- CersilPopuler Si Rajawali Sakti 1
- CersilHeboh Sepasang Rajah Naga 4 Tamat
- CersilKeren Sepasang Rajah Naga 3
- CersilDewasaSekali Sepasang Rajah Naga 2
- CersilTerbaru Sepasang Rajah Naga 1
- CersilFull Sakit Hati Seorang Wanita 4 Tamat
- Cerita Silat Sakit Hati Seorang Wanita 3
- Cersil Sakit Hati Wanita 2
- Cerita Sakit Hati Seorang Wanita 1
- Rajawali Lembah Huai 3 Tamat
- Rajawali Lembah Huai 2
- Cersil Rajawali Lembah Huai 1
SI TANGAN HALILINTAR
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Penerbit CV GEMA SOLO, 1990
Jilid 1
Angin menderu-deru, bertiup kencang mengguncang pohon-pohon yang meliuk-liuk
seperti menari-nari sambil berdesah panjang. Semakin besar dan tinggi pohon itu,
semakin hebat pula ia terlanda angin yang mengamuk. Melihat betapa angin lebih hebat
mempermainkan pohon kecil pendek, maka terasa kebenaran kaum bijaksana jaman
dahulu yang mengatakan bahwa makin kaya dan makin tinggi kedudukan seseorang,
makin banyak pula godaan menerpa dirinya. Karena itu orang bijaksana memilih menjadi
orang kecil yang hidup sederhana dan tidak menonjol sehingga hidupnya tenteram dan
damai.
Musim dingin telah tiba. Sejak padi matahari tidak tampak karena terhalang awan dan
mendung hitam tebal sehingga cuaca remang dan angin kencang membuat hawa terasa
sangat dingin menyusup tulang. Hawa udara seperti itu amatlah buruknya dan semua
orang tahu bahwa keadaan macam itu biasanya membawa datang bermacam-macam
penyakit. Yang sudah pasti, akan banyak orang terserang panyakit batuk pilek.
Kota Lin-han-kwan yang biasanya cukup ramai itu, kini tampak sunyi. Toko-toko dan pintupintu
rumah banyak yang tutup. Orang-orang, terutama yang berbadan lemah, merasa
lebih aman untuk tetap tinggal dalam rumah, menghangatkan diri dengan baju atau
selimut tebal dan mendekati perapian. Jalan-jalan sunyi karena siapa yang mau dilanda
sunyi karena siapa yang mau dilanda angin kencang yang mengamuk di luar rumah itu?
Lebih baik terlindung di dalam rumah. Kecuali mereka yang terpaksa keluar rumah untuk
bekerja, mereka yang hidup miskin dan mengandalkan hidupnya dari hari ke hari dari hasil
pekerjaan mereka.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 2
Sehari saja tidak bekerja, berarti besok tidak ada beras untuk dimakan keluarga! Mereka
inilah yang tepaksa keluar rumah untuk bekerja, para pekerja kasar, kuli angkut dan
segolongannya. Biarpun tubuh mereka hanya terbungkus kain kasar yang tidak tebal,
namun tubuh yang sudah terbiasa dengan udra nuruk itu telah menjadi kebal. Angin
kencang itu agaknya tidk mampu menembus mereka yang sudah membaja. Kecuali para
pekerja kasat yang miskin ini, tidak ada orang lain yang keluar rumah.
Pada saat itu, tampak adegan yang amat menarik perhatian seorang anak laki-laki berusia
dua belas tahun yang duduk dibalik kaca jendela sebuah rumah. Anak itu memandang
dengan penuh perhatian kearah pohon-pohon yang diamuk angin. Dia melihat betapa
hanya pohon-pohon yang besar tinggi yang diombang-ambingkan angin. Banyak pula
phpn pohon tinggi yang patah-patah cabangnya. Hanya pohon cemara yang tinggi saja
yang tidak patah. Pohon-pohon cemara tinggi itu meliuk-liuk dengan lemas dan lenturnya,
menyerah tanpa perlawanan dan karena inilah mereka itu selamat, tidak sampai patah
atau rusak. Tiba-tiba pandang mata anak itu tertarik ketika dia melihat seorang laki-laki tua
berjalan terhuyung-huyung di jalan simpang tiga, Laki-laki itu sudah tua, pakaiannya butut
compang-camping, tubuhnya kotor tak terurus dan kurus, rambutnya yang banyak uban
itupun kotor.
“kasihan pengemis itu …” Anak itu berbisik dan memandang penuh perhatian, sinar
matanya membayangkan perasaan iba yang memenuhi hatinya. Iba merupakan sebuah
perasaan suci dan mulia yang merupakan satu di antara buah-buah dari pohon Kasih yang
tumbuh dalam hati sorang manusia. Dan agaknya perasaan iba ini sudah ditanamkan oleh
orang tua anak itu sejak dia masih bayi. Anak itu bernama Law Heng San, putera Law Cib
dan istrinya Law Cin berusia empat puluh tahun dan istrinya berusia tigaluh dua tahun.
Mereka hidup bahagia dan tenteram di kota Lin-han-kwan itu. Lauw Cin pernah
mempelajari ilmu pengobatan dan kini dia membuka sebua took obat di kota itu. Iarpun
took obatnya tidak begitu besar, namun penghasilannya cukup untuk membiayai
kehidupan mereka bertiga. Juga nama Lauw Cin dikenal baik oleh penduduk kota itu
karena Lauw Ci terkenal suka menolong orang. Dia tidak pernah mencari banyak
keuntungan, tidak memasang harga tinggi untuk obatnya biarpun yang beli orang kaya,
dan bahkan dia siap memberikan obat secara Cuma-Cuma pada penderita sakit yang
miskin. Karena ayah ibunya suka menolong orang dan murah hati itulah maka hengsan
juga mudah merasa kasihan kepada orang yang menderita.
Heng San bertubuh kurus dan wajahnya tampan, kulitnya putih bersih. Alisnya tebal dan
hitam. Membuat wajah yang tampan itu tampak gagah. Sebagai anak tunggal, tentu saja
Heng San sangat disayang dan dimanja orang tuanya. Mereka tidak mengundang seorang
guru untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada anak mereka. Suami istri itu
adalah orang-orang yang pernah mempelajari kesusasteraan maka mereka sendiri yang
mendidik Heng San sejak anak itu berusia lima tahun. Kini dalam usia dua belas tahun,
Heng San telah mahir sekali, bukan hanya membaca dan menulis huruf, bahkan dia
pandai membaca kitab-kitab pelajaran Khong Hu Cu, pandai pula membaca kitab To Tek
Keng dari agama To, dan selain kefasihan membaca itu diapun pandai mengarang dan
menulis sajak dengan huruf-huruf yang indah. Juga sudah lebih dari setahun anak ini
mulai diberi pelajaran tentang ilmu pengobatan oleh ayahnya. Tiada cita-cita lain dalam
hati Lauw Cin dan isterinya selain melihat putera mereka kelak menjadi ahli pengobatan
yang pandai dan budiman sehingga dapat menggantikan pekerjaan orang tuanya.
Tiba-tiba sepasang mata Heng San yang bersinar lembut namun tajam itu terbelalak. Dia
melihat kakek pengemis itu terhuyung-huyung lalu jatuh terpelanting ke tepi jalan. “Aduh
celaka, di jatuh …” kata Heng San dan melihat kakek itu tidak bangkit kembali, tanpa ragu
dia lalu membuka dan melompat keluar kemudian berlari menghampiri kakek itu dengan
maksud hendak menolongnya bangkit kembali. Akan tetapi ketika dia berjongkok dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 3
memeriksa, ternyata kakek itu tak dapat bergerak lagi dantidak bergerak maupun
menjawab ketika dia memanggil-manggilnya.
“Kek! Kek! Bangunlah …!” Dia mengguncang pundak yang kurus itu, akan tetapi kakek itu
tetap tidak bergerak, seperti telah mati saja.
Heng San yang telah mempelajari ilmu pengobatan, memegang nadi pergelangan tangan
kakek itu, lalu meraba dadanya. Masih berdenyut, akan tetapi lemah sekali. Dia pingsan,
piker Heng San dan dalam udara sedingin ini. Kalau dibiarkan, kakek itu tentu akan mati.
Cepat dia berlari pulang dan mengetuk pintu depan dengan gencar.
Daun pintu terbuka dari dalam dan ibunya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak,
juga ayahnya berdiri di belakang ibunya dengan terheran-heran.
“Aihh …., Heng San! Bagaimana engkau dapat berada diluar? Cepat masuk Hawa
sedingin ini berada di luar, bias masuk angin!” kata ibunya dambil menarik tangan anaknya
ke dalam dan cepat menutup daun pintu karena begitu terbuka, dari luar sudah menyerbu
angin yang amat dingin.
“Heng San, bagaimana engkau dapat di luar rumah?” Tanya ayahnya dengan sinar mata
tajam menyelidik.
“Ayah, Ibu, aku tadi melihat dari jendela seorang pengemis tua terhuyung lalu jatuh
terguling ke atas tanah. Aku lalu keluar dari jendela untuk menolongnya, ternyata dia
pingsan, Ayah.”
Ayah dan Ibunya yang tadinya marah melihat Heng San keluar rumah tanpa pamit dalam
cuaca seburuk itu, segera lenyap perasaan marah mereka begitu mendengar keterangan
Heng San. Hati mereka yang penuh bleas kasihan itu segera tertarik dan cepat mereka
mengajak Heng San untuk keluar dan menunjukkan dimana pengemis tua itu berada.
Setelah tiba di dekat tubuh kakek yang rebah miring itu, Lauw Cin cepat memeriksanya.
“Ah, masih hidup!” katanya penuh harapan dan dibantu Heng San, Lauw Cin segera
memondong tubuh kakek itu dan membawanya masuk ke dalam rumahnya diikuti
isterinya.
“Cepat sediakan air panas dan buatkan bubur encer!” perintah Lauw Cin kepada Isterinya.
“Heng San, kau ambil arak, obat gosok dengan arak, kemudia dia dibantu oleh Heng San
menanggalkan pakaian kotor kakek itu. Tampak tubuh yang kurus kering dengan tulangtulang
menonjol dibawah kulit. Lauw Cin lalu menggosok-gosok seluruh tubuh itu dengan
obat dan arak mengusir dingin yang membuat tubuh itu menjadi kaku. Kemudia dia
menyuruh Heng San mengambil seperangkat pakaian yang baru dan tebal lalu
mengenakan pakaian itu pada tubuh kurus itu.
Ibu Heng San memasuki kamar membawa bubur panas dan air mendidih. Lauw Cin
mencampur obat dengan air panas, lalu menuangkan obat ke dalam mulut kakek itu.
Kakek itu mengeluh lirih dan bergerak, akan tetapi masih memejamkan mata, seperti
orang ngelindur. Law Cin lalu menyuapkan bubur kedalam mulutnya dan kakek itu
menelan beberapa sendok bubur hangat.
Tak lama kemudian sadarlah pengemis tua itu dan membuka kedua matanya. Dia
terbelalak heran, memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian yang menutupi tubuhnya.
Di luar dugaan semua orang tiba-tiba tubuh yang kurus lemah itu telah melompat dan
bangkit duduk, matanya memandang ke sekeliling lagi dan berputaran aneh. Lalu dia
memandang satu demi sau wajah ayah ibu dan anak itu dan mulutnya tersenyum getir.
Terdengar suaranya penuh keluhan dan penyesalan.
“Hayaaaa…..! Engkau telah memaksa aku harus mengaku engkau adalah In-kong (tuan
penolong) bagiku! Kalau tadi kalian membiarkan tubuh tua bangka yang hampir rusak ini
mati di jalan, sekarang aku tentu sudah senang. Akan tetapi sekarang kalian telah
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 4
mengikat aku dan memberi tugas hidup yang baru untuk melunasi hutangku kepadamu
Hayaaa…!” Pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang
pendek.
Lauw Cin bertukar pandang dengan isterinya. Sungguh aneh orang ini. Ditolong tidak
berterima kasih malah mengeluh dan mengomel panjang pendek!.
“Paman, harap jangan sungkan. Kami menolongmu bukan untuk melepas budi, melainkan
sekadar memenuhi kewajiban kami sebagai manusia. Kami tidak mengharapkan imbalan
apapun.” kata Lauw Cin.
“Kek, kenapa engkau ingin benar cepat mati? Lihat, alangkah senangnya hidup. Kita bisa
bermain-main, bisa makan enak,” kata Heng San dengan suara mencela ketika
mendengar kakek itu berkata bahwa dia akan lebih senang mati.
Pengemis tua itu memandang Heng San dengan sinar matanya yang tajam dan aneh.
Kemudia tiba-tiba kedua tangannya terulur ke depan dan dia sudah memegang kedua
pundak anak itu. Jari-jari tangannya meraba-raba pundak, leher, punggung dan dada. Lalu
jari-jari itu meraba-raba dan menekan-nekan kepala Heng San. Anak itu merasa risi dan
geli, akan tetapi dia tidak dapat melepaskan diri dari jari-jari tangan yang seolah-olah
melekat pada tubuhnya itu. Kakek itu akhirnya melepaskan kedua tangannya dari tubuh
Heng San, dia tertawa dan mengagguk-anggukkan kepalanya.
“Ha-ha-ha, tidak percuma …. Tidk percuma …!” selagi ibu, ayah dan anak itu terheranheran,
kakaek itu bertanya kepada Lauw Cin, “In-kong (tuan penolong), apakah anak ini
puteramu?”.
Lauw Cin mengangguk, “benar, dia putera kami, anak tunggal kami.”
Kakek itu tiba-tiba melompat turun dari atas pembaringan, berdiri di atas lantai dan
menari-nari sambil bertepuk-tepuk tangan. Lauw Cin, isteri dan anaknya hanya
memandang bingung, mengira bahwa kakek itu kumat gilanya.
“Bagus! bagus sekali! Kalau begitu, tidak percuma engkau menolongku, In-kong. Aku tidak
akan susah-susah lagi mencari jalan untuk membalas budimu! Ha ha ha ha!” Dia tertawatawa
dan bertepuk-tepuk tangan ladi, menari-nari di sekeliling kamar itu.
“Paman yang baik, apa maksud kata-katamu itu?” Lauw Cin bertanya dan memandang
heran. Isterinya mengerutkan alis dan merasa ngeri, mengira bahwa kakek itu adalah
seorang yang miring otaknya.
Kakek itu berhenti menari-nari dan berdiri di depan Lauw Cin. “Paman yang baik? Ha ha,
aku suka sebutan itu! Paman yang baik baik. Ah, sebutan yang enak didengar. Ketahuilah,
In-kong, orang yang kau tolong hari ini, bukan sembarang pengemis, juga bukan
sembarang orang! Aku adalah Pat-jiu Sinkai yang telah menjelajah dunia kang-ouw (dunia
persilatan) selama puluhan tahun!”
Lauw Cin terkejut bukan main. Dia sudah banyak mendengar akan nama julukan Pat-Jiu
Sinkai (Pengemis Sakti Tangan Delapan) ini yang amat terkenal sebagai seorang
pendekar aneh yang selalu membasmi kejahatan menolong yang lemah, membela
kebenaran dan keadilan. Seorang tokoh kang-ouw atau dunia persilatan sungai telaga
yang ditakuti lawan disegani kawan. Lauw Cin lalu cepat memberi hormat dengan
merangkap tangan depan dada dan membungkuk.
“Harap maafkan kami, Lo-enghiong (pendekar tua), kami tidak tahu bahwa kami
berhadapan dengan seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa dan budiman.
Terimalah hormat saya.”
“Huh, apa ini? Aku tidak suka penghormatan yang berlebihan. Sudah kukatakan bahwa
aku lebih senang disebut paman yang baik. Jangan sebut-sebut aku lo-enghiong segala
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 5
macam. Aku memang tidak pernah dikalahkan orang gagah dan jagoan manapun. Akan
tetapi hari ini aku harus tunduk kepada keperkasaan alam dan jatuh sakit, hamper mati tak
berdaya sehingga kelihatan bahwa aku sebetulnya hanyalah seorang manusia yang
lemah. Kebetulan sekali engkau yang menolongku. Aku si tua bangka ini belum pernah
berhutang budi tanpa dibalas. Sekarang aku melihat bahwa anakmu ini bertulang
pendekar dan berkakat baik sekali. Maka perkenankanlah aku mengangkat dia sebagai
muridku, dengan demikian aku dapat membalas budimu.”
Selagi Lauw Cin dan isterinya termangu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana
mendengar ucapan kakek pengemis itu, Heng San yang juga pernah mendengar akan
nama besar kakek itu segera saja menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Pat-jiu Sinkai
sambil mengangguk-anggukkan kepala dan berkali-kali menyebut, “Suhu ….”
Pat-Jiu Sin-kai memandang anak itu, lalu tertawa dan berkata girang “Ha ha, muridku yang
baik! Muridku yang baik!” Tiba-tiba di memegang kedua pundak Heng San, lalu
mengangkat tubuh anak itu dan melemparkan tubuh itu ke atas, diterima kembali dengan
kedua tangan ketika tubuh itu meluncur turun, dilempar dan diterima lagi sampai berulang
kali, seolah-olah tubuh anak itu menjadi sebuah bola yang dibuat mainan sesuka hati.
Heng San sama sekali tidak pernah berteriak ketakutan, bahkan merasa gembira juga
kagum akan kekuatan kakek yang kelihatannya kurus kering berpenyakitan itu.
Lauw Cin dan isterinya tentu saja memandang adegan itu dengan mata terbelalak dan hati
khawatir, akan tetapi merasa sungkan untuk melarang, apa lagi mereka melihat Heng San
tersenyum-senyum girang diperlakukan seperti bola mainan itu. Ketika Heng San
diturunkan ternyata wajah anak yang taadinya pucat kedinginan kini tampak segar, kedua
pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar gembira! Tentu saja Lauw Cin merasa
girang.
“Ha-ha-ha, tidak salah pilihanku! Aku merasa beruntung sekali mendapatkan murid seperti
… heii, aku belum mengenal namamu! Juga belum mengenal nama in-kong, penolongku!”
tiba-tiba kakek itu berseru.
Lauw Cin tersenyum dan berkata “paman yang baik,” dia tidak berani lagi menyebut
dengan sebutan lain, “nama saya adalah Lau Cin dan anak kami bernama Lauw Heng
San.”
“Lauw Heng San? Bagus, biarlah kelak dia menjadi sekokoh San (Gunung). Dan katakan
terus terang, apakah kalian suami isteri tidak merasa keberatan kalau aku tinggal disini
dan menjadi guru anak kalian ini?”
“Ah, sama sekali tidak, paman Pat-jiu Sin-kai. Kami malah merasa gembira dan berterima
kasih sekali.” Lauw Cin berkata, kemudian suami isteri itu segera mengatur dan
menyediakan sebuah kamar untuk menjadi kamar tidur kakek itu.
Demikianlah, mulai hari itu Pat-jiu Sin-kai tinggal dirumah keluarga Lauw Cin dan menjadi
guru Hengsan. Diapun kini mau membersihkan badannya dan mengenakan pakaian
bersih sehingga biarpun masih tampak kurus, namun sehat dan bersih. Dia juga tidak
menolak ketika Lauw Cin membuatkan obat untuk memulihkan kesehatannya.
Pada malam pertama Pat-jiu Sin-kai tinggal dirumah itu, Lauw Cin dan isterinya tidak
dapat tidur. Mereka memperbincangkan anak mereka dan Pat-jiu Sin-kai. Tadinya isteri
Lauw Cin menyatakan kekhawatirannya dan tidak membiarkan anak tunggalnya menjadi
murid kakek yang aneh dan terkadang seperti tidak waras otaknya itu, Akan tetapi setelah
dibujuk suaminya dan mendengarkan alasan-alasannya, ia menurut juga. Suami isteri itu
tidak tahu kalau percakapan mereka dapat didengar oleh Pa-jiu Sin-kai yang rebah diatas
pembaringan dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar suami isteri itu. Mereka
tidak tahu bahw kakek itu memiliki banyak kesaktian. Diantaranya ilmu-ilmunya, dia
menguasai ilmu yang disebut Hok-te Teng-seng (mendekam di tanah mendengarkan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 6
suara). Dengan ilmu ini, kalau dia menempelkan telinganya di atas tanah, dia dapat
mendengarkan jejak langkah kaki yang datang dari jauh. Kini, dengan mengempelkan
telinya pada tembok, dia dapat pula mendengarkan percakapan Lauw Cin dan isterinya
dengan jelas solah-olah dia hadir dalam kamar tidur itu.
Lauw Cin mengatakan pendapatnya kepada isterinya yang merasa tidak setuju anaknya
menjadi murid Pat-jiu Sin-kai. “Aku sendiripun tidak merasa suka melihat wataknya yang
aneh dan menakutkan itu, akan tetapi bagaimana kita dapat menolak permintaannya untuk
mendidik Heng San? DIa seorang yang amat terkenal dan sepanjang pendengaranku, dia
adalah seorang pendekar besar yang banyak mencurahkan tenaganya untuk menolong
orang-orang yang tertindas dan sengsara. Jadi, kalau dipikir-pikir, dia masih segolongan
dengan kita. Bukankah kita juga bercita-cita untuk mendidik Heng San menjadi orang
pandai dan budiman yang kelak menjadi penolong orang yang sengsara?”
“Akan tetapi kita menolong orang-orang menggunakan kelembutan, bukan dengan
kekerasan seperti para pendekar silat!” bantah isterinya.
Memang benar, akan tetapi harus kita ingat bahwa sekarang ini jamannya sudah berubah.
Negara dijajah bangsa Mancu, dimana-mana terjadi perang dan pemberontakan melawan
penjajah. Timbul pula banyak orang jahat yang mempergunakan kesempatan selagi
Negara kacau untuk melakukan perampokan dan segala macam kejahatan. Hidup menjadi
tidak aman. Maka, aku kira tidak ada jeleknya kalau Heng San mempelajari sedikit ilmu
silat agar tubuhnya kuat dan dia kelak dapat menanggulangi segala macam bahaya
kekerasan dengan tabah dan dapat menjaga diri terhadap serangan orang-orang jahat.
Isterinya menghela napas panjang. “hem, ya sudahlah kalau begitu. Mudah-mudahan apa
yang kau katakan itu semua benar demi kebaikan anak kita.”
Pat-jiu Sin-kai tidak mendengarkan lagi dan dia tersenyum puas dalam tidurnya.
****
Par-jiu Sin-kai dahulu tinggal di dekat kota raja Peking dan dia terkenal sebagai seorang
guru silat yang memiliki kepandaian silat tinggi. Ketika pasukan Mancu menyerbu Peking
dengan bantuan Wu San Kui dan mengalahkan pemberontak yang telah menjadi Kaisar
Dinasti Beng yang baru, maka Pat-jiu Sin-kai juga ikut berjuang mempertahankan kota raja
Peking. Setelah pasukan kerajaan itu kalah dan terpukul mundur, keluar meningkalkan
Peking, Pat-jiu Sin-kai pulang ke kampungnya. Akan tetapi alangkah kaget dan sedihnya
ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dusunnya telah dibakar ketika terjadi perang,
bahkan isteri dan anak tunggalnya dikabarkan tewas dalam keributan perang itu.
Walalupun tidak ada kuburan untuk isteri dan anaknya, Pat Jiu Sin-kai percaya bahwa
mereka sudah mati. Dia begitu sedih dan terguncang hatinya sehingga dia menjadi seperti
orang kehilangan semangat dan tak lama kemudia orang-orang mendapatkan dia
mengembara dengan pakaian awut-awutan sebagai seorang pengemis. Dia merantau
kemana saja kakinya membawanya dan dia sudah tidak ingat lagi akan namanya sendiri.
Akan tetapi karena watak pendekarnya masih ada, dimanapun dia berada, dia selalu
menentang kejahatan.
Banyak sekali penjahat telah dia robohkan, bahkan banyak jagoan-jagoan berilmu tinggi
kalah olehnya sehingga dunia kangouw memberikan julukan Pat-jiu Sin-kai kepada orang
yang telah melupakan namanya sendiri itu. Dia agaknya juga tidak pernah melupakan
bahwa anak isterinya mati karena penyerbuan pasukan Mancu, maka dia menganggap
bahwa Mancu sebagai musuh besarnya. Dimanapun dia berada, kalau bertemu dengan
pembesar Mancu, tentu dia akan menyerang dan membunuhnya. Karena itu, selain nama
Pat-jiu Sin-kai dikagumi dunia kang-ouw, nama itupun dibenci pemeritnah baru Mancu dan
para pembesar mengerahkan pasukan untuk dapat menangkap atau membunuhnya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 7
Pat-jiu Sin-kai sudah tidak memperdulikan dirinya lagi, tidak menjaga diri, tidak
memperhatikan kesehatannya, tidak menjaga makannya yang tidak menentu, sehingga
akhirnya dia terserang penyakit. Seringkali dia terserang penyakit jantung dan seringkali
jatuh pingsan. Ketika dia lewat di dekat rumah Lauw Cin penyakitnya kambuh dan dia
jatuh pingsan ditepi jalan yang ketika itu amat sunyi. Untung baginya bahwa Heng San
melihatnya. Kalau tidak, dia tentu sudah mati kaku kedinginan di luar rumah itu. Sebagai
seorang yang berwatak pendekar, dia tidak mau menerima budi orang tanpa membalas.
Terutama sekali setelah melihat Heng San, dia teringat akan anak laki-lakinya sendiri dan
dia suka pula melihat Heng San berbakat. Maka dia mengambil keputusan untuk menunda
perantauannya yang tak ada ujung pangkalnya itu dan dia menurunkan ilmu-ilmunya
kepada Heng San.
Pat-jiu Sin-kai tidak tanggung-tanggung mewariskan ilmunya kepada Heng San. Dia
menggembleng anak itu sedemikian rupa sehingga boleh dibilang tidak ada satu haripun
terlewat tanpa latihan berat. Akan tetapi Heng San tidak pernah merasa berat, tidak
pernah malas. Dia senang betul berlatih silat. Dia mulai mengabaikan pelajarannya
tentang kesusasteraan dan lebih suka berlatih silat. Lauw Cin dan isterinya tentu saja tidak
senang melihat ini, akan tetapi mereka tidak berdaya. Mereka terlalu sungkan kepada Patjiu
Sin-kai dan merekapun tidak tega menghentikan putera mereka dari kesenangannya.
Mereka terlalu memanjakan Heng San. Maka merekapun diam saja.
Tubuh Heng San yang tadinya kurus lemah itu, tahun demi tahun mengalami perubahan
besar. Walaupun dia masih kurus akan tetapi tubuh itu tampak tegap berisi dan kuat
sekali. Terutama tangan kanan Heng San memiliki tenaga yang luar biasa kuat karena
gurunya memberi pelajaran bermacam-macam ilmu yang lihai kepadanya, dari latihan
memukul dan meremas pasir panas sampai meremas bubuk besi!
Akan tetapi ketika Pat-jiu Sin-kai hendak memberi ilmu silat yang menggunakan senjata
tajam, Lauw Cin dan isterinya melarangnya. Ayah dan ibu ini merasa ngeri melihat putera
mereka memainkan senjata tajam, seolah-olah mereka melihat anak mereka membunuhi
orang dengan senjata-senjata itu atau setidaknya melukai orang. Padahal Lauw Cin
adalah orang yang suka mengobati orang-orang sakit atau terluka. Karena permintaan
yang sangat dari kedua orang tua Heng San, Pat-jiu Sin-kai tidak memaksakan
kehendaknya. Pengemis tua yang lihai ini masih tetap menaruh hormat kepada Lauw Cin
yang disebutnya sebagai in-kong (tuan penolong). Maka diapun menggembleng Heng San
dengan ilmu-ilmu silat tangan kosong yang amat lihai. Bahkan dia mengajarkan semacam
ilmu silat tangan kosong khas untuk melawan dan menghadapi musuh-musuh yang
bersenjata tajam. Untuk menjadi ahli silat tangan kosong yang betul-betul tangguh, Heng
San harus memiliki kepandaian silat tangan kosong yang lengkap. Ginkangnya (ilmu
meringankan tubuhnya) harus tinggi agar dia dapat bergerak dengan gesit dan lincah
seperti seekor kera. Selain tenaga otot yang biasa disebut gwa-kang (tenaga luar) harus
kuat, lwee-kang (tenaga dalam) harus terlatih baik, bahkan sin-kang (tenaga sakti) harus
ditimbulkan dan dapat dikendalikannya dengan baik. Juga berdasarkan sin-kang ini dia
diberi pelajaran Tiat-pouw-san (Baju Besi), semacam ilmu kebal sehingga senja baja biasa
saja belum tentu dapat melukainya.
Setalah Heng San dilatih Pat-jiu Sin-kai selama lima tahun, Lauw Cin dan isterinya
menganggap bahwa putera mereka sudah cukup lama mempelajari ilmu silat. Dia dan
siterinya menemui Pat-jiu Sin-kai dan menyatakan pendapatnya.
Paman yang baik, kami kira sudah cukup lama Heng San mempelajari ilmu silat, telah
kurang lebih lima tahun. Dia kini sudah mulai dewasa, usianya sudah tujuh belas tahun.
Sudah tiba waktunya bagi Heng San untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu
pengobatan agar dia dapat menggantikan kedudukanku dan melanjutkan usahaku.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 8
Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai memutar-mutar kedua matanya dan menggelengkan kepalanya.
”Belum, In-kong, Belum!” dia selalu menyebut In-kong (tuan penolong) kepada Lauw Cin.”
kepandaiannya masih belum matang dan belum cukup. Dia harus belajar lima tahun lagi!”
”Lima tahun lagi?” Suami Isteri itu berteriak hampir berbareng saking kagetnya mendengar
ucapan pengemis tua yang kini berpakaian rapi dan bersih, dan tidak pantas disebut
pengemis itu.”Paman, untuk apa dia harus belajar lima tahun lagi?” teriak Lauw Cin
penasaran ”Apa gunanya? Apakah dia bisa kenang karena main silat? Apa dia bisa
menghasilkan sesuatu dengan ilmu silatnya?”
”Benar sekali kata-kata suamiku, paman!” kata pula isteri Lauw Cin yang ikut menjadi
penasaran.” Untk apa dia harus membuang-buang waktu untuk mempelajari ilmu silat lima
tahun lagi? Dia sudah dewasa, harus mendapatkan jodohnya. Apakah kelak dia harus
memberi makan anak dan isterinya dengan ilmu silat? Buktinya, dia bersusah payah
mempelajari ilmu silat lima tahun dan apa hasilnya?”
Kakek itu menghela napas lalu melompat ke atas pembariangan dan duduk bersila.
”Hasilnya? Lihat saja sore nanti, pasti Heng San akan memperlihatkan hasil belajar silat
selama ini.” Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sin-kai lalu memejamkan kedua matanya,
bersemedi seperti biasanya. Melihat kakek bersamadhi, Lauw Cin dan isterinya tidak
berani mengganggu lagi dan keluar dari kamar kakek itu. Mereka merasa penasaran dan
tidak puas.
”Apa sih yang dimaksudkan ketika dia berkata bahwa sore nantu Heng San akan
memperlihatkan hasilnya belajar silat selama ini?” isteri Lauw Cin mengomel ketika
mereka sudah berada di dalam toko obatnya.
Pada sore harinya, ketika Lauw Cin dan isterinya sedang sibut membungkus obat,
terjadilah keributan di atas jalan depan rumah dan toko mereka. Ada seorang anak
penggembala menggiring tiga ekor kerbaunya, agaknya hendak diajak pulang ke kandang.
Tiba-tiba seekor dari kerbau-kerbau itu yaitu yang paling besar dan kuat karena kerbau itu
jantan dan sudah dewasa, menguak dengan keras, lalu mendengus-dengus,
mengguncang-guncang kepala yang bertanduk melengkung dan runcing itu, kemudian lari
ke kanan kiri dan mengamuk.
”Awas...! Kerbau gila mengamuk! Lari...! Lari...! terdengar beberapa orang berteriak dan
semua orang yang berada di jalan itu berlarian cerai-berai. Sebuah kereta dorong yang
berada ditepi jalan, didepan toko Lauw Cin, diseruduk kerbau yang mengamuk itu
sehingga menjadi berantakan dan pecah-pecah. Pendorongnya melompat dan lari sambil
berteriak ketakutan.
Kini kerbau yang mengamuk itu berada di dekat toko Lauw Cin. Melihat kerbau yang
matanya merah itu mendengus-dengus marah, Lauw Cin dan isterinya memandang
ketakutan, bahkan Nyonya Lauw Cin menjadi pucat dan gemetaran. Apalagi ketika mereka
melihat Heng San tiba-tiba melompat keluar dari toko dan dengan tenangnya pemuda itu
menghadapi kerbau yang mengamuk.
”Heng San larilah...! cepat lari Lauw Cin dan Isterinya menjerit-jerit, Pemuda itu menoleh
kepada mereka lalu tersenyum, ”tenanglah, ayah dan ibu.” katanya
Kerbau gila itu kini melihat Heng San. Dia mendengus marah, mendudukan kepalanya,
kaki depannya menggaruk-garuk tanah lalu menerjang ke depan.
”Heng San... Heng San... !!” kemudian ia terkulai lemas dalam pelukan suaminya.
Pingsan!
Menghadapi serudukan kerbau itu Heng San bersikat tenang namun dengan gerakan
tenang namun dengan gerakan lincah dia menghindar ke samping sehingga serudukan
kerbau itu sempat membalik untuk menyerang lagi, dia melompat dekat ke samping
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 9
kerbau, menggunakan tangan kiri menangkap tanduk kerbau dan tangan kanannya lalu
menyambar dengan pukulan kilat ke arah kepala kerbau.
Lauw Cin yang memeluk isterinya dan memandang ke arah puteranya, mata terbelalak
dan mukanya pucat, jantungnya berdebar tegang dan khawatir, hanya mendengar suara
”krakk” yang nyaring dan dia melihat betapa tubuh kerbau yang besar itu menjadi lemas
dan roboh diatas tanah, tak begerak lagi, darah mengalir dari kepalanya yang pecah.
Bukan Lauw Cin dan mereka yang kebetulan melihat peristiwa ini, bahkan Heng San
sendiri jelas tampak heran dan terkejut sampai berdiri terbelalak memandang bangkai
kerbau itu. Kemudian, seperti orang penasaran yang tidak percaya akan apa yang
dilihatnya sendiri, pemuda itu membungkuk dan memeriksa kepala kerbau itu dan dia
membersihkan tangannya yang berlepotan darah pada kulit leher kerbau itu.
Orang-orang datang berduyun-duyun untuk melihat jelas bahwa kerbau gila yang
mengamuk itu telah tewas. Tiada habisnya mereka memuji ketangkasan dan kehebatan
Heng San. Ramailah orang sekota membicarakan peristiwa itu. Mereka selain kagum juga
terheran-heran karena sebelumnya tidak ada yang tahu bahwa Heng San telah
mempelajari ilmu silat dari seorang sakti. Mereka memang tahu bahwa di rumah Lauw Cin
tinggal seorang Kakek kurus kering yang tampak lemah. Lauw Cin hanya mengatakan
bahwa kakek itu masih pamannya yang kini tinggal bersamanya.
Setelah memapah isterinya yang masih belum sadar benar dan masih lemas itu, Lauw Cin
memanggil puteranya. Seorang pembantu toko disuruh menjaga toko dan Heng San
memasuki kamar itu dengan senyum bangga karena kini baru dia menyadari bahwa
selama bertahun-tahun tekun belajar silat, kini tampak bukti dan hasilnya. Pat-jiu Sin-kai
juga berdiri diambang pintu kamar sambil tersenyum.
”Bagaimana pendapatmu tentang hasil latihan silat Heng San, Lauw In-kong?” tanya
kakek itu. Lauw Cin tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah puteranya dengan
kagum. Pada saat itu, Nyonya Lauw telah siuman kembali bangun duduk dan matanya
mencari-cari.
”Heng San..., Heng San....” Heng San segera menghampiri ibunya dan duduk disamping
ditepi pembaringan. ”Aku disini, Ibu, jangan takut, aku tidak apa-apa.”
Ibunya memandang penuh kasih sayang dan ia menghela napas lega melihat anaknya
berada didekatnya dengan selamat. Ia merangkul Heng San dan berkata, ”Ahh, Heng San,
jangan engkau membuat ibumu kaget setengah mati seperti tadi. Engkau tidak terluka?
Dan bagaimana kerbau itu tadi?”.
”Kerbau itu tidak melukaiku dan aku berhasil memukulnya mati, ibu.”
”Ah, sukurlah.” kata ibunya kagum.
”Aku harus mengganti kerugian kepada pemilik kerbau itu!” kata Lauw Cin dan dia lalu
menugaskan pembatunya menyelesaikan penggantian kerugian karena matinya kerbau
itu, Kemudian, untuk merayakan kemenangan puteranya, Lauw Cin menyuruh orang
membagi-bagikan daging kerbau itu kepada para tetangga.
”Nah, sekarang baru kalian suami isteri percaya bahwa apa yang kuajarkan kepada putera
kalian tidak sia-sia, bukan?” kata Pat-jiu Sin-kai setelah mereka duduk makan malam
bersama di ruangan makan.
”Saya girang sekali bahwa dia menjadi seorang pemuda yang kuat tangkas dan
pemberani, paman. Banyak terima kasih atas bimbingan paman selama lima tahun ini.”
kata Lauw Cin dan isterinya mengangguk menyetujui.
”Sekarang harap kalian tidak keberatan lagi membiarkan Heng San melanjutkan silatnya
selama lima tahun lagi, agar dia menjadi seorang yang benar-benar kuat dan pandai
sehingga kalian tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya lagi. Kalau dia sudah tamat
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 10
belajar jangankan baru seekor kerbau mengamuk, biar ada seratus ekor kerbau gila
sekalipun, di akan dapat menjaga diri dengan mudah. Pula, dia akan dapat menjadi
seorang pendekar budiman sehingga nama kalian sebagai orang tuanya akan terangkat
dan menjadi buah bibir dan pujian rakyat..”
Mendengar ucapan ini, Heng San kembali mendahului orang tuanya dan dia berlutut
didepan gurunya. ”Suhu (guru), teecu (murid) mohon bimbingan Suhu sampai selesai.”
Pat-jiu Sin-kai tertawa girang ”tentu saja aku akan lakukan itu Heng San, karena engkau
memang aku ingin melihat engkau belajar sampai tamat.”
”Heran sekali, bagaimanakah kerbau itu tiba-tiba menjadi gila dan mengamuk” Lauw Cin
bertanya kepada Pat-jiu Sin-Kai yang tertawa bergelak mendengar pertanyaan itu dan
kedua biji matanya semakin cepat berputaran.
”Sudah kukatakn tadi pagi bahwa Heng San akan memperlihatkan hasil pelajarannya.
Sekarang setelah terbukti, kuharap kalian tidak ragu-ragu lagi dan merelakan hati kalian
kalau aku melatih Heng San barang lima tahun lagi, agar dia kuat menjaga keselamatan
diri sendiri, juga keselamatan orang tuanya dan menjunjung tinggi namaku sebagai
gurunya.” Sambil masih tertawa girang, kakek itu lalu meninggalkan keluarga itu.
Tak seorangpun mengetahui bahwa kakek aneh itu tadi ketika tiga ekor kerbau yang
digiring itu lewat depan rumah keluarga Lauw, menggunakan kepandaiannya
menyambitkan sebatang jarum yang tepat mengenai belakang telinga kerbau terbesar
sehingga binatang itu menjadi terkejut dan kesakitan lalu mengamuk. Dan diapun telah
memesan untuk menghadapi kerbau yang mengamuk agar jangan sampai mencelakai
orang-orang dijalan.
Jilid 2
Kemenangan yang amat mudah melawan kerbau gila itu, yang roboh dan pecah
kepalanya hanya dengan sekali pukul saja, membuat Heng San semakin giat belajar. Kini
bahkan dia tidak mau lagi membaca kitab-kitab yang berisi filsafat dan tuntunan budi
pekerti itu yang disodorkan ayahnya. Dia manganggap ilmu silat jauh lebih bermanfaat dan
menyenangkan. Kini dia berani menolak dan mengabaikan petunjuk ayah dan ibunya,
tidak lagi penurut seperti dulu sebelum menjadi murid Pat-jiu Sin-kai.
Lima tahun lewat dengan cepatnya Sang waktu memang aneh. Kalau tidak diperhatikan,
ia melaju secepat cahaya sehingga bertahun-tahun lewat rasanya baru beberapa hari
saja. Akan tetapi kalau diperhatikan, sang waktu merayap amat lambatnya sehingga kalau
ada orang menanti sesuatu, penantian sehari rasanya seperti setahun! Selama lima tahun
terakhir, Heng San setiap harinya berlatih silat dan Pat-jiu Sin-kai mengajarkan semua
ilmu silat yang dikuasainya dan semua digubah menjadi silat tangan kosong yang
tangguh. Kini Heng San telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh dua
tahun yang bertubuh kokoh dan kuat sekali. Kepandaianya silatnya bahkan sudah
setingkat dengan Pat-jiu Sin-kai, bahkan kalau mau dibuat perbandingan, mungkin Heng
San lebih tangguh daripada gurunya karena dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat.
Hanya tentu saja Heng San masih kalah dalam hal pengalaman bertanding. Dalam latihan
bersama yang mereka lakukan bersama yang mereka lakukan. Pat-jiu Sin-kai merasa
betapa beratnya dia menangkis pukulan muridnya, sebaliknya Heng San kadang merasa
berat menghadapi perkembangan gerakan suhunya yang lebih rumit. Namun, sekiranya
mereka berkelahi sungguh-sungguh untuk dapat mengalahkan Heng San.
Akan tetapi Lauw Cin dan isterinya tidak merasa senang melihat perkembangan mereka
itu. Mereka melihat betama bersama meningkatnya kepadaian Heng San yang menjadi
seorang pemuda yang gagah perkasan dan tinggi ilmu silatnya, muncul pula sikat tinggi
hati dan sombong dalam diri anak mereka. Mereka cemas melihat betapa Pat-jiu Sin-kai
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 11
hanya dapat melatih ilmu silat saja dan sama sekali tidak mendidik pengetahuan batin dan
budi pekerti sehingga orang tua itu merasa khawatir kalau-kalau anak mereka menjadi
seorang sombong dan sewenang-wenang yng mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya.
Apa yang dikhawatirkan Lauw Cin dan isterinya terjadi beberapa pekan kemudian. Kalau
Heng San menguasai ilmu pengobatan, tentu tindakannya akan mendatangkan
kebahagiaan, baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Akan tetapi ternyata ilmu
silatnya hanya mendatangkan urusan dan permusuhan saja.
Pada suatu hari, Heng San lewat sebuah rumah besar. Diluar pintu depan yang besar itu
tergantung sebuah papan bertuliskan huruf-huruf yang indah, berbunyi : HUI HOUW
BUKOAN (Perguruan Silat Harimau Terbang). Heng San tahu bahwa rumah perguruan itu
dihuni oleh Ciang Kauwsu (Guru Silat Ciang) yang bertubuh tinggi besar dan kokoh.
Rumah perguruan silat itu merupakan satu-satunya di kota Lin-han-kwan dan telah dibuka
kurang lebih tujuh tahun yang lalu, Heng San tahu pula bahwa banyak pemuda
diantaranya ada beberapa orang tetangga dan teman-temannya, menjadi murid di Hui
How Bukoan dengan membayar iuran setiap bulan. Beberapa orang teman itu pernah
mengajaknya untuk berguru silat disitu, akan tetapi Heng San selalu menolak karena
secara diam-diam tanpa diketahui orang lain kecuali ayah ibunya, dia sudah mempunyai
guru, yaitu Pat-jiu Sin-kai yang ingin agar namanya dirahasiakan.
Ketika dia lewat depan rumah itu dia melihat daun pintu depan yang lebar itu terbuka dan
dari dalam terdengar teriakan-teriakan mereka yang berlatih silat. Dia menjadi tertarik dan
melangkah menghampiri. Setelah dia berdiri diambang pintu, dia melihat sekitar tiga puluh
orang laki-laki, pemuda dan bahkan orang tua, sedang berdiri berjajar berlapis-lapis
melakukan gerakan silat menurut aba-aba yang dikeluarkan seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Heng San pernah
melihat Ciang Kauwsu, orang yang memberi aba-aba itu. Karena guru silat itu berdiri
membelakanginya, maka dia tidak melihat munculnya Heng San di ambang pintu. Akan
tetapi para muridnya tentu saja melihatnya karena mereka semua menghadap keluar.
Mereka yang mengenal Heng San, terutama teman-teman dan tetangganya, otomatis
menghentikan gerakan silat mereka dan berseru gembira.
”Itu dia Heng San si Pembunuh Kerbau!”
Teriakan ini bermacam-macam nadanya. Ada yang bernada kagum, akan tetapi ada pula
yang bernada mengejek. Para murid ini hanya mendengar beritanya saja tentang Heng
San memukul kerbau gila, tidak menyaksikan sendiri.
Melihat keributan dan banyak muridnya menghentikan latihan, Ciang Kauwsu
mengerutkan alis dan diapun membalikkan tubuh menghadap ke arah Heng San yang
berdiri dan tersipu-sipu oleh julukan itu. Memang diapun mendengar bahwa yang
menyebutnya Heng San di Pembunuh Kerbau, entah memuji atau mengejek dia tidak
perduli.
Ciang Kauwsu melangkah maju menghampiri Heng San. Langkahnya perlahan dan
melenggang santai, seperti langkah harimau! Guru Silat satu-satunya di Lin-han-kwan ini
juga sudah mendengar akan peristiwa mengherankan itu, dimana katanya seorang remaja
membunuh seekor kerbau gila hanya dengan sekali pukul, pada hal anak itu tidak pernah
belajar silat. Tentu saja dia tidak percaya akan cerita itu dan menganggapnya dongeng
orang-orang bodoh yang berlebihan. Akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan anak
ajaib yang dikabarkan membuhuh kerbau gila itu. Timbul sebuah gagasan yang
menguntungkan dalam benaknya. Kalau pemuda yang terkenal ini mengaku bahwa dia
murid perguruan Hui Houw Bukoan, tentu banyak pemuda akan tetarik untuk belajar di
perguruan silatnya. Bahkan orang-orang dari kota lain akan berdatangan untuk berguru
kepadanya yang telah menghasilkan murid yang ajaib.!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 12
Kini Ciang Kauwsu sudah berhadapan dengan Heng San, dalam jarak dua meter. Biarpun
Pat-jiu Sin-kai tidak pernah mengajarkan sopan-santun kepadanya, namun sejak kecil
Heng San sudah dijejali budi pekerti baik oleh kedua orang tuanya, maka kini tanpa
disengaja lagi secara otomatis deapun menjura dan memberi hormat.
”Maafkan saya kalau saya mengganggu. Saya hanya kebetulan lewat dan ingin menonton
saja, Ciang Kauwsu.”katanya hormat.
”Engkaukah yang terkenal dengan julukan Heng San si Pembunuh Kerbau itu?” tanya
Ciang Kauwsu yang nama lengkapnya Ciang Hok.
”Nama saya Lauw Heng San.”
”Hem, aku sudah mendengar bahwa engkau putera si tukang obat Lauw Cin. Benarkah
lima tahun yang lalu, ketika engkau masih remaja, engkau telah membunuh seekor kerbau
gila dengan sekali pukul? Ahh! Aku tidak percaya itu. Tentu kabar itu kosong dan dilebihlebihkan
saja!” kata Ciang Kauwsu.
”Suhu mungkin sebelumnya kepala kerbau itu telah retak!” seru seorang murid dan
ucapan yang mengejek itu disambut gelak tawa.
Hati Heng San menjadi panas. ”terserah kepada kalian mau percaya atau tidak, aku tidak
peduli. Yang penting kenyataannya, melihat kerbau gila mengamuk, aku khawatir kalau
kerbau gila itu mencelakai orang, maka kupukul dia dan mati!”
Melihat pemuda itu tampak marah, Ciang Kauwsu lalu berkata, ”Heng San agar kami
dapat percaya, engkau harus membuktikan bahwa engkau memiliki kemampuan itu.”
”Hem, Ciang Kauwsu. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Bagaimana aku dapat
membuktikannya?” tanya Heng San dengan hati masih panas karena dia tidak dipercaya,
bahkan dijadikan bahan olok-olok.
”Begini, Heng San, engkau harus membuktikan bahwa engkau memang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sehingga mampu membunuh seekor kerbau gila. Untuk menguji
kemampuanmu itu. Engkau harus bertanding melawan aku. Biarpun engkau tidak mungkin
bisa menang melawan aku, akan tetapi aku tidak akan mencelakaimu. Kalau engkau
kalahpun, setidaknya aku sudah mengetahui bahwa engkau memang berkepandaian dan
setelah engkau kalah, engkau harus menjadi murid perguruanku dan mengaku kepada
siapa saja bahwa engkau murid Hui Houw Bukoan dan engkau menggunakan ilmu yang
kau pelajari dari kami untuk membunuh kerbau itu. Kalau engkau tidak berani menguji
kepandaian melawan aku dalam sebuah pi-bu yang adil, tanpa senjata, maka kami semua
akan menganggap engkau pembohong dan semua berita tentang membunuh kerbau gila
itu hanya bohong belaka.
Heng San mengerutkan alisnya, Guru silat ini sombong sekali, pikirnya dan para muridnya
itupun sombong.
”Suhu, mana dia berani melawan suhu?” seorang murid mentertawakan.
”Suhu, kalau melawan Suhu, dalam waktu satu jurus saja tentu dia sudah terjungkal. Lebih
ramai kalau dia melawan teecu (murid) saja!” kata seorang murid yang merupakan murid
kepala karena sudah lima tahun belajar silat disitu.
Pada sat itu, darah sudah naik ke kepala Heng San. ”Baik, aku terima tantanganmu, Ciang
Kauwsu. Kalau aku kalah, aku akan menjadi murid Hui Houw Bukoan, akan tetapi kalau
engkau yang kalah melawan aku?”
Ledakan suara tawa menyambut pertanyaan Heng San. Terdengar kata-kata ejekan,
bahkan seorang pemuda berkata, ”Heng San, pikirlah dulu kalau bicara! Masa suhu kalah
olehmu! Mana mungkin?”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 13
Ciang Kauwsu juga tertawa akan tetapi dia lalu membalik kepada para muridnya dan
mengangkat kedua tangan memberi isarat agar para murid tidak membuat gaduh. Setelah
suasana menjadi tenang, guru silat itu menghadapi Heng San kembali, ”Heng San kalalu
engkau kalah, aku mengharuskan engkau pai-kui (berlutut menyembah) kepadaku
sebanyak sepuluh kali dan engkau menjadi murid Hui Houw Bukoan sepeti kukatakan tadi.
Karena itu kalau aku yang kalah... heh-heh, engkau boleh mengajukan sarat, apa yang
harus kulakukan.”
”Baik, sekarang dengar baik-baik saratku, Ciang Kauwsu. Kalau engkau yang kalah,
engkau tidak usah pai-kui kepadaku, akan jelas engkau tidak pantas menjadi guru silat di
kota Lin-han-kwan ini, Karena itu, engkau harus menurunkan papan nama perguruanmu,
menutup perguruan silat dan tinggalkan kota ini.”
Para murid terbelalak, betapa beraninya pemuda itu! Ciang Kauwsu mengerutkan alis,
kumisnya yang tebal seperti berdiri semua, mukanya merah.
”Heng San, berani sekali engkau jangan salahkan aku kalau nanti engkau kalah dan
mengalami babak belur, benjol, memar dan tulang patah!” bentaknya.
”Sudah menjadi resiko orang yang berani pi-bu (adu silat) mengalami luka-luka!” Jawab
Heng San.
”Bagus, hayo ke tengah ruangan silat,” katanya sambil membalik dan melangkah ke
dalam, berseru kepada para murid, ”kalian semua mundur membuat lingkaran lebar, beri
kami tempat yang leluasa dan lihatlah betapa guru kalian menghajar pemuda yang
sombong ini!”
Heng San mengikuti guru silat itu ke tengah ruangan. Para murid membuat lingkaran yang
cukup lebar dan semua memandang dengan wajah penuh ketegangan. Yang suka kepada
Heng San menjadi cemas, akan yang tidak suka menjadi gembira karena mereka semua
yakin bahwa Ciang Kauwsu tentu akan memberi hajaran keras kepada Heng San yang
berani mengajukan saran yang dianggap merendahkan dan menghina itu.
Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan dan sling beradu pandang seperti dua ekor
ayam jago hendak berlaga. Heng San sudah dewasa benar. Tingginya tidak kalah
dibandingkan Ciang Hok, walaupun tubuhnya tidak sebesar guru silat itu. Biarpun
selamanya dia belum pernah bertanding ilmu silat, namun hatinya sama sekali tidak
merasa gentar. Gurunya sendiri sudah mengatakan bahwa dia tidak akan kalah bertanding
dengan siapapun juga di kota ini. Dan walaupun dia belum pernah bertanding dalam arti
yang sesungguhnya berkelahi, namun sering sekali dia bertanding silat melawan gurunya
dan sewaktu latihan bertanding ini, Pat-jiu Sin-kai tidak main-main melainkan menyerang
sungguh-sungguh. Perasaan takut berarti kalah sebelum bertanding, demikian nasehat
gurunya.
Ciang Hok sudah memasang kuda-kuda dengan ilmu andalannya yang juga dipergunakan
sebagai nama perguruannya, yaitu Hui Houw Bukoen. (Ilmu Silat Harimau Terbang).
Pasangan kuda-kuda itupun tampak gagah sekali, dengan kedua kaki sedikit terpentang
dan lutut ditekuk, kemudian kemudian kedua tangan bersilang dengan jari-jari itu
membentuk cakar harimau, kelihatan jari-jari itu mengandung tenaga kuat dan otot-ototnya
menonjol, menyeramkan.
”Heng San, hayo maju seranglah. Hendak kulihat bagaimana engkau dapat memukul
roboh kerbau gila itu dengan sekali pukul!?” kata guru silat Ciang sambil menyeringai dan
memandang rendah.
Heng San juga memasang kuda-kuda tetapi sikapnya biasa saja, kaki kiri didepan dan
kaki kanan di belakang kedua lutut ditekuk dan kedua tangan berada dibawah kanan kiri
pinggang.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 14
”Ciang Kauwsu, engkaulah yang menantang pertandingan dan engkau lebih tua daripada
aku, maka engkau yang sepantasnya mulai lebih dahulu. Nah mulailah, aku sudah siap!”
kata Heng San tanpa maksud memandang rendah, melainkan hanya ingat akan akan
keharusan bersikap sopan dan mengalah terhadap orang yang lebih tua seperti yang
diajarkan ayah ibunya. Pada hal, melihat guru silat itu dari dekat, Heng San dapat melihat
ciri-ciri seorang yang mengandalkan tenaga otot dan kerasnya tulang sehingga dia merasa
lebih yakin bahwa yang dia hadapi bukanlah lawan berat, walaupun dia tidak mau
memandang ringan.
Mendengar ucapan Heng San, guru silat Ciang ini mengerutkan alisnya karena dia
menganggap ucapan yang sopan itu mengandung tantangan yang memandang rendah
kepadanya. Timbul niatnya untuk menghajar bocah sombong itu.
”Awas! Sambut seranganku ini!” bentaknya dan bentakan ini disambung suara auman
mirip auman seekor harimau. Agaknya memang auman ini sengaja dikeluarkan untuk
menambah wibawa dan sesuai pula dengan nama ilmu silat dan perguruannya, yaitu
Harimau terbang. Tubuhnya sudah melompat dan menerjang ke depan, tangan kiri
memancing dengan cakaran ke arah muka Heng San sedangkan serangan intinya adalah
sebuah tonjokan dengan kepalan tangan kanan ke arah dada Heng San. Beberapa batang
tulang iga pemuda itu dapat dipastikan akan patah-patah kalau pukulan itu mengenai
sasaran.
Heng San dapat melihat datangnya serangan pancingan dan serangan inti ini dengan
jelas. Dia melangkah mundur membiarkan cengkeraman itu lewat. Ketika lawan
melangkah maju dan kepalan tangan kanan menyambar ke arah dadanya, dia sengaja
mendiamkan saja dan diam-diam dia menyalurkan sin-kang (tenaga sakti) ke arah
dadanya yang akan menerima pukulan, mengerahkan ilmu Tiat-pouw-san (ilmu kebal Baju
Besi).
”Wuutt... dukkk!” kepalan tangan kanan Ciang Hok bertemu dada dan dia mental ke
belakang. Tangan kanannya terasa nyeri bukan main seolah bertemu dengan dinding
baja! Selagi dia terhuyung ke belakang kaki kiri Heng San mencuat dan menyambar ke
arah dadanya.
”Wuuuttt... desss!” tubuh Ciang Hok terlempar dan jatuh terjengkang. Para murid Huihouwbukoen
terbelalak kaget. Mereka merasa seperti sedang mimpin. Guru mereka yang
mereka bangga-banggakan itu roboh hanya dalam segebrakkan saja! Tidak mungkin! Ini
tentu hanya kebetulan saja.
Jangankan para murid yang hanya menjadi penonton, bahkan Ciang Hok sendiri yang
mengalami hal itu merasa seperti dalam mimpi. Diapun tidak percaya bahwa dalam
segebrakan saja dia telah roboh oleh pemuda itu. Sebetulnya hal itu tidaklah aneh,
Biarpun Ciang Hok telah menjadi guru silat, namun ilmu silatnya hanya matang diluarnya
saja. Dia hanya dapat menguasai kulitnya saja, tidak pernah mendapatkan isinya dan
tenaganyapun hanya tenaga kasar, tenaga otot yang disebut gwa-kang (tenaga luar).
Sebaliknya Heng San selama sepuluh tahun dididik oleh seorang pendekar sakti dan dia
telah menguasai inti ilmu silat sehingga setiap gerakkannya tidak dikendalikan pikiran lagi.
Setiap gerakkannya sudah merupakan jurus baru yang disesuaikan dengan keadaan saat
itu, dan pemuda inipun sudah menguasai tenaga sakti. Setiap dia bergerak untuk
bertanding silat, maka tenaga dalamnya sudah tersalur dan dapat dikendalikan,
digerakkan ke manapun.
Guru silat Ciang yang penasaran sekali belum mau mengaku kalah. Dia melompat bangun
lagi, mukanya merah dan matanya berapi-api.
”Sambut ini!” bentaknya dan sambil menggereng seperti harimau terluka diapun melompat
dan menerkam ke arah Heng San. Kini kedua tangannya membentuk cakar dan
mencekeram kearah leher dan perut, seperti harimau menerkam domba. Serangan ini
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 15
berbahaya sekali dan kalau leher dan perut Heng San terkena cengkeraman jari-jari
tangan yang kuat seperti cakar harimau itu, tentu leher dan perutnya akan robek dan dia
dapat tewas seketika.
Menghadapi sertangan yang ganas ini Heng San menjadi marah. Orang ini bukan hendak
menguji kepandaian lagi pikirnya, melainkan menyerang untuk membunuh. Dia lalu cepat
menggerakkan kedua tangannya, bagaikan dua ekor ular menyambar, tahu-tahu dia telah
berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan. Cepat sekali dia membuat gerakan
memuntir dan sekali menyentakkan kedua tangan dengan pengerahan tenaga dalam,
tubuh Ciang Hok telah terangkat dan Heng San melontarkan tubuh itu lewat atas
kepalanya ke belakang.
”Wuuutt..... brukkk!!” tubuh Ciang Hok terbanting keras sekali ke atas lantai dan dia
mencoba bangkit, namun terkulai kembali karena kaki kirinya terasa nyeri dan lengan
tangannya juga terkilir!. Beberapa muridnya segera datang membantu dan memapahnya
bangkit berdiri.
Dengan muka pucat Ciang Hok memandang kepada Heng San, lalu menunddukkan
mukanya dan berkata, ”sudahlah! Aku memang tidak pantas menjadi guru silat di kota
ini...”
”Bagus Kalau kau menyadari hal itu. Lebih baik lagi kalau engkau segera menutup
perguruan ini dan meninggalkan Lin-han-kwan.” Setelah berkata demikian, Heng San
membalikkan tubuhnya keluar dari rumah perguruan itu. Para murid mengikutinya dan
ketika tiba di luar Heng San mendongak memandang ke arah papan lebar yang ditulisi
perguruan itu.
”Papan ini harus diturunkan!” Katanya dan tiba-tiba dia mendorongkan telapak tangannya
ke arah papan itu sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti).
”wuuuttt... brakkk!” papan itu pecah menjadi dua potong dn jatuh dari gantungannya. Para
murid Hiu-Houw-bukuon terbelalak. Papan itu amat tebal namun pecah dan jatuh terkena
hawa pukulan jarak jauh Heng San. Mereka menjadi jerih dan segera masuk kembali ke
dalam rumah perguruan itu.
”Pada hari itu juga. Perguruan Silat Harimau Terbang ditutup dan Ciang Hok membawa
barang-barangnya meninggalkan kota Lin-han-kwan, entah pindah kemana tidak ada yang
tahu. Ketika Law Cin mendengar akan peristiwa itu, dia memarahi Heng San didepan Patjiu
Sin-kai.
”Hengsan! Engkau telah berubah menjadi seorang tukang pukul yang jahat! Kenapa
engkau mengganggu Guru Silat Ciang Hok yang tidak bersalah? Dia membuka perguruan
silat di kota ini, apa hubungannya denganmu? Kenapa engkau berkelahi dengan dia dan
mengalahkannya, sehingga dia merasa malu dan menutup perguruannya lalu pergi
meninggalkan Lin-han-kwan.?”
Heng San diam saja. Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai yang berada disitu tertawa bergelak. ”Ha
ha ha, In-kong dan Lauw Toanio! Apa yang dilakukan Heng San itu adalah hal yang
lumrah saja terjadi di dunia persilatan. Pertandingan itu bukan perkelahian, melainkan pibu
(pertandingan silat) untuk menguji ilmu silat masing-masing. Kalau Ciang Hok kalah
lalu merasa malu dan menutup perguruannya dan meninggalkan Lin-han-kwan, hal itu
adalah biasa saja dan tidak perlu dipersoalkan. Heng San sama sekali tidak bersalah!”
Melihat ayah dan ibunya masih marah, Heng San lalu berkata. ”Ayah dan Ibu, percayalah
bukan aku yang menantang pertandingan. Ketika itu aku mampir nonton latihan mereka.
Tahu-tahu dia menghina dan mengejekku, dan guru silat Ciang itu menantangku dan
mengatakan bahwa kalau kami bertanding dan aku kalah, aku harus mengakuinya
sebagai guruku. Sebaliknya kalau dia yang kalah, dia akan menutup perguruan dan pergi
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 16
dari kota ini. Karena sikapnya yang sombong dan menghina, maka aku menerima
tantangannya dan akibatnya dia kalah dan pergi dari kota ini. Aku tidak bersalah, Ayah.”
Karena merasa sungkan kepada Pat-jiu Sin-kai, Lauw Cin dan isterinya tidak berkata apaapa
lagi, namun di dalam hati mereka, kedua orang tua ini sangat kecewa sekali. Mereka
membayangkan dalam usianya yang dua puluh dua tahun seperti sekarang ini, kalau saja
Heng San tidak menjadi murid Pengemis tua itu tentu dia kini sudah dikenal diseluruh kota
sebagai seorang ahli obat muda yang sudah banyak menolong dan menyembuhkan orang
sakit sehingga nama keluarga mereka menjadi semakin harum. Akan tetapi sekarang
mereka mempunyai anak tunggal yang menjadi tukang pukul.
****
Peristiwa itu sebulan kemudian disusul dengan peristiwa lain yang lebih menggegerkan
pula. Pada suatu pagi, Heng San yang melihat ayah dan ibunya selalu berwajah muram,
mulut mereka cemberut dan alis mereka berkerut setiap kali memandangnya sehingga dia
maklum bahwa mereka masih marah sekali kepadanya, lalu meninggalkan rumah untuk
mencari hawa segar dan menghibur hatinya yang menjadi kesal dan murung. Dia berjalanjalan
tanpa tujuan dan kedua kakinya membawanya memasuki sebuah taman umum yang
berada di sudut kota, di dekat pintu gerbang sebelah barat kota Lin-han-kwan.
Hatinya yang murung menjadi gembira, ketika melihat keadaan taman umum, ketika dia
melihat keadaan taman umum itu yang indah karena pada saat itu musim bunga telah tiba
dan tanaman itu semua sudah mulai berbunga. Karena itu, banyak orang, terutama orangorang
muda yang pada pagi hari yang cerah itu, mengunjungan taman. Suasana dalam
taman itu sungguh menyenangkan.
Ketika Heng San tiba disebuah kolam ikan emas yang berada di sudut taman, dia melihat
tiga orang gadis mida yang sedang bermain-main di tepi kolam, melemparkan makanan ke
arah ikan-ikan yang berada dalam kolam. Suara tawa mereka yang tertahan-tahan dan
merdu itu membuat suasan menjadi semakin segar dan nyawam bagi Heng San. Dia
melihat bahwa seorang di antara tiga orang gadis itu cantik sekali, berpakaian merah
muda dan biarpun dandanannya tidak mewah, namun pakaiannya cukup rapi dan bersih.
Adapun dua orang gadis lainnya agaknya merupakan teman atau juga pengikutnya,
karena pakaian mereka seperti pakaian pelayan yang lebih sederhana. Gadis itu berusia
kurang lebih delapan belas tahun dan dua orang temannya itu lebih muda, sekitar lima
belas tahun usia mereka.
Pada waktu itu, pemerintah kerajaan yang baru, yaitu kerajaan Ceng yang didirikan oleh
bangsa Manchu yang berhasil menduduki dan menjajah cina, mengadakan peraturanperaturan
yang harus ditaati seluruh rakyat bangsa Han, yaitu bangsa aseli Cina. Semua
laki-laki diharuskan memelihara rambut seperti halnya para laki-laki bangsa Manchu.
Karena rambut yang panjang itu berabe sekali, maka menurut kebiasaan waktu itu, rambut
itu dikuncir, menjadi kuncir panjang yang digantung di belakang punggung. Heng San dan
para pria yang berada dalam taman juga mempunyai kuncir seperti itu. Rambut Heng San
yang subur dan hitam itu dijadikan sebuat kuncih yang besar dan ujungnya diikat kain kain
sutera hitam. Kuncirnya panjang sampai di pinggang dan kadang kuncirnya itu dilibatkan
di lehernya sehingga dia tampak gagah sekali.
Heng San mengerutkan alisnya ketika serombongan laki-laki menghampiri tiga orang
gadis yang sedang bermain-main memberi makan ikan di empang itu. Mereka terdiri dari
belasan orang yang mengenakan pakaian seragam penjaga keamanan kota, membawa
sebatang golok tergantung di pinggang masing-masing. Hanya petugas-petugas
pemerintah dan para pembesar machu saja, dan beberapa orang Han yang menjadi antek
penjajah dan menjadi pembesar-pembesar kecil, yang diperbolehkan membawa senjata
tajam. Rakyat jelata dilarang membawa senjata tajam. Siapa berani melanggar akan
ditangkap dengan tuduhan memberontak!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 17
Dua belas orang prajurit penjaga keamanan kota itu mengikuti seorang laki-laki yang
usianya sekitar tiga puluh tahun lebih dan melihat pakaiannya mudah diketahui bahwa dia
adalah seorang bangsawan Manchu, atau putera seorang pembesar tinggi. Heng San
segera mengatahui siapa orang itu. Biarpun dia tidak mengenalnya karena putera seorang
pembesar Manchu mana yang mau bersahabat dengan seorang pemuda biasa. Dia tahu
bahwa bangsawan Manchu muda itu adalah Bauw Mauw, putera Jaksa Bauw seorang
pembesar yang berkuasa di kota Lin-han-kwan. Dia melihat betapa Bauw Mauw
mendekati gadis-gadis itu dan bicara dengan gadis cantik berpakaian merah muda. Gadis
itu tampak takut dan malu-malu, sedangkan Bauw Mauw tersenyum-senyum dan kelihatan
seperti menggoda dan merayu. Karena merasa curiga, Heng San berjalan mendekati,
padahal orang-orang lain yang berada di taman itu pergi menyingkir dan kelihatan takut
kepada Bauw Mauw dan para pengawalnya. Setelah dekat, Heng San mendengar
percakapan mereka dan agaknya gadis berpakaian merah muda itu kini berbantahan
dengan Bauw Mauw.
”Tidak, Koncu (tuan muda), saya tidak mau...!” gadis itu berkata dan nada suaranya marah
akan tetapi juga takut.
”Engkau harus mau mengikuti aku karena saat ini kalian bertiga kami tangkap!” Bauw
mauw lalu memberi isarat dengan tangan kepada dua belas orang pengawalnya yang
segera maju mengepung tiga orang gadis yang tampak ketakutan itu. Apalagi dua orang
gadis pembantu rumah tangga itu tampak takut sekali dan mereka mulai menangis.
”Ditangkap? Kongcu, apakah kesalahan kami maka ditangkap?” gadis itu membantah,
walaupun wajahnya berubah pucat.
”Nanti kalian akan tahu kalau sudah diperiksa dikantor ayahku! Ingat, ayah adalah jaksa di
kota ini dan kami berhak menangkap siapa saja yang kami curigai. Hayo Jalan!” tiga orang
gadis itu didorong-dorong para pengawal dan sambil menangis terpaksa melangkah maju.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu dari jarak jauh tidak ada yang berani mencampuri.
Akan tetapi Heng San yang menjadi penasaran sekali. Dia segera membayangi
rombongan yang menawan tidak orang gadis itu.
Tentu saja dia menjadi terheran-heran melihat bahwa rombongan itu tidak menuju ke
kantor kejaksaan seperti yang diduganya, melainkan malah keluar dari pintu gerbang barat
kota itu!. Dia terus membayangi tanpa diketahui oleh rombongan itu dan tak seorangpun
penduduk yang begitu tolol untuk berani mencampuri urusan putera jaksa itu. Heng San
mengikuti terus dan melihat bahwa rombongan itu membawa tiga orang tawanannya ke
sebuah rumah mungil. Itulah rumah peristirahatan yang dibuat Jaksa Bauw, sebuah rumah
mungil di lereng bukit, di tempat yang sunyi dan berhawa sejuk. Tempat yang memang
nyaman sekali untuik beristirahat, menjauhi keramaian kota.
Setelah mereka semua memasuki rumah itu Heng San cepat menyusup di antara pohonpohon
dan semak-semak mendekati tumah itu. Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita keluar
dari sebuah jendela kamar yang tertutup. Heng San cepat menghampiri jendela itu dan
tanpa ragu lagi dia mendorong daun jendela sehingga terbuka. Matanya terbelalak melihat
pemuda Manchu putera jaksa itu sedang bergumul dengan gadis berpakaian merah muda.
Mereka bergumul di atas pembaringan, Bauw kongcu berusaha merenggut lepas pakaian
gadis itu sedangkan gadis itu sekuat tenaga berusaha mencegahnya.
Mereka tidak tahu bahwa jendela kamar sudah dibuka Hengsan dari luar, Bauw Koncu
yang sudah menggila oleh gairah nafsu itu sudah tidak melihat atau mendengat apa-apa
lagi. Heng San tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali menggerakkan tubuh, dia
sudah melompat ke dalam kamar. Sekali tangan kirinya mencengkeram dan merenggut,
tubuh itu dan terpelanting ke atas lantai. Tangan kanan Heng San menyambar ” dess...!”
pemuda bangsawan manchu itu terkapar, giginya rontok, mulutnya bredarah dan dia
pingsan seketika.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 18
Heng San mendengar jerintan-jeritan wanita diluar kamar. Cepat dibukanya ruangan
depan, kemarahan membuat mukanya berubah merah sekali ketika dia melihat betapa
dua orang gadis pembantu tadi dijadikan rebutan dua belas orang pegawal Bauw koncu.
”Jahanam-jahanam busuk!” dia berseru dan tubuhnya berkelebatan di antara dua belas
orang itu. Beberapa orang diantara mereka mencabut golok untuk melawan pemuda yang
mengamuk itu, namun perlawanan mereka tidak ada artinya bagi Heng San. Sorang demi
seorang roboh pingsan oleh pukulan atau tendangannya.
Tak lama kemudian tanpa banyak cakap, Heng San mengiringkan tiga orang gadis itu
untuk kembali ke kota Lin-han-kwan dan memesan agar untuk sementara waktu mereka
jangan keluar rumah dulu. Setelah itu, barulah dia pulang ke rumahnya.
Sebentar saja, kota Lin-han-kwan menjadi gempar. Begitu ada yang mengetahui Heng
San si pembunuh kerbau gila menghajar Bauw kongcu bersama sekelompok
pengawalnya, semua orang membicarakannya. Sebagian besar membicarakan peristiwa
itu dengan hati riang gembira karena bauw koncu terkenal mata keranjang dan suka
mengganggu anak bini orang dan Bauw taijin terkenal pula sebagai pemeras dan
penindas mengandalkan kekuasaannya dan suka bertindak sewenang-wenang.
Jilid 3
Akan tetapi, ketika Lauw Cin dan isterinya mendengar hal itu, mereka terkejut setengah
mati dan keduanya cepat menyerbu kamar Heng San. Saat itu Heng San telah
menceritakan pengalamannya kepada suhunya. Pat-jiu Sin-kai hanya tersenyum dan
mengangguk-angguk membenarkan tindakan muridnya. Pada saat mereka berbicara
berdua sedang berbicara, masuklah Lauw Cin dan isterinya. Dari sikap orang tuanya yang
menyerbu kamarnya dengan sikap tegang, maklumlah Heng San bahwa ayah ibunya
sudah tahu akan apa yang terjadi di rumah peristirahatan pembesar Lauw itu.
”Heng San! Bagaimana sih engkau ini?” tegur ibunya, ”Engkau berani memukuli Bauw
kongcu, putera jaksa Bauw sampai pingsan?”. ” Barangkali engkau sudah gila!” bentak
ayahnya, tidak peduli lagi bahwa Pat-jiu Sin-kai ada di situ. ”engkau akan menyeret
seluruh keluarga ini ke dalam malapetaka!”
”Ayah, Ibu, harap tenanglah. Aku sama sekali tidak bersalah. Bauw koncu itu dan selosin
pengawalnya sedang hendak memerkosa tiga orang gadis baik-baik, apakah aku harus
tinggal diam?”
Lauw Cin merasa mendongkol dan bingung sekali. Di lubuk hatinya, tentu saja dia dapat
melihat bahwa perbuatan puteranya itu membela wanita-wanita yang diperkosa, bahwa
perbuatan itu benar. Akan tetapi bagaimanapun juga hanya timbul dari hati sombong dan
mengandalkan ilmu silat sehingga akibatnya mendatangkan permusuhan dan keributan.
”Huh, tahukah engkau bahwa perbuatanmu itu dapat membuat kita sekeluarga dijatuhi
hukuman mati dengan tuduhan memberontah? Ah, anak bodoh! Aku harus cepat
menghadap Bauw taijin.!”
Lauw Cin segera berganti pakaian dan membawa semua uang tabungannya yang tadinya
disimpan untuk persediaan kalau puteranya menikah dan untuk menambah modal.
Kemudian sambil membawa semua uang itu pergilah dia ke rumah Bauw taijin.
Bauw taijin menerima Lauw Cin di ruangan tamu dan dia mengerutkan alisnya ketika
pengawal memberitahu bahwa Lauw Cin datang menghadap. Ketika Lauw Cin muncul di
pintu, dia segera menghardik.
”Hemmm, inilah yang bernama Lauw Cin, ayah dari pemuda pemberontah itu?”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 19
Dengan kedua kaki gemetar Lauw Cin segera maju dan menjatuhkan dirinya berlutut.
”saya mohon ampun sudilah kiranya paduka mengampuni anak saya yang bodoh.
Ampunilah keluarga kami yang bodoh, taijin. Saya berjanji bahwa saya tidak berani
melakukan kenakalan lagi. Semua ini hanya kesalah-pahaman, taijin, karena anak saya
yang tolol itu tidak mengenal Bauw koncu. Untuk menyatakan penyesalan kami, saya
mohon paduka sudi menerima sedikit bingkisan ini.”
Lauw Cin menyodorkan ”bingkisan”yang amat besar dan berat itu ke depannya dan
kembali dia memberi hormat dengan membungkuk sambil berlutut sehingga berkali-kali
dahinya menyentuh lantai. Akan tetapi pembesar itu menunjukkan pandang matanya ke
bungkusan yang berat itu dan mengira-ngira berapa isinya.
”Anakmu itukah yang dikenal sebagai Heng San si pembunuh kerbau gila itu?” tanyanya.
”Betul, taijin. Anak saya hanya seorang pemuda kasar dan bodoh.”
”Hemm, dan anakmu itu juga yang telah mengalahkan guru silat Ciang Hok yang
memimpin Hui-houw-bukoan itu, yang sekarang telah menutup perguruannya?”.
”Be.... benar, tai-jin. Anak saya memang nakal sekali, suka membikin keributan. Akan
tetapi saya berjanji untuk memperbaiki kelakuannya. Ampunkan kami, tai-jin yang mulia
dan bijaksana.”
”Hemm, siapakah guru yang mengajar ilmu silat anakmu itu?”
Karena ingin mendapatkan ampuj, Lauw Cin tidak berani berbohong. ”Yang mengajarnya
adalah seorang... pengemis tua, tai-jin”
”Hehhh....? seorang pengemis?”
”Ya, dia sudah sepuluh tahun tinggal dirumah kami.”
”Siapakah namanya?”
”Kami tidak tahu siapa namanya, tetapi hanya mengetahui nama julukkannya saja, yaitu
pat-jiu Sin-kai, tai-jin.”
Pembesar itu diam saja, akan tetapi diam-diam dia merasa terkejut bukan main. Dia sudah
mendengar akan nama Pat-jiu Sin-kai ini sebagai seorang tokoh kang-ouw yng terkenal
sakti, bahkan dia mendengar pula bahwa tokoh ini merupakan orang yang menjadi
perhatian pemerintah karena dianggap sebagai orang yang anti pemertintahan Mancu.
Gentarlah hari Jaksa Bauw. Dia menekan kemarahannya, bukan saja melihat uang
sogokan yang banyak itu, melainkan terutama sekali dia takut akan pembalasan Heng San
dan gurunya kalau dia bertindak keras.
”Baiklah, sekali ini kami mengampuni keluargamu, akan tetapi kalau anakmu itu masih
banmyak ulah lagi, kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukum
seluruh kelaurgamu! Nah pergilah!”.
”Terima kasih, tai-jin, terima kasih!”. Lauw Cin memberi hormat berkali-kali lalu
mengundurkan diri dengan hati lega akan tetapi juga jengkel sekali terhadap puteranya.
Setibanya di rumah dan melihat Heng San duduk di ruangan dalam bersama Pat-jiu Sinkai,
dia segera mendamprat anaknya didepan kakek itu. ”Heng San, engkau anak
durhaka! Perbuatanmu memukuli Bauw kongcu dan para pengawalnya itu sungguh
keterlaluan sekali! Aku memperbolehkan engkau belajar silat kepada gurumu bukan untuk
membikin engkau menjadi seorang tukang pukul dan merendahkan nama orang tuamu
saja! Engkau memancing permusuhan dan mencelakakan keluarga kita sendiri.”
”Akan tetapi, ayah. Orang-orang itu memang pantas dipukul!”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 20
Lauw Cin menggebrak meja dengan marah ”engkau yang pantas dipukul! Kenapa engkau
usil dan suka mencampuri urusan orang lain? Dengar baik-baik, mulai sekarang engkau
kularang keluar dari rumah ini. Mulai sekarang engkau harus membantu aku mengurus
pekerjaanku, dan belajar bekerja. Aku sudah tua, siapa yang akan menjadi penggantiku
kalau aku mati, kecuali engkau? Engkau buakan belajar menjadi penolong orang dan
mempelajari pengobatan, sebaliknya engkau malah menjadi pemukul dan mencelakai
orang orang lain!” setelah berkata demikian, ayah yang marah itu meninggalkan Heng San
dan Pat-jiu Sin-kai yang sejak tadi hanya diam saja.
Tak lama kemudian, ibu Heng San memasuki kamar itu sambil menangis.
”Ah, ada apakah, ibu?” Heng San bangkit dan merangkul ibunya. Nyonya Lauw merangkul
anaknya sambil menangis. Setalah reda tangisnya, nyonya itu berkata, ”Aduh, Heng San,
kenapa engkau membikin ayahmu marah dan ibumu bersedih hati? Tahukah engkau
akibat dari pemukulanmu terhadap Bauw kongcu? Ayahmu menguras semua harta
simpanan kita untuk diberikan kepada Bauw tai-jin agar pembesar itu tidak mencelakai
kita. Pada hal..... semua harta itu dikumpulkan selama bertahun-tahun, disediakan untuk
pernikahan dan modal usaha.” Ibu itu menangis lagi. Heng San membujuk dan
menghiburnya. Setelah berhenti menangis, nyonya Lauw meninggalkan ruangan itu, tanpa
berkata apapun bahkan tanpa menoleh kepada Pat-jiu Sin-kai.
Heng San merasa sedih sekali, dia tidak dapat mengerti mengapa ayahnya marah dan
mengapa pula ayahnya menyerahkan semua simpanan hartanya kepada bauw tai-jin.
Bukankah putera pembesar Mancu itu yang bertindak jahat mengganggu gadis dan
bahkan hendak memperkosanya? Bukankah para pengawal itupun hendak memperkosa
dua orang gadis pembantu itu? Bukankah dengan menghajar mereka dan dia telah
menolong tiga orang gadis itu dan telah membuat jera laki-laki jahat yang mengganggu
keamanan penduduk Lin-han-kwan? Mengapa bahkan ayahnya mengatakan dia tukang
pukul orang dan tukang mencelakai orang?.
Dia duduk termenung, tenggelam ke dalam kesedihan sehingga lupa bahwa gurunya juga
duduk dalam ruangan itu dan sejak tadi mengamatinya sambil tersenyum.
”Seorang laki-laki tidak perlu bersedih atau kecewa dan putus asa menghadapi segala
persoalan yang datang, melainkan sepatutnya menghadapinya sebagai tantangan. Di
mana kejantananmu? Tidak perlu bersedih, tidak perlu melamun, yang perlu
bertindaklah!.”
”Bagaimana teecu harus bertindak, suhu? Sekali ini teecu bukan menghadapi sembarang
orang yang dengan mudah saja dapat teecu lawan! Teecu menghadapi kemarahan ayah
dan kesedihan ibu, bagaimana teecu dapat bertindak.”
”Heng San, aku tidak terlau menyalahkan ayah ibumu. Mereka adalah orang-orang yang
baik budi namun lemah. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kegagahan dan keadilan yang
dijunjung tinggi orang-orang gagah dunia kang-ouw seperti kita.”
”Lalu, apa yang harus teecu lakukan suhu? Ayah melarang teecu keluar rumah dan
mengharuskan teecu menbantu pekerjaan ayah di toko obat. Teecu tidak berani
membantah dan menentang kehendaknya.”
Pat-jiu Sin-kai tersenyum dan mengelus jenggotnya yang jarang. ”hemmm, terserah
kepadamu. Kalau begitu, turuti saja kemauan ayahmu.”
Heng San mengehela napas dan mengerutkan sepasang alisnya yang hitam tebal. ”teecu
tidak suka, suhu. Teecu tidak suka berdiam saja dirumah, terkurung dan menjadi ketak
dalam sumur, tidak dapat melihat keadaan dunia di luar sumur.”
Pat-jiu Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum lebar. ”Memang demikianlah sifat
seorang pendekar silat, Heng San, selalu ingin merantau meluaskan pengetahuan dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 21
menambah pengalaman, ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Muridku, aku
berhutang nyawa kepada ayahmu dan sampai matipun aku tidak mau menyakiti hatinya.
Akan tetapi kini kulihat bahwa engkau memang tidak berjodoh untuk menjadi tukang obat
seperti ayahmu. Engkau bertulang pendekar. Semua ilmu kepandaianku sudah kuajarkan
kepadamu dan aku tidak memyombong kalau kukatakan bahwa tingkat kepandaianmu
sudah cukup tinggi dan engkau tidak perlu kuatir lagi menghadapi para penjahat. Bekal
kepandaianmu cukup untuk menjadikan engkau seorang pendekar yang disegani,
walaupun tentu saja masih banyak orang yang tingkatnya sama bahkan lebih tinggi
darimu.”
”Lebih tinggi, suhu? Teecu ingin bertemu dengan mereka dan meluaskan pengetahuan
dengan belajar dari mereka.”
Pat-jiu Sin-kai tersenyum lebar. ”demikianlah seharusnya semangat orang muda. Selalu
tidak mau kalah dan ingin memperoleh kemajuan. Akan tetapi, Heng San, sesungguhnya
untuk masa ini, tidaklah mudah mencari orang yang pantas menjadi gurumu. Tingkat
kepandaianmu sudah cukup tinggi, hanya belum matang. Kalau saja engkau merantau di
dunia kang-ouw selama tiga atau lima tahun saja, pengetahuanmu juga bertambah dan
kepandaianmu dengan sendirinya akan meningkat."
"Merantau seperti para pendekar, seperti yang sering suhu ceritakan itu?"
"Ya, seperti para pendekar itulah, menjalankan darmabakti dengan menolong sesama
manusia yang mendapatkan kesukaran dan terutama yang tertindas. Membela kebenaran
dan keadilan, membasmi mereka yang jahat dan yang meng gunaki:m kekuatan dan
kekuasaan menindas kaum lemah. Dengan begitu, maka tidak akan sia-sialah engkau
bersusah payah mempelajari ilmu silat selama sepuluh tahun ini."
"Ah, suhu! Itulah yang menjadi cita-citaku, yang kupikirkan siang malam." Gurunya
memandang penuh selidik, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Heng San,
bagaimanapun juga, lebih baik aku berterus terang kepadamu. Ketahuilah bahwa segala
sesuatu di dunia ini mempunyai dua permukaan yang berlawanan. Permukaan yang baik
dan permukaan yang buruk. Merantau sebagai seorang pendekar meluaskan
pengalaman, memang ada baiknya, akan tetapi juga ada buruknya."
"Apakah buruknya, suhu?"
"Permukaan atau segi buruknya banyak, Heng San. Banyak sekali godaan bagi orang
yang hidup merantau. Kehidupannya menjadi liar, tidak tetap, bahaya mengancam dari
mana-mana. Dan jika engkau tidak berhati-hati, banyak hal yang dapat menyeretmu ke
jalan sesat yang selalu menjanjikan kenikmatan. dan kesenangan. Lihatlah aku ini sebagai
contoh. Aku tukang merantau, malang melintang di dunia kang-ouw. Apa jadinya dengan
diriku? Setelah tua, aku menjadi seorang gelandangan yang berpenyakitan, tiada
gunanya, seorang pengemis tua yang tentu sudah mati kedinginan di tepi jalan kalau saja
ayahmu tidak demikian baik hati menolongku. Memang, ada benarnyajuga ayahmu
memaksa engkau mengikuti jejaknya. Kalau engkau menjadi pengganti ayahmu, engkau
akan dikawinkan, berumah tangga, memiliki anakanak dan hidup bahagia dengan
keluarga, tidak menghadapi bahaya dan dapat hidup damai dan tenteram."
"Akan tetapi teecu tidak suka, suhu. Teecu merasa bosan dengan kehidupan tenter am
tanpa tantangan. Teecu justeru ingin dihadapkan tantangan dan bahaya, ingin menempuh
bahaya, ingin menguji kekuatan sendiri, dan ingin hidup bebas seperti seekor burung di
udara."
Pat-jiu Sin-kai memandang muridnya dan kedua matanya berputaran, mulutnya tersenyum
lebar. "Memang begitulah darah pemuda! Nah, kalau sudah tetap pendirianmu, tidak pergi
sekarang mulai dengan pengembaraanmu, mau tunggu kapan lagi?"
Heng San terkejut dan menatap wajah gurunyadengan mata terbelalak. "Sekarang, suhu?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 22
"Ya, sekarangl Takutkah engkau? Masih ragu-ragu?"
"Tidak, suhu. Apakah, suhu hendak pergi juga? Mari kita merantau bersama, suhu."
"Hemm, engkau menghendaki kawan? Takutkah engkau pergi seorang diri? Kalau takut,
lebih baik tidak usah pergi, Heng San."
"Bukan· takut, suhu. Akan tetapi kalau suhu hendak pergi, bukankah lebih baik kalau kita
pergi bersama?"
"Tidak, Heng San. Kita harus berpisah. Sudah sepuluh tahun engkau belajar silat dariku.
Kini aku sudah tua, tubuhku sering sakit. Aku harus mengaso. Engkau pergilah sendiri,
akan tetapi ingat baik-baik. Jangan sekali-kali membiarkan dirimu diperhamba nafsu
sendiri, jangan mempergunakan semua ilmu yang selama ini kaupelajari untuk berbuat
jahat. Kalau sampai engkau tersesat dan menecemarkan nama baik orang tuamu dan
gurumu dengan perbuatanmu yang jahat, aku akan mencarimuj dan menghukummu!"
"Tee-cu akan selalu menaati semua petunjuk dan perintah suhu. Malam hari ini juga teecu
akan berangkat pergi, harap suhu dapat menutupi kepergian teecu sehingga ayah dan ibu
tidak akan tahu sebelum besok pagi."
"Baiklah, Heng San."
Heng San lalu menjatuhkan diri berlutut di de pan suhunya.
"Teecu menghaturkan ban yak terima kasih at as semua bimbingan suhu selama ini. "
Pat-jiu Sin-kai mengangkat bangun pemuda itu dan Heng San lalu berkemas. Setelah
malam tiba, dia menggendong buntalan pakaian dan bekalnya,. meninggal kan sepucuk
surat dalam sarmpul yang sudah ditulisnya tadi, kemudian dia melompat keluar dari
jendela kamarnya, menyelinap dalam kegelapan malam dan meninggalkan rumah orang
tuanya.
Beberapa kali dia harus menoleh dan memandang rumah yang diselimuti kegelapan
malam itu, rumah di mana dia terlahir dan di mana selama duapuluh dua tahun dia hidup
dan tumbuh dewasa. Ketika dia teringat akan orang tuanya, terutama ibunya, kedua
matanya menjadi panas dan basah. Hampir saja dia membatalkan kepergiannya. karena
merasa iba kepada ibunya. Akan tetapi dalam telinga nya terngiang kata-kata suhunya,
"Seorang jantan yang gagah perkasa harus berani mengambil keputusan, tabah dan tidak
cengeng!"
Dia lalu melompat dan pergi meninggalkan rumah i tu, meninggalkan kota Lin-han-kwan
dan pergi tanpa tujuan tertentu karena memang niatnya merantau, ke mana saja hati dan
kedua kakinya akan membawanya.
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah naik tinggi namun belum melihat Heng San
keluar dari kamarnya, Nyonya Lauw lalu mengetuk daun pintu kamar puteranya. Tidak ada
jawaban. Ia mendorong pintu dan ternyata daun pintu terbuka. Kamar itu kosong,
pembaringan tampak rapi, tidak kusut. Jendela kamar itu juga terbuka. Ketika melihat
sebuah sampul tertutup di atas meja, Nyonya Lauw merasa jantungnya berdebar tegang.
Diambilnya sampul surat itu dan berlari mencari suaminya yang berada di depan, di toko
obat mereka. Kedua tangan nyonya itu gemetar, seolah ia merasakan firasat yang tidak
baik.
"Kamar Heng San kosong, pembaringannya tidak ditiduri dan dia tidak ada. Aku
menemukan surat bersampul ini di atas meja dalam kamarnya." katanya dan suaranya
juga gemetar.
Lauw Cin mengerutkan alis dan mene rima surat itu, lalu sampul dibukanya dan surat
dibacanya. Setelah membaca surat itu, wajahnya menjadi pucat dan kemudian berubah
merah sekali.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 23
"Dasar anak put-hauw (tidak berbakti)l" serunya sambil melempar surat itu ke atas meja.
Isterinya cepat menyambar surat itu dan membacanya dengan kedua tangan yang
memegang surat itu gemetar. Belum habis ia membacanya, ia telah menangis tersedusedu.
Lauw Cin merampas surat itu dari tangan isterinya dan seperti orang yang masih
penasaran dan tidak percaya, dia membaca sekali lagi surat itu
Ayah-ibu yang terclnta,
Saya mohon beribu ampun bahwa saya pergi tanpa pamit dan tanpa Ijin ayah-lbu. Saya
ingin sekali merantau, meluaskan pengalaman. Saya akan merasa sengsara kalau
diharuskan selalu tinggal di dalam rumah seperti seorang anak perempuan. Harap ayah
dan ibu tidak terlalu marah, dan jagalah kesehatan ayah dan ibu, jangan sampai jatuh
sakit. Sekali lagi. ampunkan saya dan saya mohon doa ayah ibu.
Kalau saya telah kenyang merantau, pasti saya akan pulang dan siap menerima hukuman
yang hendak ayah ibu jatuhkan kepada saya.
Dari anak yang tidak berbakti,
Lauw Heng San.
"Ini semua gara-gara pengemis tua itu! Dia harus bertanggung jawab. Kalau Heng San
tidak belajar silat darinya, tentu dia tidak akan meninggalkan kita." Ia lalu menangis
tersedu-sedu.
Lauw Cin juga marah sekali. Diikuti isterinya, dia lalu melangkah lebar menuju ke dalam,
mencari Pat-jiu Sin-kai yang duduk termenung dalam kamarnya. Kakek itu segera bangkit
berdiri melihat Lauw Cin yang merah mukanya itu memasuki kamarnya bersama Nyonya
Lauw Cin yang menutupi muka sambi! menangis.
"Lauw-inkong dan toanio, selamat pagi." kata Pat-jiu Sin-kai sambil memberi hormat.
"Kau.....kau harus bertanggung jawab atas semua ini" bentak Lauw Cin marah sambil
melemparkan surat yang ditinggalkan Heng San kepadanya.
Dengan sikap tenang Pat-jiu Sin-kai menangkap surat itu. Dia tidak terkejut atau heran
karena dia sudah menduga bahwa kedua orang tua muridnya itu tentu akan
menyalahkannya dan dia sudah siap untuk menghadapi mereka. Diapun tahu bahwa
saatnya untuk meninggalkan tempat itu sudah tiba. Setelah membaca surat itu, dia
mengembalikannya kepada Lauw Cin, lalu memberi hormat dengan merangkap kedua
tangan depan dada dan membungkuk, dan berkata.
"Baiklah, Lauw-inkong dan Lauw-toanio, kalau ji-wi (kalian berdua) menyalahkan aku
karena kepergian Heng San, aku menerimanya. Aku hendak pergi mencarinya dan tidak
akan kembali sebelum menemukannya. Harap ji-wi tidak terlalu khawatir tentang diri Heng
San. Dia telah memiliki kegagahan dan kepandaian yang cukup kuat untuk menjaga diri.
Aku orang tua yang tiada guna ini sudah cukup lama menjadi beban, sudah cukup lama
menerima budi jiwi dan sampai matipun aku tidak akan lupa bahwa di dunia ini terdapat
sepasang suami isteri yang budiman. Nah, selamat tinggal!" Setelah berkata demikian,
kakek itu menggerakkan tubuhnya. Suami isteri itu hanya melihat sesosok bayangan
berkelebat cepat keluar dari ruangan itu. Mereka berdua hanya menghela napas panjang
dan pada hari-hari berikutnya Lauw Cin harus selalu menghibur isterinya dan mereka
berdua hampir setiap malam menyalakan hio-swa (dupa biting) untuk bersembahyang dan
mohon kepada Tuhan agar putera mereka dilindungi.
****
Heng San melakukan perjalanan dalam perantauannya, tanpa tujuan tertentu. Mula-mula,
perjalanannya itu mendatangkan kegembiraan dalam hatinya. Apa saja yang dilihatnya
dalam perjalanan itu merupakan pemandangan baru. Kalau dia melakukan perjalanan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 24
melalui pegunungan, dia melihat be tapa luasnya dunia ini dan betapa indahnya
pemandangan alamo Kalau dia memasuki sebuah kota yang besar dan ramai, dia
mendapat kenyataan betapa kota Lin-han-kwan sebetulnya hanya merupakan kota yang
kedl. Dia merasa kagum dan gembira dan mulai dapat menikmati perantauannya.
Pada suatu hari dia memasuki kota Leng-koan. Kota ini merupakan kota terbesar yang
pernah dilihatnya selama dalam perjalanannya. Dia berjalan-jalan di sepanjang jalan yang
ramai. Ketika dia melihat sebuah toko obat yang besar dengan papan nama "Pao-an-tong"
dia teringat akan ayah ibunya dan tiba-tiba saja dia merasa rindu sekali kepada mereka.
Tak terasa dia sudah meninggalkan rumah selama hampir enam bulan atau setengah
tahun. Teringat akan orang tuanya, maka terkenanglah dia akan kota Lin-han-kwan,
membuat dia berdiri termenung sampai lama di depan toko obat itu. Seorang setengah tua
keluar dari toko dan menghampirinya.
"Tuan hendak mencari obat apakah?" tanya orang itu.
Heng San terkejut mendengar pertanyaan ini dan dia segera sadar dari lamunannya.
"Saya tidak mencari apa-apa," jawabnya sambi! menggeleng kepala nya.
Mendengar jawaban ini, tiba-tiba orang setengah tua itu mengubah sikapnya. Kalau tadi
dia ramah dan sopan, kini dia cemberut, mukanya merah dan ucapannya kasar. "Kalau
tidak mencari apa-apa, mengapa berdiri sejak tadi dan melihat-lihat seperti orang mencaricari?
Apa kau hendak mencuri?"
Merah muka Heng San mendengar ini. Darah naik ke kepalanya dan ingin dia memukul
orang itu. Akan tetapi perasaan ini ditahannya. Dia tidak ingin membikin ribut. Orang itu
demikian sombongnya dan hal ini sungguh di luar dugaannya. Disangkanya bahwa semua
pemilik toko obat orangnya ramah dan lembut seperti ayahnya. Akan tetapi orang ini
demikian kasar dan tidak sopan. Tanpa menengok lagi diapun meninggalkan orang itu dengan
muka merah.
Heng San mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu selama dua tiga hari untuk
melihat-lihat kota yang ramai. Akan tetapi ketika dia mencari kamar di rurnah penginapan,
ternyata semua rumah penginapan telah penuh. Hari itu kebetulan ada perayaan gotong
toapekong di kota itu sehingga banyak pengunjung datang dari kota-kota lain untuk
membayar kaul atau sekedar nonton keramaian. Akhirnya, setelah berputar-putar, dia
mendapatkan juga sebuah kamar berukuran kecil di sebuah rumah penginapan
sederhana.
Kembali dia menghadapi sikap yang membuatnya mendongkol. Pengurus rumah
penginapan itu menyambutnya dengan pandang mata penuh selidik akan tetapi jelas yang
diselidiki itu bukan dia, melainkan pakaiannya yang sederhana, dan tidak baru. Dia
kehabisan bekal pakaian bersih, semua pakaiannya kotor dan dia belum sempat
mencucinya, maka sejak kemarin dia belum berganti pakaian.
"Sewanya semalam sepuluh logam tembaga dan harus bayar di mukaI" katanya dengan
nada memandang rendah dan penuh kecurigaan. Mukanya yang masih merah karena
marah menghadapi sikap kurang ajar pemilik toko obat tadi menjadi semakin merah. Dia
marah dan malu. Marah melihat sikap pengurus rumah penginapan dan malu karena
sesungguhnya uangnya memang tinggal sedikit sekali, paling banyak tinggal dua tail dan
beberapa potong logam tembaga. Ketika meninggalkan rumah, dia membawa lima puluh
tail akan tetapi uang itu habis untuk biaya makan dan penginapan selama setengah tahun.
Dia mengeluarkan uang yang dua tail perak dan menyerahkannya kepada pengurus
penginapan itu. "Terimalah dua tail ini dulu."
Orang pendek kurus itu mencabut pipa tembakau yang tadi menancap di mulutnya, lalu
mementang mulut yang giginya menghitam karena candu tembakau itu dan keluar
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 25
ucapannya yang galak. "Mana ada aturan begini? Kalau tidak bisa membayar uang muka
lima tail, lebih baik pergi."
"Sobat, kelak kalau kurang, pasti akan kulunasil" kata Heng San.
"Tidak bisal Sekarang tidak punya uang, kapanpun tidak punya uang. Engkau mau
mengakali aku? Tidak bisa, harus penuh lima tail perak untuk uang muka, tidak boleh
kurang satu thi (logam tembaga) pun. Bayar sekarang atau pergi sekarang jugal" orang itu
mengusir dengan lagak sombong sekali.
Heng San tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia masih ingat dan tidak
memukul orang, hanya dia menggenggam uang dua tail perak itu dan mengacungkan
uang yang dikepal itu di depan hidung pengurus penginapan dan menghardik, "Kalau
engkau tidak menahan mulutmu yang kotor dan penuh candu itu, akan kuhancurkan
seperti uang ini!" Dia menggenggam uang perak itu dan ketika dia membuka kepalan
tangannya dia memperlihatkan dua potong uang perak yang telah pecah berkeping-keping
dalam tangannyal
Pengurus penginapan itu memandang telapak tangan Heng San dengan mata terbelalak
dan wajahnya menjadi pucat. Sikapnya berubah seketika dan dia membungkuk-bungkuk
sambil berkata, "Maaf, tai-ong (raja besar), maafkan saya. Mari silakan, tempatilah kamar
yang kosong ini, soal uang pembayaran kapanpun boleh"
"Engkau manusia brengsek Jangan sebut aku tai-ong, apa kaukira aku ini kepala
rampok?"
"Maaf, tai-hiap (pendekar besar), harap maafkan sikap saya tadi. Di sini seringkali terjadi
penipuan. Orang-orang datang minta kamar dan setelah pergi mereka tidak mau
membayar. Karena itu kami minta uang muka sebanyak lima tail lebih dulu."
"Hemm, engkau harus mempergunakan matamu baik-baik dan dapat membedakan siapa
penipu dan siapa bukan."
Dengan hati masih gemas Heng San memasuki kamar satu-satunya yang masih kosong
itu. Sebuah kamar yang kedl dan kotor sekali. Melihat kamar yang kotor itu, uang sewa
sepuluh tjhi juga masih mahal. Marahlah hatinya. Ah, benarbenar orang kota inl penipu
dan pemerasI Dia berteriak memanggil pelayan.
Seorang palayan tua berlari-Iari memasuki kamarnya. Berbeda dengan pengurus tadi,
pelayan itu sikapnya cukup hormat sehingga agak redalah kemarahan dalam hati Heng
San.
"Siauw-ya (tuan mluda) memerlukan apakah?" tanyanya.
"Kamar ini kotor sekali. Coba tolong bersihkan dan pasanglah kain tilam kasur yang leblh
bersih."
Pelayan itu memandang Heng San dengan sinar mata heran. "Siauw-ya hendak menyewa
kamar ini?"
"Ya, kenapa?" Heng San balik bertanya.
Pelayan itu menoleh ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada orang lain akan
mendehgarnya. "Siauw-ya, berapakah siauw-ya membayar untuk menyewa kamar ini?"
Heng San cemberut teringat akar kekurang-ajaran pengurus tadi. "Aku harus membayar
sepuluh chi semalam dan memberi uang muka sebanyak lima tail. Kenapakah?"
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terlalu......terlalu..! Memang aku tahu,
orang she Leng itu penipu besar. Masa kamar semacam ini disewakan orang, dan
semahal itu? Ah, siauw-ya, kalau engkau percaya omongan seorang tua seperti saya,
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 26
lebih baik carilah kamar di lain penginapan, karena di penginapan ini sudah penuh dan
tidak ada kamar lain kecuali yang ini."
"Eh? Apa maksudmu dengan ucapan itu, paman? Heng San memandang penuh selidik
dan terheran. "Aku mencari di mana-mana, semua penginapan sudah penuh maka aku
terpaksa menerima kamar ini."
"Orang she Leng itu telah menipumu. Kamar ini adalah.....kamar hantu! Siapapun tidak
pernah bermalam di sini. Tidak seorangpun berani. Jangankan disuruh bayar uang muka
lima tail, diberi upahpun tidak akan ada yang berani." Pelayan tua itu bergidik, merasa
seram.
Sepasang mata Heng San terbelalak. "Apa katamu? Kamar hantu?"
"Sstt...., jangan keras-keras bicara, siauw-ya. Dengar keteranganku, siauwya. Sudah sejak
kurang lebih tiga bulan yang lalu sampai sekarang, tidak seorang pun berani tidur di kamar
ini. Tiap kali ada orang tidur di sini, pada tengah malam dia tentu diganggu hantu sehingga
malam-malan dia lari keluar sambi! berteriak-teriak ketakutan. Bahkan telah ada beberapa
orang tabah dan merasa jagoan bermalam di sini untuk membuktikan, akan tetapi mereka
itupun berteriak-teriak dan berlari keluar pada tengah malam dan semenjak itu, tak
seorangpun berani bermalam di kamar ini. Dan sekarang, orang she Leng itu memberikan
kamar ini kepada siauw-ya hanya karena siauw-ya orang luar kota dan tidak tahu akan
rahasia kamar hantu ini, bahkan ditambah dengan membayar uang muka lima tail.
Sungguh terlalu..... terlalu sekali....."
Diam-diam Heng San mengerling dan memandang ke sekeliling dalam kamar akan tetapi
tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan.
"Hemm, harap engkau jangan main-main, paman. Benarkah apa yang kauceritakan itu?"
"Ah, saya sudah tua, siauw-ya. Untuk apa saya berbohong kepadamu?"
"Mengapa orang-orang yang tidur di sini berlarian ketakutan? Apa yang mengganggu
mereka?"
"Macam-macam cerita mereka. Ada yang merasa dirinya diangkat orang dan tahu-tahu
telah pindah di kolong tempat tidur. Ada yang melihat bayangan setan.
Ada yang tahu-tahu tubuhnya terasa kaku tidak mampu bergerak untuk beberapa
lamanya. Ah, macam-macamlah cerita mereka. Pokoknya mereka merasa terganggu oleh
sesuatu yang mengerikan. Maka akan lebih baik bagimu kalau engkau pindah saja, siauwya."
"Pindah ke mana, paman?"
"Ke mana saja, asal tidak di dalam kamar hantu ini."
"Akan tetapi, sudah kukatakan bahwa semua penginapan agaknya sudah penuh tamu."
"Kalau perlu, siauw-ya boleh tidur di rumah saya, yaitu kalau siauw-ya sudi tidur di rumah
gubuk yang bobrok."
Heng San memandang orang tua itu dengan senyum terima kasih dan girang. Kiranya
tidak semua orang di kota ini berhati buruk, pikirnya. Pelayan miskin dan tua ini adalah
seorang yang berhati baik dan bersih.
"Paman," katanya dengan suara lembut dan ramah. "Terima kasih atas kebaikanmu.
Tidak, aku tidak takut. Biarlah
aku mencoba pula bagaimana rasanya diganggu hantu."
Pelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang heran. "Siauwya
aneh, sungguh aneh sekali..." dan dia mulai membersihkan kamar itu seperti diminta Heng
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 27
San, kemudian dia meninggalkan pemuda itu setelah memandangnya sekali lagi dengan
heran dan menggeleng kepalanya.
Jilid 4
Heng San duduk dalam kamar itu dan untuk beberapa lamanya dia memikirkan
percakapan dengan pelayan tua itu. Benarkah ada hantu di kamar ini? Dia teringat akan
cerita gurunya, Pat-jiu Sinkai tentang setan dan hantu. Menurut gurunya, apa yang disebut
setan atau hantu itu memang ada. Akan tetapi setan yang menampakkan diri itu tidak
berbahaya. Tidak ada setan yang menampakkan diri berani atau dapat mengganggu
manusia. Yang amat jahat dan teramat berbahaya adalah setan yang mengganggu
manusia melalui pikirannya. Setan atau nafsu manusia sendiri. Itu amat berbahaya. Kalau
setan sudah menguasai hati akal pikiran manusia, maka si manusia itu akan diseret ke
dalam lumpur kesesatan dan manusia itu akan dapat melakukan segala kejahatan yang
keji dan jahat.
Tidak, dia tidak percaya ada hantu atau setan yang berada di kamar ini mengganggu
setiap orang yang tidur di situ. Mungkin kakek pelayan tadi sudah tua dan pikun, atau
mungkin dia seorang yang terlalu percaya akan tahyul. Sebentar saja Heng San dapat
melupakan segala renungan tentang setan di kamar itu dan dia teringat lagi akan keadaan
dirinya. Keadaan dirinya yang letih pantas dipikirkan daripada memikirkan soal setan. Dia
sudah.kehabisan uang! Bagaimana dia harus mendapatkan uang? Dan baru sekarang dia
melihat kenyataan bahwa orang hidup memang memerlukan uang! Agaknya tidak mungkin
hidup tanpa uang! Pakaian, makanan, bahkan tempat tinggal atau tempat tidur selalu
membutuhkan uang! Teringatlah dia akan ucapan suhunya kalau bercerita tentang
perantauan seseorang dalam dunia kang-ouw. Perantauan seperti itu tidaklah mudah.
Bukan menghadapi musuh para penjahat saja yang berbahaya. Melainkan yang lebih
berbahaya lagi adalah kebutuhan akan uang. Seorang perantau akan menghadapi
kesulitan besar kalau tidak pandai mencari uang untuk biaya hidupnya. Bahkan suhunya
memberi contoh dirinya sendiri. Karena tidak pandai mencari uang, dan tidak sudi
melakukan pencurian atau perampokan, suhunya rela menjadi seorang pengemis, mintaminta
belas kasihan orang untuk sekedar memberi uang kecil pembeli makanan!
Tidur di mana saja, di emper rumah, kalau tidak diusir pemilik rumah, atau di bawah
jembatan. Pakaian hanya yang menempel di badan karena tidak mampu membeli yang
baru. Perut kadang kadang kelaparan karena berhari-hari tidak ada orang yang mau
memberi sedekah. Hidup menjadi terlantar! Menjadi pengemis? Dia? Menjadi pencuri?
Heng San menghela napas panjang. Tidak, dia tidak sudi melakukan itu. Baik menjadi
pengemis tukang minta-minta, apa lagi menjadi pencuri atau perampok!
Tiba-tiba Heng San berdiri dari duduknya. Tidak mungkin! Dia mendengar langkah kaki
perlahan-lahan menghampiri daun pintu kamarnya. Itukah setan yang datang hendak
mengganggunya? Ah, tidak mungkin. itu suara jejak langkah seorang manusia biasa.
Langkah itu berhenti di muka pintu kamarnya! Heng San memperhatikan penuh
kewaspadaan, mengira bahwa setan itu akan masuk menembus pintu. Seperti bayangan,
seperti yang pernah dia dengar dongeng-dongeng tentang setan yang dapat menembus
apa saja.
"Tok-tok-tok!"
Pintu kamarnya diketok. Heng San bernapas lega. Jelas bukan setan.
"Siapa di luar?" tanyanya sambi! duduk kembali.
"Saya, siauw-ya."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 28
Heng San tersenyum. Pelayan tua yang baik hati itu.
"Masuklah, paman. Daun pintunya tidak terkunci" katanya.
Daun pintu didorong dari luar dan pelayan tua itu masuk. Dia memandang ke sekeliling
kamar, mukanya agak pucat dan sikapnya seperti orang tegang, lalu dia menghela napas
panjang, lega.
"Sukurlah, siauw-ya tidak apa-apa." Heng San tersenyum. "Terima kasih, paman. Aku
tidak apa-apa. Tidak ada hantu di sini."
"Akan tetapi sekarang belum tengah malam, siauw-ya. Maukah engkau keluar dari kamar
dan duduk di ruang tengah, bercakap-cakap dengan saya? Kebetulan saya bertugas jaga
malam ini."
Sebetulnya dia tidak ingin mengobrol, akan tetapi Heng San tidak tega menolak melihat
keramahan pelayan tua itu dan dia lalu keluar dan duduk di ruang tengah bersamanya.
Pelayan tua itu banyak bercerita dan Heng San mendengarkan dengan hati tertarik,
terutama tentang perayaan gotong toapekong (patung yang dipuja dalam kelenteng) itu.
"Telah beberapa lamanya di kota ini terjangkit penyakit aneh dan pencurian-pencurian
yang aneh pula. Orang-orang menganggap bahwa hal itu merupakan gangguan roh jahat,
maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menggotong patung Kwan-te-kong keluar
dari kelentengnya dan diarak putar-putar kota untuk mengusir roh jahat yang mengganggu
penduduk kota."
"Penyakit aneh yang bagaimanakah, paman?" tanya Heng San yang merasa heran
mendengar bahwa kota ini agaknya kaya akan cerita tentang segala macam roh jahat dan
hantu yang mengganggu manusia.
"Selama beberapa bulan ini, hampir setiap malam tentu ada rumah yang diganggu. Tahutahu
sejumlah uang emas dan perak lenyap tanpa meninggalkan bekas. Tuan atau nyonya
rumahnya tiba-tiba saja menderita penyakit kaku-kaku dan gagu untuk beberapa lamanya.
Kalau mereka sudah dapat bicara dan ditanya, mereka tidak tahu apa-apa, hanya
mengatakan bahwa pada waktu tengah malam mereka terbangun dari tidur dalam
keadaan kaku tidak mampu bergerak dan tidak mampu bicara. Kalau bukan setan atau roh
jahat yang melakukan hal itu, habis siapa lagi?"
Heng San menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mana ada setan yang doyan
uang perak dan. emas, paman?"
"Engkau tidak tahu, siauw-ya. Pernahkah engkau mendengar orang-orang yang kaya
mendadak tanpa bekerja?"
"Kaya mendadak tanpa bekerja?"
"Ya, orang-orang yang tanpa bekerja sesuatu tiba-tiba saja menjadi kaya raya. Nah,
mereka inilah merupakan orang-orang yang memelihara roh jahat. Dengan menjual
rohnya kepada roh-roh jahat itu, mereka dapat memerintah roh jahat untuk mencuri uang."
"Menjual roh kepada setan? Bagaimana maksudnya, paman?" Heng San benarbenar
tertarik karena selama hidupnya memang belum pernah dia mendengar akan hal aneh
semacam itu.
"Begini, siauw-ya. Orang yang memelihara roh jahat itu telah berjanji bahwa kelak setelah
dia mati diapun akan menjadi seperti roh-roh jahat itu. Menjadi setan pula. Tapi sebelum
mati dia dapat hidup kaya raya tanpa bekerja."
Heng San menghela napas panjang. Dia tidak dapat percaya begitu saja akan obrolan
macam itu. Akan tetapi untuk menyatakan ketidak-percayaannya dia merasa sungkan dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 29
tidak tega. Pula, tidak akan mudah membantah orang-orang yang sudah terlalu percaya
akan tahyul. Dia lalu menyatakan hendak tidur karena sudah mengantuk.
"Selamat tidur, siauw-ya. Jangan lupa, kalau ada apa-apa berteriaklah. Aku akan
membantumu kalau hantu jahat itu mengganggumu karena engkau adalah orang yang
baik."
Heng San tersenyum geli. "Terima kasih, paman." Dia memasuki kamarnya dan hanya
menutup daun pintu, Lalu duduk termenung melanjutkan renungannya tentang keadaan
dirinya, tidak lagi memikirkan setan atau roh jahat. Dia membayangkan dirinya yang
benar-benar telah kehabisan uang dan apa selanjutnya yang akan dilakukannya.
Teringatlah dia akan kata-kata gurunya sebelum dia meninggalkan rumah. Gurunya
pernah mengatakan bahwa kalau dia menuruti kemauan ayahnya, menjadi ahli pengobatan,
membuka toko obat, tentu dia tidak akan pernah kekurangan uang. Uang! Dari mana
akan didapatnya? Tiba-tiba saja dia teringat akan cerita pelayan penginapan itu. Orangorang
miskin tiba-tiba menjadi kaya raya tanpa bekerja! Ah, pikirannya lalu
menghubungkan dengan lenyapnya uang emas dan perak dari rumah-rumah orang kaya
yang tiba-tiba menjadi kaku dan gagu. Karena perbuatan setan? Roh jahat? Sudah pasti
bukan! Itu tentu perbuatan manusia juga! Dia teringat. Gurunya pernah bercerita bahwa di
dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan diri mereka maling-maling
budiman, yaitu mereka yang menggunakan kepandaiannya untuk mencuri uang dari
rumah orang-orang kaya dan hasil curiannya itu sebagian diberikan kepada orang-orang
miskin! Roh jahat yang mengganggu kota Leng-koan itu pastilah sebangsa maling
budiman itu! Dan kalau pengganggu keamanan itu seorang maling, berarti seorang
manusia, dia tidak boleh tinggal diam. Dia mungkin dapat menangkapnya untuk
menghindarkan penduduk kota ini dari gangguannya.
Setelah berpikir demikian, Heng San lalu merapikan bajunya dan membuka daun jendela
kamarnya yang menembus ke pekarangan samping lalu melompat keluar dari dari jendela,
menutupkan lagi daun jendelanya dan cepat dia melompat ke atas genteng, lalu
melakukan perjalanan melalui wuwungan rumah-rumah besa. Ketika tiba di tiba di sebuah
wuwungan yang tinggi, dia teringat bahwa wuwungan itu adalah wuwungan rumah
merangkap toko obat yang pemiliknya melakukan penghinaan terhadap dirinya siang tadi.
Tiba-tiba dia menyelinap dan bersembunyi di balik tembok penutup wuwungan dan
mengintai. Sinar bulan tua cukup memberi penerangan remang-remang. Tadi dia melihat
bayangan berkelebat di a tas rumah depan. Cepat dia bersembunyi dan mengintai.
Jantungnya berdebar melihat sosok bayangan itu juga melompat ke wuwungan rumah
obat.. Gerakannya gesit bukan main dan kedua kakinya tidak menimbulkan suara
sedikitpun ketika kedua kakinya menginjak genting. Seorang yang memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Sejenak bayangan itu celingukan, memandang ke
kanan kiri, kemudian tubuhnya melayang ke bawah.
Heng San cepat keluar dari balik wuwungan dan dengan gerakan yang disebut Lo-wanteng-
ki (Monyet Tua Meloncati Cabang) dia melompat turun, berjungkir balik dan kedua
kakinya telah mengait sebatang balok yang melintang. Dari tempat gelap ini dia dapat
memandang ke sekeliling rumah itu di bawah. Dia melihat bayangan itu menghampiri
sebuah jendela, meraba-raba jendela dan sebentar saja jendela telah terbuka tanpa
mengeluarkan suara. Bayangan itu lalu melompat ke dalam kamar melalui jendela yang
terbuka.
Heng San cepat melayang turun dan mengintai dari balik jendela yang terbuka. Biarpuan
dia merasa tidak suka kepada pemilik toko obat yang sombong itu, namun dia tetap saja
hendak mencegah kalau pencuri itu hendak mengganggu atau membunuhnya.
Heng San melihat bayangan itu menyingkap kelambu dan dalam keremangan dia melihat
seorang laki-laki yang bukan lain adalah pemilik rumah obat itu rebah di samping seorang
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 30
wanita yang mungkin isterinya. Heng San sudah siap dengan sebuah batu kecil yang tadi
diambilnya ketika dia turun. Dia siap menyambitkan batu kalau maling itu hendak
melakukan pembunuhan. Akan tetapi bayangan itu tidak mencabut pedang yang berada di
punggungnya, melainkan menggerakkan jari tangannya menotok dua orang yang sedang
tidur itu. Heng San maklum dari gerakan tangan itu bahwa yang ditotok adalah jalan darah
yang membuat kedua orang lelaki dan perempuan itu tak mampu bergerak atau berteriak
dan menjadi kaku dan gagu. Kemudian maling itu membongkar peti dan mengeluarkan
sebuah kantong yang. nampaknya berat. Ketika tali kantung dibuka, di. bawah sinar lampu
gantung tampak bahwa isinya uang emas dan perak yang berkilauan.
Setelah mengikat lagi mulut kantung, bayangan itu lalu melompat keluar dari jendela
dengan cepat. Heng San sudah siap dan telah mendahului melompat ke atas wuwungan.
Hatinya merasa girang karena tanpa disangka-sangka dia telah menemukan orang yang
selama ini mengganggu ketenteraman penduduk kota itu. Kiranya orang inilah yang
disangka roh jahat, yang membuat orang-orang menderita penyakit aneh, tubuhnya kaku
dan gagu! Dan orang ini pula yang dianggap roh jahat yang dipelihara orang yang mencari
pesugihan.
Ketika bayangan itu melompat ke atas genteng, tiba-tiba dia merasa ada angin
menyambar. Ia cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu kantung uang yang dipanggulnya
telah tertarik dan pindah tangan! Ia mengeluarkan jerit lirih dan memandang ke depan.
Seorang pemuda dengan senyum mengejek berdiri di depannya dan kantung uang itu
telah berada di tangan pemuda itu.
Di lain pihak Heng San menjadi terkejut dan heran. Bayangan itu ternyata adalah seorang
pemuda yang bertubuh kecil ramping dan wajahnya tampan sekali. Ketika bayangan itu
tadi menjerit lirih, keheranan Heng San bertambah karena dia tahu bahwa yang berdiri di
depannya adalah seorang wanita muda yang menyamar sebagai laki-lakil
"Eh....oh...! Jadi... roh jahat itu engkaukah?" tanyanya dengan heran.
Gadis - cantik berpakaian pria itu menjadi merah mukanya dan cepat ia mencabut pedang
panjang tipis yang terselip di sarung pedang yang diikat di punggungnya. Pedang itu
beronce merah dan merupakan sebuah pedang yang indah, juga mengkilap saking
tajamnya tertimpa- sinar bulan.
"Manusia liar dari mana berani menggangguku? bentaknya dengan suara merdu dan
nyaring sehingga walaupun ketus dan marah namun terdengar sedap di telinga Heng San.
"Maaf, nona. Sungguh aku tidak mengira bahwa roh jahat yang mengganggu kota ini
adalah seorang gadis."
"Jangan banyak cakap. Kembalikan kantungku!" bentak gadis itu.
Heng San mengulurkan tangan yang memegang kantung seolah hendak mengembalikan
kantung itu, akan tetapi ketika tadi dia merampas kantung, dia menggunakan tenaga
terlalu kuat sehingga tali pengikat mulut kantung menjadi putus. Ketika dia menjulurkan
tangan, kantung itu terbuka mulutnya dan sebagian isinya berhamburan di atas genteng!
"Bangsat kurang ajar!" gadis itu membentak dan cepat sekali ia menggerakkan pedangnya
menusuk ke arah dada Heng San.
"Eit! Aku tidak sengaja, nona:" Heng San berseru sambil cepat mengelak dari tusukan itu.
Dia menutup kantung itu dan untuk mencegah isinya berhamburan keluar, dia
menyelipkannya di ikat pinggangnya. Pada saat itu, lawannya sudah menggerakkan lagi
pedangnya, membacok ke arah lehernya. Namun dengan luar biasa cepat dan gesitnya,
Heng San sudah mengelak lagi. Sejak berguru kepada Pat-jiu Sin-kai dan digembleng ilmu
silat tangan kosong yang banyak macamnya dan ada di antaranya yang merupakan ilmu
silat tangan kosong yang khusus untuk melawan musuh yang menggunakan pedang.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 31
Maka, biarpun gadis itu menyerangnya terus secara bertubi-tubi, dengan mudah Heng
San dapat menghindarkan semua serangan itu dengan elakan maupun tangkisan
tangannya dari samping.
Dari serangan-serangan itu Heng San mengetahui bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang
cukup lihai. Dia merasa kagum dan ingin sekali berkenalan karena dia menduga bahwa
gadis ini adalah sebangsa gi-to (maling budiman). Akan tetapi setelah serangan bertubitubi
itu selalu dapat dia hindarkan, hal ini tentu membuat gadis itu merasa dipermainkan
dan menjadi marah sekali.
"Nona, tahan dulu, mari kita bicaraI" Heng San melompat ke samping sambil mengangkat
kedua tangannya. Akan tetapi gadis itu yang menjadi gemas dan mendongkol karena
semua serangannya luput atau tertangkis tangan yang berani bertemu pedangnya itu,
tidak menjawab melainkan terus mengejar dan mengirim serangan-serangan maut!
Heng San men jadi bingung. Tiba-tiba dia mendapat akal. Dia sengaja memperlambat
gerakannya sehingga ujung pedang gadis itu dapat menusuk ujung bajunya sehingga
robek. Heng San sengaja berseru kaget dan ketakutan, lalu melompat ke samping sambi!
berkata gugup.
"Nona...., nona yang baik.... sebelum kau bunuh aku, beritahu lebih dulu namamu, agar
aku dapat mati dengan mata terpejam dan tidak menjadi setan penasaran....."
Benar-benar gadis itu menahan pedangnya. Ia adalah seorang pendekar wanita yang
tidak mau membunuh secara menggelap tanpa berani mengakui namanya.
"Dengar kau, bangsat kecil! Namaku adalah Ma Hong Lian, pendekar wanita dari Tit-le!
Nah, sekarang terimalah kematianmu dengan mata terpejam!" Tanpa menanti jawaban ia
Ialu menyerang kembali dengan gerakan Pek-hong-koan-jit (Pelangi Putih Penutup
Matahari).
"Aihh....!" Heng San pura-pura terkejut dan bergerak cepat mengelak. Hatinya girang
karena akalnya telah berhasil, dia telah mengetahui nama gadis jelita itu.
"Aih, Tit-le Lihiap (Pendekar Wanita dari Tit-le)! Kenapa engkau bernapsu besar untuk
membunuhku? Engkau tidak takut nanti setanku seialu mengejarmu untuk menuntut
balas?"
"Kamu laki-laki kurang ajar! Tunggu nonamu mengambil kepalamu!" Pedang itu berkelebat
lagi menyambar ke arah leher.
"Haaitt...! Luput lagi, nona. Suka betulkah engkau pada kepalaku, nona Hong Lian?" Heng
San menggoda sehingga kemarahan gadis itu semakin memuncak. Ia merasa bahwa ia
pasti akan dapat membunuh laki-Iaki kurang ajar ini karena bukankah tadi hampir saja pedangnya
menembus tubuh pemuda itu dan merobek ujung bajunya?
Tiba-tiba nona itu terkejut bukan main. Kini gerakan kaki tangan Heng San berubah.
Tubuh pemuda itu kini bergerak cepat sekali, berloncatan ke kanan kiri dan tiba-tiba di
belakangnya dan cepat sekali sudah berada di depannya lagi sehingga mata gadis itu
berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Kemudian, sebelum ia mengetahui bagaimana
pemuda itu melakukannya, tahu-tahu pedangnya telah terampas!
Melihat gadis itu kini berdiri di depannya dengan muka pucat, Heng San menjadi tidak
tega dan merasa iba. Dia mengambil kantung dengan tangan kiri, lalu mengulurkan kedua
tangannya, yang kiri memegang kantung yang kanan memegang pedang, sambil berkata
lembut, "Nona,. terimalah barang-barangmu. Aku Lauw Heng San bukanlah bangsat kecil
seperti yang kaukira. Atau.... sebaiknya kita jangan bicara tentang roh jahat atau maling,
karena hal itu bisa menyinggung perasaanmu juga." Dia tersenyum.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 32
Gadis itu menggigit bibir sendiri dan memandang dengan penuh kebencian, lalu dengan
isak tertahan ia membalikkan tubuh dan melompat pergil Heng San hendak mengejar,
akan tetapi dia berpendapat bahwa hal itu tentu akan memperbesar kesalahpahaman dan
menambah kemarahan nona itu. Maka dia lalu melompat pergi kembali ke rumah
penginapan.
Ketika Heng Sang melompat memasuki kamarnya melalui jendela, dia disambut serangan
hebat yang tidak disangka-sangkanya semula. Tiga batang golok menyambarnya dari
balik jendela! Heng San bergerak cepat, seperti seekor burung tubuhnya sudah melayang
kembali keluar kamar melalui jendela. Lima orang berpakaian seperti jago-jago silat,
masing-masing memegang sebatang golok besar juga berlompatan keluar jendela dan
setelah tiba di luar segera mengepung Heng San dengan muka bengis mengancam.
"Nah, itu dial Aku sudah curiga bahwa dia bukan orang baik-baik. Pantas dia berani
bermalam di kamar ini. Ternyata dialah hantu dan roh jahat Itu. Serbu! Tangkap!!" Yang
berteriak itu adalah pelayan rumah penginapan yang ramah itu.
Heng San menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa hal ini merupakan
kesalahpahaman dari pelayan itu yang mencurigainya. Tentu pelayan itu tadi telah
membuka pintu kamarnya dan melihat dia tidak ada, lalu timbul kecurigaannya dan
mendatangkan jagoan-jagoan untuk menangkapnya yang dikira pengganggu keamanan
kota itu.
Dia hendak berlari pergi, akan tetapi dia teringat akan buntalan pakaiannya yang masih
berada di dalam kamar. Ketika lima orang bergolok itu mengepungnya, Heng San cepat
melompat ke atas, berpok-sai (bersalto) di udara dan tubuhnya masuk lagi ke dalam
kamarnya. Cepat dia mengambil buntalan pakaiannya, digendong di punggung bersama
pedang yang. dirampasnya dari gadis bernama Ma Hong Lian itu, kemudian ia melompat
ke luar lagi. Lima batang golok menyambutnya. Akan tetapi Heng San mempergunakan
kepandaiannya. Kedua tangannya bergerak, diikuti kedua kakinya dan terdengar suara
berkerontangan ketika lima batang golok itu terlepas dari pegangan para pengeroyoknya,
terlempar dan lima orang itu mundur dengan terkejut. Heng San menggunakan
kesempatan itu untuk melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan malam. Dia terus
berlari meninggalkan kota Leng koan, akan tetapi ketika tiba di atas wuwungan toko obat
di mana tadi Ma Hong Lian beraksi, dia teringat bahwa dia masih membawa setengah
kantung terisi uang emas dan perak milik toko obat itu! Dia berhenti dengan ragu. Akan
dikembalikankah uang pemilik toko obat itu? Tiba-tiba dia mendengar isak tangis yang
datangnya dari rumah kampung di belakang toko obat. Di belakang toko-toko yang berjajar
di sepanjang tepi jalan raya terdapat perkampungan rumah-rumah kumuh. Dia lalu
berlompatan ke atas genteng rumah dari mana datangnya isak tangis wanita itu. Dia
mengintai dari atas genteng.
Sebuah ruangan rumah yang kumuh dan kotor. Seorang wanita duduk di tepi dipan bambu
menunggui seorang anak berusia lima tahun yang tampaknya sedang menderita sakit.
Anak. itu menggigl1 kedinginan walaupun sudah ditimbuni kain-kain butut yang banyak.
Jelas dia menderita demam. Seorang laki-Iaki setengah tua duduk di kursi butut dan
tampak sedih sekali.
"Sudahlah, jangan menangis. Anak kita tidak akan sembuh oleh tangismu." kata laki-Iaki
itu sambil menghela napas panjang.
"Keterlaluan sekali juragan toko obat itu. Kenapa dia tidak mau menolong anak kita? Pada
hal, sudah bertahun-tahun aku bekerja mencucikan pakaian keluarga mereka." tangis
wanita kurus itu.
"Orang-orang kaya itu, mana ada yang baik hati? Semakin kaya, mereka itu menjadi
semakin kikir. Permintaan tolong kita dianggap sebagai pengganggu kesenangan mereka
saja. Uhhh.....!"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 33
Tertegun Heng San melihat dan mendengar semua itu. Kini mengertilah dia apa yang
telah diperbuat gadis bernama Ma Hong Lian itu. Gadis itulah yang mengambil uang para
hartawan kikir dan dia pula yang membagi-bagikan uang kepada para fakir miskin. Ah, dan
dia telah mengganggu pekerjaan gadis itu!
Terdorong oleh perasaan kagum terhadap nona itu, dia lalu mengambil beberapa potong
uang perak dan dijatuhkan ke bawah dari celah-celah genteng. Beberapa potong uang itu
jatuh ke atas meja di depan laki-laki itu, berbunyi nyaring. Laki-laki dan isterinya itu
terkejut, terbelalak melihat empat potong uang perak di atas meja. Mereka sudah mendengar
ten tang adanya "dewa" yang memberi pertolongan kepada orang-orang miskin.
Segera mereka berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Heng San sudah
melayang pergi tanpa menimbulkan suara. Dia membagi-bagikan sebagian isi kantung ke
rumah-rumah kumuhdan miskin. Kemudian baru dia meninggalkan kota Leng-koan. Masih
ada uang emas seperempat kantung. Kini dia tidak malu menganggap uang itu sebagai
miliknya sendiri. Dia memang membutuhkan uang untuk biaya hidup.
Setelah berlari keluar kota Lengkoan beberapa lamanya, dia melihat sebuah kuil tua yang
sudah tidak dipergunakan di tepi jalan. Kuil kosong itu tampak angker dan menakutkan,
akan tetapi Heng San yang merasa lelah dan mengantuk, segera masuk ke dalam kuil,
menemukan bagian yang agak bersih dan tidur di situ sampai pagi.
Pada keesokan harinya setelah matahari terbit, Heng San melanjutkan perjalanannya.
Ketika melewati sebuah dusun, dia berhasil membeli seekor kuda yang kuat dan dia
melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Selama dua hari dia melakukan
perjalanan naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Dia menikmati keindahan
pemandangan alam di sepanjang perjalanan. Kini dia selalu membawa bekal makanan roti
dan daging kering, dan sebuah guci yang diisi air minum. Tidurnya di mana saja. Kalau
perlu, karena tidak menemukan kota atau dusun dan kemalaman di jalan, dia tidur di kui!
tua, di gubuk sawah ladang, atau di atas pohon!
Pada hari ke tiga, sejak pagi hari yang cerah itu Heng San menjalankan kudanya dengan
santai memasuki sebuah hutan besar di kaki sebuah bukit. Hari itu cerah sekali. Sinar
matahari pagi yang menerobos di celah-celah daun pohon mendatangkan kehidupan
dalam hutan. Heng San menikmati perjalanan dalam hutan ini. Dia mendengarkan kicau
burung-burung di dalam pohon dan terkadang melihat tupai berlompatan saling kejar
memanjat pohon dengan gesitnya, atau melihat kelinci menyusup-nyusup di antara
semak-semak. Ada pula dilihatnya sekumpulan kijang berlari cepat mendengar suara kaki
kudanya. Heng San melihat dan mendengar itu semua dengan gembira. Dia tidak tahu ke
mana arah kudanya berjalan dan dia juga tidak peduli. Ke manapun sama saja baginya,
asal jangan kembali ke tempat yang sudah dilaluinya.
”Tolong....! Tolonggg....!"
Heng San terkejut. Suara minta tolong itu keluar dari dalam hutan. Cepat dia membedal
kudanya yang melompat dari berlari congklang ke depan, ke arah dari mana datangnya
suara minta tolong.
Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka, dia melihat betapa belasan orang
berpakaian sebagai perajurit sedang bertempur melawan dua puluh lebih orang-orang
yang berpakaian biasa. Banyak orang berpakaian perajurit sudah menggeletak dan orang
yang berteriak-teriak minta tolong adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh
tahun, bertubuh gemuk pendek. Dia memegang sebuah perisai di tangan kiri dan
sebatang golok di tangan kanan dan dengan dua macam senjata ini dia membela diri dan
menangkis serangan-serangan yang dilakukan seorang anggauta gerombolan yang
menyerang para perajurit pengawal itu. Orang gemuk pendek ini melihat pakaiannya
tentulah seorang pembesar.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 34
Heng San melompat turun dari kudanya dan langsung saja dia membantu pembesar itu.
Sekali saja kakinya mencuat, penyerang pembesar itu terkena tendangannya dan
terlempar jauh lalu jatuh terbanting, tidak mampu bangkit lagi. Heng San lalu menyerbu
dan membantu para perajurit yang terdesak hebat. Begitu kaki tangannya bergerak, para
anggauta gerombolan itu kocar-kacir, berpelantingan roboh.
Heng San merasa kagum dan juga bangga atas kemampuannya sendiri. Gerombolan
yang bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu silat yang membuat para perajurit
pengawal kewalahan itu, dengan mudah saja dia robohkan dengan tamparan dan
tendangannyal Kepala gerombolan yang bercambang bauk dan bersenjata pedang, tubuhnya
tinggi besar dan kokoh melawan mati-matian ketika tiba gilirannya berhadapan
dengan Heng San. Akan tetapi diapun hanya dapat bertahan selama belasan jurus saja.
Akhirnya dia terkena tendangan Heng San dan roboh muntah darah.
"Anjing pemerintahl" kepala gerombolan itu memaki sambil menudingkan telunjuknya ke
arah muka Heng San. "Siapakah engkau yang membela seorang pembesar anjing
pengkhianat penindas rakyat?"
Sebelum Heng San menjawab, seorang perajurit meluncurkan anak panah. "Serrr....
cappp!" Anak panah itu menancap di leher kepala gerombolan yang seger a roboh dan
tewas seketika.
Heng San terkejut dan dia tidak mengerti akan maksud kata-kata kepala gerombolan tadi.
Sementara itu, pembesar yang tadi ditolongnya sudah membuang perisai dan goloknya,
lalu menghampiri Heng San dengan wajah berseri.
"Hebat, hebat sekali Engkau sungguh seorang gagah perkasa, tai-hiap (pendekar besar)
Kalau tidak ada tai-hiap yang datang menolong, tentu nyawa kami akan melayang semua.
Ahh, sungguh keadaan tidak aman sekarang, di mana-mana terdapat perampok dan
gerombolan yang jahat dan kejam. Mereka meminta barang barang kami dan sudah kami
berikan, akan tetapi mereka masih menghendaki nyawa kami. Tentu saja kami melawan.
Terima kasih, tai-hiap. Bolehkah kami mengetahui namamu yang terhormat?"
Heng San merasa rikuh juga melihat sikap pembesar yang demikian hormat kepadanya.
Dia cepat membalas penghormatan itu dan berkata dengan sikap merendah. "Siauw-te
(adik muda) bernama Lauw Heng San. Kebetulan saja siauwte lewat dan melihat
pertempuran sehing ga dapat membantu tai-jin (pembesar) membasmi gerombolan
perampok itu."
"Engkau sungguh seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar besar yang
mengagumkan. Siapakah julukanmu, Lauw taihiap (pendekar Lauw)?"
Heng San tersenyum. "Ah, tai-jin, orang seperti saya ini mana mempunyai julukan
segala?"
Pembesar itu memperlihatkan wajah heran. "Sungguh tidak adil! Kami telah bertemu
banyak orang gagah yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaianmu,
tapi mereka itu sudah mempunyai nama julukan yang hebat-hebat! Apa lagi yang
berkepandaian selihai engkau ini, yang dengan tangan kosong saja dapat merobohkan
belasan orang perampok yang bersenjata tajam dengan sekejap mata saja! Ah, Lauwtaihiap,
percayalah, selama hidup belum pernah aku bertemu dengan pendekar sehebat
engkau dan belum pernah menyaksikan kepandaian silat sedemikian tinggi. Engkau
benar-benar seorang Sin Kun Bu Tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding)!"
Heng San merasa bangga sekali dan dia mengganggap pembesar itu sangat ramah dan
baik. Dari logat bicaranya dia tahu bahwa pembesar itu seorang bangsa aseli, yaitu
bangsa Han seperti dia sendiri. Memang tidak sedikit bangsa Han yang diangkat menjadi
pembesar sipil oleh pemerintah Ceng, yaitu pemerintah Bangsa Mancu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 35
"Terima kasih, tai-jin." kata Heng San sambil menjura, memberi hormat. "Saya tidak
merasa pantas mempunyai julukan sehebat itu, akan tetapi kalau tai-jin berkenan
memberikan julukan itu kepada saya, sayapun tidak berani menolaknya."
Pembesar itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus! Memang engkau tepat sekali dengan
julukan Sin-kun Bu-tek, karena sebagai seorang pendekar gagah, tidak kami lihat engkau
tadi menggunakan senjata ketika melawan mereka."
"Memang senjata saya hanya sepasang tangan dan kaki ini, tai-jin. Pedang di punggung
saya inipun bukan milik saya, melainkan milik seorang pencuri yang saya rampas di kota
Leng-koan."
"Ahh! Jadi engkau sudah pula menangkap pelaku pencurian dan penyebaran penyakit
yang kabarnya dilakukan roh jahat di kota Leng-koan itu, Lauw-taihiap?" tanya pembesar
itu sambil membelalakkan mata penuh kagum.
”ia seorang pencuri biasa, bukan roh jahat, tai-jin." kata Heng San dengan singkat, bahkan
dalam hatinya dia tidak menganggap pencuri itu orang jahat.
Pembesar gendut pendek itu mendekati Heng San dan menepuk-nepuk pundaknya
dengan sikap akrab. "Lauw-taihiap, perkenalkanlah. Kami adalah seorang pembesar dari
kota Keng-koan berpangkat ti-koan. Engkau masih muda dan gagah, marilah ikut kami ke
Keng-koan, di mana engkau akan kami perkenalkan kepada Thio-ciangkun (Perwira Thio).
Dia seorang pembesar miIiter yang berkuasa besar, cerdik pandai dan menjadi sahabat
baikku. Thio-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang menjadi tangan kanan kaisar
yang bertugas membasmi gerombolan pemberontak yang berusaha untuk merobohkan
pemerintah Ceng yang jaya."
Heng San merasa tertarik sekali. Ayah maupun gurunya tidak pernah bicara tentang
pemerintah Kerajaan Ceng, maka dia tidak tahu akan politik kerajaan baru itu. Dia
memang tidak memiliki pekerjaan dan kalau ada pekerjaan yang cocok dengan
kepandaian silatnya, maka tentu saja dia suka.
"Jangan ragu, taihiap. Aku menjamin bahwa engkau tentu akan senang sekali berkenalan
dengan orng-orang gagah yang menjadi para pembantu Thio-ciangkun yang pandai."
bujuk pula pembesar gendut itu. "Aku bernama Liok Han Sai, dikenal sebagai Liok-tikoan
yang selalu bertindak adil dan jujur."
"Akhirnya Heng San tidak menolak. ketika diajak ikut ke kota Keng-koan oleh Liok-taijin
(pembesar Liok). Di sepanjang jalan, sambil duduk sekereta dengan pembesar itu dan
kudanya dibawa perajurit pengawal, Heng San mendengarkan keterangan Liok-taijin
tentang Thiociangkun yang dipuji-pujinya. Thio-ciangkun (Perwira Thio) itu bernama Thio
Ci Gan, seorang perwira bangsa Han juga yang namanya terkenal di kota raja. Dia adalah
seorang kepercayaan kaisar dan sudah berjasa besar sekali ketika ikut menghancurkan
barisan Gouw Sam Kui yang tadinya bersekutu dengan pasukan Mancu kemudian
membalik dan melawan pasukan Mancu secara mati-matian. Ketika Kaisar Kang Hsi dari
kerajaan Ceng (Mancu) mendengar dari para penyelidik bahwa di daerah Keng-koan
terdapat banyak orang-orang Han yang bersikap memberontak, kaisar lalu memerintahkan
Thio Cin Gan untuk pindah ke kota Keng-koan dan menjadi komandan pasukan keamanan
di kota itu. Tugasnya adalah membasmi kaum patriot bangsa Han yang menentang
penjajahan Mancu. Di kota Keng-koan ini Thio Cin Gan yang cerdik membujuk para orang
gagah dengan sogokan harta benda dan janji-janji muluk dan berhasil membentuk
pasukan istimewa terdiri dari ahli-ahli silat yang dapat terbujuk.
Jilid 5
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 36
Ketika Liok-taijin membawa Heng San menghadap Thio-ciangkun, pembesar militer itu
sedang duduk minum bersama beberapa orang gagah yang menjadi pembantunya.
Segera Liok-taijin disambut ramah dan dipersilakan duduk semeja, ikut menikmati minum
arak dan makanan ringan.
Liok-taijin segera memperkenalkan Heng San Kepada perwira tinggi itu. "Thio-ciangkun,
ini adalah seorang kawan baru yang berjuluk Sin-kun Bu-tek dan bernama Lauw Heng
San. Kawan yang gagah perkasa ini telah menolongku dari serangan dan kepungan
belasan orang pengacau. Dia merobohkan belasan orang itu hanya dengan tangan
kosong saja."
Mendengar laporan ini, Thio-ciangkun menunda cawan araknya dan memandang Heng
San dengan sinar mata tajam pemih selidik. Juga para jagoan yang tadinya memandang
acuh tak acuh kepada Heng San, kini menatapnya penuh perhatian.
Thio-ciangkun berkata dengan ramah sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.
"Selamat datang, Lauwsku (orang gagah Lauw), kami merasa mendapat kehormatan
besar menerima kunjungan seorang gagah perkasa seperti engkau."
Heng San berdiri dan menjura dengan hormat. "Terima kasih, ciang-kun. Yang menerima
kehormatan adalah saya. Adapun mengenai pujian Liok-taijin terhadap saya, semua itu
hanya main-main saja."
''Ha-ha Lauw-taihiap terlalu merendahkan diri" Liok-taijin mencela. "Lauw-taihiap dapat
diumpamakan sebatang pedang pusaka masih terbungkus dalam sarungnya, belum
terhunus sehingga tidak tampak ketajamannyal"
Mendengar ucapan itu, Thio-ciangkun tampak gembira. Dia lalu memperkenalkan para
pembantunya yang gagah perkasa kepada Heng San. Di antara mereka, yang sudah amat
terkenal namanya di dunia kang-ouw dan dalam perantauannya selama enam bulan itu
Heng San pernah mendengar ketenaran nama mereka, adalah tiga orang, maka ketika
diperkenalkan, dia memperhatikan mereka. Yang pertama adalah seorang tinggi kurus
berusia sekitar empat puluh lima tahun dan mukanya berwama kuning, diperkenalkan
sebagai Lui Tiong berjuluk Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning) yang memiliki sebatang
pedang di punggungnya. Orang kedua bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat berusia
sekitar empat puluh tahun, bernama Ban Kok dengan julukan Hoagu-ji (Si Kerbau Belang)
dan bertenaga besar. Adapun orang ketiga yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun,
bermuka tampan namun tubuhnya kate (pendek) bernama Ouwyang Sin dan orang itu
memiliki sebatang golok emas yang tergantung di punggungnya. Setiap menerima
pembantu, Thio-ciangkun selalu menguji kepandaian mereka untuk menentukan tingkat
mereka, maka setelah diuji ditetapkan bahwa menurut ukuran kepandaian mereka, tingkat
pertama adalah Ui-bin-houw, kedua adalah Hoa-gu-ji Ban Kok, dan ketiga adalah si kate
Ouwyang Sin yang berjuluk Kim-to (Si Golok Emas).
Ketika diperkenalkan, tiga jagoan pembantu Thio-ciangkun ini memandang Heng San
dengan sikap acuh tak acuh dan meremehkan karena mereka belum pernah mendengar
pemuda yang berjuluk Sin-kun Bu-tek ini di dunia kang-ouw. Mereka menganggap
pemuda itu sombong sekali, berani memakai julukan Sin-kun Bu-tek (Kepalan Sakti Tanpa
Tanding). Seorang laki-laki yang masih begitu muda dapat mempunyai kepandaian
setinggi apakah?
Hidangan-hidangan lezat dikeluarkan dan Heng San menikmati makanan enak-enak dan
arak yang wangi. Karena keramahan tuan rumah, Heng San agak terlalu banyak minum
arak sehingga sikapnya berubah gembira sekali dan bebas.
"Lauw-sicu," kata Thio-ciangkun sambi! tersenyum, "karena engkau seorang pengembara
yang menurut katamu sendiri ingin meluaskan pengalaman, bagaimana kalau engkau
bekerja dengan kami di sini?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 37
"Bekerja sih mudah, Thio-ciangkun, akan tetapi saya harus mengetahui Iebih dulu macam
apakah pekerjaan itu," jawab Heng San dengan Iancar
"Apa lagi?' Kita adalah golongan orang-orang gagah, golongan pendekar pembela
keadilan. Pekerjaan kita adalah membasmi orang-orang jahat, pengacau-pengacau dan
para perampok! Setujukah engkau?"
"Ha-ha-ha! Thio-ciangkun, tanpa dimintapun saya sudah bekerja seperti itu!"
Thio-ciangkun mengisi cawan Heng San yang sudah kosong sambi! tertawa. Engkau
benar sekali, Sin-kun Bu-tek. Akan tetapi pekerjaan ini akan lebih sempurna dan teratur
jika kita rencanakan bersama. Kalau engkau bekerja sendiri bagaimana kalau sampai
engkau salah tindak? Tidak demikian halnya kalau engkau bekerja sama dengan kami.
Kami mempunyai pasukan penyelidik yang dapat mengetahui orang macam apa yang
harus kita basmi."
"Bagus! Saya terima usul ciangkun dengan hati dan tangan terbuka!" kata Heng San
gembira.
"Nanti dulu, Thio-ciangkun," tiba-tiba Ui-bin-houw Lui Tiong berkata dengan nada
mencela.
"Tidakkah itu terlalu sembrono? Kita belum mengetahui sampai di mana kesetiaan dan
kepandaian Lauw-sicu ini. Apakah ciangkun hendak menyimpang dari kebiasaan?"
Thio-ciangkun memandang pembantu pertamanya itu dengan tersenyum. "Tentu saja kita
harus mengujinya dulu. Eh, Lauw-sicu, bersediakah engkau untuk diuji?"
"Diuji?" tanya Heng San. "Diuji bagaimana maksud ciangkun?"
"Biasa saja. Diuji kepandaianmu, dicoba dan diukur sampai di mana tingkat
kepandaianmu."
Heng San tersenyum. Dia sedang gembira oleh pengaruh arak, maka diapun ingin sekali
memamerkan kepandaiannya. "Ah, boleh, boleh sekali, ciangkun. Siapa yang akan
mengujiku? Apakah Lui-toako (kakak Lui) ini?" Dia menunjuk kepada Lui Tiong.
Tiba-tiba Si Golok Emas Ouwyang Sin yang pendek kate itu bangkit berdiri. ”Ciangkun,
perkenankanlah saya mencobanya lebih dulu."
Dengari wajah gembira Thio-ciangkun mengangkat tangan tanda setuju lalu bangkit
berdiri. "Mari kita semua pindah ke lian-bu-thia! Mereka semua lalu mengiringkan perwira
itu menuju ke lianbu-thia (ruangan berlatih silat yang berada di belakang gedung. Ruangan
ini luas sekali dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak yang penuh dengan delapan
belas rnacam senjata untuk bermain silat. Thio - ciangkun mempersilakan Liok-taijin untuk
duduk di atas bangku yang berjajar dekat dinding. Tujuh orang jagoan lain yang tingkatnya
rendahan juga duduk di deretan bangku belakang. Thio-ciangkun sendiri duduk di sebelah
Liok-taijin menonton dengan wajah berseri, sedangkan dua orang jagoan pertama dan
kedua duduk di sebelah kirinya.
Dengan senyum simpul Ouwyang Sin membuka jubah luarnya, hanya mengenakan baju
dalam yang ringkas, rambutnya yang tipis dikucir kecil bergantung di tengkuknya, lalu
dengan lagak memandang rendah dia melambaikan tangan kepada Heng San yang sudah
berdiri di depannya. Pemuda ini juga menanggalkan buntalan pakaiannya, diletakkan di.
sudut dan kuncirnya yang hitam panjang seperti seekor ular membelit lehernya.
"Marilah, siauw-ko (kakak kecil), kita main-main sebentar!" kata Ouwyang Sin dengan
nada. mengejek, lalu memasang kuda-kuda dengan gagah, kedua kakinya terpentang
lebar seperti menunggang kuda, kedua tangan di pinggang terkepal dan dia menoleh ke
arah Heng San yang berdiri di sebelah kanannya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 38
Heng San menghadapinya. Sikapnya tenang dan berhati-hati karena dia belum tahu
sampai di mana kelihaian lawan ini. "Mulailah, Ouwyang toako (kakak Ouwyang).
Bukankah engkau yang hendak mengujiku?"
"Baik, lihat seranganku!" Ouwyang Sin tidak sungkan-sungkan lagi, segera dia membalik
ke kanan, lalu menggunakan kepalan kanan untuk memukul ke arah Heng San dan
segera disusul tendangan kaki kirinya. Biarpun kaki dan tangannya pendek, namun
serangan ini cukup cepat dan bertenaga. Namun, Heng San melihat bahwa gerakan lawan
ini agak lamban sehingga dengan tenang dan mudah saja dia mengelak dan langsung
balas menyerang. Si Golok Emas terkejut bukan main melihat gerakan aneh dari pemuda
itu. Dalam keadaan terserang, pemuda itu mengelak dan balas menyerang. Alangkah
cepatnya gerakan pemuda itu! Akan tetapi sebagai seorang jagoan) yang sudah banyak
pengalaman bertanding, Ouwyang Sin juga mampu menangkis serangan balasan Heng
San.
"Dukkk!" Untuk kedua kalinya Ouwyang Sin terkejut bukan main ketika merasa betapa
lengannya tergetar dan nyeri ketika bertemu dengan lengan lawan. Kini Heng San sudah
dapat mengukur tenaga dan kecepatan lawan, maka dia melompat ke belakang dan
berkata dengan suara sungguh-sungguh, bukan dengan niat mengejek.
"Ouwyang-toako, tadi aku mendengar engkau berjuluk Kim-to atau Golok Emas. Maka
karena aku mendapat kesempatan, penuhilah keinginanku mtuk melihat kehebatan golok
emasmu itu."
Ouwyang Sin memandang dengan muka merah. ''Lauw-siauwte (adik Lauw)," katanya
menyebut adik dan tidak ngejek lagi walaupun hatinya panas. Apakah engkau tahu bahwa
permainan ini hanya untuk menguji kepandaianmu saja? kita bukan sedang pi-bu
(mengadu ilmu) atau berkelahi. Golok tidak ada matanya, kawan, sekali salah bacok bisa
mendatangkan luka berat atau maut!"
"Aku tahu dan aku mengerti, Ouw-toako. Tapi maksudku juga bukan untuk mencari
keributan. Aku hanya ingin melihat permainan golokmu yang tersohor itu, juga agar lebih
indah dipandang untuk menghormati tuan rumah. tetapi kalau engkau keberatan, baiklah
kita teruskan pertandingan adu kepalan dan tendangan ini."
"'Lihat serangan!" Ouwyang Sin yang penasaran itu menyerang lagi, kini mempergunakan
jurus yang paling diandalkan dan menyerang dengan bertubi. Akan tetapi dalam dua
gebrakan saja, ketika kakinya menendang, kaki itu dapat ditangkap Heng San dan tahutahu
tubuhnya sudah melayang ke atas! Untung sekali baginya bahwa Heng San segera
menangkapnya kembali sehingga Ouwyang Sin tidak sampai terbanting ke atas lantai
yang keras.
Liok-tikoan bertepuk tangan dengan girang. "Apa kata saya tadi, ciangkun? Dia benarbenar
Si Kepalan Sakti Tanpa Tanding!"
Thio-ciangkun juga memandang heran. Dia tidak menyangka pemuda itu dapat
menjatuhkan Ouwyang Sin hanya dalam dua gebrakan saja! Si Golok Emas merasa malu
sekali. Dia menjura kepada Heng San sambi! berkata, "Sungguh engkau lihai sekali.
Apakah sekarang engkau masih ingin melihat permainan golokku? Aku memang tidak
biasa bersilat dengan tangan kosong."
Ouwyang Sin menunjuk dengan jari tangan kirinya ke arah buntalan pakaian Heng San.
"Akan tetapi aku melihat sebatang pedang di buntalanmu."
"Oh, itu bukan pedangku, melainkan pedang seorang maling yang kurampas di Lengkoan.
Aku tidak bisa menggunakannya."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 39
Ouwyang Sin menurunkan lagi goloknya dan berkata dengan muka cemberut, "Kukira
pertandingan ini tak dapat diteruskan. Apa kaukira aku ini seorang pengecut yang hendak
menandingi seorang lawan bertangan kosong dengan menggunakan golok emasku?"
"Lauw-sicu, keluarkanlah senjatamu!"
Thio-ciangkiun juga ikut membujuk. Akan tetapi Heng San menjawab dengan suara
sungguh-sungguh. "Maaf, ciangkun. Saya berkata sebenarnya bahwa semenjak kecil saya
tidak pernah bermain dengan senjata tajam. Saya hanya mengandalkan kedua tangan dan
kaki ini saja."
"Benar-benar Sin-kun Bu-tek, Kepalan Sakti Tanpa Tanding!" kata Liok-tikoan dengan
kagum. Thio-ciangkun juga merasa heran dan kagum.
"Kalau begitu, Ouwyang-sicu, pergunakan golokmu, jangan ragu-ragu lagi. Aku ingin
melihat kelihaian tangan kosong dan kakinya." kata perwira itu yang juga merupakan
seorang ahli silat yang tangguh.
Mendengar anjuran dan perkenan Thio-ciangkun yang juga didengar oleh semua
rekannya, Ouwyang Sin tidak merasa ragu.dan rnalu lagi. Dia segera memutar goloknya
dan berkata, "Maaf dan lihat serangan golok emasku!"
Ketika dia memainkan golok emasnya, tampak sinar emas bergulung-gulung dan
menyambar-nyambar, menggulung tubuh Heng San dari semua penjuru.
Akan tetapi Heng San berseru, "Bagus!" dan tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya
laksana telah berubah menjadi bayang-bayang. Dia berhasil keluar dari gulungan sinar
golok dan tampak bayangan itu berkelebat luar biasa gesitnya. Ouwyang Sin
mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan semua jurus maut golok emasnya, akan
tetapi dia mengalami hal yang aneh dan payah juga harus mengejar ke manapun
bayangan itu berkelebat. Setiap kali diserang, bayangan itu lenyap dan tahu-tahu angin
pukulan menyambar dari belakang, dari depan, dari atas, dan dari kanan kiri. Dia merasa
heran, kagum, akan tetapi juga penasaran. Selama bertahun-tahun merajalela di dunia
kang-ouw dengan goloknya, belum pernah dia bertemu tanding yang demikian gesitnya.
Dia mempercepat gerakan goloknya. Namun, bagaikan mempermainkannya, gerakan
Heng San ternyata lebih cepat lagi sehingga akhirnya serangan Ouwyang Sin hanya
merupakan bacokan-bacokan ngawur saja karena bayangan itu seolah berada di manamana
dan berubah banyak!
Thio-ciangkun dan Liok-tikoan merasa kagum sekali dan tak terasa lagi mereka berdua
bertepuk tangan memuji. Belum habis tepukan tangan mereka, tiba-tiba terdengar keluhan
Ouwyang Sin dan golok itu tahu-tahu telah terlempar ke udara. Agaknya golok itu akan
menancap di langit-langit, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali
gerakan melayang ke atas dan dapat menangkap golok itu sebelum menancap di langitlangit
ruangan lian-bun-thia itu. Heng San melayang turun dan kakinya tidak
mengeluarkan bunyi sedikitpun ketika hinggap di atas lantai.
Heng San mengembalikan golok kepada Ouwyang Sin dan membungkuk. Tanpa
mengandung ejekan, melainkan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, "Ouw yangtoako,
terimalah kembali golokmu. harus kuakui bahwa permainan golokmu sangat hebat
dan engkau pantas berjuluk Si Golok Emas!"
Ouwyang Sin menerima goloknya dan 'menghela napas pan jang.
"Sudahlah, jelas engkau bukan tandinganku, Lauw-te (adik Lauw)."
Thio-ciangkun dan Liok-tikoan merasa kagum dan memuji Heng San. Bahkan para jagoan
di situ juga merasa kagum sekali. Ban Hok si Kerbanu Belang yang menjadi jagoan nomor
dua melihat betapa Ouwyang Sin dengan golok di tangan dipermainkan sedemikian oleh
Heng San yang betangan kosong, merasa takluk dan maklum bahwa kepandaian silatnya
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 40
yang hanya sedikit lebih tinggi daripada tingkat si golok emas, bukanlah lawan pemuda
luar biasa itu. Maka diapun berkata terus terang kepada Thio-ciangkun.
"Ciangkun, terus terang saja saya mengaku bahwa tingkat kepandaian Sinkun Bu-tek
Heng San benar-benar hebat dan masih jauh lebih tinggi dari pada kemampuan saya dan
agaknya di antara kami para pembantu ciangkun tidak ada yang mampu
mengalahkannya."
Thio-ciangkun mengangguk-angguk puas. Akan tetapi Ui-bin-houw Lui Tiong, Si Harimau
Muka Kuning tidak senang mendengar ini. Dia menjura kepada Thiociangkun dan berkata,
"Saudara Ban Hok sangat merendahkan diri sendiri. Biarpun kepandaian Sin-kun Bu-tek
amat lihai, akan tetapi sebelum mencobanya sendiri, saya tentu menjadi penasaran juga.
Bolehkah saya mengujinya, ciangkun?"
Thio-ciangkun tampak gembira sekali dan berkata kepada Heng San yang masih di tengah
ruangan lian-bu-thia. ”Law-sicu, maukah engkau bermain sebentar dengan Lui-sicu?"
Heng San menjawab sambil memang ke arah Lui Tiong. "Tentu saja saya sedia melayani
Lui-toako."
Lui Tiong segera menggerakkan tubuh dan tubuh itu melesat dengan cepat melayang ke
tengah lian-bu-thia dan ia berhadapan dengan Heng San ini, Heng San maklum bahwa
pertama yang menjadi jagoan Thio ini memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
cukup hebat.
LuiTiong berkata kepada Heng San sambil menatap wajah yang tampan itu. ”Lauw-te
sungguh mengagumkan. Masih begini muda sudah memiliki kepandaian silat yang sangat
tinggi. Ilmu silatmu selain lihai juga aneh sekali gerakannya. Bolehkah aku mengetahui
dulu nama suhumu yang mulia?"
Dengan suara sederhana Heng San jawab, "Suhuku berjuluk Pat-jiu Sin-kai”
Mendengar nama gurunya ini wajah Lui Tiong menjadi pucat dan tubuhnya agak gemetar.
Dia mendengar pula seruan suara Thio-ciangkun.
"Apa? Si Pengemis Sakti Tangan Delapan?"
Heng San menoleh dan melihat betapa semua orang yang berada di situ, termasuk Thiociangkun
dan para jagoannya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Diamdiam
dia merasa bangga sekali akan gurunya yang ternyata demikian terkenal dan besar
wibawanya sehingga baru mendengar namanya sa ja membuat semua orang begitu
terkejut!
"Aih, pantas sekali kalau begitu! Tidak tahunya Lauw-sicu murid Pat-jiu Sin-kail Pantas
begitu lihail" Thiociangkun berkata lantang "Hayo, Lui-sicu, cobalah dia!" suaranya
terdengar begitu gembira sekali.
"Marilah, Lauw-te!" kata Si Harimau Muka Kuning menantang.
"Saya telah siap, Lui-toako!" kata Heng San yang bersikap tenang namun dia waspada
karena maklum bahwa ilmu lawan ini tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
lawannya yang terdahulu.
"Hyaaatt!" Lui Tiong menyerang dengan jurus pukulan Pai-in-jut-sui (Mendorong Awan
Keluar Puncak). Heng San maklum akan kekuatan lawan. Angin pukulan serangan itu
amat kuat. Maka diapun melayani dengan memainkan ilmu silat Lo Han Kun-hoat (Ilmu
Silat Orang Tua Gagah), yaitu ilmu silat aliran Siauw lim-pai, satu di antara banyak ilmu
silat yang diajarkan Pat-jiu Sin-kai kepadanya. Seperti ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai pada
umumnya, Lo Han Kun-hoat ini gerakannya mantap dan kokoh sekali. Tenyata ilmu silat
Lui Tiong memang tangguh, namun kini dia bertemu lawan yang dapat mengimbanginya,
baik dalam hal kecepatan maupun tenaga sakti.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 41
Setelah mereka bertanding selama puluhan jurus, tahulah Heng San bahwa dalam hal ginkang
(ilmu meringankan tubuh) dan lwee-kang (tenaga dalam) dia masih lebih unggul.
Maka dia segera mengubah gerakannya. Kini dia mengerahkan gin-kang untuk bergerak
lebih cepat dari lawan dan dia mulai menyerang sambi! mengeluarkan ilmu silat Ngoheng
Lian - huan Kun - hoat (IImu Silat Lima Unsur). Lui Tiong terkejut sekali. Dia melihat
seolah bayangan tubuh lawan menjadi banyak dan mengeroyoknya. Dia terdesak hebat
dan hanya dapat mengelak dan menangkis sambil mundur berputaran di lian-bu-thia,
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Para penonton hanya
melihat bayangan Heng San seakan-akan terus mengejar ke manapun tubuh Lui Tiong
bergerak. Lui Tiong sudah mandi keringat dan napasnya mulai terengah. Tiba-tiba
bayangan itu melompat ke belakang dan tahu-tahu Heng San telah berdiri tiga tombak
jauhnya dari Lui Tiong sambil menjura dan berkata.
"Lui-toako suka mengalah, terima kasih!"
Lui Tiong cepat memberi hormat. "Lauw-te sungguh patut disebut Kepalan Sakti Tanpa
Tanding! Aku mengaku kalah!"
Ketika orang-orang yang melihat dengan teliti, baju di bagian dada Lui Tiong telah bolong
karena robek oleh jari-jari tangan Heng San! Seandainya mereka berkelahi sungguhsungguh,
tentu nyawa Lui Tiong takkan tertolong lagi!
Tentu saja kemenangan Heng San atas jagoan nomor satu itu membuat semua orang
kagum. Terutama sekali Thio-ciangkun. Perwira tinggi ini merasa senang sekali dan
sambi! tersenyum lebar dia menghampiri Heng San dan menangkap lengan tangan kanan
pemuda itu. Sebagai seorang perwira yang berpangkat tinggi Thio Ci Gan ini bukan orang
sembarangan. Sebagai seorang panglima yang berkedudukan tinggi dan menjadi seorang
kepercayaan kaisar, dia memiliki ilmu silat tinggi di samping ilmu berperang dan diapun
terkenal cerdik bukan main. Ketika dia memegang lengan Heng San sebenarnya bukan
sekedar memegang biasa, melainkan tangannya itu memegang lengan dengan sebuah
cengkeraman ilmu kim-na-jiu yang dapat membuat robek kulit daging dan mematahkan
tulang! Pegangannya itu ternyata merupakan ujian pula bagi Heng San.
Pemuda ini mengetahui pula akan hal itu maka diapun telah siap siaga. Ketika jari-jari
Thio-ciangkun menyentuh lengannya, panglima itu terkejut bukan main. Kulit lengan
pemuda itu telah berubah lemas dan lembut. bagaikan kapas sehingga tidak mungkin
dapat dicengkeram, sedangkan ilmu cengkeramannya itu khusus dipelajari untuk
mencengkeram benda keras. Batu karang akan hancur kalau terkena cengkeramannya.
Akan tetapi sekarang menghadapi benda lunak lembut seperti kapas, cengkeramannya
tidak berdaya dan mati kutu!
"Ah, engkau benar-benar gagah perkasa, Lauw-sicu. Mari, kita harus merayakan
pertemuan kita yang menggembirakan ini dengan minum arak sepuasnya!"
Hidangan ditambah dan Thio-ciangkun bahkan memerintahkan pengawal mengundang
gadis-gadis penyanyi dan penari yang muda-muda. dan cantik jelita. Mereka makan
minum sambil mendengarkan suara merduu yang keluar dari bibir mungil itu dan
menonton lenggang tubuh muda dengan lekuk yang menggairahkan itu.
Di tengah-tengah perjamuan itu, Thio bertanya kepada Heng dan riwayatnya, orang
tuanya dan Gurunya. Heng San memberi keterangan secara singkat saja. Ketika dia
ditanya tentang suhunya, dia menjawab. Saya telah lebih setengah tahun berpisah dari
suhu dan sekarang saya tidak tahu di mana adanya orang tua itu.
Thio-ciangkun menghela napas panjang "Ah, sudah lama sekali aku mendengar akan
nama besar Pat-jiu Sin-kai. Betapa senangnya kalau aku dapat bertemudengan orang tua
yang luar biasa itu. "
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 42
Sementara itu, arak terus mengalir ke perut Heng San sampai pemuda itu menjadi mabok
dan terpaksa digotong ke dalam sebuah kamar yang indah dan sudah tersedia untuknya.
Sejak hari itu, Heng San menjadi jagoan nomor satu yang amat disayang dan dipercaya
oleh Thio-ciangkun, bahkan dia dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi pembesar
militer itu yang bertugas menjaga keamanan pribadi Thio Ci Gan atau Thio-ciangkun.
Beberapa hari kemudian, pada pagi hari Thio-ciangkun memanggil Heng San, Ban Hok
dan Ouwyang Sin datang menghadap. Tiga orang jagoan ini cepat menghadap Thiociangkun
yang duduk di ruangan dalam, sebuah ruangan tertutup dan menjadi tempat
rahasia kalau pembesar itu mengadakan pembicaraan penting dengan para pembantunya.
Setelah tiga orang pembantu itu datang menghadap, hanya Lui Tiong yang tidak ikut
dipanggil, Thio-ciangkun lalu berkata kepada Heng San.
"Aku mendengar dari seorang penyelidik bahwa di dalam hutan sebelah timur kota Bunkoan
terdapat segerombolan perampok yang seringkali mengganggu para pelancong atau
para pedagang yang kebetulan lewat di daerah itu. Bahkan sudah dua kali gerombolan itu
berani masuk dan mengadakan kekacauan dan perampokan ke dalam kota Bun-koan.
Mereka itu harus dibasmi sebelum mendatangkan malapetaka yang lebih besar lagi.
Lauw-sicu, engkau kuserahi tugas ini. Ban-sicu dan Ouwyang-sicu hanya membantumu.
Bawalah selosin perajurit pilihan dan berangkatlah sekarang juga. Hati-hati, kabarnya di
pihak gerombolan itu ada seorang yang tinggi kepandaiannya."
Heng San menerima tugas itu dengan gembira karena baru pertama kali ini dia mendapat
tugas yang penting. 'Dia menganggap tugas itu sebagai pekerjaan yang penting dan baik,
karena bukankah dia harus membasmi segerombolan perampok yang ganas dan yang
mengganggu keaman dan kehidupan rakyat? Tugas itu sesuai dengan watak pendekar
yang ditanamkan ke dalam hatinya oleh gurunya, Pat-jiu Sin-kai.
Setelah membuat persiapan, mereka diberi pakaian berwama biru merah oleh Thiociangkun
sehingga dalam pakaian seragam itu mereka tampak gagah. Tiga orang jagoan
itu memilih dua belas orang perajurit yang gagah be rani dan limabelas orang. itu masingmasing
menunggang kuda pilihan. Pasukan itu tampak gagah sekali.
"Pasukan di bawah pimpinan Lauw-sicu ini kuberi nama Pasukan Garuda Sakti" kata Thiociangkun
dan Heng San merasa girang dan bangga sekali.
Pasukan yang terdiri dari lima belas orang itu segera berangkat, merupakan barisan
berkuda yang rapi sehingga di sepanjang perjalanan mereka menjadi perhatian para
penduduk.
Ban Hok bersikap sombong. Pada setiap orang yang memandang barisan itu. dia berseru
lantang, "Heii, lihatlah! lnilah barisan Garuda Sakti"
Melihat kelakuan kawannya yang bertubuh tinggi besar ini, Heng San hanya tersenyum
geli. Setelah melakukan perjalanan sehari penuh, tibalah mereka di kota Bun-koan. Ketika
mereka memasuki kota, tentu saja menimbulkan perhatian dan pembesar yang menjadi
kepala daerah lalu mengadakan penyambutan. Heng. San memperlihatkan surat perintah
dari Thio-ciangkun. Membaca surat perintah ini, kepala daerah itu tergopoh-gopoh
melakukan penyarnbutan dengan hormat, mengadakan perjamuan dan mempersilakan
mereka bermalam di kamar-kamar pilihan di gedung kepala daerah.
Pada keesokan harinya, kepala daerah itu datang berkunjung dengan memakai kereta.
Heng San sebagai komandan pasukan menyambutnya dan pemuda ini merasa heran
sekali ketika kepala daerah itu menyerahkan sebuah bungkusan atau kantung kepadanya
dan berkata dengan merendah.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 43
"Karni tidak dapat memberi apa-apa, hanya sedikit bingkisan ini harap sicu terima dengan
senang hati untuk menambah biaya sekadarnya. Tolong sampaikan kepada Thio-ciangkun
bahwa kami di sini baik-baik saja dan sampaikan pula hormat kami kepada beliau."
Heng San terheran-heran sehingga tidak.cIapat berkata-kata. Dia cepat membuka mulut
kantung dan ternyata isinya potongan-potongan emas yang berkilauan. Dia terkejut dan
cepat dia membawa bungkusan itu berlari keluar mengejar kepala daerah yang sudah naik
ke keretanya.
"Taijin, tunggu! Ini kantung uangmu jangan ditinggalkan. Saya tidak membutuhkan inil"
kata Heng San dengan muka merah.
Wajah kepala daerah itu terheran dan matanya terbelalak.
"Tapi..... tapi, sicu.....!"
"Terimalah kembali dan jangan bicara lagi!" kata Heng San sambil melempar buntalan
atau kantung uang itu ke atas pangkuan pembesar itu yang kini menjadi pucat wajahnya.
Tanpa memperdulikannya lagi Heng San lalu membalikkan tubuh kembali ke dalam rumah
di mana dia dan rombongan bermalam. Dia melangkah lebar dan mukanya menjadi
merah. Dia masih bersungut-sungut dengan hati sebal ketika Ban Hok dan Ouwyang Sin
menghampirinya dan bertanya mengapa pemuda itu tampaknya kesal dan marah.
"Ah, aku sedang kesal dan jengkel sekali melihat ulah kepala daerah brengsek itu!" kata
Heng San marah. "Dikiranya siapakah kita ini? Berani-beraninya dia mencoba untuk
menyuap dengan sekantung emas! Hemm, pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini,
kalau tidak demikian, apa perlunya dia mencoba untuk menyogok? Hemm, sekembali kita
dari hutan menumpas gerombolan penjahat, pasti akan. kuselidiki hal inil"
Mendengar ini, Ban Hok dan Ouwyang Sin saling pandang lalu tertawa sehingga Heng
San memandang heran. "Mengapa kalian tertawa?" tanyanya tak senang.
"Lauw-te agaknya tidak mengerti akan keadaan jaman! Memang sudah demikianlah
keadaan waktu sekarang, sudah lajim. Pemberian itu tidak berarti apa-apa, hanya sebagai
tanda penghormatan belaka dari pejabat itu kepada kita yang menjadi utusan Panglima
Thio. Bukan hal aneh, bahkan amat aneh kalau engkau menjadi marah dan menolaknya,
Lauw-te!" kata Ban Hok.
Heng San memandang kepada Ban Hok dengan mulut ternganga. Ini merupakan hal yang
baru baginya. "Akan tetapi apa perlunya? Mengapa dia harus memberi emas kepada kita?
Bukankah kita tidak melakukan sesuatu untuknya?"
Kini Ouwyang Sin yang menjawabnya. "Lauw-te, bukankah kita hendak pergi membasmi
perampok yang mengacau daerahnya? Setidak-tidaknya kita akan mengamankan kota ini
dari gangguan perampok dan sudah lumrah kalau kepala daera:h itu hendak
menyampaikan terima kasihnya dengan sedikit hadiah kepada kita, bukan?" Ouwyang Sin
memandang rekan mudanya itu dengan pandang mata menyesal mengapa Heng San
menolak "rejeki nomplok itu.
Kini mengertilah Heng San akan tetapi dia tetap merasa penasaran dan tidak sudi
menerima pemberian orang dengan cara demikian. Ia menganggap hal itu merendahkan
namanya dan menghinanya. Pasukan Garuda Sakti harus menjadi pasukan yang
terhormat, gagah, berjuang yang akan dibanggakan oleh Panglima Thio Ci Gan yang
demikian bijaksana. dan jujur!
Pada keesokan harinya setelah mendapat keterangan jelas di mana hutan yang dijadikan
sarang gerombolan itu berada, Heng San mengajak pasukannya berangkat. Setibanya di
luar hutan, Heng San memesan kepada para anak buahnya agar jangan ada yang
bergerak sebelum mendapat perintah darinya. Kemudian Ban Hok yang bertubuh tinggi
besar itu mengeluarkan sebuah bendera pemberian Panglima Thio, sehelai bendera
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 44
berwama kuning yang tersulam gambar seekor burung garuda berwama merah
keemasan. ”Gagah sekali gambar ini, gambar yang serupa benar dengan sulaman gambar
garuda yang terpasang di dada mereka. Kemudian, sambil mengibarkan bendera itu,
mereka menjalankan kuda perlahan memasuki hutan yang lebat itu.
Belum lama pasukan berkuda itu bergerak memasuki hutan, Heng San berada paling
depan, di belakangnya Ban Hok dan Ouwyang Sin berdampingan dan dua belas orang
anak buah pasukan berbaris dua-dua, tiba-tiba dari kanan kiri menyambar beberapa.
batang anak panah yang kesemuanya tertuju kepada Heng San yang jelas merupakan
pemimpin pasukan itu.
Heng San mengeluarkan suara tawa mengejek dan kedua tangannya menangkapi enam
batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri itu. Sekali remas, enam batang anak
panah itu patah-patah dan dia membuangnya ke atas tanah.
"Para pelepas anak panah, keluarlah sebagai laki-laki, jangan menjadi penyerang gelap
seperti para pengecut!" bentak Heng San dengan suara lantang dan karena dia
mengerahkan tenaga sakti, maka suaranya mengeluarkan gaung dan menggema di
seluruh penjuru hutan.
Tiba-tiba hutan yang sunyi itu berubah hiruk-pikuk dengan suara gemuruh orang bersorak
dan berteriak-teriak,
"Bunuh anjing-anjing kaisar! Basmi para pengkhianat bangsa!!"
Banyak bayangan orang berkelebat, berlompatan dari palik batang-batang pohon dan
semak belukar. Kurang lebih empat puluh orang anak buah gerombolan yang tampak
bengis dan pakaiannya bermacam-macam itu mengepung pasukan Garuda Sakti,
dikepalai dua orang pria muda yang bersenjata golok besar.
"Hei, siapakah kepala gerombolan di sini?" Heng San- memajukan kudanya dan bertanya.
Dua orang muda itu melompat ke depan. Seorang di antara mereka berseru, "Kami
berdua yang memimpin! Engkau komandan pasukan, pengkhianat tak tahu malu. Apa
maksudmu membawa pasukan datang ke hutan ini?"
Heng San melihat bahwa dua orang kepala gerombolan itu masih muda, sekitar dua puluh
tahun usianya dan tampak gagah, maka dalam hatinya dia merasa sayang sekali bahwa
dua orang muda seperti itu terperosok rendah menjadi pemimpin gerombolan perampok
"Kalian orang-orang muda yang gagah mengapa merendahkan diri menjadi perampok?
Tidak adakah jalan hidup yang lain yang lebih bersih dan sempurna untuk kalian tempuh?"
Heng San menegur dengan suara berwibawa.
Kedua orang kepala gerombolan itu saling pandang lalu mereka tertawa geli.
"Ini namanya anjing kecil memberi nasehat kepada harimau! Kami orang-orang golongan
liok-lim walau bagaimanapun masih mempunyai kejantanan.dan semangat kepahlawanan,
tidak seperti kamu yang bermuka tebal, sudah menjadi anjing pemerintah asing dan
menggigit betis bangsa sendiri"
Heng San tidak mengerti akan maksud kata-kata itu. Dia hanya menganggap bahwa
kepala gerombolan itu bicara kasar sekali. Karena beberapa kali mendengar dia dimaki
anjing, dia menjadi marah lalu membentak nyaring.
"Kalau kalian sayang nyawa, lebih baik kalian bubarkan orang-orangmu dan kalian ikutlah
kami menjadi tawanan, barangkali saja nyawa kalian akan diampunil"
Jilid 6
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 45
"Anjing hina! Kematianmu sudah di depan mata masih barani mengoceh.” Teriak seorang
diantara dua orang pemimpin gerombolan dan secepat kilat goloknya sudah menyambar
dengan serangan kilat. Anak buahnya yang melihat pemimpin mereka sudah muIai turun
tangan, segera bergerak dan berteriak-teriak, "Bunuh merekal Bunuh anjing-anjing penjilat
kaisarl" Dan merekapun lalu menyerbu dan menyerang pasukan Garuda Sakti.
Heng San dan dua orang rekanya, juga selosin perajurit Garuda Sakti sudah berlompatan
turun dari atas pungung kuda dan merekapun menyambut serbuan para gerombolan itu
dengan gagah.
Heng San bermaksud untuk menangkap atau membunuh dua orang pimpinan gerombolan
itu lalu membujuk anak buah mereka agar menakluk dan menyadarkan mereka. Akan
tetapi dua orang rekannya Ban Hok dan Ouwyang Sin, mengamuk dengan hebat,
merobohkan banyak anak buah gerombolan. Juga selosin perajurit Garuda Sakti
mengamuk dan biarpun jumlah musuh Jebih banyak, namun para prajurit pilihan ini jauh
lebih tangguh dan sebentar saja banyak anggauta gerombolan berjatuhan terbabat senjata
tajam.
Melihat ini, Heng San mempercepat gerakannya. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring,
tubuhnya berkelebat di antara dua orang pimpinan gerombolan yang mengeroyoknya dan
dua orang itu terpelanting roboh, tak rnampu bangkit kembali. Setelah merobohkan dua
orang pirnpinan gerombolan perampok itu, Heng San lalu berseru kepada para anak
buahnya, "Saudara-saudara, tahan dan berhenti menyerang!"
Akan tetapi mana dia mampu menahan amukan para perajurit yang sudah keranjingan itu.
Mayat para anggauta gerornbolan berjatuhan, banjir darah. di tempat itu dan akhirnya,
lebih dari separuh jumlah gerombolan itu roboh tewas dan selebihnya lalu melarikan diri
cerai berai ke dalam hutan lebat.
Ketika para perajurit Garuda Sakti hendak melakukan pengejaran, Heng San berteriak
lantang, mengerahkan tenaga saktinya, "Berhenti, jangan dikejar!”
Semua orang berhenti dan Heng San berkata kepada dua orang rekannya, didengar pula
oleh selosin perajurit yang tidak ada yang cedera parah itu. "Kita tidak mengenal hutan
lebat ini, jangan kejar, kita dapat saja terjebak. Dua orang pimpinan mereka telah tewas
dan sebagian besar merekapun sudah terbasmi, tentu sisanya tidak akan berani lagi
membuat kekacauan. Kita kembali ke Keng-koan!"
Kepala daerah kota Bun-koan yang sudah mendengar akan hasil baik pasukan Garuda
Sakti menumpas gerombolan, menyambut dengan penuh penghormatan. Segera kepala
daerah itu mengadakan pesta pora menyambut kemenangan pasukan itu di rumah yang
disediakan untuk tempat bermalam mereka.
Akan tetapi, sejak keluar dari hutan, wajah Heng San tidak gembira seperti kedua orang
rekan dan anak buah pasukan. Wajah pemuda itu muram. Diam-diam dia merasa
menyesal, bersedih dan menyayangkan bahwa dalam pertempuran itu pasukannya
melakukan pembunuhan terhadap dua puluh orang lebih anak buah gerombolan. Memang
benar, ada kebanggaan dalam hatinya bahwa dia telah melaksanakan tugas pertama itu
dengan hasil baik. Gerombolan perampok yang suka mengganggu kehidupan rakyat telah
dapat dibasminya, berarti dia sudah berjasa terhadap negara dan bangsa, telah
menentang kejahatan dan melindungi yang lemah tertindas, yang di ganggu keamanan
hidupnya, sesuai dengan watak pendekar seperti yang diceriterakan gurunya. Akan tetapi
dia merasa sedih memikirkan bahwa orang-orang yang dibunuh itu bukan lain adalah
bangsanya sendiri.
Kini dia melihat penyambutan kepala daerah kota Bun-koan yang demikian hangat dan
hormatnya, diam-diam dia merasa amat muak karena mengingat betapa pembesar itu
berusaha menyuapnya dengan emas. Ingin dia mendamprat dan mencaci, akan tetapi Ban
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 46
Hok dan Ouw-yang Sin, dua orang rekannya, mencegah dan menyabarkan hatinya. Dia
hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak mau ikut berpesta, membiarkan anak
buah pasukan Garuda Sakti bersenang-senang menikmati pesta perayaan kemenangan
yang diadakan untuk mereka. Di dalam kamarnya, Heng San selalu membayangkan para
perampok yang telah terbunuh. Terutama sekali dia tidak dapat melupakan dua orang
pimpinan gerombolan yang dengan gagah dan gigihnya melakukan perlawanan.
Pada keesokan harinya Heng San mengajak pasukannya pagi-pagi meninggalkan kota itu
untuk kembali ke Kengkoan. Pasukan Garuda Sakti yang hanya terdiri dari lima belas
orang berikut pimpinan mereka itu menjalankan kuda. mereka berbaris rapi dan gagah.
Wajah mereka, kecuali Heng San yang duduk. Bukan hanya karena mereka telah
melaksanakan tugas dengan baik dan berhasil sehingga tentu akan mendapat pujian dari
Thio-ciangkun, akan tetapi terutama karena di luar tahu Heng San, saku mereka telah
dipenuhi emas dan perak oleh kepala daerah kota Ban-koan!
Seperti telah mereka duga dan harap¬kan, kedatangan pasukan kecil ini disambut oleh
Panglima Thio Ci Gan sendiri dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira.
"Lauw-sicu tentu lelah. Kami merasa girang sekali mendengar betapa engkau telah
melaksanakan tugasmu dengan baik sekali. Gerombolan dapat ditumpas dan tak
seorangpun perajurit kita tewas. Silakan duduk, sicu." Heng San diajak duduk di ruangan
dalam dan dijamu minuman bersama Ban Hok dan Ouwyang Sin, sedangkan selosin
perajurit Garuda Sakti diperkenankan mengaso dan minum-minum di ruangan belakang.
Setelah mereka minum-minum, Thio-ciangkun bertanya tentang pelaksanaan tugas
pertama mereka, Heng San menceritakan dengan sederhana bahwa gerombolan
perampok telah dapat dibasrni, dua orang pirnpinan mereka telah tewas. Keterangan
Heng San yang sederhana itu sering diganggu Ban Hok dan Ouwyang Sin yang dengan
getol menceritakan jalannya pertempuran dengan nada bang¬ga dan. menonjolkan jasajasa
mereka.
Thio-ciangkun menghela napas panjang dan berkata, "Kalian bertiga dan pasukan kalian
memang hebat dan jasa kalian besar. Hanya agak kusayangkan bahwa masih ada sisa
anak buah gerombolan penjahat yang sempat meloloskan diri dan tidak semuanya dapat
dibunuh.
Penjahat-penjahat macam itu kalau dapat lolos, tidak urung tentu akan membentuk
gerombolan lain dan mengacau kembali di lain tempat."
"Sisa mereka melarikan diri ke dalam hutan. Karena saya tidak mengenal daerah hutan
lebat itu, saya melarang para perajurit melakukan pengejaran karena ada bahayanya kami
dijebak mereka dan jatuh korban, ciangkun." kata Heng San.
"Sudahlah, mungkin tindakanmu itu ada benarnya juga. Biarlah sedikit anak buah
gerombolan itu meloloskan diri, hal itu tidak berapa penting. Sekarang ada persoalan yang
jauh lebih penting dan berbahaya daripada itu. Lui-sicu sudah kusuruh melakukan
penyelidikan teliti akan hal itu. Kami memang sengaja menanti kalian kembali baru akan
bertindak, karena sekali ini kita menghadapi lawan-lawan berat." Thio-ciangkun bicara
dengan sikap sungguh-sungguh sehingga Heng San menjadi tertarik sekali. Mendengar
ucapan ini, Ban Hok si jagoan tinggi besar yang wataknya memang congkak segera
berkata.
"Ada persoalan penting apakah, Thio-ciangkun? Harap ciangkun jangan khawatir.
Sekarang pasukan istimewa Garuda Sakti telah kembali dan segala macam rintangan
pasti akan dapat kami hancurkan!" Thio-ciangkun mengangguk-angguk senang
mendengar ucapan yang terdengar gagah ini, akan tetapi diam-diam Heng San mencela
kesombongan rekannya, namun dia diam saja.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 47
Thio-ciangkun yang cerdik dapat melihat kerut tak suka pada kening Heng San, maka
diapun segera bertanya, "Lauw-sicu, bagaimana pendapatmu dengan ucapan Ban-sicu
tadi?"
Heng San tersenyum dan menjawab tenang. "Ban-toako terlalu takabur. Sebelum melihat
kekuatan lawan, bagaimana kita dapat memandang rendah? Akan tetapi sebenarnya
apakah yang terjadi dan apakah persoalan yang amat penting dan berbahaya itu,
ciangkun? Tentu saja sudah menjadi kewajiban kami untuk menanggulanginya."
"Mari kalian bertiga ikut aku ke dalam. Pasukan Garuda Sakti diperbolehkan pulang ke
rumah masing-masing untuk mengaso." kata Panglima Thio Ci Gan. Dua belas orang
perajurit pilihan yang menjadi anggauta pasukan Garuda Sakti itu memang tinggal di luar
gedung sang panglima, mempunyai rumah masing-masing. Akan tetapi empat orang
jagoan itu mendapatkan kamar di dalam gedung sang panglima.
Setelah Thio-ciangkun, Ban Hok, Ouw-yang Sin, dan Heng San duduk di ruangan rahasia
yang biasa mereka pergunakan untuk rapat, muncullah Si Harimau Muka Kuning Lui
Tiong. Terlebih dulu Lui Tiong memberi salam dan memberi selamat kepada tiga orang
rekannya yang telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Thio-ciangkun
mempersilakan Lui Tiong duduk dan Lui Tiong segera memberi laporan dengan wajah
serius.
"Sekarang saya merasa yakin bahwa mereka itu mengadakan kontak hubungan dengan
kaki tangan pemberontak yang bersembunyi di kota ini, ciangkun."
Thio-ciangkun mengangguk-angguk, ke mudian sambil memandang kepada tiga orang
jagoannya yang lain, dia berkata kepada Lui Tiong, "Lui-sicu, sekarang setelah Lauw-sicu,
Ban-sicu dan Ouwyang-sicu sudah kembali, kekuatan kita menjadi lengkap. Maka,
sebelum kita merundingkan dan merencanakan tindak lanjut, lebih baik engkau
menceritakan dulu semua persoalan itu kepada mereka bertiga."
Lui Tiong lalu bercerita dan Heng San mendengarkan hal-hal yang baru dan asing
baginya, akan tetapi yang membuat dia bertekad untuk membantu perjuangan Thiociangkun
yang dalam pandangannya adalah seorang pejabat militer yang bijaksana, baik
hati dan gagah perkasa.
Menurut cerita Lui Tiong, pada bulan terakhir ini banyak sekali terdapat gerakan-gerakan
para perusuh atau pemberontak yang memberontak dan merebut kekuasaan alat-alat
pemerintah dengan tujuan merampok dan menguasai kota demi kepentingan para
gerombolan penjahat itu sendiri. Banyak sudah gerombolan pernberontak yang terdiri dari
orang-orang kang-ouw (rimba persilatan) dan bu-lim (sungai telaga) yang dapat ditumpas
dan dibubarkan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi masih saja mereka bermunculan
dengan sembunyi-sembunyi.
"Karena gawatnya keadaan di daerah Keng-koan ini, maka Sribaginda Kaisar sendiri
mengutus dan memberi tugas kepada kami untuk memimpin pasukan di Keng-koan dan
membasmi para pemberontak itu sampai habis!" kata Thio-ciangkun penuh semangat.
"Beberapa hari yang lalu," Lui Tiong melanjutkan penuturannya yang dipotong oleh
ucapan Thio-ciangkun tadi, "di kota ini muncul serombongan penari silat yang membuka
pertunjukan. Mereka terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, dua orang pemuda yang
menjadi muridnya, dan seorang gadis muda dan cantik, yang diperkenalkan sebagai
puterinya. Mereka itu sungguh menarik perhatian dan mencurigakan sekali dan Thiociangkun
sudah memerintahkan agar aku melakukan penyelidikan dengan teliti terhadap
mereka."
"Aah, Lui-toako, apa sih anehnya serombongan penari silat yang hanya terdiri dari empat
orang.? Banyak rombongan penari silat yang menjual obat luka dan koyo (obat tempel),
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 48
mereka adalah orang-orang yang tidak perlu dikhawatirkan." kata Ouwyang Sin dengan
suara memandang rendah.
Jangan beranggapan begitu, Ouwyang-te (adik Ouwyang). Mereka itu jauh berbeda dari
rombongan penari silat biasa yang suka mengadakan pertunjukan di pasar-pasar. Aku
sudah menyaksikan sendiri ketika mereka mempertunjukkan kemahiran mereka bersilat.
Bukan sekedar tarian silat, melainkan gerakan silat yang sungguh tangguh, terutama
sekali gerakan sang pemimpin rombongan dan gadisnya yang cantik."
"Hemm, sampai di manakah kehebatan mereka?" Ban Hok juga berkata meremehkan.
"Aku telah menyelidiki mereka pada malam hari dengan mendatangi tempat mereka
bermalam. Biarpun aku sudah mempergunakan. kepandaianku, mengerahkan gin-kang
(ilmu meringankan tubuh), namun agaknya mereka dapat mendengar langkah kakiku dan
hampir saja aku menjadi korban sambaran piauw (senjata rahasia) yang menyambar
cepat. Untung aku memang sudah curiga dan berhati-hati sehingga aku dapat
menghindarkan diri dan pergi sebelum ketahuan mereka."
Heng San merasa tertarik sekali. "Di manakah tempat mereka bermalam?"
"Di dalam kelenteng Hok-man-tong di luar kota sebelah selatan itu."
"Bagaimana engkau tahu bahwa rombongan penari itu mempunyai hubungan dengan
mata-mata pemberontak yang bersembunyi di kota ini seperti yang kau ceritakan tadi, Luitoako?"
Heng San bertanya.
"Ada buktinya yang amat kuat." Lui Tiong bercerita. "Dan ini menjadi laporan saya pula
kepada Thio-ciangkun. Begini, ciangkun, kemarin saya menyusup di antara penonton
untuk melihat dan menyelidiki rombongan penari silat itu dengan seksama. Mereka
memang menawarkan obat-obat kuat, koyo dan obat luka lainnya seperti kebiasaan penari
silat lainnya yang menjual obat, walaupun kesibukan ini mereka lakukan sambil lalu saja
dan tanpa semangat. Kemudian gadis puteri kepala rombongan itu menari silat pedang.
Akan tetapi, saya melihat kenyataan yang luar biasa. Dalam tarian itu terkandung inti ilmu
silat pedang yang luar biasa dan saya mengenalnya sebagai Sian-li Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Bidadari)! Kemudian mereka semua memperlihatkan tarian silat. Dua orang
pemuda yang menjadi murid itu juga memiliki gerakan cepat dan bertenaga, namun tingkat
mereka itu tidaklah terlalu tinggi. Kepala rombongan itulah yang amat lihai dan sambaran
pukulan dari tangannya jelas mengandung tenaga sakti yang kuat. Jadi, kepandaian
kepala rombongan dan puterinya itulah yang patut diperhatikan. Kemudian, tiba-tiba
terdengar pujian orang dan tampak seorang pengemis tua berlompatan ke dalam
lingkaran. Dia berjungkir balik dan seolah-olah meniru gerakan silat yang tadi
dipertontonkan, sambi! berkata-kata kacau balau. Semua orang tertawa dan menganggap
dia itu seorang pengemis gila. Ucapannya hampir tidak ada artinya, akan tetapi saya
memperhatikan semua ucapannya dan ada beberapa kata-kata terselip dalam ucapan
kacau balau itu. Saya mendengar ada terselip kata-kata Garuda Sakti, dan pesan agar
berhati-hati karena sedang diselidiki! Kemudian, tiba-tiba dia melompat keluar sambil
berjungkir balik dan pergi diikuti sorak dan tawa penonton. Saya cepat menyelinap keluar
dan mencoba untuk mengikutinya. Akan tetapi, pengemis tua itu telah lenyap tanpa
meninggalkan jejak! Nah, karena itulah, Thio-ciangkun, saya merasa yakin bahwa
rornbongan penari silat. itu memiliki hubungan dengan pihak pemberontak dan mungkin
pengemis tua itu adalah seorang mata-mata pemberontak yang lihai sekali." Lui Tiong
mengakhiri laporannya.
Heng San dan yang lain-lain mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Thio-ciangkun
mengerutkan alisnya. dan bertanya, "Apakah engkau mendapatkan bukti lain yang lebih
meyakinkan, Lui-sicu?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 49
"Ada bukti yang jelas, ciangkun. Semalam saya berhasil melakukan pengintaian tanpa
mereka ketahui. Saya tidak berani mengambil jalan dari atas genteng. Saya menggunakan
kekerasan dan mengancam seorang hwesio kelenteng Hok-man-tong. Hwesio itu
menyembunyikan saya dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar rombongan
penari silat itu. Setelah menunggu sampai lama, akhirnya mereka berempat memasuki
kamar itu dan dari percakapan mereka itu saya tahu bahwa mereka sudah mencatat nama
kita. Bahkan nama-nama para anggauta Garuda Sakti mereka ketahui, demikian pula
tempat tinggal kawan-kawan yang tinggal di luar. Kemudian mereka bicara tentang
pengemis tua gila itu yang ternyata adalah susiok (paman guru) dari pemimpin rombongan
itu.”
"Hemm, kalau begitu jelas mereka adalah mata-mata dari para pemberontak. Apakah
logat bicara mereka berlidah selatan?" tanya Thio-ciangkun.
Lui Tiong mengangguk. "Jelas bahwa mereka memang orang-orang selatan, ciangkun."
kata-kata ini membuat sang panglima mengepal tinju kanannya.
"Kalau begitu mereka tentu anak buah si pemberontak Lo Hai Cin. Orang-orang selatan ini
memiliki kepandaian tinggi, oleh karena itu kuminta kalian semua berhati-hati. Ban-sicu,
sekarang juga kumpulkan semua anggauta Pasukan Garuda Sakti dan mulai malam ini
mereka harus melakukan penjagaan ketat di sini, penjagaan dipimpin Ban-sicu dan
Ouwyang-sicu. Sedangkan engkau, Lauw-sicu dan Lui-sicu, kalian berdua kuberi tugas
untuk menangkap empat orang mata-mata itu. Boleh membawa beberapa orang teman.
Aku minta semua perintah ini dilaksanakan dengan baik!" Setelah berkata demikian, Thiociangkun
memberi isarat agar pertemuan itu bubar dan semua pembantunya
melaksanakan tugas masing-masing.
Ban Hok dan Ouwyang Sin segera pergi memanggil para anggauta Garuda Sakti yang
duabelas orang banyaknya, sedangkan Lui Tiong dan Heng San membuat persiapan di
luar gedung.
"Lui-toako, engkaulah yang lebih mengetahui akan keadaan para mata-mata pemberontak
itu, karena itu sebaiknya kalau engkau yang memimpin penangkapan ini. " kata Heng San
dan sikap pemuda ini menyenangkan hati Lui Tiong. Sudah jelas bahwa kini kedudukan
jagoan nomor satu jatuh kepada Heng San, akan tetapi pemuda itu tidak menonjolkan
kedudukannya itu sehingga Lui Tiong yang tergeser kedudukannya tidak merasa sakit hati
karena sikap Heng San yang tetap menghormatinya dan tidak menganggap dia sebagai
bawahan yang lebih rendah tingkatnya.
"Baiklah, Lauw-te. Rombongan penari silat itu hanya berempat, dan yang perlu kita hadapi
berdua hanya sang ayah dan puterinya itu. Untuk menangkap dua orang muridnya, kukira
cukup kalau kita dibantu Kam Seng dan Kam Eng berdua saja. Kepandaian mereka cukup
tinggi."
"Terserah kepadamu, Lui-toako. Akan tetapi sebenarnya siapakah mereka itu? Mengapa
begitu ditakuti, menimbulkan kekhawatiran Thio-ciangkun?" tanya Heng San.
"Yang dapat kuketahui hanya bahwa pemimpin rombongan penari silat itu adalah seorang
bekas guru silat di daerah selatan yang terkenal dengan julukan Lam-Liong (Naga
Selatan). Menurut penyelidikan orang-orangku, dia mengaku she Lim, akan tetapi
sebenarnya dia adalah seorang she (marga) Ma. Gadis itu adalah puterinya dan kedua
orang pemuda itu murid-muridnya. Melihat gerakan mereka ketika mendemonstrasikan
tarian silat, agaknya yang merupakan lawan berat hanyalah si ayah dan puterinya itu.
Kedua orang muridnya boleh kita serahkan kepada kedua kakak beradik Kam. Nah,
marilah kita berangkat." kata Lui Tiong setelah Kam Seng dan Kam Eng, dua orang jagoan
pembantu Thio-ciangkun yang berusia tigapuluh dan tigapuluh tiga tahun. Dua orang
saudara she Kam ini merupakan jago-jago silat yang cukup lihai dengan permainan silat
siang-kiam (sepasang pedang). Malam mulai menyelimuti bumi ketika empat orang jagoan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 50
dari Thio-ciangkun ini berangkat menuju ke kelenteng Hok-man-tong yang berada di luar
kota Keng-koan.
Di tengah perjalanan itu, Lui Tiong bertanya kepada Heng San, "Lauw-sicu, mana
senjatamu?"
Heng San tersenyum dan menggerakkan pundaknya. "Aku tidak mempunyai senjata, Luitoako."
"Ah, kalau begitu, pakailah pedangku ini. Aku akan mencari senjata lain."
"Terima kasih, Lui-toako. Terus terang saja, aku tidak pernah mempelajari ilmu silat
pedang. Aku hanya mengandalkan kedua kaki tanganku saja."
Lui Tiong terheran. “Ah, engkau gegabah sekali, siauw-te." Di dalam hatinya, Lui Tiong
sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman tidak percaya akan keterangan pemuda
itu. Mana ada seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah setinggi tingkat Heng San,
mengaku sama sekali tidak pandai memainkan senjata? Tentu pemuda ini mempunyai
ketinggian hati dan ingin mempertahankan julukannya sebagai Kepalan Sakti Tanpa
Tanding!
Ketika mereka sampai di depan kelenteng, Lui Tiong mengetuk daun pintu kelenteng yang
tebal dan sudah tertutup. Seorang hwesio penjaga membuka daun pintu. Melihat empat
orang yang pakaiannya gagah bergambar seekor burung garuda dan sikap mereka penuh
wibawa, hwesio itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada. Dia sudah mendengar
nama besar Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka tergopoh-gopoh dia menanyakan
keperluan mereka.
"Di mana adanya para tamu kelenteng empat orang penari silat itu? Hayo katakan dan
jangan berbohong!" kata Lui Tiong.
"Pin-ceng (aku) tidak berani berbohong, ciangkun (perwira). Baru saja mereka tadi masuk
dan kini tentu mereka berada di dalam kamar mereka, di bagian belakang."
"Suruh mereka keluar dan menyerah kepada kami. Jangan membawa senjata atau kami
terpaksa akan bertindak keras” bentak Lui Tiong.
"Omitohud …, baik, ciangkun…" Hwesio itu berlari masuk dengan sikap ketakutan.
"Lauw-te, engkau dan Kam Seng jagalah di atas menghadang kalau mereka melarikan
diri. Aku dan Kam Eng menunggu mereka di sini." kata Lui Tiong kepada Heng San.
Heng San mengangguk, lalu memberi isarat kepada Kam Seng. Mereka berdua melompat
ke atas genteng dengan gerak¬an tangkas sekali.
Untuk beberapa saat lamanya, Lui Tiong dan Kam Eng yang berjaga di luar tidak melihat
hwesio tadi keluar lagi. Lui Tiong sudah menjadi tidak sabar dan hendak menyerbu masuk.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dari dalam kelenteng.
"Haii! Para anggauta Garuda Sakti! Anjing-anjing pengkhianat dan penjilat kaisar! Kalau
memang berkepandaian, tunggulah kami di luar!"
"Jahanam gerombolan penjahat dan pemberontak tak tahu malu! Keluarlah kalian!" Lui
Tiong balas memaki dengan marah dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya.
Kam Eng yang berdiri di sampingnya juga sudah menggunakan kedua tangan mencabut
sepasang pedangnya yang tipis dan tajam.
Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak sinar menyambar ke arah Lui Tiong, disusuli
berkelebatnya sesosok bayangan yang berseru, "Bangsat, makan piauwku!"
Lui Tiong menggunakan pedangnya menangkis senjata rahasia piauw yang runcing itu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 51
"Tranggg ….!" Senjata rahasia piauw yang disambitkan itu terpental. Akan tetapi bayangan
yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun itu sudah menggunakan
sebatang pedang untuk menyerang Lui Tiong. Serangannya cepat dan kuat sekali,
langsung menusuk ke arah dada Lui Tiong yang tahu bahwa pimpinan rombongan penari
silat itu lihai sekali, cepat mengelak ke samping lalu mengelebatkan pedangnya
membacok ke arah perut lawan. Namun, lawannya juga dapat bergerak dengan gesit
sekali. Dengan lompatan ke samping, serangan dari Tiong itupun dapat ditangkisnya dari
samping.
"Tranggg..!" Dua pedang bertemu dan keduanya terkejut mendapat kenyataan betapa
kuatnya tenaga masing-masing. Segera perkelahian dilanjutkan dengan seru, di bawah
sinar lampu yang tergantung di de pan pintu kelenteng. Sementara itu, Kam Eng juga
sudah bertanding dengan seorang pemuda yang menjadi murid kepala rombongan penari
silat itu. Ternyata tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kam Eng memainkan siangkiam
di kedua tangannya dan pemuda itupun memainkan sebatang pedang yang bergerak
cepat. Terdengar bunyi berdentingan berulang kali disusul berpijarnya bunga api ketika
pedang- pedang itu saling bertemu di udara.
Perhitungan Lui Tiong memang tepat. Rombongan penari silat yang terdiri dari empat
orang itu juga membagi rombongan menjadi dua. Ketika Heng San dan Kam Seng
menjaga di atas genteng, hanya diterangi sinar bulan yang remang-remang, tiba-tiba
tampak dua bayangan berkelebat di atas genteng. Begitu dua bayangan itu muncul, Heng
San dan Kam Seng segera melompat dan menghadangnya.
Tiba-tiba dua sosok bayangan itu menggerakkan tangan dan tampak benda hitam
meluncur, menyambar ke arah Heng San dan Kam Seng.
"Awas senjata rahasia!" teriak Heng San dan dia sudah menggunakan kedua tangan untuk
menyambut. Dia berhasil menangkap empat buah peluru besi yang disambitkan dan Kam
Seng juga berhasil menyampok dua butir peluru besi yang jatuh berkerontangan di atas
genteng. Heng San membuang empat butir peluru itu dan kini dia bersama Kam Seng
sudah melompat ke depan dua orang yang hendak melarikan diri itu.
Setelah berhadapan dengan dua orang itu, Heng San melihat bahwa mereka adalah
seorang gadis dan seorang pemuda. Ketika itu, sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan
Heng San terbelalak memandang dengan terheran-heran ketika dia mengenal wajah jelita
itu yang bukan lain adalah Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita dari Tit-Ie) Ma Hong Lian!
Gadis yang pernah bertanding dengan dia di atas genteng pemilik toko obat di Leng-koan,
gadis yang menjadi roh jahat yang ternyata seorang pencuri itu!
Sementara itu, pemuda yang keluar bersama Hong Lian, yaitu murid pimpinan rombongan
penari silat yang seorang lagi, sudah cepat menyerang Kam Seng dengan pedangnya.
Kam Seng menyambut dengan tangkisan dan serangan balik dengan sepasang pedang di
kedua tangannya, terjadilah perkelahian pedang antara kedua orang itu.
Adapun Hong Lian, ketika berhadapan dengan Heng San, juga segera dapat mengenal
pemuda itu walaupun cuaca hanya remang oleh sinar bulan. Sejenak dia menjadi bengong
dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
"Eh, engkaukah ini, nona? Dahulu engkau menjadi roh jahat, sekarang engkau memegang
peran sebagai apa pula?" tanya Heng San lirih agar jangan terdengar oleh Kam Seng
yang sedang bertanding.
Gadis itu memandang kepadanya dengan mata berapi saking marahnya dan bibir yang
mungil dan merah itu tersenyum menghina.
"Sudah kusangka bahwa engkau bukanlah manusia baik-baik. Ternyata sekarang bahwa
engkau adalah seorang manusia yang lebih rendah daripada apa yang kusangka semula!"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 52
"Nanti dulu, nona! Apa kesalahanku maka engkau datang-datang memaki aku sesuka
hatimu?" Heng San merasa penasaran dan heran sekali melihat betapa marah dan
bencinya gadis itu kepadanya. Pada hal menurut pendapatnya, dialah yang sepatutnya
menegur gadis itu. Dulu menjadi pengganggu penduduk Leng-koan dan sekarang malah
menjadi mata-mata pemberontak!
"Tak usah banyak cerewet! Malam ini kalau bukan aku, tentu engkau yang akan mati di
sini" setelah berkata demikian, pedangnya sudah menyambar dengan sebuah serangan
tusukan yang amat ganas ke arah dada Heng San. Heng San cepat mengelak dan untuk
kedua kalinya dia melayani gadis itu bertanding dengan menggunakan tangan kosong.
Akan tetapi dia hanya selalu menangkis dari samping dengan kedua tangan yang sudah
dilindungi ilmu kebal Tiat-pou-san sehingga kedua tangannya tak dapat terluka oleh
pedang itu, dan diapun mengerahkan ginkang untuk menghindarkan sinar pedang yang
menyambar-nyambar dengan amat ganasnya. Tubuhnya seakan berubah menjadi
bayang-bayang yang amat sukar dijadikan sasaran pedang.
Sementara itu, kawan gadis itu ternyata tidak kuat menghadapi serangan Kam Seng yang
amat lihai memainkan siang-kiamnya. Setelah melawan mati-matian selama tigapuluh
jurus, tiba-tiba dia berteriak kesakitan dan tubuhnya terguling ke bawah genteng karena
pundak kanannya terbacok pedang kiri Kam Seng.
Melihat lawannya sudah roboh dan melihat Heng San belum juga dapat mengalahkan
lawan, Kam Seng hendak membantu. Akan tetapi Heng San cepat berseru, "Engkau
bantulah Lui-toako di bawah! Mungkin dia membutuhkan bantu¬an. Biar yang ini aku yang
akan menangkapnya!"
Mendengar perintah atasannya, Kam Seng segera melompat turun membantu Lui Tiong
karena pemimpin rombongan penari silat itu ternyata memang lihai bukan main dan
diapun tadi melihat bahwa Heng San tidak terdesak oleh lawan walaupun dia bertangan
kosong.
Setelah melihat Kam Seng melompat turun, Heng San melompat ke belakang. "Ma-lihiap
(Pendekar wanita Ma), sudahlah tahan senjatamu. Mengapa kita selalu bermusuhan? Aku
tidak ingin bermusuhan denganmu!"
"Pengkhianat jangan banyak mulut!"
Hong Lian menyerang lagi dengan tusukan pedangnya. Heng San cepat mengelak dan
kembali dia dihujani serangan yang kesemuanya dapat dihindarkannya.Tiba-tiba terdengar
teriakan orang mengaduh di bawah sana dan Hong Lian menjadi pucat wajahnya karena
dia mengenal bahwa yang berteriak kesakitan itu adalah ayahnya! Dengan isak tertahan
Hong Lian hendak melompat ke bawah untuk membantu ayahnya yang agaknya terluka
dan terancam bahaya. Akan tetapi Heng San menghalanginya dengan kedua tangan
terpentang. Dia memandang dengan rasa haru dan iba memenuhi hatinya. Entah
mengapa, semenjak pertemuan pertama dengan Hong Lian ketika saling memperebutkan
kantung uang curian itu, dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Dia tidak
tahu perasaan apakah yang menarik hatinya terhadap Hong Lian. Entah perasaan apa
namun yang jelas, dia tidak ingin melihat gadis itu celaka.
"Nona Ma, jangan turun. Kawan-kawanku di bawah lihai sekali engkau tentu akan celaka
kalau turun" cegahnya.
Dalam kemarahan dan kebingungan, Hong Lian tertegun mendengar ucapan itu. Ia
sungguh tidak mengerti akan sikap pemuda ini. Sejak perkelahian mereka yang pertama
dulu, ia tahu benar bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi
daripadanya, bahkan agaknya tidak kalah hebat dibandingkan tingkat ayahnya sendiri.
Akan tetapi mengapa pemuda yang ternyata merupakan pemimpin Pasukan Garuda Sakti
ini tidak mau merobohkan dan menangkapnya dan sejak tadi hanya mengelak dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 53
menangkis saja,. dan ban yak mengalah, bahkan agaknya tidak ingin melihat dia celaka?
Siapakah pemuda ini yang menjadi lawan namun bersikap melindungi sebagai kawan?
Apa maksudnya?
Pada saat itu terdengar bentakan Lui Tiong dari bawah. "Masih ada seorang musuh lagi di
atas. Hayo kita tangkap"
Mendengar ini, Heng San cepat berkata lirih kepada Hong Lian, "Cepat serang aku
dengan senjata rahasiamu!" Sambil berseru demikian, tangan Heng San bergerak cepat
dan tahu-tahu pedang di tangan Hong Lian sudah dapat dirampasnya! Hong Lian terkejut
sekali dan mendengar ucapan tadi, ia cepat mengambil beberapa buah senjata rahasia
piauw dan sambil melompat pergi kedua tangannya bergerak dan empat buah piauw
menyambar ke arah tubuh Heng San. Pemuda itu menyampok tiga buah dengan kedua
tangannya, akan tetapi piauw yang ke empat sengaja dia sambut dengan pundak kirinya.
"Aduhhh … !" Heng San berteriak kesakitan ketika piauw itu menancap di pundaknya.
Heng San sengaja menekan piauw itu sehingga menancap lebih dalam dan ketika dia
mencabutnya, baju di pundak berikut kulit dagingnya terobek dan mengeluarkan banyak
darah. Pada saat itu, Lui Tiong dan kedua orang saudara she Kam berlompatan ke atas
genteng dan mereka terkejut melihat Heng San terhuyung.
Heng San terhuyung ke arah Lui Tiong yang hendak mengejar Hong Lian yang melarikan
diri.
Lui Tiong menangkap tubuh Heng San agar tidak jatuh dan tidak melanjutkan niatnya
mengejar Hong Lian.
"Awas, toako … senjata rahasianya lihai sekali …!" kata Heng San.
"Coba kuperiksa lukamu, Lauw-te." kata Lui Tiong sambil membuka baju bagian pundak
yang terobek. Akan tetapi dia hanya dapat melihat sebentar karena Heng San sudah
menutupi lukanya itu dengan tangannya.
"Tidak berapa parah, toako. Bagaimana hasilnya di bawah, Lui-toako?" tanyanya.
"Orang she Ma itu telah terluka dan tertawan, sedangkan kedua muridnya tewas. Kali ini
kita berhasil baik, hanya sayang gadis pemberontak liar itu dapat melarikan diri dan
melukaimu."
"Ah, aku kurang hati-hati dan terlalu memandang rendah, Lui-toako. Pedangnya dapat
kurampas, akan tetapi aku tidak mengira ia demikian lihai sehingga dapat menyerangku
dengan empat buah piauw. Yang tiga dapat kutangkis, akan tetapi yang satu melukai
pundakku."
Jilid 7
Mereka kembali ke gedung Panglima Thio membawa Ma Giok sebagai tawanan. Thiociangkun
menyambut mereka dengan gembira sekali. Setelah mengeluarkan pujian
terhadap Lui Tiong dan Heng San, Panglima Thio memperkenankan mereka mengaso dan
Ma Giok lalu dimasukkan ke dalam penjara yang berada di bagian belakang gedung itu,
dikurung dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dilapis baja dan berjeruji baja pula,
masih dijaga oleh enam orang perajurit di luar kamar tahanan.
Heng San yang masih terkenang dengan rasa prihatin kepada Ma Hong Lian, segera
memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa berganti pakaian
atau melepas sepatunya. Dia rebah telentang dan termenung memikirkan keadaan Hong
Lian. Wajah gadis itu tak dapat dia lupakan, selalu terbayang dan ia merasa kasihan
sekali. Dia merasa menyesal mengapa gadis sehebat itu demikian tersesat dan mau
menjadi anggauta pengacau dan pemberontak. Teringat dia akan pertemuan mereka
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 54
pertama dahulu. Ketika itupun Hong Lian sedang melaku¬kukan pencurian dan menotok
tuan rumah dan isterinya. Sekarang malah menjadi anggauta gerombolan pengacau dan
pemberontak. Sungguh sayang! Sayang gadis sejelita dan segagah itu, yang amat
menawan hatinya, menjadi seorang penjahat!
"Ahh ….. Hong Lian …. Hong Lian ….!" Dia berbisik dan mencoba untuk memejamkan
matanya, mencoba untuk tidur, melupakan segalanya, melupakan rasa nyeri di pundaknya
yang terluka yang tidak berapa hebat kalau dibandingkan dengan rasa nyeri di dalam
hatinya.
Heng San sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Lui Tiong yang baru saja memasuki
kamarnya sendiri, harus keluar pula karena dipanggil Thio Ci Gan. Panglima itu
menerimanya dalam kamar rahasia, di mana kini hanya mereka berdua yang duduk
berhadapan.
"Ciangkun memanggil saya …” tanya Lui Tiong setelah memberi hormat.
Dia dipersilakan duduk dan panglima i tu bertanya dengan suara tegas. "Sekarang,
ceritakanlah sejelasnya tentang, penyerbuan itu dan bagaimana mungkin sampai Lauw
Heng San terluka oleh gadis puteri kepala gerombolan mata-mata pemberontak itu."
Lui Tiong merasa bahwa dalam suara atasannya terkandung kebimbangan dan
kecurigaan. Hal ini menyenangkan hatinya karena dia sendiripun sudah menaruh hati
curiga dalam peristiwa itu. Di samping itu, di dasar hatinya Lui Tiong memang merasa
tidak senang kepada Heng San, rasa tidak senang yang timbul dari iri hati. Bagaimanapun
juga pemuda itu telah menggeser kedudukannya sebagai orang ke dua dalam jajaran para
jagoan di situ sedangkan pemuda itu menjadi orang pertama walaupun sikap Panglima
Thio masih con dong percaya kepadanya. "Saya sendiri juga merasa heran" ciangkun.
“Saya dan Kam Eng berjaga di luar dan kami berdua bertemu dan bertanding melawan Ma
Ciok dan seorang muridnya. Ma Ciok itu lihai sekali, akan tetapi setelah Kam Eng
merobohkan lawannya kemudian Kam Seng datang pula membantu, saya dapat melukai
dan menangkapnya. Akan tetapi saya merasa heran mengapa Lauw-te yang memiliki ilmu
Silat sedemikian tingginya, dapat terluka oleh gadis itu dan membiarkan ia lolos!"
Panglima Thio mengelus jenggotnya dan kedua alisnya berkerut. Tiba-tiba dia bertanya,
"Lui-sicu, engkau yang pernah melihat gadis itu, bagaimana wajahnya? Apakah dia
cantik?"
"Cadis itu cantik jelita sekali, ciangkun. Usianya sekitar delapan belas tahun dan iapun
memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Tarian pedangnya indah sekali. Pendeknya,
ia memiliki daya tarik yang luar biasa bagi pria."
"Hemm …. hemmm …. apakah tidak mungkin Heng San sengaja melepaskannya karena
dia jatuh hati kepada gadis itu?" Thio-ciangkun menggumam, mengerutkan alisnya
semakin dalam "Hal itu besar sekali kemungkinannya, ciangkun. Lauw-te adalah seorang
pemuda yang sudah cukup dewasa, tidak akan mengherankan kalaudia tergila-gila
kepada wanita cantik."
"Akan tetapi setahuku, selama di sini dia tidak pernah keluar bersenang-senang dengan
wanita seperti yang lain."
"Mungkin dia malu-malu dan takut-takut karena tidak ada pengalaman. Akan tetapi saya
melihat sinar matanya bercahaya ketika dia melihat ….melihat ….Nona Siang... eh,
maafkan kelancangan saya, ciangkun."
"Melihat Kui Siang maksudmu?" tanya Thio-ciangkun sambil memandang pembantunya
dengan sinar mata penuh selidik "Tidak apa, aku tidak marah, ceritakan bagaimana ketika
Heng San melihat Kui Siang."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 55
Yang disebut Nona Siang adalah seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang tinggal
di gedung itu dan disebut Siang Siocia (Nona Siang) oleh semua orang seperti yang
dikehendaki gadis itu sendiri. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan lemah lembut, halus
budi dan ramah. Semua. orang mengetahui bahwa biarpun ibu gadis itu merupakan
seorang isteri kedua dari Panglima Thio yang amat disayang, namun Kui Siang bukan¬lah
anak kandungnya, melainkan anak tirinya. Dan agaknya gadis itu juga tidak merahasiakan
bahwa ia bukan puteri kandung Thio Ci Gan, karena kalau ditanya she-nya (nama
marganya) ia akan menjawab bahwa nama marganya adalah Bu, nama lengkapnya Bu
Kui Siang! Akan tetapi ia pandai membawa diri sehingga biarpun di dalam hatinya Thiociangkun
tidak mempunyai perasaan sayang seorang ayah kepada anaknya, namun sikap
pembesar itu cukup baik.
"Begini, ciangkun. Ketika untuk pertama kalinya Heng San melihat Nona Siang, dia seperti
terpesona. Kemudian setelah kami berdua saja, dia banyak hertanya tentang Nona Siang
dan terang-terangan mengatakan bahwa selama hidupnya dia belum pernah melihat
seorang gadis secantik Nona Siang yang dikatakannya seperti bidadari. Oleh karena itu,
saya tidak akan merasa heran kalau sekali ini dia sengaja meloloskan gadis pemberontak
Itu karena dia tergila-gila. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang, dan
lemah terhadap kecantikan wanita."
Kini Thio-ciangkun mengangguk-angguk, menundukkan muka, mengelus jenggotnya dan
tiba-tiba dia berkata, "Bagus! Aku mendapatkan gagasan bagus sekali Heng San amat
lihai, kami amat membutuhkan dia dan sekarang ada jalan untuk mengikatnya kepada
kami, untuk selamanya dan akan tetap setia sampai mati"
Lui Tiong memandang heran. "Apa …. apa maksud ciangkun?"
"Aku akan menikahkan dia dengan Kui Siang!"
Hampir saja Lui Tiong melompat dari kursinya saking heran dan kagetnya. Dia melapor
dengan niat untuk memburukkan Heng San, untuk menjatuhkan terdorong oleh rasa irinya,
tidak tahunya laporannya itu malah membuat pemuda itu akan diambil mantu oleh
atasannya! Walaupun gadis itu puteri tiri, namun cantik jelita.
Thio-ciangkun merupakan kehormatan besar sekali yang membuat kedudukan Heng San
akan lebih terangkat tinggi!
"Ciangkun …. ! Akan tetapi …. tetapi "
"Tetapi apa? Heng San masih muda, tampan dan gagah, ilmu kepandaiannya tinggi. Dia
cukup pantas menjadi suami Kui Siang." Panglima itu kembali mengangguk-angguk.
"Maksud saya …. bagaimana kalau Heng San tidak mau, kalau dia menoJak?" kata Lui
Tiong penuh harap.
"Ha-ha-ha, bukankah engkau sendiri yang melaporkan bahwa Heng San jatuh cinta
kepada Kui Siang? Aku yang akan mengatur agar dia mau, pasti mau dan harus mau. Haha-
ha!"
Dia lalu memberi isarat agar pembantunya itu mundur. Thio-ciangkun tetap tertawa ketika
Lui Jiong keluar dari ruangan itu, kembali ke dalam kamarnya, membanting diri di atas
pembaringan dan bersungut-sungut.
Biarpun dia sudah pulas, namun ketika suara langkah lembut itu memasuki kamarnya,
pendengaran Heng San yang terlatih baik dapat menangkapnya. Seketika dia terbangun,
namun begitu dia melihat siapa yang memasuki kamarnya sambil membawa sebuah baki
dengan beberapa mangkok di atasnya, melangkah dengan lenggang yang lembut dan
lemah gemulai, Heng San tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara saking
herannya. Mula-mula dalam pandangannya yang baru saja terbangun dari pulas, dia
seolah melihat Ma Hong Lian yang melenggang memasuki kamarnya. Hatinya tidak
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 56
percaya dan dibantahnya penglihatannya sendiri dan perlahan-lahan bayangan Ma Hong
Lian itu berubah dan tahulah dia bahwa yang memasuki kamarnya adalah Nona Siang.
Dia merasa seperti dalam mimpi. Sudah beberapa kali dia bertemu dengan gadis ini, hal
yang tidak dapat dihindarkan karena mereka tinggal di bawah satu atap walaupun gedung
itu luas sekali. Dalam setiap pertemuan, mereka hanya saling pandang dan Heng San
selalu memberi hormat dengan membungkuk dan gadis itupun mengangguk sambil
memandang dan tersenyum kepadanya. Belum pernah mereka saling bertegur sapa dan
sekarang, gadis itu memasuki kamarnya seorang diri. Seperti dalam mimpi dia melihat
gadis itu meletakkan baki di atas meja, lalu duduk di atas kursi dekat pembaringan di
mana dia masih rebah telentang.
Kemudian dia memaksa diri bangkit duduk dan berkata, "Eh …. ah …. Nona Siang ….,
apakah artinya penghormatan yang diberikan kepadaku ini? Kenapa nona memasuki
kamar saya?"
Gadis itu memandang dan tersenyum. Heng San terpesona dan wajah itu sungguh mirip
wajah Hong Lian. Begitu manis, begitu cantik. Bibir yang merah basah itu merekah,
tampak deretan gigi putih mengintai sejenak dan mulut yang tersenyum itu seperti
menebarkan beribu bunga, seperti meneteskan sari madu. Mata itu seperti mata burung
Hong dalam dongeng.
"Kenapa? Apakah tidak boleh aku. memasuki kamar ini, Lauw-sieu?" suara itu demikian
lembut, merdu seperti nyanyian indah.
"Ah, tentu, tentu saja boleh sekali, nona. Akan tetapi aku tidak mengerti ….." Heng San
hendak turun dari pembaringan, akan tetapi gadis itu bangkit berdiri dan menggerakkan
kedua tangan mencegah dia turun.
"Berbaringlah saja, sicu. Dengarlah, aku disuruh oleh ayah untuk merawatmu, untuk
mengobati luka di pundakmu dan memberimu obat. Karena itu, rebahlah saja, biar aku
memeriksa keadaan luka di pundakmu."
"Akan tetapi....." Heng San hendak membantah.
Dengan lembut kedua tangan gadis itu mendorong pundak Heng San sehingga pemuda
itu apa boleh buat merebahkan diri lagi, telentang.
"Lauw-sicu, aku adalah puteri seorang panglima dan aku telah banyak mempelajari ilmu
pengobatan, khusus untuk mengobati luka-luka yang terjadi dalam pertempuran. Karena
ayah sayang kepadamu, maka dia menyuruh aku sendiri yang merawatmu. Nah, biarlah
aku memeriksa luka di pundakmu." Dengan jari-jari lembut namun cekatan, gadis itu lalu
merobek baju di pundak yang sudah berlubang itu agar dapat memeriksa lukanya dengan
lebih teliti.
"Hemm, luka ini cukup lebar dan yang paling buruk adalah bahwa senjata rahasia itu
agaknya mengandung racun sehingga luka ini agak kehitaman. Aku akan mencucinya
lebih dulu." Gadis itu lalu mengambil air dalam tempayan, lalu mencuci luka itu dengan
cekatan. Heng San diam saja. Biarpun matanya menatap ke langit-langit kamar, namun
dia mera¬sa betapa dekatnya gadis itu dengan dia sehingga dia dapat mencium
keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu dan seolah terasa kelembutan jari-jari
tangan mengusap pundaknya, kehangatan tubuh itu seolah membakarnya.
Setelah menaburkan obat bubuk ke atas luka di pundak itu dan membalutnya, Kui Siang
mengambil sebuah mangkuk yang terisi ramuan obat godok ber wama coklat.
"Lauw-sicu, ayahku sengaja membuatkan obat ini untukmu. Aku tidak mengenal obat ini,
akan tetapi kata ayah, obat ini baik sekali untuk menguatkan tubuh dan menjaga agar
pengaruh racun tidak menjalar lebih jauh. Minumlah, sicu."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 57
Heng San melihat obat dalam mangkok itu masih mengepulkan uap panas. "Biarlah agak
dingin dulu, nona. Thio-ciangkun sungguh baik sekali kepadaku, dan aku amat berterima
kasih kepadanya."
"Ah, sicu. Ayah tentu saja suka kepada sicu karena sicu adalah orang kepercayaannya
dan sicu sudah banyak membuat jasa besar membantu ayah."
“Akan tetapi engkaupun amat baik kepadaku, nona. Aku hanya mengenalmu sebagai
Nona Siang. Sebetulnya, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama lengkapmu?"
Gadis itu tersenyum dan menatap wajah yang tampan itu. Diam-diam, sejak bertemu
dengan Heng San, la memang merasa kagum dan tertarik. Pemuda Ini tak pernah
memandang dengan kurang ajar seperti para jagoan lain kepadanya, melainkan bersikap
sopan sekali. Sepasang mata bertemu pandang dan bertaut, lalu gadis itu menundukkan
muka.
"Namaku ….. Bu Kui Siang."
Heng San memandang her an. "She ….. Bu.... ?"
"Ah, belum tahukah engkau, sicu? Thio-ciangkun itu adalah ayah tiriku. Ketika ibuku
menjadi isterinya, ibu sudah janda dan aku ketika itu baru berusia dua tahun."
"Dan ….. ayah kandungmu?"
"Kata ibu, ayah kandungku dahulu adalah seorang perwira pengikut pasukan Gouw Sam
Kui dan tewas dalam perang. Ibu dan aku menjadi tawanan dan akhirnya ibu diperisteri
oleh ayah tiriku itu. Ah, sudahlah, sicu. Kau minumlah obat pemberian ayah ini." kata Kui
Siang yang agaknya tidak suka menceritakan riwayat ayah kandungnya.
Sedikit keterangan ini mendatangkan keharuan dalam hati Heng San dan diapun tidak
menolak lagi ketika disuruh minum obat. Dia bangkit duduk dan gadis itu membantunya,
memberi minum obat dari mangkok itu. Obat itu rasanya agak pahit namun baunya sedap
sehingga diminumnya sampai habis. Rasanya hangat sekali ketika memasuki perutnya.
Kui Siang membantu dia rebah kembali. "Sekarang mengasolah saja, sicu. Aku akan
melaporkan kepada ayah bahwa keadaanmu sudah membaik." Gadis itu meletakkan
mangkok kosong di atas baki yang masih berada di meja. Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut
mendengar Heng San mengeluh. la cepat membalik dan menghampiri. Dilihatnya pemuda
itu gelisah sekali, mengeluh, memejamkan mata dan mukanya berubah merah sekali.
Ketika ia mendekat dan meraba dahi pemuda itu, ia terkejut karena terasa kulit mukanya
panas sekali.
"Lauw-sicu ….. kau ….. kau kenapakah ….. ?" Gadisitu menjadi panik, meme¬gangi
kedua pundak Heng San.
Heng San tiba-tiba terserang panas yang amat aneh. Dia merasa dirinya dilambungkan ke
atas, lalu diombang-ambingkan seolah berada di lautan yang amat kuat ombaknya,
membuat kepalanya pening sehingga dia tidak berani membuka matanya, seperti
terapung-apung di Iangit. Ketika mendengar suara gadis itu memanggil-manggil dan
kedua pundaknya diguncang-guncang, dia memaksa diri membuka kedua matanya.
Dilihatnya wajah itu! Wajah yang selama ini menjadi buah mimpinya. Wajah Ma Hong Lian
yang membuatnya tergila-gila, wajah gad is yang telah merebut hatinya, yang dicintanya.
Gairah yang teramat kuat merangsangnya, membakar berahinya dan diapun merangkul
leher itu, ditarik dan didekapnya muka itu, diciuminya.
"Hong Lian …... " desahnya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 58
Kui Siang terkejut setengah mati. la hendak meronta melepaskan diri namun tidak mampu
karena dekapan itu kuat sekali. Ketika mukanya, pipinya, hidungnya dan bibirnya dihujani
ciuman oleh pemuda yang dikaguminya itu, tiba-tiba ia menjadi lemas lunglai.
"Lauw-sicu ….. ah, Lauw-sicu.... " ia menangis ketika mukanya. didekap di dada Heng
San.
Pada saat itu, daun pintu kamar terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk.
Wanita itu menahan jerit ketika melihat Kui Siang dipeluk Heng San, menelungkup di atas
dada pemuda itu. Wanita itu adalah ibu kandung Kui Siang yang baru saja diberitahu
suaminya bahwa anak gadisnya bermain gila dengan Lauw Heng San dan sekarang
berada di kamar pemuda itu.
Mendengar ini, ibu ini tidak percaya dan langsung lari memasuki kamar itu dan apa yang
dilihatnya membuat ia hampir pingsan.
"Kui Siang ….!" lbu itu menjerit.
"Apa yang kaulakukan ini …..?? ya Tuhan, anak durhaka, anak tak tahu malu,
mencemarkan nama orang tua …... !" Ibu itu menjerit-jerit sehingga banyak pelayan
berlari-lari mendatangi dan berkumpul di luar kamar yang pintu¬nya terbuka. Mereka
semua melihat Nona Siang masih duduk di tepi pembaringan di mana Heng San rebah
telentang dan keduanya tampak terbelalak kaget dan kebingungan. Walaupun dia merasa
betapa tubuhnya melayang-layang, kepala. pening dan rangsangan gairah berahi seperti
membakarnya, namun jeritan ibu Kui Siang itu seolah menyeretnya kembali ke alam
kesadaran dan membuat Heng San terkejut setengah mati menyadari akan perbuatannya
dan keadaannya.
Tiba-tiba Thio-dangkun muncul dan dia melompat ke dalam kamar itu, memandang
kepada dua orang muda di pembaringan itu dengan muka merah dan mata melotot.
"Bagus sekali perbuatan kalian!" bentaknya.
Kui Siang lebih dulu menguasai diri¬nya dan ia menangis sambil berlari dan menjatuhkan
dirinya berlutut didepan ayah tirinya. Sambil menangis ia berkata tersendat-sendat, " ……
Ayah …… anak telah bersalah …… ampuni saya atau ….. hukumlah, bunuhlah saya,
ayah ……" Gadis itu merasa malu bukan main. Peristiwa tadi sungguh di luar dugaan. Ia
merasa seperti lumpuh ketika dirangkul dan diciumi Heng San.
Tiba-tiba Heng San melompat dan berlutut di sebelah Kui Siang. Biarpun dia berada
dalam keadaan tidak normal, namun dia masih dapat menguasai dirinya dan dia tahu
bahwa gadis itu terancam bahaya besar, akan rusak nama dan kehormatannya, bahkan
mungkin akan dihukum mati. Dia tidak mungkin mem¬biarkan hal itu terjadi! "Ciangkun,
bukan Nona Siang yang bersalah, melainkan saya yang bersalah! Saya mengaku salah,
saya bersedia menerima hukuman apapun juga."
Ibu Kui Siang yang bagaimanapun juga menyayang puterinya, melihat puterinya terancam
lalu ikut pula berlutut di depan suaminya sambil menangis. " ….. pandanglah mukaku dan
ampuni Kui Siang ….. " ia meratap.
Thio Ci Gan menghela nap as panjang dan mengelus jenggotnya. "Hemm, sudahlah.
Kalau memang kalian berdua sudah saling mendnta, kami akan segera mengatur
pernikahan kalian." Setelah berkata demikian, Thio-ciangkun meninggalkan kamar itu dan
segera mengeluarkan perintah agar segera dipersiapkan pernikahan yang harus
dilangsungkan tiga hari kemudian!.
Hanya Lui Tiong seorang yang dapat menduga bahwa semua itu tentu sudah diatur oleh
atasannya. Teringat dia akan kata-kata panglima itu bahwa Heng San pasti dan harus
mau menikah dengan Kui Siang! Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia hanya
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 59
menyesali nasibnya sendiri dan semakin iri akan nasib baik Heng San yang mendapatkan
gadis jelita dan menjadi mantu Panglima Thio!
Di dalam hatinya, Heng San merasa menyesal sekali akan kejadian itu. Dia menyesal
mengapa dia sampai hanyut oleh rangsangan berahi. Padahal, sesungguhnya dia harus
mengaku pada diri sendiri bahwa walaupun dia suka kepada Kui Siang, namun sebetulnya
cintanya adalah pada Ma Hong Lian! Akan tetapi, dia tidak mungkin membiarkan Kui
Siang celaka dan tercemar namanya karena dia. Maka, diapun mau melaksanakan
pernikahan dan memaksa dirinya agar jujur terhadap Kui Siang, agar dapat
memperlihatkan kasih sayangnya sebagai suami kepada gadis yang tidak berdosa itu.
Dan ternyata setelah menikah, Kui Siang bersikap amat mesra dan mencin¬tanya
sehingga mau tidak mau timbul pula perasaan sayang dalam hati Heng San kepada
isterinya. Suami isteri ini tampak mesra dan saling mengasihi sehingga ibu Siang-siocia
(Nona Siang) juga ikut merasa bahagia. Demikian pula Thio-ciangkun merasa gembira
sekali karena dia sudah dapat mengikat Heng San menjadi mantunya, berarti orang muda
itu kini menjadi pembantunya yang tak dapat diragukan lagi kesetiaannya.
Enam bulan telah lewat sejak Lauw Heng San menikah dengan Bu Kui Siang, anak tiri
PanglimaThio Ci Gan. Harus diakuinya bahwa Bu Kui Siang amat mencintanya dan watak
gadis itu memang baik sekali, seperti watak ibunya. Halus, lembut dan berperasaan peka.
Ia telah mendengar cerita Kui Siang tentang riwayat ibunya. Ayah kandungnya bernama
Bu Kiat, seorang panglima pembantu dalam pasukan Go Sam Kui yang dahulu melakukan
perlawanan terhadap bala tentara Mancu. Setelah pasukan Go Sam Kui hancur, Panglima
Bu Kiat gugur dalam perang. Isterinya bersama puterinya, yaitu Nyonya Bu dan Kui Siang,
menjadi tawanan. Ketika itu, yang menjadi komandan pasukan Mancu adalah Thio Ci Gan,
seorang Han yang terpikat bangsa Mancu menjadi seorang panglima. Demikianlah,
karena tertarik oleh kecantikan Nyonya Bu, Thio Ci Gan mengambilnya sebagai isteri
kedua. Nyonya Bu terpaksa menerimanya untuk menyelamatkan puterinya. Kui Siang lalu
menjadi anak tiri Thio-ciangkun dan iapun disayang oleh ayah tirinya. Dari isterinya ini pula
Heng San mendengar bahwa para pemberontak itu, menurut persangkaan isterinya yang
mendengar dari ibunya, adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah
Mancu.
Malam itu Heng San duduk termenung memikirkan itu semua. Biarpun ia selalu teringat
kepada Ma Hong Lian, namun harus diakuinya bahwa kelembutan dan cinta kasih Kui
Siang membuat dia dapat menyayang isterinya pula. Apalagi isterinya kini telah
mengandung dua bulan. Akan tetapi dia tidak dapat melupakan Hong Lian, gadis yang
amat dikaguminya itu. Dia merasa menyesal mengapa Hong Lian menjadi anggauta
pengacau, anggau¬ta pemberontak sehingga terpaksa berha¬dapan dengan dia sebagai
musuh. Teringat dia betapa dalam pertemuannya yang pertama dengan Hong Lian, gadis
itupun telah menjadi seorang pencuri.
Kui Siang tentu saja tidak mengetahui dengan jelas keadaan para pemberontak itu karena
ia hanya mendengar penuturan ibunya dan ia baru berusia dua tahun ketika ayah
kandungnya gugur dalam perang sebagai seorang pejuang patriot melawan bangsa
Mancu yang datang menjajah tanah air. Sebetulnya rombongan penari itu adalah
serombongan pendekar patriot yang bertugas menghubungi para orang gagah di dunia
kang-ouw untuk rencana pemberontakan terhadap pemerintah Mancu. Pemimpin
rombongan itu bernama Ma Giok, seorang guru silat yang terkenal gagah perkasa dan
berjiwa patriot. Ma Hong Lian adalah anaknya yang sejak kecil telah ditinggal mati ibunya.
Hong Lian dididik ilmu silat oleh ayahnya sendiri sehingga setelah dewasa ia menjadi
seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan berjiwa patriot pula. Di dunia persilatan
Ma Hong Lian dikenal dengan julukan Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita Tit-Ie).
Karena merasa penasaran melihat sepak terjang para pembesar, baik bangsa Mancu
maupun bangsa Han yang menjadi pengkhianat dan menghambakan diri kepada
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 60
pemerintah Mancu, melihat betapa mereka itu memperkaya diri sendiri dengan menindas
rakyat, memaksa rakyat membayar pajak untuk dikorup demi menggendutkan perut
sendiri, para orang gagah di daerah selatan segera mengumpulkan kawan-kawan
seperjuangan untuk menggerakkan pemberontakan. Akan tetapi usaha mereka itu selalu
kandas karena pemerintah memang cerdik dan mendapat dukungan banyak orang pribumi
yang berilmu tinggi dan menjadi pengkhianat, orang-orang yang sudah dipengaruhi
dengan umpan harta, kedudukan tinggi, atau wanita.
Oleh karena gerakan besar mereka selalu gagal untuk menyerang pasukan pemerintah
penjajah Mancu, maka kini sisa-sisa para patriot hanya bergerak dengan hati-hati dan
sangat terbatas sekali. Mereka lebih mengutamakan gerakan menentang para pembesar
korup yang menindas rakyat dan membasmi kaki tangan mereka. Untuk memberontak
terhadap pemerintah, mereka tidak mampu. Maka, jalan satu-satunya untuk mem¬bela
rakyat adalah secara langsung menentang pembesar-pembesar setempat dan kaki tangan
mereka yang menyengsarakan kehidupan rakyat jelata.
Ma Giok atau yang biasa disebut Ma-kauwsu (Guru silat Ma) mendapat tugas untuk
menghubungi orang-orang di utara yang berjiwa patriot dan memiliki kegagahan. Di
samping itu juga bertugas menyelidiki para pembesar yang menjadi kepercayaan kaisar,
para pembesar yang memiliki pengaruh besar. Dalam perjalanan untuk melaksanakan
tugas ini, Ma Giok menyamar sebagai pemimpin serom¬bongan penari silat. Para
pembantunya adalah puterinya sendiri, Ma Hong Lian, dan dua orang murid yang sudah
dapat diandalkan.
Dia mendengar bahwa di Keng-koan tinggal seorang pembesar militer yang berpengaruh
dan mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Juga dia mendengar bahwa Thiociangkun
(Panglima Thio) itu kini membentuk seregu pasukan yang terdiri dari perajuritperajurit
pilihan, di¬pimpin oleh perwira-perwira yang amat lihai sehingga merupakan
pasukan yang tangguh yang diberi nama Pasukan Garuda Sakti. Ma Giok segera
mengajak rombongannya melakukan penyelidikan ke kota Keng-koan.
Akan tetapi, sekali ini Ma Giok terlalu memandang rendah kepada Pembesar Thio itu.
Thio-ciangkun terlalu cerdik baginya. Sebelum Ma Giok dan rombongannya sempat
berbuat sesuatu, sebaliknya keadaannya malah sudah diketahui para penyelidik yang
disebar oleh Thio-ciangkun. Sama sekali Ma Giok tidak tahu bahwa di dalam kuil di mana
dia serombongannya bermalam, atau di tempat-tempat makan dan di mana saja, telah
tersebar mata-mata yang lihai dari Thio¬ciangkun.
Kemudian, sama sekali tidak tersangka-sangka olehnya, terjadilah penyerbuan itu. Dia
sendiri tertawan dan dua orang muridnya tewas, sedangkan anaknya Ma Hong Lian, tidak
diketahui bagaimana nasibnya.
Malam itu Ma Giok duduk termenung dalam kamar tahanannya. Sudah berbulan-bulan,
sedikitnya sudah enam bulan, dia dikurung dalam kamar tahanan ini. Dia dapat menduga
mengapa sampai sekarang dia belum juga dibunuh atau dihukum. Tentu Thio-ciangkun
ingin mengo¬rek semua rahasia kawan-kawannya dari mulutnya. Namun dia tidak pernah
mau mengaku. Yang dia tidak tahu adalah bahwa dia tidak disiksa itu karena usaha Lauw
Heng San yang membujuk kepada Thio-ciangkun agar Ma Giok tidak dipaksa dengan
kekerasan, melainkan dibujuk dengan halus.
"Orang itu berwatak keras," demikian Heng San berkata kepada atasannya yang juga kini
telah menjadi ayah mertuanya. "Semakin diancam, semakin dia menantang kematian.
Sebaliknya kalau diperlakukan dengan halus, ada harapan dia akan tunduk. Pula,
puterinya belum tertawan dan saya yakin bahwa kawan-kawannya tentu akan berusaha
membebaskannya. Dengan demikian, dia dapat kita umpankan sebagai umpan untuk
memancing datangnya kawan-kawannya."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 61
Nasehat ini diturut dan Ma Giok tidak disiksa, dan memang hal ini yang dikehendaki Heng
San yang merasa kasihan kepada ayah dari Ma Hong Lian, gadis yang tak pernah
dilupakannya itu.
Malam semakin larut, Ma Giok duduk sambil melamun. Enam bulan telah lewat. Dia tidak
dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Akan tetapi dia tidak peduli
akan nasib dirinya. Dia sudah cukup kenyang dan lama hidup di dunia, cukup banyak
menderita, kematian isterinya dan mengalami kegagalan dalam perjuangan. Dia tidak
takut dan tidak sedih kalau harus mati. Akan tetapi dia teringat kepada anaknya. Dia tidak
tahu di mana adanya Hong Lian dan bagaimana dengan nasib puterinya itu. Namun dia
tidak putus asa. Hong Lian lolos, berarti puterinya itu tentu selamat. Apalagi dia pernah
melihat pengemis gila itu yang bukan lain adalah Tan Kok yang berjuluk Ngo-jiauw-eng
(Garuda Kuku Lima), paman gurunya sendiri!
Dia juga percaya bahwa setiap saat susioknya (paman gurunya) itu pasti akan muncul
untuk membebaskan dkinya. Ma Giok memandang ke luar pintu dan melihat enam orang
perajurit pengawal duduk minum arak sambil main catur dengan gembira. Tidak ada
seorangpun di antara mereka memperhatikannya. Saking lamanya dia dikeram di situ,
para penjaga itu sudah terbiasa dan menganggap dia sebagai seorang tawanan biasa
yang tak berdaya. Ma Giok mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak
melihat perwira Lihai Yang dulu merobohkannya sehingga dia tertawan. Dia masih merasa
penasaran mengingat betapa perwira tinggi kurus itu dapat merobohkannya, padahal
untuk daerah selatan, permainan goloknya jarang terkalahkan. Dia sama sekali tidak tahu
bahwa yang menjatuhkannya adalah Lui Tiong yang berjuluk Ui-bin-houw (Harimau Muka
Kuning), seorang tokoh ahli pedang yang sebelum Lauw Heng San datang, menjadi
jagoan nomor satu di antara para pembantu Panglima Thio!
Jilid 8
Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan itu. Ma Giok
merasa heran melihat seorang pemuda telah berdiri di situ dan semua perajurit penjaga
yang melihatnya lalu menyambut dengan hormat.
"Lauw-sicu!" sapa mereka.
Pemuda itu adalah Heng San. Dia menaruh telunjuknya ke depan bibirnya dan berbisik,
"Sstt, jangan berisik, musuh datang. Kalian jagalah di sini dengan waspada, biar aku yang
menyambut mereka di atas!" Setelah berkata demikian, tubuh pemuda itu berkelebat dan
lenyap dari ruangan itu.
Melihat gerakan Heng San, diam-diam Ma Giok menjadi terkejut sekali dan dia mengeluh
dalam hatinya. Pemuda tadi memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang agaknya
lebih tinggi daripada tingkat perwira yang merobohkannya. Tak disangkanya sama sekali
bahwa Panglima Thio ternyata memiliki jagoan-jagoan yang demikian banyak dan lihai.
Dengan menggunakan gin-kang yang hebat, Heng San sudah meluncur naik ke atas
genteng. Tadi dia sedang melamun dalam kamarnya membayangkan wajah Hong Lian
yang tak pernah dapat dilupakannya biarpun ia sudah hidup senang di samping Kui Siang,
isterinya yang tercinta dan mencintanya. Kemudian ia teringat akan cerita Perwira Lui
Tiong tentang adanya seorang pengemis gila, yang menurut Lui Tiong tentu seorang
kawan rombongan Ma Giok. Timbul keinginan daJam hatinya untuk dapat segera
:"bertemu kembali dengan Ma Hong Lian. Ia, tahu gadis itu akan datang bersama-sama
kawan-kawannya, mungkin pengemis itu, datang untuk mencoba membebaskan
kawannya. Semua harapan ini terdorong kerinduan hatinya untuk dapat ber'jumpa kembali
dengan Hong Lian. Dia menjadi geJisah dan segera dia membenahi pakaiannya dan
melakukan perondaan di atas wuwungan rumah-rumah di Keng-koan.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 62
Dalam perondaan ini, dia melihat berkelebatnya tiga bayangan orang. Setelah
dibayanginya, dia melihat bahwa mereka itu adalah gadis yang senantiasa dipikirkannya,
Ma Hong Lian, bersama seorang pengemis aneh dan seorang yang berpakaian seperti
tosu (pendeta To). Gerakan kedua orang kawan gadis itu demikian ringan, menandakan
bahwa mereka berdua memiliki silat yang tinggi. Cepat Heng San mengambil jalan pintas,
menyelinap ke tempat tahanan Ma Giok dan memberi peringatan kepada penpenjaga,
kemudian dia sendiri melompat ke atas genteng dan dengan tabah menanti datangnya
musuh dengan bertangan kosong saja!
Tak lama kemudian, tiga bayangan itu datang melayang di atas wuwungan dan tiba di atas
rumah Panglima Thio yang besar, di mana terdapat tempat tahanan itu dan di mana
terdapat pula para jagoan Thio-ciangkun.
Begitu mereka berhadapan, di bawah sinar bulan yang remang-remang dibantu sinar
lampu yang menyorot dari bawah, Ma Hong Lian segera mengenal Heng San dan ia
menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Heng San.
"Inilah seekor di antara anjing-anjing peliharaan pembesar jahanam Thio itu!"
Mendengar seruan Hong Lian ini, tangan pengemis aneh itu bergerak dan secepat kilat
sinar menyambar ke arah tubuh Heng San. Tadinya Heng San memperhatikan kakek
pengemis ini dengan heran karena orang itu memang aneh. Pakaiannya tambal-tambalan
akan tetapi diberi hiasan ronce-ronce di sana-sini sehingga aneh, wajahnya juga
berlepotan lumpur, mulutnya seperti orang tersenyum-senyum geli, akan tetapi matanya
mencorong seperti mata harimau di tempat gelap. Apalagi ketika dia menyerang dengan
sinar tadi, Heng San terkejut. Dia melihat bahwa yang dilontarkan kakek itu adalah sebuah
hui-to (pisau terbang) yang bentuknya melengkung bengkok. Huito itu menyambar dengan
mengeluarkan suara mendesing. Ketika Heng San mempergunakan kegesitannya
mengelak, pisau atau golok terbang itu meluncur lewat lalu dapat berputar dan terbang
kembali kepada pemiliknya yang menerimanya dengan sambaran tangan kanan! Bukan
main, pikirnya. Dia pernah mendengar akan senjata rahasia seperti ini, namun jarang yang
mampu menggunakannya. Orang yang mahir melempar hui-to yang dapat membalik
seperti itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Pengemis aneh itu agaknya juga menyadari bahwa lawan yang mampu mengelakkan huitonya
sedemikian mudah merupakan lawan tangguh. Maka dia lalu menyimpan hui-tonya
dan menggunakan tongkatnya yang panjang untuk menyerang HengSan.
"Heeehhhh!" Bentaknya. Tongkatnya menyambar dengan dahsyat, menunjukkan betapa
kuatnya tenaga sin-kang (tenaga sakti) pengemis itu. Heng San melawan dengan
mengerahkan kecepatannya. Pemuda ini memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang
hebat dan menghadapi tongkat yang amat berbahaya itu dia segera bersilat dengan Ngoheng
Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silatnya yang mengandung lima unsur dan berubah-ubah
dengan amat cepatnya.
Melihat Heng San sudah saling serang melawan pengemis aneh, Hong Lian dan tosu itu
hendak melompat ke bawah, Heng San yang sejak tadi menaruh perhatian, maklum
bahwa gadis itu tentu akan nekat membebaskan ayahnya, maka cepat dia melompat,
meninggalkan pengemis aneh dan menghadang di depan gadis itu.
“Nona, pulanglah! Engkau tidak akan berhasil, tiada gunanya, bahkan keselamatanmu
sendiri terancam!"kata Heng San.
"Keparat, siapa sudi mendengar nasehatmul" bentak Hong Lian dan iapun sudah
menggerakkan pedangnya dengan tangan kanan untuk menyerang Heng San. Heng San
cepat mengelak, akan tetapi dari samping menyambar serangkum angin yang dahsyat.
Dia terkejut dan melompat untuk mengelak. Kiranya tosu itu yang menyerangnya dengan
kebutan ujung lengan bajunya dan serangan tosu itu bukan main dahsyatnya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 63
Ketika Heng San melompat, dia dipapaki lagi oleh tongkat si pengemis dan kembali dia
sudah bertanding melawan pengemis aneh itu, saling serang dengan serunya. Pengemis
itu berkata kepada dua orang kawannya.
"Ma-siocia, cepat turunlah bersama Ang-toheng (saudara Ang)!" Setelah berkata
demikian, dia memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat sekali sehingga Heng San tak
berdaya mencegah gadis dan tosu itu yang berlompatan ke bawah, tentu untuk
membebaskan Ma Giok.
Heng San khawatir sekali kalau-kalau gadis itu terancam bahaya. Benar saja
kekhawatirannya. Tiba-tiba di bawah terdengar teriakan-teriakan para pengawal "Ada
penjahat! Ada penjahat …..!"
Terdengar suara senjata berkerontangan, tanda bahwa di bawah telah terjadi perkelhian.
Sebentar saja, keributan itu menarik perhatian dan para jagoanpun keluarlah. Lui Tiong,
Ban Hok, dan Auwyang Sin keluar dengan senjata di tangan dan segera mengepung gadis
dan tosu itu.
Hong Lian dan tosu itu terkurung rapat oleh tiga orang jagoan dan sebelas orang perajurit
pengawal yang sudah datang berlarian membantu.
"Ha-ha-ha! Memang niisib orang she Ma itu baik sekali" Lui Tiong tertawa mengejek. "Kini
dia akan ditemani oleh puterinya dan seorang pendeta! Bagus! Jangan bunuh mereka,
tangkap hidup-hidup!" Setelah berkata demikian, Lui Tiong memutar pedangnya maju
mendesak, langsung menyerang tosu itu.
Akan tetapi di luar dugaan, tosu itu hebat sekali gerakannya. Dengan kedua ujung lengan
bajunya yang panjang dan lebar, dia dapat melindungi dirinya bahkan membalas dengan
serangan yang tidak kalah hebatnya daripada serangan Lui Tiong! Juga Hong Lian
mengamuk dengan pedangnya sehingga tidaklah mudah bagi para pengeroyoknya untuk
merobohkannya, jangankan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Melihat betapa keadaan tidak mungkin baginya untuk membebaskan ayahnya, Hong Lian
menjadi marah sekali. Gerakan pedangnya menjadi ganas dan begitu ia memekik
panjang, pedang berkelebat dua kali ke kanan kiri dan robohlah dua orang perajurit yang
mengeroyoknya menjadj korban pedangnya. Juga tosu itu berteriak panjang dan
sambaran ujung lenlgan bajunya merobohkan seorang pengeroyok karena kepalanya
pecah disambar ujung lengan baju yang menjadi keras seperti baja itu.
Sementara itu, Heng San yang bertanding melawan pengemis bertongkat, menjadi gelisah
sekali mendengar betapa hebatnya pertempuran di bawah. Ada dua kekhawatiran yang
bertentangan berkekecamuk dalam hatinya. Di satu pihak khawatir kalau-kalau Hong Lian
terluka atau tewas. Kegelisahan ini menghirnpit hatinya dan dia tidak memperdulikan lagi
lawannya. Dia melompat meninggalkan pengemis itu untuk dapat melihat dari dekat
keadaan di bawah.
PENGEMIS itu memutar tongkatnya dan melompat turun untuk mengejar Heng San. Akan
tetapi ketika dia tiba di bawah, dia melihat betapa dua orang kawannya dikeroyok banyak
musuh, maka diapun cepat membantu mereka. Terjunnya pengemis dengan tongkatnya
yang lihai itu membuat kepungan agak mengendur. Akan tetapi Heng San tentu saja tidak
dapat tinggal diam dan diapun menyerang lagi pengemis itu sehingga kembali tiga orang
itu terdesak.
Diam-diam tosu dan pengemis itu merasa heran melihat sikap Heng San. Terutama
pengemis itu. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Heng San amat tinggi dan kalau pemuda
itu menghendaki, tadi tentu sudah dapat merobohkannya. Akan tetapi pemuda itu tidak
mau merobohkannya dan kelihatannya seperti ragu-ragu. Seolah-olah pemuda itu
mempermainkan mereka, juga mempermainkan kawan-kawannya sendiri. Juga pengemis
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 64
itu seperti mengenal gerakan Ilmu silat tangan kosong pemuda itu, mengingatkan dia akan
kehebatan Ilmu tangan kosong gurunya sendiri!
Melihat keadaan mereka terancam bahaya, pengemis itu berseru, "Mundur" dan
tongkatnya berkelebat sedemikian rupa sehingga mengejutkan para pengeroyoknya.
Sebetulnya, Heng San mampu menyambut gerakan tongkat ini. Akan tetapi karena dia
memang menghendaki agar gadis itu dapat melarikan diri, diapun berpura-pura terkejut
dan ikut mundur seperti para jagoan lain.
Kesempatan ini dipergunakan tosu dan pengemis Itu untuk melompat dan si pengemis
memegang tangan Hong Lian diajak melarikan diri karena gadis itu agaknya nekat. Melihat
ini, Lui Tiong menjadi penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi dia didahului Heng
San yang berseru nyaring.
"Awas, Lui-toako!"
Tiba-tiba dari depan menyambar sinar berkelebat. Semua jagoan terkejut karena serangan
hui-to ini tidak terduga sebelumnya dan amat cepat datangnya, mengeluarkan suara
mendesing. Akan tetapi Heng San telah melompat ke depan dan berjungkir balik. Dia
menggunakan tangannya untuk menyampok sinar itu dari samping sehingga arah hui-to
itu melenceng dan hilang di dalam kegelapan malam, tidak mendapatkan korban.
"Lihai sekali......!" seruan ini dikeluarkan kedua pihak, baik oleh Lui Tiong dan kawankawannya
maupun oleh pengemis yang kagum akan gerakan Heng San menangkis hui-to.
Lui Tiong dan kawan-kawannya bernapas lega karena tawanan tidak sampai terampas
musuh, akan tetapi merekapun menyesal tidak mampu menangkap tiga orang pengacau
tadi, bahkan kehilangan tiga orang perajurit yang tewas.
Serangan tiga orang pemberontak itu membuat Thio-ciangkun menjadi marah sekali. Dia
lalu mengirim utusan ke kota raja untuk minta bala bantuan dan beberapa hari kemudian
datanglah sepasukan prajurit kota raja dipimpin seorang panglima dan panglima itu
ditemani seorang hwesio berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi
besar dan berbulu seperti orang utan. Heng San terkejut sekali ketika mendengar bahwa
hwesio ini adalah Lui Im Hosiang, seorang tokoh kangouw yang terkenal sakti dan lihai
sekali.
Semenjak terjadinya penyerbuan malam hari itu, Heng San sering kali kelihatan melamun
di dalam rumahnya. Perasaannya menjadi amat tidak enak. Mulai timbul keraguan dalam
hatinya. Benarkah Hong Lian dan kawan-kawannya itu merupakan pemberontakpemberontak
yang jahat? ataukah seperti diceritakan isterinya Kui Siang, mereka itu
adalah golongan pahlawan, golongan patriot, yaitu orang-orang yang gagah perkasa yang
siap membela bangsa dan tanah air dari kekuasaan bangsa asing dengan taruhan nyawa.
Dia menjadi ragu. Dia sendiri adalah orang Han, seperti juga Thio-ciangkun, akan tetapi
mengapa kini memperhambakan diri kepada kerajaan Mancu dan menentang bangsa
sendiri yang menjadi patriot? Dia menjadi bingung. Hong Liankah yang jahat ataukah dia
yang tersesat?
Selagi dia duduk seorang diri melamun di kamar belakang, menghadapi seguci kecil arak,
diminum lalu duduk lagi menghela napas panjang, terdengar langkah lembut dan Kui
Siang telah berdiri dibelakangnya. Dengan penuh rasa sayang kedua tangan isteri itu
memegang pundak Heng San, memijat kedua pundak yang kokoh kuat itu.
"San-ko (Kakak San), kenapa sejak tadi engkau melamun dan minum arak seorang diri di
sini?" tanya Bu Kui Siang dengan lembut.
Heng San menangkap sebelah tangan isterinya, mencium tangan itu lalu berkata, "Siangmoi
(dinda Siang), mari duduklah dan kita bicara. Aku perlu sekali mendapatkan teman
bicara yang dapat melegakan hatiku saat ini."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 65
Kui Siang yang sudah tampak agak membesar perutnya dalam kehamilan tiga bulan itu
lalu duduk berhadapan dengan suaminya. la melihat Wajah suaminya seperti orang yang
lelah sekali.
"Ada apakah, suamiku? Apa yang merisaukan hatimu? Kulihat, semenjak terjadi
penyerbuan penjahat yang hendak membebaskan tawanan, engkau tampak murung dan
gelisah."
"Benar sekali ucapanmu, isteriku. Memang aku sedang gelisah memikirkan peristiwa itu."
"Apakah yang menggelisahkan hatimu?"
Tentu saja Heng San tidak mau mengatakan bahwa dia memikirkan Hong Lian. "Aku
sedang memikirkan kedudukanku sendiri dan kedudukan mereka yang kini aku tentang
dan musuhi sesuai dengan kedudukan sebagai komandan pasukan keamanan Garuda
Sakti. Sebetulnya, siapakah Ma Giok dan kawan-kawannya itu, Siang-moi? Benarbenarkah
mereka itu penjahat, pemberontak yang membuat kekacauan? Ataukah mereka
itu orang baik-baik dan aku yang jahat karena memusuhi mereka? Aku menjadi bingung,
Siang-moi.ll
"San-ko, mengapa hal itu engkau risaukan? Memang, menurut ibu ada kemungkinan
mereka itu adalah para patriot yang membela rakyat Han memusuhi pemerintah penjajah.
Akan tetapi kita sama sekali tidak tahu tentang urusan pemerintah. Yang jelas bagiku,
ayah tiriku adalah seorang yang baik, yang memelihara dan mendidik aku dengan kasih
sayang dan juga dia bersikap amat baik kepadamu. Oleh karena itu, wajarlah kalau
engkau sebagai pembantu dan juga mantunya membelanya. Apa lagi kenyataannya,
orang-orang yang menganggap diri mereka pejuang itu melakukan kekerasan dan
kekacauan. Sudah menjadi kewajibanmu untuk membelanya, bukan?"
Heng San mengangguk-angguk dan menganggap ucapan isterinya itu cukup beralasan.
Orang-orang yang menjadi kawan-kawan Hong Lian itu adalah orang baginya. Dia tidak
tahu bagaimana watak mereka, bahkan dia tidak tahu benar orang macam apa adanya
Hong Lian, gadis yang menjadi wanita pertama yang merebut hatinya. Sebaliknya, dia
mengenal baik ayah mertuanya. Thio-ciangkun adalah seorang pembesar yang baik dan
bijaksana. Dan para pembantunya adalah pendekar-pendekar ternama. Dia tahu,
andaikata tidak ada Hong Lian di sana, dia tidak akan ragu memihak Thio-ciangkun.
Hanya rasa cintanya terhadap Hong Lian itulah yang membuat dia menjadi ragu dan
gelisah!
"Engkau benar, Siang-moi, engkau benar....."
Suami isteri itu lalu bercakap-cakap dan tiba-tiba datang seorang perajurit anak buah
Heng San, melaporkan bahwa dia dipanggil oleh Thio-ciangkun untuk urusan yang penting
sekali.
Heng San bergegas menghadap Thio Ci Gan. Panglima itu sedang duduk seorang diri
dengan alis berkerut dan tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
"Ah, aku telah menunggu-nunggumu, Heng San. Duduklah!"
Setelah duduk, panglima itu menceritakan kepada Heng San bahwa setelah terjadinya
penyerbuan para penjahat untuk membebaskan Ma Giok, dia menjadi tidak enak dan
setiap malam selalu gelisah. "Oleh karena itu aku merencanakan untuk memindahkan Ma
Giok ke kota raja, biarlah para jaksa di sana yang akan memeriksanya."
"Rencana itu baik sekali, ayah," kata Heng San kepada ayah mertuanya. "Berarti kita
bebas dari beban menjaga orang yang agaknya menjadi tokoh penting dalam
gerombolannya. Heng San merasa ikut lega mendengar keterangan ini. Yang membuat
dia gelisah adalah kalau memikirkan tentang Hong Lian yang terpaksa harus berhadapan
dengan dia sebagai musuh.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 66
"Akan tetapi, semenjak penyerbuan itu, tidak ada tanda-tanda mereka mengadakan aksi.
Hal ini malah menggelisahkan hatiku, Heng San. Oleh karena itu, hari ini pergilah engkau
melakukan penyelidikan di dalam dan di sekeliling kota. Juga selidiki sekitar jalan yang
akan dilalui pasukan yang membawa Ma Giok ke kota raja besok lusa."
"Baiklah, ayah."
Heng San lalu pulang dan berkemas. Dia tidak memakai pakaian yang ada gambar garuda
di bagian dada, melainkan memakai pakaian sederhana dan biasa seperti pakaian
penduduk biasa. lsterinya membantunya dan dalam kesibukan itu isterinya mengerutkan
alisnya.
"San-ko, aku melihat engkau begini pendiam seolah ada sesuatu yang mengganggu
pikiranmu," tegur sang isteri yang penuh perhatian terhadap suaminya.
Heng San yang sudah selesai berkemas merangkul isterinya, mendekap muka isterinya ke
dadanya dan dia menghela napas panjang. "Isteriku, aku..... entah mengapa...... merasa
amat tidak enak hati, seolah ada sesuatu yang buruk akan terjadi....."
"Aih, suamiku. Terus terang saja akupun demikian.... sejak aku bermimpi kemarin dulu...."
"Mimpi apa, isteriku?"
"Aku bermimpi, kita mendayung perahu berdua.... lalu tiba-tiba perahu terbakar dan aku
terjatuh ke dalam lautan.... akan tetapi aku dapat berpegang kepada sepotong papan.
Kulihat perahu kita terbakar dan engkau.....ah, engkau di perahu Uuu.... " Kui Siang
menangis.
Heng San mempererat pelukannya dan mencium pipi isterinya. "Siang-moi, itu hanya
mimpi. Sudahlah, kita pasrahkan keselamatan kita kepada Thian (Tuhan). Bukankah
orang yang melangkah di atas jalan kebenaran selalu dilindungi Thian?"
Setelah melepaskan rangkulannya, Heng San siap berangkat. "Hati-hatilah, San-ko,"
pesan isterinya.
Heng San mulai melaksanakan tugas yang diberikan oleh Thio-ciangkun. Mula-mula dia
berjalan-jalan dengan menyamar sebagai orang biasa dalam kota Keng-koan, menyelidiki
rumah-rumah penginapan, taman-taman umum, bahkan rumah-rumah makan. Namun
tidak menemukan orang, yang mencurigakan. Dia mulai merasa bosan dan kesal, dan
juga mulai merasa lelah. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota sebelah selatan, dia
melihat seorang laki-laki tua berjubah lebar berjalan dengan cepat melintas di depannya.
Heng San melihat orang itu menoleh dan tersenyum kepadanya, lalu mempercepat
langkahnya menuju ke pintu gerbang. Dia menjadi curiga dan cepat membayangi karena
merasa seperti mengenal wajah tadi.
Setelah orang itu keluar dari pintu gerbang dia menoleh lagi dan melihat Heng San di
belakangnya dia lalu berlari cepat! Heng San terkejut karena dia ingat bahwa wajah itu
adalah wajah tosu yang ikut menyerbu untuk membebaskan Ma Giok, tosu yang amat lihai
dan kuat sekali, dengan senjata kedua lengan bajunya yang panjang dan lebar. Tentu saja
dia merasa penasaran dan Heng San lalu menggunakan ilmu berlari cepat melakukan
pengejaran.
Dengan pengerahan gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) sehingga larinya secepat kijang,
akhirnya Heng San dapat memperdekat jarak an tara dia dan orang itu. Pada saat itu
mereka sudah tiba di tepi sebuah hutan dan tosu itu berlari memasuki hutan.
Sebetulnya, mengejar lawan yang memasuki hutan amatlah berbahaya karena lawan itu
akan bersembunyi dan melakukan serangan gelap atau jebakan. Akan tetapi Heng San
tidak menjadi gentar dan dengan berani dia mengejar terus, lari memasuki hutan itu. Akan
tetapi hutan itu cukup lebat dan dia tidak mengenal daerah hutan itu. Setelah masuk ke
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 67
dalam hutan, dia kehilangan orang yang dikejar, tidak tahu orang itu lari ke jurusan mana.
Heng San maklum bahwa akan percuma saja mengejar orang dalam hutan yang sudah
lenyap dan tidak meninggalkan jejak. Dia mengambil kepu!tusan untuk keluar dari hutan
dan memanggil bala bantuan karena sudah diketahui bahwa tosu itu bersarang di dalam
hutan sebelah selatan kota.
Akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan langkahnya karena dia mendengar suara langkah
orang dari belakang. Cepat dia memutar tubuh dan memandang. Jantungnya berdebar
keras ketika dia melihat siapa yang menghampirinya. Bukan lain adalah gadis yang
selama ini menjadi kenangannya, gadis cantik jelita yang telah memikat hatinya sejak
pertemuan pertama. Ma HongLian si pendekar wanita dari Tit-Ie! Hong Lian berhenti
melangkah dan berhenti di depannya, dalam jarak empat meter, memandangnya dengan
sepasang matanya yang tajam dan indah seperti mata burung Hong.
".... kau.... nona Hong Lian.... kau.... di sini?" tanya Heng San dengan suara gagap.
Gadis itu menjawab tenang dan agak ketus. "Akulah yang seharusnya bertanya, Sin-kun
Bu-tek, engkau datang ke sini bukankah untuk mencari kami?"
Heng San tersenyum dan juga merasa heran. "Bagaimana engkau dapat mengetahui
nama lelucon yang diberikan orang kepadaku itu, nona?"
Gadis itu tersenyum mengejek. "Hem, siapa yang tidak mengenal Sin-kun Butek (Kepalan
Sakti Tanpa Tanding), orang gagah perkasa yang telah menjual diri kepada orang kaya?"
Heng San tetap tersenyum dan menganggap bahwa gadis itu marah kepadanya dan
hendak menang sendiri saja. Dia tetap bersabar dan memandang kagum. "Nona, apakah
nona juga sudah mengenal namaku? Aku she (bermarga) Lauw dan namaku...."
"Aku tidak perduli engkau she apa dan bernama siapa! Yang kutahu jelas adalah bahwa
engkau seorang pemuda yang sudah tersesat jauh, tidak malu menjual diri kepada
seorang pembesar kaki tangan kaisar kerajaan Mancu penjajah laknat! Engkau menjadi
kaki tangan penindas rakyat!"
Heng San memandangnya dengan tersenyurn seolah merasa lucu melihat ulah seorang
anak bengal. "Aih, jangan memutar balikkan kenyataan, nona. Thio-ciangkun adalah
seorang pembesar yang bijaksana, dan semua pembantunya adalah pendekar-pendekar
gagah perkasa yang membela keadilan dan menjaga keamanan dan ketenteraman
kehidupan rakyat. Adalah engkau dan kawan-kawanmu itulah yang tersesat dan mencari
hasil dengan jalan yang mudah dan jahat. Engkau masih muda, nona, janganlah engkau
ikut-ikut mereka yang jahat itu. Hiduplah sebagai seorang pendekar wanita yang budiman,
sesuai dengan nama julukanmu itu. Aku merasa menyesal sekali melihat keadaanmu yang
tersesat sedemikian jauhnya!"
Hong Lian memandang dengan heran dan marah, kemudian ia tersenyum meng ejek.
"Kalau engkau menganggap aku jahat, kalau aku kauanggap sesat, lalu kenapa beberapa
kali engkau sengaja menolongku? Mengapa engkau sengaja membiarkan aku lolos?
Apakah dengan cara itu engkau hendak memamerkan kepandaianmu dan hendak
menghinaku?"
Heng San memandang dengan sinar mata tajam dan sikapnya bersungguh-sungguh.
"Memang aku bodoh, nona. Seharusnya orang-orang seperti engkau dan kawan-kawanmu
itu kubasmi habis, itu telah menjadi kewajibanku, baik sebagai seorang yang mengaku
menjadi orang gagah, maupun sebagai pemimpin pasukan Garuda Sakti yang
kewajibannya menjaga keamanan dan membasmi para penjahat. Akan tetapi
kepadamu.... " Muka Heng San berubah kemerahan dan berulang kali dia menghela
napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku.... aku tidak dapat melihat engkau
tertangkap dan mendapat celaka; Aku..... aku merasa kasihan kepadamu, Nona Hong
Lian.... "
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 68
Wajah Hong Lian menjadi merah dan ia tampak marah sekali. Ia membantingbanting
kakinya dan berkata galak. "Huh! Tak bermalu! Siapa yang ingin kaubela? Siapa yang
ingin mendapat kasihanmu? Aku tidak sudi!"
"Kau boleh mencaci maki aku, nona. Engkau boleh menganggap aku musuhmu yang
menghalangi pekerjaanmu, akan tetapi betapapun juga, aku..... aku suka padamu....."
Tiba-tiba Hong Lian mendekap mukanya sendiri dengan kedua tangan dan ia menangis,
tangis yang telah ditahan tahannya sejak tadi, tangis yang keluar dari hati yang jengkel,
marah, gemas dan menyesal.
Heng San melangkah maju menghampiri dan memandang gadis. itu dengan ragu-ragu.
"Nona.... kenapa engkau menangis? Menyesalkah engkau akan segala kesesatan yang
telah kau lakukan selama ini? Marilah kembali ke jalan yang benar...."
Tiba-tiba Hong Lian membuka kedua tangan yang menutupi mukanya dan matanya yang
kemerahan. karena tangis itu menatap tajam wajah pemuda yang berdiri di depannya itu.
"Siapa yang sesat? Aku memang menyesal......menyesal sekali.....!"
Heng San menjadi bingung dan tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan gadis itu
"Nona Hong Lian, kalau sekiranya engkau takut kepada kawan-kawanmu untuk
membebaskan diri dari gerombolan jahat itu, percayalah, aku sanggup untuk
membebaskan engkau dari mereka. Kalau perlu, aku sanggup membasmi mereka semua
dengan kedua tangankul"
Hong Lian masih terisak-isak. "Sayang...... engkau menjadi komandan pasukan Garuda
Sakti.... "
"Kenapa sayang, nona? Akan tetapi..... kalau engkau mau melepaskan dirimu dan keluar
dari gerombolan pemberontak dan pengacau jahat itu, akupun akan rela keluar dari
pasukan Garuda Sakti. Karena sesungguhnya akupun tidak suka menjadi perwira karena
walaupun pekerjaan membasmi para penjahat memang menjadi kewajiban seorang
gagah, namun aku tidak suka harus bermusuhan dengan bangsaku sendiri."
"Kau.... kau buta....!"
Sebelum Heng San dapat menjawab karena termangu heran dan tidak senang, tiba-tiba
terdengar suara tawa bergelak dan dari dalam rimba muncul dua orang yang segera
dikenal Heng San dengan baik. Mereka berdua itu adalah si tosu dan si pengemis aneh
yang tempo hari menyerbu tempat tahanan bersama Hong Lian!
"Ha-ha-ha, ternyata Sin-kun Bu-tek bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga lihai
sekali memutar lidah! Jika engkau memang seorang gagah seperti yang berkali-kali
kaukatakan, jangan engkau memusuhi kami dan tinggalkan gedung Thio-ciangkun. Akan
tetapi kalau engkau berkukuh hendak membela pembesar anjing itu terpaksa kami
melawan mati-matian. Kalau perlu, kami harus melenyapkan engkau dari muka bumi" kata
tosu itu.
Heng San tersenyum mengejek mendengar omongan tosu itu.
"Engkau berpakaian sebagai pendeta, akan tetapi sesungguhnya engkau seorang jahat
yang mengumpulkan kawan-kawan jahat. Perampok, pemberontak dan pengacau yang
kerjanya hanya merampok dan mencuri. Akan tetapi aku tidak akan memperdulikan itu
semua kalau kalian tidak membujuk dan menyeret seorang gadis memasuki duniamu yang
kotor dan sesat itu. Sekarang; karena kejahatanmu sudah melewati batas dan kalian
bertemu dengan aku, jangan harap aku akan dapat mengampuni kalian."
Heng San memang merasa benci sekali kepada kawan-kawan Hong Lian yang
dianggapnya menjadi sebab kesesatan gadis itu, maka dengan cepat dia lalu maju
menyerang tosu itu. Tosu itu mengibaskan lengan bajunya untuk menangkis.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 69
"Plakk!" Kepalan tangan Heng San bertemu ujung lengan baju dan keduanya terdorong
mundur. Tosu itu membentak marah.
"Pinto (aku) Ang Jit Tojin hari ini akan melawan mati-matian!" Maka bertandinglah kedua
orang itu dengan seru. Akan tetapi Heng San yang sudah marah sekali dan menganggap
bahwa dia bertanding demi kepentingan Hong Lian, untuk membebaskan gadis itu dari
pengaruh mereka yang berdosa, tidak. memberi banyak kesempatan kepada lawannya.
Dia mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang hebat, memainkan ilmu silat tangan kosong
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sehingga Ang Jit Tojin terdesak mundur oleh angin pukulan
Heng San yang amat dahsyat. Melihat ini, Tan Kok si Pengemis Aneh berseru marah dan
dia memutar tongkatnya sambil berteriak.
"Sin Kun Bu-tek, engkau pengkhianat bangsa terimalah kematianmu!"
Tongkatnya berputar cepat dan menyambar dengan mengeluarkan angin menderu. Akan
tetapi Hengsan tidak merasa jerih. DIa mempergunakan ginkang yang telah mencapai
tingkat tinggi dan mengelak dan menangkis semua serangan dua orang lawan yang tua
dan lihai itu, akan tetapi sekali ini dia hanya mengalah seperti tempo hari. Dia bermaksud
untuk dua orang yang dianggapnya telah menyeret Hong Lian ke dalam kesesatan
mereka. Hal ini membuat pengeroyok itu menjadi sibuk karena hasrus menghindarkan diri
dari dua kepalan mau Heng San.
Hong Lian memandang dengan hati berdebar. Ia tidak membantu karena perasaannya
sangat tertekan. Semenjak Ia bertemu dengan pemuda yang dulu merampas hasil
curiannya, ia merasa amat kagum kepada pemuda itu. Belum pernah ia bertemu dengan
seorang pemuda yang demikian lihai ilmu silatnya dan berwajah tampan, bersikap baik
dan ramah. Ketika ia bertemu lagi dengan Heng San dan mendapat kenyataan bahwa
pemuda itu menjadi komandan pasukan Garuda Sakti, menjadi orang kepercayaan Thiociangkun,
rasa kagum dan sukanya berubah menjadi perasaan benci dan menyesal. Dan
baru saja pemuda itu menyatakan cinta kepadanya. Hal ini membuatnya menyesal dan
bingung.
Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa pemuda itu memperhatikannya karena telah
beberapa kali menolong dan membebaskannya, akan tetapi ia masih sangsi. Kini
mendengar pernyataan pemuda yang hendak membelanya, dan menyukainya, hatinya
merasa sedih dan menyesal. Ah, kalau saja Heng San berdiri di pihaknya. Kalau saja
pemuda itu seorang pendekar yang berjiwa patriot. Alangkah bahagianya menyerahkan
nasib dirinya kepada seorang pemuda seperti ini.
Ketika itu dari dalam rimba muncul lima orang yang bersenjata pedang dan golok. Mereka
segera mengeroyok Heng San yang masih mendesak dua orang lawannya.
"Hong Lian, kenapa engkau berpeluk tangan saja dan tidak membantu kami?" Tosu itu
menegur melihat Hong Lian masih tidak bergerak, hanya memandang seperti orang
kehabisan akal.
Hong Lian tersentak kaget seperti baru sadar dari mimpi. Ia lalu mencabut pedangnya dan
menyerang Heng San dengan gerakan cepat dan kuat. Heng San mengelak dan dia
menjadi bersedih. Kalau hanya dikeroyok pengemis dan tosu itu ditambah lima orang
muda yang tidak berapa tinggi kepandaiannya, dia masih dapat melayani mereka dengan
mudah. Akan tetapi kini Hong Lian maju mengeroyoknya dan hal ini membuat dia sedih
dan juga. marah sekali kepada kawan-kawan Hong Lian itu.
Dengan gesit Ia melompat ke sana sini dan kedua tangan kakinya bergerak cepat
sehingga dalam waktu cepat dua orang muda yang mengeroyoknya telah dapat dia
robohkan. Melihat ketangguhan pemuda itu, si pengemis aneh mengeluarkan seruan yang
merupakan isarat bagi para temannya untuk berkumpul di satu jurusan saja sambi!
mengeluarkan senjata rahasia masing-masing. Pertama-tama, tiga orang muda dan Hong
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 70
Lian menyerang dengan senjata rahasia piauw dan pelor besi. Semua senjata rahasia itu
meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh Heng San. Pemuda itu cepat melompat
ke atas, tinggi sekali sehingga semua senjata rahasia itu meluncur lewat di bawah
kakinya. Akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, tiga sinar putih menyambar ke arah
tububnya. ltulah gin-piauw (piauw perak) yang dilepas oleh Ang Jit Tojin dengan kuat
sekali. Pada saat itu tubuh Heng San berada di udara. Dia cepat mengerahkan gin-kang
dan tubuhnya membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali di udara dan dengan cara ini dia
berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga batang gin-piauw itu. Baru saja kedua
kakinya menginjak tanah, ada lagi tiga batang gin-piauw menyambar. Sebuah menyambar
ke arah lehernya, sebuah lagi menyambar ke arah ulu hati dan yang ketiga menyambar ke
arah kaki. Heng San tidak mempunyai waktu untuk mengelak dari semua sambaran piauw
itu. Dia menggunakan kaki kiri menendang piauw yang menyerang kaki, menggunakan
tangan menyampok terpental piauw yang menyerang dada, lalu miringkan kepala untuk
mengelak dari piauw yang mengarah leher.
Gerakan pemuda itu sungguh hebat, indah dan luar biasa sehingga mau tidak mau semua
lawannya memuji. Akan tetapi pujian yang dikeluarkan dengan suara keras itu membuat
Heng San menjadi lengah dan tahu-tahu piauw ke empat meluncur dan biarpun Heng San
sudah mencoba untuk miringkan tubuhnya, tetap saja piauw itu menancap di pundak
kanannya! Heng San mengaduh dan sambil menggertak giginya dia mencabut piauw itu.
Darah mengucur dari pundaknya.
Pada saat itu terdengar suara mengaum nyaring dan tahu-tahu sebuah huito (pisau
terbang) telah dilontarkan pengemis aneh dan hui-to itu menyambar ke arah tubuh Heng
San, disusul oleh hul-to ke dua dan ke tiga!
Karena terluka oleh piauw Ang Jit Tosu, Heng San menjadi marah sekali. Sekarang ada
tiga batang hui-to yang menyambar ke arahnya. Dia menyambitkan piauw yang tadi
dicabut dari pundaknya, menyambitkan piauw itu sehingga pisau terbang pertama terpukul
runtuh ke atas tanah. Hui-to ke dua menyambar dan Heng San meloncat ke atas,
kemudian sambil melayang turun dia menendang hui-to ke tiga sehingga hui-to itu
mencelat dan terbang ke lain jurusan dengan cepat sekali. Terdengar pekik nyaring ketika
hui-to yang tertendang itu menyambar dan disusul robohnya tubuh Hong Lian. Hui-to tadi
menancap di dada gadis itu.
Jilid 9
Kiranya ketika Hong Lian melihat Heng San terluka oleh gin-piauw hatinya merasa kasihan
dan ia tidak bergerak dan tidak lagi ikut mengeroyok, hanya memandang dengan gelisah.
Darah yang semakin banyak ke luar dari pundak Heng San, membasahi pakaiannya itu
amat mengharukan hati Hong Lian sehingga ketika tiba-tiba hui-to yang tertendang oleh
Heng San itu menyambar ke arahnya, ia tidak sempat mengelak dan tanpa dapat dicegah
lagi hui-to yang tajam runcing itu menancap di dadanya sampai dalam!
Melihat peristiwa yang tidak disangka-sangkanya ini, Heng San menjerit keras dan dia
melompat dan menubruk tubuh gadis itu. Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi,
mengangkat kepala gadis itu ke pangkuannya dan berulang-ulang memanggil.
"Hong Lian.....! Hong Lian....." akan tetapi tubuh gadis itu terkulai lemas dalam
rangkulannya. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu terbuka dan melihat Heng San
memeluknya, ia tersenyum lemah.
"Hong Lian....!"
Gadis itu menggerak-gerakkan bibirnya akan tetapi yang keluar hanya suara bisikan
lemah. Melihat ini Heng San mendekapnya dan mendekatkan telinganya pada mulut gadis
itu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 71
"Hong Liang, engkau hendak memesan apakah? Katakan padaku, tentu akan
kulaksanakan permintaanmu....."
"Kau.... engkau harus bebaskan ayahku...." sehabis berkata demikian, gadis itu terkulai
dan tak bernapas lagi, menghembuskan napas terakhir di pangkuan Heng San.
Heng San ingin menjerit, ingin menangis, ingin mengamuk. Dia menganggap kematian
gadis itu adalah kesalahan orang-orang yang sekarang mengepungnya. Para
pemberontak jahat ini telah menyesatkan Hong Lian dan kini gadis itu menjadi korban,
mati dalam keadaan menyedihkan. Mati di bawah tikaman senjata pemimpin mereka
sendiri, digerakkan oleh tendangannya, mati dalam tangannya, padahal dia amat
mencintai Hong Lian. Dan ini semua gara-gara para pemberontak itu. Ini semua gara-gara
tosu jahanam dan pengemis gila itu! Heng San mengangkat kepala dan memang ke kanan
kiri dengan sinar mata nyeramkan.
Kawan-kawan Hong Lian melihat betapa serangan mereka malah menewas gadis itu, dan
melihat betapa pemuda yang menjadi lawan mereka itu menubruk dan menangisi mayat
Hong Lian menjadi terheran-heran, kesima dan tidak mampu bergerak. Kini, melihat
pemuda bangkit berdiri dengan sikap dan pandangan mata liar mengerikan, mereka siap
dengan jantung berdebar tegang. Wajah Heng San saat itu seperti wajah seekor harimau
terluka yang sudah nekat dan haus darah.
"Kalian telah membunuhnya! Kalian orang-orang jahat telah menyeretnya ke jurang maut.
Kalian harus membayar untuk itu!" teriaknya, dengan suara parau, mengandung tangis,
menyeramkan seperti suara iblis yang penuh dendam.
Setelah mengeluarkan kata-kata itu dengan suara yang menyeramkan, Heng San lalu
meloncat ke depan menubruk orang yang terdekat. Seorang yang bersenjata golok
terpegang olehnya. Heng San menotok pemuda itu sehingga tidak mampu bergerak, lalu
memegang kedua kakinya dan memutar-mutar tubuh itu, dipergunakan sebagai senjata
dan menyerang semua orang yang mengepungnya.
Melihat pengamukan Heng San yang seperti kesetanan itu, bahkan Ang Jit Tojin dan
pengemis aneh itu menjadi gentar juga dan mereka melangkah mundur. Dua orang
pemuda lain yang mencoba untuk menyerang, dalam beberapa detik saja sudah terkena
tendangan kaki Heng San dan terpukul tubuh kawan sendiri sehingga roboh dan tidak
mampu bangkit kembali. Melihat pemuda yang dijadikan senjata itu telah menjadi mayat
pula dengan kepala pecah, Heng San melemparkan mayat itu dan mengamuk dengan
kedua tangan kakinya. Ang Jit Tojin dan pengemis aneh itu lalu menghujani Heng San
dengan senjata rahasia mereka. Dua orang itu memang ahli melempar senjata rahasia.
Heng San harus bersikap hati-hati dan mempergunakan kegesitan gerakan tubuhnya
untuk mengelak ke sana sini.
Dua orang lawan yang sudah merasa jerih itu mempergunakan kesempatan ini melarikan
diri ke dalam hutan.
"Jangan lari" Heng San membentak mengejar. "Ke manapun kalian pergi sebelum aku
dapat membunuh kalian, jangan harap dapat lolos dari tanganku !" Dengan cepat sekali
dia mengejar dan karena ilmunya berlari cepat memang luar biasa, sebentar saja dia
dapat menyusul si pengernis Tan Kok yang lebih lemah gin-kangnya. Dia menyerang
pengemis itu dengan dahsyat dan Tan Kok melawan dengan tongkatnya. Melihat ini Ang
Jit Tojin juga berlari kembali untuk membanntu kawannya. Biarpun dikeroyok orang yang
merupakan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya,
tetap saja Heng San dapat mendesak mereka. Tingkat ilmu silat tangan kosong Heng San
memang sudah hebat sekali bukan hal berlebihan kalau Liok-tai-jin memberi julukan Sinkun
Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding) kepadanya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 72
Setelah bertempur selama puluhan jurus, tiba-tiba Heng San yang sudah mendesak kedua
orang lawannya itu mendapatkan peluang baik. Sambaran lengan baju Ang Jit Tojin dapat
dia tangkap dengan tangan kanan, sedangkan dia menggunakan tangan kiri untuk
menghantam ke arah leher si pengemis Tan Kok dengan tangan miring. Pada saat itu,
tongkat pengemis itupun menyambar ke arah dadanya. Namun Heng San tidak perduli
akan serangan pada dadanya itu. Dia memang bertekad untuk mengadu nyawa dan
membiarkan dadanya menyambut pukulan tongkat itu.
"Prakkk.... bukkkl" Dua pukulan itu hampir berbareng mengenai sasaran. Akan tetapi kalau
pukulan tangan kiri Heng San membuat tulang leher Tan Kok patah dan pengemis itu
roboh dan tewas seketika, sebaliknya pukulan tongkat pengemis itu yang mengenai dada
Heng San yang amat kokoh kuat hanya mendatangkan rasa nyeri dan luka yang tidak
berbahaya. Walaupun demikian, karena dia terluka dalam, dia merasa dadanya panas lalu
muntahkan darah segar.
Melihat kawannya tewas dan tahu bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi lawan,
Ang Jit Tojin lalu melompat dan melarikan diri. Heng San mengejar terus. Sebenarnya,
walaupun ilmu berlari cepat tosu itu lebih tinggi dari ilmu berlari cepat si pengemis aneh,
namun masih belum dapat menandingi kecepatan lari Heng San. Sekarang, dalam
keadaan terluka oleh hantaman tongkat Tan Kok tadi, hal ini tentu saja mengurangi
kecepatan lari Heng San, maka kecepatan mereka menjadi berimbang dan sampai lama
jarak antara mereka tetap. tak berubah. Setelah berlari beberapa li jauhnya, tibalah Ang Jit
Tojin di depan sebuah kelenteng (kuil) tua yang berdiri di kaki sebuah bukit. Tosu itu lalu
melompat memasuki kuil itu dan lenyap.
Heng San berhenti, berdiri di depan pintu kuil dan berteriak-teriak.
"Tosu siluman! Keluarlah engkau untuk terima binasa. Jangan engkau mengotorkan
tempat ibadah suci ini dengan darahmu yang kotor! Hayo keluar, atau aku akan
menyeretmu ke luar!" Heng San terengah-engah dan merasa dadanya panas dan nyeri.
Karena tidak mendengar tosu Itu menjawab dan tidak melihat dia ke luar, Heng San
menjadi marah sekali. Dia melompat maju, menendang daun pintu kuil sehingga terdengar
suara gaduh. Pintu terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan dan pecahannya terbang
ke sana-sini.
"Tosu siluman, engkau hendak lari ke mana?" bentaknya sambil melompat ke belakang
untuk menjaga kalau-kalau diserang senjata rahasia yang ampuh dari tosu itu.
Tiba-tiba sesosok tubuh tua tampak keluar dari daun pintu yang sudah pecah ambrol itu.
Seorang kakek tua renta berpakaian pengemis yang melangkah perlahan lalu berdiri di
depan pintu, berhadapan dengan Heng San dalam jarak empat meter. Heng San
memandang wajah kakek itu dan dia membelalak-belalakkan kedua matanya, lalu
menggunakan punggung kedua tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya. Dia
tak percaya akan apa yang dilihatnya mengira bahwa itu adalah akibat luka dalam
dadanya. Setelah menggosok-gosok kedua matanya, dia kembali memandanng penuh
perhatian. Seorang kakek pengemis yang tua sekali dan wajah..., wajah itu, tubuh yang
kurus kering itu, pakaian tambal-tambalan itu....! Kakek pengemis dengan sepasang mata
mencorong marah. Dan dia melihat lawannya tadi berada di belakang si kakek dengan
sikap tegang dan jerih. Dan belakang tosu itu muncul pula lima orang yang kesemuanya
tampak gagah perkasa yang sikapnya keren dan penuh semangat. Heng San merasa
betapa matanya berkunang dan seluruh tubuhnya lemas. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan kakek pengemis tua renta itu.
"Suhu.......!" suaranya yang dalam keadaan biasa pasti akan terdengar gembira dan girang
itu kini terdengar penuh keraguan melihat betapa Pat-jiu Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan
Delapan), yaitu gurunya sendiri, kini memandang marah dan betapa Ang Jit Tojin ternyata
bersahabat dengan gurunya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 73
"Heng San sudah gilakah engkau?" Pat-jiiu Sin-kai menegur dengan suara yang terdengar
lebih sedih dari pada marah,
"Suhu, kalau teecu bersalah, silahkan suhu menghukum teecu. Akan tetapi,
sesungguhnya teecu tidak mengerti apa kesalahan teecu sehingga suhu menjadi marah
kepada teecu."
"Hemm, murid durhaka! tahukah engkau siapa orang-orang yang kau bunuh itu? Tahukah
engkau, siapa Ma Giok yang kau tawan itu?"
Heng San memandang wajah suhunya dan melihat sepasang mata suhunya masih
memancarkan sinar kemarahan, dia menunduk kembali dan menjawab dengan suara
tetap walaupun dibayangi keraguan.
Orang-orang yang teecu basmi itu adalah pemberontak-pemberontak jahat yang
melakukan kekacauan dan merampok rakyat. Ma Giok adalah seorang pemimpin
gerombolan perampok, seorang penjahat berbahaya, suhu." Kemudian, setelah berhenti
sebentar dia menambahkan dengan cepat "dan juga dia seorang ayah yang jahat yang
menyeret puterinya sendiri ke dalam jurang kejahatan!"
Pat-jiu Sin-kai memandangnya dengan mata melotot, akan tetapi dia menahan
perasaannya dan bertanya "Dan tahukah kau siapa Ngo-jiauw-eng yang kau bunuh tadi?"
"Ngo-jiauw-eng (Garuda Kuku Lima)? Suhu maksudkan pengemis aneh tadi? Ah, dia
orang yang jahat pula. Dia menggunakan kepandaiannya untuk menjadi penjahat dan dia
merupakan pemimpin gerombolan pengacau itu."
Wajah pengemis tua itu menjadi merah sekali, dadanya serasa hampir meledak saking
marahnya dan terasa amat nyeri seperti ditusuk di bagian kiri dadanya. Dia maklum bahwa
tekanan perasaan yang amat berat ini membuat penyakitnya kambuh kembali dan
jantungnya terserang hebat. Akan tetapi dia masih menekan perasaan hatinya dan
bertanya "Dan tahukah engkau, hai anak durhaka, hai murid murtad, siapakah Thiociangkun
yang kaubela itu?"
Terkejutlah Heng San mendengar gurunya mencaci maki dengan marahnya. Dia
memandang gurunya dan merasa semakin heran melihat gurunya memandang
kepadanya dengan marah, wajahnya merah dan tangannya menekan dadanya yang
sebelah kiri. Dia menjawab dengan bibir gemetar dan suara meragu.
"Thio-ciangkun.... adalah seorang pembesar yang.... bijaksana.... seorang yang
mengutamakan keadilan yang membela dan menjaga keamanan rakyat yang membasmi
para penjahat...."
"Cukup! Tutup mulutmu yang kotor, engkau..... engkau manusia rendah budi Engkau......
tidak saja melumuri muka gurumu dengan kotoran, akan tetapi engkau bahkan
mengkhianati orang tuamu sendiri, engkau juga mengkhianati bangsa sendiri.....
engkau..... engkau...... terkutuk!"
Pat-jiu Sin-kai terhuyung-huyung kearah Heng San dengan kedua tangan terkepal,
sikapnya hendak menyerang tangan kanan terkepal dan tangan kiri menekan dada. Akan
tetapi sebelum dia memukulkan tangannya ke arah kepala Heng San, jantungnya yang
terserang tekanan hebat itu tidak kuat lagi sehingga ia menyemburkan darah dari mulut,
roboh terpelanting.
Heng San melompat dan memeluk tubuh suhunya, tidak peduli betapa darah dari mulut
gurunya yang memancar itu membasahi seluruh pakaiannya, bahkan mukanya juga
terkena darah. Dia memeluk gurunya dan meratap-ratap.
"Suhu....., suhu..... ampunkan teecu,..... bunuhlah teecu kalau teecu bersalah ….., tapi
jangan ….. jangan menyiksa diri begini ….. suhu, ….. ampuuun ….. suhu ….. !" Kini San
benar-benar menangis seperti anak kecil. Dia memondong suhunya yang kurus dan ringan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 74
itu, membawanya lari ke sana sini seperti orang kehilangan akal dan memanggil-manggil
suhunya, akan tetapi si pengemis sakti telah mati.
Akhirnya Heng San mengetahui akan kenyataan ini. Dia meletakkan mayat gurunya di
atas tanah, lalu berlutut di dekat mayat suhunya, menangis sambil memukuli kepalanya
sendiri. Kemudian dia merangkak menghampiri Ang Jit Tosu dan orang-orang gagah
lainnya yang berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata dingin dan marah.
"Cu-wi (anda sekalian), kalau aku bersalah, mengapa diam saja? Aku, Lauw Heng San,
kalau dianggap bersalah, katakanlah apa kesalahanku itu! Kalau kalian tidak mau
mengatakan, nah, inilah aku. Bunuhlah, aku tidak akan melawan. Tapi sedikitnya, jelaskan
dulu mengapa suhu begitu marah kepadaku agar aku tidak mati penasaran."
Seorang gagah.yang tinggi besar mencabut goloknya hendak ditimpakan ke leher Heng
San yang sudah mandah saja dan tidak ingin mengelak atau menangkis. Akan tetapi Ang
Jit Tojin cepat mencegah.
“Bersabarlah, Cui-enghiong (pendekar Cui). Agaknya anak ini benar-benar telah tertipu.
Biarlah aku menceritakan dulu semua hal yang agaknya masih gelap baginya."
Mendengar ini, Heng San seger a berlutut di depan Ang Jit Tojin. "Sikap totiang (bapak
pendeta) ini saja sudah membuat aku orang she Lauw merasa berterima kasih sekali dan
untuk kesalahanku yang sudah-sudah nanti totiang boleh membalas sesuka hatimu!".
Ang Jit Tojin mengangkat bangun Heng San. "Berdirilah dan dengarkan kata-kataku agar
engkau mengerti duduknya persoalan."
Heng San lalu bangkit dan dengan mata masih mengalirkan air mata dia mengusap:;
dengan punggung tangan dan mendengarkan dengan muka ditundukkan.
"Ketahuilah, Lauw Heng San. Ma Giok yang sekarang menjadi tawanan Thio-ciangkun itu
sebenarnya adalah seorang bekas panglima dari pasukan Gouw Sam Kwie, jenderal yang
dengan gigih sampai detik terakhir melawan dan menentang pasukan penjajah Mancu.
Biarpun pasukan Jenderal Gouw Sam Kwie telah mengalami kekalahan, namun dalam
hati Ma Giok masih menyala api patriot yang tidak rela melihat bangsa Mancu menguasai
Cina dan memeras rakyatnya. Ma Giok sama sekali bukan pemirripin gerombolan seperti
yang kau sangka. Sebaliknya dia adalah seorang pemimpin segolongan pendekar
pembela bangsa dan tanah air yang gagah perkasa dan berani mengorbankan dirinya
demi membela bangsanya. Ma Giok menjadi buruan pemerintah penjajah Mancu dan dia
melarikan diri ke selatan dan dia berhasil menggerakkan orang-orang gagah, para
pendekar, untuk bersatu melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi usahanya itu
mengalami banyak kegagalan karena di antara para pendekar terdapat banyak
pengkhianat yang pro pemerintah Mancu. Mereka ini sebetulnya juga orang-orang Han
yang tadinya adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi karena
pemerintah Mancu mempunyai banyak penasihat yang cerdik pandai, maka banyak orang
gagah yang terpengaruh oleh harta benda dan wanita cantik, mau saja menjadi kaki
tangan pemerintah penjajah Mancu, tidak sadar bahwa mereka tertipu."
Mendengar ini Heng San mengerutkah alisnya, teringat akan pengalamannya sendiri.
Apakah dia termasuk orang yang tertipu karena pengaruh harta dan wanita? Apakah
isterinya, Kui Siang, juga merupakan umpan baginya?
"Para pembesar Mancu itu amat cerdik. Mereka menggunakan harta" kedudukan tinggi,
atau wanita cantik untuk memikat hati para pendekar sehingga mereka tunduk dan dapat
diajak bekerja sama tanpa menyadari bahwa mereka dijadikan antek penjajah untuk
menindas bangsa sendiri. Karena inilah maka usaha Ma Giok banyak mengalami
kegagalan. Dengan hati pedih Ma Giok lalu melarikan diri lagi dari pengejaran antek-antek
Mancu. Dia lari bersama puteri tunggalnya, yaitu Ma Hong Lian, merantau sambil tiada
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 75
hentinya melanjutkan perjuangannya. Dia mengumpulkan orang-orang gagah di mana
saja untuk membasmi para pembesar kaki tangan kaisar yang menindas rakyat."
Heng San teringat kepada Hong Lian yang sudah tewas. "Ahh, Hong Lian … " dia
menengok ke arah mayat gadis itu yang dia tinggalkan tadi.
"Jenazahnya sudah kami urus," kata Ang Jit Tojin. Heng San melihat betapa jenazah
gurunya juga sudah diangkat ke dalam kuil oleh beberapa orang gagah.
"Usaha Ma Giok dan puterinya mendatangkan banyak orang gagah yang tadinya tidak
acuh, kini timbul dan bangkit kembali semangat mereka. Di antara mereka adalah pin-to
(aku) sendiri, dan kawan-kawanku. Bahkan Pat-jiu Sinkai juga tergerak hatinya dan
mendukung. Akan tetapi karena dia sendiri sudah sakit-sakitan, dia mencari suhengnya
yang ternyata sudah menjadi pertapa di atas puncak bukit dan tidak mau mencampuri
urusan dunia. Maka dia hanya dapat mengajak murid keponakannya, yaitu Ngo-jiauw-eng
Tan Kok untuk ikut berjuang dan Tan Kok adalah pengemis aneh yang tewas di
tanganmu."
Mendengar cerita ini, Heng San menutupi mukanya dengan tangan dan dia menangis
penuh penyesalan. Jadi Tan Kok si pengemis aneh itu adalah suhengnya (kakak
seperguruannya) sendiri karena gurunya adalah paman guru Ngojiauw-eng Tan Kok. Dia
teringat bahwa suhunya, Pat-jiu Sin-kai telah lama berusaha mendapatkan seorang murid
untuk dijadikan wakilnya dalam perjuangan yang dimaksud ini karena pengemis sakti itu
sering terserang penyakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua dan tidak kuat lagi. Dan
setelah mendapatkan dirinya sebagai murid, kini dia malah memusuhi kawan-kawan
seperjuang gurunya, bahkan "Pin-to sendiri adalah seorang sahabat lama Pat-jiu Sin-kai,
maka ketika dia datang kepada pin-to minta bantuan, segera pin-to meluluskan
permintaannya dengan senang hati. Pin-to berangkat lebih dulu ke Keng-koan untuk
menyusul Ngo-jiauw-eng yang sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Ma-enghiong
dan puterinya. Adapun Pat-jiu Sin-kai sendiri hendak pergi ke Ciong-yang untuk
mengumpulkan beberapa orang kawan lagi." Heng San mendengarkan cerita itu dengan
mata basah dan kini mulailah dia mengerti bahwa dia telah salah sangka, dia telah tertipu
oleh ayah mertuanya dan para pembantu Thio-ciangkun.
"Sebagai tempat pertemuan telah ditetapkan di sini dan ternyata hari ini Pat-jiu Sin-kai
telah dapat mengumpulkan beberapa kawan yang cukup kuat." Ang Jit Tojin menunjuk
kelima orang gagah yang berada di situ. "Mereka ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima
pendekar besar dari Ciong-yang) yang terkenal dengan kepandaian mereka yang tinggi."
Heng San pernah mendengar nama itu sering dipuji-puji gurunya sebagai pendekarpendekar
besar di jaman ini. Kemudian dia berkata kepada Ang Jit Tojin dengan hati
penuh penyesalan.
"Teecu memang sudah pantas menerima binasa! Akan tetapi sebelum cuwi turun tangan
membebaskan teecu dari tubuh yang kotor berlumur darah kawan-kawan ini, teecu mohon
sedikit keterangan tentang Thio-ciangkun dan para pembantunya. Thio-ciangkun bukan
saja telah menjadi atasan teecu, bahkan menjadi ayah mertua teecu …..!"
"Bersiaplah untuk mendengar kenyataan yang amat pahit ini; Lauw Heng San. Kami
sudah mengetahui bahwa engkau telah menjadi mantu Thio-dangkun dan bahwa isterimu
telah mengandung. Engkau mau tahu siapa itu Thio-Ciangkun? Ketahuilah, engkau orang
muda yang terlaIu bodoh sehingga dapat tertipu olehnya. Dia adalah srigala yang berujud
manusia, terkenal karena kecerdikan dan kekejamannya. Dia berkuasa besar sekali dan
mempunyai pengaruh yang amat besar di istana Kaisar Mancu. Dialah tukang membasmi
para patriot yang gagah perkasa. Dia pula yang membunuh banyak ahli-ahli sastra yang
pandai karena mereka menggerakkan semangat rakyat dan membangun jiwa patriot para
orang gagah. Entah sudah berapa banyak orang "gagah”, pendekar.. pendekar sejati,
pahlawan-pahlawan bangsa, tewas di tangannya yang berlumur darah. Thio-ciangkun
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 76
yang kau junjung tinggi, yang menjadi ayah mertuamu itu bukan -lain adalah tangan kanan
Kaisar Mancu dan dia itulah yang sebenarnya menindas rakyat. Thio-ciangkun itu bukan
lain adalah seorang pangeran Mancu yang menyamar sebagai bangsa Han sehingga dia
dapat mengelabui banyak orang gagah menjadi pengkhianat bangsa. Dan tahukah
engkau, Lauw Heng San, bahwa isterimu itu, Kui Siang, bukan bermarga Thio melainkan
bermarga Bu?"
Heng San mengangguk. "Isteri teecu sudah mengatakan bahwa ia adalah anak tiri Thiociangkun."
"Hemm, dan tahukah engkau bagaimana ia menjadi anak tiri pangeran jahanam itu dan
siapakah ayah kandungnya?"
Heng San menggeleng kepala. "Ayah kandung Bu Kui Siang bernama Bu Kiat, seorang
panglima gagah perkasa dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi. Panglima Bu Kiat
tewas dalam pertempuran. Isteri dan anaknya yang baru berusia dua tahun menjadi
tawanan. Karena kecantikannya, maka Thio Ci Gan alias Pangeran Mancu itu
mengambilnya sebagai selir. Nyonya Bu terpaksa tunduk demi menyelamatkan anak
perempuannya, yaitu Bu Kui Siang."
Heng San mendengarkan dengan heran dan penasaran, menyesali kebodohannya sendiri.
Teringatlah dia akan peristiwa malam itu ketika dia seperti mabok dan terjadilah hubungan
intim antara dia dan Kui Siang. Tidak mungkin, pikirnya. Dia bukan laki-laki yang demikian
lemah sehingga lupa diri oleh nafsu berahi. Ini pasti ada sebabnya! Kalau Kui Siang
dijadikan umpan, berarti tentu ada sesuatu dalam minumannya, yang membuat dia iupa
diri. Ah, kasihan Kui Siang!
"Tentu engkau juga belum mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi
pembantunya, yang kau anggap sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa itu" tanya
pula Ang Jit Tojin.
"Sepanjang penglihatan mata teecu yang hampir buta ini, para pembantu itu adalah orangorang
yang gagah perkasa, kecuali seorang hwesio yang baru datang dari kota raja
mengiringkan beberapa puluh perajurit bala bantuan."
"Hemm, jadi si iblis itu juga sudah datang?" Ang Jit Tojin berseru.
"Harap to-heng jangan khawatir. Kalau baru Lui Im Hosiang saja, kami masih sanggup
melawannya." kata seorang di antara Ciong-yang Ngo-taihiap.
"Sekarang bersedialah untuk mendengarkan ceritaku yang terakhir" kata Ang Jit Tojin
kepada Heng San dengan wajah keren "Teecu sudah cukup mendengar dan teecu sudah
cukup mengetahui akan kebodohan teecu sendiri. Sekarang teecu hanya menyerahkan
jiwa raga ke tangan cu-wi. Terserah, mau disiksa, mau dibunuh, teecu tidak akan
melawan. Agaknya tidak ada hal lain yang lebih buruk daripada apa yang telah teecu
lakukan. Membunuh suheng sendiri, membunuhi orang-orang gagah pembela bangsa,
membunuh ….. Hong Lian yang berjiwa patriot, menawan ayahnya yang ternyata seorang
pendekar besar, kemudian ….. membunuh suhu sendiri. Ya! Suhu terbunuh oleh teecu!
Ada apalagi yang jahat daripada itu? Teecu sudah selayaknya menerima binasa. Hanya
satu …… kalau boleh teecu minta …… mohon diselamatkan isteri teecu Bu Kui Siang dan
anak dalam kandungannya, kalau bukan demi teecu, ya demi mendiang ayahnya yang
patriot sejati ….." Sekali lagi air mata bercucuran dari kedua mata pemuda malang itu.
"Karena dosamu memang besar sekali, Lauw Heng San, maka biarlah kuceritakan hal ini
padamu agar tampak jelas olehmu betapa tolol dan tersesat sikapmu selama ini. Tahukah
engkau bahwa selama ini engkau telah membela dan membantu musuh-musuh besarmu
sendiri? Musuh besar yang seharusnya kau basmi untuk membalaskan dendam sakit hati
ayah-ibumu?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 77
Heng San terkejut dan memandang wajah pendeta itu dengan muka pucat sekali. Apa
maksud to-tiang? Ada apa dengan ayah ibuku? Bukankah mereka masih berada di Linhan-
koan?
Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepala dan bayangan pada wajah pendeta itu membuat
Heng San menggigil.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
Dia berteriak. "Katakan ….. demi Tuhan katakanlah ….."
"Tenanglah engkau, orang mudaI" seorang di antara lima. orang gagah itu menegur.
Ang Jit Tojin berkata lirih. "Orang tuamu ….. ayah ibumu ….. telah mati terbunuh ….. "
Heng San merasa seakan-akan nyawanya melayang. Tiba-tiba tubuhnya menerima
pukulan yang luar biasa hebatnya sehingga dadanya yang menderita luka dalam terasa
nyeri bukan main. Dia meloneat ke depan dan menggunakan tangannya untuk
mencengkeram ujung baju pendeta itu. Kedua matanya melotot besar dan wajahnya
menyeramkan, kedua lututnya menggigil. Demikian kuat ia mencengkeram sehingga ujung
kedua lengan baju itu hancur lebur bagaikan kertas tipis saja.
"Tolong ….. tolong katakan siapa pembunuh ayah ibuku?"
Datanglah pukulan terakir yang merupakan hukuman hebat bagi Heng San, keluar dari
mulut Ang Jit Tojin. "Siapa lagi? Siapa lagi pembunuh mereka kalau bukan orang yang
kaupuji-puji, kau junjung tinggi, kau bela dan kausembah itu? Pembunuhnya bukan lain
adalah Thio-ciangkun dan kaki tanganya”
Untuk sejenak Heng San bagaikan berubah menjadi mayat atau patung hidup. Tubuhnya
menjadi kaku dan diam tak bergerak, hanya kedua matanya yang bergerak-gerak
memandang kepada Ang Jit Tojin dan pindah kepada kelima orang pendekar dari Ciongyang
itu. Kemudian, tiba-tiba ia memekik keras dan dari mulutnya tersembur darah merah.
Dia terhuyung-huyung lalu jatuh pingsan di depan kaki Ang Jit Tojin.
Ketika dia sadar kembali, Heng San mendapatkan dirinya telah berbaring di atas sebuah
pembaringan dalam sebuah kamar. Dia merasa dadanya hangat dan ketika dia meraba,
ternyata dadanya telah ditempeli obat ko-yo (obat tempeI) yang hitam dan hangat. Ketika
dia mengerling, dia melihat lain tubuh membujur di atas sebuah pembaringan kayu dan
ketika dia memperhatikan, ternyata itu adalah jenazah suhunya. Dia melompat bangun,
tidak memperdulikan dadanya yang terasa sakit, lalu dia menubruk dan memeluki jenazah
suhunya sambi! menangis.
Ang Jit Tojin berlari masuk dan menegurnya. "Hemm, bagus! Engkau benar-benar
seorang jantan! Tadinya tertipu dan menjadi pengkhianat bangsa, kini hanya menangis
seperti seorang perempuan cengeng! Ah, sungguh mengecewakan sekali mempunyai
murid seperti engkau ini Kasihan sekali sahabatku Pat-jiu Sinkai mempunyai murid bodoh
dan lemah"
"Totiang, kenapa aku tidak dibunuh? Kenapa aku malah diobati? Siapa yang melakukan
ini?"
Pendeta itu menghela napas panjang. "Pin-to memang berhati lemah. Tidak tega
membunuh orang yang sedang terluka dan pingsan. Bagaimanapun juga, engkau tersesat
karena tertipu. Pula, kami membutuhkan tenaga-tenaga yang kuat dan engkau tentu suka
membantu kami melanjutkan perjuangan gurumu membasmi para durjana antek penjajah
itu, untuk membalaskan sakit hati orang tuamu, untuk membalaskan sakit hati gurumu
Ataukah engkau begitu pengecut sehingga tidak berani menentang jahanam she Thio dan
para jagoannya?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 78
"Cukup …... !!" Heng San membentak, tubuhnya menggigil dan dia tidak memperdulikan
lagi sopan santun saking marahnya. "Kau kira aku ini seorang manusia yang berhati
binatang dan sedemikian rendahnya? Lihat, akan kubuktikan kejantananku! Akan
kuperlihatkan kepadamu bahwa tidak percuma suhu mengambil aku sebagai muridnya.
Akan kuperlihatkan kepada ayah bundaku bahwa mereka tidak percuma. mempunyai anak
seperti aku! Lihat, sebelum jenazah suhu menjadi dingin, sebelum kedua mata, suhu
tertutup tanah, akan ada banjir darah di gedung Thio-ciangkun Lihat dan dengarlah saja!".
Sebelum Ang Jit Tojin dapat menjawab, Heng San sudah melompat keluar dari kuil dan
berlari cepat sekali. Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepalanya dan berkata perlahan,
"Kasihan anak itu”
Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu
pemuda itu. telah berdiri di depannya. Wajah pemuda itu sudah berubah, bukan wajah
orang biasa lagi, lebih pantas disebut wajah orang gila, atau mayat hidup, atau setan!
"Eh, mengapa engkau kembali lagi?" tanya Ang Jit Tojin heran.
"Satu pertanyaan lagi, totiang. Mengapa mereka membunuh orang tuaku, pedagang obat
yang tidak berdosa?"
"Pedagang tidak berdosa? Ah, di mata srigala tidak ada orang berdosa atau tidak berdosa.
Yang penting baginya orang itu mencurigakan atau tidak. Mata srigala itu penuh bayangan
para patriot. Suhumu, Pat-jiu Sin-kai, telah lama masuk daftar hitam orang-orang yang
harus diburu dan dibunuh. Ketika para penyelidiknya mengetahui bahwa Pat-jiu Sin kai
berhubungan baik dengan orang tuamu, maka orang tuamu juga masuk daftar hitam dan
harus dibasmi semua."
"Terima kasih, totiang!" Sekali lagi Heng San berkelebat dan menghilang keluar kuil. Ang
Jit Tojin segera pergi ke belakang menemui Ciong-yang Ngotaihiap, menceritakan bahwa
Heng San telah berlari keluar dan hendak membuat banjir darah di rumah Thio-ciangkun.
Seorang di antara lima pendekar itu berkata, "Memang tiada jalan lain bagiriya untuk
menebus dosa. Akan tetapi kita harus dapat menggunakan saat, dan kesempatan baik ini.
Lauw Heng San seorang yang kuat dan tinggi ilmu silatnya. Mari kita mengejarnya dan
bersama-sama menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan kekuatan pangeran
Mancu yang menyamar sebagai orang she Thio dan kaki tangannya itu dan yang
terpenting; membebaskan Ma-enghiong."
Demikianlah, merekaberenam mengadakanperundingan, memerintahkan para anak buah
untuk mengurus jenazah Patjiu Sin-kai, Ma Hong Lian, dan murid lain. Setelah itu mereka
berenam bergegas mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar Heng San menuju ke
kota Keng-koan.
Heng San berlari secepatnya dan tiada hentinya hati akal pikirannya menyesali semua
perbuatannya. Di dalam hatinya bernyala api besar yang seakan-akan hendak membakar
dirinya dari dalam. Api kemarahan terhadap Thio-ciangkun dan kaki tangannya. Dia dapat
menduga bahwa suhunya tentu singgah di rumah orang tuanya ketika mencari-cari kawan
seperjuangan dan karena dia menjadi orang buruan pemerintah, maka orang tuanya lalu
dicurigai dan dibunuh oleh kaki tangan Thio-ciangkun. Dan dia sudah menjadi pembantu
Thio-ciangkun, membelanya mati-matian bahkan menjadi mantunya!
Kemarahannya membuat Heng San, berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja dia sudah
tiba di kota. Tiba-tiba dia teringat kepada Liok Ham Sai, pembesar yang dulu ditolongnya
dari serangan para pejuang yang ketika itu dianggapnya perampok, lalu
memperkenalkannya kepada Thio-ciangkun. Ah, ti-koan itupun seorang kaki tangan
pemerintah penjajah Mancu, seorang Han yang menjadi pengkhianat!
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 79
Jilid 10
Pikiran ini membuat Heng San berlari menuju ke gedung Liok - tikoan. Ketika itu, matahari
telah turun ke barat dan hari telah menjadi sore. Heng San melompat ke atas genteng
gedung tikoan dan langsung turun ke ruangan belakang. Dia melihat dua orang penjaga
sedang bercakap-cakap yang menjadi kaget ketika melihat seorang pemuda yang tiba-tiba
berdiri di situ. Akan tetapi mereka segera mengenal bahwa pemuda itu adalah komandan
Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka mereka segera menyambut dengan hormat.
"Di mana Liok-tikoan?" tanya Heng San singkat.
"Beliau berada di taman. Apakah Ciang-kun hendak bertemu dengan Liok- taijin?"
Tanpa menjawab, Heng San menggerakkan kedua tangannya dan dua orang penjaga itu
terpelanting roboh pingsan seketika! Heng San berlari ke belakang dan dalam taman dia
mendapatkan Liok-tikoan sedang duduk makan angin bersama dua orang selir mudanya.
Pembesar gendut pendek itu merasa heran sekali melihat Heng San memasuki taman
tanpa memberitahu lebih dulu. Akan tetapi dia segera dapat mengenal pemuda itu dan
tersenyum. Sebelum dia dapat menegur atau menyapa, Heng San sudah melompat ke
depannya dan sekali kakinya mencuat dengan amat kuatnya ke arah lambung, terdengar
suara berdebuk dan tubuh Liok-tikoan terlempar ke udara lalu terbanting jatuh dan tewas
seketika! Kedua orang selir itu menjerit, akan tetapi Heng San menggunakan kedua
tangannya menangkap mereka dan melemparkan tubuh mereka ke dalam kolam ikan
yang berada dekat situ sehingga saking takutnya kedua orang perempuan itu sudah
pingsan sebelum tercebur ke dalam air.
Heng San memandang tubuh Liok-tikoan dengan puas, lalu ia melompat keluar taman dan
langsung berlari cepat ke gedung Thio-taijin. Dia teringat akan isterinya dan cepat menuju
ke rumahnya terlebih dulu, rumah yang tidak jauh letaknya dari gedung Thio-ciangkun.
Kui Siang menyambutnya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Baju suaminya
berlepotan darah, darah suhunya dan darahnya sendiri. Segera isteri ini memegang
lengan suaminya.
"San-ko........! Apa........ apa yang terjadi........?" Isteri ini merasa ngeri juga melihat wajah
suaminya yang tidak seperti biasanya, wajah itu pucat, kedua matanya merah dan garisgaris
wajah itu menunjukkan kemarahan besar.
"Kui Siang, isteriku, cepat engkau berkemas. Bawa perhiasan dan bekal secukupnya.
Engkau harus pergi dari sini, cepat dan jangan banyak bertanya!"
Tentu saja Kui Sing terkejut dan merasa heran sekali. Akan tetapi ia adalah seorang isteri
yang selain amat. mecinta suaminya, juga amat taat maka tanpa banyak cakap ia lalu
berkemas, membawa sedikit pakaian dan hiasan dalam sebuah buntalan kain se:mentara
itu Heng San mengambil sebuah kitab. Itu adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong
Ngo-heng Lian-hwan Kun-hoat, ilmu silat tangan Kosong yang dulu dipelajarinya dari Patjiu
Sin-kai, akan tetapi telah disempurnakannya sendiri, digubahnya menjadi ilmu silat
tangan kosong istimewa yang dia beru nama Silat Tangan Halilintar!
"Bawa kitab ini, jangan sampai hilang kelak, engkau harus menyuruh anak kita
mempelajari dan mewarisi ilmuku ini. Sekarang, cepat engkau keluar dari kota ini, pergi ke
selatan dan cari sebuah kuil di hutan ke dua, di bawah bukit Ayam. dimana ada sahabatsahabatku
yang akan menolongmu!"
"Akan tetapi..... apa artinya semua ini? Apa yang terjadi, suamiku?" kata Kui Siang sambil
menggendong buntalan itu di punggungnya setelah memasukkan kitab ke dalam buntalan.
"Jangan banyak bertanya, kelak engkau akan mengerti. Yang penting, ketahuilah, kalau
engkau berada di sini, nyawamu terancam. Nah, pergilah cepat, isteriku dan selamat
berpisah!" Dia merangkul dan mencium muka isterinya. "Aku cinta padamu, Kui Siang."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 80
"Aku..... aku...... pun cinta padamu, San-ko..... !" Wanita itu terisak dan dengan hati yang
tidak karuan rasanya, ia lalu berlari keluar, bingung sekali akan tetapi tetap ingin menaati
perintah suaminya.
Setelah merasa yakin bahwa isterinya telah pergi menyelamatkan diri dan yakin pula
bahwa Ang Jit Tojin yang dia tahu adalah seorang pendeta patriot dan pendekar dan
kawan-kawannya tentu mereka akan menolong dan melindungi isterinya. Heng San lalu
melompat keluar dan berlari ke arah gedung Thio-ciangkun. Dia langsung masuk dari pintu
depan dan yang pertama menyambutnya adalah seorang prajurit anak buahnya sendiri,
yaitu anak buah Pasukan Garuda Sakti yang malam itu bertugas jaga di gedung Thiociangkun.
"Selamat malam, Lauw-ciangkun. Ciangkun dari mana sajakah? Thio-taijin dan para
pembantunya mencari-cari sejak tadi."
"Antar aku padanya!" kata Heng San singkat sehingga anak buahnya itu memandang
heran karena sikap Heng San tidak seperti biasa, akan tetapi ia tidak berani membantah
dan segera mengantarkan Heng San ke ruangan tamu yang luas.
Setelah memasuki ruangan itu, Heng San melihat bahwa Thio-ciangkun sedang duduk
bercakap-cakap dengan Lui Tiong, Ban Hok, Auwyang Sin dan Lui Im Hosiang yang
sebetulnya adalah paman guru sendiri dari Lui Tiong. Heng San langsung melangkah,
menghampiri Thio-ciangkun.
Pembesar ini menerimanya dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut kepada
mantunya.
"Heng San, dari manakah engkau? Kami mencarimu sejak tadi untuk kami ajak
berunding."
"Jawablah dulu pertanyaanku ini, Benarkah ayah menyuruh bunuh keluarga Lauw Cin
tukang obat di dusun Lin-han-kwan?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan kurang hormat oleh mantunya ini, dan melihat
pakaian Heng San yang berlepotan darah dan wajahnya yang bengis, Thio-ciangkun
menjadi heran, akan tetapi menjawab dengan tenang karena belum timbul persangkaan
buruk atau kecurigaan dalam hatinya, hanya keheranan. "Benar, mereka adalah anggauta
pemberontak yang berbahaya, mungkin menjadi mata-mata pemberontak, anak buah Patjiu
Sin-kai yang menjadi buruan kita."
"Binatang keji! Srigala terkutuk! Mereka adalah orang tuaku. Rasakan pembalasanku!"
Dan tiba-tiba Heng San sudah menerjang ke depan dan menggu:nakan pukulannya yang
paling ampuh, dengan mengerahkan seluruh tenagarnya!
"Dukkk!!" Kiranya sebelum pukulan itu mengenai dada Thio-ciangkun, dari samping Lui Im
Hosiang telah melompat dan menangkisnya. Dua lengan tangan bertumbuk dan keduanya
terpental ke belakang.
"Hemm, aku harus bunuh dulu pendeta palsu inil" Heng San berkata lalu maju menerjang.
Lui Im Hosiang segera meyambutnya dan kedua orang itu berkelai mati-matian. Ternyata
Lui im Hosing berkepandaian sangat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi amukan
Heng San. Para jagoan lain tidak tinnggal diam terutama Lui Tiong yang memang
menaruh dendam dan merasa tidak suka kepala Heng San. Melihat Heng San sudah
bertanding melawan susioknya (paman giurunya), dia berseru nyaring.
"Bangsat rendah tak mengenal budi! sudah kusangka engkau bukan manusia baik-baik.
Hayo kawan-kawan, kepung dan tangkap dia!"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 81
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dari luar. "Pengkhianat-pengkhimat kecil,
bersiaplah untuk menerima kematian!" Enam bayangan berkelebat nasuk dan mereka itu
bukan lain adalah Ang Jit Tojin dan lima orang Pendekar besar dari Ciong-yang!
Ang Jit Tojin sudah bergebrak melawan Lui Tiong. Heng San yang sudah terbebas dari
pengeroyokan, kini tinggal menghadapi pengeroyokan Auwyang Sin dan Ban Hok yang
dibantu pula oleh lima orang perajurit pengawal. Biarpun dia dikeroyok tujuh orang, namun
sepak terjang Heng San yang marah seperti kerasukan setan itu dahsyat bukan main
sehingga Auwyang Sin dan Ban Hok mengeluarkan keringat dingin dan merasa gentar
bukan main.
Ciong-yang Ngo Tai-hiap sudah mengepung Lui Im Hosiang dan terjadilah perkelahian
yang seru. Mereka berlima mempergunakan Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima
Unsur) yang mengangkat nama mereka sebagai pendekar-pendekar besar yang amat
terkenal.
Amukan Heng San semakin hebat. Lima orang perajurit itu sudah berpelanting dan
disambar tamparan tangan dan tendangan kaki Heng San. Auwyang Sin dan Ban Hok
semakin gentar. Akan tetapi mereka tidak sempat melarikan diri karena Heng San terus
mendesaknya dan pada suatu kesempatan terbuka, Heng San menyerang sambil
memekik dahsyat.
"Haaaiiiiiiittttt ….. !" Pukulan tangannya menghantam dada Ban Hok dan kaki kirinya
mencuat ke arah lambung Auwyang Sin. Kedua orang itu menjerit dan roboh tak berkutik
lagi. Tulang-tulang iga Ban Hok patah-patah dan isi lambung Auwyang Sin terguncang
hebat dan rusak.
Pada saat itu datang belasan orang perajurit yang mengeroyoknya. Namun, Heng San
terus mengamuk. Belasan macam senjata tajam dan runcing menghujani tubuhnya.
Pakaiannya koyak-koyak namun tubuhnya terlindung ilmu kekebalan sehingga hanya
lecet-lecet dan berdarah-darah. Namun, belasan orang itupun dapat dirobohkan satu demi
satu. Sungguh hebat sepak terjang Heng San. Benar-benar dia pantas disebut Pukulan
Sakti Tanpa Tanding!
Sementara itu, Ciong-yang Ngo-taihiap yang mengeroyok Lui Im Hosiang dapat pula
menjepit pendeta sesat yang kosen itu sehingga pada kesempatan terakhir lima batang
pedang dengan berbareng bersarang ke dalam tubuh yang berbulu seperti monyet itu dan
Lui Im Hosiang memekik seram lalu terkulai roboh dan tewas seketika.
Setelah merobohkan Lui Im Hosiang lima orang pendekar itu segera menyerbu para
perajurit yang masih mengeroyok Heng San. Melihat datangnya bantuan ini, Heng San
lalu meninggalkan para pengeroyoknya. karena ia melihat betapa Ang Jit Tojin masih
belum berhasil mengalahkan Lui Tiong yang membela diri mati-matian. Heng San
berteriak keras dan sebuah serangan tangan kanannya dilancarkan dengan hebat ke
lambung si harimau muka kuning. Lui Tiong mengelak, akan tetapi pada saat itu kebutan
ujung lengan baju Ang Jit Tojin menyerempet mukanya sehingga dia terhuyung ke
belakang. Saat itu dipergunakan oleh Heng San untuk mengayun kepalan dan dengan
mengeluarkan suara keras pecahlah kepala Lui Tiong dihantam kepalan maut Heng San!
Terdengar suara tawa menyeramkan seperti suara iblis sendiri. Bahkan Ang Jit Tojin
sendiri merasa bulu tengkuknya meremang melihat betapa Heng San dengan tubuh penuh
darah, juga kedua kepalannya menjadi merah karena darah para korbannya, berjalan
perlahan sambil menyeringai menghampiri Thio-ciangkun!
Sebagai seorang panglima perang Thiociangkun atau Thio Ci Gan yang nama aslinya
adalah Pangeran Abagan, tidak melarikan diri. Dia cukup jantan untuk menghadapi semua
itu dengan gagah. Dia berdiri di situ dengan sebatang golok di tangan, menyaksikan
betapa para jagoannya tewas seorang demi seorang Pangeran Mancu itu menghela
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 82
napas panjang melihat kegagahan luar biasa dari Heng San. Dia merasa menyesal
mengapa dia salah tangan membunuh Lauw Cin dan isterinya, tidak tahu bahwa mereka
adalah orang tua Heng San. Dia benar-benar merasa kehilangan seorang pembantu yang
hebat, yang sudah menjadi mantunya pula. Dia maklum bahwa saat binasanya telah tiba.
Akan tetapi dia hendak mati sebagai seorang panglima yang membela bangsanya,
dengan golok di tangan. Maka ketika Heng San menghampirinya dengan sikap yang
menyeramkan, dia menanti dengan tenang, dengan golok di tangan, siap untuk melawan
sampai darah terakhir!
Tiba-tiba Heng San memekik nyaring dan maju menerjang dengan ganasnya. Akan tetapi
ternyata Pangeran Mancu itu bukan seorang lemah. Ilmu silatnya cukup tinggi,
gerakannya gesit dan tenaganyapun besar. Dia mengelak dan balas menyerang hebat
dengan goloknya. Pada saat itu tenaga Heng San hampir habis. Yang menggerakkan kaki
tangannya hanya kenekadan dan hawa amarah yang besar didorong sakit hati yang
mendalam.
Ketika itu, para pendekar telah berhasil membasmi para pengawal. Mayat berserakan dan
bertumpuk di ruangan yang luas itu. Semua pendekar berdiri dan menonton perkelahian
mati-matian antara Heng San dan Pangeran Abagan alias Thio Ci Gan. Ketika Ciong-yang
Ngo-taihiap hendak membantu, Ang Jit Tojin mencegah mereka.
"Biarkan dia sendiri yang membalas dendamnya," kata pendeta itu.
Karena sudah merasa letih sekali dan kehabisan tenaga, Heng San merasa bahwa tidak
mungkin dia dapat merobohkan lawan dengan cara biasa karena lawannya ternyata cukup
tangguh. Maka dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu untuk mengadu nyawa. Tibatiba
dia menggunakan jurus Kong-ciak-kaipeng (Burung Merak Membuka Sayap), kedua
tangannya terpentang lalu dia menerkam, tidak memberi jalan keluar bagi lawannya untuk
mengelak. Melihat kesempatan ini, Pangeran Abagan lalu menusukkan goloknya ke arah
dada Heng San.
"Ceppp..... kekkk...... !" Golok itu menembus dada Heng San, akan tetapi kedua tangan
Heng San yang menjadi seperti cakar-cakar baja itu juga berhasil menceengkeram leher
lawan. Keduanya roboh dan Heng San berada di atas tubuh Pangeran Abagan.
Ang Jit Tojin dan kawan-kawannya menghampiri dan ternyata kedua orang itu sudah
tewas. Golok Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan menembus dada Heng San sedang jarijari
kedua tangan Heng San mencengkeram leher lawan sehingga tulang leher itu patah
dan biarpun sudah mati, tetap saja kedua tangan Heng San tidak dapat dilepaskan dari
leher itu!
Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar dari Ciong-yang itu menundukkan kepala dan
menindas rasa haru yang menindih hati mereka. Mereka lalu menceari Ma Giok yang
mereka ketemukan terbelenggu di sebuah kamar tahanan. Mereka lalu membebaskan Ma
Giok dan juga membebaskan seluruh keluarga Thio ciangkun. Sebagian besar dari
keluarga itu memang sudah melarikan diri ketika pertempuran terjadi. Setelah gedung itu
kosong, para pendekar lalu membakar gedung itu sehingga semua yang berada dalam
gedung itu menjadi makanan api, termasuk mayat mereka yang tewas, juga jenazah Lauw
Heng San.
Tentu saja kota Keng-koan menjadi gempar dan ketika pasukan pembantu dari luar
berdatangan, para pendekar sudah melarikan diri dari situ, meninggalkan gedung Thiociangkun
yang menjadi lautan api.
Sambi! menangis terisak-isak wanita muda itu berlari, tersaruk-saruk memasuki kegelapan
malam. la adalah Bu Kui Siang, isteri Lauw Heng San yang menaati perintah suaminya
untuk melarikan diri ke luar dari rumah, ke luar dari kota Keng-koan dan menuju ke
sebelah selatan di luar kota. Hatinya kacau, bingung, gelisah tak menentu. Ia diharuskan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 83
membawa buntalan pakaian dan perhiasan melarikan diri ke luar dari kota malam-malam
gelap begitu, disuruh pergi ke sebuah kuil yang berada di hutan ke dua di kaki Bukit Ayam.
Padahal ia sama sekali tidak tahu dan tidak dapat menduga mengapa ia harus melarikan
diri, tidak tahu apa yang telah, sedang dan akan terjadi! Kalau ia membayangkan keadaan
suaminya, dengan pakaian berlepotan darah, pakaian cabik-cabik wajahnya begitu
menyeramkan, hatinya terasa seperti diremas-remas. Pasti telah terjadi sesuatu yang
amat hebat. Aka tetapi apa? Tidak ada yang dapat ditanyai. Ia tidak tahu apa perlunya
harus melarikan diri. Akan tetapi karena ia percaya sepenuhnya kepada suami yang amat
dicintanya, maka iapun menaatinya dengan membuta. Disuruh melarikan diapun
melarikan diri, nekat tersaruk-saruk di malam gelap, hanya diterangi sinar bintang yang
bertaburan di langit.
Karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan, maka Kui Siang akhirnya hanya
melangkah perlahan-lahan. Hatinya diliputi rasa takut yang hebat. Bukan saja takut dan
gelisah membayangkan yang bukan-bukan akan terjadi pada suaminya melainkan juga
ngeri melihat kegelapan di sekelilingnya. Ketika ia tiba di hutan pertama, ia melihat pohor
pohon besar itu di dalam kegelapan seperti berubah menjadi bentuk-bentuk iblis dan hantu
yang bergerak-gerak seperti hendak menerkamnya. Suara pohon tertiup angin berdesir
dan berdesah-desah amat menakutkan, diselingi suara burung dan kutu-kutu malam yang
saling sahut dari dalam hutan. Hampir pingsan ia ketika tiba-tiba terdengar suara
berkerosak, mungkin ada binatang terkejut dan lari dalam semak-semak ketika ia lewat.
"Thian (Tuhan)..... lindungilah hamMu ini..... " ia berdoa sambil terus melangkah maju
satu-satu dan perlahanhan.
Kakinya terasa hampir patah, tubuhny'a sudah lemas dan kulit kakinya lecet-lecet oleh
sepatu karena wanita itu tidak biasa melakukan perjalanan jauh di atas jalan yang kasar
dan keras penuh batu itu. Hampir ia tidak kuat dan ia berhenti sebentar, berdiri dan
mengatur napas tiba-tiba terdengar suara orang dan nampak ada sinar api bergerak dari
dalam hutan.
Hati Kui Siang menjadi gembira. Ada orang Ini berarti ia akan mempunyai teman
seperjalanan. Dan orang-orang itu membawa obor pula! Sudah tampak bayangan tujuh
orang laki-laki dan mereka semua masing-masing membawa sebatang obor. Mereka
segera datang mendekat ketika mendengar suara wanita berseru.
"Heii, kawan-kawan.....! Ke sinilah dan tolonglah aku..... !"
Setelah tiba dekat, mereka mengepung Kui Siang dan mengangkat obor mereka tinggitinggi.
Mula-mula tujuh orang yang wajahnya kasar dan bengis itu tampak ketakutan.
Siapa yang tidak takut melihat di tepi hutan liar, pada malam hari lagi, seorang wanita
yang demikian cantiknya? Mereka mengira bahwa mereka bertemu dengan sebangsa
siluman. Walaupun mereka itu orangorang yang biasa melakukan kekerasan dan tukangtukang
berkelahi, namun kalau disuruh berhadapan dengan siluman tentu saja mereka
ketakutan!
"Ia..... ia..... siluman..... !" Beberapa buah mulut berbisik ketakutan dan semua kaki sudah
siap untuk meiarikan diri. Akan tetapi laki-Iaki brewok yang usianya sekitar empat puluh
tahun, membentak mereka.
"Goblok! Jangan lari, jangan takut lihat, kedua kakinya bersepatu dan menginjak tanah.
Lihat, matanya tidak liar dan tidak ada ekor menonjol keluar dari pinggulnya. Ia bukan
siluman, kawan. Ia manusia, seorang wanita yang cantik sekali!" Si brewok ini adalah
pemimpin gerombolan itu dan mendengar ucapan pemimpin mereka itu, para anak
buahnya menjadi berani dan setelah mereka merasa yakin bahwa yang mereka. hadapi
adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan bukan siluman, mereka tertawa-tawa.
Akan tetapi karena si brewok itu sudah menghampiri Kui Siang, maka merekapun tidak
berani mengganggu, hanya menonton dengan mata liar, haus dan kagum.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 84
"Nona, siapakah engkau dan mengapa malam-malam begini berada di hutan ini seorang
diri?" tanya si brewok sambil menatap wajah cantik itu dengan sepasang matanya yang
besar.
Setelah kini berhadapan dekat dengan tujuh orang itu, Kui Siang menjadi takut karena
melihat betapa mereka itu berwajah menyeramkan, tampak berngis dan kasar,
memandang kepadanya dengan mata melotot seolah hendak menelannya bulat-bulat
dengan pandang mata mereka. Berbagai bayangan menakutkan menyusup di benaknya
dan ia menjadi pueat, tubuhnya gemetaran.
Melihat ini, si brewok yang bertubuh tinggi besar itu tertawa bergelak sambil mendongak
sehingga tampak perutnya yang gendut terguneang. "Ha-ha-ha-ha! Jangan takut, nona
manis. Ketahuilah, aku adalah Teng Bhok, seorang pendekar yang memimpin kawankawan
ini untuk bergabung dengan para pejuang. Kami adalah orang-orang gagah yang
tidak pantas ditakuti. Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa malam-malam berada di
sini?"
Mendengar inl, timbul keberanian dalam hati Kui Siang. Ia Ingin mempergunakan nama
suaminya untuk menakut-nakuti mereka. "Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya.
Suamiku adalah Panglima Lauw Heng San, komandan Pasukan Garuda Sakti...."
"Wah, ia isteri musuh kita! Bunuh saja, Teng-toako (Kakak Teng)!" teriak seorang anak
buahnya dan yang lain juga berteriak-teriak.
"Kalau kita membunuhnya, kita tentu mendapatkan pahala karena membuat jasa besar!"
kata yang lain. Tentu saja Kui Siang menjadi semakin ketakutan, apalagi melihat mereka
mencabut golok.
"Diam kalian semua!" Teng Bhok membentak. Semua orang terdiam.
"Simpan golok kalian!" Dia membentak lagi. Semua anak buahnya menurut.
"Suaminya memang musuh kita, akan tetapi perempuan ini milikku, tidak boleh ada yang
mengganggu! Hei, nyonya, mulai saat ini engkau harus menuruti semua kata-kata dan
kehendakku. Kalau tidak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku biar dijadikan
rebutan!" Kui Siang menggigil mendengar ancaman ini. Ia dalah seorang wanita lemah
akan tetapi cukup cerdik untuk memaklumi bahwa ia berada dalam keadaan yang gawat
dan berbahaya sekali.
"Aku akan taat..... kasihanilah aku, Teng-enghiong (Pendekar Teng), kasihanilah seorang
wanita yang tidak berdaya...."
Teng Bhok tertawa, senang sekali hatinya disebut eng-hiong (pendekar) dan hatinya
terasa mongkok (bangga). "Haha, engkau akan selamat di bawah perlindunganku. Coba
kulihat isi buntalanmu itu!"
Karena takut orang itu akan mempergunakan kekerasan, terpaksa Kui Siang
menyerahkan buntalan pakaiannya. Di bawah sinar banyak obor yang cukup terang, Teng
Bhok memeriksa isi buntalan. Dia tertawa girang ketika menemukan perhiasan yang amat
berharga itu dan segera menyimpannya dalam kantung bajunya! Ketika menemukan kitab
yang diberikan Lauw Heng San kepada isterinya itu, Teng Bhok menyeringai dan
membuangnya ke atas tanah. Dia dan enam orang anak buahnya adalah orang-orang
buta huruf, apa gunanya kitab itu?
Setelah mengaduk-aduk isi buntalan dan melihat bahwa yang ada hanya pakaian wanita,
Teng Bhok mengikat lagi buntalan itu dan menyerahkan kepada Kui Siang.
"Nih, bawalah buntalanmu." Kui Siang menerima buntalan itu tanpa mencela. Kitab yang
dibuang tadi telah ia ambil dan ia simpan di balik pakaiannya. Baginya, kitab itu yang
terpenting daripada segalanya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 85
Setelah menyerahkan buntalan, Teng Bhok menoleh kepada enam orang anak buahnya
dan sambil menyeringai dia berkata, "Sekarang kalian menjauhlah dari sini, tinggalkan
kami berdua dan jangan ganggu aku!"
Enam orang itu tertawa-tawa dan pergi meninggalkan tempat itu. Kini hanya Teng Bhok
dan Kui Siang berdua saja yang berada di situ. Teng Bhok lalu menancapkan gagang
obornya di atas tanah, lalu dia menghampiri Kui Siang dan berkata. "Siapa namamu?"
"..... Nyonya Lauw Heng San..... "
"Hush! Maksudku nama kecilmu!"
"Namaku Bu Kui Siang....."
"Nama yang bagus, secantik orangnya Nah, Kui Siang, mulai sa at ini engkau menjadi
isteriku tersayang!" Si brew ok tinggi besar itu makin mendekat. Kui Siang melangkah
mundur dan tiba-tiba timbul keberanian luar niasa dalam hatinya melihat kehormatannya
terancam. Lebih baik mati daripada ternoda laki-laki jahanam ini! Ia tidak takut mati.
"Teng-enghiong, aku adalah seorang wanita baik-baik. Aku bersedia menjadi isterimu,
akan tetapi secara terhormat, dengan pernikahan yang sah. Kalau engkau memaksaku
dan memperkosa aku, maka aku pasti akan membunuh diri! Jangan engkau sentuh aku
sebelum engkau menikahi aku dengan sah!" Suara wanita itu kini sama sekali tidak
mengandung rasa takut, bahkan mengancam!
Akan tetapi T eng Bhok yang sudah dibakar nafsu berahinya itu menganggap ucapan itu
hanya gertak sambal belaka. "Ha-ha-ha, bagaimana engkau hendak membunuh diri,
manis? Engkau tidak punya racun, tidak punya senjata tajam mau bunuh diri, aku selalu
dapat mencegahmu, ha ha ha ?”
“Hemmm, kau kira aku begitu bodoh? aku dapat melompat ke jurang, aku dapat
membenturkan pecah kepalaku pada batu, dinding dan lain-lain, atau aku dapat menggigit
lidahku sendiri sampai putus dan mati kehabisan darah! Masih ada seribu cara untuk
membunuh diri"
Teng Bhok terkejut. Benar juga, pikirnya. Dia sudah tergila-gila melihat wanita yang amat
cantik ini. Sayang kalau membunuh diri. Dia ingin Kui Siang menjadi isterinya yang akan
menghiburnya selamanya "Aih, jangan lakukan itu, sayang...... " Dia menahan diri dan
tidak berusaha merangkul lagi.
"Kalau begitu, hentikan niatmu memperkosa aku!" Kui Siang menghardik.
"Tapi engkau benar mau kuperisteri secara terhormat, kunikahi dengan sah?"
"Kita lihat saja perkembangannya nanti. Kalau engkau tidak bersikap kasar dan kurang
ajar kepadaku, tentu aku bersedia."
Teng Bhok sudah tergila-gila kepada Kui Siang dan dia tidak ingin kehilangan wanita itu,
maka dia mengangguk. "Baik, Kui Siang, aku akan sabar menanti sampai kita menikah
dan engkau menyerahkan dirimu dengan suka rela kepadaku!"
Setelah berkata demikian Teng Bhok memanggil enam orang anak buahnya. Mereka
bermunculan dan merasa heran mengapa pemimpin mereka tampaknya masih belum
melakukan apa-apa terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi mereka tidak berani bertanya.
"Hayo kita lanjutkan perjalanan. Mari Kui Siang, engkau ikut denganku."
Rombongan itu melanjutkan perjalanm mereka dan Kui Siang terpaksa mengikut laki-laki
tinggi besar brewok itu. Bagaimanapun juga, untuk sementara ia selamat dari perkosaan.
Dan perasaan wanitanya menyadarkan bahwa laki-laki kasar ini agaknya benar-benar
jatuh cinta padanya sehingga menuruti permintaan dan syaratnya. Masih banyak waktu
dan kesempatan baginya untuk dapat membebaskan diri dari laki-laki kasar ini. Dalam
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 86
hatinya ia tidak percaya bahwa laki-laki seperti ini seorang pendekar patriot. seorang
pejuang. Menurut cerita ibunya, seorang pendekar pejuang adalah seorang yang budiman,
bukan pengganggu wanita seperti Teng Bhok dan anak buahnya ini yang sepak
terjangnya seperti perampok! perhiasannya juga sudah dirampas orang kasar ini. Untung
bahwa kitab pemberian suaminya itu tidak dirampas. Ia hanya mempertahankan kitab itu
dengan segala kemampuannya, karena kitab itu diperuntukkan anak yang dikandungnya!
Teringat.kan ini, ia teringat kepada suaminya. hampir ia menangis menjerit-jerit kalau
teringat suaminya. Apa yang terjadi? Ia belum mengetahui apa yang terjadi dan kini ia
terjatuh ke tangan gerombolan orang kasar dan jahat!
Karena perjalanan itu tidak dapat cepat walaupun menggunakan obor, pada keesokan
harinya barulah rombongan itu tiba di tempat yang dituju. Ketika melihat bahwa mereka
berada di depan sebuah kuil tua di kaki bukit, Kui Siang terbelalak dan jantungnya
berdebar keras. Bukankah ini kuil di kaki Bukit Ayam seperti yang diceritakan suaminya,
kemana ia harus pergi dan di situ terdapat sahabat-sahabat suaminya? Ia menanti dan
memandang ke arah kuil dengan harap-harap cemas.
Di ruangan depan kuil itu tampak ada enam buah peti mati berjajar dan seorang tosu
memimpin sembahyangan. Yang bersembahyang ada belasan orang bersama tosu itu.
Melihat ini, Teng Bhok memberi isarat kepada Kui Siang dan enam orang anak buahnya
untuk maju menghampiri kuil.
Ang Jit Tojin, tosu yang memimpin upacara sernbahyang itu, setelah mengetahui akan
kedatangan serombongan orang itu, cepat keluar dan menyambut mereka di pekarangan
kuil. Dia segera ditemani lima orang gagah yang bukan lain adalah Ciong-yang Ngotaihiap
(lima pendekar besar dari Ciong-yang). Para pendekar ini siap siaga melihat tujuh
orang yang berwajah bengis dan bersikap kasar itu, akan tetapi merekapun merasa heran
sekali melihat ada seorang wanita muda yang cantik jelita dan berpakaian seperti
bangsawan menggendong buntalan pakaian datang bersama rombongan laki-laki kasar
itu.
Teng Bhok. yang memimpin rombonganya memandang kepada Ang Jit Tojin dan lima
orang pendekar gagah perkasa dari Ciong-yang dan dia mengangkat kedua tangan depan
dada sebagai penghormatan secara sembarangan, diturut oleh enam orang anak
buahnya. Sebagai orang-orang yang mempelajari tata susila Ang Jit Tojin dan lima orang
kawanya membalas penghormatan itu.
"To-tiang," kata Teng Bhok dengan suaranya yang nyaring. "Kami mendengar bahwa para
pendekar pejuang berada di kuil ini dan kami ingin menjumpai mereka. Benarkah kami
berhadapan dengan para pendekar yang berjuang melawan emerintah Mancu penjajah?"
Ang Jit Tojin mengangguk dan sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik dan
berkata, "Benar, kami adalah pimpinan para pendekar pejuang. Pinto bernama Ang Jit
Tojin dan lima orang rekan ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap siapakah cu-wi (anda
sekalian) dan apa keperluan cu-wi mencari kami?"
Teng Bhok tertawa dengan bangga. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali kami dapat menemukan
para pendekar pejuang. Perkenalkan, kami adalah pendekar-pendekar dan aku menjadi
pemimpinnya. Namaku Teng Bhok berjuluk Pat-jiu Hekwan (Lutung Hitam Bertangan
Delapan)! Keperluan kami menjumpai kawan-kawan adalah untuk bergabung, bersamasama
berjuang melawan para pembesar Mancu!"
"Bagus!" kata Ang Jit Tojin dengan girang. Baginya tidak peduli orang sikapnya halus atau
kasar, pintar atau bodoh, asal berwatak pendekar dan bersemangat untuk menentang
pemerintah penjajah Mancu, tentu saja dapat diterima sebagai kawan seperjuangan.
"Akan tetapi, siapakah nona ini?" Dia bertanya heran sambi! menunjuk kepada Kui Siang
yang nampak pucat dan gelisah karena ia sama sekali tidak menyangka bahwa yang
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 87
dimaksudkan sabahat oleh suaminya adalah para pejuang ini. Bukankah selama ini
suaminya membantu ayah tirinya menentang dan membasmi para pemberontak?
"Oh, ha-ha-ha, ia adalah calon isteriku, to-tiang. Setelah kami diterima menjadi anggauta
pasukan pejuang, aku akan segera melangsungkan pernikahanku dengan calon isteriku
yang cantik jelita seperti bidadari ini, ha-ha-ha!"
Ang Jit Tojin dan Ciong-yang Ngo-tahiap mengerutkan alisnya mendengar ucapan yang
kasar itu. Kui Siang melihat sikap tosu dan lima orang gagah itu dan tahu bahwa mereka
merasa tidak senang, laka iapun cepat melangkah maju dan berkata dengan suara
lantang.
"To-tiang dan cu-wi tai-hiap! Apa ang dikatakannya itu bohong belaka!"
"Hai, diam kau!" Teng Bhok membentak.
"Biarkan dia bicara' Tiba-tiba orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang bertubuh
tinggi besar dan kokoh kuat berseru sambil memandang kepada Teng bhok dengan sinar
mata mencorong. "Lanjutkan bicaramu, nona!" sambungnya kepada Kui Siang.
"Saya bernama Bu Kui Siang, isteri dari Lauw Heng San komandan Pasukan Garuda
Sakti"
"Ha-ha, ia isteri musuh besar kita! Karena itu aku sengaja menangkapnya! Bagaimana,
kawan-kawan? jasaku besar, bukan?" kata Teng Bhok bangga.
Akan tetapi Ang Tit Tojin terkejut bukan main mendengar pengakuan Kui Siang ini. Dia
sudah mendengar akan wanita ini dari para penyelidik, akan tetapi dia belum pernah
melihatnya sendiri sehingga tadi tidak mengenalnya. Setelah mengetahui bahwa wanita itu
isteri Lauw Heng San, dengan gerakan cepat sekali Ang Jit Tojin maju dan menyambar
lengan wanita itu, ditarlknya sehingga kini Kui Siang berdiri di dekatnya, jauh dari Teng
Bhok dan enam orang anak buahnya.
"Heii, to-tiang! Apa yang kaulakukan ini?" tanya Teng Bhok sambil mengerutkan alisnya.
"Toa-nio, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau bisa tertawan oleh mereka itu?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya lembut bersahabat itu, hati Kui Siang merasa lega
dan ia teringat kepada suaminya lalu mengusap beberapa butir mata yang mengalir turun.
"Malam tadi suami saya pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Pakaiannya penuh
darah, mukanya pucat dan dia menyuruh saya cepat berkemas, membawa pakaian dan
perhiasan. Tanpa sempat memberi penjelasan dia memerintahkan agar saya malam itu
juga melarikan diri luar kota dan menuju ke kuil di kaki bukit Ayam ini. Saya tidak tahu apa
yang terjadi dan dia juga tidak memberitahu, hanya bilang bahwa berbahaya sekali bagi
saya kalau saya tinggal di rumah dan bahwa saya akan mendapat pertolongan dari para
sahabatnya di kuil ini. Terpaksa saya menaati perintahnya, melarikan diri di malam tadi. Di
tengah perjalanan saya bertemu dengan mereka ini. Perhiasan saya dirampas dan dia ini
akan memaksa saya menjadi isterinya. Tadinya ia hendak memperkosa saya, akan tetapi
saya mengancam akan membunuh diri dan...... dan dia mengajak saya ke sini.
"Hemmm.....! Jahanam busuk macam kalian ini mengaku pendekar dan hendak menjadi
pejuang?" bentak Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang pertama
Ciong-yang Ngo-tahiap yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar.
Ang Jit Tojin memberi isarat kepada Song Kwan agar bersabar dan dia memandang
kepada Teng Bhok dengan alis berkerut, " Saudara Teng Bhok, benarkah apa yang
diceritakan Nyonya Lauw Heng San ini?"
Teng Bhok tersenyum dan mengangguk. " To-tiang, apa salahnya? ia jelas isteri
komandan Pasukan Garuda Sakti, musuh besar kita! Apa salahnya kalau aku merampas
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 88
barangnya dan hendak memaksanya menjadi isteriku? Ini merupakan tugas kita kaum
pejuang, bukan?!
"Toa-nio, masuklah dan beristirahatlah dalam kuil dan jangan khawatir, kami akan
melindungimu." kata Ang Jit Tojin kepada Kui Siang, melihat wanita itu tampak lelah sekali
dan gelisah.
"Terima kasih, to-tiang." kata Kui Siang dan la membawa buntalannya memasuki kuil.
"Ang Jit Tojin! Aku minta penjelasan, bagaimana ini? Tidak salahkah penglihatan dan
pendengaranku bahwa engkau sebagai pimpinan para pejuang malah melindungi isteri
musuh besar kita?" Teng Bhok bertanya dengan marah.
Ang Jit Tojin menatap wajah Teng Bhok dengan sinar mata tajam penuh teguran. "Teng
Bhok, engkau merampok dan hendak memperkosa wanita! Perbuatanmu itu sama sekali
bukan perbuatan pendekar, melainkan perbuatan penjahat! penjahat seperti engkau ini
hendak menjadi pejuang? Ingatlah, pejuang bukanlah penjahat keji!"
"Ang Jit Tojin, ini tidak adil! Sudah banyak aku mendengar bahwa para pejuang suka
mencuri dan merampok harta benda para pembesar kerajaan Mancu yang dimusuhinya!
Kenapa kalau kami yang merampok isteri seorang panglima antek Mancu dicela? Apa
bedanya?"
"Hemm, jelas besar sekali bedanya. pejuang mencuri dan merampok barang milik
pembesar Mancu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hasilnya untuk biaya perjuangan,
akan tetapi engkau merampok demi kesenanganmu sendiri.
Seorang pejuang sejati tidak akan mengganggu wanita. Orang-orang seperti engkau ini
hanyalah penjahat-penjahat yang berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan kalian!
Orang-orang macam kalian inilah yang mencemarkan perjuangan, yang membuat para
pejuang dianggap penjahat dan perampok. Hanya kebetulan saja kalau malam ini yang
kau ganggu adalah isteri seorang panglima pemerintah Mancu. Andaikata wanita itu
seorang rakyat biasa, tentu akan kau ganggu juga. Adalah kewajiban kami para pendekar
pejuang, bukan hanya untuk menentang pemerintah Mancu, akan tetapi juga membasmi
orang-orang seperti kalian yang hanya menyusahkan rakyat
jelata!"
"Gila! Jauh-jauh kami datang untuk bergabung dan bekerja sama, malah kami ditentang!"
Teng Bhok marah dan memaki sambi! mencabut goloknya. Dia marah karena ucapan Ang
Jit Tojin itu tepat mengenai sasaran dan membuka rahasia hatinya. Memang pada dasar
hatinya, Teng Bhok dan enam orang kawannya ini " ingin membonceng para pejuang demi
keuntungan diri mereka sendiri.
"Sian-cai! Teng Bhok, engkau dan kawan-kawanmu ini sadarlah, bertaubatlah dan
hentikan kesesatan kalian sebagai penjahat dan kami akan menerima tenaga bantuan
kalian dalam perjuangan ini dengan senang hati. Akuilah kesalahan kalian, kembalikan
perhiasan Nyonya Lauw dan kami akan mempertimbangkan permintaan kalian untuk
bergabung."
Tentu saja Teng Bhok tidak sudi bergabung kalau dia dilarang merampok atau berbuat
sesuka hatinya. Lebih baik menjadi tentara pemerintah penjajah mendapat bayaran tinggi
dan kdudukan; daripada harus berjuang tanpa mendapatkan apa-apa! "Enak saja! Tosu
sombong, kami tidak sudi bergabung kalau begitu. Kami dapat bertindak sendiri memusuhi
para pembesar. Cepat kembalikan calon isteriku bentaknya sambi! mengacungkan
goloknya mengancam. Enam orang anak buahnya juga sudah mencabut golok dan siap
berkelahi. Mereka ini memang merupakan orang-orang yang sudah terbiasa memaksakan
kehendak mereka sendiri. Orang lain harus menurut kehendak mereka atau mereka akan
menggunakan kekerasan. Entah sudah berapa banyak orang tewas menjadi korban
keganasan mereka.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 89
"Jahanam busuk macam kalian memang tidak pantas dibiarkan-hidup, hanya akan
mendatangkan kesengsaraan pada rakyat saja!" Song Kwan membentak dan dia juga
mencabut pedangnya. "Ang-totiang (pendeta Ang) dan keempat sute, biar aku sendiri
yang membasmi mereka!" Song Kwan, orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap ini
memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi juga ilmu pedangnya paling unggul di
antara mereka berlima. Dia melompat ke depan Teng Bhok sambil melintangkan
pedangnya didepan dada.
Teng Bhok yang sudah marah sekali lalu menerjang dengan goloknya dan 6 orang anak
buahnya tanpa dikomando juga sudah mengepung Song Kwan karena mereka tadi
mendengar betapa pendekar itu menyombongkan diri hendak maju seorang diri
menghadapi mereka bertujuh!
"Manusia sombong, bersiaplah untuk mampus!" Teng Bhok sudah menggerakkan
goloknya menyambar ke arah kepala Song Kwan.
"Singg,gg..... Golok itu berdesing menyambar namun Kiam-sian (Dewa Pedang) Song
Kwan dengan amat mudahnya mengelak dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi sinar
mencuat ke arah lambung Teng Bhok. Kepala gerombolan ini terkejut sekali dan cepat dia
membuang diri kebelakang sehingga terhindar dari maut. Demikian cepat dan tak terduga
serangan balasan pedang di tangan Song Kwan itu sehingga Teng Bhok mengeluarkan
keringat dingin. Pada saat itu enam orang anak buahnya sudah menyerang, maka Teng
Bhok menjadi berbesar hati dan diapun menyerang dengan goloknya sambi! mengerahkan
tenaga karena yang dia andalkan hanyalah ketajaman golok dan tenaga kasarnya yang
sekuat kerbau.
Jilid 11
Akan tetapi Song Kwan segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Dia
mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba bentuk pedang di tangannya lenyap,
berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini selain
menjadi perisai yang melindungi seluruh tubuhnya, juga dari gulungan sinar pedang itu
menyambar kilatan-kilatan pedang yang mengirim serangan balasan.
"Hyaaaaaaahhh..... trang-trang-cdngg..... !!" Tiga orang pengeroyok berseru kaget ketika
golok mereka terlepas dan terpental dari pegangan mereka dan sebelum hilang rasa kaget
mereka, tiga orang itu sudah terpelanting roboh disambar kilatan sinar pedang!
Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya terkejut sekali. Akan tetapi kembali Song Kwan
mengeluarkan pekik melengking dan dia membuat gerakan jurus Ngo-heng Keng-thian
(Lima Unsur Melengkung di Langit), sebuah jurus ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut yang
amat hebat. Kilatan pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, lebih cepat
daripada kedipan mata dan terdengar Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya berteriak
kesakitan dan merekapun roboh satu demi satu sebelum mereka tahu apa yang terjadi.
Tujuh orang penjahat itu tewas seketika karena pedang di tangan Song Kwan itu
menyerang dengan tepat ke arah bagian yang mematikan!
Melihat ini, Ang Jit Tojin menghela napas. "Sian-cai.....! Engkau agak terlalu keras, Songtaihiap,
akan tetapi pinto tidak menyalahkanmu. Bagaimanapun juga, mereka adalah
bangsa kita sendiri. Sayang, di jaman yang buruk ini, di mana bangsa asing Mancu
menjajah tanah air kita, terdapat banyak bangsa kita sendiri yang menjadi pengkhianat,
sudi menjadi antek penjajah. Dan lebih menyedihkan lagi, terdapat lebih banyak lagi
orang-orang seperti mereka yang tidak memperdulikan nasib rakyat jelata yang sudah
ditindas penjajah, bahkan mereka masih tega menambah derita rakyat dengan perbuatan
jahat mereka."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 90
"Totiang benar," kata Song Kui, adik kandung Song Kwan yang merupakan orang ke dua
Clong-yang Ngo-taihlap, berusia tiga puluh delapan tahun dan berwajah tampan bertubuh
sedang. Namun Song Kui ini kalau menghadapi penjahat, bahkan lebih galak dan keras
daripada kakaknya, maka dunia kangouw memberi julukan Kiam-mo (Setan Pedang)
padanya. "Dosa paling besar para penjahat ini adalah kepura-puraan mereka menjadi
pejuang, padahal itu hanya sebagai kedok saja untuk mencari keuntungan demi
kesenangan diri mereka sendiri."
"Sudahlah," Ang Jit Tojin menghela napas panjang pula. "Bagaimanapun juga, mereka
adalah juga manusia-manusia dan setelah menjadi mayat, kita harus mengurus mereka
sebagaimana mestinya dengan baik-baik." Ang Jit Tojin lalu mengambil perhlasan milik
Kui Sia,g dari saku, baju Teng Bhok, kemudian dia menyuruh para anak buah pejuang
untuk mengurus tujuh mayat gerombolan itu dikebumikan bersama semua jenazah yang
sudah dipetikan.
Setelah semua penguburan selesai, Ang Jit Tojin mengajak Kui Siang duduk bercakapcakap
di ruangan dalam kuil tua. Nyonya muda ini sudah agak segar karena mendapat
kesempatan mengaso dan ia mendapatkan obat gosok dari Ang Jit Tojin untuk mengusir
rasa penat dan pegal-pegal pada kedua kaklnya. Mereka, Ang Jit Tojin, lima pendekar
Ciongyang, dan Kui Siang, duduk mengelilingi meja kayu sederhana dan duduk di atas
bangku-bangku kayu yang kasar.
Ang Jit Tojin menyerahkan perhiasan yang diambilnya dari saku baju pada mayat Teng
Bhok dan menyerahkannya kepada Kui Siang. Kui Siang membiarkan perhiasan itu
bertumpuk di atas meja di depannya dan ia berkata setelah memandangi enam orang
pendekar itu satu per satu.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada totiang dan para taihiap disini karena
tanpa pertolongan cu-wi (anda sekalian) saya tentu sudah membunuh diri daripada
diperhina manusia jahat itu." Suaranya mengandung keharuan.
"Jangan bicara demikian, toa-nio. Kami memang bermaksud menyelamatkanmu seperti
yang dipesan suamimu. Ketahuilah bahwa suamimu, Lauw Heng San, adalah orang
segolongan dengan kami."
Kui Siang memandang heran, pandang mata penuh pertanyaan kepada tosu itu. "Orang
segolongan? Apa maksud totiang? Bukankah...... bukankah suami saya komandan
Pasukan Garuda Sakti yang memusuhi golongan totiang?"
"Hal itu terjadi karena dia telah tertipu oleh ayah tirimu, toa-nio, sehingga dia menduga
bahwa kami adalah segerombolan orang jahat. Akan tetapi dia telah sadar akan
kekeliruannya setelah bertemu dengan gurunya yang menjadi seorang di antara kami.
Apalagi mendengar bahwa ayah ibunya di dusun Linhan-koan dibunuh kaki tangan Thiociangkun.
Dia menjadi sadar, marah dan mengamuk di gedung Thio-ciangkun. Akan tetapi
sebelumnya dia sudah menitipkan engkau kepada kami agar kami suka melindungimu."
"Lalu..... lalu...... di mana dia sekarang?" tiba-tiba wajah nyonya muda itu menjadi pucat
sekali. Dari pandang mata dan sikap enam orang yang duduk di depannya itu ia
mendapatkan firasat yang mengerikan. "Di mana suamiku...... ?"
Ang Jit Tojin mengerutkan alisnya. Berat rasa hatinya untuk menceritakan. Pada dasarnya
memang perasaan tosu ini lembut dan peka sekali. Dia memandang kepada Song Kwan
dan memberi isarat dengan pandang matanya agar pendekar itu yang bercerita.
"Begini, toanio. Setelah dia sadar bahwa dia membantu pihak yang jahat dan memusuhi
para pendekar pejuang pembela bangsa dan tanah air, dan mendengar bahwa orang
tuanya sendiri dibunuh kaki tangan Thio-ciangkun karena berkenalan dengan Pat-jiu Sinkai,
guru suamimu, maka Lauw Heng San lalu pergi ke gedung Thio-ciangkun mengamuk.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 91
Kami menyusul dan membantunya. nya. Ia berhasil membunuh para jagoan di sana, juga
berhasil membunuh Thiociangkun, akan tetapi dia sendiri juga tewas."
"San-koko...... !" Kui Siang menjerit dan roboh pingsan, terkulai dan tentu akan terjatuh
dari kursinya kalau tidak ada bayangan orang yang cepat menyambarnya sehingga ia
tidak sampai terjatuh. Bayangan itu bukan lain adalah Ma Giok yang baru saja masuk dan
melihat nyonya muda itu terkulai, dia segera menyambar dan menangkapnya sehingga
Kui Siang tidak terguling.
Ma Giok memondong tubuh Kui Siang, memandang kepada enam orang itu, menggeleng
kepala dan berkata halus. ” Aih, Kalian terlalu mengguncangnya, tidak seharusnya berita
itu disampaikan begitu mendadak."
Mendapatkan teguran dari pemimpin para pejuang ini, Ang Jit Tojin menjawab, "Lam-Hong
(Naga Selatan), maafkan kami. Pinto yang tadi menyuruh Songtaihiap menyampaikan
keterangan itu kepadanya."
"Sudahlah, kita harus merawatnya. Kasihan sekali wanita ini. Baru saja kematian
suaminya dan juga kehilangan ayah tiri dan ibunya." Dia membawa tubuh Kui Siang ke
dalam sebuah kamar di kuil itu dan merebahkannya di atas pembaringan kayu. Setelah
menekan beberapa jalan darah untuk membuat wanita itu tidur pulas agar lahir batinnya
dapat beristirahat, Ma Giok keluar menemui teman-temannya.
Setelah pemimpin pejuang itu mengambil tempat duduk, Song Kwan bertanya sambil
menatap wajah Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu dengan heran. "Maenghiong
(pendekar Ma), apa yang kaumaksudkan ketika berkata bahwa Lauw-toanio juga
kehilangan ibunya?"
Ma Giok menghela napas panjang.
"Kalian tentu tahu bahwa dahulu, ketika mendiang Bu Kiat masih menjadi panglima, dia
adalah seorang rekanku, sama-sama menjadi panglima dalam pasukan pimpinan Jenderal
Gouw Sam Kwi. Bahkan kami menjadi sahabat baik dan aku mengenal pula isterinya.
Juga Bu Kui Siang yang kini menjadi isteri Lauw Heng San itu baru berusia dua tahun
ketika ayah kandungnya tewas dalam pertempuran. Aku hanya mendengar bahwa Nyonya
Bu dan anaknya menjadi tawanan musuh dan selanjutnya aku tidak mendengar lagi kabar
beritanya. Ketika aku menjadi tawanan, baru kuketahui bahwa isteri Thio Ci Gan atau
Pangeran Abagan itu adalah Nyonya Bu Kiat. Karena itu, ketika terjadi keributan dan
kalian membebaskan aku, aku segera mencari Nyonya Bu dan puterinya, namun
keduanya pergi tiada yang tahu ke mana. Kini, Bu Kui Siang dapat kalian selamatkan,
akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Nyonya Bu Kiat. Nah, bukankah itu
berarti bahwa Kui Siang sekarang ini telah kehilangan segalagalanya?
"Siancai.......! Kasihan sekali nyonya muda itu!" kata Ang Jit Tojin, tokoh Butong-pai itu.
"Akan tetapi pinto juga hanya mendengar dari penyelidik bahwa isteri muda Pangeran
Abagan itu adalah bekas isteri Panglima Bu Kiat yang menjadi pahlawan. Bagaimana ia
dapat tiba-tiba menjadi isteri seorang pangeran, Mancu, orang yang telah menewaskan
suaminya dalam perang?"
"Hemm, aku dapat menduganya. aku masih ingat bahwa Nyonya Bu adalah seorang
wanita terpelajar yang berbudi baik. Seorang wanita seperti dia tidak mungkin sudi
merendahkan diri, baru saja kematian suaminya lalu sudi menjadi isteri muda seorang
panglima Mancu, apalagi musuh suaminya, kalau tidak terpaksa sekali. Dan satu-satunya
hal yang memaksanya tentu saja puterinya! Ia tentu terpaksa diperisteri Pangeran Abagan
yang menyamar sebagai Thio Ci Gan karena ingin menyelamatkan puterinya, Bu Kui
Siang yang kemudian menjadi isteri Lauw Heng San."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 92
Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar Ciong-yang itu mengangguk-angguk dan kembali
tosu itu menggumam. "Kasihan sekali, kini ia harus menderita, hidup seorang diri ditinggal
mati suarri dan kehilangan ibu..... "
"Ya, memang kasihan. Apalagi ia nasih ditambah tugas berat, harus menelihara calon
anaknya seorang diri." kata Ma Giok sambi! menghela napas panjang, lupabahwa dia
sendiri baru saja kehi!angan puterinya yang tercinta.
"Eh? Apa maksudmu, Lam-Hong?"
"Ang-totiang, ketika tadi aku membawanya masuk dan memeriksa kesehatannya, aku
mendapat kenyataan bahwa Bu Kui Siang itu telah mengandung, mungkin sudah dua tiga
bulan." jawab Ma Giok yang selain seorang ahli silat kenamaan juga seorang yang pandai
dalam ilmu pengobatan.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. "Ma-enghiong, sekarang apa yang harus kita
lakukan?" tanya Song Kwan mewakili para saudara mudanya dan Ang Jit Tojin juga
memandang wajah pemimpin itu dengan ingin tahu.
"Kita harus cepat meninggalkan kuil ini. Mereka mendatangkan pasukan besar dari kota
raja dan tak lama lagi mereka tentu akan menyerbu ke sini. Bagaimanapun juga, gerakan
kita berhasil. Kita sudah dapat membunuh Pangeran Abagan dan membasmi kaki
tangannya. Kota Keng-koan telah terbebas dari penindasan seorang pangeran Mancu.
Kita harus terpencar, dan masing-masing menghimpun kekuatan di manapun kita berada
dan 'melanjutkan gerakan kita menentang para pembesar yang menindas rakyat,
me'ngganggu pemerintah kerajaan penjajah Mancu."
Enam orang pendekar itu mengangguk menyetujui. "Dan bagaimana dengan Lauwtoanio?"
tanya Ang Jit Tojin.
"Hemm, maksudmu Bu Kui Siang? Ia menjadi tanggung-jawabku. Mengingat sahabatku,
mendiang Panglima Bu Kiat, dan mengingat pula akan jasa Lauw Heng San, maka sudah
menjadi kewajibanku untuk mencarikan jalan terbaik bagi Bu Kui Siang. Aku tahu bahwa
mulai sekarang, ia tentu menjadi seorang buruan pemerintah seperti juga kita dan kalau
tidak ditolong, wanita lemah seperti ia tentu akan cepat tertawan."
"Memang kita tidak boleh membiarkan ia tertawan. Engkau mempunyai tugas yang amat
berat, Lam-liong. Ke manakah engkau hendak membawa ia pergi? Dan di mana kami
dapat menghubungimu?" tanya Ang Jit Tojin.
"Kukira, mulai sekarang lebih baik kita berjuang sendiri-sendiri untuk melindungi dan
menolong rakyat. Dengan berpencar sendiri-sendlri kita akan lebih leluasa bergerak dan
lebih mudah bersembunyi dari tangan panjang pemerintah penjajah Mancu. Aku sendiri
akan pergi ke Thai-san, menghadap lo-cianpwe (orang tua gagah) Pek In San-jin (Orang
Gunung Awan Putih) dan mengabarkan tentang kematian lo-cian-pwe Pat-jiu Sin-kai dan
kematian muridnya Ngojiauw-eng Tan Kok. Selain itu, aku hendak mencarikan tempat
yang aman bagi Bu Kui Siang di sana. Mungkin untuk sementara waktu, kalau lo-cian-pwe
Pek In San-jin mengijinkan, aku akan berada di sana untuk mohon petunjuknya
memperdalam ilmu silatku."
Demikianlah, para pendekar itu, Ma Giok, Ang Jit Tojin, kelima Ciong-yang Ngo-taihiap
yang terdiri dari Song Kwan, adiknya Song Kui, Ciang HuSeng, Bhe Kam, dan Lee Bun,
dan beberapa orang anggauta pejuang lain yang menjadi anak buah mereka, berkemas
dan satu demi satu berpamitan kepada Ma Giok yang menjadi pemimpin mereka, lalu
meninggalkan kuil itu. Setelah semua orang, pergi dan hanya tinggal Ang Jit Tojin yang
masih menemaninya karena Ma Giok memang menahannya untuk memberi keterangan
kepada Bu Kui Siang, mereka berdua lalu - menyadarkan Kui Siang yang masih tertidur
pulas karena ditotok jalan darahnya oleh Ma Giok tadi.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 93
Wanita itu terbangun dan melihat ada dua orang laki-laki duduk di atas bangku dalam
kamar itu, ia segera bangkit duduk, ia mengenal Ang Jit Tojin tosu tinggi kurus berjenggot
panjang itu, akan tetapi ia tidak mengenal pria yang seorang lagi. Akan tetapi wajah pria
itu tidak mendatangkan rasa takut di hatinya. Wajah seorang laki-laki setengah tua yang
tampan gagah, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, pandang matanya tajam dan
lembut, mulutnya tersungging senyuman ramah dan penuh pengertian, pakaiannya seperti
seorang petani sederhana namun bersih dan rapi. Akan tetapi, begitu tersadar, Kui Siang
segera teringat akan suaminya yang dikabarkan telah tewas, maka ia lalu turun dari
pembaringan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ang Jit Tojin sambil
menangis.
"Totiang....., benarkah..... benarkah suami saya telah tewas..... ?"
"Duduklah yang tenang, toa-nio, dan kuatkan hatimu," kata Ang Jit Tojin sambil
membangunkan Kui Siang dan menuntun wanita itu duduk kembali ke atas pembaringan.
"Hentikan tangismu, Kui Siang, dan tabahkan hatimu. Mendiang ayahmu, Bu Kiat, dan
mendiang suamimu, Lauw Heng San, adalah pendekar-pendekar gagah perkasa. Mereka
tidak akan senang melihat sikapmu yang lemah ini. Hentikan tangismu dan kuatkan
hatimu. Ingat akan kandunganmu yang harus kau jaga baik-baik." kata Ma Giok dengan
suara lembut berwibawa. Mendengar ini Kui Siang terbelalak memandang laki-laki yang
tidak dikenalnya itu. Ang Jit Tojin, segera memperkenalkan.
"Lauw-toanio, ini adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam-liong, selama ini menjadi
pemimpin kami para pejuang. Mulai sekarang engkau berada dalam perlindungannya."
Kui Siang masih memandang heran, saking herannya ia sampai lupa akan kesedihannya
dan tidak menangis lagi. Apalagi mendengar bahwa mendiang ayah kandungnya dan
mendiang suaminya tidak suka melihat ia menangis!
"Akan tetapi..... bagaimana engkau mengenal mendiang ayah kandungku, suamiku dan
tahu akan keadaan diriku?"
”Kui Siang, tentu saja engkau tidak mengenalku, karena ketika itu engkau masih berusia
dua tahun. Aku sudah mengenalmu ketika engkau berusia dua tahun, Ayah kandungmu,
mendiang Bu Kiat, adalah rekanku. Kami sama-sama panglima dalam pasukan Jenderal
Gouw Sam menentang penjajah Mancu. Aku juga mengenal ibumu dengan baik. Dan aku
mengenal suamimu karena akulah yang pertama-tama menjadi tawanan Panglima Mancu
Thio, ayah tirimu itu yang sesungguhnya adalah seorang Pangeran Mancu bernama
Abagan. Sekarang, keadaan kita di sini amat berbahaya. Setiap saat pasukan pemerintah
Mancu. akan datang menyerbu. Karena itu, semua pejuang sudah pergi dan engkau juga
harus cepat melarikan diri karena mulai sekarang engkau dianggap isteri seorang
pemberontak. Aku akan membawamu melarikan diri dan akan melindungimu, Kui Siang."
”Lauw-toanio, percayalah. Dalam perlindungan Lam-liong, engkau akan aman dan
selamat. Nah, sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Cepatlah berkemas dan bawa semua
barangmu, toanio."
"Benar, Kui Siang. Kita harus pergi sekatang juga." kata Ma Giok. "Kalau ada pertanyaan
lagi, kita bicarakan dalam perjalanan saja."
Tidak ada lain jalan bagi Kui Siang kecuali menaati ucapan kedua orang itu. la maklum
bahwa ia berada di tangan orang-orang sakti yang dapat dipercaya. Apalagi Ma Giok yang
mengaku sebaga sahabat mendiang ayah kandungnya. Dan melihat wajahnya saja sudah
menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya. Ia bahkan yakin bahwa seorang laki-laki
dengan sinar mata, senyum dan sikap seperti, itu tidak mungkin mempunyai watak yang
jahat!
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 94
Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kuil itu dan setelah tiba di Jereng Bukit Ayam, Ang
Jit Tojin dan Ma Giok berhenti melangkah. Tosu itu mengangkat kedua tangan ke depan
dada, memberi hormat sambil berkata, "Lam-liong, kita berpisah di sini. Mudah-mudahan
kita dapat bertemu dan bekerja sama kembali di masa mendatang."
Ma Giok membalas penghormatan itu. "Ang-totiang, selamat berpisah, dan banyak terima
kasih atas bantuanmu selama ini."
"Lauw-toanio, jaga baik-baik dirimu dan taatilah semua petunjuk Lam-Hong yang
melindungimu."
"Terima kasih, totiang." jawab Kui Sing, diilam hatinya merasa terharu karea tosu itu juga
bersikap amat baik terhadap dirinya.
Ang Jit Tojin lalu berkelebat lenyap lari situ, berlari amat cepatnya.
"Nah, sekarang kita mengambil jalan sendiri. Di lereng sana itu terdapat sebuah dusun.
Aku akan mencari seekor kuda. Apakah engkau dapat menunggang kuda, Kui Siang?"
"Bisa, paman. Suamiku pernah mengajarkan aku menunggang kuda." Lehernya seperti
dicekik ketika ia teringat akan suaminya, namun ditahannya agar tidak nenangis.
Mereka lalu menuju ke sebuah dusun yang berada di lereng Bukit Ayam. Benar saja, Ma
Giok bisa mendapatkan seekor kuda yang cukup baik, yang dibelinya agak mahal.
sehingga mulai dari dusun itu, kui Siang dapat menunggang kuda, diiringkan Ma Giok
yang berjalan kaki.
Dalam perjalanan itu, Ma Giok menceritakari kenibali dengan jelas tentang kematian Lauw
Heng San yang menyadari kesalahannya sehingga dia mengamuk, membunuh Thiociangkun
dan para jagoannya dan dia sendiri tewas. "Bagaimanapun juga, suamimu
menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu karena tertipu, dan dia sudah menyadari
kesalahanya, bahkan dia tewas sebagai seorang pahlawan pembela tanah air dan
bangsa. Dia mati secara terhormat, Kui Siang, patut dibanggakan. Namanya akan tetap
dikenang sebagai seorang pahlawan bangsa."
Kui Siang tidak menangis akan tetapi ia mengusap beberapa air mata yang mengalir ke
atas pipinya. "Akan tetapi setelah ayah tiriku dan suamiku meneninggal, lalu bagaimana
dengan ibuku ;"
"Aku sudah berusaha mencari Nyonya Bu, akan tetapi tidak dapat menemukannya. Yang
jelas, ibumu melarikan dirl, akan tetapi tidak ada yang tahu ke mana larinya."
"Aduh, kasihan ibu ”
"Ya, kasihan Nyonya Bu. Akan tetapi percayalah, Kui Siang, orang yang baik seperti
ibumu pasti dilindungi Thian dan ia akan selamat. Akan kuselidiki dan cari ke mana ia
pergi dan tentu akan kupertemukan denganmu kalau kelak aku berhasil mencarinya."
"Terima kasih, paman. Akan tetapi sebetulnya apakah kesalahan ayah Thio Ci Gan maka
paman sekalian memusuhinya? Menurut aku, selama aku menjadi anak tirinya, dia adalah
seorang yang baik hati. Bahkan suamiku dulu juga memuji-mujinya. Mengapa paman
sekalian begitu membencinya?"
Sejenak Ma Giok menghela napas panjang. Dia adalah seorang yang berpengalaman
luas, bukan saja ahli silat namun juga mengerti tentang persoalan manusia dengan segala
ragamnya. Sambi! menuntun kuda yang ditunggangi Kui Siang, akhirnya dia bicara.
"Begitulah keadaan dunia ini, Kui Siang. Kita manusia dipermainkan oleh keadaan yang
selalu bertentangan. Kerajaan Mancu, dalam hal ini tentu saja para pucuk pimpinannya,
angkara murka dan menjajah tanah air kita. Tentu saja rakyat Mancu membela negaranya
sebagai warga negara yang berbakti kepada bangsa dan tentu saja olehbangsa Mancu
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 95
sendiri para pembela negara itu dianggap sebagai pahlawan. Ayah tirimu adalah seorang
Pangeran Mancu bernama Abagan. Dia seorang yang cerdik dan dia sengaja menyamar
menjadi seorang Han bernama Thio Ci Gan yang menjadi panglima kerajaan Mancu.
Tentu saja dia seorang warga negara Mancu yang baik karena membela kerajaan
bangsanya. mungkin saja diapun seorang yang baik seperti yang kaukatakan tadi. Namun
bagi kami, dia adalah seorang kaki tangan penjajah yang amat jahat, yang menindas
bangsa kami. Mungkin saja pribadinya baik, akan tetapi sifat pekerjaannya adalah jahat.
Kami golongan pejuang selalu menentang dan memusuhi para pembesar Mancu, tiada
bedanya bagi kami apakah mereka itu berpribadi baik atau buruk, karena mereka
merupakan kaki tangan penjajah yang menindas rakyat."
Kui Siang mendengar banyak keterangan dari Ma Giok sehingga ia mulai mengerti tentang
perjuangan para pen dekar. Apalagi setelah ia mendengar tentang sepak terjang ayah
kandungnya, Bu Kiat, yang mengorbankan nyawa demi perjuangan melawan penjajah
Mancu. Bangkit pula semangatnya dan diam-diam iapun bersukur bahwa suaminya tewas
sebagai seorang pejuang, bukan sebagai antek penjajah.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san. Dalam perjalanan jauh
yang makan waktu lama itu Ma Giok bersikap baik, kebapakan, sopan dan penuh
perhatian terhadap Kui Siang sehingga Kui Siang merasa bersukur dan berterima kasih.
Juga Kui Siang merasa kasihan sekali melihat nasib! Ma Giok, mendengar betapa
isterinya telah meninggal dunia dalam keributan perang, bahkan belum lama ini, ketika
terjadi pertempuran menentang Thio-ciangkun, puterinya yang bernama Ma Hong Lian,
anak tunggalnya, juga tewas. Kini Ma Giok juga sebatang kara, namun pendekar itu sama
sekali tidak pernah memperlihatkan kesedihan, walaupun sebagian rambutnya mendadak
telah berubah menjadi putih!
****
Ke mana perginya Nyonya Bu, ibu ndung Bu Kui Siang? Nasib nyonya ini memang amat
menyedihkan. Dalam usia muda, baru dua puluh tahun, sebagai seorang ibu dari anak
yang berusia dua tahun, ia telah ditinggal mati suaminya, panglima Bu Kiat, dan ia sendiri
bersama puterinya yang masih keell mennjadi seorang tawanan Thio-ciangkun, panglima
pasukan Mancu. Kemudian ia diambil isteri muda oleh Thio-ciangkun walaupun hatinya
menolak, mengingat bahwa Thio-ciangkun adalah musuh mendiang suaminya yang
menyebabkan kematian suaminya, namun terpaksa Nyonya Bu menerima karena
Thiociangkun mengancam akan membunuh anaknya yang baru berusia dua tahun itu.
Demi keselamatan anaknya, ia mengorbankan dirinya.
Memang harus diakuinya bahwa Thio-ciangkun mencintanya, juga pembesar itu
menyayang Kui Siang seperti anak sendiri. Akan tetapi hati nyonya ini menjadi semakin
sakit ketika akhirnya ia mengetahui bahwa suaminya yang memakai nama Thio Ci Gan itu
sebetulnya seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Akan tetapi hal ini disimpannya
dalam hati sebagai rahasia dan tidak memberitahukan kepada puterinya. Sikap baik Thiociangkun
terhadap dirinya dan juga terhadap Kui Siang agak menghibur hatinya. Maka
iapun bertahan menjadi isteri Thio-ciangkun sampai delapan belas tahun lamanya.
Akan tetapi, pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa suarminya, dalam memberantas
gerombolan pemberontak, telah menawan seorang yang bernama Ma Giok. Dari para
pelayan dan pengawal ia mendengar bahwa Ma Giok itu seorang pemimpin pemberontak.
Ketika mendapat kesempatan mengintai, ia terkejut sekali mengenal Ma Giok sebagai Maciangkun,
panglima yang menjadi rekan mendiang suaminya ketika sama-sama
membantu pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi! Maka, iapun dengan lembut dan tidak
mecolok ikut membujuk suaminya agar jangan nembunuh Ma Giok, dengan alasan yang
lama seperti dikemukakan Lauw Heng San bahwa dengan memenjarakannya, maka dapat
memancing datangnya para pemberontak lainnya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 96
Kemudian datanglah peristiwa, yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu Lauw Heng
San, mantunya, mengamuk dan membunuhi para jagoan, bahkan juga Thio-ciangkun
dibunuhnya sehingga mati sampyuh. Mantunya itu dibantu oleh para pendekar yang
memberontak. Dalam keributan ini, Nyonya Bu yang telah menjadi Nyonya Thio itu
mencari puterinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia tidak dapat menemukan
puterinya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung hebat dan bahkan terjadi
pembakaran gedung! Nyonya Bu menjadi panik dan iapun melarikan diri lewat pintu
belakang. la maklum bahwa malapetaka telah menimpa dirinya lagi. Lauw Heng San telah
bersatu dengan pemberontak. Hal ini tentu akan berakibat buruk sekali terhadap diri
puterinya, Bu Kui Siang. Dan ia sebagai ibunya pasti akan terlibat pula. Oleh karena itu,
wanita yang berusia empat puluh tahun itu dapat mengambil seekor kuda dari belakang
gedung dan ia melarikan diri keluar dari kota Keng-koan dengan menunggang kuda.
Walaupun bukan seorang ahli, namun sedikit banyak Nyonya Bu pernah belajar ilmu silat
di waktu muda dan iapun pandai menunggang kuda. la terus membalapkan kudanya
keluar dari pintu gerbang kota Keng-koan sebelah barat.
Karena panik melihat mantunya mengamuk, gedung terbakar dan puteri nya melarikan
diri, Nyonya Bu Iupa sehingga dalam pelariannya itu ia tidak membawa apapun kecuali
pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuhnya. Akan tetapi pakaian dan perhiasan
yang dipakainya itu cukup indah dan berharga untuk menarik perhatian gerombolan yang
jahat. Pada masa itu, pemerintah Ceng (Mancu) baru saja berhasil menumpas perlawanan
Jenderal Gouw Sam Kwi sehingga pemerintah yang baru saja menang itu belum sempat
mengatur keamanan di seluruh Cina yang teramat luas itu. Oleh karena itu, dalam
suasana yang keruh itu, di mana pasukan penjaga keamanan belum banyak, terjadilah
Hukum rimba dan orang-orang yang kuat badannya namun lemah batinnya, dikuasai
Nafsunya sendiri dan bertindak sewenang-wenang. Kecenderungan manusia yang
menjadi jahat untuk menyenangkan diri, Merajalela karena pemerintah baru masih belum
sempat membenahi keamanan. tambah lagi dengan adanya sikap pemberontak dari
rakyat yang sebagian besar tidak suka melihat tanah air dikangkangi orang Mancu dan
bangsanya dijajah. Maka keadaan menjadi kacau dan orang-orang mempergunakan
setiap kesempatan untuk mencari kesenangan mengumbar nafsu tanpa memperdulikan
bahwa perbuatan mereka itu keji dan jahat.
Setelah membalapkan kudanya selama setengah malam. dan pagi harinya, akhirnya
Nyonya Bu terpaksa menghentikan larinya kuda yang sudah hampir ambruk karena
kehabisan napas dan kelelahan itu. la berhenti di sebuah jalan yang sepi, yang terletak di
an tara dua buah bukit. Suasana di situ lengang dan sunyi sekali. Mahatari mulal
menyinarkan cahayanya yang hangat, ( di depan sana tampak gerombolan
pohon,menandakan bahwa itu adalah sebuah hutan. Nyonya Bu juga lelah sekali namun
hatinya merasa lega karena ia sudah dapat menlnggalkan kota Keng-koan. la tahu bahwa
ia sudah berada jauh darl Kengkoan, namun tidak tahu la berada dl mana dan lebih tldak
tahu lagi la hendak pergi ke mana. la sudah tidak mempu yai keluarga lagi. Puterinya,
satu-satunya keluarga, tidak tahu pergi kemana. Mungkin keluarga Thio-ciangkun masih
ada. Mungkin putera-puteranya masih ada. Akan tetapi selama ini ia merasa asing dari
keluarga suaminya itu. Kluarga suaminya dan isteri pertama suaminya adalah keluarga
Mancu dan la sebagai seorang wanita Han agaknya dipandang rendah dan diasingkan.
Kalau saja Thio-ciangkun tidak menyayang ia dan puterinya, mungkin sudah lama mereka
berdua diusir dari gedung Thioiangkun.
Nyonya Bu melepas kendali kuda dan membiarkan kudanya minum dari air anak sungai
kecil yang mengalir di dekat dan, lalu makan rumput yang tumbuh subur di situ. Ia sendiri
kelelahan dan duduk di atas batu di bawah sebatang pohon. Hatinya sedih dan bingung.
Sebelum melarikan diri, ia mendengar bahwa suaminya dan mantunya saling bunuh,
berkelahi dan mati sampyuh keduanya tewas. Puterinya menghilang gedungnya terbakar
dan ia kehilangan segala-galanya. Akan tetapi Nyonya Bu tidak menangis, melainkan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 97
termenung bingung. Air mata wanita itu sudah habis ditumpahkan dalam tangisnya selama
bertahun-tahun semenjak ia ditinggal mati Bu Kiat, suaminya yang pertama. la
mengorbankan dirinya, membiarkan dirinya diperisteri Thio-ciangkun yang ia ketahui
adalah Pangeran Abagan. Hatinya sudah mengeras dan ia hanya dapat merasakan
bahagia kalau melihat puterinya, Bu Kui Siang, hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang
mantunya tewas dan Kui Siang menghilang. Habislah sudah segalanya. Dan ia merasa
kesepian bukan main, tak tahu apa yang harus ia lakukan dan ke mana ia harus pergi.
Karena semalam menunggang kuda dan tubuhnya penat sekali, duduk di bawah pohon
yang melindunginya dari sengatan matahari pagi, dihembus angin yang bersilir lembut dan
sejuk, nyonya Bu tidak dapat menahan rasa kamuknya lagi. Ia bersandar pada batang
pohon dan sebentar saja ia sudah tertidur nyenyak.
Entah berapa lama ia tertidur pulas, nyonya Bu tidak tahu. Ia terbangun karena merasa
rambutnya ada yang menarlk-narik. Ketika ia terbangun dan lembuka matanya, tidak ada
siapa-silapa di situ. Karena masih mengantuk, iapun memejamkan kedua matanya
kembali. Baru saja matanya terpejam, ia merasa betapa kedua kakinya tersentuh sesuatu.
Cepat ia membuka kedua matanya dan kini ia terbelalak, sadar betul melihat kedua
kakinya sudah telanjang, tidak bersepatu lagi. Kedua sepatunya telah hilang, entah ke
mana dan bagaimana. Selagi ia kebingungan menghadapi peristiwa aneh hilangnya
sepasang sepatunya, tiba-tiba terdengar suara orang terkekeh yang datangnya dari atas.
Cepat ia menengadah dan sepasang matanya terbelalak heran dan juga ngeri. Di sana, di
atas pohon yang sandarinya tadi, tampak seorang nenek duduk nongkrong di at as
sebatang cabang pohon, terkekeh-kekeh dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang
(bergantungan) itu diayun-ayun dan kedua kaki itu mengenakan sepasang sepatunya
yang hilang! Tangan kanan nenek itu meraba-raba rambutnya dan Nyonya Bu melihat
bahwa rambut yang sudah penuh uban itu terhias benda cemerlang yang bukan lain
adalah hiasan rambutnya sendiri yang berbentuk seekor burung merak terbuat dari emas
dan permata. Dengan heran ia meraba kepalanya dan benar saja, hiasan rambutnya
sudah tidak ada. Teringatlah ia bahwa tadi.ia terbangun karena merasa rambutnya ada
yang meraba dan menarik-narik. Kiranya nenek itu yang mencuri hiasan rambut dan
sepasang sepatunya! Akan tetapi, ia tidak berani menyatakan perasaan marahnya,
bahkan merasa seram dan ngeri. Nenek itu memang menyeramkan, apalagi dilihat dari
bawah, sedang duduk ongkang-ongkang di tempat tinggi seperti itu. Sukar ditaksir usianya
karena muka itu tidak karuan. Memang masih ada garis-garis kecantikan membekas pada
wajah itu, akan tetapi kecantikan yang mengerikan karena sepasang mata itu melirak-lirik,
terkadang terbelalak mencorong, terkadang menyipit lucu dan aneh, hidungnya cengarcengir
dan mulutnya memakai gin-cu merah tebal sekali, bibirnya mencap-mencep,
senyum-senyum mengejek dan mencibir, dan bergerak-gerak bicara lirih tak jelas artinya.
Kulit muka itu dibedaki putih tebal seperti tembok dikapur. Rambutnya memang bersih dan
panjang, akan tetapi tidak disisir dan dibiarkan riap-riapan dak karuan, dan rambut itu
sudah berrwama dua namun mengkilap. Pakaianya juga aneh. Berkembang-kembang,
dari kain yang bersih dan baru, akan tetapi penuh tambal-tambalan, tambalan kain baru
lagi. Meremang rasa bulu tengkuk Nyonya Bu. Nenek gila! Tentu orang nenek yang gila
dan menyeramkan sekali, lebih pantas disebut hantu daripada manusia. Tubuhnya kurus
dan biarpun sukar mengetahui usianya, namun dilihat rambut yang sudah berwama dua
dan garis-garis di sekitar kedua matanya, tentu usia nenek itu sudah lebih dari enam puluh
tahun.
"Hi-hi-hehe-heheheh............!" Nenek itu terkekeh-kekeh dan memandang ke arah dua
buah kakinya yang bersepatu, seperti anak kecil bergembira karena memakai sepatu baru.
Nyonya Bu menabahkan hatinya yang merasa seram. Ia tidak perduli kalau hiasan
rambutnya yang mahal diambil nenek itu, akan tetapi sepatu itu amat ia perlukan. Tanpa
sepatu, bagaimana ia dapat melakukan perjalanan? Kaki yang sudah puluhan tahun selalu
memakai alas tentu akan terasa nyeri kalau dipakal berjalan telanjang saja. "Heii......
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 98
nenek yang baik! Kembalikan sepasang sepatuku dan engkau boleh memiliki hiasan
rambut itu! Kemballkan kepadaku!"
Akan tetapi nenek itu hanya tertawa ha-ha-he-he tanpa memperdulikan Nyonya Bu sama
sekali, bahkan ia lalu mengambil beberapa helai daun pohon dan dimasukkan daun-daun
itu ke mulutnya lalu dimakannya dengan enak! Nyonya Bu bergidik. Daun-daun pohon itu
kasar dan sama sekali tidak biasa dimakan orang.
"Hee! Ini ada seekor kuda! Wah, kuda yang besar bagus, tentu mahal sekali harganya!"
"Dan ini ada seorang cantik sekali. Biar tidak muda lagi, namun cantik jelita bahkan!"
"Ha-ha-ha, beruntung sekali kita pagi ini! Kuda itu boleh kita jual dan hasilnya dibagi
antara kalian berempat, akan tetapi kuda betina cantik ini untuk aku sendiri, kalian tidak
boleh menggangguya”
Tiba-tiba muncul lima orang laki-laki. Empat orang diantara mereka menangkap dan
memasangkan kendali kuda yang tadi dilepas Nyonya Bu, sedangkan yang seorang lagi
menghampiri wanita itu. Nyonya Bu terkejut dan sekilas ia mendongak, akan tetapi nenek
gila itu sudah tidak tampak di atas pohon lagi. la bangkit dan memperhatikan lima orang itu
dan merasa gelisah. Mereka itu jelas bukan orang baik-baik. Wajah mereka bengis,
pakaian lusuh dan sikap mereka kasar sekali. Yang menghampirinya adalah seorang lakilaki
gemuk pendek dengan kepala besar, usianya sekitar empat puluh tahun dan dia
memegang sebatang golok besar, matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti
hendak menelannya bulat-bulat! Nyonya Bu merasa ngeri dan ia mencoba untuk
menyelamatkan diri dengan gertakan.
"Jangan ganggu aku! Aku adalah isteri Thio-ciangkun panglima di Keng-koan! Kalau kalian
berani mengganggu, pasukan keamanan akan datang menangkap kalian!"
Akan tetapi mendengar ucapan itu, lima orang kasar itu tertawa bergelak, dan si pendek
gendut itu tertawa sampai perutnya bergelombang. "Ha-ha-haha Thio-ciangkun dan
pasukannya sudah hancur binasa oleh para pejuang semalam dan engkau hendak
menggertak kami, manis? Mari, ikutlah dengan aku dan engkau akan hidup senang!"
Setelah berkata demikian, kepala gerombolan Itu menubruk dengan kedua tangan
terpentang di kanan kiri.
Melihat ini, Nyonya Bu yang pernah belajar silat itu cepat mengelak ke kiri lalu kaki
kanannya menendang ke arah perut yang gendut itu. Akan tetapi sejak menjadi isteri Thiodangkun
de lapan belas tahun yang lalu ia tidak pernah lerlatih, gerakannya menjadi kaku,
lambat dan tidak bertenaga.
"Bukk........ bretttt....... !" Biarpun kakinya mengenai perut si gendut, namun ia merasa
seperti menendang sebuah karung penuh gandum saja, dan elakannya juga kurang cepat
sehingga tangan kanan kepala gerombolan itu masih dapat nencengkeram pundak
bajunya sehingga bajunya terobek. Tampaklah kulit pundaknya yang putih mulus.
"Ha-ha-ha-ha, kakimu kecil mungil dan lunak dan kulit tubuhmu....... waaahh, putih
mulus.......... hemmm, hebat sekali.........!" si pendek gendut menjadi semakin bergairah
dan ia sudah bergerak hendak menubruk lagi, ditertawai oleh empat orang anak buahnya
yang sudah dapat menguasai kuda. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencuit dan
tampak sinar hijau menyambar ke arah muka kepala gerombolan itu.
"Cuiiiittt........ capp........ aauugghhhh....... !" Tubuh si gendut pendek, terjengkang dan
darah muncrat membasahi mukanya. Sehelai daun telah menancap di dahi, antara kedua
matanya dan tubuhnya yang pendek gendut itu berkelojotan sebentar lalu diam, tewas
seketika.
Nyonya Bu terkejut sekali dan terbelalak memandang mayat kepala gerombolan yang
menggeletak terlentang di depannya. Empat orang anak buah gerombolan itupun terkejut
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 99
dan sejenak mereka hanya terbelalak memandang. Kemudian mereka menjadi marah
sekali. Mereka mengira bahwa pemimpin mereka tentu dibunuh oleh Nyonya Bu. Maka
tanpa dikomando lagi mereka berempat mencabut golok dan menyerbu ke arah wanita itu
dengan golok terangkat, siap untuk membacok, dan mulut mereka mengeluarkan teriakan
marah. Nyonya Bu hanya tertegun, tak mampu bergerak dan sudah pasrah karena ia tahu
bahwa tidak mungkin ia melepaskan diri dari ancaman orang itu.
"Cuit-cuit-cuit-cuitt ……. !" Empat sinar hijau menyambar dari atas dan empat orang
pendajahat itu tersentak ke belakang seperti diterjang sesuatu, mulut mereka
mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuh mereka terjengkang. seperti halnya
pemimpin mereka, di dahi masing-masing menancap sehelai daun dan agaknya daun itu
menanxap dalam sekali sehingga darah muncrat-muncrat, mata terbelalak, tubuh
berkelonjotan sebenntar lalu terdiam. Mereka semua tewas seketika!
Suasana yang sunyi menyeramkan menyusul peristiwa mengerikan itu. nyonya Bu hanya
berdiri terbelalak, memandang lima mayat di depannya dan merasa kedua kakinya lemas.
Ditahan-tahannya agar tidak roboh pingsan saking ngerinya. Tiba-tiba terdengar suara
tawa aneh itu dari atas, terkekeh-kekeh.
"Hi-hi-'heh-heh-heh-heh!” Nyonya Bu mendongak dan melihat nenek gila tadi sudah duduk
pula di atas sebatang batang pohon, kedua kakinya yang bersepatu itu terayun-ayun dan
sambil matanya melirak-lirik menggelikan, mulutnya tersenyum mengejek dan iapun
bernyanyi dengan suaranya yang melengking tinggi sehingga terdengar aneh sekali,
membuat Nyonya Bu mengkirik (berdid bulu romanya).
"Yang hidup harus mati agar yang mati bisa hidup
Yang hidup mematikan agar yang mati menghidupkan
Haya-haya.mo ya-ya-ya......"
Nyonya Bu merasa ngeri. Apakah la yang hidup juga akan dibunuh? Diam-diam ia meraba
gagang pisau belati yang tadi dibawanya dari rumah untuk berjaga diri dan yang tadi
belum sempat ia pergunakan karena lupa. Akan tetapi pada saat itu iapun menyadari
bahwa si nenek gila itu adalah seorang yang sangat sakti, yang dapat membunuh lima
orang jahat yang kuat itu hanya dengan sehelai daun! Bagaimana mungkin itu? Akan
tetapi kenyataannya begitulah. Lima orang itu semua tewas hanya karena daun pohon
yang menancap di dahi mereka masing-masing. Daun yang basah dan lunak! Dan
bagaimanapun juga, nenek gila itu telah menyelamatkannya dari malapetaka yang
mungkin lebih mengerikan daripada maut sendiri. Tiba-tiba dalam keputus-asaannya tadi,
dalam kesendiriannya, ia seperti mendapatkan pegangan kuat. Mengapa tidak? Cepat
Nyonya Bu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah nenek yang duduk di atas pohon
itu.
"Bibi yang sakti..... bibi yang budiman........ "
"Hushh!" Nenek itu memotong dengan marah. "Memangnya aku ini bibimu? Kapan aku
kawin dengan pamanmu? Hihi-heh-heh-heh! Kurang ajar kamu! Aku ini Kui-bo (Biang
Hantu), sebut aku Kui bo atau.... kamu ingin menemani lima orang itu?" Cuiiiitt..... ! Sinar
hijau neluncur dan sehelai daun menancap di atas batu dekat Nyonya Bu. Wanita ini
terbelalak pucat. Sehelai daun dapat nenancap dalam sebuah batu yang keras! mustahil,
akan tetapi kenyataannya demikian!
"Kui-bo.......!" Nyonya Bu menyembah berulang-ulang. "Ampunkan saya. Saya
menghaturkan beribu terima kasih....... "
"Tidak cukup! Sepatutnya berlaksa!" nenek i tu terkekeh lagi.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 100
Dasar gila, pikir Nyonya Bu. Apa boleh buat, ia harus menaati perintah nenek gila itu.
"Baiklah, Kui-bo. Saya menghaturkan berlaksa terima kasih atas pertolongan Kui-bo
menyelamatkan saya dari ancaman orang jahat ini."
"Huh, siapa jahat? Mereka itu bukan jahat, melainkan gilal ya, gila basah" Nenek itu
kembali tertawa terkekeh-kekeh sehingga biarpun merasa ngeri, akan tetapi Nyonya Bu
juga merasa lucu sekali.
"Heh, kenapa engkau tidak. tertawa? Engkau tidak senang ya melihat aku tertawa?" nenek
itu membentak marah dan Nyonya Bu terkejutsekali, akan tetapi tentu saja ia tidak tahu
harus berbuat apa. Untuk tertawa ia takut kalau-kalau disangka mentertawakanJ nenek
itu, kalau tidak, nenek itu marah-marah dan menyangka ia tidak suka melihat nenek itu
tertawa. Sungguh seba salah.
Jilid 12
"Ti..... tidak, Kui-bo...... tentu saja aku senang melihat engkau tertawa." akhirnya Nyonya
Bu berkata membela diri.
”Kalau senang, mengapa tidak ikut tertawa? Hemm, aku mau membuat engkau ikut
tertawa sampai puas!" setelah berkata demikian, nenek itu tertawa lagi, akan tetapi
sekarang suaranya berbeda, terdengar aneh sekali, mengikik seperti bukan suara
manusia
Dan tiba-tiba terjadi keanehan nyonya Bu tiba-tiba tertawa bergelak ada sesuatu yang
membuat ia harus tertawa, seolah perutnya digelitik. Ia hendak bertahan, akan tetapi tidak
mampu dan iapun tertawa bergelak, lalu terkekeh-kekeh, merasa geli bukan main sampai
ia menekuk pinggangnya, membungkuk-bungkuk sambil menekan perutnya, terus tertawa
terpingkal-pingkal.
”........ ha ha ha....... heh heh.......... hi hi hih..... aduuhh......... ampun...... ha ha ha.... he he
he...... ampun, Kui-bo... hi hi hi...?”
Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dari atas pohon dan sekali ia menepuk
punggung Nyonya Bu, wanita itu berhenti tertawa. Tubuhnya terasa lemas dan iapun
terkulai ke atas tanah, lalu menangis terisak-isak, sesenggukan
Sikap nenek itupun berubah seketika Ia berhenti terkekeh, lalu berloncat-loncat seperti
anak kecil bermain-main ia mengitari Nyonya Bu, kemudian melihat betapa wanita itu tetap
saja menangis sedih, nenek itu tiba-tiba mendekam di samping Nyonya Bu dan ikut pula
menangis. Tangisnya amat lantang, berkaok-kaok seperti anak kecil digebuk!
Mendengar tangis ini, Nyonya Bu yang sedang berduka karena teringat akan nasibnya
yang buruk, menjadi terkejut dan heran. Ia berhenti menangis 5aking herannya dan
mengangkat muka memandang ke arah nenek yang menangis berkaok-kaok itu. Ia
terbelalak melihat nenek itu menangis sungguh-sungguh bukan sekedar berteriak-teriak,
melainkan juga air matanya bercucuran.
"Kui-bo......, kenapa engkau menangis?' Nyonya Bu yang lupa kesedihannya dan
tangisnya berhenti sama sekali, bertanya merasa kasihan.
Nenek itu menghentikan tangisnya dan mengambil sehelai saputangan dari balik ikat
pinggangnya, lalu menyusut hidungya dengan suara nyaring.
"Heh? Engkau bertanya mengapa aku menangis? Tanyalah kepada dirimu sendiri, kenapa
engkau menangis karena ku menangis hanya mengikutimu saja."
Nyonya Bu menghela napas. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang nenek
gila, akan tetapi nenek gila yang amat lihai. Nenek gila yang sakti, yang membunuh
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 101
banyak orang dengan begitu mudahnya, hanya mengguakan daun-daun! Iamengerling ke
arah mayat-mayat itu dan bergidik.
"Kui-bo, aku merasa ngeri sekali melihat mayat-mayat itu. Marilah kita pergi ke tempat lain
untuk bicara dan akan kuceritakan mengapa aku bersedih dan menangis.",
Nenek itu menoleh ke arah mayatmayat dan ia terkekeh. Tertawa dengan air mata masih
membasahi mata dan pipinya. "Heh-heh-heh, kenapa ngeri? Ketika mereka masih hidup
dan dapat bergerak sekalipun, tidak mengerikan. Kenapa setelah mati dan tidak mampu
apa-apa lagi, mereka mengerikan? Kenapa manusia takut kepada orang mati? Heh-hehheh,
alangkah tololnya. Kalau. kau merasa ngeri, hayo kita pergi ke tempat lain." Tiba-tiba
nenek itu mengulurkan tangan kirinya dan menangkap lengan kanan Nyonya Bu,
ditariknya dan diajaknya pergi.
"Nanti dulu, Kui-bo. Kudaku....... Nyonya Bu menengok ke arah kudanya yang masih
makan rumput.
"Heh-heh, kuda? Untuk apa?" Nenek itu berhenti dan bertanya heran.
"Untuk apa? Tentu saja untuk ditunggangi. Untuk apa lagi?" tanya nyonya Bu, tidak kalah
herannya walaupun la sudah tahu bahwa nenek itu berotak miring.
"Bodoh! Tolol banget kamu!" Nenek dan memaki. "Apa engkau tidak mempunyai kaki?
Hayo jawab, apa engkau tidak mempunyai kaki?" Nenek itu memegang pundak Nyonya
Bu dan mengguncangnya.
"Eh...... eh, punya, Kui-bo, punya...... "
"Nah, kalau punya kaki, untuk apa kakimu itu? Mengapa untuk berjalan saja, harus
meminjam kaki kuda. Malas kau! bodoh kau!" Nenek itu menarik lagi lengan Nyonya Bu,
diajak pergi.
"Ya...... ya......., kuda boleh ditinggal, kan tetapi buntalanku itu, berisi pakaian dan uang "
"Untuk apa pakaian dan uang? Kalau butuh itu, ambil saja dari mereka yang nemiliki
berlebihan. Sudah, jangan cerewet. Kutampar nanti kau!!
Nyonya Bu tidak berani bicara lagi jan membiarkan dirinya diseret oleh nenek itu menjauhi
tempat di mana mayat-mayat itu menggeletak.
Nenek itu berhenti di bawah sebuah pohon besar, melepaskan tangan Nyonya Bu dan
duduk di atas sebuah batu. "Hayo duduk dan ceritakan mengapa tadi engkau menangis!"
katanya.
Nyonya Bu duduk dan tidak berani membantah. Nenek gila ini berbahaya sekali, pikirnya.
Kalau tidak dituruti permintaannya, mungkin saja ia dibunuh. Kalau hanya dibunuh masih
mending, bagaimana kalau ia disiksanya? la bergidik ngeri. Maka berceritalah ia dengan
sejujurnya.
"Aku bernama Nyonya Bu, delapan belas tahun yang lalu, suamiku tewas dalam perang
dan aku menjadi tawanan lalu dipaksa menjadi isteri Thio-ciangkun dan tinggal di kota
Keng-koan."
"Mengapa suamimu tewas perang?"
"Suamiku bernama Bu Kiat dan menjadi seorang perwira dalam pasukan Jenderal Gouw
Sam Kwi menentang penyerbuan pasukan Mancu."
Nenek itu melompat turun dari batu dan berjingkrak menari-nari.
"Heh-heh, bagus, bagus! Kalau begitu suamimu itu masih rekan seperjuanganku... Hehheh-
heh!" Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menari, lalu bertanya kepada
Nyonya Bu, nadanya penuh teguran.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 102
"Eh, siapa itu Thio-ciangkun?"
Dengan terus terang Nyonya Bu menjawab. "Thio Ciangkun (Perwira Thio) adalah Thio Ci
Gan, akan tetapi dia setulnya adalah Pangeran Abagan."
"Heee? Seorang pangeran Mancu?"
"Benar, kui -bo."
"Keparat! Dan engkau lalu menjadi isterinya setelah suamimu tewas?" Tiba-tiba tangan kiri
nenek itu mencengkeram leher Nyonya Bu.
Nyonya Bu yang sudah merasa putus asa hidup di dunia ini menjadi nekat”Hik-hik!" la
terkekeh walaupun lehernya dicekik. "Mau bunuh aku? Lekas bunuh, akupun tidak suka
lagi hidup di dunia ini bunuhlah, kui-bo!"
Aneh sekali. Ditentang begitu nenek malah hilang marahnya. Ia melepaskan cekikannya
dan mengomel. "Tak tahu malu, suaminya yang pejuang terbunuh malah menjadi isteri
orang Mancu! Huh, wanita macam apa kau ini!"
Teguran seperti itu lebih menyakitkan daripada kematian sekalipun. Wajah Nyonya Bu
menjadi merah. Ia turun dari atas batu dan dengan dada membusung ia menentang
pandang mata nenek itu dan berkata lantang.
"Kui-bo, jangan sembarangan saja menuduh. Kalau saja tidak ada hal yang memaksaku,
sampai matipun aku tidak sudi menjadi isteri pangeran Mancu. Akan tetapi aku terpaksa.
Aku tertawan bersama anak tunggalku, anak perempuan yang baru berusia dua tahun.
Kalau aku menolak, tentu anakku itu akan dibunuh! Demi menyelamatkan anakku maka
terpaksa aku mengorbankan diri menjadi isteri Pangeran Mancu itu.”
Nenek itu mengangguk-angguk, agaknya otaknya yang miring itu dapat memahami hal ini.
Tiba-tiba ia menjadi marah. "Di mana pangeran Mancu iblis laknat itu kini berada? Akan
kuhancurkan kepalanya?”
"Percuma, Kui-bo. Dia sudah mampus."
"Eh? Siapa yang lancang mendahului aku membunuhnya? Akan kuhajar pembunuh
lancang itu. Dia mengecewakan hatiku!" Nenek yang miring otaknya itu mencak-mencak
marah.
Nyonya Bu menghela napas panjang dasar orang gila, pikirnya, bicaranya tidak karuan.
"Tidak ada gunanya, kui bo. Pembunuhnya juga sudah mati."
Nenek itu memandang dengan mata terbelalak dan tampak bingung. "Heh? bagaimana
ini? Lalu siapa yang harus kubunuh? Apa yang terjadi, Nyonya Bu?"
"Begini, Kui-bo. Setelah anakku itu berusia dua puluh tahun, ia menikah dengan seorang
pendekar bernama Lauw leng San. Pendekar itu terbujuk oleh Thio-ciangkun ……"
"Huh, nama palsu. Sebut saja Pangean Abagan!" bentak nenek itu.
"Lauw Heng San yang menjadi mantuku itu terbujuk oleh Pangeran Abagan. Dia mengira
bahwa Pangeran Abagan adalah seorang ayah mertua dan pembesar yang baik. Maka
diapun ikut dan membantu para pembesar untuk menlumpas para pejuang yang
menentang pemerintah Mancu dan menganggap mereka itu pengacau dan penjahat"
"Wah, tolol benar mantumu itu, Mantu apa itu, pecat saja dan ceraikan dari anakmu!"
Nenek itu kembali marah dan kalau marah sinar matanya mencorong seperti mata kucing
di waktu malam gelap.
"Nanti dulu, Kui-bo, kulanjutkan ceritaku. Mantuku itu kemudian menyadari bahwa
Pangeran Abagan adalah orang Mancu yang jahat, bahkan ia mendengar bahwa
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 103
Pangeran Abagan membunuh banyak pendekar pembela negara dan bangsa. Maka,
kemarin, Lauw Heng San mengamuk, dikeroyok para jagoan anak buah Pangeran
Abagan. Heng San mengamuk, banyak jagoan dibunuhnya, dan dia akhirnya mati saling
bunuh dengan Pangeran Abagan. Melihat keributan ini, aku melarikan diri naik kuda, tidak
tahu ke mana perginya puteriku yang melarikan diri lebih dulu. Sampai akhirnya aku tiba di
sini bertemu denganmu, Kui-bo. Ahh, rasanya aku lebih baik mati saja. Sejak suamiku, Bu
Kiat, tewas, nasib diriku terus dirundung malang. Harapanku satu-satunya hanya pada
puteriku. Kalau puteriku berbahagia, akupun rela berkorban dan menanggung
kesengsaraan. Akan tetapi sekarang……. ah, lebih baik aku mati saja, Kui-bo……."
Nyonya Bu menangis lagi.
"Stop, stop! Jangan menangis lagi, nanti aku ikut menangis. Kau ingin mati? tidak tahan
hidup lagi? Pengecut, penakut, tidak pantas kau menjadi isteri seorang pendekar patriot
seperti Bu Kiat apa kau tidak ingin membalas kejahatan perwira anjing Mancu?"
"Aduh, Kui-bo, bagaimana mungkin? Aku hanya seorang wanita yang Ielah dan sudah
mulai tua. Tentu saja aku ingin membasmi penjajah Mancu yang telah membunuh
suamiku dan kini membuuh mantuku dan membuat puteriku melarikan diri entah ke mana.
Hidupku sengsara semenjak bangsa Mancu menjajah tanah air kita. Aku ingin membalas
lendam, akan tetapi bagaimana?"
"Ho-ho-heh-heh, dasar perempuan goblok! Lihat aku ini. Apa aku ini kurang tua? Akan
tetapi aku sudah membunuh banyak anjing Mancu. Jadilah muridku dan engkau akan
dapat membunuh banyak musuh!"
Mendengar ini, Nyonya Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki nenek itu. "Su-bo
(Ibu guru), tee-cu (murid) suka sekali kalau Subo sudi mengajarkan ilmu kepada tee-cu:"'
"Hemm, kalau engkau benar-benar ingin menjadi muridku, mulai sekarang engkau harus
tunduk dan taat kepadaku, melaksanakan semua perintahku, En gkau sanggup?"
“T ee-cu sanggup, su-bo!"
"Nah, perintahku yang pertama. Mulai saat ini engkau tidak boleh menyebut Subo
kepadaku. Sebut saja Kui-bo karena aku dikenal sebagai Pek-sim Kui-bo (Biang Iblis
Berhati Putih). Dan aku akan tetap menyebutmu Nyonya Bu!"
"Baik, Kui-bo." kata Nyonya Bu dengan sikap taat. Ia tahu bahwa gurunya ini seorang
nenek yang sakti sekali akan tetapi wataknya aneh, seperti orang gila. Kalau tidak di turuti
kehendaknya, bisa repot dan berbahaya sekali.
Mungkin ia akan dibunuhnya seketika. Nyonya Bu tidak tahu bahwa nenek itu, biarpun
seperti orang gila, namun ia dapat membunuh dengan kejam hanya kepada orang jahat,
dan tidak pernah mengganggu orang baik-baik, bahkan selalu menolong orang yang
tertindas. Karena itu dunia kangouw (sungai telaga, persilatan) memberinya julukan Biang
iblis Berhati Putih.
"Bagus! Nah, sekarang mari kita pergi." Pek-sim Kui-bo memegang tangan Nyonya Bu
dan membawanya berlari. Nyonya Bu terkejut bukan main. la menggerakkan kedua
kakinya untuk ikut berlari, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat, kedua
kakinya tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur dengan cepatnya. la
melihat nenek itu berlari cepat sekali dan ia merasa seolah dirinya dibawa terbang!
Setelah matahari condong ke barat, barulah Pek-sim Kui-bo berhenti. Mereka. telah berlari
jauh sekali, melewati dua buah bukit dan keluar masuk beberapa buah hutan besar. Ketika
Pek-sim Kui-bo berhenti di sebuah hutan, ia melepaskan tangan Nyonya Bu dan sambil
menengadahkan mukanya ke atas, hidungnya kembang-kempis mencium-cium. Melihat
ini, Nyonya Bu otomatis juga memperhatikan dan menyedot-nyedot dengan hidungnya
untuk dapat mencium apa yang agaknya menarik hati nenek itu. Akhirnya ia mencium bau
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 104
sedap dari daging dibakar dan tahulah ia mengapa nenek itu berhenti. Agaknya bau
daging dibakar itulah yang membuat nenek itu berhenti. Kalau tidak, agaknya ia tidak akan
pernah menghentikan larinya yang seperti terbang.
"Aduh-aduh …….!" Tiba-tiba Pek- sim Kui-bo terbungkuk-bungkuk dan menekan perutnya
dengan kedua tangannya dan mukanya tampak seperti orang kesakitan. Melihat ini,
Nyona Bu terkejut dan cepat menghampiri "Kui-bo, ada apakah? Apamu yang sakit?"
“Aduh ……. aduh ……. perutku !" nenek itu mengeluh.
“Ada apa dengan perutmu? Sakitkah?"
Nenek itu mengangguk sambil menekan perutnya.
"Sakit apakah, Kui-bo? Mulas?"
"Tidak, akan tetapi perih sekali ………, lapar …….!”
Mendengar ini, tak tertahankan lagi. Nyonya Bu tertawa terkekeh-kekeh saking gelinya
melihat ulah nenek itu mencium bau daging bakar mendadak perutnya terasa lapar dan ia
mengerang kesakitan.
Nenek itu begitu mendengar orang tertawa lalu tertawa bergetak, akan tetapi segera
tawanya berubah menjadi tangis dan ia berteriak-teriak, " …….lapar! Lapar …….!”
"Mari, Kui-bo, kita datangi orang yang memanggang daging itu. Mungkin dia mau
membagi sedikit untuk kita." kata Nyonya Bu yang tiba-tiba juga merasa betapa lapar
perutnya. Menurutkan nalurinya sebagai seorang ibu yang menghadapi seorang anaknya
yang rewel,. Nyonya Bu juga menggandeng tangan Pek-sim Kui-bo dan menariknya,
mengajaknya memasuki hutan menuju ke arah dari mana datangnya bau sedap daging
panggang itu. Pek-sim kui-bo menurut saja dengan lagak manja. Seperti anak kecil
merengek kepada ibunya.
Ketika mereka tiba disebuah lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu, mereka
melihat asap mengepul dan ternyata memang ada seorang laki-laki berusia kurang lebih
empat puluh tahun duduk menghadapi api unggun dan memanggang dua ekor kelenci
gemuk yang sudah dikuliti. Agaknya laki-laki itu memberi bumbu kepada dua ekor kelenci
yang dipanggangnya maka tercium bau yang sedap seperti bau bawang dimasak. Bahkan
Nyonya Bu sendiri yang juga merasa lapar itu terpaksa menjilat bibir dan menelan ludah
melihat daging yang kemerahan dan mengeluarkan bau sedap itu.
Ketika mendengar langkah orang laki-laki itu menoleh dan melihat dengan heran kepada
dua orang wanita itu. Tentu saja ia merasa heran melihat dua orang wanita tiba-tiba
muncul dalam hutan lebat itu. Apalagi melihat nyonya Bu yang dalam usia kurang lebih
empat puluh tahun masih tampak cantik jelita dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.
Melihat laki-laki itu menengok dan tampak wajahnya yang berkumis, berjienggot dan
bercambang tebal, Nyonya Bu lalu melangkah maju dan merangkap kedua tangan depan
dada sambil mem)ungkuk sebagai penghormatan.
"Sobat, kami berdua sedang merasa lapar sekali. Kalau boleh kami ingin minta sedikit
daging yang kau panggang itu." kata Nyonya Bu dengan halus dan sopan.
Laki-laki itu bangkit berdiri menghadapi Nyonya Bu, mengamati wanita itu dari rambut
sampai ke kakinya, kemudian nenyeringai lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan
kanan meraba-raba jenggotnya.
“Nona yang baik, apakah kalian hanya datang berdua saja?”
Nyonya Bu mengangguk, tidak perduli walaupun orang menyebutnya nona”
"Tidak ada laki-laki yang mengantar kalian?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 105
Kembali Nyonya Bu menjawab dengan gelengan kepala saja.
Laki-laki itu tampak gembira, lalu melirik ke arah Pek-sim Kui-bo dan dia lalu berkata,
"Nona, makanan tidak dapat diberikan dengan cuma-cuma begitu saja."
"Aku mau membelinya, menukamya dengan cincin ini …….." Nyonya Bu hendak
mencabut sebuah cinci kecil dari jari manisnya.
"Wah, aku tidak ingin cincinnya. Yang kuinginkan adalah jarinya!" kata laki-laki itu.
Nyonya Bu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Jarinya? mana mungkin jariku
ini kuberikan padamu?” tanyanya, masih tidak mengerti.
"Ha-ha-ha, kalau jarinya tidak bisa diberikan karena menempel pada tangannya, berikan
saja tanganmu kepadaku!"
“Tapi …. tapi ……” Nyonya Bu membantah sambil memandang kirinya. Mana munkin…..?
diberikan?
"Ha-ha-ha-ha, tangan yang menempel pada tubuhmu. Semua anggauta tubuhmu tidak
dapat dipisah-pisahkan, maka berikan saja seluruh tubuhmu padaku, nona."
Wajah Nyonya Bu menjadi merah. “Apa maksudmu?" tanyanya ketus.
"Masa engkau tidak tahu? Mari makan bersamaku, nona manis, kemudian kita berdua
pergi bersenang-senang. Adapun nenek ini ……. nenek buruk gila seperti setan ini, biar
saja ia kelaparan dan nasuk ke neraka ….. heiii! Apa yang kaulakukan itu? Kembalikan
dagingku!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu nelihat betapa Pek-sim Kui-bo tiba-tiba maju
dan menyambar seekor kelenci panggang yang langsung menggigit dan memakan. Tentu
saja dia marah sekali dan cepat dia menerjang maju hendak nerampas kembali daging
kelenci itu. Akan tetapi sekali kakinya mencuat, laki-laki itu tertendang dan terlempar ke
belakang lalu terbanting roboh! Laki-laki itu menjadi marah sekali dan dia sudah mencabut
sebatang golok dari ikat pinggangnya, kemudian sambil menggereng seperti seekor
binatang dia berlari ke arah Pek-sim Kui-bo lalu menyerangnya dengan golok di tangan.
Golok itu menyambar ke arah ke arah kepala nenek itu. Nenek itu masih memegang
kelinci panggang di tangan kiri, lalu menggunakan tangan kanannya menyambut golok
yang menyambar ke kepalanya.
Dengan tangan kosong ia menyambut golok tajam yang membacok itu. Golok bertemu
dengan tangan yang kurus dan jari-jari tangan nenek itu telah dapat menangkap golok.
Laki-laki itu tentu saja merasa heran dan penasaran melihat goloknya ditangkap begitu
mudah oleh tangan si nenek. Dia mengerahkan tenaga untuk menarik dan mengiris
tangan nenek itu agar terbabat putus. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mampu
menggerakkan goloknya. Golok itu seperti menempel pada tangan itu, sama sekali tidak
dapat ditarik kembali. Bahkan nenek itu menarik dengan sentakan dan sekali tangannya
merenggut, golok itu telah terlepas dari pegangan pemiliknya
Kemudian, sambi! Terkekeh membawa golok ke mulutnya dan nenggigit lalu makan golok
itu seperti yang dilakukan kepada daging kelenci tadi. Terdengar suara krek-krek
berkerontokan seperti orang makan krupuk! Laki-laki itu, juga Nyonya Bu sampai bengong
terlongong melihat nenek itu makan golok.
Hanya sebentar laki-laki itu terbengong, karena ia segera maklum bahwa lia berhadapan
dengan seorang nenek yang memiliki kesaktian seperti iblis. Maka dia menjadi takut
sekali. Tanpa pamit lagi dia memutar tubuhnya dan nelompat hendak melarikan diri
meninggalkan nenek yang berbahaya itu.
Akan tetapi, Pek Sim Kui-bo tiba-tiba menyemburkan pecahan-pecahan golok dari
mulutnya ke arah tubuh laki-laki yang melarikan diri itu. Tampak beberapa sinar kecil
meluncur dan nengenai punggung laki-laki itu. Orang tu menjerit kesakitan lalu roboh
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 106
tertelungkup, berkelojotan sebentar lalu terdiam, mati karena potongan-potongan golok itu
menancap dalam sekali di tubuhnya.
Nenek itu membuang sisa golok lalu bersila dekat api unggun, melanjutkan makan daging
kelinci dan berkata kepada Nyonya Bu. "Hayo, Nyonya Bu. Kau menunggu apa lagi?
Bukankah tadi kau bilang mau makan! Nih, kelincinya masih seekor. Makan dan duduklah
di sini!"
Nyonya Bu memang tadi tertegun. Bukan saja melihat kehebatan ilmu kepandaian nenek
itu yang amat luar biasa, akan tetapi juga melihat betapa nenek itu demikian mudahnya
membuhuh orang. Ia tidak berani membantah, lalu duduk di dekat si nenek, menghadapl
api unggun dan ia mengambil kelinci ke dua dan makan daglng kelinci sambil berusaha
keras melupakan mayat orang yang menggeletak tak jauh di belakangnya. la tidak mau
banyak bertanya tentang peristiwa tadi karena ia tahu bahwa nenek itu tentu akan
menjawab dengan kacau dan malah membingungkan hatinya. Ia ingin memikirkan dan
mengambil kesimpulan sendiri. Laki-laki itu memang bukan Orang baik-baik, pikirnya.
Jelas bahwa laki-laki itu hendak kurang ajar kepadanya, dan andaikata dilanjutkan,
mungkin saja laki-laki yang kelihatan kasar itu akan mempergunakan kekerasan Untuk
memperkosa atau memaksanya menuruti semua kehendaknya yang mesum. Seperti yang
dilakukan Pangeran Abagan! Betapa banyaknya laki-laki macam itu. Kalau melihat wanita
yang menarik hatinya, selalu berusaha sekuatnya untuk memilikinya, untuk memuaskan
nafsu-nafsunya, kalau perlu menggunakan cara apapun, cara kasar, keji dan jahatpun
akan dilakukannya demi tercapai keinginan hatinya yang terdorong nafsu birahi. Akan
tetapi, mengapa harus dibunuh'?
Tiba-tiba nenek itu terkekeh. "Heheh-heh, engkau menyayangkan bahwa anjing jantan itu
kubunuh?"
Ditanya secara tiba-tiba demikian, padahal ia memang sedang memikirkan tentang lakilaki
itu, tentu saja ia terkejut sekali. "Ah, sama sekali aku tidak menyayangkan hal itu, Kuibo.
Hanya aku tidak mengerti mengapa dia harus dibunuh?"
“Ooo, begitu, ya? Jadi engkau, suka melihat laki-laki itu hidup, memperkosamu dan
membunuhku? Begitu maumu?"
Nyonya Bu terkejut. Hal ini sama sekali tidak ia bayangkan. "Oh, tidak! Tidak! Ah, kalau
begitu memang engkau yang benar. Sebaiknya dia dibunuh seratus kali dibunuh!"
Nenek itu tidak berkata-kata lagi, hanya terkekeh-kekeh sambil menggerogoti daging
kelinci yang gemuk dan meneteskan gajih yang berminyak.
Setelah makan kenyang, Nyonya Bu mengajak Pek-sim Kui-bo mencari air untuk minum.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan seperti tadi, Pek-sim Kui-bo menggandeng
tangan Nyonya Bu dan membawanya lari seperti terbang cepatnya.
Pek-sim Kui-bo membawa Nyonya Bu ke lereng dekat puncak gunung Kui san dan di
sanalah ia menggembleng Nyonya Bu yang mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya
serta dapat mewarisi semua kesaktian Pek-sim kui-bo. Akan tetapi celakanya, Nyonya Bu
tidak hanya mewarisi kesaktiannya, akan tetapi ia juga mewarisi atau ketularan gilanya!
****
Bu Kui Siang menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan. la tidak mau melarikan
kudanya cepat-cepat karena merasa kasihan kepada Ma Giok yang berjalan di samping
kudanya. Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang amat jauh dan selama ini,
Ma Giok hanya ber jalan kaki dan ia menunggang kuda.
"Paman Ma, apakah Thai-san yang menjadi tujuan kita itu masih jauh?" tanya Kui Siang.
Mereka sudah melakukan perjalanan hampir sehari suntuk hari itu dan saat itu sudah
hampir senja.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 107
"Masih, Kui Siang. Mungkin satu bulan lagi kita baru akan tiba di sana.. “
"Satu bulan lagi? Ah, betapa jauhnya. Engkau yang berjalan kaki tentu lelah sekali,
paman!"
"Ah, tidak. Aku sudah biasa berjalan. Oya, di depan sana terdapat sebuah dusun yang
cukup besar. Kalau aku tidak salah ingat, itu dusun Lian-ki-jung dan di sana terdapat
rumah penginapan berikut rumah makan. Kita dapat beristirahat, mandi dan makan enak
malam ini"
Kui Siang merasa bahwa pria ini, sengaja mengalihkan perhatiannya tentang perjalanan
jauh yang harus ditempuh dengan jalan kaki. "Paman Ma, di dusun itu tentu ada orang
menjual kuda!"
"Ya, memang ada. Akan tetapi kuda kita ini masih kuat dan belum perlu diganti."
"Bukan untuk mengganti kuda ini, paman. Akan tetapi kita harus membeli seekor kuda
untukmu."
"Ah, tidak perlu, Kui Siang. Aku masih kuat berjalan."
"Tidak, paman. Aku masih mempunyai gelang dan perhiasan, masih berlebihan kalau
hanya untuk membeli seekor kuda yang baik!"
Ma Giok menggeleng kepalanya. “Tidak perlu membeli kuda, Kui Siang. Biarlah aku
berjalan saja."
Kui Siang mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, setibanya di dusun itu, aku mau menjual
saja kuda ini, paman."
"Eh? Dijual? Kenapa? Kuda ini pemting sekali untuk tungganganmu!"
"Kalau paman ber jalan kaki, akupun ingin berjalan saja. Kita ini hanya berdua, paman.
Kita melakukan perjalanan bersama sehingga sepatutnya kalau berat sama dipikul dan
ringan sama dijinjing. Mana mungkin aku enak-enakan saja menunggang kuda dan
engkau bersusah payah berjalan kaki? Nah, pendeknya aku sudah mengambil keputusan
tetap untuk senasib sependeritaan denganmu, paman. Kalau aku menunggang kuda,
engkaupun harus menunggang kuda. kalau engkau berjalan kaki, akupun harus lerjalan
kaki!
Ma Giok dapat menangkap keputusan yang tidak dapat diubah lagi dalam ucapan Kui
Siang itu dan dia merasa senang. Wanita muda ini memiliki watak yang baik, tidak ingin
senang dan enak sendiri, juga mengenal budi,
"Baiklah, Kui Siang. Biarlah aku juga akan menunggang kuda. Tidak mungkin membiarkan
engkau berjalan kaki. Kandunganmu sudah besar, jalan kaki terlalu jauh amat tidak baik
bagi engkau dan bagi anak dalam kandunganmu."
Mereka memasuki dusun Lian-ki- jung. Siang telah berganti sore dan begitu memasuki
dusun itu, mereka mendengar suara ribut-ribut di depari sana. Rumah-rumah penduduk di
kanan kiri jalan tampak tertutup pintu dan jendelanya dan di luar rumah tampak sepi.
A,gaknya semua orang telah bersembunyi dalam rumah masing-masing. Akan tetapi di
sana, di depan sebuah mewah, sedang terjadi keributan dan agaknya sedang terjadi
perkelahian banyak orang.melihat ini, Ma Giok berkata kepada Kui Siang.
"Engkau berhenti dulu di siri, Kul Siang. Bawa kudamu masuk pekarangan rumah di
sebelah kiri itu." Setelah melihat Kui Siang dan kudanya bersembunyi, Ma giok lalu berlari
cepat ke depan.
Setelah tiba di depan rumah gedung tu, di pekarangan rumah dan juga di atas jalan raya
depan rumah, banyak orang sedang berkelahi menggunakan senjata tajam. Dia melihat
dua belas orang berpakaian seperti perajurit pemerintah sedang melawan pengeroyokan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 108
lebih dari tiga puluh orang. Dia cepat nendekati dan karena dia tidak tahu sebab
perkelahian dan tidak mengenal siapa puluhan orang itu, dia merasa ragu untuk berpihak
siapa. Tentu saja dia akan membantu orang-orang yang pakaiannya menunjukkan bahwa
mereka rakyat biasa yang melawan seregu pasukan perajurit Mancu, kalau saja dia
nengenal orang-orang itu. Akan tetapi dia melihat betapa orang-orang itu sikapnya buas.
Empat orang perajurit Mancu telah menggeletak mandi darah dan yang delapan orang lagi
sudah terdesak hebat.
Tiba-tiba Ma Giok mendengar jeritan beberapa orang wanita. Dia memasuki pekarangan
dan melihat beberapa orang berwajah bengis sedang memondong tiga orang wanita dan
dibawa lari. Dan juga ada lima orang sedang mengangkut barang-barang berharga dari
dalam rumah itu.
Ma Giok mengerutkan alisnya. Kalau mereka itu pejuang, tentu tidak akan menculik wanita
dan merampok. Alisnya berkerut. Dia sudah sering melihat penjahat-penjahat yang
memakai kedok pejuang untuk melakukan perampokan dan penculikan wanita. Orangorang
seperti itu lebih jahat dari pada perampok dan lebih merugikan daripada musuh
yang sebenarnya.
Perbuatan mereka itu mencemarkan kehormatan para pejuang dan mngotori arti
perjuangan mempertahan nusa dan bangsa.
Ma Giok tidak ragu-ragu lagi. Dia melompat dan menghadang tiga orarg yang memondong
tiga orang wanita yang menjerit-jerit itu. Kaki tangannya bergerak cepat dan tiga orang itu
berpelantingan. Tiga orang wan ita yang tadinya mereka pondong itu terlepas dari
pondongan dan ikut jatuh pula. Mereka menjerit dan segera melarikan diri lagi ke dalam
gedung. Ma Giok tidak berhenti di situ. Cepat dia menerjang lima orang yang mengangkut
barang-barang dan seperti tiga orang tadi, lima orang inipun berpelantingan jatuh ketika
Ma Giok menyerang mereka dengan gerakan cepat sekali.
Melihat ini, mereka yang masih bertempur melawan delapan orang perajurit itu menjadi
panik dan kacau karena di antara delapan orang yang dirobohkan Ma Giok itu terdapat
tiga orang pemimpin mereka. Maka, setelah delapan orang itu bangkit dan memberi tanda
suitan-suitan, mereka semua lalu berloncatan dan melarikan diri meninggalkan
pekarangan rumah gedung itu.
Para perajurit menolong empat orang rekan mereka yang terluka parah, dan sebagian lagi
ada yang memberi hormat kepada Ma Giok dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi
pada saat itu terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Beberapa orang perajurit cepat lari
masuk gedung dan tak lama kemudian mereka keluar lagi. Seorang laki-laki berusia lima
puluh tahun lebih yang tampak bingung dan sedih keluar bersama para perajurit tadi. Dari
pakaiannya, tahulah Ma Giok bahwa orang itu tentu seorang pembesar pemerintah baru
Mancu. Rasa tidak suka memenuhi hati Ma Giok. Sebagai seorang pejuang yang setia
kepada kerajaan Beng yang sudah jatuh dan yang memusuhi orang Mancu yang
menjajah, tentu saja dia merasa tidak suka kepada pembesar Mancu ini. Agaknya
pembesar Mancu itu sudah mendengar laporan para perajurit. Dia segera memberi hormat
kepada Ma Giok dengan mengangkat kedua tangan depan dada
"Tai-hiap (pendekar besar), banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi ……
harap tai-hiap tidak kepalang menolong kami. Putera kami …… dan isterinya, yang baru
sepekan menikah …. "'tadi dilarikan penjahat lewat pintu belakang. Tolonglah, tai-hiap
…… tolong selamatkan mereka ……" Dia memberi hormat berulang-ulang, mengangkat
kedua tangan dan memmbungkuk-bungkuk. Mendengar ini, Ma Giok mengerutkan alisnya.
"Aku titip keponakanku di sini!” katanya.
“Di mana keponakanmu, tai-hiap? Kalian cepat ikut tai-hiap dan mengawal keponakannya
ke sini!! perintah pembesar itu kepada para perajurit. Lima orang perajurit lalu mengikuti
Ma Giok yang kembali ke tempat di mana Kui Siang menanti. Kui Siang girang melihat Ma
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 109
Giok muncul, akan tetapi ia memandang kepada lima orang perajurit Mancu dengan alis
berkerut. Melihat mereka, teringatlah ia akan para perajurit pengawal ayah tirinya. Betapa
dahulu para perajurit Mancu bersikap sangat hormat kepadanya karena ia adalah puteri
Panger an Abagan dan isteri Lauw Heng San, komandan dari pasukan Garuda Sakti yang
terkenal.
"Kui Siang, engkau ikut mereka dan menunggu aku di rumah pembesar itu. Aku harus
mengejar para penjahat yang menculik putera dan mantu sang pembesar itu" kata Ma
Giok dan tanpa menanti jawaban dia sudah melompat dan berlari cepat mengejar ke arah
larinya para penjahat tadi.
Karena sudah dipesan Ma Giok, pula karena bagi ia sendiri, para perajurit Mancu tidak
mendatangkan kesan buruk karena biasanya mereka itu bersikap baik kepadanya, Kui
Siang mengangguk ketika lima orang itu memberi hormat kepadanya dan mempersilahkan
ia menjalankan kudanya menuju ke rumah gedung pembesar itu. Lima orang perajurit itu
mengawalnya dan Kui Siang bertanya kepada perajurit yang berjalan di dekat kudanya.
"Siapakah nama pembesar atasan kalian itu? Dan apa pangkatnya?"
Perajurit itu menjawab dengan sikap hormat. "Beliau adalah seorang pembesar pemungut
pajak dan bernama Souw Bu Lai, baru beberapa bulan datang dari kota-raja Peking."
Kui Siang dapat menduga bahwa pembesar yang bernama Souw Bu Lai itu tentu nama
aselinya Sabulai, nama Mancu. Setelah tiba di depan gedung itu, pembesar Souw Bu Lai
yang bertubuh jangkung kurus bersama isterinya menyambut Kui Siang. Melihat Kui Siang
adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung, Nyonya Souw lalu membantunya
turun dari kuda, dibantu pula oleh dua orang pelayan.
"Marilah, nak, mari istirahat di dalam." kata nyonya gemuk itu dengan ramah, sambil
mengandeng tangan Kui lang. Juga Souw-taijin (pembesar Souw) memberi hormat dan
bersikap ramah.
"Maafkan kami kalau kami mengganggu, sehingga perjalananmu dengan pamanmu
menjadi terganggu, toanio (nyonya)." kata Souw-taijin.
Melihat sikap mereka yang ramah dan horrmat itu, senang juga hati Kui Siang dan iapun
ikut memasuki gedung. Karena memang sejak kecil sudah terbiasa bergaul dengan
keluarga bangsawan, maka Kui Siang tidak merasa canggung. Melihat sikap Kui Siang
yang pandai menyesuaikan diri dan tidak malu-malu, keluarga itu juga merasa suka
kepada nyonya muda itu. Ketika Kui Siang diajak makan dan berbincang-bincang di
ruangan daJam, keJuarga pembesar itu bertanya tentang keadaan keluarganya. Tentu
saja pertanyaan yang wajar ini tidak dapat dihindarkan Kui Siang dan terpaksa ia harus
menjawab dan menceritakan riwayatnya. Akan tetapi, ia tidak mau bercerita tentang ayah
tirinya, Pangeran Abagan atau pembesar Thio Ci Gan, juga ia tidak menceritakan bahwa
mendiang suaminya adalah seorang perwira yang memimpin pasukan Garuda Sakti yang
terkenal.
"Nama saya Bu Kui Siang," ia memperkenalkan diri dengan suara lembut, "suami saya
sudah meninggal dunia terbunuh orang-orang jahat. Pamanku Ma Giok yang kini mengejar
penjahat menyelamatkan diriku sehingga tidak ikut terbunuh."
“Ah …….., kasihan sekali engkau, nak!" kata Nyonya Souw sambil memegang lengan Kui
Siang. Menerima sikap mereka yang akrab dan mengasihaninya itu, Kui Siang menjadi
terharu dan ia tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata.
"Hemm, penjahat-penjahat itu harus dihukum berat!" geram Souw-taijin gemas, teringat
akan keadaannya sendiri yang diganggu penjahat.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 110
"Mereka sudah dihajar oleh Paman Ma Giok dan sahabat-sahabatnya." kata Kui Siang,
teringat betapa pangeran Mancu yang menjadi ayah tirinya dan para anak buahnya telah
terbunuh oleh mendiang suaminya dan para pendekar, termasuk Ma Giok.
"Dan sekarang, engkau dan pamanmu hendak pergi ke manakah?" tanya Nyonya Souw.
"Karena saya tidak mempunyai keluarga lain lagi, Paman Ma Giok mengajak saya untuk
pergi ke Thai San, di mana dia akan tinggal." kata Kui Siang dengan suara sedih karena ia
teringat akan ibu kandungnya yang tidak ketahui ke mana lari atau perginya.
"Sudahlah, toa-nio, harap kuatkan hati dan jangan terlalu menuruti hati sedih, terlalu
berduka amat tidak baik bagi kandunganmu." kata Souw-taijin.
"Benar, Kui Siang ……..eh, kupanggil namamu begitu saja, ya? Aku merasa dekat
denganmu seolah engkau anggauta keluarga kami sendiri. Jangan terlalu bersedih. Kalau
engkau sudah tidak mempunyai keluarga lagi, anggaplah kami sebagai keluargamu dan
engkau tinggallah saja di sini bersama kami." kata Nyonya Souw dengan ramah.
"Wah, usul yang baik sekali itu!" kata, Souw-taijin. "Aku setuju, Kui Siang., Tinggallah di
sini bersama kami, kalau tidak selamanya ya sampai engkau melahirkan dan anakmu
menjadi besar. Kami tidak tega melihat engkau yang sedang mengandung begini
melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan." Kata-kata ini terdengar wajar, tidak
dibuat-buat atau sekedar pemanis bibir belaka.
Kui Siang menjadi terharu sekali. Kembali, setelah Pangeran Abagan yang menjadi ayah
tirinya, la bertemu dengan pembesar Mancu dan isterinya yang amat baik hati la semakin
yakin bahwa tidak semua orang Mancu itu jahat, juga tidak semua orang Han itu baik.
Yang jahat adalah para penguasa Mancu, pemerintahnya, yang menjajah tanah air
bangsa Han.
Jilid 13
"Terima kasih kepada Souw-taijin dan Souw-hujin (Nyonya Souw) berdua. Soal itu harus
dibicarakan dengan Paman Ma, karena dialah yang berhak memutuskan apa yang harus
saya lakukan. Hanya dialah pelindung saya dan saya akan mentaati segala petunjuknya."
Souw-taijin mengangguk-angguk. "Dia seorang pendekar sakti yang pantas kautaati.
Mudah-mudahan dia dapat menyelamatkan putera dan mantu kami."
Putera pembesar Souw yang ditawan gerombolan itu bernama Souw Cln, berusia dua
puluh lima tahun, berwajah tampan dan sikapnya lembut, seorang yang telah lulus dalam
pelajaran kesusasteraan. Baru sepekan yang lalu Sduw Cin melangsungkan
pernikahannya dengan Lui In, isterinya yang baru berusia delapan belas tahun, yang kini
ikut pula terculik bersamanya. Pernikahan itu menghebohkan di kalangan para pejabat
bangsa Mancu, juga menggegerkan para pejuang karena Souw Cin adalah seorang
bangsa Mancu aseli, sedangkan Lui In adalah seorang gadis bangsa Han aseli. Akan
tetapi Souw-taijin yang bijaksana tidak memperdulikan perbedaan ras ini. Dia menyetujui
pernikahan itu karena dia tahu benar bahwa perjodohan itu berdasarkan cinta kasih kedua
pihak.
Akan tetapi ternyata perkawinan itu mendatangkan akibat buruk, yaitu diserangnya
keluarga pembesar Souw pada hari itu, bahkan sepasang pengantin yang baru sepekan
menikah itu sempat diculik dan dilarikan gerombolan. Sepasang suami isteri muda itu
dilarikan naik ke sebuah bukit kecil yang permukaannya penuh dengan hutan lebat. Baik
Souw Cin maupun Lui In, keduanya tidak mampu meronta atau berteriak karena mereka
telah lemas oleh totokan dua orang pimpinan gerombolan yang kini memanggul mereka
sambil lari bersama kawan-kawannya yang kesemuanya berjumlah tiga puluh orang.
Akhirnya mereka tiba di puncak bukit, dalam sebuah hutan cemara. Di tempat terbuka, di
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 111
mana pohon-pohonnya sudah. ditebang, terdapat beberapa buah rumah darurat terbuat
dari kayu dan bambu.
Mereka membentuk lingkaran yang besar dan dua orang tawanan itu diturunkan di tengahtengah
lingkaran. Souw Cin diturunkan dengan kasar, setengah dibanting sehingga
pemuda Mancu itu terguling. Akan tetapi Lui In diturunkan perlahan-lahan.
"Kalian berlutut, beri hormat kepada para pimpinan kami!" bentak seorang anak buah
gerombolan yang tinggi besar dan brewok. Yang disebut pimpinan itu adalah orang yang
memondong tawanan tadi, ditambah seorang lagi. Mereka bertiga duduk di sebuah
bangku, sedangkan para anak buah berjongkok atau duduk di atas tanah. Di sebelah
mereka terdapat pula tiga bangku kosong, yaitu tempat duduk tiga orang pemimpin lain
yang tadi dirobohkan Ma Giok dan sekarang berada di dalam rumah untuk mengobati
luka-luka mereka.
"Hayo berlutut!" bentak lagi si brewok kemuka Souw Cin dan Lui In yang duduk bersimpuh
di atas tanah depan para pimpinan itu tidak segera berlutut memberi hormat.
"Kalian ingin disiksa, ya?" si brewok yang agaknya menjadi algojo Itu melangkah maju dan
menampar muka Souw Cin.
"Plakk! Tubuh Souw Cin terguling dan pipi kirinya membengkak. Lui In menubruknya dan
menangis. Akan tetapi mereka berdua tetap tidak mau berlutut, hanya duduk sambil
berangkulan.
Tiga orang pimpinan lain yang tadi merawat luka mereka kini meloncat dari atas bangkubangku
yang kosong. Seorang di antara mereka, yang bertubuh. tinggi kurus dan
mukanya kuning, melihat algojo hendak menjambak rambut panjang Lui In, cepat
mengangkat tangan.
"Hentikan! Aku akan memeriksa mereka!" Algojo itu tidak jadi menyiksa dan melepaskan
rambut panjang Lui In.
"Heh, kalian berdua! Tidak tahukah Kalian siapa kami? Siapa aku?" bentak pemimpin
gerombolan bermuka kuning itu.
Souw Cin dan Lui In mengangkat muka memandang ke arah si muka kuning, lalu
kepalanya menggeleng sebagai jawaban bahwa mereka tidak mengenal mereka.
"Hemm, orang-orang Mancu memang sombong dan bodoh! Ketahuilah engkau, heh Souw
Cin orang Mancu keparat, kami adalah para pejuang, orang-orang Han yang membela
kerajaan Beng dan menentang kalian para penjajah Mancu! Dan aku adalah Ui-bin-houw
(Harimau Muka Kuning), satu di antara Enam Harimau yang memimpin pasukan pejuang
ini!” Mendengar ucapan itu, Souw Cin menatap dengan muka berubah pucat karena dia
maklum bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dia hanya mempererat rangkulannya
kepada isterinya siap untuk mati bersama isterinya.
“Dan engkau, Lui In, perempuan rendah dan hina tak tahu malu! Engkau adalah seorang
wanita Han, bagaimana mau merendahkan diri diperisteri seorang penjajah Mancu?
Engkau pengkhianat! Kalian berdua harus dihukum dan dengarlah keputusan hukuman
bagi kalian! Souw Cin, isterimu akan dlperkosa beramai-ramai di depan matamu, baru
kami akan membunuhmu!"
“Tidak …. !!" Souw Cln bangkit berdiri sehingga Lui In yang didekapnya dengan erat itu
terbawa berdiri pula. "Kalau kalian mau membunuhku, lakukanlah! Akan tetapi jangan
mengganggu Lui In, Ia tidak bersalah apa-apa dan bukankah ia itu sebangsa dengan
kalian?" Pada saat itu ternyata totokan yang membuat Souw Cin dan Lui In tidak mampu
bicara telah habis pengaruhnya dan mereka mampu menggerakkan semua anggauta
tubuh dan dapat mengeluarkan suara.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 112
"Ha-ha-ha!!” Kepala gerombolan nomor satu yang berjuluk Harimau Muka Kuning itu
tertawa. "Justeru kami ingin engkau melihat isterimu diperkosa beramai-ramai itulah
sebagian dari hukumanmu!"
"Tidak! Tidak, jangan ganggu isteriku!" Souw Cin memeluk isterinya yang mulai menangis
tersedu-sedu.
Ui-bin-houw menjulurkan tangannya, menangkap lengan Lui In dan menariknya dengan
kuat agar wanita itu terlepas dari rangkulan suaminya. Akan tetapi suami isteri itu
berangkulan sedemikian eratnya sehingga ketika Lui In tertarik, Souw Cin juga ikut
terbetot. Agaknya mereka tidak dapat dipisahkan lagi. Si Harimau Muka Kuning marah dan
memerintahkan kepada algojonya yang brewok ltu.
"Pisahkan mereka!"
Sang algojo nampaknya gembira dengan perintah ini. Sambil menyeringai lebar dia
menghampiri suami isteri itu. "Heh-heh, kalau perlu kupatah-patahkan semua jari
tanganmu, orang Mancu, agar engkau tidak dapat lag! memegangi isterimu. Ha-ha-ha!"
Algojo yang tinggi besar dan brewok itu menggerakkan tangannya yang besar dan
panjang, menangkap lengan Souw Cln dan agaknya ia hendak melaksanakan
ancamannya, yaitu mematah-matahkan semua jari tang an pemuda Mancu itu.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Lepaskan tanganmu!" dan sebuah kerikil
menyambar, tepat mengenai tangan algojo yang mencengkeram tangan Souw Cin.
"Takk …… aduuhh ……!" Algojo itu melepaskan pegangannya dan menyeringai kesakitan.
Punggung tangannya terasa nyeri sekali dan ketika dia memandangnya, temyata
punggung tangannya itu luka berdarah. Sesosok bayangan berkelebat melewati kepala
anak buah gerombalan yang membuat lingkaran, tahu-tahu sudah berhadapan dengan
algojo itu.
Sang algojo terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan mata melotot lebar
menghardik.
"Kamu yang menyambit tanganku tadi?"
Penyambit yang kini masuk ke dalam lingkaran itu adalah Ma Giok. Dia mencari dan
mengejar para gerombolan dan dengan mudah dapat menemukan mereka di puncak bukit
itu dan menolong Souw Cin yang terancam algojo itu.
"Benar, aku yang melakukannya!" kata Ma Giok dengan Iantang.
"Jahanam, engkau sudah bosan hidup!" teriak algojo itu yang cepat mencabut sebatang
golok besar dari pinggangnya dan tanpa banyak kata lagi dia menyerang dengan
sambaran goloknya ke arah leher Ma Glok. Agaknya dia akan memenggal leher Ma Giok
dengan sekali sabetan. Akan tetapi dengan mudah Ma Giok menundukkan kepalanya
sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum algojo itu tahu apa
yang terjadi, tiba-tiba saja dia sudah diserang seperti sambaran kilat.
"Wuutt …… krekk!" Tulang lengan kanannya patah dan golok itu terlepas dan tangan
kanan Ma Giok menyusul ke arah tengkuknya.
“Desss, …… !" Tubuh aIgojo yang tinggi besar itu terpelanting dan dia tidak mampu
bangun kembali!.
Melihat ini, enam orang pimpinan yang disebut Enam Harimau itu sudah berloncatan
bangkit. Mereka segera mengenal Ma Giok yang tadi membuat mereka melarikan diri.
Enam orang pemimpin gerombolan itu menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut
golok mereka dan menyerang sambil mengepung Ma Giok. Pendekar ini sudah pula
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 113
mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan begitu dia menggerakkan pedang itu,
tampak gulungan sinar berkelebatan menyambut serangan enam batang golok itu.
Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul patahnya golok dan robohnya
enam orang pimpinan gerombolan, lima orang di antaranya terluka parah, hanya seorang
saja yang terluka ringan pada pundaknya karena dia memiliki tingkat kepandaian yang
lebih tinggi daripada tingkat teman-temannya. Dia adalah Ui-bin-houw yang terluka pundak
kanannya.
Ma Giok sudah menyarungkan pedangnya kembali dan dia bertolak pinggang, membentak
dengan suara nyaring berpengaruh. "Hayo, siapa lagi yang hendak mencari kematian!
Aku, Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok yang akan mengakhiri kejahatan kalian!"
"Lam-liong ……. !!??” banyak suara menyebut julukan ini dan mereka nampak gentar.
Bahkan Ui-bin-houw segera berlutut, diturut oleh semua anak buahnya.
"Maafkan kami, tai-hiap. Karena tidak mengenal, maka kami berani lancang menyerang
tai-hiap. Akan tetapi, kalau tai-hiap benar Lam-liong, kenapa taihiap membela jahanam
Mancu ini? Dia adalah Souw Cin, putera Souw-taijin, pembesar Mancu yang sudah
sepatutnya kita basmi! Bukankah tai-hiap terkenal sebagai pemimpin para pejuang? Kami
juga pejuang yang menentang penjajah Mancu, tai-hiap!"
Ma Giok mengerutkan alisnya yang hitam tebal. "Hemm, pejuang macam apa kalian ini?
Merampok harta, menculik wanita, semua untuk kesenangan kalian. Pejuang sejati tidak
melakukan, kekejian seperti ini. Kalian hanya segerombolan perampok keji dan jahat yang
menggunakan kata perjuangan sebagai kedok! Orang-orang macam kalian ini bahkan
mencemarkan nama dan kehormatan para pejuang sejati. Penjahat-penjahat macam
kalian sudah sepatutnya dibasmi habis!"
Semua anggauta gerombolan menjadi pucat ketakutan. Ui-bin-houw cepat berlutut dan
memberi hormat. "Ampun, taihiap. Ampunkan kami yang bodoh. Mulai saat ini kami
berjanji akan menjadi pejuang-pejuang yang baik!"
Ma Giok sudah terbiasa dengan janji orang-orang macam ini. Dalam perjalanannya
sebagai pejuang yang sudah bertahun-tahun berjuang menentang penjajah semenjak
bangsa Mancu berkuasa, dia sudah bertemu dengan banyak gerombolan yang
membonceng nama perjuangan untuk melakukan kejahatan demi kesenangan mereka
sendiri. Dia tersenyum mengejek dan berkata singkat,” kita sama lihat saja nanti!"
Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada Souw Cin dan Lui In yang masih
saling berangkulan. "Mari, kuantar kalian pulang."
Suami isteri ini merasa lega sekali. Sama sekali mereka tidak menyangka akan dapat lolos
demikian mudahnya dari ancaman maut. Mereka cepat bergandeng tangan pergi
meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Ma Giok yang menjaga agar mereka tidak diganggu
atau diserang. Akan tetapi gerombolan itu agaknya sudah kehilangan nyali mereka dan
tidak berani mengganggu Naga Selatan yang amat lihai itu.
Tentu saja kedatangan mereka bertiga disambut dengan keharuan dan kegembiraan.
Souw-taijin menyuruh puteranya dan mantunya untuk berlutut di depan Ma Giok dan
menghaturkan terima kasih. Dia sendiri bersama isterinya berulang kali menjura dan
mengucapkan terima kasih. Ma Giok cepat mengangkat bangun suami isteri muda itu.,
Lalu dia memandang kepada Kui Siang yang ikut menyambut dengan girang.
"Kui Siang, mari kita lanjutkan perjalanan." kata Ma Giok.
Kui Siang mengangguk, akan tetapi Souw-taijin dan isterinya cepat menjura kepada Ma
Giok dan berkata, "Ma-taihiap, kami mengharap dengan sangat agar taihiap dan Kui Siang
tinggal saja di sini. Kami akan merasa senang sekali." kata pembesar Mancu itu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 114
Ma Giok menggeleng kepala keras-keras. Bagaimana mungkin dia tinggal di rumah
seorang pembesar Mancu? Dia yang biasanya memimpin para pejuang yang menentang
pemerintah Mancu!
"Tidak, Souw-taijin. Saya harus pergi melanjutkan perjalanan sekarang juga." katanya.
Tiba-tiba Nyonya Souw berkata. "Kalau tai-hiap tidak bisa, biarkanlah Kui Siang tinggal di
sini, taihiap. Kami merasa kasihan kepadanya. Kandungannya besar dan perjalanan jauh
akan buruk sekali terhadap kesehatannya. Setidaknya biarkan ia sampai melahirkan
anaknya di sini.
Ma Giok hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan keadaan Kui Siang.
Bagaimanapun juga, dia tidak berhak memutuskan dan diapun maklum bahwa apa yang
dikatakan nyonya pembesar itu benar. Kui Siang akan menderita kalau harus melakukan
perjalanan jauh dengan kandungan yang telah besar. Maka, dia lalu memandang kepada
Kui Siang dan bertanya.
"Bagaimana pendapatmu, Kui Siang?"
Wanita itu balas memandang dan tersenyum, senyum manis penuh kepasrahan kepada
pendekar itu, lalu berkata lirih, "Aku hanya menurut dan menaati apa yang kauputuskan,
paman. Terserah kepada keputusanmu.
Ma Giok menghela napas lega. Biarpun dia tidak akan menghalangi kalau Kui Siang
memilih tinggal di rumah pembesar Mancu itu, namun di dalam hatinya dia akan merasa
kecewa.
"Nah, Souw-taijin dan Souw-hujin, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan sekarang juga dan terima kasih atas kebaikan hati ji-wi (kalian berdua)."
Souw-taijin dan isterinya merasa kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat
memaksa kalau kedua orang itu memang bermaksud untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah menghela napas panjang, Souw Bu Lai berkata, "Kalau ji-wi (kalian berdua)
hendak melanjutkan perjalanan, kami tidak dapat menahan. Akan tetapi, kulihat kuda
tunggangan Kui Siang sudah lemah karena kelelahan. Karena itu terimalah sumbangan
dua ekor kuda dari kami agar ji-wi dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Kami
harap jiwi tidak akan menolak pemberian kami ini karena hal itu akan membuat hati kami
menderita sekali."
Karena khawatir kalau-kalau Ma Giok yang pemimpin pejuang itu akan berkeras menolak,
Kui Siang mendahului. "Baiklah, kami terima pemberian tai-jin dengan rasa syukur dan
terima kasih. Akan tetapi tai-jin sekeluarga harap berhati-hati karena banyak orang jahat
yang dapat mengganggu tai-jin."
"Jangan khawatir, Kui Siang. Kami telah minta bala bantuan dari kota Jiangli dan sebentar
lagi tentu datang sepasukan perajurit yang akan bertugas sebagai penjaga keamanan di
sini."
Ma Giok tentu saja tidak dapat menolak lagi pemberian itu karena Kui Siang sudah
mendahuluinya menerima. Dua ekor kuda yang besar dan kuat diberikan kepada mereka,
bahkan Souw-taijin membekali dengan sekantung emas yang diselipkan di sela kuda.
Setelah berpamit, berangkatlah Ma Giok dan Kul Siang, melanjutkan perjalanan mereka
menuju ke Gunung Thai-san.
Dua ekor kuda itu ber jalan perlahan di jalan sunyi itu. Sudah tiga hari mereka
meninggalkan dusun Lian-ki-jing. Kesunyian itu membuat Kui Siang mendapat
kesempatan untuk mengeluarkan gagasan yang membuat ia bingung semenjak ia
meninggalkan keluarga Souw di Lian-ki-jing itu.
"Paman Ma, aku merasa heran sekali dan tidak mengerti ……”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 115
Ma Giok yang menunggang kuda di sebelah kiri Kui Siang, menoleh dan memandang
wanita itu sambil tersenyum. "Apa yang kauherankan dan tidak kau mengerti itu?"
Kui Siang memandang lagi ke depan dan menjalankan kudanya perlahan-lahan. "Ketika
aku masih menjadi puteri Pangeran Abagan yang. menyayangku, aku menganggap bahwa
dia seorang yang baik dan para pejuang yang kuanggap sebagai penjahat dan pengacau
adalah orang-orang jahat. Kemudian, setelah terjadi keributan yang mengakibatkan
tewasnya suamiku, aku melakukan perjalanan bersamamu, aku sering mendengar paman
bercerita tentang para pejuang yang gagah perkasa, pembela nusa bangsa yang budiman
dan tentang orang-orang Mancu yang menjadi pembesar sebagai orang-orang jahat. Aku
mulai merasa kagum kepada para pendekar pejuang dan mulai merasa benci kepada
orang-orang Mancu. Akan tetapi apa yang kualami semenjak melarikan diri dari gedung
Pangeran Abagan, aku melihat kenyataan yang sungguh amat berlawanan dengan apa
yang kau ceritakan, paman. Aku menjadi bingung dan ragu. Beberapa kali aku bertemu
dengan para pejuang yang merampok dan jahat, suka memperkosa wanita. Sebaliknya,
bukan hanya Pangeran Abagan yang baik hati, melainkan juga Pembesar Souw Bu Lai
itupun seorang Mancu yang baik hati." Wanita itu berhenti bicara dan menoleh,
memandang kepada Ma Giok dengan sinar mata bertanya.
Sebelum menjawab Ma Giok menarik napas panjang. "Akupun seringkali melihat
kenyataan yang memuakkan dan membuat aku marah, Kui Siang. Mereka yang jahat itu
sebetulnya bukan pejuang sejati, melainkan pejuang palsu, hanya. orang-orang jahat yang
berkedok perjuang untuk menutupi kejahatan mereka. Mereka itu adalah orang-orang
yang mencemarkan kehormatan para pejuang sejati."
"Dan paman tentu akan menentang orang-orang jahat yang menggunakan nama pejuang
itu, bukan?"
"Tentu saja! Mereka orang jahat dan sebagai seorang pendekar aku harus membela
kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar namun lemah
tertindas!"
"Dan engkau juga menentang pembesar Mancu, walaupun pembesar itu baik hati?"
Ma Giok meragu, lalu menghela napas kembali. "Di sini kadang terjadi pertentangan batin
dalam hatiku, Kui Siang. Sebagai seorang patriot pejuang pembela tanah air dan bangsa,
aku harus menentang setiap orang Mancu karena mereka menjajah tanah air kita. Akan
tetapi sebagai seorang pendekar, aku harus membela yang benar dan menentang setiap
orang penjahat, tidak peduli bangsa dan dari golongan apa penjahat itu. Seperti Souwtaijin
itu, kalau aku ingat bahwa dia seorang pembesar Mancu, seharusnya aku
menentangnya. Akan tetapi di lain pihak aku melihat dia seorang yang baik hati dan
diganggu oleh orang-orang jahat, maka aku harus membela dan menolongnya. Aku
sendiri menjadi bingung kalau menghadapi kenyataan seperti itu."
Kui Siang mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam. Ia ikut memikirkan
persoalan yang dihadapi Ma Giok. Kemudian ia berkata, "Aku mempunyai pendapat dan
gagasan, paman. Akan tetapi sebelum kukatakan itu, kuharap lebih dulu agar paman suka
memaafkan kelancanganku ini."
Ma Giok tersenyum. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Dan sama sekali tidak
lancang kalau engkau mempunyai gagasan. Mungkin pendapatmu itu dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk aku. Katakanlah bagaimana pendapatmu dan apa gagasanmu
itu?"
"Begini, paman. Bangsa Mancu menjatuhkan kerajaan Beng dengan perang. Kalau para
pejuang hendak mengusir penjajah Mancu, tentu harus melalui pertempuran, berarti
perang yang melibatkan banyak orang. Karena ltu, seyogyanya paman dapat memisahkan
antara tugas patriot yang berjuang dan tugas pendekar yang membela kebenaran dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 116
keadilan. Untuk berperang mengusir penjajah, paman membutuhkan pasukan yang besar
dan kuat. Akan tetapi kalau paman berada seorang diri seperti sekarang ini, tidakkah lebih
baik kalau paman menempatkan diri sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran
dan keadilan? Paman dapat menentang siapa saja yang jahat, baik dia orang Han, orang
Mancu, atau orang berbangsa apapun juga. Dan paman membela mereka yang benar
akan tetapi lemah tertindas, juga tidak perduli orang itu dari golongan manapun. Paman
sekarang menjadi pendekar. Kelak, kalau saatnya tiba dan dapat dihimpun pasukan besar
untuk memerangi penjajah, baru paman sebagai pahlawan patriot. Bagaimana pendapat
paman?"·
Mendengar ucapan itu, Ma Giok mengerutkan alisnya dan matanya setengah dipejamkan,
dia berpikir keras dan menimbang-nimbang. Akhirnya dia membuka matanya dan
mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Kui Siang dan berkata lantang bernada
gembira. "Bagus! Tepat sekali pendapat dan gagasanmu itu, Kui Siang. Tadinya ada juga
pikiran seperti itu menyelinap dalam benakku, akan tetapi aku masih ragu-ragu. Sekarang,
mendengar pendapatmu, aku menjadi lega dan hatiku menjadi tetap. Baik, mulai saat ini
aku akan berpikir dan bertindak sebagai pendekar dan kelak, kalau saatnya tiba, kalau
ada pasukan besar dan kuat yang siap bertempur, baru aku akan bertindak sebagai
seorang pejuang."
“Terima kasih kalau paman setuju dengan pendapatku, aku merasa girang sekali!" kata
Kui Siang. Wanita itu semakin kagum kepada Ma Giok yang ternyata adalah seorang
pendekar yang sakti, berwibawa, dan dapat menerima pendapat orang lain yang berarti
bahwa dia memiliki kerendahan hati. Juga selama dalam perjalanan ini Ma Giok selalu
bersikap ramah, sabar, penuh pengertian dan selalu menjaganya dengan penuh
perhatian. Diam-diam ia merasa berhutang budi dan berterima kasih sekaIi. Kalau tidak
ada perlindungan Ma Giok, tentu ia sudah celaka dan bukan mustahil kalau sekarang ia
telah tewas.
Perjalanan mereka kini semakin lambat. Kandungan Kui Siang sudah tua dan hal ini
menghalangi ia me!akukan perjalanan cepat. Kuda yang ditungganginya hanya berjalan
perlahan saja. Ma Giok tidak memperkenankan ia membedal kudanya, karena kalau
kudanya berlari congklang, tentu tubuh Kui Siang akan terguncang-guncang dan hal ini
akan berbahaya sekali bagi kandungannya.
Pada suatu senja mereka tiba di sebuah hutan. Ma Giok menghentikan perjalanan, lalu
melompat naik ke atas pohon yang paling tinggi, melihat ke sekelilingnya. Dia merasa
girang melihat sebuah dusun tak jauh di luar hutan, maka cepat dia melompat turun
kembali.
"Di luar hutan ini, tidak terlalu jauh, terdapat sebuah dusun. Aku melihat banyak atap
rumah, menunjukkan bahwa dusun itu cukup besar. Sebelum gelap kita akan dapat tiba di
sana. Mari kita lanjutkan perjalanan ke dusun itu, Kui Siang."
Akan tetapi, tiba-tiba dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik. Ma Giok cepat me
lompat turun karena melihat kuda tunggangan Kui Siang mengangkat kedua kaki depan ke
atas. Dia khawatir kalau Kui Siang terjatuh. Dengan sigap dia menangkap kendali di
moncong kuda sehingga kuda itu tenang kembali. Kui Siang juga segera turun dari atas
punggung kuda.
"Ada apakah dengan kuda kita?" tanya wan ita itu.
"Mereka tentu mencium bahaya, entah ada harimau atau ada orang." kata Ma Giok dan
dengan penuh kewaspadaan dia berdiri tegak dalam keadaan siap menghadapi bahaya.
Tak lama kemudian, telinganya mendengar jejak langkah orang-orang menghampiri
tempat itu. Kemudian muncullah dua belas orang, dipimpin oleh seorang laki-laki bermuka
hitam yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Dia tampak gagah perkasa dan usianya
sekitar tiga puluh lima tahun. Di punggungnya terselip senjata siang-kiam (sepasang
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 117
pedang). Ketika Ma Giok memperhatikan, tahulah dia bahwa dua belas orang itu adalah
orang-orang yang pernah mengeroyoknya ketika mereka menyerbu rumah Pembesar
Souw di dusun Lian-ki-jing tempo hari. Akan tetapi yang memimpin mereka ini adalah
seorang. yang belum pernah dilihatnya.
Dua belas orang itu menuding ke arah Ma Giok dan berkata kepada laki-laki muka hitam
yang memimpin mereka. "lnilah orangnya, Can-taihiap (pendekar Can)."
Pria muda itu bernama Can Ok dan dia terkenal sebagai seorang tokoh kangouw yang
membenci dan memusuhi penjajah Mancu, walaupun ia juga dikenal sebagai seorang
tokoh sesat yang tidak pantang melakukan bermacam kejahatan. Mendengar dari
gerombolan itu betapa Ma Giok yang tadinya dikenal sebagai pimpinan para pejuang
menentang Mancu ini, kini malah membela Pembesar Souw, seorang Mancu, dia menjadi
marah dan bersama dua belas orang anggauta gerombolan itu dia mencari dan mengejar
Ma Giok. Pada sore hari itu rombongan ini berhasil menemukan Ma Giok dan Kui Siang di
dalam hutan itu. Can Ok melangkah maju menghadapi Ma Giok dan sejenak kedua orang
itu saling pandang dengan penuh perhatian seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga.
"Hemm, jadi inilah yang bernama Ma Giok berjuluk Lam-liong, yang tadinya terkenal
sebagai seorang pejuang akan tetapi sekarang menjadi pengkhianat dan membela
penjajah Mancu?" Suara Can Ok besar dan lantang, telunjuk kirinya menuding ke arah
muka Ma Giok dan tangan kanannya bertolak pinggang.
Ma Giok tersenyum mengejek. Orang ini memimpin para anggauta gerombolan penjahat
itu, tentu bukan orang baik-baik dan hal ini kentara pula dad sikapnya yang sombong.
"Benar, aku Ma Giok Siapakah engkau, sobat dan apa maksud kalian menghadang
perjalananku?"
“Pengkhianat! Ketahuilah bahwa aku Can Ok yang terkenal sebagai tokoh pejuang yang
selalu menentang penjajah Mancu. Guruku adalah Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang
Terbang) yang juga seorang pejuang kenamaan dan datuk Sungai Huang-ho! Karena
engkau telah membunuh dan melukai para, pejuang, membela pembesar Mancu, maka
berarti engkau. menjadi pengkhianat dan aku datang untuk membunuh pengkhianat
bangsa seperti engkau, Lam-liong Ma Giok!" Setelah berkata demikian, Can Ok mencabut
sepasang pedang dari punggungnya, menyilangkan sepasang pedang mengkilap itu di de
pan dada, siap untuk menyerang.
Ma Giok tersenyum. "Can Ok, kalau engkau sudah tahu bahwa gerombolan yang kau
pimpin sekarang ini adalah gerombolan perampok dan penculik wanita, maka berarti
engkau sama saja dengan mereka, yaitu penjahat keji yang berkedok pejuang! Tidak perlu
kita bicarakan tentang perjuangan karena orang-orang macam kalian tidak akan mengerti.
Sekarang kalian adalah penjahat-penjahat yang berhadapan dengan aku sebagai seorang
pendekar yang tugasnya menentang kejahatan dan membasmi para penjahat!"
"Keparat sombong! Mampuslah!" Can Ok mengeluarkan bentakan nyaring dan ia sudah
menyerang dengan sepasang pedangnya, pedang kiri menusuk ke arah dada disusul
pedang Kanan menyambar untuk memenggal leher Ma Giok. Akan tetapi pendekar ini
melompat ke belakang, sehingga dua serangan itu tidak menyentuh dirinya. Ketika Can
Ok mengejar ke depan, Ma Giok sudah mencabut pedangnya. Kembali Can Ok menyerang
dengansepasang pedangnya dengan jurus Siang-liong-sin-yauw (Sepasang Naga
Memutar Tubuh). Pedangnya menyambar dari Kanan kiri dengan cepat dan dahsyat.
Melihat gerakan ini, maklumlah Ma Giok bahwa lawannya ini cukup hebat ilmu pedangnya.
Dia memang sudah lama mendengar nama guru pemuda ini, yaitu Hui-kiam Lo-mo. yang
terkenal sebagai datuk Sungai Huang-ho (Sungai Kuning) dan lihai sekali ilmu pedangnya
maka dijuluki lblis Tua Pedang Terbang. Dengan hati-hati namun tidak kalah cepatnya dia
menggerakkan pedangnya sehingga tampak sinar pedangnya bergulung-gulung dan
berkelebatan ke kanan kiri menangkis serangan lawan.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 118
"Trangg ….. cringgg …… !" Tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu
ditangkis dan Can Ok terkejut bukan main ketika merasa betapa kedua tangannya yang
memegang pedang tergetar hebat dan terasa panas. Tahulah dia bahwa Lam-Liong Ma
Giok Si Naga Selatan itu memiliki tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, jauh
lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi dasar dia memiliki watak tinggi hati dan
mengagulkan kepandaian sendiri, Can Ok tidak menjadi gentar dan menyerang lebih
hebat lagi. Ma Giok juga mengeluarkan ilmunya dan selain mengelak dan menangkis,
diapun membalas serangan dan setelah lewat belasan jurus, mulailah Can Ok terdesak
hebat. Gulungan sinar pedang Ma Giok semakin melebar dan dua gulungan sinar pedang
Can Ok menyempit dan terhimpit. Biarpun dia memegang dua batang pedang, tetap saja
Can Ok kini hanya mampu memutar sepasang pedangnya untuk menangkis dan
melindungi tubuhnya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Sementara itu, cuaca mulai menjadi gelap, malam menjelang datang menggantikan cuaca
senja yang remang.
Karena lawannya cukup tangguh sehingga Ma Giok harus mencurahkan semua
perhatiannya untuk merobohkannya dan kini sudah mampu mendesaknya, maka
pendekar itu kurang memperhatikan Kui Siang yang masih berdiri di bawah pohon dan
menonton dengan hati khawatir.
Tiba-tiba Ma Giok mendengar Kui Siang menjerit. Dia terkejut sekali dan cepat melompat
ke belakang menjauhi Can Ok lalu menoleh ke arah Kui Siang lagi. Alangkah kagetnya
melihat tempat itu kosong. Kui Siang tidak lagi berada di situ, dan dia melihat dia di antara
selusln orang tadi melarikan dIri sambil memegangi kedua lengan Kui Siang. Melihat ini,
Ma Giok mengeluarkan seruan nyaring melengking dan tubuhnya melesat kedepan,
mengejar dua, orang yang melarikan Kui Siang itu.
Akan tetapi sepuluh orang anggauta gerombolan menghadangnya dan menye rangnya
dengan golok mereka. Juga Can Ok mengejar dan menyerang dengan sepasang
pedangnya. Ma Giok marah bukan main. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar,
sinarnya bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Terdengar teriakan-teriakan
dan dalam waktu beberapa detik saja empat orang anggauta gerombolan sudah roboh
mandi darah menjadi korban pedang di tangan Ma Giok! Kemarahan Ma Giok kini
dltujukan kepada Can Ok yang dianggapnya menjadi sebab terculiknya Kui Siang, maka
sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, dia menyerang Can Ok. Can Ok
mencoba menangkls dengan sepasang pedangnya, akan tetapi kaki kiri Ma Giok mencuat
dan Can Ok berteriak, roboh tertendang. Dengan gerakan Liong ong-lo-hai (Raja Naga
Mengacau Lautan) Ma Giok kembali merobohkan dua orang pengeroyok sehingga yang
lain menjadi gentar dan mundur. Ma Giok menggunakan kesempatan ini. untuk melompat
dan mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) berlari cepat sekali mengejar dua
orang penjahat yang melarikan Kui Siang.
Untung Kui Siang masih dapat menjerit sehingga Ma Giok dapat mengejar ke arah yang
benar. Tak lama kemudian dia dapat mengejar dua orang yang sedang menyeret-nyeret
Kui Siang. Agaknya mereka berduapun tahu bahwa Ma Giok mengejar dan sudah berada
di belakang mereka. Seorang di antara mereka, yang,bertubuh tinggi besar dan mukanya
brewok, berhenti berlari, membalikkan tubuh, menempelkan goloknya di leher Kui
Siangdan membentak,
"Berhenti! Atau akan kupenggal leher wanita inil"
Melihat Kui Siang diancam seperti itu, Ma Giok tertegun dan diapun berhenti bergerak di
depan mereka berdua, memandang Kui Siang yang rambutnya awut-awutan dan
menangis.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 119
Tentu saja Ma Giok. tidak berani menyerang karena maklum bahwa kalau hal itu dia
lakukan, biarpun dia tentu dapat membunuh dua orang itu, namun nyawa Kui· Siang takkan
dapat tertolong lagi. Golok dua orang itu kini sudah menempel di leher Kui Siang!
"Jangan bunuh ia, jangan ganggu ia. Ia tidak bersalah apa-apa." katanya dengan khawatir
sekali.
Si brewok 'itu menyeringal. Cuaca belum gelap benar sehingga dalam keremangan ltu
mereka semua masih dapat melihat dengan jelas. "Kau tidak ingin kami membunuhnya?
Nah, menyerahlah. Lepaskan pedangmu itu!” perintah si brewok sambil menekan
goloknya pada leher Kui Siang. "Kalau engkau tidak menurut, leher mulus ini pasti akan
kupenggal!"
Terpaksa Ma Giok melemparkan pedangnya ke atas tanah. llSudah kubuang pedangku.
Bebaskan ia!" katanya dengan suara tenang walaupun hatinya berdebar tegang
karenakhawatir akan keselamatan Kui Siang. Dalam keadaan ini, melihat keselamatan Kui
Siang terancam, barulah terasa olehnya betapa besar arti dan nilai wanita itu baginya! Dia
akan rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk Kui Siang!
Si brewok yang melihat Ma Giok membuang pedangnya, dan mendengar Ma Glok minta
mereka membebaskan wanita itu, tertawa bergelak, lalu menoleh kepada kawannya. "Kau
tetap tempelkan golokmu di lehernya. Hati-hati, jangan sampai ia lolos, biar kubereskan
dulu pengkhianat ini!" Setelah berkata demikian, dia melangkah maju dan mengangkat
goloknya untuk dibacokkan ke kepala Ma Giok!
Pada saat itu orang kedua yang menodong Kui Siang dengan goloknya berteriak
kesakitan karena wanita itu dengan nekat sekali menggunakan kesempatan itu untuk
menggigit lengan yang memegang golok itu. Gigitannya kuat sekali karena Kui Siang telah
nekat. Golok itu terlepas dari pegangannya dan pada saat itu pula
Ma Giok cepat bertindak. Ma Giok cepat sekali bergerak ke depan ketika golok di tangan
si brewok itu masih terangkat ke atas dan dengan jurus Cun-lui-tong-te (Geledek Musim
Semi Menggetarkan Bumi) dia memukul ke arah si muka brewok.
"Wuuuttt ….. desss……!!” si tinggi besar muka brewok itu terlempar dan roboh
terjengkang, tewas seketika. Ma Giok tidak berhenti sampai di situ saja. Dia melanjutkan
gerakannya, kini memukul ke arah orang ke dua yang baru saja lengannya digigit Kui
Siang. Tangannya menampar ke arah kepala orang ke dua itu. Dia mempergunakan jurus
Tai-pangtian-ci (Burung Garuda Pen tang Sayap).
"W uuuttt ……. prakkk …… !" Kepala anggauta gerombolan itu pecah terkena tamparan
yang amat kuat itu.
Melihat dua orang yang tadi menyeretnya roboh, Kui Siang menubruk Ma Giok sambil
menangis. Ma Giok merangkulnya dan mendekap kepala itu ke dadanya. Tiba-tiba Kui
Siang mengeluh dan memegangi perutnya.
“Aduhh ……. paman …… aduhhh …… perutku …… !"
Ma Giok terkejut sekali. Tanpa bertanya lagi tahulah dia apa artinya itu. Agaknya Kui
Siang hendak melahirkan! Pada saat itu, Kui Siang merintih lalu terkulai, pingsan dalam
rangkulan Ma Giok. Ma Giok cepat memondong tubuh Kui Siang, mengambil pedangnya
dari atas tanah, kemudian ia berlari cepat menuju ke dusun yang dilihatnya tadi. Dia tidak
perduli lagi akan dua ekor kuda tunggangan mereka, buntalan pakaian dan uang. Yang
teringat saat itu hanyalah bagaimana menyelamatkan Kui Siang. Dia harus membawa Kui
Siang ke dusun itu sebelum wanita itu melahirkan!
Untung baginya bahwa malam itu bulan sepotong muncul lewat senja sehingga dia dapat
melihat jalanan. Setelah berlari cepat beberapa lamanya, tampaklah sinar lampu rumahKoleksi
Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 120
rumah penduduk sebuah dusun. Pada rumah pertama, karena khawatir sekali akan
keadaan Kui Siang, Ma Giok mengetuk pintu rumah itu.
"Siapa di luar?" terdengar suara seorang wanita tua.
"Saya, tolong bukakan pintu, saya butuh pertolongan karena keponakanku sakit!" kata Ma
Giok.
Daun pintu terbuka dan seorang wanito. berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian
petani, muncul di ambang pintu. Sinar lampu menyorot dari dalam menerangi wajah Ma
Giok yang memondong tubuh Kui Siang yang masih pingsan. Wanita itu memandang
kepada Kui Siang dan bertanya her an.
“Ia kenapakah?"
“Ia sakit …… eh, sebetulnya, ia ….. agaknya akan melahirkan. Tolonglah, nyonya, beri
tempat dan panggilkan seorang bidan untuk menolongnya melahirkan …… "
"Ah, agaknya Thian (Tuhan) yang membimbingmu ke sini, si-cu (tuan), karena kebetulan
sekali aku adalah seorang bidan. Mari, bawa ia masuk ke dalam kamar ini." Sambil
membawa sebuah lampu meja, wanita itu mengajak Ma Giok yang memondong Kui Siang
memasuki sebuah kamar yang tidak seberapa luas namun cukup bersih. "Rebahkan ia di
pembaringan ini." kata wanita itu.
Setelah Kui Siang dibaringkan, wanita itu memandang heran. "Ia kenapa? Agaknya ia
seperti tidur ……"
"Ia pingsan, tadi kesakitan di jalan. Biar kusadarkan ia." Ma Giok lalu menotok jalan darah
dan mengurut tengkuk Kui Siang, mencubit otot besar dan Kui Siang mengeluh lalu
membuka mata. Ia memandang kepada MaGiok dan ke kanan kiri sampai ia melihat
wanita itu., "Paman, kita berada di mana......?" tanyanya.
"Tenangkan hatimu, Kui Siang. Kita ditolong oleh nyonya bidan yang baik hati ini." kata Ma
Giok.
Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya dengan kedua tangan.
"Aduhh ……perutku …… ah, nyeri sekali, paman …… "
Tentu saja Ma Giok menjadi bingung. Dia menoleh kepada pemilik rumah itu, seolah
hendak menanyakan nasehatnya.
Wanita bidan itu lalu duduk di tepi pembaringan, memeriksa perut Kui Siang dan berkata,
"Engkau akan melahirkan. Tenanglah, aku akan membantumu. Sicu, dapatkah engkau
membantu aku dan memasak air sampai mendidih? Air, tempatnya dan perapian berada
di dapur, bagian belakang rumah ini."
"Ah, tentu saja!" kata Ma Giok, lega karena dia dapat melakukan sesuatu untuk
membantu. Dia lalu membawa lilin menyala dan pergi ke belakang di mana dia
menemukan segala yang diperlukan untuk memasak air. Sebentar saja air itu mendidih
dan dia segera membawa air itu dalam baskom ke dalam kamar tadi. Dia melihat Kui
Siang masih merintih-rintih dan bidan itu mengurut perlahan bagian perutnya.
Setelah meletakkan baskom ke atas meja, Ma Giok bertanya, "Bagaimana keadaannya?"
Nenek itu mengerutkan alisnya dan. menggeleng lalu menghela napas panjang,
memandang kepada Ma Giok dan memberi isarat dengan gerakan kepala dan pandang
mata agar Ma Giok mendekat. Ma Giok mengerti dan mendekatkan telinganya. Wanita itu
berbisik.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 121
"Tidak begitu baik," ia berbisik dekat telinga Ma Giok agar jangan terdengar oleh Kui Siang
yang gelisah, memejamkan mata dan mengerang kesakitan, "letak bayinya terbalik dan
keadaan tubuhnya lemah sekali ……"
Wajah Ma Giok menjadi pucat mendengar ini. "Tolonglah, nyonya yang baik, tolonglah,
selamatkan nyawanya …… " ia berbisik dengan suara penuh permohonan dan
kekhawatiran.
"Saya akan berusaha, si-cu, akan tetapi seberapa kepandaian manusia seperti saya yang
bodoh ini?"
"Apa yang dapat saya bantu? Katakanlah, saya akan membantu sekuat tenaga untuk
menyelamatkannya." kata Ma Giok.
"Oya, benar juga. Sekarang pergilah ke dalam dusun. Di dekat perempatan sana terdapat
sebuah rumah tembok yang pekarangannya lebar. Di situ tinggal seorang penjual obat.
Belilah sebungkus obat menambah darah dan penguat tubuh bagi seorang wanita yang
melahirkan. Katakan saja bahwa Ngo-ma (ibu Ngo) yang menyuruhmu, penjual obat itu
tentu akan mengerti obat apa yang kubutuhkan dan tentu akan melayanimu dengan baik."
"Baik, nyonya. Sekarang juga saya berangkat!" Ma Giok berlari keluar. Untung bahwa dia
masih menyimpan uang di dalam saku bajunya. Dia dapat menemukan rumah penjual
obat itu dan setelah membeli obat yang dimaksudkan, dia berlari kembali ke rumah di
ujung dusun itu.
Jilid 14
Bidan itu merasa heran dan gembira melihat Ma Giok demikian cepat kembali membawa
obat yang diperlukan. Dengan petunjuk bidan itu, Ma Giok memasak obat dan setelah
airnya tinggal semangkok, dibawanya semangkok obat itu ke dalam kamar.
"Wah, tidak diminum sekarang, sicu. Ambil saja anglo (perapian) dari dapur ke sini, buat
Api yang kecil saja dan letakkan panci obat di atas tungku dengan api kecil itu agar
obatnya selalu hangat."
Pada saat itu, terdengar suara ribut ribut di luar rumah, lalu daun pintu rumah itu digedor
orang. Bidan itu terkejut dan memandang kepada Ma Giok.
"Sicu, apakah ramai-ramai di luar itu? Kenapa pintu rumahku digedor?"
"Tenanglah, nyonya. Lanjutkan pertolonganmu kepada Kui Siang. Biar aku yang
membereskan mereka yang membikin ribut di luar." Setelah berkata demikian, Ma Giok
melompat keluar. Dia membuka daun pintu dan melihat enam orang berdiri di depan
rumah.· Empat orang di antara mereka adalah sisa anak buah gerombolan yang masingmasing
memegang sebuah obor yang diangkat tinggi-tinggi sehingga keadaan di situ
cukup terang. Yang dua orang lagi adalah Can Ok dan seorang kakek berusia kurang
lebih enam puluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus dan rambutnya sudah putih
semua. Lima batang pedang pendek terselip di ikat pinggangnya dan sebatang pedang
panjang tergantung di punggungnya. Melihat pedang-pedang ini, Ma Giok terkejut dan
menduga bahwa orang ini tentulah Hui-kiam Lo-mo, Si Iblis Tua Pedang Terbang yang
namanya terkenal sebagai datuk Sungai Kuning, tokoh sesat yang mengaku sebagai pemimpin
pejuang!.
Can Ok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ma Giok. "Ma Giok pengkhianat, anjing
bangsa Mancu, bersiaplah engkau untuk menerima hukuman mati!"
Kakek itu juga memandang kepada Ma Giok sambil mengerutkan alisnya dan terdengar
suaranya melengking tinggi seperti suara seorang wanita, juga nada dan lagaknya seperti
seorang wanita, agak genit.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 122
"Aih, inikah yang bernama Ma Giok dengan julukan Naga Selatan itu? Hemm, sayang
sekali. Namamu sudah terkenal sebagai pemimpin pejuang dan engkau juga gagah
perkasa dan tampan menarik, akan tetapl kini engkau merendahkan diri menjadi antek
penjajah Mancu!"
Baru mendengar ucapan dan melihat lagak kakek berambut putih itu saja Ma Giok sudah
merasa muak. Orang seperti ini mana dapat dipercaya?
"Kalau aku tidak salah duga, tentu engkau yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo, datuk Sungai
Kuning. Benarkah?"
"Ha-ha-ha, kiranya matamu tajam juga, Lam-liong. Sesudah mengenalku, kenapa engkau
tidak memberi hormat?" kata kakek yang suaranya seperti wanita itu.
"Hui-kiam Lo-mo, aku tidak pernah bermusuhan denganmu. Sekarang aku ada urusan
yang teramat penting. Kalau ada urusan dengan aku, kuharap engkau suka datang lagi
besok pagi!" kata Ma Giok yang suaranya gelisah sekali mendengar rintihan Kui Siang
yang terdengar dari tempat dia berdiri.
"Heh-·heh-hi-hik, Lam-liong. Engkau bersikap gagah dan ganas menghadapi muridku dan
anak buahnya. Setelah berhadapan dengan aku, tiba-tiba berubah menjadi pengecut.
Kalau engkau tidak berani melawanku, akui saja dan cepat kau berlutut minta ampun
kepadaku!" kata kakek itu dengan lagak sombong.
Akan tetapi Ma Giok menahan diri dan bersabar karena ia tidak ingin berkelahi dalam
keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan Kui Siang terancam maut.
"Tolonglah, Hui-kiam Lo-mo, demi hubungan antara kita sebagai sama-sama tokoh dunia
kang-ouw, aku minta sekali lagi kepadamu agar menangguhkan urusan ini sampai besok
pagi. Malam ini aku sungguh menghadapi urusan yang lebih penting lagi!.
"Heh-heh-ha-ha!" Hui-kiam Lo-mo terkekeh. "Engkau harus mati sekarang juga!" Sambil
bicara kakek itu meraih ke atas punggungnya dan sebatang pedang yang berkilauan tajam
tertimpa sinar empat buah obor itu telah berada di tangannya.
Pada saat itu terdengar jeritan dari dalam."Ah, itu tentu suara perempuan yang
dilindunginya. Kita bunuh saja dulu perempuan itu!" teriak Can Ok. Agaknya orang ini
sudah mengandalkan gurunya untuk menghadapi Ma Giok yang membuatnya jerih. Dia
hendak melompat ke dalam, akan tetapi Ma Giok mendahuluinya. Karena terkejut
mendengar jeritan Kui Siang dan ingin sekali dia melihat
Setibanya di depan kamar, Ma Giok membuka daun pintu dan dia melihat Kui Siang
berguling ke kanan kiri dengan gelisah dan agakQya menderita kesakitan hebat,
sedangkan Ngo-ma sibuk mengurut perut Kui Siang untuk membantunya melahirkan
bayinya.
"Tekan terus, kuat-kuat...... !" terdengar Ngo-ma mendesak, suaranya parau, diseling jerit
tangis Kui Siang. Ma Giok merasa ngeri dan ilia sekali, akan tetapi dia tahubahwa dia tidak
mampu berbuat apapun untuk menolong wanita yang dikasihinya itu.
Pada saat itu Ma Giok merasa angin serangan yang menyambar dahsyat dari belakang.
Cepat dia menyambar gagang pedangnya, mencabutnya dan sambil memutar tubuh dia
menangkis.
"Trangggg...... !" Sepasang pedang di tangan Can Ok yang membacoknya itu terpental.
Kiranya Can Ok sudah tiba di situ, diikuti oleh empat orang anak buahnya dan juga Huikiam
La-mo! Ma Giok berdiri tegak di depan pintu kamar dan ketika enam orang itu majl!
menyerang, dia memutar pedangnya menangkis. Ketika pedang dl tangan Hui-kiam Lomo
menyambar dengan dahsyatnya, Ma Giok mengerahkan tenaganya menangkis.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 123
"Trangggg........ !!" Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang
tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sakti mereka seimbang. Ma Giok hanya menjaga agar
jangan ada yang memasuki kamar itu, menjaga pintu kamar dengan sekuat tenaga. Dia.
tidak balas menyerang, hanya menangkls serangan bertubi-tubi darl enam orang itu.
Telinganya dkurahkan untuk memperhatikan keadaan daJam kamar. Oia mendengar
suara Ngo-ma masih mendesak Kul Siang, kini suara bidan itu gemetar ketakutan melihat
perkelahian di luar kamar. Sementara itu, masih terdengar Kul Siang merintih dan
menangis, dan suara inllah yang membuat Ma Giok gelisah bukan main. Rintihan itu
demikian mengerikan hatinya, apalagi ketika dia mendengar betapa rintihan itu diselingi
suara Kui Siang menyebut dan memanggil-manggil namanya. Ingin sekali dia masuk dan
mendekati Kui Siang, namun hal itu tidak mungkin dia lakukan karena dia harus mencegah
agar jangan ada orang jahat dapat memasuki kamar dan mengganggu Kui Siang.
"Singggg....... !" Ma Giok cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Sebatang
pedang pendek menyambar dan Iewat di at as kepalanya, menancap di papan daun pintu.
Hui-kiam Lo-mo sudah mulai mempergunakan senjata andalannya yang membuat
namanya terkenal, yaitu Iblis Tua Pedang Terbang. Datuk itu mulai menyerangnya dengan
sebatang pedang terbangnya.
"Thian (Tuhan)...... !!" terdengar jerit melengking keluar dari mulut Kui Siang.
"Ouwah ouwah ouwah ! “
Tangis bayi yang baru ditahirkan menyusuI jerit melengking itu. Mendengar dua suara ini,
tiba-tiba Ma Giok seperti mendapat tambahan semangat dan tenaga baru. Bayi itu telah
lahir! Keharuan dan kegembiraan bercampur dengan kekhawatiran dan kemarahan
terhadap enam orang pengeroyoknya. Dengan dahsyat sekali dia menerjang mereka.
Pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar dan empat orang anak buah
gerombolan telah terbabat roboh oleh pedangnya! Bahkan pedangnya yang mengamuk itu
melukai pundak Can Ok yang cepat melompat mundur. Melihat ini, bahkan Huikiam Lo-mo
sendiri menjadi gentar dan ia lalu memegang Iengan muridnya dan melompat jauh Ialu
melarikan diri!
Ma Giok tidak memperdulikan mereka, cepat memasuki rumah dan begitu masuk kamar,
dia melihat Ngo-ma sedang membersihkan seorang bayi lakilaki yang bertubuh montok
dan sehat. Bayi itu menangis owek-owekan, suaranya nyaring sekali dan Ngo-ma sibuk
menggunting tali pusarnya dan membersihkannya dengan air hangat. Ma Giok terpesona
melihat bayi itu. Kemudian ia menoleh ke arah pembaringan. Kui Siang rebah telentang
dengan rambut kusut terurai itu di atas bantal, membuat wajahnya yang jelita tampak
pucat sekali. Tubuhnya tertutup selimut, akan tetapi di bagian bawah, sekitar paha dan
kakinya, berlepotan darah! Ma Giok merasa ngeri dan cepat dia menghampiri, lalu duduk
di tepi pembaringan, tidak perduli pakaiannya terkena darah.
"Kui Siang......?" Dia berkata lirih, menjulurkan tangannya dan menyentuh pipi yang masih
basah air mata itu. Dia terbelalak, sentuhan Itu menyadarkannya bahwa sesuatu yang
tidak beres telah terjadi. Cepat jari-jari tangannya pindah ke leher wanita itu untuk
merasakan denyutnya.
"Kui Siang.…. !!" Ma Glok berseru dan memegang kedua pundak Kui Siang, diguncangnya
seperti hendak membangunkannya dari tidur nyenyak.
"Saya menyesal sekali, aku aku tidak dapat menolongnya. Bayi dapat lahir dengan
selamat, akan tetapi ibunya...... ia terlalu lemah dan tidak kuat...... " terdengar suara Ngoma
yang seolah datang dari tempat jauh sekali bagi pendengaran Ma Giok.
"Kui Siang.... aduh Kui Siang.......” Ma Giok terkulai lemas dan dia menciumi muka Kui
Siang yang masih basah air mata itu sambil menangis. Ma Giok, Si Naga Selatan itu
menangis! Sungguh merupakan kenyataan yang sangat aneh.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 124
Pendekar yang sudah digembleng dan digodok banyak pengalaman pahit sejak tanah air
dijajah Mancu itu, kematian isterinya, kehilangan segala harta mWknya, menjadi pelarian
dan buruan pemerintah Mancu, belakangan ini. Malah kematian puterinya yang menjadi
anak tunggalnya., yang seolah sudah lupa bagaimana rasanya berduka apalagi menangis,
kini terisak-isak di atas jenazah Kui Siang! Kini Ma Giok menyadari benar bahwa
sesungguhnya dia telah jatuh cinta kepada wanita itu. Perasaan cinta yang belum pernah
dia rasakan semenjak isterinya meninggal dunia.
Akhirnya Ma Giok mampu menekan perasaan dukanya dan dia berbisik ke dekat telinga
jenazah itu. "Kui Siang, beristirahatlah dengan tenang dan tenteram. Jangan khawatirkan
anakmu. Aku bersumpah akan memelihara dan mendidiknya seperti anakku sendiri. Dia
terlahir dalam keadaan sengsara sebagai. akibat jatuhnya kerajaan Beng, maka ketahuilah,
Kui Siang. Anakmu itu, anak kita, akan kuberi nama Beng (Terang), Lauw Beng.
Semoga kelak dia akan dapat menegakkan kembali Kerajaan Beng-tiauw (Dinasti Beng)
atau setidaknya dia akan menjadi seorang pendekar budiman, berbakti kepada nama
orang tua, negara,dan bangsa dengan melakukan perbuatan baik, gagah perkasa,
pembela kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan."
Setelah dapat menenangkan hatinya, biarpun masih merasa amat sedih dan kehi!angann
yang membuat hidup ini terasa sepi dan kosong, Ma Giok lalu mengurus pemakaman
jenazah Kui Siang. Para tetangga Ngo-ma di dusun itu membantunya. Ma Giok juga
segera lapor kepada kepala dusun tentang penyerbuan orang-orang jahat yang sebagian
dapat dibunuhnya itu.
Kemudian, atas bantuan Ngo-ma, dia wanita dusun yang juga belum lama melahirkan
seorang anak. Terpaksa, demi perawatan bayi itu, Ma Giok tinggal di dusun itu selama tiga
bulan. Selama tiga bulan itu, awan duka menyelubungi kehidupan Ma Giok. Jarang dia
keluar dari rumah janda tua itu, hanya melamun dan termenung. Hiburan satu-satunya
adalah kalau dia memondong anak itu yang dia beri nama Beng dan tentu saja she (bermarga)
Lauw, sesuai dengan nama ayah kandung anak itu, adalah Lauw Heng San. Akan
tetapi dia selalu menyebut Lauw Beng dengan Siauw Beng (Beng Kecil), sebuah sebutan
yang kelak akan dipakai terus oleh anak itu. Dengan kematian Kui Siang yang diam-diam
amat dicintanya, berarti Ma Giok telah kehilangan segala-galanya. Dahulu dia kematian
isterinya, lalu kematian puteri tunggalnya. Kini kematian Kui Siang. Kalau saja tidak ada
Siauw Beng, mungkin pendekar besar yang pernah menjadi pemimpin para pejuang
penentang penjajah Mancu itu sudah putus harapan dan bosan hidup.
Hampir tidak ada manusia di dunia ini, kecuali mungkin para nabi atau manusia-manusia
pilihan Tuhan, manusia-manusia tertentu saja, yang dapat bertahan untuk hidup bebas,
dalam arti kata hidup di antara orang-orang lain, di antara benda-benda yang menjadi
kepunyaannya, namun batinnya bebas dari semua itu, bebas dari kemelekatan. Nafsunafsu
daya rendah sudah diikutsertakan kepada manusia sejak dia lahir, dan nafsu-nafsu
inilah yang membentuk keakuan, membentuk ego yang selalu membutuhkan sesuatu di
luar dirinya untuk dapat melekat. Padahal, justeru kemelekatan inilah yang melahirkan
duka. Isteriku, anakku, keluargaku, hartaku, namaku, semua yang diembel-embeli dengan
AKU inilah yang mendatangkan pertentangan, permusuhan, dan berakhir dengan
kedukaan. Manusia yang bijaksana menyadari bahwa dia tidak memiliki apa-apa, semua
yang berada di alam semesta ini mutlak adalah milik Tuhan, Sang Pencipta Maha Pemilik.
Bahkan dirinya, jiwanya, adalah milik Tuhan. Memang dia boleh jadi mempunyai banyak
hal, mempunyai keluarga, mempunyai harta, mempunyai nama. Akan tetapi mempunyai
untuk sementara saja dan akhirnya tentu akan dipisahkan darinya. Bukan MEMILIKI. Dia
tidak kuasa sedikitpun akan apa yang dipunyainya, termasuk badan dan jiwanya. Kalau
YANG MEMILIKI berkenan mengambilnya, dia tidak akan mampu menolak karena
sesungguhnya dia bukan sang pemilik. Yang ngaku-aku memiliki itu hanhyalah nafsudaya
rendah, yang senantiasa menginginkan yang nikmat dan yang menyenangkan. Kesadaran
akan ini semua akan membuat manusia waspada dan tidak terlalu tenggelam dalam duka
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 125
apabila ditinggal mati seseorang yang dicintanya. Sadar bahwa orang yang dicintanya itu
bukanlah miliknya, seperti juga dirinya sendiri bukan miliknya. Maka, apabila. YANG
MAHA MEMILIKI mengambilnya, dia akan menyerahkan dengan segala keikhlasan hati.
Kesadaran ini akan banyak mengurangi,bahkan menghapus, penderitaan karena
kedukaan.
Setelah tinggal di dusun itu selama tiga bulan dan Siauw Beng tampak sudan sehat dan
kuat, Ma Giok lalu meninggalkan dusun itu. Dia membawa Siauw Beng dan melakukan
perjalanan menunggang seekor kuda menuju ke Thaisan. Kuda bekas tunggangan Kui
Siang dia berikan kepada Ngo-ma sebagai hadiah.
Tentu saja bukan suatu perjalanan yang mudah bagi Ma Giok membawa seorang bayi
berusia tiga bulan dalam perjalanan yang demikian jauhnya. Setiap hari, sedikitnya tiga
kali, dia harus mencarikan seorang ibu yang dapat menyusui Siauw Beng. Dan apabila
dalam perjalanannya, Siauw Beng dalam gendongannya menangis, dia hanya dapat
gelisah tanpa dapat menolongnya. Terkadang ia terpaksa membiarkan anak itu menangis
teroweh-oweh dalam gendongannya sambil membalapkan kudanya, sampai anak itu lelah
sendiri dan menghentikan tangisnya sendiri karena tertidur. Ada kalanya pula dia berhenti
dan tertawa terbahak-bahak kalau anak itu, setelah mendapat air susu seorang ibu di
dusun yang mereka lewati mau tertawa-tawa dan ngoceh.
Alangkah senang dan bahagianya hati Ma Giok kalau sedang begitu. Ditimangnya anak
itu, dilemparkan ke atas, diajak bermain-main sehingga bayi itu lambat laun menjadi
terbiasa dan tidak menangis malahan tertawa kalau dilempar-lemparkan ke atas oleh Ma
Giok yang tentu saja canggung dan kaku itu. Ma Giok memang belum berpengalaman
mengasuh bayi. Baru satu kali dia mempunyai anak kandung, itupun ada ibunya sehingga
dia hampir tidak pernah tahu betapa susahnya mengasuh seorang bayi. Dan sekarang, dia
terpaksa harus mengganti pakaiannya kalau anak itu ngompol, harus membersihkannya
kalau anak itu berak, harus mengayun-ayun dan menghiburkannya kalau menangis.
Perjalanan sejauh seribu li (mil) lebih itu ditempuh Ma Giok selama hampir empat bulan.
Untung baginya bahwa tidak pernah mendapat halangan atau rintangan dalam perjalanan.
Dia menganggapnya sebagai berkah Thian (Tuhan) kepada Siauw Beng. Memang segala
sesuatu merupakan berkah Thian, akan tetapi kalau di ditinjau dalam penalaran manusia,
penjahat manakah yang mau mengganggu seorang laki-laki yang membawa seorang
bayi? Tidak ada sesuatu yang berharga dapat diharapkan dari laki-laki dan bayinya itu.
Mungkin inilah yang membuat para perampok segan untuk mengganggu Ma Giok. Juga
boleh jadi karena mereka melihat sikap Ma Giok yang gagah berwibawa, dan melihat
pedang yang tergantung di. punggungnya. Ada pula yang mengenal bekas pemimpin
pejuang yang pernah menjadi tokoh dunia kangouw dengan julukan Lam-liong (Naga
Selatan) ini dan tentu saja mereka menjadi jerih untuk mengganggunya.
Akhirnya, dalam keadaan letih namun lega, Ma Giok tiba di lereng dekat puncak Gunung
Thai-san, di mana terdapat sebuah pondok kayu sederhana namun kokoh kuat. Inilah
tempat pertapaan Pek In San-jin, yang hidup berdua saja dengan seorang pemuda
remaja, berusia dua belas tahun yang menjadi pelayannya. Biarpun Ma Giok belum
pernah berkunjung ke tempat itu, namun dia sudah mendapat keterangan mengenai
tempat dari suheng mendiang Pat-jiu Sin-kai dan menjadi guru mendiang Ngo-ji-auw-eng
(Garuda Lima Cakar) Tankok itu.
Pondok kayu di dekat puncak itu sudah tampak dari bawah. Tinggal satu putaran lagi dan
Ma Giok akan sampai di sana. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh berdebuk di depannya.
Batu gunung itu sebesar perut kerbau dan tentu beratnya seratus kati lebih. Ma Giok yang
meninggalkan kudanya di dusun terakhir di lereng gunung itu dan melanjutnya pendakian
dengan jalan kaki, terkejut. Batu itu datang dari depan, namun tidak langsung
menyerangnya karena jatuh berdebuk di depannya, dalan jarak tiga meter. Ketika dia
mengangkat muka, dia melihat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun menyangga
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 126
sebuah batu yang sama besarnya dengan yang jatuh di depannya itu, menyangga dengan
tangan kiri. Tangan kanannya kosong dan agaknya bocah itu yang tadi melontarkan
batunya mungkin tadinya disangga tangan kanannya.
Ma Giok memandang terbelalak, hampir tak percaya. Benarkah anak itu. yang
melontarkan batu tadi? Agaknya demikian karena tangan kiri anak itu masih menyangga
sebongkah batu lain yang sama besarnya, dan tampaknya sama sekali tidak merasa
berat.
PADAHAL, batu itu tentu lebih dari seratus kati beratnya. Bahkan seorang laki-laki dewasa
yang bertubuh kokoh sekalipun belum tentu mampu menyangga batu seberat itu dengan
sebelah tangan, apalagi melontarkannya dalam jarak kurang lebih sepuluh meter itu.
"Eh, siauw-ko (kakak kecil), engkaukah yang melontarkan batu itu di depanku tadi?" Ma
Giok bertanya sambil menghampiri. Dia memandang penuh perhatian. Anak yang usianya
sekitar dua belas tahun itu bertubuh tinggi besar, matanya lebar, hidungnya pesek dan
bibirnya tebal. Muka yang tak dapat dikatakan tampan, bahkan tampak kasar dan bodoh,
akan tetapi sinar matanya mengandung kejujuran.
Sebelum menjawab, anak itu melontarkan batu sebesar perut kerbau yang disangga
dengan tangan kirinya ke atas, ada tiga meter tingginya, lalu disambut dan dilontarkan lagi
sampai tiga kali. Kemudian dia menurunkan batu itu dan melompat ke atas batu sehingga
kini tingginya sama dengan tinggi Ma Giok.
"Benar, aku yang.. melontarkannya di depanmu." jawabnya jujur. Suaranya nyaring dan
logatnya masih menunjukkan logat khas desa.
"Akan tetapi mengapa kaulakukan itu, siauw-ko? Seorang tuan rumah yang baik tidak
akan menyambut seorang tamu seperti itu."
"Tamu yang balk tentu disambut dengan baik pula. Akan tetapi engkau adalah tamu yang
tidak diundang dan kunjunganmu yang tiba-tiba ini tentu hanya akan mengganggu
ketenangan suhu." jawab anak itu.
Ma Giok tersenyum. "Aku bukan tamu, melainkan sahabat segolongan, siauwko. Apakah
lo-cian-pwe (orang tua gagah) Pek In San-jin berada di rumah? Aku ingin menghadap dia."
"Hemm, engkau adalah sin-khek (tamu baru), bagaimana aku tahu apakah engkau ini
sahabat segolongan ataukah bukan?" anak itu membandel.
Ma Giok tersenyum. Anak ini tentu bukan bocah biasa dan tadi menyebut suhu, tentu yang
dimaksudkan adalah Pek In San-jin. Jadi anak ini adalah murid Pek In San-jin? Pantas dia
bersikap penuh curiga dan agaknya dengan demonstrasi kekuatan mengangkat dan
melemparkan batu itu dia hendak mengusir orang yang dianggapnya akan mengganggu
gurunya. Orang biasa tentu akan ketakutan dan segera pergi dari situ melihat tenaga
bocah yang dahsyat itu.
Ma Giok melangkah maju, mendekati batu yang dilontarkan tadi. Kemudian dengan kaki
kanannya, dia mengungkit batu itu dan melontarkan dengan tendangannya ke atas,
kemudian selagi batu itu melayang di atas kepalanya, dia menggunakan tangan kanan,
memukul batu itu dengan tangan miring sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti).
"Pyarrrr... !" Batu sebesar perut kerbau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ma
Giok.
"Nah, siauw-ko, katakan kepada Pek In San-jin bahwa aku mohon menghadap untuk
menyampaikan berita tentang Pat-jiu Sin-kai dan Ngo-jiauw-eng Tan Kok."
Mendengar disebutnya dua nama ini, anak itu cepat melompat turun dari atas batu, lalu
memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada sambil berkata.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 127
"Mari, silakan ikut saya, lo-sicu (orang tua gagah)." Anak itu bersikap hormat dan
mendahului Ma Giok berlari naik ke arah puncak di dekat mana berdiri sebuah pondok
kayu itu. Agaknya anak itu sengaja hendak memamerkan kebolehannya berlari cepat
sambil berloncatan. Akan tetapi tentu saja dengan mudah Ma Giok dapat mengimbangi,
bahkan melampaui kecepatannya.
Di depan. pondok itu, dia berhenti dan menoleh kepada Ma Giok. "Silakan tunggu
sebentar, lo-sicu. Saya akan melapor kepada suhu."
Setelah berkata demikian, anak itu masuk ke dalam pondok yang cukup besar itu. Ma
Giok berdiri di luar. Siauw Beng tertidur pulas dalam gendongannya. Agaknya hawa sejuk
dekatpuncak itu membuat dia keenakan tidur. Ma Giok menikmati keindahan panorama
dari atas tempat tinggi itu.
Tak lama kemudian, anak itu keluar. "Lo-sicu dipersilakan masuk. Suhu telah menanti.
Silakan."
Ma Giok melangkah, melewati ambang pintu dan memasuki sebuah ruangan depan yang
luas. Seorang kakek duduk di atas dipan kayu, bersila seperti arca. Kakek itu usianya
sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang sudah putih
semua. Kepalanya botak dan tubuhnya tinggi kurus.
Namun dia duduk bersila dengan tubuh tegak lurus. Matanya masih bersinar, tajam ketika
dia mengamati wajah Ma Giok. Di dekatnya tampak sebatang tongkat bambu putih.
Melihat kakek ini, walaupun tidak mengenalnya, Ma Giok dapat menduga bahwa tentu
dialah yang bernama Pek In San-jin, seorang pertapa yang telah berpuluh tahun
mengasingkan diri di tempat sunyi ini dan tidak mau mencampuri urusan duniawi. Sambil
menggendong Siauw Beng, dia memberi hormat dan berkata dengan suara lantang
namun penuh hormat.
"Mohon maaf kepada lo-cian-pwe kalau kunjungan saya ini mengganggu ketenangan locian-
pwe. Saya bernama Ma Giok dan saya mohon menghadap lo-cian-pwe Pek In San-jin
untuk menyampaikan berita tentang lo-cian-pwe Patjiu Sin-kai dan pendekar Ngo-jiauweng
Tan Ok."
"Sian-cai (pujian damai)......! Kiranya si-cu adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam
Liong? Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pemimpin pejuang
yang gigih melawan penjajah Mancu. Duduklah, Ma-si-cu (orang gagah Ma)!".
Melihat sikap ramah kakek itu, Ma Giok Giok merasa lega dan dia lalu duduk di atas
sebuah bangku yang tersedia di ruangan itu, berhadapan dengan Pek In San-jin.
"Ma-sicu datang hendak menyampaikan berita tentang su-te (adik seperguruan) Pat-jiu
Sin-kai dan muridku Tan Kok? Apakah itu berita tentang kematian mereka yang akan
kausampaikan, sicu?"
Ma Giok terkejut. Apakah kakek ini sudah mengetahuinya? "Apakah lo-cianpwe sudah
mendengar akan hal itu?"
Pek In San-jin tersenyum dan menggeleng kepalanya. Luar biasa sekali, ketika dia
tersenyum, tampak giginya masih berderet-deret utuh dan rapi!
"Aku tidak pernah pergi dari puncak ini, dan A-song, kacungku itu, juga paling jauh pergi
turun ke dusun di lereng bawah. Tentu saja aku tidak pernah mendengar tentang mereka.
Akan tetapi kalau engkau datang membawa berita tentang mereka yang menjadi pejuang,
berita apalagi yang lebih berharga bagi seorang pejuang kecuali berita kematian? Seorang
pejuang baru disebut pahlawan kalau dia mati dalam perjuangan, itupun kalau kebetulan
ada yang memperhatikannya. Kalau dia tidak gugur, siapa yang akan memperhatikan dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 128
ingat bahwa mereka itu adalah bekas pejuang? Kecuali kalau mereka kini memperoleh
kedudukan tinggi tentunya. Nah, berita apa yang kau bawa, Ma-sicu?"
Dengan lembut, jelas dan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang kematian Pat-jiu
Sin-kai yang sudah sakit-sakitan itu, yang tewas saking marahnya melihat muridnya yang
bernama Lauw Heng San dapat terbujuk dan tertipu sehingga Lauw Heng San menjadi
perwira pembesar Mancu, yaitu Pangeran Abagan yang mengubah nama menjadi Thio Ci
Gan dan dikenal sebagai Thio-ciangkun (Panglima Thio). Karena ketidaktahuannya itu,
Lauw Heng San bahkan dengan pasukan istimewanya membasmi para pejuang yang
dianggapnya sebagai penjahat-penjahat dan gerombolan pemberontak! Bahkan Lauw
Heng San juga khilaf telah membunuh Ngo-jiauw-eng Tan Kok, murid Pek In San-jin.
Mendengar penuturan itu Pek In San-jin menghela napas panjang. "Aiih, bagaimana sute
Pat-jiu Sin-kai begitu bodoh dan lengah sehingga mengangkat seseorang yang seperti itu
menjadi muridnya?"
"Lo-cian-pwe, sebetulnya Lauw Heng San itu bukan orang jahat atau sesat. Dia seorang
gagah yang berjiwa pendekar. Dia hanya tertipu, terbujuk oleh Pangeran Abagan yang dia
kira seorang pembesar Han sejati, bahkan dia diambil mantu, dijodohkan dengan puteri tiri
pembesar itu. Akan tetapi setelah bertemu dengan lo-cianpwe Pat-jiu Sin- kai, dia
menyadari kesalahannya dan dia lalu mengamuk, membunuh Pangeran Abagan dan para
jagoannya, akan tetapi dia sendiri juga tewas."
Dengan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang Lauw Heng San ketika pendekar itu
membalik dan mengamuk di gedung Pangeran Abagan atau Thio-ciangkun.
"Melihat bahwa Lauw Heng San telah menyadari kesalahannya, maka kami semua
merasa
kasihan kepada isterinya yang sedang hamil tua. Maka, ketika isterinya melarikan diri,
saya mengajak Bu Kui Siang, isterinya itu, menyelamatkan diri, meninggalkan kota Kengkoan.
Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya yang lain."
"Sian-cai........, buruk sekali nasib mereka itu." kata Pek In San-jin dengan hati dipenuhi
belas kasihan.
"Memang sesungguhnya, lo-cian-pwe, buruk sekali nasib mereka, Lauw Heng San, dan
isteri serta anaknya. Isterinya itu saya ajak melarikan diri, dengan tujuan ke sini karena
saya kira di sinilah tempat yang aman dari pengejaran orang Mancu terhadap isteri Lauw
Heng San. Akan tetapi, di tengah perjalanan, nyonya muda Bu Kui Siang melahirkan, pada
saat kami diserang oleh Hui-kiam Lomo dan muridnya beserta beberapa orang anak
buahnya. Saya berhasil menewaskan anak buahnya dan mengusir Hui-kiam Lomo dan
muridnya dan pada saat itu pula Kui Siang juga melahirkan seorang putera. Akan
tetapi.......... ketika melahirkan itu puteranya selamat dan ia..... ia..... ia meninggal
dunia...... "
"Sian-cai, semoga Tuhan memberi tempat yang baik untuk nyonya muda itu …. " kata Pek
In San-jin.
"Saya menunggu sampai anaknya berusia tiga bulan, baru saya bawa anak itu melakukan
perjalanan ke Thai-san dan hari ini saya berhasil membawanya menghadap lo-cian-pwe.
Inilah anak itu, lo-cian-pwe, namanya Lauw Beng, saya sebut Siauw Beng."
"Akan tetapi, mengapa engkau mengajak dia ke sini, Ma-sicu?"
"Ke mana lagi saya membawanya, locian-pwe? Anak ini adalah putera murid mendiang
Pat-jiu Sin-kai, berarti masih cucu murid lo-cian-pwe sendiri. Saya hendak menyerahkan
anak ini kepada locian-pwe untuk dididik agar kelak dia dapat melanjutkan perjuangan
kami, dapat menjadi orang ho-han (patriot) dan pendekar yang akan berbakti kepada
bangsa dan tanah air."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 129
"Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat merawat seorang bayi sekecil ini, Ma-sicu?"
bantah Pek In San-jin yang tentu saja merasa tidak sanggup untuk merawat anak sekecil
itu.
"Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Saya akan mencarikan ibu pengasuh di pedusunan kaki
gunung yang akan merawat dan memeliharanya sampai usianya cukup besar untuk mulai
mempelajari ilmu dari lo-cian-pwe. "
"Hemm, usiaku sudah tua sekarang, Ma-sicu. Aku khawatir, kalau dia sudah besar, aku
sudah terlalu tua atau mungkin sudah mati untuk dapat mengajarnya. Karena itu, aku mau
menerima Siauw Beng menjadi murid hanya dengan satu syarat."
"Apakah syaratnya itu, lo-cian-pwe?" "Syaratnya adalah bahwa engkau harus pula
membantuku untuk mendidik dan mengajarnya, sicu. Aku sudah mendengar banyak
tentang engkau, aku tahu bahwa engkau seorang ahli silat aliran Siauwlim-pai. Aliran
Siauw-lim merupakan sumber dari aliran-aliran lain, karena itu aku menghendaki agar
anak ini mempelajari dasar-dasar ilmu silatnya darimu, juga engkau yang wajib memberi
tuntunan dalam ilmu sastra kepadanya. Setelah dia menyerap semua ilmumu, barulah aku
akan mengajarkan apa yang aku bisa kepadanya. Dengan demikian, andaikata aku mati
sebelum dia menjadi besar, dia sudah menerima banyak darimu. Kalau syarat itu tidak
kaupenuhi, sebaiknya engkau membawa dia ke tempat lain saja, Ma-sicu."
Ma Giok terkejut mendengar syarat yang mengikatnya itu. Dia berpikir keras karena syarat
itu demikian mendadak dan bersangkutan dengan kehidupan selanjutnya. Dia seolah
mendengar suara Kui Siang yang bicara kepadanya tentang tugas seorang patriot dan
seorang pendekar. Sekarang bukan masanya untuk menjadi pejuang, karena perjuangan
menentang penjajah tidak mungkin dilakukan seorang diri. Akan tetapi seorang pendekar
dapat berjuang di mana saja dan kapan saja seorang diri, menegakkan kebenaran dan
keadilan, membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat tapi jahat. Dia menghela
napas, teringat akan usahanya selama beberapa tahun berjuang namun tanpa hasil
karena dia hanya mampu mengumpulkan para pejuang yang amat kecil jumlahnya, dibandingkan
dengan pasukan Mancu yang besar dan kuat. Dia menjadi patah semangat,
apalagi kalau dia lihat kenyataan betapa dia menolong putera seorang pembesar Mancu
yang berada di pihak yang benar dan tertindas maka harus dibelanya terhadap kejahatan
orang-orang yang mengaku sebagai pejuang! Memang sebaiknya dia menerima syarat
Pek In Sanjin. Dia menganggap dirinya sebagai pengganti ayah bunda Siauw Beng, maka
sudah sepantasnyalah kalau dia yang merawat dan memelihara anak itu. Dia juga
menerima sebuah kitab yang ditemukan di antara pakaian Kui Siang, yaitu kitab Ngo-heng
Kun-hoat, peninggalan dari Lauw Heng San yang mengubah sendiri ilmu silat tangan
kosong itu, yang membuat dirinya dijuluki sebagai Lui-kongdang (Si Tangan Halilintar).
Dia berkewajiban untuk ikut menggembleng Siauw Beng agar kelak anak itu dapat pula
melanjutkan julukan ayahnya, yaitu Si Tangan Halilintar! Dia harus menerima syarat itu,
demi Siauw Beng, demi Kui Siang yang suaranya seolah-olah terdengar membujukbujuknya.
Demi cintanya terhadap Kui Siang!.
"Baiklah, lo-dan-pwe. Saya terima syarat itu!" katanya dengan suara mantap.
"Sian-cai...... ! Agaknya kita dan Siauw Beng memang berjodoh, Ma-sicu. Nah, biarlah Asiong
mengantarmu ke dusun di bawah sana. Dia mengenal banyak orang dan tentu dapat
mencarikan seorang ibu pengasuh untuk Siauw Beng. Engkau sendiri boleh tinggal di
mana saja yang kau sukai. Kalau mau tinggal di tempat sepi ini, boleh saja."
Ma Giok mengucapkan terima kasih, lalu dia turun dari puncak, menggendong Siauw
Beng dan mengajak A Siong. Setelah tiba di dusun pertama, dia mengambil kudanya,
kemudian atas petunjuk A Siong, dia menyerahkan Siauw Beng dalam asuhan Bibi Hwa,
demikian panggilan seorang janda yang hidup seorang diri di dusun itu. Wanita ini
peramah, memiliki sebidang tanah dan rumahnya. Ma Giok memberikan kudanya
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 130
kepadanya berikut sejumlah emas dan perak untuk biaya merawat Siauw Beng. Bibi Hwa
menerima Siauw Beng dengan senang hati. Sebagai seorang janda yang hidup sebatang
kara, tentu saja ia senang tiba-tiba mendapatkan seorang anak yang demikian sehat dan
mungil, ditambah seekor kuda dan beberapa potong emas pula! Dalam perbincangan di
antara mereka, Ma Giok tahu bahwa wanita itu banyak pengalaman dan mengerti benar
bagaimana harus merawat anak kecil. Bibi Hwa menjelaskan bahwa mula-mula ia akan
minta pertolongan para ibu yang masih menyusui anaknya untuk membagi. sedikit
susunya kepada Siauw Beng. Kemudian, setelah dengan uangnya ia dapat membeli
seekor sapi perah, ia akan memelihara anak itu dengan susu sapi. Dan Bibi Hwa sudah
berpengalaman memelihara anak kecil karena ia pernah dulu mempunyai dua orang anak
yang sekarang telah mati semua terserang wabah penyakit ganas.
Demikianlah, mulai hari itu, Ma Giok Si Naga Selatan seperti lenyap dari dunia kangouw.
Para tokoh kangouw kehilangan dia dan banyak orang menduga bahwa mungkin Lam
Liong (Naga Selatan) telah tewas dalam perjuanganhya yang gigih melawan pemerintah
penjajah Mancu.
Ma Giok menemukan kebahagiaan tersendiri selama dia mengasingkan diri di puncak
Thai-san. Dia memperdalam pengetahuannya tentang agama To dari Pek In San-jin, juga
tentang ilmu silat. Bahkan setelah dia berada di situ, dialah yang melatih ilmu silat kepada
A Siong yang biarpun di situ bekerja sebagai pembantu atau pelayan, namun dianggap
keluarga sendiri dan diberi pelajaran silat. Walaupun otak A Siong agak tumpul, dan dia
hanya dapat mempelajari dan menghafal gerakan silat yang sederhana, namun secara
alami dia memiliki tenaga yang amat kuat. Setelah dapat menghimpun tenaga sakti, dia
semakin kuat. Wataknya yang terbuka dan jujur, juga setia, membuat Ma Giok amat suka
kepadanya. Ma Giok mengharapkan kelak A Siong dapat menjadi teman yang baik dan
setia dari Siauw Beng yang dia anggap sebagai puteranya sendiri.
Dalam perawatan Bibi Hwa, Siauw Beng menjadi anak yang sehat dan kuat. Juga sikap
Bibi Hwa yang lembut dalam merawat, selain lembut juga Bibi Hwa memang pandai
bicara, pandai bercerita yang lucu-lucu, maka dengan sendirinya Siauw Beng berangkat
besar dengan watak yang lembut, namun suka melucu, jenaka dan lincah. Dia
menganggap wanita yang gendut, yang disebutnya bibi itu sebagai pengganti ibunya dan
kepada Ma Giok yang datang berkunjung seminggu dua kali, dia menyebut ayah dan
menganggap Ma Giok sebagai ayah kandungnya. Ketika Siauw Beng berusia tujuh tahun
dan sudah mulai mengerti, dia mulai bertanya-tanya tentang ibu kandungnya dan Ma Giok
lalu menceritakan bahwa ibu kandungnya tewas ketika melahirkan dia.
Mulailah Ma Giok mengajarkan ilmu membaca dan menulis, dan seringkali dia bercerita
tentang perjuangannya menentang pemerintah penjajah Mancu. Juga dia banyak bercerita
tentang para pendekar dengan kegagahan mereka, menentang kejahatan membela yang
benar tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan dengan modal ketangguhan ilmu
silat mereka. Semua cerita ini merupakan pupuk bagi jiwa kependekaran Siauw Beng
sehingga semakin besar, Siauw Beng semakin bercita-cita untuk menjadi seorang
pendekar yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan!
Ma Giok mulai melatih ilmu silat kepada Siauw Beng. Dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai
yang kokoh. Dengan pasangan kuda-kudanya yang kokoh, gerakan dasar kedua kaki
yang kuat, maka Siauw Beng akan dapat melatih Hmu silat aliran manapun dengan baik
karena gerakan kedua kaki itu merupakan pondasi bagi semua llmu silat.
Tentu saja teman berlatihnya adalah A Siong. Biarpun usia A Siong jauh lebih tua, selisih
dua belas tahun, namun A Siong yang amat sayang kepada Siauw Beng suka
melayaninya berlatih dan banyak mengalah. Setelah Siauw Beng berusia sepuluh tahun,
mulailah Ma Giok membawanya ke puncak Thai-san dan Pek In San-jin sendiri yang
membimbingnya dalam ilmu-ilmu silat yang lebih tinggi.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 131
*****
Sang waktu bergerak dengan amat cepatnya kalau tidak diamati. Seperti jalannya sang
matahari, kalau diamati seolah matahari tidak pernah bergeser dari tempatnya. Akan tetapi
kalau kita lengah dan tidak memperhatikan, tahutahu matahari yang tadinya muncul di
ujung timur, tahu-tahu sudah hampir tenggelam di ujung barat! Demikian pula, tanpa
diperhatikan dan tanpa disadari sang waktu melesat cepat dan tahu- tahu dua puluh tahun
telah lewat sejak Siauw Beng, bayi berusia beberapa bulan itu dibawa ke Thai-san oleh
Ma Giok!
Pada pagi hari itu, matahari pagi bersinar terang. Udara cerah, tidak berkabut seperti
biasanya sehingga semua tanaman dapat menikmati sinar matahari yang menghidupkan
sepuas mereka. Sejak pagi-pagi tadi, A Siong telah sibuk mengangkut air dari sumber,
menggunakan pikulan yang membawa dua tong air besar, dibawa naik ke puncak dan
dituangkan ke dalam bak mandi yang besar dan gentung-gentung di dapur. Siauw Beng
membantunya dan seperti biasa setiap pagi, mereka berlomba siapa yang lebih cepat dan
lebih banyak mengangkut air. Dan, seperti sudah terjadi sejak tiga tahun yang lalu, A
Siong selalu kalah!
Setelah menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, A Siong dan Siauw Beng pergi ke taman
belakang pondok di mana terdapat sebuah tempat terbuka yang mereka pergunakan
untuk berlatih silat. Ketika itu, A Siong sudah berusia tiga puluh dua tahun. Seorang lakilaki
bertubuh raksasa, tinggi besar kokoh kuat seperti batu karang, otot-ototnya menonjol
melingkar-lingkar di lengan, bahu dan dadanya, demikian pula pada paha dan betisnya.
Pakaiannya sederhana namun cukup bersih. Kepalanya besar, sesuai dengan bentuk
tubuhnya. Matanya lebar dan dari sinar matanya saja orang sudah dapat menduga bahwa
dia seorang yang terbuka dan jujur, dan ada bayang-bayang kebodohan dan
kesederhanaan pada sinar matanya. Hidungnya besar agak pesek dan bibirnya tebal
namun bentuknya indah dan wama bibirnya merah tanda sehat. Dia berdiri dengan kedua
kaki terpentang, merupakan seorang lawan yang menggiriskan hati siapa saja,
berhadapan dengan Siauw Beng.
Jilid 15
Siauw Beng yang sudah berusia dua puluh tahun itu menjadi seorang pemuda dewasa
yang berwajah tampan gagah, tubuhnya sedang dan tegap sekali, namun tampak kecil
berhadapan dengan A Siong. Pakaiannya juga sederhana. Ma Giok memang mendidik
agar pemuda ini mempunyai sikap hidup sederhana, kesederhanaan yang. timbul dari
kerendahan hati dan tidak mudah tergiur oleh keadaan lahiriah yang serba mewah dan
gemerlapan. Namun, kesederhanaan pakaiannya tidak menyembunyikan ketampanan
Siauw Beng. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, penuh semangat dan kegembiraan
hidup,dan pandang matanya amat tajam, sinar matannya terkadang mencorong.
Hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum, senyuman khas yang jenaka dari
orang yang suka bergurau dan yang memandang segala sesuatu dari segi keindahannya.
"Nah, A Siong sekarang kita mau latihan apa?" tanya Siauw Beng. Sejak kecil, dia biasa
memanggil raksasa itu A Siong begitu saja, dan A Siong juga menyebutnya Siauw Beng.
Hubungan mereka akrab karena A Siong memang tidak dianggap sebagai pelayan,
melainkan sebagai keluarga sendiri. Tiga tahun yang lalu, setelah Pek In San-jin
meninggal dunia karena usia tua, pondok itu menjadi tempat tinggal Ma Giok dan A Siong
tetap dipertahankan sebagai anggauta keluarga.
A Siong menyeringai. Dia tahu, berlatih apapun juga dengan Siauw Beng, dia pasti akan
kalah. Sejak Siauw Beng berusia lima belas tahun, lima tahun yang lalu, dia sudah
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 132
tersusul dan kalah dalam segala halo Baik itu dalam ilmu baea tulis, menghafat ayat-ayat
kitab suci, maupun ilmu-ilmu silat yang pernah mereka pelajari. Adu lari dia kalah cepat,
adu loncat kalah tinggi. Hanya kekuatan tenaga kasar atau gwa-kang (tenaga luar) saja ia
mampu mengalahkan Siauw Beng, akan tetapi kalau adu tenaga sakti atau tenaga dalam,
dia masih kalah kuat. Apalagi dalam ilmu silat. Dia kalah cepat dan kalah mahir. Mungkin
dalam ilmu Tiat-pouw-san (Ilmu Kebal Baju Besi) dia lebih kuat daripada Siauw Beng.
"Sesukamulah, ilmu apa yang akan kauperlihatkan hari ini, Siauw Beng. Se¬kali ini akan
kuusahakan untuk mengalahkanmu!"
"Sekarang begini saja, A Siong. Kita tidak melatih ilmu tertentu, akan tetapi melatih
semuanya!"
"Semuanya, apa maksudmu?"
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan