Senin, 20 Agustus 2018

Rajawali Lembah Huai 3 Tamat

========

Baca juga



Goan Ciang dan Hui Yen cepat keluar dari balik semak belukar, berlari mendekati pagar
tembok dan Goan Ciang segera melemparkan ujung tali yang ada kaitannya ke atas. Sekali
lempar, kaitan itu meluncur ke atas membawa tali dan berhasil menggait tepi pagar di atas.
Setelah menarik-narik tali itu dan mendapat kenyataan bahwa kaitannya cukup kuat, dia
memberi isarat kepada Hui Yen dan mereka lalu merayap naik melalui tali yang kuat itu.
Setibanya di atas pagar tembok, mereka mendekam dan Goan Ciang menarik tali itu ke atas
tembok. Tali itu masih mereka butuhkan. Meloncat begitu saja ke bawah dari pagar tembok
setinggi itu, mengandung bahaya besar karena di luar pagar tembok masih terdapat banyak
penjaga yang selalu melakukan perondaan. Sesuai dengan siasat yang sudah diatur Shu Ta,
mereka kini menanti di atas pagar tembok dan memandang ke arah pos penjagaan di depan
pintu gerbang benteng. Shu Ta sudah memilih tempat yang paling tepat. Benteng itu
terkurung parit yang berisi air dan keadaannya amat berbahaya, sukar untuk dapat
diseberangi. Bagian yang dipilih Shu Ta itu dekat dengan pintu gerbang yang merupakan
bagian paling sulit dilalui karena banyaknya pasukan yang berjaga. Ketika Goan Ciang dan
Hui Yen memperhatikan ke bawah, ternyata di luar pagar tembok di bawah mereka terdapat
bangunan kecil seperti pondok berjajar lima. Tempat ini adalah tempat peristirahatan bagi
para prajurit yang tidak berjaga, juga menjadi tempat penyimpanan ransum, dapur dan
penyimpanan senjata.
Kedua orang pelarian itu ingat benar akan pesan Shu Ta tadi, pesan yang barus dilaksanakan
dengan cermat. Sebentar lagi rombongan peronda di atas pagar tembok benteng yang tebal itu
akan lewat dan di atas itu tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri. Mereka akan
ketahuan, dan kalau ketahuan di atas tembok itu, tentu saja amat membahayakan mereka dan
sukar untuk dapat meloloskan diri.
Tiba-tiba terdengar teriakan dan keributan di bawah, sebelah dalam. Tahulah Goan Ciang
bahwa sutenya sudah bertindak, sesuai dengan siasat yang telah diaturnya. Shu Ta telah
memancing perhatian di sebelah dalam pagar tembok.
“Mari kita turun cepat dan hati-hati,” bisiknya kepada Hui Yen dan diapun melepas gulungan
tali yang ujungnya sudah dikaitkan di atas itu, ke bawah. Lalu keduanya merayap turun
dengan cepat sehingga mereka dapat tiba di atas atap pondok-pondok itu tanpa menimbulkan
suara sedikitpun. Akan tetapi, tetap saja ada seorang penjaga yang melihat mereka. Penjaga
itu berteriak dan sedikitnya tiga puluh orang prajurit mengepung pondok itu sambil berteriakteriak.
Di antara mereka bahkan ada yang sudah berloncatan ke atas genteng pondok.
Dua orang pertama yang meloncat ke atas genteng, disambut oleh Goan Ciang dan Hui Yen.
Mereka terjungkal ke bawah sambil mengaduh. Para prajurit yang berada di bawah menjadi
gempar. Kini banyak orang yang berloncatan ke atas, dan pada saat itu, Goan Ciang dan Hui
Yen meloncat turun! Dua orang pelarian ini menyelinap di antara para prajurit yang berteriakteriak
itu dan karena tempat itu gelap, hanya remang-remang saja diterangi lampu gantung
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 198
dari pondok, maka tentu saja para prajurit menganggap mereka itu kawan sendiri.
“Ini penjahatnya!” Seorang prajurit yang berada dekat dengan Hui Yen berseru, akan tetapi
teriakannya tadi menyadarkan para rekannya bahwa dua orang yang berpakaian seperti
mereka itu adalah orang-orang yang tidak mereka kenal, maka mereka segera mengepung dan
mengeroyoknya. Goan Ciang dan Hui Yen mengamuk. Mereka dikepung oleh kurang lebih
tiga puluh orang prajurit. Di antara mereka ada yang membawa obor sehingga tempat itu
menjadi agak terang, Goan Ciang dan Hui Yen mengamuk, dapat merobohkan empat orang
pengeroyok.
“Lari...!” teriaknya kepada Hui Yen. Seperti telah dipesankan oleh Shu Ta, mereka harus
cepat-cepat melarikan diri karena kalau sampai bala bantuan tiba, mereka akan dikepung oleh
ratusan, bahkan ribuan orang prajurit dan tidak mungkin lagi mereka akan dapat meloloskan
diri. Jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari daerah perbentengan itu hanya melalui
jembatan di depan pintu gerbang. Saat itu, yang bertugas jaga di depan pintu gerbang hanya
sekitar empat puluh orang. Akan tetapi dalam waktu singkat, jumlah itu dapat bertambah
menjadi puluhan kali lipat banyaknya! Shu Ta menjamin bahwa penambahan jumlah itu tidak
akan dapat terjadi dengan cepat karena dia yang akan mengacau dan memancing perhatian di
sebelah dalam sehingga tidak ada perhatian di luar tembok. Apa lagi, puluhan orang prajurit
di luar tembok itu tentu merasa tidak perlu minta bantuan dari dalam kalau hanya menghadapi
dua orang pelarian saja.
Terjadi pengejaran di sekitar pintu gerbang. Kembali Hui Yen dan Goan Ciang mendapatkan
keuntungan karena penyamaran mereka. Mereka berdua berloncatan dan berlarian,
menyelinap di antara pondok dan kadang, kalau mendadak bertemu prajurit, si prajurit agak
tertegun karena mengira rekan mereka sendiri. Keraguan yang hanya beberapa detik ini cukup
bagi kedua orang pelarian itu untuk merobohkan lawan.
Akhirnya, Goan Ciang dan Hui Yen berhasil menyeberangi jembatan setelah merobohkan
belasan orang prajurit. Para prajurit menjadi gempar, sebagian melakukan pengejaran dan ada
pula yang memukul tanda bahaya memberi isarat ke dalam!
Sementara itu, di dalam perbentengan terjadi kegemparan. Seorang yang berpakaian hitam
dan berkedok hitam telah merobohkan empat orang berturut-turut. Yang diserang adalah para
peronda, kemudian bayangan hitam itu nampak berkelebatan di dekat pintu gerbang,
merobohkan lagi dua orang prajurit. Tentu saja dia segera dikeroyok, akan tetapi dengan
gesitnya dia berloncatan dan menyusup ke sana sini, dikejar oleh para prajurit. Tentu saja
suasana menjadi geger dan kacau. Teriakan-teriakan para prajurit membuat suasana menjadi
semakin kacau.
Ketika si kedok hitam lenyap ditelan kegelapan, ada prajurit yang memukul tanda bahaya
dengan gencarnya. Tak lama kemudian, Panglima Shu Ta muncul dengan pedang di tangan.
Dia nampak seperti baru bangun tidur dan pakaiannyapun tidak lengkap, seperti tergesa-gesa.
“Apa yang telah terjadi?” bentaknya. Para perwira juga bermunculan dan semua bertanya apa
yang terjadi.
“Ada seorang berkedok hitam mengacau dan membunuh beberapa orang prajurit, Ciangkun!”
seorang prajurit melapor.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 199
“Ahhh! Kita cepat memeriksa tempat tahanan. Hayo ikut dengan aku!” kata Shu-Ciangkun.
Tujuh orang perwira dan belasan orang prajurit segera mengikutinya dan mereka berlari-lari
menuju ke tempat tahanan. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang ketika
mendapat kenyataan bahwa tujuh lapis pintu itu telah terbuka semua. Mereka menyerbu
masuk dan ketika mereka tiba di tempat tahanan, mereka terbelalak melihat betapa empat
belas orang prajurit penjaga telah tewas semua dan mayat mereka bertumpuk dan berserakan
di dalam kamar tahanan! Dua orang tahanan telah lenyap!
“Celaka!” Shu-Ciangkun berteriak. “Tentu si kedok hitam itu yang membebaskan mereka.
Hayo kerahkan semua pasukan, cari dan kejar!”
Para perwira berlarian keluar untuk melaksanakan perintah itu, dan ketika Yauw-Ciangkun
datang, diapun menjadi marah bukan main. “Bagaimana mungkin dua orang tawanan yang
berada di dalam benteng dapat melarikan diri begitu saja? Ini tentu ada bantuan dari dalam!”
katanya.
“Sayapun berpendapat begitu, Ciangkun!” kata Shu Ta. “Kita harus dapat menangkap si
kedok hitam itu, dan menangkap kembali dua orang tahanan!”
Yauw-Ciangkun mengerutkan alisnya. “Shu-Ciangkun, sekali ini aku agak kecewa. Kenapa
engkau tidak segera suruh bunuh saja dua orang pemberontak itu, dan menggantungkan
kepala mereka di pintu gerbang? Kini mereka lolos dan ini merupakan pukulan hebat bagi
kita.”
“Maaf, Yauw-Ciangkun. Tadinya saya berniat untuk membujuk mereka agar mengaku di
mana adanya kawan-kawan mereka. Saya memberi waktu semalam ini, bahkan malam tadi
saya masih sempat mengunjungi mereka dan membujuk serta menggertak mereka.”
“Hemm, dan apa hasil bujukan itu? Sia-sia saja.”
“Tidak sia-sia, Ciangkun,” bantah Shu Ta. “Dalam kunjungan itu saya memeriksa keadaan
para penjaga dan memesan agar mereka waspada. Selain itu, juga ada hasil lain, yaitu
pengakuan tawanan perempuan itu setelah dia saya ancam. Tapi ini, mereka yang terluka
dibawa menghadap, kita dapat menanyai mereka, Ciangkun.”
Memang Shu Ta memerintahkan agar para prajurit yang terluka dibawa menghadap agar
dapat ditanyai akan tetapi kini yang dibawa menghadap bukan hanya prajurit yang berada di
dalam, juga prajurit yang dari luar benteng! Pintu gerbang benteng sudah dibuka dan bala
bantuan dari dalam ikut pula melakukan pengejaran keluar namun sia-sia. Dua orang itu telah
lenyap.
Panglima Yauw dan Panglima Shu menanyai para prajurit yang terluka. Mereka yang terluka
oleh si kedok hitam, segera menceritakan pengalaman mereka. Akan tetapi mereka hanya
melihat seorang yang berpakaian hitam dan berkedok, berkelebatan dan ketika hendak
ditangkap, si kedok hitam itu merobohkannya dengan pedang.
“Si kedok hitam itu lihai sekali, Ciangkun. Kami tujuh orang sudah mengepungnya dan
mengeroyoknya, akan tetapi dua orang di antara kami roboh dan dia sudah meloncat dan
hilang.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 200
“Si kedok hitam mengamuk dekat pintu gerbang, merobohkan dua orang termasuk saya, dan
ketika dia dikepung, diapun dapat meloloskan diri, meloncat dan menghilang, gerakannya
cepat bukan main, Ciangkun,” kata prajurit ke dua yang terluka.
Kemudian, prajurit yang terluka di luar benteng, menceritakan pengalamannya. “Kami
melihat dua orang turun dari pagar tembok dan berada di atap pondok penjagaan di luar,
Ciangkun. Kami segera menyergap mereka, akan tetapi mereka itu lihai. Selain itu, ketika
mereka berloncatan turun, kami sempat dibikin bingung karena mereka mengenakan pakaian
prajurit seperti kami dan malam cukup gelap. Dalam keadaan ragu dan bingung, mereka dapat
merobohkan beberapa orang di antara kami dan mereka melarikan diri melalui jembatan.”
“Kalian semua tolol! Goblok!” Shu-Ciangkun membentak-bentak marah. “Hanya menghadapi
dua orang buronan di luar benteng, dan seorang berkedok hitam di dalam benteng saja kalian
tidak mampu menangkap mereka? Kalian semua patut dihukum!”
Akan tetapi, Yauw-Ciangkun mengajak Shu-Ciangkun untuk melakukan pemeriksaan di
tempat kejadian. Mereka mendapatkan bahwa dua orang di antara empat belas prajurit yang
tewas di kamar tahanan, hanya berpakaian dalam saja. Kemudian mereka juga menemukan
tali berujung kaitan di atas pondok penjagaan di luar pintu gerbang.”
“Hemm, sekarang jelas sudah,” kata Yauw-Ciangkun. “Si kedok hitam itulah yang membantu
dua orang tawanan. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali bagaimana dia mampu melewati
pintu yang tujuh lapis dan membunuh semua penjaga di sebelah dalam sehingga tidak ada
yang mendengar atau yang mengetahui. Setelah membebaskan dua orang tawanan yang
menyamar sebagai prajurit, lalu dua orang tawanan itu melarikan diri menggunakan tali ini.
Dua orang tawanan itu berhasil meloloskan diri karena si kedok hitam di sebelah dalam
benteng sengaja menimbulkan kekacauan sehingga para prajurit di sebelah dalam benteng
tidak sempat membantu ke luar benteng untuk ikut mengepung dan menangkap dua orang
buronan. Sungguh cerdi sekali si kedok hitam!”
“Akan tetapi bagaimana dia dapat memasuki benteng?” Shu-Ciangkun membantah. “Kalau
dia orang luar, tidak mungkin dapat masuk benteng tanpa diketahui! Saya hampir yakin
bahwa dia tentulah mata-mata yang berhasil menyelundup ke dalam benteng, mungkin selama
ini dia telah bersembunyi dan kita tidak tahu di mana. Dan lebih besar lagi kemungkinan dia
masih berada di dalam benteng. Saya akan memerintahkan pasukan penyelidik melakukan
penggeledahan dan pemeriksaan di dalam benteng, Yauw-Ciangkun.”
“Memang sebaiknya begitu. Kalau saja kau suruh bunuh dua orang tawanan itu, tentu tidak
akan terjadi peristiwa malam ini. Akan tetapi tadi kau mengatakan bahwa penundaan
hukuman mati sampai besok itu tidak sia-sia dan menghasilkan pengakuan tawanan
perempuan itu. Pengakuan yang bagaimana?”
“Inilah yang saya katakan tidak sia-sia, Ciangkun. Kita dapat melakukan pembalasan atas
kekalahan kita malam ini dengan lolosnya kedua orang tawanan itu! Perempuan muda itu
telah memberitahukan di mana sarang kawan-kawannya, yaitu orang-orang Hwa I Kaipang
yang kini tidak lagi memperlihatkan diri.”
“Bagus sekali kalau begitu! Memang akupun merasa heran mengapa setelah kita ketahui
bahwa Hwa I Kaipang menentang pemerintah, dan bermusuhan dengan Hek I Kaipang, kini
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 201
tak pernah nampak seorangpun pengemis berpakaian kembang. Tentu mereka telah
bersembunyi. Dan engkau mengetahui tempat persembunyiannya? Di mana, Shu-Ciangkun?”
“Di lereng Bukit Bambu Kuning lembah sungai Yang-ce! Dan kita harus cepat bertindak
sebelum mereka melarikan diri lagi. Siapa tahu, di sana kita dapat menemukan pula dua orang
buronan itu!” Shu Ta lalu berbisik-bisik mengatur siasat dengan atasannya itu. Mendengar
keterangan pembantu utamanya ini, Yauw-Ciangkun menjadi gembira dan berkuranglah rasa
tidak senangnya oleh peristiwa lolosnya dua orang buronan itu. Apa lagi melihat bawahannya
memang tidak bersalah, bahkan kini bersungguh-sungguh untuk menumpas pemberontak.
Tak seorangpun dapat menduga bahwa lolosnya dua orang buronan itu karena siasat Shu-
Ciangkun. Para prajurit melihat betapa malam itu panglima ini masih melakukan perondaan,
bahkan memesan kepada para penjaga untuk melakukan penjagaan yang ketat. Bahkan dalam
keadaan malam gelap, hujan dan dingin itu, dia masih memeriksa penjagaan, ke pintu
gerbang, ke tempat tahanan umum, ke tempat tahanan istimewa. Siapa yang akan menyangka
bahwa orang berkedok hitam yang membebaskan dua orang pemberontak itu adalah sang
panglima yang begitu getol memberantas pemberontak dan penjahat?
Pasukan yang kuat telah dikumpulkan dan tak lama kemudian, Panglima Shu sendiri yang
memimpin pasukan itu, menjelang pagi bergerak menuju ke Bukit Bambu Kuning di lembah
sungai Yang-ce.
Dengan tubuh lelah namun semangat tinggi dan hati penuh perasaan gembira, Goan Ciang
dan Hui Yen akhirnya dapat lolos dari pengejaran para prajurit benteng. Mereka langsung saja
keluar dari pintu gerbang kota Nan-king setelah menanggalkan pakaian prajurit yang mereka
pakai di luar pakaian mereka sendiri.
Mereka berlari terus biarpun sudah keluar kota, dan baru berhenti mengaso setelah mereka
bertemu dengan tempat persembunyian para anggota Hwa I Kaipang yang bermusuhan
dengan Hek I Kaipang yang menjadi antek Mongol sehingga Hwa I Kaipang dicap sebagai
pemberontak dan dikejar-kejar pasukan pemerintah, Hwa I Kaipang terpaksa meninggalkan
markas besar mereka dan hanya mempunyai tempat-tempat pertemuan yang dirahasiakan.
Ketika para anggota Hwa I Kaipang menyambut wakil ketua mereka dan pembantunya, yaitu
Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang, mereka gembira bukan main. Mereka telah mendengar
berita ditawannya kedua orang pimpinan itu dan mereka sedang prihatin dan berbincangbincang
bagaimana mereka akan dapat menolong kedua orang pimpinan mereka yang
kabarnya ditawan dalam benteng pasukan pemerintah di Nan-king.
Akan tetapi, kedua orang itu menghentikan kegembiraan mereka dengan memberi tugas
kepada mereka. Semua anggota yang berada di situ dikumpulkan. Jumlah mereka hanya ada
tiga puluh orang lebih.
“Sekarang juga, kita pergi ke Bukit Bambu Kunig dengan gerak cepat. Di lereng bukit itu
terdapat sarang gerombolan perampok yang dipimpin oleh Yang-ce Siang-houw (Sepasang
Harimau Sungai Yang-ce), dan kita bersembunyi tak jauh dari sarang mereka. Kalau nanti
sarang mereka itu telah diserbu pasukan pemerintah, baru kita keluar dan kita terjun ke dalam
pertempuran. Untuk gerakan ini kita semua mengenakan pakaian lama Hwa I Kaipang, yaitu
baju kembang,” kata Hui Yen, membuat semua anggota Hwa I Kaipang terheran-heran.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 202
“Maaf, nona,” kata seorang di antara mereka, seorang anggota yang sudah setengah tua dan
sudah lama menjadi anggota perkumpulan itu. “Setahu saya, kita adalah sekumpulan orang
miskin yang tidak pernah mendekati penjahat, apa lagi bersekutu dengan mereka. Menentang
pasukan pemerintah, memang tugas kita, akan tetapi membantu gerombolan perampok...??”
Cu Goan Ciang maklum akan keraguan mereka, maka cepat dia bicara. “Harap saudara
sekalian ketahui bahwa gerakan kita sekarang ini sama sekali bukan untuk membantu para
perampok. Biasanya kita bahkan menentang para perampok. Dalam gerakan kita ini, kitapun
hanya berpura-pura saja membantu mereka, yaitu dengan jalan memperlihatkan diri sebagai
anggota Hwa I Kaipang dengan pakaian kita, lalu kelihatan membantu. Hal ini merupakan
siasat agar pasukan pemerintah benar-benar mengira bahwa tempat itu adalah sarang Hwa I
Kaipang seperti yang mereka duga. Setelah kita memperlihatkan diri seperti membantu para
perampok, kita harus cepat-cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan melarikan diri.
Jangan sampai ada seorangpun di antara kita yang tewas. Mengerti?”
“Ada satu hal lagi. Di antara kalian yang merasa memiliki kepandaian dan kemampuan,
sebelum melarikan diri harus sedapat mungkin menanggalkan baju kembang kalian dan
mengenakan baju kembang itu pada mayat anggota gerombolan perampok agar nantinya
pasukan itu mengira bahwa yang mereka tumpas benar-benar adalah anak buah Hwa I
Kaipang. Nah, kiranya sudah jelas sekarang?”
Para anggota Hwa I Kaipang mengangguk-angguk dengan hati lega. Biarpun mereka tidak
mengerti mengapa para pimpinan mereka mempergunakan siasat itu, namun mereka mentaati,
apa lagi karena gerakan itu sama sekali bukan berarti mereka membantu para perampok,
melainkan pelaksanaan dari suatu siasat para pimpinan mereka yang tidak mereka mengerti.
Tanpa beristirahat terlalu lama, Goan Ciang dan Hui Yen kembali melakukan perjalan, akan
tetapi sekali ini, anak buah mereka menyediakan dua ekor kuda untuk mereka supaya tidak
akan terlalu lelah menempuh perjalanan ke bukit itu.
Bukit Bambu Kunig merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang terdapat di lembah sungai
Yang-ce. Bukit ini rimbun dengan hutan bambu kuning, dan sejak lama bukit ini dianggap
sebagai tempat berbahaya bagi para penduduk daerah itu. Selain bukit yang penuh hutan
bambu itu tidak memungkinkan tumbuhnya pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan lain yang
menghasilkan, juga tempat itu sering dijadikan sarang gerombolan penjahat yang kejam. Oleh
karena itu, para penghuni dusun di sekitar daerah itu merasa lebih aman untuk menjauhinya.
Pada waktu ini, di lereng bukit itu memang terdapat sarang gerombolan perampok yang
ditakuti. Gerombolan yang anggotanya tidak kurang dari lima puluh orang ini dipimpin oleh
dua orang kakak beradik yang dijuluki Yang-ce Siang-houw (Sepasang Harimau Yang-ce),
karena mereka berdua itu ganas seperti harimau. Anak buah mereka juga terkenal kejam dan
jahat, juga rata-rata memiliki tubuh yang kekar dan watak yang buas di samping ilmu silat
yang lumayan. Pekerjaan mereka adalah merampok, atau membajak perahu para pedagang di
sepanjang sungai, memaksakan kehendak mereka kepada para penduduk dusun. Pendeknya,
mereka itu merampok, membunuh, memperkosa dan memaksakan segala kehendak mereka.
Agaknya tidak ada kejahatan yang mereka pantang melakukannya. Baru beberapa bulan
gerombolan ini bersarang di lereng bukit itu, dipimpin oleh Yang-ce Siang-houw yang
sebelumnya hanya melakukan kejahatan berdua saja tanpa anak buah.
Lewat tengah hari, pada hari itu, suasana di sarang gerombolan yang biasanya lengang itu,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 203
nampak meriah. Biarpun tidak terdapat pesta seperti yang biasa dilakukan rakyat, namun
gerombolan itu sebetulnya sedang merayakan pesta pernikahan! Pernikahan dari dua orang
pimpinan mereka. Kakak beradik Yang-ce Siang-houw itu, setelah kini menjadi pimpinan
gerombolan, mengambil keputusan untuk membangun keluarga. Mereka yang usianya hampir
lima puluh tahun, menjatuhkan pilihan masing-masing kepada dua orang gadis dusun yang
mereka culik dan mereka paksa menjadi isteri. Tentu saja tidak ada pesta perayaan yang
dihadiri oleh keluarga dua orang gadis itu atau oleh penduduk dusun asal mereka. Pesta itu
hanya merupakan pesta mabok-mabokan oleh para anggota gerombolan perampok. Para
wanita yang menemani mereka makan minum adalah para wanita yang tiada beda nasibnya
dengan dua orang gadis yang dipaksa menjadi pengantin di hari itu, ialah wanita-wanita yang
diculik dan dilarikan dari suami mereka atau dari orang tua mereka.
Karena lima puluh lebih anak buah gerombolan yang selalu yakin bahwa tidak ada
seprangpun dari luar yang berani naik ke lereng itu, apa lagi memasuki daerah sarang mereka,
maka mereka menjadi lengah. Mereka tidak tahu bahwa ada tiga puluh orang lebih
bersembunyi di balik semak-semak, di belakang rumpun bambu. Bahkan mereka tidak tahu
bahwa dua jam kemudian, pasukan pemerintah yang jumlahnya tiga ratus orang juga mendaki
bukit iru dan mengepung sarang mereka. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Shu Ta sendiri,
bahkan ditemani oleh Yauw-Ciangkun karena komandan atau panglima tertinggi di Nan-king
ini merasa penasran dngan lolosnya dua orang tawanan, selain itu juga dengan cerdik sekali
Shu Ta berhasil membujuknya untuk ikut dalam gerakan penumpasan terhadap sarang
pemberontak itu!
Shu Ta memang seorang yang amat cerdik dan setelah menjadi panglima dan mempelajari
ilmu-ilmu perang dari kitab-kitab yang tersedia, dia menjadi semakin cerdik, seperti yang
telah diduga oleh Goan Ciang dan semua siasatnya dilaksanakan dengan patuh oleh Goan
Ciang, semua siasatnya telah diatur dengan cermat pada saat dia kebingungan melihat
suhengnya tertwan. Kebetulan sekali pada waktu itu, baru saja dia mendengar laporan para
penyelidiknya tentang gerombolan perampok yang bersarang di Bukit Bambu Kuning.
Keterangan tentang sarang gerombolan itulah yang menimbulkan gagasan untuk
mempergunakannya sebagai suatu cara untuk menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya
setelah Goan Ciang dan Hui Yen dapat dibebaskan olehnya. Tanpa adanya gerakan
penumpasan tehadap Hwa I Kaipang, tentu atasannya, Yauw-Ciangkun, akan merasa kecewa
dan marah sekali, dan mungkin akan mencurigainya. Maka, dia mengatur siasar dan telah
mempersiapkannya sebelum dia membebaskan dua orang tawanan itu secara cerdik sekali,
dengan menyamar sebagai seorang berkedok hitam. Kini siasatnya itu dilaksanakan dalam
kerja sama antara dia dan suhengnya dan dia merasa yakin bahwa saat dia memimpin
pasukannya naik ke lereng Bukit Bambu Kuning, suhengnya dan kawan-kawan suhengnya
tentu sudah siap siaga pula.
Dapat dibayangkan betapa kacau dan paniknya para anggota gerombolan perampok itu ketika
tiba-tiba saja sarang mereka telah dikepung ratusan orang prajurit dan serbuan datang dari
segenap penjuru! Mereka adalah orang-orang yang biasa dengan kekerasan, maka setelah
panik sejenak, mereka segera menyambar senjata dan melawan mati-matian. Juga dua orang
kakak beradik yang sedang menjadi pengantin itu mengamuk dengan golok besar merke.
Ketika terjadi perempurarn itulah, orang-orang yang berpakaian baju kembang bermunculan
di mana-mana dan mereka membantu para perampok, menyambut serangan para prajurit
pasukan pemerintah. Tentu saja pertempuran menjadi semakin seru.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 204
Panglima Shu Ta yang berdiri di tempat yang agak tinggi bersama Panglima Yauw, gembira
sekali melihat munculnya banyak orang berbaju kembang, dan diapun segera berkata kepada
atasannya. “Nah, itulah mereka, para anggota Hwa I Kaipang! Tawanan perempuan itu tidak
berbohong dalam pengakuannya semalam dan kita tidak terlambat. Para pemberontak itu
belum sempat pergi dari sini.”
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk dengan hati puas. Sementara itu, Goan Ciang dan Hui
Yen ikut mengamuk, merobohkan banyak prajurit. Akan tetapi diam-diam mereka memberi
isarat kepada anak buah meeka untuk mulai menyelinap dan melarikan diri, dan merekapun
menggunakan kesempatan untuk meninggalkan baju kembang mereka pada tubuh mayatmayat
anak buah gerombolan. Ada di antara para anggota Hwa I Kaipang yang terluka, dan
mereka ini diseret dan diangkut oleh kawan-kawan mereka untuk melarikan diri. Bahkan ada
tiga orang yang tewas ditinggalkan begitu saja, berikut baju kembang mereka! Kematian
mereka itu tidak sia-sia, selain mereka sudah berhasil membunuh banyak prajurit, juga
mereka dapat menolong Shu Ta, menjadi bukti bahwa tempat itu benar-benar menjadi sarang
pemberontak baju kembang!
Serbuan pasukan itu berhasil baik. Tidak kurang dari tiga puluh orang gerombolan
“pemberontak” dibasmi, terluka parah atau tewas. Di antara yang tewas itu, lebih dari
setengahnya mengenakan jubah kembang dan di antara mereka yang tewas terdapat pula
kakak beradik Yang-ce Siang-houw. Kedua orang panglima Shu dan Yauw pulang dengan
pasukan mereka, membawa kemenangan dan kembali Shu-Ciangkun dipuji-puji oleh
pemerintah Mongol sebagai seorang panglima muda yang baru akan tetapi telah membuat jasa
besar.
Akan tetapi, semua ini tidak membuat Shu Ta menjadi kehilangaan kewasppadaan. Di
menerima pujian itu dengan rendah hati dan juga sama sekali tidak mendatangkan kelengahan
sehingga dia tahu bahwa di dalam kemenangan siasatnya itu, masih terdapat bahaya besar
yang datangnya dari para pimpinan Hek I Kaipang! Hal ini diketahuinya ketika beberapa hari
kemudian, Yauw-Ciangkun menyatakan keheranannya dengan sikap dan suara yang
mengandung kecurigaan.
“Sungguh aku tidak dapat mengerti sampai sekarang, Ciangkun. Ke mana perginya si kedok
hitam itu? Siapakah dia? Bagaimana dia dapat memasuki benteng dan sekarang dia berada di
mana? Menurut laporanmu, setelah diadakan penggeledahan, tidak ditemukan si kedok hitam
atau bahkan jejaknya. Apakah dia dapat menghilang? Sungguh hal ini menimbulkan
penasaran. Pendeknya kalau dia belum dapat ditemukan, hatiku selalu akan merasa gelisah
memikirkan bahwa seorang di antara kita yang berada di dalam benteng adalah seorang matamata
musuh yang lihai dan berbahaya.”
Diam-diam Shu Ta terkejut bukan main. “Akan tetapi, Yauw-Ciangkun, saya dan para
pembantu saya sudah melakukan penyelidikan dan besar kemungkinan si kedok hitam yang
dipergunakan kedua orang buronan itu. Agaknya mustahil kalau dia masih dapat bersembunyi
di dalam benteng.”
“Hemm, siapa tahu dia adalah seotang di antara para prajurit atau perwira sendiri, atau
mungkin... ha-ha, ini menurut pendapat para tokoh yang lihai dari Hek I Kaipang, mungkin
juga bisa aku atau engkau sendiri!”
Shu Ta tertawa bergelak, “Aih, kalau benar ada yang berpendapat seperti itu, mungkin dia itu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 205
gila, Yauw-Ciangkun!”
“Gila atau tidak, mereka adalah orang-orang pandai yang kita harapkan dapat membantu kita
untuk menaruh orang yang mau bekerja sama dengan kita menjadi Beng-cu yang akan
dilakukan pemilihan beberapa bulan lagi.”
“Siapakah mereka itu, Yauw-Ciangkun? Setahu saya di Hek I Kaipang hanya ada Coa-pangcu
(ketua Coa) dan puterinya yang cerdik dan lihai, yaitu nona Coa Leng Si. Apakah mereka
yang mengatakan demikian?”
“Bukan, bukan mereka, melainkan tiga orang lain yang kini sudah berkumpul di sana dan siap
membantu kita. Yang pertama adalah guru dari nona Coa Leng Si, dia seorang bekas hwesio
yang amat lihai, namanya Bouw In Hwesio dan... eh, kenapa? Kenalkah engkau kepada Bouw
In Hwesio?”
Shu Ta sudah dapat menenangkan hatinya kembali. Untung bahwa selama menjadi murid
Lauw In Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si di lembah Huai, dia belum pernah bertemu dengan
supeknya yang bernama Bouw In Hwesio itu, hanya mendengar namanya saja dan keterangan
dari suhunya, bahwa supeknya itu lebih lihai dari pada suhunya. Dan sekarang, supeknya itu
telah menjadi guru dari Coa Leng Si, gadis lihai puteri ketua Hek I Kaipang!
“Nama Bouw In Hwesio dari Siauw-lim-pai telah banyak dikenal di dunia persilatan, Yauw-
Ciangkun.
Siapa yang tidak pernah mendengarnya? Pantas saja nona Coa Leng Si disohorkan lihai
sekali, tidak tahunya ia adalah murid hwesio yang sakti itu.”
“Sekarang bukan lagi menjadi hwesio, melainkan seorang biasa bernama Bouw In dan dia
telah berkeluarga, menikah dengan seorang janda cantik adapun dua orang yang lain adalah
suhu dan subo dari Hek I Kai-pangcu sendiri, dan engkau tahu siapa mereka? Mereka adalah
Huang-ho Siang Lomo, sepasang kakek nenek suami isteri yang sudah lama mengundurkan
diri dari dunia kang-ouw akan tetapi sekarang siap membantu murid mereka.”
“Ciangkun tadi mengatakan bahwa mereka itu yang bependapat bahwa si kedok hitam adalah
seorang di antara penghuni benteng kita?” Shu Ta mendesak.
Atasannya mengangguk, “Mereka adalah orang-orang berpengalaman, Shu-Ciangkun, dan
pendapat mereka itu berdasarkan pengalaman. Kurasa ada baiknya kita memperhatikan
pandapat itu, siapa tahu benar-benar seorang di antara anak buah kita adalah seorang matamata
musuh. Sungguh berbahaya sekali kalau benar begitu.”
“Jangan khawatir, Yauw-Ciangkun. Saya berjanji akan membongkar rahasia si kedok hitam
itu. Saya akan mengerahkan seluruh pembantu untuk mencari dan menangkapnya hidup
ataupun mati!” kata Shu Ta dengan sikap yang penuh semangat.
Gembira hati Panglima Yauw mendengar ini. “Bagus, Shu-Ciangkun. Baik dia orang dalam
benteng, atau orang luar, dia harus ditangkap karena dia telah merugikan kita.”
“Saya berjanji, Ciangkun!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 206
Dengan mengenakan pakaian biasa, Shu Ta berjalan-jalan di dalam kota. Kepada para
pembantunya, dia mengatakan bahwa dia sendiri akan turun tangan ikut melakukan
penyelidikan ke dalam kota agar dapat menangkap si kedok hitam. Dia tiba di dekap pasar di
mana terdapat banyak pengemis yang minta sedekah. Di antara para pengemis itu, dia melihat
ada beberapa orang anak buahnya yang menyamar, akan tetapi sebagian besar adalah
pengemis asli. Ketika dia membagi-bagikan uang receh kepada mereka, dia melihat seorang
pengemis yang kaki kirinya buntung. Dia segera mengenal pengemia ini, karena sudah lama
pengemis ini menjadi penghubungnya kalau dia hendak menyampaikan pesan kepada para
pemberontak. Pengemis ini adalah seorang anggota pejuang yang biarpun kakinya sudah
buntung sebelah, namun masih bergelora semangatnya. Justeru karena kakinya buntung ketika
dia ikut bertempur melawan pasukan pemerintah, maka dendamnya terhadap pemerintah
Mongol makin menjadi. Dan karena dia buntung, diapun tidak dicurigai dan dia dapat
menyamar sebagai pengemis tanpa ada yang mencurigainya. Melihat si kaki buntung yang
dikenalnya dengan nama A Sam ini, Shu Ta yang masih membagi-bagi uang receh, juga
memberikan sedekah kepada pengemis buntung yang bertopang pada tongkatnya itu.
“Berikan kepada ketua Hwa I Kaipang,” bisik Shu Ta sambil memberi sedekah. A Sam
menerima dan membungkuk menghaturkan terima kasih, lalu pergi bersama para pengemis
lain. Tidak ada orang lain mendengar bisikan Shu Ta tadi, juga tidak ada yang melihat bahwa
yang diberikan oleh panglima itu kepada A Sam, bukan uang receh seperti yang diberikannya
kepada pengemis lain, melainkan sehelai kertas yang dilipat-lipat sekecil uang receh.
Setelah terpincang-pincang pergi dari pasar dan keluar dari pintu gerbang kota tanpa ada yang
mencurigainya, dan tiba di tempat sunyi, A Sam mempercepat langkahnya dan biarpun
kakinya tinggal yang kanan saja, namun dibantu tongkatnya, dia dapat berjalan cepat sekali.
Malam harinya, A Sam sudah berhadapan dengan Goan Ciang dan Hui Yen di tempat
persembunyian para anggota Hwa I Kaipang dan A Sam menyerahkan surat itu kepada Goan
Ciang yang telah dikenalnya dengan baik. Tentu saja Goan Ciang gembira seklai ketika A
Sam mengatakan bahwa surat itu diterimanya langsung dari tangan Panglima Shu Ta pribadi.
Para pejuang di sekitar daerah Nan-king sudah tahu akan rahasia Panglima Shu Ta yang diamdiam
selalu membantu para pejuang sehingga tidak sampai tertangkap.
Begitu membaca surat itu, Goan Ciang dan Hui Yen segera berunding. Surat itu singkat saja
bunyinya, tanpa menyebut nama, dan tulisannya juga dibuat-buat sehingga sehingga buruk
seperti coretan kanak-kanak yang sedang belajar menulis.
“Saya harus menangkap Si Kedok Hitam, hidup atau mati, dapatkah membantu?”
Surat itu singkat saja dan andai kata ditemukan Yauw-Ciangkun sekalipun, tidak mungkin
panglima itu akan mempercayai bahwa itu tulisan pembantu utamanya. Tanpa nama, dan juga
tulisannya begitu buruk, tulisan seperti itu tentu saja tidak cukup kuat untuk menjadi bukti
bahwa Shu-Ciangkun yang menulisnya. Biarpun surat itu singkat saja, namun Goan Ciang
maklum bahwa tentu sutenya terancam bahaya maka sampai mengirim surat seperti itu
kepadanya.
“Bagaimana menurut pendapatmu, Yen-moi?” tanya Goan Ciang kepada Hui Yen setelah
mereka berdua membaca surat itu lalu berunding di ruangan dalam.
Hui Yen mengerutkan alisnya, menggigit-gigit bibir bawah, suatu kebiasaan dirinya kalau ia
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 207
sedang berpikir keras. Gadis ini memang terkenal cerdik sekali. Itulah sebabnya maka
kakeknya, Pek Mau Lokai Tang Ku It, mempercayainya dan menyerahkan tongkat pimpinan
Hwa I Kaipang kepada cucu itu.
“Jelas bahwa Shu-Ciangkun amat membutuhkan bantuan kita, dan itu tandanya bahwa di sana
dia menghadapi masalah yang amat gawat. Dia diharuskan menangkap si kedok hitam,
kalimat ini dapat diartikan bahwa kalau dia tidak dapat menangkap si kedok hitam, hidup atau
mati, maka tentu dia akan menghadapi kesulitan. Kesulitan apa kiranya? Ini yang harus kita
selidiki.”
Goan Ciang mengangguk-angguk. “Peristiwa malam itu, ketika kita berdua berhasil
meloloskan diri karena bantuan si kedok hitam, tentu menimbulkan kecurigaan dan mungkin
saja Shu-Ciangkun dicurigai! Ini berbahaya sekali dan satu-satunya jalan untuk dapat
menyelamatkannya dari kecurigaan itu hanyalah apa bila si kedok hitam dapat ditangkap,
hidup ataupun mati.”
“Atau setidaknya, dia akan bebas dari kecurigaan kalau si kedok hitam muncul di kota Nanking,
di luar benteng. Akan tetapi, si kedok hitam adalah Shu-Ciangkun sendiri, bagaimana
mungkin...”
“Ah, engkau benar, Yen-moi! Si kedok hitam harus memperlihatkan diri kembali, di luar
benteng dan dengna demikian, maka sute akan terbebas dari kecurigaan dan sangkaan. Kita
dapat membantunya, atau setidaknya, aku dapat membantunya dengan muncul sebagai si
kedok hitam dan membuat kekacauan di dalma kota!”
“Bagus sekali! Memang itu satu-satunya cara untuk membersihkan nama Shu-Ciangkun,
toako. Akan tetapi, jangan hanya engkau seorang. Hal itu berbahaya dan sebaiknya akupun
menyamar sebagai si kedok hitam, dan kita menyuruh beberapa orang kawan kita yang
memiliki kepandaian yang boleh diandalkan agar tidak sampai tertawan. Kita hanya membuat
kekacauan di sana sini, yang penting agar tersiar berita bahwa si kedok hitam muncul di luar
benteng. Kalau sudah begitu, tentu tidak akan ada yang berani menyangka bahwa Shu-
Ciangkun adalah si kedok hitam.”
Goan Ciang mengangguk-angguk dan kagum akan kecerdikan gadis itu. “Baik sekali, kita
mulai kerjakan malam ini juga.”
“Aku akan mempersiapkan penyamaran itu, toako.”
Demikianlah, mulai malam hari itu, kota Nan-king digemparkan berita tentang munculnya si
kedok hitam di mana-mana! Ada si kedok hitam yang menyerang seorang perwira itu. Ada
pula si kedok hitam yang memasuki rumah seorang pejabat kaya dan mencuri barang-barang
berharga. Dalam waktu semalam saja, ada lima orang berkedok hitam nampak di mana-mana.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yauw-Ciangkun menemui Shu-Ciangkun dan
wajahnya nampak serius sekali. “Engkau sudah mendengar tentang si kedok hitam,
Ciangkun?” tanya Yauw-Ciangkun.
Shu Ta mengangguk. “Tentu saja, Yauw-Ciangkun. Bahkan semalam saya dan pasukan,
mencari-cari, namun kami selalu tidak dapat menemukan jejaknya. Agaknya dia memang
lihai bukan main.” Shu Ta dengan cerdik tidak mau menyinggung tentang kenyataan bahwa si
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 208
kedok hitam ternyata orang luar yang kini membuat kekacauan di luar benteng sehingga
kecurigaan bahwa si kedok hitam yang dulu membantu lolosnya dua orang tawanan tidak
berdasar lagi.
Yauw-Ciangkun menghela napas pangjang. “Ternyata engkau benar, Shu-Ciangkun. Si kedok
hitam itu memang lihai, akan tetapi melihat betapa munculnya malam tadi di banyak tempat,
maka aku menduga bahwa si kedok hiatam itu bukan hanya satu orang saja. Mungkin
sekarang muncul sebuah perkumpulan rahasia yang semua anggotanya mengenakan kedok
hitam.”
“Mungkin saja, Ciangkun, akan tetapi saya akan mengerahkan pasukan untuk membasmi
mereka. Saya yakin bahwa dengan penjagaan ketat dan dengan pengejaran yang sungguhsungguh,
kita dapat membersihkan Nan-king dari bayangan si kedok hitam.”
Dan mulai hari itu, Shu-Ciangkun memimpin pasukan untuk melakukan aksi pembersihan di
dalam kota Nan-king. Rumah-rumah digeledah dan banyak disebar mata-mata. Dan memang
akibatnya, kota Nan-king semalin aman dan kini tidak lagi ada bayangan si kedok hitam,
seolah-olah gerombolan itu telah terbasmi atau setidaknya telah melarikan diri dan tidak
berani lagi muncul di kota Nan-king.
Kembali Shu Ta dapat menyelamatkan diri dengan mulus berkat bantuan Cu Goan Ciang dan
Tang Hui Yen! Dia semakin dipercaya, bahkan kini Hek I Kaipang sendiri percaya bahwa
Shu-Ciangkun adalah seorang perwira yang setia kepada pemerintah!
Pada suatu haru, dua orang penunggang kuda memasuki kota Nan-king. Mereka menarik
perhatian karena mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis yang elok, yang pria
tampan dan yang wanita cantik jelita, keduanya masih muda dan kuda yang mereka tunggangi
juga merupakan kuda pilihan. Tentu saja ada prajurit penyelidik yang mencurigai dan prajurit
ini cepat melapor kepada atasan mereka. Atasan itu kebetulan adalah Panglima Khabuli,
seorang di antara mereka yang tadinya mencurigai Shu Ta, akan tetapi karena tidak terdapat
bukti apapun, bahkan Panglima Shu Ta itu berjasa besar dalam usaha membersihkan Nanking
dari pengacauan penjahat dan pemberontak, akhirnya Khabuli yang merasa iri kepada
Shu Ta tidak dapat berbuat sesuatu.
Ketika Panglima Khabuli yang tadinya bertugas di Wu-han akan tetapi sering berkunjung ke
Nan-king itu mendengar dari dua orang anak buahnya bahwa pagi hari itu ada dua orang
muda yang mencurigakan memasuki Nan-king, diapun cepat keluar senriti untuk
menyaksikan dan kalau perlu menangkap dua orang yang mencurigakan itu untuk mencari
pahala. Dia bergegas keluar diikuti selosin orang anak buahnya, menuju ke jalan besar dan
menghadang dua orang muda yang mencurigakan itu. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dua
orang muda ini, wajah Khabuli menjadi kemerahan dan di tempat itu juga dia menampar anak
buahnya yang melapor.
“Plakk!!” Anak buah itu terkejut dan terpelanting. Ketika dia bangkit pipinya yang ditampar
menjadi bengkak, akan tetapi dia terbelalak dan mengeri mengapa atasannya marah
kepadanya ketika melihat betapa panglima Khabuli begitu bertemu dengan dua orang muda
itu, saling tegur dan memberi dalam dengan ramah dan akrab. Kiranya dua orang itu adalah
saudara-saudara misan dari atasannya itu, bahkan kemudian dua orang penyelidik itu
mendengar bahwa dua orang muda yang mereka curigai itu adalah putera dan puteri Menteri
Bayan!
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 209
“Kakak Khabuli!” kata Bouw Mimi dengan alis berkerut ketika melihat betapa di depan
mereka, kakak misannya itu menampar seorang anak buahnya sampai terpelanting. “Engkau
ini kenapa sih, tanpa sebab memukul orang di depan kami? Apakah engkau hendak menakutnakuti
kami dengan kekejamanmu?”
Khabuli tertawa menyeringai. “Ha-ha-ha. Dia pantasnya dihukum lebih berat dicongkel keluar
matanya yang seperti buta itu. Kau tahu, adik Mimi, dialah dan temannya itu yang tadi
melapor kepadaku bahwa ada dua orang muda yang mencurigakan memasuki kota Nan-king.
Dia mencurigai kalian! Tidakkah itu gila?”
Mendengar ini, kakak beradik itupun tertawa dan Bouw Ku Cin segera berkata,”Sudahlah,
kakak Khabuli. Mereka berdua belum mengenal kami, maka mereka mereka curiga. Maafkan
mereka.”
Dua orang penyelidik itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakak beradik itu mohon
maaf dan sekaligus menghaturkan terima kasih. Peristiwa kecil ini menarik perhatian orangorang
di jalan itu dan melihat ini, Khabuli dengan mata melotot mengusir mereka yang berani
mendekat dan menonton.
“Adik-adikku yang baik, angin apa yang meniupmu ke selatan ini? Kuharap paman Menteri
dalam keadaan sehat-sehat saja,” kata Khabuli dan matanya yang berminyak itu seperti
menggerayangi tubuh Mimi yang cantik jelita dan kini nampak semakin dewasa itu.
Mimi mengerutkan alisnya melihat pandang mata kakak misannya yang ia tahu adalah
seorang laki-laki mata keranjang yang tidak tahu malu itu. “Kami datang dengan urusan dinas,
tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!” katanya ketus.
Akan tetapi Bouw Kongcu merasa tidak enak dengan sikap adiknya itu, lalu dia cepat
menyambung, “Sesungguhnya, kami melaksanakan tugas dari ayah untuk menemui Yauw-
Ciangkun.”
Khabuli segera merasa tertarik. “Ah, apakah urusan si kedok hitam itu sudah terdengar pula
oleh kota raja? Memang pemuda she Shu yang menjadi panglima itu patut dicurigai dan
karena dia datang dahulu kalian yang membawanya, maka kalau ada apa-apa, kalian tidak
terlepas dari tanggung jawab.”
“Eh, apa yang telah terjadi dengan saudar Shu Ta?” tanya Mimi dengan hati berdebar tegang.
Khabuli tersenyum menyeringai, “Banyak sekali yang terjadi, dan hampir saja teman kalian
itu ditangkap sebagai seorang mata-mata pemberontak.”
“Ahh...!” Dua orang kakak beradik itu saling pandang dengan mata terbelalak. “Kakak
Khabuli, apa yang telah terjadi?” tanya Bouw Kongcu, tentu saja terkejut dan khawatir karena
dia tahu benar bahwa Shu Ta adalah seorang pejuang!
“Sudah kukatakan banyak yang telah terjadi. Akan tetapi agaknya kunjungan kalian ini tidak
ada hubungannya dengan Shu-Ciangkun. Marilah kuantar kalain menemui Yauw-Ciangkun,
di sana engkau aan mendengar sendiri nanti tentang sahabat kalian itu.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 210
Karena ingin segera mendengar tentang Shu Ta, kakak beradik itu segera melanjutkan
perajalanan menuju ke benternuntuk menemui Yauw-Ciangkun, juga Shu-Ciangkun, diiringi
oleh Panglima Khabuli yang tersenyum-senyum bangga dapat menemani kedua orang adik
misannya ini. Mereka adalah putera puteri Menteri Besar Bayan yang berkuasa, dan tentu
akan disambut dengan hormat oleh Yauw-Ciangkun dan para panglima lainnya, dan
kehadirannya akan mengingatkan para panglima itu bahwa dia adalah kakak misan mereka,
bahwa dia adalah keponakan dan Menterti Bayan.
Ketika tiga orang itu memasuki kantor Yauw-Ciangkun, mereka tentu saja disambut dengan
hormat oleh Yauw-Ciangkun dan para perwira yang sedang berada di situ. Nama besar
Menteri Bayan cukup berpengaruh dan karena pemuda dan gadis itu putera dan puteri sang
menteri, mereka disambut dengan penuh penghormatan.
Begitu bertemu dan saling memberi hormat lalu dipersilahkan duduk, Bouw Siocia yang
sudah tidak sabar lagi segera bertanya, “Yauw-Ciangkun, di mana saudara Shu Ta yang dulu
kami ajak ke sini dan kabanya telah menjadi panglima? Apa yang telah terjadi dengan dia?”
Yauw-Ciangkun tersenyum. “Dia baik-baik saja, Bouw Siocia. Tunggu sebentar akan saya
suruh dia datang ke sini. Saya kita sekarang dia sedang mengawasi para perwira berlatih
silat.” Yauw-Ciangkun lalu memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Shu-Ciangkun.
“Paman Yatucin,” kata Bouw Kongcu yang sudah biasa menyebut Yauw-Ciangkun dengan
sebutan paman dan nama aslinya, “sebetulnya apakah yang telah terjadi dengan saudara Shu
Ta? Kami mendengar dari kakak Khabuli bahwa dia hampir saja ditangkap sebagai matamata!
Bagaimana ini?”
Yauw-Ciangkun mengerutkan alisnya dan memendang kepada Khabuli. Dia memang
mempunyai perasaan tidak suka kepada pemuda keponakan Menteri Bayan yang kadangkadang
bersikap congkak itu.
“Apa yang telah terjadi dengan Shu-Ciangkun? Banyak yang terjadi, akan tetapi dia telah
berjasa besar. Kalau Khabuli-Ciangkun mengatakan bahwa dia hampir ditangkap sebagai
mata-mata, hal itu hanya merupakan kesalah pahaman saja dan ternyata dia sama sekali bukan
mata-mata.” Lalu dengan singkat Yauw-Ciangkun bercerita tentang semua peristiwa yang
telah terjadi di dalam benteng dari lolosnya dua orang tawanan yang ditolong oleh si kedok
hitam sampai munculnya si kedok hitam di kota Nan-king.
“Memang semula ada yang mencurigai Shu-Ciangkun, karena dialah yang menjadi komandan
yang bertanggung hawab memeriksa kedua orang tawanan. Akan tetapi kemudian terbukti
bahwa dia sama sekali tidak tersangkut dengan para pemberontak, bahkan dia telah berjasa
melakukan pembersihan terhadap para pemberontak dan penjahat.” Yauw-Ciangkun
mengakhiri keterangannya.
Kakak beradik itu saling pandang dan menghela napas lega. “Tentang jasa-jasanya, kami di
kota raja sudah pula mendengarnya. Maka, ketika tadi kami mendengar dari kakak Khabuli,
tentu saja kami menjadi terkejut sekali,” kata Bouw Mimi, kini melirik ke arah kakak misan
itu dengan cemberut.
“Ahh, adik Mimi, akupun tadi hanya mengatakan bahwa Shu-Ciangkun hampir ditangkap
sebagai mata-mata, bukan sudah ditangkap. Kemudian ternyata dia bukan mata-mata dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 211
bahkan berjasa, tentu saja akupun ikut merasa gembira. Bagaimanapun juga, dia telah bekerja
untuk pemerintahan kita, bukan?”
Kakak beradik itu tidak menanggapi, apa lagi pada saat it, Shu Ta muncul di pintu ruangan.
Melihat kakak beradik yang menjadi sahabat-sahabatnya itu, tentu saja Shu Ta merasa girang
sekali dan cepat dia memberi hormat secara militer. Kakak beradik itu memandang panglima
muda itu dengan sinar mata penuh kagum. Memang Shu Ta yang bertubuh kekar itu nampak
gagah bukan main, apa lagi kumis dan jenggot orang muda ini yang tumbuh lebat, terpelihara
dengan baik, membuat dia nampak gagah berwibawa.
“Saudara Shu Ta, engkau kelihatan gagah sekali!” seru Mimi dengan suara lantang dan ia
nampak gembira sekali. Sungguh seorang gadis luar biasa, pikir Shu Ta. Begitu jujur dan
terbuka, begitu polos.
“Ah, Mimi, jangan sebut dia saudara lagi. Dia sekarang adalah seorang panglima. Betul tidak,
Shu-Ciangkun?” kata Bouw Ku Cin dengan wajah berseri. Dia ikut merasa bangga bahwa Shu
Ta yang dipercayanya itu ternyata memegang janji dan tidak menimbulkan kekacauan di Nanking,
bahkan berjasa menenteramkan kota itu.
“Bouw Kongcu, dan Bouw Siocia, aku masih tetap Shu Ta yang dahulu. Kuharap pakaian ini
tidak akan menyilaukan dan mendatangkan perubahan pada diriku,” kata Shu Ta dengan sikap
bersungguh-sungguh.
Yauw-Ciangkun mempersilahkan semua orang masuk dan duduk di ruangan yang biasa
dipergunakan untuk mengadakan rapat penting, kemudian dia bertanya kepada kakak beradik
itu. “Kongcu dan Siocia, jauh-jauh dari kota raja datang ke sini, apakah sekedar untuk pesiar,
ataukah mempunyai urusan penting yang akan disampaikan kepadaku?”
“Paman Yatucin, kami diutus oleh ayah untuk membicarakan urusan penting dengan paman,”
kata Bouw kongcu.
Yauw-Ciangkun memandang pemuda itu dengan wajah berseri. Menerima pesan dari Menteri
Bayan merupakan suatu kehormatan besar yang tinggi nilainya, hanya kalah oleh kehormatan
yang didapatkan kalau ada pesanan istimewa dari Kaisar! Dia mengerling ke kanan kiri, lalu
bertanya. “Bouw Kongcu, pesan itu akan disampaikan secara pribadi dan empat mata sajakah,
atau...”
“Ah, ini adalah urusan negara, paman. Tentu saja Shu-Ciangkun dan kakak Khabuli boleh
ikut mendengarkan, bahkan dapat pula ikut memperbincangkan karena tugas negara
merupakan tugas kita bersama, bukan?”
Mereka duduk menghadapi meja besar dan setelah seorang petugas atas perintah Yauw-
Ciangkun mengeluarkan minuman dan makanan kecil, mereka mulai mengadakan percakapan
dengan pintu tertutup.
“Paman Yatucin, pesan ayah yang harus kami sampaikan kepada paman ini merupakan hasil
keputusan yang telah disidangkan di istana dan merupakan perintah Sribaginda Kaisar melalui
ayah.”
Yauw-Ciangkun dengan tegak mengambil sikap hormat dan berkata tegas, “Saya siap
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 212
melaksanakan perintah dengan penuh ketaataan dan kesetiaan!”
Setelah semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, Bouw Kongcu menceritakan
pesan yang harus disampaikannya kepada Yauw-Ciangkun. Pergolakan di daerah selatan telah
didengar oleh Kaisar dan setelah menerima laporan-laporan, kaisar lalu mengadakan
pertemuan-pertemuan dengan para menteri, panglima dan penasihat untuk membicarakannya.
Akhirnya diambil keputusan untuk menghadapi pergolakan itu dengan cara lain seperti yang
biasa ditempuhnya.
“Pemberontakan-pemberontakan kecil itu terjadi di mana-mana, dilakukan oleh kelompokkelompok
kecil pemberontak dan dasar pemberontakan itu bermacam-macam. Ada yang
didorong oleh ketidak puasan, ada yang didorong oleh ambisi untuk keuntungan pribadi, ada
karena sakit hati terhadap sebagian pembesar yang menyalah gunakan kekuasaan dan
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, dan sebagian kecil ada pula yang memang
memiliki cita-cita membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan, “ demikian antara lain
Bouw Kongcu menyampaikan pesannya. Dia lalu melanjutkan apa yang menjadi inti pesan
ayahnya itu, “Membasmi pemberontakan-pemberontakan itu secara kelompok-kelompok
tidak akan banyak hasilnya. Karena gerombolan itu banyak sekali dan kalau yang satu
dibasmi, akan muncul gerombolan yang lain. Dan makin lama, para pemberontak akan
menjadi semakin ganas karena ditambah lagi oleh dendam yang disebabkan kematian rekanrekan
mereka. Oleh karena itu, harus dilakukan cara lain, yaitu membiarkan kelompokkelompok
itu tumbuh dan hidup, akan tetapi mengusahakan agar mereka menjadi kelompok
yang tidak memusuhi pemerintah dengan jalan mendekati dan membaiki mereka, kalau perlu
memberi sumbangan, juga agar pemerintah di Nan-king dapat mendekati dan menarik para
tokoh kang-ouw untuk mendaptkan dukungan mereka.
“Ayah, dengan persetujuan Sribaginda, mengutus kami untuk menyampaikan semua ini
kepada paman Yatucin, dan kami berdua juga ditugaskan untuk sementara tinggal di Nan-king
membantu usaha paman. Kami berdua bukan orang peperangan, maka kami hanya mampu
bekerja kalau usaha itu untuk mencapai perdamaian dan ketenteraman.”
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk, demikian pula Shu-Ciangkun. Bahkan Shu Ta diamdiam
terkejut dan bingung. Kalau siasat pendekatan itu dilakukan, maka hal itu memang akan
dapat melemahkan para pejuang! Apa lagi kalau pemerintah tidak menunjukkan permusuhan,
tidak mengejar-ngejar, bahkan bersikap baik dan mengulurkan tangan, membantu dengan
uang untuk memakmurkan kehidupan mereka. Dia tahu betapa ampuhnya pengaruh uang,
dapat melumpuhkan semangat perjuangan! Bahkan dia tahu pula bahwa andai kata sejak
dahulu pemerintah bersungguh-sungguh mengusahakan kemakmuran dan ketenteraman bagi
rakyat jelata, mungkin tidak akan ada perasaan benci dalam hati rakyat terhadap penjajah.
Perlawanan yang timbul dari rakyat adalah akibat dari ada penindasan, penekanan dan
kehilangan kemerdekaan.
“Saya girang sekali mendengar keputusan itu, Bouw Kongcu. Sesungguhnya, kamipun sudah
menuju ke arah pendekatan, yaitu dengan cara merangkul kelompok yang tidak memusuhi
kita bahkan yang suka membantu kita. Dan ada cara yang paling teppat untuk melaksanakan
rencana itu, yaitu nanti apa bila dunia kang-ouw mengadakan pemilihan Beng-cu (pemimpin
rakyat), kita usahakan agar yang diangkat menjadi Beng-cu seorang tang dapat diajak bekerja
sama. Kalau sekarang kita mulai berusaha, mendekati tokoh-tokoh, mengirim hadiah, tentu
kelak dalam pemilian, kita dapat mengarahkan agar yang dipilih adalah seorang yang tidak
memiliki watak anti pemerintah.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 213
Mereka lalu mengadakan perundingan. Terpaksa Shu Ta ikut pula memberi sumbangan
pemikiran untuk mendukung tokoh yang tidak menentang pemerintah agar menjadi Beng-cu.
Mereka lalu merundingkan siapa kiranya tokoh yang dapat mereka harapkan untuk membantu
pemilihan Beng-cu yang pro pemerintah.
“Saya mempunyai seorang sahabat, tokoh kang-ouw yang sepenuhnya dapat dipercaya. Nama
besarnya di dunia kang-ouw juga merupakan jaminan. Andai kata ia sendiri tidak dapat
dijagokan, setidaknya ia dapat mempengaruhi yang lain untuk memilih calon yang kita
setujui. Nama besarnya terkenal di sepanjang Jang-kiang,” kata Khabuli.
“Bagus, siapa tokoh itu, Khabuli-Ciangkun?” tanya Yauw-Ciangkun.
“Siapa lagi kalau bukan Jang-kiang Pang-cu (ketua Jang-kiang pang) yang terkenal di dunia
kang-ouw sebagai Jang-kiang Sianli (Dewi Sungai Panjang), yang amat lihai.”
“Dan siapa kiranya yang dapat dijagokan di sini, paman Yatucin?” tanya Bouw Mimi.
“Kami telah mempunyai beberapa orang jagoan. Pertama adalah suami dari adik misan ketua
Hek I Kaipang. Tokoh ini bekas hwesio yang bernama Bouw In, ilmu silatnya tinggi dan
diapun bukan dari golongan sesat. Dia suka membantu karena selain dia merupakan ipar dari
ketua Hek I Kaipang, juga dia guru puteri ketua itu. Selain bekas hwesio itu, juga ada
sepasang suami isteri yang sudah kakek nenek namun mereka lihai dan dapat menjadi
pendukung yang kuat. Mereka adalah suhu dan subo ketua Hek I Kaipang yang terkenal
dengan julukan Huang-ho Siang Lomo.”
“Apakah di daerah Nan-king dan sepanjang sungai Yang-ce tidak terdapat lagi tokoh besar
dunia kang-ouw, paman?” tanya Bouw Kongcu.
“Masih banyak, akan tetapi yang menonjol hanya yang telah disebut tadi. Ada seorang tokoh
lagi yang sakti, yaitu Pek Mau Lokai. akan tetapi karena dia adalah pimpinan Hwa I Kaipang
yang menentang pemerintah tentu saja kita tidak dapat mengharapkan dia. Bahkan kita perlu
mencari jagoan untuk menantangnya kerena agaknya para pemberontak atau mereka yang
menentang pemerintah akan mencalonkan dia sebagai Beng-cu,” kata Yauw-Ciangkun.
“Kalau begitu, harap paman atur saja agar jangan sampai ada tokoh yang anti pemerintah
yang menjadi Beng-cu, karena kalau hal itu terjadi, perang akan semakin berkobar dan
menghadapi pemberontakan para tokoh dunia kang-ouw cukup berbahaya. Yang perlu sekali
diingat bahwa selain jangan sampai terjatuh ke tangan pemberontak, juga agar kedudukan
Beng-cu jangan sampai terjatuh ke tangan seorang datuk sesat, karena kalau Beng-cunya
seorang penjahat, itupun amat berbahaya sekali. mana mungkin kira dapat mempercayai
seorang penjahat?” kata pula Bouw Kongcu.
“Tentu saja, Bouw Kongcu. Kami akan mengatur semua itu sebaiknya. Akan tetapi, apakah di
daerah selatan ini saja yang perlu diamankan? Bagaimana dengan dunia kang-ouw jauh di
utara, di barat dan di timur sepanjang pantai lautan?” tanya Yauw-Ciangkun.
“Semua telah diatur oleh pemerintah pusat, paman. Para panglima yang memimpin pasukan di
timur, barat dan juga utara telah diberi tugas yang sama, yaitu menguasai dunia kang-ouw
agar dunia persilatan berpihak kepada pemerintah sehingga tidak akan terjadi perang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 214
pemberontakan.”
Diam-diam Shu Ta memperhatikan dan mencatat semua yang didengarnya itu. Dia mengakui
bahwa kalau semua pejabat pemerintah Mongol berwatak lembut dan mempergunakan sikap
halus bersahabat seperti putera puteri Menteri Bayan ini, maka kedudukan pemerintah
penjajah akan menjadi kuat dan akan sukarlah membangkitkan semangat para pendekar untuk
menumbangkan pemerintah penjajah. Justeru sikap keras menindas dari penjajah yang
membuat rakyat mendendam, membenci dan memberontak. Kalau Cu Goan Ciang,
suhengnya itu, ingin berhasil, diapun harus mengubah siasat. Dalam keadaan seperti ini,
sebaiknya kalau tidak langsung menyerang pasukan pemerintah, melainkan lebih dahulu
menyusun kekuatan dan kalau mungkin menguasai dunia kang-ouw. Kalau Cu Goan Ciang
dapat mempersatukan semua kelompok dan menguasai atau setidaknya mendapat dukungan
dari para tokoh dunia persilatan, barulah dia memiliki kekuatan dan akan mampu menandingi
penjajah.
Mulai hari itu, kakak beradik bangsawan dari kota raja itu tinggal di dalam benteng
mendapatkan sebuah pondok yang mungil. Tentu saja mereka berdua segera menjadi akrab
sekali dengan Shu Ta yang memang telah menjadi sahabat mereka, bahkan mereka yang
memungkinkan Shu Ta menjadi seorang panglima.
Pada waktu itu, memang muncul banyak sekali kelompok atau gerombolan orang-orang yang
berkedok perjuangan, mengganas di daerah pinggiran. Mereka itu mengaku sebagai kelompok
pejuang, namun sesungguhnya mereka hanyalah gerombolan penjahat yang suka merampok,
memperkosa, dan membunuh. Mereka menyerbu sebuah dusun atau kota, dan tentu saja
mereka bentrok dengan pasukan yang bertugas di tempat itu, dan agaknya bentrok dengan
petugas keamanan ini yang mereka pakai sebagai kebanggaan bahwa mereka ada pejuangpejuang
yang melawan penjajah. Pada hal, kalau dalam penyerbuan itu mereka menang,
mereka lalu merampoki siapa saja di tempat itu, mengangkut semua harta benda milik
penduduk, menculik wanita dan kalau ada yang melawan lalu membunuh!
Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen tentu saja tidak sudi melakukan perbuatan seperti itu.
Mereka selalu mendapatkan nasihat dari Pek Mau Lokai Tang Ku It yang walaupun tidak
langsung memimpin Hwa I Kaipang, namun selalu memberi nasihatnya.
Pada suatu malam, setelah Goan Ciang menjadi pembantu Hui Yen memimpin Hwa I
Kaipang, Pek Mau Lokai memanggil dua orang muda itu menghadap Pek Mau Lokai untuk
sementara tinggal di sebuah gua di lembah sungai Yang-ce di sebelah barat Nan-king dan oleh
para anggota Hwa I Kaipang, gua itu dijadikan sebuah ruangan yang cukup enak untuk
dijadikan tempat tinggal.
Ketika Goan Ciang dan Hui Yen menghadap, Pek Mau Lokai bertanya,”Apa yang kalian
dengar tentang perkembangan di Nan-king? Aku tidak mendengar lagi adanya pengejaran
terhadap para kelompok pejuang. Apakah semua ini berkat adanya sutemu yang menjadi
panglima itu?”
Sejak dia berada bersama Hwa I Kaipang, Goan Ciang banyak mendapat petunjuk dalam
ilmu silat dari Pek Mau Lokai, bahkan dia mengaku kakek itu sebagai gurunya walaupun dia
masih menyebutnya pangcu (ketua) seperti yang dilakukan seluruh anggota Hek I Kaipang.
“Kami telah mendengar dari para penyelidik bahwa hal itu bukan hanya karena jasa sute,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 215
pangcu. Akan tetapi agaknya memang pemerintah penjajah kini mempergunakan siasat yang
berbeda. Dan dugaan kami itu ternyata benar karena baru siang tadi kami menerima berita
dari sute melalui si kaki buntung, A Sam. Berita itu mengabarkan bahwa kini putera dan
puteri Menteri Bayan berada di Nan-king dan mereka berdua membawa pesan dari Menteri
Bayan agar kini pemerintah daerah berikut pasukannya di Nan-king mendekati para tokoh
kang-ouw, dan mereka mengubah siasat pembasmian menjadi pendekatan. Bahkan mereka
akan berusaha agar kedudukan Beng-cu di daerah ini kelak akan terjatuh ke tangan tokoh
yang suka bekerja sama dengan pemerintah.”
“Hemm, rencana yang bagus dan membahayakan kekuatan para pejuang. Memang Menteri
Bayan selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, juga dia amat cerdik. Kaisar Togan
Timur ini merupakan kaisar yang lemah dan hanya mengejar kesenangan belaka. Dia dungu
dan menjadi permainan para menteri durjana dan penjilat. Kalau tidak ada Menteri Bayan,
sejak lama pemerintah penjajah itu jatuh karena kelemahan Kaisar Togan Timur. Kita harus
waspada dan mulai sekarang, jangan menghamburkan tenaga dan mengorbankan anak buah
menyerang pasukan pemerintah. Kita bahkan harus menghimpun tenaga, mendekati para
tokoh dunia persilatan untuk mengimbangi usaha pemeritnah penjajah. Dan kalau ada
kelompok yang melakukan kejahatan mengganggu rakyat jelata, kita harus membasmi
mereka. Dengan cara demikian, kita akan mmperoleh dukungan rakyat jelata, setiap
perjuangan tidak akan berhasil baik.”
“Kong-kong, bagaimana mengenai pemilihan Beng-cu yang akan dilakukan tiga bulan lagi di
Bukit Merak itu? Kami semua mengharapkan agar kong-kong yang tampil sebagai calon agar
kedudukan penting itu tidak sampai terampas oleh orang yang bekerja sama dengan penjajah,”
kata Hui Yen.
Pek Mau Lokai menghela napas panjang. “Sebetulnya, aku sudah tidak mempunyai semangat
lagi untuk menjadi Beng-cu. Beng-cu yang akan dipilih sekarang haruslah seorang yang
memiliki semangat tinggi, kepandaian yang cukup tangguh, cerdik dan jujur, tidak
mementingkan diri sendiri, dan terutama sekali haruslah masih muda. Dia mempunyai tugas
yang amat berat, karena selain dia harus dapat mempersatukan semua tokoh di dunia
persilatan, diapun harus mempunyai cita-cita tinggi dan tujuan terakhirnya adalah
menghancurkan penjajah Mongol.”
“Akan tetapi, Pangcu. Siapakah orangnya selain pangcu yang pantas menjadi Beng-cu? Kalau
kita salah pilih, bahkan kemudian hari akan merugikan kita semua.”kata Goan Ciang dan Yen
Yen mengangguk menyetujui. Seluruh anggota Hwa I Kaipang tentu saja condong memilih
Pek Mau Lokai menjadi Beng-cu. Bahkan kelompok lain yang sehaluan dengan mereka, yaitu
yang merupakan pejuang sejati dan tidak melakukan kejahatan, bahkan menentang kejahatan
terhadap rakyat, juga sudah menyarankan agar Pek Mau Lokai yang menjadi calon Beng-cu.
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang putih sambil memandang kepada Cu
Goan Ciang. “Goan Ciang, selama beberapa bulan ini, hampir semua ilmu andalanku telah
kuajarkan kepadamu dan engkau telah memperoleh kemajuan pesat.”
Goan Ciang memberi hormat. “Terima kasih atas kemurahan hati Pangcu kepada saya.”
“Dalam beberapa bulan lagi, aku akan mengajarkan Hok-mo-tung dan semua ilmu
simpananku dan tidak sampai setahun lagi. Aku sendiri sudah tidak akan mampu lagi
menandingimu lagi, Goan Ciang. Nah, dengan demikian, berarti dalam hal ketangguan, aku
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 216
akan kalah olehmu, apalagi aku sudah tua dan engkau masih muda. Selain itu, engkaupun
cerdik, tabah dan pemberani. Juga engkau jujur, engkau tidak mementingkan diri sendiri,
pendeknya, engkau memiliki segala syarat untuk menjadi seorang pemimpin besar.”
Pemuda itu mengangkat muka, memandang kakek itu dengan sinar mata tajam menyelidik.
“Pangcu, apa yang pangcu maksudkan dengan itu?”
“Engkaulah yang akan kucalonkan sebagai Beng-cu Goan Ciang!”
Goan Ciang terbelalak. “Akan tetapi..... saya masih terlalu muda dan kurang pengalaman
untuk menjadi Beng-cu!”
“Ahh, justeru yang muda harus maju menggantikan yang tua. Dan tentang pengalaman, sejak
kecil engkau sudah digembleng pengalaman hidup yang pahit getir dan itu sudah merupakan
pelajaran yang baik sekali bagimu.”
“Aku setuju sepenuhnya, kong-kong!” kata Yen Yen dengan wajah berseri. “Memang tidak
ada orang lain yang dapat menggantikan kong-kong selain Cu-toako!”
Kakek itu mengangguk-angguk dan berkata, “Sejak pertama kali aku bertemu denganmu di
depan kuil itu, aku sudah mengambil keputusan dalam hatiku bahwa engkaulah orang yang
pantas menjadi pemimpin. Setelah mengenalmu lebih lama di sini, hatiku semakin yakin
maka aku mengajarkan ilmu-ilmu yang sepatutnya hanya kuwariskan kepada keturunanku,
kepada keluarga kami.”
“Akan tetapi saya adalah orang luar,bukan keluarga pangcu,” kata Cu Goan Ciang, merasa
bahwadi balik ucapan itu seperti terkandung maksud tertentu.
Kakek itu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau memang cerdik, Goan Ciang. Memang
sesungguhnyalah, aku sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Pertama-tama,
melihat hubungan dan pergaulan di antara kalian, aku mempunyai sebuah usul, yaitu untuk
menjodohkan kalian berdua. Goan Ciang, aku ingin engkau menjadi suami cucuku Tang Hui
Yen. Bagaimana pendapat kalian?”
Wajah Yen Yen segera berubah merah sekali dan ia menahan senyumnya, lalu menunduk.
“Ih, kong-kong…!”
Goan Ciang juga tersipu malu. Di dalam hatinya, pemuda ini memang harus mengakui bahwa
Yen Yen seorang gadis yang amat baik, dan hanya sebanding dengan mendiang Kim Lee
Siang, kekasihnya yang membunuh diri. Matinya Kim Lee Siang amat menyedihkan hatinya,
akan tetapi setelah dia bertemu dan bergaul dengan Yen Yen, dia merasa seolah Lee Siang
hidup kembali dan menggantikan kedudukan Lee Siang dalam hatinya. Akan tetapi, kalau
dahulu dengan Lee Siang dia memang bermaksud untuk menjadi suami isteri, dengan Yen
Yen ini dia hanya bergaul sebagai sahabat, tidak mencalonkan gadis itu sebagai isterinya.
Maka, usul yang tiba-tiba dan terbuka dari kakek itu sungguh mengejutkan hatinya dan
membuat dia bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Ha-ha-ha, Yen Yen, tidak perlu engkau malu-malu dan tidak perlu engkau
menyembunyikan. Aku mengenalmu dan tahu bahwa engkau mengagumi dan mencinta Goan
Ciang. Engkau tentu setuju kalau menjadi calon isterinya, bukan? Katakanlah. Kalau engkau
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 217
menjadi suami isteri, tentu saja Goan Ciang akan kuresmikan menjadi ketua Hwa I Kaipang
dulu dan engkau yang menjadi pembantunya. Setelah menjadi ketua Hwa I Kaipang, barulah
dia pantas untuk dicalonkan sebagai Beng-cu kelak dalam pemilihan besar itu. Nah, katakan,
apakah engkau suka menjadi isteri Goan Ciang?”
Yen Yen adalah seorang gadis yang lincah dan jenaka, periang dan galak, dan sama sekali
tidak pemalu. Akan tetapi, ditodong dengan pertanyaan tentang perjodohan, tentu saja ia
merasa malu dan salah tingkah, tidak tahu harus bersikap bagaimana dan berkata apa, ia
makin menundukkan mukanya. Selama hidupnya, belum pernah ia merasa semalu itu.
Mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras, seluruh tubuhnya seperti gemetar
rasanya. Kemudian, tiba-tiba ia teringat akan keadaan dirinya yang sebatang kara, tidak
berayah tidak beribu lagi dan tak tertahankan pula, beberapa butir air mata menitik turun ke
atas kedua pipinya. Bendungan perasaannya amat kuat karena ia seorang gadis yang tabah,
maka hanya beberapa butir saja air mata yang membocor keluar.
“Kong-kong tahu bahwa aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi kecuali kong-kong seorang,
maka tentang hal itu... aku hanya menurut saja apa yang kong-kong tentukan...”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Nah, Yen Yen sudah setuju untuk menjadi jodohmu, Goan Ciang.
Sekarang tinggal engkau. Kautahu bahwa kami adalah keluarga yang selalu bersikap terbuka,
maka sebaiknya kalau engkaupun terbuka saja mengaku. Engkau setuju menjadi jodoh Yen
Yen ataukah tidak? Andai kata tidak, katakan saja, tidak perlu sungkan dan pura-pura!”
Goan Ciang sungguh merasa tersudut. Dia tahu bahwa menghadapi kakek ini dan juga Yen
Yen, dia tidak perlu bersikap sungkan dan ragu. Menerima atau menolak, sebaiknya berterus
terang saja karena andai kata dia menolak sekalipun, kalau terus terang, tidak akan
menimbulkan dendam atau pertentangan seperti kalau dia berpura-pura. Beberapa kali dia
menghela napas panjang, lalu memandang kepada Yen Yen, kemudiang kepada kakek itu,
Yen Yen masih menundukkan mukanya, akan tetapi kakek itu mengamati wajahnya penuh
selidik.
“Pangcu, dan engkau juga, Yen-moi. Aku memang tidak perlu berpura-pura dan sebelumnya
aku harap pangcu dan engkau suka memaafkan kalau ucapanku ini menyinggung perasaan.
Terus terang saja, pangcu, saya amat kagum dan suka kepada Yen-moi. Ia seorang gadis yang
pandai, bijaksana dan baik budi. Aku suka sekali kepadanya, akan tetapi aku belum berani
mengatakan bahwa aku mencintainya dan mengharapkan ia menjadi jodoh saya. Bagaimana
mungkin saya dapat berpikir sampai sejauh itu. Pangcu sudah mengetahui bahwa baru
beberapa bulan saja saya kematian gadis yang saya cinta dan yang tadinya akan menjadi isteri
saya. Bahkan kematian tunangan saya itupun belum terbalas sehingga rohnya masih
penasaran, bagaimana saya berani mengalihkan cinta kepada seorang gadis lain, walaupun
saya amat kagum dan suka kepada gadis itu? Karena itu, pangcu, saya minta waktu untuk
menerima usul pangcu tentang perjodohanku dengan Yen-moi. Kalau sekarang aku menerima
begitu saja, bukankah aku menjadi seorang laki-laki yang tidak setia dan mudah melupakan
budi?”
Kakek itu mengangguk-angguk, dan Yen Yen juga mengangkat muka memandang kepada
Goan Ciang dengan sinar mata mengandung iba.
“Ucapanmu menunjukkan bahwa engkau jujur dan juga setia, Goan Ciang. Memang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 218
permintaan itu pantas sekali dan akupun tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujuinya.
Biarlah urusan perjodohan ini ditunda keputusannya sampai engkau sudah siap.”
“Toako, aku akan membantumu membalaskan dendam kematian tunanganmu,” kata Hui Yen
penuh semangat.
Mendengar ucapan kakek dan cucunya itu, hati Goan Ciang merasa lega dan senang. “Terima
kasih, pangcu, terima kasih Yen-moi. Kalian memang orang-orang yang baik sekali. Semoga
kelak aku tidak akan mengecewakan harapan kalian.”
Goan Ciang tidak dapat mengelak atau menolak lagi ketika dia diangkat menjadi ketua Hwa I
Kaipang! Yen Yen menjadi wakilnya, dan kakek itu menjadi penasihat. Dan diapun mulai hari
itu tekun melatih diri dengan ilmu Hok-mo-pang (tongkat penakluk iblis) dan ilmu lain yang
diajarkan oleh kakek itu.
Diam-diam Yen Yen ingin sekali membantu Goan Ciang membalaskan dendam kematian
tunangan Goan Ciang, menyebar anak buah untuk melakukan penyelidikan di mana adanya
Panglima Khabuli yang menyebabkan kematian tunangan Goan Ciang seperti yang
didengarnya dari kakeknya. Goan Ciang pernah bercerita kepada Pek Mau Lokai tentang
kematian kekasihnya yang diperkosa Khabuli-Ciangkun, yaitu ketika dia terpaksa mau
menjadi suami Jang-kiang Sianli Liu Bi karena hendak menyelamatkan nyawa Kim Lee Siang
yang telah diracuni wanita iblis itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Yen Yen mencari Goan
Ciang.
“Toako, ada kabar penting!” Gadis itu berkata. Melihat betapa Yen Yen sepagi itu telah
terengah-engah seperti habis berlari jauh dan cepat, Goan Ciang tersenyum.
“Eh, apakah yang terjadi, Yen-moi? Kenapa engkau seperti orang yang dikejar setan saja?”
“Bukan aku yang dikejar setan, akan tetapi kita harus menghajar setan pagi ini, toako!”
“Eh? Apa maksudmu, Yen-moi?”
“Toako, kini tiba saatnya kita membunuh jahanam Khabuli itu untuk membalas dendam atas
kematian tunanganmu.”
“Khabuli? Maksudmu, perwira yang menjadi komandan Wu-han itu? Yen-moi, engkau tahu
bahwa kita telah mengubah cara perjuangan, tidak menggunakan kekerasan menyerbu
benteng, melainkan menyusun kekuatan dan...”
“Aku mengerti, toako. Akan tetapi kebetulan sekali dia sedang keluar dari benteng. Dia akan
meninggalkan benteng pagi ini untuk kembali ke Wu-han. Ini kesempatan kita, toako. Kita
hadang dia di tengah perjalanan dan kita dapat membalas dendam tanpa mengacaukan kota.
Menurut penyelidikanku, panglima Khabuli hanya dikawal dua belas orang prajurit pengawal.
Semua sudah kuatur, toako. Sudah kupilih dua puluh orang pembantu kita yang akan
menandingi dua belas orang pengawal itu, sedangkan Khabuli sendiri kuserahkan kepadamu!
Nah, bukankah ini kesempatan baik sekali?”
“Tapi... kalau diketahui bahwa Hwa I Kaipang yang...”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 219
“Ah, sudah kupersiapkan kedok hitam untuk kita semua, toako!”
Goan Ciang kagum. Gadis ini memang cekatan dan cerdik bukan main. Dengan girang diapun
pergi bersama Yen Yen dan dua puluh orang anak buah dan mereka semua mengenakan
pakaian dan kedok hitam!
Panglima Khabuli menunggang seekor kuda hitam, dikawal oleh dua belas orang prajurit yang
semuanya berkuda. Panglima yang congkak dan merasa kuat ini mengira bahwa dengan
selosin pengawal pilihan itu saja sudah cukup baginya untuk melakukan perjalanan jauh tanpa
takut diganggu orang, walaupun dia tahun bahwa para pemberontak tentu akan mengganggu
kalau melihat dia melakukan perjalanan. Sudah terlalu banyak pemberontak yang dia basmi,
dia siksa dan di bunuh. Siapa yang akan berani mengganggunya, seorang panglima,
komandan kota Wu-han?
Hari itu terik sekali dan biarpun mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai Yang-ce,
tetap saja panas matahari siang itu amat menyengat. Oleh karena itu, ketika melihat sebuah
tenda di tepi sungai di mana orang menjual minuman, Khabuli memberi isyarat kepada anak
buahnya untuk berhenti mengaso sambil minum-minum di kedai minuman sederhana yang
agaknya sengaja dibuka orang di tempat sunyi itu untuk menjual minuman dan makanan kecil
kepada mereka yang kebetulan lewat di situ dan kehausan.
Penjual minuman arak dan air teh itu hanya dua orang laki-laki setengah tua. Mereka
terbongkok-bongkok menyambut tamu-tamu itu dan tentu saja kedua orang itu menjadi repot
bukan main harus melayani tiga belas orang kasar yang memesan minuman sambil
membentak-bentak itu.
Baru saja tiga belas orang itu minum-minum, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebatan
dan tahu-tahu kedai itu telah dikepung oleh dua puluh orang lebih yang membuat Khabuli dan
para pengawalnya terkejut setengah mati. Dua puluh lebih pengepung itu semua berpakaian
dan berkedok hitam!
Khabuli dan selosin orang pengawalnya tentu saja sudah mendengar akan peristiwa yang
terjadi di perbentengan Nan-king itu, ketika seorang berkedok hitam telah membunuh banyak
penjaga dan membebaskan dua orang tawanan dan kemudian betapa orang-orang berkedok
hitam mengacau di kota Nan-king. Maka kini melihat dua puluh orang lebih yang berpakaian
dan berkedok hitam, mereka terkejut dan segera berloncatan sambil mencabut senjata masingmasing.
“Serbu! Bunuh para pemberontak!” teriak Khabuli tanpa banyak tanya lagi, dan dia sendiri
sudah mencabut pedangnya.
Segera terjadi pertempuran yang seru dan mati-matian, Khabuli sendiri diserang oleh seorang
berkedok hitam yang bertubuh tinggi tegap dan yang bersenjatakan sebatang tongkat. Karena
tidak mungkin mengharapkan bantuan selosin orang pengawalnya yang harus menghadapi
serbuan dua puluh orang, Khabuli tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang si kedok hitam
yang sengaja menghadangnya itu.
“Pemberontak rendah, mampus kau!” bentaknya dengan suara yang mengandung kemarahan.
Raksasa berkulit hitam yang tubuhnya kokoh kuat ini sudah mengayun pedangnya dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 220
nampak sinar pedang berkelebat, terdengar bunyi mengaung saking kuatnya pedang itu
diayunkan.
“Singgg...!” Ketika si kedok hitam yang bukan lain adalah Cu Goan Ciang mengelak, pedang
itu berkelebat dan membuat gerakan memutar dengan cepat sekali, sudah menyerang secara
membalik ke arah leher si kedok hitam.
Goan Ciang menggerakkan tongkat menangkis. “Tranggg...!” Bukan main kagetnya hati
Khabuli. Pedangnya terpental dan ini membuktikan bahwa lawan memiliki tenaga yang amat
kuat. Pada hal, jarang ada orang yang akan kuat menangkis dan menahan serangannya tadi.
“Siapa kau?” bentaknya marah. Sejak tadi, begitu melihat Khabuli, Goan Ciang sudah merasa
marah sekali, teringata akan kekasihnya yang terpaksa membunuh diri karena telah dinodai
oleh raksasa hitam ini. Akan tetapi, dengan kekuatan batinnya, dia menenangkan kembali
hatinya karena maklum bahwa kemarahan akan membuat dia kehilangan kepekaan, padahal
dia tahu betapa lihainya lawan ini. Kini mendengar bentakan yang nadanya bertanya itu, dia
menggumam, lirih akan tetapi cukup jelas bagi lawannya.
“Arwah Kim Lee Siang menyuruh aku membunuhmu!” Dan kini tanpa menanti jawaban,
Goan Ciang sudah menggerakkan tongkatnya menyerang dengan totokan kilat. Totokan kilat
bertubi sebanyak tiga kali berturut-turut.
“Wuut-wuut-tranggg...!” Khabuli mengelak dua kali dan totokan terakhir tak dapat
dielakkannya lagi maka diapun menangkis dengan pedangnya dan kembali keduanya
terdorong ke belakang oleh kekuatan benturan kedua senjata. Kini wajah hitam Khabuli
menjadi agak pucat karena jantungnya berdebar keras dan mulailah dia merasa gentar. Tentu
saja dia tahu siapa Kim Lee Siang dan mengapa arwah gadis itu menyuruh orang
membunuhnya. Teringat dia akan peristiwa di sarang Jang-kiang-pang itu, ketika dia
menghadiri pesta pernikahan ketua Jang-kiang-pang dengan seorang pemuda yang namanya
dia lupa lagi. Dalam pesta pernikahan ketua yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu sumoi
dari kekasihnya yang bernama Kim Lee Siang, seorang gadis yang cantik dan yang dalam
keadaan terbius sehingga dengan mudah dia mampu menggaulinya dengan paksa. Kemudian
dia mendengar bahwa gadis yang telah diperkosanya itu membunuh diri, dan mendengar pula
bahwa ketua Jang-kiang-pang dibuntungi oleh suaminya sendiri yang kemudian dia dengar
adalah seorang pemberontak yang menjadi buronan pemerintah! Dan kini, si kedok hitam ini
mengaku disuruh arwah Kim Lee Siang untuk membunuhnya.
“Kau akan kukirim ke neraka menyusulnya!” bentaknya marah setelah dia menengok dan
melihat betapa selosin pengawalnya sudah terdesak hebat oleh para penyerbu yang memakai
kedok hitam. Dia menjadi nekat. Melarikan diri tidak mungkin. Minta bantuanpun tidak
mungkin karena di tempat sunyi itu, siapa yang akan dapat membantunya? Andai kata rakyat
melihatnyapun, mereka tidak akan mau membantu sepasukan tentara pemerintah yang sedang
berkelahi. Dua orang pemilik kedai minuman tadipun sudah bersembunyi di balik meja
mereka dengan tubuh menggigil, Khabuli menjadi nekat dan melawan mati-matian.
Khabuli adalah seorang panglima yang selain tinggi besar dan kuat, juga memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Dia ahli gulat Mongol, juga dia telah mempelajari berbagai ilmu silat
dan sudah banyak pengalamannya dalam perkelahian dan pertempuran. Akan tetapi, sekali ini
dia menghadapi Cu Goan Ciang yang bukan saja sudah lihai sekali dengan ilmu andalannya,
yaitu Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti), akan tetapi juga selama berbulan-bulan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 221
menerima gemblengan yang sungguh-sungguh dari Pek Mau Lokai dan kini dia menguasai
ilmu tongkat Hok-mo-tung yang gerakannya aneh dan berbahaya sekali bagi lawan!
Sementara itu, Yen Yen memimpin dua puluh orang anak buah Hwa I Kaipang yang semua
mengenakan pakaian dan kedok hitam, mendesak selosin orang prajurit pengawal Mongol.
Pertempuran yang berat sebelah terjadi dan akhirnya selosin orang itu dapat dirobohkan
semua, walaupun di pihaknya menderita tiga orang luka-luka.
Yen Yen kini hanya menonton perkelahian antara Goan Ciang dan panglima Khabuli. Pemuda
itu telah mulai mendesak Khabuli dengan sengit, sedangkan Khabuli yang melihat betapa
semua pengawalnya telah roboh, mulai merasa gentar dan permainan pedangnya mulai
ngawur. Dia tidak melihat jalan keluar, tidak dapat melarikan diri. Melihat betapa orang-orang
yang berpakaian dan berkedok hitam itu mengurung tempat itu, sedangkan dia didesak oleh
lawan, dia hanya dapat berlaku nekat dan mati-matian.
“Wuuutt... singg...!!” Pedangnya digerakkan membabi-buta, menyambar dahsyat ke arah
kepala Goan Ciang. Gerakan serangan ini sudah ngawur, lebih didorong kenekatan dan
kemarahan dari pada gerak jurus yang baik. Goan Ciang merendahkan tubuhnya, membiarkan
pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya dan tongkatnya bergeral cepat menusuk ke
arah perut lawan. Biarpun tongkat itu hanya terbuat dari kayu, namun ditangan Goan Ciang
yang mengerahkan sin-kang, senjata sederhana itu akan mampu menembus pakaian dan kulit
daging dan dapat mematikan, Khabuli maklum akan hal ini, maka diapun melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir balik untuk menghindarkan tusukan, Goan Ciang mengejar,
tongkatnya menyambar-nyambar.
“Tukkk!” Tongkat itu cepat sekali berhasil menotok pergelangan tangan kanan Khabuli yang
tiba-tiba merasa tangan kanan itu lumpuh sehingga pedangnya terlepas. Ketika dia hendak
mengambil pedang yang terjatuh, ujung tongkat menyambar-nyambar ganas sehingga dia
terpaksa meloncat ke belakang.
“Pengecut, engkau menghadapi orang yang tidak bersenjata lagi!” bentaknya marah.
Gertakannya untuk memanaskan hati lawan ini berhasil menyinggung harga diri dan
kegagahan lawan karena mendengar ini, Goan Ciang lalu menancapkan tongkatnya di atas
tanah dan menghadapi panglima Mongol itu dengan tangan kosong pula!
Akan tetapi ternyata hal ini sama sekali tidak menguntungkan Khabuli. Kalau tadi pedangnya
masih dapat menandingi tongkat lawan dan dia masih dapat membela diri dengan gigih, kini
dia terkejut bukan main karena begitu lawan memainkan Sin-tiauw ciang-hoat, Khabuli
terdesak hebat dan dalam belasan jurus saja dia beberapa kali terhuyung.
Dengan nekat, melihat Goan Ciang memiliki gerakan yang seperti seekor burung menyambarnyambar,
dia hendak mengambil kemenangan dengan ilmu gulatnya. Ketika terbuka suatu
kesempatan, begitu kedua lengan bertemu ketika dia menangkis tamparan lawan, secepat kilat
pergelangan tangannya membalik dengan putaran kuat dan dia sudah berhasil menangkap
lengan kanan Goan Ciang. Jari-jari tangannya yang panjang dan kuat itu mencengkeram dan
menangkap lengan, memuntirnya dan jari-jari tangan kirinya berhasil pula menjambak rambut
kepala Goan Ciang. Dengan satu tarikan saja dia akan dapat menjebol rambut itu atau
memuntir patah sambungan tulang lengan lawan. Akan tetapi pada saat itu, secepat kilat
tangan Goan Ciang, seperti seekor burung rajawali mematuk, telah menusuk ke arah ubunubun
kepalanya yang tertutup topi panglima.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 222
“Takk...!!” Topi itu tidak ada gunanya melindungi kepala terhadap totokan jari tangan Goan
Ciang. Mata Khabuli melotot, mulutnya terbuka dan terdengar suara aneh keluar dari
kerongkongannya, cengkeraman kedua tangannya pada lengan dan rambut terlepas dan
tubuhnya terjengkang dan tewaslah Khabuli dengan mata melotot dan mulut ternganga. Jari
tangan Goan Ciang menembus topi dan panglima itu tewas dengan kepala berlubang!
Yen Yen bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman mereka. Tepuk tangan ini baru
menyadarkan Goan Ciang yang berdiri memandangi mayat musuhnya dengan termenung
karena dia teringat kepada kekasihnya yang telah tewas. Dalam hatinya dia berdoa agar Kim
Lee Siang tidak merasa penasaran lagi.
“Mari kita cepat pergi!” katanya kepada Yen Yen. Mereka lalu meninggalkna tempat itu
dengan cepat, membawa tiga orang teman yang terluka.
Tinggal dua orang pemilik kedai yang kini nampak ketakutan. Biarpun mereka sama sekali
tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang yang memakai kedok hitam tadi dan mereka
tidak tersangkut urusan perkelahian yang menyebabkan tewasnya pasukan pemerintah, namun
kedai mereka telah berubah menjadi tempat pembantaian di mana tiga belas orang pasukan
pemerintah kini menjadi mayat, berserakan di kedai mereka! Mereka hanya dapat menangis
dan masih menangis ketika pasukan pemerintah datang dari Nan-king mendengar berita
tentang pertempuran itu. Dua orang pemilik kedai itu dengan menangis ketakutan,
menceritakan apa yang telah terjadi. Untung bagi mereka bahwa yang memeriksa dan
menanyai mereka adalah Shu-Ciangkun. Setelah mendengar penjelasan kedua orang pemilik
kedai bahwa yang membunuh Khabuli dan selosin anak buahnya adalah dua puluh lebih
orang-orang berpakaian hitam dan berkedok hitam pula, dua orang itupun dibebaskan.
Yauw-Ciangkun marah-marah, akan tetapi kepada siapa dia harus marah? Para penyerang itu
berkedok hitam, sama seperti si kedok hitam yang pernah mengacau dalam benteng dan
membebaskan dua orang tawanan!
“Shu-Ciangkun, engkau harus dapat membasmi gerombolan kedok hitam ini. Kalau tidak
dapat terbasmi dalam waktu sebulan, aku akan menganggap bahwa engkau telah gagal
membersihkan daerah ini dari gangguan para pemberontak. Aku yakin bahwa gerombolan
kedok hitam itu pasti golongan pemberontak, bukan sekedar gerombolan penjahat biasa.”
Shu Ta memberi hormat. “Baik, Ciangkun. Saya akan melakukan pembersihan dan dalam
waktu sebulan, saya berjanji bahwa gerombolan kedok hitam itu tidak akan ada lagi di daerah
ini!”
Shu Ta dapat menduga siapa yang melakukan pembunuhan terhadap Khabuli dan anak
buahnya. Siapa lagi yang membunuh perwira Mongol dan pasukannya dengan menggunakan
kedok hitam kalau bukang suhengnya? Dan diapun mengerti apa maksud suhengnya. Tentu
penggunaan kedok hitam itu untuk membebaskan dia dari kecurigaan! Diam-diam dia
mengutus A Sam untuk menemui pimpinan Hwa I Kaipang dan minta agar semua kegiatan
para pejuan dihentikan dan agar tidak lagi muncul kedok hitam di Nan-king. Dia sendiri
memimpin pasukan dan melakukan penggeledahan di semua rumah penduduk di kota besar
Nan-king dan sekitarnya, sengaja menangkap beberapa orang yang dicurigai untuk kemudian
dibebaskan kembali karena tidak ada bukti bersalah. Akan tetapi hasilnya, biarpun tidak dapat
menangkap seorang pemberontakpun, hanya menangkapi beberapa orang penjahat yang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 223
memang sudah lama dicari petugas keamanan, ternyata semenjak Shu-Ciangkun melakukan
pembersihan, tidak pernah lagi muncul di Nan-king! Hal ini tentu saja membuat Shu Ta
semakin dipercaya, dan pangkatnya dinaikkan sehingga kini dia menjadi wakil komandan
pasukan di Nan-king, yaitu pembantu utama dari Yauw-Ciangkun!
Perubahan siasat yang diperintahkan Menteri Bayan kepada para pejabat daerah di Nan-king,
dilaksanakan dengan baik. Semenjak Panglima Shu Ta yang kini menjadi wakil komandan
Nan-king mengadakan pembersihan terhadap gerombolan kedok hitam, tidak pernah lagi
terjadi keributan dan seolah-olah terdapat perdamaian tak tertulis antara para pemberontak
dan pemerintah. Tidak ada lagi kekacauan dilakukan para pejuang, dan juga pasukan
pemerintah tidak pernah lagi mengadakan pembersihan untuk membasmi pemberontak.
Kehidupan di Nan-king dan sekitarnya nampak tenteram dan tenang.
Untuk melaksanakan siasat mendekati dunia kang-ouw agar dapat membantu pemerintah,
maka dilaksanakan pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat) atau juga pemimpin dunia kangouw.
Undangan untuk pemilihan Beng-cu ini diadakan oleh Hwa I Kaipang dan Hek I
Kaipang. Memang pandai sekali siasat yang dilakukan pemerintah, Hek I Kaipang mengirim
utusan mencari Pek Mau Lokai dan tokoh tua Hwa I Kaipang ini diundang untuk mengadakan
pertemuan dengan Coa Kun, ketua Hek I Kaipang. Dalam pertemuan ini, Coa Kun mengajak
Pek Mau Lokai untuk menghentikan pertentangan antara kedua perkumpulan pengemis dan
bersama-sama menyelenggarakan pemilihan Beng-cu. Pek Mau Lokai maklum bahwa kalau
undangan terhadap para tokoh kang-ouw dilakukan atas namanya, maka tentu akan mendapat
perhatian para tokoh kang-ouw, apa lagi masih ada nama Coa Kun, sebagai ketua Hek I
Kaipang ikut pula mengundang.
Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang serta Tang Hui Yen, maklum bahwa Hek I Kaipang
dipergunakan pemerintah Mongol untuk menarik dunia kang-ouw agar mendukung
pemerintah. Oleh karena itu, merekapun tidak tinggal diam dan anak buah Hwa I Kaipang
telah disebar luas untuk menghubungi para tokoh kang-ouw dan mengingatkan mereka agar
jangan sampai terjebak dan diperalat penjajah Mongol yang hendak menggunakan siasat lain
untuk menguasai para pemberontak. Semua pihak dapat merasakan bahwa walaupun
nampaknya saja terdapat ketenangan dan suasananya penuh damai antara pihak yang pro dan
pihak yang anti pemerintah Mongol, agaknya kedua pihak mengadakan kerja sama untuk
mengadakan pemilihan Beng-cu, namun dalam pemilihan itu pasti akan terjadi pergolakan
dan pertentangan hebat. Diam-diam telah terjadi pengelompokan, yaitu kelompok yang pro
dan diperalat pemerintah Mongol, kelompok yang anti penjajahan, dan kelompok yang acuh
akan urusan politik melainkan berpamrih untuk keuntungan pribadi saja.
Harapan kedua pihak yang diam-diam bertentangan itu terpenuhi ketika pada hari yang
ditentukan, di tempat yang telah dipersiapkan untuk mengadakan pemilihan Beng-cu itu
dibanjiri pengunjung. Hampir seluruh kang-ouw di daerah Nan-king ke selatan menghadiri
pemilihan itu. Bahkan banyak pula tokoh dari utara dan barat datang sebagai penonton, bukan
sebagai pengikut pemilihan.
Adapun pihak Hwa I Kaipang diwakili oleh Pek Mau Lokai sendiri, kakek berusia enam
puluh enam tahun yang rambutnya putih riap-riapan itu, kakek yang selalu tersenyum dan
matanya yang sipit tajam sinarnya. Semua tokoh kang-ouw juga mengenal baik kakek
jangkung kurus ini karena namanya sebagai pendiri dan pemimpin Hwa I Kaipang, sudah
terkenal di sepanjang lembah Yang-ce. Bahkan para tokoh besar dunia persilatan juga segan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 224
melihat sebatang tongkat butut yang selalu menjadi temannya karena tongkat itu kabarnya tak
pernah dikalahkan lawan! Di samping kanan kakek ini duduk seorang gadis yang berusia dua
puluh satu tahun, cantik manis dengan tubuhnya yang tinggi ramping, rambutnya hitam tebal
digelung ke atas, wajahnya bulat telur manis sekali, dengan sepasang mata indah dan jeli,
dagunya runcing dan di sebelah kiri mulutnya membayang lesung pipit. Mulut yang manis
itupun selalu tersenyum seperti mulut Pek Mau Lokai, dan memang gadis ini adalah cucu
pendiri Hwa I Kaipang itu. Ia adalah Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen. Di
sampingnya duduk Cu Goan Ciang dengan sikap gagah dan tenang. Para tokoh kang-ouw
diam-diam memperhatikan pemuda tinggi tegap yang gagah dan anggunm berwibawa dan
pembawaannya seperti seekor rajawali, demikian perkasa dan matanya mencorong tajam.
Semua orang sudah mendengar akan sepak terjang pemuda ini. Dia amat dikenal karena
semua orang mendengar betapa pemuda ini berjiwa pahlawan yang menentang penjajahan
dengan berani, dan mendengar pula bahwa Cu Goan Ciang menjadi orang buruan pemerintah,
namun tak pernah dapat ditangkap karena dia amat cerdik dan pandai mengatur siasat.
Di belakang kursi ke tiga orang wakil Hwa I Kaipang ini duduk pula tiga orang ketua cabang
Hwa I Kaipang, yaitu Lee Ti dari cabang barat, Pouw Sen dari cabang timur, dan Kauw Bok
dari cabang selatan. Anak buah Hwa I Kaipang juga banyak yang hadir, akan tetapi mereka
berbaur dengan para pendatang lainnya dan tidak mengenakan pakaian perkumpulan mereka.
Pemilihan ini merupakan pemiihan pemimpin kang-ouw umum, bukan pemimpin
perkumpulan, maka mereka tidak mewakili perkumpulan, melainkan sebagai orang-orang
kang-ouw. Pula, para pimpinan Hwa I Kaipang memang melarang anak buah mereka
mengenakan pakaian baju kembang karena pihak pemerintah sedang mengincar mereka dan
kalau mereka mengenakan baju kembang, tentu akan mudah ditangkap.
Kedatangan dan kehadiran para tokoh perkumpulan besar ini tentu saja mempunyai arti
penting.
Setelah semua orang berkumpul tidak ada lagi tamu yang datang, Coa Kun sebagai ketua Hek
I Kaipang dan penyelenggara pertemuan itu bersama Hwa I Kaipang, berdiri di atas panggung
dan memberi isarat dengan tangan agar semua orang tenang. Coa pangcu (ketua Coa) yang
gagah dengan muka seperti harimau tiu mengucapkan terima kasih atas nama Hek I Kaipang.
“Cu-wi (saudara sekalian) tentu tahu bahwa sudah lama dunia persilatan tidak dipimpin
seorang Beng-cu sehingga di antara kita tidak ada persatuan. Karena itu, kita semua
menyadari bahwa amat perlu diadakan pemilihan seorang Beng-cu, agar kita semua selalu
mendapat petunjuk agar kita bersama dapat menjaga ketenteraman dan kemakmuran dalam
kehidupan rakyat. Karena itu, hari ini kita akan mengadakan pemilihan Beng-cu dan saudara
sekalian dipersilahkan untuk mengajukan calon-calon yang akan kita pilih bersama. Tentu
saja kita harus memilih yang terbaik, yaitu yang memiliki pengalaman paling banyak dan
pengetahuan paling lengkap, juga yang memiliki ilmu kepandaian silat paling lihai. Orang
seperti itu barulah pantas untuk memimpin kita.”
Ketika Pek Mau Lokai, sebagai wakil Hwa I Kaipang mendapat kesempatan menyambut dan
ketika kakek yang rambutnya riap-riapan putih ini berdiri di panggung, dengan tongkat butut
di tangan kanan, semua orang memandang kagum. Dilihat keadaan tubuhnya yang jangkung
kurus, kakek ini nampaknya lemah saja, akan tetapi semua orang tahu bahwa dibalik keadaan
itu terkandung kekuatan yang hebat dan terutama tongkat butut itu kabarnya belum pernah
mengalami kekalahan.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 225
“Saudara sekalian. Apa yang diucapkan Hek I Kaipangcu tadi memang betul. Kita semua
membutuhkan seorang Beng-cu yang bijaksana. Rakyat membutuhkan bimbingan agar
hidupnya tidak tertindas dan sengsara, dan rakyat membutuhkan seorang pemimpin yang
selain tangguh, juga yang bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri dan yang mencinta
rakyat jelata. Kami sebagai pihak yang ikut menyelenggarakan pemilihan ini, mengajukan
seorang calon kami, yaitu ketua Hwa I Kaipang kami yang bernama Cu Goan Ciang!”
Mereka yang sudah mendengar nama Cu Goan Ciang, juga mereka yang menghormati Pek
Mau Lokai dan percaya akan pilihannya, menyambut dengan tepuk tangan gemuruh.
Diam-diam Coa Kun mendongkol. Pek Mau Lokai telah mendahuluinya, mengajukan wakil
atau calon lebih dahulu sehingga mampu memancing perhatian dan dukungan banyak orang.
Diapun cepat mengumumkan agar semua pihak mengajukan calon-calon mereka. Pihak Hek I
Kaipang sendiri mengajukan tiga orang calon, yaitu kakek Bouw In, Thian Moko, dan Tee
Moli.
Melihat betapa Hek I Kaipang mengajukan tiga orang calon, Tang Hui Yen bangkit dari
tempat duduknya dan berseru dengan suara nyaring, “Karena Hek I Kaipang mengajukan tiga
orang calon, maka kami dari pihak Hwa I Kaipang juga menambah seorang calon lagi, yaitu
kakekku sendiri, Pek Mau Lokai! Jadi pihak kami mengajukan dua orang calon, yaitu Cu
Goan Ciang dan Pek Mau Lokai!”
Kembali calon ini disambut dengan sorak-sorai. Ketika pihak lain dipersilahkan mengajukan
calon, pihak orang-orang kang-ouw yang tidak membela atau menentang pemerintah,
mengajukan dua orang calon. Yang pertama adalah Jang-kiang Sianli Liu Bi yang disambut
dengan gembira pula oleh Hek I Kaipang karena mereka tahu bahwa wanita yang lengan
kirinya buntung itu jelas dapat mereka tarik di pihak mereka karena wanita itu sudah lama
dekat dengan para pejabat, bahkan pernah menjadi kekasih panglima Khabuli yang tewas oleh
gerombolan kedok hitam! Adapun calon kedua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh
tahun lebih yang tubuhnya seperti raksasa dan berotot melingkar-lingkar, mukanya juga
penuh brewok dan matanya lebar. Dia amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh
sesat yang amat lihai dan bertenaga gajah, dan dia dikenal dengan nama julukan Tay-lek Kwiong
(Raja Setan Tenaga Besar), seorang jagoan di sepanjang pantai timur, juga terkenal di
sepanjang sungai Yang-ce sebagai bajak sungai tunggal. Akan tetapi tidak seperti perampok
dan pembajak lainnya, dia hanya mau merampok harta yang besar jumlahnya saja, dan
perbuatan inipun dilakukan amat jarang. Sekali merampok, dia memperoleh harta yang
banyak dan setelah hasil rampokan itu habis, barulah dia turun tangan kembali. Tidak ada
pantangan baginya, baik pedagang yang dilindungi tukang-tukang pukul, atau pejabat yang
dilindungi pasukan pengawal, semua disikatnya dan dia tidak pernah gagal. Diapun tidak
pernah mencampuri urusan politik, tidak menentang, juga tidak membantu pemerintah
penjajah Mongol.
Ketika para hadirin diberi kesempatan untuk mengajukan calon, ternyata tidak ada calon lain
yang berani maju. Mereka yang tadinya mempunyai minat untuk menjadi calon, kini mundur
teratur melihat tokoh-tokoh besar yang sudah ditunjuk. Ada yang merasa ngeri kalau harus
bersaing dengan Tay-lek Kwi-ong, ada yang takut menghadapi Jang-kiang Sianli, akan tetapi
mereka segan untuk bersaing dengan Pek Mau Lokai.
Kini para calon dipersilahkan duduk berjajar di tengah panggung, dan para pemilih
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 226
diperbolehkan untuk mengajukan keberatan terhadap calon-calon yang dipilih.
Giliran pertama jatuh pada Cu Goan Ciang, Coa Kun segera maju dan naik ke atas panggung.
“Saudara sekalian, kami merasa tidak setuju kalau Cu Goan Ciang diajukan sebagai calon.
Pertama, dia masih terlalu muda dan tidak berpengalaman, kedua kalinya, namanya telah
tersohor sebagai orang yang telah menimbulkan kekacauan sehingga kalu kelak dia menjadi
Beng-cu, dia tidak akan mampu mendatangkan ketenteraman dalam kehidupan dunia kangouw.”
Mendengar ini, Tang Hui Yen bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menghadapi para
tamu. Suaranya merdu namun lantang ketika ia bicara, “Cu-wi harap pertimbangkan baik-baik
dan tidak terpengaruh oleh keberatan yang diajukan Hek I Kaipang tadi. Alasan penolaknya
kurang kuat. Pertama, justeru usia muda yang akan membuat seorang Beng-cu dapat bekerja
dengan penuh semangat, tidak seperti orang tua yang sudah loyo! Tentang kekacauan yang
dikatakan ditimbulkan oleh Cu Goan Ciang, hal itu terlalu dilebih-lebihkan, Cu Goan Ciang
adalah seorang pendekar dan pendekar mana yang tidak akan turun tangan kalau melihat
terjadinya ketidak adilan? Tentu sepak terjangnya menimbulkan keributan, akan tetapi tokoh
kang-ouw manakah yang tidak pernah menimbulkan keributan? Kita memang belajar ilmu
untuk menentang ketidak adilan dan tentu akan menimbulkan keributan. Akan tetapi, Cu
Goan Ciang tidak pernah mengacau, tidak pernah merugikan rakyat, tidak pernah melakukan
kejahatan. Karena itu, kami tetap mengajukan Cu Goan Ciang sebagai calon Beng-cu!”
Ucapan gadis yang dilakukan penuh semangat itu disambut oleh banyak orang yang
mendukungnya sehingga terpaksa Coa Kun mengalah dan Cu Goan Ciang dinyatakan sebagai
seorang calon yang telah disetujui. Ketika Pek Mau Lokai diajukan untuk dinilai, tak
seorangpun berani menyatakan tidak setuju dan dengan sendirinya kakek pendiri Hwa I
Kaipang inipun menjadi seorang calon. Demikian pula ketika Thian Moko dan Tee Moli
diajukan. Sepasang iblis ini membuat semua orang gentar sehingga tidak ada yang berani
mengajukan keberatan. Akan tetapi ketika Bouw In diajukan, tiba-tiba terdengar seruan dari
bawah panggung dan seorang hwesio melompat, naik ke atas panggung.
“Omitohud, pinceng dari Siauw-lim-pai merasa tidak setuju sama sekali kalau dia diajukan
sebagai calon Beng-cu!”
Semua orang memandang dan Cu Goan Ciang sendiri terkejut melihat bahwa yang melompat
ke atas panggung adalah seorang hwesio yang sikapnya lemah lembut, usianya sekitar enam
puluh sati tahun. Hwesio itu bukan lain adalah Lauw In Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di
Lembah Sungai Huai, atau gurunya yang pernah mendidiknya di kuil selama delapan tahun.
Lauw In Hwesio kini menghadapi Bouw In yang duduk dengan sikap tenang, dan kedua orang
itu bertemu pandang, lalu Lauw In Hwesio memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap
di depan dada. “Omitohud...! Bouw In Suheng, bagaimana mungkin suheng menjadi seorang
Beng-cu di dunia kang-ouw?”
“Lauw In Sute, aku Bouw In sekarang bukan hwesio lagi, bahkan aku telah menikah dan
membentuk keluarga. Apa salahnya kalau aku menjadi seorang Beng-cu kalau memang itu
yang dikehendaki oleh dunia kang-ouw?”
Sejenak Lauw In Hwesio mengamati suhengnya dan diapun berulang kali menyebut nama
Buddha. Dia terkejut dan heran bukan main mendengar bahwa suhengnya itu telah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 227
meninggalkan kependitaannya, menjadi orang biasa, bahkan telah menikah dan kini
membiarkan dirinya dipilih menjadi calon Beng-cu!
“Suheng, katakanlah suheng bukan lagi menjadi hwesio,” katanya dengan lantang agar
didengarkan oleh orang-orang lain, “akan tetapi suheng adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai
dan merupakan larangan bagi murid Siauw-lim-pai untuk menjadi pemimpin golongan lain
apa lagi menjadi Beng-cu. Kami dari pihak Siauw-lim-pai tidak setuju kalau Bouw In suheng
dicalonkan menjadi Beng-cu!”
Coa Leng Si yang berpakaian serba hijau, gadis yang gagah dan cantik murid Bouw In
Hwesio itu segera bangkit dari tempat duduknya dan suaranya terdengar nyaring, “Pihak
Siauw-lim-pai sungguh bersikap tidak adil dan tidak wajar. Suhu tadi sudah mengatakan
bahwa dia bukan lagi seorang hwesio Siauw-lim dan hal ini berarti dia boleh berbuat
sekehendak hatinya. Kalau suhu melakukan perbuatan yang jahat, boleh saja Siauw-lim-pai
merasa tersinggung dan merasa tercemar nama baiknya. Akan tetapi, suhu menjadi calon
Beng-cu, kedudukan terhormat di dunia kang-ouw. Sepantasnyalah Siauw-lim-pai merasa ikut
bangga karena suhu adalah bekas hwesio Siauw-lim-pai, bukan malah melarang dan
menentang tanpa alasan!”
Para tamu banyak mengangguk-angguk membenarkan ucapan itu, dan Lauw In Hwesio
segera menjawab, “Omitohud... kalau benar Bouw In Suheng menyatakan tidak lagi menjadi
anggota Siauw-lim-pai, tentu kami juga tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadinya!”
Kini Bouw In menjawab sambil tersenyum tenang. ‘Ha, agaknya engkau lupa bahwa engkau
telah bersikap sama sekali tidak adil, sute Lauw In Hwesio! Aku tahu bahwa Cu Goan Ciang
adalah muridmu, berarti dia murid Siauw-lim-pai pula. Akan tetapi kenapa engkau tidak
menentang dia menjadi calon Beng-cu? Cu Goan Ciang itu muridmu, berarti murid Siauwlim-
pai juga, bukan? Apakah diapun harus keluar dari keanggotaannya di Siauw-lim-pai, abru
boleh mengikuti pemilihan Beng-cu ini?”
Diserang seperti itu, Lauw In Hwesio tertegun. Dia menghela napas panjang dan berkata
dengan suara mengeluh, “Omitohud...! Engkau tahu bahwa pinceng bicara demi kebaikanmu
sendiri, suheng. Suheng pernah menjadi tokoh besar Siauw-lim-pai sehingga setiap sepak
terjang suheng akan menjadi perhatian dunia persilatan. Adapun Cu Goan Ciang, dia seorang
pemuda, tentu lebih berhak untuk mengejar cita-citanya. Engkau sudah tua, suheng, apakah
juga masih ingin mengejar kedudukan dan kehormatan sebagai Beng-cu? Akan tetapi, kalau
engkau nekat, pinceng juga tidak dapat menghalangimu, pinceng hanya dapat berdoa semoga
engkau tidak terseret ke dalam kesesatan dan kehormatan.” Setelah berkata demikian, Lauw
In Hwesio duduk kembali di bangkunya dan wajahnya nampak kecewa dan berduka. Bouw In
juga duduk dna mukanya agak kemerahan dan dia duduk termenung.
Kini tiba giliran Jang-kiang Sianli Liu Bi, wanita yang cantik dan mewah pesolek itu. Biarpun
tidak ada peserta yang mengajukan keberatan terhadap dirinya, namun wanita ini bangkit dari
tempat duduknya dan sambil memandang ke arah Cu Goan Ciang, iapun berkata dengan suara
tinggi nyaring, “Aku Jang-kiang Sianli Liu Bi bukan orang yang haus akan kedudukan. Aku
sudah cukup senang dengan kedudukanku sebagai ketua Jang-kiang-pang dan selama ini
dikenal sebagai perkumpulan orang gagah. Kalau sekarang aku mencalonkan diri, hanyalah
semata untuk menyaingi dan menantang Cu Goan Ciang! Dia seorang laki-laki yang palsu,
tidak bertanggung jawab dan tidak pantas untuk menjadi Beng-cu. Lihat, lengan kiriku
buntung karena dia! Dia telah menjadi suamiku, akan tetapi dia tega untuk membuntungi
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 228
tanganku hanya karena dia cemburu melihat adikku perempuan tidur dengan pria lain!”
Terdengar seruan-seruan mengejek ke arah Cu Goan Ciang yang mukanya berubah merah
karena kemarahannya. Ingin dia membantah, ingin dia membongkar rahasia, busuk wanita itu
yang telah mengorbankan sumoinya sendiri kepada Khabuli, akan tetapi dia anggap tidak
perlu lagi. Biarkan saja perempuan itu bicara sesuka hatinya.
“Perempuan hina tak tahu malu!” katanya dengan lantang. “Tidak perlu kuceritakan dan
kubongkar semua rahasia busukmu, semua orang sudah tahu belaka perempuan macam apa
engkau ini!” kata Cu Goan Ciang dengan suara dingin.
“Aku tidak haus kedudukan, akan tetapi kalau Cu Goan Ciang yang terpilih, aku akan
menentang mati-matian!” teriak Liu Bi.
Terdengar suara tawa yang lembut, namun mengandung getaran kuat sehingga mengejutkan
semua orang yang menengok dan melihat ke arah Pek Mau Lokai yang tertawa.
“Ha-ha-ha, ketua Jang-kiang-pang muncul ke sini bukan untuk ikut pemilihan Beng-cu,
melainkan untuk urusan dendam pribadi! Kita semua adalah orang-orang dunia persilatan
yang menghargai kegagahan dan juga yang berani bertanggung jawab atas perbuatan kita.
Kalau Cu Goan Ciang menang dalam pemilihan ini, mendapatkan suara terbanyak, maka tak
seorangpun boleh menentangnya. Yang menentangnya akan berhadapan dengan aku, heh-heh!
Aku sendiri, biarpun dicalonkan, tidak akan ikut memperebutkan kedudukan Beng-cu,
melainkan kuberikan kepada Cu Goan Ciang yang lebih berhak dan lebih pantas menjadi
Beng-cu!” Ucapan ini jelas menunjukkan bahwa kakek ini berdiri di belakang Cu Goan Ciang
dan akan membelanya.
Terdengar berisik sekali karena semua orang saling bicara menyambut ucapan Pek Mau Lokai
itu dan dari kelompok anak buah Hek I Kaipang terdengar teriakan-teriakan, “Jangan pilih
pemberontak! Dia akan menyeret kita ke dalam pemberontakan melawan pemerintah! Biar
pemberontak mampus!” Teriakan ini mendapat sambutan dari mereka yang memang tidak
ingin terlibat dalam pemberontakan, apa lagi mereka yang berbaik dengan para pejabat,
seperti para anggota Jang-kiang-pang.
“Jangan pilih penjilat penjajah!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari pihak Hwa I Kaipang.
“Lebih baik gugur sebagai harimau dari pada hidup sebagai babi! Pejuang yang tewas jauh
lebih terhormat dari pada penjilat yang gendut! Hidup pejuang, pahlawan nusa bangsa dan
mampuslah penjilat dan antek penjajah!”
Suasana menjadi riuh rendah dan gaduh karena terjadi perang mulut antara kedua pihak. Kini
mereka tidak merahasiakan lagi isi hati mereka, yaitu sepihak anti pemerintah Mongol dan
pihak lain mendukung pemerintah penjajah itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa bergelak. Suara itu kuat sekali, mengaung dan
mengalahkan suara gaduh sehingga semua orang memandang dan suasana dengan sendirinya
menjadi tenang. Yang tertawa itu adalah Tay-lek Kwi-ong, yaitu raksasa yang juga terpilih
sebagai calon Beng-cu. Raksasa tinggi besar ini sudah bangkit berdiri dengan gagahnya,
tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri mengelus brewoknya dan setelah dia tertawa dan
suasana tidak segaduh tadi, terdengar dia bicara, suaranya menggeledek dan lantang.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 229
“Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali! Kalian semua telah mendengarnya. Kalian akan keliru kalau
memilih satu di antara keduanya. Seperti menunggang harimau saja. Turun salah tidak turun
juga berbahaya. Memilih yang anti pemerintah berbahaya, memilih yang mendukung
pemerintah juga tidak tepat. Paling tepat dan aman adalah memilih aku, Tay-lek Kwi-ong!
Aku akan memimpin dunia kang-ouw menjadi golongan yang bebas, bukan penjilat
pemerintah bukan pula pemberontak! Hidup kita akan aman dan tenteram, dan makmur. Kita
sejak kecil mempelajari ilmu bukan untuk berperang, bukan untuk menyeret diri ke dalam
bahaya, melainkan untuk dapat hidup senang, bukan? Nah, kalau kalian semua memilih aku,
aku akan memimpin kalian untuk menuju kepada hidup bahagia itu, dan persetan dengan
perjuangan!”
Banyak di antara mereka yang hadir menyambut ucapan si raksasa ini dengan gembira pula,
menunjukkan bahwa ucapannya tadi banyak yang menyetujuinya. Sementara itu, Coa Kun
dan puterinya ketika mendengar ucapan raksasa itu, otomatis menoleh ke arah dua orang yang
duduk di dekat mereka, di kursi kehormatan pula. Mereka adalah seorang pemuda tampan dan
seorang gadis cantik. Pemudanya tampan gagah, dan gadis itu cantik jelita. Melihat pakaian
mereka, kedua orang ini seperti orang-orang muda hartawan dan terpelajar. Mereka bukan
lain adalah Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan adiknya, Bouw Mimi atau biasa dipanggil
Bouw Siocia. Putera dan puteri Menteri Bayan ini sengaja datang sendiri menonton pemilihan
Beng-cu. Biarpun keduanya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan tangguh untuk
melindungi diri sendiri, namun tentu saja Yauw-Ciangkun mengkhawatirkan kehadiran
mereka di antara tokoh-tokoh kang-ouw itu, maka diam-diam Yauw-Ciangkun mengirim
belasan orang jagoan yang secara diam-diam melindungi dua orang muda bangsawan itu. Coa
Kun dan puterinya telah diperkenalkan kepada mereka dan kini ayah dan anak itu ingin
melihat bagaimana tanggapan dua orang muda bangsawan itu terhadap semua percakapan
yang tentu terdengar tidak enak bagi kakak beradik itu. Akan tetapi, Bouw Kongcu yang juga
memandang kepada mereka, tersenyum dan mengangguk-angguk.
Coa Kun lalu memberi isarat kepada anak buahnya untuk bersiap-siap. Dari Yauw-Ciangkun,
dia telah memperoleh pesan akan siasat yang telah mereka rencanakan dalam pemilihan
Beng-cu ini, sesuai dengan pesan Menteri Bayan yang dibawa oleh Bouw Kongcu. Siasat itu
adalah bahwa di dalam pemilihan Beng-cu itu, hanya ada dua pilihan. Pertama, Beng-cu yang
dipilih haruslah orang yang mau bekerja sama dengan pemerintah. Kalau tidak berhasil, dari
pada Beng-cu dipegang oleh yang anti pemerintah, lebih baik pemilihan digagalkan sehingga
dunia kang-ouw akan tetap terpecah belah. Pendeknya, kalau mungkin, dengan Beng-cu
pilihan, pemerintah ingin mengulurkan tangan mengajak dunia persilatan bekerja sama. Kalau
hal itu tidak terlaksana, maka pemerintah ingin melihat dunia kang-ouw terpecah belah dan
terjadi pertentangan dan permusuhan di antara golongan-golongan itu sendiri, karena kalau
dunia kang-ouw sampai bersatu dan menentang pemerintah, hal itu dapat berbahaya.
Setelah suara gaduh agak mereda, Coa kun kembali bangkit dan mengangkat kedua lengan ke
atas memberi isarat agar semua orang diam dan tidak membuat gaduh. “Saudara sekalian
telah mendengarkan pendapat dan penilaian terhadap para calon. Kita semua mengetahui
bahwa biarpun kita adalah orang-orang dunia persilatan yang menghargai kegagahan, namun
di antara kita terdapat ketidak cocokan dalam hal sikap kita terhadap pemerintah. Ada pihak
yang ingin bekerja sama dengan pemerintah memakmurkan kehidupan rakyat, ada pula pihak
yang menentang pemerintah, dan ada pula pihak yang tidak pro maupun anti pemerintah.
Pihak pertama diwakili oleh kami dan calon-calon kami adalah lo-cian-pwe Bouw In, dan
kedua lo-cian-pwe Huang-ho Siang Lomo. Pihak kedua yang menentang pemerintah diwakili
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 230
oleh Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang, adapun pihak yang ke tiga adalah Jang-kiang Sianli
dan Tay-lek Kwi-ong. Sekarang kita tiba pada saat penentuan siapa yang paling tepat menjadi
Beng-cu. Seorang Beng-cu haruslah memiliki ilmu silat yang paling tangguh, dan para calon
diharapkan untuk dapat membuktikan bahwa dirinya paling lihai.”
Para pemilih bersorak menyambut pengumuman ini karena memang inilah yang menarik
perhatian mereka untuk datang, yaitu menonton pertandingan silat antara orang-orang yang
berilmu tinggi!
Pek Mau Lokai bangkit berdiri dan menggerakkan tongkatnya ke atas sehingga terdengar
suara mengaung dan membuat semua orang terdiam. Kakek rambut putih itu tersenyum.
“Heh-heh, pendapat yang dikemukakan Coa-pangcu tadi menggelikan hatiku. Kalau untuk
memilih seorang Beng-cu dipilih orang yang paling kuat dan lihai ilmu silatnya saja, lalu apa
bedanya seorang Beng-cu dengan seorang kepala gerombolan penjahat? Kita orang-orang
kang-ouw bukanlah sekumpulan penjahat atau tukang pukul yang membutuhkan seorang
pemimpin yang hanya pandai ilmu silat saja! Untuk dapat memimpin dunia kang-ouw,
memimpin rakyat, dibutuhkan orang yang selain pandai ilmu silat, juga bijaksana, baik budi,
adil dan tidak mementingkan diri sendiri, orang yang benar-benar memiliki bakat
kepemimpinan. Dan di antara kita semua, hanya Cu Goan Ciang seorang yang memiliki bakat
itu. Akan tetapi kalau Coa-pangcu ingin menguji ilmu silat kami, silahkan!”
Mendengar tantangan Pek Mau Lokai, tentu saja Coa Kun tidak berani menyambut. Dia tahu
betapa lihainya kakek itu. Baru melawan Cu Goan Ciang saja, murid Lauw In Hwesio yang
menjadi calon ke dua dari Hwa I Kaipang, dia tidak mampu menandinginya. Diapun menoleh
kepada para jagoannya, yaitu Bouw In dan Huang-ho Siang Lomo, minta bantuan.
Thian Moko yang tinggi kurus, loyo dan bertumpu pada tongkatnya, bangkit dan terdengar
suaranya yang kecil menggetar, “Benar sekali ucapan murid kami Coa Kun tadi. Seorang
Beng-cu memang harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau Beng-cunya lemah,
bagaimana mungkin orang-orang kang-ouw mau taat kepadanya? Sebaiknya pertandingan
untuk menguji ilmu kepandaian dimulai saja. Biar aku menguji yang muda-muda lebih dulu.
Tay-lek Kwi-ong, majulah sudah lama aku mendengar nama besarmu dan ingin sekali aku
melihat sampai di mana kehebatanmu sehingga engkau ingin menjadi Beng-cu!”
Ucapan ini disusul ucapan Tee Moli, isterinya yang pendek gendut dan yang suaranya
menjadi kebalikan dari suara suaminya, yaitu parau dan besar.
“Biar aku yang menguji kepandaian ketua Jang-kiang-pang!” Nenek itu berdiri di depan
suaminya, keduanya bertemu pada tongkat mereka, nampaknya suami isteri yang usianya
sudah delapan puluh tahun ini lemah. Tay-lek Kwi-ong yang ditantang kakek itu agaknya
memandang rendah. Biarpun dia sudah mendengar akan kelihaian Thian Moko, akan tetapi
tokoh itu kini sudah tua renta, bagaimana mungkin mampu menandingi kekuatannya yang
dahsyat? Biar dia kalahkan kakek ini lebih dulu agar mendapat kesan baik. Diapun bangkit
dan melangkah ke tengah panggung.
“Akupun ingin sekali menerima pelajaran dari lo-cian-pwe Thian Moko yang namanya sudah
lama kukagumi!” katanya dengan suara lantang.
Akan tetapi Jang-kiang Sianli Liu Bi bersungut-sungut tidak berdiri dari bangkunya. “Aku
hanya ingin bertanding melawan Cu Goan Ciang!” teriaknya. “Hayo, Cu Goan Ciang, aku
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 231
menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi Beng-cu, aku atau engkau!”
Sejak tadi Cu Goan Ciang sudah menjadi panas hatinya melihat wanita itu. Teringatlah dia
akan kekasihnya, Kim Lee Siang, yang tewas membunuh diri setelah dikorbankan sucinya,
diberikan kepada mendiang Khabuli-Ciangkun yang telah dibunuhnya. Mendengar tantangan
itu, diapun berkata kepada Pek Mau Lokai, “Lo-cian-pwe, perkenankan saya melayani
perempuan jahat itu.” Kini, setelah dia diangkat menjadi ketua Hwa I Kaipang, Cu Goan
Ciang tidak lagi menyebut pangcu (ketua) kepada Pek Mau Lokai, melainkan menyebutnya
lo-cian-pwe. Mendengar ucapan itu, Pek Mau Lokai mengelus jenggotnya dan mengangguk.
Dia tahu bahwa Cu Goan Ciang masih selalu terkenang kepada kekasihnya yang tewas karena
ulah ketua Jang-kiang-pang itu.
“Twako, hati-hatilah, ia amat jahat dan curang,” bisik Yen Yen kepada pemuda yang menjadi
calon jodohnya dan yang amat dicintanya. Goan Ciang mengangguk, lalu bangkit berdiri dan
menuju ke tengah panggung menghadapi ketua Jang-kiang-pang.
Coa Kun segera berseru, “Harap pertandingan diatur agar satu lawan satu. Kami minta agar
nona Liu Bi dan Cu Goan Ciang mundur dulu menanti giliran, karena lebih dahulu akan diuji
kepandaian antara lo-cian-pwe Thian Moko melawan Tay-lek Kwi-ong. Semua yang hadir
menyetujui dan berteriak-teriak minta kepada dua orang muda itu untuk mundur. Terpaksa Cu
Goan Ciang dan Liu Bi mundur kembali ke bangku masing-masing.
Kini, semua mata ditujukan kepada kakek loyo yang berhadapan dengan raksasa Tay-lek
Kwi-ong. Dilihat begitu saja, tentu kakek itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus!
Dia sudah begitu tua sehingga tertiup angin yang agak keras saja sudah dapat terpelanting.
Bagaimana mungkin melawan seorang bertubuh raksasa seperti Tay-lek Kwi-ong?
Tay-lek Kwi-ong agaknya dapat merasakan apa yang dipikirkan semua orang, maka diapun
merasa agak malu harus menandingi seorang kakek loyo seperti itu, maka setelah berhadapan
satu lawan satu, diapun menjura dan berkata dengan nada mengejek, “Lo-cian-pwe, apakah
tidak sebaiknya kalau lo-cian-pwe mundur saja? Lo-cian-pwe sudah terlalu tua untuk menjadi
Beng-cu, sebaiknya kalau menghabiskan sisa waktu yang tak berapa lama lagi di rumah saja,
menerima pelayanan anak cucu, dan mengalah kepada aku yang lebih muda.” Ucapan itu
seperti membujuk, pada hal mengandung ejekan yang menyakitkan hati.
“Eh-heh-heh, Tay-lek Kwi-ong, kaukira engkau mampu mengalahkan aku? Kekuatanmu
seperti angin kosong belaka. Betapapun kuatnya angin, mana mampu merobohkan sebatang
pohon cemara yang nampak lemas dan lemah? Heh-heh, majulah dan keluarkan semua
kepandaianmu!”
“Hemm, orang tua renta, engkau sendiri yang mencari penyakit. Nah, sambutlah seranganku
ini!” Tay-lek Kwi-ong membentak, kini tidak sungkan lagi karena kakek tua renta itu tadi
telah memandang rendah kepadanya dan semua orang mendengar kata-katanya. Maka,
dengan niat merobohkan kakek itu dengan sekali pukul, dia mengerahkan tenaga dan
tangannya yang lebar itu dengan jari-jari terbuka menyambar dan menampar ke arah kepala
lawan. Angin bersiut keras ketika tangan kanan itu menyambar ke arah telinga Thian Moko,
dan agaknya sebelum telapak tangan itu sendiri mengenai sasaran, lebih dahulu angin pukulan
yang keras membuat tubuh kakek itu mendoyong! Akan tetapi, justeru karena tubuhnya
mendoyong itulah maka lemparan tangan Tay-lek Kwi-ong luput! Nampaknya saja demikian,
akan tetapi sesungguhnya, kakek yang berpengalaman dan lihai itu memang mempergunakan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 232
kelembutan untuk mengalahkan kekasaran. Seperti juga sebuah penggada besar yang kokoh
kuat tidak mungkin dapat memukul sehelai bulu yang ringan melayang-layang, demikian pula
serangan-serangan yang dilancarkan raksasa itu tak pernah dapat menyentuh Thian Moko
yang terkekeh-kekeh dengan suaranya yang tinggi. Dan setelah belasan kali serangan lawan
tidak mampu menyentuhnya, mulailah Thian Moko sambil mengelaj menggerakkan
tongkatnya. Dan begitu kakek itu membalas serangan lawan dengan tongkat, Tay-lek Kwiong
menjadi repot bukan main! Ujung tongkat butut itu seperti berubah menjadi puluhan
batang banyaknya dan setiap ujung tongkat mengancam dengan totokan maut ke arah jalan
darah di tubuhnya.
“Heh-heh-heh!” kakek itu terkekeh dan ujung tongkatnya menyambar ke arah mata kanan
Tay-lek Kwi-ong. Raksasa ini terkejut sekali dan nyaris matanya menjadi korban dicongkel
ujung tongkat. Dia melempar tubuh ke belakang dan terjengkang, lalu bergulingan dan begitu
dia meloncat bangkit, tangannya sudah mencabut sebatang golok besar. Wajahnya yang
tertutup brewok itu kemerahan dan matanya yang lebar membikin melotot, kemudian dengan
gerengan seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang ke depan sambil memutar golok
besarnya.
Namun, bantuan senjata berat dan besar itu sama sekali tidak mampu menolongnya. Seperti
juga serangan kedua tangannya tadi, serangan goloknya tidak ada yang menyentuh tubuh
lawan. Kakek itu seolah terdorong lebih dahulu oleh angin sambaran golok, seperti sehelai
bulu melayang yang tak pernah terkena hujan bacokan, dan sebaliknya, ujung tongkat itu terus
menerus mengancam jalan darahnya.
“Tukk!” Akhirnya ujung tongkat itu menotok jalan darah dekat siku kanan dan Tay-lek Kwiong
berteriak, lengan kanannya lumpuh dan golok besar itupun terlepas dari tangannya. Pada
saat itu, ujung tongkat sudah bergerak cepat menotok ke arah pinggir lutut kirinya dan sekali
lagi Tay-lek Kwi-ong berteriak lalu roboh terguling, dan terus bergulingan sampai akhirnya
dia terjatuh ke bawah panggung! Tepuk sorak menyambut kemenangan Thian Moko yang
amat mudah ini. Tay-lek Kwi-ong dengan susah payah bangkit, lalu terpincang-pincang
meninggalkan tempat itu, tidak berani menoleh lagi karena dia merasa malu bukan main.
Dikalahkan oleh seorang kakek tua renta yang sudah loyo. Bayangkan saja!
Thian Moko tertatih-tatih kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Coa Kun dengan
gembira. “Suhu telah mengalahkan tanpa membunuhnya, tepat seperti pesan Yauw-Ciangkun.
Terima kasih, suhu,” katanya.
“Heh-heh-heh, kalau hanya melawan raksasa sombong tadi, apa sukarnya? Akan tetapi kalau
harus bertanding melawan Pek Mau Lokai, agaknya sukar sekali menang tanpa
membunuhnya atau melukai berat. Kalau terlalu mengalah terhadap lawan seperti dia, salahsalah
nyawa kita yang melayang,” kata Thian Mokko sambil menoleh dan memandang ke
arah Pek Mau Lokai.
“Cu Goan Ciang, majulah! Kini tiba giliran kita!” teriak Jang-kiang Sianli Liu Bi yang sudah
meloncat ke tengah panggung dan tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang
berkilauan saking tajamnya. Wanita cantik ini kelihatan marah, matanya mencorong dan
mulutnya cemberut, sinar matanya mengandung kebencian.
Goan Ciang bangkit dan menghampiri wanita itu di tengah panggung. Dia masih bersikap
tenang walaupun pandang matanya berkilat. “Liu Bi, ketika itu aku masih mengampunimu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 233
dan hanya menghajarmu dengan membuntungi lengan saja. Akan tetapi sekali ini, kalau
engkau memaksaku, aku pasti akan membunuhmu. Engkau terlampau jahat untuk dibiarkan
hidup. Sebaiknya, sebelum terlambat, pergilah dan jangan ganggu aku lagi.” Ucapannya
bersungguh-sungguh dan lirih sehingga hanya dapat terdengar oleh Liu Bi dan para tamu yang
duduknya di atas panggung, tidak terdengar oleh para tamu di bawah panggung yang saling
bicara sendiri. Agaknya pertandingan antara kedua orang itu dinanti dengan hati tegang dan
gembira oleh mereka yang haus akan pertandingan yang seru.
“Cu Goan Ciang, engkau ingin aku tidak melanjutkan perkelahian ini? Mudah saja,
berlututlah minta ampun kepadaku dan biarkan aku membuntungi tangan kirimu, dan aku
tidak akan membunuhmu!”
Cu Goan Ciang tersenyum mengejek. “Liu Bi, engkau memang tak tahu diri! Dengan kedua
tanganmu masih lengkap saja engkau tidak akan mampu mengalahkan aku. Apa lagi
tanganmu hilang sebelah. Bagaimana engkau akan mampu menandingi aku?” Kalau saja Cu
Goan Ciang belum menerima gemblengan dari Pek Mau Lokai, yang melatihnya dengan
tekun dan sungguh-sungguh mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, kiranya Goan
Ciang tidak akan berani memandang rendah lawannya. Dia tahu bahwa wanita ini lihai bukan
main. Dulupun tingkat kepandaian mereka hanya berselisih sedikit saja dan kalau dia dapat
membuntungi dengan mudah tangan Liu Bi, hal itu adalah karena dia menyerang Liu Bi
secara tiba-tiba saking marahnya melihat kekasihnya, Kim Lee Siang, tewas membunuh dirim
dan Liu Bi menangkis dengan tangan kirinya. Akan tetapi sekarang dia merasa yakin bahwa
dia akan mampu mengatasi wanita ini dengan mudah.
Kemarahan Liu Bi memuncak mendengar ejekan itu. Semenjak tangannya buntung, wanita ini
telah melatih diri, memperdalam ilmu pedangnya dan selama ini ia telah memperoleh
kemajuan yang cukup sehingga ia menganggap bahwa ia akan mampu menandingi Cu Goan
Ciang.
“Jahanam busuk, lihat pedangku!” bentaknya karena ia sudah tidak sanggup bicara lebih
banyak lagi saking marahnya. Tubuhnya bergerak cepat dan pedangnya menjadi sinar berkilat
yang menyambar ke arah dada Goan Ciang!
Cu Goan Ciang cepat mengelak dan dia menggunakan Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat
Rajawali Sakti) untuk menghadapi amukan lawan yang memutar pedang itu. Diam-diam ada
beberapa orang memperhatikan gerakannya. Pertama adalah Lauw In Hwesio yang diam-diam
merasa bangga bahwa muridnya itu kini telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat
simpanannya itu. Kedua adalah Bouw In dan muridnya, Coa Leng Si. Kedua orang guru dan
murid ini juga kagum dan mereka harus mengakui bahwa ilmu silat Cu Goan Ciang memang
hebat. Sin-tiauw ciang-hoat dapat dimainkannya dengan baik sekali, dan melihat gerakannya,
pemuda itu jauh lebih tangguh dibandingkan Leng Si dan hanya Bouw In sajalah yang mampu
menandingi dan mengalahkannya.
Melihat betapa tunangannya menghadapi pedang yang amat dahsyat itu dengan tangan kosong
saja, Tang Hui Yen melemparkan tongkatnya kepada Goan Ciang sambil berseru. “Toako,
pakai tongkatku ini!”
Cu Goan Ciang menangkap tongkat itu dan sekali dia memutar tongkat, dia telah memainkan
Hok-mo-tung-hoat yang baru saja dia pelajari dari Pek Mau Lokai.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 234
“Aihhh...!!” Jang-kiang Sianli menjerit ketika tiba-tiba tongkat itu membuat gerakan berputar
dan pedangnya ikut pula terbawa berputar dan tongkat itu, seperti sebuah ular hidup, sudah
meluncur melalui tepi pedangnya dan menotok ke arah pergelangan tangannya yang
memegang pedang. Untung ia masih dapat menarik lengannya dan meloncat ke belakang.
Wajahnya pucat lalu merah kembali. Hampir saja dalam segebrakan ia kehilangan pedang!
Goan Ciang mengamang-amangkan tongkatnya. “Liu Bi, bertaubatlah dan bubarkan
perkumpulan jahatmu, lalu pergilah ke kuil menjadi biarawati, aku akan mengampunimu.”
Ucapan ini bukan dimaksudkan untuk menghina, melainkan membujuk dan memberi
kesempatan terakhir kepada wanita jahat itu. Akan tetapi, Liu Bi menganggapnya sebagai
penghinaan dan sambil mengeluarkan suara melengking panjang, iapun menyerang lagi
dengan penuh kemarahan.
Andai kata Goan Ciang tidak memegang tongkat sekalipun, dengan ilmu Sin-tiauw cianghoat,
dia akan mampu menghadapi pedang Liu Bi dan akan amat sukar bagi wanita itu untuk
mengalahkannya. Apa lagi kini ada tongkat di tangannya, dan diapun sudah mahir memainkan
Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis), maka gulungan sinar pedang itu makin lama semakin
menyempit tertindih oleh gulungan sinar tongkat. Begitu cepat gerakan kedua orang ini
sehingga mereka hanya nampak seperti dua bayangan berkelebatan, di antara gulungan sinar
pedang dan tongkat.
“Cringg... dukk!” Liu Bi menjerit karena ketika pedangnya tertangkis tongkat dan pedang itu
melekat pada tongkat, kaki Goan Ciang telah berhasil menendang dan mengenai pahanya,
membuat ia terpelanting roboh. Goan Ciang memandang kepada wanita itu. Bagaimanapun
juga, wanita ini pernah jatuh cinta kepadanya dan menariknya menjadu suami. Melihat wanita
itu telah roboh dan menyeringai kesakitan, hatinya tidak tega dan diapun membalikkan tubuh
membelakanginya. “Pergilah kau!” katanya, menahan kemarahan yang timbul karena kembali
dia teringat akan kematian Kim Lee Siang.
Liu Bi bangkit berdiri sambil merintih. Tulang pahanya yang terkena tendangan terasa nyeri
bukan main, mungkin tulangnya retak. Sambil meringis ia bangkit berdiri di belakang Goan
Ciang, mukanya menunduk dan suaranya gemetar ketika berkata, “Aku... aku...” Tiba-tiba
Hui Yen menjerit.
“Toako, awas...!!” Namun agaknya terlambat karena pada saat itu, sama sekali tidak didugaduga
oleh Goan Ciang, Liu Bi menggerakkan pedangnya dan menusuk pedang itu ke
punggung Goan Ciang. Jarak antara mereka sangat dekat dan pedang meluncur dengan
kecepatan kilat karena ditusukkan dengan pengerahan seluruh sisa tenaganya.
Andai kata Yen Yen tidak berteriak sekalipun, Goan Ciang sudah dapat menangkap suara
angin gerakan itu dan secepat kilat dia mengelak ke samping sambil memutar tubuhnya dan
tongkatnya menyambar. Pedang itu menusuk lewat dekat lambungnya, sempat merobek
bajunya, akan tetapi ujung tongkatnya dengan tepat sekali menotok pelipis kiri Liu Bi.
“Tukkk!” Tubuh wanita itu terkulai dan ia roboh tewas seketika karena pelipis itu retak dan
otaknya terguncang dan terluka parah! Suasana menjadi gaduh ketika orang-orang saling
bicara sendiri.
“Omitohud! Cu Goan Ciang, di depan pinceng, engkau berani melakukan pembunuhan kejam
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 235
seperti itu?” seru Lauw In Hwesio sambil bangkit berdiri.
Goan Ciang menoleh ke arah hwesio itu dan menjura dengan sikap hormat sambil berkata,
“Harap suhu memaafkan teecu (murid).”
“Losuhu!” tiba-tiba Yen Yen berseru marah. Sepatutnya losuhu melindungi murid losuhu
yang diserang secara curang seperti itu, bukan malah memarahi Cu-twako! Kalau Cu-twako
tidak dapat bergerak cepat dengan tongkatnya, tentu dia yang sekarang mati oleh serangan
curang itu. Apa losuhu lebih senang melihat dia yang mati dari pada perempuan iblis itu?”
Melihat dirinya diserang gencar oleh gadis yang membela Cu Goan Ciang itu, Lauw In
Hwesio tertegun, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lirih, “Omitohud...
Omitohud...!”
Terdengar suara tawa lembut dan Pek Mau Lokai yang tertawa. “Heh-heh-heh, Lauw In
Hwesio, orang tua selalu mengandalkan peraturan lama dan peradatan yang kaku, tanpa
melihat duduknya persoalan yang sebenarnya. Kita yang tua-tua ini kalah oleh yang mudamuda,
karena kita tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Orang-orang muda lebih praktis
dan pendapat mereka masuk akal dan luwes. Jang-kiang Sianlu terkenal jahat sehingga sudah
sesuai dengan keadilanlah kalau ia menebus semua kelakuan jahatnya dengan kematian. Pula,
jelas bahwa ia yang tadi melakukan kecurangan, hal yang amat dipantang oleh orang gagah.
Mati dalam pibu (adu silat) adalah hal yang wajar, kenapa engkau seperti kebakaran jenggot
pada hal tidak memelihara jenggot? Ha-ha-ha-ha!” Pengemis tua itu tertawa bergelak.
“Omitohud...!” Lauw In Hwesio menghela napas panjang, dan dia merangkap kedua tangan
ke depan dada. “Mulai detik ini, pinceng menyatakan bahwa pinceng tidak mempunyai
hubungan apapun dengan Cu Goan Ciang, dan pinceng tidak akan mencampuri urusannya.
Pinceng juga tidak akan mencampuri urusan pemilihan Beng-cu, hanya pinceng akan
mencegah suheng Bouw In menjadi Beng-cu karena hal itu akan mencemarkan kebersihan
nama Siauw-lim-pai. Pinceng telah bicara disaksikan banyak orang dan tidak akan pinceng
ubah lagi.”
Ketika perdebatan terjadi, Coa Kun sudah berunding dengan Huang-ho Siang Lomo. Kini dia
menyuruh anak buahnya membawa mayat Jang-kiang Sianli turun dari atas panggung dan
mayat itu diterima oleh anak buah Jang-kiang-pang, lalu dibawa pergi. Suasana menjadi
tenang akan tetapi tegang kembali setelah mayat itu dibawa pergi.
Menurut perhitungan Coa Kun, pihaknya tentu akan menang. Andai kata benar guru puterinya
atau iparnya, Bouw In, dihadang dan dikalahkan Lauw In Hwesio, hal yang kiranya tidak
mungkin mengingat bahwa Bouw In adalah suheng dari hwesio Siauw-lim-pai itu, yang pasti
hal itu merupakan urusan pribadi antara mereka, dan Lauw In Hwesio tentu tidak akan
mencampuri pemilihan Beng-cu. Di pihak lawan, yang tinggal hanyalah Cu Goan Ciang dan
Pek Mau Lokai. Mereka itu dapat dihadapi dua orang gurunya, Huang-ho Siang Lomo. Besar
harapan pihaknya akan menang. Andai kata sebaliknya sekalipun dan kedudukan Beng-cu
tidak dapat diraih oleh pihak yang pro pemerintah, sudah direncanakan untuk menimbulkan
kekacauan dan menggagalkan pemilihan itu sehingga secara resmi tetap saja tidak ada Bengcu
yang dipilih dan dunia kang-ouw belum menemukan Beng-cu dan karenanya akan mudah
diadu domba. Pesan Menteri Bayan melalui kedua anaknya adalah satu antara dua. Rebut
kedudukan Beng-cu atau gagalkan pemilihan itu. Pemerintah ingin mengulurkan tangan
menjinakkan para tokoh dunia kang-ouw agar membantu pemerintah, kalau hal ini tidak
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 236
berhasil, dunia kang-ouw harus diadu domba agar timbul perpecahan di kalangan mereka
sendiri sehingga mereka menjadi lemah.
Coa Kun sudah berdiri di panggung dan berkata lantang, “Dua orang calon telah dinyatakan
kalah dalam pertandingan adu kepandaian. Sekarang diminta agar calon berikutnya maju. Locian-
pwe Bouw In dipersilahkan maju dan diharapkan ada calon lain yang berani menguji
kepandaiannya!”
Sambil tersenyum Bouw In bangkit dari tempat duduknya dan dengan langkah tenang diapun
maju ke tengah panggung. Para penonton menduga-duga sampai di mana tingkat kepandaian
laki-laki tinggi besar botak yang selalu tersenyum ini. Akan tetapi pada saat itu, Lauw In
Hwesio juga sudah maju ke tengah panggung dan merangkap kedua tangan depan dada.
“Omitohud, agaknya suheng Bouw In hendak melanjutkan langkahnya yang menyimpang dari
kebenaran!” kata Lauw In Hwesio dan kini, tidak seperti biasanya, dia mengangkat muka dan
menatap wajah suhengnya itu dengan pandang mata tajam bersinar-sinar, penuh rasa
penasaran.
“Hemm, Lauw In Hwesio, kenapa engkau berkepala batu dan hendak menentangku? Sudah
kukatakan bahwa aku bukan hwesio Siauw-lim-pai, dan kalau mulai saat ini aku kauanggap
bukan orang Siauw-lim-pai seperti sikapmu terhadap Cu Goan Ciang tadi, akupun tidak akan
membantah. Nah, aku bukan hwesio Siauw-lim-pai, bukan pula murid Siauw-lim-pai. Apakah
engkau juga masih hendak menghalangiku? Aku bukan menjadi penjahat, melainkan menjadi
calon Beng-cu. Apa salahnya memimpin dunia kang-ouw, membawa mereka ke jalan benar?”
“Bouw In Suheng, biar engkau mengaku bukan hwesio dan murid Siauw-lim-pai lagi, akan
tetapi dalam setiap gerakan silatmu, engkau adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Dan kalau
dalam sepak terjangmu engkau menyimpang dari garis yang ditentukan Siauw-lim-pai, berarti
engkau akan mencemarkan nama baik perguruan kita. Pemilihan Beng-cu dalam masa
pergolakan seperti ini, hanya akan mendatangkan permusuhan! Baik engkau berada di pihak
yang bekerja sama dengan pemerintah, atau di pihak yang menentang pemerintah, bahkan di
pihak yang tidak mencampuri politik sekalipun, tetap saja dalam jaman pergolakan seperti ini,
engkau hanya akan menghadapi permusuhan dan pertentangan! Suheng, orang seperti kita,
sungguh tidak layak untuk membiarkan diri terseret ke dalam kubangan lumpur itu!”
Pada saat itu terdengar suara merdu dan lantang. Coa Leng Si yang melihat gurunya diserang
dengan kata-kata oleh hwesio itu, menjadi penasaran sekali dan iapun berkata, “Suhu, teecu
kita pendapat losuhu itu ngawur dan kuno! Kalau memang jaman ini bergolak, sudah
selayaknya kalau kita yang menyingsingkan lengan baju untuk menanggulangi dan
mengatasinya. Yang penting bekerja, bukan bicara! Apakah jaman bergolak itu akan menjadi
tenang kalau kita semua hanya bersamadhi di dalam kamar, duduk bersila dan merangkap
tangan depan dada, memejamkan mata sampai berhari-hari? Suhu akan terjun langsung ke
medan, memimpin dunia kang-ouw, menenteramkan kehidupan rakyat. Itu jauh lebih
bermanfaat dari pada sekedar berdoa dan membaca liam-keng (kitab doa) di dalam kuil!”
Ucapan yang berapi-api dan bersemangat dari gadis cantik itu memancing tepuk tangan
banyak penonton, terutama kaum mudanya. Bahkan Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang
sendiri merasa setuju dan kagum. Akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan pendapat dan
pandangan tentang cara pelaksanaan untuk menyumbangkan tenaga demi tercapainya
ketenteraman kehidupan rakyat itu. Namun jelas tujuannya sama, hanya caranya yang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 237
berbeda! Mungkin pihak Coa Leng Si, menenteramkan rakyat paling baik dengan cara
membantu pemerintah, meniadakan pemberontakan dan pengacauan agar kehidupan menjadi
tenteram dan damai. Sebaliknya, pihak Cu Goan Ciang beranggapan bahwa yang menjadi
sumber atau biang keladi pergolakan jaman adalah adanya pemerintahan penjajah Mongol,
oleh karena itu, satu-satunya cara adalah menumbangkan kekuasaan penjajah.
Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan atau cita-cita. Semua cita-cita nampak
indah gemilang, membuat kita berebut dan berlomba untuk mendapatkannya. Cita-cita
bagaikan nyala api lilin yang indah menarik, membuat banyak binatang malam tertarik dan
mereka beterbangan, berlomba mencapai sinar yang terang itu untuk jatuh terbakar dan mati.
Kitapun sering terpukau oleh keindahan cita-cita sehingga kita menjadi mabok dan lupa, kita
tidak segan menggunakan segala macam cara untuk mencapai cita-cita itu. Kita lupa bahwa
tujuan atau cita-cita hanyalah suatu khayalan, suatu gambaran dari keadaan yang belum ada,
sedangkan cara untuk mencapainya inilah yang nyata, yang berhubungan langsung dengan
kehidupan kita. Cara inilah yang paling penting bukan tujuannya! Bagaimana mungkin cara
yang salah dapat membawa kita kepada tujuan yang benar? Bagaimana mungkin kita dapat
mencapai sesuatu yang baik kalau kita mengejarnya dengan cara yang jahat?
Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh cemerlang dan indahnya cita-cita. Bahkan
banyak terjadi dalam sejarah betapa manusia mengadakan perang dengan tujuan untuk
mencapai perdamaian! Betapa aneh, gila dan suatu lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi
karena satu pihak hendak memaksakan kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari
kemenangan. Bagaimana mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah?
Bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul
hidungnya, atau dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak belur? Perdamaian
yang timbul antara yang kalah dan yang menang merupakan perdamaian paksaan, karena
yang kalah terpaksa menaati kehendak yang menang. Mungkin karena merasa kalah, pada
lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa
dalam batinnya, dendam dan penasaran yang ada!
Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita terbuai dan tersilaukan
cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran dan justeru pengejaran inilah yang
menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh daya-daya rendah yang menciptakan nafsu.
Kalau kita tidak waspada, nafsu menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa
diri ini majikan nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan
ini, di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu, mengejar
tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup memang mutlak
perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang normal. Akan tetapi, tujuan mencari uang dapat
mengobarkan nafsu sehingga kita menggunakan cara apa saja dalam pengejaran kita terhadap
uang. Terjadilah penipuan, pencurian atau perampokan, korupsi dan sebagainya. Hubungan
sex merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak perlu bagi kehidupan dan kelangsungan
perkembang biakan manusia. Akan tetapi, kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu
tujuan, kita dapat lupa diri dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya. Terjadilah
pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula, orang memperebutkan
kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling jegal, saling bunuh. Bahkan demikian
gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan terakhir yang suci dan luhur, seperti keinginan
kembali kepada Tuhan, keinginan masuk Sorga sekalipun, kadang diperebutkan dan
dipertentangkan! Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari akan kemunafikan kita sendiri, kita
bahkan tidak malu untuk memperebutkan Tuhan! Semua berkah Tuhan untukku, bukan
untukmu dan bukan untuk mereka. Tuhanku sendirilah yang benar, Tuhan kalian dan mereka
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 238
adalah palsu, dan sebagainya lagi. Dan perang saling membunuh antara manusiapun
terjadilah, saling bunuh dengan nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa
sebagai suruhan Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini. Akan
tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan semuanya, orang seperti itu terjadi setiap
hari, setiap saat dalam hati kita. Bukan hanya perang antar negara, bukan hanya perang antar
kelompok dan antar agama, melainkan perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi
setiap saat, bentrokan kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk menguasai
diri kita sebagai manusia. Daya-daya rendah yang membonceng kita itu memang ingin
mencari kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita tidak sadar bahwa
pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan bahkan menjadi majikan,
merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!
Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita dan membuang cita-cita? Pendapat
ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah dapat mengerti benar apa sebenarnya cita-cita itu,
maka pertanyaan itu tidak akan timbul. Apakah seorang murid akan berhasil menjadi sarjana
hanya karena dia memiliki cita-cita untuk menjadi sarjana? Bukankah yang mengantarkan dia
menjadi seorang sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya untuk
belajar? Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena cita-citanya?
Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan kesungguhan dalam pekerjaan
itu? Jadi, yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita
belajar dengan tekun dan rajin, bersungguh-sungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun,
kita pasti akan berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan
sebagainya lagi.
Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman dengan jalan berperang. Justeru
perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita ingin damai? Mudah saja, jangan berperang!
Jangan bermusuhan! Kalau tidak berperang otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul
bantahan dan sanggahan. Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang? Pihak sana yang
memulai. Pihak sana yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu “pihak sana” yang salah, dan
“pihak kita” yang benar. Justeru di sini letaknya pertentangan yang menimbulkan
permusuhan. Pertentangan pendapat. Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan. Pada hal,
yang menjadi kuncinya bukanlah mengubah pihak sana, melainkan mengubah pihak sini.
Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat mengusik hati dan pikiran kita dengan pertanyaanpertanyaan,
“kenapa engkau begitu tidak begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti
yang kuharapkan dan kukehendaki?” seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga
pertanyaan itu menjadi, “kenapa aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah,
pencemburu, pengiri, penakut?” dan dengan demikian kita dapat melihat kekurangan dan
kesalahan diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan ini, kalau terjadi dengan
sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu, pasti akan mendatangkan perubahan pula
kepada orang lain yang kita hadapi! Bukan kosong belaka petuah yang mengatakan, “hadapi
kebencian orang kepada kita dengan kasih sayang kepada orang itu.” Kalau kasih sayang kita
sungguh-sungguh, maka kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!
Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita, merupakan wajib. Bagaimana akhir usaha
itu? Kita serahkan saja kepada Tuhan Maha Pengasih! Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang
ditanam itu baik, cara menanamnya dan memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya
akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan
memperoleh hasil panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama
sekali, sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan mendatangkan
hasil panen yang baik.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 239
Mendengar ucapan muridnya itu, Bouw In tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kaulihat, sute. Kita
memang ketinggalan jaman, walaupun yang ketinggalan jaman atau dianggap kuno ini belum
tentu salah dan yang menamakan dirinya maju itu belum tentu benar. Nah, mari kita
selesaikan urusan di antara kita. Kalau aku kalah olehmu, sudahlah, aku tidak akan
mencampuri urusan pemilihan Beng-cu ini seperti juga engkau.
Akan tetapi kalau engkau yang kalah, harap jangan menghalangiku lagi.”
“Omitohud, pinceng tahu bahwa pinceng tidak akan menang melawanmu, suheng. Akan
tetapi, pinceng siap mengorbankan nyawa demi menjaga nama baik Siauw-lim-pai dan
menarikmu kembali ke jalan benar.”
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang.
Mereka memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lutunya, dan kedua
tangan dirangkap di depan dada, kemudian keduanya menggerakkan kedua kaki, ditarik
merapat lalu tumit diangkat, berdiri di atas jari-jari kaki, kedua tangan dipentang di atas kanan
kiri membentuk sayap burung. Mereka seperti dua ekor burung rajawali yang hendak terbang
dan berhadapan! Kelihatan lucu dan indah, akan tetapi Cu Goan Ciang dan Coa Leng Si yang
mengenal pembukaan jurus ilmu silat Rajawali Sakti itu memandang dengan hati berdebar
tegang. Mereka tahu bahwa ilmu silat itu dirangkai oleh kedua orang kakek itu! Dan kini
mereka hendak mempergunakan ilmu yang dirangkai bersama-sama itu untuk saling serang!
Dua orang ini maklum betapa hebat dan dahsyatnya ilmu itu, apalagi kalau dimainkan oleh
dua orang penemunya!
Bagaikan dua ekor rajawali, dua orang kakek itu mulai bergerak dan saling serang. Gerakan
mereka sama. Sepasang tangan digerakkan seperti sepasang sayap yang menampar dari kanan
kiri, dan sepasang kaki bergerak menendang-nendang seperti sepasang cakar burung rajawali
mencakar dan menendang. Gerakan mereka kadang cepat kadang lambat, namun yang hebat
adalah hawa pukulan mereka yang menyambar-nyambar dahsyat, sehingga angin pukulannya
terasa oleh semua yang hadir, bahkan oleh mereka yang berada di bawah panggung.
Panggung itu sendiri bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara gemeretak, seolah dapat
ambruk sewaktu-waktu!
Bahkan Pek Mau Lokai dan juga sepasang Huang-ho Siang Lomo sendiri memandang kagum
karena mereka maklum betapa lihai kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Yang dapat
mengikuti pertandingan itu dengan cermat adalah Cu Goan Ciang dan Coa Leng Si karena
mereka telah menguasai ilmu itu, akan tetapi mereka kini maklum bahwa belum sepenuhnya
mereka menguasai Sin-tiauw ciang-hoat itu.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya keluar sebagai pemenang dalam pertandingan antara dua
orang kakak beradik seperguruan itu. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang, apa lagi
ilmu silat Rajawali Sakti itu merupakan hasil rangkaian mereka berdua! Setiap gerakan lawan
telah mereka kenal dan mereka ketahui perkembangannya sehingga tentu saja mereka selalu
dapat menghindarkan diri dengan tangkisan maupun elakan. Akhirnya, karena mengandalkan
ilmu silat mereka tidak mungkin keluar sebagai pemenang, untuk menentukan siapa yang
lebih kuat, kini mereka lebih mengandalkan kekuatan tenaga sakti mereka!
“Dess...!!” Untuk ke lima kalinya, mereka mengadu tenaga dengan menyalurkan sin-kang
melalui sepasang tangan yang didorongkan ke depan, kedua pasang telapak tangan itu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 240
bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Lauw In
Hwesio hampir terpelanting sehingga terpaksa dia meloncat ke samping dan merangkap kedua
tangan depan dada sambil memuji, “Omitohud...!!” Diam-diam dia maklum bahwa dalam
mengadu tenaga sin-kang dia masih kalah setingkat dibandingkan suhengnya. Walaupun
mungkin tidak diketahui orang lain, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dia berada di pihak
yang kalah.
“Uhhh...!!” Bouw In terbatuk dan muntahkan sedikit darah segar dan diapun terhuyunghuyung.
“Suhu...!!” Coa Leng Si berseru dan meloncat ke dekat gurunya dan memegang lengan
gurunya agar tidak sampai gurunya terjatuh. Bouw In tersenyum, mengusap darah dari
bibirnya dan mengangguk-angguk.
“Hemmm, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Lauw In Sute. Aku
mengaku kalah!” Kemudian, kakek itu memutar tubuhnya menghadapi Coa Kun dan berkata,
“Coa-pangcu, aku sudah kalah oleh suteku, maka terpaksa aku memenuhi janji dan tidak
mencampuri lagi urusan pemilihan Beng-cu ini.” Setelah berkata demikian, dia lalu turun dari
panggung dan meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Lauw In Hwesio merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa sebetulnya dia yang
kalah, dan suhengnya itu telah mengaku kalah dan dengan ilmunya telah mengeluarkan darah
dari mulut. Hal ini menunjukkan bahwa suhengnya telah menyadari kekeliruannya dan tidak
mau lagi diperalat orang lain untuk menjadi Beng-cu. Tentu saja Lauw In Hwesio merasa
girang bukan main.
“Terima kasih, suheng!” katanya sambil merangkap kedua tangan depan dada menghadap ke
arah perginya Bouw In. Ucapan itu dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga tentu saja
dapat terdengar oleh suhengnya. Diapun menghadap ke arah kedua pimpinan tuan rumah.
“Omitohud... pinceng telah menyelesaikan tugas pinceng dan akan meninggalkan pertemuan
ini. Terserah kepada cu-wi (anda sekalian) tentang siapa yang akan dipilih menjadi Beng-cu.
Hanya pinceng pesan agar jangan cu-wi meninggalkan kerukunan di antara orang segolongan,
tidak lupa untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal.”
“Suhu...!!” Cu Goan Ciang sudah mendekati gurunya dan memberi hormat. “Suhu tentu
mengetahui bahwa teecu melakukan semua ini demi negara dan bangsa, mohon suhu sudi
memaafkan teecu.”
“Omitohud, semoga Yang Maha Kuasa memberkahimu, Siauw Cu. Lupakah engkau akan
riwayat dahulu, ketika beberapa orang murid Siauw-lim-pai melibatkan diri dengan urusan
politik, akibatnya kuil Siauw-lim-si dibakar dan banyak murid Siauw-lim-pai dibunuh? Tugas
kami menyebar pelajaran agama untuk menyadarkan manusia dari kesesatannya dan kembali
ke jalan yang benar, bukan mencampuri urusan pemerintahan. Oleh karena itu, tak
seorangpun murid Siauw-lim-pai boleh melibatkan diri dalam urusan politik sehingga akan
menyeret nama baik Siauw-lim-pai. Kini, semua yang hadir menjadi saksi bahwa kami tidak
lagi mengakui engkau sebagai murid dan sejak ini, semua sepak terjangmu tidak ada sangkutpautnya
dengan Siauw-lim-pai. Selamat tinggal!” Hwesio itu lalu melompat turun dari
panggung, diikuti pandang mata Cu Goan Ciang. Ia tidak merasa bersedih karena maklum
bahwa gurunya itu tidak melarangnya, hanya ingin agar Siauw-lim-pai tidak terbawa-bawa
dalam perjuangannya. Gurunya benar. Pada hal dia tahu benar bahwa di lubuk hati para
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 241
pendeta Siauw-lim-pai, mereka tidak senang melihat nusa bangsa dijajah orang Mongol.
Namun, demi keamanan dan kelancaran tugas mereka menyebar luaskan agama, mereka tidak
ingin terlibat urusan pemberontakan.
Selagi dia berdiri termangu, nampak bayangan berkelebat dan kini sepasang kakek dan nenek
Huang-ho Siang Lomo telah berdiri di hadapannya. “Cu Goan Ciang, engkau ini orang muda
yang bahkan tidak diakui oleh gurumu sendiri, dan engkau berani mengajukan diri sebagai
calon Beng-cu?” teriak Tee Moli dengan suaranya yang parau.
“Hi-hi-hik!” Suaminya tertawa dengan suaranya yang tinggi. “Kami, Huang-ho Siang Lomo
maju sebagai pasangan suami isteri, dan kami yang akan menjadi Beng-cu, kami berdua.
Beranikah engkau melawan kami, Cu Goan Ciang?” tantang laki-laki tua renta yang nampak
loyo akan tetapi yang tadi dengan mudahnya mengalahkan Tay-lek Kwi-ong itu.
Sebelum Cu Goan Ciang menjawab, Pek Mau Lokai sudah berada di situ dan tertawa, “Haha-
ha, agaknya saking sudah terlalu tua, kalian menjadi pikun, Huang-ho Siang Lomo! Selain
Cu Goan Ciang, masih ada aku di sini yang tadipun dipilih menjadi calon Beng-cu. Akan
tetapi, kalaupun aku yang menang, kedudukan itu akan kuserahkan kepada Cu Goan Ciang.
Dialah yang paling cocok untuk menjadi pemimpin dunia kang-ouw. Dia masih muda, penuh
semangat, gagah perkasa, berjiwa pahlawan tidak seperti kalian yang menjadi penjilath
penguasa. Juga kalian hendak main curang, maju berdua menantang Cu Goan Ciang. Aku
masih ada di sini, dan kalau kalian maju berdua, Cu Goan Ciang dan aku yang akan
menghadapi kalian. Jadi dua lawan dua. Bukankah hal ini adil sekali, saudara sekalian?”
Teriakan Pek Mau Lokai ini disambut oleh sorakan yang riuh karena semua orang
menyetujuinya. Mereka semua adalah orang-orang dari dunia persilatan yang rata-rata
menghargai kegagahan. Kecurangan sikap sepasang kakek dan nenek tadi membuat mereka
penasaran dan kini di dalam hati mereka mendukung Cu Goan Ciang!
Huang-ho Siang Lomo menjadi marah. “Jembel tua bangka busuk, kaukira aku takut
melawanmu?” bentak Tee Moli. Nenek ini memang lebih galak dari suaminya dan iapun
sudah menggunakan tongkatnya untuk menyerang Pek Mau Lokai dengan dahsyat. Pek Mau
Lokai maklum akan kelihaian nenek loyo itu, maka diapun cepat mengelak dan memutar
tongkatnya. Mereka sudah saling serang dengan cepat.
“Cu Goan Ciang, bersiaplah untuk mampus di tanganku!” Thian Moko berseru dan kakek
inipun menggerakkan tongkatnya menyerang. Cu Goan Ciang menyambar tongkat yang
dilontarkan Yen Yen untuk kedua kalinya kepadanya dan diapun menyambut serangan kakek
itu dengan tongkatnya. Terjadilah pertandingan yang hebat di atas panggung antara dua
pasangan. Mereka semua menggunakan tongkat, dan baik Goan Ciang maupun Pek Mau
Lokai memainkan ilmu tongkat Hom-mo-tung menghadapi sepasang kakek dan nenek yang
lihai itu.
Para penonton merasa tegang sekali melihat perkelahian yang benar-benar amat hebat itu.
Biarpun sudah tua renta, namun kakek dan nenek itu ternyata masih memiliki tenaga yang
kuat dan gerakan merekapun masih cepat. Bahkan Cu Goan Ciang yang memiliki dua ilmu
yang ampuh, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat dan Hok-mo-pang, harus mengakui bahwa belum
pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang begini ulet dan lihai. Serangan-serangan
tongkat kakek itu yang menotok ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya, menunjukkan bahwa
kakek itu seorang ahli totok yang lihai sekali. Satu kali saja tubuhnya terkena totokan itu,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 242
tentu akan berakibat celaka baginya. Diapun mengerahkan tenaganya dan berusaha membalas
serangan lawan, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh kakek tua
renta yang kelihatan loyo namun ternyata lihai bukan main itu. Setiap kali tongkatnya beradu
dengan tongkat Thian Moko, dia merasa betapa tangannya tergetar dan panas. Ternyata Thian
Moko yang tua renta itu masih tangkas dan kuat sekali.
Pertandingan antara Pek Mau Lokai melawan Tee Moli juga terjadi dengan seru dan
seimbang. Tee Moli yang sudah tua itupun ternyata amat tangguh seperti suaminya. Sungguh
mengherankan sekali kakek dan nenek tua renta ini, walaupun kalau berjalan biasa saja harus
dibantu tongkat, kini begitu bertanding, seolah mereka itu memperoleh tenaga baru dan
mereka dapat bergerak dengan tangkas dan kuat seperti orang-orang muda saja.
Akan tetapi, berbeda dengan Cu Goan Ciang yang membalas serangan lawannya dengan
dahsyat, Pek Mau Lokai yang menghadapi Tee Moli itu seperti orang bermain-main saja!
Pada hal, tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kakek pengemis itu lebih banyak
mengelak, bahkan berlari-lari dan berputaran di atas panggung sambil mengejek lawan.
“Heiiit, luput lagi, Moli! Ha-ha, engkau kurang cepat, kurang kuat dan sudah loyo, heh-hehheh!”
Dipermainkan dan diejek seperti itu, nenek itu menjadi semakin marah dan ia mengejar ke
mana saja Pek Mau Lokai berlari, dan terus menyerang bertubi-tubi dengan tongkatnya.
“Wuuttt!” Tongkatnya menyambar-nyambar, mendatangkan angin pukulan yang membuat
rambut putih pengemis tua yang riap-riapan itu berkibar-kibar, dan terdengar suara
berdesingan ketika tongkat menyambar. Agaknya, nenek yang sudah marah sekali itu telah
mengerahkan seluruh tenaganya, namun gerakan si pengemis tua memang lincah dan ringan
sehingga semua serangannya dapat dihindarkan dengan elakan dan kadang juga dengan
tangkisan tongkatnya.
“Hayyaaaa, hampir kena, tapi luput! Moli, apakah hanya begini kepandaianmu? Hayo cepat
keluarkan semua simpananmu, jangan membikin malu saja. Orang seloyo engkau ini hendak
menjadi Beng-cu? Memalukan dan menyedihkan!” Kembali Pek Mau Lokai mengejak sambil
tertawa-tawa.
Mula-mula Cu Goan Ciang khawatir sekali mendengar ucapan pengemis tua itu yang
dianggapnya terlalu memandang rendah lawan. Pada hal dia tahu bahwa kakek pengemis itu
belum tentu menang. Akan tetapi, ketika dia mendengar pernapasan nenek itu mulai terengah,
mengertilah dia akan maksud Pek Mau Lokai. Sepasang Iblis Tua Sungai Kuning yang sudah
tua renta itu memang lihai bukan main dan kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan
kekerasan, tentu akan sukar sekali mengalahkan mereka. Oleh karena itu, satu-satunya jalan
yang dipergunakan Pek Mau Lokai adalah mengambil keuntungan dari ketuaan lawan, yaitu
daya tahan dan pernapasannya. Diapun segera mencontoh pengemis tua itu dan mulailah Cu
Goan Ciang mengelak dan menghindar dengan berlari-lari menjauhkan diri dan membiarkan
kakek itu terus menyerang dan mengejarnya. Dengan cara ini dia menyimpan tenaga dan
menguras tenaga lawan. Biarpun dia tidak sepandai Pek Mau Lokai dalam hal menggoda dan
mengejek, namun Cu Goan Ciang berusaha memanaskan hati lawan dengan mentertawainya,
setiap kali serangan kakek itu luput.
“Ha-ha, luput, kek. Masih ada lagi seranganmu yang lebih keras? Jangan segala macam
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 243
serangan tahu kaukeluarkan!” Dia mengejek.
Huang-ho Siang Lomo adalah dua orang datuk tua yang terlalu tinggi hati dan memandang
rendah semua lawannya. Kinipun mereka berdua tidak tahu akan siasat yang dipergunakan
Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang. Mereka mengira bahwa lawan mereka itu mulai gentar,
maka hanya mengelak dan berputaran, bahkan berlarian. Hal ini membuat mereka semakin
besar hati dan penuh semangat untuk segera merobohkan lawan dan mereka makin
mengerahkan tenaga dan terus mengejar dan menghujankan serangan maut. Justeru inilah
yang dikehendaki Pek Mau Lokai dan yang dicontoh oleh Goan Ciang.
Setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah kelihatan hasilnya. Sepasang kakek nenek itu mulai
kehabisan napas. Tubuh mereka basah oleh peluh, dari ubun-ubun kepala mereka mengepul
uap dan napas mereka terengah-engah, tenaga mereka mulai menurun cepat sehingga gerakan
mereka tidak lagi sekuat dan secepat tadi. Sungguhpun semangat mereka masih besar, namun
menyedihkan dan menggelikan melihat mereka kini terpincang-pincang dan terengah-engah
melanjutkan penyerangan mereka dengan napas yang empas-empis. Kalau Pek Mau Lokai
dan Cu Goan Ciang menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk merobohkan dua orang
lawan yang sudah kehabisan tenaga dan napas itu. Akan tetapi Pek Mau Lokai agaknya tidak
mau melakukan hal ini dan Cu Goan Ciang juga mengikuti jejaknya, tidak mau merobohkan
kedua orang itu. Akhirnya, karena kehabisan tenaga, Thian Moko dan Tee Moli tidak kuat
berdiri lagi dan seperti kain basah, tubuh mereka terkulai roboh sendiri di atas panggung!
Sorak-sorai menyambut kemenangan Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang, dan Pek Mau
Lokai yang berdiri di atas panggung berseru dengan suara yang lantang nyaring karena dia
mengerahkan khi-kang, “Saudara sekalian! Jelas bahwa yang menjadi pemenang adalah Cu
Goan Ciang dan dia yang berhak menjadi Beng-cu!”
Para tokoh yang berada di situ mengangguk-angguk dan terdengar sorak-sorai menyetujui
pengangkatan Cu Goan Ciang sebagai Beng-cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
gegap gempita dan pasukan pemerintah yang secara diam-diam telah mengepung tempat itu,
kini maju menyerbu!
Para pimpinan Hwa I Kaipang tidak terkejut melihat penyerbuan ini, Cu Goan Ciang memang
sudah mendapat berita dari Shu Ta tentang siasat pemerintah yang hendak menggunakan dua
cara, yaitu pertama, merebut kedudukan Beng-cu agar terjatuh ke tangan orang-orang yang
pro pemerintah dan kalau hal ini gagal, pasukan akan menyergap dan menangkapi pihak
pemenang kedudukan Beng-cu yang tidak mendukung pemerintah Mongol. Kalau Pek Mau
Lokai melanjutkan pemilihan Beng-cu, hal itu hanya untuk mencapai satu sasaran, yaitu agar
dunia kang-ouw lebih dahulu mengakui Cu Goan Ciang sebagai pemimpin karena hal ini
kelak akan memudahkan pemuda itu bergerak mengumpulkan dan menghimpun kekuatan
untuk menentang penjajah.
Seperti yang telah mereka rencanakan, begitu pasukan menyerbu, Pek Mau Lokai dan Cu
Goan Ciang memimpin anak buah mereka untuk melarikan diri, melalui lereng bukit yang
sudah mereka rencanakan. Mereka bertemu pasukan yang menghadang di tempat itu dan
terjadi pertempuran mati-matian. Para anggota Hwa I Kaipang yang dipimpin tiga orang ketua
daerah, yaitu Lee Ti ketua daerah barat, Pouw Sen ketua daerah timur, dan Kauw Bok ketua
daerah selatan, dengan anak buah sebanyak kurang lebih seratus orang, mengamuk.
Pek Mau Lokai, Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang sendiri dikeroyok belasan orang perwira
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 244
Mongol yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sehingga terjadi perkelahian yang
seru.
“Goan Ciang, Yen Yen, cepat kalian pergi!” berulang-ulang kakek Pek Mau Lokai berteriak,
menyuruh kedua orang muda itu pergi.
“Tidak, aku harus menemanimu melawan anjing-anjing busuk ini!” bantah Yen Yen penuh
semangat dan tongkat merobohkan seorang pengeroyok.
“Kita harus lari bersama atau mati bersama!” kata pula Goan Ciang dengan gagah.
Pek Mau Lokai mengeluarkan teriakan melengking panjang dan dua orang perwira roboh.
“Bodoh kalian!” bentaknya kepada cucunya dan Goan Ciang. “Goan Ciang, apakah citacitamu
harus berhenti sampai di sini saja? Yen Yen, engkau harus menemani Goan Ciang
sampai dia berhasil dengan perjuangannya. Aku sudah tua, aku yang harus mencegah mereka
mengejar kalian. Cepat pergi!” suaranya mengandung wibawa dan Cu Goan Ciang mengerti.
Dia tahu bahwa kalau pasukan bantuan tiba, mereka semua pasti akan mati konyol. Dia
menyambar tangan Yen Yen dan menariknya lari dari situ.
“Pangcu, selamat tinggal!” teriak Goan Ciang.
“Kong-kong, jaga dirimu baik-baik,” kata pula Yen Yen dengan suara sedih.
Akan tetapi Pek Mau Lokai tidak sempat menjawab karena dia sudah mengamuk untuk
mencegah para perwira melakukan pengejaran terhadap Cu Goan Ciang dan Yen Yen.
Gerakan kakek ini amat dahsyat dan siapa yang berani melewatinya untuk mengejar, tentu
roboh. Akan tetapi, muncullah Coa Kun dan sepasang kakek nenek yang tadi kehabisan
napas. Mereka telah agak pulih dan kini mereka ikut mengeroyok Pek Mau Lokai.
Betapapun lihainya Pek Mau Lokai, dikeroyok demikian banyaknya lawan tangguh, dia
menderita luka-luka dan roboh, akan tetapi anak buah Hwa I Kaipang mencoba untuk
menolong dan melindunginya. Kakek perkasa, tokoh utama Hwa I Kaipang itu seperti
tenggelam dalam tumpukan mayat yang berserakan.
Anak buah Hwa I Kaipang kocar-kacir. Banyak yang tewas, sebagin melarikan diri. Cu Goan
Ciang dan Yen Yen berhasil menyelamatkan diri dengan perahu yang sudah dipersiapkan
sebelumnya sehingga para pengejar hanya dapat melihat dari tepi sungai dan mencoba untuk
menyerang dengan anak panah. Namun perahu sudah terlalu jauh dan tidak terjangkau anak
panah. Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen selamat.
Di tempat persembunyian mereka, di sebuah bukit kecil di lembah Yang-ce, mereka
mendengar berita tentang kematian Pek Mau Lokai dan para anggota Hwa I Kaipang, dari
mereka yang berhasil lolos dari sergapan pasukan pemerintah. Mendengar akan tewasnya
kakeknya, walaupun hal itu sudah dikhawatirkannya dan juga tidak ada yang menyaksikan
sendiri tewasnya kakek yang gagah perkasa itu, Yen Yen menangis sesenggukan dengan hati
penuh duka. Kematian kakeknya itu membuat ia merasa kehilangan segalanya. Kehilangan
kakek, guru, pengganti orang tuanya. Sejak kecil ia ditinggal mati ayah ibunya dan dirawat
oleh kakeknya penuh kasih sayang. Kini kakeknya tewas tanpa ia ketahui, bahkan jenazah
kakeknyapun tidak dapat ia urus. Kenangan terakhir tentang kakeknya adalah ketika kakeknya
dikeroyok banyak orang dan terpaksa ia meninggalkan kakeknya yang terancam bahaya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 245
“Ahh, kenapa aku harus meninggalkannya? Aku seharusnya membantunya dan mati
bersamanya...” ia meratap.
“Yen-moi, tenanglah,” Goan Ciang menghibur. “Engkau tahu benar bahwa kita meninggalkan
kakek di sana bukan karena kita takut mati. Aku mengerti kakek benar. Kalau kita berdua
nekat dan mati bersama, lalu bagaimana dengan perjuangan? Kita disuruh tetap hidup agar
kita dapat melanjutkan perjuangan ini, menghancurkan penjajah. Mengertikah engkau, Yenmoi?”
“Tapi... toako, kong-kong telah tewas... berarti aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, aku
sekarang sebatang kara... aku tidak punya siapa-siapa lagi...”
“Hemm, lupakah engkau bahwa engkau masih mempunyai aku, Yen-moi?” Ucapan Goan
Ciang itu disertai pandang mata yang penuh kasih sayang, mendatangkan rasa haru dalam hati
Hui Yen dan iapun menubruk pemuda itu sambil menangis. Cu Goan Ciang merangkulnya
dan pemuda ini maklum bahwa dia telah menemukan pengganti mendiang Kim Lee Siang.
“Aku sudah berjanji kepada kong-kong,” bisiknya, “kita menikah setelah aku berhasil
membunuh Khabuli, dan engkau malah yang membantuku sehingga dendam itu dapat
terbalas.”
“Koko... ah, koko... terima kasih...” Yen Yen terisak.
Tiba-tiba keduanya tersentak kaget mendengar suara tawa yang amat mereka kenal. Yen Yen
melepaskan diri dari rangkulan Goan Ciang dan keduanya meloncat berdiri, terbelalak
memandang kepada kakek yang sudah berdiri di depan mereka, bersandar kepada tongkatnya.
Pakaiannya robek-robek, masih ada bekas darah di bajunya.
“Kong-kong...!” Yen Yen menjerit dan menubruk kaki orang tua itu.
“Pangcu! Kabarnya kau... kau...” Goan Ciang juga berkata bingung.
Pek Mau Lokai tersenyum lemah. “Memang aku nyaris tewas. Musuh terlalu banyak. Aku
sudah luka-luka, akan tetapi anak buah kita sungguh setia. Mereka melindungiku, dan aku
dapat meloloskan diri di antara tumpukan mayat. Tak seorangpun melihatnya dan aku
disangka mati... heh-heh, akan tetapi agaknya Thian belum menghendaki riwayatku tamat,
heh-heh-heh!”
Tentu saja Goan Ciang dan Yen Yen merasa girang bukan main dan mereka cepat menolong
kakek itu dan mengundang ahli pengobatan yang pandai sehingga dalam waktu sebulan saja
kesehatan kakek itu telah pulih kembali.
Biarpun pemilihan Beng-cu berlangsung kacau, bahkan diakhiri dengan penyerbuan pasukan
pemerintah terhadap orang-orang Hwa I Kaipang, namun dunia kang-ouw telah mengakui Cu
Goan Ciang sebagai seorang Beng-cu atau pemimpin dunia kang-ouw yang disegani dan
dihormati.
Mulailah Cu Goan Ciang menghimpun kekuatan dan mendatangkan para tokoh kang-ouw
yang sehaluan, yaitu untuk menentang pemerintah penjajah Mongol. Dalam usaha ini, dia
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 246
dibantu oleh Tang Hui Yen yang setia, kekasihnya yang telah diakuinya sebagai calon
isterinya, dan juga Pek Mau Lokai membantunya sebagai penasihat. Dia mulai menghimpun
kekuatan itu di Lembah Sungai Huai, menjadi dusun kelahirannya, yaitu dusun Cang-cin,
sebagai pusat. Kedua orang kakak beradik Koa, yaitu Koa Hok dan Koa Sek, dengan penuh
semangata membantunya, juga Ji Kui Hwa yang kini telah menjadi isteri Koa Hok.
Banyak pula para tokoh kang-ouw yang masih belum mau menerima Cu Goan Ciang sebagai
Beng-cu. Mereka menganggap tidak sepantasnya kalau dunia persilatan dipimpin seorang
pemuda. Maka di sana sini bermunculan kelompok orang kang-ouw yang tidak mau
mengakuinya sebagai Beng-cu. Banyak pula kelompok yang menjadi kelompok tandingan,
bergerak sendiri untuk menentang pemerintah penjajah. Dan mulailah Cu Goan Ciang
memimpin anak buahnya untuk menaklukkan mereka satu demi satu.
Mula-mula, karena mengingat kekuatan sendiri yang kecil dan tidak mungkin mampu
menandingi kekuatan pasukan pemerintah, gerakan perkumpulan kang-ouw yang dipimpin Cu
Goan Ciang ini hanya membuat kekacauan dengan menghukum pejabat daerah yang
sewenang-wenang, bahkan juga hartawan dan tuan tanah yang mencekik leher rakyat. Di
samping itu, juga dia menaklukkan kelompok yang bergerak sendiri dan menarik mereka
sebagai kawan seperjuangan. Ketika melihat bahwa banyak tokoh-tokoh kang-ouw tidak
setuju kalau mereka harus berada di bawah kekuasaan Hwa I Kaipang, perkumpulan
pengemis, Cu Goan Ciang mengundang para pimpinan di dunia kang-ouw untuk berunding
dan akhirnya diputuskan oleh Cu Goan Ciang dan disetujui semua orang bahwa mulai saat itu,
semua nama perkumpulan atau kelompok yang bergabung dihapus dan dipilih sebuah nama
saja untuk gerakan mereka, yaitu Beng-pai (Partai Terang). Bendera-bendera yang mereka
bawa hanya memuat huruf, yaitu huruf BENG (Terang) dan mulailah Cu Goan Ciang
menguasai dusun-dusun dan merampas tanah-tanah para hartawan.
Berbeda dengan gerombolan biasa yang kalau menyerbu dusun lalu melakukan perampokan
dan pembunuhan, penculikan terhadap wanita-wanita, Beng-pai merupakan perkumpulan
pemberontak yang menduduki dusun itu, tidak mengganggu penduduknya kecuali mereka
yang melawan, merampas tanah yang berlebihan, minta sumbangan yang pantas, bukan
merampok seluruh milik orang dan menjadi dusun yang telah diduduki itu sebagai markasnya.
Melihat betapa banyaknya gangguan gerombolan perampok yang memakai kedok pejuang,
dan melihat pula kekuatan Beng-pai yang semakin kuat, para pedagang dan tuan tanah lalu
mendekati Cu Goan Ciang dan menyatakan ingin bekerja sama! Mereka menyediakan dana
untuk biaya pasukan Beng-pai, dan persekutuan ini membuat Beng-pai menjadi semakin besar
dan kuat. Dan merekapun kini mengalihkan arah gerakan mereka. Setelah kelompokkelompok
kecil melihat kekuatan Beng-pai dan bergabung, maka Beng-pai menjadi kekuatan
besar dan mulailah perkumpulan ini bergerak dan mencurahkan seluruh kekuatan untuk
menentang pemerintah penjajah Mongol!
Dalam waktu setahun saja, Cu Goan Ciang telah berhasil menghimpun kekuatan yang ratusan
ribu orang banyaknya dan telah berhasil menduduki dan menguasai seluruh daerah di lembah
Huai. Mulailah pasukan itu bergerak menuju ke Nan-king!
Menteri Bayan atau dengan nama Cina Bouw Yan, meloncat turun dari keretanya di
pekarangan rumah dan memasuki rumahnya dengan langkah lebar. Wajahnya muram dan dia
mengepal tinju. Penghormatan prajurit pengawal yang melakukan penjagaan di pendopo
rumahnya tidak dihiraukannya. Dia membuka pintu depan lalu masuk dan membanting pintu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 247
itu menutup kembali.
“Sialan!” gerutunya marah. “Tak tahu diuntung! Lemah dan picik, mabok kesenangan!”
Menteri yang usianya sudah setengah abad ini nampak marah sekali. Wajahnya yang gagah
kemerahan. Dia adalah pejabat tertinggi yang paling diandalkan dan dipercaya oleh kaisar
Togan Timur, yaitu kaisar yang pada waktu itu memimpin kerajaan Goan (Mongol).
Seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih namun masih nampak cantik dan
lembut, menyambutnya. Ia adalah isteri menteri itu, seorang wanita peranakan Han yang
lembut.
“Aih, kenapa engkau datang-datang kelihatan marah sekali, suamiku? Apakah yang terjadi di
istana maka engkau begini marah-marah?” tanya sang isteri dengan ramah.
Menteri Bayan menjatuhkan diri di atas sebuah kursi besar di ruangan dalam itu. Isterinya
memberi isarat kepada dua orang pelayan wanita untuk meninggalkan ruangan itu dan ia
sendiri menuangkan air teh hangat untuk suaminya. Ia tahu bahwa suaminya sedang risau dan
tidak ada yang lebih menghibur dari pada sikap lunak dan ramah serta minuman air teh
hangat.
“Aihhhhh...!!” berulang-ulang pejabat tinggi itu menghela napas tanpa menjawab pertanyaan
isterinya, dan wanita yang penuh pengertian itupun tidak mendesak, menanti dengan tenang
dan sabar sampai suaminya menceritakan apa yang sedang dirisaukannya.
Minuman segar hangat dan suasana hening dan tenteram di ruangan itu, ditunggui isterinya
yang tenang dan sabar, akhirnya dapat meredakan kerisauan hati pria setengah tua itu. Dia
menghela napas panjang.
“Betapa menjengkelkan melihat keadaan yang tidak baik akan tetapi diri tidak kuasa untuk
memperbaikinya. Betapa menyedihkan melihat kerajaan yang tadinya jaya ini perlahan-lahan
menghadapi keruntuhannya.”
Mendengar keluhan suaminya itu, sang isteri maklum bahwa kebekuan itu telah mencair dan
sudah tiba saatnya baginya untuk bicara, siap membantu suaminya memikul beban tekanan
batin yang menyusahkan hati suaminya itu,
“Suamiku, biasanya sehabis menghadap kaisar, engkau pulang dengan sikap gembira. Akan
tetapi sekali ini sungguh amat berbeda, engkau pulang dan kelihatan murung. Kemudian
ucapanmu tadi, sungguh aku tidak mengerti akan maksudnya. Kalau engkau tidak merasa
keberatan, maukah engkau menceritakannya kepadaku?”
Menteri Bouw Yan mengepal tinju. “Sungguh membuat orang dapat mati penasaran. Aku,
yang hanya seorang menteri, amat mengkhawatirkan keadaan kerajaan, amat prihatin. Akan
tetapi dia, yang menjadi kaisar, bahkan acuh saja dan tenggelam ke dalam kesenangan. Setiap
hari berpesta pora, sama sekali tidak mengacuhkan ketika ada laporan tentang pergolakan di
selatan. Dan yang memuakkan, sebagian besar pejabat bahkan ikut-ikutan bersenang-senang.
Mereka semua itu telah buta!”
“Harap tenang, suamiku. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di selatan yang amat
menggelisahkan hatimu?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 248
“Apa yang terjadi di selatan? Semua orang mengetahui. Di selatan timbul perserikatan orangorang
yang menentang kerajaan Goan. Dahulu, mereka hanya merupakan gerombolangerombolan
kecil yang tidak berarti. Akan tetapi sekarang, mereka telah bersatu, dipimpin
oleh seorang pemuda yang bersemangat tinggi, yang baru saja memenangkan kedudukan
Beng-cu di dunia kang-ouw. Sungguh aku merasa khawatir sekali dan kekhawatiran ini
kukemukakan kepada Sribaginda. Akan tetapi aku malah dianggap mengganggu kesenangan
beliau dan dianggap penakut.”
“Suamiku, kenapa merisaukan segala macam pemberontakan di selatan? Bukankah sejak
dahulu selalu ada saja gerombolan pemberontak yang mengacau dan selalu pasukan
pemerintah dapat membasminya? Kalau sekarang ada pemberontakan di selatan, kirim saja
pasukan untuk membasmi dan engkau tidak akan merasa risau lagi.”
“Pemberontakan silih berganti, hal ini saja sudah menunjukkan betapa lemahnya
pemerintahan. Akan tetapi sekali ini bukanlah pemberontakan biasa, bukan sekedar
gerombolan pemberontak yang mudah ditumpas! Aku mendengar kabar bahwa pemuda yang
bernama Cu Goan Ciang, yang terpilih sebagai Beng-cu dan dijuluki Rajawali Lembah Huai,
telah berhasil menghimpun banyak sekali pemuda dari dusun-dusun, dan banyak tokoh kangouw
yang berkepandaian tinggi, membentuk sebuah pasukan yang kuat. Pasukan ini
menamakan diri Beng-pai, dengan panji bertuliskan huruf Beng. Mereka bukan perampokperampok,
dan mereka sudah mulai menduduki daerah sekitar lembah Huai, dan menurut
kabar, rakyat jelata mendukungnya, bahkan para hartawan dan tuan tanah menyumbangkan
harta untuk membiayai pasukan mereka. Ini sungguh berbahaya sekali!!”
“Aih, kalau begitu, tidak semestinya pemerintah mendiamkannya saja. Sudah semestinya
panglima membawa pasukan besar untukl menumpasnya,” kata sang isteri yang ikut merasa
terkejut mendengar itu.
“Itulah yang membuat aku merasa jengkel. Sudah kulaporkan semua itu, akan tetapi kaisar
yang haus kesenangan itu malah merasa terganggu kesenangannya dan menyuruh aku
memadamkan api pemberontakan di selatan itu. Pada hal, kota raja inipun tak pernah bebas
dari ancaman pemberontakan yang terjadi di sekitarnya. Biarpun pemberontakan di sekitar
kota raja hanya terdiri dari gerombolan kecil yang mengadakan kekacauan dan perampokan,
namun cukup memusingkan. Yang menyebalkan, para menteri juga ikut mencelaku yang
katanya merasa iri karena tidak suka ikut berfoya-foya seperti mereka. Menyebalkan sekali!”
“Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang?” tanya isterinya khawatir.
“Aku melihat awan gelap datang dari selatan dan kalau aku bersikap seperti para penjilat itu,
terjun ke dalam kesenangan dan foya-foya bersama Sribaginda, sudah pasti kerajaan ini akan
segera hancur. Aku yang sejak muda mengabdikan diriku kepada kerajaan, tidak mungkin
tinggal diam saja. Aku sendiri akan pergi ke Nan-king dan memimpin penumpasan Beng-pai
yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang!”
“Ku Cin dan Mimi juga masih berada di sana!” kata isterinya. “Sebaiknya kalau mereka itu
kausuruh kembali ke kota raja. Berbahaya sekali bagi mereka kalau sampai terjadi pergolakan
dan perang di selatan.”
“Justeru tenaga mereka itu kubutuhkan. Mereka sudah beberapa lamanya tinggal di Nan-king,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 249
tentu lebih banyak mengetahui keadaan di sana. Aku membutuhkan bantuan orang-orang
yang dapat dipercaya.”
Pada hari itu juga, Menteri Bouw Yan atau Bayan, mengumpulkan dua ratus orang prajurit
pilihan dan bersama beberapa orang panglima yang membantunya, diapun berangkat dengan
kereta menuju ke selatan. Kaisar yang dipamiti hanya menyetujui saja, dan para menteri yang
lain menertawakan Bayan yang mereka anggap seperti anak kecil yang takut bayangan
sendiri. Bagaimana mungkin segerombolan rakyat petani dapat merupakan ancaman bagi
kerajaan Goan yang besar dan jaya?
Dua orang pemuda itu berjalan menyusuri sungai Huai. Keduanya berwajah tampan walaupun
pakaian mereka seperti orang-orang muda, petani dusun yang sederhana. Yang seorang
bertubuh tampan dan tegap, berusia sekitar dua puluh tiga tahun, dan yang kedua tentu
adiknya karena wajah mereka mirip, akan tetapi adik ini lebih tampan dan tidak setegap
kakaknya, dan usianya sekitar sembilan belas tahun. Mereka ini memang nampak sederhana,
dengan caping petani, dengan kulit muka, leher dan tangan kecoklatan terbakar sinar
matahari, dan pakaian mereka dari kain kasar. Namun, gerak-gerik mereka tidak seperi petani
kasar, dan memang sesungguhnya mereka adalah dua orang muda bangsawan yang
menyamar.
Mereka adalah Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi, dua orang putera dan puteri Menteri Bayan!
Sudah lama mereka berada di Nan-king, selain membawa pesan ayah mereka kepada para
pejabat di Nan-king, juga mereka melihat perkembangan keadaan di daerah selatan itu.
Mereka berdua mendengar pula akan hasil pemilihan Beng-cu yang jatuh ke tangan Cu Goan
Ciang, pemberontak yang terkenal sebagai buruan pemerintah itu. Memang sejak pemilihan
Beng-cu, Nan-king tidak pernah diganggu penjahat atau pemberontak dan hal ini berkat
penjagaan ketat yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh panglima Shu Ta.
Kakak beradik bangsawan ini telah menjadi sahabat baik Shu Ta dan pergaulan mereka akrab.
Biarpun di lubuk hatinya, Shu Ta adalah seorang yang berjiwa patriot dan membenci penjajah
Mongol, akan tetapi dia harus mengakui bahwa kakak beradik itu adalah orang-orang yang
berwatak baik dan gagah. Terutama sekali Mimi. Baginya, tidak ada gadis lain sehebat Bouw
Mimi dan sejak pertemuan pertama kali, hatinya sudah tertarik sekali. Setelah mereka bergaul
dan dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu berwatak baik dan gagah, bahkan dalam
percakapan seringkali mencela politik bangsa Mongol yang melakukan penekanan terhadap
rakyat, maka Shu Ta diam-diam sudah jatuh cinta kepada Mimi.
Ketika kakak beradik itu menyatakan hendak melakukan penyelidikan sendiri di daerah
selatan Nan-king, di sepanjang sungai Huai yang kabarnya dijadikan pusat gerakan
pemberontak, tentu saja Shu Ta merasa khawatir sekali.
“Kenapa engkau merasa khawatir, Shu-Ciangkun?” bantah Bouw Ku Cin ketika panglima itu
membujuk agar mereka tidak pergi. “Bukankah berkat pembersihan yang kaulakukan dengan
pasukanmu, selama ini Nan-king dalam keadaan aman dan tenteram, tidak ada penjahat atau
pemberontak yang berani membikin kacau?”
“Dan lagi siapa yang akan mengetahui bahwa kami berdua adalah putera dan puteri menteri?
Kami akan menyamar sebagai dua orang dusun, dan aku akan menyamar sebagai seorang
pemuda. Aku ahli dalam penyamaran, Ciangkun. Kami berdua mampu berjaga diri,” kata pula
Mimi sambil tersenyum.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 250
“Akan tetapi, kongcu dan siocia, sungguh perjalanan itu amat berbahaya. Biarpun di kota
kelihatan tenang, akan tetapi siapa tahu keadaan di luar sana? Menurut kabar, terjadi
pergolakan di sepanjang lembah Huai. Kalau ji-wi (anda berdua) ingin melakukan
penyelidikan, sebaiknya disertai serombongan pengawal yang berkepandaian tinggi untuk
menjamin keamanan ji-wi.”
“Ah, kami tidak suka!” kata Bouw Ku Cin. “Kami akan merasa canggung dan tidak bebas.
Pula, kalau kami menyamar sebagai dua orang pemuda dusun, bagaimana mungkin
mempunyai pasukan pengawal? Sudahlah, Ciangkun, jangan terlalu mengkhawatirkan diri
kami.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat membiarkan ji-wi pergi? Kalau sampai terjadi
sesuatu dengan ji-wi, tentu aku akan ditegur dan bahkan mendapat kesalahan besar dari
atasanku.”
“Kalau begitu, biar kami melapor dulu kepada paman Yatucin!” kata kakak beradik itu dan
mereka segera menemui Yauw-Ciangkun. Panglima komandan pasukan di Nan-king inipun
mencoba untuk membujuk kakak beradik itu agar mengurungkan niat mereka, akan tetapi,
mereka nekat dan akhirnya panglima itupun tidak dapat mencegah. Hanya setelah mereka
berdua pergi, Yauw-Ciangkun cepat memanggil panglima Shu Ta dan memerintahkan agar
Shu-Ciangkun diam-diam menyuruh orang membayangi dan melindungi kakak beradik
bangsawan yang nekat itu.
Demikianlah, pada pagi hari itu, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi menyamar sebagai dua orang
pemuda dusun yang berjalan santai menyusuri sungai Huai. Untuk melengkapi penyamaran
mereka, Bouw Ku Cin membawa segulung jala sedangkan Mimi membawa tangkai pancing.
Mereka sama sekali tidak mencurigakan karena hampir semua orang muda yang tinggal di
lembah sungai Huao hanya mempunyai pekerjaan bersawah ladang dan mencari ikan sebagai
nelayan. Mereka itu petani dan juga nelayan.
Sudah sepekan lamanya mereka berkeliaran melakukan penyelidikan di sepanjang lembah
Huai. Beberapa kali mereka dicurigai dan ditahan kelompok prajurit yang meronda atau
melakukan penjagaan, namun Bouw Ku Cin dan adiknya segera dibebaskan kembali ketika
mereka memperlihatkan sebuah surat kuasa yang dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh
Yauw-Ciangkun. Dan mereka tidak pernah bertemu dengan para pemberontak, apa lagi
mendapat gangguan mereka. Suasana di dusun sekitar lembah itu nampak tenteram dan
tenang, para petani dan nelayan bekerja dengan santai. Dari keterangan para penduduk dusun,
kakak beradik ini mendapatkan berita yang membuat mereka merasa penasaran dan juga
marah. Ternyata bahwa yang suka mengacau dan mengganggu penduduk sama sekali bukan
para pemberontak yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang, bahkan sebaliknya, yang suka
mengganggu adalah anak buah pasukan pemerintah! Setiap kali ada rombongan prajurit
pemerintah melakukan perondaan di sebuah dusun, tentu terjadi hal-hal yang memuakkan.
Pasukan itu tidak segan-segan, dengan dalih melakukan pembersihan dan mencari
pemberontak, untuk menggeledah setiap rumah rakyat dusun dan dalam pelaksanaan
penggeledahan inilah terjadi hal-hal yang amat memalukan kakak beradik ini. Seringkali para
prajurit pasukan Mongol itu merampas barang-barang berharga, juga memperkosa wanitawanita,
dan mereka meninggalkan sebuah dusun sambil menuntun kerbau atau sapi untuk
mereka santap dalam berpesta malam nanti!
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 251
“Bedebah mereka itu!” kata Bouw Ku Cin marah. “Kalau macam itu kelakuan pasukan kita,
tentu saja rakyat berpihak kepada pemberontak! Aihhh, kelakuan para prajurit itulah yang
akan menghancurkan kerajaan, dan pemberontakan yang terjadi di mana-mana adalah akibat
dari pada kejahatan pasukan kita sendiri!”
“Tapi, kukira tidak semua prajurit kita seperti itu, koko,” bantah Mimi yang juga marah
melihat ulah prajurit kerajaan. “Yang bertanggung jawab tentu saja komandan mereka, dan
kurasa masih banyak komandan yang baik, misalnya paman Yatucin sendiri, atau Shu-
Ciangkun...”
“Akan tetapi mereka tidak mungkin mengawasi seluruh pasukan! Dan biasanya, kesalahan
yang dilakukan oleh seorang anggota saja dari sebuah pasukan, akan menodai nama baik
seluruh pasukan itu. Tidak mengherankan kalau rakyat mulai bangkit memberontak karena
mereka tentu saja menganggap bahwa kebusukan belasan orang prajurit itu merupakan cermin
dari kebusukan pemerintah. Sungguh celaka!”
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya adiknya.
“Mari kita kembali ke Nan-king. Kita harus melaporkan ini kepada paman Yatucin dan Shu-
Ciangkun. Mereka harus mengadakan pengamatan dan pembersihan di kalangan pasukan
sendiri. Kalau keadaan seperti ini berkelanjutan, dan rakyat membencu pasukan pemerintah
sebaliknya mendukung pemberontak, keadaan kita akan menjadi lemah sebaliknya pihak
pemberontak semakin kuat.”
“Akan tetapi, koko. Kita hanya mendengar saja keterangan itu dari penduduk dusun.
Bagaimana kita dapat melapor kalau kita tidak membuktikannya sendiri? Laporan kita harus
berdasarkan kenyataan yang meyakinkan. Bagaimana kalau semua keterangan itu hanya
fitnah belaka?”
“Aih, engkau benar juga, adikku! Kita harus mencari bukti walaupun aku tidak percaya kalau
para penghuni dusun itu berbohong. Ketika mereka bercerita, mereka menganggap kita adalah
pemuda-pemuda dari dusun lain. Perlu apa mereka berbohong kepada sesama rakyat dusun?
Bagaimanapun juga, memang kita harus membuktikan kebenaran laporan kita. Kabarnya, para
prajurit penjaga itu suka membuat kekacauan di dusun sebelah barat sana yang tidak jauh dari
pos penjagaan. Mari kita ke sana.”
Setelah melakukan pengintaian tak jauh dari pos penjagaan pasukan penjaga keamanan,
akhirnya pada suatu siang kakak beradik itu membayangi selosin prajurit yang melakukan
perondaan. Dua belas orang itu agaknya sudah setengah mabok dan percakapan yang mereka
lakukan ketika mereka meninggalkan pos penjagaan dalam barisan yang tidak rapi itu yang
menarik perhatian Bouw Ku Cin dan Mimi untuk membayangi mereka.
Dua belas orang prajurit itu terdiri dari orang-orang berusia antara dua puluh lima sampai
empat puluh tahun. Mereka berpakaian seragam dan di pinggang mereka tergantung golok.
Pemimpin regu kecil ini seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dari
obrolan mereka yang diselingi tawa, mudah diketahui bahwa selosin orang prajurit ini dalam
keadaan setengah mabok.
“Ha-ha, pesta pernikahan puteri lurah So itu tentu meriah sekali!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 252
“Arak dan daging berlimpahan!”
“Gadis-gadis cantik dari semua dusun tentu berkumpul di sana.”
“Lurah jahanam, kita tidak diundang!”
“Ha-ha, biar tidak diundang, kitalah yang akan berpesta pora nanti. Makan daging
sekenyangnya, minum arak sepuasnya, dan memilih gadis tercantik.”
“Aku ingin membawa dua orang gadis!”
Mendengar obrolan mereka yang dilakukan sambil tertawa-tawa itu, Mimi merasa muak dan
marah sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di antara para prajurit kerajaan terdapat
orang-orang semacam itu, yang tiada ubahnya gerombolan perampok saja. Kalau menuruti
panasnya hati, ingin ia menyusul mereka dan menghajar mereka sepuas hatinya. Akan tetapi,
Bouw Ku Cin melarangnya.
“Bukankah kau menghendaki bukti? Kalau hanya obrolan mereka itu, bukan bukti namanya.
Apa lagi mereka dalam keadaan setengah mabok, mana omongan mereka dapat dipercaya?
Kita lihat saja perkembangannya. Kalau mereka benar melaksanakan apa yang mereka
ucapkan tadi, baru kita turun tangan.”
Mimi mengangguk karena ia dapat melihat kebenaran ucapan kakanya. Mereka membayangi
terus dan tak lama kemudian rombongan itu telah tiba di luar sebuah dusun yang berada di
Lembah Sungai Huai. Dari luar dusun saja sudah dapat terdengar suara musik yang
menandakan bahwa di dalam dusun itu memang benar sedang diadakan sebuah pesta.
Rombongan prajurit itu semakin gembira dan mereka memasuki dusun dengan barisan yang
tidak teratur lagi. Ku Cin dan Mimi juga memasuki dusun, berbaur dengan penduduk yang
agaknya datang dari dusun lain dan ingin menonton keramaian.
Yang mempunyai kerja memang Lurah So, kepala dusun Lam-kiang yang cukup ramai karena
daerah itu memang makmur, tanahnya subur dan perairannya mengandung banyak ikan. Sejak
pagi tadi, rumah kepala dusun itu telah dihias dan sepasang mempelai telah duduk bersanding.
Biarpun yang menikah adalah puterinya, namun karena dia kepala dusun, maka pengantin
puteri belum dibawa pergi karena kepala dusun mengadakan penyambutan pengantin pria
dengan pesta yang meriah.
Ruangan tamu di depan rumah, sebuah panggung bangunan darurat, telah penuh dengan tamu,
bahkan di luar pekarangan juga terdapat banyak penduduk dusun yang menonton keramaian
itu, mendengarkan musik dan nyanyian, dan menonton tarian. Bahkan mereka ini kebagian
kue yang dibagikan oleh pelayan sehingga suasana menjadi gembira bukan main.
Akan tetapi selagi orang berpesta, muncul seorang laki-laki tinggi besar yang melangkah
memasuki tempat pesta. Laki-laki ini usianya empat puluh tahun lebih, mukanya penuh
brewok dan tubuhnya sungguh menakutkan, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Sebatang
golok besar tergantung di punggungnya. Melihat orang ini, pihak tuan rumah mengira bahwa
ada tamu yang datang terlambat, maka wakil tuan rumah cepat maju menyambut.
Tamu itu seperti tidak memperdulikan dua orang wakil tuan rumah yang menyambut. Dia
celingukan memandang ke sana sini lalu berkata dengan senyum menyeringai, “Bagus!
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 253
Perutku sang lapar, mulutku sedang haus, dan di sini terdapat arak dan makanan berlimpahan.
Aku harus mendapatkan sebuah meja di tepi sana, di tengah terlalu banyak orang!”
Tentu saja dua orang yang menyambut itu menjadi tertegun. Seorang di antara mereka
berkata, “Harap saudara memperkenalkan nama dan lebih dahulu memberi selamat kepada
Lurah So.”
Akan tetapi orang tinggi besar itu hanya berkata, “Aku mau makan minum, bukan menemui
Lurah So!” dan dengan langkah lebar dia menuju ke tepi ruangan itu dan menghampiri sebuah
meja di mana duduk enam orang tamu.
“Heii, kalian semua pindah ke lain tempat. Meja ini untukku seorang!” katanya.
Tentu saja enam orang tamu itu menjadi marah. “Engkau ini manusia kurang ajar dari mana
berani datang mengusir kami. Tuan rumah So telah menerima kami sebagai tamu, dan kau...”
Raksasa itu melotot. “Cerewet! Pergilah dan jangan banyak cakap atau kalian sudah bosan
hidup?” Berkata demikian, orang itu menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan besar,
dan enam orang tamu itupun terpelanting ke kanan kiri! Raksasa itu terkekeh, lalu duduk
menghadapi meja yang masih penuh hidangan, kemudian berseru sambil menoleh ke arah
pihak tuan rumah.
“Heii, makanannya cukup, akan tetapi araknya kurang. Tambahkan arak!” Dan diapun mulai
menggunakan sepasang sumpit, melahap makanan yang berada di atas meja, mulutnya
mengeluarkan suara seperti seekor babi sedang makan. Enam orang tamu itu tentu saja
terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, Lurah So sendiri sudah maju dan dengan sikap
ramah minta kepada enam orang itu untuk berpindah ke meja lain yang sengaja dipersiapkan
untuk mereka. Dia sendiri lalau menghampiri raksasa yang duduk makan minum, memberi
hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Harap lo-cian-pwe sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kunjungan lo-cian-pwe maka
terlambat menyambut. Bolehkan kami mengetahui siapa nama lo-cian-pwe?”
Kakek raksasa itu menunda sumpitnya, menoleh dan memandang kepada Lurah So,
“Siapakah engkau?”
“Saya adalah Lurah So yang merayakan pernikahan puteri kami...”
“Hemm, tuan rumah ya? Aku datang tidak diundang olehmu, melainkan diundang oleh bau
arak dan masakan. Perutku sedang lapar maka aku ikut makan. Dan karena engkau sedang
mempunyai kerja, kusumbangkan ini untuk pengantinnya!” Raksasa itu mengeluarkan
sebongkah emas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Lurah So. Lurah itu menerimanya
dengan terbelalak. Sumbangan itu sungguh royal bukan main. Tidak ada di antara semua tamu
yang memberi sumbangan yang lebih berharga dari pada sebongkah emas itu.
“Terima kasih, akan kami catat sumbangan berharga dari lo-cian-pwe, akan tetapi atas nama
siapakah?”
“Tulis saja dari Tay-lek Kwi-ong,” kata si raksasa dan diapun melanjutkan makan minum.
Lurah So terkejut, bahkan para tamu yang mendengar disebutnya Tay-lek Kwi-ong (Raja Iblis
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 254
Tenaga Besar) itu menjadi terbelalak dan jerih. Itu adalah nama julukan seorang tokoh sesat
yang diketahui semua orang. Lurah So cepat menghaturkan terima kasih dan mengundurkan
diri. Pesta dilanjutkan dan berguci-guci arak disuguhkan ke meja Tay-lek Kwi-ong yang
minum arak seperti orang minum air putih saja. Karena raksasa itu makan minum sendiri dan
tidak membuat ulah, maka pesta berjalan terus dengan lancar dan para tamu tidak lagi
memperhatikannya. Juga pihak tuan rumah sudah merasa tenang kembali karena orang yang
ditakuti itu ternyata tidak mengganggu, hanya ingin ikut makan minum dan memberi
sumbangan yang puluhan kali lebih berharga dari pada hidangan yang disuguhkan kepadanya.
Akan tetapi, tiba-tiba para tamu yang duduk di bagian luar ruangan itu menjadi panik, bahkan
para penonton yang berada di luar pagar pekarangan juga banyak yang berlarian menjauhkan
diri. Ketika Lurah So dan keluarganya bangkit dan melihat, ternyata yang muncul adalah dua
belas orang berpakaian prajurit! Tentu saja mereka semua menjadi pucat karena mereka sudah
tahu bahwa setiap kali pasukan keamanan pemerintah memasuki sebuah dusun, tentu mereka
akan bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi, karena dia seorang lurah yang merupakan
ponggawa terendah dari kerajaan, diapun tergopoh menyambut, rombongan prajurit itu.
“Silahkan duduk, cu-wi (anda sekalian) yang mulia. Kebetulan kami sedang mengadakan
pesta, mari silahkan cu-wi ikut menikmati hidangan,” kata Lurah So tergopoh-gopoh dan para
pembantunya cepat menyiapkan sebuah meja besar untuk dua belas orang prajurit itu.
Para prajurit itu tersenyum mengangguk-angguk, memandang ke sekeliling. Para tamu wanita
sudah ketakutan dan berusaha menyembunyikan diri. Kepala regu yang tinggi besar bermuka
hitam segera memandang ke arah pengantin wanita dan dia tertawa bergelk.
“Ha-ha-ha, kiranya Lurah So sedang merayakan pernikahan anak perempuannya yang cantik.
Mari, nona pengantin, sebelum engkau ikut dengan suamimu, mari menerima kehormatan
dariku dan makan bersamaku!” Dia lalu melangkah lebar ke arah sepasang mempelai yang
duduk bersanding dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah memegang lengan pengantin wanita
lalu menariknya. Pengantin pria berusaha mencegah, namun sebuah tendangan membuatnya
terjengkang. Sementara itu, sebelas orang anak buah komandang itupun sudah memilih wanita
masing-masing, menyeret wanita pilihan mereka dari ruangan bagian wanita sehingga
terdengar jerit dan tangis mereka.
Melihat ini, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah marah bukan main. Tak pernah mereka
sangka bahwa ada serombongan prajurit yang demikiian jahatnya. Mereka sudah hendak
turun tangan menghajar para prajurit itu, akan tetapi mereka didahului oleh Tay-lek Kwi-ong.
Kakak beradik yang berdiri di antara para penonton yang berada di luar pagar pekarangan itu
menahan diri ketika melihat raksasa itu menggebrak meha dan berteriak dengan marah.
“Dari mana datangnya selosin monyet busuk yang berani mengacau di sini dan mengurangi
selera makanku? Hayo kalian cepat menggelinding pergi dari sini kalau tidak ingin
kupatahkan leher kalian satu demi satu!”
Tentu saja para prajurit itu marah sekali dan maklum bahwa merekalah yag dimaki sebagai
monyet busuk. Komandan yang itu melotot dan melepaskan nona pengantin yang diseretnya
tadi. Nona pengantin itu terisak lari kembali menghampiri suami dan ayahnya. Si komandan
tidak memperdulikannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri meja di mana Taylek
Kwi-ong duduk sambil minum araknya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 255
“Keparat busuk! Engkau pemberontak, ya?” bentak si komandan sambil menudingkan
telunjuknya kepada kakek brewok itu.
“Phuuuhhh....!” Tiba-tiba Tay-lek Kwi-ong menyemburkan arak dari mulutnya. Biarpun
hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan kekuatan sin-kang, maka ketika mengenai
muka si komandan, rasanya muka yang hitam itu seperti diserang ratusan batang jarum! Dia
berteriak kesakitan dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya yang pedih.
Pada saat itu, Tay-lek Kwi-ong sudah menggerakkan kakinya dan komandan itu kena
tendangan di perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan dia mengaduh-aduh, tangan kiri
memegangi perut, tangan kanan menutupi muka. Entah mana yang lebih nyeri, mukanya yang
pedih atau perutnya yang mulas.
Sebelas orang prajurit menjadi marah. Mereka melepaskan wanita-wanita yang tadinya
mereka paksa untuk menemani mereka makan minum dan dengan golok di tangan, mereka
sudah mengurung dan menyerang Tay-lek Kwi-ong! Tentu saja semua tamu menjadi
ketakutan dan mereka lari berserabutan meninggalkan tempat pesta yang kini berubah
menjadi tempat perkelahian itu. Bahkan mereka yang menjadi penonton di luar pekarangan
juga melarikan diri ketakutan. Hanya ada beberapa orang saja yang tinggal, yaitu mereka yang
memiliki keberanian, termasuk tentu saja Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi. Bahkan kakak
beradik itu kini memasuki pekarangan untuk menonton perkelahian dari jarak lebih dekat.
Dan mereka kagum melihat sepak terjang kakek brewok raksasa tadi. Kakek itu menghadapi
pengeroyokan sebelas orang prajurit yang memegang golok itu dengan tangan kosong saja.
Jelas bahwa dia memandang rendah karena dia sama sekali tidak menyentuh golok besar yang
berada di punggungnya. Akan tetapi, bacokan yang dilakukan bertubi-tubi itu tidak ada yang
mengenai tubuhnya. Kaki tangannya bergerak, angin menyambar-nyambar dan sebelas orang
itu bergelimpangan seperti daun-daun kering ditiup angin badai! Melihat ini, komandan muka
hitam tadi yang kini sudah tidak begitu menderita karena nyeri di muka dan perutnya merasa
jerih dan cepat dia memberi aba-aba, mendahului anak buahnya melarikan diri dari tempat itu.
Tay-lek Kwi-ong mengejar mereka dengan suara tawanya, dan dia duduk lagi makan minum.
Lurah So menghampiri dan bersama sepasang pengantin, mereka memberi hormat dan
mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, melihat pengantin wanita, timbul gairah di hati Taylek
Kwi-ong. Lengannya yang panjang terjulur dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap
pinggang pengantin itu dan sekali tarik saja wanita yang menjadi ketakutan itu telah
didudukkan di sampingnya! Semua orang terkejut dan Lurah So, juga mantunya, dengan sura
ketakutan mohon agar pengantin wanita dibebaskan.
“Ha-ha-ha, baru saja aku menyelamatkan nyawa kalian sekeluarga dari tangan selosin monyet
busuk tadi, apakah kalian begitu pelit untuk menyenangkan hatiku? Aku hanya ingin
mengajak nona pengantin makan minum. Nah, kalian pergilah dan sediakan lagi arak
untukku!” Dengan sumpitnya, Tay-lek Kwi-ong menjepit sepotong daging dan
menyuguhkannya ke depan mulut kecil pengantin wanita itu. “Manis, makanlah ini.”
Pengantin wanita itu adalah seorang gadis yang usianya baru enam belas tahun, ia sudah
ketakutan, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar bagaimana mungkin ia dapat menerima
daging yang hendak disuapkan ke mulutnya itu. Ia menggeleng kepalanya dan menangis.
“Ha-ha-ha, jangan takut, manis!” kata Tay-lek Kwi-ong dan tangan kirinya memegang dagu
gadis itu. Gadis itu tidak dapat menahan mulutnya yang terbuka dan daging itu dijejalkan ke
mulutnya!
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 256
“Ha-ha-ha, begitu baru manis!” kata Tay-lek Kwi-ong dan kini dia mendekatkan cawan penuh
arak ke mulut yang mungil itu. “Sekarang minumlah, hayo kita minum bersama, kita
bergembira hari ini!”
“Tay-lek Kwi-ong, engkau iblis jahat!” tiba-tiba Mimi yang tidak dapat menahan kemarahan
hatinya, sudah berlari dan meloncat masuk ke dalam ruangan pesta yang kini telah ditinggal
pergi sebagian besar dari para tamunya. Melihat adiknya sudah berlari, Bouw Ku Cin tentu
saja tidak mau tinggal diam mengkhawatirkan adiknya dan diapun lari mengejar. Kini, kakak
beradik itu telah tiba di depan kakek yang didampingin pengantin wanita yang menggigil
ketakutan dan kakek berewok itu memandang mereka dengan alis berkerut.
“Hemm, kalian ini dua orang muda mau apa?” bentaknya.
Mimi yang sudah marah sekali menudingkan telunjuknya ke arah muka brewok itu. “Tadinya
engkau kukira seorang gagah yang menentang perbuatan gerombolan pasukan yang jahat tadi,
tidak tahunya engkaupun sama saja dengan mereka, suka menghina orang mengandalkan
kepandaianmu.”
“Tay-lek Kwi-ong, bebaskan nona pengantin itu, biarkan ia kembali kepada keluarganya!”
Bouw Ku Cin juga membentak dan pemuda ini sudah mencabut pedangnya.
Melihat ini, Tay-lek Kwi-ong tertawa. “Ha-ha-ha, kalian ini dua bocah sombong, berani
menentang Tay-lek Kwi-ong. Apakah kalian iri melihat aku makan minum bersama nona
pengantin?”
“Jahanam busuk, kalau tidak cepat kaulepaskan gadis itu, terpaksa kami akan menghajarmu!”
bentak pula Mimi. Ucapan ini membuat Tay-lek Kwi-ong menjadi marah. Dia menyambar
sebuah mangkok kosong dan melemparkan mangkok itu ke arah Mimi.
“Singgg...!!” Mangkok menyambar dengan cepat ke arah kepala Mimi. Akan tetapi, dengan
sigap Mimi miringkan kepalanya dan mangkok itu meluncur lewat, tidak mengenai mukanya.
Melihat ini, Tay-lek Kwi-ong menjadi semakin penasaran dan marah.
“Ha-ha-ha, kiranya kalian mempunyai sedikit kepandaian. Bagus, mari kita main-main
sebentar!” katanya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menotok pengantin wanita
sehingga gadis ini terduduk lemas di kursinya, “Kau tunggu aku membereskan dua orang
muda lancang ini sebentar, sayang!”
Tay-lek Kwi-ong masih memandang rendah dua orang calon lawan, yang sudah mencabut
pedang. “Kalian berani mengganggu aku, berarti kalian telah bosan hidup!” bentaknya dan dia
mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, kemudian kedua lengannya yang panjang itu
bergerak dari kanan-kiri, mencengkeram ke arah kakak beradik itu. Namun, Bouw Ku Cin
dan Bouw Mimi bukanlah orang-orang muda yang lemah. Mereka mengelak sambil
menggerakkan pedang. Dua batang pedang kini menyambar ke arah lengan raksasa itu,
membacok dari samping. Tentu saja Tay-lek Kwi-ong terkejut dan cepat menarik kembali
kedua lengannya, dan kini kedua kakinya secara beruntun mengirim tendangan. Biasanya,
seperti terbukti ketika dia menghajar para prajurit tadi, tendangannya tidak pernah gagal.
Akan tetapi sekali ini, ketika kakak beradik itu mengelak, tendangannya hanya mengenai
angin, bahkan sebaliknya kakak beradik itu sudah menyerangnya lagi dengan dahsyat. Taylek
Kwi-ong terpaksa meloncat ke belakang dan kini dia tahu bahwa dua orang pemuda tani
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 257
itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
“Singg...!!” Dia mencabut golok besarnya dan semua orang menjadi silau ketika memandang
golok yang tajam berkilauan itu. Tay-lek Kwi-ong lalu mengamuk dan menyerang kakak
beradik itu dengan golok besarnya. Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah siap dan merekapun
melakukan perlawanan dengan gigih. Meja kursi beterbangan ketika diterjang oleh Tay-lek
Kwi-ong dan segera terjadi perkelahian yang seru di dalam ruangan itu.
Karena khawatir kalau-kalau pengantin wanita yang masih duduk tak dapat bergerak di situ
terkena sambaran senjata, Mimi menggunakan kesempatan selagi kakaknya mendesak lawan,
ia cepat membebaskan totokan pengantin wanita itu dan mendorongnya pergi. Pengantin
wanita itu dengan terisak dan ketakutan, lari dan disambut suami dan ayahnya.
Tay-lek Kwi-ong marah bukan main. Dengan tenaganya yang amat kuat, goloknya berubah
menjadi sinar bergulung-gulung dan kakak beradik itu segera terdesak. Setiap kali senjata
pedang mereka bertemu golok hampir saja pedang itu terlepas dari pegangan karena telapak
tangan mereka tergetar dan terasa panas.
Biarpun Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah mengerahkan seluruh tenagan dan
mengerahkan jurus-jurus terampuh yang mereka kuasai, tetap saja mereka berdua bukan
tandingan Tay-lek Kwi-ong dan makin lama mereka semakin terdesak oleh gulungan sinar itu.
Tay-lek Kwi-ong sudah tertawa berelak karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu tak lama
lagi dia akan mampu merobohkan dua orang yang berani melawannya itu.
Akan tetapi pada saat itu, nampak berkelebat empat bayangan orang dan di situ muncul empat
orang pria yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tanpa banyak cakap lagi, mereka
menggerakkan pedang dan mengeroyok Tay-lek Kwi-ong! Melihat empat orang ini, kakak
beradik Bouw menjadi girang bukan main karena mereka mengenal bahwa empat orang ini
adalah jagoan-jagoan di Nan-king yang berkepandaian tinggi. Mereka adalah empat orang
yang diam-diam mendapat tugas dari Yauw-Ciangkun untuk mengawasi dan melindungi
kakak beradik bangsawan itu. Ketika tadi terjadi keributan di tempat Lurah So mengadakan
pesta pernikahan puterinya, empat orang itupun mengamati dari jauh karena mereka tahu
bahwa dua orang muda bangsawan yang harus mereka lindungi berada di antara para
penonton di luar pekarangan. Mereka tidak mau mencampuri keributan itu. Akan tetapi ketika
dua orang bangsawan itu berlari masuk, merekapun cepat mendekat dan melihat kakak
beradik itu terdesak oleh Tay-lek Kwi-ong, tentu saja mereka tidak mungkin dapat tinggal
diam lagi. Andai kata kakak beradik itu berada di pihak yang unggul, tentu mereka akan diam
saja dan tidak berani mencampuri, akan tetapi Bouw Kongcu dan Bouw Siocia terancam,
mereka tidak boleh tinggal diam.
Melihat empat orang laki-laki yang melihat gerakannya amat tangguh itu ikut mengeroyok,
Tay-lek Kwi-ong terkejut dan tokoh sesat yang cerdik ini segera menubruk ke arah Mimi.
Sejak tadi dia tahu bahwa “pemuda” ini adalah seorang gadis yang menyamar pria, maka
dengan cepat dia menubruk, memukul pedang Mimi dengan goloknya sambil mengerahkan
tenaga sehingga gadis itu terhuyung dan pedangnya terlepas dan di lain saat, dia sudah
menangkapnya dengan tangan kiri, menelikung kedua tangan gadis itu ke belakang dan
menempelkan goloknya ke lehernya.
“Semua mundur atau kusembelih gadis ini!” bentaknya dengan nada suara mengancam.
Melihat in, Bouw Kongcu terkejut dan berteriak agar empat orang jagoan itu mundur.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 258
Tay-lek Kwi-ong lalu memanggul tubuh Mimi yang sudah ditotoknya, dan dengan langkah
lebar dia pergi meninggalkan tempat itu.
“Lepaskan adikku!” Bouw Kongcu meloncat dan melakukan pengejaran, diikuti oleh empat
orang perwira pengawal.
Tay-lek Kwi-ong yang sudah tiba di luar dusun, berhenti dan tetap menempelkan goloknya di
leher gadis yang masih dipanggulnya, “Kalau kalian mengejar, terpaksa akan kubunuh dulu
gadis ini!”
“Tay-lek Kwi-ong, sebaiknya kau lepaskan gadis itu. Ia adalah Bouw Siocia, puteri Perdana
Menteri Bayan dari kota raja!”
Mendengar ini, Tay-lek Kwi-ong terbelalak. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis yang
menyamar pria, yang kini telah menjadi tawanannya, adalah puteri Menteri Bayan yang
terkenal itu! Dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Tay-lek Kwi-ong, ingat. Kalau engkau tidak membebaskan Bouw Siocia, maka kerajaan
tentu akan mengirim pasukan besar untuk mengejarmu dan engkau akan menderita hukuman
yang paling berat. Lepaskan Bouw Siocia!” kata pengawal kedua.
Raksasa brewok itu tertawa. “Ha-ha-ha, kalau aku membebaskannya, tentu kalian akan
menyerangku. Kalian kira aku bodoh?”
“Tidak!” kata Bouw Kongcu. “Kami berjanji tidak akan mengejarmu lagi kalau kau
membebaskan adikku.”
“Hemm, siapa dapat mempercayai omongan penjajah? Dengan puteri ini di tanganku, aku
akan aman, tak seorangpun berani mengganggu. Kalian pergilah, dan setelah aku yakin benar
kalian tidak dapat mengejarku, baru aku akan membebaskan gadis ini.”
Empat orang itu saling pandang dengan Bouw Ku Cin. Pemuda itu tidak melihat jalan lain
untuk menyelamatkan adiknya. Kalau mereka menggunakan kekerasan, iblis itu tentu akan
membunuh Mimi dan mereka tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mencegahnya.
“Baik, Tay-lek Kwi-ong. Kami akan pergi. Akan tetapi, aku bersumpah. Kalau engkau tidak
membebaskan adikku dan kalau engkau mengganggunya, aku akan mengerahkan pasukan
untuk mencarimu sampai dapat!” Setelah mengeluarkan ancaman itu, Bouw Ku Cin mengajak
empat orang pengawal meninggalkan kakek itu yang segera melanjutkan perjalanan sambil
memondong tubuh Mimi.
Setelah melakukan perjalanan lebih dari dua jam, baru dia membebaskan totokan pada tubuh
gadis itu dan menurunkannya. “Hayo jalan. Kau ikut aku dan kalau engkau tidak banyak
membantah, aku tidak akan mengganggumu!”
“Tapi, bukankah engkau sudah berjanji kepada kakakku untuk membebaskan aku?” bantah
Mimi.
“Ha-ha-ha, kalian yang untung dan aku yang rugi kalau kubebaskan engkau. Selama engkau
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 259
bersamaku, siapa berani menggangguku? Ha-ha-ha, hayo jalan!”
“Tidak! Kau... kau mengingkari janji. Engkau pembohong, penipu!” Dengan berani Mimi lalu
menerjang. Akan tetapi, tubuhnya masih terasa kaku karena selama dua jam lebih tidak
mampu bergerak, maka dalam beberapa gebrakan saja ia sudah roboh terkena tamparan pada
pundaknya.
“Hemm, lebih baik engkau tidak banyal membantah kalau tidak ingin tersiksa!” kata Tay-lek
Kwi-ong.
“Aku hendak kaubawa ke mana?”
“Tidak perlu bertanya, ikut saja,” kata kakek itu sambil menyeringai. “Aku bukan orang tolol,
tidak akan membahayakan diriku dengan mengganggumu. Akan tetapi, untuk menyelamatkan
diriku, aku tidak segan untul menyiksa atau membunuhmu. Kalau engkau mentaatiku, kita
sama-sama aman dan selamat.”
Mimi bukan seorang gadis bodoh. Ia harus bersabar. Selama iblis tua ini tidak
mengganggunya ia akan bersikap tunduk dan taat sambil mencari kesempatan untuk
melarikan diri. Demikianlah, ia menurut ketika disuruh berjalan dan ia tidak pernah
membantah.
Sore hari itu mereka memasuki sebuah rumah makan di dusun Ki-ciu, dusun yang besar dan
ramai di Lembah Sungai Huai. Mereka mengambil tempat duduk di meja paling ujung. Taylek
Kwi-ong duduk menghadap keluar agar selain dapat mengawasi gadis itu, diapun dapat
mengawasi orang-orang yang datang dari luar karena dia masih curiga kalau-kalau para
perwira dari Nan-king membayanginya.
Seorang pelayan yang memakai topi kain menghampiri mereka. Pelayan itu menundukkan
mukannya, akan tetapi Mimi dapat menangkap sinar mata tajam penuh selidik ditujukan
kepadanya. Sejak ia dipaksa mengikuti Tay-lek Kwi-ong, ia sengaja menggosok kedua
pipinya sehingga warna kecoklatan buatan itu luntur dan nampak kedua pipinya putih
kemerahan, juga ia tidak lagi menggunakan suara pria, melainkan menggunakan suaranya
sendiri. Hal ini ia lakukan agar semua orang tahu bahwa ia seorang wanita dan karena ia
menggunakan pakaian pria, maka keadaan dirinya tentu akan menimbulkan perhatian orang
lain.
Ketika pelayan itu dengan sikap hormat bertanya masakan apa yang hendak dipesan, Tay-lek
Kwi-ong menyebutkan nama beberapa masakan dan minta disediakan arak, kemudian sambil
lalu dia bertanya kepada Mimi. “Engkau hendak makan apa?”
Dengan suaranya yang merdu tapi lantang, Mimi menjawab, “Aku tidak mau makan!”
Sepasang alis mata yang tebal itu berkerut dan pandang mata itu penuh kemarahan. “Sejak
tadi engkau tidak makan tidak minum, engkau tidak lapar.”
“Biar aku mati kelaparan, lebih baik!” kata pula Mimi dengan ketus. Ia melirik dan hatinya
senang melihat betapa sikap dan ucapannya ternyata membuat pelayan itu seperti orang
tercengang keheranan.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 260
Tay-lek Kwi-ong mendongkol bukan main. Sungguh akan merupakan perjalanan yang amat
menjengkelkan sekali kalau tawanannya bersikap seperti ini. “Anak bandel, kaukira aku tidak
mampu menjejalkan makanan ke dalam perutmu?” bentaknya dan kepada pelayan dia berkata,
“Sudah, cukup itu saja pesananku dan cepat keluarkan!”
Karena ia sendiri memang merasa lapar dan tidak ingin mati kelaparan, dan sikap dan katakatanya
tadi hanya dimaksudkan untuk menarik perhatian orang, ketika hidangan dikeluarkan,
Mimi mau juga makan sehingga hati Tay-lek Kwi-ong merasa lega. “Nah, begitulah. Jadi kita
tidak saling menyusahkan,” katanya.
Setelah mereka keluar dari dusun Ki-ciu, Mimi berhenti melangkah dan bertanya, “Sebetulnya
engkau hendak membawaku ke manakah?”
“Tidak perlu kau mengetahui.”
“Kalau tidak diberi tahu, aku tidak akan sudi berjalan!”
“Hemm, dan engkau lebih suka kuseret atau kutotok lalu kupanggul seperti tadi?”
Sebelum Mimi menjawab, terdengar suara gaduh dan dari pintu gerbang dusun itu keluar
berlarian belasan orang. Pelayan muda yang agak jangkung tadi berlari di depan dan begitu
mereka berhadapan dengan Tay-lek Kwi-ong dan Mimi, pelayan itu berseru, “Inilah orangnya
yang menculik gadis itu!”
Tay-lek Kwi-ong memandang marah. “Mulut busuk! Siapa menculik gadis? Ini adalah anakku
sendiri! Kalian mau apa?”
Semua orang tertegun, juga si pelayan yang tadi memberitahu bahwa ada orang menculik
seorang gadis yang dipaksanya makan seperti yang didengarnya dari percakapan mereka tadi.
Selagi semua orang kebingungan mendengar bahwa gadis berpakaian pria itu adalah anak
kakek yang disangka penculik, Mimi sudah berteriak, “Aku bukan anaknya dan dia memang
menculik aku! Dia penjahat besar, tolonglah aku!” Setelah berkata demikian, Mimi sudah
menerjang dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Tay-lek Kwi-ong. Kakek ini menjadi
marah sekali dan dia menangkis sambil mengerahkan tenaga sehingga tubuh gadis itu
terhuyung. Sebuah tendangan mengenai lambungnya dan Mimi terpelanting pingsan.
Tay-lek Kwi-ong sudah marah dan ingin membunuh Mimi yang tadinya akan dijadikan
sandera agar dia tidak dikejar pasukan. Akan tetapi, ketika dia meloncat ke depan untuk
mengirim pukulan terakhir, tiba-tiba sesosok bayangan menyambar dan ada angin yang kuat
sekali meluncur ke arah dirinya. Tay-lek Kwi-ong terkejut dan cepat menangkis. Dua buah
lengan bertemu dan Tay-lek Kwi-ong terdorong ke belakang. Dia terkejut dan memandang.
Ternyata yang menyerangnya adalah si pelayan jangkung tadi. Kini pelayan itu tidak
mengenakan topinya dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong.
“Tay-lek Kwi-ong, sungguh tidak kusangka seorang tokoh seperti engkau melakukan
perbuatan rendah, menculik seorang gadis!” kata pemuda itu.
“Kau... kau Cu Goan Ciang...!” Tay-lek Kwi-ong berseru.
Seorang di antara mereka yang kini mengepungnya berkata lantang, “Tay-lek Kwi-ong, dia
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 261
adalah Beng-cu, engkau jangan bersikap kurang ajar!”
Tay-lek Kwi-ong tertawa bergelak. “Beng-cu? Ha-ha-ha, aku baru mau mengakuinya sebagai
Beng-cu kalau dia mampu menandingi dan mengalahkan aku!”
Cu Goan Ciang yang sedang menghimpun kekuatan memang seringkali menyamar untuk
menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan sekali ini dia menyamar sebagai
seorang pelayan dari rumah makan yang memang khusus didirikan untuk menghubungi
orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di situ. Ketika tadi Tay-lek Kwi-ong memasuki
rumah makan bersama seorang gadis yang menyamar sebagai seorang pria, dia terkejut dan
timbul kecurigaannya, apa lagi ketika melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu. Akan
tetapi, Goan Ciang tidak melakukan sesuatu karena dia tidak ingin menimbulkan keributan di
dalam dusun itu. Setelah Tay-lek Kwi-ong dan gadis itu meninggalkan rumah makan, dia lalu
mengajak beberapa orang anak buahnya dan melakukan pengejaran sampai ke luar dusun.
Kini, mendengar ucapan Tay-lek Kwi-ong, Goan Ciang melangkah maju dan berkata dengan
sikap tenang namun berwibawa.
“Tay-lek Kwi-ong, sikapmu ini bukan sikap seorang gagah. Engkau ikut dalam pemilihan
Beng-cu dan engkau sudah kalah, sudah mengundurkan diri. Semua orang kang-ouw
mengetahui bahwa akulah yang menang dan terpilih, kenapa engkau sekarang bersikap seperti
ini? Dan engkau sudah menculik seorang gadis. Akuilah kekalahanmu dan bebaskan gadis itu
dan kami akan menerimamu sebagai seorang kawan seperjuangan.”
“Cu Goan Ciang, aku mengaku bahwa aku gagal dalam pemilihan Beng-cu. Akan tetapi,
dalam pemilihan itu aku dikalahkan oleh Thian Moko, bukan olehmu. Maka, kalau engkau
ingin aku mengakui kau sebagai Beng-cu, kalahkan aku dulu! Kalau tidak, lebih baik engkau
pergi dan jangan mencampuri urusanku dengan gadis itu.”
“Beng-cu, kiranya tidak perlu melayani si sombong ini! Biar kami yang akan menghajarnya,”
kata beberapa orang pembantu Goan Ciang yang mengepung tempat itu.
Akan tetapi sambil tersenyum Goan Ciang mengangkat tangan ke atas mencegah mereka. Dia
melihat dalam diri Tay-lek Kwi-ong seorang pembantu yang dapat diandalkan. Memang
orangnya kasar dan tinggi hati, akan tetapi kalau dapat ditundukkan, dengan ketinggian
hatinya tentu akan dapat menjadi seorang pembantu yang tidak mau kalah dalam membuat
jasa oleh para pembantu lainnya.
“Baiklah, Tay-lek Kwi-ong, aku akan melayanimu untuk menentukan siapa yang lebih unggul
di antara kita.” Tentu saja jawaban Cu Goan Ciang ini sudah dia perhitungkan baik-baik. Cu
Goan Ciang seorang yang amat cerdik dan ahli siasat maka dia telah yakin bahwa dia pasti
akan mampu menundukkan raksasa ini, yang pernah dilihat sepak terjangnya ketika
bertanding melawan Thian Moko tempo hari. Kalau dia tidak yakin, tentu dia tidak akan
mempertaruhkan kedudukannya sebagai Beng-cu.
“Bagus! Akan tetapi, pertandingan ini harus diimbali taruhan yang cukup berharga. Kalau
engkau kalah olehku, maka kedudukan Beng-cu harus diserahkan kepadaku!” Mendengar ini,
para pembantu Cu Goan Ciang menjadi marah dan mereka sudah bersungut-sungut. Akan
tetapi Cu Goan Ciang menyabarkan mereka dengan mengangkat tangan, lalu sambil
tersenyum dia bertanya kepada raksasa itu.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 262
“Tay-lek Kwi-ong, kalau aku mempertaruhkan kedudukanku, tentu engkau juga mau
mempertaruhkan sesuatu, bukan?”
“Aku mempertaruhkan nyawaku! Kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku!” kata raksasa
yang berwatak keras itu.
“Tidak, Kwi-ong. Kalau aku kalah, engkau boleh menjadi Beng-cu, akan tetapi kalau engkau
yang kalah, engkau harus menjadi pembantuku, bersama kami ikut berjuang menentang
penjajah! Selain itu, aku ingin agar engkau membebaskan wanita itu.”
“Cu Goan Ciang, kalau aku kalah, aku akan menjadi pembantumu terbaik, dan aku akan
mempersembahkan gadis itu kepadamu sebagai tanda takluk.”
Cu Goan Ciang mengerutkan alisnya. “Aku tidak butuh wanita!” bentaknya. Dia sudah
mempunyai Tang Hui Yen sebagai calon isteri, bagaimana dia mau menerima persembahan
seorang gadis lain?
“Ha-ha-ha, engkau tidak tahu siapa gadis itu. Ia adalah puteri Menteri Bayan!”
“Ahhh...!!” Cu Goan Ciang dan para pembantunya berseru kaget dan Cu Goan Ciang lalu
berkata kepada para pembantunya, “Jaga baik-baik gadis itu, jangan sampai ia melarikan diri
dan perlakukan ia dengan hormat dan baik!”
“Nah, bersiaplah engkau untuk menandingiku!” bentak Tay-lek Kwi-ong dan dia sudah
mencabut golok besarnya dan memasang kuda-kuda di depan Cu Goan Ciang.
Cu Goan Ciang menyilangkan sebatang ranting kayu sebesar lengan di depan dada dengan
tangan kiri terbuka jari-jarinya membentuk cakar rajawali. Dia telah mengombinasikan ilmu
silat Sin-tiauw ciang-hoat (Silat Rajawali Sakti) dan ilmu Hok-mo-tung (Tongkat Penakluk
Iblis). Melihat lawannya hanya mempergunakan sebatang ranting sebagai senjata, Tay-lek
Kwi-ong menjadi marah karena merasa dipandang rendah.
“Engkau mencari mampus!” bentaknya dan goloknya menyambar ganas, mendatangkan angin
bersiutan dan nampak sinar terang menyambar-nyambar. Namun, dengan lincahnya Goan
Ciang menghindarkan diri dan langsung saja ujung tongkatnya membalas dengan totokan ke
arah ketiak kanan, sedangkan tangan kiri yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah
kepala sebagai serangan susulan.
Raksasa brewok itu meloncat ke belakang menghindarkan diri sambil memutar goloknya,
kemudian menyerang lagi dengan dahsyat. Bagaimanapun juga, dia merasa penasaran kalau
tidak mampu mengalahkan pemuda itu. Dia memang pernah kalah oleh Thian Moko dan hal
itu tidak membuat dia penasaran karena Thian Moko adalah seorang datuk yang memiliki
nama besar di dunia persilatan. Akan tetapi Cu Goan Ciang? Hanya seorang pemuda yang
baru saja muncul di dunia kang-ouw walaupun namanya amat terkenal karena dia menjadi
buruan pemerintah.
Pertandingan itu berlangsung dengan seru, membuat para anak buah Cu Goan Ciang merasa
kagum sekali. Sementara itu, Mimi juga sudah siuman dari pingsannya dan melihat betapa
penculiknya bertanding melawan seorang pemuda jangkung yang dikenalnya sebagai pelayan
dalam rumah makan tadi, ia tertegun penuh keheranan. Pemuda pelayan itu ternyata mampu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 263
menandingi Tay-lek Kwi-ong! Ia tadinya ingin melarikan diri melihat penculiknya sedang
sibuk bertanding, akan tetapi melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan
nampak Tay-lek Kwi-ong yang makin lama semakin repot dan hanya main mundur, ia
menjadi ingin tahu dan ingin melihat penculiknya itu dikalahkan orang. Pula, para anak buah
Cu Goan Ciang hanya mengawasinya, tidak mengepung secara menyolok sehingga Mimi
sama sekali tidak mengira bahwa andai kata ia melarikan diri, ia tentu akan dihalangi oleh
mereka.
Tay-lek Kwi-ong semakin penasaran, akan tetapi juga mulai timbul rasa kagum dalam
hatinya. Pemuda ini ternyata memang lihai bukan main. Biarpun senjatanya hanya sebatang
ranting, akan tetapi dia sama sekali tidak mampu mendesak pemuda itu, bahkan beberapa kali
dia terkena totokan ujung tongkat. Biarpun dia sudah melindungi tubuhnya yang kuat dengan
kekebalan, tetap saja totokan itu membuat tubuhnya tergetar dan hampir saja dia roboh.
Namun, dia masih merasa penasaran. Kalau pemuda itu belum dapat merobohkannya, dia
tidak akan dapat merasa yakin bahwa dia membantu seorang yang benar-benar tangguh.
“Hyaaattt...! Sing-sing-singgg...!!” Goloknya kini menyerang bertubi-tubi dengan bacokan
beruntun. Bacokan itu terus berkelanjutan dari kiri ke kanan lalu membalik ke kiri dan
membalik lagi. Cepat bukan main dan mengandung kekuatan dahsyat sehingga kalau bacokan
itu mengenai tubuh lawan, tentu tubuh itu akan terbabat putus menjadi dua potong! Akan
tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tubuh lawan tiba-tiba lenyap. Dia hanya
melihat bayangan seperti seekor burung saja melayang terbang ke atas. Sebelum hilang
kagetnya, Cu Goan Ciang yang mempergunakan jurus dari Sin-tiauw ciang-hoat itu telah
berada di belakang tubuh lawan, meluncur dari atas, tongkatnya menotok siku kanan lawan
dan tangan kirinya mencengkeram pundak kiri lawan.
Tay-lek Kwi-ong tidak sempat mengelak. Goloknya terlepas dari tangan kanan yang tiba-tiba
menjadi lumpuh, dan pundak kirinya terkena cengkeraman yang membuat dia berteriak
kesakitan. Ketika Goan Ciang menarik keras, tubuh kakek raksasa itu tidak mampu bertahan
lagi dan diapun roboh terpelanting keras!
Terdengar tepuk tangan. “Bagus, bagus, hantam saja! Tay-lek Kwi-ong itu penjahat besar
yang kejam. Bunuh dia!” Yang bersorak itu adalah Mimi.
Tay-lek Kwi-ong bangkit dan menyeringai karena pundaknya terasa nyeri. Dia mengangkat
kedua tangan memberi hormat kepada Cu Goan Ciang dan berkata dengan lantang, “Mulai
saat ini, aku Tay-lek Kwi-ong menyatakan takluk dan siap membantu Beng-cu!”
Cu Goan Ciang tersenyum, merasa girang bahwa dia telah dapat menundukkan raksasa ini
yang dapat diandalkan tenaganya dalam perjuangannya melawan penjajah. Akan tetapi Mimi
terkejut dan heran mendengar ucapan raksasa itu. Pelayan rumah makan itu disebut Beng-cu!
Pada hal, ia pernah mendengar bahwa yang terpilih menjadi Beng-cu di dunia kang-ouw
adalah Cu Goan Ciang, orang yang dikenal sebagai buruan pemerintah! Saking heran dan
ingin tahunya, Mimi melangkah maju dan memandang kepada pemuda pelayan rumah makan
itu penuh perhatian, mengamati dari atas ke bawah dengan terheran-heran. Memang seorang
pemuda yang gagah pikirnya, tinggi tegap dan tubuhnya tegak seperti seekor burung rajawali,
matanya mencorong penuh wibawa. Akan tetapi pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang
pelayan!
“Apakah engkau ini... yang bernama Cu Goan Ciang??”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 264
Cu Goan Ciang tersenyum dan mengangguk, “Benar, Bouw Siocia, dan kami harap engkau
suka ikut dengan kami sebagai tamu kami.”
Mimi membelalakan matanya. Ia tadi belum siuman dari pingsannya ketika Tay-lek Kwi-ong
menceritakan kepada Cu Goan Ciang bahwa ia adalah puteri Menteri Bayan. “Kau...
bagaimana bisa tahu...”
“Nona, mulai saat ini aku telah menjadi pembantu Beng-cu dan engkau menjadi tawanan
Beng-cu,” kata Tay-lek Kwi-ong.
“Tidak! Aku tidak sudi!” kata Mimi dengan marah. Bagaimana mungkin ia membiarkan
dirinya menjadi tawanan pemimpin pemberontak yang menjadi orang buruan pemerintah?”
“Bouw Siocia, kami berjanji tidak akan bertindak kasar kalau engkau suka menyerah dengan
baik-baik. Percayalah, kami tidak akan mengganggumu, hanya menawanmu sebagai tamu
kami demi kepentingan perjuangan kami,” kata Cu Goan Ciang.
Para pembantunya lalu menodongkan senjata dan Mimi tidak dapat berbuat apapun, kecuali
menurut, dengan muka cemberut ia mengikuti rombongan itu pergi memasuki hutan.
Para pejabat di Nan-king menjadi gempar dan panik ketika Bouw Ku Cin pulang ke kota Nanking
dan melapor kepada Yauw-Ciangkun dan Shu-Ciangkun tentang ditawannya Mimi oleh
Tay-lek Kwi-ong!
Panglima Yatucin mencak-mencak saking marahnya karena dia takut kalau sampai mendapat
teguran dari Menteri Bayan tentang diculiknya puteri menteri itu dan dia berkata, “Keparat
jahanam penjahat itu. Akan kuperintahkan seluruh pasukan untuk mengadakan pembersihan
di mana-mana, mencari sampai dapat ditemukan Bouw Siocia dan penculiknya. Kalau sampai
tertangkap, jangan bunuh jahanam itu akan tetapi serahkan kepadaku hidup-hidup, akan
kukuliti dia hidup-hidup!”
“Harap Ciangkun tenangkan hati. Kalau kita menggerakkan pasukan, tentu lebih mudah bagi
Tay-lek Kwi-ong untuk melarikan diri jauh-jauh sehingga sukar dicari jejaknya. Sebaiknya
kalau Ciangkun menyerahkan kepada saya. Saya sendiri yang akan mencarinya, dibantu oleh
beberapa orang yang saya percaya. Kalau dalam waktu seminggu saya belum berhasil,
terserah kepada Ciangkun, kalau hendak mengerahkan seluruh pasukan.”
“Aku menyetujui usul Shu-Ciangkun,” kata Bouw Ku Cin. “Agaknya kakek raksasa itu
menawan adikku hanya untuk dijadikan sandera agar dia tidak dapat diganggu oleh pasukan.
Kalau dikerahkan pasukan besar-besaran, amat berbahaya bagi keselamatan adikku. Biarlah
Shu-Ciangkun yang mencari secara diam-diam lebih dulu, dan aku akan ikut mencari.”
Yauw-Ciangkun terpaksa menyetujui usul Shu Ta itu. Akan tetapi Shu Ta menolak keinginan
Bouw Ku Cin untuk ikut mencari. “Sebaiknya kalau Bouw Kongcu tidak ikut. Kongcu telah
dikenal olehnya, maka begitu bertemu kongcu, tentu dia akan menjadi curiga dan melarikan
diri bersama Bouw Siocia. Biarlah saya dan beberapa orang pembantu saya yang akan
mencari, dan kami akan menyamar. Saya kira tidak akan terlalu sukar mencari seorang yang
bentuknya seperti raksasa itu.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 265
Akhirnya, pada hari itu juga, berangkatlah Shu Ta bersama empat orang perwira yang
dipercayanya. Empat orang perwira ini adalah orang-orang sehaluan dengan dia, yaitu mereka
yang berjiwa pahlawan dan bermaksud untuk membantu perjuangan menggulingkan
pemerintah penjajah Mongol. Mereka berlima menyamar sebagai penduduk biasa, lalu keluar
dari kota Nan-king, menuju ke Lembah Sungai Huai di utara.
Shu Ta maklum bahwa kalau dia ingin berhasil menemukan Tay-lek Kwi-ong dalam waktu
seminggu, dia harus mendapat bantuan dari Cu Goan Ciang! Itulah satu-satunya jalan karena
daerah itu berada di dalam kekuasaan Cu Goan Ciang. Bahkan siapa tahu kalau-kalau Tay-lek
Kwi-ong malah sudah menjadi sekutu Cu Goan Ciang! Sebelum meninggalkan Nan-king, dia
lebih dahulu mengirim seorang penghubung agar memberitahu kepada Cu Goan Ciang akan
niatnya berkunjung ke markas laskar yang sedang dihimpun suhengnya itu. Dalam keadaan
biasa, tentu saja tindakan ini amat berbahaya bagi kedudukannya, karena tentu akan
menimbulkan kecurigaan Yauw-Ciangkun. Akan tetapi, dengan jalan mencari jejak orang
yang menculik Bouw Mimi, tentu saja dia dapat pergi ke manapun tanpa dicurigai.
Biarpun demikian, Shu Ta dan empat orang kawannya amat berhati-hati melakukan
perjalanan menyusuri sungai Huai. Ketika mereka bertemu dengan orang yang dijadikan
penghubung, dan orang itu sedang kelihatan duduk di atas sebuah perahu dan memancing
ikan, Shu Ta menyuruh empat orang kawannya untuk berpencar ke empat penjuru, memanjat
pohon besar dan memeriksa keadaan sekeliling kalau-kalau ada orang lain yang mengawasi
mereka. Setelah yakin bahwa tidak ada yang mengamati atau membayangi mereka, barulah
lima orang itu naik ke perahu dan perahu diluncurkan perlahan ke tengah sungai.
“Beng-cu telah siap menyambut Ciangkun dengan gembira sekali,” kata penghubung itu.
“Ketika Beng-cu bertanya kepentingan apa yang membuat Ciangkun hendak menemuinya,
saya tidak dapat menjawab karena saya tidak mengetahui kepentingan Ciangkun.”
Shu Ta mengangguk senang, “Aku hanya rindu kepadanya dan ingin bercakap-cakap, cepat
bawa kami ke sana.”
Perahu meluncur cepat dan menjelang senja, perahu mendarat di kaki sebuah bukit yang
penuh hutan belukar. Daerah itu memang berbukit-bukit dan memang merupakan daerah yang
baik sekali untuk menjadi markas laskar yang sedang dihimpun. Kalau sewaktu-waktu datang
serangan pasukan pemerintah, laskar rakyat itu akan dapat menyelamatkan diri di bukit-bukit
berhutan dan daerah itu tentu saja amat berbahaya bagi pasukan yang belum mengenal medan.
Setelah mereka mendaki bukit dan tiba di tepi hutan ketiga, serombongan orang menghadang
di depan. Cu Goan Ciang memimpin rombongan itu dan dengan langkah lebar dia menyambut
kedatangan Shu Ta. Keduanya saling pandang, lalu dengan gembira saling berpelukan.
“Suheng... engkau... hebat, suheng!” kata Shu Ta gembira.
“Engkau lebih hebat lagi, sute. Tanpa bantuanmu, tentu akan gagal semua usahaku. Mari
kuperkenalkan dengan kawan-kawan kita.” Cu Goan Ciang memperkenalkan belasan orang
pembantu utamanya yang merupakan pendekar-pendekar dan ahli siasat yang namanya sudah
terkenal di dunia kang-ouw. Ketika diperkenalkan kepada seorang raksasa brewok, sebelum
Cu Goan Ciang menyebut namanya, dengan hati berdebar Shu Ta mendahuluinya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 266
“Bukankah saudara ini yang berjuluk Tay-lek Kwi-ong?”
Tay-lek Kwi-ong terbahak. “Ha-ha-ha, memang nama besar Panglima Shu bukan kosong
belaka. Belum pernah kami saling bertemu, akan tetapi dia sudah dapat mengenalku!”
Shu Ta menahan kesabarannya, walaupun ingin dia mencekik orang yang telah menculik
gadis yang membuatnya tergila-gila, yang diam-diam amat dicintanya itu. Dia
memperkenalkan empat orang perwira pembantunya yang juga merupakan orang-orang
sehaluan, yang membantu perjuangan dengan mempersiapkan diri sebagai perwira sehingga
dapat membantu dari dalam.
“Sute, aku gembira sekali dapat bertemu denganmu. Banyak sekali yang perlu kita bicarakan.
Akan tetapi, tentu engkau mempunyai kepentingan khusus maka engkau sampai mencari aku.
Dan bagaimana engkau dapat pergi begitu saja berkunjung ke sini tanpa dicurigai?”
Kini Shu Ta tidak dapat menahan kemarahannya lagi terhadap Tay-lek Kwi-ong. Dia
menudingkan telunjuknya kepada raksasa brewok itu dan berkata, “Suheng, semua ini garagara
perbuatan Tay-lek Kwi-ong! Aku datang untuk mencari dia yang telah berani menculik
Bouw Siocia, puteri Menteri Bayan. Kalau sampai terjadi hal yang tidak baik terhadap diri
puteri itu, aku minta suheng menyerahkan dia padaku!” Wajahnya merah, matanya berkilat.
Melihat sikap sutenya ini, Cu Goan Ciang menjadi heran, akan tetapi dia memang cerdik dan
sekilas pandang saja dia dapat menarik kesimpulan. Sutenya adalah seorang pejuang sejati
yang membenci penjajah, bahkan rela memasuki bahaya dengan menjadi perwira untuk
membantu perjuangan menjatuhkan pemerintah Mongol. Kini, melihat puteri seorang menteri
Mongol tertawan, dia bukan merasa gembira, bahkan kelihatan marah sekali!
“Aihh, Shu-sutem engkau kenapakah? Kenapa marah-marah mendengar puteri Menteri Bayan
ditawan orang? Hemm, tentu ada apa-apanya ini...” Dia menggoda, akan tetapi yang digoda
tetap marah.
“Suheng, sebelum kita bicara tentang hal-hal lain, katakan dulu, di mana Mimi dan apa yang
telah diperbuat Tay-lek Kwi-ong kepadanya!”
Kini yakinlah hati Cu Goan Ciang. Perkiraannya tidak salah. Sutenya telah jatuh cinta kepada
puteri Menteri Bayan itu. Dan ini tidak mengherankan. Setelah menjadi tawanan di situ dan
diberi pakaian wanita yang baik, gadis itu baru kelihatan amat cantik jelita dan gagah! Dan
juga wataknya amat baik dan segera sudah menjadi akrab sekali dengan kekasihnya, yaitu
Tang Hui Yen. Kedua orang gadis itu sudah seperti sahabat lama saja, berlatih silat bersama,
bergurau bersama. Dari Yen Yen dia mengetahui bahwa Mimi sama sekali tidak
menghiraukan tentang politik, dan berjiwa pendekar.
“Ha-ha-ha, tenangkan hatimu, sute. Nona Bouw Mimi memang berada di sini, menjadi tamu
kehormatan kami.” Shu Ta membelalakan matanya, “Suheng! Jadi engkau yang menyuruh dia
menculik Mimi?”
“Bukan begitu, akan tetapi kebetulan sekali Bouw Siocia dapat kami ambil alih dari tangan
Tay-lek Kwi-ong yang hanya menawannya untuk disandera karena dia dikejar-kejar Bouw
Kongcu dan para perwira. Tay-lek Kwi-ong juga merupakan seorang di antara kawan-kawan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 267
kita, pembantuku yang baik. Marilah, sute, mari kira bicara di tempat kami. Banyak yang
dapat kita bicarakan dan tenangkan hatimu. Nona Mimi dalam keadaan sehat dan gembira,
engkau dapat melihatnya sendiri nanti.”
Shu Ta merasa lega. Pandangan marah kepada Tay-lek Kwi-ong lenyap dan dia percaya
sepenuhnya kepada suhengnya. Merekapun segera mendaki bukit itu dan ternyata di dekat
puncak terdapat sebuah perkampungan. Dan Shu Ta diam-diam merasa kagum bukan main.
Perkampungan itu seperti benteng saja! Terjaga ketat, dan biarpun dengan pakaian sederhana,
namun anak buah suhengnya merupakan pasukan yang berpakaian seragam hitam, dan
bendera dengan huruf BENG berkibar-kibar. Merekapun berbaris rapi menyambut kedatangan
Beng-cu, dan ketika mereka melalui sebuah tempat tinggi, Cu Goan Ciang mengajak sutenya
untuk naik dan memandang ke sekeliling.
“Lihat baik-baik, sute. Kami sudah siap. Tidak kurang dari seratus ribu prajurit dalam
pasukan kami!”
Shu Ta berseru kagum. “Bukan main! Engkau hebat, suheng!” Dia melihat betapa di
perbukitan sekeliling bukit itu, terdapat tenda-tenda hitam yang teratur rapi dan nampak jalanjalan
darurat yang menghubungkan satu bukit dengan yang lain. Kedudukan pasukan
suhengnya ternyata sudah amat kuat, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya!
“Wah, pasukan ini sudah cukup kuat untuk merebut Nan-king, suheng!”
“Itulah yang perlu kita bicarakan. Mari kita ke tenda induk, akan tetapi sebaiknya engkau
jangan bertemu dulu dengan nona Bouw. Setelah kita bicara nanti, baru engkau bertemu dan
bicara dengannya. Agaknya ia... eh... kalian... saling mencinta, bukan?”
Wajah Shu Ta berubah merah sekali dan dia memegang tangan suhengnya. “Terus terang saja,
suheng. Aku jatuh cinta padanya. Ia gadis yang baik sekali, dan aku cinta padanya, aku tidak
ingin melihat ia terganggu atau celaka. Akan tetapi ia sendiri... ah, aku belum tahu apakah ia
mencintaku walaupun pergaulan kami cukup akrab.”
“Kita bicarakan soal itu nanti, sekarang kita harus mengadakan perundingan penting dengan
para pembantuku yang terpercaya.”
Mereka mengadakan rapat di dalam tenda besar yang di jaga ketat sehingga tidak ada orang
lain yang dapat mengintai atau ikut mendengarkan apa yang sedang dibicarakan. Yang hadir
dalam rapat itu adalah para pembantu Cu Goan Ciang sebanyak lima belas orang termasuk
Tay-lek Kwi-ong, dan juga empat orang pembantu Shu Ta. Di kepala meja duduk Cu Goan
Ciang, sedangkan Shu Ta duduk di sebelah kanannya, tempat yang paling terhormat di
samping Beng-cu.
“Saudara sekalian harap dengarkan baik-baik apa yang akan dibicarakan antara aku dan sute
Shu Ta karena ini merupakan rencana siasat kita selanjutnya. Nah, sute, kebetulan muncul
peristiwa tertawannya Bouw Siocia, karena tadinya akupun sudah ingin mengadakan
pertemuan denganmu untuk membicarakan rencana besar kita, yaitu menguasai kota Nanking.
Bagaimana kalau menurut pandangan dan siasatmu, sute?”
“Suheng, kekuatan pasukan suheng yang sebesar seratus ribu orang itu memang cukup kuat,
akan tetapi kalau suheng hanya mengerahkan pasukan menyerbu Nan-king begitu saja, aku
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 268
meragukan hasilnya, dan andai kata berhasilpun, tentu akan mengorbankan banyak sekali
anak buah laskar suheng. Akan lebih menguntungkan kalau kita menggunakan siasat
“Memancing Lembah Meninggalkan Sarang”.”
Cu Goan Ciang yang selalu kagum akan kecerdikan sutenya yang pandai mengatur siasat,
apalagi setelah lama menjadi seorang panglima, segera minta penjelasan.
“Kita harus berusaha agar Yauw-Ciangkun membawa sebagian besar pasukannya keluar dari
Nan-king, dan aku sendiri bersama pasukan yang sehaluan, yaitu pasukan bangsa Han yang
setiap saat akan menanti perintahku sebanyak kurang lebih tiga ribu orang, akan tetap tingal di
Nan-king. Harus diusahakan agar sisa prajurit yang pro pemerintah dan yang tinggal di
benteng tidak begitu banyak jumlahnya. Setelah mereka keluar, pintu gerbang akan kami
tutup dan kalau mereka kembali, kami akan melarangnya. Mereka tentu akan menyerbu dan
kami melawan dari dalam. Saat itu, suheng bersama pasukannya datang menyerang sehingga
kedudukan pasukan pemerintah terjepit.”
Cu Goan Ciang mengangguk-angguk dan para pembantunya merasa kagum dan menyetujui
rencana itu yang sekali pukul akan dapat menghancurkan pasukan pemerintah.
“Hanya saja yang sulit, kita harus dapat mencari alasan yang tepat dan tidak mencurigakan
untuk memancing Yauw-Ciangkun dan pasukannya keluar meninggalkan Nan-king,” kata
pula Shu Ta.
“Aku sudah mempunyai akal itu, sute!” kata Cu Goan Ciang dengan gembira dan mata
memandang kepada Shu Ta yang masih muda namun banyak akalnya itu! “Seolah Tuhan
sudah membantu kita, maka kebetulan sekali Bouw Siocia menjadi tawanan kita. Kita harus
dapat mempergunakan kesempatan ini, untuk melancarkan usaha kita.”
“Harap kaujelaskan, suheng,” kata Shu Ta dan diam-diam dia merasa khawatir sekali. Biarpun
dia rela berkorban nyawa sendiri demi perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari
cengkeraman penjajah Mongol, akan tetapi agaknya dia akan merasa berat kalau harus
mengorbankan diri Mimi yang dicintanya.
Melihat sinar mata sutenya, Cu Goan Ciang dapat menyelami kekhawatiran sutenya itu.
“Sute, kita hanya mempergunakan nama Bouw Siocia saja tanpa mengganggunya. Kebetulan
engkau mendapat tugas menyelidiki dan mencari Bouw Siocia, bukan? Nah, engkau pulang
dan melapor kepada Yauw-Ciangkun bahwa Bouw Siocia berada di sini, di tangan kami dan
kauceritakan bahwa kami sudah bersiap-siap untuk melakukan pemberontakan dan sedang
menghimpun kekuatan. katakan saja bahwa kekuatan kita hanya ada belasan ribu orang.
Buatlah laporan agar mengejutkan dan juga memarahkan Yauw-Ciangkun sehingga dia akan
mengerahkan pasukan seperti yang kaurencanakan tadi. Kita pancing agar dia membawa
pasukannya menyerbu ke bukit ini.”
“Akan tetapi, hal itu akan mendatangkan pertempuran besar yang menjatuhkan banyak
korban.”
“Sute, bagaimana mungkin dapat dicegah jatuhnya korban dalam pertempuran? Yang penting,
korban di antara kita harus sesedikit mungkin dan di pihak musuh sebanyak mungkin. Kami
akan mengatur jebakan untuk mereka. Sebagian dari pasukan kami akan diam-diam menuju
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 269
ke Nan-king dan menjaga di luar pintu gerbang, dan sebagian lagi melakukan perang jebakan
terhadap mereka. Daerah kami ini amat baik untuk menjebak musuh, banyak terdapat tebing
dan jurang, juga lorong sempit. Pendeknya, kalau Yauw-Ciangkun berani membawa
pasukannya ke sini, pasukan itu akan kami hancurkan. Kalau dia tidak terjebak, baru kita
melaksanakan rencanamu tadi, yaitu menjepit mereka di luar kota Nan-king, engkau dan
pasukanmu dari dalam, sedangkan pasukan kami dari luar. Akan tetapi, sebaiknya kalau
mereka dapat terjebak dan dapat kami jepit di sini, sedangkan engkau dan pasukanmu
melumpuhkan semua prajurit yang pro pemerintah dan masih berada di sana, juga
menangkapi para pejabat yang pro pemerintah penjajah.”
Shu Ta kagum dan memberi hormat kepada suhengnya. “Suheng, pantas engkau terpilih
menjadi Beng-cu. Memang engkau hebat. Aku setuju sekali!”
“Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Setujukah dengan rencana siasat kami tadi?”
Semua orang menyatakan persetujuannya. “Bagus, kalau begitu kita semua sudah sependapat.
Sebelum kita mengatur pembagian kerja dan mengatur persiapan untuk melaksanakan rencana
itu, di sini akan kutekankan kepada semua pembantuku, termasuk juga engkau dan
pasukanmu, sute. Harap dengarkan baik-baik dan perhatikan baik-baik. Agar kita selalu ingat
bahwa perjuangan yang kita lakukan dengan mempertaruhkan segalanya ini adalah demi
membebaskan tanah air dan rakyat dari pada cengkeraman penjajah. Kita ini berjuang untuk
menolong rakyat, ingat ini baik-baik, dan yang saya maksudkan dengan rakyat adalah seluruh
penduduk kota Nan-king, tua muda, pria wanita, kaya miskin, pendeknya seluruhnya! Oleh
karena itu, setiap kali pasukan kita memasuki dan merebut suatu daerah, dusun atau kota, kita
harus melarang keras pasukan kita untuk mengganggu rakyat. Yang melakukan perampokan
harus dihukum berat, dan terutama yang membunuh rakyat dan memperkosa wanita harus
dihukum mati! Kita sedang berjuang, dan perjuangan kita masih jauh dan panjang. Sebelum
kita dapat mengusir penjajah Mongol dari seluruh daratan Cina, perjuangan kita belum
selesai, dan untuk itu kita harus dapat menarik dukungan rakyat. Dukungan itu akan dapat kita
peroleh kalau kita benar-benar membebaskan rakyat dari kesengsaraan, bukan dengan cara
mengganggu mereka. Mengertikah kalian semua?”
Shu Ta memandang kepada suhengnya dengan kagum. Di situlah letaknya rahasia
keberhasilan suhengnya. Berjuang sebagai pahlawan dengan sikap sebagai pendekar. Itulah
yang dikehendaki rakyat jelata, baik yang miskin maupun yang kaya. Rakyat tentu akan
mendukung sepenuh hati kalau melihat pasukan yang membebaskan mereka dari
kesengsaraan, dari penindasan, dengan sikap yang gagah perkasa, sebagai pendekar pembela
keadilan dan kebenaran. Yang kaya akan rela menyumbangkan hartanya, yang miskin akan
rela menyumbangkan tenaganya, yang pandai akan menyumbangkan akal dan kepintarannya.
Hanya orang-orang jahat saja yang akan menjadi gentar berhadapan dengan pasukan seperti
itu. Banyak memang kelompok pejuang pada waktu itu, orang-orang yang bergembar-gembor
akan mengusir penjajah Mongol dari tanah air. Akan tetapi sepak terjang mereka sungguh
tidak menyenangkan hati rakyat. Gerombolan ini lebih pantas disebut perampok dari pada
pejuang. Mereka kalau menyerbu sebuah dusun, bukan hanya membunuh dan menumpas
pasukan pemerintah, akan tetapi setelah memperoleh kemenangan, mereka berpesta pora
dengan merampoki harta benda rakyat, dan menculik atau memperkosa wanita-wanita. Tentu
saja rakyat tidak akan mendukung gerombolan seperti itu.
Cu Goan Ciang dan Shu Ta lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menyerbu kota Nanking!
Hampir semalam suntuk mereka bicara dan mengatur siasat. Kemudian Shu Ta tidur di
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 270
tenda suhengnya.
Pada keesokan harinya, barulah dia mendapat kesempatan untuk menemui Mimi seperti yang
telah direncanakan bersama suhengnya semalam. Dia akan berterus terang kepada Mimi,
tentang segalanya, tentang dirinya! Memang terdapat bahaya besar baginya, bahaya bahwa
gadis itu akan marah dan membencinya, akan tetapi dia harus bersikap jujur dalam cintanya.
Hanya ada dua pilihan baginya. Mencinta dan dicinta dengan sejujurnya, atau kehilangan
gadis yang dicintanya, yang akan berubah membencinya. Sebagai seorang jantan dia harus
berani menghadapi segala akibatnya, baik maupun buruk, menyenangkan maupun
menyusahkan.
Shu Ta keluar dari tenda setelah mandi dan dengan perasaan tegang namun tubuh terasa segar
dia pergi ke lapangan rumput, karena Cu Goan Ciang mengatakan bahwa sepagi itu biasanya
Bouw Siocia bersama Tang Hui Yen sedang berlatih silat di sana.
Ketika dia tiba di lapangan rumput itu, benar saja dia melihat dua orang gadis sedang berlatih
silat tangan kosong. Yang seorang adalah Mimi yang nampak sehat, cantik jelita dan berseri
wajahnya, sedangkan lawannya adalah seorang gadis yang satu dua tahun lebih tua dari Mimi,
gadis yang tinggi ramping, manis sekali dengan sinar mata tajam dan mulut yang manis
terhias senyum dia melihat bahwa gerakan gadis yang menjadi lawan Mimi itu amat tangkas
sehingga ia mampu menandingi Mimi dan latihan itu berlangsung seru dan cepat. Dan dia
melihat pula seorang kakek yang bajunya berkembang penuh tambalan, rambutnya sudah
putih semua dan dibiarkan riap-riapan. Dia pernah mendengar tokoh seperti itu dan dapat
menduga bahwa tentu kakek ini yang berjuluk Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Rambut Putih)
yang menjadi guru kedua dari suhengnya. Dan kakek itu memang sedang memberi petunjuk
kepada Mimi dengan seruan-seruannya. Shu Ta melangkah maju sampai dekat dan kedua
orang gadis itu melompat mundur, menghentikan latihan mereka dan memandang kepada Shu
Ta. Begitu melihat siapa pemuda yang berdiri di situ, sepasang mata Mimi terbelalak dan ia
kelihatan terkejut bukan main.
“Kau...? Kau... di sini...??” Akan tetapi cepat ia sudah melompat dan berdiri di depan Shu Ta
seperti melindungi dan ia sudah mencabut pedangnya, memandang kepada Pek Mau Lokai
dan Tang Hui Yen.
“Enci Yen, lo-cian-pwe, kalau kalian mengganggunya, terpaksa aku melupakan persahabatan
kita dan akan melawan mati-matian!”
Pek Mau Lokai dan Tang Hui Yen yang sudah mendengar akan kehadiran Panglima Shu Ta di
situ, yang semalam melakukan perundingan rahasia dengan para pimpinan perkumpulan
Beng-pai, tertawa, bahkan Pek Mau Lokai tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sikapmu itu saja sudah membuka rahasia hatimu, Bouw Siocia. Ha-ha-ha!” Pek
Mau Lokai lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
“Adik Mimi, jangan khawatir, kami tidak akan berani mengganggu Shu-Ciangkun. Aku pergi
dulu agar kalian dapat bicara dengan leluasa.” Setelah berkata demikian, Yen Yen juga pergi
meninggalkan mereka.
Kalau tadi Mimi terkejut melihat munculnya Shu Ta secara tiba-tiba, kini ia semakin terheranheran
melihat sikap Pek Mau Lokai dan Tang Hui Yen. Sementara itu Shu Ta merasa
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 271
jantungnya berdebar ketika melihat sikap Mimi yang tadi melindunginya seperti seekor singa
betina melindungi anaknya dari ancaman bahaya.
Kini mereka saling pandang. “Shu-Ciangkun, bagaimana engkau dapat berada di sini?” kata
Mimi, suaranya berbisik karena ia tidak ingin pembicaraan mereka di dengar orang lain dan
iapun memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir sekali.
“Aku memang sengaja datang untuk mencarimu, nona.”
“Tapi... kita berada di tengah-tengah musuh! Tempat ini adalah pusat pasukan pemberontak
yang dipimpin Beng-cu Cu Goan Ciang! Cepat engkau pergi dari sini sebelum terlambat...”
“Tenanglah, nona, dan mari kita bicara dengan sabar. Ada yang perlu kuberitahukan
kepadamu dan kuharap engkau tidak akan terlalu terkejut mendengarnya. Mari kita duduk di
sana.” Dia menunjuk ke arah sebuah bangku panjang tak jauh dari lapangan rumput itu.
Biarpun tempat itu terkepung tenda-tenda yang amat banyak, namun tidak nampak ada orang
memperhatikan mereka dan Shu Ta mengerti bahwa hal ini memang sudah diatur oleh
suhengnya. Mereka lalu duduk berdampingan dan Mimi masih nampak gelisah dan bingung.
“Ciangkun, apa artinya semua ini? Tidak tahukah engkau bahwa aku menjadi seorang
tawanan di sini? Bagaimana engkau dapat masuk ke sini tanpa terganggu? Kalau mereka tahu
engkau seorang panglima di Nan-king, tentu...”
“Tenanglah, nona. Sebelum aku menjelaskan semuanya, lebih dulu aku ingin mengetahui
keadaanmu. Bagaimana keadaanmu di sini? Apakah engkau diperlakukan buruk oleh
mereka?” Dua pasang mata bertemu dan melihat pandang mata penuh kesungguhan dan
penuh selidik dari panglima itu, Mimi menggeleng kepala.
“Tidak, Ciangkun. Mereka memperlakukan aku dengan baik sekali, aku dianggap sebagai
seorang tamu agung, bahkan mereka bersikap manis dan bersahabat, terutama Pek Mau Lokai
yang mengajarkan jurus-jurus silat yang ampuh dan juga enci Tang Hui Yen amat baik
kepadaku. Akan tetapi kau...”
“Nanti dulu, nona. Aku girang mendengar engkau diperlakukan dengan baik, dan sekarang,
katakanlah sejujurnya, bagaimana pendapatmu tentang Beng-cu dan para pemimpin pasukan
pejuang yang bernama Beng-pai ini?”
Gadis itu termenung. Semenjak ia berada di tengah-tengah para pemberontak, ia memang
merasa terheran-heran dan kagum. Para pimpinan pemberontak itu, terutama sekali Cu Goan
Ciang, Pek Mau Lokai, Tang Hui Yen dan para pembantu mereka, adalah orang-orang gagah
perkasa yang lebih pantas dinamakan pendekar dari pada pemberontak! Yang amat
mengesankan hatinya adalah ketika lima orang anggota melakukan pelanggaran, memperkosa
dua orang gadis dusun di kaki bukit dan mereka ditangkap lalu dihukum mati oleh Beng-cu
Cu Goan Ciang! Hal ini mengingatkan ia akan tingkah laku banyak prajurit kerajaan yang
suka berbuat semena-mena, suka mengganggu rakyat, mengganggu wanita, dan mereka itu
dibiarkan saja oleh komandan mereka. Ternyata mereka yang disebut pemberontak ini lebih
berdisiplin, lebih tertib dan taat. Ia kagum sekali dan mulai merasa betah di situ, apa lagi
setelah ia akrab dengan Hui Yen.
“Bagaimana, ya?” Ia termangu. “Para pimpinan pemberontak ini bersikap sebagai pendekar
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 272
yang mengagumkan, Ciangkun, akan tetapi bagaimanapun juga mereka adalah pemberontak
yang ingin memberontak terhadap pemerintah.”
“Memang begitulah, nona. Mereka adalah pendekar-pendekar, dan mungkin kita menyebut
mereka pemberontak, pemerintah menganggap mereka pemberontak, akan tetapi rakyat jelata
menganggap mereka itu pejuan-pejuang, pahlawan dan patriot yang hendak membebaskan
tanah air dan rakyat dari penjajah Mongol.
“Ciangkun...!!” Mimi terbelalak dan memandang pemuda itu dengan wajah pucat.
“Aku tahu benar bahwa engkau seorang gadis yang berbudi dan gagah perkasa, nona. Karena
itu, aku berani berterus terang kepadamu. Bagaimana kita dapat mengatakan para pimpinan
pejuang ini sebagai orang-orang jahat? Mereka melihat kesengsaraan rakyat, melihat betapa
bangsa mereka terjajah oleh bangsa Mongol, dan mereka kini bertekad untuk membebaskan
bangsa dari penjajahan. Bukahkah hal itu sudah sewajarnya, sepantasnya dan mereka itu tidak
dapat dibilang jahat, bahkan sebaliknya, mereka itu pendekar-pendekar sejati?”
“Tapi... tapi engkau sendiri... engkau menjadi seorang panglima muda, wakil Yauw-
Ciangkun, panglima Nan-king! Bagaimana engkau dapat masuk ke sini dan... apa maksudmu
dengan menemui aku dan menceritakan ini semua kepadaku?”
“Inilah saatnya aku membuat pengakuan, nona. Aku adalah seorang di antara mereka, bahkan
Beng-cu Cu Goan Ciang adalah suhengku. Aku sengaja menyusup ke Nan-king menjadi
panglima untuk mempelajari keadaan kekuatan pasukan di Nan-king...”
Kembali gadis itu terbelalak, bangkit berdiri dan telunjuknya menuding ke arah muka pemuda
itu. “Jadi kau... kau... pemberontak?”
Shu Ta tersenyum. “Ingat, nona, bukan pemberontak, melainkan pejuang, seperti para
pimpinan Beng-pai di sini.”
“Kalau begitu kau... kau telah menipu kami, menipu aku...”
“Tidak, nona. Memang tugasku menyelundup ke Nan-king untuk membantu suheng Cu Goan
Ciang, akan tetapi ini merupakan urusan perjuangan, bukan urusan pribadi dan aku tidak
pernah menipumu.”
“Tapi... engkau anggota pemberontak dan aku tawanan kalian. Lalu, apa yang akan
kaulakukan dengan datang ke sini? Menghukum aku, gadis penjajah Mongol, penindas
rakyat?” Mimi kelihatan marah sekali.
“Nona, harap jangan salah sangka. Kami mempunyai pandangan lain terhadap dirimu. Kalau
kami menganggap nona seorang yang jahat, tentu nona tidak akan diperlakukan dengan baik
seperti yang kauakui sendiri tadi. Dan aku datang untuk menyaksikan sendiri bahwa nona
diperlakukan dengan baik.
“Akan tetapi kenapa? Bukankah engkau pemberontak dan aku puteri Menteri Bayan,
bukankah aku ini musuhmu yang pantas kaubunuh?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 273
“Tidak, nona. Aku mau mengorbankan apa saja, bahkan nyawaku, demi perjuangan
membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, akan tetapi aku tidak mau mengorbankan
engkau, aku tidak rela melihat engkau diganggu siapapun. Bahkan suhengku sendiri, mungkin
akan kujadikan musuh kalau dia mengganggumu!”
Pandang mata gadis itu menjadi bingung, ada marah, ada terkejut, heran dan bimbang.
“Tapi... tapi kenapa? Engkau sungguh aneh... sungguh aku tidak mengerti. Engkau
pemberontak, memusuhi pemerintah, memusuhi bangsa Mongol, akan tetapi engkau
membelaku, kenapa?”
“Nona, ketahuilah bahwa yang kami musuhi adalah penjajah, bangsa apapun adanya penjajah
itu pasti akan dimusuhi rakyat yang dijajah. Bukan bangsa Mongol, bukan bangsanya yang
kami tentang, melainkan penjajahannya. Dan kalau aku membelamu lebih dari segalanya
adalah karena aku... aku cinta padamu, nona Mimi.”
“Ahhh...!” Mimi menjatuhkan diri di atas bangku, bingung dan kedua pipinya berubah merah.
Diam-diam ia memang amat mengagumi Shu Ta, dan akan mudahlah baginya untuk jatuh
cinta kepada panglima muda itu. Akan tetapi sekarang, ternyata panglima muda itu adalah
seorang pemimpin pemberontak!
“Maafkan aku, nona. Bukan sepantasnya dan tidak pada saatnya yang tepat aku mengaku
cinta padamu, akan tetapi aku ingin engkau mengetahui isi hatiku padamu, dalam kesempatan
ini. Siapa tahu, kesempatan ini yang terakhir kalinya kita saling jumpa...”
“Ciangkun... ah, engkau bukan panglima lagi, tidak semestinya aku menyebutmu Ciangkun.
Shu Ta, setelah ternyata kita berhadapan sebagai musuh, lalu apa yang kauhendak lakukan
terhadap diriku?”
Bukan main pedihnya hati Shu Ta mendengar pertanyaan itu, akan tetapi dia menguatkan
hatinya. “Nona Mimi, untuk sementara ini engkau tetap menjadi tamu agung di sini. Pasukan
kami akan menyerbu Nan-king dan kalau kami sudah berhasil menduduki Nan-king, barulah
nona kami beri kebebasan. Nona boleh pergi ke manapun nona kehendaki.” Ucapannya
terdengar penuh kesedihan.
“Dan engkau akan membunuhi kakakku, keluargaku, dan semua pejabat di Nan-king?”
“Nona, aku pribadi tidak akan membunuh siapapun, tidak akan membenci siapapun. Yang
kami musuhi adalah penjajah, bukan perorangan dan kalau aku tewas, atau siapapun, yang
membela penjajah tewas, hal itu adalah sebagai korban perang belaka, bukan permusuhan
pribadi. Nah, selamat tinggal, nona, aku harus melaksanakan tugasku, mudah-mudahan kita
dapat saling bertemu lagi dalam keadaan selamat dan dalam suasana yang lebih
menyenangkan.” Shu Ta memberi hormat dan membalikkan tubuh hendak pergi.
“Shu Ta...!”
Shu Ta berhenti dan membalikkan tubuh mendengar panggilan gadis itu. Mimi telah berdiri di
depannya, wajahnya pucat akan tetapi gadis itu tidak menangis, bahkan berdir dengan sikap
tegak dan gagah. “Sebelum engkau pergi, kau jawablah pertanyaanku dulu.”
“Tanyalah, nona.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 274
“Coba kaujawab, apa hubungan diriku dengan penjajahan? Salahkah kalau aku terlahir di
dunia sebagai puteri ayahku? Sebelum aku lahir, ayah telah menjadi menteri kerajaan
Mongol! Salahkah kalau aku dilahirkan sebagai gadis Mongol? Aku tidak minta dilahirkan
sebagai sekarang ini! Nah, jawablah!”
Tentu saja Shu Ta tertegun, sukar untuk menjawab, lalu dia menguatkan hatinya untuk
menjawab, “Tidak ada yang menyalahkanmu, nona. Aku dijadikan seperti aku dan engkau
dijadikan seperti engkau, kita tidak bersalah karena ini merupakan takdir, kehendak Tuhan.
Salah tidaknya kita ini ditentukan oleh tindakan kita, bukan oleh kelahiran kita.”
“Hemm, kalau begitu, apakah engkau akan membenarkan tindakanku kalau aku mengkhianati
bangsaku, mengkhianati ayahku sendiri dengan menentang kerajaan Mongol di mana ayahku
menjadi menteri? Hayo jawab, apakah engkau menganggap benar kalau aku menjadi
pengkhianat bangsaku?”
“Nanti dulu, nona. Andai kata, engkau menjadi aku, lalu membantu penjajah untuk ikut
menindas bangsa pribumi, itu baru pengkhianatan namanua. Akan tetapi, engkau tahu bahwa
bangsa Mongol melakukan penjajahan, tindakan yang amat tidak baik. Kalau engkau tidak
membantu penjajahan, bukan berarti engkau mengkhianati bangsamu. Andai kata ayah kita
melakukan perbuatan jahat, mencuri misalnya, apakah kita juga harus ikut mencuri san akan
dianggap pengkhianat kalau tidak ikut mencuri? Kuharap keterangan ini jelas bagimu.
Terserah kepadamu, nona. Kalau kami sudah menduduki Nan-king, kami pasti akan
membebaskanmu, dan terserah apakah nona akan membantu pemerintah untuk menentang
kami.”
“Hemm, aku memang sudah tidak senang melihat penjajahan dilakukan bangsaku, akan tetapi
apakah aku harus membantu kalian menentang bangsa dan ayahku sendiri?”
“Memang engkau berada dalam kedudukan yang serba salah, nona. Engkau berada di pihak
yang salah akan tetapi engkau menyadari kesalahan itu. Kalau ayah kita menjadi pencuri dan
kita menyadari perbuatan itu tidak benar, kita tidak perlu ikut-ikutan mencuri. Akan tetapi
juga amat berlawanan dengan nurani kalau kita ikut menangkap ayah kita sendiri. Yang
paling tepat adalah menasihati ayah kita agar jangan lagi mencuri atau kalau hal itu tidak
mungkih, yah... kalau... aku, aku akan tinggal diam saja.”
Mimi menundukkan mukanya. “Aku akan merenungkan jawaban-jawabanmu tadi, Shu Ta.
Selamat berpisah.”
Shu Ta merasa lega sekali. Bagaimanapun juga, dia telah menyatakan cintanya, dan dia telah
memberi pengarahan kepada gadis itu. Dia tidak akan menyalahkan Mimi andai kata kelak
Mimi membantu pemerintah dan memusuhi para pejuang. Itu adalah haknya. Tentu saja dia
mengharapkan tidak akan terjadi hal itu.
Jantung Shu Ta berdebar keras penuh ketegangan ketika dia kembali ke Nan-king bersama
empat orang pembantunya menghadap Yauw-Ciangkun dan di situ hadir pula Menteri Bayan!
Ternyata baru kemarin Menteri Bayan dan dua ratus orang prajuritnya tiba di Nan-king dan di
marah bukan main mendengar dari puteranya, Bouw Ku Cin bahwa puterinya, Mimi diculik
oleh seorang tokoh sesat bernama Tay-lek Kwi-ong! Dia memerintahkan untuk segera
menyebar penyelidik mencari puterinya yang terculik, akan tetapi Yauw-Ciangkun segera
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 275
memberitahukan bahwa pembantunya yang paling dapat diandalkan, yaitu Panglima Muda
Shu Ta, sedang melakukan penyelidikan sendiri. Terpaksa Menteri Bayan menahan hatinya
yang gelisah dan menanti kembalinya panglima itu.
Begitu Panglima Shu Ta menghadap, Menteri Bayan segera membentaknya dengan marah.
“Di mana puteriku? Bagaimana sih kerjanya pasukan keamanan di Nan-king sehingga
puteriku sampai diculik orang? Akan kuhukum semua perwira keamanan kalau sampai
puteriku tidak dapat ditemukan!”
Shu Ta lalu berkata, “Harap paduka menenangkan hati, Taijin. Kami berlima sudah
melakukan penyelidikan dan ternyata Bouw Siocia menjadi tawanan dari pasukan Beng-pai
yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang.”
“Brakkk!!” Menteri Bayan menggebrak meja di depannya, matanya mendelik marah-marah.
“Si jahanam Cu Goan Ciang, pemberontak keparat itu! Yauw-Ciangkun, kerahkan seluruh
pasukan. Kita serbu sekarang juga sarang gerombolan pemberontak itu! Kerahkan saja
sepasukan pilihan. Tidak akan sukar menghancurkan gerombolan liar itu.”
“Maaf, Taijin,” kata Shu Ta. “Saya kira paduka terlalu meremehkan keadaan gerombolan
pemberontak itu. Kami berlima sudah melakukan penyelidikan dengan seksama. Sarang
mereka teramat kuat sehingga tidak mungkin bagi kami untuk dapat menyusup masuk dan
menyelamatkan Bouw Siocia. Hanya kami berhasil membekuk seorang anggota gerombolan
dan mendengar darinya bahwa Bouw Siocia dalam keadaan selamat dan sehat, dan dijadikan
sandera penting maka diperlakukan sebagai tamu. Dan hendaknya paduka ketahui bahwa
kekuatan gerombolan itu sekarang teramat besar. Tidak kurang dari empat puluh ribu orang
jumlah anggota mereka, semua terlatih sebagai prajurit.”
“Ahhh...!!” Yauw-Ciangkun dan Menteri Bayan berseru kaget. Sama sekali tidak pernah
mereka mengira bahwa kekuatan para pemberontak sedemikian besarnya. “Begitu banyakkah
mereka?” tanya Yauw-Ciangkun. “Akan tetapi hal itu saya kira tidak perlu dikhawatirkan.
Kalau Yauw-Ciangkun mengerahkan semua pasukan untuk menumpas mereka, saya yakin hal
itu tidaklah begitu sukar. Selain jumlah pasukan kita berimbang, bahkan bisa lebih banyak,
jutaan laskar rakyat itu tentu tidak terlatih dan begitu diserbu mereka tentu akan lari ceraiberai.
Saya akan memimpin pasukan khusus saya untuk menjaga kota selama Ciangkun
melaksanakan pembasmian itu.”
“Aku setuju akan usul Shu-Ciangkun itu. Aku sendiri akan ikut memimpin pasukan karena ini
menyangkut pula keselamatan puteriku!”
Yauw-Ciangkun mengerutkan alisnya. “Ada satu hal yang membuat saya ragu dan risau,
Yang Mulia.”
“Apa lagi yang harus diragukan? Kita harus membasmi habis gerombolan pemberontak itu,
kalau dibiarkan mereka menghimpun pasukan sampai berjumlah besar sekali, akan
membahayakan negara.”
“Yang saya risaukan adalah puteri Yang Mulia masih berada di tangan mereka. Bagaimana
kalau mereka mempergunakan Bouw Siocia sebagai sandera dan mengancam akan
membunuhnya kalau kita melakukan penyerbuan?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 276
“Ahhh...” Mendengar ini, wajah Menteri Bayan berubah dan diapun termenung. Dia amat
menyayangi puterinya itu dan membayangkan puterinya akan disiksa dan dibunuh sebagai
sandera kalau pasukan pemerintah menyerbu, dia menjadi ngeri dan gelisah. “Lalu,
bagaimana baiknya...?”
Yauw-Ciangkun juga merasa bingung. “Agaknya mereka itu sengaja menculik Bouw Siocia
dengan maksud menawannya sebagai sandera untuk menjamin agar pasukan kita tidak
menyerang mereka,” katanya.
“Apa yang dikatakan Yauw-Ciangkun memang benar. Saya kira, satu-satunya jalan adalah
membebaskan Bouw Siocia dari sana!” kata Shu Ta.
“Akan tetapi, bukankah engkau mengatakan sendiri bahwa kekuatan mereka amat besar dan
kedudukan mereka seperti benteng. Bagaimana mungkin membebaskan Bouw Siocia begitu
saja!” Yauw-Ciangkun mencela.
“Saya sendiri yang akan membebaskannya!” kata Shu Ta dengan sikap gagah.
“Akan tetapi, pekerjaan itu berbahaya sekali!” kata Yauw-Ciangkun yang mengkhawatirkan
keselamatan pembantunya.
“Demi keselamatan Bouw Siocia, saya bersedia mempertaruhkan nyawa!” kata pula Shu Ta
dengan sikap gagah dan memang ketika mengucapkan kata-kata ini, dia bersungguh-sungguh.
“Terima kasih, Shu-Ciangkun!” kata Menteri Bayan dengan girang. “Akan tetapi bagaimana
mungkin engkau dapat membebaskan Mimi? Kalau sampai engkau gagal dan tertawan pula,
keadaan kita menjadi semakin rugi.”
“Harap, paduka tenang, Yang Mulia. Sesungguhnya, diam-diam saya sudah menyelundupkan
beberapa orang pembantu saya untuk menyusup sebagai laskar rakyat sukarela. Dengan
bantuan mereka, saya kira akan dapat membebaskan Bouw Siocia.”
“Bagus! Kalau begitu, laksanakan, akan tetapi jaga jangan sampai engkau sendiri tertawan,
Shu-Ciangkun,” kata Yauw-Ciangkun.
“Sebaiknya, Yauw-Ciangkun tetap memimpin pasukan besar untuk mengepung perbukitan itu
sementara saya berusaha membebaskan Bouw Siocia. Jangan menyerang dulu sebelum ada
tanda dari saya. Kalau saya sudah berhasil membebaskannya, saya akan memberi tanda
dengan anak panah api sebanyak tiga kali.”
Yauw-Ciangkun dan Menteri Bayan setuju. Mereka menyusun rencana siasat dan pada hari
itu juga, Yauw-Ciangkun mengumpulkan semua perwira dan memerintahkan agar seluruh
pasukan dipersiapkan untuk menyerbu perbukitan di Lembah Sungai Huai yang menjadi
sarang gerombolan perampokan ini. Shu Ta sendiri secara rahasia telah mengumpulkan para
pembantunya dan mengatur siasat sesuai dengan rencana yang telah diaturnya bersama Cu
Goan Ciang. Pasukan di bawah pimpinannya yang berjumlah seribu lima ratus orang, terdiri
dari orang-orang Han bercampur suku lain, akan tetapi tidak ada seorangpun prajurit bangsa
Mongol, dipersiapkan untuk menjaga benteng kota Nan-king selama pasukan besar dipimpin
Yauw-Ciangkun mengadakan pembersihan terhadap gerombolan pemberontak di lembah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 277
Huai.
Shu Ta sendiri mendahului pergi dengan pakaian samaran untuk melaksanakan tugas yang
dianggap amat penting dan berat oleh semua orang, yaitu mencoba untuk membebaskan
Bouw Siocia sebelum pasukan pemerintah menyerbu sarang pemberontak.
Tentu saja bagi Shu Ta sendiri, tugas itu sama sekali tidak berbahaya. Seperti biasa, dia
mengirim penghubung terlebih dahulu sehingga ketika dia tiba di tepi sungai Huai, dia telah
dijemput oleh seorang pendayung perahu dan segera perahu didayung ke tengah sungai
sehingga Shu Ta yakin bahwa tidak ada yang membayanginya. Tentu saja Cu Goan Ciang
terkejut melihat sutenya datang berkunjung, karena hal ini tidak ada dalam rencana mereka.
Akan tetapi ketika dia mendengar penjelasan Shu Ta tentang niatnya untuk lebih dulu
membawa Bouw Siocia ke Nan-king agar menambah kepercayaan Menteri Bayan, diapun
mengerti.
“Baiklah kalau begitu, bawa ia pergi dan besok pagi-pagi kau beri tanda anak panah api itu
agar mereka menyerang. Kami sudah siap menjebak mereka dan memancing mereka
melakukan pengejaran melalui lorong tebing bukit itu,” katanya.
Shu Ta malam itu juga menemui Bouw Mimi yang tercengang melihat munculnya panglima
itu. “Mau apa lagi engkau datang menemuiku?” tanya Mimi dengan pandang mata sayu dan
wajah muram. “Engkau membuat aku bingung dan merasa berdosa.”
Shu Ta tidak menyalahkan gadis itu. Dia dapat menyelami perasaan hatinya. Bagiamanapun
juga, Mimi adalah puteri seorang menteri bangsa Mongol. Biarpun gadis itu berwatak
pendekar dan dapat mengerti mengapa bangsa pribumi yang dijajah itu kini memberontak dan
memperjuangkan kemerdekaan, namun sebagai seorang gadis Mongol, tentu saja ia merasa
berdosa kepada orang tuanya dan berkhianat terhadap bangsanya.
“Maafkan kami, nona. Demi perjuangan, terpaksa sekali Beng-cu menjadikan engkau
tawanan. Nona tempat ini akan menjadi medan pertempuran, oleh karena itu, aku sengaja
datang untuk menjemputmu malam ini juga. Kita harus cepat meninggalkan tempat ini,
malam ini juga.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Tempat ini akan menjadi medan pertempuran, engkau dapat terbunuh.”
“Aku tidak takut!”
“Akan tetapi, nona. Ini perintah Beng-cu. Dari pada engkau dibawa pergi sebagai tawanan,
bukankah lebih baik pergi bersamaku? Engkau tahu, di antara para anggota pasukan Beng-pai
terdapat banyak orang kang-ouw, dan dalam keadaan pertempuran, tentu para pimpinan tidak
akan dapat melindungimu kalau ada di antara orang kang-ouw itu yang mengganggumu.
Bagaimanapun juga, mereka itu menganggap engkau musuh karena engkau puteri menteri
kerajaan Mongol.”
“Lalu, engkau hendak membawaku pergi ke mana?” tanya Mimi, masih ketus.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 278
“Aku hendak membawamu kembali ke Nan-king, nona.”
Gadis itu terbelalak. “Gilakah engkau? Setelah tiba di sana, aku menceritakan semua kepada
Yauw-Ciangkun dan engkau akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak!”
Shu Ta tersenyum dan menggerakkan pundaknya seperti orang yang acuh.
“Kalau memang sudah begitu jadinya, itu sudah nasibku. Marilah, nona jangan sampai kita
terlambat.”
Karena mendengar akan diajak kembali ke Nan-king, tentu saja Mimi tidak merasa keberatan.
Ia merasa heran bagaimana pemuda ini demikian mudahnya mengajak ia pergi, dan iapun
heran mengapa Yen Yen dan yang lain-lain tidak nampak. Bahkan Shu Ta tidak mendapatkan
halangan apapun ketika mengajak ia keluar dari perkampungan pemberontak yang kelihatan
sunyi itu. Pintu gerbangpun tidak nampak ada penjaga seolah tempat itu telah ditinggalkan
tanpa ia mengetahuinya.
Karena malam itu gelap atau penglihatan hanya remang-remang saja karena penerangan yang
ada hanya dari bintang-bintang di langit, maka Shu Ta dan Mimi dengan hati-hati sekali
menuruni bukit itu. Karena itu, jauh lewat tengah malam, menjelang pagi, mereka baru
sampai di kaki bukit dengan selamat. Shu Ta mengajak gadis itu menuju ke tepi sungai Huai
dan di situ telah tersedia sebuah perahu kecil.
“Kita melanjutkan perjalanan dengan perahu ini, nona. Akan tetapi sebelumnya, saya harus
melaksanakan tugas lebih dulu.” Mimi yang kelelahan hanya memandang dan ia semakin
terheran-heran melihat pemuda itu mengeluarkan gendewa kecil dan tiga batang anak panah
api. Tiga kali berturut-turut Shu Ta melepaskan anak panah api ke udara. Nampak anak panah
api meluncur tinggi ke atas sampai tiga kali dan akan nampak jelas dari tempat jauh seperti
bintang beralih tempat.
“Apa artinya itu? Atau, sebagai tawanan, aku tidak boleh bertanya?”
“Tentu saja engkau boleh mengetahuinya, nona. Tiga batang anak panah api itu merupakan
isarat bagi pasukan yang dipimpin Yauw-Ciangkun untuk menyerbu sarang gerombolan
pemberontak seperti yang telah kami rencanakan.”
Sepasang mata itu terbelalak. “Ehhh? Apa pula artinya ini, Ciangkun? Sebetulnya engkau
berpihak manakah? Tadinya kusangka engkau mengkhianati pemerintah dan berpihak kepada
pemberontak, sekarang engkau seperti mengkhianati teman-temanmu seperjuangan dan
berpihak kepada pemerintah. Mana yang benar?”
“Nona, bukankah pernah engkau mengatakan bahwa engkau tidak menyukai urusan
permusuhan dan perang? Sudahlah, tidak perlu nona memusingkan urusanku. Beginilah
kenyataan perjuangan itu. Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Nan-king dan di sana engkau
akan mengetahui segalanya. Kalau engkau hendak melaporkan aku dan aku ditangkap,
dihukum, akupun tidak akan menyalahkanmu.”
Mimi menatap wajah panglima muda itu dalam keremangan subuh. Dalam ucapan itu
terkandung penyerahan yang menunjukkan perasaan pemuda itu kepadanya. “Ciangkun, andai
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 279
kata engkau berpihak kepada pemerintah, tentu aku tidak dapat melaporkan apapun.
Sebaliknya, andai kata engkau berpihak kepada para pejuang... agaknya sukar bagiku untuk
melaporkanmu. Setelah aku berada di antara mereka selama beberapa hari ini, harus kuakui
bahwa para pejuan itu tidak bersalah. Kalian memang berhak memperjuangkan kemerdekaan.
Aku tidak tahu harus berbuat apa...”
Bukan main gembiranya rasa hati Shu Ta mendengar ini. “Nona Mimi, engkau memang
seorang gadis yang bijaksana dan baik budi...”
Pada saat itu, Shu Ta dan Mimi terkejut melihat berkelebatnya lima bayangan orang dan di
depan mereka telah muncul lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat
puluh tahun. Tubuh mereka itu rata-rata tinggi besar dan nampak kuat, dan di pinggang
mereka terdapat pedang, sikap mereka gagah, angkuh dan mengancam. Shu Ta menduga
bahwa mereka tentulah orang-orang kang-ouw yang sudah menggabungkan diri dengan laskar
rakyat pimpinan suhengnya, akan tetapi karena dia tidak mengenal mereka, dia tidak tahu
siapa lima orang ini.
“Siapakah kalian, sobat? Dan ada keperluan apakah menghadang perjalanan kami?” tanya
Shu Ta. Dia menyangka bahwa mereka tentu membawa pesan baru dari suhengnya untuk
disampaikan kepadanya.
Seorang di antara mereka, yang tertua dan yang kepalanya botak, tersenyum mengejek.
“Panglima Shu Ta, serahkan nona itu kepada kami!”
Shu Ta mengerutkan alisnya. “Hemm, apa artinya ini? Bukankah kalian anak buah Beng-cu
Cu Goan Ciang?”
“Ha-ha-ha, sudahlah jangan banyak cakap. Kami tahu engkau mengkhianati pemerintah.
Serahkan nona itu kepada kami atau engkau akan kami tangkap dan kami serahkan kepada
Yauw-Ciangkun!” kata pula si botak. Mendengar ini, tahulah Shu Ta bahwa ada anak buah
suhengnya yang berkhianat, maka tanpa banyak cakap lagi, dia sudah mencabut pedangnya
dan menyerang lima orang itu. Mimi juga menggunakan pedangnya membantu Shu Ta
melawan lima orang yang mengepung mereka. Ternyata lima orang itu cukup lihai dan
dengan pengeroyokan mereka, Shu Ta dan Mimi mendapatkan lawan yang cukup tangguh.
Akan tetapi, terdengar bentakan nyaring dan muncul seorang bertubuh raksasa yang mukanya
penuh brewok. Terkejutlah Mimi ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tay-lek
Kwi-ong yang lihai!
“Ha-ha-ha-ha, sekali ini kami akan mendapat keuntungan besar, kawan-kawan. Tangkap
mereka hidup-hidup, kita hadapkan pengkhianat ini kepada Yauw-Ciangkun dan
memulangkan gadis ini kepada Menteri Bayan, tentu kita akan menerima hadiah besar, ha-haha!”
Tay-lek Kwi-ong memutar golok besarnya dan melihat raksasa ini, dan melihat wajah Mimi
yang ketakutan, Shu Ta memutar pedangnya dan menyerang raksasa itu. Akan tetapi, sambil
tertawa Tay-lek Kwi-ong menangkis dengan golok besarnya sambil mengerahkan seluruh
tenaga raksasanya.
“Tranggg...!!” Pedang di tangan Shu Ta terlepas dan pendekar ini terkejut bukan main.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 280
Karena tidak menyangka bahwa lawan memiliki tenaga sehebat itu, maka dia terkejut dan
pedangnya terpukul lepas. Sambil tertawa, Tay-lek Kwi-ong menyimpan goloknya dan
menubruk Shu Ta dengan sepasang lengannya yang panjang dikembangkan dan kedua
tangannya seperti cakar beruang menerkam. Dengan gesit Shu Ta menghindarkan diri dengan
bergulingan, kemudian ketika dia bangkit, dia melompat dan sebuah tendangannya mencuat
cepat mengenai perut raksasa itu.
“Dukk!” Perut itu sedemikian keras dan kuatnya sehingga kaki Shu Ta yang menendang
terpental dan diapun terhuyung. Tay-lek Kwi-ong tertawa bergelak.
Sementara itu, pengeroyokan lima orang itupun sudah berhasil membuat Mimi kehilangan
pedangnya dan dengan nekat ia kini dikepung oleh lima orang yang berebut untuk
menangkapnya hidup-hidup. Hanya karena enam orang itu berusaha menangkap mereka
hidup-hidup, maka hal ini merupakan keuntungan bagi Shu Ta dan Mimi. Apa lagi bagi Mimi,
jelas bahwa orang-orang yang ingin mendapatkan hadiah memulangkannya kepada ayahnya
itu tidak berani melukainya atau kurang ajar kepadanya. Bagaikan seekor harimau betina
iapun mengamuk dan berhasil menampar kepala seorang pengeroyok sehingga orang itu
terpelanting. Akan tetapi, tetap saja ia terdesak, seperti juga Shu Ta yang sudah beberapa kali
terkena hantaman tangan Tay-lek Kwi-ong yang membuatnya roboh. Akan tetapi Shu Ta
nekat melawan terus.
Dalam keadaan yang amat gawat bagi Mimi dan Shu Ta, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
dan muncullah Bouw Ku Cin bersama tiga puluh orang prajuritnya. Melihat adiknya dan Shu
Ta dikeroyok, Bouw Ku Cin marah sekali dan dia segera memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk mengeroyok Tay-lek Kwi-ong dan lima orang pembantunya. Shu Ta cepat
meloncat dan menarik tangan Mimi dan di lain saat mereka telah menyelamatkan diri dari
medan pertempuran. Bouw Ku Cin yang marah melihat adiknya tadi terancam bahaya, dan
melihat bahwa yang menyerang itu adalah Tay-lek Kwi-ong yang amat dibencinya, segera
memberi aba-aba kepada para prajuritnya untuk menyerang dengan anak panah.
“Tunggu... tahan...!” teriak Tay-lek Kwi-ong. “Dia hendak berkhianat...!” Dia menunjuk ke
arah Shu Ta. Akan tetapi, Bouw Ku Cin yang sudah mengenal Tay-lek Kwi-ong yang jahat,
yang telah menculik Mimi, segera memberi aba-aba.
“Tembak dia dengan panah! Bunuh dia...!”
Tay-lek Kwi-ong mencoba untuk membela diri dengan memutar goloknya demikian pula lima
orang pembantunya. Akan tetapi karena panah itu dilepas dari jarak dekat dan amat banyak
jumlahnya, akhirnya enam orang itupun roboh dengan tubuh penuh anak panah. Mereka tewas
seketika.
“Mari kita cepat kembali ke kota!” kata Shu Ta dan mereka bertiga menunggang kuda,
dikawal tiga puluh orang prajurit yang kesemuanya adalah prajurit anak buah Shu Ta, kembali
ke Nan-king.
“Mereka telah menyerbu sarang gerombolan pemberontak!” kata Bouw Ku Cin ketika
mendengar sorak-sorai dan canang dipukul, tanda bahwa pasukan pemerintah telah mulai
menyerbu sarang gerombolan pemberontak setelah tadi melihat tanda panah api yang dilepas
oleh Shu Ta.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 281
“Kita cepat pulang. Kota Nan-king kosong tidak ada yang memimpin,” kata Shu Ta dan
merekapun membalapkan kuda menuju ke kota dan begitu memasuki pintu gerbang, Shu Ta
memegang pimpinan dan menyuruh tutup semua pintu gerbang dan mempersiapkan semua
pasukan ke atas benteng untuk menjaga kota dari serbuan musuh. Pada waktu itu, yang
tinggal di Nan-king hanya kurang lebih tiga ribu orang pasukan, dan setengah dari jumlah ini
merupakan pasukan yang berada di bawah pimpinan panglima Shu Ta, yaitu pasukan yang
merupakan pasukan kepercayaan dan yang memihak para pejuang. Pasukan ini melakukan
penjagaan bersama pasukan Mongol yang jumlahnya juga sekitar seribu lima ratus orang,
dikepalai oleh para perwira Mongol. Hanya Mimi seorang yang tahu bahwa Shu Ta adalah
seorang pejuang, walaupun perbuatan Shu Ta memberi tanda panah api kepada pasukan
pemerintah tadi masih membingungkan hatinya.
Mimi tinggal di kamarnya dan menangis. Ia merasa bingung sekali. Harus diakuinya bahwa ia
mencinta Shu Ta, dan bahwa ia tidak bisa membenci para pejuang yang dianggapnya sebagai
orang-orang gagah yang berhak memperjuangkan kemerdekaan mereka. Akan tetapi,
bagaimanapun juga ia adalah seorang wanita Mongol. Bagaimana mungkin hatinya dapat
tenang melihat bangsanya dimusuhi, juga ayahnya sebagai menteri menjadi musuh pria yang
dicintanya? Ia merasa tidak berdaya. Di sini terdapat kakaknya, dan kalau ia melaporkan
kepada kakaknyapun, ia masih ragu akan apa yang dilakukan kakanya. Ia tahu bahwa
kakaknyapun tidak suka dengan kenyataan bahwa bangsa Mongol menjajah bangsa Han, dan
betapa banyak di antara para prajurit, baik bangsa Mongol maupun bangsa Han, yang menjadi
anggota pasukan pemerintah, suka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Ia
tidak dapat melaporkan kekasihnya, akan tetapi juga tidak enak membiarkan saja kekasihnya
menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak! Karena risau, iapun menangis di kamarnya.
Pasukan besar dari Nan-king itu dipimpin sendiri oleh Yauw-Ciangkun dan Menteri Bayan.
Menteri Bayan memang bukan seorang panglima, akan tetapi mendengar betapa puterinya
ditawan oleh pemberontak, dia menjadi marah sekali dan ingin menyaksikan sendiri
penumpasan sarang gerombolan pemberontak itu oleh pasukan pemerintah.
Ketika pasukan pemerintah menjebol pintu perkampungan para pejuan, mereka terheran
karena tidak melihat adanya perlawanan sama sekali. Melihat ini, Menteri Bayan yang
menunggang kuda di samping Yauw-Ciangkun berseru, “Awas, mungkin ini suatu perangkap,
Ciangkun!”
“Harap paduka tenang, biar kami mengutus anak buah melakukan penyelidikan ke dalam
sarang ini,” kata Yauw-Ciangkun. Belasan ekor kuda yang ditunggangi pasukan penyelidik
memasuki perkampungan itu. Semua pondok di situ kosong dan sunyi.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di bagian belakang perkampungan itu, suara ringkik kuda dan
seruan orang.
“Ah, mereka melarikan diri melalui pintu belakang. Kejar!” Yauw-Ciangkun berseru marah
dan pasukannya dikerahkan untuk menyerbu ke dalam perkampungan, merobohkan dan
membakar pondok-pondok itu dan terus melakukan pengejaran ke belakang perkampungan
yang menuju ke sebuah lereng bukit.
Kini sudah nampak pasukan gerombolan itu berlari-larian mendaki bukit yang penuh batubatu
dan nampak gundul karena tanah kapurnya tidak subur sama sekali.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 282
“Kejar terus! Basmi mereka!” teriak Yauw-Ciangkun dengan marah. Pasukannya melakukan
pengejaran. Akan tetapi karena jalan pendakian itu tidak rata dan banyak batunya, pasukan
berkuda itu mengalami kesulitan dan Yauw-Ciangkun memerintahkan agar pasukan berjalan
kaki melakukan pengejaran. Gerombolan pemberontak yang berlarian itu, sudah menghilang
di balik sebuah tebing tinggi dan kini pasukan pemerintah terus mengejar ke samping tebing,
melalui jalan lorong yang diapit dua sisi tebing di kanan kiri. Dan tiba-tiba, setelah pasukan
tiba di situ, dari atas tebing datang batu-batu yang digulingkan ke bawah, seperti hujan! Tentu
saja pasukan pemerintah menjadi kocar-kacir. Teriakan-teriakan kepanikan membuat pasukan
menjadi semakin panik dan banyak yang tertimpa batu.
Pada saat itu, dari arah belakang pasukan, terdengar sorak-sorai dan ratusan orang anggota
pemberontak menyerang pasukan dari belakang!
“Cepat berbalik! Kita dijebak!” teriak Menteri Bayan. Pasukannya memutar haluan, dan
terjadi pertempuran yang berat sebelah karena jumlah pasukan pemerintah jauh lebih banyak.
Pasukan pejuang itu ternyata hanya menyerang serentak, setelah mendapat perlawanan yang
jauh lebih kuat, merekapun lari cerai-berai ke segala jurusan, dikejar oleh pasukan
pemerintah. Melihat ini, Yauw-Ciangkun segera memberi aba-aba agar pasukannya
berkumpul dan jangan terpancing oleh pemberontak berpencaran karena hal itu akan
melemahkan diri sendiri.
“Tai-jin, kalau menurut pendapat paduka, siasat apa yang dipergunakan gerombolan
pemberontak itu? Mereka jelas sengaja memancing kita ke lorong tadi, kemudian menyerang
dari belakang hanya untuk mengacaukan karena kekuatan mereka tidak besar, tidak seperti
yang dilaporkan Shu-Ciangkun,” kata Yauw-Ciangkun berhati-hati minta pendapat atasannya
karena Menteri Bayan hadir di situ.
“Hemm, agaknya mereka sedang menggunakan siasat memancing kita agar berpencaran.
Sebaiknya kalau kita kembali saja ke kota dan mengirim penyelidik untuk mencari tahu ke
mana pasukan gerombolan itu pindah, baru kita mengirim pasukan memukul dengan tiba-tiba
sehingga mereka tidak sempat melarikan diri.”
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk. Memang diapun sudah merasa khawatir. Sambil
menanti datangnya pagi, sebaiknya kalau pasukan dikumpulkan dan dihitung kerugian mereka
yang tewas tertimpa batu, kemudian menggerakkan pasukan untuk kembali ke Nan-king atau
membuat perkemahan di luar benteng kota Nan-king, siap untuk menyerbu lagi kalau sudah
diketahui di mana gerombolan itu berada.
Kerugiannya cukup besar. Tidak kurang dari seratus orang tewas atau terluka tertimpa batu
dan ketika diserang mendadak itu. Akan tetapi, baru saja pasukan terkumpul, terdengar soraksorai
lagi dan kini datang gerombolan dari kanan kiri melakukan penyerangan mendadak
dengan anak panah. Mereka itu bersembunyi di balik batang-batang pohon dan batu-batu
besar sambil menghujankan anak panah.
Dengan marah sekali, Yauw-Ciangkun memerintahkan membalas serangan dengan barisan
panahnya, kemudian memerintahkan pasukan penyerbu untuk menyerang gerombolan yang
melakukan pertempuran secara gerilya itu. Pasukan yang dikerahkan ke kanan kiri hanya
mendapat perlawanan kecil saja karena gerombolan itu melarikan diri lagi menyusup ke
dalam hutan-hutan.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 283
Yauw-Ciangkun menjadi marah sekali. Dia mengepal tinju dan meneriakkan aba-aba kepada
para perwira untuk memberi tanda agar pasukannya jangan terpancing melakukan pengejaran
sendiri-sendiri.
“Gerombolan pemberontak pengecut!” teriaknya.
Seperti jawaban atas makiannya ini, kembali datang serangan dari gerombolan itu, kini dari
arah belakang dan mereka menghujankan panah berapi kepada pasukan pemerintah.
Diganggu sedemikian rupa, banyak perwira yang kehilangan sabar dengan marah
mengerahkan pasukannya untuk mengejar dan menumpas para penyerang-penyerang. Mereka
berhasil merobohkan belasan orang pemanah gelap, akan tetapi korban yang jatuh di pihak
pasukan pemerintah lebih besar dan begitu ada pasukan yang memaksa diri mengejar para
pemanah, dari kanan kiri kembali datang serangan dari mereka yang tadi melarikan diri ke
dalam hutan-hutan.
Pasukan pemerintah itu benar-benar dibikin kacau dan tiba-tiba Menteri Bayan berteriak
kepada Yauw-Ciangkun. “Ini tidak wajar! Mereka menggunakan siasat memancing harimau
keluar sarang! Kita harus cepat kembali ke Nan-king karena di sana penjagaan kurang kuat.
Siapa tahu gerombolan itu memusatkan kekuatan untuk menyerang Nan-king!”
Mendengar ini, Yauw-Ciangkun membunyikan tanda mengumpulkan seluruh pasukan dan
tanpa melayani gangguan para gerombolan yang bergerilya, pasukan segera memutar haluan,
kembali ke arah kota Nan-king. Sementara itu, matahari telah menampakkan dirinya.
Debu mengepul tinggi ketika pasukan yang sudah lelah karena semalam suntuk diganggu
gerombolan itu melakukan perjalanan cepat menuju ke Nan-king.
Kekhawatiran Menteri Bayan memang tepat. Hanya beberapa ratus orang saja regu pejuang
yang melakukan perang gerilya atau gangguan terhadap pasukan pemerintah dengan maksud
membikin kacau dan menahan pasukan itu agar tetap mengejar mereka dan tinggal di daerah
itu. Hal ini mereka lakukan sebagai siasat memancing harimau keluar sarang, dan memberi
kesempatan kepada pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Cu Goan Ciang bergerak di
malam hari itu menuju Nan-king!
Setelah tiba di depan pintu gerbang kota Nan-king, Cu Goan Ciang membagi pasukannya
menjadi dua. Sebagian dia beri tugas untuk menyambut pasukan yang dipimpin Yauw-
Ciangkun, dan sebagian lagi dia pimpin untuk menyerbu Nan-king.
Sementara itu, di dalam kota Nan-king, Panglima Shu Ta juga bertindak setelah melihat dari
menara betapa pasukan Beng-pai sudah tiba di depan pintu gerbang. Para prajuritnya yang
sudah dia beri tugas dan berjaga di pintu gerbang, segera membuka pintu gerbang. Melihat
ini, tentu saja para prajurit Mongol terkejut dan mencoba untuk mencegah. Terjadilah
perkelahian perebutan pintu gerbang, pihak Mongol mempertahankan agar jangan dibuka.
Akan tetapi karena Shu Ta memang sudah mempersiapkan pasukannya, pintu gerbang
berhasil dibuka dan Cu Goan Ciang bersama pasukan Beng-pai menyerbu bagaikan air bah
yang pecah bendungannya. Para panglima Mongol menjadi marah dan terjadi pertempuran.
Akan tetapi karena Panglima Shu Ta membantu para penyerbu, tentu saja pasukan Mongol
tidak dapat bertahan lama dan kota itu diduduki Cu Goan Ciang.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 284
Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi, dengan pedang di tangan hendak melakukan perlawanan,
akan tetapi Shu Ta cepat menghadang mereka. “Dengan sangat kuharap agar kalian tidak
mencampuri perang ini. Bukankah kalian menyadari betapa rakyat jelata berhak untuk
merebut kembali kemerdekaan mereka? Apakah kalian ternyata juga orang-orang yang suka
menjajah bangsa lain dan hendak mempertahankan penjajahan Mongol?”
Pada saat itu, Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen berlompatan masuk ke ruangan itu dengan
pedang di tangan. “Adik Mimi...!” kata Yen Yen mendekati dengan sikap ramah.
“Jangan mendekat!” bentak Mimi. “Engkau datang sebagai musuh kami. Bukankah kalian
datang untuk menawan atau membunuh kami kakak beradik?”
“Tidak, Mimi, sama sekali tidak. Kami semua mengetahui bahwa engkau dan kakakmu adalah
orang-orang berjiwa pendekar...” kata Yen Yen.
“Hemm, kalian tahu bahwa kami adalah putera dan puteri Menteri Bayan, musuh besar
kalian,” kata Bouw Ku Cin. “Sekarang kalian telah menduduki Nan-king, tentu kami berdua
akan menjadi tawanan kalian. Akan tetapi, lebih baik kami mati dari pada menjadi tawanan!”
“Akupun tidak sudi menjadi tawanan!” kata pula Mimi. Kakak beradik itu sudah memegang
pedang dan siap untuk membela diri, sikap mereka gagah. Melihat ini, semua orang
memandang kagum dan Yen Yen tersenyum.
“Saudara Ku Cin dan engkau, adik Mimi, harap kalian tidak bersikap begini dan salah
mengerti. Kami adalah pejuang-pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan rakyat. Yang
kami musuhi bukan perorangan, melainkan penjajah. Biarpun kalian keturunan Mongol, kalau
kalian tidak membantu penjajah, kalian bukan musuh kami. Bahkan selama ini kalian menjadi
sahabat-sahabat kami. Oleh karena itu, kami sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk
menawan kalian.”
“Akan tetapi, bukankah adikku Mimi baru-baru ini juga menjadi tawanan kalian?” bantah Ku
Cin yang masih bersikap menentang.
Kini Cu Goan Ciang yang berkata, “Memang benar, akan tetapi kami menawan nona Mimi
bukan karena memusuhinya, melainkan mempergunakan sebagai umpan siasat kami agar
pasukan penjajah menyerang kami. Kami kira nona Mimi juga merasa bahwa ia bukan
dijadikan tawanan melainkan menjadi tamu terhormat kami.”
Sikap Mimi sudah mulai lunak, tangan yang memegang pedang sudah turun dan pedang itu
tergantung lemah. “Mereka memang tidak pernah memusuhiku, kak Ku Cin,” katanya kepada
kakaknya.
“Hemm, lalu sekarang setelah kalian menduduki Nan-king, apa yang akan kalian lakukan
kepada kami, Shu-Ciangkun?” katanya sambil menatap wajah Shu Ta.
Panglima ini menghela napas panjang dan memandang kakak beradik itu dengan alis berkerut,
“Saudara Bouw Ku Cin, engkau boleh bebas memilih, hendak tinggal di sini atau keluar dari
Nan-king, terserah. Kami akan tetap menganggapmu sebagai seorang sahabat. Adapun adik
Mimi... kalau boleh aku pribadi mengharapkan... sukalah kiranya tetap tinggal di sini, engkau
mengerti perasaanku dan apa yang kuharapkan, akan tetapi kalau engkau hendak memaksa
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 285
diri pergi meninggalkanku, kamipun tidak akan menghalangi... kalian bebas memilih.”
Biarpun Shu Ta tidak menjelaskan, semua orangpun tahu atau dapat menduga bahwa
panglima yang cerdik ini telah jatuh cinta kepada puteri Menteri Bayan itu.
“Aku memang tidak memusuhi para pejuang, akan tetapi akupun tidak mau dianggap
pengkhianat oleh bangsaku. Aku akan pergi dari Nan-king!” kata Bouw Ku Cin, lalu dia
memandang kepada adiknya. “Mimi, kau...” Dia tidak melanjutkan karena tiba-tiba saja Mimi
menangis. Bouw Ku Cin menghampiri adiknya dan merangkulnya membiarkan adiknya
menangis di dadanya.
“Aku tahu isi hatimu, Mimi. Engkau dan Panglima Shu Ta saling mencinta. Kalau memang
kauhendaki, engkau boleh saja tinggal di sini bersamanya...”
“Kak Ku Cin, kau... kau tidak akan menganggap aku pengkhianat?” tanya Mimi terisak.
Ku Cin menggeleng kepala dan tersenyum. “Tidak, adikku. Aku tahu isi hatimu. Engkau tidak
membantu penjajah, akan tetapi engkaupun tidak membantu pejuang memusuhi bangsa kita.
Engkau berhak meraih kebahagiaanmu. Akan kuceritakan kepada ayah kita tentang anak
perempuannya yang gagah, yang berani menempuh apa saja demi cintanya, dan tetap tidak
mengkhianati bangsanya.”
“Kak Ku Cin, maafkan aku...” Mimi tersedu.
Dengan lembut Bouw Ku Cin melepaskan pelukannya dan Yen Yen segera menghampiri dan
merangkul Mimi. “Adik Mimi, kami berbahagia sekali dengan keputusanmu.”
“Sekarang aku harus pergi, selamat tinggal, kawan-kawan. Semoga perjuangan kalian berhasil
karena kalian memang benar!” kata Bouw Ku Cin. Cu Goan Ciang memberi perintah kepada
selosin pembantunya untuk mengawal putera Mongol itu agar dapat keluar dari pintu gerbang
dengan amat, dan memberinya seekor kuda yang tangkas.
Bouw Ku Cin membalapkan kudanya keluar dari pintu gerbang. Dari jauh dia melihat
pertempuran yang berlangsung antara pasukan yang menghadang barisan pemerintah yang
dipimpin Yauw-Ciangkun, di mana ayahnya sendiri berada. Akan tetapi, dia tidak ingin
mencampuri dan di membalapkan kudanya ke utara, ke kota raja.
Terjadi pertempuran sengit di luar kota Nan-king ketika pasukan pemerintah yang kaget
sekali melihat Nan-king sudah diduduki pasukan Beng-pai, berusaha untuk merebut kembali.
Akan tetapi, pasukan Beng-pai yang sudah siap di luar kota menyambut pasukan pemerintah
yang sudah kelelahan karena semalam suntuk diganggu perang gerilya dan melakukan
perjalanan jauh. Apa lagi dari atas benteng kota, pasukan Beng-pai menghujankan anak panah
ke arah pasukan musuh, sehingga pasukan pemerintah kocar-kacir dan akhirnya, setelah
pertempuran selama setengah hari yang sangat melelahkan, pasukan itu terpaksa melarikan
diri ke utara.
Bendera yang bertuliskan huruf besar BENG berkibar di kota Nan-king. Rakyat menyambut
kemenangan Cu Goan Ciang ini dengan gembira. Kota Nan-king berpesta pora. Sumbangan
para hartawan mengalir bagaikan banjir karena mereka dengan suka rela menyerahkan
hartanya kepada pasukan rakyat yang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan,
juga terutama sekali karena rakyat pada umumnya berterima kasih kepada Cu Goan Ciang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 286
karena pasukan pembebasan itu sama sekali tidak pernah mengganggu rakyat. Berkat
ketertiban yang keras dari Cu Goan Ciang dan Shu Ta, tidak ada prajurit yang berani
mengganggu rakyat dan di sinilah letaknya keberhasilan Cu Goan Ciang. Di mana-mana,
rakyat menyambutnya dan dia tidak pernah kekurangan tenaga karena dengan sukarela kaum
muda rakyat masuk menjadi prajurit. Bahkan dunia kang-ouw mendukung Cu Goan Ciang
yang sudah diakui sebagai Beng-cu.
Peristiwa jatuhnya Nan-king ke tangan Cu Goan Ciang dan pasukan Beng-pai (Partai Terang)
itu terjadi dalam tahun 1356. Cu Goan Ciang, dibantu Shu Ta yang menjadi panglima
besarnya, tidak tergesa-gesa menyerang ke utara, di mana pemerintah Mongol yang mulai
lemah masih mempertahankan kedaulatan mereka. Cu Goan Ciang menyusun kekuatan di
selatan, menghimpun kekuatan rakyat, memperbaiki kehidupan di selatan, dan dia mengajak
semua perkumpulan di dunia kang-ouw untuk bersatu. Semua perkumpulan yang berjuang
menentang penjajah, diajak bekerja sama di bawah bendera Beng-pai, yang tidak mau dan
yang melakukan perbuatan jahat mengganggu keamanan rakyat, ditundukkan dan ditumpas.
Dalam tahun itu juga, dia menikah dengan Tang Hui Yen atau Yen Yen, berbareng dengan
pernikahan Shu Ta dengan Mimi. Biarpun Cu Goan Ciang dan Shu Ta tidak ingin merayakan
pernikahan mereka secara besar-besaran, namun rakyat di kota Nan-king merayakan dengan
gembira karena mereka semua mengagumi dan menghormati dua orang tokoh yang berhasil
mengalahkan penjajah dan mengusirnya dari Nan-king itu.
Seperti tercatat di dalam sejarah, setelah dalam beberapa tahun seluruh daerah selatan dan
timur dapat ditundukkan dan kekuasaan pasukan Beng-pai mencakup daerah yang luas dari
Shantung sampai ke Canton, dan merasa bahwa keadaanya cukup kuat, Cu Goan Ciang
menerima usul para pembantunya untuk mendirikan sebuah kerajaan baru sebagai tandingan
kerajaan Goan, yaitu kerajaan Beng-tiauw. Dia sendiri lalu diangkat oleh semua pembantunya
menjadi kaisar pertama kerajaan Beng dan berjuluk Kaisar Thai Cu.
Setelah kekuatan pasukannya mencapai puncaknya, dalam tahun 1368, pasukan besar
kerajaan Beng ini, dipimpin oleh Jenderal Shu Ta yang menjadi panglima besar, mulai
bergerak ke utara. Satu demi satu kota yang dipertahankan pasukan Mongol jatuh, dan
akhirnya Kaisar Togan Timur, kaisar terakhir kerajaan Goan, melarikan diri ke Mongolia,
sedangkan kota raja Peking dapat direbut dan dikuasai oleh pasukan Beng-tiauw.
Akan tetapi, Cu Goan Ciang atau Kaisar Thai Cu tetap mempertahankan Nan-king sebagai
kota raja yang baru. Kekuasaan kerajaan Beng ini semakin berkembang saja. Berkat
kegagahan dan kegigihan Panglima Besar Shu Ta yang memimpin pasukan Beng-tiauw,
pasukan itu melakukan pengejaran ke utara, pada tahun 1372 pasukan itu menyeberangi gurun
Gobi dan menyerang ibu kota Karakorum yang dahulu menjadi ibu kota lama dari Jenghis
Khan pendiri kerajaan Goan. Kota Karakorum dibakar bahkan pasukan Beng melakukan
pengejaran terus sampai melewati pegunungan Yablonoi di daerah Siberia!
Orang-orang Mongol yang masih tersisa dan tinggal di Yunan juga diusir ketika Yunan
diserbu. Kekuasaan Beng-tiauw terus berkembang menjadi kerajaan besar dan kerajaan ini
disambut dengan hangat dan penuh hormat oleh rakyat yang merasa mendapatkan kembali
kehormatan mereka setelah selama hampir seratus tahun dijajah oleh bangsa Mongol.
Demikianlah, si Rajawali Lembah Huai, Cu Goan Ciang yang ketika kecilnya hanya seorang
anak dusun yang amat miskin, yang pernah menjadi kacung di kuil, pernah menjadi
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 287
penggembala ternah pernah pula menjadi gelandangan, berhasil menjadi Kaisar. Bukan hanya
Kaisar, melainkan menjadi pembebas tanah air dan bangsanya dari penjajahan bangsa
Mongol. Sampai di sini selesailah kisah ini dan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca.
TAMAT
Lereng Lawu, akhir Februari 1986
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments