui Hwa merangkul dan mencium pipi Ouw Yang Hui, dan dengan air mata membasahi kedua matanya ia berkata, “Hui-ji, aku berterima kasih kepada mendiang Cia-Ma yang telah memberi pendidikan yang amat baik kepadamu!” Mendengar ini, Ouw Yang Hui juga merangkul Ibunya. Hatinya terharu dan juga sedih teringat akan kematian Cia-Ma yang bagaimanapun juga amat ia rasakan kasih sayangnya sehingga dalam hatinya juga timbul rasa kasih sayang kepada Ibu angkat itu. “Terima kasih, Ibu. Aku girang sekali Ibu dapat menghargai jasa Cia-Ma yang malang...” Sementara itu Sin Cu yang menunggang kuda di belakang kereta, lebih dulu mendengar derap kaki kuda yang terdengar di sebelah belakangnya. Dia menengok dan
934
melihat belasan orang penunggang kuda mendatangi dari belakang dengan kecepatan tinggi. Karena khawatir kalau-kalau mereka itu rombongan orang yang hendak memusuhi mereka, dia lalu melarikan kudanya ke samping kereta bagian depan. Dia lalu berkata kepada Gan Hok San. “Paman, ada belasan orang penunggang kuda datang dari belakang. Lebih baik Paman menghentikan kereta dan bersiap siap melindungi Bibi dan Hui-moi. Saya yang akan menghadapi mereka kalau mereka itu mempunyai niat buruk terhadap kita.” Gan Hok San menjenguk ke belakang dan diapun melihat serombongan penunggang kuda itu datang dan tampak debu mengepul di belakang mereka. Pendekar Siauw-Lim-Pai ini mengerutkan alisnya dan diapun menduga buruk. Melarikan kereta kiranya tidak mungkin karena kalau mereka itu melakukan pengejaran, tentu kereta akan tersusul. Jalan pendakian di depan merupakan jalan yang buruk dan kasar. Melalui jalan seperti itu, keretanya tidak akan dapat meluncur kencang dan pasti akan mudah dikejar mereka yang menunggang kuda. Memang sebaiknya menghentikan kereta dan bersama Sin Cu melindungi Ouw Yang Hui dan Ibunya. Maka diapun minggirkan keretanya dan menghentikan dua ekor kuda penarik kereta. Sin Cu sendiri sudah melompat turun dari atas kudanya dan
935
menambatkan kudanya pada kereta, kemudian dia berdiri di belakang kereta untuk menjaganya. Gan Hok San berdiri di sisi lain, di depan kereta. Rombongan berkuda itu kini datang dekat. Jumlah mereka ada dua belas orang, terdiri dari laki-laki berusia empat puluh tahun ke atas. Yang tertua berusia enam puluh tahun lebih dan berpakaian seperti seorang Tosu (Pendeta Taoisme). Rombongan itu melewati kereta dan mereka hanya melirik sebentar saja ke arah kereta yang dijaga oleh Gan Hok San dan Sin Cu. Mereka lewat dan melanjutkan perjalanan mereka tanpa memperhatikan kereta. Sin Cu bernapas lega. “Ah, ternyata mereka bukan rombongan yang hendak mengganggu kita, Paman,” katanya. Akan tetapi Gan Hok San mengerutkan sepasang alisnya. “Tosu itu adalah Cang Su Cinjin, ketua Bu-Tong-Pai. Dan yang lain-lain itu adalah para tokoh Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai. Apa yang telah terjadi di Siauw-Lim-Si? Kenapa mereka semua datang berkunjung dan tampaknya sikap mereka tidak bersahabat, seperti orang-orang yang penasaran dan marah? Sin Cu, hatiku merasa tidak enak. Aku khawatir terjadi sesuatu di Siauw-Lim-Si. Mari kita ikuti mereka ke Siauw-Lim-Si!” kata Gan Hok San yang segera mencambuk dua ekor kuda penarik kereta sehingga
936
mereka berlari congklang, Sin Cu juga melompat ke atas kudanya dan mengikuti kereta. “Apa yang terjadi? Kenapa kita tadi berhenti lalu sekarang melarikan kereta cepat-cepat? tanya Sim Kui Hwa dari dalam kereta. “Ada serombongan orang Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai lewat menuju ke Siauw-Lim-Si. Aku khawatir terjadi sesuatu di sana maka aku ingin cepat-cepat tiba di sana,” jawab Gan Hok San. Kuil Siauw-Lim terletak di lereng gunung Sung-San... tidak jauh lagi dari padang rumput itu. Tak lama kemudian kereta itu telah tiba di lapangan yang luas di depan Kuil. Gan Hok San dan Sin Cu melihat bahwa rombongan dua belas orang tadi sudah berada di depan Kuil, sudah turun dari atas kuda dan mereka sedang berhadapan dengan belasan orang Hwesio (Pendeta Budha) dari Kuil Siauw-Lim-Pai. Gan Hok San adalah seorang murid utama dari Siauw-Lim-Pai, Dia mengenal semua Hwesio yang keluar dari Kuil menyambut rombongan itu. bahkan yang menjadi ketua Siauw-Lim-Pai pada waktu itu adalah Susioknya (Paman Gurunya), yaitu Hui Sian Hwesio. sedangkan para Hwesio yang lain adalah tiga orang Suhengnya dan yang lain lima orang Sute dan beberapa
937
orang murid angkatan lebih muda. Sin Cu yang pernah bertemu dengan ketua Siauw-Lim-Pai juga mengenal Hui Sian Hwesio. “Kalian tinggallah saja dalam kereta, kami hendak mendekat dan melihat apa yang terjadi,” kata Gan Hok San kepada isterinya dan anak tirinya. Setelah itu, bersama Sin Cu dia menghampiri, lebih dekat sehingga mereka berdua dapat mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh para Hwesio dengan rombongan dari Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai itu. Mereka tidak datang lebih dekat lagi, tidak ingin mengganggu percakapan mereka, hanya mendengarkan dari jarak agak jauh. “Siauw-Lim-Pai terkenal sebagai tempat para Hwesio yang beribadah dan hidup sebagai manusia-manusia yang mengutamakan kesucian, akan tetapi mengapa melindungi murid yang melakukan kejahatan!” kata Tosu yang disebut Cang Su Cinjin oleh Gan Hok San tadi. Ketua Bu-Tong-Pai ini tampak marah dan penasaran. “Memang aneh sekali. Siauw-Lim-Pai yang terkenal memiliki murid-murid yang berjiwa pendekar, mengapa kini ada muridnya yang bertindak seperti maling dan secara curang membunuh dua orang murid kami!” kata seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun dan berpakaian sebagai seorang ahli silat atau pendekar.
938
Dia adalah seorang tokoh Kong-Thong-Pai, bahkan menjabat sebagai wakil ketua dan namanya adalah Lui Kai It. Tubuhnya tinggi kurus, matanya mencorong dan sikapnya keras dan galak. “Omitohud...!” Hui Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dadanya. sikapnya lembut dan halus, tubuhnya yang tinggi agak gemuk itu tidak membayangkan kekuatan dan kekerasan, wajahnya penuh dengan senyum sehingga tampak cerah dan menyenangkan. Pandang matanya lembut penuh kesabaran dan pengertian. “Pinceng sudah katakan tadi bahwa kami sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai, bagaimana mungkin ada murid kami yang melakukan perbuatan tidak terpuji, menyerang murid-murid anda sekalian? Tidak ada murid Siauw-Lim-Pai yang membunuh orang dan kami sama sekali tidak menyembunylkan pembunuh. Kalau memang ada murid kami yang melakukan kejahatan, silakan cuwi (anda sekalian) menunjuk, yang mana murid kami itu dan kami tentu akan bertindak melakukan hukuman kalau memang tuduhan itu terbukti dan benar.”
939
“Tentu saja tidak dapat dibuktikan karena orang yang melakukannya tidak dapat ditangkap!” kata Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai dengan marah. “Akan tetapi mata kami belum buta dan telinga kami belum tuli! Mata kami melihat bahwa seorang berkepala gundul yang melakukan penyerangan gelap itu dan telinga kami mendengar betapa dia menantang agar kami mencarinya ke Siauw-Lim-Si kalau kami berani.” “Omitohud! Lui-Pangcu (ketua Lui), belum tentu semua orang yang berkepala gundul itu seorang Hwesio Siauw-Lim-Si dan belum tentu semua orang yang mengaku dari Siauw-Lim-Si itu benar-benar murid kami,” kata Cu Sian Hwesio yang menjadi Sute dari Hui Sian Hwesio dan menjabat wakil ketua Siauw-Lim-Pai. Hwesio ini bertubuh tinggi kurus, usianya sekitar enam puluh lima tahun. “ltu hanya alasan saja!” Ketua Bu-Tong-Pai, Cang Su Cinjin, berseru. “Sejak dahulu memang Siauw-Lim-Pai memandang rendah partai lain termasuk Bu-Tong-Pai. Bagaimanapun juga, karena pembunuh itu mengaku sebagai murid Siauw-Lim-Pai, maka sudah menjadi tugas kewajiban dan tanggung jawab Siauw-Lim-Pai untuk mencari sampai dapat pembunuh itu. Ini tentu saja kalau Siauw-Lim-Pai menghendaki namanya dibersihkan. Kalau
940
Siauw-Lim-Pai diam saja, berarti mereka sudah menerima tuduhan itu dan sengaja hendak menyembunyikan, pembunuh, itu untuk melindungi muridnya yang jahat.” “Itu tidak adil namanya, hendak menghimpit dan menyudutkan kami!” bentak seorang Hwesio lain yang menjadi Sute Hui Sian Hwesio dengan marah sekali. “Kalau begitu kita putuskan saja mana yang salah mana yang benar melalui, adu kepandaian!” “Bagus! Katakan saja para pimpinan Siauw-Lim-Pai hendak membela muridnya yang bersalah dengan mengandalkan dan memamerkan kepandaiannya! Hayo maju jangan dikira kami dari Kong-Thong-Pai takut melawan orang Siauw-Lim-Pai!” bentak Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai sambil mencabut pedangnya. “Baik, kalian yang datang mencari perkara, bukan Pinceng (aku)!” bentak Hwesio berkulit hitam tinggi besar itu sambil melintangkan senjata toya baja di depan dadanya. “Omitohud! Tenang dan tahanlah nafsu amarah kalian masing-masing! Kekerasan bukan caranya untuk menyelesaikan urusan ini. Mari kita bicarakan baik-baik. Ucapan Cang Su Cinjin tadi dapat Pinceng terima. Memang Pinceng sebagai ketua Siauw-Lim-Pai tentu saja tidak dapat tinggal diam kalau nama baik Siauw-Lim-Pai
941
dicemarkan. Pinceng yakin bahwa tentu ada orang lain yang sengaja mempergunakan nama Siauw-Lim-Pai untuk memburukkan nama kami atau sengaja hendak mengadu domba antara Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai dengan pihak Siauw-Lim-Pai. Mari kita bicara baik-baik. Cang Su Cinjin, harap engkau suka mengulangi lagi dan menceritakan bagaimana terbunuhnya seorang Sutemu dan bagaimana pula kalian dari Bu-Tong-Pai begitu yakin bahwa pembunuhnya adalah orang Siauw-Lim-Pai,” kata Hui Sian Hwesio dengan sikap sabar dan tenang sambil melangkah maju dan berdiri di antara dua orang yang sudah marah dan siap hendak bertanding tadi. “Begitu baru dapat dikatakan bahwa Siauw-Lim-Pai bertanggung jawab. Akan tetapi Siauw-Lim-Pai harus benar-benar dapat menangkap pembunuh itu. Kalau tidak, jangan salahkan kami kalau kami menuduh Siauw-Lim-Pai menyembunyikan pembunuh. Nah, dengarlah penjelasanku. Kurang lebih sebulan yang lalu, Pinto (aku) mendengar suara perkelahian. Ketika aku keluar, diikuti beberapa orang murid Bu-Tong-Pai, aku melihat Sute Kam Lok sedang bertanding melawan seorang yang kepalanya gundul dan jubahnya seperti Hwesio Siauw-Lim-Pai. Sute Kam Lok bukan seorang lemah. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi pada saat itu, lawannya mendadak memukul
942
dengan gerakan cepat dan tangannya berubah putih, Sute Kam Lok terpukul roboh dan orang itu melompat ke tempat gelap sambil tertawa dan berkata bahwa ilmu silat Bu-Tong-Pai tidak akan mampu menandingi ilmu silat Siauw-Lim-Pai. Ketika kami mengejar, orang itu lenyap dalam kegelapan malam. Kami segera memeriksa Sute Kam Lok, akan tetapi dia telah tewas dan di dadanya terdapat bekas telapak tangan berwarna putih. Siapa lagi yang memiliki ilmu pukulan begitu hebat kalau bukan dari Siauw-Lim-Pai? Pula orang itu sudah mengejek dan membandingkan ilmu silat Bu-Tong-Pai dengan ilmu silat Siauw-Lim-Pai.” “Omitohud! Memang meyakinkan sekali. Tidak aneh kalau cuwi (kalian) dari Bu-Tong-Pai merasa yakin bahwa orang itu adalah orang Siauw-Lim-Pai. Sekarang Lui Pangcu, harap engkau suka jelaskan tentang kematian dua orang anggauta Kong-Thong-Pai sejelasnya agar kami mengetahui betul apa yang telah terjadi,” kata Hui Sian Hwesio kepada Lui Kai It. Wakil ketua Kong-Thong-Pai yang tinggi kurus itu lalu menghela napas panjang. “Tidak jauh bedanya dengan kematian saudara kam Lok dari Bu-Tong-Pai. Kurang lebih sebulan yang lalu, pada suatu malam terdengar keributan di ruangan belakang, Aku dan beberapa orang saudaraku berlari ke belakang dan melihat dua orang murid utama kami yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi bertanding
943
melawan seorang Hwesio gundul, Karena kedua Sute sudah bertanding berdua menghadapi seorang lawan, aku hanya menonton sambil bersiap siaga. Akan tetapi tiba-tiba Hwesio itu mengeluarkan suara bentakan, kedua tangannya memukul dan kedua tangan itu berwarna hitam. Kedua orang murid kami itu terjengkang dan Hwesio itu melompat ke tempat gelap sambil berseru bahwa kalau kami hendak mencarinya agar kami datang ke Siauw-Lim-Pai kalau kami berani, Kami mengejarnya akan tetapi dia sudah menghilang dalam kegelapan malam dan ketika kami memeriksa, dua orang murid itu sudah tewas dan ada tanda telapak tangan menghitam di dada mereka. Siapa lagi yang memiliki ilmu pukulan dahsyat itú kalau bukan tokoh Siauw-Lim-paí? Pula, orang itu sudah mengaku dan menyuruh kami mencarinya ke Siauw-Lim-Pai!” “Omitohud! Kami tidak menyalahkan pihak Kong-Thong-Pai lalu datang ke sini karena sikap dan kata-kata pembunuh itu memang meyakinkan bahwa dia datang dari Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi kalau jiwi (anda berdua) renungkan dan pertimbangkan, ada beberapa kenyataan janggal yang sepatutnya membuat jiwi menjadi curiga. Pertama, kalau benar pembunuh-pembunuh itu orang Siauw-Lim-Pai, lalu apa yang menjadi sebab atau alasan mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Jiwi tentu tahu
944
bahwa akibat hanya timbul karena sebab dan selama ini tidak ada permusuhan apapun antara Siauw-Lim-Pai dengan Bu-Tong-Pai maupun Kong-Thong-Pai, jadi tidak masuk akal kiranya kalau kami melakukan pembunuhan tanpa sebab. Kedua, pembunuhan itu dilakukan secara gelap, menyerang di waktu malam, bukan merupakan tantangan yang terang-terangan. Lalu para pembunuh itu setelah melakukan pembunuhan mengaku dengan jelas bahwa mereka datang dari Siauw-Lim-Pai. Ini juga tidak masuk di akal. bagaimana pembunuh-pembunuh yang melakukan pembunuhan secara gelap, lalu tiba-tiba mengaku terang-terangan dari mana mereka datang? Melihat kenyataan-kenyataan itu, maka Pinceng (aku) hampir berani memastikan bahwa mereka sengaja melakukan fitnah terhadap Siauw-Lim-Pai atau sengaja hendak mengadu domba diantara kita.” “Lo Suhu, Hal itu memang tidak luput dari pengamatan dan dugaan kami, akan tetapi kalaupun pembunuh itu melakukan fitnah yang di fitnah adalah Siauw-Lim-Pai, maka kiranya Siauw-Lim-Pai, yang tahu siapa yang memusuhi dan yang telah melakukan fitnah.” Pada saat itu, Hui Sian Hwesio melihat Gan Hok San dan Sin Cu dan sambil memandang kepada mereka dia mengerahkan tenaga sakti dalam suaranya dan berseru lembut,
945
“Kedua sobat kalau ada keperluan dengan kami harap datang ke sini!” Suara itu dikeluarkan dengan lembut saja, namun suaranya terdengar jelas seperti yang bicara berada di dekat Gan Hok San dan Sin Cu. Mendengar teguran ini, Gan Hok San memberi isyarat kepada Sin Cu dan mereka berdua segera menghampiri mereka yang berdiri di depan Kuil itu. “Suheng, maafkan kalau saya mengganggu pertemuan ini,” kata Gan Hok San memberi hormat kepada ketua Siauw-Lim-Pai yang menjadi Suhengnya itu. “Omitohud, kiranya engkau, Sute Gan Hok San? Kebetulan sekali, ini muncul urusan yang memusingkan. Engkau dapat menyumbangkan pikiranmu untuk mencari jalan keluar karena Siauw-Lim-Pai di fitnah orang.” “Saya telah mendengar semua, Suheng dan kepada para sobat dari Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai saya Gan Hok San yang selama hidup saya belum pernah berbohong, saya berani menanggung bahwa para pembunuh itu tidak mungkin orang Siauw-Lim-Pai,” kata Gan Hok San dengan suara lantang. “Mereka tentu merupakan komplotan. Bukankah dua peristiwa pembunuhan itu terjadi pada waktu yang bersamaan? Hal itu berarti bahwa
946
pembunuh di Bu-Tong-Pai berbeda dari pembunuh di Kong-Thong-Pai.” “Siapapun pembunuhnya karena mereka sudah mempergunakan nama Siauw-Lim-Pai, maka Siauw-Lim-Pai harus ikut bertanggung jawab dan mencari mereka yang telah melemparkan fitnah itu,” kata Lui Kai It. “Dan orang muda ini omitohud...! Bukankah engkau ini Wong-sicu murid Bu Beng Siauwjin yang pernah berkunjung kesini? tanya Hui Sian Hwesio sambil memandang kepada Sin Cu yang sejak tadi diam saja. Sin Cu cepat merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat. “Benar, Lo-Cianpwe. Saya Wong Sin Cu menghaturkan hormat kepada Lo-Cianpwe. Saya tidak ingin lancang mulut, Lo-Cianpwe, akan tetapi mendengar percakapan tadi, rasanya saya dapat menduga siapa adanya dua orang pembunuh yang mengacau di Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai seperti diceritakan tadi.” Semua orang terkejut. Bahkan Gan Hok San sendiri juga terkejut dan memandang kepada calon mantunya itu dengan mata terbelalak. Ucapan pemuda itu tidak boleh dianggap ringan karena dapat menimbulkan keributan,
947
“Sin Cu, benarkah engkau dapat menduga siapa mereka itu?” tanyanya. “Omitohud, engkau sama sekali tidak lancang, Wong-sicu, bahkan kami akan merasa beruntung dan berterima kasih sekali kalau engkau mau mengatakan siapa orangnya yang kau duga melakukan pembunuhan-pembunuhan itu,” kata Hui Sian Hwesio, “Lo-Cianpwe, saya tadi mendengar bahwa pembunuh di Bu-Tong-Pai meninggalkan tanda telapak tangan putih sedangkan yang melakukan pembunuhan di Kong-Thong-Pai meninggalkan tanda telapak tangan hitam. Saya ingat bahwa orang-orang yang memiliki ilmu pukulan beracun seperti itu adalah Hek Pek Moko, Saya pernah bertanding dengan mereka dan saya tahu benar bahwa Hek Moko memiliki ilmu pukulan Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam).” “Akan tetapi yang menyerang kami adalah seorang yang berkepala gundul,” kata Cang Su Cinjin. “Benar, dan dia mengenakan jubah Pendeta seperti para Hwesio di Siauw-Lim-Si” kata pula Lui Kai It. “Omitohud, hendaknya jiwi tidak dipengaruhi kepala gundul dan jubah Pendeta,” kata Hui Sian Hwesio. “Rambut di kepala dapat
948
ditutup seperti gundul dan jubah dapat dibuat.” Kemudian ketua Siauw-Lim-Pai itu menoleh kepada Sin Cu. “Akan tetapi, Wong-sicu, andaikata benar dugaanmu itu bahwa Hek Pek Mok melakukan ini, apa alasannya? Sepanjang yang kami ketahui, kami tidak mempunyai permusuhan dengan mereka berdua.” “Saya juga tidak tahu dan tidak dapat menduga apa yang menjadi alasan mereka, akan tetapi ketika saya bertemu dengan mereka, kedua orang itu membunuh Panglima Kwee Liang sekeluarga.” “Panglima Kwee Liang?” Cang Su Cin jin berseru kaget. “Dia adalah seorang panglima yang amat terkenal karena kesetiaannya!” “Begitulah yang saya dengar,” kata Sin Cu. “Perbuatan itu saja menunjukkan bahwa dua orang manusia iblis itu amat jahat dan mungkin mereka melakukan pembunuhan dengan menggunakan nama Siauw-Lim-Pai dengan maksud yang jahat pula. Cang Su Cinjin dan Lui-Pangcu, jiwi sudah mendengar sendiri semua keterangan itu. Kita semua condong menduga bahwa perbuatan membunuh itu selain untuk melemparkan fitnah kepada kami juga untuk mengadu domba di antara kita. Kami di pihak Siauw-Lim-Pai
949
merasa bertanggung jawab dan akan kami usahakan untuk membongkar rahasia ini. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk dapat menemukan dan menangkap penjahat yang mempergunakan nama kami. Sekarang kami harap jiwi agar pulang dan kita sama-sama berusaha untuk mencari penjahat itu. Kami harap jiwi dapat menerima pendapat kami ini.” “Saya juga berjanji untuk membantu agar para pembunuhnya dapat ditangkap Lo-Cianpwe,” kata Sin Cu yang merasa penasaran juga karena Siauw-Lim-Pai di fitnah. “Terima kasih, Wong-sicu. jiwi Pangcu, ketahuilah bahwa Wong-sicu ini adalah murid dari Bu Beng Siauwjin, karena itu kata-katanya dapat dipercaya sepenuhnya.” Dua orang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai itu saling pandang lalu keduanya mengangguk. “Baiklah, Lo-Suhu. Kami akan bersabar dan menanti sampai usaha Siauw-Lim berhasil. Selamat tinggal dan maafkan sikap kami tadi,” kata Cang Su Cinjin sambil memberi hormat dan diturut oleh para pengikutnya, lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu.
950
“Kamipun akan menunggu hasil pencarian Siauw-Lim-Pai!” kata Lui Kai It. “Selamat tinggal!” Diapun bersama para pengikutnya memberi hormat lalu meninggalkan tempat itu. “Heiii...! Berhenti!!” Tiba-tiba Sin Cu berteriak dan melompat ke arah kereta, akan tetapi bayangan yang memanggul tubuh Ouw Yang Hui itu dengan kecepatan seperti burung terbang telah berlari cepat sekali. Rombongan Bu-Tong-Pai dan rombongan Kong-Thong-Pai melihat ini dan mereka semua berhenti, tidak melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan Siauw-Lim-Pai. Melihat ini, Gan Hok San juga berlari cepat menghampiri kereta. Dia membuka tirai kereta dan melihat isterinya, Sim Kui hwa, duduk di dalam kereta tak bergerak seperti berubah menjadi patung. Tahulah pendekar ini bahwa isterinya telah tertotok. Dia cepat menggerakkan tangannya, menotok kedua pundak isterinya dan menekan punggungnya. Sim Kui Hwa mengeluh dan begitu dapat bicara dan bergerak, ia berkata. “Tolong Hong-ji ini...!” Gan Hok San memeriksa anak itu. Li Hong bersandar di tempat duduknya dengan mata terpejam seperti sedang tidur. Tahulah Gan Hok San bahwa anaknya itu pingsan. Setelah mengurut tengkuknya, anak itu siuman. “Mana mana enci Hui...?” tanyanya.
951
“Cepat... kejar... Hui-ji dilarikan orang...!” Gan Hok San segera keluar dari kereta dan turut mengejar ke arah larinya orang yang menculik Ouw Yang Hui. Akan tetapi dia telah tertinggal jauh sekali. Sementara itu Sin Cu yang melakukan pengejaran merasa terkejut sekali karena orang yang melarikan Ouw Yang Hui itu dapat berlari luar biasa cepatnya. Dia sudah mengerahkan seluruh ginkangnya dan mengejar sekuat tenaga, akan tetapi orang di depan itu melesat semakin cepat dan dia sudah tertinggal jauh. Ketika orang itu memasuki hutan, dia kehilangan bayangan maupun jejaknya dan Sin Cu terpaksa berhenti karena tidak tahu harus mengejar ke mana! Dia merasa cemas sekali. Ouw Yang Hui, kekasihnya, tunangannya, calon isterinya, dilarikan orang dan dia tidak tahu siapa orang itu karena tidak sempat melihat wajahnya, hanya melihat punggungnya saja. Dia hanya tahu bahwa orang itu bertubuh tinggi kurus dan larinya luar biasa cepatnya sehingga dia tidak mampu mengejarnya. Gan Hok San mengejar, sampai di situ dan mendapatkan Sin Cu berdiri dengan bingung. “Sin Cu, ke mana penculik itu lari?” Sin Cu menengok dan memandang Gan Hok San dengan khawatir dan dia menggeleng kepala. “Dia masuk hutan ini dan menghilang, Paman. Saya tidak tahu dia lari ke jurusan mana sehingga tidak dapat mengejarnya.”
952
“Cepat, engkau mengejar ke kiri dan aku mengejar ke kanan!” kata Gan Hok San. Mereka lalu berpencar ke kanan kiri melakukan pengejaran. Akan tetapi sampai ke ujung hutan, keduanya tidak dapat menemukan orang yang membawa lari Ouw Yang Hui. Akhirnya mereka kembali ke kereta dengan lesu. Hui Sian Hwesio, Cang Su Cinjin, dan Lui Kai It bersama semua pembantu mereka berkerumun di dekat kereta. Melihat Gan Hok San dan Sin Cu kembali dengan tangan kosong, mereka semua menyambut dengan pertanyaan. Gan Hok San mengerutkan alisnya dan berkata. “Suheng dan saudara sekalian. Peristiwa ini sungguh aneh. Ada orang berani menculik puteri kami. Pada hal disini dekat Kuil Siauw-Lim-Pai dan saudara sekalian kebetulan berkumpul di sini. Karena itu saya berpendapat bahwa penculikan terhadap puteri kami ini pasti ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan itu. Peristiwa ini merupakan bukti pula bahwa pembunuhan itu sama sekali tidak mungkin dilakukan oleh pihak kami dari Siauw-Lim-Pai. Kami pasti akan mencari dan menangkap penculik itu dan mudah-mudahan saja kami akan dapat pula membongkar rahasia pembunuhan terhadap orang-orang Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai.”
953
“Gan-Enghiong, engkau akan segera dapat menemukan puterimu itu”, kata Cang Su Cinjin yang lalu memberi hormat dan bersama para pengikutnya meninggalkan tempat itu. “Kami juga merasa prihatin, Gan-Enghiong (orang gagah Gan). Kami akan menyebar para murid untuk ikut memasang mata dan telinga menyelidiki siapa yang menculik puterimu,” kata Lui Kai It yang juga segera pergi dari tempat itu bersama para pengikutnya. Hui Sian Hwesio mendekati Gan Hok San. “Gan-Sute, kau kira siapa yang telah menculik puterimu itu.? Apakah engkau mempunyai seorang musuh beşar?” Gan Hok San mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Saya membawa anak isteri mencari tempat tinggal baru dekat Siauw-Lim-Si justeru untuk menghindarkan diri dari ancaman seorang musuh besar yang mengancam kami, Suheng.” “Omitohud... Gawat sekali kalau begitu. Sute, ajaklah isterimu untuk turun dari kereta. Kita bicara di ruangan depan Kuil,” kata Hui Sian Hwesio dengan lembut kepada Gan Hok San. Pendekar itu mengangguk lalu menghampiri kereta. Ketika dia menjenguk ke dalam, dia melihat isterinya menangis dengan sedihnya.
954
“Isteriku, tenanglah dan bersabarlah Aku tidak akan tinggal diam dan tentu Sin Cu akan mencari calon isterinya sampai dapat ditemukan dalam keadaan selamat. Percayalah, karena aku yakin penculik itu tidak akan membunuh anak kita. Kalau dia bermaksud membunuh, tentu tadi tidak diculiknya melainkan langsung dibunuhnya Sekarang, Suheng Hui Sian Hwesio mempersilakan kita masuk ke Kuil dan bicara disana. Marilah.” Gan Hok San menghibur isterinya. Sim Kui Hwa telah sebelas tahun menjadi isteri pendekar ini, maka ia tahu bahwa terlalu cengeng merupakan pantangan bagi seorang pendekar. Ia menahan perasaannya, mengangguk sambil mengusap air matanya lalu membiarkan dirinya dituntun keluar dari kereta. “Ibu, jangan, menangis. Ayah dan kak Sin Cu pasti akan dapat menemukan enci Hui, kalau aku sudah besar, akan kubunuh orang yang berani menculik enci Hui!” kata Li Hong sambil menuntun Ibunya turun dari kereta. Hui Sian Hwesio mempersilakan Gan Hok San, Sim Kui Hwa, dan Sin Cu memasuki Kuil. Akan tetapi karena bagian dalam Kuil itu merupakan daerah yang pantang dikunjungi wanita, maka mereka bertiga hanya diterima di ruangan depan. Hui Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio menerima tiga orang tamunya itu dan mereka duduk mengitari meja di ruangan itu.
955
“Gan-Sute, sekarang katakanlah bagaimana engkau mempunyai seorang musuh besar. Bukankah sejak dulu kita sudah diperingatkan bahwa kita tidak boleh mempunyai musuh? Bahwa musuh besar yang harus kita lawan dan tundukkan adalah nafsu dalam diri kita sendiri? Bagaimana engkau yang sudah mengangkat nama besar Siauw-Lim-Si dengan sikapmu sebagai pendekar besar kini dapat mempunyai seorang musuh besar?” Gan Hok San menghela napas panjang. “Suheng, sesungguhnya saya masih ingat akan semua pantangan dan ajaran mendiang Suhu, bahkan sampai sekarang masih saya pegang teguh. Saya tidak memusuhi siapapun juga, Suheng. Akan tetapi ada seseorang yang memusuhi saya, bahkan memusuhi kami sekeluarga. Karena itulah Suheng, agar permusuhan tidak berlarut-larut, saya mengajak anak isteri untuk pindah ke pegunungan Sung-San, dekat Kuil Siauw-Lim-Si agar orang yang memusuhi kami itu tidak terus mengejar kami. Akan tetapi, ternyata begitu tiba di sini, puteri kami malah diculik orang.” “Apakah kau kira yang menculik adalah orang yang memusuhi kalian itu?” tanya Hui Sian Hwesio. “Hal itu masih perlu diselidiki, Suheng. Mengingat akan peristiwa yäng menimpa Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai, saya merasa
956
curiga bahwa penculikan terhadap puteri kami itu masih ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan itu. Sayang kita tidak dapat melihat wajah penculik itu. Atau barangkali engkau sempat melihat wajahnya, isteriku?” Sim Kui Hwa menghela napas panjang. Ia dapat menekan perasaannya dan tidak menangis lagi. Akan tetapi wajahnya masih pucat dan lesu, kedua matanya kemerah-merahan. “Peristiwa itu terjadi cepat sekali. Aku dan Hui-ji sedang duduk dalam kereta menantimu. Tiba-tiba tirai kereta terbuka dan sebuah tangan dengan cepatnya menotok pundak dan leherku dua kali sehingga aku tidak mampu bergerak atau bersuara. Aku hanya melihat betapa orang itu juga menotok Hui-ji dan dia lalu memanggul Hui-ji dan dibawanya lari melalui pintu sebelah sehingga tidak dapat tampak dari arah Kuil.” “Saya juga hanya kebetulan saja melihat berkelebatnya bayangan itu karena saya sedang memandang ke arah ke dua rombongan yang hendak meninggalkan tempat ini,” kata Sin Cu. Gan Hok San tampak bingung dan khawatir. Dia tahu bahwa kalau dia tidak segera dapat menemukan kembali Ouw Yang Hui, isterinya akan menderita sekali. Dengan lembut dia bertanya kepada isterinya yang duduk di sebelah kirinya.
957
“Apakah engkau tidak melihat wajahnya dan barangkali ada tanda tertentu pada tubuhnya?” Sim Kui Hwa mengingat-ingat. “Aku hanya melihat sepintas, lalu tak mampu menggerakkan leherku. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya tampan akan tetapi kewanitaan, senyumnya menyeringai mengerikan, matanya seperti mata wanita genit... dan eh, ya, pada bajunya di bagian dada ada gambar setangkai bunga teratai putih pada dasar warna biru.” “Pek-Lian-Kauw...!” Seruan ini keluar dari mulut Gan Hok San, Hui Sian Hwesio, dan Cu Sian Hwesio, “Pek-Lian-Kauw? Apakah itu, Ayah?” tanya Li Hong yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. “Nama perkumpulan,” Gan Hok San menjelaskan kepada puterinya yang selalu ingin tahu itu. “Para anggautanya memakai gambar bunga teratai putih di baju bagian dadanya.” “Ah, aku ingat sekarang, Ayah!” seru Li hong. “Ketika dia menepuk tengkukku, sebelum aku tidak ingat apa-apa lagi, aku melihat dia menyeringai dan ada kilatan kuning pada giginya bagian kanan seperti emas.”
958
“Si Banci Bergigi Emas?” Gan Hok San berseru heran. “Kalau benar dia, pantas engkau tidak dapat mengejarnya, Sin Cu. Dia terkenal dengan ginkangnya yang tiada keduanya di dunia kangouw, walaupun ilmu silatnya bukan tidak dapat ditandingi. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa dia menculik Hu-ji? Dan mengapa pula dia berpakaian seperti anggauta Pek-Lian-Kauw? Apakah dia telah menjadi anggauta Pek-Lian-Kauw sekarang?” “Omitohud... kenapa muncul orang-orang aneh melakukan hal-hal aneh pula?” kata Hui Sian Hwesio. “Siapakah Si Banci bergigi Emas itu, Gan-Sute?” “Sebetulnya dia peranakan Mancu dan namanya terkenal sekali di daerah Tembok besar di utara. Dia dikenal sebagai seorang pencuri ilmu silat yang telah mempelajari banyak macam aliran ilmu silat. Bahkan kabarnya dia menguasai pula beberapa macam ilmu silat Siauw-Lim-Pai aliran utara. Akan tetapi yang paling terkenal adalah ginkangnya yang amat hebat sehingga dia mampu berlari cepat sekali,” kata Gan Hok San yang mempunyai pengetahuan luas tentang dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu sampai sekarang.
959
“Paman, siapakah sesungguhnya Si Banci Bergigi Emas itu dan di mana tempat tinggalnya? Saya segera akan pergi mengejar ke tempat tinggalnya” kata Sin Cu. “Menurut apa yang kudengar, sebetulnya dia adalah seorang Pangeran bangsa Mancu. Karena itu aku merasa heran sekali mendengar dari Hong-ji tadi bahwa dia mengenakan pakaian yang ada gambar lambang Pek-Lian-Kauw. Apa hubungan pihak Mancu dengan Pek-Lian-Kauw? Dan apa pula hubungan, kedua pihak itu dengan Ouw Yang Lee?” “Omitohud, siapa lagi yang kau sebut itu, Sute?” tanya Cu Sian Hwesio yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Gan Hok San menghela napas panjang. “Dia adalah Majikan Pulau Naga dan dialah orangnya yang memusuhi kami sekeluarga dan yang berniat membunuh kami Suheng (kakak seperguruan ke dua). Karena itu, saya merasa heran apakah orang Mancu bekerja sama dengan Pek-Lian-Kauw dan bersekutu pula dengan Ouw Yang Lee yang sekarang menjadi pembantu Thaikam Liu Cin? Dan apa pula hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan dan fitnah yang dilemparkan kepada Siauw-Lim-Pai?”
960
“Omitohud... Semakin rumit dan mencurigakan!” kata Hui Sian Hwesio. “Mengapa begini kebetulan? Bangsa Mancu adalah musuh negara yang merupakan ancaman yang datang dari utara. Pek-Lian-Kauw terkenal sebagai gerombolan pemberontak yang berniat menggulingkan pemerintah. Adapun Thaikam Liu Cin seperti yang telah diketahui semua orang adalah pejabat tinggi yang berkuasa di istana, yang telah mempengaruhi Sribaginda Kaisar! Tiga pihak itu agaknya memiliki kepentingan yang sama dan kalau benar kecurigaan Pinceng ini, berarti Kerajaan terancam bahaya besar.” “Saya kira pendapat Lo-Cianpwe Hwe Sian Hwesio ini benar sekali, Paman Gan. Agaknya tidak salah lagi bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan komplotan itu untuk menjatuhkan fitnah kepada Siauw-Lim-Pai dengan maksud mengadu domba antara partai pendukung Kerajaan sehingga akan melemahkan Kerajaan Beng. Di balik peristiwa pembunuhan orang-orang Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai dan penculikan terhadap Hui-moi ini tersembunyi rencana yang lebih besar dan penting yang menyangkut keamanan negara.” Can Hok San mengangguk-angguk.
961
“Walaupun belum ada buktinya bahwa tiga golongan itu bersekutu dan tidak ada buktinya pula bahwa pembunuhan dan penculikan ini ada kaitannya, namun hal itu memang patut dicurigai.” “Saya kira sudah cukup bahan-bahan penyelidikan saya dapatkan dan saya akan pergi sekarang juga untuk mencari Hui-moi,” kata Sin Cu sambil bangkit berdiri. “Saya mohon doa restu dari Paman dan Bibi, juga mohon doa restu dari Lo-Cianpwe di sini.” “Kak Sin Cu, aku ikut!” tiba-tiba Li Hong berkata dengan nyaring. “Akupun harus ikut mencari dan menemukan enci Hui!” “Hong-ji, jangan kira ini pekerjaan main-main!” kata Gan Hok San. “Kakakmu Sin Cu memikul tugas yang berat dan berbahaya!” “Ayah, aku dapat membantu Cu-ko!” rengek Li Hong. “Li Hong, jangan rewel. Apa yang dapat kau lakukan untuk membantu kakakmu Sin Cu? Pekerjaan ini berbahaya sekali, menghadapi orang-orang jahat yang amat lihai,” bujuk Sim Kui Hwa.
962
“Ibu, aku dapat membantu, aku dapat melawan para penjahat itu, aku dapat menjaga diri!” bantah Li Hong sambil berdiri dan mengepal dua tangannya, lagaknya seperti hendak bertanding. “Omitohud, puterimu ini memiliki semangat besar, Gan-Sute. Kalau mendapat pendidikan yang benar, kelak ia akan dapat mengangkat nama Siauw-Lim-Pai.” “Li Hong, jangan banyak membantah Belum waktunya engkau menghadapi orang-orang jahat. Engkau tinggallah saja bersama ibumu. Aku memberi tugas kepadamu utuk menjaga keselamatan ibu. Kakakmu Sin Cu dan aku yang akan pergi mencari Hui-ji. Toa-Suheng dan Ji-Suheng, saya dan Sin Cu akan melakukan penyelidikan ini, mencari Hui-ji dan sekaligus mencari para pembunuh yang menggunakan nama Siauw-Lim-Pai. Saya titip isteri dan anak saya disini agar keselamatan mereka terjamin.” “Baiklah, sute. Di pekarangan depan terdapat pondok untuk para murid yang bertugas jaga. Biar pondok itu dijadikan tempat tinggal sementara isteri dan anakmu sampai engkau kembali ke sini dan berhasil,” kata Hui Sian Hwesio. Setelah mempersiapkan pondok jaga itu utuk tempat tinggal sementara isteri dan anaknya, dua hari kemudian Gan Hok San dan Sin Cu meninggalkan Kuil Siauw-Lim-Pai untuk melakukan perjalanan mencari Ouw Yang Hui dan
963
sekalian menyelidiki pembunuhan-pembunuhan yang menggunakan nama Siauw-Lim-Pai itu. Setibanya dikaki pegunungan Sung-San, mereka berhenti untuk berunding. “Sin Cu, aku kira agar hasil penyelidikan kita, lebih baik, kita berpencar saja. Dengan demikian lebih banyak kemungkinan kita akan menemukan Hui-ji.” “Paman benar. Memang sebaiknya kita berpencar,” jawab Sin Cu. “Ada tiga pihak yang patut kita curigai sehubungan dengan penculikan Hui-ji dan pembunuhan-pembunuhan mempergunakan nama Siauw-Lim-Pai itu. Pertama pihak Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya yang mungkin sekali melakukan penculikan terhadap Ouw Yang Hui. Ke dua adalah Pek-Lian-Kauw karena Pangeran Yorgi yang berjuluk Si Banci Bergigi Emas itu mengenakan pakaian anggauta Pek-Lian-Kauw. Mencari Pangeran Yorgi tidak mudah karena dia adalah seorang Pangeran Mancu yang tinggal di luar Tembok Besar. Kini tinggal dua pihak yang sebaiknya kita selidiki, yaitu Ouw Yang Lee dan Pek-Lian-Kauw. Aku pernah bertemu dan mengenal ketua Pek-Lian-Kauw, karena itu biarlah aku yang menyelidiki ke sarang Pek-Lian-Kauw sedangkan engkau yang melakukan penyelidikan terhadap Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Cu. Selain Ouw Yang
964
Lee itu lihai sekali, juga dia tentu mempunyai banyak kawan yang tinggi ilmu silatnya, Baru. Cui-Beng Kui-Bo itu saja sudah begitu lihai, Kalau dugaan kita benar bahwa Ouw Yang Lee yang menculik Hui-ji, engkau harus berusaha sekuatnya untuk dapat menyelamatkan Hui-ji. Setelah aku melihat keadaan Pek-Lian-Kauw dan menyelidiki di sana, tentu akupun akan segera menyusulmu ke kota raja. Mudah-mudahan kita akan berhasil, Sin Cu.” “Baiklah, Paman Gan. Saya akan berusaha sekuat kemampuan saya,” kata Sin Cu. Kedua orang itu lalu berpisah. Sin Cu langsung saja pergi menuju ke kota raja sedangkan Gan Hok San melakukan perjalanan ke sarang Pek-Lian-Kauw yang berada di sebelah barat kota raja. Ouw Yang Hui tidak mampu bergerak atau bersuara. la merasa tubuhnya lunglai, lemas dan tidak berdaya berada di atas pundak orang yang memanggul dan melarikannya itu. la masih dapat melihat betapa kekasih hati atau tunangannya, melakukan pengejaran. Akan tetapi orang yang memanggulnya itu berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar saja sudah tiba di dalam hutan lebat. la dibawa lari terus dan ia harus memejamkan matanya karena
965
merasa ngeri melihat tubuhnya meluncur dengan amat cepatnya. Biarpun tubuhnya tidak mampu bergerak dan tidak dapat mengerahkan tenaga, namun dipanggul seperti itu sampai lama, Ouw Yang Hui merasa lelah sekali. Akhirnya, setelah orang yang membawanya lari itu merasa bahwa tidak ada orang yang mengejarnya dan mereka sudah tiba jauh sekali dari Pegunungan Sung-San, orang itu menurunkan tubuh Ouw Yang Hui dan membebaskan totokannya. Dengan lemas dan lelah Ouw Yang Hui terkulai dan duduk di atas rumput. Akan tetapi gadis yang lemah lembut ini sama sekali tidak menangis, bahkan ia mengangkat muka memandang kepada penculiknya yang berdiri di depannya. Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun. Pakiannya mewah dan dia seorang pesolek. Pada bajunya di bagian dada terdapat lukisan setangkai bunga teratai putih. Pakaiannya dari sutera mahal dan sepatunya baru mengkilap. Lehernya memakai kalung emas yang besar bertaburkan intan permata. Juga rambut yang ditutup topi bulu itu dihias tusuk rambut dari emas permata. Tubuhnya tinggi kurus Wajahnya cukup tampan, akan tetapi kewanita-wanitaan. Bahkan ada bekas bedak dan yanci (pemerah) pada pipi dan Bibirnya. Senyum dan pandang matanya genit. Ada sesuatu yang mengerikan terasa oleh Ouw Yang Hui ketika ía
966
mengamati wajah orang itu. Orang itu memandang wajah Ouw Yang Hui dan sepasang matanya menyinarkan kekaguman. “Wah, engkau cantik sekali seperti bidadari!” Akan tetapi Ouw Yang Hui menangkap sesuatu yang aneh dalam pandang mata itu. Bukan kekaguman seperti yang terdapat pada mata pria biasa, kagum dan bergairah. Sama sekali tidak. Akan tetapi dalam pandang mata orang ini terdapat kekaguman yang bercampur iri hati dan kebencian. Akan tetapi, sesuai dengan wataknya yang memang lembut, setelah dapat menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku dan dapat bicara, Ouw Yang Hui bangkit berdiri, memandang wajah orang Itu dan bertanya,suaranya lembut. “Paman, engkau siapakah?” “Paman? Aku bukan Pamanmu” seru orang itu dan Ouw Yang Hui kembali merasa aneh dan ngeri karena suara orang itu tinggi seperti suara wanita! Juga logat bicaranya terdengar asing. “Aku Pangeran Yorgi, sebut aku Pangeran, bukan Paman. Paman? Huh, engkau menghina, ya?” Ouw Yang Hui tertegun, merasa seolah berhadapan dengan seorang yang miring otaknya. Akan tetapi ia tahu benar bahwa orang ini lihai sekali sehingga Sin Cu juga tidak mampu mengejarnya. Larinya cepat seperti terbang.
967
Dan melihat pakaian dan perhiasannya yang mewah dan mahal, la percaya bahwa mungkin saja orang ini memang seorang Pangeran, entah bangsa apa karena logat bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia seorang asing. “Baiklah, Pangeran Yorgi dan maafkan karena tadinya aku tidak mengerti. Akan tetapi, engkau seorang Pangeran mengapa menculik aku?” “Aku mau menculik siapapun, siapa yang dapat melarang dan menghalangi aku?” “Pangeran, kulihat engkau seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sepatutnya engkau mempergunakan ilmu yang kau miliki itu untuk melakukan kebaikan di dunia ini, menolong orang dan menentang kejahatan. Akan tetapi mengapa engkau malah menculik aku? Di mana kegagahanmu?” Ouw Yang Hui mencela dengan ucapan yang lembut. “Hi-hi-hik! Justeru menculikmu inilah perbuatan yang gagah berani, tanda bahwa aku seorang yang gagah perkasa dan tanpa tanding! Menculik gadis yang dilindungi oleh Pendekar Gan Hok San, di depan para pimpinan Siauw-Lim-Pai, tokoh-tokoh Bu-Tong-Pai
968
dan Kong-Thong-Pai! Hi-hik, perbuatanku ini akan menggegerkan dunia kang-ouw!” “Akan tetapi, Pangeran. Apa yang akan kau lakukan terhadap diriku?” Pangeran Yorgi mengamati wajah gadis yang jelita itu. “Apa yang akan kulakukan? Hi-hi-hik, aku akan membiarkan engkau diperebutkan banyak laki-laki, dicabik-cabik! Aku ingin melihat engkau tersiksa, menangis dan meraung, menyesal bahwa engkau telah dilahirkan di dunia ini, hi-hik..!” Ouw Yang Hui mengerutkan alisnya yang kecil hitam melengkung indah. “Akan tetapi, mengapa engkau begitu kejam terhadap diriku? Apa kesalahanku kepadamu, Pangeran Yorgi?” “Kesalahanmu? Engkau terlalu cantik jelita! Engkau membuat aku kelihatan buruk! Karena itu engkau harus hancur, agar engkau menjadi jelek dan tidak ada orang menyenangimu!” Ouw Yang Hui menjadi semakin ngeri, makin kuat dugaannya bahwa ia berhadapan dengan seorang gila. Seorang gila yang amat lihai! la hendak bicara lagi untuk menyadarkan orang itu, akan tetapi baru saja ia membuka bibir hendak bicara, Pangeran itu sudah membentaknya.
969
“Cukup, jangan bicara lagi, cerewet amat sih! Aku lelah dan mengantuk, hendak tidur sebentar!” Setelah berkata demikian, Pangeran Yorgi duduk bersandar kepada sebatang pohon, melenggut dan sebentar saja dia sudah mendengkur! Melihat-ini, Ouw Yang Hui lalu bergerak perlahan, melangkah dengan hati-hati agar jangan membuat suara, meninggalkan tempat itu. Berkali-kali ia menoleh dan hatinya lega melihat penculiknya itu masih mendengkur. Setelah cukup jauh, ia lalu berlari. la berlari sekuat tenaga dan secepatnya. la harus dapat melarikan diri dari orang gila yang amat lihai dan berbahaya itu. Ouw Yang Hui bukan tidak tahu bahwa di hutan besar seperti itu tentu terdapat banyak binatang buas. Akan tetapi ia akan memilih menjadi korban binatang buas dari pada terjatuh kembali ke tangan orang gila itu. la ngeri membayangkan betapa orang gila itu akan melampiaskan kepuasan hatinya melihat ia tersiksa. la membayangkan bahwa di tangan orang gila Itu, ia akan mengalami penderitaan yang lebih mengerikan dari pada maut. Dengan napas terengah-engah Ouw yang Hui berlari terus sampai akhirnya ia terpaksa berhenti karena, di depannya menghadang sebuah jurang yang menganga lebar dan dalam. la mengambil jalan ke kiri, melalui sebuah padang rumput yang tebal. Akan tetapi tiba-tiba ia tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, wajahnya
970
pucat dan napasnya terhenti seolah lehernya tercekik karena dari balik semak belukar berlompatan tujuh orang laki-laki yang kasar dan bengis. Mereka berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, pakaian mereka kumal. Tubuh mereka kotor dan wajah mereka yang penuh kumis dan jenggot itu menyeringai seperti muka-muka binatang buas. Sambil terkekeh dan gembira sekali mereka berlompatan mengepung Ouw Yang Hui, memandang gadis itu dengan mata merah dan mulut berliur, pandang mata mereka seolah hendak menelan bulat-bulat gadis yang jelita itu. “Waduh, ada bidadari...! “Wah, cantiknya!” “Biarkan aku memeluknya!” “Aku dulu!” “Tidak, aku dulu!” Mereka berteriak-teriak dan mengepung semakin ketat. Seorang dari mereka yang bertubuh paling tinggi besar, mukanya penuh brewok sehingga muka itu seperti seekor orang hutan, menggereng dan berseru nyaring. “Mundur kalian semua! Yang ini untuk aku dulu. Biarkan aku menangkapnya sendiri!” Mendengar seruan yang disertai geraman
971
marah itu, enam orang yang lain terpaksa mundur sambil sambil bersungut-sungut. Sikap mereka seperti segerombolan anjing yang hendak memperebutkan tulang. Ouw Yang Hui hampir pingsan saking ngerinya. Akan tetapi ia teringat bahwa dirinya terancam bahaya dan bahwa ia harus mempertahankan diri sekuat mungkin. Tekad ini mendatangkan semangat. Ia memang belum mempelajari ilmu silat untuk berkelahi, akan tetapi setidaknya ia pernah digembleng dasar-dasar ilmu silat ketika masih tinggal di Pulau Naga, kemudian bahkan ia dilatih ilmu langkah ajaib Chit-Seng Sin-Po oleh Sin Cu. Ilmu ini cukup baginya untuk, menghindarkan diri dari gangguan orang. Raksasa kumal yang menjadi pemimpin gerombolan itu menyeringai. “Marilah, manis. Mari kupeluk dan kupondong!” Dia lalu maju menubruk untuk merangkul gadis yang cantik jelita itu. Akan tetapi dia terkejut karena tubrukannya mengenai tempat yang kosong dan gadis itu sudah mengelak dengan gerakan kaki aneh. Tubrukannya yang luput tentu saja memancing tawa teman-temannya. Si brewok menjadi penasaran, akan tetapi dia masih tertawa-tawa, gembira, merasa seperti seekor harimau yang bermain-main dengan seekor domba muda sebelum merobek-robek kulit dagingnya dan melahapnya. Dia menubruk lagi. Ouw Yang Hui menghindar lagi dengan langkahnya yang membuat
972
tubuhnya menggeliat dan luput dari terkaman kepala gerombolan itu. Penjahat itu menjadi semakin penasaran dan kini dia nempercepat gerakannya. Namun, sampai lima kali dia menerkam, tetap saja terkamannya tidak mengenai sasaran. Ouw Yang Hui maklum bahwa mengelak terus tidak akan dapat membebaskannya dari ancaman, maka setelah mengelak sekali lagi dengan langkah lebar ke samping, ia lalu melarikan diri secepatnya! Tujuh orang itu sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak melakukan pengejaran seperti segerombolan srigala mempermainkan seekor domba. Ouw Yang Hui berlari secepatnya. Namun karena padang rumput itu penuh rumput gemuk yang setinggi lutut, kedua kakinya terbelit-belit rumput dan akhirnya iapun terguling jatuh. Melihat gadis itu terpelanting dan jatuh di antara rumput hijau yang tebal, tujuh orang itu saling berebut menubruk. Mereka tidak memperdulikan lagi pimpinan mereka dan tangan-tangan. kasar itu menjangkau ke arah tubuh Ouw Yang Hui. Gadis itu merasa ngeri dan takut, menjerit-jerit ketika tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya. Sementara itu, di balik sebuah semak, Pangeran Yorgi berjongkok dan mengintai. la menyeringai girang melihat betapa gadis itu dikeroyok tangan-
973
tangan kasar itu. Matanya bersinar-sinar penuh gairah ketika tangan-tangan itu berebutan. “Tolooonggg...!” Baju Ouw Yang Hui tertarik robek sehingga tampak pundak kiri berikut lengan kirinya yang berkulit putih mulus, juga celananya robek sehingga memperlihatkan paha dan betis kaki kanannya. Akan tetapi tujuh orang itu malah tertawa-tawa senang melihat gadis itu meronta dan menggeliat, bahkan jeritan itu terdengar menyenangkan sekali hati mereka yang sudah dipenuhi nafsu rendah. Kini keadaan Ouw Yang Hui sudah gawat sekali. Tangan-tangan itu sudah siap menelanjangi dan mereka agaknya akan berebutan untuk memperkosanya. Melihat ini, tiba-tiba Pangeran Yorgi melompat. Gerakannya seperti seekor burung terbang saja. Tahu-tahu dia sudah berada dekat tempat di mana Ouw Yang Hui dikeroyok tangan-tangan kotor itu. “Mundur Kalian anjing-anjing busuk mundur...! Gadis itu adalah milikku dan tanpa seijinku, siapapun juga dilarang menyentuhnya!” Suaranya tinggi melengking. Mendengar teriakan seperti wanita itu tujuh orang yang sedang berusaha keras menelanjangi Ouw Yang Hui yang meronta-ronta dan mempertahankan diri, terkejut dan mereka cepat menengok, mengira akan melihat seorang wanita cantik lainnya. Akan tetapi ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu seorang laki-laki tinggi kurus dan tampaknya lemah
974
saja, mereka menjadi marah. Mereka mendengus dan berlompatan berdiri menghadapi Pangeran Yorgi seperti segerombolan anjing yang memperebutkan tulang diganggu. Kepala gerombolan itu dengan mata merah dan muka membayangkan kebuasan, dengan kedua tangan dikepal menjadi tinju-tinju yang besar dan kokoh kuat, melangkah maju dan membentak. “Dari mana datangnya seekor cacing tanah yang berani mengganggu kesenangan kami? Apa engkau sudah bosan hidup?” “Hi-hik, bukan aku yang bosan hidup, melainkan kalian bertujuh yang sudah menjadi calon bangkai!” Sementara itu, Ouw Yang Hui sudah bangkit, mencoba dengan kedua tangan untuk menutupkan baju dan celananya agar pundak dan pahanya tidak tampak. la mundur dan memandang dengan muka pucat. Tubuhnya yang berkulit halus lembut itu merasa nyeri semua bekas jamahan dan remasan tangan-tangan kotor tadi, la memandang bingung. Terhadap Pangeran aneh itu ia merasa ngeri, akan tetapi menghadapi tujuh orang kasar dan hina itu iapun merasa takut sekali. Mendengar ucapan Pangeran Yorgi, raksasa brewok itu menjadi marah. Dia adalah pemimpin gerombolan liar yang kasar dan tanpa memperdulikan tata cara di dunia kangouw, dia sudah
975
mencabut golok besarnya, siap untuk membunuh lawan yang tampak kurus dan tidak bersenjata itu. “Jahanam, hayo cepat katakan namamu sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” bentak penimpin gerombolan. “Hi-hi-hik! Namaku...? Namaku adalan Pembunuh Tujuh Ekor Anjing Busuk!” Tentu saja kepala gerombolan itu marah sekali karena jelas bahwa mereka bertujuh yang dimaki. Maka diapun mengayun golok besarnya, membacok ke arah kepala Pangeran Yorgi dengan sekuat tenaga, agaknya dia ingin membelah kepala itu dengan satu kali bacokan. “Singggg...!” Dengan sedikit miringkan kepalanya, Pangeran Yorgi sudah dapat mengelak dan golok itu menyambar di samping tubuhnya. Secepat kilat tangan kiri Pangeran Yorgi bergerak, jari telunjuknya menyambar dan menotok ke arah pelipis kanan kepala gerombolan. “Tukk...! Auugh... tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terbanting roboh, goloknya terlepas dan diapun tidak berkutik lagi karena sudah tewas seketika. Di pelipis kanannya terdapat lubang sebesar jari yang mengeluarkan darah bercampur otak! Enam orang anak buah gerombolan itu menjadi terkejut dan marah sekali.
976
Mereka adalah. orang-orang kasar yang biasanya memaksakan kehendak mereka dan harus dituruti semua kehendak itu, orang-orang yang tidak pernah merasakan apa artinya kekalahan. Selalu menang mengandalkan kekerasan dan pengeroyokan. Karena itu, melihat tewasnya pimpinan mereka, enam orang itu tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki kepandaian tinggi, sebaliknya mereka malah menjadi, marah bukan main. Mereka mencabut golok dan menyerbu Pangeran Yorgi sambil berteriak-teriak seperti segerombolan srigala yang menyerang sambil menyalak-nyalak. Diserang oleh enam orang yang mengeroyoknya dengan golok di tangan itu, Pangeran Yorgi malah tertawa dan sekali dia berkelebat, enam orang itu tertegun karena lawan yang mereka keroyok telah menghilang! Demikian cepat gerakan Si Banci Bergigi Emas ini sehingga enam orang itu tidak mampu mengikuti gerakannya dengan pandang mata dan mengira si tinggi kurus itu menghilang. Tahu-tahu, bayangan Pangeran Yorgi berkelebat di belakang mereka, tangannya menyambar-nyambar. “Plak-plak-plak!” Tangan Pangeran Yorgi menampar tengkuk para pengeroyoknya dan sekali kena tamparan tangannya, orang-orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena kepala mereka retak dan mereka tewas seketika.
977
Satu demi satu roboh dan Pangeran Yorgi berdiri sambil terkekeh-kekeh melihat tujuh orang itu telah menggeletak, semua tanpa nyawa! Ouw Yang Hui berdiri dengan kedua tangan memegangi baju dan celananya yang robek, mukanya pucat dan hatinya merasa ngeri sekali. Pangeran Yorgi sudah menyelamatkannya dari tangan kotor tujuh, orang itu, akan tetapi hal ini berarti bahwa ia terjatuh lagi ke dalam tangan Pangeran asing yang mengerikan itu. Orang tinggi kurus itu membunuh tujuh orang demikian mudahnya dan kini tertawa-tawa senang! Ketika Pangeran Yorgi mendadak memutar tubuhnya menghadapi Ouw Yang Hui dan menatap matanya, gadis itu bergidik dan merasa betapa tubuhnya menjadi panas dingin, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Akan tetapi Pangeran itu tertawa. “Hi-hi-hik, senang sekali melihat engkau dijadikan rebutan tadi. Sungguh merupakarn pemandangan yang menarik, sekali. Sayang, terpaksa kuhentikan pertunjukan yang menggairahkan itu karena aku tidak ingin menyerahkan engkau dalam keadaan rusak, heh-heh-heh!” Ouw Yang Hui bergidik. “Menyerahkan aku kepada siapa?” “Kepada siapa saja yang kukehendaki. Hayo jalan ikut aku.”
978
“Tidak, aku tidak sudi, biar kau bunuhpun aku tidak sudi!” kata Ouw Yang Hui yang timbul keberaniannya karena jika ia ikut orang aneh ini, tentu ia akan menghadapi penderitaan hebat. “Heh-heh, tidak mau biarpun aku membunuhmu? Enak saja dibunuh. Kalau engkau kubunuh, aku mendapatkan apa? Akan tetapi kalau engkau tidak mau ikut, akan kutinggalkan di sini. Biar nanti muncul puluhan orang seperti mereka ini dan engkau akan dicabik-cabik seperti seekor domba dijadikan rebutan puluhan ekor srigala. Nah, selamat tinggal!” Pangeran Yorgi membalikkan tubuh dan pergi dari situ. Ouw Yang Hui terbelalak mendengarkan ucapan itu. Membayangkan betapa dirinya ditangkap oleh orang-orang seperti tujuh orang yang telah mati itu, dia bergidik dan menggigil. “Tunggu, Pangeran...!” teriaknya. Pangeran Yorgi berhenti melangkah, menoleh dan menyeringai. Maksudnya hendak tersenyum manis dan memang wajahnya cukup manis, akan tetapi ketika menyeringai itu, bagi Ouw Yang Hui tampak mengerikan dan menjijikkan, seperti melihat orang gila tersenyum. “Mau ikut juga? Cepatan!” katanya.
979
“Akan tetapi aku tidak dapat berjalan cepat, Pangeran, Pakaianku ini membuat aku tidak leluasa berjalan,” kata Ouw Yang Hui sambil kedua tangannya memegangi bagian baju dan celana yang terobek lebar. “Ahh, anjing-anjing busuk itu!” Pangeran Yorgi memaki, lalu dia mengambil seperangkat pakaian dari buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada Ouw Yang Hui. “Cepat pakai ini untuk menutupi pakaianmu yang robek!” perintahnya dengan sikap tak sabar. Ouw Yang Hui menerima pakaian serba kuning itu. Tentu saja ia tidak mau berganti pakaian di depan orang itu, Baju dan celana kuning itu terlalu panjang dan besar baginya. Maka iapun lalu mengenakan pakaian itu di luar pakaiannya sendiri yang robek. Tentu saja kebesaran dan kepanjangan sehingga kedodoran, akan tetapi ia tidak perduli karena setidaknya pakaian serba kuning itu dapat menutupi pundak dan pahanya. Dalam keadaan seperti itu, mana ada ingatan untuk berdandan dengan baik? “Hayo kita pergi!” Pangeran Yorgi kembali memerintah dan Ouw Yang Hui melangkah dan mengikuti orang itu dan menenangkan hatinya. la teringat akan pelajaran dalam kitab-kitab kuno yang pernah dibacanya bahwa dalam keadaan di mana usaha tenaga
980
dan pikiran kita tidak berdaya lagi, maka jalan terbaik hanyalah menyerahkan diri dengan segala kepasrahan kepada Thian. Tuhan adalah penentu hidup dan matinya, maka setelah segala usaha sendiri tidak menolong, maka terserahlah kepada Tuhan apa yang akan terjadi pada dirinya. Dengan kepasrahan ini hilanglah semua rasa ngeri dan takutnya dan hati akal pikirannya menjadi tenang. Di sebelah barat kota Pao-Ting, di bagian dalam Tembok Besar, di antara pegunungan yang berbukit-bukit, terdapat sebuah perkampungan yang terpencil di lereng bukit, jauh dari pedusunan dan tempat ini tidak mudah dikunjungi orang. Bahkan jarang ada orang tahu atau mengenal perkampungan ini. Di situlah sebuah cabang Pek-Lian-Kauw yang besar berada. Pek-Lian-Kauw (Agama Teratai Putih) adalah sebuah perkumpulan rahasia yang sebetulnya bukan perkumpulan agama biasa, melainkan sebuah perkumpulan yang memberontak dan tidak suka kepada pemerintah Kerajaan Beng. Agamanya sendiri lebih merupakan kebatinan yang mempelajari tentang ilmu sihir. Pusat Pek-Lian-Kauw tidak diketahui orang karena selalu dikejar-kejar pemerintah dan selalu berpindah-pindah. Yang kadang diketahui orang adalah cabang-cabangnya. Inipun seringkali berpindah tempat. Akan tetapi cabang yang berada di sebelah barat kota Pao-Ting itu merupakan cabang besar, yang
981
hanya diketahui orang-orang kangouw. Pada suatu hari, tampak seorang laki laki gagah perkasa berusia lima puluh tahun lebih, berjalan mendaki lereng, keluar masuk hutan. Dia melangkah dengan tegapnya dan seorang diri saja. Sebatang pedang di punggung dan sikapnya yang gagah membuat orang mudah menduganya bahwa dia tentu seorang pendekar atau setidaknya seorang ahli silat. Kalau bukan seorang gagah perkasa, tentu tidak akan berani mengunjungi tempat yang terkenal angker itu. Bahkan para pemburu yang gagah berani sekalipun tidak berani berburu binatang di wilayah yang dikuasai oleh cabang Pek-Lian-Kauw itu. Laki-laki gagah perkasa itu adalah Gan Hok San, pendekar Siauw-Lim-Pai yang terkenal di dunia persilatan. Seperti kita ketahui, Gan Hok San bersama Wong Sin Cu mencari Ouw Yang Hui yang dilarikan penculik. Dalam usaha pencarian mereka, kedua orang ini berpencar dan membagi tugas. Karena mereka melihat ada dua kemungkinan yang melakukan penculikan, yaitu Ouw Yang Lee atau pihak Pek-Lian-Kauw, maka Wong Sin Cu bertugas menyelidiki Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya di kota raja sedangkan Gan Hok San melakukan perjalanan ke cabang Pek-Lian-Kauw di perbukitan itu. pagi yang cerah itu Gan Hok San sudah mendaki bukit, keluar masuk hutan menuju ke
982
perkampungan yang dikenal sebagai daerah gawat, berbahaya dan terlarang bagi orang luar itu. Jauh sebelum dia tiba diperkampungan, masih kurang dua mil, lagi, tiba-tiba bermunculan belasan orang dari kanan kiri. Mereka adalah anak buah Pek-Lian-Kauw yang kesemuanya berpakaian sebagai petani. Akan tetapi Gan Hok San dapat mengenal mereka sebagai orang-orang Pek-Lian-Kauw dari gerakan mereka yang tangkas, bukan seperti petani biasa dan dia maklum bahwa di belakang baju itu tentu terdapat baju yang di bagian dadanya bergambar setangkai bunga teratai putih. Diapun tidak heran melihat kemunculan dua belas orang itu karena dia maklum bahwa Pek-Lian-Kauw adalah sebuah perkumpulan yang cukup kuat, terdiri dari orang-orang yang biasa berperang, maka penjagaan tempat itu tentu kuat sekali. Gan Hok San mengangkat kedua tangan di depan dada. Sebagai seorang yang berpengalaman luas di dunia kang-ouw, dia tahu bagaimana harus bersikap. “Saudara-saudara, aku bukanlah musuh Pek-Lian-Kauw dan kedatanganku ini tidak mengandung niat buruk, melainkan hendak bertemu dan bicara dengan Bhong-Pangcu (Ketua Bhong).” Dua belas orang itu saling pandang dan seorang di antara mereka yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan memelihara jenggot
983
tipis, melangkah maju dan membalas penghormatan itu dengan merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Siapakah nama anda dan dari mana anda datang?” “Perkenalkan, namaku adalah Gan Hok San dan aku datang dari Kuil Siauw-Lim-Si di Sung-San.” Kepala regu itu mengangguk-angguk. “Hemm, kiranya Gan-Taihiap (Pendekar besar Gan) dari Siauw-Lim-Pai. Kami telah mengenal nama anda. Akan tetapi karena kami hanyalah anggauta, kami harus tunduk akan peraturan yang telah ditentukan bagi siapa saja yang hendak bertemu dan bicara dengan Pangcu (Ketua).” Gan Hok San tersenyum maklum. Belasan tahun yang lalu pernah dia berhadapan dengan peraturan itu ketika ingin berkunjung kepada ketua Pek-Lian-Kauw. “Engkau maksudkan harus dapat melalui Pek-Lian Kiam-Tin (Barisan Pedang Teratai Putih) tiga lapis yang terdiri dari masing-masing empat orang itu? Kalian terdiri dari dua belas orang, tentu dapat membentuk Pek-Lian Kiam-Tin dan aku harus dapat melewatinya?” Dua belas orang itu mengangguk-angguk. “Baik sekali kalau Gan-Taihiap sudah mengetahui akan peraturan yang harus kami taati itu,” kata pimpinan mereka dan begitu dia
984
menggerakkan tangan, mereka semua telah mencabut sebatang pedang yang tadi disembunyikan di bawah jubah mereka. Secara otomatis dan teratur sekali, mereka bergerak dan telah membentuk tiga lapis barisan pedang terdiri dari masing-masing empat orang. Empat orang dari lapis pertama menghadapi Gan Hok San dengan membentuk setengah lingkaran, dua di depan dan dua di kanan kiri pendekar itu. “Silahkan, Gan-Taihiap!” kata pemimpin regu itu. Gan Hok San pernah berhadapan dengan Pek-Lian Kiam-Tin. Dia tahu betapa tangguhnya barisan pedang ini. Belasan tahun yang lalu dia pernah mengalahkan barisan ini. Akan tetapi mungkin sekarang baris ini telah memperoleh kemajuan dan menjadi semakin lihai, walaupun dia sendiri tentu saja sudah memperoleh kemajuan pesat di bandingkan belasan tahun yang lalu. Maka diapun tidak bersikap sungkan lagi dan mencabut pedangnya. Dia melintangkan pedangnya di depan dada, melangkah maju menghampiri barisan pertama, mengelebatkan pedangnya dan berseru lantang. “Lihat pedangku!” Dia sudah menyerang dengan sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar yang berputar putar. Empat orang anggauta barisan pedang lapis pertama itu serentak menggerakan pedang mereka. Dua orang di depan
985
mengangkat pedang untuk menangkis sambil menyatukan tenaga sedangkan dua yang lain menyerang dari kanan kiri. “Trangggggg...!” Dua batang pedang menangkis pedang Gan Hok San terpental dan pendekar itu dengan cepat memutar tubuhnya mengelak dari, pedang yang menyerang dari kiri, kaki kanannya mencuat dan menendang pedang yang menyambar dari kanan. Kemudian dia memainkan pedangnya dengan hebat. Pedangnya berkelebatan membentuk gulungan sinar yang menyambut pengeroyokan empat pedang lawan. Pendekar itu memainkan ilmu pedang Pek Ho Sin Kiam-Sut (Ilmu Pedang Sakti Bangau Putih). Gerakannya selain cepat sekali, juga amat kuat. Tenaga sinkang pendekar ini terlampau kuat bagi empat orang dari barisan pedang lapis pertama itu sehingga mereka terdesak hebat dan Gan Hok San yang mempergunakan kesempatan baik selagi keempat orang terhuyung ke belakang, dia melompat ke depan dan dia sudah mampu melewati barisan pertama. Barisan lapis ke dua menyambutnya. akan tetapi kekuatan inti Pek-Lian Sin-Kiam ini terletak pada lapisan pertama di mana kepala regu itu menjadi anggauta barisan. Tanpa banyak kesulitan Gan Hok San mampu melewati barisan kedua dan ketiga sehingga dia dapat lolos dari dua belas orang yang membentuk tiga lapis Pek-Lian Kiam-Tin itu. Setelah melewati mereka, Gan
986
Hok San cepat menyimpan pedangnya dan menjura kepada mereka. “Maafkan kelancanganku!” Dua belas orang anggauta Pek-Lian-Kauw itu menjadi kagum. Tidak banyak orang dapat melewati barisan pedang mereka dan andaikata ada yang mampu, tentu orang itu setidaknya akan menggunakan kekerasan sehingga beberapa orang diantara mereka akan terluka. Akan tetapi pendekar Siauw-Lim-Pai ini dapat melewati barisan tanpa melukai mereka seorangpun. Semua itu masih ditambah lagi dengan permintaan maaf. Sungguh seorang pendekar yang patut dihormati. Pimpinan regu yang berjenggot tipis itu maju memberi hormat dan berkata, “Gan Taihiap, kami mengaku kalah. Mari kami antar Taihiap untuk menghadap Pangcu.” “Terima kasih, sobat.” Gan Hok San lalu dipersilakan berjalan di depan sedangkan dua belas orang anggauta Pek-Lian-Kauw itu membentuk barisan mengawalnya dari belakang. Biarpun berjalan, di depan, Gan Hok San tidak menjadi bingung karena belasąn tahun yang lalu dia pernah memasuki perkampungan ini dan dia masih ingat di mana letaknya bangunan induk, tempat tinggal para pimpinan Pek-Lian-Kauw.
987
Perkampungan itu terdiri dari rumah-rumah sederhana terbuat dari kayu dan bambu. Memang bangunan-bangunan itu merupakan bangun-bangunan darurat karena sewaktu-waktu mungkin saja mereka harus berpindah tempat karena penyerbuan pasukan pemerintah. Bangunan induk itupun sederhana sekali, walaupun lebih besar dari bangunan lain yang berada di situ. Dua orang pemimpin Pek-Lian-Kauw menyambut kunjungan Gan Hok San di ruangan tamu. Ketua cabang Pek-Lian-Kauw di situ bernama Bhong Khi, berusia lima puluh tahun. Tubuhnya tegap dan mukanya yang tidak memelihara kumis atau jenggot itu masih tampan dan gagah. Sikapnya halus dan dia seorang yang amat cerdik, juga lihai ilmu silatnya dan menguasai ilmu sihir. Adapun orang kedua adalah wakil ketua, bernama Coa Leng, berusia empat puluh lima tahun. Coa Leng ini bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan sikapnya kasar dan bengis. Dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga raksasa dan seperti juga para pimpinan Pek-Lian-Kauw lainnya, Coa Leng menguasai ilmu sihir. Bhong Khi atau Bhong-Pangcu (ketua Bhong) yang pernah bertemu dengan Gan Hok San segera bangkit berdiri ketika mengenal pendekar itu memasuki ruangan dikawal oleh dua belas orang anak buahnya. Dia sudah tahu apa artinya kunjungan ini. Tentu pendekar Siauw-Lim-Pai itu sudah
988
mengalahkan tiga lapis Pek-Lian Kiam-Tin. Kalau tidak begitu, tentu pendekar itu tidak akan dapat memasuki perkampungan. Melihat Bhong Khi bangkit sambil memberi hormat, Gan Hok San juga memberi hormat dan berkata, “Bhong-Pangcu, apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak pernah saling jumpa.” “Aha, bukankah anda ini pendekar Gan Hok San? Apakah yang dapat kami lakukan untuk anda, maka jauh-jauh anda memberi kehormatan dengan kunjungan ini? Mari silakan duduk, Gan-Taihiap!” Bhong Khi memang terkenal ramah dan manis budi dan hal ini menunjukkan bahwa dia seorang yang cerdik sekali. Orang tidak dapat menjajaki apa yang terkandung di balik senyuman dan keramah tamahan ini. Akan tetapi Gan Hok San sudah mengenal orang ini dan tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang cerdik, licik dan berbahaya sekali. Akan tetapi diapun tahu bahwa Bhong Khi memiliki keangkuhan sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, karena itulah maka dia berani memasuki guha harimau ini. Setelah duduk, Bhong Khi berkata, “Gan-Taihiap, perkenalkan saudara ini adalah Coa Leng, wakil ketua di sini dan merupakan pembantu utama kami.” Gan Hok San bangkit lagi dan memberi hormat yang dibalas oleh Coa Leng
989
sambil duduk saja! Sikap ini menunjukkan betapa wakil ketua ini adalah seorang yang kasar dan tidak pandai bersopan-sopan, tidak seperti ketuanya. Setelah duduk kembali Gan Hok San berkata dengan suara tenang dan bersungguh-sungguh. “Bhong-Pangcu dan Coa-Pangcu, kunjunganku ini harap tidak mengganggu kesibukan ji-wi Pangcu (Ketua berdua). Aku terpaksa datang berkunjung karena membawa urusan yang teramat penting, juga amat mendesak bagiku. Aku akan bicara singkat saja. Ji-wi Pangcu, puteriku, seorang gadis bernama... Gan Hui, telah diculik orang. Dia tidak mau menyebut nama anak tirinya dengan she (marga) Ouw Yang karena hal ini tentu akan menimbulkan banyak kecurigaan dan pertanyataan bagaimana puterinya ber marga Ouw Yang, maka dia mengganti marga puteri tirinya itu, dengan marga Gan. Dua orang pimpinan Pek-Lian-Kauw itu sejenak saling pandang, kemudian Bhoi Khi sambil tersenyum ramah bertanya kepada pendekar itu. “Gan-Taihiap, mengapa engkau menceritakan hal ini kepada kami. Apa hubungannya penculikan atas diri puterimu itu dengan kami?” “Maaf, Bhong-Pangcu. Sebetulnya tidak ingin menuduh Pek-Lian-Kauw, akan tetapi ketahuilah bahwa penculik puteri itu memakai
990
baju yang ada tanda gambar teratai putih seperti yang biasa dipakai para anggauta Pek-Lian-Kauw.” “Orang she Gan! Engkau menuduh Pek-Lian-Kauw yang menculik anakmu?” tiba-tiba Coa Leng bangkit berdiri dan membentak marah. Gan Hok San bersikap tenang. “Aku tidak menuduh, akan tetapi kenyataannya seperti yang kuceritakan tadi dan karena itu aku datang menemui kalian untuk minta penjelasan.” Bhong Khi bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya. “Kalian berdua tenanglah dan mari kita bicara dengan baik-baik. Gan-Taihiap, coba ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi agar kami dapat mempertimbangkan dan bantu memikirkan.” Coa Leng duduk kembali akan tetapi alisnya berkerut tanda tidak senang. Gan Hok San bersikap tenang saja dan dia ingin mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki tentang pembunuhan atas diri murid-murid Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai juga. Maka dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di depan Kuil Siauw-Lim-Si di Sung-San. “Terjadinya beberapa hari yang lalu pekarangan depan Kuil Siauw-Lim-Si Sung-San. Ketika itu aku bersama isteri dan kedua orang
991
anak perempuanku, hendak berkunjung ke Kuil Siauw-Lim-Si bertemu dengan para Suheng, Sute dan para pimpinan Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi di pekarangan itu kami melihat rombongan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai. sedang berbincang-bincang dengan para pimpinan Siauw-Lim-Pai dan terjadi ketegangan-ketegangan.” Gan Hok San berhenti dan mengamati wajah Bhong Khi. Akan tetapi ketua Pek-Lian-Kauw itu masih tersenyum, lalu bertanya dengan pandang mata penuh selidik. “Apa yang sedang terjadi. Gan-Taihiap? Mengapa ada ketegangan?” Gan Hok San tidak tahu pasti apakah ketua Pek-Lian-Kauw ini sungguh-sungguh tidak mengerti atau hanya berpura-pura saja. Dia tahu betapa lihai dan liciknya Bhong Khi ini. Dia menghela napas dan melanjutkan. “Telah terjadi hal-hal yang amat aneh Bhong-Pangcu. Bu-Tong-Pai mengatakan bahwa ada seorang anggauta Bu-Tong-Pai terbunuh dan pembunuhnya mengaku sebagai orang Siauw-Lim-Pai. Juga pihak Kong-Thong-Pai menceritakan bahwa dua orang muridnya terbunuh dan pembunuhnya juga mengaku orang Siauw-Lim-Pai. Mereka menuntut agar Siauw-Lim-Pai menyerahkan pembunuh itu kepada mereka.” “Hemm, menarik sekali!” kata Bhong ki.
992
“Akan tetapi apa hubungannya urusan pembunuhan itu dengan penculikan puterimu, Gan-Taihiap?” “Kami dari pihak Siauw-Lim-Pai dapat menyadarkan pihak Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai bahwa mungkin ada pihak ke tiga yang melempar fitnah kepada Siauw-Lim-Pai untuk mengadu domba dan kami menjanjikan untuk mencari pembunuhnya. Ketika para tokoh kedua partai itu hendak meninggalkan Kuil Siauw-Lim, tiba-tiba ada orang melarikan puteriku yang sedang menunggu dalam kereta bersama Ibunya. isteriku yang mengatakan bahwa penculik itu memakai jubah Pek-Lian-Kauw dan puteriku yang lain memberi kesaksian yang membuat aku dapat menduga siapa adanya orang yang melakukan penculikan itu.” “Hemm, siapa orang itu?” “Dia bergigi emas, Bhong-Pangcu!” Kembali Gan Hok San menatap wajah ketua itu penuh perhatian. Akan tetapi Bhong Khi menggelengkan kepalanya dan mengerutkan alisnya. “Aku yakin di Pek-Lian-Kauw tidak ada yang bergigi emas. Gan-Taihiap, agaknya kalian orang-orang Siauw-Lim-Pai telah tertipu. Aku lebih mencurigai Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai yang melakukan penculikan itu.”
993
“Tidak masuk akal! Untuk apa mereka menculik puteriku?” bantah Gan Hok San, “Kenapa tidak masuk akal? Mungkin saja mereka itu hendak membalas dendam kepada Siauw-Lim-Pai! Karena engkau adalah juga seorang tokoh Siauw-Lim-Pai, maka mereka menculik puterimu sebagai pembalasan atas kematian murid-murid mereka,” Gan Hok San mengerutkan alisnya. Agaknya tidak mungkin penculikan itu dilakukan orang Bu-Tong-Pai atau Khong tong-pai. Mereka adalah pendekar-pendekar yang tidak mungkin melakukan perbuatan licik itu. Dia menggeleng kepalanya dan menatap wajah Bhong Khi. “Tidak mungkin mereka yang melakukannya, Bhong-Pangcu. Sudah kukatakan tadi bahwa penculiknya bergigi emas dan melihat ginkangnya yang amat tinggi, aku menduga bahwa dia tentu Si Banci Bergigi emas! Dan dia memakai baju Pek-Lian-Kauw. “Ini lebih tidak masuk akal lagi, Gan-Taihiap! Engkau, tentu tahu siapa Si Banci bergigi Ermas itu? Dia orang Mancu. Bagaimana bisa menjadi anggauta kami?” Ketua Pek-Lian-Kauw itu lalu bangkit berdiri.
994
“Kita sudah cukup bicara, Gan-Taihiap. Sekali lagi kutekankan, bahwa puterimu tidak diculik oleh orang kami. Selamat jalan, Gan-taihiap.” Itu adalah pengusiran secara halus, Gan Hok San berpikir dalam hatinya bahwa biarpun Si Banci Bergigi Emas itu orang mancu dan bukan anggauta Pek-Lian-Kauw, namun antara Mancu dan Pek-Lian-Kauw ada persamaan politik, yaitu menentang Kerajaan Beng! Akan tetapi karena tidak ada bukti, diapun tidak mungkin dapat mendesak pihak Pek-Lian-Kauw yang menyangkal adanya hubungan antara Pek-Lian-Kauw dan Si Banci Bergigi Emas. Diapun bangkit berdiri dan menghela napas panjang. “Baiklah, terima kasih atas sambutanmu, Bhong-pancu. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal.” Gan Hok San meninggalkan perkampungan Pek-Lian-Kauw dan menuruni lereng itu. Tiba-tiba muncul belasan orang yang dipimpin oleh Coa Leng wakil ketua Pek-Lian-Kauw yang menghadang perjalanan Gan Hok San. Wakil ketua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok bengis itu membentak. “Orang she Gan, perlahan dulu!” Gan Hok San memandang dengan alis berkerut,
995
“Hemm, Bhong-Pangcu sudah mengucapkan selamat jalan kepadaku. Sekarang engkau menghadang kepergianku apa maumu, Coa-Pangcu?” “Gan Hok San, engkau telah menuduh Pek-Lian-Kauw melakukan penculikan. Hal itu merupakan suatu penghinaan bagi kami. Aku tidak dapat tinggal diam saja!” “Coa-Pangcu, aku bukan menuduh buta tuli, melainkan ada alasannya. Lalu, engkau mau apa?” “Gan Hok San, engkau harus menjura tiga kali dan minta ampun atas tuduhanmu itu, kalau tidak, jangan harap dapat pergi dari sini!” “Hemm, aku, mencari puteriku yang hilang diculik orang. Aku tidak merasa bersalah, perlu apa minta ampun? Aku tidak mau!” “Kalau begitu, engkau memang patut dihajar! Coa Leng membentak dan dia sudah menyerang Gan Hok San dengan sepasang kepalan tangannya yang besar dan kuat. Melihat datangnya serangan yang cukup dahsyat itu, Gan Hok San cepat mengelak dengan loncatan ke samping. Akan tetapi Coa Leng yang sudah marah sekali mengejarnya dan, kembali tangan kirinya meluncur menonjok ke arah dada Gan Hok San. Pendekar ini
996
miringkan, tubuhnya dan tangan kanannya berputar menangkis pukulan yang amat kuat itu. “Dukk...!” Dua buah lengan bertemu dan keduanya tergetar saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam kedua lengan itu. Hok San yang diserang secara bertubi-tubi sampai enam jurus lalu membalas dengan serangannya yang lebih dahsyat sehingga Coa Leng terhuyung ke belakang. Pertandingan terjadi dengan amat seru. Coa Leng terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar. Dia mengandalkan tenaganya dan tadinya dia yakin bahwa dengan tenaganya yang besar itu dia akan mampu menghajar dan mengalahkan Hok San. Akan tetapi dia kecelik karena ternyata pendekar Siauw-Lim-Pai itu juga memiliki tenaga sinkang yang tidak kalah kuatnya. Bahkan setelah lewat dua puluh jurus, Coa Leng terdesak terus sehingga mundur dan lebih banyak mengelak dan menangkis dari pada menyerang. Coa Leng tidak akan terpilih menjadi pimpinan Pek-Lian-Kauw kalau tidak licik. Melihat betapa tangguhnya lawan dan maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar Siauw-Lim-pai itu, dia lalu memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang anak buahnya lalu menerjang maju dan mengeroyok Gan Hok San! Pendekar ini mengamuk dengan gagah perkasa. Dia merobohkan para pengeroyoknya itu dengan tamparan dan
997
tendangan, akan tetapi dia membatasi tenaganya agar tidak sampai membunuh orang. Coa Leng sendiri terkena tendangan pada lambungnya sehingga roboh terpelanting. Dia menjadi marah sekali. Karena tendangan itu tidak membuat dia luka parah, maka dia cepat melompat dan mencabut senjatanya yang menyeramkan yaitu sepasang kapak yang berkilauan saking tajamnya. “Bunuh...!” Teriaknya pada anak buahnya. Para anak buah yang tadinya kocar-kacir diamuk Gan Hok San ketika mendengar teriakan ini lalu mencabut senjata mereka berupa golok atau pedang. Dengan senjata tajam di tangan, belasan orang itu menyerbu ke arah pendekar Siauw-Lim pai itu. Melihat ini, Gan Hok San lalu melompat jauh dan melarikan diri meninggalkan para pengeroyoknya. Melihat mereka memegang senjata, dia tidak berniat melayani mereka, karena dia maklum bahwa kalau dia mencabut pedangnya, tentu ada pihak lawan yang tewas atau terluka parah. Dia tidak menghendaki ini. Tekadnya hanya untuk mencari dan menemukan puterinya, bukan untuk mencari permusuhan. Coa Leng dan anak buahnya mengejar akan tetapi pendekar Siauw lim-pai itu dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja mereka telah kehilangan orang yang mereka kejar. Tan Song Bu dan Ouw Yang Lan melakukan perjalanan jauh menuju ke Sung-San dan akhirnya pada suatu siang tibalah
998
mereka di depan Kuil Siauw-Lim-Pai yang besar dan megah itu. Mereka berdiri di luar pekarangan Kuil dan mengagumi bangunan besar yang bersejarah itu. Dari tempat inilah digembleng orang-orang gagah yang kemudian menjadi pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman di dunia persilatan. Nama Siauw-Lim-Pai menjadi besar dan terkenal karena sepak terjang para pendekar yang menjadi muridnya. “Bu-ko, mari kita masuk saja!” kata Ouw yang Lan. “Nanti dulu, Lan-moi. Aku mendengar bahwa Biara Siauw-Lim-Si tidak menerima tamu wanita, bahkan kabarnya wanita dilarang keras memasuki Biara.” “Mana ada aturan seperti itu? Kalau tinggal di Biara mungkin tidak diperkenankan, akan tetapi kalau berkunjung karena ada keperluan, masa tidak boleh? Kalau begitu, bagaimana kalau ada wanita yang memiliki keperluan dengan Siauw-Lim-Si seperti aku sekarang ini. Biar aku masuk, hendak kulihat bagaimana para Hwesio Siauw-Lim-Pai akan melarang wanita datang berkunjung” kata Ouw Yang Lan yang berwatak keras itu. la sudah melangkah memasuki pintu pekarangan dan terpaksa Song Bu juga mengikutinya. Ketika mereka tiba di dekat sebuah pondok yang
999
berdiri di pekarangan Kuil itu, empat orang Hwesio turun berlari-lari menghampiri mereka. “Ji-wi (kalian berdua) datang berkunjung ada keperluan apakah?” tanya seorang di antara empat Hwesio muda itu. Song Bu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. “Maafkan kalau kami mengganggu. Kami ingin bertemu dan bicara dengan Ketua Siauw-Lim-Pai.”


Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments