Senin, 20 Agustus 2018

CersilDewasaSekali Sepasang Rajah Naga 2

CersilDewasaSekali Sepasang Rajah Naga 2
===========


“Baiklah...” la meratap sambil menangis. “Berjanjilah dengan sumpah bahwa engkau akan mau menjadi isteriku!” kata pula Ciang Sek dengan nada gembira penuh kemenangan. Sambil terisak-isak Lai Kim berkata, Aku… aku bersumpah akan suka menjadi isterimu... akan tetapi cepat tolong anaku.” “Jangan khawatir, calon isteriku yang tercinta! Anakmu juga akan menjadi anakku. Tidak ada seorangpun di dunia ini boleh mengganggunya” Setelah berkata demikin, Ciang Sek melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kudanya melakukan pengejaran. Lai Kim masih berlutut, mengikuti bayangan Ciang Sek sambil menangis tersedu-sedu. la menyadari apa yang telah ia janjikan dan ia sumpahkan tadi. Berarti ia harus menjadi isteri datuk itu. Akanbtetapi apa dayanya? la tidak mempunyai pilihan lain. Demi
204
keselamatan anaknya, ia akan rela menyerahkan nyawanya. Dan ia tahu benar bahwa ia harus menuruti kehendak Ciang Sek, kalau ia menghendaki agar anaknya itu selamat. Si tinggi kurus itu berlari secepatnya sambil memondong tubuh Ouw Yang Lan yang sudah ditotoknya sehingga anak itu tidak mampu bergerak. Orang itu lari sekuatnya dengan ketakutan. Dia melihat betapa dua orang kawannya roboh dan tewas di tangan pria tinggi besar muka merah yang amat lihai itu. Diapun tadi mendengar bahwa pria itu adalah Thai-Lek-Kui, maka dia menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sambil memondong tubuh Ouw Yang Lan dengan tangan kiri, dia membawa pedangnya dengan tangan kanan untuk menjaga diri. Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakangnya. Si tinggi kurus menjadi terkejut sekali. Ketika dia menengok, dia melihat orang yang ditakutinya itu mengejarnya dengan menunggang kuda, datang dengan cepat sekali. Karena ketakutan dan merasa tidak berdaya melarikan diri, si tinggi kurus menjadi nekat. Dia menanti sampai kuda itu lewat dekat dan tiba-tiba dia melompat dan menyerang dengan sarnbaran pedangnya. Akan tetapl, Ciang Sek menangkis pedang itu dengan tangan kirinya dan tubuhnya melayang dari atas kuda, tangan kanannya mencengkeram dan menyambar tubuh Ouw Yang Lan.
205
“Takk!” Pedang terpental dan tühuh anak itu dapat direnggutnya terlepas dari pondongan si tinggi kurus. Demikian kuatnya tangkisan tangan kiri Ciang Sek sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari pegangan si tinggi kurus. Tentu saja dia terkejut bukan main dan tanpa berpikir dua kali, si tinggi kurus sudah membalikkan tubuh dan melarikan diri dari situ. Ciang Sek memungut pedang itu dan sekali menggerakkan tangan, pedang itu meluncur seperti anak panah cepatnya mengejar orang tinggi kurus yang melarikan diri dan menancap di punggung,demikian kuatnya tenaga lontaran itu sehingga pedang itu menembus sampai keluar dari dada! Si tinggi kurus roboh menelungkup dan ujung pedang yang keluar dari dadanya itu rnenancap di atas tanah menahan tubuhnya! Ciang Sek lalu membebaskan totokan pada tubuh Ouw Yang Lan sehingga anak itu dapat bergerak kembali. Begitu dapat bergerak dan bicara, Ouw Yang Lan teringat akan ibunya. “Jangan khawatir, ibumu sudah kuselamatkan. Maka, jangan melarikan diri lagi dariku. Kalau tidak ada aku, tentu engkau dan ibumu sudah celaka di tangan orang-orang jahat. Mari kita menjemput ibumu.” Ciang Sek memboncengkan Ouw Yang Lan di atas kudanya, kembali ke tempat di mana tadi dia meninggalkan Lai Kim. Setelah
206
tiba di situ dan menurunkan Ouw yang Lan, Ciang Sek juga turun dari atas kudanya dan memandang kepada Lai Kim sambil tersenyurn senang. Lai Kim berlari menghampiri puterinya dan merangkulnya sambil menangis. “Ibu, jangan menangis. Kita sudah dapat diselamatkan. Ternyata paman ini baik dan telah menolong kita, ibu. Lai Kim diam saja. Hatinya tidak karuan rasanya, teringat akan sumpahnya bahwa ia harus mau menjadi isteri laki-laki tinggi besar bermuka merah itu setelah Ciang Sek benar-benar berhasil menyelamatkan Ouw Yang Lan. “Mari, kalian minum: dulu untuk menghilangkan kekagetan,” kata Ciang Sek sambil menyerahkan guci berisi air jernih yang tadi diambilnya dari sumber air di dalam hutan kepada Lai Kim. Wanita itu menerimanya dan memberi minum kepada puterinya, lalu ia sendiripun minum beberapa teguk. Ciang Sek lalu mengajak mereka melanjutkan perjalanan. Ouw Yang Lan berboncengan dengan ibunya. Kuda rnereka berjalan perlahan di sarnping kuda yang ditunggangi Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Setelah mereka tiba di puncak bukit awan Putih, mereka disambut oleh anak buah Pek-In-San yang berjumlah kurang lebih lima puluh
207
orang. Ternyata Ciang Sek tinggal di situ sebagai seorang ketua atau majikan Pek-In-San' dan memiliki sebuah gedung yang besar dan megah. Ciang Sek bersikap baik, ramah dan sopan terhadap Lai Kim sehingga akhirnya nyonya muda ini dapat ditundukkan dan suka menjadi isterinya. Lai Kim tidak mempunyai pilihan lain. Selain ia sudah bersumpah untuk mau menjadi isteri Ciang Sek, juga ia harus melindungi dan menjaga keselamatan Ouw Yang Lan. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan puterinya hanya denga merelakan dirinya menjadi isteri datuk itu. Ternyata kemudian bahwa Ciang Sek benar-benar menyayang dan mencintanya, bersikap baik juga kepada Ouw Yang Lan yang dianggap anak sendiri sehingga perlahan-lahan hati Lai Kim terhibur juga dari kedukaan. Bahkan ia harus mengakui bahwa sikap Ciang Sek sebagai seorang suami jauh lebih baik dari sikap Ouw-yang Lee yang kadang kasar kepadanya karena ia tidak mempunyai keturunan laki-laki. Ciang Sek bahkan memperlihatkan kasih sayangnya kepada Ouw Yang Lan. Dia mendatangkan seorang ahli sastra ke Pek-In-San, khusus untuk mendidik Ouw Yang Lan dalam ilmu kesusastraan, sedangkan dia sendiri menggembleng anak itu dengan ilmu silat. Ouw yang Lan berwatak keras itu akhirnya juga merasakan akan kasih sayang Ciang Sek
208
kepadanya sehingga anak itupun menurut dan taat kepada ayah tirinya. Pondok kayu itu kecil saja, bahkan lebih mirip sebuah gubuk, terbuat dari papan yang disambung-sambung secara sederhana dan kasar, juga atapnya dari rumput ilalang kering yang sederhana. Pondok itu berdiri di tengah hutan yang berada di lereng sebuah bukit. Suasana di situ sunyi sekali karena jauh dari pedusunan. Dikelilingi pohon-pohon dan hawanya sejuk dan jernih. Sinar matahari menerobos di antara celah-celah daun, mendatangkan cahaya yang indah di atas tanah yang ditilami rumput hijau. Di depan pondok itu terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Seorang kakek duduk di atas bangku bambu yang terdapat di depan pondok, mulutnya tersenyum dan matanya mengiuti gerakan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun yang sedang membuat langkah-langkah silat di atas lapangan rumput itu. Kakek itu berusia kurang lebih lima puluh tujuh tahun. Tubuhnya sedang, bahkan agak kurus sehingga tampak lembut dan ringkih. Pakaiannya sederhana sekali, hanya terbuat dari kain kuning yang dilibat-libatkan di tubuhnya seperti pakaian tosu (pendeta To) pertapa. Rambutnya panjang dan digelung ke atas, diikat dengan kain putih. Wajahnya yang berjenggot dan berkumis rapi itu masih
209
memperlihatkan ketampanan. Wajah yang lembut dan cerah selalu terhias senyum yang membayangkan kesabaran dan kematangan jiwa. Matanya mencorong, akan tetapi pandang matanya lembut. Dia adalah laki-laki tua yang aneh, tidak bernama dan kalau ditanya nama mengaku bahwa namanya Bu Beng Siauw-jin (Orang Rendah Tak Bernama)! Anak laki-laki itu berusia sepuluh tahun. Seorang anak laki-laki yang tampan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Alisnya hitam berbentuk golok, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, pandang matanya juga lembut, mata yang membayangkan kepekaan hati. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, kecil dan terhias senyum. Rambutnya hitam sekali, dipotong pendek dan diikat ke atas dengan kain kuning,Pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali. Kakinya bersepatu kain hitam. Anak laki-laki itu adalah Wong Sin Cu, murid Bu Beng Siauw-jin. Seperti kita ketahui, Sin Cu yang pada tujuh tahun lalu disambar seekor burung rajawali raksasa dan diterbangkan ke sarangnya, nyaris menjadi mangsa anak-anak burung itu, telah tertolong oleh Bu-Beng Siauw-jin. Semenjak saat itu, Sin Cu menjadi murid kakek aneh itu dan diajak berkelana, karena kakek itu tidak mempunyai ternpat tinggal yang tetap.
210
Bu Beng Siauw-jin telah berusaha untuk mencari orang bernama Wong Cin yang diakui sebagai ayahnya oleh Sin Cu, namun usahanya sia-sia belaka. Setelah tiga bulan lebih berkeliaran di sekitar daerah ditemukannya anak itu, mencari-cari, akhirnya dia mengambil keputusan untuk membawa anak itu berkelana sebagai seorang muridnya. sambil berkelana, kakek itu mengajarkan ilmu bun (sastra) dan bu (silat) kepada Sin Cu. Pada tahun-tahun pertama, Sin Cu masih suka rewel dan menanyakan ayah ibunya kepada gurunya. Akan tetapi akhirnya anak itu dapat menerima kenyataan bahwa ayah ibunya telah berpisah dari dirinya, tidak tahu entah berada di mana, sudah mati ataukah masih hidup. Yang diketahuinya hanya bahwa ayahnya bernama Wong Cin. Selebihnya dia tidak tahu lagi. Bahkan bagaimana wajah ayah ibunyapun dia sudah tidak dapat ingat lagi. Setelah bertahun-tahun hidup bersama gurunya, dia mendapatkan kasih sayang gurunya dan menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, satu-satunya orang yang mengasihi dan dikasihinya, satu-satunya anggauta keluarga. Pada waktu itu, Bu Beng Siauw-jin yang tertarik oleh keindahan tempat di lereng bukit itu, membangun sebuah pondok dan untuk sementara tinggal di situ. Dalam memberi pelajaran ilmu silat kepada Sin Cu, Bu Beng Siauw-jin menekankan pentingnya berlatih mermasang kuda-kuda
211
yang kokoh kuat, lalu mengatur langkah-langkah yang mantap. Pada pagi hari itupun kembali dia menyuruh Sin Cu berlatih langkah-langkah sambil memasang kuda-kuda. Kalau anak itu merasa bosan walaupun anak itu tidak berani menyatakan Bu Beng Siauw-jin dapat mengetahui perasaan dan kebosanannya muridnya itu dengan kata-kata lembut, dia berkata. “Jangan kaupandang ringan pelajaran memasang bhe-si (kuda-kuda) dan mengatur langkah-langkah ini, Sin Cu. Ketahuilah bahwa kuda-kuda dan langkah-langkah itu merupakan dasar dari ilmu silat, seperti pondasi dari sebuah bangunan. Kalau pondasi itu kurang kuat, maka bangunan itu mudah runtuh. Dengan bhe-si (kuda-kuda) yang kokoh kuat, engkau tidak mudah dirobohkan lawan, dan dengan langkah-langkah yang teratur dan tepat engkau akan mendapatkan kelincahan, dapat menghindarkan diri dengan mudah dari serangan lawan dan dapat membalas serangan dengan cepat dan tepat.” Sin Cu amat patuh kepada gurunya yang dia hormati dan sayang. Juga dia seorang anak yang cerdik, maka dia dapat mengerti akan maksud gurunya dan kini dia tidak pernah lagi merasa bosan kalau disuruh berlatih sendiri. latihan yang tekun ini membuat kedua kakinya dapat memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, dan kedua kaki itu Tanpa disadarinya dapat membuat langkah-langkah yang
212
gesit sekali, Bu Beng Siauw-jin bangkit berdiri dan menghampiri muridnya. “Berhentilah melangkah dan pasang kuda-kuda yang kuat!” kata kakek itu. Setelah Sin Cu menghentikan langkahnya dan memasang kuda-kuda Ji-Ma-Se (Menunggang Kuda) tiba-tiba Bu Beng Siauw-jin menggunakan kakinya menendang atau mendorong tubuh anak itu dari depan. Dorongan kaki itu kuat sekali, akan tetapi tubuh Sin Cu tidak terjengkang. Hanya kedua kakinya yang memasang kuda-kuda itu saja yang tergeser ke belakang, namun kedua kaki itu tidak pernah terangkat, seolah telah melekat kepada tanah! Bu Beng Siauw-jin mengulangi ujiannya, mendorong dari samping, dari belakang beberapa kali. Namun tidak pernah kedua kaki Sin Cu terangkat, hanya terdorong dan tergeser ke depan, ke samping atau ke belakang. Bu Beng Siauw-jin mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Bagus! Latihanmu sudah berhasil. Setelah kuda-kudamu kuat dan engkau mahir mengatur langkah, barulah aku akan mengajarkan gerakan kaki tangan untuk bersilat kepadamu!” Sin Cu menghentikan latihannya dan dia merasa girang sekali. Untuk dapat berlatih silat, dia harus menanti sampai empat lima tahun! Selama empat lima tahun dia hanya diharuskan berlatih memasang kuda-kuda dan mengatur langkah-langkah! kalau saja
213
Sin Cu bukan seorang anak yang patuh kepada gurunya,, tentu dia sudah merasa muak dan bosan. Dan di luar sadarannya sendiri, dia telah menguasai gesitan yang luar biasa. Bu Beng Siauw-jin mengajak muridnya duduk di atas bangku di depan pondok mereka. Setelah anak itu duduk dan mengusap keringatnya yang membasahi leher, Bu Beng Siauw-jin berkata, “Sin Cu, engkau telah memiliki dasar yang cukup kokoh. Akan tetapi yang menjadi dasar ilmu silat bukan hanya itu. Masih ada lagi syarat untuk dapat menjadi ahli silat yang, baik, yaitu tenaga. Engkau harus memiliki tenaga yang kuat dan tenaga yang kuat adalah tenaga sakti yang terdapat dalam tubuh setiap orang manusia. Akan tetapi tenaga sakti itu harus dibangkitkan melalui latihan pernapasan dan samadhi. Nah, mulai sekarang engkau harus berlatih pernapasan dan siu-lian (samadhi).” Mulai pagi hari itu, Sin Cu diberi pelajaran bersamadhi dan berlatih pernapasan untuk menghimpun sinkang (tenaga sakti). Dia disuruh duduk bersila dibawah cahaya matahari dan setelah memberi petunjuk, Bu Beng Siauw-jin meninggalkannya untuk berlatih seorang diri. Setelah gurunya pergi dan dia duduk bersila seorang diri, mulai belajar bersamadhi, Sin Cu tidak dapat mengosongkan pikirannya. Bahkan bermacam pikiran timbul sehubungan dengan apa yang dipelajarinya dari gurunya. Dia lebih senang mempelajari sastra,
214
karena dari pelajaran itu kini dia sudah pandai membaca dan menulis. Yang lebih menyenangkan lagi, dengan kepandaian ini, dia dapat membaca kitab-kitab yang kadang didapatkan gurunya, kitab-kitab kuno tentang sejarah tokoh-tokoh jaman dahulu dan juga kitab-kitab agama Budha dan agama To. Akan tetapi ilmu silat? Untuk apa dia mempelajari ilmu silat? Dan dia sendiripun tidak pernah tahu, sampai di mana kepandaian gurunya tentang ilmu silat. Selama tujuh tahun ini, gurunya tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya dalam ilmu silat itu. Pernah memang dia melihat gurunya dapat berlari secepat terbang, akan tetapi hanya itulah yang pernah dilihatnya, bahkan itupun ketika dia masih kecil dahulu. Tiba-tiba terdengar tangis seseorang. Dari suara tangisnya, dapat diduga bahwa yang menangis itu tentu seorang anak anak. Tentu saja gangguan suara yang tidak wajar ini membuat Sin Cu tidak dapat melanjutkan samadhinya. Dia membuka kedua matanya dan bangkit berdiri. Dia melihat gurunya juga keluar dari pondok untuk melihat siapa yang menangis. Seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya, berusia kurang lebih sepuluh tahun, berpakaian seperti anak petani,berjalan dekat pondok sambil menangis. Tangan kanannya memegang sebatang pecut, punggung tangan kirinya digosok-
215
gosokkan mata dan dia menangis tersedu-sedu. Bu Beng Siauw-jin menghadang anak itu. “Anak baik, kenapa engkau menangis?” Sambil menggosok-gosok matanya dan masih menangis, anak itu berkata, “... huhuuu... dua ekor sapiku dibawa pergi orang hu-huuu!” “Dibawa pergi? Siapa yang membawa pergi dan ke mana?” tanya kakek itu. Sin Cu sudah menghampiri anak itu da berkata dengan suara menghibur, “Sobat,ceritakanlah apa yang telah terjadi. Suhu ku tentu akan menolongmu.” Anak laki-laki itu memandang kepada Sin Cu, lalu kepada Bu Beng Siauw-jin, dan dia menahan isaknya lalu bercerita. “Tadi aku menggembala dua ekor sapiku di padang rumput di lereng bawah sana. Lalu muncul dua orang laki-laki yang galak dan mereka merampas dua ekor sapiku dan dibawa lari mendaki bukit lalu menghilang ke dalan hutan. Mereka mengancam aku dengan golok. Aku lalu mencari mereka sampai ke sini... hu-huuu ayah tentu akan marah dan memukuli aku kalau dua ekor sapi itu hilang...”
216
“Tenanglah, nak. Kami akan mencari dan menemukan dua ekor sapi itu. Kau tunggu saja di pondok: kami ini. Hayo, Sin Cu, engkau ikut denganku!” Setelah berkata demikian, Bu Beng Siauw-jin memegang tangan Sin Cu dan begitu dia menggerakkan kaki untuk berlari cepat, Sin Cu merasa betapa kedua kakinya terangkat dari atas tanah dan tubuhnya seperti melayang ke depan dengan cepat sekali! Dia membuka mata lebar-lebar dan tahu bahwa dengan memegang pergelangan tangannya, suhunya telah mengangkatnya. Tampak pohon-pohon seperti bergerak dan berlari dari depan. Dengan kecepatan luar biasa, Bu Beng Siauw-jin membawa Sin Cu keluar dari dalam hutan lalu memasuki hutan besar di depan. Baru saja memasuki hutan itu, mereka mendengar suara banyak orang, suara orang bercakap-cakap dan ada yang tertawa-tawa. Bu Beng Siauw-jin menuju ke arah suara dan tampaklah di tengah hutan itu belasan orang sedang bercakap-cakap. Ada yang sedang bekerja memasak air dan ada pula yang sibuk hendak menyembelih dua ekor sapi gemuk yang ditambatkan pada batang pohon. Mengertilah Bu Beng Siauw-jin bahwa si pencuri sapi tentu berada di antara belasan orang itu dan dua ekor sapi gernuk itulah milik anak yang menangis tadi. Mereka berdua mengintai dari balik pohon dan Bu Beng Siauw-jin berbisik kepada muridnya.
217
“Sin Cu, dalam keadaan begini apa yang akan kaulakukan terhadap mereka?” Mereka harus ditegur karena mencuri sapi dari anak itu, dan minta agar dua ekor sapi itu dikembalikan, diserahkan kepada kita untuk kita kembalikan kepada yang berhak.” “Hemm, bagaimana kalau mereka menolak dan bahkan marah kepadamu?” Sin Cu tertegun. Apa yang dapat dia lakukan? Dia tidak dapat menjawab. Bu Ben Siauw-jin yang dapat mengerti akan isi hati Sin Cu yang kebingungan itu lalu berkata. “Inilah sebabnya nengapa engkau perlu mempelajari ilmu silat, Sin Cu. Selama ini engkau agaknya kurang menghargai perlunya menguasai ilmu silat dengan baik. Dengan penguasaan ilmu silat, engkau akan mampu memaksa orang-orang ini mengembalikan dua ekor sapi yang mereka rampas dari anak itu. Dengan ilmu silat engkau akan mampu melindungi dan menolong yang lemah tertindas dan mampu menentang yang kuat dan jahat. Akan tetapi, beranikah engkau menegur mereka dan minta agar dua ekor sapi itu diserahkan kepada kita untuk kembalikan kepada yang berhak?” Biarpun dia belum menguasai ilmu silat,namun Sin Cu adalah seorang anak yang berani dan tabah. Dia merasa dirinya benar, maka timbul keberaniannya. Dengan tenang dia melangkah keluar
218
dari balik pohon. Dia tidak berhenti walaupun melihat gurunya tidak ikut keluar dan dia lalu menghampiri rombongan orang itu. Belasan orang itu mengangkat muka memandang ketika mendengar langkah kaki Sin Cu menginjak daun kering. Melihat seorang anak laki-laki, mereka mengira bahwa anak itu tentulah si pemilik sapi seperti diceritakan dua orang kawan mereka yang merampas sapi itu dan yang sekarang hendak mereka sembelih dan mereka pergunakan untuk pesta pora. “Hei, bocah! Mau apa engkau di sini? relakan dua ekor sapimu dan pergilah dari sini, atau engkau juga akan kami sembelih!” seorang di antara mereka menggertak untuk menakut nakuti Sin Cu, “Dia bukan pemilik sapi itu!” kata seorang laki-laki gendut pendek, seorang di antara dua orang perampas sapi tadi. “Kalau begitu, siapakah engkau, bocah! Dan mau apa engkau berkeliaran ke sini?” tanya seorang lain yang bertubuh tinggi besar sambil menghampiri Sin Cu. “Namaku Wong Sin Cu!” kata Sin Cu dengan tenang dan tabah sambil melangkah maju mendekat. “Mau apa engkau ke sini?” tanya si tinggi besar sambil mengamati pakaian Sin Cu yang kasar sederhana.
219
“Engkau hendak mengemis? Bukan di sini tempatnya. Hayo pergi!” “Paman, aku datang untuk menyadarkan para paman sekalian. Paman sekalian telah bertindak salah dan jahat, merampas dua ekor sapi milik anak dusun yang tidak berdosa. Kalian membuat anak itu menangis ketakutan karena dia tentu akan dimarahi ayahnya yang kehilangan dua ekor sapinya. Karena itu, aku mohon dengan hormat, berikanlah dua ekor sapi itu kepadaku untuk kukembalikan kepada yang berhak.” “Bocah gilal Apa kaubilang? Apa kau sudah bosan hidup bicara seperti itu kepada kami?” bentak si tinggi besar. “Hayo pergi atau aku akan memukuli sampai pecah kepalamu!” “Paman, aku ingin menyadarkun kalian, Apa yang kalian lakukan adalah suatu kejahatan, dan kejahatan akhirnya akan menimpa diri kalian sendiri,” kata Sin Cu, mengulang kata-kata yang pernah dibacanya dalam kitab-kitab agama. “Keparat!” Si tinggi besar itu melangkah maju dan tiba-tiba kaki kirinya menendang. Cepat dan keras sekali tendangannya dan kalau tendangan ini mengenai tubuh Sin Cu, tak dapat diragukan lagi tubuh anak itu akan terpental jauh seperti bola ditendang. Akan tetapi pada saat itu, Sin Cu teringat akan gerakan langkah
220
langkahnya dan secara otomatis kakinya melangkah ke samping dan tendangan itu luput. “Ehhh...?” Laki-laki tinggi besar itu terkejut dan merasa heran sekali. Dia adalah seorang ahli silat yang terkenal sekali akan lihainya tendangan kakinya. Akan tetapi sekali ini, menendang seorang bocah berusia sepuluh tahun yang berdiri demikian dekat dengannya, endangannya itu luput dan dapat dielakkan oleh anak itu! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali dan cepat kaki kanannya mencuat, menyusulkan tendangan yang lebih cepat dan lebih kuat lagi. Akan tetapi, dengan otomatis, tanpa dipikir lagi, Sin Cu menggerakkan kakinya mengatur langkah-langkah yang sudah selama lima tahun dilatihnya setiap hari dan tendangan itupun luput! Lima enam kali menyusul tendangan bertubi-tubi dan berganti-ganti dengan kedua kaki yang besar dan panjang itu. Namun semua tendangan itu hanya mengenai angin, sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh Sin Cu! Sin Cu sendiri sampai merasa terheran-heran. Dia melangkah demikian mudahnya, akan tetapi semua tendangan itu dapat dihindarkannya dengan mudah. Barulah dia menyadari bahwa apa yang dilatihnya selama ini mengandung manfaat yang amat besar. Hatinya menjadi gembira
221
dan dia menggerakkan kedua kaki dan tubuhnya dengan lebih teratur lagi. Si tinggi besar kini bukan hanya menendang, melainkan juga memukul. Akan tetapi seperti juga tendangannya, semua pukulannya mengenai tempat kosong! Dia sama sekali tidak dapat mengerti bagaimana anak kecil itu dapat mengelakkan semua serangannya dengan demikian tepatnya. Bahkan Sin Cu sendiri tidak tahu bahwa sebetulnya dia telah mulai menguasai sebuah ilmu langkah yang hebat, yang disebut Chit-Seng-Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang), satu di antara ilmu-ilmu aneh yang dimiliki Bu Beng Siauw-jin. Änggauta gerombolan yang bertubuh pendek gendut yang melihat betapa kawannya belum juga dapat memukul roboh anak itu, menjadi penasaran dan marah. Diapun melompat dekat dan bantu memukul Sin Cu. Akan tetapi sungguh aneh! Beberapa kali pukulannya yang dia lakukan bertubi-tubi juga selalu mengenai tempat kosong. Tubuh anak itu bergerak-gerak aneh dan selalu dapat rmenghindar dari semua pukulan dan tendangan dua orang itu! Kini belasan orang gerombolan itu menghentikan kesibukan mereka dan semua menonton. Banyak di antara mereka yang menertawakan dua orang yang mengeroyok Sin Cu dan juga belum juga dapat merobohan anak itu. Mendengar betapa mereka ditertawakan, dua
222
orang itu menjadi semakin penasaran dan marah. Mereka lalu mencabut golok yang tergantung di pinggang mereka dan mulai menyerang Sin Cu dengan menggunakan golok mereka! Tentu saja hati Sin Cu merasa terkejut dan ngeri juga melihat dua batang golok yang berkilauan itu menyambar-nyambar ke arah tubuhnya. Otomatis kedua kakinya bergerak tubuhnya berputaran dan dia masih selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar golok. Tiba-tiba terdengar seruan, “Siancai (damai) Betapa kejamnya dua hati orang dewasa yang berniat untuk membunuh seorang anak-anak!” Dan pada saat itu, tiba-tiba saja dua batang golok yang sudah siap digerakkan dan dibacokkan itu tertahan di udara. Yang tampak hanya bayangan Bu Beng Siauw-jin yang berkelebatan dan dua batang golok. itu terlepas dari pegangan pemiliknya, mencelat dan disusul robohnya dua orang itu yang terpelanting karena kaki mereka disabet kaki Bu Beng Siauw-jin. Laki-laki setengah tua berjenggot panjang yang agaknya menjadi pimpinan gerombolan itu melompat ke depan Bu Beng Siauw-jin, sedangkan dua orang yang tadi roboh sudah berlompatan bangun kembali. Si jenggot panjang ini berusia empat puluh lima tahun, tubuhnya juga tinggi besar dan mukanya bengis, di punggungnya tergantung sepasang
223
pedang. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Bu Beng Siauw-jin dan mermbentak. “Dari mana datangnya kakek siluman yang berani membikin kacau di sini?” Bu Beng Siauw-jin menjawab dengan sikap tenang dan sabar. “Sobat, pertimbangkanlah, siapa yang telah membikin kacau di daerah ini? Dua orang di antara anak buahmu telah merampas dua ekor sapi milik seorang anak kecil. Muridku itu datang hanya untuk menyadarkan kalian dari kesalahan, akan tetapi dua orang anak buahmu bahkan berusaha membunuh muridku. Siapakah yang membikin kacau?” “He, tua bangka! Apa perdulimu? Beranı engkau mencampuri urusan kami. Siapakah engkau? Apa tidak pernah mendengar bahwa aku Siang-Kiam Mo-Ko (Iblis Berpedang Pasangan) yang menguasai daerah ini? Karena kami yang menguasai daerah ini, maka segala apa yang terdapat di daerah ini dapat saja kami ambil. Siapa engkau? Perkenalkan nama agar engkau tidak sampai mampus tanpa nama!” Bu Beng Siauw-jin tersenyum sabar dan tenang sekali. “Sian-cai! Aku memang tidak mempunyai nama. Sebut saja aku Bu Beng Siauw-jin.”
224
“Bu Beng Siauw-jin (Orang Rendah Tak Bernama)? Ha-ha-ha-ha! Sebentar lagi engkau akan menjadi Setan Tanpa Nama!” Siang-Kiam Mo-Ko tertawa dan para anak buahnya ikut menertawakan kakek itu. Akan tetapi Bu Beng Siauw-jin tidak menjadi marah, bahkan ikut pula ter tawa gembira! Melihat ini, Siang-kiam Mo ko menggerakkan kedua tangannya dan sepasang pedang itu sudah berpindah dari belakang punggung ke dalam kedua tangannya. Dia menyilangkan sepasang pedang itu di depan dada dan berlagak gagah. “Bu Beng Siauw-jin, keluarkan senjatamu. Jangan nanti mengatakan bahwa aku bertindak sewenang-wenang menyerang lawan yang tidak bersenjata!” “Hemm, sikapmu ini cukup gagah Siang-Kiam Mo-Ko. Hanya sayang, kegagahanmu .kaupergunakan untuk bertindak dengan sewenang-wenang memaksakan kehendakmu. Sekali lagi, aku mendukung peringatan yang diberikan muridku. Sadarlah akan kesalahanmu, kembalikan dua ekor sapi itu dan selanjutnya, pimpinlah anak buahmu ke jalan yang benar, jalannya orang-orang gagah yang membela kebenaran dan keadilan.”
225
“Cukup! Kalau dengan kata-kata engkau mengharapkan dapat terlepas dari tanganku, engkau mimpi! Keluarkan senjatamu! bentak Siang-Kiam Mo-Ko. “Aku tidak pernah membawa senjata Mo-Ko,” kata Bu Beng Siauw-jin. “Kalau begitu, mampuslah dan jangan penasaran!” Bentak Siang kiam Mo-Ko dan diapun sudah menerjang ke depan, sepasang pedangnya menyambar dari kanan kiri dengan gerakan menggunting. Kalau sambaran kedua batang pedang itu mengenai sasaran, tentu leher dan pinggang kakek itu akan putus! Akan tetapi, orang berjenggot panjang itu terbelalak. Dia yakin bahwa sepasang pedangnya tidak akan luput dari sasaran, Akan tetapi ternyata sepasang pedang itu hanya membacok angin saja dan tubuh kakek itu seperti bayang-bayang saja yang tidak dapat dibacok. Pada hal, tentu saja sesungguhnya tidak begitu, melainkan karena cepatnya kakek itu bergerak sehingga tubuhnya seolah berubah menjadi bayangan. Siang-Kiam Mo-Ko menjadi penasaran. Dia mengeluarkan suara gerengan dan menggerakkan sepasang pedangnya dengan gaya silat yang bengis sekali, sepasang pedang itu berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar nyambar membacoki bayangan kakek itu. Namun,
226
tetap saja sepasang pedang yang mengeluarkan suara berdesingan itu hanya mengenai angin belaka. Sampai lebih dari dua puluh jurus Siang-Kiam Mo-Ko mengamuk dan menyerang bertubi-tubi dan selalu Bu Beng Siauw-jin hanya mengelak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar kakek itu berseru, “Mundurlah!” dan dia mendorong dengan tangan kirinya ke arah Siang-Kiam Mo-Ko yang masih menggerakkan sepasang pedangnya dengan cepat. Serangkum angin yang amat kuat menyambar dan kepala gerombolan itu berusaha untuk mengerahkan tenaga menahan diri, namun tetap saja tubuhnya terdorong oleh tenaga angin yang amat kuat.itu sehingga dia terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Bagi orang biasa yang berakal sehat pengalaman ini tentu sudah cukup untuk membuka matanya bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Akan tetapi Siang-Kiam Mo-Ko adalah seorang tokoh kangouw yang terbiasa memaksakan kehendaknya melalui kekerasan, maka bagi seorang seperti dia itu, amatlah sulit untuk dapat menerima kekalahan dan mengakui kelemahan sendiri. Pengalaman tadi bahkan membuat dia marah bukan main. Sambil merangkak bangun karena dia tidak terluka, dia memberi aba-aba kepada para anak buahnya.
227
“Serbu! Bunuh setan tua itu!” Limabelas orang anak buah gerombolan itu sudah mencabut golok dan pedang mereka dan bagaikan kesetanan mereka menyerbu dan menghujankan senjata mereka pada tubuh kakek yang agak kurus itu. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan. Tubuh itu berkelebat dan seolah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara belasan batang golok dan pedang itu. Sejak tadi Sin Cu berdiri di bawah pohon dan menonton. Ketika tadi gurunya diserang secara bertubi-tubi oleh Siang-Kiam Mo-Ko, dia menonton penuh perhatian. Dia dapat melihat betapa gurunya juga menggunakan langkah-langkah reperti yang telah dia pelajari, sampai gurunya mendorong dengan tangan kiri merobohkan lawan. Kini dia melihat belasan orang itu mengeroyok suhunya, namun dengan enak dan mudahnya gurunya mengatur langkah dan dapat menghindarkan diri dari sambaran belasan senjata tajam. Makin jelaslah bagi Sin Cu bahwa langkah-langkah yang telah dipelajarinya itu besar sekali manfaatnya untuk menjaga diri dari serangan orang. Dia memandang penuh perhatian, akan tetapi pandang matanya menjadi kabur karena gurunya bergerak dengan amat cepatnya sehingga berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara sinar golok-golok dan pedang-pedang. Tiba-
228
tiba gerakan kakek itu berubah. Tidak lagi hanya menghindar dari sambaran senjata pengeroyoknya, melainkan kedua tangannya bergerak pula, cepat sekali dengan jari telunjuk kanan kiri membagi-bagi totokan dan limabelas orang anak buah gerombolan itu satu demi satu roboh terkulai dalam keadaan lemas dan tidak mampu bergerak kembali! Kini tinggal Siang-Kiam Mo-Ko seorang yang masih belum roboh. “Siang-Kiam Mo-Ko, kalau engkau mau bertobat dan berjanji akan memimpin anak buahmu ke jalan benar, aku akan memaafkanmu. Kembalikan dua ekor sapi itu dan buang pedangmu lalu berjanjilah,” kata Bu Beng Siauw-jin dan Sin Cu mendengar betapa suara gurunya yang biasanya lemah lembut dan ramah itu kini mengandung wibawa yang amat kuat. Akan tetapi, agaknya tidak mudah menyadarkan hati yang sudah berkarat dengan kotoran dosa itu. Siang-Kiam Mo-Ko bahkan menjadi marah sekali karena merasa bahwa kesenangannya terganggu dan robohnya semua anak buahnya membuat dia merasa terhina dan sakit hati. “Kakek sialan!” Bentaknya dan secepat kilat dia menubruk menyerang dengan sepasang pedangnya. “Sian-cai .!”Bu Beng Siauw-jin mengelak ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, dia telah menotok siku kanan lawan
229
sehingga lengan kanan sijenggot panjang itu tiba-tiba menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Bu Beng Siauw-jin menyambar pedang itu dengan tangan kanannya, kemudian tampak sinar pedang berkelebatan menyambar-nyambar ketika dia menggerakkan pedang rampasan itu. “Aduhh! Aduhh!!” Dua kali dia mengaduh, pedang di tangan kirinya terlepas dan diapun jatuh terduduk, meringis kesakitan sambil menekan kedua tangannya ke atas paha. Darah bercucuran dari kedua tangannya yang kini tidak beribu jari lagi. Kedua ibu jari tangannya telah terbabat putus oleh pedangnya sendiri yang sudah dirampas kakek itu. Bu Beng Siauw-jin melempar pedang rampasannya ke atas tanah, merogoh sebuah bungkusan kertas dari balik jubahnya. “Ini kuberi obat untuk menyembuhkan luka di kedua tanganmu dan untuk menghentikan darah yang keluar. Tengadahkan kedua tanganmu!” Sekali ini, karena tidak kuat menahan rasa nyeri, Siang-Kiam Mo-Ko menurut dan menjulurkan kedua tangannya yang tidak beribu jari lagi ke depan. Bu Beng Siauw-jin menuangkan bubuk obat berwarna merah ke atas luka di tangan itu dan ternyata obat itu manjur sekali. Darah berhenti mengucur dan rasa nyeri juga banyak berkurang.
230
Siang-Kiam Mo-Ko itu kini hanya duduk bengong sambil memandangi kedua tangannya, sadar sepenuhnya bahwa mulai saat itu dia telah menjadi seorang tapadaksa yang tidak akan mampu lagi memegang pedang, apa lagi mempergunakan pedang itu untuk bersilat. Bagi seorang yang ahli bermain senjata, mengandalkan senjata dalam berkelahi, kehilangan kedua ibu jari berarti kehilangan segala-galanya. Mulai saat itu, tidak mungkin lagi dia memimpin gerombolan. Tentu tidak ada anak buah yang mau tunduk terhadap dia yang tidak dapat lagi mengandalkan pedangnya untuk menjagoi. Bu Beng Siauw-jin lalu menghampiri limabelas orang anak buah gerombolan itu satu demi satu dan membebaskan totokan atas tubuh mereka dengan masing-masing diberi satu kali tepukan. Mereka semua dapat bergerak kembali, akan tetapi kini mereka tidak berani banyak lagak lagi karena mereka semua tahu bahwa pemimpin merekapun sudah dikalahkan oleh kakek yang amat sakti itu. “Kalian semua orang-orang yang Sesat jalan! Bertaubat dan sadarlah kalian bahwa sikap dan perbuatan kalian yang sudah sudah hanya akan meyeret kalian ke dalam bencana. Kembalilah ke jalan benar. Bekerjalah dengan baik-baik sebagai petani atau buruh untuk mencari makan. Mudah mudahan peristiwa hari ini dapat menjadi pelajaran yang berguna bagi kalian. Nah,sekarang
231
kalian boleh pergi meninggalkan tempat ini, membawa semua barang kalian kecuali dua ekor sapi rampasan itu!” Belasan orang yang memang sudah merasa gentar sekali terhadap kakek itu,tanpa bicara apa-apa lagi dan dengan menundukkan muka, pergi dari situ membawa barang-barang mereka. Dua ekor sapi yang ditambatkan di batang pohon itu mereka tinggalkan, “Sin Cu, lepaskan ikatan dua ekor sapi itu dan mari kita bawa pulang,” kata Bu Beng Siauw-jin. Dengan girang Sin Cu melepaskan tambatan kedua ekor sapi itu dan menuntun mereka, mengikuti gurunya keluar dari dalarm hutan. Hatinya merasa gembira bukan main. Baru sekali ini dia menyaksikan kehebatan gurunya dan dia girang melihat sendiri betapa gurunya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, seorang yang amat sakti! Diapun membayangkan, bahwa kalau saja dia belum mempelajari ilmu langkah itu, dirinya tentu sudah menjadi korban serangan gerombolan dan kalau gurunya tidak menguasai ilmu silat yang tinggi, mungkin gurunya sudah tewas di tangan mereka dan dua ekor sapi itu tentu tidak bisa digiring pulang untuk diserahkan kepada anak itu. Terbuka matanya sehingga dia dapat melihat bahwa seperti juga ilmu bun (sastra), ilmu bu (silat) juga tidak kalah pentingnya. Di dunia ini banyak terdapat orang jahat dan tanpa
232
memiliki ilmu bela diri yang dapat diandalkan, dirinya tentu hanya akan menjadi korban gangguan orang jahat. Diapun berjanji kepada diri sendiri untuk melatih semua ilmu yang diberikan gurunya kepadanya dengan tekun. Anak penggembala sapi itu tentu saja merasa girang bukan main ketika dia melihat kakek Bu Beng Siauw-jin dan Sin Cu datang sambil menuntun dua ekor sapinya yang dilarikan orang. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata agak membengkak karena tangis itu kini menjadi cerah berseri. Dia segera menuntun dua ekor sapinya meninggalkan hutan di lereng itu, lupa untuk mengucapkan terima kasih saking girangnya! Setelah anak itu pergi dengan menuntun dua ekor sapinya, Bu Beng Siauw-jin berkata kepada Sin Cu, “Sin Cu, berkemaslah. Bawa semua barang yang kita perlukan dalam perjalanan, dan buntal baik-baik, Kita harus pergi dari sini sekarang juga. Sin Cu merasa heran dan memandang wajah gurunya dengan sepasang mata terbelalak. “Eh, kenapa, suhu? Kenapa kita harus pergi dengan mendadak? Bukankah suhu mengatakan bahwa suhu suka tinggal di tempat yang indah ini? Belum ada satu bulan kita tinggal di sini!” Suhunya tersenyum.
233
“Terdapat banyak tempat yang indah-indah, Sin Cu. Kita terpaksa meninggalkan tempat ini karena aku tidak suka terganggu banyak orang yang tentu akan berdatangan di tempat kita ini.” “Siapakah yang akan datang ke tempat sunyi ini, suhu? Dan mereka itu mau apa?” “Anak itu tentu tidak akan tinggal diam, Sin Cu. Dialah yang akan bercerita tentang pengalamannya dan setelah mendengar ceritanya, tentu banyak orang akan datang ke sini.” “Akan tetapi, tentu orang-orang dusun itu datang bukan untuk mengganggu suhu bahkan untuk mengucapkan terima kasih, untuk mengagumi dan menyanjung suhu!” “Hemm, justeru itulah yang membuat aku ingin segera pergi. Kekaguman dan sanjungan itu memusingkan sekali, bahkan mengerikan!” “Ehh? Mengapa, suhu?” “Sudahlah, kemasi dulu barang-barang kita dan kita segera pergi dari sini. Nanti akan kuberitahukan kepadamu mengapa.” Sin Cu tidak bertanya lagi, melainkan segera bekerja. Tak lama kemudian mereka selesai berkemas karena memang barang mereka tidak
234
banyak. Hanya beberapa potong pakaian sederhana, beberapa buah mangkok dan panci sebagai alat memasak dan makan, dan beberapa botol dan bungkus obat-obat milik kakek itu. Setelah selesai, berangkatlah mereka meninggalkan pondok itu. Sin Cu merasa berat hatinya dan kehilangan harus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Bu Beng Siauw-jin sama sekali tidak pernah menoleh dan melihat muridnya beberapa kali menoleh dia mengeluarkan suara tawa kecil. “Kemelekatan mendiatangkan rasa kehilangan dan duka!” Mereka telah agak jauh dan mulai menuruni lereng bukit. “Apa maksud suhu dengan ucapan itu?” “Engkau ingat tadi ketika kita baru saja meninggalkan pondok? Beberapa kali engkau menoleh dan engkau merasa kehilangan dan berduka harus meninggalkan tempat tinggal kita itu, bukan?” Sin Cu mengangguk. “Benar, suhu. Teecu (murid) merasa sayang dan suka kepada pondok kita itu.” Bu Beng Siauw-jin tertawa. “Merasa sayang karena tempat itu menyenangkan hatimu, bukan? Karena engkau merasa enak tinggal di sana? Nah, keenakan ini mendatangkan rasa sayang, dan rasa sayang menumbuhkan
235
kemelekatan atau keterikatan, muridku. Sekali hatimu terikat atau melekat kepada sesuatu, berarti engkau telah membebani dirimu sendiri dan duka mulai membayangi dirimu.” “Mengapa begitu, suhu? Apa salahnya kalau kita menyayang sesuatu?” “Menyayang tanpa melekat adalah baik-baik saja karena yang menimbulkan duka adalah kemelekatan itulah. Tidak ada sesuatupun dalam kehidupan di dunia ini yang abadi. Perpisahan akan selalu terjadi menyusul kebersamaan, dan kalau tiba saatnya berpisah, kemelekatan dengan sesuatu yang terpisah dari kita akan melukai perasaan dan menimbulkan duka. Walaupun kita boleh mempunyai apapun juga dalam kehidupan ini, akan tetapi jangan memiliki apapun juga. Bahkan badan kita sendiri inipun bukan milik kita!” Sin Cu sudah banyak membaca kitab kuno yang dimiliki suhunya dan yang sekarang berada dalam buntalan yang digendongnya, akan tetapi ucapan gurunya itu membuatnya terheran dan tidak mengerti. Saking herannya, dia sampai menahan langkahnya dan bertanya. “Suhu, apakah bedanya antara mempunyai dan memiliki? Bukankah artinya sama saja?” Bu Beng Siauw-jin juga berhenti melangkah dan dia menyadari
236
bahwa ucapannya tadi membingungkan muridnya. Dia tersenyum. “Mari kita duduk di atas batu sana 1tu, dan aku akan menjelaskannya kepadamu. setelah mereka berdua duduk berhadap,an di atas sebuah batu besar dan Sin Cu menurunkan buntalannya ke atas batu itu pula, u Beng Siauw-jin lalu memberi penjelasan, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Cu, “Yang kumaksud dengan mempunyai adalah segala sesuatu yang ada pada kita, yang kita peroleh dan kita berhak atas sesuatu itu, seperti pondok kita yang kita bangun sendiri sehingga kita berhak atas pondok itu. Akan tetapi mempunyai ini hanya lahiriah saja, karena kita memerlukannya dan memakainya. Kita mempunyai akan tetapi tidak memiliki. Yang kumaksud dengan memiliki adalah apa bila yang kita punyai itu melekat ke dalam batin kita, menjadi milik batin kita sehingga kita tidak mau berpisah dengannya karena perpisahan mendatangkan rasa sakit dalam batin kita. Karena itu, kita harus belajar hidup tanpa memiliki apapun. Kalau apa yang kita punyai hilang, hal itu tidak berbekas apa-apa karena tidak ada kemelekatan dengan batin kita. Yang memiliki segalanya itu hanyalah Tuhan yang juga menjadi Pencipta dan Pemberi segalanya kepada kita. Kita hanya sekedar meminjam saja dan pada saatnya yang telah ditentukan olehNya, Dia akan mengambilnya kembali apa yang dipinjamkanNya kepada kita.
237
Inilah yang dinamakan hidup bebas, Sin Cu. Bebas dari pada kemelekatan berarti pula bebas dari pengaruh nafsu-nafsu daya rendah yang selalu ingin mernpengaruhi kita. Mengertikah engkau?” Sin Cu tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng. Memang sesungguhnya dia hanya dapat setengah-setengah menangkap arti dari semua kata-kata itu, belum mengerti benar. “Baiklah, tidak mengapa kalau engkau belum mengerti secara tuntas. Setidaknya engkau telah mendengar dan kelak engkau akan mengerti melalui pengalamanmu dalam hidup. Kelak, kalau engkau menginginkan dan mengejar untuk mendapatkan sesuatu, buka mata batinmu, amati penuh kewaspadaan dan engkau akan mampu melihat bahwa yang kaukehendaki dan kejar itu adalah sesuatu yang kauanggap akan menyenangkan dan menguntungkan dirimu. Inilah tandanya bahwa yang ingin dan mengejar itu adalah nafsu daya rendah yang menguasai dirimu, bukan keinginan jiwamu, Dan berhati-hatilah karena kalau batin sudah dikuasai nafsu, maka pengejaranmu itu akan membutakan mata batinmu, akan melenyapkan pertimbanganmu dan mengaburkan pengetahuanmu antara baik dan buruk. Ujar-ujar kuno yang mengatakan bahwa seorang kuncu (bijaksana) selalu waspada jika berada seorang diri, berarti bahwa seorang yang
238
bijaksana selalu waspada terhadap gejolak pikirannya sendiri, karena biasanya hati akal pikiran itu sudah bergelimang nafsu, sehingga gejolak itu ditimbulkan oleh ulah nafsu. Semua perbuatan sesat didorong oleh keinginan yang datang dari gejolak nafsu inilah.” Sin Cu mengangguk-angguk. Penjelasan gurunya tentang nafsu agak lebih mudah dimengerti karena dia sudah banyak membaca tentang hal ini dalam kitab-kitab agama walaupun pengertiannya belun dalam taraf yakin karena dia belum pernah mengalaminya sendiri. Selama ini belum pernah dia merasakan adanya gejolak keinginan yang menggebu-gebu. Kebutuhannya amat terbatas bersahaja karena keadaan hidupnya yang sederhana bersama gurunya. “Akan tetapi, tadi suhu mengatakan bahwa kekaguman dan sanjungan merupakan sesuatu yang memusingkan, bahkan mengerikan. Apa maksudnya, suhu? Tee-cu sama sekali tidak mengerti.” “Kekaguman dan sänjungan orang-orang terhadap diri kita merupakan racun yang amat manis, Sin Cu. Berhati-hatilah engkau menghadapi setiap sanjungan dan kekaguman orang terhadap dirimu. Hal ini membuat aku yang mengaku-aku dalam diri kita
239
semakin membengkak, merasa diri paling hebat, paling pandai, paling baik dan segala macam paling lagi. Keadaan ini seperti gelembung buih yang semakin menggembung dan membubung tinggi, kemudian meledak dan lenyap di udara. Kekaguman dan sanjungan orang itu hanya akan membangkitkan kesombongan dan ketinggian hati dalam diri kita, amatlah berbahaya, maka kuanggap mengerikan. Bagiku, lebih baik aku segera menyingkir dan menjauhkan diri sebelum terseret ke dalam arus sanjungan yang beracun itu.” “Akan tetapi, kalau ada orang dipuji dan disanjung, hal itu tentu karena kepandaiannya, suhu, jadi sepatutnyalah kalau dia dipuji dan disanjung.” “Memang sudah selayaknya baginya memuji dan menyanjung, akan tetapi tidak semestinya bagi yang dipuji dan yang disanjung. Sepatutnya orang yang dipuji dan disanjung itu mengerti benar bahwa segala kepandaian yang ada pada dirinya itu bukan lain adalah kepandaian Tuhan Yang Maha Kuasa, yang diperlihatkan melalui hati akal pikirannya. Tuhan sajalah yang memiliki itu semua. Tanpa adanya kekuasaan Tuhan, maka orang yang dikatakannya pandai itu sebetuinya tidak mampu apa-apa. Jadi, hanya Tuhan sajalah yang patut untuk dipuji dan disanjung, bukan manusianya.”
240
“Ah, mengertilah tee-cu sekarang, suhu. Jadi karena itukah suhu menggunakan nama Orang Rendah Tanpa Nama, dengan segala kerendahan hati?” “Engkau benar, Sin Cu. Aku mengerti benar bahwa tanpa adanya Kekuasaan Tuhan maka aku ini hanya seorang manusia lemah tidak mampu apa-apa. Aku melihat kekurangan dan kebodohanku sendiri, maka kalau ada yang terpaksa menanyakan namaku, aku mempergunakan sebutan itu.” “Akan tetapi, suhu, Tee-cu membaca kitab-kitab suci dan di situ ada dua sebutan yang paling bertentangan, yaitu Siauw-jin (Orang Rendah) dan Kun-cu (Orang Bijak sana). Kenapa suhu memilih sebutan orang rendah? Pada hal itu merupakan sebutan bagi orang-orang yang jahat dan hina.” “Memang aku sengaja menilih sebutan Siauw-jin karena aku tahu benar bahwa aku adalah seorang yang banyak dosa. Ketahuilah, Sin Cu. Orang yang merasa dirinya kotor, benar-benar merasa dirinya kotor bukan hanya pura-pura, maka orang itu tentu akan berusaha membersihkan dirinya yang kotor. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bersih, tentu tidak ada usaha darinya untuk membersihkan dirinya yang dianggapnya sudah bersih. Mana yang lebih baik antara keduanya itu, Sin Cu?”
241
“Tentu saja jauh lebih baik orang yang rendah hati dan merasa dirinya kotor, karena tentu ada usaha keras untuk membersihkan kekotoran itu, suhu. Sama halnya dengan orang yang merasa dirinya bodoh, tentu orang itu akan selalu berusaha untuk meningkatkan pengetahuannya. Sebaliknya orang yang merasa dirinya pintar tentu tidak akan suka mendengar pendapat orang lain yang dianggapnya bodoh dan orang yang begini tidak akan pernah bertambah pengetahuannya.” “Memang begitulah. Orang yang merasa dirinya pintar seperti sebuah cawan yang telah penuh sehingga cawan itu tidak dapat ditambah lagi. Sebaliknya orang yang merasa dirinya bodoh seperti cawan yang tidak pernah dapat penuh, terus dapat menampung pengetahuan sebanyak mungkin tanpa merasa dirinya pintar. Orang yang merasa dirinya pintar seperti katak dalam tempurung. Karena itu, engkau harus selalu merasa rendah hati, Sin Cu, agar engkau mampu menampung pengetahuan sebanyak mungkin.” “Berkat bimbingan suhu, tee-cu yakin akan mampu bersikap seperti itu, suhu.” Mereka melanjutkan perjalanan mereka tanpa tujuan tertentu, bebas lepas seperti dua ekor burung terbang di udara, menikmati setiap pemandangan alam indah yang mereka lihat di sepanjang perjalanan mereka. Mulai hari itu, Sin Cu dilatih
242
ilmu silat oleh gurunya dan anak ini berlatih dengan tekun sekali karena dia sudah yakin akan besarnya manfaat ilmu silat dalam penghidupan. Sejak kecil gurunya sudah menanamkan sifat gagah, pembela kebenaran dan keadilan dan menentang kejahatan dan untuk dapat bersikap seperti itu, dia harus memiliki ilmu silat yang tangguh. Ketika Kaisar yang tua meninggal dunia, Pangeran Mahkota diangkat menjadi Kaisar. Dia adalah Kaisar Ceng Tek (1505 1520) yang diangkat menjadi kaisar dalam usia yang muda sekali, yaitu ketika dia berusia limabelas tahun. Menggunakan kesempatan selagi yang memegang tampuk pimpinan seorang kaisar muda yang kurang pengalaman dan lemah ini, mulailah para thai-kam (sida-sida, orang kebiri) berkiprah. Mereka merupakan orang-orang yang amat pandai mencari muka, bermulut manis dan pandai merayu dan menjilat sehingga Kaisar Ceng Tek yang masih muda itu terjatuh dalam cengkeraman dan kekuasaan mereka yang menina bobokannya. Bagi Ceng Tek, mereka adalah orang-orang yang amat setia, pandai dan boleh diandalkan, yang rela mengorbankan nyawa untuk membaktikan diri kepadanya. Karena itulah, maka Kaisar Ceng Tek mulai menyerahkan kedudukan yang tinggi dan berkuasa kepada mereka. Bahkan seorang yang paling menonjol di antara para Thai-
243
kam, yang bernama Liu Chin, diangkat menjadi penasihat Kaisar dan boleh dibilang Liu Chin ini yang memegang kendali pemerintahan di belakang Kaisar Ceng Tek yang dijadikan seperti sebuah boneka! Liu Chin, seperti sebagian besar para thai-kam, adalah orang-orang yang berasal dari daratan Cina bagian utara. Kekuasaan mereka merupakan kekuasaan gabungan dari para thai-kam dan tentu saja banyak pejabat di daerah merasa tidak suka pada mereka. Kekuasaan para thai-kam ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan dan rasa tidak puas di daerah-daerah. Akan tetapi karena para pejabat daerah itu jauh dari kota raja, merekapun tidak berdaya mengingatkan kaisar mereka. Liu Chin yang memimpin gerombolan thaikam yang menguasai pemerintahan ini, seperti juga rekan-rekannya, merupakan orang yang amat tamak. Dia hanya memikirkan untuk menumpuk harta kekayaan saja, Karena dia dan para rekannya berkuasa, bahkan kuasa mengangkat para pejabat tinggi atas nama Kaisar, maka hanya mereka yang mampu membayar uang sogokan yang amat besar saja dapat memperoleh kedudukan tinggi. Dan setelah orang-orang itu memperoleh kedudukan, mereka masih harus mengirim sumbangan besar setiap tahun kepada Liu Chin dan kawan-kawannya. Hal ini tentu saja memaksa si pejabat untuk mencari penghasilan yang besar dengan cara apapun juga.
244
Dengan mengenakan pajak-pajak besar terhadap rakyat dan menyalahgunakan uang negara, bertindak korupsi besar-besaran. Yang menderita adalah rakyat, terutama sekali yang berada di propinsi-propinsi yang jauh dari kota raja, Daerah selatan merupakan daerah yang paling menderita. Pejabat-pejabat kecil ditekan oleh pejabat-pejabat yang lebih tinggi. Pejabat-pejabat tinggi juga harus membayar “Sumbangan” yang besar kepada atasan mereka di ibukota propinsi, sebaliknya pejabat di ibukota propinsi ini juga harus menyetorkan harta mereka kepada para thaikam yang dipimpin oleh Liu Chin. Banyak sudah pejabat tinggi yang berwatak setia kepada Kaisar, mencoba untuk menentang kekuasaan para Thaikam ini dan berusaha untuk menyadarkan Kaisar. Namun akibatnya, merekalah yang menjadi korban. Banyak pejabat tinggi yang berani menentang tewas dalam keadaan rahasia, terbunuh oleh para pembunuh bayaran. Banyak pula yang terpaksa melarikan diri, seperti halnya mendiang Panglima Tan Hok dan mendiang Jaksa Wong Cin. dan menjadi orang buruan pemerintah. Kemelut ini menghantui setiap orang yang tidak mempunyai kedudukan, tidak memiliki kekuasaan. Korupsi merupakan penyakit umum, menjadi wabah yang menguasai hampir setiap orang. Kekuasaan terbesar berada di dalam harta kekayaan, didalam uang. Dengan
245
pengaruh uang sogokan, maka setiap perkara pasti dimenangkan oleh si pemilik uang. Yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Diantara semua daya rendah yag menjadikan nafsu, daya rendah kebendaan adalah yang paling kuat. Daya rendah kebendaan itu berpusat pada uang, karena dengan uang orang dapat membeli kesenangan apa saja yang dikehendakinya. Iblis mempergunakan uang ini sebagai senjata utama untuk menyeret manusia ke dalam jurang yang paling dalam. Manusia saling bermusuhan, golongan lawan golongan, kelompok lawan kelompok, bahkan bangsa melawan bangsa, semua saling bertentangan yang pada dasarnya memperebutan kedudukan karena kedudukan menghasilkan uang. Andaikata kedudukan itu tidak mendatangkan kemakmuran bagi dirinya, kemakmuran yang dapat diwakili dengan uang kiranya tidak akan ada orang yang mau memperebutkan kedudukan itu. Hidup enak, tercukupi kebutuhannya, keinginan nafsunya, itulah yang diperebutkan manusia di permukaan bumi ini, dan untuk dapat hidup enak dan terpenuhi semua keinginan nafsu, berarti harus mempunyai banyak uang. Kaisar Ceng Tek adalah seorang muda yang nyentrik. Dia seolah tidak peduli dengan kedudukannya sebagai kaisar dan dia suka berkeliaran seperti seorang pemuda hartawan biasa yang bebas lepas tanpa pengawal. Dia berkeliaran
246
dengan para pemuda yang menjadi putra-putra bangsawan dan hartawan, mengunjungi tempat tempat pelesir dan bersenang-senang. Dia sudah percaya sepenuhnya kepada para Thaikam, menganggap mereka pejabat –pejabat yang setia kepadanya dan dapat dipercaya sepenuhnya. Memang pandai sekali para Thaikam itu yang didukung oleh para pejabat tinggi yang sudah termasuk komplotan mereka. Segala laporan yang disampaikan kepada Kaisar hanya laporan yang bagus-bagus saja, yang ditujukan untuk menyenangkan hati Kaisar. Karena laporan-laporan ini, kaisar merasa senang dan menganggap bahwa semuanya berjalan dengan lancar dan baik. Demikian besar keperayaan Kaisar Ceng Tek kepada para Thaikam terutama sekali Thaikam Liu Chin sehingga kalau ada pembesar berani mencela Thaikam itu dan melaporkan bahwa Thaikam itu jahat dan korup, Kaisar bahkan membela Liu Chin dan menghukum si pelapor! Setelah Liu Chin mempunyai kekuasaan besar, para sanak keluarga dan para kenalannya di desanya, berbondong-bondong datang ke kotaraja untuk ikut menikmati kemuliaan Liu Chin atau setidaknya mendapat “Percikan” harta yang berlimpahan. Diantara sanak keluarganya itu, terdapat dua orang keponakan dalam yang mendapatkan kedudukan tinggi. Yang seorang
247
bernama Liu Kui, seorang yang pandai ilmu silat dan oleh Liu Chin diusulkan kepada kaisar, sehingga Li Kui ini diberi kedudukan sebagai panglima yang menguasai pasukan pengawal dan keamanan istana! Kemudian yang seorang lagi bernama Liu wan yang pernah mempelajari sastera, dan orang ini diangkat oleh Kasar menjadi seorang jaksa agung di Kotaraja. Dengan adanya dua orang keponakan yang menduduki jabatan tinggi dan penting di kalangan tentara dan sipil ini, kekuasaan Liu Chin menjadi semakin besar karena ke dua keponakan ini tentu saja menjadi antek anteknya. Sengsara lah rakyat yang pemerintahannya dipimpin oleh pembesar-pembesar korup dan yang berlomba-lomba mengeduk uang sebanyak-banyaknya. Kesejahteraan rakyat dilupakan, bahkan rakyat dibebani pajak besar dan peraturan-peraturan yang mencekik leher. Semua keperluan dan kebutuhan rakyat dapat tercapai melalui uang sogokan. Bahkan untuk mendapat ijin menikah saja harus mengeluarkan uang sekian, untuk mengurus kematian atau kelahiran harus membayar bahkan pindah rumahpun ada tarip gelapnya. Korupsi semakin merajalela kalau dibiarkan. Dari pejabat tertinggi sampai pejabat rendahan, semua berlumba-lumba untuk memadati kantung sendiri sehingga mencari pejabat yang bersih pada waktu itu sama sukarnya dengan mencari
248
sebatang jarum di dalam tumpukan jerami. Hebatnya, ada pejabat tinggi yang melakukan korupsi sedemikian besarnya sehingga yang dikorupsi itu kalau untuk menolong rakyat yang miskin, dapat mencukupi kebutuhan puluhan ribu rakyat! Hal ini dapat terjadi karena orang yang paling tinggi kedudukannya, yang berada di tingkat paling atas, yaitu Kaisar Ceng Tek, adalah seorang yang lemah dan mudah dipermainkan para Thaikam, terutama Thaikam Liu Chin. Dia terbuai oleh kehidupan foya-foya, menghambur-hambur kan uang Negara seperti pasir. Untuk memberantas wabah korupsi yang sudah menjalar sedemikian hebatnya, hanya dapat dilakukan dari atas ke bawah. Kalau bapaknya maling, bagaimana dapat mencegah anaknya untuk tidak menjadi maling pula? Siapa yang akan mengawasi, menegur dan menjewer anak itu kalau dia menjadi maling? Kalau ayahnya tidak pernah mencuri, tentu dia akan mampu menegur, memarahi dan menghajar anaknya yang mencuri. Demikian pula, kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, tentu dia akan berani menegur dan menghukum atau memecat bawahannya yang bertangan kotor, dan bawahannya itu bersikap yang sama terhadap bawahannya lagi. Demikian seterusnya, dari mereka yang duduk paling tinggi membersihkan diri lalu mengawsi bawahannya sehingga dari atas sampai yang paling bawah
249
semuanya menjadi bersih!. Seperti juga sebatang pohon, kalau pangkalnya batang pohon itu sehat, maka seluruh bagian pohon itu, cabang, ranting dan daun-daunnya akan sehat pulas sehingga menghasilkan bunga dan buah yang sehat dan manis. Sebaliknya kalau pangkal batang pohonnya mengandung penyakit, seluruh bagian pohon itupun akan sakit dan menghasilkan buah yang buruk atau bahkan tidak dapat berbuah sama sekali. Pemerintahan yang dikemudikan Kaisar Ceng Tek tidak demikian. Setiap orang pembesar berkorupsi, menerima uang sogokan, menggunakan uang Negara untuk kepentingan diri sendiri, menumpuk harta kekayaan, hidup bermewah-mewahan, menindas rakyat. Menjilat ke atas menginjak ke bawah terjadi di mana-mana. Herankah kita kalau dalam keadaan pemerintahan seperti itu bermunculan banyak kejahatan? Para penjahat itu mengail di air keruh. Selagi keadaan kacau dan para pembesar tidak mengacuhkan segi keamanan bagi rakyatnya, para penjahat itu berpesta pora, mempergunakan kekuatan dan kekerasan untuk mendapatkan uang secara tidak halal. Merampok, mencuri, memeras dan tindak kejahatan lain lagi. Sarang perjudian dan sarang pelacuran bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keadaan Negara seperti itu,
250
bermunculan pula para pendekar, walaupun jumlah mereka tidak banyak. Akan tetapi, apa daya mereka menghadapi para pembesar yang dilindungi oleh pasukan? Mereka, para pendekar ini, hanya dapat menentang para penjahat yang merajalela. Ada pula pejabat-pejabat atau bangsawan yang berhati bersih, yang menentang kelaliman ini. Mereka memberanikan diri memprotes keadaan pemerintah, bahkan ada pula yang mencoba untuk menasehati dan menyadarkan Kaisar. Akan tetapi apa akibatnya? Merekalah yang tersingkir, terhukum, terbunuh, atau setidaknya mereka terpaksa harus melarikan diri mengungsi jauh dari Kota Raja. Diantara para bangsawan yang merasa penasaran menyaksikan keadaan ini adalah Pangeran Ceng Sin. Pangeran yang terlahir dari selir ini merupakan saudara tua Kaisar Ceng Tek. Usianya sudah 35 tahun dan dia adalah seorang pangeran yang setia terhadap kerajaan. Melihat ulah adik tirinya yang tidak memperhatikan pemerintahan dan seolah buta matanya terhadap semua penyelewengan yang dilakukan para pembesar, terutama para Thaikam sehingga menyengsarakan rakyat, dia merasa perihatin sekali. Untuk terang-terangan menentang Thaikam Liu Chin, dia tidak memiliki kekuasaan dan tentu akan sia-sia belaka, bahkan keselamatannya
251
terancam. Karena itu, Pangeran Ceng Sin berusaha melakukan pendekatan kepada Kaisar Ceng Tek untuk menasehatinya. Akan tetapi Kaisar Ceng Tek yang sudah tenggelam ke dalam racun manis berupa kehidupan penuh foya-foya dan pelesiran itu memasang telinga tuli terhadap nasihat kakak tirinya. Pada suatu senja, dua orang diantar oleh dua orang prajurit pengawal memasuki gedung tempat tinggal Liu Chin. Gedung itu besar dan megah, letaknya masih di dalam daerah istana dan siang malam gedung itu dijaga oleh pasukan pengawal yang kuat. Seperti biasa, kalau ada tamu pribadi Thaikam Liu Chin, tamu itu akan diantar oleh prajurit pengawal, memasuki gedung lewat pintu tembusan di samping gedung. Dua orang yang datang itupun membawa surat pribadi Liu Chin sehingga setelah melihat surat itu, dua orang prajurit lalu mengawal dan mengantar mereka memasuki gedung lewat pintu kecil itu. Dua orang tamu itu terdiri dari seorang laki-laki berusia lima puluh dua tahun, bertubuh tinggi besar, berjenggot panjang dan wajahnya gagah seperti Pahlawan Kwan In Tiang di dalam Kisah Sam Kok. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan pakaiannya mewah seperti pakaian seorang hartawan. Adapun orang ke dua adalah seorang pemuda berusia kurang lebih lima belas tahun. Seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tinggi kokoh.
252
Mukanya bulat seperti bulan purnama, alisnya tebal hitam matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu seperti tersenyum mengejek. Sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam itu kadang membayangkan kekarasan hati. Pakaiannya juga mewah seperti seorang pemuda hartawan, rambutnya hitam panjang di gelung ke atas dan diikat kain sutera, dihias tuduk sanggul berbentuk seekor burung merak. Laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) Ouw Yang Lee, majikan Pulau Naga. Semakin tua dia tampak semakin gagah saja. adapun pemuda remaja itu bukan lain adalah Tan Song Bu. Tan Song Bu kini telah menjadi seorang pemuda berusia lima belas tahun yang tampan dan gagah. Ketika kedua orang istri Ouw Yang Lee dilarikan penjahat, Song Bu berusia sepuluh tahun. Selama lima tahun ini, setelah dia menjadi anak angkat gurunya, dia digembleng secara serius oleh Ouw Yang Lee sehingga dalam usia lima belas tahun Song Bu telah menjadi seorang pemuda remaja yang tangguh. Tubuhnya tinggi kokoh, dadanya bidang dan dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Bagaimana Ouw Yang Lee dapat muncul di gedung Thaikam Liu Chin? Hal ini ada hubungannya dengan sebuah peristiwa pada suatu malam yang gelap gulita, kurang lebih dua bulan yang lalu. Pada malam hari itu,
253
gedung milik Liu Chin didatangi orang yang membikin kacau. Orang itu memiliki gerakan yang gesit sekali, melompati pagar tembok. Akan tetapi setelah tiba di ruangan belakang gedung itu pada tengah malam, dia ketahuan prajurit pengawal dan dia dikeroyok. Orang yang mukanya memakai kedok hitam itu mengamuk dan dalam amukannya, dia berteriak-teriak hendak membunuh Liu Chin! Dia lihai sekali dan belasan orang perajurit pengawal telah roboh oleh pedangnya. Akan tetapi, jumlah perajurit pengawal terlalu banyak dan diantaranya terdapat beberapa orang perwira yang lumayan tingkat ilmu silatnya. Karena dikeroyok dan terdesak, orang berkedok itu lalu melarikan diri dan luput dari pengejaran para perajurit pengawal. Pengalaman di malam itulah yang membuat Liu Chin menyadari bahwa keselamatannya terancam. Dia mempunyai musuh terlalu banyak, dan tentu musuh-musuhnya yang telah mengirim seorang pembunuh bayaran untuk membunuhnya. Dia merasa perlu melakukan penjagaan yang lebih ketat dan timbullah dalam pemikirannya untuk mengundang datuk-datuk sesat dan menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk membujuk mereka agar suka menjadi jagoan menjaga keselamatannya.
254
Demikianlah, dia lalu mengirim undangan kepada beberapa orang dan diantara yang diundang itu, termasuk Ouw Yang Lee, majikan Pulau Naga yang namanya diketahui Liu Chin dari laporan para panglima sekutunya. Selain Ouw Yang Lee, Thaikam Liu Chin masih mengundang beberapa tokoh kangouw lainnya yang pada waktu itu belum datang. Ouw Yang Lee merupakan orang undangan pertama yang datang dan dia mengajak putera angkatnya, Ouw Yang Song Bu yang sudah berusia lima belas tahun agar putera angkatnya ini memperoleh pengalaman di Kota Raja. Ketika menerima surat undangan dari Thaikam Liu Chin, Ouw Yang Lee merasa gembira sekali. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Thaikam Liu Chin merupakan orang ke dua sesudah Kaisar yang berkuasa di Kota Raja. Diundang oleh pembesar itu hamper sama dengan undangan diterima dari Kaisar sendiri. Kalau saja dia dapat berjasa terhadap Tahikam Liu Chin, tentu dia akan dapat menduduki pangkat yang tinggi, menjadi orang terhormat yang hidup mulia dan berkuasa. Inilah yang membuat Owyang Lee tertarik. Bukan hanya Ouw Yang Lee yang tertarik untuk mendapatkan kedudukan karena kedudukan berarti kekuasaan. Makin tinggi kedudukan sesorang semakin besarlah kekuasaannya. Oleh karena itu, hampir setiap orang saling berlumba mendapatkan kekuasaan ini, kekuasaan
255
dalam keluarga, dalam kelompok, dalam golongan, masyarakat, Negara. Karena berkuasa berarti semua tindakannya harus dibenarkan dan dimenangkan, karena kekuasaan mendatangkan kemuliaan, mendatangkan harta benda, dan kesenangan. Bahkan dunia penuh pertentangan, perang antara bangsa juga karena saling memperebutkan kekuasaan inilah. Yang menang pasti berkuasa dan yang berkuasa pasti benar! Karena itu siapa yang tidak menghendaki kekuasaan? Tertarik oleh kemungkinan mendapatkan kedudukan ini membuat Ouw Yang Lee meninggalkan pulaunya. Dia mengajak muridnya yang kini menjadi putera angkatnya yang disayang, yaitu Tan Song Bu yang kini sudah memakai marganya, menjadi Ouw Yang Song Bu. Dia juga ingin memberi kesempatan kepada puteranya itu untuk membuat pahala dan menerima kedudukan, di samping mencari pengalaman di kota. Senja telah tiba dan lampu-lampu gantung mulai dinyalakan dalam gedung tempat tinggal Thaikam Liu Chin. Pada saat itu, Liu Chin sedang berada di ruangan makan, siap untuk makan malam. Mendengar laporan bahwa Tung-Hai Tok Ouw Yang Lee bersama puteranya yang bernama Ouw Yang Song Bu datang hendak menghadap, hatinya menjadi girang dan dia memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk berjaga dengan ketat didalam
256
ruangan makan yang luas itu, kemudian dia mempersilahkan dua orang tamunya langsung masuk ke ruangan makan. Dengan langkah yang gagah, Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Song Bu mengikuti pengawal memasuki ruangan yang telah dipasangi lampu yang amat terang itu. Dia melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam cerdik seperti mata elang, dengan pakaian mewah seorang pembesar istana yang tinggi kedudukannya, duduk diatas sebuah kursi menghadapi sebuah meja makan panjang. Empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik hilir mudik kearah meja makan itu membawa masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dan ruangan itu penuh dengan bau masakan yang sedap. “ Tai-jin (sebutan pembesar), para tamu Ouw Yang Lee dan puteranya, Ouw Yang Song Bu datang menghadap!” kata pengawal pengantar. Liu Chin Thaikam memutar tubuhnya menghadapi mereka yang datang, lalu memberi tanda dengan tangan kepada pengawal pengantar untuk mengundurkan diri. Sementara itu Ouw Yang Lee melihat betapa disekeliling ruangan itu berdiri banyak sekali perajurit pengawal dan dia tahu betapa akan sukarnya meloloskan diri dari tempat yang terjaga ketat itu. Diruangan ini saja terdapat dua puluh orang lebih perajurit pengawal yang tampaknya tangguh. Di luar ruangan masih ada lagi
257
pasukan pengawal, belum lagi yang berjaga di pekarangan depan. Mungkin jumlah mereka semua lebih dari seratus orang perajurit tangguh! Thaikam Liu Chin ini sungguh telah melindungi keselamatan dirinya dengan pengawalan yang amat kuat, seperti seorang Kaisar saja. Dia melihat betapa pembesar tinggi kurus itu menatapnya dan mengamatinya dengan penuh selidik. Ouw Yang Lee cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk dengan sikap hormat. “Liu Tai-jin (Pembesar Liu), saya Ouw Yang Lee dari Pulau Naga memenuhi undangan paduka dan datang menghadap bersama putera saya Ouw Yang Song Bu!” Song Bu meniru perbuatan ayahnya, merangkapkan kedua tangan depan dada untuk memberi hormat kepada pembesar itu. Pemuda ini memang cerdik sekali, tanpa diberitahu diapun sudah pandai membawa diri di tempat yang amat mewah, gemerlapan dan penuh wibawa itu. Dia dapat merasakan bahwa laki-laki tinggi kurus itu adalah seorang yang memiliki kekuasaan besar sekali. “Bagus sekali! Selamat datang, Ouw Yang Si-cu (orang gagah Ouw Yang) dan engkau juga, Ouw Yang Song Bu, pemuda yang gagah. Kebetulan sekali aku sedang hendak makan malam. Kalian berdua duduklah disini dan mari temani aku makan sebelum kami membicarakan urusan. Biarlah perjamuan makan ini sebagai
258
ucapan selamat datang kepada kalian!” kata Thai-kam liu Chin dengan suara lantang dan wajah berseri gembira. Tentu saja Ouw Yang Lee merasa gembira sekali. Perhitungannya tidak meleset, Thai-kam Liu Chin ini benar-benar membutuhkan tenaganya, maka sikapnya demikian ramah dan dia merasa amat terhormat. Begitu datang langsung diajak makan bersama. “Terima kasih, ' Tai-jin,” katanya dan bersama Ouw Yang Song Bu, diapun lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan tuan rumah, terhalang meja makan yang kini sudah penuh hidangan. Para pelayan wanita muda cantik dan cekatan itu, tanpa diperintah telah mengerti kewajiban masing-masing. Ada yang menyediakan mangkok, sumpit, dan cawan arak baru untuk kedua orang tamu yang dijamu oleh majikan mereka. “Tuangkan arak, isi penuh cawan-cawan kami, lalu tinggalkan kami bertiga,” perintah Thai-kam Liu. Empat orang pelayan; itu lalu menuangkan arak ke dalam cawan-cawan kosong di depan tuan rumah dan dua orang tamunya, kemudian mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Ketika melangkah, gerakan mereka demikian halus seperti penari-penari yang langkahnya lemah gemulai.
259
“Mari, Ouw Yang Si-cu dan Ouw Yang Song Bu, mari kita minum untuk merayakan pertemuan yang menggembirakan ini!” Thai-kam Liu mengangkat cawan araknya, diturut oleh Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Song Bu dan mereka bertiga minum sampai tiga cawan. Kemudian mulailah mereka makan minum. Thai-kam Liu tampak gembira bukan main. Dengan ramah dia mempersilakan dua orang tamunya untuk mencicipi semua masakan yang serba lezat itu. “Ouw Yang Sicu, aku ingin memperkenalkan kalian berdua dengan komandan pasukan pengawal pribadiku.” Tanpa menanti jawaban, Thaikam itu bertepuk tangan satu kali dan muncullah seorang perajurit pengawal dari balik pintu dan berdiri di depan Thaikam dengan sikap hormat. “Pergi cepat panggil Giam-Ciangkun (Panglima Giam) ke sini! Sekarang juga!” kata Thaikam itu dan suaranya mengandung wibawa seorang yang sudah terbiasa mengeluarkan perintah yang harus diturut. Pengawal itu memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Liu-Thaikam dan dua orang tamunya melanjutkan makan. Tak lama kemudian, orang yang dipanggil itu datang, mudah diduga bahwa panglima pasukan pengawal itu tentu tinggal di komplek gedung itu pula. Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Song Bu memandang. Yang datang adalah orang laki-laki tinggi besar dan gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun. Pakaiannya
260
indah gemerlapan, pakaian seorang panglima dan sebatang pedang panjang tergantung di pinggang kirinya. Mukanya persegi dan matanya lebar dan bersinar tajam. “ Tai-jin memanggil saya?” tanya panglima yang bernama Giam Tit itu dengan suara lantang namun dengan sikap hormat sambil berdiri menghadap Liu-thai-kam. “Giam-Ciangkun, aku hendak mengajak engkau makan minum pula untuk menyambut kedatangan Ouw Yang Sicu dan puteraya. Akan tetapi lebih dulu agar kalian berkenalan dengan mereka berdua yang lihai itu dan engkau harus memberi hormat dengan secawan arak kepada mereka masing-masing.” Giarn-Ciangkun mengerti akan maksud ucapan majikannya. Dia mengangguk, tersenyum dan menghampiri ujung meja panjang itu. Dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan kosong, kemudian dengan tangan kanan dia mengangkat cawan itu ke atas. Ketika dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), maka perlahan-lahan arak dalam cawan itu mengepulkan uap kemudian arak itu mendidih! Dia menyodorkan arak mendidih dalam cawan itu kepada Ouw Yang Lee sambil berkata. “Ouw Yang-sicu, terimalah penghormatanku dengan secawan arak ini!” Melihat arak dalam cawan itu mendidih, tahulah Ouw Yang Lee
261
bahwa panglima itu hendak mengujinya dengan kekuatan sinkang dan diapun tahu bahwa hal ini dilakukan panglima itu atas perintah Liu-thai-kam. Maka diapun tersenyum lebar dan diam-diam dia mengerahkan sin-kangnya. Hawa sakti yang kuat menjalar dari pusarnya menuju ke tangan kanannya yang menerima cawan itu. Liu-Thaikam mengikuti semua gerak gerik kedua orang itu dengan penuh perhatian. Dia memang ingin menguji ketangguhan dua orang tamunya itu, terutama Ouw Yang Lee yang dia dengar merupakan seorang datuk yang sakti. Ketika cawan itu berpindah ke tangan Ouw Yang Lee, mendadak arak yang tadinya mendidih itu berhenti bergerak, juga tidak mengeluarkan uap lagi. Ouw Yang Lee mengangkat cawan itu ke atas mulutnya dan membuat gerakan seperti hendak menuangkan arak itu ke dalam mulutnya. Akan tetapi terjadi keanehan. Arak itu tidak mau tumpah dari dalam cawan yang sudah dibalikkan, seolah-olah telah membeku dan melekat pada cawan! Tentu saja Liu-Thaikam terbelalak keheranan melihat ini, dan Giam Ciangkun mengangguk-angguk, makium bahwa datuk itu memperlihatkan sinkang yang amat kuat yang dapat mengubah hawa panas menjadi hawa yang amat dingin sehingga membuat arak itu membeku.!
262
“Ah, arak ini membeku, perlu dicairkan dulu agar dapat diminum!” kata Ouw Yang Lee, lalu dia menurunkan cawan araknya dan meniup tiga kali ke dalam cawan dan arak itupun mencair, lalu diminumnya, habis sekali tenggak. “Terima kasih, Giam-Ciangkun,” katanya sambil mengangguk kepada panglima itu. Giam-Ciangkun sudah duduk di sudut meja. Diapun mengangguk hormat ke arah Ouw Yang Lee dan berkata, “Ouw Yang-sicu, ternyata kau benar hebat, membuat saya kagum sekali.” Kemudian dia menuangkan kembali arak dari guci ke dalam sebuah cawan kosong. Dia mengangkat secawan arak itu dengan tangan kanannya, kemudian memandang kepada Ouw Yang Song Bu dan berkata. “Ouw Yang Kongcu (Tuan muda Ouw yang), sayapun ingin menyuguhkan secawan arak ini kepadamu, harap suka menerimanya!” Dia lalu melontarkan secawan arak itu ke arah Ouw Yang Song Bu. Cawan itu melayang dan tidak ada setetespun araknya tumpah. Walaupun ujian ini tidak seberat yang dia lakukan terhadap Ouw Yang Lee tadi, namun lontaran itupun kuat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kembali Liu-Thaikam memandang dengan hati tertarik karena diapun ingin melihat
263
apakah pemuda itupun memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat untuk dapat menjadi seorang pembantu yang boleh diandalkan. Melihat secawan arak itu meluncur kearah dirinya dan kalau dibiarkan tentu akan mengenai mukanya, dengan sikap tenang namun gerakan tangannya cepat sekali Song Bu menyambar dan menangkap secawan arak itu dengan tangan kanannya dan tidak setetespun arak muncrat ke luar dari cawan itu. Diminumnya arak dari cawan itu lalu dia mengangguk kepada Giam-Ciangkun. “Terima kasih, Giam-Ciangkun.” Liu-Thaikam dan Giam-Ciangkun tertawa senang.” Tai-jin, Ouw Yang-sicu dan puteranya ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi” kata panglima itu seperti melaporkan dan Liu-Thaikam mengangguk-angguk gembira. Mereka berempat lalu makan minum sampai kenyang. Setelah selesai makan, Liu-Thaikam mengajak dua orang tamunya duduk bercakap-cakap di ruangan dalam dan Giam-Ciangkun diperkenankan mengundurkan diri. Mereka bertiga memasuki ruangan dalam itu dan Liu-thaikarn menutupkan semua daun jendela dan daun pintu. Akan tetapi ayah dan anak itu melihat bahwa biarpun di dalam ruangan itu tidak terdapat seorangpun pengawal, narnun di luar ruangan itu telah berjaga banyak perajurit pengawal yang setiap saat dapat menyerbu ke dalam ruangan itu.
264
Liu-Thaikam mempersilakan mereka berdua duduk dan langsung saja pembesar itu bertanya kepada Ouw Yang Lee. “Ouw Yang-sicu, dapatkah engkau menduga apa maksudku mengundangmu ke sini?” Ouw Yang Lee menjawab tanpa ragu.Saya adalah seorang datuk dan kepandaian saya hanyalah bersilat, maka apa lagi yang Tai-jin kehendaki dari saya kecuali tenaga saya untuk membantu Tai-jin?” “Ha-ha-ha, engkau cerdik, sicu. Memang benar, kami memerlukan tenaga bantuan orang-orang yang memiliki kesaktian untuk menghadapi orang-orang yang memusuhi kami dan diam-diam hendak membunuh kami.” Ouw Yang Lee memandang heran. Dia mendengar bahwa pembesar ini adalah orang ke dua sesudah kaisar yang berkuasa di istana, siapa yang berani memusuhinya? “Akan tetapi, Tai-jin. Siapakah orangnya yang berani berbuat seperti itu?” “Ah, agaknya engkau tidak tahu, sicu. Banyak orang yang merasa iri kepadaku dan mereka itu berusaha untuk membunuhku dan merebut kedudukanku. Beberapa hari yang lalu ada seorang pembunuh yang menyerbu ke rumahku ini dan dia bermaksud membunuhku. Hanya karena ada penjagaan yang ketat dari
265
pasukan perajurit pengawal dia dapat diusir dan usahanya yang keji dapat digagalkan. Karena itu, aku harus membuat operasi pembersihan besar-besaran. dan untuk melakukan itu, aku membutuhkan bantuan tenaga orang-orang seperti sicu.” “Saya dan putera saya siap untuk membantu ta-jin!” kata Ouw Yang Lee singkat. “Akan tetapi sebelum menentukan apakah kalian berdua patut untuk menjadi pembantu-pembantuku yang, dapat diandalkan dan dipercaya, aku harus menguji dulu kepandaian kalian.” “Bukankah tadi Tai-jin sudah menguji kami berdua melalui Giam-Ciangkun?” tanya Ouw Yang Lee dengan alis berkerut. “Itu bukan ujian terhadap kemampuan kalian dan untuk ujian itu kalian memang lulus. Akan tetapi yang kumaksudkan adalah ujian terhadap kesetiaan kalian.” “Untuk itupun saya berdua siap untuk diuji!” kata Ouw Yang Lee. “Harap Tai-jin perintahkan saja dan kami akan melalaksanakan perintah itu!” “Bagus! Memang sikap seperti itulah yang kami kehendaki. Tegas dan tidak banyak bertanya. Ketahuilah bahwa kami telah
266
melakukan penyelidikan untuk mencari siapa saja yang memusuhi kami dan yang mungkin mengirim pembunuh malam itu. Diantara mèreka yang kami curigai terdapat dua orang dan kami menghendaki agar kalian berdua masing-masing melaksanakan satu tugas, yaitu masing-masing membunuh seorang musuhku. Laksanakan perintah ini malam ini juga.” “Membunuh seorang musuh? Hal itu mudah saja saya lakukan. Akan tetapi karena putera saya ini belum berpengalaman, maka harap Tai-jin tidak memberi tugas yang terialu berat.” “Hal itu sudah kami pikirkan. Di antara kedua orang yang malam ini kami rencanakan agar dibinasakan adalah Pangeran Ceng in. Pangeran yang satu ini selalu menentang kami, bahkan ingin menghasut Kaisar agar membenci kami. Kami sudah berhasil membuat keluarga Pangeran Ceng Sin disurh keluar dari kompleks istana dan tinggal di luar istana. Akan tetapi dia masin selalu memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kami. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa dialah yang menyuruh pembunuh itu untuk menyerbu ke rumah kami dan berusaha membunuh kami. Karena itu, kami menghendaki agar Pangeran Ceng Sin itu dibunuh, malam ini juga. Dan untuk melaksanakan hal ini, kami menunjuk engkau, Ouw Yang Song Bu, untuk melakukannya.”
267
“Akan tetapi, putera saya baru berusią lima belas tahun dan belum berpengalaman Bagaimana dia akan mampu melakukannya?” bantah Ouw Yang Lee. “Pangeran Ceng Sin tidak mempunyai pasukan pengawal yang kuat. Membunuhnya bukan merupakan pekerjaan berat dan kami melihat bahwa pemuda ini sudah memiliki ilmu kepandaian yang tangguh. Kalau dia tidak sanggup melakukan tugas sederhana ini, apa perlunya dia diajak ke sini? Lebih baik engkau seorang diri saja, Ouw Yang sicu, dan tidak mengajak anakmu kalau dia penakut.” “Ayah, saya sanggup melakukan itu!” tiba-tiba Ouw Yang Song Bu berseru tegas kepada ayahnya. “Tai-jin, saya sanggup melakukan perintah itu!” “Bagus, begitulah sepatutnya sikap seorang putera datuk besar seperti Tung-hai-tok Ouw yang Lee majikan Pulau Naga! Nah, bagaimana pendapatmu. sicu?” Ouw Yang Lee menghela napas. “Saya tidak meragukan kemampuan putera saya, Tai-jin. Kalau tadi saya ragu-ragu adalah karena mengingat usianya yang masih muda dan belum berpengalaman. Akan tetapi kalau dia sudah
268
menyatakan tekadnya untuk melaksanakan perintah itu, sayapun hanya menyetujuinya.” “Bagus kalau begitu. Tidak percuma kami mengundang sicu ke sini. Nah, Ouw Yang Song Bu, bersiaplah engkau. Nanti kami akan menyuruh seorang pengawal untuk mengantarmu sampai di luar rumah Pangeran Ceng Sin. Setelah itu engkau harus bertindak sendiri, menyerbu masuk dan membunuh pangeran itu. Kalau engkau berhasil menyingkirkan Pangeran Ceng Sin, berarti engkau telah membuat jasa besar dan jasarnu akan kami catat.” Ayah dan anak itu mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang gedung itu, kamar yang luas dan lengkap dengan perabot kamar yang serba mewah. Setelah membuat persiapan, mengenakan pakaian serba hitam yang ringkas, dengan kain pengikat rambut berwarna hitam pula, membawa sebatang pedang yang digantung di punggung, sepatunya dari kain ringan dan hitam, Song Bu tampak tampan dan gagah. “Berhati-hatilah, bawa dua buah alat peledak ini untuk kaupergunakan melarikan diri kalau terkepung. Cepat bunuh pangeran itu dan cepat pergi, hindarkan diri dari pengeroyokan yang membahayakan. Jangan ragu untuk menggunakan Ang Tok Ciang (Tangan Racun Merah) kalau sampai bertemu
269
dengan lawan tangguh,” pesan Ouw Yang Lee kepada puteranya itu. Song Bu mengangguk. Biarpun selama ini dia belum pernah membunuh orang, bahkan belum pernah terlibat dalam perkelahian, namun dia sama sekali tidak merasa gentar dan merasa yakin bahwa dia akan mampu melaksanakan tugasnya. Setelah dia siap, seorang perajurit pengawal lalu mengantarnya keluar dari kompleks atau daerah istana. Dengan adanya perajurit pengawal ini, Ouw Yang Song Bu dapat melalui para penjaga di pintu gerbang kompleks istana itu dengan mudah. Mereka berdua lalu ke luar dan menuju ke sebuah jalan besar di Kota Raja, kemudian perajurit itu berhenti di depan sebuah gedung yang tidak berapa besar dan dari luar tampak sederhana saja. Di pintu pekarangan itu terdapat dua orang laki-laki yang agaknya merupakan penjaga gedung itu. Inilah rumah Pangeran Ceng Sin, Ouw Yang Kongcu,” kata perajurit itu. “Tugas saya hanya mengantar kongcu sampai di sini kernudian menunggu kongcu di sini setelah kongcu selesai melaksanakan tugas itu. Saya akan bersembunyi di balik pohon ini, kongcu.” Perajurit pengawal itu lalu menyelinap di balik batang pohon. Song Bu berdiri di bawah bayangan pohon yang gelap. Matanya memandang ke arah rumah itu dengan tajam menyelidik. Malam
270
telah agak larut dan tentu para penghuni rumah itu sudah tidur, pikirnya. Di luar hanya ada dua orang penjaga dan tidak tampak ada penjaga lain di sekitar pekarangan itu. Dia menyapu sekitar pekarangan dengan pandang matanya dan melihat betapa pagar yang mengelilingi rumah itu tidaklah begitu tinggi dan di sebelah kanan rumah itu terdapat sebuah taman bunga kecil. Semua ini dapat dilihat dari bawah pohon karena adanya beberapa lampu gantung di bagian depan dan sebelah kanan rumah itu. Setelah memperhitungkan dengan pandang matanya, Song Bu lalu bergerak cepat menyelinap di antara kegelapan bayang pohon menuju ke bagian kanan rumah itu, Ia telah yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaga, dia lalu melompati pagar dan turun di dalam taman bunga. Dia mendekam sebentar untuk memperhatian keadaan. Setelah menanti beberapa saat dan tidak melihat berkelebatnya orang atau mendengar suara yang mencurigakan, Song Bu lalu berloncatan dan menyelinap di antara tanaman bunga, menghampiri rumah gedung itu. Tak lama kemudian dia sudah melompat ke atas wuwungan rumah itu dam mengintai dari atas. Di sebelah dalam rumah itu sudah sepi. Dia lalu melayang turun ke dalam. Akan tetapi baru saja kakinya hinggap di atas tanah, terdengar bentakan nyaring dan lima orang sudah mengepungnya. Mereka
271
memegang golok dan ternyata mereka ini adalah lima orang yang bertugas mengawal keluarga pangeran itu, di samping dua orang lagi yang sedang berjaga di pintu pekarangan. melihat ada seorang pemuda berpakaian hitam-hitam memasuki rumah itu, lima orang yang sedang melakukan perondaan itu merasa terkejut dan segera tahu bahwa pendatang ini tentu bermaksud buruk. Maka tanpa banyak kata lagi mereka sudah menyerang dengan golok mereka. Song Bu melihat serangan mereka dan tahu bahwa biarpun tampaknya tangkas, lima orang ini hanya menguasai ilmu silat yang biasa saja. Maka, diapun bergerak lincah menghindarkan diri dari serangan lima batang golok itu dan di lain saat dia telah mencabut pedangnya. Pertempuran terjadi, namun tidak lama. Dengan gerakannya yang lincah dan permainan pedangnya yang amat cepat dan kuat, Song Bu membuat lima orang itu roboh satu demi satu dan tidak mampu bergerak lagi, mendengar suara ribut-ribut itu telah membangunkan para penghuni rumah itu. Pangeran Ceng Sin, isterinya dan seorang anaknya terbangun demikian juga dua orang pelayan wanita setengah tua. Mereka berlari ke luar dan terkejut melihat pertempuran itu. Mereka semua berlari menuju ke ruangan belakang dan berkumpul disitu dengan ketakutan. Setelah merobohkan lima orang pengeroyoknya, Song Bu lalu melakukan pengejaran. Dia tadi melihat betapa orang-orang itu melarikan diri
272
melalui lorong ke bagian belakang, maka diapun berkelebat cepat masuki lorong itu. Setelah tiba di ruang belakang, dua orang pelayan wanita menghadahg di depan pintu. “Minggir kalian!” bentak Song Bu dan begitu kakinya bergerak menendang dua kali, dua orang wanita pelayan itu terlempar ke kanan kiri. Song Bu melompat masuk kedalam ruangan itu yang cukup terang karena ada dua lampu gantung menerangi ruangan itu. Dia melihat seorang laki laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan bertubuh sedang dan biarpun pakaiannya tidak mewah namun dapat diketahui bahwa dia seorang bangsawan. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun berdiri di sampingnya, dengan mata terbelalak dan wajah pucat memandang kepada Song Bu, dan di samping wanita itu terdapat seorang gadis muda berusia belas tahun, cantik jelita, alisnya berkerut, matanya memandang berani dan nampaknya ia marah sekali. Song Bu tidak memperdulikan dua orang wanita yang memandangnya dengan mata terbelalak itu. Dia menujukan pandang matanya kepada laki-laki itu dan suaranya tegas ketika dia bertanya,
273
“Engkaukah yang bernama Pangeran Ceng Sin?” Pangeran itu menjawab, wajahnya pucat namun suaranya tetap tenang, “Benar, aku pangeran Ceng Sin. Siapakah engkau, orang muda dan mau apa datang ke tempat kami membuat kekacauan?” “Tidak penting siapa aku. Aku datang untuk membunuhmu. Bersiaplah untuk mati!” Dia mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang. “Tidak...! Engkau tidak boleh membunuh suamiku” teriak wanita cantik berusia tiga puluh tiga tahun itu dan ia sudah berdiri di depan suaminya seolah hendak melindunginya. Song Bu tertegun melihat ini. Sama sekali dia tidak menduga akan ditentang oleh seorang wanita. Kalau ada jagoan atau pengawal yang maju menghalanginya, tentu akan diserang jagoan itu. Akan tetapi kini yang menentang adalah seorang wanita cantik. Dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Tiba-tiba gadis remaja berusia tiga belas tahun itu melompat ke depan ibunya dan merentangkan kedua lengan kekanan kiri seperti hendak menghalangi Song Bu. “Pemuda kejam! Tak berprikemanusiaan! Rendah seperti binatang! Engkau tidak boleh membunuh ayah ibuku. Bunuhlah
274
aku lebih dulu sebelum engkau membunuh ayah dan ibuku! Hayo bunuh, engkau pemuda pengecut yang beraninya hanya terhadap orang-orang yang lemah tak berdosa!” Suara gadis remaja itu lantang dan sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, bahkan marah sekali. Sekali ini Song Bu bukan hanya tertegun, melainkan terpesona! Sama sekali tidak pernah dia dapat membayangkan akan berhadapan dengan seorang gadis remaja seperti ini, yang menantangnya seperti seekor singa betina yang liar dan buas! Timbul kekaguman dalam hatinya. Hatinya tergetar oleh suatu perasaan aneh yang mengalahkan sikap tak acuhnya, mencairkan kekerasan hatinya dan dia menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya. “Aku... aku hanya melaksanakan perintah...” Akhirnya dia dapat membuka mulut dan bicara seperti seorang kanak-kanak mendapat teguran karena kenakalannya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya baik, maka dia segera berkata kepada laki-laki itu. “Pangeran Ceng Sin, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi cepat-cepatlah bawa keluargamu melarikan diri keluar dari Kota Raja. Sekarang juga! Cepat sebelum terlambat karena kalau orang lain yang datang, sudah pasti engkau akan dibunuhnya. Cepat!” Tanpa banyak cakap Pangeran Ceng Sin sudah dapat menduga
275
siapa yang menyuruh pemuda ini menyerbu rumahnya dan hendak membunuhnya. Dia tahu akan bahaya yang mengancam diri dan keluarganya, maka diapun menarik tangan isteri dan anaknya. “Hayo kita pergi!” Mereka keluar dari ruangan itu dan menuju ke bangunan di bagian belakang. Song Bu mengikutinya. Ternyata Pangeran Ceng Sin membawa anak dan isterinya itu menuju ke istal kuda di mana terdapat sebuah kereta dan beberapa ekor kuda. Pangeran itu lalu mengeluarkan dua ekor kuda dan memasang sendiri dua ekor kuda itu di depan kereta. Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis remaja itu untuk mendekati Song Bu yang masih berdiri mengamati semua itu. “Siapakah namamu?” tanya gadis itu. “Engkau telah berbaik hati tidak membunuh kami, maka aku perlu tahu namamu.” Seperti dengan sendirinya dan wajar pengakuan itu meluncur dari mulut Song Bu. “Namaku Song Bu.” Dia menahan diri untuk tidak memperkenalkan nama marganya. “Aku bernama Ceng Loan Cin,” kata gadis itu seperti menjawab pertanyaan. Lalu ia berlari membantu ibunya yang mengumpulkan barang-barang penting yang hendak mereka bawa melarikan diri.
276
Aneh sekali Song Bu merasa betapa nama itu terngiang-ngiang dalam telinganya seperti diulang ulang. Setelah berkemas secara tergesa-gesa, hanya membawa barang yang berharga dan diperlukan benar, keluarga Pangeran itu lalu berangkat. Kereta dikusiri sendiri oleh Pangeran Ceng Sin karena malam itu kusirnya pulang ke rumahnya sendiri. Kereta berjalan melalui pintu depan di mana terdapat terdapat dua orang perajurit yang menjaga. Dua orang perajurit ini tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam dan mereka hanya dapat memberi hormat dan memandang heran melihat Pangeran Ceng Sin dan anak isterinya naik kereta yang dikusiri sendiri oleh bangsawan itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani bertanya. Song Bu sengaja membiarkan kereta itu pergi sampai agak lama. Barulah dia berlari keluar. Tentu saja dua orang penjaga itu segera menegur dan menghadangnya. “Berhenti! Siapa kau!” mereka membentak. Akan tetapi sebagai jawaban Song Bu menyerang mereka dengan pukulan tangan. Dia sengaja bergerak lambat sehingga dapat dielakkan oleh dua orang itu yang kemudian menggunakan golok mengeroyoknya. Song Bu melayani mereka sampai belasan jurus, barulah dia menggunakan Ang Tok Ciang memukul mereka. Dua kali dia memkul dengan ilmu pukulan beracun merah itu dan dua orang itupun terpelanting roboh dan tidak mampu bangun kembali. Song Bu lari ke arah pohon di
277
mana perajurit pengawal yang mengantarnya tadi menunggu. Dia tadi sengaja bertindak lambat agar perajurit ini menyaksikan dari bawah pohon sehingga tidak timbul kesan bahwa dia sengaja membiarkan keluarga itu lolos dan melarikan diri. “Ouw Yang Kongcu, engkau telah merobohkan dua orang penjaga itu. Akan tetapi saya tadi melihat Pangeran Ceng Sin melrikan diri dengan kereta!” “Ah, di dalam tadi aku dikeroyok banyak pengawal yang lihai sehingga agak lama aku baru dapat merobohkan mereka. Jadi pangeran itu telah lari dengan kereta? Ke mana? Biar aku mengejar dan membunuhnya!” “Jangan, Kongcu. Kalau sudah keluar dari rumah, akan berbahaya sekali. Keributan tentu akan menarik datangnya pasukan dan sebelum Kongcu berhasil membunuh pangeran itu, orang-orang akan melihat kongcu. Pada hal, Kongcu harus bekerja dengan rahasia, tidak boleh terlihat orang lain agar tidak membawa-bawa nama Liu Tai-jin. Mari kita pulang saja membuat laporan.” Diam-diam Song Bu merasa girang mendengar ucapan perajurit pengawal yang menemaninya itu. Memang itulah yang dia harapkan, yaitu agar dia tidak usah melakukan pengejaran, tidak
278
usah membunuh Pangeran Ceng Sin, demi isterinya, derni anak gadisnya. Rasanya tidak mungkin dan tidak sampai hati kalau dia harus membunuh ketiganya.Ternyata setelah tiba di gedung tempat tinggal Liu Thai-kam, pembesar ini belum tidur. Dia sengaja menanti kembalinya, bersama ayahnya duduk di ruangan dalam. Song Bu bersama perajurit pengawal itu masuk ke ruangan itu dan menghadap. Belum juga Song Bu duduk, Liu Thaikam telah menyambutnya dengan pertanyaan penuh gairah. “Bagimana, Ouw Yang Song Bu? Berhasil baikkah engkau membunuh Pangeran Ceng Sin?” Song Bu duduk di atas sebuah kursi dan perajurit pengawal itu tetap berdiri den sikap hormat. “Maafkan saya, Tai-jin. Ketka saya berhasil memasuki gedung tempat tinggal pangeran itu, lima orang jagoan mengepung dan mengeroyok saya. Kepandaian lima orang itu cukup tangguh sehingga setelah lama bertanding dan bersusah payah akhirnya saya dapat merobohkan mereka berlima. Akan tetapi ketika saya cari-cari kedalam rumah itu, saya hanya menemukan seorang wanita pelayan yang saya robohkan sedangkana, Pangeran itu dan keluarganya tidak di dalam rumah. Agaknya ketika saya bertanding melawan lima orang jagoan itu, dia telah melarikan diri dengan kereta seperti terlihat oleh perajurit pengawal ini. Ketika saya ke luar, kembali saya dihadang oleh dua orang pengawal
279
yang menjaga pintu pekarangan. Kami bertanding dan saya dapat merobohkan dua orang itu. Akan tetapi kereta itu telah lama pergi, menurut keterangan perajurit pengawal ini. “Maafkan saya, Tai-jin. Tadinya saya hendak melakukan pengejaran terhadap pangeran yang lari dengan keretą, akan tetapi perajurit pengawal itu mencegah karena khawatir keributan itu memancing datangnya pasukan dan saya akan dilihat orang.” “Herm, benarkah itu?” tanya Liu-Thaikam kepada perajurit pengawal itu. pengawal itu mengangguk membenarkan dan Liu-thaikam mengangguk-angguk. “Sudahlah, Song Bu. Biarpun engkau gagal membunuhnya, setidaknya engkau telah membunuh para jagoannya dan hal ini tentu membuat dia ketakutan. Kalau dia melarian diri dan tidak berani kenbali lagi ke Kota Raja, hal itu sudah baik sekali. Jasamu cukup besar dan engkau boleh beristirahat. Ayahmu sedang hendak melaksanakan tugasnya.” Song Bu memandang kepada ayahnya dan Ouw Yang Lee memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar pemuda itu pergi dan tidur di kamar mereka. Song Bu lalu mengundurkan diri. Perajurit pengawal itupun disuruh pergi oleh Liu-thaikam.
280
“Nah, sekarang tiba saatnya bagimu untuk memperlihatkan kesungguhan hatimu dan kesetiaanmu, Ouw Yang-sicu. Puteramu sudah bekerja dengan baik dan aku menghargainya sekali. Sekarang tengah malam lewat dan kiranya saat seperti ini yang paling baik bagimu untuk bergerak. Sudah kukatakan bahwa rumah Panglima Koan tentu terjaga ketat, jauh lebih kuat dibandingkan dengan penjagaan di rumah Pangeran Ceng Sin. Engkau sudah tahu benar tentang letak gedung tempat tinggal Panglima Koan Tek bukan?” “Sudah, Tai-jin. Keterangan dan gambaran tadi sudah jelas dan saya kira saya akan dapat menemukan rumah itu dengan mudah. Dan harap paduka jangan khawatir. Saya sudah berpengalaman, tidak seperti anak saya yang masih hijau. Paduka dengar saja, sebelum matahari terbit, tentu Panglima Koan Tek telah kehilangan nyawanya.” “Bagus, mudah-mudahan berhasil, Ouw yang-sicu. Panglima Koan Tek itu merupakan seorang yang amat berbahaya bagi kami dan bukan tidak mungkin pembunuh yang pernah menyerbu ke sini itu adalah dia orangnya. Hati-hati, dia mempunyai banyak kaki tangan yang lihai. Kami akan menanti kembalimu, Ouw Yang-sicu dan tidak akan dapat tidur sebelum engkau kembali membawa berita yang menyenangkan.”
281
Ouw Yang Lee lalu bersiap-siap. Seperti juga Song Bu tadi, diapun mengenakan pakaian serba hitam yang sudah dipersiapkan oleh Liu-thaikam. Bahkan dia mengenakan topeng dari kain hitam untuk menutupi mukanya. Tidak seperti Song Bu yang sama sekali belum terkenal, Ouw Yang Lee adalah seorang yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Kalau dia ber tindak tentu dia akan dikenal orang dan hal ini sama sekali tidak dikehendaki oleh Liu Thai-kam. Karena itulah Ouw Yang Lee menggunakan kedok kain hitam. Kemudian, bagaikan sesosok bayangan iblis dia berkelebat lenyap di antara kegelapan malam. Ouw Yang Lee tidak perlu diantar perajurit pengawal karena untuk dapat keluar dari kormpleks istana tanpa diketahui penjaga merupakan hal yang mudah baginya, Dan untuk mencari rumah gedung tempat tinggal Koan-Ciangkun juga bukan merupakan pekerjaan sukar karena dia sudah hafal akan keadaan Kota Raja yang dulu sering dikunjunginya. Apa lagi dia sudah mendapat petunjuk dan gambaran dari Liu thaikam bahwa rumah tempat tinggal panglima itu berada di sebelah selatan Jembata Bulan Merah. Suasana sudah amat sepi karena malam telah larut, tengah malam telah lewat. jalan-jalan sudah ditinggalkan orang dan Kota Raja tampaknya sudah tidur, Bayangan hitam itu berkelebat cepat sekali dan andaikata ada orang melihatnya, tentu tidak akan mengira bahwa yang berkelebat
282
itu adalah bayangan orang. Ouw Yang Lee mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan seperti terbang cepatnya. Sebentar saja sudah tiba di tempat yang dituju, yaitu di depan sebuah gedung besar, gedung yang terletak di sebelah selatan Jembatan Bulan merah. Jalan di depan gedung itupun sunyi sekali, tidak tampak seorangpun lewat. Akan tapi pandang mata yang tajam dari Ouw Yang Lee dapat melihat belasan orang perjurit melakukan penjagaan di dalam dan gardu penjagaan yang berada di pinggir halaman gedung yang luas. Dia mendekam di balik semak yang tumbuh di bawah pohon, mengamati dan memperhitungkan keadaan. Besar sekali bahayanya dia akan gagal kalau dia menyerbu lewat pintu halaman itu. Biarpun dia akan manampu merobohkan belasan orang penjaga itu, namun keributan itu pasti akan memancing keluarnya lebih banyak lagi perajurit pengawal dan juga jagoan-jagoan yang menjaga keselamatan panglima itu. Tidak, dia harus dapat masuk tanpa diketahui oleh penjaga. Akan tetapi dia harus dapat menguasai seorang karyawan dalam gedung itu. Akan sukarlah baginya untuk dapat menemukan kamar sang panglima tanpa ada orang yang memberi petunjuk. Setelah mempertimbangkan baik-baik, dia lalu bergerak cepat menyelinap di dalam bayangan-bayangan yang gelap mengitari
283
pagar tembok yang cukup tinggi menuju ke belakang gedung. Dia menunggu sebentar dan benar saja, lima orang perajurit pengawal lewat di luar pagar tembok itu, agaknya mengadakan perondaan di sekeliling pagar tembok. Setelah lima orang peronda itu lewat, barulah Ouw Yang Lee menggunakan kepandaiannya. Dia mengeluarkan segulung tali hitam yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Di ujung tali itu terikat sebuah kaitan tiga cabng dari besi. Dia tidak berani menggunakan gin-kang untuk melompat ke atas pagar tembok yang tinggi itu. Selain pagar itu amat tinggi, juga andaikata dia dapat melompat ke atasnya, dia khawatir di atas pagar tembok itu dipasangi alat rahasia yang akan memberi tanda akan kedatangannya, atau dipasangi jebakan. Menggunakan tali lebih aman. Sekali lontaran saja, kaitan besi itu telah mengait puncak pagar tembok dan dia pun mulai memanjat tembok itu menggunakan tali. Cepat seperti seekor kera tubuhnya sudah tiba di atas. Dengan hati-hati dia mengintai ke sebelah dalam. Sunyi saja. Aman keadaannya, apa lagi diapun dilindungi kegelapan malam. Dia naik ke atas pagar tembok, menarik tali yang menggantung di luar tembok, kemudian dengan hati-hati dia turun ke sebelah dalam, juga melalui tali itu. Melompat begitu saja kebawah juga berbahaya karena keadaan gelap dan siapa tahu di bawah terdapat jebakan. Setelah tiba di bawab, dia menarik tali itu
284
sehingga kaitannya di atas terlepas. Dia menggulung tali dan mengikat kan di pinggangnya, kemudian dia mulai mengamati keadaan sekelilingnya. Dari lampu yang dipasang di tempat itu dia melihat bahwa dia berada di sebuah taman yang cukup luas. Taman ini penuh tanaman bunga sehingga memudahkan dia untuk menyusup diantara tanaman bunga menghampiri gedung. Dengan mudah Ouw Yang Lee membuka daun pintu sebuah kamar yang kecil tanpa menimbulkan suara sehingga laki-laki setengah tua yang tidur di atas dipan dalam kaar itu tidak terbangun. Dari pakaiannya, ketika dia mengintai dari jendela tadi, dia tahu bahwa orang itu tentu seorang pelayan, maka dia mengambil keputusan untuk memilih orang itu sebagai penunjuk jalan agar dia dapat menemukan kamar sang panglima. Bagaikan seekor kucing saja, dia melompat memasuki kamar melalui jendela yang sudah terbuka dan dengan hati-hati dia cepat menutupkan lagi daun jendela dari dalam agar jangan sampai menarik perhatian orang. Sekali meloncat, dia sudah berdiri di depan pembaringan. Untung baginya bahwa pelayan itu memiliki kebiasaan tidur tanpa memadamkan lampunya, walaupun lampu itu bernyala kecil saja sehingga dia dapat melihat dengan jelas keadaan laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun itu. Ouw Yang Lee menggerakkan tangan kanannya dengan cepat dan dia sudah
285
menotok kearah pundak dan tenggorokan orang itu. Orang itu tersentak kaget dan terbängun dari tidurnya. Akan tetapi dia hanya mampu membelalakkan kedua. matanya, sama sekali tidak dapat dapat bergerak lagi dan tidak dapat mengeluarkan suara. Ouw Yang Lee mencabut pedangnya yang berkilauan terkena sinar lampu yang redup dalam kamar, lalu menempelkan pedang itu di leher pelayan yang sudah tidak mampu bergerak dan bersuara itu. Dia hanya menjadi pucat dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa dia berada dalam keadaan ngeri dan takut sekali. “Kalau engkau masih ingin hidup, engkau harus menunjukkan kepadaku di mana Panglima Koan Tek berada. Kalau dia sudah tidur, dia tidur di kamar yang mana? Awas, kalau engkau menipu dan membohongiku, kepalamu akan kupisahkan dari badanmu!” Dia menekan pedangnya sehingga orang itu menjadi semakin ketakutan dan tanpa dapat ditahan lagi, basahlah celananya! Ouw Yang Lee menepuk pundaknya sehingga dia dapat bergerak kembali akan tetapi tetapi masin tidak dapat mengeluarkan suara. Dia tidak mampu berteriak dan untuk melawan, tentu saja dia tidak berani. Dia hanyalah seorang pelayan biasa yang lemah. Maka dia hanya dapat mengangguk-angguk tanda bahwa ia akan mematuhi perintah orang bertopeng hitam yang menempelkan pedang di lehernya itu.
286
“Hayo kita ke luar dan tunjukkan kamarnya!” bisik Ouw Yang Lee dengan suara mengancam. Orang itu bangkit dan berjalan ke pintu, diikuti Ouw Yang Lee yang masih menodongkan ujung pedangnya di punggung orang itu. Pelayan itu membuka daun pintu dan melangkah menuju ke ruangan tengah melalui pintu tembusan yang menghubungkan rumah induk dengan rumab para pelayan di bagian belakang itu. Kini mereka tiba di bundaran terbuka yang luas dan di sekeliling bundaran itu terdapat kamar-kamar yang pintu dan jendelanya tertutup. Tanpa petunjuk, alangkah sukarnya mencari tempat di mana Panglima Koan Tek berada. Tidak mungkin harus memasuki semua kamar itu satu demi satu. Pasti akan menimbulkan keributan sebelum dia berhasil menemukan orang yang dicari, besar kemungkinannya dia sudah dikepung dan dikeroyok. Perhitungannya memang tepat. Pelayan itu ketakutan setengah mati dan tentu tidak akan berani menipunya. Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki di sebelah kiri dan secepat kilat dia menyambar pundak pelayan itu dan tariknya bersembunyi di belakang sebuah pilar yang besar. Dia mengintai dari pilar dan melihat dua orang melangkah perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berumur kurang lebih tiga puluh lima tahun dan dan
287
dari pakaiannya Ouw Yang Lee tahu bahwa orang itu tentu seorang perwira. Orang ke dua bertubuh kurus tinggi dan rambutnya digelung ke atas, pakaiannya seperti yang biasa dipakai para Tosu (Pendeta To), punggungnya terdapat sebatang pedang dan usianya sekitar lima puluh tahun. Ouw Yang Lee mencatat dalam hatinya. Dua orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari langkah dan sikap tubuh mereka. Terutama sekali Tosu itu. Matanya mencorong dan dia pasti seorang ahli tenaga dalam yang tangguh dan kuat. Setelah dua orang itu lewat dan menghilang ke dalam sebuah pintu tembusan, Ouw Yang Lee berbisik kepada tawanannya “Hayo cepat tunjukkan, di mana kamar panglima Koan Tek!” Pelayan itu menunjuk dengan telunjuk kanannya ke arah sebuah kamar yang berada di tengah-tengah deretan banyak kamar itu. Ouw Yang Lee memandang. “Yang di atas pintunya terdapat kertas (jimat) berwarna kuning dengan huruf merah itu?” Orang itu mengangguk mernbenarkan. Setelah mendapat keterangan ini, Ouw Yang Lee hendak membunuhnya, akan tetapi dia scgera teringat. Dia masih membutuhkan orang ini. Andaikata ternyata orang ini menipunya
288
dan kamar itu bukan kamar panglima, dia dapat mengancamnya lagi. Kalau sudah dibunuh tidak akan ada gunanya lagi. ia lalu menotoknya lagi dan orang itu roboh terkulai, tidak mampu bergerak. Ouw Yang Lee mencengkeram baju di punggung pelayan itu dan mengangkatnya, menyembunyikan tubuh pelayan itu di balik sebuah pot besar sehingga tidak akan mudah terlihat kalau ada orang lewat di bundaran itu. Kemudian dia berkelebat cepat ke arah kamar yang ditunjuk. Setelah memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa keadaan di tempat itu sunyi, tak tampak atau terdengar ada orang lain, dia mengetuk daun pintu dengan kuat beberapa kali. “Koan-Ciangkun... Koan-Ciangkun...!” serunya dan dengan pengerahan tenaga dari pusar dia dapat membuat suaranya seperti menembus daun pintu itu sehingga terdengar lantang di sebelah dalam kamar. “Siapa di luar?” terdengar pertanyaan suara yang berat dari dalam kamar. Saya, Ciangkun, seorang perajurit pengawal. Saya ingin menyampaikan laporan yang penting sekali. Keadaan berbahaya dan gawat, Ciangkun!” kata Ouw Yang Lee. “Tunggu dulu...!” Suara dari dalam menjawab dan tak lama kemudian daun pintu terbuka dan tampak seorang laki-laki tinggi
289
besar, usianya kurang lebih empat puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan sebatang pedang di tangannya. Pakaiannya masih kusut karena dipakai tidur. Di belakangnya tampak seorang wanita muda yang cantik, juga pakaian dan rambutnya kusut seperti baru bangun tidur. Tai-Ciangkun (panglima besar) Koan. “Ya, ada apa? Siapa engkau?” balas tanya panglima bertubuh tinggi besar itu. Dia memandang dengan alis berkerut melihat seorang berpakaian hitam-hitam dan mukanya ditutup topeng kain hitam pula. “Mampuslah!” bentak Ouw Yang Lee sambil menyerang dengan pedangnya. Serangan kilat ini selain cepat juga kuat sekali, meluncur dan mengarah dada panglima itu. Akan tetapi Panglima Koan Tek bukan seorang lemah dan diapun sudah siap membela diri dengan pedang di tangan. Dia menggerakkan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga. “Tranggg…” Bunga api berpijar dan panglima itu terhuyung ke dalam kamar. Ternyata dia tidak mampu menandingi tenaga Ouw Yang Lee yang amat kuat itu. Ouw Yang Lee menerjang masuk ke kamar dan wanita muda itu menghalanginya seperti hendak melindungi panglima yang terhuyung kebelakang, Ouw Yang Lee menendang..
290
“Desss...!!,” tubuhnya mencelat jauh membentur dinding dan iapun roboh terkulai dalam keadaan pingsan. Ouw Yang Lee menyerang lagi pada panglima yang sudah dapat mengendalikankan keseimbangan tubuhnya. Melihat serangan yang hebat ini, Panglima Koan melompat ke samping untuk mengelak sambil berteriak memanggil para pengawalnya. Suaranya lantang ketika dia berteriak dan hal membuat Ouw Yang Lee marah dan khawatir. Maka dia lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Ketika Panglima Koan tek menangkis dan sekali lagi terhuyung, Ouw Yang Lee mengejar dan tangan kirinya yang telah berubah kemerahan karena sejak tadi dia sudah mengerahkan ilmu Ang Tok Ciang (Tangan Beracun Merah) mendorong dengan kuat dan cepatnya ke arah dada kiri panglima. Pahglima Koan Tek tidak dapat menghindarkan dirinya dari pukulan itu karena tubuhnya sedang terhuyung. Biarpun dia menggerakkan lengan kiri ke depan untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, tetap saja tangan kiri Ouw Yang Lee mengenai dadanya. “Plakk...!” Tubuh panglima itu tersentak dan terjengkang roboh, tidak mampu bergerak lagi karena dadanya telah terkena pukulan Ang Tok Ciang yang amat ampuh dan beracun. Merasa yakin bahwa pukulan Ang Tok Ciang tadi pasti membunuh korbannya,
291
Ouw Yang Lee lalu melompat keluar dari kamar itu karena khawatir bahwa teriakan panglima tadi akan mendatangkan para perajurit. Dugaannya benar, karena begitu tiba diluar kamar, dia disambut serangan pedang yang cepat dan kuat sekali datangnya. Dia menggerakkan pedangnya menangkis. “Trangg...!” Bunga api berpijar dan dia melihat bahwa penyerangnya adalah perwira muda yang tadi dilihatnya berjalan bersama seorang Tosu. Tenaga perwira ini kuat sekali, biarpun pedangnya terpental namun perwira itu tidak goyah. “Penjahat busuk! Menyerahlah kau!” bentak perwira itu dan diapun menyerang diturut oleh belasaภ orang yang sudah .di tempat itu. Hujan senjata tertuju kepada tubuh Ouw Yang Lee. Datuk ini mengerahkan tenaganya, memutar pedang dengan gerakan panjang dan lebar sehingga terdengar suara senjata berkerontangan dan banyak golok dan pedang terpental dan terlepas dari pegangan pemiliknya yang mengeroyok. semua orang terkejut. Ouw Yang Lee mempergunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke depan, lalu dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah melayang keatas wuwungan bangunan yang mengelilingi bundaran terbuka itu. Perwira itu mengejarnya dan juga melompat ke atas genteng.
292
“Jahanam, hendak ke mana kau?” serunya dan ketika tangan kirinya bergerak, tiga batang piauw (senjata rahasia yang dilontarkan) meluncur ke arah tubuhnya. Mendengar berkesiurnya angin yang dibawa tiga batang senjata rahasia itu, Ouw Yang Lee terpaksa menahan langkahnya, membalik dan dengan miringkan tubuh menarik tubuh atas ke samping, dia telah dapat menghindarkan diri dari sambaran tiga batang senjata piuw itu. Akan tetapi perwira itu sudah tiba di situ dan sudah menerjangnya dengan serangan pedangnya secara bertubi-tubi. “Trang-trang-trang...!” Bunga api berpijar di kegelapan malam yang telah larut sekali itu dan terjadilah perkelahian adu pedang yang amat seru di atas genteng. Semntara itu di bawah terdengar teriakan teriakan para pengawal dan banyak di antara mereka yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Ouw Yang Lee maklum bahwa kalau sampai banyak jagoan naik dan mengepungnya, akan sukar baginya untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Maka diapun mempercepat gerakan pedangnya, diselingi dengan pukulan Ang Tok Ciang yang dilontarkan tangan kirinya. Biarpun perwira itu dapat bermain pedang secara bagus dan kuat, namun menghadapi pukulan-pukulan Ang Tok Ciang, dia menjadi terkejut dan segera terdesak. Dia mengenal pukulan berbahaya,
293
maka dia selalu mengelak. Ketika dia mendapat kesempatan, pedangnya membacok ke arah leher Ouw Yang Lee dengan amat cepatnya. Tidak ada waktu bagi datuk itu untuk mengelak. Dia mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungannya. Dia menangkis dan mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) untuk menyedot dan menempel pedang itu. Ketika dua pedang bertemu, kedua senjata itu saling melekat. Perwira itu berusaha untuk melepaskan pedangnya yang ditempel, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Ouw Yang Lee melancarkan pukulan Ang Tok Ciang dari jarak dekat selagi pedang mereka saling melekat. Perwira itu terkejut dan terpaksa menggerakkan tangan kirinya menyambut. Dua buah lengan kiri bersilat dan kedua telapak tangan bertemu di udara. “Dess...!!” Tubuh perwira itu terpental dan terjatuh dari atas wuwungan! Dia telah tewas seketika ketika menyambut pukulan Ang-Tok-Ciang tadi dan ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah, nyawanya sudah melayang. Ouw Yang Lee tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat dia melompat dan tiba di luar bangunan, ke dalam taman. Dia lalu berlari cepat ke arah pagar tembok dari mana tadi dia masuk,
294
Menggunakan tali dan kaitan untuk memanjat tembok dan sebentar saja dia sudah melewati tembok itu dan tiba diluar pagar tembok. Para pengejarnya hanya terdengar suaranya saja yang gemuruh di sebelah dalam pagar tembok. Ouw Yang Lee sudah merasa lega dapat lolos dan berada di luar pagar tembok lalu melarikan diri melewati Jembatan Merah yang ke dua sisinya dibuat bulat bercat merah sehingga dinamakan Jembatan Bulan Merah, Akan tetapi baru saja dia tiba di atas jembatan itu, berkelebat sesosok bayangan orang lalu tiba tiba di depannya telah berdiri seorang lelaki tua dengan pakaian Tosu. Di bawah sinar dua buah lampu yang dipasang di kanan kiri jembatan, Ouw Yang Lee segera mengenal orang itu sebagai Tosu yang tadi dilihatnya di gedung Koan-Ciangkun, berjalan bersama perwira yang baru saja dia robohkan “Pembunuh jahat… jangan harap engkau dapat melarikan diri dari depan Im Yang To-jin” kata kakek itu dan sekali tangan kanannya meraih ke belakang punggung, dia sudah meraih sebatang pedang yang berkilauan sinarnya. Diam diam Ouw Yang Lee terkejut juga. Dia memang belum pernah bertemu dengan Im Yang To-jin, akan tetapi dia sering mendengar akan nama besar Tosu ini. Im Yang To-jin adalah seorang tokoh dari perkumpulan agama Im Yang Kauw yang
295
berpusat di Kim San, Tokoh besar ini dikabarkan terusir keluar dari Im Yang Kauw karena dia melakukan pelanggaran dan dia terkenal sebagai seorang diantara mereka yang tingkat ilmunya sudah mencapai tertinggi di Im Yang Kauw. Ouw Yang Lee tidak mengira akan bertemu dengan Tosu yang agaknya kini telah menjadi jagoan atau pengawal dari panglima Koan Tek. karena merasa dia berhadapan dengan orang yang tangguh, Ouw Yang lee tidak ingin bicara lagi, dia harus dapat meloloskan diri dan untuk itu dia harus cepat merobohkan lawan ini, sebelum para pengejar lain berdatangan ke tempat itu. “Hyaaaattt...!” Ouw Yang lee berseru nyaring dan pedangnya sudah meluncur dalam serangan yang dahsyat. “Hemmm...!!” Im Yang To-jin mengelak kesamping dan mengelebatkan oedangnya untuk membalas, terjadilah pertandingan pedang yang amat seru, demikian cepat gerakan pedang mereka sehingga yang tampak hanyalah dua gulungan sinar yang lebar dan dari gulungan sinar itu membuat sinar sinar yang saling serang. Dan saking kuatnya gerakan pedang itu, maka terdengarlah bunyi mendesing dan mendengung. Juga diseling bunyi berdencingan dan tampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu saling beradu. Dalam pertandingan
296
pedang ini, Ouw Yang Lee agak mengalami kesukaran. Hal ini adalah karena Tosu itu bersilat pedang dengan tangan kirinya. Agaknya dia adalah seorang kidal. Gerakan tangan kiri itu yang kadang mengecohnya membuat Ouw Yang Lee agak sukar untuk mengikuti atau menduga perkembangan gerakan pedang lawan. Akan tetapi karena dia sendiripun seorang yang ahli bermain pedang dan ilmu silatnya sudah tinggi, dia masih dapat mempertahankan diri, walaupun dia sama sekali tidak mampu mendesak lawan. Keadaan mereka hanya berimbang saja. Pertandingan itu sudah berlangsung hámpir lima puluh jurus dan Ouw Yang Lee belum mampu mendesak lawan dan tidak memperoleh kesempatan untuk melarikan diri. Pada saat itu terdengarlah teriakan banyak orang. Mereka adalah para perajurit pengawal yang berlari serabutan ke luar dari pintu pekarangan rumah gedung Panglima Koan Tek. Tentu saja Ouw Yang Lee menjadi makin khawatir. Tiba-tiba setelah menangkis pedang lawan sehingga terpental, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan tangan kirinya menggunakan ilmu pukulan Ang-Tok-Ciang! Pukulan itu dilakukan dari jarak dekat dan Tosu itu terkejut. Tak disangkanya “Pembunuh” itu memiliki ilmu pukulan sedemikian dahsyat. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia menghadapi sebuah pukulan maut yang mengandung hawa
297
beracun hebat sekali. Maka, cepat diapum mendorongkan telapak tangan kanannya menyambut pukulan itu sambil mengerahkan tenaga sakti! Im Yang Sin-Kang (Tenaga Sakti Berlawanan). “Wuuutt… daarrr...,” kedua orang itu terdorong ke belakang dan hampir terjengkang. Namun, keduanya dapat mengatur seimbangan mereka sehingga tidak sampai jatuh, melainkan hanya terhuyung. Ouw Yang Lee terkejut bukan main. Jelas, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, lawannya dapat mengimbanginya dan biarpun dia yakin bahwa lawannya terluka, dia sendiripun menderita luka dalam tubuhnya karena dia merasa betapa dadanya sesak dan panas. Padahal, pada saat itu, puluhan orang perajurit telah datang dekat! Ouw Yang Lee lalu mengambil dua buah benda bulat yang tergantung di pinggangnya dan berturut-turut dia melontarkan dua buah benda itu ke arah puluhan orang perajurit yang datang berlarian. Dua kali ledakan keras itu disusul megepulnya asap hitam yang tebai sehingga penerangan yang hanya tidak seberapa besar dari lampu-lampu jembatan itu tertutup sama sekali dan keadaan menjadi gelap gulita. Ketika perlahan-lahan asap menghilang, Ouw Yang Lee telah pergi jauh dan telah memasuki kompleks istana lalu langsung menuju ke gedung tempat tinggal Thaikam Liu. Ternyata ketika Ouw Yang Lee sudah memasuki
298
gedung tempat tinggal Liu-Thaikam, pembesar itu masih belum tidur, sengaja menunggunya sampai waktu hampir fajar itu. “Bagaimana, Ouw Yang Sicu?” Pembesar itu menyambut dengan pertanyaan setelah Ouw Yang Lee duduk di depannya. Ouw Yang Lee tersenyum. “Beres, Tai-jin. Saya telah berhasil membunuh Panglima Koan Tek.” Tiba-tiba datuk ini mengeluh dan memejamkan mata, menarik napas panjang karena dia merasa nyeri dalam dadanya. “Ah, ada apakah, sicu? Apakah engkau terluka?” Sambil menahan rasa nyeri, Ouw Lang Lee berkata, “Saya berhasil membunuh Koan-Ciangkun dan merobohkan banyak perajurit pengawal, akan tetapi saya bertempur melawan orang yang amat lihai. Dia adalah Im Ya To-jin yang menjadi pengawal Koan Ciangkun, kami sama-sama terluka. Masih untung saya dapat meloloskan diri.” Dengan singkat namun jelas Ouw Yang Lee lalu menceritakan semua pengalamannya ketika membunuh Panglima Koan Tek. Setelah menceritakan semuanya, Ouw Yang Lee lalu mengaso dalam kamarnya dan mengobati luka dalam dadanya dengan samadhi dan mengatur pernapasan. Adapun Liu-Thaikam dengan girang baru dapat masuk kamar dan
299
tidur, setelah memerintahkan Giam tit, kepala pasukan pengawalnya untuk mencari berita tentang kematian Panglima koan Tek, dan juga tentang keadaan keluarga Pangeran Ceng Sin. Pada keesokan harinya, dengan hati girang sekali Liu-Thaikam mendengar berita yang disampaikan Giam Tit tentang Koan tek, panglima yang menjadi musuhnya itu, benar-benar semalam telah terbunuh orang jahat bertopeng. Juga dia mendengar bahwa pangeran Ceng Sin bersama anak isterinya melarikan diri ke luar kota raja dan tidak di ketahui pergi ke mana dan di rumah pangeran itu juga terdapat seorang penjahat yang mengamuk dan membunuh banyak perajurit pengawal Tentu saja Liu-Thaikam merasa girang sekali. Dua orang di antara musuh-musuhnya yang berbahaya kini tidak akan mengganggunya lagi dan dia merasa telah mendapatkan dua orang pembantu yang selain tangguh juga telah membuktikan kesetiaannya pada malam hari tadi. Mendengar akan kelihaian Im Yang To-jin, Liu-Thaikam lalu mempergunakan harta kedudukkannya, mengirim orang untuk membujuk Tosu itu agar suka bekerja kepadanya. Dengan janji dan hadiah yang besar, akhirnya Liu-Thaikam berhasil menarik Im Yang To-jin menjadi pembantunya! Hal ini mudah dia lakukan karena Tosu itu kehilangan majikannya. Panglima Koan Tek telah tewas, maka tidak mungkin lagi dia bekerja menjadi pengawal
300
keluarga panglima itu. Maka, ketika datang penawaran dari Liu-Thaikam, tanpa ragu lagi dia menerimanya. Ketika Im Yang To-jin sudah diterima oleh Liu-Thaikam dan diperkenalkan kepada Ouw Yang Lee, dia memandang kepada datuk majikan Pulau Naga ini dengan penuh perhatian. “Sian-cai... (damai)...! Kiranya Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee juga berada di sini?” katanya. “Ouw Yang-sicu (orang gagah Ouw Yang), Ang-Tok-Ciang darimu sungguh amat hebat, membuat aku merasa kagum sekali. Biarpun bagi orang lain ucapan itu hanya merupakan pujian kepada orang yang pernah didengar namanya, namun bagi Ouw Yang Lee berarti lain, Tadinya dia merasa terkejut, mengamati wajah Tosu itu dengan tajam, akan tetapi melihat Tosu itu tertawa diapun lalu tertawa. Tahulah dia bahwa Im Yang To-jin sudah mengenal ilmu pukulan Ang-Tok-Ciang dan sudah tahu pula bahwa dialah orang yang bertopeng dan membunuh Panglima Koan Tek! Ah, Im Yang To-jin terlalu memuji Im Yang Sin-Kang yang kau miliki itupun hebat luar biasa!” katanya sambil tertawa. Karena masing-masing sudah tahu akan kelihaian lawan, kedua orang tokoh besar itu saling menghormati dan karena sekarang telah menjadi rekan, mereka menjadi sahabat baik. Selain dua
301
orang datuk ini, pada suatu hari datang pula dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun. Mereka berdua ini memiliki bentuk tubuh yang tinggi kurus, akan tetapi keadaan wajah dan pakaian mereka sungguh aneh dan mencolok. Seorang di antara mereka mengenakan pakaian serba putih, akan tetapi yang aneh adalah wajahnya yang juga putih seperti diberi bedak tebal dan rambutnya juga sudah putih semua. Seorang manusia yang serba putih dari rambut,muka, kaki tangan dan pakaiannya! Adapun orang ke dua menjedi kebalikannya. Orang ke dua ini semuanya serba hitam seperti arang! Rambutnya, mukanya, kaki tangan dan pakaiannya. Hitam semua! Karena si serba hitam ini muiutnya selalu tersenyum menyeringai, maka kalau berada di tempat gelap yang tampak hanya giginya yang putih. Sebaliknya, si serba putih itu selalu cemberut. Bagi yang tidak mengenal mereka tentu akan menganggap kedua ini badut-badut atau orang-orang yang miring otaknya. Akan tetapi Ouw Yang Lee dan Im Yang To-jin yang berada di ruangan itu ketika Liu-Thaikam menyambut kedua orang itu, terkejut karena mereka berdua mengenal nama besar kedua orang ini. Dua orang îtu dikenal di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan) sebagai Hek Pek Mo-ko (Manusia Iblis Hitam Putih). Tidak ada yang mengetahui nama mereka yang sebetulnya, dan juga mereka itu dikenal sebagai Pek-Moko (Manusia Iblis Putih)
302
dan Hek-Moko (Manusia lblis Hitam). Sebetulnya mereka merupakan kakak beradik, si iblis putih yang tertua dan si iblis hitam itu adiknya. Mereka menjadi serba putih dan serba hitam sebagai akibat mempelajari ilmu-ilmu sesat. Akan tetapi kedua orang ini terkenal sekali kelihaiannya. Setelah ada empat orang datuk ini menjadi kaki tangan Liu-Thaikam, kekuasaan Thaikam ini menjadi semakin besar. Dia semakin ditakuti dan tidak ada lagi pihak musuh yang mencoba-coba untuk mengirirm pembunuh. Bahkan sebaliknya, setelah empat orang datuk itu bekerja kepadanya, banyak pembesar yang membenci Liu-thaikan, satu demi satu mengalami malapetaka. Ada yang mati secara aneh dan rahasia, ada yang terpaksa melarikan diri untuk mengungsi dan melarikan diri dari ancaman maut. Mereka yang tadinya menentang kekuasaan Liu-Thaikam menjadi ketakutan dan pihak mereka menjadi semakin lemah. Sebaliknya, kekuasaan Liu-Thaikam semakin besar. Song Bu merasa beruntung sekali diajak ayahnya dan tinggal di gedung Liu-Thaikam. Selain dia menjadi seorang pemuda yang disegani dan terhormat, diapun berkenalan dengan para pemuda bangsawan di lingkungan istana, bahkan sebentar saja dia menjadi akrab dengan beberapa orang pemuda bangsawan, putera pangeran atau puteri pejabat-
303
pejabat tinggi dan yang menduduki pangkat penting di kota raja. Bahkan Kaisar Ceng Tek sendiri yang juga merupakan seorang pemuda yang selalu mengejar kesenangan dan suka berkeliaran sesuka hati, ketika mendapat kesempatan bertemu dengan Song Bu, segera menjadi akrab dan Song Bu seolah menjadi pengawalnya yang tidak resmi. Kaisar itu tahu bahwa Ouw Yang Song Bu adalah orang pemuda yang memliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali, maka seringlah Song Bu diajak oleh Kaisar untuk mengawalnya kalau dia sedang pergi bersenang-senang bersama para pangeran muda. Selain dapat menikmati kehldupan yang penuh kemewahan dan kesenangan, juga Song Bu mempergunakan kesempatan baik itu untuk mendekati tiga orang rekan ayahnya, yaitu Im Yang To-jin, Pek Moko dan Hek Moko. Dia seorang pemuda yang pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga tiga orang datuk inipun merasa suka kepadanya. Tidak mengherankan kalau mereka tidak keberatan untuk menurunkan sebagian ilmu-ilmu mereka kepada Song Bu yang melatih diri dengan tekun sehingga perlahan lahan dla menyerap ilmu-Ilmu dari tiga 0rang datuk itu, disamping gemblengan ayahnya sendiri. Keberadaannya di kota raja sungguh amat dimanfaatkan oleh Song Bu yang cerdik. Diapun pandai mcnjaga diri. Biarpun dia berfoya-foya dan
304
bersenang-senang, pesta pora dan berkeliaran sampai jauh malam, namun dia tidak terperosok ke dalam perbuatan-perbuatan rendah. Memang dia suka keluar masuk rumah-rumah pelesir di kota raja, namun dia sendiri tidak pernah mau membiarkan dirinya terjatuh ke dalam pelukan para pelacur. Dia tahu benar bahwa hal itu akan merugikannya dan merusak kesehatannya. Memang dia terbawa hanyut 0leh pergaulan dan keadaan sehingga Song Bu menjadi soorang pemuda yang tinggi hati dan sombong. Akan tetapi dia tidak pernah mau bertindak sewenang-wenang mempergunakan kekuatan, kedudukan dan kekuasaan. Bahkan tidak jarang dia menegur dan memperingatkan dengan halus apa bila di antara para pemuda bangsawan itu ada yang berbuat sewenang-wenang seperti memaksa gadis atau isteri orang untuk melayani nafsu binatang mereka. Di samping itu, dia terus tekun memperdalam ilmu-ilmunya sehingga beberapa tahun kemudian Song Bu menjadi seorang pernuda yang benar-benar lihai sekali. Matahari itu tampak sebagai bulatan merah yang besar sekali, tersembul dari permukaan laut di ujung sana, muncul dari garis ujung lautan dan perlahan~lahan namun pasti bulatan marah yang amat besar itu muncul dan akhirnya terlepas dari garis itu, tampak terapung di udara dan ukuran besar itu makin berkurang, makin
305
mengecil. Akan tetapi warna merahnya makin memudar, menjadi kuning dan mulai tak tertahankan lagi mata memandangnya karena sinarnya semakin cemerlang. Sinar matahari pagi itu menciptakan jalan emas di permukaan air laut yang tenang, jalan emas yang berkilauan makin lama jalan itu semakin panjang ketika matahari naik semakin tinggi. Langit berdasar biru, dengan hiasan awam awan putih dan ada sebagian awan yang ikut terbakar oleh sinar matahari menjadi kemerahan. Di sekeliling matahari terbentuk istana yang amat luas dan yang beraneka ragam bentuknya, ada menara-rnenara menjulang tinggi, ada benteng-benteng yang besar sekali. Kesemuanya itu bergerak, perlahan hampir tidak tampak, namun bentuk bentuk itu perlahan berubah, mengingatkan kita bahwa kesemuanya itu bergerak dan berubah. Perlahan-lahan jalan emas itupun berubah keperakan, kuning putih mcnyilaukan mata. Dan air di permukaan laut itupun mulai bergerak, mula-mula beriak lembut. Seperti kain berkeriputan, namun makin tinggi matahari naik, air mulai bergerak lebih kuat dan akhirnya berombak. Ombak bertemu dan bergabung menjadi alun yang berkejaran dan berlarian menuju ke pantai. Mulailah suasana yang tenang itu diisi suara gemuruh lautan yang mulai hidup, mula-mula gemersik air yang menjilat pasir di pantai, makin lama semakin gemuruh dengan suara
306
mendesis dan berdebur pecahnya kepala alun yang terhempas ke air. Udara di atas lautan mulai dipenuhi burung-burung camar yang cecowetan mulai békerja mencari makan ada yang sudah mulai menyambar-nyambar di permukaan air lalu naik kembali sambil membawa seekor ikan di paruhnya. Margsatwa di hutan tepi pantai juga mulai sibuk dan riuh rendah suaranya. Pemuda berusia lima belas tahun dan Juga kakek berusia enam puluh tahun lebih itu duduk berdampingan di atas pantai berpasir putih, Tanpa bicara dan sejak tadi, sudah ada sejam lebih lamanya, mereka berdua menyaksikan keadaan sekeliling, terpesona atau takjub akan semua keindahan dan kebesaran alam itu. Pemuda itu berusia kurang lebih lima belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur perawakannya sedang dan rambutnya hitam gemuk, alisnya seperti bentuk golok, matanya mencorong lembut, hidungnya mancung dan mulutnya kecil manis penuh senyum, kulitnya putih. Kakek berusia enam puluh tahun lebih itu bertubuh sedang agak kurus, pakaiannya dari kain kuning yang amat sederna, dilibat-libatkan begitu saja menutup tubuhnya, rambutnya yang sudah bercampur putih itu digelung ke atas dan diikat kain putih. Wajah itu tidak berkeriput dan masih membayangkan bekas ketampanan dengan mulutnya yang selalu tersenyum cerah dan sepasang matanya yang mencorong.
307
Pemuda dan kakek itu bukan lain adalah Wong Sin Cu dan gurunya, Bu Beng Siauwjin. Dalam perantauan mereka, mereka tiba di pantai laut timur itu dan untuk sementara tinggal di situ, membuat sebuah pondok kayu dan bambu yang berada di pmggir hutan tepi pantai. Pada pagi hari itu mereka berdua duduk menghadapi lautan, menyaksikan matahari terbit dan tenggelam dalam keindahan pagi itu. Setelah tenggelam ke dalam keindahan itu dan terpesona selama lebih dari satu jam, Sin Cu menghela napas panjang. Dia menyedot hawa udara yang sejuk dan jernih, kaya akan cahaya matahan pagi itu sampai dadanya penuh sampai turun ke perutnya yang menggembung, berkumpul dipusar, kemudian perlahan-lahan.dia menghembuskan udara yang sudah meninggalkan sarinya dalam tubuh pemuda itu, dan mulutnya berkata lirih penuh ketakjuban. “Aduh... alangkah indahnya alam, alangkah besarnya kekuasaan Tuhan, alangkah mendalamnya kasihNya...!” Bu Beng Snauw-jm tersenyum dan tampaklah deretan gigmya yang masih utuh,belum ompong dan putuh rapi terawat. Sin Cu, kenapa engkau melakukan penilaian akankah tadi kaurasakan seperti yang kuraskan juga, kita berada di dalam keindahan itu, karena memjadi satu dengan keindahan kita menjadi bagian dari keindahan itu? Dengan menilai, berarti engkau teiah keluar dari keindahan itu, engkau memisahkan
308
diri dan mengukur keindahan itu dengan akal piklranmu. Dengan demikian, maka itu semua kemudahan itu menjadl suatu kesenangan! Kalau keindahan itu sudah menjadi kesenangan, maka kelanjutan dari itu tentulah timbulnya keinginan untuk mengulang-ulang kesenangan itu dan akhirnya akkan timbul kebosanan karena semua bentuk kesenangan pasti berakhir dengan kebosanan. “Kalau begitu, apa yang teecu harus lakukan dalam keadaan seperti ini Suhu?” “Jangan Iakukan apa-apa, Sin Cu. Biarkan saja dirimu tenggelam kedalam keindahan dan kebesaran ini, rasakan saja akan kebesaran dan kasih Tuhan yang berlimpahan dengan penuh rasa syukur dan puja puji. Dengan demikian. setiap saat akan ada keindahan baru yang menyelimutimu, keindahan hidup ini sendiri yang tidak pernah dirasakan oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Kebahagiaan itu sudah ada pada diri manusia. tidak pernah meninggalkan manusia seperti juga Kekuasaan Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, akan teapi siapakah yang menyadari akan hal itu? Berkah Tuhan telah diberikan kepada seluruh manusia di dunia ini tanpa kecuali, berkah yang diberikan sebelum diminta. Akan tetapi bagaimana sambutan manusia terhadap kasih yang sedalam itu? Manusia pada umumnya tidak
309
merasakan adanya berkah yang telah melimpah ruah itu sehingga manusia masih selalu memgajukan permohonan kepada Tuhan, minta berkah seolah olah Tuhan belum pernah menurunkan berkah kepadanya! Sungguh seperti seekor ayam yang merasa kelaparan pada fajar dia berada di dalam sebuah gudang beras! Daripada. merasakan dan menikmati berkah yang berlimpahan itu, manusla lebih suka berkeluh kesah karena derita yang da akibatkan oleh perbuatannya sendiri.” Sin Cu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sudah sering gurunya itu pada saat tertentu, mengeluarkan kata-kata yang sulit dimengerti. Hanya dengan pencurahan perhatian saja dia dapat menangkap akan maksud ucapan itu. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengorek keterangan gurunya semakin dalam. “Suhu mengatakan bahwa kebahagiaan itu sudah ada pada diri setiap orang manusia; akan tetapi mengapa jarang sekali manusia yang berbahagia di dunia ini? Yang ada hanya kesenangan sekilas yang segera berganti menjadi kesusahan sehingga Senang susah salingberganti higgap dalam hati manusia? Bahkan lebih banyak susahnya daripada senangnya yang dirasakan manusia di dunia ini?” “kebahagiaan memang sudah ada pada diri setiap orang manusia sejak dia dalam kandungan. Mengapa jarang ada manusia yang
310
merasa bahagia? Hal ini karena manusia dikuasai nafsu daya rendah, hati, akal, piklrannya bergelimang nafsu dan sifat nafsu adalah mencari dan mengejar kesenangan, mengejar yang lebih dari pada apa yang ada, karena hanya manusia tidak permah merasa puas dengan keadaannya. Nafsu seperti api. Makin diberi makan menjadi semakin lapar dan murka, menuntut yang lebih. Ulah nafsu daya rendah Inilah yang mendatangkan berbagai problem dalam kehidupan. mendatangkan kekecewaan kalau keinginannya tidak terpenuhi, mendatangkan kebosanan kalau terpenuhi. membuat mereka merasa sengsara Dan adanya kesengsaraan inilah yang .Menjadi debu penutup sinar kebahagiaan dan yang merasa tidak berbahagia hidupnya! Kalau kita tidak diperhamba nafsu daya rendah, Sehingga kita tidak selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, kalau nafsu menjadi peserta kita dan bukan menjadi penguasa, maka barulah kita dapat merasakan apa yang dinamakan bahagia itu. ltu adalah berkah dari Tuhan yang tiada putusnya. Segelas air merupakan berkah, mcngandung kesejukan yang nikmat Nan bermanfaat bagi kesehatan tubuh, juga dapat menghilangkan haus, bahkan merupakan kebutuhan mutlak agar tubuh tetap hidup. Akan tetapi kalau pada waktu memegang scgelas air hati akal pikiran kita menginginkan anggur
311
atau minuman lain yang kita anggap jauh lebih lezat dari pada air, maka kita tidak akan dapat menikmati air itu lagi, bahkan terasa hambar dan mungkin tidak enak! Demikianpun dengan segala apa yang kita miliki, tidak akan dapat kita nikmati kalau kita menginginkan yang lain, yang lebih, yang kita anggap lebih menyenangkan. “Mudah-mudahan teecu dapat mengerti akan semua yang Suhu terangkan. Akan tetapi, Suhu, teecu mendengar bahwa hampir semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan dan selalu mencari kebahagiaan. Bahkan ada yang melalui pengasingan diri di tempat sunyi, ada pula yang melalui pényiksaan diri, apa saja dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan.” “Inilah, Sin Cu, kekeliruan yang tak pernah disadari manusia sejak berabad-abad yang lalu. Sejak dahulu manusia selalu mencari kebahagiaan diri tidak menyadari bahwa yang mencari itu adalah nafsu. Sifat nafsu adalah selalu mencari cari dan mengejar yang lebih menyenangkan, Kalau sudah dicari, maka itu bukan kebahagiaan lagi namanya, melainkan kesenangan. Kesenangan apa saja memang dapat dicari dan dikejar. Akan tetapi bagaimana mungkin mencari kebahagian? Seperti juga, bagaimana mungkin mencari tuhan? Seolah-olah Tuhan itu berada di suatu tempat, di luar diri kita! Pada hal, Tuhan meliputi segalanya, mencakup
312
segala ruang dan waktu. Tuhan berada dekat sekali dengan kita, lebih dekat dari pada penglihatan pada mata kita! Bagaimana mencari Nya? Bukankah pencarian itu sendiri bahkan menyesatkan kita dan menjauhkan kita dari Nya? Demikian pula dengan kebahagiaan! Kebahagiaan tidak mungkin ditemukan dengan jalan memari-carinya, seperti mencari sesuatu yang bersembunyi di suatu tempat tertentu. Justru kebahagiaan berada di dalam sanubari yang sudah tidak mencari cari lagi. Kebahagiaan seperti juga kesehatan. Kita merasa tidak sehat dan dalam keadaan tidak sehat, bagaimana mungkin kita mencari kesehatan? Yang, penting mengetahui apa yang menyebabkan kita tidak sehat Kalau penyebab tidak sehat itu sudah lenyap, apakah kita membutuhkan kesehatan lagi? Jelas tidak butuh, karena kita sudah sehat! Demikian pula dengan kebahagiaan. kita mencari cari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Nah, yang penting adalah menyelidiki apa yang menyebabkan kita merasa tidak bahagia. Kalau penyebab tidak bahagia ini lenyap, apakah kita butuh kebahagiaan lagi? Tentu tidak, karena kita sudah bahagia! Mengertikah engkau muridku?” “Teecu mengerti, Suhu. Akan tetapi kalau demikian halnya, mengapa kebanyakan dari kita tidak merasakan kebahagiaan itu Pada hal tidak ada gangguan yang membuat kita tidak bahagia.”
313
“ltulah ulah nafsu, muridku yang Seperti juga kalau kita sedang tidak sakit sama sekali, apakah kita dapat menikmati keadaan sehat itu? Pada umumnya tidak. Kehatan itu tidak dirasakan sama sekali. demikian pula kebahagiaan. Kalau tidak ada sesuatu yang membuat kita tidak berbagia. kita masih tidak merasakan bahagia Mengapa? Karena hati akal pikiran kita tigak mengetahui apa yang menyebabkan kita tidak sehat . Kalau penyebah tidak sehat itu sudah lenyap, apakah kita membutuhkan kesehatan lagi? Jelas tidalk butuh, karena kita sudah sehat! Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita mencari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Nah, yang penting adalah menyelidiki apa yang menyebabkan kita rasa tidak bahagia. Kaiau penyebab tidak bahagia ini lenyap, apakah kita butuh kebagiaan lagi? Tentu tidak, karena kita sudah bahagia! Mengertikah engkau muridku?” “Teecu mengerti, Suhu. Akan tetapi kalau demikian halnya, mengapa kebanyan dari kita tidak merasakan kebahagiaan itu Pada hal tidak ada gangguan yang membuat kita tidak bahagia.” “ltuiah ulah nafsu, muridku yang, Seperti juga kaiau kita sedang tidak sakit sama sekali, apakah kita dapat menikmati adaan sehat itu? Pada umumnya tidak. Kesehatan itu tidak dirasakan sama sekali. Demikian pula kebahagiaan. Kaiau tidak sesuatu yang membuat kita tidak berbahagia. kita masih tidak merasakan bahagi
314
Mengapa? Karena hati akal pikiran kita terseret oleh nafsu-nafsu daya rendah yang selalu haus akan yang lebih dan tidak pernah dapat menikmati apa yang ada. Karena itu, sadarlah dan waspadalah, amati setiap gerak gerik pikiranmu. Kalau sudah tidak ada nafsu yang menyeretmu, maka engkau akan dapat merasakan kehadiran Tuhan di dalam dan di luar dirimu, merasakan Kekuasaan Tuhan yang penuh kasih dan berkah, dan engkau akan selalu menyukuri dan memuji namaNya. Dalam keadaan seperti itulah manusia baru dapat merasakan apa yang disebut bahagia itu.” “Terima kasih, Suhu. Mudah-mudahan teecu akan mampu menghayati semua keterangan yang Suhu berikan. Mudah-mudahan pengertian teecu ini bukan hanya sekedar pengertian pikiran belaka, melainkan menembus ke lubuk hati yang paling dalam sehingga menjadi penuntun bagi langkah teecu dalam kehidupan. Mudah-mudahan Tuhan akan selalu memberi bimbingan kepada teecu, sehingga teecu akan dijauhkan dari perbuatan sesat.” “Cukuplah pembicaraan tentang nilai nilai kehidupan ini, Sin Cu. Apakah engkau sudah berlatih silat?.”
315
“Sudah, Suhu. Sebelum matahari terbit tadi. sebelum Suhu datang kepantai ini, teecu sudah berlatih. Pertanyaan Suhu masih mengingatkan teecu akan sebuah hal yang mengganggu perasaan teecu, yaitu tentang ilmu silat yang Suhu ajarkan kepada teecu. “Ada apa dengan ilmu silat, Sin Cu?” “Suhu. seringkali timbul dalam pemahaman teecu. Suhu selalu mengajarkan teecu agar dalam hidup ini selalu harus bersikap lembut, tidak menggunakan kekerasan akan tetapi di lain pihak Suhu mengajarkan ilmu silat kepada teecu. Bukankah ilmu silat itu merupakan ilmu cara mempergunakan kekerasan? Bukankah ilmu silat itu di gunakan untuk berkelahi dengan orang lain, untuk menyerang dan mengalahkan orang sehigga dengan demikian, ilmu silat akan mengakibatkan terjadinya permusuhan?” “Sama sekali tidak, Sin Cu. ilmu silat ya ilmu silat, tidak dapat dikatakan baik maupun buruk. llmu silat adalah suatu ilmu seperti juga ilmu-ilmu yang Iain di dunia ini. Setiap macam ilmu itu tidak mempunyai sifat baik maupun buruk karena baik buruk itu tergantung dari si orang yang menguasainya. Kalau suatu ilmu dipergunakan untuk berbuat kebaikan, maka ilmu itu adalah sebuah ilmu yang baik. Sebaliknya kalau itu dipergunakan orang yang menguasainya untuk berbuat kejahatan, maka jahat ilmu itu
316
jadinya! Seperti sebatang Pisau itu hanya alat, wajar saja, tidak baik dan juga tidak buruk. Tergantung bagaimana si pemilik pisau mempergunakan, Kalau dipergunakan untuk memotong sayur dan keperluan lain yang baik, maka pisau itu adalah alat yang baik. Sebaliknya kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang, untuk membunuh, maka pisau itu menjadi sebuah alat yang jahat. Demikian pula dengan lmu silat. llmu silat menjadi sebuah ilmu yang jahat kalau dipergunakan untuk memaksakan kehendak sendiri dengan jalan kekerasan, untuk menindas orang lain, mencari menang sendiri, untuk melakukan kejahatan seperti merampok dan sebagainya. Akan tetapi kalau orang mempergunakan ilmu silat untuk membela kebenaran dan keadilan, kalau dipergunakan untuk membantu yang lemah tertindas, untuk menentang yang bertindak sewenang-wenang, maka ilmu silat menjadi ilmu yang baik. Mengertikah engkau, Sin Cu? Karena itulah, maka mempelajari ilmu silat haruslah dibarengi dengan mempelajari kebajikan.” Wajah Sin Cu yang tampan itu tampa berseri gembira. “Terima kasih, Suhu. Sekarang legalah hati teecu mendengar keterangan Suhu ini. Teecu akan berlatih semakin tekun agar teecu dapat menguasai semua yang Suhu ajarkan untuk kelak teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan seperti
317
yang Suhu maksudkan itu.” Pada saat itu, Bu Beng Siauw-jin menudingkan telunjuknya ke arah lautan dan berkata, “Lihat, ada perahu mendekat ke pantai ini!” Sin Cu menengok dan benar saja. Tampak sebuah perahu dengan cepat memenuju ke pantai di mana mereka berada,Perahu itu didayung oleh dua orang dan meluncur dengan cepat sekali. Sikap dua orang yang mendayung perahu itu tampak terge-gesa seperti mengejar sesuatu, bahkan beberapa kali berseru. Dari tempat mereka duduk guru dan murid itu kini dapat melihat bahwa dua orang dalam perahu itu mengejar sesuatu. Lalu mulai tampaklah oleh mereka bahwa yang dikejar itu adalah sesuatu yang berenang di depan perahu. Agaknya mereka mengejar sebuah ikan besar yang berenang melarikan diri. Akan tetapi setelah perahu itu datang agak dekat dengan pantai, Sin Cu dan Bu Beng Siauw-jin melihat bahwa yang dikejar oleh perahu itu bukan seekor ikan besar, melainkan seorang laki-laki yang berenang dengan kecepatan seekor ikan berenang! Tubuh orang itu meluncur dengan cepatnya, kedua lengannya bergerak seperti kitiran, kedua kakinya bergoyang-goyang dan tubuh itu meluncur sedemikian cepatnya sehingga perahu yang didayung oleh dua orang itu tidak mampu mengejarnya. Padahal perahu itupun meluncur dengan kecepat luar biasa, menunjukkan bahwa
318
dua orang yang mendayung perahu itu memiliki tenaga besar. Setelah tiba di tepi, orang itu berdiri dan berlari ke pantai menerjang air yang hanya setinggi lututnya itu. Sin Cu dan Bu Beng Siauw-jin melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Pakaíannya seperti pakaian seorang nelayan dengan baju sederhana dan celana setinggi di bawah lutut, kedua kakinya telanjang. Rambutnya diikat ke atas dengan kain hitam dan pakaiannya juga terbuat dari kain hitam. Orang itu berusaha sedapat mungkin untuk berlari cepat dalam air itu menuju ke pantai berpasir. Akan tetapi begitu kakinya menginjak pasir, tiba-tiba dua orang yang berada dalam perahu yang kini tidak dapat didayung maju lagi karena sudah terdampar, tiba-tiba meloncat dan tubuh mereka melayang bagaikan dua ekor burung garuda. Cepat sekali loncatan mereka itu sehingga mereka tiba lebih dulu di pantai dan ketika mereka turun, mereka tiba di depan orang yang melarikan diri itu. Sin Cu dan Bu Beng Siauw-jin memandang kepada dua orang yang menghadang si pelarian itu dengan penuh perhatian. “Hek Pek Moko...!!” bisik Bu Beng Siauw-jin. Sin Cu menjadi semakin heran dan penuh perhatian mendengar disebutnya Hek Pek Moko (Manusia Iblis Hitam dan Putih) itu. Seorang di antara mereka mengenakan pakaian serba putih dan yang mengerikan
319
adalah warna muka dan tangannya yang semuanya putih seperti dicat! Adapun orang kedua menjadi kebalikan dari orang per tama. Orang ke dua itu berpakaian serba hitam dan kulit muka dan tangannya juga berwarna hitam seperti arang! Orang tinggi kurus yang melarikan diri tadi kini berdiri terbelalak dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang sudah berdiri di depannya. “Can Kui, engkau hendak lari ke mana?” bentak si muka putih yang berjuluk Pek Moko (Manusia Iblis Putih) sambil tersenyum mengejek. “Can Kui, mau atau tidak mau engkau harus mernenühi perintah kami untuk menyelam dan mengambil pedang pusaka itu!” kata pula Hek Moko (Manusia Iblis Hitam) dengan bengis. Biarpun mukanya pucat dan pandang matanya membayangkan rasa takut, namun orang tinggi kurus yang bernama Can Kui itu berdiri tegak dan sikapnya tegas. “Tidak, aku tidak akan mau membantu kalian yang kejam. Kalian sudah membunuh semua penghuni perahu itu dan menenggelamkan perahu. Aku tidak mau membantu kalian menyelam dan mendapatkan yang kalian cari!”
320
“Jahanam busuk! Beranikah engkau menentang Hek Pek Moko? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Akan tetapi Can Kui menjawab dengan suara tegas. “Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi untuk menyelam mengambil benda orang-orang malang itu aku tidak mau.” “Engkau patut dihajar!” kata Hek mo ko dan si muka hitam ini sudah menggerakkan tangannya untuk memukul dada si tinggi kurus itu. Namun kiranya Can Kui memiliki gesitan juga karena dia mampú menghindkan pukulan itu dengan miringkan tubuh ke kiri. Hek Moko menjadi penasaran ketika pukulannya luput. Dia menerjang lagi. Can Kui membela diri, mengelak, menangkis bahkan membalas dengan pukulan yang cukp kuat. Terjadilah perkeiahian seru di tepi laut itu. Akan tetapi sekilas pandang saja tahulah Sin Cu bahwa Hek Moko bukanlah lawan seimbang bagi Can Kui. Baru saja pertarungan itu berlangsung belasan jurus, tendangan kaki kiri Hek Moko mengenai dada Can Kui, membuat nelayan itu roboh terjengkang dan jatuh ke atás pasir sampai terguling-guling. Dengan beberapa lompatan, Hek Moko sudah mengejarnya dan menginjakkan kaki kanannya di atas dada Can Kui sambil membentak,
321
“Nah, katakanlah bahwa engkau mau menaati perintah kami, atau aku akan menginjak hancur dadamu!” Akan tetapi sebelum Can Kui menjawab, tiba-tiba Sin Cu yang sudah tidak dapat menahan rasa penasaran di hatinya dan setelah memandang dengan penuh permohonan kepada Suhunya dan Suhunya mengangguk, telah melompat ke dekat Hek Moko dan menegur. “Memaksakan kehendak dengan kekerasan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu merupakan perbuatan jahat!” Hek Moko dan Pek Moko memandang kepada orang yang berani mencampuri urusan mereka dan melihat bahwa yang menegurnya hanyalah seorang pemuda remaja. Hek Moko melepaskan tindihan kakinya dari dada Can Kui dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kukira siapa yang menegurku, tidak tahunya hanya seorang bocah lancang. Heh, bocah kurang ajar, cepat engkau pulang ke pangkuan ibumu sebelum kubunuh engkau!” bentaknya. Dengan sikap tenang dan suara lantang Sin Cu berkata, “Paman, engkaulah yang patutnya pergi dari sini, kembali ke tempat asalmu dan jangan menggunakan kekerasan untuk memaksa dan mengganggu orang ini !” Tentu saja Hek Moko menjadi marah sekali. Tidak disangkanya akan ada seorang pemuda remaja yang mengganggu usahanya memaksa Can Kui.
322
Dia dan Pek Moko saling pandang merasa bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mengambil pedang pusaka dari dasar lautan. Mereka berdua menerima tugas dari Liu-Thaikam untuk melakukan pengejaran terhadap seorang panglima tua, yaitu Panglima Kwee yang melarikan diri bersama keluarganya keluar kota raja. Panglima tua Kwee ini merupakan seorang antàra musuh-musuh Liu-Thaikam yang paling dibencinya karena panglima tua itu tiada hentinya berusaha untuk menentang semua “kebijaksanaannya”. Akan tetapi sebelum Liu-Thaikam dapat mengirim para jagoannya untuk membunuh Panglima Kwee itu, sang panglima sudah lebih dulu melarikan diri bersama keluarganya. Karena itu, Hek Pek Moko mendapat tugas untuk melakukan pengejaran dengan pesan agar membunuh Panglima Kwee dengan keluarganya dan tidak lupa agar merampas sebatang pedang pusaka milik Panglima Kwee. Panglima tua ini pernah menerima sebatang pedang pusaka dari mendiang Kaisar tua untuk menghargai jasa-jasanya. Pedang pusaka itu disebut Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih) karena bentuknya yang berupa naga berwarna putih. Karena percaya bahwa pedang pusaka ini bertuah dan merupakan pusaka yang amat langka dan berharga, maka Liu-Thaikam memesan kepada Hek Pek Moko untuk merampasnya. Hek Pek
323
Moko melakukan pengejaran. Ketika mereka mendapat keterangan bahwa Panglima kwee yang melarikan diri itu menggunakan perahu di lautan timur, merekapun melakukan pengejaran dengan menggunakan sebuah perahu pula. Di tengah lautan, mereka dapat menyusul perahu panglima itu. Karena Panglima Kwee dan keluarganya yang berada di perahu yang lebih besar itu siap membela diri dengan menggunakan tombak dan pedang, maka sukarlah bagi Hek Pek Moko untuk menerjang ke atas perahu yang lebih besar itu. Karena itu mereka lalu menggunakan pedang mereka untuk membacoki bagian bawah perahu besar itu sehingga perahu itu bocor di sana sini dan tenggelam! Hek Pek Moko kini mendapat kesempatan untuk membantai mereka yang mencoba untuk menyelamatkan diri dengan berenang. Demikian pula, Panglima Kwee terbunuh. Dari atas perahu kecil mereka, Hek Pek Moko membabatkan pedang mereka, membunuhi semua penghuni perahu besar dan perahu itu tenggelam. Setelah perahu besar tenggelam dan semua penghuninya tewas, baru teringatlah Hek Pek Moko akan pesan Liu-Thaikam tentang pedang pusaka Pek-liong-po-kiam itu. Mereka terkejút dan menyesal karena semua benda telah ikut tengelam dengan perahu itu. Mereka lalu pergi ke dusun nelayan
324
terdekat dan mencari seorang penyelam. Atas keterangan para nelayan,mereka menemukan Can Kui yang terkenal di antara para nelayan sebagai seorang penyelam yang ulung. Mereka lalu membujuk Can Kui untuk menyelam dan mencarikan pedang pusaka itu dengan janji upah besar. Akan tetapi, sungguh tidak pernah mereka sangka bahwa Can Kui tadi berada dalarn perahunya dan menyaksikan pembantaian dan penenggelaman perahu yang dilakukan Hek Pek Moko. Maka dia menolak keras untuk membantu. Hek Pek Moko yang menemui Can Kui sedang berada dalam perahu mencari, ikan itu, menjadi marah dan hendak memaksanya, mengancam akan membunuhnya. Ketika Hek Pek Moko hendak membunuhnya dengan serangan pedang, Can Kui terjun ke laut dan ternyata dia dapat berenang dengan cepat sekali seperti ikan. Hek-Pek Moko mengejar dengan perahu mereka, akan tetapi tidak mampu menangkapnya dan setelah Can Kui tiba di pantai, barulah dua orang datuk itu dapat menyusulnya dan hampir membunuhnya. Akan tetapi pada saat Hek Pek Moko sudah menangkap Can kui, Sin Cu datang dan menegurnya sehingga tentu saja Hek Moko marah sekali kepada pemuda remaja yang berani menegurnya.
325
“Bocah kurang ajar, engkau layak mampus!” katanya dan dia segera menerjang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Cu. Dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja dengan pukulan yang mengandung tenaga ,sakti itu tentu dia akan mampu menghancurkan kepala pemuda remaja itu Namun, dengan mudah dan tenang Sin cu mengelak sambil miringkan tubuhnya. Hek Moko menjadi marah dan penaşaran ketika pukulan pertamanya luput. Cepat dia membalik sambil mengayun tangan dan kini tangan kirinya yang menyambar dengan tamparan yang amat kuat, ke arah dada pemuda itu. Kembali Sin Cu mengelak. Marahlah Hek Moko. Dia lalu menerjang dan menghujankan serangan dengan kedua tangan dan kedua kakinya. Cepat dan kuat bukan main gerakan kaki tangan Hek Moko ini sehingga terdengar angin bersiutan. Namun, terjadilah hal yang bagi Hek Moko amat aneh dan membuatnya penasaran bukan main. Ternyata pemuda remaja itu berkelebatan dengan gerakan yang luar biasa sekali, melangkah ke sana sini dan semua serangannya luput! Dia tidak tahu bahwa ketika diserang secara bertubi-tubi itu, Sin Cu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat tangguh dan dia harus dapat menghindarkan diri dari serangan bertubi yang amat kuat itu. maka dia lalu menggunakan ilmu Chit-
326
Seng Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang). Langkah-langkah aneh ini demikian banyak perubahannya dan ke manapun lawan menyerang, tubuh Sin Cu dapat menghindar dengan lincah sekali. Pemuda yang baru sekali ini mempraktekkan ilmu silat yang telah lama dipelajarinya dan sekaligus bertemu dengan lawan yang amat tangguh, lama-lama merasa terancam juga kalau harus mengelak terus. Sudah lebih dari tiga puluh jurus dia mempergunakan Chit-seng Sin-po untuk mengelak. Suhunya pernah berkata bahwa pembelaan diri dan pertahanán yang baik adalah balas menyerang. Maka diapun mulai balas menyerang dan begitu menyerang, dia segera menggunakan ilmu It-yang-ci(Menotok Satu Jari) dan kedua jari telunjuknya menyambar-nyambar, menotok ke arah jalan jalan darah di tubuh lawan. Serangannya mengeluarkan bunyi bercuitan sehingga He Moko menjadi terkejut bukan main. Datuk yang sudah berpengalaman ini maklum bahwa totokan pemuda remaja itu mengandung tenaga sakti yang tidak boleh dipandang ringan dan amat berbahaya. Maka diapun menjaga agar jangan sampai terkena totokan dengan elakan atau tangkisan. Lima puluh jurus telah lewat dan Hek Moko belum juga mampu mendesak Sin Cu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa malu, penasaran dan marah sekali.
327
“Bocah setan, sambutlah ini!” Dia berseru keras dengan suara seperti gerengan seekor singa marah. Kedua lengannya digetarkan dan kulit lengan yang sudah hitam itu berubah semakin gelap, kemudian menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke arah Sin Cu. Itulah ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang merupakan inti dari semua ilmunya, amat berbahaya karena pukulan itu selain kuat sekali, juga mengandung hawa beracun dingin yang mampu membunuh orang dari jarak jauh! Biarpun dia belum berpengalaman dalam pertandingan, namun berkat gemblengan Bu Beng Siauw-jin yang teliti, Sin Cu da dapat menduga bahwa dia menghadapi pukulan Sin-Kang (tenaga sakti) yang amat berbahaya. Karena itu, diapun mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah hendak menerima inti kekuatan sinar matahari, kemudian diapun mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah lawan untuk menyambut pukulan yang dahsyat tadi. Inilah pukulan Thai-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Matahari) yang telah dipelajari Sin Cu. Walaupun dia belum menguasainya dengan sempurna namun pukulannya itu sudah mengandung tenaga yang kuat sekali. “Wuuwuttt desss...!” Dua tenaga sakti raksasa bertabrakan di udara dan kedua orang itu terdorong mundur sampai tujuh langkah.
328
Tentu saja Hek Moko terkejut bukan main. Ternyata pemuda remaja itu bukan saja mampu menahan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan telah membuatnya terdorong mundur dan kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Melihat betapa rekannya tidak mampu mengalahkan pemuda remaja itu, apalagi membunuhnya, Pek Moko juga menjadi terkejut dan marah. “Mari kubantu engkau membunuh bocah setan itu, Hek-te (adik Hek)!” Setelah berkata demikian, Pek Moko dengan langkah lebar menghampiri Sin Cu yang sudah menguasai lagi keseimbangan tubuhnya dan dia tidak menderita luka, terlindung oleh Sin-Kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Hek Moko juga sudah bangkit dan mengikuti Pek Moko menghampiri Sin-cu. Dua orang datuk itu menghampiri Sin cu dengan sikap mengancam dan agaknya mereka sudah bersepakat untuk membunuh pemuda remaja itu. Melihat ini, Bu Beng Siauw-jin maju mendekati Sin Cu dan berkata, “Sin Cu, engkau mundurlah dan biarkan aku yang menghadapi Hek Pek Moko.” Sin Cu merasa lega. Melawan seorang Hek Moko saja dia sudah merasa berat walaupun dia belum kalah, apalagi harus menandingi Hek Moko dan Pek Moko berdua. Dia lalu melangkah mundur dan berdiri di belakang gurunya. Hek Moko dan Pek Moko berhenti melangkah ketika mereka melihat seorang kakek yang
329
tubuhnya dilibat-libat kain kuning, dan yang tersenyum-senyum ramah dan lembut kepada mereka. “Jembel tua! Mau apa engkau?” bentak Pek Moko. “Sahabat-sahabat, kalau muridku itu ada membuat kesalahan terhadap kalian, aku hendak mintakan maaf. Maafkanlah yang masih muda dan mari kita berpisah dalam keadaan aman dan damai.” Mendengar bahwa kakek ini adalah guru pemuda yang lihai tadi, Hek Pek Mok menjadi semakin marah. “Hemm, muridmu kurang ajar telah berani mencampuri urusan kami. Engkau sebagai gurunya tidak mampu mengajarnya, maka biarlah sekarang aku yang akan mengajarmu!” Setelah berkata demikan, Pek Moko lalu memutar-mutar kedua tangannya ke atas kepala. Kedua lengan yang berkulit putih seperti dicat putih itu kini menjadi semakin putih dan kedua tangannya mengeluarkan asap. Ada hawa yang panas sekali keluar dari kedua tangan itu. Hek Mo ko juga mengerahkan Sin-Kangnya dan kedua tangannya berubah semakin hitam dan mengeluarkan hawa yang amat dingin. Kalau Hek Moko mengeluarkan ilmunya yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), Pek Moko mengeluarkan ilmunya yang lebih ampuh lagi dan disebut Pek-tok-ciang (Tangan Racun
330
Putih). Maklum bahwa kedua orang tokoh sesat itu hendak mempergunakan ilmumu mereka yang diandalkan dan amat berahaya, Bu Beng Siauw-jin juga membuat persiapan. Lutut kirinya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan tangan kirinya menyentuh tanah, sedangkan tangan kanannya diangkat lurus-lurus ke atas. Dia membuat gerakan seolah-olah dia hendak menyedot kekuatan dari bumi dengan tangan kirinya dan menyedot kekuatan dari langit dengan tangan kanannya. Gerakan ini menunjukkan bahwa Bu Beng Siauw-jin hendak mengumpukan Im-yang-Sin-Kang (Tenaga Sakti Im dan Yang) yang merupakan inti kekuatan dari ilmu Im-Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti ln dan Yang). “Haaittt...” Hek Moko sudah menerjang dengan pukulan tangannya yang mengandung hawa dingin. “Hemm…” Bu Beng Siauw-jin cepat menggerakkan tubuhnya, mengatur langkah Chit-seng Sin-po dan mengelak dengan cepat sekali. Dua orang lawannya menyerang semakin cepat, bertubi-tubi, namun tubuh Bu Beng Siauw-jin juga bergerak semakin cepat, berkelebatan dan seolah tubuh itu berubah menjadı bayangan yang amat sukar di pukul.
331
Makin cepat kedua orang itu menyerang, semakin cepat pula tubuh Bu Ben Siauw-jin menghindar sehingga tiga orang itu tidak lagi tampak bentuk tubuh mereka Yang tampak hanyalah bayangan kuning yang dikejar-kejar bayangan hitam dan bayangan putih! Sin Cu yang menonton menjadi terbelalak kagum. Chit-Seng Sin-Po yang dimainkan gurunya sedemikian hebatnya diam-diam dia memperhatikannya dengan seksama. Setelah melihat gurunya dikeroyok dua orang itu, baru dia tahu bahwa ilmu langkah ajaib itu benar-benar dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang tangguh dan berbahaya. Akan tetapi dia merasa khawatir juga. Dua orang yang mengeroyok gurunya itu selain memiliki ilmu yang tinggi dan berbahaya, juga mereka berdua itu dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Gerakan mereka itu seolah saling menunjang dan saling melindungi. Tahulah dia bahwa dua orang itu memang merupakan pasangan yang telah melatih diri untuk maju bersama secara teratur dan rapi. Akan tetapi mengapa gurunya hanya mengelak terus? Biarpun Chit-seng Sin-po yang dikuasai gurunya itu sudah mencapai tingkat sempurna, namun kalau hanya mengelak terus, sampai kapan gurunya akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang? Pula, membiarkan diri terus menerus didesak dan diserang akhirnya akan merugikan diri sendirl. Setelah
332
kelelahan tentu gerakan gurunya tidak secepat semula dan hal ini akan membahayakan gurunya. Setelah lewat dari tiga puluh jurus mereka menyerang terus tanpa pernah berhasil mengenai tubuh kakek yang mereka keroyok, dua orang Hek Pek Moko itu menjadi marah sekali. Agaknya inilah yang dinantikan Bu Beng Siauw-jin. Menanti sampai dua orang lawannya menjadi marah karena kemarahan merupakan kelemahan dan membuat orang menjadi lengah. Yang ada hanyalah nafsu ingin merobohkan lawan, seluruh daya dikerahkan untuk menyerang tanpa memperdulikan pertahanan. Setelah ke dua orang itu marah-marah dan penyerangan mereka semakin gencar dan semakin kuat, Barulah Beng Siauw-jin melihat lubang-lubang kelemahan pada pertahanan mereka. Tiba tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mulai balas menyerang! Karena maklum akan kelihaian dua orang lawannya, begitu balas menyerang, Beng Siauw-jin telah memainkan It-yang-ci. Gerakannya cepat bukan main dan karena sejak tadi dia sudah melihat lubang-lubang dan kesempatan dalam pertahanan dua orang lawannya, maka secepat kilat dua buah jari telunjuknya menyerang. “tukk... tukk...” dua kali jari telunjuknya bertemu tubuh Hek Pek Moko dan dua orang itupun terkulai roboh tertotok! Akan tetapi
333
hanya sebentar saja mereka terkulai dan tidak mampu bergerak lagi karena Bu Beng Siauw-jin sudah cepat menghampiri mereka dan menepuk pundak mereka masing-masing satu kali. Dua orang itu dapat bergerak lagi dan mereka melompat bangkit dan tidak berani menyerang lagi. Akan tetapi dengan mata mendelik mereka memandang kepada Bu Beng Siauw-jin dan Pek Moko bertanya dengan suara kaku. “Siapakah engkau? Siapa namamu?” Bu Beng Siauw-jin tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku hanyalah seorang rendah tanpa nama.” Akan tetapi jawaban itu cukup mengejutkan Hek Pek Moko. “Bu Beng Siauw-Jin…!! Hemm, jadi Bu Beng Siauw-jin kiranya engkau? Biarlah lain kali kita bertemu lagi,” kata Pek Moko. Setelah berkata demikian, dua orang itu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap Bu Beng Siauw-jin, sebuah nama yang sudah mereka kenal lama akan tetapi baru sekarang mereka bertemu dengan orangnya. “Suhu, siapakah mereka itu?” Sin Cu bertanya kepada gurunya.
334
“Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko, terkenal dengan julukan Hek Pek Mo, karena ke manapun mereka selalu pergi berdua. Aku sudah lama mengenal nama mereka dan mudah saja mengenal mereka ketika bertemu dengan melihat keadaan dan warna kulit mereka. Yang seorang putih, yang lainnya hitam. Ternyata mereka bukan bernama kosong belaka. Ilmu kepandaian mereka hebat dan berbahaya.” Pada saat itu, nelayan tadi menghampiri mereka dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Cu dan gurunya. “Saya Can Kui menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan jiwi (kalian berdua). Tanpa pertolongan jiwi, mungkin sekarang saya telah mati di tangan dua orang penjahat itu.” Sin Cu mewakili gurunya mengangkat bangun Can Kui yang berlutut. “Bangunlah, paman, tidak perlu begini. Apa yang kami lakukan itu hanyalah merupakan pelaksanaan kewajiban kami belaka.” Karena dipegang kedua pundaknya dan ditarik, maka Can Kui terpaksa bangkit berdiri dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada sambil berdiri. “Akan tetapi, saya berhutang budi kepada ji-wi.” “Kami juga tidak menghutangkan budi, paman. Kalau paman hendak berterima kasih dan merasa berhutang budi, maka
335
tujukanlah itu kepada Thian (Tuhan), karena sesungguhnya, Kekuasaan Thian sajalah yang telah menyelamatkan paman. Sedangkan kami hanya menjalankan kewajiban.” “Saudara Can Kui, apa yang dikatakan muridku itu memang benar. Jangan bicara lagi tentang budi, karena hal itu hanya akan menimbulkan ikatan karma kepada kita bertiga,” kata Bu Beng Siauw-jin sambil tersenyum lembut. “Baiklah kalau Lo-Cianpwe (orang tua gagah) berkata demikian. Akan tetapi tentu jiwi tidak keberatan untuk memberitahukan nama ji-wi kepada saya,” kata Can Kui yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seoang yang sakti dan berwatak aneh. Namaku Bu Beng Siauw-jin dan muridku ini bernama Wong Sin Cu. Akan tetapi sesungguhnya apakah yang terjadi, sobat? Mengapa dua orang itu tadi mengejarmu dan hendak membunuhmu?” “Sebetulnya saya sendiri tidak mengenal duá orang jahat itu, Lo-Cianpwe. Saya sedang menangkap ikan ketika saya melihat sebuah perahu besar diserang oleh dua orang itu yang berada di perahu kecil. Dua orang itu telah membocorkan perahu dan membantai seluruh penghuni perahu. Kejadian itu amat mengejutkan saya, juga menakutkan saya. Biarpun saya sendiri menguasai sedikit ilmu silat, akan tetapi saya tahu bahwa saya
336
bukanlah lawan dua orang itu yang amat lihai. Oleh karena itu saya tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa saya melihat saja dari jauh ketika dua orang itu dengan kejamnya membunuhi semua penghuni perahu. Kemudian, perahu besar itu tenggelam dan semua penghuninya mati dalam keadaan yang amat menyedihkan. Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap ikan dan menjauhi tempat pembantaian itu.” Can Kui berhenti bercerita dan menghela napas panjang, tampaknya masih merasa ngeri kalau teringat akan semua peristiwa yang mengenaskan itu. Sin Cu dan gurunya mendengarkan penuh perhatian. “Paman Can Kui, tahukah paman siapa orang-orang yang mereka bantai itu dan berapa jurmlah mereka?” “Saya sama sekali tidak mengenal mereka. Jumlah mereka ada belasan orang dan saya bahkan, melihat wanita dan anak-anak yang ikut dibantai pula. Sungguh perbuatan mereka itu biadab dan kejam sekali. Yang jelas, dua orang itu bukan membunuh untuk merampok dan entah mengapa mereka membunuh semua orang itu, juga entah siapa yang mereka bunuh. Akan tetapi saya melihat beberapa orang yang melihat pakaian mereka seperti bangsawan. Juga wanita dan anak-anak yang dibunuh itu, berpakaian seperti keluarga bangsawan.”
337
“Sian-cai (damai)...! Betapa banyaknya manusia yang membiarkan dirinya diperhamba oleh nafsu daya rendah sehingga tega dan tidak berprikemanusiaan,” kata Bu Beng siauw-jin. “Akan tetapi bagaimana selanjutnya saudara Can Kui?” “Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap, ikan agak jauh dari tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu muncul dalam perahu mereka, ternyata mereka itu sengaja mencari saya,mereka mendengar dari para nelayan bahwa saya mempunyai kemampuan untuk menyelam dan sudah terbiasa menyelam untuk mencari dan mengumpulkan karang-karang yang indah. Mereka membujuk saya untuk menyelam di tempat tadi, untuk mencari dan mengambil sepotong pedang pusaka yang ikut tenggelam bersama perahu besar itu. Karena amat membenci mereka, saya tidak sudi membantu, Saya menolak dan mereka menyerang saya. Saya melarikan.diri dengan perahu, akan tetapi mereka dapat mendayung perahu mereka cepat sekali, maka saya lalu meloncat ke air dan melarikan diri sambil berenang. Hanya dengan renang yang saya kuasai baik-baik saya dapat menghindarkan diri dari pengejaran mereka. akan tetapi setelah sampai di darat, akhirnya mereka dapat juga .menyusul saya dan selanjutnya ji-wi sudah mengetahui apa yang terjadi,”
338
“Mereka agaknya ingin sekali mendapatkan pedang pusaka yang tenggelam bersama perahu itu. Sebaiknya kalau engkau pergi mengungsi ke tempat lain, saudara Can kui. Kalau tidak, mereka tentu akan datang lagi dan memaksamu untuk menyelam dan mencarikan pedang itu.” ““Memang sebaiknya begitu, Lo-Cianpwe. Akan tetapi sebelum saya pergi, saya ingin lebih dulu menyelam ke tempat itu dan mendapatkan pedang pusaka yang mereka cari itu,” kata Can Kui dengan suara tegas. Sin Cu mengerutkan alisnya dan cepat bertanya, “Paman Can, engkau sungguh aneh sekali. Dua orang tadi menyuruhmu menyelam dan mengambilkan pedang pusaka dan paman tidak mau, bahkan rela dibunuh daripadai harus mengambi! pedang itu. akan tetapi kenapa sekarang paman bahkan ingin mengambilnya sendiri? Untuk apa paman mengambil pedang pusaka yang bukan milik paman?” Hati pemuda itu merasa tidak senang dengan sikap penyelam dan nelayan itu. Can Kui berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Memang pedang pusaka itu bukan milik saya, sicu (orang muda gagah). Akan tetapi sekarang pedang itu bukan milik siapa-siapa lagi karena pemiliknya telah tewas semua. Sayang kalau sebatang pedang pusaka dibiarkan saja dalam laut. Tentu akan rusak. Sebatang pedang pusaka yang dicari seorang datuk jahat itu tentu
339
merupakan sebatang pedang pusaka yang amat baik dan ampuh, dan sudah sepatutnya menjadi milik seorang pendekar besar yang budiman. Setelah melihat sepak terjang Wong-sicu yang masih muda sudah meniliki kegagahan dan juga berbudi mulia, seorang pendekar yang bijaksana, maka timbul keinginan hati saya untuk mengambil pedang pusaka itu dan memberikannya kepada Wong-sicu sicu sebagai hadiah!” “Ah, jangan, paman Can! Tidak usah engkau berbuat begitu, bersusah payah mengambil pedang itu untuk diberikan kepadaku. Pertama, pedang itu bukan milikku dan aku tidak berhak memilikinya. Kedua, aku memang tidak membutuhkan pedang!” “Pedang itu kini bukan milik siapa-siapa, melainkan milik lautan, sicu. Sayang kalau air laut memakannya sampai berkarat dan habis. Saya sudah mengambil keputusan tetap untuk mencarinya sampai dapat agar dapat menyerahkakannya kepada Wong-sicul” Setelah berkata demikian, Can Kui berlari kelaut lalu berenang ke tengah, cepat sekali renangnya, tiada ubahnya seekor ikan. Sin Cu menandang kagum dan tak terasa lagi dia berkata, “Suhu, alangkah hebatnya ilmu dalam air yang dikuasai Paman can Kui! Belum pernah teecu (murid) melihat orang berenang secepat itu.”
340
“Engkau benar, Sin Cu. Orang she Can itu memiliki ilmu kepandaian dalam air yang luar biasa dan jarang dimiliki orang. itu kepandaian yang sudah langka terdapat sekarang.” “Teecu ingin sekali dapat menguasai ilmu seperti itu, Suhu.” “Bagus! Kenapa tidak engkau angkat guru kepada Can Kui?” “Mengangkat guru?” “Tentu saja. Kalau tidak menjadi muridnya, bagaimana engkau akan mampu berenang seperti itu? Sin Cu, engkau boleh saja menolak pemberian pedang itu. Akan tetapi kita tidak bisa membiarkan dia terancam bahaya. Kita harus menanti di sini sampai dia mendarat dengan selamat.” “Baik, Suhu.” Guru dan murid itu menanti di pantai berpasir, duduk bersila bermandikan cahaya matahari pagi yang sehat dan hangat. Bahkan Bu Beng Siauw-jin lalu mengajak muridnya untuk bersamadhi sambil membuka baju, untuk, memperkuat Thai-Yang Sin-Kang (Tenaga Sakti Inti Matahari) yang telah mereka latih dan kuasai. Sebentar saja guru dan murid ini sudah duduk diam seperti dua buah arca batu yang menerima cahaya matahari pagi sepenuhnya sehingga perlahan-lahan tubuh bagian atas mereka yang telanjang itu berkilauan karena keringat.
341
Dari kepala mereka melayang uap tipis yang membubung ke atas. Kedua orang guru dan murid itu duduk bersamadhi untuk menghimpun tenaga inti matahari, demikian tenggelam ke dalam samadhinya sehingga mereka sendiri tidak menyadari bahwa telah lama sekali mereka duduk diam seperti itu. Mereka baru membuka mata ketika mendengar langkah kaki orang. Biarpun dalam keadaan bersamadhi, namun panca-indera mereka peka sekali sehingga sedikit saja terdengar suara yang mencurigakan, cukup untuk menyadarkan mereka, Mereka membuka mata melihat Can Kui sudah tiba di depan mereka. Orang itu duduk bersila di atas pasir di depan mereka, kedua tangannya membawa sebatang pedang bersarung indah terukir. Pada saat itu, barulah guru dan murid itu menyadari bahwa matahari telah naik tinggi. Hari telah siang dan entah berapa jam mereka duduk bersamadhi sejak pagi tadi. “Saudara Can Kui, engkau sudah kembali? Agaknya engkau telah berhasil mendapatkan pedang itu,” kata Bu Beng Siauw Jin dengan kagum akan kehebatan orang itu bermain dalam air. “Saya berhasil, Lo-Cianpwe. Pedang itu berada dalam bilik perahu yang tenggelam, bersama benda-benda berharga lainnya, Akan tetapi saya tidak mengambil barang berharga lain kecuali pedang ini yang hendak saya berikan kepada Wong-sicu.
342
“Paman Can Kui, saya tidak membutuhkan pedang. Akan tetapi saya membutuhkan yang lain lagi yang ingin saya minta kepada paman.” “Saya tidak mempunyai apa-apa, sicu. Tentu akan saya berikan apa yang sicu minta kalau memang saya mempunyai sesuatu yang sicu butuhkan,” kata Can Kui dengan heran. “Saya membutuhkan ilmu bermain dalam air yang paman kuasài. Saya ingin mempelajarinya dari paman.” “Ah ini... ini...” Can Kui terbelalak. “Sin Cu, kenapa tidak lekas memberi hormat kepada, Gurumu?” Bu Beng Siauw-Jin berkata sambil tersenyum lebar. Mendengar ini, Sin Cu segera berlutut memberi hormat di depan Can Kui. “Suhu, harap sudi membimbing teecu mempelajari ilmu dalam air!” katanya. “Wah, Sicu, Mana bisa saya menerima sicu sebagai murid? sicu telah mempunyai seorang Guru yang sakti dan bijaksana seperti Lo-Cianpwee ini Saudara Can , setiap orang boleh jadi pandai dalam suatu hal, akan tetapi dia juga bodoh sekall dalam lain hal. Boleh jadi aku lebih pandai daripadamu mengenai ilmu siląt di
343
darat, akan tetapi kalau harus bertandihg dan bermain di air, aku menjadi seorang bodoh dan dapat mati tenggelam karena tidak pandai berenang. Karena itu, setelah Sin Cu minta dengan sungguh-sungguh untuk menjadi muridmu, mengapa engkau masih meragu? Dia seorang murid yang baik, saudara Can Kui!” “Baiklah kalau begitu, Lo-Cianpwe, kata Can Kui sambil mengangkat bangun Sin Cu. “Wong-sicu, harap engkau suka bangun...” “Suhu, bagaimana Suhu masih menyebut saya Wong-sicu? Nama saya Sin Cu.” “Baiklah, Sin Cu. Aku mau mengajarkan ilmu bermain dalam air kepadamu, akan tetapi engkaupun harus mau menerima pemberianku, sebatang pedang pusaka ini.” “Tentu saja dia tidak dapat menolak lagi. Pemberian seorang Guru kepada muridnya merupakan pemberian yang harus dijunjung tinggi,” kata Bu Beng Siauw-jin. “Coba perlihatkan kepadaku pedang itu, Saudara Can Kui. Tampaknya sebatang pedang yang sangat berharga, mempunyai sarung yang demikian indah terukir dan agaknya sarung itu terbuat dari kayu besi hitam pula!” Can Kui menyerahkan pedang itu
344
kepada Bu Beng Siauw-jin. Kakek itu menerima pedang lalu mengamati sarung dan gagangnya. Dia mengangguk-angguk kagum. “Gagang pedang dan sarungnya begini indah, buatan seorang seniman yang pandai sekali. Pedang seperti ini sepatutnya berada di istana kaisar. Hemm, ukiran pada sarung bergambar seekor naga yang indah sekali dan terukir pula nama pedang. Pek-Liong Po-Kiam (Pedang Pusaka Naga Putih)? Bukan main! Kalau tidak salah, aku pernah mendengar akan nama pedang Pek-Liong Po-Kiam ini yang menjadi sebuah di antara pusaka-pusaka istana kaisar. Coba kita lihat pedangnya, apakah benar Po-Kiam yang amat terkenal itu.” Bu Beng Siauw-jin mencabut pedang itu perlahan-lahan. Gagang pedang itu agak lebar dan setelah pedang dicabut, ternyata pedang itu merupakan sebentuk naga putih! Tertimpa sinar matahari, pedang itu berkilauan menyerang mata. Sin Cu dan Can Kui juga memandang kagum. Bentuk naga itu sempurna sekali. Gagangnya menyambung keekornya dan yang menjadi ujung pedang adalah kepalanya yang menjulurkan lidah panjang meruncing. Lidah itulah ujung pedang yang runcing. Mata pedang yang tajam terdiri dari bagian punggung dan perut naga yang bersisik, tajam seperti gergaji. Sebatang pedang yang ukirannya
345
teramat indah dan tentu pedang seperti itu mahal sekali karena langka, merupakan sebuah pedang pusaka yang luar biasa, “Siancai....! Kalau pedang pusaka ini menjadi jodohmu, memang sudah tepat sekali, Sin Cu. Agaknya memang Thian menghendaki demikian. Kau tahu, Saudara Can Kui, ada sesuatu pada muridmu yang secara aneh sekali sesuai dengan pedang ini. Sin Cu, buka lagi bajumu dan perlihatkan dadamu ke pada Guru renangmu!” Karena Can Kui sudah menjadi Gurunya, Sin Cu juga tidak merasa sungkan dan dia menaati perintah Gurunya. Dia membuka bajunya memperlihatkan dadanya kepada Can Kui. Can Kui memandang ke arah dada muridnya dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga. “Ya Tuhaan…!!!” dia berseru… “Betapa anehnya! Mirip sekali!” Dia mengamati rajah bergambar naga putih di dada Sin Cu dan membandingkannya dengan bentuk naga pada pedang yang masih dipegang oleh Bu Beng Siauw-jin. Memang mirip sekali. Rajah bergambar naga di dada Sin Cu itu demikian hidup, kalau pemuda itu bernapas, maka gambar naga itupun bergerak bergelombang seolah-olah sedang terbang di angkasa. “Sin Cu, karena pedang ini tidak ada pemiliknya dan Gurumu Can
346
Kui telah menemukan di dasar laut, maka pedang ini mulai saat ini menjadi milikmu. Aku akan berusaha untuk merangkai Kiam-Sut (ilmu silat pedang) yang sesuai dengan Pedang Pusaka Naga Putih ini untukmu. Mudah-mudahan aku akan berhasil.” Dia menyerahkan pedang itu kepada Sin Cu yang menerimanya dengan hormat. Dia sendiri harus mengakui dalam hatinya bahwa setelah melihat pedang itu, hatinya tergerak dan dia merasa suka sekali. Apa lagi mendengar bahwa Bu Beng Siauw-jin hendak merangkai sebuah ilmu pedang yang khas untuk pedangnya itu. Can Kui mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu besi hitam. “Kotak kecil ini dari dalam perahu,” katanya. “Lo-Cianpwe, saya juga membawa kotak kecil ini dari dalam perahu” katanya sambil menyerahkan kotak hitam kepada Bu Beng Siauw-jin. Mendengar ini, dengan alis berkerut Sin Cu bertanya kepada Gurunya yang baru itu. “Akan tetapi, bukankah Suhu tadi mengtakan bahwa Suhu tidak mengambil benda berharga lain dari perahu itu?” Dalam suara Sin Cu terkandung nada teguran. Can Kui menjawab dan kini suaranya tegas dan lantang,
347
“Sin Cu, jangan berprasangka buruk lebih dulu sebelum engkau mengetahui jalan persoalannya! Kotak kecil itu tadinya diikatkan pada gagang pedang sehingga ketika pedang itu kubawa naik ke permukaan air, kotak kecil. itu ikut terbawa. Hal ini baru kuketahui setelah aku tiba di atas permukaan air. Karena kotak kecil ini terikat pada pedang, maka mungkin sekali ada hubungannya dengan pedang, maka sekarang akan kuserahkan kepada Lo-Cianpwe Bu Beng Siauw-jin untuk diperiksa.” Mendengar keterangan ini Sin Cu tersipu dan dia cepat berkata, “Harap maafkan teecu, Suhu!” Bu Beng Siauw-jin tertawa dan dia menerima kotak kecil berukir indah itu “Hem... ukuran pada kotak inipun menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah benda yang amat berharga. Tutupnya rapat sekali, tentu isinya tidak sampai terkena air. Coba akan kubuka agar kita, semua dapat melihat apa isinya.” Ternyata tutup itu tidak mudah dibuka sehingga Bu Beng Siauw Jin harus mengerahkan tenaganya, barulah tutup peti kecil itu dapat terbuka. Ternyata di dalamnya terdapat sehelai kertas yang dilipat-lipat, “Ah, agakya sehelai surat dengan tulisan indah sekal! Caba engkau saja yang membacanya” Sin Cu. Bu Beng Siauw-jin menyerahkan surat itu kepada muridnya.
348
“Baca dengan suara yang jelas agar kami dapat ikut mendengarkan dan tahu apa isinya.” Sin Cu menerima kertas yang penuh tulisan dengan huruf-huruf indah itu, membuka lipatannya lalu membacanya dengan suara jelas. “Sribaginda Kaisar yang mulia, Paduka telah menganugerahi hamba dengan kedudukan panglima bahkan telah memberi anugerah berupa pedang pusaka Pek Liong Po-Kiam sebagai tanda kekuasaan. Akan tetapi ternyata hamba telah gagal menyadarkan Sribaginda Kaisar Muda yang telah dipengaruhi Thaikam Liu Chin dan antek-anteknya Bahkan Liu-Thaikam bermaksud untuk membasi hamba sekeluarga, maka terpaksa hamba melarikan diri untuk menyelamatkan keluarga hamba. Hamba telah gagal dan hamba mohon ampun yang mulia, sekiranya hamba terhunuh oleh Liu-Thaikam, semoga pedang ini terjatuh ke tangan seorang yang akan lebih mampu dari padahamba untuk menentang kekuasaan Liu Thaikam yang telah menyesatkan Sribaginda Kaisar Muda. Hamba yang berdosa, Kwee Liang. Bu Beng Siauw-jin mengangguk angguk dan meraba dagunya yang hanya ditumbuhi jenggot yang jarang berwarna putih itu. “Kiranya yang terbasmi itu adalah keluarga seorang panglima she Kwee. Seorang panglima yang setia. Ah, kembali seorang pejabat
349
yang baik menjadi korban kekejaman Thaikam Liu Chin yang terkenal licik dan jahat itu.” Dia menghela napas panjang. “Lo-Cianpwe, apakah yang telah terjadi di kota raja? Sudah belasan țahun saya tidak pernah pergi ke kota raja dan tidak pernah mendengar apa-apa dari sana. Apa yang telah terjadi di sana?” “Siapakah Thaikam Liu Chin itu, Suhu? Agaknya dia jahat sekali” tanya pula Sin Cu. “Matahari telah menjadi panas sekali. Pasir di sini juga menjadi panas. Marilah kita kembali ke pondok, akan kuterangkan tentang Liu-Thaikam dan keadaan di kota raja.” Bu Beng Siauw jin bangkit, diturut oleh dua orang itu dan mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju ke hutan yang berada di bukit di tepi pantai. “Kaisar yang sekarang naik tahta dalam usia yang terlalu muda.” Bu Beng Siauw-jin mulai bercerita sambil melangkah perlahan lahan bersama Can Kui dan Sin Cu. “Agaknya dia seorang yang lemah dan mudah terbujuk. Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang Thaikam yang amat cerdik dan licik, yaitu Thaikam Liu Cin. Thaikam ini dapat mempengaruhi kaisar sehingga kaisar yang muda itu amat mempercayainya, bahkan hampir emua urusan
350
pemerintahan terjatuh ke tangan Liu-Thaikam ini. Kaisar muda itu hanya menandatangani semua keputusah yang sudah dilakukan oleh Liu-Thaikam. Bahkan banyak pejabat yang menduduki jabatan penting digeser oleh Liu-Thaikam, digantikan oleh orang-orang kepercayaannya sendiri. Banyak pejabat setia yang melihat keadaan ini mencoba untuk menyadarkan kaisar dan menentang Liu-Thaikam, akan tetapi usaha mereka untuk menyadarkan kalsar bukan saja gagal, bahkan mereka menjadi korban keganasan Liu-Thaikam. Banyak yang tewas atau melarikan diri seperti halnya Kwee-ciangkun itu karena tidak kuat menentang Liu-Thaikam yang memiliki kekuasaan besar. Demikianlah yang kudengar selama ini. Ah, betapa jahatnya Thaikam itu!” kata Can Kui. “Kenapa kaisar itu demikian lemah dan bodoh, mudah saja dipengaruhi seorang jahat seperti Liu Cin itu, Suhu?” Sin Cu bertanya. Bu Beng Siauw-jin menghela napas panjang. “Maklumlah, beliau menduduki tahta ketika beliau masih amat muda sehingga kurang pengalaman. Pula, seorang yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, tidak pernah digembleng oleh kepahitan hidup, biasanya memang lemah. Kebetulan sekali engkau yang kini menjadi pemilik Pek-liong Po-Kiam, Sin Cu. Oleh karena itu, setelah engkau selesai belajar, kukira sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang Liu Cin dan
351
menolong Kaisar. Karena dengan demikian, berarti engkau menolong para pejabat yang setia dan menolong rakyat dari penindasan pemerintahan yang korup dan lalim.” Mereka sudah tiba di depan pondok kayu dan bambu yang sederhana itu lalu duduk di atas bangku yang berada di luar pondok di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya. Sejuk sekali duduk di situ. “Akan tetapi, bukankah Suhu pernah mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh Kekuasaan Tuhan? Kenapa sekarang Suhu menyuruh teecu untuk mencampuri urusan kerajaan yang tentu sudah diatur pula oleh Kekuasaan Tuhan?” “Sebenarnyalah, Sin Cu. Kekuasaan Tuhan bekerja setiap saat, tidak pernah berhenti dan mengatur segala yang terjadi di alam semesta ini! Juga Kekuasaan itu bekerja dalam diri kita! Karena itu, kita harus berbuat sesuai dan dengan kekuasaan itu yang mengarah kepada kebaikan dan kebajikan. Berikhtiar merupakan KEWAJIBAN bagi kita. Biarpun segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Kekuasaan Tuhan, namun kewajiban kita untuk beriktiar, berusaha. Berusaha dengan jalan yang benar. Kita ini berada di dunia hanya sebagai alat, maka jadikanlah dirimu sebagai alat Tuhan, membantu pekerjaan Tuhan, yaitu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau engkau membiarkan
352
dirimu berpihak kepada kejahatan, berarti engkau menjadikan dirimu sebagai alat setan.” “Apa yang dikatakan Gurumu yang bijaksana itu adalah benar, Sin Cu. Tuhan selalu melimpahkan berkah Nya kepada alam semesta serta sekalian isinya, termasuk kepada kita. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kita selalu berucap sukur dan memujanya dengan penuh kasih,” kata Can Kui. Sin Cu memandang Gurunya yang pertama. “Suhu… teecu sudah menyadari sepenuhnya akan kasih sayang Tuhan kepada kita yang setiap saat dilimpahkan kepada kita. Segala apa yang tampak di dunia ini bermanfaat bagi kita, seolah memang diciptakan untuk kita. Sinar matahari yang mendatangkan api, air, hawa udara, tanah, tanam-tanaman, segalanya itu memungkinkan kita untuk hidup. Segala macam kenikmatan di berikannya kepada kita melalui pancaindera kita. Akan tetapi, apakah yang kita dapat lakukan untuk menyatakan cinta kita kepada Nya? Apakah hanya cukup dengan pengakuan kasih kita di mulut dan hati saja? Bagaimana untuk memberi wujud dari kasih kita itu kepada Tuhan? Mohon petunjuk, Suhu.” Bu Beng Siauw-jin tertawa.
353
“Memang sulit, bukan? Tuhan Maha Besar, Maha Luas, juga tidak dapat kita lihat dengan pandang mata. Bagaimana kita dapat menyatakan cinta kasih kita melalui perbuatan terhadap Nya? Hal ini tidak mungkin, muridku, Kita ini terlalu kecil untuk dapat membuktikan cinta kita terhadap Tuhan Yang Maha Besar melalui perbuatan kita. Jalan satu satunya bagi kita hanyalah membuktikan kasih kita dengan menyerahkan diri menjadi alat Nya. Tuhan mengasihi semua manusia,maka kitapun harus memohon kepada Tuhan agar Kasih Illahi itu menyala pula dalam hati kita terhadap sesama manusia. Dengan api kasih itu bernyala dalam sanubari kita terhadap sesama kita, maka berarti kita sudah membuktikan kasih kita terhadap Nya. Orang yang ber-Tuhan bukan hanya merupakan pengakuan saja dengan mulut ataupun hati akal pikiran, melainkan tercermin dalam tindakan, perbuatan dan sikap hidup sehari-hari, yaitu orang yang ber-Tuhan harus pula berprikemanusiaan. Kalau dia tidak berprikemanusiaan, tidak ada kasih sayang terhadap manusia lain, berarti bahwa dia tidak ber-Tuhan dengan sesungguhnya. Tuhan Maha Kasih, maka tanpa adanya kasih dalam hati, berarti Tuhan juga tidak berada dalam hatinya. Mengertikah engkau, Sin Cu?” kata Bu Beng Siauw-jin dengan suara sungguh-sungguh. Sin Cu menundukkan mukanya dengar khidmat.
354
“Mudah-mudahan api kasih itu akan selalu bernyala dalam hati teecu, Suhu.” Mulai hari itu, Can Kui tinggal dalam sebuah kamar di pondok itu. Sin Cu diberi pelajaran renang, menyelam dan bermain dalam air oleh Can Kui. Sin Cu adalah seorang pemuda yang tekun dan rajin, juga cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai permainan dalam air. Ternyata Can Ku memang seorang ahli renang yang hebat sekali kepandaiannya. Dia dapat berenang seperti seekor ikan, dapat menyelam dan menahan napas sampai lama. Dengan tehnik-tehnik yang khas dan istimewa dia mengajar Sin Cu sehingga dalam waktu tiga tahun setelah setiap hari berlatih dengan keras, Sin Cu sudah dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh Gurunya ke dua itu. Di samping pelajaran ini, setahun kemudian setelah dia menerima Pek-Liong Po-Kiam, Bu Beng Siauw-jin sudah berhasil merangkai sebuah ilmu pedang yang amat hebat. Ilmu pedang itu disesuaikan dengan Pedang Pusaka Naga Putih sehingga ketika ilmu pedang itu dimainkan, maka pedang itu tiada ubahnya seperti seekor naga putih yang melayang-layang di udara dengan dahsyatnya. Segera Sin Cu mempelajari dan berlatih ilmu pedang ini dengan tekun. Setelah tiga tahun, Can Kui berpamit, “Semua ilmuku bermain dalam air telah saya ajarkan kepada Sin Cu. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat saya
355
ajarkan. Oleh karena itu, saya mohon diri, Lo-Cianpwe. Saya akan kembali ke perkampungan dan menjadi nelayan seperti dulu,” kata Can Kui ketika berpamit dari Bu Beng Siauw Jin. Kakek ini tidak menahannya, dan Sin Cu menghaturkan terima kasih kepada Gurunya yang ke dua itu sambil berlutut memberi hormat. Sin Cu terus berlatih ilmu silat. Dia menyempurnakan ilmu Thai-Yang Sin-Ciang, Chit-Seng Sin-Po, It-Yang-Ci dan. ilmu pedang yang disebut Pek-Liong Kiam-Sut (Ilmu Pedang Naga Putih). Juga dia berlatih sendiri bersilat dalam air sehingga dia tidak saja pandai berenang, akan tetapi biarpun berada dalam air, dia dapat bergerak-gerak dengan gerakan silat untuk menghadapi lawan. Dengan tekun dia berlatih setiap hari di bawah pengamatan Gurunya. Gadis itu cantik sekali. Usianya sekitar delapan belas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar-mekarnya semerbak harum, Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir satu, gemuk dan tebal, lalu digelung ke atas, dipantek tusuk sanggul dari emas berbentuk burung merak yang indah sekali bermata intan. Pakaiannya yang berwarna merah muda itupun terbuat dari kain sutera halus. Sepatunya dari kulit sapi berwarna hitam mengkilap. Wajahnya yang cantik itu amat menarik. Mukanya bèrbentuk bulat seperti bulan purnama, berkulit putih mulus kemerahan seperti
356
warna kulit seorang bayi. Alis yang hitam melengkung melindungi sepasang mata yang agak lebar, mata yang jeli dan mengandung sinar yang penuh keberanian dan galak. Hidungnya mancung dengan cuping hidung yang tipis. Mulutnya menggairahkan dengan sepasang bibir yang penuh berkulit tipis dan basah, kalau tersenyum tampak gigi mutiara berderet rapi dan putih. Setitik tahi lalat hitam di dagu menambah kemanisannya. Tubuhnya yang mulai dewasa dengan lekuk lengkung sempurna itu mengarah montok, tidak gemuk melainkan denok menggairahkan. Gadis itu duduk di dalam sebuah ruang yang luas dan kosong. Hanya terdapat beberapa bangku dan sebuah rak penuh berbagai macam senjata untuk bermain silat. sebihnya kosong. Memang ruangan itu merupakan sebuah Lian-Bu-Thia (ruangan berlatih silat). Di depan gadis itu duduk pula seorang laki laki tinggi besar bermuka merah Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang amat gagah. Gadis itu bukan lain adalah Ouw Yang Lan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yang Lan bersama ibunya menjadi orang-orang tawanan dari Thai-Kek-Kui (lblis Tenaga Besar) Ciang Sek majikan Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di pegunungan Thai-San. Dengan bujuk dan ancaman, Ciang Sek yang jatuh cinta kepada Lai Kim, ibu Ouw Yang Lan, akhirnya berhasil memperisteri Lai
357
Kim. Ibu muda ini terpaksa tunduk atas kemauan Ciang Sek karena ia harus melindungi puterinya yang terancam akan dibunuh kalau ia tidak mau menjadi isteri datuk itu. Ketika hal itu terjadi, Ouw Yang Lan baru berusia delapan tahun. Sebetulnya Ciang Sek biarpun seorang datuk sesat, tidak berwatak mata keranjang. Kalau dia jatuh hati kepada Lai Kim hal itu adalah karena Lai Kim memiliki wajah yang mirip dengan isterinya yang telah meninggal dunia. Inilah yang membuat dia tergila-gila. Maka, setelah Lai Kim berhasil dia peristeri, dia amat mencinta wanita itu. Bahkan cintanya sedemikian mendalam sehingga dia memperlakukan Ouwyang Lan sebagai puterinya sendiri. Hal ini membuat hati Lai Kim lambat laun mencair dan, terhibur juga. Suaminya yang dahulu, Ouw Yang Lee, tidak sedemikian sayang kepadanya, bahkan seringkali bersikap kasar. Sebaliknya Ciang Sek amat memperhatikannya dan menyayangnya. Ouw Yang Lan juga merasakan kasih sayang ayah tirinya itu. Sejak ia berada di situ, ia digembleng ilmu silat oleh Ciang Sek. Juga majikan Bukit Awan Putjh ini mendatangkan Guru sastra dan seni untuk mendidik Ouw Yang Lan sehingga gadis itu bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga pandai dalam hal baca-tulis, dan bermacam kesenian seperti memainkan alat yang-kim dan suling, bernyanyi dan bersajak, juga menari. Akan tetapi ternyata ouwyang. Lan lebih
358
berbakat dan lebih suka mempelajari ilmu silat ketimbang dua ilmu yang lain. Karena ini, Ciang Sek juga dengan tekun sekali menurunkan ilmunya kepada puteri tiri yang tersayang itu. “Lan-ji (anak Lan), pelajaran ilmu silat yang kau latih kini sudah tiba pada tahap terakhir. Semua ilmuku sudah kuturunkan kepadamu dan engkau telah dapat memainkannya dengan baik sekali. Hanya tinggal mematangkan dengan latihan saja. Sekarang, aku ingin melihat semua ilmu itu. Coba kau mainkan Ngo-Heng-Kun (Ilmu Silat Lima Unsur),” Ouw Yang Lan selalu bersemangat kalau diharuskan berlatih silat. “Baik, ayah,” katanya sambil bangkit berdiri dan menuju ke tengah ruangan yang luas itu. Kemudian mulailah ia bersilat. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat, gayanya amat manis sehingga tampak sepertinya sedang menari saja. Namun setiap sambaran tangan yang tampak lemah gemulai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. tamparan tangan itu mengandung sin-kang yang dapat meremukkan kepala lawan! “Coba keluarkan tendangan Soan Hong-Tui (Tendangan seperti angin berputar) sebagai selingan!” perintah Ciang Sek. Mendengar perintah ini, Ouw Yang Lan lalu menyelingi ilmu silatnya dengan tendangan yang indah dan berbahaya sekali bagi lawan. Kedua
359
kakinya mencuat berganti ganti, secara berantai dan susul menyusul kaki itu menendang dengan cepat bagaikan kilat menyambar, sukar sekali serangan tendangan bertubi dan berantai itu dapat di hindarkan lawan. Setelah Ngo-Heng-Kun selesai dimainkannya, Ouw Yang Lan berhenti dan lehernya agak basah oleh keringat, akan tetap pernapasannya biasa saja dan tampaknya ia tidak merasa lelah. Sekarang aku ingin melihat kekuatan tenaga saktimu dalam Pek-In Ciang Hoat (Silat Tangan Awan Putih)!” “Baik, ayah.” Kini Ouw Yang Lan mengembangkán kedua lengannya, lalu perlahan-lahan kedua lengannya itu beralih ke depan lurus, lalu di angkat ke atas seperti menghimpun sesuatu dari sekelilingnya, Setelah itu ia mengeluarkan suara bentakan melengking. “Hiyaaaaattt...” kedua tangannya bergerak memukul-mukul dan dari kedua telapak tangannya itu mengepul uap putih,kemanapun kedua, tangannya menampar, terdengar suara angin mengiuk dan uap putih menyambar. Jelas ini merupakan pukulan yang mengandung tenága sakti yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh! Ouw Yang Lan melakukan ilmu silat Pek-in Ciang-hoat itu dengan lambat- lambat saja, namun segera pada muka dan lehernya penuh oleh keringat, tanda bahwa ia telah mengerahkan
360
tenaga dalam yang menguras tenaga. Setelah selesai mainkan ilmu silat bertenaga sakti yang terdiri dari delapan belas jurus saja ini, Ouw Yang Lan berhenti bersilat, berdiri dan napasnya agak memburu, lalu ia menggunakan saputangan untuk menghapus keringat di leher dan mukanya. “Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat. Akan tetapi, engkau harus terus berlatih untuk mematangkan ilmu ilmu yang telah kaukuasai dengan baik. Sekarang yang terakhir, aku ingin melihat engaku bermain Lo-Thian Kiam-Sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).” “Baik, ayah.” Ouw Yang Lan menghampiri rak senjata dan mengambil sebatang pedang, kemudian ia kembali membawa pedang ke bagian tengah ruangan. Kemudian,mulailah ia bersilat pedang. Sungguh indah sekali gerakannya, seperti sedang menari-nari, akan tetapi gerakannya makin lama semakin cepat sehingga bayangan gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung. Hanya kadang tampak sebuah kaki menginjak tanah lalu meloncat dan lenyap lagi tertutup sinar pedang. Thai-Lek-Kui (Iblis Tenaga Besar) Ciang Sek mengangguk-angguk gembira sekali. Tingkat kepandaian Ouw Yang Lan sudah
361
demikian hebat sehingga tidak berselisih jauh dibandingkan tingkatnya sendiri. Hanya saja kurang matang,kalau sudah matang maka dia sendiri belum tentu dapat mengalahkannya. Setelah Ouw Yang Lan selesai memainkan ilmu pedang itu, ia lalu menghampiri ayah tirinya dan mereka duduk berhadapan. Gadis itu menghapus keringatnya dengan saputangan. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu kini menjadi kemerahan. Cantik sekali! Thai-Lek-Kui Ciang Sek memandang wajah cantik itu dengan bangga. “Lan-ji, aku bangga mempunyai seorang anak seperti engkau. Aku bangga dan aku sayang sekali padamu.” Ucapan ini keluar dari lubuk hatinya dan suaranya agak gemetar karena haru. ketika dia mengatakannya. Dia bukan saja mencinta Lai Kim sebagai isterinya, akan tetapi dia juga sayang kepada Ouw Yang Lan seperti kepada anak kandungnya sendiri. Hal ini mungkin karena ia tidak pernah mempunyai anak kandung. Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Lan menatap dan mengamati wajah ayah tirinya dengan tajam dan penuh selidik. Sepasang matanya yang agak lebar dan jeli itu mengeluarkan sinar mencorong. “Ayah, aku ingin bicara denganmu, aku ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini mengganggu hatiku kepadamu. Sikap dan ucapan gadis ini demikian wajar dan terbuka, juga penuh
362
keberanian, tanda bahwa gadis ini memiliki keberanian dan kekerasan hati yang membuat ia suka bicara blak-blakan. “Hemm, tentu saja boleh, anakku. Apa yang hendak kaubicarakan dan tanyakan?” Setelah menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang agak terguncang karena pentingnya persoalan yang hendak ia bicarakan, Ouw Yang Lan lalu berkata, “Ayah, selama ini ayah bersikap amat baik dan menyayang kepadaku. Oleh karena itu, akupun selalu taat dan sayang kepada ayah. Aku juga tahu benar bahwa ayah amat mencinta ibu.” “Tentu saja, Lan-ji. Di dunia ini, hanya ada dua orang amat kucinta dan sayang, yaitu ibumu dan engkau.” “Aku tahu, ayah. Hal inilah yang amat mengganggu hatiku. Bagaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Kenapa ayah, orang yang sebaik ini, telah menculik ibu dan aku dan membawa kami ke sini? Kemudian ayah memperisteri ibuku? Ibuku tidak pernah mau mengaku kalau aku bertanya tentang hal ini. Sekarang, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadamu, ayah. Harap ayah suka berterus terang dan secara jujur menjawab pertanyaanku itu agar hatiku tidak selalu merasa penasaran.” Mendengar
363
pertanyaan yang disertai pandang mata penuh selidik itu, Ciang Sek menjadi agak berubah pucat mukanya dan berulang kali dia menghela napas panjang. Kemudian suaranya terdengar lirih dan penuh kekhawatiran ketika dia bertanya, “Anakku Lan-ji, kalau aku mengaku terus terang, apakah engkau akan menganggap aku jahat sekali kemudian engkau menjadi benci kepadaku?” Ouw Yang Lan menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak, ayah. Apapun yang telah kau lakukan terhadap ibu dan aku, buktinya engkau amat mencinta dan menyayang kami berdua. Engkau menjadi ayahku yang baik dan juga menjadi Guruku yang baik, mana bisa aku membencimu? Akan tetapi kalau aku tidak tahu apa yang menyebabkan engkau menculik ibu dan aku, tentu saja aku akan terus dihantui.rasa penasaran.” Baiklah, aku akan bercerita terus terang kepadamu, anakku. Sepuluh tahun yang lalu, aku didatangi Tok-Gan-Houw (Harimau Ma ta Satu) Lo Cit yang menjadi sahabatku dan dia minta tolong kepadaku untuk membantunya membuat perhitungan dengan Ouw yang Lee, Majikan Pulau Naga.” “Ayah kandungku?” Ouw Yang Lan memotong. Tentu saja ia masih ingat kepada Ouw Yang Lee yang seingatnya tidaklah seramah dan sebaik Ciang Sek sikapnya terhadap ia maupun ibunya.
364
Bahkan pernah beberapa kali ia melihat ayah kandungnya itu bersikap kasar terhadap ibunya, “Benar, ayah kandungmu. Lo Cit mendendam kepadanya karena beberapa kali anak buahnya diserbu dan dihancurkan oleh anak buah Pulau Naga. Karena itu dia ingin membalas dendam dan minta pertolonganku untuk membantunya. Mengingat akan persahabatan kami yang sudah belasan tahun lamanya, akupun memenuhi permintaannya. Demikianlah, dengan membawa banyak anak buah, Lo Cit dan aku malam itu menyerbu Pulau Naga. Kebetulan kami berdua melihat kedua orang isteri Ouw Yang Lee dan dua orang anak mereka berada ditaman. Lo Cit lalu mengambil keputusan untuk menculik anak isteri Ouw Yang Lee sebagai balas dendam. Dan aku melihat sesuatu pada ibumu yang membuat aku segera memilih ibumu dan engkau untuk kubawa lari.” “Mengapa engkau memilih ibuku? Apa yang menarik darinya bagimu?” “Wajah ibumu mirip sekali dengan wajah mendiang isteriku. Karena itulah begitu melihat ibumu, aku langsung jatuh cinta. Akhirnya ia mau menjadi isteriku dan engkau menjadi anakku.
365
Sejak itu hidupku berbahagia sekali!. Diam-diam hati gadis itu membantah. “Ibu mau karena kaupaksa dan karena ibu ingin menyelamatkannya dari ancaman.” Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga mulutnya tidak mengatakan sesuatu. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui bahwa sekarang, setelah sepuluh tahun menjadi isteri Ciang Sek yang benar-benar mencintanya, ibunya juga akhirnya dapat mencinta pria itu. Ciang Sek mengamati wajah gadis itu penuh selidik dan sinar matanya membayangkan kekhawatiran, Dia benar-benar menyayang anak tirinya ini seperti mencinta anak kandung kalau-kalau Ouw Yang Lan akan marah dan membencinya setelah mendengar semua pengakuannya. “Lan-ji, engkau tidak marah dan benci kepadaku setelah mendengar semua pengakuanku yang sejujurnya tadi? Ouw Yang Lan balas memandang wajah ayah tiri itu dan ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Mengapa aku harus membencimu, ayah? Engkau bersikap baik sekali kepada ibu dan aku, sudah sepatutnya kami berterima kasih dan membalas kasih sayangmu. Yang membalas dendam kepada Pulau Naga adalah Tok-Gan-Houw Lo Cit, sedangkan engkau
366
hanya kebetulan terbawa saja karena engkau hendak membantu sahabat.” Ouw Yang Lan bangkit berdiri lalu berkata, “Ayah, aku telah lelah dan hendak pergi mandi.” Tanpa menanti jawaban ia lalu meninggalkan Lian-Bu-Thia itu. Setelah mandi dan tukar pakaian, Ouw Yang Lan menemui ibunya dalam kamar. duduk di dekat ibunya dan bertanya dengan suara manja dan lembut. “Ibu, maukah ibu bercerita kepadaku tentang Pulau Naga ?” Gadis ini amat menyayang ibunya dan merasa iba kepada ibunya yang dipaksa berpisah dari suami lalu terpaksa menjadi isteri penculiknya, terutama sekali untuk menyelamatkannya. Walaupun ia tahu bahwa kini ibunya hidup cukup bahagia dan mencinta suami yang bersikap amat baik kepadanya, namun tetap saja perasaan iba itu selalu terdapat dalam sanubarinya. Mendengar pertanyaan puterinya itu, Lai Kim memandang wajah Ouw Yang Lan dengan mata dilebarkan dan mengandung kekagetan dan keheranan. Wanita yang telah berusia empat puluh dua tahun ini masih tampak cantik menarik seperti wanita berusia dua puluh tahun lebih saja. “Tentang Pulau Naga?” la mengulang dengan mata terbelalak dan dalam suaranya terkandung getaran penuh kesangsian. Sudah bertahun-tahun Ouw Yang Lan tidak pernah lagi bertanya tentang
367
Pulau Naga,maka pertanyaan yang tiba-tiba ini amat mengejutkannya. Ya, ibu. Aku ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang ayah Ouw Yang Lee dan kehidupan di Pulau Naga.” “Akan tetapi bukankah engkau telah mengetahui semuanya anakku”? engkau bukan anak kecil lagi ketika meninggalkan Pulau Naga. Usiamu ketika itu sudah delapan tahun, tentu engkau masih ingat akan semua hal di sana. Apa lagi yang ingin Engkau ketahui?” “Aku ingin mengetahui tentang pekerjaan ayah Ouw Yang Lee dan tentang sikapnya terhadap ibu. Yang kuherankan, kenapa sampai sekarang dia belum pernah mencari kita, ibu? Apakah dia tidak mempedulikan kita lagi?” “Kenapa engkau tanyakan hal itu, Lan ji? Bukankah engkau sudah senang tinggal di sini dan menjadi anak ayahmu Cian Sek?” “Benar, ibu. Akan tetapi aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang ayah Ouw Yang Lee. Bukankah dia itu ayah kandungku?” “Ayahmu Ouw Yang Lee adalah seorang datuk besar yang menguasai daerah Laut Timur dan pantainya, menguasai para bajak laut. 'Ayah kandungmu itu adalah seorang laki-laki yang amat
368
keras hati dan wataknya sukar diduga dan aneh. Bahkan tidak jarang dia bersikap keras dan kasar terhadap isteri-isterinya. Tentu engkau ingat, akan semua itu. Bukankah engkau pernah melihat betapa ayah kandungnu itu bersikap kasar dan keras kepadaku?” Ouw Yang Lan mengangguk dan menghela napas panjang. “Kalau aku ingat akan semua itu, aku merasa takut kepada ayah Ouw Yang Lee. Ibu, bagaimana kiranya tentang keadaan dan nasib adik Ouw Yang Hui dan ibunya? Apakah Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui telah kembali ke Pulau Naga? Aku ingin sekali mengetahui keadaan mereka. Mudah-mudahan saja mereka berdua selamat seperti juga kita.” Lai Kim menghela napas panjang. “Mudah-mudahan begitu. Nasib kita semua sungguh buruk, tertimpa malapetaka dan diculik orang. Akan tetapi nasib kita berdua masih baik dan dilindungi Tuhan, Lan ji.Buktinya kita kini hidup berbahagia dan ayah tirimu ternyata seorang laki-laki gagah yang bertanggung-jawab dan bersikap amat baik kepada kita. Biarpun dengan berat hati, aku harus mengakui sejujurnya bahwa aku mengalami kehidupan yang lebih tenang dan berbahagia di sini dari pada ketika kita masih tinggal di Pulau Naga dahulu, Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib ibumu Sim Kui Hwa dan anaknya,
369
Ouw Yang Hui. Mudah-mudahan saja merekapun dalam keadaan selamat dan bahagia seperti kita.” Ouw Yang Lan mengangguk. “Ibu, aku tidak menyalahkan ibu. Aku sudah cukup besar dahulu itu untuk mengetahui bahwa ibu mau menjadi isteri ayah Ciang Sek karena terpaksa, karena hendak menyelamatkan aku. Dan akupun tahu bahwa ternyata kemudian ibu hidup berbahagia karena ayah Ciang Sek bersikap baik dan bijaksana terhadap kita berdua.. Akan tetapi aku tetap saja merasa penasaran, ibu. Ouw Yang Lee adalah ayah kandung ku. Mengapa sampai sekarang dia tidak pernah berusaha mencari kita?” “Sudahiah, Lan-ji. Sudah kukatakan bahwa ayah kandungmu itu seorang yang berwatak keras sekali dan kadang aneh dan tidak perdulian. Kita sekarang telah hidup di Pek-In-San (Bukit Awan Putih) sini dengan tenang dan bahagia, dan biarlah kita doakan saja semoga kehidupan ayah kandungmu menjadi lebih baik dan lebih berbahagia dari pada ketika kita masih tinggal di sana dahulu.” “Ibu, aku masih ingat bahwa ayah Ouw Yang Lee adalah seorang yang berkepandain tinggi. Akan tetapi ayah Ciang Sek juga seorang yang berilmu tinggi. Entah siapa di antara mereka yang lebih lihai.”
370
“Engkau ini aneh, Lan-ji. Mengapa soal imu silat kautanyakan kepadaku yang tidak tahu apa-apa? Tentunya engkau yang lebih tahu akan hal itu. Bukankah engkau telah mempelajari ilmu silat, baik dari Pulau Naga maupun dari Pek-In-San?” “Ketika belajar dari ayah Ouw Yang Lee, aku masih kecil, ibu, baru diajar dasar-dasar ilmu silat saja. Akan tetapi aku telah tahu babwa ayah Ouw Yang Lee memiliki ilmu yang hebat, yang disebut Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah).” “Bagaimana dengan Ilmu silat yang kau pelajari dari ayahmu di sini?” Wajah Ouw Yang Lan berseri dan ia mengangguk-angguk. “Ayah Ciang Sek amat baik dan amat sayang kepadaku, ibu. Dia telah menurunkan semua ilmunya kepadaku. Bukan saja ilmu silat Ngo-Heng-Kun (Silat Lima Unsur), dan limu tendangan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Berputar), juga ilmu-ilmu simpanannya, yaitu Pek-In-Ciang-Hoat (llmu Silat Awan Putih) dan Lo-Thian Kian-Sut (ilmu Pedang Pengacau Langit). Dia adalah seorang yang lihai sekali, ibu. Karena itu, aku ingin sekali mengetahui, siapa yang lebih hebat di antara kedua orang ayahku itu.”
371
“Siapa yang lebih pandai tidaklah penting, Lan-ji. Yang penting, engkau sekarang telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan cukup kuat untuk kau gunakan menjaga diri. Akan tetapi ingat lah, bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang yang amat pandai dan tidak ada orang yang paling pandai di dunia ini. Sekali waktu pasti akan bertemu orang lain yang lebih pandai dari pada dirinya. Karena itu berhati-hatilah, Lan-ji dan jangan terlalu mengagulkan dirimu.” Ouw Yang Lan diam mendengarkan nasihat ibunya itu, akan tetapi dalam hatinya ia merasa tidak setuju. la ingin untuk menjadi orang yang paling tangguh di dunia ini agar tidak sampai mengalami nasib seperti yang pernah dialami ibunya, yaitu diculik dan dilarikan orang tanpa daya. Coba, andai kata ibunya memiliki ilmu kepandaian seperti ia sekarang, tentu tidak akan ada orang yang, berani memperlakukan sesuka hatinya! la lalu teringat kepada Tan Song Bu yang menjadi murid ayah kandungnya, juga teringat kepada Ouw Yang Hui, adik tirinya yang amat disayangnya. Song Bu dan adik Ouw entah di mana ia sekarang. “Ibu, aku ingin sekali bertemu dengan suheng (kakak laki-laki seperGuruan) Tan Yang Hui. Tentu sekarang suheng telah menjadi pemuda yang lihai sekali. Dan adikku Ouw Yang Hui, ah, entah berada di mana ia sekarang,”
372
“Menurut cerita ayah tirimu, ibumu Sim Kui Hwa dan adikmu Ouw Yang Hui dilarikan oleh orang yang bernama Tok-Gan-Houw Lo Cit, mereka itu sudah kembali ke Pulau Naga atau masih berada di tangan Lo Cit yang menjadi musuh ayah kandungmu itu. Ayah tirimu hanya terbawa-bawa karena ikut membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit yang hendak membalas dendam kepada Ouw Yang Lee. Ayah tirimu tidak dapat menolak permintaan Lo Cit karena di antara mereka ada tali persahabatan. “Ibu, tahukah ibu di mana Tok-Gan-Houw Lo Cit itu tinggal?” “Pernah kutanyakan kepada ayah katanya Lo Cit itu tinggal di bukit Houw san yang berada di pesisir laut timur,kata Lai Kim yang sama sekali tidak menyangka bahwa puterinya mempunyai niat lain kecuali hanya ingin tahu. Barulah Lai Kim terkejut sekali ketika pada keesokan harinya ia tidak dapat menemukan Ouw Yang Lan. Ketika ia mencari-cari, di dalam kamar puterinya yang kosong itu ia menemukan sehelai surat tulisan tangan Ouw Yang Lan. “Ayah dan lbu yang tercinta, Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diijinkan ibu. Aku ingin meluaskan pengalaman dan merantau, mengunjungi Pulau Naga untuk bertemu ayah Ouw Yang Lee, suheng Tan Song Bu dan mencari ibu Sim Kui Hwa dan adik Hui. Harap ayah dan ibu tidak
373
khawatir. Aku dapat menjaga diri dengan baik.” Anakmu Ouw Yang Lan. Lai Kim hanya dapat menangis, hatinya penuh kekhawatiran. Bagaimana seorang gadis muda dapat melakukan perjalanan merantau seorang diri? Padahal di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat. Sudahlah, isteriku, jangan terlalu berduka. Agaknya engkau lupa bahwa anak kita itu bukan seorang gadis yang lemah,aku percaya kepadanya bahwa ia akan mampu menjaga dirinya dengan baik! Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Ketahuilah bahwa ia telah menguasai semua ilmuku, bahkan tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan tingkatku sendiri. la pasti akan selamat dan memang sudah menjadi haknya untuk bertemu dengan ayah kandungnya,” kata Ciang Sek yang menghibur isterinya. Akan tetapi Ia hanyalah seorang perempuan. “Ah, kasihanilah aku, engkau setidaknya engkau temani ia dalam perjalanan merantau agar hatiku tenang.” Lai Kim memohon. susullah dan bujuklah ia agar kembali, Suaminya tersenyum dan dengan lembut menyentuh pundaknya. “isteriku, engkau masih menganggap bahwa Lan-ji itu seorang anak perempuan yang kecil dan lemah. Kalau aku pergi
374
menyusulnya, tentu dia akan marah sekali kepadaku dan kalau ia memaksa meninggalkanku, apa yang dapat kulakukan? Aku tidak mungkin dapat memaksanya kembali. Sudahlah, tenangkan hatimu. Memang demikianlah watak seorang ànak perempuan yang sudah menguasai ilmu kepandaian yang tinggi. la kini telah menjadi seorang pendekar wanita, maka apa salahnya kalau ia melakukan perantauan untuk meluaskan pengalaman? Kita berdoa saja agar ia selalu selamat dalam perjalanan.” Setelah dibujuk-bujuk dan diyakinkan akhirnya Lai Kim dapat tenang dan merelakan puterinya pergi merantau seorang diri. Pegunungan Thai-San adalah sebuah pegunungan yang panjang dan luas sekali. Pek-In-San hanya merupakan satu di antara ratusan bukit yang berada di pegunungan Thai-San. Ouw Yang Lan semenjak berada di Pek In San belum pernah meninggalkan daerah pegunungan ini. Kalau ia pergi dari Pek-In-San, ia pergi hanya untuk berkunjung ke dusun-dusun di sekitarnya. Paling jauh ia pergi ke dusun Tiong-Bun-Lim yang berada di kaki bukit Pek-In San, termasuk wilayah bukit lain karena dusun itu cukup besar dan damai dan sering dikunjungi para pedagang yang membawa barang-barang keperluan rumah tangga termasuk kain dan pakaian, Ouw Yang Lan pergi ke dusun iní untuk berbelanja,
375
terkadang ia pergi dengan ayahnya atau pernah juga pergi seorang diri. Akan tetapi sekarang ia pergi seorang diri menuruni lereng-lereng pegunungan Thai-San! la merasa gembíra sekali. Merasa bebas seperti seekor burung terbang meninggalkan sarang, melayang-layang di angkasa orang diri dan bebas dari segala macam peraturan rumah tangga orang tuanya! Mula mula la memang merasa gembira sekali dan mengagumi keindahan pemandangan di sepanjang perjalanan. Akan tetapi setelah dia melakukan perjalanan selama setengah hari, naik turun bukit dan jurang, keluar masuk hutan-hutan besar, ketika matahari naik tinggi, ia mulai merasa bosan dan lelah! Beberapa kali ia berhenti untuk minum air dari guci air yang dibekalnya, akan tetapi ia tidak ada nafsu untuk makan, padahal ia ada pula membawa bekal makanan berupa roti dan daging. Baru saja setengah hari melakukan perjalanan yang semula amat menggembirakan dan membuat ia merasa seperti seekor burung terbang di angkasa bebas itu, kini ia merasa kelelahan dan bosan, seperti seekor burung yang kesepian dan rindu akan sarangnya yang hangat. Ouw Yang Lan menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan gunung itu. Puncak Bukit Awan Putih sudah tidak tampak dari situ, sudah terhalang beberapa buah
376
bukit lain. la menurunkan buntalan pakaian yang digendongnya karena buntalan itu terasa berat dan juga membuatnya gerah. Dihapusnya keringatnya dengan sehelai saputangan. Teringat akan perasaan murungnya, ia bersungut-sungut dan kekerasan hatinya membuat ia mencela dirinya sendiri. “Ihh! Engkau lemah dan cengeng! Baru begini saja sudah mengeluh! Mana kegagahn dan semangatmu! Menyebalkan!” la membuka buntalannya dengan kasar karena marah kepada dirinya sendiri, mengeluarkan roti dan daging lalu memaksa dirinya makan roti dan daging karena sebetulnya ia merasa lapar. Baru saja ia makan separuh rotinya, tiba-tiba pendengarannya tertarik oleh suara berkeresekan di sebelah kiri. Binatang hutan, pikirnya dan iapun siap siaga menghadapi ancaman kalau-kalau ada binatang buas yang akan muncul, Akan tetapi ia masih tetap duduk di atas batu di bawah pohon itu,saambil makan rotinya. Sebatang pedang masih menempel di balik purggungnya. Itulah Pedang Lo-thian-kiam (Pedang Pengacau langit) milik ayah tirinya yang ia ambil dan bawa untuk senjata pelindung dirinya. la bersikap tenang saja, namun setiap helai urat syarafnya telah menegang dan siap penuh kewaspadaan seperti yang dimiliki setiap orang ahli silat yang pandai. Kemudian muncullah pembuat suara berkeresekan itu dari balik semak belukar dan mereka itu
377
ternyata adalah dua orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berwajah bengis. Rambut, kumis dan jenggot mereka awut-awutan tak terpelihara, pakaian yang terbuat daři kain kasar itupun kusut dan kotor. Di pinggang masing masing tergantung sebatang golok besar. Ketika mereka muncul dan melihat bahwa yang mereka intai adalah seorang gadis yang amat cantik sedang makan roti, keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Hok-te (adik Hok)! Kita mengira akan menjumpai seekor harimau ganas di sini tidak tahunya yang kita temukan adalah seekor domba betina muda yang jinak dan lúnak dagingnya. Ha-ha-hal” kata yang bermata lebar kepada temannya yang bermuka pucat. Si muka pucat menyeringai dan sepasang matanya yang juling'itu menatap ke arah Ouw Yang Lan, menelusuri tubuh gadis itu dari kepala sampai ke kaki dengan sinar mata lahap. “Waduh, Sam-Twako (kakak Sam), ia begitu cantik jelita seperti seorang bidadari! Ah, mau rasanya usiaku dikurangi sepuluh tahun kalau aku bisa mendapatkannya!”
378
“Ha-ha-ha!” Si muka hitam yang matanya lebar itu tertawa lalu melangkah maju dan berdiri di depan Ouw Yang Lan yang bersikap tidak peduli dan masih makan rotinya. “Tawanan sehebat ini tidak boleh kita ganggu, Hok-te, harus kita serahkan kepada ketua. Kita tentu akan mendapatkan hadiah besar! Nona manis, marilah engkau ikut bersama kami dan kami berjanji engkau tentu akan hidup senang!” Ouw Yang Lan merasa sebal sekali melihat sikap dan mendengar ucapan dua orang itu. Ia menunda makan rotinya dan berkata, “Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang macam kalian. Jangan kalian mencari perkara dan pergilah jangan mengganggu aku yang sedang makan!” Setelah berkata demikian, ia melanjutkan mengunyah rotinya dan mengambil sikap tidak mengacuhkan mereka lagi. Kini si muka ptucat juga sudah berdiri di samping rekannva, di depan Ouw Yang Lan. “Sam-Twako, gadis ini galak juga. Biarkan aku meringkusnya. Aku ingin menyentuh dan mendekap tubuhnya yang denok itu!” Mendengar ini, Ouw Yang Lan tak dapat menahan kemarahannya lagi. Roti yang dimakannya masih tinggal sepotong di tangan kanannya dan tiba-tiba saja ia mengayun tangannya, menyambitkan roti itu kearah si muka pucat sambil mengerahkan tenaga.
379
“Wuuutt... plokk…!” Roti itu lunak saja, akan tetapi ketika menimpa muka simuka pucat, roti lunak itu menghantam seperti sepotong papan baja saja. Si muka pucat menjerit dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya terjengkang dan terhuyung ke belakang, hampir saja roboh. Melihat ini, si muka hitam bermata lebar terbelalak, akan tetapi dia tidak merasakan seperti yang dirasakan rekannya dan hanya menganggap bahwa timpukan itu biasa saja. “Ha-ha, kiranya domba betina ini bertanduk juga! Biar aku yang meringkusnya.” Setelah berkata demikian, dengan mulut menyeringai dia lalu menubruk ke arah Ouw Yang Lan. Bukan tubrukan biasa, melainkan tubrukan dengan gerakan silat, yaitu dengan jurus yang dinamakan Go-Houw-Po-Yang (Harimau Lapar Terkam Domba) kedua lengannya dikembangkan dan menyambar dari kanan kiri untuk merangkul atau mendekap tubuh gadis cantik yang masih duduk enak-enakan di atas batu itu. Tampaknya saja Ouw Yang Lan duduk santai. Sebenarnya ia sudah siap siaga. la sengaja bergerak lambat sehingga seolah olah ia tidak akan mampu meloloskan diri dari terkaman itu. Akan tetapi pada detik terakhir, tubuhnya berkelebat menyusup kebawah lengan kanan si muka hitam. Di belakang tubuh lawan ia membalik dan dengan kakinya menendang atau mendorong pantat si muka
380
hitam, Tak dapat dihindarkan lagi tubuh si muka hitam itu terdorong dan menerkam batu yang tadi diduduki Ouw Yang Lan. Dorongan itu demikian kuatnya sehingga muka penjahat bermata lebar itu menimpa permukaan batu. “Bresss adouuuuww...!!” Ketika si ruka hitam itu membalik, mukanya kelihatan berdarah-darah yang keluar dari hidungnya yang remuk dan mulutnya yang sebagian giginya telah rompal! Melihat ini, si muka pucat yang sudah dapat membuka matanya yang tadi dihantam roti, maklum bahwa gadis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia lalu mengeluarkan sebuah sempritan dan dia meniup sempritan itu dengan kuat. Terdengar suara melengking tiga kali, kemudian si muka pucat mencabut goloknya dan menghampiri Ouw Yang Lan dengan golok besar tajam di tangan, dengan sikap bengis dan mengancam. Si muka hitam yang kesakitan itu juga sudah mencabut goloknya. Kemarahannya rncngalahkan rasa nyerinya dan dengan golok di tangan diapun menghampiri Ouw Yang Lan dengan wajah mengerikan, penuh darah dan matanya melotot mengerikan. “Sialan! Kalian ini dua orang manusia yang tak tahu diri dan bosan hidup!” kata Ouw Yang Lan dengan marah. la benar benar merasa terganggu, akan tetapi di samping kenmarahannya, juga timbul
381
semacam perasaan gembira bahwa kini tiba saatnya ia mempergunakan dan memperlihatkan itmu kepandaiannya yang selama sepuluh tahun dilatihnya dengan tekun. Tentu saja ia memandang rendah dua orang lawannya itu karena dari gebrakan pertama tadi saja ia sudah mengetahui bahwa dua orang itu sebenarnya hanya merupakan gentong kosong belaka, Orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga otot dan serakan mereka lamban sekali baginya. Menghadapi orang macam ini, biarpun ada dua puluh orang iapun tidak akan gentar. Dua orang penjahat itu kini sudah marah sekali. Hati mereka penuh dendam karena mereka bukan saja merasa disakiti, bahkan merasa dihina oleh gadis itu. Kalau tadinya mereka berdua terpesona oleh kecantikan Ouw Yang Lan dan bermaksud untuk kurang ajar, kini sama sekali mereka tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu lagi, melainkan kini mereka bernapsu untuk mendapat kesempatan mencabik-cabilk tubuh yang putih mulus itu! Mereka menggerengan seperti binatang dan keduanya sudah menerjang maju, menyerang dari kanan kiri, menggunakàn golok mereka untuk membacok. Dua batang golok menyambar dari atas ke bawah, disebelah kanan dan kiri tubuh Ouw Yang Lan. namun dara itu bersikap tenang sekali, seolah tidak tahu bahwa ada dua batang golok mengancam
382
nyawanya. Tubuhnya akan terbelah menjadi tiga potong kalau dua golok itu mengenai sasaran Pada saat dua batang golok itu sudah menyambar dekat sekali dan dua orang penyerang itu merasa yakin bahwa serangan mereka akan mengenai sasaran, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan dua orang itu terbelalak karena golok mereka membacok tempat kosong karena orang yang dibacok telah lenyap dari situ. Entah kapan dan bagaimana caranya gadis itu menghindarkan diri mereka tidak sempat mengetahuinya, karena gerakan itu sedemikian cepatnya seolah gadis itu pandai menghilang. Dua orang itu menjadi bingung mencari dengan pandang mata mereka. “Kalian mencari aku?” Tiba-tiba suara gadis itu terdengar di belakang tubuh mereka dan Cepat mereka membalikkan tubuh dan benar saja, mereka melihat gadis itu sudah berdiri sambil tersenyum manis dengan sikap biasa saja seolah tidak menghadapi dua orang lawan yang sudah marah dan menjadi buas seperti dua ekor binatang hutan. “Perempuan siluman!” si muka pucat memaki. “Kubunuh kau...!” bentak si muka hitam dengan suara tidak jelas karena mulutnya kehilangan banyak gigi.
383
“Hyaaaattt.. Dua orang itu bergerak dengan berbareng, keduanya mengeluarkan bentakan dan menggunakan golok mereka untuk menerjang dengan tusukan ke arah dada dan perut Ouw Yang Lan. Seperti juga tadi, dara perkasa itu tidak tergesa-gesa menghindarkan diri, seolah hendak menerima tusukan itu begitu saja sehingga dua orang penyerang itu sudah merasa girang karena mereka yakin bahwa mereka akan dapat membunuh gadis itu dan membalas dendam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap sehingga kedua orang penyerang itu terdorong ke depan karena golok mereka hanya menusuk tempat kosong. Tubuh gadis itu hanya tampak berkelebat ke atas dan ternyata ia telah melompat seperti seekor burung terbang. Di udara ia berjungkir balik dan tubuhnya menyambar ke bawah, kedua tangannya bergerak menampar ke arah kepala dua orang yang masih tèrhuyung ke depan itu. “Plak! Plak!” Tamparan itu kelihatannya saja perlahan, namun karena gerakán kedua tangan itu mengandung tenaga sakti yang ampuh karena merupakan jurus dari Pek-In-Ciang-Hoat (lmu Silat Awan Putih) maka isi kepala dua orang itu terguncang isinya dan mereka terpelanting, golok mereka terlepas dan mata mereka mendelik. mereka klenger (pingsan)seketika tanpa dapat mengeluh lagi. Pada saat tubuh Ouw Yang Lan sudah turun ke atas
384
tanah, tiba-tiba terdengar teriakan banyak orang dan muncullah tiga belas orang di tempat itu. Ketika ketiga belas orang itu melihat betapa dua orang kawan mereka yang tadi memberi tanda bahaya dengan sempritan telah menggeletak seperti orang yang tak bernyawa lagi, mereka menjadi marah. Dan pemimpin mereka, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang berjenggot panjang, memberi aba-aba dan mereka semua segera membuat gerakan mengepung gadis itu. Melihat dirinya dikepung tiga belas orang yang kesemuanya tampak bertubüh kokoh kuat dan bersikap bengis, Ouw Yang Lan tenang saja bahkan tersenyum lebih lebar. Dalam hatinya timbul kegembiraan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Kini ia dapat bertindak seperti seorang pendekar wanita sejati, ia Sama sekali tidak merasa gentar karena gadis ini memang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. la bahkan merasa yakin bahwa ia mampu menandingi dan mengalahkan tiga belas orang laki-laki kasar ini. Seorang di antara mereka lari menghampiri dua orang anak buah yang roboh tadi dan setelah memeriksa keadaan mereka dia lari kepada pemimpin yang berjenggot panjang dan berkata,
385
“Mereka hanya pingsan.” Si jenggot panjang kini memandang kepada Ouw Yang Lan dan suaranya terdengar lantang ketika dia bertanya, “Nona, engkau telah berani merobohkan dua orang ansk buah kami! Apakah engkau mencari penyakit, tidak tahu bahwa mereka ádalah anak buahku dan aku adalah Thai-San Sin-Houw (Macan Sakti Gunung Thaisan)? Aku yang menguasai daerah ini dan semua orang harus tunduk kepadaku! Engkau telah melanggar wilayah kami dan dengan lancang telah merobohkan dua orang anak buah kami. Hayo lekas engkau berlutut dan menyerah menjadi tawanan kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!” Ouw Yang Lan tersenyum mengejek. “Sudah habiskah pidatomu? Dengarlah, Thai-San Sin-Houw, dua orang anak buahmu ini mengganggu aku yang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku sedang melakukan perjalanan dan mengaso sambil makan roti, akan tetapi mereka menggangguku dan hendak menangkap aku. Maka, aku nasihatkan agar engkau dan semua anak buahmu segera pergi dari sini dan jangan mengganggu aku yang tidak bersalah apapun. Lebih baik engkau lekas pergi, karena kalau tidak, nama julukanmu Macan Sakti dapat berubah menjadi Macan Ompong!” Tentu saja kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Dua belas orang anak
386
buahnya tidak ada yang berani tertawa, dalam hati mereka merasa geli juga mendengar ejekan gadis yang luar biasa beraninya itu. “Gadis sombong! Kawan-kawan, tangKap gadis ini! Jangan bunuh, akan tetapi tangkap hidup-hidup karena aku ingin menaklukan dulu kuda betina liar ini!” bentak kepala perampok berjenggot panjang itu. Anak buahnya merasa senang dan gembira mendengar perintah ini. Mereka semua memang sudah merasa kagum akan kecantikan gadis itu dan mereka ingin dapat mendekap dan merangkulnya, maka begitu mendengar perintah ini, mereka seperti berlumba ingin lebih dulu meringkus gadis itu dalam dekapannya. Akan tetapi segera ternyata bahwa mendekap gadis itu lebih mudah diucapkan dan dibayangkan daripada kenyataannya. Gadis itu berdiri tegak menanti, akan tetapi begitu ada yang mencoba untuk meringkusnya, biar musuh datang dari depan, kanan kiri atau belakang, selalu ia menyambutt dengan gerakan kaki tangannya dan mereka yang menubruknya tentu akan terpenal dan terpelanting roboh. Maju satu, roboh sattu, maju dua roboh dua dan maju empat roboh empat! Kaki tangan bergerak demikian cepatnya, menampar dan menendang sehingga para pengeroyok itu roboh sebelum sempat
387
menyentuhnya. Melihat ini, Thai-San Sin-Houw menjadi marah dan penasaran sekali. Dia tidak percaya bahwa dia tidak akan mampu meringkus gadis muda itu, walaupun sudah ada sepuluh orang anak buahnya yang mencobanya dan roboh. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang lalu tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang maju. Kedua lengannya yang panjang itu dikembangkan lalu kedua. tangan mencengkeram ke arah kedua pundak gadis itu dengan kuat sekali. biarpun Ouw Yang Lan belum banyak pengalaman, namun gadis ini amat cerdik. Dari sambaran kedua tangan itu iapun maklum bahwa lawannya ini tidak dapat disamakan dengan para anak buah yang ia robohkan. Ke dua lengan yang bergerak menerkamnya itu mengandung tenaga yang amat kuat. Cepat la melangkah ke belakang dan menarik tubuh, atas ke belakang sehingga terkaman dua tangan itu luput. Ketika melihat betapa serangannya yang pertama dapat dielakkan dengan amat mudah oleh gadis itu, Thai-San Sin-Houw menjadi semakin penasaran. Dia lalu melompat dan menggunakan jurus Kui-Mauw-Po-Ci (Kucing Siluman Menerkam Tikus), tubuhnya mencelat ke depan dan cepat sekali dia menubruk ke arah Ouvw yang Lan. Menghadapi serangan yang amat cepat ini, Ouw Yang Lan tidak menjadi bingung. la memiliki gerakan yang lebih cepat lagi.
388
Tubuhnya menyusup ke bawah dan dengan cepatnya lolos di bawah lengan kanan lawan, kemudian sekali membalikkan tubuh, kaki kirinya sudah mencuat disusul kaki kanan. Gerakan dua kaki yang menendang ini cepat dan susul menyusul karena ia telah mempergunakan ilmu tendangan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Berputar). “Dukkk! Desss...!” Thai-San Sin-HOuw Yang samá sekali tidak menyangka bahwa lawan yang ditubruknya itu bukan saja dapat lolos bahkan mampu membuat serangan balik yang demikian cepatnya, tidak dapat menghindarkan diri dari tendangan itu dan kedua kaki gadis itu berturut-turut menendang dada dan perutnya. Dia mengaduh dan tubuhnya terpelanting dan terbanting ke atas tanah! Sakit dan marah bercampur menjadi satu membuat kepala perampok ini berteriak teriak sebelum dia merangkak bangun. “Bunuh keparat itu!” Kini anak buahnya juga sudah cukup menyadari bahwa Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang pandai dan merupakan lawan tangguh, maka mendengar perintah itu mereka semua mencabut golok besar yang tergantung di pinggang masing-masing, lalu mengepung Ouw Yang Lan. Sikap mereka ganas sekali dan mata mereka memandang bengis seperti mata binatang liar yang haus darah. Kepala perampok itu sendiri sudah mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan dia ikut
389
pula mengepung. Bahkan dua orang pertama yang tadi pingsan oleh tamparan Ouw Yang Lan, Kini telah bangkit dan ikut mengepung sehingga gadis itu dikepung lima belas orang yang semua bersenjata tajam. biarpun la tidak merasa gentar menghadapi lima belas orang itu, akan tetapi karena mereka semua bersenjata tajam, setidaknya ia dapat terancam senjata yang menyeleweng. Selain itu, iapun mulai marah. Lima belas orang itu jelas bukan orang baik baik, melainkan perampok-perampok jahat yang berhati kejam dan yang kini seperti segerombolan srigala yang haus darah dan berniat untuk membunuhnya. Oleh karena itu, Ouw Yang Lan lalu meraba punggungnya dan tampak sinar berkelebat ketika ia mencabut Lo-thian-kiam (Pedang Pengacau Langit). Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang keras, apa lagi ia besar dalam asuhan seorang datuk seperti Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang biarpun gagah namun memiliki watak yang keras dan ganas, Tidak suka memberi ampun kepada orang-orang yang bersalah kepadanya. Kini, melihat lima belas orang yang wajahnya membayangkan kebengisan dan keliaran itu, hati Ouw Yang Lan dipenuhi kebencian dan ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran keras kepada mereka. Lima belas orang itu maklum bahwa
390
gadis itu seorang yang lihai sekali, bahkan kini sudah mencabut pedang. Akan tetapi karena mereka berjumlah lima belas orang, tentu saja mereka tidak merasa takut dan setelah pemimpin mereka mengeluarkan aba-aba, serentak mereka menerjang dari segala penjuru dan golok mereka menyambar-nyambar. Hujan senjata golok menerjang ke arah tubuh gadis itu. Melihat ini, Ouw Yang Lan segera menggerakkan tenaganya dan memutar pedangnya memainkan ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung berbentuk payung atau perisai yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Terdengar suara berdentangan ketika golok-golok yang menyambar ke arah tubuh Ouw Yang Lan itu bertemu dengan sinar berkilauan dari pedang itu. Terdengar seruan-seruan kaget karena banyak golok menjadi buntung ketika bertemu dengan sinar pedang itu, dan ada pula yang terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan dan rasa penasaran yang besar, orang orang itu tetap menèrjang dengan golok buntung mereka. Mereka yang belum buntung goloknya, juga kepala perampok yang berjuluk Thai-San Sin-Houw itu menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi kini Ouw Yang Lan sudah marah sekali dan gadis itu bergerak cepat, menyambut serangan mereka dengan tangkisan pedang yang sekaligus menyerang ke arah tangan para pengeroyoknya.
391
“Crak-crak-crok-črok-crok!” Tampak darah múncrat dari lengan-lengan yang terbacok buntung disusul teriakan-teriakan kesakitan. Sinar pedang di tangan Ouw yang Lan menyambar-nyambar semakin cepat dan dahsyat. Kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan, darah muncrat dari lengan dan kaki yang terbabat buntung. Bahkan Thai-San Sin-Houw sendiripun terguling roboh dengan kaki kanan buntung sebatas lutut terbabat pedang di tangan dara itu! Dalam waktu yang tidak berapa lama, lima belas orang pengeroyok itu semua roboh dan merintih-rintih kesakitan. Ada yang lengan kanannya buntung, ada pula yang sebelah kakinya buntung. Darah membanjiri tempat itu, membasahi rumput-rumiput, bahkan adayäng muncrat membasahi batang pohon. Ouw Yang Lan cepat membersihkan darah pada pakaian Thai-San Sin-Houw, lalumenyimpan kembali pedangnya dan mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya dengan sikap tenang dan pandang mata mengejek. “Aku masih bermurah hati dan mengampuni nyawa kalian, akan tetapi kalau kalian tidak mengubah jalan hidup kalian dan tetap melakukan kejahatah, lain kali kalau aku bertemu dengan kalian, tentu leher kalian yang akan kubuntungi!” kata Ouw Yang Lan dengan sinar mata mencorong menyapu tubuh-tubuh yang sudah
392
menjadi tapa daksa itu. Kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ. “Tunggu dulu, nona!” Thai-San Sin-Houw berseru. Ouw Yang Lan memutar tubuhnya dan memandang kepala perampok itu dengan alis berkerut. “Engkau mau apa lagi?” tegurnya. “Nona sudah membuat kami menjadi begini. Harap tinggalkan nama agar kami mengetahui siapa yang telah mencelakai kami!” kata kepala perampok itu sambil menahan rasa nyeri. “Kalian celaka oleh ulah kalian sendiri! Akan tetapi jangan dikira aku takut. Aku adalah Pek In Sian-Li (Dewi Awan Putih).” Ouw Yang Lan mendadak saja mengambil nama julukan itu, mengingat bahwa ia tinggal di Pek-In-San (Bukit Awan Putih) dan iapun menguasai Pek-In Ciang-Hoat (Ilmu Silat Awan Putih). Akan tetapi, penggunaan nama julukan yang baru saja diperkenalkannya itu ternyata membuat Thai-San Sin-Houw menjadi terbelalak matanya dan mukanya berubah pucat. “Apakah nona datang dari Pek-In-San…? Masih ada hubungan apakah dengan Thai-Lek-Kui Ciang Sek, majikan Pek-In-San?” Ouw Yang Lan tersenyum mengejek, bangga bahwa nama besar
393
ayah tirinya agaknya membuat kepala perampok itu begitu ketakutan. “Dia adalah ayahku. Kau mau apa?” “Ah… kami layak mampus…! Ampunkan kami, Siocia (nona), kami tidak tahu bahwa Siocia adalah puteri Cian Sek Pangcu (Ketua Bukit bermarga Ciang).” Sin-houw merangkap kedua tangan didepan dada dan membungkuk berkali-kali. “Hemm, kalian memang tidak tahu diri.” Ouw Yang Lan berkata lalu berkelebat dari situ, mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat ke depan dengan cepat sekali, bagaikan larinya seekor kijang muda. Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, Kalau ada orang melihatnya bahwa perahu kecil yang menerjang ombak itu hanya didayung oleh sepasang tangan kecil mungil seorang gadis muda yang cantik jelita, tentu orang itu akan terheran-heran. Bagaimamungkin sepasang lengan yang kecil berkulit putih mulus itu mengandung tenaga yang demikian besarnya? Perahu itu didayung oleh Ouw Yang lan, Biarpun ia baru berusia delapan tahun ketika dipaksa meninggalkan Pulau Naga, namun ia masih ingat dengan baik letak Pulau Naga. la teringat pula bahwa Pulau Naga adalah sebuah
394
pulau yang tidak mudah di darati karena sekeliling pulau merupakan tebing-tebing yang curam. Yang pantainya landai penuh dengan hutan belukar yang liar dan amat berbahaya karena selain dihuni binatang-binatang buas, terutama ular-ular berbisa, Juga oleh Ouw Yang Lee di hutan-hutan itu dipasangi jebakan-jebakan agar tidak ada musuh yang dapat mendarat di pulau melalui hutan-hutan itu. Satu satunya tempat mendarat adalah sebuah pantai yang berpasir putih dan memanjang sejauh dua li. Akan tetapi pantai ini selalu dipenuhi anak buah Pulau Naga sehingga tidak akan ada orang luar dapat mendarat tanpa diketahui oleh anak buah Pulau Naga. Ketika Tok-Gan-Houw Lo Cit yang mengajakThai-Lek-Kui Ciang Sek dan anak buahnya menyerbu pulau itu sepuluh tahun yang lalu, merekapun mendarat di pantai ini dan karena ketika malam mulai tiba, di pantai itu hanya terdapat sisa lima orang saja anak buah Pulau Naga sehingga dengan mudah mereka dapat melumpuhkan lima orang itu kemudian menyerbu ke pulau. Akan tetapi ketika Ouw Yang Lan memingirkan perahunya ke pantai, keadaan pantai sedang ramai-ramainya. Tidak kurang dari dua puluh orang anak buah Pulau Naga sedang bekerja di pantai. Ada yang menangkap ikan, ada yang memperbaiki perahu-perahu dan jala-jala yang rusak,ada pula
395
yang sedang menjemur ikan. Tentu saja mereka merasa heran melihat seorang wanita muda berani mendarat di pesisir itu. Mereka segera menghampiri tamu tak diundang itu. Ouw Yang Lan menarik perahu kecilnya ke darat dan ia bersikap tenang saja ketika melihat anak buah Puiau Naga, tidak kurang dari lima belas orang banyaknya, menghampirinya dari tiga penjuru. la berdiri tegak dan memandang mereka yang mengepungnya dengan tenang. la mengira bahwa para anak buah ayahnya itu tentu akan segera mengenalnya. la sendiri sudah lupa kepada mereka dan ia merasa kecewa melihat pandang mata mereka yang agaknya tidak mengenalnya. “Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau berani mendarat di pulau ini tanpa ijin? Tidak seorangpun boleh mendarat di sini tanpa seijin Ouw Yang tocu (Majikan pulau bermarga Ouw Yang)” tegur seorang anak buah yang bertubuh tinggi besar dan tidak memakai baju sehingga dadanya yang bidang dan penuh otot kekar melingkar-lingkar itu tampak menyeramkan. Karena merasa kecewa bahwa dirinya tidak dikenal orang, Ouw Yang Lan merasa mendongkol juga dan sengaja ingin mempermainkan mereka. “Tidak penting untuk kalian ketahui siapa aku! Mengapa aku tidak berani mendarat di pulau ini? Siapa yang melarang dan kalian mau
396
apa kalau aku melakukannya?” Melihat sikap yang keras dan menantang itu, si tinggi besar mengerutkan alisnya. “Nona, engkau telah melanggar wilayah kami! Akan tetapi mengingat bahwa engkau seorang wanita muda yang mungkin belum tahu akan hal itu, kami persilakan nona naik ke perahu nona kembali dan pergi dari pulau ini dengan damai.” Ouw Yang Lan tersenyum mengejek. “Dan kalau aku tidak mau pergi, kalian mau apa?” Ucapannya inipun mengandung nada menantang. Orang tinggi besar yang usianya sekitar empat puluh tahun itu memandang marah. “Kalau nona memaksá, kami akan menangkapmu untuk kelak dihadapkan kepada ketua kami sebagai tawanan.” “Hemm, bagus! Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!” kata Ouw Yang Lan dan iapun siap memasang kuda-kuda untuk melawan pengeroyokan mereka. “Apakah kalian hendak mengeroyokku?” “Hemm, untuk menangkap seorang gadis rnuda seperti nona, tidak per lu kami mengeroyok. Cukup aku seorang saja untuk menangkapmu!” kata si tinggi besar itu.
397
“Begitukah? Boleh kita lihat. Nah, maju dan tangkaplah aku kalau engkau memang mampu!” Tantang Ouw Yang Lan yangkini mulai ingat bahwa laki-laki ini sepuluhtahun yang lalu merupakan seorang di antara para murid kepala di Pulau Naga yang bernama Thio Sam. Oleh karena dia seorang di antara para murid kepala, tentu saja ilmu silatnya lebih daripada para anggauta biasa. Dugaannya memang benar. Orang itu adalah Thio Sam dan tentu saja Thio Sam tidak begitu memandang tinggi kepada seorang gadis muda. Melihat sikap gadis itu demikian menantang, diapun menjadı penasaran. Apa lagi di situ berkumpul belasan orang anak buah. Dia merasa malu kalau sampai tidak mampu menangkap gadis yang keras kepala ini. “Nona, engkau mencari penyakit sendiri. Terpaksa aku menggunakan kekerasan Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian. Thio Sam menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri mencengkeram ke arah pundak kanan gadis itu, yang kanan bergerak hendak menangkap lengan kiri Ouw Yang Lan. Akan tetapi terkaman dan sambaran tangannya itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena dengan gerakan ringan dan cepat sekali tubuh Ouw Yang Lan telah mundur dua langkah. Thio Sam menjadi penasaran sekali betapa serangan pertamanya gagal sama sekali. Dia menubruk lagi. Akan
398
tetapi luput lagi. Setelah mencoba untuk menangkap gadis itu sebanyak lima kali selalu tubrukannya luput, tahulah Thio Sam bahwa gadis itu memiliki gerakan lincah dan tentu memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Maka dengan perasaan malu dan marah akan kegagalannya, kini ia mulai menyerang untuk merobohkan gadis itu, bukan untuk menangkap lagi. “Lihat pukulanku!” bentaknya dan kini tangannya menyambar untuk memukul! Ketika Ouw Yang Lan mengelak, diapun menggerakkan kaki kanannya untuk menendang. Kembali gadis itu mengelak. Kegagalan serangan ini membuat Thio Sam menjadi semakin penasaran dan diapun menyerang bertubi-tubi, makin lama semakin ganas serangannya. Tiba-tiba tubuh Ouw Yang Lan berkelebat lenyap dan selagi Thio Sam kebingungan, gadis itu yang telah berada di belakangnya sudah menggerakkan kakinya, dua kali berturut-turut ujung sepatu gadis itu menendang tekukan lutut kaki Thio Sam. Tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki Thio Sam bertekuk lutut dan sejenak dia tidak mampu berdiri lagi karena kedua kakinya terasa lumpuh! Hal ini membuat para anak buah Pulau Naga menjadi terkejut dan marah, menganggap bahwa gadis itu tentu datang untuk membikin ribut. Maka tanpa dikomando lagi mereka lalu maju mengeroyok, bahkan mempergunakan senjata. Ouw Yang Lun kini memperlihatkan
399
kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan dan kaki tangannya bergerak. Tampak golok pedang terlempar dan tubuh-tubuh berpelantingan terkena tamparan atau tendangannya. Dalam waktu pendek saja belasan orang itu telah roboh semua, akan tetapi tidak sampai terluka berat karena memang Ouw Yang Lan tidak bermaksud untuk mencederai atau membunuh anak buah ayah kandungnya sendiri. Para pengeroyok itu merangkak untuk bangkit kembali sambil memandang kepada gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang itu dengan sinar mata gentar. pada saat itu, seorang wanita berusia lima puluhan tahun melangkah maju menghampiri Ouw Yang Lan. Setelah tiba di depan gadis itu, nenek itu menudingkan telunjuknya. “Kau... kau... bukankah engkau nona Ouw Yang Lan? Kawan-kawan, apa kalian telah buta dan tidak mengenal nona Ouw Yang Lan? Lihat tahi lalat di dagunya Itu adalah Lan Siocia (Nona Lan)” Ouw Yang Lan segera mengenal wanita yang dahulu pernah menjad, inang pengasuhnya. “Bagus, engkau masih ingat kepada bibi Chin” katanya sambil tersenyum. Thio Sam dan semua anak buah yang tadi mengeroyok Ouw Yang Lan dan dirobohkan, memandang dengan terkejut bukan main. Dan sekarang merekapun teringat kepada Ouw Yang Lan dan meagertilah mereka bahwa gadis itu telah bermurah hati
400
kepada mereka. Kalau tidak, tentu mereka telah menderita luka atau bahkan mungkin tidak akan bangun kembali. Thio Sam yang telah mampu menggerakkan ke dua kakinya lalu maju ke depan Ouw Yang Lan dan menjatuhkan dirinya berlutut. “Lan Siocia,maafjan saya dan maafkan semua yang tidak mengenal nona dan telah bersikap kirang ajar....” katanya ketakutan. Ouw Yang Lan tersenyum melihat betapa semua anak buah itu ikut-ikutan berlutut dibelakang Thio Sam. “Sudahlah, Paman Sam dan kalian semua paman dan saudara. Bangkitlah dan lupakanlah kejadian tadi. Aku memang sengaja hendak menguji ke setiaan kalian kepada Pulau Naga. Sekarang laporkan kepada ayah bahwa aku datang.” Thio Sam dan para anak buah itu bangkit berdiri dan Thio Sam berdiri dengan sikap hormat membungkuk di depan Ouw Yang Lan. “Akan tetapi, Lan Siocia, Tocu (Majikan Pulau) tidak berada di pulau. Sudah dua bulan ini Tocu pergi dari sini.” “Hemm, ke mana ayah pergi?” “Menurut keterangan, Tocu pergi ke kota raja untuk mencari kedudukan di istana kaisar,” kata Thio Sam.
401
“Ah, sayang sekali dia tidak berada di pulau,” kata Ouw Yang Lan kecewa sekali. “Kalau begitu, tolong beri tahukan kepada suheng Tan Song Bu. Aku ingin bertemu dengan dia.” “Nona tentu maksudkan Ouw Yang Kongcu” kata Thio Sam. “Ouw Yang Kongcu? Siapa itu? Ayah tidak mempunyai anak laki-laki!” bantah Ouw Yang Lan. “Kongcu (tuan muda) Tan Song Bu itu kini telah menjadi Kongcu Ouw Yang Son Bu. Sejak nona pergi dari pulau, dia telah diangkat menjadi putera oleh Tocu. “Hemm, begitukah? Di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya.” “Sayang sekali, nona. Ouw Yang Kongcu juga pergi bersama Tocu. Memang mereka pergi berdua dan beberapa hari yang lalu Tocu mengirim utusan memberi tahu kepada kami bahwa untuk sementara Tocu dan Ouw Yang Kongcu tinggal dulu di kotaraja.” Mendengar keterangan ini, Ouw Yang Lan membanting-banting kaki kanannya dengan hati kesal.
402
“Sialan! Lalu siapa saja yang kini berada di rumah?” “Yang berada di rumah tinggal kedua hujin (nyonya).” “Kedua hujin? Siapa maksudmu, Paman Thio Sam? Apakah ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui sudah pulang?” Thio Sam menggeleng kepala lalu menengok ke kanan kiri. Melihat bahwa para anak buah masih berada di sekitar situ dan ikut mendengarkan, dia lalu membentak mereka. “Mengapa kalian masih berada di sini? Hayo lanjutkan pekerjaan kalian dan biarkan aku bicará berdua saja dengan Lan Siocia! Engkau juga, Bibi Cin, tinggalkan kami berdua!” Mendengar perintah Thio Sam ini, semua orang lalu pergi dan menjauhkan diri sehingga Thio Sam dapat bicara leluasa dengan Ouw Yang Lan. “Nah, sekarang ceritakan semuanya kepadaku, Paman Thio Sam. Siapakah kedua orang hujin yang kau maksudkan itu?” “Tidak lama setelah kedua nyonya meninggalkan pulau naga, Tocu telah mengambil dua orang gadis untuk menjadi isterinya dan sekarang kedua orang wanita itulah yang menjadi hujin di sini. Sampai sekarang mereka berdua tidak mempunyai anak.” “Dan di mana adanya Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui? Apakah mereka tidak pernah kembali ke Pulau Naga?” Sebelum
403
menjawab, Thio Sam menoleh ke kanan kiri lalu menjawab dengan suara direndahkan, “Tak lama setelah kedua hujin dan kedua siocia pergi dari sini, Ji-hujin (Nyonya Ke Dua) pulang ke pulau ini...” “ibu Sim Kut Hwa pulang bersama adik Ouw Yang Hui?” tanya Ouw Yang-Lan dengan girang. “Tidak, nona. la pulang seorang diri, diantar oleh seorang pendekar bernarna Gan Hok San, seorang pendekar Siauw-lim-pai, begitu saya mendengar. Akan tetapi, Tocu marah-marah dan hendak membunuh Ji-hujin yang dituduhnya berjina dengan pendekar yang mengantarnya pulang itu.” “Ah, kenapa ayah begitu? Bukankah pendekar Gan Hok San itu telah menolong menyelamatkan Ibu Sim Kui Hwa dan mengantarnya pulang? Lalu bagaimana, Paman Thio Sam?” “Ketika Tocu memukul dan hendak membunuh Ji-hujin, pukulan itu ditangkis oleh Pendekar Gan sehingga mereka lalu berkelahi. Akan tetapi ternyata Pendekar Gan itu terlalu tangguh bagi Tocu. Pendekar Gan menang dan dia mengajak Ji-hujin pergi dari pulau karena Tocu sudah tidak mau menerimanya kembali.”
404
“Ahhh!” Ouw Yang Lan merasa penasaran sekali kepada ayahnya yang bersikap tidak adil dan kejam terhadap isteri sendiri. “Dan bagaimana dengan adik Ouw yang Hui?” “Saya tidak tahu, nona. Ketika hujin pulang, ia tidak membawa Hui-Siocia (Nona Hui).” “Jadi Ibu Sim Kui Hwa pergi meninggalkan Pulau Naga bersama Gan Hok San dan sampai sekarang tidak pernah kembali ke sini?” “Benar, nona.” “Juga Nona Ouw Yang Hui tidak pernah datang ke sini?” “Tidak, nona.” “Sudahlah, kalau mereka semua tidak berada di sini, untuk apa aku lebih lama tinggal di sini? Aku mau pergi saja, Paman Thio Sam!” “Akan tetapi, apakah nona tidak ingin berjumpa dulu dengan kedua orang Hu-jin (nyonya) yang baru?” “Tidak! Aku tidak mengenal mereka Untuk apa aku bertemu dengan mereka? Sudah, aku hendak pergi, Paman Thio Sam!” setelah berkata demikian, Ouw Yang Lan ményeret perahunya
405
sampai ke air, kemudian ia mendorong perahunya dan melompat dalam perahu yang segera didayungnya pergi dengan cepat sekali meninggalkan pulau itu. Perahu meluncur dengan amat cepatnya, diikuti pandang mata Thio Sam yang merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa Lan Siocia kini telah menjadi seorang gadis yang demikian lihainya, dan juga sikapnya demikian tegas dan keras! Segera kemunculan gadis yang telah merobohkan hampir dua puluh orang anak buah Pulau Naga itu menjadi bahan percakapan semua anak buah Pulau Naga. Taman di belakang rumah itu tidak begitu luas, namun indah sekali. Bermacam bunga tumbuh dengan suburnya karena terawat dengan baik dan teratur rapi. Di bagian tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan kecil namun airnya amat jernih dan ikan ikan emas berbagai warna berenang hilir mudik dengan indahnya. Sore hari itu cerah dan indah sekali. Angin semilir lembut, membuat bunga-bunga itu bergoyang seperti menari-nari perlahan, seperti hidup. Gadis yang duduk di atas bangku tepi kolam itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun. Cantik jelita bagaikan sekuntum bunga yang semerbak harum dan sedang mulai mekar. Rambutnya yang hitam panjang itu agak berombak, digelung ke atas model gelung rambut para gadis bangsawan, dihias tusuk sanggul dari emas permata yang indah berbentuk burung Hong
406
sedang membuka sayapnya. Anting-anting yang tergantung di telinganya dan kalung yang tergantung di lehernya terbuat dari emas permata pula, tidak terlalu mewah akan tetapi membuatnya tampak lebih anggun. Dahinya begitu halus, sehingga sepasang alis itu tampak mencolok sekali karena hitamnya. Bentuk alis yang kecil melengkung seperti dilukis walaupun sebetulnya alis itu tumbuh dengan sewajarnya. Sepasang alis itu tampak lebih manis dan hidup lagi karena sepasang mata di bawahnya amatlah indahnya. Sepasang mata yang jeli, bening, dengan pandang mata yang tajarn namun lembut dan ramah, mata yang kerlingnya amat tajam dan memikat. Sepasang mata yang akan selalu terbayang oleh pria yang pernah bertemu pandang. Kedua ujung mata di kanan kiri seperti di lukis, meruncing dan daya tarik keindahan mata itu semakin kuat dengan adanya bulu mata yang lentik dan lebat. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak menjungat Ke atas itu seperti menantang dan membuat wajahnya nampak lucu dan menggemaskan saking manisnya. Kemudian mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya pikatnya antara mata dan mulut itu. Mulut dengan sepasang bibir yang merah membasah tanpa pemerah bibir, bentuknya seperti gendewa terpentang, dengan kulit bibir yang tipis dan bibir itu penuh seperti buah anggur yang masak, menjanjikan kemanisan
407
madu yang menggairahkan. Bila sepasang bibir itu terbuka sedikit,nampak kilatan gigi seputih mutiara yang berderet rapi. Mulutnya teramat manisnya, apa lagi kalau menyungging senyuman karena muncul lesung pipit di sepasang pipi yang putih kemerahan seperti kulit bayi itu. Dagunya runcing sehingga membuat wajah yang cantik jelita itu berbentuk bulat telur. Gadis yang cantik jelita itu bernama atau berjuluk Siang-bi-hwa (Bunga Cantik Hárum) dan ia dikenal dengan nama julukan itu. Nama sesungguhnya yang jarang dikenal orang adalah Ouw Yang Hui! Benar, ia adalah Ouw Yang Hui, puteri Ouw Yang Lee dan Sim Kui Hwa yang terjatuh ke dalam tangan seorang mucikari yang biasa disebut Cia-Ma. Cia-Ma adalah mucikari yang terkenal di kota Nam-Po, seorang mucikari yang anak buahnya merupakan pelacur-pelacur pilihan. Pelacur yang menjadi anak buah Cia-Ma rata-rata cantik manis dan bersikap lembut seperti wanita-wanita terpelajar Karena itu, Biarpun pada umumnya orang harus mengeluarkan uang yang cukup banyak, rumah pelesir milik Cia-Ma selalu ramai dan langganan-langganannya terdiri dari para pria dan pemuda bangsawan dan hartawan. Akan tetapi sikap Cia-Ma terhadap Ouw Yang Hui sungguh luar biasa. Berbeda sekali dengan sikap terhadap “Anak-anak” atau anak buahnya, walaupun terhadap
408
mereka ia juga selalu ramah dan halus budi. Cia-Ma ternyata mengasihi Ouw Yang Hui seperti kepada anak kandungnya sendiri! la demikian sayang kepada Ouw Yang Hui sehingga ia mendidik Ouw Yang Hui menjadi seorang gadis yang terpelajar, sopan, halus budi, bahkan ia mengundang seorang siucai (sastrawan) untuk mengajar Ouw Yang Hui dalam hal kesusastraan dan keagamaan! Gadis itu tumbuh besar dan mengerti akan filsafat dan budi pekerti. Bukan itu saja, Cia-Ma juga mengajarkan bermacam kesenian kepada Ouw Yang Hui sehingga kini dalam usia tujuh belas tahun, Ouw Yang Hui pandai membuat sajak, pandai memainkan Yang-Kim (siter), meniup suling, bahkan pandai menyanyi dengan suara merdu. Pada tahun akhir-akhir ini Ouw Yang Hui bahkan belajar menari. la benar-benar menjadi seorang gadis yang luar biasa, tidak saja cantik jelita, namun menjadi seorang seniwati dan ahli sastra, di samping budi pekertinya yang halus dan penuh susila. Cia-Ma tidak menghendaki anak angkatnya teringat masa lalunya itu, maka ia memberi nama baru kepada Ouw Yang Hui, yaitu Siang Bi Hwa yang juga merupakan julukan yang berarti Bunga Cantik Harum. Cia-Ma mempunyai cita-cita yang tinggi untuk anak angkatnya itu. la bahkan menjauhkan Bi Hwa dari kehidupan para pelacur. karena ia sama sekali tidak ingin anaknya itu menjadi seorang pelacur.
409
la ingin agar kelak Bi Hwa menikah secara resmi dengan seorang pemuda bangsawan tinggi agar menjadi seorang nyonya bangsawan yang kaya raya dan terhormat. Tentu saja cita-cita ini bukan semata terdorong untuk membahagia kan Bi Hwa, melainkan terutama sekali untuk membahagiakan dirinya sendiri. Kalau anak angkatnya itu menjadi seorang nyonya bangsawan yang mulia, tentu ia sebagai ibu mertua bangsawan akan hidup terhormat dan dimuliakan orang. la akan berhenti menjadi mucikari dan tak seorangpun akan teringat bahwa ia bekas mucikari! Betapapun juga, harus diakui bahwa hatinya merasa amat amat sayang kepada Bi Hwa. Untuk menjaga agar Bi Hwa tidak terpengaruh kehidupan pará pelacur, Cia-Ma melarang B Hwa pergi ke ruangan depan dan tengah apa bila ada tamu pria datang berkunjung untuk pelesir. la diharuskan bersembunyi saja di ruangan belakang yang cukup luas, atau memasuki taman bunga yang hanya diperuntukkan anak kesayangan itu. Karena itu, perkenalan Bi Hwa dengan para pelacur hanya selewat saja, yaitu kalau ada pelacur yang berkunjung ke ruangan belakang dan bercakap cakap dengannya. Akan tetapi, karena maklum bahwa gadis itu adalah anak tersayang Cia-Ma, juga melihat kenyataan bahwa Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat pandai, dan juga bersikap ramah dan
410
lembut, para pelacur itu bersikap hormat kepadanya dan tidak ada yang berani mengganggunya. Pelajarannya membaca kitab-kitab agama membuat Bi Hwa mengerti benar bahwa pekerjaan ibu angkatnya itu amat tidak baik, bahkan hina. Akan tetapi karena ia merasakan benar kasih sayang Cia-Ma kepadanya, iapun hanya dapat membujuk ibu angkathya dengan kata-kata halus mengingatkan dan menyadarkan. “Ibu,” katanya lembut dan menyebut ibu, sebutan yang dikehendaki Cia-Ma sejak ia tinggal di situ, “maafkan kalau pendapat dan ucapanku ini akan menyinggung perasaanmu.” Cia-Ma memandang wajah anak angkat yang cantik manis itu sambil tersenyurm, “Katakanlah, Bi Hwa. Semua ucapanmu tidak tidak akan menyinggung hatiku karena aku sudah yákin bahwa engkau seorang anak yang amat baik dan berbakti kepadaku sehingga tidak mungkin engkau bermaksud buruk.” Bi Hwa menjadi semakin berhati hati mendengar ucapan yang penuh kepercayaan dan kasih sayang itu. “Begini, ibu. Dalam kitab-kitab yang kubaca, disebutkan bahwa pekerjaan seperti yang ibu lakukan, sekarang ini merupakan
411
pekerjaan yang tidak baik dan dipandang sebagai pekerjaan hina oleh umum. Oleh karena itu, ibu. Apakah sekiranya ibu tidak dapat berganti pekerjaan, memilih pekerjaan yang lebih terhormat walaupun hasilnya tidak dapat membuat kita menjadi kaya? Pula, kalau ibu berganti pekerjaan, tentu aku dapat membantumu, tidak seperti sekarang ini.” Ucapan itu tenang dan lembut, sama sekali tidak mengandung teguran atau penyesalan. Cia-Ma tersenyum. Ucapan anak angkatnya itu bahkan membesarkan hatinya. Anaknya tidak suka melihat pekerjaannya, berarti bahwa kehidupan para pelacur itu sama sekali tidak mempengaruhi atau menarik hati Bi Hwa! Ini baik sekali, karena sebagai calon isteri bangsawan tinggi ia harus merupakan seorang wanita terhormat yang bermartabat tinggi! Akan tetapi bagaimana ia dapat melepaskan pekerjaannya ini? Justeru pekejaannya ini yang membuat ia dikunjungi dan berkenalan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang kaya raya sehingga setelah tiba saatnya kelak, ia akan memilih seorang di antara mereka untuk dijodohkan dengan Bi Hwa. Adapun hal ini dapat terjadi dengan mudah saja. Kalau pemuda bangsawan yang dipilihnya itu pada suatu hari ia perkenalkan dengan Bi Hwa, mustahil kalau dia tidak jatuh cinta dan bertekuk lutut di depan anak angkatnya yang cantik seperti seorang dewi kahyangan itu!
412
“Aku mengerti apa yang kau maksudkan itu, anakku. Akan tetapi dalam kitab-kitab suci yang kau baca itu mungkin engkau tidak mendapatkan kenyataan hidup yang bukan hanya untuk dipikir dan direnungkan, melainkan hanya dapat dirasakan kebenarannya melalui pengalaman.” “Kebenaran apa yang ibu maksudkan?” tanya Bi Hwa yang merasa heran dan ingin tahu sekali. “Kenyataan yang bagaimana itu, ibu?” “Kenyataan bahwa pekerjaan para pelacur itu walaupun tampaknya hina dan kotor, namun sesungguhnya mengandung jasa- jasa yang mengandung nilai prikemanusiaan.” “Ahh....?? Apa maksud ibu?” tanya Bi Hwa dengan heran sehingga sepasang matanya yang indah dan jeli bening itu terbelalak. “Pertama, para pelacur itu telah dapat menghibur para pria yang sedang kesepian. Ke dua, mereka menjadi tempat para pria yang tidak beristeri menyalurkan gairah berahi mereka sehingga mencegah terjadinya pemaksaan atau perkosaan. Ke tiga, betapa pun rendah tampaknya, mereka itu bekerja, bukan sekedar mencari kesenangan melainkan mencari uang yang dapat mereka pergunakan untuk membantu orang tua yang miskin. Engkau tahu
413
bagaimana keadaan para wanita, terutama yang berada di dusun-dusun. Wanita tidak dihargai seperti pria dan selalu dipandang rendah, bahkan kalau menjadi isteri seorang petani wanita akan disuruh bekerja keras di sawah ladang tiada ubahnya seorang pelayan atau pembantu. Wanita juga sulit sekali mencari pekerjaan yang dapat memberi hasil yang cukup untuk dimakan, apa lagi untuk keperluan lain. ah, apa hinanya bekerja sebagai wanita penghibur selama masih banyak pria berkeliaran mencari hiburan dari wanita? Bayangkan kalau tidak ada wanita penghibur, tentu banyak di antara para pria yang terdorong berahinya lalu melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita yang lemah. Dan tentu terjadi banyak pula perjinaan yang akan menghancurkan rumah tangga. Setidaknya, para pelacur melakukan pekerjaan mereka itu demi tuntutan kebutuhan hidup, sedangkan sebalikaya pria yang melacur itu semata-mata untuk mencari kesenangan dan tidak segan-segan mengkhianati kesetiaan mereka kepada isteri mereka. pelacur tidak mengkhianati siapa-siapa.” Bi Hwa tertegun dan termangu-mangu mendengar pembelaan Cia-Ma terhadap pekerjaan para pelacur itu. Akan tetapi betapapun juga, pembelaan Cia-Ma itu mengubah pandangannya terhadap para pelacur. “Kalau begitu, ibu menganggap pekerjaan mereka itu baik?”
414
“Sama sekali tidak, anakku. Aku menganggap pekerjaan mereka itu tidak baik dan aku tidak akan membiarkan engkau terjerumus seperti mereka! Sampai matipun aku tidak akan membiarkan engkau seperti mereka. Aku hanya ingin membuka kenyataan agar orang dapat melihat bahwa di dalam pekerjaan mereka yang tampak hina itu terdapat jasa-jasa prikemanusiaan yang patut dihargai dan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pekerjaan seperti itu. Coba engkau dengarkan dengan telinga hatimu, Bi Hwa, dan engkau akan menangkap bahwa dalam suara tawa mereka yang tampaknya riang gembira itu tersembunyi sedu-sedan dari kehancuran hati mereka.” Demikianlah percakapan antara Bi Hwa dan Cia-Ma. Percakapan itu mendatangkan kesan mendalam di hati Bi Hwa, sehingga mulai saat itu ia memandang para pelacur itu dengan hati terharu dan mengandung iba. Bagaimanapun juga, seorang pelacur jauh lebih terhormat dari pada seorang isteri yang melakukannyelewengan dengan pria lain, karena pelacur tidak mengkhianati siapapun dalam perbuatannya, melainkan semata-mata untuk mencari uang guna mencukupi kebutuhan hidupnya, juga mungkin kebutuhan hidup orang tua dan saudara-saudaranya. Teringat akan semua itu, Bi Hwa ulang kali menghela napas panjang. teringatlah ia akan
415
kata-kata Cia-Ma ketika menyinggung soal perjodohannya sehingga memancing perbantahan dengannya. “Bi Hwa, dalam pekerjaanku ini aku mempunyai suatu maksud tertentu. Engkau tahu, sebagian besar langganan yang pelesir di sini terdiri dari para pemuda bangsawan dan hartawan. Kalau sudah tiba saatnya, aku tinggal memilih di antara mereka, memilih seorang pemuda bangsawan tinggi yang memiliki kedudukan,kekuasaan dan harta benda untuk menjadi suamimu!” “Ahhh , ibu !” Bi Hwa berseru kaget sekali dan kedua pipinya yang sudah putih kemerahan itu menjadi semakin merah. “Mengapa engkau terkejut? Usiamu kini sudah tujuh belas tahun dan engkau sudah sepantasnya menjadi seorang nyonya bangsawan yang hidup mulia dan kaya raya, dihormati semua orang, tinggal di sebuah istana dan kalau bepergian menunggang kereta indah ditarik empat ekor kuda.” “Akan tetapi aku tidak suka, ibu! Aku tidak suka kepada para pria yang suka pelesiran di tempat ini! Mereka itu bukan pria pria terhormat.” “Eh, Bi Hwa, hati-hati dan pikirkan dulu kalau engkau bicara! Para Kongcu (tuan muda) yang datang ke sini itu adalah putera putera
416
pembesar yang berpangkat tinggi, bahkan banyak yang datang dari kota raja. Ayah mereka adalah para pejabat tinggi, bahkan ada putera menteri-menteri yang berkuasa dan kaya raya. Bagi seorang gadis, apa lagi kekurangannya kalau mendapatkan suami seorang pemuda yang berkedudukan, berkuasa dan memiliki banyak harta benda?” “Semua itu tidaklah amat penting, ibu. Yang terpenting dalam sebuah perjodohan adalah cinta kasih.” “Huh! Cinta? Cinta akan datang dengan sendirinya kalau engkau sudah menjadi seorang isteri, apa lagi kalau suamimu itu tampan, muda, berkuasa, kaya raya. Apakah dengan cinta saja engkau akan mampu hidup. Apakah engkau akan kenyang kalau hanya diberi makan cinta, bukan nasi? Apa kah hidupmu tidak akan melarat dan kekurangan kalau engkau menjatuhkan cintamu kepada seorang pemuda petani yang miskin?” “lbu, hidup tanpa cinta akan membuat semua kemuliaan dan kekayaan tidak ada artinya. Sebaliknya kalau ada cinta kasih, maka kehidupan yang melarat sekalipun akan dialaminya dengan hati berbahagia di samping orang yang dicintanya.”
417
“Hemm, itukah yang kau pelajari dari kitab-kitabmu, Bi Hwa? Aku tidak pernah mempelajari dari kitab walaupun aku juga pandai membaca. Akan tetapi aku mempelajari tentang hidup dari pengalaman! Aku memang pernah menikah tanpa cinta dan berakhir menyedihkan. Keluarga kami memang miskin. Akan tetapi aku pernah mempunyai adik perempuan. la menikah karena saling mencinta dengan seorang pemuda petani miskin pula. la menentang pendapat orang tua kami dan nekat menikah dengan petani itu. Apa jadinya? Belum cukup setahun menikah, mulailah ia cekcok dengan suaminya, karena keadaan mereka amat miskin, Cinta mereka seperti tumbuh di tanah gersang, mudah menjadi layu dan mati. Kemiskinan mengubah senyum bahagia mereka menjadi kemarahan dan tangis, mengubah cinta menjadi kebencian. Dengan kemiskinan, begitu pernikahan masuk lewat lubang pintu, cintapun terbang keluar melalui jedela! Sandang pangan papan tidak bisa dipenuhi dengan cinta belaka. Belum sampai adikku mempunyai anak, suaminya sudah meninggalkannya dan tidak pernah kembali lagi. Adikkupun, seperti aku, terjerumus menjadi pelacur dan kemudian meninggal karena penyakit. Ini bukan pelajaran dari kitab, Bi Hwa, melainkan dari pengalaman,” Mendengar ucapan panjang lebar yang dikeluarkan penuh emosi ini, Bi Hwa yang juga amat menyayang ibu angkatnya, lalu merangkul ibunya dan berkata lembut,
418
“Sudahlah ibu, maafkan aku. Bagaimanapun, sekarang ini aku sama sekali masih belum mempunyai keinginan untuk menikah dan berpisah darimu.” Ketika ia duduk melamun di tepi kolam ikan dalam taman kecil yang indah itu, Bi Hwa mengenang semua ini. la menghela napas dan mulut yang mungil itu lalu bersajak dengan suara lirih. “Wahai perempuan di seluruh dunia apakah hidupmu hanya untuk menderita sengsara? selagi mekar semerbak harum engkau dibanggakan dan dipuja pria setelah engkau layu terkulai engkau dicampakkan dan disia-siakan!” Setelah mengucapkan sajak dengan suara lirih, Bi Hwa lalu mengambil sebatang suling bambu yang terletak di atas bangku disebelahnya, dekat dengan sebuah siter yang tadi dibawanya ke taman itu karena memang ia sering memainkan dua alat itu kalau sedang berada dalam taman. la menempelkan lubang suling itu pada bibirnya yang merah basah, kemudian meniup suling itu. Terdengar suara suling melengking-lengking merdu, dan suara suling agak tergetar menandakan bahwa peniupnya seorang ahli. Pada senja hari itu terngarlah suara suling mengalun turun naik dalam rangkaian nada-nada yang amat merdu dengan irama yang lembut dan menyentuh perasaan. Hanya suling yang ditiup dengan penuh perasaan dan keahlian saja yang dapat mengeluarkan suara
419
seperti itu. Bi Hwa tidak tahu bahwa pada saat itu di ruangan depan rumah Cia-Ma sedang ramai karena datangnya lima orang tamu. Mereka adalah lima orang pemuda bangsawan, empat orang dari mereka adalah putera putera pejabat tinggi yang datang dari kota raja, yang dijamu oleh seorang putera kepala daerah di Nam-Po. Untuk menyenangkan empat orang kawan dari kota raja itu, Yap Ki atau biasa dipanggil Yap Kongcu (Tuan Muda Yap), putera dari kepala daerah Yap TaiJin (Pembesar Yap) di Nam-Po, sengaja mengajak empat orang tamunya itu untuk pelesir di rumah Cia-Ma. Mereka berlima makan minum, dilayani oleh lima orang gadis penghibur yang cantik-cantik sehingga suasananya amat gembira. Apa lagi setelah seorang pemuda itu minum beberapa cawan arak yang menghangatkan hati, suasana menjadi semakin meriah. Kalau saja Bi Hwa tahu bahwa ketika itu sedang ada tamu, tentu ia tidak akan meniup serulingnya senyaring itu. Suara suling memasuki ruangan depan dengan amat merdunya. Lima orang itu menghentikan suara mereka dan diam sejenak mendengarkan, Yap Kongcu lalu berkata dengan herán sekali memandang kepada gadis yang duduk di sebelah kirinya. “Belum pernah aku mendengar permainan suling sedemikian indahnya ditiup orang di sini siapakah pemain suling itu?” Gadis pelacur yang duduk di sebelahnya berkata,
420
“Itu adalah tiupan suling Nona Bi Hwa, ia memang pandai sekali bermain suling.” “Siapa? Bunga Cantik Harum? Belum pernah aku mendengar nama itu! Kenapa ia tidak disuruh menemani kami makan minum?” “la tidak pernah menemani tamu, Yap-Kongcu,!” kata pelacur itu. “Akan tetapi sekarang ia harus menemani aku dan teman-temanku! Berapapun taripnya akan kami bayar, jangan khawatir!” kata Yap-Kongcu sambil tertawa. “Akupun ingin sekali melihat bagaimana cantiknya Nona Bunga Cantik Harum itu!” kata seorang kawannya, pemuda bangsawan kota raja. “Maaf, Kongcu, harap ngo-wi Kongcu (kelima tuan muda) tidak marah. Nona Siang Bi Hwa adalah anak perempuan Cia-Ma sendiri dan ia tidak pernah melayani tamu,” kata pelacur itu, menyesal mengapa tadi ia mengaku bahwa peniup suling itu adalah Bi Hwa. “Aha, kalau begitu ia seorang perawan remaja? Berapa usianya?” Sekitar tujuh belas tahun, Kongcu.
421
“Bagus! Biar ia anak perempuan Cia-Ma, cepat panggil ia ke sini, nanti engkau kuberi hadiah!” kata Yap Kongcu dengan gembira. “Saya.... saya tidak berani, Kongcu. Cia-Ma tentu akan memarahi kami.” “Hemm, siapa berani marah kalau kami yang memanggil? Sudahlah, hayo ce-pat panggil Cia-Ma ke sini, aku mau bicara sendiri dengannya!” Pelacur yang ketakutan itu lalu bangkit berdiri dan masuk ke dalam untuk mengundang Cia-Ma keluar. Mendengar dia dipanggil Yap Kongcu, Cia-Ma bergegas keluar dengan senyumnya yang ramah. “Yap Kongcu memanggil saya? Apa yang dapat saya bantu untuk Kongcu?” “Cia-Ma, aku minta agar engkau memanggil Siang Bi Hwa ke sini untuk melayani kami!” Cia-Ma membelalakkan matanya, terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi ia mendengar suara suling yang melengking lengking itu dan mengertilah ia bahwa tentu Yap Kongcu menanyakan siapa peniup suling itu dan mendengar tentang anak angkatnya dari para pelacur. “Siang Bi Hwa....?” katanya gagap.
422
“Ya, anak perempuanmu itu. Panggil ia ke sini untuk ikut melayani kami. Soal pembayarannya jangan khawatir, berapapun taripnya akan kami bayar!” kata Yap Kongcu. “Anak perempuan saya itu masih belum dewasa, belum waktunya melayani tamu...” “Akan tetapi, kami hanya ingin melihat dan mendengarkan ia bermain suling,” desak Yap Ki. “la belum dewasa dan tidak biasa bertemu dengan pria. Tentu ia menolak kalau diharuskan bermain suling atau Yang-Kim didepan para tamu. la pemalu dan saya tidak dapat memaksanya. Maafkan saya, Kongcu.” Yap Ki menjadi penasaran. “Hemm, seperti apakah anakmu itu, Cia-Ma? Apakah seperti dewi kahyangan sehingga engkau menjual mahal seperti ini?” Tiba-tiba Cia-Ma mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya cemerlang. Sudah tiba waktunya bagi Bi Hwa untuk diperkenalkan kepada para Kongcu agar namanya terkenal dan menarik perhatian semua pemuda bangsawan dari kota raja. Sehingga dengan demikian, akan mudah baginya untuk menentukan pilihan siapa yang dipandangnya cukup berharga untuk memetik Bunga
423
Cantik Harum yang ia banggakan dan dianggap sebagai sumber kemuliaan baginya itu. “Kalau ngo-wi Kongcu (tuan muda berlima) ingin menyaksikannya, hal itu mudah diatur. Biarlah anak saya itu tetap bermain di dalam taman dan ngo-wi (kalian berlima) dapat menyaksikannya dari pintu belakang. Akan tetapi harap jangan ada yang mendekat, karena kalau ia didekati, tentu ia akan merasa takut, menghentikan permainannya dan lari bersembunyi dalam kamarnya. “Baik, baik, kami cukup puas asalkan boleh melihatnya, biarpun tidak mendekati,” jawab Yap Ki dan juga empat orang kawannya menyatakan ingin sekali melihat perawan yang agaknya dipingit oleh Cia-Ma itu. “Kalau begitu, biar saya akan menemuinya dulu dan minta agar ia suka memainkan beberapa lagu dengan suling dan yangkimnya dan tidak keberatan ditonton dari pintu belakang.” Setelah berkata demikian, Cia-Ma lalu bergegas pergi ke taman belakang. Bi Hwa menghentikan tiupan sulingnya ketika mendengar langkah kaki Cia-Ma menghampirinya. “Bi Hwa, engkau lanjutkanlah bermain suling dan juga Yang-Kim. Ada lima orang Kongcu dari golongan bangsawan, yang seorang
424
putera Yap-TaiJin kepala daerah Nam-Po dan yang empat orang pemuda bangsawan dari kota raja yang menjadi tamu. Tadi mereka mendengar suara sulingmu dan Yang-Kim. mereka memaksa hendak melihatmu bermain suling.” “Ah, aku tidak mau, ibu.” “Dengarkan dulu, Bi Hwa. Aku sudah mengatakan bahwa engkau tidak pernah bermain di depan tamu, akan tetapi mereka marah dan hendak memaksa. Akhirnya aku mengatakan bahwa mereka boleh melihatmu bermain di sini sedangkan mereka hanya menonton dari pintu belakang. Engkau boleh pura-pura tidak melihat mereka dan terus saja bermain suling dan Yang-Kim. Engkau tidak boleh menolaknya, Bi Hwa, karena aku sudah berjanji kepada mereka. Kalau engkau memaksa menolak, tentu aku akan mendapat celaka. Kalau Yap Kongcu melapor kepada ayahnya, Yap-TaiJin bisa saja menyuruh pasukan menangkap aku dan menutup rumah pelesir kita.” Bi Hwa tidak dapat menolak lagi. Tentu saja ia tidak suka melihat ibunya mendapatkan malapetaka itu. Apa lagi, ia tidak harus bermain di depan para tamu, hanya bermain di taman dan mereka itu meronton dari pintu belakang yang cukup jauh. la boleh berpura-
425
pura tidak melihat mereka saja dan tidak memperdulikan pandang mata mereka yang ditujukan kepadanya. “Bagaimana, Bi Hwa? Engkau mau, bukan? Engkau mau menolong ibumu?” terpaksa Bi Hwa mengangguk dan menjawab lirih. “Baiklah, ibu. Aku akan bermain suling dan Yang-Kim di sini tanpa memperdulikan mereka.” “Ah, anakku sayang, engkau memang seorang anak yang baik!” kata Cia-Ma sambil merangkul dan mencium pipi gadis itu. Kemudian ia meninggalkan taman untuk kembali ke ruangan depan dan melaporkan hasil bujukannya kepada lima orang tamunya. Sementara itu, seperti tidak pernah terjadi sesuatu, Bi Hwa sudah meniup lagi sulingnya. la tidak ingin bersikap kurang ajar membelakangi para penontonnya, akan tetapi ia juga tidak mau menghadapi mereka secara langsung. Oleh karena itu, ia duduk memutar tubuhnya sehingga pintu belakang itu berada di sebelah kanannya. Orang hanya akan dapat melihatnya dari samping saja. Lima orang pemuda itu menjadi girang bukan main ketika Cia-Ma memberitakan bahwa Bi Hwa sudah menyetujui ditonton dari pintu belakang. Mereka bergegas
426
menuju ke pintu belakang dan lima orang gadis penghibur itu membawakan bangku-bangku untuk mereka. Bangku-bangku dijajar di pintu belakang dan lima orang itu duduk berderet di situ. Begitu duduk dan memandang ke depan, mereka terbelalak kagum! Suasana taman kecil itu sudah indah menyenangkan sekali dan di dekat kolam, cukup jelas tampak dari situ, duduk seorang gadis yang luar biasa cantiknya! Walaupun hanya tampak dari samping, dan itupun tidak tampak sepenuhnya wajah itu karena sedikit tertutup jari jari tangan yang memegang suling, namun bentuk dahi itu, rambut itu, hidung dan pipi itu, mata dan mulut itu! Bahkan di kota sekalipun jarang terdapat gadis secantik itu! Tubuhnya yang baru mekar itu ramping padat. Pakaiannya yang indah dari sutera halus tidak dapat menyembunyikan sepenuhnya lekuk lengkung tubuh yang lemah gemulai. Setiap gerakan tubuh itu seolah gerakan seorang penari yang pandai. Dan bunyi suling itu kini terdengar jelas sekali, meliuk-liuk tinggi rendah seakan membawa sukma lima orang pemuda itu melayang-layang! Tiba-tiba suara suling menurun dan melemah, lalu berhenti dengan lembutnya sehingga seolah tidak terasa berhenti dan gemanya masih terngiang di telinga para pendengarnya. Tiba-tiba dara itu telah mengganti alat musiknya dan kini jari-jari tangannya yang lentik dan mungil itu telah menari-nari di atas Yang-Kim.
427
Dan terdengarlah suara kencrang-kencring dan tang-ting tang-ting dengan irama lembut dan nadanya naik turun dengan indah dan merdu sekali! Lima orang Kongcu itu kembali terpesona. Begitu banyak penglihatan dan pendengaran yang membuat mereka seolah berhenti bernapas. Taman indah yang tampak kemerahan oleh cahaya matahari mulai turun ke ufuk barat, gadis yang begitu cantik jelitanya bagaikan seorang bidadari, kemudian bunga-bunga yang mekar indah di sekelilingnya, keharumannya tercium karena terbawa angin semilir, lalu suara yangkim yang demikian indahnya. Benar-benar membuat semangat lima orang Kongcu itu melayang-layang. Setelah suara Yang-Kim berhenti, mereka bertepuk tangan riuh rendah dan mulut mereka berlumba mengucapkan pujian dengan suara nyaring dengan maksud agar terdengar oleh orang yang dipujinya. “Demi para dewatal Belum pernah selamanya aku menyaksikan yang seindah dan secantik ini!” “Bagaikan seorang bidadari dari kahyangan yang turun ke taman ini!” “Tiupan sulingnya membuat semangatku melayang-layang!”
428
“Permainan Yang-Kimnya demikian indah seperti bunyi-bunyian dari sorga!” “Mau aku dikurangi usiaku sebanyak sepuluh tahun asalkan aku dapat bersanding dengan dewi itu!” Mendengar sorak sorai tepuk tangan lalu ucapan-ucapan yang memujinya bernada nakal seperti itu, Bi Hwa menjadi marah dan ia lalu bangkit berdiri dan melangkah kebalik rumpun bunga yang lebat sehingga tubuhnya tidak dapat tampak lagi dari pintu belakang rumah itu. Apa lagi cuaca sudah mulai gelap sehingga menjadi remang-remang. “Aih, ngo-wi Kongcu telah membuat ia terkejut dan ketakutan!” tegur Cia-Ma kepada lima orang Kongcu itu. “Cia-Ma, berikan bunga cantik itu kepadaku untuk semalam ini dan aku akan memberi seratus tail perak kepadamu!” kata Yap Kongcu Seratus tail perak merupakan jumlah yang cukup besar pada waktu itu. seratus tail! kata seorang Kongcu ke dua “Aku berani membayar seratus lima puluh tail” “Aku berani membayar dua ratus lima puluh tail perak.”
429
“Dan aku berani membayar tiga ratus tail, asal ia mau melayaniku semalam” kata Kongcu ke lima tidak mau kalah. “Ngo-wi Kongcu, saya membesarkan dan mendidik Bi Hwa bukan untuk menjadi gadis penghibur yang melayani tamu. Biar saya diberi selaksa tail perak sekalipun,” “Tidak… saya tidak akan saya berikan untuk melayani pria. la harus menjadi isteri sah dan pertama dari seorang Kongcu bangsawan hartawan yang kami pilih. Mari, ngo-wi Kongcu, silakan masuk lagi ke ruangan dalam!” ajak Cia-Ma. Lima orang pemuda itu merasa kecewa, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa. Mereka seolah melihat bayangan seorang dewi yang melayang tinggi di angkasa, hanya dapat dipandang namun sulit untuk dijamah, apa lagi dimiliki. Karena itu, mereka menghibur kekecewaan mereka dengan berpelesir sepuas hati mereka dengan gadis-gadis pelacur yang berada di situ, yang siap melayani mereka dengan wajah penuh senyum tanpa harus dibayar sampai seratus tail perak! Tepat seperti yang diperhitungkan dan diharapkan Cia-Ma, sejak lima orang pemuda bangsawan itu melihat dan mendengar Bi Hwa memainkan suling dan Yang-Kim, tersiar berita di kalangan para pemuda bangsawan bahwa Cia-Ma diam-diam mempunyai seorang anak perawan yang
430
cantik jelita seperti seorang bidadari dan pandai sekali bermain suling dan Yang-Kim, Seorang anak perawan yang suci dan biarpun anak perempuan seorang mucikari, namun hidupnya bersih, angkuh, bahkan harga dirinya mahal luar biasa sehingga Cia-Ma tidak akan mau menerima uang selaksa tail sekalipun untuk membeli perawan itu untuk satu malam saja! Hal ini tentu saja membuat para pemuda bangsawan, terutama yang tinggal di kota raja, merasa penasaran bukan main. Mana ada perawan yang menolak uang selaksa tail perak untuk melayani seorang pria hanya satu malam saja? Uang sebanyak itu cukup untuk membeli perawan sebanyak seratus orang! Berita burung dari mulut ke mulut selalu dilebih-lebihkan sehingga beberapa bulan kemudian muncul sajak yang dikenal oleh semua pemuda, terutáma para pemuda bangsawan yang suka pelesir. “Bunga Cantik Harum di Nampo kota amatlah berharga tiada terkira selaksa tail perakpun ditolaknya Kongcu manakah yang mampu mempersuntingnya?” Semakin banyaklah para pemuda bangsawan yang kaya raya datang bertamu di rumah pelesir milik Cia-Ma, ada yang datang untuk bersenang-senang dengan gadis-gadis pelacur. Akan tetapi banyak pula yang datang khusus untuk
431
melihat dan mendengar sendiri Siang Bi Hwa bermain suling dan Yang-Kim! Bi Hwa tidak dapat menolak permintaan ibu angkatnya untuk bermain suling dan Yang-Kim di taman itu, ditonton dari pintu belakang oleh para pemuda banngsawan. Akan tetapi para pemuda itu sudah berjanji untuk hanya menonton saja tanpa mendekat dan tanpa mengeluarkan kata kata yang tidak sopan. Makin banyak yang menonton, semakin terkenallah nama Siang Bi Hwa dan semakin muluk-muluk orang memuji kecantikan dan kepandaiannya bermain musik. Membanjirnya para bangsawan, juga ang sudah tua-tua, ke rumah pelesir milik Cia-Ma itu berarti pula membanjirnya uang yang memasuki peti uang Cia-Ma. Tentu saja para tamu itu tidak hanya sekedar menonton Siang Bi Hwa, kalau tidak berpelesir dengan para gadis pelacur, setidaknya mereka akan makan minum di tempat itu. Dan makan minum di situ berarti harus membayar beberapa kali lipat dari harga umum makan dan minumannya. Setiap malam Cia-Ma tinggal menghitung uang yang masuk. Dalam beberapa bulan saja ia sudah dapat membangun bangunan yang lebih besar dan bertingkat di sebelah rumahnya yang tadinya ditempati seorang tetangga kemmudian dibelinya dengan harga tinggi. Dan rumah pelesir itu menjadi semakin terkenal. Nama Siang Bi Hwa menjadi
432
buah bibir para pemuda bangsawan di kota raja, bahkan mulai menjalar dan diketahui oleh para bangsawan tua yang suka berpelesir. Banyak sekali orang berdatangan dan menawarkan uang dalam jumlah besar kepada Cia-Ma, bahkan ada yang menawarkan selaksa tail! Akan tetapi Cia-Ma tetap menolak dengan halus dan mengatakan bahwa anak perempuannya sudah bertekad untuk membunuh diri kalau dipaksa melayani pria. la hanya mau melayani pria yang menjadi suaminya, pilihan mereka kalau saatnya sudah tiba kelak! Melihat betapa berbondong-bondong pria datang untuk melihatnya dan seakan berlumba untuk membelinya, diam-diam Bi Hwa merasa penasaran dan marah sekali. la merasa diperhina, disamakan dengan benda yang dapat dibeli dengan uang! Perasaan marah dan penasaran inilah yang akhirnya mendorongnya untuk membalas, yaitu dengan jalan membuat para pria itu semakin tergila gila agar mereka tersiksa karena tidak dapat memenuhi hasrat hatinya, la menggunakan kepandaiannya untuk menarik hati mereka sekuat mungkin. Kini ia tidak hanya bermain suling dan Yang-Kim,akan tetapi juga mulai bernyanyi diiringi suara Yang-Kimnya. Dan begitu Bunga Cantik Harum ini membuka suara bernyanyi, jantung para pemuda bangsawan itu jungkir balik.
433
Bukan hanya suara nyanyian Bi Hwa yang merdu merayu, akan tetapi juga kata-kata yang mengejek dan menyindir kelakukan para pemuda itu. Akan tetapi anehnya, mereka yang disindir ini tidak menjadi marah, bahkan tertawa-tawa senang karena merasa lucu! Hampir setiap hari para pemuda bangsawan dan hartawan datang bertamu, kebanyakan khusus untuk melihat dan mendengarkan Bi Hwa bermain musik dan bernyanyi. Melihat keadaan usahanya semakin ramai, untuk menjaga keselamatan, terutama sekali keselamatan Bi Hwa dari gangguan pria, Cia-Ma lalu membayar lima orang jagoan untuk menjadi penjaga keamanan di rumah pelesir itu. Pada suatu hari, selagi Bi Hwa bermain Yang-Kim sambil bernyanyi di atas bangku didekat kolam ikan, ditonton belasan orang Kongcu yang bergerombol di pintu belakang, seorang di antara para Kongcu itu melangkah maju memasuki taman! “Heii, tidak boleh mendekat ke sana!” teriak beberapa orang pemuda, akan tetapi agaknya pemuda bangsawan yang mulutnya besar dan matanya agak juling itu tidak mempedulikan teguran para rekannya. Agaknya sudah mabok karena jalannya terhuyung huyung ketika dia terus melangkah maju memasuki taman dan menghampiri kolam ikan dekat dimana Bi Hwa sedang bernyanyi diiringi petikan Yang-Kim. Tiba-tiba nyanyian dan suara Yang-Kim
434
itu berhenti karena Bi Hwa sudah mendengar suara pemuda yang datang menghampirinya. la bangkit dan alisnya berkerut, matanya memandang marah kepada pemuda yang menghampirinya sambil tertawa-tawa itu. “Mau apa engkau? Pergi! Tak seorangpun boleh datang mendekat ke sini!” Bi Hwa membentak sambil menuding dengan telunjuknya ke arah pintu belakang dari mana pemuda itu datang. Pemuda itu menyeringai. Mulutnya yang lebar tampak menakutkan dan matanya menjadi semakin juling. “Ha-ha-ha, engkau sungguh luar biasa cantik jelita, bidadariku. Siang Bi Hwa, marilah engkau datang dalam pelukanku, sayang.” Berkata demikian, pemuda yang sudah tergila-gila dan nekat ini lalu menubruk maju sambil mengermbangkan ke dua lengannya untuk merangkul. Siang Bi Hwa adalah Ouw-yang Hui puteri Ouw-yang Lee. Biarpun ketika meninggalkan Pulau Naga usianya baru tujuh tahun, akan tetapi selama kurang lebih dua tahun ia sudah pernah digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh ayahnya yang berkepandaian tinggi. Biarpun selama berada dirumah Cia-Ma ia tidak pernah lagi berlatih silat, namun menghadapi bahaya dipeluk orang itu, secara otomatis ia menggeser kakinya mengelak dan ketika tubuh
435
pemuda itu terdorong ke depan karena tubrukannya luput dan terhuyung karena mabok, Bi Hwa cepat menggerakkan kakinya menendang dari belakang. Tendangannya mengenai pinggul pemuda itu sehingga tubuh yang sudah terhuyung itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh pemuda itu terjatuh ke dalam kolam ikan. pemuda itu gelagapan, minum air kolam. Untung baginya bahwa kolam itu tidak terlalu dalam dan ketika dia berhasil bangkit berdiri, airnya hanya sampai di dadanya. Air kolam yang dingin dan membasahi semua tubuhnya membuat maboknya agak berkurang dan dia bergidik geli ketika tubuh ikan-ikan menggelitik kakinya. “Tolooonnggg.” Dia berteriak-teriak. Para pemuda yang menonton dari pintu belakang tertawa bergelak melihat pemandangan yang lucu itu. Bi Hwa sudah menjauhi kolam dan berdiri di belakang sebatang pohon membelakangi semua orang ketika Cia-Ma datang berlari-lari diikuti lima orang jagoannya. Wanita ini marah sekali, akan tetapi karena yang mengganggu Bi hwa itu adalah putera seorang jaksa di kota raja, ia tidak berani memperlihatkan kemarahannya. la hanya memerintahkan lima orang jagoannýa untuk menolong pemuda itu keluar dari kolam dan sambil menahan kemarahannya ia berkata.
436
“Su-Kongcu (Tuan Muda Su), sudah saya pesan kepada semua tamu bahwa mereka hanya boleh menonton dari pintu belakang dan tidak boleh mengganggu anaku Siang Bi Hwa, kenapa Kongcu memasuki taman ini, Saya menyesal sekali atas kejadian yang di timbulkan oleh Kongcu sendiri. Maafkan kami, Su-Kongcu. Mari masuk ke dalam. Kongcu harus berganti pakaian Kongcu yang menjadi basah dan kotor semua. Saya ada menyimpan beberapa potong pakaian yang masih baru dan cocok untuk Kongcu pakai.” Su Kan Lok, pémuda bermulut lebar bermata juling itu, adalah putera Jaksa Su di kota raja, seorang jaksa yang besar kekuasaannya karena dia adalah orang bawahan Thaikam Liu Cin. Su Kan Lok berusia dua puluh tiga tahun itu masih bujangan, belum menikah dan dia adalah seorang di antara para pemuda bangsawan tukang pelesir yang pandainya hanya menghambur-hamburkan uang yang didapatkan oleh ayahnya secara tidak halal, melalui pemerasan dan sogokan. Kini Su Kan Lok sudah dibujuk Cia-Ma, tetap saja dia tidak dapat menahan kemarahannya dan sebelum mengikuti Cia-Ma masuk ke dalam untuk berganti pakaian, dia menoleh ke arah Bi Hwa yang berdiri di balik batang pohon. “Gadis sombong!” geramnya.
437
“Lihat saja nanti. Kalau aku tidak mampu mendapatkan engkau, jangan sebut aku Su Kongcu putera Jaksa Su di kota raja. Setelah mengeluarkan ancaman ini, dia lalu masuk ke dalam rumah bersama Cia-Ma. Para pemuda lainnya juga meninggalkan taman itu karena Bi Hwa tidak mau lagi bermain musik dan bernyanyi setelah terjadi peristiwa itu. Kini para pemuda itu mengabarkan bahwa Siang Bi Hwa yang cantik jelita dan pandai bermain musik dan bernyanyi itu ternyata juga pandai bermain silat. Berita ini tentu saja makin lama menjadi semakin besar sehingga akhirnya dikabarkan orang bahwa Siang Bi Hwa yang cantik jelita itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali! Akan tetapi diam-diam Cia-Ma menjadi khawatir sekali atas kejadian dalam taman itu. Ancaman Su Kan Lok selalu terngiang dalam telinganya. Pemuda itu adalah putera seorang jaksa yang berkuasa di kota raja. Bagaimana kalau pemuda itu melaksanakan ancamannya? Apa yang akan terjadi? Melihat kegelisahan Cia-Ma, Bi Hwa menghiburnya. “ibu, harap jangan terlalu cemas. Kurasa ancaman pemuda tolol itu hanya gertak sambal belaka. Andaikata dia benar-benar hendak mempergunakan kekerasan, perlu apa kita takut? Bukankah ibu mempunyai banyak kenalan para pemuda bangsawan yang
438
ayahnya memiliki kedudukan yang tinggi? Ibu dapat minta pertolongan mereka agar melindungi kita dari ancaman siapa saja.” Dihibur demikian oleh Bi Hwa, akhirnya Cia-Ma menjadi tenang kembali dan behar saja. Banyak pemuda bangsawan menyatakan kesediaan mereka untuk melindungi Cia-Ma dan Siang Bi Hwa dari ancaman Su Kan Lok. “Sin Cu, kini sudah tiba waktunya bagimu untuk pergi merantau dan mencari orang tuamu. Semua ilmu yang kukuasai telah kuajarkan kepadamu, juga engkau telah mendapatkan ilmu bermain dalam air dari gurumu Can Kui. Karena itu, engkau telah memperoleh bekal ilmu kepandaian yang cukup untuk membela dirimu sendiri. Sekarang tiba saatnya bagimu untuk mempergunakan semua ilmu yang telah kaupelajari dengan susah payah itu untuk menolong orang orang yang lemah tertindas dan menentang orang-orang yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kekuasaan dan kekuatannya. Juga engkau harus mencari keterangan tentang orang tuamu.” “Suhu (Guru), Teecu (Murid) akan selalu menaati semua perintah dan petunjuk Suhu. Akan tetapi bagaimana Teecu dapat meninggalkan Suhu dengan hati tenang? Suhu kini telah berusia lanjut, Suhu memerlukan pelayanan Teecu. Kalau Teecu pergi
439
meninggalkan Suhu, lalu siapa yang akan melayani Suhu? Teecu tidak tega meninggalkan Suhu hidup seorang diri.” “Ha-ha-ha, senang hatiku mendengar suara hatimu itu, Sin Cu. Itu tandanya bahwa engkau memiliki perasaan kasih terhadap diriku yang sudah tua ini dan perasaanmu itu sudah cukup membahagiakan hatiku. akan tetapi jangan engkau khawatir tentang diriku, Sin Cu. Sudah sejak puluhan tahun yang lalu aku hidup seorang diri, merantau ke mana saja hati dan kakiku membawaku.Jangan memusingkanku, yang penting engkau harus mencari kedua orang tuamu. “Baik, Suhu. Teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu. Akan tetapi, dapatkah Suhu menceritakan lebih jelas tentang orang tuaku itu?” Bu Beng Siauw-jin menggeleng kepalanya. “Ketika aku menemukannu, engkau baru berusia sekitar tiga tahun dan dari mulutmu aku hanya mendapat keterangan bahwa ayahmu bernama Wong Cin dan ketika itu dengan ketakutan engkau menyebut-nyebut tentang perahu, lautan dan orang jahat. Engkau belum dapat menceritakan apa yang telah terjadi menimpa dirimu dan orang tuamu. Aku sudah berusaha mencari di sekitar tempat aku menemukanmu, untuk mencari orang bernama Wong Cin. Tiga bulan lamanya aku mencari, namun sia-sià belaka. Tidak ada
440
orang yang mengenal nama Wong Cin sehingga aku lalu menghentikan pencarianku dan membawamu pergi merantau, Nah, sekarang engkaulah yang harus mencari ayahmu itu.” “Akan tetapi, ke mana Teecu harus mencari, Suhu?” tanya Sin Cu dengan sedih dan bingung. “Engkau merantaulah dan cari di mana saja. Kalau Thian (Tuhan) menghendaki, tentu engkau akan dapat bertemu dengan orang tuamu. Dan jangan lupa, engkau telah mewarisi Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) dari mendiang Kwee-Ciangkun (Panglima Kwee). Karena'itu, pergilah engkau ke kota raja dan teruskan perjuangan Kwee-Ciangkun, yaitu melindungi Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin yang murtad dan sewenang-wenang. Selain itu, engkaupun harus bersikap dan bertindak seperti seorang pendekar sejati agar tidak percuma selama belasan tahun aku mendidikmu.” “Teecu mengerti dan akan mengingat semua petuah yang telah teecu terima dari suhu.” Demikianlah, walaupun hatinya merasa kasihan kepada suhunya yang sudah tua, dengan hati terharu Sin Cu meninggalkan Bu Beng Siauw-jin untuk melakukan perjalanan merantau.
441
Gurunya yang amat mencintainya seperti kepada anak kandung sendiri telah menyerahkan simpanannya, yaitu sekantung berisi emas dan perak untuk bekal dalam perjalanan. Dengan menggendong buntalan pakaian dari kain berwarna kuning dimana di dalamnya tersimpan pula Pek-Liong-Kiam dan kantung uang, dia berjalan dengan cepat meninggalkan pantai laut timur menuju ke barat. Wong Sin Cu kini telah berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya sedang saja dan sama sekali tidak membayangkan bahwa tubuh itu mengandung kekuatan dan tenaga yang dahsyat. Wajahnya berbentuk bulat telur, rambutnya hitam gemuk, digelung dan diikat ke atas dengan tali sutera putih. Alisnya hitam tebal berbentuk golok dan sepasang matanya mencorong tajam namun sinar mata itu lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya kecil selalu terhias senyum penuh kesabaran dan keramahan. Kulitnya putih dan wajahnya mengandung warna kemerahan menandakan bahwa kesehatannya memang baik sekali. Ketika dia sudah jauh meninggalkan pantai laut dan memasuki daerah yang berhutan dan berbukit, Sin Cu mulai mempergunakan ilmu berlari cepat dan tubuhnya melesat dengan amat cepatnya seperti terbang. Begitu meninggalkan pantai laut timur, Sin Cu sudah mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena
442
dia tidak tahu tempat lain mana yang harus dikunjunginya untuk mencari ayah ibunya. Dia tidak tahu dari mana ayah ibunya berasal. Dia akan pergi ke kota raja untuk langsung menghambakan diri kepada Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin yang lalim. Dan dalam perjalanan menuju kota raja itu, di sepanjang perjalanan dia akan bertanya-tanya mencari keterangan tentang seorang bernama Wong Cin. Di setiap dusun dan kota yang dilaluihya, Sin Cu tentu berhenti dan bermalam satu dua hari. Kesempatan itu dia pergunakan untuk mencari keterangan tentang ayahnya yang bernama Wong Cin. Akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenal orang bernama Wong Cin. Pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun bernama Tong-Sin-Bun. Seperti biasa, dia memasuki dusun itu dan tinggal mondok dalam rumah seorang petani tua yang hanya tinggal berdua dengan isterinya. Mereka adalah keluarga miskin dan mereka girang dapat menerima Sin Cu sebagai tamunya karena Sin Cu sanggup membayar sewa kamarnya untuk semalam. Dan di tempat ini Sin Cu akhirnya mendapat keterangan tentang ayahnya! “Wong Cin? Ah, tentu saja kami mengenal nama itu! Siapa yang tidak mengenalnya? Orang seluruh dusun Tong-Sin-Bun ini tentu mengenalnya karena Wong Cin adalah Wong-Chungcu (Kepala
443
Dusun Wong).” Berdebar rasa jantung Sin Cu mendengar keterangan itu. Ayahnya seorang kepala dusun? “Dia-dia kepala dusun di sini, paman?” Tiba-tiba sikap petani itu berubah, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan rasa tidak suka ketika dia menatap wajah Sin Cu. “Benar, dia kepala dusun di sini dan kalau engkau merupakan sanak keluarga atau sahabatnya, maafkan kami, terpaksa kami tidak dapat menerimamu bermalam di gubuk kami ini!” Tentu saja Sin Cu menjadi kaget bukan main. “Akan tetapi, kenapa, paman?” “Jawab dulu, orang muda. Siapakah engkau ini? Apakah masih ada hubungan sanak keluarga ataukah sahabat dari Wong Chungcu?” Untuk memancing keterangan orang itu, Sin Cu menggeleng kepala. Apa lagi, dia belum yakin benar bahwa kepala dusun Wong Cin itulah ayah yang dia cari-cari. “Bukan apa-apanya, paman. Akan tetapi mengapa paman tampaknya membenci kepala dusun itu? Orang macam apakah dia?”
444
“Orang macam apa? Semua orang di dusun ini tahu belaka orang macam apa adanya Kepala Dusun Wong Cin. Dia sewenang-wenang mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya untuk memaksakan kehendak, memeras rakyat di dusun ini, menerima sogokan dari orang kaya dan menekan yang miskin, menyita sawah ladang dengan alasan untuk membayar pajak, bahkan suka merampas anak gadis dan isteri orang! Dia mata keranjang dan jahat sekali! Itulah macamnya Wong Cin yang kau tanyakan!” in Cu terkejut bukan main. Untung cuaca mulai gelap di senja hari itu dan penerangan dalam rumah itu belum dinyalakan sehingga tuan rumah dan isterinya tidak melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali. “Ah, begitukah, paman? Berapakah usianya?” “Hemm, usianya tidak berselisih banyak denganku, sedikitnya tentu sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi penampilannya seperti orang muda saja.” “Dan isterinya? Anak-anaknya?” “Isterinya ada lima orang, akan tetapi malam ini akan bertambah lagi seorang! Dia tidak mempunyai anak. Agaknya orang seperti itu
445
memang dikutuk oleh Thian sehingga tidak dikaruniai seorang anakpun,” kata petani itu dengan nada suara penuh kebencian. “Agaknya paman amat membencinya. Mengapa, paman? Apa yang telah dia lakukan terhadap paman sekeluarga?” Tiba-tiba saja isteri petani itu menangis sedih dan petani itu sendiri mengepal tangan dan menghela napas panjang. “Setahun yang lalu, kepala dusun terkutuk itu ingin mengambil anak gadis kami sebagai isteri muda. Anak kami tidak mau, terpaksa kamipun tidak dapat memaksanya. Akan tetapi Lurah Wong membawa jagoan-jagoannya datang ke sini dan memaksa anak gadis kami untuk pergi ke rumahnya. Mereka menangkap dan menyeret anak kami tanpa kami dapat berbuat sesuatu. Ketika kami mencoba untuk mencegahnya, kami bahkan dipukuli para jagoan itu. Dan pada keesokan harinya, kami mendapatkan anak gadis kami telah mati menggantung diri di rumah Lurah Wong yang mengirim kembali anak kami yang telah menjadi mayat itu kepada kami. Agaknya anak gadis kami itu membunuh diri setelah dinodai oleh si keparat itu.” “Terkutuk...!” Sin Cu berseru dan hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk! Ayahnya, ayah kandungnya, melakukan kejahatan seperti
446
itu? Akan tetapi dia teringat akan keterangan petani itu bahwa etani itu bahwa Lurah Wong Cin ini tidak mempunyai anak! “Paman?, Benarkah dia tidak mempunyai anak,?” tanya Sin Cu. “Sepanjang pengetahuan kami, dia tidak mempunyai anak. Entah kalau di luaran dia rnempunyai anak, Siapa tahu tentang rahasia kehidupan orang semacam itu!” “Sudahlah, suamiku. Jangan bicara lebih banyak tentang manusia iblis itu. aku muak mendengarnya!” kata isteri petani itu sambil menghapus air matanya. Sin Cu tidak dapat lagi menahan gelora hatinya. “Paman, di mana rumah Lurah Wong Cin itu?” “Kau.... kau mau apakah, orang muda?” “Aku mau menghajarnya, kalau benar dia sejahat seperti yang paman ceritakan tadi.” “Ah, hati-hatilah, orang muda. Dia mempunyai banyak jagoan. Ada belasan orang tukang pukulnya yang galak-galak dan tangguh.” “Aku tidak takut, paman. Tunjukkan di mana rumahnya?”
447
“Mudah saja,mendapatkan rumahnya,Kaudengar suara musik itu? Rumahnya berada di sebelah barat itu. Dia sedang mengadakan pesta pernikahannya dengan isterinya yang ke enam pada malam ini. dia sedang mengadakan pesta perayaan itu.” Petani itu berhenti bicara karena Sin Cu sudah mengambil pedangnya dari buntalan, kemudian menggantung pedang itu di punggungnya dan sekali dia berkelebat, dia telah keluar dari dalam rumah itu, diikuti pandang mata terbelalak dari petani dan isterinya. Dengan hati panas Sin Cu berjalan cepat menuju ke barat dan memang mudah mencari rumah yang sedang berpesta itu. diluar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang dusun dan kanak-kanak yang menonton perayaan. Mereka tidak diundang, maka hanya dapat nonton orang berpesta di lapangan depan. Sin Cu menyelinap di antara para penonton. Dari luar dia dapat melihat jelas kedalam. Para tamu, tidak banyak jumlahnya, kurang lebih seratus orang, duduk di ruangan depan. Agak ke dalam duduklah sepasang mempelai. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak bongkok dengan kumis melintang, berpakain mewah dan tersenyum-senyum, di samping seorang wanita muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, cantik dalam pakaian
448
pengantin yang kemerahan, akan tetapi wanita itu menunduk dan menangis. Para pemain musik berada di sebelah kiri dan tak jauh dari tempat duduk pengantin, terdapat belasan orang yang tampak bersikap gagah dan congkak, dengan senjata golok tergantung di punggung masing-masing. Itulah agaknya para jagoan yang menjadi tukang pukul Lurah Wong Cin. Membayangkan laki-laki bongkok yang menyeringai senang itu sebagai ayahnya, Sin Cu menggigit bibirnya karena kembali jantungnya seperti ditusuk rasanya. Dia tidak dapat menahan diri lagi dan cepat dia melangkah memasuki pekarangan dan ruangan depan. Melihat masuknya seorang pemuda, para petugas yang menyambut tamu mengira bahwa Sin Cu seorang tamu yang terlambat datang. Tiga orang petugas sudah bangkit menyambut, akan tetapi dengan kedua tangannya, Sin Cu mendorong mereka minggir dan dengan langkah lebar dia terus menghampiri ke dalam, ke arah dua pengantin itu duduk. Ketika para jagoan melihat seorang pemuda yang membawa pedang di punggungnya menghampiri tempat duduk pengantin, mereka serentak bangkit berdiri dan menghadang. Jumlah mereka ada lima belas orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang yang
449
berjenggot panjang, agaknya pernimpin para jagoan itu, menghadapi Sin Cu dan menegur dengan suara galak. “Kalau anda seorang tamu, persilakan duduk di ruangan depan bersama para tamu lainnya.” Sin Cu bersikap tenang dan berkata, “Aku ingin memberi selamat dan bicara dengan pengantin pria. Apakah tidak boleh aku memberi selamat?” Para tukang pukul itu menjadi ragu dan pada saat itu, pengantin pria yang mendengarkan ucapan itu berkata, “Minggirlah kalian dan biarkan orang muda itu bicara padaku.!” Wong Cin, pengantin itu, berada dalam suasana gembira memperoleh isteri ke enam yang masih muda dan cantik. Mendengar daa tamu hendak memberi ucapan selamat, tentu saja dia siap menyambutnya. Para tukang pukul itu minggir akan tetapi mereka bersiap siaga menjaga keamanan di situ. Sin Cu melangkah maju dan berdiri dalam jarak tiga meter dari sepasang mempelai, terhalang meja. Dia menatap wajah mempelai pria itu dengan pandang mata penuh selidik, sebaliknya Wong Cin juga memandang pernuda itu dengan sinar mata heran karena dia merasa tidak mengenal tamu ini.
450
“Apakah engkau yang bernama Wong Cin?” Tanya Sin Cu dan suaranya agak gemetar karena tegang. Tentu saja Wong Cin semakin heran mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang aneh. Kalau pemuda ini datang sebagai tarnu, mustahil tidak tahu bahwa dia adalah Wong Cin, pengantinnya. “Benar, aku Wong Cin yang hari ini merayakan pernikahanku. Engkau siapakah, orang muda?” Kini dengan suara mengandung penuh perasaan dan teguran Sin Cu bertanya, “Kalau engkau Wong Cin, apakah engkau tidak ingat kepada isterimu Su Leng Ci dan anakmu Wong Sin Cu?” Sambil berkata demikian, pandang matanya demikian tajam seolah hendak menjenguk isi hati pria yang berpakaian pengantin itu. Wong Cin mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak, heran dan marah. “Omongan apa yang kauucapkan ini? Aku tidak mengenal nama-nama itu. Apa maksudmu dengan mengatakan mereka itu isteri dan anakku? Aku tidak mempunyai isteri dan anak itu!” Legalah hati Sin Cu, seolah-olah batu berat yang menindih hatinya terangkat. Dia tersenyum gembira. “Sukurlah kalau engkau bukan Wong Cin yang kucari, karena Wong Cin yang kucari adalah seorang laki-laki yang bijaksana dan
451
berbudi baik, bukan seperti engkau ini lurah yang korup dan sewenang-wenang, lurah yang mata keranjang dan hidung belang!” Tentu saja Lurah Wong Cin terkejut dan marah bukan main mendengar ucapan itu. Juga mereka yang mendengar ucapan Sin Cu yang lantang itu terkejut. Lima belas orang tukang pukul itupun sudah bergerak ke depan mengepung Sin Cu dengan sikap mengancam. Pengantin pria itu bangkit dari tempat duduknya dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Cu dia berteriak kepada para tukang pukulnya, “Tangkap bocah lancang mulut dah kurang ajar itu! Pukul dan hajar dia!!” lima belas orang jagoan itu lalu bergerak dan menerjang maju, menyerang Sin Cu dengan tangan kosong karena mereka memandang rendah pemuda itu, apa lagi karena mereka berjumlah banyak. Akan tetap keadaan menjadi gempar ketika empat orang pertama yang menyerang paling depan tiba-tiba saja berpelantingan roboh terkena sambaran kedua tangan Sin Cu. Sebelas orang jagoan lain menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat tangguh. Mereka berteriak teriak dan menyerang bagaikan serombongan semut menyerang seekor jengkerik. Sin Cu menyambut mereka dengan gerakan tubuhnya
452
yang lincah karena dia mempergunakan ilmu langkah Chit-Seng Sin-Po (Langka Ajaib Tujuh Bintang). Sehingga semua serangan itu luput dan begitu kaki tangannya bergerak, para pengeroyok itu berpelantingan seperti disambar petir! Dalam waktu beberapa menit saja, semua jagoan telah berpelatingan roboh! Tentu saja mereka menjadi terkejut dan penasaran, akan tetapi juga kini mereka maklum bahwa Sin Cu adalah seorang pemuda yang tangguh. Maka, tanpa dikomando lagi mereka bangkit sambil mencabut golok mereka dan hujan senjata menyambar-nyambar kearah tubuh Sin Cu. Akan tetapi, dengan lincah tubuh pemuda itu yang memainkan Chit-Seng Sin-Po melangkah kesana sini dan semua sambaran golok itu luput. Ketika Sin Cu menggerakkan tangan kakinya, terdengar teriakan kesakitan dan empat orang pengeroyok roboh, golok mereka terlepas dari tangan. Sin Cu menyambar dan' menangkap sebatang golok, kemudian dengan golok rampasan itu dia mengamuk. “Kalian biasa menggunakan kekerasan berbuat kejam kepada rakyat dusun, kini rasakan hajaranku!” Golok di tangannya berkelebatan dan terdengar jerit-jerit kesakitan, darah muncrat dan tubuh yang roboh lalu merintih-rintih tidak mampu bangkit mengeroyok kembali. Golok di tangan Sin Cu bergerak terus
453
sampai lima belas orang jagoan itu roboh semua dan menderita luka yang cukup berat. Ada yang lengannya terbacok, ada yang kakinya terluka, pundaknya dan cukup parah akan tetapi tidak membahayakan nyawa mereka. Tempat itu menjadi ternoda oleh darah yang mengucur dari luka di tubuh lima belas orang jagoan yang kini tidak berani bergerak lagi, hanya mengaduh-aduh sambil memegangi bagian tubuh yang terluka. Melihat ini, para tamu lari berhamburan keluar dan meninggalikan tempat pesta itu. Wong Can sendiri ketika melihat betapa lima belas orang jagoan yang selama ini diandalkan sudah roboh semua dan menderita luka luka, menjadi terkejut dan ketakutan. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, dia bangkit lalu melarikan diri ke dalam. Akan tetapi baru tiga langkah dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangan dan Sin Cu sudah mencengkeram pundaknya. Wong Cin berteriak kesakitan dan ketika dia melihat hahwa yang mencengkeram pundaknya adalah pemuda yang mengamuk itu, yang masih memegang sebatang golok yang berlumuran darah, dia menjadi lemas dan tubuhnya terkulai dengan sendirinya, jatuh berlutut. Ampun, Taihiap ampunkan saya Wong Cin meratap sambil menangis ketakutan. Sin Cu menempelkan golok rampasannya pada leher lurah itu dań menghardik
454
“Hayo katakan dengan sejujurnya? Bukankah engkau mmempunyal isteri bernama Su Leng Ci dan seorang putera bernama Wons Sin Cu?.” Dengan terkencing kencing saking takutnya merasa betapa golok yang dingin menempel ketat di lehernya, laki laki itu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak. tidak saya tidak mengenal nama-nama itu.” “Benarkah? Jangan bohong, kalau berbohong,golok ini akan memenggal batang lehermu,” bentak Sin Cu yang menghendaki kepastian bahwa orang yang menjemukan ini benar-benar bukan ayah kandungnya. “Saya tidak berani berbohong, Saya tak pernah mempunyai anak yang amat saya dambakan... saya tidak mengenal nama nama itu” Hati Sin Cu semakin lega. Kini dia merasa yakin bahwa laki-laki ini bukan ayah kandungnya, hanya nama mereka saja kebetulan sama. Di dunia ini tentu banyak orang bermarga Wong dan bernama Cin seperti ayahnya karena nama itu adalah nama umum. Akan tetapi teringat akan cerita kakek petani yang menjadi tuan rumahnya, dia marah sekali kepada lurah ini. Biarpun marganya sama dengan dia, berarti kalau diusut silsilahnya tentu masih ada hubungan keluarga jauh, dia tidak perduli. Siapa yang jahat,
455
biarpun keluarga sendiri, harus ditentang dan dihajar! Tempat itu sudah sepi. Para tamu sudah lari semua, para penabuh musik juga sudah melarikan diri. Akan tetapi di luar pagar pekarangan, Sin Cu melihat masih banyak orang yang mengintai dan menonton. yang berada di ruangan yang terang benderang itu hanya dia dan sepasang pengantin,juga lima belas orang jagoan yang sudah menderita luka dan hanya berani duduk sambil memegangi anggauta tubuh yang terluka. Sin Cu mengerahkan Iwee-kang (tenagà dalam) dari pusar perutnya sehingga suaranya terdengar lantang dan dapat didengar pula oleh mereka yang nonton di luar pagar. “Wong Cin, tahukah engkau akan dosa-dosamu?” Dia membentak sambil melirik kearah pengantin wanita yang tadi menunduk sambil menangis itu. Kini pengantin wanita itu masih menangis dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dengan tubuh gemetar dan ketakutan. “Nona, jangan takut dan jawablah sejujurnya. Apakah nona suka menjadi isteri keenam Lurah Wong Cin ini?” Pengantin wanita itu tidak berani menjawab, hanya menggeleng kepala kuat-kuat tanda bahwa ia tidak suka.
456
“Jawablah, jangan takut. Kalau engkau tidak suka, bagaimana engkau dapat duduk di sini dalam pakaian pengantin?” “Saya... saya dipaksa, ayah saya takut dipukuli dan akan dibunuh kalau saya menolak menjadi isterinya, Wong Cin kembali menekan goloknya pada leher Wong Cin. “Nah, benarkah pengakuan gadis ini?” bentaknya. “Jangan bohong, kalau bohong aku pasti akan memenggal lehermu.” “Be... benar...” Lurah Wong Cin meratap. “Bagus! Engkau seorang lurah yang sepatutnya melindungi penduduk dusun ini dan mengusahakan agar kehidupan mereka di sini aman tenteram. Akan tetapi sebaliknya engkau malah menjadi lurah yang korup dan menindas penduduk! Engkau mata keranjang, memaksa gadis-gadis menjadi isteri mudamu dan engkau mempergunakan tukang-tukang pukulmu untuk memaksakan kehendakmu dan menyiksa penduduk. Dosamu sudah bertumpuk dan engkau layak dipenggal lehermu!” “Jangan bunuh saya... saya mempunyai lima orang isteri yang menjadi tanggungan saya... saya mohon ampun...” ratap laki laki itu.
457
“Hemm, mudah saja mengampuni, akan tetapi engkau harus bersumpah, disaksikan semua orang itu. Hayo panggil mereka masuk ke sini untuk menjadi saksi!” Lurah Wong Cin lalu melambaikan tangan ke arah mereka yang nonton di luar sambil berteriak. “Heii, kalian semua, Masuklah ke sini, jangan takut, ke sinilah!” Lurah itu berteriak menyuruh orang-orang itu agar jangan takut, untuk menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Mendengar panggilan ini, orang-orang yang menonton dari luar pagar lalu memasuki pekarangan itu dan berindap-indap masuk ke ruangan depan tempat para tamu tadi duduk. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan sebagian besar adalah penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Tentu saja mereka masih merasa ngeri dan takut-takut melihat Lurah Wong Cin dalam keadaan berlutut dan pemuda itu menempelkan golok yang berlumuran darah dileher itu, sementara itu, lima belas orang jagoan itu masih merintih-rintih kesakitan. “Nah, sekarang bersumpahlah, disakskan semua orang bahwa mulai saat ini engkau akan menjadi seorang lurah yang baik dan bijaksana, tidak menindas penduduk dusun, tidak sewenang-wenang, dan tidak akan mengganggu anak gadis dan isteri orang” Karena takutnya, Lurah Wong Cin lalu berseru dengan suara yang cukup lantang dan gemetar,
458
“Saya bersumpah untuk menjadi lurah yang adil dan bijaksana, tidak menindas penduduk, tidak sewenang-wenang dan tidak mengganggu gadis dan isteri orang. “Juga akan menolong penduduk yang kekurangan!” kata Sin Cu. “Dan juga akan menolong penduduk yang kekurangan!” teriak lurah itu. Sekarang, bebaskan gadis ini dan suruh antar ia pulang ke rumah orang tuanyal” bentak lagi Sin Cu. Lurah Wong Cin lalu berteriak memanggil seorang yang masih paman pengantin wanita dan yang tadi ikut mengantar wanita itu diboyong ke rumah Wong Cin. “Cepat antarkan keponakanmu pulang!” Pengantin wanita menangis saking gembiranya. la melepaskan hiasan kepala dan membuangnya, lalu lari menghampiri pamannya. Kemudian, dibimbing pamannya, mereka berdua berlutut di depan Sin Cu. “Terima kasih atas pertolongan Taihiap....” kata gadis itu sambil terisak. “Sudahlah, tidak perlu berterima kasih, cepat pulanglah ke rumah orang tuamu,” kata Sin Cu dan dua orang itu lalu bangkit dan berjalan setengah berlari meninggalkan rumah lurah itu.
459
“Wong Cin, engkau telah bersumpah disaksikan oleh banyak warga dusunmu. Bagaimana kalau engkau melanggar sumpahmu?” bentak Sin Cu kepada lurah yang masih berlutut itu. “Tidak, Taihiap, saya tidak akan melanggar! Kalau saya melanggar sumpah saya, biarlah saya tidak akan selamat! Tiba-tiba Sin Cu menggerakkan golok rampasannya. Wong Cin menjerit dan mengaduh sambil mendekap telinga kirinya yang sudah buntung dan bercucuran darah. Daun telinga kirinya telah terbabat buntung oleh golok di tangan Sin Cu Sekali ini aku hanya membuntungi telinga kirimu untuk peringatan. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan melihat engkau mengingkari sumpahmu bukan hanya sebelah telingamu lagi yang kubuntungi, melainkan lehermu!” Setelah berkata demikian, Sin Cu menggerakkan goloknya. Terdengar suara keras dan meja besa itu patah menjadi dua potong! Dia lalu melemparkan goloknya. Golok itu meluncur dan menancap di sebuah tihang sampai ke gagangnya! Setelah melakukan itu, Sin Cu lalu meninggalkan lurah yang masih berlutut dan mengaduh-aduh dengan tubuh menggigił itu. Sernua orang bubaran meninggalkan rumah Lurah Wong Cin dan tentu saja peristiwa itu menjadi bahan percakapan penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Mereka membicarakan peristiwa itu dengan hati girang, penuh harapan bahwa semenjak saat itu sang lurah akan
460
benar-benar menjadi lurah yang adil dan dapat dijadikan pengayoman penduduk dusun itu. Sin Cu kembali ke rumah petani yang menyambutnya dengan penuh hormat karena petani ini tadi juga ikut menonton peristiwa yang terjadi di rumah Lurah Wong Cin. Taihiap, kami semua senang sekali dan amat berterima kasih kepada Taihiap akan pertolongan Taihiap kepada kami dengan menundukkan Lurah Wong!” kata petani itu bersama isterinya sambil memberi hormat. “Sudahlah, paman dan bibi. Jangan sebut-sebut lagi urusan itu. Aku merasa gerah dan ingin mandi. Apakah ada persediaan air jernih di sini?” kata Sin Cu yâng kegerahan sambil membuka bajunya. Karena gerah dia membuka baju dan lupa, akan tanda rajah naga di dadanya. Baru dia menyadari hal ini ketika suami isteri itu memandang ke dadanya dengan mata terbelalak. Suami isteri petani sederhana itu tercengang melihat gambar seekor naga putih di dada pemuda itu, gambar seekor naga putih yang seolah hidup dan bergerak-gerak di atas dada yang bidang itu. “Hanya rajah gambar naga,” kata Sin Cu mencela keheranan orang dan dia menggunakan tangan kiri menutup gambar itu. “Paman, adakah air di sini untuk mandi?”
461
“Oh... ada... ada, Taihiap. Di belakang tersedia cukup air. Silakan...” Petani itu membawa sebuah lampu gantung dan mengantar Sin Cu ke belakang, di mana terdapat sebuah kamar mandi sederhana, akan tetapi airnya memang cukup banyak. Sehabis mandi dan berganti pakaian Sin Cu memberi uang kepada petani itu untuk membeli hidangan untuk makan malam, Malam itu dia tidur nyenyak dalam sebuah kamar sederhana, di atas sebuah pembaringan bambu yang sederhana pula. Namun, dia dapat tidur dengan pulas. Perbuatannya terhadap Lurah Wong Cin semalam agaknya mendatangkan kepuasan dalam hatinya, juga menghilangkan kegelisahannya ketika dia mengira bahwa lurah yang menyeleweng itu adalah ayah kandungnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah pergi setelah meninggalkan sepotong uang perak untuk suami isteri petani itu. Sin Cu melangkah perlahan memasuki hutan, mengikuti jalan mendaki lereng melalui hutan itu. Pagi itu amat indah dan cerah. Sinar matahari pagi menerobos di antara celah-celah daun, menimbulkan berkas-berkas sinar yang mengusir sisa-sisa halimun dari dalam hutan. Kicau burung menghidupkan hutan itu dan karena pada waktu itu musim semi telah menghijaukan pohon-pohonan bahkan di sana sini sudah tampak bunga menghias pohon-pohon itu, maka suasananya menjadi amat cerah dan
462
menggembirakan hati. Biarpun hutan itu sepi manusia dan dia hanya melangkah seorang diri, namun Sin Cu tidak merasa kesepian. Burung-burung yang berkicau sambil berlompatan dari ranting ke ranting, kelinci yang berlari lucu dari semak ke semak lain, semua itu seolah menemaninya dan membuat dia merasa tidak kesepian. Susah senang, puas kecewa, iri, marah, dengki, takut, benci, adalah keadaan hati akal pikiran yang diumbang-ambingkan dan dipermainkan oleh nafsu-nafsu daya rendah. Hati akal pikiran yang dikuasai oleh nafsu daya rendah membentuk “Si Aku” yang menjadi pusat di mana nafsu berulah. Segala sesuatu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan si aku dan kalau kesenangan tidak terdapat, maka menjadilah kesusahan,kalau kepuasan tidak terdapat maka terdapatlah kekecewaan yang mendatangkan kemarahan dan kebencian, Kalau pikiran hening, di waktu naísu daya rendah tidak bekerja, seperti keadaan Sin Cu pada waktu melangkah memasuki hutan di pagi hari itu, akan terasalah keadaan yang hening, indah dan mulia dan dalarn keadaan seperti itu, maka terasalah apa kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang berada di atas suka duka, berada di atas semua perasaan jasmaniah. Inilah kiranya yang menjadi sebab dan pendorong mengapa para bijaksana di jaman dahulu banyak yang
463
pergi ke tempat-tempat yang indah dan sunyi, di mana mereka dapat menikmati kebahagiaan itu. Namun, mereka salah duga. Kebahagiaan yang sudah dicari-cari berubah menjadi kesenangan dan seperti senua kesenangan, keindahan alam itupun akhirnya membosankan! Kebahagiaan tidak dapat dicari. Yang dapat dicari adalah kesenangan, dan di mana ada kesenangan, pasti ada pula kesusahan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan jiwa yang terbebas dari pada kotoran nafsu-nafsu daya rendah, dan kebebasan jiwa dari kotoran nafsu ini tidak dapat diusahakan melalui hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu. Hahya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan jiwa dari pengaruh nafsu daya rendah yang merupakan kotoran yang menutupi jiwa sehingga sinar jiwa tidak dapat menembus. Sin Cu melangkah perlahan-lahan, merasa dirinya ditelan keindahan alam sekelilingnya, merasa dirinya menjadi bagian dari keindahan itu, bukan sebagai penonton melainkan berada di dalamnya! Tak dapat digambarkan keadaan sebahagia itu. Bahkan setiap tarikan nafas, setiap kali hawa udara yang jernih memasuki tubuh, terasa nyaman dan nikmat yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata! Mata memandang, telinga mendengar, hidung mencium, sesuatu yang lebih dari pada keindahan, bukan keindahan yang mendatangkan kesenangan,
464
melainkan keindahan, kemerduan dan keharuman yang seolah sudah menyatu dengan diri jiwa raga. Tak dapat digambarkan dengan kata-kata keindahan itu, kebesaran itu, kebenaran dan kenyataan itu. Sin Cu merasa dirinya seolah melayang layang dalam dunia yang lain sama sekali dari pada yang biasa dilihatnya. Tanpa disengaja, dia menarik napas panjang sekali, seolah olah udara yang disedotnya memasuki seluruh tubuhnya sampai dia seperti terisak dan pada saat itu dia menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang menciptakan semua itu. Jiwanya seperti berdoa dengan sendirinya, memuji kebesaran Tuhan. Dan pada saat itu, segala yang dilihat dan didengarnya, bahkan yang diciumnya, baginya seolah semua itu memuji kebesaran Tuhan. Burung berkicau, kupu yang beterbangan, daun dan bunga yang bergoyang-goyang dihembus angin semilir, keharuman tanah rumput dan bunga yang memasuki penciumannya, semua itu ditujukan untuk mengagungkan dan memuja kebesaran Tuhan. “Tolooonngg... ahh, tolooong...” Tiba-tiba terdengar jerit melengking memecahkan suasana, menyeret Sin Cu kembali ke alam yang keras.
465
Suara wanita minta tolong, pikirnya. Ada orang membutuhkan pertolongannya! Ada orang berada dalam ancaman bahaya! Urat syarafnya yang sudah peka sekali itu tiba-tiba bekerja, tubuhnya melompat dan berlari cepat ke bagian depan, kearah datangnya suara jeritan tadi, Setelah melewati sebuah tikungan jalan dalam hutan itu, Sin Cu melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan dan seorang pría berusia tiga puluh lima tahun sedang dipukuli seorang laki-laki tinggi besar. Yang membuat hatinya marah adalah ketíka dia melihat dua orang wanita, seorang berusia tiga puluh tahun lebih dan yang ke dua berusia kurang lebih empat belas tahun, sedang meronta-ronta dalam pondongan dua orang laki-laki lain. Sedangkan dua orang lagi yang tampak bengis dan kasar tertawa tawa dalam kereta. Perampok, pikirnya marah. Sin Cu melompat dekat. “Lepaskan wanita-wanita itu!” bentaknya dan begitu dia menggerakkan tangan dua kali, laki laki yang meringkus wanita-wanita itu terpelanting dan roboh sehingga korban mereka terlepas. Kemudian Sin Cu menyerang laki-laki yang memukuli pria berpakaian indah seperti bangsawan itu. Sekali pukul saja laki-laki tinggi besar itupun terpelanting roboh. Dua orang kawannya yang berada dalam kereta menjadi marah sekali. mereka berlompatan turun dan mencabut golok yang tergantung di punggung mereka.
466
“Hei... Dari mana datangnya bocah setan yang berani menentang kami!” bentak seoang dari mereka yang berkumis tebal dan agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang itu. Dia bukan hanya membentak akan tetapi juga langsung menyerang dengan goloknya, diikuti temannya yang juga mengayunkan golok menyerang Sin Cu. Biarpun dua orang itu sudah mengerahkan tenaga dan menyerang dengan gerakan secepat mungkin, namun gerakan mereka itu bagi Sin Cu masih terlampau lamban. Dengan amat mudahnya pemuda perkasa itu mengelak, kemudian dua kali berturut-turut kakinya menendang. “Dukk...!! Dess...!” kedua orang itu berseru kaget dan kesakitan, tubuh mereka terlempar sampai empat lima meter dan terbanting jatuh berdebuk di atas tanah, golok mereka terlepas dari pegangan. Barulah terbuka mata lima orang gerombolan perampok itu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai sekali, yang dapat merobohkan mereka dengan sekali gerakan. Nyali mereka menjadi kecil dan pemimpin mereka yang berkumis tebal itu lalu merangkak bangun dan melarikan diri seperti dikejar setan. Dengan tubuh babak belur dan muka benjol-benjol karena dipukuli penjahat tadi pria yang berpakaian bangsawan itu terhuyung menghampiri Sin Cu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya.
467
“Terima kasih kami ucapkan atas pertolongan Taihiap.” “Tidak perlu berterima kasih kepada saya karena apa yang saya lakukan hanyalah sekedar memenuhi kewajiban saya. Lima orang perampok itu adalah orang-orang jahat yang wajib saya tentang.” Tiba-tiba gadis remaja yang tadi bersama ibunya diringkus dua orang penjahat, mendekati Sin Cu dan berkata penuh dengan nada teguran. “Engkau tadi mampu mengalahkan mereka, mengapa tidak kau bunuh saja lima orang jahat tadi? Mengapa engkau membiarkan mereka melarikan diri?” “Loan Cin! Jangan berkata begitu!” tegur ayah gadis itu yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Sin. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Sin, isterinya dan anak perempuannya telah melarikan diri keluar dari kota raja setelah Sóng Bu melepaskannya, tidak membunuhnya karena pemuda ini merasa kagum dan kasihan kepada puteri pangeran yang lincah dan pemberani. Berhari-hari Pangeran Ceng Sin melakukan perjalanan dengan kereta bersama isteri dan putrinya dan pada pagi hari itu, dia dihadang oleh lima perampok yang hampir saja mencelakai keluarganya.
468
“Taihiap, maafkan kelancangan anak perempuan kami. Perkenalkan, saya Ceng Sin. Ini adalah isteri saya, Ceng Hujin (Nyonya Ceng) dan ini puteri kami bernama Ceng Loan Cin. Bolehkah kami mengetahui nama in-kong (tuan penolong) yang terhormat?” Melihat sikap dan mendengar ucapan yang teratur itu tahulah Sin Cu bahwa dia berhadapan dengan seorang terpelajar dan melihat pakaian keluarga itupun dia dapat menduga bahwa mereka tentu keluarga bangsawan, maka dia lalu memberi hormat. “Saya bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang kebetulan lewat di tempat ini. Akan tetapi Taijin (pembesar) sekeluarga mengapa melakukan perjalanan di tempat sunyi ini tanpa pengawal?” “Ah, jangan menyebut saya Taijin!” kata Pangeran Ceng Sin yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya. Dia adalah seorang pelarian yang mungkin menjadi buruan orang-orangnya Thaikam Liu Cin, maka perlu dia menyembunyikan keadaan dirinya, “Kami hanyalah keluarga pedagang biasa. Kami datang dari kota raja dan kami ingin mencari tempat tinggal yang baru di sebuah dusun yang aman tenteram.” “Hemm, mengapa, Paman Ceng Sin? Mengapa paman sekeluarga meninggalkan kota raja dan hendak mencari tempat tinggal baru di
469
dusun yang aman tenteram? Apakah di kota raja tidak aman tenteram?” “Di kota raja banyak kekacauan. Banyak pembesar yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaannya sehingga kami merasa tidak tenteram tinggal di sana. Tidak kami sangka bahwa di tempat sesunyi ini muncul pula penjahat-penjahat.” “Paman, di manapun tentu terdapat orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat. Sekarang paman sekeluarga hendak ke mana?” “Dari jauh tadi kami melihat bukit ini amat subur dan menarik, Kami hendak melanjutkan perjalanan mencari sebuah dusun di daerah pegunungan ini, kalau cocok kami akan tinggal di dusun daerah ini.” “Kebetulan sayapun hendak melalui jalan ini. Biarlah saya menemani paman agar dapat mencegah kalau para perampok tadi melakukan penghadangan lagi.” “Ah, terima kasih, Wong-Taihiap. Engkau seorang pemuda gagah perkasa yang budiman. Mari, mari naik kereta dan duduk didepan bersama saya. Kami merasa aman melakukan perjalanan
470
bersamamu,” kata Pangeran Ceng Sin dengan girang sekali. Ceng Loan Cin menjenguk dari dalam kereta dan berkata kepada ayahnya, “Ayah, akupun ingin belajar silat agar aku dapat membasmi para penjahat seperti kakak Wong Sin Cu ini!” “Hemm, enak saja engkau bicara! Apa kau kira mudah menguasai ilmu silat seperti yang dikuasai oleh Wong-Taihiap ini?” Pangeran Ceng Sin berkata sambil tertawa. “Mengapa tidak, paman Ceng Sin? Kulihat adik Ceng Loan Cin ini memiliki keberanian dan ketabahan. Kalau ia mendapatkan seorang guru yang baik dan belajar dengan penuh semangat, aku yakin la dapat menjadi seorang yang berkepandaian lebih tinggi dari pada saya.” Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sin Cu merasa suka dan kagum kepada Ceng Sin yang ternyata memiliki pengetahuan yang luas dan sikapnya amat ramah dan baik. Ketika kereta mereka tiba di sebuah lereng di luar sebuah dusun yang berpagar bambu, Ceng Sin menahan kudanya sehingga berhenti. Dia menoleh ke kanan dan matanya terbelalak kagum. Sin Cu juga memandang ke arah itu dan diapun kagum. Di sana, di lereng bukit
471
tampak sebuah bangunan kuno yang indah sekali. Bangunan itu merupakan sebuah kuil, Atapnya berbentuk bunga teratai dan ada pula menaranya yang, bertingkat sebelas, Melihat kapur dan cat bangunan itu bersih dan baru, sehingga tampak indah sekali, dapat diduga bahwa kuil itu terpelihara baik baik. Juga dari situ dapat tampak ada taman bunga di sekeliling kuil. “Hemm, sebuah kuil yang indah sekali,” kata Sin Cu. “Tapi kenapa atapnya berbentuk bunga teratai?” “Engkau belum tahu, Wong-Taihiap? Bunga teratai itu melambangkan bahwa kuil itu adalah sebuah Kwan-Im-Bio (Kuil di mana dipuja Kwan Im Pauwsat), tentu penghuninya para Nikouw (pendeta wanita),” kata Ceng Sin menerangkan. Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara hiruk pikuk dan ketika mereka menoleh ke kiri, mereka terkejut sekali melihat belasan orang berlari-lari menghampiri mereka. Melihat betapa belasan orang itu semua memegang senjata golok telanjang yang diacung-acungkan dengan sikap mengancam, tahulah Sin Cu bahwa mereka adalah gerombolan orang jahat. Dia segera dapat melihat bahwa di antara mereka terdapat lima orang perampok tadi. Sin Cu menjadi marah dan cepat dia melompat
472
turun dari kereta dan berdiri menghadang belasan orang yang datang sambil berteriak-teriak itu. Setelah tiba di dekat kereta dan melihat Sin Cu berdiri dengan tegak dan tenang, kepala gerombolan lima orang yang berkumis lebat itu lalu menuding ke arah pemuda itu dan berkata, “Dialah orangnya. Dari gerombolan belasan orang itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan keadaannya sungguh berbeda dari belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu. Orang ini berpakaian seperti seorang Tosu (pendeta Agama To), Rambutnya digelung ke atas dan bajunya bagian dada yang berwarna kuning itu terdapat sebuah gambar bulatan Im Yang hitam putih. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan wajahnya penuh senyum, walaupun pandang matanya mencorong dan mengandung kekerasan. Melihat Tosu ini, Sin Cu menduga bahwa dia tentu seorang lawan tangguh, akan tetapi dia merasa heran bagaimana seorang Tosu dapat bersama kawanan berandal itu. “Orang muda, siapakah engkau yang berani menentang kami dan melindungi orang orang yang menjadi buruan kami?” tanya Tosu itu sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sin Cu.
473
“Totiang,” kata Sin Cu dengan sikap hormat karena dia harus menghormati seorang pendeta. “Nama saya Wong Sin Cu dan saya merasa heran sekali melihat seorang pendeta seperti Totiang (sebutan pendeta To) bersama kawanan perampok jahat ini.” “Wong Sin Cu, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Pinto (aku) adalah Im Yang Tojin, seorang tokoh Im-Yang-Kauw. Ketahuilah bahwa yang kau lindungi itu adalah keluarga buronan yang harus kami tangkap.” “Saya merasa heran sekali, Totiang yang saya lihat tadi, keluarga Ceng ini telah disergap oleh lima orang perampok jahat, maka saya membela mereka dan menghajar lima orang jahat itu. Akan tetapi kenapa sekarang mereka kembali bersama Totiang dan belasan orang kawannya. Sungguh tidak mengerti saya melihat Totiang hendak membela kawanan perampok laknat itu.” “Sudahlah, engkau tidak perlu tahu akan urusan kami. Sekarang lebih baik engkau yang masih muda ini pergi meninggalkan keluarga itu yang akan menjadi tawanan kami!” biarpun ucapan itu dikeluarkan dengan kata-kata lembut namun mengandung nada mengancam.
474
“Tidak bisa, Totiang. Saya melihat kenyataan bahwa yang jahat adalah pihakmu yang hendak menggunakan kekerasan mengganggu sebuah keluarga yang tidak bersalah. Terpaksa saya harus melindungi mereka!” kata Sin Cu dengan suara tegas. “Orang muda, engkau keras kepala! Terpaksa Pinto harus menggunakan kekerasan.” Dia menoleh kepada belasan orang gerombolan itu dan berseru memerintah, “Tangkap mereka yang berada dalam kereta!” Belasan orang itu bergerak mengepung mereka, akan tetapi Sin Cu dengan sigapnya melompat mendekati kereta dan berseru, “Siapa berani mengganggu akan kuhajar!” “Bocah sombong!” Tosu itu berseru dan diapun menerjang ke depan, menyerang Sin Cu dengan pukulan tangan kiri. Agaknya dia memandang rendah kepada Sin Cu sehingga ketika menyerang, tangan kirinya menampar dengan keyakinan bahwa pemuda itu tidak akan mampu menghindarkan diri. Tidaklah mengherankan kalau Tosu itu memandang rendah kepada Sin Cu. Dia adalah Im Yang Tojin, bekas pengawal Koan-Ciangkun yang tewas di tangan Ouw Yang Lee, kemudian dia terbujuk oleh Thaikam Liu Cin, sehingga setelah kehilangan majikan, dia lalu
475
menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, menjadi rekan dari Ouw Yang Lee. Tingkat kepandaian Im Yang Tojin memang sudah tinggi, setingkat dengan kepandaian Ouw Yang Lee, maka tentu saja dia memandang rendah seorang pemuda seperti Sin Cu, Akan tetapi ternyata tamparan itu degan mudah dihindarkan oleh Sin Cu yang mengelak ke kiri dan melihat ada dua orang anak buah gerombolan berusaha untuk membuka pintu kereta, dia lalu menerjang dan dua kali tangan kanannya menyambar maka robohlah dua orang itu. Pada saat itu, Im Yang Tojin yang merasa penasaran telah mengirim pukulan berturut-turut sampai tiha kali. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dengan mudah Sin Cu dapat megelak dari tiga kali pukulan itu, bahkan pemuda itu sempat merobohkan seorang anak buah gerombolan pula yang berusaha menyerang Ceng Sin yang duduk di tempat kusir bagian depan kereta. Im Yang Tojin menjadi marah dan maklum bahwa pemuda itu memang lihai sekali. Maka, diapun lalu menerjang maju dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga andalannya, yaitu Im-Yang Sin-Kang. “Sambut pukulan Pinto ini!” Dia berseru sambil mengirim pukulan yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat itu.
476
“Wuuuutt.... !!” Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Sin Cu. Pemuda ini terkejut, bukan main karena dia mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Diapun menyambutnya dengan pengerahan tenaga sakti Thai-yang Sin-ciang, tenaga inti matahari yang mengandung hawa panas. “Wuuuut... Blaarr!!,” Tubuh Im Yang Tojin terjengkang dan hampir saja dia roboh terbanting. Untung dia amat cekatan dan dengan bersalto dua kali ke belakang sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting. Dia terkejut setengah mati. Pemuda itu bahkan mampu menyambut pukulannya dan membuatnya terjengkang! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini, akan tetapi diapun menjadi marah bukan main. Dia mencabutnya pedang dari punggungnya dan sambil borseru keras dia menyerang. Melihat sinar pedang meluncur dan menyambar ke arahnya, Sin Cu cepat mengelak dan karena maklum bahwa lawannya amat tangguh, maka diapun merogoh pedang yang berada dalam buntalan pakaian di punggungnya. melihat pedang berbentuk naga putih itu, ln Yarg Tojin terbelalak dan menjadi semakin terkejut. Akan tetapi karena sudah marah dan penasaran sekali, dia terus menyerang secara bertubi-tubi,
477
“Trang-cringgg...” Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Tosu itu bertemu dengan Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) di tangan Sin Cu. Im Yang Tojin menyerang terus dan mencoba mendesak lawannya yang masth muda, akan tetapi dia merasa seperti bertemu dengan dinding baja yong sukar ditembus, demikian kuatnya pertahanan yang dibuat oleh pedang naga di tangan Sin Cu. Akan tetapi pemuda ini merasa gelisah karena lawannya memang lihai sehingga dia tidak sempat lagi menjaga keamanan keluarga yang berada dalam kereta, pada hal anak buah gerombolan itu mulai mengepung kereta sambil berteriak-teriak. Dia harus mencurahkan perhatiannya terhadap serangan bertubi dan berbahaya yang dilancarkan Tosu itu kepadanya. Pada saat yang amat gawat bagi keluarga Pangeran Ceng Sin, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan putih dan para anak buah gerombolan yang mengepung kereta menjadi kocar-kacir ketika bayangan putih itu berkelebatan. Dan ada sinar putih mencuat dan menyambar-nyambar merobohkan para pengepung. Pangeran Ceng Sin dan isteri serta anaknya menjadi girang bukan main melihat betapa para pengepung itu kocar kacir karena diamuk oleh seorang berpakaian putih, seorang Nikouw (pendeta wanita) yang memainkan sabuk sutera putih secara hebat sekali. Sabuk sutera putih yang panjang
478
itupun menyambar nyambar dengan dahsyatnya, siapapun yang terkena ujung sabuk sutera putih itu pasti terjungkal roboh! Dalam waktu singkat saja, sembilan orang anak buah gerombolan itu sudah roboh oleh totokan ujung sabuk sutera putih. Tentu saja hal ini amat mengejutkan yang lain sehingga mereka menjadi jerih dan tidak berani mendekati kereta yang kini sudah terjaga oleh Nikouw tua yang amat lihai dengan sabuk suteranya itu. Im Yang Tojin mulai terdesak oleh Sin Cu. Biarpun merasa penasaran sekali, namun Tosu tokoh Im-Yang-Kauw yang sudah diusir dari perkumpulannya karena menyeleweng ini harus mengakui bahwa lawannya yang masih muda itu amat tangguh. Maka, ketika melihat munculnya seorang Nikouw tua yang lihai sekali dan dalam waktu singkat merobohkan banyak anak buahnya, maklumlah Im Yang Tojin bahwa keadaannya terancam bahaya. Dia memang menerima tugas dari Thaikam Lui Cin untuk melakukan pengejaran terhadap Pangeran Ceng Sin sekeluarga dan membunuh pangeran itu. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pangeran itu dilindungi oleh seorang pemuda yang amat lihai bahkan kini muncul pula seorang Nikouw yang juga amat lihai. Karena itu, Im Yang Tojin lalu berseru nyaring. “Mundur...!” Dan dia sendiri sudah melompat ke belakang lalu melarikan diri, meninggalkan tempat berbahaya itu. Para anak
479
buahnya yang sudah merasa gentar, tidak menunggu perintah dua kali. Mereka saling bantu dan melarikan diri cerai berai, menggandeng kawan-kawan yang terluka. Sin Cu hanya mengikuti mereka yang lari dengan pandang matanya, tidak melakukan pengejaran. Kemudian dia memandang ke arah Nikouw tua itu dengan kagum. Dia melihat bahwa Nikouw itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya serba putih dan kepalanya yang gundul itu dilindungi kain penutup kepala berwarna putih pula. Sabuk sutera putih yang dipergunakan untuk mengusir para pengepung kereta tadi adalah sabuk yang masih diikatkan di pinggangnya yang masih ramping. Kedua ujung sabuk itu memang panjang dan untuk dapat memainkan sepasang ujung sabuk sutera itu, diperlukan tenaga sinkang yang kuat sehingga sabuk sutera yang lemas itu dapat berubah menjadi kaku dan kuat. Di lain pihak, Nikouw itupun memandang kepada Sin Cu penuh perhatian dan juga penuh kagum karena Ia tadi sudah menyaksikan betapa pemuds itu mampu mendesak lawannya yang amat tangguh. Pangeran Ceng Sin sudah melompat turun dari atas kereta, mernbuka pintu kereta dan menuntun isteri dan anak perempuannya turun dari kereta. Kemudian didampingi isterinya dia memberi hormat kepada Nikouw itu dan berkata dengan sikap dan suara penuh hormat.
480
“Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih kepada Lo-Cianpwe (orang tua gagah) yang telah menyelamatkan kami dari ancaman bahaya besar.” Pangeran Ceng Sin dan isterinya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Loa Cin sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nikouw itu. “Omitohud! Kebetulan saja Pinni lewat di sini dan melihat kejahatan dilakukan orang, bagaimana Pinni (saya) tidak akan turun tangan? Kalau tidak ada pemuda yang gagah perkasa itu, tentu Taijin (pembesar) sekeluarga akan tertimpa malapetaka,” kata Nikouw itu dengan suara lembut lalu menoleh dan memandang kepada Sin Cu sambil tersenyum ramah. “Harap Lo-Cianpwe tidak menyebut saya Taijin. Saya adalah rakyat biasa bernama Ceng Sin. Ini adalah isteri saya dan anak kami bernama Ceng Loan Cin. Loan Cin yang masih berlutut di depan kaki Nikouw itu lalu berkata dengan suara tegas. “Lo-Cianpwe, harap suka menerima saya menjadi murid dan mengajarkan ilmu silat kepada saya.”
481
“Omitohu... Nona Ceng ingin belajar ilmu silat, untuk apakah seorang gadis sepertimu mempelajari ilmu silat?” kata Nikouw itu sambil tersenyum dan mengangkat bangun Loan Cin. Sikap anak kami ini tidak mengherankan, Lo-Cianpwe. Kami sekeluarga meninggalkan kota raja karena terjadi banyak kejahatan yang membuat orang hidup tidak tenteram di sana. Kami pergi mencari tempat tinggal baru yang aman, tenang dan tentram. Akan tetapi dalam perjalananpun kami diganggu banyak orang jahat. Untung ada Song-Taihiap menolong kami dan tadi bahkan Lo-Cianpwe juga menolong kami sehingga kami semua terbebas dari kecelakaan, bahkan mungkin kematian. Karena menghadapi banyak kejahatan inilah kiranya yang membuat anak kami ingin mempelajari ilmu silat. Maka kalau Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid, kamipun akan merasa berterima kasih sekali. Bolehkah kami mengetahui nama dan tempat tinggal Lo-Cianpwe?” Nikouw itu tersenyum lebar dan ternyata wanita berusia lima puluh tahun itu masih memiliki gigi yang lengkap, bersih dan rapi. “Pinni disebut Thian Li Nikouw, dan Pinni memimpin para Nikouw di kuil Kwan-Im-Bio di sana itu,” katanya sambil menuding ke arah kuil yang tadi dikagumi Ceng Sin.
482
“Ah, jadi Lo-Cianpwe adalah penghuni kuil yang indah itu? Kamipun merasa suka sekali dengan pegunungan ini. Kami akan mencoba membeli sebidang tanah di dekat kuil dan mengharap dengan sangat Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid.” Thian Li Nikouw mengangguk-angguk sambil memandang kepada Loan Cin. Nikouw yang berpandangan tajam dan berpengalaman luas ini tentu saja dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang bangsawan, melihat dari pakaian keluarga itu dan juga keretanya. Apa lagi mendengar nama marga Ceng, Nikouw itupun dapat menduga bahwa Ceng Sin tentulah keluarga Kaisar. Karena sudah mendengar bahwa di kotaraja terjadi pergolakan dan pertentangan dengan berkuasanya Thaikam Liu Cin, maka ia dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang diantara para bangsawan yang menentang thaikam berkuasa itu dan kini terpaksa melarikan diri karena terancam. Apa lagi tadi melihat Tosu yang amat lihai itu berusaha membunuh keluarga ini, maka ia menduga bahwa Tosu itu tentulah suruhan orang- orang yang menginginkan kematian keluarga Ceng Sin, Berpikir demikian mengingatkan ia kepada pemuda perkasa itu dan kembali ia memandang kepada Sin Cu dengan penuh selidik.
483
“Memang baik sekali kalau Tuan Ceng Sin sekeluarga hendak menenteramkan hati dan tinggal di Lian-San (Bukit Teratai) yang indah ini, dan tentang Nona Ceng Loan Cin yang hendak mempelajari ilmu silat, dapat kita bicarakan kemudian. Akan tetapi pinni melihat bahwa sicu (orang gagah) ini telah melindungi keluargamu dan ilmu kepandaiannya tinggi sekali! Sicu, siapakah nama sicu dan kalau boleh Pinni mengetahui, siapa pula guru sicu?” Sin Cu sejak tadi mendengarkan percakapan antara Thian Li Nikouw dan Ceng Sin. Diapun amat kagum kepada Nikouw yang kelihatan lemah lembut ini namun dia tahu bahwa Nikouw ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ditanya demikian, dia lalu cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk. “Nama saya Wong Sin Cu dan suhu (guru) menyebut dirinya Bu Beng Siauw-jin.” Ceng Sin dan isterinya yang baru sekarang mendengar nama sebutan guru Sin Cu memandang heran. Bagaimana ada seorang guru yang berilmu tinggi mempunyai sebutan Bu Beng Siauw-jin (Orang Hina Tanpa Nama)? Akan tetapi ketika Thian Li Nikouw mendengar disebutnya nama ini, ia segera merangkap kedua tangan depan dada, menyembah. “Omitohood... nama boleh serendah mungkin namun budi harus setinggi mungkin. Kiranya Wong-sicu murid manusia luarbiasa itu?
484
Pinni mengucapkan selamat bahwa engkau sudah terpilih menjadi muridnya, dan beruntunglah Tuan Ceng sekeluarga dapat berjumpa dengan seorang permuda seperti Wong-sicu.” Karena hatinya tertarik kepada Nikouw dan kuilnya itu, dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari dan membeli tanah lalu tinggal di daerah Bukit Teratai yang indah, maka Ceng Sin lalu berkata kepada Thian Li Nikouw. “Saya persilakan Lo-Cianpwe suka duduk dalam kereta dan bersama kami pulang ke kuil. Kami ingin berkunjung ke kuil, bersembahyang dan menghaturkan terima kasih kepada Kwan Im Pouw-sat yang telah melindungi kami sekeluarga.” Isteri Ceng Sin juga ikut mempersilakan Nikouw itu. Sambil tersenyum ramah Nikouw itu mengangguk menyetujui sambil mengucapkan terima kasih. Pada saat itu, Sin Cu lalu memberi hormat dan berkata kepada Ceng Sin. “Paman Ceng Sin, saya kira sudah tiba saatnya bagi saya untuk memisahkan diri. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya dan saya boleh berlapang dada karena paman telah bertemu dan mendapatkan perlindungan dari seorang sakti seperti Thian Li Nikouw. Saya percaya bahwa paman sekeluarga pasti akan dapat hidup aman dan tenteram di daerah ini dan adik Ceng Loan Ci akan dapat mempelajari ilmu silat tinggi dari Thian Li Nikouw. Nah,
485
selamat tinggal semuanya!” Dia memberi hormat kepada mereka semua dan hendak melangkah pergi. “Kakak Wong Sin Cu!” tiba-tiba Loan Cin berseru. “Jangan kau lupakan kami. Kelak kalau aku sudah mempelajari ilmu silat aku ingin menguji kepandaianku denganmu!” Sin Cu tersenyum dan memandang kepada gadis cilik yang lincah dan cantik itu, kemudian dia mengangguk. “Baiklah, adik Loan Cin. Akan kuingat selalu pesanmu ini.” Pemuda itu sekali lagi memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ, diikuti pandang mata empat orang itu. gagah perkasa dan budiman, pantas menjadi murid Bu Beng Siauw-jin. Mereka semua lalu naik kereta dan Ceng Sin menjalankan kuda-kuda penarik kereta itu, menuju ke kuil melalui jalan yang cukup rata dan baik yang menuju ke kuil di lereng itu. Pada suatu siang, dalam perjalanannya menuju kota raja, tibalah Sin Cu di kota Nam-Po. Dia telah melakukan perjalanan sejak pagi sekali tadi sampai siang hari tak pernah berhenti sehingga dia merasa lelah dan lapar. Ketika melewati sebuah rumah makan, dari mana berhamburan bau sedap masakan, perut Sin Cu berkeruyuk semakin kuat. Dia lalu masuk ke rumah makan itu, disambut
486
seorang pelayan dan diapun duduk di bagian sudut ruangan rumah makan itu. Dia memesan nasi dan dua macam sayuran, minum air teh lalu makan minum dengan seenaknya. Perut lapar dan hati pikiran tidak terganggu membuat orang dapat menikmati makanan. Betapa sederhanapun hidangan yang dimakan, akan terasa nikmat. Sebaliknya kalau perut tidak lapar dan hati pikiran terganggu, segala macam masakan yang serba lezat dan mahal sekalipun tidak akan terasa enak. Setelah makan dan minum air teh, Sin Cu merasa mengantuk dan timbul keinginan untuk mengasokan tubuhnya. Dia melihat rumah makan itu cukup besar dan di bagian belakangnya terdapat bangunan yang lebih besar lagi. Biasanya, rumah makan yang besar merangkap menjadi rumah penginapan pula. Maka setelah membayar harga makanan, Sin Cu bertanya kepada pelayan yang melayaninya. “Twako, apakah rumah makan ini juga menyewakan kamar untuk menginap?” tanyanya sambil memandang ke arah belakang di mana terdapat pintu besar tembusan dan dari situ dapat dilihat anak tangga menuju ke sebuah loteng. “Tentu saja! Tuan membutuhkan kamar?” Perusahaan Thian-lok kami memang membuka rumah penginapan dan rumah makan
487
terbesar di kota ini. Silakan maşuk, tuan, saya antarkan kepada petugas kantor penginapan.” Pelayan itu mengantarkan Sin Cu masuk dan setelah diterima petugas penginapan, pelayan itu lalu meninggalkan Sin Cu berurusan dengan pegawai di situ. Sin Cu mendapatkan sebuah kamar di loteng, sebuah kamar yang tidak berapa besar akan tetapi cukup bersih dan terawat baik. Sin Cu memasuki kamar, meletakkan buntalan pakaian dan pedangnya di atas meja lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas pembaringan. Sebentar saja dia sudah tertidur pulas. Ketika dia membuka matanya mendengar ketukan pada pintu kamarnya, hari telah menjelang sore. Rupanya dia telah tertidur cukup lama, tidak kurang dari tiga jam! “Siapa?” tanyanya ketika mendengar ketukan pada daun pintu, ketukan perlahan dan sopan. “Saya, pelayan rumah penginapan, tuan. Hari telah sore, apakah tuan tidak memerlukan air untuk membersihkan badan? Sin Cu turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Sambil membungkuk-bungkuk pelayan pria berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh kurus itu masuk dan tersenyum ramah. “Perlukah saya membawakan sebaskom air untuk membasuh muka, ataukah tuan hendak pergi mandi di belakang?”
488
“Aku ingin mandi,” kata Sin Cu. “Silakan, tuan. Kamar mandi sudah diisi penuh air. Akan tetapi harap tuan mengunci pintu kamar ini kalau ditinggalkan. Kami tidak menanggung kalau ada barang yang hilang dari dalam kamar yang ditinggalkan tamu.” “Hemm, kalau begitu, buntalan pakaianku akan kubawa saja ke kamar mandi, ada barang berharga di dalamnya.” Sin Cu bukan maksudkan sekantung emas dan perak sebagai barang berharga, melainkan pedangnya. Setelah dia mandi dan bertukar pakaian, baru saja dia memasuki kamarnya, pelayan kurus itu sudah berada pula di situ. “Apakah tuan hendak mencucikan pakaian kotor? Kami menerima juga cucian dengan bayaran murah.” Sin Cu menjadi girang. Sudah dua stel pakaiannya yang kotor dan perlu dicuci, maka dia menyerahkan cucian itu kepada si pelayan. Pelayan itu ternyata ramah sekali. “Besok siang cucian ini sudah akan bersih dan kering, tuan. Agaknya tuan bukan penduduk Nam-Po.?” “Memang bukan, aku seorang pendatang...” jawab Sin Cu.
489
“Tuan belum pernah berkunjung ke sini?” “Belum, baru sekali ini.” “Ah, kalau begitu tuan tentu belum mendengar akan berita yang menggemparkan dari kota Nam-Po ini, bahkan mungkin tuan belum pernah mendengar akan nama Siang Bi Hwa (Bunga Cantik Harum)!” “Siapa itu Siang Bi Hwa? Aku belum pernah mendengar nama itu,” kata Sin Cu, sambil lalu karena dia tidak begitu tertarik untuk membicarakan orang lain, apa lagi yang dibicarakan itu agaknya seorang wanita, melihat namanya itu. “Aduh, kalau begitu tuan rugi besar! Datang ke Nam-Po belum melihat Siang Bi Hwa, sama saja dengan belum berkunjung ke Nam-Po! Bahkan para pemuda bangsawan dari kota raja saja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, dan untuk sekadar melihatnya dan mendengarkan ia bernyanyi saja, para pemuda dari kota raja itu berani membayar mahal sekali!” Tertarik juga hati Sin Cu mendengar bahwa para pemuda bangsawan kota raja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, membuat dia ingin tahu siapa sebetulnya Siang Bi Hwa dan orang macam apa.
490
“Hemm, apakah Siang Bi Hwa itu orang aneh? Orang macam apakah ia itu?” “Wah, tuan! Kalau ada orang lain mendengar pertanyaan ini, tentu tuan akan ditertawakan. Siang Bi Hwa itu lebih terkenal dari pada puteri Istana yang manapun! Kecantikannya tiada bandingnya! Seperti Kwan Im Pauwsat turun menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita!” Sin Cu tertawa. “Ah, kukira orang macam apa! Tidak tahunya hanya seorang gadis cantik! Apa anehnya itu? Engkau berlebihan, Twako !” “Ehh? Berlebihan? Tuan, saya belum menceritakan seluruhnya! Siang Bi Hwa itu bagaikan bidadari, bukan hanya kecantikannya, akan tetapi juga kepandaiannya. Dengar tuan, ia ahli membuat sajak, ia pandai meniup suling, pandai memainkan Yang-kim, mengarang lagu sendiri, dan suaranya! Seperti nyanyian dewi! Dan tuan tahu, apa yang baru-baru ini dibicarakan orang? Di samping semua kepandaian itu, Siang Bi Hwa juga pandai sekali dalam ilmu silat. Ah, dara itu tentu penjelmaan Kwan Im Pauwsat sendiri. Ilmu silatnya tinggi, bahkan kabarnya ia pandai terbang! Dan siapa yang tidak hafal akan pantun ini?” Pelayan itu lalu berpantun.
491
“Bunga Cantik Harum, di Nam-Po kota, amatlah berharga tiada terkira, selaksa tail perakpun ditolaknya, Kongcu manakah yang mampu mempersuntingnya?” Mendengar ini, Sin Cu mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Hemm, ternyata ia hanya seorang pelacur?” “Aih, tuan! Jangan berkata sembarangan. Orang-orang akan marah kalau mendengar ucapanmu itu. Siang Bi Hwa memang anak perempuarı Cia-Ma, seorang mucikari yang mempunyai rumah pelesir terbesar di kota Nam-Po ini, akan tetapi anak perempuannya itu, Siang Bi Hwa seorang gadis yang mulai mekar dewasa, sama sekali bukan pelacur! Bahkan menemui seorang priapun ia tidak sudi. Mereka hanya diperbolehkan melihatnya dari jarak jauh. Bahkan dibayar selaksa tail perakpun untuk melayani pria, ia tidak sudi!” Sin Cu merasa heran juga mendengar keterangan ini. Benar-benar luar biasa kalau seorang gadis, anak seorang mucikari, menolak uang selaksa tail perak untuk melayani seorang pria! Wanita macam apakah itu? Agaknya berdarah seniwati, akan tetapi juga pandai silat, bahkan dikabarkan pandai terbang! Tentu saja ia
492
merasa tertarik, bukan tertarik oleh kecantikan gadis itu, melainkan tertarik oleh keadaannya yang aneh. Benarkah ia pandai silat dan pandai terbang? Inilah yang paling menarik hatinya dan menimbulkan keinginan hatinya untuk tahu dan melihat keadaan gadis itu, membuktikan sendiri kebenaran cerita yang dianggapnya terlalu muluk dan berlebihan itu. “Hemm, agaknya aneh juga nona itu” “Ha, tuan juga tertarik, bukan? Semua orang, terutama kaum mudanya, akan rugi kalau berkunjung ke Nam-Po tidak menyaksikannya.” “Di mana tempat tinggalnya, bung?” “Rumahnya paling mudah ditemukan. Dari jalan raya di depan rumah makan kami ini, tuan berjalan ke arah timur. Paling jauh hanya satu li (mil) dari sini. Rumahnya besar bercat merah dan di depan rumah itu penuh dengan tanaman bunga yang terawat baik. Juga di depan pintu pekarangan tergantung sebuah lampu berwarna merah. Apakah tuan hendak pergi ke sana?” “Ah, aku hanya bertanya saja, belum tentu aku hendak melihatnya. Aku hanya ingin berjalan-jalan.”
493
“Apakah tuan tidak ingin makan malam?” “Sekarang masih sore, nanti saja sepulangku berjalan-jalan, aku makan malam.” “Baiklah, tuan. Selamat menikmat dulu? kota Nam-Po kami.” Pelayan yang suka bicara itu lalu meninggalkan Sin Cu. Pemuda itu mengambil pedangnya, digantungkan di pinggang, akan tetapi tertutup oleh baja luarnya yang panjang sehingga tidak tampak dari luar. Diapun membawa kantung uangnya. Yang ditinggalkan di atas meja dalam kamarnya hanya pakaian. Tentu tidak akan ada orang mau mencuri pakaian bekas. Setelah itu dia menutupkan daun jendela, mengunci daun pintu dan pergi meninggalkan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ketika dia berjalan melewati rumah pelesir yang bercat merah, dia melihat beberapa orang pemuda berpakajan mewah seperti pemuda bangsawan atau hartawan memasuki rumah itu. Dia tidak ingin masuk karena dengan pakaian yang sederhana, orang tentu akan memandang rendah kepadanya. Apa lagi, diapun merasa segan memasuki sebuah rumah pelesir. Selama hidupnya belum pernah dia memasuki rumah seperti itu.
494
Akan tetapi lapat-lapat pendengarannya dapat menangkap suara suling yang mengalun merdu, yang datangnya dari dalam atau belakang bangunan besar itu. Hari masih sore dan udara masih terang. Sin Cu lalu berjalan terus. Setibanya di ujung pekarangan rumah itu, dia melihat sebuah taman yang dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Agaknya taman itu menembus ke belakang rumah. Dia melihat ke sekelilingnya. Setelah yakin bahwa pada saat itu tidak ada orang melihatnya, dia lalu mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), mengenjot kakinya dan tubuhnya melayang naik melewati pagar bambu yang mengelilingi taman itu.Dia tiba di sebuah taman yang indah dan tepat seperti dugaannya, taman itu menembus ke belakang. Di belakang bangunan itu terdapat sebuah taman yang tidak berapa besar, namun terawat rapi dan indah dan dari taman di belakang rumah itulah suara suling tadi terdengar. Kini masih terdengar suara suling itu. Karena cuaca masih terang di sore hari itu dan dia tidak ingin terlihat orang dan dianggap sebagai seorang pencuri yang memasuki taman orang, Sin Cu lalu menyelinap di balik rumpun bunga. Kemudian berindap-indap dia menuju ke taman belakang, menyusup dari balik rumpun ke balik batang pohon dan tumbuh-tumbuhan yang memenuhi taman. Akhirnya tibalah dia di taman belakang dan dari balik serumpun
495
bambu kuning yang indah dia mengintai. Suara suling terhenti dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya duduk di atas bangku tepi sebuah kolam ikan. Gadis itu baru saja menghentikan tiupan sulingnya, meletakkan suling itu di atas bangku lalu mengambil sebuah Yang-kim kecil dari atas bangku itu. Dipangkunya Yang-kim itu lalu jari-jari tangannya yang kecil mungil meruncing itu mulai memainkan. dawai-dawai Yang-kim. Terdengar suara Yang-kim berkencrang-kencring merdu sekali. Kemudian, Sin Cu sendiri sampai terbengong terpesona ketika dara jelita itu mulai bernyanyi diringi suara petikan Yang-kim. Suaranya lembut dan merdu sekali. Sin Cu mendengar suara orang-orang di sebelah kiri dan ketika dia menoleh, dia melihat bahwa di sebelah kiri itu terdapat sebuah pintu yang menembus ke bagian belakang bangunan. Di situ berkumpul tujuh orang muda berpakaian mewah seperti pemuda bangsawan. Mereka duduk di atas bangku-bangku dan dalam jarak kurang lebih dua puluh lima meter mereka menonton dan mendengarkan gadis itu bermain Yang-kim dan bernyanyi. Sin Cu yang sudah mendengar cerita tentang Siang Bi Hwa dari pelayan rumah penginapan, dengan mudah dapat menduga bahwa gadis itulah tentu yang dimaksudkan.
496
Dara yang menolak pemberian uang selaksa tail perak! Dara yang selain cantik jelita dan pandai bernyanyi dan bermain musik, juga kabarnya pandai sekali ilmu silat, bahkan pandai terbang! Kalau benar gadis itu sedemikian saktinya, ada kemungkinan kehadirannya akan diketahui olehnya! Teringat akan hal ini Sin Cu berhati-hati sekali, tidak membuat gerakan yang dapat membuat kehadirannya ketahuan karena kalau hal itu terjadi, dia tentu akan merasa malu sekali dan disangka pencuri! Akan tetapi perhatiannya segera terikat oleh pemandangan dan pendengaran yang amat mempesona itu. Gerakan jari-jari lentik di atas Yang-kim itu begitu manis dan serasi dengan gerakan mulut yang bernyanyi. Bibir merah basah yang bergerak, terbuka dan tertutup itu sedemikian manisnya. Selama hidupnya belum pernah Sin Cu memperhatikan wajah seorang wanita dan sekali ini dia terpesona. “Matahari senja, engkau begitu indah mempesona, nun di ufuk barat engkau bertahta, mencipta Istana awan beraneka warna, tampak begitu dekat dan mudah tercapai, betapa hati ini ingin menggapai, apa daya tangan tak dapat menjangkau, engkau adalah kebahagiaan,
497
yang hanya tampak membayang, kemudian tanpa bekas engkau menghilang, tinggalkan aku melamun terkenang” Begitu dara itu berhenti bernyanyi, para pemuda yang bergerombol di luar pintu tembusan itu bertepuk tangan memuji. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba muncul seorang pemuda bertubuh kurus, bermulut,lebar dan bermata juling berusia dua puluh tiga tahun. Dia diikuti oleh dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar dan tampak bengis menyeramkan. Pemuda itu bukan lain adalah Su Kan Lok, putera Jaksa Su dari kota raja yang tempo hari pernah tercebur ke dalam kolam ikan ketika dia dalam keadaan mabok hendak mengganggu Siang Bi Hwa. Kini pemuda itu datang bersama dua orang jagoannya dan dengan langkah lebar dia memasuki taman, diikuti dua orang tukang pukulnya. Para pemuda yang melihat ini menjadi khawatir sekali akan keselamatan Siang Bi Hwa. Pada saat itu, tampak seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh gemuk dan berpakaian mewah, muncul berlari larian dari pintu tembusan, diikuti oleh lima orang laki-laki. la adalah Cia-Ma yang mendengar bahwa putera Jaksa Su datang membawa tukang pukul dan langsung memasuki taman. Dengan
498
hati penuh kekhawatiran Cia-Ma lalu memanggil lima orang tukang pukulnya dan cepat melakukan pengejaran ke dalam taman. Para pemuda bangsawa yang berada di situ menonton dengan hati tegang Cia-Ma berteriak ketika ia melihat pemuda kurus bermulut lebar bermata juling itu telah berada dalam taman bersama dua orang tukang pukulnya yang menyeramkan. Mendengar teriakan itu, Su Kan Lok berhenti melangkah dan dua orang jagoannya juga berhenti dan mereka memutar tubuh menghadapi Cia-Ma yang berlarian datang bersama lima orang jagoannya. Sementara itu, Siang Bi Hwa juga sudah mendengar keributan itu dan ia sudah bangkit berdiri, memandang dengan alis berkerut ketika mengenal pemuda kurus yang pernah mengganggunya dahulu. “Su-Kongcu, tidak ada orang yang boleh memasuki taman ini dan mendekati Siang Bi Hwa. Kenapa Kongcu masuk ke sini dan membawa dua orang ini? Harap Kongcu suka keluar dan menonton saja dari pintu seperti para Kongcu yang lain!” kata Cia-Ma. Su Kan Lok memandang kepada Cia-Ma dengan matanya yang juling dan mulutnya yang lebar tersenyum mengejek. “Cia-Ma, aku minta dengan baik-baik agar Siang Bi Hwa dapat diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku, engkau menolaknya. Bahkan Bi Hwa berani menghina aku sehingga aku terjatuh ke dalam kolam. Sekarang aku datang untuk mengambil Siang Bi
499
Hwa, mau atau tidak mau, boleh atau tidak boleh, hari ini ia harus ikut denganku dan menjadi isteriku. Engkau mau apa?” Dia memandang dengan sikap menantang. “Kalau engkau butuh uang, datang saja ke gedung kami di kota raja, berapapun engkau minta untuk uang tebusan Siang Bi Hwa tentu akan diberi oleh ayahku.” “Tidak, Su-Kongcu! Anakku tidak akan kuserahkan secara begini! la harus mendapat pinangan secara terhormat dan berwenang memilih calon jodohnya. Kongcu tidak boleh memaksa!” bantah Cia-Ma dengan berani. Wanita ini menjadi berani karena ia merasa bahwa ia mempunyai banyak kenalan orang-orang berkedudukan tinggi di kota raja. “Cia-Ma, kalau aku menggunakan paksaan, kau mau apa? Kalau Siang Bi Hwa mau ikut denganku secara sukarela, sukurlah. Akan tetapi kalau ia tetap menolak, terpaksa aku akan memaksanya ikut denganku dan tak seorangpun boleh mencegahku!” “Kalau Su-Kongcu memaksa, saya akan menghalangi! Orang-orangku akan mencegah Kongcu melakukan paksaan!” kata Cia-Ma sambil memberi isyarat kepada lima orang tukang pukulnya. la lalu mundur dan lima orang jagoannya melangkah maju menghadapi Su Kan Lok dengan sikap menantang. Melihat ini, Su
500
Kan Lok lalu berkata kepada dua orang jagoan yang sengaja dibawanya dari kota raja. “Hajar mereka!” katanya sambil melangkah mundur. Dua orang jagoannya, dua orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah dingin, kaku dan bengis, melangkah maju menghadapi lima orang tukang pukul anak buah Cia-Ma. “Kalian berlima mau apa?” bentak seorang di antara dua orang tinggi besar itu. “Pergilah kalian dari sini dan jangan membuat keributan!” kata kepala jagoan rumah pelesir itu, dengan suara membujuk karena mereka berlima sebagai jagoan-jagoan kota Nam-Po masih merasa segan juga terhadap jagoan yang datangnya dari kota raja! “Kalian berlima yang cepat pergi, dan jangan mencampuri urusan Su-Kongcu, atau kalian terpaksa akan kami hajar!” jawab seorang di antara dua jagoan kota raja yang pipinya codet bekas luka bacokan, sambil melangkah maju. Tantangan itu membuat lima orang jagoan menjadi marah. Pemimpin mereka memberi aba-aba dan lima orang itu bergerak secara serentak maju menerjang ke arah dua orang tukang pukul dari kota raja itu, Akan tetapi, dua orang jagoan bawaan Su Kan Lok itu sama sekali tidak mundur.
501
Mereka menggerakkan kedua tangan, menangkis dan membalas, Gerakan mereka selain cepat dan tangkas, juga mengandung tenaga besar. Tangkisan kedua orang itu membuat para penyerang menjadi terhuyung dan dua orang itu segera menyusulkan tampararn dan tendangan. Lima orang tukang pukul anak buah Cia-Ma berteriak mengaduh dan mereka berpelantingan. Dalam segebrakan saja lima orang itu telah dirobohkan oleh dua orang jagoan dari kota raja. Hal ini menunjukkan betapa lihai dan kuatnya dua orang jagoan yang dibawa Su Kan Lok! Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang biasa memaksakan kehendak mengandalkan tenaga dan kekerasan. Maka, ketika mereka dirobohkan, mereka menjadi marah sekali dan mereka telah berlompatan bangun sambil mencabut golok darí punggung mereka! Dengan sikap beringas dan mengancam,mereka melangkah maju menghampiri dua orang jagoan kota raja itu. Dua orang ini berdiri tenang dan tersenyum mengejek. “Hemm, masih berani berlagak? Majulah kalian!” kata si pipi codet. Lima orang, jagoan Cia-Ma itu menjadi semakin marah. Dan mereka lalu menerjang sambil berteriak, membacokkan golok mereka kepada dua orang tinggi besar yang masih tenang dan
502
sama sekali tidak menyentuh pedang yang tergantung di punggung mereka. Dengan tangan kosong saja dua orang itu menghadapi penyerangan lima orang lawannya. Akan tetapi mereka berdua memiliki gerakan yang amat cekatan. Semua bacokan golok itu dapat mereka hindarkan dengan mudah. Mereka mengelak dan berloncatan ke kanan kiri. Semua sambaran golok itu mengenai tempat kosong dan ketika dua orang itu membalas dan menyerang ke depan, berturut-turut lima orang itu terjungkal keras dan berteriak kesakitan. Kini mereka roboh dan tidak dapat segera bangkit kembali karena tamparan dan tendangan yang mereka terima dari dua orang itu sekali ini sungguh kuat sekali sehingga mereka menderita patah tulang dan isi perut terguncang! “Dan engkau, Cia-Ma, aku sendiri yang akan menghajarmu!” bentak Su Kan Lok sambil menghampiri Cia-Ma. Melihat ancaman pemuda ini, Cia-Ma lalu melarikan diri masuk ke dalam rumah. Para Kongcu hanya menonton dengan hati tegang, hendak melihat apa yang akan dilakukan Su Kan Lok terhadap Siang Bi Hwa yang masih berdiri di tepi kolam. Dara ini berdřri tegak dan sama sekali tidak tampak ketakutan ketika Su Kan Lok menghampirinya bersama dua orang jagoannya yang tangguh. “Su-Kongcu,” kata Siang Bi Hwa dengan suara lembut namun tegas, “Aku mendengar bahwa engkau adalah putera seorang
503
jaksa di kota raja, tentu engkau mengerti tentang hukum dan peraturan! Akan tetapi mengapa engkau sekarang melakukan kesewenang-wenangan yang melanggar hukum, memasuki tempat tinggal orang dan menyuruh orang orangmu memukul orang lain?” Su Kan Lok tersenyum dan mulutnya tampak semakin lebar, sepasang matanya yang memandang kepada Siang Bi Hwa itu seolah sedang memandang ke arah lain sehingga tampak lucu menggelikan. “Siang Bi Hwa, hukum berada di tanganku. Sekarang engkau tinggal pilih. Engkau ikut bersamaku dengan suka rela dan hidup mulia di sampingku atau aku akan menyeret dan memaksamu untuk ikut denganku!” “Aku tidak sudi ikut bersamamu!” jawab Siang Bi Hwa dengan nekat dan tegas walaupun ia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan menghadapi pemuda yang tersesat dan yang ia tahu pasti tidak akan ragu menggunakan kekerasan terhadap dirinya. “Hemm, kalau begitu terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!” Setelah berkata demikian, Su Kan Lok yang kini menjadi besar hati karena didampingi dua orang jagoannya, melangkah maju dengan kedua lengan dikembangkan seolah hendak memeluk dara yang membuatnya tergila-gila itu. Karena
504
pernah mendengar bahwa dara cantik jelita itu pandai ilmu silat, dua orang jagoan menjaga di belakang Su Kan Lok untuk melindunginya kalau-kalau Siang Bi Hwa akan menyerangnya. Siang Bi Hwa sudah bersiap-siap untuk mengelak apa bila dirinya disergap, akan tetapi tiba-tiba saja pada saat itu, Su Kan Lok yang sudah bergerak ke depan untuk menubruk, berteriak kaget dan tubuhnya terpelanting ke kiri dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuhnya tercebur ke dalam kolam ikan! “Byuurrr...!” Air muncrat tinggi dan ikan-ikan berenang menjauh ketakutan. Dua orang tukang pukul itu terkejut bukan main. Mereka tadi sama sekali tidak menyangka bahwa majikan muda mereka akan terpelanting dan jatuh ke dalam kolam, maka mereka tidak sempat mencegah. Setelah pemuda itu tercebur dan berteriak minta tolong, barulah mereka berdua cepat menolong dan menariknya keluar dari kolam. Su Kan Lok berdiri di tepi kolam dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Dia marah sekali walau tidak tahu mengapa tiba-tiba dia terpelanting ke dalam kolam. Dia hanya merasakan betapa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan tidak mampu berdiri lagi sehingga terkulai dan terjatuh. Dia mendengar suara tawa di belakangkangnya, suara tawa para pemuda bangsawan yang menonton semua itu dengan merasa geli.
505
“Tangkap Dia,” bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah Siang Bi Hwa yang sudah mundur beberapa langkah. Gadis inipun merasa heran mengapa Su Kan Lok tiba-tiba terpelanting jatuh ke dalam kolam. Padahal ia sama sekali tidak berbuat sesuatu, kecuali melangkah mundur empat tindak. Kini dua orang jagoan itu melangkah maju menghampiri Siang Bi Hwa. Mereka bersikap hati-hati karena biarpun mereka tidak melihat gadis itu melakukan sesuatu, akan tetapi jatuhnya Su Kongcu membuat mereka curiga dan mengira bahwa tentu gadis itu yang membuat pemuda itu roboh. Kini mereka melangkah maju perlahan-lahan dan membuat langkah menghampiri gadis itu dari arah kanan dan kiri. Mereka, tanpa bicara, sudah mengatur siasat untuk menyergap gadis itu dari kanan kiri, tidak memberi tempat untuk menghindarkan diri. Kedua lengan mereka tergantung di kanan kiri tubuh, akan tetapi semua urat syaraf mereka menegang dan siap untuk menubruk dengan gerakan mendadak dan meringkus gadis jelita itu dari kanan kiri. Melihat ancaman ini, Siang Bi Hwa mundur-mundur sampai punggungnya menyentuh rumpun bunga dan ia tidak dapat mundur lagi. Dua orang itu terus melangkah maju sampai mereka tiba dekat dengan gadis itu, tinggal dua meter lagi jaraknya dan mereka sudah siap untuk menubruknya, seperti dua ekor harimau
506
akan menubruk seekor domba yang tidak berdaya. Pada saat itu, dua orang jagoan sudah mengangkat kedua lengan ke atas dan siap menerkam. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri seperti kejang, mulut mereka mengeluarkan seruan kaget dan tiba-tiba saja mereka berdua jatuh bertekuk lutut seperti memberi hormat kepada Siang Bi Hwa! Para pemuda bangsawan yang menonton peristiwa itu tentu saja menjadi terkejut dan heran bukan main. Tadipun mereka sudah merasa kagum melihat Su Kan Lok terpelanting lagi ke dalam kolam dan mereka merasa yakin bahwa Siang Bi Hwa memang sakti dan menggunakan kesaktiannya untuk merobohkan pemuda bangsawan yang nekat itu. Akan tetapi kini melihat betapa dua orang jagoan yang tadi memperlihatkan kelihaian mereka ketika mengalahkan lima orang tukang pukul itu secara tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, hal ini sungguh amat mengejutkan dan mengherankan! Seolah-olah Siang Bi Hwa melakukan sihir saja! Dua orang jagoan itu terkejut setengah mati. Sebagai orang-orang yang ahli dalam ilmu silat mereka tentu saja mengerti apa yang menyebabkan mereka kejang kemudian jatuh berlutut itu. Ada sesuatu yang menyerang mereka. Entah apa yang menyerang mereka mengenai pundak, membuat tubuh atas mereka seketika menjadi kaku, kemudian ada pula yang menyentuh kedua lutut
507
mereka. Sedemikian kuatnya lutut mereka terpukul sehingga mereka tak dapat menahan diri lagi untuk jatuh berlutut! Entah apa yang menyerang tubuh mereka. Mereka tidak dapat melihatnya, hanya tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka telah tertotok. Tentu saja mereka menduga bahwa gadis itu yang menyerang mereka! Sementara itu, melihat dua orang jagoannya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Bi Hwa, Su Kan Lok mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali. Dia tidak mengerti mengapa dua orang jagoan yang dia andalkan itu tiba-tiba malah berlutut di depan Siang Bi Hwa. “He! Apa yang kalian lakukan itu? Cepat tangkap gadis itu, kalau melawan ancam dengan pedang!” Dua orang jagoan yang merasa yakin bahwa gadis itu memang lihai sekali, cepat melompat bangun dan mendengar ucapan majikan muda mereka tadi, mereka berdua sudah mencabut pedang dan menodongkan pedang mereka ke arah Siang Bi Hwa. Tiba-tiba mereka berdua melihat lagi sinar-sinar kecil menyambar. Mereka tidak dapat menghindarkan diri karena sinar itu menyambar bagaikan kilat cepatnya dan tahu-tahu tangan kanan mereka menjadi lumpuh sehingga pedang mereka tak dapat dicegah lagi terlepas dari pegangan mereka dan pada detik berikutnya, kembali kedua kaki
508
mereka tertotok dan nerekapun sekali lagi jatuh berlutut di depan kaki Siang Bi Hwa! “Hei! Keparat, kenapa kalian malah berlutut?” Su Kan Lok berteriak, akan tetapi tiba-tiba diapun jatuh berlutut, bahkan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga dia terkulai dan roboh menelungkup di atas tanah menghadap Siang Bi Hwa. Siang Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Biarpun ia bukan seorang ahli silat, namun ia adalah puteri Ouw Yang Lee, seorang datuk persilatan yang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi. Tadi ia sempat melihat sinar-sinar menyambar dari arah belakangnya dan akibatnya, dua orang jagoan itu jatuh berlutut secara aneh di depannya. la dapat menduga bahwa tentu ada orang yang telah menolongnya dan yang diam-diam melakukan penyerangan terhadap orang-orang itu sehingga Su Kan Lok dan dua orang jagoannya kini berlutut di depannya. “Hemm, kalau kalian menyesali sikap kalian yang kurang ajar, sudahlah pergi cepat dari sini, tidak perlu berlutut minta-minta ampun segala!” katanya. Kini dua orang jagoan itu yakin bahwa gadis jelita itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, mungkin juga pandai ilmu sihir seperti yang dikabarkan orang. Mereka tidak berani melawan lagi, lalu bangkit, memungut
509
pedang masing-masing, lalu melangkah terhuyung karena masih terasa lemas kedua kaki mereka, membantu Su Kan Lok untuk bangkit, dan mereka menarik pemuda itu cepat-cepat keluar dari taman. Mereka melewati lima orang tukang pukul Cia-Ma yang sudah berkumpul dan menonton pula di pintu tembusan, dan juga melewati tujuh orang pemuda bangsawan yang tertawa-tawa menyaksikan adegan yang mereka anggap lucu tadi. Setelah tiga orang itu pergi, para Kongcu bangsawan tadı masih tertawa-tawa. “Apa yang kalian tertawakan? Hayo semua pergi, jangan ada seorangpun yang tinggal di sini! Pergi!” Ucapan Siang Bi Hwa itu merdu akan tetapi lantang dan amat berwibawa. Buktinya para tuan muda bangsawan dan lima orang tukang pukul itu cepat pergi meninggalkan pintu dengan sikap gentar. Apa yang baru saja mereka saksikan itu meyakinkan hati mereka bahwa Siang Bi Hwa benar-benar seorang gadis yang memiliki kesaktian dan mungkin benar dugaan sementara orang bahwa ia adalah penjelmaan Dewi Kwan Im Pauwsat yang berbudi mulia dan amat sakti! Setelah semua orang pergi, muncullah Cia-Ma yang datang berlari-lari menghampiri Siang Bi Hwa. “Ah, engkau selamat, anakku? Engkau dapat mengusir mereka?” kata wanita gemuk itu sambil merangkul Siang Bi Hwa dan menangis, menangis karena girang dan lega hatinya.
510
“Sudahlah, ibu. Mereka sudah pergi dan tidak ada yang mengganggu lagi sekarang. Aku minta dengan sangat agar ibu suka meninggalkan aku sendiri di sini. Aku ingin sekali berada seorang diri di sini. Tunggulah aku di ruangan belakang, sebentar lagi aku masuk. Tinggalkan aku, ibu.” Dalam suara Siang Bi Hwa terkandung permintaan yang sangat mendesak. Cia-Ma yang tidak merasa heran akan sikap anak angkatnya yang kadang-kadang memang ingin dan suka menyendiri, mengangguk-angguk sambil menghapus air matanya, lalu pergi meninggalkan dara itu dan memasuki pintu belakang yang ia tutup dari dalam agar jangan ada yang mengganggu lagi kepada anaknya yang ia sayang itu. Setelah merasa yakin bahwa ia berada seorang diri, Siang Bi Hwa lalu menghadap ke arah semak-semak rumpun kembang itu dan berkata, “Sobat, engkau telah bersikap sebagai seorang sahabat baik dan menolongku. Mengapa tidak muncul sebagai seorang sahabat baik dan berkenalan denganku?” Sin Cu yang masih berada di balik semak-semak itu, terkejut bukan main. Gadis itu mengetahui bahwa dia berada di situ dan telah membantunya! Ah, benarkah cerita bahwa gadis itu sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi? Akan tetapi karena sudah ketahuan, dia tidak dapat bersembunyi lagi dan pula, di situ tidak ada orang lain. Maka
511
diapun segera keluar dari balik semak-semak dan berdiri di depan gadis itu. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak lima meter dan keduanya berdiri diam tak bergerak saling memandang seperti terkena pesona! Setelah berdiri berhadapan, barulah Sin Cu dapat melihat dengan jelas sekali dan dia terpesona. Alangkah cantik jelitanya gadis ini, pikirnya. “Maafkan aku..., aku telah lancang memasuki taman ini tanpa ijin. Aku telah bertindak seperti seorang pencuri, maafkan aku...” akhirnya Sin Cu dapat berkata dengan rikuh dan gagap setelah dia dapat menenteramkan hatinya yang terguncang. ucapan itu seolah menyeret Siang Bi Hwa kembali ke alam sadar. Tadipun ia terpesona. Tak disangkanya bahwa yang menolongnya adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana yang demikian tampan. Banyak sudah ia melihat laki-laki muda yang tampan. Akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat ia tadi bengong terpesona. Setelah Sin Cu mengeluarkan kata-kata, yang demikian lembut, rendah hati dan sopan, ia menjadi semakin tertarik. “Mengapa minta maaf? Aku bahkan amat berterima kasih kepadamu, sobat. Engkau telah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman bahaya besar,” kata Siang Bi Hwa dan ia tersenyum, senyum yang membuat jantung Sin Cu berloncatan
512
dan berjungkir balik! Senyum yang hanya sekali dan pertama kali itu sudah cukup untuk tercetak dan meninggalkan kesan yang takkan dapat terlupakan oleh Sin Cu. “Nona terlalu merendah. Tanpa ada bantuan sekalipun orang-orang jahat itu tentu tidak akan mampu mengganggu sehelaipun rambutmu. Nona terlampau lihai untuk dapat diganggu orang-orang macam mereka,” kata Sin Cu yang juga tersenyum maklum, seolah dia sudah yakin akan kemampuan Siang Bi Hwa. Sepasang mata yang indah laksana bintang kembar itu terbelalak dan kembali Sin Cu terpesona dan menelan ludahnya sendiri. Sepasang mata itu demikian indahnya dan sinarnya sedemikian tajam dan terangnya sehingga dia merasa seolah gadis itu dapat menjenguk dan melihat isi hatinya. “Sobat, apakah artinya ucapanmu itu. Aku sama sekali tidak lihai. Apa engkau juga percaya akan berita desas-desus yang mengatakan bahwa aku pandai terbang dan segala macam kesaktian? Ah, itu hanyalah gunjingan orang-orang bodoh. Aku adalah seorang yang lemah dan tidak pandai ilmu silat, hanya pernah mengenal dasar-dasarnya saja.” “Akan tetapi bagaimana nona dapat mengetahui bahwa aku telah membantumu padahal nona tidak melihatku? Tentu nona memiliki
513
pendengaran yang amat tajam, pendengaran seorang pendekar yang lihai,” bantah Sin Cu. Kembali Siang Bi Hwa tersenyum lebar dan terpaksa Sin Cu harus menekan batinnya kuat-kuat karena daya tarik senyuman itu terlampau kuat. “Ah, hal itu mudah, sobat! Aku melihat sinar-sinar kecil berkelebat yang akibatnya membuat orang-orang itu jatuh berlutut, padahal aku tidak berbuat apa-apa. Dengan mudah aku dapat menduga bahwa tentu ada orang berilmu yang telah membantuku, entah dengan cara bagaimana dan karena datangnya sinar-sinar itu dari arah belakangku sedangkan di belakangku terdapat semak semak itu, maka mudah sekali bagiku menduga bahwa penolongku tentu bersembunyi di belakang semak-semak itu. Nah, mudah sekali, bukan? Sekali lagi aku tegaskan bahwa aku sama sekali tidak pandai ilmu silat, walaupun dahulu ketika aku masih kecil aku pernah mempelajari pasangan kuda-kuda dan langkah-langkah dasarnya.” Sin Cu menjadi kagum bukan main. Kalau gadis ini pandai ilmu silat seperti yang disangkanya tadi, maka ketenangannya menghadapi para penjahat itu tidaklah mengherankan. “Akan tetapi, kalau nona memang seorang gadis lemah yang tidak pandai ilmu bela diri yang tangguh, bagaimana nona dapat
514
bersikap demikian tenang menghadapi orang-orang kasar dan jahat tadi?” “Aku pernah membaca dalam kitab agama bahwa orang yang tidak melakukan kesalahan apapun tidak perlu takut menghadapi bahaya apapun juga karena tidak ada yang lebih kuat dari pada kebenaran. Buktinya secara tidak terduga-duga, dalam ancaman bahaya dari orang-orang jahat itu tiba-tiba muncul engkau yang telah menyelamatkan aku.” Sin Cu menjadi semakin kagum. Gadis ini bukan hanya memiliki kecantikan luar biasa dan juga merupakan seniwati yang pandai, akan tetapi juga agaknya seorang gadis terpelajar yang suka membaca kitab-kitab agama dan mengerti akan filsafat hidup dan pendidikan moral! “Sungguh aneh sekali” tiba tiba Sin Cu berkata di luar kesadarannya karena kata-kata itu merupakan suara hatinya yang begitu saja mencuat keluar melalui mulutnya. “Apanya yang aneh, sobat?” Ditanya begitu, baru Sin Cu menyadari bahwa dia tadi bicara tanpa disengaja. Karena ucapan itu sudah terlanjur keluar, maka diapun harus mençaku apa yang berkecamuk dalam benaknya.
515
“Sungguh aneh dan mengherankan sekali melihat seorang bijaksana seperti nona dapat berada di tempat seperti ini!” Mendengar ucapan itu, Siang Bi Hwa mengerutkan alisnya yang hitam melengkung dan sepasang matanya menatap wajah Sin Cu dengan sinar mata tajarn penuh selidik. “Apa anehnya? Aku adalah puteri pemlik rumah ini, tentu saja aku berada di rumah ini! Hemm, agaknya engkau termasuk di antara orang-orang munafik yang memandang rumah ini dan enci-enci yang bekerja di sini dengan hati jijik dan benci?” Wajah Sin Cu menjadi kemerahan dan dia menundukkan pandang matanya, tidak kuat menentang pandang mata yang demikian lembut namun sinarnya demikian terang dan tajam seperti mengandung sinar berapi. “Nona, bukankah sudah menjadi sikap umum untuk memandang rumah pelesir dan para pekerjanya dengan pandangan jijik dan benci?” “Pandangan umum yang munafik dan sesat! Sepantasnya pandangan itu penuh rasa iba, bukan penuh rasa benci! Para wanita itu menjadi korban keadaan, bahkan sebagian besar menjadi korban kekejaman kaum pria yang menjerumuskan mereka kepada pekerjaan seperti itu. Coba lihat saja aku! Aku tidak
516
sudi melayani mereka, akan tetapi apa yang dilakukan para pria? Mereka membujukku dengan rayuan, dengan uang, dengan kedudukan dan kuasa, bahkan dengan kekerasan! Kalau aku lemah dan terseret oleh mereka, apakah kesalahannya hanya di jatuhkan kepadaku seorang? Dipandang hina? Sedangkan para pria yang berdatangan ke tempat ini, yang menghamburkan uang, mengkhianati isteri dan tunangannya, hanya untuk mengejar kesenangan, sama sekali tidak pernah dipersalahkan! Apakah engkau pernah merasa jijik dan benci kepada para pemuda bangsawan dan hartawan yang berdatangan ke rumah-rumah pelesir seperti ini? Pernahkah? Kalau tidak pernah, maka kebencianmu terhadap para pelacur itu membuatmu menjadi munafik besar yang sama sekali tidak adil.” Wajah yang putih kemerahan itu kini menjadi semakin merah, sepasang matanya bersinar-sinar dan dalam kemarahannya, gadis itu tampäk anggun dan agung dalam pandangan Sin Cu. Ucapan yang mengandung pembelaan terhadap para pelacur itu seolah menikam hati Sin Cu dan membuka hatinya. Dia dapat menyelami ucapan itu dan dapat melihat kenyataan yang terkandung di dalamnya. Sin Cu memberi hormat dan mengangkat kedua tangan depan dada.
517
“Nona, maafkanlah aku. Ucapanmu itu benar-benar menyadarkan dan membuka mataku. Mulai saat ini aku berjanji tidak akan lagi memandang rendah dan jijik, apa lagi benci terhadap para wanita yang sengsara itu. Maafkan aku dan aku mohon diri” Sin Cu memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan taman yang mulai diliputi kegelapan senja itu. “Sobat, tunggu dulu!” Suara merdu itu menahannya dan Sin Cu menahan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya menghadapi gadis itu. “Ada apakah, nona?” Siang Bi Hwa tersenyum, manis sekali. “Ah, aku yang minta maaf kepadamu, sobat, Engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka dan apa yang kaudapat dariku sebagai balasan? Ucapan yang keras dan kasar! Maafkan aku dengan ucapanku tadi.” “Tidak ada yang perlu dimaafkan, nona. Ucapanmu tadi memang benar sekali, bahkan aku berterima kasih karena kata-katamu itu menyadarkan aku bahwa selama ini aku bersikap dan berpemandangan tidak adil.” “Nanti dulu sebentar! Agaknya tidak pantaslah kalau engkau yang sudah menyelamatkan aku, kemudian kita sudah begini panjang
518
lebar bercakap-cakap, tidak saling berkenalan. Bolehkah aku mengetahui namamu, in-kong (tuan penolong)?” “Ah, harap jangan sebut aku in-kong, nona. Aku hanyalah seorang perantau biasa yang miskin dan bodoh. Sudah tentu engkau boleh mengetahui namaku, nona. Aku bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang hidup sebatangkara dan tidak memiliki tempat tinggal tertentu.” “Ah, Wong-Twako (kakak Wong), apakah... apakah engkau sudah tidak mempunyai orang tua lagi?” tanya Siang Bi Hwa dengan suara mengandung iba dan haru. Sin Cu menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, nona. Sejak berusia tiga tahun aku telah berpisah dari ayah ibuku dan sejak kecil aku sudah ikut dengan guruku. Aku sekarang sedang dalam perjalanan untuk menyelidiki dan mencari orang tuaku.” “Aih, mudah-mudahan saja engkau akan dapat bertemu dengan mereka, Wong Twako. Engkau sudah memperkenalkan diri Twako, sekarang aku akan memperkenalkan namaku.” “Namamu sudah amat terkenal di kota ini, nona. Aku sudah mendengar bahwa namamu adalah Siang Bi Hwa, dikenal oleh semua orang tua muda pria wanita. Namamu terkenal sekali”
519
“Engkau keliru, Twako, Siang Bi Hwa itu hanya nama julukanku saja. Nama aseliku memang tidak banyak orang yang tahu, akan tetapi engkau boleh mengetahuinya. Nama aseliku adalah Ouw Yang Hui dan aku hanyalah anak angkat seorang mucikari yang kau pandang rendah dan hina pekerjaannya. “Hanya anak angkat? Lalu, siapa dan ke mana orang tuamu, nona?” “Harap jangan panggil nona kepadaku, Twako. Aku sudah memanggilmu kakak, apakah engkau tidak mau memanggil adik?” “Baiklah, Hui-moi (adik Hui), namamu indah sekali. Lalu ke mana orang tua kandungmu?” Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui tidak ingin memperkenalkan ayahnya yang menjadi datuk dan majikan Pulau Naga. lapun malu untuk bertemu ayah dan ibu kandungnya, merasa malu karena sekarang ia menjadi anak seorang mucikari yang hina! Alisnya berkerut ketika ia ditanya tentang ayah ibunya dan menjawab lirih. “Nasib kita sama, Cu-Ko (kakak Cu) Akupun sejak kecil sudah berpisah dari kedua orang tuaku. Akan tetapi engkau lebih beruntung. Engkau dipelihara dan dididik gurumu menjadi seorang
520
pendekar yang lihai dan budiman. Sebaliknya aku aku dipelihara dan dididik oleh seorang mucikari sehingga menjadi... seperti ini.” “Akan tetapi, engkau telah menjadi seorang gadis yang luar biasa! Engkau dikagumi dan dihormati orang, terutama para pemudanya!” Siang Bi Hwa menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Mungkin saja mereka itu kagum kepadaku, akan tetapi menghormatiku? Hanya pada lahirnya saja mereka menghormatiku, akan tetapi di dalam hatinya, mereka itu memandang rendah kepadaku, menganggap aku sama rendahnya dengan para gadis penghibur anak buah ibu.” kata gadis itu dan suaranya terdengar lirih dan sedih. Pada saat itu terdengar teriakan Cia-Ma dari pintu belakang. “Bi Hwa! Hari sudah mulai gelap! Masuklah, di taman banyak nyamuk!” Mendengar ini, Sin Cu lalu menyelinap ke balik semak-semak dan berkata, “Sudahlah, Hui-moi. Aku harus pergi. Tidak baik kalau sampai aku terlihat orang lain berada di sini!” “Cu-Ko... kapankah kita dapat saling bertemu kembali...?”
521
“Entahlah, Hui-moi. Kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita akan berjumpa kembali. Engkau jaga dirimu baik-baik, Hui-moi.” “Aku juga tidak akan melupakanmu, Hui-moi. Selamat tinggal.” “Selamat Jalan Cu-Ko,” suara gadis itu mengandung kekecewaan dan kedukaan karena ia merasa kehilangan. Biarpun baru saja berjumpa dan berkenalan dengan pemuda itu, rasanya seperti mereka sudah berkenalan lama dan menjadi sahabat baik. “Bi Hwa... !” Daun pintu belakang terbuka dan tubuh gemuk Cia-Ma masuk ke dalam taman. “Aku disini ibu...! Seru Bi Hwa yang melihat bayangan Sin Cu berkelebat lenyap dari situ. “Aihh, malam sudah mulai tiba dan kau belum masuk?” Cia-Ma menghampiri gadis itu. “Mari masuk, anakku, engkau nanti bisa masuk angin.” la menggandeng dan membimbing tangan gadis itu dan mereka berjalan ke arah pintu belakang. “Bi Hwa, aku sudah mendengar dari para Kongcu betapa engkau mengalahkan dan mengusir Su-Kongcu dan dua orang jagoannya.
522
Ya Tuhan, bagaimana engkau dapat melakukannya, Bi Hwa? Menurut cerita mereka, engkau menalukkan orang-orang jahat itu dengan menggunakan sihir! Benarkah itu?” “Ah, ibu. Dari mana aku dapat mempelajari ilmu sihir? Aku hanya percaya sepenuhnya bahwa orang yang tidak bersalah pasti mendapatkan perlindungan dari Tuhan. Tuhan tentu mengutus seseorang dewa penolong untuk menyelamatkan orang yang tidak bersalah dan menentang mereka yang jahat.” “Wah, jadi engkau telah ditolong oleh seorang dewa, Bi Hwa?” tanya Cia-Ma dengan mata terbelalak kagum Siang Bi Hwa tersenyum. la tahu bahwa ibu angkatnya ini seorang yang percaya akan tahyul dan seringkali ke kuil-kuil untuk mohon berkah pertolongan para dewa. la pikir tidak perlu ia menceritakan tentang Wong Sin Cu karena belum tentu ibunya percaya akan ceritanya itu. Bi Hwa mengangguk. “Benar, ibu. Seorang dewa telah menolongku dan menyelamatkan aku dari gangguan Su-kongou dan dua orang tukang pukulnya.”
523
“Hemm, kalau begitu aku harus membuat sembahyangan untuk menghaturkan terima kasih kepada dewa penolongmu. Siapakah dewa penolong itu, Bi Hwa?” “Aku... aku tidak tahu siapa dia, ibu.” “Bagaimana rupanya, Bi Hwa? Apakah dia tinggi besar, berkumis berjenggot dan mukanya hitam?” Hampir saja Bi Hwa tertawa mendengar gambaran itu. Wong Sin Cu sama sekali tidak seperti gambaran itu, melainkan seorang pemuda yang tampan dan tampak lemah lembut. Akan tetapi agar tidak berkepanjangan, iapun mengangguk. “Ah, kalau begitu, tentu beliau itu Dewa Penjaga Bumi yang kuilnya berada didusun sebelah timur kota. Aku akan segera melakukan sembahyangan di kuil itu, Bi Hwa!” kata Cia-Ma dengan girang. Mereka masuk ke kamar Bi Hwa dan duduk berhadapan di dalam kamar itu, di atas kursi menghadapi meja kecil. “Ibu, melihat kejadian tadi, aku sekarang merasa tidak suka untuk bermain musik dan bernyanyi di taman untuk ditonton para Kongcu itu,” kata Bi Hwa sambil mengerutkan alisnya. Cia-Ma terkejut. “Aih, jangan begitu, Bi Hwa! Para Kongcu itu hanya sekedar hendak menonton dan mendengarkanmu. Kalau hal ini ditolak,
524
tentu mereka akan menjadi marah sekali dan tidak sudi lagi datang berkunjung ke rumah kita. Ini berarti kita akan bangkrut dan pula, kita tidak dapat melakukan pilihan di antara para pemuda bangsawan itu untuk menjadi calon suamimu.” Siang Bi Hwa menghela napas panjang. “Hemm, baiklah, ibu. Aku akan bernyanyi untuk mereka, akan tetapi ibu harus menjaga benar-benar agar peristiwa seperti tadi jangan sampai terulang lagi. Dan pula, ibu lalu bicara tentang perjodohan. Terus terang saja, ibu, aku tidak suka menjadi isteri dari seorang di antara para Kongcu bangsawan itu. Mereka itu hanya pandai berpelesir memamerkan kekayaan dan mengandalkan kedudukan ayah mereka untuk bersikap sewenang-wenang. Pemuda-pemuda seperti itu tidak dapat diharapkan untuk menjadi seorang suami yang baik.” “Ahh, soalnya karena belum saatnya engkau bertemu jodohmu. Suatu hari pasti akan muncul seorang pemuda bangsawan yang baik dan cocok untukmu. Kita tunggu saja. Sudahlah, cepat engkau mandi, bertukar pakaian lalu kita makan malam.” Setelah ibu angkatnya pergi meninggalkannya, Siang Bi Hwa mandi dan bertukar pakaian. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mengusir bayangan Wong Sin Cu yang selalu terkenang olehnya. Bahkan malam itu ia tidur dengan gelisah, mengenang Sin Cu dan
525
bertanya-tanya dalam hatinya di mana pemuda itu kini berada. la merasa sedih karena kecil sekali kemungkinan baginya untuk dapat bertemu lagi dengan pernuda penolongnya itu. la tidak mungkin pergi mencarinya dan pemuda itu mustahil akan berkunjung ke rumah pelesir! Kabar tentang Siang Bi Hwa tersiar sampai ke kota raja. Bukan hanya para pemuda bangsawan yang mendengar akan nama besar gadis itu, akan tetapi juga para pembesar yang masih suka pergi ke rumah rumah pelesir. Berita ini yang membuat mereka berbondong-bondong mengunjungi rumah pelesir milik Cia-Ma. Bahkan akhirnya berita itu tertangkap juga oleh telinga Kaisar Ceng Tek! Kaisar yang nasih muda dan gemar pelesir ini tentu saja tertarik sekali. Biarpun dia sudah mempunyai banyak isteri dan selir, namun Kaisar Ceng Tek masih suka pergi berkeliaran, menyamar sebagai seorang pemuda bangsawan biasa dan keluar masuk rumah pelesir. Kaisar muda ini menjadi hamba nafsunya sendiri, setiap hari hanya sibuk mengejar kesenangan untuk memuaskan nafsu-nafsunya sehingga tidak memperhatikan tugasnya sebagai pemimpin kerajaan. Urusan pemerintahan dia serahkan kepada para menterinya, terutama sekali kepada Thaikam Liu Cin. Tugas pekerjaannya hanya mendengarkan laporan dari para pembesar itu dan tentu
526
saja semua laporan itu hanya dimaksudkan untuk menyenang kan hati sang Kaisar seolah-olah segala sesuatunya berlangsung dengan beres. Setelah Ouw Yang Song Bu mengikuti ayah angkatnya ke kota raja menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, dia bergaul dengan para pemuda bangsawan dan dia bahkan menjadi andalan mereka karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi. Akhirnya, Song Bu dapat berdekatan dengan Kaisar Ceng Tek dan setelah mengetahui bahwa Song Bu merupakan seorang jagoan muda kepercayaan Thaikam Liu Cin, Kaisar yang doyan pelesir itu mulai mempergunakan Song Bu sebagai pengawal pribadinya kalau dia berkeliaran di luar Istana. Pada pagi hari itu, setelah mendengar berita tentang Siang Bi Hwa sebagai gadis pujaan semua pemuda bangsawan, kembang kota Nam-Po, Kaisar muda itu tertarik sekali dan dia memanggil Song Bu menghadap dalam ruangan pribadinya. Song Bu yang dipanggil melalui seorang pengawal Istana, cepat datang menghadap dan ketika dia memasuki ruangan pribadi milik Kaisar Ceng Tek, dia melihat sang Kaisar yang mengenakan pakaian pemuda bangsawan biasa, duduk termenung seorang diri di situ. Dia cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada junjungannya. Kaisar Ceng Tek tersenyum ketika melihat Song Bu dan dengan tangannya dia memberi isarat kepada lima orang
527
pengawal Istana yang berada di sekitar situ untuk pergi meninggalkan dia berdua saja dengan Song Bu. Setelah para pengawal pergi, Kaisar Ceng Tek berkata, “Song Bu, tidak ada orang lain di sini. Bangkit dan duduklah disini dan jangan pakai banyak peradatan seperti dalam pertemuan menghadap Kaisar secara resmi. Bangkit dan duduklah, Song Bu memberi hormat. “Terima kasih, Yang Mulia.” Dia lalu bangkit dan memberi hormat lagi sebelum duduk di atas kursi berhadapan dengan Kaisar Ceng Tek. Mereka duduk berhadapan dan karena sudah terbiasa menghadapi sang Kaisar dalam penyamaran, maka Song Bu tidak merasa canggung duduk berhadapan dan mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu. Mereka saling pandang dan Kaisar itu tersenyum. Kaisar Ceng Tek berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun. Wajahnya tampan akan tetapi sinar matanya menunjukkan kelemahannya. Sinar mata itu tidak acuh dan kehilangan daya kewibawaannya. Sejenak dia memandang kepada wajah Song Bu yang gagah. Pemuda yang duduk di depannya itu memang gagah. Bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat. Walaupun usianya baru dua puluh tahun, akan tetapi sinar matanya membayangkan pengetahuan yang luas. Mukanya
528
berbentuk bulat dan matanya lebar bersinar tajam, kadang mencorong membayangkan kekuatan yang dahsyat. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum sinis seperti menertawakan segala sesuatu yang tampak olehnya. Pakaiannya rapi dan cukup mewah. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat pita sutera kuning, dihias tusuk sanggul berbentuk merak terbuat dari pada emas. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Dia telah memperoleh kepercayan Kaisar sehingga diperbolehkan menghadap dengan membawa pedang di punggung. Song Bu memandang kepada junjungannya. Kaisar Ceng Tek bertubuh jangkung dan agak kurus. Wajahnya cukup tampan namun agak kewanitaan. “Paduka memanggil hamba, apakah yang hendak paduka perintahkan kepada hamba?” tanya Song Bu, biarpun sikapnya sederhana namun ucapannya mengandung penuh hormat. “Song Bu, apakah engkau sudah mendengar tentang seorang gadis bernama Siang Bi Hwa dari kota Nam-Po seperti yang disohorkan orang? Semua pria bangsawan kota raja agaknya tergila-gila kepadanya. Pernahkah engkau mendengar tentang gadis itu?” Tentu saja Song Bu pernah mendengarnya akan tetapi hatinya tidak tertarik Harus diakui bahwa Song Bu banyak bergaul dengan para pemuda bangsawan dan ikut pula dengan mereka
529
hidup berfoya-foya. Akan tetapi dia hanya ikut dalam pesta perburuan binatang hutan dan pesta makan minum, juga bermain judi. Dia tidak pernah mau ikut dengan mereka untuk berpelesir dengan pelacur. Karena itu, biarpun dia sudah banyak mendengar tentang Siang Bi Hwa, hatinya tidak tertarik dan belum pernah dia melihatnya. “Hamba pernah mendengar tentang Siang Bi Hwa, Yang Mulia. la seorang pelacur yang terkenal sekali di Nam-Po.” “Hemm, apa yang pernah kau dengar tentang gadis itu?” “Kabarnya ia cantik sekali, pandai bernyanyi dan bermain musik, dan ada pula kabar bahwa ia juga pandai ilmu silat, bahkan ada yang mengabarkan bahwa ia dapat terbang. Tentu saja hamba tidak percaya akan berita terakhir tentang terbang itu!” “Dan pernahkah engkau mendengar bahwa ia bukan pelacur biasa, melainkan seorang dara yang tidak mau melayani para pemuda bangsawan, bahkan menolak selaksa tail perak.?” “Hamba pernah mendengar nyanyian itu, akan tetapi hamba tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang gadis pelacur menolak uang selaksa tail perak? Bagaimanapun juga, ia hanya seorang gadis pelacur yang hina.”
530
“Hemm, Song Bu, jangan engkau bilang begitu!” cela Kaisar Ceng Tek. “Kalau ia hanya seorang gadis pelacur biasa, bagaimana mungkin namanya begitu terkenal? Dan kabarnya tidak pernah ada seorang pemuda bangsawan manapun yang berhasil mendekatinya! Aku jadi tertarik sekali, Song Bu, Aku ingin menyaksikan sendiri gadis itu. Akan tetapi perjalanan kita ini harus menyamar. Aku tidak ingin diketahui orang lain berkunjung dan melihat Siang Bi Hwa. Karena itu, aku ingin mengajak engkau seorang untuk menemani dan mengawalku.” Biarpun hatinya merasa tidak senang diajak ke rumah pelesir, akan tetapi tentu saja Song Bu tidak berani menolak perintah Kaisar! Dia hanya dapat mengangguk dan menyatakan kesediaannya mengawal junjungannya. Setelah berganti pakaian menyamar sebagai seorang Kongcu (tuan muda) biasa yang kaya raya, Kaisar Ceng Tek pergi meninggalkan Istana melalui sebuah pintu tembusan rahasia yang berada di taman bunga, diikuti oleh Song Bu. Para penjaga taman mengenal Kaisar dalam penyamaran itu dan mereka hanya memberi hörmat secara biasa. Mereka tahu bahwa kalau sedang dalam penyamaran, Kaisar tidak suka menerima penghormatan resmi seperti kalau dia berpakaian Kaisar. Kaisar Ceng Tek bersama Song Bu pergi menuju ke istal
531
kuda. Penjaga istal tergopoh-gopoh menyediakan dua ekor kuda yang diminta, kemudian dua orang itu menunggang kuda dan keluar dari lingkungan Istana, lalu terus menuju ke pintu gerbang. Para petugas yang menjaga pintu gerbang tidak mengenal Kaisar mereka, Akan tetapi mereka mengenal baik Song Bu yang menjadi jagoan pengawal di antara para jagoan Thaikam Liu Cin. Maka mereka tidak menghalangi ketika dua orang pemuda itu melarikan kuda mereka keluar dari kota raja menuju ke kota Nam-Po. Matahari telah naik tinggi, tengah hari telah lewat ketika dua orang penunggang kuda itu memasuki kota Nam-Po. Biarpun Kaisar Ceng Tek dan Song Bu belum pernah datang ke kota ini, namun tidak sukar bagi mereka untuk mencari di mana tempat tinggal Siang Bi Hwa. Semua penduduk Nam-Po, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tahu belaka mana tempat tinggal Bunga Cantik Harum yang amat terkenal, bahkan menjadi kebanggaan seluruh warga kota Nam-Po itu. Tentu saja mereka bangga karena adanya gadis itu membuat kota Nam-Po menjadi terkenal dan dikunjungi banyak pemuda hartawan dan bangsawan dari empat penjuru, bahkan dari kota raja. “Tempat tinggal Siang Bi Hwa?” kata mereka.
532
“Gadis penjelmaan Dewi Kwan Im itu tinggal di rumah pelesir Pintu Merah milik Cia-Ma, di dekat perempatan jalan itu,” mereka memberitahu, Kaisar Ceng Tek dan Song Bu lalu datang ke rumah besar berpintu merah itu. Mereka menambatkan kuda mereka di halaman depan, di mana memang terdapat tempat penambatan kuda. Karena melakukan perjalanan yang cukup jauh di siang hari, maka pakaian mereka terkena debu dan mereka membersihkan pakaian mereka dengan mengebut-ngebutkannya. Song Bu yang berpenglihatan tajam itu segera dapat melihat bahwa ada belasan orang laki-laki yang melihat sikap dan bentuk tubuhnya tentu merupakan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan. Mereka tentu para tukang pukul, pikir Song Bu. Akan tetapi dia tidak memperdulikan mereka, hanya memandang kepada seorang wanita berusia lima puluh tahunan yang keluar dari pintu depan. Pakaian wanita ini mewah, bahkan setua itu ia masih memakai perhiasan di leher, telinga, sanggul, tangan dan jari-jari tangannya. Seperti toko perhiasan berjalan. Wajahnya ramah sekali dan penuh dengan senyum ketika wanita itu menghadapi Kaisar Ceng Tek dan Song Bu. “Selamat siang, ji-wi Kongcu (tuan muda berdua), selamat siang dan selamat datang di pondok kami yang sederhana. Mari silakan
533
masuk dan bicara di dalam, Silakan, ji-wi Kongcu!” Setelah berkata demikian, wanita yang bukan lain adalah Cia-Ma itu masuk ke dalam rumah melalui pintu sambil membungkuk-bungkuk dengan sikap ramah dan hormat sekali. Kaisar Ceng Tek memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Song Bu keduanya masuk mengikuti Cia-Ma. Ternyata ruang tamu di bagian depan itu lengkap dan terdapat meja kursi yang serba mewah dan enak diduduki. Juga ruangan itu diatasnya rapi, dihias kain-kain sutera beraneka warna. Pot-pot bunga indah menghiasi ruangan itu dan di dinding tergantung banyak lukisan indah dan tulisan-tulisan hias yang amat bagus, dengan kata-kata mutiara. “Silakan, silakan duduk, ji-wi Kongcu.” Cia-Ma mempersilakan mereka duduk. Kaisar Ceng Tek duduk di atas kursi dan dia tersenyum. Keadaan santai dan enak, tanpa dibuat kaku oleh segala peradatan dan peraturan seperti di Istana inilah yang membuat dia lebih suka berkeluyuran. Dia merasa bebas, tidak terikat dan boleh melakukan apa saja yang disukai dan dikehendakinya. menghela napas panjang dengan hati senang dan memandang ke sekelilingnya. Tentu saja dibandingkan dengan ruangan di Istananya, ruangan itu bukan apa-apa. Akan tetapi ruangan ini memiliki sesuatu yang tidak dimiliki ruangan-ruangan
534
megah dalam Istana, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan. “Enak dan sejuk sekali ruangan ini!” katanya sambil memandang ke sekelilingnya. “Aihh, Kongcu terlalu memuji! Apa artinya ruangan sempit yang buruk dan miskin ini jika dibandingkan dengan ruangan gedung Kongcu yang tentu saja mewah sekalı? Ji-wi Kongcu datang dari kota raja, bukan? Kalau ji-wi tinggal di Nam-Po, saya tentu mengenal ji-wi. Akan tetapi kalau tidak salah, baru sekarang ji-wi (kalian berdua) mengunjungi pondok kami ini.” Karena Kaisar Ceng Tek tidak menjawab dan hanya tersenyum memandang kepadanya, Song Bu maklum bahwa dia diharapkan untuk menjawab. “Benar sekali, Bibi. Kami datang dari kota raja.” “Aih, sudah kuduga. Melihat pakaian jiwi berdebu, tentu datang dari jauh dan berkuda. ji-wi Kongcu tentu putera-putera seorang pembesar tinggi. Jangan menyebut Bibi kepada saya. Saya adalah Cia-Ma, pemilik tempat ini dan harap selanjutnya menyebut saya Cia-Ma seperti para Kongcu lainnya.”
535
“Kami memang datang dari kota raja Saya bermarga Ouw Yang dan beliau ini...!!” Song Bu menjadi bingung karena baru sekarang dia harus memperkenalkan Kaisar dalam penyamarannya. Melihat keraguannya, Kaisar Ceng Tek lalu menyambung kata-katanya yang terputus. “Aku she (marga) Liong.” “Ah, Ouw Yang Kongcu dan Liong Kongcu, saya gembira sekali dapat menerima kunjungan ji-wi.” Cia-Ma menoleh ke dalam dan terdengar teriakannya, “A-Lin dan A-Ciu... kesinilah, suruh pelayan membawakan minuman air yang terbaik!” Cia-Ma selalu menyebut “Arak yang terbaik” setiap kali menyuruh pelayan atau anak buahnya menghidangkan arak, pada hal di situ hanya ada satu macam saja arak. Betapapun juga ia memang selalu menyediakan arak yang baik dan mahal. Terdengar langkah-langkah lembut dua orang di antara para gadis anak buahnya yang selalu siap menerima panggilan memasuki ruangan itu. Mereka berdua itu masih muda-muda, tidak lebih dari dua puluh tahun usianya. Wajah mereka cantik menarik dan tubuh mereka menggairahkan ketika mereka melangkah dengan ayunan langkah seperti dua orang penari memasuki ruangan itu. Di belakang mereka berjalan seorang pelayan wanita yang juga masih muda
536
akan tetapi wajahnya biasa saja dan tentu tidak menarik kalau dibandingkan dengan dua orang gadis penghibur itu. Dua orang gadis penghibur yang disebut A-Lin dan A-Cui itu sudah terlatih baik. Tanpa dikomando lagi mereka berdua menghampiri dua orang tamu itu dan memberi hormat dengan gerakan yang menarik dan gemulai. Kemudian mereka mengisi cawan dengan arak yang dibawa oleh si pelayan wanita. A-Lin menghampiri Kaisar Ceng Tek, sedangkan A-Cui menghampiri Song Bu. Keduanya dengan sikap manis dan suara merdu menyuguhkan arak. “Kongcu, silakan minum arak yang kami hidangkan sebagai ucapan selamat datang.” Kaisar Ceng Tek dan Song Bu terpaksa menerima cawan itu dan minum araknya sampai habis, Cia-Ma lalu bangkit berdiri dan berkata, “Ji-wi Kongcu, silakan bercakap cakap dengan A-Lin dan A-Cui. Kalau ji-wi membutuhkan apa-apa, hidangan misalnya, harap beritahukan kepada dua orang anak saya ini. Selamat bersenang-senang ji-wi Kongcu!” “Nanti dulu!” kata Song Bu menahan wanita gemuk itu. Cia-Ma menahan langkahnya dan membalikkan tubuhnya.
537
“Kongcu hendak memesan sesuatu? Apakah tidak cocok dengan anakku yang ini? Saya dapat menggantikannya dengan anakku yang lain kalau Kongcu menghendaki. “Ah, tidak. Dengar, Cia-Ma. Sebetulnya kami bèrdua ini datang berkunjung bukan dengan maksud untuk bersenang-senang, melainkan untuk menonton Siang Bi Hwa. Kamí mendengar bahwa orang dapat menonton Siang Bi Hwa bernyanyi dan bermain musik, karena itu jauh-jauh dari kota raja kami datang khusus untuk menontoh gadis itu.” “Ah, begitukah? Akan tetapi, anakku Sang Bi Hwa itu hanya bermain musik pada sore hari, tidak pernah pada siang hari.” “Suruh ia main sekarang, kami ingin menontonnya. Berapapum upah yang kau kehendaki, akan kami bayar,” kata Kaisar Ceng Tek dan dalam suaranya terkandung wibawa yang kuat sehingga Cia-Ma tidak berani membantah lagi. “Kalau begitu, coba saya akan membujuknya,” katanya lalu ia membungkuk dan keluar dari ruangan itu menuju ke bagian belakang, ke kamar Siang Bi Hwa. Ketika Cia-Ma menyatakan keinginan dua orang tamu itu agar siang hari itu Siang Hwa mau
538
bermain musik, gadis itu mengerutkan alisnya, la tengah membaca buku dengan asyiknya. “Akan tetapi, ibu. Aku hanya mau beгmain musik di sore hari saja,” “Sudah kukatakan itu kepada mereka, tetapi mereka minta dengan sangat dan membujukku. Mereka tampaknya putera-putera bangsawan yang berwibawa dan sopan, anakku, dan yang seorang membawa pedang di punggungnya dan dia gagah sekali. Agaknya yang satu ini seorang ahli silat, mirip seorang pendekar. Aku jadi takut untuk menolak kehendak mereka. Turutilah permintaan mereka sekali ini, Bi Hwa. Aku khawatir kalau kalau terjadi apa-apa jika mereka itu terus ditolak. Yang seorang lagi, sudah berusia tiga puluh tahun lebih, kelihatan amat berwibawa dan dia mengatakan sanggup membayar berapa saja yang kita minta. Hayolah, Bi Hwa, sekali ini saja, turuti permintaan mereka yang hanya ingin menontonmu. Baru sekali ini mereka datang berkunjung dan jangan mengecewakan hati mereka.” rayu Cia-Ma, “Ibu, kenapa tidak menyuruh saja anak buah ibu melayani dan menghibur mereka?” “Sudah kupanggilkan A-Lin dan A-Cui yang cantik molek, akan tetapi mereka menolak dan mengatakan tidak hendak bersenang-
539
senang, melainkan sengaja datang untuk menontonmu.” Siang Bi Hwa merasa terdesak dan ia menghela napas panjang. “Hemm, baiklah, ibu. Sekali ini aku akan menuruti bujukan ibu. Aku akan bermain-musik dan bernyanyi sejenak untuk mereka. Persilakan mereka untuk menonton dari pintu belakang seperti biasa.” Cia-Ma girang sekali dan ia lalu bergegas pergi ke ruangan tamu di depan. Dua orang tamunya masih duduk di situ, akan tetapi A-Lin dan A-Cui sudah tidak berada di situ lagi. “Eh, ke mana anak-anak saya tadi?” tanyanya. “Kami menyuruh mereka pergi karena kami tidak membutuhkan mereka, Cia-Ma,” jawab Song Bu mewakili junjungannya. “Bagaimana dengan Siang Bi Hwa?” “Ji-wi Kongcu untung besar! Anakku itu bersedia untuk bermain musik pada siang hari ini, akan tetapi tidak terlalu la-ma. Sekarang persilakan ji-wi menonton dari pintu tembusan dan saya harap ji-wi mengerti akan peraturan di sini, yaitu menonton Siang Bi Hwa bermain musik dan bernyanyi harus dari pintu tembusan itu dan tidak diperkenankan memasuki taman dan menghampirinya.”
540
“Hemm, mengapa begitu?” tanya Kaisar Ceng Tek, heran. Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang gadis anak mucikari yang tidak mau didekati pria ketika bermain musik. “Soalnya begini, Kongcu. Anak saya itu pemalu sekali. Kalau ditonton dari dekat, ia akan menjadi malu dan gugup, tidak dapat bermain musik atau bernyanyi lagi. Karena itu semua penontonnya harus duduk di pintu tembusan dan tidak mendekatinya.” la lalu membungkuk lagi dan mempersilakan dua orang tamunya mengikutinya. Biarpun merasa penasaran, Kaisar Ceng Tek mengikutinya juga dan Song Bu mengikuti dari belakang. Song Bu tidak tertarik karena dia menduga bahwa gadis yang bernama Siang Bi Hwa itu tentu tidak ada bedanya dengan para gadis penghibur, mungkin lebih cantik, akan tetapi sama-sama pesolek, mukanya seperti gambar dipolesi bedak tebal dan gincu, seperti sebuah boneka yang didandani. Kecantikan polesan seperti itu bahkan memuakkan hatinya. Dia memang suka bersama para pemuda bangsawan itu berpesiar, berpesta pora atau bermain judi, akan tetapi hatinya tidak pernah tertarik oleh gadis-gadis penghibur, bahkan dia merasa-jijik dan muak. Ketika mereka tiba di pintu tembusan dan dipersilakan
541
duduk di atas kursi yang sudah disediakan di situ, Siang Bi Hwa beium tampak di dalam taman. Selagi Kaisar Ceng Tek hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara suling ditiup dengan istimewa. Suaranya mengalun merdu mendayu-dayu. Kaisar Ceng Tek dan Song Bu memandang ke arah datangnya suara, tampak oleh mereka di antara tumbuh-tumbuhan Bunga di taman itu berjalan seorang gadis berpakaian biru putih, rambutnya diikat pita sutera merah, dandanannya sederhana saja walaupun pakaiannya terbuat dari sutera halus. Biarpun gadis yang menghampiri sebuah kolam ikan itu jaraknya cukup jauh, Song Bu dapat melihat bahwa gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, mukanya berbentuk bulat telur dan kulit mukanya putih kuning tidak tertutup bedak tebal ataupun gincu. Matanya agak sipit, bentuknya indah dan sinar matanya lembut sekali hidungnya kecil mancung dan mulut yang sebagian tertutup suling itu berbibir merah manis sekali. Ketika ia meniup suling tampak sepasang lesung pipit di kanan kirinya. Dengan langkah gemulai dan sedikit langkah kecil itu tidak memperhatikan dua orang pria yang sedang menonton dari pintu tembusan, gadis menghampiri bangku dekat kolam duduk di situ sambil terus meniup sulingnya. Song Bu terbelalak. Bukan saja kagum akan
542
kecantikan aseli tanpa pulasan itu, melainkan juga karena dia merasa seperti sudah mengenal wajah gadis itu. “Hemm, memang ia seorang gadis yang amat jelita, tiupan sulingnya juga merdu sekali,” terdengar Kaisar Ceng Tek memuji dan Song Bu tahu bahwa kalau ada wanita sampai dipuji oleh Kaisar, tentu wanita itu memang luar biasa. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di bagian depan rumah pelesir itu. Kaisar Ceng Tek yang merasa terganggu, segera berkata kepada Song Song Bu, coba lihat apa yang terjadi diluar.” Song Bu mengangguk dan berlari keluar, diikuti oleh Cia-Ma yang juga merasa khawatir. Setelah tiba di luar, mereka melihat bahwa di halaman depan terjadi perkelahian. Belasan orang tukang pukul anak buah Cia-Ma mengeroyok lima orang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih. Para tukang pukul itu mempergunakan golok mereka. Akan tetapi lima orang itu lihai bukan main. Biarpun mereka hanya bertangan kosong, namun lima belas orang tukang pukul itu mereka hajar sampai berpelantingan, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun berpakaian mewah, bermulut lebar dan bermata juling, bertubuh kurus dengan lagak angkuh bertolak pinggang menonton lima orang itu menghajar para tukang pukul yang belasan orang banyaknya.
543
“Hayo pukul, hajar mereka biar tahu rasa dan tidak berani memandang rendah kepada Su-Kongcu, putera jaksa Su di kota raja!” teriak pemuda kurus itu yang bukan lain adalah Su Kan Lok. Melihat dan mengenal pemuda itu Cia ma cepat berlari menghampiri, mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk bungkuk meratap, “Su-Kongcu..., ampunkanlah kami, jangan pukuli lagi orang orangku...” Akan tetapi Su Kan Lok menjadi semakin marah ketika melihat wanita gemuk itu. “Cia-Ma, sekali ini hendak kulihat engkau mau menyerahkan Siang Bi Hwa padaku atau tidak!” “Ampun, Kongcu...” Cia-Ma mendekati. “Pergi Kau!” Su Kan Lok dengan marah menendang. “Bukk!” Perut gendut Cia-Ma tertendang sehingga wanita itu terjengkang roboh, akan tetapi Su Kan Lok sendiri terhuyung karena rasanya berat sekali menendang perut yang gendut itu. Sementara itu, belasan orang tukang pukul anak buah Cia-Ma sudah roboh semua dan Su Kan Lok dengan gaya seorang panglima berkata,
544
“Sekarang mari antar aku menjemput Siang Bi Hwa di taman. Kudengar ia bermain suling di taman. Hayo ikut aku!” Lima orang jagoan itu dengan sikap tenang dan senyum mengejek memandang belasan orang tukang pukul yang bergelimpangan di atas halaman itu, kemudian mereka mengikuti Su Kan Lok memasuki rumah. Biarpun sambil menangis dan terseok-seok, Cia-Ma mengejar enam orang itu dan Song Bu mengikuti dari belakang, hendak melihat apa yang akan dilakukan pemuda kerempeng bersama lima orang jagoannya itu. Su Kan Lok langsung saja menuju kebelakang dan keluar dari pintu tembusan dikuti lima orang jagoannya, memasuki taman. Dia sama sekali tidak mempedulikan seorang pria yang duduk di atas kursi di pintu tembusan itu. Orang itu, Kaisar Ceng Tek, hanya duduk dan memandang kepada Su Kan Lok dengan alis berkerut. Cia-Ma berlari-lari menghampiri Su Kan Lok yang sudah berada dalam taman. terlihat pemuda bangsawan itu bersama lima orang jagoannya hendak menghampiri Siang Bi Hwa yang masih meniup suling di dekat kolam, Cia-Ma lalu berlari menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda putera jaksa itu. “Su-Kongcu ampunkan saya, ampunkan kami dan jangan mengganggu anakku...” wanita itu meratap dan menangis.
545
“Perempuan tolol! Siapa mau menganggu Siang Bi Hwa? Aku mau menjadikan dia isteriku.” “Ampun... Jangan, Su-Kongcu...!” akan tetapi Su Kan Lok lalu menggerakkan kakinya menendang dan kembali tubuh wanita itu terjengkang. Akan tetapi ia tidak terluka karena tendangan itupun lemah saja. Su Kan Lok lalu memberi isarat kepada lima orang tukang pukulnya. “Tangkap gadis itu dan bawa ia masuk ke dalam keretaku! Dia sendiri tidak berani mendekati Siang Bi Hwa karena dia percaya bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Lima orang tukang pukul yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh itu menghampiri Siang Bi Hwa yang sudah menghentikan tiupan sulingnya dan sudah berdiri dengan alis berkerut, “Nona, mari ikut kami ke kereta Su-Kongcu!” kata seorang dari mereka sambil menggerakkan tangannya. Siang Bi Hwa hendak mengelak, akan tetapi sekali ini ia berhadapan dengan ahli-ahli silat yang pandai. Dua orang dari mereka menggerakkan tangan dan di lain saat kedua lengan Siang Bi Hwa telah ditangkap. Di kanan kirinya telah berdiri masing-masing seorang jagoan yang memegang pergelangan tangannya sehingga ia tidak berdaya. Melihat dua orang jagoannya telah berhasil menangkap
546
pergelangan tangan Siang Bi Hwa, Su Kan Lok tertawa dan bertolak pinggang memandang kepada Cia-Ma yang sudah merangkak bangkit. “Ha-ha-ha, Siang Bi Hwa sudah kutangkap dan hendak kubawa pergi. Hayo, siapa berani menghalangi aku?” Setelah tertawa bergelak, pemuda kurus itu lalu memerintah anak buahnya, “Hayo, cepat bawa gadis itu ke dalam keretaku!” Siang Bi Hwa mencoba untuk meronta, namun apa dayanya terhadap dua orang laki-laki yang memegang pergelangan tangannya? la ditarik dan setengah diseret menuju ke pintu tembusan. Song Bu memandang kepada Kaisar Ceng Tek seperti menanti perintah. Kaisar itu juga memandang kepadanya. “Kau tolong gadis itu dan hajar lima orang jagoan itu!” kata Kaisar dengan suara lirih. Song Bu mengangguk dan dia melangkah lebar, menghadang lima orang yang sedang menyeret Siang Bi Hwa. “Berhenti!” bentak Song Bu. “Bebaskan gadis itu!” Seorang di antara mereka yang tidak memegang tangan Siang Bi Hwa melangkah maju menghadapi Song Bu dan membususungkan dadanya yang bidang.
547
“Bocah, siapakah engkau berani menentang kami? Tidak tahukah engkau sipa kami? Kami adalah Kwi San Houw (Lima Harimau Kwi-san) yang terkenal! Apakah engkau sudah bosan hidup berani menentang kami?” “Hemm, kalian ini Lima Harimau atau Lima Buaya Darat aku tidak perduli Sebaiknya cepat kalian bebaskan gadis atau terpaksa aku akan menghajar kalian berlima!” kata Song Bu dengan tenang. “Keparat! Bocah kemarin sore berani menentang kami! Mampuslah engkau” bentak laki-laki tinggi besar itu sambil mengayun tinjunya yang besar. Tinjunya menyambar ke arah kepala Song Bu. penyerangnya itu agaknya yakin benar bahwa sekali pukulannya mengenai akan dapat meremukkan kepala pemuda itu. Dipukul seperti itu, Song Bu tidak mengelak, melainkan dia menyambut pukulan itu dengan tangannya. “Plakk!” Tangan kanan Song Bu berhasil menangkap pergelangan tangan kanan lawan dan dengan gerakan cepat, dengan suatu sentakan dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat kuat membuat penyerangnya itu terjungkir dan terbanting ke atas tanah. Kaki Song Bu menendang, mengenai dada lawannya.
548
“Dess...!” tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan terguling-guling. Melihat rekannya roboh, empat orang “Harimau” yang lain menjadi marah sekali. Sifat rendah dan pengecut mereka keluar. Tanpa banyak cakap dan tanpa malu-malu lagi mereka berempat maju mengeroyok dan mereka telah mencabut pedang, menyerang Song Bu dengan serbuan mematikan. Namun tentu saja Song Bu tidak menjadi gentar. Para pengeroyoknya itu bukan orang lemah dan kalau orang pertama tadi dengan mudah dapat dia robohkan karena penyerang tadi memandang rendah kepadanya. Kini, empat orang itu telah tahu akan kelihaiannya dan mereka mengeluarkan kepandaian mereka dan memainkan pedang mereka dalam penyerangan yang cukup hebat. Dengan mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Bu-Eng-Kui (Iblis Tanpa Bayangan) sehingga tubuh berkelebatan demikian cepatnya di antara sambaran sinar pedang. Bahkan kini orang pertama yang tadi roboh telah bangkit dan ikut pula mengeroyok! Dari gerakan pedang mereka tahulah Song Bu bahwa lima orang yang mengaku berjuluk Kwi-San Ngo-Houw itu bukanlah lawan yang lemah. Kalau hanya menghadapi seorang atau dua orang saja dari mereka biarpun dia bertangan kosong, Dia masih akan mampu mengalahkannya tanpa kesukaran Akan tetapi mereka maju berlima gerakan mereka kompak sekali
549
sehingga berbahaya juga baginya kalau harus dia lawan dengan tangan kosong saja. Ketika lima orang pengeroyoknya mendesak, Song Bu melompat ke belakang dan tangan kanannya meraba ke belakang punggung. tiba tiba tampak sinar hitam yang mengerikan mencuat dan sebatang pedang berwarna hitam telah berada di tangan kanan Song Bu. Itulah pedang Toat-beng Tok-kiam (Pedang Beracun Pencabut Nyawa) yang amat berbahaya Melihat pemuda itu mencabut pedang, Kaisar Ceng Tek tidak menghendaki Song Bu membunuh orang karena pembunuhan itu tentu akan menarik perhatian banyak orang dan dia tidak ingin kehadirannya diketahui banyak orang dan akan timbul kegemparan. “Jangan bunuh orang!” serunya kepada Song Bu. Seruan ini dimengerti oleh Song Bu. “Hamba hanya akan menghajar mereka” katanya dan begitu dia menggerakkan tangan memutar pedangnya, tampak sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar desir angin yang dahsyat. Lima orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Mereka menggerakan pedang mereka menyerang dari semua jurusan. Song Bu yang dikepung memutar tubuhnya seperti gasing, sinar pedangnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar suara berdentingan dan disusul teriakan lima orang itu yang cepat melompat mundur
550
karena pedang mereka telah patah ketika bertemu dengan sinar hitam itu. Secepat kilat Song Bu sudah menyimpan pedangnya kembali dan dia menerjang ke depan bagaikan seekor naga menyambar dari angkasa. Kaki tangannya bergerak cepat dan lima orang itu tidak mampu menghindarkan diri dari tamparan dan tendangan yang amat cepat datangnya seperti kilat menyambar. “Plak plak, desss...!!, Mereka mengaduh dan roboh berpelantingan! Sekali ini Song Bu menambah tenaga pada tamparan dan tendangannya sehingga lima orang yang roboh itu tidak mampu bangkit dengan segera, hanya duduk dan memegangi bagian yang tertampar atau tertendang. Su Kan Lok atau Su-Kongcu adalah seorang pemuda yang terbiasa mengandalkan kedudukan ayahnya. Dia menjadi seorang pemuda sombong dan selalu mau menang sendiri, memandang rendah orang lain. Ketika melihat betapa lima orang jagoannya roboh, dia menjadi marah sekali dan seperti biasa, dia hendak menggertak, mengandalkan kedudukan ayahnya untuk menakut-nakuti orang. Dengan lagak gagah dia melangkah maju menghampiri Song Bu, matanya yang juling itu terbelalak dan hidungnya kembang kempis. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Song Bu dan membentak.
551
“Keparat, siapa engkau ? Berani mati sekali engkau memukuli orang-orangku! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Buka lebar matamu agar mengenal orang! Aku adalah Su-Kongcu, putera dari Su-Taijin (Pembesar Su), jaksa di kota raja. Apa Kau ingin ditangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup?” Song Bu hanya tersenyum dan menoleh memandang kepada Kaisar Ceng Tek, bertanya, “Apa yang harus hamba lakukan kepada orang ini?” Sebelum Kaisar Ceng Tek menjawab, Su-Kongcu sudah menghampiri Kaisar dan sambil bertolak pinggang dia membentak, “Dan siapa engkau ini? Apakah dia itu tukang pukulmu? Awas, engkau pun dapat kuseret dan dimasukkan dalam penjara!” Melihat lagak dan mendengar, ucapan Su Kan Lok yang amat sombong itu, Song Bu menjadi marah bukan main. Ingin rasanya dia mernukul remuk kepala pemuda sombong itu, akan tetapi dia takut kalau mendapat marah dari Kaisar. Maka diapun melangkah maju membentak Su-Kongcu dengan suara nyaring. “Bocah she Su! Apa matamu yang juling itu telah menjadi buta? Bukalah matamu baik-baik dan lihat siapa yang Kau hadapi ini! Lihat baik-baik, manusia yang layak mampus!” Kemudian Song Bu menghadapi Kaisar dan bertanya,
552
“Yang Mulia, apakah hamba harus membunuh anjing ini?” Kaisar Ceng Tek menggeleng kepala dan hanya memandang kepada Su Kan Lok dengan sinar mata penuh wibawa. Su Kan Lok terkejut mendengar ucapan Song Bu itu dan kini dia mengamati wajah Kaisar Ceng Tek dengan penuh selidik. Pada saat itu, Kaisar Ceng Tek berkata lembut kepada Song Bu. “Song Bu, jangan membunuh orang disini.” Mendengar disebutnya nama Song Bu Su-Kongcu menjadi semakin terkejut. Dia memang belum pernah bertemu dengan Ouw Yang Song Bu karena selama ini Song Bu hanya bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan tinggi, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar jagoan muda baru dari Thaikam Liu Cin itu. Juga Kwi-San Ngo-Houw sudah mendengar akan nama besar Song Bu maka mereka juga terkejut bukan main. Yang paling kaget dan ketakutan adalah Su Kan Lok setelah kini dia mengenal wajah pria berusia tiga puluh tahun lebih itu. Saking takutnya, wajahnya menjadi sepucat mayat dan seluruh tubuhnya menggigil seperti orang yang terserang demam. Kedua kakinya menjadi lemas dan diapun roboh bertekuk lutut. Sambil membentur-benturkan dahinya di atas tanah diapun meratap dengan suara gemetar.
553
“Yang Mulia. SriBaginda Kaisar... am... am... ampunkan hamba... ampunkan hamba...” Saking takutnya, Su Kan Lok menangis dan mendekam di atas tanah dengan tubuh menggigil. Mendengar ucapan Su-Kongcu ini, lima orang tukang pukulnya itu terkejut bukan main. Juga tadi mereka mendengar disebutnya nama Song Bu. Nama yang amat terkenal bagi mereka. Maka, dengan ketakutan merekapun berlutut dan mohon ampun. Cia-Ma yang mendengar bahwa tamunya adalah sri Baginda Kaisar sendiri, menjadi lemas kedua kakinya dan tubuh yang gendut itupun terkulai dan berlutut. Ouw Yang Hui juga terkejut. Sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa orang yang ingin mendengar ia meniup suling dan bernyanyi itu adalah sang Kaisar sendiri! Biarpun selamanya belum pernah ia berdekatan dengan Istana dan tidak tahu upacara dan peradatan di Istana, namun karena banyak membaca iapun tahu apa yang harus dilakukannya di depan Kaisar. melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dengan berucap dengan suara lembut dan penuh hormat. “Ban-swe... Ban-ban-swe (Hiduplah selaksa tahun!)...!” Kaisar Cheng Tek memberi isarat dengan tangannya kepada Song Bu untuk mengusir enam orang itu dan Song Bu segera berkata kepada Su Kan Lok dan lima orang tukang pukulnya.
554
“Kalian berenam pergilah, akan tetapi keluarlah dengan merangkak! Baru boleh berdiri kalau sudah tiba di jalan raya!” Song Bu memang merasa gemas sekali dia hendak memberi pelajaran kepada mereka. “Dan tunggu saja hukuman yang akan dijatuhkan atas diri kalian!” “Terimakasih, Yang Mulia...” Serempak enam orang itu berseru lalu karena ketakutan mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Song Bu tadi. Mereka berenam lalu merangkak seperti enam ekor anjing, keluar dari taman itu melalui rumah Cia-Ma dan keluar dari pekarangan. Tentu saja orang-orang yang sedang lewat di jalan raya depan rumah itu terheran-heran menyaksikan enam orang laki-laki itu merangkak-rangkak keluar dari pekarangan rumah pelesir Cia-Ma. Akan tetapi tak seorangpun berani bertanya apa lagi menertawakan ketika mereka melihat bahwa mereka adalah seorang Kongcu berpakaian mewah dan lima orang yang tampaknya bengis. Enam orang itu setelah tiba di jalan raya lalu bangkit berdiri dan setengah berlari mereka lalu menuju ke sebuah kereta yang tadi ditumpangi Su-Kongcu, kemudian membalapkan kereta itu menuju ke kota raja. Setelah tiba di gedung ayahnya di kota raja, Su Kan Lok menangis di depan ayahnya, menceritakan
555
tentang pertemuannya dan kesalahannya terhadap Kaisar yang tadinya tidak dikenalnya. Mendengar pelaporan puteranya itu, Jaksa Su menjadi kaget setengah mati. Dia takut kalau kalau Kaisar akan menjadi marah besar dan mereka sekeluarga dapat dihukum karena ulah Su Kan Lok. Maka dia mendahului dan menyuruh perajurit menangkap dan menjebloskan Su Kan Lok dan Kwi-San Ngo-Houw ke dalam penjara, kemudian bergegas dia pergi menghadap Thaikam Liu Cin dan menangis di depan atasannya itu mohon agar Liu Cin suka memintakan ampun kepada Kaisar atas perilaku puteranya. Sementara itu, setelah enam orang itu merangkak pergi, Kaisar Ceng Tek memandang kepada Siang Bi Hwa dan Cia-Ma yang masih berlutut di depan kakinya. Melihat sikap yang halus lembut dan penuh sopan santun dari Bi Hwa, sama sekali berbeda dari sikap waníta pelacur yang genit, juga melihat dandanan gadis itu sederhana walaupun rapi, Kaisar tersenyum. Hatinya senang dan diam-diam dia memuji Bi Hwa yang tidak kalah dibandingkan dengan para puteri Istana. “Siang Bi Hwa, lanjutkan bermain musik. Mainkan Yang-kim dan bernyanyilah untuk kami. Kami ingin sekali mendengarnya,” kata Kaisar dengan lembut dan dia memberi isyarat kepada Song Bu untuk mengambilkan bangku-bangku yang berada diambang pintu
556
itu. Song Bu segera mengambil dua buah bangku dan Kaisar lalu duduk di atas sebuah bangku, kini tidak jauh dari tempat Bi Hwa bermain Yang-kim. Song Bu juga disuruh duduk oleh Kaisar, sedangkan Cia-Ma lalu membimbing anaknya ke tepi kolam. Setelah mengetahui bahwa yang memerintahnya adalah Kaisar, tentu saja Bi Hwa tidak berani menolak. Apa lagi Kaisar itu bersikap lembut, sopan dan berwibawa. namun, setelah tadi melihat sepak terjang Song Bu, teringatlah Bi Hwa kepada Wong sin Cu. Pemuda inipun gagah perkasa seperti Sin Cu! Akan tetapi ia merasa sudah pernah mengenal wajah pemuda ini dan ketika Kaisar menyebut namanya, Bi Hwa menjerit dalam hatinya. Song Bu! Tentu saja Song Bu murid ayah kandungnya. Tan Song Bu yang menjadi Suhengnya (kakak seperguruannya)! Akan tetapi karena merasa malu bahwa ia sekarang telah menjadi anak angkat seorang mucikari, dia diam saja, hanya menahan keharuan hatinya, Perintah Kaisar dapat mengalihkan perhatiannya dari Song Bu dan dituntun Cia-Ma, ia lalu kembali ke atas bangku dekat kolam dan mengambil Yang-kim yang memang telah tersedia di situ. la duduk dan mulai memainkan Yang-kim, dipetik jari jari tangannya yang mungil. Cia-Ma duduk di atas batu tak jauh dari situ dengan sikap hormat karena kehadiran Kaisar. Jantung Cia-Ma berdebar keras. Akan menjadi kenyataankah mimpinya
557
bermenantukan seorang bangsawan? Kalau saja Bi Hwa dapat menjadi isteri atau selir Kaisar! Wah ia tentu akan terangkat tinggi sekali! Biarpun menyadari bahwa sekali ini permainan musik dan nyanyiannya didengarkan oleh Kaisar, orang tertinggi kedudukannya dan paling berkuasa di seluruh negeri, namun Bi Hwa tetap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Jari jari tangannya yang mungil itu sama sekali tidak gemetar ketika memainkan dawai Yang-kim. Terdengariah suara merdu berkencrang-kencring dan berkentang kenting. Kemudian terdengarlah ia bernyanyi merdu. “Batang pohon yang terpelihara dan sehat menghasilkan daun yang hijau subur, bunga yang indah dan buah yang segar” “Batang pohon yang sakit mematikan cabang ranting dan daun takkan menghasilkan bunga dan buah!” “Karena itu basmilah semua benalu bersihkan semua hama perusak agar kita dapat menikmati hasilnya!” Kata-kata dalam nyanyian itu amat berkesan dalam hati Kaisar. Isinya sungguh berbeda dengan nyanyian pada umumnya. Biasanya, lagu yang demikian merdu itu mempunyai kata-kata yang menggambarkan keindahan pemandangan alam, atau tentang kasih asmara,akan tetapi kata-kata dalam nyanyian Sing Bi Hwa ini terdengar aneh,
558
menceritakan tentang batang pohon. karena itu, setelah gadis itu berhenti bernyanyi, Kaisar Ceng Tek lalu menggapai dan memanggilnya. Bi Hwa menghampiri dengan langkah perlahan dan menundukkan mukanya. Ketika ia akan berlutut, Kaisar Ceng Tek mencegahnya. “Jangan berlutut, duduk saja dikursi itu.” Dia memberi isyarat kepada Song Bu untuk menyerahkan kursinya kepada gadis itu. Bi Hwa menurut dan duduk sambil menundukkan mukanya. “Nyanyianmu merdu sekali,” puji sang Kaisar. “Terimakasih, Baginda” jawab Bi Hwa sederhana. “Petikan Yang-kim-mu indah dan nyanyianmu merdu sekali” “Terimakasih, Yang Mulia,” kata Bi Hwa. “Akan tetapi kami ingin mengerti tentang makna nyanyian tadi. Apa maksudmu dengan menggambarkan batang pohon itu? Coba jelaskan kepada kami,” kata Kaisar Ceng Tek dengan suara memerintah. “Karangan siapakah lagu yang Kau nyanyikan itu?” “Ampun yang mulia, lagu itu adalah karangan hamba sendiri.”
559
“Lalu apa yang Kau maksudkan dengan batang pohon itu? Jelaskan!” “Batang pohon itu hamba maksudkan sebuah negara. Negara yang diatur dengan baik menjadi tertib dan kaya raya sehingga rakyatnya dapat hidup makmur dan berbahagia. Sebaliknya, kalau negara tidak teratur dengan baik, bagaikan batang pohon yang sakit, maka banyak kekacauan akan timbul dan rakyat tentu akan hidup serba kekurangan, sengsara, tertindas dan menderita.” “Hemm, lalu apa yang Kau maksudkan dengan benalu dan hama?” “Para pembesar yang jahat dan korup, pembesar yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, mencuri uang negara dan memeras menindas rakyat untuk menggendutkan perut dan kantung sendiri, tidak adil dan sama sekali tidak mengurus tugasnya dengan baik, saling memperebutkan kekuasaan, hanya pandai menjilat ke atas menekan ke bawah, mereka semua itu bagaikan benalu-benalu dan hama-hama yang menggerogoti dan membuat pohon atau pemerintah menjadi tidak sehat.” Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya.
560
“Hemmm, Siang Bi Hwa, apakah engkau menganggap bahwa pemerintahan kami sedang sakit dan banyak mengandung benalu dan hama perusak?” “Ampunkan hamba, Yang Mulia Hamba mohon agar paduka berhati-hati terhadap orang-orang yang paduka percaya, karena banyak sekali orang yang menyalah-gunakan kepercayaan yang paduka berikan. Makin besar kekuasaan orang itu,maka akan semakin sewenang-wenang dan mempergunakan kekuasaannya. Hamba kira bahwa banyak di antara pembesar-pembesar negeri merupakan orang-orang yang tidak bijaksana. Hal ini dapat hamba nilai dari banyaknya para Kongcu putera bangsawan yang berdatangan ke sini dan kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang berfoya-foya dan bertindak sewenang-wenang seperti putera Jaksa Su tadi. Hanya padukalah yang akan mampu membersihlkan benalu dan hama-hama itu. Ampunkan kelancangan hamba, Yang Mulia.” Wajah Kaisar Ceng Tek menjadi kemerahan. Pada saat itu, ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Dia sendiri merasa heran mengapa dia tidak menjadi marah kepada gadis itu. Gadis puteri mucikari berani bicara seperti itu! Kalau bukan Siang Bi Hwa yang bicara seperti itu, mungkin dia akan dia tangkap dan memenjarakannya. Akan tetapi ada sesuatu dalam kata-kata dan
561
sikap Bi Hwa yang menyadarkannya bahwa ucapan gadis itu mungkin sekali mengandung kebenaran! “Hemm, engkau memang seorang gadis yang luar biasa, Siang Bi Hwa. Karena kami senang sekali mendengar nyanyian dan ucapanmu, maka sekarang kami ingin memberi hadiah kepadamu. Mintalah apa saja kepada kami dan kami akan memenuhinya!” Mendengar ini, Cia-Ma menjadi salah tingkah. la mengerling kepada anak angkatnya itu, memberi isarat dengan kedipan mata. Tentu saja Bi Hwa tidak mengerti maksudnya, tidak mengerti bahwa ibu angkatnya itu menghendaki ia mengajukan permintaan yang paling berharga dari Kaisar itu! Dalam hatinya Cia-Ma berpikir bahwa kalau ia yang menjawab, tentu ia akan minta agar Siang Bi Hwa diambil sebagai selir Kaisar dan diboyong ke dalam Istana, tentu saja berikut dirinya! Atau andaikata ia tidak ikut diboyong juga, setelah semua orang tahu bahwa ia adalah mertua Kaisar, siapa berani mengganggunya? la akan dihormati orang seluruh negeri! Akan tetapi jawaban Siang Bi Hwa benar-benar mengejutkan Cia-Ma dan Song Bu, bahkan juga Kaisar sendiri. “Ampunkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak membutuhkan apa-apa karena semua kebutuhan hidup hamba telah dipenuhi oleh ibu hamba. Hanya kalau hamba diperkenankan memohon kepada
562
paduka, hamba hanya mohon sudilah kiranya paduka menindak dengan keras para pejabat yang tidak bijaksana korup dan suka berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Hanya itulah permohonan hamba.” Song Bu merasa takjub mendengar ucapan gadis itu. Mana ada orang diberi kesempatan minta apa saja kepada Kaisar dan akan dipenuhi permintaannya, hanya minta agar Kaisar bertindak keras terhadap para pejabat yang korup? Cia-Ma merasa kecewa bukan main. Anak angkatnya telah melewatkan dan menyia-nyiakan kesempatan sebesar gunung emas! Bahkan Kaisar Ceng Tek sendiri tercengang. Sedikitpun tidak pernah disangkanya bahwa gadis itu akan mengajukan permohonan seperti itu! Seorang gadis puteri seorang mucikari! Jelas bahwa gadis ini bukanlah seorang gadis biasa. Sama sekali tidak mata duitan, tidak mengejar kesenangan bahkan memperhatikan nasib rakyat. Kaisar mengangguk-angguk. “Baiklah, Siang Bi Hwa. Kami akan memenuhi permintaanmu dan kami akan perintahkan para pembantu kami untuk menindak keras para pejabat yang tidak benar.” Setelah berkata demikian, Kaisar Ceng Tek memberi isarat kepada Song Bu dan mereka berdua lalu keluar dari situ. Song Bu meninggalkan beberapa potong uang
563
emas kepada Cia-Ma. Setelah Kaisar Ceng Tek dan Song Bu pergi, Cia-Ma menegur Bi Hwa dan menyesal sekali. “Bi Hwa, kenapa engkau begitu bodoh? kenapa engkau yang telah diberi kesempatan oleh SriBaginda Kaisar tidak minta untuk diängkat menjadi selir atau minta harta yang banyak? Engkau minta yang bukan-bukan!” “Ibu, yang kuminta dari SriBaginda Kaisar itu amat berharga sekali. Kalau dipenuhi berarti mengurangi penderitaan rakyat, bahkan dapat mendatangkan kebahagiaan kehidupan rakyat jelata.” “Aih, kenapa engkau memikirkan nasib orang lain saja? Nasib kita sendiri tidak ada yang memikirkan! Kenapa engkau tidak minta untuk dijadikan selir?” “Aku tidak ingin menjadi selir SriBaginda Kaisar, ibu.” “Atau engkau minta barang yang tidak ternilai harganya?” “lbu, aku juga tidak ingin menjadi orang yang kaya raya. Akan tetapi setidaknya, dengan kunjungan SriBaginda Kaisar tadi, kita akan aman dan tidak akan ada yang berani mengganggu kita lagi.” Wajah Cia-Ma yang tadinya muram itu menjadi berseri.
564
“Ah, benar juga! SriBaginda Kaisar telah bersikap baik kepadamu, Berarti engkau tentu akan dilindunginya!” Cia-Ma bergegas keluar dan mulailah ia menyebarkan berita tentang kunjungan Kaisar ke rumah pelesirnya dan bahwa mulai saat itu, ia dan semua anak-buahnya berada di bawah perlindungan Kaisar. dengan cara inipun Cia-Ma sudah merasa martabatnya terangkat tinggi sekali. ======= Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui duduk di dalam kamarnya dan ia termenung. la teringat akan Tan Song Bu, Suhengnya yang datang bersama Kaisar siang tadi. Pertemuannya dengan Song Bu yang tidak terduga-duga itu otomatis mendatangkan bayangan masa lalu dan teringatlah ia kepada ayah ibunya dan kepada saudara tirinya, Ouw Yang Lan dan ibunya, Lai Kim. Teringatlah ia akan Pulau Naga dan semua keluarganya. Siang Bi Hwa menahan keharuan hatinya agar tidak menangis. la telah rindu kepada mereka semua, akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat pulang ke Pulau Naga? Selain Cia-Ma pasti tidak akan mengijinkan ia pergi, juga ia sendiri merasa malu bertemu dengan keluarganya di Pulau Naga setelah kini ia menjadi anak angkat seorang mucikari. “Tok-tok-tok!” Daun pintu kamarnya terketuk dari luar. “Siapa itu?” tanya Bi Hwa sambil menengok ke arah pintu.
565
“Aku, Bi Hwa. Bukalah pintunya, ada urusan penting yang akan kusampaikan kepadamu.” Siang Bi Hwa membereskan rambutnya agar tidak tampak kusut dan ia mengusir kekalutan pikirannya agar tidak tampak pada wajahnya. Ibu angkatnya itu amat menghargainya sehingga kalau hendak berkunjung ke kamarnya tentu mengetuk pintu lebih dahulu. la lalu bangkit dan menghampiri pintu dan membukanya. “Ada urusan apakah, ibu?” tanyanya lembut sambil memandang wajah Cia-Ma yang kelihatan berseri gembira. “Bi Hwa, dia datang lagi, berkunjung ke sini dan ingin bertemu dan bicara denganmu!” “Siapakah, ibu? Apakah Sribaginda Kaisar?” “Ah, tidak, akan tetapi pengawalnya pemuda yang lihai dan yang telah menghajar Su Kongcu dan lima orang tukang pukulnya itu!” Berdebar rasa jantung Bi Hwa. Tan Song Bu, Suhengnya yang datang! Akan tetapi mengapa? Siang tadi Suhengnya itu seperti tidak mengenalnya. Dan ia memang tidak ingin dikenal sebagai puteri mucikari.
566
“Kenapa dia ingin bertemu denganku, ibu? Aku tidak mempunyai urusan dengan dia! Katakan saja bahwa aku sedang tidak enak badan dan sedang beristirahat, tidak mau diganggu.” “Hussshh! Bagaimana boleh begitu? Ingat, dialah, yang telah menyelamatkan kita dari Su Kongcu! Dan dia adalah orang kepercayaan Sribaginda Kaisar. Mungkin kedatangannya ini diutus oleh kaisar! Hayo, keluarlah dan temui dia. Apa engkau ingin kita semua celaka kalau membantah perintah Kaisar?” Bi Hwa tidak berani membantah lagi. Mungkin Song Bu datang karena mernbawa perintah kaisar, pikirnya. la akan bersikap seolah tidak mengenal pemuda itu dan apapun perintah Kaisar, ia akan mempertimbangkan. la adalah seorang yang memiliki pendirian. Biarpun perintah kaisar, kalau itu tidak berkenan di hatinya, ia tidak akan membuta dan menaatinya begitu saja. la adalah seorang anak pungut mucikari yang tentu dipandang rendah oleh orang orang lain. Apa yang dimilikinya selain harga diri yang harus dijunjungnya tinggi sebagai seorang wanita yang terhormat dan tidak sudi merendahkan, apa lagi menjual diri? Bi Hwa mengikuti Cia-Ma keluar dari kamarnya, menuju ke ruangan tamu itu Pemuda itu duduk diam saja, tidak mempedulikan tiga orang gadis pelacur yang duduk pula di situ.
567
Tiga orang gadis pelacur itupun tidak berani berkutik, tidak berani mengganggu atau mengajak bicara pemuda yang mereka tahu adalah pengawal kaisar dan yang kemarin mengamuk dan menghajar Kongcu dan lima orang pengawalnya. Karena pemuda itu tidak menegur mereka, maka tiga orang gadis itupun hanya duduk diam seperti arca. Cia-Ma yang melihat situasi seperti lalu memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk meninggalkan ruangan tamu itu. Ketika mendengar langkah kaki Bi Hwa dan Cia-Ma, Song Bu menoleh dan dia segera bangkit berdiri ketika melihat Bi Hwa. Dia memandang dengan penuh perhatian. Demikian pula Bi Hwa. la berdiri di depan Song Bu dan menatap wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Mereka berdua berdiri saling berhadapan dan saling tatap dengan tajam. Melihat ini, Cia-Ma lalu memberi hormat dan berkata dengan halus. “Taihiap (Pendekar Besar), ini Siang Bi Hwa sudah datang. Silakan taihiap bicara dengannya. Bi Hwa anakku, temani Taihiap bercakap-cakap, aku hendak ke dalam dulu.” Wanita gemuk itu segera melangkah pergi meninggalkan ruangan tamu. Akan tetapi ia tidak terus menuju ke belakang, melainkan bersembunyi di balik daun pintu yang menembus ke ruangan itu dan memasang telinga. Sebagai seorang ahli silat yang pendengarannya terlatih baik, tentu saja Song Bu dapat menangkap gerakan Cia-Ma, akan tetapi
568
dia tidak perduli karena apa yang akan dibicarakan dengan Siang Bi Hwa bukan rahasia dan dia siap mempertanggung jawabkan pertemuannya dengan gadis itu. Sejenak dua pasang mata bertemu pandang. Bi Hwa menundukkan pandang matanya lalu berkata dengan hormat dan lembut. “Taihiap, silakan duduk dan katakan kepentingan apa yang membawa Taihiap datang ke sini bertemu dengan saya.” Akan tetapi Song Bu tidak mau duduk dan langsung saja dia menegur gadis itu. “Hui-moi, lupakah engkau kepadaku? Aku Suhengmu!” Bi Hwa mengangkat muka dan menggeleng kepala. “Siapa, siapakah Taihiap?” “Aku Suhengmu (kakak seperguruanmu), Tan Song Bu! Bahkan sekarang telah menjadi kakak-angkatmu Ouw Yang Song Bu.” Bi Hwa tetap menggeleng kepalanya. “Tidak saya tidak mengenalmu...” “Hui-moil Engkau Ouw Yang Hui bukan? Aku tidak salah lihat dan aku masih mengenalmu dengan baik. Engkau Ouw Yang Hui! Ah, adikku, bagaimana engkau dapat berada di tempat seperti ini? Dan
569
di mana adik Ouw Yang Lan? Di mana ibu Lai Kim dan ibumu Sim Kui Hwa? Hu-moi, harap jangan berpura-pura lagi. Ketahuilah, ayah Ouw Yang Lee juga berada di kota raja dan kalau dia sampai mendengar bahwa engkau berada di tempat seperti ini... ahh, tentu akan marah sekali!” Diberondong dan dipojokkan oleh kata-kata Song Bu itu, yang membuat Ouw Yang Hui teringat akan semua keluarganya, gadis itu tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan iapun menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis lirih. “Hemm, engkau, tentu diancam dan dipaksa oleh nenek gendut itu, ya? Biar kubunuh ia sekarang juga! Haii engkau, hayo keluar dari tempat sembunyimu!” Song Bu menuding ke arah pintu tembusan di belakang mana Cia-Ma bersembunyi. Mendengar ia hendak dibunuh oleh pemuda perkasa itu dan kini dibentak disuruh keluar, Cia-Ma gemetaran dan menjadi pucat. la lalu keluar dan tersaruk-saruk menghampiri Song Bu, lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap pemuda itu. “Ampun, Taihiap... ampun dan jangan bunuh saya, anakku Bi Hwa, tolonglah” lapun menangis ketakutan. Ouw Yang Hui menghentikan tangisnya, mengangkat muka dan berkata kepada Song Bu.
570
“Suheng, biarkanlah ia, jangan ganggu dia. Cia-Ma sama sekali tidak pernah memaksa atau mengancam aku, bahkan ia sudah kuanggap sebagai ibu sendiri. la baik dan berjasa sekali kepadaku, Suheng. Ibu masuklah dan jangan mendengarkan percakapan kami. Aku akan bicara dengan Suhengku ini.” Cia-Ma mengangguk-angguk, bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan tubuh masih lemas ketakutan. la bahkan menutupkan daun pintu tembusan itu dari luar. Setelah yakin bahwa Cia-Ma pergi dan tidak ada orang lain di dekat ruangan tamu itu, Song Bu berkata, “Hui-moi, sekarang ceritakanlah semua riwayatmu sejak engkau dan Lan-moi bersama ibu kalian dilarikan penjahat dari Pulau Naga dan bagaimana pula engkau sampai berada di tempat seperti ini sebagai anak perempuan Cia-Ma. Akan tetapi jangan sebut aku Suheng karena ketahuilah bahwa sejak kalian meninggalkan Pulau Naga, ayah Ouw Yang Lee telah mengangkat aku sebagai puteranya dan sekarang aku bernama Ouw Yang Song Bu, kakak angkatmu, bukan lagi Suhengmu.” Ouw Yang Hui beberapa kali menghela napas panjang untuk menenangkan hatinya yang terguncang, lalu ia bangkit, menghampiri sebuah almari tempat minuman di sudut ruangan itu, rnengambil seguci anggur dan dua buah cawan, membawanya kembali ke meja dan iapun duduk
571
kembali. Dituangnya anggur dari guci ke dalam dua cawan anggur. Semua ini dilakukan dengan tenang karena hatinya sudah tenang kembali. “Sebelum aku bercerita, mari kita minum dulu untuk menenangkan hati, Suheng eh, Bu-ko (kakak Bu),” katanya. Mereka mengangkat cawan dan minum anggur itu. “Malam celaka itu, kami berempat, ibuku dan aku, ibu Lai Kim dan enci Lan, dilarikan dua orang penjahat dan dibawa pergi dari Pulau Naga dengan perahu. Aku tidak tahu siapa mereka, hanya tahu bahwa yang seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun, tinggi besar brewok dan mata kirinya buta.” “Hemm, jahanam itu adalah Gan Tok Houw Lo Cit yang sampai sekarang entah menghilang ke mana karena ayah dan aku tidak berhasil menemukan jejaknya!” kata Song Bu gemas. “Adapun yang seorang lagi juga seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggi besar dengan muka merah.” “Jahanam yang ke dua ini belum kuketahui siapa. Akan tetapi kalau aku dapat menemukan Lo Cit, tentu aku akan dapat mengetahui siapa dia. Lanjutkan ceritamu Hui-moi,” kata Song Bu sambil memandang wajah adik angkatnya dan diam-diam dia harus
572
mengakui bahwa Ouw Yang Hui benar-benar cantik jelita seperti bidadari! “Kami dilarikan dengan perahu sampai ke daratan besar. Di sana telah menanti anak buah mereka. Kami lalu dipisahkah, Aku dan ibuku dinaikkan kereta oleh Si Mata Satu sedangkan Ibu Lai kim bersama Enci Lalu dibawa pergi dengan kuda oleh penculik ke dua yang bermuka merah. Akan tetapi, tengah perjalanan, Si Mata Satu memerintahkan seorang anak buahnya untuk membawa aku pergi dengan kuda memisahkan aku dengan ibuku.” “Dan bagaimana dengan ibumu?” “aku tidak tahu, ibu masih dikereta bersama Si Mata Satu. Kami menangis dan menjerit-jerit ketika dipisahkan, akan tetapi aku segera dilarikan dengan kuda oleh seorang anak buah Si Mata Satu. Akan tetapi di tengah perjalanan, orang yang melarikan aku dengan kuda itu dihadang dua orang dan merekapun menyerang penculikku. Terjadi perkelahian dan orang yang melarikan aku itu tewas di tangan dua orang itu. Aku berpindah tangan, dibawa pergi oleh dua orang itu dan akhirnya mereka membawaku kepada Cia-Ma. Nah, sejak itulah aku tinggal di sini dan diaku sebagai anak oleh Cia-Ma.”
573
“Dan mucikari itu memaksamu untuk melayani tamu?” tanya Song Bu dengan marah dan penasaran. “Sama sekali tidak! Andaikata? demikian tentu aku tidak sudi dan aku akan memilih mati dari pada merendahkan diri seperti itu. la bersikap baik sekali, menganggap aku anak sendiri dan ia benar-benar menyayangku sehingga akupun menyayangnya. la memanggil guru-guru untuk mendidik aku. Hanya karena desakan Saja maka ia minta aku untuk bermain musik dan bernyanyi, itupun hanya ditonton dari jauh oleh para Kongcu.” Song Bu mengangguk-angguk. Kemarahannya terhadap Cia-Ma mereda. Bagaimanapun juga, Cia-Ma telah bersikap baik kepada Ouw Yang Hui. Andaikata tidak demikian, andaikata Cia-Ma memaksa Ouw Yang Hui untuk melayani para Kongcu hidung belang, tentu dia akan membunuh mucikari itu! “Dan bagaimana dengan nasib ibumu dan Lan-moi bersama ibunya, Hui-moi?” “Aku tidak tahu, Bu-ko. Aku sama sekali tidak pernah mendengar tentang mereka, tidak tahu mereka kini berada dimana, masih hidup ataukah sudah mati.”
574
“Ibumu masih hidup, Hui-moi. Bahkan ibumu pernah pulang ke Pulau Naga,” kata Song Bu yang mengenang kembali peristiwa pulangnya Sim Kui Hwa yang diantar oleh seorang pendekar yang lihai bernama Gan Hok San. Mendengar ucapan Song Bu, Ouw Yang Hui memandang kakak angkatnya itu,matanya bersinar, la merasa girang sekali mendengar bahwa ibunya masih hidup dan selamat bahkan sudah kembali ke Pulau Naga. “Jadi ibu sudah pulang dan kini berada di Pulau Naga?” tanyanya. Song Bu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Sayang sekali tidak seperti yang kita harapkan, Hui-moi. Ketika itu, beberapa hari setelah engkau dan Lan moi bersama kedua ibu kalian lenyap diculik orang, pada suatu hari muncul ibumu. la diantar oleh seorang pendekar Siauw-lim bernama Gan Hok San yang telah menolongnya dari tangan penculiknya. Ibumu bermaksud untuk pulang ke Pulau Naga dan Pendekar Gan itu hanya mengantarnya sampai ke Pulau Naga. Akan tetapi ayah kita marah dan merasa cemburu, bahkan hendak membunuh ibumu. Akan tetapi Pendekar Gan menghalanginya sehingga terjadi perkelahian antara ayah dan Pendekar Gan. Akhirnya Pendekar Gan yang amat lihai dapat mengalahkan ayah. Ayah, mengusir ibumu dan akhirnya ibumu pergi meninggalkan Pulau Naga dikawal oleh Pendekar Gan Hok San.”
575
Ouw Yang Hui termenung, sedih memikirkan ibunya. Dapat ia bayangkan betapa hancur dan sedih hati ibunya ketika pulang ke Pulau Naga malah dicemburui dan diusir oleh suami sendiri! Bahkan hampir dibunuh dan tentu ibunya sudah tewas kalau tidak ada Pendekar Gan itu yang melindunginya. “Keterlaluan sekali ayah!” gerutunya. “Sepantasnya dia mengasihani ibu dan berterima kasih kepada Pendekar Gan Hok San itu!” Song Bu menghela napas dan menatap wajah adik angkatnya. “Hui-moi, engkau tahu bagaimana ayah kita. Dia amat keras hati dan karena dia sudah dikuasai cemburu, maka dia menjadi marah dan benci kepada iburnu. Akan tetapi sebaiknya kalau aku mengajak ayah untuk datang ke sini dan bertemu denganmu. Mungkin kalau melihatmu, hati ayah akan mencair dan akan menaruh kasihan kepada ibumu sehingga aku akan diperkenankan mencari ibumu dan mengajaknya pulang ke Pulau Naga. Akan tetapi mengapa selama ini engkau diam saja di sini dan tidak berusaha untuk kembali ke Pulau Naga, Hui-moi?” “Bu-ko, bagaimana aku dapat melakukan hal itu? Ketika aku dibawa ke sini usiaku baru tujuh tahun lebih. Tak mungkin aku seorang diri kembali ke Pulau Naga yang begitu jauh
576
menyeberangi lautan. Kemudian Cia-Ma bersikap demikian baik kepadaku, menimbuni aku dengan budi-budi kebaikan dan kasih sayang seperti ibuku sendiri. Bagaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja? Kemudian, ada kenyataan lagi yang membuat aku bahkan tidak berani dan malu untuk kembali ke Pulau Naga, yaitu kenyataan bahwa aku telah menjadi anak angkat seorang mucikari. Biarpun aku tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan ibu angkatku juga tidak memaksaku untuk melakukan perbuatan tersesat, namun orang-orang tetap saja memandang rendah keadaanku.” Song Bu mengangguk-angguk dan memandang kepada Ouw Yang Hui dengan sinar mata mengandung iba. “Kasihan sekali engkau, Hui-moi. Apa yang kaukataan itu memang benar dan aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Biarlah aku akan menceritakan keadaanmu kepada ayah. Mudah-mudahan saja ayah akan luluh hatinya dan menaruh kasihan kepadamu dan mengangkatmu dari tempat ini.” Song Bu lalu berpamit dan meninggalkan Ouw Yang Hui yang termenung dengan hati penuh kekhawatiran. Gadis ini masih ingat benar betapa ayah kandungnya, biarpun amat mencintanya, namun ayahnya itu amat keras hati. Entah bagaimana sikap ayah kandungnya kalau
577
bertemu dengan ia yang berada di rumah pelesir, ia tidak dapat membayangkan. “Ayah, saya telah menemukan adik Ouw Yang Hui” kata Song Bu dengan nada suara gembira kepada Ouw Yang Lee yang sedang duduk di dalam kamarnya di rumah Thaikam Liu Cin yang mewah dan megah seperti Istana. Seperti juga Song Bu, Im Yang Tojin, Pek Moko dan Hek Moko, Ouw Yang Lee mendapatkan sebuah kamar yang mewah dalam gedung besar itu. Para jagoan yang dipercaya ini hidup senang di situ. Mendengar ucapan Song Bu yang memasuki kamarnya dan tampak gembira itu, Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya, mengangkat muka dan memandang wajah Song Bu dengan tajam penuh selidik. Disebutnya nama Ouw Yang Hui seketika mengingatkan dia kepada ibu anak itu. Sim Kui Hwa, dan api cemburu membakar hatinya. “Hemm, perlu apa engkau memberitahukan hal itu kepadaku? Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan Sim Kui Hwa, perempuan tidak tahu malu itu!” “Akan tetapi saya menemukan Hui-moi hidup seorang diri dan sama sekali tidak bersama ibunya, ayah. Ketika ia dilarikan penculik, ia terpisah dari ibunya dan akhirnya ia dijual penjahat kepada seorang wanita bernama Cia-Ma yahg tinggal di Nam-Po.
578
la amat merindukanmu, ayah. Ia perlu dikasihani dan sekarang Hui-moi telah menjadi seorang gadis yang amat cantik. la amat merindukan dan membutuhkanmu, ayah. Karena itu saya kira sebaiknya kalau ayah pergi ke Nam-Po dan menjemputnya. Sekarang ia dikenal sebagai Siang Bi Hwa, ayah.” Ouw Yang Lee menggerakkan tangan kanannya dengan tidak sabar, memberi isarat agar Song Bu pergi dari kamar itu dan tidak mengganggunya lagi. “Sudahlah! Aku mau mengaso dan jangan ganggu aku!” katanya dengan sikap uring-uringan dan tidak perduli. Song Bu menghela napas panjang, menggerakkan kedua pundaknya dan keluar dari kamar itu. Dia tahu bahwa ayah angkatnya itu memang amat keras hati dan keras kepala. Percuma saja membujuknya melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Diapun pergi memasuki kamarnya sendiri untuk beristirahat. Ketika Song Bu sudah terlena hampir tidur pulas, mendadak daun pintu kamarnya diketuk orang. “Siapa itu?” tanyanya, masih setengah sadar. “Song Bu, aku hendak pergi ke Nam-Po” Song Bu menjadi girang. “Di mana tinggalnya anak itu?”
579
“Carilah ia dirumah pelesir Pintu Merah, ayah,” katanya. Dalam keadaan masih mengantuk itu Song Bu sampai lupa bahwa keterangannya bahwa Ouw Yang Hui tinggal di rumah pelesir itu mungkin sekali akan membuat Ouw Yang Lee menjadi penasaran dan marah. Pemuda itu karena merasa lega bahwa Ouw Yang Lee mau pergi menemui Ouw Yang Hui, telah tidur kembali. Keterangan Song Bu bahwa Ouw Yang Hui mengganti namanya menjadi Siang Hwa dan tinggal di rumah pelesir Pintu Merah milik Cia-Ma, bagaikan halilintar memasuki telinga Ouw Yang Lee. Seketika m?kanya menjadi merah sekali, kedua tangannya dikepal dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi diapun melompat dan berlari keluar dari Istana Thaikam Liu Cin lalu langsung menuju ke kota Nam-Po. Hari menjelang senja ketika akhirnya Ouw Yang Lee tiba di kota Nam-Po. Rumah rumah sudah mulai menyalakan lampu Tidak sukar bagi Ouw Yang Lee untuk menemukan rumah pelesir Pintu Merah milik Cia-Ma. Semua orang di kota itu tahu belaka di mana rumah pelesir yang amat terkenal itu. Dengan langkah lebar dan cepat Ouw Yang Lee mendatangi rumah itu. Dia melihat sebuah rumah besar yang pintunya bercat merah dan memiliki pekarangan yang teratur rapi dengan tanaman bunga-bunga indah. Cepat dia melangkah menuju ke pintu rumah
580
itu. Ternyata daun pintu itu terbuka dan di ruangan depan yang juga menjadi ruangan tamu yang luas dan terhias indah itu duduk tujuh orang laki-laki muda yang di temani oleh tujuh orang gadis muda yang cantik-cantik. Suasana dalam ruangan yang diterangi beberapa buah lampu gantung itu meriah dan gembira. Agaknya tujuh pasang orang muda itu mengobrol sambil menikmati makanan kering dan anggur yang baunya memenuhi ruangan. Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang tajam menyapu wajah tujuh órang wanita cantik itu. Dia yakin bahwa puterinya tidak berada di antara mereka. “Di mana Siang Bi Hwa? Hayo cepat pänggil dia keluar!” teriaknya kepada tujuh pasang orang muda yang sedang bersendau gurau itu. Mendengar ada seorang laki-laki yang berusia hampir enam puluh tahun berteriak lantang mencari Siang Bi Hwa, tujuh orang Kongcu yang duduk di ruangan tamu itu menjadi tak senang. Mereka sendiripun tidak akan bersikap sekasar itu terhadap Siang Bi Hwa. Maka, mengandalkan kedudukan ayah mereka yang menjadi hartawan atau bangsawan di kota raja dan di Nam-Po, tujuh orang pemuda itu serentak bangkit menghampiri Ouw Yang Lee dan seorang diantara mereka dengan berani karena mengandalkan banyak teman, menegur dengan sikap angkuh.
581
“Haii, orang tua! Sikapmu kurang ajar sekali. Siapa engkau dan mau apa engkau mencari Siang Bi Hwa?” “Siang Bi Hwa tidak akan sudi bertemu dengan orang kasar macam engkau, tua bangka tak tahu diri!” bentak orang ke dua sedangkan yang lain menunjukkan sikap memandang rendah. Berkobar api kemarahan dalam dada Ouw Yang Lee. Dia mengeluarkan bentakan seperti seekor srigala menggereng, kedua lengannya bergerak menyambar dan tujuh orang pemuda hartawan dan bangsawan itu seperti tujuh helai daun kering diterpa badai. Tubuh mereka terlempar seperti di terbangkan dan baru berhenti setelah menabrak dinding ruangan itu dan jatub ke atas lantai dalam keadaan pingsan! Masih untung bagi mereka bahwa Ouw Yang Lee tidak berniat untuk membunuh, hanya menggerakkan kedua tangan mengibas ke arah mereka saking marahnya. Tujuh orang gadis pelacur itu menjerit-jerit melihat betapa tujuh orang tamunya terlempar menabrak dinding dan kini tergolek pingsan. Mereka bangkit dan, siap melarikan diri dari ruangan itu. “Berhenti kalian! Hayo cepat panggil keluar Siang Bi Hwa atau aku akan menghancurkan semua yang berada di sini!” Setelah berkata
582
demikian, Ouw Yang Lee lalu menendang sebuah pot bunga yang besar. “Blarrr....!” pot bunga besar itupun pecah berhamburan. Ouw Yang Lee mendorong sebuah almari yang berdiri di sudut. Almari itupun roboh dan mengeluarkan suara berisik karena semua barang pecah belah yang berada di atasnya terbanting pecah. Tujuh orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Mereka tidak mampu lagi menggerakkan kedua kaki mereka yang menggigil dan mereka lalu jatuh berlutut dengan ketakutan sehingga ada yang terkencing kencing. “Ayaaaahhh...!” Terdengar jerit dan Ouw Yang Hui telah berdiri di ambang pintu tembusan dengan mata terbelalak ketika ia mengenal laki-laki yang mengamuk itu. Ouw Yang Lee menghentikan amukannya dan memandang. Dia terbelalak kagum melihat seorang gadis yang cantik sekali, mirip s?kali dengan Sim Kui Hwa isterinya yang ke dua, akan tetapi gadis ini bahkan lebih cantik daripada ibunya. Akan tetapi segera ingatannya dipenuhi oleh bayangan Sim Kui Hwa yang dianggapnya melakukan penyelewengan dengan pria lain, teringat akan kekalahannya terhadap Gan Hok San yang dianggap sebagai kekasih isterinya itu. . Dan dia melihat kenyataan bahwa Ouw Yang Hui kini telah menjadi seorang pelacur dalam sebuah rumah pelesir!
583
“Perempuan busuk! Pelacur hina..! Jangan menyebut ayah kepadaku! Kau dan Ibumu adalah perempuan-perempuan rendah yang tak tahu malu!” bentaknya penuh kemarahan. Mendengar makian ayahnya ini, seketika tubuh Ouw Yang Hui menjadi lemas dan ia menjatuhkan diri berlutut. “Ayah... ayah. aku tidak pernah menjadi pelacur...!” Ratapnya sambil menangis. “Tutup mulut! Engkau harus mampus di tanganku, anak yang hanya menodai namaku” . Dia melangkah hendak menghampiri Ouw Yang Hui. Akan tetapi pada saat itu, tujuh orang tukang pukul yang dipekerjakan menjaga keamanan di rumah pelesir itu telah berlompatan keluar dan mereka sudah mendengar bahwa di ruangan tamu ada orang yang mengamuk bahkan telah merobohkan tujuh orang Kongcu yang menjadi tamu. Mereka sudah memegang golok masing-masing dan kini mereka menerjang ke dalam ruangan tamu. Karena terhalang orang-orang itu, Ouw Yang Lee yang berniat membunuh anaknya sendiri itu hanya dapat mengirim pukulan jauh ke arah gadis itu. Serangkum angin yang dahsyat menerjang Ouw yang Hui. Gadis yang sedang berlutut itu dilanda angin pukulan sehingga terguling-guling saja. Gadis itu merangkak bangkit, lalu berlari sambil menangis. Hatinya
584
terlalu sakit sehingga ia tidak merasakan sakit karena terguling-guling tadi. Hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang. Ibunya dituduh menyeleweng dan diusir ayahnya, kini ia dituduh menjadi pelacur dan hendak dibunuh! Dalam kesedihan dan kehancuran hatinya, ia teringat kepada Sribaginda Kaisar dan kepada Song Bu yang pernah menolongnya. Maka hanya kepada merekalah harapannya dan seperti tidak sadar lagi, Ouw Yang Hui berlari keluar dari rumah pelesir itu, memasuki malam yang mulai gelap dan terus berlari menuju ke kota raja. Tujuannya hanya satu, minta perlindungan Sribaginda Kaisar dan minta bantuan Song Bu untuk menyadarkan ayahnya. Sementara itu, Ouw Yang Lee menjadi semakin marah melihat Ouw Yang Hui melarikan diri dan dia dihalangi oleh tujuh orang laki-laki yang memegang golok. Tujuh orang jagoan itu mengamangkan golok dan mengepung Ouw Yang Lee. Datuk ini marah, akan tetapi dia masih ingat bahwa dia berada di kota raja di mana hukum masih ditegakkan dan banyak pa?ukan akan menangkapnya kalau dia melakukan pembunuhan semena mena. Dia hanya ingin membunuh Ouw Yang Hui, anak yang dia anggap telah mencenarkan nama baiknya, dan juga Cia-Ma, mucikari yang membeli Ouw Yang Hui. Karena itu, dia berseru nyaring kepada tujuh orang pengepungnya.
585
“Kalian semua mundurlah kalau tidak ingin mampus!” Akan tetapi tujuh orang jagoan itu tentu saja tidak mau mundur. Mereka mengandalkan jumlah banyak dan mereka memegang golok, sedangkan Ouw Yang Lee masih belum mencabut pedang yang tergantung di punggungnya. “Engkau menyerahlah, jangan membikin kacau di tempat ini!” bentak seorang diantara para jagoan. “Hyaaaatttt...!” Ouw Yang Lee menerjang ke depan. Tujuh batang golok menyambut dan menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, kedua tangannya bergerak cepat menghantami lengan lengan yang memegang golok. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan golok beterbangan. Ouw Yang Lee menyusulkan tendangan dan tamparan dengan cepat dan kuat sekali sehingga tujuh orang jagoan itu berpelantingan roboh! Cia-Ma berlari keluar dan menjerit jerit. “Jangan bikin kacau di sini! Karena teläh dilindungi oleh Sribagina Kaisar! Kau akan ditangkap dan dihukum berat” teriaknya sambil menudingkan telunjuknya kepada Ouw Yang Lee. Ouw Yang Lee yang melihat wanita gendut itu, lalu menuding dan bertanya.
586
“Apakah engkau yang bernama Cia-Ma mucikari tempat ini?” Dengan lantang dan berani Cia ma mendekat dan berkata, “Benar, aku Cia-Ma dan aku kenal dengan Sribaginda Kaisar yang pernah berkunjung ke sini dan kami dilindungi oleh Beliau! Engkau siapakah berani membikin kacau di sini... Belum tertutup mulut Cia-Ma bicara sebuah tamparan mengenai pelipisnya dan tubuh Cia-Ma terpelanting roboh dan tidak dapat bergerak lagi, tewas seketika! Ouw Yang Lee melampiaskan kemarahannya dengan memporak porandakan isi ruangan tamu itu. Para gadis pelacur menangis tanpa suara dan mendekam saling peluk dengan ketakutan. Juga para tukang pukul yang sudah sadar, demikian pula para Kongcu, tidak berani bangkit dan berdiam diri di atas lantai. Setelah puas menghancurkan seluruh isi ruangan itu, barulah Ouw Yang Lee melompat keluar dan ditangkapnya seorang pelayan yang kebetulan berada di situ. “Hayo katakan, ke mana perginya Siang Bi Hwa tadi!” bentaknya sambil mengguncang-guncang tubuh pelayan itu yang dia tangkap pundaknya. Pelayan itu ketakutan. Dengan tubuh gemetaran ia menuding ke arah jalan raya. Ouw Yang Lee melemparkan tubuh pelayan itu sehingga jatuh ke atas tanah.
587
Kemudian dia lari keluar dan berusaha melakukan pencarian terhadap puterinya. Biarpun selama sepuluh tahun di rumah Cia-Ma tidak pernah berlatih silat atau olah raga lain, akan tetapi karena ketika kecil sudah pernah digembleng oleh Ouw Yang Lee dan memang pada dasarnya Ouw Yang Hui memiliki kesehatan tubuh yang amat baik maka Ouw Yang Hui dapat berlari terus, keluar dari pintu gerbang kota di sebelah utara. la tahu bahwa jalan dari pintu gerbang itu menuju terus ke utara adalah jalan menuju ke kota raja. Pernah dua kali ketik ia berusia dua-tiga belas tahun ia diajak Cia ma pelesir ke kota raja. Ouw Yang Hui berlari terus dalam cuaca yang remang remang. Ada bulan sepotong di langit, sehingga keadaan cuaca di jalan tidaklah begitu gelap. Bagaimanapun juga, karena tidak biasa melakukan perjalanan jauh, apa lagi dengan jalan setengah berlari itu, Ouw yang Hui merasa kedua kakinya lelah dan lecet-lecet. Akan tetapi ia berlari terus, tersaruk-saruk, terhuyung-huyung. la dapat merasakan kebencian dan kemarahan ayahnya dan tahu dengan pasti bahwa kalau ayahnya sampai dapat menangkapnya, ia tentu dibunuh oleh ayahnya yang galak itu. Ketika melewati sebuah dusun, Ouw Yang Hui tidak berani berhenti. la berjalan melewati dusun itu, tidak masuk ke dusun,terus menuju ke utara, ke arah kota raja. la tidak memperdulikan kakinya yang lelah dan sakit,
588
melainkan berjalan terus dengan nekat dan tidak akan berhenti sebelum sampai di kota raja. la sama sekali tidak tahu bahwa empat pasang mata mengikutinya sejak ia lewat di dekat dusun tadi. Empat pasang mata pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Mereka adalah empat orang laki-laki berandalan yang tidak segan melakukan perbuatan tercela. “Agaknya ia seorang wanita!” kata seorang di antara mereka setelah Ouw Yang hui lewat. “Benar, tubuhnya ramping sekali. Biarpun klta tidak dapat melihat jelas, pasti ia seorang wanita.” “Dan tentu masih muda.” “Mungkin ia cantik dan tentu bukan orang dusun kita.” “Mari kita kejar dan kita lihat siapa dia dan mengapa malam-malam begini berjalan seorang diri.” Mereka menyalakan dua batang obor dan berlari-lari melakukan pengejaran. Tak lama mereka mengejar. Mereka dapat menyusul, melewati Ouw Yang Hui, lalu berbalik menghadang. Ouw Yang Hui terkejut sekali melihat empat orang itu kini menghadangnya dan dua buah obor diacungkan untuk menyinari mukanya.
589
“Sobat-sobat yang baik, tolonglah jangan halangi aku. Minggirlah dan biarkan aku lewat,” kata Ouw Yang Hui, tidak menduga buruk, mengira mereka itu hanya orang-orang dusun yang merasa heran dan ingin tahu. Empat orang itu benar-benar tertegun dan terpesona. Tak disangkanya bahwa orang yang mereka kejar itu bukan hanya seorang wanita muda, melainkan seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya. “Nona manis, engkau siapakah dan malam-malam begini engkau hendak pergi kemanakah?” tanya seorang di antara empat laki-laki itu yang gigi atasnya menonjol keluar semua. “Aku... aku bernama Ouw Yang Hui dan hendak pergi ke kota raja,” kata Ouw Yang Hui, tidak berani menggunakan nama Siang Bi Hwa yang sudah amat terkenal. “Kota raja? Kota raja amat jauh dari sini, nona. Sebaiknya nona bermalam saja malam ini bersama kami. Besok akan kami antarkan nona ke kota raja!” kata orang kedua sambil menyeringai dan mendekatkan mukanya pada muka Ouw Yang Hui sehingga gadis itu melangkah mundur dengan jijik. la mencium bau arak dari empat orang itu, tanda bahwa mereka habis minum arak dan tentu
590
dipengaruhi arak sehingga sikap mereka cengar-cengir kurang ajar. Tidak, aku harus melanjutkan perjalananku ke kota raja. Harap kalian minggir dan biarkan aku lewat!” kata Ouw Yang Hui dan mencoba untuk menyelinap dari mereka. Akan tetapi empat pasang tangan menangkapnya. “Lepaskan! Kalian ini mau apa? Lepaskan aku” Ouw Yang Hui meronta-ronta, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu melepaskan dirinya dari cengkeraman delapan buah tangan itu. Empat orang itu tertawa-tawa. “Bawa ia ke gubuk itu!” Mereka lalu menarik dan menyeret Ouw Yang Hui ke arah sebuah gubuk yang berdiri di tepi sawah. Gubuk itu merupakan tempat peristirahatan bersama dari para petani kalau sedang bekerja di sawah, sebuah bangunan sederhana dari bambu. Di dalamnya terdapat sebuah balai bambu di mana para petani duduk beristirahat. Ouw Yang Hui diseret masuk ke dalam gubuk itu. Sesosok tubuh tinggi besar berkelebat di luar gubuk. Bayangan ini adalah Ouw Yang Lee. Dia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Ouw Yang Hui sampai ke luar kota. Sebetulnya dia sudah merasa putus asa. Tiba-tiba dia melihat dua batang nyala obor di kejauhan. Dia tertarik dan berlari cepat menghampiri. Masih dapat tampak olehnya ada empat orang laki-
591
laki menyeret seorang wanita di bawah penerangan dua batang obor itu. Mereka memasuki sebuah gubuk. Kalau dalam keadaan biasa, Ouw Yang Lee tentu tidak akan memperdulikan peristiwa itu. Bukan urusannya dan dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi sekali ini dia tidak dapat bersikap tak acuh. Dia sedang mencari Ouw Yang Hui dan siapa tahu wanita itu anaknya! Setelah dekat gubuk itu, Ouw Yang Lee mengintai. Dilihatnya empat laki-laki sedang memegangi seorang gadis yang meronta-ronta dan gadis itu adalah Ouw Yang Hui, puterinya yang dibencinya! Teringat akan kebenciannya karena puterinýa itu telah dibesarkan dalam rumah pelacuran bahkan menjadi puteri angkat mucikari yang tentu saja membuat gadis itu menjadi seorang pelacur pula, Ouw Yang Lee diam saja, membiarkan puterinya menjadi permainan empat orang pria itu. Biar ia tahu rasa, geramnya dalam hati, perempuan rendah dan hina yang mencemarkan namanya, biar terhina dan tersiksa sebelum mati. “Song Bu-ko (kakak Song Bu). Ayah... Ayah... toloonggg..!” terdengar Ouw Yang Hui yang sudah tak mampu meronta lagi itu menjerit. Jeritan ini bagaikan halilintar memasuki tubuh Ouw Yang Lee. Dia tersentak dan seolah mendengar jeritan anaknya itu di
592
waktu kecil dahulu. Tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya, mendorong gubuk itu. “Braaakkkk...!” gubuk itu roboh dan tampak empat orang laki-laki itu terbelalak memandang ke arahnya. Bagaikan seekor biruang marah, Ouw Yang Lee menghampiri mereka. Seorang diantara mereka agaknya menyadari bahwa laki-laki tinggi besar yang nerobohkan gubuk ini tentu seorang musuh, maka diapun segera mengayun kaki kanannya menendang ke arah perut Ouw Yang Lee. Namun dengan mudah Ouw Yang Lee miringkan tubuh sehingga tendangan itu lewat di sampingnya. Secepat kilat dia menangkap kaki itu dan sekali angkat, tubuh orang itu telah terangkat ke atas! Ouw Yang Lee yang memegang kaki kanan orang itu, melangkah maju dan ketika orang kedua menerjangnya, dia memutar orang tangkapannya. Putaran itu sedemikian kuatnya dan dengan tepat sekali kepala orang pertama itu menghantam kepala orang kedua yang menerjang maju. “Wuuuuttt... prakkk!!” Dua buah kepala itu bertemu dengan kerasnya dan akibatnya mengerikan. Dua buah kepala itu pecah dan isinya berhamburan bersama darah. Orang kedua roboh dan tewas seketika seperti juga orang pertama yang dilempar begitu saja oleh Ouw Yang Lee. Dua orang
593
berandalan yang lain terkejut bukan main melihat dua orang kawannya tewas dalam keadaan mengerikan. Dua orang itu memang biasanya hidup berandalan dan biasa mempergunakan kekerasan. Mereka belum menyadari bahwa kini mereka berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Kemarahan membuat mereka lengah dan kesombongan membuat mereka seperti buta tidak melihat lawan yang berbahaya, Keduanya sudah mencabut golok dan maju menerjang Ouw Yang Lee dengan, ganasnya. Akan tetapi, bagi Ouw Yang Lee, kedua orang itu bagaikan dua orang kanak-kanak nakal yang tidak ada artinya sama sekali. Sambaran dua batang golok itu bahkan disambutnya dengan sambaran lengannya yang menghantam dari samping. “Wuuuttt bresss...!!” Dua batang golok itu terpental lepas dari pegangan kedua orang itu, bahkan mereka terhuyung. Sebelum hiläng rasa kaget mereka, dua kali tangan Ouw Yang Lee berkelebat dan dua orang itu roboh dan tewas seketika terkena pukulan Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah)!. Di bawah sinar dua obor yang tertancap di atas lantai dan masih bernyala, Ouw Yang Lee melihat puterinya berdiri dengan mata terbelalak memandangnya. Ouw Yang Hui yang nyaris diperkosa empat orang berandalan tadi merasa girang melihat Ayahnya datang
594
menolongnya. Akan tetapi iapun merasa ngeri melihat Ayahnya membunuh empat orang itu dan kini memandang Ayahnya dengan penuh kesangsian dan ketakutan sekali. “Ayah...” Akhirnya Ouw Yang Hui dapat berseru memanggil Ayah kandungnya. Ouw Yang Lee mendengus. “Jangan sebut aku Ayah! Engkau tidak patut menjadi anakku, tidak pantas untuk hidup. Engkau harus mati di tanganku agar tidak mencemarkan, namaku. Haiiittt...!” Ouw Yang Lee mengangkat tangan yang sudah dipenuhi hawa Ang-Tok-Ciang sehingga lengan itu berubah merah sekali. Dia tidak ingin gagal untuk membunuh gadis itu dengan sekali pukulan. Kemudian dia menerjang ke depan dan Ouw Yang Hui yang maklum bahwa tidak mungkin ia menghindarkan diri, terbelalak memandang, menghadapi kematian dengan mata terbuka. “Wuuutt...” Hantaman itu datang dengan kuatnya, belum sampai mengenai tubuh Ouw Yang Hui sudah terasa panasnya oleh gadis itu. “Wuuuttt... dukkk!!.” Lengan Ouw Yang Lee terpental dan dia terkejut bukan main ketika merasa betapa lengannya bertemu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya. Cepat dia
595
melangkah empat kali ke belakang dan di bawah keremangan sinar dua batang obor dia melihat seorang pemuda telah berdiri di depan Ouw Yang Hui dan pemuda itu agaknya yang tadi menangkis pukulan mautnya. Datuk itu memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat pemuda yang masih múda sekali, usianya baru kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya sedang saja namun tegap berisi. Mukanya berbentuk bulat telur, rambutnya hitam gemuk, sepasang alisnya seperti golok dan matanya mencorong penuh kekuatan batin namun lembut, hidungnya mancung dan mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis. kulit mukanya yang putih membuat sepasang alisnya tampak hitam dan jelas. “Lo-Cianpwe (orang tua gagah),” kata pemuda itu dengan lembut dan sikapnya halus, “Tidak semestinya Lo-Cianpwe membunuh gadis tak berdosa dan tak berdaya ini.” Tentu saja Ouw Yang Lee menjadi marah sekali mendengar ucapan pemuda yang tidak dikenalnya itu. “Mau apa engkau mencampuri urusanku? Pergi kau atau, akan kubunuh engkau kalau berani menghalangi aku!” “Tidak, Lo-Cianpwe, saya tidak akan pergi. Lo-Cianpwe telah membunuh empat orang laki-laki ini, hal itu tidak dapat saya salahkan karena memang empat orang laki-laki ini mempunyai niat
596
yang keji dan jahat sekali terhadap gadis itu. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak bersalah. Gadis itu baik dan pantas dihargai, mengapa engkau hendak membunuhnya? Terpaksa saya akan membelanya kalau Lo-Cianpwe berkeras hendak membunuhnya.” “Setan! Kalau begitu pendirianmu, mampuslah!” berkata demikian, Ouw Yang Lee menyambar sebatang obor bernyala dan melontarkannya ke arah pemuda itu Karena dari tangkisan tadi saja dia sudah dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang tangguh juga, maka dia menyambitkan obor bernyala itu dengan pengerahan tenaganya. Obor bernyala itu meluncur ke arah si pemuda bagaikan sebuah meteor, Akan tetapi pemuda itu ternyata lincah bukan main. Biarpun disambit dari jarak dekat, dia dapat tergerak seperti kilat ke samping sehingga obor bernyala itu lewat di sisi tubuhnya. Obor itu menabrak reruntuhan gubuk dan segera reruntuhan gubuk yang terbuat dari pada bambu dan kayu itu, terbakar, bernyala besar. Melihat ini, Ouw Yang Hui segera menjauhkan diri. Akan tetapi ia tidak melarikan diri, hanya berdiri menonton dari bawah sebatang pohon dengan jantung berdebar tegang. Ia segera mengenal pemuda yang membelanya itu, yang bukan lain adalah Wong Sin Cu yang telah dikenalnya karena pemuda itu pernah pula menyelamatkannya dari tangan Su Kan Lok dan para jagoannya
597
dalam taman rumah Cia-Ma. Dia merasa girang sekali akan tetapi juga hatinya menjadi tegang. la tidak ingin melihat pemuda itu membunuh Ayahnya. la menjadi bingung melihat dua orang itu sudah berhadapan di bawah sinar api besar yang melahap reruntuhan gubuk dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Wong Sin Cu sudah melompat menjauhi api besar, demikian pula Ouw Yang Lee. Datuk ini penasaran sekali. Mereka sudah berdiri tegak, saling berlagak, siap untuk bertanding. “Siapa engkau? Katakan namamu agar jangan mati tanpa nama!” kata Ouw Yang Lee yang ingin sekali tahu siapa pemuda yang berani menentangnya ini. “Nama saya Wong Sin Cu, Lo-Cianpwe.” “Wong Sin Cu, sekarang bersiaplah untuk mampus!” bentak Ouw Yang Lee dan dia segera menerjang dan begitu menyerang, dia sudah mempergunakan ilmu silat Ang-Tok-Ciang yang amat dahsyat. Setiap sambaran tangan datuk ini mengandung hawa beracun yang amat panas. “Wuuuuttt...” Pukulan tangan kiri dengan jari terbuka dari Ouw Yang Lee mengarah dada Sin Cu. Akan tetapi pemúda ini sudah
598
dapat menduga bahwa lawannya amat lihai dan memiliki pukulan maut. Maka diapun cepat mengelak ke kiri. “Syeeett...!” Kaki kanan Ouw Yang Lee menyambar. Tendangan itupun dahsyat sekali, cepat dan kuat. Kembali Sin Cu menggeser kakinya dengan gerakan aneh dan cepat sehingga tendangan itupun luput. Hal ini membuat Ouw Yang Lee menjadi semakin penasaran dan marah. Dia lalu menyusulkan serangan bertubi-tubi, menggunakan kedua tangannya dibantu kedua kakinya, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi dia segera terkejut dan terheran-heran. Semua serangannya itu luput! Tubuh pemuda itu berkelebatan seringan asap dan selalu dapat menghindarkan serangan-serangannya. Sin Cu dapat melakukan hal ini karena dia telah mempergunakan ilmu langkah ajaib Chit-Seng Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang) Maka, dua puluh jurus lebih dia menyerang, tidak satupun dari serangannya itu mampu menyentuh tubuh Sin Cu. Pemuda itupun dapat menilai bahwa lawannya sungguh berbahaya sekali, bukan lawan biasa, melainkan seorang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau dia terus menghindarkan diri dengan Chit-Seng Sin-Po, akhirnya dia akan terancam bahaya. Oleh karena itu, mulailah dia
599
membalas. Sebuah pukulan dari Ouw Yang Lee dielakkannya dengan melompat agak jauh kebelakang dan tiba-tiba dia memasang kuda kuda ilmu silat Im-Yang Sin-Ciang (Silat Sakti Positip Negatip) Kaki kirinya ditekuk. lutut, tangan kirinya menyentuh tanah tangan kanannya lurus menuding keatas. Melihat pemukaan ilmu silat ini, kembali Ouw Yang Lee terkejut. Dia mengenal ilmu silat itu. Bekas lawannya yang kini menjadi rekannya dan juga yang telah mengajarkan ilmu itu kepada Song Bu, yaitu Im Yang Tojin, juga memiliki ilmu silat seperti yang diperlihatkan Sin Cu itu. Ilmu silat Im-Yang Sin-Ciang Dan dibandingkan dengan Im Yang Tojin, ilmu kepandaiannya dapat dibilang seimbang. “Apa hubunganmu dengan Im Yang Tojin?” Ouw Yang Lee bertanya sambil memandang pemuda itu. “Saya tidak mengenal orang yang bernama Im Yang Tojin,” jawab Sin Cu dengan sebenarnya. Akan tetapi karena dia sedang memasang kuda-kuda ilmu silat Im-Yang Sin-Ciang, pertanyaan Ouw Yang Lee itu dapat dia menduga bahwa lawannya tentu sudah mengenal ilmu silat itu, maka diapun lalu melompat berdiri dan memasang kuda-kuda lain. Kedua kakinya memasang pembukaan Menunggang Kuda dari ilmu silat Thai-Yang Sin-Ciang (Silat Sakti Inti Matahari). Benar saja, melihat jurus pembukaan ini,
600
Ouw Yang Lee tidak mengenalnya dan diapun mendahului gerakan pemuda itu untuk melanjutkan serangannya. Sekali ini Sin Cu bukan hanya mengelak melainkan membalas dan dari telapak tangannya yang terbuka menyambar hawa yang tidak kalah panasnya dari hawa panas yang terkandung dalam pukulan Ang-Tok-Ciang. Perkelahian itu berlangsung semakin seru dan hebat, akan tetapi perlahan lahan Ouw Yang Lee kian terdesak oleh Sin Cu. Beberapa kali hampir saja dia terkena pukulan panas itu. Karena itu, Ouw Yang Lee mengeluarkan ilmu Simpanannya. Ilmu ini merupakan jalan pintas untuk mengakhiri sebuah pertandingan dengan mengadu tenaga. Dia menekuk kedua kakinya sampai hampir berjongkok, mengerahkan seluruh tenaga sinkang berhawa racun dan menyalurkannya lewat kedua lengannya dan kedua lengan itu dihentakkan menghantamkan kedua telapak tangan ke depan. “Haiiiiiitt...,!” bentaknya. Sin Cu maklum akan hebatnya pukulan itu. Mengelak dari pukulan macam itu amat berbahaya, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut pukulan itu dengan pengerahan tenaga yang sama. Diapun mendorongkan kedua telapak tangan ke depan menyambut pukulan lawan.
601
“Wuuutt..., Blaarr...!!” dua tenaga raksasa bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Ouw Yang Lee terpental ke belakang dan terhuyung-huyung, sedangkan tubuh Sin Cu mundur lima langkah. Dilihat dari akibat benturan tenaga dalam ini saja dapat diketahui bahwa Sin Cu lebih unggul. Biarpun tidak sampai terluka parah, Ouw Yang Lee mengusap sedikit darah yang keluar dari mulutnya, Dia terbelalak kaget dan heran, lalu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar pergi dari tempat itu, Dia maklum bahwa kalau dia melawan terus, akhirnya akan mendapat malu atau kalah oleh pemuda itu. Maka dia merasa lebih baik pergi sebelum dirinya dirobohkan dan mendapat malu. Setelah datuk itu pergi, barulah Sin Cu memutar tubuh dan matanya mencari-cari akan tetapi dia tidak melihat Ouw Yang Hui yang tadi berdiri dekat api. Api yang membakar gubuk itu masih belum padam dan sinarnya masih menerangi tempat itu. Sin Cu mengerutkan alisnya dengan khawatir ketika matanya mencari-cari dan tidak menemukan gadis itu. “Cu-Twako (Kakak Cu)...!” Tiba-tiba terdengar suara lembut. Sin Cu memutar tubuhnya dan melihat gadis itu keluar dari balik sebatang pohon di mana tadi dia bersembunyi. Gadis itu tampak lega dan girang bahwa akhir pertandingan itu dimenangkan oleh Sin Cu tanpa membunuh Ayahnya.
602
“Hui-moi.. Ah, Hui-moi, sukur engkau di sini. Aku sudah khawatir kalau engkau pergi seorang diri di malam gelap yang penuh bahaya ini.”
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments